19.01.2013 Views

jurnal pertanian berbasis keseimbangan ekosistem - Universitas ...

jurnal pertanian berbasis keseimbangan ekosistem - Universitas ...

jurnal pertanian berbasis keseimbangan ekosistem - Universitas ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM<br />

PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR DI<br />

KARANGASEM, BALI<br />

I Made Tamba dan I Wayan Cipta..................................................................... 1<br />

2. UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH LAHAN<br />

MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR MELALUI BIOTEKNOLOGI<br />

BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA DENGAN PUPUK KANDANG<br />

DAN KASCING<br />

I Ketut Widnyana............................................................................................... 20<br />

3. ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI<br />

PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI<br />

I Ketut Arnawa................................................................................................... 32<br />

4. INSTITUTIONAL FRAMEWORK FOR STRENGTHENING SOCIAL<br />

CAPITAL: An Empirical Approach at Different Communities in Bali<br />

Province<br />

Nyoman Utari Vipriyanti.................................................................................. 39<br />

5. PERBAIKAN PERTUMBUHAN BIBIT SOKA (Ixora coccinea l.)<br />

DENGAN PERENDAMAN SETEK DALAM URINE SAPI<br />

I Made Sukerta................................................................................................... 62<br />

6. REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE FOR<br />

PROMOTING SUSTAINABLE FARMING AND COMMUNITY-BASED<br />

TOURISM<br />

Daftar Isi (Content)<br />

Cening Kardi.......................................................................................................70<br />

7. ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN<br />

HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN<br />

KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan<br />

Ni Made Muriati dan Wayan Guwet Hadiwijaya...............................................78<br />

AGRIMETA<br />

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

SELAMATKAN<br />

BUMI PERTANIAN MELALUI PENERAPAN<br />

TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN<br />

AGRIMETA Vol. 01 No. 01 Hal. 1 -101<br />

Denpasar<br />

Oktober 2011<br />

ISSN<br />

2088-2521


� VOLUME 1 � NOMOR 2 � OKTOBER � 2011 AGRIMETA<br />

ISSN 2088-2521<br />

AGRIMETA<br />

Suatu <strong>jurnal</strong> ilmiah bidang <strong>pertanian</strong> dalam arti luas yang mempublikasikan hasil penelitian atau kajian<br />

review pada semua aspek agroekoteknologi, agribisnis, sosial dan budaya <strong>pertanian</strong> (baik yang menyangkut<br />

fisik maupun metafisik), baik secara alami maupun terkontrol dengan memanfaatkan teknologi yang ramah<br />

lingkungan /organik.<br />

Pemimpin Redaksi<br />

Ir. Cening Kardi, MMA<br />

Sekretaris Redaksi<br />

Ir. Made Budiasa, MAgb<br />

Mitra Bebestari (Dewan Redaksi)<br />

1. Prof. Dr. Ir. I Nyoman Wijaya, MS<br />

Program Magister Bioteknologi Pertanian, <strong>Universitas</strong> Udayana<br />

2. Prof. Ir. Ratya Anindita, MS, P.hD<br />

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, <strong>Universitas</strong> Brawijaya<br />

3. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, MS<br />

Program Magister Pertanian Lahan Kering, <strong>Universitas</strong> Udayana<br />

Redaksi Pelaksana<br />

1. Ir. I Dewa Nyoman Raka, MP<br />

2. Prof Dr. Ir. IGN Alit Wiswasta, MP<br />

3. Ir. Ketut Widnyana, MSi<br />

4. Ir. I Made Tamba, MP<br />

5. Drs. I Gusti Gede Jelantik Arya<br />

Agrimeta adalah <strong>jurnal</strong> ilmiah bidang <strong>pertanian</strong> yang <strong>berbasis</strong> <strong>keseimbangan</strong> <strong>ekosistem</strong> yang diterbitkan<br />

oleh Fakultas Pertanian <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar. Jurnal diterbitkan 2 kali dalam setahun<br />

(April, Oktober) dengan 1 volume dan 2 nomor penerbitan.<br />

Makalah dapat ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Makalah yang dikirimkan oleh penulis<br />

kepada redaksi akan dievaluasi awal untuk subyek materi dan kualitas teknik penulisan secara umum oleh<br />

pemimpin redaksi, selanjutnya akan dikirimkan kepada minimal 1 mitra bebestari di bidangnya untuk<br />

evaluasi substansi materi sedangkan tahap akhir akan ada saran penyempurnaan dari pelaksana redaksi.<br />

Makalah yang dinyatakan diterima serta telah diperbaiki sesuai saran redaksi akan diterbitkan dalam Jurnal<br />

Agrimeta.<br />

Petunjuk Format Penulisan Makalah terlampir di halaman terakhir dari <strong>jurnal</strong> ini.<br />

Redaksi Agrimeta<br />

Sekretariat Fakultas Pertanian <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar<br />

Jln . Kamboja No. 11 A Telp. (0361) 265322 Denpasar-Bali e-mail:ceningkrd@gmail.com<br />

PETUNJUK PENULISAN NASKAH<br />

Agrimeta adalah <strong>jurnal</strong> suntingan ilmiah yang secara spesifik difokuskan pada publikasi karya-karya inovatif dari<br />

penelitian murni atau terapan yang berhubungan dengan <strong>pertanian</strong> dalam arti luas , review dan analisis tentang semua aspek<br />

agroekoteknologi, agribisnis, sosial dan budaya <strong>pertanian</strong> (baik yang menyangkut fisik dan metafisik), baik secara alami<br />

maupun terkontrol dengan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan/organik.<br />

Penyerahan naskah<br />

Naskah yang tidak sedang dalam pertimbangan untuk dipublikasikan di redaksi lain dapat diserahkan rangkap 2 (1<br />

asli dan 1 copy) kepada:<br />

REDAKSI AGRIMETA<br />

Sekretariat Fakultas Pertanian UNMAS<br />

Jln . Kamboja No. 11 A Telp. (0361) 265322 Denpasar-Bali e-mail: ceningkrd@gmail.com<br />

Naskah yang dinyatakan diterima untuk dipublikasikan, pada penyerahan draft koreksi akhir harus disertakan<br />

sebuah disket 3,5”(bebas virus) yang berisi file naskah akhir yang sesuai denga cetakan naskah asli. Naskah diketik dengan<br />

menggunakan Microsoft Word for Windows dalam doc format sementara grafik disimpan dalam Microsoft Excel.<br />

Surat pernyataan yang ditandatangani oleh penulis utama, yang menyatakan bahwa naskah artikel yang<br />

diserahkan belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dalam pertimbangan untuk diterbitkan di redaksi lain harus<br />

disertakan pada penyerahan naskah. Hak cetak bagi naskah yang diterima dan semua bahan terbitan lainnya menjadi hak<br />

milik redaksi.<br />

Kebijakan Redaksi<br />

Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Naskah yang diserahkan pada awalnya<br />

akan dinilai berdasarkan kesesuaian materi ruang lingkup <strong>jurnal</strong> dan mutu tulisan secara umum oleh pemimpin redaksi.<br />

Makalah yang ditulis dengan jelas dan disusun rapi dan baik sesuai dengan pedoman redaksi lebih dipertimbangkan.<br />

Naskah yang dipandang tidak tepat dapat dikembalikan kepada penulis tanpa pengkoreksian lebih lanjut. Bagi penulis<br />

naskah berbahasa Inggris sangat dianjurkan untuk memintak bantuan kepada seseorang yang mahir dalam penyusunan<br />

naskah bahasa Inggris dengan gaya dan tatabahasa yang baik. Redaksi tidak menerima naskah yang dikirim lewat email.<br />

Persiapan Nasakah<br />

Naskah berupa ketikan asli (halaman judul hingga lampiran diharapkan tidak melebihi 17 halaman), spasi ganda,<br />

batas bingkai penulisan 3 cm dari sisi tepi kertas ukuran A4 dan dengan huruf Times Roman 11 (Program MS Word for<br />

Windows). Halam pertama naskah memuat judul artikel, nama dan alamat penulis. Absrak yang ditulis pada lembar ke-2<br />

berisi ringkasan hasil penelitian dan kesimpulan (maksimum 250 kata dan spasi tunggal) dengan diberi maksimum 5 kata<br />

kunci. Abstrak harus ditulis dalam dua versi bahasa Inggris dan Indonesia. Isi naskah dimulai pada lembar ke-3 dengan<br />

“Pendahuluan” yang berisi latar belakang masalah dan tujuan studi yang hendak dicapai. Bagian naskah berikutnya adalah<br />

“Metode”, “Hasil dan Pembahasan”, “Simpulan dan Saran” dan “Daftar Pustaka”. Tabel dan Gambar ditempatkan pada<br />

lembaran terpisah dari teks dan berada pada halaman terakhir. Naskah harus diberi nomor halaman secara berurutan.<br />

Penggunaan penulisan dengan sistem satuan S1 (misal ml, l, g, kg, mg/l bukan ppm dsb).<br />

Penulisan Sumber Pustaka<br />

Sitiran sumber pustaka dalam teks dapat ditulis: Panda (2005) atau (Panda, 2005), mensitir 2 penulis sebagai<br />

Sujana dan Panda (2005), sedangkan mensitir 3 atau lebih penulis yang ditulis hanya penulis utama ditambah dengan “et<br />

al”. Dalam penulisan daftar pustaka, diurutkan berdasar alfabet, jika nama penulis sama diurut berdasarkan tahun<br />

penerbitan. Nama /judul <strong>jurnal</strong> harus ditulis lengkap. Menghindari sitiran pustaka dari <strong>jurnal</strong> tanpa dewan penyunting,<br />

laporan proyek, dan artiklel majalah popular.


ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM<br />

PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR<br />

DI KARANGASEM, BALI<br />

I Made Tamba dan I Wayan Cipta<br />

Jurusan Agribisnis <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar<br />

Abstract<br />

National program on community self-relience empowerement or PNPM has been<br />

introduced by central government as national policy to reduce poverty as well as<br />

to achieve MDGs goals. Nevertheless, assessment on effectiveness such a<br />

program is lacking. This research is aimed to assess PNPM program on coastal<br />

communities in Kubu district Karangasem regency, Bali. Using census and snow<br />

ball methods, the community participation was chosen as assessment indicater<br />

along with other socio-econoic variables. The results show that PNPM-MKP is<br />

performing well judging from community participation with average response of<br />

medium level participation, while monitoring and evaluation show higher scores.<br />

Overall total score of participation is relatively high. Some factors which<br />

correlate with community participation are group of age, education level, number<br />

of family members, number of fishing tools owned, and income<br />

Keywords: coastal community, empowerment, PNPM-MKP model, community<br />

participation.<br />

1. PENDAHULUAN<br />

1.1 Latar Belakang<br />

Program-program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan telah<br />

banyak dilakukan, seperti: Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Bantuan<br />

Langsung Tunai (BLT) dan program-program bergulir lainnya. Namun, sebagian<br />

besar program tersebut bersifat top-down. Disamping itu, ada beberapa program<br />

yang tidak tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena penentuan sasaran secara<br />

langsung tanpa melalui proses perencanaan dan tidak melihat kondisi langsung di<br />

masyarakat. Beberapa program memiliki prosedur yang sangat rumit sehingga<br />

tidak tepat waktu, tidak efektif dan tidak efesien.<br />

Usman (1998) menyatakan perlunya pendekatan khusus dalam upaya<br />

penguatan perekonomian masyarakat terutama kelompok nelayan kecil seperti: 1)<br />

pendekatan teknokratis yaitu pendekatan yang diawali dengan terlebih dahulu<br />

menetapkan program-program dan kelompok-kelompok sasaran (target),<br />

kemudian dilanjutkan dengan membakukan sistem penyaluran (delivery system)<br />

bagi kelompok-kelompok sasaran, mengeluarkan petunjuk pelaksanaan dan<br />

petunjuk teknis, serta mengeluarkan anggaran pendukung pelaksanaan teknis, 2)<br />

pendekatan partisipatif yaitu dengan memperkuat kemandirian (community selfreliance).<br />

Masyarakat dibantu, didampingi dan difasilitasi untuk melakukan<br />

analisis terhadap masalah keuangan yang dihadapi, diberikan peluang<br />

memutuskan yang dikehendaki dan inisiatif mereka menjadi basis kegiatan. Peran<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

1


pemerintah sebagai fasilitator dan memberikan dukungan inisiatif kepada<br />

masyarakat.<br />

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) adalah<br />

program nasional yang menjadi kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan<br />

berbagai program penanggulangan kemiskinan yang <strong>berbasis</strong> pada pemberdayaan<br />

masyarakat. Program PNPM Mandiri adalah program untuk mencapai salah satu<br />

sasaran dalam Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 yaitu<br />

untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan.<br />

Kerangka pemikiran PNPM Mandiri adalah: 1) penanggulangan<br />

kemiskinan hanya akan efektif bila dilakukan secara mandiri dan berkelanjutan<br />

melalui sinergi dan kemitraan masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok<br />

peduli (LSM, swasta, dan lain-lain); 2) kemandirian yang berkelanjutan akan<br />

diwujudkan dalam tiga pilar yaitu masyarakat dengan tingkat keberdayaan dan<br />

kemandirian yang tinggi, pemerintah dan legislatif yang pro poor, dan dunia<br />

usaha dan organisasi masyarakat yang peduli (the caring society); 3) PNPM<br />

Mandiri bukan proyek ”bagi-bagi uang”, namun harus dilandasi dengan<br />

pembinaan karakter masyarakat yang baik dan beradab seperti: mempunyai citacita<br />

dan impian (the power of dream), mempunyai perilaku memberi daripada<br />

meminta (the power to give), mempunyai kemantapan mental berpikir positif,<br />

selalu mengutamakan dialog dan menghindari kekerasan (democracy at the grass<br />

root), dan selalu berusaha dan bekerja bersama kelompok (kegotongroyongan<br />

sosial, ekonomi dan budaya).<br />

2<br />

PENYALURAN PROGRAM-PROGRAM PROGRAM PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN<br />

PRA PNPM MANDIRI<br />

TATARAN<br />

PENGELOLA<br />

PROGRAM<br />

KOORDINASI<br />

LAPANGAN<br />

TATARAN<br />

MASY.<br />

Program<br />

TUMPANG TINDIH<br />

DNG PROG LAIN<br />

Program<br />

Program<br />

PROSEDUR<br />

YG. RIBET<br />

??<br />

?? ??<br />

Program<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

?<br />

BANTUAN SALAH<br />

SASARAN<br />

TERLUPAKAN?<br />

??<br />

KEBANYAKAN<br />

MEDIATOR<br />

Gambar 1. Program-Program Pengentasan Kemiskinan Sebelum Pola PNPM<br />

Mandiri (Sumber: Royat, 2009)<br />

Kabupaten Karangasem merupakan satu-satunya kabupaten di Bali yang<br />

termasuk dalam kategori kabupaten tertinggal atau kabupaten miskin. Salah satu<br />

kecamatan yang mewilayahi pesisir dan tergolong miskin adalah kecamatan<br />

Kubu. Kecamatan Kubu yang memiliki luas wilayah 234,72 km 2 , terbagi dalam 9<br />

desa yaitu Ban, Dukuh, Kubu, Tulamben, Baturinggit, Sukadana, Tianyar Timur,<br />

Tianyar Tengah dan Tianyar Barat. Dari 9 desa tersebut, 7 desa diantaranya<br />

(kecuali Ban dan Dukuh) merupakan desa pantai dengan panjang pantai sekitar<br />

24,4 km. Jumlah penduduk di kecamatan Kubu tercatat 67.559 jiwa dengan<br />

rincian penduduk laki-laki 33.731 jiwa dan perempuan 33.828 jiwa. Dari jumlah<br />

penduduk tersebut kecamatan Kubu memiliki jumlah Rumah Tangga Miskin


(RTM) sebesar 7.833 KK atau 27.762 jiwa. Jumlah RTM di kabupaten<br />

Karangasem kalau dilihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh<br />

kepala rumah tangganya adalah SD/MI, dan kecamatan Kubu menempati<br />

peringkat paling tinggi yaitu sebesar 7.646 RTM (20,71%).<br />

Disamping faktor internal yang menjadi penyebab kemiskinan pada<br />

masyarakat pesisir, faktor ekternal juga sangat berpengaruh. Selama lebih dari 3<br />

dekade perhatian pemerintah relatif kurang terhadap pembangunan sektor<br />

kelautan dan perikanan. Masyarakat di bidang kelautan dan perikanan sering kali<br />

termajinalkan karena kurangnya keberpihakan kebijakan pemerintah dalam upaya<br />

pengentasan kemiskinan dan pembangunan secara menyeluruh bagi masyarakat di<br />

wilayah tersebut. Permasalahan dan pemanfaatan potensi yang belum optimal<br />

pada nelayan meliputi aspek penangkapan, budidaya, pengolahan dan pemasaran,<br />

pengawasan serta sumber daya manusia. Hal ini akan menambah kondisi<br />

masyarakat kelautan dan perikanan yang cenderung miskin dan terbelakang.<br />

1.2 Rumusan Masalah<br />

Rumusan permasalahan dalam penelitian ini ini adalah: 1) bagaimanakah<br />

pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di<br />

Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; 2) bagaimanakah dukungan<br />

masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan Pola<br />

PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; dan 3) faktor-faktor<br />

apakah yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan<br />

PNPM- MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?<br />

1.3 Tujuan Penelitian<br />

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji model pemberdayaan<br />

masyarakat pesisir dengan pola PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, sehingga<br />

nantinya dapat dijadikan model perbaikan pelaksanaan program bagi pemerintah<br />

pusat dan perbaikan-perbaikan yang mesti dilakukan oleh Pemda Kabupaten<br />

Karangasem khusunya Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten<br />

Karangasem, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1)untuk<br />

mengetahui pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-<br />

MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; 2) untuk mengetahui<br />

dukungan masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan<br />

Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; dan 3) untuk<br />

mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat<br />

terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.<br />

1.4 Manfaat Penelitian<br />

Manfaat teoritis yang diharapkan adalah sebagai bahan masukan bagi<br />

akademisi dan stake holder di dalam memperkaya teori-teori mengenai<br />

pemberdayaan masyarakat, khususnya pemberdayaan masyarakat pesisir,<br />

sedangkan manfaat praktisnya adalah untuk dipakai model/acuan untuk proses<br />

pemberdayaan oleh pemerintah, dan stake holder yang bergerak pada bidang<br />

pemberdayaan masyarakat pesisir di dalam menentukan arah dan kebijakannya<br />

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

3


2. LANDASAN TEORI<br />

2.1. Analisis Model<br />

Analisis Model adalah identifikasi bagian-bagian dalam gambaran suatu<br />

sistem yang bertujuan untuk menjelaskan apa yang diinginkan, membangun dasar<br />

untuk model baru, dan menetapkan persyaratan dari model yang akan dibangun.<br />

Analisis Model membantu mengindentifikasi hal-hal perbaikan penting<br />

yang akan dilakukan, serta memberikan strategi positif untuk mengevaluasi diri<br />

untuk memahami struktur dan efektifitas dari suatu sistem. Lebih lanjut<br />

dijelaskan bahwa analisis model dapat dipakai sebagai alat untuk pembinaan<br />

peningkatan pembangunan. 1<br />

2.2. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir<br />

2.2.1. Pengertian dan Karakteristik Wilayah Pesisir<br />

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara <strong>ekosistem</strong> darat dan<br />

laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik kering maupun yang terendam air<br />

laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak,<br />

dan gelombang serta perembesan laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian<br />

perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti<br />

sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh<br />

kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah,<br />

perluasan pemukiman serta intensifikasi <strong>pertanian</strong>. 2<br />

Wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik, yaitu : 1) wilayah<br />

pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan darat,<br />

sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil <strong>keseimbangan</strong> dinamis dari<br />

proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; 2)<br />

berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk<br />

tempat pembesaran, pemijahan dan mencari ikan; 3) wilayahnya sempit, tetapi<br />

memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam<br />

rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; 4) memiliki gradien perubahan sifat<br />

ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi<br />

yang berlainan; dan 5) tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan,<br />

baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi<br />

internasional. 3<br />

2.2.2.. Permasalahan Masyarakat Pesisir<br />

Saad (2006) mengatakan bahwa isu dan permasalahan pokok pengelolaan<br />

wilayah pesisir adalah kemiskinan masyarakat pesisir, konflik pemanfaatan ruang<br />

di wilayah pesisir dan laut, penurunan kualitas sumber daya alam dan lingkungan,<br />

potensi sumberdaya pulau-pulau kecil belum dimanfaatkan secara optimal,<br />

pengelolaan konservasi laut belum optimal, kepastian hukum belum terjamin serta<br />

1<br />

Alistair Cockburn. OO Analisis Model. (Online) http:/training.fws.gov/deo/pdfs/The%20<br />

Interpretive% 20Development%20Model.pdf).diakses 30 Mei 2010<br />

2<br />

Dahuri, dkk. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta.<br />

Pradnya Paramita, 2001<br />

3<br />

Soedarma, D. Karakateristik Ekosistem Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta<br />

Pemanfaataanya. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Peningkatan Peranserta Lembaga<br />

Keagamaan/Adat oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Durjen KP3K DKP di<br />

Cipayung Bogor, 22-25 Agustus 2006<br />

4<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


elum maksimalnya peranan lembaga kemasyarakatan di dalam pengelolaan dan<br />

pemanfaatan pesisir dan laut. Lebih lanjut dijelaskan penyebab kemiskinan<br />

masyarakat pesisir adalah lemahnya akses kepada lembaga keuangan resmi<br />

(terlilit utang dengan rentenir), belum adanya keberpihakan lembaga keuangan<br />

(persyaratan ketat dan tingkat kepercayaan rendah), lemahnya sistem dan<br />

manajemen usaha, dan lemahnya akses informasi iptek dan pasar.<br />

2.2.3.. Pengertian dan Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir<br />

Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai upaya untuk membantu<br />

masyarakat dalam mengembangkan kemampuan sendiri sehingga bebas dan<br />

mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara mandiri.<br />

Definisi pemberdayaan (empower) menurut Merriam Webster and Oxford English<br />

Dictionary mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or<br />

authority atau sebagai memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau<br />

mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Pengertian kedua, to give ability to or<br />

enable, diartikan sebagai upaya memberikan kemampuan atau keberdayaan. 4<br />

Kurniawan, (2006) mengatakan pemberdayaan adalah suatu proses<br />

perubahan dengan menempatkan kata kreatif dan prakarsa masyarakat yang sadar<br />

diri dan terbina sebagai titik tolak. Lebih lanjut dikatakan pemberdayaan<br />

mengandung dua unsur pokok yaitu kemandirian dan partisipasi. Kemandirian<br />

adalah proses kebangkitan kembali dan pengembangan kekuatan pada diri<br />

manusia yang mungkin sudah hilang karena ketergantungan, eksploitasi dan sub<br />

ordinasi yang mencakup kemandirian material, intelektual dan manajemen.<br />

Sedangkan partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh masyarakat<br />

sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme)<br />

dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara selektif. Partisipasi masyarakat<br />

dapat berupa partisipasi pasif, yaitu masyarakat dilibatkan dalam tindakan dalam<br />

kegiatan yang telah dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain, serta<br />

partisipasi aktif, yaitu proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah<br />

mereka sendiri dengan cara merefleksikan atas tindakan mereka sebagai subjek<br />

yang sadar untuk mengambil keputusan untuk bertindak sendiri.<br />

Upaya untuk mengentaskan kemiskinan yang diharapkan mampu untuk<br />

mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin tentunya perlu dikaji dengan<br />

mempertimbangkan berbagai aspek seperti pelibatan aktif masyarakat sebagai<br />

penerima kebijakan dalam suatu kerangka participatory rural apparaisal (PRA).<br />

Penumbuhan partisipasi ini sangat penting mengingat masyarakatlah yang secara<br />

langsung melaksanakan dan merasakan hasil program yang digulirkan. Partisipasi<br />

ini dapat dikembangkan melalui berbagai institusi lokal yang kuat dan benarbenar<br />

mampu mewakili kepentingan masyarakat desa. 5<br />

Pembangunan di Indonesia semestinya dituntaskan dengan pemberdayaan<br />

masyarakat karena, 1) demokratisasi proses pembangunan (dengan melibatkan<br />

setiap warga negara dalam proses pembangunan, mulai dari perencanaan,<br />

pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi); 2) penguatan peran organisasi masyarakat<br />

lokal; 3) penguatan modal sosial; 4) penguatan kapasitas birokrasi lokal; dan 5)<br />

4 Sunartiningsih, A. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Jogjakarta. Aditya Media. 2004<br />

5 Soetrisno, R. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan. Yogyakarta.<br />

Pholosophy Press. 2001<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

5


mempercepat penanggulangan kemiskinan yang dapat memberikan peluang<br />

pekerjaan yang dapat menambah/memberikan penghasilan. 6<br />

6<br />

Fasilitator<br />

Refleksi kemiskinan:<br />

• Identifikasi kemiskinan<br />

• Merumuskan persoalan<br />

kemiskinan yang dihadapi<br />

• Merumuskan penyebabnya<br />

• Identifikasi potensi untuk<br />

menanggulanginya<br />

Pertemuan Masyarakat:<br />

• Tahap belajar awal<br />

menggali kebersamaan<br />

• Berdemokrasi<br />

• Kesadaran akan eksistensi<br />

diri<br />

Sosialisasi<br />

di Masyarakat:<br />

• Pemetaan sosial<br />

• Sosialisasi<br />

program<br />

Pemetaan Swadaya:<br />

• Merumuskan kebutuhan dan<br />

potensi yang ada.<br />

• Memecahkan persoalan dengan<br />

potensi yg dimiliki<br />

Pengorganisasian Masyarakat:<br />

• Lembaga masyarakat dibentuk/<br />

ditetapkan, dimiliki, dan dikelola<br />

untuk memenuhi kebutuhan bersama<br />

Penyusunan Rencana:<br />

• Identifikasi dan Prioritisasi<br />

• Penyusunan Rencana/<br />

Program Penanggulangan<br />

Kemiskinan<br />

Pelaksanaan Kegiatan:<br />

• Pembentukan/Penetapan<br />

kelompok swadaya<br />

masyarakat pelaksana<br />

kegiatan<br />

• Media bersama untuk<br />

menyelesaikan masalah<br />

secara mandiri<br />

Penerima Manfaat:<br />

• Kelompok swadaya masyarakat<br />

dan masyarakat miskin lainnya<br />

(Sumber : Tim Design PNPM Mandiri Bappenas, 2009)<br />

Gambar 2. Proses Pemberdayaan Masyarakat<br />

Tujuan pemberdayaan masyarakat pesisir adalah: 1) tersedianya dan<br />

terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan, papan,<br />

kesehatan dan pendidikan; 2) tersedianya prasarana dan sarana produksi secara<br />

lokal yang memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah<br />

dan kualitas baik; 3) meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah<br />

aksi kolektif; dan 4) terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah<br />

yang memiliki ciri-ciri <strong>berbasis</strong> sumberdaya lokal (resources based), memiliki<br />

pasar yang jelas (markert based), dilakukan dengan cara berkelanjutan dengan<br />

memperhatikan kapasitas sumberdaya (environmental based), dimiliki dan<br />

dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat (local social based), dan dengan<br />

menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian dan<br />

penelitian (scientific based). 7<br />

2.3. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan<br />

Perikanan (PNPM-MKP)<br />

Kegiatan-kegiatan yang dirancang dalam PNPM-MKP bertujuan untuk<br />

meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat kelautan dan<br />

perikanan miskin. Seluruh tahapan pelaksanaan PNPM-MKP <strong>berbasis</strong><br />

pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan dan meningkatkan kapasitas<br />

masyarakat dalam melaksanakan proses pembangunan dari, oleh dan untuk<br />

masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek bukan sebagai<br />

obyek pembangunan. 8<br />

Tujuan Program PNPM-MKP adalah untuk mendukung pengembangan<br />

usaha kelautan dan perikanan serta membangun infrastruktur pembentuk struktur<br />

ruang di wilayah desa dan pengurangan degradasi lingkungan.<br />

6 Wrihatnolo, Randy R dan Dwidjowinoto, Riant Nugroho. Manajemen Pemberdayaan, Sebuah<br />

Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Elex Media Komputindo.<br />

2007. hlm. 37-41.<br />

7 Pratikno, Widi Agus, op cit. hlm. 9<br />

8 Departemen Kelautan dan Perikanan. Pedoman Teknis Program Nasional Pemberdayaan<br />

Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta.Dirjen KP3K. 2009<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Sasaran Program PNPM-MKP adalah nelayan, pembudidaya ikan,<br />

pengolah, pemasar serta masyarakat pesisir lainnya yang terkait dengan tujuan<br />

PNPM-MKP dan tergabung dalam kelompok masyarakat, seperti Kelompok<br />

Pembudidaya Ikan (Pokdakan), Kelompok Usaha Bersama (KUB), Kelompok<br />

Pengolah dan/atau Pemasar Hasil Perikanan (KP2HP), Kelompok Masyarakat<br />

Pengawas (Pokmaswas), dan Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP).<br />

3. METODE PENELITIAN<br />

3.1 Pendekatan<br />

Pendekatan penelitian ini didasarkan pada evaluasi kebijakan tentang<br />

PNPM kelautan dan perikanan. Kebijakan ini kemudian di kontraskan dengan<br />

kondisi masyarakat atau realitas. Dengan kata lain dilakukan gap analysis<br />

sehingga dapat diketahui masalah yang terjadi. Hasil ini kemudian menjadi bahan<br />

kajian deskriptif kualitatif yang kemudian di uji melalui kajian non-parametrik<br />

dengan uji beda nyata. Secara keseluruhan alur pendekatan ini dapat dilihat pada<br />

Gambar 3 berikut ini.<br />

P<br />

E<br />

M<br />

E<br />

R<br />

I<br />

N<br />

T<br />

A<br />

H<br />

MASYA-<br />

RAKAT<br />

PESISIR<br />

K<br />

E<br />

B<br />

I<br />

J<br />

A<br />

K<br />

A<br />

N<br />

PNPM-<br />

MKP me-<br />

wujudkan<br />

masyara-<br />

kat pesisir<br />

yang sejahtera<br />

Fakta :<br />

keterbela<br />

kangan<br />

dan<br />

kemis-<br />

kinan<br />

M<br />

A<br />

S<br />

A<br />

L<br />

A<br />

H<br />

INFORMASI<br />

Teori Kebijakan,<br />

Pemberdayaan &<br />

Partisipasi<br />

Permasalahan<br />

1).Bagaimana<br />

pelaksanaan<br />

PNPM-MKP.<br />

2).Bagaimana<br />

dukungan<br />

masyarakat<br />

pesisir thd<br />

PNPM-MKP<br />

3) Faktor apa<br />

yang berhubungan<br />

dgn<br />

PNPM-MKP<br />

Pendekatan<br />

Deskriptif Kualitatif<br />

Gambar 3. Bagan Alir Penelitian<br />

Pengkajian terhadappemberdayaan<br />

masya-<br />

rakat pesisir<br />

pola PNPM-<br />

MKP :<br />

1) Pelaksanaan<br />

program<br />

2) Dukungan<br />

masyarakat<br />

pada tahap<br />

perencanaan,<br />

pelaksanaan,<br />

pemanfaatan,<br />

dan monev<br />

program<br />

3) Faktor-faktor<br />

yang ber-<br />

hubungan<br />

dgn PNPM-<br />

MKP<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

Penyem<br />

purnaan<br />

pola<br />

PNPM-<br />

MKP<br />

7


3.2. Populasi dan Sampel<br />

Penelitian ini dilaksanakan pada anggota kelompok nelayan penerima<br />

PNPM-MKP Tahun 2009 di 3 (tiga) desa yang kelompok nelayannya ditetapkan<br />

sebagai penerima PNPM-MKP yaitu : Desa Tianyar Timur, Baturinggit, dan Kubu<br />

di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem selama 2 (dua) bulan kalender yaitu<br />

pada bulan Mei sampai dengan Juni 2010.<br />

Populasinya adalah anggota dari 10 kelompok nelayan penerima PNPM-<br />

MKP (99 orang) menggunakan metode sensus. Untuk mengetahui pelaksanaan<br />

PNPM-MKP dari pihak eksternal diambil informan dengan metode snow ball.<br />

3.3. Instrumen Penelitian<br />

Variabel dalam penelitian ini adalah: 1) pelaksanaan PNPM-MKP; 2)<br />

tingkat dukungan masyarakat pesisir; dan 3) faktor-faktor yang berhubungan<br />

dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, sedangkan<br />

indikator tingkat dukungan masyarakat meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan,<br />

pemanfaatan dan monev program.<br />

Variabel pelaksanaan program PNPM-MKP akan diuraikan dengan<br />

deskriptif kualitatif. Sedangkan variabel-variabel tingkat dukungan masyarakat<br />

dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat akan diukur<br />

dengan kuisioner.<br />

Instrumen yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan program, dan<br />

tingkat dukungan masyarakat berbentuk kuisioner dan pedoman wawancara,<br />

dengan menggunakan Skala Likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban yang<br />

bergradasi (5 kategori) dan diberi skor 1-5 (satu sampai lima).<br />

3.4. Jenis dan Bentuk Data<br />

Data kualitatif mencakup deskripsi pelaksanaan PNPM-MKP, persepsi<br />

masyarakat terhadap PNPM-MKP, dukungan masyarakat pesisir terhadap PNPM-<br />

MKP, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masayarakat<br />

terhadap PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, sedangkan<br />

data kuantitatif berupa jumlah kelompok nelayan yang ada di Kecamatan Kubu,<br />

jumlah penduduk miskin/RTM di masing masing desa kelompok penerima<br />

PNPM, jumlah pendapatan per anggota kelompok, penilaian responden tentang<br />

pemberdayaan masyarakat pesisir dengan PNPM-MKP.<br />

Data primer bersumber dari hasil observasi langsung peneliti ke kelompok<br />

penerima PNPM-MKP di Desa Kubu, Baturinggit dan Tianyar Timur, dan hasil<br />

sensus dari kelompok nelayan penerima PNPM-MK, sedangkan data sekunder<br />

bersumber dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten<br />

Karangasem tentang jumlah kelompok nelayan di Kecamatan Kubu dengan<br />

jumlah anggotanya, jumlah dana PNPM-MKP yang disalurkan kepada kelompok<br />

penerima, jumlah dan jenis barang yang dibelanjakan dari BLM PNPM-MKP,<br />

serta data monografi dari masing-masing desa tempat kelompok penerima.<br />

Teknik pengumpulan data menggunakan menggunakan metode observasi<br />

(pengamatan langsung ke lapangan), kuesioner (dengan daftar pertanyaan dan<br />

pedoman wawancara) dan dokumentasi (arsip data, foto-foto, dsb).<br />

8<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


3.5. Analisis Data<br />

Pelaksanaan program PNPM MKP dianalisis secara deskriptif kualitatif.<br />

Sedang tingkat dukungan masyarakat dianalisis dengan menggunakan analisis<br />

kuantitatif dengan memberikan skor menggunakan Skala Likert (5 kategori)<br />

sebagaimana disajikan pada Tabel 1 berikut ini.<br />

Tabel 1. Skala Likert untuk evaluasi PNPM-MKP<br />

No Rentang Skor<br />

Kategori dukungan masyarakat terhadap<br />

program PNPM-MKP<br />

1 20% - 36% Sangat Rendah<br />

2 >36%- 52% Rendah<br />

3 >52% - 68% Sedang<br />

4 >68% - 84% Tinggi<br />

5 >84% - 100% Sangat Tinggi<br />

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan<br />

masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM- MKP dianalisis dengan Chi-Square,<br />

dengan persyaratan jika X² hitung � X² (1-� ) (1) , terima H0 dan jika X² hitung<br />

� X² (1-� ) (1), tolak H0<br />

4. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

4.1 Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dengan Pola PNPM-<br />

MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.<br />

Pelaksanaan program PNPM-MKP di Kecamaan Kubu pada tahun 2009<br />

dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan<br />

tersebut adalah adalah: 1) Sosialisasi Program; 2) Penentuan Lokasi Sasaran; 3)<br />

Perencanaan Pembangunan Wilayah; 4) Peningkatan kapasitas dan sumber daya<br />

masyarakat; 5) Peningkatan kapasitas aparatur daerah; 6) Peningkatan akses kredit<br />

mikro; 7) Pendampingan masyarakat; 8) Publikasi kegiatan; 9) Proses pencairan<br />

Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada kelompok masyarakat; 10)<br />

Lokakarya PNPM-MKP; 11) Monitoring dan Evaluasi; 12) Realisasi Anggaran;<br />

dan 13) Pelaporan<br />

Dari jawaban masyarakat penerima BLM dan pendapat pihak eksternal<br />

(konsultan dan tenaga pendamping) dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang<br />

mendukung pelaksanaan PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem Tahun 2009<br />

adalah:1)kemampuan pengelolaan program yang dilakukan oleh satuan kerja; 2)<br />

kondisi dan kemampuan kelompok penerima; 3)kondisi wilayah, sosial dan<br />

ekonomi dari desa tempat kelompok penerima; 4)tim teknis dan tim pendamping<br />

program; 5)proses pencairan dana dan penggunaan dana; dan 6)pelaksanaan,<br />

pemanfaatan dan monev program melibatkan kelompok penerima. Sedangkan<br />

faktor-faktor yang dianggap menghambat pelaksanaan program adalah: 1)lokasi<br />

sasaran yang menyasar hanya 1 kecamatan 3 desa; dan 2)menu dari barang-barang<br />

yang boleh diadakan sangat mengikat sesuai dengan petunjuk teknis yang ada.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

9


4.2. Dukungan Masyarakat Pesisir Terhadap Model Pemberdayaan<br />

Masyarakat dengan Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu<br />

a. Karakteristik Responden<br />

Dari hasil tabulasi data menujukkan semua responden (100%) berjenis<br />

kelamin laki-laki, dengan karakteristik responden sebagai berikut :1) Umur<br />

Responden, menujukkan bahwa 44,45% berumur 21-37 tahun, 42,42% berumur<br />

38-54 tahun, dan 13,13% berumur 55-70 tahun (sasarannya adalah usia muda<br />

produktif); 2) Status Perkawinan menunjukkan bahwa 15,15 % lajang (belum<br />

kawin), 80,81% kawin dan 4,04 % bersatus duda; 3) Tingkat Pendidikan<br />

menunjukkan bahwa 5,05% buta huruf, 32,32% tidak tamat SD, 27,27% tamat<br />

SD, 19,19% tamat SMP, 13,13% tamat SMA, dan 3,03 % tamat Perguruan<br />

Tinggi. Dengan demikian hampir 64,64% sasaran PNPM-MKP di kecamatan<br />

Kubu hanya berpendidikan dasar, 32,32% berpendidikan menengah dan hanya<br />

3,03% berpendidikan tinggi; 4) Pekerjaan Sampingan Responden,<br />

menunjukkan 18,18% tidak memiliki pekerjaan sampingan; 51,52% petani; 6,06%<br />

peternak, 13,13% buruh (karyawan pariwisata, tukang bangunan dan sopir);<br />

11,11% pekerjaan lainnya (PNS, pegawai asuransi, dan sebagainya); 5)<br />

Tanggungan Keluarga Responden, menunjukkan bahwa 39,39 % memiliki<br />

tanggungan 0-2 orang, 54,55% memiliki tanggungan 3-4 orang, dan 6,06%<br />

memiliki tanggungan 5-6 orang; 6) Penguasaan Tanah, menunjukkan bahwa<br />

untuk penguasaan tanah tegalan; 84,85% memiliki tanah 0-50 are, 12,12 %<br />

memiliki tanah 51-100 are, 0% memiliki tanah 101-150 are, dan 3,03% memiliki<br />

tanah 151-200 are. Untuk penguasaan tanah pekarangan; 65,66% memiliki 0-3<br />

are, 31,31% memiliki 4-7 are, dan 3,03% memiliki 8-10 are. Sedangkan untuk<br />

status hak tanah tegalan: 50,51% tidak memiliki tanah tegalan, 43,43% merupakan<br />

hak milik, dan 6,06% merupakan sebagai penggarap (nyakap); 7) Sarana Usaha<br />

Nelayan, menunjukkan bahwa untuk kepemilikan jukung : 2,02% tidak memiliki<br />

jukung, 90,91% memiliki jukung 1 unit, 5,05% memiliki jukung 2 unit dan 2,02%<br />

memiliki jukung sebanyak 3 unit. Untuk kepemilikan mesin (mesin motor tempel<br />

maupun mesin ketinting) menunjukkan bahwa 2,02% tidak memiliki, 84,85%<br />

memiliki mesin sebanyak 1 unit, 11,11% memiliki mesin sebanyak 2 unit dan<br />

2,02% memiliki mesin sebanyak 3 unit. Sedangkan untuk kepemilikan sarana alat<br />

tangkap seperti jaring, pancing dan sebagainya: 72,73% memiliki 0-2 set, 17,17%<br />

memiliki 3-4 set, dan 10,10 % memiliki 5-6 set; 8) Pendapatan Nelayan,<br />

menunjukkan bahwa pendapatan nelayan dari pekerjaan utama (sebagai nelayan)<br />

menunjukkan bahwa 12,12% pendapatannya 200.000 – 900.000 per bulan,<br />

44.44% pendapatannya 901.000-1.600.000 per bulan, 28,28% pendapatannya<br />

1.601.000-2.300.000 per bulan, 6,06% pendapatannya 2.301.000-3.000.000 per<br />

bulan. Sedangkan pendapatan dari pekerjaan sampingan menunjukkan 75,76%<br />

pendapatan sampingannya 0-500.000 per bulan, 19,19% pendapatan<br />

sampingannya 501.000-1.000.000 per bulan, 1,01% pendapatan sampingannya<br />

1.001.000-1.500.000 per bulan, dan 4,04% pendapatan sampingannya 1.501.000–<br />

2.000.000 per bulan. Dengan demikian jumlah pendapatan nelayan secara<br />

keseluruhan menunjukkan bahwa 55,56% pendapatannya 800.000-1.850.000 per<br />

bulan, 35,35% pendapatannya 1.851.000 – 2.900.000 per bulan, 8,08%<br />

pendapatnnya 2.901.000 – 3.950.000 per bulan, dan 1,01% pendapatannya<br />

10<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


3.951.000-5.000.000 per bulan; 9) Pengeluaran Nelayan, menujukkan bahwa<br />

pngeluaran nelayan untuk memenuhi kebutuhan pokok (konsumsi) per bulannya,<br />

13,13% pengeluarannya 200.000-450.000, 39,39% pendapatannya 451.000-<br />

700.000, 26,26% pengeluarannya 701.000-950.000, 21,21% pengeluarannya<br />

951.000-1.200.000. Untuk pengeluaran non konsumsi (per bulannya)<br />

menunjukkan bahwa 95,96% pengeluarannya 100.000-825.000, 3,03%<br />

pengeluarannya 826.000-1.550.000, 0% pengeluarannya 1.551.000-2.275.000,<br />

dan 1,01% pengeluarannya 2.276.000-3.000.000, untuk pengeluaran operasional<br />

usaha nelayan (per bulannya) menunjukkan bahwa 52,53% pengeluarannya<br />

100.000-450.000, 42,42% pengeluarannya 451.000-800.000, 2,02%<br />

pengeluarannya 801.000-1.150.000, dan 3,03% pengeluarannya 1.151.000-<br />

1.500.000. Dengan demikian kalau dilihat secara keseluruhannya, total<br />

pengeluaran nelayan (dalam rupiah per bulan) menunjukkan bahwa 50,55% total<br />

pengeluarannya 800.000-1.725.000, 43,43% pengeluarannya 1.726.000-<br />

2.650.000, 5,05% pengeluarannya 2.651.000-3.575.000, dan 1,01%<br />

pengeluarannya 3.576.000-4.500.000; 10) Kepemilikan Rumah Nelayan,<br />

menunjukkan 74,75% milik sendiri, 24,24% milik orang tua, dan 1,01% dengan<br />

menyewa. Sedangkan jenis rumah yang dimiliki menunjukkan 32,32% rumah<br />

permanen, 68,68 % rumah semi permanen; 11) Kepemilikan Tabungan,<br />

menunjukkan bahwa 77,78% tidak memiliki tabungan, sedangkan 32,32%<br />

memiliki tabungan; 12) Organisasi yang Diikuti dan Kedudukan Dalam<br />

Organisasi, menunjukkan bahwa 62,63% ikut dalam 1-3 organisasi, 28,28% ikut<br />

dalam 4-5 organisasi, dan 9,09% ikut dalam 6-7 organisasi, sedangkan<br />

kedudukannya dalam organisasi menunjukkan 37,37% sebagai pengurus, 61,62 %<br />

sebagai anggota, dan 1,01% sebagai keanggotaan lainnya (penasehat); dan 13)<br />

Partisipasi Terhadap Kegiatan Kelompok, menunjukkan, 0,0% tidak pernah<br />

hadir, 2,02% kadang-kadang hadir, 15,15% sering dan 82,83% menyatakan selalu<br />

hadir.<br />

b. Tingkat Dukungan Masyarakat terhadap Pelaksanaan PNPM-MKP.<br />

1) Aspek Perencanaan Program, menunjukkan bahwa 12,12 % dukungannya<br />

rendah, 67,68% dukungannya sedang, 16,16% dukungannya tinggi dan 4,04%<br />

dukungannya sangat tinggi. Tingkat dukungan masyarakat terhadap aspek<br />

perencanaan dalam kategori sedang, disebabkan karena masyarakat di dalam<br />

merencanakan suatu program masih perlu dituntun oleh pembina (pengelola<br />

program) atau program bersifat luncuran dari pemerintah (top-bottom), sehingga<br />

peranan masyarakat di dalam merencanakan kegiatan PNPM-MKP perlu<br />

ditingkatkan.<br />

Gambar 4. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

11


Terhadap PNPM-MKP pada Aspek Perencanaan Program<br />

2) Aspek Pelaksanaan Program, menunjukkan bahwa 1,01 % dukungannya<br />

rendah, 52,53% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 6,06%<br />

dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada aspek<br />

pelaksanaan program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP)<br />

benar-benar dapat melaksanakan kegiatan tersebut. Pelaksanaan program dapat<br />

berjalan dengan baik juga disebabkan karena responden mengikuti arahan dari<br />

pembina teknis di lapangan.<br />

12<br />

Gambar 5. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap<br />

PNPM-MKP pada Aspek Pelaksanaan Program<br />

3) Aspek Pemanfaatan Program, menunjukkan bahwa 2,02 % dukungannya<br />

rendah, 53,54% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 4,04%<br />

dukungannya sangat tinggi. Sumbangan pemikiran dan tenaga pada aspek ini<br />

sudah lumayan tinggi, tetapi dukungan berupa sumbangan materi terhadap<br />

pelaksanaaan program masih sedang. Tingginya dukungan pada aspek<br />

pemanfaatan program menunjukkan bahwa ada kecendrungan bahwa program<br />

tersebut benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok,<br />

dan program tersebut mudah untuk diadaptasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat.<br />

Gambar 6. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap<br />

PNPM-MKP pada Apek Pemanfaatan Program<br />

4) Aspek Monitoring dan Evaluasi Program, menunjukkan bahwa 2,02 %<br />

dukungannya rendah, 43,43% dukungannya sedang, 46,47% dukungannya tinggi<br />

dan 8,08% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada<br />

aspek monev program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP<br />

melakukan pengawasan secara ketat, dengan aturan dalam awig-awig kelompok<br />

(Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga). Pengawasan secara internal<br />

kelompok dan pihak antar kelompok dalam wadah Kelompok Pengawas<br />

Masyarakat (Pokmaswas) Bayu Segara yang ada di Kecamatan Kubu.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Gambar 7. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap<br />

PNPM-MKP pada Aspek Monev Program<br />

5). Aspek Dukungan Masyarakat Secara Kumulatif, menunjukkan bahwa 3,03<br />

% dukungannya rendah, 40,40% dukungannya sedang, 55,56% dukungannya<br />

tinggi, dan 1,01% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat<br />

secara kumulatif menunjukkan bahwa PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem<br />

Tahun 2009 mendapat respon dan dukungan yang tinggi oleh kelompok<br />

masyarakat. Masyarakat penerima program sudah mampu untuk melakukan<br />

perencanaan, melaksanakan, memanfaatkan, dan melakukan monitoring dan<br />

evaluasi program secara baik. Tingginya dukungan secara kumulatif ini juga<br />

disebabkan karena modal sosial (terutama tingkat kepercayaan dan partisipasi)<br />

pada kelompok-kelompok nelayan di kecamatan Kubu relatif masih tinggi.<br />

Gambar 8. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap<br />

PNPM-MKP pada Aspek Secara Kumulatif<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

13


Secara keseluruhan respon masyarakat terhadap beberapa aspek di atas dapat<br />

dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 9 berikut ini.<br />

14<br />

Tabel 2. Respon masyarakat terhadap aspek penilaian.<br />

Respon (%)<br />

Aspek rendah sedang tinggi<br />

sangat<br />

tinggi<br />

Perencanaan 12,12 67,68 16,16 4,04<br />

Pelaksanaan 1,01 52,53 40,4 6,06<br />

Pemanfaatan 2,02 53,54 40,4 4,04<br />

Monev 2,02 43,43 46,47 8,08<br />

Kumulatif 3,03 40,4 55,56 1,01<br />

Gambar 9. Respon Masyarakat terhadap PNPM<br />

4.3. Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Dukungan<br />

Masyarakat Terhadap Pelaksanaan PNPM - MKP<br />

di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.<br />

Faktor-faktor yang diduga memiliki hubungan dengan dukungan<br />

masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP yaitu kelompok umur, tingkat<br />

pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan dari pekerjaan utama dan<br />

jumlah kepemilikan alat tangkap.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Analisis Khi Kuadrat Terhadap Faktor-Faktor yang<br />

Ada Hubungan dengan Dukungan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan<br />

PNPM-MKP di Kec. Kubu, Kabupaten Karangasem Tahun 2009<br />

No Jenis Faktor X 2 -hitung X 2 -tabel (α=5%)<br />

1. Kelompok Umur 60,48* 9,49<br />

2. Tingkat Pendidikan 42,46* 9,49<br />

3. Jumlah Tanggungan Keluarga 33,88* 9,49<br />

4. Pendapatan dari Pekerjaan Utama 40,53* 9,49<br />

5. Jumlah Kepemilikan Alat Tangkap 23,86* 9,49<br />

Keterangan : ns) = non signifikan, *) = siginifikan<br />

Sumber : Data Primer (diolah).<br />

4.3.1 Kelompok umur<br />

Kelompok umur dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelompok umur 21-37<br />

tahun, 38-54 tahun, dan 55-70 tahun. Kelompok umur mempunyai hubungan<br />

yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di<br />

Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada<br />

suatu kecenderungan responden pada kelompok umur yang lebih muda memiliki<br />

dukungan yang lebih tinggi atau responden yang ada pada kelompok umur yang<br />

lebih tua memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap<br />

pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada<br />

kecenderungan semakin muda responden semakin tinggi dukungannnya terhadap<br />

pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor umur mempengaruhi<br />

kemampuan sesorang untuk beraktivitas dan berproduktivitas.<br />

4.3.2 Tingkat pendidikan<br />

Tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga kategori yaitu pendidikan tinggi,<br />

pendidikan menengah dan pendidikan dasar. Tingkat pendidikan mempunyai<br />

hubungan yang signifikan dengan dukungan responden terhadap pelaksanaan<br />

PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan<br />

bahwa ada suatu kecenderungan responden pada tingkat pendidikan yang lebih<br />

tinggi memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP<br />

atau responden yang ada pada pada tingkat pendidikan yang lebih rendah<br />

memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan<br />

PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin<br />

tinggi tingkat pendidikan responden semakin tinggi dukungannya terhadap<br />

pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor pendidikan mempengaruhi<br />

kemampuan seseorang untuk bertindak berdasarkan logika dan bertindak lebih<br />

rasional;<br />

4.3.3 Jumlah tanggungan keluarga<br />

Jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu 5-6<br />

anggota keluarga, 3-4 anggota keluarga, dan 0-2 anggota keluarga. Jumlah<br />

tanggungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungannya<br />

terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.<br />

Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden yang memiliki<br />

tanggungan keluarga yang lebih banyak memiliki dukungan yang lebih tinggi<br />

terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki jumlah<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

15


tanggungan keluarga lebih sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang lebih<br />

rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena anggota keluarga<br />

dikerahkan secara optimal untuk mendukung dan melaksanakan PNPM-MKP.<br />

4.3.4. Pendapatan dari pekerjaan utama<br />

Pendapatan dari pekerjaan utama dibagi menjadi tiga kategori yaitu Rp.<br />

2.300.000-3.000.000 per bulan, Rp. 1.600.000-


pada aspek pemanfaatan program masuk dalam kategori sedang, pada aspek<br />

monitoring dan evaluasi program masuk kategori tinggi, dan dukungan secara<br />

kumulatif masuk dalam kategori tinggi; dan 3) Faktor-faktor yang berhubungan<br />

dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan<br />

Kubu, Kabupaten Karangasem adalah kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah<br />

tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap, dan tingkat pendapatan<br />

dari pekerjaan utama.<br />

5.2. Saran<br />

Dari hasil dan pembahasan dapat diberikan saran sebagai berikut : 1)<br />

program PNPM-MKP tetap dapat dilanjutkan oleh pemerintah; 2) Pemerintah<br />

hendaknya lebih melibatkan masyarakat baik dalam tahap perencanaan,<br />

pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring program sehingga program tersebut<br />

benar-benar sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat (bottom up). Dalam<br />

pedoman teknis PNPM-MKP semestinya tidak ada pembatasan desa/kecamatan<br />

calon penerima dan pembatasan menu dari barang-barang yang boleh dibiayai dari<br />

program tersebut; dan 3) Untuk meningkatkan tingkat dukungan masyarakat dari<br />

kategori sedang ke kategori yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP<br />

baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring dan<br />

evaluasi program, hendaknya memperhatikan faktor-faktor yang berhubungan<br />

dengan dukungan masyarakat seperti kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah<br />

tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap dan jumlah pendapatan<br />

dari pekerjaan utama dari calon penerima program.<br />

5.3. Implikasi<br />

Peningkatan dukungan terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir dengan<br />

pola PNPM-MKP dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat pada kelompok<br />

umur muda (usia produktif), meningkatkan pendidikan peserta, meningkatkan<br />

pendapatan masyarakat, serta mengupayakan peningkatan kepemilikan alat<br />

tangkap nelayan.<br />

Oleh karena program PNPM-MKP benar-benar dapat dilaksanakan dan<br />

bermanfaat bagi masyarakat, maka pemerintah maupun stake holder terkait dapat<br />

menggunakan program tersebut untuk dipakai sebagai salah satu model program<br />

pemberdayaan masyarakat pesisir di dalam mengentaskan kemiskinan di<br />

Indonesia.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Arikunto, Suharsimi, dan Cepi Safrudin Abdul Jabar. 2007. Evaluasi Program<br />

Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan, Jakarta :<br />

Bumi Aksara.<br />

Alistair, Cockburn. 2000. OO Analysis Model (Online).(http://training.fws.gov/<br />

deo/pdfs/The%20Interpretive%20Development%20Model.pdf). Diakses 28<br />

Maret 2010.<br />

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009. Proses Pemberdayaan<br />

Masyarakat Pesisir. Jakarta: Tim Design.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

17


Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. 2008. Karangasem Dalam Angka.<br />

Amlapura:BPS<br />

Candiasa. 2004. Statistik Multivariat, Singaraja : Unit Penerbitan IKIP Negeri<br />

Singaraja.<br />

Dahuri R. J. Rais , S.P. Ginting, dan M.J Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya<br />

Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.<br />

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Petunjuk Operasional Kegiatan<br />

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan<br />

Tahun 2009. Jakarta :Dirjen KP3K<br />

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Pedoman Teknis Program Nasional<br />

Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta :<br />

Dirjen KP3K<br />

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2008. Potensi<br />

Pesisir Kabupaten Karangasem Tahun 2008 : Karangasem.<br />

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2007.<br />

Statistik Perikanan Kabupaten Karangasem . Amlapura : DPKP.<br />

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.<br />

Statistik Perikanan Kabupaten Karangasem . Amlapura : DPKP.<br />

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.<br />

Laporan Akhir PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP.<br />

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.<br />

Laporan Tim Pendamping PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP.<br />

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.<br />

Laporan Akhir RTRW Pesisir Kabupaten Karangasem. Amlapura : DPKP.<br />

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.<br />

Laporan Akhir Konsultan Perencanaan Wilayah PNPM-MKP Kabupaten<br />

Karangasem. Amlapura : DPKP.<br />

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.<br />

Laporan Tahunan Sistem Akuntansi Instansi (SAK-SIMAK BMN) Tugas<br />

Pembantuan Lingkup KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun<br />

2009. Amlapura : DPKP.<br />

Dinas Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Karangasem.<br />

2007. Laporan Pelaksanaan Pemutakhiran Data Rumah Tangga Miskin<br />

Kabupaten Karangasem. Kerjasama dengan Badan Pusat Statistik<br />

Kabupaten Karangasem.<br />

Fernandes. 1984. Evaluation of Education Programs. Jakarta: Educational and<br />

Curriculum Development.<br />

Gregory, Robert J. 2000. Psichologycal Testing History, Principles, and<br />

Applications. Boston : Allyn and Bacon.<br />

Kay R and Alder J. 1999. Coastal Planning and Management. London: E &FN<br />

Spon an imprint of Roulledge.<br />

Kurniawan, A. 2006. Pemberdayaan Masyarakat. Makalah yang disampaikan<br />

dalam Pelatihan Peningkatan Peranserta Lembaga Keagamaan/Adat oleh<br />

Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di<br />

Cipayung-Bogor: 22-25 Agustus.<br />

Lestari P. 2009. Sosialisasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.<br />

Mandiri Kelautan dan Perikanan, Makalah disampaikan dalam Sosialisasi<br />

Program PNPM-MKP di Yogyakarta, 17 Maret<br />

18<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Martasuganda, S., R. Drajat., Nelwan D., Christianto D.S., Daulay, HG.,<br />

Nugroho, A.S., Setyaningsih, N., 2006. Teknologi Untuk Masyarakat Pesisir<br />

Seri Alat Tangkap. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.<br />

Meriam-Webster. 2010. Meriam Webster Dictionairy (Online). (http://www.<br />

merim-webster.com/ictionairy/analysis). Diakses 30 Maret 2010<br />

Moleong J, Lexi. 2004. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja<br />

Rosdakarya.<br />

Nien-Lien Hsueh. 2002. Analysis Model. (Online). (http://publib.boulder.<br />

ibm.com/infocenter/rsmhelp/v7r0m0/topic/analysis model.html). Diakses 30<br />

Maret 2010.<br />

Pratikto, W.A. 2006 Arah dan Kebijakan Pembangunan Sumberdaya Kelautan,<br />

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan<br />

Peningkatan Peran Serta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat<br />

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor<br />

22-25 Agustus.<br />

Royat. S. 2009. Penanggulangan Kemiskinan dan Pengurangan Pengangguran<br />

Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-<br />

Mandiri). Makalah yang disampaikan oleh Deputi Menko Kesra Bidang<br />

Penanggulangan Kemiskinan/Ketua Tim Pelaksana Pengendali PNPM<br />

Mandiri pada Launching Program PNPM-MKP di Yogyakarta, 17 Maret<br />

Saad, S. 2006. Peran Lembaga Keagamaan/Adat dalam Pemberdayaan<br />

Masyarakat Pesisir. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan<br />

Peningkatan Peranserta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat<br />

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor<br />

22-25 Agustus.<br />

Soetrisno R. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebebasan<br />

Kemiskinan, Yogyakarta: Philosophy Press.<br />

Sudrajat Sutawijaya. 1999. Statistik Non Parametrik. Bandung: Program Pasca<br />

Sarjana Unpad.<br />

Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Tarsito.<br />

Suharsimi, Arikunto dan Cepri Safrudin Abdul Jalal. Evaluasi Program<br />

Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.<br />

Sunartiningsih, A. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Jogjakarta : Aditya<br />

Media.<br />

Tasrif, Muhammad. 2005. Analisis Kebijakan Menggunakan Model System<br />

Dynamic. Bandung : Program Magister Studi Pembangunan. Institut<br />

Teknologi Bandung.<br />

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran<br />

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,Tambahan Lembaran<br />

Negara Republik Indonesia Nomor 4437)<br />

Usman, S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Pustaka<br />

Pelajar.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

19


20<br />

UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH<br />

LAHAN MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR<br />

MELALUI BIOTEKNOLOGI BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA<br />

DENGAN PUPUK KANDANG DAN KASCING<br />

I Ketut Widnyana<br />

Email : ketutwidnyana@yahoo.com<br />

Jurusan Agroteknologi <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Kabupaten Karangasem dengan luas wilayah 83.954 Ha. Hanya memiliki<br />

lahan sawah beririgasi teknis seluas 7.059 Ha. (8,41 %) dan lahan kering paling<br />

luas di daerah Bali bagian timur yaitu seluas 76.868 Ha. (91,56 %). Kabupaten<br />

Karangasem terdiri dari 8 kecamatan dan dari 8 kecamatan yang ada tersebut,<br />

kecamatan Kubu dan kecamatan Abang memiliki lahan kering terluas yaitu<br />

masing-masing seluas 23.472 Ha. dan 12.658 Ha., selanjutnya disusul dengan<br />

kecamatan Rendang seluas 9.987 Ha., kecamatan Karangasem seluas 7.817 Ha.,<br />

kecamatan Selat seluas 7.200 Ha., kecamatan Bebandem seluas 7.127 Ha.,<br />

kecamatan Manggis seluas 6.395 Ha., dan kecamatan Sidemen seluas 2.2123 Ha.<br />

Lahan kering bermasalah (marginal) dari segi kesuburan dan curah hujan yang<br />

rendah sebagian besar ditemukan di kecamatan Kubu, Abang, dan Karangasem<br />

(Bappeda Karangasem dan Puslit Teknologi dan Seni UNUD, 2003). Secara<br />

agro<strong>ekosistem</strong> lahan kering mempunyai karakter lebih labil dibandingkan lahan<br />

sawah. Secara umum beberapa karakteristik lahan kering adalah topografi<br />

umumnya tidak datar, rentan terhadap erosi, system usahatani beragam sehingga<br />

agak sulit dalam pengelolaan lahan, ketergantungan terhadap iklim sangat besar,<br />

unsure hara terbatas.<br />

Sumber daya alam di lahan kering dapat pulih dengan beberapa teknologi<br />

dan teknik pengelolaan yang benar dan konsisten dari pengelolanya, walaupun<br />

memang memerlukan waktu yang relatif agak lama. Disamping itu kondisi<br />

penduduk terutama petani yang relatif miskin harus digarap juga dengan cara<br />

memberikan pembinaan dan bimbingan secara terus menerus untuk mengelola<br />

lahannya dengan baik agar dapat memberikan menfaat yang lebih untuk<br />

kehidupan mereka.<br />

Salah satu usaha yang dapat dilaksanakan adalah peningkatan kesuburan<br />

tanah dengan pemberian pupuk yang mudah tersedia dan berkadar tinggi Akan<br />

tetapi pemberian pupuk kimia atau anorganik untuk mempercepat proses<br />

peningkatan kesuburan tanah hanya akan meningkatkan kesuburan kimia tanah<br />

saja, sedangkan kesuburan fisik tanah akan tetap rendah dan bahkan kesuburan<br />

biologi tanah akan tertekan atau aktivitas mikroorganisme tanah yang membantu<br />

peningkatan kesuburan tanah akan terhenti dengan adanya pupuk kimia<br />

(anorganik) yang tinggi (Food and Fertilizer Technology Center, 2003). Seperti<br />

diketahui bahwa lahan marginal adalah lahan yang rendah potensi dan<br />

produktivitasnya dari semua segi kesuburan tanahnya baik dari segi kimia,fisik<br />

maupun biologi tanah dan disamping itu juga pada keterbatasan tersedianya air<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


(Suprapto, dkk, 2000), sehingga untuk menangani kesuburan lahan marginal agar<br />

potensi kesuburannya meningkat, maka perlu diambil langkah – langkah yang<br />

bijak untuk mengatasi kendala kendala yang ada. Langkah – langkah yang bijak<br />

untuk mengatasi ketiga kendala aspek kesuburan tanah lahan marginal tersebut<br />

adalah dengan pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang dan kascing serta<br />

pupuk hayati mikoriza<br />

Paket rekayasa bioteknologi biofertilisasi antara mikoriza dengan pupuk<br />

kandang dan kascing untuk meningkatkan potensi kesuburan tanah lahan marginal<br />

cukup ideal dapat dilaksanakan karena akan mendukung ketiga aspek kesuburan<br />

tanah yaitu kesuburan kimia, fisik dan biologi tanah. Aplikasi miko-riza, pupuk<br />

kandang dan kascing ke dalam tanah lahan marginal akan berpengaruh terhadap<br />

(Parr et al., 2003; Herman dan Goenadi, 2003; Pujiyanto, 2001; Wiswasta, 2001):<br />

1. Aspek fisik tanah yang meliputi struktur dan tekstur tanah, tanah akan<br />

menjadi gembur. Adanya bahan organik yang cukup dari pupuk<br />

kandang dan kascing maka pada tanah yang berkadar pasir tinggi. Air<br />

tidak akan mudah hilang meresap karena ditahan oleh bahan organik<br />

tersebut dan pada tanah berkadar liat tinggi, air tidak mudah<br />

tergenang karena tanah menjadi penuh dengan adanya bahan organik<br />

tersebut. Mikoriza juga mempunyai sifat menyimpan air pada musim<br />

kemarau.<br />

2. Aspek biologi tanah, tersedianya bahan organik yang cukup di dalam<br />

tanah akan meningkatkan aktivitas dan perkembangbiakan<br />

mikroorganisme tanah yang menguntungkan yang membantu<br />

meningkatkan kesuburan tanah.<br />

3. Aspek kimia tanah, aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme<br />

akan membantu mendegradasi molekul – molekul bahan organik<br />

menjadi unsur – unsur yang dapat meningkatkan kesuburan tanah<br />

sehingga tersedia bagi tanaman.<br />

Paket bioteknologi biofertilisasi ini telah banyak diteliti dan dicoba baik di<br />

luar maupun di dalam negeri untuk mengembalikan kesuburan tanah lahan kering<br />

(marginal) seperti lahan lahan transmigrasi yang telah lama terbuka agar berdaya<br />

guna dan berhasil guna. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperbaiki atau<br />

meningkatkan kesuburan tanah lahan marginal yang selanjutnya akan<br />

meningkatkan pendapatan petani dengan pemanfaatan limbah peternakan (<br />

kotoran ternak ) atau kascing ( hasil degradasi sampah bahan organik oleh cacing<br />

tanah ) dan dengan inokulasi mikoriza melalui penerapan paket bioteknologi<br />

biofertilisasi<br />

2. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN<br />

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas lahan kering di<br />

Kubu, Karangasem. Setelah diketahui tingkat kesuburan, potensi dan<br />

produktivitas lahan kemudian dilakukan perlakuan pemupukan pupuk organik<br />

dikombinasi dengan mikoriza untuk meningkatkan kesuburan tanah lahan<br />

marginal sehingga potensi dan produktivitas lahan tersebut meningkat. Dari<br />

penelitian ini juga diharapkan diperoleh peningkatan potensi kesuburan tanah<br />

lahan marginal yang memperoleh perlakuan bioteknologi biofertilisasi mikoriza<br />

dengan pupuk kandang dan kascing. Dengan diketahuinya potensi tanah lahan<br />

marginal melalui studi rekayasa bioteknologi biofertilisasi tersebut maka dapat<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

21


diperoleh informasi dalam penyediaan bahan organik/pupuk kandang dan kascing<br />

baik jenis maupun jumlah (dosis) pupuk organik tersebut yang dikombinasi<br />

dengan pupuk hayati mikoriza. Hal ini akan dapat meningkatkan efisiensi<br />

penggunaan bahan organik (pupuk kandang) baik jenis maupun jumlahnya. Dari<br />

segi jenis mudah diperoleh, dari segi jumlah ( dosis ) diperoleh dosis yang tepat,<br />

sehingga akan mampu meningkatkan produksi secara signifikan. Keadaan ini akan<br />

dapat meningkatkan pendapatan petani, selanjutnya meningkatkan taraf hidup<br />

petani.<br />

Sesuai data dan informasi (Badan Pusat Statistik/BPS Propinsi Bali, 2005),<br />

di Pulau Bali terdapat lebih kurang 2.181.19 Ha lahan kering yang sebagian besar<br />

kurang produktif yang dikatagorikan sebagai lahan marginal karena keterbatasan<br />

dari segi kesuburan dan ketersediaan air yang memerlukan penanganan dengan<br />

baik dan bijak untuk ditingkatkan potensi dan produktivitasnya. Sumberdaya<br />

lahan kering merupakan sumber daya alam yang dapat pulih, tetapi proses<br />

pemulihannya memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar.<br />

Dari karakteristik lahan kering , maka arah pengelolaan lahan kering unutk bidang<br />

<strong>pertanian</strong> adalah pengelolaan secara berkelanjutan (sustainable management)<br />

yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan,<br />

tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lahan.<br />

Pengelolaan lahan kering berkelanjutan pada intinya diarahkan pada<br />

beberapa maksud yaitu 1) meningkatkan produktivitas lahan kering, 2)<br />

mengurangi resiko kegagalan, 3) melindungi sumber daya alam, menekan<br />

terjadinya gradasi tanah dan air, 4) meningkatkan pendapatan petani, 5)<br />

memenuhi kebutuhan sosial.<br />

3. METODE PENELITIAN<br />

Percobaan pot (rumah kaca)<br />

Percobaan pot (rumah kaca) dilakukan untuk mengetahui perubahan<br />

tingkat kesuburan tanah lahan marginal yang diberi berbagai perlakuan sehingga<br />

potensi dan produktivitas lahan tersebut meningkat. Percobaan berpola faktorial<br />

dengan Rancangan Acak Kelompok /RAK (Gomez and Gomez, 1995). Adapun<br />

faktor – faktor perlakuan yang dicoba adalah sebagai berkut :<br />

(1) Faktor I Inokulasi mikoriza ( M ).<br />

m0 = tanpa inokulan mikoriza<br />

m1 = dengan inokulan mikoriza<br />

(2) Faktor II pupuk kandang dan kascing ( P )<br />

p0 = Tanpa pupuk<br />

p1 = pupuk kandang sapi<br />

p2 = pupuk kandang ayam<br />

p3 = pupuk kandang babi<br />

p4 = pupuk kascing<br />

(3) Faktor III dosis pupuk kandang dan kascing ( D )<br />

d0 = 0 ton per ha<br />

d1 = 4 ton per ha<br />

d2 = 8 ton per ha<br />

d3 = 12 ton per ha<br />

d4 = 16 ton per ha<br />

22<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Berdasarkan ketiga faktor perlakuan tersebut akan diperoleh 32 kombinasi<br />

perlakuan yang diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 96 pot percobaan.<br />

Tanaman yang ditanam untuk menguji perlakuan tersebut adalah tanaman jagung<br />

dan kacang tanah , sehingga jumlah keseluruhan pot yang diperlukan untuk<br />

percobaan ini adalah 192 pot .<br />

4. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

4.1 Hasil Percobaan Pot Kacang Tanah<br />

Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pengaruh kombinasi<br />

perlakuan mikoriza, dosis pupuk dan jenis pupukterhadap beberapa parameter<br />

hasil seperti jumlah biji, berat kering oven (BKO), pada tanaman kacang tanah<br />

menunjukkan perbedaan yang nyata, akan tetapi semua perlakuan masih belum<br />

menunjukkan adanya interaksi. Hal ini dapat dilihat dari grafik kecenderungan<br />

hasil yang masih linier. Beberapa perlakuan tunggal (pupuk dan mikoriza)<br />

menunjukkankan kecenderungan yang meningkat walaupun masih linier. Hal ini<br />

dapat dilihat pada Tabel dan Grafik berikut:<br />

Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan Pemupukan Organik terhadap<br />

Jumlah Biji Kacang Tanah<br />

Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />

JBJKCTP1 LIN ,198 8 1,97 ,198 34,8000 -1,0375<br />

JBJKCTP1 QUA ,229 7 1,04 ,402 32,0143 ,3554 -,0871<br />

JBJKCTP2 LIN ,000 8 3,0E-03 ,957 27,1000 ,0250<br />

JBJKCTP2 QUA ,183 7 ,79 ,492 30,8143 -1,8321 ,1161<br />

JBJKCTP3 LIN ,321 8 3,79 ,088 21,9000 1,2625<br />

JBJKCTP3 QUA ,629 7 5,94 ,031 13,5429 5,4411 -,2612<br />

JBJKCTP4 LIN ,047 8 ,39 ,549 24,2000 ,3625<br />

JBJKCTP4 QUA ,067 7 ,25 ,783 25,8429 -,4589 ,0513<br />

Dari Tabel 4 – Tabel 7 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan mikoriza dengan<br />

pupuk organik terhadap parameter jumlah biji dan berat kering oven biji kacang<br />

tanah menunjukkan pengaruh tidak nyata Hal ini juga dipertegas dengan<br />

kecenderungan Grafik 1 sampai dengan Grafik 4, dimana pada kedua parameter<br />

kecenderungan masih linier. Walaupun pada perlakuan tunggal baik pupuk<br />

maupun mikoriza ada beberapa yang menunjukkan pengaruh nyata. Misalnya<br />

seperti perlakuan pupuk kandang babi (P3) dan mikoriza menunjukkan pengaruh<br />

yang nyata (Tabel 4).<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

JBJKCTP3<br />

-10<br />

DOSISPPK<br />

0<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

10<br />

20<br />

Observed<br />

Linear<br />

Quadratic<br />

Grafik 1. Trend Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan Pemupukan Organik terhadap<br />

Jumlah Biji Kacang Tanah<br />

23


Pada Tabel 5 terlihat bahwa tanpa perlakuan mikoriza maka pemberian pupuk<br />

kascing menunjukkan pengaruh yang nyata, walaupun kecenderungannya masih<br />

linier.<br />

Tabel 5. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Jumlah Biji Kacang Tanah<br />

Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />

JBJKCTP1 LIN ,320 8 3,76 ,089 47,3000 -1,5250<br />

JBJKCTP1 QUA ,382 7 2,17 ,185 42,7286 ,7607 -,1429<br />

JBJKCTP2 LIN ,527 8 8,92 ,017 39,7000 -1,8125<br />

JBJKCTP2 QUA ,564 7 4,52 ,055 36,4857 -,2054 -,1004<br />

JBJKCTP3 LIN ,029 8 ,24 ,641 34,6000 -,3750<br />

JBJKCTP3 QUA ,029 7 ,10 ,903 34,4571 -,3036 -,0045<br />

JBJKCTP4 LIN ,002 8 ,02 ,903 28,6000 ,0625<br />

JBJKCTP4 QUA ,022 7 ,08 ,924 27,2429 ,7411 -,0424<br />

24<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

JBJKCTP2<br />

-10<br />

DOSISPPK<br />

0<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

10<br />

20<br />

Observed<br />

Linear<br />

Quadratic<br />

Grafik 2. Trend Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Jumlah<br />

Biji Kacang Tanah<br />

Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Pupuk Organik terhadap Berat Kering Oven Biji<br />

Kacang Tanah<br />

Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />

BKOBJKP1 LIN ,224 8 2,31 ,167 17,5800 -,3912<br />

BKOBJKP1 QUA ,322 7 1,66 ,256 15,8300 ,4837 -,0547<br />

BKOBJKP2 LIN ,324 8 3,83 ,086 17,1000 -,5175<br />

BKOBJKP2 QUA ,428 7 2,62 ,141 15,1143 ,4754 -,0621<br />

BKOBJKP3 LIN ,114 8 1,03 ,340 16,7100 -,3137<br />

BKOBJKP3 QUA ,148 7 ,61 ,572 15,5600 ,2612 -,0359<br />

BKOBJKP4 LIN ,007 8 ,06 ,813 13,9400 -,0487<br />

BKOBJKP4 QUA ,171 7 ,72 ,520 12,3900 ,7262 -,0484


20<br />

18<br />

16<br />

14<br />

12<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

BKOBJKP2<br />

-10<br />

DOSISPPK<br />

0<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

10<br />

20<br />

Observed<br />

Linear<br />

Quadratic<br />

Grafik 3. Trend Pengaruh Perlakuan Pupuk Organik terhadap Berat<br />

Kering Oven Biji Kacang Tanah<br />

Tabel 7. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat<br />

Kering Oven Biji Kacang Tanah<br />

Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />

BKOBJKP1 LIN ,240 8 2,53 ,150 16,4100 -,3512<br />

BKOBJKP1 QUA ,256 7 1,20 ,355 15,8029 -,0477 -,0190<br />

BKOBJKP2 LIN ,006 8 ,05 ,836 12,8400 ,0625<br />

BKOBJKP2 QUA ,195 7 ,85 ,468 15,2829 -1,1589 ,0763<br />

BKOBJKP3 LIN ,134 8 1,24 ,298 14,0600 ,3713<br />

BKOBJKP3 QUA ,512 7 3,67 ,081 9,8529 2,4748 -,1315<br />

BKOBJKP4 LIN ,049 8 ,41 ,539 17,4800 -,3338<br />

BKOBJKP4 QUA ,239 7 1,10 ,384 13,0300 1,8912 -,1391<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

BKOBJKP3<br />

-10<br />

DOSISPPK<br />

0<br />

10<br />

20<br />

Observed<br />

Linear<br />

Quadratic<br />

Grafik 4. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap<br />

Berat Kering Oven Biji Kacang Tanah<br />

Demikian juga apabila dilihat dari parameter berat kering oven biji kacang tanah<br />

maka perlakuan mikoriza dan pupuk kandang ayam (P2) menunjukkan pengaruh<br />

25


yang nyata, tetapi perlakuan tanpa mikoriza menunjukkan pengaruh nyata pada<br />

perlakuan kascing (P4). Interaksi tidak menunjukkan pengaruh nyata, dapat<br />

dilihat pada grafik kecenderungan yang masih linier (Grafik 3 dan 4).<br />

Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan pupuk Organik terhadap Jumlah Biji<br />

Jagung<br />

Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />

JMBJJGP1 LIN ,480 8 7,38 ,026 98,0000 12,3375<br />

JMBJJGP1 QUA ,548 7 4,23 ,062 66,6429 28,0161 -,9799<br />

JMBJJGP2 LIN ,003 8 ,03 ,877 250,700 -,8625<br />

JMBJJGP2 QUA ,067 7 ,25 ,784 224,629 12,1732 -,8147<br />

JMBJJGP3 LIN ,031 8 ,26 ,626 211,300 3,4625<br />

JMBJJGP3 QUA ,047 7 ,17 ,845 227,943 -4,8589 ,5201<br />

JMBJJGP4 LIN ,060 8 ,51 ,496 307,100 -3,7625<br />

JMBJJGP4 QUA ,221 7 ,99 ,417 348,886 -24,655 1,3058<br />

4.2 Hasil Percobaan Pot Jagung<br />

Interaksi perlakuan mikoriza dan pupuk pada parameter jumlah biji, berat<br />

pipilan kering, berat kering oven jagung menunjukkan pengaruh yang tidak nyata.<br />

Pengaruh pupuk kandang sapi (P1) menunjukkan pengaruh nyata, walaupun<br />

masih menunjukkan kecenderungan yang linier.(Tabel 8 dan Grafik 5). Pada<br />

parameter berat biji pipilan kering perlakuan pupuk kandang sapi (P1)<br />

menunjukkan pengaruh yang nyata, tetapi tidak menunjukkan adanya<br />

kecenderungan kuadratik (Tabel 9 dan Grafik 6). Pada parameter berat kering<br />

oven biji jagung maka pengaruh nyata ditunjukkan oleh perlakuan pupuk kandang<br />

sapi (P1), tetapi kecenderungan masih linier (Tabel 10 dan Grafik 7).<br />

26<br />

400<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

JMBJJGP1<br />

-10<br />

DOSISPPK<br />

0<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

10<br />

20<br />

Observed<br />

Linear<br />

Quadratic<br />

Grafik 5. Trend Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan pupuk Organik terhadap<br />

Jumlah Biji Jagung<br />

Tabel 9. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat<br />

Pipilan Kering Jagung<br />

Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />

BPKBJP1 LIN ,259 8 2,79 ,133 24,8700 1,6713<br />

BPKBJP1 QUA ,323 7 1,67 ,256 19,2629 4,4748 -,1752<br />

BPKBJP2 LIN ,021 8 ,17 ,687 45,6700 -,3575<br />

BPKBJP2 QUA ,047 7 ,17 ,846 43,0271 ,9639 -,0826<br />

BPKBJP3 LIN ,008 8 ,06 ,809 45,4500 ,2725<br />

BPKBJP3 QUA ,085 7 ,32 ,733 51,2500 -2,6275 ,1812<br />

BPKBJP4 LIN ,029 8 ,24 ,636 53,4000 -,4075<br />

BPKBJP4 QUA ,175 7 ,74 ,510 59,5429 -3,4789 ,1920


70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

BPKBJP1<br />

-10<br />

DOSISPPK<br />

0<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

10<br />

20<br />

Observed<br />

Linear<br />

Quadratic<br />

Grafik 6. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat<br />

Pipilan Kering Jagung<br />

Tabel 10. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat<br />

Kering Oven Jagung<br />

Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />

BKOBJP1 LIN ,462 8 6,87 ,031 10,2000 1,7225<br />

BKOBJP1 QUA ,490 7 3,36 ,095 7,3429 3,1511 -,0893<br />

BKOBJP2 LIN ,026 8 ,21 ,657 35,6900 -,3687<br />

BKOBJP2 QUA ,027 7 ,10 ,908 35,1257 -,0866 -,0176<br />

BKOBJP3 LIN ,000 8 1,2E-03 ,974 35,5100 ,0300<br />

BKOBJP3 QUA ,086 7 ,33 ,731 40,4529 -2,4414 ,1545<br />

BKOBJP4 LIN ,021 8 ,17 ,689 33,5900 ,2550<br />

BKOBJP4 QUA ,021 7 ,08 ,928 33,6471 ,2264 ,0018<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

BKOBJP1<br />

-10<br />

DOSISPPK<br />

0<br />

10<br />

20<br />

Observed<br />

Linear<br />

Quadratic<br />

Grafik 7. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik<br />

terhadap Berat Kering Oven Jagung<br />

Dari hasil analisis terhadap parameter vegetatif, hanya terhadap panjang akar dan<br />

berat kering oven akar terjadi pengaruh yang signifikan, (lihat Tabel 8 dan 9).<br />

Panjang akar tertinggi diperoleh pada perlakuan M1P4D4 (84 cm), dan berat<br />

kering oven akar tertinggi diperoleh pada perlakuan M1P4D4 (35,5 g).<br />

27


Tabel 11. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah Akar Tanaman Jagung (cm)<br />

Perlakuan P1 P2 P3 P4<br />

D1 81 76 72 64<br />

D2 63 68 69 56<br />

D3 78 61 74 73<br />

D4 77 70 79 84<br />

Keterangan:<br />

D = perlakuan dosis pupuk<br />

P = perlakuan jenis pupuk<br />

Tabel 12. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Kering Oven Akar (g<br />

Perlakuan P1 P2 P3 P4<br />

D1 23,7 27 22,1 21,2<br />

D2 16,7 23,1 14,5 18,4<br />

D3 21,1 24,2 25,6 20,1<br />

D4 24,9 27,7 21,5 35,5<br />

Keterangan:<br />

D = perlakuan dosis pupuk<br />

P = perlakuan jenis pupuk<br />

4.3 Pembahasan<br />

Tabel 13. Signifikansi Pengaruh perlakuan Mikoriza (M), Dosis (D) dan Jenis<br />

pupuk (P) terhadap parameter yang diamati<br />

No Parameter<br />

M D P MxDx P<br />

28<br />

1 Jumlah biji kacang tanah<br />

* ns * ns<br />

2 Berat Kering Oven Biji Kacang tanah * ns * ns<br />

3 Jumlah biji jagung * ns * ns<br />

4 Berat pipilan kering jagung * ns * ns<br />

5 Berat kering oven jagung * ns * ns<br />

6 Berat basah akar kacang tanah * ns * ns<br />

7 Berat kering oven akar kacang tanah * ns * ns<br />

8 Berat basah akar jagung * ns * ns<br />

9 Berat kering oven akar jagung * ns * ns<br />

Keterangan:<br />

* = berpengaruh nyata<br />

ns = non significant (tidak berpengaruh)<br />

Dari data signifikansi dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan mikoriza<br />

dan pupuk berjalan sendiri-sendiri, baik pada tanaman jagung maupun pada<br />

tanaman kacang tanah. Pada perlakuan tunggal mikoriza maka semua parameter<br />

yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata, walaupun masih menunjukkan<br />

kecenderungan linier, yang berarti bahwa pemberian mikoriza untuk selanjutnya<br />

bisa ditingkatkan dari dosis yang digunakan saat ini. Pada perlakuan pupuk<br />

terlihat dari Tabel 4 – Tabel 10 ternyata jenis pupuk menunjukkan pengaruh yang<br />

berbeda pada masing-masing parameter, hal ini diduga disebabkan karena pupuk<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


organik memang ketersediaannya dalam jangka waktu panjang, sehingga pada<br />

percobaan ini pengaruh pupuk masih belum nyata. Dari nilai rata-rata parameter<br />

hasil yaitu jumlah biji, berat pipilan kering dan berat kering oven biji jagung maka<br />

hasil tertinggi diperoleh berturut-turut pada pelakuan M1D4P3, M1D4P4, dan<br />

M1D3P4<br />

Dari data panjang akar dan berat kering oven akar tanaman jagung<br />

perlakuan M1D4P4 menunjukkan hasil tetinggi, hal ini disebabkan karena<br />

perlakuan mikoriza menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar dan<br />

berat kering oven akar baik kacang tanah maupun jagung. Hal ini sesuai dengan<br />

fungsi mikoriza yaitu meningkatkan permukaan serapan terhadap hara sehingga<br />

tanaman dapat lebih banyak menyerap unsur hara yang tersedia dalam tanah.<br />

Pendapat (Guissou et al., 1998; Cuenca et al. 1998 dan Matsubara et al.,2000)<br />

bahwa mikoriza dapat memperbesar penyerapan P dan unsur-unsur hara lainnya<br />

walaupun dalam jumlah yang lebih kecil seperti N,K,S,Ca,Mg,Cu dan Zn melalui<br />

perpanjangan micelia yang berkembang sangat luas di luar struktur akar tanaman.<br />

Lebih lanjut dinyatakan oleh Yadi setiadi (2000) bahwa adanya hubungan<br />

simiosis mutualisme antara tanaman inang dengan mikoriza sangat membantu<br />

dalam penyerapan P. Hifa dari mikoriza yang berperan sebagai sistem perakaran<br />

tanaman sehingga jangkauan penyerapan dapat mencapai + 80 mm dibandingkan<br />

dengan tanpa mikoriza jangkauan hanya 1-2 mm. Hasil penelitian Setiawati dkk.<br />

(2000) juga mendapatkan bahwa inokulasi cendawan mikoriza pada tanaman<br />

kacang tanah meningkatkan serapan P tanaman secara nyata 57,14 %<br />

dibandingkan tanapa mikoriza. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dengan<br />

diperbaikinya status nutrisi tanaman terutama P maka dapat meningkatkan<br />

pertumbuhan di bawah tanah (terutama akar), apalagi kalau diakitkan dengan<br />

kondisi tanah di lahan kering, maka perkembangan akar harus semaksimal<br />

mungkin agar dapat menyerap kara pada kedalaman tanah yang lebih dalam<br />

(Ahiabor dan Hirata, 1995).<br />

5. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

5.1 Kesimpulan<br />

Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:<br />

1) Pengaruh interaksi antara perlakuan mikoriza (M), Dosis (D) dan jenis<br />

pupuk (P) pada semua parameter yang diamati tidak berpengaruh nyata.<br />

2) Pada semua parameter yang diamati, pengaruh perlakuan mikoriza nyata<br />

tetapi masih menunjukkan kecenderungan yang linier.<br />

3) Pengaruh dosis dan jenis pupuk kandang menunjukkan pengaruh nyata<br />

tetapi kecenderungan masih linier.<br />

5.2 Saran<br />

Beberapa hal dapat disarankan:<br />

1). Karena percobaan masih dilakukan di pot maka akan dilakukan percobaan<br />

lapangan dengan menggunakan kombinasi terbaik dari hasil penelitian<br />

ini, sehingga di lapangan akan diperoleh data yang lebih akurat untuk<br />

memperoleh rekomendasi perlakuan terbaik.<br />

2) Untuk mikoriza yang digunakan sebaiknya digunakan mikoriza lokal,<br />

karena masing-masing mikoriza sebenarnya bersifat khas untuk masing-<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

29


30<br />

masing daerah. Dengan menginokulasi sendiri dari sumber di daerah<br />

penelitian maka keefektifan fungsi mikoriza lebih akurat.<br />

3) Perlu dilakukan analisis serapan unsur P oleh tanaman dan analisis Ptersedia<br />

dalam tanah.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Ahiabor, B.D and H.Hirata. 1995. Influence of Growth Stage on The Assocation<br />

Between Some Tropical Legumes and Two variant species of Glomus in<br />

an Andosol. Sil Sci. Plant Nurt. 41 (3): 481-496.<br />

Astiari, A. 2003. Efek Dosis Inokulan Mikoriza terhadap Pertumbuhan dan Hasil<br />

Beberapa Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) di lahan Kering<br />

Desa Kubu, Karangasem. Thesi Magister Pertanian Lahan Kering.<br />

<strong>Universitas</strong> Udayana Denpasar.<br />

Badan Pusat Statistik Propinsi Bali, 2003. Bali Dalam Angka. Badan Pusat<br />

Statistik Propinsi Bali<br />

Bappeda Kabupaten Karangasem dan Pusat Penelitian Teknologi dan Seni, 2003.<br />

Kajian Teknis Potensi dan Pemanfaatan Lahan Kering Di Kabupaten<br />

Karangasem. Bappeda Kabupaten Karangasem.<br />

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov. Bali. 2007. . Makalah disampaikan pada<br />

Semi Loka nasional Model produksi Beras di Bali. Sindhu Beach Hotel,<br />

21 Nopember 2007<br />

Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. 2002.<br />

Panduan Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.<br />

Edisi VI. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Jakarta.<br />

Food and Fertilizer Technology Center, 2003. Microbial and Organic Fertilizers in<br />

Asia. An International Information Center for Farmers in the Asia<br />

Pasific Region. http://www.agnet.org/library/html 1/17/03.<br />

Gemma, J.N. and R.E. Koske, 2003. Use of Mycorrhizae in Restoration of<br />

Hawaiian Habitats. Departement of Biological Sciences, University of<br />

Rhode Island, Kingston. http://www.hawaii.edu/scb/scinativ_mycor.html<br />

1/22/03.<br />

Gomez, K.A., A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian Pertanian.<br />

Terjemahan. E. Samsuddin dan J.S. Baharsyah. UI press, Jakarta.<br />

Herman dan D.H. Goenadi, 2003. Manfaat dan Prospek Pengembangan Industri<br />

Pupuk Hayati Di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan<br />

Pertanian. http://pustaka.bogor.net/publ/jp3/html/jp183993.html 1/8/03.<br />

Kasno, A. 2003. Profil dan Perkembangan Teknik Produksi Kacang Tanah di<br />

Indonesia. Seminar Rutin Puslitbang Tanaman pangan, Bogor, 26 Mei<br />

2003<br />

Muin, A., 2003. Penggunaan Mikoriza untuk Menunjang Pembangunan Hutan<br />

pada Lahan Kritis atau Marginal. Mutualisme antara Cendawan dan<br />

Tanaman. http://www.hayatiipb.com/users/rudyct/PPs702/ABDURRANI.htm<br />

1/3/03.<br />

Munir, M., 2001. Tanah-Tanah Utama Indonesia : Karakteristik, Klasifikasi, dan<br />

Pemanfaatannya. Pustaka Jaya, Jakarta.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Parr, J.F., S.B. Hornick, and D.D. Kaufman, 2003. Use of Microbial Inoculants<br />

and Organic Fertilizers in Agricultural Production. An International<br />

Information Center for Farmers in Asia Pasific Region . Food and<br />

Fertilizer Technology Center.<br />

http://www.agnet.org/library/article/eb394.html 1/29/03.<br />

Pujiyanto, 2003. Pemanfaatan Jasad Mikro Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam<br />

Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia : Tinjauan dari Perpektif<br />

Falsafah Sains. Program Pascasarjana IPB. http://www.hayatiipb.com/users/rudyct/<br />

indiv2001/pujiyanto.htm 1/28/03.<br />

Setiawati, M.R.,B.N. Fitratin dan P. Suryatmana. 2000. Pengaruh Mikoriza dan<br />

Pupuk Fosfat terhadap Derajat Infeksi Mikoriza dan Komponen<br />

Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah. Prosiding Seminar Nasional<br />

Mikoriza I. Bekerjasama dengan AMI dan PAU Bioteknologi IPB. Hal<br />

92 – 99.<br />

Suarna, I W., 2001. Pengaruh Pupuk Organik Kascing terhadap Pertumbuhan,<br />

Hasil, dan Kualitas Hijauan dalam Sistem Asosiasi Rumput–Legum serta<br />

Dampak-nya terhadap Prestasi Kambing Peranakan Etawah Jantan.<br />

Disertasi Program Pascasarjana UNPAD., Bandung.<br />

Suprapto, I N. Adijaya, I K. Mahaputra, dan I M. RaiYasa, 2000. Penelitian<br />

Sistem Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. Instalasi Penelitian dan<br />

Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar. Badan Penelitian dan<br />

Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.<br />

Wiswasta, I G.N.A., 2001. Pertumbuhan dan Hasil Hijauan Tanaman Rumput<br />

Setaria (Setaria splendida Stapf.) yang Dipengaruhi Nitrogen, Fosfor,<br />

Mikoriza, dan Azospirillum. Disertasi Program Pascasarjana UNPAD.,<br />

Bandung.<br />

Yadi Setiadi. 2000. Status Penelitian dan Pemanfaatan Cendawan Mikoriza<br />

Arbuskular dan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi.<br />

Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bekerjasama dengan AMI dan<br />

PAU Bioteknologi IPB, Bogor. Hal 11-23.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

31


32<br />

ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI<br />

PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI<br />

I Ketut Arnawa<br />

Jurusan Agribisnis <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar<br />

ABSTRACT<br />

The main objective of this study was to determine the elasticity and the<br />

factors that affect soybean supply in the industry. Study determined the location of<br />

sampling porpusive in East Java province. The data used are time series data<br />

(1989-2008). The study found the price elasticity of soybean supply is inelastic in<br />

the industry, offering soy at the industry level is strongly influenced by the price<br />

of soybeans, and time trends. Policy implications that can be recommended in<br />

order to support self-sufficiency in soybean prices is the need to establish<br />

policies that favor soybean farmers by improving its marketing.<br />

Key words: Soybean, markets, elasticity<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang penting bagi<br />

masyarakat. Pertumbuhan permintaan kedelai cukup pesat selama beberapa tahun<br />

terakhir, terutama untuk konsumsi, bahan baku industri, seperti industri tahu,<br />

tempe, kecap, tauco, dan susu, serta meningkatnya permintaan terhadap pakan<br />

ternak sebagai akibat berkembangnya industri perunggasan. Walaupun selama dua<br />

warsa terakhir telah terjadi peningkatan produksi dalam negeri, namun belum<br />

mampu memenuhi permintaannya. Kebutuhan nasional kedelai dewasa ini<br />

telah mencapai 2,3 juta ton tahun -1 , sementara produksi kedelai dalam<br />

negeri baru mampu memenuhi kebutuhan 35-40 persen sehingga<br />

kekurangannya dipenuhi dari impor.<br />

Harga kedelai impor yang lebih murah dibandingkan dengan harga kedelai<br />

lokal sangat merugikan petani. Karena biaya produksi tidak seimbang dengan nilai<br />

hasil yang didapatkan, sehingga minat petani menanam kedelai hanya sekedar<br />

melanjutkan kebiasaan pola tanam saja. Hal ini diperparah lagi dengan situasi<br />

pemasaran kedelai yang kurang menguntungkan petani, pemasaran kedelai<br />

dikuasai oleh pedagang besar dan industri (Sudaryanto,dkk.,1992;<br />

Zulham,dkk.1993; Zulham dan Yumm,1996). Berdasarkan data statisitik<br />

Kementrian Pertanian, (2010) harga kedelai di tingkat petani pada Desember<br />

2009 Rp 4.900 kg -1 , dan harga di tingkat konsumen Rp 6.500 kg -1 . Ini<br />

berarti ada perbedaan harga atau marjin pemasaran sebesar Rp 1.600/kg<br />

atau 32,65 persen<br />

Oleh karena itu pemerintah memprogramkan dan menetapkan jajaran<br />

areal tanam yang diharapkan mempunyai produksi yang dapat mencukupi<br />

kebutuhan pangan, namun kenyataannya kepastian tersebut selalu mendapat<br />

tantangan dari kondisi alam, kondisi praktis seperti penerapan teknologi, dari<br />

pelaksana/petani dan hambatan lain seperti perlakuan pasar, kebijakan<br />

pemerintah, sehingga pencapaian produksi atau penawaran kedelai sulit<br />

diperkirakan secara pasti.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Menyadari bahwa kedelai merupakan komoditas pangan penting bagi<br />

masyarakat, maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan penawaran<br />

kedelai khususnya yang berasal produksi kedelai petani, dengan mengambil<br />

berbagai kebijakan baik di bidang produksi, stabilitas harga maupun investasi,<br />

penelitian, penyuluhan dan teknologi. Berdasarkan urain di atas dapat dirumuskan<br />

permasalahan dalam penelitian ini adalah seberapa besar elastisitas dan faktorfaktor<br />

yang mempengaruhi penawaran komoditas kedelai, sehingga tujuan utama<br />

penelitian ini adalah untuk mengetahui elastisitas dan faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi penawaran komoditas kedelai.<br />

2. KERANGKA TEORI<br />

Fungsi Penawaran Kedelai<br />

Penawaran kedelai adalah jumlah kedelai yang ditawarkan<br />

penjual/produsen ke pasar pada berbagai tingkat harga, penawaran kedelai dapat<br />

juga dijelaskan dengan daftar, grafik atau persamaan yang menunjukkan<br />

komoditas kedelai dimana produsen/petani ingin dapat menjual pada berbagai<br />

tingkat harga dalam suatu pasar, pada periode waktu tertentu, cateris paribus.<br />

Sedangkan yang dimaksud dengan fungsi penawaran kedelai adalah<br />

hubungan antara jumlah produksi atau jumlah kedelai yang dijual disesuaikan<br />

dengan perubahan harga. Sehingga untuk membuat persamaan dari fungsi<br />

penawaran kedelai dapat dituliskan sebagai berikut :<br />

Qs = f(P) …………………………………………………………… ..(1)<br />

Dimana :<br />

Qs = jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan<br />

P = Harga dari komoditas kedelai yang ditawarkan<br />

Harga dari komoditas kedelai yang ditawarkan bukanlah satu-satunya yang<br />

berpengaruh terhadap jumlah kedelai yang ditawarkan. Selain harga dari kedelai<br />

yang ditawarkan, juga dipengaruhi oleh teknologi, harga komoditas alternatifnya,<br />

pajak dan subsidi, iklim, dan lain-lainnya yang selanjutnya disebut sebagai supply<br />

relation dan dapat dituliskan sebagai berikut :<br />

Qs = f(P,T,Pi,Pa,Tx,I)………………………………………………...(2)<br />

Dimana :<br />

Qs = Jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan<br />

P = Harga komoditas kedelai yang ditawarkan<br />

T = Teknologi<br />

Pi = Harga input<br />

Pa = Harga komoditas alternatifnya<br />

Tx = Pajak dan subsidi<br />

I = Iklim<br />

Salah satu karakteristik yang penting di dalam kurva penawaran adalah<br />

derajat kepekaan jumlah penawaran terhadap perubahan salah satu factor yang<br />

mempengaruhinya. Derajat kepekaan tersebut adalah elastisitas penawaran,<br />

dimana sangat berguna untuk pengetahuan respon penawaran terhadap perubahan<br />

harga. Koefisien elastisitas harga dari penawaran (ɛs) mengukur persentase<br />

perubahan jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan per unit waktu (Q/Q)<br />

sebagai akibat adanya persentase perubahan harga komoditas kedelai (P/P)<br />

(Salvatore, 1994). Untuk mengetahui tingkat koefisien elastisitas penawaran<br />

komoditas kedelai dapat dihitung sebagai berikut :<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

33


Dimana :<br />

34<br />

� s �<br />

�<br />

�Q<br />

/ Q<br />

P / P<br />

�Q<br />

� .<br />

�P<br />

P<br />

Q<br />

ɛs = Elastisitas penawaran komoditas kedelai<br />

P = Harga komoditas kedelai<br />

Q = Jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan<br />

∂Q = Q2 – Q1 (Q1 dan Q2 adalah komoditas kedelai yang ditawarkan pada<br />

periode 1 dan 2)<br />

Elastisitas penawaran kedelai dapat bersifat; elastisitas sempurna, elastis,<br />

elastis uniter, tidak elastis dan tidak elastis sempurna. Dikatakan elastis sempurna<br />

apabila para penjual/produsen hanya mau menjual semua kedelainya pada suatu<br />

harga tertentu, dan kurve penawaran kedelai sejajar dengan sumbu horizontal (So).<br />

Tidak elastis sempurna apabila penjual sama sekali tidak dapat menambah<br />

penawaran kedelai walaupun harga bertambah, dan kurve penawarannya sejajar<br />

dengan sumbu vertical (S1) sebagai mana ditunjukkan pada Gambar 1a.<br />

Sedangkan kurve penawaran yang tidak elastis, elastis uniter dan elastis<br />

ditunjukkan pada Gambar 1b. Elastis uniter ditunjukkan oleh garis penawaran<br />

(S3) yang membentuk sudut 45 o .Kurve penawaran tidak elastis (S2) adalah setiap<br />

perubahan harga kedelai menimbulkan perubahan jumlah komoditas kedelai yang<br />

ditawarkan lebih kecil, dan kurve elastis (S4) apabila terjadi perubahan harga<br />

kedelai menyebabkan perubahan yang lebih besar terhadap jumlah komoditas<br />

kedelai yang ditawarkan<br />

P<br />

S1<br />

O Q<br />

O<br />

(a) (b)<br />

Gambar 1. Jenis-Jenis Elastisitas Penawaran Kedelai<br />

(Diadaptasi dari Sukirno, 2002)<br />

3. METODE PENELITIAN<br />

……………………………………………….(3)<br />

S2<br />

3.1 Lokasi penelitian<br />

Lokasi penelitian ditentukan secara porpusive sampling di provinsi Jawa<br />

Timur dengan dasar pertimbangan Jawa Timur merupakan daerah penghasil<br />

utama kedelai nasional. Data yang digunakan adalah data statistik Time series<br />

(1989-2008) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian dan<br />

instansi terkait. Data diestimasi dengan menggunakan OLS (Ordinary Least<br />

Square). Sebelum data diestimasi, setiap variabel diuji kondisi stationary-nya<br />

dengan menggunakan Uji ADF (Augmented Dickey-Fuller Test).<br />

3.2 Analisis Data<br />

Penawaran kedelai responsif terhadap harga. Harga <strong>pertanian</strong> lain juga<br />

mempengaruhi penawaran kedelai pada level petani. Pada level pedagang besar,<br />

penawaran pasar ini merespon pada tingkat harga pedagang besar.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

P<br />

S2<br />

S3<br />

S4<br />

Q


Logikanya, jumlah impor kedelai meningkatkan penawaran yang tersedia<br />

bagi perusahaan. Karena data untuk kedelai yang digunakan oleh industri<br />

termasuk kedelai impor, maka perusahaan adalah penentu juga dalam penawaran<br />

kedelai. Fungsi penawaran kedelai yang dihadapi oleh industri pengolahan kedelai<br />

dapat dinyatakan pada(4) :<br />

R = f(Wr, Rimp, Pf .F,T.e) ................................................... (4)<br />

dimana :<br />

R = penawaran kedelai di tingkat industri<br />

Wr = harga kedelai grosiran<br />

Rimp = jumlah kedelai yang diimpor<br />

Pf = harga eceran pupuk Urea.<br />

F = jumlah curah hujan tahunan<br />

T = tren waktu<br />

e = error term<br />

Bentuk suplai fungsional yang terkenal dengan elastisitas harga konstan<br />

adalah tipe Cobb-Douglas. Penelitian ini mengadopsi bentuk fungsional ini untuk<br />

kaitan fungsi penawaran. Persamaan (5) secara eksplisit menunjukkan penawaran<br />

pasar biji kedelai di tingkat industri.<br />

Dimana:<br />

�1<br />

� 2 � 3 � 4 � 5 6<br />

R � ar.<br />

wr<br />

. R1mp.<br />

Pf<br />

. F . T . e<br />

ar = konstanta<br />

α1 = parameter yang terkait dengan penentu penawaran<br />

Untuk memudahkan dalam analisis persamaan (5) dimodifikasi menjadi<br />

persamaan (6)<br />

In(R) = In(ar) + α1.In(Wr) + α2.In(R1mp) + α3In(pf) + α4.In(F) + α5.In (T+e)+e... (6)<br />

Hipotesis parameter dugaan: α1, α2, α4, α5 > 0; α3 < 0<br />

Elastisitas harga penawaran diperoleh dengan mengalikan bentukan (6) yang<br />

berkaitan dengan harga kedelai (Wr) dengan harga itu sendiri. Persamaan (7)<br />

menunjukkan elastisitas harga penawaran kedelai di tingkat industri<br />

er = α1 ……………………………………………………………….………………………………(7)<br />

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br />

………………………………(5)<br />

Elastisitas harga terhadap penawaran kedelai diestimasi dari fungsi<br />

penawaran kedelai. Hasil estimasi memperoleh F-hitung 15,6871 berbeda nyata<br />

pada taraf nyata 1 persen. Koefisien determinasi R-squared 0,8485, berarti 84,85<br />

persen penawaran kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya<br />

dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada dalam model.<br />

Tabel 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Kedelai (R)<br />

Variabel Koefisien Prob (t-statistik)<br />

Konstanta 1291,2880 0,0016<br />

Harga kedelai grosiran (LnWr) 0,4333 0,0758<br />

Jumlah impor kedelai (LnRimp) -0,0899 0,1231<br />

Harga eceran pupuk urea (LnPf) 0,1259 0,5808<br />

Jumlah curah hujan tahunan (LnF) -0,1595 0,2726<br />

Tren waktu (T) -168,7059 0,0018<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

35


Penawaran kedelai di tingkat industri sangat dipengaruhi oleh harga<br />

kedelai, dan tren waktu, sedangkan jumlah kedelai impor, harga eceran pupuk<br />

urea dan jumlah curah hujan tidak menunjukan pengaruh yang nyata. Variabel<br />

harga kedelai berpengaruh nyata terhadap penawaran kedelai, hal ini menunjukan<br />

bahwa petani kedelai responsif terhadap kenaikan harga kedelai. Koefisien regresi<br />

atau elastisitas harga terhadap penawaran kedelai bertanda positif 0,4333 artinya<br />

bahwa peningkatan harga kedelai sebesar Rp 100 akan meningkatkan rataan total<br />

penawaran kedelai 0,43 ton. Dengan demikian kebijakan peningkatan harga<br />

kedelai diharapkan dapat memberikan dampak positif pada peningkatan<br />

penawaran kedelai. Koefisien elastisitas harga terhadap penawaran kedelai<br />

mempunyai tanda positif e1 = α1 = 0,4333 < 1 bersifat inelastis, artinya persentase<br />

perubahan jumlah yang ditawarkan lebih kecil dari persentase perubahan harga.<br />

Elastistas harga penawaran kedelai yang inelastis, menunjukkan kekuatan pasar<br />

industri mempunyai pengaruh cukup besar terhadap harga kedelai di pasar.<br />

Appelbaum – Schroter, (1982) menjelaskan bahwa, elastisitas harga terhadap<br />

penawaran berbanding terbalik dengan kekuatan pasar industri dalam<br />

menentukan harga, semakin kecil elastisitas harga semakin besar kekuatan pasar<br />

industri dalam mempengaruhi harga.<br />

Variabel jumlah impor kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap<br />

penawaran kedelai, tetapi koefisien bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada<br />

kecendrungan impor berdampak terhadap penurunan penawaran kedelai, ini ada<br />

hubungannya dengan produksi kedelai lokal, kalau pemerintah tidak melakukan<br />

pembatasan impor, petani kedelai di dalam negeri tidak termotivasi meningkatkan<br />

produksinya, harga kedelai impor lebih murah sehingga cendrung menurunkan<br />

harga kedelai di dalam negeri, dampaknya usaha pemerintah untuk meningkatkan<br />

produksi kedelai di dalam negeri akan sulit dicapai.<br />

Harga eceran pupuk urea tidak memberikan pengaruh nyata terhadap<br />

penawaran kedelai. Sebagai tanaman alternatif yang dipilih petani pada musim<br />

kemarau dan pada daerah-daerah tegalan dengan pengairan terbatas, pemberian<br />

pupuk diduga bukan merupakan prioritas bagi petani kedelai, tidak seperti<br />

pemupukan pada tanaman padi. Memperkuat pendapatnya Megel dkk., (1978),<br />

meskipun kedelai menunjukkan respon terhadap pemupukan dan tanah subur,<br />

namum pemupukan pada kedelai belum diterima secara luas.<br />

Jumlah curah hujan tahunan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap<br />

penawaran kedelai, koefisien regresi bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada<br />

kecendrungan semakin tinggi curah hujan produksi kedelai menurun sehingga<br />

penawaran kedelai juga menurun. Tanaman kedelai sering dihadapkan pada<br />

lingkungan yang berdrainase buruk, sehingga pada curah hujan yang tinggi,<br />

pertanaman kedelai tergenang dengan air, berdampak pada pertumbuhan tanaman<br />

kerdil dan produktivitas rendah. Pembuatan saluran drainase pada lahan sawah<br />

dianjurkan sebagai komponen teknologi (Manwan dkk.,1996). Pembuatan saluran<br />

drainase juga penting pada kedelai dalam musim kemarau (Juli-Oktober) yang<br />

berfungsi untuk merembeskan air irigasi ke petakan tanaman sehingga<br />

pemanfaatan air irigasi menjadi lebih efisien.<br />

Variabel tren waktu memberikan pengaruh nyata terhadap penawaran<br />

kedelai, koefisien regresi bertanda negatif tidak sesuai dengan parameter dugaan.<br />

Penawaran kedelai dari tahun ketahun menurun, produksi kedelai terus menurun<br />

lebih besar dibandingkan dengan jumlah kenaikan impor kedelai yang dilakukan<br />

36<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


pemerintah. Permintaan kedelai terus meningkat, sehingga sering menimbulkan<br />

gejolak kelangkaan kedelai, harga kedelai mahal merugikan industri kedelai.<br />

Pemerintah sudah selayaknya berupaya untuk meningkatkan produksi kedelai.<br />

Beberapa hasil penelitian tentang kedelai telah menghasilkan berbagai pilihan<br />

teknologi produksi yang dapat meningkatkan produksi kedelai pada<br />

agro<strong>ekosistem</strong> tertentu. Berbagai komponen teknologi dan sistem usahatani<br />

kedelai yang dimaksud meliputi varietas unggul, budidaya, pengendalian hama,<br />

penyakit dan gulma, pemupukan dan pengelolaan hara, pengairan dan pengelolaan<br />

air, pasca panen dan penyedian benih serta distribusi.<br />

5. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

Elastisitas harga penawaran kedelai di tingkat industri bersifat inelastis,<br />

dengan nilai elastisitas sebesar 0,4333. Penawaran kedelai di tingkat industri<br />

sangat dipengaruhi oleh harga kedelai, dan tren waktu. Untuk meningkatkan<br />

produksi atau penawaran kedelai, maka implikasi kebijakan yang dapat<br />

disarankan dalam rangka mendukung swasembada kedelai adalah perlu<br />

menetapkan kebijakan harga yang berpihak kepada petani kedelai dengan<br />

melakukan perbaikan pemasarannya.<br />

DAFTAR PUETAKA<br />

Amang, B dan Sawit. H. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi<br />

Kedelai di Indonesia Disunting oleh Amang, B, Sawit. H dan M R. Anas.<br />

IPB Press<br />

Appelbaum, E. 1982. The Estimate of the degree of oligopoly Power. Journal of<br />

Econometrics,19: 287-299<br />

Bain, J.S. 1968. Industrial Organization 2 nd Edition, John Wiley & Sons Inc.<br />

New York<br />

BPS. 1996. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS, Jakarta<br />

BPS. 2006. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS, Jakarta<br />

BPS. 2006. Perkembangan Luas Penen, Produktivitas dan Produksi Kedelei di<br />

Indonesia (1992-2005), BPS, Jakarta<br />

Carlton, DW dan Perloff, JM. 2000. Modern Industrial Organization. Third<br />

Edition. Addison-Wesley Publishing Company<br />

Gujarati, DN. 1998. Basic Economitrics. McGraw Hill Inc. Third Edition<br />

Henderson, James M. and Richard E Quant. 1980. Microeconomic Theory, A<br />

Mathematical Approach. McGraw Hil International Book Company,<br />

Singapore<br />

Koutsoyianis, A. 1982. Theory of Econometrics, McGraw-Hil, Singapore<br />

Kasryno, Faisal, Delima H. Darmawan, I Wayan Rusastra, Erwidodo, dan Charil<br />

A Rasahan. Pemasaran Kedelai di Indonesia. Kedelai, Penyunting:<br />

Sadikin Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, Mahyuddin Syam, S.O.<br />

Manurung Yuswadi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat<br />

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor<br />

Megel, B.B., William Segars, and George W.Rehn. 1978. Soil Fertility and<br />

Liming Soybean. Wilcox J.R. (Ed.), American Society of Agronomi, M<br />

Anindita, Ratya. 2005. Pemasaran Hasil Pertanian, Penerbit Papyrus<br />

Surabaya<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

37


Miller, Roger Le Roy dan Roger E Meiners. 1993. Teori Ekonomi Mikro<br />

Intermediate. Penterjemah Haris Munandar, PT Raja Grafindo Persada,<br />

Jakarta<br />

Manwan, I, Sumarno, A.S. Karama, dan A.M. Fagi. 1996. Teknologi Peningkatan<br />

Produksi Kedelai di Indonesia. Laporan Khusus Pus/02/89, Pusat<br />

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.<br />

Maddala, GS. 2001. Introduction to Economitrics. Jhon Wiley & Sons. Ltd<br />

Purwoko, A dan Sayaka, B. 1992. Ekonomi Kedelai di Sulawesi Selatan. Pusat<br />

Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor<br />

Rogers, G. 1986. Penetapan Harga Hasil Pertanian. (Penyunting Makaliwe)<br />

Gramedia. Jakarta<br />

Schroeter, Jhon R. 1988. Estimating the Degree of Market Power in the Beef<br />

Packing Industry. The Review of Economics and Statistics. 70 (1): 158-<br />

162.<br />

Salvatore, D., 1989. Ekonomi Internasional. Gelora Aksara. Jakarta.<br />

Sudaryanto, T., 1992. Gambaran Agegat Ekonomi Kedelai di Indonesia.<br />

Agribisnis Kedelai (Buku I). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,<br />

Bogor.<br />

Schroeter, Jhon R and Azzam, A. 1991.Marketing Margin, Market Power And<br />

Price Uncertainty. American Journal of Agricultural Economics.73 (4):<br />

990-999<br />

Sukirno, Sadono.,2002. Pengantar Teori Mikro Ekonomi Edisi Ketiga. PT. Raja<br />

Grafindo Persada, Jakarta.<br />

Statistik Kementrian Pertanian Indonesia, 2010. Perkembangan Harga Kedelai di<br />

Sentra Produksi Kedelai di Indonesia.<br />

Zulham,A.,Syafa’at, Y Marisa, B. Hutabarat, dan T.B. Purwantini, 1993. Pola<br />

Perdagangan Wilayah Komoditas Kedelai di Indonesia. Pusat Penelitian<br />

Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.<br />

Zulham, A dan Yumm, M. 1996. Pemasaran dan Pembentukan Harga. Ekonomi<br />

Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi kedelai di Indonesia disunting oleh<br />

Amang, B; Sawit. H dan MR. Anas. IPB Press. Bogor<br />

38<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


INSTITUTIONAL FRAMEWORK<br />

FOR STRENGTHENING SOCIAL CAPITAL :<br />

An Empirical Approach at Different Communities in Bali Province<br />

Nyoman Utari Vipriyanti<br />

Jurusan Agribisnis <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar<br />

Abstract<br />

The basic premise of this research is that social capital is a productive<br />

factor, which impact the regional development, economic growth and poverty<br />

differently depend on individual and community characteristics. The aims of this<br />

research are (1) generating social capital data especially on dominant component<br />

such as trust, network density and collecctive norm of traditional agriculture<br />

(subak) community, tourism (HPI, Asita and PHRI) community and desa<br />

pakraman community. (2) How to make social capital indicator more strengthen<br />

in diferent region and communities. The data is analyzed with Structural<br />

Equation Model (SEM). Research shows that norm is the most important<br />

indicator to build social capital in underdeveloped region. The other side, the most<br />

important indicator for social capital in developed region is trust. Network density<br />

is the most important endogenous variable that gives the most contribution to<br />

subak’s and desa pakraman's social capital but not in tourism community.<br />

Keywords: Economic Development, Social capital, Trust, Norm, Network.<br />

1. INTRODUCTION<br />

Social capital concept stated that there is a close relationship between<br />

social capital and human resources. Social capital will be established if every<br />

person in the group have own contribution. The relationship between social<br />

capital and human resources is not a simple one (Glaeser, Laibson and Sacerdote,<br />

2001). Social capital is similar with knowledge that always develops to be<br />

productive if used intensively. Therefore the capital should be keep productively.<br />

Without spend a lot of time, energy and others resources on the social capital,<br />

relationship among individual tend to reduce by the time.<br />

Social capital is resulted from changing on relationship among individual<br />

that facilitate an action. Therefore, social capital is intangible, different with<br />

physical capital. However, together with human capital and physical capital,<br />

social capital facilitates productive activities.<br />

From the last 20 century to the beginning of 21 century, a large body of<br />

social capital research has been carried out particularly in relationship with<br />

economic growth of a region. The first research on relationship between social<br />

capital and regional economic performance was conducted by Putnam (1993). He<br />

suggests that social capital is not only found at micro level, in the form of<br />

personal relationship among individual, but also at macro level. He also stated that<br />

level of community welfare in north Italy is higher than south Italy due to<br />

different social structure. In North Italy, there is a horizontal structure while the<br />

south is hierarchy. Putnam measure social capital based on newspaper readership,<br />

availability of sport and culture association, institution performance and citizen<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

39


satisfaction. The social capital size is used to explain distinction economic growth<br />

for the two regions while difference from others variable is assumed not large<br />

enough. Furthermore, Helliwell and Putnam (2000) also shows that social capital<br />

will facilitate local government ability to achieve higher economic growth. The<br />

research showed that convergence is faster and income equality will be happened<br />

on higher level that is in regions with stronger social capital.<br />

Even a positive correlation between social capital and growth is proved,<br />

social capital’s key components has not identified yet. Different social capital<br />

research has used different social capital indicator that meet with researcher’s<br />

definition. As so far, there is no agreement on social capital determinant although<br />

some theories suggest that trust is moral basis for the establishment of social<br />

capital. This paper is trying to analyze dominant social capital component in a<br />

community, particularly community in Bali. The objectives is to describe in detail<br />

concerning about dominant social capital component to make effective<br />

establishment of social capital in a community by considering the dominant<br />

component.<br />

2. SUOURCE OF SOCIAL CAPITAL<br />

Trust<br />

Whole human relationship based on trust as moral aspect where the social<br />

capital is established. Morality gives a direction for social cooperation and<br />

coordination. Trust building is an integral part of caring process that established<br />

since the beginning of a family. Trust each other in family relationship, will<br />

develop reciprocity and exchange.<br />

Trust reduces transaction cost that is cost as result of exchange process<br />

including contact, contract and control cost. The existing sense of trust each other<br />

will reduce cost for monitoring activities on other person behavior therefore they<br />

have behavior as expected. Trust means that ready to take risk and uncertainty.<br />

Casson and Godley (2000) have defined trust as accepting and ignoring any<br />

possibility that something will not true. Trust will simplify cooperation. More<br />

trust to other person will make strong cooperation among person.<br />

Trust each other can be established or destroyed. Sustainable trust, can not<br />

build without truth. Trust can be build by the existence of repeated personal<br />

interaction (personalized trust), knowledge on population or accepted incentive<br />

(generalized trust). Bounded human rationality will effect on efforts to build the<br />

trust each other. Therefore, human rationality boundaries should be extended by<br />

communication and information that trustable. Many researches show that trust<br />

has significant and positive relationship with success achievement of economic<br />

growth indicator by more efficient of production process. In other hand,<br />

government success to realize better economic development will strengthen social<br />

trust on community.<br />

Norms (Share Value)<br />

Traditional theory on group stated that organization and group are<br />

characterized by ubiquitous that resulting from human tendency to joint and build<br />

association. Mosca in Olson (1977) stated that human has felling to herding<br />

40<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


together and fighting with other herds. The feeling will increase in certain<br />

community by means of moral reason.<br />

As so far, there is a general conception that individual group with<br />

collective interest, at least including economic goals, will trying to develop<br />

collective goals. Individual group is expected tend to stand on the collective<br />

interest than individual interest. The opinion is assumed that individual in a group<br />

will act beyond the personal interest. In fact, individual in a group will trying to<br />

achieve collective goals only if the individual also get benefit, in other words, act<br />

to achieve the collective goals is not voluntary. Norms is needed to manage<br />

individual in a group therefore benefit for the members is proportional with the<br />

efforts in the group.<br />

Norms is share values that regulate individual behavior in a community or<br />

group. Fukuyama (1999) stated that social capital is instant informal norms that<br />

able to develop cooperation among two individual or more. Norm is social capital<br />

that constructed from reciprocity among person. Social norms that determine<br />

collective behavior in an individual group is known as equity principles that<br />

directed the actor to have behavior belonging the own interest.<br />

Network<br />

Dasgupta (2002) assumed that any person have ability to interact with the<br />

others without opportunites to chosen. However in fact, everybody have certain<br />

interaction pattern, have an opportunity to select the person with whom to interact<br />

and with certain reason. Initially, network is system of communication channel to<br />

protect and develop interpersonal relationship. There is a cost to build the<br />

communication channel that known as transaction cost. Desire to join with other<br />

person, partly is caused by share values. Network is also play to build coalition<br />

and coordination. In general, decision to make investment in certain channel is<br />

caused by the channel contribution on individual economic welfare.<br />

Network is emphasizing on importance of vertical and horizontal<br />

organization among people and the intra-organization. Granovetter (1973) stated<br />

that strong ties among community are needed to give identity on family,<br />

community and collective goals. The idea is also suggest that without community<br />

ties (weak ties) that connecting among social organization, the horizontal strong<br />

ties will be basis to realize bounded group desire.<br />

Social capital is a condition where are the individuals using the<br />

membership on a group to obtaining benefit. Social capital is can not evaluated<br />

without knowledge about where the individual exist, because social interaction is<br />

depends on network and community structures. Coleman (1988) is having notion<br />

that Social network density will increase efficiency to strengthen cooperation<br />

behavior in an organization. According to him, social capital is sums of<br />

"relational capital” of some individual and established on reciprocity norms<br />

basis. Social relationship that established in a closure social structure is not only<br />

important to build effective norms but also to build trust because the network<br />

closure will produce positive economic externality by means facilitation process<br />

on collective action. Woolcock (2001) make clear distinction between bonding,<br />

bridging and linking social capital. According to him, generally bonding social<br />

capital is come from family relationship, neighbor living and friend. Members of<br />

the group generally have intensive interaction, face-to-face and support each<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

41


others. Bridging social capital is build from interaction among group in a region<br />

with relative lower frequency, such as religion group, ethnic, or certain income<br />

level. In general, linking social capital is build from formal relationship between<br />

many parties such as bank, health clinic, school, farming, tourism, etc.<br />

The previous research is believed that strong social capital is one of<br />

supporting factor to achieve higher welfare and reduce gap among area or group<br />

in a region (Putnam, 1993; Christoforu, 2003; Grootaert 2001). Measurement of<br />

social capital is carried out with differently methods and proxy with variable that<br />

meet with the research’s goals, however in general including one of trust, network<br />

community and reciprocity norms component. Strong social capital will be<br />

reflected by a condition where is a region having high security level, high<br />

organization activities and adequate public facilities.<br />

This research is trying to test social capital components that has been<br />

conducted for others region. Generally, the objective is to study existing<br />

difference between social capital level and the component that has largest<br />

contribution on social capital in Bali’s community. In detail, the aim of the<br />

research are : (1) to study level of trust, network density and community norms in<br />

developed region, underdeveloped region and community organization such as<br />

subak, banjar/desa pakraman and tourism, (2) to study social capital component<br />

in individual level (micro) and group (medium) and finally (3) to analyze each<br />

component contribution on establishment of social capital.<br />

Measurement of social capital index in Bali is based on regional<br />

development and micro, medium and macro level. Social capital at micro and<br />

medium level is measured by individual network, helping each other norms and<br />

trust where as for macro level is measured by regional network and availability of<br />

public facilities.<br />

Measurement unit for social capital index in Bali is differentiated on social<br />

capital at individual, group and region level. Individual social capital is<br />

established from network, norms and trust. Social capital of community group is<br />

measured using network group, individual trust on certain group, cooperation<br />

activities and benefit that accepted by the group member. Finally, region social<br />

capital is measured by availability of public school facilities, community health<br />

centre (puskesmas) and number of organization.<br />

3. SOCIAL CAPITAL IN DIFFERENT COMMUNITY IN BALI<br />

Individual social capital is measured by means trust to person, each<br />

individual network and norms that setting cooperation among the individual.<br />

Trust, readiness to make network and obeying the existing norms are responding<br />

on conditioned social stimulate. Most of social capital component is person or<br />

group attitude on people or certain object such as trust; help each other, courtesy<br />

to friend, secure feeling, and network. Therefore, measurement of individual and<br />

group social capital is following human attitude measurement method. A<br />

measurement method for attitude is carried out by means structured direct<br />

interview. For the purpose, many items have drawn up therefore each answer of a<br />

question will strengthen other answer in the same social capital component. Two<br />

others closure methods for attitude are behavior observation and direct closure<br />

particularly to strengthen general answer.<br />

42<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Measurement of individual social capital is divided into two groups. The<br />

first group is individual that living in underdeveloped region (Jembrana and<br />

Karangasem Regency) and developed region (Badung and Gianyar regency), The<br />

second group is individual community having livelihood in agriculture sector and<br />

tourism sector and also traditional community of banjar pakraman. Individual<br />

with agriculture sector livelihood is member of subak organization while<br />

individual from tourism sector is member of tourism organization. The<br />

differentiation is carried out to sharpen analysis on former component of social<br />

capital in relationship with efforts to improve welfare for individual level.<br />

Table 1 Manifest Variable (Indicator) and Latent Variable of Social Capital<br />

at Micro Level<br />

Latent<br />

Variable<br />

Trust Trust to other<br />

people or public<br />

and private<br />

institution<br />

Network Network density in<br />

formal an informal,<br />

local and regional<br />

organization<br />

Definition Notation<br />

Aware (carefulness behavior)<br />

GN Trust (General trust)<br />

DT (Dynamic of trust)<br />

TAE (Thick Trust or trust to Balinese)<br />

TBE (Thin Trust or trust to non Balinese)<br />

PEMKAB (Trust to regency government)<br />

PEMPROP (Trust to provincial government)<br />

POLISI (Trust to police institution or security<br />

officer )<br />

GURU (Trust to teaching and learning<br />

institution)<br />

DN (Kepadatan jaringan kerja)<br />

SEXP(Pengeluaran sosial)<br />

EMPL (Jumlah anggota keluarga yang<br />

bekerja)<br />

FRIEND (Jumlah teman)<br />

Norm Altruism behaviour HN (Kesediaan saling Bantu)<br />

BNTFSK (Bantuan Fisik)<br />

CC (Kemudahan menitipkan anak)<br />

CHL (Jumlah anak yang sekolah)<br />

FR (Jumlah free rider)<br />

Agriculture community represent resident of rural side which have long<br />

living so have neighbor and family (extended family) which tighter to be<br />

compared to community that living in tourism sector which most of them<br />

represent new comer group in town. The juxtaposition theoretically have potency<br />

to push awaking up of strong trust (strong bonds of trust) and large responsibility<br />

among them to keep the living and environment. On the contrary with urban, not<br />

existing strong social network will lessen even negate trust as well as social<br />

capital (Coleman, 1990). Other factor that affect on forming of social capital are<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

43


culture and religion. As stated by Line (2001), social group, culture and religion<br />

influence broadness of network and trust level to people.<br />

Table 2 Manifest Variable (Indicator) and Latent Variable of Social Capital<br />

at Mezo Level<br />

44<br />

Variabel Definition Notation<br />

Trust Trust to other organization<br />

Trust to their leader<br />

Network Relationship with similar organization in<br />

the region<br />

Relationship with similar organization in<br />

different region<br />

Relationship with different organization in<br />

the region<br />

Relationship with different organization in<br />

different region<br />

Norm Willingness to pay the monthly<br />

organization’s fee<br />

Willingness to pay for the first<br />

organization’s fee<br />

DN<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

LEADSHP<br />

Bonding1<br />

Bonding2<br />

Bridg1<br />

Bridg2<br />

DANAKEL<br />

DANAWL<br />

Agriculture community represent resident of rural side which have long<br />

living so have neighbor and family (extended family) which tighter to be<br />

compared to community that living in tourism sector which most of them<br />

represent new comer group in town. The juxtaposition theoretically have potency<br />

to push awaking up of strong trust (strong bonds of trust) and large responsibility<br />

among them to keep the living and environment. On the contrary with urban, not<br />

existing strong social network will lessen even negate trust as well as social<br />

capital (Coleman, 1990). Other factor that affect on forming of social capital are<br />

culture and religion. As stated by Line (2001), social group, culture and religion<br />

influence broadness of network and trust level to people.<br />

Level of community trust is divided into thick trust and thin trust or that<br />

widely known as bonding and bridging. The first category is related to trust on<br />

known people that established by existing interaction. The second is trust to<br />

unknown people which in this research stated as question "how much as person<br />

trust to other person from the same ethnic (thick trust) and different ethnics (thin<br />

trust). Some researchers have classified this as racial trust as lyer S, Kitson M,<br />

and Toh B (2005).<br />

The result shows that there is a significant negative relation between thick<br />

trust and thin trust where individual thick trust is is higher than thin trust. High<br />

thick trust that followed by low thin trust for community in Bali is tends to be<br />

caused by culture and institution. In Bali there is a custom institution with<br />

significant role to maintain Bali culture and strong ties the member by means


apply moral sanction. The existence of custom institution (desa adat and banjar<br />

adat) is sustain concerning the function has close relationship with religion<br />

activities. The higher frequency activities, the higher interaction intensity among<br />

individual from the same ethic ad lower interaction intensity among individual<br />

from other ethnic. Azwar (2005) confirm this result by statement that personal<br />

attitude has close relationship with many factors such as interaction intensity,<br />

culture, experience and institution. Independent two sample difference test shows<br />

that thick trust in underdevelop region is stronger than developed region.<br />

However, thin trust is show not significant difference.<br />

However, low trust of community on other ethnic (thin trust) should be<br />

taken alert due to the impact on reconciliation among ethnic, group and class that<br />

heterogeneous progressively in Bali. As tourist destination that widely known in<br />

foreign countries, Bali is also to be migration target for people that searching for<br />

better job opportunity. Low thin trust of community will affect on interaction<br />

between local community group with migrant community group (both tourist and<br />

job seeker) that resulting from high suspicion feeling and finally will reduce<br />

openness behavior even though openness community is one of important<br />

component in underdevelop Bali’s tourism.<br />

The significant difference also showed by trust on regency government<br />

and security officer. Individual that settled in developed region have higher trust<br />

on residential government performance but lower for security officer performance<br />

than in underdevelop region.<br />

Figure 1. Relationship between individual trust from the same (Thick trust) and<br />

different ethnic (Thin trust) in Bali, 2007<br />

Generally, community respond on question about carefulness attitude is<br />

strengthen the previous analysis where is 83.62 percent of community stated that<br />

they should taking a care on other people or in other words they can not trust all of<br />

people in their living activities. The attitude statement is not only showed by<br />

community in developed region (Badung and Gianyar) but also in underdevelop<br />

region (Jembrana and Karangasem). Carefulness attitude is showed by some<br />

activities that aimed to strengthen monitoring on new comer (migrant) and as<br />

result is increasing monitoring cost.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

45


46<br />

Table 3 Community Trust (Social Trust) in Bali<br />

Trust* (%) Total<br />

Trustable Always take care<br />

Region Developed 8.91 42.53 51.44<br />

underdevelop 7.47 41.09 48.56<br />

Total 16.38 83.62 100.00<br />

Source : Primary Data, 2007<br />

* Percent of respondent that answer "most people can be trusted" for<br />

question" in general, do most people can be trusted or you need not<br />

too taking a care to others.?"'<br />

Basically, trust is built by repeated positive interaction. In underdevelop<br />

region, the frequency of interaction with stranger people more lower than people<br />

in develope region. So that weakneses of trust. Generally individual-individual<br />

who settled in developed region has higher trust for every one. One alternative for<br />

this situation is the kind of individual activities. In developed region such as<br />

Regency of Badung and Gianyar as two tourism center area in Bali, is very<br />

depended on tourist arrival and intensively interacted with the tourist. Therefore,<br />

the attitude on other people is more openness. However, indication of reducing<br />

interaction is indicated by lower density of organization.<br />

Trust is resulting from some factors including norm, experiences, and<br />

interaction intensity. Since the last five years, community in Bali confessing has<br />

experiences individual trust dynamics. About 59.41 percent of community in<br />

developed region stated that trust has changing with detail 30 percent stated<br />

changing to better condition and 29.41 percent feel that trust among the<br />

community is progressively weaken. Contrary with underdevelop region, most of<br />

community (63.01 percent) stated that trust is not changing among community;<br />

19.18 percent stated that the trust is changing to better direction and the rest<br />

(17.81 percent) stated that trust is worse. Large number of community in<br />

developed region that feel trust changing is related to their experiences. Generally,<br />

socio-economic activities in developed region is relative larger therefore give<br />

more experiences. This experience affect on trust that has established in the past.<br />

Beside the past experiences, difference of trust between developed region<br />

and underdevelop region happened because in developed region there is high<br />

interaction intensity between the communities with other ethnics. This interaction<br />

intensity give positive or negative impact on trust that has been developed in the<br />

past. According to Artadi (1993), Bali’s community is a tolerant community, easy<br />

to adapt and having openness system therefore interaction intensity among<br />

community is easy to change. Interview result shows that changing tendency is<br />

not the same among community. This is supported by data that indicate number of<br />

community that feeling trust changing is equal with number of community that<br />

feel weakness of trust.<br />

In underdevelop region, collective norms are still strongly bound and act<br />

as shield for new values which do not desire. Different with community in<br />

developed region, generally, in Bali, it is known menyamabraya concept that<br />

deeply rooted in community living. The concept implies that family is not only<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


extended family (batih family) but also neighbor and other banjar members.<br />

Menyamabraya means help each other in face of problem of having the character<br />

of material and also non material..<br />

The norm’s power should be based on trust attitude and reciprocally. Trust<br />

is not only keep sustainability of norms that contain wisdom value but also as<br />

basis for individual decision to joint into a group or loose from group which has<br />

been followed previously. Therefore, trust has critical effect on organization<br />

density in a region.<br />

It can be said that a group or community whom the member has high trust<br />

level is rich with social capital. Sociologist, anthropologist and politician stated<br />

that trust has significant role for implementation of collective action. Strong<br />

(weakness) of social capital in a community is measured by high (low) trust level<br />

among community which indicated by participation of each member in collective<br />

activities and the activities intensity. Therefore, it can be said that trust or social<br />

capital is a public good, each member has opportunity to take benefit but often<br />

feel having no responsibility to maintain. One effort to keep the social capital is<br />

through help each other attitude among community member. On trust community<br />

category basis in Bali, it can be stated that community which has high trust is<br />

ready to help however only 23.53 percent that always help, 29.11 percent stated<br />

usually help and the rest stated almost help. The same situation will occur in<br />

community with low trust or community group with carefulness attitude. Most of<br />

person stated ready to help and only a few of them (2.26 percent) that stated even<br />

not helping other people. This is show that efforts to maintain social capital still<br />

performed by each individual in Bali. The carefulness attitude is not reducing help<br />

each other attitude or in other words help each other attitude for Bali’s community<br />

is tend to altruism than reciprocal. Any support that giving to other individual or<br />

group is caused by trust on karma law.<br />

Besides the trust, social capital also indicates by community organization<br />

density. Grootaert (1999) has defined organization density as number of existing<br />

organization in a community where someone involves in it. The highest average<br />

of community organization density is in Regency of Gianyar while the lowest in<br />

Regency of Jembrana. At least 2 organizations that followed by community in<br />

Regency of Jembrana and Karangasem (banjar adat and subak) while in Regency<br />

of Badung and Gianyar there are some member of community which only<br />

following in one organization namely banjar adat.<br />

Trust community is not shows the same tendency on level community<br />

organization density in Bali. Community decision to be organized is not result of<br />

owned social trust but from other factors. On research’s result basis, it was shows<br />

that the most important organization for most community is banjar adat. The two<br />

results is support each other because banjar adat is a organization that should be<br />

followed by whole community in Bali as Hindu follower. This imply that<br />

readiness to organize is not needed trust establishment however by sanction that<br />

should be accounted if not involved in banjar adat.<br />

According to the result, trust is not shows relationship with community<br />

participation level in decision making on the most dominant organization.<br />

Community which has low or high trust level is still participating on every<br />

decision making that related to the group. This is shown by number of community<br />

that actively participates in every group activities, weather on low trust level or<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

47


high. Adherences at norms going into effect in banjar adat organization push<br />

every member to give contribution according to agreed decision. Norms having<br />

the character of reciprocal become other reason which pushes community to<br />

participate in every activity of banjar adat.<br />

Any expenses for social activities are one social capital indicator that used<br />

in this research. There is a significant correlation between social cost with<br />

organization density, participation and number of free rider. In underdevelop<br />

region, higher social cost is positive correlated with organization density, negative<br />

with participation and number of free rider. The logics are the higher organization<br />

density of an individual the higher cost should be paid. In the underdevelop<br />

region, generally much of community member is inactive because having job or<br />

house in developed region therefore they should pay more social expenses.<br />

However participation both in activities and decision making is very low. The<br />

Individuals is known as free rider.<br />

In developed region, social expenditure also have significant correlation<br />

with organization density, free rider and participation but the correlation have<br />

positive sign for participation, negative for rider free and density organization.<br />

The two result indicate that there is a understanding difference between<br />

underdevelop region and developed region in participation. Physical Participation<br />

more emphasized at underdevelop region while developed region tend to<br />

esteeming nominal participation.<br />

Generally it can be stated that each indicator and variable of latent trust<br />

have positive correlation. This matter indicates that the stronger social trust will<br />

strengthen thick trust, trust to organizer of governance, organizer of security and<br />

education. Indicators of latent norm variable are readiness to help and readiness<br />

takes care of child by neighbor, and also the amount of child which go to school.<br />

Most of network indicator is showed negativity except the organization density. It<br />

means that better network with the lower amount of individual which behave as<br />

free rider, smaller expenditure required for social activity and lower amount of<br />

person who work in family. Goodness of model indicator (Gof) indicate that the<br />

established model have value of AGFI above 0.8 that is 0.897 although has<br />

significant value of chi-square but the RMSE smaller than 0.08. The two<br />

indicators of goodness is sufficient to indicate that the model is valid.<br />

On aggregate, the analysis result concerning about effect of trust<br />

endogenous variable, network and norms on social capital show that only trust<br />

that have significant and positive impact, it means that the higher trust, the<br />

stronger social capital in Bali.<br />

4. SOCIAL CAPITAL COMPONENT: Individual Social capital in<br />

developed region and Underdeveloped region<br />

As stated earlier, the province of Bali is grouped on regency basis that is<br />

Developed Region and underdeveloped region. Indicator that used to differentiate<br />

are level growth of PDRB, PAD and also income per capita. According to the<br />

indicator, it can be stated that regency of Badung, Gianyar and Denpasar City are<br />

classify as developed region while other regency is underdevelop region. In this<br />

research, selected purposively, Regency of Badung, Gianyar and also Regency of<br />

48<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Jembrana Karangasem as 2 developed regencies (WM) and two regencies as<br />

underdeveloped (WBB).<br />

Social capital indicator is used to measure latent variable of trust,<br />

carefulness attitude, custom trust, dynamics of trust, and participation. Latent<br />

variable of norm is consisted of possibility indicator to entrust child at neighbor,<br />

existing individual free rider, and also giving physical aid. Norm defined as<br />

readiness to share, to do collective action with and without intending to take<br />

benefit from others. Network Indicator is consisted of closeness of network,<br />

expenditure for social activity and amount of friend bellying ache. Reason in<br />

using latent variable indicator that different with general social capital analysis is<br />

significance of each indicator with residence location.<br />

Determination of social capital component for each region and also in each<br />

community is conducted by using analysis of structural equation model that<br />

available in Lisrel program. The analysis is carried out in two phases that is<br />

indicator determination phase that determine latent trust variable, norm and<br />

network; following determine latent variable which have largest contribution to<br />

strengthening social capital.<br />

4.1 Individual social capital in underdeveloped region<br />

Criterion for underdeveloped region in this research is more emphasized at<br />

economics growth indicator such as lowering of PDRB, PDRB per capita, and<br />

also PAD level. Other Indicator which also becomes consideration is the amount<br />

of poor household but do not include income distribution. Generally,<br />

underdeveloped region reside in location which relative far from governance<br />

center as Regency of Jembrana Karangasem. The two regencies located in tip of<br />

west and east of Bali province.<br />

Result of research also shows that there is significant and positive<br />

correlation between amount of friend and organization density; it means that more<br />

organization followed, more and more friend invited to discuss any matters.<br />

Significant and positive correlation also showed between variable of organization<br />

density with trust to others (general trust). Thereby, in other words, the higher<br />

personal interaction intensity that showed by amount of friend variable, the higher<br />

organization density and finally improving trust to others.<br />

Differ from Grootaert ( 2001), result of this analysis indicate that there is<br />

no significant correlation between personal density organization, trust, and norm<br />

to the income level. Income level has significant correlation with social<br />

expenditure and individual participation in organization. The higher income, the<br />

larger social expenditure but the lower participation in individual decision<br />

making.<br />

This research also show tendency that carefulness attitude of community<br />

have positive and significant relation with amount of individual free rider and<br />

physical aid readying to be given but do not relate to participation and network on<br />

organization. According to correlation analysis, it is also indicated that carefulness<br />

attitude have correlation with social cost that should be paid.<br />

Result of SEM analysis indicate that latent trust variable can be measured<br />

by indicator of trust [common/ public], dynamics of trust, and participation . the<br />

Highest contribution for trust latent variable is come from participation. It means<br />

that the higher trust, the higher individual participation in organization. Negative<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

49


sign of trust dynamics indicator and participation is caused by applying inversed<br />

scale at expected answer. Reason to entering participation on latent trust variable<br />

is refer to Azwar (2005) expressing that research concerning attitude is better<br />

carried out by direct asking and behavior observation. This research assumes<br />

participation as strengthen behavior of a person trust statement. Individual which<br />

have high trust should have active participation. Result of analysis give<br />

implication that high trust level in underdevelop region is shown by trust to any<br />

people (general trust) and high participation. Indicator of latent norm variable is<br />

amount of free rider (-), taking care a child by neighbor and readiness to give<br />

physical aid and for latent network variable is network density, expenditure for<br />

social activities and amount of friend.<br />

1.000<br />

1.000<br />

50<br />

SC<br />

TRUST<br />

NORMA<br />

NETWORK<br />

Chi-Square=38.26, df=29, P-value=0.11671, RMSEA=0.044<br />

SC<br />

0.402<br />

0.454<br />

0.431<br />

0.402<br />

0.454<br />

0.431<br />

-0.081<br />

0.233<br />

-0.176<br />

-0.741<br />

0.399<br />

-0.376<br />

0.264<br />

0.295<br />

0.263<br />

0.306<br />

TRUST 0.839<br />

NORMA 0.794<br />

NETWORK 0.815<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

A WA RE 0.993<br />

GN TRUST 0.946<br />

DT 0.969<br />

PA RTSP 0.452<br />

CC 0.841<br />

FR 0.859<br />

BN TF SK 0.930<br />

NW 0.913<br />

SEXP 0.931<br />

F RI EN D 0.907<br />

0.426<br />

0.180<br />

1.209<br />

Chi-Square=38.26, df=29, P-value=0.11671, RMSEA=0.044<br />

Figure 2 Diagram Path of Social capital structural model for underdevelop region<br />

in Bali<br />

There are various indicators to determine goodness fit of a model, among<br />

others Goodness of Fit (GoF) values, Chi-Square, RMSE, AGFI and others. The<br />

obtained model is fulfill all indicator Goodness fit of model as well as AGFI value


(0.821) that larger than 0.8 therefore the model is assumed sufficient fit to figure<br />

relationship between latent variable and observed variable indicator. P-Value is<br />

0.11671 larger than 0.05 RMSE and smaller than 0.08.<br />

The three latent variables give significant – positive contribution on<br />

establishment of capital social in underdeveloped region. The result indicate that<br />

to develop, build or strengthen capital social specially in underdeveloped region<br />

cannot be conducted only by improve one of component because the three<br />

variable shows equal significant and large contribution. Development and<br />

reinforcement of capital social can be carried out by improving trust ,<br />

participation, reducing opportunity of individual to behave as free rider, maintain<br />

norm to reciprocate physical aid, extending network (organization living)<br />

Table 4 Latent Variable and Significance of each Indicator on latent Variable of<br />

Social capital in underdeveloped region in Bali<br />

Latent<br />

Indicator Coefficient t-hit<br />

Variable<br />

Trust* (0.402) 1. Aware to carefulness -0.081 -1.128<br />

2. General trust 0.2330 3.015*<br />

3. Dynamic of trust -0.176 -2.371*<br />

4. Participation -0.741 -3.640*<br />

Norm* (0.454) 1. Entrusting child 0.399 3.018*<br />

2. Amount of free rider -0.376 -2.497*<br />

Network*<br />

(0.431)<br />

3. Physical aid 0.264 3.353*<br />

1 . Organization density 0.295 2.918*<br />

2. Social expenditure 0.263 2.295*<br />

3. Amount of friend 0.306 3.353*<br />

Source : Analysis result of primary data<br />

4.2 Social capital in developed region<br />

Definition of developed region in this research is a region with high<br />

PDRB, PAD and relative large of income gap. According to the definition, in<br />

province of Bali that classify as developed region are Regency of Badung and<br />

Gianyar. There is a significant difference of general trust, participation and thick<br />

trust among individual that settled in underdeveloped region and developed<br />

region.<br />

Correlation analysis of spearman indicates that there are no significant<br />

correlation between organization density (network) with carefulness attitude and<br />

also general trust. This is contrary with amount of friend variable invited to belly<br />

ache. Trust and helping each other norm show significant relationship especially<br />

between carefulness attitude with observation of child by neighbor or between<br />

general trust with individual that behave as free rider.<br />

The significant correlation is also showed by social expenditure variable as<br />

proxy of income with network, trust, carefulness attitude, amount of friend and<br />

number of free rider. The higher social expenditure has positive correlation with<br />

trust and amount of owned friend, having negative correlation with carefulness<br />

attitude, Number of free rider and organization density.<br />

Result of structural equation analysis with Lisrel indicate that trust is<br />

figured by carefulness indicator, general trust, dynamics of trust, and<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

51


participation. The trust indicator shows the largest contribution. Variable of<br />

latent network is shown by closeness network indicator, social expenditure and<br />

amount of friend with largest contribution and social expenditure while norm<br />

variable is indicated by number of free rider indicator and physical aid.<br />

1.000<br />

1.000<br />

52<br />

SC<br />

TRUST<br />

NORMA<br />

NETWORK<br />

Chi-Square=17.81, df=29, P-value=0.94797, RMSEA=0.000<br />

SC<br />

0.453<br />

0.104<br />

-0.101<br />

0.508<br />

0.104<br />

-0.101<br />

0.448<br />

0.477<br />

0.245<br />

-0.253<br />

0.027<br />

-0.549<br />

0.733<br />

0.363<br />

-0.532<br />

-0.254<br />

TRUST 1.000<br />

NORMA 1.000<br />

NETWORK 1.000<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

A WA RE 0.800<br />

GN TRUST 0.772<br />

DT 0.940<br />

PA RTSP 0.936<br />

CC 0.999<br />

FR 0.699<br />

BN TF SK 0.462<br />

NW 0.868<br />

SEXP 0.717<br />

F RI EN D 0.935<br />

-0.287<br />

-0.901<br />

0.914<br />

Chi-Square=17.81, df=29, P-value=0.94797, RMSEA=0.000<br />

Figure 3 Diagram Path of Social capital structural model in developed region in<br />

Bali<br />

Result of SEM analysis show that model can be accepted because fulfilling<br />

goodness of fit indicator that is RMSE value smaller than 0.08 and p-value larger<br />

than 0.05. In other hand, AGFI value 0.942 is larger than 0.8 thereby the obtained<br />

structural equation model have high validity.<br />

Differ to underdeveloped region, to develop social capital or strengthen are<br />

not must be done by strengthening the three components of social capital because<br />

only trust variable which have significant contribution on social capital. Because<br />

of general trust indicator has the largest contribution on trust therefore to develop<br />

or strengthen social capital can be conducted by activities which can improve<br />

individual trust to other individual.


Table 5 Latent variable and significance of each indicator on latent variable of<br />

Social capital in developed region in Bali<br />

Latent Variable Indicator Coefficient t-hit<br />

Trust*<br />

(0.453)<br />

1. Aware to act carefulness 0.448 4.383*<br />

2. General trust 0.477 4.509*<br />

3. Dynamics of trust 0.245 3.024*<br />

4. Participation -0.253 -2.997*<br />

Norm 1 . Entrust Child 0.027 0.403<br />

(0.104) 2. Number of free rider -0.549 -7.238*<br />

3. Physical aid 0.733 6.248*<br />

Network 1 . Organization density 0.363 5.160*<br />

(-0.101) 2. social expenditure -0.532 -5.409*<br />

3. Amount of friend -0.254 -4.001*<br />

Sources : Analysis result of primary data<br />

5. SOCIAL CAPITAL IN TRADITIONAL AND MODERN<br />

ORGANIZATION<br />

For social capital at group level, it is known bridging social capital tern.<br />

On management system basis, community organization that developed in Bali is<br />

divided into traditional organization and modern while on establishment process<br />

classify as formal and informal organization. Generally, informal organization is<br />

established by relationship among family and extended family. On contrary with<br />

formal organization, generally membership of formal organization is consisted of<br />

specific profession on livelihood basis.<br />

In Bali, social organization which coordinates all public administrative<br />

activities is recognized by the name of banjar. Especially for Hindu follower have<br />

social organization which coordinate all activities related to religious activities<br />

that known as banjar adat. Each community which believes in Hindu have the<br />

same obligation in banjar adat. Rural Community in Bali, tied in formal<br />

traditional organization and also informal like sekaa, dadia, village and subak /<br />

banjar adat. Dadia and Sekaa represent informal traditional organization because<br />

do not have written awig-awig while subak and banjar adat are formal traditional<br />

organization which have written and unwritten awig-awig. Generally, member of<br />

Sekaa characterized by temporal membership and have strong consanguinity and<br />

formed in line with its activity like sekaa manyi, sekaa nandur, sekaa gong, sekaa<br />

suling and others. Dadia is extended family that owning patrilineal relation.<br />

Amount of sekaa member is smaller than dadia and village or subak/banjar adat.<br />

The established bound among member of subak, sekaa and dadia is based on<br />

togetherness feeling and reciprocity. Each member in traditional group will not<br />

have hesitating attitude to give aid for other member because existing trust that at<br />

the time needed, other member surely will raise a hand to assist them (karma law).<br />

As so far, mutually assisting norm that aimed to finish collective activities<br />

is still fasten each member of existing traditional social organization. The Norm<br />

can be maintained because sanction that applied to each collision member is not in<br />

the form of physical sanction and nominal money but in the form of moral like<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

53


excommunication of someone and prohibition order to use public facilities include<br />

praying place (Pura) and grave. It is differ from modern formal organization that<br />

not knowing moral sanction. Establishment process of modern formal<br />

organization is caused by pressure demand of economic factor. Because of<br />

economic oriented, modern organization often unable to tied the member<br />

emotionally but more individual interest.<br />

5.1 Social capital in Subak<br />

Community structure of Bali experienced drastic change. Agrarian<br />

community has changing and migrates to urban area to be tourism community.<br />

Ethnic composition of resident also become to change, caste of and the resident to<br />

be appliance to reach political target. The changes reduce social function of<br />

traditional institution. Cooperation and security as product of traditional<br />

institution become scarce goods and need high cost to obtain.<br />

Tourism sector is weakening because of internal and external factor,<br />

Community start to consider again role of agricultural sector. However,<br />

development bias during this time tend to side tourism sector that cause land<br />

function conversion for large area and automatically negate subak organization<br />

which the existence interconnected with availability of agriculture farm.<br />

Subak is agriculture irrigation organizer that has been established since a<br />

long time ago and until now still play important role in efficacy of agriculture<br />

effort in] Bali. During the time, there is no formal contract system which<br />

conducted by each member of subak. Division of water carried out based on<br />

attitude of trust among member of subak as according to regulation as agreed. The<br />

specified norms is recognized by the name of awig-awig, agreed and adhered by<br />

all members. The Awig-awig is in the form of written and unwritten order. Even<br />

though, the two forms have equal power. Membership of Subak is not based on<br />

residence location but rice field location. Therefore, oftentimes member of subak<br />

is not neighborhood each other or reside in one administrative rural region and<br />

also desa adat.<br />

The result indicate that different residence location is not causing the<br />

subak member having low trust on others. Thick trust of the subak’s member on<br />

other is higher than the thin trust. General trust has positive relation with<br />

participation on organization. This implies that improvement of subak’s member<br />

participation can be conducted by improving trust among individual in the<br />

organization. Dynamics of participation of the subak’s member shows that there is<br />

a significant relationship between participation dynamics and thick trust of the<br />

member.<br />

At lower trust level (80%), it can be concluded that there is negative and<br />

significant relation between trust and amount of free rider. It means that higher<br />

amount of member behaving as free rider, the lower trust among member. In other<br />

side, high trust level (99%) indicated that there is significant and negative relation<br />

between amount of member behaving as free rider free with readiness of member<br />

ti give physical aid on others ; it means that the higher amount of rider free, the<br />

smaller member that readying to give physical aid.<br />

Social capital of subak group is described by observed variable including<br />

organization density, leadership, relationship with other organization which have<br />

the ] same goal in one region and other region, relationship with other<br />

54<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


organization which have different goal in a region and other region, appreciation<br />

to funding group and also initial fund. The latent variable is consisted of trust<br />

variable, network (norm and network)<br />

According to goodness fit of model (AGFI value), the social capital model<br />

of subak community can be used to figure relationship between latent variable and<br />

observed variable due to AGFI value 0.914 is higher that Segars and Grover<br />

(1993) criterion although the chi-square values is significant and RMSE higher<br />

than 0.08. Result of SEM analysis shows that indicator for latent trust variable has<br />

positive sign, indicate that the higher organization density and more democracy<br />

process to choose group leader, the larger community trust. The large contribution<br />

of leadership indicator means that efforts to build trust in subak community can be<br />

initiated by democratic decision making process to choose group leader or<br />

decision making that affected whole member.<br />

1.000<br />

1.000<br />

SC<br />

TRUST<br />

NETWORK<br />

NORMA<br />

Chi-Square=21.64, df=14, P-value=0.08630, RMSEA=0.083<br />

SC<br />

0.078<br />

0.580<br />

0.216<br />

0.078<br />

0.580<br />

0.216<br />

DN 0.943<br />

LEA DERSH 0.523<br />

BONDI NG1 0.987<br />

BONDI NG2 -5.352<br />

BRI DG1 0.991<br />

BRI DG2 0.998<br />

DA NA K EL 0.679<br />

DA NA A W -0.177<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

0.239<br />

0.691<br />

-0.113<br />

-2.520<br />

-0.094<br />

0.046<br />

0.567<br />

-1.085<br />

TRUST 0.994<br />

NETWORK 0.663<br />

NORMA 0.953<br />

-0.037<br />

-0.094<br />

-0.764<br />

Chi-Square=21.64, df=14, P-value=0.08630, RMSEA=0.083<br />

Figure 4 Diagram Path of Social Capital Structural Model for Subak inBali<br />

On the contrary, most of network indicator has negative sign except for<br />

subak organization linkage indicator with other organization which have different<br />

goal in other region. Network in this research is defined as binding that facilitate<br />

cooperation among subak. The research’s results indicate that subak network will<br />

strengthen when interaction with subak or other organization in one region<br />

progressively lower however interaction with other organization in different<br />

55


egion is higher. Result of this research represents logical consequence on reason<br />

that agriculture production process does not need delay. Delay of each phase will<br />

affect on quality of yielded agriculture product. Because of limited time for<br />

farmer, high interaction frequency with other organization will lessen cooperation<br />

tying in the subak. Other fact is strong moral sanction in banjar adat organization<br />

that causing farmer sacrifices activities in farm.<br />

In this case, a norm is defined as readiness of group member to share<br />

burden of group donation. Result of analysis indicates that norm indicator that<br />

consisted of readiness to pay fund for group activities have positive sign, different<br />

with initial fund indicator. Subak is an organization that has been established since<br />

Majapahit monarchic era. The Organization do not economic oriented however on<br />

collective basis. The stronger norms binding the member, more and more<br />

activities that should be done related to upakara to keep safety and efficacy of<br />

agriculture effort. This is will increase expense for member. However, member<br />

conducted by voluntary basis. Differ from initial funding that in they perspectives<br />

should be subsidized by government.<br />

In community of subak, effort to build social capital can be conducted by<br />

norm and network strengthening because of the latent variable has significant<br />

contribution while network has larger value. Development of social capital in<br />

subak group can be carried out by improving sense of belonging of subak member<br />

as expressed by increasing member contribution in every activity. Larger<br />

government interference especially in every activity will lessen member sense of<br />

belonging, finally limiting social control of subak member to the existence of<br />

subak.<br />

Table 6 Latent Variable and Significance of each Indicator on Latent Variable in<br />

Subak Community in Bali<br />

Latent Variable Indicator Coefficient t-hit<br />

Trust 1. Organization density (DN) 0.346 4.534*<br />

2. Leadership 0.893 7.768*<br />

Network* 1. Bonding (1) -0. 109 -4.162*<br />

2. Bonding(2) -3.881 -44.596*<br />

3. Bridging(l) -0.075 -2.861*<br />

4. Bridging (2) 0.044 1.705<br />

Norm I . Group donation 0.827 8.430*<br />

2. Initial funding -1.187 -8.871*<br />

Source : Analysis Result of primary data<br />

Result of this analysis is possible to explain why agriculture in Regency of<br />

Badung (developed region) do not expanding though have available potential<br />

market in region of South Badung. High regional income (PAD) pushes the<br />

government to give aid in large number for farmer by agriculture program. This<br />

condition will weaken effort to overcome or avoid failure risk because the crop<br />

failure do not cause unprofitable for farmer. The subsidize that given to farmer<br />

should do not cause farmer losing of sense of belonging.<br />

5.2 Social capital in Tourism Organization<br />

Tourism community consist of some group that differentiated on work<br />

field basis that is pramuwisata group (HPI), hotel and restaurant owner (PHRI)<br />

and owner of bureau tourism journey (Asita). But the three groups have the<br />

56<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


similar characteristic that represent modern organization with formally character.<br />

All its member works in tourism sector as human resources with relative higher<br />

quality than subak.<br />

Correlation analysis of spearman indicates that there are significant<br />

correlation between thin trust and thick trust. The correlation have positive sign,<br />

its means the higher trust to known person the higher trust to unknown person.<br />

The result is assuring result of previous research that trust is specific component<br />

to expanding tourism activity.<br />

Mutually assisting norm and readiness to give physical aid have negative<br />

and significant relation with amount of rider free. The higher individual which<br />

behave as free rider the weaken norm mutually assisting that lessen individual<br />

readiness give physical aid to other individual.<br />

Income has significant and positive correlation on social expenditure and<br />

carefulness attitude, negative correlation to thin and thick trust. The stronger<br />

carefulness attitude will progressively lower thin and thick trust with the larger<br />

income. The result seems irrational but the reason that income in tourism sector is<br />

having business character with trust capital therefore more careful of a person, the<br />

higher income will obtain.<br />

Pursuant to goodness fit of model criterion, capital social structural model<br />

for the tourism community represent valid model because most of goodness<br />

criterion fulfill by not significant for Chi-square value (P>0.05), AGFI 0.804and<br />

RMSE < 0.08 although AGFI 0.68 (< 0.8). Differ to community of subak, almost<br />

all of indicator for capital social of tourism community have positive sign except<br />

initial fund for the latent variable of norm. Latent trust variable only consisting of<br />

organization density because leadership is not significant. Indicator of network<br />

latent variable of consisted of linkage with other existing organization in one<br />

region and other and also has linkage with organization with the same goal but on<br />

other region.<br />

Density Organization is the single indicator giving significant contribution<br />

to trust latent variable while variable that significant for latent network and giving<br />

largest contribution is interaction indicator among organization with different goal<br />

but reside in the same region. Interaction among the same organization in the<br />

same region is not significant because Bali only have one organization which<br />

centering in Denpasar City. There is no indicator that significantly describe latent<br />

norm.<br />

According to two phase’s analysis, social capital is influenced significantly<br />

by trust variable but norm and network is not significant. Therefore, in order to<br />

underdevelop or strengthening capital social in tourism community is only can be<br />

carried out by improving trust among individual and group that involved in<br />

tourism activities. Furthermore to develop trust is only carried out by improving<br />

organization density for each member. Through higher organization density, it<br />

was expected that trusting each other or eliminate suspect feeling will be<br />

developed.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

57


1.000<br />

1.000<br />

58<br />

SC<br />

TRUST<br />

NETWORK<br />

NORMA<br />

Chi-Square=10.63, df=14, P-value=0.71446, RMSEA=0.000<br />

SC<br />

0.522<br />

0.291<br />

0.479<br />

0.522<br />

0.291<br />

0.479<br />

2.672<br />

0.081<br />

0.158<br />

0.503<br />

0.917<br />

0.265<br />

0.438<br />

-0.183<br />

TRUST 0.727<br />

NETWORK 0.915<br />

NORMA 0.770<br />

DN -6.140<br />

LEA DSHP 0.993<br />

BONDI NG1 0.975<br />

BONDI NG2 0.747<br />

BRI DG1 0.160<br />

BRI DG2 0.930<br />

DA NA K EL 0.808<br />

DA NA WL 0.966<br />

-0.178<br />

1.099<br />

-0.390<br />

Chi-Square=10.63, df=14, P-value=0.71446, RMSEA=0.000<br />

Figure 5 Diagram Path of Social capital structural model for tourism in Bali<br />

Table 7 Latent variable and significance of each Indicator on latent variable of<br />

social capital in tourism community in Bali<br />

Latent variable Indicator Coefficient t-hit<br />

Trust* 1. Organization density 2.672 12.732*<br />

(DN)<br />

2. Leadership 0.081 1.369<br />

Network 1. Bonding (1) 0.158 1.215<br />

2. Bonding(2) 0.503 3.026*<br />

3. Bridging(l) 0.917 3.398*<br />

4. Bridging (2) 0.265 1 .992*<br />

Norm 1 . Group Funding 0.438 1.250<br />

2. Initial Funding -0.183 -1.183<br />

Sources: analysis result of primary data<br />

5.3 Social capital in Banjar/ Desa Pakraman<br />

Process modernization has happened everywhere except in Bali. But in<br />

this rapid modernization streams, Bali’s community remain have strong religion<br />

faith although living and traditional values in progressively changing. Bali’s<br />

community is more and more heterogeneous, not only in the case of traditional<br />

trust system but also in religion and cultural which have an effect on way of<br />

thinking and the behavior (Surata, 1990). Bali, as destination target of<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


international tourism, facing various challenge and temptation, internally and<br />

externally, represents logical consequence of expanding tourism and global<br />

process. One of effort to face external threat is by empowering desa adat.<br />

Desa adat or pakraman village are village institution in social filed,<br />

culture and religion. It is very difficult to differentiate between culture and<br />

religious activities in Bali because have integrated like cloth with the motifs. Jean<br />

Couteau ( 1995) stated that rural community in Bali that integrated in course of<br />

modernization will experience of threat in social solidarity and sustainability of<br />

custom institution as result of moneterization.<br />

1.000<br />

1.000<br />

SC<br />

TRUST<br />

NETWORK<br />

NORMA<br />

Chi-Square=4.24, df=14, P-value=0.99383, RMSEA=0.000<br />

SC<br />

0.380<br />

0.391<br />

0.073<br />

0.380<br />

0.391<br />

0.073<br />

1.101<br />

0.230<br />

0.867<br />

0.267<br />

0.600<br />

0.294<br />

0.232<br />

-0.717<br />

TRUST 0.856<br />

NETWORK 0.847<br />

NORMA 0.995<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

DN -0.212<br />

LEA DERSH 0.947<br />

BONDI NG1 0.249<br />

BONDI NG2 0.929<br />

BRI DG1 0.640<br />

BRI DG2 0.913<br />

DA NA K EL 0.946<br />

DA NA A W 0.485<br />

0.172<br />

-0.545<br />

-0.348<br />

Chi-Square=4.24, df=14, P-value=0.99383, RMSEA=0.000<br />

Figure 6 Diagram Path of Social capital structural model for Desa Pakraman in<br />

Bali<br />

Result of SEM analysis indicates that indicator of latent trust variable is<br />

leadership and organization density, but the two indicators is not significant.<br />

Latent network variable consist of interaction indicator between desa adat in one<br />

region (bonding 1) and also other region (bonding 2) and also interaction between<br />

different goal organization in the same region (bridging 1) and the difference one<br />

(bridging 2). Indicator of norm variable has significant effect on confidence level<br />

90 %.<br />

Result of two phases analysis shows that social capital is significantly<br />

affected by variable of trust and network. For the reason, trust should be<br />

developed by means improving organization density and building interaction with<br />

various organization but interaction with adat village in one region is effort that<br />

59


should be prioritized because giving the largest contribution. Structural equation<br />

model of capital social in adat village community have some criterion of goodness<br />

fit of model that is chi-square value is not significant (>0.5), RMSE lower than<br />

0.08 and AGFI value higher than 0.8.<br />

Table 8 Latent Variable and significance of each Indicator on latent Variable of<br />

Social capital in Banjar/Desa Pakraman community in Bali<br />

Variable laten<br />

Indicator<br />

Coefisien t-hit<br />

Trust* 1 . Organization density (DN) 1.101 1.586<br />

Network*<br />

Norm<br />

60<br />

2. Leadership<br />

0.230<br />

1. Bonding (1) 0.867<br />

1.368<br />

4.233*<br />

2. Bonding(2) 0.267 2.608*<br />

3. Bridging(l) 0.600 3.492*<br />

4. Bridging (2)<br />

1 . Group Funding<br />

2. Initial Funding<br />

Sources: Analysis result of primary data<br />

6. CONCLUSION<br />

0.294<br />

0.232<br />

-0.717<br />

2.454*<br />

1.745*<br />

-1.794*<br />

Result of quantitatively and qualitatively data processing shows that :<br />

1. Thick trust (trust to the same ethnics) is higher than thin trust (trust on<br />

other ethnics thin trust). The two trust tend to have negative linkage.<br />

2. Strengthening of social capital in developing region can be implemented<br />

by strengthening three component of social capital because give significant<br />

and positive contribution. Strengthening of social capital in developed<br />

region could be implemented just by improving trust.<br />

3. Strengthening of social capital in subak community could be implemented<br />

by means extended group network and norm, strengthening of social<br />

capital in banjar could be carried out by trust and network while for<br />

tourism community is by improving trust only.<br />

7. RECOMMENDATION<br />

Component of capital social builder is different each other pursuant to the<br />

type of organization or regional development level. Therefore, effort to conduct<br />

revitalization cannot be formulated generally but should be adapted with regional<br />

and/or group characteristic.<br />

REFERENCES<br />

Artadi IK. 1993. Manusia Bali. Bali Post Press. Denpasar.<br />

Casson M, A Godley. 2000. Cultural Factors in Economic Growth. Germany.<br />

Springer-Verlag Berlin – Heidelberg.<br />

Coleman J S. 1990. Foundations of social theory. Cambridge MA : Belknap.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Collier P. 1998. Social capital and poverty. World Bank SCI Working Paper no<br />

4, November. (www.iris.umd.edu/adass/proj/soccap.asp).<br />

Cristoforou A. 2003. Social Capital and Economic Growth: The Case of Greece.<br />

London School of Economic : Paper for The 1 st PhD Symposium on<br />

Social Science Research in Greece of the Hellenic Observatory.<br />

European Institute. asimina@aueb.gr.<br />

Dasgupta P, Serageldin I. 2002. Social Capital: A Multi Faceted Perspective.<br />

World Bank, Washington, DC.<br />

Dasgupta P. 2005. A Measured Approach: Special Issue. September 2005.<br />

ISSN 0036-8733. Scientific American, Inc, 415 Madison Avenue, New<br />

York.<br />

Fukuyama F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity.<br />

The Free Press, New York.<br />

Fukuyama F. 1999. Social Capital and Civil Society. The Institute of Public<br />

Policy. George Mason University. International Monetary Fund.<br />

Granovetter MS. 1973. The Strength of Weak Ties. American Journal of<br />

Sociology, 78, 1360 – 80.<br />

Grootaert C. 1999. Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia.<br />

World Bank Working Paper, unpublished.<br />

Grootaert C. 2001. Does Social Capital Help the Poor? A Synthesis of Findings<br />

from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and<br />

Indonesia. Local Level Institutions Working Paper No. 10, Social<br />

Development Department, World Bank, Washington, D.C.<br />

Grootaert C, T van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social<br />

Capital. A Multidisciplinary tool for practitioners. The World Bank<br />

Washington, D.C.<br />

Iyer S, M Kitson, B Toh. 2005. Social Capital, Economic Growth and Rgional<br />

Development. Regional Studies, Vol 39.8, pp.1011040, November<br />

2005.<br />

Olson M. 1982. The Rise and Decline of Nation. New Haven. Yale University<br />

Press.<br />

Putnam R D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy.<br />

Princeton: Princeton University Press.<br />

Putnam R D. 2000. Bowling alone: The Collapse and Revival of American<br />

Community. Simon and Schuster, New York, NY.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

61


PERBAIKAN PERTUMBUHAN BIBIT SOKA (Ixora coccinea l.) DENGAN<br />

PERENDAMAN SETEK DALAM URINE SAPI<br />

62<br />

I Made Sukerta<br />

Jurusan Agreteknologi <strong>Universitas</strong> Maharaswati Denpasar<br />

ABSTRACT<br />

The cow urine concentration and soaking duration of the growth of cutting<br />

Soka (Ixora coccinea L.)" aims to find out the influence of the concentration of<br />

cow urine and soaking duration and the interaction of the growth of Soka slip.<br />

Concentration of cow urine treatment and soaking time and the interaction effect<br />

is significantly for most of the parameters observed, except for cutting the<br />

percentage of fresh, the number and percentage of shoot bud and roots.<br />

Concentration of cow urine treatment and duration soaking together signifinatly<br />

effect on the oven dry weight of shoots per cutting. Oven dry weight of shoots is<br />

the highest of 0.715 g per cutting obtained in the treatment of concentration 10%<br />

cow urine and soaking time 15 minutes (P1U4), an increase of 81.01% compared<br />

with treatment without the concentration of cow urine with soaking time 60<br />

minutes (P4U0) which weighed 0.395 g per cutting. Based on the regression<br />

equation can be suspected: Y = 0.35532539 + 0.07064362 + U P 0.00083333 -<br />

0.00301326 U2 - 0.00082267 UP, with determination coefficients (R2) = 99%<br />

obtained by the oven dry weight of shoot a maximum of 0.65 g per cutting in the<br />

concentration of cow urine with a 9.67% long soaking 15 minutes<br />

Key word : Soka (Ixora coccinea l.), cow urine, soaking<br />

1. PENDAHULUAN<br />

1.1 Latar Belakang<br />

Desa Petiga yang berada di Kecamatan Marga, Tabanan, merupakan<br />

penghasil tanaman hias, seperti puring, soka, rumput-rumputan dan pucuk. Warga<br />

tani di desa ini dulunya menanam rambutan, cengkeh dan vanili. Namun panen<br />

tak pernah lebih dari dua kali setahun. Ahkirnya banyak warga tani yang memilih<br />

menekuni tanaman hias. Sebagian besar warga mempunyai usaha tanaman hias,<br />

ini merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan selain bidang<br />

<strong>pertanian</strong> tanaman pangan. Bahkan ada warga yang memanfaatkan sawahnya<br />

untuk lahan tanaman hias karena air yang mengairi sawah sudah berkurang.<br />

Soka (Ixora coccinea L.) merupakan salah satu tanaman hias yang<br />

berbatang perdu dengan percabangan yang banyak. Sebagai tanaman hias, soka<br />

memang mempunyai keistimewaan yaitu bunganya yang elok dan warnanyapun<br />

ada yang bermacam-macam seperti merah, kuning, kuning pucat, orange, merah<br />

jambu, merah muda, putih dan salem (Anon., 1992).<br />

Soka sebenarnya mempunyai nilai estetika yang cukup tinggi, ini terlihat<br />

dari peranannya yang cukup menonjol sebagai tanaman hias pagar pada gedunggedung<br />

perkantoran, menghiasi taman pada hotel-hotel, menghiasi pertamanan<br />

kota. Soka yang ditanam di tanah atau ditanam di dalam pot dapat direkayasa<br />

menjadi soka bonsai dan soka kombi. Baik soka bonsai dan soka kombi dapat<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


dimanfaatkan sebagai bunga potong, yang banyak diminati orang, sehingga<br />

prospek ekonominya cukup cerah (Anon., 1992).<br />

Soka dapat dikembangbiakkan secara generatif maupun vegetatif.<br />

Perbanyakan soka secara generatif menggunakan bijinya, namun cara ini jarang<br />

dilakukan dan hanya terbatas untuk keperluan pemuliaan. Perbanyakan secara<br />

vegetatif yaitu dengan menggunakan setek batang atau cabang, tanaman yang<br />

dihasilkan dari setek biasanya mempunyai persamaan dalam umur, ukuran tinggi,<br />

ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan tanaman yang diperoleh akan<br />

sempurna yaitu telah mempunyai akar, batang dan daun dalam waktu yang<br />

relative singkat.<br />

Pembiakan tanaman dengan setek sering dihadang kendala yaitu sukar<br />

terbentuknya perakaran pada tanaman. Apabila hal ini bisa diatasi, maka<br />

perbanyakan dengan cara setek merupakan perbanyakan yang paling baik, praktis<br />

dan ekonomi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merangsang<br />

pertumbuhan dan pembentukan akar pada setek adalah dengan pemakaian zat<br />

pengatur tumbuh.<br />

Zat pengatur tumbuh yang digunakan dapat berupa zat pengatur tumbuh<br />

sintetis maupun zat pengatur tumbuh alami. Untuk mempercepat perakaran setek<br />

dapat menggunakan zat tumbuh Rootone F. Begitu pula berbagai jenis zat tumbuh<br />

buatan seperti IBA, NAA, IAA dan sejenisnya telah diketahui pengaruhnya<br />

sebagai perangsang perakaran setek tanaman. Terlepas dari zat pengatur tumbuh<br />

buatan perangsang perakaran, ternyata salah satu zat tumbuh alami yang banyak<br />

terdapat di sekitar kita yaitu urine sapi telah pula dicoba pemanfaatannya untuk<br />

merangsang perakaran setek tanaman. Prayuginingsih (1986) mengatakan bahwa<br />

urine sapi merupakan zat tumbuh alternative yang murah dan mudah diperoleh.<br />

Urine sapi mengandung auksin a dan auksin b serta IAA. Sebagai herbivora, sapi<br />

memakan jaringan tumbuhan yang banyak mengandung auksin. Auksin yang<br />

termakan tidak dapat dicerna dalam tubuh sapi sehingga terbuang bersama urine.<br />

BPP Jember telah membuktikan bahwa urine sapi 5% sebagai zat pengatur<br />

tumbuh mempunyai pengaruh yang sama dengan IBA 3000 ppm dalam<br />

merangsang pembentukan akar pada setek kopi (Suprijadji, 1985 dalam<br />

Tjokrosudarmo, 1989).<br />

1.2 Rumusan Masalah<br />

Masalah utama yang sering muncul pada pembiakan dengan setek adalah<br />

sukar terbentuknya perakaran pada tanaman. Apabila masalah ini bisa diatasi,<br />

maka perbanyakan dengan cara setek merupakan perbanyakan yang paling baik,<br />

praktis dan ekonomis, salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merangsang<br />

pertumbuhan dan pembentukan akar pada setek adalah dengan pemakaian zat<br />

pengatur tumbuh.<br />

Urine sapi merupakan salah satu zat perangsang tumbuh alternative yang<br />

murah dan mudah diperoleh serta ramah lingkungan. Dengan demikian urine sapi<br />

yang dulunya terbuang begitu saja akan dapat bermanfaat atau mempunyai nilai<br />

ekonomis khususnya bagi usaha pengembangbiakan tanaman dengan cara setek.<br />

1.3 Tujuan Penelitian<br />

1.Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi urine sapi dan lama<br />

perendaman serta interaksinya terhadap pertumbuhan setek soka.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

63


64<br />

2. Untuk memperoleh konsentrasi urine sapi dan lama perendaman<br />

optimum bagi pertumbuhan setek soka.<br />

1.4 Manfaat Penelitian<br />

1. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan<br />

khususnya dalam bidang budidaya tanaman hias bahwa dengan<br />

teknologi pemanfaatan urine sapi sebagai zat perangsang tumbuh<br />

mampu meningkatkan keberhasilan setek tanaman hias soka.<br />

2. Petani mampu menyediakan bibit secara berkesinambungan sehingga<br />

masyarakat tani dapat meningkatkan pendapatan khususnya di desa<br />

Petiga, Marga, Tabanan.<br />

2. METODE PENELITIAN<br />

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan<br />

susunan faktorial. Terdiri dari dua faktor yaitu faktor pertama perendaman dalam<br />

larutan urine sapi (P) dan faktor ke dua konsentrasi urine sapi (U), dengan ulangan<br />

dua kali. Adapun perlakuan-perlakuan yang diberikan dalam percobaan ini adalah:<br />

1. Faktor lama perendaman setek dalam larutan urine sapi (P) yang terdiri dari 4<br />

taraf yaitu :<br />

P1 = direndam selama 15 menit<br />

P2 = direndam selama 30 menit<br />

P3 = direndam selama 45 menit<br />

P4 = direndam selama 60 menit<br />

2. Faktor konsentrasi urine sapi (U) yang terdiri dari 5 taraf yaitu :<br />

U0 = tanpa konsentrasi urine sapi<br />

U1 = konsentrasi urine sapi 2,5%<br />

U2 = konsentrasi urine 5,0%<br />

U3 = konsentrasi urine 7,5%<br />

U4 = konsentrasi urine sapi 10,0%<br />

Jumlah perlakuan kombinasi yaitu 20 perlakuan sebagai berikut : P1U0,<br />

P1U1, P1U2, P1U3, P1U4, P2U0, P2U1, P2U2, P2U3, P2U4, P3U0, P3U1, P3U2, P3U3,<br />

P3U4, P4U0, P4U1, P4U2, P4U3, P4U4.<br />

Masing-masing kombinasi diulang 2 kali, sehingga terdapat 40 satuan<br />

percobaan dan setiap satuan percobaan digunakan 10 setek. Percobaan dilakukan<br />

di Desa Petiga, Marga Tabanan dari bulan Juni sampai bulan September 2009.<br />

Pengamatan dimulai setelah setek berumur 4 minggu dan dilakukan setiap<br />

1 minggu sampai tanaman berumur 12 minggu. Untuk pengamatan ditentukan<br />

tanaman contoh sebanyak 6 setek. Peubah yang diamati meliputi :<br />

(1) persentase setek segar (%), (2) saat tumbuh tunas (hst), (3) jumlah tunas<br />

(buah), (4) panjang tunas (cm), (5) jumlah daun tunas (helai), (6) jumlah akar<br />

primer (buah), (7) panjang akar primer (cm), (8) persentase setek bertunas dan<br />

berakar (%), (9) berat basah akar per setek (g), (10) berat kering oven akar per<br />

setek (g), (11) berat basah tunas per setek (g), (12) berat kering oven tunas per<br />

setek (g).<br />

Pengamatan jumlah dan panjang akar primer, persentase setek bertunas dan<br />

berakar, berat basah akar dan tunas, berat kering oven akar dan tunas dilakukan<br />

pada akhir percobaan, dengan jumlah setek setiap peubah sebanyak 3 setek.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Data yang dikumpulkan dianalisis dengan analisis varian (sidik ragam) sesuai<br />

dengan rancangan yang digunakan. Apabila terdapat pengaruh interaksi yang<br />

nyata terdapat variabel yang diamati maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda<br />

Duncan 5% dan jika hanya pengaruh faktor tunggal, dilanjutkan dengan uji BNT<br />

5%. Untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi urine sapi dengan lama<br />

perendaman terhadap berat kering oven tunas per setek dilakukan dengan analisis<br />

regresi (Gomez dan Gomez, 1995).<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi urine<br />

sapi dan lama perendaman serta interaksinya berpengaruh nyata sampai sangat<br />

nyata (p


ns = tidak berbeda nyata pada taraf 5%<br />

* = berbeda nyata pada taraf 5%<br />

** = berbeda sangat nyata pada taraf 1%<br />

Meningkatnya berat kering oven tunas disebabkan karena meningkatnya<br />

pertumbuhan tunas seperti meningkatnya berat basah tunas, panjang tunas dan<br />

jumlah daun tunas. Hal tersebut didukung oleh adanya hubungan yang nyata<br />

antara berat kering oven tunas dengan berat basah tunas, panjang tunas dan jumlah<br />

daun tunas dengan nilai r masing-masing sebesar +0,9668**, +0,8483**, dan<br />

+0,7113**.<br />

Tingginya berat kering oven akar setek soka disebabkan karena pada<br />

perlakuan konsentrasi urine sapi 10% dan lama perendaman 15 menit (P1U4)<br />

menghasilkan berat basah akar yang tinggi, jumlah akar primer yang banyak dan<br />

mempunyai akar primer yang panjang. Hal tersebut juga tercermin oleh adanya<br />

hubungan yang nyata antara berat kering oven akar dengan berat basah akar,<br />

jumlah akar primer dan panjang akar primer dengan nilai r masing-mmasing :<br />

+0,8917**, +0,9092** dan +0,9498** (Tabel 15).<br />

Dengan terbentuknya sistim perakaran yang lebih baik akan menjamin<br />

pertumbuhan tanaman yang lebih baik pula, karena akar mempunyai fungsi yang<br />

sangat penting yaitu selain sebagai penyerap air dan mineral dalam tanah, juga<br />

sebagai alat untuk bernafas bagi tanaman (Audus, 1963). Dimana air, unsur hara<br />

atau mineral merupakan bahan baku dalam pembentukan fotosintat.<br />

Untuk memacu pertumbuhan akar tanaman pada pembiakan setek, dapat<br />

dibantu dengan pemberian zat tumbuh dalam jumlah tertentu (Rochiman dan<br />

Harjadi, 1973). Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian<br />

konsentrasi urine sapi berpengaruh baik terhadap pertumbuhan akar setek tanaman<br />

soka. Hal ini terlihat dari data jumlah akar primer, panjang akar primer, berat<br />

basah akar dan berat kering oven akar per setek (Tabel 2, 8, 9, 11 dan 12). Hal<br />

tersebut diduga karena adanya auksin yang terkandung di dalam urine sapi<br />

mempunyai efek fisiologis terhadap tanaman, yaitu mendorong pertumbuhan akar.<br />

Hasil penyelidikan Kogl et al., (1931 dalam Dwidjoseputro, 1989) menyatakan<br />

bahwa urine manusia maupun hewan terutama sehabis makan zat-zat yang berasal<br />

dari tumbuhan mengandung auksin a, aksin b dan heteroauksin. Auksin ini<br />

sebagian tidak dapat dicerna oleh tubuh sapi sehingga terbuang bersama urine.<br />

Lebih lanjut lagi Hartmann dan Kester (1983 dalam Suparman et al., 1990)<br />

mengemukakan pendapat para ahli terdahulu yang menyatakan adanya suatu zat<br />

spesifik yang bersifat merangsang perakaran yang dihasilkan di daun. Zat yang<br />

menyerupai hormon ini mereka sebut ”rhizocaline”. Rhizocaline yang terkandung<br />

di dalam daun-daunan yang dimakan sapi juga dapat terbawa bersama urine.<br />

Perendaman setek dalam konsentrasi urine sapi 10% dengan lama<br />

perendaman 15 menit (P1U4) memberikan pengaruh paling baik terhadap<br />

pertumbuhan akar, daripada perlakuan konsentrasi yang lebih rendah pada<br />

perendaman 15 menit (P1U1, P1U2 danP1U3). Sebaliknya ditingkatkannya waktu<br />

perendaman (P2, P3 dan P4) pada perlakuan urine sapi ternyata menurunkan<br />

pertumbuhan akar (baik jumlah akar primer, panjang akar primer, berat basah akar<br />

dan berat kering oven akar per setek) (Tabel 8, 9, 11 dan 12). Hal ini sesuai<br />

dengan pendapat Rochiman dan Harjadi (1973) bahwa zat tumbuh yang diberikan<br />

terlalu sedikit kurang efektif untuk memacu pertumbuhan tanaman namun<br />

sebaliknya apabila zat tumbuh yang diperlukan maka akan dapat merusak dasar<br />

66<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


setek, karena pembelahan sel dan kalus berlebihan sehingga dapat menghambat<br />

tumbuhnya tunas dan akar. Lamanya setek direndam dalam larutan urine sapi<br />

menyebabkan serapan zat tumbuh oleh sel tanaman melebihi jumlah optimum<br />

sehingga dapat menghambat pertumbuhan setek soka.<br />

Meningkatnya pemberian konsentrasi urine sapi pada lama perendaman 15<br />

menit (P1) menyebabkan makin meningkatnya berat kering oven tunas setek. Dan<br />

apabila waktu perendaman ditingkatkan sampai 60 menit (P4) sesuai perlakuan<br />

ternyata terjadi penurunan hasil berat kering oven tunas per setek (Gambar 4). Hal<br />

tersebut diduga karena makin lama setek direndam dalam larutan urine sapi, setek<br />

akan mengabsobsi zat tumbuh maupun unsur-unsur yang terkandung dalam<br />

larutan urine itu telah melebihi jumlah optimum yang dibutuhkan setek untuk<br />

pertmbuhan akar dan tunas. Sehingga sifat zat tumbuh yang mendorong<br />

pertumbuhan tanaman berubah menghambat pertumbuhan tanaman. Disamping<br />

itu pula unsur-unsur yang terkandung dalam urine sapi (Lampiran 13) dalam<br />

jumlah yang relatif banyak diserap oleh setek dapat berbahaya atau meracuni<br />

tanaman yang sudah tentu menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Hal<br />

ini ditegaskan oleh Prawiranata (1981 dalam Tjokrosudarmo, 1989) amoniak<br />

bebas (NH3) dan urea dalam jumlah yang banyak dapat bersifat racun (toksin)<br />

untuk kebanyakan tumbuhan. Hanya tumbuhan yang mempunyai cairan vakuola<br />

bersifat asam dapat menyimpan ion amoniak sebagai garam amonium dalam<br />

jumlah yang relatif besar tanpa menimbulkan gangguan pada tumbuhan.<br />

4. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

4.1 Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan dapat ditarik simpulan<br />

sebagai berikut :<br />

1. Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman secara bersamasama<br />

berpengaruh nyata terhadap segian besar parameter yang diamati<br />

kecuali terhadap persentase setek segar, jumlah tunas, dan persentase setek<br />

bertunas dan berakar.<br />

2. Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman memberikan<br />

pengaruh secara bersama-sama terhadap berat kering oven tunas per setek<br />

dengan persamaan regresi : Y = 0,35532539 + 0,07064326U +<br />

0,00083333P – 0,00301326U2 – 0,00082267UP, dengan koefisien<br />

determinasi (R2) = 99%. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh berat<br />

kering oven tunas per setek maksimum sebesar 0,65 g per setek, pada<br />

konsentrasi urine sapi 9,67% dengan lama perendaman 15 menit.<br />

4.2 Saran<br />

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan, untuk mendapatkan<br />

pertumbuhan setek tanaman soka yang baik pada pembibitan disarankan<br />

menggunakan zat tumbuh alami yaitu urine sapi dengan konsentrasi 9,67% (10%)<br />

dengan lama perendaman setek dalam larutan sapi tersebut 15 menit.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

67


DAFTAR PUSTAKA<br />

Anonimus (1992). Budidaya Tanaman Soka. Liptan. Balai Informasi Pertanian<br />

Bali.<br />

Rochiman, K. dan S.S. Harjadi (1973). Pembiakan Vegetatif. Departemen<br />

Pertanian. IPB. Bogor.<br />

Prayuginingsih, H. (1986). Urine Sapi dan Air Kelapa sebagai Zat Tumbuh<br />

Alternatif Untuk Merangsang Perakaran Setek Stevia (Stevia rebaudiana<br />

Bortani M.) Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.<br />

Tjokrosudarmo, C. (1989) Pengaruh posisi ruas bahan setek dan urine sapi<br />

terhadap pertumbuhan setek kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex<br />

Froehner). Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor<br />

Sastrapradja, S., Nasution R.E., Idris S., Imelda M., Roedjito A., Soerohaloko S.,<br />

dan Suroyo L., (1980) Tanaman Hias Penting di Indonesia. Balali Pustaka.<br />

Jakarta.<br />

Francisca R. (1991). Pengaruh Populasi Tanaman Soka Jepang (Ixora chinensis<br />

var. aurantiaca) dengan Berbagai Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan<br />

Perkembangan Sebagai Tanaman Massal. Jurusan Budidaya Pertanian.<br />

IPB. Bogor<br />

Adriance, G.O. and F.R. Brison, (1955). Propagation of horticultura Plant. Mc.<br />

Graw Hill Book Co. Inc., New York.<br />

Rismunandar, 1988 Hormon tanaman dan ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.<br />

Adriance, G.O. and F.R. Brison (1955).Propagation of horticultural plant. Mc.<br />

Graw Hill Book Co. Inc., New York. 289 p.<br />

Audus, L. J. (1963). Plant Growth Substance. Interscience Publisher. Inc., New<br />

York. 553 p.<br />

Crockett, J.U. (1978). Plowering House Plants. Time Hill Books. 160 p.<br />

Dwidjoseputro, D. (1989). Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia.Jakarta.<br />

225 hal.<br />

Ida Dwiwarni (1990). Pemanfaatan Urine Sapi pada Setek Lada. Bull. Tan.<br />

Industri. Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah danObat Natar (5) : 19 –<br />

10 hal.<br />

Leopold, A.C. (1963). Auksin and Plant Growth. Univ. California Press. Barkley<br />

and Los Angeles. 354 p.<br />

Mahlstede, J.P. and E.S. Haber (1957). Plant Propagation John Wiley & Sons Inc.<br />

New York. 413 p.<br />

Nurhayati Hakim, Nyakpa M.Y., Lubis A.M., Nugroho S.Gh., Soul M.R., Diha<br />

M.A., Hong G.B., dan Bailey H.H. (1986). Dasar-dasar Ilmu Tanah.<br />

<strong>Universitas</strong> Lampung. 488 hal.<br />

Prayuginingsih, H. (1986). Urine Sapi dan Air Kelapa Sebagai Zat Tumbuh<br />

Alternatif Untuk Merangsang Perakaran Setek Stevia (Stevia rebaudiana<br />

Bortani M.) Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas<br />

Pertanian IPB.Bogor (tidak dipublikasikan). 68 hal.<br />

Rencana. K. (1988). Pengaruh Panjang Setek dan Konsentrasi Zat Pengatur<br />

Tumbuh IBA terhadap Pertumbuhan Bibit Anggur (Vitis vinivera).<br />

Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertnian Fakultas Pertanian Univ.<br />

Mahasaraswati Denpasar. 53 hal.<br />

68<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Rismunandar (1988). Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta,<br />

58 hal.<br />

Rochiman, K. Dan S.S. Harjadi (1973). Pembiakan Vegetatif. Departemen<br />

Pertanian. IPB. 70 hal.<br />

Sastrapradja, S., Nasution R.E., Idris S., Imelda M., Roedjito A., Soerohaloko S.,<br />

dan Suroyo L., (1980). Tanaman Hias Penting di Indonesia. PN. Balai<br />

Pustaka. Jakarta.<br />

Stoutemyer, V.T. (1954). Enccuragement of Roots Plant Regulators in : Plant<br />

Regulators in Agriculture. H.B. Tukey. Editor. John Wiley and Sons Inc.<br />

New York. 245 p.<br />

Sukerta (1989). Pengaruh Dosis Pupuk NPK 15.15.15 dan Dosis Dekamon 22,43<br />

L terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabe Besar (Capsicum<br />

annuum L.). Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertnian Fakultas<br />

Pertanian Univ. Mahasaraswati Denpasar. 111 hal.<br />

Suparmanm Sunaryo dan Sumarko, (1990) Kemungkinan Penggunaan Kemih<br />

Sapi Untuk Merangsang Perakaran Setek Lada (Piper ningrum L.) Bul,<br />

Litro Vol. V No.1. Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Natar.<br />

23 – 26 hal.<br />

Steenis, C.G.G.J. (1981). Flora. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. 400 hal.<br />

Syarief, B.S. (1985). Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana.<br />

Bandung. 182 hal.<br />

Timan, K.V. (1969). Auxin in : Fisiologi Tanaman. M.B. Wilkins (ed). (edisi<br />

bahasa Indonesia). PT. Bina Aksara, Jakarta. 454 hal.<br />

Tjokrosudarmo, C. (1989). Pengaruh Posisi Ruas Bahan Setek dan Urine Sapi<br />

terhadap Pertumbuhna Setek Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex<br />

Froehner) Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya IPB. Bogor. 62 hal.<br />

Widianto (1988). Membuat Setek, Cangkok dan Okulasi. PT. Penebar Swadaya.<br />

Jakarta. 68 hal.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

69


70<br />

REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE<br />

FOR PROMOTING SUSTAINABLE FARMING<br />

AND COMMUNITY-BASED TOURISM<br />

Cening Kardi<br />

Jurusan Agribisnis <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar<br />

ABSTRACT<br />

The embodiment of metaphysical agriculture in Bali is agricultural ritual and practicing<br />

agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. It is carried out by subak (institution<br />

for water-control-system in Bali). In this case using organic inputs towards sustainable<br />

farming is very appropriately to the philosophy of Rwa Bhineda. The values of traditionreligion-aspiration-culture<br />

in subaks were weakened and rather meaningless as the<br />

impacts of: neglect to metaphysical agriculture; and capital based tourism development.<br />

Actually the good practices of metaphysical agriculture were able to enrich and to<br />

beautify objects of tourism in villages, likewise their income generating for the<br />

population. Subaks were rather not powerful and not authoritative in performing<br />

agricultural ritual effectively and meaningfuly, neither in signifying organic techniques in<br />

farming. Therefore, a study on revitalization of metaphysical agriculture should be<br />

conducted, with aims: (1) to determine the level of success of metaphysical agriculture;<br />

and (2) to analyze factors of subaks which affecting the success of metaphysical<br />

agriculture. A survey method through questionnaire was used to collect data from 42<br />

subaks in 42 different desa adats (customary villages) which were selected using<br />

purposive sampling. The all questionnaires used Likert scale. Percentage the total score of<br />

a variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level of<br />

the variable on that subak. Regression analysis was used to estimate the effect of factors<br />

of subaks to the success of metaphysical agriculture. Result of the research indicated that<br />

the level of success of metaphysical agriculture was medium. The factors Authority of<br />

subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule);<br />

and Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) were strongly affected the<br />

success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was<br />

quitely affected, but Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly<br />

affected the success of metaphysical agriculture.<br />

Based on the findings in this research, it could be suggested as follows. It needs an<br />

assistance process at subaks to revitalize metaphysical agriculture by counseling and<br />

demonstrating plots of organic farming with sophisticated technology. First before this<br />

program, disseminating explanation regarding: implementation of meaningful agricultural<br />

rituals and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda. More adroitly<br />

to decipher sangkepan and awig-awig, and more aggressively to execute punishment to<br />

transgressors of awig-awig. It requires pilot project activity, namely by performing<br />

assistance for the formation of farmer cooperative at some subaks.<br />

Key words : metaphysical, subak, revitalization, Rwa Bhineda.<br />

1. INTRODUCTION<br />

Transformation and dynamism are very essential characteristic of<br />

community and culture. It is irrefutable fact that ”transformation” denotes<br />

phenomenon which always features the passage of community and its culture.<br />

There isn’t a statics community in absolutly. Every community always gains<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


transformation on time function, so there isn’t a community has same portraits on<br />

different periods, neither ”traditional” nor modern community, although they<br />

change with varied rapidity (Haferkamp dan Smelser, 1992).<br />

The communities with their cultures in Bali are not exception in this case.<br />

In other words, Bali always changes from age to age and even from day to day.<br />

Something has been worried ” isn’t Bali spoiled?” due to the effect of global<br />

population dynamism that has caused intensive and extensive capital-based tourism<br />

development as the policy and program for economic improvement of the<br />

government, to catch the trend of the world.<br />

The capital-based tourism development brought about great batterer<br />

energy that caused very structural changes in Baliness society and culture.<br />

Tourism in Bali much changed from cultural-based tourism (in the era before<br />

1975) to be competitive and commercial tourism. Unfortunately, these<br />

competitive and commercial attitudes and behaviours spreaded to the nearly all of<br />

social-traditional-religious institutions in Bali, especially Subaks (institutions for<br />

agricultural water-control-system in Bali) and desa adats (customary villages).<br />

Actually, subak denotes a technology developing and synergizing with<br />

community culture. On that account, subak is known as an institution having<br />

socio-cultural characteristic. It is reflected by the activities of subak predominated<br />

by mutual assistance and ritual ceremonies (Windia et al., 2010). So much local<br />

genius and local wisdoms as the part of subak’s and desa adat’s sermons which<br />

they are neglected, mainly in the concepts and implementations of metaphysical<br />

agriculture. Finaly the values of tradition-religion-aspiration-culture in subaks are<br />

weakened and rather becoming meaningless, whereas tourism sector apparently<br />

has been taking benefits from the assets which rooted in tradition-religionaspiration-culture<br />

of subaks and desa adats.<br />

The agricultural activities in Bali are not only in physical study but also in<br />

metaphysical. The embodiment of metaphysical agriculture in Bali is as follows.<br />

1. Agricultural ritual and customary ceremonies. There are two biggest ritual:<br />

Nyapah which take place in center village temple (Bale Agung temple)<br />

twice in every year; and Usaba in a hill temple of subak (Bedugul temple).<br />

These two rituals are very facilitated by desa adat. Various medium and<br />

small rituals which are arranged by members (krama) of subak in each<br />

their farm fields.<br />

2. Practicing agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. These<br />

activities of agriculture concern to keep on the balance of ecosystem in<br />

farming land. In this case using organic inputs towards sustainable<br />

farming is very appropriately to the philosophy of Rwa Bhineda.<br />

The rituals were established and developed as the corollary of sincere<br />

characteristics of farmers in subak to possess devotion and sacred deed/karma<br />

through giving sacred offering to Goddess Sri (the omnipresent Deity in farming<br />

area), after they got crops and exploited some resources for plants farming. it was<br />

karma of take and give (Namayudha 1999).<br />

Actually the good practices of metaphysical agriculture were able to enrich<br />

and to beautify objects of tourism in the villages of Bali, likewise their income<br />

generating for population in the villages. But nowadays subaks and desa adats<br />

are rather not powerful and not authoritative in performing rituals agriculture<br />

effectively and meaningfuly, neither in signifying techniques for organic farming.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

71


Concerning with the weakness owned by subaks, a study on revitalization of<br />

metaphysical agriculture should be conducted. The aims of this study were: (1) to<br />

determine the level of success of metaphysical agriculture; and (2) to analyze<br />

factors of subaks which affecting the success of metaphysical agriculture. These<br />

factors were: authority of subak to determine their own life; effectiveness of awigawig<br />

(subak’s customary rule); effectiveness of sangkepan (social-religious<br />

gathering); social relation of subak to desa adat; and intensity of discussion Weda<br />

script in subak.<br />

2. RESEARCH METHODS<br />

2.1 Theoretical Frame of Metaphysical Agriculture Urgency<br />

Popper, 1983 explained that every form is natural objective, and every idea<br />

is subjective. There is objective truth that unrestricted by space and time, it is in<br />

the higher level than both objective forms and subjective ideas and it has<br />

metaphysical quality.<br />

Orderliness of the cosmos is objective and metaphysical truth, it is in<br />

transcendent level and ordered by the God as creator. The steadiness of universe,<br />

like there are: noon vs night, prey vs predator; natality vs mortality, and<br />

plentifully others are coming into sight the omnipotence of the God. These pairs<br />

of two qualities in one (dichotomies) which appear in contrary are some<br />

exsamples of Rwa Bhineda. The forms of Rwa Bhineda must be controled to be<br />

stable and balance in anyhow, anyplace and particularly in agricultural activities<br />

(producing food) which have kept on population to be alive.<br />

The universe is pervading by conciousness. The conciousness can be<br />

classified to be partial/limited conciousness and super conciousness. When the<br />

conciousness takes embodiment through a birth, it becomes partial/limited<br />

conciousness. Since the conciousness to be restricted by its body. Sadness,<br />

happiness, anger, love, etc., are some impressions/feelings emerged by body. The<br />

super conciousness standing firmly and never be dissolved in feeling is named<br />

Paramaatma. Paramaatma denotes source of Atma, this Atma dwells within<br />

body. The merging of Atma to body performs soul, the efforts of soul continuesly<br />

to achieve Paramaatma makes happen metaphysical activities, while<br />

Paramaatma permanently in transcendent level (Sri Sathya Narayana, 1996).<br />

Tattwamasi (you are essentially me), and Advesta Sarwa Bhutanam (love<br />

all creatures) were some sacred directions of Weda script. They were strong<br />

believed and done by farmers of subak. Because of revolution on agriculture<br />

latter, introduced pesticides that were adopted by farmers. Actually, pesticides<br />

gave more dangers to all creatures, those were poison residue in food, damaged<br />

ecosystem, resistance and resurgence of plant pests and diseases. Therefore,<br />

Tattwamasi and Advesta Sarwa Bhutanam denoted metaphysical practicality<br />

should be believed and done. For the present days, practicing organic farming is<br />

indicator for metaphysical practicality in agriculture (Geriya et al., 2006).<br />

2.2 Data and Analytical Methods<br />

A survey method through questionnaire was used to collect data from 42<br />

subaks in 42 different desa adats (customary villages), which were selected using<br />

purposive sampling (in the year 2010). In the region of south Bali were selected<br />

20 desa adats, and the rest 22 desa adats were selected in the region of north<br />

72<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Bali. In every desa adat was taken respondents which consist of 5 men from the<br />

board of desa adat, 10 men from the board of subak, 25 men members of subak<br />

and 10 men members of desa adat but not members of subak.<br />

The variables those were examined can be described briefly as presented<br />

in Table 1. The strength of every element of variables was scored as very low (1),<br />

low (2), medium (3), high (4) and very high (5). Percentage the total score of a<br />

variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level<br />

of the variable on that subak. So, the interval scale of variable could be<br />

categorized: 20-36% was very low; 37-52 % was low; 53-68% was medium; 69-<br />

84% was high; and 85-100% was very high. Regression analysis was used to<br />

estimate the effect of factors of subaks to the success of metaphysical agriculture.<br />

Table 1. Variables description<br />

No Variable Descripton<br />

(1) (2) (3)<br />

1 The success of � On ritual aspect (Seven elements): 1)<br />

metaphysical understanding to the viewpoint (tattwa) of the<br />

agriculture<br />

ritual; 2) coordination in ritual implementation; 3)<br />

solidarity among the followers of ritual; 4) freedom<br />

in partaking ritual; 5) orderliness of ritual<br />

processing; 6) completeness of facilities for ritual;<br />

and 7) creativity in achieving ritual.<br />

� On the aspect of practicing agriculture based on<br />

local genius of Rwa Bhineda (seven elements): 1)<br />

intensity of pesticide treatment; 2) intensity of<br />

chemical fertilizer treatment; 3) wholeness to follow<br />

the planting season; 4) intensity of plant rotation; 5)<br />

intensity to process waste of livestocks and harvest<br />

to be fine compost; 6) intensity to plant greeneries<br />

with high level Nitrogen for fertilizer; and 7) quality<br />

of integrated crop-livestock system.<br />

2 Authority of Four elements: 1) percentage of land conversion from<br />

subak to<br />

agricultural to non agricultural; 2) intensity of watter<br />

determine their sources for irrigation were changed to be non<br />

own life<br />

agricultural purpose; 3) Intensity of blockading subak’s<br />

groud athway and watter canal by outer force of<br />

subak; and 4) intensity of conflict between subak and<br />

industry/government.<br />

3 Effectiveness of Four elements: 1) clearness of awig-awig; 2)<br />

awig-awig democratic system in establishing awig-awig; 3) awig-<br />

(subak’s<br />

awig socialization; and 4) firmness in executing<br />

customary rule) punishment to transgressors of awig-awig.<br />

4 Effectiveness of Six elements: 1) Sangkepan routine; 2) follow-up of<br />

sangkepan (social- sangkepan’s decisions; 3) atmosphere in sangkepan; 4)<br />

religious<br />

percentage of members of subak to attend sangkepan;<br />

gathering) 5) sovereignty for giving comments in sangkepan; and<br />

6) sanction for members of subak who absent in<br />

sangkepan.<br />

5 Social relation of Three elements: 1) coordination between the board of<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

73


74<br />

subak to desa adat desa adat and subak in holding ritual; 2) participation<br />

of seke-seke (small grups for special duty in desa adat)<br />

in ritual; and participation of desa adat members but<br />

not members of subak to attend agricultural ritual.<br />

3. RESULTS AND DISCUSSION<br />

3.1 The Level of Success of Metaphysical Agriculture<br />

The level of success of metaphysical agriculture was assessd from two<br />

aspects, ritual aspect and aspect of practicing agriculture based on local genius of<br />

Rwa Bhineda. From the ritual aspect, the result was decribed as follows.<br />

The understanding to the viewpoint (tattwa) of the ritual was low, since most of<br />

the people especially in traditional institutions (like subak and desa adat) had no<br />

interest to read or to learn manuscripts regarding tattwa of the ritual or religion.<br />

They prefered to follow the expressions of tattwa like to make some complicated<br />

offerings/sacrifices. Grup dynamism in the most of subaks were becoming weak<br />

due to the decreasing productivity and profitability of rice farming, hence<br />

coordinations in ritual implementation were not good and subaks had no enough<br />

funding to complete facilities and to be creative in achieving ritual. Finally, The<br />

level of success of metaphysical agriculture from ritual aspect became low.<br />

The success of of metaphysical agriculture from aspect practicing<br />

agriculture based on local genius of Rwa Bhineda was as follows. The level of its<br />

success was categorized as medium, it implied that the farmers and their subaks<br />

had adopted slightly organic farming methods. Chemical fertilizers (like UREA,<br />

TSP, KCl, Ponska, NPK) were still very intensively to be applicated by the<br />

farmers and even they were very dependently on these chemical fertilizers, on the<br />

other hand, they were lack of treatments towards producing fine compost from<br />

waste of livestocks and harvest. The farmers of subaks were very averse to follow<br />

the planting season in the area of subak. It was very potentially to cause pests and<br />

diseases continuesly spreaded and attacked the growing plants everywhere, and<br />

difficultly to be cut down. All of these poured in decreasing productivity and<br />

profitability of rice farming. From the all of these explanations, it could be<br />

assessed that the success of metaphysical agriculture was in medium level.<br />

Table 2. Description for the elements of ritual aspect<br />

Element Min Max Average<br />

1) Understanding to the<br />

(%) (%) (%)<br />

viewpoint (tattwa) of the ritual<br />

2) Coordination in ritual<br />

21.6 70.4 41.6 Low<br />

implementation<br />

3) Solidarity among the followers<br />

47.2 88.8 49.6 Low<br />

of ritual 52.0 87.2 56.0 medium<br />

4) Freedom in partaking ritual 54.4 97.6 87.2 very high<br />

5) Orderliness of ritual processing<br />

6) Completeness of facilities for<br />

49.6 91.2 80.8 High<br />

ritual 24.0 73.6 51.2 Low<br />

7) Creativity in achieving ritual 23.2 72.0 56.8 medium<br />

Average 60.4 medium<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

Category level<br />

of success


Table 3. Description for the elements of practicing agriculture based<br />

on local genius of Rwa Bhineda<br />

Element Min Max Average Category level<br />

(%) (%) (%) of success<br />

1) intensity of pesticide treatment<br />

2) intensity of chemical fertilizer<br />

34.5 90.0 56.0 medium<br />

treatment<br />

3) wholeness to follow the planting<br />

23.5 93.0 44.0 Low<br />

season in the area of subak 27.0 77.0 46.5 Low<br />

4) intensity of plant rotation<br />

5) intensity to process waste of<br />

livestocks and harvest to be fine<br />

42.0 91.5 72.0 High<br />

compost<br />

6) intensity to plant greeneries with<br />

29.0 91.5 54.0 medium<br />

high level Nitrogen for fertilizer 30.0 84.0 61.0 medium<br />

7) quality of integrated croplivestock<br />

system 47.0 88.5 58.0 medium<br />

Average 55.9 medium<br />

3.2 Factors of Subak Affecting The Success of Metaphysical Agriculture<br />

The level of factors: Authority of subak to determine their own life;<br />

Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule); and Intensity of discussion<br />

Weda script in subak were medium. The level of factors: Social relation of subak<br />

to desa adat; and Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) were<br />

rather high. The result of regression analysis on the factors of subak affecting the<br />

success of metaphysical agriculture was as follows (Table 4). The factors<br />

Authority of subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig; and<br />

Effectiveness of sangkepan were strongly affected the success of methaphysical<br />

agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was quitely affected the<br />

success of metaphysical agriculture, but Intensity of discussion Weda script in subak<br />

was not so significantly affected the success of metaphysical agriculture.<br />

As an institution having socio-cultural characteristics, subak has a power<br />

or wisdom and weakness. Some of those indigenous wisdoms are organization<br />

having good governance, flexibility, having capability of absorbing or adopting<br />

tecgnology developing around them and having capability of absorbing the culture<br />

developing in surrouding community. If the all of factors of subak are vigorous<br />

and effectively, actually the force in subak can be an indigenous wisdom and<br />

social asset that can shore up some government programs, especially the food<br />

security program and community-based tourism development. Meanwhile, the<br />

weakness of subak as an institution having socio-cultural characteristic is that it<br />

could not resist the intervention from external parties. This incapability is<br />

reflected in the large number of land undergoing transfer of function to sectors<br />

beyond agriculture like to building for hotel and building for hausing complex. In<br />

addition, there is relatively a large amount of withdrawing of irrigation water and<br />

blockading subak’s groud pathawy by other sectors such as Municipal Waterwork,<br />

hotels and other tourism components.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

75


76<br />

Table 4. The result of regression analysis on factors of subak affecting<br />

the success of metaphysical agriculture<br />

No Factor of Subak Coeficient t-ratio Sig.<br />

1 Constant -8.039 -7.731 0.000*<br />

2 Authority of subak to determine their own life 0.297 6.074 0.000*<br />

3 Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule) 0.335 4.632 0.000*<br />

4 Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) 0.227 3.731 0.001*<br />

5 Social relation of subak to desa adat 0.106 2.240 0.031*<br />

6 Intensity of discussion Weda script in subak 0.131 1.480 0.147 ns<br />

R Square = 0.9938 F = 1201.5*<br />

Informations: * = significantly; ns = non significantly<br />

4. CLOSURE<br />

4.1 Conclusions<br />

Based on the previous descriptions, it could be concluded as follows.<br />

1. The level of success of metaphysical agriculture was categorized into<br />

medium.<br />

2. The factors Authority of subak to determine their own life; Effectiveness<br />

of awig-awig; and Effectiveness of sangkepan were strongly affected the<br />

success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to<br />

desa adat was quitely affected the success of metaphysical agriculture, but<br />

Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly affected the<br />

success of metaphysical agriculture.<br />

4.2 POLICY IMPLICATION<br />

Based on the findings in this research, it could be formulated policy<br />

implications as follows.<br />

1. It needs an assistance process at subak to revitalize metaphysical<br />

agriculture by counseling and demonstrating plots of organic farming with<br />

sophisticated technology. First before this program, disseminating<br />

explanation regarding: implementation of meaningful ritual for agriculture<br />

and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda.<br />

2. More adroitly to decipher sangkepan and awig-awig, and more<br />

aggressively to execute punishment to transgressors of awig-awig.<br />

3. It requires pilot project activity, namely by performing assistance for the<br />

formation of farmer cooperative at some subaks.<br />

REFERENCES<br />

Geriya, W., Yudha Triguna, dan I Nyoman Dhana, 2006. Pola Kehidupan<br />

Petani Subak Di Bali. Javanologi: Denpasar.<br />

Haferkamp, H. and Neil J. Smelser. 1992. Social Change and Modernity.<br />

The University of California Press: Berkeley.<br />

Namayudha, I.B., 1999. Upacara Ngusaba Nini. Parisada Hindu: Denpasar.<br />

Narayana, S.S. 1996. Discourses on Bhagawad Gita. Sri sathya Sai Book and<br />

Publication Trust: Bangalore-India.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Popper, K.R. 1983. Realism and The Aim of Science. Rowman and Littlefied:<br />

New Jersey.<br />

Windia, W., Ketut Suamba and Wayan Sudarta. 2010. The Development of<br />

Food Security Model Based on Subak System In Bali. Jurnal SOCA.<br />

Vol. 10. No.1. Februari 2010: 8-14.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

77


78<br />

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN<br />

HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN<br />

KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan<br />

Ni Made Muriati 1) dan Wayan Guwet Hadiwijaya 2)<br />

1) Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali<br />

2) Jurusan Agroteknologi <strong>Universitas</strong> mahasaraswati Denpasar<br />

Abstrak<br />

Tujuan penelitian yaitu: (1) mengetahui kondisi faktor-faktor internal yang<br />

menentukan kelangsungan hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa<br />

Kusamba; (2) mengetahui kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor<br />

eksternal yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan;<br />

dan (3) merumuskan strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra<br />

pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak<br />

terhadap lingkungan. Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang (50<br />

orang dari unsur pemilik usaha dan 50 orang dari unsur pekerja). Analisis data<br />

yang digunakan adalah pendekatan konsep manajemen strategis yang dilakukan<br />

secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk uraian. Hasil penelitian menunjukkan<br />

bahwa posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu<br />

memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada. Posisi<br />

ekternal perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil<br />

perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategi-strategi untuk<br />

memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang dihadapi.<br />

Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan sebaiknya menerapkan strategi<br />

pertahankan dan pelihara. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus<br />

menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik<br />

serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang<br />

produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi<br />

tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup<br />

(sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan<br />

kompetitif dalam pengembangan produk.<br />

Kata kunci: Hasil perikanan, Pindang, Strategi, Internal dan Eksternal<br />

I. PENDAHULUAN<br />

1.1 Latar Belakang<br />

Kabupaten Klungkung mempunyai luas wilayah 315 km² yang terletak di<br />

antara 115º21’28” - 115º37’43”BT dan 8º 49’00” LS, dengan panjang pantai<br />

keseluruhan ± 144 km. Potensi perikanan laut di Kabupaten Klungkung cukup<br />

tinggi terutama perikanan tangkap. Potensi tersebut diperkirakan sebesar 4.140,7<br />

ton per tahun yang terdiri atas ikan pelagis 2.898,2 ton dan ikan demersal 1.242,5<br />

ton.<br />

Program pembangunan perikanan laut di Kabupaten Klungkung terutama<br />

diprioritaskan untuk meningkatkan produktivitas melalui pemberdayaan SDM<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


nelayan, pembudidaya pengolah, masyarakat pesisir lainnya, peningkatan nilai<br />

tambah dan mutu produk serta pemasaran, menciptakan iklim usaha yang<br />

kondusif, peningkatan dan pengembangan kemitraan usaha dan peningkatan<br />

kapasitas kelembagaan, meningkatkan dan daya dukung serta kualitas lingkungan<br />

perairan. Produk hasil perikanan merupakan sumber protein hewani yang<br />

bermutu dan sangat bermanfaat bagi tubuh manusia dan merupakan komoditas<br />

ekspor hasil perikanan yang telah menyumbangkan devisa. Namun di pihak lain<br />

kerugian atau kerusakan produk hasil perikanan (losses) mencapai 20 % akibat<br />

penanganan yang kurang baik. Penanganan ikan segar merupakan salah satu<br />

bagian penting dari mata rantai industri perikanan karena dapat mempengaruhi<br />

mutu yang dihasilkan.<br />

Pada sektor kelautan dan perikanan usaha pengolahan hasil perikanan pada<br />

umumnya masih didominasi oleh pengolahan ikan berskala usaha mikro, kecil dan<br />

menengah. Usaha pengolahan perikanan umumnya masih bersifat tradisional,<br />

cendrung dikelola oleh anggota turun-temurun dengan kapasitas produksi yang<br />

terbatas, dengan kegiatan usaha bersifat rutinitas. Usaha pengolahan hasil<br />

perikanan berskala miro kecil biasanya lemah dalam berbagai dimensinya, lemah<br />

dalam aspek permodalan, teknologi dan informasi, lemah dalam manjemen dan<br />

pemasaran, umumnya tersebar parsial, sehingga pada umumnya belum memenuhi<br />

standar sesuai ketentuan, sehingga hasilnya belum mampu bersaing dengan<br />

produk lainya. Mereka juga dihadapkan pada kesulitan melakukan penguatan<br />

internal, seperti peningkatan produktivitas, riset pengembangan produk, pelatihan<br />

dan bimbingan SDM serta promosi usaha.<br />

Dalam upaya mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi, yaitu<br />

meningkatkan kapasitas usaha bersekala ekonomi dengan kelembagaan yang kuat<br />

serta dikelola secara profesional dengan akses dan penetrasi pasar yang kuat dan<br />

berdaya saing, serta mampu berproduksi lebih efisien dalam kawasan<br />

pengembangan, dan dalam rangka meningkatkan percepatan pemberdayaan dan<br />

pembinaan unit-unit pengolahan ikan (UPI) dan revitalisasi industri pengolahan,<br />

maka diperlukan penerapan konsep pengembangan sentra pengolahan hasil<br />

perikanan melalui pendekatan pengembangan sentra-sentra pengolahan dan<br />

strukturisasi UKM Pengolahan Hasil Perikanan. Upaya ini dilakukan dengan<br />

memberikan dukungan kebijakan dan program penyediaan lembaga layanan<br />

pengembangan bisnis yang dilakukan secara terpadu di lokasi kawasan produksi<br />

perikanan.<br />

Salah satu usaha pengolahan ikan yang sudah berkembang di kabupaten<br />

Klungkung adalah pengolahan pindang. Usaha pengolahan pindang tersebut<br />

berada di Desa Kusamba yang terletak di wilayah Kecamatan Dawan. Usaha ini<br />

sudah ada sejak lama dan merupakan salah satu bentuk aktivitas ekonomi<br />

masyarakat Desa Kusamba yang <strong>berbasis</strong> rumah tangga. Pada awalnya kegiatan<br />

pengolahan pindang dilakukan di rumah-rumah penduduk, bahan baku hanya<br />

diperoleh dari hasil tangkapan para nelayan setempat, proses pengolahan masih<br />

dilakukan secara tradisional. Hal ini menimbulkan beberapa permasalahan, karena<br />

tercampurnya aktivitas rumah tangga dan aktivitas produksi sehingga lingkungan<br />

di rumah menjadi kumuh, kotor dan berbau, produksinya terbatas karena<br />

kekurangan bahan baku dan mutu produk belum terjamin.<br />

Untuk memudahkan dalam pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan<br />

pengolahan pindang di Desa Kusamba, maka pada tahun 1998 pemerintah<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

79


membangun bangsal pemindangan dengan tujuan untuk penataan kegiatan<br />

pengolahan pindang dari lingkungan perumahan ke lokasi khusus pemindangan<br />

dan menjadikan lokasi tersebut sebagai Sentra Pemindangan .<br />

Pada tahun 2007, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan<br />

Republik Indonesia Nomor: KEP.01/MEN/2007, tentang Lokasi Pengembangan<br />

Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Sentra Pengolahan Pindang di Desa<br />

Kusamba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung ditetapkan sebagai lokasi<br />

Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan. Akan tetapi dalam<br />

perkembangannya, fasilitas yang disediakan meliputi penyediaan sarana prasarana<br />

yang ada tidak berfungsi sesuai dengan harapan, misalnya proses pengolahan ikan<br />

belum dilakukan dengan baik, drainase yang penuh dengan sampah dan sisa-sisa<br />

pengolahan yang menyebabkan aliran air tidak lancar sehingga menimbulkan bau.<br />

Di samping itu konstruksi bangunan belum memenuhi standar karena dari segi<br />

sanitasi dan hygienitas kurang memenuhi syarat, sehingga berdampak pada<br />

kualitas dan mutu produk.<br />

Melihat permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu strategi untuk<br />

mengembangkan sentra pemindangan di Desa Kusamba. Upaya tersebut<br />

bertujuan menjadikan sentra pengolahan hasil perikanan yang memenuhi<br />

persyaratan kelayakan unit pengolahan dan kelayakan pengolahan sehingga<br />

menghasilkan produk yang bermutu dan aman untuk di konsumsi seta sehat dan<br />

nyaman bagi para pelaku usaha.<br />

1.2 Rumusan Masalah<br />

Dengan melihat uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan<br />

beberapa permasalahan, yaitu.<br />

1. bagaimanakah kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan<br />

hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba?<br />

2. bagaimanakah kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal<br />

yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan di<br />

Desa Kusamba?<br />

3. bagaimana strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra<br />

pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak<br />

terhadap lingkungan?<br />

1.3 Tujuan Penelitian<br />

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan umum penelitian ini<br />

adalah untuk mengembangkan sentra pengolahan pindang di Desa Kusamba<br />

menjadi sentra pengolahan hasil perikanan yang memenuhi persyaratan unit<br />

pengolahan dan dapat menghasilkan produk yang bermutu dan aman untuk<br />

dikonsumsi serta menguasai pasar. Sedangakan tujuan khususnya adalah sebagai<br />

berikut.<br />

1. Mengetahui kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan<br />

hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba.<br />

2. Mengetahui kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal yang<br />

mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan di Desa<br />

Kusamba.<br />

80<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


3. Merumuskan strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra<br />

pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak<br />

terhadap lingkungan.<br />

1.4 Manfaat Penelitian<br />

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut;<br />

1. Memberikan informasi dan masukan pada bidang kajian perencanaan dan<br />

pengembangan wilayah khususnya yang berkaitan dengan pembangunan atau<br />

pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />

2. Memberikan masukan kepada Pemerintah atau pengambil kebijakan, sebagai<br />

kebijakan dalam upaya pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />

2. METODE PENELITIAN<br />

2.1 Lokasi Penelitian<br />

Penelitian dilaksanakan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba<br />

Kabupaten Klungkung dengan pertimbangan Sentra Pengolahan Pemindangan<br />

Desa Kusamba Kabupaten Klungkung merupakan salah satu pengembangan<br />

sentra pengolahan hasil perikanan di Provinsi Bali. Penelitian dilakukan pada<br />

bulan Desember 2011<br />

2.2 Penentuan Responden<br />

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelaku usaha pengolah hasil<br />

perikanan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba, Kabupaten<br />

Klungkung yang berjumlah 50 unit usaha. Pada setiap unit usaha diambil masingmasing<br />

satu orang responden dari unsur pemilik, dan satu orang dari unsur<br />

pekerja. Sehinga seluruh responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang.<br />

Khusus untuk pemberian rating atau peringkat untuk masing-masing faktor<br />

internal maupun eksternal, diajukan kepada beberapa responden yang<br />

berkompeten dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, yaitu:<br />

para pemilik usaha pemindangan yang paling maju (10 rang), Kepala Dinas<br />

Peternakan dan Perikanan Kabupaten Klungkung, dan dua orang pakar agribisnis<br />

perikanan di Bali.<br />

2.3 Metode Pengumpulan Data<br />

Jenis data yang dibutuhkan untuk mendukung penelitian adalah data<br />

kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang berwujud kuantitas<br />

atau angka yang merupakan hasil membilang atau mengukur, seperti luas lahan<br />

usaha, kapasitas produksi, jumlah produksi, biaya produksi dan besarnya<br />

pendapatan usaha. Data kualitatif yaitu berupa keterangan atau uraian yang<br />

berkaitan dengan objek penelitian dan tidak dapat dihitung atau tidak berupa<br />

angka melainkan keterangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.<br />

Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah<br />

sebagai berikut.<br />

1) Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan cara meminta keterangan<br />

langsung kepada responden melalui daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan<br />

sebelumnya.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

81


2) Wawancara mendalam, yaitu pengumpulan data dengan cara meminta<br />

keterangan langsung kepada para informan melalui pedoman wawancara yang<br />

telah dipersiapkan sebelumnya.<br />

3) Observasi, yaitu suatu pengumpulan data dengan pengamatan langsung di<br />

lapangan untuk menguji dan melengkapi data lainnya.<br />

4) Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dan informasi yang telah tercatat pada<br />

berbagai dokumen tentang berbagai hal yang diperlukan dalam penelitian.<br />

2.4 Metode Analisis Data<br />

Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah pendekatan<br />

konsep manajemen strategis. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan<br />

disajikan dalam bentuk uraian.<br />

2.4.1 Analisis lingkungan internal dan eksternal<br />

Langkah ringkas untuk mengidentifikasi faktor internal adalah dengan<br />

menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) yang meringkas dan<br />

mengevaluasi faktor internal yakni kekuatan dan kelemahan perusahaan di<br />

bidang-bidang fungsional (David, 2001). Tujuan dari penilaian faktor eksternal<br />

adalah mengembangkan daftar terbatas peluang yang dapat dimanfaatkan<br />

perusahaan dan ancaman yang harus dihindari. Langkah yang ringkas dalam<br />

melakukan penilaian faktor eksternal adalah dengan menggunakan matriks EFE<br />

(Eksternal Faktor Evaluation). Matriks ini mengarahkan perumus strategi untuk<br />

mengevaluasi informasi dari luar perusahaan.<br />

Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap varibel<br />

terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus (Kinnear,<br />

1996) :<br />

82<br />

Xi<br />

αi = n<br />

∑ Xi<br />

Dimana: αi = bobot variabel ke-i<br />

Xi = nilai variabel ke-i<br />

i = 1,2,3…n<br />

n = jumlah variabel<br />

Penilaian setiap variabel baik yang merupakan faktor internal maupun eksternal<br />

perusahaan menggunakan skor skala empat, di mana kekuatan masing-masing<br />

variabel tersebut dinilai sebagai sangat lemah (skor 1), lemah (skor 2), kuat (skor<br />

3) dan sangat kuat (skor 4).<br />

Berikan rating atau peringkat (dalam kolom 4) untuk masing-masing<br />

faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1<br />

(poor), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan<br />

yang bersangkutan (seperti contoh matriks evaluasi faktor internal pada Tabel 1).<br />

Pemberian nilai rating kekuatan pada matriks IFE dengan skala yang digunakan,<br />

yaitu: 1 = sangat lemah; 2 = lemah; 3 = kuat; dan 4 = sangat kuat. Sedangkan<br />

faktor yang menjadi kelemahan pemberian nilai rating dilakukan sebaliknya.<br />

Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk<br />

memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

1


pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0<br />

(outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).<br />

Tabel 1. Contoh Matriks evaluasi faktor internal<br />

No Kekuatan Bobot Rating Skor<br />

1<br />

2<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

SDM yang terampil, disiplin dan ulet<br />

Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

Kelemahan<br />

Tidak aktif dalam kelompok usaha yang ada<br />

Tidak melakukan promosi<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

Pemberian nilai rating peluang pada matriks EFE dengan skala yang digunakan,<br />

yaitu: 1 = rendah (respon kurang); 2 = sedang (respon sama dengan rata-rata); 3 =<br />

tinggi (respon di atas rata-rata); dan 4 = sangat tinggi (respon jauh di atas ratarata).<br />

Sedangkan untuk faktor yang menjadi ancaman pemberian nilai rating<br />

dilakukan sebaliknya (seperti contoh matriks evaluasi faktor eksternal pada Tabel<br />

2). Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk<br />

memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor<br />

pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0<br />

(outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).<br />

Tabel 2. Contoh Matriks evaluasi faktor eksternal<br />

No Peluang Bobot Rating Skor<br />

1<br />

2<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

Permintaan terhadap pindang yang tinggi<br />

Kepercayaan dari pihak Bank<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

Ancaman<br />

Mahalnya harga ikan dan bahan bakar<br />

Banyaknya pesaing<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

…..<br />

83


2.4.2 Matriks i-e (internal-eksternal)<br />

Sumbu horizontal pada matriks IE menunjukkan skor total IFE, sedangkan<br />

pada sumbu vertical menunjukkan skor total EFE. Pada sumbu horizontal skor<br />

antara 1,00 – 1,99 menunjukkan posisi internal lemah. Skor 2,00 – 2,99<br />

menunjukkan posisi internal rata-rata, dan skor 3,00 – 4,00 menunjukkan posisi<br />

internal kuat. Begitu pula pada sumbu vertikal yang menunjukkan pengaruh<br />

eksternal (lihat Gambar 1)<br />

84<br />

Tinggi Rata-rata Lemah<br />

4,0<br />

4,0<br />

Tinggi I<br />

3,0<br />

II<br />

2,0 1,0<br />

III<br />

3,0<br />

Sedang IV V VI<br />

2,0<br />

Rendah<br />

1,0<br />

VII VIII IX<br />

Gambar 1. Matriks Internal-Eksternal (IE)<br />

Diagram tersebut dapat mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan<br />

perusahaan, tetapi pada prinsipnya kesembilan sel tersebut dapat dikelompokkan<br />

menjadi tiga strategi utama, yaitu<br />

a. Sel I, II dan IV disebut strategi tumbuh dan bina. Strategi yang cocok<br />

adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar dan<br />

pengembangan produk) atau strategi integratif (integrasi ke belakang,<br />

kedepan dan horizontal).<br />

b. Sel III, V dan VII disebut strategi pertahankan dan pelihara. Penetrasi<br />

pasar dan pengembangan produk merupakan dua strategi yang banyak<br />

dilakukan apabila perusahaan berada di dalam sel ini.<br />

c. Sel VI, VII dan IX disebut strategi panen dan diversifikasi.<br />

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br />

3.1 Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan serta Peluang dan Ancaman<br />

Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />

Faktor-faktor yang digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan,<br />

kelemahan serta peluang dan ancaman perusahaan pada Sentra Pengolahan Hasil<br />

Perikanan berasal dari identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal yang<br />

telah digunakan di atas. Hasil identifikasi ini kemudian digunakan untuk<br />

menyusun matriks IFE dan EFE .<br />

1. Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan Sentra Pengolahan Hasil<br />

Perikanan<br />

Identifikasi faktor internal dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan<br />

kelemahan yang diperoleh dari hasil diskusi dengan responden. Hasil ringkasan<br />

faktor strategis internal disajikan pada Tabel 3<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


Tabel 3. Faktor Strategis Internal Sentra pengolahan hasil perikanan<br />

No Kode Kekuatan<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

7.<br />

8.<br />

9.<br />

10.<br />

11.<br />

12.<br />

13.<br />

14.<br />

15.<br />

A<br />

B<br />

C<br />

D<br />

E<br />

F<br />

G<br />

H<br />

I<br />

J<br />

K<br />

L<br />

M<br />

N<br />

O<br />

SDM yang terampil, disiplin dan ulet<br />

Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik<br />

Teknologi pemindangan yang mudah dikuasai<br />

Dekat dengan tempat pendaratan ikan<br />

Memiliki mobil operasional<br />

Sistem pemasaran (jalur distribusi) yang jelas<br />

Modal cukup besar<br />

Lahan usaha yang cukup luas<br />

Kelemahan<br />

Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha<br />

pemindangan masih rendah<br />

Letak sentra pengolahan hasil perikanan dekat dengan<br />

pemukiman penduduk<br />

Tata letak bangunan dan jalan/gang antar unit pengolahan<br />

Produk mudah rusak/tidak tahan lama<br />

Masih menggunakan modal pribadi<br />

Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif<br />

Tidak melakukan promosi<br />

2. Identifikasi Peluang dan Ancaman Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />

Sejumlah peluang dan ancaman yang dihadapi oleh perusahaan pada sentra<br />

pengolahan hasil perikanan yang diperoleh dari hasil diskusi dengan responden<br />

masyarakat pengolah pindang, perangkat desa dan tokoh masyarakat. Hasil<br />

ringkasan faktor strategis eksternal disajikan pada Tabel 4.<br />

Tabel 4. Fakator Strategis Eksternal Sentra pengolahan hasil perikanan<br />

No Kode Peluang<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

7.<br />

8.<br />

9.<br />

10.<br />

11.<br />

12.<br />

A<br />

B<br />

C<br />

D<br />

E<br />

F<br />

G<br />

H<br />

I<br />

J<br />

K<br />

L<br />

Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi<br />

Kepercayaan dari pihak Bank<br />

Infrastruktur jalan yang baik<br />

Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan<br />

merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung<br />

Pangsa pasar untuk Bali cukup prospektif<br />

Kondisi ekonomi masyarakat Bali yang sangat baik<br />

Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang<br />

cukup tinggi dan mumpuni<br />

Ancaman<br />

Cuaca yang tidak menentu sehingga dapat mengurangi<br />

ketersedian bahan baku<br />

Mahalnya harga ikan dan bahan bakar<br />

Banyaknya pesaing<br />

Gangguan kesehatan para pengolah<br />

Keamanan lingkungan dari gangguan luar<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

85


3. Tahap Masukan Skala Besar dan Kecil<br />

1) Matriks Evaluasi Faktor Internal<br />

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap faktor-faktor internal,<br />

selanjutnya dilakukan pembobotan untuk melihat derajat kepentingan atau<br />

pengaruh dari masing-masing faktor tersebut terhadap perusahaan sentra<br />

pengolahan hasil perikanan serta pemberian rating untuk mengetahui kemampuan<br />

perusahaan menjalankan usahanya.<br />

Hasil perhitungan matriks IFE untuk perusahaan sentra pengolahan hasil<br />

perikanan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan utama<br />

bagi perusahaan, yaitu:<br />

a) SDM yang terampil, disiplin dan ulet<br />

b) Memiliki mobil operasional<br />

c) Lahan usaha yang cukup luas<br />

Sedangakan faktor internal yang menjadi kelemahan utama bagi perusahaan sentra<br />

pengolahan hasil perikanan, yaitu:<br />

a) Sanitasi yang buruk<br />

b) Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha<br />

pemindangan masih rendah<br />

c) Kelayakan unit pengolahan hasil perikanan<br />

d) Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif<br />

e) Tidak melakukan promosi<br />

Jumlah skor 2,67 menunjukkan bahwa sentra pengolahan hasil perikanan<br />

berada sedikit di atas rata-rata (2,50) dalam kekuatan internal keseluruhannya.<br />

Hal ini menunjukkan posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan<br />

cukup mampu memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan<br />

yang ada.<br />

Tabel 5. Matriks Evaluasi Faktor Internal Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />

No Kode Bobot Rating Skor<br />

1. A 0.08 4 0.33<br />

2. B 0.06 3 0.17<br />

3. C 0.06 3 0.17<br />

4. D 0.08 4 0.33<br />

5. E 0.05 4 0.20<br />

6. F 0.06 4 0.23<br />

7. G 0.08 4 0.32<br />

8. H 0.08 2 0.16<br />

9. I 0.08 2 0.15<br />

10. J 0.05 1 0.05<br />

11. K 0.08 2 0.16<br />

12. L 0.05 1 0.05<br />

13. M 0.05 1 0.05<br />

14. N 0.07 2 0.15<br />

15. O 0.08 2 0.15<br />

Total 2.67<br />

2) Matriks Evaluasi Faktor Eksternal<br />

Hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 6 diperoleh total skor 2,58<br />

(sedikit di atas rata-rata 2,50). Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sentra<br />

86<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


pengolahan hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan<br />

strategi-strategi untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi<br />

ancaman yang dihadapi.<br />

Beberapa faktor eksternal yang menjadi peluang terpenting dan<br />

berpengaruh terhadap perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan, yaitu:<br />

a) Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi<br />

b) Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan<br />

merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung<br />

c) Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup<br />

tinggi dan mumpuni.<br />

Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman yang paling<br />

berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan sentra pengolahan hasil<br />

perikanan, yaitu:<br />

a) Mahalnya harga ikan dan bahan bakar<br />

b) Gangguan kesehatan para pengolah<br />

c) Keamanan lingkungan dari gangguan luar.<br />

Tabel 6. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal Sentra Pengolahan Hasil<br />

Perikanan<br />

No Kode Bobot Rating Skor<br />

1. A 0.10 4 0.40<br />

2. B 0.06 2 0.13<br />

3. C 0.07 3 0.20<br />

4. D 0.10 4 0.40<br />

5. E 0.10 3 0.31<br />

6. F 0.07 3 0.21<br />

7. G 0.09 3 0.26<br />

8. H 0.07 1 0.07<br />

9. I 0.09 2 0.17<br />

10. J 0.08 1 0.08<br />

11. K 0.09 2 0.18<br />

12. L 0.09 2 0.17<br />

Total 2.58<br />

3.2 Strategi Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />

Setelah proses pengumpulan informasi internal dan eksternal yang<br />

dimasukkan dalam matriks IFE dan EFE, selanjutnya informasi-informasi ini<br />

menjadi input untuk perumusan strategi pengembangan yang dapat diwujudkan<br />

dalam bentuk matriks I-E dari analisis SWOT. Dalam tahap perumusan strategi<br />

pengembangan ini, perencana strategi dapat melakukan perpaduan antara<br />

sumberdaya dan keterampilan internal dengan peluang dan ancaman yang<br />

diciptakan oleh faktor-faktor eksternal.<br />

Beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan para pelaku usaha pada<br />

sentra pengolahan hasil perikanan secara umum dapat dilakukan seperti berikut.<br />

1. Biaya input ikan hasil tangkapan dan bahan bakar yang mahal<br />

sementara harga jual pindang itu rendah, maka diimbangi dengan<br />

meningkatkan efisiensi produksi. Lebih mengaktifkan dan<br />

meningkatkan efektifitas kelembagaan kelompok pengolahan hasil<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

87


perikanan dalam menetapkan harga produk serta penanganan input dan<br />

promosi produk.<br />

2. Diperlukan perencanaan usaha dengan pertimbangan faktor waktu<br />

mengingat sifat produk yang tidak tahan lama, termsuk dibutuhkannya<br />

teknologi preservasi.<br />

3. Diperlukan kerja sama antar unit usaha pengolahan perikanan berskala<br />

besar dan kecil untuk bersama-sama maju dan berkembang, misalnya<br />

untuk memenuhi tingginya permintaan akan produk hasil pengolahan<br />

perikanan.<br />

4. Lebih membangun sistem agribisnis perikanan yang secara terintegrasi<br />

dari hulu sampai hilir dan membangun jaringan distribusi yang mantap<br />

serta meningkatkan kualitas produk pengolahan perikanan untuk<br />

menghadapi persaingan dengan produk pengolahan perikanan dari<br />

daerah lain atau luar Bali.<br />

5. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap para pelaku usaha<br />

pengolahan perikanan dalam mengelola limbah hasil kegiatan produksi<br />

yang kini terlihat masih sangat lemah dan kurang. Termasuk<br />

didalamnya mengenakan sanksi-sanksi yang tegas kepada unit-unit<br />

usaha pengolahan perikanan yang mengabaikan upaya pengelolaan<br />

limbah yang dapat mencemari lingkungan.<br />

6. Menetapkan standar kelayakan unit pengolahan hasil perikanan yang<br />

tepat yang dapat memperbaiki sanitasi, kenyamanan kerja serta<br />

mencegah mewabahnya penyakit yang mengancam kesehatan para<br />

pengolah hasil perikanan.<br />

7. Meningkatkan dukungan Bank dan atau lembaga keuangan lainnya<br />

dalam memberikan kredit ringan untuk meningkatkan produksi dan<br />

kualitas pengelolaan limbah, yang dilakukan baik secara sendirisendiri<br />

maupun bersama-sama. Termasuk dukungan pemerintah<br />

daerah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk<br />

pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan.<br />

Focus strategi yang tepat untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan<br />

dengan menggunakan matriks I-E dapat dijelaskan seperti pada uraian berikut ini.<br />

1. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />

Matriks I-E digunakan untuk melihat strategi mana yang tepat diterapkan<br />

untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan. Matriks I-E melibatkan<br />

semua komponen unit-unit usaha dalam sentra pengolahan hasil perikanan ke<br />

dalam diagram skematis sehingga disebut matriks portofolio. Setelah<br />

mendapatkan nilai total skor bobot dari faktor internal (IFE) dan faktor eksternal<br />

(EFE) sentra pengolahan hasil perikanan, nilai-nilai tersebut kemudian<br />

dimasukkan ke dalam matriks Internal-Eksternal (I-E).<br />

Berdasarkan hasil analisis faktor internal menggunakan IFE diperoleh skor<br />

2,67 dan hasil analisis faktor eksternal menggunakan EFE diperoleh skor 2,58<br />

yang menempatkan perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada sel V<br />

(lihat Gambar 2). Posisi ini menggambarkan bahwa perusahaan sentra<br />

pengolahan hasil perikanan memiliki kondisi internal pada level rata-rata dan<br />

kondisi eksternal pada level sedang, sehingga sebaiknya menerapkan strategi<br />

pertahankan dan pelihara. Artinya perusahaan sentra pengolahan hasil<br />

88<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


perikanan harus menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi<br />

yang cukup baik serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang<br />

menyangkut bidang produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan<br />

lingkungan demi tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan<br />

kelangsungan hidup (sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta<br />

memiliki keunggulan kompetitif dalam pengembangan produk.<br />

Tinggi Rata-rata<br />

4,0 Lemah 3,0 2,0 1,0<br />

Tinggi<br />

Sedang<br />

Rendah<br />

3,0<br />

2,0<br />

1,0<br />

I II III<br />

IV V<br />

VI<br />

VII VIII IX<br />

Gambar 2. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />

Berdasarkan posisi sel V, maka tipe strategi utama yang dapat diterapkan adalah<br />

strategi intensif dalam bentuk penetrasi pasar, pengembangan produk dan pasar,<br />

perbaikan kelayakan unit pengolahan serta peningkatan kapasitas kelembagaan<br />

dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan.<br />

Penetrasi pasar atau pertumbuhan terkosentrasi dapat dilakukan dengan:<br />

1. Menambah tingkat penggunaan pelanggan lama melalui: menambah<br />

jumlah pembelian, mengiklankan penggunaan lain, dan memberi<br />

insentif harga untuk penggunaan lebih banyak.<br />

2. Memikat pelanggan pesaing melalui mempertajam diferensiasi merk,<br />

meningkatkan promosi dan menurunkan harga.<br />

3. Memikat bukan pengguna untuk membeli produk melalui: merangsang<br />

keinginan mencoba produk contoh (sampling), insentif harga dan<br />

mengiklankan penggunaan baru.<br />

Strategi pengembangan pasar yang dapat dilakukan yakni dengan<br />

menambah daerah pasar sasaran. Selama ini produk sentra pengolahan ikan di<br />

Kusamba hanya dipasarkan di wilayah Klungkung, Denpasar dan Badung. Perlu<br />

dilakukan ekspansi pasar dengan menembus seluruh wilayah Bali serta Lombok<br />

Barat.<br />

Strategi pengembangan produk berkaitan erat dengan pencitraan produk.<br />

Tidak sulit bagi perusahaan sentra pengolahan perikanan untuk melakukan<br />

pengembangan produk dalam bentuk selain pindang, seperti pepes, otak-otak atau<br />

produk setengah jadi untuk dipasarkan ke restoran dan super market. Selain itu<br />

yang harus dipertahankan adalah adanya perlakuan sebelum produk dipasarkan,<br />

yaitu dengan seleksi, standarisasi atau grading. Sehingga didapatkan produk<br />

pengolahan ikan yang berkualitas tinggi. Penggunaan merk yang selama ini tidak<br />

dilakukan, sebaiknya dibrikan merk untuk membangun citra produk dan<br />

memudahkan pelanggan untuk mengingat produk sentra pengolahan perikanan<br />

yang telah beredar.<br />

Perbaikan kelayakan unit pengolahan dapat dilakukan dengan membangun<br />

layout/tata letak bangunan unit pengolahan sedemikian rupa agar efisien, murah,<br />

praktis, memudahkan dalam bekerja, memudahkan dalam pengelolaan limbah dan<br />

tampak indah. Peningkatan kapasitas kelembagaan dapat dicapai dengan<br />

pemberdayaan kelompok pekerja dan pelaku usaha pengolahan ikan, yaitu melalui<br />

restrukturisasi kepengurusan, penguatan modal kelompok serta pola pembinaan<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

89


dan pengembangan dapat dilakukan dengan kombinasi Pola Empu dan Pola<br />

Pemasaran Bapak Angkat. Hal ini dapat diupayakan dengan membuat<br />

kesepakatan dan kerja sama dengan pihak terkait berdasar MoU. Pola Empu<br />

dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dengan menempatkan seorang pakar,<br />

di mana secara berencana dan berkesinambungan melaksanakan pembinaan dan<br />

membantu pengembangan. Pola Bapak Angkat lebih ditekankan pada bantuan<br />

modal kerja dan penjaminan resiko usaha serta membantu dalam pendekatan<br />

akses pasar untuk menjual produk dalam hal ini dilakukan dengan mengundang<br />

pengusaha mitra, badan atau LSM.<br />

Peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan adalah melalui<br />

memberi bantuan dana pembangunan IPAL dan bahan penetralisir limbah.<br />

Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah terhadap unit-unit usaha pengolahan<br />

ikan pada sentra pengolahan perikanan dalam hal pengelolaan lingkungan masih<br />

sangat perlu ditingkatkan. Di antaranya dengan menjadi agensia teknologi dan<br />

fasilitas pengelolaan limbah cair hasil kegiatan pengolahan ikan, serta dengan<br />

memberikan kontrol, pengawasan dan sanksi yang lebih ketat terhadap pelaku<br />

usaha yang melakukan pencemaran lingkungan.<br />

4. SIMPULAN DAN SARAN<br />

4.1 Simpulan<br />

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan:<br />

1) Hasil perhitungan matriks IFE untuk perusahaan sentra pengolahan hasil<br />

perikanan menunjukkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan utama bagi<br />

perusahaan, yaitu: (1) SDM yang terampil, disiplin dan ulet; (2) Memiliki<br />

mobil operasional; dan (3) Lahan usaha yang cukup luas. Sedangakan faktor<br />

internal yang menjadi kelemahan utama bagi perusahaan sentra pengolahan<br />

hasil perikanan, yaitu: (1) Sanitasi yang buruk; (2) Pengetahuan dan sikap<br />

terhadap pengelolaan limbah usaha pemindangan masih rendah; (3) Kelayakan<br />

unit pengolahan hasil perikanan; (4) Kelembagaan kelompok pengolahan<br />

perikanan kurang aktif; dan (5) Tidak melakukan promosi. Posisi internal<br />

perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu memanfaatkan<br />

kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada.<br />

2) Posisi ekternal perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan sentra pengolahan<br />

hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategistrategi<br />

untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang<br />

dihadapi. Beberapa faktor eksternal yang menjadi peluang terpenting dan<br />

berpengaruh terhadap perusahaan, yaitu: (1) Permintaan terhadap pindang ikan<br />

yang cukup tinggi; (2) Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan<br />

perikanan merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung; (3)<br />

Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup tinggi dan<br />

mumpuni. Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman yang paling<br />

berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan, yaitu: (1) Mahalnya<br />

harga ikan dan bahan bakar; (2) Gangguan kesehatan para pengolah; dan (3)<br />

Keamanan lingkungan dari gangguan luar.<br />

3) Matriks I-E menempatkan perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada<br />

sel V. Posisi ini menggambarkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil<br />

perikanan sebaiknya menerapkan strategi pertahankan dan pelihara.<br />

90<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM


4.2 Saran<br />

Berdasarkan beberapa temuan dalam penelitian ini dapat disarankan<br />

sebagai berikut. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus menjaga dan<br />

mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik serta<br />

melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang produksi,<br />

pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi tercapainya<br />

kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup (sustainable)<br />

sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan kompetitif dalam<br />

pengembangan produk.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Dahuri, 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan untuk<br />

Kesejahteraan Rakyat. Penerbit LISPI, Jakarta.<br />

David, FR., 2001. Manajemen Strategik. Prenhallindo, Jakarta.<br />

Downey, W.D. dan S.P. Erickson, 1992. Manajemen Agribisnis. Diterjemahkan<br />

oleh Ganda S. dan A. Sirait dari Agribusiness Management.<br />

Erlangga, Jakarta.<br />

Hadiwiyoto,S., 1993. Teknik pengolahan Hasil Perikanan. Liberty, Yogyakarta.<br />

Kinnear, TL. dan Taylor, 1996. Marketing Research An Aplied Approach<br />

5 th Edition. Mc Graw Hill, New York.<br />

Kotler, P., 1991. Prinsip Pemasaran. Edisi Bahasa Indonesia. Terjemahan<br />

Jaka Warsana. Airlangga, Jakarta.<br />

Rangkuti, F., 2000. Analisis SWOT TehNPK Membedah Kasus Bisnis.<br />

PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.<br />

Resssohadiprojo, S., 1992. Manajemen Strategik . BPFE UGM, Yoyakarta.<br />

Rustam, 2002. Pendapatan Menurut Standar Akutansi Keuangan. Digilib Usu,<br />

Medan.<br />

Suparta, N., 2005. Pendekatan Holistik Membangun Agribisnis. CV Bali Media<br />

Adhikarsa, Denpasar.<br />

Suwarsono, M., 2005. Manajemen Strategik. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.<br />

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />

91

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!