jurnal pertanian berbasis keseimbangan ekosistem - Universitas ...
jurnal pertanian berbasis keseimbangan ekosistem - Universitas ...
jurnal pertanian berbasis keseimbangan ekosistem - Universitas ...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM<br />
PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR DI<br />
KARANGASEM, BALI<br />
I Made Tamba dan I Wayan Cipta..................................................................... 1<br />
2. UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH LAHAN<br />
MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR MELALUI BIOTEKNOLOGI<br />
BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA DENGAN PUPUK KANDANG<br />
DAN KASCING<br />
I Ketut Widnyana............................................................................................... 20<br />
3. ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI<br />
PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI<br />
I Ketut Arnawa................................................................................................... 32<br />
4. INSTITUTIONAL FRAMEWORK FOR STRENGTHENING SOCIAL<br />
CAPITAL: An Empirical Approach at Different Communities in Bali<br />
Province<br />
Nyoman Utari Vipriyanti.................................................................................. 39<br />
5. PERBAIKAN PERTUMBUHAN BIBIT SOKA (Ixora coccinea l.)<br />
DENGAN PERENDAMAN SETEK DALAM URINE SAPI<br />
I Made Sukerta................................................................................................... 62<br />
6. REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE FOR<br />
PROMOTING SUSTAINABLE FARMING AND COMMUNITY-BASED<br />
TOURISM<br />
Daftar Isi (Content)<br />
Cening Kardi.......................................................................................................70<br />
7. ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN<br />
HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN<br />
KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan<br />
Ni Made Muriati dan Wayan Guwet Hadiwijaya...............................................78<br />
AGRIMETA<br />
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
SELAMATKAN<br />
BUMI PERTANIAN MELALUI PENERAPAN<br />
TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN<br />
AGRIMETA Vol. 01 No. 01 Hal. 1 -101<br />
Denpasar<br />
Oktober 2011<br />
ISSN<br />
2088-2521
� VOLUME 1 � NOMOR 2 � OKTOBER � 2011 AGRIMETA<br />
ISSN 2088-2521<br />
AGRIMETA<br />
Suatu <strong>jurnal</strong> ilmiah bidang <strong>pertanian</strong> dalam arti luas yang mempublikasikan hasil penelitian atau kajian<br />
review pada semua aspek agroekoteknologi, agribisnis, sosial dan budaya <strong>pertanian</strong> (baik yang menyangkut<br />
fisik maupun metafisik), baik secara alami maupun terkontrol dengan memanfaatkan teknologi yang ramah<br />
lingkungan /organik.<br />
Pemimpin Redaksi<br />
Ir. Cening Kardi, MMA<br />
Sekretaris Redaksi<br />
Ir. Made Budiasa, MAgb<br />
Mitra Bebestari (Dewan Redaksi)<br />
1. Prof. Dr. Ir. I Nyoman Wijaya, MS<br />
Program Magister Bioteknologi Pertanian, <strong>Universitas</strong> Udayana<br />
2. Prof. Ir. Ratya Anindita, MS, P.hD<br />
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, <strong>Universitas</strong> Brawijaya<br />
3. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, MS<br />
Program Magister Pertanian Lahan Kering, <strong>Universitas</strong> Udayana<br />
Redaksi Pelaksana<br />
1. Ir. I Dewa Nyoman Raka, MP<br />
2. Prof Dr. Ir. IGN Alit Wiswasta, MP<br />
3. Ir. Ketut Widnyana, MSi<br />
4. Ir. I Made Tamba, MP<br />
5. Drs. I Gusti Gede Jelantik Arya<br />
Agrimeta adalah <strong>jurnal</strong> ilmiah bidang <strong>pertanian</strong> yang <strong>berbasis</strong> <strong>keseimbangan</strong> <strong>ekosistem</strong> yang diterbitkan<br />
oleh Fakultas Pertanian <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar. Jurnal diterbitkan 2 kali dalam setahun<br />
(April, Oktober) dengan 1 volume dan 2 nomor penerbitan.<br />
Makalah dapat ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Makalah yang dikirimkan oleh penulis<br />
kepada redaksi akan dievaluasi awal untuk subyek materi dan kualitas teknik penulisan secara umum oleh<br />
pemimpin redaksi, selanjutnya akan dikirimkan kepada minimal 1 mitra bebestari di bidangnya untuk<br />
evaluasi substansi materi sedangkan tahap akhir akan ada saran penyempurnaan dari pelaksana redaksi.<br />
Makalah yang dinyatakan diterima serta telah diperbaiki sesuai saran redaksi akan diterbitkan dalam Jurnal<br />
Agrimeta.<br />
Petunjuk Format Penulisan Makalah terlampir di halaman terakhir dari <strong>jurnal</strong> ini.<br />
Redaksi Agrimeta<br />
Sekretariat Fakultas Pertanian <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar<br />
Jln . Kamboja No. 11 A Telp. (0361) 265322 Denpasar-Bali e-mail:ceningkrd@gmail.com<br />
PETUNJUK PENULISAN NASKAH<br />
Agrimeta adalah <strong>jurnal</strong> suntingan ilmiah yang secara spesifik difokuskan pada publikasi karya-karya inovatif dari<br />
penelitian murni atau terapan yang berhubungan dengan <strong>pertanian</strong> dalam arti luas , review dan analisis tentang semua aspek<br />
agroekoteknologi, agribisnis, sosial dan budaya <strong>pertanian</strong> (baik yang menyangkut fisik dan metafisik), baik secara alami<br />
maupun terkontrol dengan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan/organik.<br />
Penyerahan naskah<br />
Naskah yang tidak sedang dalam pertimbangan untuk dipublikasikan di redaksi lain dapat diserahkan rangkap 2 (1<br />
asli dan 1 copy) kepada:<br />
REDAKSI AGRIMETA<br />
Sekretariat Fakultas Pertanian UNMAS<br />
Jln . Kamboja No. 11 A Telp. (0361) 265322 Denpasar-Bali e-mail: ceningkrd@gmail.com<br />
Naskah yang dinyatakan diterima untuk dipublikasikan, pada penyerahan draft koreksi akhir harus disertakan<br />
sebuah disket 3,5”(bebas virus) yang berisi file naskah akhir yang sesuai denga cetakan naskah asli. Naskah diketik dengan<br />
menggunakan Microsoft Word for Windows dalam doc format sementara grafik disimpan dalam Microsoft Excel.<br />
Surat pernyataan yang ditandatangani oleh penulis utama, yang menyatakan bahwa naskah artikel yang<br />
diserahkan belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dalam pertimbangan untuk diterbitkan di redaksi lain harus<br />
disertakan pada penyerahan naskah. Hak cetak bagi naskah yang diterima dan semua bahan terbitan lainnya menjadi hak<br />
milik redaksi.<br />
Kebijakan Redaksi<br />
Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Naskah yang diserahkan pada awalnya<br />
akan dinilai berdasarkan kesesuaian materi ruang lingkup <strong>jurnal</strong> dan mutu tulisan secara umum oleh pemimpin redaksi.<br />
Makalah yang ditulis dengan jelas dan disusun rapi dan baik sesuai dengan pedoman redaksi lebih dipertimbangkan.<br />
Naskah yang dipandang tidak tepat dapat dikembalikan kepada penulis tanpa pengkoreksian lebih lanjut. Bagi penulis<br />
naskah berbahasa Inggris sangat dianjurkan untuk memintak bantuan kepada seseorang yang mahir dalam penyusunan<br />
naskah bahasa Inggris dengan gaya dan tatabahasa yang baik. Redaksi tidak menerima naskah yang dikirim lewat email.<br />
Persiapan Nasakah<br />
Naskah berupa ketikan asli (halaman judul hingga lampiran diharapkan tidak melebihi 17 halaman), spasi ganda,<br />
batas bingkai penulisan 3 cm dari sisi tepi kertas ukuran A4 dan dengan huruf Times Roman 11 (Program MS Word for<br />
Windows). Halam pertama naskah memuat judul artikel, nama dan alamat penulis. Absrak yang ditulis pada lembar ke-2<br />
berisi ringkasan hasil penelitian dan kesimpulan (maksimum 250 kata dan spasi tunggal) dengan diberi maksimum 5 kata<br />
kunci. Abstrak harus ditulis dalam dua versi bahasa Inggris dan Indonesia. Isi naskah dimulai pada lembar ke-3 dengan<br />
“Pendahuluan” yang berisi latar belakang masalah dan tujuan studi yang hendak dicapai. Bagian naskah berikutnya adalah<br />
“Metode”, “Hasil dan Pembahasan”, “Simpulan dan Saran” dan “Daftar Pustaka”. Tabel dan Gambar ditempatkan pada<br />
lembaran terpisah dari teks dan berada pada halaman terakhir. Naskah harus diberi nomor halaman secara berurutan.<br />
Penggunaan penulisan dengan sistem satuan S1 (misal ml, l, g, kg, mg/l bukan ppm dsb).<br />
Penulisan Sumber Pustaka<br />
Sitiran sumber pustaka dalam teks dapat ditulis: Panda (2005) atau (Panda, 2005), mensitir 2 penulis sebagai<br />
Sujana dan Panda (2005), sedangkan mensitir 3 atau lebih penulis yang ditulis hanya penulis utama ditambah dengan “et<br />
al”. Dalam penulisan daftar pustaka, diurutkan berdasar alfabet, jika nama penulis sama diurut berdasarkan tahun<br />
penerbitan. Nama /judul <strong>jurnal</strong> harus ditulis lengkap. Menghindari sitiran pustaka dari <strong>jurnal</strong> tanpa dewan penyunting,<br />
laporan proyek, dan artiklel majalah popular.
ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM<br />
PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR<br />
DI KARANGASEM, BALI<br />
I Made Tamba dan I Wayan Cipta<br />
Jurusan Agribisnis <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar<br />
Abstract<br />
National program on community self-relience empowerement or PNPM has been<br />
introduced by central government as national policy to reduce poverty as well as<br />
to achieve MDGs goals. Nevertheless, assessment on effectiveness such a<br />
program is lacking. This research is aimed to assess PNPM program on coastal<br />
communities in Kubu district Karangasem regency, Bali. Using census and snow<br />
ball methods, the community participation was chosen as assessment indicater<br />
along with other socio-econoic variables. The results show that PNPM-MKP is<br />
performing well judging from community participation with average response of<br />
medium level participation, while monitoring and evaluation show higher scores.<br />
Overall total score of participation is relatively high. Some factors which<br />
correlate with community participation are group of age, education level, number<br />
of family members, number of fishing tools owned, and income<br />
Keywords: coastal community, empowerment, PNPM-MKP model, community<br />
participation.<br />
1. PENDAHULUAN<br />
1.1 Latar Belakang<br />
Program-program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan telah<br />
banyak dilakukan, seperti: Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Bantuan<br />
Langsung Tunai (BLT) dan program-program bergulir lainnya. Namun, sebagian<br />
besar program tersebut bersifat top-down. Disamping itu, ada beberapa program<br />
yang tidak tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena penentuan sasaran secara<br />
langsung tanpa melalui proses perencanaan dan tidak melihat kondisi langsung di<br />
masyarakat. Beberapa program memiliki prosedur yang sangat rumit sehingga<br />
tidak tepat waktu, tidak efektif dan tidak efesien.<br />
Usman (1998) menyatakan perlunya pendekatan khusus dalam upaya<br />
penguatan perekonomian masyarakat terutama kelompok nelayan kecil seperti: 1)<br />
pendekatan teknokratis yaitu pendekatan yang diawali dengan terlebih dahulu<br />
menetapkan program-program dan kelompok-kelompok sasaran (target),<br />
kemudian dilanjutkan dengan membakukan sistem penyaluran (delivery system)<br />
bagi kelompok-kelompok sasaran, mengeluarkan petunjuk pelaksanaan dan<br />
petunjuk teknis, serta mengeluarkan anggaran pendukung pelaksanaan teknis, 2)<br />
pendekatan partisipatif yaitu dengan memperkuat kemandirian (community selfreliance).<br />
Masyarakat dibantu, didampingi dan difasilitasi untuk melakukan<br />
analisis terhadap masalah keuangan yang dihadapi, diberikan peluang<br />
memutuskan yang dikehendaki dan inisiatif mereka menjadi basis kegiatan. Peran<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
1
pemerintah sebagai fasilitator dan memberikan dukungan inisiatif kepada<br />
masyarakat.<br />
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) adalah<br />
program nasional yang menjadi kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan<br />
berbagai program penanggulangan kemiskinan yang <strong>berbasis</strong> pada pemberdayaan<br />
masyarakat. Program PNPM Mandiri adalah program untuk mencapai salah satu<br />
sasaran dalam Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 yaitu<br />
untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan.<br />
Kerangka pemikiran PNPM Mandiri adalah: 1) penanggulangan<br />
kemiskinan hanya akan efektif bila dilakukan secara mandiri dan berkelanjutan<br />
melalui sinergi dan kemitraan masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok<br />
peduli (LSM, swasta, dan lain-lain); 2) kemandirian yang berkelanjutan akan<br />
diwujudkan dalam tiga pilar yaitu masyarakat dengan tingkat keberdayaan dan<br />
kemandirian yang tinggi, pemerintah dan legislatif yang pro poor, dan dunia<br />
usaha dan organisasi masyarakat yang peduli (the caring society); 3) PNPM<br />
Mandiri bukan proyek ”bagi-bagi uang”, namun harus dilandasi dengan<br />
pembinaan karakter masyarakat yang baik dan beradab seperti: mempunyai citacita<br />
dan impian (the power of dream), mempunyai perilaku memberi daripada<br />
meminta (the power to give), mempunyai kemantapan mental berpikir positif,<br />
selalu mengutamakan dialog dan menghindari kekerasan (democracy at the grass<br />
root), dan selalu berusaha dan bekerja bersama kelompok (kegotongroyongan<br />
sosial, ekonomi dan budaya).<br />
2<br />
PENYALURAN PROGRAM-PROGRAM PROGRAM PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN<br />
PRA PNPM MANDIRI<br />
TATARAN<br />
PENGELOLA<br />
PROGRAM<br />
KOORDINASI<br />
LAPANGAN<br />
TATARAN<br />
MASY.<br />
Program<br />
TUMPANG TINDIH<br />
DNG PROG LAIN<br />
Program<br />
Program<br />
PROSEDUR<br />
YG. RIBET<br />
??<br />
?? ??<br />
Program<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
?<br />
BANTUAN SALAH<br />
SASARAN<br />
TERLUPAKAN?<br />
??<br />
KEBANYAKAN<br />
MEDIATOR<br />
Gambar 1. Program-Program Pengentasan Kemiskinan Sebelum Pola PNPM<br />
Mandiri (Sumber: Royat, 2009)<br />
Kabupaten Karangasem merupakan satu-satunya kabupaten di Bali yang<br />
termasuk dalam kategori kabupaten tertinggal atau kabupaten miskin. Salah satu<br />
kecamatan yang mewilayahi pesisir dan tergolong miskin adalah kecamatan<br />
Kubu. Kecamatan Kubu yang memiliki luas wilayah 234,72 km 2 , terbagi dalam 9<br />
desa yaitu Ban, Dukuh, Kubu, Tulamben, Baturinggit, Sukadana, Tianyar Timur,<br />
Tianyar Tengah dan Tianyar Barat. Dari 9 desa tersebut, 7 desa diantaranya<br />
(kecuali Ban dan Dukuh) merupakan desa pantai dengan panjang pantai sekitar<br />
24,4 km. Jumlah penduduk di kecamatan Kubu tercatat 67.559 jiwa dengan<br />
rincian penduduk laki-laki 33.731 jiwa dan perempuan 33.828 jiwa. Dari jumlah<br />
penduduk tersebut kecamatan Kubu memiliki jumlah Rumah Tangga Miskin
(RTM) sebesar 7.833 KK atau 27.762 jiwa. Jumlah RTM di kabupaten<br />
Karangasem kalau dilihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh<br />
kepala rumah tangganya adalah SD/MI, dan kecamatan Kubu menempati<br />
peringkat paling tinggi yaitu sebesar 7.646 RTM (20,71%).<br />
Disamping faktor internal yang menjadi penyebab kemiskinan pada<br />
masyarakat pesisir, faktor ekternal juga sangat berpengaruh. Selama lebih dari 3<br />
dekade perhatian pemerintah relatif kurang terhadap pembangunan sektor<br />
kelautan dan perikanan. Masyarakat di bidang kelautan dan perikanan sering kali<br />
termajinalkan karena kurangnya keberpihakan kebijakan pemerintah dalam upaya<br />
pengentasan kemiskinan dan pembangunan secara menyeluruh bagi masyarakat di<br />
wilayah tersebut. Permasalahan dan pemanfaatan potensi yang belum optimal<br />
pada nelayan meliputi aspek penangkapan, budidaya, pengolahan dan pemasaran,<br />
pengawasan serta sumber daya manusia. Hal ini akan menambah kondisi<br />
masyarakat kelautan dan perikanan yang cenderung miskin dan terbelakang.<br />
1.2 Rumusan Masalah<br />
Rumusan permasalahan dalam penelitian ini ini adalah: 1) bagaimanakah<br />
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di<br />
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; 2) bagaimanakah dukungan<br />
masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan Pola<br />
PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; dan 3) faktor-faktor<br />
apakah yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan<br />
PNPM- MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?<br />
1.3 Tujuan Penelitian<br />
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji model pemberdayaan<br />
masyarakat pesisir dengan pola PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, sehingga<br />
nantinya dapat dijadikan model perbaikan pelaksanaan program bagi pemerintah<br />
pusat dan perbaikan-perbaikan yang mesti dilakukan oleh Pemda Kabupaten<br />
Karangasem khusunya Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten<br />
Karangasem, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1)untuk<br />
mengetahui pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-<br />
MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; 2) untuk mengetahui<br />
dukungan masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan<br />
Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; dan 3) untuk<br />
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat<br />
terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.<br />
1.4 Manfaat Penelitian<br />
Manfaat teoritis yang diharapkan adalah sebagai bahan masukan bagi<br />
akademisi dan stake holder di dalam memperkaya teori-teori mengenai<br />
pemberdayaan masyarakat, khususnya pemberdayaan masyarakat pesisir,<br />
sedangkan manfaat praktisnya adalah untuk dipakai model/acuan untuk proses<br />
pemberdayaan oleh pemerintah, dan stake holder yang bergerak pada bidang<br />
pemberdayaan masyarakat pesisir di dalam menentukan arah dan kebijakannya<br />
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
3
2. LANDASAN TEORI<br />
2.1. Analisis Model<br />
Analisis Model adalah identifikasi bagian-bagian dalam gambaran suatu<br />
sistem yang bertujuan untuk menjelaskan apa yang diinginkan, membangun dasar<br />
untuk model baru, dan menetapkan persyaratan dari model yang akan dibangun.<br />
Analisis Model membantu mengindentifikasi hal-hal perbaikan penting<br />
yang akan dilakukan, serta memberikan strategi positif untuk mengevaluasi diri<br />
untuk memahami struktur dan efektifitas dari suatu sistem. Lebih lanjut<br />
dijelaskan bahwa analisis model dapat dipakai sebagai alat untuk pembinaan<br />
peningkatan pembangunan. 1<br />
2.2. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir<br />
2.2.1. Pengertian dan Karakteristik Wilayah Pesisir<br />
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara <strong>ekosistem</strong> darat dan<br />
laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik kering maupun yang terendam air<br />
laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak,<br />
dan gelombang serta perembesan laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian<br />
perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti<br />
sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh<br />
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah,<br />
perluasan pemukiman serta intensifikasi <strong>pertanian</strong>. 2<br />
Wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik, yaitu : 1) wilayah<br />
pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan darat,<br />
sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil <strong>keseimbangan</strong> dinamis dari<br />
proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; 2)<br />
berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk<br />
tempat pembesaran, pemijahan dan mencari ikan; 3) wilayahnya sempit, tetapi<br />
memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam<br />
rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; 4) memiliki gradien perubahan sifat<br />
ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi<br />
yang berlainan; dan 5) tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan,<br />
baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi<br />
internasional. 3<br />
2.2.2.. Permasalahan Masyarakat Pesisir<br />
Saad (2006) mengatakan bahwa isu dan permasalahan pokok pengelolaan<br />
wilayah pesisir adalah kemiskinan masyarakat pesisir, konflik pemanfaatan ruang<br />
di wilayah pesisir dan laut, penurunan kualitas sumber daya alam dan lingkungan,<br />
potensi sumberdaya pulau-pulau kecil belum dimanfaatkan secara optimal,<br />
pengelolaan konservasi laut belum optimal, kepastian hukum belum terjamin serta<br />
1<br />
Alistair Cockburn. OO Analisis Model. (Online) http:/training.fws.gov/deo/pdfs/The%20<br />
Interpretive% 20Development%20Model.pdf).diakses 30 Mei 2010<br />
2<br />
Dahuri, dkk. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta.<br />
Pradnya Paramita, 2001<br />
3<br />
Soedarma, D. Karakateristik Ekosistem Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta<br />
Pemanfaataanya. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Peningkatan Peranserta Lembaga<br />
Keagamaan/Adat oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Durjen KP3K DKP di<br />
Cipayung Bogor, 22-25 Agustus 2006<br />
4<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
elum maksimalnya peranan lembaga kemasyarakatan di dalam pengelolaan dan<br />
pemanfaatan pesisir dan laut. Lebih lanjut dijelaskan penyebab kemiskinan<br />
masyarakat pesisir adalah lemahnya akses kepada lembaga keuangan resmi<br />
(terlilit utang dengan rentenir), belum adanya keberpihakan lembaga keuangan<br />
(persyaratan ketat dan tingkat kepercayaan rendah), lemahnya sistem dan<br />
manajemen usaha, dan lemahnya akses informasi iptek dan pasar.<br />
2.2.3.. Pengertian dan Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir<br />
Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai upaya untuk membantu<br />
masyarakat dalam mengembangkan kemampuan sendiri sehingga bebas dan<br />
mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara mandiri.<br />
Definisi pemberdayaan (empower) menurut Merriam Webster and Oxford English<br />
Dictionary mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or<br />
authority atau sebagai memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau<br />
mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Pengertian kedua, to give ability to or<br />
enable, diartikan sebagai upaya memberikan kemampuan atau keberdayaan. 4<br />
Kurniawan, (2006) mengatakan pemberdayaan adalah suatu proses<br />
perubahan dengan menempatkan kata kreatif dan prakarsa masyarakat yang sadar<br />
diri dan terbina sebagai titik tolak. Lebih lanjut dikatakan pemberdayaan<br />
mengandung dua unsur pokok yaitu kemandirian dan partisipasi. Kemandirian<br />
adalah proses kebangkitan kembali dan pengembangan kekuatan pada diri<br />
manusia yang mungkin sudah hilang karena ketergantungan, eksploitasi dan sub<br />
ordinasi yang mencakup kemandirian material, intelektual dan manajemen.<br />
Sedangkan partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh masyarakat<br />
sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme)<br />
dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara selektif. Partisipasi masyarakat<br />
dapat berupa partisipasi pasif, yaitu masyarakat dilibatkan dalam tindakan dalam<br />
kegiatan yang telah dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain, serta<br />
partisipasi aktif, yaitu proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah<br />
mereka sendiri dengan cara merefleksikan atas tindakan mereka sebagai subjek<br />
yang sadar untuk mengambil keputusan untuk bertindak sendiri.<br />
Upaya untuk mengentaskan kemiskinan yang diharapkan mampu untuk<br />
mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin tentunya perlu dikaji dengan<br />
mempertimbangkan berbagai aspek seperti pelibatan aktif masyarakat sebagai<br />
penerima kebijakan dalam suatu kerangka participatory rural apparaisal (PRA).<br />
Penumbuhan partisipasi ini sangat penting mengingat masyarakatlah yang secara<br />
langsung melaksanakan dan merasakan hasil program yang digulirkan. Partisipasi<br />
ini dapat dikembangkan melalui berbagai institusi lokal yang kuat dan benarbenar<br />
mampu mewakili kepentingan masyarakat desa. 5<br />
Pembangunan di Indonesia semestinya dituntaskan dengan pemberdayaan<br />
masyarakat karena, 1) demokratisasi proses pembangunan (dengan melibatkan<br />
setiap warga negara dalam proses pembangunan, mulai dari perencanaan,<br />
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi); 2) penguatan peran organisasi masyarakat<br />
lokal; 3) penguatan modal sosial; 4) penguatan kapasitas birokrasi lokal; dan 5)<br />
4 Sunartiningsih, A. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Jogjakarta. Aditya Media. 2004<br />
5 Soetrisno, R. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan. Yogyakarta.<br />
Pholosophy Press. 2001<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
5
mempercepat penanggulangan kemiskinan yang dapat memberikan peluang<br />
pekerjaan yang dapat menambah/memberikan penghasilan. 6<br />
6<br />
Fasilitator<br />
Refleksi kemiskinan:<br />
• Identifikasi kemiskinan<br />
• Merumuskan persoalan<br />
kemiskinan yang dihadapi<br />
• Merumuskan penyebabnya<br />
• Identifikasi potensi untuk<br />
menanggulanginya<br />
Pertemuan Masyarakat:<br />
• Tahap belajar awal<br />
menggali kebersamaan<br />
• Berdemokrasi<br />
• Kesadaran akan eksistensi<br />
diri<br />
Sosialisasi<br />
di Masyarakat:<br />
• Pemetaan sosial<br />
• Sosialisasi<br />
program<br />
Pemetaan Swadaya:<br />
• Merumuskan kebutuhan dan<br />
potensi yang ada.<br />
• Memecahkan persoalan dengan<br />
potensi yg dimiliki<br />
Pengorganisasian Masyarakat:<br />
• Lembaga masyarakat dibentuk/<br />
ditetapkan, dimiliki, dan dikelola<br />
untuk memenuhi kebutuhan bersama<br />
Penyusunan Rencana:<br />
• Identifikasi dan Prioritisasi<br />
• Penyusunan Rencana/<br />
Program Penanggulangan<br />
Kemiskinan<br />
Pelaksanaan Kegiatan:<br />
• Pembentukan/Penetapan<br />
kelompok swadaya<br />
masyarakat pelaksana<br />
kegiatan<br />
• Media bersama untuk<br />
menyelesaikan masalah<br />
secara mandiri<br />
Penerima Manfaat:<br />
• Kelompok swadaya masyarakat<br />
dan masyarakat miskin lainnya<br />
(Sumber : Tim Design PNPM Mandiri Bappenas, 2009)<br />
Gambar 2. Proses Pemberdayaan Masyarakat<br />
Tujuan pemberdayaan masyarakat pesisir adalah: 1) tersedianya dan<br />
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan, papan,<br />
kesehatan dan pendidikan; 2) tersedianya prasarana dan sarana produksi secara<br />
lokal yang memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah<br />
dan kualitas baik; 3) meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah<br />
aksi kolektif; dan 4) terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah<br />
yang memiliki ciri-ciri <strong>berbasis</strong> sumberdaya lokal (resources based), memiliki<br />
pasar yang jelas (markert based), dilakukan dengan cara berkelanjutan dengan<br />
memperhatikan kapasitas sumberdaya (environmental based), dimiliki dan<br />
dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat (local social based), dan dengan<br />
menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian dan<br />
penelitian (scientific based). 7<br />
2.3. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan<br />
Perikanan (PNPM-MKP)<br />
Kegiatan-kegiatan yang dirancang dalam PNPM-MKP bertujuan untuk<br />
meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat kelautan dan<br />
perikanan miskin. Seluruh tahapan pelaksanaan PNPM-MKP <strong>berbasis</strong><br />
pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan dan meningkatkan kapasitas<br />
masyarakat dalam melaksanakan proses pembangunan dari, oleh dan untuk<br />
masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek bukan sebagai<br />
obyek pembangunan. 8<br />
Tujuan Program PNPM-MKP adalah untuk mendukung pengembangan<br />
usaha kelautan dan perikanan serta membangun infrastruktur pembentuk struktur<br />
ruang di wilayah desa dan pengurangan degradasi lingkungan.<br />
6 Wrihatnolo, Randy R dan Dwidjowinoto, Riant Nugroho. Manajemen Pemberdayaan, Sebuah<br />
Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Elex Media Komputindo.<br />
2007. hlm. 37-41.<br />
7 Pratikno, Widi Agus, op cit. hlm. 9<br />
8 Departemen Kelautan dan Perikanan. Pedoman Teknis Program Nasional Pemberdayaan<br />
Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta.Dirjen KP3K. 2009<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Sasaran Program PNPM-MKP adalah nelayan, pembudidaya ikan,<br />
pengolah, pemasar serta masyarakat pesisir lainnya yang terkait dengan tujuan<br />
PNPM-MKP dan tergabung dalam kelompok masyarakat, seperti Kelompok<br />
Pembudidaya Ikan (Pokdakan), Kelompok Usaha Bersama (KUB), Kelompok<br />
Pengolah dan/atau Pemasar Hasil Perikanan (KP2HP), Kelompok Masyarakat<br />
Pengawas (Pokmaswas), dan Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP).<br />
3. METODE PENELITIAN<br />
3.1 Pendekatan<br />
Pendekatan penelitian ini didasarkan pada evaluasi kebijakan tentang<br />
PNPM kelautan dan perikanan. Kebijakan ini kemudian di kontraskan dengan<br />
kondisi masyarakat atau realitas. Dengan kata lain dilakukan gap analysis<br />
sehingga dapat diketahui masalah yang terjadi. Hasil ini kemudian menjadi bahan<br />
kajian deskriptif kualitatif yang kemudian di uji melalui kajian non-parametrik<br />
dengan uji beda nyata. Secara keseluruhan alur pendekatan ini dapat dilihat pada<br />
Gambar 3 berikut ini.<br />
P<br />
E<br />
M<br />
E<br />
R<br />
I<br />
N<br />
T<br />
A<br />
H<br />
MASYA-<br />
RAKAT<br />
PESISIR<br />
K<br />
E<br />
B<br />
I<br />
J<br />
A<br />
K<br />
A<br />
N<br />
PNPM-<br />
MKP me-<br />
wujudkan<br />
masyara-<br />
kat pesisir<br />
yang sejahtera<br />
Fakta :<br />
keterbela<br />
kangan<br />
dan<br />
kemis-<br />
kinan<br />
M<br />
A<br />
S<br />
A<br />
L<br />
A<br />
H<br />
INFORMASI<br />
Teori Kebijakan,<br />
Pemberdayaan &<br />
Partisipasi<br />
Permasalahan<br />
1).Bagaimana<br />
pelaksanaan<br />
PNPM-MKP.<br />
2).Bagaimana<br />
dukungan<br />
masyarakat<br />
pesisir thd<br />
PNPM-MKP<br />
3) Faktor apa<br />
yang berhubungan<br />
dgn<br />
PNPM-MKP<br />
Pendekatan<br />
Deskriptif Kualitatif<br />
Gambar 3. Bagan Alir Penelitian<br />
Pengkajian terhadappemberdayaan<br />
masya-<br />
rakat pesisir<br />
pola PNPM-<br />
MKP :<br />
1) Pelaksanaan<br />
program<br />
2) Dukungan<br />
masyarakat<br />
pada tahap<br />
perencanaan,<br />
pelaksanaan,<br />
pemanfaatan,<br />
dan monev<br />
program<br />
3) Faktor-faktor<br />
yang ber-<br />
hubungan<br />
dgn PNPM-<br />
MKP<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
Penyem<br />
purnaan<br />
pola<br />
PNPM-<br />
MKP<br />
7
3.2. Populasi dan Sampel<br />
Penelitian ini dilaksanakan pada anggota kelompok nelayan penerima<br />
PNPM-MKP Tahun 2009 di 3 (tiga) desa yang kelompok nelayannya ditetapkan<br />
sebagai penerima PNPM-MKP yaitu : Desa Tianyar Timur, Baturinggit, dan Kubu<br />
di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem selama 2 (dua) bulan kalender yaitu<br />
pada bulan Mei sampai dengan Juni 2010.<br />
Populasinya adalah anggota dari 10 kelompok nelayan penerima PNPM-<br />
MKP (99 orang) menggunakan metode sensus. Untuk mengetahui pelaksanaan<br />
PNPM-MKP dari pihak eksternal diambil informan dengan metode snow ball.<br />
3.3. Instrumen Penelitian<br />
Variabel dalam penelitian ini adalah: 1) pelaksanaan PNPM-MKP; 2)<br />
tingkat dukungan masyarakat pesisir; dan 3) faktor-faktor yang berhubungan<br />
dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, sedangkan<br />
indikator tingkat dukungan masyarakat meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan,<br />
pemanfaatan dan monev program.<br />
Variabel pelaksanaan program PNPM-MKP akan diuraikan dengan<br />
deskriptif kualitatif. Sedangkan variabel-variabel tingkat dukungan masyarakat<br />
dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat akan diukur<br />
dengan kuisioner.<br />
Instrumen yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan program, dan<br />
tingkat dukungan masyarakat berbentuk kuisioner dan pedoman wawancara,<br />
dengan menggunakan Skala Likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban yang<br />
bergradasi (5 kategori) dan diberi skor 1-5 (satu sampai lima).<br />
3.4. Jenis dan Bentuk Data<br />
Data kualitatif mencakup deskripsi pelaksanaan PNPM-MKP, persepsi<br />
masyarakat terhadap PNPM-MKP, dukungan masyarakat pesisir terhadap PNPM-<br />
MKP, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masayarakat<br />
terhadap PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, sedangkan<br />
data kuantitatif berupa jumlah kelompok nelayan yang ada di Kecamatan Kubu,<br />
jumlah penduduk miskin/RTM di masing masing desa kelompok penerima<br />
PNPM, jumlah pendapatan per anggota kelompok, penilaian responden tentang<br />
pemberdayaan masyarakat pesisir dengan PNPM-MKP.<br />
Data primer bersumber dari hasil observasi langsung peneliti ke kelompok<br />
penerima PNPM-MKP di Desa Kubu, Baturinggit dan Tianyar Timur, dan hasil<br />
sensus dari kelompok nelayan penerima PNPM-MK, sedangkan data sekunder<br />
bersumber dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten<br />
Karangasem tentang jumlah kelompok nelayan di Kecamatan Kubu dengan<br />
jumlah anggotanya, jumlah dana PNPM-MKP yang disalurkan kepada kelompok<br />
penerima, jumlah dan jenis barang yang dibelanjakan dari BLM PNPM-MKP,<br />
serta data monografi dari masing-masing desa tempat kelompok penerima.<br />
Teknik pengumpulan data menggunakan menggunakan metode observasi<br />
(pengamatan langsung ke lapangan), kuesioner (dengan daftar pertanyaan dan<br />
pedoman wawancara) dan dokumentasi (arsip data, foto-foto, dsb).<br />
8<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
3.5. Analisis Data<br />
Pelaksanaan program PNPM MKP dianalisis secara deskriptif kualitatif.<br />
Sedang tingkat dukungan masyarakat dianalisis dengan menggunakan analisis<br />
kuantitatif dengan memberikan skor menggunakan Skala Likert (5 kategori)<br />
sebagaimana disajikan pada Tabel 1 berikut ini.<br />
Tabel 1. Skala Likert untuk evaluasi PNPM-MKP<br />
No Rentang Skor<br />
Kategori dukungan masyarakat terhadap<br />
program PNPM-MKP<br />
1 20% - 36% Sangat Rendah<br />
2 >36%- 52% Rendah<br />
3 >52% - 68% Sedang<br />
4 >68% - 84% Tinggi<br />
5 >84% - 100% Sangat Tinggi<br />
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan<br />
masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM- MKP dianalisis dengan Chi-Square,<br />
dengan persyaratan jika X² hitung � X² (1-� ) (1) , terima H0 dan jika X² hitung<br />
� X² (1-� ) (1), tolak H0<br />
4. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
4.1 Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dengan Pola PNPM-<br />
MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.<br />
Pelaksanaan program PNPM-MKP di Kecamaan Kubu pada tahun 2009<br />
dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan<br />
tersebut adalah adalah: 1) Sosialisasi Program; 2) Penentuan Lokasi Sasaran; 3)<br />
Perencanaan Pembangunan Wilayah; 4) Peningkatan kapasitas dan sumber daya<br />
masyarakat; 5) Peningkatan kapasitas aparatur daerah; 6) Peningkatan akses kredit<br />
mikro; 7) Pendampingan masyarakat; 8) Publikasi kegiatan; 9) Proses pencairan<br />
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada kelompok masyarakat; 10)<br />
Lokakarya PNPM-MKP; 11) Monitoring dan Evaluasi; 12) Realisasi Anggaran;<br />
dan 13) Pelaporan<br />
Dari jawaban masyarakat penerima BLM dan pendapat pihak eksternal<br />
(konsultan dan tenaga pendamping) dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang<br />
mendukung pelaksanaan PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem Tahun 2009<br />
adalah:1)kemampuan pengelolaan program yang dilakukan oleh satuan kerja; 2)<br />
kondisi dan kemampuan kelompok penerima; 3)kondisi wilayah, sosial dan<br />
ekonomi dari desa tempat kelompok penerima; 4)tim teknis dan tim pendamping<br />
program; 5)proses pencairan dana dan penggunaan dana; dan 6)pelaksanaan,<br />
pemanfaatan dan monev program melibatkan kelompok penerima. Sedangkan<br />
faktor-faktor yang dianggap menghambat pelaksanaan program adalah: 1)lokasi<br />
sasaran yang menyasar hanya 1 kecamatan 3 desa; dan 2)menu dari barang-barang<br />
yang boleh diadakan sangat mengikat sesuai dengan petunjuk teknis yang ada.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
9
4.2. Dukungan Masyarakat Pesisir Terhadap Model Pemberdayaan<br />
Masyarakat dengan Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu<br />
a. Karakteristik Responden<br />
Dari hasil tabulasi data menujukkan semua responden (100%) berjenis<br />
kelamin laki-laki, dengan karakteristik responden sebagai berikut :1) Umur<br />
Responden, menujukkan bahwa 44,45% berumur 21-37 tahun, 42,42% berumur<br />
38-54 tahun, dan 13,13% berumur 55-70 tahun (sasarannya adalah usia muda<br />
produktif); 2) Status Perkawinan menunjukkan bahwa 15,15 % lajang (belum<br />
kawin), 80,81% kawin dan 4,04 % bersatus duda; 3) Tingkat Pendidikan<br />
menunjukkan bahwa 5,05% buta huruf, 32,32% tidak tamat SD, 27,27% tamat<br />
SD, 19,19% tamat SMP, 13,13% tamat SMA, dan 3,03 % tamat Perguruan<br />
Tinggi. Dengan demikian hampir 64,64% sasaran PNPM-MKP di kecamatan<br />
Kubu hanya berpendidikan dasar, 32,32% berpendidikan menengah dan hanya<br />
3,03% berpendidikan tinggi; 4) Pekerjaan Sampingan Responden,<br />
menunjukkan 18,18% tidak memiliki pekerjaan sampingan; 51,52% petani; 6,06%<br />
peternak, 13,13% buruh (karyawan pariwisata, tukang bangunan dan sopir);<br />
11,11% pekerjaan lainnya (PNS, pegawai asuransi, dan sebagainya); 5)<br />
Tanggungan Keluarga Responden, menunjukkan bahwa 39,39 % memiliki<br />
tanggungan 0-2 orang, 54,55% memiliki tanggungan 3-4 orang, dan 6,06%<br />
memiliki tanggungan 5-6 orang; 6) Penguasaan Tanah, menunjukkan bahwa<br />
untuk penguasaan tanah tegalan; 84,85% memiliki tanah 0-50 are, 12,12 %<br />
memiliki tanah 51-100 are, 0% memiliki tanah 101-150 are, dan 3,03% memiliki<br />
tanah 151-200 are. Untuk penguasaan tanah pekarangan; 65,66% memiliki 0-3<br />
are, 31,31% memiliki 4-7 are, dan 3,03% memiliki 8-10 are. Sedangkan untuk<br />
status hak tanah tegalan: 50,51% tidak memiliki tanah tegalan, 43,43% merupakan<br />
hak milik, dan 6,06% merupakan sebagai penggarap (nyakap); 7) Sarana Usaha<br />
Nelayan, menunjukkan bahwa untuk kepemilikan jukung : 2,02% tidak memiliki<br />
jukung, 90,91% memiliki jukung 1 unit, 5,05% memiliki jukung 2 unit dan 2,02%<br />
memiliki jukung sebanyak 3 unit. Untuk kepemilikan mesin (mesin motor tempel<br />
maupun mesin ketinting) menunjukkan bahwa 2,02% tidak memiliki, 84,85%<br />
memiliki mesin sebanyak 1 unit, 11,11% memiliki mesin sebanyak 2 unit dan<br />
2,02% memiliki mesin sebanyak 3 unit. Sedangkan untuk kepemilikan sarana alat<br />
tangkap seperti jaring, pancing dan sebagainya: 72,73% memiliki 0-2 set, 17,17%<br />
memiliki 3-4 set, dan 10,10 % memiliki 5-6 set; 8) Pendapatan Nelayan,<br />
menunjukkan bahwa pendapatan nelayan dari pekerjaan utama (sebagai nelayan)<br />
menunjukkan bahwa 12,12% pendapatannya 200.000 – 900.000 per bulan,<br />
44.44% pendapatannya 901.000-1.600.000 per bulan, 28,28% pendapatannya<br />
1.601.000-2.300.000 per bulan, 6,06% pendapatannya 2.301.000-3.000.000 per<br />
bulan. Sedangkan pendapatan dari pekerjaan sampingan menunjukkan 75,76%<br />
pendapatan sampingannya 0-500.000 per bulan, 19,19% pendapatan<br />
sampingannya 501.000-1.000.000 per bulan, 1,01% pendapatan sampingannya<br />
1.001.000-1.500.000 per bulan, dan 4,04% pendapatan sampingannya 1.501.000–<br />
2.000.000 per bulan. Dengan demikian jumlah pendapatan nelayan secara<br />
keseluruhan menunjukkan bahwa 55,56% pendapatannya 800.000-1.850.000 per<br />
bulan, 35,35% pendapatannya 1.851.000 – 2.900.000 per bulan, 8,08%<br />
pendapatnnya 2.901.000 – 3.950.000 per bulan, dan 1,01% pendapatannya<br />
10<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
3.951.000-5.000.000 per bulan; 9) Pengeluaran Nelayan, menujukkan bahwa<br />
pngeluaran nelayan untuk memenuhi kebutuhan pokok (konsumsi) per bulannya,<br />
13,13% pengeluarannya 200.000-450.000, 39,39% pendapatannya 451.000-<br />
700.000, 26,26% pengeluarannya 701.000-950.000, 21,21% pengeluarannya<br />
951.000-1.200.000. Untuk pengeluaran non konsumsi (per bulannya)<br />
menunjukkan bahwa 95,96% pengeluarannya 100.000-825.000, 3,03%<br />
pengeluarannya 826.000-1.550.000, 0% pengeluarannya 1.551.000-2.275.000,<br />
dan 1,01% pengeluarannya 2.276.000-3.000.000, untuk pengeluaran operasional<br />
usaha nelayan (per bulannya) menunjukkan bahwa 52,53% pengeluarannya<br />
100.000-450.000, 42,42% pengeluarannya 451.000-800.000, 2,02%<br />
pengeluarannya 801.000-1.150.000, dan 3,03% pengeluarannya 1.151.000-<br />
1.500.000. Dengan demikian kalau dilihat secara keseluruhannya, total<br />
pengeluaran nelayan (dalam rupiah per bulan) menunjukkan bahwa 50,55% total<br />
pengeluarannya 800.000-1.725.000, 43,43% pengeluarannya 1.726.000-<br />
2.650.000, 5,05% pengeluarannya 2.651.000-3.575.000, dan 1,01%<br />
pengeluarannya 3.576.000-4.500.000; 10) Kepemilikan Rumah Nelayan,<br />
menunjukkan 74,75% milik sendiri, 24,24% milik orang tua, dan 1,01% dengan<br />
menyewa. Sedangkan jenis rumah yang dimiliki menunjukkan 32,32% rumah<br />
permanen, 68,68 % rumah semi permanen; 11) Kepemilikan Tabungan,<br />
menunjukkan bahwa 77,78% tidak memiliki tabungan, sedangkan 32,32%<br />
memiliki tabungan; 12) Organisasi yang Diikuti dan Kedudukan Dalam<br />
Organisasi, menunjukkan bahwa 62,63% ikut dalam 1-3 organisasi, 28,28% ikut<br />
dalam 4-5 organisasi, dan 9,09% ikut dalam 6-7 organisasi, sedangkan<br />
kedudukannya dalam organisasi menunjukkan 37,37% sebagai pengurus, 61,62 %<br />
sebagai anggota, dan 1,01% sebagai keanggotaan lainnya (penasehat); dan 13)<br />
Partisipasi Terhadap Kegiatan Kelompok, menunjukkan, 0,0% tidak pernah<br />
hadir, 2,02% kadang-kadang hadir, 15,15% sering dan 82,83% menyatakan selalu<br />
hadir.<br />
b. Tingkat Dukungan Masyarakat terhadap Pelaksanaan PNPM-MKP.<br />
1) Aspek Perencanaan Program, menunjukkan bahwa 12,12 % dukungannya<br />
rendah, 67,68% dukungannya sedang, 16,16% dukungannya tinggi dan 4,04%<br />
dukungannya sangat tinggi. Tingkat dukungan masyarakat terhadap aspek<br />
perencanaan dalam kategori sedang, disebabkan karena masyarakat di dalam<br />
merencanakan suatu program masih perlu dituntun oleh pembina (pengelola<br />
program) atau program bersifat luncuran dari pemerintah (top-bottom), sehingga<br />
peranan masyarakat di dalam merencanakan kegiatan PNPM-MKP perlu<br />
ditingkatkan.<br />
Gambar 4. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
11
Terhadap PNPM-MKP pada Aspek Perencanaan Program<br />
2) Aspek Pelaksanaan Program, menunjukkan bahwa 1,01 % dukungannya<br />
rendah, 52,53% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 6,06%<br />
dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada aspek<br />
pelaksanaan program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP)<br />
benar-benar dapat melaksanakan kegiatan tersebut. Pelaksanaan program dapat<br />
berjalan dengan baik juga disebabkan karena responden mengikuti arahan dari<br />
pembina teknis di lapangan.<br />
12<br />
Gambar 5. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap<br />
PNPM-MKP pada Aspek Pelaksanaan Program<br />
3) Aspek Pemanfaatan Program, menunjukkan bahwa 2,02 % dukungannya<br />
rendah, 53,54% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 4,04%<br />
dukungannya sangat tinggi. Sumbangan pemikiran dan tenaga pada aspek ini<br />
sudah lumayan tinggi, tetapi dukungan berupa sumbangan materi terhadap<br />
pelaksanaaan program masih sedang. Tingginya dukungan pada aspek<br />
pemanfaatan program menunjukkan bahwa ada kecendrungan bahwa program<br />
tersebut benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok,<br />
dan program tersebut mudah untuk diadaptasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat.<br />
Gambar 6. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap<br />
PNPM-MKP pada Apek Pemanfaatan Program<br />
4) Aspek Monitoring dan Evaluasi Program, menunjukkan bahwa 2,02 %<br />
dukungannya rendah, 43,43% dukungannya sedang, 46,47% dukungannya tinggi<br />
dan 8,08% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada<br />
aspek monev program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP<br />
melakukan pengawasan secara ketat, dengan aturan dalam awig-awig kelompok<br />
(Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga). Pengawasan secara internal<br />
kelompok dan pihak antar kelompok dalam wadah Kelompok Pengawas<br />
Masyarakat (Pokmaswas) Bayu Segara yang ada di Kecamatan Kubu.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Gambar 7. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap<br />
PNPM-MKP pada Aspek Monev Program<br />
5). Aspek Dukungan Masyarakat Secara Kumulatif, menunjukkan bahwa 3,03<br />
% dukungannya rendah, 40,40% dukungannya sedang, 55,56% dukungannya<br />
tinggi, dan 1,01% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat<br />
secara kumulatif menunjukkan bahwa PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem<br />
Tahun 2009 mendapat respon dan dukungan yang tinggi oleh kelompok<br />
masyarakat. Masyarakat penerima program sudah mampu untuk melakukan<br />
perencanaan, melaksanakan, memanfaatkan, dan melakukan monitoring dan<br />
evaluasi program secara baik. Tingginya dukungan secara kumulatif ini juga<br />
disebabkan karena modal sosial (terutama tingkat kepercayaan dan partisipasi)<br />
pada kelompok-kelompok nelayan di kecamatan Kubu relatif masih tinggi.<br />
Gambar 8. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap<br />
PNPM-MKP pada Aspek Secara Kumulatif<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
13
Secara keseluruhan respon masyarakat terhadap beberapa aspek di atas dapat<br />
dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 9 berikut ini.<br />
14<br />
Tabel 2. Respon masyarakat terhadap aspek penilaian.<br />
Respon (%)<br />
Aspek rendah sedang tinggi<br />
sangat<br />
tinggi<br />
Perencanaan 12,12 67,68 16,16 4,04<br />
Pelaksanaan 1,01 52,53 40,4 6,06<br />
Pemanfaatan 2,02 53,54 40,4 4,04<br />
Monev 2,02 43,43 46,47 8,08<br />
Kumulatif 3,03 40,4 55,56 1,01<br />
Gambar 9. Respon Masyarakat terhadap PNPM<br />
4.3. Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Dukungan<br />
Masyarakat Terhadap Pelaksanaan PNPM - MKP<br />
di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.<br />
Faktor-faktor yang diduga memiliki hubungan dengan dukungan<br />
masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP yaitu kelompok umur, tingkat<br />
pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan dari pekerjaan utama dan<br />
jumlah kepemilikan alat tangkap.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Analisis Khi Kuadrat Terhadap Faktor-Faktor yang<br />
Ada Hubungan dengan Dukungan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan<br />
PNPM-MKP di Kec. Kubu, Kabupaten Karangasem Tahun 2009<br />
No Jenis Faktor X 2 -hitung X 2 -tabel (α=5%)<br />
1. Kelompok Umur 60,48* 9,49<br />
2. Tingkat Pendidikan 42,46* 9,49<br />
3. Jumlah Tanggungan Keluarga 33,88* 9,49<br />
4. Pendapatan dari Pekerjaan Utama 40,53* 9,49<br />
5. Jumlah Kepemilikan Alat Tangkap 23,86* 9,49<br />
Keterangan : ns) = non signifikan, *) = siginifikan<br />
Sumber : Data Primer (diolah).<br />
4.3.1 Kelompok umur<br />
Kelompok umur dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelompok umur 21-37<br />
tahun, 38-54 tahun, dan 55-70 tahun. Kelompok umur mempunyai hubungan<br />
yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di<br />
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada<br />
suatu kecenderungan responden pada kelompok umur yang lebih muda memiliki<br />
dukungan yang lebih tinggi atau responden yang ada pada kelompok umur yang<br />
lebih tua memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap<br />
pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada<br />
kecenderungan semakin muda responden semakin tinggi dukungannnya terhadap<br />
pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor umur mempengaruhi<br />
kemampuan sesorang untuk beraktivitas dan berproduktivitas.<br />
4.3.2 Tingkat pendidikan<br />
Tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga kategori yaitu pendidikan tinggi,<br />
pendidikan menengah dan pendidikan dasar. Tingkat pendidikan mempunyai<br />
hubungan yang signifikan dengan dukungan responden terhadap pelaksanaan<br />
PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan<br />
bahwa ada suatu kecenderungan responden pada tingkat pendidikan yang lebih<br />
tinggi memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP<br />
atau responden yang ada pada pada tingkat pendidikan yang lebih rendah<br />
memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan<br />
PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin<br />
tinggi tingkat pendidikan responden semakin tinggi dukungannya terhadap<br />
pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor pendidikan mempengaruhi<br />
kemampuan seseorang untuk bertindak berdasarkan logika dan bertindak lebih<br />
rasional;<br />
4.3.3 Jumlah tanggungan keluarga<br />
Jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu 5-6<br />
anggota keluarga, 3-4 anggota keluarga, dan 0-2 anggota keluarga. Jumlah<br />
tanggungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungannya<br />
terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.<br />
Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden yang memiliki<br />
tanggungan keluarga yang lebih banyak memiliki dukungan yang lebih tinggi<br />
terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki jumlah<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
15
tanggungan keluarga lebih sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang lebih<br />
rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena anggota keluarga<br />
dikerahkan secara optimal untuk mendukung dan melaksanakan PNPM-MKP.<br />
4.3.4. Pendapatan dari pekerjaan utama<br />
Pendapatan dari pekerjaan utama dibagi menjadi tiga kategori yaitu Rp.<br />
2.300.000-3.000.000 per bulan, Rp. 1.600.000-
pada aspek pemanfaatan program masuk dalam kategori sedang, pada aspek<br />
monitoring dan evaluasi program masuk kategori tinggi, dan dukungan secara<br />
kumulatif masuk dalam kategori tinggi; dan 3) Faktor-faktor yang berhubungan<br />
dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan<br />
Kubu, Kabupaten Karangasem adalah kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah<br />
tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap, dan tingkat pendapatan<br />
dari pekerjaan utama.<br />
5.2. Saran<br />
Dari hasil dan pembahasan dapat diberikan saran sebagai berikut : 1)<br />
program PNPM-MKP tetap dapat dilanjutkan oleh pemerintah; 2) Pemerintah<br />
hendaknya lebih melibatkan masyarakat baik dalam tahap perencanaan,<br />
pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring program sehingga program tersebut<br />
benar-benar sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat (bottom up). Dalam<br />
pedoman teknis PNPM-MKP semestinya tidak ada pembatasan desa/kecamatan<br />
calon penerima dan pembatasan menu dari barang-barang yang boleh dibiayai dari<br />
program tersebut; dan 3) Untuk meningkatkan tingkat dukungan masyarakat dari<br />
kategori sedang ke kategori yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP<br />
baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring dan<br />
evaluasi program, hendaknya memperhatikan faktor-faktor yang berhubungan<br />
dengan dukungan masyarakat seperti kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah<br />
tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap dan jumlah pendapatan<br />
dari pekerjaan utama dari calon penerima program.<br />
5.3. Implikasi<br />
Peningkatan dukungan terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir dengan<br />
pola PNPM-MKP dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat pada kelompok<br />
umur muda (usia produktif), meningkatkan pendidikan peserta, meningkatkan<br />
pendapatan masyarakat, serta mengupayakan peningkatan kepemilikan alat<br />
tangkap nelayan.<br />
Oleh karena program PNPM-MKP benar-benar dapat dilaksanakan dan<br />
bermanfaat bagi masyarakat, maka pemerintah maupun stake holder terkait dapat<br />
menggunakan program tersebut untuk dipakai sebagai salah satu model program<br />
pemberdayaan masyarakat pesisir di dalam mengentaskan kemiskinan di<br />
Indonesia.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Arikunto, Suharsimi, dan Cepi Safrudin Abdul Jabar. 2007. Evaluasi Program<br />
Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan, Jakarta :<br />
Bumi Aksara.<br />
Alistair, Cockburn. 2000. OO Analysis Model (Online).(http://training.fws.gov/<br />
deo/pdfs/The%20Interpretive%20Development%20Model.pdf). Diakses 28<br />
Maret 2010.<br />
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009. Proses Pemberdayaan<br />
Masyarakat Pesisir. Jakarta: Tim Design.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
17
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. 2008. Karangasem Dalam Angka.<br />
Amlapura:BPS<br />
Candiasa. 2004. Statistik Multivariat, Singaraja : Unit Penerbitan IKIP Negeri<br />
Singaraja.<br />
Dahuri R. J. Rais , S.P. Ginting, dan M.J Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya<br />
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.<br />
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Petunjuk Operasional Kegiatan<br />
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan<br />
Tahun 2009. Jakarta :Dirjen KP3K<br />
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Pedoman Teknis Program Nasional<br />
Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta :<br />
Dirjen KP3K<br />
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2008. Potensi<br />
Pesisir Kabupaten Karangasem Tahun 2008 : Karangasem.<br />
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2007.<br />
Statistik Perikanan Kabupaten Karangasem . Amlapura : DPKP.<br />
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.<br />
Statistik Perikanan Kabupaten Karangasem . Amlapura : DPKP.<br />
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.<br />
Laporan Akhir PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP.<br />
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.<br />
Laporan Tim Pendamping PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP.<br />
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.<br />
Laporan Akhir RTRW Pesisir Kabupaten Karangasem. Amlapura : DPKP.<br />
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.<br />
Laporan Akhir Konsultan Perencanaan Wilayah PNPM-MKP Kabupaten<br />
Karangasem. Amlapura : DPKP.<br />
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.<br />
Laporan Tahunan Sistem Akuntansi Instansi (SAK-SIMAK BMN) Tugas<br />
Pembantuan Lingkup KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun<br />
2009. Amlapura : DPKP.<br />
Dinas Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Karangasem.<br />
2007. Laporan Pelaksanaan Pemutakhiran Data Rumah Tangga Miskin<br />
Kabupaten Karangasem. Kerjasama dengan Badan Pusat Statistik<br />
Kabupaten Karangasem.<br />
Fernandes. 1984. Evaluation of Education Programs. Jakarta: Educational and<br />
Curriculum Development.<br />
Gregory, Robert J. 2000. Psichologycal Testing History, Principles, and<br />
Applications. Boston : Allyn and Bacon.<br />
Kay R and Alder J. 1999. Coastal Planning and Management. London: E &FN<br />
Spon an imprint of Roulledge.<br />
Kurniawan, A. 2006. Pemberdayaan Masyarakat. Makalah yang disampaikan<br />
dalam Pelatihan Peningkatan Peranserta Lembaga Keagamaan/Adat oleh<br />
Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di<br />
Cipayung-Bogor: 22-25 Agustus.<br />
Lestari P. 2009. Sosialisasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.<br />
Mandiri Kelautan dan Perikanan, Makalah disampaikan dalam Sosialisasi<br />
Program PNPM-MKP di Yogyakarta, 17 Maret<br />
18<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Martasuganda, S., R. Drajat., Nelwan D., Christianto D.S., Daulay, HG.,<br />
Nugroho, A.S., Setyaningsih, N., 2006. Teknologi Untuk Masyarakat Pesisir<br />
Seri Alat Tangkap. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.<br />
Meriam-Webster. 2010. Meriam Webster Dictionairy (Online). (http://www.<br />
merim-webster.com/ictionairy/analysis). Diakses 30 Maret 2010<br />
Moleong J, Lexi. 2004. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja<br />
Rosdakarya.<br />
Nien-Lien Hsueh. 2002. Analysis Model. (Online). (http://publib.boulder.<br />
ibm.com/infocenter/rsmhelp/v7r0m0/topic/analysis model.html). Diakses 30<br />
Maret 2010.<br />
Pratikto, W.A. 2006 Arah dan Kebijakan Pembangunan Sumberdaya Kelautan,<br />
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan<br />
Peningkatan Peran Serta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat<br />
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor<br />
22-25 Agustus.<br />
Royat. S. 2009. Penanggulangan Kemiskinan dan Pengurangan Pengangguran<br />
Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-<br />
Mandiri). Makalah yang disampaikan oleh Deputi Menko Kesra Bidang<br />
Penanggulangan Kemiskinan/Ketua Tim Pelaksana Pengendali PNPM<br />
Mandiri pada Launching Program PNPM-MKP di Yogyakarta, 17 Maret<br />
Saad, S. 2006. Peran Lembaga Keagamaan/Adat dalam Pemberdayaan<br />
Masyarakat Pesisir. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan<br />
Peningkatan Peranserta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat<br />
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor<br />
22-25 Agustus.<br />
Soetrisno R. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebebasan<br />
Kemiskinan, Yogyakarta: Philosophy Press.<br />
Sudrajat Sutawijaya. 1999. Statistik Non Parametrik. Bandung: Program Pasca<br />
Sarjana Unpad.<br />
Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Tarsito.<br />
Suharsimi, Arikunto dan Cepri Safrudin Abdul Jalal. Evaluasi Program<br />
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.<br />
Sunartiningsih, A. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Jogjakarta : Aditya<br />
Media.<br />
Tasrif, Muhammad. 2005. Analisis Kebijakan Menggunakan Model System<br />
Dynamic. Bandung : Program Magister Studi Pembangunan. Institut<br />
Teknologi Bandung.<br />
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran<br />
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,Tambahan Lembaran<br />
Negara Republik Indonesia Nomor 4437)<br />
Usman, S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Pustaka<br />
Pelajar.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
19
20<br />
UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH<br />
LAHAN MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR<br />
MELALUI BIOTEKNOLOGI BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA<br />
DENGAN PUPUK KANDANG DAN KASCING<br />
I Ketut Widnyana<br />
Email : ketutwidnyana@yahoo.com<br />
Jurusan Agroteknologi <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Kabupaten Karangasem dengan luas wilayah 83.954 Ha. Hanya memiliki<br />
lahan sawah beririgasi teknis seluas 7.059 Ha. (8,41 %) dan lahan kering paling<br />
luas di daerah Bali bagian timur yaitu seluas 76.868 Ha. (91,56 %). Kabupaten<br />
Karangasem terdiri dari 8 kecamatan dan dari 8 kecamatan yang ada tersebut,<br />
kecamatan Kubu dan kecamatan Abang memiliki lahan kering terluas yaitu<br />
masing-masing seluas 23.472 Ha. dan 12.658 Ha., selanjutnya disusul dengan<br />
kecamatan Rendang seluas 9.987 Ha., kecamatan Karangasem seluas 7.817 Ha.,<br />
kecamatan Selat seluas 7.200 Ha., kecamatan Bebandem seluas 7.127 Ha.,<br />
kecamatan Manggis seluas 6.395 Ha., dan kecamatan Sidemen seluas 2.2123 Ha.<br />
Lahan kering bermasalah (marginal) dari segi kesuburan dan curah hujan yang<br />
rendah sebagian besar ditemukan di kecamatan Kubu, Abang, dan Karangasem<br />
(Bappeda Karangasem dan Puslit Teknologi dan Seni UNUD, 2003). Secara<br />
agro<strong>ekosistem</strong> lahan kering mempunyai karakter lebih labil dibandingkan lahan<br />
sawah. Secara umum beberapa karakteristik lahan kering adalah topografi<br />
umumnya tidak datar, rentan terhadap erosi, system usahatani beragam sehingga<br />
agak sulit dalam pengelolaan lahan, ketergantungan terhadap iklim sangat besar,<br />
unsure hara terbatas.<br />
Sumber daya alam di lahan kering dapat pulih dengan beberapa teknologi<br />
dan teknik pengelolaan yang benar dan konsisten dari pengelolanya, walaupun<br />
memang memerlukan waktu yang relatif agak lama. Disamping itu kondisi<br />
penduduk terutama petani yang relatif miskin harus digarap juga dengan cara<br />
memberikan pembinaan dan bimbingan secara terus menerus untuk mengelola<br />
lahannya dengan baik agar dapat memberikan menfaat yang lebih untuk<br />
kehidupan mereka.<br />
Salah satu usaha yang dapat dilaksanakan adalah peningkatan kesuburan<br />
tanah dengan pemberian pupuk yang mudah tersedia dan berkadar tinggi Akan<br />
tetapi pemberian pupuk kimia atau anorganik untuk mempercepat proses<br />
peningkatan kesuburan tanah hanya akan meningkatkan kesuburan kimia tanah<br />
saja, sedangkan kesuburan fisik tanah akan tetap rendah dan bahkan kesuburan<br />
biologi tanah akan tertekan atau aktivitas mikroorganisme tanah yang membantu<br />
peningkatan kesuburan tanah akan terhenti dengan adanya pupuk kimia<br />
(anorganik) yang tinggi (Food and Fertilizer Technology Center, 2003). Seperti<br />
diketahui bahwa lahan marginal adalah lahan yang rendah potensi dan<br />
produktivitasnya dari semua segi kesuburan tanahnya baik dari segi kimia,fisik<br />
maupun biologi tanah dan disamping itu juga pada keterbatasan tersedianya air<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
(Suprapto, dkk, 2000), sehingga untuk menangani kesuburan lahan marginal agar<br />
potensi kesuburannya meningkat, maka perlu diambil langkah – langkah yang<br />
bijak untuk mengatasi kendala kendala yang ada. Langkah – langkah yang bijak<br />
untuk mengatasi ketiga kendala aspek kesuburan tanah lahan marginal tersebut<br />
adalah dengan pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang dan kascing serta<br />
pupuk hayati mikoriza<br />
Paket rekayasa bioteknologi biofertilisasi antara mikoriza dengan pupuk<br />
kandang dan kascing untuk meningkatkan potensi kesuburan tanah lahan marginal<br />
cukup ideal dapat dilaksanakan karena akan mendukung ketiga aspek kesuburan<br />
tanah yaitu kesuburan kimia, fisik dan biologi tanah. Aplikasi miko-riza, pupuk<br />
kandang dan kascing ke dalam tanah lahan marginal akan berpengaruh terhadap<br />
(Parr et al., 2003; Herman dan Goenadi, 2003; Pujiyanto, 2001; Wiswasta, 2001):<br />
1. Aspek fisik tanah yang meliputi struktur dan tekstur tanah, tanah akan<br />
menjadi gembur. Adanya bahan organik yang cukup dari pupuk<br />
kandang dan kascing maka pada tanah yang berkadar pasir tinggi. Air<br />
tidak akan mudah hilang meresap karena ditahan oleh bahan organik<br />
tersebut dan pada tanah berkadar liat tinggi, air tidak mudah<br />
tergenang karena tanah menjadi penuh dengan adanya bahan organik<br />
tersebut. Mikoriza juga mempunyai sifat menyimpan air pada musim<br />
kemarau.<br />
2. Aspek biologi tanah, tersedianya bahan organik yang cukup di dalam<br />
tanah akan meningkatkan aktivitas dan perkembangbiakan<br />
mikroorganisme tanah yang menguntungkan yang membantu<br />
meningkatkan kesuburan tanah.<br />
3. Aspek kimia tanah, aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme<br />
akan membantu mendegradasi molekul – molekul bahan organik<br />
menjadi unsur – unsur yang dapat meningkatkan kesuburan tanah<br />
sehingga tersedia bagi tanaman.<br />
Paket bioteknologi biofertilisasi ini telah banyak diteliti dan dicoba baik di<br />
luar maupun di dalam negeri untuk mengembalikan kesuburan tanah lahan kering<br />
(marginal) seperti lahan lahan transmigrasi yang telah lama terbuka agar berdaya<br />
guna dan berhasil guna. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperbaiki atau<br />
meningkatkan kesuburan tanah lahan marginal yang selanjutnya akan<br />
meningkatkan pendapatan petani dengan pemanfaatan limbah peternakan (<br />
kotoran ternak ) atau kascing ( hasil degradasi sampah bahan organik oleh cacing<br />
tanah ) dan dengan inokulasi mikoriza melalui penerapan paket bioteknologi<br />
biofertilisasi<br />
2. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN<br />
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas lahan kering di<br />
Kubu, Karangasem. Setelah diketahui tingkat kesuburan, potensi dan<br />
produktivitas lahan kemudian dilakukan perlakuan pemupukan pupuk organik<br />
dikombinasi dengan mikoriza untuk meningkatkan kesuburan tanah lahan<br />
marginal sehingga potensi dan produktivitas lahan tersebut meningkat. Dari<br />
penelitian ini juga diharapkan diperoleh peningkatan potensi kesuburan tanah<br />
lahan marginal yang memperoleh perlakuan bioteknologi biofertilisasi mikoriza<br />
dengan pupuk kandang dan kascing. Dengan diketahuinya potensi tanah lahan<br />
marginal melalui studi rekayasa bioteknologi biofertilisasi tersebut maka dapat<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
21
diperoleh informasi dalam penyediaan bahan organik/pupuk kandang dan kascing<br />
baik jenis maupun jumlah (dosis) pupuk organik tersebut yang dikombinasi<br />
dengan pupuk hayati mikoriza. Hal ini akan dapat meningkatkan efisiensi<br />
penggunaan bahan organik (pupuk kandang) baik jenis maupun jumlahnya. Dari<br />
segi jenis mudah diperoleh, dari segi jumlah ( dosis ) diperoleh dosis yang tepat,<br />
sehingga akan mampu meningkatkan produksi secara signifikan. Keadaan ini akan<br />
dapat meningkatkan pendapatan petani, selanjutnya meningkatkan taraf hidup<br />
petani.<br />
Sesuai data dan informasi (Badan Pusat Statistik/BPS Propinsi Bali, 2005),<br />
di Pulau Bali terdapat lebih kurang 2.181.19 Ha lahan kering yang sebagian besar<br />
kurang produktif yang dikatagorikan sebagai lahan marginal karena keterbatasan<br />
dari segi kesuburan dan ketersediaan air yang memerlukan penanganan dengan<br />
baik dan bijak untuk ditingkatkan potensi dan produktivitasnya. Sumberdaya<br />
lahan kering merupakan sumber daya alam yang dapat pulih, tetapi proses<br />
pemulihannya memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar.<br />
Dari karakteristik lahan kering , maka arah pengelolaan lahan kering unutk bidang<br />
<strong>pertanian</strong> adalah pengelolaan secara berkelanjutan (sustainable management)<br />
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan,<br />
tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lahan.<br />
Pengelolaan lahan kering berkelanjutan pada intinya diarahkan pada<br />
beberapa maksud yaitu 1) meningkatkan produktivitas lahan kering, 2)<br />
mengurangi resiko kegagalan, 3) melindungi sumber daya alam, menekan<br />
terjadinya gradasi tanah dan air, 4) meningkatkan pendapatan petani, 5)<br />
memenuhi kebutuhan sosial.<br />
3. METODE PENELITIAN<br />
Percobaan pot (rumah kaca)<br />
Percobaan pot (rumah kaca) dilakukan untuk mengetahui perubahan<br />
tingkat kesuburan tanah lahan marginal yang diberi berbagai perlakuan sehingga<br />
potensi dan produktivitas lahan tersebut meningkat. Percobaan berpola faktorial<br />
dengan Rancangan Acak Kelompok /RAK (Gomez and Gomez, 1995). Adapun<br />
faktor – faktor perlakuan yang dicoba adalah sebagai berkut :<br />
(1) Faktor I Inokulasi mikoriza ( M ).<br />
m0 = tanpa inokulan mikoriza<br />
m1 = dengan inokulan mikoriza<br />
(2) Faktor II pupuk kandang dan kascing ( P )<br />
p0 = Tanpa pupuk<br />
p1 = pupuk kandang sapi<br />
p2 = pupuk kandang ayam<br />
p3 = pupuk kandang babi<br />
p4 = pupuk kascing<br />
(3) Faktor III dosis pupuk kandang dan kascing ( D )<br />
d0 = 0 ton per ha<br />
d1 = 4 ton per ha<br />
d2 = 8 ton per ha<br />
d3 = 12 ton per ha<br />
d4 = 16 ton per ha<br />
22<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Berdasarkan ketiga faktor perlakuan tersebut akan diperoleh 32 kombinasi<br />
perlakuan yang diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 96 pot percobaan.<br />
Tanaman yang ditanam untuk menguji perlakuan tersebut adalah tanaman jagung<br />
dan kacang tanah , sehingga jumlah keseluruhan pot yang diperlukan untuk<br />
percobaan ini adalah 192 pot .<br />
4. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
4.1 Hasil Percobaan Pot Kacang Tanah<br />
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pengaruh kombinasi<br />
perlakuan mikoriza, dosis pupuk dan jenis pupukterhadap beberapa parameter<br />
hasil seperti jumlah biji, berat kering oven (BKO), pada tanaman kacang tanah<br />
menunjukkan perbedaan yang nyata, akan tetapi semua perlakuan masih belum<br />
menunjukkan adanya interaksi. Hal ini dapat dilihat dari grafik kecenderungan<br />
hasil yang masih linier. Beberapa perlakuan tunggal (pupuk dan mikoriza)<br />
menunjukkankan kecenderungan yang meningkat walaupun masih linier. Hal ini<br />
dapat dilihat pada Tabel dan Grafik berikut:<br />
Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan Pemupukan Organik terhadap<br />
Jumlah Biji Kacang Tanah<br />
Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />
JBJKCTP1 LIN ,198 8 1,97 ,198 34,8000 -1,0375<br />
JBJKCTP1 QUA ,229 7 1,04 ,402 32,0143 ,3554 -,0871<br />
JBJKCTP2 LIN ,000 8 3,0E-03 ,957 27,1000 ,0250<br />
JBJKCTP2 QUA ,183 7 ,79 ,492 30,8143 -1,8321 ,1161<br />
JBJKCTP3 LIN ,321 8 3,79 ,088 21,9000 1,2625<br />
JBJKCTP3 QUA ,629 7 5,94 ,031 13,5429 5,4411 -,2612<br />
JBJKCTP4 LIN ,047 8 ,39 ,549 24,2000 ,3625<br />
JBJKCTP4 QUA ,067 7 ,25 ,783 25,8429 -,4589 ,0513<br />
Dari Tabel 4 – Tabel 7 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan mikoriza dengan<br />
pupuk organik terhadap parameter jumlah biji dan berat kering oven biji kacang<br />
tanah menunjukkan pengaruh tidak nyata Hal ini juga dipertegas dengan<br />
kecenderungan Grafik 1 sampai dengan Grafik 4, dimana pada kedua parameter<br />
kecenderungan masih linier. Walaupun pada perlakuan tunggal baik pupuk<br />
maupun mikoriza ada beberapa yang menunjukkan pengaruh nyata. Misalnya<br />
seperti perlakuan pupuk kandang babi (P3) dan mikoriza menunjukkan pengaruh<br />
yang nyata (Tabel 4).<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
JBJKCTP3<br />
-10<br />
DOSISPPK<br />
0<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
10<br />
20<br />
Observed<br />
Linear<br />
Quadratic<br />
Grafik 1. Trend Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan Pemupukan Organik terhadap<br />
Jumlah Biji Kacang Tanah<br />
23
Pada Tabel 5 terlihat bahwa tanpa perlakuan mikoriza maka pemberian pupuk<br />
kascing menunjukkan pengaruh yang nyata, walaupun kecenderungannya masih<br />
linier.<br />
Tabel 5. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Jumlah Biji Kacang Tanah<br />
Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />
JBJKCTP1 LIN ,320 8 3,76 ,089 47,3000 -1,5250<br />
JBJKCTP1 QUA ,382 7 2,17 ,185 42,7286 ,7607 -,1429<br />
JBJKCTP2 LIN ,527 8 8,92 ,017 39,7000 -1,8125<br />
JBJKCTP2 QUA ,564 7 4,52 ,055 36,4857 -,2054 -,1004<br />
JBJKCTP3 LIN ,029 8 ,24 ,641 34,6000 -,3750<br />
JBJKCTP3 QUA ,029 7 ,10 ,903 34,4571 -,3036 -,0045<br />
JBJKCTP4 LIN ,002 8 ,02 ,903 28,6000 ,0625<br />
JBJKCTP4 QUA ,022 7 ,08 ,924 27,2429 ,7411 -,0424<br />
24<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
JBJKCTP2<br />
-10<br />
DOSISPPK<br />
0<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
10<br />
20<br />
Observed<br />
Linear<br />
Quadratic<br />
Grafik 2. Trend Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Jumlah<br />
Biji Kacang Tanah<br />
Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Pupuk Organik terhadap Berat Kering Oven Biji<br />
Kacang Tanah<br />
Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />
BKOBJKP1 LIN ,224 8 2,31 ,167 17,5800 -,3912<br />
BKOBJKP1 QUA ,322 7 1,66 ,256 15,8300 ,4837 -,0547<br />
BKOBJKP2 LIN ,324 8 3,83 ,086 17,1000 -,5175<br />
BKOBJKP2 QUA ,428 7 2,62 ,141 15,1143 ,4754 -,0621<br />
BKOBJKP3 LIN ,114 8 1,03 ,340 16,7100 -,3137<br />
BKOBJKP3 QUA ,148 7 ,61 ,572 15,5600 ,2612 -,0359<br />
BKOBJKP4 LIN ,007 8 ,06 ,813 13,9400 -,0487<br />
BKOBJKP4 QUA ,171 7 ,72 ,520 12,3900 ,7262 -,0484
20<br />
18<br />
16<br />
14<br />
12<br />
10<br />
8<br />
6<br />
4<br />
BKOBJKP2<br />
-10<br />
DOSISPPK<br />
0<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
10<br />
20<br />
Observed<br />
Linear<br />
Quadratic<br />
Grafik 3. Trend Pengaruh Perlakuan Pupuk Organik terhadap Berat<br />
Kering Oven Biji Kacang Tanah<br />
Tabel 7. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat<br />
Kering Oven Biji Kacang Tanah<br />
Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />
BKOBJKP1 LIN ,240 8 2,53 ,150 16,4100 -,3512<br />
BKOBJKP1 QUA ,256 7 1,20 ,355 15,8029 -,0477 -,0190<br />
BKOBJKP2 LIN ,006 8 ,05 ,836 12,8400 ,0625<br />
BKOBJKP2 QUA ,195 7 ,85 ,468 15,2829 -1,1589 ,0763<br />
BKOBJKP3 LIN ,134 8 1,24 ,298 14,0600 ,3713<br />
BKOBJKP3 QUA ,512 7 3,67 ,081 9,8529 2,4748 -,1315<br />
BKOBJKP4 LIN ,049 8 ,41 ,539 17,4800 -,3338<br />
BKOBJKP4 QUA ,239 7 1,10 ,384 13,0300 1,8912 -,1391<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
BKOBJKP3<br />
-10<br />
DOSISPPK<br />
0<br />
10<br />
20<br />
Observed<br />
Linear<br />
Quadratic<br />
Grafik 4. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap<br />
Berat Kering Oven Biji Kacang Tanah<br />
Demikian juga apabila dilihat dari parameter berat kering oven biji kacang tanah<br />
maka perlakuan mikoriza dan pupuk kandang ayam (P2) menunjukkan pengaruh<br />
25
yang nyata, tetapi perlakuan tanpa mikoriza menunjukkan pengaruh nyata pada<br />
perlakuan kascing (P4). Interaksi tidak menunjukkan pengaruh nyata, dapat<br />
dilihat pada grafik kecenderungan yang masih linier (Grafik 3 dan 4).<br />
Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan pupuk Organik terhadap Jumlah Biji<br />
Jagung<br />
Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />
JMBJJGP1 LIN ,480 8 7,38 ,026 98,0000 12,3375<br />
JMBJJGP1 QUA ,548 7 4,23 ,062 66,6429 28,0161 -,9799<br />
JMBJJGP2 LIN ,003 8 ,03 ,877 250,700 -,8625<br />
JMBJJGP2 QUA ,067 7 ,25 ,784 224,629 12,1732 -,8147<br />
JMBJJGP3 LIN ,031 8 ,26 ,626 211,300 3,4625<br />
JMBJJGP3 QUA ,047 7 ,17 ,845 227,943 -4,8589 ,5201<br />
JMBJJGP4 LIN ,060 8 ,51 ,496 307,100 -3,7625<br />
JMBJJGP4 QUA ,221 7 ,99 ,417 348,886 -24,655 1,3058<br />
4.2 Hasil Percobaan Pot Jagung<br />
Interaksi perlakuan mikoriza dan pupuk pada parameter jumlah biji, berat<br />
pipilan kering, berat kering oven jagung menunjukkan pengaruh yang tidak nyata.<br />
Pengaruh pupuk kandang sapi (P1) menunjukkan pengaruh nyata, walaupun<br />
masih menunjukkan kecenderungan yang linier.(Tabel 8 dan Grafik 5). Pada<br />
parameter berat biji pipilan kering perlakuan pupuk kandang sapi (P1)<br />
menunjukkan pengaruh yang nyata, tetapi tidak menunjukkan adanya<br />
kecenderungan kuadratik (Tabel 9 dan Grafik 6). Pada parameter berat kering<br />
oven biji jagung maka pengaruh nyata ditunjukkan oleh perlakuan pupuk kandang<br />
sapi (P1), tetapi kecenderungan masih linier (Tabel 10 dan Grafik 7).<br />
26<br />
400<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
JMBJJGP1<br />
-10<br />
DOSISPPK<br />
0<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
10<br />
20<br />
Observed<br />
Linear<br />
Quadratic<br />
Grafik 5. Trend Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan pupuk Organik terhadap<br />
Jumlah Biji Jagung<br />
Tabel 9. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat<br />
Pipilan Kering Jagung<br />
Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />
BPKBJP1 LIN ,259 8 2,79 ,133 24,8700 1,6713<br />
BPKBJP1 QUA ,323 7 1,67 ,256 19,2629 4,4748 -,1752<br />
BPKBJP2 LIN ,021 8 ,17 ,687 45,6700 -,3575<br />
BPKBJP2 QUA ,047 7 ,17 ,846 43,0271 ,9639 -,0826<br />
BPKBJP3 LIN ,008 8 ,06 ,809 45,4500 ,2725<br />
BPKBJP3 QUA ,085 7 ,32 ,733 51,2500 -2,6275 ,1812<br />
BPKBJP4 LIN ,029 8 ,24 ,636 53,4000 -,4075<br />
BPKBJP4 QUA ,175 7 ,74 ,510 59,5429 -3,4789 ,1920
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
BPKBJP1<br />
-10<br />
DOSISPPK<br />
0<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
10<br />
20<br />
Observed<br />
Linear<br />
Quadratic<br />
Grafik 6. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat<br />
Pipilan Kering Jagung<br />
Tabel 10. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat<br />
Kering Oven Jagung<br />
Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2<br />
BKOBJP1 LIN ,462 8 6,87 ,031 10,2000 1,7225<br />
BKOBJP1 QUA ,490 7 3,36 ,095 7,3429 3,1511 -,0893<br />
BKOBJP2 LIN ,026 8 ,21 ,657 35,6900 -,3687<br />
BKOBJP2 QUA ,027 7 ,10 ,908 35,1257 -,0866 -,0176<br />
BKOBJP3 LIN ,000 8 1,2E-03 ,974 35,5100 ,0300<br />
BKOBJP3 QUA ,086 7 ,33 ,731 40,4529 -2,4414 ,1545<br />
BKOBJP4 LIN ,021 8 ,17 ,689 33,5900 ,2550<br />
BKOBJP4 QUA ,021 7 ,08 ,928 33,6471 ,2264 ,0018<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
BKOBJP1<br />
-10<br />
DOSISPPK<br />
0<br />
10<br />
20<br />
Observed<br />
Linear<br />
Quadratic<br />
Grafik 7. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik<br />
terhadap Berat Kering Oven Jagung<br />
Dari hasil analisis terhadap parameter vegetatif, hanya terhadap panjang akar dan<br />
berat kering oven akar terjadi pengaruh yang signifikan, (lihat Tabel 8 dan 9).<br />
Panjang akar tertinggi diperoleh pada perlakuan M1P4D4 (84 cm), dan berat<br />
kering oven akar tertinggi diperoleh pada perlakuan M1P4D4 (35,5 g).<br />
27
Tabel 11. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah Akar Tanaman Jagung (cm)<br />
Perlakuan P1 P2 P3 P4<br />
D1 81 76 72 64<br />
D2 63 68 69 56<br />
D3 78 61 74 73<br />
D4 77 70 79 84<br />
Keterangan:<br />
D = perlakuan dosis pupuk<br />
P = perlakuan jenis pupuk<br />
Tabel 12. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Kering Oven Akar (g<br />
Perlakuan P1 P2 P3 P4<br />
D1 23,7 27 22,1 21,2<br />
D2 16,7 23,1 14,5 18,4<br />
D3 21,1 24,2 25,6 20,1<br />
D4 24,9 27,7 21,5 35,5<br />
Keterangan:<br />
D = perlakuan dosis pupuk<br />
P = perlakuan jenis pupuk<br />
4.3 Pembahasan<br />
Tabel 13. Signifikansi Pengaruh perlakuan Mikoriza (M), Dosis (D) dan Jenis<br />
pupuk (P) terhadap parameter yang diamati<br />
No Parameter<br />
M D P MxDx P<br />
28<br />
1 Jumlah biji kacang tanah<br />
* ns * ns<br />
2 Berat Kering Oven Biji Kacang tanah * ns * ns<br />
3 Jumlah biji jagung * ns * ns<br />
4 Berat pipilan kering jagung * ns * ns<br />
5 Berat kering oven jagung * ns * ns<br />
6 Berat basah akar kacang tanah * ns * ns<br />
7 Berat kering oven akar kacang tanah * ns * ns<br />
8 Berat basah akar jagung * ns * ns<br />
9 Berat kering oven akar jagung * ns * ns<br />
Keterangan:<br />
* = berpengaruh nyata<br />
ns = non significant (tidak berpengaruh)<br />
Dari data signifikansi dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan mikoriza<br />
dan pupuk berjalan sendiri-sendiri, baik pada tanaman jagung maupun pada<br />
tanaman kacang tanah. Pada perlakuan tunggal mikoriza maka semua parameter<br />
yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata, walaupun masih menunjukkan<br />
kecenderungan linier, yang berarti bahwa pemberian mikoriza untuk selanjutnya<br />
bisa ditingkatkan dari dosis yang digunakan saat ini. Pada perlakuan pupuk<br />
terlihat dari Tabel 4 – Tabel 10 ternyata jenis pupuk menunjukkan pengaruh yang<br />
berbeda pada masing-masing parameter, hal ini diduga disebabkan karena pupuk<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
organik memang ketersediaannya dalam jangka waktu panjang, sehingga pada<br />
percobaan ini pengaruh pupuk masih belum nyata. Dari nilai rata-rata parameter<br />
hasil yaitu jumlah biji, berat pipilan kering dan berat kering oven biji jagung maka<br />
hasil tertinggi diperoleh berturut-turut pada pelakuan M1D4P3, M1D4P4, dan<br />
M1D3P4<br />
Dari data panjang akar dan berat kering oven akar tanaman jagung<br />
perlakuan M1D4P4 menunjukkan hasil tetinggi, hal ini disebabkan karena<br />
perlakuan mikoriza menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar dan<br />
berat kering oven akar baik kacang tanah maupun jagung. Hal ini sesuai dengan<br />
fungsi mikoriza yaitu meningkatkan permukaan serapan terhadap hara sehingga<br />
tanaman dapat lebih banyak menyerap unsur hara yang tersedia dalam tanah.<br />
Pendapat (Guissou et al., 1998; Cuenca et al. 1998 dan Matsubara et al.,2000)<br />
bahwa mikoriza dapat memperbesar penyerapan P dan unsur-unsur hara lainnya<br />
walaupun dalam jumlah yang lebih kecil seperti N,K,S,Ca,Mg,Cu dan Zn melalui<br />
perpanjangan micelia yang berkembang sangat luas di luar struktur akar tanaman.<br />
Lebih lanjut dinyatakan oleh Yadi setiadi (2000) bahwa adanya hubungan<br />
simiosis mutualisme antara tanaman inang dengan mikoriza sangat membantu<br />
dalam penyerapan P. Hifa dari mikoriza yang berperan sebagai sistem perakaran<br />
tanaman sehingga jangkauan penyerapan dapat mencapai + 80 mm dibandingkan<br />
dengan tanpa mikoriza jangkauan hanya 1-2 mm. Hasil penelitian Setiawati dkk.<br />
(2000) juga mendapatkan bahwa inokulasi cendawan mikoriza pada tanaman<br />
kacang tanah meningkatkan serapan P tanaman secara nyata 57,14 %<br />
dibandingkan tanapa mikoriza. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dengan<br />
diperbaikinya status nutrisi tanaman terutama P maka dapat meningkatkan<br />
pertumbuhan di bawah tanah (terutama akar), apalagi kalau diakitkan dengan<br />
kondisi tanah di lahan kering, maka perkembangan akar harus semaksimal<br />
mungkin agar dapat menyerap kara pada kedalaman tanah yang lebih dalam<br />
(Ahiabor dan Hirata, 1995).<br />
5. KESIMPULAN DAN SARAN<br />
5.1 Kesimpulan<br />
Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:<br />
1) Pengaruh interaksi antara perlakuan mikoriza (M), Dosis (D) dan jenis<br />
pupuk (P) pada semua parameter yang diamati tidak berpengaruh nyata.<br />
2) Pada semua parameter yang diamati, pengaruh perlakuan mikoriza nyata<br />
tetapi masih menunjukkan kecenderungan yang linier.<br />
3) Pengaruh dosis dan jenis pupuk kandang menunjukkan pengaruh nyata<br />
tetapi kecenderungan masih linier.<br />
5.2 Saran<br />
Beberapa hal dapat disarankan:<br />
1). Karena percobaan masih dilakukan di pot maka akan dilakukan percobaan<br />
lapangan dengan menggunakan kombinasi terbaik dari hasil penelitian<br />
ini, sehingga di lapangan akan diperoleh data yang lebih akurat untuk<br />
memperoleh rekomendasi perlakuan terbaik.<br />
2) Untuk mikoriza yang digunakan sebaiknya digunakan mikoriza lokal,<br />
karena masing-masing mikoriza sebenarnya bersifat khas untuk masing-<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
29
30<br />
masing daerah. Dengan menginokulasi sendiri dari sumber di daerah<br />
penelitian maka keefektifan fungsi mikoriza lebih akurat.<br />
3) Perlu dilakukan analisis serapan unsur P oleh tanaman dan analisis Ptersedia<br />
dalam tanah.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Ahiabor, B.D and H.Hirata. 1995. Influence of Growth Stage on The Assocation<br />
Between Some Tropical Legumes and Two variant species of Glomus in<br />
an Andosol. Sil Sci. Plant Nurt. 41 (3): 481-496.<br />
Astiari, A. 2003. Efek Dosis Inokulan Mikoriza terhadap Pertumbuhan dan Hasil<br />
Beberapa Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) di lahan Kering<br />
Desa Kubu, Karangasem. Thesi Magister Pertanian Lahan Kering.<br />
<strong>Universitas</strong> Udayana Denpasar.<br />
Badan Pusat Statistik Propinsi Bali, 2003. Bali Dalam Angka. Badan Pusat<br />
Statistik Propinsi Bali<br />
Bappeda Kabupaten Karangasem dan Pusat Penelitian Teknologi dan Seni, 2003.<br />
Kajian Teknis Potensi dan Pemanfaatan Lahan Kering Di Kabupaten<br />
Karangasem. Bappeda Kabupaten Karangasem.<br />
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov. Bali. 2007. . Makalah disampaikan pada<br />
Semi Loka nasional Model produksi Beras di Bali. Sindhu Beach Hotel,<br />
21 Nopember 2007<br />
Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. 2002.<br />
Panduan Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.<br />
Edisi VI. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Jakarta.<br />
Food and Fertilizer Technology Center, 2003. Microbial and Organic Fertilizers in<br />
Asia. An International Information Center for Farmers in the Asia<br />
Pasific Region. http://www.agnet.org/library/html 1/17/03.<br />
Gemma, J.N. and R.E. Koske, 2003. Use of Mycorrhizae in Restoration of<br />
Hawaiian Habitats. Departement of Biological Sciences, University of<br />
Rhode Island, Kingston. http://www.hawaii.edu/scb/scinativ_mycor.html<br />
1/22/03.<br />
Gomez, K.A., A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian Pertanian.<br />
Terjemahan. E. Samsuddin dan J.S. Baharsyah. UI press, Jakarta.<br />
Herman dan D.H. Goenadi, 2003. Manfaat dan Prospek Pengembangan Industri<br />
Pupuk Hayati Di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan<br />
Pertanian. http://pustaka.bogor.net/publ/jp3/html/jp183993.html 1/8/03.<br />
Kasno, A. 2003. Profil dan Perkembangan Teknik Produksi Kacang Tanah di<br />
Indonesia. Seminar Rutin Puslitbang Tanaman pangan, Bogor, 26 Mei<br />
2003<br />
Muin, A., 2003. Penggunaan Mikoriza untuk Menunjang Pembangunan Hutan<br />
pada Lahan Kritis atau Marginal. Mutualisme antara Cendawan dan<br />
Tanaman. http://www.hayatiipb.com/users/rudyct/PPs702/ABDURRANI.htm<br />
1/3/03.<br />
Munir, M., 2001. Tanah-Tanah Utama Indonesia : Karakteristik, Klasifikasi, dan<br />
Pemanfaatannya. Pustaka Jaya, Jakarta.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Parr, J.F., S.B. Hornick, and D.D. Kaufman, 2003. Use of Microbial Inoculants<br />
and Organic Fertilizers in Agricultural Production. An International<br />
Information Center for Farmers in Asia Pasific Region . Food and<br />
Fertilizer Technology Center.<br />
http://www.agnet.org/library/article/eb394.html 1/29/03.<br />
Pujiyanto, 2003. Pemanfaatan Jasad Mikro Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam<br />
Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia : Tinjauan dari Perpektif<br />
Falsafah Sains. Program Pascasarjana IPB. http://www.hayatiipb.com/users/rudyct/<br />
indiv2001/pujiyanto.htm 1/28/03.<br />
Setiawati, M.R.,B.N. Fitratin dan P. Suryatmana. 2000. Pengaruh Mikoriza dan<br />
Pupuk Fosfat terhadap Derajat Infeksi Mikoriza dan Komponen<br />
Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah. Prosiding Seminar Nasional<br />
Mikoriza I. Bekerjasama dengan AMI dan PAU Bioteknologi IPB. Hal<br />
92 – 99.<br />
Suarna, I W., 2001. Pengaruh Pupuk Organik Kascing terhadap Pertumbuhan,<br />
Hasil, dan Kualitas Hijauan dalam Sistem Asosiasi Rumput–Legum serta<br />
Dampak-nya terhadap Prestasi Kambing Peranakan Etawah Jantan.<br />
Disertasi Program Pascasarjana UNPAD., Bandung.<br />
Suprapto, I N. Adijaya, I K. Mahaputra, dan I M. RaiYasa, 2000. Penelitian<br />
Sistem Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. Instalasi Penelitian dan<br />
Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar. Badan Penelitian dan<br />
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.<br />
Wiswasta, I G.N.A., 2001. Pertumbuhan dan Hasil Hijauan Tanaman Rumput<br />
Setaria (Setaria splendida Stapf.) yang Dipengaruhi Nitrogen, Fosfor,<br />
Mikoriza, dan Azospirillum. Disertasi Program Pascasarjana UNPAD.,<br />
Bandung.<br />
Yadi Setiadi. 2000. Status Penelitian dan Pemanfaatan Cendawan Mikoriza<br />
Arbuskular dan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi.<br />
Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bekerjasama dengan AMI dan<br />
PAU Bioteknologi IPB, Bogor. Hal 11-23.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
31
32<br />
ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI<br />
PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI<br />
I Ketut Arnawa<br />
Jurusan Agribisnis <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar<br />
ABSTRACT<br />
The main objective of this study was to determine the elasticity and the<br />
factors that affect soybean supply in the industry. Study determined the location of<br />
sampling porpusive in East Java province. The data used are time series data<br />
(1989-2008). The study found the price elasticity of soybean supply is inelastic in<br />
the industry, offering soy at the industry level is strongly influenced by the price<br />
of soybeans, and time trends. Policy implications that can be recommended in<br />
order to support self-sufficiency in soybean prices is the need to establish<br />
policies that favor soybean farmers by improving its marketing.<br />
Key words: Soybean, markets, elasticity<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang penting bagi<br />
masyarakat. Pertumbuhan permintaan kedelai cukup pesat selama beberapa tahun<br />
terakhir, terutama untuk konsumsi, bahan baku industri, seperti industri tahu,<br />
tempe, kecap, tauco, dan susu, serta meningkatnya permintaan terhadap pakan<br />
ternak sebagai akibat berkembangnya industri perunggasan. Walaupun selama dua<br />
warsa terakhir telah terjadi peningkatan produksi dalam negeri, namun belum<br />
mampu memenuhi permintaannya. Kebutuhan nasional kedelai dewasa ini<br />
telah mencapai 2,3 juta ton tahun -1 , sementara produksi kedelai dalam<br />
negeri baru mampu memenuhi kebutuhan 35-40 persen sehingga<br />
kekurangannya dipenuhi dari impor.<br />
Harga kedelai impor yang lebih murah dibandingkan dengan harga kedelai<br />
lokal sangat merugikan petani. Karena biaya produksi tidak seimbang dengan nilai<br />
hasil yang didapatkan, sehingga minat petani menanam kedelai hanya sekedar<br />
melanjutkan kebiasaan pola tanam saja. Hal ini diperparah lagi dengan situasi<br />
pemasaran kedelai yang kurang menguntungkan petani, pemasaran kedelai<br />
dikuasai oleh pedagang besar dan industri (Sudaryanto,dkk.,1992;<br />
Zulham,dkk.1993; Zulham dan Yumm,1996). Berdasarkan data statisitik<br />
Kementrian Pertanian, (2010) harga kedelai di tingkat petani pada Desember<br />
2009 Rp 4.900 kg -1 , dan harga di tingkat konsumen Rp 6.500 kg -1 . Ini<br />
berarti ada perbedaan harga atau marjin pemasaran sebesar Rp 1.600/kg<br />
atau 32,65 persen<br />
Oleh karena itu pemerintah memprogramkan dan menetapkan jajaran<br />
areal tanam yang diharapkan mempunyai produksi yang dapat mencukupi<br />
kebutuhan pangan, namun kenyataannya kepastian tersebut selalu mendapat<br />
tantangan dari kondisi alam, kondisi praktis seperti penerapan teknologi, dari<br />
pelaksana/petani dan hambatan lain seperti perlakuan pasar, kebijakan<br />
pemerintah, sehingga pencapaian produksi atau penawaran kedelai sulit<br />
diperkirakan secara pasti.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Menyadari bahwa kedelai merupakan komoditas pangan penting bagi<br />
masyarakat, maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan penawaran<br />
kedelai khususnya yang berasal produksi kedelai petani, dengan mengambil<br />
berbagai kebijakan baik di bidang produksi, stabilitas harga maupun investasi,<br />
penelitian, penyuluhan dan teknologi. Berdasarkan urain di atas dapat dirumuskan<br />
permasalahan dalam penelitian ini adalah seberapa besar elastisitas dan faktorfaktor<br />
yang mempengaruhi penawaran komoditas kedelai, sehingga tujuan utama<br />
penelitian ini adalah untuk mengetahui elastisitas dan faktor-faktor yang<br />
mempengaruhi penawaran komoditas kedelai.<br />
2. KERANGKA TEORI<br />
Fungsi Penawaran Kedelai<br />
Penawaran kedelai adalah jumlah kedelai yang ditawarkan<br />
penjual/produsen ke pasar pada berbagai tingkat harga, penawaran kedelai dapat<br />
juga dijelaskan dengan daftar, grafik atau persamaan yang menunjukkan<br />
komoditas kedelai dimana produsen/petani ingin dapat menjual pada berbagai<br />
tingkat harga dalam suatu pasar, pada periode waktu tertentu, cateris paribus.<br />
Sedangkan yang dimaksud dengan fungsi penawaran kedelai adalah<br />
hubungan antara jumlah produksi atau jumlah kedelai yang dijual disesuaikan<br />
dengan perubahan harga. Sehingga untuk membuat persamaan dari fungsi<br />
penawaran kedelai dapat dituliskan sebagai berikut :<br />
Qs = f(P) …………………………………………………………… ..(1)<br />
Dimana :<br />
Qs = jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan<br />
P = Harga dari komoditas kedelai yang ditawarkan<br />
Harga dari komoditas kedelai yang ditawarkan bukanlah satu-satunya yang<br />
berpengaruh terhadap jumlah kedelai yang ditawarkan. Selain harga dari kedelai<br />
yang ditawarkan, juga dipengaruhi oleh teknologi, harga komoditas alternatifnya,<br />
pajak dan subsidi, iklim, dan lain-lainnya yang selanjutnya disebut sebagai supply<br />
relation dan dapat dituliskan sebagai berikut :<br />
Qs = f(P,T,Pi,Pa,Tx,I)………………………………………………...(2)<br />
Dimana :<br />
Qs = Jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan<br />
P = Harga komoditas kedelai yang ditawarkan<br />
T = Teknologi<br />
Pi = Harga input<br />
Pa = Harga komoditas alternatifnya<br />
Tx = Pajak dan subsidi<br />
I = Iklim<br />
Salah satu karakteristik yang penting di dalam kurva penawaran adalah<br />
derajat kepekaan jumlah penawaran terhadap perubahan salah satu factor yang<br />
mempengaruhinya. Derajat kepekaan tersebut adalah elastisitas penawaran,<br />
dimana sangat berguna untuk pengetahuan respon penawaran terhadap perubahan<br />
harga. Koefisien elastisitas harga dari penawaran (ɛs) mengukur persentase<br />
perubahan jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan per unit waktu (Q/Q)<br />
sebagai akibat adanya persentase perubahan harga komoditas kedelai (P/P)<br />
(Salvatore, 1994). Untuk mengetahui tingkat koefisien elastisitas penawaran<br />
komoditas kedelai dapat dihitung sebagai berikut :<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
33
Dimana :<br />
34<br />
� s �<br />
�<br />
�Q<br />
/ Q<br />
P / P<br />
�Q<br />
� .<br />
�P<br />
P<br />
Q<br />
ɛs = Elastisitas penawaran komoditas kedelai<br />
P = Harga komoditas kedelai<br />
Q = Jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan<br />
∂Q = Q2 – Q1 (Q1 dan Q2 adalah komoditas kedelai yang ditawarkan pada<br />
periode 1 dan 2)<br />
Elastisitas penawaran kedelai dapat bersifat; elastisitas sempurna, elastis,<br />
elastis uniter, tidak elastis dan tidak elastis sempurna. Dikatakan elastis sempurna<br />
apabila para penjual/produsen hanya mau menjual semua kedelainya pada suatu<br />
harga tertentu, dan kurve penawaran kedelai sejajar dengan sumbu horizontal (So).<br />
Tidak elastis sempurna apabila penjual sama sekali tidak dapat menambah<br />
penawaran kedelai walaupun harga bertambah, dan kurve penawarannya sejajar<br />
dengan sumbu vertical (S1) sebagai mana ditunjukkan pada Gambar 1a.<br />
Sedangkan kurve penawaran yang tidak elastis, elastis uniter dan elastis<br />
ditunjukkan pada Gambar 1b. Elastis uniter ditunjukkan oleh garis penawaran<br />
(S3) yang membentuk sudut 45 o .Kurve penawaran tidak elastis (S2) adalah setiap<br />
perubahan harga kedelai menimbulkan perubahan jumlah komoditas kedelai yang<br />
ditawarkan lebih kecil, dan kurve elastis (S4) apabila terjadi perubahan harga<br />
kedelai menyebabkan perubahan yang lebih besar terhadap jumlah komoditas<br />
kedelai yang ditawarkan<br />
P<br />
S1<br />
O Q<br />
O<br />
(a) (b)<br />
Gambar 1. Jenis-Jenis Elastisitas Penawaran Kedelai<br />
(Diadaptasi dari Sukirno, 2002)<br />
3. METODE PENELITIAN<br />
……………………………………………….(3)<br />
S2<br />
3.1 Lokasi penelitian<br />
Lokasi penelitian ditentukan secara porpusive sampling di provinsi Jawa<br />
Timur dengan dasar pertimbangan Jawa Timur merupakan daerah penghasil<br />
utama kedelai nasional. Data yang digunakan adalah data statistik Time series<br />
(1989-2008) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian dan<br />
instansi terkait. Data diestimasi dengan menggunakan OLS (Ordinary Least<br />
Square). Sebelum data diestimasi, setiap variabel diuji kondisi stationary-nya<br />
dengan menggunakan Uji ADF (Augmented Dickey-Fuller Test).<br />
3.2 Analisis Data<br />
Penawaran kedelai responsif terhadap harga. Harga <strong>pertanian</strong> lain juga<br />
mempengaruhi penawaran kedelai pada level petani. Pada level pedagang besar,<br />
penawaran pasar ini merespon pada tingkat harga pedagang besar.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
P<br />
S2<br />
S3<br />
S4<br />
Q
Logikanya, jumlah impor kedelai meningkatkan penawaran yang tersedia<br />
bagi perusahaan. Karena data untuk kedelai yang digunakan oleh industri<br />
termasuk kedelai impor, maka perusahaan adalah penentu juga dalam penawaran<br />
kedelai. Fungsi penawaran kedelai yang dihadapi oleh industri pengolahan kedelai<br />
dapat dinyatakan pada(4) :<br />
R = f(Wr, Rimp, Pf .F,T.e) ................................................... (4)<br />
dimana :<br />
R = penawaran kedelai di tingkat industri<br />
Wr = harga kedelai grosiran<br />
Rimp = jumlah kedelai yang diimpor<br />
Pf = harga eceran pupuk Urea.<br />
F = jumlah curah hujan tahunan<br />
T = tren waktu<br />
e = error term<br />
Bentuk suplai fungsional yang terkenal dengan elastisitas harga konstan<br />
adalah tipe Cobb-Douglas. Penelitian ini mengadopsi bentuk fungsional ini untuk<br />
kaitan fungsi penawaran. Persamaan (5) secara eksplisit menunjukkan penawaran<br />
pasar biji kedelai di tingkat industri.<br />
Dimana:<br />
�1<br />
� 2 � 3 � 4 � 5 6<br />
R � ar.<br />
wr<br />
. R1mp.<br />
Pf<br />
. F . T . e<br />
ar = konstanta<br />
α1 = parameter yang terkait dengan penentu penawaran<br />
Untuk memudahkan dalam analisis persamaan (5) dimodifikasi menjadi<br />
persamaan (6)<br />
In(R) = In(ar) + α1.In(Wr) + α2.In(R1mp) + α3In(pf) + α4.In(F) + α5.In (T+e)+e... (6)<br />
Hipotesis parameter dugaan: α1, α2, α4, α5 > 0; α3 < 0<br />
Elastisitas harga penawaran diperoleh dengan mengalikan bentukan (6) yang<br />
berkaitan dengan harga kedelai (Wr) dengan harga itu sendiri. Persamaan (7)<br />
menunjukkan elastisitas harga penawaran kedelai di tingkat industri<br />
er = α1 ……………………………………………………………….………………………………(7)<br />
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br />
………………………………(5)<br />
Elastisitas harga terhadap penawaran kedelai diestimasi dari fungsi<br />
penawaran kedelai. Hasil estimasi memperoleh F-hitung 15,6871 berbeda nyata<br />
pada taraf nyata 1 persen. Koefisien determinasi R-squared 0,8485, berarti 84,85<br />
persen penawaran kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya<br />
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada dalam model.<br />
Tabel 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Kedelai (R)<br />
Variabel Koefisien Prob (t-statistik)<br />
Konstanta 1291,2880 0,0016<br />
Harga kedelai grosiran (LnWr) 0,4333 0,0758<br />
Jumlah impor kedelai (LnRimp) -0,0899 0,1231<br />
Harga eceran pupuk urea (LnPf) 0,1259 0,5808<br />
Jumlah curah hujan tahunan (LnF) -0,1595 0,2726<br />
Tren waktu (T) -168,7059 0,0018<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
35
Penawaran kedelai di tingkat industri sangat dipengaruhi oleh harga<br />
kedelai, dan tren waktu, sedangkan jumlah kedelai impor, harga eceran pupuk<br />
urea dan jumlah curah hujan tidak menunjukan pengaruh yang nyata. Variabel<br />
harga kedelai berpengaruh nyata terhadap penawaran kedelai, hal ini menunjukan<br />
bahwa petani kedelai responsif terhadap kenaikan harga kedelai. Koefisien regresi<br />
atau elastisitas harga terhadap penawaran kedelai bertanda positif 0,4333 artinya<br />
bahwa peningkatan harga kedelai sebesar Rp 100 akan meningkatkan rataan total<br />
penawaran kedelai 0,43 ton. Dengan demikian kebijakan peningkatan harga<br />
kedelai diharapkan dapat memberikan dampak positif pada peningkatan<br />
penawaran kedelai. Koefisien elastisitas harga terhadap penawaran kedelai<br />
mempunyai tanda positif e1 = α1 = 0,4333 < 1 bersifat inelastis, artinya persentase<br />
perubahan jumlah yang ditawarkan lebih kecil dari persentase perubahan harga.<br />
Elastistas harga penawaran kedelai yang inelastis, menunjukkan kekuatan pasar<br />
industri mempunyai pengaruh cukup besar terhadap harga kedelai di pasar.<br />
Appelbaum – Schroter, (1982) menjelaskan bahwa, elastisitas harga terhadap<br />
penawaran berbanding terbalik dengan kekuatan pasar industri dalam<br />
menentukan harga, semakin kecil elastisitas harga semakin besar kekuatan pasar<br />
industri dalam mempengaruhi harga.<br />
Variabel jumlah impor kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap<br />
penawaran kedelai, tetapi koefisien bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada<br />
kecendrungan impor berdampak terhadap penurunan penawaran kedelai, ini ada<br />
hubungannya dengan produksi kedelai lokal, kalau pemerintah tidak melakukan<br />
pembatasan impor, petani kedelai di dalam negeri tidak termotivasi meningkatkan<br />
produksinya, harga kedelai impor lebih murah sehingga cendrung menurunkan<br />
harga kedelai di dalam negeri, dampaknya usaha pemerintah untuk meningkatkan<br />
produksi kedelai di dalam negeri akan sulit dicapai.<br />
Harga eceran pupuk urea tidak memberikan pengaruh nyata terhadap<br />
penawaran kedelai. Sebagai tanaman alternatif yang dipilih petani pada musim<br />
kemarau dan pada daerah-daerah tegalan dengan pengairan terbatas, pemberian<br />
pupuk diduga bukan merupakan prioritas bagi petani kedelai, tidak seperti<br />
pemupukan pada tanaman padi. Memperkuat pendapatnya Megel dkk., (1978),<br />
meskipun kedelai menunjukkan respon terhadap pemupukan dan tanah subur,<br />
namum pemupukan pada kedelai belum diterima secara luas.<br />
Jumlah curah hujan tahunan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap<br />
penawaran kedelai, koefisien regresi bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada<br />
kecendrungan semakin tinggi curah hujan produksi kedelai menurun sehingga<br />
penawaran kedelai juga menurun. Tanaman kedelai sering dihadapkan pada<br />
lingkungan yang berdrainase buruk, sehingga pada curah hujan yang tinggi,<br />
pertanaman kedelai tergenang dengan air, berdampak pada pertumbuhan tanaman<br />
kerdil dan produktivitas rendah. Pembuatan saluran drainase pada lahan sawah<br />
dianjurkan sebagai komponen teknologi (Manwan dkk.,1996). Pembuatan saluran<br />
drainase juga penting pada kedelai dalam musim kemarau (Juli-Oktober) yang<br />
berfungsi untuk merembeskan air irigasi ke petakan tanaman sehingga<br />
pemanfaatan air irigasi menjadi lebih efisien.<br />
Variabel tren waktu memberikan pengaruh nyata terhadap penawaran<br />
kedelai, koefisien regresi bertanda negatif tidak sesuai dengan parameter dugaan.<br />
Penawaran kedelai dari tahun ketahun menurun, produksi kedelai terus menurun<br />
lebih besar dibandingkan dengan jumlah kenaikan impor kedelai yang dilakukan<br />
36<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
pemerintah. Permintaan kedelai terus meningkat, sehingga sering menimbulkan<br />
gejolak kelangkaan kedelai, harga kedelai mahal merugikan industri kedelai.<br />
Pemerintah sudah selayaknya berupaya untuk meningkatkan produksi kedelai.<br />
Beberapa hasil penelitian tentang kedelai telah menghasilkan berbagai pilihan<br />
teknologi produksi yang dapat meningkatkan produksi kedelai pada<br />
agro<strong>ekosistem</strong> tertentu. Berbagai komponen teknologi dan sistem usahatani<br />
kedelai yang dimaksud meliputi varietas unggul, budidaya, pengendalian hama,<br />
penyakit dan gulma, pemupukan dan pengelolaan hara, pengairan dan pengelolaan<br />
air, pasca panen dan penyedian benih serta distribusi.<br />
5. KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Elastisitas harga penawaran kedelai di tingkat industri bersifat inelastis,<br />
dengan nilai elastisitas sebesar 0,4333. Penawaran kedelai di tingkat industri<br />
sangat dipengaruhi oleh harga kedelai, dan tren waktu. Untuk meningkatkan<br />
produksi atau penawaran kedelai, maka implikasi kebijakan yang dapat<br />
disarankan dalam rangka mendukung swasembada kedelai adalah perlu<br />
menetapkan kebijakan harga yang berpihak kepada petani kedelai dengan<br />
melakukan perbaikan pemasarannya.<br />
DAFTAR PUETAKA<br />
Amang, B dan Sawit. H. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi<br />
Kedelai di Indonesia Disunting oleh Amang, B, Sawit. H dan M R. Anas.<br />
IPB Press<br />
Appelbaum, E. 1982. The Estimate of the degree of oligopoly Power. Journal of<br />
Econometrics,19: 287-299<br />
Bain, J.S. 1968. Industrial Organization 2 nd Edition, John Wiley & Sons Inc.<br />
New York<br />
BPS. 1996. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS, Jakarta<br />
BPS. 2006. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS, Jakarta<br />
BPS. 2006. Perkembangan Luas Penen, Produktivitas dan Produksi Kedelei di<br />
Indonesia (1992-2005), BPS, Jakarta<br />
Carlton, DW dan Perloff, JM. 2000. Modern Industrial Organization. Third<br />
Edition. Addison-Wesley Publishing Company<br />
Gujarati, DN. 1998. Basic Economitrics. McGraw Hill Inc. Third Edition<br />
Henderson, James M. and Richard E Quant. 1980. Microeconomic Theory, A<br />
Mathematical Approach. McGraw Hil International Book Company,<br />
Singapore<br />
Koutsoyianis, A. 1982. Theory of Econometrics, McGraw-Hil, Singapore<br />
Kasryno, Faisal, Delima H. Darmawan, I Wayan Rusastra, Erwidodo, dan Charil<br />
A Rasahan. Pemasaran Kedelai di Indonesia. Kedelai, Penyunting:<br />
Sadikin Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, Mahyuddin Syam, S.O.<br />
Manurung Yuswadi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat<br />
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor<br />
Megel, B.B., William Segars, and George W.Rehn. 1978. Soil Fertility and<br />
Liming Soybean. Wilcox J.R. (Ed.), American Society of Agronomi, M<br />
Anindita, Ratya. 2005. Pemasaran Hasil Pertanian, Penerbit Papyrus<br />
Surabaya<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
37
Miller, Roger Le Roy dan Roger E Meiners. 1993. Teori Ekonomi Mikro<br />
Intermediate. Penterjemah Haris Munandar, PT Raja Grafindo Persada,<br />
Jakarta<br />
Manwan, I, Sumarno, A.S. Karama, dan A.M. Fagi. 1996. Teknologi Peningkatan<br />
Produksi Kedelai di Indonesia. Laporan Khusus Pus/02/89, Pusat<br />
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.<br />
Maddala, GS. 2001. Introduction to Economitrics. Jhon Wiley & Sons. Ltd<br />
Purwoko, A dan Sayaka, B. 1992. Ekonomi Kedelai di Sulawesi Selatan. Pusat<br />
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor<br />
Rogers, G. 1986. Penetapan Harga Hasil Pertanian. (Penyunting Makaliwe)<br />
Gramedia. Jakarta<br />
Schroeter, Jhon R. 1988. Estimating the Degree of Market Power in the Beef<br />
Packing Industry. The Review of Economics and Statistics. 70 (1): 158-<br />
162.<br />
Salvatore, D., 1989. Ekonomi Internasional. Gelora Aksara. Jakarta.<br />
Sudaryanto, T., 1992. Gambaran Agegat Ekonomi Kedelai di Indonesia.<br />
Agribisnis Kedelai (Buku I). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,<br />
Bogor.<br />
Schroeter, Jhon R and Azzam, A. 1991.Marketing Margin, Market Power And<br />
Price Uncertainty. American Journal of Agricultural Economics.73 (4):<br />
990-999<br />
Sukirno, Sadono.,2002. Pengantar Teori Mikro Ekonomi Edisi Ketiga. PT. Raja<br />
Grafindo Persada, Jakarta.<br />
Statistik Kementrian Pertanian Indonesia, 2010. Perkembangan Harga Kedelai di<br />
Sentra Produksi Kedelai di Indonesia.<br />
Zulham,A.,Syafa’at, Y Marisa, B. Hutabarat, dan T.B. Purwantini, 1993. Pola<br />
Perdagangan Wilayah Komoditas Kedelai di Indonesia. Pusat Penelitian<br />
Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.<br />
Zulham, A dan Yumm, M. 1996. Pemasaran dan Pembentukan Harga. Ekonomi<br />
Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi kedelai di Indonesia disunting oleh<br />
Amang, B; Sawit. H dan MR. Anas. IPB Press. Bogor<br />
38<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
INSTITUTIONAL FRAMEWORK<br />
FOR STRENGTHENING SOCIAL CAPITAL :<br />
An Empirical Approach at Different Communities in Bali Province<br />
Nyoman Utari Vipriyanti<br />
Jurusan Agribisnis <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar<br />
Abstract<br />
The basic premise of this research is that social capital is a productive<br />
factor, which impact the regional development, economic growth and poverty<br />
differently depend on individual and community characteristics. The aims of this<br />
research are (1) generating social capital data especially on dominant component<br />
such as trust, network density and collecctive norm of traditional agriculture<br />
(subak) community, tourism (HPI, Asita and PHRI) community and desa<br />
pakraman community. (2) How to make social capital indicator more strengthen<br />
in diferent region and communities. The data is analyzed with Structural<br />
Equation Model (SEM). Research shows that norm is the most important<br />
indicator to build social capital in underdeveloped region. The other side, the most<br />
important indicator for social capital in developed region is trust. Network density<br />
is the most important endogenous variable that gives the most contribution to<br />
subak’s and desa pakraman's social capital but not in tourism community.<br />
Keywords: Economic Development, Social capital, Trust, Norm, Network.<br />
1. INTRODUCTION<br />
Social capital concept stated that there is a close relationship between<br />
social capital and human resources. Social capital will be established if every<br />
person in the group have own contribution. The relationship between social<br />
capital and human resources is not a simple one (Glaeser, Laibson and Sacerdote,<br />
2001). Social capital is similar with knowledge that always develops to be<br />
productive if used intensively. Therefore the capital should be keep productively.<br />
Without spend a lot of time, energy and others resources on the social capital,<br />
relationship among individual tend to reduce by the time.<br />
Social capital is resulted from changing on relationship among individual<br />
that facilitate an action. Therefore, social capital is intangible, different with<br />
physical capital. However, together with human capital and physical capital,<br />
social capital facilitates productive activities.<br />
From the last 20 century to the beginning of 21 century, a large body of<br />
social capital research has been carried out particularly in relationship with<br />
economic growth of a region. The first research on relationship between social<br />
capital and regional economic performance was conducted by Putnam (1993). He<br />
suggests that social capital is not only found at micro level, in the form of<br />
personal relationship among individual, but also at macro level. He also stated that<br />
level of community welfare in north Italy is higher than south Italy due to<br />
different social structure. In North Italy, there is a horizontal structure while the<br />
south is hierarchy. Putnam measure social capital based on newspaper readership,<br />
availability of sport and culture association, institution performance and citizen<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
39
satisfaction. The social capital size is used to explain distinction economic growth<br />
for the two regions while difference from others variable is assumed not large<br />
enough. Furthermore, Helliwell and Putnam (2000) also shows that social capital<br />
will facilitate local government ability to achieve higher economic growth. The<br />
research showed that convergence is faster and income equality will be happened<br />
on higher level that is in regions with stronger social capital.<br />
Even a positive correlation between social capital and growth is proved,<br />
social capital’s key components has not identified yet. Different social capital<br />
research has used different social capital indicator that meet with researcher’s<br />
definition. As so far, there is no agreement on social capital determinant although<br />
some theories suggest that trust is moral basis for the establishment of social<br />
capital. This paper is trying to analyze dominant social capital component in a<br />
community, particularly community in Bali. The objectives is to describe in detail<br />
concerning about dominant social capital component to make effective<br />
establishment of social capital in a community by considering the dominant<br />
component.<br />
2. SUOURCE OF SOCIAL CAPITAL<br />
Trust<br />
Whole human relationship based on trust as moral aspect where the social<br />
capital is established. Morality gives a direction for social cooperation and<br />
coordination. Trust building is an integral part of caring process that established<br />
since the beginning of a family. Trust each other in family relationship, will<br />
develop reciprocity and exchange.<br />
Trust reduces transaction cost that is cost as result of exchange process<br />
including contact, contract and control cost. The existing sense of trust each other<br />
will reduce cost for monitoring activities on other person behavior therefore they<br />
have behavior as expected. Trust means that ready to take risk and uncertainty.<br />
Casson and Godley (2000) have defined trust as accepting and ignoring any<br />
possibility that something will not true. Trust will simplify cooperation. More<br />
trust to other person will make strong cooperation among person.<br />
Trust each other can be established or destroyed. Sustainable trust, can not<br />
build without truth. Trust can be build by the existence of repeated personal<br />
interaction (personalized trust), knowledge on population or accepted incentive<br />
(generalized trust). Bounded human rationality will effect on efforts to build the<br />
trust each other. Therefore, human rationality boundaries should be extended by<br />
communication and information that trustable. Many researches show that trust<br />
has significant and positive relationship with success achievement of economic<br />
growth indicator by more efficient of production process. In other hand,<br />
government success to realize better economic development will strengthen social<br />
trust on community.<br />
Norms (Share Value)<br />
Traditional theory on group stated that organization and group are<br />
characterized by ubiquitous that resulting from human tendency to joint and build<br />
association. Mosca in Olson (1977) stated that human has felling to herding<br />
40<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
together and fighting with other herds. The feeling will increase in certain<br />
community by means of moral reason.<br />
As so far, there is a general conception that individual group with<br />
collective interest, at least including economic goals, will trying to develop<br />
collective goals. Individual group is expected tend to stand on the collective<br />
interest than individual interest. The opinion is assumed that individual in a group<br />
will act beyond the personal interest. In fact, individual in a group will trying to<br />
achieve collective goals only if the individual also get benefit, in other words, act<br />
to achieve the collective goals is not voluntary. Norms is needed to manage<br />
individual in a group therefore benefit for the members is proportional with the<br />
efforts in the group.<br />
Norms is share values that regulate individual behavior in a community or<br />
group. Fukuyama (1999) stated that social capital is instant informal norms that<br />
able to develop cooperation among two individual or more. Norm is social capital<br />
that constructed from reciprocity among person. Social norms that determine<br />
collective behavior in an individual group is known as equity principles that<br />
directed the actor to have behavior belonging the own interest.<br />
Network<br />
Dasgupta (2002) assumed that any person have ability to interact with the<br />
others without opportunites to chosen. However in fact, everybody have certain<br />
interaction pattern, have an opportunity to select the person with whom to interact<br />
and with certain reason. Initially, network is system of communication channel to<br />
protect and develop interpersonal relationship. There is a cost to build the<br />
communication channel that known as transaction cost. Desire to join with other<br />
person, partly is caused by share values. Network is also play to build coalition<br />
and coordination. In general, decision to make investment in certain channel is<br />
caused by the channel contribution on individual economic welfare.<br />
Network is emphasizing on importance of vertical and horizontal<br />
organization among people and the intra-organization. Granovetter (1973) stated<br />
that strong ties among community are needed to give identity on family,<br />
community and collective goals. The idea is also suggest that without community<br />
ties (weak ties) that connecting among social organization, the horizontal strong<br />
ties will be basis to realize bounded group desire.<br />
Social capital is a condition where are the individuals using the<br />
membership on a group to obtaining benefit. Social capital is can not evaluated<br />
without knowledge about where the individual exist, because social interaction is<br />
depends on network and community structures. Coleman (1988) is having notion<br />
that Social network density will increase efficiency to strengthen cooperation<br />
behavior in an organization. According to him, social capital is sums of<br />
"relational capital” of some individual and established on reciprocity norms<br />
basis. Social relationship that established in a closure social structure is not only<br />
important to build effective norms but also to build trust because the network<br />
closure will produce positive economic externality by means facilitation process<br />
on collective action. Woolcock (2001) make clear distinction between bonding,<br />
bridging and linking social capital. According to him, generally bonding social<br />
capital is come from family relationship, neighbor living and friend. Members of<br />
the group generally have intensive interaction, face-to-face and support each<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
41
others. Bridging social capital is build from interaction among group in a region<br />
with relative lower frequency, such as religion group, ethnic, or certain income<br />
level. In general, linking social capital is build from formal relationship between<br />
many parties such as bank, health clinic, school, farming, tourism, etc.<br />
The previous research is believed that strong social capital is one of<br />
supporting factor to achieve higher welfare and reduce gap among area or group<br />
in a region (Putnam, 1993; Christoforu, 2003; Grootaert 2001). Measurement of<br />
social capital is carried out with differently methods and proxy with variable that<br />
meet with the research’s goals, however in general including one of trust, network<br />
community and reciprocity norms component. Strong social capital will be<br />
reflected by a condition where is a region having high security level, high<br />
organization activities and adequate public facilities.<br />
This research is trying to test social capital components that has been<br />
conducted for others region. Generally, the objective is to study existing<br />
difference between social capital level and the component that has largest<br />
contribution on social capital in Bali’s community. In detail, the aim of the<br />
research are : (1) to study level of trust, network density and community norms in<br />
developed region, underdeveloped region and community organization such as<br />
subak, banjar/desa pakraman and tourism, (2) to study social capital component<br />
in individual level (micro) and group (medium) and finally (3) to analyze each<br />
component contribution on establishment of social capital.<br />
Measurement of social capital index in Bali is based on regional<br />
development and micro, medium and macro level. Social capital at micro and<br />
medium level is measured by individual network, helping each other norms and<br />
trust where as for macro level is measured by regional network and availability of<br />
public facilities.<br />
Measurement unit for social capital index in Bali is differentiated on social<br />
capital at individual, group and region level. Individual social capital is<br />
established from network, norms and trust. Social capital of community group is<br />
measured using network group, individual trust on certain group, cooperation<br />
activities and benefit that accepted by the group member. Finally, region social<br />
capital is measured by availability of public school facilities, community health<br />
centre (puskesmas) and number of organization.<br />
3. SOCIAL CAPITAL IN DIFFERENT COMMUNITY IN BALI<br />
Individual social capital is measured by means trust to person, each<br />
individual network and norms that setting cooperation among the individual.<br />
Trust, readiness to make network and obeying the existing norms are responding<br />
on conditioned social stimulate. Most of social capital component is person or<br />
group attitude on people or certain object such as trust; help each other, courtesy<br />
to friend, secure feeling, and network. Therefore, measurement of individual and<br />
group social capital is following human attitude measurement method. A<br />
measurement method for attitude is carried out by means structured direct<br />
interview. For the purpose, many items have drawn up therefore each answer of a<br />
question will strengthen other answer in the same social capital component. Two<br />
others closure methods for attitude are behavior observation and direct closure<br />
particularly to strengthen general answer.<br />
42<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Measurement of individual social capital is divided into two groups. The<br />
first group is individual that living in underdeveloped region (Jembrana and<br />
Karangasem Regency) and developed region (Badung and Gianyar regency), The<br />
second group is individual community having livelihood in agriculture sector and<br />
tourism sector and also traditional community of banjar pakraman. Individual<br />
with agriculture sector livelihood is member of subak organization while<br />
individual from tourism sector is member of tourism organization. The<br />
differentiation is carried out to sharpen analysis on former component of social<br />
capital in relationship with efforts to improve welfare for individual level.<br />
Table 1 Manifest Variable (Indicator) and Latent Variable of Social Capital<br />
at Micro Level<br />
Latent<br />
Variable<br />
Trust Trust to other<br />
people or public<br />
and private<br />
institution<br />
Network Network density in<br />
formal an informal,<br />
local and regional<br />
organization<br />
Definition Notation<br />
Aware (carefulness behavior)<br />
GN Trust (General trust)<br />
DT (Dynamic of trust)<br />
TAE (Thick Trust or trust to Balinese)<br />
TBE (Thin Trust or trust to non Balinese)<br />
PEMKAB (Trust to regency government)<br />
PEMPROP (Trust to provincial government)<br />
POLISI (Trust to police institution or security<br />
officer )<br />
GURU (Trust to teaching and learning<br />
institution)<br />
DN (Kepadatan jaringan kerja)<br />
SEXP(Pengeluaran sosial)<br />
EMPL (Jumlah anggota keluarga yang<br />
bekerja)<br />
FRIEND (Jumlah teman)<br />
Norm Altruism behaviour HN (Kesediaan saling Bantu)<br />
BNTFSK (Bantuan Fisik)<br />
CC (Kemudahan menitipkan anak)<br />
CHL (Jumlah anak yang sekolah)<br />
FR (Jumlah free rider)<br />
Agriculture community represent resident of rural side which have long<br />
living so have neighbor and family (extended family) which tighter to be<br />
compared to community that living in tourism sector which most of them<br />
represent new comer group in town. The juxtaposition theoretically have potency<br />
to push awaking up of strong trust (strong bonds of trust) and large responsibility<br />
among them to keep the living and environment. On the contrary with urban, not<br />
existing strong social network will lessen even negate trust as well as social<br />
capital (Coleman, 1990). Other factor that affect on forming of social capital are<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
43
culture and religion. As stated by Line (2001), social group, culture and religion<br />
influence broadness of network and trust level to people.<br />
Table 2 Manifest Variable (Indicator) and Latent Variable of Social Capital<br />
at Mezo Level<br />
44<br />
Variabel Definition Notation<br />
Trust Trust to other organization<br />
Trust to their leader<br />
Network Relationship with similar organization in<br />
the region<br />
Relationship with similar organization in<br />
different region<br />
Relationship with different organization in<br />
the region<br />
Relationship with different organization in<br />
different region<br />
Norm Willingness to pay the monthly<br />
organization’s fee<br />
Willingness to pay for the first<br />
organization’s fee<br />
DN<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
LEADSHP<br />
Bonding1<br />
Bonding2<br />
Bridg1<br />
Bridg2<br />
DANAKEL<br />
DANAWL<br />
Agriculture community represent resident of rural side which have long<br />
living so have neighbor and family (extended family) which tighter to be<br />
compared to community that living in tourism sector which most of them<br />
represent new comer group in town. The juxtaposition theoretically have potency<br />
to push awaking up of strong trust (strong bonds of trust) and large responsibility<br />
among them to keep the living and environment. On the contrary with urban, not<br />
existing strong social network will lessen even negate trust as well as social<br />
capital (Coleman, 1990). Other factor that affect on forming of social capital are<br />
culture and religion. As stated by Line (2001), social group, culture and religion<br />
influence broadness of network and trust level to people.<br />
Level of community trust is divided into thick trust and thin trust or that<br />
widely known as bonding and bridging. The first category is related to trust on<br />
known people that established by existing interaction. The second is trust to<br />
unknown people which in this research stated as question "how much as person<br />
trust to other person from the same ethnic (thick trust) and different ethnics (thin<br />
trust). Some researchers have classified this as racial trust as lyer S, Kitson M,<br />
and Toh B (2005).<br />
The result shows that there is a significant negative relation between thick<br />
trust and thin trust where individual thick trust is is higher than thin trust. High<br />
thick trust that followed by low thin trust for community in Bali is tends to be<br />
caused by culture and institution. In Bali there is a custom institution with<br />
significant role to maintain Bali culture and strong ties the member by means
apply moral sanction. The existence of custom institution (desa adat and banjar<br />
adat) is sustain concerning the function has close relationship with religion<br />
activities. The higher frequency activities, the higher interaction intensity among<br />
individual from the same ethic ad lower interaction intensity among individual<br />
from other ethnic. Azwar (2005) confirm this result by statement that personal<br />
attitude has close relationship with many factors such as interaction intensity,<br />
culture, experience and institution. Independent two sample difference test shows<br />
that thick trust in underdevelop region is stronger than developed region.<br />
However, thin trust is show not significant difference.<br />
However, low trust of community on other ethnic (thin trust) should be<br />
taken alert due to the impact on reconciliation among ethnic, group and class that<br />
heterogeneous progressively in Bali. As tourist destination that widely known in<br />
foreign countries, Bali is also to be migration target for people that searching for<br />
better job opportunity. Low thin trust of community will affect on interaction<br />
between local community group with migrant community group (both tourist and<br />
job seeker) that resulting from high suspicion feeling and finally will reduce<br />
openness behavior even though openness community is one of important<br />
component in underdevelop Bali’s tourism.<br />
The significant difference also showed by trust on regency government<br />
and security officer. Individual that settled in developed region have higher trust<br />
on residential government performance but lower for security officer performance<br />
than in underdevelop region.<br />
Figure 1. Relationship between individual trust from the same (Thick trust) and<br />
different ethnic (Thin trust) in Bali, 2007<br />
Generally, community respond on question about carefulness attitude is<br />
strengthen the previous analysis where is 83.62 percent of community stated that<br />
they should taking a care on other people or in other words they can not trust all of<br />
people in their living activities. The attitude statement is not only showed by<br />
community in developed region (Badung and Gianyar) but also in underdevelop<br />
region (Jembrana and Karangasem). Carefulness attitude is showed by some<br />
activities that aimed to strengthen monitoring on new comer (migrant) and as<br />
result is increasing monitoring cost.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
45
46<br />
Table 3 Community Trust (Social Trust) in Bali<br />
Trust* (%) Total<br />
Trustable Always take care<br />
Region Developed 8.91 42.53 51.44<br />
underdevelop 7.47 41.09 48.56<br />
Total 16.38 83.62 100.00<br />
Source : Primary Data, 2007<br />
* Percent of respondent that answer "most people can be trusted" for<br />
question" in general, do most people can be trusted or you need not<br />
too taking a care to others.?"'<br />
Basically, trust is built by repeated positive interaction. In underdevelop<br />
region, the frequency of interaction with stranger people more lower than people<br />
in develope region. So that weakneses of trust. Generally individual-individual<br />
who settled in developed region has higher trust for every one. One alternative for<br />
this situation is the kind of individual activities. In developed region such as<br />
Regency of Badung and Gianyar as two tourism center area in Bali, is very<br />
depended on tourist arrival and intensively interacted with the tourist. Therefore,<br />
the attitude on other people is more openness. However, indication of reducing<br />
interaction is indicated by lower density of organization.<br />
Trust is resulting from some factors including norm, experiences, and<br />
interaction intensity. Since the last five years, community in Bali confessing has<br />
experiences individual trust dynamics. About 59.41 percent of community in<br />
developed region stated that trust has changing with detail 30 percent stated<br />
changing to better condition and 29.41 percent feel that trust among the<br />
community is progressively weaken. Contrary with underdevelop region, most of<br />
community (63.01 percent) stated that trust is not changing among community;<br />
19.18 percent stated that the trust is changing to better direction and the rest<br />
(17.81 percent) stated that trust is worse. Large number of community in<br />
developed region that feel trust changing is related to their experiences. Generally,<br />
socio-economic activities in developed region is relative larger therefore give<br />
more experiences. This experience affect on trust that has established in the past.<br />
Beside the past experiences, difference of trust between developed region<br />
and underdevelop region happened because in developed region there is high<br />
interaction intensity between the communities with other ethnics. This interaction<br />
intensity give positive or negative impact on trust that has been developed in the<br />
past. According to Artadi (1993), Bali’s community is a tolerant community, easy<br />
to adapt and having openness system therefore interaction intensity among<br />
community is easy to change. Interview result shows that changing tendency is<br />
not the same among community. This is supported by data that indicate number of<br />
community that feeling trust changing is equal with number of community that<br />
feel weakness of trust.<br />
In underdevelop region, collective norms are still strongly bound and act<br />
as shield for new values which do not desire. Different with community in<br />
developed region, generally, in Bali, it is known menyamabraya concept that<br />
deeply rooted in community living. The concept implies that family is not only<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
extended family (batih family) but also neighbor and other banjar members.<br />
Menyamabraya means help each other in face of problem of having the character<br />
of material and also non material..<br />
The norm’s power should be based on trust attitude and reciprocally. Trust<br />
is not only keep sustainability of norms that contain wisdom value but also as<br />
basis for individual decision to joint into a group or loose from group which has<br />
been followed previously. Therefore, trust has critical effect on organization<br />
density in a region.<br />
It can be said that a group or community whom the member has high trust<br />
level is rich with social capital. Sociologist, anthropologist and politician stated<br />
that trust has significant role for implementation of collective action. Strong<br />
(weakness) of social capital in a community is measured by high (low) trust level<br />
among community which indicated by participation of each member in collective<br />
activities and the activities intensity. Therefore, it can be said that trust or social<br />
capital is a public good, each member has opportunity to take benefit but often<br />
feel having no responsibility to maintain. One effort to keep the social capital is<br />
through help each other attitude among community member. On trust community<br />
category basis in Bali, it can be stated that community which has high trust is<br />
ready to help however only 23.53 percent that always help, 29.11 percent stated<br />
usually help and the rest stated almost help. The same situation will occur in<br />
community with low trust or community group with carefulness attitude. Most of<br />
person stated ready to help and only a few of them (2.26 percent) that stated even<br />
not helping other people. This is show that efforts to maintain social capital still<br />
performed by each individual in Bali. The carefulness attitude is not reducing help<br />
each other attitude or in other words help each other attitude for Bali’s community<br />
is tend to altruism than reciprocal. Any support that giving to other individual or<br />
group is caused by trust on karma law.<br />
Besides the trust, social capital also indicates by community organization<br />
density. Grootaert (1999) has defined organization density as number of existing<br />
organization in a community where someone involves in it. The highest average<br />
of community organization density is in Regency of Gianyar while the lowest in<br />
Regency of Jembrana. At least 2 organizations that followed by community in<br />
Regency of Jembrana and Karangasem (banjar adat and subak) while in Regency<br />
of Badung and Gianyar there are some member of community which only<br />
following in one organization namely banjar adat.<br />
Trust community is not shows the same tendency on level community<br />
organization density in Bali. Community decision to be organized is not result of<br />
owned social trust but from other factors. On research’s result basis, it was shows<br />
that the most important organization for most community is banjar adat. The two<br />
results is support each other because banjar adat is a organization that should be<br />
followed by whole community in Bali as Hindu follower. This imply that<br />
readiness to organize is not needed trust establishment however by sanction that<br />
should be accounted if not involved in banjar adat.<br />
According to the result, trust is not shows relationship with community<br />
participation level in decision making on the most dominant organization.<br />
Community which has low or high trust level is still participating on every<br />
decision making that related to the group. This is shown by number of community<br />
that actively participates in every group activities, weather on low trust level or<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
47
high. Adherences at norms going into effect in banjar adat organization push<br />
every member to give contribution according to agreed decision. Norms having<br />
the character of reciprocal become other reason which pushes community to<br />
participate in every activity of banjar adat.<br />
Any expenses for social activities are one social capital indicator that used<br />
in this research. There is a significant correlation between social cost with<br />
organization density, participation and number of free rider. In underdevelop<br />
region, higher social cost is positive correlated with organization density, negative<br />
with participation and number of free rider. The logics are the higher organization<br />
density of an individual the higher cost should be paid. In the underdevelop<br />
region, generally much of community member is inactive because having job or<br />
house in developed region therefore they should pay more social expenses.<br />
However participation both in activities and decision making is very low. The<br />
Individuals is known as free rider.<br />
In developed region, social expenditure also have significant correlation<br />
with organization density, free rider and participation but the correlation have<br />
positive sign for participation, negative for rider free and density organization.<br />
The two result indicate that there is a understanding difference between<br />
underdevelop region and developed region in participation. Physical Participation<br />
more emphasized at underdevelop region while developed region tend to<br />
esteeming nominal participation.<br />
Generally it can be stated that each indicator and variable of latent trust<br />
have positive correlation. This matter indicates that the stronger social trust will<br />
strengthen thick trust, trust to organizer of governance, organizer of security and<br />
education. Indicators of latent norm variable are readiness to help and readiness<br />
takes care of child by neighbor, and also the amount of child which go to school.<br />
Most of network indicator is showed negativity except the organization density. It<br />
means that better network with the lower amount of individual which behave as<br />
free rider, smaller expenditure required for social activity and lower amount of<br />
person who work in family. Goodness of model indicator (Gof) indicate that the<br />
established model have value of AGFI above 0.8 that is 0.897 although has<br />
significant value of chi-square but the RMSE smaller than 0.08. The two<br />
indicators of goodness is sufficient to indicate that the model is valid.<br />
On aggregate, the analysis result concerning about effect of trust<br />
endogenous variable, network and norms on social capital show that only trust<br />
that have significant and positive impact, it means that the higher trust, the<br />
stronger social capital in Bali.<br />
4. SOCIAL CAPITAL COMPONENT: Individual Social capital in<br />
developed region and Underdeveloped region<br />
As stated earlier, the province of Bali is grouped on regency basis that is<br />
Developed Region and underdeveloped region. Indicator that used to differentiate<br />
are level growth of PDRB, PAD and also income per capita. According to the<br />
indicator, it can be stated that regency of Badung, Gianyar and Denpasar City are<br />
classify as developed region while other regency is underdevelop region. In this<br />
research, selected purposively, Regency of Badung, Gianyar and also Regency of<br />
48<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Jembrana Karangasem as 2 developed regencies (WM) and two regencies as<br />
underdeveloped (WBB).<br />
Social capital indicator is used to measure latent variable of trust,<br />
carefulness attitude, custom trust, dynamics of trust, and participation. Latent<br />
variable of norm is consisted of possibility indicator to entrust child at neighbor,<br />
existing individual free rider, and also giving physical aid. Norm defined as<br />
readiness to share, to do collective action with and without intending to take<br />
benefit from others. Network Indicator is consisted of closeness of network,<br />
expenditure for social activity and amount of friend bellying ache. Reason in<br />
using latent variable indicator that different with general social capital analysis is<br />
significance of each indicator with residence location.<br />
Determination of social capital component for each region and also in each<br />
community is conducted by using analysis of structural equation model that<br />
available in Lisrel program. The analysis is carried out in two phases that is<br />
indicator determination phase that determine latent trust variable, norm and<br />
network; following determine latent variable which have largest contribution to<br />
strengthening social capital.<br />
4.1 Individual social capital in underdeveloped region<br />
Criterion for underdeveloped region in this research is more emphasized at<br />
economics growth indicator such as lowering of PDRB, PDRB per capita, and<br />
also PAD level. Other Indicator which also becomes consideration is the amount<br />
of poor household but do not include income distribution. Generally,<br />
underdeveloped region reside in location which relative far from governance<br />
center as Regency of Jembrana Karangasem. The two regencies located in tip of<br />
west and east of Bali province.<br />
Result of research also shows that there is significant and positive<br />
correlation between amount of friend and organization density; it means that more<br />
organization followed, more and more friend invited to discuss any matters.<br />
Significant and positive correlation also showed between variable of organization<br />
density with trust to others (general trust). Thereby, in other words, the higher<br />
personal interaction intensity that showed by amount of friend variable, the higher<br />
organization density and finally improving trust to others.<br />
Differ from Grootaert ( 2001), result of this analysis indicate that there is<br />
no significant correlation between personal density organization, trust, and norm<br />
to the income level. Income level has significant correlation with social<br />
expenditure and individual participation in organization. The higher income, the<br />
larger social expenditure but the lower participation in individual decision<br />
making.<br />
This research also show tendency that carefulness attitude of community<br />
have positive and significant relation with amount of individual free rider and<br />
physical aid readying to be given but do not relate to participation and network on<br />
organization. According to correlation analysis, it is also indicated that carefulness<br />
attitude have correlation with social cost that should be paid.<br />
Result of SEM analysis indicate that latent trust variable can be measured<br />
by indicator of trust [common/ public], dynamics of trust, and participation . the<br />
Highest contribution for trust latent variable is come from participation. It means<br />
that the higher trust, the higher individual participation in organization. Negative<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
49
sign of trust dynamics indicator and participation is caused by applying inversed<br />
scale at expected answer. Reason to entering participation on latent trust variable<br />
is refer to Azwar (2005) expressing that research concerning attitude is better<br />
carried out by direct asking and behavior observation. This research assumes<br />
participation as strengthen behavior of a person trust statement. Individual which<br />
have high trust should have active participation. Result of analysis give<br />
implication that high trust level in underdevelop region is shown by trust to any<br />
people (general trust) and high participation. Indicator of latent norm variable is<br />
amount of free rider (-), taking care a child by neighbor and readiness to give<br />
physical aid and for latent network variable is network density, expenditure for<br />
social activities and amount of friend.<br />
1.000<br />
1.000<br />
50<br />
SC<br />
TRUST<br />
NORMA<br />
NETWORK<br />
Chi-Square=38.26, df=29, P-value=0.11671, RMSEA=0.044<br />
SC<br />
0.402<br />
0.454<br />
0.431<br />
0.402<br />
0.454<br />
0.431<br />
-0.081<br />
0.233<br />
-0.176<br />
-0.741<br />
0.399<br />
-0.376<br />
0.264<br />
0.295<br />
0.263<br />
0.306<br />
TRUST 0.839<br />
NORMA 0.794<br />
NETWORK 0.815<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
A WA RE 0.993<br />
GN TRUST 0.946<br />
DT 0.969<br />
PA RTSP 0.452<br />
CC 0.841<br />
FR 0.859<br />
BN TF SK 0.930<br />
NW 0.913<br />
SEXP 0.931<br />
F RI EN D 0.907<br />
0.426<br />
0.180<br />
1.209<br />
Chi-Square=38.26, df=29, P-value=0.11671, RMSEA=0.044<br />
Figure 2 Diagram Path of Social capital structural model for underdevelop region<br />
in Bali<br />
There are various indicators to determine goodness fit of a model, among<br />
others Goodness of Fit (GoF) values, Chi-Square, RMSE, AGFI and others. The<br />
obtained model is fulfill all indicator Goodness fit of model as well as AGFI value
(0.821) that larger than 0.8 therefore the model is assumed sufficient fit to figure<br />
relationship between latent variable and observed variable indicator. P-Value is<br />
0.11671 larger than 0.05 RMSE and smaller than 0.08.<br />
The three latent variables give significant – positive contribution on<br />
establishment of capital social in underdeveloped region. The result indicate that<br />
to develop, build or strengthen capital social specially in underdeveloped region<br />
cannot be conducted only by improve one of component because the three<br />
variable shows equal significant and large contribution. Development and<br />
reinforcement of capital social can be carried out by improving trust ,<br />
participation, reducing opportunity of individual to behave as free rider, maintain<br />
norm to reciprocate physical aid, extending network (organization living)<br />
Table 4 Latent Variable and Significance of each Indicator on latent Variable of<br />
Social capital in underdeveloped region in Bali<br />
Latent<br />
Indicator Coefficient t-hit<br />
Variable<br />
Trust* (0.402) 1. Aware to carefulness -0.081 -1.128<br />
2. General trust 0.2330 3.015*<br />
3. Dynamic of trust -0.176 -2.371*<br />
4. Participation -0.741 -3.640*<br />
Norm* (0.454) 1. Entrusting child 0.399 3.018*<br />
2. Amount of free rider -0.376 -2.497*<br />
Network*<br />
(0.431)<br />
3. Physical aid 0.264 3.353*<br />
1 . Organization density 0.295 2.918*<br />
2. Social expenditure 0.263 2.295*<br />
3. Amount of friend 0.306 3.353*<br />
Source : Analysis result of primary data<br />
4.2 Social capital in developed region<br />
Definition of developed region in this research is a region with high<br />
PDRB, PAD and relative large of income gap. According to the definition, in<br />
province of Bali that classify as developed region are Regency of Badung and<br />
Gianyar. There is a significant difference of general trust, participation and thick<br />
trust among individual that settled in underdeveloped region and developed<br />
region.<br />
Correlation analysis of spearman indicates that there are no significant<br />
correlation between organization density (network) with carefulness attitude and<br />
also general trust. This is contrary with amount of friend variable invited to belly<br />
ache. Trust and helping each other norm show significant relationship especially<br />
between carefulness attitude with observation of child by neighbor or between<br />
general trust with individual that behave as free rider.<br />
The significant correlation is also showed by social expenditure variable as<br />
proxy of income with network, trust, carefulness attitude, amount of friend and<br />
number of free rider. The higher social expenditure has positive correlation with<br />
trust and amount of owned friend, having negative correlation with carefulness<br />
attitude, Number of free rider and organization density.<br />
Result of structural equation analysis with Lisrel indicate that trust is<br />
figured by carefulness indicator, general trust, dynamics of trust, and<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
51
participation. The trust indicator shows the largest contribution. Variable of<br />
latent network is shown by closeness network indicator, social expenditure and<br />
amount of friend with largest contribution and social expenditure while norm<br />
variable is indicated by number of free rider indicator and physical aid.<br />
1.000<br />
1.000<br />
52<br />
SC<br />
TRUST<br />
NORMA<br />
NETWORK<br />
Chi-Square=17.81, df=29, P-value=0.94797, RMSEA=0.000<br />
SC<br />
0.453<br />
0.104<br />
-0.101<br />
0.508<br />
0.104<br />
-0.101<br />
0.448<br />
0.477<br />
0.245<br />
-0.253<br />
0.027<br />
-0.549<br />
0.733<br />
0.363<br />
-0.532<br />
-0.254<br />
TRUST 1.000<br />
NORMA 1.000<br />
NETWORK 1.000<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
A WA RE 0.800<br />
GN TRUST 0.772<br />
DT 0.940<br />
PA RTSP 0.936<br />
CC 0.999<br />
FR 0.699<br />
BN TF SK 0.462<br />
NW 0.868<br />
SEXP 0.717<br />
F RI EN D 0.935<br />
-0.287<br />
-0.901<br />
0.914<br />
Chi-Square=17.81, df=29, P-value=0.94797, RMSEA=0.000<br />
Figure 3 Diagram Path of Social capital structural model in developed region in<br />
Bali<br />
Result of SEM analysis show that model can be accepted because fulfilling<br />
goodness of fit indicator that is RMSE value smaller than 0.08 and p-value larger<br />
than 0.05. In other hand, AGFI value 0.942 is larger than 0.8 thereby the obtained<br />
structural equation model have high validity.<br />
Differ to underdeveloped region, to develop social capital or strengthen are<br />
not must be done by strengthening the three components of social capital because<br />
only trust variable which have significant contribution on social capital. Because<br />
of general trust indicator has the largest contribution on trust therefore to develop<br />
or strengthen social capital can be conducted by activities which can improve<br />
individual trust to other individual.
Table 5 Latent variable and significance of each indicator on latent variable of<br />
Social capital in developed region in Bali<br />
Latent Variable Indicator Coefficient t-hit<br />
Trust*<br />
(0.453)<br />
1. Aware to act carefulness 0.448 4.383*<br />
2. General trust 0.477 4.509*<br />
3. Dynamics of trust 0.245 3.024*<br />
4. Participation -0.253 -2.997*<br />
Norm 1 . Entrust Child 0.027 0.403<br />
(0.104) 2. Number of free rider -0.549 -7.238*<br />
3. Physical aid 0.733 6.248*<br />
Network 1 . Organization density 0.363 5.160*<br />
(-0.101) 2. social expenditure -0.532 -5.409*<br />
3. Amount of friend -0.254 -4.001*<br />
Sources : Analysis result of primary data<br />
5. SOCIAL CAPITAL IN TRADITIONAL AND MODERN<br />
ORGANIZATION<br />
For social capital at group level, it is known bridging social capital tern.<br />
On management system basis, community organization that developed in Bali is<br />
divided into traditional organization and modern while on establishment process<br />
classify as formal and informal organization. Generally, informal organization is<br />
established by relationship among family and extended family. On contrary with<br />
formal organization, generally membership of formal organization is consisted of<br />
specific profession on livelihood basis.<br />
In Bali, social organization which coordinates all public administrative<br />
activities is recognized by the name of banjar. Especially for Hindu follower have<br />
social organization which coordinate all activities related to religious activities<br />
that known as banjar adat. Each community which believes in Hindu have the<br />
same obligation in banjar adat. Rural Community in Bali, tied in formal<br />
traditional organization and also informal like sekaa, dadia, village and subak /<br />
banjar adat. Dadia and Sekaa represent informal traditional organization because<br />
do not have written awig-awig while subak and banjar adat are formal traditional<br />
organization which have written and unwritten awig-awig. Generally, member of<br />
Sekaa characterized by temporal membership and have strong consanguinity and<br />
formed in line with its activity like sekaa manyi, sekaa nandur, sekaa gong, sekaa<br />
suling and others. Dadia is extended family that owning patrilineal relation.<br />
Amount of sekaa member is smaller than dadia and village or subak/banjar adat.<br />
The established bound among member of subak, sekaa and dadia is based on<br />
togetherness feeling and reciprocity. Each member in traditional group will not<br />
have hesitating attitude to give aid for other member because existing trust that at<br />
the time needed, other member surely will raise a hand to assist them (karma law).<br />
As so far, mutually assisting norm that aimed to finish collective activities<br />
is still fasten each member of existing traditional social organization. The Norm<br />
can be maintained because sanction that applied to each collision member is not in<br />
the form of physical sanction and nominal money but in the form of moral like<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
53
excommunication of someone and prohibition order to use public facilities include<br />
praying place (Pura) and grave. It is differ from modern formal organization that<br />
not knowing moral sanction. Establishment process of modern formal<br />
organization is caused by pressure demand of economic factor. Because of<br />
economic oriented, modern organization often unable to tied the member<br />
emotionally but more individual interest.<br />
5.1 Social capital in Subak<br />
Community structure of Bali experienced drastic change. Agrarian<br />
community has changing and migrates to urban area to be tourism community.<br />
Ethnic composition of resident also become to change, caste of and the resident to<br />
be appliance to reach political target. The changes reduce social function of<br />
traditional institution. Cooperation and security as product of traditional<br />
institution become scarce goods and need high cost to obtain.<br />
Tourism sector is weakening because of internal and external factor,<br />
Community start to consider again role of agricultural sector. However,<br />
development bias during this time tend to side tourism sector that cause land<br />
function conversion for large area and automatically negate subak organization<br />
which the existence interconnected with availability of agriculture farm.<br />
Subak is agriculture irrigation organizer that has been established since a<br />
long time ago and until now still play important role in efficacy of agriculture<br />
effort in] Bali. During the time, there is no formal contract system which<br />
conducted by each member of subak. Division of water carried out based on<br />
attitude of trust among member of subak as according to regulation as agreed. The<br />
specified norms is recognized by the name of awig-awig, agreed and adhered by<br />
all members. The Awig-awig is in the form of written and unwritten order. Even<br />
though, the two forms have equal power. Membership of Subak is not based on<br />
residence location but rice field location. Therefore, oftentimes member of subak<br />
is not neighborhood each other or reside in one administrative rural region and<br />
also desa adat.<br />
The result indicate that different residence location is not causing the<br />
subak member having low trust on others. Thick trust of the subak’s member on<br />
other is higher than the thin trust. General trust has positive relation with<br />
participation on organization. This implies that improvement of subak’s member<br />
participation can be conducted by improving trust among individual in the<br />
organization. Dynamics of participation of the subak’s member shows that there is<br />
a significant relationship between participation dynamics and thick trust of the<br />
member.<br />
At lower trust level (80%), it can be concluded that there is negative and<br />
significant relation between trust and amount of free rider. It means that higher<br />
amount of member behaving as free rider, the lower trust among member. In other<br />
side, high trust level (99%) indicated that there is significant and negative relation<br />
between amount of member behaving as free rider free with readiness of member<br />
ti give physical aid on others ; it means that the higher amount of rider free, the<br />
smaller member that readying to give physical aid.<br />
Social capital of subak group is described by observed variable including<br />
organization density, leadership, relationship with other organization which have<br />
the ] same goal in one region and other region, relationship with other<br />
54<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
organization which have different goal in a region and other region, appreciation<br />
to funding group and also initial fund. The latent variable is consisted of trust<br />
variable, network (norm and network)<br />
According to goodness fit of model (AGFI value), the social capital model<br />
of subak community can be used to figure relationship between latent variable and<br />
observed variable due to AGFI value 0.914 is higher that Segars and Grover<br />
(1993) criterion although the chi-square values is significant and RMSE higher<br />
than 0.08. Result of SEM analysis shows that indicator for latent trust variable has<br />
positive sign, indicate that the higher organization density and more democracy<br />
process to choose group leader, the larger community trust. The large contribution<br />
of leadership indicator means that efforts to build trust in subak community can be<br />
initiated by democratic decision making process to choose group leader or<br />
decision making that affected whole member.<br />
1.000<br />
1.000<br />
SC<br />
TRUST<br />
NETWORK<br />
NORMA<br />
Chi-Square=21.64, df=14, P-value=0.08630, RMSEA=0.083<br />
SC<br />
0.078<br />
0.580<br />
0.216<br />
0.078<br />
0.580<br />
0.216<br />
DN 0.943<br />
LEA DERSH 0.523<br />
BONDI NG1 0.987<br />
BONDI NG2 -5.352<br />
BRI DG1 0.991<br />
BRI DG2 0.998<br />
DA NA K EL 0.679<br />
DA NA A W -0.177<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
0.239<br />
0.691<br />
-0.113<br />
-2.520<br />
-0.094<br />
0.046<br />
0.567<br />
-1.085<br />
TRUST 0.994<br />
NETWORK 0.663<br />
NORMA 0.953<br />
-0.037<br />
-0.094<br />
-0.764<br />
Chi-Square=21.64, df=14, P-value=0.08630, RMSEA=0.083<br />
Figure 4 Diagram Path of Social Capital Structural Model for Subak inBali<br />
On the contrary, most of network indicator has negative sign except for<br />
subak organization linkage indicator with other organization which have different<br />
goal in other region. Network in this research is defined as binding that facilitate<br />
cooperation among subak. The research’s results indicate that subak network will<br />
strengthen when interaction with subak or other organization in one region<br />
progressively lower however interaction with other organization in different<br />
55
egion is higher. Result of this research represents logical consequence on reason<br />
that agriculture production process does not need delay. Delay of each phase will<br />
affect on quality of yielded agriculture product. Because of limited time for<br />
farmer, high interaction frequency with other organization will lessen cooperation<br />
tying in the subak. Other fact is strong moral sanction in banjar adat organization<br />
that causing farmer sacrifices activities in farm.<br />
In this case, a norm is defined as readiness of group member to share<br />
burden of group donation. Result of analysis indicates that norm indicator that<br />
consisted of readiness to pay fund for group activities have positive sign, different<br />
with initial fund indicator. Subak is an organization that has been established since<br />
Majapahit monarchic era. The Organization do not economic oriented however on<br />
collective basis. The stronger norms binding the member, more and more<br />
activities that should be done related to upakara to keep safety and efficacy of<br />
agriculture effort. This is will increase expense for member. However, member<br />
conducted by voluntary basis. Differ from initial funding that in they perspectives<br />
should be subsidized by government.<br />
In community of subak, effort to build social capital can be conducted by<br />
norm and network strengthening because of the latent variable has significant<br />
contribution while network has larger value. Development of social capital in<br />
subak group can be carried out by improving sense of belonging of subak member<br />
as expressed by increasing member contribution in every activity. Larger<br />
government interference especially in every activity will lessen member sense of<br />
belonging, finally limiting social control of subak member to the existence of<br />
subak.<br />
Table 6 Latent Variable and Significance of each Indicator on Latent Variable in<br />
Subak Community in Bali<br />
Latent Variable Indicator Coefficient t-hit<br />
Trust 1. Organization density (DN) 0.346 4.534*<br />
2. Leadership 0.893 7.768*<br />
Network* 1. Bonding (1) -0. 109 -4.162*<br />
2. Bonding(2) -3.881 -44.596*<br />
3. Bridging(l) -0.075 -2.861*<br />
4. Bridging (2) 0.044 1.705<br />
Norm I . Group donation 0.827 8.430*<br />
2. Initial funding -1.187 -8.871*<br />
Source : Analysis Result of primary data<br />
Result of this analysis is possible to explain why agriculture in Regency of<br />
Badung (developed region) do not expanding though have available potential<br />
market in region of South Badung. High regional income (PAD) pushes the<br />
government to give aid in large number for farmer by agriculture program. This<br />
condition will weaken effort to overcome or avoid failure risk because the crop<br />
failure do not cause unprofitable for farmer. The subsidize that given to farmer<br />
should do not cause farmer losing of sense of belonging.<br />
5.2 Social capital in Tourism Organization<br />
Tourism community consist of some group that differentiated on work<br />
field basis that is pramuwisata group (HPI), hotel and restaurant owner (PHRI)<br />
and owner of bureau tourism journey (Asita). But the three groups have the<br />
56<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
similar characteristic that represent modern organization with formally character.<br />
All its member works in tourism sector as human resources with relative higher<br />
quality than subak.<br />
Correlation analysis of spearman indicates that there are significant<br />
correlation between thin trust and thick trust. The correlation have positive sign,<br />
its means the higher trust to known person the higher trust to unknown person.<br />
The result is assuring result of previous research that trust is specific component<br />
to expanding tourism activity.<br />
Mutually assisting norm and readiness to give physical aid have negative<br />
and significant relation with amount of rider free. The higher individual which<br />
behave as free rider the weaken norm mutually assisting that lessen individual<br />
readiness give physical aid to other individual.<br />
Income has significant and positive correlation on social expenditure and<br />
carefulness attitude, negative correlation to thin and thick trust. The stronger<br />
carefulness attitude will progressively lower thin and thick trust with the larger<br />
income. The result seems irrational but the reason that income in tourism sector is<br />
having business character with trust capital therefore more careful of a person, the<br />
higher income will obtain.<br />
Pursuant to goodness fit of model criterion, capital social structural model<br />
for the tourism community represent valid model because most of goodness<br />
criterion fulfill by not significant for Chi-square value (P>0.05), AGFI 0.804and<br />
RMSE < 0.08 although AGFI 0.68 (< 0.8). Differ to community of subak, almost<br />
all of indicator for capital social of tourism community have positive sign except<br />
initial fund for the latent variable of norm. Latent trust variable only consisting of<br />
organization density because leadership is not significant. Indicator of network<br />
latent variable of consisted of linkage with other existing organization in one<br />
region and other and also has linkage with organization with the same goal but on<br />
other region.<br />
Density Organization is the single indicator giving significant contribution<br />
to trust latent variable while variable that significant for latent network and giving<br />
largest contribution is interaction indicator among organization with different goal<br />
but reside in the same region. Interaction among the same organization in the<br />
same region is not significant because Bali only have one organization which<br />
centering in Denpasar City. There is no indicator that significantly describe latent<br />
norm.<br />
According to two phase’s analysis, social capital is influenced significantly<br />
by trust variable but norm and network is not significant. Therefore, in order to<br />
underdevelop or strengthening capital social in tourism community is only can be<br />
carried out by improving trust among individual and group that involved in<br />
tourism activities. Furthermore to develop trust is only carried out by improving<br />
organization density for each member. Through higher organization density, it<br />
was expected that trusting each other or eliminate suspect feeling will be<br />
developed.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
57
1.000<br />
1.000<br />
58<br />
SC<br />
TRUST<br />
NETWORK<br />
NORMA<br />
Chi-Square=10.63, df=14, P-value=0.71446, RMSEA=0.000<br />
SC<br />
0.522<br />
0.291<br />
0.479<br />
0.522<br />
0.291<br />
0.479<br />
2.672<br />
0.081<br />
0.158<br />
0.503<br />
0.917<br />
0.265<br />
0.438<br />
-0.183<br />
TRUST 0.727<br />
NETWORK 0.915<br />
NORMA 0.770<br />
DN -6.140<br />
LEA DSHP 0.993<br />
BONDI NG1 0.975<br />
BONDI NG2 0.747<br />
BRI DG1 0.160<br />
BRI DG2 0.930<br />
DA NA K EL 0.808<br />
DA NA WL 0.966<br />
-0.178<br />
1.099<br />
-0.390<br />
Chi-Square=10.63, df=14, P-value=0.71446, RMSEA=0.000<br />
Figure 5 Diagram Path of Social capital structural model for tourism in Bali<br />
Table 7 Latent variable and significance of each Indicator on latent variable of<br />
social capital in tourism community in Bali<br />
Latent variable Indicator Coefficient t-hit<br />
Trust* 1. Organization density 2.672 12.732*<br />
(DN)<br />
2. Leadership 0.081 1.369<br />
Network 1. Bonding (1) 0.158 1.215<br />
2. Bonding(2) 0.503 3.026*<br />
3. Bridging(l) 0.917 3.398*<br />
4. Bridging (2) 0.265 1 .992*<br />
Norm 1 . Group Funding 0.438 1.250<br />
2. Initial Funding -0.183 -1.183<br />
Sources: analysis result of primary data<br />
5.3 Social capital in Banjar/ Desa Pakraman<br />
Process modernization has happened everywhere except in Bali. But in<br />
this rapid modernization streams, Bali’s community remain have strong religion<br />
faith although living and traditional values in progressively changing. Bali’s<br />
community is more and more heterogeneous, not only in the case of traditional<br />
trust system but also in religion and cultural which have an effect on way of<br />
thinking and the behavior (Surata, 1990). Bali, as destination target of<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
international tourism, facing various challenge and temptation, internally and<br />
externally, represents logical consequence of expanding tourism and global<br />
process. One of effort to face external threat is by empowering desa adat.<br />
Desa adat or pakraman village are village institution in social filed,<br />
culture and religion. It is very difficult to differentiate between culture and<br />
religious activities in Bali because have integrated like cloth with the motifs. Jean<br />
Couteau ( 1995) stated that rural community in Bali that integrated in course of<br />
modernization will experience of threat in social solidarity and sustainability of<br />
custom institution as result of moneterization.<br />
1.000<br />
1.000<br />
SC<br />
TRUST<br />
NETWORK<br />
NORMA<br />
Chi-Square=4.24, df=14, P-value=0.99383, RMSEA=0.000<br />
SC<br />
0.380<br />
0.391<br />
0.073<br />
0.380<br />
0.391<br />
0.073<br />
1.101<br />
0.230<br />
0.867<br />
0.267<br />
0.600<br />
0.294<br />
0.232<br />
-0.717<br />
TRUST 0.856<br />
NETWORK 0.847<br />
NORMA 0.995<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
DN -0.212<br />
LEA DERSH 0.947<br />
BONDI NG1 0.249<br />
BONDI NG2 0.929<br />
BRI DG1 0.640<br />
BRI DG2 0.913<br />
DA NA K EL 0.946<br />
DA NA A W 0.485<br />
0.172<br />
-0.545<br />
-0.348<br />
Chi-Square=4.24, df=14, P-value=0.99383, RMSEA=0.000<br />
Figure 6 Diagram Path of Social capital structural model for Desa Pakraman in<br />
Bali<br />
Result of SEM analysis indicates that indicator of latent trust variable is<br />
leadership and organization density, but the two indicators is not significant.<br />
Latent network variable consist of interaction indicator between desa adat in one<br />
region (bonding 1) and also other region (bonding 2) and also interaction between<br />
different goal organization in the same region (bridging 1) and the difference one<br />
(bridging 2). Indicator of norm variable has significant effect on confidence level<br />
90 %.<br />
Result of two phases analysis shows that social capital is significantly<br />
affected by variable of trust and network. For the reason, trust should be<br />
developed by means improving organization density and building interaction with<br />
various organization but interaction with adat village in one region is effort that<br />
59
should be prioritized because giving the largest contribution. Structural equation<br />
model of capital social in adat village community have some criterion of goodness<br />
fit of model that is chi-square value is not significant (>0.5), RMSE lower than<br />
0.08 and AGFI value higher than 0.8.<br />
Table 8 Latent Variable and significance of each Indicator on latent Variable of<br />
Social capital in Banjar/Desa Pakraman community in Bali<br />
Variable laten<br />
Indicator<br />
Coefisien t-hit<br />
Trust* 1 . Organization density (DN) 1.101 1.586<br />
Network*<br />
Norm<br />
60<br />
2. Leadership<br />
0.230<br />
1. Bonding (1) 0.867<br />
1.368<br />
4.233*<br />
2. Bonding(2) 0.267 2.608*<br />
3. Bridging(l) 0.600 3.492*<br />
4. Bridging (2)<br />
1 . Group Funding<br />
2. Initial Funding<br />
Sources: Analysis result of primary data<br />
6. CONCLUSION<br />
0.294<br />
0.232<br />
-0.717<br />
2.454*<br />
1.745*<br />
-1.794*<br />
Result of quantitatively and qualitatively data processing shows that :<br />
1. Thick trust (trust to the same ethnics) is higher than thin trust (trust on<br />
other ethnics thin trust). The two trust tend to have negative linkage.<br />
2. Strengthening of social capital in developing region can be implemented<br />
by strengthening three component of social capital because give significant<br />
and positive contribution. Strengthening of social capital in developed<br />
region could be implemented just by improving trust.<br />
3. Strengthening of social capital in subak community could be implemented<br />
by means extended group network and norm, strengthening of social<br />
capital in banjar could be carried out by trust and network while for<br />
tourism community is by improving trust only.<br />
7. RECOMMENDATION<br />
Component of capital social builder is different each other pursuant to the<br />
type of organization or regional development level. Therefore, effort to conduct<br />
revitalization cannot be formulated generally but should be adapted with regional<br />
and/or group characteristic.<br />
REFERENCES<br />
Artadi IK. 1993. Manusia Bali. Bali Post Press. Denpasar.<br />
Casson M, A Godley. 2000. Cultural Factors in Economic Growth. Germany.<br />
Springer-Verlag Berlin – Heidelberg.<br />
Coleman J S. 1990. Foundations of social theory. Cambridge MA : Belknap.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Collier P. 1998. Social capital and poverty. World Bank SCI Working Paper no<br />
4, November. (www.iris.umd.edu/adass/proj/soccap.asp).<br />
Cristoforou A. 2003. Social Capital and Economic Growth: The Case of Greece.<br />
London School of Economic : Paper for The 1 st PhD Symposium on<br />
Social Science Research in Greece of the Hellenic Observatory.<br />
European Institute. asimina@aueb.gr.<br />
Dasgupta P, Serageldin I. 2002. Social Capital: A Multi Faceted Perspective.<br />
World Bank, Washington, DC.<br />
Dasgupta P. 2005. A Measured Approach: Special Issue. September 2005.<br />
ISSN 0036-8733. Scientific American, Inc, 415 Madison Avenue, New<br />
York.<br />
Fukuyama F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity.<br />
The Free Press, New York.<br />
Fukuyama F. 1999. Social Capital and Civil Society. The Institute of Public<br />
Policy. George Mason University. International Monetary Fund.<br />
Granovetter MS. 1973. The Strength of Weak Ties. American Journal of<br />
Sociology, 78, 1360 – 80.<br />
Grootaert C. 1999. Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia.<br />
World Bank Working Paper, unpublished.<br />
Grootaert C. 2001. Does Social Capital Help the Poor? A Synthesis of Findings<br />
from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and<br />
Indonesia. Local Level Institutions Working Paper No. 10, Social<br />
Development Department, World Bank, Washington, D.C.<br />
Grootaert C, T van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social<br />
Capital. A Multidisciplinary tool for practitioners. The World Bank<br />
Washington, D.C.<br />
Iyer S, M Kitson, B Toh. 2005. Social Capital, Economic Growth and Rgional<br />
Development. Regional Studies, Vol 39.8, pp.1011040, November<br />
2005.<br />
Olson M. 1982. The Rise and Decline of Nation. New Haven. Yale University<br />
Press.<br />
Putnam R D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy.<br />
Princeton: Princeton University Press.<br />
Putnam R D. 2000. Bowling alone: The Collapse and Revival of American<br />
Community. Simon and Schuster, New York, NY.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
61
PERBAIKAN PERTUMBUHAN BIBIT SOKA (Ixora coccinea l.) DENGAN<br />
PERENDAMAN SETEK DALAM URINE SAPI<br />
62<br />
I Made Sukerta<br />
Jurusan Agreteknologi <strong>Universitas</strong> Maharaswati Denpasar<br />
ABSTRACT<br />
The cow urine concentration and soaking duration of the growth of cutting<br />
Soka (Ixora coccinea L.)" aims to find out the influence of the concentration of<br />
cow urine and soaking duration and the interaction of the growth of Soka slip.<br />
Concentration of cow urine treatment and soaking time and the interaction effect<br />
is significantly for most of the parameters observed, except for cutting the<br />
percentage of fresh, the number and percentage of shoot bud and roots.<br />
Concentration of cow urine treatment and duration soaking together signifinatly<br />
effect on the oven dry weight of shoots per cutting. Oven dry weight of shoots is<br />
the highest of 0.715 g per cutting obtained in the treatment of concentration 10%<br />
cow urine and soaking time 15 minutes (P1U4), an increase of 81.01% compared<br />
with treatment without the concentration of cow urine with soaking time 60<br />
minutes (P4U0) which weighed 0.395 g per cutting. Based on the regression<br />
equation can be suspected: Y = 0.35532539 + 0.07064362 + U P 0.00083333 -<br />
0.00301326 U2 - 0.00082267 UP, with determination coefficients (R2) = 99%<br />
obtained by the oven dry weight of shoot a maximum of 0.65 g per cutting in the<br />
concentration of cow urine with a 9.67% long soaking 15 minutes<br />
Key word : Soka (Ixora coccinea l.), cow urine, soaking<br />
1. PENDAHULUAN<br />
1.1 Latar Belakang<br />
Desa Petiga yang berada di Kecamatan Marga, Tabanan, merupakan<br />
penghasil tanaman hias, seperti puring, soka, rumput-rumputan dan pucuk. Warga<br />
tani di desa ini dulunya menanam rambutan, cengkeh dan vanili. Namun panen<br />
tak pernah lebih dari dua kali setahun. Ahkirnya banyak warga tani yang memilih<br />
menekuni tanaman hias. Sebagian besar warga mempunyai usaha tanaman hias,<br />
ini merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan selain bidang<br />
<strong>pertanian</strong> tanaman pangan. Bahkan ada warga yang memanfaatkan sawahnya<br />
untuk lahan tanaman hias karena air yang mengairi sawah sudah berkurang.<br />
Soka (Ixora coccinea L.) merupakan salah satu tanaman hias yang<br />
berbatang perdu dengan percabangan yang banyak. Sebagai tanaman hias, soka<br />
memang mempunyai keistimewaan yaitu bunganya yang elok dan warnanyapun<br />
ada yang bermacam-macam seperti merah, kuning, kuning pucat, orange, merah<br />
jambu, merah muda, putih dan salem (Anon., 1992).<br />
Soka sebenarnya mempunyai nilai estetika yang cukup tinggi, ini terlihat<br />
dari peranannya yang cukup menonjol sebagai tanaman hias pagar pada gedunggedung<br />
perkantoran, menghiasi taman pada hotel-hotel, menghiasi pertamanan<br />
kota. Soka yang ditanam di tanah atau ditanam di dalam pot dapat direkayasa<br />
menjadi soka bonsai dan soka kombi. Baik soka bonsai dan soka kombi dapat<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
dimanfaatkan sebagai bunga potong, yang banyak diminati orang, sehingga<br />
prospek ekonominya cukup cerah (Anon., 1992).<br />
Soka dapat dikembangbiakkan secara generatif maupun vegetatif.<br />
Perbanyakan soka secara generatif menggunakan bijinya, namun cara ini jarang<br />
dilakukan dan hanya terbatas untuk keperluan pemuliaan. Perbanyakan secara<br />
vegetatif yaitu dengan menggunakan setek batang atau cabang, tanaman yang<br />
dihasilkan dari setek biasanya mempunyai persamaan dalam umur, ukuran tinggi,<br />
ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan tanaman yang diperoleh akan<br />
sempurna yaitu telah mempunyai akar, batang dan daun dalam waktu yang<br />
relative singkat.<br />
Pembiakan tanaman dengan setek sering dihadang kendala yaitu sukar<br />
terbentuknya perakaran pada tanaman. Apabila hal ini bisa diatasi, maka<br />
perbanyakan dengan cara setek merupakan perbanyakan yang paling baik, praktis<br />
dan ekonomi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merangsang<br />
pertumbuhan dan pembentukan akar pada setek adalah dengan pemakaian zat<br />
pengatur tumbuh.<br />
Zat pengatur tumbuh yang digunakan dapat berupa zat pengatur tumbuh<br />
sintetis maupun zat pengatur tumbuh alami. Untuk mempercepat perakaran setek<br />
dapat menggunakan zat tumbuh Rootone F. Begitu pula berbagai jenis zat tumbuh<br />
buatan seperti IBA, NAA, IAA dan sejenisnya telah diketahui pengaruhnya<br />
sebagai perangsang perakaran setek tanaman. Terlepas dari zat pengatur tumbuh<br />
buatan perangsang perakaran, ternyata salah satu zat tumbuh alami yang banyak<br />
terdapat di sekitar kita yaitu urine sapi telah pula dicoba pemanfaatannya untuk<br />
merangsang perakaran setek tanaman. Prayuginingsih (1986) mengatakan bahwa<br />
urine sapi merupakan zat tumbuh alternative yang murah dan mudah diperoleh.<br />
Urine sapi mengandung auksin a dan auksin b serta IAA. Sebagai herbivora, sapi<br />
memakan jaringan tumbuhan yang banyak mengandung auksin. Auksin yang<br />
termakan tidak dapat dicerna dalam tubuh sapi sehingga terbuang bersama urine.<br />
BPP Jember telah membuktikan bahwa urine sapi 5% sebagai zat pengatur<br />
tumbuh mempunyai pengaruh yang sama dengan IBA 3000 ppm dalam<br />
merangsang pembentukan akar pada setek kopi (Suprijadji, 1985 dalam<br />
Tjokrosudarmo, 1989).<br />
1.2 Rumusan Masalah<br />
Masalah utama yang sering muncul pada pembiakan dengan setek adalah<br />
sukar terbentuknya perakaran pada tanaman. Apabila masalah ini bisa diatasi,<br />
maka perbanyakan dengan cara setek merupakan perbanyakan yang paling baik,<br />
praktis dan ekonomis, salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merangsang<br />
pertumbuhan dan pembentukan akar pada setek adalah dengan pemakaian zat<br />
pengatur tumbuh.<br />
Urine sapi merupakan salah satu zat perangsang tumbuh alternative yang<br />
murah dan mudah diperoleh serta ramah lingkungan. Dengan demikian urine sapi<br />
yang dulunya terbuang begitu saja akan dapat bermanfaat atau mempunyai nilai<br />
ekonomis khususnya bagi usaha pengembangbiakan tanaman dengan cara setek.<br />
1.3 Tujuan Penelitian<br />
1.Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi urine sapi dan lama<br />
perendaman serta interaksinya terhadap pertumbuhan setek soka.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
63
64<br />
2. Untuk memperoleh konsentrasi urine sapi dan lama perendaman<br />
optimum bagi pertumbuhan setek soka.<br />
1.4 Manfaat Penelitian<br />
1. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan<br />
khususnya dalam bidang budidaya tanaman hias bahwa dengan<br />
teknologi pemanfaatan urine sapi sebagai zat perangsang tumbuh<br />
mampu meningkatkan keberhasilan setek tanaman hias soka.<br />
2. Petani mampu menyediakan bibit secara berkesinambungan sehingga<br />
masyarakat tani dapat meningkatkan pendapatan khususnya di desa<br />
Petiga, Marga, Tabanan.<br />
2. METODE PENELITIAN<br />
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan<br />
susunan faktorial. Terdiri dari dua faktor yaitu faktor pertama perendaman dalam<br />
larutan urine sapi (P) dan faktor ke dua konsentrasi urine sapi (U), dengan ulangan<br />
dua kali. Adapun perlakuan-perlakuan yang diberikan dalam percobaan ini adalah:<br />
1. Faktor lama perendaman setek dalam larutan urine sapi (P) yang terdiri dari 4<br />
taraf yaitu :<br />
P1 = direndam selama 15 menit<br />
P2 = direndam selama 30 menit<br />
P3 = direndam selama 45 menit<br />
P4 = direndam selama 60 menit<br />
2. Faktor konsentrasi urine sapi (U) yang terdiri dari 5 taraf yaitu :<br />
U0 = tanpa konsentrasi urine sapi<br />
U1 = konsentrasi urine sapi 2,5%<br />
U2 = konsentrasi urine 5,0%<br />
U3 = konsentrasi urine 7,5%<br />
U4 = konsentrasi urine sapi 10,0%<br />
Jumlah perlakuan kombinasi yaitu 20 perlakuan sebagai berikut : P1U0,<br />
P1U1, P1U2, P1U3, P1U4, P2U0, P2U1, P2U2, P2U3, P2U4, P3U0, P3U1, P3U2, P3U3,<br />
P3U4, P4U0, P4U1, P4U2, P4U3, P4U4.<br />
Masing-masing kombinasi diulang 2 kali, sehingga terdapat 40 satuan<br />
percobaan dan setiap satuan percobaan digunakan 10 setek. Percobaan dilakukan<br />
di Desa Petiga, Marga Tabanan dari bulan Juni sampai bulan September 2009.<br />
Pengamatan dimulai setelah setek berumur 4 minggu dan dilakukan setiap<br />
1 minggu sampai tanaman berumur 12 minggu. Untuk pengamatan ditentukan<br />
tanaman contoh sebanyak 6 setek. Peubah yang diamati meliputi :<br />
(1) persentase setek segar (%), (2) saat tumbuh tunas (hst), (3) jumlah tunas<br />
(buah), (4) panjang tunas (cm), (5) jumlah daun tunas (helai), (6) jumlah akar<br />
primer (buah), (7) panjang akar primer (cm), (8) persentase setek bertunas dan<br />
berakar (%), (9) berat basah akar per setek (g), (10) berat kering oven akar per<br />
setek (g), (11) berat basah tunas per setek (g), (12) berat kering oven tunas per<br />
setek (g).<br />
Pengamatan jumlah dan panjang akar primer, persentase setek bertunas dan<br />
berakar, berat basah akar dan tunas, berat kering oven akar dan tunas dilakukan<br />
pada akhir percobaan, dengan jumlah setek setiap peubah sebanyak 3 setek.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Data yang dikumpulkan dianalisis dengan analisis varian (sidik ragam) sesuai<br />
dengan rancangan yang digunakan. Apabila terdapat pengaruh interaksi yang<br />
nyata terdapat variabel yang diamati maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda<br />
Duncan 5% dan jika hanya pengaruh faktor tunggal, dilanjutkan dengan uji BNT<br />
5%. Untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi urine sapi dengan lama<br />
perendaman terhadap berat kering oven tunas per setek dilakukan dengan analisis<br />
regresi (Gomez dan Gomez, 1995).<br />
3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi urine<br />
sapi dan lama perendaman serta interaksinya berpengaruh nyata sampai sangat<br />
nyata (p
ns = tidak berbeda nyata pada taraf 5%<br />
* = berbeda nyata pada taraf 5%<br />
** = berbeda sangat nyata pada taraf 1%<br />
Meningkatnya berat kering oven tunas disebabkan karena meningkatnya<br />
pertumbuhan tunas seperti meningkatnya berat basah tunas, panjang tunas dan<br />
jumlah daun tunas. Hal tersebut didukung oleh adanya hubungan yang nyata<br />
antara berat kering oven tunas dengan berat basah tunas, panjang tunas dan jumlah<br />
daun tunas dengan nilai r masing-masing sebesar +0,9668**, +0,8483**, dan<br />
+0,7113**.<br />
Tingginya berat kering oven akar setek soka disebabkan karena pada<br />
perlakuan konsentrasi urine sapi 10% dan lama perendaman 15 menit (P1U4)<br />
menghasilkan berat basah akar yang tinggi, jumlah akar primer yang banyak dan<br />
mempunyai akar primer yang panjang. Hal tersebut juga tercermin oleh adanya<br />
hubungan yang nyata antara berat kering oven akar dengan berat basah akar,<br />
jumlah akar primer dan panjang akar primer dengan nilai r masing-mmasing :<br />
+0,8917**, +0,9092** dan +0,9498** (Tabel 15).<br />
Dengan terbentuknya sistim perakaran yang lebih baik akan menjamin<br />
pertumbuhan tanaman yang lebih baik pula, karena akar mempunyai fungsi yang<br />
sangat penting yaitu selain sebagai penyerap air dan mineral dalam tanah, juga<br />
sebagai alat untuk bernafas bagi tanaman (Audus, 1963). Dimana air, unsur hara<br />
atau mineral merupakan bahan baku dalam pembentukan fotosintat.<br />
Untuk memacu pertumbuhan akar tanaman pada pembiakan setek, dapat<br />
dibantu dengan pemberian zat tumbuh dalam jumlah tertentu (Rochiman dan<br />
Harjadi, 1973). Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian<br />
konsentrasi urine sapi berpengaruh baik terhadap pertumbuhan akar setek tanaman<br />
soka. Hal ini terlihat dari data jumlah akar primer, panjang akar primer, berat<br />
basah akar dan berat kering oven akar per setek (Tabel 2, 8, 9, 11 dan 12). Hal<br />
tersebut diduga karena adanya auksin yang terkandung di dalam urine sapi<br />
mempunyai efek fisiologis terhadap tanaman, yaitu mendorong pertumbuhan akar.<br />
Hasil penyelidikan Kogl et al., (1931 dalam Dwidjoseputro, 1989) menyatakan<br />
bahwa urine manusia maupun hewan terutama sehabis makan zat-zat yang berasal<br />
dari tumbuhan mengandung auksin a, aksin b dan heteroauksin. Auksin ini<br />
sebagian tidak dapat dicerna oleh tubuh sapi sehingga terbuang bersama urine.<br />
Lebih lanjut lagi Hartmann dan Kester (1983 dalam Suparman et al., 1990)<br />
mengemukakan pendapat para ahli terdahulu yang menyatakan adanya suatu zat<br />
spesifik yang bersifat merangsang perakaran yang dihasilkan di daun. Zat yang<br />
menyerupai hormon ini mereka sebut ”rhizocaline”. Rhizocaline yang terkandung<br />
di dalam daun-daunan yang dimakan sapi juga dapat terbawa bersama urine.<br />
Perendaman setek dalam konsentrasi urine sapi 10% dengan lama<br />
perendaman 15 menit (P1U4) memberikan pengaruh paling baik terhadap<br />
pertumbuhan akar, daripada perlakuan konsentrasi yang lebih rendah pada<br />
perendaman 15 menit (P1U1, P1U2 danP1U3). Sebaliknya ditingkatkannya waktu<br />
perendaman (P2, P3 dan P4) pada perlakuan urine sapi ternyata menurunkan<br />
pertumbuhan akar (baik jumlah akar primer, panjang akar primer, berat basah akar<br />
dan berat kering oven akar per setek) (Tabel 8, 9, 11 dan 12). Hal ini sesuai<br />
dengan pendapat Rochiman dan Harjadi (1973) bahwa zat tumbuh yang diberikan<br />
terlalu sedikit kurang efektif untuk memacu pertumbuhan tanaman namun<br />
sebaliknya apabila zat tumbuh yang diperlukan maka akan dapat merusak dasar<br />
66<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
setek, karena pembelahan sel dan kalus berlebihan sehingga dapat menghambat<br />
tumbuhnya tunas dan akar. Lamanya setek direndam dalam larutan urine sapi<br />
menyebabkan serapan zat tumbuh oleh sel tanaman melebihi jumlah optimum<br />
sehingga dapat menghambat pertumbuhan setek soka.<br />
Meningkatnya pemberian konsentrasi urine sapi pada lama perendaman 15<br />
menit (P1) menyebabkan makin meningkatnya berat kering oven tunas setek. Dan<br />
apabila waktu perendaman ditingkatkan sampai 60 menit (P4) sesuai perlakuan<br />
ternyata terjadi penurunan hasil berat kering oven tunas per setek (Gambar 4). Hal<br />
tersebut diduga karena makin lama setek direndam dalam larutan urine sapi, setek<br />
akan mengabsobsi zat tumbuh maupun unsur-unsur yang terkandung dalam<br />
larutan urine itu telah melebihi jumlah optimum yang dibutuhkan setek untuk<br />
pertmbuhan akar dan tunas. Sehingga sifat zat tumbuh yang mendorong<br />
pertumbuhan tanaman berubah menghambat pertumbuhan tanaman. Disamping<br />
itu pula unsur-unsur yang terkandung dalam urine sapi (Lampiran 13) dalam<br />
jumlah yang relatif banyak diserap oleh setek dapat berbahaya atau meracuni<br />
tanaman yang sudah tentu menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Hal<br />
ini ditegaskan oleh Prawiranata (1981 dalam Tjokrosudarmo, 1989) amoniak<br />
bebas (NH3) dan urea dalam jumlah yang banyak dapat bersifat racun (toksin)<br />
untuk kebanyakan tumbuhan. Hanya tumbuhan yang mempunyai cairan vakuola<br />
bersifat asam dapat menyimpan ion amoniak sebagai garam amonium dalam<br />
jumlah yang relatif besar tanpa menimbulkan gangguan pada tumbuhan.<br />
4. KESIMPULAN DAN SARAN<br />
4.1 Kesimpulan<br />
Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan dapat ditarik simpulan<br />
sebagai berikut :<br />
1. Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman secara bersamasama<br />
berpengaruh nyata terhadap segian besar parameter yang diamati<br />
kecuali terhadap persentase setek segar, jumlah tunas, dan persentase setek<br />
bertunas dan berakar.<br />
2. Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman memberikan<br />
pengaruh secara bersama-sama terhadap berat kering oven tunas per setek<br />
dengan persamaan regresi : Y = 0,35532539 + 0,07064326U +<br />
0,00083333P – 0,00301326U2 – 0,00082267UP, dengan koefisien<br />
determinasi (R2) = 99%. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh berat<br />
kering oven tunas per setek maksimum sebesar 0,65 g per setek, pada<br />
konsentrasi urine sapi 9,67% dengan lama perendaman 15 menit.<br />
4.2 Saran<br />
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan, untuk mendapatkan<br />
pertumbuhan setek tanaman soka yang baik pada pembibitan disarankan<br />
menggunakan zat tumbuh alami yaitu urine sapi dengan konsentrasi 9,67% (10%)<br />
dengan lama perendaman setek dalam larutan sapi tersebut 15 menit.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
67
DAFTAR PUSTAKA<br />
Anonimus (1992). Budidaya Tanaman Soka. Liptan. Balai Informasi Pertanian<br />
Bali.<br />
Rochiman, K. dan S.S. Harjadi (1973). Pembiakan Vegetatif. Departemen<br />
Pertanian. IPB. Bogor.<br />
Prayuginingsih, H. (1986). Urine Sapi dan Air Kelapa sebagai Zat Tumbuh<br />
Alternatif Untuk Merangsang Perakaran Setek Stevia (Stevia rebaudiana<br />
Bortani M.) Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.<br />
Tjokrosudarmo, C. (1989) Pengaruh posisi ruas bahan setek dan urine sapi<br />
terhadap pertumbuhan setek kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex<br />
Froehner). Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor<br />
Sastrapradja, S., Nasution R.E., Idris S., Imelda M., Roedjito A., Soerohaloko S.,<br />
dan Suroyo L., (1980) Tanaman Hias Penting di Indonesia. Balali Pustaka.<br />
Jakarta.<br />
Francisca R. (1991). Pengaruh Populasi Tanaman Soka Jepang (Ixora chinensis<br />
var. aurantiaca) dengan Berbagai Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan<br />
Perkembangan Sebagai Tanaman Massal. Jurusan Budidaya Pertanian.<br />
IPB. Bogor<br />
Adriance, G.O. and F.R. Brison, (1955). Propagation of horticultura Plant. Mc.<br />
Graw Hill Book Co. Inc., New York.<br />
Rismunandar, 1988 Hormon tanaman dan ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.<br />
Adriance, G.O. and F.R. Brison (1955).Propagation of horticultural plant. Mc.<br />
Graw Hill Book Co. Inc., New York. 289 p.<br />
Audus, L. J. (1963). Plant Growth Substance. Interscience Publisher. Inc., New<br />
York. 553 p.<br />
Crockett, J.U. (1978). Plowering House Plants. Time Hill Books. 160 p.<br />
Dwidjoseputro, D. (1989). Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia.Jakarta.<br />
225 hal.<br />
Ida Dwiwarni (1990). Pemanfaatan Urine Sapi pada Setek Lada. Bull. Tan.<br />
Industri. Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah danObat Natar (5) : 19 –<br />
10 hal.<br />
Leopold, A.C. (1963). Auksin and Plant Growth. Univ. California Press. Barkley<br />
and Los Angeles. 354 p.<br />
Mahlstede, J.P. and E.S. Haber (1957). Plant Propagation John Wiley & Sons Inc.<br />
New York. 413 p.<br />
Nurhayati Hakim, Nyakpa M.Y., Lubis A.M., Nugroho S.Gh., Soul M.R., Diha<br />
M.A., Hong G.B., dan Bailey H.H. (1986). Dasar-dasar Ilmu Tanah.<br />
<strong>Universitas</strong> Lampung. 488 hal.<br />
Prayuginingsih, H. (1986). Urine Sapi dan Air Kelapa Sebagai Zat Tumbuh<br />
Alternatif Untuk Merangsang Perakaran Setek Stevia (Stevia rebaudiana<br />
Bortani M.) Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas<br />
Pertanian IPB.Bogor (tidak dipublikasikan). 68 hal.<br />
Rencana. K. (1988). Pengaruh Panjang Setek dan Konsentrasi Zat Pengatur<br />
Tumbuh IBA terhadap Pertumbuhan Bibit Anggur (Vitis vinivera).<br />
Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertnian Fakultas Pertanian Univ.<br />
Mahasaraswati Denpasar. 53 hal.<br />
68<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Rismunandar (1988). Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta,<br />
58 hal.<br />
Rochiman, K. Dan S.S. Harjadi (1973). Pembiakan Vegetatif. Departemen<br />
Pertanian. IPB. 70 hal.<br />
Sastrapradja, S., Nasution R.E., Idris S., Imelda M., Roedjito A., Soerohaloko S.,<br />
dan Suroyo L., (1980). Tanaman Hias Penting di Indonesia. PN. Balai<br />
Pustaka. Jakarta.<br />
Stoutemyer, V.T. (1954). Enccuragement of Roots Plant Regulators in : Plant<br />
Regulators in Agriculture. H.B. Tukey. Editor. John Wiley and Sons Inc.<br />
New York. 245 p.<br />
Sukerta (1989). Pengaruh Dosis Pupuk NPK 15.15.15 dan Dosis Dekamon 22,43<br />
L terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabe Besar (Capsicum<br />
annuum L.). Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertnian Fakultas<br />
Pertanian Univ. Mahasaraswati Denpasar. 111 hal.<br />
Suparmanm Sunaryo dan Sumarko, (1990) Kemungkinan Penggunaan Kemih<br />
Sapi Untuk Merangsang Perakaran Setek Lada (Piper ningrum L.) Bul,<br />
Litro Vol. V No.1. Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Natar.<br />
23 – 26 hal.<br />
Steenis, C.G.G.J. (1981). Flora. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. 400 hal.<br />
Syarief, B.S. (1985). Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana.<br />
Bandung. 182 hal.<br />
Timan, K.V. (1969). Auxin in : Fisiologi Tanaman. M.B. Wilkins (ed). (edisi<br />
bahasa Indonesia). PT. Bina Aksara, Jakarta. 454 hal.<br />
Tjokrosudarmo, C. (1989). Pengaruh Posisi Ruas Bahan Setek dan Urine Sapi<br />
terhadap Pertumbuhna Setek Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex<br />
Froehner) Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya IPB. Bogor. 62 hal.<br />
Widianto (1988). Membuat Setek, Cangkok dan Okulasi. PT. Penebar Swadaya.<br />
Jakarta. 68 hal.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
69
70<br />
REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE<br />
FOR PROMOTING SUSTAINABLE FARMING<br />
AND COMMUNITY-BASED TOURISM<br />
Cening Kardi<br />
Jurusan Agribisnis <strong>Universitas</strong> Mahasaraswati Denpasar<br />
ABSTRACT<br />
The embodiment of metaphysical agriculture in Bali is agricultural ritual and practicing<br />
agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. It is carried out by subak (institution<br />
for water-control-system in Bali). In this case using organic inputs towards sustainable<br />
farming is very appropriately to the philosophy of Rwa Bhineda. The values of traditionreligion-aspiration-culture<br />
in subaks were weakened and rather meaningless as the<br />
impacts of: neglect to metaphysical agriculture; and capital based tourism development.<br />
Actually the good practices of metaphysical agriculture were able to enrich and to<br />
beautify objects of tourism in villages, likewise their income generating for the<br />
population. Subaks were rather not powerful and not authoritative in performing<br />
agricultural ritual effectively and meaningfuly, neither in signifying organic techniques in<br />
farming. Therefore, a study on revitalization of metaphysical agriculture should be<br />
conducted, with aims: (1) to determine the level of success of metaphysical agriculture;<br />
and (2) to analyze factors of subaks which affecting the success of metaphysical<br />
agriculture. A survey method through questionnaire was used to collect data from 42<br />
subaks in 42 different desa adats (customary villages) which were selected using<br />
purposive sampling. The all questionnaires used Likert scale. Percentage the total score of<br />
a variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level of<br />
the variable on that subak. Regression analysis was used to estimate the effect of factors<br />
of subaks to the success of metaphysical agriculture. Result of the research indicated that<br />
the level of success of metaphysical agriculture was medium. The factors Authority of<br />
subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule);<br />
and Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) were strongly affected the<br />
success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was<br />
quitely affected, but Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly<br />
affected the success of metaphysical agriculture.<br />
Based on the findings in this research, it could be suggested as follows. It needs an<br />
assistance process at subaks to revitalize metaphysical agriculture by counseling and<br />
demonstrating plots of organic farming with sophisticated technology. First before this<br />
program, disseminating explanation regarding: implementation of meaningful agricultural<br />
rituals and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda. More adroitly<br />
to decipher sangkepan and awig-awig, and more aggressively to execute punishment to<br />
transgressors of awig-awig. It requires pilot project activity, namely by performing<br />
assistance for the formation of farmer cooperative at some subaks.<br />
Key words : metaphysical, subak, revitalization, Rwa Bhineda.<br />
1. INTRODUCTION<br />
Transformation and dynamism are very essential characteristic of<br />
community and culture. It is irrefutable fact that ”transformation” denotes<br />
phenomenon which always features the passage of community and its culture.<br />
There isn’t a statics community in absolutly. Every community always gains<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
transformation on time function, so there isn’t a community has same portraits on<br />
different periods, neither ”traditional” nor modern community, although they<br />
change with varied rapidity (Haferkamp dan Smelser, 1992).<br />
The communities with their cultures in Bali are not exception in this case.<br />
In other words, Bali always changes from age to age and even from day to day.<br />
Something has been worried ” isn’t Bali spoiled?” due to the effect of global<br />
population dynamism that has caused intensive and extensive capital-based tourism<br />
development as the policy and program for economic improvement of the<br />
government, to catch the trend of the world.<br />
The capital-based tourism development brought about great batterer<br />
energy that caused very structural changes in Baliness society and culture.<br />
Tourism in Bali much changed from cultural-based tourism (in the era before<br />
1975) to be competitive and commercial tourism. Unfortunately, these<br />
competitive and commercial attitudes and behaviours spreaded to the nearly all of<br />
social-traditional-religious institutions in Bali, especially Subaks (institutions for<br />
agricultural water-control-system in Bali) and desa adats (customary villages).<br />
Actually, subak denotes a technology developing and synergizing with<br />
community culture. On that account, subak is known as an institution having<br />
socio-cultural characteristic. It is reflected by the activities of subak predominated<br />
by mutual assistance and ritual ceremonies (Windia et al., 2010). So much local<br />
genius and local wisdoms as the part of subak’s and desa adat’s sermons which<br />
they are neglected, mainly in the concepts and implementations of metaphysical<br />
agriculture. Finaly the values of tradition-religion-aspiration-culture in subaks are<br />
weakened and rather becoming meaningless, whereas tourism sector apparently<br />
has been taking benefits from the assets which rooted in tradition-religionaspiration-culture<br />
of subaks and desa adats.<br />
The agricultural activities in Bali are not only in physical study but also in<br />
metaphysical. The embodiment of metaphysical agriculture in Bali is as follows.<br />
1. Agricultural ritual and customary ceremonies. There are two biggest ritual:<br />
Nyapah which take place in center village temple (Bale Agung temple)<br />
twice in every year; and Usaba in a hill temple of subak (Bedugul temple).<br />
These two rituals are very facilitated by desa adat. Various medium and<br />
small rituals which are arranged by members (krama) of subak in each<br />
their farm fields.<br />
2. Practicing agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. These<br />
activities of agriculture concern to keep on the balance of ecosystem in<br />
farming land. In this case using organic inputs towards sustainable<br />
farming is very appropriately to the philosophy of Rwa Bhineda.<br />
The rituals were established and developed as the corollary of sincere<br />
characteristics of farmers in subak to possess devotion and sacred deed/karma<br />
through giving sacred offering to Goddess Sri (the omnipresent Deity in farming<br />
area), after they got crops and exploited some resources for plants farming. it was<br />
karma of take and give (Namayudha 1999).<br />
Actually the good practices of metaphysical agriculture were able to enrich<br />
and to beautify objects of tourism in the villages of Bali, likewise their income<br />
generating for population in the villages. But nowadays subaks and desa adats<br />
are rather not powerful and not authoritative in performing rituals agriculture<br />
effectively and meaningfuly, neither in signifying techniques for organic farming.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
71
Concerning with the weakness owned by subaks, a study on revitalization of<br />
metaphysical agriculture should be conducted. The aims of this study were: (1) to<br />
determine the level of success of metaphysical agriculture; and (2) to analyze<br />
factors of subaks which affecting the success of metaphysical agriculture. These<br />
factors were: authority of subak to determine their own life; effectiveness of awigawig<br />
(subak’s customary rule); effectiveness of sangkepan (social-religious<br />
gathering); social relation of subak to desa adat; and intensity of discussion Weda<br />
script in subak.<br />
2. RESEARCH METHODS<br />
2.1 Theoretical Frame of Metaphysical Agriculture Urgency<br />
Popper, 1983 explained that every form is natural objective, and every idea<br />
is subjective. There is objective truth that unrestricted by space and time, it is in<br />
the higher level than both objective forms and subjective ideas and it has<br />
metaphysical quality.<br />
Orderliness of the cosmos is objective and metaphysical truth, it is in<br />
transcendent level and ordered by the God as creator. The steadiness of universe,<br />
like there are: noon vs night, prey vs predator; natality vs mortality, and<br />
plentifully others are coming into sight the omnipotence of the God. These pairs<br />
of two qualities in one (dichotomies) which appear in contrary are some<br />
exsamples of Rwa Bhineda. The forms of Rwa Bhineda must be controled to be<br />
stable and balance in anyhow, anyplace and particularly in agricultural activities<br />
(producing food) which have kept on population to be alive.<br />
The universe is pervading by conciousness. The conciousness can be<br />
classified to be partial/limited conciousness and super conciousness. When the<br />
conciousness takes embodiment through a birth, it becomes partial/limited<br />
conciousness. Since the conciousness to be restricted by its body. Sadness,<br />
happiness, anger, love, etc., are some impressions/feelings emerged by body. The<br />
super conciousness standing firmly and never be dissolved in feeling is named<br />
Paramaatma. Paramaatma denotes source of Atma, this Atma dwells within<br />
body. The merging of Atma to body performs soul, the efforts of soul continuesly<br />
to achieve Paramaatma makes happen metaphysical activities, while<br />
Paramaatma permanently in transcendent level (Sri Sathya Narayana, 1996).<br />
Tattwamasi (you are essentially me), and Advesta Sarwa Bhutanam (love<br />
all creatures) were some sacred directions of Weda script. They were strong<br />
believed and done by farmers of subak. Because of revolution on agriculture<br />
latter, introduced pesticides that were adopted by farmers. Actually, pesticides<br />
gave more dangers to all creatures, those were poison residue in food, damaged<br />
ecosystem, resistance and resurgence of plant pests and diseases. Therefore,<br />
Tattwamasi and Advesta Sarwa Bhutanam denoted metaphysical practicality<br />
should be believed and done. For the present days, practicing organic farming is<br />
indicator for metaphysical practicality in agriculture (Geriya et al., 2006).<br />
2.2 Data and Analytical Methods<br />
A survey method through questionnaire was used to collect data from 42<br />
subaks in 42 different desa adats (customary villages), which were selected using<br />
purposive sampling (in the year 2010). In the region of south Bali were selected<br />
20 desa adats, and the rest 22 desa adats were selected in the region of north<br />
72<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Bali. In every desa adat was taken respondents which consist of 5 men from the<br />
board of desa adat, 10 men from the board of subak, 25 men members of subak<br />
and 10 men members of desa adat but not members of subak.<br />
The variables those were examined can be described briefly as presented<br />
in Table 1. The strength of every element of variables was scored as very low (1),<br />
low (2), medium (3), high (4) and very high (5). Percentage the total score of a<br />
variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level<br />
of the variable on that subak. So, the interval scale of variable could be<br />
categorized: 20-36% was very low; 37-52 % was low; 53-68% was medium; 69-<br />
84% was high; and 85-100% was very high. Regression analysis was used to<br />
estimate the effect of factors of subaks to the success of metaphysical agriculture.<br />
Table 1. Variables description<br />
No Variable Descripton<br />
(1) (2) (3)<br />
1 The success of � On ritual aspect (Seven elements): 1)<br />
metaphysical understanding to the viewpoint (tattwa) of the<br />
agriculture<br />
ritual; 2) coordination in ritual implementation; 3)<br />
solidarity among the followers of ritual; 4) freedom<br />
in partaking ritual; 5) orderliness of ritual<br />
processing; 6) completeness of facilities for ritual;<br />
and 7) creativity in achieving ritual.<br />
� On the aspect of practicing agriculture based on<br />
local genius of Rwa Bhineda (seven elements): 1)<br />
intensity of pesticide treatment; 2) intensity of<br />
chemical fertilizer treatment; 3) wholeness to follow<br />
the planting season; 4) intensity of plant rotation; 5)<br />
intensity to process waste of livestocks and harvest<br />
to be fine compost; 6) intensity to plant greeneries<br />
with high level Nitrogen for fertilizer; and 7) quality<br />
of integrated crop-livestock system.<br />
2 Authority of Four elements: 1) percentage of land conversion from<br />
subak to<br />
agricultural to non agricultural; 2) intensity of watter<br />
determine their sources for irrigation were changed to be non<br />
own life<br />
agricultural purpose; 3) Intensity of blockading subak’s<br />
groud athway and watter canal by outer force of<br />
subak; and 4) intensity of conflict between subak and<br />
industry/government.<br />
3 Effectiveness of Four elements: 1) clearness of awig-awig; 2)<br />
awig-awig democratic system in establishing awig-awig; 3) awig-<br />
(subak’s<br />
awig socialization; and 4) firmness in executing<br />
customary rule) punishment to transgressors of awig-awig.<br />
4 Effectiveness of Six elements: 1) Sangkepan routine; 2) follow-up of<br />
sangkepan (social- sangkepan’s decisions; 3) atmosphere in sangkepan; 4)<br />
religious<br />
percentage of members of subak to attend sangkepan;<br />
gathering) 5) sovereignty for giving comments in sangkepan; and<br />
6) sanction for members of subak who absent in<br />
sangkepan.<br />
5 Social relation of Three elements: 1) coordination between the board of<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
73
74<br />
subak to desa adat desa adat and subak in holding ritual; 2) participation<br />
of seke-seke (small grups for special duty in desa adat)<br />
in ritual; and participation of desa adat members but<br />
not members of subak to attend agricultural ritual.<br />
3. RESULTS AND DISCUSSION<br />
3.1 The Level of Success of Metaphysical Agriculture<br />
The level of success of metaphysical agriculture was assessd from two<br />
aspects, ritual aspect and aspect of practicing agriculture based on local genius of<br />
Rwa Bhineda. From the ritual aspect, the result was decribed as follows.<br />
The understanding to the viewpoint (tattwa) of the ritual was low, since most of<br />
the people especially in traditional institutions (like subak and desa adat) had no<br />
interest to read or to learn manuscripts regarding tattwa of the ritual or religion.<br />
They prefered to follow the expressions of tattwa like to make some complicated<br />
offerings/sacrifices. Grup dynamism in the most of subaks were becoming weak<br />
due to the decreasing productivity and profitability of rice farming, hence<br />
coordinations in ritual implementation were not good and subaks had no enough<br />
funding to complete facilities and to be creative in achieving ritual. Finally, The<br />
level of success of metaphysical agriculture from ritual aspect became low.<br />
The success of of metaphysical agriculture from aspect practicing<br />
agriculture based on local genius of Rwa Bhineda was as follows. The level of its<br />
success was categorized as medium, it implied that the farmers and their subaks<br />
had adopted slightly organic farming methods. Chemical fertilizers (like UREA,<br />
TSP, KCl, Ponska, NPK) were still very intensively to be applicated by the<br />
farmers and even they were very dependently on these chemical fertilizers, on the<br />
other hand, they were lack of treatments towards producing fine compost from<br />
waste of livestocks and harvest. The farmers of subaks were very averse to follow<br />
the planting season in the area of subak. It was very potentially to cause pests and<br />
diseases continuesly spreaded and attacked the growing plants everywhere, and<br />
difficultly to be cut down. All of these poured in decreasing productivity and<br />
profitability of rice farming. From the all of these explanations, it could be<br />
assessed that the success of metaphysical agriculture was in medium level.<br />
Table 2. Description for the elements of ritual aspect<br />
Element Min Max Average<br />
1) Understanding to the<br />
(%) (%) (%)<br />
viewpoint (tattwa) of the ritual<br />
2) Coordination in ritual<br />
21.6 70.4 41.6 Low<br />
implementation<br />
3) Solidarity among the followers<br />
47.2 88.8 49.6 Low<br />
of ritual 52.0 87.2 56.0 medium<br />
4) Freedom in partaking ritual 54.4 97.6 87.2 very high<br />
5) Orderliness of ritual processing<br />
6) Completeness of facilities for<br />
49.6 91.2 80.8 High<br />
ritual 24.0 73.6 51.2 Low<br />
7) Creativity in achieving ritual 23.2 72.0 56.8 medium<br />
Average 60.4 medium<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
Category level<br />
of success
Table 3. Description for the elements of practicing agriculture based<br />
on local genius of Rwa Bhineda<br />
Element Min Max Average Category level<br />
(%) (%) (%) of success<br />
1) intensity of pesticide treatment<br />
2) intensity of chemical fertilizer<br />
34.5 90.0 56.0 medium<br />
treatment<br />
3) wholeness to follow the planting<br />
23.5 93.0 44.0 Low<br />
season in the area of subak 27.0 77.0 46.5 Low<br />
4) intensity of plant rotation<br />
5) intensity to process waste of<br />
livestocks and harvest to be fine<br />
42.0 91.5 72.0 High<br />
compost<br />
6) intensity to plant greeneries with<br />
29.0 91.5 54.0 medium<br />
high level Nitrogen for fertilizer 30.0 84.0 61.0 medium<br />
7) quality of integrated croplivestock<br />
system 47.0 88.5 58.0 medium<br />
Average 55.9 medium<br />
3.2 Factors of Subak Affecting The Success of Metaphysical Agriculture<br />
The level of factors: Authority of subak to determine their own life;<br />
Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule); and Intensity of discussion<br />
Weda script in subak were medium. The level of factors: Social relation of subak<br />
to desa adat; and Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) were<br />
rather high. The result of regression analysis on the factors of subak affecting the<br />
success of metaphysical agriculture was as follows (Table 4). The factors<br />
Authority of subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig; and<br />
Effectiveness of sangkepan were strongly affected the success of methaphysical<br />
agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was quitely affected the<br />
success of metaphysical agriculture, but Intensity of discussion Weda script in subak<br />
was not so significantly affected the success of metaphysical agriculture.<br />
As an institution having socio-cultural characteristics, subak has a power<br />
or wisdom and weakness. Some of those indigenous wisdoms are organization<br />
having good governance, flexibility, having capability of absorbing or adopting<br />
tecgnology developing around them and having capability of absorbing the culture<br />
developing in surrouding community. If the all of factors of subak are vigorous<br />
and effectively, actually the force in subak can be an indigenous wisdom and<br />
social asset that can shore up some government programs, especially the food<br />
security program and community-based tourism development. Meanwhile, the<br />
weakness of subak as an institution having socio-cultural characteristic is that it<br />
could not resist the intervention from external parties. This incapability is<br />
reflected in the large number of land undergoing transfer of function to sectors<br />
beyond agriculture like to building for hotel and building for hausing complex. In<br />
addition, there is relatively a large amount of withdrawing of irrigation water and<br />
blockading subak’s groud pathawy by other sectors such as Municipal Waterwork,<br />
hotels and other tourism components.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
75
76<br />
Table 4. The result of regression analysis on factors of subak affecting<br />
the success of metaphysical agriculture<br />
No Factor of Subak Coeficient t-ratio Sig.<br />
1 Constant -8.039 -7.731 0.000*<br />
2 Authority of subak to determine their own life 0.297 6.074 0.000*<br />
3 Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule) 0.335 4.632 0.000*<br />
4 Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) 0.227 3.731 0.001*<br />
5 Social relation of subak to desa adat 0.106 2.240 0.031*<br />
6 Intensity of discussion Weda script in subak 0.131 1.480 0.147 ns<br />
R Square = 0.9938 F = 1201.5*<br />
Informations: * = significantly; ns = non significantly<br />
4. CLOSURE<br />
4.1 Conclusions<br />
Based on the previous descriptions, it could be concluded as follows.<br />
1. The level of success of metaphysical agriculture was categorized into<br />
medium.<br />
2. The factors Authority of subak to determine their own life; Effectiveness<br />
of awig-awig; and Effectiveness of sangkepan were strongly affected the<br />
success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to<br />
desa adat was quitely affected the success of metaphysical agriculture, but<br />
Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly affected the<br />
success of metaphysical agriculture.<br />
4.2 POLICY IMPLICATION<br />
Based on the findings in this research, it could be formulated policy<br />
implications as follows.<br />
1. It needs an assistance process at subak to revitalize metaphysical<br />
agriculture by counseling and demonstrating plots of organic farming with<br />
sophisticated technology. First before this program, disseminating<br />
explanation regarding: implementation of meaningful ritual for agriculture<br />
and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda.<br />
2. More adroitly to decipher sangkepan and awig-awig, and more<br />
aggressively to execute punishment to transgressors of awig-awig.<br />
3. It requires pilot project activity, namely by performing assistance for the<br />
formation of farmer cooperative at some subaks.<br />
REFERENCES<br />
Geriya, W., Yudha Triguna, dan I Nyoman Dhana, 2006. Pola Kehidupan<br />
Petani Subak Di Bali. Javanologi: Denpasar.<br />
Haferkamp, H. and Neil J. Smelser. 1992. Social Change and Modernity.<br />
The University of California Press: Berkeley.<br />
Namayudha, I.B., 1999. Upacara Ngusaba Nini. Parisada Hindu: Denpasar.<br />
Narayana, S.S. 1996. Discourses on Bhagawad Gita. Sri sathya Sai Book and<br />
Publication Trust: Bangalore-India.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Popper, K.R. 1983. Realism and The Aim of Science. Rowman and Littlefied:<br />
New Jersey.<br />
Windia, W., Ketut Suamba and Wayan Sudarta. 2010. The Development of<br />
Food Security Model Based on Subak System In Bali. Jurnal SOCA.<br />
Vol. 10. No.1. Februari 2010: 8-14.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
77
78<br />
ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN<br />
HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN<br />
KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan<br />
Ni Made Muriati 1) dan Wayan Guwet Hadiwijaya 2)<br />
1) Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali<br />
2) Jurusan Agroteknologi <strong>Universitas</strong> mahasaraswati Denpasar<br />
Abstrak<br />
Tujuan penelitian yaitu: (1) mengetahui kondisi faktor-faktor internal yang<br />
menentukan kelangsungan hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa<br />
Kusamba; (2) mengetahui kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor<br />
eksternal yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan;<br />
dan (3) merumuskan strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra<br />
pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak<br />
terhadap lingkungan. Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang (50<br />
orang dari unsur pemilik usaha dan 50 orang dari unsur pekerja). Analisis data<br />
yang digunakan adalah pendekatan konsep manajemen strategis yang dilakukan<br />
secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk uraian. Hasil penelitian menunjukkan<br />
bahwa posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu<br />
memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada. Posisi<br />
ekternal perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil<br />
perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategi-strategi untuk<br />
memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang dihadapi.<br />
Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan sebaiknya menerapkan strategi<br />
pertahankan dan pelihara. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus<br />
menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik<br />
serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang<br />
produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi<br />
tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup<br />
(sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan<br />
kompetitif dalam pengembangan produk.<br />
Kata kunci: Hasil perikanan, Pindang, Strategi, Internal dan Eksternal<br />
I. PENDAHULUAN<br />
1.1 Latar Belakang<br />
Kabupaten Klungkung mempunyai luas wilayah 315 km² yang terletak di<br />
antara 115º21’28” - 115º37’43”BT dan 8º 49’00” LS, dengan panjang pantai<br />
keseluruhan ± 144 km. Potensi perikanan laut di Kabupaten Klungkung cukup<br />
tinggi terutama perikanan tangkap. Potensi tersebut diperkirakan sebesar 4.140,7<br />
ton per tahun yang terdiri atas ikan pelagis 2.898,2 ton dan ikan demersal 1.242,5<br />
ton.<br />
Program pembangunan perikanan laut di Kabupaten Klungkung terutama<br />
diprioritaskan untuk meningkatkan produktivitas melalui pemberdayaan SDM<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
nelayan, pembudidaya pengolah, masyarakat pesisir lainnya, peningkatan nilai<br />
tambah dan mutu produk serta pemasaran, menciptakan iklim usaha yang<br />
kondusif, peningkatan dan pengembangan kemitraan usaha dan peningkatan<br />
kapasitas kelembagaan, meningkatkan dan daya dukung serta kualitas lingkungan<br />
perairan. Produk hasil perikanan merupakan sumber protein hewani yang<br />
bermutu dan sangat bermanfaat bagi tubuh manusia dan merupakan komoditas<br />
ekspor hasil perikanan yang telah menyumbangkan devisa. Namun di pihak lain<br />
kerugian atau kerusakan produk hasil perikanan (losses) mencapai 20 % akibat<br />
penanganan yang kurang baik. Penanganan ikan segar merupakan salah satu<br />
bagian penting dari mata rantai industri perikanan karena dapat mempengaruhi<br />
mutu yang dihasilkan.<br />
Pada sektor kelautan dan perikanan usaha pengolahan hasil perikanan pada<br />
umumnya masih didominasi oleh pengolahan ikan berskala usaha mikro, kecil dan<br />
menengah. Usaha pengolahan perikanan umumnya masih bersifat tradisional,<br />
cendrung dikelola oleh anggota turun-temurun dengan kapasitas produksi yang<br />
terbatas, dengan kegiatan usaha bersifat rutinitas. Usaha pengolahan hasil<br />
perikanan berskala miro kecil biasanya lemah dalam berbagai dimensinya, lemah<br />
dalam aspek permodalan, teknologi dan informasi, lemah dalam manjemen dan<br />
pemasaran, umumnya tersebar parsial, sehingga pada umumnya belum memenuhi<br />
standar sesuai ketentuan, sehingga hasilnya belum mampu bersaing dengan<br />
produk lainya. Mereka juga dihadapkan pada kesulitan melakukan penguatan<br />
internal, seperti peningkatan produktivitas, riset pengembangan produk, pelatihan<br />
dan bimbingan SDM serta promosi usaha.<br />
Dalam upaya mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi, yaitu<br />
meningkatkan kapasitas usaha bersekala ekonomi dengan kelembagaan yang kuat<br />
serta dikelola secara profesional dengan akses dan penetrasi pasar yang kuat dan<br />
berdaya saing, serta mampu berproduksi lebih efisien dalam kawasan<br />
pengembangan, dan dalam rangka meningkatkan percepatan pemberdayaan dan<br />
pembinaan unit-unit pengolahan ikan (UPI) dan revitalisasi industri pengolahan,<br />
maka diperlukan penerapan konsep pengembangan sentra pengolahan hasil<br />
perikanan melalui pendekatan pengembangan sentra-sentra pengolahan dan<br />
strukturisasi UKM Pengolahan Hasil Perikanan. Upaya ini dilakukan dengan<br />
memberikan dukungan kebijakan dan program penyediaan lembaga layanan<br />
pengembangan bisnis yang dilakukan secara terpadu di lokasi kawasan produksi<br />
perikanan.<br />
Salah satu usaha pengolahan ikan yang sudah berkembang di kabupaten<br />
Klungkung adalah pengolahan pindang. Usaha pengolahan pindang tersebut<br />
berada di Desa Kusamba yang terletak di wilayah Kecamatan Dawan. Usaha ini<br />
sudah ada sejak lama dan merupakan salah satu bentuk aktivitas ekonomi<br />
masyarakat Desa Kusamba yang <strong>berbasis</strong> rumah tangga. Pada awalnya kegiatan<br />
pengolahan pindang dilakukan di rumah-rumah penduduk, bahan baku hanya<br />
diperoleh dari hasil tangkapan para nelayan setempat, proses pengolahan masih<br />
dilakukan secara tradisional. Hal ini menimbulkan beberapa permasalahan, karena<br />
tercampurnya aktivitas rumah tangga dan aktivitas produksi sehingga lingkungan<br />
di rumah menjadi kumuh, kotor dan berbau, produksinya terbatas karena<br />
kekurangan bahan baku dan mutu produk belum terjamin.<br />
Untuk memudahkan dalam pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan<br />
pengolahan pindang di Desa Kusamba, maka pada tahun 1998 pemerintah<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
79
membangun bangsal pemindangan dengan tujuan untuk penataan kegiatan<br />
pengolahan pindang dari lingkungan perumahan ke lokasi khusus pemindangan<br />
dan menjadikan lokasi tersebut sebagai Sentra Pemindangan .<br />
Pada tahun 2007, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan<br />
Republik Indonesia Nomor: KEP.01/MEN/2007, tentang Lokasi Pengembangan<br />
Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Sentra Pengolahan Pindang di Desa<br />
Kusamba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung ditetapkan sebagai lokasi<br />
Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan. Akan tetapi dalam<br />
perkembangannya, fasilitas yang disediakan meliputi penyediaan sarana prasarana<br />
yang ada tidak berfungsi sesuai dengan harapan, misalnya proses pengolahan ikan<br />
belum dilakukan dengan baik, drainase yang penuh dengan sampah dan sisa-sisa<br />
pengolahan yang menyebabkan aliran air tidak lancar sehingga menimbulkan bau.<br />
Di samping itu konstruksi bangunan belum memenuhi standar karena dari segi<br />
sanitasi dan hygienitas kurang memenuhi syarat, sehingga berdampak pada<br />
kualitas dan mutu produk.<br />
Melihat permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu strategi untuk<br />
mengembangkan sentra pemindangan di Desa Kusamba. Upaya tersebut<br />
bertujuan menjadikan sentra pengolahan hasil perikanan yang memenuhi<br />
persyaratan kelayakan unit pengolahan dan kelayakan pengolahan sehingga<br />
menghasilkan produk yang bermutu dan aman untuk di konsumsi seta sehat dan<br />
nyaman bagi para pelaku usaha.<br />
1.2 Rumusan Masalah<br />
Dengan melihat uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan<br />
beberapa permasalahan, yaitu.<br />
1. bagaimanakah kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan<br />
hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba?<br />
2. bagaimanakah kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal<br />
yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan di<br />
Desa Kusamba?<br />
3. bagaimana strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra<br />
pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak<br />
terhadap lingkungan?<br />
1.3 Tujuan Penelitian<br />
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan umum penelitian ini<br />
adalah untuk mengembangkan sentra pengolahan pindang di Desa Kusamba<br />
menjadi sentra pengolahan hasil perikanan yang memenuhi persyaratan unit<br />
pengolahan dan dapat menghasilkan produk yang bermutu dan aman untuk<br />
dikonsumsi serta menguasai pasar. Sedangakan tujuan khususnya adalah sebagai<br />
berikut.<br />
1. Mengetahui kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan<br />
hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba.<br />
2. Mengetahui kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal yang<br />
mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan di Desa<br />
Kusamba.<br />
80<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
3. Merumuskan strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra<br />
pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak<br />
terhadap lingkungan.<br />
1.4 Manfaat Penelitian<br />
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut;<br />
1. Memberikan informasi dan masukan pada bidang kajian perencanaan dan<br />
pengembangan wilayah khususnya yang berkaitan dengan pembangunan atau<br />
pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />
2. Memberikan masukan kepada Pemerintah atau pengambil kebijakan, sebagai<br />
kebijakan dalam upaya pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />
2. METODE PENELITIAN<br />
2.1 Lokasi Penelitian<br />
Penelitian dilaksanakan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba<br />
Kabupaten Klungkung dengan pertimbangan Sentra Pengolahan Pemindangan<br />
Desa Kusamba Kabupaten Klungkung merupakan salah satu pengembangan<br />
sentra pengolahan hasil perikanan di Provinsi Bali. Penelitian dilakukan pada<br />
bulan Desember 2011<br />
2.2 Penentuan Responden<br />
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelaku usaha pengolah hasil<br />
perikanan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba, Kabupaten<br />
Klungkung yang berjumlah 50 unit usaha. Pada setiap unit usaha diambil masingmasing<br />
satu orang responden dari unsur pemilik, dan satu orang dari unsur<br />
pekerja. Sehinga seluruh responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang.<br />
Khusus untuk pemberian rating atau peringkat untuk masing-masing faktor<br />
internal maupun eksternal, diajukan kepada beberapa responden yang<br />
berkompeten dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, yaitu:<br />
para pemilik usaha pemindangan yang paling maju (10 rang), Kepala Dinas<br />
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Klungkung, dan dua orang pakar agribisnis<br />
perikanan di Bali.<br />
2.3 Metode Pengumpulan Data<br />
Jenis data yang dibutuhkan untuk mendukung penelitian adalah data<br />
kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang berwujud kuantitas<br />
atau angka yang merupakan hasil membilang atau mengukur, seperti luas lahan<br />
usaha, kapasitas produksi, jumlah produksi, biaya produksi dan besarnya<br />
pendapatan usaha. Data kualitatif yaitu berupa keterangan atau uraian yang<br />
berkaitan dengan objek penelitian dan tidak dapat dihitung atau tidak berupa<br />
angka melainkan keterangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.<br />
Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah<br />
sebagai berikut.<br />
1) Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan cara meminta keterangan<br />
langsung kepada responden melalui daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan<br />
sebelumnya.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
81
2) Wawancara mendalam, yaitu pengumpulan data dengan cara meminta<br />
keterangan langsung kepada para informan melalui pedoman wawancara yang<br />
telah dipersiapkan sebelumnya.<br />
3) Observasi, yaitu suatu pengumpulan data dengan pengamatan langsung di<br />
lapangan untuk menguji dan melengkapi data lainnya.<br />
4) Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dan informasi yang telah tercatat pada<br />
berbagai dokumen tentang berbagai hal yang diperlukan dalam penelitian.<br />
2.4 Metode Analisis Data<br />
Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah pendekatan<br />
konsep manajemen strategis. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan<br />
disajikan dalam bentuk uraian.<br />
2.4.1 Analisis lingkungan internal dan eksternal<br />
Langkah ringkas untuk mengidentifikasi faktor internal adalah dengan<br />
menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) yang meringkas dan<br />
mengevaluasi faktor internal yakni kekuatan dan kelemahan perusahaan di<br />
bidang-bidang fungsional (David, 2001). Tujuan dari penilaian faktor eksternal<br />
adalah mengembangkan daftar terbatas peluang yang dapat dimanfaatkan<br />
perusahaan dan ancaman yang harus dihindari. Langkah yang ringkas dalam<br />
melakukan penilaian faktor eksternal adalah dengan menggunakan matriks EFE<br />
(Eksternal Faktor Evaluation). Matriks ini mengarahkan perumus strategi untuk<br />
mengevaluasi informasi dari luar perusahaan.<br />
Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap varibel<br />
terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus (Kinnear,<br />
1996) :<br />
82<br />
Xi<br />
αi = n<br />
∑ Xi<br />
Dimana: αi = bobot variabel ke-i<br />
Xi = nilai variabel ke-i<br />
i = 1,2,3…n<br />
n = jumlah variabel<br />
Penilaian setiap variabel baik yang merupakan faktor internal maupun eksternal<br />
perusahaan menggunakan skor skala empat, di mana kekuatan masing-masing<br />
variabel tersebut dinilai sebagai sangat lemah (skor 1), lemah (skor 2), kuat (skor<br />
3) dan sangat kuat (skor 4).<br />
Berikan rating atau peringkat (dalam kolom 4) untuk masing-masing<br />
faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1<br />
(poor), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan<br />
yang bersangkutan (seperti contoh matriks evaluasi faktor internal pada Tabel 1).<br />
Pemberian nilai rating kekuatan pada matriks IFE dengan skala yang digunakan,<br />
yaitu: 1 = sangat lemah; 2 = lemah; 3 = kuat; dan 4 = sangat kuat. Sedangkan<br />
faktor yang menjadi kelemahan pemberian nilai rating dilakukan sebaliknya.<br />
Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk<br />
memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
1
pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0<br />
(outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).<br />
Tabel 1. Contoh Matriks evaluasi faktor internal<br />
No Kekuatan Bobot Rating Skor<br />
1<br />
2<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
SDM yang terampil, disiplin dan ulet<br />
Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
Kelemahan<br />
Tidak aktif dalam kelompok usaha yang ada<br />
Tidak melakukan promosi<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
Pemberian nilai rating peluang pada matriks EFE dengan skala yang digunakan,<br />
yaitu: 1 = rendah (respon kurang); 2 = sedang (respon sama dengan rata-rata); 3 =<br />
tinggi (respon di atas rata-rata); dan 4 = sangat tinggi (respon jauh di atas ratarata).<br />
Sedangkan untuk faktor yang menjadi ancaman pemberian nilai rating<br />
dilakukan sebaliknya (seperti contoh matriks evaluasi faktor eksternal pada Tabel<br />
2). Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk<br />
memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor<br />
pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0<br />
(outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).<br />
Tabel 2. Contoh Matriks evaluasi faktor eksternal<br />
No Peluang Bobot Rating Skor<br />
1<br />
2<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
Permintaan terhadap pindang yang tinggi<br />
Kepercayaan dari pihak Bank<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
Ancaman<br />
Mahalnya harga ikan dan bahan bakar<br />
Banyaknya pesaing<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
…..<br />
83
2.4.2 Matriks i-e (internal-eksternal)<br />
Sumbu horizontal pada matriks IE menunjukkan skor total IFE, sedangkan<br />
pada sumbu vertical menunjukkan skor total EFE. Pada sumbu horizontal skor<br />
antara 1,00 – 1,99 menunjukkan posisi internal lemah. Skor 2,00 – 2,99<br />
menunjukkan posisi internal rata-rata, dan skor 3,00 – 4,00 menunjukkan posisi<br />
internal kuat. Begitu pula pada sumbu vertikal yang menunjukkan pengaruh<br />
eksternal (lihat Gambar 1)<br />
84<br />
Tinggi Rata-rata Lemah<br />
4,0<br />
4,0<br />
Tinggi I<br />
3,0<br />
II<br />
2,0 1,0<br />
III<br />
3,0<br />
Sedang IV V VI<br />
2,0<br />
Rendah<br />
1,0<br />
VII VIII IX<br />
Gambar 1. Matriks Internal-Eksternal (IE)<br />
Diagram tersebut dapat mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan<br />
perusahaan, tetapi pada prinsipnya kesembilan sel tersebut dapat dikelompokkan<br />
menjadi tiga strategi utama, yaitu<br />
a. Sel I, II dan IV disebut strategi tumbuh dan bina. Strategi yang cocok<br />
adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar dan<br />
pengembangan produk) atau strategi integratif (integrasi ke belakang,<br />
kedepan dan horizontal).<br />
b. Sel III, V dan VII disebut strategi pertahankan dan pelihara. Penetrasi<br />
pasar dan pengembangan produk merupakan dua strategi yang banyak<br />
dilakukan apabila perusahaan berada di dalam sel ini.<br />
c. Sel VI, VII dan IX disebut strategi panen dan diversifikasi.<br />
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br />
3.1 Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan serta Peluang dan Ancaman<br />
Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />
Faktor-faktor yang digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan,<br />
kelemahan serta peluang dan ancaman perusahaan pada Sentra Pengolahan Hasil<br />
Perikanan berasal dari identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal yang<br />
telah digunakan di atas. Hasil identifikasi ini kemudian digunakan untuk<br />
menyusun matriks IFE dan EFE .<br />
1. Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan Sentra Pengolahan Hasil<br />
Perikanan<br />
Identifikasi faktor internal dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan<br />
kelemahan yang diperoleh dari hasil diskusi dengan responden. Hasil ringkasan<br />
faktor strategis internal disajikan pada Tabel 3<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Tabel 3. Faktor Strategis Internal Sentra pengolahan hasil perikanan<br />
No Kode Kekuatan<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
8.<br />
9.<br />
10.<br />
11.<br />
12.<br />
13.<br />
14.<br />
15.<br />
A<br />
B<br />
C<br />
D<br />
E<br />
F<br />
G<br />
H<br />
I<br />
J<br />
K<br />
L<br />
M<br />
N<br />
O<br />
SDM yang terampil, disiplin dan ulet<br />
Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik<br />
Teknologi pemindangan yang mudah dikuasai<br />
Dekat dengan tempat pendaratan ikan<br />
Memiliki mobil operasional<br />
Sistem pemasaran (jalur distribusi) yang jelas<br />
Modal cukup besar<br />
Lahan usaha yang cukup luas<br />
Kelemahan<br />
Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha<br />
pemindangan masih rendah<br />
Letak sentra pengolahan hasil perikanan dekat dengan<br />
pemukiman penduduk<br />
Tata letak bangunan dan jalan/gang antar unit pengolahan<br />
Produk mudah rusak/tidak tahan lama<br />
Masih menggunakan modal pribadi<br />
Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif<br />
Tidak melakukan promosi<br />
2. Identifikasi Peluang dan Ancaman Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />
Sejumlah peluang dan ancaman yang dihadapi oleh perusahaan pada sentra<br />
pengolahan hasil perikanan yang diperoleh dari hasil diskusi dengan responden<br />
masyarakat pengolah pindang, perangkat desa dan tokoh masyarakat. Hasil<br />
ringkasan faktor strategis eksternal disajikan pada Tabel 4.<br />
Tabel 4. Fakator Strategis Eksternal Sentra pengolahan hasil perikanan<br />
No Kode Peluang<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
8.<br />
9.<br />
10.<br />
11.<br />
12.<br />
A<br />
B<br />
C<br />
D<br />
E<br />
F<br />
G<br />
H<br />
I<br />
J<br />
K<br />
L<br />
Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi<br />
Kepercayaan dari pihak Bank<br />
Infrastruktur jalan yang baik<br />
Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan<br />
merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung<br />
Pangsa pasar untuk Bali cukup prospektif<br />
Kondisi ekonomi masyarakat Bali yang sangat baik<br />
Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang<br />
cukup tinggi dan mumpuni<br />
Ancaman<br />
Cuaca yang tidak menentu sehingga dapat mengurangi<br />
ketersedian bahan baku<br />
Mahalnya harga ikan dan bahan bakar<br />
Banyaknya pesaing<br />
Gangguan kesehatan para pengolah<br />
Keamanan lingkungan dari gangguan luar<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
85
3. Tahap Masukan Skala Besar dan Kecil<br />
1) Matriks Evaluasi Faktor Internal<br />
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap faktor-faktor internal,<br />
selanjutnya dilakukan pembobotan untuk melihat derajat kepentingan atau<br />
pengaruh dari masing-masing faktor tersebut terhadap perusahaan sentra<br />
pengolahan hasil perikanan serta pemberian rating untuk mengetahui kemampuan<br />
perusahaan menjalankan usahanya.<br />
Hasil perhitungan matriks IFE untuk perusahaan sentra pengolahan hasil<br />
perikanan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan utama<br />
bagi perusahaan, yaitu:<br />
a) SDM yang terampil, disiplin dan ulet<br />
b) Memiliki mobil operasional<br />
c) Lahan usaha yang cukup luas<br />
Sedangakan faktor internal yang menjadi kelemahan utama bagi perusahaan sentra<br />
pengolahan hasil perikanan, yaitu:<br />
a) Sanitasi yang buruk<br />
b) Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha<br />
pemindangan masih rendah<br />
c) Kelayakan unit pengolahan hasil perikanan<br />
d) Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif<br />
e) Tidak melakukan promosi<br />
Jumlah skor 2,67 menunjukkan bahwa sentra pengolahan hasil perikanan<br />
berada sedikit di atas rata-rata (2,50) dalam kekuatan internal keseluruhannya.<br />
Hal ini menunjukkan posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan<br />
cukup mampu memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan<br />
yang ada.<br />
Tabel 5. Matriks Evaluasi Faktor Internal Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />
No Kode Bobot Rating Skor<br />
1. A 0.08 4 0.33<br />
2. B 0.06 3 0.17<br />
3. C 0.06 3 0.17<br />
4. D 0.08 4 0.33<br />
5. E 0.05 4 0.20<br />
6. F 0.06 4 0.23<br />
7. G 0.08 4 0.32<br />
8. H 0.08 2 0.16<br />
9. I 0.08 2 0.15<br />
10. J 0.05 1 0.05<br />
11. K 0.08 2 0.16<br />
12. L 0.05 1 0.05<br />
13. M 0.05 1 0.05<br />
14. N 0.07 2 0.15<br />
15. O 0.08 2 0.15<br />
Total 2.67<br />
2) Matriks Evaluasi Faktor Eksternal<br />
Hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 6 diperoleh total skor 2,58<br />
(sedikit di atas rata-rata 2,50). Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sentra<br />
86<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
pengolahan hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan<br />
strategi-strategi untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi<br />
ancaman yang dihadapi.<br />
Beberapa faktor eksternal yang menjadi peluang terpenting dan<br />
berpengaruh terhadap perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan, yaitu:<br />
a) Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi<br />
b) Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan<br />
merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung<br />
c) Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup<br />
tinggi dan mumpuni.<br />
Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman yang paling<br />
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan sentra pengolahan hasil<br />
perikanan, yaitu:<br />
a) Mahalnya harga ikan dan bahan bakar<br />
b) Gangguan kesehatan para pengolah<br />
c) Keamanan lingkungan dari gangguan luar.<br />
Tabel 6. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal Sentra Pengolahan Hasil<br />
Perikanan<br />
No Kode Bobot Rating Skor<br />
1. A 0.10 4 0.40<br />
2. B 0.06 2 0.13<br />
3. C 0.07 3 0.20<br />
4. D 0.10 4 0.40<br />
5. E 0.10 3 0.31<br />
6. F 0.07 3 0.21<br />
7. G 0.09 3 0.26<br />
8. H 0.07 1 0.07<br />
9. I 0.09 2 0.17<br />
10. J 0.08 1 0.08<br />
11. K 0.09 2 0.18<br />
12. L 0.09 2 0.17<br />
Total 2.58<br />
3.2 Strategi Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />
Setelah proses pengumpulan informasi internal dan eksternal yang<br />
dimasukkan dalam matriks IFE dan EFE, selanjutnya informasi-informasi ini<br />
menjadi input untuk perumusan strategi pengembangan yang dapat diwujudkan<br />
dalam bentuk matriks I-E dari analisis SWOT. Dalam tahap perumusan strategi<br />
pengembangan ini, perencana strategi dapat melakukan perpaduan antara<br />
sumberdaya dan keterampilan internal dengan peluang dan ancaman yang<br />
diciptakan oleh faktor-faktor eksternal.<br />
Beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan para pelaku usaha pada<br />
sentra pengolahan hasil perikanan secara umum dapat dilakukan seperti berikut.<br />
1. Biaya input ikan hasil tangkapan dan bahan bakar yang mahal<br />
sementara harga jual pindang itu rendah, maka diimbangi dengan<br />
meningkatkan efisiensi produksi. Lebih mengaktifkan dan<br />
meningkatkan efektifitas kelembagaan kelompok pengolahan hasil<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
87
perikanan dalam menetapkan harga produk serta penanganan input dan<br />
promosi produk.<br />
2. Diperlukan perencanaan usaha dengan pertimbangan faktor waktu<br />
mengingat sifat produk yang tidak tahan lama, termsuk dibutuhkannya<br />
teknologi preservasi.<br />
3. Diperlukan kerja sama antar unit usaha pengolahan perikanan berskala<br />
besar dan kecil untuk bersama-sama maju dan berkembang, misalnya<br />
untuk memenuhi tingginya permintaan akan produk hasil pengolahan<br />
perikanan.<br />
4. Lebih membangun sistem agribisnis perikanan yang secara terintegrasi<br />
dari hulu sampai hilir dan membangun jaringan distribusi yang mantap<br />
serta meningkatkan kualitas produk pengolahan perikanan untuk<br />
menghadapi persaingan dengan produk pengolahan perikanan dari<br />
daerah lain atau luar Bali.<br />
5. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap para pelaku usaha<br />
pengolahan perikanan dalam mengelola limbah hasil kegiatan produksi<br />
yang kini terlihat masih sangat lemah dan kurang. Termasuk<br />
didalamnya mengenakan sanksi-sanksi yang tegas kepada unit-unit<br />
usaha pengolahan perikanan yang mengabaikan upaya pengelolaan<br />
limbah yang dapat mencemari lingkungan.<br />
6. Menetapkan standar kelayakan unit pengolahan hasil perikanan yang<br />
tepat yang dapat memperbaiki sanitasi, kenyamanan kerja serta<br />
mencegah mewabahnya penyakit yang mengancam kesehatan para<br />
pengolah hasil perikanan.<br />
7. Meningkatkan dukungan Bank dan atau lembaga keuangan lainnya<br />
dalam memberikan kredit ringan untuk meningkatkan produksi dan<br />
kualitas pengelolaan limbah, yang dilakukan baik secara sendirisendiri<br />
maupun bersama-sama. Termasuk dukungan pemerintah<br />
daerah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk<br />
pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan.<br />
Focus strategi yang tepat untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan<br />
dengan menggunakan matriks I-E dapat dijelaskan seperti pada uraian berikut ini.<br />
1. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />
Matriks I-E digunakan untuk melihat strategi mana yang tepat diterapkan<br />
untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan. Matriks I-E melibatkan<br />
semua komponen unit-unit usaha dalam sentra pengolahan hasil perikanan ke<br />
dalam diagram skematis sehingga disebut matriks portofolio. Setelah<br />
mendapatkan nilai total skor bobot dari faktor internal (IFE) dan faktor eksternal<br />
(EFE) sentra pengolahan hasil perikanan, nilai-nilai tersebut kemudian<br />
dimasukkan ke dalam matriks Internal-Eksternal (I-E).<br />
Berdasarkan hasil analisis faktor internal menggunakan IFE diperoleh skor<br />
2,67 dan hasil analisis faktor eksternal menggunakan EFE diperoleh skor 2,58<br />
yang menempatkan perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada sel V<br />
(lihat Gambar 2). Posisi ini menggambarkan bahwa perusahaan sentra<br />
pengolahan hasil perikanan memiliki kondisi internal pada level rata-rata dan<br />
kondisi eksternal pada level sedang, sehingga sebaiknya menerapkan strategi<br />
pertahankan dan pelihara. Artinya perusahaan sentra pengolahan hasil<br />
88<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
perikanan harus menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi<br />
yang cukup baik serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang<br />
menyangkut bidang produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan<br />
lingkungan demi tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan<br />
kelangsungan hidup (sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta<br />
memiliki keunggulan kompetitif dalam pengembangan produk.<br />
Tinggi Rata-rata<br />
4,0 Lemah 3,0 2,0 1,0<br />
Tinggi<br />
Sedang<br />
Rendah<br />
3,0<br />
2,0<br />
1,0<br />
I II III<br />
IV V<br />
VI<br />
VII VIII IX<br />
Gambar 2. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan<br />
Berdasarkan posisi sel V, maka tipe strategi utama yang dapat diterapkan adalah<br />
strategi intensif dalam bentuk penetrasi pasar, pengembangan produk dan pasar,<br />
perbaikan kelayakan unit pengolahan serta peningkatan kapasitas kelembagaan<br />
dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan.<br />
Penetrasi pasar atau pertumbuhan terkosentrasi dapat dilakukan dengan:<br />
1. Menambah tingkat penggunaan pelanggan lama melalui: menambah<br />
jumlah pembelian, mengiklankan penggunaan lain, dan memberi<br />
insentif harga untuk penggunaan lebih banyak.<br />
2. Memikat pelanggan pesaing melalui mempertajam diferensiasi merk,<br />
meningkatkan promosi dan menurunkan harga.<br />
3. Memikat bukan pengguna untuk membeli produk melalui: merangsang<br />
keinginan mencoba produk contoh (sampling), insentif harga dan<br />
mengiklankan penggunaan baru.<br />
Strategi pengembangan pasar yang dapat dilakukan yakni dengan<br />
menambah daerah pasar sasaran. Selama ini produk sentra pengolahan ikan di<br />
Kusamba hanya dipasarkan di wilayah Klungkung, Denpasar dan Badung. Perlu<br />
dilakukan ekspansi pasar dengan menembus seluruh wilayah Bali serta Lombok<br />
Barat.<br />
Strategi pengembangan produk berkaitan erat dengan pencitraan produk.<br />
Tidak sulit bagi perusahaan sentra pengolahan perikanan untuk melakukan<br />
pengembangan produk dalam bentuk selain pindang, seperti pepes, otak-otak atau<br />
produk setengah jadi untuk dipasarkan ke restoran dan super market. Selain itu<br />
yang harus dipertahankan adalah adanya perlakuan sebelum produk dipasarkan,<br />
yaitu dengan seleksi, standarisasi atau grading. Sehingga didapatkan produk<br />
pengolahan ikan yang berkualitas tinggi. Penggunaan merk yang selama ini tidak<br />
dilakukan, sebaiknya dibrikan merk untuk membangun citra produk dan<br />
memudahkan pelanggan untuk mengingat produk sentra pengolahan perikanan<br />
yang telah beredar.<br />
Perbaikan kelayakan unit pengolahan dapat dilakukan dengan membangun<br />
layout/tata letak bangunan unit pengolahan sedemikian rupa agar efisien, murah,<br />
praktis, memudahkan dalam bekerja, memudahkan dalam pengelolaan limbah dan<br />
tampak indah. Peningkatan kapasitas kelembagaan dapat dicapai dengan<br />
pemberdayaan kelompok pekerja dan pelaku usaha pengolahan ikan, yaitu melalui<br />
restrukturisasi kepengurusan, penguatan modal kelompok serta pola pembinaan<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
89
dan pengembangan dapat dilakukan dengan kombinasi Pola Empu dan Pola<br />
Pemasaran Bapak Angkat. Hal ini dapat diupayakan dengan membuat<br />
kesepakatan dan kerja sama dengan pihak terkait berdasar MoU. Pola Empu<br />
dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dengan menempatkan seorang pakar,<br />
di mana secara berencana dan berkesinambungan melaksanakan pembinaan dan<br />
membantu pengembangan. Pola Bapak Angkat lebih ditekankan pada bantuan<br />
modal kerja dan penjaminan resiko usaha serta membantu dalam pendekatan<br />
akses pasar untuk menjual produk dalam hal ini dilakukan dengan mengundang<br />
pengusaha mitra, badan atau LSM.<br />
Peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan adalah melalui<br />
memberi bantuan dana pembangunan IPAL dan bahan penetralisir limbah.<br />
Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah terhadap unit-unit usaha pengolahan<br />
ikan pada sentra pengolahan perikanan dalam hal pengelolaan lingkungan masih<br />
sangat perlu ditingkatkan. Di antaranya dengan menjadi agensia teknologi dan<br />
fasilitas pengelolaan limbah cair hasil kegiatan pengolahan ikan, serta dengan<br />
memberikan kontrol, pengawasan dan sanksi yang lebih ketat terhadap pelaku<br />
usaha yang melakukan pencemaran lingkungan.<br />
4. SIMPULAN DAN SARAN<br />
4.1 Simpulan<br />
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan:<br />
1) Hasil perhitungan matriks IFE untuk perusahaan sentra pengolahan hasil<br />
perikanan menunjukkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan utama bagi<br />
perusahaan, yaitu: (1) SDM yang terampil, disiplin dan ulet; (2) Memiliki<br />
mobil operasional; dan (3) Lahan usaha yang cukup luas. Sedangakan faktor<br />
internal yang menjadi kelemahan utama bagi perusahaan sentra pengolahan<br />
hasil perikanan, yaitu: (1) Sanitasi yang buruk; (2) Pengetahuan dan sikap<br />
terhadap pengelolaan limbah usaha pemindangan masih rendah; (3) Kelayakan<br />
unit pengolahan hasil perikanan; (4) Kelembagaan kelompok pengolahan<br />
perikanan kurang aktif; dan (5) Tidak melakukan promosi. Posisi internal<br />
perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu memanfaatkan<br />
kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada.<br />
2) Posisi ekternal perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan sentra pengolahan<br />
hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategistrategi<br />
untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang<br />
dihadapi. Beberapa faktor eksternal yang menjadi peluang terpenting dan<br />
berpengaruh terhadap perusahaan, yaitu: (1) Permintaan terhadap pindang ikan<br />
yang cukup tinggi; (2) Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan<br />
perikanan merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung; (3)<br />
Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup tinggi dan<br />
mumpuni. Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman yang paling<br />
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan, yaitu: (1) Mahalnya<br />
harga ikan dan bahan bakar; (2) Gangguan kesehatan para pengolah; dan (3)<br />
Keamanan lingkungan dari gangguan luar.<br />
3) Matriks I-E menempatkan perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada<br />
sel V. Posisi ini menggambarkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil<br />
perikanan sebaiknya menerapkan strategi pertahankan dan pelihara.<br />
90<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
4.2 Saran<br />
Berdasarkan beberapa temuan dalam penelitian ini dapat disarankan<br />
sebagai berikut. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus menjaga dan<br />
mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik serta<br />
melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang produksi,<br />
pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi tercapainya<br />
kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup (sustainable)<br />
sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan kompetitif dalam<br />
pengembangan produk.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Dahuri, 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan untuk<br />
Kesejahteraan Rakyat. Penerbit LISPI, Jakarta.<br />
David, FR., 2001. Manajemen Strategik. Prenhallindo, Jakarta.<br />
Downey, W.D. dan S.P. Erickson, 1992. Manajemen Agribisnis. Diterjemahkan<br />
oleh Ganda S. dan A. Sirait dari Agribusiness Management.<br />
Erlangga, Jakarta.<br />
Hadiwiyoto,S., 1993. Teknik pengolahan Hasil Perikanan. Liberty, Yogyakarta.<br />
Kinnear, TL. dan Taylor, 1996. Marketing Research An Aplied Approach<br />
5 th Edition. Mc Graw Hill, New York.<br />
Kotler, P., 1991. Prinsip Pemasaran. Edisi Bahasa Indonesia. Terjemahan<br />
Jaka Warsana. Airlangga, Jakarta.<br />
Rangkuti, F., 2000. Analisis SWOT TehNPK Membedah Kasus Bisnis.<br />
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.<br />
Resssohadiprojo, S., 1992. Manajemen Strategik . BPFE UGM, Yoyakarta.<br />
Rustam, 2002. Pendapatan Menurut Standar Akutansi Keuangan. Digilib Usu,<br />
Medan.<br />
Suparta, N., 2005. Pendekatan Holistik Membangun Agribisnis. CV Bali Media<br />
Adhikarsa, Denpasar.<br />
Suwarsono, M., 2005. Manajemen Strategik. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.<br />
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM<br />
91