Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah ... - Dexa Medica
Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah ... - Dexa Medica
Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah ... - Dexa Medica
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
MEDICINUS<br />
9<br />
Apakah Fungsi<br />
Kognitif Penderita<br />
Diabetes Dipengaruhi<br />
oleh Status Vitamin E<br />
<strong>Diagnosis</strong> <strong>dan</strong> <strong>Terapi</strong><br />
<strong>Cairan</strong> <strong>pada</strong> <strong>Demam</strong><br />
<strong>Berdarah</strong> Dengue<br />
14<br />
Asam Valproat<br />
untuk Mencegah<br />
Migren<br />
22<br />
Vol.21, Nov - Des | No.4 | 2008 | ISSN 1979 - 391x<br />
SCIENTIFIC JOURNAL OF PHARMACEUTICAL DEVELOPMENT AND MEDICAL APPLICATION<br />
Pencegahan Quorum<br />
Sensing: Suatu<br />
Pendekatan Baru<br />
untuk Mengatasi<br />
Infeksi Bakteri
IKLAN<br />
TRIXIM
dari redaksi<br />
<strong>Demam</strong> berdarah dengue<br />
tetap menjadi salah satu masalah<br />
kesehatan di Indonesia. Dengan<br />
mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis<br />
klinis dapat segera ditentukan.<br />
Dan dengan memahami<br />
patogenesis, perjalanan penyakit,<br />
gambaran klinis <strong>dan</strong> pemeriksaan<br />
laboratorium, diharapkan penatalaksanaan<br />
dapat dilakukan secara<br />
efektif <strong>dan</strong> efisien. Untuk lebih<br />
lengkapnya kami sajikan artikel<br />
<strong>pada</strong> rubrik leading article yang<br />
berjudul “<strong>Diagnosis</strong> <strong>dan</strong> <strong>Terapi</strong><br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
<strong>Cairan</strong> <strong>pada</strong> <strong>Demam</strong> <strong>Berdarah</strong><br />
Dengue”.<br />
Kami juga menyajikan berbagai<br />
article research <strong>dan</strong> case report<br />
yang menarik untuk menambah<br />
wawasan kalangan dokter.<br />
Pada rubrik medical review<br />
kami menyajikan tentang Quorum<br />
Sensing. Pengetahuan baru<br />
tentang Quorum Sensing memberikan<br />
strategi alternatif dalam usaha<br />
manusia untuk mengendalikan<br />
bakteri patogen, baik itu patogen<br />
<strong>pada</strong> manusia, hewan, <strong>dan</strong> tanaman.<br />
Peran gap junction intercellular<br />
communication (GJIC) <strong>pada</strong><br />
karsinogenesis adalah artikel<br />
<strong>pada</strong> rubrik medical review yang<br />
lain yang tidak kalah menarik<br />
untuk dibaca.<br />
Selamat membaca!!!!<br />
REDAKSI<br />
Ketua Pengarah/Pemimpin Redaksi Dr. Raymond R. Tjandrawinata<br />
Redaktur Pelaksana Dwi Nofiarny, Pharm., Msc.<br />
Staf Redaksi dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni, dr. Lydia Fransisca Hermina<br />
Tiurmauli Tambunan, Liana W Susanto, M biomed., dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Prihatini,<br />
dr. Ratna Kumalasari, Tri Galih Arviyani, SKom.<br />
Peer Review Prof.Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof.Dr.Med.<br />
Puruhito,M.D.,F.I.C.S., F.C.T.S, Prof DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK<br />
Redaksi/Tata Usaha Jl. RS Fatmawati Kav 33, Cilandak, Jakarta Selatan<br />
Tel. (021) 7509575, Fax. (021) 75816588, Email: medical@dexa-medica.com<br />
DBD<br />
SUMBANGAN TULISAN<br />
Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto <strong>dan</strong> materi<br />
lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Redaksi berhak mengedit<br />
atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi<br />
yang dimuat apabila dipan<strong>dan</strong>g perlu.<br />
daftar isi<br />
1<br />
2<br />
3<br />
9<br />
14<br />
17<br />
22<br />
28<br />
32<br />
35<br />
43<br />
44<br />
Dari Redaksi<br />
Petunjuk Penulisan<br />
Leading Article<br />
<strong>Diagnosis</strong> <strong>dan</strong> <strong>Terapi</strong> <strong>Cairan</strong> <strong>pada</strong> <strong>Demam</strong><br />
<strong>Berdarah</strong> Dengue<br />
Original Article (Research)<br />
Apakah Fungsi Kognitif Penderita Diabe-<br />
tes Dipengaruhi oleh Status Vitamin E?<br />
Original Article (Case Report)<br />
Asam Valproat untuk Mencegah Migren<br />
Timpanolpasti Pendekatan Ganda <strong>pada</strong><br />
Otitis Media Supuratif Kronik dengan Ja-<br />
ringan Granulasi<br />
<strong>Medica</strong>l Review<br />
Pencegahan Quorum Sensing: Suatu Pen-<br />
dekatan Baru untuk Mengatasi Infeksi Bak-<br />
teri<br />
Peran Gap Junction Intercellular Communi-<br />
cation (GJIC) <strong>pada</strong> Karsinogenesis<br />
Meet the Expert<br />
Prof. Dr. H. Slamet Suyono, SpPD-KE<br />
Events<br />
Calender Events<br />
Literatur Services<br />
MEDICINUS<br />
1
MEDICINUS<br />
2<br />
instructions for authors<br />
Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus<br />
dengan foto-foto asli dalam bi<strong>dan</strong>g Kedokteran <strong>dan</strong> Farmasi.<br />
1. Tulisan yang dikirimkan ke<strong>pada</strong> Redaksi adalah tulisan yang belum pernah<br />
dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan.<br />
Keaslian <strong>dan</strong> keakuratan informasi dalam tulisan menjadi tanggungjawab penulis<br />
2. Tulisan berupa ketikan <strong>dan</strong> diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program<br />
MS Word <strong>dan</strong> print-out <strong>dan</strong> dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui<br />
e-mail kami.<br />
3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda <strong>pada</strong> kertas ukuran kuarto (A4) <strong>dan</strong><br />
tidak timbal balik.<br />
4. Semua tulisan disertai abstrak <strong>dan</strong> kata kunci (key words). Abstrak hendaknya<br />
tidak melebihi 200 kata.<br />
5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah menjadi anak<br />
judul.<br />
6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas.<br />
7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan<br />
8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh penulisan<br />
daftar pustaka.<br />
9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul <strong>dan</strong> keterangan yang cukup.<br />
10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke<br />
dalam sampul khusus. Beri judul <strong>dan</strong> keterangan yang lengkap <strong>pada</strong> tulisan.<br />
11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan ke<strong>pada</strong> peer<br />
reviewer.<br />
12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada),<br />
no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat.<br />
ConToh PenUliSan DafTaR PUSTaKa<br />
Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan<br />
dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih<br />
dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi<br />
tidak lebih dari 25 buah <strong>dan</strong> terbitan satu dekade terakhir.<br />
aRTiKel Dalam jURnal<br />
1. artikel standar<br />
Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased<br />
risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih<br />
dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E,<br />
et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J<br />
Cancer 1996; 73:1006-12<br />
2. Suatu organisasi sebagai penulis<br />
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress<br />
Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4<br />
3. Tanpa nama penulis<br />
Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15<br />
4. artikel tidak dalam bahasa inggris<br />
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos<br />
tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2<br />
5. Volum dengan suplemen<br />
Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational<br />
lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82<br />
6. edisi dengan suplemen<br />
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reactions to breast<br />
cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97<br />
7. Volum dengan bagian<br />
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin<br />
dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6<br />
8. edisi dengan bagian<br />
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the<br />
leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8<br />
9. edisi tanpa volum<br />
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid<br />
arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4<br />
10. Tanpa edisi atau volum<br />
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and<br />
Petunjuk Penulisan<br />
the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg<br />
1993;325-33<br />
11. nomor halaman dalam angka romawi<br />
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction<br />
Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii<br />
BUKU Dan monogRaf lain<br />
12. Penulis perseorangan<br />
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed.<br />
Albany (NY):Delmar Publishers; 1996<br />
13. editor sebagai penulis<br />
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New<br />
York:Churchill Livingstone; 1996<br />
14. organisasi sebagai penulis<br />
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program.<br />
Washington:The Institute; 1992<br />
15. Bab dalam buku<br />
Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan<br />
tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).<br />
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM,<br />
editors. Hypertension: Patophysiology, <strong>Diagnosis</strong> and Management. 2nded.<br />
New York:Raven Press; 1995.p.465-78<br />
16. Prosiding konferensi<br />
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology.<br />
Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology;<br />
1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996<br />
17. makalah dalam konferensi<br />
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security<br />
in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MED-<br />
INFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on <strong>Medica</strong>l Informatics; 1992<br />
Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5<br />
18. laporan ilmiah atau laporan teknis<br />
Diterbitkan oleh ba<strong>dan</strong> penyan<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong>a/sponsor:<br />
Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during<br />
skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human<br />
Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.:<br />
HHSIGOEI69200860<br />
Diterbitkan oleh unit pelaksana:<br />
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work<br />
Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Contract<br />
No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy<br />
and Research<br />
19. Disertasi<br />
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access and utilization<br />
[dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995<br />
20. artikel dalam koran<br />
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions<br />
annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5)<br />
21. materi audio visual<br />
HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-<br />
Year Book; 1995<br />
maTeRi eleKTRoniK<br />
22. artikel jurnal dalam format elektronik<br />
Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [serial<br />
online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from:<br />
URL:HYPERLINK<br />
23. monograf dalam format elektronik<br />
CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT,<br />
maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San<br />
Diego: CMEA; 1995<br />
24. arsip komputer<br />
Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program].<br />
Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
Khie Chen, Herdiman T. Pohan, Robert Sinto<br />
Divisi Penyakit Tropik <strong>dan</strong> Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,<br />
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta<br />
leading article<br />
Abstrak. <strong>Demam</strong> dengue (DD) <strong>dan</strong> demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai<br />
saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi<br />
DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit <strong>dan</strong> kematian<br />
akibat DBD, khususnya <strong>pada</strong> anak. 1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan <strong>pada</strong> tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005)<br />
terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi <strong>dan</strong> kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01%<br />
(2007). 4-5<br />
Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian<br />
cairan pengganti. 6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis <strong>dan</strong> pemeriksaan laboratorium, diharapkan<br />
penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif <strong>dan</strong> efisien.<br />
Pendahuluan<br />
<strong>Demam</strong> dengue (DD) <strong>dan</strong> demam berdarah dengue (DBD) adalah<br />
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini,<br />
infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia.<br />
Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh<br />
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya<br />
angka perawatan rumah sakit <strong>dan</strong> kematian akibat DBD, khususnya<br />
<strong>pada</strong> anak. 1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan <strong>pada</strong><br />
tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah<br />
penduduk, provinsi <strong>dan</strong> kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan<br />
case fatality rate sebesar 1,01% (2007). 4-5<br />
Berbagai faktor kependudukan berpengaruh <strong>pada</strong> peningkatan<br />
<strong>dan</strong> penyebaran kasus DBD, antara lain:<br />
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,<br />
2. Urbanisasi yang tidak terencana <strong>dan</strong> tidak terkendali,<br />
3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis,<br />
<strong>dan</strong><br />
4. Peningkatan sarana transportasi. 4<br />
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama<br />
kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping<br />
pemberian terapi yang optimal <strong>pada</strong> penderita DBD, dengan tujuan<br />
menurunkan jumlah kasus <strong>dan</strong> kematian akibat penyakit ini. Sampai<br />
saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama<br />
dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.<br />
6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran<br />
klinis <strong>dan</strong> pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat<br />
dilakukan secara efektif <strong>dan</strong> efisien.<br />
Definisi<br />
<strong>Demam</strong> berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang<br />
disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk<br />
DBD. 7 DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus<br />
dengue.<br />
Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue 8<br />
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut<br />
(gambar 1): 5<br />
1. <strong>Demam</strong> tidak terdiferensiasi<br />
2. <strong>Demam</strong> dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama<br />
2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri<br />
kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi<br />
perdarahan [petekie atau uji bendung positif], leukopenia) <strong>dan</strong><br />
pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang<br />
sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD <strong>pada</strong> lokasi<br />
<strong>dan</strong> waktu yang sama.<br />
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)<br />
MEDICINUS<br />
51 3
MEDICINUS<br />
4<br />
Patogenesis<br />
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi<br />
dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection<br />
theory) <strong>dan</strong> hipotesis immune enhancement.<br />
Gambar 2. Hipotesis infeksi sekunder 9<br />
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte,<br />
1977 (gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue<br />
yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu,<br />
menyebabkan proliferasi <strong>dan</strong> transformasi limfosit <strong>dan</strong> menghasilkan<br />
titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi<br />
limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue.<br />
Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang<br />
selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a <strong>dan</strong> C5a<br />
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah<br />
<strong>dan</strong> merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan<br />
peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium <strong>dan</strong> terdapatnya<br />
cairan dalam rongga serosa. 9,10<br />
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara<br />
tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus<br />
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita<br />
DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus<br />
lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan<br />
dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai<br />
tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang<br />
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,<br />
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia <strong>dan</strong> syok. 9,10<br />
<strong>Diagnosis</strong><br />
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua<br />
hal ini terpenuhi: 2,5,9<br />
1. <strong>Demam</strong> atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.<br />
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung<br />
positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis<br />
<strong>dan</strong> melena.<br />
3. Trombositopenia (jumlah trombosit 20% dibandingkan standar sesuai<br />
• umur <strong>dan</strong> jenis kelamin.<br />
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,<br />
• dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.<br />
•<br />
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,<br />
hiponatremia.<br />
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu: 2,5,9<br />
Derajat 1: <strong>Demam</strong> disertai gejala tidak khas <strong>dan</strong> satu-satunya manifestasi<br />
perdarahan adalah uji torniquet.<br />
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit <strong>dan</strong><br />
perdaran lain.<br />
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat <strong>dan</strong> lemah,<br />
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,<br />
sianosis di sekitar mulut kulit dingin <strong>dan</strong> lembab, tampak<br />
gelisah.<br />
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba <strong>dan</strong> tekanan darah tidak<br />
terukur.<br />
Keempat derajat tersebut ditunjukkan <strong>pada</strong> gambar 3.<br />
Gambar 3. Patogenesis <strong>dan</strong> spektrum klinis DBD (WHO, 1997) 5<br />
Pemeriksaan Penunjang<br />
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,<br />
jumlah trombosit, <strong>dan</strong> hapusan darah tepi untuk melihat a<strong>dan</strong>ya<br />
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari<br />
ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai <strong>pada</strong> hari ke 3-8 sejak timbulnya<br />
demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke<br />
3 demam. 5<br />
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan<br />
terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis<br />
(PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain<br />
yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.<br />
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik<br />
melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi<br />
molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai<br />
baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan<br />
tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari<br />
1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan<br />
ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan<br />
deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase<br />
chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan<br />
hasil yang lebih sensitif <strong>dan</strong> lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi<br />
virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami<br />
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif<br />
semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan<br />
serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM <strong>dan</strong> IgG-anti dengue.<br />
Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat<br />
sampai minggu ke 3 <strong>dan</strong> menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi<br />
primer, IgG mulai terdeteksi <strong>pada</strong> hari ke 14, se<strong>dan</strong>gkan <strong>pada</strong> infeksi<br />
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2. 11<br />
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang se<strong>dan</strong>g berkembang<br />
adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen<br />
nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan<br />
sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
erbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1<br />
dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan<br />
mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat<br />
terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai<br />
hari ke 12 demam <strong>pada</strong> infeksi primer Dengue<br />
atau sampai hari ke 5 <strong>pada</strong> infeksi sekunder Dengue.<br />
Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga<br />
dikatakan memiliki sensitivitas <strong>dan</strong> spesifisitas yang<br />
tinggi (88,7% <strong>dan</strong> 100%). Oleh karena berbagai keunggulan<br />
tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan<br />
deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk<br />
pelayanan primer. 11<br />
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak <strong>dan</strong><br />
lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat<br />
ada tidaknya efusi pleura, terutama <strong>pada</strong> hemitoraks<br />
kanan <strong>dan</strong> <strong>pada</strong> keadaan perembesan plasma<br />
hebat, efusi dapat ditemukan <strong>pada</strong> kedua hemitoraks.<br />
Asites <strong>dan</strong> efusi pleura dapat pula dideteksi dengan<br />
USG. 5,9<br />
Penatalaksanaan<br />
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif<br />
<strong>dan</strong> simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk<br />
mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran<br />
plasma <strong>dan</strong> memberikan terapi substitusi komponen<br />
darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi<br />
cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah<br />
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.<br />
Proses kebocoran plasma <strong>dan</strong> terjadinya trombositopenia<br />
<strong>pada</strong> umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga<br />
6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses<br />
kebocoran plasma akan berkurang <strong>dan</strong> cairan akan<br />
kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. <strong>Terapi</strong><br />
cairan <strong>pada</strong> kondisi tersebut secara bertahap<br />
dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah<br />
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan<br />
terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan<br />
cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites<br />
yang masif perlu selalu diwas<strong>pada</strong>i.<br />
<strong>Terapi</strong> nonfarmakologis yang diberikan meliputi<br />
tirah baring (<strong>pada</strong> trombositopenia yang berat)<br />
<strong>dan</strong> pemberian makanan dengan kandung-an gizi<br />
yang cukup, lunak <strong>dan</strong> tidak mengandung zat atau<br />
bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi<br />
simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa<br />
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi<br />
keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat<br />
antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena<br />
berisiko terjadinya perdarahan <strong>pada</strong> saluran cerna<br />
bagaian atas (lambung/duodenum).<br />
Protokol pemberian cairan sebagai komponen<br />
utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol,<br />
mengacu <strong>pada</strong> protokol WHO. Protokol ini terbagi<br />
dalam 5 kategori, sebagai berikut:<br />
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar<br />
4).<br />
2. Pemberian cairan <strong>pada</strong> tersangka DBD dewasa di<br />
ruang rawat (gambar 5).<br />
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit<br />
>20% (gambar 6).<br />
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan <strong>pada</strong> DBD<br />
dewasa<br />
5. Tatalaksana sindroma syok dengue <strong>pada</strong> dewasa<br />
(gambar 7).<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok 5<br />
Gambar 5. Pemberian cairan <strong>pada</strong> tersangka DBD dewasa di ruang rawat 5<br />
Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% 5<br />
MEDICINUS<br />
5
MEDICINUS<br />
6<br />
Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue <strong>pada</strong> dewasa 5<br />
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan<br />
khususnya <strong>pada</strong> penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama<br />
adalah jenis cairan <strong>dan</strong> kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan<br />
yang akan diberikan. Karena<br />
tujuan terapi cairan adalah<br />
untuk mengganti kehilangan<br />
cairan di ruang intravaskular,<br />
<strong>pada</strong> dasarnya baik kristaloid<br />
(ringer laktat, ringer asetat,<br />
cairan salin) maupun koloid<br />
dapat diberikan. WHO menganjurkan<br />
terapi kristaloid<br />
sebagai cairan standar <strong>pada</strong><br />
terapi DBD karena dibandingkan<br />
dengan koloid, kristaloid<br />
lebih mudah didapat <strong>dan</strong> lebih<br />
murah. Jenis cairan yang ideal<br />
yang sebenarnya dibutuhkan<br />
dalam penatalaksanaan antara<br />
lain memiliki sifat bertahan<br />
lama di intravaskular, aman<br />
<strong>dan</strong> relatif mudah diekskresi,<br />
tidak mengganggu sistem koagulasi<br />
tubuh, <strong>dan</strong> memiliki efek<br />
alergi yang minimal. 1-3<br />
Secara umum, penggunaan<br />
kristaloid dalam tatalaksana<br />
DBD aman <strong>dan</strong> efektif.<br />
Beberapa efek samping<br />
yang dilaporkan terkait dengan<br />
penggunaan kristaloid<br />
adalah edema, asidosis laktat,<br />
instabilitas hemodinamik <strong>dan</strong><br />
hemokonsentrasi. 12,13 Kristaloid<br />
memiliki waktu bertahan<br />
yang singkat di dalam pembuluh<br />
darah. Pemberian larutan<br />
RL secara bolus (20 ml/kg<br />
BB) akan menyebabkan efek<br />
penambahan volume vaskular<br />
hanya dalam waktu yang singkat<br />
sebelum didistribusikan<br />
ke seluruh kompartemen interstisial<br />
(ekstravaskular) dengan<br />
perbandingan 1:3, sehingga<br />
dari 20 ml bolus tersebut<br />
dalam waktu satu jam hanya<br />
5 ml yang tetap berada dalam<br />
ruang intravaskular <strong>dan</strong> 15<br />
ml masuk ke dalam ruang interstisial.<br />
14 Namun demikian,<br />
dalam aplikasinya terdapat<br />
beberapa keuntungan penggunaan<br />
kristaloid antara lain<br />
mudah tersedia dengan harga<br />
terjangkau, komposisi yang<br />
menyerupai komposisi plasma,<br />
mudah disimpan dalam<br />
temperatur ruang, <strong>dan</strong> bebas<br />
dari kemungkinan reaksi anafilaktik.<br />
15,16<br />
Dibandingkan cairan<br />
kristaloid, cairan koloid memiliki<br />
beberapa keunggulan yaitu:<br />
<strong>pada</strong> jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume<br />
plasma (intravaskular) yang lebih besar <strong>dan</strong> bertahan untuk waktu<br />
lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan<br />
koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik <strong>dan</strong> hemodinamik<br />
terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Dibandingkan cairan kristaloid,<br />
cairan koloid memiliki beberapa<br />
keunggulan yaitu: <strong>pada</strong> jumlah<br />
volume yang sama akan<br />
didapatkan ekspansi volume<br />
plasma (intravaskular) yang<br />
lebih besar <strong>dan</strong> bertahan untuk<br />
waktu lebih lama di ruang<br />
intravaskular. Dengan kelebihan<br />
ini, diharapkan koloid memberikan<br />
oksigenasi jaringan lebih<br />
baik <strong>dan</strong> hemodinamik terjaga<br />
lebih stabil.<br />
dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, <strong>dan</strong><br />
biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki<br />
efek samping koagulopati <strong>dan</strong> alergi yang rendah (contoh: hetastarch).<br />
15,16 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid <strong>pada</strong><br />
sindrom renjatan dengue (DSS) <strong>pada</strong> pasien anak dengan parameter<br />
stabilisasi hemodinamik <strong>pada</strong> 1 jam pertama renjatan, memberikan<br />
hasil sebanding <strong>pada</strong> kedua jenis cairan. 17,18 Sebuah penelitian lain<br />
yang menilai efektivitas <strong>dan</strong> keamanan penggunaan koloid <strong>pada</strong> penderita<br />
dewasa dengan DBD derajat 1 <strong>dan</strong> 2 di Indonesia telah selesai<br />
dilakukan, <strong>dan</strong> dalam proses publikasi.<br />
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya<br />
kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut<br />
masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 <strong>dan</strong> 2, cairan<br />
diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) <strong>dan</strong> untuk mengganti<br />
cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan<br />
<strong>pada</strong> pasien dewasa dengan berat ba<strong>dan</strong> 50 kg, adalah sebanyak<br />
kurang lebih 2000 ml/24 jam; se<strong>dan</strong>gkan <strong>pada</strong> kebocoran plasma<br />
yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat ba<strong>dan</strong> sebanyak 1500-3000<br />
ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan <strong>pada</strong> DBD dengan<br />
hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun<br />
demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai<br />
apakah hemokonsentrasi masih berlangsung <strong>dan</strong> apakah jumlah<br />
cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah.<br />
Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien,<br />
stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi he-<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
modinamik tidak stabil (derajat 3 <strong>dan</strong> 4) cairan diberikan secara bolus<br />
atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat ba<strong>dan</strong>, <strong>dan</strong> setelah hemodinamik<br />
stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga<br />
kondisi benar-benar stabil (lihat protokol <strong>pada</strong> gambar 6 <strong>dan</strong> 7). Pada<br />
kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun<br />
kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin<br />
<strong>dan</strong> hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya<br />
perdarahan internal.<br />
Kesimpulan<br />
<strong>Demam</strong> berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan<br />
di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis<br />
dapat segera ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk<br />
menilai infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1)<br />
Dengue, se<strong>dan</strong>g dikembangkan <strong>dan</strong> memberikan prospek yang baik<br />
untuk diagnosis yang lebih dini.<br />
<strong>Terapi</strong> cairan <strong>pada</strong> DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan<br />
cairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal<br />
terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta<br />
kecepatan, <strong>dan</strong> pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris<br />
untuk menilai respon kecukupan cairan.<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-6<br />
2. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic<br />
fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-17<br />
3. World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock<br />
syndrome in the context of the integrated management of childhood illness. Department<br />
of Child and Adolescent Health and Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva,<br />
2005<br />
4. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit <strong>dan</strong> Penyehatan Lingkungan Departemen<br />
Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit <strong>dan</strong> penyehatan lingkungan. Jakarta,<br />
2007<br />
5. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan<br />
kesehatan, 2005.p.19-34<br />
6. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. <strong>Demam</strong> berdarah dengue. Dalam: Sudoyo,<br />
A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta:Pusat<br />
Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9<br />
7. Rani, A. Soegondo, S. <strong>dan</strong> Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan<br />
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI,<br />
2006.p.137-8<br />
8. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention<br />
and control. Geneva, 1997<br />
9. Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di Indonesia.<br />
Departemen Kesehatan RI <strong>dan</strong> Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular<br />
<strong>dan</strong> Penyehatan Lingkungan. 2004<br />
10. Sutaryo. Perkembangan patogenesis demam berdarah dengue. Dalam: Ha-dinegoro<br />
SRH, Satari HI, editor. <strong>Demam</strong> <strong>Berdarah</strong> Dengue: Naskah Lengkap. Jakarta: Balai Penerbit<br />
FKUI, 1999.p.32-43<br />
11. Nainggolan L. Reagen pan-E dengue early capture ELISA (PanBio) <strong>dan</strong> platelia dengue<br />
NS1 Ag test (BioRad) untuk deteksi dini infeksi dengue. 2008<br />
12. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. 4 th ed. New York:Churchill Livingstone,<br />
2000.p.236-7<br />
13. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 4 th ed. New<br />
York:Lange <strong>Medica</strong>l Books/McGraw-Hill, 2006.p.692-4<br />
14. Kaaallen A J and Lonergan JM. Fluid resusciaation of acute hypovolemic hypoperfusion<br />
status in pediatrics. Pediat Clin N Amer 1990; 37(2):287-94<br />
15. Venu Goppal Reddy. Crystalloids versus colloids in hypovolemic shock. Proceedings of<br />
5 th Indonesian-International Symposium on Shock and Critical Care 26-33<br />
16. Liolios A. Volume resuscitation: the crystalloid vs colloid debate revisited. Medscape<br />
2004. Available from: URL:http://www.medscape.com/viewarticle/480288<br />
17. Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le T, et al. Comparison of three fluid<br />
solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J Med 2005; 353:877–<br />
89<br />
18. Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen VM, Nguyen TQ, et al. Acute management<br />
of dengue shock syndrome: a randomized double-blind comparison of 4 intravenous<br />
fluid regimens in the first hour. Clin Infect Dis 2001; 32:204–13<br />
MEDICINUS<br />
7
MEDICINUS<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
original article<br />
Luthfan Budi Purnomo 1 , Astuti 2 , Harakati Wangi 3 , Harli Amir Mahmudji 4 ,<br />
Rizka Humardewayanti Asdie 5 , Setyo Purwono 6<br />
1. Subdivision of Endocrinology and Metabolic, Internal Department of Gadjah Mada University/Sardjito<br />
Hospital Yogyakarta<br />
2. Neurology Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta<br />
3. Internal Department of RSPAD Jakarta<br />
4. Internal Department of RSJ Magelang<br />
5. Internal Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta<br />
6. Pharmacology Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta<br />
abstract. Background: Long-term oxidative stress is believed to be one of the major factors contributing to the decline of cognitive<br />
function observed with aging. Oxidative stress due to the generation of free radicals resulting from normal metabolism causes<br />
accumulated oxidative damage to critical biomolecules, especially when coupled with insufficient endogenous antioxi<strong>dan</strong>t defense<br />
mechanisms.<br />
Brain tissue, which has relatively little antioxi<strong>dan</strong>t protection, also contains high levels of polyunsaturated fatty acids (PUFA), making<br />
it more vulnerable to oxidative insult. Interventions to increase antioxi<strong>dan</strong>t capacity and reduce oxidative damage have been suggested<br />
as a potentially useful strategy to prevent or retard this process. Due to its antioxi<strong>dan</strong>t properties, vitamin E plays a role in the<br />
prevention of certain diseases, including cancer, diabetes, cataracts, cardio and cerebrovascular disease, and has been related to the<br />
prevention or slowing of cognitive decline.<br />
Mild cognitive impairment is one of the risk factors to get dementia. Dementia connected with the risk factor of diabetes mellitus<br />
(DM). At prospective study Rotterdam and Hisamaya, and also the retrospective Rochester study show that the risk of Alzheimer (AD)<br />
become two time greater as risk as at person with type 2 DM.<br />
aim: The aim of this study was to examine associations between vitamin E status and cognitive performance in diabetic people.<br />
method: Cross sectional study was done to 46 DM patients of 23 men and 23 women, aged more than 50 years old, who came at<br />
Endocrine’s clinic Sardjito Hospital on August–December 2006 as subject. Serum levels of α-tocopherol (vitamin E) was determined<br />
by HPLC method. The cognitive capacity of subjects was tested using the mini mental examination state (MMSE). Mild cognitive impairment<br />
(MCI) if MMSE value ≤24.<br />
Result: There were 18 diabetic people with MCI. We found no different significantly in serum levels of α-tocopherol in both group<br />
according cognitive status (7.28 + 4.69 in diabetic people with MCI vs. 6.69 + 4.51 in diabetic people without MCI, p=0.678).<br />
Conclusion: This study shows there is no relationship between vitamin E status and cognitive function in diabetic people.<br />
Keyword: Cognitive function, alpha tocopherol, diabetic people.<br />
aBSTRaK. latar Belakang: Stres oksidatif jangka panjang diyakini sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan<br />
fungsi kognitif seiring dengan proses penuaan. Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme menyebabkan akumulasi<br />
kerusakan oksidatif biomolekul, terutama <strong>pada</strong> kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksi<strong>dan</strong> endogen.<br />
Jaringan otak, yang hanya memiliki sedikit perlindungan antioksi<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> memiliki kadar asam lemak tak jenuh (polyunsaturated<br />
fatty acid/PUFA) yang tinggi, mudah terkena oksidasi. Intervensi untuk meningkatkan kapasitas antioksi<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> mengurangi kerusakan<br />
oksidasi diperkirakan akan menjadi strategi yang sangat berguna untuk mencegah atau menghambat proses ini. Dengan melihat<br />
fungsinya sebagai antioksi<strong>dan</strong>, vitamin E memegang peranan dalam pencegahan beberapa penyakit, termasuk kanker, diabetes,<br />
katarak, penyakit kardio <strong>dan</strong> serebrovaskular, <strong>dan</strong> telah dihubungkan dengan pencegahan atau penghambatan penurunan kognitif.<br />
Gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) adalah salah satu faktor risiko demensia. Demensia dihubungkan dengan<br />
faktor risiko diabetes melitus (DM). Pada suatu studi prospektif yang dilakukan Rotterdam <strong>dan</strong> Hisamaya, <strong>dan</strong> studi retrospektif Rochester<br />
menunjukkan bahwa risiko Alzheimer (AD) menjadi dua kali lebih besar <strong>pada</strong> penderita DM tipe 2.<br />
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status vitamin E <strong>dan</strong> kondisi kognitif <strong>pada</strong> penderita diabetes.<br />
MEDICINUS research<br />
9
MEDICINUS<br />
10<br />
metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 46 penderita DM, 23 laki-laki <strong>dan</strong> 23 perempuan, usia lebih dari 50 tahun,<br />
yang datang ke poliklinik Endokrin RS Dr. Sardjito <strong>pada</strong> bulan Agustus–Desember 2006. Kadar α-tocopherol serum (vitamin E) diukur<br />
dengan metode HPLC. Kapasitas kognitif subjek diukur dengan mini mental examination state (MMSE), <strong>dan</strong> dinyatakan gangguan<br />
kognitif ringan/mild cognitive impairment (MCI) bila nilai MMSE ≤24.<br />
hasil: Didapatkan 18 pasien diabetes dengan MCI. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar α-tocopherol serum kedua<br />
kelompok berdasar status kognitifnya (7,28 ± 4,69 <strong>pada</strong> penderita diabetes dengan MCI vs 6,69 ± 4,51 <strong>pada</strong> penderita diabetes<br />
tanpa MCI, p=0,678).<br />
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status vitamin E <strong>dan</strong> fungsi kognitif <strong>pada</strong> penderita diabetes.<br />
Kata kunci: fungsi kognitif, alpha tocopherol, penderita diabetes<br />
Pendahuluan<br />
Stres oksidatif jangka panjang diyakini sebagai salah satu faktor utama<br />
yang berperan dalam penurunan fungsi kognitif seiring dengan proses<br />
penuaan. 1,2 Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme<br />
normal menyebabkan akumulasi kerusakan oksidatif biomolekul-biomolekul,<br />
terutama <strong>pada</strong> kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan<br />
antioksi<strong>dan</strong> endogen. 2-4<br />
Jaringan otak, yang hanya memiliki sedikit perlindungan antioksi<strong>dan</strong><br />
<strong>dan</strong> memiliki kadar asam lemak tak jenuh (polyunsaturated fatty<br />
acid/PUFA) yang tinggi, mudah terkena oksidasi. 1,2 Intervensi untuk<br />
meningkatkan kapasitas antioksi<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> mengurangi kerusakan oksidasi<br />
diperkirakan akan menjadi strategi yang sangat berguna untuk<br />
mencegah atau menghambat proses ini. 2 Vitamin E (α-tokoferol) diketahui<br />
merupakan antioksi<strong>dan</strong> paling poten <strong>dan</strong> paling banyak terdapat<br />
<strong>pada</strong> manusia. 5,6 Di samping itu, vitamin E juga dapat memodulasi berbagai<br />
fungsi seluler yang tidak terkait dengan aktivitas antioksi<strong>dan</strong>. 7,8<br />
Dengan melihat fungsinya sebagai antioksi<strong>dan</strong>, vitamin E memegang<br />
peranan dalam pencegahan beberapa penyakit, termasuk kanker,<br />
diabetes, katarak, penyakit kardio <strong>dan</strong> serebrovaskular, <strong>dan</strong> telah dihubungkan<br />
dengan pencegahan atau penghambatan penurunan kognitif.<br />
2,9,10<br />
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya<br />
demensia. Demensia yang berhubungan dengan faktor risiko diabetes<br />
adalah Alzheimer <strong>dan</strong> vaskular. Pada studi prospektif Rotterdam<br />
<strong>dan</strong> Hisayama, serta studi retrospektif Rochester, menunjukkan risiko<br />
kejadian demensia Alzheimer (AD) meningkat dua kali <strong>pada</strong> individu<br />
dengan DM tipe 2. 11 Demensia vaskular dihubungkan dengan diabetes<br />
melalui kejadian vaskular (VaD) yang diikuti dengan penurunan kognitif,<br />
gangguan vaskuler ini salah satunya merupakan manifestasi dari<br />
komplikasi makrovaskular diabetes. 11,12<br />
Gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) adalah<br />
suatu gangguan kognitif berupa gangguan orientasi, atensi, konsentrasi,<br />
memori, bahasa, <strong>dan</strong> intelektual, yang tidak masuk dalam kriteria<br />
demensia, dengan kata lain MCI merupakan keadaan predemensia.<br />
13,14 Gangguan kognitif merupakan proses awal kecacatan dalam<br />
otak berupa demensia. Berdasarkan studi terdahulu, menunjukkan<br />
hipotesis mengenai diabetes <strong>dan</strong> faktor komorbidnya terlibat dalam<br />
patogenesis demensia baik demensia Alzheimer (AD) ataupun demensia<br />
vaskular (VaD). 11,15<br />
Insidensi gangguan fungsi kognitif <strong>pada</strong> DM diperkirakan akan<br />
meningkat sehubungan dengan meningkatnya jumlah populasi penderita<br />
DM, sehingga perlu strategi untuk mencegah penurunan fungsi<br />
kognitif. Mekanisme terjadinya risiko demensia <strong>pada</strong> diabetes belum<br />
dapat dijelaskan, diperkirakan salah satunya melalui stres oksidatif<br />
<strong>dan</strong> diketahui pula bahwa kadar vitamin E plasma <strong>pada</strong> pengidap<br />
diabetes melitus (DM) tipe 2 lebih rendah dibandingkan dengan orang<br />
sehat 16,17 , sehingga diperkirakan gangguan fungsi kognitif <strong>pada</strong> penderita<br />
DM lebih banyak terjadi dibandingkan nonDM.<br />
Tujuan Penelitian<br />
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status vitamin<br />
E <strong>dan</strong> kondisi kognitif <strong>pada</strong> penderita diabetes.<br />
metode<br />
Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 46 penderita DM, 23<br />
laki-laki <strong>dan</strong> 23 perempuan, usia lebih dari 50 tahun, yang datang ke<br />
poliklinik Endokrin RS Dr. Sardjito <strong>pada</strong> bulan Agustus – Desember<br />
2006.<br />
Kriteria inklusi adalah penderita DM tipe 2 usia lebih dari 50 tahun<br />
yang kontrol di poliklinik Endokrin RSUP Dr. Sardjito <strong>dan</strong> <strong>pada</strong> saat<br />
pemeriksaan tidak se<strong>dan</strong>g minum suplemen obat yang mengandung<br />
vitamin E <strong>dan</strong> menyetujui informed consent. Kriteria eksklusi adalah<br />
penderita dengan tanda klinis, <strong>dan</strong> hasil laboratorium menunjukkan<br />
infeksi, se<strong>dan</strong>g menderita penyakit akut, terdapat penyakit inflamasi<br />
(demam reumatik, eritema nodosum, artritis reumatoid, artritis kronik,<br />
spondilitis ankilosis, psoriasis, vaskulitis sistemik, reumatik polimialgia,<br />
penyakit Reiter, diare kronis, lupus eritematosus sistemik (LES),<br />
skleroderma, dermatomiositis, osteoartritis), penyakit jantung koroner,<br />
terdapat riwayat pembedahan atau stroke dalam 3 bulan sebelum<br />
penelitian, terdapat keganasan, gagal jantung kongesti, penurunan<br />
fungsi ginjal, penurunan fungsi hati, merokok <strong>dan</strong> terdiagnosis demensia.<br />
Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dicatat dalam formulir<br />
penelitian, yaitu usia, jenis kelamin <strong>dan</strong> alamat. Kemudian dilakukan<br />
anamnesis <strong>dan</strong> pemeriksaan fisik (tekanan darah, denyut nadi, respirasi,<br />
suhu, berat ba<strong>dan</strong>, tinggi ba<strong>dan</strong>, lingkar pinggang, pemeriksaan fisik<br />
jantung, paru, abdomen <strong>dan</strong> ekstremitas) untuk mengetahui a<strong>dan</strong>ya<br />
penyakit infeksi akut, penyakit inflamasi (demam reumatik, eritema<br />
nodosum, artritis reumatoid, artritis kronik, spondilitis ankilosis, psoriasis,<br />
vaskulitis, diare kronis, penyakit Reiter, lupus eritematosus sistemik<br />
(LES), skleroderma, dermatomiositis, osteoartritis), hipertensi,<br />
a<strong>dan</strong>ya riwayat pembedahan atau stroke dalam 3 bulan sebelum penelitian,<br />
penyakit jantung koroner, keganasan, sirosis hati, merokok aktif,<br />
dislipidemia.<br />
Kemudian pasien dipesan untuk datang ke poliklinik penyakit<br />
dalam untuk dilakukan pengambilan darah dengan puasa minimal 10<br />
jam sebelumnya. Pengambilan darah 10 cc untuk pemeriksaan darah<br />
rutin, profil lipid, fungsi ginjal, enzim transaminase, HbA1c, kadar<br />
kolesterol total, kadar trigliserida, kadar low density lipoprotein (LDL),<br />
kadar high density lipoprotein (HDL) serta kadar α-tokoferol serum serta<br />
diminta untuk mengisi mini mental examination state (MMSE) untuk menilai<br />
fungsi kognitifnya.<br />
Pengukuran vitamin E dilakukan dengan HPLC (high-performance<br />
liquid chromatography). Sejumlah 20 mL plasma (dari darah EDTA) ditambah<br />
100 mL larutan ekstrak (etanol/butanol [50 : 50, vol/vol, 5 mg<br />
BHT/ml]). Campuran tersebut disentrifugasi selama 5 menit. Sejumlah<br />
20 mL supernatan diinjeksikan ke HPLC. Spektrofotometer yang digu-<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
nakan adalah UV-VIS l 292 nm. Puncak tokoferol akan muncul <strong>pada</strong><br />
menit ke 3-6. Pengukuran trigliserida dilakukan dengan metode tes enzimatik<br />
kolorimetri dengan menggunakan glycerol-3-phosphate-oxidase.<br />
Sampel yang diukur adalah plasma yang diambil dari darah EDTA.<br />
Penentuan trigliserida dilakukan setelah pemisahan oleh lipoprotein<br />
lipase. Sebagai indikator adalah quinonimine yang berasal dari reaksi<br />
4-aminoantipyrine, 4-chlorophenol, <strong>dan</strong> hidrogen peroksida di bawah aksi<br />
katalis peroksidase. Pengukuran kolesterol dilakukan dengan metode<br />
tes fotometrik enzimatik. Sampel yang dipakai adalah plasma (dari<br />
darah EDTA). Penentuan kolesterol dilakukan setelah reaksi hidrolisis<br />
<strong>dan</strong> oksidasi. Sebagai indikator kolorimetri adalah Chinonimine yang<br />
berasal dari reaksi 4-aminoantipyrine, phenol, <strong>dan</strong> hidrogen peroksida<br />
di bawah aksi katalis peroksidase. Kadar LDL dihitung dengan rumus:<br />
LDL = kolesterol total - trigliserida/5 - HDL. Pengukuran HbA1c dilakukan<br />
dengan metode fast ion-exchange resin separation. Reagen yang<br />
dipakai adalah Glycohemoglobin Test (Human®). Sampel yang dipakai<br />
adalah darah EDTA. Darah dicampur dengan reagen lysing yang berisi<br />
deterjen <strong>dan</strong> ion borat konsentrasi tinggi. Eliminasi basa Schiff labil tercapai<br />
selama proses hemolisis. Hemolisat kemudian dicampur dengan<br />
resin penukar ion selama 5 menit. HbA1c akan terikat <strong>pada</strong> resin, kemudian<br />
digunakan separator untuk memisahkan resin dari supernatan<br />
yang berisi glycohemoglobin. Presentase glycohemoglobin ditentukan<br />
dengan mengukur fraksi glycohemoglobin <strong>dan</strong> fraksi total hemoglobin<br />
<strong>pada</strong> Hg 405 atau 415 nm. Pemeriksaan kadar vitamin E dilakukan di<br />
laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada<br />
Yogyakarta. Pemeriksaan lainnya dilakukan di laboratorium Prodia<br />
Yogyakarta.<br />
Kapasitas kognitif subjek diukur dengan perangkat sederhana<br />
yaitu mini mental examination state (MMSE) dari Folstein, yang sudah distandardisasi<br />
secara nasional. Pada MMSE variabel yang dinilai adalah<br />
orientasi, registrasi, atensi, kalkulasi, mengingat kembali, bahasa, <strong>dan</strong><br />
clock drawing test (CDT) digunakan untuk menilai fungsi interpretasi. 18<br />
Untuk penilaian tes gambar jam batasan nilainya bersifat subjektif,<br />
dengan interpretasi apabila gambar dengan gangguan kontur yang<br />
hebat atau gambar yang tidak berhubungan sangat jarang dihasilkan<br />
oleh seseorang dengan kognitif yang utuh. Gambar yang sempurna<br />
tidak mungkin dihasilkan oleh individu dengan gangguan kognitif.<br />
Acuan termudah penilaian CDT masuk dalam kemungkinan kognitif<br />
terganggu apabila skor 28, dugaan MCI/VCI = 24 - 28, probabilitas<br />
kognitif terganggu/dugaan demensia = 17 - 23, gangguan kognitif<br />
definitif = 0 – 16. 18,19 Pada penelitian ini dinyatakan gangguan kognitif<br />
ringan bila nilai MMSE ≤24.<br />
Kukull et al. (1994) melakukan penelitian potong lintang instrumen<br />
untuk mendeteksi demensia <strong>pada</strong> populasi klinik dengan jumlah<br />
pasien 150, mendapatkan bahwa MMSE mempunyai sensitivitas 63%,<br />
spesifisitas 96%, positive predictive value (PPV) 96%, negative predictive<br />
value (NPV) 63%, dengan class of evidence I20.<br />
analisis Statistik<br />
Data karakteristik subjek penelitian disajikan dalam angka rerata <strong>dan</strong><br />
simpangan baku. Hubungan antara mikroalbuminuria (positif atau<br />
negatif) dengan kadar vitamin E plasma dianalisis dengan uji-t tak berpasangan.<br />
Untuk membandingkan 2 kelompok dengan variabel kategori<br />
digunakan uji chi-square. Uji korelasi Pearson dipakai untuk melihat<br />
kaitan antara 2 variabel numerik. Hubungan antara faktor-faktor<br />
lain (usia, jenis kelamin, lama terdiagnosis DM, HbA1c, kadar kolesterol<br />
total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, <strong>dan</strong> trigliserida) dengan fungsi<br />
kognitif dianalisis dengan regresi logistik. Batas kemaknaan yang diterima<br />
bila p
MEDICINUS<br />
12<br />
Dalam menentukan status<br />
vitamin E tubuh, beberapa<br />
peneliti menggunakan rasio<br />
vitamin E/lipid total karena<br />
kadar lipid plasma sangat<br />
mempengaruhi kadar vitamin E.<br />
Tanpa menggunakan rasio ini,<br />
individu dengan lipid rendah<br />
akan keliru diklasifikasikan<br />
sebagai defisiensi vitamin E,<br />
<strong>pada</strong>hal kenyataannya normal. 5<br />
Hal yang serupa dapat terjadi<br />
<strong>pada</strong> individu dengan<br />
hiperlipidemia.<br />
ganggu sawar darah otak. Hipotesis mengenai efek kenaikan<br />
tekanan darah <strong>dan</strong> AD secara patologi adalah kerusakan endotel,<br />
yang berakibat meningkatnya respon proinfalamsi, prokoagulan,<br />
<strong>dan</strong> oksidatif, seperti <strong>pada</strong> hipotesis mengenai formasi <strong>pada</strong> plak<br />
neuritik <strong>pada</strong> AD. 15<br />
Kolesterol mempunyai peran esensial <strong>pada</strong> pemeliharaan struktur<br />
membran otak. Hiperinsulinemia merefleksikan tingginya kadar<br />
insulin otak, <strong>dan</strong> hipoinsulin merupakan kegagalan dari insulinisasi<br />
<strong>pada</strong> otak. Transpor insulin ke dalam sistem saraf pusat meningkatkan<br />
kondisi hiperinsulinemia, yang mengakibatkan terjadinya<br />
proses resistensi insulin. 15<br />
c. Diabetes menyebabkan gangguan kognitif<br />
Kejadian diabetes dengan demensia Alzheimer (AD) juga mempunyai<br />
keterkaitan yang positif. Pada studi Rotterdam menunjukkan<br />
hasil diabetes dengan AD mempunyai relative risk (RR) 1,9 (95% CI:<br />
1,2 – 3,1), dengan rincian yang disertai penyakit serebrovaskular<br />
RR 1,8 (95% CI: 1,0 – 9,3) tanpa penyakit serebrovaskular RR 1,8<br />
(95% CI: 1,1 – 3,0), diabetes dengan demensia vaskular (VaD) RR<br />
2,0 (95% CI: 0,7 – 5,6), diabetes dengan demensia lainnya RR 1,6<br />
(95% CI: 0,5 – 5,0). 22<br />
Pada penelitian dari Rochester menunjukkan kejadian AD dua kali<br />
lipat lebih besar <strong>pada</strong> laki-laki dengan diabetes (RR 2,3, 95% CI: 1,6-<br />
3,3). Pada penelitian British cohort menunjukkan peningkatan risiko<br />
Alzheimer <strong>pada</strong> subjek dengan diabetes dibanding tanpa diabetes (RR<br />
1,4 95% CI: 1,1 – 17,0). 15,23<br />
Dasar mekanisme biokimia komplikasi vaskular diabetes, berawal<br />
dari diabetes memicu resistensi insulin, hiperglikemia, <strong>dan</strong> terjadi pelepasan<br />
asam lemak bebas atau dislipidemia, keadaan tersebut melalui<br />
jalur stres oksidatif (reactive oxigen species = ROS), protein kinase<br />
C, aktivasi reseptor advanced glycation end product (RAGE), peningkatan<br />
jalur poliol, mioinositol, <strong>dan</strong> heksosamin akan mengakibatkan aktivasi<br />
sinyal sel molekul gangguan <strong>pada</strong> faktor pertumbuhan, angiotensin II,<br />
<strong>dan</strong> dikeluarkannya sitokin 24,25 yang merangsang membran fosfolipid<br />
sel atau endotel berubah menjadi asam arakhidonat melalui aktivasi<br />
enzim fosfolipase (PLA2). 26<br />
Asam arakhidonat (AA) akan dimetabolisme menjadi tiga jalur<br />
oksidasi yaitu jalur siklooksigenase (COX) yang akan membentuk<br />
prostaglandin, jalur lipooksigenase (LO), membentuk asam hidroksieikosatetraenoik<br />
(HETEs) <strong>dan</strong> leukotrin, <strong>dan</strong> jalur sitokrom P-450<br />
monooksigenasi/epoksigenase yang membentuk epoksid <strong>dan</strong> HETEs.<br />
Khusus untuk sitokrom P-450 lebih berperan <strong>pada</strong> vasoaktif <strong>pada</strong> ginjal,<br />
<strong>dan</strong> belum didapatkan data mengenai keterlibatan <strong>pada</strong> angiopati<br />
diabetik. 26<br />
Pada jalur siklooksigenase, COX-1 <strong>dan</strong> COX-2 dikatalisis menjadi<br />
prostaglandin dalam bentuk (prostaglandin H 2 ) PGH 2 yang terkonversi<br />
menjadi prostaglandin lain <strong>dan</strong> eikosanoid seperti PGE2, PGD2, PGF2α<br />
(isoprostan), PGI2 (prostasiklin) <strong>dan</strong> tromboksan. COX-1 berperan secara<br />
fisiologis <strong>pada</strong> beberapa sel <strong>dan</strong> jaringan. COX-2 ekspresinya sering<br />
tidak terdeteksi <strong>pada</strong> jaringan <strong>dan</strong> sel, tetapi menjadi signifikan<br />
bila tersimulir lipopolisakarida, <strong>dan</strong> sitokin (IL-6, IL-1α, IL-1β, TNF-α,<br />
<strong>dan</strong> faktor pertumbuhan), <strong>dan</strong> produk-produk dari COX-2 berperan<br />
dalam proses inflamasi termasuk arterogenesis. 26,27<br />
Jalur lipooksigenasi (LO) terbagi dalam 4 kelompok yaitu LO5,<br />
LO8, LO12, <strong>dan</strong> LO15, yang dibedakan berdasar kemampuannya<br />
dalam proses memasukkan molekul oksigen <strong>pada</strong> rantai karbon ke<br />
dalam asam arakhidonat. Kelompok LO5 <strong>dan</strong> O8 tidak berperan dalam<br />
diabetes. Untuk LO12 <strong>dan</strong> LO15 dapat membentuk 12/15 HETEs dari<br />
AA, produk tersebut akan tampak <strong>pada</strong> beberapa jaringan pembuluh<br />
darah <strong>dan</strong> sel, termasuk sel otot polos pembuluh darah (vascular smooth<br />
muscle cells /VSMC), endotel <strong>dan</strong> monosit. 26<br />
Jalur mediator inflamasi lipid <strong>pada</strong> sistem saraf pusat hampir sama<br />
dengan jalur asam arakhidonat, hanya <strong>pada</strong> sistem saraf pusat, fungsi<br />
neurotropik (fisiologis) dari jalur tersebut dapat berubah menjadi neurotoksik<br />
(patologis). Komponen penting <strong>pada</strong> metabolisme lipid <strong>pada</strong><br />
otak adalah AA <strong>dan</strong> DHA (docosahexaenoic acid/asam dokosaheksaenoik),<br />
yang akan dimetabolisme menjadi eikosanoid, dokosanoid, lisofosfolipid,<br />
reative oxygen species (ROS), 4-HNE (4 hidroksinonenal/oksidasi<br />
dari AA), <strong>dan</strong> 4-HHE (4-hidroksiheksenal/oksidasi dari DHA).<br />
Komponen tersebut akan memberikan efek neurotropik bila terdapat<br />
dalam kadar rendah, tetapi bila komponen jalur tersebut terpicu untuk<br />
termobilisasi kadarnya akan meningkat <strong>dan</strong> memberikan efek neurotoksik.<br />
Asam dokosaheksaenoik dihidrolisis oleh plasmalogen selektif<br />
fosfolipase A2. 28<br />
Efek neurotoksik AA akibat hiperstimulasi adalah kerusakan <strong>pada</strong><br />
struktur sel <strong>dan</strong> fungsi saraf. Asam arakhidonat mengakibatkan asidosis<br />
intraseluler <strong>dan</strong> tidak terkendalinya oksidasi fosforilasi, sehingga<br />
terjadi disfungsi mitokondria. Siklooksigenase <strong>dan</strong> lipooksigenase<br />
yang mengubah AA menjadi protaglandin, leukotrin, <strong>dan</strong> tromboksan.<br />
Komponen eikosanoid tersebut apabila terstimulasi akibat kondisi patologis<br />
berefek <strong>pada</strong> gangguan aliran pembuluh darah otak <strong>dan</strong> mempengaruhi<br />
trombosit <strong>dan</strong> leukosit, sehingga aliran mikrosirkulasi akan<br />
terganggu <strong>dan</strong> sistem saraf pusat akan terganggu. 28<br />
Lisofosfolipid yang merupakan hasil oksidasi fosfolipid selain<br />
AA, yang dapat teralkilasi oleh koenzim A menjadi fosfolipid kembali,<br />
<strong>pada</strong> kondisi patologis seperti iskemik, epilepsi, <strong>dan</strong> overstimulasi<br />
fosfolipase akan mengakibatkan akumulasi lisofosfolipid <strong>dan</strong><br />
asam lemak bebas. Lisofosfolipid dapat memproduksi faktor aktivasi<br />
platelet, sebagai mediator proinflamasi yang poten. Pada sel endotel<br />
lisofosfolipid dapat memodulasi sinyal kalsium, <strong>dan</strong> fosforilasi nitrit<br />
oksid <strong>dan</strong> sitosolik fosfolipase 2. Sehingga bila terjadi akumulasi lisofosfolipid<br />
yang berlebih akan berakibat demielinisasi <strong>dan</strong> kerusakan<br />
sel saraf. 28<br />
4-hidroksinonenal (4-HNE/oksidasi dari AA), <strong>pada</strong> kadar rendah<br />
berefek menyampaikan sinyal hingga ke sel basal, stimulasi fosfolipase<br />
c, adenil siklase, <strong>dan</strong> menurunkan aktivitas ornitin dekarboksilase, bila<br />
terstimulasi berlebihan mengakibatkan efek neurotoksik berupa efek<br />
deteriorisasi sel, menghambat sintesis DNA <strong>dan</strong> RNA, mengganggu<br />
homeostasis kalsium, <strong>dan</strong> menghambat respirasi mitokondria, 4-HNE<br />
juga meningkatkan permeabilitas sawar darah otak selama eksitoksisitas,<br />
menurunkan fungsi mitokondria dengan mengganggu transpor<br />
gula, <strong>dan</strong> berperan dalam memicu stres oksidatif <strong>dan</strong> proses apoptosis<br />
sel saraf. 28<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Perkin et al. (1999) melakukan analisis terhadap 5000 orang usia<br />
lanjut <strong>pada</strong> the Third National Health and Nutrition Examintaion Survey<br />
III (NHANES III) mendapatkan hasil terdapat hubungan yang sangat<br />
lemah antara jeleknya fungsi memori dengan kadar vitamin C, A,<br />
β-karoten <strong>dan</strong> selenium, tetapi mendapatkan hasil korelasi yang bermakna<br />
antara fungsi memori dengan rendahnya kadar vitamin E setelah<br />
diadjust dengan kadar kolesterol. 10<br />
Ortega et al. (2002) dalam penelitiannya terhadap 120 orang usia lanjut<br />
berusia 65-91 tahun tanpa gangguan fungsi kognitif mendapatkan<br />
hasil terdapat korelasi yang bermakna antara vitamin E (r= -0.3519)<br />
<strong>dan</strong> rasio vitamin E/kolesterol (r= -3014) dengan PMSQ (pfeiffer mental<br />
status questionnaire). Lebih lanjut dalam analisanya, Ortega et al. menemukan<br />
kadar vitamin E <strong>dan</strong> rasio vitamin E/kolesterol yang rendah<br />
<strong>pada</strong> subjek dengan ada kesalahan <strong>pada</strong> PMSQ dibandingkan dengan<br />
yang tanpa kesalahan dalam PMSQ. 29<br />
Foy et al. (1999) juga menemukan hal yang sama yaitu pasien dengan<br />
demensia kadar vitamin E-nya rendah <strong>pada</strong> dibandingkan dengan<br />
kontrol, tetapi tidak terjadi <strong>pada</strong> tingkat defisiensi nutrisi. Jadi<br />
rendahnya status antioksi<strong>dan</strong>t <strong>pada</strong> pasien-pasien demensia menunjukkan<br />
peningkatan stres oksidatif, yang merupakan faktor penting<br />
<strong>pada</strong> gangguan fungsi kognitif. 9<br />
Vitamin E mungkin berguna dalam mencegah penurunan fungsi<br />
kognitif melalui aksi antioksi<strong>dan</strong>nya yang potensial yang dapat mencegah<br />
kerusakan jaringan saraf, tetapi juga mencegah demensia vaskular.<br />
Hubungan vitamin E dengan penurunan risiko demensia vaskular dapat<br />
dihubungkan dengan beberapa macam efek <strong>pada</strong> sistem vaskular,<br />
termasuk <strong>pada</strong> kemampuannya mencegah stroke dengan menurunkan<br />
gregrasi <strong>dan</strong> adhesi platelet, memperlambat progresi dari aterosklerosis<br />
a. carotis. 30<br />
Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap demensia adalah:<br />
umur, <strong>pada</strong> studi populasi insidensi AD 0,6% <strong>pada</strong> usia 65–69 tahun,<br />
1% <strong>pada</strong> usia 70–74 tahun, 2% <strong>pada</strong> usia 75-79, 3,3% <strong>pada</strong> usia 80–85<br />
tahun, <strong>dan</strong> 8,4% <strong>pada</strong> usia 85 tahun ke atas, riwayat keluarga akan<br />
me-ningkatkan risiko demensia 10–30%. Petersen et al. (2001), menyatakan<br />
analisis kejadian usia akan bermakna bila dihubungkan dengan<br />
risiko demensia Alzheimer, se<strong>dan</strong>gkan bila hanya dihubungkan dengan<br />
gangguan kognitif perbedaannya tidak bermakna, <strong>dan</strong> <strong>pada</strong> studi<br />
Framingham, oleh Bachman et al. (1993) menunjukkan bahwa annual<br />
rate antar usia dengan kejadian demensia akan berbeda dengan annual<br />
rate antar usia dengan kejadian demensia jenis Alzheimer. 20 Pada penelitian<br />
ini <strong>pada</strong> kelompok MCI didapatkan usia yang lebih tua dibandingkan<br />
dengan kelompok non MCI, <strong>dan</strong> perbedaan ini secara statistik<br />
bermakna, sehingga apakah gangguan fungsi kognitif yang terjadi<br />
<strong>pada</strong> penelitian ini dipengaruhi oleh usia yang tua <strong>pada</strong> kelompok<br />
MCI masih belum dapat dibuktikan.<br />
Risiko dari arterosklerosis, seperti dislipidemia, diabetes melitus,<br />
penggunaan insulin, hipertensi, merokok, faktor risiko lainnya seperti<br />
trauma kepala, alkohol, gagal ginjal kronis, diet tinggi lemak, indeks<br />
masa tubuh (IMT), <strong>dan</strong> penggunaan estrogen merupakan faktor risiko<br />
terjadi gangguan kognitif. 31 Pada analisis hubungan antara profil lipid,<br />
pengontrolan kadar gula darah (HbA1c) <strong>dan</strong> gula darah puasa sendiri<br />
serta IMT, tidak berhubungan dengan gangguan kognitif.<br />
Kesimpulan<br />
Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status vitamin<br />
E <strong>dan</strong> fungsi kognitif <strong>pada</strong> penderita diabetes.<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Kalmijn S, Feskens EJ, Launer LJ and Kromhout D. Polyunsaturated fatty acids,<br />
antioxi<strong>dan</strong>ts, and cognitive function in very old men. Am. J. Epidemiol. 1997;<br />
145:33-41<br />
2. Mey<strong>dan</strong>i M. Antioxi<strong>dan</strong>ts and cognitive function. Nutr. Rev. 2001; 59:S7-<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
5-S80<br />
3. Halliwell B & Gutteridge IMC. Free radicals. In: Biology and Medicine. 2 nd ed.<br />
Oxford University Press Oxford:UK; 1995.p.543<br />
4. Floyd RA. Antioxi<strong>dan</strong>ts, oxidative stress, and degenerative neurological disorders.<br />
Proc. Soc. Exp. Biol. Med. 1999; 222:236-45<br />
5. Farrell PM and Roberts RJ. Vitamin E. Dalam: Modern Nutrition in Health and<br />
Disease.8 th ed. Lea & Febiger. Philadelphia; 1994.p.326-41<br />
6. Young IS and Woodside JV. Antioxi<strong>dan</strong>ts in Health and Disease. J Clin Pathol<br />
2001; 54:176-86<br />
7. Ricciarelli R, Zingg J, and Azzi A. Vitamin E: protective role of janus molecule.<br />
FASEB J. 2001; 15:2314-25<br />
8. Traber MG. Does vitamin E decrease heart attack risk? summary and implications<br />
with respect to dietary recommendations. J Nutr. 2001; 131:395S-397S<br />
9. Foy CJ, Passmore AP, Vahidassr MD, Young IS and Lawson JT. Plasma chainbreaking<br />
antioxi<strong>dan</strong>ts in Alzheimer’s disease, vascular dementia and Parkinson’s<br />
disease. Q. J. Med. 1999; 92:39-45<br />
10. Perkins AJ, Hendrie HC, Callahan CM, Gao S, Unverzagt FW, Xu Y, et al. Association<br />
of antioxi<strong>dan</strong>ts with memory in a multiethnic elderly sample using<br />
the Third National Health and Nutrition Examination Survey. Am. J. Epidemiol.<br />
1999; 150:37-44<br />
11. Strachan MWJ. Cognitive decline and the older patient with diabetes. Clin Ger.<br />
2002; 10(6):29–35<br />
12. Hartono B. Insulin, diabetes and cognitive function: from vascular cognitive<br />
impairment to vascular dementia. Dalam Naskah Lengkap PIT V PERKENI. Semarang;<br />
2004.p.313-27<br />
13. Visser PJ. Mild cognitive impairment. Dalam: Pathy, M.S., Sinclair, J. & Morley,<br />
J.E. (Eds) Principles and Practice of Geriatric Medicine 4 th (ed). John Wiley and<br />
Sons. Ltd:2006.p.1-7<br />
14. Wright JD and Tranel D. Mild cognitive impairment. Up To Date®14.1; 2006<br />
15. Launer LJ. Diabetes and Brain Aging: Epidemiologic Evidence. Curr. Diab.<br />
Rep.2005; 5:59-63<br />
16. Gokkusu C, Palanduz S, Ademoglu E and Tamer S. Oxi<strong>dan</strong>t and antioxi<strong>dan</strong>t<br />
system in NIDDM patients: influence of vitamin E supplementation. Endocr<br />
Res 2001; 27(3):377-86<br />
17. Nourooz-Zadeh J, Rahimi A, Tajaddini-Sarmadi J, Tritschler H, Rosen P, Halliwell<br />
B. et al. Relationship between plasma measures of oxidative stress and<br />
metabolic control in NIDDM. Diabetologia 1997; 40:647-53<br />
18. Assosiasi Alzheimer Indonesia (AazI). Konsensus nasional – pengenalan <strong>dan</strong><br />
penatalaksanaan demensia alzheimer <strong>dan</strong> demensia lainnya; 2003.p.61-3<br />
19. Soejono CH, Harimurti K, Setiati S & Damping CE. Pedoman diagnosis <strong>dan</strong><br />
tatalaksana MCI <strong>dan</strong> VCI. Dalam: Konsensus Nasional-Peran Dokter Spesialis<br />
Penyakit Dalam Untuk Deteksi Dini, <strong>Diagnosis</strong> Dan Penatalaksanaan Gangguan<br />
Kognitif Ringan Pada Usia Lanjut. Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia.<br />
Jakarta; 2006.p.1-28<br />
20. Petersen RC, Stevens JC, Ganguli M, Tangalos, Cummings and DeKosky. Practice<br />
parameter: early detection of Dementia: mild cognitive impairment (An<br />
Evidence Based Review). Report of the Quality Standards Subcommittee of the<br />
America Academy of Neurology. Neur; 2001; (56):1133-42<br />
21. Sokol RJ, Heubi JE, Iannacone ST, Bove KE and Balistreri WF. Vitamin E deficiency<br />
with normal serum vitamin E concentrations in children with chronic<br />
cholestasis. N Engl J Med 1984; 310:1209-12<br />
22. Ott A, Stolk RP, Harskamp van, Pols HAP, Hofman A and Breteler MMB. Diabetes<br />
mellitus and the risk of dementia–The Rotterdam Study. Neur 1999;<br />
(53):1937-42<br />
23. Luchsinger JA, Tang MX, Stern Y, Shea S and Mayeux R. Diabetes mellitus and<br />
risk of Alzheimer’s disease and dementia with stroke in a multiethic cohort.<br />
Am J Epidemiol 2001; 154(7):635-41<br />
24. Beckman JA, Creager MA and Libby P. Diabetes and atherosclerosis – epidemiology,<br />
pathophysiology, and management. JAMA 2002; 287(19): 2570-81<br />
25. Kanwar Y, Akagi S, Sun L, Nayak B, Xie P, Wada J, et al. Cell biology of diabetic<br />
kidney disease. Nephron Exp Nephrol 2005; 101:e100-110<br />
26. Natarajan R.and Nadler JL. Lipid inflamatory mediator in diabetic vascular disease.<br />
Arterioscler Thromb Vasc Biol 2004; 24:1542-48<br />
27. Helmersson J, Vessby B, Larsson A and Basu S. Association of type 2 diabetes<br />
With cyclooxygenase-mediated inflamation and oxidative stress in an elderly<br />
population. Circulation 2004; 109:1729-34<br />
28. Farooqui AA and Horrocks LA. Phospholipase A2-generated lipid mediators in<br />
the brain: the good, the bad, and the ugly. Neuroscientist 2006; 12(3):245-<br />
60<br />
29. Ortega RM, Roquejo AM, Lopez-Sobaler AM, Andres P, Navia B, Perea JM, et al.<br />
Cognitive function in elderly people is influenced by vitamin E status. J Nutr<br />
2002; 132:2065-8<br />
30. Kritchevsky SB, Shimakawa T, Tell GS, Dennis B, Carpenter M, Eckfeldt JH, et<br />
al. Dietary antioxi<strong>dan</strong>ts and carotid artery wall thickness. The ARIC Study.<br />
Atherosclerosis Risk in Communities Study. Circulation 1995; 92:2142-50<br />
31. Shadlen MF and Larson EB. Risk Factors for dementia. Up To Date® , 14.1;<br />
2006<br />
MEDICINUS<br />
13
case report<br />
MEDICINUS<br />
14<br />
original article<br />
Pendahuluan<br />
Setiap orang pasti pernah menderita nyeri kepala selama hidupnya,<br />
<strong>dan</strong> nyeri kepala merupakan kasus yang paling sering berobat ke poliklinik<br />
saraf. Kasus migren merupakan kasus kedua terbanyak setelah<br />
nyeri kepala tipe tegang yang datang berobat ke poliklinik saraf.<br />
Puncak prevalensi migren antara usia 25-55 tahun usia yang dimana<br />
sangat produktif, sehingga serangan migren harus diobati dengan<br />
sebaik-baiknya. 1<br />
Migren merupakan gangguan neurobiologik, yang berhubung-an<br />
dengan perubahan kepekaan sistem saraf <strong>dan</strong> aktivasi sistem trigeminovaskular.<br />
Dimana penderita migren lebih peka dari <strong>pada</strong> orang<br />
tanpa migren. Pada setiap serangan migren di samping mengganggu<br />
kehidupan sosial <strong>dan</strong> ekonomi juga akan mengakibatkan perubahan<br />
permanen dari sistem saraf pusat. Beberapa penderita migren dengan<br />
atau tanpa aura menunjukkan bertambahnya risiko lesi subklinik<br />
<strong>pada</strong> daerah tertentu. Seperti daerah serebelum <strong>dan</strong> sirkulasi<br />
posterior <strong>pada</strong> penderita dengan migren menunjukkan prevalensi<br />
infark yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (5,4%: 0,7%).<br />
Risiko tertinggi adalah <strong>pada</strong> penderita migren dengan aura yang<br />
serangannya lebih dari 1 kali/bulan. Pada wanita risiko terjadinya<br />
deep white matter lesion (DWML) lebih besar <strong>pada</strong> pende-rita migren<br />
dibandingkan dengan kontrol. Risiko ini bertambah bila serangan<br />
lebih dari dua kali/bulan, akan tetapi risikonya sama <strong>pada</strong> penderita<br />
migren dengan atau tanpa aura. Pada laki-laki tidak menunjukkan<br />
perbedaan DWML antara kontrol <strong>dan</strong> penderita migren. Pada penderita<br />
migren juga ditemukan a<strong>dan</strong>ya akumuluasi ion Fe di daerah peri<br />
aquductus gray yaitu area yang memodulasi penghantaran nyeri secara<br />
desenden, <strong>dan</strong> bila daerah ini mengalami gangguan akibat akumulasi<br />
Fe akan mengganggu proses inhibisi penghantaran nyeri. 2<br />
Pencegahan serangan migren 3-5<br />
Mengingat efek perubahan <strong>pada</strong> susunan saraf pusat akibat serangan<br />
migren, maka serangan migren perlu diobati <strong>dan</strong> yang lebih pen-ting<br />
adalah mencegah kekambuhan serangan agar jangan sampai berulang.<br />
I Made Oka Adnyana<br />
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf<br />
Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah Denpasar<br />
abstrak. Migren merupakan nyeri kepala primer yang cukup sering dijumpai. Serangan migren terka<strong>dan</strong>g sangat menganggu<br />
baik kehidupan sosial maupun ekonomi penderita. Semakin sering terjadi serangan, kehidupan penderita akan semakin terganggu,<br />
sehingga perlu diberikan terapi pencegahan. Beberapa obat yang bisa dipakai untuk pencegahan migren adalah: Ca<br />
blocker (flunarizin, nimodipin), penyekat beta (propanolol, timolol), antidepresan (amitriptilin, nortriptilin, flouxetin), antiepilepsi<br />
(asam valproat, gabapentin, topiramat). Artikel ini membahas satu kasus penderita migren yang mengalami perbaikan<br />
setelah diterapi dengan obat antiepilpepsi yaitu asam valproat.<br />
Kata kunci: migren, pencegahan, asam valproat<br />
Adapun prinsip umum terapi pencegahan adalah:<br />
1. Mengurangi frekuensi berat <strong>dan</strong> lamanya serangan.<br />
2. Meningkatkan respon pasien terhadap pengobatan.<br />
3. Meningkatkan aktivitas sehari-hari, serta pengurangan disabilitas.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan indikasi terapi pencegahan adalah:<br />
1. Serangan berulang <strong>dan</strong> mengganggu aktivitas.<br />
2. Nyeri kepala sering terjadi (2 kali atau lebih dalam seminggu).<br />
3. Ada kontraindikasi terhadap terapi akut.<br />
4. Kegagalan terapi atau overuse.<br />
5. Efek samping yang berat <strong>pada</strong> terapi akut.<br />
6. Biaya untuk terapi akut <strong>dan</strong> pencegahan.<br />
7. Keinginan yang diharapkan penderita.<br />
8. Munculnya gejala-gejala <strong>dan</strong> kondisi yang luar biasa, misalnya<br />
migren basiler, hemiplegia, aura yang memanjang.<br />
asam Valproat (antiepilepsi) sebagai Pencegahan migren<br />
Antiepilepsi sebagai antinyeri telah digunakan sejak tahun 1960.<br />
Beberapa mempunyai efek nyata <strong>pada</strong> nyeri neuropati, <strong>dan</strong> disertai<br />
bukti efektivitasnya. Saat ini obat antiepilepsi telah banyak digunakan<br />
sebagai pencegahan migren. Obat antiepilepsi yang dipakai<br />
untuk pencegahan migren adalah golongan valproat (asam/sodium)<br />
<strong>dan</strong> topiramat dengan bukti klinis A <strong>dan</strong> gabapentin dengan bukti<br />
klinis B.<br />
Dalam percobaan telah terbukti selama serangan migren terjadi<br />
ketidakseimbangan konsentrasi neuron inhibisi (GABA) <strong>dan</strong> neuron<br />
eksitasi (glutamat <strong>dan</strong> aspartat) di dalam plasma. Valproat meningkatkan<br />
konsentrasi GABA di otak dengan jalan menghambat enzim<br />
GABA transaminase <strong>dan</strong> juga mengaktifkan enzim glutamat dekarboksilase<br />
yang akan menurunkan kadar glutamat. Seperti yang telah<br />
diketahui bahwa saat terjadi serangan migren kadar glutamat meningkat,<br />
sesuai dengan teori hipereksitabilitas saat terjadinya serangan<br />
migren. Valproat juga meningkatkan kadar asam homovanilik,<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Valproat juga meningkatkan<br />
kadar asam homovanilik,<br />
ekepalin yang berfungsi untuk<br />
transmisi nyeri di striatum,<br />
batang otak, hipotalamus <strong>dan</strong><br />
korteks. Efek yang nyata dari<br />
valproat adalah penurunan<br />
ekstravasasi plasma <strong>pada</strong> saat<br />
terjadinya inflamasi neurogenik<br />
<strong>pada</strong> awal serangan migren<br />
dengan jalan interaksi dengan<br />
reseptor GABA. Percobaan <strong>pada</strong><br />
binatang, valproat memblok<br />
c fos expression <strong>dan</strong> neurogenic<br />
inflamasi. Reseptor GABA juga<br />
terdapat di nukleus raphe<br />
dorsalis, di mana aktivitasnya<br />
menurunkan firing rate neuron<br />
serotoninergik yang terlibat<br />
dalam serangan migren.<br />
ekepalin yang berfungsi untuk transmisi nyeri di striatum, batang<br />
otak, hipotalamus <strong>dan</strong> korteks. Efek yang nyata dari valproat adalah<br />
penurunan ekstravasasi plasma saat terjadinya inflamasi neurogenik<br />
<strong>pada</strong> awal serangan migren dengan jalan interaksi dengan reseptor<br />
GABA. Percobaan <strong>pada</strong> binatang, valproat memblok c fos expression<br />
<strong>dan</strong> neurogenic inflamation. Reseptor GABA juga terdapat di nukleus<br />
raphe dorsalis, di mana aktivitasnya menurunkan firing rate neuron serotoninergik<br />
yang terlibat dalam serangan migren.<br />
Pemberian asam valproat peroral cepat diabsorpsi <strong>dan</strong> kadar<br />
maksimal dalam serum tercapai setelah 1-3 jam. Dengan masa paruh<br />
8-10 jam, kadar dalam darah stabil dalam 48 jam setelah terapi. Ekresi<br />
sebagian besar lewat urin. Efek samping yang bisa terjadi adalah<br />
gangguan saluran cerna (mual, muntah <strong>dan</strong> anoreksia). Efek samping<br />
<strong>pada</strong> SSP adalah rasa mengantuk, ataksia, <strong>dan</strong> tremor. 6<br />
Dalam penelitian klinik efek sodium valproat sebagai profilaksis<br />
migren diketahui dari suatu percobaan randomized double-blind control<br />
placebo dengan menggunakan dosis 800 mg, berhasil menurunkan<br />
frekuensi serangan migren sebanyak 44%, dibandingkan dengan<br />
plasebo. Pada penelitian lain dengan randomized control trial, dengan<br />
dosis sesuai dosis antiepilepsi (500-1000 mg), ternyata valprota menurunkan<br />
43% hari tanpa migren dibandingkan dengan plasebo, tetapi<br />
berat <strong>dan</strong> durasi serangan migren tidak dipengaruhi. 7<br />
Penelitian multicenter randomized, plasebo kontrol studi dari divalproat<br />
<strong>pada</strong> penderita migren dengan atau tanpa aura. Dosis yang<br />
digunakan adalah dosis titrasi sampai dosis sesuai dengan dosis<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
untuk antiepilepsi, hasilnya yaitu divalproat mampu menurunkan<br />
frekuensi serangan migren sebanyak 39% jika dibandingkan dengan<br />
plasebo. Penelitian multicenter tentang rentang dosis perlu dilakukan<br />
karena dengan dosis rendah mungkin efektif untuk beberapa pasien.<br />
Dengan dosis 500–1500 mg hasilnya lebih superior dari plasebo. Pada<br />
percobaan klinis, efek asam valproat sebagai pencegahan migren telah<br />
diteliti dalam suatu studi randomized double-blind and placebo control<br />
dimana asam valproat berhasil menurunkan serangan migren sebanyak<br />
44%. 8<br />
Preitag dkk (2002) meneliti secara double blind randomized di mana<br />
dosis yang digunakan adalah 500 mg <strong>dan</strong> dinaikkan secara perlahan<br />
sampai dosis 1000 mg per hari dapat mencegah serangan migren sebanyak<br />
81% dibandingkan dengan plasebo. 9<br />
Pada penelitian oleh Pulley (2005) dengan rancangan double blind<br />
dibandingkan dengan plasebo dengan dosis 400 mg, dapat mencegah<br />
serangan migren sebanyak 86,2%. 10<br />
Pada penelitian yang dilakukan oleh Modi dkk (2006) dengan<br />
subjek sebanyak 34 pasien ternyata hasilnya sangat efektif untuk<br />
mencegah serangan migren.<br />
Pada suatu penelitian multicenter randomized <strong>dan</strong> plasebo kontrol<br />
dari divalproat <strong>pada</strong> penderita migren dengan aura <strong>dan</strong> migren tanpa<br />
aura, dengan dosis titrasi sampai dosis setara dengan antiepilepsi<br />
(500-1000 mg), ternyata asam valproat bisa mencegah serangan migren<br />
sebanyak 39% dibandingkan dengan plasebo.<br />
Pada dosis 500-1500 mg hasilnya lebih bagus dibandingkan dengan<br />
plesebo. <strong>Terapi</strong> dengan valproat digunakan apabila obat pilihan<br />
pertama untuk pencegahan migren seperti penyekat beta (flunarizin)<br />
tidak efektif atau ada kontraindikasi. Dosis yang digunakan adalah<br />
500 mg sebagai dosis awal, dosis bisa dinaikkan tergantung efektivitas<br />
<strong>dan</strong> efek samping. 11<br />
laporan Kasus<br />
Seorang wanita umur 36 tahun, suku Bali sudah menikah dengan<br />
2 anak, datang ke poliklinik rumah sakit Puri Raharja Denpasar,<br />
mengeluh nyeri kepala berdenyut di kepala sebelah kiri, intensitas<br />
nyeri se<strong>dan</strong>g sampai berat. Dalam setiap serangan berlangsung 4<br />
jam ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g lebih dari 1 hari, keluhan semakin berat dengan<br />
a<strong>dan</strong>ya aktivitas fisik, seperti berjalan <strong>dan</strong> naik tangga. Keluhan disertai<br />
mual <strong>dan</strong> muntah. Pada saat serangan penderita merasa tidak<br />
enak bila melihat cahaya. Serangan muncul 2-3 kali/minggu. Keluhan<br />
sakit seperti ini sudah diderita sejak umur 15 tahun, <strong>dan</strong> dengan<br />
minum obat yang dibeli di toko obat/warung keluhan nyeri kepala<br />
bisa hilang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil; kedaan umum<br />
mengalami nyeri kepala berat. Tanda vital: tekanan darah 130/80<br />
mmHg, denyut nadi 80 x/menit, respirasi 20x/menit, suhu tubuh<br />
36,4°C. Pada pemeriksaan status general dalam batas normal.<br />
Pada pemeriksaan neurologi: nervus kranialis normal, funduskopi<br />
normal, tanda rangsangan meningen tidak ada, motorik baik, sensorik<br />
baik, refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-. <strong>Diagnosis</strong> kerja:<br />
migren tanpa aura.<br />
Penderita diterapi dengan:<br />
1. Analgetik (campuran metampiron 500 mg, klordiazepoksid HCl<br />
5 mg, vitamin B1, B6, B12 <strong>dan</strong> kafein anhidrat 50 mg), kalau perlu.<br />
2. Flunarizin 5 mg (malam hari) sebagai pencegahan.<br />
3. Antimigren (alkoloid beladona, ergotamin tartat 0,3 mg <strong>dan</strong> fenobarbital<br />
20 mg), dua kali sehari maksimal 3 hari.<br />
Selama minum obat keluhan berkurang sampai hilang tetapi<br />
begitu obat habis keluhan muncul lagi, sehingga penderita datang<br />
kontrol lagi. Kemudian penderita diminta untuk minum obat antimigren<br />
2-3 kali/minggu <strong>dan</strong> analgetik diminum kalau perlu serta obat<br />
flunarizin sebagai pencegahan. Keluhan nyeri kepala berkurang sehingga<br />
penderita bisa beraktivitas lagi. Tetapi keluhan nyeri kepala<br />
ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g masih muncul, meskipun penderita sudah minum<br />
obat flunarizin sebagai terapi pencegahan selama 3 bulan, sehingga<br />
MEDICINUS<br />
15
MEDICINUS<br />
16<br />
Pemberian asam valproate<br />
peroral cepat diabsorpsi <strong>dan</strong><br />
kadar maksimal dalam<br />
serum tercapai setelah 1-3 jam.<br />
Dengan masa paruh 8-10 jam,<br />
kadar dalam darah stabil dalam<br />
48 jam setelah terapi.<br />
Ekresinya sebagian besar lewat<br />
urine. Efek samping yang bisa<br />
terjadi adalah gangguan saluran<br />
cerna (mual, anotreksia <strong>dan</strong><br />
muntah). Efek samping <strong>pada</strong> SSP<br />
adalah rasa mengantuk, ataksia<br />
<strong>dan</strong> tremor. 6<br />
penderita disarankan untuk pemeriksaan CT scan kepala <strong>dan</strong> EEG,<br />
untuk mengetahui apakah ada kelainan organik di intraserebral sebagai<br />
penyebab nyeri kepalanya. Hasil pemeriksaan CT scan kepala<br />
<strong>dan</strong> EEG adalah normal, sehingga kecurigaan kelainan organik sebagai<br />
penyebab nyeri kepala sudah tersingkirkan. <strong>Diagnosis</strong> tetap<br />
migren tanpa aura. Kemudian terapi diganti dengan pemberian analgetik,<br />
antimigren <strong>dan</strong> asam valproat sebagai pencegahan. Setelah<br />
diterapi dengan asam valproat sebagai pencegahan keluhan nyeri<br />
kepala hilang. Dan setelah 3 bulan ternyata keluhan nyeri kepalanya<br />
sudah tidak pernah kambuh lagi.<br />
Diskusi<br />
Migren adalah gangguan neurobiologik yang berkaitan dengan perubahan<br />
kepekaan sistem saraf <strong>dan</strong> aktivasi sistem trigeminovaskular.<br />
Ciri-cirinya adalah terjadinya serangan sakit kepala <strong>dan</strong> gejala neurologik,<br />
gastrointestinal <strong>dan</strong> otonom.<br />
Migren menurut International Headache Society (IHS) dibagi menjadi:<br />
migren tanpa aura, migren dengan aura, sindrom periodik <strong>pada</strong><br />
anak yang sering menjadi prekursor migren, migren retinal, komplikasi<br />
migren <strong>dan</strong> probable migren. Se<strong>dan</strong>gkan kriteria diagnostik migren<br />
tanpa aura menurut IHS adalah: 12<br />
A. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria<br />
B-D.<br />
B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati<br />
atau tidak berhasil diobati).<br />
C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua di antara karakteristik<br />
berikut:<br />
1. Lokasi unilateral.<br />
2. Kualitas berdenyut.<br />
3. Intensitas nyeri se<strong>dan</strong>g sampai berat.<br />
4. Keadaan bertambah berat oleh aktivitas fisik atau penderita<br />
menghindari aktivitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik<br />
tangga).<br />
D. Selama nyeri kepala disertai salah satu gejala di bawah ini:<br />
1. Mual <strong>dan</strong> atau muntah.<br />
2. Fotofobia <strong>dan</strong> fonofobia.<br />
E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain.<br />
Melihat kasus <strong>pada</strong> penderita di atas maka penderita cocok dengan<br />
kriteria diagnostik migren tanpa aura, karena nyeri kepala unilateral<br />
(satu sisi kepala), serangan 4 jam, ka<strong>dan</strong>g sampai lebih 1 hari,<br />
diperberat oleh aktivitas fisik, mengalami mual <strong>dan</strong> muntah serta tidak<br />
enak melihat cahaya. Pengobatan yang diberikan adalah analgetik,<br />
antimigren <strong>dan</strong> obat untuk pencegahan migren yaitu flunarizin. Setelah<br />
diterapi dengan flunarizin selama 2 bulan, serangan migren belum<br />
terkontrol, sehingga dilakukan pemeriksaan penunjang (CT scan <strong>dan</strong><br />
EEG) untuk mengetahui ada atau tidak kelainan organik penyebab<br />
nyeri kepala. Hasil CT scan kepala <strong>dan</strong> EEG normal. Dengan demikian<br />
kemungkinan penyebab yang berasal organik bisa disingkirkan.<br />
Pencegahan migren dengan flunarizin efektif setelah diberikan minimal<br />
2 bulan <strong>dan</strong> hanya mengurangi serangan sebanyak 50%, hal ini<br />
mungkin dapat menjelaskan kenapa <strong>pada</strong> penderita pemberian flunarizin<br />
kurang memuaskan. Pada penderita ini tidak diberikan terapi<br />
pencegahan dengan penyekat beta, karena tekanan darah penderita<br />
dalam batas normal, sehingga <strong>pada</strong> penderita kemudian diberikan<br />
asam valproat dengan dosis 2x250 mg. Setelah dievaluasi selama 3<br />
bulan serangan migren <strong>pada</strong> penderita ini bisa terkontrol.<br />
Kesimpulan<br />
Migren merupakan nyeri kepala primer yang menempati urutan kedua<br />
dalam kunjungan ke klinik sefalgia poliklinik saraf. Serangan migren<br />
mengakibatkan efek yang merugikan terhadap pasien, keluarga,<br />
maupun masyarakat, sehingga bila serangannya sering perlu dilakukan<br />
pencegahan. Salah satu obat yang bisa dipakai untuk pencegahan<br />
adalah obat antiepilepsi, karena salah satu teori timbulnya bangkitan<br />
epilepsi <strong>dan</strong> migren karena ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi<br />
(glutamat) <strong>dan</strong> neurotransmiter inhibisi (GABA), di mana <strong>pada</strong><br />
migren terjadi peningkatan neurotransmiter eksitasi.<br />
Pada kasus yang dilaporkan ternyata dengan terapi flunarizin<br />
sebagai pencegahan serangan migren belum terkontrol <strong>dan</strong> setelah<br />
diberikan asam valproat baru penderita bebas dari serangan migren.<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Djoenaedi Wijaya. The impact of migraine and the need of prophylactic treatment.<br />
In: Hassan S, Aldy SR, editor. Buku Proseding Pertemuan Nasional I<br />
Nyeri Kepala. 7-8 Agustus 2004. Me<strong>dan</strong>.p.21-45<br />
2. Welch KM. Brain hyperexcitability: the basis for antiepileptic drug in migraine<br />
prevention. Headache 2005; 45 Suppl 1:S25-32<br />
3. Nissan GR, Diamond ML. Advance in migraine treatment. JAOA 2005; 105(4<br />
Suppl 2):S9-5<br />
4. Silberstein SD. Treatmen of migraine. AAN 2004<br />
5. Sun C, Rapoport A. New treatment strategies for migraine prevention. US<br />
Neurological Disease 2006; 18-22<br />
6. Steiner TJ, Hansen PT. Antiepileptic drugs in migraine prophylaxis. In: Olesen<br />
J, Hansen PT, Welch KM, editor. The Headache. 2 nd ed. Philadelphia:Lippnicot<br />
Williams and Wilkins; 2000.p.483-88<br />
7. Cuter FM, Limmroth V, Moskowitz MA. Possible mechanism of valvroate in<br />
migraine Prophylaxis. Cephalgia 1997; 17:93-100<br />
8. Spasic M, Zivkovic M, Lukic S. Prophylactic treatment of migraine by valproate.<br />
Medicine and Biology 2003; 10(3):106-10<br />
9. Freitag FG, Collins SD, Carlson AA, Goldstein J, Saper J, Silberstein SD, et<br />
al. A randomized trial of divalproate sodium extended release tablets in<br />
migraine prophylaxis. Neurology 2003; 58:1652-9<br />
10. Pulley MT. Migraine headache. Origins consequences. <strong>Diagnosis</strong> and treatment.<br />
Northeas Florida Medicine 2005:10-3<br />
11. Modis, Lowder DM. <strong>Medica</strong>tions for migraine prophylaxis. Americans Family<br />
Physician 2006; 73:72-80<br />
12. International Headache Society. The International Classification of Headache<br />
Disorder, 2 nd Edition. Cephalgia 2004; 24 Suppl 1:9-160<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
M. Fadjar Perkasa<br />
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran UNHAS/RS. dr. Wahidin Sudirohusodo<br />
Makassar<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
original article<br />
abstrak. Dilaporkan satu kasus timpanoplasti <strong>pada</strong> seorang anak berumur 9 tahun dengan keluhan keluar cairan dari telinga<br />
kanan berwarna kekuningan sejak 5 tahun lalu, hilang timbul. Telah dilakukan tindakan timpanomastoidektomi tipe 1 dengan<br />
combined approach timpanoplasti <strong>pada</strong> penderita otitis media supuratif kronik (OMSK) yang disertai dengan jaringan granulasi.<br />
Pasca operasi, penderita sadar baik <strong>dan</strong> tidak ditemukan komplikasi saraf fasialis perifer. Pada kasus ini kami menyimpulkan<br />
bahwa hasil operasi memuaskan.<br />
Kata Kunci: OMSK, timpanoplasti<br />
Pendahuluan<br />
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah penyakit telinga tengah<br />
dimana terjadi pera<strong>dan</strong>gan kronis dari telinga tengah <strong>dan</strong> mastoid disertai<br />
perforasi dari membran timpani yang permanen disertai sekret<br />
(otore) yang hilang timbul dengan konsistensi encer atau kental, bening<br />
atau berupa nanah (mukopurulen) berlangsung lebih dari 2 bulan.<br />
OMSK dibagi menjadi 2 jenis yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa =<br />
benign) <strong>dan</strong> OMSK tipe bahaya (tipe tulang = maligna) se<strong>dan</strong>g berdasarkan<br />
aktivitas sekretnya yang keluar dikenal juga OMSK aktif <strong>dan</strong><br />
OMSK tenang. 1,2<br />
Prinsip terapi OMSK adalah konservatif atau dengan medikamentosa<br />
serta operatif/pembedahan. Ada beberapa jenis pembedahan atau<br />
teknik operasi yang dilakukan <strong>pada</strong> OMSK dengan mastoiditis kronik<br />
baik tipe aman atau bahaya antara lain (1) mastoidektomi sederhana<br />
(2) mastoidektomi radikal (3) mastoidektomi radikal dengan modifikasi<br />
(4) miringoplasti (5) timpanoplasti (6) timpanoplasti pendekatan<br />
ganda (combined approach tympanoplasty). 2<br />
Tujuan utama dalam timpanoplasti pendekatan ganda (combined<br />
approach tympanoplasty) adalah untuk membersihkan semua jaringan<br />
patologis dimana anatomi dari meatus eksternus termasuk sulkus<br />
timpani utuh. Kavum mastoid dibuka untuk menghindari sistem<br />
aerasi yang tertutup. Aerasi dapat diperoleh dengan membersihkan<br />
penyumbatan antara kavum timpani, antrum <strong>dan</strong> sistem sel mastoid.<br />
Teknik timpanotomi posterior diperkenalkan oleh penciptanya <strong>pada</strong><br />
akhir tahun 1950 di mana hasilnya baik <strong>pada</strong> tulang temporal. Ini dapat<br />
dilakukan dengan penipisan yang luas <strong>pada</strong> dinding posterior dalam<br />
rongga mastoid sehingga dapat mengevaluasi semua bagian dari telinga<br />
tengah. 3<br />
Patogenesis omSK 4,5<br />
Pada saat ini patogenesis otitis media supuratif kronis (OMSK) tetap<br />
tidak diketahui. Kemungkinan besar proses primer terjadi <strong>pada</strong> sistem<br />
tuba Eustachius, telinga tengah <strong>dan</strong> sel mastoid. Proses ini khas mempunyai<br />
ak tivitas derajat rendah, tidak jelas tampak <strong>dan</strong> menetap, berakibat<br />
hilangnya sebagian membran timpani sehingga memudahkan<br />
proses menjadi lebih kronis.<br />
Faktor-faktor yang menyebabkan penya kit infeksi telinga tengah<br />
supuratif menjadi kronis sangat bervariasi, antara lain:<br />
1. Gangguan fungsi tuba Eustachius yang kronis akibat:<br />
a. infeksi hidung <strong>dan</strong> tenggorok yang kronis atau berulang,<br />
b. obstruksi anatomik tuba Eus tachius parsial atau total.<br />
2. Perforasi membran timpani yang menetap.<br />
3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik<br />
menetap lainnya <strong>pada</strong> telinga tengah.<br />
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi te linga tengah atau rongga<br />
mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaring an parut, penebalan<br />
mukosa, polip, jaringan granulasi atau timpano sklerosis.<br />
5. Terdapat daerah-daerah dengan se kuester atau osteomielitis persisten<br />
di mastoid.<br />
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seper ti alergi, kelemahan umum<br />
atau per ubahan mekanisme pertahanan tu buh.<br />
OMSK lebih sering merupakan penyakit kambuhan dari<strong>pada</strong><br />
menetap. Keadaan kronis ini lebih berdasarkan waktu <strong>dan</strong> stadium<br />
dari<strong>pada</strong> keseragaman gambaran patologi. Ketidaksera gaman ini disebabkan<br />
karena proses pera<strong>dan</strong>gan yang menetap atau kambuhan<br />
ditambah efek kerusakan jaringan, penyembuhan <strong>dan</strong> pembentukan<br />
jaringan parut. Secara umum gambaran yang ditemu kan adalah:<br />
1. Terdapat perforasi membran timpani di bagian sentral.<br />
Ukurannya dapat bervaria si mulai kurang dari 20% luas membran<br />
timpani sampai seluruh membran <strong>dan</strong> terkenanya bagian-bagian<br />
dari anulus.<br />
Dalam proses penyembuhan dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamosa<br />
ke dalam telinga tengah. Pertumbuhan ke dalam ini dapat<br />
menutupi tempat perforasi saja atau dapat mengisi seluruh rongga<br />
telinga tengah. Ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g perluasan lapisan tengah ini ke daerah<br />
atik mengakibatkan pembentukan kantong <strong>dan</strong> kolesteatom<br />
sekunder. Ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g terjadi pembentukan membran timpani<br />
atrofik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat. Membran ini cepat rusak<br />
<strong>pada</strong> periode infeksi aktif.<br />
case report<br />
MEDICINUS<br />
17
MEDICINUS<br />
18<br />
2. Mukosa bervariasi sesuai stadium pe nyakit.<br />
Dalam periode tenang, kondisi akan tampak normal kecuali bila infeksi<br />
telah menye babkan penebalan atau metaplasia mukosa menjadi<br />
epitel transisional.<br />
Selama infeksi aktif, mukosa menjadi te bal <strong>dan</strong> hiperemis serta<br />
menghasilkan sekret mukoid atau mukopurulen. Setelah pengobatan,<br />
penebalan mukosa <strong>dan</strong> sekret mukoid dapat menetap akibat<br />
disfungsi kronik tuba Eustachius. Faktor alergi dapat juga merupakan<br />
penyebab terjadinya perubahan mu kosa menetap. Pada sebagian<br />
kasus, pene balan mukosa terjadi karena iritasi fisik akibat<br />
terpaparnya mukosa dengan dunia luar. Penebalan mukosa bisa<br />
menutup seluruh rongga atik <strong>dan</strong> mastoid, yang mengakibat kan<br />
terisinya ruangan ini dengan mukus. Dengan berjalannya waktu,<br />
kristal-kris tal kolesterin terkumpul dalam kantong mukus, membentuk<br />
granuloma kolesterol. Proses ini bersifat iritatif, menghasilkan<br />
granulasi <strong>pada</strong> membran mukosa <strong>dan</strong> infil trasi sel datia <strong>pada</strong><br />
cairan mukus kolesterin. Proses ini juga dapat terlihat dalam telinga<br />
tengah <strong>pada</strong> otitis media sekretoria kronik.<br />
Dalam penyembuhan, mukosa dapat me nunjukan perubahan<br />
menjadi timpanosklerosis, yang terdiri dari formasi lempeng hialin<br />
amorf dalam submukosa, dengan ben tuk bervariasi mulai dari<br />
lapisan tipis sampai ke massa yang tebal. Pada stadium awal, mukosa<br />
tampak tebal <strong>dan</strong> seperti karet. De ngan berlanjutnya proses<br />
penyembuhan, lempeng ini menjadi kekuningan dengan konsistensi<br />
seperti dempul. Suatu saat terjadi penimbunan garam<br />
kalsium, membentuk massa sekeras tulang. Tempat predikleksi<br />
proses ini adalah di daerah anulus membran timpani, khususnya<br />
anterosuperior <strong>dan</strong> se keliling tulang-tulang pendengaran. Proses<br />
ini menyebabkan fusi atau fiksasi rangkaian tulang pendengaran<br />
yang mengakibatkan tuli berat.<br />
Mukosa juga dapat mengalami pemben tukan jaringan granulasi<br />
<strong>dan</strong>/atau polip. Proses ini berhubungan dengan a<strong>dan</strong>ya sek ret<br />
persisten atau infeksi aktif yang berlangsung lama. Pembentukan<br />
polip biasanya berhubungan dengan a<strong>dan</strong>ya epitel skuamo sa<br />
di telinga tengah. Massa ini dapat muncul keluar lewat perforasi<br />
kecil, menghalangi sebagian drainase <strong>dan</strong> mengakibatkan pe nyakit<br />
menjadi persisten.<br />
3. Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung<br />
<strong>pada</strong> beratnya infeksi sebelumnya.<br />
Biasanya prosesus lo ngus inkus telah mengalami nekrosis karena<br />
penyakit trombotik <strong>pada</strong> pembuluh darah mukosa yang memperdarahi<br />
inkus ini. Ne krosis lebih jarang mengenai maleus <strong>dan</strong> stapes,<br />
kecuali kalau terjadi pertumbuhan skuamosa secara sekunder ke<br />
arah dalam sehingga arkus stapes <strong>dan</strong> lengan maleus dapat rusak.<br />
Proses ini bukan disebabkan oleh osteomielitis tetapi disebabkan<br />
oleh ter bentuknya enzim osteolitik atau kolagenase dalam jaringan<br />
ikat subepitel.<br />
4. Tulang Mastoid.<br />
OMSK paling sering berawal <strong>pada</strong> masa anak-anak. Pneumatisasi<br />
mastoid paling aktif terjadi an tara 5 - 10 tahun. Bila infeksi kronik<br />
terus berlanjut mastoid mengalami proses sklerotik, sehing ga<br />
ukuran prosesus mastoid berkurang. Antrum menjadi lebih kecil<br />
<strong>dan</strong> pneuma tisasi terbatas, hanya ada sedikit sel udara saja sekitar<br />
antrum.<br />
indikasi 3<br />
Teknik operasi timpanoplasti dengan pendekatan ganda (combined<br />
approach tympanoplasty) dikerjakan <strong>pada</strong> kasus OMSK tipe bahaya<br />
atau OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas. Tujuan<br />
operasi adalah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki<br />
pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidectomy radikal (tanpa<br />
meruntuhkan dinding posterior liang telinga) antara lain <strong>pada</strong> penyakit<br />
kronik telinga tengah, otomastoiditis kronik dengan jaringan<br />
granulasi atau kolesterol granuloma, tumor <strong>pada</strong> telinga tengah <strong>dan</strong><br />
mastoid, otitis media seromucin yang gagal dengan pemasangan pipa<br />
Grommet, dekompresi saraf facialis.<br />
Kontraindikasi 3,6,7<br />
Teknik operasi ini <strong>pada</strong> OMSK tipe maligna belum disepakati oleh para<br />
ahli karena sering terjadi kambuhnya kolesteatoma kembali. Pada kebanyakan<br />
kasus tumor ganas <strong>pada</strong> meatus merupakan kontraindikasi.<br />
Fistula <strong>pada</strong> sistem Kanalis semisirkularis harus dipertimbangkan.<br />
Gambar 3. Batas timpanotomi posterior 7<br />
laporan Kasus<br />
Seorang anak berumur 9 tahun datang dengan keluhan keluar cairan<br />
dari telinga kanan yang berwarna kekuningan tidak berbau yang dikeluhkan<br />
sejak umur 4 tahun yang hilang timbul dengan disertai penurunan<br />
pendengaran <strong>pada</strong> telinga kanan. Riwayat demam (-), otalgia (-),<br />
tinitus (-), cephalgia (-), vertigo (-), paresa <strong>pada</strong> wajah (-).<br />
Keluhan <strong>pada</strong> hidung <strong>dan</strong> tenggorokan disangkal.<br />
Pemeriksaan fisis<br />
Keadaan umum: Baik/ gizi cukup/ kompos mentis<br />
Otoskopi:<br />
Kanan: MAE dalam batas normal, membran timpani perforasi se<strong>dan</strong>g,<br />
mukosa kavum timpani hiperemis, sekret (+) mukopurulen, jaringan<br />
granulasi (-)<br />
Kiri: MAE dalam batas normal, membran timpani utuh, pantulan cahaya<br />
(+), sekret (-)<br />
Rinoskopi: Konka normal, mukosa normal, sekret (-)<br />
Faringoskopi: T1/T1 tenang, mukosa dorsal faring normal<br />
Pemeriksaan penunjang<br />
Tes garputala: - R + ← W ↑ S N<br />
Tes Audiometri:<br />
Kanan: Tuli konduktif ringan (38,3 dB)<br />
Kiri: Pendengaran normal (18 dB)<br />
Patch test:<br />
Kanan/pendengaran normal (30 dB)<br />
Tes fungsi tuba (+)<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Tes fistula: Vertigo (-) nistagmus (-)<br />
Tes keseimbangan:<br />
tes Manns: Tidak ada kelainan<br />
tes Romberg: Tidak ada kelainan<br />
tes Stepping: Tidak ada kelainan<br />
Laboratorium : Dalam batas normal<br />
Foto thoraks: Dalam batas normal<br />
CT scan Mastoid potongan axial:<br />
- tampak perselubungan <strong>pada</strong> rongga telinga tengah dengan air<br />
cell mastoid kanan berkurang<br />
- osikel telinga kanan intak<br />
- struktur telinga dalam intak<br />
- telinga kiri: struktur telinga dalam, osikel, <strong>dan</strong> pneumatisasi<br />
mastoid dalam batas normal<br />
Kesan: Otomastoiditis kanan<br />
Diagnosa kerja: Otitis media supuratif kronik dekstra<br />
Tindakan: Timpanomastoidektomi tipe 1 dengan pendekatan ganda<br />
Laporan operasi:<br />
- pasien baring dalam posisi supine di bawah pengaruh anastesi<br />
umum.<br />
- dilakukan insisi retroaurikuler sampai tampak fasia temporalis, lapisan<br />
fasia temporalis profunda dielevasi <strong>dan</strong> diambil untuk graft.<br />
- dilakukan insisi “H” <strong>pada</strong> periosteum kemudian dielevasi.<br />
- identifikasi spine of henle, linea temporalis serta segitiga Mc-ewen.<br />
- pahat korteks mastoid lalu diperdalam dengan bor sampai tampak<br />
antrum→ jaringan granulasi (+) dibersihkan, evaluasi diperluas<br />
sampai epitimpanum→ jaringan granulasi (+) dibersihkan.<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
- Bebaskan kulit dinding posterior MAE D/ → maleus utuh, mobile<br />
(+), kavum timpani kosong, muara tuba terbuka. Identifikasi Processus<br />
Brevis Inkus → utuh, mobile(+) → tampak jaringan granulasi<br />
di sekitar inkus yang menutupi additus ad antrum, aerasi tidak ada<br />
→ coba bersihkan jaringan granulasi, aerasi tetap tidak ada.<br />
MEDICINUS<br />
19
MEDICINUS<br />
20<br />
- buat timpanotomi posterior <strong>pada</strong> ressesus fasialis dengan Diamond<br />
Burr → Kanalis fasialis pars mastoid terkikis, saraf facialis terpapar<br />
tetapi tetap utuh (tidak putus).<br />
- antrum <strong>dan</strong> kavum timpani sudah terhubung → aerasi baik <strong>dan</strong><br />
lancar.<br />
- tandur graft diletakkan secara overlay.<br />
- Pasang drain serta masukkan tampon antibiotik, tutup luka insisi.<br />
- Operasi selesai.<br />
Perawatan hari 1<br />
KU: Baik Instruksi perawatan:<br />
N: 100x/menit, P: 24x/menit, - awasi tanda vital <strong>dan</strong> perda-<br />
S: 37° C<br />
rahan<br />
Perdarahan (-), Parese fasialis - IVFD RL: Dex 5%=1:1=18 tts/<br />
perifer (-)<br />
mnt<br />
Cephalgia (+) Vertigo (-) - Inj. Cefotaxime 500 mg/12<br />
jam/hari<br />
Mual/muntah (-) - Inj. <strong>Dexa</strong>methasone 2,5 mg/8<br />
jam/hari<br />
- Inj. Ulsikur 100 mg/8 jam/hari<br />
- Inj. Antrain 25 mg/8 jam/hari<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Perawatan hari 3<br />
KU: Baik Instruksi perawatan:<br />
N: 100x/menit, P: 24x/menit, - awasi tanda vital <strong>dan</strong> perda-<br />
S: 37°C<br />
rahan<br />
Perdarahan (-), Parese facialis - Aff drain, ganti verband<br />
perifer(-)<br />
Cephalgia (-) Vertigo (-) - IVFD RL: Dextrosa 5%=<br />
1:1= 18 tts/mnt<br />
Luka insisi baik, tanda infeksi (-) - Inj. Cefotaxime 500 mg/12jam/<br />
hari<br />
- Inj. <strong>Dexa</strong>methasone 2,5 mg/8<br />
jam/hari<br />
- Inj. Ulsikur 100 mg/8 jam/hari<br />
- Inj. Antrain 25 mg/8 jam/hari<br />
Perawatan hari ke 5<br />
KU: Baik Instruksi perawatan :<br />
N: 100x/menit, P: 24x/menit, - Aff infus, ganti oral<br />
S: 37°C<br />
Parese facialis perifer(-) - Ganti verband<br />
Cephalgia (-)<br />
Luka insisi baik, tanda infeksi (-) - Cefadroxil tab 3x250 mg<br />
- Methylprednisolone 3x2 mg<br />
- Asam mefenamat 3x250 mg<br />
- Boleh pulang, kontrol di poli<br />
THT<br />
Diskusi<br />
OMSK merupakan penyakit telinga tengah yang sering ditemukan <strong>pada</strong><br />
anak-anak <strong>dan</strong> tidak jarang menyebabkan gangguan fungsi pendengaran<br />
yang permanen. Pada kasus OMSK yang tidak berespon terhadap<br />
pengobatan perlu ditelusuri faktor predisposisi yang menyebabkan<br />
kekambuhan penyakit, seperti gangguan fungsi tuba yang kronik, perforasi<br />
membran timpani yang menetap, aerasi kavum timpani-kavum<br />
mastoid yang menetap akibat jaringan granulasi, kolesteatoma.<br />
Dilaporkan satu kasus, anak laki-laki 9 tahun dengan keluhan otore<br />
kronik sejak 5 tahun yang lalu, hilang timbul. Penderita mempunyai riwayat<br />
berobat sebelumnya, dari anamnesis <strong>dan</strong> pemeriksaan fisis THT<br />
tidak ditemukan faktor predisposisi seperti yang disebutkan di atas,<br />
kecuali terdapatnya perforasi yang menetap.<br />
Pemeriksaan audiometri pure tone, didapatkan telinga kanan tuli<br />
konduktif ringan (38,3 dB) <strong>dan</strong> kiri normal. Hal ini menunjukkan terdapat<br />
gangguan fungsi konduksi telinga tengah akibat perforasi ukuran<br />
se<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> kemungkinan besar rantai ossikula masih utuh. Tidak<br />
ditemukan a<strong>dan</strong>ya gangguan keseimbangan, gangguan fungsi tuba<br />
<strong>dan</strong> tes fistula negatif.<br />
Pemeriksaan radiologi, foto polos mastoid tampak kesan mastoiditis<br />
kronik kanan <strong>dan</strong> CT-scan mastoid potongan axial tampak<br />
perselubungan <strong>pada</strong> rongga telinga tengah dengan air cell mastoid<br />
kanan berkurang tanpa tanda-tanda destruksi tulang di sekitarnya.<br />
Dari pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan diagnosis penderita<br />
ini adalah OMSK tipe benigna. Oleh karena itu penatalaksanaan terbaik<br />
<strong>pada</strong> kasus ini adalah pembedahan dengan tujuan utama untuk<br />
eradikasi penyakit <strong>dan</strong> sebisa mungkin tetap mempertahankan pendengaran<br />
karena ambang pendengarannya tuli konduktif ringan.<br />
Durante operationem didapatkan jaringan granulasi <strong>pada</strong> antrum<br />
mastoid, meluas ke epitimpanum di sekitar inkus yang menutupi<br />
aditus ad antrum sehingga aerasi tidak ada. Jaringan granulasi dibersihkan<br />
namun aerasi tetap tidak ada sehingga diputuskan untuk dilakukan<br />
timpanotomi posterior. Pada saat melakukan prosedur tersebut<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
OMSK merupakan penyakit<br />
telinga tengah yang sering<br />
ditemukan <strong>pada</strong> anak-anak <strong>dan</strong><br />
tidak jarang menyebabkan<br />
gangguan fungsi pendengaran<br />
yang permanen. Pada kasus<br />
OMSK yang tidak berespon<br />
terhadap pengobatan perlu<br />
ditelusuri faktor predisposisi<br />
yang menyebabkan kekambuhan<br />
penyakit.<br />
kanalis facialis terpapar, namun saraf facialis tetap utuh, sehingga tidak<br />
perlu dilakukan reanimasi saraf fasialis. Kemudian dilakukan pemasangan<br />
graft fascia temporalis profunda secara overlay.<br />
Pasca operasi, penderita sadar baik, komplikasi pasca operasi<br />
berupa perdarahan, parese saraf fasialis perifer <strong>dan</strong> vertigo tidak ada,<br />
terapi antibiotik, analgetik <strong>dan</strong> antiinflamasi diberikan per injeksi kemudian<br />
dilanjutkan terapi oral.<br />
Keberhasilan operasi timpanomastoidektomi ditentukan oleh<br />
dua hal utama, yaitu viabilitas dari graft <strong>dan</strong> perbaikan pendengaran<br />
pasca operasi yang diukur tiga bulan pasca operasi. Pada kasus<br />
ini kami menyimpulkan bahwa operasi <strong>dan</strong> perawatan pasca operasi<br />
berjalan baik.<br />
Kesimpulan<br />
OMSK merupakan penyakit telinga tengah yang dapat menyebabkan<br />
komplikasi berupa gangguan fungsi pendengaran yang permanen<br />
yang apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa penderita<br />
jika perluasan penyakit ke intraranial.<br />
Pemeriksaan radiologi, foto polos mastoid <strong>dan</strong> CT-Scan mastoid<br />
potongan axial pre operasi sangat penting dalam mendeteksi perluasan<br />
penyakit <strong>dan</strong> dalam merencanakan tindakan terbaik yang akan<br />
dilakukan untuk kesembuhan penderita.<br />
Penatalaksanaan <strong>pada</strong> kasus ini adalah combined approach tympanoplasty<br />
yang bertujuan untuk eradikasi penyakit <strong>dan</strong> tetap mempertahankan<br />
pendengaran.<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Helmi. Otitis media supuratif kronik. Dalam: Helmi, Otitis Media Supuratif<br />
Kronik Pengetahuan Dasar, <strong>Terapi</strong> Medik, Mastoidektomi, Timpanoplasti.<br />
Jakarta:Balai Penerbit FKUI,2005.p.55-69<br />
2. A Zainul, Djaafar, Helmi. Kelainan telinga tengah. Dalam: Buku Ajar Ilmu<br />
Ke-sehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala <strong>dan</strong> Leher. Edisi keenam.<br />
Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2007.p.64-77<br />
3. Jansen CW. Combined approach tympanoplasty. In: Ballantyne JC. Operative<br />
Surgery Ear. 4 th edition. United Kingdom:Butterworths, 1986.p.91-101<br />
4. Ballenger JJ. Anatomi <strong>dan</strong> embriologi telinga. Dalam: Penyakit Telinga Hidung<br />
Tenggorok Kepala <strong>dan</strong> Leher. Jilid dua, Edisi 13. Jakarta Barat:Binarupa<br />
Aksara,1997.p.101-51<br />
5. Ballenger JJ. Penyakit telinga kronis. Dalam: Penyakit Telinga Hidung<br />
Tenggorok Kepala <strong>dan</strong> Leher. Jilid dua, Edisi 13. Jakarta Barat:Binarupa<br />
Aksara,1997.p.392-403.<br />
6. A Zainul, Djaafar, Helmi. Komplikasi otitis media supuratif. Dalam: Buku Ajar<br />
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala <strong>dan</strong> Leher. Edisi Ke-6.<br />
Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2007.p.78-86<br />
7. Bennet M, Warren F, Haynes D. Indications and technique in mastoidectomy.In:<br />
Otolaryngologic Clinics of North America. USA:Elsevier Saunders Inc,<br />
2006.p.1095-112<br />
MEDICINUS<br />
21
MEDICINUS<br />
22<br />
medical review<br />
Yaya Rukayadi* <strong>dan</strong> Jae Kwan Hwang**<br />
* Natural Products and Biomaterials Lab., Department of Biotechnology, College of Engineering,<br />
Yonsei University, Republic of Korea; Biopharmaca Research Center, Bogor Agricultural University, Indonesia<br />
** Natural Products and Biomaterials Lab., Department of Biotechnology, College of Engineering,<br />
Yonsei University, Republic of Korea<br />
Abstract. Quorum sensing (QS) is a process that enables bacteria to communicate using secreted signaling molecules called<br />
autoinducer. This process enables a population of bacteria to regulate gene expression. Link between QS and virulence factors<br />
as well as the formation of biofilms have been established for a number of important pathogenic bacteria, suggesting that<br />
interference with these signaling circuits might be therapeutically useful. There are two broad strategies for the control of<br />
bacterial infection: kill the organism or attenuate its pathogenicity using inhibiting bacterial QS systems. The major concern<br />
with the first approach is the frequently observed development of resistance to antimicrobial compounds. Hence, the identification<br />
of antagonistic molecules to block QS systems (anti-QS) would be of great interest as therapeutic measures against<br />
bacterial infection; additionally, the combination of anti-QS with traditional antibiotics may reduce either the required dosage<br />
of antibiotics or duration of therapy. The application of anti-QS may potentially be useful in inhibiting the growth or virulence<br />
mechanisms of bacteria in different environments. It is important that pharmacist has an awareness and an understanding of<br />
the mechanisms involved in bacterial QS, since strategies targeting QS may offer a means to control the growth of pathogenic<br />
bacteria in new drug (antibiotic) design.<br />
abstrak. Quorum sensing (QS) merupakan suatu proses yang memungkinkan bakteri dapat berkomunilasi dengan mengsekresikan<br />
molekul sinyal yang disebut autoinduser. Proses ini memungkinkan suatu populasi bakteri dapat pengatur suatu<br />
ekspresi gen tertentu. Ekspresi faktor-faktor virulen <strong>dan</strong> pembentukan biofilm <strong>pada</strong> sejumlah bakteri patogen penting dikendalikan<br />
oleh proses QS, hal ini mengisyaratkan bahwa campur-tangan <strong>pada</strong> proses QS sangat berguna pagi pengobatan. Ada<br />
dua strategi utama untuk mengontrol infeksi bakteri yaitu membunuh bakteri itu <strong>dan</strong> menurunkan derajat patogennya dengan<br />
menggunakan penghambatan QS. Akan tetapi, strategi yang pertama sering kali menimbulkan resistensi bakteri terhadap senyawa<br />
antimikroba. Jadi, identifikasi molekul antagonis yang dapat memblokir proses QS (anti-QS) merupakan hal yang sangat<br />
menarik untuk melawan infeksi bakteri. Sebagai tambahan, kombinasi antara anti-QS dengan antibiotik kemungkinan akan<br />
menurunkan dosis <strong>dan</strong> lama pengobatan. Penggunaan anti-QS diharapkan dapat digunakan untuk penghambatan pertumbuhan<br />
<strong>dan</strong> mekanisme virulensi <strong>pada</strong> bakteri di lingkungan yang berbeda. Memahami proses QS <strong>dan</strong> anti-QS sangat penting bagi<br />
ahli farmasi, sebab dengan memahami pendekatan proses QS <strong>dan</strong> anti-QS ini akan memberikan peluang <strong>dan</strong> kerangka kerja<br />
baru untuk mendisain obat baru.<br />
Pendahuluan<br />
Istilah quorum sensing (QS) pertama kali diperkenalkan oleh Profesor<br />
Clay Fuqua <strong>pada</strong> tahun 1994. 1 QS digunakan untuk menjelaskan komunikasi<br />
di antara sel-sel bakteri. Sebenarnya hal-hal yang berkaitan dengan<br />
QS sudah dilaporkan sebelumnya, misalnya Tomasz and Mosser<br />
(1966) melaporkan bahwa bakteri Gram-positif, Streptococcus pneumoniae,<br />
menghasilkan molekul sinyal yang disebut sebagai competence factor,<br />
yang merupakan faktor pengendali pengambilan DNA dari alam<br />
(natural transformation). 2 Laporan lain, <strong>pada</strong> tahun 1970, dilaporkan<br />
bahwa proses perpendaran cahaya (luminescence) <strong>pada</strong> bakteri Gramnegatif<br />
asal laut, Vibrio fischeri, diatur oleh sebuah molekul sinyal yang<br />
dihasilkannya sendiri yang disebut autoinduser (AI). 3 Molekul sinyal<br />
tersebut berhasil diidentifikasi berupa N-3-oxo-hexanoyl-L-homoserine<br />
lactone <strong>pada</strong> tahun 1981. 4 Selanjutnya <strong>pada</strong> tahun 1983, gen penyandi<br />
protein pengatur pengaktivasi transkripsi (protein R) <strong>dan</strong> penyandi<br />
molekul sinyal AI (protein I) berhasil dikloning, gen tersebut disebut<br />
gen lux, atau luxR-luxI yang menghasilkan protein LuxR-LuxI. 5 Pada<br />
awal tahun 1990-an, homologi luxR-luxI diteliti <strong>pada</strong> berbagai jenis<br />
bakteri <strong>dan</strong> sistem sinyal LuxR-LuxI <strong>pada</strong> V. fischeri menjadi paradigma<br />
baru untuk menjelaskan proses komunikasi di antara sel-sel bakteri.<br />
Sejak tahun 1994, laporan ilmiah tentang QS meningkat tajam, menurut<br />
data NCBI (National Center for Biotechnology Information) sampai awal<br />
tahun 2009 terdapat 2074 laporan.<br />
QS terjadi <strong>pada</strong> sejumlah bakteri, bakteri menghasilkan senyawa<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
erberat molekul rendah yang disebut autoinduser (AI) atau pheromones<br />
bakteri, senyawa AI-lah yang menjadi sinyal komunikasi <strong>pada</strong><br />
bakteri. AI umumnya bersifat khusus untuk spesies bakteri tertentu.<br />
AI tersebut dilepaskan ke luar sel sehingga dapat dikenali oleh sel yang<br />
lainnya yang sama-sama menghasilkan AI. Selama proses tersebut, terjadi<br />
akumulasi AI diluar sel <strong>dan</strong> tentu saja akumulasi AI sejalan dengan<br />
penambahan densitas atau kerapatan sel bakteri. Bila jumlah selnya telah<br />
mencapai ke<strong>pada</strong>tan tertentu atau mencapai quorum tertetu, maka<br />
AI akan diserap kembali kedalam sel <strong>dan</strong> membentuk kompleks dengan<br />
protein pengatur pengaktivasi transkripsi. Kompleks antara AI<br />
dengan protein pengatur pengaktivasi transkripsi akan mengaktifkan<br />
tersekspresinya gen-gen penyandi tertentu, misalnya gen penyandi<br />
bioluminescence, berbagai enzim, konjugasi, sporulasi, pembentukan<br />
sel kompeten, pembentukan biofilm, faktor-faktor virulen, antibiotik,<br />
simbiosis, <strong>dan</strong> lain sebagainya. 6,7 Jadi, QS bisa diartikan sebagai suatu<br />
pengaturan ekspresi gen atau aktivitas atau tingkah laku atau fenotipik<br />
bakteri yang bergantung ke<strong>pada</strong> jumlah populasi bakteri tersebut <strong>dan</strong><br />
akumulasi AI-nya. Sejumlah aktivitas bakteri yang diatur oleh proses<br />
QS disajikan <strong>pada</strong> Tabel 1. 6,7<br />
Tabel 1. Beberapa contoh aktivitas atau fenotipik bakteri yang diatur oleh QS 6,7<br />
Spesies Bakteri Molekul Sinyal atau<br />
Autoinduser (AI)<br />
Aeromonas<br />
hydrophila<br />
Agrobacterium<br />
tumefaciens<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
Gen/Protein<br />
Pengatur<br />
C4-HSL ahyI-ahyR/<br />
AhyI-AhyR<br />
3-oxo-C8-HLS traI-traR/TraI-<br />
TraR<br />
Bacillus subtilis ComX pheromones<br />
(a modified decapeptide)<br />
/ Competence-<br />
Stimulating Factor (a<br />
pentapeptide)<br />
Burkholderia<br />
cepacia<br />
Chromobacterium<br />
violacein<br />
Erwinia carotovora<br />
subsps.<br />
caratovora<br />
Pseudomonas<br />
aeruginosa<br />
Serratia<br />
liquefaciens<br />
Staphylococcus<br />
aureus<br />
Aktivitas/<br />
Fenotipik<br />
- Pembentukan<br />
biofilms, <strong>dan</strong><br />
produksi enzimenzimeksoprotease<br />
- Konjugasi plasmid<br />
Ti<br />
comX/ComX - Pembentukan<br />
kompeten sel,<br />
sporulasi<br />
C8-HSL cepI-R/CepI-R - Produksi<br />
siderophore <strong>dan</strong><br />
eksoprotease<br />
C6-HSL cviI-cviR/CviI-<br />
CviR<br />
3-oxo-C6-HSL carI-carR/CarI-<br />
CarR<br />
expI-expR/<br />
ExpI-ExpR<br />
Cd-HSL/3-oxo-C12-<br />
HSL<br />
lasI-lasR/LasI-<br />
LasR<br />
rhlI-rhlI/RhlI-<br />
RhlR<br />
C4-HSL swrI-swrR/SwrI-<br />
SwrR<br />
Peptide thiolactones agrBDCA/AgrB-<br />
DCA<br />
Vibrio fischeri 3-oxo-C6-HSL luxI-luxR/LuxI-<br />
LuxR<br />
Vibrio harveyi 3-hydroxy-C4-HSL luxLM-luxN/<br />
LuxLM-LuxN<br />
Yersinia pseudotuberculosis<br />
3-oxo-C6-HSL/C8-<br />
HSL<br />
yesI-yesR/YesI-<br />
YesR<br />
- Produksi<br />
eksoenzim, HCN,<br />
violacein<br />
- Produksi antibiotik<br />
carbapenem<br />
<strong>dan</strong> eksoenzim<br />
- Produksi<br />
eksoenzim, HCN,<br />
rhamnolipid <strong>dan</strong><br />
pembentukan<br />
biofilms<br />
- Motilitas swarming,<br />
produksi<br />
eksoprotease<br />
- Produksi eksotoksin,eksoenzim,<br />
protein A<br />
- Bioluminescence<br />
- Bioluminescence<br />
- Motilitas <strong>dan</strong><br />
agregasi<br />
Tabel 2. Spesies bakteri yang mempunyai QS yang diatur oleh LuxS atau AI-2<br />
Spesies Bakteri Aktivitas yang Diatur<br />
Actinobacillus actinomycetemcomitans - Virulensi, penambatan besi<br />
Borrelia burgdorferi - Ekspresi protein pleiotropik<br />
Campylobacter jejuni - Motilitas<br />
Clostridium perfringens - Produksi toksin<br />
Escherichia coli W3110 - Pembelahan sel, motilitas <strong>dan</strong> metabolisma<br />
Escherichia coli EHEC <strong>dan</strong> EPEC - Sekresi virulensi tipe III<br />
Neisseria meningitides - Infeksi bakterimia<br />
Photorhabdus luminescens - Produksi antibiotik (carbapenem)<br />
Porphyromonas ginggivalis - Pembentukan biofilm, penambatan<br />
heme, produksi protease<br />
Salmonella typhi - Pembentukan biofilm<br />
Salmonella typhimurium - Ekspresi transfor ABC<br />
Shigella flexneri - Transkripsi faktor-faktor yang berasosiasi<br />
dengan virulensi<br />
Streptococcus mutans - Pembentukan biofilm<br />
Streptococcus pneumoniae - Virulensi<br />
Streptococcus pyogenes - Ekspresi faktor-faktor virulen<br />
Vibrio cholerae - Ekspresi faktor-faktor virulen<br />
Vibrio harveyi - Luminescence, produksi protease,<br />
sekresi tipe III, morfologi koloni,<br />
produksi siderophore<br />
Vibrio vulnificus - Virulensi<br />
Aktivitas QS <strong>pada</strong> bakteri sebenarnya merupakan suatu tanggapan<br />
atau respon bakteri terhadap kondisi lingkungannya yang seringkali<br />
berubah secara cepat. Respon tersebut sangat diperlukan guna menjaga<br />
kelestarian bakteri tersebut, atau dengan kata lain supaya bakteri<br />
tersebut tetap survive. Respon tersebut bisa berupa adaptasi terhadap<br />
keberadaan nutrisi, pertahanan melawan mikroorganisme lain yang<br />
mungkin memiliki kesamaan nutrisi, <strong>dan</strong> menghindar dari senyawasenyawa<br />
toksik yang membahayakan bakteri tersebut. 8<br />
Meskipun QS juga terjadi <strong>pada</strong> sel eukariotik seperti Candida albicans,<br />
9 akan tetapi artikel ini hanya membahas QS <strong>pada</strong> bakteri saja.<br />
Bahasan artikel ini terdiri dari: (1) pendahuluan yang membahas tentang<br />
sekilas sejarah QS serta pengertian QS sendiri, seperti yang telah<br />
dijelaskan di atas; (2) autoinduser (AI), membahas tentang macammacam<br />
AI serta sumber <strong>dan</strong> kegunaannya; (3) mekanisme umum<br />
quorum sensing, yang ditekankan hanya <strong>pada</strong> mekanisme QS yang<br />
melibatkan AI-1 <strong>dan</strong> AI-2; (4) QS hubungannya dengan patogenisitas<br />
bakteri, yang membahas bahwa patogenisitas sejumlah bakteri patogen<br />
diatur oleh QS; (5) pencegahan QS, yang membahas tentang peluang<br />
penghambatan QS; (6) potensi disain anti-QS, yang membahas tentang<br />
beberapa kemungkinan untuk disain anti-QS sebagai obat baru; <strong>dan</strong> (7)<br />
penutup, berupa rangkuman <strong>dan</strong> pan<strong>dan</strong>gan tentang potensi Indonesia<br />
yang memungkinkan sebagai sumber pencarian anti-QS. Selain itu,<br />
dalam artikel ini, bahasan QS lebih ditekankan ke<strong>pada</strong> QS hubungannya<br />
dengan infeksi bakteri.<br />
autoinduser (ai)<br />
Autoinduser (AI) merupakan molekul sinyal yang disekresikan, kemudian<br />
diakumulasikan, selanjutnya diserap kembali <strong>dan</strong> dikenali oleh<br />
bakteri <strong>pada</strong> saat proses QS terjadi. AI dapat dikategorikan menjadi<br />
empat yaitu: (i) turunan asam lemak, <strong>pada</strong> umumnya berupa N-acyl<br />
homoserine lactones (AHLs), dihasilkan oleh bakteri Gram-negatif, serta<br />
digunakan untuk komunikasi dalam spesies yang sama (intraspecies<br />
communication among Gram-negative bacteria), AI ini dikenal sebagai<br />
AI-1; (ii) rangkaian asam amino atau peptide pendek atau oligopep-<br />
MEDICINUS<br />
23
MEDICINUS<br />
24<br />
tida, dihasilkan oleh bakteri Gram-positif, umumnya digunakan untuk<br />
komunikasi dalam spesies yang sama (intraspecies communication,<br />
among Gram-positive bacteria), <strong>dan</strong> juga dikelompokan ke dalam AI-1;<br />
(iii) furanocyl borate diester, dihasilkan oleh bakteri Gram-negatif <strong>dan</strong><br />
Gram-positif, serta digunakan untuk komunikasi antar spesies (interspecies<br />
communication) baik sesama Gram-negatif atau Gram-positif<br />
atau antara Gram-positif dengan Gram-negatif <strong>dan</strong> sebaliknya, AI<br />
ini dikelompokan ke dalam AI-2; <strong>dan</strong> (iv) autoinducer-3 (AI-3), strukturnya<br />
belum diketahui, digunakan untuk komunikasi silang dengan<br />
epinephrine (suatu sistem sinyal sel-inang mamalia), AI-3 dilaporkan<br />
terdapat <strong>pada</strong> Eschericia coli O157:H7. 10,11,12 Selain itu, ada juga sistem<br />
AI yang lain yang belum jelas struktur <strong>dan</strong> mekanismenya. 7 Sejumlah<br />
contoh AI disajikan <strong>pada</strong> Gambar 1. 13<br />
Gambar 1. Beberapa contoh autoinduser (AI) dari beberapa spesies bakteri: (a) beberapa<br />
turunan acyl-homoserine lactone (AHL) dari sejumlah bakteri Gram-negatif;<br />
(b) oligo peptide dari sejumlah bakteri Gram-positif; (c) g-butryolactones dari Streptomyces<br />
griseus; <strong>dan</strong> (d) AI -2 dari Vibrio harveyi <strong>dan</strong> Salmonella typhymurium 13<br />
mekanisme Umum Quorum Sensing<br />
Ada tiga komponen penting dalam pengaturan QS <strong>pada</strong> bakteri yaitu<br />
(i) sintesa molekul sinyal atau sintesa AI, (ii) akumulasi molekul sinyal,<br />
<strong>dan</strong> (iii) pengenalan molekul sinyal. 14<br />
1. QS <strong>pada</strong> bakteri Gram-negatif<br />
QS <strong>pada</strong> bakteri Gram-negatif melibatkan dua komponen gen/<br />
protein pengatur yaitu protein R <strong>dan</strong> protein AI. Molekul sinyal<br />
atau AI yang diproduksi oleh sel-sel secara individu tidak berpengaruh<br />
apa-apa terhadap transkripsi gen target, baru akan<br />
berpengaruh jika telah mencapai jumlah minimal tertentu (mencapai<br />
quorum tertentu). Dengan kata lain, jika densitas populasi<br />
sel rendah maka konsentrasi AI yang dihasilkan juga rendah,<br />
<strong>pada</strong> kondisi non-quorum ini konsentrasi AI belum cukup untuk<br />
mengaktifkan protein R, sehingga akan terjadi proses akumulasi<br />
AI yang sejalan dengan penambahan jumlah populasi bakteri.<br />
Akan tetapi jika populasi atau densitas sel telah mencapai jumlah<br />
minimal atau quorum tertentu, maka AI yang dihasilkan juga akan<br />
cukup untuk mengaktifkan protein R, <strong>pada</strong> kondisi quorum ini,<br />
AI akan membentuk kompleks dengan protein R, kompleks AIprotein<br />
R ini akan mengaktifkan terjadi transkripsi <strong>dan</strong> translasi<br />
gen <strong>pada</strong> gen target (Gambar 2). 6 Contoh umum QS <strong>pada</strong> bakteri<br />
Gram-negatif adalah proses bioluminescence <strong>pada</strong> V. fischeri (Gambar<br />
3). 15<br />
Gambar 2. Mekanisme QS <strong>pada</strong> bakteri Gram-negatif 6<br />
Gambar 3. Mekanisme QS <strong>pada</strong> Vibrio fischeri 15<br />
2. QS <strong>pada</strong> bakteri Gram-positif<br />
Berbeda dengan bakteri Gram-negatif, bakteri Gram-positif menggunakan<br />
senyawa oligopeptida sebagai sinyal komunikasi. 13 Selain<br />
itu juga melibatkan dua komponen sensor berupa histidin kinase<br />
yang terikat <strong>pada</strong> membran sel, sensor histidin kinase tersebut berfungsi<br />
sebagai reseptor. 13 Sebagai contoh, QS <strong>pada</strong> Staphylococcus<br />
aureus (Gambar 4). 13 QS <strong>pada</strong> S. aureus diatur oleh sinyal komunikasi<br />
yang disebut autoinducing peptide atau AIP <strong>dan</strong> dua sensor kinase<br />
berupa protein AgrB <strong>dan</strong> AgrC, yang masing-masing dikodekan<br />
oleh gen agrB <strong>dan</strong> agrC. Gen argD akan mengekspresikan protein<br />
AgrD, protein AgrD ini diekspor keluar membran melalui sensor<br />
kinase AgrB <strong>pada</strong> membran, selain itu protein AgrB juga akan menambahkan<br />
cincin thiolactone <strong>pada</strong> AgrD <strong>dan</strong> memodifikasi protein<br />
tersebut sehingga membentuk autoinducing peptide (AIP) yang<br />
merupakan peptida siklik. Selanjutnya AIP akan dikenali oleh<br />
sensor kinase kedua yaitu AgrC sehingga membentuk kompleks<br />
AgrC-AIP. Kompleks AgrC-AIP akan memfasilitasi terjadinya fosforilasi<br />
<strong>pada</strong> protein AgrA sehingga terbentuk AgrA~P, akibatnya<br />
AgrA berada dalam keadaan aktif. AgrA~P akan menginduksi<br />
terekspresinya gen regulator RNA yang disebut RNAIII. RNAIII<br />
ini akan menekan ekspresi faktor-faktor pelekatan sel <strong>dan</strong> akan<br />
menginduksi ekspresi faktor-faktor sekresi. AgrA~P atau AgrA<br />
yang teraktivasi ini juga akan menginduksi ekspresi gen agrBDCA.<br />
Proses ini akan meningkatkan jumlah AIP sejalan dengan pertambahan<br />
jumlah sel sehingga membentuk suatu quorum. 13<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Gambar 4. Mekanisme QS <strong>pada</strong> bakteri Gram-positif, Staphylococcus aureus.<br />
P2 <strong>dan</strong> P3 masing-masing merupakan promotor untuk gen agrBDCA<br />
<strong>dan</strong> RNAIII 13<br />
3 QS yang melibatkan AI-2<br />
QS yang melibatkan AI-1 (AHSL <strong>dan</strong> oligopeptida) terjadi <strong>pada</strong><br />
kebanyakan bakteri yang sama spesiesnya. Akan tetapi AI-1 tidak<br />
cukup memadai jika bakteri dalam kondisi multispesies atau<br />
dalam komunitas tertentu yang terdiri dari berbagai spesies yang<br />
berbeda. 12 Sejumlah bakteri baik Gram-negatif ataupun Gram-positif,<br />
memiliki tambahan sinyal komunikasi lain yaitu AI-2. Berbeda<br />
dengan AI-1 yang berfungsi sebagai alat komunikasi antar spesies<br />
yang sama, AI-2 ini berfungsi sebagai alat komunikasi antar<br />
spesies yang berbeda jenis. Bagi bakteri yang hidup dalam suatu<br />
komunitas populasi yang beragam, misalnya <strong>pada</strong> multi-spesies biofilms,<br />
AI-2 tidak hanya berguna untuk merespon akibat perubahan<br />
jumlah densitas <strong>pada</strong> spesies yang sama, akan tetapi juga dapat digunakan<br />
untuk merespon jumlah densitas spesies lain yang hadir<br />
dalam komunitas tersebut. 16<br />
Gambar 5a. QS hibrid <strong>pada</strong> Vibrio harvey i8<br />
Pada V. harveyi, sintesa AI-2 tergantung ke<strong>pada</strong> sintesa protein LuxS<br />
yang disandikan oleh gen luxS. Homologi gen luxS terdapat <strong>pada</strong><br />
berbagai bakteri Gram-negatif ataupun Gram-positif (Tabel 2). 17<br />
Artinya bakteri-bakteri yang terdapat <strong>pada</strong> Tabel 2 tersebut dapat<br />
berkomunikasi dengan spesies lainnya dengan menggunakan AI-2<br />
sebagai sinyal komunikasinya, sehingga AI-2 ini disebut juga sebagai<br />
“bahasa umum” atau “bahasa universal” <strong>pada</strong> bakteri. Pada<br />
kenyataannya, sering kali bakteri melakukan QS secara berseri atau<br />
secara paralel yang melibatkan AI-1 <strong>dan</strong> AI-2 secara bergantian<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
atau bersamaan, seperti <strong>pada</strong> V. harveyi <strong>dan</strong> Bacillus subtilis (Gambar<br />
5). 18 Sistem QS yang melibatkan AI-1 <strong>dan</strong> AI-2 sering di-sebut<br />
juga QS hibrid.<br />
Gambar 5b. QS hibrid <strong>pada</strong> Bacillus subtilis 18<br />
QS hubungannya dengan Patogenisitas Bakteri<br />
Tabel 1 <strong>dan</strong> 2 menyajikan sejumlah aktivitas bakteri yang dikendalikan<br />
oleh sistem QS. Dari Tabel tersebut bisa dilihat bahwa sejumlah proses<br />
patogenitas bakteri patogen manusia dikendalikan oleh QS, misalnya<br />
ekspresi gen-gen yang terlibat dalam virulensi, pembentukan biofilm,<br />
serta resistensi terhadap suatu antimikroba. Jadi jelas terjadi hubungan<br />
kuat antara QS dengan terjadinya penyakit infeksi bakteri.<br />
Salah satu yang paling populer adalah patogenisitas <strong>pada</strong> Pseudomonas<br />
aeruginosa penyebab cystic fibrosis. 19 QS <strong>pada</strong> P. aeruginosa dikendalikan<br />
oleh dua AI-1 yaitu N-(3-oxododecanoyl)-L-homoserine lactone<br />
(OdDHL) yang mengatur ekspresi elaste, eksotoksin A, protein LasA,<br />
protease alkalin, neuraminidase, serta sekresi protein <strong>dan</strong> kedua adalah<br />
N-butanoyl-L-homoserine lactone (BHL) yang mengatur ekspresi protease<br />
alkalin, elastase, haemolysin, pyocyanin, cyanida (HCN), aktivitas staphylolytic,<br />
lectins, chitinase serta sekresi protein, kesemuanya itu merupakan<br />
faktor virulensi yang terlibat dalam patogenisitas P. aeruginosa. 20<br />
Biofilm merupakan sebuah komunitas mikroorganisme baik sejenis<br />
ataupun berlainan jenis yang menempel <strong>pada</strong> suatu permukaan.<br />
Biofilm menyebabkan lebih dari 80% penyakit infeksi <strong>dan</strong> lebih kurang<br />
dari 65% infeksi nosokomial disebabkan oleh mikroorganisme yang<br />
berkembang dalam biofilm. 21,22 Sejumlah penyakit infeksi yang disebabkan<br />
atau dipengaruhi oleh pembentukan biofilm adalah plak gigi<br />
<strong>dan</strong> dental caries, periodontitis, cystic fibrosis pneumonia, infective endocarditis,<br />
muscle skeletal infections, necrotizing fasciitis, osteomielitis, meloidosis,<br />
infectious kidney stones, bacterial endocarditis, airway infections, otitis<br />
media, biliary tract infections, chronic bacterial prostatitis <strong>dan</strong> infeksi yang<br />
disebabkan karena a<strong>dan</strong>ya kontak dengan alat-alat kesehatan seperti<br />
intravenous catheters, artificial joints <strong>dan</strong> contact lenses. Penelitian selanjutnya,<br />
dilaporkan bahwa hampir semua biofilm bakteri dikendalikan<br />
oleh sistem QS <strong>dan</strong> berhubungan dengan terjadinya penyakit infeksi. 23<br />
Pencegahan Quorum Sensing (QS)<br />
Pada umumnya orang dapat menggunakan antibiotik untuk mengendalikan<br />
penyakit infeksi bakteri. Akan tetapi, seringkali menyebabkan<br />
resistensi <strong>pada</strong> bakteri tersebut, apalagi kalau patogen itu membentuk<br />
biofilm yang sukar ditembus oleh antibiotik karena terlindungi oleh<br />
MEDICINUS<br />
25
MEDICINUS<br />
26<br />
Dengan memahami<br />
proses QS, maka kita<br />
dapat mengembangkan<br />
cara pengendalian<br />
bakteri yang tidak selalu<br />
berbasis antibiotik, yaitu<br />
dengan cara pendekatan<br />
pencegahan QS.<br />
extracellular polymeric<br />
substance (EPS). Dengan<br />
memahami proses<br />
QS, maka kita dapat<br />
mengembangkan cara<br />
pengendalian bakteri<br />
yang tidak selalu berbasis<br />
antibiotik, yaitu<br />
dengan cara pendekatan<br />
pencegahan QS.<br />
Sebenarnya bakteri<br />
patogen tidak menghasilkan<br />
faktor-faktor<br />
virulen yang <strong>pada</strong><br />
gilirannya tidak menimbulkan<br />
infeksi,<br />
jika bakteri patogen<br />
itu populasi atau<br />
densitasnya tidak mencapai quorum tertentu. Dengan demikian, pencegahan<br />
QS berarti juga mencegah bakteri berkumpul atau ber-quorum,<br />
artinya kita tidak berusaha memberantas atau membunuh bakteri itu<br />
selama bakteri itu hidup berdampingan tanpa menimbulkan penyakit.<br />
Pencegahan QS ditujukan untuk merusak sistem komunikasi bakteri<br />
sehingga massa bakteri tidak berkumpul. Dengan mencegah bakteri<br />
untuk tidak berkumpul diharapkan faktor-faktor virulensi <strong>pada</strong> bakteri<br />
tidak terekspresi, atau paling tidak kita berusaha menurunkan derajat<br />
virulensi suatu patogen sehingga tidak menimbulkan infeksi atau penyakit.<br />
Pencegahan QS dapat dilakukan dengan cara penggunaan senyawa<br />
atau molekul tertentu yang dapat mencegah terjadinya QS atau<br />
merusak QS yang sudah terjadi. Senyawa atau molekul yang bisa<br />
memblok atau merusak sistem QS disebut anti-QS. Sejumlah senyawa<br />
anti-QS telah banyak dilaporkan baik yang diisolasi dari alam ataupun<br />
yang dibuat secara sintetis, misalnya senyawa sintetis analog dari<br />
AI <strong>dan</strong> furanone yang diisolasi dari alga merah (Delisea pulchra). 24,25 Artikel<br />
terbaru <strong>dan</strong> relatif lengkap tentang sejumlah senyawa yang dapat<br />
menghambat atau bersifat antagonistik terhadap QS dilaporkan oleh<br />
Ni et al. 26<br />
Senyawa anti-QS dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) senyawa<br />
pendegradasi atau degradator, adalah golongan senyawa-senyawa<br />
yang dapat mendegradasi AI atau komponen pengatur QS lainnya,<br />
golongan ini biasanya adalah enzim, misalnya enzim laktonase<br />
yang bisa mendegradasi sennyawa AHL; (2) senyawa antagonis; <strong>dan</strong><br />
(3) senyawa kompetitor, adalah senyawa-senyawa yang dapat berkompetisi<br />
dengan AI membentuk kompleks dengan protein R atau LuxR,<br />
senyawa analog AI termasuk ke dalam kelompok ini. Skema umum<br />
mekanisme pencegahan QS oleh anti-QS disajikan <strong>pada</strong> Gambar 6.<br />
Gambar 6a. Skema umum pencegahan QS degradasi senyawa AI<br />
Gambar 6b. Skema umum pencegahan QS kompetisi<br />
Gambar 6c. Skema umum pencegahan QS antagonis<br />
Gambar 6 (a) senyawa AI didegradasi oleh senyawa degradator<br />
(misalnya enzim laktonase), akibatnya tidak terjadi kompleks AI-<br />
LuxR, sehingga tidak terjadi transkripsi gen target. Pada Gambar<br />
6 (b), senyawa kompetitor akan bersaing dengan AI untuk membentuk<br />
kompleks AI-LuxR, jika senyawa kompetitor atau senyawa<br />
analog AI menang maka akan terjadi kompleks analog AI-LuxR,<br />
akan tetapi kompleks ini tidak dikenali oleh gen target akibatnya<br />
tidak terjadi transkripsi gen target. Se<strong>dan</strong>gkan <strong>pada</strong> Gambar 6 (c),<br />
senyawa antagonis, senyawa antagonis akan mengkelat senyawa<br />
AI sehingga AI tidak dikenali lagi oleh protein LuxR, atau jika<br />
senyawa antagonis berikatan dengan protein LuxR akan mengakibatkan<br />
melawan kerja LuxR secara berlawanan atau antagonistik,<br />
akibatnya kompleks senyawa antagonis dengan LuxR tidak dapat<br />
menempel <strong>pada</strong> gen target yang <strong>pada</strong> akhirnya tidak terjadi transkripsi<br />
<strong>pada</strong> gen target tersebut.<br />
Potensi Disain anti-QS<br />
Fenomena QS yang sangat erat hubungannya dengan terjadinya<br />
penyakit infeksi bakteri ditambah dengan semakin meningkatnya<br />
masalah resistensi <strong>pada</strong> sejumlah bakteri patogen, memberikan<br />
kerangka kerja baru bagi para ahli yang bergerak dalam bi<strong>dan</strong>g<br />
pencarian <strong>dan</strong> pembuatan obat baru. Gambar 7 merupakan contoh<br />
target yang berpotensi untuk disain pencarian atau pembuatan<br />
anti-QS untuk obat. 27 Sebenarnya, disain anti-QS bisa dimulai dari<br />
tahapan sintesa AI, kita bisa melalukan penghambatan langsung<br />
<strong>pada</strong> sintesa AHL atau AIP atau AI-2 misalnya dengan mendisain<br />
senyawa yang dapat menghambat penggabungan asam lemak dengan<br />
acyl-ACP (acyl carrier protein). Bisa juga dilakukan <strong>pada</strong> tahap<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
transfer AI keluar membran dengan cara memblokir AI supaya tidak<br />
dapat disekresikan ke luar membran. Tentu saja masih banyak potensipotensi<br />
lain yang bisa jadi bahan pemikiran bagi para ahli untuk mendisain<br />
anti-QS untuk kepentingan pencegahan penyakit <strong>dan</strong> pengobatan<br />
penyakit. Secara umum disain obat baru untuk pencegahan penyakit<br />
yang disebabkan oleh aktivitas QS dapat dilakukan dengan memperhatikan<br />
ligan-ligan <strong>dan</strong> reseptor-reseptor yang terlibat dalam QS itu<br />
sendiri. 28<br />
Pencarian <strong>dan</strong> modifikasi anti-QS dari bahan alampun semakin<br />
banyak dilakukan. Senyawa furanone yang dilaporkan mempunyai<br />
aktivitas anti-QS <strong>dan</strong> diisolasi dari alga merah (D. pulchra), 25 ternyata<br />
toksik terhadap manusia, hal ini mendorong sejumlah ahli untuk<br />
mencari senyawa anti-QS dari bahan-bahan alam yang aman dikonsumsi.<br />
Sejumlah ekstrak tanaman telah dilaporkan dapat menghambat<br />
QS. Penulis telah melaporkan bahwa extract vanila <strong>dan</strong> vanillin yang<br />
merupakan senyawa yang diisolasi dari ekstrak vanilla ternyata bisa<br />
menghambat QS <strong>pada</strong> Chromobacterium violacein <strong>dan</strong> menghambat<br />
produksi faktor-faktor virulensi yang dikendalikan oleh QS <strong>pada</strong> Pseudomonas<br />
aeruginosa. 29,30<br />
Gambar 7. Target yang berpotensi untuk pencegahan QS 27<br />
Kesimpulan<br />
Pengetahuan baru tentang QS memberikan strategi alternatif dalam<br />
usaha manusia untuk mengendalikan bakteri patogen, baik itu patogen<br />
<strong>pada</strong> manusia, hewan, <strong>dan</strong> tanaman. Sejumlah ahli dari berbagai laboratorium,<br />
baik di universitas-universitas maupun di lembaga-lembaga<br />
penelitian lainnya, banyak melakukan penelitian QS yang ditekankan<br />
<strong>pada</strong> pencarian senyawa baru yang dapat digunakan sebagai anti-QS<br />
selanjutnya diharapkan untuk dapat digunakan sebagai obat baru.<br />
Banyak perusahaan farmasi di luar negri, mengalokasikan sejumlah<br />
<strong>dan</strong>a untuk secara khusus meneliti QS ini dengan harapan dapat diperoleh<br />
bahan pengendali bakteri yang baru (anti-QS). Sejumlah kandidat<br />
senyawa anti-QS sudah banyak dilaporkan, akan tetapi baru<br />
sebatas skala laboratorium. Sejauh pengetahuan penulis, sampai saat<br />
ini, belum ada senyawa anti-QS yang benar-benar telah dikomersialkan<br />
<strong>dan</strong> aman digunakan oleh manusia seperti halnya obat antibiotik<br />
umum yang ada dipasaran.<br />
Sejalan dengan itu, dengan dikuman<strong>dan</strong>gkannya slogan kembali ke<br />
alam (back to nature) <strong>dan</strong> menghindari efek samping kurang baik dari<br />
penggunakan bahan-bahan kimia. Pencarian senyawa anti-QS juga diarahkan<br />
ke bahan alam (senyawa biologis), baik bahan alam asal darat<br />
(terestrial) atau darat maupun bahan alam asal laut (marine). Indonesia<br />
sebagai salah satu megabiodiversitas dunia mempunyai banyak kesempatan<br />
untuk berpartisipasi dalam pencarian senyawa biologis un-<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
tuk anti-QS. Dengan bahasan artikel ini diharapkan dapat mendorong<br />
peneliti <strong>dan</strong> perusahaan farmasi Indonesia untuk turut serta dalam<br />
pencarian senyawa biologis untuk anti-QS dari bahan alam asli Indonesia.<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Fuqua WC, Winans SC, Greenberg EP. Quorum sensing in bacteria-the LuxR-<br />
LuxI family of cell density-responsive transcriptional regulators. J Bacteriol<br />
1994; 176(2):269-75<br />
2. Thomasz A, Mosser JL. On the nature of the pneumococcal activator substance.<br />
Proc Natl Acad Sci USA 1966; 55:625-32<br />
3. Nealson KH, Platt T, Hasting JW. Cellular control of the synthesis and activity<br />
of the bacterial luminescent system. J Bacteriol 1970; 104(1):313-22<br />
4. Eberhard A, Burlingame AL, Kenyon GL, et al. Structural identification of autoinducer<br />
of Photobacterium fischeri luciferase. Biochemistry 1981; 20:2444-<br />
9<br />
5. Engebrecht J, Nealson K, Silverman M. Bacterial bioluminescence: isolation<br />
and genetic analysis of functions from Vibrio fischeri. Cell 1983; 32:773-81<br />
6. de Kievit TR, Iglewski BH. Bacterium quorum sensing in pathogenic relationships.<br />
Infect Immun 2000; 68(9):4839–49<br />
7. Swift S, Downie JA, Whitehead NA, Barnard AML, Salmon GPC, Williams P.<br />
Quorum sensing as a population-density-dependent determinant of bacterial<br />
physiology. Adv Microb Physiol 2001; 45:199–270<br />
8. Miller MB, Bassler BL. Quorum sensing in bacteria. Annu Rev Microbiol 2001;<br />
55:165-99<br />
9. Kruppa M. Quorum sensing and Candida albicans. Mycoses 2009; 52(1):1-10<br />
10. Whitehead PM, Barnard AML, Slater H, Simpson NJL, Salmond GPC. Quorumsensing<br />
in gram-negative bacteria. FEMS Microbiol Rev 2001; 25:365-404<br />
11. Sperandio V, Torres AG, Giron JA, Kaper JB. Bacteria-host communications: the<br />
language of hormones. Proc Natl Acad Sci USA 2003; 100:8951-6<br />
12. Schauder S, Bassler BL. The languages of bacteria. Genes Dev 2001; 15:1468-<br />
80<br />
13. Waters CM, Bassler BL. Quorum sensing: cell-to-cell communication in bacteria.<br />
Annu Rev Cell Dev Biol 2005; 21:319-46<br />
14. Leonard BA, Podbielski A. Emerging density dependent control system in<br />
gram-positive cocci. In: Dunny GM, Winans SC, editors. Cell-cell signaling in<br />
bacteria. Washington, D.C: ASM Press; 1999.p.315-31<br />
15. Brenner K, Haseltine E, Tracewell C. Genetic circuits and synthetic ecosystems:<br />
Quorum sensing and genetic circuit design [on line] [cited 2009 Jan 29] 1(1):<br />
[2 screens]. Available from: http://www.che.caltech.edu/groups/fha/quorum.<br />
html<br />
16. Taga ME, Semmelhack JL, Bassler BL. The LuxS-dependent autoinducer AI-2<br />
controls the expression of an ABC transforter that functions in AI-2 uptake in<br />
Salmonella typhimurium. Mol Microbiol 2001; 42:777-93<br />
17. Federle MJ, Bassler BL. Interspecies communication in bacteria. J Clin Invest<br />
2003; 112:1291–9<br />
18. Henke JM, Bassler BL. Bacterial social engagements. TREND Cell Biol 2004;<br />
16(11):649-56<br />
19. Geisenberger O, Givskov M, Riedel K, HÖiby N, Tummler B, Eberl L. Production<br />
of N-acyl-L-homoserine lactones by P. aeruginosa isolates from chronic lung<br />
infection associated with cystic fibrosis. FEMS Microbiol Lett 2000; 184:273-<br />
8<br />
20. Finch RG, Pritchard DI, Bycroft BW, Williams P, Stewart GSAB. Quorum sensing:<br />
a novel target for anti-infective therapy. J Antimicrob Chemother 1998;<br />
42:569-71<br />
21. Schachter B. Slimy business—the biotechnology of biofilms. Nat Biotechnol<br />
2003; 21:361-5<br />
22. Douglas LJ. <strong>Medica</strong>l importance of biofilms in Candida infections. Rev Iberoam.<br />
Micol 2002; 19(3):139-43<br />
23. Rice D, McDougald D, Kumar N, Kjelleberg S. The use of quroum-sensing<br />
blockers as therapeutic agents for the control of biofilm-associated infections.<br />
Curr Opin Investig Drugs 2005; 6(2):178-84<br />
24. Smith KM, Bu Y, Suga H. Induction and inhibition of Pseudomonas aeruginosa<br />
quroum sensing by synthetic autoinducer analogs. Chem Biol 2003; 10:81-9<br />
25. Hentzer M, Wu H, Andersen JB, Riedel K, Rasmussen TB, Bagge N, et al. Attenuation<br />
of Pseudomonas aeruginosa virulence by quorum sensing inhibitors.<br />
The EMBO J 2003; 22(15):3803-15<br />
26. Ni N, Li M, Wang J, Wang B. Inhibitors and antagonists of bacterial quorum<br />
sensing. Med Res Rev 2009; 29(1):65-124<br />
27. Whitehead NA, Welch M, Salmond GPC. Transgenic plants expressing an enzyme<br />
that degrades microbial signaling molecules show promise in controlling<br />
damage caused by bacterial infection. Nat Biotechnol 2001; 19:735-6<br />
28. Raffa RB, Iannuzzo JR, Leine DR, Saeid KK, Schwartz RC, Sucic NT, et al. Bacterial<br />
communicarion (“quorum sensing”) via ligands and receptors: a novel<br />
pharmacologic target for the design of antibiotic drugs. J Pharmacol Exp Ther<br />
2005; 312(2):417-423<br />
29. Choo JH, Rukayadi Y, Hwang JK. Inhibition of bacterial quorum sensing by<br />
vanilla extract. Lett Appl Microbiol 2006; 42:637-41<br />
30. Rukayadi Y, Choo JH, Hwang JK. Vanillin inhibits quorum sensing - regulated<br />
virulence factors production of Pseudomonas aeruginosa. Curr Microbiol (In<br />
press)<br />
MEDICINUS<br />
27
MEDICINUS<br />
28 66<br />
medical review<br />
Kartika Widayati Taroeno-Hariadi<br />
SubBagian Hematologi <strong>dan</strong> Onkologi Medik<br />
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta<br />
SMF Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta<br />
abstrak. Gap junction intercellular communication (GJIC) berperan dalam pertukaran metabolit <strong>dan</strong> ion antar sel. Berbagai<br />
zat kimia dapat mempengaruhi pembentukan GJIC di membran <strong>dan</strong> menyebabkan perubahan komunikasi interseluler sehingga<br />
Ion, metabolit, <strong>dan</strong> zat-zat pengatur tidak dihantarkan secara normal <strong>pada</strong> jaringan akibatnya terjadi gangguan <strong>pada</strong><br />
integritas organ. Berbagai promoter tumor mengganggu GJIC. Fokus tumor akan mengalami gangguan komunikasi dengan<br />
sel-sel normal di sekitarnya, sehingga tidak bisa diatur <strong>dan</strong> terisolasi dari sel-sel normal di sekitarnya. Pada berbagai penelitian<br />
didapatkan penurunan GJIC <strong>pada</strong> tumor yang se<strong>dan</strong>g berkembang. Peran GJIC <strong>pada</strong> lesi metastasis masih kontroversial.GJIC<br />
dibutuhkan oleh tumor metastasis untuk berkomunikasi <strong>dan</strong> bermetastasis <strong>pada</strong> tempat baru. Transfeksi GJIC secara spesifik<br />
diharapkan mampu menekan pertumbuhan tumor.<br />
Pendahuluan<br />
Sel secara individual memiliki perlengkapan untuk dapat berfungsi<br />
mandiri, namun hidup <strong>dan</strong> perilaku sel tersebut tergantung <strong>pada</strong> selsel<br />
<strong>dan</strong> kondisi di sekitarnya. Dengan kata lain homeostatis <strong>dan</strong> kelangsungan<br />
keutuhan seluler tergantung <strong>pada</strong> hubungan interseluler. 1<br />
Tidak seperti sel normal, sel kanker memiliki perangai yang berbeda<br />
dari sel-sel di sekitarnya <strong>dan</strong> tumbuh di luar kendali homeostasis<br />
normal. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan komunikasi interseluler<br />
yang memelihara homeostasis normal terganggu <strong>pada</strong> berbagai<br />
tahap karsinogenesis sehingga dihipotesiskan bahwa komunikasi<br />
interseluler kemungkinan berfungsi sebagai elemen penekan pertumbuhan<br />
tumor. 1<br />
Ada 2 macam cara sel-sel melakukan komunikasi. Pertama, komunikasi<br />
melalui faktor pertumbuhan atau hormon ekstraseluler. Kedua,<br />
melalui kontak sel. Berbeda dengan komunikasi interseluler melalui<br />
hormon atau faktor pertumbuhan yang secara teknik mudah diidentifikasi,<br />
komunikasi interseluler melalui cara kontak sel sukar diidentifikasi<br />
apa yang dikomunikasikan <strong>dan</strong> efek komunikasi tersebut.<br />
Dengan kemajuan di bi<strong>dan</strong>g biologi molekuler melalui kloning cDNA<br />
yang mengodekan aparatus komunikasi tersebut, dapatlah diketahui<br />
peranan komunikasi interseluler melalui kontak sel. Salah satu elemen<br />
terpenting <strong>pada</strong> kontak sel adalah gap junction intercellular communication<br />
(GJIC). 1,2<br />
Tulisan ini dibuat untuk membantu memahami peranan GJIC<br />
dalam memelihara homeostasis <strong>dan</strong> pertumbuhan sel, konsekuensi<br />
a<strong>dan</strong>ya gangguan GJIC, peranan GJIC <strong>pada</strong> proses karsinogenesis, <strong>dan</strong><br />
aplikasi pengetahuan ini terhadap perkembangan terapi kanker.<br />
Komunikasi interseluler melalui gjiC<br />
Antar satu sel dengan sel terdekat terdapat suatu saluran yang<br />
memungkinkan terjadi kontak langsung <strong>dan</strong> transfer ion, metabolit,<br />
molekul seperti: kalium, cAMP, inositol triphosphate, calcium, yang<br />
disebut GJIC. 1,3-5 GJIC mampu menghantarkan molekul bila memiliki<br />
ukuran
Tabel 1. Ekspresi gena connexin2 Connexin Klas Jaringan Tipe Sel<br />
Cx26 β hepar, ginjal, lien, testes, paru, hepatosit, neuron, kerati-<br />
lambung, otak, pankreas, kulit,<br />
kelenjar pineal<br />
nosit, pinealosit<br />
Cx30.3 β kulit<br />
Cx31 β kulit, testes<br />
keratinosit<br />
Cx31.1 β epitel skuamosa terstratifikasi,<br />
kulit, testes<br />
keratinosit<br />
Cx32 β hepar, otak, ginjal, lien, uterus, hepatosit, oligodendrosit,<br />
testes, paru, lambung, usus neuron, sel epitel tiroid, sel<br />
halus<br />
Schwann<br />
Cx33 α testes<br />
sel Sertoli<br />
Cx37 α vaskuler, jantung, otak, lam- sel endotel, miosit, keratibung,<br />
usus halus, lien, ginjal,<br />
uterus, ovarium, paru, kulit<br />
nosit<br />
Cx40 α vaskuler, jantung, ginjal, sel endotel, serabut<br />
uterus, ovarium, paru, usus<br />
halus<br />
Purkinje<br />
Cx43 α jantung, otak, otot polos, miosit, otot polos, astrosit,<br />
ginjal, uterus, ovarium, testes, sel endotel fibroblas, ke-<br />
paru, lambung, usus halus, ratinosit, sel ependima<br />
kulit, lensa, kornea, tulang, sel Leydig, makrofag, os-<br />
plasenta<br />
teosit, sel B pankreas, sel<br />
folikuler <strong>dan</strong> epitel tiroid,<br />
sel trofoblas<br />
Cx45 α paru, jantung, otak, ginjal,<br />
usus halus<br />
Cx46 α lensa, hati, ginjal, saraf perifer serabut lensa, sel<br />
Schwann<br />
Cx50 α lensa, kornea, jantung serabut lensa, sel-sel<br />
epitel, katup AV<br />
Penyusunan connexon <strong>dan</strong> gap junction dimulai dengan sel kontak<br />
melalui cellular adhesion molecules (CAMs). Kontak suatu sel dengan sel<br />
lain memerlukan suatu adhesion molecule (molekul pelekat). Terdapat<br />
korelasi antara ekspresi CAMs <strong>dan</strong> protein gap junctions. A<strong>dan</strong>ya adhesion<br />
molecule menginduksi ekspresi GJIC, dengan asumsi bahwa kontak<br />
interseluler menginduksi terbentuknya saluran gap junction. Tranfeksi<br />
E-cadherin <strong>pada</strong> sel line dengan defisiensi komunikasi <strong>dan</strong> tidak<br />
mengekspresikan CAMs akan berakibat induksi GJIC <strong>pada</strong> klonal<br />
yang mengekspresikan E-cadherin. 2,7 Transfeksi LCAM <strong>pada</strong> sel yang<br />
tidak mampu berkomunikasi akan menginduksi ekspresi GJIC disertai<br />
fosforilasi connexin endogen Cx43 dari sitoplasma menuju membran<br />
plasma. Fosforilasi connexin ini memegang peranan penting dalam<br />
ekspresi GJIC. Masing-masing untai connexin memiliki pola fosforilasi<br />
tertentu sehingga memiliki regulasi ekspresi <strong>dan</strong> fungsi yang berbeda.<br />
Cx32 mengalami fosforilasi oleh cAMP, protein kinase C (PKC) <strong>dan</strong><br />
Ca 2+ /calmodulin dependent protein kinase II, sementara Cx43 hanya difosforilasi<br />
oleh PKC <strong>dan</strong> mitogen-activated protein kinase. Abnormalitas<br />
<strong>pada</strong> proses fosforilasi connexin ini ternyata akan menyebabkan kendali<br />
pertumbuhan sel menjadi berubah.<br />
Fosforilasi protein gap junction memegang peran penting dalam<br />
membentuk gap junction yang dapat berfungsi baik. Sebagian besar<br />
connexin mengalami fosforilasi in vivo terutama <strong>pada</strong> residu serine,<br />
residu threonine, <strong>dan</strong> residu tyrosine yang terletak <strong>pada</strong> akhiran<br />
karboksil (Carboxyl-terminal=CT). Fosforilasi ini dibutuhkan untuk<br />
menyusun <strong>dan</strong> memfungsikan GJIC. 6 Faktor pertumbuhan, kinase<br />
protein onkogen, hormon, <strong>dan</strong> mediator inflamasi berperan <strong>pada</strong> GJIC<br />
melalui proses fosforilasi domain protein CT (asam amino 236-382).<br />
Beberapa kinase yang mempengaruhi GJIC berhasil diidentifikasi termasuk<br />
Protein Kinase C (PKC) (Ser 368 and Ser 372), mitogen-activated<br />
protein kinases (MAPKs) (Ser 255, Ser 279, and Ser 282), cdc2/cyclinB<br />
(Ser 255), <strong>dan</strong> casein kinase I (Ser 325, Ser 328, <strong>dan</strong> Ser 330). 8<br />
Proses perpindahan connexin menuju membran plasma juga pen-<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
ting untuk keutuhan <strong>dan</strong> fungsi GJIC. Sebagai contoh sel-sel dengan<br />
Cx43 yang gagal mencapai membran plasma merupakan sel dengan<br />
defisiensi komunikasi. Namun bila ditransfeksikan LCAM akan terjadi<br />
translokasi Cx43 dari sitoplasma menuju membran plasma. Dengan<br />
demikian meskipun protein GJIC tetap ada <strong>pada</strong> berbagai jenis tumor<br />
namun tidak diproses dengan benar <strong>dan</strong> tidak ditransportasikan untuk<br />
membentuk GJIC. 2<br />
Hemichannel biasanya dalam keadaan tertutup <strong>dan</strong> <strong>pada</strong> saat terbuka<br />
berfungsi sebagai saluran untuk melepas molekul pemberi sinyal<br />
parakrin seperti ATP, glutamat, NAD + , <strong>dan</strong> prostaglandin. Hemichannel<br />
menutup <strong>pada</strong> konsentrasi mikromolar fisiologis kalsium ekstraseluler.<br />
Saluran akan membuka bila terjadi penurunan kadar kalsium<br />
ekstraseluler, depolarisasi membran yang kuat, stimulasi mekanik,<br />
ekstraseluler UTP, penghambatan metabolik, infeksi shigela, <strong>dan</strong> peningkatan<br />
kalsium sitoplasma. Beberapa kinase <strong>dan</strong> asam arakidonat<br />
diketahui mampu memodulasi GJIC. 6<br />
GJIC didegradasi secara cepat dengan waktu paruh 1-3 jam. Connexin<br />
akan mengalami proteolisis yang diperantarai oleh ubiquitin proteasomal<br />
pathway.<br />
Susunan connexon ditentukan oleh protein connexin. Connexon homomeric<br />
adalah connexon yang tersusun oleh protein connexin yang sama<br />
<strong>dan</strong> connexon heteromeric adalah connexon yang tersusun oleh connexin<br />
yang berbeda. Connexon heteromeric terbentuk akibat mutasi dominan<br />
negatif. Connexon homomeric bisa mengadakan ikatan dengan connexon<br />
yang berbeda <strong>pada</strong> sel yang berbeda (ikatan heterotypic). Dengan demikian<br />
sekarang sudah jelas dibuktikan bahwa interaksi antar connexon<br />
ditentukan oleh protein connexin yang terlibat. Connexin tertentu dapat<br />
membentuk saluran fungsional dengan beberapa connexin <strong>dan</strong> tidak<br />
dengan connexin yang lainnya. 2,9<br />
gjiC <strong>dan</strong> Karsinogenesis<br />
Pertumbuhan sel yang tidak teratur merupakan ciri khas tumor, sehingga<br />
tidak mengejutkan bahwa sel-sel kanker menunjukkan a<strong>dan</strong>ya<br />
GJIC yang abnormal. GJIC abnormal terjadi <strong>pada</strong> GJIC homolog <strong>dan</strong><br />
GJIC heterolog. 10<br />
GJIC homolog melakukan komunikasi antar sel yang serupa. 2 Pada<br />
sel-sel tumor GJIC tipe ini sering terganggu namun ada juga beberapa<br />
tumor yang mempertahankan kadar GJIC homolog yang sama seperti<br />
sel-sel normal. Hilangnya GJIC tipe homolog di antara sel-sel kanker<br />
itu sendiri akan<br />
Fosforilasi protein gap<br />
junction memegang peran<br />
penting dalam membentuk<br />
gap junction yang dapat<br />
berfungsi baik. Sebagian<br />
besar connexin mengalami<br />
fosforilasi in vivo<br />
terutama <strong>pada</strong> residu<br />
serine, residu threonine, <strong>dan</strong><br />
residu tyrosine yang<br />
terletak <strong>pada</strong> akhiran<br />
karboksil (Carboxylterminal=CT).<br />
m e n i n g k a t k a n<br />
h e t e r o g e n i t a s<br />
sehingga sel-sel<br />
dengan fenotipe<br />
paling ganas yang<br />
akan mendominasi<br />
populasi.<br />
GJIC heterolog<br />
terganggu<br />
<strong>pada</strong> beberapa tumor<br />
berdasarkan<br />
bukti bahwa selsel<br />
tumor tidak<br />
b e r k o m u n i k a s i<br />
dengan sel-sel<br />
normal di sekitarnya.<br />
Sel kanker<br />
memerlukan pertumbuhan<br />
tanpa<br />
gangguan dari<br />
sel-sel normal di<br />
sekitarnya karena<br />
itu dibutuhkan<br />
p e n g h a m b a t a n<br />
<strong>pada</strong> GJIC tipe<br />
heterolog.<br />
MEDICINUS<br />
29
MEDICINUS<br />
30<br />
Kedua tipe GJIC ini juga bisa menurun kadarnya <strong>pada</strong> kultur selsel<br />
epitel kanker hati <strong>pada</strong> tikus, <strong>dan</strong> tumor hati <strong>pada</strong> manusia. 11,12<br />
Sementara itu <strong>pada</strong> tumor metastasis atau anak sebar, peran GJIC<br />
masih kontroversial. Diduga fungsional GJIC heterolog <strong>dan</strong> reekspresi dari<br />
adhesion molecule dibutuhkan untuk menghubungkan sel kanker metastasis<br />
dengan endotel kapiler <strong>dan</strong> tempat baru untuk metastasis. Pada daerah<br />
metastasis atau limfonodi metastasis reekspresi GJIC <strong>dan</strong> adhesion molecule<br />
lebih sering ditemukan dibandingkan dengan tumor primer. 13<br />
Down Regulation gjiC oleh agen Penumbuh<br />
Tumor (Tumor-Promoting<br />
Agents), onkogen, <strong>dan</strong> faktor Pertumbuhan<br />
Banyak bukti menunjukkan bahwa agen penumbuh<br />
tumor mampu menghambat GJIC.<br />
GJIC <strong>pada</strong> kultur sel dapat dihambat secara<br />
reversibel oleh forbol ester sehingga transfer<br />
molekul <strong>dan</strong> ion terganggu. Bukti in vivo<br />
diperlukan karena kompleksitas komunikasi<br />
inteseluler tidak bisa semuanya ditiru secara<br />
in vitro. Beberapa penumbuh tumor hati<br />
menurunkan gap junction <strong>dan</strong> menghambat<br />
GJIC <strong>pada</strong> hati tikus in vivo. Kurangnya GJIC<br />
akan menyebabkan pertumbuhan klonal yang<br />
mendahului perubahan ke arah ganas yaitu<br />
promosi tumor. 2<br />
Beberapa onkogen <strong>dan</strong> faktor pertumbuhan<br />
juga menghambat GJIC, seperti onkogen<br />
retroviral (v-src, v-Ha-ras, v-raf, v-fps), onkogen<br />
virus DNA (polioma-middle T, SV-40 T,<br />
HPV 16 E5) <strong>dan</strong> onkogen seluler (c-src, C-Haras,<br />
c-erbB2). Faktor pertumbuhan <strong>dan</strong> hormon<br />
yang menghambat GJIC adalah fibroblast<br />
growth factor, platelet derived growth factor,<br />
transforming growth factor B, epidermal growth<br />
factor <strong>dan</strong> testosterone. 2<br />
Kaitan antara Down Regulation gjiC<br />
Dan Karsinogenesis<br />
Ada 3 proses yang terlibat <strong>pada</strong> abnormalitas<br />
GJIC di kanker yaitu:<br />
1. abnormalitas GJIC <strong>pada</strong> tumor,<br />
2. down regulation GJIC oleh agen penumbuh tumor atau gen penumbuh<br />
tumor, <strong>dan</strong><br />
3. up-regulation GJIC oleh penghambat karsinogenesis.<br />
Riset <strong>pada</strong> syrian hamster embrio (SHE) membuktikan a<strong>dan</strong>ya korelasi<br />
antara penghambatan GJIC dengan peningkatan transformasi sel<br />
oleh phorbol ester. 14,15 Namun penghambatan GJIC tidak tampak dengan<br />
agen penumbuh tumor lain. Penurunan ekspresi Cx26 <strong>dan</strong> Cx43<br />
juga terlihat <strong>pada</strong> karsinoma skuamosa kulit tikus. 16<br />
Penghambatan GJIC lebih merupakan faktor penyerta penting<br />
<strong>pada</strong> karsinogenesis namun bukan menjadi faktor utama.<br />
mekanisme molekuler yang Terlibat dalam Penghambatan<br />
gjiC <strong>pada</strong> Tumor yang Diinduksi Karsinogen<br />
Karena GJIC dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti agen penumbuh<br />
tumor, onkogen, <strong>dan</strong> faktor pertumbuhan, dipikirkan a<strong>dan</strong>ya suatu mekanisme<br />
pengaturan <strong>pada</strong> GJIC yang menjadi sasaran dari faktor-faktor<br />
tersebut. GJIC dapat dimodulasi melalui beberapa mekanisme baik<br />
yang terlibat <strong>pada</strong> mekanisme pengaturan protein seperti transkripsi,<br />
stabilisasi mRNA, kontrol translasi, fosforilasi post-translation ataupun<br />
mekanisme lain seperti translokasi ke membran sitoplasma, adhesion<br />
molecule, matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, faktor penentu<br />
membuka <strong>dan</strong> menutupnya channel, serta mutasi gen connexon. 2,17,18<br />
Modulasi post-translation merupakan mekanisme utama perubahan<br />
Connexin memiliki peran<br />
<strong>pada</strong> penekanan tumor.<br />
Connexin menghambat<br />
pertumbuhan sel <strong>dan</strong><br />
menghambat pengaturan<br />
diferensiasi jaringan. Di<br />
samping itu connexin<br />
meningkatkan apoptosis<br />
melalui transfer molekul<br />
signaling melalui GCIJ<br />
dengan mekanisme yang<br />
belum jelas <strong>dan</strong> terutama<br />
dilakukan oleh connexin<br />
yang terletak <strong>pada</strong> plasma<br />
membran.<br />
GJIC yang diinduksi karsinogen. Sebagai contoh: kultur epitel sel liver<br />
tikus tidak menunjukkan perubahan gen Cx43 di tingkat mRNA. Protein<br />
Cx43 juga tidak mengalami perubahan jumlah sebelum <strong>dan</strong> sesudah<br />
penambahan karsinogen TPA, namun bentuk fosforilasi mengalami<br />
perubahan sehingga protein connexin terletak <strong>pada</strong> sitoplasma,<br />
tidak <strong>pada</strong> membran sel, akibatnya terjadi gangguan GJIC. 2<br />
Terdapat kaitan fungsional yang erat antara connexin <strong>dan</strong> adhesion<br />
molecule cell. Telah dilaporkan bahwa ekspresi E-cadherin sangat penting<br />
bagi Cx43 untuk membentuk fung-<br />
sional GJIC di keratinosit tikus. Hal ini juga<br />
menjelaskan mengapa GJIC <strong>pada</strong> keratinosit<br />
tikus sangat tergantung Ca 2+ karena<br />
E-cadherin merupakan sel yang tergantung<br />
<strong>pada</strong> Ca 2+ . Ekspresi E-cadherin sangat<br />
menurun <strong>pada</strong> tumor kulit tikus selama<br />
perkembangan invasive <strong>dan</strong> metatasis.<br />
Penurunan ekspresi <strong>dan</strong> mutasi E-cadherin<br />
juga ditemukan <strong>pada</strong> berbagai jenis kanker<br />
<strong>pada</strong> manusia. 2,19<br />
GJIC membutuhkan mekanisme pengenalan<br />
sel yang memadai. Tumor tidak mampu<br />
membentuk GJIC heterolog dengan sel-sel<br />
normal di sekitarnya. Bila barisan sel epitel<br />
hepar tikus bertumor dikultur bersamaan<br />
dengan barisan sel epitel hepar tikus tanpa<br />
tumor, maka tidak akan terbentuk GJIC heterolog.<br />
Dapat disimpulkan bahwa sel-sel<br />
homolog mempunyai suatu mekanisme untuk<br />
mengenali sel-sel sejenis di antara mereka,<br />
<strong>dan</strong> mekanisme pengenalan ini tidak ada<br />
di antara sel-sel normal <strong>dan</strong> sel tumor. 2,20<br />
Supresi Tumor oleh Connexin<br />
A<strong>dan</strong>ya percobaan transfeksi over expression<br />
cDNA connexin <strong>pada</strong> sel tumor membuktikan<br />
bahwa GJIC fungsional mampu<br />
menekan tumorigenesis <strong>pada</strong> beberapa<br />
tipe sel-sel yang mengalami transformasi.<br />
Fibroblast sel-sel tikus, sel glioma, sel-sel<br />
rhabdomyosarcoma manusia yang ditransformasikan<br />
secara kimiawi, mengalami defisiensi Cx43, <strong>dan</strong> setelah<br />
ditransfeksikan Cx43 akan mengalami pengurangan pertumbuhan tumor<br />
<strong>dan</strong> perlambatan tumorigenesis. Begitu pula transfeksi Cx32 <strong>pada</strong><br />
sel-sel hepatoma manusia, <strong>dan</strong> Cx26 <strong>pada</strong> HeLa cell yang berasal dari<br />
sel-sel servikal uteri. Jadi tampaknya efek connexin <strong>pada</strong> penghambatan<br />
pertumbuhan sel bersifat selektif menurut spesifikasi connexin<br />
tersebut. 2,24<br />
Connexin <strong>dan</strong> apoptosis 21<br />
Perubahan molekul yang terlibat <strong>pada</strong> pengaturan proses kematian<br />
sel melalui apoptosis penting <strong>pada</strong> karsinogenesis. Connexin menjadi<br />
molekul target modulasi apoptosis. Connexin yang tetap berada <strong>pada</strong><br />
sitoplasma <strong>dan</strong> tidak diekspresikan <strong>pada</strong> membran sel kehilangan<br />
fungsinya dalam komunikasi antar sel <strong>dan</strong> mungkin berperan <strong>pada</strong> pertumbuhan<br />
tumor. Connexin sitoplasma ini sering dijumpai <strong>pada</strong> tumor.<br />
Mutasi <strong>pada</strong> regio ekstraseluler <strong>dan</strong> transmembran connexin akan<br />
menyebabkan connexin tetap berada <strong>pada</strong> sitoplasma <strong>dan</strong> kehilangan<br />
fungsinya dalam pengaturan pertumbuhan tumor, namun salah satu<br />
penelitian lain menyebutkan bahwa mutasi salah satu regio ekstraseluler<br />
lain <strong>pada</strong> connexin menyebabkan lokalisasi ke sitoplasma namun<br />
fungsi penghambatan tumor oleh Cx43 tersebut tidak terganggu. Jadi,<br />
pengaturan pertumbuhan tumor <strong>pada</strong> Cx43 tidak tergantung <strong>pada</strong><br />
fungsi GJIC. Connexin sitoplasma mampu mengontrol pertumbuhan<br />
tumor melalui pengaruhnya <strong>pada</strong> ekspresi gen yang mengatur fungsifungsi<br />
sel kanker. Jadi, lokasi connexin <strong>pada</strong> sitoplasma atau membran<br />
plasma memiliki fungsi yang berbeda antara sel kanker <strong>dan</strong> sel normal.<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Connexin memiliki peran <strong>pada</strong> penekanan tumor. Connexin menghambat<br />
pertumbuhan sel <strong>dan</strong> menghambat pengaturan diferensiasi<br />
jaringan. Di samping itu connexin meningkatkan apoptosis melalui<br />
transfer molekul signaling melalui GCIJ dengan mekanisme yang belum<br />
jelas <strong>dan</strong> terutama dilakukan oleh connexin yang terletak <strong>pada</strong><br />
plasma membran. Dihipotesiskan bahwa peran connexin <strong>pada</strong> apoptosis<br />
ini di antaranya melalui pengaturan <strong>pada</strong> protein. famili Bcl-2.<br />
Connexin <strong>pada</strong> sitoplasma memiliki signaling pathway yang berbeda<br />
dari connexin <strong>pada</strong> plasma membran. Transduksi sinyal connexin membutuhkan<br />
interaksi dengan protein-protein intraseluler lain. Huang<br />
dkk menemukan penurunan ekspresi Bcl-2 <strong>pada</strong> sel-sel ganas yang<br />
ditransfeksikan Cx43 namun tidak terjadi <strong>pada</strong> sel-sel nontransfeksi. 22<br />
Gen connexin mengatur ekspresi gen lain <strong>pada</strong> tumor sel. Tanaka dkk<br />
juga menemukan bahwa sel-sel tumor prostat yang ditransfeksikan<br />
Cx26 akan tertekan pertumbuhannya, terjadi induksi penghentian siklus<br />
sel <strong>pada</strong> fase G2/M, penurunan ekspresi Bcl-2, <strong>dan</strong> peningkatan<br />
apoptosis. 23<br />
Pada karsinogenesis terjadi perubahan ekspresi, lokalisasi connexin<br />
<strong>dan</strong> mungkin penurunan fungsi.<br />
mekanisme Kontrol Pertumbuhan negatif oleh Connexin 2<br />
GJIC membentuk saluran antar sel untuk penyebaran atau dispersi faktor<br />
intraseluler terlarut guna mengontrol pertumbuhan sel. Faktor ini<br />
melewati GJIC heterolog antara sel-sel normal dengan sel yang mengalami<br />
transformasi <strong>dan</strong> menghambat pertumbuhan sel-sel yang mengalami<br />
transformasi.<br />
Jika GJIC memiliki efek <strong>pada</strong> pertumbuhan sel, maka tentunya ada<br />
perubahan <strong>pada</strong> siklus sel, namun ternyata peran GJIC <strong>pada</strong> siklus sel<br />
masih belum jelas. Beberapa bukti menunjukkan, bahwa GJIC hilang<br />
<strong>pada</strong> saat aktivitas mitosis <strong>dan</strong> <strong>pada</strong> saat terjadi perubahan stabilitas<br />
mRNA. GJIC juga menurun di antara waktu mitosis <strong>dan</strong> nonmitosis<br />
sel-sel granulosa tikus imortal. Namun GJIC juga muncul <strong>pada</strong> fase<br />
antara mitosis <strong>dan</strong> interfase kultur fibroblas, <strong>dan</strong> kadar transcript connexin<br />
meningkat selama fase S.<br />
Pada sel-sel yang mengalami transformasi <strong>dan</strong> ditransfeksikan<br />
Cx43 akan terjadi penurunan ekspresi gen yang terlibat <strong>pada</strong> siklus sel<br />
seperti cyclin A, D1, D2 <strong>dan</strong> CDK5, CDK6.<br />
Sel glioma yang ditransfeksikan dengan Cx43 dikultur bersamasama<br />
dengan sel-sel glioma yang tidak ditransfeksi. Percobaan ini untuk<br />
melihat apakah transfeksi Cx43 mampu mengubah pertumbuhan<br />
sel melalui GJIC heterolog. Hasil penelitian menunjukkan sel glioma<br />
membentuk gap junction dengan sel-sel yang ditransfeksi Cx43, <strong>dan</strong> terjadi<br />
penurunan tingkat proliferasi.<br />
Jadi GJIC mampu memodulasi pertumbuhan sel melalui perubahan<br />
ekspresi gen.<br />
Peran <strong>dan</strong> aplikasi Connexin atau gjiC Terhadap Kemoprevensi<br />
<strong>dan</strong> <strong>Terapi</strong> Kanker<br />
Banyak sel tumor hanya memiliki sedikit GJIC. Oleh karena connexin<br />
lebih menyerupai gen penekan tumor, maka transfeksi gen connexin<br />
akan menjadi suatu terapi kanker yang efisien melalui dua jalan yaitu<br />
bystander effect <strong>dan</strong> pengendalian pertumbuhan sel. Jadi efek terapi<br />
kanker bisa ditingkatkan dengan transfeksi gen connexin. <strong>Terapi</strong> yang<br />
diterima oleh sel-sel tumor akan diteruskan <strong>pada</strong> sel-sel di sekitarnya<br />
melalui GJIC sehingga akan meningkatkan efek terapi. Contoh <strong>pada</strong><br />
sel HeLa dengan defisiensi GJIC yang ditransfeksikan thymidyne kinase<br />
dari Herpes simplex virus (HSV-tk). Sel HeLa HSV-tk ini akan mati oleh<br />
ganciclovir karena ganciclovir diaktifkan oleh HSV-tk; namun sel-sel<br />
HeLa di sekitarnya yang tidak ditransfeksikan HSV-tk (tk-) tetap hidup<br />
karena ganciclovir tidak aktif <strong>pada</strong> jenis sel ini. Namun bila digunakan<br />
sel HeLa yang ditransfeksikan dengan gen penyandi protein gap junction<br />
Cx43, maka ganciclovir tidak saja membunuh sel-sel dengan tk+ namun<br />
juga tk-. Hal tersebut mengindikasikan bahwa molekul ganciclovir<br />
toksik yang difosforilasi oleh HSV-tk ditransfer melalui GJIC ke selsel<br />
tk-. Contoh lain adalah <strong>pada</strong> terapi tumor otak dengan transfeksi<br />
gen tymidine kinase dari HSV (HSV-tk). Sel-sel yang ditransfeksikan<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
dengan gen HSV-tk <strong>dan</strong> juga sel-sel di sekitarnya dapat dibunuh oleh<br />
ganciclovir karena GJIC masih berfungsi normal.<br />
Kesimpulan<br />
GJIC berperan menjaga homeostasis normal <strong>dan</strong> kendali pertumbuhan<br />
sel melalui keutuhan komunikasi interseluler. Pada beberapa jenis<br />
tumor terjadi gangguan ekspresi connexin. Gangguan ini bisa berupa<br />
down regulation protein connexin karena gangguan fosforilasi. Terjadinya<br />
gangguan GJIC heterolog akan menyebabkan sel tumor tumbuh<br />
<strong>dan</strong> berkembang tanpa pengaruh kendali sel-sel di sekitarnya, <strong>dan</strong><br />
gangguan GJIC homolog akan menyebabkan perbedaan fenotipe antar<br />
sel-sel tumor yang sama. Dalam kaitannya dengan kepentingan terapi,<br />
GJIC bisa digunakan untuk menekan pertumbuhan tumor atau memodulasi<br />
efek kemoterapi melalui bystander effect.<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Yamasaki H. Gap Junctional intercellular comunication and carcinogenesis<br />
Carcinogenesis 1990; 7:1051-8<br />
2. Yamasaki H, Naus CC. Role of connexin genes in growth control. Carcinogenesis<br />
1996; 17(6):11990-213<br />
3. Pitts JD and Finbow ME. The gap junction. J Cell Sci 1986; 4(Suppl.):239-266<br />
4. Lawrence TS, Beers WH, and Gilula NB. Hormonal stimulation and cell communication<br />
in cocultures. Nature 1978; 272:501-6<br />
5. Saez JC, Conner JA, Spray DC and Bennett MV. Hepatocyte gap junctions are<br />
permeable to the second messenger, inositol 1,4,5-triphosphate, and to calcium<br />
ions. Proc Nail Acad Sci USA; 1989: 86:2708-12<br />
6. De Vuyst E, Decrock E, De Bock M, Yamasaki H, Naus CC, Evans WH, et al.<br />
Molecular Biology of the Cell 2007; 18:34-46<br />
7. Jongen WM, Fitzgerald DJ, Asamoto M, Piccoli C, Slaga TJ, Gros D, et al. Regulation<br />
of connexin 43-mediated gap junctional intercellular communication<br />
by Ca 2+ in mouse epidermal cells is controlled by E-cadherin. J Cell Biol 1991;<br />
114:545-55<br />
8. Lampe PD and Lau AF. The effects of connexin phosphorylation on gap junctional<br />
communication. Int J Biochem Cell Biol 2004; 36:1171–86<br />
9. Bruzzone R, White TW, <strong>dan</strong> Paul DL. Connections with connexins: the molecular<br />
basis of direct intercellular signaling. Eur J Biochem 1996; in press<br />
238(1):1-27<br />
10. Yamasaki H. Gap Junctional intercellular comunication and carcinogenesis<br />
Carcinogenesis 1990; 7:1051-8<br />
11. Mesnil M <strong>dan</strong> Yamasaki H. Selective gap-junctional communication capacity<br />
of transformed and non-transformed rat liver epithelial cell lines. Carcinogenesis.1988;<br />
9:1499-502<br />
12. Krutovskikh VA, Mazzoleni G, Mironov N, Omori Y, Aquelon AM, Mesnil M, et<br />
al. Altered homologous and heterologous gap-junctional intercellular communication<br />
in primary human liver tumors associated with aberrant protein<br />
localization but not gene mutation of connexin 32. Int J Cancer 1994; 56:<br />
87-94<br />
13. Kanczuga-Koda L, Sulkowski S, Lenczewski A, Koda M, Wincewicz A, Baltaziak,<br />
et al. Increased expression of connexins 26 and 43 in lymph node metastases<br />
of breast cancer. J Clin Pathol 2006;59:429–33<br />
14. Rivedal E, Sanner T, Enomoto T, Yamasaki H. Inhibition of intercellular communication<br />
and enhancement of morphological transformation of syrian hamster<br />
embryo cells by TPA. Use of TPA-sensitive and TPA-resistant cell lines.<br />
Carcinogenesis 1985; 6:899-902<br />
15. Rivedal E, Roseng LE, Sanner T. Vanadium compounds promote the induction<br />
of morphological transformation of hamster embryo cells with no effect on<br />
gap junctional cell communication. Cell Biol and Toxicol 1990; 6:303-14<br />
16. Ruch RJ, Klaunig JE, Kerckaert GA, LeBoeuf RA. Modification of gap junctional<br />
intercellular communication by changes in extracellular pH in syrian hamster<br />
embryo cells. Carcinogenesis 1990; 11:909-13<br />
17. Musil LS, Goodenough DA. Biochemical analysis of connexin43 intracellular<br />
transport, phosphorylation, and assembly into gap junctional plaques. J Cell<br />
Biol 1991; 115:1357-74<br />
18. Unwin PN, Ennis PD. Calcium-mediated changes in gap junction structure:<br />
evidence from the low angle X-ray pattern. J. Cell Biol. 1983; 97:1459-66<br />
19. Risinger JI, Berchuck A, Kohler MF, Boyd J. Mutation of the E-cadherin gene in<br />
human gynecological cancers. Nat Genet1994; 7:98-102<br />
20. Mesnil M, Asamoto M, Piccoli C, Yamasaki H. Possible molecular mechanism<br />
of loss of homologous and heterologous gap junctional intercellular communication<br />
in rat liver epithelial cell lines. Cell Ahes. Commun 1994; 2:377-84<br />
21. Kanczuga-Koda. L, Sulkowski S, Koda M, Skrzydlewska E, Sulkowska M. Connexin<br />
26 correlates with Bcl-xL and Bax proteins expression in colorectal cancer.<br />
World J Gastroenterol 2005:11(10):1544-8<br />
22. Huang RP, Hossain MZ, Huang R, Gano J, Fan Y, Boynton AL. Connexin 43<br />
(cx43) enhances chemotherapy-induced apoptosis in human glioblastoma<br />
cells. Int J Cancer 2001; 92:130-8<br />
23. Tanaka M, Grossman HB. Connexin 26 induces growth suppression, apoptosis<br />
and increased efficacy of doxorubicin in prostate cancer cells. Oncol Rep<br />
2004; 11:537-541<br />
MEDICINUS<br />
31
MEDICINUS<br />
32<br />
Meet the Expert<br />
Ketua Pusat Diabetes <strong>dan</strong> Lipid RS Dr. Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran,<br />
Universitas Indonesia<br />
Di bagian Metabolik <strong>dan</strong><br />
Endokrinologi nama<br />
Prof. Slamet Suyono sudah<br />
tidak asing lagi. Beliau sekarang<br />
ini masih menjabat sebagai<br />
Ketua di Pusat Diabetes <strong>dan</strong> Lipid<br />
di RSCM/FKUI, <strong>dan</strong> merupakan<br />
salah satu tokoh yang turut<br />
mengembangkan Pusat Diabetes<br />
<strong>dan</strong> Lipid ini. Bahkan beliau juga<br />
sempat secara khusus mengikuti<br />
training mengenai Lipid <strong>pada</strong><br />
tahun 1968 yang diadakan di Perancis,<br />
di mana <strong>pada</strong> saat itu Lipid<br />
merupakan sesuatu hal yang<br />
baru di bi<strong>dan</strong>g Penyakit Dalam.<br />
Pusat Diabetes <strong>dan</strong> Lipid Jakarta<br />
merupakan ba<strong>dan</strong> yang<br />
bersifat multidisiplin. Ba<strong>dan</strong> ini<br />
menangani masalah diabetes <strong>dan</strong><br />
lipid, yang kegiatannya meliputi<br />
3 bi<strong>dan</strong>g, yaitu pelayanan, penelitian<br />
<strong>dan</strong> penyuluhan. Pada<br />
nama pusat itu tercantum kata<br />
lipid, karena lipid merupakan<br />
salah satu faktor penyakit jantung<br />
koroner (PJK).<br />
Pada kesempatan kali ini,<br />
kami mewawancarai beliau disela-sela<br />
jadwal Prof. Slamet yang <strong>pada</strong>t.<br />
Berikut hasil wawancara kami dengan<br />
Prof. Slamet Suyono.<br />
Redaksi MEDICINUS (RM): Apakah<br />
memang sedari kecil Prof. Slamet sudah<br />
bercita-cita menjadi seorang dokter?<br />
Prof. Slamet Suyono (SS): Sebetulnya<br />
waktu kecil saya tidak bercita-cita menjadi<br />
seorang dokter. Walaupun keluarga saya<br />
terutama dari keluarga ayah saya banyak<br />
yang menjadi dokter. Ketika saya masuk<br />
SD pun saya masih belum tahu apa citacita<br />
saya sebenarnya. Hanya saja waktu<br />
di sekolah dulu saya lebih menyukai bi<strong>dan</strong>g<br />
eksakta. Saya selalu mempunyai nilai-nilai<br />
yang bagus <strong>pada</strong> mata pelajaran<br />
eksakta tersebut terutama <strong>pada</strong> pelajaran<br />
Kimia. Kemudian ketika saya lulus SMA<br />
saya mengikuti 2 tes penerimaan maha-<br />
siswa, yang pertama di Farmasi Institut<br />
Teknologi Bandung (ITB) <strong>dan</strong> yang kedua<br />
di Kedokteran Universitas Indonesia<br />
(UI). Ternyata dua-duanya diterima. Tapi<br />
karena dorongan yang begitu kuat dari<br />
orangtua untuk masuk kedokteran UI<br />
maka sayapun akhirnya memilih kuliah<br />
di kedokteran. Jadi tradisi dokter saya<br />
lanjutkan di keluarga saya. Dan <strong>pada</strong><br />
akhirnya sayapun sangat menyukai bi<strong>dan</strong>g<br />
ini <strong>dan</strong> alhamdullilah studi saya di<br />
kedokteran berhasil <strong>dan</strong> tidak ada halangan<br />
apapun.<br />
RM: Sekarang ini Prof. Slamet sudah<br />
menjadi seorang yang ahli dalam bi<strong>dan</strong>g<br />
Endokrinologi. Apa yang menyebabkan<br />
Prof. Slamet akhirnya memilih bi<strong>dan</strong>g<br />
tersebut?<br />
SS: Endokrinologi adalah suatu cabang<br />
ilmu yang mempelajari hormon<br />
dalam tubuh dari ubun-ubun<br />
sampai ujung kaki, tidak terbatas<br />
<strong>pada</strong> organ tubuh secara sentral<br />
tapi menyeluruh. Jadi ketertarikan<br />
saya nomor satu <strong>pada</strong> saat<br />
itu adalah karena hal itu, yaitu<br />
mengobati seorang manusia secara<br />
keseluruhan. Jadi, ketika<br />
saya lulus kedokteran <strong>pada</strong> tahun<br />
1963, saya mengambil spesialis<br />
penyakit dalam. Setelah<br />
saya berkecimpung di penyakit<br />
dalam, saya lalu berpikir sepertinya<br />
saya lebih tertarik lagi<br />
di endokrinologi. Kembali lagi<br />
karena saya ingin mengobati<br />
pasien secara holistik atau keseluruhan.<br />
Pada waktu itu saya<br />
banyak merawat pasien-pasien<br />
diabetes <strong>dan</strong> tiroid. Ketertarikan<br />
saya di bi<strong>dan</strong>g endokrin ini<br />
salah satunya juga a<strong>dan</strong>ya pengaruh<br />
figur Prof. Utoyo Sukaton<br />
yang menjadi panutan buat<br />
saya. Prof. Utoyo Sukaton dahulu<br />
adalah Kepala Bagian Ilmu<br />
Penyakit Dalam <strong>dan</strong> Kepala Subbagian<br />
Metabolik <strong>dan</strong> Endokrin<br />
juga sebagai pendiri bagian Metabolik<br />
<strong>dan</strong> Endokrinologi. Ketika saya menyelesaikan<br />
spesialis penyakit dalam, akhirnya<br />
Prof. Utoyo meminta saya untuk menjadi<br />
staff-nya.<br />
Kemudian <strong>pada</strong> tahun 1968 saya dikirim<br />
ke Perancis untuk mengikuti training<br />
bi<strong>dan</strong>g baru, yaitu tentang Lipid. Di Indonesia<br />
<strong>pada</strong> tahun tersebut belum ada<br />
ahli mengenai Lipid. Adapun training<br />
yang saya ikuti di Perancis <strong>pada</strong> waktu<br />
itu adalah “Training on Hyperlipidemia and<br />
Endocrinology”. Jadi saya belajar di sana<br />
untuk Lipid-nya selama lebih kurang 10<br />
bulan. Dan dari sinilah saya mulai tertarik<br />
di bi<strong>dan</strong>g Lipid karena ingin mengobati<br />
pasien secara keseluruhan <strong>dan</strong> itu hanya<br />
terdapat <strong>pada</strong> bi<strong>dan</strong>g endokrinologi<br />
dalam artian tidak terpaku <strong>pada</strong> organ<br />
tertentu saja. Ketika ingin belajar di Pe-<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
acis saya mengetahui bahwa di sana itu<br />
tidak banyak orang Perancis yang bisa bahasa<br />
Inggris maka sebelum saya mengikuti<br />
training di sana saya mengikuti kursus<br />
bahasa Perancis terlebih dahulu di Indonesia.<br />
Saya mengikuti kursus mulai dari<br />
nol sampai bisa berbahasa Perancis dalam<br />
kurun waktu selama 3 bulan. Sehingga<br />
ketika saya ke Perancis, saya sudah bisa<br />
berbahasa Perancis <strong>dan</strong> terka<strong>dan</strong>g menjadi<br />
penerjemah buat teman-teman ketika<br />
berada di sana.<br />
RM: Prestasi apa saja yang pernah Prof.<br />
Slamet dapatkan selama ini <strong>dan</strong> apa yang<br />
paling membanggakan Prof. Slamet selama<br />
menjalani profesi dokter?<br />
SS: Banyak orang yang mengatakan kalau<br />
saya jadi pembicara dalam suatu acara<br />
simposium atau acara ilmiah lainnya, apa<br />
yang saya sampaikan tidak muluk-muluk<br />
jadi saya bicara to the point. Sekarang ini<br />
banyak sekali orang-orang pintar, <strong>dan</strong><br />
biasanya mereka itu banyak yang ingin<br />
menunjukkan kepintarannya <strong>dan</strong> merasa<br />
tahu banyak hal. Padahal belum tentu<br />
audien bisa menerima apa yang dia sampaikan.<br />
Audien itu kan ingin menimba<br />
ilmu. Jadi prinsip saya, kalau kita bicara<br />
seperti berbicara dalam suatu simposium<br />
kita harus ada transfer of knowledge. Untuk<br />
transfer of knowledge kita harus membuat<br />
suatu ikatan batin antara siapa yang kita<br />
ajak bicara. Untuk itu persiapan sebelumnya<br />
untuk menjadi pembicara adalah saya<br />
harus tahu terlebih dahulu siapa audien<br />
saya nantinya apakah itu orang awam,<br />
mahasiswa kedokteran, dokter umum,<br />
dokter spesialis atau setingkat professor.<br />
Sehingga kita harus memberikan tehnik<br />
penjelasan yang baik dalam arti supaya<br />
dapat diterima 100% apa yang kita sampaikan<br />
ke<strong>pada</strong> audien. Oleh sebab itu setiap<br />
kali saya menjadi pembicara, penyajian<br />
dalam satu slide tidak terlalu penuh,<br />
tapi saya buat sedikit-sedikit sehingga<br />
akan gampang untuk dimengerti <strong>dan</strong> saya<br />
juga menggunakan tambahan animasi<br />
<strong>pada</strong> slide yang saya buat sendiri. Tentunya<br />
pembuatan slide ini juga harus kreatif<br />
sehingga tampilan slide tidak terlalu monoton<br />
<strong>dan</strong> membosankan bagi audien.<br />
Hal lainnya, selama saya menjadi Ketua<br />
di Pusat Diabetes <strong>dan</strong> Lipid di RSCM/<br />
FKUI, saya selalu memberikan kebebasan<br />
ke<strong>pada</strong> staff saya sehingga dengan berjalannya<br />
waktu, mereka menjadi sangat<br />
berkembang <strong>dan</strong> ikut pula mengembangkan<br />
bagian Metabolik <strong>dan</strong> Endokrinologi<br />
ini. Hal inilah yang membuat saya bangga<br />
ke<strong>pada</strong> mereka.<br />
Satu hal lagi, anak saya yang terkecil juga<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
sudah menjadi spesialis penyakit dalam<br />
mengikuti jejak saya.<br />
RM: Kegiatan ilmiah apa saja yang pernah<br />
Prof. Slamet ikuti selama ini?<br />
SS: Sebenarnya saya sudah pensiun <strong>pada</strong><br />
tahun 2002, tetapi alhamdullilah saya<br />
masih dipakai untuk konsultasi atau sebagai<br />
penasehatlah untuk yang mudamuda<br />
di sini. Saya juga masih diberikan<br />
ruang kerja pribadi di sini. Karena itulah<br />
saya jadi tidak terlalu pikun karena justru<br />
saya makin sibuk karena setiap minggu<br />
saya selalu mempunyai kegiatan. Ka<strong>dan</strong>gka<strong>dan</strong>g<br />
menjadi pembicara untuk acara<br />
simposium atau kegiatan ilmiah. Saya diminta<br />
sharing pengalaman ilmiah ke<strong>pada</strong><br />
yang muda-muda. Itulah yang menyebabkan<br />
saya masih berkecimpung di dunia<br />
ilmiah ini walaupun usia saya sudah 71,5<br />
tahun.<br />
RM: Bisa ceritakan hobi Prof. Slamet sendiri<br />
apa ya?<br />
SS: Dalam hobi, saya bagi 2. Ketika saya<br />
kecil hobi saya adalah olahraga bulutangkis.<br />
Sejak saya SD sampai SMA-pun saya<br />
masih main bulutangkis. Sejak berkuliah<br />
di kedokteran sekitar tahun 1957 saya<br />
berhenti bermain bulutangkis karena berbagai<br />
kesibukan perkuliahan. Kemudian<br />
baru tahun 1972 saya kembali bermain<br />
bulutangkis kembali karena ajakan teman<br />
sampai tahun 2005. Terakhir saya bertanding<br />
dengan anak-anak muda ketika<br />
umur saya sudah di atas 68 tahun. Karena<br />
terlalu bersemangat dalam bertanding<br />
saya mengalami cedera lutut. Berselang 6<br />
bulan kemudian ba<strong>dan</strong> saya merasa tidak<br />
enak karena sudah lama tidak berolahraga<br />
akhirnya saya memilih olahraga renang.<br />
Dan ketika saya berenang tiba-tiba<br />
ada yang terasa sakit <strong>dan</strong> saya merasa<br />
bahwa ada sesuatu yang terjadi <strong>pada</strong> jantung<br />
saya. Akhirnya, besoknya pun saya<br />
periksakan diri, <strong>dan</strong> hasilnya sangat buruk<br />
sekali. Dan saya harus menjalani bedah<br />
by pass <strong>pada</strong> jantung saya sekitar 3,5<br />
tahun yang lalu. Dan dari situlah saya<br />
benar-benar menghentikan hobi bermain<br />
bulutangkis. Dan hobi olahraga saya berubah<br />
menjadi berenang. Sampai saat ini,<br />
saya masih menjalani renang setidaknya<br />
2x dalam seminggu. Semenjak pembedahan<br />
jantung itu saya jadi merubah lifestyle.<br />
Hobi lain saya, yaitu <strong>dan</strong>sa. Saya mengikuti<br />
klub <strong>dan</strong>sa antar dokter-dokter sampai<br />
sekarang. Dan yang terakhir adalah hobi<br />
jalan-jalan bersama cucu.<br />
RM: Terus apa nih yang membuat Prof.<br />
Slamet selalu tampak segar <strong>dan</strong> fit?<br />
SS: Turunan keluarga saya banyak yang<br />
terkena penyakit jantung <strong>dan</strong> kolesterol.<br />
Waktu operasi dikatakan oleh dokter<br />
bahwa pembuluh darah saya jelek sekali.<br />
Banyak sekali aterosklerosisnya. Dokter<br />
yang menangani saya <strong>pada</strong> saat itu mengatakan<br />
bahwa operasi ini bukan menyelesaikan<br />
masalah tapi yang bisa menyelesaikannya<br />
hanyalah anda sendiri, yaitu<br />
saya harus merubah lifestyle. Kemudian<br />
saya berpikir bahwa apa yang dikatakan<br />
beliau ada benarnya juga. Jadi dahulu kalau<br />
saya terlalu over confidence dalam arti saya<br />
merasa sehat <strong>dan</strong> tidak mengalami keluhan<br />
apa-apa sampai umur 68 tahun tetapi<br />
satu hal yang tidak saya sadari bahwa lifestyle<br />
itu pusatnya adalah makanan. Dulu<br />
saya sangat menyukai makanan dari daging<br />
kambing. Tapi kemudian saya beralih<br />
banyak makan sayuran <strong>dan</strong> buah-buahan<br />
serta untuk proteinnya saya makan ikan<br />
yang serba direbus. Terka<strong>dan</strong>g saya juga<br />
makan ayam (hanya dagingnya saja) tapi<br />
dengan porsinya yang sedikit. Dan yang<br />
utama selalu menggunakan “JAMU” alias<br />
jaga mulut saya untuk tidak memakan<br />
makanan yang dahulu sangat saya sukai.<br />
Saya berusaha untuk menjaga pola hidup<br />
saya dengan menjaga pola makan, tidak<br />
stres <strong>dan</strong> olahraga yang teratur. Terlambat<br />
sih sebenar-nya karena saya baru memulainya<br />
saat berumur 68 tahun ketika saya<br />
harus menjalani pembedahan jantung.<br />
Tapi saya kira lebih baik terlambat dari<strong>pada</strong><br />
tidak sama sekali. Bahkan sekarang<br />
ini saya menjadi lebih baik <strong>dan</strong> fit dari sebelumnya.<br />
RM: Kegiatan apa yang biasa dokter lakukan<br />
di waktu luang (akhir pekan/hari libur)?<br />
SS: Yang pasti olahraga, pergi bersama<br />
cucu saya setiap akhir pekan. Pokoknya<br />
saya harus ketemu mereka bagaimanapun<br />
juga. Cucu saya sekarang sudah 6 orang.<br />
Saya juga tetap hobi makan ketika ada<br />
waktu luang tapi tentunya hobi makan<br />
yang sekarang ini berbeda dengan yang<br />
dulu.<br />
RM: Kebiasaan apa yang biasa diterapkan<br />
dilingkungan sekitar Prof. Slamet untuk<br />
mananamkan pola hidup sehat?<br />
SS: Itu tadi, jangan hanya bicara tapi dicontohkan<br />
juga ke orang-orang sekitar<br />
saya. Saya juga sudah mencontohkan ke<strong>pada</strong><br />
teman, pasien <strong>dan</strong> keluarga saya.<br />
Bahkan banyak dari teman-teman saya<br />
yang berkonsultasi ke<strong>pada</strong> saya karena<br />
mereka melihat sendiri kalau saya kelihatan<br />
lebih sehat <strong>dan</strong> fit. Padahal usia saya<br />
sudah 71 tahun. Dan saya selalu menga-<br />
MEDICINUS<br />
33
MEDICINUS<br />
34<br />
takan ke<strong>pada</strong> mereka supaya “JAMU”<br />
atau jaga mulut <strong>dan</strong> banyak makan sayur<br />
serta buah-buahan serta tentu saja melakukan<br />
olahraga yang teratur. Walaupun saya<br />
sendiri termasuk terlambat dalam merubah<br />
lifestyle saya.<br />
Untuk merubah lifestyle, awalnya tidak<br />
mudah <strong>dan</strong> terasa berat tapi saya selalu<br />
niatkan dalam hati bahwa saya harus<br />
merubah kebiasaan saya yang dulu seperti<br />
makan keju, makan daging merah.<br />
Sekarang ini saja orang-orang muda banyak<br />
yang sudah terkena diabetes, jantung,<br />
stroke <strong>dan</strong> itu dari tahun ke tahun<br />
jumlahnya terus meningkat karena perubahan<br />
pola makan seperti senang memakan<br />
makanan siap saji.<br />
RM: Harapan dokter di pekerjaan <strong>dan</strong><br />
kehidupan pribadi dokter untuk 5 tahun<br />
mendatang?<br />
SS: Yang pasti ingin tetap sehat <strong>dan</strong> saya<br />
berusaha menjadi orang yang sebijaksana<br />
mungkin. Ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g dulu itu, saya<br />
sering meletup-letup emosi nya. Sekarang<br />
saya lebih meredam emosi saya.<br />
Dalam pekerjaan untuk 5 tahun yang akan<br />
datang, yaitu di bagian Metabolik <strong>dan</strong><br />
Endokrin RSCM/FKUI ini saya berharap<br />
makin maju <strong>dan</strong> mengalami perubahan<br />
yang lebih baik lagi. Dan di bagian ini<br />
juga terus terlibat dalam peningkatan kesehatan<br />
terutama dalam hal pencegahan<br />
melalui penerangan ke<strong>pada</strong> masyarakat<br />
bagaimana cara hidup yang sehat.<br />
RM: Saat ini penyakit-penyakit di bi<strong>dan</strong>g<br />
Endokrinologi yang paling sering dihadapi<br />
apa ya Prof.?<br />
SS: Yang paling banyak adalah yang pertama<br />
diabetes <strong>dan</strong> kedua tiroid. Diabetes<br />
di Indonesia sudah ada data sekarang dari<br />
Departemen Kesehatan (DEPKES), yaitu<br />
kalau di kota besar prevalensinya orang<br />
yang terkena diabetes sekitar 12%. Itu nilai<br />
yang cukup besar menurut saya. Tapi<br />
kemudian tahun 2008 kemarin keluar data<br />
gabungan dari kota <strong>dan</strong> pedesaan di seluruh<br />
Indonesia disurvey <strong>dan</strong> ternyata penderita<br />
diabetes di Indonesia sebesar 5,7%.<br />
Untuk kasus tiroid juga banyak di Indonesia.<br />
Penyebabnya karena stres sehingga<br />
timbulah hipertiroid.<br />
RM: Penatalaksanaan penyakitnya sendiri<br />
bagaimana ya?<br />
SS: Sampai sekarang untuk diabetes, kita<br />
sudah membuat guideline untuk penatalaksanaan<br />
diabetes karena kita mempunyai<br />
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi<br />
Indonesia) <strong>dan</strong> PERSADIA (Persatuan<br />
Diabetes Indonesia) sehingga guideline ini<br />
digunakan merata di seluruh Indonesia.<br />
Bahkan di Depok sendiri sudah melakukan<br />
upaya pencegahan diabetes kurang<br />
lebih 7 tahun mulai tahun 2001 dengan<br />
melibatkan DEPKES.<br />
RM: Bisa ceritakan pengalaman suka<br />
maupun duka selama menjalani profesi<br />
dokter?<br />
SS: Saya sangat menikmati profesi saya<br />
meskipun kerjanya berat. Pengalaman<br />
yang baik itu adalah saya merasa sangat<br />
puas sekali apabila kita melihat pasien<br />
itu sembuh dari penyakitnya dari pengobatan<br />
yang diberikan. Jawabannya klise<br />
barangkali ya. Tapi memang betul kalau<br />
kita melihat pasien sembuh rasanya senang<br />
sekali. Dan biasanya mereka akan<br />
berterimakasih ke<strong>pada</strong> saya <strong>pada</strong>hal saya<br />
tidak mengharapkan terimakasih tersebut.<br />
Saya juga suka bilang ke<strong>pada</strong> pasien saya<br />
bahwa yang menyembuhkan penyakit itu<br />
bukan saya tapi Allah SWT. Saya ini hanya<br />
sebagai penyambung tangan dengan<br />
ilmu-ilmu yang saya pelajari.<br />
Hubungan saya dengan pasien tentunya<br />
tidak selalu manis tapi juga ada pahitnya<br />
terutama bila berhadapan dengan pasien-pasien<br />
yang sulit. Malahan si pasien<br />
belum apa-apa sudah mendikte <strong>dan</strong> dia<br />
merasa bahwa dia lebih pinter dari dokternya.<br />
Apalagi zaman sekarang ini orang<br />
dengan mudah bisa browsing di internet<br />
untuk mencari informasi penyakit-penyakit<br />
tertentu sehingga mereka merasa<br />
sudah mengetahui pengobatannya. Tapi<br />
hal itu alhamdullilah masih bisa ditangani<br />
dengan memberikan penjelasan yang baik<br />
tentang penyakit <strong>dan</strong> pengobatannya ke<strong>pada</strong><br />
pasien.<br />
RM: Apa harapan Prof. Slamet, khususnya<br />
untuk dokter-dokter muda di Indonesia?<br />
SS: Saya berharap dokter-dokter muda<br />
ini harus bisa menemukan cara-cara baru<br />
pengobatan atau pencegahan terhadap<br />
penyakit-penyakit <strong>dan</strong> bisa menemukan<br />
vaksin untuk mencegah penyakit-penyakit<br />
yang kita takutkan. Dan juga penelitianpenelitian<br />
para dokter muda ini harus kita<br />
pacu <strong>dan</strong> biaya yang tentu saja didukung<br />
kalau bisa oleh pemerintah. Karena untuk<br />
melakukan suatu penelitian itu memerlukan<br />
biaya yang sangat besar. GLH<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Round Table Discussion<br />
“Update Management in Dengue<br />
Hemorrhagic Fever”<br />
Pada tanggal 20 Desember<br />
2008, diadakan acara round<br />
table discussion “Update<br />
Management in Dengue Hemorrhagic<br />
Fever” yang diadakan di<br />
Hotel Borobudur, ruang Timor,<br />
Jakarta Pusat. Acara dibuka dengan<br />
sambutan dari Ketua PAPDI<br />
JAYA DR. dr. Idrus Alwi, SpPD,<br />
K-KV, FACC.<br />
Diskusi dimulai oleh moderator<br />
Dr. Tunggul D Situmorang,<br />
SpPD, KGH dengan menekankan<br />
bahwa penyakit DBD merupakan<br />
penyakit yang perlu diwas<strong>pada</strong>i.<br />
Menurut Dr. Tunggul D Situmorang,<br />
SpPD, KGH, patofisiologi<br />
demam berdarah sampai saat ini<br />
tidak banyak berubah se<strong>dan</strong>gkan<br />
untuk diagnosis kita sekarang<br />
mengenal NS1 antigen.<br />
Kemudian acara dilanjutkan<br />
dengan presentasi dari Dr. Leonard<br />
Nainggolan, SpPD, KPTI,<br />
yaitu tentang:<br />
Patofisiologi <strong>dan</strong> <strong>Diagnosis</strong> <strong>Demam</strong><br />
<strong>Berdarah</strong> Dengue”<br />
Dr. Leonard memulai sharing<br />
materi dengan memaparkan epidemiologi<br />
infeksi dengue secara<br />
global, sampai <strong>pada</strong> distribusi serotype,<br />
<strong>dan</strong> jumlah kasus demam<br />
berdarah dengue (DBD) secara<br />
lokal. Di mana kasus infeksi dengue<br />
secara global semakin meluas.<br />
Kemudian secara lokal, di<br />
Indonesia dari tahun 2004-2007<br />
di mana kasus DBD semakin<br />
meningkat. Akan tetapi BMS berharap<br />
kasus DBD menurun apabila<br />
PSN-DBD berhasil.<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
20 Desember 2008<br />
Hotel Borobudur, Ruang Timor, Jakarta-Pusat<br />
Apabila kita bisa mengetahui<br />
patofisiologi demam berdarah<br />
dengan baik, umumnya kita tidak<br />
akan kecolongan. Karena fase kritis<br />
Cuma <strong>pada</strong> jam ke-24 - 48, asalkan<br />
pasien datang belum shock.<br />
Ada falsafah yang mengatakan<br />
jika terjadi kasus demam berdarah<br />
pre-shock tetapi meninggal, maka<br />
hal ini merupakan kesalahan dokter.<br />
Patogenesis DBD bermacammacam.<br />
Ada yang menerangkan<br />
bahwa virulensi virus yang sangat<br />
berperan terhadap severity of<br />
disease. Ada juga teori peranan<br />
mediator, apoptosis, genetik, <strong>dan</strong><br />
antibody dependent enhancement.<br />
Sebagian ahli menganut antibody<br />
dependent enhancement, di mana<br />
infeksi virus dengue yang kedua<br />
dengan serotype virus yang berbeda<br />
akan memberikan manifestasi<br />
penyakit yang lebih parah.<br />
Teori-teori ini <strong>pada</strong> akhirnya menjelaskan<br />
akan a<strong>dan</strong>ya gangguan<br />
hemostasis, permeabilitas kapiler<br />
<strong>dan</strong> kebocoran plasma.<br />
Nyamuk membutuhkan darah<br />
untuk mematangkan telurnya,<br />
tidak hanya darah manusia, darah<br />
sapi juga bisa. Jadi sapi juga bisa<br />
mengalami DBD. Virus dengue<br />
membutuhkan waktu kira-kira 10<br />
hari untuk bereproduksi. Kemudian<br />
nyamuk yang mengandung<br />
virus menggigit manusia sehat.<br />
Virus dengue akan ada untuk selamanya<br />
dalam tubuh virus sampai<br />
nyamuk mati.<br />
Patofisiologi:<br />
Virus demam berdarah akan<br />
masuk ke dalam makrofag. Menurut<br />
antibody dependent enhancement,<br />
antigen infeksi pertama<br />
<strong>pada</strong> makrofag justru menjadi<br />
semacam opsonisasi untuk memfasilitasi<br />
virus menempel ke permukaan<br />
makrofag <strong>dan</strong> masuk ke<br />
dalamnya. Makrofag akan melepaskan<br />
monokin, sitokin, histamine,<br />
<strong>dan</strong> interferon, yang akan<br />
mengakibatkan celah endotel melebar,<br />
selanjutnya terjadi kebocoran<br />
cairan intravaskular ke ruang<br />
eks-travaskular. Konsekuensinya,<br />
terjadi hipovolemia, hemokonsentrasi,<br />
tubuh lemah, edema, <strong>dan</strong><br />
kongesti visceral. Perenggangan<br />
celah antar sel endotel dapat juga<br />
disebabkan oleh virus dengue itu<br />
sediri. Saat sel endotel terinfeksi<br />
DV, terjadi kerusakan sel endotel.<br />
Akan tetapi pelebaran celah sel<br />
endotel terutama disebabkan oleh<br />
pelepasan sitokin inflamasi.<br />
Dengan demikian, manifestasi<br />
klinis yang paling penting dalam<br />
penyakit DBD adalah kebocoran<br />
plasma. Dan untuk mengetahui<br />
tanda-tanda kebocoran plasma<br />
bukannya trombosit yang dipantau<br />
tetapi hematokrit. Selain itu,<br />
penting juga pemantauan urine<br />
output <strong>dan</strong> hemostasis. Dari pengalaman<br />
dokter, apabila tidak terjadi<br />
pendarahan massive, trombosit<br />
3.000 atau 7.000 juga tidak mengakibatkan<br />
kematian pasien.<br />
Adapun tingkat keparahan<br />
sindrom kebocoran kapiler tergantung<br />
ukuran celah endotel <strong>dan</strong><br />
lokasi atau daerah yang terkena<br />
infeksi, komposisi matriks kompartemen<br />
perivaskular, <strong>dan</strong> per-<br />
events<br />
bedaan tekanan hidrostatik <strong>dan</strong><br />
tekanan onkotik di intra <strong>dan</strong> ekstravaskular.<br />
Tekanan hidrostatik<br />
dipengaruhi oleh tekanan pompa<br />
jantung yang mendorong plasma<br />
keluar dari intravaskular ke ekstravaskular.<br />
Tekanan onkotik<br />
adalah nilai tekanan zat-zat yang<br />
terkandung dalam darah yang<br />
memiliki sifat osmolaritas untuk<br />
menahan plasma tetap berada<br />
<strong>pada</strong> intravaskular. Pada arteri<br />
tekanan hidrostatik lebih besar<br />
dari tekanan onkotik maka plasma<br />
bisa keluar ke ekstravaskular<br />
memberikan nutrisi <strong>dan</strong> oksigen<br />
<strong>pada</strong> jaringan tubuh. Se<strong>dan</strong>gkan<br />
di mikrokapiler tekanan hidrostatik<br />
lebih kecil dari tekanan onkotik<br />
sehingga cairan tubuh yang telah<br />
kehilangan nutrisi <strong>dan</strong> mengandung<br />
CO 2 dapat dikembalikan<br />
ke dalam pembuluh darah. Perlu<br />
dipahami bahwa apabila kita telah<br />
mengetahui kalau kebocoran<br />
plasma dipengaruhi oleh tekanan<br />
onkotik, penggunaan koloid untuk<br />
meningkatkan tekanan osmotik<br />
dapat dilakukan apabila telah<br />
diketahui a<strong>dan</strong>ya tanda-tanda kebocoran<br />
plasma.<br />
Pelebaran celah endotel dapat<br />
juga menyebabkan leukosit<br />
keluar dari intravaskular mengejar<br />
makrofag yang mengandung<br />
virus dengue, sehingga dapat dimengerti<br />
terjadi leukopenia <strong>pada</strong><br />
DBD.<br />
Manisfestasi trombositopeni<br />
<strong>pada</strong> infeksi dengue memiliki beberapa<br />
hipotesa penyebab:<br />
(1) terjadi destruksi trombosit akibat<br />
interaksi antibody-antigen<br />
MEDICINUS<br />
35
MEDICINUS<br />
36<br />
virus dengue di permukaan<br />
trombosit;<br />
(2) kerusakan dinding endotel<br />
oleh virus dengue sehingga<br />
menyebabkan interaksi trombosit<br />
dengan kolagen subendotel<br />
sehingga terjadilah agregasi<br />
<strong>dan</strong> destruksi trombosit;<br />
(3) IL-6 menginduksi antibodi<br />
IgM antitrombosit sehingga<br />
terjadilah destruksi trombosit;<br />
(4) manifestasi pendarahan <strong>pada</strong><br />
DBD meningkatkan kebutuhan<br />
akan trombosit. Manifestasi<br />
(nomor 3) menguatkan<br />
bahwa tidak perlu diberikan<br />
infus trombosit <strong>pada</strong> pederita<br />
DBD, karena <strong>pada</strong> akhirnya<br />
trombosit yang di berikan<br />
akan didestruksi dengan<br />
a<strong>dan</strong>ya antibodi antitrombosit.<br />
Perjalanan penyakit dengue<br />
seperti lagu menghitung hari.<br />
Pada kasus dengue, kita menghitung<br />
hari, ada masa inkubasi<br />
(virus dengue ada dalam tubuh<br />
tapi tidak ada manifestasi klinis<br />
penyakit), fase akut (demam hari<br />
I-IV), <strong>dan</strong> fase kritis (hari V-VII),<br />
<strong>dan</strong> fase konvalesense. Proses<br />
plasma leakage hanya terjadi<br />
<strong>pada</strong> fase kritis, <strong>dan</strong> hanya terjadi<br />
dalam 24-48 jam. Untuk mengidentifikasi<br />
fase kritis perhatikan<br />
bahwa <strong>pada</strong> sekitar hari kelima<br />
demam sudah mulai turun, tetapi<br />
kematrokit makin meningkat, leukosit<br />
makin anjlok, <strong>dan</strong> trombosit<br />
juga makin anjlok. Leukopeni<br />
rata-rata selalu mendahului trombositopeni,<br />
<strong>dan</strong> trombositopeni<br />
mendahului plasma leakage.<br />
Pemeriksaan serologi baru<br />
dapat terdeteksi setelah hari kelima,<br />
karena disitu kemungkinan<br />
besar konsentrasi antibodi cukup<br />
di atas batas deteksi alat. Se<strong>dan</strong>gkan<br />
pemeriksaan antigen NS1<br />
dapat dilakukan dari H-1 sampai<br />
dengan hari keempat, kadar<br />
optimal NS1 adalah <strong>pada</strong> hari<br />
ketiga. Pemeriksaan antigen NS1<br />
ada dua, yaitu dengan ELISA <strong>dan</strong><br />
rapid test. Pemeriksaan de-ngan<br />
ELISA lebih akurat tetapi membutuhkan<br />
waktu yang lama (4<br />
jam). Se<strong>dan</strong>gkan pemeriksaan<br />
dengan rapid test hanya mebutuhkan<br />
waktu 5 menit.<br />
NS1 merupakan non structure<br />
protein yang terdapat <strong>pada</strong> permukaan<br />
virus, merupakan antigen<br />
yang letaknya paling luar<br />
sehingga paling mudah terdeteksi<br />
<strong>dan</strong> merupakan biang kerok<br />
utama manifestasi respon imun<br />
yang telah diterangkan sebelumnya.<br />
Dr. Leonard sempat bertemu<br />
dengan penemu alat rapid test untuk<br />
NS1 ini, <strong>dan</strong> menurut sang<br />
penemu hari ketiga merupakan<br />
puncak kadar NS1 sehingga paling<br />
memungkinkan deteksi NS1<br />
<strong>pada</strong> hari itu. Akan tetapi setelah<br />
hari kelima, jumlah antigen sudah<br />
menurun sampai tidak bisa terdeteksi.<br />
Untuk antibodi, dapat dideteksi<br />
setelah kelima demam.<br />
Pemeriksaan NS1 tidak bisa<br />
menggantikan pemeriksaan antibodi.<br />
Akan tetapi tidak dapat<br />
menentukan infeksi yang terjadi<br />
primer atau sekunder. Kita juga<br />
telah melupakan uji tourniquet.<br />
Padahal uji tourniquet merupakan<br />
uji yang paling sederhana <strong>dan</strong><br />
spesifik untuk DBD.<br />
dr. Leonard menutup presentasi<br />
dengan menekankan perbedaan<br />
antara demam dengue<br />
dengan demam berdarah dengue,<br />
<strong>pada</strong> DBD sudah pasti terjadi<br />
plasma leakage, se<strong>dan</strong>gkan <strong>pada</strong><br />
demam dengue tidak terjadi.<br />
Acara dilanjutkan kembali dengan<br />
presentasi yang akan disampaikan<br />
oleh dr. Kie Chen, SpPD,<br />
KPTI, yaitu mengenai:<br />
Penatalaksanaan <strong>Demam</strong><br />
<strong>Berdarah</strong> Dengue<br />
Dr. Kie Chen memulai dengan<br />
penekanan bahwa Indonesia<br />
merupakan endemik demam berdarah<br />
dengue (DBD) <strong>dan</strong> <strong>pada</strong> demam<br />
berdarah terjadi kebocoran<br />
plasma.<br />
<strong>Terapi</strong> <strong>pada</strong> demam berdarah<br />
adalah terapi suportif. Yaitu memberikan<br />
cairan pengganti sampai<br />
respon imunologi itu berhenti.<br />
Kematian yang terjadi 1%.<br />
Penetapan kasus DHF menurut<br />
WHO <strong>pada</strong> tahun 1997, yaitu:<br />
- <strong>Demam</strong> atau pernah demam,<br />
dalam 2-7 hari terakhit, <strong>dan</strong> biasanya<br />
biphasic.<br />
- Trombositopenia (20%,<br />
penurunan hematokrit setelah<br />
pemberian cairan pengganti<br />
>20% terhadap baseline.<br />
- Tanda-tanda kebocoran plasma<br />
lainnya: efusi pleura, asites, <strong>dan</strong><br />
hipoproteinemia.<br />
Tatalaksana DHF umumnya<br />
adalah tatalaksana yang bersifat<br />
suportif. Kita tidak mempunyai<br />
obat-obat yang bisa menyetop<br />
proses imunologi yang terjadi.<br />
Tetapi kebocoran plasma akibat<br />
respon imunologi akan berhenti<br />
dengan sendiri. Umumnya yang<br />
diberikan ke<strong>pada</strong> pasien adalah<br />
cairan pengganti cairan tubuh,<br />
istirahat yang cukup, nutrisi.<br />
Selain itu diberikan pula obat antipiretik,<br />
akan tetapi hindari pemberian<br />
aspirin <strong>dan</strong> NSAID karena<br />
obat-obat tersebut dapat memicu<br />
pendarahan. Hal yang paling<br />
penting juga dalam tatalaksana<br />
DHF adalah<br />
1. monitoring tanda-tanda shock, biasanya<br />
selama fase afebril (hari<br />
ke-4-6);<br />
2. monitoring kesadaran, denyut<br />
nadi, <strong>dan</strong> tekanan darah;<br />
3. monitoring hematokrit (Ht) <strong>dan</strong><br />
jumlah platelet.<br />
Kita memiliki beberapa pilihan<br />
cairan. WHO menuliskan pemberian<br />
cairan kristaloid, yaitu<br />
cairan yang mengandung elektrolit.<br />
Sebaiknya jangan berikan<br />
cairan maintenance yang seperti<br />
dekstrosa <strong>dan</strong> cairan lainnya untuk<br />
nutrisi, karena cairan-cairan<br />
tersebut tidak bisa bertahan dalam<br />
kapiler dalam waktu yang lama.<br />
<strong>Cairan</strong> itu umumnya akan keluar<br />
dari pembuluh darah. Memang<br />
pemberian koloid belum direkomendasikan<br />
<strong>pada</strong> protokol WHO.<br />
Tapi koloid dengan molekul yang<br />
lebih besar dapat bertahan lebih<br />
lama dalam plasma. Kita belum<br />
ada data untuk pemakaian koloid<br />
<strong>pada</strong> DHF I/II. Tetapi untuk DHF<br />
yang mengalami shock sudah ada<br />
penelitian yang dilakukan.<br />
Prinsip tatalaksana pemberian<br />
cairan: volume cairan yang diberikan<br />
merupakan jumlah defisit<br />
cairan tubuh ditambah deng-an<br />
jumlah cairan yang diperlukan<br />
untuk maintenance.<br />
Formula:<br />
Need of fluid / day<br />
= Fluid deficit + maintenance<br />
5% BW deficit<br />
= (5% x BW x 1000) mL<br />
Maintenance<br />
= 1500 + 20 x [BW(kg) - 20]<br />
Pemberian cairan harus<br />
disesuaikan sesuai dengan kondisi<br />
klinis pasien, evaluasi kondisi vital<br />
Ht dilakukan setiap 4 jam sekali.<br />
Jangan sampai terjadi kelebihan<br />
cairan.<br />
Pedoman Tatalaksana Klinis<br />
Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan<br />
Kesehatan Depkes 2005<br />
Berikut adalah tatalaksana DHF<br />
dengan peningkatan Ht >20%:<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Tatalaksana renjatan<br />
Pada kesempatan ini, dipaparkan<br />
secara singkat hasil penelitian<br />
“An Open Pilot Study of the Efficacy<br />
and Safety of Polygeline<br />
(Haemaccell®) in Adult Subjects<br />
with Dengue Hemorrhagic Fever”<br />
yang diteliti oleh Herdiman<br />
J Pohan, Khie Chen Lie, Widayat<br />
Djoko Santaso, Suhandro, <strong>dan</strong><br />
Eppy dengan sponsor PT <strong>Dexa</strong><br />
<strong>Medica</strong>.<br />
<strong>Terapi</strong> cairan <strong>pada</strong> penderita<br />
demam berdarah tahap I/II<br />
memiliki beberapa problema, sebagai<br />
berikut:<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
1. terjadinya hemokonsentrasi<br />
selama terapi cairan pengganti<br />
sehingga dibutuhkan lebih banyak<br />
cairan;<br />
2. terjadi akumulasi cairan <strong>pada</strong><br />
rongga-rongga tubuh seperti<br />
pleural efusi, asites, <strong>dan</strong> udem<br />
<strong>pada</strong> kadnung kemih.<br />
Problema ini memunculkan<br />
kebutuhan akan a<strong>dan</strong>ya cairan<br />
pengganti yang dapat bertahan<br />
lebih lama dalam intravaskular,<br />
mudah diekskresi, lebih aman<br />
untuk organ tubuh (misal ginjal),<br />
memiliki pengaruh yang minimal<br />
terhadap sistem koagulasi, <strong>dan</strong><br />
less allergic potential.<br />
Haemaccell® adalah cairan<br />
koloid yang memiliki komposisi<br />
polygeline yang diperoleh<br />
dari tulang rawan sapi. Kandungan<br />
koloid yang memiliki Berat<br />
Molekul lebih besar dibanding<br />
cairan kristaloid memungkinkan<br />
Haemaccell® bertahan dalam intravaskular<br />
lebih lama, <strong>dan</strong> apabila<br />
dibandingkan dengan cairan<br />
koloid lainnya, berat molekul<br />
polygeline adalah yang paling kecil<br />
sehingga lebih mudah diekskresi,<br />
lebih aman bagi ginjal, minimal<br />
mempengaruhi sistem koagulasi,<br />
<strong>dan</strong> kemungkinan menyebabkan<br />
alergi kecil.<br />
Hasil dari penelitian pilot dari<br />
Haemaccell® ini menunjukkan<br />
bahwa Haemaccell® aman <strong>dan</strong><br />
efektif digunakan sebagai terapi<br />
cairan <strong>pada</strong> pasien demam berdarah<br />
tahap I/II. Uji klinis komparatif<br />
dengan jumlah subjek yang<br />
lebih besar akan dilakukan untuk<br />
menegaskan efikasi <strong>dan</strong> keamanan<br />
Haemaccell®.<br />
Beberapa Hasil Diskusi Round<br />
Table Discussion<br />
Transfusi trombosit hanya diberikan<br />
<strong>pada</strong> kondisi pendarahan <strong>dan</strong><br />
tidak pernah diberikan untuk profilaksis.<br />
Dalam beberapa penelitian<br />
yang telah dilakukan Dr. Kie<br />
Chen, SpPD, KPTI dkk, rendahnya<br />
jumlah trombosit ti-dak selalu<br />
menimbulkan pendarahan. Yang<br />
penting adalah selalu monitoring,<br />
pendarahan tidak akan terjadi tanpa<br />
diketahui. Bila terjadi epistaksis<br />
namun hemodinamik stabil, nadi<br />
tidak cepat, tidak gelisah, Ht normal,<br />
maka tidak diberikan pemberian<br />
trombosit. Namun bila yang<br />
terjadi adalah sebaliknya, yaitu:<br />
pasien gelisah, hemodinamik tidak<br />
stabil, Ht turun, a<strong>dan</strong>ya nyeri<br />
yang hebat <strong>pada</strong> abdomen, terasa<br />
mual yang hebat, barulah pemberian<br />
transfusi trombosit harus<br />
dipertimbangkan.<br />
Apakah benar alat diagnostik<br />
NS1 berguna? Karena biayanya<br />
mahal sekali. Filosofi NS1 rapid<br />
test: mendeteksi sedini mungkin.<br />
Dibutuhkan di daerah endemik<br />
seperti di Indonesia. Tapi untuk<br />
pasien menengah ke bawah, biasanya<br />
dilakukan deteksi dini dari<br />
kadar leukosit. Ingat leucopenia<br />
mendahului trombositopenia. Rapid<br />
test NS1 sekarang bisa false positive.<br />
Tapi sekarang se<strong>dan</strong>g diteliti<br />
untuk menghindari false positive.<br />
Kemudian acara diakhiri<br />
dengan penutupam oleh moderator<br />
(Dr. Tunggul D Situmorang,<br />
SpPD, KGH) dengan applause meriah<br />
dari peserta. Wila, Taufik, Ana,<br />
Natalia, Lydia<br />
MEDICINUS<br />
37
MEDICINUS<br />
38<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
MEDICINUS<br />
133
MEDICINUS<br />
134<br />
IKLAN STIMUNO / HISTRIN FT<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
STimUno Raih anugerah<br />
Produk asli indonesia 2008<br />
STIMUNO yang diproduksi<br />
PT <strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong><br />
memperoleh Anugerah<br />
Produk Asli Indonesia (APAI)<br />
2008, Pemenang Kategori Obat.<br />
Penghargaan ini diberikan oleh<br />
harian ekonomi terkemuka Bisnis<br />
Indonesia, yang diserahkan<br />
<strong>pada</strong> Kamis, 11 Desember 2008,<br />
di Gedung Balai Kartini, Jakarta.<br />
APAI 2008 mengangkat tema<br />
“Goes Global” dirancang <strong>dan</strong><br />
diwujudkan untuk mengangkat<br />
produk asli Indonesia, baik<br />
berupa barang maupun jasa,<br />
agar dapat menjadi tuan rumah<br />
di negeri sendiri maupun<br />
mampu berlaga di ajang antarbangsa.<br />
Penghargaan APAI 2008 untuk<br />
STIMUNO diserahkan oleh<br />
Wakil Pemimpin Perusahaan<br />
Harian Bisnis Indonesia, Haryadi<br />
B. Sukam<strong>dan</strong>i ke<strong>pada</strong> Sylvia<br />
Andriani Rizal, Head of Marketing<br />
and Sales OTC <strong>Dexa</strong> Medi-<br />
Website <strong>Dexa</strong> medica Tampil dengan Wajah Baru<br />
Website <strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong><br />
kini tampil dengan<br />
wajah baru. Disain<br />
<strong>dan</strong> menu-menu baru terlihat<br />
lebih dinamis. Website ini akan<br />
menjadi pintu gerbang informasi<br />
tentang <strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong>.<br />
Tampilan baru ini mulai dapat<br />
diakses <strong>pada</strong> Rabu, 4 Februari<br />
2009, setelah Managing Director<br />
<strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong>, Ferry Soetikno<br />
melakukan browsing di sejumlah<br />
menu-menu baru dalam<br />
website ini, seperti Presentations,<br />
40 Tahun <strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong>, <strong>dan</strong> Hot<br />
News.<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
ca mewakili Managing Director<br />
<strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong>, Ferry Soetikno. Sementara<br />
itu, Pemimpin Redaksi<br />
Bisnis Indonesia, Ahmad Djauhar<br />
dalam sambutannya menjelaskan<br />
bahwa para pemenang<br />
APAI 2008 akan difasilitasi untuk<br />
mengikuti ABAC (ASEAN<br />
Business Advisory Council)<br />
Award tahun 2009 mendatang.<br />
Dewan Juri APAI 2008 terdiri<br />
dari: 1. Insan Budi Maulana,<br />
Pengamat Hak Kekayaan Intelektual,<br />
Managing Partner and<br />
Head of Intellectual Property Practice<br />
<strong>pada</strong> Lubis, Santosa Maulana<br />
Law Offices, 2. Yongky S. Susilo,<br />
Director, Business Development,<br />
Retail Services PT The Nielsen<br />
Company Indonesia, 3. Rofikoh<br />
Rokhim, Ekonom Harian Bisnis<br />
Indonesia, 4. Amalia E. Maulana,<br />
Head of MM Strategic Marketing<br />
BiNus Business School, 5.<br />
Bambang Setiadi Kepala Ba<strong>dan</strong><br />
Standardisasi Nasional (BSN),<br />
6. Goenawan Loekito, Pemerhati<br />
Bisnis <strong>dan</strong> Teknologi, Marketing<br />
Director PT Oracle Indonesia, 7.<br />
Narga S. Habib, Ketua Umum<br />
Persatuan Perusahaan Periklanan<br />
Indonesia (PPPI), 8. Mayadewi<br />
Hartarto, Presiden Direktur<br />
Esmod Jakarta, 9. Julius Aslan,<br />
events<br />
Direktur PT Astra Honda Motor.<br />
Sebelumnya, STIMUNO juga<br />
pernah memenangkan penghargaan<br />
Primanyarta Award (2005)<br />
<strong>dan</strong> BJ Habibie Technology Award<br />
(2008). Corporate Communications<br />
<strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong><br />
Selain menu-menu baru, beragam<br />
pilihan menu lain yang<br />
dapat diakses seperti info<br />
produk (ethical <strong>dan</strong> OTC), berita<br />
kesehatan <strong>dan</strong> farmasi, calendar<br />
of event, ragam aktivitas<br />
sosial Dharma <strong>Dexa</strong>, hingga<br />
info karir.<br />
Web <strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong> akan senantiasa<br />
dikembangkan mengikuti<br />
dinamika teknologi informasi.<br />
Silahkan kunjungi, tampilan<br />
baru www.dexa-medica.com !<br />
Corporate Communications <strong>Dexa</strong><br />
<strong>Medica</strong><br />
MEDICINUS<br />
41
MEDICINUS<br />
42<br />
events<br />
Dua Tahun Berturut-turut:<br />
<strong>Dexa</strong> medica Perusahaan Pembina<br />
Tenaga Kerja Perempuan Terbaik<br />
Dua Tahun berturut-turut,<br />
<strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong> terpilih sebagai<br />
Perusahaan Pembina<br />
Tenaga Kerja Perempuan<br />
Terbaik Provinsi Sumatera Selatan<br />
tahun 2008 <strong>dan</strong> 2007.<br />
Penghargaan Perusahaan Pembina<br />
Tenaga Kerja Perempuan<br />
Terbaik 2008 diberikan Senin, 22<br />
Desember 2008, di Jakarta Conven-<br />
tion Center, oleh Menteri Tenaga<br />
Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi RI, Erman<br />
Suparno disaksikan Presiden RI<br />
Susilo Bambang Yudhoyono, <strong>dan</strong><br />
Ibu Negara, Ani Bambang Yudhoyono,<br />
Wakil Presiden Yusuf Kalla,<br />
Menteri Megara Pemberdayaan<br />
Perempuan, Meutia Hatta, Menteri<br />
Kesehatan, Siti Fadillah Supari,<br />
Menteri Perdagangan, Mari Elka<br />
Pangestu, <strong>dan</strong> sejumlah Menteri<br />
Kabinet Indonesia<br />
Bersatu<br />
lainnya.<br />
Dari <strong>Dexa</strong><br />
<strong>Medica</strong>, hadir<br />
<strong>pada</strong><br />
penyerahan<br />
penghargaan<br />
t e r s e b u t ,<br />
K a r y a n t o ,<br />
C o r p o r a t e<br />
CommunicationsManager,<br />
mewakili<br />
M a n a g i n g<br />
Director <strong>Dexa</strong><br />
M e d i c a ,<br />
<strong>Dexa</strong> award untuk lulusan<br />
Terbaik apoteker Ui<br />
<strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong> kembali<br />
memberikan penghargaan<br />
<strong>Dexa</strong> Award ke<strong>pada</strong><br />
lulusan terbaik program<br />
profesi Apoteker dari universitas<br />
terakreditasi A di Indonesia. Kali<br />
ini, Nova Trisnawaty, S.Farm, Apt,<br />
terpilih untuk menerima penghargaan<br />
<strong>Dexa</strong> Award sebagai lulusan<br />
terbaik program profesi Apoteker<br />
Angkatan ke-67, Universitas Indonesia<br />
(UI). Nova yang berasal dari<br />
Palembang, Sumatera Selatan ini,<br />
memiliki Indeks Prestasi Kumulatif<br />
(IPK) 3,46.<br />
<strong>Dexa</strong> Award diserahkan oleh<br />
Head of Marketing and Sales OTC<br />
<strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong>, Sylvia Andriani<br />
Rizal, mewakili Direksi <strong>Dexa</strong><br />
<strong>Medica</strong>, <strong>pada</strong> Pelantikan <strong>dan</strong><br />
Pengambilan Sumpah Apoteker<br />
Angkatan LXVII, Departemen<br />
Farmasi, Fakultas Matematika<br />
<strong>dan</strong> Ilmu Pengetahuan Alam UI,<br />
Ferry Soetikno.<br />
Penghargaan<br />
ini digelar bersamaanPeringatan<br />
Hari Ibu<br />
ke-80 <strong>dan</strong> PencananganTahun<br />
Indonesia<br />
Kreatif 2009.<br />
Ada tujuh kategori<br />
penghargaan yang diberikan,<br />
yaitu Penghargaan Anugerah<br />
Parahita Ekapraya Tingkat<br />
Provinsi <strong>dan</strong> Kabupaten/Kota,<br />
Penghargaan Pengelola Program<br />
Terpadu Peningkatan Peran Wanita<br />
menuju Keluarga Sehat Sejahtera<br />
(P2WKSS) Terbaik Tingkat<br />
Provinsi, Penghargaan Pengelola<br />
Program Bina Keluarga Balita<br />
(BKB) Terbaik Tingkat Provinsi,<br />
Penghargaan Kelompok Bina<br />
Keluarga Balita (BKB) Terbaik<br />
Tingkat Provinsi, Penghargaan<br />
Pengelola Kecamatan Sayang Ibu<br />
(KSI) Terbaik Tingkat Provinsi,<br />
Penghargaan Rumah Sakit Sayang<br />
Ibu <strong>dan</strong> Bayi (RSSI <strong>dan</strong> B) Terbaik<br />
di Balai Si<strong>dan</strong>g<br />
UI, Depok, Rabu,<br />
4 Februari 2009.<br />
Acara itu dihadiri<br />
pula Ketua<br />
Umum Ikatan<br />
Sarjana Farmasi<br />
Indonesia (ISFI),<br />
Prof. Dr. HaryantoDhanutirto.<br />
Ada 60 lulusan<br />
Apoteker<br />
Angkatan ke-<br />
67 yang dilantik <strong>dan</strong> diambil<br />
sumpahnya dalam acara tersebut.<br />
<strong>Dexa</strong> Award merupakan<br />
penghargaan dari <strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong><br />
ke<strong>pada</strong> para apoteker <strong>dan</strong> dokter<br />
yang telah dengan upaya<br />
gigih menjadi lulusan terbaik.<br />
Dalam sambutannya, Sylvia<br />
mengatakan <strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong> didirikan<br />
di Palembang <strong>pada</strong> 27<br />
September 1969. Produk-produk<br />
Tingkat Provinsi, <strong>dan</strong> Penghargaan<br />
Perusahaan Pembina Tenaga<br />
Kerja Perempuan Terbaik Tingkat<br />
Provinsi.<br />
Pemenang Perusahaan Pembina<br />
Tenaga Kerja Perempuan Terbaik<br />
Tingkat Provinsi Sumatera Selatan<br />
Tahun 2008 adalah, Pemenang<br />
Pertama: PT <strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong>, Jl.<br />
Bambang Utoyo Palembang dengan<br />
nilai 7.323, Pemenang Kedua<br />
PT Interbis, Jl HBR Motik KM 7,<br />
Palembang dengan nilai 6.808,<br />
<strong>dan</strong> Pemenang Ketiga adalah PT<br />
PN VII Unit Usaha Beringin, Kabupaten<br />
Muara Enim dengan nilai<br />
6.662. Corporate Communications<br />
<strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong><br />
obat <strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong> tidak hanya<br />
didistribusikan di dalam negeri,<br />
tetapi juga diekspor ke manca negara.<br />
STIMUNO yang merupakan<br />
produk herbal untuk memperkuat<br />
sistem imun telah mendapatkan<br />
sertifikat Fitofarmaka dari Ba<strong>dan</strong><br />
Pengawasan Obat <strong>dan</strong> Makanan<br />
(BPOM). Bahkan belum lama ini,<br />
STIMUNO juga meraih penghargaan<br />
Anugerah Produk Asli Indonesia<br />
(APAI) 2008. Corporate Communications<br />
<strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong><br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
1. 5 th Jakarta International FESS Course &<br />
Workshop<br />
Tanggal: 7-9 Maret 2009<br />
Tempat: Gran Melia Hotel, Jakarta<br />
Sekretariat:<br />
Ear Nose Throat Department<br />
Gedung A (<strong>Medica</strong>l Staff Building) - 7th Floor<br />
Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta<br />
Indonesia<br />
Telp.: +62-21-3910701 / 3912144<br />
faks: +62-21-3912144 / 394154<br />
E-mail: retno_war<strong>dan</strong>i@yahoo.com atau<br />
thtrscm@indo.net.id<br />
Website: http://www.pediatric-ent.asia/index.<br />
php?option=com_content&view=category&lay<br />
out=blog&id=30&itemid=102<br />
2. PIT FETOMATERNAL MALANG<br />
Topik: Management of Obstetric Emergencies<br />
from Biomolecular to Vlinical Practice<br />
Tanggal: 7-11 Maret 2009<br />
Tempat: Kusuma Argo Wisata Hotel Batu,<br />
Malang<br />
Sekretariat:<br />
RSU Dr. Saiful Anwar Malang Div. Obstetric & Ginecology<br />
Jl. Jaksa Agung No. 2 Malang <strong>dan</strong> Jl. Ciasem I No.<br />
30A Kebayoran Baru - Jakarta Selatan<br />
Telp.: 0341-353331 / 021-7254424<br />
faks: 0341-353332 / 021-72794826<br />
E-mail: fetomalang@yahoo.com<br />
Contact Person: Dewi<br />
3. Workshop on Stem Cell Isolation, Culture<br />
and Analysis 2009<br />
Tanggal: 17 Maret 2009<br />
Tempat: Stem Cell and Cancer Institute (SCI) Pulomas,<br />
Jakarta<br />
Sekretariat:<br />
Fakultas Farmasi Universitas Pancasila<br />
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa - Jakarta Selatan<br />
Telp.: 021-7864727<br />
E-mail: tasq.julianti@gmail.com<br />
Contact Person: Tasqiah J (08122440698);<br />
Lungguk H (0812199185); Esti M<br />
(08151663201)<br />
4. 7 th National Obesity Symposium<br />
Topik: Obesity: Mission Possible<br />
Tanggal: 21-22 Maret 2009<br />
Tempat: Flores Room - Hotel Borobudur, Jakarta<br />
Sekretariat:<br />
Prodia Clinical Laboratory<br />
Jl. Kramat VI No. 5, Jakarta Pusat<br />
Telp.: 021-3145256, 3145296, 3145013,<br />
3145014<br />
faks: 021-31902310, 3159610<br />
E-mail: prodiaorganizer@yahoo.com; wil3.<br />
pemasaran@yahoo.co.id<br />
Contact Person: Pipih (0818196087); Nurul<br />
(085711118648)<br />
5. HIV Infection in Infants and Children in Indonesia:<br />
Current Challenges in Management<br />
Tanggal: 22-23 Maret 2009<br />
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta<br />
Sekretariat:<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
PKB IKA Departemen Ilmu Kesehatan Anak<br />
FKUI/RSCM, Jl. Salemba Raya 6 Jakarta 10430<br />
Telp.: 021-3161420<br />
faks: 021-3161420<br />
E-mail: salsa_nahdi@yahoo.com.sg<br />
Website: http://www.idai.or.id/agenda/<br />
Contact Person: Sdri. Indri Nethalia / Dinnisa<br />
Adirisnur<br />
6. Non Surgical Management of Benign Gynecology<br />
Tanggal: 27-28 Maret 2009<br />
Tempat: Auditorium Sarwono Lt. 1 Gedung A/<br />
Public Wing RSCM<br />
Sekretariat:<br />
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo<br />
Telp.: 021-3928720 / 021-68275657<br />
faks: 021-3928719<br />
Contact Person: Sdr. Rima/frany<br />
7. Update on <strong>Diagnosis</strong> & Management of<br />
Clinical Problem in Daily Practice (KPPIK<br />
FKUI 2009)<br />
Tanggal: 14-19 April 2009<br />
Tempat: FKUI <strong>dan</strong> Shangri La Hotel, Jakarta<br />
Sekretariat:<br />
CME-PDU FKUI Lt.2<br />
Jl. Salemba Raya No. 6 Jakarta Pusat<br />
Telp.: 021-3106737, 70752375<br />
faks: 021-3106443<br />
E-mail: kppik09.fkui@gmail.com atau cme_<br />
fkui@yahoo.com<br />
Contact Person: Yaya/Fiona/Wafi<br />
8. Joint Meeting - 3 rd Congress of Association<br />
of Souteast Asan Pain Society (ASEAPS) and<br />
Neuropathic Pain Special Interest Group<br />
(NeuPSIG) 2009<br />
Tanggal: 17-20 April 2009<br />
Tempat: Hyatt Hotel - Nusa Dua, Bali<br />
Sekretariat:<br />
Anesthesiology Department, Faculty of<br />
Medicine, Hasanuddin University/Dr. Wahidin<br />
Sudirohusodo General Hospital<br />
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 11 Tamalanrea,<br />
Makassar, South Sulawesi, Indonesia<br />
Telp.: +62-411-582583<br />
faks: +62-411-590290<br />
E-mail: joint_meeting@yahoo.co.id<br />
Website: http://www.aseaps2009.net<br />
Contact Person: Abdillah Khomeini<br />
9. 10 th Jakarta Antimicrobial Update (JADE)<br />
2009<br />
Topik: Improving Clinical Skills in Managing<br />
Tropical and Infectious Diseases<br />
Tanggal: 25-26 April 2009<br />
Tempat: Shangri-La Hotel, Jakarta<br />
Sekretariat:<br />
Telp.: 021-3929106 / 021-3920185<br />
faks: 021-3911873 / 021-3929106<br />
Contact Person: Lenni Sibarani/Dewi/Yulianto<br />
10. Anesthesia and Cardiovascular Problems<br />
Tanggal: 8-9 Mei 2009<br />
Tempat: Patra Convention Hotel, Semarang<br />
Sekretariat:<br />
calender events<br />
PT GPD Indonesia, Jl. Ciasem I No. 30A Kebayoran<br />
Baru, Jakarta Selatan 12180<br />
Telp.: 021-7254424, 7246720<br />
faks: 021-72794826<br />
11. Disfunctional Uterine Bleeding <strong>dan</strong> Hiperplasia<br />
Endometrium<br />
Tanggal: 14-15 Mei 2009<br />
Tempat: Auditorium Sarwono Lt. 1 Gedung A/<br />
Public Wing RSCM<br />
Sekretariat:<br />
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo<br />
Telp.: 021-3928720, 68275657<br />
faks: 021-3928719<br />
Contact Person: Sdr. Rima/Frany<br />
12. The 5 th International Endoscopy Workshop<br />
& Indonesian Digestive Diseases week<br />
Tanggal: 14-17 Mei 2009<br />
Tempat: Borobudur Hotel, Jakarta <strong>dan</strong> RSCM<br />
Sekretariat:<br />
Divisi Gastroenterologi<br />
Bagian Ilmu Penyakit Dala, FKUI/RSUP Dr.<br />
Cipto Mangunkusumo, Jl. Diponegoro 71,<br />
Jakarta<br />
Telp.: +62-21-3148680, 83792121<br />
E-mail: gitipdui@cbn.net.id atau pt_mts@<br />
indo.net.id<br />
Website: http://www.ina-hgic.<br />
or.id/?page=event<br />
13. 12 th Asian Conference on Diarrhoeal Diseases<br />
and Nutrition (12 th ASCODD)<br />
Tanggal: 25-29 Mei 2009<br />
Tempat: Yogya<br />
Sekretariat:<br />
Pediatric Research Unit Child Health Department<br />
Faculty of Medicine Gadjah Mada University,<br />
Jl. Kesehatan No. 1 Yogyakarta 55281<br />
Telp.: +62-274-7011570, 555455<br />
faks: +62-274-555255<br />
E-mail: ascodd12@hotmail.com<br />
14. Jogya Dsypepsia Forum 2009<br />
“Dyspepsia Management Strategy”<br />
Where are We Now and Where are We Going?<br />
Tanggal: 5-6 Juni 2009<br />
Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta<br />
Sekretariat:<br />
Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito<br />
Jl. Kesehatan No. 1 Sekip, Yogyakarta<br />
Telp.: 62 274 587333 psw 316 / 553119<br />
faks: 62 274 553120<br />
E-mail: gitrss@yahoo.com<br />
15. 4 th National Symposium on Vascular Medicine<br />
Topik: Integrative Approach on Vascular<br />
Disease: from Prevention to Intervention<br />
Tanggal: 30 Juli - 1 Agustus 2009<br />
Tempat: Ritz Carlton Hotel, Jakarta<br />
Sekretariat:<br />
Rumah sakit Pusat Jantung Nasional Harapan<br />
Kita, Jl. S Parman Kav. 87 Slipi, Jakarta<br />
Telp.: 021-5684085, 5684093 (ext 2831)<br />
faks: 021-56963795<br />
MEDICINUS<br />
43
MEDICINUS<br />
44<br />
literature services<br />
Pembaca yang budiman,<br />
Jurnal MEDICINUS melayani permintaan literatur services hanya dengan melalui Tim Promosi <strong>Dexa</strong> <strong>Medica</strong> Group.<br />
Di bawah ini akan diberikan daftar isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya, mohon halaman<br />
ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda <strong>dan</strong> dikirimkan ke atau melalui Tim Promosi.<br />
o outcomes of patients hospitalized with<br />
community-acquired, health care-associated,<br />
and hospital-acquired pneumonia. Annals of<br />
Internal Medicine 2009; 150:19-26<br />
o Screening for skin cancer: an update of the evidence<br />
for the US preventive services task force.<br />
Annals of Internal Medicine 2009; 150:194-8<br />
o Prognosis of fatigue and functioning in primary<br />
care: a 1-year follow-up study. Annals of<br />
Family Medicine 2008; 6:519-27<br />
o oxidative stress and left ventricular remodelling<br />
after myocardial infarction. Cardiovas-<br />
cular Research 2009; 81:457-64<br />
o long-term use of thiazolidinediones and<br />
fractures in type 2 diabetes: a meta-analy-<br />
sis. CMAJ 2009; 180(1):32-9<br />
o acupuncture treatment for pain: Systemic<br />
Review of randomised clinical trials with<br />
acupuncture, placebo acupuncture, and no<br />
acupuncture groups. BMJ 2009; 338:330-44<br />
o long-term survival after evidence based<br />
treatment of acute myocardial infarction<br />
and revascularisation: follow-up of popula-<br />
tion based Pert moniCa cohort, 1984-2005.<br />
BMJ 2009; 339:b36<br />
o antidepressants for the treatment of chronic<br />
pain. Drugs 2008; 68(18):2611-32<br />
o novel targets for antiretroviral therapy. Clin-<br />
ical progress to date. Drugs 2009; 69(1):31-<br />
50<br />
o management of nSaiD-induced gastrointestinal<br />
toxicity. focus on proton pump inhibi-<br />
tors. Drugs 2009; 69(1):51-69<br />
o effect of high-dose simvastatin therapy on glucose<br />
metabolism and ectopic lipid deposition in<br />
nonobese type 2 diabetic patients. Diabetes Care<br />
2009; 32:209-14<br />
o metabolic syndrome and risk for incident<br />
alzheimer’s disease or vascular dementia.<br />
Diabetes Care 2009; 32:169-74<br />
o allopurinol and nitric oxide activity in the<br />
cerebral circulation of those with diabetes.<br />
Diabetes Care 2009; 32:135-7<br />
o giant osteoclast formation and long-term<br />
oral bisphosphonate therapy. The New Eng-<br />
land Journal of Medicine 2009; 360:53-62<br />
o fractional flow reserve versus angiography<br />
for guiding percutaneous coronary inter-<br />
vention. The New England Journal of Medicine<br />
2009; 360:213-24<br />
o Primary ovarian insufficiency. The New England<br />
Journal of Medicine 2009; 360:606-14<br />
o association of mild anemia with hospitalization<br />
and mortality in the elderly: the health<br />
and anemia population-based study. Haema-<br />
tologica 2009; 94(1):22-8<br />
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009<br />
IKLAN KEPPRA<br />
MEDICINUS
IKLAN HOSPITAL EXPO