RH7yFQ
RH7yFQ
RH7yFQ
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
selektif ini.<br />
Adanya lembaga yang akan mengurus dan memproses masalah<br />
pelanggaran HAM masa lalu dan kini maupun mendatang, tetap<br />
diperlukan. Untuk itulah, pada 2009, parlemen (DPR) pernah<br />
merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan<br />
HAM ad hoc guna menyelesaikan kasus penculikan dan penghilangan<br />
paksa tahun 1997-1998. DPR bahkan sempat pula berkirim surat<br />
meminta Presiden agar menindaklanjuti rekomendasi tersebut.<br />
Namun rupanya surat DPR tidak memperoleh tanggapan resmi.<br />
Yang muncul justru tanggapan Menteri Hukum dan HAM waktu itu,<br />
Patrialis Akbar, melalui media massa, yang mengatakan bahwa, bila<br />
membongkar siapa yang bertanggung jawab atas kasus penghilangan<br />
paksa tersebut, tindakan ini akan menimbulkan kegaduhan politik.<br />
Dalam Pasal 43 Ayat (3) UU No 26 Tahun 2000 jelas disebut<br />
bahwa Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan<br />
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Kewenangan untuk<br />
mengusulkan ini dipunyai oleh DPR dengan pertimbangan bahwa selain<br />
sebagai bagian dari fungsi pengawasan, DPR juga dinilai sebagai<br />
representasi rakyat Indonesia. Benar bahwa sebagai sebuah kata,<br />
rekomendasi berarti saran atau usul. Sebagai usul, ia dapat diterima<br />
secara penuh, sebagian, atau ditolak seluruhnya. Namun dalam konteks<br />
relasi antara DPR dan Presiden, bila rekomendasi DPR diabaikan oleh<br />
Presiden tanpa ada penjelasan apa pun, hal ini mengindikasikan<br />
kurangnya wibawa DPR, yang seharusnya sebagai pengawas Presiden<br />
dan representasi rakyat Indonesia, di hadapan Presiden.<br />
Sementara itu, bila Jaksa Agung serius memerankan fungsinya<br />
sebagai aparat penegak hukum, dan benar bahwa belum terbentuknya<br />
Pengadilan HAM ad hoc merupakan kendala bagi institusinya untuk<br />
menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, tentunya<br />
rekomendasi dari DPR ini akan dilihatnya sebagai peluang, khususnya<br />
untuk melangsungkan penyidikan dan penyelesaian peristiwa<br />
penghilangan paksa 1997-1998. Bila benar begitu, tentunya Jaksa Agung<br />
aktif menunjukkan dukungannya bagi pelaksanaan rekomendasi DPR<br />
tersebut. Namun nyatanya tidak seperti itu.<br />
Masalah Rumit<br />
Di Indonesia, ada banyak masalah pelanggaran HAM, berat maupun<br />
81<br />
dignitas<br />
Volume VIII No. 1 Tahun 2012