10.01.2013 Views

RH7yFQ

RH7yFQ

RH7yFQ

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Selain itu, Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi: ”Pelaksanaan pemberian<br />

kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus<br />

dilaksanakan oleh Pemerintah dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun<br />

terhitung sejak tanggal keputusan Komisi ditetapkan.” Dari pasal ini bisa<br />

dibayangkan pemberian kompensasi dan rehabilitasi ini bisa saja ditunda<br />

selama tiga tahun dengan sistem perhitungan yang tidak jelas sehingga<br />

korban akan semakin menderita.<br />

Selain itu, harus diakui pula adanya kelemahan substansi hukum<br />

HAM disebabkan oleh: ketidaksigapan dan kecermatan DPR dan<br />

Pemerintah saat pembahasan RUU; konfigurasi politik demokratis di<br />

Parlemen hasil Pemilu 1999 yang didukung pula oleh elemen-eleman<br />

demokrasi di luar Parlemen tidak dengan sendirinya melahirkan produkproduk<br />

hukum yang responsif secara substansial; masih eksisnya<br />

kekuatan pendukung pemerintahan masa lalu, sekalipun konfigurasi<br />

politik formal di DPR didominasi oleh kekuatan reformasi; penyelesaian<br />

pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah menjadi keinginan murni<br />

pemerintah, tetapi sebagai respon terhadap desakan dalam negeri dan<br />

dunia internasional.<br />

Kini keinginan penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa<br />

lalu dan sekarang muncul melalui upaya konstitusional dalam bentuk<br />

pengajuan RUU.<br />

Urgensi KKR<br />

Pembentukan KKR sebagaimana pengalaman banyak negara, tentu saja<br />

berada dalam konteks transisi pemerintahan, yaitu dari pemerintahan<br />

otoriter menuju pemerintahan demokratis. Dalam transisi demikian,<br />

mencuat pertanyaan mengenai sikap dan tanggung jawab (responsibility)<br />

negara terhadap kejahatan kemanusian oleh rezim sebelumnya.<br />

Menurut Mary Albon, pertanyaan ini mengandung dua isu<br />

penting, yaitu: pengakuan (acknowledgement) dan pertanggungjawaban<br />

(accountability). Pengakuan mengandung dua pilihan: ”mengingat” atau<br />

”melupakan”. Akuntabilitas menghadapkan kita pada pilihan antara<br />

melakukan ”prosekusi” atau ”memaafkan”. Persoalannya, mengutip<br />

Hannah Arendt (1958), bagaimana kita bisa memaafkan apa yang tak<br />

dapat dihukum? ”Men are not able to forgive what they cannot punish ” (kita tak<br />

bisa mengampuni apa yang tak dapat kita hukum). Demikian juga,<br />

bagaimana kita bisa melupakan apa yang tak pernah dibuka untuk kita<br />

79<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!