RH7yFQ
RH7yFQ
RH7yFQ
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
tinggal di rumah mertua Bu Sri. Mereka hidup bertani, dan menjalani<br />
taraf hidup yang serba pas-pasan, sampai akhirnya suami Bu Sri<br />
mendapatkan pekerjaan di Jakarta kembali pada profesi semula, yaitu<br />
guru.<br />
Kisah hidup Bu Sri barangkali yang paling lazim terjadi di<br />
kalangan para istri mantan tapol. Artinya, kemampuan untuk bertahan<br />
hidup sewaktu suami di penjara sangat bergantung pada topangan<br />
ekonomi orang tua atau kerabat dekat, bahkan sampai pada masalah<br />
tempat tinggal. Boleh jadi kondisi semacam inilah yang membuat orang<br />
seperti Bu Sri tidak perlu 'terjatuh' pada situasi seperti yang dialami Bu<br />
Siti, dan juga terhindar dari pengalaman seperti yang dialami Bu Surti.<br />
Korban Tidak Langsung dan Kultur Patriarkhi<br />
Para istri tapol seperti dituturkan di atas jelas bukan korban langsung dari<br />
kekerasan politik massal 1965-66. Mereka sendiri tidak pernah<br />
diinterogasi dan dipenjara. Mereka juga tidak mengalami ancaman fisik<br />
dari pihak manapun. Namun, akibat yang mereka (dan anak-anak<br />
mereka) alami sebagai dampak dari ditahannya suami mereka jelas tidak<br />
bisa diremehkan. Masalah yang langsung menghadang mereka jelas<br />
adalah problem berjuang untuk menyambung hidup.<br />
Namun seperti terlihat dalam kasus Bu Surti, keberhasilan dalam<br />
berjuang untuk survival ternyata tidak mendapat apresiasi sama sekali<br />
dari suaminya. Keberhasilan istri untuk survival dipandang sebagai<br />
ancaman buat wibawa suami. Dan itulah momen yang traumatis bagi<br />
istri, karena kemudian dia kehilangan rasa hormat kepada suami, bahkan<br />
mungkin juga rasa hormat kepada laki-laki.<br />
Keberhasilan seorang istri untuk bertahan hidup seperti lumer<br />
dan nyaris tak berarti ketika bertabrakan dengan tembok kultur<br />
patriarkhi. Padahal, dengan keberhasilan itu sebenarnya yang dituntut<br />
adalah kesetaraan, bukan pembalikan relasi kuasa antara suami dan istri.<br />
Dalam kasus Bu Siti, tampak bahwa bayangan bagaimana masyarakat<br />
nyaris tidak menyisakan ruang untuk memahami 'perselingkuhannya'<br />
telah membuat Bu Siti menempatkan suaminya, orang terdekatnya,<br />
sebagai sasaran pemberontakannya terhadap kultur patriarkhi. Ongkos<br />
yang harus dia bayar adalah isolasi yang dilakukan lingkungan<br />
terdekatnya atas dirinya.<br />
Sedangkan dalam kasus Bu Sri, boleh dikatakan tidak ada<br />
47<br />
dignitas<br />
Volume VIII No. 1 Tahun 2012