RH7yFQ
RH7yFQ
RH7yFQ
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
FOKUS<br />
Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi<br />
ayah, maka bisa dibayangkan berapa anak yang kemudian menjadi yatim,<br />
dan berapa istri yang kemudian menjadi janda. Dalam masyarakat di<br />
mana laki-laki umumnya berperan sebagai satu-satunya pencari nafkah<br />
dalam keluarga, maka dalam situasi semacam itu bisa dibayangkan<br />
bagaimana para istri yang kemudian menjadi janda (entah karena<br />
suaminya dibunuh atau dipenjarakan) harus berjuang untuk<br />
mempertahankan hidup dirinya dan anak-anaknya.<br />
Kisah dalam tulisan ini bersumber dari penuturan orang-orang<br />
yang cukup dekat dengan istri-istri mantan tahanan politik dan karena itu<br />
tahu banyak pengalaman hidup mereka. Kisah mereka itu menarik untuk<br />
diperbincangkan bukan hanya untuk memahami seberapa jauh tragedi<br />
1965-66 telah menciptakan berlapis-lapis korban, tetapi juga untuk<br />
memahami bagaimana kultur patriarkhi telah membentuk beragam<br />
memori di kalangan perempuan yang terkena dampak tidak langsung<br />
dari tragedi tersebut. Beragam memori itu termanifestasikan dalam<br />
berbagai respons terhadap situasi masa kini, situasi di mana menuturkan<br />
penderitaan masa lalu secara publik telah menjadi sesuatu yang mungkin,<br />
walau terkadang bukannya tanpa resiko.<br />
Berikut ini pengalaman tiga istri mantan tahanan politik (tapol)<br />
yang mengalami jalan hidup yang berbeda dalam bertahan hidup, bukan<br />
hanya secara ekonomi tetapi juga secara sosial. Untuk memudahkan<br />
penuturan, ketiga istri itu saya sebut Bu Surti, Bu Siti, dan Bu Sri.<br />
Kisah Bu Surti<br />
Bu Surti adalah istri seorang tentara berpangkat rendah. Suaminya<br />
ditahan selama empat belas tahun karena menjadi bagian dari resimen<br />
yang dianggap mendukung Gerakan 30 September pimpinan Letkol.<br />
Untung Samsuri. Ketika suaminya mulai ditahan, dia harus menghidupi<br />
dirinya dan kedua anaknya yang masing-masing putra berusia enam<br />
tahun dan putri berusia empat tahun.<br />
Pada mulanya Bu Surti bekerja sebagai buruh pada industri<br />
rumahan yang memproduksi tepung beras. Dia harus bekerja dari subuh<br />
hingga petang, sementara kedua anaknya dia tinggal di rumah dan dijaga<br />
oleh tetangga yang masih ada hubungan kerabat dengannya. Selama<br />
sepuluh tahun dia menjalani kerutinan hidup seperti itu. Begitulah dia<br />
dan kedua anaknya bisa bertahan hidup. Bahkan lebih dari itu, dia<br />
mampu menyekolahkan anak sulungnya ke sekolah menengah atas,<br />
42