10.01.2013 Views

RH7yFQ

RH7yFQ

RH7yFQ

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

FOKUS<br />

Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh<br />

pihak yang berkuasa saat ini bergeming untuk membahas upaya<br />

penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu Aceh itu.<br />

Tentu saja mandegnya upaya ini tidak sejalan dengan cita<br />

Republik sebagai sebuah negara hukum sebagaimana termaktub dalam<br />

Konstitusi. Sangat disayangkan karena realitas yang terjadi sekarang<br />

seakan-akan merupakan penegasian eksistensi Republik sebagai negara<br />

hukum, dan sebagai sebuah negara modern yang memiliki Konstitusi<br />

yang mencerminkan penghormatan dan kehendak penegakan HAM.<br />

Memang bila dilihat dari konteks historis, sejak berdirinya<br />

Indonesia pada 1945, Republik ini belum memiliki fondasi politik yang<br />

cukup kuat untuk mewujudkan penghormatan dan kemauan penegakan<br />

HAM sebagai sebuah realitas. Ini dibuktikan dengan amat sedikitnya<br />

proses peradilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan. Dengan kata<br />

lain, Republik ini memiliki tradisi politik yang cukup kuat untuk<br />

mengakumulasi kejahatan kemanusiaan.<br />

Sejak Amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada 1999-2002,<br />

HAM telah menjadi bagian yang integral dalam Konstitusi. Jumlah<br />

pasal-pasalnya lebih banyak dibanding pasal yang berkenaan dengan<br />

keamanan dan pertahanan. Amandemen menghasilkan pembatasan<br />

jabatan Presiden maupun Kepala Daerah. Di level pusat telah<br />

mengalami pergantian rezim penguasa paska Reformasi 1998, sedang di<br />

Aceh telah berlangsung dua kali pemilukada (2006 dan 2012), serta satu<br />

kali perubahan komposisi anggota Parlemen Aceh, yang kini dikuasai<br />

dan didominasi oleh golongan politik yang menjadi lokomotif gerakan<br />

kemerdekaan Aceh.<br />

Pertanyaan besarnya mengapa perbaikan kondisi hukum dan<br />

politik, baik di level Pusat maupun di Aceh ini, tidak kunjung memberikan<br />

kebenaran dan keadilan terhadap korban konflik Aceh? Padahal<br />

kejahatan kemanusiaan sebagai fakta sosial (yang terus bergerak menjadi<br />

fakta sejarah) tidak terbantahkan.<br />

Bukankah ikhtiar memberikan kebenaran dan keadilan pada<br />

korban dan pelaku merupakan perwujudan pernyataan diri sebagai<br />

negara hukum? Faktor apa saja yang menyebabkan kegagalan<br />

penuntasan kejahatan masa lalu di Aceh?<br />

Untuk menjawab persoalan di atas, tulisan ini memaparkan<br />

kembali catatan-catatan tentang perdebatan antara pihak RI dan GAM<br />

di meja perundingan di Helsinki, proses pengadopsian resolusi masalah<br />

26

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!