RH7yFQ
RH7yFQ
RH7yFQ
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
FOKUS<br />
Drama Abadi Pembajakan Demokrasi<br />
Sejak drama penculikan jendral di Jumat Legi 1 Oktober 1965<br />
dan selanjutnya, turunnya matahari berarti mulainya bencana.<br />
Penangkapan dan pengambilan orang tidak kembali sejak November<br />
1965 hingga 1969 di desa-desa di Jawa, Bali, Sumatera berlangsung saat<br />
matahari merayap turun. Tiga puluh tahun kemudian, menyusul<br />
peristiwa Sabtu Pon tanggal 27 Juli pagi hari, jajaran pimpinan Angkatan<br />
Darat memaklumkan pengejaran aktivis PRD dan PDI melalui Jurnal<br />
Petang SCTV dan RCTI. Saat maghrib bagi kebanyakan orang Indonesia<br />
adalah waktu yang traumatik tetapi di saat sama diberkati.<br />
Tragedi politik tidak saja menyisakan kenangan tetapi hidup bila<br />
sinyal kekerasan memancar. Lebih lagi, oleh situasi yang tetap<br />
mengancam, yang karenanya tragedi serupa mungkin berulang, trauma<br />
itu terpelihara dengan baik. Karenanya, siapakah, pimpinan politik<br />
manakah, kekuasaan apakah, yang berani menjamin bahwa drama<br />
kekerasan tidak akan terulang kembali?<br />
Serangan kepada kelompok Ahmadiyah hanya menghidupkan<br />
sinyal lama betapa kekerasan antar masyarakat sengaja dibiarkan. Di<br />
Poso, Maluku, Sanggau, Sintang di tahun 1998, maupun Singkawang,<br />
Lombok, Bali dan pedesaan Jawa Timur di tahun 1965, polisi dan tentara<br />
berada di antara para penyerang.<br />
Tuduhan penguasa bahwa Ahmadiyah menghina Islam dan<br />
patut diusir justru menyetrum kenangan lama tentang keberingasan<br />
masyarakat membakar rumah dan membunuh mereka yang dianggap<br />
ternoda oleh komunisme, atheisme atau aliran sesat. Para penganut<br />
agama lokal seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan, Parmalim peka dengan<br />
gerak pensucian macam ini. Warga pun masih mengenang pembantaian<br />
Haur Koneng, Jawa Barat tahun 1984. Sinyal itu berkedip-kedip<br />
sepanjang masa karena monumen-monumen hidup warga puluhan desa<br />
di Malang Selatan, Blitar, Kediri yang hampir 100% beragama Kristen<br />
atau Katolik. Mereka ini pemeluk kejawen yang 'hijrah' massal di<br />
penghujung tahun 60an untuk menyelamatkan diri dari tuduhan atheis.<br />
Dimensi kejadian yang berbagai-bagai itu membentuk trauma.<br />
Dimensi yang bukan peristiwa dan tak bisa disusun kronologinya.<br />
Menjadi tapol karena namanya tertera dalam daftar tangkap, karena<br />
pernah mengisi formulir, memberi pelajaran untuk mewaspadai semua<br />
formulir dan tetap memelihara identitas diri yang berbeda-beda.<br />
Peristiwa 65 yang cuma semalam, telah meluluh-lantakkan<br />
14