10.01.2013 Views

RH7yFQ

RH7yFQ

RH7yFQ

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

ISSN 1693-3559


dignitas<br />

Jurnal Hak Asasi Manusia<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

ISSN 1693-3559<br />

Jurnal Dignitas merupakan jurnal yang terbit dua kali setahun,<br />

setiap Juni dan Desember, dengan mengangkat isu utama mengenai<br />

hak asasi manusia. Tulisan yang diterbitkan di jurnal ini memandang<br />

hak asasi manusia secara multidisipliner. Bisa dari sudut pandang<br />

hukum, filsafat, politik, kebudayaan, sosiologi, sejarah, dan<br />

hubungan internasional.<br />

Tema yang diterbitkan diharapkan mampu memberikan kontribusi<br />

pengetahuan dan meramaikan diskursus hak asasi. Kehadiran Jurnal<br />

Dignitas ini ingin mewarnai perdebatan hak asasi yang ada.<br />

Misi Jurnal Dignitas adalah menyebarkan gagasan dan pemikiran<br />

yang dielaborasi melalui studi, baik teoretik maupun empirik,<br />

tentang permasalahan hak asasi manusia atau hukum yang<br />

berkaitan dengan hak asasi manusia.<br />

Dewan Redaksi: Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ery Seda, Ifdhal Kasim, Karlina L. Supeli,<br />

Sandra Moniaga, Soetandyo Wignjosoebroto, Todung Mulya Lubis, Yosep Adi Prasetyo;<br />

Pemimpin Redaksi: Indriaswati Dyah Saptaningrum; Redaktur Pelaksana: Widiyanto Staf<br />

Redaksi: Ikhana Indah, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyudi Djafar, Wahyu Wagiman,<br />

Zainal Abidin; Sekretaris Redaksi: E. Rini Pratsnawati Sirkulasi dan Usaha: Khumaedy<br />

Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)<br />

Alamat Redaksi: Jln. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510<br />

Telp: 021-7972662, 79192564 Fax: 021-79192519<br />

Email: office@elsam.or.id Website: www.elsam.or.id


dignitas<br />

Jurnal Hak Asasi Manusia<br />

DAFTAR ISI<br />

EDITORIAL<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

ISSN 1693-3559<br />

______ 3<br />

FOKUS<br />

Drama Abadi Pembajakan Demokrasi demi Masa Lalu<br />

______ 7<br />

oleh Agung Putri Astrid<br />

______ 9<br />

Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh<br />

oleh Otto Syamsuddin Ishak ______ 25<br />

Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi<br />

oleh Budiawan ______ 41<br />

DISKURSUS ______ 49<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat<br />

di Indonesia dan Negara-Negara Lain<br />

oleh Zainal Abidin ______ 51<br />

Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu<br />

oleh Herry Sucipto dan Hajriyanto Y. Thohari ______ 75<br />

OASE ______ 87<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

oleh Stanley Adi Prasetyo ______ 89<br />

TINJAUAN ______ 115<br />

”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste<br />

oleh Razif ______ 117<br />

KONTRIBUTOR ______ 127<br />

PEDOMAN PENULISAN ______ 129<br />

PROFIL ELSAM ______ 131


EDITORIAL<br />

Sidang Pembaca yang kami hormati!<br />

Jurnal dignitas kali ini mengetengahkan tema mengenai kabar<br />

penyelesaian kejahatan hak asasi manusia masa lalu. Tema ini secara<br />

sengaja dipilih guna mengungkapkan pelbagai analisis seputar proses<br />

penyelesaian kejahatan masa lalu di Indonesia yang bisa dikatakan<br />

stagnan.<br />

Proses kanalisasi penyelesaian tampak sangat kuat sedang<br />

berlangsung dengan modus lebih sistematis, mulai dari ketentuan<br />

normatif kebijakan yang ada, hingga faktor implementasi penyelesaian<br />

yang tiada komitmennya. Itulah Indonesia. Kita bisa lihat dari perjalanan<br />

upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia.<br />

Beberapa waktu lalu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia<br />

(Komnas HAM) telah menyelesaikan tugasnya melakukan penyelidikan<br />

pro-justicia terhadap Peristiwa tahun 1965/1966. Hasilnya, Komnas<br />

HAM menemukan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat<br />

dengan melibatkan unit negara yang bertanggung jawab atas keamanan<br />

saat itu, yaitu Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban<br />

(Kopkamtib).<br />

Hasil penyelidikan Komnas HAM memang menerbitkan secercah<br />

harapan. Institusi ini kemudian meminta kepada Kejaksaan Agung<br />

menindaklanjuti ke tahapan penyidikan. Namun bak nyala lilin yang tibatiba<br />

padam tertiup angin, Kejaksaan Agung menyatakan hendak<br />

mengembalikan berkas penyelidikan yang disusun berdasar<br />

penyelidikan selama empat tahun itu.<br />

Lalu kita pun menjadi paham sistem kepolitikan dan hukum kita<br />

sekarang tak kunjung menyemai keadilan bagi korban. Tesis bahwa<br />

setiap negara yang telah melewati fase pemerintahan otoriter akan<br />

mengalami periode transisi tampaknya tak berlaku di Indonesia.<br />

3


Tak pernah tuntasnya penyelesaian masa lalu menjadi penanda<br />

gagalnya periodisasi yang bernada siklis itu. Kondisi Indonesia saat ini<br />

merupakan kelanjutan dari absennya 'patahan' atau batasan yang jelas<br />

antara masa kini dan masa lalu. Karena kini adalah akibat masa lalu.<br />

Asumsi yang berkembang kemudian telah terjadi pembajakan<br />

demokrasi oleh elit lama yang berganti muka menjadi penguasa baru<br />

dengan menggunakan momentum reformasi yang tak terdisain pro<br />

terhadap korban. Elit-elit lama bermetamorfosis dan melindungi<br />

kekuasaannya melalui serangkaian disain aturan hukum yang tak<br />

mencerminkan keadilan bagi korban.<br />

Prosedur hukum menjadi pertimbangan utama, yang ternyata<br />

tak berpengaruh pada perbaikan substansi keadilan. Elit lama ini<br />

ditengarai masih menguasai ranah penegakan dan proseduralisme<br />

hukum ini. Namun, tesis ini ternyata tak berhenti di sini. Ada fenomena<br />

menarik melihat perkembangan post-reformasi di Indonesia. Pegiat hak<br />

asasi manusia Agung Putri melihat dari sudut pandang lain itu.<br />

Menurutnya, Indonesia mengalami fase unik tatkala periode<br />

paska-reformasi sekarang lebih banyak diwarnai dengan dinamika<br />

interaksi korban dan pelaku secara intensif. Fenomena ini merujuk pada<br />

sejumlah peristiwa, seperti halnya, beberapa korban penculikan tahun<br />

1997/1998 memilih bergabung dengan partai politik yang dikontrol<br />

oleh jenderal yang diduga kuat terlibat dalam penculikan mereka saat itu.<br />

Demikian pula representasi korban kejahatan masa lalu yang<br />

pada akhirnya memiliki jabatan-jabatan strategis paska-reformasi dinilai<br />

gagal mengartikulasikan kepentingan kolektif korban. Mereka<br />

setidaknya memiliki kesempatan untuk mengukir sejarah dengan<br />

membuat pembatasan antara masa kini dan masa lalu.<br />

Namun ternyata kelompok korban yang memiliki kekuasaan<br />

tersebut tak mampu melakukan pembatasan itu. Mereka malah justru<br />

memilih jalan kompromi yang akhirnya keinginan pengungkapan<br />

kejahatan masa lalu pun termoderasi dalam kepentingan pragmatis.<br />

Gambaran ini persis terjadi di Aceh, seperti dianalisis oleh Otto<br />

Syamsuddin Ishak, intelektual Aceh yang lama terlibat dalam gerakan<br />

masyarakat sipil Aceh ini.<br />

Tatkala mantan para pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM)<br />

4


menguasai mayoritas kursi di parlemen lokal dan posisi gubernur/wakil<br />

gubernur, mereka memiliki kesempatan untuk mendorong kejahatan<br />

masa lalu dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi<br />

(KKR) Aceh. Akan tetapi apa yang terjadi? Hingga kini KKR Aceh<br />

belum terbentuk dengan dalih ketiadaan dasar legalitasnya.<br />

Terdapat dua skema utama yang selama ini dikenal luas kerangka<br />

penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat. Pertama, melalui<br />

pengadilan hak asasi manusia, dan jalur kedua lewat komisi kebenaran<br />

dan rekonsiliasi. Zainal Abidin dari ELSAM menguraikan kedua<br />

mekanisme tersebut dengan becermin pada proses penyelesaian<br />

kejahatan hak asasi manusia di negara-negara lain.<br />

Indonesia mengenal dua mekanisme penyelesaian tersebut,<br />

hanya saja untuk penyelesaian melalui KKR tidak pernah terjadi. Komisi<br />

ini bahkan tak pernah ada dan dasar hukum pembentukannya dianulir<br />

oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Sementara pengadilan hak asasi<br />

manusia telah dijamin keberadaannya lewat UU No. 26 tahun 2000<br />

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.<br />

Bila terkait dengan kasus sebelum UU disahkan, mekanismenya<br />

lewat pembentukan pengadilan HAM Adhoc. Untuk kasus sesudahnya<br />

lewat pengadilan HAM biasa. Untuk pembentukan Pengadilan HAM<br />

Adhoc harus ada rekomendasi dari DPR dan pembentukannya berdasar<br />

Keputusan Presiden. Bisa dibayangkan betapa berlikunya mekanisme<br />

penyelesaian kejahatan hak asasi manusia masa lalu di negara ini.<br />

Menurut Hajriyanto Thohari, wakil ketua Majelis<br />

Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan segala kerumitan yang ada,<br />

pembentukan UU KKR sebagai sarana untuk penyelesaian kejahatan<br />

masa lalu perlu didorong kembali.<br />

Ada banyak kasus yang niscaya saat ini sedang ditunggu<br />

kepastian penyelesaiannya oleh para korban. Menurut Irawan Saptono<br />

(2002), dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia, terdapat tiga tipologi<br />

korban yang perlu dilihat dalam menjamin keadilan mereka yang<br />

terlanggar haknya. Satu, mereka yang masuk klasifikasi korban langsung.<br />

Dua, korban tak langsung yang biasanya menderita psikis dan emosi<br />

yang berat. Dan ketiga, para aktivis yang turut diculik karena<br />

memperjuangkan pengungkapan kejahatan hak asasi manusia.<br />

5


Tulisan Budiawan mengenai narasi tiga korban tak langsung<br />

mengulas betapa passion memories-nya sangat menyentuh. Rata-rata para<br />

korban tak langsung, yang seperti para istri dari mereka yang ditangkap<br />

dengan dalih terlibat PKI tahun 1965 mengalami pergulatan batin yang<br />

cukup keras. Ada istri yang tak siap menghadapi kesendirian, ada pula<br />

yang dengan tabah dan 'menormalkan' hidupnya yang tak normal, dan<br />

lain sebagainya.<br />

Para korban tak langsung ini cenderung memiliki perasaan yang<br />

sama: mereka cemas akan kejelasan nasib suami, anak, atau sanak<br />

saudara mereka yang diculik, dihilangkan paksa, atau mereka yang<br />

mengalami pelanggaran hak asasi manusia berat lainnya.<br />

Stanley Adi Prasetyo berusaha mengungkapkan perasaan yang<br />

dialami oleh aktivis-cum-seniman Wiji Thukul persis saat-saat terakhir<br />

sebelum dia dihilangkan paksa oleh Orde Baru Soeharto, di tahun 1998.<br />

Wiji Thukul mengungkapkan kegetirannya melihat situasi politik dan<br />

sosial yang berkembang saat itu lewat belasan puisinya.<br />

Menariknya, puisi-puisi Wiji Thukul ini belum pernah<br />

dipublikasikan dalam terbitan-terbitan sebelumnya. Baru di jurnal ini<br />

Stanley mengulas puisi-puisi yang dirangkainya menjadi satu rangkaian<br />

cerita yang apik. Hingga kini Wiji Thukul tak jelas keberadaannya. Tak<br />

ada pernyataan resmi dari negara mengenai penghilangan paksa yang<br />

menimpa seniman paling dicari zaman Orde Baru tersebut.<br />

Di akhir edisi ini, kami memuat sebuah resensi buku berjudul<br />

”Making Them Indonesia; Child Transfers Out of East Timor ” karangan<br />

Helena van Klinken. Resensi ditulis oleh Razif. Buku ini bercerita<br />

tentang pemindahan anak-anak Timor Leste berusia di bawah dua<br />

hingga belasan tahun ke Indonesia dengan sejumlah metode<br />

pemindahan dan motifnya.<br />

Semoga Jurnal dignitas ini dapat memperkaya bacaan dan<br />

analisis para pembaca terhadap situasi hak asasi manusia saat ini. Selamat<br />

membaca!<br />

WIDIYANTO<br />

Redaktur Pelaksana<br />

6


FOKUS


Drama Abadi Pembajakan Demokrasi<br />

demi Masa Lalu<br />

Agung Putri Astrid<br />

Abstract<br />

This article argues that the Indonesia's transition towards democracy has not been<br />

completed. It hasn't only been hijacked, but it comprises of a dynamic interaction<br />

between actors who inherit the gloomy condition of the past. Those who are held<br />

hostage by the past, who must solve the problems of the past, has blocked the path<br />

towards settlement. Indonesia comprises of the dynamics between victims and<br />

perpetrators who live side-by-side and that has created the drama of the hijacking<br />

of democracy, it is held hostage by the past. It seems that nation building must<br />

start from here, from the drama of the hijacking of democracy.<br />

Keywords: Hijacking Democracy; The Past<br />

Catatan kenangan<br />

Siang ini, di pertengahan tahun, sudah hari kesekian Jakarta tak lagi<br />

menanggung hujan. Dedaunan yang 5 jam lalu tegak kehijauan, kuning<br />

terkantuk-kantuk. Jalanan meliuk gang perkampungan Condet, panas<br />

dan lengang. Siapa rela memanggang diri di ketinggian matahari selain<br />

penjual asinan dan reparasi sepatu? Tak sampai satu kilo dari Condet<br />

arah timur adalah Lubang Buaya. Nama sebuah desa di kecamatan<br />

Halim, Jakarta Timur, yang sontak menjadi buah mulut dengan rasa<br />

seram di tahun 65. Situs penculikan 6 orang jendral dan seorang kapten<br />

pada 1 Oktober 1965 ini. Kini seperempat kawasannya berdiri museum<br />

dan monumen pancasila sakti, yang setiap tanggal 1 Oktober akan<br />

dibersihkan dari para gelandangan dan pedagang kaki lima karena<br />

presiden akan memimpin upacara militer di sana.<br />

Nun di selatan Condet, dalam jarak tempuh mikrolet M-06<br />

jurusan Kampung Melayu – Gandaria, sebuah kompleks militer pasukan<br />

khusus mencatat riwayat telah menyembunyikan sejumlah pemuda dan<br />

9


FOKUS<br />

Drama Abadi Pembajakan Demokrasi<br />

menyiksa mereka di tahun 1998 dan di antara mereka jejaknya tak<br />

berbekas hingga kini. Sementara berbalik ke arah utara, menuju<br />

kampung Melayu-Matraman-Salemba tak satupun bisa menghindar<br />

melewati situs pembakaran pertokoan Ramayana, Jatinegara Mall dalam<br />

kerusuhan Mei 1998, gedung Departemen Pertanian dalam peristiwa 27<br />

Juli 1996, dan markas PKI di Jalan Kramat 81 pada tahun 1966.<br />

Di tengah kampung ini tergelar kembali lembar kejadian demi<br />

kejadian yang sempat kubaca dan kudengar tentang kekerasan politik.<br />

Tak sedikitpun aku pernah mengalaminya. Namun dalam berbagai<br />

sebab dan cara ikut membentuk pikiran, dan cita rasa. Ada komunitas<br />

yang secara sembarangan disebut komunitas korban kekerasan oleh<br />

negara yang aroma penderitaannya belasan tahun terhirup. Jujur, tak<br />

seluruh cerita mereka kurasai sebagai ratapan dan malah sebaliknya aku<br />

lebih suka belajar dari mereka. Kadang bila gairah hilang, kita tenggelam<br />

dalam kehidupan masing-masing.<br />

Mulanya adalah seorang sahabat datang padaku meminta<br />

menulis soal politik yang berurusan dengan korban. Kupikir ini bukan<br />

saatnya. Waktuku habis bersama teman jalanan, para pencoleng, preman<br />

terminal, tukang kayu, pengupas bawang Pasar Induk, serta penganggur<br />

di kampungku, korban pemiskinan. Hitungan matematis mereka<br />

tentang kehidupan ini adalah mendapat hari ini untuk hari ini. Masa<br />

depan cuma akumulasi dari potongan-potongan keberuntungan hari ke<br />

hari. Bagaimanakah caraku mengkalkulasi biaya darah dan derita masa<br />

lalu untuk masa depan ketika kampung ini separuhnya berisi kaum<br />

serabutan?<br />

Tapi ada daya tariknya permintaan temanku itu. Aku harus<br />

menjawab pertanyaan, adakah jalan keluar bagi korban dalam politik<br />

carut-marut saat ini. Aku berhadapan dengan gagahnya kesimpulan<br />

akademik teoritisi politik yang memvonis bahwa transisi di Indonesia<br />

sudah berhenti. Dan hanya ada satu sebab, menurut mereka, sistem dan<br />

institusi demokrasi telah dibajak oleh elit dominan warisan Orde Baru<br />

maupun elit baru. Rasanya tidak ada salahnya pendapat ini. Namun<br />

dalam hati aku ingin tahu, makhluk seperti apakah yang mampu<br />

menunda terselesaikannya masa lalu sekaligus membajak demokrasi<br />

dalam satu tarikan nafas?<br />

Hari menjelang sore. Angin sore merambat menyusup jendela<br />

kamar. Kurasai hawa penantian sekalian orang akan datangnya azan<br />

10


dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

maghrib. Mengikuti menit-menit penantian itu aku menjalin pikiran,<br />

ingatan dan perasaan sebisanya tentang serpih fakta kekerasan masa lalu<br />

yang beterbangan di kota Jakarta. Kekerasan puluhan tahun lalu<br />

memang tinggal debu politik. Namun debu itu menempel lengket. Sama<br />

lengketnya dengan lelehan darah membeku di seragam Letjen S Parman<br />

yang dipajang di museum Lubang Buaya. Debu itu mestinya bisa<br />

dibersihkan. Anehya, tak satupun melakukannya.<br />

Dalam tragedi politik, tak mudah bagi kita menghapus jejaknya,<br />

seberapapun jauh usaha menenggelamkannya. Tiap sudut kota, orangorangnya<br />

berelasi dengan masa lalu, baik dengan kekuasaannya maupun<br />

penghancurannya. Ingatan yang telanjur kolektif terpelihara dari<br />

generasi ke generasi, dengan cara dan tujuan yang berbeda. Tidak ada<br />

masa lalu yang benar masa lalu, meskipun masalah datang silih berhanti,<br />

orang hidup dan mati, menetap dan pindah.<br />

Kenangan Politik<br />

Akhir-akhir ini kerap terdengar lontaran ”Ah, masyarakat sekarang<br />

sudah pragmatis.” Artiya masyarakat hanya peduli pada uang, persetan<br />

dengan nilai kejujuran dan keadilan. Survai kompas bulan lalu<br />

mengamini lontaran ini dengan angka-angka hasil survai. Masyarakat<br />

Indonesia bukan agen perubahan, tetapi motor konservatisme kultural<br />

dan politik.<br />

Suasana tak ingin berubah juga diberkati oleh pandangan dari<br />

Istana Negara. Presiden berhenti bicara soal masa lalu. Kunci<br />

rekonsiliasi, menurut SBY, adalah melupakan masa lalu. Ini dilontarkan<br />

di hadapan tokoh-tokoh dunia yang malang melintang memerangi<br />

kekerasan termasuk penerima hadiah Nobel, mantan presiden Timor<br />

Leste, Jose Ramos Horta. Mengingat masa lalu sama dengan<br />

menyandera diri pada masa lalu dan berhenti menatap masa depan.<br />

Presiden SBY cukupkan dengan bersyukur bahwa di masa<br />

pemerintahannya tidak terjadi pelanggaran HAM.<br />

Pendapat ini berbalik ketika Jokowi menang pada putaran<br />

pertama sebesar 42, 60 persen dengan dana minim melawan gubernur<br />

Jakarta yang menguasai hampir semua lini kehidupan ibu kota. Setelah<br />

berdebat tanpa kata sepakat untuk menjelaskan kejutan ini, akhirnya<br />

baik ahli politik maupun supir taksi sama beranggapan bahwa Jokowi<br />

menang karena rakyat Jakarta menginginkan perubahan.<br />

11


FOKUS<br />

Drama Abadi Pembajakan Demokrasi<br />

Apakah rakyat Indonesia tak ingin berubah, pragmatis,<br />

konservatif, oportunis atau sebaliknya, progresif, emansipatoris,<br />

dinamis, sebenarnya cuma kesimpulan permukaan. Jejak kebungkaman<br />

periode Orde Baru yang menggerus heroisme jaman revolusi hingga<br />

pertengahan tahun 60an, belum lagi dijelajahi. Bagiku, menilai bahwa<br />

demokrasi berhenti berdetak karena elit politik Indonesia tidak pro<br />

rakyat, predator, benalu kekuasaan, pewaris ketamakan Orde Baru atau<br />

maling yang masuk dalam selayar mewah pemerintahan SBY sama<br />

1<br />

dengan bermimpi tentang negara republik yang tidak pernah ada.<br />

Suka tak suka jalan historis penuh luka ini yang menentukan apa<br />

yang hendak diubah dan ke arah mana perubahan itu. Tiap sentimeter<br />

perubahan itu senantiasa dihidupi oleh pengalaman traumatik bangsa.<br />

Tak seorang pun bisa memulai yang baru dengan menyingkirkan yang<br />

lama, karena yang baru lahir dari yang lama, sekalipun sama<br />

memprioritaskan periuk nasi. Bahkan setelah 15 tahun, di tengah<br />

korupsi bermilyar para politisi pasca orde baru, usaha Agung Laksono<br />

dan kawan-kawannya menobatkan Suharto sebagai pahlawan Republik<br />

gagal. Pengalaman traumatis bukan cuma milik korban tetapi suatu rasa<br />

kolektif bangsa ini.<br />

Selama berbulan-bulan menelusuri kehidupan masyarakat<br />

Afrika Selatan setelah 10 tahun berlalunya rejim apartheid tahun 2002,<br />

kutemukan betapa gaya berpolitik baru lahir justru dari pergulatan<br />

antara konservatisme lama, oportunisme baru dan sobekan sobekan<br />

luka. Semua diperebutkan, mulai dari menentukan bahasa negara, nama<br />

jalan, hingga prosedur penguasaan tanah, tender pembangunan, dan<br />

lokasi pertambangan. Ada juga yang secepat kilat menyesuaikan diri<br />

dengan hiruk pikuk bisnis pasca apartheid baik mantan polisi kulit putih<br />

2<br />

jaman Apartheid maupun pebisnis kulit hitam.<br />

1. Tesis ini secara utuh disusun oleh Vedi R. Hadiz dan Richard Robison. Analisis politik yang berkembang<br />

saat ini tidak lain hanya mengekor di belakangnya. Cukup luas diketahui bahkan dalam periode heroik<br />

revolusi Agustus 1945, begitu banyak predator, maling dan orang-orang kaya yang meloncat ke perahu<br />

gerakan kemerdekaan dan banyak lainnya yang membajak revolusi itu. Pramoedya Ananta Toer<br />

melukiskan periode ini dalam novelnya: Di Tepi Kali Bekasi, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003 dan<br />

Larasati, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003. Juga penting membaca buku Robert Cribb tentang periode ini,<br />

Gangster and Revolutionaries, Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution, 1945-1949, Jakarta, Equinox,<br />

2009.<br />

2.Betapapun, Afrika Selatan masih prihatin atas gagalnya sebagian besar pebisnis kulit hitam.<br />

http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/3262123.stm Mereka yang bertahan sedikit diantaranya adalah<br />

milyuner Patrice Tlhopane Motsepe, pembuat minuman anggur, Jabulani Ntshangase<br />

12


Metode dan praktik rekonsiliasi berkembang subur justru di<br />

negeri yang tersobek-sobek oleh rejim apartheid. Kongres ilmu politik<br />

Afrika Selatan, konperensi metodologi kesehatan masyarakat pasca<br />

apartheid maupun teologi demokrasi dan rekonsiliasi tidak lain adalah<br />

ilmu-ilmu baru di Afrika yang dibangun dari pergulatan antara masa lalu<br />

dan masa depan. Tak ada ilmu dan strategi politik yang dicangkokkan<br />

dari luar. Semua gagal.<br />

Tak diduga, pemerintah Afrika Selatan, dalam upaya<br />

memulihkan lukanya, pun perlu mencari pegangan historis pada<br />

penggagas gerakan Asia Afrika, yang susah payah ditenggelamkan oleh<br />

Orde Baru. Bulan April 2005, Bangsa Afrika Selatan memberikan<br />

bintang kehormatan kelas 1 pada Bung Karno, The Order of the Supreme<br />

3<br />

Companions of Oliver R. Tambo sebagai tokoh Asia Afrika yang telah<br />

memberikan inspirasi bagi perjuangan rakyat Afrika Selatan.<br />

Jam menunjuk pukul enam. Azan maghrib berkumandang<br />

antara masjid ke masjid sepanjang jalanan pantai Situbondo, Jawa Timur.<br />

Sejuk angin sore menyapu sisa panas siang hari. Senja yang sama<br />

menggelayuti tiap banjar di Bali oleh alunan kidung melantunkan puja<br />

puji seloka. Demikian litani ”Salam Maria” mendengung di sudut biara<br />

Susteran Canossian, Comorro, Timor Leste. Tenggelamnya matahari<br />

diberkahi umat manusia di tempat dimana luka-luka menyayat pernah<br />

4<br />

terjadi.<br />

Saat maghrib, kerap menutup episode kekerasan siang hari.<br />

Letupan peluru menembus kepala mahasiswa dalam demonstrasi tahun<br />

1998 dan 1999 di tengah kumandang azan maghrib. Kepulan asap hitam<br />

dari kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 dan gedung-gedung di Salemba<br />

tanggal 27 juli 1996 membubung tinggi bersama senja. Ratusan warga<br />

kelurahan Koja, Tanjung Priok bersimbah darah menjelang Maghrib. Di<br />

Lampung, juga di desa Nisam, Aceh Utara, warga tidak ke surau untuk<br />

5<br />

berazan bila beredar desas-desus bahwa tentara mengepung desa.<br />

3. Oliver Reginald KaizanaTambo adalah pahlawan rakyat Afrika Selatan. Bersama Nelson Mandela dan<br />

Walter Sisulu ia mendirikan ANC (African National Congres) organ utama perjuangan pembebasan rakyat<br />

Afrika Selatan dari apartheid. Namanya diabadikan pada bandara Internasional Afrika Selatan.<br />

http://www.sahistory.org.za/people/oliver-reginald-tambo.<br />

4. Di tahun 2000an warga Situbondo panik oleh isu dukun santet dan ninja yang berujung ke pembunuhan<br />

orang-orang yang dicurigai dukun santet. Susteran Canossian menjadi tempat berlindungnya warga desa<br />

dari amukan milisi Aitarak dan Dadurus Merah Putih yang membakari desa-desa di tahun 1999. Sakralitas<br />

banjar-banjar di Bali tak hanya di segi religiusitasnya tetapi kenangan akan kekerasan tahun 1965.<br />

5. Berbagai laporan HAM dari Aceh hingga Papua menyiratkan senja sebagai ancaman. Lihat juga buku fiksi,<br />

novel karya Arafat Nur, Lampuki, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2011.<br />

13<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


FOKUS<br />

Drama Abadi Pembajakan Demokrasi<br />

Sejak drama penculikan jendral di Jumat Legi 1 Oktober 1965<br />

dan selanjutnya, turunnya matahari berarti mulainya bencana.<br />

Penangkapan dan pengambilan orang tidak kembali sejak November<br />

1965 hingga 1969 di desa-desa di Jawa, Bali, Sumatera berlangsung saat<br />

matahari merayap turun. Tiga puluh tahun kemudian, menyusul<br />

peristiwa Sabtu Pon tanggal 27 Juli pagi hari, jajaran pimpinan Angkatan<br />

Darat memaklumkan pengejaran aktivis PRD dan PDI melalui Jurnal<br />

Petang SCTV dan RCTI. Saat maghrib bagi kebanyakan orang Indonesia<br />

adalah waktu yang traumatik tetapi di saat sama diberkati.<br />

Tragedi politik tidak saja menyisakan kenangan tetapi hidup bila<br />

sinyal kekerasan memancar. Lebih lagi, oleh situasi yang tetap<br />

mengancam, yang karenanya tragedi serupa mungkin berulang, trauma<br />

itu terpelihara dengan baik. Karenanya, siapakah, pimpinan politik<br />

manakah, kekuasaan apakah, yang berani menjamin bahwa drama<br />

kekerasan tidak akan terulang kembali?<br />

Serangan kepada kelompok Ahmadiyah hanya menghidupkan<br />

sinyal lama betapa kekerasan antar masyarakat sengaja dibiarkan. Di<br />

Poso, Maluku, Sanggau, Sintang di tahun 1998, maupun Singkawang,<br />

Lombok, Bali dan pedesaan Jawa Timur di tahun 1965, polisi dan tentara<br />

berada di antara para penyerang.<br />

Tuduhan penguasa bahwa Ahmadiyah menghina Islam dan<br />

patut diusir justru menyetrum kenangan lama tentang keberingasan<br />

masyarakat membakar rumah dan membunuh mereka yang dianggap<br />

ternoda oleh komunisme, atheisme atau aliran sesat. Para penganut<br />

agama lokal seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan, Parmalim peka dengan<br />

gerak pensucian macam ini. Warga pun masih mengenang pembantaian<br />

Haur Koneng, Jawa Barat tahun 1984. Sinyal itu berkedip-kedip<br />

sepanjang masa karena monumen-monumen hidup warga puluhan desa<br />

di Malang Selatan, Blitar, Kediri yang hampir 100% beragama Kristen<br />

atau Katolik. Mereka ini pemeluk kejawen yang 'hijrah' massal di<br />

penghujung tahun 60an untuk menyelamatkan diri dari tuduhan atheis.<br />

Dimensi kejadian yang berbagai-bagai itu membentuk trauma.<br />

Dimensi yang bukan peristiwa dan tak bisa disusun kronologinya.<br />

Menjadi tapol karena namanya tertera dalam daftar tangkap, karena<br />

pernah mengisi formulir, memberi pelajaran untuk mewaspadai semua<br />

formulir dan tetap memelihara identitas diri yang berbeda-beda.<br />

Peristiwa 65 yang cuma semalam, telah meluluh-lantakkan<br />

14


segalanya hingga berdekade kemudian. Anak istri suami tercerai-berai,<br />

hilangnya tulang punggung keluarga, dan mata pencaharian serta status<br />

sosial (Roosa, et.al, ed, 2004). Orang gerah bicara politik sekaligus takut<br />

pada agama atau etnis lain. Bila perempuan angkat bicara, tak akan<br />

mungkin serupa dengan ”satriyo piningit” melainkan wujud ”gerwani”<br />

yang artinya kasar, liar dan nakal. Bila masyarakat punya masalah, jalan<br />

keluarnya berupa obat mujarab tanpa menghiraukan problem<br />

politiknya: minum obat agar sembuh dan bukan membangun sistem<br />

kesehatan agar jangan sakit. Politik kewargaan lenyap, yang ada adalah<br />

aktor-aktor yang lolos litsus. Organisasi politik hanya ada bersama<br />

keluarnya ijin. Berkumpul lebih dari 5 orang juga ijin. Patriotisme cuma<br />

ada di benak orang yang punya rencana makar. Tidak ada hidup gotong<br />

royong dan kepemimpinan warga. Masyarakat muak pada politik<br />

sekaligus takut pada kekuasaan.<br />

Kekerasan tak semata soal kerugian psikis dan fisik. Kekerasan<br />

politik itu penuh makna sosial, bertujuan menghancurkan hubungan<br />

sosial antar individu dan individu dengan masyarakat. Yang hendak<br />

diperlihatkan adalah betapa orang bisa menjatuhkan martabat. (Hamber,<br />

2004)<br />

Politik Kenangan<br />

Masyarakat yang lumpuh kepemimpinannya, dicekam takut, disergap<br />

kenangan akan kekerasan politik masa lalu, menjalani peralihan<br />

kekuasaan yang khas. Bara api semangat menyeret penguasa lama,<br />

sejatinya ikut membakar serumah-rumahnya. Namun bayi demokrasi ini<br />

menghadapi dua soal besar: keharusan menghukum pelaku kekerasan<br />

masa lalu yang disandera oleh kebutuhan konsolidasi komponen bangsa<br />

secara demokratik. Tak ada kenyataan seindah adagium pengadilan atas<br />

kejahatan masa lalu melandasi terbangunnya masyarakat demokratik.<br />

Benar, mantan penguasa rejim otoritarian telah kehilangan<br />

legitimasinya. Tetapi konsolidasi demokrasi bukan perkara hukum<br />

apalagi moral. Dalam politik ada ribuan kemungkinan. Desakan public<br />

untuk pengadilan penghabisan bagi sang diktator, seperti di Mesir<br />

terhadap Hosni Mubarak awal Juni 2012 lalu, seharusnya membuka<br />

jendela demokrasi. Tetapi Mesir malah diguncang krisis dan lahir negara<br />

fundamentalis agama. Belum lagi Libya, Irak dan Hungaria. Pada<br />

bangsa-bangsa pasca kolonial pertaruhan gerakan demokrasi yang<br />

15<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


FOKUS<br />

Drama Abadi Pembajakan Demokrasi<br />

bertahun terdepolitisasi adalah integritas kebangsaan itu sendiri. Bung<br />

Karno ada benarnya:<br />

”perjuanganku lebih mudah dibandingkan perjuangan kalian nanti,<br />

karena sekarang aku berjuang melawan penjajah (bangsa asing), tapi<br />

akan lebih berat lagi perjuangan kalian, karena akan melawan bangsa<br />

kalian sendiri”<br />

Keinginan menghapus mimpi buruk masa lalu dan memelihara<br />

kebebasan masa kini malah membuat perhitungan dengan mantan<br />

penguasa rejim otoritarian kerap berbatas-batas. Hingga kini, tak satu<br />

ulasan tentang peralihan politik di berbagai negeri berani menyimpulkan<br />

bahwa setelah segala tindakan mengadili pimpinan diktator otoritarian,<br />

perhitungan dengan masa lalu selesai. Chile, setelah 20 tahun masih<br />

mengadili anggota junta militer. Demikian pula Argentina.<br />

Setelah 14 tahun menginterogasi mantan penguasa Orde Baru,<br />

kita justru diperhadapkan pada belantara sisa otoritarian yang tidak<br />

berujung. Reformasi 1998 melahirkan pengadilan HAM, suatu<br />

pengadilan paling menyeramkan untuk mengadili kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan dan genosida. UU No. 26/2000 memerintahkan Komisi<br />

Nasional HAM membuat laporan pro-justicia yang menjadikannya<br />

lembaga paling prestisius dengan kewenangan mengkalkulasi perbuatan<br />

setingkat pimpinan negara. Namun pengadilan HAM dihadang oleh<br />

prosedur pembuktian yang merujuk pada kitab hukum pidana buatan<br />

pemerintah colonial, yang hanya mengenal kejahatan terorganisir.<br />

Belum sampai ke ranah pengadilan, sejak pagi-pagi Kejaksaan Agung<br />

menolak Komnas HAM, baik laporannya maupun data dan faktanya.<br />

Akhirnya tak satupun pengadilan menghukum pimpinan orkestra<br />

kekerasan Orde Baru.<br />

Selain laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan, komisi<br />

penyelidik dua negara Indonesia dan Timor Leste tahun 2007, tak ada<br />

laporan yang mengungkap kebenaran. Pernyataan komandan militer,<br />

pendapat akademisi, dakwaan Jaksa hingga pertimbangan hakim sama<br />

menyebut peristiwa paling tragis di republik ini sebagai bentrokan antar<br />

kelompok (Agung Putri, 2008). Tragedi 1965 dijelaskan sebagai langkah<br />

aparat keamanan memulihkan ketertiban akibat bentrokan antara<br />

kelompok pro dan anti komunis. Pembunuhan massal Tanjung Priok<br />

1984 dijelaskan sebagai upaya aparat keamanan mempertahankan diri<br />

dari amukan massa. Kekerasan selama jajak pendapat di Timor Leste<br />

16


sebagai ekses dari upaya aparat keamanan mencegah konflik antara<br />

gerakan pro-kemerdekaan dan pro-integrasi.<br />

Prosedur yudisial begitu sulit menggugat kekerasan negara,<br />

kekerasan oleh aparatur negara terhadap warganya. Negara dalam<br />

khazanah pikiran orang Indonesia adalah bangunan moral dan politis<br />

bangsa. Negara bukan institusi hukum tetapi pencapaian historis<br />

gerakan anti kolonial. Negara yang rapuh serta merta akan<br />

menggerogoti bangsa (Latif, 2012).<br />

Tetapi lebih dari soal persepsi, kebijakan pemulihan ketertiban<br />

mau tak mau menyeret lembaga negara, Kejaksaan Agung salah satunya.<br />

Lembaga ini dalam riwayatnya menjadi lembaga pemberi pembenaran<br />

hukum bagi kekerasan. Kejaksaan Agung atas masukan-masukan dari<br />

tim psikologi, Fakultas Psikologi UI, menggolongkan warga ke dalam<br />

golongan A, B, C, yang menentukan jenis hukuman mulai dari hukuman<br />

mati, penjara seumur hidup atau pembuangan. Lembaga ini berkuasa<br />

menetapkan suatu perkara sebagai tindak pidana khusus, tindakan<br />

membahayakan keamanan negara, di bawah undang-undang subversi.<br />

Kejaksaan Agung membuat operasi berdarah di tahun 1965<br />

berlandas hukum. Di bawah kendali operasi besar pemulihan keamanan-<br />

Kopkamtib tahun 1965, Kejaksaan Agung memimpin Operasi Justisi,<br />

dengan wewenang membuang orang, mengeksekusi mati dan menguasai<br />

6<br />

seluruh tempat pembuangan tahanan politik. Ialah alat hukum yang<br />

menjalankan fungsi politik. Sekalipun kewenangannya kini diciutkan<br />

melalui revisi UU Kejaksaan dan kewenangan historisnya yaitu<br />

melarang peredaran buku dilucuti melalui keputusan Mahkamah<br />

Konstitusi tahun 2010, namun ia tetap mengabdi pada otoritarianisme,<br />

terutama meninjau dakwaan jaksa atas perkara pelanggaran HAM di<br />

7<br />

pengadilan HAM.<br />

Demikian pula dengan pengadilan. Sekalipun Mahkamah<br />

Agung telah menjadi lembaga judisial independen, pengadilan HAM<br />

6. Lembaga ini dalam satu dekade juga menjalankan perdagangan, mengantarkan panen beras dari Pulau<br />

Buru ke Pulau Ambon, atau memasok kebutuhan garam dari Jawa ke Pulau Buru. Pulau Buru adalah<br />

tempat pembuangan para simpatisan Sukarno dan PKI. Detil penggambaran hubungan antar lembaga ini<br />

lihat Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jakarta, Lentera, 1995.<br />

7. Elsam memantau persidangan di Pengadilan HAM ad hoc dan membuat catatan hasil pemantauan. Lihat<br />

www.elsam.or.id . Lihat juga beberapa catatan pengadilan David Cohen dalam<br />

http://ictj.org/publication/intended-fail-trials-ad-hoc-human-rights-court-jakarta<br />

17<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


FOKUS<br />

Drama Abadi Pembajakan Demokrasi<br />

enggan mempertimbangkan bukti di luar dakwaan Jaksa yang sudah<br />

minim itu, misalnya mengabaikan keterangan saksi maupun korban,<br />

untuk kejahatan luar biasa yang telah menyalahgunakan kewenangan<br />

negara. Keputusan pengadilan lebih banyak menjerat pelaku lapangan<br />

dari pada pembuat kebijakan (Cohen, 2003; Elsam, 2004).<br />

Beberapa keputusan pengadilan memang mempertimbangkan<br />

korban. Hakim mengabulkan gugatan korban untuk memperoleh<br />

kembali rumah yang diduduki militer Udayana, suatu kasus di Bali.<br />

Kemenangan memperoleh kembali tanah perkebunan yang sempat<br />

dirampas militer di daerah Blitar juga berhasil dilakukan. MA tahun 2008<br />

mengeluarkan keputusan mencabut sebagian besar peraturan dengan<br />

syarat bebas G30S. Nani Sumarni, mantan penyanyi Istana yang<br />

mendapat cap ET bertahun-tahun, berhasil memperoleh KTP seumur<br />

hidup. Namun bagai perahu mengapung di samudra rahasia masa lalu,<br />

kemenangan ini hanya kemenangan hukum ketimbang penyelesaian<br />

pelanggaran HAM.<br />

Ketika menjabat presiden, Gus Dur menjajagi jalan politik<br />

dengan menyatakan permintaan maafnya atas kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan kepada warga korban kekerasan '65.<br />

Namun langkah ini dijegal seketika oleh gelombang protes<br />

massa NU, khususnya Jawa Timur. Protes yang sama terhadap Komnas<br />

HAM ketika mengeluarkan laporan HAMnya tentang tragedi tahun<br />

1965 13 tahun kemudian.<br />

Faksi-faksi anti komunis yang menggantikan suara para jendral<br />

Orde Baru, mengancam: jangan coba-coba menyelesaikan kekerasan<br />

Orde Baru. Sementara itu Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya<br />

8<br />

tahun 2006 telah membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi<br />

dengan dalil sederhana: tiadanya kepastian hukum. Akibatnya pun<br />

sederhana, hukum menyandera jalan politik untuk mengurus masa lalu.<br />

Kegagalan ini di ujungnya adalah tindakan absurd seperti memaksa<br />

pemindahan jazad Heru Atmojo dari liang kubur Taman Makam<br />

9<br />

Kalibata.<br />

Menurut Robison dan Vedi (2004), sekalipun pilar ekonomi<br />

politik Orde Baru telah dilucuti ini tidak mematikan kiprah aktor Orde<br />

8. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah komisi yang dimaksudkan membantu pemerintah<br />

menyelesaikan kekerasan masa lalu dengan cara membongkar fakta kekerasan, memberikan pengakuan<br />

resmi atas kejadian tersebut, memberikan kompensasi pada korban dan keluarganya serta penghukuman<br />

atau pemaafan bagi pelakunya. Lihat naskah UU KKR yang telah dibatalkan. www.elsam.or.id<br />

9. Letkol AU Heru Atmodjo meninggal pada tanggal 29 Januari 2011. Ia diduga terlibat dalam gerakan 30<br />

September 1965. Ia dihadapkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa dan dijatuhi hukuman penjara.<br />

18


Baru dan jaringannya. Mereka bertahan dan menyesuaikan diri dengan<br />

sistem baru. Kekuasaan politik kembali dimonopoli dan sumber daya<br />

ekonomi dikolonisasi. Demokrasi kita sudah dibajak (Priyono, 2004).<br />

Kebertahanan kaum predator ini patut diduga menjadi penghambat<br />

penyelesaian kekerasan politik masa lalu.<br />

Namun agaknya terlalu gegabah mengatakan kegagalan<br />

menginterogasi masa lalu bersumber dari rendahnya kualitas demokrasi.<br />

Selain warisan otoritarian itu efektif bekerja di institusi-institusi<br />

peradilan, toh demokrasi yang pincang ini, demokrasi semu, demokrasi<br />

para preman, ternyata tidak bisa mengubur dosa masa lalu. Demokrasi<br />

itu sendiri tumbuh di atas lanskap politik yang dibangun melalui tragedi<br />

berdarah. Yang dihadapi , ternyata lebih dari konflik antar partai politik,<br />

antara kelompok golongan masyarakat, antara PKI dan non PKI.<br />

Di atas orkestrasi kekerasan tahun 1965, Orde Baru menyiapkan<br />

landasan ideologi, politik, ekonomi baru, dan sebesarnya coba<br />

melenyapkan pemerintahan Kabinet Gotong Royong dan revolusi<br />

Agustus dengan sebutan Orde Lama. Bukan saja mereka yang dibunuh,<br />

dibuang, dipenjara, atau yang membunuh, membuang, dan memenjara<br />

terikat oleh tragedi itu. Tetapi juga mereka, kaum intelektual, seniman,<br />

profesional, teknokrat, pengusaha, rohaniwan, diplomat, yang<br />

membangun orde. Para reformis yang berjuang meluruskan yang<br />

diselewengkan Suharto harus menjawab pertanyaan: siapa bertanggung<br />

jawab atas berdiri dan langgengnya Orde Baru?<br />

Para pemimpin negara masa reformasi tak putus rantainya<br />

dengan Orde Baru. Habibie, tak lepas dari sebutan ”anak emas<br />

Suharto”. Gus Dur tak mungkin membebaskan NU dari keterlibatan<br />

kekerasan di masa lalu yang kemudian menjadi korban intervensi Orde<br />

Baru dalam muktamar tahun 1984 (Aspinall, 2005). Megawati<br />

Sukarnoputri sejak muda tersingkir bersama dengan tergulingnya<br />

pemerintahan Soekarno. SBY terkait dengan peristiwa 27 Juli dan<br />

beberapa kekerasan di Timor Leste. Sementara itu mertua SBY, Jendral<br />

Sarwo Edi, adalah aktor penting pemulihan ketertiban paling berdarah<br />

tahun 1965 yang juga disingkirkan Soeharto.<br />

Siapapun, kaum demokrat di negeri ini, terlibat atau tidak dalam<br />

kekerasan, menjadi korban atau tidak, tetapi menyumbang<br />

pembangunan Orde Baru, berarti ikut melumat kabinet gotong royong<br />

Soekarno. Kerumitan ini terpancar dalam pendapat pemimpin NU<br />

19<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


FOKUS<br />

Drama Abadi Pembajakan Demokrasi<br />

dalam dengar pendapat dengan anggota Panitia Khusus RUU Komisi<br />

10<br />

Kebenaran dan Rekonsiliasi, DPR RI.<br />

”….Maka hendaknya kalau memang kita membuat undang-undang ini<br />

harus ditentukan terlebih dahulu niat membuat undang-undang itu,<br />

apakah kita menuju kepada rekonsiliasi ataukah kita ingin membuka<br />

kasus-kasus yang lalu itu, … Saya berpendapat bahwa kalau luka-luka<br />

yang lama itu ditelusuri, dibuka satu persatu secara nasional maka yang<br />

terjadi adalah fenomena pertikaian baru tanpa bisa dihindari. Maka yang<br />

betul adalah kita harus menutup dalam-dalam seluruh peristiwa-peristiwa<br />

yang memilukan itu kemudian kita atasi seluruh ekses-ekses yang timbul<br />

karenanya…. Hasyim Muzadi, ketua PBNU, dalam RDPU Pansus<br />

RUU KKR 2003”<br />

Pertanyaan dasarnya: bagaimana cara kita membongkar masa<br />

lalu?<br />

Keterbukaan yang digulirkan oleh sejumlah perwira militer,<br />

lebih dari suatu angin kebebasan dan kemenangan orde hak asasi, adalah<br />

11<br />

juga momentum kembalinya para politisi dan parpol tersingkir sejak<br />

masa de-sukarnoisasi 1965 hingga 1971 dan sesudahnya. Politisi NU<br />

yang bersembunyi di tubuh Golkar, menunjukkan ke NU-annya.<br />

Bahkan sejumlah tokoh Golkar justru dibesarkan oleh pemerintahan<br />

Sukarno. Bisnis keluarga Aburizal Bakri (Pohan, 2011) dan Jusuf Kalla<br />

tumbuh dari program pengusaha pribumi periode Sukarno. Sekalipun<br />

orang semacam Arifin Panigoro atau bahkan Taufik Kiemas bersikap<br />

serupa Orde Baru (Robison dan Vedi, 2004), mereka justru pendukung<br />

pemerintahan Sukarno.<br />

Partai politik baru yang lahir dari semangat reformasi, memilih<br />

melekatkan diri pada partai lama. PKB bangkit dari masa tiarap panjang<br />

NU dari politik. PDI Perjuangan mencoba mengembalikan kejayaan<br />

PNI. PAN menjadi semacam 'sayap politik' Muhamadiyah. Partai Bulan<br />

Bintang mensenyawakan diri dengan Masyumi. PDS dengan Parkindo.<br />

PKS, eksponennya dikaitkan dengan gerakan DI/ TII.<br />

Kita menyaksikan suatu transformasi korban, pelaku, saksi,<br />

pendukung, atau penyembah Orde Baru menjadi politisi pasca Orde<br />

10. Lihat teks transkripsi dengar pendapat antara pemimpin NU, KH Hasyim Muzadi dengan anggota DPR<br />

RI Komisi III, 2004.<br />

11. Perwira militer, termasuk Jendral polisi Roekmini yang mendorong keterbukaan tahun 1993 melalui<br />

forum parlemen, itu terutama didasari oleh kekuatiran peran ICMI yang semakin membesar, ketimbang<br />

komitmen pada kebebasan berekspesi. Pertentangan ideologis antara militer merah putih dan militer<br />

hijau (Aspinall, 2005).<br />

20


Baru. Mereka mendukung partai tertentu dan menjadi anggota legislatif,<br />

misalnya AM Fatwa, Beni biki, Yusron, dan Ribka Ciptaning. Mantan<br />

Tapol, tokoh perburuhan, Mochtar Pakpahan mendirikan partai buruh.<br />

Demikian pula Sri Bintang Pamungkas dengan partai nasionalnya.<br />

Setelah peristiwa 27 Juli muncul politisi antara lain Mangara Siahaan,<br />

Eros Djarot, dan Sophan Sophiaan.<br />

Perwira tinggi yang namanya tersebut dalam laporan Komnas<br />

HAM membentuk partai politik, atau mem-backing partai-partai besar.<br />

Junus Josfiah, namanya tersebut berkali-kali dalam pembunuhan<br />

wartawan Australia di Balibo 1974 menjadi pimpinan PPP. Jendral<br />

Muchdi belakangan menyusul. Mereka bahkan menjadi pelindung<br />

12<br />

pimpinan partai politik yang menjadi korban. Pemimpin tertinggi<br />

partai Gerindra, Prabowo masih memiliki soal dengan peristiwa<br />

penculikan di tahun 1998. Jendral (purn.) Wiranto yang punya soal<br />

dengan kebijakan bumi hangus di Timor Leste tahun 1999 kini<br />

memimpin partai Hanura.<br />

Transformasi ini bukan adegan 'ramai-ramai melupakan masa<br />

lalu'. Justru sebaliknya, sedang terjadi pengentalan identitas gerakan<br />

politik karena keterlibatan dalam kekerasan di masa lalu. Di kalangan<br />

korban pun, korban '65 misalnya, akan sulit melibatkan diri dalam partai<br />

Golkar, PKB atau PAN dan lebih memilih PDIP dan partai Sukarnois<br />

lainnya. Bali khususnya, perseteruan antara PNI dan PKI di tahun 65<br />

membuat korban PKI kini bisa dipastikan lebih bersimpati kepada<br />

Golkar dan Partai Demokrat. Korban Tanjung Priok berada di belakang<br />

PPP. Di Aceh, partai Aceh didukung penuh oleh korban kekerasan<br />

Orde Baru.<br />

Partai politik itu sendiri adalah korban Orde Baru, terkubur<br />

dalam fusi 3 partai, atau dibubarkan, diinterupsi, dikangkangi Golkar<br />

dan mengidap trauma yang sama. Kini pelaku politik pasca Orde Baru,<br />

korban dan pelaku, hidup bersama dalam format politik khas reformasi,<br />

yang mengikuti selera internasional (Robison dan Hadiz, 2004) dan tidak<br />

sampai membedah aktor yang mendepolitisasi masyarakat dan<br />

melumpuhkan partai politik.<br />

12. Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, ketika diusung menjadi ketua umum PDI dalam<br />

kongres Surabaya, berusaha disingkirkan. Ketika PDI Perjuangan memenangkan pemilu 1999, banyak<br />

tokoh militer yang dahulu berseberangan menjadi pelindungnya.<br />

21<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


FOKUS<br />

Drama Abadi Pembajakan Demokrasi<br />

Maka di tubuh parlemen, perbedaan dalam melihat masa lalu<br />

menjadi samar dalam bisik-bisik ketimbang debat terbuka sekalipun<br />

dibentuk panitia khusus untuk menguji kasus orang hilang, Trisakti<br />

Semanggi. Ketika salah satu anggota parlemen dari Golkar, Priyo Budi<br />

Santoso menolak Presiden menyatakan permintaan maaf terhadap<br />

korban 65, anggota DPR lain memilih diam.<br />

Sementara di kepulauan yang jauh dari bencana politik nasional,<br />

korban dan pelaku pun hidup saling bertukar luka. Di Bali, korban dan<br />

pelaku hidup dalam satu rumah besar dan menghidupi<br />

persembahyangan yang sama. Di Kupang, pelaku menjalani pengobatan<br />

supra natural untuk mengusir hantu korban yang dibunuhnya di tahun<br />

60an. Tokoh-tokoh daerah, Kepala LPM desa, penasehat perkawinan,<br />

pelukis istana, pemborong proyek perumahan punya masa lalu penuh<br />

luka (Putu Oka Sukanta, 2011). Para politisi Dayak terkemuka fasih<br />

mengurai betapa mobilisasi etnis melayu menyingkirkan mereka di sudut<br />

samping Orde Baru. Politisi Cina tak mungkin lupa akan pembantaian di<br />

Kalimantan, khususnya Sintang dan Sanggau puluhan tahun lalu.<br />

Drama pembajakan demokrasi kalaulah ada, tidak lain adalah<br />

fungsi efekif menyandera setiap pelaku politik dengan catatan masa<br />

lalunya, bukan untuk membungkam. Politik penyelesaian kekerasan<br />

masa lalu dan politik menggunakan kenangan masa lalu ganti berganti.<br />

Kenangan akan kekerasan masa lalu pada gilirannya membentuk politik<br />

masa kini. Karenanya kalaulah ini sebuah pembajakan, maka inilah<br />

pembajakan yang abadi. Kalaulah ini bagian dari pembangunan bangsa,<br />

maka demokrasi itu harus bisa mengakhiri politik penenggelaman<br />

Sukarno dan Orde Lama bersama-sama antara pelaku dan korban.<br />

Penting diingat bahwa trauma politik bukan sekumpulan<br />

simtom...trauma lebih berarti hancurnya individu dan sturktur sosial<br />

politik suatu masyarakat. Dalam pengertian ini memang penting<br />

membantu korban untuk menghadapi dampak konflik, tetapi trauma<br />

juga menuntut terjadinya transformasi masyarakat, memperbaiki relasi<br />

dan perubahan kondisi sosial. (Hamber, 2004)<br />

Dalam kata Nelson Mandela:<br />

Ketika saya melangkah keluar penjara, sudah menjadi misi saya untuk<br />

membebaskan yang ditindas maupun yang menindas. Orang bilang kita<br />

sudah mencapainya. Bagi saya belum. Sesungguhnya kita belum bebas;<br />

22


kita hanya mencapai suatu keinginan untuk menjadi bebas, hak untuk<br />

tidak ditindas. Tapi kita belum sampai di tahap akhir perjalanan hidup<br />

kita. Kita baru di tahap awal dari perjalanan yang lebih panjang dan sulit.<br />

Untuk menjadi bebas, tidak cukup hanya membuka rantai belenggunya,<br />

tetapi hidup dalam cara yang saling menghormati dan memperbesar<br />

kebebasan orang lain. Ujian yang sesungguhnya akan kesetiaan kita pada<br />

kebebasan baru dimulai (Mandela, 1995).<br />

23<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


Ikhtiar Mencuci<br />

”Karpet Martti” di Aceh<br />

Otto Syamsuddin Ishak<br />

Abstract<br />

The conflict between GAM and RI ended with the Helsinki MoU agreement on<br />

15 August 2005. The hope to deal with past human rights violations in Aceh<br />

appeared several times, but always ended in failures. This article explores the<br />

failures to deal with past human rights violations in Aceh inspite of the political<br />

change occured in the region<br />

Keywords: Aceh, Human Rights, Past Human Rights Violation<br />

Pendahuluan<br />

Harapan pertama penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Aceh<br />

muncul dalam perundingan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-RI di<br />

Helsinki (2005), tapi gagal. Harapan kedua muncul ketika pembahasan<br />

draf RUU Pemerintahan Aceh (2006), tapi gagal lagi. Harapan ketiga<br />

sempat bangkit paska pemilukada gubernur (2006) yang dimenangkan<br />

oleh golongan politik yang dahulunya pejuang, tetapi gagal juga.<br />

Paska Pemilu 2009 muncul lagi harapan ketika kursi parlemen<br />

provinsi didominasi oleh Partai Aceh (2009), tapi masih gagal juga.<br />

Harapan kelima timbul manakala kandidat gubernur/wakil gubernur<br />

dari Partai Aceh menang dalam pemilukada (2012), dan kini draft qanun<br />

KKR dijanjikan akan dibahas di parlemen provinsi Aceh. Apakah<br />

nantinya akan muncul qanun KKR sebagai instrumen untuk mencuci<br />

sebagian ”Karpet Martti” yang masih bersimbah darah?<br />

Hal yang sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada elite politik,<br />

militer, gerilyawan dan milisi—baik secara sendiri-sendiri maupun<br />

secara bersama-sama—yang berani mengatakan atau sebaliknya<br />

membantah di depan publik perihal adanya pelanggaran HAM yang<br />

terjadi selama hampir tiga dasawarsa konflik GAM-RI di Aceh. Semua<br />

25


FOKUS<br />

Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh<br />

pihak yang berkuasa saat ini bergeming untuk membahas upaya<br />

penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu Aceh itu.<br />

Tentu saja mandegnya upaya ini tidak sejalan dengan cita<br />

Republik sebagai sebuah negara hukum sebagaimana termaktub dalam<br />

Konstitusi. Sangat disayangkan karena realitas yang terjadi sekarang<br />

seakan-akan merupakan penegasian eksistensi Republik sebagai negara<br />

hukum, dan sebagai sebuah negara modern yang memiliki Konstitusi<br />

yang mencerminkan penghormatan dan kehendak penegakan HAM.<br />

Memang bila dilihat dari konteks historis, sejak berdirinya<br />

Indonesia pada 1945, Republik ini belum memiliki fondasi politik yang<br />

cukup kuat untuk mewujudkan penghormatan dan kemauan penegakan<br />

HAM sebagai sebuah realitas. Ini dibuktikan dengan amat sedikitnya<br />

proses peradilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan. Dengan kata<br />

lain, Republik ini memiliki tradisi politik yang cukup kuat untuk<br />

mengakumulasi kejahatan kemanusiaan.<br />

Sejak Amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada 1999-2002,<br />

HAM telah menjadi bagian yang integral dalam Konstitusi. Jumlah<br />

pasal-pasalnya lebih banyak dibanding pasal yang berkenaan dengan<br />

keamanan dan pertahanan. Amandemen menghasilkan pembatasan<br />

jabatan Presiden maupun Kepala Daerah. Di level pusat telah<br />

mengalami pergantian rezim penguasa paska Reformasi 1998, sedang di<br />

Aceh telah berlangsung dua kali pemilukada (2006 dan 2012), serta satu<br />

kali perubahan komposisi anggota Parlemen Aceh, yang kini dikuasai<br />

dan didominasi oleh golongan politik yang menjadi lokomotif gerakan<br />

kemerdekaan Aceh.<br />

Pertanyaan besarnya mengapa perbaikan kondisi hukum dan<br />

politik, baik di level Pusat maupun di Aceh ini, tidak kunjung memberikan<br />

kebenaran dan keadilan terhadap korban konflik Aceh? Padahal<br />

kejahatan kemanusiaan sebagai fakta sosial (yang terus bergerak menjadi<br />

fakta sejarah) tidak terbantahkan.<br />

Bukankah ikhtiar memberikan kebenaran dan keadilan pada<br />

korban dan pelaku merupakan perwujudan pernyataan diri sebagai<br />

negara hukum? Faktor apa saja yang menyebabkan kegagalan<br />

penuntasan kejahatan masa lalu di Aceh?<br />

Untuk menjawab persoalan di atas, tulisan ini memaparkan<br />

kembali catatan-catatan tentang perdebatan antara pihak RI dan GAM<br />

di meja perundingan di Helsinki, proses pengadopsian resolusi masalah<br />

26


pelanggaran HAM dalam UU Pemerintahan Aceh, serta ikhtiar<br />

organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk mendorong adanya sebuah<br />

qanun tentang komisi kebenaran.<br />

1. Martti: ”Merumitkan Hidup”<br />

Jika merujuk pada catatan proses perundingan di Helsinki versi Hamid<br />

Awaluddin, sebenarnya tidak ada agenda untuk membahas masalah<br />

penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM selama konflik. Delegasi<br />

RI tidak memasukkannya dalam agenda perundingan secara spesifik.<br />

Delegasi RI hanya mengusulkan pembahasan terkait topik<br />

1<br />

”penghargaan pada prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.”<br />

Baru pada perundingan putaran kedua, Nurdin Abdul Rahman,<br />

salah seorang delegasi GAM melontarkan topik ini. Nurdin sendiri<br />

memang ditangkap pada 1990 di masa Aceh distatuskan oleh Rezim<br />

Orde Baru sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi<br />

Operasi Jaring Merah. Lalu, setelah dijatuhi hukuman 13 tahun penjara.<br />

Tetapi dengan adanya Reformasi 1998, ia bebas setelah menjalani<br />

2<br />

hukuman selama 10 tahun.<br />

Dalam perundingan Helsinki putaran kedua itu Nurdin<br />

mengatakan:<br />

”Untuk urusan hak asasi manusia dan keadilan, kita harus lakukan<br />

investigasi yang dilaksanakan oleh lembaga mandiri internasional. Saya<br />

3<br />

telah mengalami penganiayaan dalam penjara.”<br />

Pengajuan masalah pelanggaran HAM oleh Nurdin dinilai<br />

4<br />

Hamid Awaluddin sebagai sesuatu hal yang sangat personal Nurdin<br />

Abdul Rahman. Menurut Hamid Awaluddin, pengalaman Nurdin itu<br />

selalu dijadikan titik tolak pembicaraan masalah pelanggaran HAM dan<br />

permintaan untuk adanya solusi.<br />

Hamid Awaluddin, sebagai ketua delegasi RI, merespon<br />

panjang-lebar untuk persoalan HAM tersebut secara normatif, setelah<br />

diinterupsi oleh Martti Ahtisaari dengan istirahat minum teh dan kopi<br />

terlebih dahulu.<br />

1. Awaluddin, Damai Di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki. Jakarta: CSIS, 2008. Halaman 72.<br />

2. http://www.analisadaily.com/news/read/2012/04/18/46237/turut_membidani_mou_helsinki/<br />

3. Ibid, halaman 129.<br />

4. Ibid, halaman 111.<br />

27<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


FOKUS<br />

Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh<br />

Perkenankan saya memaparkan agenda hak smanusia. Masalah HAM<br />

ini, dunia telah menyaksikan betapa pemerintahan kita sangat serius<br />

untuk ini. Dari perspektif hukum, kita telah memiliki UU HAM dan<br />

Peradilan HAM. Sejumlah draft UU yang berkaitan dengan masalah<br />

HAM dan hak-hak sipil politik kini tengah dibahas. Dalam waktu<br />

dekat ini, dua instrument dasar HAM internasional, akan diratifikasi,<br />

yakni, Konvensi Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik serta<br />

Konvensi Internasional mengenai hak-hak sosial, ekonomi dan budaya.<br />

Ini adalah tiang pancang utama HAM universal. Ini tak pernah<br />

terbayangkan sebelumnya bahwa kita menyentuh kedua pilar utama ini.<br />

Segi kelembagaan, kita punya Komnas HAM yang sangat mandiri.<br />

Peradilan HAM sudah berjalan.... Kini kita juga dalam proses<br />

pembentukan Komisi Rekonsiliasi.... Jadi, jika GAM berbicara tentang<br />

demokrasi dan HAM, maka segala penilaian negatifnya itu, memang<br />

5<br />

benar dalam konteks masa silam. Bukan sekarang ini....”<br />

Ketika anggota delegasi GAM, Bachtiar Abdullah, menanyakan<br />

bagaimana menyikapi pelanggaran HAM di masa konflik: ”Apakah kita<br />

6<br />

memandangnya hanya ke depan, bukan ke belakang?” Segera direspon<br />

oleh Martti Ahtisaari dengan memuja uraian normatif Hamid<br />

Awaluddin di atas.<br />

”Satu di antara sekian kerumitan hidup yang kita alami adalah, yang<br />

berhubungan dengan masa silam kita. Hati-hati dengan soal ini. Dengan<br />

segala respek saya pada pemerintahan sekarang, banyak sekali kemajuan<br />

yang telah dicapainya … Namun, jangan kita larut dengan kesedihan<br />

masa lalu.”<br />

”Kita tak akan mungkin memasukkan ini dalam draft tertulis sebab<br />

sangat sensitif. Ini tidak berarti kita bahwa kita hapuskan pembicaraan<br />

tentang ini. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita harus<br />

bersihkan karpet dari agenda ini. Inilah yang kita maksudkan itikad<br />

baik. Tentu saja memang selalu mengecewakan dan tidak memuaskan.<br />

Kita butuh keberanian menghadapi ini. Singkatnya, masalah HAM<br />

7<br />

adalah masalah masa depan.”<br />

5. Op Cit, halaman 131-132.<br />

6. Op Cit, halaman 133.<br />

7. Op Cit, halaman 133-134.<br />

28


Dengan pernyataannya itu, Martti Ahtisaari memang tidak<br />

hendak membersihkan ”karpet berdarah”, juga bukan hendak<br />

mengabaikannya, tapi tidak mau masuk ke dalam salah satu kerumitan<br />

hidup. Mantan Presiden Finlandia itu dengan ”berani” mengambil<br />

karpet tersebut dan memasukkannya ke dalam kotak masa lalu, lalu dia<br />

berseru: ”mari kita menatap masa depan.”<br />

Hasil perundingan kemudian adalah tiga butir kesepakatan yang diatur<br />

dalam bab HAM. Berikut adalah poin-poin tentang pelanggaran HAM<br />

sepanjang hampir tiga dasawarsa konflik bersenjata itu, yang<br />

dirumuskan dalam MoU Helsinki:<br />

2.<br />

2.1.<br />

2.2.<br />

2.3.<br />

HAM dalam MoU Helsinki<br />

2. Ikhtiar Pada Konteks Nasional<br />

MoU Helsinki memberikan mandat kepada Presiden dan DPR untuk<br />

segera membuat UU baru terkait dengan Aceh dengan mengadopsi<br />

butir-butir kesepakatan Helsinki. Pengusulan dan pembahasan<br />

rancangan undang-undang untuk Aceh kemudian menjadi arena<br />

kontestasi bagi banyak individu elite politik dan pihak golongan politik.<br />

Di Aceh, kontestasi terjadi antara kekuatan masyarakat sipil,<br />

individu elite, elite politik (eksekutif dan legislatif), dan GAM. Tentu saja<br />

masing-masing memiliki agenda sendiri. Ada elite politik yang<br />

melakukan manuver individual dengan cara mengajukan revisi UU No.<br />

18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah<br />

Istimewa Aceh, lalu dia menyerahkan draf tersebut ke pihak terkait di<br />

29<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

Pemerintah RI akan mematuhi Konvenan Internasional<br />

Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan<br />

Politik dan Mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.<br />

Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk<br />

Aceh.<br />

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh<br />

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas<br />

merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.


FOKUS<br />

Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh<br />

Jakarta. Demikian pula ada inisiatif dari eksekutif untuk mendahului<br />

proses drafting RUU.<br />

Hal yang menarik adalah organisasi masyarakat sipil juga<br />

mengambil inisiatif untuk menyusun draf RUU, sehingga pada satu<br />

kondisi politik tertentu muncul konsensus politik dari semua kekuatan<br />

politik di Aceh untuk melakukan reformulasi bersama yang menjadi draf<br />

RUU dari Aceh. Draf ini yang kemudian disandingkan dengan draf yang<br />

dibahas oleh DPR RI.<br />

Dalam pembahasan di DPR RI, ternyata perihal hak asasi<br />

manusia tidak menjadi topik yang krusial. Perdebatan mengenai HAM<br />

seakan tidak dianggap masalah penting ketimbang tema-tema lain yang<br />

diatur dalam RUU. Sejumlah poin penting terkait HAM yang diusulkan<br />

dalam draf RUU versi Aceh justru dihilangkan.<br />

Misalnya, perihal pelembagaan pengadilan HAM dan Komisi<br />

Kebenaran. Ketentuan mengenai rentang waktu implementasi dua<br />

usulan institusi ini dihilangkan. Sehingga ketentuan waktu pendiriannya<br />

tidak mengikat. Nasib yang sama terjadi pada usulan tentang<br />

kemungkinan keterlibatan pelapor khusus dalam investigasi kejahatan<br />

HAM. Ketentuan ini dihapus dalam RUU hasil pembahasan DPR.<br />

Berikut adalah poin-poin penting dalam draf RUU usulan Aceh<br />

yang mengalami amputasi dan koreksi ketika dibahas di DPR RI:<br />

Usulan Aceh yang Dihilangkan di DPR RI<br />

3. Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia<br />

paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undangundang<br />

ini.<br />

4. Pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan<br />

Rekonsiliasi di Aceh paling lambat 1 (satu) tahun setelah<br />

pengesahan undang-undang ini.<br />

5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah derivasi dari<br />

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang<br />

bertugas untuk merumuskan dan menentukan<br />

rekonsiliasi dan melakukan klarifikasi terhadap<br />

pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu.<br />

30<br />

Tenggang waktu<br />

dihilangkan<br />

Ayat ini<br />

dihilangkan<br />

Tugas untuk<br />

klarifikasi<br />

dihilangkan


Setidaknya ada tiga asumsi mengenai minimnya pembahasan<br />

serta penghilangan poin-poin penting tentang HAM dalam RUU<br />

Pemerintahan Aceh di DPR. Pertama, karena rumusan dalam MoU<br />

Helsinki menjamin ditutupnya persoalan pelanggaran HAM masa lalu<br />

(konflik). Kedua, masalah HAM di Aceh dianggap sebagai wacana ke<br />

depan. Ini seturut dengan pembahasan dalam perundingan Helsinki.<br />

Ketiga, minimnya pembahasan HAM dapat memberikan kenyamanan<br />

politik bagi kelompok elite penguasa dan politisi di DPR.<br />

Hal yang terakhir ini menjelaskan bahwa satu karakter transisi<br />

kekuasaan di Indonesia adalah tetap adanya kontinuitas antara penguasa<br />

terdahulu dengan yang kemudian. Kontinuitas ini menjadi salah satu<br />

kendala politik yang utama dalam penegakan HAM untuk kasus-kasus<br />

pelanggaran HAM masa lalu, karena pelanjut penyelenggara negara<br />

sekarang—baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif hingga ke pelaksana<br />

di lapangan—adalah bagian dari rezim masa lalu, baik secara struktural<br />

maupun kultural.<br />

Justru mereka memiliki kewenangan untuk menciptakan<br />

diskontinuitas antara kejahatan masa lalu dengan pelembagaan<br />

pengadilan HAM di masa kini dengan kalimat: ”Untuk memeriksa,<br />

mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia<br />

8<br />

yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan …”<br />

Peminggiran upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di<br />

Aceh juga terjadi pada proses pembahasan RUU di DPR RI. Masalah<br />

yang dianggap krusial dibahas oleh DPR RI adalah masalah seperti<br />

31<br />

dignitas<br />

6. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di<br />

Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibentuk oleh<br />

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional dengan<br />

memperhatikan pertimbangan DPRA.<br />

Dalam hal tidak adanya jaminan proses investigasi yang adil<br />

dilakukan terhadap kasus-kasus kejahatan berat hak asasi<br />

manusia tertentu di wilayah, pemerintah memberi<br />

kesempatan kepada pelapor khusus (special rappourteur)<br />

dan/atau pejabat lain Pererikatan Bangsa-Bangsa untuk<br />

masuk ke wilayah Aceh.<br />

8. Cetak tebal dari penulis.<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

”memperhatikan<br />

pertimbangan<br />

DPRA”<br />

dihilangkan<br />

Perihal membuka<br />

kesempatan<br />

untuk melibatkan<br />

pelapor khusus<br />

dihilangkan


FOKUS<br />

Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh<br />

desentralisasi (penyerahan kewenangan Pusat ke Aceh) dan<br />

dekonsentrasi (pelimpahan kewenangan), persoalan implementasi<br />

syariat Islam agar tidak menjadi jalan bagi gerakan syariatisasi negara,<br />

serta masalah model demokrasi lokal, termasuk di dalamnya mekanisme<br />

9<br />

pemilihan kepala daerah dan ketentuan mengenai partai politik lokal.<br />

Koalisi organisasi masyarakat sipil yang sejak masa konflik telah<br />

mengadvokasi persoalan pelanggaran HAM menganggap tindakan<br />

politik dalam pembahasan RUU di DPR dengan mengamputasi poin<br />

penting terkait HAM sebagai tindakan ”merampas hak keadilan<br />

korban.” Mereka juga menilai tindakan politik tersebut telah ”merusak<br />

10<br />

tatanan hukum nasional yang menjamin keadilan.”<br />

Pada saat yang hampir bersamaan, pada konteks nasional,<br />

munculnya gagasan pembentuk KKR Aceh memicu kembali desakan<br />

untuk segera membentuk KKR Nasional karena keberadaannya berelasi<br />

dengan keberadaan KKR Aceh. Kaitan ini sesuai dengan rumusan RUU<br />

Aceh yang sedang dibahas oleh Pansus DPR.<br />

Sutradara Ginting, salah seorang politikus PDIP, menegaskan<br />

bahwa ”kalau KKR nasional tidak segera dibentuk, KKR di Aceh juga<br />

11<br />

tidak bisa jalan.” Oleh karena itu PDIP mendesak Presiden SBY untuk<br />

segera membentuk KKR Nasional.<br />

Pendapat lain muncul setelah Mahkamah Konstitusi mencabut<br />

UU KKR sehingga pembentukan KKR Nasional yang ditunda-tunda<br />

itu justru mendapat landasan hukum untuk tidak dibentuk. Akibatnya,<br />

muncul kecemasan terhadap kemungkinan pembentukan KKR Aceh,<br />

meski Ketua MK, Jimly Asshidiqie, mengklarifikasinya. Jimly<br />

mengatakan:<br />

”KKR NAD tidak terkait dengan UU KKR. Itu ada kaitannya dengan<br />

UU PA sendiri... Kalau mau lewat mekanisme KKR, bisa dibuat lagi UU<br />

KKR yang sesuai dengan UUD dan instrumen hukum internasional. Ini<br />

12<br />

(UU KKR lama) kok kompensasi dikaitkan dengan amnesti…”<br />

RUU Aceh pun akhirnya disahkan menjadi UU No. 11 tahun<br />

2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini memang menjamin<br />

9. Kompas, 1 April 2006.<br />

10. Siaran Pers No. 15/Siaran Pers/VII/2006, Jakarta, 4 Juli 2006. Perihal ini ada kecemasan politik dari<br />

Fraksi PDIP: ”Tidak adil jika kemudian anggota Gerakan Aceh Merdeka terbebas karena telah<br />

memperoleh amnesti, sedangkan para anggota TNI/Polri terancam diadili. Karena itu, F-PDIP<br />

mengusulkan pemberian amnesti kepada semua pihak pelaku konflik di masa lampau sebelum<br />

terbentuknya pengadilan HAM dan KKR.” Kompas, 18 Mei 2006.<br />

11. Koran Tempo, 20 Juni 2006.<br />

12. Detikcom, 8 Desember 2006. Kajian Elsam atas Keputusan MK tentang pencabutan UU KKR<br />

menyatakan, antara lain, membuka jalan bagi terbentuknya kultur impunitas di Indonesia. Elsam,<br />

”Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Hak Konstitusional,” Seri Briefing Paper No. 01 Januari 2007.<br />

32


keberadaan KKR di Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 229. Namun<br />

dicabutnya UU KKR oleh MK membuat KKR di Aceh tidak memiliki<br />

basis legalnya karena dalam Pasal 229 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh<br />

dinyatakan bahwa KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari<br />

KKR Nasional.<br />

Berikut adalah ketentuan mengenai HAM—termasuk KKR<br />

Aceh—yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh:<br />

33<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

Pasal 228<br />

(1) Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang<br />

ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh.<br />

(2) Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh sebagaimana dimaksud<br />

pada ayat (1) memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi,<br />

dan/atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.<br />

Pasal 229<br />

(1) Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini<br />

dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.<br />

(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud<br />

pada ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi<br />

Kebenaran dan Rekonsiliasi.<br />

(3) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan<br />

peraturan perundang-undangan.<br />

(4) Dalam menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia di Aceh,<br />

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh dapat<br />

mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam<br />

masyarakat.<br />

Pasal 230<br />

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan,<br />

penetapan anggota, organisasi dan tata kerja, masa tugas, dan biaya<br />

penyelenggaraan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh diatur<br />

dengan Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundangundangan.<br />

Sumber: UU No. 11 Tahun 2006


FOKUS<br />

Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh<br />

Satu-persatu ikhtiar untuk menyelesaikan kasus-kasus<br />

pelanggaran yang terjadi semasa tiga dasawarsa konflik di Aceh pada<br />

konteks nasional mulai pudar. Poin-poin penting mengalami amputasi.<br />

UU KKR pun dicabut oleh MK yang karena pencabutan ini, maka<br />

ikhtiar pembentukan KKR di Aceh dengan sendirinya berakhir.<br />

Meski demikian gerakan masyarakat sipil dan korban<br />

pelanggaran HAM di Aceh tak tinggal diam. Mereka lalu memusatkan<br />

ikhtiarnya pada arena politik lokal di Aceh, tepatnya di DPRA dan<br />

Pemerintah Aceh hasil Pemilukada 2006 yang dimenangkan oleh<br />

pasangan GAM-SIRA—yang maju melalui jalur independen—yakni:<br />

Gubernur, Irwandi Yusuf, dan Wakil Gubernur, M. Nazar.<br />

3. Ikhtiar Pada Konteks Aceh<br />

Lalu bagaimana ikhtiar di tingkat lokal Aceh? Pada prinsipnya Gubernur<br />

Irwandi mendukung pembentukan KKR karena merupakan amanah<br />

13<br />

dari MoU Helsinki. Irwandi juga menyatakan ikhtiar yang sudah<br />

dilakukannya untuk mencari payung hukum bagi KKR Aceh, yakni<br />

dengan cara menulis surat pada Presiden SBY. Payung hukum nasional<br />

dibutuhkan karena "KKR di Aceh, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)<br />

14<br />

merupakan bagian tidak terpisahkan dari KKR." Dalam lain kata,<br />

Pemerintah Aceh bersikap akan membentuk KKR Aceh apabila ada<br />

payung hukum nasional untuk pembentukan KKR Nasional. Pada<br />

kesempatan lain, Gubernur Irwandi mengatakan:<br />

”Mengingat batas waktu yang ditetapkan UUPA telah dilewati, maka<br />

saya menyarankan kepada Presiden untuk mengupayakan percepatan<br />

pembentukan pengadilan tersebut agar tersedianya jalur hukum untuk<br />

korban-korban pelanggaran HAM di Aceh… Sebagai jalan lain, kami<br />

menyarankan agar Presiden mempertimbangkan untuk menetapkan suatu<br />

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang KKR.<br />

15<br />

Ini memang dimungkinkan karena situasinya darurat.”<br />

Ikhtiar Gubernur Irwandi tersebut dibenarkan oleh Menteri<br />

Dalam Negeri Mardiyanto bahwa surat Gubernur telah diterima dan<br />

Pemerintah sedang berkonsultasi dengan para pihak yang terkait di<br />

Jakarta.<br />

13. http://www.rakyataceh.co.nr/, rakyat aceh, 16 Februari 2007.<br />

14. Kompas, 24 Maret 2007.<br />

15. Serambi, 24 November 2007. Kepala Biro Hukum dan Humas Setda Aceh, A Hamid Zein bahkan<br />

memberikan harapan yang lebih besar tentang pembentukan KKR “bahwa Rancangan Undang-Undang<br />

(RUU) KKR sudah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2008.” Serambi,<br />

26 November 2007.<br />

34


35<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

”Kami sudah menerima surat permohonan dari Gubernur (NAD)<br />

Irwandi Yusuf agar pemerintah segera mengeluarkan keputusan mengenai<br />

pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Surat itu akan<br />

16<br />

menjadi pertimbangan penyegeraan pembentukan KKR.”<br />

Perihal pembentukan KKR juga dibicarakan dalam pertemuan<br />

Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) Damai Aceh, yang<br />

merupakan forum perwakilan Pemerintah Pusat yang berkantor di<br />

Aceh. Anggota FKK, Masykur, meyakinkan bahwa Pusat siap untuk<br />

membentuk KKR, dan dia justru meragukan kesiapan Pemerintah Aceh<br />

dan pihak GAM.<br />

”Dari hasil rapat tersebut memang telah kita sepakati untuk perancangan<br />

Perpu bagi pembentukan KKR di Aceh secara lebih spesifik, mengingat<br />

acuan dasar pembentukan KKR yang didasarkan pada UU No 27<br />

Tahun 2004 Tentang KKR, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.<br />

Saat ini Perpu tersebut sedang dalam proses persiapan…. Pada prinsipnya<br />

pemerintah pusat siap untuk membentuk KKR dan pengadilan HAM di<br />

Aceh, sekarang pertanyaannya adalah apakah pihak yang dulunya<br />

17<br />

bertikai siap untuk menerimanya.”<br />

Di lain pihak, ternyata rancangan qanun KKR tidak masuk<br />

dalam Program Legislasi DPRA 2007, meski sudah diamanatkan dalam<br />

MoU Helsinki dan UUPA. Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun<br />

menyikapinya dengan mendesak Pemerintah RI untuk segera<br />

membentuk KKR di Aceh sebagai perwujudan pengakuan terhadap<br />

18<br />

kehormatan para korban dan ahli warisnya.<br />

Di tingkat bawah, gerakan masyarakat sipil sudah<br />

mensosialisasikan pembentukan KKR Aceh kepada para ulama. Aksi<br />

mereka mendapatkan dukungan dari ulama Aceh yang terhimpun dalam<br />

Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA).<br />

Dalam sebuah kesempatan, Sekretaris Jendral HUDA, Tgk<br />

Faisal Ali, mengatakan bahwa korban konflik mempertanyakan tiga poin<br />

kepada Gubernur Irwandi. Ketiga poin tersebut adalah kapan<br />

pengadilan HAM di Aceh bisa dilaksanakan, kapan Komisi Kebenaran<br />

16. Kompas, 27 November 2007.<br />

17. Serambi, 4 Oktober 2007.<br />

18. Serambi, 19 Agustus 2007.


FOKUS<br />

Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh<br />

dan Rekonsiliasi (KKR) dibentuk dan dijalankan, ketiga mengapa<br />

kinerja Badan Reintegrasi Damai-Aceh (BRA) sampai kini belum<br />

maksimal dalam menjalankan program reintegrasi untuk korban<br />

19<br />

konflik.<br />

Namun Gubernur Irwandi tak serius menanggapi keluhan para<br />

ulama. Dia hanya mengatakan agar para korban bersabar. Lalu, dia<br />

mengalihkan perbincangan dengan para korban ke persoalan kebutuhan<br />

lain yang mendesak, yakni pembentukan Komisi Komplain<br />

sebagaimana yang diamanatkan MoU Helsinki.<br />

”Ini juga belum terbentuk, padahal ini sangat penting. Karena pada waktu<br />

terjadi konflik, banyak rumah, toko, kendaraan masyarakat yang<br />

dibakar dan diambil paksa. Sampai sekarang belum ada proses<br />

penggantiannya. Dalam perjanjian damai, masalah ini harus<br />

20<br />

dilaksanakan, agar orang yang jadi korban bisa mendapat ganti rugi.”<br />

Konsekuensi logis dari sikap Gubernur Irwandi yang<br />

menggantungkan pembentukan KKR Aceh pada payung hukum<br />

nasional berdampak pada gagalnya upaya 35 anggota DPR Aceh periode<br />

2004-2009 yang menggunakan hak inisiatif mereka mengajukan draf<br />

rancangan qanun KKR untuk dibahas, menjadi gagal. Salah seorang<br />

inisiator, Muklis Mukhtar menjelaskan bahwa ”ada penjelasan dari<br />

Pemerintah Aceh yang meminta ditunda, maka semangat dari tim ini<br />

21<br />

sempat buyar.”<br />

Ketika berkunjung ke Aceh, Martti Ahtisaari mengakui masih<br />

adanya butir-butir dalam MoU Helsinki yang belum diimplementasikan,<br />

khususnya yang menyangkut pembentukan pengadilan HAM dan KKR,<br />

namun hal ini menjadi tanggungjawab Pemerintah sepenuhnya.<br />

”Adalah menjadi kewenangan polisi untuk menyelidiki dan menindak<br />

para pelakunya, sehingga jangan sampai menjadi ancaman bagi masa<br />

22<br />

depan perdamaian Aceh.”<br />

Dalam hal ini cara pandang Pemerintah Aceh (termasuk staf ahli<br />

gubernur) dan Martti Ahtisaari dalam melihat siapa pihak yang<br />

bertanggung jawab dalam pembentukan pengadilan HAM dan KKR<br />

adalah Pemerintah Pusat. Dalam bahasa staf ahli Gubernur, M Nur<br />

Rasyid, ”Pemerintah RI masih punya utang, antara lain belum<br />

19. Serambi, 7 September 2007.<br />

20. Serambi, 7 September 2007.<br />

21. Serambi, 11 Februari 2009.<br />

22. Serambi, 26 Februari 2009.<br />

36


37<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

23<br />

terbentuknya KKR.”<br />

Meskipun demikian kondisi politik di Aceh, para aktivis<br />

organisasi masyarakat sipil dan para korban tetap melakukan ikhtiar<br />

untuk pembentukan pengadilan HAM dan KKR. Harapan itu kembali<br />

muncul paska Pemilu 2009 karena Partai Aceh mendominasi kursi<br />

parlemen di provinsi. Partai ini mendapat 33 dari 69 kursi DPR Aceh.<br />

Mereka menuntut segera pembahasan dan pengesahan rancangan<br />

qanun KKR. Direktur AJMI, Hendra Budian mengatakan: ”Kepada<br />

Dewan baru agar sesegera mungkin mengesahkan Qanun KKR demi<br />

24<br />

menjawab rasa keadilan bagi korban konflik.” Gubernur Irwandi pun<br />

kian mempertegas sikap politiknya perihal ini:<br />

”Yang sangat penting untuk kita minta perubahan adalah Pasal 229<br />

tentang pembentukan KKR. Dalam UUPA disebutkan kalau<br />

pembentukan KKR Aceh harus dibentuk berdasarkan UU. Dalam<br />

penjelasan UUPA, UU yang menjadi cantolan KKR Aceh adalah UU<br />

No 27 Tahun 2004 tentang KKR nasional. Masalahnya UU KKR itu<br />

sudah dibatalkan oleh MK. Untuk menunggu UU yang baru, kita<br />

membutuhkan waktu yang lama. Kalau Aceh membentuk KKR dengan<br />

menggunakan payung hukum qanun, perdebatan hukum akan panas lagi.<br />

Alangkah sangat bijak kalau kita minta agar Pasal 229 ini direvisi,<br />

sehingga kita tidak perlu menunggu UU lagi untuk pembentukan KKR<br />

25<br />

Aceh.”<br />

4. Korban Memonumenkan Kebenaran<br />

Di tingkat bawah, masyarakat memiliki ikhtiarnya sendiri dalam<br />

mengingat pelanggaran hak asasi manusia sepanjang konflik<br />

berlangsung. Warga Pusong di Kota Lhokseumawe bersama dengan<br />

Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Aceh Utara dan<br />

Lhokseumawe (K2HAU) mengadakan ritual tahunan berupa doa<br />

bersama dan menyantuni anak yatim dalam mengenang tragedi<br />

penyiksaan di Gedung KNPI, pada 9 Januari 1999. Dalam peristiwa ini<br />

lima warga sipil meninggal, 23 luka berat dan 21 luka ringan. Mereka juga<br />

mendesak Pemerintah di Jakarta dan Gubernur Aceh untuk membentuk<br />

pengadilan HAM dan KKR sesuai amanat MoU Helsinki.<br />

23. Serambi, 28 Agustus 2009.<br />

24. Serambi, 1 Oktober 2009.<br />

25. Materi disampaikan pada diskusi politik dengan tema: Menjaring Aspirasi Rakyat Aceh dalam Revisi<br />

UUPA, bertempat di Anjong Mon Mata Banda Aceh tanggal 21 April 2010 yang dilaksanakan DPP Partai<br />

Rakyat Aceh (PRA).


FOKUS<br />

Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh<br />

Berbagai organisasi masyarakat sipil, masyarakat dan keluarga<br />

korban tragedi Simpang KKA yang terjadi pada 3 Mei 1999 di Aceh<br />

Utara juga mengkonstruksi ritual peringatan atas tragedi tersebut. Selain<br />

26<br />

peringatan tahunan, mereka juga mendirikan monumen dengan grafiti:<br />

�Pemerintahan Aceh dan Pusat harus mengambil langkahlangkah<br />

kongkrit misalnya dengan membentuk tim-tim<br />

pencari fakta terhadap kasus masa lalu di Aceh untuk adanya<br />

sebuah pendomentasian kasus secara menyeluruh di Aceh,<br />

pemerintahan Aceh segera membentuk Qanun KKR Aceh.<br />

�Pemerintahan di tingkat Nasional harus segera mengesahkan<br />

undang-undang KKR Nasional yang sudah dicabut.<br />

�Pembentukan pengadilan HAM untuk Aceh menjadi<br />

bahagian dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM Aceh,<br />

mekanisme pengadilan HAM dan KKR saling berhubungan<br />

dalam proses pemberian rasa keadilan bagi korban.<br />

Demikian pula yang dilakukan oleh masyarakat dan korban serta ahli<br />

warisnya di Jamboe Keupok, Bakongan, Aceh Selatan. Mereka<br />

mendirikan sebuah monumen untuk mengenang 16 warga sipil yang<br />

menjadi korban massal. Saburan, salah seorang anak korban,<br />

mengatakan:<br />

”Negara melakukan kejahatan, kami tidak ingin melupakan. Apalagi<br />

sampai sekarang keadilan dan tanggung jawab negara belum terwujud…<br />

Tugu ini penting sebagai bukti sejarah. Setidaknya menjadi pengobat hati<br />

27<br />

kami para korban dan kami tetap menuntut hak.”<br />

Di Banda Aceh, Keluarga korban penghilangan paksa se-Aceh<br />

(Kagundah) meminta agar Pemerintah Aceh membentuk qanun KKR.<br />

Hasil Kongres, menurut sekretaris jenderal Kagundah, Rukaiyah:<br />

”Orang-orang yang hilang semasa konflik itu merupakan tulang punggung<br />

bagi keluarga. Sekarang mereka tidak ada lagi, sehingga para keluarga<br />

korban kesulitan memenuhi nafkahnya… Ini harus ditunjukkan sebagai<br />

wujud kepedulian pemerintah untuk mendukung keberlangsungan<br />

28<br />

perdamaian yang berkeadilan di Aceh.”<br />

26. http://atjehlink.com/tragedi-simpang-kka-keadilan-bukan-sebatas-tugu/<br />

27. VHRmedia, 28 Oktober 2011.<br />

28. Waspada Online, 15 October 2009.<br />

38


39<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

Penutup<br />

Berkaca pada kasus Aceh, penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia<br />

memang sudah menjadi satu hal yang kusut. Instrumen-instrumen<br />

hukum yang tersedia—apalagi dengan dibatalkannya UU KKR—tidak<br />

mampu menerobos stagnasi ini. Bahkan, bukan para korban dan ahli<br />

warisnya saja yang semakin sukar untuk memperoleh kebenaran sebagai<br />

haknya, akan tetapi Presiden SBY pun tidak memiliki mekanisme yang<br />

legal ketika dia hendak meminta maaf kepada para korban. Ini suatu<br />

kondisi yang berlaku secara nasional, sementara pelanggaran HAM terus<br />

terjadi dan akumulatif, sebagaimana yang terjadi di Papua (konflik<br />

vertikal) dan kasus-kasus sengketa pertanahan (konflik horizontal).<br />

Untuk konteks Aceh, penyelesaian pelanggaran di masa konflik<br />

dapat dilihat sebagai arena politik di mana terjadi kontestasi antara<br />

persekongkolan elite berhadapan dengan para korban bersama<br />

organisasi masyarakat sipil. Sejak di meja perundingan Helsinki, masalah<br />

kejahatan masa lalu telah dimasukkan dalam laci perundingan oleh<br />

Martti Ahtisaari, dengan persetujuan pihak GAM dan RI. Hal ini lantas<br />

dilegalkan oleh Pansus RUU Pemerintahan Aceh. Apalagi, tidak lama<br />

kemudian MK membatalkan UU KKR. Kondisinya, pengadilan HAM<br />

belum dibentuk dan UU KKR—sebagai tempat sandaran hukum<br />

nasional bagi pembentukan KKR Aceh menurut pandangan elite politik<br />

Aceh dan Jakarta—dicabut.<br />

Namun, para korban dan OMS terus berikhtiar untuk adanya<br />

pembahasan dan pengesahan terhadap draf rancangan Qanun KKR<br />

yang sudah lama mereka formulasikan. Terakhir, dalam konteks<br />

Pemilukada 2012, ada negosiasi politik antara anggota parlemen dari<br />

Partai Aceh dan para pihak untuk membahas draf tersebut sebagai hak<br />

inisiatif DPRA, yang mana hal ini tidak terlepas dari janji politik saat<br />

pemilukada. Namun, korban dan OMS hendaknya tetap bersikap<br />

waspada dan kritis terhadap kemungkinan tindakan politik mereka di<br />

parlemen Aceh untuk mengorientasikan KKR sesuai dengan<br />

kepentingannya sebagai salah satu pihak yang potensial sebagai pelaku<br />

pelanggaran ham.<br />

Meskipun demikian, sebenarnya cukup penting untuk terus<br />

memperluas ikhtiar para korban dalam memonumenkan pelanggaran<br />

HAM, misalnya para korban dan OMS membentuk sebuah komisi<br />

historis, yang merupakan setengah perwujudan dari komisi kebenaran


FOKUS<br />

Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh<br />

yang sedang diperjuangkan tersebut. Korban dan OMS harus<br />

meneruskan pencarian bentuk komisi kebenaran yang tidak tergantung<br />

pada kebijakan politik pemerintah dan tidak terjangkau oleh intervensi<br />

golongan politik mana pun.<br />

Satu hikmah yang penting untuk disadari bahwa perundingan di<br />

Helsinki–dari perspektif HAM—merupakan negosiasi politik di antara<br />

para pihak yang sama-sama potensial sebagai pelaku pelanggaran HAM,<br />

yang difasilitasi oleh pihak yang memiliki sikap politik untuk<br />

memasukkan ”karpet Martti” ke dalam gudang sejarah masa lalu.<br />

Memang dari sudut politik bernegara, harapan menjadi pupus; tetapi<br />

ikhtiar para korban sendiri harus terus dipupuk dan dilanjutkan karena<br />

suatu waktu kebenaran diyakini akan terbit, dan sejarah akan<br />

mencatatnya.<br />

40


Kekerasan Politik Massal dan<br />

1<br />

Kultur Patriarkhi<br />

Budiawan<br />

Abstract<br />

Every mass political violence always brings deep trauma in various layers of<br />

victims. Direct victims were very likely to experience shock when they faced<br />

situation that has completely changed or situation that they never imagined before.<br />

This article seeks to explain the different lived experiences of the three wives of<br />

the former political prisoners of the '1965 Tragedy' when their husbands were<br />

released from prison.<br />

Keywords: Political Violence, Victims<br />

Perang atau kekerasan politik massal hampir senantiasa menciptakan<br />

janda-janda dan anak-anak yatim piatu, entah untuk selamanya atau<br />

untuk sementara. Sebab, kebanyakan korban langsung dari kekerasan<br />

itu, entah dibunuh atau dipenjarakan, adalah laki-laki dewasa, yang<br />

notabene suami atau ayah. Begitu pula dengan tragedi 1965-66, di mana,<br />

menurut perkiraan kasar yang paling sering dilontarkan orang, sekitar<br />

setengah juta anggota atau simpatisan PKI (dan ormas-ormasnya), atau<br />

mereka yang sekadar dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI,<br />

dibunuh dalam periode waktu antara akhir 1965 hingga pertengahan<br />

1966. Sementara lebih dari satu juta anggota atau mereka yang dituduh<br />

sebagai anggota PKI (atau ormas-ormasnya) dipenjarakan tanpa proses<br />

pengadilan sama sekali.<br />

Jika sebagian besar mereka yang dibunuh atau dipenjarakan<br />

adalah laki-laki dewasa, yang kebanyakan di antaranya adalah suami atau<br />

1. Tulisan ini merupakan versi Indonesia yang lebih ringkas dari bab saya yang berjudul ”Living with the Spectre<br />

of the Past: Traumatic Experiences among wives of former political prisoners of the '1965 Event' in Indonesia”, dalam<br />

Roxana Waterson and Kwok Kian Woon (eds.), Contestation of Memory in Southeast Asia (Singapore:<br />

Singapore University Press, 2012); hal. 270 – 291.<br />

41


FOKUS<br />

Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi<br />

ayah, maka bisa dibayangkan berapa anak yang kemudian menjadi yatim,<br />

dan berapa istri yang kemudian menjadi janda. Dalam masyarakat di<br />

mana laki-laki umumnya berperan sebagai satu-satunya pencari nafkah<br />

dalam keluarga, maka dalam situasi semacam itu bisa dibayangkan<br />

bagaimana para istri yang kemudian menjadi janda (entah karena<br />

suaminya dibunuh atau dipenjarakan) harus berjuang untuk<br />

mempertahankan hidup dirinya dan anak-anaknya.<br />

Kisah dalam tulisan ini bersumber dari penuturan orang-orang<br />

yang cukup dekat dengan istri-istri mantan tahanan politik dan karena itu<br />

tahu banyak pengalaman hidup mereka. Kisah mereka itu menarik untuk<br />

diperbincangkan bukan hanya untuk memahami seberapa jauh tragedi<br />

1965-66 telah menciptakan berlapis-lapis korban, tetapi juga untuk<br />

memahami bagaimana kultur patriarkhi telah membentuk beragam<br />

memori di kalangan perempuan yang terkena dampak tidak langsung<br />

dari tragedi tersebut. Beragam memori itu termanifestasikan dalam<br />

berbagai respons terhadap situasi masa kini, situasi di mana menuturkan<br />

penderitaan masa lalu secara publik telah menjadi sesuatu yang mungkin,<br />

walau terkadang bukannya tanpa resiko.<br />

Berikut ini pengalaman tiga istri mantan tahanan politik (tapol)<br />

yang mengalami jalan hidup yang berbeda dalam bertahan hidup, bukan<br />

hanya secara ekonomi tetapi juga secara sosial. Untuk memudahkan<br />

penuturan, ketiga istri itu saya sebut Bu Surti, Bu Siti, dan Bu Sri.<br />

Kisah Bu Surti<br />

Bu Surti adalah istri seorang tentara berpangkat rendah. Suaminya<br />

ditahan selama empat belas tahun karena menjadi bagian dari resimen<br />

yang dianggap mendukung Gerakan 30 September pimpinan Letkol.<br />

Untung Samsuri. Ketika suaminya mulai ditahan, dia harus menghidupi<br />

dirinya dan kedua anaknya yang masing-masing putra berusia enam<br />

tahun dan putri berusia empat tahun.<br />

Pada mulanya Bu Surti bekerja sebagai buruh pada industri<br />

rumahan yang memproduksi tepung beras. Dia harus bekerja dari subuh<br />

hingga petang, sementara kedua anaknya dia tinggal di rumah dan dijaga<br />

oleh tetangga yang masih ada hubungan kerabat dengannya. Selama<br />

sepuluh tahun dia menjalani kerutinan hidup seperti itu. Begitulah dia<br />

dan kedua anaknya bisa bertahan hidup. Bahkan lebih dari itu, dia<br />

mampu menyekolahkan anak sulungnya ke sekolah menengah atas,<br />

42


sementara anak keduanya ke sekolah menengah pertama.<br />

Tetapi dalam bayangannya, problem biaya pendidikan pasti akan<br />

menghadang kelak ketika anak sulungnya lulus sekolah menengah atas<br />

dan hendak melanjutkan ke perguruan tinggi. Untuk mengantisipasi hal<br />

itu, alih-alih terus-menerus menjadi buruh, Bu Surti mulai merintis<br />

usaha sendiri. Dengan modalnya yang kecil plus pinjaman lunak dari<br />

bekas majikannya, dia pun membuka usaha pembuatan tepung beras<br />

sendiri. Usahanya ini ternyata berkembang. Dari semula mempekerjakan<br />

tiga orang, tiga tahun kemudian dia mempekerjakan sepuluh orang. Dan<br />

dengan bisnisnya yang berkembang ini dia pun tidak kesulitan<br />

membiayai pendidikan anak sulungnya ke perguruan tinggi, dan anak<br />

keduanya ke sekolah menengah atas.<br />

Pada tahun 1979 suami Bu Surti dilepas dari rumah tahanan.<br />

Istilah ”dibebaskan” sebenarnya jelas tidak tepat, sebab para mantan<br />

tapol 'Peristiwa 1965' itu senantiasa diawasi gerak-geriknya oleh aparat<br />

keamanan, serta sangat terbatas ruang gerak mereka. Pelepasan ini tentu<br />

merupakan hal yang membahagiakan Bu Surti dan kedua anaknya.<br />

Mereka kini kembali utuh sebagai sebuah keluarga.<br />

Akan tetapi, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.<br />

Keberhasilan Bu Surti dalam berjuang mempertahankan hidup dan<br />

bahkan sukses merintis usaha sendiri ternyata tidak disambut dengan<br />

kebanggaan oleh suaminya, tetapi malah dipandang sebagai<br />

pengambilalihan atas otoritasnya sebagai kepala keluarga. Dalam situasi<br />

di mana ekonomi keluarga bertumpu pada usaha istrinya, dia merasa<br />

kehilangan wibawa sebagai kepala keluarga. Dia merasa tidak mampu<br />

meraih kembali wibawa masa lalu, masa sebelum dia di-tapol-kan, di<br />

mana dia bisa dan biasa memerintah istrinya seperti halnya<br />

komandannya memerintah dirinya. Pendek kata, wibawa dirinya sebagai<br />

kepala keluarga dia taruh lebih penting daripada keberhasilan istri dan<br />

kedua anaknya dalam berjuang menyambung hidup.<br />

Dalam situasi di mana suaminya tak sanggup menatap realitas<br />

yang telah berubah, hubungan Bu Surti dengan suaminya semakin sering<br />

diwarnai ketegangan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk hidup<br />

secara terpisah, tetapi tidak bercerai. Suaminya hidup bersama putranya,<br />

sementara Bu Surti bersama putrinya.<br />

Bagi Bu Surti, pengalaman pahit yang mengendap dalam<br />

ingatannya bukanlah saat-saat dimana dia harus bekerja keras selama<br />

43<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


FOKUS<br />

Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi<br />

bertahun-tahun untuk mempertahankan hidup dirinya dan kedua<br />

anaknya, tetapi saat suaminya tidak mampu melihat realitas yang telah<br />

berubah. Ingatan atas sikap dan perilaku suaminya selepas dari penjara<br />

itu senantiasa dia coba simpan untuk dirinya. Sebab, setiap kali ingatan<br />

itu muncul, dia tak kuasa menahan kekecewaannya yang mendalam<br />

terhadap suaminya. Dalam kekecewaan semacam itu, dia pun bertanyatanya<br />

apakah setiap suami selalu ingin menang sendiri, seperti suaminya<br />

itu.<br />

Kisah Bu Siti<br />

Bu Siti adalah istri seorang guru sekolah menengah atas. Dia mempunyai<br />

dua anak, yang masing-masing putra berusia tiga setengah tahun dan<br />

putri berusia satu setengah tahun ketika suaminya mulai ditahan pada<br />

akhir Oktober 1965. Pada mulanya dia adalah seorang ibu rumah tangga.<br />

Tetapi ketika suaminya mulai dipenjara, dengan modal pinjaman dari<br />

orang tuanya dia mencoba membuka warung kelontong di bagian teras<br />

rumahnya. Usaha itu dia kerjakan sambil mengasuh kedua anaknya yang<br />

masih balita.<br />

Pada suatu hari ada seorang polisi datang hendak membeli<br />

sesuatu di warung kelontong Bu Siti. Pada mulanya dia hanya hendak<br />

membeli sesuatu. Tetapi ketika Pak Polisi itu tahu bahwa suami pemilik<br />

warung kelontong tersebut tengah menjadi tahanan politik, dia pun<br />

bersimpati. Bermula dari rasa simpati, polisi itu pun mulai menaruh hati.<br />

Semenjak itu Pak Polisi tersebut semakin sering berbelanja di warung<br />

kelontong Bu Siti. Dalam perkembangan selanjutnya, dia datang bukan<br />

untuk membeli sesuatu, tetapi sekedar bertandang untuk mengobrol<br />

kesana-kemari.<br />

Bu Siti bukannya tidak tahu kalau Pak Polisi tersebut telah jatuh<br />

hati kepadanya. Tetapi, dalam situasi di mana dia tidak tahu, dan tak<br />

seorang pun tahu sampai kapan suaminya akan berada di tahanan, dia<br />

pun bingung. Di satu sisi dia memang mendambakan seorang laki-laki<br />

yang selain bisa membantu upaya untuk bertahan hidup juga bisa<br />

menciptakan rasa aman bagi dirinya dan kedua anaknya yang masih<br />

balita, sementara di hadapannya telah ada seorang laki-laki yang<br />

menawarkan diri sebagai pengganti suaminya.<br />

Di sisi lain, Bu Siti tahu kalau suaminya masih hidup. Hanya saja<br />

dia tidak tahu sampai kapan suaminya akan berada di tahanan. Dalam<br />

44


situasi penuh kebimbangan itu dia hamil. Tanpa seizin suaminya yang<br />

masih berada di tahanan, Bu Siti membiarkan Pak Polisi itu hidup<br />

bersama dirinya dan kedua anaknya, tanpa ikatan perkawinan dengan<br />

dirinya.<br />

Menjelang akhir 1969 tersiar kabar akan terjadi pelepasan besarbesaran<br />

para tapol yang termasuk kategori golongan C. Bu Siti pun<br />

bertanya-tanya apakah suaminya termasuk yang akan segera dilepaskan.<br />

Ternyata betul. Dia mendapat informasi dari kerabat suaminya bahwa<br />

suaminya akan dilepaskan pada akhir 1969. Lalu Bu Siti meminta<br />

pengertian kepada Pak Polisi itu agar pergi meninggalkan dirinya dan<br />

ketiga anaknya—termasuk anak hasil hubungan tidak sah<br />

dengannya—karena suaminya akan segera pulang.<br />

Ketika suaminya pulang, Pak Polisi itu memang telah pergi.<br />

Tetapi kini suami Bu Siti mendapati tiga anak di rumahnya, di mana anak<br />

ketiga itu bukan hasil hubungan antara dirinya dengan istrinya. Suami Bu<br />

Siti tidak terkejut akan hal itu. Sebab, sewaktu masih di tahanan dia sudah<br />

mendengar kabar tentang perselingkuhan istrinya dari tetangga yang<br />

sering dititipi kiriman makanan untuk dirinya. Mendengar kabar tak<br />

sedap itu, suami Bu Siti langsung menderita depresi berat, bahkan dia<br />

hampir—dalam istilah di kalangan para tapol—terkena ”PA” atau<br />

pikiran abnormal.<br />

Suami Bu Siti waktu itu disadarkan oleh teman-temannya<br />

sesama tapol bahwa apa yang terjadi dengan keluarga di rumah sungguh<br />

berada di luar kendali mereka. Bahkan apa yang terjadi pada mereka pun<br />

juga tidak berada dalam kendali mereka. Semuanya itu harus diterima<br />

sebagai kenyataan. Dan kini, selepas dari penjara, dia langsung<br />

menghadapi kenyataan tersebut.<br />

Suami Bu Siti sebenarnya rela menghadapi kenyataan istrinya<br />

telah berselingkuh sewaktu dia di penjara, dan dari hasil perselingkuhan<br />

itu lahir seorang anak. Dia memaafkan perbuatan istrinya walau istrinya<br />

tidak pernah meminta maaf. Tetapi masalahnya, istrinya bukan hanya<br />

tidak pernah meminta maaf, melainkan malah menyalahkan dirinya. Bu<br />

Siti mengatakan bahwa dia telah berselingkuh dan kemudian<br />

membuahkan seorang anak adalah akibat suaminya ditahan, dan<br />

penahanan dirinya karena dia ikut-ikutan berpolitik. Dengan kata lain,<br />

bagi Bu Siti, sumber segala kenyataan pahit itu adalah 'politik'.<br />

Itu sebabnya semenjak suaminya dilepas dari tahanan, Bu Siti<br />

45<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


FOKUS<br />

Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi<br />

selalu mengontrol segala hal yang dibaca, didengar, ditonton dan<br />

dibicarakan oleh suaminya. Tindakan ini dilakukan Bu Siti agar sang<br />

suami tidak mengikuti perkembangan situasi politik. Suaminya dilarang<br />

membaca surat kabar, dilarang mendengarkan atau menonton siaran<br />

berita radio maupun televisi. Begitu pula suaminya juga dia kontrol agar<br />

jangan terlalu sering bertemu dan berbicara dengan kakak iparnya, yang<br />

sejak kecil selalu menjadi panutan suaminya sampai dalam soal ideologi<br />

politik. (Kakak iparnya itu juga ditahan dan dilepaskan pada akhir 1969).<br />

Pendek kata, Bu Siti mengendalikan hampir segala gerak langkah<br />

suaminya, sesuatu yang tidak terjadi sebelum suaminya ditahan.<br />

Tetangga dan kerabat dekatnya bukannya tidak melihat adanya<br />

perubahan relasi komunikasi antara Bu Siti dan suaminya. Dengan sinis<br />

mereka melihat hal itu sebagai upaya Bu Siti menutupi kesalahannya. Bu<br />

Siti bukannya tidak sadar akan sinisme mereka itu. Hal itu tampak dalam<br />

sikap tertutup terhadap tetangga dan kerabat dekatnya. Kalau toh ada<br />

komunikasi, biasanya komunikasi itu penuh kepuraan-puraan atau<br />

sekadar basa-basi. Bu Siti hingga kini cenderung mengurung diri.<br />

Suaminya pun terkurung dalam pengurungan diri istrinya itu.<br />

Kisah Bu Sri<br />

Sama dengan Bu Surti dan Bu Siti, Bu Sri adalah seorang ibu rumah<br />

tangga sebelum suaminya ditahan. Dia memiliki empat anak, yang terdiri<br />

dari dua putri dan dua putra. Ketika suaminya masuk penjara pada akhir<br />

Oktober 1965, anaknya yang sulung berusia tujuh tahun, sedangkan<br />

yang bungsu setengah tahun.<br />

Berbeda dari pengalaman hidup Bu Surti dan Bu Siti,<br />

pengalaman hidup Bu Sri sewaktu ditinggal suaminya di penjara relatif<br />

tidak berliku-liku. Untuk menyambung hidup dirinya dan keempat<br />

anaknya dia sepenuhnya ditopang oleh orang tuanya dan mertuanya.<br />

Dua putrinya dia titipkan di rumah mertuanya, sedangkan dia bersama<br />

kedua putranya tinggal bersama orang tuanya. Selain menyandarkan<br />

pada uang pensiun ayahnya, Bu Sri juga bersandar pada hasil kerja<br />

ibunya, yang mulai membuka usaha jual beli pakaian bekas semenjak<br />

ketempatan anak dan kedua cucunya. Bu Sri sendiri sepenuhnya<br />

mengurusi kedua putranya yang masih balita.<br />

Setelah suaminya dilepas dari penjara pada akhir 1969, Bu Sri<br />

dan keempat anaknya serta suaminya kembali hidup bersama. Mereka<br />

46


tinggal di rumah mertua Bu Sri. Mereka hidup bertani, dan menjalani<br />

taraf hidup yang serba pas-pasan, sampai akhirnya suami Bu Sri<br />

mendapatkan pekerjaan di Jakarta kembali pada profesi semula, yaitu<br />

guru.<br />

Kisah hidup Bu Sri barangkali yang paling lazim terjadi di<br />

kalangan para istri mantan tapol. Artinya, kemampuan untuk bertahan<br />

hidup sewaktu suami di penjara sangat bergantung pada topangan<br />

ekonomi orang tua atau kerabat dekat, bahkan sampai pada masalah<br />

tempat tinggal. Boleh jadi kondisi semacam inilah yang membuat orang<br />

seperti Bu Sri tidak perlu 'terjatuh' pada situasi seperti yang dialami Bu<br />

Siti, dan juga terhindar dari pengalaman seperti yang dialami Bu Surti.<br />

Korban Tidak Langsung dan Kultur Patriarkhi<br />

Para istri tapol seperti dituturkan di atas jelas bukan korban langsung dari<br />

kekerasan politik massal 1965-66. Mereka sendiri tidak pernah<br />

diinterogasi dan dipenjara. Mereka juga tidak mengalami ancaman fisik<br />

dari pihak manapun. Namun, akibat yang mereka (dan anak-anak<br />

mereka) alami sebagai dampak dari ditahannya suami mereka jelas tidak<br />

bisa diremehkan. Masalah yang langsung menghadang mereka jelas<br />

adalah problem berjuang untuk menyambung hidup.<br />

Namun seperti terlihat dalam kasus Bu Surti, keberhasilan dalam<br />

berjuang untuk survival ternyata tidak mendapat apresiasi sama sekali<br />

dari suaminya. Keberhasilan istri untuk survival dipandang sebagai<br />

ancaman buat wibawa suami. Dan itulah momen yang traumatis bagi<br />

istri, karena kemudian dia kehilangan rasa hormat kepada suami, bahkan<br />

mungkin juga rasa hormat kepada laki-laki.<br />

Keberhasilan seorang istri untuk bertahan hidup seperti lumer<br />

dan nyaris tak berarti ketika bertabrakan dengan tembok kultur<br />

patriarkhi. Padahal, dengan keberhasilan itu sebenarnya yang dituntut<br />

adalah kesetaraan, bukan pembalikan relasi kuasa antara suami dan istri.<br />

Dalam kasus Bu Siti, tampak bahwa bayangan bagaimana masyarakat<br />

nyaris tidak menyisakan ruang untuk memahami 'perselingkuhannya'<br />

telah membuat Bu Siti menempatkan suaminya, orang terdekatnya,<br />

sebagai sasaran pemberontakannya terhadap kultur patriarkhi. Ongkos<br />

yang harus dia bayar adalah isolasi yang dilakukan lingkungan<br />

terdekatnya atas dirinya.<br />

Sedangkan dalam kasus Bu Sri, boleh dikatakan tidak ada<br />

47<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


FOKUS<br />

Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi<br />

pengalaman traumatis dengan suami maupun lingkungan tetangga serta<br />

kerabatnya, karena sejak awal dia tetap patuh berada dalam kultur<br />

patriarkhi.<br />

Ketiga kasus di atas membentuk politik memori yang berbeda.<br />

Bagi Bu Surti, ingatan yang kelam dan karena itu menjadi beban<br />

bukanlah saat-saat dia harus bekerja keras menghidupi diri dan kedua<br />

anaknya, tetapi justru saat-saat sesudah suaminya dilepas dari tahanan.<br />

Bagi Bu Siti, momen yang kelam bukanlah ketika dia harus<br />

bekerja sendirian sembari mengasuh kedua anaknya yang masih balita,<br />

tetapi ketika perselingkuhannya dengan orang lain telah membuahkan<br />

seorang anak, persis ketika mulai terdengar kabar akan adanya pelepasan<br />

para tapol secara besar-besaran pada akhir 1969. Di situ dia dihadapkan<br />

pada situasi serba tidak pasti, sementara melalui cibiran, masyarakat telah<br />

menghukumnya. Ketika suaminya pulang, dia tabrak tembok kultur<br />

patriarkhi itu dengan menjadikan suaminya sebagai sasaran antaranya.<br />

Tetapi, justru karena itu masyarakat semakin menghukumnya, dengan<br />

cara mengisolasinya dalam pergaulan sosial.<br />

Pada kasus Bu Sri yang sejak awal berada dalam posisi submisif<br />

pada kultur patriarkhi, perjalanan hidupnya relatif tidak berliku. Tidak<br />

seperti Bu Surti dan Bu Siti, bagi Bu Sri tidak ada pengalaman masa lalu<br />

yang harus dia taruh di bawah karpet. Masa lalu suami sebagai tapol<br />

bukanlah sebuah aib dalam keluarga. Bahkan karena dia tidak 'terjatuh'<br />

pada pengalaman seperti yang terjadi pada Bu Siti itu merupakan sesuatu<br />

yang membanggakannya. Tanpa disadari, dengan sikap semacam ini dia<br />

sebetulnya telah turut merepoduksi 'moralitas' dalam kultur patriarkhi.<br />

Dengan ketiga kisah di atas tampak bahwa kekerasan politik<br />

massal yang terjadi dalam masyarakat dengan kultur patriarkhi yang<br />

kental menjadikan perempuan sebagai korban tidak langsung yang efek<br />

traumatisnya mungkin lebih panjang daripada laki-laki yang menjadi<br />

korban langsung. Hal ini antara lain tampak pada sikap tidak peduli di<br />

kalangan para istri mantan tapol terhadap perubahan politik semenjak<br />

Suharto jatuh, di mana para mantan tapol kini dimungkinkan untuk<br />

mengartikulasikan memori mereka secara publik. Bila sebagian mantan<br />

tapol perempuan (apalagi laki-laki) telah menuturkan penderitaan<br />

mereka melalui memoar-memoar atau otobiografi, para istri mantan<br />

tapol seperti Bu Surti, apalagi Bu Siti, terus hidup bersama pengalamanpengalaman<br />

traumatis itu.<br />

48


DISKURSUS


Kerangka Penyelesaian Pelanggaran<br />

HAM Berat di Indonesia dan<br />

*)<br />

Negara-negara Lain<br />

Zainal Abidin<br />

Abstract<br />

A number of countries have succeeded in dealing with their past gross human<br />

rights violations by using various methods that were crystallized in two models:<br />

through court and the establishment of truth commission. A method was picked<br />

based on the political context of each country. But in Indonesia, the two options<br />

are on threshold of failure.<br />

Keywords: Human Rights Tribunal, Truth Commission, Gross Violence of<br />

Human Rights<br />

A. Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia<br />

Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia<br />

sebenarnya sudah sangat jelas berdasarkan sejumlah instrumen hukum<br />

yang telah dibentuk, di antaranya berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000<br />

tentang Pengadilan HAM. Penyelesaian tersebut, pada intinya berpijak<br />

pada dua mekanisme, yakni terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di<br />

masa lalu melalui mekanisme penghukuman pengadilan HAM adhoc<br />

dan melalui mekanisme KKR, sedangkan pelanggaran HAM berat yang<br />

terjadi setelah pembentukan UU Pengadilan HAM, dilakukan melalui<br />

1<br />

Pengadilan HAM.<br />

Sejarah pembentukan kedua mekanisme penyelesaian tersebut<br />

* Sebagian besar dalam tulisan ini juga dimuat dalam Jurnal Hak Asasi Manusia Edisi 11 Volume 1 Tahun<br />

2012 yang diterbitkan oleh Dirjen HAM, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia<br />

1. Pembedaan ini merujuk pada Pasal 4, Pasal 43 dan Pasal 47 UU No. 26/2000. Pasal 43 menyebut<br />

pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum adanya UU No. 26/2000 dilakukan dengan Pengadilan<br />

HAM ad hoc, dan Pasal 47 menyebutkan menyebut pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum<br />

adanya UU No. 26/2000 tidak tertutup kemungkinan dapat diselesaikan melalui KKR.<br />

51


DISKURSUS<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat<br />

berlangsung panjang dan berliku. Gagasan pembentukan KKR<br />

misalnya, sebagai salah satu mekanisme untuk memper-<br />

tanggungjawabkan pelanggaran HAM masa lalu, telah muncul sejak<br />

2<br />

reformasi mulai bergulir tahun 1998. Pembentukan KKR mendapatkan<br />

basis legalnya dan menunjukkan komitmen negara yang kuat untuk<br />

menyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, ketika Majelis<br />

Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR No. V<br />

Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan. Ketetapan<br />

tersebut menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM masa lalu, dan<br />

menyatakan bahwa di masa lalu telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan<br />

dan pelanggaran hak asasi manusia yang perlu diungkap demi<br />

menegakkan kebenaran. Ketetapan tersebut juga merekomendasikan<br />

3<br />

untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.<br />

”Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai<br />

lembaga ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan<br />

dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan<br />

kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan<br />

pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan<br />

ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan<br />

melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai<br />

bangsa. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat<br />

dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf,<br />

perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain<br />

yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa<br />

4<br />

dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.”<br />

UU Pengadilan HAM mengatur mekanisme pengadilan untuk<br />

memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam<br />

pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan<br />

5<br />

terhadap kemanusiaan. Terhadap kejahatan-kejahatan yang masuk<br />

kategori pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000,<br />

6<br />

dilakukan melalui pengadilan HAM ad hoc.<br />

2 Munculnya gagasan ini juga dipengaruhi oleh pengalaman negara lain misalnya di Afrika Selatan dan<br />

sejumlah negara di Amerika Latin. Lihat Progress Report, ”Pembentukan Komisi Kebenaran dan<br />

Rekonsiliasi” ELSAM, 27 Januari 2006.<br />

3. Lihat Ketetapan MPR No. V/2000.<br />

4. Ketetapan MPR No. V/2000, Hal. 8.<br />

5. Lihat pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26/2000. Untuk melengkapi landasan hukum pengadilan HAM, pada tahun<br />

2002, pemerintah menerbitkan 2 Peraturan Pemerintah (PP); 1) PP No. 2/2002 tentang Tata Cara<br />

Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM yang Berat dan PP No. 3/2002 tentang<br />

Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat.<br />

6. Lihat pasal 43 UU No. 26/2000.<br />

52


UU juga menyebut bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi<br />

sebelum berlakunya UU ini tidak menutup kemungkinan<br />

7<br />

penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yang dibentuk melalui UU.<br />

Berdasarkan UU tersebut, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap<br />

8<br />

kemanusiaan, yang termasuk dalam ”the most serious crimes” dan<br />

merupakan kejahatan internasional, akan dapat diadili di Pengadilan<br />

Indonesia.<br />

Komitmen adanya pengadilan HAM dan KKR juga dijanjikan<br />

dibentuk di Papua. Melalui UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi<br />

Khusus Papua, negara berjanji kepada rakyat Papua tentang<br />

pertanggungjawaban berbagai bentuk pelanggaran HAM di Papua<br />

melalui dua instrumen yaitu Pengadilan HAM dan KKR. UU tersebut<br />

menyatakan KKR dilakukan untuk ”melakukan klarifikasi sejarah dan<br />

merumuskan serta menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi” dalam<br />

9<br />

rangka menjaga persatuan bangsa.<br />

Pada tahun 2004, terbentuk UU No. 27 tahun 2004 tentang<br />

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang mengatur tentang<br />

pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM masa lalu, mekanisme<br />

10<br />

penyelesaian di luar pengadilan dan rehabilitasi kepada korban.<br />

Namun, selama tahun 2004-2006 pembentukannya sangat lambat, dan<br />

11<br />

Pemerintah hanya berhasil melakukan proses seleksi anggota KKR.<br />

Pada tahun 2006, komitmen untuk penyelesaian pelanggaran<br />

HAM masa lalu juga dinyatakan dalam konteks pelanggaran HAM berat<br />

di Aceh. UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,<br />

memandatkan adanya pembentukan Pengadilan HAM dan KKR di<br />

12<br />

Aceh.<br />

Pada tahun 2006 pula, terbentuk UU No. 13 tahun 2006 tentang<br />

Perlindungan Saksi dan Korban, yang dapat dikatakan sebagai regulasi<br />

7. Lihat pasal 47 UU No. 26/2000.<br />

8. Istilah ”the most serious crimes ” merujuk pada istilah yang dinyatakan dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998.<br />

Sebagai catatan, penjelasan pasal 7 UU No. 26/2000 menyatakan ”Kejahatan genosida dan kejahatan<br />

terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of The Intemational Criminal Court”<br />

(Pasal 6 dan Pasal 7).<br />

9. Lihat Pasal 44 UU No. 21/2001.<br />

10. DPR dan Pemerintah pada saat itu, setelah melalui perdebatan yang panjang selama kurang lebih 16<br />

bulan, akhirnya mengesahkan RUU KKR menjadi UU, meski disadari adanya kelemahan dalam<br />

pengaturannya. Sejumlah organisasi masyarakat sipil memandang ada kelemahan dalam UU KKR, yakni<br />

kurang sesuai dengan prinsip-prinsip berdasarkan hukum HAM internasional.<br />

11. Lihat Progress Report, ”Pandangan Elsam atas Pembentukan KKR Terlambat Dua Tahun; Penundaan<br />

Pembentukan KKR: Pengingkaran atas Platform Nasional dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM di<br />

Masa Lalu”, ELSAM, 2006.<br />

12. Lihat pasal 228 dan 229 UU No.11/2006.<br />

53<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat<br />

yang memperkuat mekanisme Pengadilan HAM. UU tersebut mengatur<br />

tentang perlindungan saksi dan korban yang lebih baik, dan memberikan<br />

penguatan pengaturan tentang kompensasi dan restitusi, termasuk hal<br />

atas bantuan medis dan rehabilitasi psikososial kepada korban<br />

13<br />

pelanggaran HAM berat. UU tersebut juga memandatkan<br />

pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).<br />

Namun, pada tahun 2006 pula, MK membatalkan UU No. 27<br />

Tahun 2004 tentang KKR, karena dianggap bertentangan dengan<br />

Konstitusi, hukum HAM internasional dan hukum humaniter<br />

internasional. MK kemudian merekomendasikan untuk membentuk<br />

UU KKR baru sesuai dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang<br />

berlaku secara universal, serta mendorong negara untuk melakukan<br />

15<br />

rekonsiliasi melalui kebijakan politik.<br />

”Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan<br />

hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup<br />

upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya<br />

rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain<br />

dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum<br />

(undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM<br />

yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi<br />

melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara<br />

16<br />

umum.”<br />

Dari kerangka hukum sebagaimana disebutkan di atas, konsep<br />

dan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat telah jelas dan<br />

masih menggunakan dua mekanisme, yaitu melalui jalur pengadilan dan<br />

KKR. MK, meski membatalkan UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR,<br />

tetap merekomendasikan pembentukan UU KKR baru dan melalukan<br />

rekonsilasi.<br />

Justru pada tataran implementasi kedua mekanisme tersebut<br />

yang mengalami hambatan dan stagnasi hingga saat ini. Dari sisi<br />

penyelesaian melalui pengadilan, tercatat hanya dua kasus yang telah<br />

dibawa ke pengadilan HAM adhoc, yakni perkara pelanggaran HAM<br />

13. Lihat pasal 5 dan pasal 7 UU No. 13/2006. Kemudian juga muncul PP No. 44/2008 tentang Pemberian<br />

Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.<br />

14. Lihat Pasal 11-27 dan Pasal 45 UU No. 13/2006.<br />

15. Lebih lengkap tentang argumen MK dan respon ELSAM atas keputusan tersebut bisa dilihat di Briefing<br />

Paper, ”Making Human Rights A Constitutional Rights, A Critique of Constitutional Court's Decision on the Judicial<br />

Review of the Truth and Reconciliation Commission Act and Its Implication for Settling Past Human Rights Abuses”,<br />

ELSAM, 2007.<br />

16. Lihat Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006, hal. 131.<br />

54<br />

14


erat Timor-Timur pada tahun 1999 dan Tanjung Priok tahun 1984, dan<br />

sebuah Pengadilan HAM untuk kasus Abepura tahun 2000.<br />

Dalam ketiga pengadilan tersebut, sebagaimana disebutkan<br />

pada bagian atas, proses pengadilan bisa dikatakan gagal menghadirkan<br />

keadilan. Justru sejumlah inisiatif korban dan masyarakat sipil melalui<br />

17<br />

jalur pengadilan maupun upaya lainnya yang lebih maju.<br />

Demikian pula dengan berbagai penyelidikan yang telah<br />

dilakukan oleh Komnas HAM, diantaranya Kasus Trisaksi, Semanggi I<br />

dan II, Kasus Talangsari 1989, dan Kasus Penghilangan Paska 1997-<br />

1998 yang sampai sekarang belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung<br />

dan Presiden. Sejumlah argumen dari Kejaksaan Agung untuk tidak<br />

menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM diantaranya untuk<br />

pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 belum ada<br />

rekomendasi dari DPR dan masih ada berbagai hal yang harus dilengkapi<br />

18<br />

oleh Komnas HAM.<br />

Namun, alasan-alasan Kejaksaan Agung tidak konsisten.<br />

Misalnya, dalam perkara Penghilangan Paksa Tahun 1997-1998 yang<br />

telah mendapatkan rekomendasi DPR untuk membentuk Pengadilan<br />

HAM adhoc tidak dilaksanakan hingga saat ini. Padahal, pada 28 Oktober<br />

2009, DPR merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk<br />

19<br />

Pengadilan HAM adhoc untuk kasus Penghilangan Paksa 1997-1998.<br />

Presiden juga hingga kini belum menerbitkan keputusan untuk adanya<br />

20<br />

pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa tersebut.<br />

B. Pelanggaran HAM yang Berat: Pengalaman Internasional dan<br />

Berbagai Negara<br />

Banyak negara telah melakukan penyelesaian kejahatan masa lalunya<br />

dengan metode yang bermacam-macam. Negara-negara tersebut<br />

cenderung pada mulanya dipimpin oleh rezim pemerintahan yang<br />

17. Lihat catatan Elsam, ”Pemetaan Singkat Kebijakan Reparasi dan Implementasinya di Indonesia”, 3<br />

Oktober 2011. Lihat juga, Zainal Abidin, ”Jalan Berliku Meraih Keadilan”, Bulletin Asasi, Elsam, edisi<br />

Januari-Februari 2012. Dokumen dapat diakses di www.elsam.or.id<br />

19. Mengenai perdebatan tentang Pembentukan Pengadilan HAM dapat dilihat dalam Jurnal Dignitas,<br />

”HAM dan Realitas Transisional”, Elsam, 2011.<br />

20. Terdapat 4 rekomendasi dari DPR yaitu yaitu pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk menangani<br />

kasus orang hilang, memberikan kompensasi kepada keluarga korban, pencarian 13 orang hilang yang<br />

belum ditemukan dan ratifikasi Konvensi HAM PBB tentang penghilangan orang secara paksa. Lihat<br />

juga Kertas Posisi Keadilan Transisional, ”Menyangkal Kebenaran, Menunda Keadilan: Berlanjutnya<br />

Penyangkalan Negara atas Hak-Hak Korban, Mandegnya Penuntasan Kasus Penghilangan Orang secara<br />

Paksa Periode 1997-1998”, Elsam, 17 Februari 2011. Lihat juga ASASI, ”Penghilangan Paksa 1997-1998:<br />

Rekomendasi Tanpa Atensi, Edisi November-Desember 2011. Dokumen dapat diakses di<br />

www.elsam.or.id<br />

55<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat<br />

otoriter yang sangat kuat mengontrol kekuasaan. Dengan latar belakang<br />

politik yang beragam, pola penyelesaian kejahatan masa lalu negaranegara<br />

tersebut juga berbeda-beda. Di bawah ini merupakan pola<br />

implementasi penyelesaian kejahatan masa lalu yang telah dilakukan oleh<br />

negara-negara lain:<br />

1. Praktik Penghukuman Melalui Pengadilan<br />

Sejarah penghukuman terhadap terjadinya berbagai kejahatan serius<br />

telah berlangsung lama. Sejumlah pengadilan Internasional telah digelar,<br />

disamping berbagai pengadilan untuk kejahatan-kejahatan serius yang<br />

dilakukan dalam tingkat domestik. Di antara yang pertama adalah<br />

Pengadilan Leipzig tahun 1921, untuk mengadili para penjahat perang<br />

Jerman pada perang dunia pertama, yang dilakukan oleh Mahkamah<br />

21<br />

Agung Jerman berdasarkan Perjajian Versailles.<br />

Kemudian, praktik proses penghukuman terhadap para pelaku<br />

kejahatan-kejahatan yang serius tersebut berlanjut, di antaranya<br />

sejumlah pengadilan yang terkenal, yakni; pengadilan kejahatan<br />

internasional setelah perang dunia, yaitu ”International Military Tribunal ”<br />

(IMT) atau dikenal sebagai ”Nuremberg Tribunal” pada tahun 1945 dan<br />

”International Military Tribunal for the Far East (IMTFE)” atau dikenal<br />

22<br />

sebagai ”Tokyo Tribunal” pada 1946. Pengadilan Nurenberg mengadili<br />

24 para pimpinan Nazi yang didakwa dengan; turut serta dalam suatu<br />

perencanaan atau konspirasi untuk melaksanakan kejahatan terhadap<br />

perdamaian (crime against peace), merencanakan, memprakarsai, dan<br />

mengadakan peperangan agresi militer dan ataupun kejahatan lainnya<br />

terhadap perdamaian, melakukan kejahatan perang (war crime) dan<br />

kejahatan kemanusiaan. Sementara Pengadilan Tokyo mendakwa 28<br />

orang yang kebanyakan terdiri dari pejabat militer dan pemerintahan<br />

Jepang dengan dakwaan terlibat dalam kejahatan perang dan kejahatan<br />

23<br />

terhadap kemanusiaan.<br />

Kemudian setelah usai perang dingin, menghadapi kekejaman<br />

21. Tobias Lock dan Julia Riem, ”Judging Nurenberg: The Laws, The Rallies, The Trial”, Dokumen dapat diakses di<br />

http://www.germanlawjournal.com/pdfs/Vol06No12/PDF_Vol_06_No_12_1819-1832_v<br />

Developments_LockRiem.pdf<br />

22. Pembentukan IMT didasarkan pada insiatif sekutu yang memenangkan perang untuk mengadili para<br />

pemimpin Nazi-Jerman, baik sipil maupun militer, sebagai penjahat perang dengan terlebih dahulu<br />

dituangkan dalam London Agreement tanggal 8 Agustus 1945. Sedangkan IMTFE dibentuk berdasarkan<br />

Proklamasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Jenderal Douglas MacArthur pada 1946.<br />

23. http://cnd.org/mirror/nanjing/NMTT.html<br />

56


yang terjadi di Bekas Negara Yugoslavia dan Rwanda dibentuk<br />

Mahkamah Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia atau<br />

”the International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY)” dan atau<br />

Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda ”the International<br />

24<br />

Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)”.<br />

ICTR merupakan pengadilan bentukan PBB untuk mengadili<br />

para pelaku kejahatan perang yang terjadi selama konflik Balkan pada<br />

tahun 1990an. Pengadilan ini telah mendakwa lebih dari 160 pelaku,<br />

termasuk kepala negara, perdana menteri, pimpinan militer, pejabat<br />

pemerintah, dan lainnya dengan tuduhan atas tindakan pembunhan,<br />

penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan, perusakan properti dan<br />

25<br />

kejahatan-kejahatan lainnya sebagainya diatur dalam Statuta ICTY.<br />

Sementara ICTR, yang juga merupakan pengadilan bentukan PBB, yang<br />

berlokasi di Aruza Tanzania, mengadili para pelaku kejahatan genosida,<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum<br />

humaniter internasional lainnya atas peristiwa yang terjadi di Rwanda<br />

26<br />

pada tahun 1994, dan telah mendakwa sekitar 72 pelaku.<br />

Pada tahun 1998, masyarakat Internasional sepakat membentuk<br />

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang<br />

27<br />

didirikan berdasarkan Statuta Roma 1998. Semangat pembentukan<br />

ICC sebagaimana disebutkan dalam Statuta Roma 1998 diantaranya<br />

untuk memerangi impunitas dan bahwa kejahatan genosida, kejahatan<br />

terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi sebagai<br />

”the most serious crimes of concern to the international community as a whole”.<br />

Statuta Roma mengatur kewenangan untuk mengadili<br />

kejahatan-kejahatan paling serius (the most serious crimes), yaitu kejahatan<br />

genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes<br />

against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the<br />

28<br />

crime of aggression). Berbeda dengan pengadilan internasional<br />

sebelumnya yang bersifat ad hoc, Mahkamah Pidana Internasional<br />

29<br />

merupakan pengadilan yang permanen.<br />

24. Kedua pengadilan ini juga memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya, kedua pengadilan<br />

dibentuk oleh lembaga yang sama, yaitu Dewan Keamanan PBB melalui sebuah resolusi. ICTR dibentuk<br />

berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.955, tanggal 8 November 1994 .<br />

25. http://www.icty.org/sid/3.<br />

26. http://www.unictr.org/AboutICTR/GeneralInformation/tabid/101/Default.aspx<br />

27. Statuta ini diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam ”United Nations<br />

Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma,<br />

Italia<br />

28. Pasal 5 Statuta Roma 1998.<br />

29. Pasal 3(1) Statuta Roma.<br />

57<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat<br />

Sejak pendiriannya, ICC setidaknya telah memeriksa 16 kasus<br />

atas tujuh peristiwa yang terjadi di Uganda, Kenya, Kongo, Sudan,<br />

Afrika Tengah, Libya, dan Pantai Gading. Terdakwa pertama yang<br />

dijatuhi hukuman oleh ICC adalah Thomas Lubanga Dyilo dari Kongo,<br />

yang didakwa melakukan kejahatan perang, dimana dia diduga<br />

memerintahkan anak buahnya melakukan pelanggaran HAM yang<br />

massif, termasuk kekejaman etnis, pembunuhan, penyiksaan,<br />

pemerkosaan, mutilasi dan memaksa anak-anak untuk menjadi tentara.<br />

Lubaga Dyilo akhirnya dijatuhi hukuman 14 tahun penjara dengan<br />

terbuktinya melakukan pemaksaan kepada anak-anak untuk menjadi<br />

30<br />

tentara.<br />

Pengalaman sejumlah pengadilan tersebut telah jelas<br />

memberikan pesan bahwa para pelaku kejahatan-kejahatan serius harus<br />

dibawa ke pengadilan dan diadili. Sejumlah instrumen HAM<br />

internasional telah dibentuk untuk memastikan adanya penghukuman<br />

bagi para pelaku kejahatan-kejahatan serius. Pelanggaran hak asasi<br />

manusia yang berat, misalnya genosida dan penyiksaan, juga telah diakui<br />

sebagai ”jus cogens” atau ”peremptory norms” yang karenanya pelaku<br />

kejahatan tersebut merupakan adalah musuh semua umat manusia (hostis<br />

humanis generis) dan penuntutan terhadap para pelakunya merupakan<br />

31<br />

kewajiban seluruh umat manusia (obligatio erga omnes).<br />

Hal ini juga berarti bahwa untuk kejahatan-kejahatan serius tidak<br />

diperkenankan adanya amnesti. Sejumlah dokumen PBB menyebutkan<br />

secara tegas bahwa amnesti tidak dapat diberikan kepada pelaku<br />

32<br />

pelanggaran HAM berat. Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB<br />

tahun 2004, dalam Point 3 menegaskan sebagai berikut:<br />

”…amnesties should not be granted to those who commit violations of<br />

human rights and international humanitarian law that constitute crimes,<br />

30. http://www.icc-cpi.int/Menus/ICC/Situations+and+Cases/<br />

31.Lihat ”Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity”<br />

(E/CN.4/2005/102/Add.1 08 Februari 2005).<br />

32. Lihat General Comment 20 Pasal 7 [Kovenan Hak Sipil dan Politik] menyatakan bahwa "that some States<br />

have granted amnesty in respect of acts of torture. Amnesties are generally incompatible with the duty of the States to<br />

investigate such acts” (General Comment 20 concerning Article 7, replaces General Comment 7 concerning Prohibition of<br />

Torture and Cruel Treatment or Punishment); lihat juga Laporan Sekjen PBB mengenai pembentukan<br />

Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone S/200/915), 4 Oktober 2000 dalam paragraph 22-24, Laporan<br />

Sekjen PBB tentang The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict Societies, (S/2004/616),<br />

23 Agustus 2004, Independent Study on Best Practices, Including Recommendations, to Assist States In Strengthening<br />

Their Domestic Capacity to Combat All Aspects Of Impunity (E/CN.4/2004/88).<br />

58


urges States to take action in accordance with their obligations under<br />

international law and welcomes the lifting, waiving, or nullification of<br />

33<br />

amnesties and other immunities”.<br />

Kewajiban untuk melakukan penghukuman ini, yang tertuang<br />

dalam sejumlah instrumen HAM internasional, juga yurisdiksi<br />

internasional, yaitu berdasarkan pelanggaran-pelanggaran tertentu,<br />

mewajibkan untuk dituntut di dalam negeri, maupun memberikan<br />

kemungkinan pelaku pelanggaran tersebut dapat diproses di pengadilan<br />

di luar negeri. Hal ini misalnya dalam Konvensi Pencegahan dan<br />

Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (The Convention on the<br />

Prevention and Punishment of the Crime of Genocide), yang memberikan<br />

kewajiban utama untuk penuntutan pelaku kepada negara dimana<br />

pelanggaran terjadi, tetapi juga menentukan bahwa pengadilan lainnya,<br />

34<br />

termasuk pengadilan internasional, memiliki yurisdiksi.<br />

35<br />

Demikian juga dengan Konvensi Anti Penyiksaan, yang<br />

menentukan adanya yurisdiksi internasional atas kejahatan penyiksaan<br />

yang lebih luas dan spesifik. Menurut Konvensi ini, negara-negara<br />

mempunyai kewajiban untuk mengekstradisi atau mengadili seorang<br />

yang diduga melakukan tindakan penyiksaan.<br />

Di Amerika Serikat, sebuah produk hukum yang disebutkan<br />

sebagai Alien Tort Claims Act (1789) memberikan peluang untuk<br />

kesalahan atas kejahatan apapun yang ”melanggar the law of nations”<br />

dapat disidangkan di pengadilan federal perdata Amerika Serikat.<br />

Demikian juga, Torture Victim Protection Act (1992) memungkinkan warga<br />

negara Amerika Serikat dan keluarganya yang menjadi korban<br />

penyiksaan dan pembunuhan di luar proses hukum yang dilakukan oleh<br />

pejabat di negara lain, dapat disidangkan di Amerika Serikat.<br />

Di Inggris, sebuah ketentuan yang dikeluarkan tahun 1988<br />

memberikan kewenangan yurisdiksi ekstra-teritorial pada pengadilan<br />

pidana untuk menyidangkan pelaku penyiksaan dari negara mana pun<br />

yang dilakukan kepada korban dari negara mana pun dan tidak<br />

tergantung di mana penyiksaan dilakukan. Negara-negara lain yang<br />

sudah pernah mengajukan permohonan ekstradisi atau sudah pernah<br />

33. (Resolution : 2004/72, Impunity, E/CN.4/RES/2004/72), 21 April 2004.<br />

34. Kemungkinan ini telah diakui berdasarkan beberapa keputusan hukum pengadilan Amerika Serikat<br />

(kasus Demjanjuk), Israel (kasus Eichmann) dan House of Lords di Inggris (kasus Pinochet).<br />

35. Lengkapnya The International Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or<br />

Punishment.<br />

59<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat<br />

menghukum pelaku pelanggaran HAM seperti ini termasuk Spanyol,<br />

Belanda, Jerman, Perancis dan Italia.<br />

Sejumlah model pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang<br />

terjadi terus mengalami perkembangan, yang dapat dilakukan dalam<br />

berbagai bentuk pertanggungjawaban dan proses penuntutan melalui<br />

pengadilan baik dalam level internasional, regional, maupun domestik.<br />

a. Pengadilan Nasional-Internasional (hybrid)<br />

Pada tahun 2002 sebuah pengadilan khusus (special court) yang<br />

bersifat hibrida (nasional dan internasional) dibentuk di Sierra<br />

Leone atas dukungan PBB untuk melengkapi kerja Komisi<br />

Kebenaran dan Rekonsiliasi. Yurisdiksi pengadilan ini<br />

mencakup kejahatan perang, kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan, dan kejahatan-kejahatan tertentu yang diatur<br />

dalam hukum internasional, dan akan mengadili orang-orang<br />

yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran hukum<br />

internasional dan hukum Sierra Leone yang dilakukan di<br />

36<br />

wilayah Sierra Leone, sejak 30 November 1996. Jaksa<br />

penuntut dan Hakim dalam pengadilan ini ditunjuk oleh PBB<br />

dan dari Sierra Leone, yang dalam pemilihannya dilakukan<br />

37<br />

melalui konsultasi antara PBB dan Pemerintah Sierra Leone.<br />

Sejumlah pelaku kejahatan telah diadili, diantaranya tiga<br />

komandan Revolutionary United Front (RUF), Issa Hassan Sesay,<br />

Morris Kallon and Augustine Gbao atas dakwaan melakukan<br />

kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan (crimes against humanity) atas peranan mereka<br />

dalam perang sipil yang berakhir tahun 1999. Issa dijatuhi<br />

pidana 52 tahun atas 16 dakwaan, Kallon dijatuhi pidana 39<br />

38<br />

tahun, dan Gbao mendapatkan hukuman 25 tahun.<br />

Di Kamboja, PBB dan Pemerintah Kamboja menyepakati<br />

pembentukan pengadilan pada bulan Oktober tahun 2004.<br />

Pengadilan tersebut akan menjadi mekanisme untuk<br />

mengadili para pemimpin rezim Khmer Merah dan ”mereka<br />

yang paling bertanggung jawab” atas tindakan kejahatan<br />

kemanusiaan.<br />

36. http://www.icrc.org/ihl.nsf/INTRO/605?OpenDocument.<br />

37. http://www.sc-sl.org/<br />

38. http://www.haguejusticeportal.net/index.php?id=10517<br />

60


Sebagaimana dengan pengadilan khusus Sierra Leone, ”Khmer<br />

Rouge Tribunal ” juga akan beranggotakan hakim dari Kamboja<br />

dan dari luar negeri. Kasus pertama yang disidangkan adalah<br />

terdakwa mantan anggota senior Khmer Merah, Kaing Guek<br />

Eav yang dikenal sebagai Duch. Di persidangan Duch terbukti<br />

bersalah terlibat dalam pembunuhan dan penyiksaan serta<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan sewaktu memimpin penjara<br />

Tuol Sleng, tempat terjadinya penyiksaan yang dilakukan<br />

rezim ultra komunis yang dituduh menyebabkan 1,7 juta<br />

orang tewas tahun 1975-1979, dan merupakan salah satu<br />

tragedi terburuk pada abad ke-20. Duch kemudian dihukum<br />

35 tahun penjara dan pada tingkat banding Duch dijatuhi<br />

39<br />

pidana penjara seumur hidup.<br />

b. Inter-American Human Right Court<br />

Pengadilan Inter-Amerika memiliki dua jurisdiksi: mengadili<br />

(adjudicatory jurisdiction) dan memberikan opini hukum (advisory<br />

jurisdiction). Dalam kapasitasnya mengadili kasus, maka hanya<br />

dua jenis pihak yang berhak untuk mengajukan kasus<br />

mengenai interpretasi dan implementasi isi Konvensi: Komisi<br />

HAM Inter-Amerika dan negara pihak dari Konvensi tersebut.<br />

Namun Komisi HAM hanya boleh mengajukan kasus bila<br />

semua prosedur Komisi yang dinyatakan dalam Konvensi<br />

HAM Inter-Amerika Pasal 48-50 (termasuk dengan<br />

mengusahakan penyelesaian domestik) telah dilakukan.<br />

Peranan Pengadilan Inter-Amerika dalam pengembangan<br />

konsep-konsep HAM sangat berarti dalam masa-masa transisi<br />

banyak negara di wilayah Amerika Latin. Salah satu<br />

peranannya adalah dalam pengentasan impunitas, dimana baik<br />

pengadilan tersebut dan Komisi Pengadilan HAM secara<br />

konsisten menyatakan bahwa penerapan undang-udang<br />

amnesti kepada kasus-kasus pelanggaran serius HAM tidak<br />

sesuai dengan Konvensi HAM Amerika.<br />

Misalnya, sebuah kasus yang terjadi di El-Savador dimana<br />

tentara membunuh enam pastur Jesuit dan dua orang<br />

39. http://www.guardian.co.uk/world/2012/feb/03/khmer-rouge-duch-sentence-cambodian.<br />

61<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat<br />

perempuan. Pengadilan menyatakan bahwa UU Amnesti<br />

tahun 1993 El-Savador melanggar kewajiban negara itu dalam<br />

Konvensi HAM Amerika, sehingga negara El-Savador harus<br />

menyidik dan mengadili mereka yang bertanggung jawab.<br />

Pengadilan HAM Inter-Amerika menekankan bahwa Komisi<br />

Kebenaran, walaupun memiliki peranan relevan, tidak boleh<br />

dianggap sebagai pengganti yang memadai dari proses<br />

pengadilan sebagai metode pencapaian kebenaran. Komisi<br />

kebenaran bukan didirikan dengan presumsi bahwa tidak akan<br />

ada pengadilan setelahnya, namun harusnya menjadi suatu<br />

langkah untuk mengetahui kebenaran dan pada akhirnya<br />

40<br />

memastikan keadilan akan ditegakkan.<br />

c. Pengadilan Pidana Domestik<br />

Pada bulan April tahun 2004, sebuah pengadilan di Belanda<br />

menjatuhkan hukum 30 tahun penjara kepada bekas kolonel<br />

dari Republik Demokratik Congo, Sebastian Nzapali, atas<br />

keterlibatannya dalam kejahatan perang, khususnya<br />

penyiksaan seorang tahanan yang berada dalam<br />

perlindungannya pada tahun 1996. Perkara ini dapat<br />

disidangkan di Belanda berdasarkan Konvensi Anti<br />

Penyiksaan, di mana pengadilan domesik negara yang telah<br />

meratifikasi konvensi tersebut (dan optional protocols-nya), boleh<br />

mengusut orang yang dicurigai melakukan beberapa jenis<br />

41<br />

pelanggaran HAM di negara lain.<br />

Tahun 2004 lalu merupakan tahun pertama perkara<br />

pelanggaran HAM yang terjadi di luar negeri yang disidangkan<br />

di Inggris. Pada bulan Oktober, perkara seorang komandan<br />

Perang Afghanistan, Faryadi Sarwar Zardad, yang dituduh<br />

berkonspirasi dalam penyiksaan dan penyanderaan antara<br />

tahun 1991 dan tahun 1996 dibuka di Pengadilan Pidana Pusat<br />

Old Bailey di London. Zardad berpindah ke Inggris pada 1998<br />

dan setelah tinggal beberapa waktu, kemudian ditangkap.<br />

42<br />

Zardad akhirnya dijatuhi pidana 20 tahun penjara.<br />

40.Laporan No. 136/99 (El Salvador), paragraf. 229-230. Lihat juga http://www.cidh.oas.org<br />

/annualrep/99eng/Merits/ElSalvador10.488.htm<br />

41.http://www.asser.nl/default.aspx?site_id=36&level1=15248&level2=&level3=&textid=39989<br />

42.http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/4695353.stm, lihat juga http://www.guardian.co.uk/uk<br />

/2005/jul/19/afghanistan.world<br />

62


Pada bulan Juni tahun 2004, Belgia berhasil menangkap<br />

mantan anggota senior kelompok milisi yang bertanggung<br />

jawab atas genosida di Rwanda pada tahun 1994. Ephrem<br />

Nkezabera ditangkap berdasarkan UU Kejahatan Perang yang<br />

memungkinkan pengadilan Belgia untuk mengadili mereka<br />

43<br />

yang dituduh sebagai ”genocidaire” di luar negara tersebut.<br />

Saat ini sejumlah negara di Amerika Latin juga melakukan<br />

proses penghukuman kepada para pelaku pelanggaran HAM<br />

yang terjadi di masa lalu. Pada Oktober 2011, Mahkamah<br />

Agung Argentina menghukum Alfredo Astiz, mantan tentara<br />

Agrentina, dengan penjara seumur hidup atas kejahatan<br />

terhadap kemanusiaan selama masa ”Dirty War”. Artiz terbukti<br />

ikut serta dalam penculikan dan pembunuhan terhadap suster<br />

Alice Demon dan Leonie Duquet, dan juga Azucena Villaflor,<br />

seorang pendiri ”the Mothers of Plaza de Mayo”, sebuah<br />

kelompok yang meminta adanya penyelidikan untuk kasus-<br />

44<br />

kasus penghilangan paksa.<br />

Pada Juli 2012, mantan pimpinan militer Argentina, Jorge<br />

Videla dan Reynaldo Bignone dijatuhi hukuman masingmasing<br />

50 tahun dan 15 tahun penjara atas kejahatan<br />

melakukan pencurian bayi dan anak-anak dari tahanan politik,<br />

dimana ketika itu setidaknya 400 bayi telah diambil dari orang<br />

45<br />

tua mereka ketika dipenjara.<br />

d. Gugatan Perdata<br />

Mekanisme gugatan perdata, yang sering dilakukan dengan<br />

menuntut pejabat negara untuk memperoleh ganti rugi,<br />

kompensasi dan rehabilitasi. Gugatan ini dilakukan biasanya<br />

sebagai jalan terakhir ketika proses penuntutan dan<br />

penghukuman dihalang-halangi. Hal ini misalnya terjadi di<br />

43. http://www.trial-ch.org/en/ressources/trial-watch/trial-watch/profils/profile/627<br />

/action/show/controller/Profile.html<br />

44. http://www.independent.co.uk/news/world/americas/argentina-finally-serves-justice-on-the-angelof-death-2376896.html.<br />

45. http://www.bbc.co.uk/news/world-latin-america-18731349<br />

63<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat<br />

Uruguay tahun 1990, dimana beberapa anggota keluarga orang<br />

yang dibunuh dan dihilangkan paksa memperoleh ganti rugi<br />

dari negara berdasarkan keputusan pengadilan perdata.<br />

Di tingkat internasional, gugatan perdata juga bisa diajukan di<br />

berbagai negara, misalnya seperti Alien Tort Claims Act di<br />

Amerika Serikat yang memungkinkan permohonan untuk<br />

ganti-rugi dapat diajukan kepada pengadilan federal negara<br />

tersebut. Kendati tindakan kejahatan dilakukan di luar negeri,<br />

para pelaku tetap bisa diadili di Amerika Serikat sepanjang<br />

tergugat memiliki kontak dengan Amerika Serikat. Sejumlah<br />

gugatan dengan prosedur ini misalnya, gugatan yang diajukan<br />

oleh Center for Justice and Accountability di San Fransisco atas<br />

nama keluarga Uskup Agung Romero, yang dibunuh oleh<br />

militer di El Salvador pada tahun 1980.<br />

Setelah hampir 25 tahun sejak pembunuhan Romero, sama<br />

sekali belum ada upaya oleh pemerintah El Salvador untuk<br />

menyelesaikan pembunuhan tokoh HAM ini. Pengadilan<br />

Federal Fresno, California, memutuskan bahwa salah satu<br />

orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut<br />

adalah seorang pensiunan kapten angkatan udara, Alvaro<br />

Saravia, yang telah tinggal di Amerika Serikat selama hampir<br />

20 tahun. Saravia diperintahkan untuk membayar USD 10 juta<br />

46<br />

sebagai ganti rugi kepada keluarga Uskup Agung Romero.<br />

Juga gugatan korban rezim bekas Presiden Filipina, Ferdinand<br />

Marcos. Meskipun Marcos, yang sudah pindah ke A.S. dan<br />

tinggal di Hawaii, meninggal selama proses gugatan ini berlalu,<br />

pengadilan tetap memerintahkan 'estate' Marcos untuk<br />

membayar ganti rugi kepada para penggugat sebesar USD 150<br />

47<br />

juta.<br />

e. Permintaan Ekstradisi<br />

Penahanan bekas diktator Chile, Jendral Pinochet, ditahan di<br />

46. http://www.cja.org/article.php?list=type&type=77<br />

47. Sandra Collver, ”Bringing Human Rights Abuses to Justice in U.S. Courts: Carrying Forward the Legacy of the<br />

Nurenberg Trial”. Dokumen dapat diakses di: http://www.cardozolawreview.com/content/27-<br />

4/COLIVER.WEBSITE.pdf<br />

64


Inggris pada bulan Oktober 1998 berdasarkan surat perintah<br />

internasional yang dikeluarkan oleh hakim Spanyol, Baltasar<br />

Garzon, yang meminta Pinochet diekstradisi ke Spanyol<br />

berdasarkan beberapa tuduhan penyiksaan warga negara<br />

Spanyol. Pinochet ditahan di Inggris selama 16 bulan, namun<br />

akhirnya permintaan ekstradisi ditolak dan Pinochet diijinkan<br />

balik ke Chile.<br />

Spanyol juga menerima tuntutan Yayasan Rigoberta Menchu<br />

yang ditujukan kepada bekas diktator Guatemala, Jendral<br />

Efrain Rios Mott, atas tuduhan melakukan pelanggaran<br />

kejahatan kemanusiaan, dengan catatan hanya kasus yang<br />

melibatkan warga negara Spanyol sebagai korban yang dapat<br />

48<br />

diproses.<br />

Argentina telah menjadi sasaran gugatan berdasarkan<br />

yurisdiksi internasional, dan persidangan in absentia yang<br />

pernah dilakukan di Perancis, Spanyol, Itali dan Jerman. Pada<br />

Juli 2003, Spanyol meminta 46 petinggi militer diekstradisi atas<br />

49<br />

tuduhan penyiksaan dan genosida dan pada tahun 2007<br />

Spanyol juga meminta Argentina untuk mengekstradisi 40<br />

orang, termasuk mantan Presiden Agentina, yang didakwa<br />

melakukan genosida, terrorisme and penyiksaan selama masa<br />

50<br />

kediktatoran tahun 1976 dan 1983.<br />

Pada Maret 2004, giliran Pemerintah Jerman meminta bekas<br />

Presiden Argentina, Jorge Videla, untuk diekstradisi bersama<br />

dengan dua petinggi militer lain, yaitu Emilio Massera dan<br />

Buillermo Suarez Mason yang semuanya dituduh ikut terlibat<br />

dalam pembunuhan tiga mahasiswa Jerman pada tahun 1976<br />

51<br />

dan 1977.<br />

2. Komisi Kebenaran<br />

Sejak awal tahun 1980-an muncul mekanisme baru untuk menghadapi<br />

48. http://www.guardian.co.uk/world/1998/oct/18/pinochet.chile.<br />

49. http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/3052333.stm<br />

50. http://english.peopledaily.com.cn/200702/10/eng20070210_349129.html<br />

51. http://www.dw.de/dw/article/0,,1128473,00.html<br />

65<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat<br />

dan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu yang secara umum<br />

disebut sebagai komisi kebenaran. Di Argentina, pada 16 Desember<br />

1983 dibentuk Komisi Nasional untuk Menyelidiki Kasus-kasus<br />

Penghilangan Paksa melalui Keputusan Presiden Raul Alfosin.<br />

Kemudian berlanjut pada pembentukan komisi kebenaran di berbagai<br />

negara lainnya, di antaranya Uganda, Chile, Chad, El Salvador, dan Haiti,<br />

dan Afrika Selatan, Guatemala, Nigeria, Sierra Leone, Timor Lesta, dan<br />

52<br />

lainnya.<br />

Sejak tahun 1978-2007, setidaknya lebih dari 32 Komisi<br />

Kebenaran terbentuk di 28 negara dengan berbagai format dan<br />

53<br />

mandatnya. Pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika<br />

Selatan, sebagai mekanisme pengungkapan kebenaran 'non-judial' atas<br />

berbagai pelanggaran HAM yang massif telah mendapatkan perhatian<br />

54<br />

dunia.<br />

Pembentukan Komisi Kebenaran di berbagai negara, sangat<br />

tergantung konteks pelanggaran masa lalu serta konteks masa transisi<br />

masing-masing negara tersebut, namun secara umum Komisi<br />

Kebenaran dapat dinyatakan sebagai:<br />

”Sebuah institusi non-yudisial yang bersifat sementara yang didirikan oleh<br />

sebuah institusi resmi untuk menyelidiki pola pelanggaran HAM berat<br />

yang dilakukan selama kurun waktu tertentu pada masa lalu. Tujuan<br />

dibentuknya institusi ini adalah untuk menerbitkan sebuah laporan<br />

terbuka, termasuk data-data tentang korban,beberapa butir rekomendasi<br />

55<br />

menuju pencapaian keadilan dan rekonsiliasi.”<br />

Komisi Kebenaran dibentuk untuk menghadapi warisan<br />

pelanggaran masa lalu dan mencapai rekonsiliasi nasional yang bersifat<br />

partisipatori dan mendalam, dan bukan untuk menghindari akuntabilitas<br />

pelanggaran maupun proses pengadilan. Pengalaman berbagai negara<br />

menunjukkan bahwa komisi kebenaran pada umumnya dibentuk karena<br />

adanya proses transisi dari pemerintahan otoriter menuju sebuah<br />

pemerintahan demokratis, atau dibentuk dalam upaya mempertahankan<br />

perdamaian usai terjadinya perang sipil atau pemberontakan bersenjata.<br />

52. Pricilla B. Hayner, ”Unspeakable Truth: Facing the Challenge of Truth Commission”, Routledge, 2002. Telah<br />

diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh ELSAM dengan judul, ”Kebenaran Tak Terbahasakan:<br />

Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, 2005.<br />

53. http://www.amnesty.org/en/international-justice/issues/truth-commissions<br />

54. Pricillia B. Hayner, ”Truth Commission: A Schemic Overview”, International Review of the Red Cross, Vol. 88, Juni<br />

2006.<br />

55. Dan Bronkhorst, 'Truth Commissions and Transitional Justice: A Shrot Guide' Amnesty Internasional Netherlands<br />

Document, September 2003, www.amnesty.nl/downloads/truthcommission_guide.doc<br />

66


Proses pembentukan Komisi Kebenaran dapat dilakukan berdasarkan<br />

keputusan presiden atau undang-undang di tingkat nasional, maupun<br />

sebagai kesepakatan perdamaian yang didukung ditingkat internasional,<br />

misalnya oleh PBB.<br />

Lahirnya komisi kebenaran tidak dimaksudkan untuk<br />

menggantikan fungsi peradilan dalam pencarian keadilan dan<br />

akuntabilitas, melainkan dimaksudkan untuk melengkapi segala aspek<br />

penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu termasuk pencarian keadilan,<br />

penegakan hukum, pengungkapan kebenaran, perubahan hukum dan<br />

institusi, pemulihan, rekonsiliasi, pematahan budaya impunitas dan lain<br />

sebagainya.<br />

Komisi kebenaran meskipun mandatnya dipengaruhi konteks<br />

pelanggaran dan bentuk akuntabilitas yang diharapkan, pendirian suatu<br />

komisi kebenaran harus berdasar kepada norma dan prinsip-prinsip<br />

sebagaimana yang dituangkan dalam hukum HAM internasional.<br />

Artinya, Komisi kebenaran (dan rekonsiliasi) merupakan salah satu<br />

mekanisme yang melengkapi proses akuntabilitas kejahatan pelanggaran<br />

HAM yang berat.<br />

Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa Komisi<br />

Kebenaran didasari oleh pentingnya melakukan catatan yang akurat atas<br />

pengalaman masa lalu (historical record of past abuses) yang berguna untuk<br />

mencegah terjadinya peristiwa yang sama terulang. Kemudian, fungsi<br />

penting adanya proses ini untuk mendorong adanya pengakuan resmi<br />

atas pelanggaran HAM yang terjadi, dan negara secara publik mengakui<br />

kesalahan atas terjadinya pelanggaran HAM di masa lalu.<br />

Selain itu, catatan tentang pelanggaran HAM yang terjadi akan<br />

mampu merekomendasikan berbagai langkah-langkah penting untuk<br />

adanya akuntabilitas, pemulihan kepada korban, dan rekomendasi<br />

perbaikan institusi dan adanya kebijakan untuk memastikan pelanggaran<br />

serupa tidak terulang. Tersedianya catatan yang akurat dari praktek masa<br />

lalu juga akan mempermudah penegakan akuntabilitas oleh negara.<br />

Berbeda dengan mekanisme pengadilan, proses dalam komisi<br />

kebenaran memberikan ruang yang penting bagi para korban untuk<br />

mengungkapkan ceritanya, dengan demikian dapat mengungkap apa<br />

yang sesungguhnya terjadi di masa lalu. Pengungkapan kebenaran, yang<br />

mendasarkan pada suara korban akan berkontribusi pada proses<br />

penyembuhan sosial (social healing), dan mendorong terjadinya<br />

67<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat<br />

perdamaian yang nyata di tingkat komunitas masyarakat.<br />

Pengalaman berbagai komisi kebenaran yang ada, setidaknya ada<br />

empat hal pokok; pertama, perumusan mandat Komisi Kebenaran tidak<br />

baku, namun secara hukum, biasanya ada mandat khusus Komisi dan<br />

batasan yang jelas. Kedua, komisi yang dibentuk mengharuskan<br />

tersedianya struktur, komposisi dan keanggotaan yang menjamin<br />

tercapainya mandat. Ketiga, adanya mekanisme kerja komisi yang jelas,<br />

terkait dengan dengan persoalanpersoalan seperti jenis investigasi yang<br />

harus dilakukan, apakah pengambilan pernyataan harus dilakukan<br />

secara rahasia (confidential) atau terbuka, bagaimana mekanisme kerja<br />

komisi dengan lembaga-lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta,<br />

di luar komisi. Perumusan juga menjaga dipergunakannya prinsipprinsip<br />

”the rights to know the truth”, ”the rights to justice”, dan ”the rights to<br />

reparation” yang menjamin akuntabilitas kerja komisi dalam<br />

56<br />

pengungkapan kebenaran. Keempat, adanya laporan Komisi yang<br />

menunjukkan hasil kerja komisi kebenaran yang lebih lengkap dari<br />

peristiwa masa lalu yang diungkapkan.<br />

Berbagai negara yang melakukan proses pengungkapan<br />

kebenaran di antaranya: Argentina, dengan membentuk ”Comisión<br />

Nacional para la Investigación sobre la Desaparición de Personas”/ CONADEP<br />

(Komisi Nasional untuk Orang Hilang Argentina) yang menghasilkan<br />

laporan akhir berjudul ”Nunca Mas: Informe de la Comision Nacional sobre la<br />

Desaparicion de Personas”. Laporan yang mencakup 8.961 kasus<br />

penghilangan paksa, dan termasuk konteks politik, akar masalah, bentuk<br />

kekerasan, modus operandi dan latar belakang pelaku, nama orang<br />

hilang yang dicatat, kesimpulan dan rekomendasi untuk ke depan,<br />

termasuk perkara yang pantas diteruskan dan diproses di pengadilan.<br />

Nama individu yang terlibat dalam pelanggaran disebutkan dalam<br />

laporan akhir dengan catatan belum tentu bisa disebutkan sebagai<br />

57<br />

merekalah yang bertanggungjawab atas pelanggaran tersebut.<br />

Di Chile, membentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan<br />

Rekonsiliasi Chile yang menghasilkan laporan akhir yang sering<br />

disebutkan sebagai 'Rettig Report' diajukan ke parlemen pada Februari<br />

1991. Laporan diterbitkan dalam bentuk dua jilid yang dibagi empat<br />

bagian utama dengan 1.800 halaman. Laporan ini berdasarkan 2.920<br />

perkara yang diselidikinya dan memuatkan informasi tentang konteks<br />

sejarah, tanggungjawab institusional, ringkasan 2.279 kasus<br />

56. ELSAM, Kertas Posisi RUU Kebenaran dan Rekonsiliasi, 2004.<br />

57. Nunca Mas: the Report of the Argentine National Commision on the Dissapearance, Farrar Straus Giroux dan Index<br />

on Cencorship, 1986.<br />

68


pembunuhan dan orang hilang dan berbagai bentuk rekomendasi.<br />

Ketika melakukan presentasi laporan kepada negara, Presiden Alywin<br />

meminta maaf kepada korban dan keluarganya atas nama negara dan<br />

mengirim laporan tersebut kepada setiap keluarga korban pelanggaran<br />

58<br />

HAM.<br />

Di El Salvador, dibentuk Komisi Kebenaran El Salvador<br />

diberikan tugas untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang dilakukan<br />

dua belah pihak dalam dua belas tahun perang sipil antara 1980-1992,<br />

menghasilkan laporan akhir 'De la Locura a la Esperanza ' (From Madness to<br />

Hope). Laporan diajukan ke Pemerintah (Presiden El Salvador) dan<br />

Sekretaris-Jendral PBB pada 15 Maret 1993 dan diterbitkan sebagai<br />

dokumen PBB dalam bentuk tiga jilid sekitar 200 halaman. Walaupun<br />

Komisi Kebenaran selama masa kerjanya menerima dan melakukan<br />

penyelidikan sekitar 22.000 kasus pelanggaran HAM, laporan sendiri<br />

hanya sebutkan 32 kasus secara detail yang dianggap mewakili dan<br />

menunjukkan jenis dan pola pelanggaran selama 12 tahun perang sipil El<br />

Salvador. Laporan disusun dengan menyebutkan kronologis dan analisis<br />

pola pelanggaran yang kemudian dibagi berdasarkan pelaku<br />

pelanggaran, yaitu negara atau pihak FMLN (Frente Farabundo Martí para<br />

la Liberación Naciona) atau Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti,<br />

59<br />

dimana pelaku terbesar adalah negara.<br />

Di Guatemala, dibentuk Komisi Klarifikasi Sejarah Guatemala<br />

yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuhan dan<br />

penghilangan paksa yang terjadi selama 36 tahun konflik bersenjata di<br />

Guatemala. Laporan akhir diajukan ke Presiden dan PBB dengan judul<br />

'Ingatan Sunyi.' Laporan sekitar 3.000 halaman ini didasarkan sekitar<br />

8.000 pengakuan atau testimoni pelanggaran yang memuat 80 kasus<br />

secara terperinci yang dilampirkan dengan ringkasan 8.000 kasus<br />

tersebut. Menurut laporan, sekitar 200.000 orang meninggal akibat 36<br />

tahun konflik bersenjata Guatemala. Nama pelaku tidak disebutkan,<br />

namun dengan melakukan analisis konteks pelanggaran yang cukup<br />

mendalam, dengan melakukan analisis tentang penyebab dan akar<br />

konflik bersenjata, strategi dan mekanisme kekerasan serta dampak dan<br />

60<br />

akibatnya.<br />

58. Pricilla B. Hayner, ”Kebenaran Tak Terbahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran,<br />

Kenyataan dan Harapan, Elsam, 2005. Hal. 63-68.<br />

59. Lihat Laporan Komisi Kebenaran El Salvador ”From Madness to Hope”, dokumen dapat diakses di<br />

http://www.usip.org/files/file/ElSalvador-Report.pdf , lihat juga Pricilla B. Hayner, ”Kebenaran Tak<br />

Terbahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, Elsam, 2005.<br />

Hal. 69-72.<br />

60. Pricilla B. Hayner, ”Kebenaran Tak Terbahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran,<br />

Kenyataan dan Harapan, Elsam, 2005. Hal. 81-86.<br />

69<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat<br />

Kemudian di Afrika Selatan, dibentuk Komisi Kebenaran dan<br />

Rekonsiliasi Afrika Selatan yang mempunyai mandat untuk melakukan<br />

analisis dan memberi penjelasan tentang penyebab, sifat dan meluasnya<br />

pelanggaran HAM berat, termasuk mengidentifikasi pelaku pelanggaran<br />

tersebut, baik individu maupun organisasi. Laporan akhir kerja komisi<br />

ini yang secara singkat disebutkan sebagai 'Final Report ' diajukan ke<br />

Presiden Nelson Mandela. Laporan akhir berdasarkan pengakuan dari<br />

23.000 korban dan saksi, dimana 2.000 kesaksian dilakukan di forum<br />

dengar pendapat yang terbuka untuk publik, dengan melakukan analisis<br />

Apartheid sebagai kejahatan kemanusiaan, analisis khusus tentang<br />

peranan negara dan metode dan jenis pelanggaran, pelanggaran HAM<br />

dari perspektif korban, dan analisis tentang konteks sosial pelanggaran<br />

dan keterlibatan institusional. Laporan Akhir oleh KKR memberikan<br />

61<br />

sekitar 250 butir rekomendasi.<br />

Sejumlah negara lainnya, yang membentuk Komisi juga telah<br />

menyelesaian dan menyusun laporan akhir, diantaranya Sierra Leone<br />

dengan laporan ”Witness to Truth: Final Report of the Truth and Reconciliation<br />

of Sierra Leone” tahun (2005), Peru dengan Laporan ”Informe Final de la<br />

Comision de la Verdad y Reconciliation” tahun (2003), Timor Leste dengan<br />

Laporan berjudul ”Chega” tahun 2006, dan lain-lain.<br />

Kehadiran komisi kebenaran, sebagaimana disebutkan di atas,<br />

berkontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, yakni: a)<br />

memberikan sumbangan terhadap proses transisi ke arah demokrasi<br />

dengan melakukan catatan imparsial tentang masa lalu, b) memberikan<br />

ruang resmi bagi korban untuk mengungkapkan kebenaran dan<br />

menuntut kompensasi, rehabilitasi dan pemulihan, c) memberikan<br />

rekomendasi menuju perubahan institusi dan perubahan hukum guna<br />

pencegahan terulangnya pelanggaran pada masa depan (non-recurrence<br />

principle), dan d) menentukan siapa yang bertanggungjawab dan<br />

memberikan saran untuk memperoleh akuntabilitas dan menghapuskan<br />

impunitas.<br />

61. Rekomendasi-rekomendasi tersebut difokuskan terhadap beberapa masalah pokok, yakni; a) pencegahan<br />

pelanggaran terulang, b) akuntabilitas, c) pemulihan dan rehabilitasi, d) organisasi, administrasi dan<br />

manajemen, d) lembaga pemasyarakatan, e) komunitas agama, f) dunia usaha, g) hukum dan yudisial, h)<br />

aparat keamanan, i) sektor kesehatan, j) media Massa, k) arsip bahan-bahan KKR, l) pembasmian<br />

dokumen, m) gerakan kemerdekaan, dan n) hak asasi manusiaa Internasional. Lihat Laporan Akhir KKR<br />

Afrika Selatan. Dokumen dapat diakses di http://www.justice.gov.za/trc/report/index.htm.<br />

70


Komisi Kebenaran pada akhirnya diharapkan akan dapat<br />

mendukung adanya tanggungjawab dan akuntabilitas Negara,<br />

memastikan pelanggaran tidak terulang, mengembalikan hak korban,<br />

mendorong adanya rekonsiliasi dan penyelesaian konflik, dan pada<br />

akhirnya juga mendorong proses demokratisasi. Komisi Kebenaran<br />

dengan laporan akhirnya, saat ini terbukti mendorong proses-proses<br />

yang diharapkan tersebut, bahkan meski dalam jangka panjang,<br />

mendorong terus berlangsungnya proses penghukuman kepada para<br />

pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu, yang saat ini misalnya sedang<br />

berlangsung di sejumlah negara Amerika Latin, seperti Guatemala,<br />

Kolombia, El Salvador dan Argentina.<br />

Pada Januari 2012, Presiden El Salvador Mauricio Funes secara<br />

resmi meminta maaf atas pembantaian ribuan warga yang dilakukan<br />

militer pada tahun 1981 silam, dimana lebih dari 1.000 warga desa tewas<br />

62<br />

selama perang sipil 1980-1992. Di Guatemala, pada Januari 2012,<br />

mantan diktator Efraín Ríos Montt diadili atas tuduhan terlibat dalam<br />

genosida selama 17 bulan pemerintahannya antara tahun 1982-1983. Di<br />

Kolombia Presiden Juan Manuel Santos, meminta maaf atas peran<br />

negara dalam pembantaian sekitar 50 anggota sayap paramiliter di El<br />

Tigre selama serangan terhadap gerilyawan sayap kiri tahun 1999.<br />

Di Argentina, Pemerintah dan Pengadilan sedang menguji<br />

warisan kekejaman selama ”Perang Kotor”, yang pada bulan Oktober<br />

2011, Mahkamah Agung Argentina menghukum Alfredo Astiz, mantan<br />

tentara Argentina, dengan penjara seumur hidup atas kejahatan terhadap<br />

63<br />

kemanusiaan, dan pada Juli 2012, mantan pimpinan militer Argentina,<br />

Jorge Videla dan Reynaldo Bignone dijatuhi hukuman masing-masing<br />

64<br />

50 tahun dan 15 tahun penjara.<br />

C. Penutup<br />

Berbagai pengalaman bagaimana dunia internasional dan negara-negara<br />

lain menghadapi kekejaman dan pelanggaran HAM berat masa lalu,<br />

menunjukkan sekarang ini tidak ada tempat aman (no save haven) bagi para<br />

pelaku ”the most serious crimes”, di antaranya kejahatan genosida dan<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dalam hukum Indonesia dikenal<br />

sebagai bagian dari pelanggaran HAM berat. Pengalaman berbagai<br />

praktik penghukuman, baik di tingkat domestik maupun internasional,<br />

62.http://news.detik.com/read/2012/01/17/125232/1817633/1148/presiden-el-salv ador-minta-maafatas-pembantaian-ribuan-warganya.63.http://www.independent.co.uk/news/world/americas/argentina-finally-serves-justice-on-the-angelof-death-2376896.html.<br />

64.http://www.bbc.co.uk/news/world-latin-america-18731349<br />

71<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat<br />

telah memberikan cukup banyak fakta bahwa para pelaku pelanggaran<br />

HAM berat tidak mudah lagi lepas dari tuntutan pertanggungjawaban.<br />

Berbagai instrumen hukum internasional telah dibentuk untuk<br />

memastikan bahwa ada penghukuman bagi para pelaku dan semakin<br />

memastikan tidak mentolerir adanya amnesti dimasa depan.<br />

Pengalaman pembentukan komisi kebenaran (dan rekonsiliasi)<br />

juga membuktikan bahwa komisi ini mempunyai kontribusi besar<br />

terhadap pertanggungjawaban berbagai tindak kejahatan dan<br />

pelanggaran HAM. Meski adanya komisi kebenaran tidak semua<br />

berhasil, contoh-contoh terbaik telah dihadirkan dan memberikan<br />

sumbangan penting bagi perkembangan negara-negara tersebut dalam<br />

menjamin perlindungan HAM, memastikan terpenuhinya hak-hak<br />

korban, berjalannya demokrasi dan terjaganya perdamaian. Negaranegara<br />

yang gagal memahami masa lalunya, menolak kekejaman yang<br />

telah terjadi, dan tidak belajar dari pengalaman tersebut, berpotensi<br />

mengulangi kesalahan yang sama.<br />

Dalam konteks Indonesia, komitmen negara untuk<br />

menyelesaian dan bertanggungjawab atas pelanggaran HAM masa lalu<br />

saat ini berada dalam ujian. Komitmen yang dituangkan dalam berbagai<br />

produk hukum, yang bukan hanya komitmen secara nasional tetapi<br />

secara khusus juga dinyatakan kepada masyarakat Papua dan Aceh,<br />

seolah menemui jalan buntu. Indonesia telah menguji pertanggungjawaban<br />

atas pelanggaran HAM berat melalui pengadilan, juga<br />

”setengah jalan” dalam berupaya membentuk Komisi Kebenaran dan<br />

Rekonsiliasi, yang sayangnya saat ini justru mandek. Padahal, tuntutan<br />

atas adanya pertanggungjawaban dengan mengungkapan kebenaran,<br />

menegakkan keadilan dan hukum atas berbagai peristiwa pelanggaran<br />

HAM berat terus bergaung. Dampak lebih jauh, ketiadaan pembelajaran<br />

atas praktik yang salah di masa lalu, menyebabkan terus direproduksinya<br />

kekerasan, praktik diskriminasi, dan berbagai pelanggaran HAM<br />

lainnya, yang menghambatnya berjalannya proses demokratisasi.<br />

Merefleksikan berbagai pengalaman bagaimana negara-negara<br />

lain mengadapi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi, dan dikaitkan<br />

dengan konteks penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di Indonesia<br />

saat ini, belum terlambat bagi Indonesia untuk konsisten<br />

mengimplementasikan agenda penyelesaian pelanggaran HAM masa<br />

lalu, mencegah supaya tidak terulang, dan bagaimana menghadapi<br />

72


dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

pelanggaran HAM yang terjadi di masa depan. Pengalaman berbagai<br />

negara dalam menghadapi pelanggaran HAM yang berat, menujukkan<br />

bahwa adanya banyak jalan untuk pertanggungjawaban. Indonesia,<br />

dalam konteks saat ini, akan memulai dari mana?<br />

73


Penanganan Pelanggaran<br />

HAM Berat Masa Lalu<br />

Herry Sucipto dan Hajriyanto Y. Thohari<br />

Abstract<br />

Every country in transition from authoritarianism to democracy such as Indonesia<br />

usually encountered problems when they tried to solve past gross human rights<br />

violations. Limited instruments and the encompassing political legacy often become<br />

serious problems. This article offers insights and recommendations from a political<br />

perspective on how to deal with past gross human rights violations.<br />

Keywords: Transition to Democracy, Human Rights<br />

Pendahuluan<br />

Kesulitan menuju era demokratis sangat beralasan. Pertama, ketika<br />

berkuasa, rezim otoritarian secara sistemik membangun sistem politik<br />

yang di satu pihak mengukuhkan kekuasaan yang amat terpusat, dan di<br />

pihak lain mengeliminasikan kontrol yang berasal dari luar sistem. Tidak<br />

ada balancing of power dalam menjalankan jalannya pemerintahan.<br />

Kedua, meski pada awalnya rezim otoritarian cenderung<br />

menekankan penggunaan kekerasan untuk melumpuhkan oposisi,<br />

dalam perkembangannya rezim semacam ini juga menggunakan dasardasar<br />

moral dan intelektual untuk memenangkan dukungan publik yang<br />

lebih luas. Jadi, tidak hanya dominasi, tetapi juga hegemoni. Melalui<br />

hegemonilah dukungan moral dan intelektual terhadap rezim otoritarian<br />

digalang. Akibatnya, rezim transisi sering harus berjuang untuk<br />

mengubah orientasi, paradigma dan berbagai bentuk kepercayaan<br />

tentang, misalnya, bagaimana kekuasaan seharusnya dikelola, bagaimana<br />

individu seharusnya memposisikan dirinya terhadap kekuasaan.<br />

Ketiga, rezim transisi selalu dihadapkan pada dua posisi waktu<br />

yang sering bertolak belakang dalam gagasan dasarnya: masa depan yang<br />

lebih baik dan masa lalu yang penuh keburukan. Sementara terdapat<br />

75


DISKURSUS<br />

Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu<br />

kebutuhan untuk melakukan konsolidasi kelembagaan yang diperlukan<br />

bagi hadirnya sebuah pengelolaan kekuasaan yang demokratis, terdapat<br />

desakan untuk menemukan cara tentang bagaimana warisan rezim<br />

otoritarian itu hendak diselesaikan.<br />

Salah satu warisan terburuk yang dihasilkan oleh rezim<br />

sebelumnya yang melekat pada sistem adalah kejahatan terhadap hakhak<br />

asasi manusia (HAM). Sementara konsolidasi kelembagaan masih<br />

diupayakan (yang seringkali memang sungguh tidak mudah itu), terdapat<br />

tuntutan yang menggunung untuk segera membawa pelaku kejahatan<br />

HAM.<br />

Masa Lalu, Kini, dan Mendatang: Mencari Solusi Terbaik<br />

Seperti disinggung dalam pengantar, rezim-rezim masa lalu pasti<br />

mewariskan banyak masalah, termasuk pelanggaran HAM di sana-sini.<br />

Rezim Orde Lama mewariskan setumpuk masalah hukum dan politik,<br />

serta pelanggaran kepada pemerintahan Orde Baru. Demikian halnya<br />

pemerintahan Orde Baru mewariskan puluhan kasus hukum dan<br />

pelanggaran HAM kepada pemerintahan era reformasi.<br />

Tentu semua itu harus tetap menjadi tanggungjawab kita,<br />

sebagai generasi berikutnya yang menjadi pelanjut pembangunan bangsa<br />

saat ini, untuk menyelesaikan berbagai warisan persoalan semaksimal<br />

mungkin. Pastilah penyelesaian tidak ada yang sempurna alias<br />

memuaskan semua pihak. Namun demikian, sebagai tanggungjawab<br />

sejarah, ikhtiar itu harus terus dilakukan.<br />

Dalam penyelesaian terhadap masa lalu, terdapat empat pola<br />

yang lazimnya dapat dipilih. Sebagai sebuah spektrum keempat opsi itu<br />

bergerak dari (1) ”never to forget, never to forgive” (tidak melupakan dan tidak<br />

memaafkan, yang berarti ”adili dan hukum”); dan (2) ”never to forget but to<br />

forgive” (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan, yang berarti ”adili<br />

dan kemudian ampuni”); sampai dengan (3) ”to forget but never to forgive”<br />

(melupakan tetapi tidak pernah memaafkan, yang artinya tidak ada<br />

pengadilan tetapi akan dikutuk selamanya); dan (4) ”to forget and to forgive”<br />

(melupakan dan memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan dan<br />

dilupakan begitu saja).<br />

Jerman, setelah runtuhnya pemerintahan fasis di bawah Hitler,<br />

dengan bantuan negara-negara sekutu, menerapkan pola pertama.<br />

Sebaliknya, Spanyol memilih pola keempat segera setelah jatuhnya<br />

76


diktaktor Franco di era 1970-an. Korea Selatan, sementara itu,<br />

menerapkan pola kedua pada kasus kedua mantan presidennya.<br />

Afrika Selatan memilih pola kedua dengan penekanan lebih pada<br />

pendekatan disclossure melalui ”Truth and Reconcilliation Commission”<br />

(Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia sering disingkat<br />

dengan istilah ”KKR”) daripada pengadilan. Sedangkan pola ”to forget but<br />

never to forgive” pada dasarnya dapat ditemukan pada cara masyarakat<br />

Eropa melihat Inquisition yang dilakukan pada penganut ajaran Protestan<br />

di Eropa selama abad pertengahan.<br />

Beberapa negara yang mencoba berikhtiar menyelesaikan masa<br />

lalunya itu dapat dibilang berhasil, tentu dengan berbagai<br />

konsekuensinya. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Solusi ideal<br />

seperti apa yang dapat kita ambil? Apakah dengan menempuh salah satu<br />

pola di atas, ataukan dengan kombinasi dari keempat model tersebut,<br />

ataukah dengan cara yang sama sekali baru, dengan pengkondisian<br />

Indonesia saat ini?<br />

Sejak awal reformasi, keinginan untuk memunculkan landasan<br />

bersama untuk menuju Indonesia masa depan yang lebih bermartabat<br />

sangat kuat. Kita mengokohkan dalam UUD 1945 bahwa negara<br />

Indonesia adalah negara hukum (UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) pada<br />

Perubahan Ketiga. Yang dimaksud dengan negara hukum adalah jika<br />

kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar: supremasi hukum (supremacy<br />

of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan<br />

penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum<br />

(due process of law).<br />

Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan<br />

terlihat ciri-cirinya, yaitu adanya (1) jaminan perlindungan hak-hak asasi<br />

manusia; (2) kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka; dan (3)<br />

legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara<br />

maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui<br />

hukum. Bahkan kemudian juga dikenal adanya Pengadilan Tata Usaha<br />

Negara (PTUN).<br />

Dalam konteks penegakan hukum, khususnya masalah<br />

pelanggaran HAM berat masa lalu, harus diakui, sampai saat ini<br />

Indonesia belum pernah mengalami atau menjalankan proses<br />

penyelesaian masalah tersebut. Ikhtiar menuju arah itu pernah<br />

dilakukan, yakni dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No<br />

77<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu<br />

V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.<br />

Ketapan MPR ini melihat bahwa dalam sejarah perjalanan negara<br />

Indonesia telah terjadi konflik vertikal dan horizontal antar berbagai<br />

elemen masyarakat, pertentangan ideologi, kemiskinan struktural,<br />

kesenjangan sosial, ketidakadilan, dan lain-lainnya. Maka diperlukan<br />

kesadaran dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk memantapkan<br />

persatuan dan kesatuan nasional melalui rekonsiliasi nasional.<br />

Ketetapan MPR tersebut mengamanatkan kepada DPR dan<br />

Presiden untuk membentuk UU tentang komisi kebenaran dan<br />

rekonsiliasi nasional. Maka kemudian lahirlah Undang-Undang No. 27<br />

Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU<br />

ini juga merujuk UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,<br />

selain tentu saja juga mendasarkan pada landasan yang lebih kuat di<br />

atasnya, yakni Pasal 28 UUD 1945. Sayangnya, UU KKR terhenti<br />

sebelum dilaksanakan karena diajukan judicial review oleh masyarakat ke<br />

Mahkamah Konstitusi (MK), yang akhirnya judicial review tersebut<br />

dikabulkan oleh MK pada tahun 2006 dimana UU ini dibatalkan<br />

sepenuhnya oleh MK.<br />

Di antara argumen pembatalan UU KKR tersebut adalah karena<br />

undang-undang ini dipandang mengandung beberapa kelemahan, antara<br />

lain: dalam Pasal 24 yang berbunyi: ”Dalam hal komisi telah menerima<br />

pengaduan atau laporan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang disertai<br />

permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti,<br />

Komisi wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90<br />

(sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.”<br />

Bisa dibayangkan hanya dalam waktu sangat singkat tersebut<br />

apakah mungkin Komisi dapat menyelesaikan suatu kasus yang berat<br />

yang misalnya melibatkan suatu institusi besar? Tentunya sangat berat<br />

bagi Komisi untuk melakukan penyelidikan hanya dalam waktu yang<br />

sangat singkat tersebut.<br />

Kemudian kita bisa melihat juga pada Pasal 27 yang berbunyi:<br />

”Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat<br />

diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.” Nah ini berarti jika<br />

pelaku tidak diberikan amnesti baik oleh Presiden dan DPR atau pelaku<br />

tidak teridentifikasi atau mungkin tidak dimaafkan oleh korban, maka<br />

dia tidak mendapat kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud<br />

UU tersebut.<br />

78


Selain itu, Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi: ”Pelaksanaan pemberian<br />

kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus<br />

dilaksanakan oleh Pemerintah dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun<br />

terhitung sejak tanggal keputusan Komisi ditetapkan.” Dari pasal ini bisa<br />

dibayangkan pemberian kompensasi dan rehabilitasi ini bisa saja ditunda<br />

selama tiga tahun dengan sistem perhitungan yang tidak jelas sehingga<br />

korban akan semakin menderita.<br />

Selain itu, harus diakui pula adanya kelemahan substansi hukum<br />

HAM disebabkan oleh: ketidaksigapan dan kecermatan DPR dan<br />

Pemerintah saat pembahasan RUU; konfigurasi politik demokratis di<br />

Parlemen hasil Pemilu 1999 yang didukung pula oleh elemen-eleman<br />

demokrasi di luar Parlemen tidak dengan sendirinya melahirkan produkproduk<br />

hukum yang responsif secara substansial; masih eksisnya<br />

kekuatan pendukung pemerintahan masa lalu, sekalipun konfigurasi<br />

politik formal di DPR didominasi oleh kekuatan reformasi; penyelesaian<br />

pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah menjadi keinginan murni<br />

pemerintah, tetapi sebagai respon terhadap desakan dalam negeri dan<br />

dunia internasional.<br />

Kini keinginan penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa<br />

lalu dan sekarang muncul melalui upaya konstitusional dalam bentuk<br />

pengajuan RUU.<br />

Urgensi KKR<br />

Pembentukan KKR sebagaimana pengalaman banyak negara, tentu saja<br />

berada dalam konteks transisi pemerintahan, yaitu dari pemerintahan<br />

otoriter menuju pemerintahan demokratis. Dalam transisi demikian,<br />

mencuat pertanyaan mengenai sikap dan tanggung jawab (responsibility)<br />

negara terhadap kejahatan kemanusian oleh rezim sebelumnya.<br />

Menurut Mary Albon, pertanyaan ini mengandung dua isu<br />

penting, yaitu: pengakuan (acknowledgement) dan pertanggungjawaban<br />

(accountability). Pengakuan mengandung dua pilihan: ”mengingat” atau<br />

”melupakan”. Akuntabilitas menghadapkan kita pada pilihan antara<br />

melakukan ”prosekusi” atau ”memaafkan”. Persoalannya, mengutip<br />

Hannah Arendt (1958), bagaimana kita bisa memaafkan apa yang tak<br />

dapat dihukum? ”Men are not able to forgive what they cannot punish ” (kita tak<br />

bisa mengampuni apa yang tak dapat kita hukum). Demikian juga,<br />

bagaimana kita bisa melupakan apa yang tak pernah dibuka untuk kita<br />

79<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu<br />

ingat bersama?<br />

Dalam kontroversi tersebut signifikansi pembentukan KKR<br />

bukan sekadar alternatif Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, tetapi<br />

juga sebagai kawan seiring. Ia merupakan upaya kunci yang kental<br />

menggunakan perspektif hak asasi manusia dan paradigma humanis<br />

yang mengedepankan kepentingan para korban di satu sisi dan<br />

menyelamatkan kehidupan masyarakat umum di sisi lain. Ia merupakan<br />

wahana untuk menerapkan konsep keadilan restoratif dan reparatif di<br />

satu sisi dan konstruktif di sisi lain.<br />

Ia mengimplikasikan konsep keadilan yang keluar dari pakem<br />

klasik khas Aristotelian (keadilan komutatif/kontraktual, distributif,<br />

korektif, dan punitif) dan pakem Rawlsian-Habermasian yang<br />

menumbuhkan keadilan di atas kesetaraan (justice as fairness) yang hanya<br />

dapat diterapkan dalam situasi normal yang makin jauh panggang dari<br />

api kini. Ia memperkenalkan konsep keadilan progresif yang<br />

mengedepankan penghukuman kejahatan (keadilan kriminal),<br />

pembongkaran sejarah (keadilan historis), pengutamaan dan<br />

penghormatan terhadap korban (keadilan reparatoris), pembenahan<br />

serta pembersihan sistem penyelenggaraan negara (keadilan<br />

administratif), dan perombakan konstitusi (keadilan konstitusional)<br />

yang ditegakkan di atas prinsip rule of law, kedaulatan rakyat atau<br />

legitimasi demokratis yang mengedepankan hukum, dan bukan sekadar<br />

ruled by law, kedaulatan hukum yang belum tentu demokratis.<br />

Dengan gambaran signifikansi keberadaan KKR di atas<br />

sungguh sebuah kekeliruan bila ada anggapan bahwa pembentukan<br />

komisi ini hanya memperbanyak daftar komisi di negeri ini. Keliru pula<br />

bila ada kecurigaan bahwa ia hanya sebuah usaha parsial dan mengadaada.<br />

Lebih keliru lagi bila ada sinisme ia hanya memperpanjang rantai<br />

impunitas atau sebaliknya hanya akan menyeret dan memadati penjara<br />

dengan semua orang bersalah di masa lalu.<br />

Mengikuti Luc Huyse (1995), truth is both retribution and deterrence,<br />

kebenaran selalu bermakna sebagai dera penghukum dan penggentar.<br />

Selain itu, dalam spektrum retribusi-rekonsiliasi, responsibilitas atau<br />

sikap ideal yang kita ambil adalah selective punishment, model yang<br />

mengedepankan penagihan tanggung jawab formal atau legal secara<br />

selektif. Oleh karena itu, tipe transisi kita adalah replacement<br />

(penggantian) yang diinisiasi rakyat sendiri, yang cocok dengan model<br />

80


selektif ini.<br />

Adanya lembaga yang akan mengurus dan memproses masalah<br />

pelanggaran HAM masa lalu dan kini maupun mendatang, tetap<br />

diperlukan. Untuk itulah, pada 2009, parlemen (DPR) pernah<br />

merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan<br />

HAM ad hoc guna menyelesaikan kasus penculikan dan penghilangan<br />

paksa tahun 1997-1998. DPR bahkan sempat pula berkirim surat<br />

meminta Presiden agar menindaklanjuti rekomendasi tersebut.<br />

Namun rupanya surat DPR tidak memperoleh tanggapan resmi.<br />

Yang muncul justru tanggapan Menteri Hukum dan HAM waktu itu,<br />

Patrialis Akbar, melalui media massa, yang mengatakan bahwa, bila<br />

membongkar siapa yang bertanggung jawab atas kasus penghilangan<br />

paksa tersebut, tindakan ini akan menimbulkan kegaduhan politik.<br />

Dalam Pasal 43 Ayat (3) UU No 26 Tahun 2000 jelas disebut<br />

bahwa Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan<br />

peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Kewenangan untuk<br />

mengusulkan ini dipunyai oleh DPR dengan pertimbangan bahwa selain<br />

sebagai bagian dari fungsi pengawasan, DPR juga dinilai sebagai<br />

representasi rakyat Indonesia. Benar bahwa sebagai sebuah kata,<br />

rekomendasi berarti saran atau usul. Sebagai usul, ia dapat diterima<br />

secara penuh, sebagian, atau ditolak seluruhnya. Namun dalam konteks<br />

relasi antara DPR dan Presiden, bila rekomendasi DPR diabaikan oleh<br />

Presiden tanpa ada penjelasan apa pun, hal ini mengindikasikan<br />

kurangnya wibawa DPR, yang seharusnya sebagai pengawas Presiden<br />

dan representasi rakyat Indonesia, di hadapan Presiden.<br />

Sementara itu, bila Jaksa Agung serius memerankan fungsinya<br />

sebagai aparat penegak hukum, dan benar bahwa belum terbentuknya<br />

Pengadilan HAM ad hoc merupakan kendala bagi institusinya untuk<br />

menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, tentunya<br />

rekomendasi dari DPR ini akan dilihatnya sebagai peluang, khususnya<br />

untuk melangsungkan penyidikan dan penyelesaian peristiwa<br />

penghilangan paksa 1997-1998. Bila benar begitu, tentunya Jaksa Agung<br />

aktif menunjukkan dukungannya bagi pelaksanaan rekomendasi DPR<br />

tersebut. Namun nyatanya tidak seperti itu.<br />

Masalah Rumit<br />

Di Indonesia, ada banyak masalah pelanggaran HAM, berat maupun<br />

81<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu<br />

ringan. Beberapa kasus berikut adalah pelanggaran berat HAM, seperti:<br />

pelanggaran HAM dalam Peristiwa G30S, Tanjung Priok, Warsidi<br />

Lampung. Kasus dugaan pelanggaran HAM berat Trisakti Semanggi I,<br />

II, Penculikan Paksa Aktivis Tahun 1997/1998, kasus Talangsari (di<br />

Lampung), kasus Wasior, Wamena (di Papua) yang telah selesai diselidiki<br />

oleh Komnas HAM selalu terganjal oleh berbagai kepentingan politis<br />

tertentu.<br />

Sekarang pola-pola kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah<br />

merupakan indikasi awal terjadinya pelanggaran HAM serius. Indikasi<br />

tersebut ditemukan berdasarkan pantauan Komnas HAM dalam<br />

beberapa kasus kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah akhir-akhir ini.<br />

Selain itu, ada pula dimensi pelanggaran yang sifatnya lintas<br />

negara, dalam hal ini apa yang pernah terjadi di Timor Timur (ketika<br />

masih dalam bagian dari NKRI). Di sana disinyalir kuat telah terjadi<br />

pelanggaran HAM dan kekerasan lainnya. Setelah merdeka dan menjadi<br />

negara sendiri, hasil referendum dengan nama Negara Timor Leste (TL),<br />

pemerintah kedua negara telah bersepakat membentuk Komisi<br />

Kebenaran dan Persahabatan (KKP) untuk menyelesaikan masalah<br />

pelanggaran yang pernah terjadi di masa lalu itu.<br />

Dalam perkembangannya, KKP merekomendasikan<br />

pembentukan Komisi Nasional untuk Orang Hilang. Dalam sebuah<br />

wawancara aktivis Kontras Usman Hamid dengan Direktur HAM dan<br />

Kemanusiaan Kemenlu, Muhammad Anshor, disebutkan, bahwa komisi<br />

ini juga akan ditugaskan untuk mengidentifikasi semua anak Timor<br />

Leste yang terpisah dari orang tua mereka dan untuk memberi tahu<br />

keluarga-keluarga mereka mengenai keberadaan anak-anak tersebut.<br />

Muhammad Ridha Saleh dari Komnas HAM, dalam sebuah<br />

wawancara menegaskan, terdapat tiga hal mengenai penanganan kasus<br />

orang-orang hilang oleh Pemerintah Indonesia dan Timor Leste.<br />

Pertama, berkaitan dengan orang hilang. Kedua, pembayaran pensiunan<br />

orang-orang Timor Leste yang pernah bekerja saat menjadi warga<br />

negara Indonesia. Ketiga, kerjasama bidang pendidikan. Dalam<br />

pertemuan dan kunjungan Komnas HAM, banyak suara dari korban<br />

yang terus mempertanyakannya. Ini orang hilang, bukan penghilangan<br />

paksa (disappearances). Sayangnya, rekomendasi soal penanganan orang<br />

hilang itu tak berjalan/tidak dilaksanakan. Ridha mengatakan, tak ada<br />

82


ekomendasi politik DPR untuk melaksanakan, tak ada gugus tugas dari<br />

Pemerintah.<br />

Untuk itulah, dalam konteks ini, hemat saya, perlu kiranya politic<br />

will DPR dan Pemerintah untuk menuntaskan masalah tersebut, sebagai<br />

upaya dan bentuk keseriusan Indonesia membangun kerjasama yang<br />

baik dengan Pemerintah Timor Leste, seperti yang telah disepakati<br />

bersama. Jika masalah ini tidak cepat terselesaikan, maka akan menjadi<br />

ganjalan serius bagi hubungan kedua negara, sekaligus preseden buruk<br />

tentang penanganan pelanggaran HAM masa lalu.<br />

Masalahnya adalah, akan muncul sedikitnya dua masalah serius<br />

ketika ikhtiar penanganan pelanggaran HAM masa lalu, kini, dan<br />

mendatang, yakni berkaitan dengan batasan waktu terjadinya<br />

pelanggaran di masa lalu, serta masalah tarik-menarik kepentingan<br />

politik.<br />

Yang pertama, harus jelas dulu dan disepakati batasan waktu<br />

terjadinya pelanggaran, apakah sejak era Orde Lama, ataukah era Orde<br />

Baru, ataukah sejak era Reformasi, atau bahkan sejak masa penjajahan<br />

Belanda dan Jepang. Beragam pendapat pasti akan muncul, misalnya<br />

anak-anak korban G-30S, akan menuntut haknya diproses atas<br />

pelanggaran orangtuanya, lalu korban kekerasan seksual tentara Jepang<br />

(Jugun Ianfu) terhadap kaum wanita Indonesia, lalu bagaimana dengan<br />

yang terjadi terhadap ulama HAMKA misalnya, yang dipenjara dan<br />

disiksa, tanpa proses hukum, demikian halnya Sjafrudddin<br />

Prawiranegara, keluarganya mungkin juga akan menuntut. Yang masih<br />

hidup, dipenjara tanpa proses hukum, dan masih banyak lagi lainnya.<br />

Mereka semua boleh tidak meminta Pemerintah untuk memproses,<br />

misalnya. Jadi akan banyak kepentingan yang lebih bersifat individual.<br />

Yang kedua, tarik-menarik kepentingan politik sudah tentu sulit<br />

dihindari karena banyaknya kepentingan korban dan juga kepentingan<br />

Pemerintah di dalamnya. Partai-partai politik tentu saja tidak akan<br />

tinggal diam jika ternyata ada kadernya misalnya, diduga terlibat<br />

pelanggaran, padahal ketika pelanggaran itu terjadi, kader tersebut<br />

masih berdinas aktif di institusi pemerintah maupun militer. Sudah<br />

tentu, mereka bertindak dengan prosedur yang ada, dan atas nama<br />

institusi, bukan pribadi. Ini akan menjadi akan menjadi pelik. Ini harus<br />

menjadi catatan kita semua, karena dari sini pula akan menjadi efek<br />

berantai dalam proses penyelesaian.<br />

83<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu<br />

Kesimpulan<br />

Pada prinsipnya, masalah penanganan pelanggaran HAM masa lalu, kini<br />

dan mendatang, selain harus ada payung hukum yang jelas dan tegas,<br />

juga harus ada kemauan politik yang kuat segenap elemen, terutama<br />

kalangan pemerintah, parlemen, parpol, dan kekuatan masyarakat sipil.<br />

Sebenarnya momentum penanganan pelanggaran HAM masa<br />

lalu momentumnya adalah di awal-awal reformasi, atau katakanlah era<br />

Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid atau Presiden<br />

Megawati Sukarnoputri. Namun sayang momentum itu dilewatkan<br />

begitu saja. Ibarat baja yang pada masa itu sedang mencair maka dengan<br />

lewatnya momentum tersebut besi baja telah mengeras kembali dan<br />

hilanglah momentum yang sangat strategis tersebut.<br />

Sekarang, tentunya gagasan dan spirit yang terkandung dalam<br />

KKR itu harus tetap ada dan terus diupayakan untuk dilaksanakan.<br />

Namun dengan catatan bahwa upaya ini harus didukung dengan<br />

kemauan kuat oleh semua pihak sebagaimana tersebut di atas untuk<br />

menyelesaikannya dengan memproses pelanggaran-pelanggaran yang<br />

terjadi terlepas dari apakah nanti dimaafkan atau dihukum, kesemuanya<br />

diserahkan pada proses yang yang nanti akan berjalan dan berlaku.<br />

Semua harus dilakukan dengan pasti dan ketegasan yang cukup.<br />

Kalau bunyinya dimaafkan tentu harus diterima, kalau harus dihukum<br />

juga harus dilaksanakan. Inilah model yang dapat kita lakukan. Untuk<br />

melakukan itu, perlu juga kita berani keluar dari jebakan-jebakan<br />

dogmatis.<br />

Setelah itu semua dilakukan, kita mesti tutup buku, dan<br />

membuka lembaran baru agar semua bisa diselesaikan dengan baik.<br />

Tanpa itu, sulit rasanya mencari jalan keluar, dan ke depan akan terus<br />

menerus terjadi perdebatan mengenai penanganan pelanggaran di masa<br />

lalu tanpa ada titik temu dan penyelesaian.<br />

Dalam konteks dan perspektif ini maka perlu dirintis kembali<br />

upaya legislasinya dengan berpedoman pada Ketetapan MPR No<br />

V/MPR/2000 yang dinyatakan sebagai masih berlaku. Apalagi menurut<br />

UU No. 12 tahun 2011, Ketetapan MPR kembali masuk dalam tata urut<br />

peraturan perundangan sehingga Tap MPR menjadi sumber hukum<br />

formal.<br />

Kita perlu merintis kembali pembentukan UU tentang Komisi<br />

Kebenaran dan Rekonsiliasi yang lebih baik dengan mengoreksi dan<br />

84


menyempurnakan kelemahan-kelemahan dalam UU No. 27 Tahun 2004<br />

tentang KKR yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi untuk<br />

menjadi payung pelaksanaan rekonsiliasi nasional. Sebagai bangsa yang<br />

besar kita yakin dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, betapa pun<br />

rumit dan beratnya.<br />

Bahan Rujukan:<br />

Ketetapan MPR RI No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan<br />

dan Kesatuan Nasional.<br />

Putusan MK Nomor 020/PUU-IV/2006.<br />

UU Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi<br />

(KKR).<br />

UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.<br />

Sudah kehilangan Momentum', Kompas, 4 November 2006.<br />

Korban penculikan Menuntut', Kompas 17 Maret 2005.<br />

MK Batalkan UU KKR , Cermin Buruknya Legislasi DPR, Kompaas 8<br />

Des 2006.<br />

'Seleksi Anggota KKR Dihentikan' Kompas 19 Desember 2006.<br />

Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia<br />

(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum<br />

Universitas Indonesia, 2003).<br />

Ketetapan Mejelis Permusyarakatan Rakyat No.V/MPR/2000 tentang<br />

Pemantapan Persatuan Nasional.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 'Komisi Kebenaran dan<br />

Rekonsiliasi: Pengalaman beberapa Negara' www.elsam.or.id<br />

Victor Hansen, Ghraib: Time for The United States to Adopt A<br />

Standard of Command Responsibililty Towards<br />

Its Own, Gonzaga Law Review, 2006 2007.<br />

Jared Olanoff, Holding A Head of State Liable for War Crimes:<br />

Command Responsibility and The Milosevic.<br />

Trial, Suffolk Transnational Law Reivew, Summer 2004.<br />

Ilias Bantekas, Principles of Direst and Superior Responsibility in<br />

International Humanitarian Law, Manchester University Press,<br />

Manchester, UK, 2002.<br />

Daniel. S, Makalah seminar Pembangunan Hukum Nasional, Denpasar<br />

(Juli, 2003).<br />

85<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


DISKURSUS<br />

Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu<br />

Wawancara Usman Hamid dengan Kemlu, 10 Maret 2012.<br />

Wawancara Usman Hamid dengan Ridha Saleh, Komnas HAM, 2 April<br />

2012.<br />

”Nasir Djamil: Kita Tunggu Jawaban Presiden”, Serambi Indonesia,<br />

Kamis 29<br />

September 2011.<br />

”Menteri HAM: Usut Orang Hilang, Politik Gaduh,” Vivanews, Rabu,<br />

12 Mei 2010.<br />

Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cet. I, Jakarta,<br />

2003.<br />

Eddy Djunaedi Karnasudirdja, SH, MCJ, Dari Pengadilan Militer<br />

Internasional<br />

Nuremberg ke Pengadilan Hak Azasi Manusia Indonesia, PT. Tata Nusa<br />

2003.<br />

86


OASE


Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

Stanley Adi Prasetyo<br />

Abstract<br />

Wiji Thukul is the most wanted artist-cum-activist by the New Order regime. He<br />

was abducted by the New Order regime and up till now his whereabout is<br />

unknown. As a poet, his works were feared by the rulers at that time. This article<br />

discusses Wiji Thukul's description in his unreleased poems about his own<br />

conditions just before he was forcefully dissapeared.<br />

Keywords: Abduction; Authoritarian Regime; Human Rights Violation<br />

Orang memanggilnya Wiji Thukul, nama yang dalam bahasa Jawa berarti<br />

”biji tumbuh”. Pemilik nama lengkap Wiji Widodo ini lahir di Kampung<br />

Sorogenen, Jebres, Solo, pada 24 Agustus 1963. Penampilannya sangat<br />

sederhana, tak sebagaimana seniman pada umumnya yang kerap<br />

berpenampilan ”sok seniman”. Malah penampilannya lebih sering<br />

terlihat ”kampungan” dalam arti tampil alamiah sebagai orang kampung.<br />

Suatu hari pada 1984, Wiji Thukul membaca puisi di kampus tempat saya<br />

kuliah, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Setelah<br />

selesai, dia kemudian berdiskusi dengan gaya santai, duduk dengan kaki<br />

sebelah diangkat sambil makan singkong rebus dan menyeruput kopi.<br />

Ya, itulah dia, Wiji Thukul yang pertama kali saya kenal melalui seorang<br />

budayawan asal Solo yang lebih suka dipanggil sebagai pekerja seni,<br />

Halim HD, sekitar 1983.<br />

Thukul besar dari lingkungan keluarga kelas bawah. Bapaknya<br />

penarik becak, sebagaimana mayoritas profesi para tetangga di tempat<br />

tinggalnya. Pendidikan formal Thukul adalah Sekolah Menengah<br />

Karawitan Indonesia (SMKI) Solo Jurusan Tari, tapi tak pernah<br />

ditamatkannya. Pada 1982 dia drop out dan memilih bekerja mencari uang<br />

buat membantu bapaknya. Dia pernah berjualan koran di Semarang, jadi<br />

89


OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

buruh plitur di kampungnya, calo karcis bioskop, dan jadi pengamen<br />

puisi. Pernah juga dia bekerja jadi wartawan, meski hanya tiga bulan.<br />

Belakangan Thukul jadi penyair terkenal yang puisi-puisinya<br />

kerap dibaca oleh para aktivis mahasiswa pada 1980an. Dia mulai<br />

menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di<br />

bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, dia pernah mengamen<br />

puisi keluar-masuk kampung dan kota.<br />

Meski hidupnya pas-pasan, Thukul mampu menyelenggarakan<br />

kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan,<br />

tempat dia dan keluarganya tinggal. Pada pertengahan 1980an Thukul<br />

kerap diundang mengamen masuk ke kampus-kampus, baik di Jawa<br />

Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, maupun Jakarta. Pengalaman bergaul<br />

dengan para aktivis inilah membuat Thukul kian kritis dalam berpikir.<br />

Wiji Thukul pun menyadari pentingnya sebuah organisasi sebagai alat<br />

perjuangan.<br />

Thukul aktif terlibat dalam sejumlah aksi solidaritas terhadap<br />

para petani dan buruh. Pada 1992 dia ikut demonstrasi memprotes<br />

pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT. Sariwarna Asli Solo. Pada<br />

1994, saat terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur, Thukul memimpin<br />

massa dan melakukan orasi. Dalam aksi ini dia ditangkap serta dipukuli<br />

sejumlah aparat militer.<br />

Setahun berikutnya, saat ikut aksi aksi demo 15.000 karyawan<br />

PT. Sritex yang didukung oleh Pusat Perjuangan Buruh Indonesia<br />

(PPBI) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk demokrasi (SMID),<br />

Thukul dipukuli dengan popor senjata dan kepalanya dibenturkan ke<br />

mobil oleh aparat keamanan yang mengakibatkan mata kirinya buta. Dia<br />

mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan mobil oleh aparat<br />

yang kemudian menangkapnya.<br />

Pada 1994 Thukul bersama seniman progresif seperti Semsar<br />

Siahaan dan Moelyono mendirikan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat<br />

(Jakker). Thukul menjadi ketuanya. Jakker sendiri membangun jaringan<br />

kesenian dengan melibatkan sejumlah seniman progresif dan<br />

1<br />

kerakyatan di berbagai daerah.<br />

Pada April 1996 Thukul hadir dalam kongres pertama<br />

1. Penjelasan mengenai sepak terjang Wiji Thukul secara lengkap bisa dibaca pada Wilson, ”Wiji Thukul:<br />

Hanya Ada Satu Kata: Hilang” dalam Wilson (editor), Kebenaran Akan Terus Hidup: Catatan-Catatan<br />

Tentang Wiji Thukul, Ikohi dan Yappika, Jakarta, 2007.<br />

90


pembentukan PRD di Kaliurang, Yogyakarta. Dalam kongres tersebut<br />

PRD mengambil keputusan penting di mana Jakker bersama Solidaritas<br />

Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan<br />

Buruh Indonesia (PPBI) dan beberapa organisasi lain secara resmi<br />

menyatakan berafiliasi secara organisasi dan Politik dengan PRD.<br />

Pada 22 Juli 1996 Thukul ikut hadir dalam pendeklarasian Partai<br />

Rakyat Demokratik (PRD) di Ruang Adam Malik di Gedung Yayasan<br />

Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI), Jakarta. Pada<br />

kesempatan ini dia membacakan sebuah puisinya yang terkenal berjudul<br />

”Peringatan”. Ia juga dinyatakan terpilih terpilih menjadi Ketua Bidang<br />

Pengembangan Kebudayaan PRD, selain memimpin Jaringan Kerja<br />

(JaKer) Kebudayaan bersama dengan Semsar Siahaan. Keterlibatan Wiji<br />

Thukul dalam PRD ini jelas adalah sebuah pilihan politik.<br />

Sejak dideklarasikan, PRD selalu mendapat sorotan dari pihak<br />

aparat keamanan, termasuk kalangan intelijen. Nama PRD disebutsebut<br />

sebagai dalang beberapa aksi petani maupun buruh. Nama PRD<br />

kembali disebut-sebut saat terjadi peristiwa penyerbuan kantor PDI<br />

yang dikuasai oleh pengikut Megawati Sukarnoputri secara paksa oleh<br />

kelompok pendukung PDI Suryadi yang didukung preman dan<br />

2<br />

kelompok aparat tak berseragam. Peristiwa itu disebut sebagai Peristiwa<br />

2. Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali<br />

Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati<br />

itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI. Aktivitas berupa<br />

mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang Orde Baru, telah mampu<br />

membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi<br />

pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi. Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen<br />

Syarwan Hamid dalam penjelasannya kepada perwakilan negara asing di Departemen Luar Negeri pada 5<br />

Agustus 1996 menegaskan bahwa Peristiwa 27 Juli 1996 merupakan upaya sekelompok orang untuk<br />

menghidupkan kembali faham komunis di Indonesia. Upaya untuk menghidupkan kembali komunisme<br />

itu dilakukan dengan menggunakan konflik internal di tubuh Partai Demokrasi Indonesia sebagai "kuda<br />

troya". Penggunaan PDI sebagai "kuda troya" adalah karena PDI menyimpan konflik internal yang dapat<br />

dieksploitasi dan diprovokasi. Status PDI sebagai lembaga politik formal mengakibatkan kelompokkelompok<br />

yang bermain politik praktis tak dicurigai.<br />

Di antara kelompok ekstrem itu adalah PRD dengan berbagai faksinya yang dapat disamakan dengan PKI.<br />

Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menuding mimbar bebas yang digelar di halaman Kantor DPP<br />

PDI adalah embrio makar terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Sebelumnya, tanggal 19 Juli 1996,<br />

Soeharto memanggil sejumlah pembantu militernya untuk membahas mimbar bebas tersebut. Soeharto<br />

mengingatkan agar pembantu militer mewaspadai makar. Lihat harian Kompas 14 Juli 2003. Analisis<br />

mendalam mengenai Peristiwa 27 Juli 1996 bisa dilihat pada Lukas Luwarso (penyunting), Peristiwa 27<br />

Juli, ISAI, Jakarta, 1997.<br />

91<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

3<br />

27 Juli 1996, ada pula yang menamakannya sebagai Peristiwa Kudatuli.<br />

Indikasi akan dijadikannya PRD sebagai pihak yang<br />

bertanggungjawab sebetulnya tampak dari penyataan Presiden Soeharto<br />

yang mengeluarkan pernyataan di depan para wartawan bahwa semua<br />

pihak harus mewaspadai aktivitas yang terjadi di depan kantor PDI di<br />

Jalan Diponegoro, Jakarta. ”Awas, ada banyak setan gundul di sana,”<br />

4<br />

ucap Presiden Soeharto. Dan ketika peristiwa terjadi dan masyarakat<br />

yang marah atas penyerangan pada dini hari 27 Juli 1996 tersebut dan<br />

melakukan penyerangan kepada sejumlah gedung pemerintah dan<br />

kendaraan berplat nomor merah, Kasospol TNI Mayjen TNI Syarwan<br />

Hamid menyatakan kepada media massa bahwa dalang kerusuhan yang<br />

5<br />

terjadi di Jakarta tak lain adalah anak-anak PRD.<br />

Hari-hari setelah Kudatuli aksi perburuan pun dimulai. Semua<br />

aktivis PRD termasuk berbagai organisasi yang berafiliasi pada PRD<br />

seperti SMID, Jaker, dan lain-lain diburu dan ditangkapi. Termasuk salah<br />

satunya adalah Wiji Thukul.<br />

3. Kudatuli. adalah akronim dari Kerusuhan 27 Juli. Sebutan ini pertama kali digunakan oleh tabloid Swadesi<br />

dan kemudian digunakan secara luas oleh berbagai media massa. Sebutan yang lain adalah Peristiwa Sabtu<br />

Kelabu yang merujuk pada hari saat terjadinya peristiwa ini yaitu hari Sabtu, kata "kelabu" untuk<br />

menggambarkan "suasana gelap" yang melanda panggung perpolitikan Indonesia saat itu. Peristiwa 27<br />

Juli 1996 ini menimbulkan kerugian material berupa 56 gedung dan 197 mobil rusak dan terbakar,<br />

sehingga menurut Gubernur Soejadi Soedirdja, total kerugian mencapai Rp.100 miliar. Dalam peristiwa<br />

ini 200 orang ditangkap. Menurut laporan Komisi Nasional Hak-Hak Azasi Manusia, ada tiga unsur<br />

penyebab kerusuhan yang terlibat, yakni unsur pendukung PDI kelompok Soerjadi dan Megawati, unsur<br />

pemerintah/aparat keamanan, dan masyarakat.<br />

4. Harian Terbit, 26 Juli 1996.<br />

5. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang ditandatangani Ketua Munawir Sjadzali dan<br />

Sekjen Baharuddin Lopa tentang Peristiwa 27 Juli menyebut sebanyak 5 orang meninggal dunia, 149<br />

orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi<br />

sejumlah pelanggaran hak asasi manusia. Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi<br />

Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen<br />

Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel<br />

Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono<br />

memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya. Dokumen tersebut<br />

juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI<br />

bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade<br />

Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan<br />

penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion<br />

Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan.<br />

Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di<br />

Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000. Lihat: Laporan Penyelidikan Komnas HAM tentang Peristiwa 27<br />

Juli 1996. Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati hanya mampu membuktikan<br />

seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke<br />

Kantor PDI. Ia dihukum dua bulan sepuluh hari, sementara dua perwira militer yang diadili, Kol CZI Budi<br />

Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan<br />

Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.<br />

92


Wiji Thukul mengungsi meninggalkan rumah tak lama setelah<br />

namanya disebut-sebut di madia massa, termasuk sejumlah televisi.<br />

Berikut ini adalah sejumlah puisi, yang lebih merupakan catatan<br />

pribadinya saat ia pergi bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain.<br />

Puisi ini ditulis langsung oleh Wiji Thukul selama persembunyian di<br />

Jakarta dan sekitarnya. Pada masa ini saya bertemu dengan Wiji Thukul<br />

beberapa kali. Saya mendapatkan kumpulan puisi ini saat-saat terakhir<br />

kali sebelum dia memutuskan untuk pindah ke luar kota, mengingat<br />

Jakarta dinilainya sudah tidak aman.<br />

”Tolong ini kamu pegang. Siapa tahu suatu saat ada gunanya,”<br />

ujar Wiji Thukul. Kumpulan puisi ini total berjumlah 27 buah puisi yang<br />

sebagian besar belum ada judulnya. Ditulis dengan pensil di atas kertas<br />

surat putih bergaris sebanyak 13 halaman bolak-balik. Bila dilihat kisah<br />

di balik puisi, tampaknya tulisan ini dibuat setelah sang penulis<br />

menempuh perjalanan Solo, Salatiga, dan Jakarta dengan menumpang<br />

truk dan berpindah-pindah bus. Sebagian tulisan diberi catatan tanggal<br />

penulisan, sebagian tidak. Namun dari catatan yang ada bisa<br />

diperkirakan bahwa puisi ini ditulis antara tanggal 10 sampai 15 Agustus<br />

1996.<br />

Puisi berikut bercerita tentang pelarian Wiji Thukul<br />

meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Alasan Wiji Thukul untuk pergi<br />

mengungsi dari kota Solo tak lain karena namanya disebut-sebut dalam<br />

televisi oleh seorang jendral.<br />

Para jendral marah-marah<br />

Pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi. Tapi aku tidur. Istriku yang<br />

menonton. Istriku kaget. Sebab seorang letnan jendral menyeret-nyeret namaku.<br />

Dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya, Dengan mata masih lengket<br />

aku bertanya: mengapa? Hanya beberapa patah kata ke luar dari mulutnya:<br />

”Namamu di televisi .....” Kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis.<br />

Aku tidur lagi dan ketika bangun wajah jendral itu sudah lenyap dari televisi.<br />

Karena acara sudah diganti.<br />

Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya tidak. Aku memang lebih<br />

sering ganti baju ketimbang celana.<br />

Setelah menjemur handuk aku ke dapur. Seperti biasa mertuaku yang setahun lalu<br />

93<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

ditinggal mati suaminya itu, telah meletakkan gelas berisi teh manis. Seperti<br />

biasanya ia meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang gampang<br />

diambil.<br />

Istriku sudah mandi pula. Ketika berpapasan denganku kembali kalimat itu<br />

meluncur. ”Namamu di televisi....” ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus<br />

bagaimana kekejaman kemanusiaan itu dari pada aku.<br />

Rupanya Thukul memilih meninggalkan Solo dengan<br />

menumpang sebuah kendaraan truk. Menumpang truk barangkali<br />

adalah pilihan sadarnya menghindari masuk kota atau terminal di mana<br />

kemungkinan dia akan diketemukan oleh aparat yang mencari-carinya.<br />

aku diburu pemerintahku sendiri<br />

layaknya aku ini<br />

penderita penyakit berbahaya<br />

aku sekarang buron<br />

tapi jadi buron pemerintah yang lalim<br />

bukanlah cacat<br />

pun seandainya aku dijebloskan<br />

ke dalam penjaranya<br />

aku sekarang terlentang<br />

di belakang bak truk<br />

yang melaju kencang<br />

berbantal tas<br />

dan punggung tangan<br />

kuhisap dalam-dalam<br />

segarnya udara malam<br />

langit amat jernih<br />

oleh jutaan bintang<br />

sungguh<br />

baru malam ini<br />

begitu merdeka paru-paruku<br />

94


malam sangat jernih<br />

sejernih pikiranku<br />

walau penguasa hendak mengeruhkan<br />

tapi siapa mampu mengusik<br />

ketenangan bintang-bintang?<br />

Dari urutan catatan yang bisa dilacak dari puisi-puisi yang<br />

ditulisnya, rupanya Salatiga jadi tujuan kota terdekat yang dipilih Thukul<br />

ketika ia memutuskan meninggalkan kota Solo. Dia ke kota dingin yang<br />

berjarak tempuh sekitar sejam dengan roda empat ini dalam keadaan<br />

kedinginan dan kelaparan. Seharian dia bersembunyi di Solo setelah<br />

meninggalkan rumah.<br />

Rupanya sesampai di Salatiga, Thukul memilih untuk mampir ke<br />

rumah seorang dosen yang dikenalnya dengan baik di kawasan Kemiri<br />

Candi, di pinggiran kota di belakang kampus Universitas Kristen Satya<br />

Wacana. Orang itu tak lain adalah pasangan Dr Arief Budiman dan Leila<br />

Ch. Budiman. Hal ini bisa dikenali dari puisi yang diberinya judul ”Buat<br />

L.Ch & A.B”. Wiji Thukul yang menggambarkan kelelahan fisik dan<br />

kelelahan psikis yang dialaminya.<br />

Buat L.Ch & A.B.<br />

darahku mengalir hangat lagi<br />

setelah puluhan jam sendi<br />

sendi tulangku beku<br />

kurang gerak<br />

badanku panas lagi<br />

setelah nasi sepiring<br />

sambel kecap dan telur goreng<br />

tandas bersama tegukan air<br />

dari bibir gelas keramik yang kau ulurkan dengan senyum<br />

manismu<br />

kebisuan berhari-hari<br />

kita pecahkan pagi itu<br />

dengan salam tangan<br />

95<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

pertanyaan<br />

dan kabar-kabar hangat<br />

pagi itu<br />

budimu menjadi api<br />

tapi aku harus pergi lagi<br />

mungkin tahun depan<br />

atau entah kapan<br />

akan kuketuk lagi<br />

daun pintumu<br />

bukan sebagai buron<br />

Dari Jawa Tengah rupanya Thukul terus bergerak dan sampai di<br />

Jakarta. Ia rupanya ditampung di sebuah rumah di pinggiran Jakarta<br />

milik sepasang aktivis yang baru saja menikah. Thukul menulis puisi<br />

yang diberinya judul ”Kado untuk Pengantin Baru” sebagai berikut.<br />

Kado untuk Pengantin Baru<br />

pengantin baru<br />

ini ada kado untukmu<br />

seorang penyair<br />

yang diburu-buru<br />

maaf aku mengganggu<br />

malam bulan madumu<br />

aku minta kamar satu<br />

untuk membaringkan badanku<br />

pengantin baru<br />

ini datang lagi tamu<br />

seorang penyair<br />

yang dikejar-kejar serdadu<br />

memang tak ada kenikmatan<br />

di negri tanpa kemerdekaan<br />

selamanya tak akan ada kemerdekaan<br />

jika berbeda pendapat menjadi hantu<br />

96


pengantin baru<br />

ini ada kado untukmu<br />

seorang penyair yang dikejar-kejar serdadu<br />

Dalam pelarian, Thukul melalui komunikasi dengan sejumlah<br />

teman-temannya sempat mengikuti perkembangan situasi yang terjadi di<br />

rumahnya yang rupanya telah didatangi sejumlah aparat. Dia menulis<br />

beberapa puisi berikut.<br />

kuterima kabar dari kampung<br />

rumahku kalian geledah<br />

buku-bukuku kalian jarah<br />

tapi aku ucapkan banyak terima kasih<br />

karena kalian telah memperkenalkan sendiri<br />

pada anak-anakku<br />

kalian telah mengajari anak-anakku<br />

membentuk makna kata penindasan<br />

sejak dini<br />

ini tak diajarkan di sekolahan<br />

tapi rejim sekarang ini<br />

memperkenalkan kepada semua kita<br />

setiap hari di mana-mana<br />

sambil nenteng-nenteng senapan<br />

kekejaman kalian<br />

adalah buku pelajaran<br />

yang tak pernah ditulis!<br />

Thukul juga menulis sebuah puisi khusus buat anaknya dalam<br />

6<br />

situasi dia sebagai buron pemerintahan Orde Baru. Berikut puisi itu:<br />

Wani,<br />

bapakmu harus pergi<br />

kalau teman-temanmu tanya<br />

kenapa bapakmu dicari-cari polisi<br />

jawab saja:<br />

97<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

6. Menikah dengan Dyah Sujirah alias Sipon rekannya satu teater pada tanggal 23 Oktober 1988 dan<br />

dikaruniai dua orang anak, yaitu Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Foto kopi naskah puisi ini pernah<br />

saya berikan kepada seorang wartawan bawah tanah yang kemudian dimuatnya dalam majalah SiaR dan<br />

kemudian dikutip oleh terbitan bawah tanah yang dikelola aktivis PRD yaitu media Pembebasan dan<br />

kemudian dimuat dalam jurnal Indonesia, terbitan Universitas Cornell, Amerika.


OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

”karena bapakku orang berani”<br />

kalau nanti ibu didatangi polisi lagi<br />

menangislah sekuatmu<br />

biar tetangga kanan kiri datang<br />

dan mengira ada pencuri<br />

masuk rumah kita<br />

Bagi Thukul arti sebuah persahabatan sejati baru bisa dirasakan<br />

saat datang cobaan. Meski banyak orang merasakan penindasan<br />

sebagaimana yang dirasakannya, juga rakyat pada umumnya, namun<br />

dalam situasi yang menghimpit tak semua teman berani menemuinya.<br />

Thukul menulis sebuah puisi yang berjudul ”Pepatah Buron”.<br />

Pepatah Buron<br />

penindasan adalah guru paling jujur<br />

bagi yang mengalami<br />

lihatlah tindakan penguasa<br />

bukan retorika bukan pidatonya<br />

kawan sejati adalah kawan yang masih berani<br />

tertawa bersama<br />

walau dalam kepungan bahaya<br />

Situasi pelarian tak mengecilkan semangat juang Thukul.<br />

Sikapnya tetap teguh dan kritis pada kekuasaan. Pada beberapa<br />

kesempatan dia menulis kegeramannya pada penguasa. Berikut puisi<br />

yang ditulisnya.<br />

kekuasaan yang sewenang-wenang<br />

membuat rakyat selalu berjaga-jaga<br />

dan tak bisa tidur tenang<br />

sampai mereka sendiri lupa<br />

batas usianya tiba<br />

dan dalam diamnya<br />

rakyat ternyata bekerja<br />

menyiapkan liang kuburnya<br />

98


lalu mereka bersorak<br />

ini kami siapkan untukmu tiran!<br />

penguasa yang lalim<br />

ketika mati tak ditangisi rakyatnya<br />

sungguh memilukan<br />

kematian yang disyukuri dengan tepuk tangan<br />

Thukul juga menulis sebuah puisi lain tentang penguasa. Ia yakin<br />

bahwa penguasa lalim tak bisa membungkam suara rakyat.<br />

ujung rambut ujung kuku<br />

gendang telinga<br />

dan selaput bola mataku<br />

tidak mungkin lupakan kamu<br />

bilur di punggung<br />

nyeri di tulang<br />

berhari-hari<br />

darah di helai rambut ujung kuku<br />

dendang telinga<br />

dan selaput bola mataku<br />

telah mengotori namamu<br />

nyeri di tulang<br />

berhari-hari<br />

bilur di punggung<br />

karena sabetan<br />

telah mencoreng namamu<br />

kau tak kan bisa mencuci namamu<br />

sekalipun 1000 mobil pemadam kebakaran<br />

kau kerahkan<br />

kau tak kan bisa mencuci tanganmu<br />

sekalipun 1000 pengeras suara<br />

melipatgandakan pidatomu<br />

suara rakyat adalah suara Tuhan<br />

dan kalian tak bisa membungkam Tuhan<br />

99<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

sekalipun kalian memiliki 1.000.000 gudang peluru<br />

Dalam pelarian, Thukul terus mengikuti pemberitaan media<br />

massa. Dia membaca koran dan melihat televisi. Dia menemukan<br />

kenyataan bahwa pemberitaan media massa lebih banyak<br />

mempraktikkan jurnalisme omongan. Bukan jurnalisme yang<br />

memberitakan realitas penderitaan rakyat. Semua kebohongan yang<br />

diucapkan penguasa dikutip mentah-mentah oleh media massa. Thukul<br />

mencemaskan bahwa bukan tak mungkin yang akan muncul adalah<br />

nasionalisme model jaman Nazi di Jerman.<br />

Jakarta simpang siur<br />

ormas-ormas tiarap<br />

tiap dengar berita<br />

pasti ada aktivis ditangkap<br />

telepon-telepon disadap<br />

koran-koran disumbat<br />

rakyat was-was dan pengap<br />

diam-diam orang cari informasi<br />

dari radio luar negeri<br />

jangan percaya<br />

pada berita mass media cetak<br />

dan elektronika asing!<br />

Penguasa berteriak-teriak setiap hari<br />

Nasionalismenya mirip Nazi<br />

Thukul juga menulis beberapa kata, tidak dalam bentuk puisi,<br />

tapi lebih merupakan rangkaian kata-kata terpilih. Kata-kata ini lebih<br />

merupakan perasaan Thukul saat membaca, mendengar dan memirsa<br />

tayangan televisi.<br />

berhari-hari – ratusan jam – ratusan kilometer – puluhan kota – bis – colt – truk –<br />

angkutan – asap rokok – uap sampah – tengik wc – knalpot terminal – embun<br />

subuh – baca koran – omongan penguasa – nonton tivi – omongan penipu – presiden<br />

marah-marah – jendral-jendral marah-marah – intelektual bayaran ikut-ikutan –<br />

100


sekretariat organisasi aktivis diobrak-abrik – penculikan – penggrebegan –<br />

pengejaran – pembenaran dibikin kemudian – semua benar karena semua diam<br />

Thukul juga merasa bahwa usia kekuasaan tak akan lama lagi.<br />

Baginya usia penguasa pasti ada batasnya, demikian pula dengan<br />

pemerintahan yang otoriter. Pada akhirnya, Thukul yakin, rakyat pasti<br />

akan menang.<br />

apa penguasa kira<br />

rakyat hidup di hari ini saja<br />

apa penguasa kira<br />

ingatan bisa dikubur<br />

dan dibendung dengan moncong tank<br />

apa penguasa kira<br />

selamanya ia berkuasa<br />

tidak!<br />

tuntutan kita akan lebih panjang umur<br />

ketimbang usia penguasa<br />

derita rakyat selalu lebih tua<br />

walau penguasa baru naik<br />

mengganti penguasa lama<br />

umur derita rakyat<br />

panjangnya sepanjang umur peradaban<br />

umur penguasa mana<br />

pernah melebihi tuanya umur batu akik<br />

yang dimuntahkan ledakan gunung berapi?<br />

ingatan rakyat serupa bangunan candi<br />

kekejaman penguasa setiap jaman<br />

terbaca di setiap sudut dan sisi<br />

yang menjulang tinggi<br />

Thukul yakin bahwa keyakinan dirinya, juga keyakinan mayoritas rakyat,<br />

101<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

tak bisa diubah meskipun penguasa menggunakan cara-cara represif<br />

kepada rakyatnya.<br />

ketika datang malam<br />

aku menjadi gelap<br />

ketika pagi datang<br />

aku menjadi terang<br />

aku rakyatmu<br />

hidup di delapan penjuru<br />

kau tak bisa menangkapku<br />

karena kau tak mengenalku<br />

kau tak bisa mendengarkan aku<br />

karena kau terus berbicara<br />

berbicara dan berbicara<br />

dengan mulut senapan<br />

pembantaian- pembantaian<br />

dan pembantaian<br />

mayat-mayat bergelimpangan<br />

mayat-mayat disembunyikan<br />

kau tak bisa menguburkan aku<br />

kau tak bisa menyembuhkan lukaku<br />

karena kau tak kenal aku<br />

karena kau terus berbicara<br />

berbicara dan berbicara<br />

dengan tembakan dan ancaman<br />

dan penjara<br />

Meski terus bergerak dengan cara berpindah-pindah untuk<br />

menghindari pencarian dan penangkapan, Thukul merasa dirinya<br />

nyaman dan sama sekali tak cemas. Dirinya merasa waras sepenuhnya.<br />

Berikut puisi yang menggambarkan hal ini.<br />

102


habis cemasku<br />

kau gilas<br />

habis takutku<br />

kau tindas<br />

kini padaku tinggal tenaga<br />

mendidih!<br />

segala telah kau rampas<br />

kau paksa aku tetap bodoh<br />

miskin dan nelan ampas<br />

kini padaku tinggal tenaga<br />

mengepal-ngepal<br />

di jalan-jalan<br />

habis cemasku<br />

kau gilas<br />

habis takutku<br />

kau tindas<br />

aku masih tetap waras!<br />

Hal ini berbeda dengan penguasa yang menurut Thukul sedang<br />

risau. Pergolakan yang sedang terjadi Thukul anggap telah menggoyang<br />

kursi kedudukan sang penguasa. Si penguasa digambarkannya dalam<br />

puisi berikut.<br />

ayo kita tebakan!<br />

dia raja<br />

tapi tanpa mahkota<br />

punya pabrik punya istana<br />

coba tebak siapa dia?<br />

dia adalah aku!<br />

dia kaya<br />

keluarganya punya saham di mana-mana<br />

tapi negaranya rangking tiga<br />

103<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

paling korup di dunia<br />

coba tebak siapa dia?<br />

dia adalah aku!<br />

dia tua<br />

tapi ingin tetap berkuasa<br />

tak boleh ada calon lain<br />

selain dia<br />

kalau marah<br />

mengarahkan angkatan bersenjata<br />

rakyat kecil yang tak bersalah ditembak jidatnya<br />

coba tebak siapa dia?<br />

dia adalah aku!<br />

dia sakti<br />

tapi pasti mati<br />

meski seakan tak bisa mati<br />

coba tebak siapa dia?<br />

dia adalah aku!<br />

siapa aku?<br />

aku adalah diktator<br />

yang tak bisa tidur nyenyak!<br />

Thukul yakin bahwa penguasa tak mungkin menyembunyikan<br />

bau busuk dari rekayasa di balik Peristiwa 27 Juli 1996. Meski sejumlah<br />

jendral menyangkal keterlibatan Pemerintah di balik peristiwa tersebut<br />

dan menuding sejumlah aktivis yang mendalangi, Thukul yakin bahwa<br />

rakyat sudah cerdas. Rakyat tak bisa ditipu lagi dengan berbagai pidato<br />

dan kebohongan. Berikut puisi yang ditulis Thukul.<br />

ujung rambut ujung kuku<br />

gendang telinga<br />

dan selaput bola mataku<br />

tidak mungkin lupakan kamu<br />

bilur di punggung<br />

104


nyeri di tulang<br />

berhari-hari<br />

darah di helai rambut ujung kuku<br />

dendang telinga<br />

dan selaput bola mataku<br />

telah mengotori namamu<br />

nyeri di tulang<br />

berhari-hari<br />

bilur di punggung<br />

karena sabetan<br />

telah mencoreng namamu<br />

kau tak kan bisa mencuci namamu<br />

sekalipun 1000 mobil pemadam kebakaran<br />

kau kerahkan<br />

kau tak kan bisa mencuci tanganmu<br />

sekalipun 1000 pengeras suara<br />

melipatgandakan pidatomu<br />

suara rakyat adalah suara Tuhan<br />

dan kalian tak bisa membungkam Tuhan<br />

sekalipun kalian memiliki 1.000.000 gudang peluru<br />

Bagi Thukul, selama pelarian, faktor cuaca dinilai menjadi faktor<br />

yang menguntungkan dirinya. Orang-orang yang mencarinya akan<br />

kesulitan melakukan pekerjaannya saat malam tiba. Apalagi bila air<br />

mengucur dari langit dengan derasnya. Cuaca yang buruk dan kegelapan<br />

malam yang pekat adalah selimut bagi persembunyian Thukul. Hujan<br />

juga sepertinya memberikan harapan akan munculnya perubahan.<br />

hujan malam ini turun<br />

untuk melindungiku<br />

intel-intel yang bergaji kecil<br />

105<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

pasti jengkel dengan yang memerintahmu<br />

hujan malam ini turun<br />

untuk melindungiku<br />

agar aku bisa istirahat<br />

agar tenagaku pulih<br />

setelah berhari-hari lelah<br />

agar aku tetap segar<br />

dan menang<br />

hujan malam ini turun<br />

untuk melindungiku<br />

bunyi kodok dan desir angin<br />

membikin pelupuk mataku membesar<br />

aku ngantuk dan ingin tidur<br />

biarlah para serdadu di ibukota<br />

berjaga-jaga dengan senapan M-16nya<br />

biarlah penguasa sibuk sendiri<br />

dengan ketakutannya<br />

karena telah mereka taruh sendiri<br />

bom waktu di mana-mana<br />

mereka menciptakan musuh<br />

dan menembaknya sendiri<br />

mereka menciptakan kerusuhan<br />

demi mengamankannya sendiri<br />

hujan malam ini turun<br />

untuk melindungiku<br />

malam yang gelap ini untukku<br />

malam yang gelap ini selimutku<br />

106


selamat tidur tanah airku<br />

selamat tidur anak-istriku<br />

saatnya akan tiba<br />

akan tiba<br />

bagi merdeka<br />

untuk semua<br />

Thukul merasa dirinya, sebagaimana para aktivis pro-demokrasi<br />

lainnya, harus mampu bertahan, bernafas panjang. Thukul mengajak<br />

rekan-rekannya untuk tidak kalut menghadapi keadaan dan terus<br />

berjuang menghadapi berbagai cobaan yang saat itu datang mendera<br />

mereka.<br />

bernafas panjanglah<br />

jangan ditelan kalut<br />

bernafas panjanglah<br />

jangan dimakan takut<br />

bernafas panjanglah<br />

jangan berlarut-larut<br />

bernafas panjanglah<br />

jangan surut<br />

bernafas panjanglah<br />

walau gelap<br />

bernafas panjanglah<br />

walau pengap<br />

bernafas panjanglah kau, bernafas panjanglah para korban<br />

bernafas panjanglah aku<br />

bernafas panjanglah kalian<br />

bernafas panjanglah semua<br />

bernafas panjanglah<br />

melihat tank-tank dikerahkan<br />

bernafas panjanglah<br />

melihat tentara mondar-mandir<br />

berselendang M-16<br />

107<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

bernafas panjanglah<br />

mendengar para aktivis ditangkapi<br />

bernafas panjanglah<br />

para kambing hitam yang diadili<br />

bernafas panjanglah<br />

dengan pemutar-balikan ini<br />

mereka ingin sejarah dibaca bersih<br />

bagaimana mungkin<br />

jika mereka menulis dengan sobekan daging<br />

laras senapan<br />

dan kubangan darah<br />

baca kembali semuanya<br />

dan bernafas panjanglah<br />

bernafas panjanglah akal<br />

bernafas panjanglah hati<br />

bangun<br />

dan bernafas panjanglah!<br />

Dalam persembunyian yang dilakukannya, Thukul sangat<br />

berdisiplin menjaga diri. Dia sadar bahwa ada banyak orang mengintai<br />

tempat-tempat yang dicurigai. Dia hanya bangun membuka kran air dan<br />

menggunakan toilet saat tuan rumah ada di rumah. Dia tak menyalakan<br />

lampu meski hari telah gelap. Dia lebih memilih menunggu sang pemilik<br />

rumah pulang. Dia diam dalam sunyi. Karena itulah Thukul sangat peka<br />

dengan keadaan sekelilingnya.<br />

di ruang ini yang bernafas cuma aku<br />

cecak dan serangga<br />

air menetes rutin dari kran ke bak mandi<br />

semakin dekat aku dengan detak jantungku<br />

dingin ubin, lubang kunci, pintu tertutup, kurang cahaya<br />

108


kini bagian hidupku sehari-hari<br />

di sini bergema puisi<br />

di antara garis lurus tembok<br />

lengkung meja kursi<br />

dan rumah sepi<br />

puisi yang ditajamkan<br />

pukulan dan aniaya<br />

tangan besi penguasa<br />

Bulan-bulan Agustus minggu kedua, di sekitar tempat Thukul<br />

bersembunyi ia hanya bisa mengamati situasi di luar rumah dengan cara<br />

mengintip melalui lubang kunci. Dia menyaksikan berbagai aktivitas<br />

masyarakat dalam rangka menyambut peringatan Kemerdekaan 17<br />

Agustus.<br />

bulan agustus sudah tiba<br />

penduduk ramai-ramai pasang bendera<br />

tapi aku hanya lihat yang di seberang rumah saja<br />

kuintip dari lubang kunci<br />

sebab aku dikejar-kejar penguasa<br />

sudah puluhan hari aku tak melihat angkasa<br />

kehidupan di sekelilingku kusimak<br />

dari datak-deru dan tawanya<br />

aku tak bisa lihat wujud dan wajahnya<br />

aku ditahan bukan dipenjara<br />

aku disel bukan dibui<br />

sebab kehidupan sehari-hari<br />

adalah penjara nyata<br />

rakyat negeri ini<br />

Thukul juga membaca berita dari koran yang dibawa pulang oleh<br />

teman yang rumahnya diinapinya. Dia juga merasakan di mana-mana<br />

109<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

banyak orang tengah menyambut suasana peringatan kemerdekaan.<br />

Namun Thukul mempertanyaan makna kemerdekaan yang<br />

sesungguhnya. Berikut puisi yang ditulisnya.<br />

sebuah bank<br />

memasang iklan<br />

ukuran setengah halaman koran, teriaknya:<br />

Dirgahayu Republik Indonesia 51 th<br />

dengan huruf kapital<br />

iklan itu juga memekik-mekik:<br />

MERDEKA MERDEKA MERDEKA<br />

sementara itu ratusan aktivis<br />

di daerah dan di ibukota ditangkapi<br />

sebuah iklan<br />

ukuran setengah halaman koran<br />

menggusur kenyataan yang sewenang-wenang<br />

yang seharusnya diberitakan<br />

MERDEKA MERDEKA MERDEKA<br />

siapa yang merdeka?<br />

Kebosanan selama berhari-hari bersembunyi dalam sunyi<br />

dengan membatasi gerak-gerik diri, membuat Thukul merasa bahwa<br />

meski dia berada di sebuah rumah, namun sesungguhnya dia ibarat<br />

berada di penjara. Sebuah hal yang kontras dengan suasana di luar<br />

rumah, di mana ada sejumlah orang tengah berlatih berbaris untuk<br />

upacara 17 Agustusan.<br />

di atas rumah ada burung<br />

ku tahu dari kicaunya<br />

di luar rumah ada orang<br />

kutangkap lagi dari cakap<br />

dan langkah kakinya<br />

110


ini rumah biasa<br />

tak beda penjara<br />

tadi pagi kubaca di koran<br />

kabar penangkapan-penangkapan<br />

tapi sore ini<br />

ku dengar di jalan<br />

orang latihan baris-berbaris<br />

untuk merayakan hari kemerdekaan<br />

Dari balik kain gorden rumah persembunyian, Thukul<br />

tampaknya berkesempatan mencuri-curi lesempatan untuk mengintip<br />

pemandangan di luar rumah. Ia menyaksikan pemandangan indah di<br />

pagi hari. Indahnya sebuah pagi, tapi menurut Thukul akan lebih indah<br />

lagi bila negeri ini terbebas dari ganasnya kuasa tirani. Berikut sebuah<br />

puisi berjudul ”Bagi Siapa Kalian Memetik Panenan”.<br />

Bagi Siapa Kalian Memetik Panenan<br />

pagi dingin<br />

udara masih mengandung embun<br />

bukit-bukit di kejauhan<br />

disaput arak-arakan halimun<br />

matahari terbnit<br />

sempurna bulat merah setampah di langit<br />

batang-batang pohon besar dan cabang-cabangnya<br />

seperti ratusan penari<br />

yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi<br />

kususuri keheningan ini<br />

sendiri<br />

jilatan matahari<br />

segarnya udara pagi<br />

alangkah indah negri ini<br />

andai lepas dari masa ganas tirani<br />

111<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

Di balik rasa percaya diri akan keamanan yang melingkupinya,<br />

Thukul sepertinya merasa kesepian. Ia juga merasa bahwa ia harus<br />

bergegas berpindah dan tak bisa berlama-lama di tempat<br />

”penampungan” saat itu. Meski ia merasa nyaman dengan kesunyian<br />

yang melingkupinya, ia lebih memilih menghindari penangkapan.<br />

Berikut puisi yang ditulisnya.<br />

nonstop 24 jam<br />

yang berkuasa di sini<br />

adalah cahaya<br />

saban pagi ia membuat garis-garis lurus<br />

di sekitar jendela<br />

gambar motif gorden tampak jelas<br />

coklat hitam dan putihnya<br />

lalu pada sore hari<br />

ia mengubah warna langit-langit<br />

sudut-sudut tembok<br />

bidang ubin dan susunan benda-benda<br />

yang ada di dalamnya<br />

dan bila malam tiba<br />

telapak kakiku diberinya mata<br />

demikian pula punggung tangan<br />

dan jari-jarinya<br />

saat aku terbaring<br />

serasa yang ada<br />

cuma desir angin<br />

detak jantung<br />

tulang-tulang<br />

dan hembusan nafasku saja<br />

tapi aku harus pergi<br />

dari kesunyian ini<br />

sebelum penguasa merenggut<br />

aku dan damai ini<br />

112


Wiji Thukul memang kemudian memutuskan pergi dari tempat<br />

persembunyian, tempat menuliskan semua puisinya ini. Dia terus<br />

berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Setelah Peristiwa 27 Juli 1996<br />

hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk<br />

Thukul. Sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April 1998.<br />

Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000. Keluarganya<br />

7<br />

melaporkan hilang pada April 2000, sampai saat ini keberadaannya<br />

masih tetap misteri.<br />

Hingga sekarang Widji Thukul tidak diketahui nasibnya, apakah<br />

ia sudah meninggal atau berada di suatu tempat. Puisi dan karyakaryanya<br />

masih dibaca orang. Pada Agustus 2009, DPR menyetujui<br />

rekomendasi Pansus DPR tentang penghilangan orang secara paksa<br />

untuk meminta Presiden RI agar segera mengeluarkan Keppres<br />

pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc. DPR juga setuju dengan<br />

permintaan Komnas HAM agar Kepolisian Republik Indonesia segera<br />

mencari dan menemukan Wiji Thukul beserta 12 orang lain yang<br />

dinyatakan hilang, dalam keadaan hidup ataupun mati.<br />

113<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012<br />

7. Hilangnya Wiji Thukul pada sekitar Maret 1998 menurut KontraS diduga kuat berkaitan dengan aktivitas<br />

yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif yang<br />

dilakukan oleh rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde<br />

Baru. Operasi pembersihan tersebut hampir merata dilakukan diseluruh wilayah Indonesia. Kita mencatat<br />

dalam berbagai operasi, rezim Orde Baru juga melakukan penculikan terhadap para aktivis (22 orang)<br />

yang hingga saat ini 13 orang belum kembali. Lihat: Siaran Pers KontraS No: 7/SP-KONTRAS/II/2000<br />

tentang Hilangnya Wiji Thukul.


TINJAUAN


”Mengindonesiakan”<br />

Anak Timor Leste<br />

Razif<br />

Judul : Making Them<br />

Indonesians: Child<br />

Transfers out of East<br />

Timor<br />

Penulis : Helene van Klinken<br />

Penerbit : Victoria: Monash<br />

University, 2012<br />

Kolasi : 252 hal<br />

ISBN : 9781876924072<br />

Sejak abad ke-20 dan memasuki 21 setiap peperangan dan konflik<br />

bersenjata yang terjadi di muka bumi senantiasa melibatkan anak.<br />

Sepanjang Perang Dunia II, menurut sejarawan Peter Stearns, paling<br />

tidak satu setengah juta anak hilang dan mati terbunuh. Di Eropa dan<br />

Asia, anak-anak yang dilibatkan dalam perang tersebut adalah anak-anak<br />

1<br />

dari keturunan Yahudi.<br />

Militer Nazi sebagai dalang pembunuhan anak terbesar<br />

sepanjang Perang Dunia II berkeyakinan bahwa anak-anak Yahudi perlu<br />

dibunuh agar di masa depan keturunan mereka dapat dihambat.<br />

Kejahatan yang sama terjadi di Argentina selama periode ”Dirty War”<br />

1976-1983. Anak dan bayi yang diduga keturunan aktivis gerakan kiri<br />

diculik oleh penguasa militer Argentina dengan maksud untuk dididik<br />

1. Peter Stearns menegaskan bahwa peperangan atau konflik yang melibatkan anak-anak dengan tujuan<br />

untuk menaklukkan orang tuanya. Lihat, Peter. N. Stearns. Childhood in World History. (New York:<br />

Routledge, 2011), hlm. 147.<br />

117


TINJAUAN<br />

”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste<br />

dan diurus tentara supaya ketika dewasa tidak seperti orang tuanya yang<br />

radikal dan pembangkang.<br />

Tak hanya berlangsung di negara yang mengalami peperangan,<br />

tampaknya metode serupa dilakukan oleh negara-negara yang memiliki<br />

kompleksitas isu etnis, seperti Australia. Di Negeri Kanguru itu pada<br />

paruh abad 20 terjadi pengambil-alihan anak-anak bumiputera aborigin<br />

Australia oleh orang-orang kulit putih. Tujuan pengambilan paksa ini<br />

agar anak-anak tersebut mendapatkan pendidikan yang 'superior', dan<br />

dijauhkan dari keterbelakangan kebudayaan orang tuanya.<br />

Pemerintahan Orde Baru Soeharto pernah melakukan kebijakan<br />

migrasi paksa terhadap anak tatkala menginvasi Timor Leste. Sepanjang<br />

masa invasi sejak 1976 hingga 1999 berlangsung pemindahan anak<br />

Timor Leste ke Indonesia. Pemindahan anak Timor Leste itu dianggap<br />

sebagai bagian dari proyek kebudayaan yang dilakukan oleh rezim Orde<br />

Baru untuk membuat mereka Indonesia. Buku yang disusun oleh<br />

Helene Van Klinken berjudul Making Them Indonesians ini menceritakan<br />

pengambilan paksa anak-anak Timor Leste ke Indonesia itu.<br />

Pesan kuat buku ini tergambar melalui kulit muka buku berupa<br />

foto Presiden Soeharto dan Nyonya Tien Soeharto beserta anak-anak<br />

Timor Leste yang sedang berkunjung ke Istana Presiden di Jalan<br />

Cendana, Jakarta Pusat. Anak-anak Timor Leste itu dianggap sebagai<br />

”anak presiden”. Mereka disekolahkan dan diurus dengan tanggungan<br />

biaya oleh Yayasan Dharmais milik keluarga Soeharto.<br />

Pada tahun 1986 diperkirakan jumlah anak Timor Leste yang<br />

dibawa ke Indonesia mencapai 40.000 orang lebih (hlm. xxvi). Hasil<br />

perhitungan itu merupakan jumlah besar.<br />

Buku ini sejatinya merupakan disertasi Helen di Universitas<br />

Queensland, Brisbane, Australia. Penyusunannya menggunakan<br />

pendekatan sejarah lisan. Melalui metode tersebut Helen berupaya<br />

merekonstruksi proses pemindahan anak-anak Timor Leste ke<br />

Indonesia.<br />

Sejarah Pengambilan Anak Timor Leste<br />

Penelitian Helen berangkat dari digelarnya Komisi Penerimaan,<br />

Kebenaran dan Rekonsialiasi Timor Leste (CAVR) tahun 2003. Dia<br />

melakukan serangkaian wawancara baik dengan korban yakni yang<br />

waktu lampau masih anak-anak maupun dengan pelaku—perwira<br />

118


tentara, pegawai negeri, rumah yatim piatu, pengurus gereja, masjid, dan<br />

yayasan Islam. Awalnya anak-anak yang dipindahkan ke Indonesia<br />

adalah anak yatim piatu dari kalangan Apodeti dan UDT.<br />

Pemindahan anak-anak Timor Leste ke Indonesia berlangsung<br />

secara sistematis, dan tentu pemindahan tersebut melibatkan negara.<br />

Kenapa negara begitu berkepentingan untuk memindahkan anak Timor<br />

Leste ke Indonesia? Juga, institusi-institusi apa saja yang terlibat?<br />

Di Timor Leste pada masa Portugis telah berdiri sebuah rumah<br />

yatim piatu. Pada awal pendudukan Indonesia mulai 1976-1977 rumah<br />

yatim piatu itu diurus oleh pasukan Brawijaya. Pada paruh 1977 tentara<br />

menyerahkan pengelolaannya pada Dinas Sosial. Penyerahan itu<br />

bersamaan dengan diproklamasikannya Timor-Timur sebagai provinsi<br />

ke-27 Indonesia.<br />

Pada tahun yang sama berdiri Yayasan Dharmais di bawah<br />

kendali keluarga Soeharto. Yayasan ini dipersiapkan untuk menyambut<br />

20 anak Timor-Timur yang dipindahkan ke Jawa Tengah. Mereka<br />

ditampung di S.T. Thomas, Semarang. Biaya sekolah, makan, seragam<br />

dan lain-lain dibiayai oleh Yayasan Dharmais. Namun, terungkap dari<br />

wawancara Helen bahwa banyak komponen biaya yang tidak dibayarkan<br />

oleh Yayasan Dharmais.<br />

Institusi lain yang terlibat dalam pemindahan anak Timor Leste<br />

adalah Kinderdof yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Organisasi ini<br />

mempunyai jaringan internasional dalam mengurus anak-anak yatim<br />

piatu. Awalnya, Kinderdof diperuntukkan bagi keluarga Apodeti dan<br />

UDT Kepanjangannya? saja. Kinderdof menggunakan perawat khusus<br />

untuk mengurus anak-anak. Itu sebabnya ia dianggap sebagai tempat<br />

penampungan anak kelas satu. Tempat ini dilengkapi pula dengan<br />

pendidikan sekolah.<br />

Institusi lain yang terlibat adalah Panti Penyantunan Anak<br />

Taruna Negara (PPATN). PPATN berlokasi di Bandung dijalankan oleh<br />

Departemen Sosial. Pemindahan anak Timor Leste diperankan pula<br />

oleh misi Islam untuk memperluas pengaruhnya di ruang teritorial<br />

provinsi baru itu. Masuknya Islam ke Timor-Timur bermula dari tentara.<br />

Banyak anggota militer baik perwira maupun prajurit menjadi anggota<br />

Rawatan Rohani Islam.<br />

Keterlibatan tentara dalam islamisasi pada masa awal invasi<br />

Indonesia di Timor-Timur, melempangkan jalan bagi Dewan Dakwah<br />

119<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


TINJAUAN<br />

”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste<br />

Islamiyah Indonesia (DDII) untuk mengembangkan sayap di sana.<br />

Mereka membangun sekolah Islam dan langgar. Akan tetapi islamisasi<br />

oleh DDII tidak berlangsung mulus. Terjadi perlawanan terhadap<br />

pembangunan sarana ibadah tersebut yang membuat DDII<br />

memutuskan untuk mengirim anak-anak Timor-Timur ke Indonesia<br />

untuk dididik.<br />

Pada 1982, DDII mendirikan Yayasan Kesejahteraan Islam<br />

Nasrullah (Yakin), organisasi yang kelak menyebarkan anak-anak Timor<br />

Leste ke pesantren-pesantren di Jawa Barat dan Sulawesi. Dalam<br />

pengiriman anak itu, Yakin dibantu oleh militer, Departemen Agama,<br />

dan keluarga Arab Timor-Timur berdomisili di kampung Alor, Dili<br />

Barat. Motivasi Yakin mengirim anak-anak itu ke Indonesia agar setelah<br />

mereka selesai pendidikan sekolah pesantren dapat menjadi guru dan<br />

pendakwah di Timor Leste.<br />

Proses Pemindahan Anak dari Timor Leste ke Indonesia<br />

Bagaimana proses pengambilan anak-anak itu terjadi? Dalam<br />

menjelaskan proses pemindahan anak-anak Timor Leste, terdapat<br />

empat sasaran kelompok anak yang dipindahkan ke Indonesia. Ini<br />

persepsi Helene sebagaimana ditulis di buku? Atau opini pribadi?<br />

Pertama, anak-anak di wilayah pertempuran tahun 1976-1978<br />

saat tentara Indonesia melakukan operasi pengepungan dan<br />

pemusnahan di basis-basis perlawanan Timor Leste. Operasi militer<br />

Indonesia awal-awal masa invasi itu banyak menelan korban perempuan<br />

dan anak-anak. Mereka terpaksa turun dari pegunungan menyerah.<br />

Mereka kelaparan dan kekurangan obat-obatan.<br />

Banyak anak-anak itu kemudian dibawa ke Indonesia ketika<br />

prajurit pulang kampung. Mereka dititipkan terlebih dulu di rumah<br />

yatim-piatu Seroja. Dalam situasi seperti ini anak-anak itu dianggap telah<br />

yatim piatu dan hidup dalam kemiskinan.<br />

Kedua, anak-anak yang berada di kamp-kamp penahanan yang<br />

tinggal bersama orang tua atau dengan walinya—biasanya paman—dan<br />

orang dewasa lainnya. Anak-anak itu hidup miskin dan kekurangan<br />

makanan. Biasanya tentara memberikan makanan dan pakaian. Ketika<br />

tentara habis masa tugasnya, anak-anak itu dibawa ke Indonesia.<br />

Ketiga, anak-anak yang menjadi Tenaga Bantuan Operasi<br />

(TBO). Biasanya anak-anak yang menjadi TBO berumur 8-13 tahun.<br />

120


Pekerjaan mereka membawa barang-barang, alat-alat dan juga mengisi<br />

amunisi senjata saat melakukan pertempuran dengan gerakan<br />

perlawanan.<br />

Anak-anak yang dipekerjakan sebagai TBO tidak mendapatkan<br />

upah. Mereka seperti budak. Mereka hanya mendapatkan makan.<br />

Padahal dalam prosedur ketentaraan, anak-anak TBO harus<br />

dikembalikan lagi ke orang tua dan bersekolah. Tujuan para perwira<br />

tentara membawa anak-anak bekas TBO agar mereka dapat dididik<br />

untuk menjadi Indones yang pro-integrasi.<br />

Keempat, anak-anak pejuang gerilyawan dari Falintil menjadi<br />

sasaran tentara untuk dibawa ke Indonesia. Di kalangan elit tentara<br />

Indonesia ada imajinasi untuk menaklukkan musuh, keturunannya perlu<br />

dipurifikasi. Tentara memilih anak-anak berkulit bersih bersinar yang<br />

dibawa ke Indonesia, seperti kepercayaaan kolonialis Eropa awal abad 20<br />

yang membawa anak-anak mestizo dari musuh yang dijajah.<br />

Motivasi Pemindahan<br />

Motivasi tentara membawa anak-anak Timor Leste ke Indonesia sangat<br />

beragam. Namun bila ditelisik motivasi utamanya bertujuan untuk<br />

menaklukkan perjuangan orang tua mereka yang anti-integrasi. Anakanak<br />

Timor Leste itu diperadabkan dan menjadi patuh.<br />

Selain itu, pemindahan anak oleh tentara ke Indonesia dapat juga<br />

dilihat sebagai bentuk penyanderaan. Tentara Indonesia berpikir jika<br />

anak-anak Timor Leste disandera maka pejuang Timor Leste mau<br />

berintegrasi dengan Indonesia.<br />

Hampir seluruh anak yang dibawa ke Indonesia baik oleh tentara<br />

maupun lembaga pemerintah Orde Baru dipaksa menghapus identitas<br />

ke ”timorlesteannya”. Rata-rata orang tua angkat yang notabene orang<br />

Indonesia menyembunyikan fakta bahwa anak itu berasal dari Timor<br />

Leste. Misalkan saja, anak yang diangkat dipaksa menganut agama orang<br />

tua angkat dan mengganti namanya menjadi berbau ”Indonesia”.<br />

Tentara-tentara Indonesia jarang yang menepati janji untuk<br />

mengembalikan anak ke orang tua atau wali setelah tamat sekolah. Dari<br />

tindakan ini terlihat jika tentara menjadikan pengambilan anak dari pihak<br />

lawan sebagai bagian dari strategi perang.<br />

Rezim Orde Baru menganggap pemindahan anak Timor Leste<br />

merupakan simbol integrasi. Negara berkepentingan untuk mengubah<br />

121<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


TINJAUAN<br />

”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste<br />

kebudayaan dan identitas anak itu. Mereka sehari-hari menggunakan<br />

bahasa daerah Jawa, jika tinggal di Jawa Tengah, dan berbahasa Sunda<br />

bila tinggal di Jawa Barat. Mereka berbicara di depan kelas atau<br />

berdiskusi dengan bahasa Indonesia dan menyanyikan lagu kebangsaan<br />

Indonesia. Intinya mereka bersekolah di Indonesia dipaksa untuk<br />

menjadi orang Indonesia.<br />

Dalam penyusunan buku ini Helen menggunakan dokumendokumen<br />

terkait dari Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja<br />

dan lain-lain. Menurut penelitian Helen, anak-anak Timor Leste yang<br />

dibawa ke Indonesia berumur antara 2 hingga 10 tahun, dan ada yang<br />

berumur belasan tahun. Anak di bawah umur 10 tahun digemari untuk<br />

dibawa oleh pelaku karena mudah dipengaruhi.<br />

Penutup<br />

Tanpa disadari tindakan rezim Orde Baru mendukung pemindahan anak<br />

adalah melanggar salah satu poin Convention Genocide (pemusnahan) PBB<br />

tahun 1951. Anak-anak adalah sumber penting untuk menyambung<br />

nilai-nilai kebudayaan dari suatu kelompok bangsa. Asumsinya bila<br />

anak-anak dalam satu periode perjalanan bangsa banyak hilang, maka<br />

bangsa itu mengalami hambatan dalam perkembangan.<br />

Anak-anak yang dibawa baik oleh individu maupun institusi<br />

yang didukung negara tidak memperhatikan faktor kejiwaan atau<br />

psikologis anak-anak itu. Banyak orang tua mati terbunuh atau dianiaya<br />

disaksikan oleh anak-anak itu. Faktor yang mencekam itu berada dalam<br />

benak anak tanpa pernah diperhatikan oleh pihak pelaku.<br />

Memasuki tahun 2003 Pemerintah Indonesia mengumumkan<br />

penghapusan status pengungsi bagi warga Timor Leste. Pengumuman<br />

itu mempunyai arti anak-anak yang dibawa mempunyai kesempatan<br />

untuk bisa bergabung kembali ke Timor Leste. Mereka yang diambil<br />

paksa masa itu sekarang sudah dewasa. Ada yang kembali ke Timor<br />

Leste, ada yang tidak.<br />

Salah satu anak yang menjadi korban tersebut adalah Biliki.<br />

Perempuan ini telah menikah dengan seorang tentara di Jakarta dan<br />

mempunyai tiga orang anak. Biliki berkesempatan untuk kembali<br />

sementara ke Dili saat memberikan kesaksian di CAVR. Anak korban<br />

pengambilan lainnya adalah Petrus Kanisius. Beda dengan Biliki, Petrus<br />

menyatakan pulang ke Timor Leste. Sekarang ini dia telah diangkat<br />

122


menjadi kepala sekolah SMA di Dili.<br />

Hampir rata-rata anak-anak itu telah dipisahkan dari ranah<br />

kebudayaan mereka selama 18 tahun dan bahkan lebih dari itu. Mereka<br />

sudah tidak memahami bahasa, dan adat istiadat. Anak-anak yang<br />

kembali harus mengikuti upacara adat karena mereka dianggap telah<br />

mati.<br />

Namun, banyak anak-anak yang belum kembali atau tidak bisa<br />

kembali karena telah kawin-mawin di Indonesia. Sejarah sosial<br />

pemindahan anak-anak Timor Leste sebuah cerita yang unik. Narasi itu<br />

belum banyak diketahui oleh publik di Indonesia dan Timor Leste.<br />

Untuk memperluas penyebaran kisah itu buku ini perlu diterjemahkan<br />

ke dalam kedua bahasa: Indonesia dan Tetun, Timor Leste.<br />

123<br />

dignitas<br />

Volume VIII No. 1 Tahun 2012


KONTRIBUTOR


KONTRIBUTOR<br />

Razif<br />

Sejarahwan, aktif di Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), mempunyai<br />

kepedulian pada sejarah hubungan kerja dan juga masalah ingatan sosial.<br />

Saat ini ia sedang menyelesaikan penelitian bersama ELSAM tentang<br />

pola penghilangan paksa di Indonesia.<br />

Agung Putri Astrid<br />

Pekerja HAM, anggota Perkumpulan dan mantan Direktur Eksekutif<br />

ELSAM, koordinator ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus<br />

(AIPMC). Putri juga penggagas sekaligus penggerak Pertemuan Korban<br />

Orde Baru, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Relawan Penggerak<br />

Jakarta Baru (RPJB), dan alumnus Institute of Social Studies (ISS), Den<br />

Haag, Belanda.<br />

Budiawan<br />

Staf pengajar Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah<br />

Pascasarjana UGM. Ia memperoleh gelar PhD di bidang Kajian Asia<br />

Tenggara, National University of Singapore, 2003. Aktif menulis opini<br />

tentang masa lalu dan pelanggaran hak asasi manusia.<br />

Stanley Adi Prasetyo<br />

Menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas HAM periode 2007-2012, aktif<br />

dalam gerakan sosial sejak di bangku kuliah di Universitas Satya Wacana<br />

Salatiga pada awal 1980an. Terlibat pula dalam sejumlah organisasiorganisasi<br />

yang bergerak dalam isu hak asasi manusia, seperti ELSAM,<br />

Demos, dan Institut Studi Arus Informasi (ISAI).<br />

Herry Sucipto<br />

Staf Ahli Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI<br />

Hajriyanto Y. Thohari<br />

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Periode 2009-<br />

2012, terpilih sebagai Anggota DPR dari daerah pemilihan IV Jawa<br />

Tengah.<br />

127


Zainal Abidin<br />

Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),<br />

alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), dan terlibat<br />

dalam advokasi ICC bersama sejumlah aktivis hak asasi manusia lain.<br />

Otto Syamsuddin Ishak<br />

Terlahir di Yogyakarta tahun 1959, meraih doktor di bidang sosiologi<br />

dari Universitas Indonesia (2011) dengan judul disertasi, Aceh Pasca<br />

Konflik: Arena Kontestasi 3 Varian Nasionalisme. Gelar master di<br />

bidang sosiologi dan sarjana geografi diraih dari Universitas Gadjah<br />

Mada (1995 dan 1987). Sejak 1989 tercatat sebagai dosen pada<br />

Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh.<br />

128


PEDOMAN PENULISAN JURNAL<br />

Redaksi Jurnal Dignitas menerima kiriman tulisan dengan pedoman<br />

sebagai berikut:<br />

�Jurnal ini mengutamakan penulisan artikel dengan gaya bahasa yang<br />

sederhana, mudah dicerna, dan tidak rumit. Ini diterapkan agar<br />

tulisan dapat dipahami oleh kalangan yang lebih luas, tidak cuma<br />

kalangan hukum saja.<br />

�Audiens jurnal ini mencakup juga masyarakat nonhukum yang<br />

memiliki perhatian luas tentang hukum dan dinamikanya. Hukum<br />

mengandung kosakata yang khusus, kaku, mungkin juga tertutup,<br />

yang hanya dimengerti oleh kalangan hukum saja. Kata-kata seperti<br />

retroaktif, susah dimengerti oleh masyarakat nonhukum. Sehingga<br />

kata-kata yang sekiranya rumit dimengerti masyarakat nonhukum<br />

perlu diberi penjelasannya supaya mudah dipahami.<br />

�Tiap kosakata asing diusahakan dicari padanannya dalam bahasa<br />

Indonesia, kecuali untuk jurnal edisi bahasa Inggris. Contoh: by<br />

ommission, maka diganti atau ditambahi keterangan pembiaran.<br />

Namun, jika tak ada, atau susah menemukannya dalam bahasa<br />

Indonesia, tak masalah.<br />

�Pada dasarnya, jurnal ini semi akademis. Tak terlalu ketat dalam<br />

penggunaan metodologi maupun pemakaian kosakata ilmiah.<br />

Penulisannya naratif, diawali dengan abstraksi tulisan. Tulisan harus<br />

fokus pada masalah tanpa melebarkan pembahasan.<br />

�Panjang tulisan semua rubrik, FOKUS, DISKURSUS, OASE sekitar<br />

20.000-23.000 karakter, kecuali TINJAUAN. Sedang untuk rubrik<br />

TINJAUAN mengulas buku atau kumpulan buku, film, karya sastra,<br />

pertunjukan kesenian, panjangnya antara 10.000 – 13.000 karakter.<br />

- Kami menerima tulisan dengan sumber catatan kaki atau<br />

footnote, bukan catatan akhir atau endnote dan catatan<br />

perut.<br />

- Contoh catatan kaki untuk sumber buku:<br />

Yando Zakaria, Abih Tandeh, Cetakan Pertama,<br />

(Jakarta: Elsam, 2000), halaman 143.<br />

- Contoh catatan kaki untuk sumber kolom, makalah, atau<br />

kumpulan tulisan:<br />

129


- Moh. Mahfud MD, ”Komisi Yudisial dalam Mozaik<br />

Ketatanegaraan Kita”, dikutip dalam Bunga Rampai Komisi<br />

Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial,<br />

2007), hal 7.<br />

�Tulisan disertai daftar pustaka dengan format, sebagai contoh:<br />

- Daniel Dhakidae. Cendekiawan dalam Kekuasaan Negara<br />

Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.<br />

�Kami menggunakan pedoman penulisan yang lazim digunakan<br />

pelbagai jurnal atau majalah. Penyebutan nama surat kabar, majalah,<br />

judul buku, atau media terbitan lainnya dicetak miring. Misal, Majalah<br />

Time dijatuhi denda Rp 1 trilyun oleh Mahkamah Agung atas kasus<br />

gugatan Suharto.<br />

�Sedang untuk judul artikel diberi tanda kutip [”….”]. Seperti contoh:<br />

Pengadilan, menurut Satjipto Rahardjo dalam tulisannya berjudul<br />

”Pengadilan Sang Pemenang”, tak akan pernah berhenti menjadi<br />

institut perang antara keangkaramurkaan dan kebaikan-keadilan.<br />

Kirimkan naskah Anda dalam bentuk softcopy dikirimkan ke alamat email<br />

office@elsam.or.id dengan melampirkan biodata. Redaksi menyediakan<br />

honorarium yang pantas untuk tulisan yang dimuat.<br />

130


PROFIL ELSAM<br />

(LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT)<br />

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and<br />

Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan,<br />

berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta.<br />

Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan,<br />

memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi<br />

manusia pada umumnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi<br />

UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan<br />

Bangsa-Bangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah<br />

membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui<br />

pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi<br />

manusia (HAM).<br />

VISI<br />

Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis,<br />

berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia.<br />

MISI<br />

Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang<br />

memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipil-politik maupun hak<br />

ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan.<br />

KEGIATAN UTAMA:<br />

1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia;<br />

2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya;<br />

3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan<br />

4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia<br />

PROGRAM KERJA:<br />

1. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Rangka<br />

Mewujudkan Demokrasi dan Sistem Hukum yang Berkeadilan.<br />

2. Penguatan Perlindungan HAM dari Ancaman Fundamentalisme<br />

Pasar, Fundamentalisme Agama, dan Komunalisme dalam Berbagai<br />

Bentuknya.<br />

3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan<br />

Kelembagaan, Penguatan Kapasitas dan Akuntabilitas dan<br />

Akuntabilitas Lembaga.<br />

131


Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM<br />

Badan Pengurus:<br />

Ketua: Sandra Moniaga, SH<br />

Wakil Ketua: Ifdhal Kasim, SH<br />

Sekretaris: Roichatul Aswidah, S.Sos, MA<br />

Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, MA<br />

Bendahara II : Abdul Haris Semendawai, SH, LLM<br />

Anggota Perkumpulan:<br />

Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Dra. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir.<br />

Agustinus Rumansara, M.Sc.; Francisia Sika Ery Seda; Hadimulyo; Lies Marcoes, MA;<br />

Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; Maria Hartiningsih; E. Rini<br />

Pratsnawati; Raharja Waluya Jati; Sentot Setyasiswanto S.Sos; Toegiran S.Pd;<br />

Herlambang Perdana SH, MA.; Ir. Yosep Adi Prasetyo<br />

Pelaksana Harian:<br />

Direktur Eksekutif: Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH. LLM<br />

Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan dan Plt Kepala Divisi Advokasi<br />

Hukum: Wahyu Wagiman SH.<br />

Deputi Direktur Pengembangan sumber daya HAM ( PSDHAM) dan Plt Kepala Divisi<br />

Monitoring Kebijakan dan Pengembangan Jaringan: Zainal Abidin, SH<br />

Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan: Otto Adi Yulianto, SE<br />

Kepala Divisi Kampanye dan Kerjasama Internasional:<br />

Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi: Triana Dyah, SS<br />

Staf Pelaksana Program bidang Advokasi Hukum:<br />

Ikhana Indah Barnasaputri,SH; Andi Muttaqien, SH<br />

Staf Senior Pelaksana Program Bidang Monitoring Kebijakan & Pengembangan Jaringan:<br />

E. Rini Pratsnawati<br />

Staf Pelaksana Program bidang Monitoring Kebijakan & Pengembangan Jaringan:<br />

Wahyudi Djafar, SH<br />

Staf Pelaksana Program bidang Informasi dan Dokumentasi:<br />

Paijo, Sukadi, Ari Yurino<br />

Staf Keuangan:<br />

Rina Erayanti (Pjs.); Elisabet Maria Sagala, SE<br />

Kasir:<br />

Maria Ririhena, SE<br />

Sekretaris:<br />

Yohanna Kuncup Yanuar Prastiwi, SS<br />

Kepala bagian umum:<br />

Khumaedy<br />

Staf bagian rumah tangga:<br />

Siti Mariatul Qibtiyah; Kosim<br />

Staf bagian transportasi:<br />

Ahmad Muzani<br />

Staf bagian keamanan:<br />

Elly F. Pangemanan<br />

Alamat:<br />

Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 INDONESIA<br />

Tel.: (+62 21) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Fax.: (+62 21) 7919 2519<br />

Email: office@elsam.or.id; Website: www.elsam.or.id<br />

132


FOKUS<br />

Drama Abadi Pembajakan Demokrasi demi Masa Lalu<br />

oleh Agung Putri Astrid<br />

Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh<br />

oleh Otto Syamsuddin Ishak<br />

Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi<br />

oleh Budiawan<br />

DISKURSUS<br />

Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia<br />

dan Negara-negara Lain<br />

oleh Zainal Abidin<br />

Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu<br />

oleh Herry Sucipto dan Hajriyanto Y. Thohari<br />

OASE<br />

Puisi Pelarian Wiji Thukul<br />

oleh Stanley Adi Prasetyo<br />

TINJAUAN<br />

”Mengindonesiakan” Anak Timor Leste<br />

oleh Razif

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!