Mengabdi dan Melayani Desa "Mutiara Pembelajaran Pengabdian Kepada Masyarakat dari Kampus Desa"
Tulisan saya ada pada Bab 5 dengan Judul "Kemitraan CSR dan Kemajuan Desa" Buku ini bercerita tentang pengalaman empirik pengabdian masyarakat oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogyakarta. Ditulis oleh Yonatan Hans Luter Lopo, Mohamad Firdaus, Irsasri, Fatih Gama Abisono Reiki Nauli Harahap, Siti Sumaryatiningsih, Rema Marina, Aulia Widya Sakina, Hery Purnomo, Minardi, Kanita Khoirun Nisa.
Tulisan saya ada pada Bab 5 dengan Judul "Kemitraan CSR dan Kemajuan Desa"
Buku ini bercerita tentang pengalaman empirik pengabdian masyarakat oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogyakarta. Ditulis oleh Yonatan Hans Luter Lopo, Mohamad Firdaus, Irsasri, Fatih Gama Abisono Reiki Nauli Harahap, Siti Sumaryatiningsih, Rema Marina, Aulia Widya Sakina, Hery Purnomo, Minardi, Kanita Khoirun Nisa.
- No tags were found...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Mutiara Pembelajaran Pengabdian Kepada Masyarakat dari Kampus Desa
Penulis:
Yonatan Hans Luter Lopo, Mohamad Firdaus, Irsasri, Fatih Gama Abisono
Reiki Nauli Harahap, Siti Sumaryatiningsih, Rema Marina, Aulia Widya Sakina
Hery Purnomo, Minardi, Kanita Khoirun Nisa
Prolog: Sutoro Eko
Editor: Fatih Gama Abisono
Co-editor: Yonatan Luther Lopo
Epilog: Gregorius Sahdan
Editor Bahasa: Irsasri
Desain Sampul: Reiki Nauli Harahap
Penerbit:
APMD Press
Jln. Timoho 317 Yogyakarta 55225
Cetakan Pertama 2020
xiv+194 hlm., 14,8 x 21 cm
ISBN: 978-623-91597-1-9
Hak cipta dilindungi undang-undang
(all rights reserved)
KATA PENGANTAR
EDITOR
Sebagai komunitas akademik yang corncern pada Desa,
STPMD “APMD” telah meniti perjalanan sangat panjang di bidang
pengabdian kepada masyarakat, terutama Desa. Sayangnya,
karya-karya pengabdian yang telah dihadirkan belum terarsip,
belum terdokumentasi dengan memadai. Banyak karya-karya
pengabdian hanya menjadi laporan pengabdian dan hanya
menghuni sudut-sudut perpustakaan tanpa makna. Ringkasnya,
karya-karya pengabdian tersebut belum sepenuhnya ditempatkan
menjadi kekayaan lembaga. Padahal, karya-karya pengabdian
tersebut mengandung khazanah pengetahuan bagi transformasi
sosial.
Buku yang ada di hadapan sidang pembaca adalah hasil
dari ikhtiar kami, civitas akademika STPMD “APMD”, untuk
mendokumentasikan karya-karya pengabdian kepada masyarakat.
Upaya mendokumentasi atau mengarsip karya-karya pengabdian
ini memuat misi melakukan penelusuran: telah sejauh mana
pengabdian masyarakat oleh komunitas STPMD “APMD”
memberikan dampak perubahan bermakna bagi masyarakat dan
Desa. Dari penelusuran yang telah dilakukan oleh tim penulis,
ternyata aktivitas pengabdian oleh komunitas STPMD “APMD”
banyak memberikan warna terhadap perubahan sosial masyarakat,
terutama Desa.
55 TAHUN STPMD “APMD”
iii
Melalui berbagai tema dan isu, karya-karya pengabdian
masyarakat dari kampus desa telah merambah pada berbagai
aras. Karya-karya tersebut telah menjangkau baik menghasilkan
ilmu transformatif, mengkonsolidasi advokasi kebijakan, serta
mendorong gerakan atau aksi kolektif warga bagi tata kehidupan
publik yang lebih adil, sejahtera dan demokratis. Di samping itu,
karya-karya pengabdian komunitas akademik STPMD “APMD”
juga menghasilkan abstraksi tentang pengetahuan yang bukan saja
ilmiah namun juga amaliyah. Tidak ditemukan gagasan dalam
karya-karya pengabdian tersebut yang memisahkan antara teori
dan praktik, ilmu dan amal. Seluruhnya jumbuh dalam praktikpraktik
pengabdian kepada masyarakat.
Lahirnya buku ini sekaligus juga menerbitkan harapan, agar
upaya dokumentasi karya pengabdian menjadi tradisi pada tahuntahun
mendatang. Melalui dolumentasi, tentu dapat menarik
mutiara pembelajaran dari setiap langkah pengabdian yang
telah kami lakukan. Lahir dari proses “hiruk-pikuk” di tengah
menyiapkan perayaan Dies Natalis STPMD “APMD” ke-55, buku
ini diharapkan menjadi tonggak bagi kampus desa untuk terus
menegaskan posisinya membela desa, lokal, dan pinggiran.
Proses penerbitan buku ini juga tidak lepas dari kerja keras
energi muda, para dosen muda di lingkungan STPMD “APMD”.
Dari tangan merekalah, berbagai bahan penulisan buku ini
diracik, diramu, dan disajikan. Mengumpulkan cerita dari para
pelaku pengabdian, mewawancarai para mitra dan jejaring
kerja, membaca laporan karya-karya pengabdian adalah bagian
dinamika penyusunan buku ini. Dalam kurun waktu kurang dari
tiga minggu, naskah final buku ini pun siap untuk diterbitkan
menjadi publikasi.
Untuk itu kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
pada tim penulis buku. Apresiasi secara khusus, kami haturkan
pada dua orang penulis yakni Yonatan Luther Lopo yang telah
bersedia menjadi co-editor dan Dr Irsasri sebagai editor bahasa
iv
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
dalam penerbitan buku ini. Kami ucapkan terima kasih yang
mendalam pada Dr Sutoro Eko, selaku ketua sekolah tinggi yang
bersedia menuliskan prolog buku ini. Tak lupa pada Gregorius
Sahdan yang ditengah kesibukannnya menempuh studi doktoral
masih menyempatkan menyiapkan epilog dari buku ini.
Apresiasi juga kami sampaikan kepada para narasumber yang
tidak dapat kami sebutkan satu per satu yang meluangkan waktu
untuk menyampaikan cerita dan kisah pengabdian. Kami haturkan
pula terima kasih pada segenap pimpinan STPMD “APMD”, yang
memberikan dukungan penuh atas penerbitan buku ini. Semoga
dengan terbitnya buku ini, menjadi lonceng pengingat tentang
makna dan pembelajaran penting tentang pengabdian kepada
masyarakat yang bermartabat. Selamat membaca!
Fatih Gama Abisono
55 TAHUN STPMD “APMD”
v
vi
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
PROLOG
“APMD” ADALAH
“LSM BESAR”
Sutoro Eko
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak memiliki kantor
yang jelas, tetapi memiliki dunia yang luas. Perguruan tinggi
memiliki kantor dan kampus yang luas tetapi hanya memiliki
dunia yang terbatas, hanya dalam lingkup internal. Itulah
ledekan menyegarkan dan menantang yang mengemuka ketika
kami bergaul dengan aktivis dan profesional LSM – yang tengah
booming dan menikmati “tahun madu” – dua puluh tahun silam.
Di ruang bersama (common room) kami mendiskusikan “kampus
vs LSM” dalam memandang dan memperlakukan desa, yang
kemudian di tahun 2002, senior M. Barori berujar: “APMD” adalah
“LSM Besar”. Frasa “LSM Besar” adalah pendekatan dan spirit
yang kami kedepankan, untuk melampaui kampus dan LSM.
Tridarma (pengajaran, penelitian, dan pengabdian) yang kami
rajut dengan trinitas (pemikiran, gerakan, dan kebijakan) adalah fitur
utama “LSM Besar”. Apa maknanya? Makna dasarnya: “APMD”
mempunyai kampus yang jelas dan luas, sekaligus memiliki dunia
kehidupan yang luas. Kami adalah kampus yang tidak pernah
membentuk dan mengawetkan “menara gading”. Kepekaan lokal
dan spirit kedesaan-kemasyarakatan sudah lama menjadi tradisi
“APMD”, jauh sebelum Robert Chamber (1987) mengritik “orang
luar” (ilmuwan dan pelaksana profesional) yang suka melakukan
wisata pembangunan desa. Meski pada dekade 1980-an, “APMD”
menjadi “pelaksana kebijakan” Departemen Dalam Negeri, tetapi
55 TAHUN STPMD “APMD”
vii
kami tidak bertindak secara birokratik terhadap desa, melainkan
bertindak secara kontekstual, tetap memegang spirit kedesaan
dan kemasyarakatan. Berbeda dengan kampus “menara gading”
yang memiliki “desa binaan” untuk disuluh dengan induksi
modernisasi, “APMD” datang ke desa, jajah desa milang kori, tidak
membawa “modal, model, dan modul” yang terlalu ilmiah. Kami
bergaul (srawung) dengan orang desa dengan cair (manjing ajur
ajer), sembari merajut cara berpikir tentang pemerintahan dan
pembangunan dari sudut desa.
Tetapi bukan berarti kami hadir sempurna, tanpa cacat. Kami
memiliki spirit kedesaan yang kuat, tetapi kami tidak memiliki
pengetahuan dan pemikiran besar untuk menandingi paradigma
“desa ilmiah” yang datang dari kampus “menara gading”. Kami
hanya menjadi konsumen (pembaca) atas karya-karya para
“ilmuwan negatif” seperti Jan Breman, Ben White, Frans Husken,
dan lain-lain, yang membombardir desa dari sudut Eropa. Kelak,
sekian tahun kemudian, kami tahu bahwa karya-karya para
“ilmuwan negatif”, yang menyukai konsep “kekuasaan elite”,
tidak memberi sumbangan perubahan, atau bukan “ilmu alamiah”,
kecuali hanya membenarkan kolonialisasi, teknokratisasi dan
birokratisasi atas desa. Di sisi lain, kami tidak memiliki “keahlian
teknikal” seperti “ilmuwan positif” (modernis) yang membikin
model untuk teknokratisasi pembangunan desa oleh negara. Kelak,
kami tahu bahwa karya-karya teknokratik “ilmuwan positif” seperti
pembangunan berbasis masyarakat, penanggulangan kemiskinan,
maupun community driven development, yang dipakai negara untuk
“mengatur desa dengan proyek”, hanya membuahkan istana pasir.
LSM adalah dunia lain yang menarik bagi kami. Mereka juga
memiliki “tridarma” seperti kampus, yang mereka padukan dengan
trinitas “gerakan, pemikiran, dan kebijakan”. Gerakan adalah
basis eksistensi mereka. Meskipun kecil, LSM memiliki kampus
luas dalam kehidupan rakyat, komunitas, desa, bahkan masuk ke
seluruh pelosok negeri. Mereka juga melakukan connecting people
viii
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
dari satu tempat ke tempat lain di seluruh penjuru negeri Indonesia
yang beragam. Mereka melakukan gerakan yang lebih dalam
ketimbang pengabdian kepada masyarakat yang diselanggarakan
kampus. Gerakan menjadi basis untuk merumuskan pengetahuan
sekaligus advokasi kebijakan.
Menghadirkan pengetahuan lokal menjadi ciri khas menonjol
bagi LSM, yang tidak dimiliki oleh kampus menara gading.
Di dunia LSM tentu juga hadir banyak aktivis-pemikir yang
berpengaruh. Mansoer Fakih adalah seorang doktor yang banyak
bicara tentang masyarakat sipil, sekaligus juga sebagai aktivispemikir
dan pemikir-aktivis yang menjadi kiblat bagi pemikiran
dan gerakan LSM. Yando Zakaria, yang tidak bergelar tinggi
dan banyak, adalah praktisi antropologi dan pegiat LSM, secara
seksama meneliti dengan mengorganisir dan mengorganisir
dengan meneliti masyarakat adat dan desa di penjuru negeri.
Karya Yando Zakaria, Abih Tandeh (2000), yang menjadi santapan
kami 20 tahun silam, memandang desa bukan dari Jakarta maupun
Eropa, tetapi dari desa, bahkan ia melakukan pembelaan desa dari
penindasan negara. Dadang Juliantara, jebolan mahasiswa fisika,
adalah pemikir, ideolog dan provokator yang banyak bicara tentang
demokrasi, otonomi, dan pembaruan desa. Demikian juga dengan
Lilis Nurul Husna, pegiat LAKPESDAM NU, yang pada tahun
2003, mengedepankan spirit “dialog antara narasi besar dan narasi
kecil” dalam pembentukan pengetahuan dan gerakan. Dengan
begitu, LSM yang berkiprah pada trinitas “pemikiran, gerakan
dan kebijakan”, tidak kalah bertanding berhadapan ilmuwan dan
teknokrat ketika berbicara tentang pengetahuan dan kebijakan.
Tidak semua LSM mempunyai keluasan pemikiran, gerakan
dan kebijakan. Tentu lebih banyak LSM yang menekuni kedalaman
gerakan lokal melalui pendampingan dari desa ke desa, serupa
dengan pendekatan “desa binaan” yang ditempuh oleh kampus.
Namun saya berkeyakinan bahwa kerja lapangan yang dilakukan
oleh LSM jauh lebih dalam ketimbang yang dikerjakan oleh
55 TAHUN STPMD “APMD”
ix
kampus. Pandangan ini bukan berarti LSM sangat hebat. LSM –
yang memiliki spirit kuat dalam gerakan – bukan tanpa kelemahan,
meskipun dedengkot LSM seperti Soekirman – yang kemudian
menjadi Bupati Serdang Bedagai – memiliki klaim bahwa teknologi
tepat guna karya Bitra Indonesia di banyak desa tetap terawat awet,
yang jauh lebih baik ketimbang dengan proyek negara.
Robert Chamber adalah satu “dewa” bagi LSM yang bergerak
dalam pembangunan desa, serupa dengan Muhammad Yunus
sebagai “dewa” bagi LSM yang bergerak di sektor credit union. Dalam
melakukan pendampingan desa, LSM memakai model sustainable
rural livelihood (SRL) karya Robert Chamber bersama tim Institute of
Development Studies, yang juga ditebarkan oleh DFID dan OXFAM
Inggris Raya. Kerja-kerja lokal LSM penuh dengan narasi menarik,
yang menyuntikkan pengalaman, pengetahuan dan spirit kepada
kami. Tetapi pada tahun 2002, sahabat Hans Antlov menyampaikan
kritik: “Kalau STPMD akan melakukan pendampingan pada desadesa
binaan seperti dilakukan NGOs, maka akan terjebak pada
pendekatan tradisional yang anti-politik”. Kritik Hans, sebagai
teman diskusi yang menarik, sungguh menjadi pelajaran berharga
bagi LSM dan kampus. Kelak, tahun 2009, saya membaca karya Ian
Scoones (salah satu anggota tim IDS yang merancang SRL tahun
1992/93) yang melakukan otokritik terhadap SRL: lokalisme naif
dan anti-politik, tidak terhubung dengan kebijakan, governance, dan
dunia global yang berpengaruh terhadap kehidupan desa. Dengan
begitu, pendekatan pendampingan desa, baik ala LSM maupun
ala kampus, memberdayakan desa sekaligus mengisolasi desa dari
pergaulan sosial dan ekonomi-politik yang lebih luas. Mengisolasi
(mengurung) desa sama dengan mengawetkan ketidakberdayaan
desa.
Diskusi pembelajaran antara kami dengan dunia LSM selama
dua puluh tahun merefleksikan tentang relevansi perubahan
dari sekadar kedalaman menjadi keluasaan, yang memperdalam
sekaligus memperluas pemikiran, gerakan dan kebijakan.
x
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Pengetahuan lokal, pengalaman lokal, maupun narasi kecil kami
hadirkan (representasi) untuk menantang, menandingi, dan mempengaruhi
pengetahuan, pemikiran dan kebijakan besar yang
datang dari tradisi “desa ilmiah”. Para ilmuwan “desa ilmiah”
barangkali menuding pengetahuan lokal sebagai barang jadul,
kolot, dan tahayul, sehingga mereka secara gencar menginduksi
merk dagang, yang mereka klaim ilmiah (seperti smart village,
digital village, global village), ke dalam tubuh proyek-proyek negara
dan masuk ke dalam desa. Apa yang disebut ilmiah itu, di mata
kami, adalah barang tahayul, sebab tidak relevan dengan denyut
kehidupan orang desa. Sebaliknya pengetahuan lokal – seperti
sasanti “desa mawa cara, negara mawa tata” – merupakan karya
ilmiah yang bermakna untuk emansipasi desa berdikari. Kelak di
kemudian hari, representasi dan emansipasi pengetahuan lokal,
yang kami yakini itu, bertemu dengan tradisi studi budaya, pospositivisme,
pasca-struktural, dan pasca-kolonial yang melawan
ilmu pengetahuan kolonial, modernis, dan positivis.
Jika para ilmuwan negatif sibuk memproduksi pengetahuan
yang anti-desa, jika para ahli profesional sibuk menjadi perantara
penjualan berbagai merk dagang kepada pemerintah dan desa, kami
membentuk Mazhab Timoho, untuk memperjuangkan perubahan
desa dengan memuliakan desa, melalui jalur pemikiran, gerakan
dan kebijakan. Kami melakukan kerja pengetahuan, kerja gerakan,
dan kerja politik melahirkan UU Desa, sekaligus juga memberikan
sentuhan untuk perubahan desa pada level akar-rumput.
Tahun 2020 menandai 55 tahun “APMD” sekaligus menyaksikan
perjalanan 20 tahun kami melakukan putar haluan menjadi
“LSM Besar” yang merajut tridama (pengajaran, penelitian, dan
pengabdian) dengan trinitas (pemikiran, gerakan, dan kebijakan).
Dua momen berbeda, lima puluh lima tahun dan dua puluh tahun,
yang telah kami lalui, sekaligus hari-hari ke depan, merupakan
kesempatan bermakna bagi kami untuk terus-menerus becoming
“kampus ber-LSM, LSM berkampus” melalui proses refleksi
55 TAHUN STPMD “APMD”
xi
dan aksi maupun falsifikasi dan akumulasi. Di tengah perayaan
55 tahun “APMD”, kami menghadirkan buku “Mengabdi dan
Melayani Desa”, sebagai sebuah serpihan dari tridarma dan
trinitas yang telah kami jalani selama dua puluh tahun. Kami
menulis dengan gotong-royong. Para dosen senior, para alumni,
mahasiswa, dan para sahabat, bertindak sebagai narasumber
yang bertutur tentang gagasan dan pengalaman dalam kiprah
pengabdian kami. Para dosen muda, dipimpin oleh Fatih Gama
Abisono Nasution, berjibaku menulis bab demi bab buku ini.
Sebelas bab buku ini mencerminkan gagasan-pengalaman trinitas
“pemikiran, gerakan, dan kebijakan” yang luas, beragam, dan
bermakna, yang paling tidak, berguna untuk memperkaya tridama
kami dalam memuliakan desa dan mempersatukan Indonesia.
xii
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR EDITOR ......................................................... iii
PROLOG “APMD” ADALAH “LSM BESAR” .............................. vii
DAFTAR ISI ....................................................................................... xiii
MELAHIRKAN DAN MENGAWAL UU DESA
Oleh: Yonatan Hans Luter Lopo .........................................................1
ADVOKASI DAN ASISTENSI KEBIJAKAN
Oleh: Mohamad Firdaus ....................................................................17
MENJELAJAHI DESA MENGANGKAT
KHAZANAH LOKAL
Oleh: Irsasri ..........................................................................................33
KKN: BERGAUL, BELAJAR, BEKERJA DAN BERDESA
Oleh: Fatih Gama Abisono Nst .........................................................57
KEMITRAAN CSR UNTUK KEMAJUAN DESA
Oleh: Reiki Nauli Harahap ................................................................75
JARINGAN, GERAKAN & PEMBELAJARAN
BERDESA MULAI DARI PIKIRAN, PEMBELAJARAN,
JARINGAN DAN GERAKAN
Oleh: Siti Sumaryatiningsih ...............................................................91
55 TAHUN STPMD “APMD”
xiii
MENDAMPINGI BUMDESA,
MERAJUT KORPORASI RAKYAT
Oleh: Rema Marina ...........................................................................107
AKSI PEDULI DESA: MENGAMALKAN TRADISI
“MUDA BERDESA”
Oleh: Aulia Widya Sakina ...............................................................123
EDUKASI DAN MEMAMPUKAN DESA
Oleh: Hery Purnomo ........................................................................135
MENDAMPINGI SELEKSI PERANGKAT
DESA YANG BERMARTABAT
Oleh: Minardi.....................................................................................149
MENYIAPKAN KADER PERUBAHAN DESA
Oleh: Kanita Khoirun Nisa ..............................................................163
EPILOG
JALAN PANJANG MAHZAB TIMOHO:
MELAYANI DAN MENGABDI PADA DESA
Gregorius Sahdan..............................................................................177
BIOGRAFI PENULIS ........................................................................183
xiv
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BAB 1
MELAHIRKAN DAN
MENGAWAL UU DESA 1
Oleh: Yonatan Hans Luter Lopo 2
Pembuka
“Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta,
Indonesia baru akan bercahaya karena lilin-lilin kecil di desa-desa”.
Begitulah ungkapan tersohor dari salah satu founding fathers
Republik Indonesia, Mohammad Hatta. Ungkapan tersebut bukan
sebatas jargon politik, melainkan mengandung spirit, cita-cita,
ideologi, serta visi dan misi masa depan Republik. Visi masa depan
tersebut dimaknai, diterjemahkan, dan dikerjakan oleh setiap rezim
politik yang pernah berkuasa dan diberi mandat untuk mengurus
desa dengan beragam cara berikut pilihan rute yang berbeda pula.
Musim berlalu, rezim berganti. Negara selalu mengatur desa,
tetapi selalu gagal mengurus desa. Akibatnya konkrit: kemiskinan,
ketimpangan, ketertinggalan, kelaparan, dan kebodohan serta
masih banyak label yang diberikan oleh para cerdik pandai untuk
menjelaskan situasi desa. Diagnosis para ahli tersebut belum
tentu benar, tetapi tidak berarti salah. Para pihak perlu menyadari
kenyataan yang ada di desa, sekaligus melampaui realitas desa,
dengan mempelopori gerakan pembaharuan desa, melalui ber-
1 Tulisan ini merupakan hasil diskusi dengan Dr. Sutoro Eko, M.Si., Ketua STPMD
“APMD” Yogyakarta, yang pernah menjadi Tenaga Ahli Kemendagri dan DPR RI dan
menjadi perancang UU Desa, serta Ir. Muhammad Barori, M.Si., dan Drs. Hastowiyono,
M.S. Keduanya memainkan fungsi backstop dengan menyediakan berbagai data yang
dibutuhkan oleh Sutoro Eko untuk dibawa ke Senayan.
2 Staf pengajar pada Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” sekaligus Peneliti pada
Research Centre for Politics and Government (PoLGov), FISIPOL UGM
55 TAHUN STPMD “APMD”
1
bagai rute, mulai dari, kerja ilmu pengetahuan yang bersifat
transformatif, kerja pengorganisasian masyarakat desa, hingga
kerja politik kebijakan, termasuk di dalamnya meperjuangkan UU
Desa. Persis di titik itulah, spirit, misi, semangat, dan positioning
STPMD “APMD” mengada secara kelembagaan.
Panggilan (vocation) untuk mempelopori gerakan pembaharuan
desa merupakan komitmen moral, etik, dan akademik
dari segenap sivitas akademika STPMD “APMD”. Panggilan
tersebut ditunaikan lewat serangkaian kerja keilmuan dan kerja
pengabdian masyarakat yang dihubungkan dengan perubahan
kebijakan baik di level lokal maupun nasional. Selain mempelopori
pembaharuan desa dalam bentuk riset dan advokasi kebijakan,
kampus juga turut serta mempromosikan sejumlah tokoh
pembaharu desa, melahirkan banyak kader, birokrat dan politisi
yang transformatif dan penuh dedikasi untuk memajukan desa di
seluruh penjuru tanah air.
Pada tahun 1999, tidak terlepas dari reformasi 1998, merupakan
tonggak penting bagi perubahan STPMD “APMD”
secara kelembagaan dalam memasuki babak baru aktivitas Tri
Dharma Perguruan Tinggi, termasuk pengabdian masyarakat.
Kebaruan tersebut ditandai dengan keterbukaan kampus secara
kelembagaan untuk membangun jaringan dan kerjasama dengan
multi stakeholder, seperti kelompok Non-Government Organization
(NGO), pemerintah daerah, pemerintah desa, dan berbagai
kelompok masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia. Selain
itu, aktivitas pengabdian masyarakat juga tidak lagi terisolasi dalam
berbagai bentuk kegiatan pengabdian yang bersifat konvensional,
seperti penyuluhan dan pelatihan. Kampus mulai terbuka dengan
berbagai bentuk aktvitas pengabdian yang berdimensi politik,
seperti advokasi kebijakan dan perundang-undangan. Sejak saat
itu, sampai pada akhirnya terbit UU No 6 Tahun 2014 tentang
Desa, merupakan sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan
tetapi penuh makna. Narasi berikut adalah true story kelahiran UU
2
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Desa, yang mana STPMD “APMD” turut serta membidani proses
kelahirannya.
Merajut UU Desa
Kelahiran UU No 22/1999 juga menjadi salah satu tonggak
penting bagi STPMD “APMD” dalam memulai wacana baru tentang
spirit demokrasi, otonomi, dan keberagaman desa di seluruh
Indonesia. Semenjak lahirnya UU 22/1999, para pegiat desa di
Yogyakarta menyambut baik UU tersebut, sembari membicarakan
isu otonomi dan demokratisasi desa. Pada bulan September 2001,
Sutoro Eko menghadiri sebuah forum yang bertempat di Hotel
Garuda Yogyakarta, yang dihadiri pula Prof. M. Ryaas Rasyid.
Pada pertemuan tersebut Ryaas Rasyid berujar bahwa sebenarnya
pada tahun 1999 pemerintah berkehendak untuk mengatur desa
secara terpisah dari pengaturan tentang pemerintahan daerah.
Tetapi karena debat yang panjang dan waktu yang terbatas, desa
diatur bersamaan dalam UU No. 22/1999 tentang pemerintahan
daerah. Paska forum tersebut, para pegiat desa di Yogyakarta terus
melakukan diskusi dan kajian serta mulai menggagas pengaturan
desa dalam UU tersendiri.
Pada bulan November 2002, terjadi perubahan kepemimpinan
di STPMD “APMD” yang mengantarkan Sutoro Eko menjadi Ketua
Sekolah Tinggi. Sutoro Eko mengusung semangat besar untuk
menjadikan kampus sebagai sumur pengetahuan tentang desa.
Komitmen tersebut dikerjakan lewat berbagai rute yang dipilih
sebagai cara mewujudkan pembaharuan desa yaitu melalui kerja
pengetahuan, gerakan sosial,, dan juga kerja politik kebijakan.
Dalam hal gerakan sosial, STPMD “APMD” membangun
kolaborasi dengan jejaring NGO, semisal Institute for Research and
Empowernment (IRE), Forum Pengembangan Pembaharuan Desa
(FPPD), Lapera Indonesia, dan lain sebagainya yang mengusung
visi dan semangat yang sama tentang desa. Diskusi, pembelajaran,
jaringan dan aksi para pegiat desa Yogyakarta ini terus bergulir.
55 TAHUN STPMD “APMD”
3
Pertemuan antara pegiat desa dengan para kepala desa, Badan
Perwakilan Desa, dan lain-lain sudah biasa dilakukan, termasuk
bertempat di Ruang Seminar STPMD “APMD”. 3 Ruang Seminar
menjadi melting pot, yang mana para pegiat desa dari berbagai
penjuru seringkali berjumpa dan mendiskusikan banyak gagasan
tentang pembaharuan desa. Berbagai gerakan yang terus dirajut
antara kampus, NGO, dan para aparat desa tersebut berlangsung
perlahan namun pasti. Pada tahun 2003 lahirlah Asosiasi Badan
Perwakilan Desa Seluruh Indonesia yang memperjuangkan
otonomi, demokrasi dan kesejahteraan desa, dengan UU tersendiri.
Pada saat yang sama, di banyak kabupaten telah lahir asosiasi desa
yang memperjuangkan kepentingan desa di hadapan negara.
Sementara itu, pada tahun 2005, STPMD “APMD” menerbitkan
dua (2) buku yang secara serius menjadi penanda dimulainya
gerakan pembaharuan desa melalui kerja akademik. Pertama
adalah sebuah buku bertitel Manifesto Pembaharuan Desa (Eko,
2005) dan yang kedua berjudul Transformasi ekonomi Politik desa
(Sahdan, 2005). Kedua karya ini secara substansial mengusung
tema Desa Membangun Indonesia. Jargon Desa Membangun Indonesia
merupakan abstraksi teoritik dan kristalisasi pengalaman
panjang komunitas STPMD “APMD” dalam bergaul, belajar,
bermasyarakat, dan berdesa. Konsep Desa Membangun merupakan
kontribusi pemikiran komunitas STPMD “APMD” yang berbeda
secara diametral dengan konsep Membangun Desa. Konsep Desa
Membangun menempatkan desa sebagai aktor utama dalam
perencanaan, pembiayaan, dan pelaksanaan pembangunan desa.
Sementara itu, konsep Membangun Desa menempatkan desa sebatas
sebagai lokasi proyek, yang mana desa hanya berperan sebagai
partisipan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, tetapi
kendali utamanya ada pada pemerintah supra desa, terutama
pemerintah daerah. Belakangan gagasan Desa membangun Indonesia
inilah yang menjadi jiwa, spirit, dan roh UU Desa. (Eko, 2014)
3 Saat ini Ruang Seminar berubah nama menjadi Ruang M. Soetopo
4
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Pada saat yang bersamaaan di tahun 2005, pemerintah dan
DPR RI, sepakat memecah UU No 32/2004, yang pelaksanaanya
baru seumur jagung, menjadi tiga (3) UU, yaitu UU tentang
Pemerintahan Daerah, UU tentang pemilihan Kepala Daerah, dan
UU tentang Desa. Momentum ini menjadi pintu masuk bagi STPMD
“APMD” untuk terus melakukan kajian akademis tentang RUU
Desa, secara khusus tentang kedudukan desa, serta secara intensif
mulai menjalin komunikasi dengan Ditjen PMD, Kementerian
Dalam Negeri. Pada awal tahun 2006, Kementerian Dalam Negeri
menyelenggarakan lokakarya di Jakarta yang membahas tentang
kewenangan desa, yang melibatkan para akademisi dari STPMD
“APMD”. Dari forum tersebutlah dibuat pemetaan tentang
kedudukan desa yang menjadi tiga (3) bagian yaitu desa sebagai
self-governing community, desa sebagai local state government, dan
desa sebagai local self-government (Eko, 2015) . Ketiga azas dan
kedudukan desa inilah yang menjadi discourse hangat di antara
para pegiat desa, dalam merumuskan UU Desa.
Sejak tahun 2006, pemerintah melalui Direktorat Jenderal
PMD Kementerian Dalam Negeri secara resmi mulai membahas
secara serius Rancangan Undang-Undang tentang Desa, yang
mana sivitas akademika STPMD “APMD” terlibat langsung dalam
proses perumusan UU Desa. Pada saat itu Ditjen PMD Kementerian
Dalam Negeri bekerjasama dengan Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa (FPPD) yang merupakan forum gabungan
antara STPMD “APMD”, IRE Yogyakarta, Gita Pertiwi, dan lainlain,
serta melibatkan para pegiat desa seperti seperti Sutoro Eko
dan Widyo Hari Murdiyanto (STPMD “APMD”), Arie Sudjito,
Bambang Hudayana (IRE Yogyakarta), Haryo Habirona, Diah Y.
Suradiredja, dan Rossana Dewi, melakukan diskusi dan kajian
rutin, yang secara resmi mulai menyusun Naskah Akademik RUU
Desa pada bulan Januari 2007. Sutoro Eko secara resmi terlibat
langsung sebagai Tenaga Ahli Kementerian Dalam Negeri, yang
bertugas menyiapkan dan merumuskan UU Desa. Peluang dan
55 TAHUN STPMD “APMD”
5
kesempatan ini dimanfaatkan untuk menyerap banyak cerita
lokal saat berkunjung ke banyak daerah dan desa seperti di NTT
(Kabupaten Timor Tengah Selatan), Sulawesi Selatan, Kalimantan
Barat (Kabupaten Landak), Sulawesi Utara, NTB, Bali, Aceh, dan
masih banyak daerah yang lain.
Pengalaman berkunjung ke banyak daerah tersebut membuat
Sutoro Eko memiliki pandangan yang kaya dan luas tentang
desa-desa di Indonesia, dan mendorongnya untuk berusaha
menjembatani dunia teori dengan praktik sosial di desa, serta
dunia kebijakan di level negara dengan proses advokasi yang
dilakukan oleh kalangan kampus dan NGO. Pengalaman ini
menjadi ajang pemurnian gagasan tentang Desa membangun
Indonesia, yang belakangan dikristalisasi menjadi asas subsidiaritas
dalam rancangan RUU Desa. Asas Subsidiaritas tersebut kemudian
di-breakdown dalam UU Desa menjadi pasal tentang kewenangan
lokal berskala desa. Kewenangan lokal bersakala desa berarti
bahwa semua hal yang bisa diurus dan diselesaikan oleh desa, maka
kewenangan tersebut dimandatkan lewat UU untuk dituntaskan
di level desa.
Secara resmi Naskah Akademik UU Desa mulai disusun pada
tahun 2007. Dalam proses penyusunan Naskah Akademik, STPMD
“APMD” secara konsisten mengusung konsep Desa membangun
Indonesia, yang dikonkritkan dengan jargon “satu desa satu rencana,
dan satu anggaran”. Naskah Akademik tersebut didiskusikan
dengan multi pihak, baik pegiat maupun Asosiasi Desa, di banyak
kota dan pelosok, yang mana draf awalnya diselesaikan pada
bulan Agustus 2007, dan disusul dengan drafting RUU Desa. Sejak
saat itu pembahasan RUU Desa di tubuh pemerintah berlangsung
alot dan panjang.
Debat substantif mengenai RUU Desa yang paling hangat
adalah terkait kedudukan desa. Pada saat itu, debat mengenai
kedudukan desa dipetakan menjadi dua (2) aliran besar yaitu
aliran realis, dan formalis. Kelompok beraliran realis memandang
6
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
desa dari kacamata empirik, yaitu apa yang sedang terjadi di
desa, dan bagaimana seharusnya negara bersikap atau berposisi
terhadap desa. Sementara itu kelompok beraliran formalis terus
mencari formula kedudukan desa dengan menafsirkan konstitusi,
serta menyesuaikan kedudukan desa sesuai kaidah hukum tata
negara. Diskusi dan debat mengenai kedudukan desa ini berjalan
alot bahkan panas. Akan tetapi, para ahli sepakat untuk melampaui
(beyond) aspek legal-formal tersebut dengan melihat berbagai
aspek-aspek lain seperti ekonomi politik, serta mempertegas posisi
negara terhadap desa.
Semua upaya untuk melampaui urusan legal-formal tersebut
tidak terlepas dari inspirasi dan pengalaman yang diperoleh dari
Selo Soemardjan, Bapak Sosiologi Indonesia, yang merupakan salah
satu guru dan pelaku sejarah yang ikut memperjuangkan otonomi
desa di Indonesia. Selo Soemardjan muda menyiapkan rancangan
otonomi dan demokrasi desa di Daerah Istimewa Yogyakarta,
antara lain menelorkan kebijakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
yang melakukan penggabungan (blengketan) sejumlah desa menjadi
satu desa yang lebih besar, sekaligus juga mendistribusikan tanah
Sultan ground menjadi tanah milik desa. Pendistribusian tanah
tersebut yakni titi soro untuk orang miskin, paguron untuk gaji para
guru, pangonan untuk gembala ternak, sengkeran untuk pelestarian
tanaman langka, segahan untuk jamuan tamu dari luar yang datang
ke desa, dan palungguh atau bengkok untuk penghasilan kepala desa
dan pamong desa (Eko, 2015). Penggabungan desa, redistribusi aset
dan mandat merupakan tiga isu penting yang pernah ditorehkan
oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk memuliakan dan
memperkuat desa.
Namun kisah sukses DIY tidak terjadi secara nasional. Pada
tahun 1956, Selo Soemarjan berujar bahwa sikap politik pemerintah
terhadap desa tidak jelas. Pada tahun 1979, ketika lahir UU No.
5/1979 tentang Pemerintahan Desa, Selo juga menyampaikan
kekecewaannya karena substansi UU itu jauh dari spirit otonomi
55 TAHUN STPMD “APMD”
7
desa dan demokrasi desa. Pengalaman, spirit, dan inspirasi dari Selo
Soemarjan ini juga sangat berpengaruh dalam proses penyusunan
UU Desa, terutama untuk mempertegas sikap negara terhadap
desa. Dalam konstruksi UU No 6 2014, terdapat pengakuan dan
penghormatan negara kepada desa, negara memberikan mandat
kewenangan dan pembangunan kepada desa, serta redistribusi
sumberdaya negara kepada desa.
Akan tetapi, upaya untuk menghasilkan UU yang mempertegas
sikap negara terhadap desa, yang mengandung spirit
otonomi, serta pengakuan dan penghormatan kepada desa,
tidak lah mudah. Salah satu tantangan yang dihadapi misalnya
masifnya program PNPM Mandiri yang menjadikan desa sebagai
lokasi proyek, sepanjang tahun 2008 dan 2009. Program PNPM
diniatkan untuk tujuan yang baik, akan tetapi mendapatkan
kritik dan perlawanan dari berbagai pihak karena prosesnya yang
mulai dari perencanaan sampai eksekusi kebijakan mengeksklusi
peran institusi desa. Hal ini menjadi diskursus hangat di kalangan
pegiat desa yang memperjuangkan otonomi desa, karena program
PNPM dianggap tidak masuk dalam sistem desa. Program PNPM
masuk ke desa, melalui desa, tetapi tanpa desa. Oleh karena itu
para pegiat desa yang mengusung semangat otonomi melakukan
‘perlawanan’ dengan terus menerus menggaungkan jargon “satu
desa, satu rencana, satu anggaran”.
Pada tahun 2009, para pegiat desa menambah haluan baru
dalam upaya menghasilkan UU Desa, yang tidak hanya melalui
rute gerakan sosial dan kajian akademik, tetapi juga masuk
ke ranah politik. Para pegiat desa sadar bahwa isu desa perlu
“dipolitisisasi” di Senayan. Oleh karenanya jalur politik ditempuh
dengan mendukung caleg Budiman Sudjatmiko (PDI Perjuangan)
di Dapil Cilacap-Banyumas, yang mengusung RUU Desa sebagai
isu kampanye. Setelah masuk ke Senayan, Budiman Sudjatmiko
menjadi jangkar politik bagi para pegiat desa, misalnya dengan
mempertemukan para pegiat desa dengan Komisi II baik secara
8
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
institusional dan informal. Sejak tahun 2010, para pegiat desa
diberikan ruang bertemu dengan banyak tokoh-tokoh di Komisi
II DPR RI seperti Ganjar Pranowo, Nurul Arifin, dan lain-lain.
Budiman Sudjatmiko merupakan politisi yang punya peran untuk
memindahkan isu desa dari pinggiran ke pusat kekuasaan di
Senayan.
Perjuangan RUU Desa bertambah kencang setelah lahir
forum Persatuan Aparat Desa (PARADE) Nusantara pada tahun
2009, di bawah pimpinan Sudir Santosa, dan Budiman Sudjatmiko
yang juga berperan sebagai pembinanya. Parade Nusantara
terus menerus melakukan desakan kepada Pemerintah agar
menyelesaikan pembahasan RUU Desa. Desakan paling seru terjadi
di antara bulan September hingga Desember 2011, yang kemudian
mendorong Presiden SBY mengeluarkan amanat Presiden tentang
RUU Desa pada bulan Januari 2012. Setelah itu DPR RI membentuk
Pansus RUU Desa yang dipimpin oleh Ketua Akhmad Muqowam
(PPP), serta wakil ketua Budiman Sudjatmiko (PDI Perjuangan),
Khatibul Umam Wiranu (Demokrat), dan Ibnu Mundzir (Golkar).
Ketua Pansus Akhmad Muqowam begitu piawai, hingga sanggup
melakukan konsolidasi yang solid terhadap 30 anggota Pansus
RUU Desa. Mereka semua bersepakat bahwa RUU Desa harus
ditempuh dengan cara menanggalkan politik kepartaian, sembari
mengutamakan politik kenegaraan dan politik kerakyatan.
Sepanjang tahun 2012, Pansus menggelar Rapat Dengar
Pendapat Umum (RDPU), serta melakukan studi banding dan
kunjungan lapangan. Pada periode ini STPMD “APMD” menjadi
mitra Pansus yang diundang terlibat dalam RDPU, yang pada
saat itu diwakili oleh Habib Muhsin dan Hastowiyono, yang tetap
konsisten dengan semangat Desa Membangun Indonesia. Sementara
Sutoro Eko secara resmi menjadi Tenaga Ahli DPR RI untuk
menyusun UU Desa. Sutoro Eko berkesempatan berkunjung ke
banyak tempat dan daerah, untuk melihat desa dari dekat. Hal ini
semakin memperkaya bahan dan data dalam merancang UU Desa,
55 TAHUN STPMD “APMD”
9
terutama mendialogkan dunia teori dan konsep dengan dunia
empirik.
Sementara itu, Pansus RUU Desa juga melakukan studi
banding, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Misalnya
Pansus RUU Desa pernah melakukan studi banding ke Desa Huaxi
di China. Desa Huaxi adalah desa kaya raya yang diklaim sebagai
desa terbaik di dunia, yang merupakan hasil penggabungan
sejumlah desa, yang semula hanya 3 Km persegi menjadi 32 Km
persegi (seluas wilayah Kota Yogyakarta). Pansus RUU Desa juga
melakukan kunjungan lapangan dalam negeri, yang difasilitasi
oleh para pegiat desa. Beberapa pegiat desa yang terlibat seperti
Sutoro Eko, Arie Sudjito Abdur Rozaki, Sunazi Zamroni, Titok
Hariyanto, Farid Hadi, bersama Prof Nurdin Abdullah yang saat
itu menjabat sebagai Bupati Bantaeng. Salah satu pertemuan antara
pimpinan Pansus dengan para pelaku dan pegiat desa dalam acara
Festival Kemandirian Desa, bertempat di Desa Rappoa, Bantaeng,
awal November 2012.
Pada awal tahun 2013, Pemerintah dan DPR RI membentuk
panitia kerja (Panja) yang terus melakukan rapat kerja untuk
membahas UU Desa. Saat itu Sutoro Eko sudah menjadi Tenaga
Ahli DPR RI, bersama dengan Yando Zakaria dan Suhirman, serta
Bito Wakantosa yang merupakan perwakilan pemerintah. Mereka
menjalin kolaborasi dan kerjasama yang apik untuk membahasa
UU Desa bersama dengan Akhmad Muqowam dan Budiman
Sudjatmiko (DPR RI), serta dari luar arena mereka dibantu oleh
Arie Sudjito dan kawan-kawan.
Bahkan Budiman Sudjatmiko pernah berceloteh soal kolaborasi
mereka yang seperti kesebelasan sepakbola: “Yando Zakaria
itu seperti kiper, Sutoro Eko itu playmaker, Akhmad Muqowam
itu Kapten, Budiman ibarat striker, dan Arie Sudjito ibarat official
di pinggir lapangan”. Posisi sebagai Tenaga Ahli DPR RI ini
dimaksimalkan oleh Sutoro Eko untuk mejadi policy transformer,
dengan menyerap aspirasi dan masukan dari banyak pihak
10
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
termasuk STPMD “APMD”, IRE, FPPD, Parade Nusantara, serta
berbagai asosiasi kepala desa dan perangkat desa. Pada saat itu juga
muncul Forum Pembaruan Desa (FPD), yang dipimpin oleh Agus
Tri Raharjo, Kepala Desa Gedangan, Kabupaten Sukoharjo, yang
terus-menerus melakukan kunjungan massal ke Senayan untuk
mendesak pemerintah dan Pansus untuk segera mengesahkan
RUU Desa.
Ada beberapa isu kunci yang menjadi pokok pembahasan
yang hangat, yaitu azas dan kedudukan desa, azas demokrasi
dalam UU Desa, BUMDesa, dan terutama adalah dana desa. Dalam
pembahasan RUU Desa, Dana Desa (DD) memang yang paling
panjang dan seru, serta mengundang pro dan kontra. DPR pernah
meminta kepada pemerintah tentang data mikro jumlah uang
negara yang masuk ke desa. Tetapi pemerintah (Bappenas dan
Kementerian Keuangan) tidak sanggup menyediakan data yang
dibutuhkan. Oleh karena itu Ganjar Pranowo meminta Sutoro Eko,
dalam kapasitas sebagai tenaga ahli DPR RI, untuk mengumpulkan
data mikro jumlah uang yang masuk ke desa.
Sutoro Eko bersama tim STPMD “APMD”, yakni M. Barori dan
Hastowiyono beserta jaringan bergerak melakukan pengumpulan
data dengan survei. Peran M. Barori yakni menggerakkan
jaringan kerjasama STPMD “APMD” di berbagai daerah untuk
mengumpulkan data Sedangkan Hastowiyono dengan tekun
dan sukarela melakukan entry data survei sekaligus menyajikan
peta dan analisis tentang data uang masuk ke desa. Berdasarkan
basis data tahun 2011, survei menunjukkan bahwa rata-rata desa
menerima uang sebesar 1,040 M pe tahun, tentu dengan sumber
yang bermacam-macam, dan 76% di antaranya dari pemerintah
pusat. Hasil pekerjaan ini dibawa oleh Sutoro Eko ke senayan, yang
secara resmi digunakan oleh Pansus sebagai basis pembahasan
keuangan desa.
Pembicaraan tentang dana desa memang dinamis. Ada
ang gota Pansus yang hanya bicara “satu desa, satu milyar”.
55 TAHUN STPMD “APMD”
11
Budiman Sudjatmiko selalu bicara soal “kombinasi cash transfer
dan demokrasi lokal akan memperbanyak kelas menengah desa”.
Pihak Kementerian Keuangan dan Bappenas selalu keberatan
dengan dana desa. Pada tanggal 30 September 2013, terjadi diskusi
yang menarik di ruang meeting Ketua DPR RI. Dalam pertemuan
itu hadir 9 anggota Pansus/Panja, Menteri Keuangan, Menteri
Dalam Negeri, pejabat Bappenas, dan rapat dipimpin oleh Ketua
DPR Marzuki Alie (Demokrat).
Kemenkeu dan Bappenas keberatan dengan dana desa.
Menteri Dalam Negeri dan Ketua Akhmad Muqowam bermain
cantik untuk meng-goal-kan Dana Desa. Mendagri Gamawan Fauzi
berujar: “Saya setuju dana desa, asalkan satu pintu, tidak ada lagi
bantuan langsung ke masyarakat”. Ketua DPR dengan sangat
tegas “marah” pada menteri yang menolak dana desa, sembari
mengatakan bahwa “kalau untuk rakyat kita harus wujudkan,
Presiden SBY sudah setuju”. Sutoro Eko Bersama Yando Zakaria
dan Suhirman yang menyaksikan langsung pertemuan itu,
memandang bahwa pertemuan itu adalah keputusan politik yang
cantik dan tegas. Selesai rapat, Sutoro Eko mengacungkan dua
jempol dan pujian kepada Ketua DPR RI.
Hari-hari berikutnya yang masih panjang adalah mendiskusikan
formula dana desa. Formula ini memang susah
ditemukan. Para tenaga ahli (Sutoro Eko, dkk) melakukan exersice
sejumlah formula tetapi belum disepakati. Setelah melewati
proses diskusi dan perdebatan yang panjang, maka pada tanggal
12 malam hingga 13 Desember 2013 pagi, Rapat kerja Mendagri
bersama Pansus sungguh bersejarah. Dari berbagai gagasan yang
diperdebatkan, muncul usulan rumusan dari Dr. A.W Thalib (PPP),
sebagai berikut: “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya
langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan
di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap. Usulan
ini diterima oleh sidang dan dijadikan penjelasan Pasal 72 ayat
(2) tentang dana desa. Pertemuan itu juga menyepakati untuk
12
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
menyudahi pembahasan RUU Desa dan 18 Desember 2013 untuk
Sidang Paripurna.
Alhamdulillah, pada 18 Desember 2013, Sidang Paripurna
DPR RI yang dipimpin oleh Priyo Budi Santosa, menetapkan
UU Desa. Pada sidang ini, FPD pimpinan Agus Tri Raharjo
mengerahkan sekitar 3000 pamong desa. Sebagian besar di Fraksi
balkon, sebagian besar di jalan depan gedung DPR RI. Mereka
sujud syukur begitu Sidang Paripurna menetapkan UU Desa, dan
kemudian disahkan oleh Presiden SBY menjadi UU No. 6/2014
pada 15 Januari 2014.
UU Desa disambut dengan sukacita dan dirayakan di berbagai
tempat, dengan beragam acara atau kegiatan. Di Kabupaten
Suko harjo, ada syukuran yang besar pada bulan Januari 2014
yang menghadirkan Akhmad Muqowam, Budiman Sudjatmiko,
dan lain-lain. Hari-hari berikutnya, UU Desa juga dirayakan di
berbagai tempat seperti Magelang, bahkan di luar Jawa seperti
Sulawesi Selatan, Selawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan
lain sebagainya.
Memberdayakan Masyarakat, Memampukan Desa
UU Desa disambut dengan banyak pujian sekaligus kritik.
Pujian datang dari banyak pihak, terutama dari para pemerhati
desa yang sejak lama menginginkan otonomi desa. Para aparat
dan perangkat desa menggelar syukuran di banyak daerah
untuk menyambut UU Desa. Pada saat yang sama, kritik datang
dari para ahli dan teknokrat yang meragukan kemampuan desa
dalam mengelola dana sekitar 1 Milyar per tahun. Ada pula yang
mengkritik bahwa dana desa hanya memperkaya segelintir orang,
terutama aparat desa dan para konsultan yang menjadikan dana
desa sebagai proyek yang menguntungkan.
Jika pemerintah memberikan power, maka kampus melakukan
empowernment. Negara memberikan power kepada desa lewat
rekognisi, subsidiaritas, dan redistribusi anggaran kepada desa.
55 TAHUN STPMD “APMD”
13
Sementara itu, sebagai institusi yang ikut membidani kelahiran UU
Desa, STPMD “APMD” melakuan empowering kepada masyarakat
dan pemerintah desa dalam kerangka memampukan desa (to
give ability). Agar Desa siap dan sanggup menjawab harapan dan
tan tangan yang dimandatkan oleh UU Desa, yakni pemberian
kewenangan lokal bersakal desa. Berbagai aktivitas yang bertujuan
memberdayakan (empowering) dan memampukan desa (to give ability)
tersebut dilakukan lewat berbagai cara, misalnya sebagai berikut.
Pertama, STPMD “APMD” secara aktif terus melakukan
sosialisasi, training, dan advokasi kepada para perangkat desa,
para kader pendamping desa, dan masyarakat terkait substansi
UU Desa. Para pihak tersebut didorong untuk memaksimalkan
peran, fungsi, dan kewenangan yang dimandatkan oleh UU
Desa. Misalnya lewat fasilitasi rekrutmen perangkat desa,
pelatihan kader pendamping desa, Bimtek RPJMDes dan RKPDes,
pelatihan, pemberdayaan, dan pendampingan BUMDesa dan
lain sebagainya. Semua aktivitas ini bertujuan memberdayakan
masyarakat sekaligus memampukan aparat desa dalam mengurus
dan mengelola desa. Upaya untuk mentransformasi (transforming)
perubahan sesuai mandat UU Desa tersebut tidak hanya dilakukan
lewat intervensi terhadap masyarakat desa, tetapi juga terhadap
aparat, perangkat, maupun pemerintah supra desa.
Kedua, STPMD “APMD” secara konsisten mengawal implementasi
UU Desa, misalnya dengan mendorong mahasiswa dan
semua civitas akademika untuk memperbanyak kajian, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat desa, khususnya terkait
implementasi UU Desa. Para mahasiswa dididik dan dipersiapkan
untuk menjadi kader penggerak di desanya kelak. Para dosen
didorong untuk terlibat aktif melakukan penelitian dan pengabdian
lewat berbagai skema Kerjasama, baik dengan pemerintah desa,
pemerintah daerah, maupun dengan pihak swasta dan NGO, yang
memiliki semangat dan visi yang sama dengan STPMD “APMD”
dalam menggerakkan perubahan desa.
14
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Ketiga, STPMD “APMD” juga secara kritis melakukan evaluasi,
baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap berbagai
peraturan turunan dari UU Desa, yang justru banyak menghambat
dan mengerdilkan UU Desa. Dalam konteks ini, kampus baik
secara personal maupun kelembagaan menyampaikan kritik dan
masukan kepada pemerintah. Kritik dan masukan dialamatkan
terutama pada kementerian desa, kementerian keuangan, dan
kementerian dalam negeri. Kritik yang disampaikan terkait
mekanisme laporan pertanggungjawaban dana desa yang justru
memperberat dan menyita banyak waktu para aparat desa sehingga
lalai menjalankan program kerjanya.
Penutup
Sebagai bagian dari Tri Dharma Pendidikan Tinggi, maka
pengabdian kepada masyarakat, dalam bentuk keterlibatan
langsung dalam membidani kelahiran UU Desa yang diperankan
oleh STPMD “APMD” selama ini, merefleksikan beberapa hal.
Pertama, kampus memainkan peran menghubungkan (connecting)
berbagai pihak yang punya interest yang sama terhadap desa,
yaitu desa yang demokratis, berdaulat, mandiri, dan bermartabat.
Kampus STPMD ‘APMD” juga menjadi ruang perjumpaan (melting
pot) berbagai pihak seperti aparat dan perangkat desa, BPD,
masyarakat desa, pegiat NGO, dan pemerintah supra desa yang
berurusan langsung dengan desa.
Kedua, perjumpaan para pihak yang berkepentingan terhadap
otonomi dan demokratisasi desa tersebut selanjutnya
dirajut dengan narasi ilmiah, menjadi ilmu pengetahuan yang
amaliah bagi masyarakat desa. UU Desa dirajut (crafting) dengan
kacamata realisme, yang berangkat dari realitas empirik yang ada
di desa, sembari melampaui (beyond) kacamata legal-formal, serta
mempertegas posisi negara terhadap desa. Perjuangan merajut UU
Desa juga tidak hanya ditempuh dengan kajian akademis, tetapi
juga lewat advokasi, gerakan sosial, dan politik kebijakan.
55 TAHUN STPMD “APMD”
15
Ketiga, segala upaya dan komitmen pengabdian kepada
desa melalui perjuangan UU Desa merupakan bagian dari ikhtiar
STPMD “APMD’ dalam rangka proses transformasi (transforming)
kehidupan masyarakat desa secara utuh, menyeluruh, untuk
kehidupan desa yang lebih bermartabat, berdaulat, mandiri, dan
demokratis. Dalam proses ini STPMD “APMD” secara konsisten
dan teguh memperjuangkan banyak gagasan-gagasan kunci yang
menjadi ruh UU Desa. Antara lain misalnya spirit desa membangun
Indonesia yang menjadi roh dari UU Desa. Gagasan pokok
lainnya yang berhasil dipromosikan yaitu azas subsidiaritas,
yang merupakan kristalisasi dari pengalaman panjang komunitas
STPMD “APMD” dalam belajar, bergaul, bermasyarakat, dan
berdesa. Azas subsidiaritas inilah yang kemudian diterjemahkan
dalam pasal UU Desa mengenai kewenangan lokal berskala desa.
Pada akhirnya, segala upaya tersebut di atas adalah bagian
dari ikhtiar serta komitmen moral, akademik, dan etik dari STPMD
“APMD” untuk memuliakan desa-desa di seluruh Indonesia
Daftar Pustaka
Eko, S. (ed). (2005). Manifesto pembaharuan Desa. Yogyakarta: APMD
Press.
Eko, S. 2014. Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: Forum
Pengmbangan Pembaharuan Desa.
Eko, S. (2015). Desa Baru Negara Lama. Yogyakarta: APMD Press.
Eko, S. (2015). Regulasi Baru, Desa Baru. Jakarta: Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI.
Sahdan, Gregorius. (ed). (2005). Transformasi Ekonomi politik Desa.
Yogyakarta: APMD Press.
16
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BAB 2
ADVOKASI DAN
ASISTENSI KEBIJAKAN
Oleh: Mohamad Firdaus 4
Abdi Yang Abadi
Sejak Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”
Yogyakarta berdiri pada 55 tahun silam, para sivitas akademika
terus berupaya memberikan pengabdian kepada masyarakat
di pedesaan terutama dalam advokasi dan asistensi kebijakankebijakan
di tingkat kabupaten dan desa. Dalam kaitannya dengan
pengabdian, maka pihak-pihak yang bersangkutan terutama dari
sivitas akademika APMD sejatinya bekerja setulus hati untuk
mencapai kebaikan bersama. Pelatihan pembuatan Peraturan
desa (Perdes), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes), upaya optimalisasi potensi desa serta pendidikan dan
pelatihan para perangkat desa sudah dilakukan dari tahun ke tahun
sampai dengan tulisan ini dibuat dan diharapkan terus berlanjut.
Pengabdian dapat diartikan sebagai langkah untuk memberikan
empowerment untuk membuat pemerintah desa dan masyarakat
desa bisa lebih mandiri. STPMD “APMD” pada tahun 1980
sangat terkenal sebagai sekolah calon pegawai negeri, hal tersebut
dapat dilihat dari banyaknya lulusan APMD yang menjadi PNS
di daerah Banjarnegara, Wonosobo, Purworejo, dan Temanggung.
4 Staf Pengajar Prodi Ilmu Pemerintahan, Penulis memberikan apresiasi sebesarbesarnya
dan ucapan terima kasih kepada nara sumber yang telah meluangkan
waktunya: Dr. Sutoro Eko Yunanto, Dr. Widodo Triputro, Ir. Muhammad Barori, M.Si,
Drs. Hastowiyono, M.Si.
55 TAHUN STPMD “APMD”
17
Mahasiswa yang ditanya kenapa bersekolah di APMD pasti
jawaban nya ingin jadi PNS. Jawaban tersebut tidaklah salah
karena pasti semua manusia ingin mendapatkan kehidupan dan
penghidupan yang lebih baik lagi, sehingga menurut mereka PNS
adalah jawaban terbaik. Namun sebelum menjadi kampus yang
mencetak banyak PNS, pengabdian APMD ke desa sudah jauh
lebih dulu dikenal oleh banyak orang. Salah satu jurusan yang
betul-betul concern terhadap desa adalah prodi Pembangunan
Masyarakat Desa (PMD), dan sampai saat ini prodi tersebut tetap
eksis dalam melakukan pengabdian ke desa. Bersama prodi lain
seperti Ilmu Pemerintahan, Ilmu Komunikasi, Ilmu Pembangunan
Sosial, PMD dapat dikatakan cukup banyak membawa perubahan
kepada desa. Pengabdian yang dilakukan STPMD “APMD”
Yogyakarta yang tiada henti salah satunya meningkatkan kapasitas
seperti advokasi dan asistensi sebuah kebijakan.
Kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan pemerintah untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever govenments
choose to do or not to do) (Thomas Dye:1972). Meskipun kebijakan
dapat diartikan pemerintah tidak melakukan suatu tindakan,
namun dalam hal pengabdian ini kebijakan diartikan dengan
upaya pembuatan sebuah kebijakan publik yang tertuang dalam
naskah dan nantinya akan disahkan oleh pemerintah daerah
atau pemerintah desa. Adapun Anderson et. all (1984) mencoba
menjelaskan ciri dari kebijakan: 1) Public Policy is purposive, Goaloriented
behaviour rather than random or chace behaviour. Setiap
Kebijakan harus ada tujuannya. Artinya, pembuatan suatu
kebijakan tidak boleh sekadar asal buat atau karena kebetulan
ada kesempatan membuatnya. Tanpa ada tujuan tidak perlu
ada kebijakan. 2) public policy consists of course of action rather
than separate, discrete decision, or action performed by government
official. Artinya suatu kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah
dari kebijakan yang lain. Namun, ia berkaitan dengan berbagai
kebijakan dalam masyarakat dan berorientasi pada implementasi,
18
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
interpretasi, dan penegakan hukum. 3) policy is what government do,
not what they say will do or what thei intend to do. Kebijakan adalah
apa yang dilakukan oleh pemerintah, bukan apa yang masih ingin
atau dikehendaki untuk dilakukan pemerintah. 4) public policy may
either negative or positive. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau
melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan
atau menganjurkan. 5) public policy is based on law and is authoritative.
Kebijaksanaan harus berdasarkan hukum, sehingga mempunyai
kewenangan untuk memaksa masyarakat untuk mengikutinya.
Berbicara tentang APMD maka juga akan berbicara tentang
desa, penulis mencoba menjelaskan fungsi desa bagi masyarakat
menurut Buku Persembahan 40 tahun STPMD “APMD” Yogyakarta.
Sutoro Eko et, all (2005) menjelaskan bahwa jauh sebelum terjadi
negaranisasi dan kapitalisasi, desa merupakan sebuah entitas
yang berfungsi sebagai basis penghidupan dalam kerangka self
governing community. Pada awalnya kesatuan masyarakat lokal/
adat (desa, nagari, binua, kampung, gampong, negeri, huta, sosor,
marga, lembang, kuwu, pemusungan, yo, paraingu, lumban, dan
lain-lain) yang tersebar di penjuru nusantara mempunyai karakter
yang sama. Desa, atau nama lain adalah kesatuan masyarakat yang
tergabung berdasarkan garis keturunan (genealogi) yang mendiami
wilayah (teritori) tertentu. Orang tidak bisa mengukur berapa luas
wilayah yang mereka diami, tetapi selalu ada kearifan lokal untuk
mengukur batas-batas wilayah berdasarkan prinsip sejauh mata
memandang atau sejauh batu dilempar. Semuanya merupakan
organisasi masyarakat lokal yang mempunyai kepemerintahan atau
kepengurusan sendiri (self governing community) yang berdasarkan
pada adat istiadat setempat. Adat mengandung jati diri, norma,
nilai dan tata aturan untuk mengelola tanah, sumber daya alam,
warga maupun hubungan-hubungan sosial (pernikahan, kematian,
sengketa, pembagian tanah, dan sebagainya). Setiap masyarakat
adat mempunyai tata cara adat untuk mengelola (merawat
dan membagi) tanah (kekayaan) secara komunal (bersama)
55 TAHUN STPMD “APMD”
19
dengan prinsip kesejahteraan (welfare society), keseimbangan dan
berkelanjutan. Pemimpin adat ditentukan secara turun-temurun
melalui jalan musyawarah tanpa pergolakan keuasaan (politik)
di dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Pemimpin adat atau
ketua desa bukanlah jabatan yang sarat dengan kekuasaan dan
kekayaan, tetapi posisi kehormatan yang sarat tanggung jawab
untuk mengurus dan melindungi tanah, penduduk, keamanan,
hubungan-hubungan sosial dan sebagainya.
Kondisi tersebut yang menjadi cita-cita oleh banyak kalangan
baik akademisi, praktisi dan pegiat desa agar supaya desa kembali
lagi ke marwah awal di mana desa itu mandiri dan memiliki
penghidupan yang berkelanjutan bagi masyarakatnya. Desa bukan
lagi menjadi sebuah objek seperti sekarang ini. Desa menjadi entitas
di mana kehidupan masyarakat bisa damai, tentram dan sejahtera
sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat desa bukan
konsep pembangunan yang diinginkan oleh negara. Memang pada
masa sekarang ini pembangunan bisa dikatakan sangat berperan
dalam memberikan pelayanan publik bagi kehidupan masyarakat,
namun di sisi lain desa juga harus menjadi aktor yang bisa
mengelola dirinya sendiri dan bukan hanya menjadi boneka dari
negara. Sehingga upaya yang harus dilakukan adalah to give power
and to give abillity, desa harus diberikan kekuatan dan dimampukan
sehingga bisa berdaya dan mandiri. Upaya to give power and to
give ability diterjemahkan oleh para akademisi, pegiat desa dan
mendapat dukungan dari pemerintah melalui Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Berawal dari berdirinya STPMD “APMD” yang memiliki
fokus untuk memuliakan masyarakat desa, lalu banyak akademisi
dan aktivis yang juga lambat laun peduli dengan desa. Pengabdian
abadi yang dilakukan oleh kampus tercinta kepada desa memang
sudah semenjak berdirinya APMD. Desa selalu dibimbing,
diberikan arahan, disupport agar lebih berdaya dan dibimbing
menjadi desa yang mandiri. Puncaknya adalah saat lahirnya UU
20
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
desa, ada sekitar 3 kali pembahasan terkait masa depan masyarakat
desa dilakukan di kampus tercinta. Sehingga bisa dikatakan bahwa
APMD adalah salah satu lembaga yang memprakarsai lahirnya UU
tersebut. Dan APMD juga menjadi inisiator terkait besaran Dana
Desa, di mana Hastowiyono bersama dengan tim mengumpulkan
data terkait uang yang masuk ke desa dari beberapa kabupaten
sehingga bisa ketemu kira-kira besaran uang tersebut adalah
sekitar 1,041 miliar rupiah. Namun perjuangan tidak hanya sampai
disitu, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun
2014, APMD harus tetap selalu mengawal implementasinya agar
cita-cita yang diharapkan yaitu desa yang mandiri bisa terwujud.
Pengabdian kepada desa akan memerlukan waktu yang panjang,
penulis menyadari bahwa tantangan ke depan untuk memperkuat
desa memang tidak mudah. Oleh karena itu, perlu ada spirit yang
kuat untuk bersama-sama menjadikan tantangan tersebut sebagai
motivasi bersama. Arti pengabdian yang abadi adalah proses
panjang pengabdian yang dilakukan oleh APMD untuk selalu
memperkuat desa ditengah badai kapitalisasi dan negaranisasi.
Kebijakan Ke Arah Yang Lebih Baik
Proses sebuah kebijakan diawali dari Agenda Setting, Formulasi
Kebijakan, Implementasi Kebijakan, Monitoring Kebijakan
dan Evaluasi Kebijakan. Dalam setiap proses tersebut terdapat
dinamikanya masing-masing, dampak dari dinamika kebijakan
tersebut yang nantinya bisa menilai apakah kebijakan publik
dapat dikatakan sudah baik atau belum baik. Dalam proses
agenda setting dan formulasi kebijakan APMD telah berkontribusi
dalam pembuatan Naskah Akademik dan Raperda (Rancangan
Peraturan Daerah). Kerjasama dengan Kabupaten Demak tahun
2018, menyusun dan memperbaiki perda tentang pilkades, raperda
tentang perangkat desa, tentang aset desa. Bekerjasama dengan
Kabupaten Sleman tahun 2019 tentang peraturan perangkat desa
dan Peraturan Bupati tentang kewenangan desa. Gunungkidul
55 TAHUN STPMD “APMD”
21
tahun 2019, perda tentang Kapanewon dan Kalurahan. Kabupaten
Barito Timur tentang perangkat desa dan susunan organisasi dan
tatakerja pemerintah desa. Dalam pembuatan Peraturan Daerah
diawali dengan pembuatan naskah akademik dan Raperda, sedangkan
peraturan bupati langsung Raperbup dan tidak memerlukan
naskah akademik.
Pembuatan naskah akademik dan Raperda tentang perangkat
desa di Sleman pada tahun 2019 menjadi salah satu langkah
APMD dalam upaya transfer pengetahuan pemerintah daerah.
Pengabdian APMD yang diketuai oleh R. Widodo Tri Putro
sudah menyusun secara lengkap terkait naskah akademik dan
Raperda sebagai upaya untuk menerjemahkan apa yang telah
tertuang di UU desa terkait dengan perangkat desa. Namun,
dalam implementasinya terjadi tarik-menarik kepentingan antara
DPRD dan eksekutif sehingga banyak modifikasi terkait Raperda
yang sudah disusun. Kondisi tersebut menyebabkan Raperda
yang sudah disahkan menjadi perda sulit di implementasikan,
sehingga diubah lagi dikarenakan mereka memiliki kepentingan
sendiri. Advokasi sebuah kebijakan sudah dijalankan oleh APMD
dengan upaya seideal mungkin, namun seringkali para stakeholders
memiliki kepentingan sendiri dalam pembuatan sebuah kebijakan.
Dalam raperda yang dibuat pemerintah Kabupaten Sleman
melakukan intervensi terkait rekrutmen perangkat desa dengan
membuat musyawarah pemilihan perangkat desa, seperti
diketahui sejatinya rekrutmen perangkat desa adalah kewenangan
dari pemerintah desa. Seperti dijelaskan oleh Sahya Anggara
(2014), setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda
dan kepentingan yang berbeda tersebut membuat pihak-pihak
yang berkepentingan (stakeholders) bersuara dan ikut menitipkan
suaranya. Proses tawar-menawar (bargaining) antar aktor pembuat
kebijakan dengan menggunakan kebebasan dan kewenangannya,
sering disalahgunakan bukan untuk menyinkronkan kepentingan
rakyat, melainkan untuk kekuasaan (power). Seringkali perda yang
22
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
sarat dengan kepentingan juga memberikan dampak yang buruk
dalam implementasinya, dimana yang terjadi di Sleman atas dalih
ketidakpercayaan terhadap desa maka seleksi perangkat desa
pernah dipusatkan dikabupaten. Namun dalam pelaksanaannya,
soal-soal untuk ujian perangkat desa dibuat oleh kabupaten dan
prosedurnya juga terlalu rumit sehingga kesulitan dan banyak
masalah. Untuk itu akhirnya perda dirubah lagi dalam rangka
memudahkan rekrutmen perangkat desa yang diserahkan kepada
desa.
Kontribusi APMD sebagai lembaga pendidikan, penelitian
dan pengabdian bisa dikatakan cukup besar di beberapa daerah
dalam rangka pembuatan perda kabupaten. Proses agenda
setting dan formulasi kebijakan merupakan tahapan yang dimana
APMD memiliki andil besar, yaitu pembuatan naskah akademik
dan Raperda. Dalam pembuatan Raperda harus sesuai dengan
peraturan yang berlaku yaitu tidak boleh berseberangan dengan
peraturan di atasnya dan harus melihat kondisi di daerah. Kearifan
lokal adalah bagian yang penting dalam pembuatan naskah
akademik dan Raperda tersebut, karena kearifan lokal harus
berpegang terhadap nilai-nilai yang ada di masyarakat sekitar.
Seringkali memang karena ada kepentingan-kepentingan oleh
para stakeholders Raperda yang telah dibuat oleh tim dari APMD
dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun perda
yang baik adalah jika memang terdapat modifikasi karena ada
kepentingan dari berbagai pihak namun tidak merubah substansi
besarnya.
Kabupaten Demak juga melibatkan tim dari APMD dalam
rangka pembuatan Raperda tentang pilkades pada tahun 2018.
Ada konflik di kabupaten Demak antara desa dengan kabupaten,
selanjutnya desa mengadvokasikan kepentingannya ke DPRD
sehingga konflik beralih antara DPRD dengan eksekutif. Sumber
konflik tersebut adalah terkait dengan masa jabatan kepala desa,
yakni di salah satu pasal mengatakan syarat pencalonan kepala
55 TAHUN STPMD “APMD”
23
desa adalah belum pernah menjabat sampai 3 (tiga) kali masa
jabatan atau 18 tahun. Sementara UU desa hanya menyebut
untuk pencalonan kepala desa, di mana yang akan mencalonkan
diri belum pernah menjabat sampai dengan 3 kali masa jabatan.
Masa jabatan kepala desa sebelumnya ada yang menjabat selama
10 tahun, 8 tahun dan 6 tahun, hal tersebut yang menyebabkan
konflik berlangsung lama.
Selanjutnya tim APMD dimintai bantuan untuk menyelesaikan
konflik tertait perda pilkades tersebut. Pihak eksekutif dan
legislatif kemudian dipertemukan untuk membahas perda
tersebut dengan tim APMD selama kurang lebih 2 hari, dan konflik
tersebut dapat diselesaikan dengan mencoret 1 ayat, yaitu sesuai
dengan UU desa di mana tidak menyebutkan tahun namun hanya
3 kali masa jabatan. Selain masa jabatan yang menjadi sumber
konflik, persyaratan calon juga menjadi perdebatan yang panjang.
Seseorang yang berasal dari desa lain boleh mencalonkan diri di
desa tersebut menyebabkan perdebatan dikarenakan kedekatan
dengan masyarakat setempat dipertanyakan. Akhirnya dibuatkan
strategi yang tidak menyalahi UU desa yaitu warga luar desa boleh
mencalonkan sebagai kepala desa dengan syarat mendapatkan
dukungan dari masyarakat sebanyak 150 dukungan atau KTP. 5
Pembuatan naskah akademik tentang Kapanewon dan
Kalurahan merupakan kerjasama antara APMD dengan Kabupaten
Gunungkidul yang mendapatkan banyak pujian dan apresiasi
pemerintah DIY. Hal tersebut didasari oleh naskah akademik
yang sangat lengkap terutama berlandaskan unsur teoritis,
historis, empiris, yuridis, sosiologis dan filosofis. Dibandingkan
dengan 3 kabupaten lainnya di DIY yaitu Sleman, Bantul dan
Kulonprogo, Gunungkidul mendapatkan apresiasi dan lebih baik
Raperdanya dibanding kabupaten yang lain. Dalam pembuatan
sebuah kebijakan di tahap pembuatan Raperda memang harus
5 Upaya APMD dalam menyelesaikan sengketa perda tentang pilkades di Kabupaten
Demak (Problem Solver, R Widodo Tri Putro)
24
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
memiliki unsur teoritis yang kuat, teori tentang kelembagaan
(institusionalism), contohnya akan menjelaskan terkait dengan
hakikat lembaga, asal-muasal lembaga, fungi lembaga dan outcome
yang akan didapatkan. Selanjutnya aspek historis, unsur ini akan
lebih banyak berbicara terkait sejarah kelembagaan di wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampai dengan unsur filosofis,
dimaknai sebagai pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, cita hukum yang meliputi suasana kebatinan
serta falsafah bangsa Indonesia. APMD juga mendapatkan
kesempatan dalam bentuk pengabdian dan kerjasama dengan
Pemprov DIY pada tahun 2020 untuk membuat Rapergub, yang
kemudian telah disahkan menjadi Peraturan Gubernur tentang
Pedoman Pemerintahan Kalurahan. 6
Dalam tahap implementasi APMD juga pernah dimintai
bantuan untuk sosialisasi tupoksi dari BPD di Sleman, sehingga
pemerintah desa mendapatkan pengetahuan yang baru terkait
apa saja yang harus kerjakan oleh BPD. Untuk mengubah keadaan
mayarakat dan pemerintah desa menjadi lebih baik lagi APMD juga
pernah bekerjasama dengan PT Agincourt Resources Martabe Gold
Mine di Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2019. Kerjasama
tersebut dalam rangka mengimplementasikan UU desa dengan
pembuatan beberapa perbup, yaitu Perbup tentang Kewenangan
Desa, Perbup Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah
Desa, Perbup tentang Penghasilan Tetap Pemerintah Desa, Perbup
tentang Perangkat Desa, dan Perbup tentang BUMDes 7 .
6 DIY yang memiliki keistimewaan, yaitu kedudukan hukum berdasarkan sejarah dan
hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa, sehingga dapat membuat
pedoman pemerintahan sesuai dengan kewenangan istimewa (kerjasama pembuatan
rapergub dari tim APMD yakni Sutoro Eko Yunanto dan Fatih Gama Abisono Nst).
7 Pengalaman dan pengabdian Hastowiyono bersama tim dari Pusat Pengembangan
Kapasitas Aparatur Pemerintah Desa (PPK APD) STPMD “APMD” (Suharyanto dan
Muhammad Barori) dalam pengabdian didesa-desa lingkar tambang yang kerjasama
dengan PT Agincourt Resources di Kabupaten Tapanuli Selatan.
55 TAHUN STPMD “APMD”
25
Kebijakan Diterjemahkan Secara Teknis
Kebijakan Publik dapat dipahami dan dijelaskan dengan
pembuatan strata dalam sebuah kebijakan. Di mana ada kebijakan
yang besifat umum, bersifat pelaksana, dan operasional. Kebijakan
yang bersifat umum adalah kebijakan yang membahas hal-hal
umum dan substansial saja, sedangkan kebijakan pelaksana dan
operasional adalah kebijakan yang dibuat untuk menjelaskan dan
menjabarkan sampai dengan hal yang sangat teknis. Advokasi
dilakukan dalam rangka menjadi sebuah check and balances dari
sebuah kebijakan di setiap tahapan di dalam sebuah kebijakan.
Sebuah kebijakan juga perlu disoroti secara tajam dari bebagai aktor
dan lapisan masyarakat agar kebijakan tersebut bisa berjalan sesuai
dengan rute yang telah ditetapkan. Dalam rangka mengadvokasi
sebuah kebijakan, terdapat pengalaman yang berbeda dari setiap
aktor yang terlibat, di mana advokasi tersebut bisa berjalan sesuai
dengan harapan ataupun masih jauh dari harapan.
Sebagai salah satu upaya untuk menerjemahkan sebuah
kebijakan, APMD telah melakukan kerjasama dalam penyusunan
RPJMDes dengan Kabupaten Kutai Timur bersama PT Kaltim
Prima Coal. Sebelum UU desa dan masih menggunakan UU
32 tahun 2004 dan PP 72 tahun 2005 tentang desa. Pengalaman
Muhammad Barori selaku Akademisi dari APMD pada tahun 2011
yaitu menemani dan mendampingi desa di sekitar tambang terkait
proses Musyawarah Desa, untuk penyusunan RPJMDes yang
bersifat tematik sesuai dengan potensi desa tersebut. Di mana saat
ini kemandirian desa diterjemahkan sebagai sebuah upaya desa
yang mampu menghasilkan produk unggulan dan dari hasil itu
mampu menjamin penghidupan yang berkelanjutan (suistainable
livelihood) bagi warganya dalam tata kelola pemerintah desa yang
baik dan lokal demokrasi. 8 Dalam rangka mengembangkan visi
8 Kemandirian desa diterjemahkan sebagai substainable livelihood, pengalaman
Muhammad Barori di Kabupaten Kutai Timur bersama tim PPDB (Pusat Pembaharuan
Desa Berkelanjutan) yakni Sutoro Eko, Suharyanto, Hastowiyono dan Widyohari
Murdianto.
26
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
desa ke depan, Musyawarah desa dilakukan dan menjabarkan
RPJMDes dengan cara mengidentifikasi terlebih dahulu potensi
desa terutama yang berkaitan dengan potensi ekonomi. Upaya
mengidentifikasi potensi desa sehingga terbentuk sebuah visi yaitu
“Terwujudnya Desa Mandiri Rantau Makmur berbasis Agribisnis”.
Program-program yang tertuang di RPJMDes mengupayakan
pertanian desa maju dan mandiri, di mana kelompok tani
diperkuat, pengunakan kelompok masyarakat yang mengolah
bahan pangan, membuat kelompok ternak, dan pembukaan lahan
yang masih kosong untuk pertanian. Kemudian, RPJMDes tersebut
dipresentasikan di tingkat Kabupaten dengan maksud adanya
atensi atau perhatian dengan dinas-dinas terkait.
Dengan adanya rancangan RPJMDes tersebut, maka Dinas
Pertanian dan Dinas Kehutanan mengetahui terhadap apa yang
dibutuhkan masyarakat desa Rantau Makmur dan hal tersebut
merupakan aspirasi dari masyarakat sehingga model Buttom Up
yang dilakukan bukan model Top Down. Kebijakan yang bersifat
Buttom Up adalah kebijakan yang dibuat berdasarkan aspirasi
dari masyarakat. Kebijakan tersebut cenderung bisa menjadi
cara untuk memecahkan persoalan yang ada di masyarakat,
karena masyarakatlah yang mengetahui apa kebutuhannya, apa
keinginannya dan apa harapan ke depan terkait kehidupannya.
Dengan menggunakan kebijakan Buttom Up artinya semua pihak
sudah dilibatkan dari awal proses pembuatan kebijakan sampai
dengan implemantasi, sehingga semua pihak diharapkan dengan
sungguh-sungguh bekerja sesuai apa yang telah disepakati dan
ditetapkan. Berbeda dengan pendekatan Top Down, di mana
kebijakan dibuat dari atas sehingga masyarakat terutama di
desa hanya diberikan aturan untuk mengimplementasikannya.
Sedangkan kondisi dan keadaan di masyarakat sering berbeda
dengan kebijakan yang dibuat sehingga masyarakat tidak
mendapat dampak yang positif.
55 TAHUN STPMD “APMD”
27
Kerjasama yang dilakukan oleh APMD bersama PT Kaltim
Prima Coal di Kabupaten Kutai Timur tersebut merupakan sebuah
upaya untuk mengadvokasi kebijakan, namun karena memang
dari sisi monitoring kurang maksimal maka gerakan tersebut
mengalami pasang surut. Alumni APMD yang berada di lokasi
tersebut berkontribusi untuk memonitoring desa-desa tersebut,
dalam rangka mengawal dan mendampingi RPJMDes. Alumni
tersebut merupakan hasil kerjasama perusahaan tersebut yang
disekolahkan dari tahun 2005 sampai tahun 2009 yang tergabung
dalam kelompok Gapura. Namun juga tidak selalu monitoring
dari sebuah kebijakan bisa berjalan baik, hal tersebut dikarenakan
soliditas para stakeholders kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari
bagaimana pemerintah desa tersebut bekerja, apakah dari kepala
desa sentris atau sekretaris desa sentris, dan ini sangat berkaitan
dengan individu masing-masing. Banyak fenomena secara empiris
memperlihatkan peran kepala desa yang terlalu kuat sehingga
menjadi single player dalam setiap kebijakan yang dibuat pemerintah
desa. Dominasi yang terlalu kuat oleh kepala desa nantinya akan
menciptakan abuse of power (kekuasaan yang sewenang-wenang)
sehingga memprioritaskan kepentingan sendiri dan kelompoknya
serta cenderung merugikan masyarakat desa. Salah satu upaya
untuk mencegah praktik dominasi kekuasaan adalah filsafat Jawa
yaitu “ngono yo ngono ning ojo ngono” (boleh saja berperilaku
sesuai dengan kehendakmu namun jangan sampai merugikan
orang lain). Kekuasaan kepala desa perlu didampingi oleh BPD
dan lembaga kemasyarakatan sebagai upaya check and balances.
Hal tersebut dilakukan untuk mendampingi pemerintah desa,
khususnya kepala desa untuk bertindak dan berperilaku sesuai
dengan norma, nilai, dan budaya yang berlaku.
Dalam menjelaskan sebuah kebijakan umum, maka kebijakan
yang bersifat umum tersebut harus dijelaskan sampai dengan ke
unsur yang paling teknis. APMD yang dalam hal ini merupakan
pengalaman dan pengabdian dari Hastowiyono pernah beberapa
28
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
kali membantu dan memberikan transfer pengetahuan ke beberapa
daerah seperti kabupaten Sleman, Magelang dan Bantul. Sebelum
adanya UU Desa, sistem perencanaan pembangunan nasional
yang ada di UU No 5 Tahun 2005 hanya menjelaskan perencanaan
pembangunan sampai ketingkat kabupaten dan tidak sampai ke
tingkat desa. Pengalaman bermula mengenai sikap terkait PNPM
(Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri yang
menjadi program Nasional dan APMD tidak sepakat denga adanya
PNPM. Hal tersebut karena PNPM mandiri dianggap tidak efektif
yaitu lebih banyak melemahkan desa dari pada memperkuat desa.
Desa dipecah-pecah, seperti ada sekat antara masyarakat dengan
pemerintah desa, dan program ini banyak tertuju ke masyarakat
tanpa pemerintah desa. PNPM yang bersifat ad hoc di mana suatu
saat nanti berakhir dan hanya akan menjalankan tugas jika ada
program serta tidak ada pemikiran exit strategi sehingga PNPM
dianggap banyak memiliki kelemahan. Di akhir program terjadi
banyak kericuhan terutama sisa dari program PNPM terutama
berupa infrastruktur maupun finansial yang dikelola oleh Unit
Pengelola Kegiatan. Namun atas prakarsa PNPM, APMD juga
sering bekerjasama untuk membahas RPJMDes dengan harapan
pembangunan di desa menjadi lebih baik lagi.
Setelah hadir UU Nomor 6 tentang Desa Tahun 2014, STPMD
“APMD” Yogyakarta sebagai lembaga yang memprakarsai
lahirnya UU tersebut terlibat banyak dalam menjabarkannya ke
beberapa daerah. Pengalaman menarik juga pernah dilakukan
di kabupaten Pegunungan Bintang, yang difasilitas oleh alumni
APMD yang memiliki lembaga yang concern tentang desa yaitu
Syarief Aryfaid pada tahun 2016. Dalam pembuatan sebuah
kebijakan harus mempertimbangkan unsur sosiologis. Hal tersebut
adalah bekal utama bagi para sivitas akademika untuk mengetahui
keadaan sosial di masyarakat. Kejadian yang menarik salah satunya
yaitu ada peserta yang kurang lancar dalam penggunaan bahasa
Indonesia sehingga dalam berkomunikasi sering terkendala.
55 TAHUN STPMD “APMD”
29
Memang bahasa Indonesia adalah bahasa yang wajib digunakan
untuk semua warga Indonesia, namun bahasa tersebut adalah
bahasa kedua setelah bahasa Ibu sehingga seringkali memang di
daerah tertentu bahasa Indonesia masih kurang familiar untuk
digunakan. Kemudian kehadiran Tim APMD di Pegunungan
Bintang dicurigai, “orang Jawa” dianggap datang ke daerah Papua
hanya mau mencari kejelekan Papua saja. Setelah meminta bantuan
kepada Kepala Kampung untuk menjelaskan kedatangan tim dari
APMD, maka kegiatan di kabupaten Pegunungan Bintang berjalan
lancar dalam rangka memberikan transfer pengetahuan terkait
pembuatan RPJMdes.
Cita-Cita Dan Harapan (Lesson Learn)
Sebuah kebijakan dapat diartikan sebagai sebuah bangunan
utuh, di mana terdapat fondasi, atap, dinding, pintu, jendela dan
bagian lain dari bangunan. Sebuah sistem selalu terhubung satu
sama lain, sehingga setiap fungsi dari bagian-bagiannya harus bisa
dijalankan sebagai upaya untuk membuat cita-cita dan harapan
bisa terwujud. Kapal besar harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki
kompetensi hebat sebagai nahkodanya. Seseorang pemimpin harus
mampu memberikan arah tujuan, mampu menurunkan jangkar dan tahu
kapan waktunya dalam mengibarkan layar. Cita-cita harus dipandang
sebagai bintang-bintang di angkasa yang tidak berubah dengan keadaan
dan jangan tergoda dengan adanya lampu lalu-lalang yang bisa
mengaburkan sebuah cita-cita besar (Aburizal Bakrie, pidato Munas
Golkar tahun 2016). Pada prinsipnya sebuah kebijakan yang dibuat
adalah untuk memberikan kebaikan kepada pemerintah desa dan
masyarakat desa. Dari UU tentang desa, peraturan menteri, perda
provinsi, perda kabupaten dan perdes dibuat untuk menjadikan
desa mandiri. Mandiri dalam politik, mandiri dalam ekonomi dan
mandiri dalam kebudayaan.
Gemah ripah loh jinawi adalah salah satu slogan yang sering
digaungkan untuk melihat kekayaan yang melimpah ruah di
30
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Indonesia, di mana tanahnya subur, masyarakatnya tentram
dan kehidupan yang bahagia. Seperti halnya pandangan terkait
adanya politik oleh Plato dan Aristoteles yaitu untuk menciptakan
kebaikan bersama. Potensi sumberdaya alam yang melimpah
di berbagai desa di Indonesia seharusnya mampu memberikan
kesejahteraan bagi masyarakatnya. Potensi pertanian, perikanan
dan kelautan, tambang dan industri lokal harus bisa dikembangkan
dengan baik. Untuk itu perlu adanya sebuah regulasi yang dibuat
oleh pemerintah untuk memperkuat msayarakat desa. Tetapi tidak
hanya regulasi yang dibuat saja, namun harus sampai tingkat
pengawalan yang ketat agar regulasi tersebut tidak lari dari
substansi awalnya pada saat diimplementasikan.
Ngeli ning ojo keli, setelah adanya UU desa yang menguatkan
desa, ditambah dengan adanya Dana Desa dan Dana perimbangan
dari daerah maka pemerintah desa jangan sampai terlena.
Pembangunan infrastruktur yang dikebut dari dana tersebut
namun justru melupakan tugas utamanya yaitu memberikan
kesejahteraan dan kemandirian pada rakyatnya. Jika sudah
berhubungan dengan uang, banyak fenomena (menilep uang
dalam saku) sehingga banyak kepala desa yang ditangkap karena
menyelewengkan kekuasaan. Administrasi yang belibet membuat
desa menjadi seperti macam dalam kandang, disisi lain memiliki
kekuatan dan garang tetapi disisi lainnya lagi mereka tidak bebas
dalam mengembangkan dirinya sendiri. Maraknya wisata di desa
yang dijadikan prioritas dalam pembuatan BUMDES menjadikan
desa hanyut dalam ruang lingkup ekonomi. Tetapi desa lupa
bahwa masyarakat kesusahan untuk menjual hasil buminya, dan
seringkali dihargai dengan tidak layak. Untuk itu pemerintah
desa harus bisa hadir dalam rangka memberikan protecting kepada
masyarakatnya.
Tata titi tentrem kertaraharjo, dalam kehidupan bernegara dan
berdesa maka harus dibuatkan sebuah aturan yang jelas untuk
menata masyarakatnya. Hal tersebut untuk membuat kehidupan
55 TAHUN STPMD “APMD”
31
di desa menjadi lebih harmonis dan mengurangi konflik antar
anggota masyarakat. Adanya beberapa konflik di desa sebagai
contoh perebutan lahan, adalah dampak dari unsur tata tidak
dijalankan dengan baik dan tegak. Selain itu konsep titi diartikan
sebagai upaya untuk membuat tatanan berjalan dengan baik dalam
melakukan segala sesuatunya dengan teliti. Untuk menjalankan
tatanan kehidupan dengan baik perlu adanya punishment bagi
anggota masyarakat agar tidak merusak tatanan tersebut.
Punishment dalam hal ini juga diberikan oleh pemerintah desa
kepada para tengkulak yang memainkan harga pertanian, dimana
perlu ada regulasi yang jelas agar para tengkulak tidak seenaknya
sendiri dan regulasi tersebut dibuat dalam rangka memutus
rantai distribusi yang terlampau panjang. Tentrem yaitu suatu
kondisi kedamaian dan ketentraman dimana unsur tata dan titi
sudah terpenuhi. Dan kertaraharja adalah kehidupan masyarakat
yang damai, seseorang bekerja tidak hanya ingin mendapatkan
keuntungan material semata tatapi keraharjan atau kemakmuran
secara lahir batin.
Daftar Pustaka
Anderson, James E. dan Davis W. Brady et. all. (1984), Public Policy
and politics in America, Monterey. California: Brooks/Cole
Publishing Company.
Anggara, Sahya (2014), Kebijakan Publik, Bandung: Pustaka Setia.
Dye, Thomas R. (1972), Understanding Public Policy. Englewood
Cliffs, N.J: Printice Hall, Inc.
Eko, Sutoro et, all (2005), Manifesto Pembaharuan Desa, Yogyakarta:
APMD Press.
32
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BAB 3
MENJELAJAHI DESA MENGANGKAT
KHAZANAH LOKAL 9
Oleh: Irsasri 10
Desa kian menarik untuk dibicarakan tidak melulu tentang
kebijakan lokal serta dana desanya saja. Khazanah lokal yang
terkandung di dalamnya dan perkembangan masyarakat patut
pula diperhatikan. Ada banyak potensi-potensi desa di Indonesia
menarik untuk ditelusuri. Menjelajahi desa untuk menggali,
menyibak, dan mengangkat segala hal yang terkandung dalam
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dalam konteks khazanah
lokal tentu memiliki upaya dan makna tersendiri. Desa memang
memiliki tempat istimewa dalam ruang kehidupan berbangsa
dan bernegara. Desa harus mampu mengidentifikasi potensi dan
kearifan lokal guna mewujudkan kemandirian di tengah gempuran
modernisasi dan teknologi yang berkembang sangat pesat. Potensi
maupun kearifan lokal mulai dari ekonomi, sosial, hingga budaya
haruslah dikembangkan dengan kemauan dan usaha yang
sungguh-sungguh. Menjelajah desa untuk mengangkat khazanah
lokal betul-betul mendukung upaya dalam membangun potensi
khususnya menghadapi tantangan perubahan.
9 Tulisan ini diolah berdasarkan wawancara dan kajian dari narasumber: Drs. Nikson
Nababan, M.Si. (Bupati Tapanuli Utara), Yakobus Dumupa, S.IP. (Bupati Dogiyai), Dr.
Yuli Setyawati, M.Si.,
Habib Muhsin, S.Sos., M.Si., Fadjarini Sulistyowati, S.IP., M.Si., (Dosen Prodi Ilmu
Komunikasi), Bahrul Ulum (kontributor tulisan) & Tony Tokan (Mahasiswa Prodi
Ilmu Komunikasi)
10 Staf Pengajar Prodi Ilmu Komunikasi,
55 TAHUN STPMD “APMD”
33
Pengarusutamaan Desa dan Perkembangan Teknologi Informasi
Njajah desa milang kori, ungkapan peribahasa dalam bahasa
Jawa yang bermakna melakukan perjalanan ke berbagai wilayah
(desa) untuk mengenal, menggali, menyelami, dan memahami
kehidupan penduduk di suatu wilayah. Peribahasa ini salah satu
nuansa khazanah lokal yang diresapi masyarakat desa khususnya
di Jawa. Khazanah lokal lain yang bermakna tidak jauh berbeda
dari Njajah desa milang kori, yaitu istilah Blusukan. Dalam bahasa
kekinian, terma blusukan sering menjadi tagline para pejabat
maupun dalam kontestasi politik di Indonesia yang sangat akrab
di telinga kita. Njajah desa milang kori maupun blusukan merupakan
sebuah spirit kearifan lokal yang sering kali dipakai untuk menggali
potensi yang ada guna kepentingan pemberdayaan desa. STPMD
“APMD” Yogyakarta pun sejak dulu menanamkan prinsip ini bagi
segenap sivitas akademika maupun dalam konteks syiar khalayak.
Njajah desa milang kori memiliki spirit “berangkat dengan
manfaat, membaur/bersama menambah manfaat, kembali pulang
membawa manfaat”. Semangat semacam itu pulalah yang dipegang
teguh oleh mahasiswa maupun dosen selama melakukan penelitian
dan pengabdian pada masyarakat. Para alumni STPMD “APMD”
Yogyakarta pun tak mau kalah, alumni yang berkiprah di level
eksekutif maupun legislatif tersebar di seluruh Indonesia saling
berlomba memberikan sumbangsih nyata bagi masyarakat yang
dipimpinnya terutama dalam memberdayakan dan mengangkat
potensi-potensi lokal. Banyak prestasi yang telah ditorehkan
melalui kegiatan jelajah desa untuk mengangkat khazanah lokal
ini. Tentu hal ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi
keluarga besar STPMD”APMD” Yogyakarta.
STPMD ”APMD” Yogyakarta secara periodik dengan
daya dukung yang mumpuni banyak melakukan penelitian dan
pengabdian pada masyarakat. Secara terstrukur dan sistematis,
kegiatan ini memiliki manfaat yang sangat lengkap. Semangat
yang dicanangkan yaitu “Desa Membangun Indonesia” tentu
34
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
bukanlah sebuah jargon semata. Upaya nyata terus dilakukan
untuk mewujudkan semangat memuliakan desa. Kegiatan
pengabdian pada masyarakat yang bernapaskan njajah desa milang
kori menyajikan banyak temuan berupa keunikan yang merupakan
kekayaan khazanah lokal. Desa menjadi pusat orientasi pemikiran
dan permenungan demi mewujudkan semangat memuliakan desa
tersebut.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal bertaburan
desa yang bernapaskan desa wisata maupun desa budaya. Hal
ini merupakan kredit tersendiri mengingat DIY biasa disebut
Indonesia mini. Berbagai latar belakang suku, agama, dan budaya
dari para pendatang bahkan pengaruh teknologi informasi tentu
memberikan tantangan tersendiri bagi eksistensi desa dalam
menunjukkan dan mempertahankan kelokalannya. Tidak kurang
puluhan bahkan lebih desa maupun kampung yang tersebar di Kota
Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten
Gunungkidul, dan Kabupaten Kulon Progo memiliki potensi
lokal yang variatif. Aspek adat, tradisi sosial kemasyarakatan,
budaya, ekonomi, pariwisata, hasil kerajinan, dan lain sebagainya
merupakan kekayaan yang murni dimiliki desa. Tentu tidak hanya
di wilayah DIY saja, desa yang tersebar di seluruh provinsi di
Indonesia mempunyai khazanah lokal yang beragam pula.
Desa sedari dulu mudah dikenali dari ciri masyarakatnya
antara lain: (1) Antar warganya mempunyai hubungan yang lebih
mendalam, (2) sistem kehidupannya berkelompok dengan dasar
sistem kekeluargaan, (3) sebagian besar masyarakat pedesaan hidup
bertani, (4) Masyarakat pedesaan bersifat homogen baik dalam hal
agama, mata pencaharian, adat kebiasaan dan atau kebudayaan.
Masyarakat awam pun dahulu memandang klasifikasi antara desa
kota tak hanya ada pada kemajuan pembangunannya saja, tapi juga
ada pada gaya hidup masyarakatnya yang sangat mudah dikenali.
Pengkotak-kotakan semacam itu hari ini sudah tidak lagi
menjadi sesuatu yang mutlak untuk membedakan antara desa
55 TAHUN STPMD “APMD”
35
dan kota. Sebab masyarakat desa kini mampu menyamakan diri
dengan kota dalam hal perkembangan gaya hidup. Misalnya saja
konsumsi teknologi informasi berupa ponsel pintar, kini pengguna
ponsel pintar tidak hanya terbatas pada masyarakat perkotaan saja,
melainkan masyarakat desa juga kini ikut menggunakan ponsel
pintar terkait kebutuhan informasi dan sarana komunikasi yang
kini menjadi kebutuhan pokok. Begitupun sebaliknya, banyak
juga warga kota yang masih kental menjunjung norma-norma
sosial dan tidak bersikap individualis di tengah-tengah manisnya
kehidupan perkotaan. Sejalan dengan makin majunya teknologi
yang memudahkan antar individu untuk saling berkomunikasi
jarak dekat. Melihat lagi ciri khas masyarakat pedesaan dari
segi relasi dan komunikasi tentu sangat bertolak belakang
dibandingkan dengan pola komunikasi bermedium teknologi saat
ini. Di Yogyakarta khususnya masih banyak perkampungan di
wilayah kota yang eksis menerapkan kearifan lokal relasi secara
langsung tanpa sekat, berbincang langsung tanpa perantara ponsel
pintar, interaksi yang luwes dan dinamis serta semangat hidup
gotong-royong dan sebagainya.
Keunikan-keunikan yang ada di desa menarik untuk diangkat,
batas-batas yang ditembus oleh masyarakat desa dan kota kini
bisa disebut sebagai penyulut terjadinya sebuah perubahan.
Dorongan-dorongan dari masyarakat sendirilah yang lebih ampuh
untuk membuat suatu wilayah menjadi berkembang dan maju.
Kemajuan ini bisa dimulai dari adanya pembaharuan teknologi
yang masuk ke wilayah atau justru kesadaran yang timbul karena
ketidaknyamanan masyarakat terhadap kondisi yang mereka
alami. Pembaruan teknologi yang masuk bisa berupa teknologi
pertanian, industri, pangan, hingga teknologi informasi dan
komunikasi.
Teknologi informasi dan komunikasi merupakan suatu bagian
penting dalam hidup hari ini, ia tidak lagi menjadi sebuah barang
mewah melainkan sudah bergeser menjadi kebutuhan pokok.
36
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Bahkan hari ini, di beberapa daerah. Kita tidak lagi melihat adanya
sekat dalam penyebaran teknologi informasi dan komunikasi.
Hampir semua masyarakat sudah menjadi pengguna teknologi
informasi dan komunikasi modern khususnya ponsel pintar.
Ketiadaan sekat ini bisa kita rasakan contohnya di Desa Trimulyo,
Kretek, Bantul dan Gilangharjo, Pandak, Bantul. Penggunaan
ponsel pintar, sama halnya media informasi lain. Gawai ini tentu
memiliki banyak sekali fungsi, mula dari hiburan, pendidikan,
hingga komersil. Namun, kurangnya literasi dalam penggunaan
ponsel pintar khususnya literasi dalam mengakses media sosial
sangat kurang. Sebagai penggambaran, sepuluh orang remaja di
Desa Trimulyo yang sudah mengakses media sosial masih belum
memanfaatkannya secara maksimal.
Penyelenggaraan sosialisasi mengenai literasi media sosial
di kedua desa tersebut oleh STPMD “APMD” Yogyakarta yang
digawangi oleh Habib Muhsin, Fadjarini, dan Yuli Setyowati
dalam rangka kegiatan pengabdian pada masyarakat mendapat
sambutan yang baik dari warga desa. Ada beberapa fakta menarik
Gambar 1. Sosialisasi Literasi Media
55 TAHUN STPMD “APMD”
37
mengenai penggunaan media sosial di Desa Trimulyo. Di sana
ditemukan bahwa para remaja hanya menggunakan media sosial
sebatas untuk media hiburan saja, tanpa memperhatikan fungsi
informasi maupun komersial.
Lain halnya dengan masyarakat Desa Gilangharjo, yang
dalam hal ini berfokus pada ibu-ibu PKK. Saat digali informasi
mengenai penggunaan media sosial, ibu-ibu Desa Gilangharjo
cenderung menggunakan media sosial sebagai ladang informasi.
Mereka “memanen” informasi yang ada di sana serta “menabur”
kembali informasi-informasi yang mereka ketahui. Meski demikian
masyarakat di tingkat desa, dalam hal ini baik Desa Trimulyo
maupun Gilangharjo masih sangat kurang untuk pengetahuan dan
literasi terhadap media sosial. Media sosial yang kini sudah ada
dalam genggaman tangan kita, dalam ponsel pintar kita menjelma
sebagai pedang bermata dua.
Satu sisi bersifat positif dan sisi lain bersifat negatif. Sayangnya,
resiko-resiko semacam ini kurang diketahui oleh masyarakat
desa Trimulyo maupun Gilangharjo. Saat ditanya tentang apakah
mereka mengetahui tentang adanya UU ITE, mereka menjawab
tahu dan pernah dengar, namun tidak begitu paham perihal isinya
apa saja, baik batasan-batasan dalam penggunaan media sosial
maupun sanksi yang bakal mereka dapat jika melanggar aturanaturan
yang ada. Tentu saja ini harusnya menjadi keprihatinan
kita semua, mengingat literasi media sosial tidak hanya untuk
masyarakat kota saja, melainkan untuk semua kalangan masyarakat
tanpa menimbang zonasi wilayah.
Resistensi kultur sosial kemasyarakatan desa khususnya di
DIY masih sangat kuat. Meskipun pengaruh teknologi sudah secara
nyata masuk di setiap lini kehidupan masyarakat desa namun
tidak mengurangi rasa budaya dan adat istiadat khususnya dalam
tatanan pola komunikasi desa. Dapat ditemui di berbagai desa
kegiatan seperti keberadaan kentongan yang masih eksis sebagai
media komunikasi warga. Tradisi rembug atau musyawarah
38
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
warga atau kampung sebagai salah satu forum komunikasi yang
sebenarnya pada era teknologi saat ini sudah fasih ditemui dan
digunakan media pertemuan menggunakan internet secara live
streaming dengan aplikasi whatsapp video call grup, zoom meeting,
dan lain sebagainya.
Melihat fenomena temuan dari salah satu kegiatan pengabdian
tersebut, kita melihat kembali bagaimana eksistensi diri
identitas desa tetap dipertahankan dengan tidak menutup mata
dari hadirnya teknologi informasi yang berkembang saat ini.
Terjadi banyak perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat
desa dengan adanya pengaruh teknologi informasi. Perubahanperubahan
masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, normanorma
sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga
kemasyarakatan, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial
dan lain sebagainya. Perubahan itu terjadi sebagai akibat karena
masyarakat mengalami proses perubahan dalam bermasyarakat
(Soekanto 2001, 259).
Maka tak pelak, khazanah lokal berupa forum-forum
musyawarah warga desa atau pun rembug desa dalam balutan
tradisi adat dan budaya lokal tetap terus dijaga dan dilestarikan
sampai saat ini dan tidak menutup mata dengan hadirnya
teknologi informasi. Layaknya teknologi yang lain di mana
harus ada pengetahuan tentang cara dan batasan-batasan dalam
pemakaian, teknologi informasi dan komunikasi yang masuk ke
suatu wilayah tentu harus dibarengi dengan literasi yang sepadan,
agar tidak terjadi penyalahgunaan dan tidak bijaknya penggunaan
teknologi tersebut. Penggunaan teknologi yang tepat tentunya
mampu membuat sebuah perubahan yang signifikan dalam diri
masyarakat, baik pada masing-masing individu maupun skala
wilayah.
Arus informasi yang dikelola secara baik oleh masyarakat
dapat berperan besar dalam pemberdayaan wilayah. Perjalanan
STPMD “APMD” Yogyakarta tidak hanya sebatas mengkaji
55 TAHUN STPMD “APMD”
39
kualitas sebuah kebijakan, keputusan, dan pengembangan skills
pemerintah desa saja. Membenahi kualitas komunikasi serta mening
katkan literasi masyarakat dalam bermedia merupakan salah
satu langkah yang menjadikan STPMD“APMD” berbeda dari lembaga
lainnya dalam bidang pemberdayaan. Pemberdayaan dalam
suatu wilayah tidak hanya terjadi melalui pihak eksternal saja,
pemberdayaan masyarakat tentu saja harus dimulai dari dalam
diri masyarakat bersangkutan. Karena sebanyak apapun stimulus
maupun program yang ditawarkan oleh pihak eksternal, jika tidak
dibarengi dengan spirit masyarakat untuk berubah ke arah yang
lebih baik, tentu saja langkah pemberdayaan ini akan menjadi siasia.
Seperti yang terjadi pada masyarakat Kampung Preman.
Warga kota Yogyakarta tentu tidak asing dengan nama
Kampung Preman atau yang sekarang ini disebut dengan Kampung
Badran. Badran sendiri bukanlah sebuah desa secara administratif,
melainkan kumpulan rukun warga (RW) yang membentuk sebuah
kampung. Tentu saja akan muncul di benak kita bayang-bayang
Gambar 2. Pemuda kampung “preman” Badran
40
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
ngeri jika mendengar kata Kampung Preman, mulai dari warganya
yang memiliki tato-tato sangar atau bayangan bahwa jika sekali
saja masuk ke sana tidak ada jaminan kalau kita akan pulang
dengan selamat. Label negatif yang didapat Badran yang berupa
nama Kampung Preman dikarenakan memang dahulu setidaknya
terdapat 30% warga yang berprofesi sebagai preman. Bahkan,
konon Badran merupakan kampung “menangan” yaitu kampung
yang selalu menjadi juara bertahan dalam tawuran antar warga.
Citra menyeramkan inilah yang menjadikan Badran sebagai
“kampung hitam” dalam masyarakat Yogyakarta.
Pengalaman dua tahun melakukan penelitian di Badran
merupakan waktu yang tidak sebentar bagi Yuli Setyowati untuk
mengenal Badran dan menguak apa sebenarnya yang membuat
Badran mampu berubah secara cepat dari yang awalnya menjadi
“Kampung Hitam” hingga kini yang menjadi sebuah kampung
yang begitu inspiratif. Pasalnya, mengubah citra preman yang
sudah melekat di masyarakat merupakan hal yang cukup sulit di
lakukan. Layaknya seorang penjahat yang ingin menebus segala
dosa-dosa masa lalu mereka kepada masyarakat. Namun ajaibnya
perubahan itu benar-benar terjadi di Kampung Badran.
Masyarakat Kampung Badran memulai langkah perubahan
mereka dengan menanamkan budaya malu pada seluruh
warga nya. Malu jika kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan,
malu berhutang kepada rentenir hingga terlilit hutang yang
tidak berkesudahan, hingga malu jika anak-anak mereka tidak
mengenyam pendidikan yang layak. Budaya malu yang dibangun
di Kampung Badran dimulai dan digerakkan oleh para kader yang
terdiri dari para perempuan di Badran. Berangkat dari keinginan
kuat bahwa mereka bisa berubah dan keluar dari citra buruk
sebagai Kampung Preman. Para pegiat atau para kader tidak
segan-segan untuk mengingatkan dan serta memberi semangat
untuk bangkit dan percaya bahwa mereka bisa berubah pada setiap
kesempatan dan forum warga. Pesan-pesan yang diberikan secara
55 TAHUN STPMD “APMD”
41
terus menerus ini sukses membentuk kesadaran akan budaya
malu tersebut. Para kepala keluarga yang dulunya betah menjadi
preman dan tidak memiliki pekerjaan kini berubah dan memiliki
pekerjaan, bahkan beberapa dari mereka sudah menikmati masa
tuanya.
Percepatan perubahan ini juga didukung oleh adanya CSR dari
PT. Sari Husada yang berlangsung kurang lebih selama 10 tahun,
melalui program Rumah Srikandi melakukan pendampinganpendampingan
yang diberikan kepada para perempuan di
Kampung Badran dan sekitarnya. Selain itu, adanya dinamika
masyarakat internal yang menginisiasi perubahan di masyarakat.
Dinamika masyarakat internal ini lahir karena adanya model
kepemimpinan partisipatif dari para tokoh masyarakat yang ada.
Mereka membuktikan bahwa sosok pemimpin bukan hanya
menjadi seseorang yang memimpin rapat lalu mengurus surat
menyurat. Namun mereka betul-betul mengoordinasikan kegiatan
dan ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan berjalan. Dengan
Gambar 3. Pendampingan perempuan Badran
42
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
demikian Badran mampu mematahkan pandangan umum yang
menyatakan bahwa masyarakat kota merupakan masyarakat yang
individualis. Badran sebagai masyarakat yang berada di wilayah
kota justru merupakan model masyarakat yang sangat guyub dan
komunikatif layaknya masyarakat di wilayah desa pada umumnya.
Keunikan semacam ini tentu jarang dapat ditemukan di desa-kota
di daerah lain.
“Tidak ada masyarakat yang tidak bisa berubah.” Kira-kira
begitu kalimat yang bisa kita ambil sebagai pembelajaran dari apa
yang telah dilakukan oleh masyarakat Badran. Seburuk apapun
masyarakat, mereka akan mampu berubah menjadi lebih baik
jika ada dorongan dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Badran
memiliki spirit yang unik dalam melakukan perubahan selain
adanya budaya malu, yaitu semangat belajar atau mengetahui halhal
baru yang nantinya bakal membawa perubahan positif dalam
masyarakat. Masyarakat Badran merupakan masyarakat yang
tidak pernah menolak jika ada kegiatan yang bersifat inovatif yang
ditawarkan kepada mereka. Tentunya hal ini akan menjadi lebih
efektif jika didukung secara maksimal oleh dorongan eksternal
dari pihak-pihak luar seperti pemerintah maupun pihak swasta.
Pemicu-pemicu gerakan masyarakat yang inovatif dan bisa
dikatakan ekstrim tidak hanya bisa kita temukan di kampung
Badran saja. Beralih ke Pulau Belitung misalnya, di Desa Balok,
Kecamatan Dendang bisa kita lihat hasil-hasil nyata dari kontribusi
pihak eksternal yang menjadi pemantik semangat warga dalam
pemberdayaan masyarakat. Spirit pemberdayaan STPMD “APMD”
Yogyakarta yang memang sedari dulu menjunjung tinggi prinsip
“dari, oleh dan untuk masyarakat” tentunya selaras dengan hal
tersebut. Masyarakat Desa Balok mengembangkan potensi wisata
Sungai Balok menjadi objek wisata Keretak Nibong. Pembangunan
objek wisata ini diawali oleh program kerja Mahasiswa asal Pulau
Belitung yang mengajak warga setempat untuk mengembangkan
potensi-potensi wisata yang ada di Desa Balok. Beberapa mahasiswa
55 TAHUN STPMD “APMD”
43
yang merupakan perwakilan STPMD “APMD” Yogyakarta ikut
serta dalam gerakan tersebut.
Keinginan yang besar dari masyarakat ditambah inisiasi
dari mahasiswa membawa perkembangan yang nampak jelas,
Sungai Balok yang dulunya hanya sebagai dermaga nelayan untuk
melaut, kini sudah menjadi objek wisata yang ramai dikunjungi
oleh wisatawan lokal, domestik maupun mancanegara. Hakikat
sifat masyarakat pedesaan memang banyak bergotong-royong dan
tolong menolong, suka bekerja dan memiliki nilai tinggi terhadap
kegiatan bekerja, maka tidak perlu adanya motivasi untuk
menambah semangat kegiatan bekerja bagi masyarakat pedesaan.
Namun inisiatif dan inspirasi eksternal sangat dibutuhkan karena
pandangan dari pihak luar desa mampu mengembangkan potensipotensi
yang ada di desa tersebut. Desa Balok sendiri jika dilihat
dari letak wilayah, termasuk dalam Desa terluar di Belitung
Timur, wilayahnya pun masih didominasi hutan dan perkebunan.
Namun, seperti yang sudah disampaikan di awal, sekat antara
desa dan kota tidak bisa dilihat melalui perkembangan teknologi,
sosial budaya, perekonomian maupun gaya hidup.
Gambar 4. Tradisi lokal nirok nanggok (menombak ikan)
44
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Meski lokasi yang nampak jelas bahwa Desa Balok merupakan
wilayah pedesaan bukaannya kota, namun kemajuan
pengetahuan warga yang mumpuni patut diapresiasi. Sebab dalam
mengembangkan objek wisata Keretak Nibong, masyarakat Desa
Balok mengg unakan refrensi wisata mangrove di luar daerah
dengan mengakses media sosial Instagram. Kemampuan akses
ini bukan semata-mata bergantung pada kemampuan berpikir
masyarakat saja, karena jika mengagumi warga desa yang
mampu mengakses internet hanya berdasarkan kecerdasan warga,
ini agaknya terlalu mengerdilkan masyarakat desa. Namun,
kemampuan dalam mengakses internet hingga media sosial ini
bermaksud pada fasilitas jaringan internet yang sudah menjangkau
wilayah tersebut. Jangan jarak yang cukup jauh, sekitar 80 km
dari pusat kota, Desa Balok terbukti tidak menjadi daerah terisolir
dengan masuknya akses internet. Dengan demikian, khazanah
lokal yang berupa gotong-royong warga dengan membuka diri
dan sadar tentang pentingnya mengangkat potensi wisata lokal
menjadi kekuatan yang luar biasa dalam menjaga desa tetap berdiri
tegak.
Gambar 5. Tradisi adat Maras Taun Desa Balok
55 TAHUN STPMD “APMD”
45
Khazanah Lokal Yang Mengglobal
Semangat jelajah desa berlanjut ke kawasan pulau Sumatra
bagian utara. Salah satu alumni STPMD ”APMD” Yogyakarta yang
berprestasi dan memiliki kiprah luar biasa sebagai kepala daerah
yaitu Nikson Nababan. Sebagai bupati Tapanuli Utara tentu
memiliki pengalaman tersendiri dalam memimpin daerah yang
banyak memiliki potensi-potensi yang beragam. Tapanuli Utara
dikenal karena keindahan alam, budaya, dan potensi agraris yang
terus berkembang. Pakaian adat Ulos, wisata danau Toba, dan
potensi agrarisnya yang sangat kuat menjadi ciri khas khazanah
lokal yang dimiliki kabupaten Tapanuli Utara. Sebagaimana
diketahui secara umum bahwa pakaian adat Ulos merupakan jenis
pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan khusus adat saja
namun saat ini dengan upaya pemberdayaan dan mengangkat
potensi lokal, kain Ulos saat ini sudah menembus ke mancanegara
dibuktikan dengan adanya fashion show menampilkan busana
berupa jas, jaket, kemeja yang berbahan dasar kain Ulos.
Semangat membangun Tapanuli Utara dari desa menjadikan
sebuah inspirasi tersendiri bagi Nikson Nababan. Sebagaimana
46
Gambar 6. Nikson Nababan blusukan ke lahan pertanian
Sumber : Facebook Nikson Nababan
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
desa berperan, inspirasi desa kuat maka Indonesia juga kuat
merasuki prinsip kerja bupati untuk mewujudkannya. Sebagai
bupati yang sangat memahami rakyatnya, Nikson Nababan
berupaya melalui program-program kerjanya menjadikan
Tapanuli utara lumbung pangan, lumbung sumber daya manusia
yang berkualitas, dan tujuan wisata. Guna mewujudkan impian
yang mulia tersebut, Nikson Nababan memulai dengan langkah
menjelajah desa-desa yang masih terisolir. Dengan mengupayakan
akses baik sarana prasarana infrastruktur jalan, jembatan, listrik,
teknologi komunikasi, dan transportasi maka diharapkan hasilhasil
pertanian yang memang menjadi sumber potensi agraris
lokal bisa sampai ke kota. Selama ini ada hal menarik dari tradisi
masyarakat setempat ketika akan menjual hasil pertaniannya
selalu menggunakan transportasi kuda karena belum tersedianya
infrastruktur jalan dan terisolir.
Selain menyediakan alat-alat berat untuk membangun
infrastruktur jalan, Nikson Nababan juga memberikan pelatihanpelatihan
bagi masyarakat desa-desa yang masih terisolir dengan
membekali mereka keterampilan berwirausaha. Mengingat
Gambar 7. Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan
Sumber : Facebook Nikson Nababan
55 TAHUN STPMD “APMD”
47
banyak sekali sumber daya alam dan potensi-potensi lain yang
ada di setiap desa tersebut akan sangat sayang sekali apabila tidak
dimaksimalkan. Melalui upaya akses teknologi informasi, mulailah
internet terhubung ke daerah-daerah tersebut. Akses internet yang
sudah masuk berarti arus informasi di sana juga ikut sebanding
dengan arus informasi yang ada di kota. Karena beberapa daerah
hingga hari ini masih kita temui belum mendapat akses internet
sehingga arus informasi tidak bisa mereka dapatkan. Bupati
Tapanuli Utara Nikson Nababan yang mewarisi spirit berdesa
dari STPMD “APMD” Yogyakarta terus menerus berikhtiar untuk
membuka jalur agar desa tersebut mudah diakses.
Kesulitan fasilitas internet masuk ke sana juga disebabkan
karena sulitnya jalan masuk ke desa tersebut. Karenanya Nikson
Nababan memulai langkahnya dengan cara membuka jalur agak
siapapun mudah untuk mengunjungi desa tersebut. Nikson
Nababan semenjak menjabat menjadi bupati Tapanuli Utara sudah
menjelajahi desa-desa pelosok di Tapanuli Utara serta menggali
potensi-potensi luar biasa dari desa-desa tersebut. Tindakan yang
dirasa tepat ini berlandaskan pada visinya secara pribadi yang
ingin membangun daerah dari desa (bottom-up) bukan menerapkan
sistem menetes dari atas (top-down). Membangun desa tentu saja
harus dibarengi dengan mengangkat potensi-potensi lokal yang
ada di desa tersebut, baik itu sumber daya alam, budaya maupun
sumber daya manusia yang unggul.
Falsafah njajah desa milang kori atau menelusuri potensi desa
satu persatu seperti ini tentu sangat penting, mengingat garda
terdepan pembangunan sebuah daerah dan negara adalah desa.
Membangkitkan potensi-potensi lokal yang ada guna meningkatkan
mutu masyarakatnya bakal menjadi jalan pemberdayaan yang amat
berarti. Khazanah lokal desa-desa di Indonesia tentu tidak mungkin
seragam, mengingat kekayaan ragam budaya, masyarakat hingga
kondisi alam Indonesia yang heterogen. Desa-desa yang terisolir
bisa kita sebut sebagai desa yang kehilangan hubungan dengan
48
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
desa-desa lainnya. Sehingga langkah membuka akses masuk ke
desa tersebut merupakan gerbang emas bagi pemberdayaan desa
dalam usaha mengangkat khazanah lokal.
Setelah membuka akses masuk menuju desa, langkah paling
utama selanjutnya ialah menyiapkan amunisi untuk menyambut
perubahan. Amunisi yang harus disiapkan tentu bukan hanya
pasokan sumber daya alam yang melimpah, persiapan pada
sumber daya manusianya (SDM) juga musti mumpuni. Inilah yang
dilakukan Bupati Dogiyai Papua, Yakobus Dumupa yang juga
seorang alumni STPMD “APMD” Yogyakarta. Yakobus Dumupa
dengan optimis membina pemuda-pemuda desa di Kabupaten
Dogiyai. Sebagai bupati tidak sedetik pun Yakobus Dumupa
menduduki kursinya yang empuk di kantor dinas. Dengan
semangat jelajah desa dan tentu saja gaya blusukan menembus
desa-desa yang terisolir, menapaki bentang alam yang masih
belum banyak terjamah tangan-tangan asing, menerobos iklim dan
cuaca yang tidak bisa ditebak. Sebuah pengalaman tersendiri bagi
Gambar 8. Yakobus Dumupa mendampingi pemuda desa
Sumber : http://www.yakobusdumupa.com/
55 TAHUN STPMD “APMD”
49
Yakobus Dumupa dalam melayani dan senantiasa dekat dengan
warganya.
Kabupaten Dogiyai memiliki satu suku besar yaitu suku Mee.
Tiap suku bangsa memiliki lembaga adat istiadat dan budaya sendiri.
Warga suku Mee bercirikan hidup berkelompok dan berpencar
berdasarkan sukunya serta bergantung pada alam sehingga sering
berpindah tempat. Segi sistem kekerabatan masyarakat, suku Mee
memiliki tali persaudaraan sesama suku yang sangat kuat. Warga
pedesaan di wilayah Dogiyai bergantung pada potensi lokal dari
sumber-sumber daya yang merupakan anugerah istimewa. Lahan
pertanian yang subur, perkebunan terhampar luas, hasil hutan
berupa kayu masohi, rotan, damar, gaharu yang sangat langka,
tambang emas yang berserakan, peternakan dan perikanan yang
melimpah, juga penghasil kopi Arabica (Mowanemani) yang
tersohor bahkan sampai mancanegara. Semua potensi istimewa
tersebut merupakan kekayaan lokal kabupaten Dogiyai yang harus
terus dilestarikan dan dipromosikan.
Kekayaan sumber daya di kabupaten Dogiyai tentu harus
dikelola dan dikembangkan dengan sistem yang baik. Pemberdayaan
aset lokal yang terdiri dari pemuda desa yang potensial
dan masih murni belum terpengaruh globalisasi merupakan
strategi yang jitu dalam mengangkat khasanah lokal Dogiyai.
Maka pembinaan berbasis kemampuan kerja untuk warga Dogiyai
dilakukan Yakobus Dumupa secara berkala, setahun sekali.
Program ini diprioritaskan agar nantinya sedikit demi sedikit,
orang asli Kabupaten Dogiyai menjadi orang-orang yang produktif
dalam berwirausaha dan memiliki kemampuan kerja yang
mumpuni. Pembinaan ini tak hanya sebatas memberikan ilmu
lalu selesai, model seperti itu tentu hanya akan membuat program
pemberdayaan ini menjadi bersifat karikatif saja. Yakobus Dumupa
berkomitmen terus mendukung para pemuda desa sampai mereka
menjadi pengusaha yang mandiri. Ketika potensi SDM mumpuni
maka selanjutnya dibekali modal usaha. Setiap pemuda Dogiyai
50
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
dengan daya kreativitas dan proyeksi usaha yang dimiliki akan
terus didampingi dan dibina hingga mereka mampu mandiri.
Giat jelajah desa menyibak khazanah lokal yang bermuara
pada temuan menarik dan khas. Temuan-temuan berupa potensi
sumber daya alam dan manusia ini tentunya merupakan hal
penting untuk dikaji dan diangkat lebih kuat lagi, mengingat
ketahanan sumber daya manusia jauh lebih efektif dan efisien
tidak hanya mengandalkan potensi sumber daya alam saja. Karena
hakikatnya sumber daya alam jenis apapun tidak akan menjadi
berguna bagi sebuah daerah jika tidak diolah oleh sumber daya
manusia yang mumpuni. Tentu saja ini sejalan dengan kemajuan
desa, para pemuda yang diberdayakan merupakan tonggak utama
atau garda terdepan desa untuk berkembang dan maju. Semangat
penguatan dan pemberdayaan potensi lokal dari para pemuda
sangat penting bagi kemajuan desa. Pemuda-pemuda yang telah
dibina dan memiliki kemampuan inilah yang nantinya membuka
usaha-usaha mereka secara mandiri, kemudian membuka
lapangan pekerjaan di tingkat desa, dan dengan demikian kualitas
kehidupan di desa tersebut akan semakin maju dan berkualitas
tanpa kehilangan identitas.
Jelajah desa nusantara tentu menjadi istilah yang tepat dalam
mengingatkan kembali memori bahwa Indonesia dengan bentang
alam yang sangat luas bersemi keanekaragaman budaya tersebar
segala penjuru pulau. Menyibak khazanah Adonara, sebuah pulau
yang ada di Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Dikenal secara global dengan cerita perang tanding yang
ada di Adonara menjadi suatu perdebatan yang terus-menerus ada
di tingkatan masyarakat lokal, nasional sampai pada internasional.
Beberapa jurnal dari Eropa pernah menulis tentang perang yang
ada di Adonara. Khazanah lokal yang bisa dikatakan unik sekaligus
membuat fenomena tersendiri cerita di Adonara ini. Bagaimana
melihat Adonara sebagai sebuah pulau yang selalu saja terjadi
perang. Perang itu sendiri memiliki dua faktor pemantik yaitu (1)
55 TAHUN STPMD “APMD”
51
Perang itu terjadi itu karena berhubungan dengan tanah sehingga
terjadi perebutan tanah, sengketa tanah dan sebagainya. Kemudian
orang turun untuk melakukan negosiasi dan jika kesepakatan
adatnya tidak jalan, tidak sampai pada hasil bicara, kemudian
mereka memutuskan untuk melakukan perang.
Perang dalam masyarakat Adonara pun ada tradisi-tradisi
seni di dalam perang itu. Terdapat kesepakatan sebelum perang
itu terjadi, biasanya terkait dengan waktu, kemudian alat-alat yang
digunakan dan jarak-jarak antar kedua suku serta lain sebagainya.
Itu semua disepakati terlebih dulu dan kalau masih ada yang
melanggar kesepakatan itu tanpa sebab, pasti orang tersebut
akan mati tanpa sebab yang jelas. Karenanya nilai-nilai tersebut
sudah menjadi kepercayaan adat lokal dan orang-orang kemudian
mempercayai hal tersebut sebagai sebuah tradisi.
Memang menjadi suatu problematika ketika dilihat situasi
dengan perspektif hak asasi manusia, poin penting bahwa kemanusia
an itu menjadi jauh lebih utama dari pada perang
itu sendiri, tetapi menjadikan hal lain lagi bila ini merupakan
budaya masyarakat lokal. Artinya perang dalam konteks budaya
masyarakat tersebut itu bersifat natural. Hal ini kemudian menjadi
pertanyaan khusus. Bagaimana cara agar khalayak memahami
perang di Adonara dalam perspektif yang lebih kontekstual
bagi masyarakat Adonara dan bagi khalayak yang menggeluti
komunikasi pemberdayaan serta varian-varian disiplin komunikasi
lainnya sebagai sebuah kekuatan bagi masyarakat lokal untuk
melihat potensi dalam dirinya sendiri.
Perang di Adonara sendiri sejauh pengamatan, merupakan
perang yang bersifat natural sehingga ada istilah-istilah kedaerahan
yang digunakan. Misalnya secara harafiah dalam bahasa Indonesia
ada sebutan yang menyatakan “tanah kita sedang bengkok” saat
istilah ini sudah dinyatakan, mau tidak mau, suka tidak suka, darah
itu harus jatuh. Orang awam akan melihat tanah sebagai sebuah
benda, tetapi lain dengan orang Adonara, mereka melihat tanah itu
52
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
sebagai seorang ibu. Ini merupakan bentuk pelampauan terhadap
nilai, misalnya di dalam ilmu komunikasi bisa dilihat sebagai
perspektif semiotika maka akan dapat secara jelas terlihat bahwa
ternyata ada jenis penanda-penanda lain yang harus dipahami
lebih jauh.
Kelompok masyarakat ini merasa perlu ada kestabilan
ekosistem. Bagi orang-orang lokal, mereka merasa bahwa perang
itu terasa biasa saja, karena mereka merasa sudah menjadi bagian
dari perang itu selama bertahun-tahun. Tetapi, karena adanya
standarisasi nasional yang mengedepankan hak asasi manusia,
menyebabkan pandangan awam terhadap perang menjadi berbeda
dengan kacamata orang lokal Adonara.
Desa, dalam hal ini memiliki pola penyelesaian masalah
yang sangat berbeda dengan yang selama ini terlihat. Di dunia
akademi menggunakan perspektif teoritis untuk melihat segala
persoalan, tetapi problemnya adalah wilayah kontekstual dalam
perspektif teoritis ternyata tidak bisa selamanya menyelesaikan
problem yang ada di suatu wilayah. Menjadi temuan tersendiri
berupa varian komunikasi yang ada di setiap daerah menjadi
semacam komunikasi yang kompleks. Tidak hanya sekadar pesan
dari komunikator ke komunikan yang menciptakan understanding.
Justru komunikasi yang baik itu merupakan bagian dari bagaimana
orang-orang merasa kepuasan terhadap apa yang akan
disampaikan dan itu semua berupa penanda-penanda. Sehingga
dalam hal ini muncul spekulasi bahwa komunikasi yang baik itu
adalah komunikasi yang tidak diucapkan secara verbal.
Perihal metode komunikasi yang dapat dipahami pada desadesa
di Indonesia Timur khususnya adalah bagaimana orang
menyelesaikan perang di Adonara. Barangkali solusi alternatifnya
memang kita perlu satu konstitusi lokal, semcam dewan komunal
dan lain sebagainya untuk untuk bicara tentang bagaimana
menghubungkan banyak konflik ini dan itu agar mampu diselesaikan
oleh orang lokal. Sayangnya, problem hukum di Indonesia
55 TAHUN STPMD “APMD”
53
selalu menyelesaikan masalah menggunakan perspektif “apa
yang diajukan oleh negara”. Tidak pernah melihat dari bawah,
bagaimana perspektif kontekstual itu bekerja pada problem perang
di Adonara sehingga ini bakal menjadi problem yang sangat khas.
Maka seiring dengan itu problem ini juga membutuhkan solusi
yang memang hanya bisa diselesaikan oleh orang lokal sendiri,
artinya memang campur tangan negara dalam urusan hukum
formal itu hanya menjadi penambah masalah, karena di lapangan
beberapa kali sudah dilakukan usaha semacam ini Misalnya
beberapa perang yang sudah dilakukan di Adonara kemudian
diselesaikan dengan jalur hukum dan justru membuat dampaknya
dirasa ke mana-mana. Dampaknya sampai kepada bagaimana
relasi sosial masyarakat, kemudian hubungan komunikasi mereka
menjadi makin bermasalah. Ini artinya memang bukan dengan
cara itu untuk menyelesaikan perang lokal. Menjadikan khazanah
tersendiri bagaimana kemudian dibentuk varian-varian menjadi
suatu institusi lokal kemudian bisa memunculkan ide tentang
penyelesaian perang ini.
Kehidupan masyarakat di desa yang terkemas apik dalam
bingkai khazanah lokal patutlah dilestarikan lebih-lebih dikenalkan
khalayak ramai. Njajah desa milang kori, menjelajahi desa
mengangkat khazanah lokal dari perspektif sosial budaya tentu
saja menyajikan kekayaan adat, tradisi, dan pola kehidupan
masyarakat lokal yang beragam. Etalase khazanah lokal semakin
menguatkan Indonesia yang dikenal dengan budaya dan tradisi
yang masih natural. Njajah desa milang kori dari perspektif politik
merupakan sebuah laku blusukan yang mengandung makna salah
satu konsep dalam kepemimpinan. Pemimpin yang tidak hanya
“ngendon” atau berkantor di tempatnya bekerja tetapi pemimpin
yang harus terus belajar, mengamati, menyelami, dan memahami
langsung dari rakyat dan bekerja secara nyata bagi rakyat yang
dipimpinnya karena pemimpin itu bagian yang tidak terpisahkan
dari rakyat.
54
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Daftar Pustaka
Altinay L dan Paraskevas A. 2008. Planning Research in Hospitality
and Tourism. Burlington (US): Butterworth-Heinemann.
Fajarini U. 2014. Peranan kearifan lokal dalam pendidikan karakter.
Sosio Didaktika.1(2): 123130.
Liliweri A. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung (ID): Nusa
Media.
Soerjono Soekanto. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada,.
55 TAHUN STPMD “APMD”
55
56
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BAB 4
KKN: BERGAUL, BELAJAR, BEKERJA
DAN BERDESA
Oleh: Fatih Gama Abisono Nst 11
Imam Sutrisno tidak pernah menyangka, apa yang dilakukan
saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) lima tahun lalu, ternyata
meninggalkan jejak-jejak perubahan bagi warga Dusun Gayam,
Desa Jatimulyo, Kabupaten Bantul, DIY. Saat itu, Imam tengah
terlibat dalam Program KKN Tematik pada tahun 2015 lalu. Salah
satu peninggalan yang terus diingat warga Gayam adalah tentang
upaya Imam dan kawan-kawan menyelamatkan sejarah asalusul
mereka. Cerita lokal Cokro Joyo berhasil membangkitkan
memori kolektif warga tentang identitas mereka dan nilai-nilai
hidup bersama. Identitas kolektif mampu menghidupkan kembali
kepercayaan diri mereka terhadap jati diri sebagai orang desa.
Cerita serupa juga disampaikan Lintang Noor Khaliq. Tahun
2017 lalu, Lintang mengikuti program KKN Reguler Periode 51
Tahun 2017 di Dusun Mendolo, Desa Pagerharjo, Kulon Progo.
Bersama kelompok, Lintang mengusulkan sensus makam sebagai
program kerja kelompok. Program sensus dilakukan dengan
11 Staf Pengajar Prodi Ilmu Pemerintahan, Penulis memberikan apresiasi mendalam
pada Drs. Jaka Triwidaryanta, M.Si (Dosen Pembimbing Lapangan), yang telah
memberikan kontribusi berupa tulisan pendek tentang pengalaman mendampingi
mahasiswa KKN Peduli Covid-19 di kelurahan Sorosutan, Kota Yogyakarta.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada nara sumber yang telah meluangkan
waktu: Imam Sutrisno (Alumni Prodi Pembangunan Sosial 2012), Lintang Noor
Choliq (Alumni Prodi Ilmu Pemerintahan 2014), Agustinus Sakro (Mahasiswa Ilmu
Pemerintahan 2016), Badarudin (Dukuh Gayam, Desa Jatimulyo, Bantul), Widayat
(Lurah Desa Pagerharjo, Kulon Prpgo) dan Suhardi (Lurah Desa Pacarejo, Gunung
Kidul), serta Drs. RY. Gatot Raditya, M.Si (Kepala P3M STPMD ‘APMD”).
55 TAHUN STPMD “APMD”
57
melacak asal-usul makam yang ada di Dusun Mendolo pada ahli
waris. Tak kurang 200 makam berhasil diidentifikasi, diarsipkan
serta kemudian dibuatkan tanda yang memuat identitas jenazah.
Dua tahun kemudian, arsip yang dikumpulkan bermanfaat saat
warga mengurus hak-hak waris warga berupa sertifikat tanah.
Bahkan upaya untuk memperbaharui dan mendigitalkan arsip
dilanjutkan oleh kelompok pemuda dusun setempat.
Dua kisah tersebut mewakili spirit penghayatan tentang cara
memahami persoalan kemasyarakatan yang berlangsung melalui
program pembelajaran KKN di Kampus Desa STPMD “APMD”
Yogyakarta. Sebagai mata kuliah wajib bagi program studi S-1
(Strata Satu), KKN STPMD “APMD” dibangun dari empat prinsip
dasar yakni: Bergaul, Belajar, Bekerja, dan Berdesa. Bagaimana
keempat prinsip dasar tersebut mengejawantah dalam praktik
KKN? Bab ini secara khusus akan memaparkan capaian-capaian
dan refleksi pembelajaran atas KKN STPMD “APMD” yang
dilandasi keempat prinsip tersebut dalam pengabdian kepada
masyarakat.
Komunikasi Antar Budaya: Srawung
Sejak diterjunkan ke lokasi KKN, mahasiswa peserta KKN
selalu didorong untuk beradaptasi dengan ritme kehidupan
masyarakat setempat. Tentu perkara ini tidak mudah dilakukan,
di tengah tantangan KKN acapkali diidentikkan dengan bantuan
mahasiswa berupa program-program fisik. Program-program
seperti plangisasi, pembuatan gapura, hingga neonisasi kerap kali
memenuhi daftar permintaan warga kepada mahasiswa KKN.
Padahal, sejak pembekalan, peserta KKN telah ditanamkan nilainilai
pemberdayaan masyarakat. Tantangan ini jika tidak dikelola
dapat menjadi bumerang bagi mahasiswa, sebab mereka tengah
berupaya meraih kepercayaan warga.
Sejak sosialiasi pada warga di lokasi KKN, Pusat Penelitian
dan pengabdian Kepada Masayarakat (P3M) telah membangun
58
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
pemahaman bahwa KKN adalah arena pembelajaran baik bagi
warga maupun mahasiswa KKN. Spirit saling belajar inilah yang
coba dibangun sehingga antara mahasiswa dan warga terjalin
hubungan yang hangat dan guyub. Saat diterjunkan mahasiswa
memperkenalkan diri dan pelaksanaan mahasiswa dituntut dapat
beradaptasi dengan baik bisa manjing ajur ajer.
Beragam strategi pendekatan ke masyarakat pun digunakan
untuk mengenali dengan lebih baik apa yang menjadi persoalan,
kebutuhan dan kepentingan warga. Strategi umum yang ditempuh
dengan mengikuti beragam kegiatan keseharian hingga aktivitas
sosial warga. Sejak hari pertama mereka mengikuti induk semang
dari membantu pekerjaan rumah hingga ke ladang atau kebun.
Mereka juga turut dalam berbagai kegiatan rutin seperti arisan,
pengajian, pertemuan rutin di tingkat RT hingga dusun, hingga
ikut dalam kegiatan ronda. Bahkan mereka juga terlibat dalam
kegiatan sambatan atau rewang manakala ada warga yang sedang
menggelar hajatan seperti membangun rumah atau pernikahan.
Lebih jauh, mahasiswa berupaya memperpendek jarak dengan
warga. Mereka berusaha untuk melepaskan identitas sebagai mahasiswa.
Bahkan Imam menuturkan, saat berada di tengah masyarakat,
mereka berupaya tampil bukan sebagai mahasiswa tetapi
menjadi bagian dari masyarakat setempat. Ungkapan serupa juga
disampaikan oleh Agustinus Sakro, mahasiswa asal Kalimantan
Barat. Sakro menyatakan pentingnya melepaskan identitas sebagai
mahasiswa atau identitas asal daerah agar lebih cair.
Forum-forum informal menjadi medium pertukaran khazanah
kebudayaan lokal. Forum informal menjadi arena saling mengenal
antara mahasiswa KKN dengan masyarakat setempat yang berbeda
latar budaya. Upaya mengenal budaya setempat dilakukan dengan
menempatkan diri dengan menerima adat lokal dan mengikuti
semua mekanisme sosial yang ada. “Saya merasa bukan sebagai
orang Dayak, tetapi saya adalah bagian dari masyarakat setempat”,
ujar Sakro.
55 TAHUN STPMD “APMD”
59
Komunikasi antar budaya semacam itu juga dirasakan
warga. Kedatangan KKN telah memberi nuansa atau warna baru
bagi masyarakat. Lurah Desa Pagerharjo, Widayat, menuturkan
masyarakat melihat perbedaan dan keberagaman menjadi daya
tarik. Warga berupaya mengenalkan adat setempat. Mereka
mengenalkan nilai-nilai yang perlu ditularkan, misalkan etika
pergaulan dalam budaya Jawa. Di samping mengenalkan adat
setempat, warga juga berupaya memahami karakter mahasiswa
asal luar daerah. “ Ada hal-hal yang membuat kaget masyarakat. Misal
terkait dengan gaya bicara keras, jelas ada penyesuaian, mengingat
kebanyakan dari Indonesia Timur,” kata Widayat.
Peristiwa-peristiwa tersebut sekaligus menjadi ruang
perjumpaan untuk membincangkan berbagai ragam persoalan
warga. Lintang menyatakan saat ber-KKN dia dan kawan-kawan
berusaha hadir di setiap kegiatan warga entah kegiatan pemuda,
kegiatan para ibu, hingga anak-anak agar dapat menangkap pesanpesan
warga tentang berbagai keluhan, masalah, dan kebutuhan
warga. “Yang kami lakukan adalah srawung, kita datang, menarik perhatian
mereka. Pas lagi di pos ronda kita datangi, kita ajak ngobrol, dan
diskusi untuk mengurai masalah-masalah warga. Dan tanggapan mereka
sangat baik”, ujar Lintang.
Jika kisah-kisah terdahulu merujuk situasi normal saat KKN,
kisah berikut menujunkkan tantangan ekstrim terkait penerimaan
warga terhadap KKN STPMD “APMD”. Ditengah Pandemi
COVID-19, STPMD “APMD” tetap menggelar KKN Reguler Periode
53 tahun 2020. Dengan Tema KKN Peduli Pandemi COVID-19,
STPMD “APMD” menerjunkan 158 mahasiswa di lima kelurahan
Kota Yogyakarta. KKN Reguler ini memang agak berbeda dengan
KKN reguler yang biasa mengambil lokasi di suatu Desa saja. Pilihan
menggelar KKN di kota bukan tanpa alasan. Pertimbangan ber-
KKN di kota agar mahasiswa yang kebanyakan dari luar DIY, tetap
terpantau dalam rangka pencegahan COVID-19. Lima kelurahan
yang dipilih juga kelurahan yang paling dekat dengan kampus.
60
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Salah satu kelurahan yang menjadi lokasi KKN peduli
COVID-19, adalah kelurahan Sorosutan. Pada awal penerjunan ke
lokasi, tidak ada masalah terkait dengan mahasiswa KKN. Namun
keesokan hari, beberapa RW dan RT menolak mahasiswa KKN
STPMD”APMD” Yogyakarta. Dengan alasan penolakan yang
kabur, pihak kelurahan setempat menyatakan warga merasa tidak
nyaman dengan kehadiran KKN karena sebagian besar peserta dari
luar DIY yang dapat meningkatkan resiko penyebaran COVID-19.
Meski diyakinkan, bahwa seluruh mahasiswa KKN adalah yang
telah tinggal 6 bulan di Yogya, warga tetap menghendaki seluruh
peserta KKN dan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) harus
menjalani Rapid Test bebas Covid-19. Test Rapid pun dilakukan di
sebuah Rumah Sakit di Kota Yogyakarta.
Namun setelah menyerahkan hasil Rapid Test, warga tetap
berkeberatan. Akar persoalan bukan ada tidaknya surat bebas
Covid-19. Sebab KKN dari kampus-kampus lain yang dilakukan
di Kelurahan Sorosutan tidak diminta Rapid Test dan lancar tanpa
hambatan. DPL kelompok KKN, Jaka Triwidaryanta memberi
kesaksian kelurahan sampai menggelar rapat khusus. Rapat yang
semula menghadirkan pengurus kampung, RW dan RT untuk mencari
solusi pada KKN STPMD “APMD” tidak memberi ruang cukup
untuk mengurai benang kusut pelaksanaan KKN STPMD “APMD”.
Ada beberapa pengurus RW dan RT yang meninggalkan rapat dan
menitipkan secarik kertas: mereka tetap menolak KKN APMD.
Kebekuan akhirnya dapat dicairkan dengan mediasi tokoh
kunci dua kampung. Nitikan dan Sorosutan. Dengan bijak mereka
meminta mahasiswa untuk dapat menyesuaikan diri dan menyerap
tata nilai dan kesusilaan di kampung. Ada kesepakatan
bahwa agenda mahasiswa KKNtetap dapat dilaksanakan. Namun
mahasiswa harus menerapkan secara ketat protokol kesehatan
Pandemi Covid-19 agar memberi rasa aman dan nyaman bagi
warga setempat. Mahasiswa juga harus mengindahkan norma dan
kesantunan yang berlaku dalam masyarakat.
55 TAHUN STPMD “APMD”
61
Dengan menitikberatkan pemberdayaan masyarakat kampung,
mahasiswa KKN mengembangkan komunikasi antar budaya
yang tercermin dari sikap peduli, saling menerima dan memahami.
Kejelian memetakan persoalan dengan pendekatan taktis pada
program KKN, membuat mahasiswa KKN dapat diterima. Kejelian
membaca persoalan tentu didapat setelah mahasiswa menghayati
persoalan warga yang selama berbula-bulan dikepung oleh
Pandemi.
Mereka melakukan pendekatan secara tepat, baik individu,
tokoh kunci dan menanyakan kebutuhan mereka untuk mengatasi
dampak Pandemi covid 19. Bersama dengan masyarakat, mereka
mencari solusi terhadap kesulitan yang menghadang. Sejak saat itu
berbagai program KKN APMD di Kelurahan Sorosutan Kecamatan
Umbulharjo berjalan dengan baik. Menariknya, saat penarikan
mahasiswa KKN di Kelurahan Sorosutan, para mahasiswa KKN
STPMD “APMD” tetap “digondeli” agar memperpanjang masa KKN
mereka. Mereka tetap diminta membantu kegiatan administratif
dan kemasyarakatan.
Nilai yang dapat ditarik adalah sesuatu dapat diselesaikan
dengan menemukan sense of common yang memberi pengaruh
besar terhadap penerimaan mahasiswa KKN dihadapan warga.
Senyatanya cara semacam itu cukup ampuh untuk meraih
kepercayaan warga. Ketika mahasiswa meluruhkan identitas dan
menjalin komunikasi antar budaya, hambatan budaya seperti
prasangka sosial lebih mudah dicairkan. Pada saat itulah mahasiswa
lebih mudah membangun pemahaman bahwa mahasiswa bukan
sebagai sinterklas yang membawa bantuan fisik atau sebagai sosok
asing yang anti sosial.
Pada aras ini, mahasiswa KKN telah menempuh satu fase
dasar sekaligus menentukan: belajar mengasah kepekaan dengan
menghayati pergulatan problema masyarakat setempat. Mahasiswa
KKN telah mempraktikkan sebuah ungkapan Jawa untuk manjing
ajur ajer. Ajur berarti hancur dan ajer mencair. Secara harafiah
62
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
berarti masuk melebur dan mencair di dalamnya. Ungkapan
tersebut bermakna orang sejauh mungkin dapat menyatu dengan
lingkungan sekitar. Orang dituntut dapat beradaptasi dengan
lingkungan sekitar.
Srawung atau bergaul, bukan hanya berarti sekadar terlibat
dalam aktivitas keseharian warga dan mengenal adat setempat.
Srawung, lebih jauh lagi, bermakna membuatnya tak berjarak,
meleburkan identitas, bahkan “menjadi” warga setempat. Berkebun,
arisan, pengajian dan pos ronda adalah menjadi arena
dimana kepekaan mahasiswa diasah sekaligus diuji. Sebab, bagi
orang desa yang paling terpenting soal rasa dan soal norma. “Kalau
kita mampu mengikuti rasa dan norma, kita bisa diterima secara
utuh”, ujar Sakro.
Mata Air Pengetahuan
Aktivitas KKN sesungguhnya merupakan wahana pembelajaran
yang sangat cocok untuk menghadirkan sarjana
yang sujana. KKN merupakan experience based learning. KKN
menyediakan ruang belajar dimana semua tempat adalah sekolah
dan semua orang adalah guru. Desa menjadi ruang kelas yang
baru. Cara belajar demikian sekali lagi mensyaratkan mahasiswa
KKN untuk “bunuh diri kelas”, manjing ajur ajer. Dalam hal ini,
desa sekaligus menawarkan perspektif alternatif dalam memahami
persoalan-persoalan kemasyarakatan. Cara berfikir yang telah
mapan dipertanyakan kembali manakala mahasiswa KKN terlibat
dalam pergumulan keseharian masyarakat desa.
Pengalaman pembelajaran semacam itu, didapatkan Imam
saat KKN. Alumni prodi pembangunan sosial ini menyatakan
inti pembelajaran KKN adalah berproses menjadi seperti warga
yang didampinginya. Sebisa mungkin tidak berjarak. Ia pun
mengaktifkan seluruh indranya untuk dapat menghayati denyut
kehidupan warga yang didampinginya. Bahkan Imam mengaku
melepas jaket almameter, karena apa yang dikenakannya hanya
55 TAHUN STPMD “APMD”
63
menciptakan jarak dengan warga. Upaya membangun totalitas
penghayatan dimaksudkan untuk menggali perspektif warga desa
tentang dunianya.
Imam sendiri terinspirasi dari Buku Panduan KKN yang
menekankan bahwa KKN tidak lagi dijalankan dengan pendekatan
konvensional seperti pendekatan karitatif. Pada saat yang
sama, Imam tengah mengikuti kelas pembelajaran informal
tentang metode penelitian terlibat (partisipant observation) yang
diselenggarakan salah satu dosen STPMD “APMD”. Kedua
hal itu, dia ramu ke dalam KKN yang tengah dia jalani. Bahkan
sebelum berinteraksi secara intensif dengan masyarakat dia telah
menemukan tema yang akan diusung yakni sinergitas kampungkampus.
“Harapan saya, mahasiswa KKN bisa menjadi jembatan
implementasi keilmuan yang didapatkan di kampus untuk
menjawab persoalan-persoalan yang ada di masyarakat,” kata
Imam.
Dalam hal ini, Imam mengaku memang proses pendekatan tidak
dapat instan. Sebagai konsekuensi pilihan metode pembelajaran
yang diambil, Imam memutuskan untuk tidak terburu-buru
menentukan secara spesifik apa yang seharusnya dilakukan. Dia
merasa harus berangkat dari persoalan yang benar-benar dianggap
persoalan menurut kacamata masyarakat setempat. Dia membatasi
diri membawa perangkat pengetahuan yang didapat dari kampus
dan merasa bisa menyelesaikan persoalan dari sudut pandang
diri dia. Dia memilih memastikan bahwa persoalan yang hendak
diurai lahir dari definisi warga, bukan diri dia. “Saat itu saya ingin
mendapatkan native’s point of view, yang saya rasa menjadi fondasi
kita dalam melakukan pengabdian, “ kata Imam.
Imam dan kelompok saat itu baru mencatat dan mengikuti
berbagai pertemuan warga, tanpa banyak melakukan intervensi
Hal itu bahkan berlangsung selama satu bulan. Namun di satu
sisi, dia juga wajib melaporkan program-program KKN karena
pelaksanaan KKN dibatasi waktunya. Dia melaporkan program-
64
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
program yang tidak berangkat dari pengamatan terlibatnya
(partisipant observation). Beberapa program yang dilaporkan
misalkan, sanggar belajar untuk anak-anak dan administrasi
padukuhan.
Selepas KKN, Imam dan beberapa kawannya melajutnya misi
pengabdiannya. Dari hasil pengamatannya, dia dan kawan-kawan
beserta kepala dusun setempat bersepakat untuk mengangkat
khazanah lokal sebagai identitas bersama. Diawali dari ketertarikan
Imam tentang asal-usul Dusun bahkan Desa Jatimulyo, penelurusan
mulai dilakukan. Dalam penelurusan, Imam menemukan tokoh
lokal Cokro Joyo atau Sunan Geseng, salah satu murid Sunan
Kalijaga. Menurut Imam, ternyata tidak banyak warga setempat
yang mengetahui cerita tersebut. Berbekal informasi yang terbatas,
Imam menggali cerita pada para sesepuh kampung, atau orangorang
yang dianggap menyimpan cerita Cokro Joyo.
Dari hasil penelusurannya, bersama dengan Dukuh setempat
Badarudin, Imam berhasil menggali, mengarsipkan, dan mendokumentasikan
asal-usul Desa Jatimulyo. Beberapa nama tempat
di Desa Jatimulyo seperti Maladan, Banyu Urip, Selo Miring, Jati
Kluwih, dan Badean terkait erat dengan sang tokoh Cokro Joyo.
Masing-masing tempat juga menyimpan kekayaan nilai bermakna
tentang etos ketekunan, kesabaran, rendah hati, penghargaan
terhadap sesama, spirit pembelajaran dan keberserahan pada
Tuhan.
Sejarah lokal tentang tohoh lokal kemudian didokumentasikan
secara kreatif oleh Imam dan kawan-kawan dengan mengemasnya
dalam pertunjukan teater yang diperankan kelompok pemuda
setempat. Bersama dengan kawan-kawannya di STPMD “APMD”,
Muhamad Hidayanto dan Donni Ardiansyah, Imam menggarap
pementasan teater dengan tokoh Cokro Joyo sebagai simpul
ceritanya. Pementasan saat itu, dilakukan di Balai Desa, dan
dihadiri warga, pemerintah desa, hingga pejabat Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan setempat. Pertunjukkan pun terbilang sukses
55 TAHUN STPMD “APMD”
65
karena mampu menyedot ratusan penonton. Pementasan dengan
lakon yang sama kemudian juga diujicobakan pada siswa-siswa
sekolah di Dusun Gayam dan juga terbilang sukses.
Hal yang membuat menarik para pengunjung adalah
keingintahuan warga terhadap sejarah dan identitas mereka.
Pementasan tentang tokoh lokal Cokro Joyo telah membangkitkan
identitas kolektif warga tentang asal-usul mereka dan merevitalisasi
nilai-nilai yang menjadi dasar kehidupan bersama. Sepeninggal
Imam dan kawan-kawan, aktivitas Teater masih berjalan hingga
dua tahun lalu. Teater bentukan Imam masih sempat menggelar
pementasan di desa mereka, namun kemudian mandeg karena
tidak ada lagi yang melatih. Meski demikian, sejarah lokal yang
didokumentasikan telah menumbuhkan kepercayaan diri warga,
bahwa sebagai orang desa mereka memiliki mutiara berharga yang
terus dirawat.
Pembelajaran serupa juga didapatkan oleh Sakro. Pengalaman
turun ke desa melalui KKN telah mengajarkan banyak hal. Bagi
mahasiswa ilmu pemerintahan ini, aktivitas kemasyarakatan,
kelembagaan, dan keluh kesah dari masyarakat sebenarnya
adalah sumber pengetahuan yang luar biasa. Dalam amatan Sakro,
lembaga-lembaga sosial yang hidup di masyarakat desa menjadi
modal sosial yang maha dahsyat dalam mengatasi berbagai
persoalan-persoalan publik. Bahkan lembaga-lembaga sosial desa
memiliki daya lenting ketika menghadapi situasi-situasi sulit
seperti pandemi. Lembaga-lembaga sosial desa bisa hidup justru
karena tidak ada support negara tetapi karena berdikari yang
dibangun dari spirit kesukarelaan (voluntarism). “Dia tumbuh
karena dasar kepentingan bersama,” kata Sakro.
Namun sebaliknya, lembaga-lembaga sosial bentukan negara
justru sangat rentan terhadap perpecahan, mudah melakukan
eksklusi, dan tidak memiliki daya tahan terhadap krisis dan tekanan
yang tinggi. Dia melihat intervensi negara dalam kelembagan sosial
di desa justru kontra produktif. Sakro mencontohkan program
66
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
penanggulangan kemiskinan di desa ternyata justru tidak membuat
kelembagaan warga semakin kuat, tapi justru menghilangkan
imaginasi kelembagaan sosial secara utuh. Pengamatan Sakro telah
membawa inspirasi untuk penulisan tugas akhir dia yang membedah
tragedi bersama pengelolaan sumber-sumber daya bersama
karena absennya kelembagaan Desa yang kuat.
Pengalaman KKN telah menghantar Sakro pada refleksi
tentang cara pandang dalam melihat perlakuan terhadap desa hari
ini. Pandangan di awal bahwa negara harus membangun desa,
mengangkat harkat martabat desa, ternyata runtuh. Setelah belajar
dari KKN, justru bekerja dengan logika terbalik. Pembangunan
banyak masuk desa tetapi tidak menyelesaikan persoalan, malah
melanggengkan persoalan yang ada, misalkan kemiskinan. Angkaangka
kemiskinan sampai sekarang juga belum banyak berubah.
KKN telah mengubah cara pandang yang sebelumnya dari atas
ke bawah, menjadi dari bawah ke atas. “Ada hal yang tidak bisa
kita samakan. Ternyata ada kekhasan dari masing-masing desa di
tanah air,” Kata Sakro.
Selain memunculkan kesadaran baru tentang cara pandang
yang berpihak pada lokalitas dan desa, pembelajaran KKN
ternyata menjadi bekal yang sangat berarti bagi mahasiswa
KKN saat memasuki dunia kerja. Lintang yang saat ini bekerja
sebagai staf Desa Ngestiharjo menuturkan, pengalaman KKN
telah membantunya dalam memahami persoalan-persoalan yang
dihadapi desa dan masyarakat desa. Saat berada di lokasi KKN,
mereka mendapatkan kesempatan mengasah kemampuan memahami
masalah, kapasitas memfasilitasi warga melalui diskusidiskusi,
menyusun rencana-rencana pembangunan. “Saya di
kam pung. Karena terlatih berorganisasi, saat di KKN tinggal
mengimplementasikan. Itu memupuk keterampilan kita ketika
berhadapan dengan warga,“ ujar Lintang.
Bahkan menurut Lintang, beberapa kawan seangkatan di
KKN-nya mengaku mendapat pengalaman pembelajaran berharga
55 TAHUN STPMD “APMD”
67
di KKN. Sejumlah teman Lintang menjadi pegiat desa di kampung
halaman masing-masing dan mereka berhimpun dalam sebuah
LSM. Mereka memahami bahwa kondisi di kampung halaman
mereka tidak semudah di Jogjakarta dalam menumbuhkan partisipasi
warga dan memberdayakan diri untuk maju dan berkembang.
Ketika mereka mendapatkan pengalaman di KKN
mereka bisa merefleksikan dengan kondisi yang ada di kampung
halaman mereka masing-masing. Mereka juga mereproduksi
berbagai pengetahuan dan ketrampilan yang didapatkan di KKN
saat mereka melakukan kerja-kerja pengabdian di kampung
halaman masing-masing. Mereka juga menerima pembelajaran
ber makna bahwa kehadiran mereka diterima masyarakat sejauh
mereka berangkat dari perspektif masyarakat.
Bagaimanapun juga, KKN telah menghadirkan pengalaman
menjadi pembelajar sejati bagi mahasiswa KKN. Sejumlah alumni
KKN STPMD “APMD” mengakui bahwa kKN memberi kesempatan
mereka untuk memetik banyak pembelajaran. Pembelajaran
di KKN menjadi bekal hidup yang berarti dalam karya-karya
pengabdian mereka setelah mereka lulus kuliah. Ini berarti
pembelajaran berbasis pada masalah yang hidup di masyarakat
menjadi mata air pengetahuan yang demikian kaya. “Tujuan
kita mencari ilmu untuk memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatan,
tapi uniknya jawaban masalah justru tersedia pada
perjumpaan dengan masyarakat sendiri, “ ujar Lintang.
Pendekatan Partisipatoris dalam Kerja Pengabdian
Saat menjalani proses KKN, mahasiswa mendapatkan
pengalaman menuangkan gagasan dan memperagakan berbagai
kecakapan dalam kerja-kerja pengabdian. Tantangan yang
terentang dalam kerja pengabdian kepada masyarakat acapkali
berhadapan dengan gap antara teori yang dipelajari di ruang kelas
dengan praktik sosial yang hidup di masyarakat. Teori maupun
konsep membutuhkan kontekstualisasi, translasi, subversi, bahkan
68
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
membuang teori. Dalam konteks itu, mahasiswa KKN dituntut
menyesuaikan pendekatan yang digunakan sesuai dengan praktik
sosial yang berkembang di masyarakat. “Kami kerja di sana
menggunakan satu pendekatan yang bernama bermasyarakat.
Menyesuaikan konteks lokal yang tidak bisa kita paksakan sesuai
dengan teori di kelas,” ujar Sakro.
Saat merancang program misalnya, mahasiswa dituntut
sejauh mungkin dapat menghadirkan program-program yang
sungguh menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat
setempat. Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian (P3M) STPMD
“APMD” menyatakan, bahkan sejak pembekalan, mahasiswa telah
ditekankan untuk menghadirkan program sesuai dengan kondisi
wilayah. Saat pembekalan, P3M selalu menghadirkan Camat dan
Lurah untuk memberikan deskripsi terkait profil, potensi serta
tantangan di wilayah KKN. Sehingga mahasiswa KKN benarbenar
memahami wilayah.
Pada saat melakukan survey awal dalam kerangka merancang
program mereka juga didampingi DPL. Sehingga setiap program
yang direncanakan didiskusikan bersama DPL sehingga terpantau
betul. Program yang telah direncanakan, lalu didiskusikan
kembali dengan warga dan dimungkinkan revisi. Sehingga apa
yang dikerjakan memang betul-betul berdasarkan kebutuhan
masyarakat. “KKN APMD memang menyentuh pada tataran
kebutuhan atas dasar perencanaan yang tepat bersama warga, “
ujar Kepala P3M STPMD “APMD”, Gatot Raditya.
Hal serupa juga disampaikan Lintang yang menyatakan
fokus program adalah pemberdayaan warga. Tantangan yang
muncul adalah bagaimana program yang dirancang tidak sekadar
berjalan di masyarakat, tapi bagaimana program berkelanjutan.
Kunci menjawab tantangan adalah mengedepankan pendekatan
partisipatoris, pendekatan yang melibatkan warga dalam setiap
keputusan. Pendekatan itulah yang dilakukan Lintang bersama
kelompok KKN. Program yang direncanakan telah didiskusikan
55 TAHUN STPMD “APMD”
69
dan dinegosiasikan dengan warga setempat, termasuk aspek
pembiayaan program. “Kita wait and see, yang penting kita diterima
dulu. Lalu kita amati apa yang sungguh mereka butuhkan, “ kata
Lintang.
Sejak awal melakukan sosialisasi KKN pada warga, P3M sudah
membangun pemahaman bahwa KKN STPMD “APMD” fokus pada
pemberdayaan masyarakat. Sehingga kalau warga mengusulkan
program-program fisik justru warga yang menanggung. Misalkan
saat warga mengusulkan pembuatan gapura, plang atau
penerangan, mahasiswa menggerakkan sumber daya yang ada.
Warga menyumbang bahan baku, seperti semen, pasir, kayu dan
bahan-bahan lain. Mahasiswa juga melakukan pendampingan
misal kan, membuatkan proposal permohonan bantuan seperti
per mohonan lampu ke salah satu pabrik lampu (GE Lighting) dan
mereka memperoleh sumbangan lampu. “Sehingga warga juga
paham, mahasiswa yang datang untuk belajar dan tidak membawa
materi menjadi sinterklas, pemasok dana, “ tambah Gatot.
Bagaimana cara agar program bisa terima masyarakat tanpa
mengeluarkan biaya atau yang sangat besar? Lintang dan kelompok
mengorganisasikan program dengan adalah menarik sumber dayasumber
daya yang ada di masyarakat. Dengan mengandalkan
kreativitas, lintang dan kawan-kawan menggunakan sumber daya
lokal. Misalkan, jika warga meminta program plangisasi maupun
neonisasi, tiang-tiang yang gunakan dari bahan-bahan lokal yang
tidak terpakai namun didesain dan diolah artistik sehingga terlihat
unik dan cukup awet.
Selain mengorganisasikan sumber daya lokal, peran mahasiswa
juga menjadi jembatan (bridging) antara warga dengan lembagalembaga
desa dan supra desa. Mahasiswa KKN menghubungkan
warga dengan sumber daya di luar desa baik berupa sumber
pengetahuan, jaringan pemasaran, dan otoritas perijinan. Sebagai
gambaran adalah program peningkatan kapasitas ekonomi
keluarga di Desa Tancep, Ngawen, Gunung Kidul.
70
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Mahasiswa KKN merancang program produk olahan
makanan berbahan lokal yang dikerjakan kelompok perempuan.
Mahasiswa juga memikirkan pemasaran produk olahan makanan.
Mahasiswa lalu mendorong agar, dalam setiap hajatan warga dan
rapat yang membutuhkan snack diminta memesan dari ibu-ibu.
Saat pemerintah kabupaten menyelenggarakan pameran produk
UMKM, mahasiswa juga menghubungkan agar kelompok para
ibu dapat mengenalkan produk mereka pada khalayak yang lebih
luas. “Mahasiswa juga menguruskan izin ke dinas kesehatan dan
membantu memperbaiki kemasan, “ terang Gatot.
Peran connecting juga tampak dari program edukasi tentang
kesehatan reproduksi pada kelompok remaja di beberapa desa
yang menjadi lokasi KKN STPMD “APMD”. Program ini banyak
diinisiasi sejumlah desa di DIY karena terdapat fenomena
pernikahan dini cukup tinggi. Mahasiswa KKN lalu memberikan
pendampingan pada remaja dan orang tua dengan menggandeng
Dinas Pemberdayaan dan KB atau Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang concern pada isu kesehatan reproduksi. Tak hanya
sampai memberi edukasi mahasiswa juga turut membentuk peer
group di kalangan remaja desa yang concern pada isu kesehatan
reproduksi. “Minimal menghambat tingkat kasus perkawinan usia
dini pada remaja, “ tambah Gatot.
Apa yang dikerjakan mahasiswa KKN dan warga sampai
saat ini masih dirawat oleh warga setempat. Lintang menuturkan
saat dia berkunjung ke lokasi KKN setahun lalu, hasil KKN masih
dirawat dengan baik oleh warga. Pos ronda yang dulu direhab
Mahasiswa KKN dengan warga malah semakin bagus. Program
pengarsipan data warga yang meninggal diteruskan oleh kelompok
pemuda setempat bahkan telah digitalkan dan terintegrasi dengan
sistem informasi desa. Ketika ada warga yang meninggal langsung
diinput ke sistem oleh karang taruna. “Saya senang tinggalan kami
masih di rawat dan diteruskan, “ kata Lintang.
55 TAHUN STPMD “APMD”
71
Hal serupa dituturkan oleh Kepala Dusun Gayam, Badarudin,
terkait hasil-hasil kerja-kerja pengabdian oleh Imam dan kelompok.
Selain menghidupkan sejarah lokal, Imam juga mengangkat
potensi lokal berupa pangan lokal berupa umbi yang diubah dan
diolah menjadi minuman lokal. Umbi tertentu yang oleh warga
setempat disebut lembong, difasilitasi oleh Imam dan kawankawan
menjadi sejenis minuman tradisional yang kemudian
diberi branding wedhang lembong. Minuman wedhang lembong
kemudian disajikan dalam setiap pertemuan dan hajatan warga,
bahkan sampai ke luar desa. Sajian wedhang lembong menjadi
identitas lokal warga setempat.
Tantangan KKN: Menumbuhkan Tradisi Berdesa
Menumbuhkan tradisi berdesa menjadi tantangan tersendiri
saat menjalani KKN. Masih tertancap kuat dalam benak mahasiswa
KKN dan masyarakat bahwa desa adalah situs dimana program
dijalankan dan masyarakat adalah penerima manfaat program.
Cara pandang semacam ini tentu memunggungi cara pandang
STPMD “APMD” yang menempatkan desa sebagai subyek yang
berdaulat. Bukan sebagai objek penderita. Desa adalah entitas
politik yang utuh. Dalam setiap KKN, STPMD “APMD” selalu
mendorong dan memperkuat tradisi berdesa, meski tidak mudah.
Tantangan tersebut muncul, baik dari dalam desa sendiri
maupun supra desa. Sudah sejak lama, tradisi berdesa dilemahkan.
Identitas masyarakat desa di Yogyakarta lebih diikat oleh satuan
sosial yang disebut dusun atau padukuhan. Kondisi demikian,
membuat desa sebagai entitas politik kehilangan wibawa
dihadapan warga. Tak jarang ketegangan justru muncul antara
desa dan dusun. Tidak hanya sampai di situ, desa juga mengalami
pelemahan supra desa melalui beragam program pembangunan
yang hanya menempatkan desa sebagai situs proyek pembangunan.
KKN STPMD “APMD” berada dalam medan semacam
itu. Acapkali beragam program mahasiswa KKN hanya bekerja
72
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
dalam skala sangat mikro yakni pada level dusun. Dampak
program pun hanya dapat dirasakan pada skala dusun dan jarang
menghasilkan multiflier efect berikutnya. Mahasiswa juga kesulitan
untuk menariknya dalam skala Desa, karena disibukkan dengan
pernak-pernik kehidupan warga desa yang sangat mikro namun
justru rumit. Alhasil untuk menumbuhkan tradisi berdesa, belum
sepenuhnya berhasil. “ Yang kami lakukan baru ‘berdusun’,
berdesa belum kuat, “ ujar Sakro.
Namun demikian, harapan memperkuat tradisi berdesa terus
dipupuk. Lurah Desa Pacarejo Suhadi mengungkapkan sejak
kehadiran KKN STPMD “APMD” muncul kegairahan warga desa
untuk membincang persoalan-persoalan dusun pada level Desa.
Solidaritas warga mulai terbangun saat membincang masalahmasalah
bersama dengan adanya jejaring warga antar dusun.
“Untuk menumbuhkan kembali tradusi berdesa, muncul soliditas,
gotong royong warga,” kata Suhadi.
Suhadi menambahkan salah satu masalah di Pacarejo adalah
penguasaan beberapa aset yang menjadi potensi desa seperti gua
bawah tanah dan telaga oleh sekelompok warga. Padahal meski
aset teletak di dusun tertentu, bukan berarti di bawah kelompok
warga di dusun tersebut karena menyangkut hajat hidup orang
banyak. Gua bawah tanah maupun telaga menjadi sumber air bersih
di Pacarejo. Keberadaan sumber-sumber air tadi sangat vital bagi
warga. “Saya berharap tumbuhnya tradisi berdesa akan muncul,
dan ada sikap saling menghargai. Apabila fungsi akademisi APMD
bisa turun ke kami, maka akan merubah paradigma lama, “ tambah
Suhadi.
Simpul Wacana
Kisah pengabdian kepada masyarakat melalui KKN membawa
konsekuensi tidak hanya pada warga desa dan Desa. KKN
memang telah memberikan kontribusi perubahan berarti bagi
warga dan Desa. Namun lebih jauh lagi, KKN telah mengubah
55 TAHUN STPMD “APMD”
73
pelaku, mahasiswa peserta KKN. Perjalanan ke desa tidak hanya
tentang aktivitas Kuliah Kerja Nyata. Bukan pula sepenuhnya
tentang kisah pengabdian pada Desa. Namun juga tentang
metamorfosis menjadi pribadi yang semakin matang dan peka
terhadap pergulatan masalah kehidupan sehari-hari masyarakat
desa, lokal dan pinggiran.
74
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BAB 5
KEMITRAAN CSR UNTUK
KEMAJUAN DESA
Oleh: Reiki Nauli Harahap 12
Prakata
Desa sudah seharusnya menjadi entry point. Pendekatan
sektoral sudah tidak lagi relevan untuk mengimplementasikan
tanggung jawab sosial perusahaan. Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat “APMD” menjadi juruselamat dengan menyambung
rantai yang terputus diantara multi-stakeholders (pemerintah,
swasta, masyarakat). Aktualisasi hubungan diantara multistakeholders
tersebut sepatunya terintegrasi menjadi bagian dari
“Sistem Desa”. Jika desa berdaulat, maka negara pasti kuat.
Diskursus tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility) kian hari makin menarik untuk diperdebatkan,
demikian juga diskursus desa. Dua konsep yang jarang bertemu
dalam forum dan kajian-kajian akademis akan tetapi nyata terjadi
di masyarakat. Corporate social responsibility (perusahaan) dan desa
(masyarakat) memiliki hubungan dua arah. Dilihat dari sudut
pandang bisnis, perusahaan membutuhkan social license untuk
beroperasi yang diperoleh dari desa dan masyarakat desa. Dilihat
dari sudut pandang pembangunan sosial, desa dan masyarakat
desa membutuhkan perusahaan sebagai alternatif stakeholder untuk
pemberdayaan di Desa.
12 Ditulis dari pengalaman Ir. M. Barori M.Si, Drs, Suharyanto M.M, Drs. Hasto Wiyono MS,
Ratna Sesotya Wedadjati S.Psi M.si dan Robertus Suryantopo (Alumnus)
55 TAHUN STPMD “APMD”
75
Diibaratkan embrio, kemitraan dalam perspektif tanggung
jawab sosial perusahaan merupakan sesuatu yang cukup baru.
Fakta empirik ditemukan bahwa selama ini aktifitas tanggung
jawab sosial perusahaan hanya dijadikan sebagai “pemadam api”.
Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan sifatnya hanya
untuk meredam konflik, tidak ada proses dialog dan komunikasi
di dalamnya. Pendekatan kemitraaan dianggap sebagai wajah
baru implementasi tanggung jawab sosial perusahaan. Tanggung
jawab sosial perusahaan tidak lagi dikategorikan sebagai biaya
yang harus dikeluarkan (cost), akan tetapi tanggung jawab sosial
perusahaan merupakan salah satu bentuk investasi sosial (social
investment) sekaligus perwujudan upaya perusahaan menjadi
warga negara yang baik.
Hal yang sama juga terjadi di wacana ke-desa-an. Diskursus
desa sebagai objek kajian akademis masih memunculkan
perdebatan, salah satu diantaranya yaitu perkara perdesaan
(rural) dan desa (village). Meskipun demikian, hal yang sebenarnya
menarik dari perkembangna wacana desa adalah kelahiran UU No
6 Tahun 2014. Kebijakan tersebut sebagai sebuah produk politik
dianggap menjadi batu loncatan “semangat” untuk memuliakan
desa. Regulasi tersebut secara tegas memberikan daya kepada
desa. Desa diberikan ruang gerak untuk maju sehingga mampu
menjadi mandiri.
Artikel ini merupakan sebuah irisan kecil dari begitu
banyak pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh
sivitas akademika di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat
Desa “APMD” Yogyakarta. Meminjam judul Kemitraan CSR untuk
Kemajuan Desa, penulis akan memaparkan kegiatan-kegiatan
pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan dengan berbagai
pihak, khususnya perusahaan-perusahaan yang beroperasi
disekitar wilayah desa. Tulisan ini akan diawali dengan diskursus
kemajuan desa dan dilanjutkan dengan diskursus kemitraan CSR
dari kacamata desa serta diakhiri dengan refleksi (leasson learned)
76
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
dari pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh STPMD
“APMD” Yogyakarta.
Kemitraan untuk Kemajuan
Kemajuan desa oleh STPMD “APMD” diidentikan dengan
kemandirian desa. Desa yang mandiri adalah desa yang
mampu melaksanakan fungsi pemeritahan, desa yang mampu
memberdayakan masyarakat, desa yang mampu mengelola
potensi dan permasalahan yang ada disekitarnya serta desa yang
memiliki inisiatif untuk tidak bergantung dengan pihak lainnya.
Kemandirian desa adalah sebuah proses panjang dari serangkaian
kegiatan-kegiatan.
Desa mandiri sebenarnya telah menjadi diskursus
sejak orde baru, sebagaimana tercermin dalam konsep desa
swasembada. Kemandirian desa tentu bukan “kedirian” (autarkhi)
yang berarti desa bersikap congkak, sombong, ekslusif dan tidak
mau bekerjasama dengan pihak lain, atau tidak mau diatur oleh
pemerintah. Kemandirian bukan juga berarti “kesendirian”, yang
berarti desa mengurus dan membiayai sendiri seluruh kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Secara filosofis,
kemandirian desa sebenarnya bermakna: bertenaga secara sosial,
berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat
secara budaya.
UU Desa No. 6 Tahun 2014 adalah asbabunnuzul atas wacanawacana
kemandirian desa. Azas rekognisi dan asas subsidiaritas
merupakan dua azas mendasari UU Desa No. 6 Tahun 2014.
Rekoginisi adalah pengakuan terhadap asal-usul sedangkan
subsidiaritas adalah penetapan kewenanagan lokal bersakala
desa dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan
masyarakat.
55 TAHUN STPMD “APMD”
77
Gambar 1. Pengabdian Masyarakat bersama PT. Agincourt Resource
UU Desa No. 6 Tahun 2014 dilihat menggunakan kacamata
pemberdayaan masyarakat telah menunaikan nilai untuk
memberikan kuasa/daya (to give power). Produk politik tersebut
secara nyata menunjukkan desa sebagai aktor yang berdiri sendiri,
sebagai pihak yang memiliki daya untuk mengelola urusannya
Gambar 2. Pola Kemitraan Pemerintah Desa
78
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
sendiri. Nilai to give power tersebut kemudian diwujudkan
dalam bentuk alokasi dana desa. Selain to give power, paradigma
pemberdayaan juga mensyaratkan nilai “menjadikan berdaya/
berkuasa” (to give enable). Upaya perwujudan nilai to give enable
dilakukan dengan pembentukan ekosistem yang “ramah” desa.
Kemitraan menjadi jalan ketiga untuk merealisasikan sebuah
ekosistem yang “ramah” desa.
Kemitraan adalah strategi utama sebagai pintu masuk
untuk menajalankan strategi advokasi kebijakan, manajemen
pengetahuan, pengembangan kapasitas dan pengorganisasian
desa. Kemitraan diwujudkan dalam bentuk dukungan dari berbagai
pihak atas upaya dan usaha desa untuk melakukan perubahan
menuju kepada kemajuan dan kemandirian. Problematika yang
selama ini sering terjadi adalah dominasi sepihak dan ego sektoral
dari berbagai pihak yang ada disekitar desa. Desa kemudian
dijadikan objek projek dan ladang pertempuran “politik”.
Kemitraan dalam konteks to give enable, maka STPMD
“APMD” berdiri sebagai fasilitator/pendamping. Desa menjadi
entry point untuk melakukan pemberdayaan kepada pihak-pihak
yang ada di dalam desa, sehingga mereka menjadi lebih mandiri.
Keterlibatan berbagai pihak berkepentingan yang ada di sekitar
desa, khususnya kemitraan tanggung jawab sosial perusahaan
merupakan alat/media untuk mewujudkan semangat to give enable
kepada desa.
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”
sebagai fasilitator kemajuan dan kemandirian desa telah melakukan
banyak pendampingan, beberapa diantaranya bersama PT. Kaltim
Prima Coal di Kabupaten Kalimantan Timur dan PT Agincourt
Resource di Kabupaten Tapanuli Selatan. Sivitas akademika
yang terlibat pada pengabdian masyarakat bersama PT Kaltim
Prima Coal yaitu: Sutoro Eko Yunanto, M. Barori, Suharyanto,
Hastowiyono, dan YB. Widyohari Murdianto (Pusat Pebaharuan
Desa Berkelanjutan), sedangkan yang terlibat pada pengabdian
55 TAHUN STPMD “APMD”
79
masyarakat bersama PT Agincourt Resource adalah M. Barori,
Suharyanto, dan Hastowiyono (Pusat Pengembangan Kapasitas
Aparatur Pemerintah Desa).
Kemitraan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk
kemajuan desa bersama PT. Kaltim Prima Coal dilakukan sejak
tahun 2005-2015, meliputi 28 desa disekitar daerah tambang PT.
Kaltim Prima Coal. Pendampingan diawali dengan obersevasi
existing condition di masing-masing desa. Kondisi desa-desa
termasuk dalam kategori tertinggal (pada saat itu kebijakan
nasional yang berlaku adalah UU. 32/2004 dan PP. No72/2005)
dan apabila merujuk kepada UU Desa No 6 Tahun 2014 bahwa
empat kewenangan desa belum terlaksana dengan baik, meliputi
1) penyelenggaran pemerintahan, 2) pelaksanaan pembangunan,
3) pembinaan kemasyarakatan dan 4) pemberdayaan masyarakat.
Melalui agenda CSR, PT Kaltim Prima Coal telah dan tengah
berupaya “membangun desa” (pembangunan perdesaan) dengan
pendekatan sektoral: infrastruktur, pendidikan, kesehatan, lingkungan,
agribisnis, dan sebagainya, yang mempunyai kontri busi
terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat di Kabupaten
Kutai Timur.
Perjuangan panjang pengabdian kepada masyarakat oleh
STPMD “APMD” kemudian membuahkan hasil, salah satunya
yaitu Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) yang diresmikan
pada tanggal 21 April 2011 di Desa Rantau Makmur Kecamatan
Rantau Pulung Kabupaten Kutai Timur. Masa-masa fasilitasi juga
digunakan untuk mendampingi desa belajar menyusun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMDesa), Rencana Kerja
Pemerintah Desa (RKPDesa), Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDes), Peraturan Desa (Perdes) sampai dengan proses
penyusunan laporan pertanggungjawaban.
Kegiatan dan program fasilitasi yang dilakukan oleh STPMD
“APMD” bersama dengan PT. Kaltim Prima Coal bermuara pada
satu mimpi, yaitu memandirikan desa sebelum proses bisnis (pasca
80
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
tambang) dilakukan. Desa mampu mengelola urusannya sendiri
dan tidak lagi bergantung dengan pihak-pihak disekitar desa (PT.
Kaltim Prima Coal).
Setelah menyelesaikan pengabdian kepada masyarakat
di desa-desa sekitar PT. Kaltim Prima Coal di Kabupaten
Kalimantan Timur, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat
Desa melanjutkan proses pengabdian di desa-desa yang menjadi
mitra PT. Agincourt Resource (PT. AR) di Kabupaten Tapanuli
Selatan. PT. Agincourt Resource merupakan sebuah perusahaan
tambang emas yang berada di Kabupaten Tapanuli Selatan. Proses
fasilitasi/pendampingan dilakukan di sepuluh desa dan lima
kelurahan semenjak tahun 2015 dan masih berlangsung hingga saat
ini. Tiga desa ditetapkan sebagai desa pilot project. Pendekatan best
practices merupakan metode yang paling tepat untuk melakukan
pembangunan di desa. Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat
Desa “APMD” mengharapkan keberhasilan tiga desa “pilot project”
tersebut dapat menjadi contoh bagi desa-desa lainnya sehingga
mau melaukan perubahan.
Proses advokasi juga dilakukan sebagai bagian dari upaya
memajukan/memandirikan desa. Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa “APMD” melakukan advokasi kebijakan
ke pemerintah kabupaten untuk menerbitkan produk politik
(Peraturan Bupati). Langkah advokasi ini dilakukan setalah proses
identifikasi existing condition desa-desa yang ada di Kabupaten
Tapanuli Selatan, khususnya desa-desa yang berada disekitar
daerah tambang PT. Agincourt Resource. Salah satu permasalahan
yang ditemukan yaitu struktur dan tata kelola pemerintah desa
yang jauh dari kata ideal. Advokasi kebijakan yang dilakukan oleh
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” kepada
Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan mengasilkan diantaranya
sebagai berikut:
1. Peraturan Bupati perihal Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintah Desa (SOTK)
55 TAHUN STPMD “APMD”
81
2. Peraturan Bupati perihal Kewenangan Desa
3. Peraturan Bupati perihal Badan Usaha Miliki Desa (BUMDesa)
4. Peraturan Bupati perihal Perangkat Desa
5. Peraturan Bupati perihal Penghasilan Tetap (SILTAP) di
Pemerintahan Desa.
Peraturan Bupati sabagai produk politik diharapkan dapat
memperlancar dan mempermudah upaya STPMD “APMD” dan
pihak-pihak terkait untuk memajukan dan memandirikan desa.
Regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli
Selatan menjadi perwujudan aksi nyata kepedulian pemerintah
supra desa terhadap perkembangan dan pembangunan di desa.
Langkah tersebut dianggap sebagai upaya menepis rumor
yang selama ini ada bahwa pemerintah kabupaten akan tetap
membiarkan kondisi desa dalam keadaan minor, terdiskriminasi
dan termarjinalkan sehingga proyek-proyek pembangunan tetap
dilakukan dalam jangka waktu panjang dan terus menerus.
STPMD “APMD” melalui proses fasilitasi yang dilakukan telah
berhasil mengelaborasi berbagai kepentingan yang dibawa oleh
masing-masing stakeholders. Kealpaan ego sektoral dari berbagai
pihak dalam proses pengabdian kepada masyarakat menjadi bukti
kemampuan dan spesifikasi khusus ke-desa-an yang dimiliki yang
oleh STPMD “APMD”.
Proses-proses yang dilakukan oleh STPMD “APMD”
Yogyakarta kepada desa-desa disekitar perusahaan tersebut
pernah disinggung oleh Lawrance Kincaid pada tahun 2002.
Working paper yang berdujul The Integrated Model of Communication
for Social Change menyebutkan pentingnya “community dialogue”
dan “collective action” dalam rangka melakukan perubahan sosial
(Harahap: 2016).
82
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Gambar 3. Tahapan Pencapaian Konvergensi
Catalyst adalah faktor pemantik dimulainya sebuah
perubahan sosial. Agent of change merupakan katalisator yang
paling dominan digunakan oleh Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa “APMD”. Pihak-pihak yang ada di sekitar desa,
khususnya perusahaan (PT. Kaltim Prima Coal dan PT Agincourt
Resource) dianggap sebagai agen yang dapat melangsungkan
proses perubahan di desa.
Tahapan selanjutnya yang dilakukan oleh STPMD “APMD”
adalah community dialogue. Tahapan community dialogue menjadi
sangat penting sebagai bagian dari dinamika untuk memetakan
konflik, potensi, permasalahan dan kebutuhan desa. Beberapa
hal yang kemudian dilakukan selama proses community dialogue
adalah identifikasi existing condition di masing-masing desa melalui
penelitian, diskusi terarah dan public hearing. Tahap community
dialogue ini berakhir dengan perumusan strategi dan langkahlangkah
kongkret yang akan dilakukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.
Tahapan akhir dari upaya pencapaian konvergensi adalah
aksi bersama (collective action). Pada tahapan ini masing-masing
pemangku kepentingan berkolaborasi dan bekerjasama untuk
mencapai perubahan sosial yang telah disepakati bersama. STPMD
“APMD” sebagai fasilitator mengorganisir pihak-pihak terkait.
55 TAHUN STPMD “APMD”
83
Proses mengorganisir ini dilakukan untuk menggali upaya-upaya
pemecahan masalah yang dihadapi desa dan didistribusikan
kepada pihak-pihak yang memiliki kemauan dan disesuaikan
dengan kemampuannya. Beberapa hal yang dilakukan oleh STPMD
“APMD” adalah mendorong Pemerintah Kabupaten Tapanuli
Selatan untuk menerbitkan Peraturan Bupati berkaitan dengan
urusan desa, mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)
di Desa Rantau Makmur Kecamatan Rantau Pulung Kabupaten
Kutai Timur dan restrukturisasi kelengkapan pemerintah desa.
Seluruh proses tersebut kemudian bermuara pada satu hal yaitu
pembaharuan desa untuk kemajuan dan kemandirian desa.
Alumnus dan DNA Pengabdian
Robertus Suryantopo merupakan salah satu alumnus STPMD
“APMD” yang secara nyata mengabdikan dirinya sebagai agen
perubahan dan pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 1982
Robertus Suryantopo memantapkan dirinya masuk ke Prodi Pembangunan
Sosial (dahulu sosiatri).
Aktivitas pengabdian kepada masyarakat diawali dengan
jabatan sabagai seorang tenaga lapangan “Tenaga Pengembang
Kelompok Swadaya” (TPKS). Setelah menyelesaikan pendidikan
di STPMD, Robertus Suryantopo bekerja sebagai seorang trainer
yang kemudian melatih para calon-calon pemberdaya masyarakat
(Pembina wilayah). Aktivitas diawali dengan program plasma
perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT. Tania Selatan.
Pendekatan yang digunakan adalah “sistem kesatuan ekonomi”
(community/group based). Masyarakat sebagai penerima manfaat
dianggap sebagai sebuah kesatuan utuh atau kelompok. Pendekatan
kelompok ini dianggap lebih efektif karena menjadikan kelompok
sebagai jaminan keberlansungan program.
Proses “rekayasa sosial” juga dilkaukan oleh Robertus
Suryantopo untuk merubah pola pikir dan perulaku masyarakat di
perkebunan plasma kelapa sawit. Aktifitas rekayasa sosial “social
84
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
engineering” tersebut merupakan salah satu bentuk pendekatan
yang sering digunakan dalam proses pembangunan masyarakat.
Rekaya sosial dilakukan untuk memastikan masyarakat siap dengan
perubahan-perubahan yang akan terjadi di waktu mendatang.
Masyarakat yang tidak siap dengan perubahan cendrung akan
menolak atau justru kembali ke keadaan sebelumnya.
Robertus Suryantopo sangat getol dalam aktifitas pembangunan
masyarakat. Selah merasa cukup puas dengan kegiatan
yang dilakukan di perkebunan plasma kelapa sawit tersebut,
aktifitas membangun masyarakat dilanjutkan di berbagai daerah
diantaranya Timor leste, Papua dan Kalimantan.
Bekerja di bawah payung keorganisasian Oxfam, Robertus
Suryantopo hadir sebagai fasilitator pembangunan masyarakat.
Proses pembangunan tersebut diawali dengan pemberian akses air
bersih kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat yang difasilitasi. Secara makro, tugas
Robertus Suryantopo sebagai fasilitator adalah untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia.
Bahasa menjadi kendala yang dihadapi oleh Robertus
Suryantopo selama proses pembangunan masyarakat dilakukan.
Timor Leste sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki
bahasa nasional sehingga dalam aktifitas kemasyarakatan setidaknya
terdapat tiga bahasa yang digunakan yaitu Bahasa Indonesia,
Portugis dan Inggris.
Dilihat dari sudut pandang proses pendampingan atau
fasilitasi di masyarakat, kemampuan seorang fasilitator untuk
meng gunakan bahasa lokal adalah sebuah keuntungan. Penggunaan
bahasa sebagai simbol atau media yang dimengerti masyarakat
menjadikan fasilitator sebagai sosok yang berasal dari dalam
masyarakat. Komunitas menjadi lebih percaya dan bersedia
bersama-sama melakukan perubahan sosial.
Pekerjaan sebagai seorang aktor yang melakukan pemberdayaan
di masyarakat terus dilanjutkan oleh Robertus
55 TAHUN STPMD “APMD”
85
Suryantopo. Setidaknya tiga bulan dihabiskan oleh Robertus
Suryantopo di Timor Leste dan kemudian melanjutkan aktifitasnya
di PT Freeport di Papua. Robertus Suryantopo melakukan
program pemberdayaan masyarakat di sebelas kampung di
sekitar PT Freeport dengan suku atau adat yang berbeda antara
kampung yang satu dengan kampung yang lainnya. Setalah dua
tahun bertugas sebagai agen perpanjangan tangan PT. Freeport di
masyarakat, Robertus Suryantopo melanjutkan aktifitasnya di PT.
Kaltim Prima Coal dan juga perusahaan tambang batu bara Barito
Pacific.
Kendala yang kemudian dihadapi dan menjadi tantanga
bagi Robertus Suryantopo adalah berkaitan dengan budaya
dan adat di masyarakat. Robertus Suryantopo menilai bahwa
mayoritas masyarakat belum siap untuk melakukan perubahan
yang prosesnya difasilitasi oleh pihak-pihak dari luar (peruahaan).
Anggapan bahwa perusahaan sebagai mesin ATM tidak terjadi
hanya di Papua, akan tetapi di Kalimantan dan juga di Sumatera.
Hal tersebut menjadi problematika yang terjadi dari tahun ke tahun
dan bahkan terkesan seperti dilestarikan.
Robertus Suryantopo mengatakan bahwa tanggung jawab
sosial perusahaan adalah aktivitas “menunggangi dan ditunggangi”.
Menunggangi tanggung jawab sosial perusahaan
dibuktikan melalui ketidakseriusan pihak perusahaan untuk
melakukan pembangunan di masyarakat. Robertus Suryantopo
merasa bahwa beberapa perusahaan atau organisasi tidak serius
dalam melakukan pembangunan masyarakat dan membatasi
akses keuangan yang akan dijadikan sebagai program-program
pemberdayaan masyarakat.
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan diibaratkan dua sisi
dari sebuah koin. Selain menunggangi, Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan juga ditunggangi oleh berbagai pihak. Pemerintah,
masyarakat dan organisasi-organisasi yang ada dimasyarakat
melihat tanggung jawab sosial perusahaan sebagai ladang bisnis.
86
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Tanggung Jawab Sosial ditunggangi oleh pemerintah untuk
mendapatkan “tambahan” dan tanggung jawab sosial perusahaan
ditunggangi oleh masyarakat sebagai sumber pendanaan alternatif
sehingga mendapatkan dana yang berlimpah. Masyarakat juga
tidak segan untuk membenturkan perusahaan yang satu dengan
perusahaan yang lainnya, sehingga terjadi kompetisi dalam
aktifitas tanggung jawab sosial perusahaan. Padahal “kemitraan”
adalah pendekatan yang paling sempurna untuk menyikapi
tanggung jawab sosial perusahaan.
Puncak dari kiprah Robertus Suryantopo sebagai seorang
ahli pemberdayaan masyarakat adalah menjadi Senior Manager di
PT. Gudang Garam yang fokus pada pengembangan perkebunan
plasma kelapa sawit. Kemitraan antara perusahaan dan desa
(masyarakat) terlihat nyata terjadi. Robertus Suryantopo dengan
kekuasaan dan keahlian yang dimiliknya melakukan berbagai
macam bentuk program pemberdayaan masyarakat di komunitas
perkebunan plasma kelapa sawit, salah satu diantaranya yaitu
mendirikan minimarket yang dikelola langsung oleh masyarakat.
Leason Learned
Pada 17 November 2020, STPMD “APMD” Yogyakarta genap
berusia 55 tahun. Perjalanan panjang yang tidak memiliki ujung.
Pengabdian kepada masyarakat (Tri Dharma Perguruan Tinggi)
hanyalah tempat pemberhentian sementara untuk kemudian
melanjutkan perjalan menjadi Perguruan Tinggi yang berpihak
kepada desa.
Pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan di desadesa
di sekitar wilayah tambang PT. Kaltim Prima Coal dan PT
Agincourt Resource hanyalah salah dua contoh dari berbagai
mecam kegiatan pengabdian kepada masyarakat, baik yang telah
dilakukan ataupun yang sedang berlangsung. Sekolah Tinggi
Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” hadir sebagai pemantik
(trigger) api semangat untuk memuliakan desa. “Api semangat”
55 TAHUN STPMD “APMD”
87
ini harus dijaga kobarannya dengan aksi bersama (collaborative
action), sehingga semua pihak (pemeintah-swasta-masyarakat)
berkontribusi dan merasa bertanggung jawab. Teori tanggung
jawab sosial perusahaan menyebutkan bahwa salah satu wujud
aktualisasi kontribusi dan tanggung jawab itu adalah dengan
membentuk departemen/divisi/bagian yang secara khusus
mengurusi perihal tanggung jawab sosial perusahaan. Hal tersebut
dibuktikan oleh PT. Kaltim Prima Coal dengan membentuk
departemen bernama community relation, dan PT Agincourt
Resource dengan pembentukan struktur kelembagaan bernama
community empowerment.
Sosok Robertus Suryantopo (alumnus) menjadi bukti bahwa
roh sebagai seorang motor penggerak pembangunan di masyarakat
sudah melekat didalam jiwa civitas akademik Sekolah
Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa. Pengalaman Robertus
Suryantopo mengjarkan kita bahwa praktik tanggung jawab
sosial perusahaan memang masih belum sempurna “ditunggangi
atau menunggangi”. Meskipun demikian tanggung jawab sosial
perusahaan juga memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga
menjadi alat yang tepat apabila digunakan di masyarakat.
Leason learned yang dapat kita refleksikan dari pengalaman
pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh Sekolah
Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” adalah, bahwa
memandirikan desa merupakan sebauh proses yang panjang.
Sebuah rangkaian kegiatan yang tidak mungkin dapat dilakukan
sendiri oleh pemerintah maupun perusahaan. Dengan berbagai
keterbatasan dan permasalahan, baik yang disadari maupun yang
tidak disadari, pemerintah desa membutuhkan kerjasama dan
keterlibatan berbagai pihak untuk mempermudah dan melakukan
akselerasi proses perubahan serta pembangunan di desa.
Kemitraan dianggap pendekatan yang paling ideal. Peningkatan
interaksi multistakeholders (pemerintah-swasta-masyarakat)
diharapkan terjadi kerjasama yang saling menguntung kan
88
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
(Krisdyatmiko: 2012). Hubungan kemitraan antara desa dan
perusahaan diharapkan bersifat multiarah. Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan (CSR) merupakan salah satu media (tools) yang
dapat digunakan oleh perusahaan untuk memberikan kontribusi
pembangunan di desa.
Tulisan ini, dengan berbagai keterbatasan yang dimilikinya
hanya mampu mendokumentasikan dan memetakan dua bentuk
kontribusi dari begitu banyak aktifitas penelitian dan pengabdian
yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat
Desa “APMD” terhadap desa dan diskursus desa. Tulisan ini
diharapkan dapat memperjelas posisi Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa “APMD” sebagai institusi pendidikan yang
berpihak pada desa dan masyarakat desa. Terima kasih penulis
ucapkan kepada M. Barori, Suharyanto, Ratna Sesotya Wedadjati,
dan Robertus Suryantopo (Alumnus) atas partisipasinya dalam
proses penulisan artikel ini.
Daftar Pustaka
Krisdyatmiko. 2012. “Kemitraan Pemerintah-Swasta-Masyarakat
dalam bingkai forum multistakeholder Corporate Social
Responsibility (MSH-CSR)”. Dalam Susetiawan, dkk (eds),
Corporate social responsibility: komitmen pemberdayaan masyarakat.
Yoyakarta. Azzagrafika.
Harahap, Reiki Nauli. 2016. Pemberdayaan Difable Tuna Netra
oleh multistakeholder di Kabupaten Cilacap. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta. Indonesia.
UU No 6 tahun 2014. Pemerintah Republik Indonesia. Indonesia.
55 TAHUN STPMD “APMD”
89
90
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BAB 6
JARINGAN, GERAKAN
& PEMBELAJARAN
BERDESA MULAI DARI PIKIRAN,
PEMBELAJARAN, JARINGAN
DAN GERAKAN 13
Oleh: Siti Sumaryatiningsih
STPMD “APMD” terlahir dengan nama Akademi Pem bangunan
Masyarakat Desa (APMD) secara resmi pada 17 November
1965 dengan jurusan Pembangunan Masyarakat Desa. Jadi APMD
memang terlahir atas spirit membangun masyarakat desa yang
mana menyiapkan lulusannya sebagai “dokter masyarakat”,
penggerak pembangunan masyarakat, mengajak masyarakat
menjadi penggerak dalam pembangunan, bukan menjadi penonton.
Spirit ini sangat kental karena pendiri APMD, Drs Soetopo,
M.M sangat banyak terinspirasi dengan pidato Soekarno tentang
nation and character building, rencana pembangunan 80 tahun
oleh “Brain Trust” yang dipimpin Prof. Ir. Herman Johannes
dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) dengan
jangka waktu setiap 8 tahun setiap tahapnya. Dari tahapan
pem bangunan tersebut muncul gagasan dalam menyediakan
tenaga yang mampu menjembatani antara sarjana di tingkat atas
dan komisaris pembangunan di tingkat bawah yang notabene
berpendidikan SLTA yang mendapatkan pendidikan 6 bulan
tentang pembangunan masyarakat. Hingga saat ini sudah puluhan
13 Tulisan ini hasil wawancara dengan narasumber Dr. Sutoro Eko Yunanto, Anom
Surya Putra, SH, M.H, Drs. Farid Hadi Rahman, dipl. Ing.,M.E
55 TAHUN STPMD “APMD”
91
ribu lulusannya yang tersebar di seluruh nusantara mengabdi
pada negara dan masyarakat dalam membangun desa. Dalam
perjalanannya nama APMD berubah menjadi STPMD “APMD”
sejak tahun 1989 dengan 3 Jenjang Program S1 dan 1 Jurusan
Jenjang Program D3. (Soetopo, 2015)
Menurut Sutoro Eko, “Sang Begawan Desa”, hingga tahun
1999 konteks orde baru sentralistik dan birokratik terhadap desa.
Frame ini mengisolasi aktifitas tridharma Perguruan Tinggi yaitu
Pendidikan, pengabdian dan penelitian dari dunia politik.
“Dalam tridharma, kita kritis membaca Robert Chamber
membangun desa dari belakang. Selama orba pembangunan
desa dari depan yang didukung oleh para ilmuwan pelaksana
professional yang sebenarnya tidak banyak membawa perubahan
fundamental, hanya fisik dan wajah desa yang berubah. APMD
kritis dalam hal itu, pun dalam mengajarkan ke mahasiswa.
Diskursus aspirasi desa, kebijakan pemerintahan ilmu pengetahuan
tidak terhubung. Pengabdian masyarakat penting
untuk membangun kepekaan terhadap denyut kehidupan desa,
ini jarang dilakukan. Pengabdian institusional lebih banyak
penyuluhan, induksi pengetahuan, teknologi dan program
kampus dimasukkan ke desa. Di satu sisi menyerap dengan
baik ajaran Robert chambers membangun desa dari belakang
pengabdian melakukan penetrasi iptek dari desa, ini kontradiktif.
1998 sebelum 1999 APMD banyak diskusi bagaimana melakukan
reform perubahan cara pandang. Situasi belum memungkinkan
di waktu itu dulu kita punya kepekaan terbatas dari dunia lokal
mengkritisi UU No.5 Tahun 1979. Banyak pengetahuan kritis,
literatur, belum terhubung dengan baik.”
Menurut Sutoro Eko, ilmu belum amaliah dalam arti besar,
dalam arti kecil masih menggunakan cara developmentalis, mengajari
orang desa dengan administrasi pemerintah desa. Pengabdian
dilakukan tanpa menyentuh pemberdayaan dan kebijakan di level
lokal maupun nasional.
92
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Perubahan Paradigma:
Belajar dari Kampus ke Kampung menjadi Belajar dari Kampung
ke Kampus
Tahun 1999 tonggak penting “APMD” dalam memuliakan
desa. Komitmen APMD secara historis etik moral keilmuan
terhadap desa tentu tidak perlu di pertanyakan, dari namanya
sudah tercermin visinya. Perubahan orientasi “APMD” adalah
hasil kristalisasi pengetahuan, jaringan, gerakan dan kebijakan.
Pada tahun ini terdapat dua hal penting dalam kiprahnya.
Pertama, APMD mulai bergerak keluar kampus, berjejaring
dengan stakeholder desa dan ikut berkontribusi langsung dalam
melahirkan kebijakan penting bagi desa. Pada titik ini APMD
tidak lagi menjadi menara gading dan gudang para ilmuwan desa.
Kedua, momentum penting berakhirnya rezim UU No. 5 Tahun
1979 dan digantikan dengan UU No. 22 Tahun 1999, tentang
pemerintahan darerah. Munculnya UU ini memberikan spirit baru
dalam keragaman otonomi dan spirit berdesa. Dari kedua faktor
tersebut kemudian mengalir dengan berbagai kegiatan jaringan,
NGO, penggiat desa dan pengambil kebijakan dalam hal ini
kementrian desa dan DPR.
Tahun 2000 APMD ikut terlibat dalam jaringan FPPM
(Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat), forum itu mulai
membicarakan otonomi masyarakat desa. Lappera bekerjasama
dengan Ford Foundation, mengkaji parlemen desa, Badan
Perwakilan Desa (BPD). Lappera memegang andil besar dalam
pembicaraaan desa di awal. Lappera yang dirintis Dadang
Juliantara dan Agung Wibawanto menggulirkan Pembaruan desa,
politik otonomi dan demokrasi desa. Lappera juga menginisiasi
Forum Komunikasi BPD dari level Kecamatan hingga Nasional.
Diskursus desa cukup kuat digaungkan, sering ada forum diskusi
FPPM dan Lappera. LSM lain yang terlibat adalah USC Satunama,
CD Bethesda, Cindelaras. Dalam sebuah diskusi di Desa Panggang,
Gunung Kidul, berbagai pihak hadir melahirkan pemikiran otak atik
55 TAHUN STPMD “APMD”
93
gathuk, desa itu jika diperjuangkan agar Demokratis, Emansipatoris,
Sejahtera, Adil. Desa menjadi subjek jika demokrasi dan emansipasi
tumbuh dan melahirkan kesejahteraan, itu adil. Desa milik rakyat,
bukan milik elit. Selain itu, spirit otonomi dan demokrasi belum ada
distribusi uang, memberikan peluang tanpa uang.
Tahun 2001 desa mulai bergejolak dengan menguatnya
parlemen desa. Konflik antara lurah desa dan parlemen desa mulai
terasa, sampai ada plesetan BPD “Badan Provokasi Desa “. Dari
situ desa mulai bergerak, APMD turut serta dalam memfaslitasi
lahirnya demokrasi dengan asosiasi Asosiasi Kepala desa, Asosiasi
Perangkat Desa juga mulai terbentuk. Dinamika desa semakin
hangat. Desa bergerak maka akan menghasilkan kebijakan yang
memihak. Tumbuhnya asosiasi ini menjadi embrio tumbuhnya
gerakan civil society di desa. Asosiasi ini diharapkan memperkuat
masyarakat bukan alat menindas rakyat.
Titok Hariyanto, sebagai organisasi profesi tidak masalah
muncul organisasi-organisasi asosiasi tersebut, yang menjadi
masalah organisasi tersebut difungsikan menekan suara kritis dari
masyaraakat.
“Bicara substansi demokrasi yang penting dibangun pada pemdes,
asosiasi BPD, memperkuat masyarakat, memperkuat rakyat.
Di beberapa desa sudah muncul, ada yang mengorganisasir
kelompok perempuan, difabel, beberapa kelompok yang
diorganisir mampu mendorong perubahan di tingkat desa.
Meski tidak fundamental bisa memberikan warna yang berbeda.
Pemdes hari-hari harus berdiskusi dan berdialog. Belum menguat
di level kabupaten, masih sectoral. Merajut kepentingan mereka
belum terbentuk. Embrio Gerakan sosial sudah muncul tapi
belum ada di tingkat kabupaten. Butuh transformasi gagasan,
nilai di level desa, menjadi semakin luas gerakannya. Rajutan
pada level kabupatennya. Ini mengimbangi tekanan politisasi
sering digunakan asosiasi profesi asosiasi pemdes. Mereka
memiliki kepentingan sendiri tanpa memiliki keterkaitan kuat
dengan masyarakat desa”.
94
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Tahun 2001- 2005 APMD memperoleh pengalaman penting
dengan dukungan dana dari Ford Foundation. APMD mulai
turun melihat dinamika desa secara langsung di berbagai wilayah
di Indonesia melalui penelitian. Isu yang berkembang yaitu BPD
sebagai arena baru kekuasaan dan demokrasi di desa, masyarakat
adat dan isu lainnya. Pengalaman di aras lokal disampaikan pada
pidato pertama saat Sutoro Eko diangkat menjadi ketua STPMD
“APMD” melalui pemilihan yang demokratis, dinamis, langsung,
pada 17 November 2002. Dalam pidatonya Sutoro Eko juga bertekad
menjadi Begawan Desa. APMD melibatkan diri pada ruang
kehidupan desa, ruang gerakan maupun ruang kebijakan. APMD
harus mendorong perubahan desa melalui tiga arena perubahan
yaitu pemikiran dan pengetahuan, gerakan dan kebijakan.
FPPM mengalami pemekaran pada Bulan Juli 2003, dimana
FPPM Fokus partisipasi masyarakat dan kebijakan publik dan
FPPD (Forum Pengembangan Pembaharuan Desa) fokus untuk
desa. Pada bulan September 2003 banyak tokoh berkumpul lagi
membicarakan konsep pembaruan atau pembaharuan desa.
Konsep ini disesuaikan konteksnya dalam Bahasa Inggris,
pembaruan adalah renewal, sedang pembaharuan adalah reform.
Maka kalimat pembaharuan disepakati dan lahirlah FPPD sebagai
Forum Pengembangan Pembaharuan Desa. FPPD mengkonsolidasi
pemikiran dan gerakan kebijakan terkait desa. Mulai dari sini
agak sulit memisahkan antara STPMD “APMD” dan FPPD, ibarat
FPPD mainboard maka APMD Processor. Hal ini dibenarkan oleh
Farid Hadi, Pasca reformasi, 2003 FPPD mengkaji desa pasca
reformasi. Fokus kajian pada distribusi fiskal, dari pusat ke desa,
negara ke desa, berhenti setelah reformasi. Hasil penelitian FPPD
menyatakan bahwa semua fokus pada perubahan desentralisasi
daerah minus desentralisasi desa. Riset berikutnya kajian nasional
dari Sumatera hingga Papua tentang peluang transfer fiskal yang
baru. Farid mendapat kesempatan melakukan riset di Kepulauan
Selayar. Hasil riset menyatakan bahwa Kepulauan Selayar sangat
55 TAHUN STPMD “APMD”
95
progresif sebagai salah satu pelari terdepan memberikan alokasi
dana desa di masa pasca orba, pasca reformasi. Sumatera Barat
juga ada kebijkan mengenai Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN).
Praktek baik ini juga ada di beberapa Kabupaten lain seperti
Kebumen, Magelang dan Tuban. Kebijakan dalam bentuk transfer
fiskal dari daerah ke desa, Dana Alokasi Desa (DAD) mendorong
otonomi desa.
Menurut Farid Hadi, hasil penelitian ini menunjukkan 10%
dari sisa DAU yang dipakai untuk kebutuhan umum, gaji operasional,
menyebutkan ADD hanya sisanya sisa. Ini gebrakan pertama
daerah melakukan bimbingan memperjelas posisi desa. Desa
dengan sumber daya luar biasa perlu diperhatikan. Banyak daerah
belum memberikan ADD, belum memberikan hak desa. Hasil riset
ini kemudian dibukukan dengan judul alokasi dana desa.
Pengalaman ADD di beberapa daerah direspon dengan
terbitnya Surat Edaran dan dipertegas dalam UU No. 32 Tahun
2004 dalam perubahan, ADD masuk menjadi bagian dari transfer
fiskal. Momentum penting berikutnya adalah pada awal 2004 ada
pertemuan di Hotel Brongto dihadiri oleh perusahaan, pemerintah
pusat, daerah dan desa. Dalam momen ini embrio jaringan STPMD
“APMD”mulai terbentuk. Perkenalan pertama Hasto Wiyono,
dosen STPMD “APMD” dengan Nurul Karim, Kalimantan Timur,
kemudian Kerjasama secara kelembagaan antara STPMD “APMD”
dan Pemerintah Daerah bermula.
Di tahun ini juga banyak pembicaraan menggugat UU
No. 22 Tahun 1999 yang dinyatakan sebagai otonomi liberal
dan kebablasan. Suasana kebatinan saat itu para Bupati berani
“melawan” Gubernur, Gubernur melawan Presiden, konfliktual,
lurah dan BPD, kadang dengan DPRD. Dalam pembahasannya
desa tetap tidak tersentuh hingga lahirnya UU No. 32 Tahun 2004.
APMD menjadi salah satu aktor utama dengan membedah UU
No. 32 Tahun 2004 di kampus. Ada banyak catatan kekecewaan
atas kelahiran UU ini, diantaranya munculnya birokratisasi di
96
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
desa dimana sekretaris desa adalah PNS. Di sisi lain kewenangan
parlemen desa dalam hal ini BPD dipreteli atas nama demokrasi.
Seperti pendapat Titok Hariyanto dalam wawancaranya:
“Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ada banyak konflik seperti
mengurangi mreteli kewenangan yang dipunyai BPD, dimana
BPD tidak punya kontrol ke pemdes. Di UU 32 mengebiri,
mengecilkan peran BPD, BPD menjadi Badan Permusyawaratan
Desa, permusyawaratan, mestinya Lembaga perwakilan, sebagai
parlemen desa lebih cocok. BPD tidak lagi bisa mengusulkan
pencopotan kades. Peran BPD kecil, orang melihatnya BPD
lembaga tidak bergigi sampai sekarang sebenernya. UU Desa
desain ke arah sana belum cukup kuat. Peran BPD kurang
optimal dalam UU desa, tukang stemple bagi pemdes, bukan chek
and balances.”
Namun demikian ada satu poin penting yang menjadi progress
dalam perjuangan desa yaitu mengenai sumber keuangan desa.
Sumber keuangan desa tidak lagi bantuan tapi bagian yang tersurat
sebagai dana perimbangan. Secara politis posisi desa menguat
dengan adanya dana perimbangan, desa mendapatkan haknya
atas kue pembangunan. Pada 2005 STPMD “APMD” tambah kuat
internal dan eksternal. Secara internal, April 2005 melaunching
buku sebagai produksi pengetahuan, pengalaman dan gerakan
yanng telah dilakukan. Buku Transformasi Ekonomi Politik Desa
(Gregorius Sahdan). Pada November 2005, juga melaunching 5
buku, salah satunya berjudul Manifesto Pembaharuan Desa, 40
tahun STPMD APMD. Secara eksternal STPMD “APMD” telah
mengukuhkan posisinya dalam jaringan gerakan dan kebijakan.
Sebarai upaya mereproduksi pengetahuan maka M. Barori,
Suharyanto, dan Widyohari merintis pelatihan setelah PP No. 72
tahun 2005 lahir. Pertengahan 2005 pengalaman pertama APMD
menyelenggarakan pelatihan dengan peserta dari Polewali Mandar.
Dalam pelatihan yang dihadiri Bupati dan kades ini menjadi arena
transfer pengetahuan di mana APMD memperoleh cerita aspirasi
55 TAHUN STPMD “APMD”
97
dan daerah dan sebagai timbal baliknya APMD memberikan
pembelajaran berdesa dan mempengaruhi kebijakan kabupaten.
Perkembangan berikutnya pada tahun 2005 pemerintah
dan DPR memecah UU No. 32 tahun 2004 menjadi UU pilkada
dan UU desa. Disini peran kunci STPMD “APMD” dimainkan.
Kampus menjadi ajang diskusi tentang posisi desa yang tidak
berkesudahan. Hingga tahun 2006 APMD terlibat dalam
lokakarya kedudukan dan kewenangan desa di Jakarta. Diskusi
ini memperkenalkan memetakan ada 3 kedudukan desa, self
governing community, local state government dan local self government.
Yando Zakaria, memperkenalkan konsep rekognisi, selfgoverning
community. Sementara Sutoro Eko, saat itu menjabat sebagai
tenaga ahli di kemendagri mempunyai posisi strategis dan akses
ke daerah semakin luas. Akses ini memberikan pengetahuan baru
dengan menemukan dan menyerap aspirasi local desa. Suara dari
desa terpencil dan daerah tertinggal seperti NTT dapat terdengar
dan diperdengarkan sebagai pengetahuan sekaligus membangun
kekuatan gerakan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan.
Secara tidak langsung jaringan STPMD “APMD” semakin
meluas, pengetahuan bertambah dan gerakan semakin termaknai.
Menurut Farid, di tahun 2005 FPPD menuliskan pengalaman dan
pengetahuan pada majalah MUDIK tentang perkembangan desa.
Majalah ini menjadi ditunggu di daerah. Saat itu belum popular
medsos, di situ Sutoro Eko yang juga ketua FPPD membongkar
pemikiran tentang desa. Diseminasi informasi mengenai desa
bertumpu pada majalah ini.
Membidani Lahirnya UU Desa
Gerakan APMD semakin masif bersama jaringan ikut terlibat
aktif membidani lahirnya UU Desa. Mulai dari proses pembuatan
Naskah Akademik hingga menjadi UU Desa. Januari – Agustus
2007 bersama FPPD dan Dirjen PMD menyusun Naskah Akademik
UU desa. Sutoro Eko mengusulkan konsep subsidiaritas, yang
98
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
merupakan kristalisasi pengetahuan dan pengalaman local desa.
Subsidiaritas dalam bahasa formal dapat dikatakan sebagai
kewenangan lokal berskala desa. Sementara Yando Zakaria bersama
Ari Dwipayana mengajukan konsep rekognisi. Pada bulan Agustus
Naskah Akademik selesai dengan beberapa catatan, pertama,
secara akademik belum kuat spiritnya, kedua, aspek historis lemah.
Dalam naskah akademik didominasi 2 konsep desa, rekognisi dan
subsidiaritas. Kedua konsep itu kemudian menjadi ruh UU Desa.
Orientasi masa depan desa, dimana desa dipandang sebagai entitas
di mana desa itu otonom, memiliki kewenangan yang lebih jelas
dalam mengambil keputusan dan dana desa harus jelas, karena
uang tanpa uang sama saja bohong, uang tanpa duang percuma.
Pelajaran penting lain pada tahun 2008 -2009 yaitu adanya
PNPM mandiri pedesaan. Bagi STPMD “APMD” PNPM tidak
masuk dalam sistem desa, masuk ke dalam desa melalui desa tetapi
tanpa desa. Sementara Sutoro Eko menganggap bahwa program ini
seperti “menarik sapi kurus dengan tali yang besar dan panjang”. PNPM
menggaungkan jargon satu desa satu rencana satu anggaran. Desa
itu banyak jadi lokasi dan obyek, banyak rencana, seperti pasar,
ini disebut fragmentalis. Kondisi ini menjadi semangat dan spirit
sendiri dalam Gerakan Desa Membangun. Pengetahuan dan
gerakan sosial semakin banyak tidak tumbuh kuat kalau tidak
masuk di politik. Gayung bersambut dengan terpilihnya Budiman
Sujatmiko duduk di DPR dan menjadi jangkar RUU Desa. Budiman
Sujatmiko berhasil membawa isu desa dari pinggir ke tengah.
RUU yang diinisiasi memasukkan konsep subsidiaritas
dan diterima tahun 2010. Konsep kewenangan lokal berskala
desa, diterima setelah proses dan diskusi yang panjang. Konsep
rekognisi masih alot dibicarakan. Peran Sutoro Eko menjadi tenaga
ahli di kemendagri menjadi sangat strategis dalam merajut aspirasi
dan ide, mengorganisir jaringan serta mempengaruhi kebijakan.
Desa dengan pengalaman-pengalaman local yang baik mampu
memberi warna yang berbeda atas pengakuan pada kemampuan
55 TAHUN STPMD “APMD”
99
desa dalam mengelola dirinya. Pengalaman dan kearifan berskala
desa turut mewarnai pasal demi pasal dalam UU Desa.
Praktik baik dan kekuatan mulai temukan di kawasan kerja
di ACCESS pada tahun 2011. Lesson learn dari kawasan timur
NTT, NTB Makasar mewarnai dialog substansi UU Desa. APMD
bersama FPPD, IRE mengkaji dan mengambil mutiara tersebut
dan dibahas dalam diskusi nasional. Desa bersuara salah satunya
desa di Rapoa, Bantaeng. Desa mampu mengubah pangan Jakarta
bahwa desa mampu menngelola dirinya sendiri. Substansi
rancangan UU desa semakin tajam dengan suntikan pasal-pasal
tentang kemandirian desa dan desa menjadi subjek bukan obyek.
Selain itu, pemberdayaan fungsinya adalah kepercayaan, desa
tidak akan berdaya kalau tidak dipercaya.
Pada Januari 2012 mulai terbentuk pansus dinahkodai oleh
Ahmad Muqowam, maka Sutoro Eko, Abdul rozaki, Ari Sujito
mulai menggagas dan mengkonsep draft RUU. FPPD dan IRE,
Barori dan Hasto Wiyono, mengumpulkan survei data uang
masuk desa, dari berbagai daerah mitra kita yang telah terbangun
sejak 2005 melalui pelatihan. Hasto meng-entry dan mengolah
data bermalam-malam tanpa bayaran. Pansus mengadakan Rapat
Dengar Pendapat Umum (RDPU). Dalam RDPU menghadirkan
sekitar 104 pakar, APMD menjadi salah satunya. Dalam kesempatan
itu Habib Muhsin menyampaikan pandangan STPMD “APMD”
dengan konsep baru “Desa Membangun Indonesia”. Pada saat
yang sama 12 kades pilihan Indonesia Timur hadir di RDPU dan
salah satu kades diberikan kesempatan bicara bahwa desa mampu,
desa punya pengalaman inovatif, yang kemudian disebut sebagai
mutiara perubahan dari timur.
Pada tahun 2013 mulai dibentuk panitia kerja antara
Pemerintah dan DPR membahas secara intensif RUU Desa.
Beberapa diskusi alot asas demokratisasi, dana desa, BUM Desa
yang belum mampu mempertemukan rezim bisnis dan rezim desa.
Tim ahli melakukan kerja politik sekaligus kerja akademik. Dalam
100
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
menggodok pasal demi pasal dalam UU Desa Farid menyediakan
“warung” untuk diskusi, semua kebutuhan diskusi dicukupi.
“Saya memfasilitasi konsumsi, akomodasi dan keperluan diskusi
lain. Proses diskusi ini mempertajam dialog kami datangkan ada
RDPU Rapat Dengar Pendapat Umum kami hadirkan teman dari
NTT, NTB Sulawesi mewakili desa di sana kades actor membuat
dialog diskusi menjadi tema yang menarik untuk di RDPU dan
kita publikasi. Pertama nama RDPU di streaming. Mengajak kawan
LSM kuat di media mendukung diskusi di ruangan nusantara
bisa dibawa keluar. Semua orang mulai belajar media itu penting
system informasi itu penting, mendorong SID. Tema yang agak
terpisah ini menjadi bagian dari informasi pemberdayaan dengan
tata Kelola dan pembaharuan yang dilakukan”.
UU desa memberikan banyak pembaharuan, desa mampu
membangun kesejahteraan substansial bukan legal formal. Di
akhir 2013 UU desa disetujui dan disahkan awal 2014. Kelahiran
UU Desa mendapat sambutan luar biasa dari desa. Kemanangan
ini dinodai dengan munculnya PP No. 43 Tahun 2014 dan PP No.60
Tahun 2014 menurunkan spirit berdesa. Kondisi ini diperparah
dengan teknokratisasi desa dimana desa diampu Kemendagri dan
Kemendesa.
Desa Salah Asuhan
Menurut Titok Hariyanto, desa tidak berkembang seperti
yang diharapkan, yang melahirkan dan yang membesarkan
berbeda. APMD termasuk yang melahirkan tapi banyak pihak
yang membesarkan.
“Dalam kaitan advokasi UU Desa, Sutoro Eko adalah figure yang
paling menonjol. Dia menjadi magnet mempertemukan aktifis
Gerakan sosial. APMD menjadi bagian support, Perguruan Tinggi
melahirkan UU Desa. Setelah lahir tidak banyak secara aktif
mengikuti, yang ikut menikmati banyak. Tidak semua Perguruan
Tinggi terlibat. Dari APMD, ruh aktifisme mengadvokasi desa
55 TAHUN STPMD “APMD”
101
muncul. Banyak Perguruan Tinggi di periode sebelumnya
melakuan aktifitas di desa, tetapi tidak banyak melakukan
advokasi, menangkap problem sosial structural di desa. Penting
untuk satu kebijakan untuk desa. APMD mendialogkan narasi
lokal diangkat dikontekstualisasi untuk melahirkan UU Desa.
Ini poin strategis dalam UU Desa. Kontribusi semacam itu tidak
bisa lahir cara pandang intelektual tradisional membicarakan
persoalan di desa, tanpa solusi ideal di desa. Manangkap apa
yang menjadi persoalan di desa diolah kemudian apa yang harus
dilakukan pemerintah”.
Fase awal 2 tahunan dari UU desa, banyak pihak melakukan
aktifitas di desa tidak paham substansi UU desa. Ini menjadi
masalah. Membuat program aktifitas advokasi baik Non-
Government Organization (NGO) local maupun internasional serta
Perguruan Tinggi tidak memberikan ruang pembebasan terhadap
desa tetapi sebaliknya malah memberi beban desa. Desa harus
melakukan dan menerima program sesuai dengan proyek. Menurut
Titok, APMD berbeda karena memegang ruh UU Desa, mengajak
desa melihat dirinya. Cara pengorganisasian dan advokasi dengan
melibatkan desa, memuliakan desa dan berembug bersama pemdes
dan masyarakat desa. Frame berpikir ini menjadi pembelajaran
terutama bagi lulusannya dalam berjaringan, mereproduksi
pengetahuan dan membangun gerakan berdesa. UU desa adalah
harapan desa menjadi hidup dan bermakna.
“Titok mengkhawatirkan mengulangi sejarah otonomi daerah. Di
awal banyak champion, Bupati Jembrana, Sragen, Jogja tapi periode
kedua UU desa hilang begitu saja. Apa yang dirintis hilang tidak
berbekas. Spirit dari pelaksanaan otonomi daerah berpusat pada
agen, pemimpin. Sementara upaya mentransformasi membangun
kesadaran di level public memberikan ruang di masyarakat
menentukan, di UU desa seperti itu. Panggungharjo, Ponggok,
apa yang dirintis oleh Kades hilang. Proses transformasi gagasan
ini masih milik pemimpin itu sendiri. Menjadi rawan pembajakan
102
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
oleh elit otomatis program yang akan dijalankan oleh elit tidak
menjadi kesejahteraan ke desa. Munculnya desa champion inisiatif
lebih banyak dari pemimpinnya bukan dari masyarakat.”
Pengalaman ini menjadi pembelajaran penting. Tantangan
bagi pemimpin desa dalam mengelola gagasan berdesa tidak hanya
viral dan masuk dalam APBDesa, namun dimengerti betul oleh
masyarakatnya. Pemimpin juga menjadi agen perubahan dalam
mentransformasikan spirit berdesa kepada masyarakat desa. Spirit
kewarganegaraan menjadi keharusan karena pemimpin tidaklah
abadi dalam kekuasaan. Masyarakat desa harus memahami
dan meyakini bahwa berdesa menjadi alternatif jalan menuju
kesejahteraan warga. Pelaksanaan UU desa harus ada yang
mengawal sehingga tidak lagi salah asuhan. Strategi advokasi yang
tepat, jaringan yang kuat, pengetahuan yang hebat mewujudkan
desa yang kuat dan rakyat berdaulat. Gagasan bisa nendang kalau
lewat jaringan dan persoalan keadilan jangan sampai dikalahkan
dengan laporan.
Tradisi Berdesa
Menurut Anom Surya Putra, tradisi berdesa yang merupakan
bagian dari mazhab Timoho, perlu mendapatkan porsi lebih dalam
pemikiran dan pengetahuan berdesa. Gagasan ini disampaikan
ke jaringan supaya lebih nendang dan menjadi sebuah gerakan.
Berdesa adalah bagaimana menghidupkan desa. Desa bukan
sekedar ruang kosong. Desa dipandang sebagai subyek dengan
lokalitasnya, hidup dan penghidupannya, kehidupan sosial,
ekonomi, politik dipandang secara terintegrasi. Bentang lahan dan
bentang fisik desa menjadi bagian utuh desa. Berdesa itu bagian
dari dinamika tradisi, kearifan lokal situasi kebiasaan yang menjadi
bagian dari dinamika berdesa. Berdesa diantaranya adalah cara
bermasyarakat, cara membangun, cara berpemerintahan semua
memiliki tradisi.
55 TAHUN STPMD “APMD”
103
Menurut Farid Hadi, setiap daerah memiliki tradisi berdesa
beragam dan dinamis. Namun demikian tradisi berdesa ini
memiliki satu catatan penting dimana petani tidak atau belum
menjadi bagian dalam system dan tradiri berdesa. Salah satu
persoalan berdesa adalah meminggirkan petani dari desa. Petani
dengan pertaniannya menjadi ikon simbolik desa, namun dalam
pembangunannya desa meminggirkan petani, baik dari program
maupun anggaran desa. Petani ini punya bapak sendiri yaitu Dinas
Pertanian dan kehutanan. Desa tidak ada yang mengalokasikan
anggaran dan program untuk petani. LMDH lebih menjadi
kepanjangan tangan perhutani, perhutani swasta.
Reposisi STPMD “APMD”
Dari berbagai pengalaman dalam membangun jaringan,
Gerakan dan kebijakan STPMD “APMD dapat mereposisi
tempatnya dalam memproduksi gagasan dan Gerakan berdesa.
Pertama, APMD berubah dalam hal Tridharma, tidak hanya
menjadi gudang ilmuwan desa tapi terlibat dalam kerja nyata.
Integrasi antara tridharma dengan kerja politik dan kebijakan.
Kedua, APMD bisa merajut, pemikiran pengetahuan, gerakan dan
politik kebijakan di ranah lokal, meso, ranah makro. APMD adalah
tempat untuk memproduksi dan mereproduksi pengetahuan,
memiliki reputasi baik dan kepercayaan publik meningkat.
Lulusan APMD harus bisa menjadi kader desa yang mempunyai
kemampuan connecting. Crafting dan transforming. STPMD “APMD”
104
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
menjadi orkestrator baik isu maupun jaringan berdesa. Isu tradisi
berdesa yang benar dan clear dalam memperlakukan desa dengan
mazhab Timoho harus lebih sering digaungkan. Tradisi berdesa
harus menjadi spirit utama dan kental dalam seluruh kegiatan di
APMD dan terintegrasi dalam implementasi tridharma.
Perubahan paradigma dalam melakukan Tridharma Perguruan
Tinggi. Menurut Anom, sudah saatnya pengabdian mempunyai
posisi utama dan melandasi penelitian dan pengembangan serta
pengajaran di STPMD “APMD”. Membawa tradisi berdesa menjadi
ilmu pengetahun yang layak diperhitungkan dalam membangun
negara. Desa yang berdaulat negara bermartabat. Selain itu STPMD
“APMD” dapat menjadi suara kritis bagi sesama Perguruan Tinggi,
pemerintah dan penggiat desa dalam memperlakukan desa.
Reframming dan repositioning STPMD “APMD” dalam
menyatukan tradisi berdesa yang benar dengan Tridharma.
Tridharma menjadi rutinitas yang penuh makna. Dalam pidato
pengukuhannya Sutoro eko merujuk pada Filsafat Proses Manusia,
mengatakan bahwa makna adalah proses dinamis manusia
yang terus bergerak dari “mengada” (being) berubah “menjadi”
55 TAHUN STPMD “APMD”
105
(becoming). Baginya makna berarti hati, hati adalah cinta, yang
melandasi kebajikan, vocation dan passion dalam memuliakan
Tridharma. Kebijakan tanpa kebajikan ibarat otak tanpa hati, ibarat
nalar tanpa cinta. Menjalankan Tridharma dengan penuh cinta
dan sepenuh hati memproduksi kebijakan yang penuh kebajikan,
membawa kebaikan bagi semesta raya. Tridharma memberikan
kontribusi riil pada pembangunan masyarakat, dari desa untuk
Indonesia. Ilmu yang diproduksi menjadi ilmiah dan amaliah
dengan kontribusi STPMD “APMD” baik secara keilmuan maupun
tindakan untuk desa berdaulat dan bermartabat.
STPMD sebagai mercusuar melahirkan generasi berdesa yang
membumi. Jaringan telah terbangun secara baik dengan banyaknya
kerjasama pemerintah daerah juga alumni yang tersebar di seluruh
negeri menjadi modalitas besar dan strategis gerakan. Gerakan
dapat melahirkan perubahan desa di masa depan. Masa depan
desa diubah dengan kebijakan yang memakmurkan rakyat dan
bukan bukan pejabat. Kebijakan yang memakmurkan bumi bukan
korporasi.
Daftar Pustaka
M. Soetopo, M.M. 2015. APMD Lahir dan Berkembang, STPMD
“APMD”. Yogyakarta.
Sutoro Eko Yunanto. 2019. Mendudukkan Keilmuan, Kelembagaan
dan Kemakmuran. Pidato Kelembagaan Ketua dalam Rangka
Dies Ke-54 Dengan Tema “Maju dan Bermartabat”. Yogyakarta
106
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BAB 7
MENDAMPINGI BUMDESA,
MERAJUT KORPORASI RAKYAT
Oleh: Rema Marina 14
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”
memandang BUMDesa sebagai sebagai upaya untuk menciptakan
kemandirian desa. Kemandirian tersebut dapat dicapai melaui
kerjasama yang baik antara pemerintah desa dengan BUMDesa
dalam rangka memaksimalkan potensi yang ada di desa. Potensi
seperti pertanian, perkebunan, perikanan atau kelautan, tambang,
industri lokal dan UMKM sejatinya harus bisa menjadi kekuatan
atas kemandirian desa. BUMDesa sebagai satu lembaga ekonomi
desa idealnya mampu memberikan kontribusi yang besar untuk
kesejahteraan masyarakat desa. Dalam hal ini APMD selaku institusi
yang concern pada isu-isu tentang desa juga membahas terkait
keberadaan BUMDesa, di mana upaya yang dilakukan adalah
memberikan pelatihan dan pendampingan agar terwujudnya
BUMDesa yang mampu meningkatkan kualitas hidup manusia.
Sebelum adanya BUMDesa ada beberapa institusi sosial
dan institusi keuangan mikro yang dibentuk pemerintah: BKD,
BINMAS, KUEPEDES, KIK, KCK, BUUD, KUD, UEDSP, LPD di Bali
sejak 1985. Juga hadir beberapa kelompok-kelompok masyarakat
yang dibentuk oleh proyek-proyek sektoral kementerian seperti
UPK dan simpan pinjam untuk perempuan (SPP) dalam PNPM
14 Staff pengajar STPMD “APMD”. Tulisan ini merupakan hasil diskusi bersama Dr.
Sutoro Eko, Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta, penulis juga menyampaikan
terimakasih kepada narasumber Drs.Suharyanto MM. Dosen STPMD “APMD”
juga kepada Mujimin, S.Sos alumni STPMD “APMD”.
55 TAHUN STPMD “APMD”
107
Mandiri Perdesaan. Semua ini adalah LKM korporatis, atau
lembaga keuangan mikro (LKM) yang dibentuk oleh pemerintah.
Berbagai LKM ini dibentuk oleh pemerintah karena komitmen
pemerintah menolong rakyat desa (termasuk kaum miskin) dari
jeratan renternir dan sekaligus membuka akses kredit bagi rakyat
desa mengingat bank-bank komersial (baik BUMN maupun
swasta) tidak pro poor. 15
Kehadiran UU Desa No. 6 tahun 2014 merupakan tonggak
sejarah bagi desa di Indonesia, yang mana selama ini desa hanya
sebagai objek dalam pembangunan, namun dengan hadirnya UU
Desa memberikan kekuatan kepada desa dalam membangun
desanya agar dapat berkembang terutama di basis perekonomian.
Jika dulu pemerintahan di atas desa dapat mengintervensi kebijakan
yang dibuat oleh desa namun sekarang sepenuhnya kewenangan itu
ada di desa yang dirumuskan melalui musyawarah desa. Sebelumnya
beberapa program pemerintah sudah diupayakan dalam
pengembangan perekonomian desa namun belum memberikan
hasil yang memuaskan untuk mensejahterakan masyarakat desa
secara keseluruhan. Intervensi pemerintah yang terlalu dominan
menjadikan masyarakat desa terhambat daya kreativitas dan
inovasinya dalam menjalankan mekanisme perekonomian di desa.
Pada penjelasan UU No.6/2014 tentang Desa pasal 8 ayat (1)
menyebutkan bahwa:
BUM Desa di bentuk oleh pemerintah desa untuk mendayagunakan
segala potensi ekonomi, kelembagaaan perekonomian, serta potensi
sumber daya alam dan sumber daya manuasia dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa
Lahirnya BUMDesa sebagai badan usaha milik desa yang
dikelola dengan melibatkan seluruh masyarakat desa dengan
support dari pemerintah desa menjadikan BUMDesa sebagai
altenatif desa dalam mengembangkan potensi maupun asset desa
15 Sutoro Eko Yunanto dkk, Policy Paper Membangun BUMDesa yang Mandiri, Kokoh dan
Berkelanjutan (Yogyakarta:Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), hal.1
108
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
melalui berbagai jenis usaha untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa. Pengelolan BUMDesa yang sepenuhnya dilaksana
kan oleh masyarakat desa ini diharapkan dapat mem berikan
kontribusi yang baik terhadap kesejahteraan desa karna dari desa,
oleh desa, dan untuk desa. Hal ini sesuai dengan visi Presiden
Jokowi membangun Indonesia dari pinggiran dalam Nawacita-nya
adalah salah satu pengharapan agar desa mendapatkan nasib baik
sehingga dapat menyinari sudut-sudut wilayah Indonesia.
Membentuk Pengetahuan Tentang Bumdesa
Pembentukan pengetahuan tentang BUMDesa perlu dilihat
dari tradisi berdesa sebagai konsep hidup bermasyarakat dan
bernegara di ranah desa. Inti dari gagasan berdesa adalah;
pertama, desa menjadi basis modal sosial yang memupuk tradisi
solidaritas, kerjasama, swadaya, dan gotong royong secara
inklusif yang melampaui batas-batas ekslusif kekerabatan, suku,
agama, aliran atau sejenisnya. Kedua, desa memiliki kekuasaan
dan berpemerintahan yang di dalamnya mengandung otoritas
dan akuntabilitas untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat. Ketiga desa hadir sebagai penggerak ekonomi lokal
yang mampu menjalankan fungsi proteksi dan distribusi pelayanan
dasar kepada masyarakat. Tradisi berdesa ini merupakan salah
satu gagasan fundamental yang mengiringi pendirian BUMDesa.
Tradisi berdesa pararel dengan kekayaan modal sosial dan modal
politik serta berpengaruh terhadap daya tahan dan keberlanjutan
BUMDesa.
Maraknya BUMDes yang berdiri di setiap desa sebelum
hadirnya UU Desa No.6 tahun 2014, memberikan kekhawatiran
atas ketidakjelasan status hukum (legal standing). Untuk itu
Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) yang juga
keanggotannya merupakan beberapa dosen STPMD “APMD”,
sehingga STPMD “APMD” terlibat langsung dalam memberikan
kontribusi gagasan terhadap kebijakan nasional guna membangun
55 TAHUN STPMD “APMD”
109
BUMDesa yang mandiri, kokoh dan berkelanjutan di masa depan
melalui policy paper. Hasil dari sebuah riset panjang mengenai policy
paper ini dengan berlandaskan pada tradisi berdesa menghasilkan
Permendesa No. 4 tahun 2015 tentang pendirian, pengurusan dan
pengelolaan, dan pembubaran badan usaha milik desa.
Terdapat empat tujuan utama pendirian BUM Desa, yaitu
meningkatkan perekonomian desa, meningkatkan pendapatan
asli desa, meningkatkan pengelolaan potensi desa sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan menjadi tulang punggung pertumbuhan
dan pemerataan ekonomi pedesaan. Pendirian dan pengelolaan
BUM Desa adalah perwujudan dari pengelolaan ekonomi
produktif desa yang dilakukan secara kooperatif, partisipatif,
emansipatif, transparansi, akuntabel, dan sustainable. Oleh karena
itu, diperlukan upaya yang cukup serius agar BUM Desa dapat
berjalan secara efektif, efisien, profesional dan mandiri. Sebagai
salah satu lembaga ekonomi yang beroperasi di pedesaan, BUM
Desa harus memiliki perbedaan dengan lembaga ekonomi pada
umumnya. Hal ini agar keberadaan dan kinerja BUM Desa Mampu
Memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan
kesejahteraan warga desa.
Prakarsa Mendampingi Dan Membentuk Bumdesa
Prakarsa pendampingan BUMDesa seharusnya diselaraskan
dengan adanya Korporasi rakyat. Korporasi rakyat sendiri adalah
kapitalisme rakyat, atau dengan kata lain kapitalisme yang dimiliki
atau dikuasai oleh rakyat secara komunal. Sutoro Eko memberikan
penjelasan bahwa korporasi rakyat berarti bahwa rakyat merebut
kapitalisme, jadi artinya kapitalisme itu jangan dihancurkan, jangan
dihabisi seperti gagasan komunisme, yang telah habis cerita, dan
pada sisi yang lain kapitalisme itu sistem ekonomi yang tidak bisa
dibendung. Persoalannya apakah rakyat itu hanya menjadi residu,
sisanya sisa, atau menjadi basis eksploitasi kapitalisme atau rakyat
itu memang harus hadir melakukan konsolidasi.
110
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Korporasi rakyat bertumpu pada produksi, artinya rakyat
berproduksi. Dalam menyalurkan hasil produksi, Sutoro Eko
men je laskan dua pola korporasi rakyat: Pola pertama, rakyat berproduksi,
kemudian dikonsolidasi oleh BUM Desa dengan pendekatan
partisipatoris, emansipatoris dan demokratis. Wadahnya
apa? Musyawarah desa. Kedua, rakyat berproduksi sendiri dan
mendistribusikan sendiri entah melalui jalur ofline maupun online.
Namun, pada pola yang kedua terdapat kelemahan dalam hal
persaingan antara sesama pelaku usaha. Ini pasti akan muncul
kanibalisasi (saling memakan) antara sesama usaha. Pemerintah
tidak perlu mengulang pendekatan yang keliru dengan membentuk
BUMDesa secara serentak dan memeberi bantuan modal secara
merata kepada seluruh BUMDesa yang telah di bentuk. Dukungan
pemerintah lebih baik bersifat proporsional tergantung pada
prakarsa dan usulan dari desa atau dari BUMDesa. Pendampingan
oleh LSM, perguruan tinggi atau fasilitator profesional sangat di
butuhkan untuk membangkitkan prakarsa dan kesiapan desa.
STPMD “APMD” sebagai perguruan tinggi yang sedari awal
pendiriannya selalu konsisten pada pembangunan masyarakat
desa dan dalam hal mendampingi BUMDesa merajut korporasi
rakyat telah memberikan kontribusi dengan terlibatnya beberapa
dosen APMD dalam pengabdian terhadap masyarakat desa dengan
memfasilitasi desa-desa yang ingin mendirikan dan mem bentuk
BUMDesa. Diawali dari dosen APMD yang mengabdi bersama PT.
KPC (Kaltim Prima Coal) di desa-desa seputar tambang batu bara di
kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur yaitu Sutoro Eko yang
saat ini menjabat sebagai ketua STPMD “APMD” juga bersama dosendosen
senior APMD M. Barori, Suharyanto, Hastowiyono, dan alm.
Widyo Hari yang tergabung dalam sebuah lembaga yang bernama
PDDB (Pusat Pembaharuan Desa Berkelanjutan). Pengalaman
pertama dosen APMD dalam mendampingi mendirikan BUMDesa
di desa Rantau Makmur kecamatan Rantau Pulung kabupaten
Kutai Timur pada tanggal 21 april 2011.
55 TAHUN STPMD “APMD”
111
Gambar 1. Pengabdian dosen APMD bersama PT. KPC mengenai BUMDesa.
Melalui wawancara penulis bersama Suharyanto, beliau
sebagai dosen di kampus STPMD “APMD” melalui pengalaman
pengabdiannya kepada Masyarakat (Peningkatan Kapasitas
Pemerintah Desa) dalam bentuk ceramah dan dialog maupun Pendampingan
tentang Pembentukan, Pengelolaan dan Pengembangan
Badan Usaha Milik Desa. Pengalaman pengabdian yang dilakukan
beliau terkait pendampingan pendirian BUMDesa selain bersama
PT. KPC beliau juga banyak menjadi narasumber di berbagai
daerah/kabupaten atau desa-desa untuk memberikan pemahaman
mengenai pengelolaan BUMDesa. Sebagian desa-desa di DIY
melibatkan APMD sebagai narasumbernya adalah Suharyanto dan
beberapa desa-desa lain di luar DIY antara lain Sumba Tengah,
Raja Ampat, Dairi, Labura, dan Sergai. Propinsi Sumatera Utara
hampir 10 kabupaten semua kepala desanya pernah melibatkan
APMD terkait diskusi mengenai BUMDesa.
Potensi dan Kebutuhan
Dalam undang-undang desa no. 6 tahun 2014 tentang desa
menyebutkan desa dapat mendirikan badan usaha milik desa
yang di sebut BUMDesa. Berarti desa tidak wajib membentuk
112
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BUMDesa, tetapi pada kenyataannya bahwa banyak desa-desa
yang latah mendirikan BUMDesa. Sejatinya desa tidak juga dapat
disalahkan namun terkadang instruksi dari pemerintah yang
tidak tegas mensosialisasikan bahwa desa tidak harus mendirikan
BUMDesa artinya tidak didirikan tidak masalah karena BUMDesa
tidak wajib. BUMDesa itu dapat berdiri asal ada kebutuhan dan
adanya potensi, melihat persyaratan BUMDesa sendiri tidaklah
mudah dikhawatirkan setelah berdiri BUMDesa hanya tinggal
papan nama saja, tetapi jika bisa melangkah kesana justru lebih
baik asalkan ada kebutuhan dan potensi.
Banyak sekali perkumpulan problematika dari pengalaman
STPMD “APMD” dalam mendampingi desa-desa yang akan
mendirikan BUMDesa dengan di temukannya beberapa kelemahan
di awal dalam pendirian BUMDesa yaitu pertama problem di
SDM, banyak masyarakat yang mampu mengelola BUMDesa akan
tetapi tidak mau memulai karena mengetahui biasanya di awal
pembentukan BUMDesa tidak bisa dipungkiri harus berproses
secara kerja bakti atau swadaya dari pengelola BUMDesa itu
sendiri. Hal ini dikarenakan masyarakat hanya antusias ketika
melihat BUMDesa setelah maju, tapi justru tidak paham bahwa di
awal ada beberapa problematika yang substansial karena syaratnya
yaitu mau dan mampu untuk mengelola, karena pengelola seperti
menjadi relawan pada awal terbentukmya BUMDesa. Kedua,
banyak desa yang kesulitan memilih unit usaha yang tepat karena
tidak ada fasilitas memadai misalnya terkait permodalan. Unit
usaha yang tidak melalui supporting permodalan dan pemilihan
usaha yang tepat akan menjadikan BUMDesa yang pada akhirnya
hanya sekadar papan nama namun tidak ada kegiatan. Ketiga
terkait saat operasionalisasi juga ada problematika, seperti teknis,
kemampuan SDM, lalu masyarakat yang mendirikan BUMDesa
tapi masyarakat tidak ikut berpartisipasi.
Pada saat BUMDesa sudah besar biasanya permasalahan
yang muncul adalah adanya elit capture, yaitu hanya dinikmati
55 TAHUN STPMD “APMD”
113
oleh segelintir penguasa namun tidak merembes ke masyarakat.
Kepala desa adalah kunci desa mau melangkah karena mendirikan
BUMDesa butuh permodalan dan sebagainya jika kepala desa
tidak punya view terkait BUMDesa tidak akan ada arti, setelah
BUMDesa berjalan akan terseok-seok tidak ada backup dan
political will pemerintah desa atau kepala desa akan menyusahkan
BUMDesa. Selanjutnya BUMDesa bisa berjalan baik namun pada
akhirnya jadi sapi perahan elit ini juga problem sehingga harus
ada supporting terkait pendirian BUMDesa ini sendiri terutama dari
kepala desa yang punya jiwa entrepreneurship atau kewirausahaan,
jika kepala desa tipe birokrat saja itu pun tidak bisa berjalan. Kepala
desa menjadi kunci suksesnya BUMDesa misalnya ada supporting
penyerahan lahan desa atau tanah kas desa. Jaman sekarang ini,
kepala desa tidak hanya berfungsi sebagai pemberi tanda-tangan
berbagai dokumen administratif saja namun juga dipengaruhi oleh
kemampuan seorang kepala desa dalam menjalankan visi ekonomi
untuk desanya.
Adanya perubahan paradigma dulu kita melihat usaha di
mulai dari SDA yang dengan menghasilkan sebuah produk terlebih
dahulu, sekarang justru bergeser kepada customer needs (kebutuhan
konsumen). Dengan kata lain memahami apa yang dibutuhkan
masyarakat dahulu baru membuat produk ketimbang membuat
produk dahulu tetapi kesulitan dalam hal pemasaran. Kita melihat
saat ini setiap desa mulai bersaing untuk membuat desa wisata
yang diangap merupakan jenis usaha yang terbaik saat ini untuk
di kelola demi meningkatkan perekonomian desa. Apakah potensi
yang dibutuhkan desa itu hanya bisa dikembangkan oleh BUMDesa
sebatas pengelolaan desa wisata saja terbukti dari beberapa
BUMDesa yang mendapatkan omset hingga milyaran rupiah
pertahunnya itu di kuasai oleh desa-desa yang menghadirkan
desa wisata sebagai jenis usaha yang memang terbukti mampu
memberikan PADes yang luar biasa. Sehingga BUMDesa menjadi
bergengsi manakala bisa menciptakan pendapatan keuntungan
114
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
yang besar. BUMDesa yang tidak menghasilkan pendapatan yang
besar seperti layaknya unit wisata dianggap kurang berhasil atau
kurang.
BUMDesa yang berhasil bukan berarti yang bisa memberikan
keuntungan besar itu keliru, padahal mungkin menyediakan
kemanfaatan bagi desa yang luar biasa. Contoh pengelolaan
air bersih, desa yang selama ini kesulitan akan air bersih dan
kemudian dibantu oleh BUMDesa keuntungan tidak besar
karena di jual ke masyarakat sendiri tidak mungkin ditarik
keuntungan yang besar-besarnya, namun bisa bermanfaat bagi
warga desa dan jika keuntungan itu kemudian diratakan atau
di share kepada masyarakat dalam berbagai program misalnya
program beasiswa pendidikan perbaikan rumah kumuh, dan
program-program lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat
desa. BUMDesa yg menghasilkan uang yang sangat besar namun
tidak begitu memberikan berdampak pada kesejahteraan warga
dapat dikategorikan BUMDesa yang belum berhasil. Ukuran dari
keberhasilan BUMDesa, manakala BUMDesa itu bisa memberikan
manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Bisa
dalam bentuk secara langsung atau tidak langsung. BUMDesa
mampu untuk memasarkan produk produk masyarakat desa dan
BUMDesa mampu menggalang kebutuhan yang diinginkan desa.
Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) sendiri merupakan salah
satu lembaga ekonomi yang diharapkan kedepannya dapat menjadi
salah satu yang berkontribusi pada sumber pendapatan desa.
Sehingga keberadaan BUMDesa perlu mendapatkan justifikasi
hukum yang pasti dan jelas. Menurut Suharyanto BUMDesa
adalah lembaga ekonomi desa yang unik karena cukup dengan
payung hukum perdes untuk berkiprah dengan aneka macam
kegiatan. Problemnya manakala BUMDesa akan bersinergi dengan
perbankan maka perdes itu tidak laku, dalam hal peminjaman
uang untuk penambahan modal, Jika tidak bersindikasi ke
perbankan tidak masalah peraturan desa sudah berkonsideran
55 TAHUN STPMD “APMD”
115
dengan undang-undang dan peraturan menteri. Karena jika
hanya problem kerjasama dengan perbankan maka timbul badan
hukum hingga yang maju hanya individual justru cocok untuk
pribadi-pribadi yang akan membuka usaha. BUMDesa tidak di
desain untuk PT, melainkan ini desain sebagai lembaga ekonomi
desa yg mengelola potensi dan kebutuhan yg ada di desa untuk
mensejahterakan masyarakat desa. Konsekuensi badan hukum
itu tidak ringan, butuh biaya dan mengambil keuntungan sedikit
pajak yg lumayan besar. BUMDesa ini adalah lembaga unik cukup
berdasarkan perdes, jangan berpikir tentang badan hukum yang
penting lembaga yang ada ini jalan dulu untuk mengembangkan
perekonomian masyarakat sehingga belum saatnya BUMDesa
berbadan hukum dan menjadi perseroan terbatas. APMD sendiri
saat melakukan pengabdian kepada masyarakat di banyak desa
pembahasan tentang badan hukum BUMDesa di bahas diakhir
yang penting tumbuh dan dapat memberikan manfaat untuk
masyarakat dan berkesinambungan.
Pengembangan ekonomi lokal memungkinkan pengembangan
ekonomi yang ada di desa tetap harus jaga. Desa maju tidak
hanya dengan BUMDesa, desa maju karena lembaga ekonomi
yang dikembangkan selama ini luar biasa. Maka tidak berarti
semua urusan ekonomi desa masuk dalam ranah BUMDes, sama
sekali tidak. Soalnya di desa masih ada banyak lembaga ekonomi
yang tidak masuk dalam cakupan BUMDes bahkan tidak bisa di
BUMDes-kan. Tirtonirmolo, simpan pinjamnya, meledak tidak
dibungkus BUMDesa. Pengembangan ekonomi desa bisa dilakukan
melalui banyak cara tidak semua harus BUM desa. Kelompok
masyarakat yang telah berusaha tidak harus diintegrasikan dalam
BUM Desa. Apapun itu baik BUM Desa, usaha warga desa, usaha
kelompok masyarakat desa yang utama adalah proteksi, pemdes
hadir memproteksi warga dari berbagai macam kekuatan dari luar.
Pemerintah desa hadir di usaha masyarakat, usaha desa dan usaha
kelompok masyarakat.
116
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Suharyanto ini juga mengingatkan tentang teori BUM Desa,
bahwa pada dasarnya divisi usaha BUM Desa itu mempertemukan
2 hal penting, yaitu ada kebutuhan dan ada potensi. Inilah langkah
awal terbentuknya divisi usaha. Kalau ini benar-benar dilakukan
secara kelayakan studi diharapkan akan lebih abadi. Terkait dengan
langkah memulai BUM desa, ini langkah yang dilakukan sederhana.
Pemetaan awal pertama ada kebutuhan dan adakah potensi di
desa dalam rangka mendirikan jenis usaha, divisi usaha, atau yang
salah kaprah unit usaha. Potensi dipertemukan need dan resources
akan berdampak pada kelanggengan usaha. Ada kebutuhan akan
supporting permodalan di warga desa. Ada potensi dana desa yang
cukup besar, dialihkan untuk kebutuhan permodalan. Akan tumbu
oleh tutup. Memberikan jaminan kelanggengan. Manakala bisa
dikelola dengan baik
Korporasi Rakyat melalui BUMDesa sebagai “usaha bersama”
(Holding)
BUMDesa yang bertemakan desa wisata akhir-akhir ini
menjadi salah satu jenis usaha yang memberikan kontribusi yang
baik untuk keberlangsungan hidup masyarakat desa. Ini dapat
dilihat dari salah satu desa di kecamatan Prambanan di kabupaten
Sleman yaitu desa Sambirejo yang berhasil mengubah PADes
yang hanya 10 jt pertahun menjadi milyaran rupiah. Kinerja
BUMDesa jenis usaha desa wisata ini masuk kedalam tipe Holding
yaitu BUMDesa sebagai usaha bersama, atau sebagai induk dari
unit-unit usaha yang ada di desa, di mana masing-masing unit
yang berdiri sendiri-sendiri ini, diatur dan ditata sinerginya oleh
BUMDesa agar tumbuh usaha bersama di mana tujuan dan sifat
dari jenis usaha ini adalah mengonsolidasikan berbagai jenis
usaha lokal yang terkait dengan wisata, guna meningkatkan
pendapatan masyarakat dan PADes. Bisnis ini sangat khas dan
prospektif bagi desa-desa yang memiliki potensi wisata. Sehingga
dapat berkembang secara sehat, kokoh dan berkelanjutan dan
55 TAHUN STPMD “APMD”
117
memberikan manfaat untuk menggairahkan perekonomian desa
dan membuka lapangan pekerjaan, sekaligus meningkatkan pendapatan
desa dan masyarakat.
Mujimin sekretaris desa Sambirejo kecamatan Prambanan
adalah salah satu alumni STPMD “APMD” yang berhasil dalam
menggerakkan roda perekonomian di desanya melalui BUMDesa.
Menurut Pak Ji sapaan akrab beliau, dari kampus APMD Ia banyak
mendapat ilmu mengenai konflik sosial, pemberdayaan masyarakat,
pengembangan potensi dan lain-lain yang berhubungan dengan
desa. Potensi yang sudah dikembangkan pastinya ada konflik
internal dan eksternal dengan banyak hal yang didapat dari APMD
dikembangkan di desa tersebut. Sebelum membuat jenis usaha
seperti halnya desa wisata beliau berpendapat juga terkait konflik
kepemilikan tanah dalam wilayah desa, banyak sekali tanah yg
tidak memiliki kepemilikan yang jelas sehingga pada saat unit
usaha telah berkembang timbul konflik jangan sampai desa hanya
mendapatkan sisanya saja. Ada 3 hal yang harus di perhatikan.
Pertama, tanah itu milik siapa? milik desa atau pribadi? Kedua,
siapa yang mengelola apakah masyarakat atau pemda? Ketiga,
bagi hasilnya seperti apa? Dengan demikian harus diyakini dengan
penguatan dan regulasi terlebih dahulu agar tidak bermasalah
kemudian hari ditengah perjalanannya.
Awalnya Sambirejo adalah desa paling miskin di kabupaten
Sleman secara geografis menempati area pegunungan yang kontur
tanahnya batu, ketika hilang tanahnya tinggal batunya sehingga
warga Sambirejo seperti hidup di atas pot raksasa. Jika berbicara
mengenai pertanian, di musim hujanlah baru bisa bercocok tanam
dan setahun sekali sering di sebut petani tadah hujan karna tidak
mungkin menanam pertanian. Sambirejo sangat sulit air dan mahal
karena batu yang ada di Sambirejo kedap air, sehingga dihadapkan
dengan kondisi mengembangkan potensi itu susah. Termasuk desa
dengan warganya susah, mereka yang punya ide dan gagasan
turun ke bawah transmigrasi dan tidak pulang yang tinggal di
118
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Sambirejo yang kurang punya pengalaman dalam banyak hal. Di
tambah lagi dengan PADes Sambirejo yang hanya 10 jt pertahun
dari tanah kas desa dan juga pungutan desa. Sehingga pada saat
itu banyak warga desa diminta jadi perangkat desa tidak ada yg
beminat.
Tebing Breksi yang berada di desa Sambirejo, kecamatan
Prambanan, Kabupaten Sleman, awalnya adalah tempat penambangan
batu alam untuk material bangunan oleh warga masyarakat
Sambirejo secara manual untuk pertambahan penghasilan. Sejak
tahun 2014 pemerintah menutup kegiatan pertambangan ini untuk
menjaga kelestarian lingkungan. Namun tidak semua warga
mene rima akan hal ini bahkan sampai ada yang mengancam
sampai ke Kades karna mereka merasa sudah memiliki Tebing
Breksi tersebut. Akhirnya desa Sambirejo mulai berbenah diri,
sebelumnya dalam hal pengembangan kawasan Breksi tidak
melalui BUMDesa, melainkan melalui pokdarwis (kelompok sadar
wisata) yang di gerakkan oleh Mujimin dan teman-teman. Karena
pokdarwis hanya penggerak dibutuhkan pengelola akhir nya
dibentuk pengelola yang pada saat itu masih mengacu pada UU
No. 5 tahun 1979. Setelah ada pengelolaan atau eksekutor diserahkan
dengan nama organisasi lowo ijo, sehingga pokdarwis hanya
motor penggerak dan pelaku pelaksana sapta pesona yg tingkatnya
di desa. Pokdarwis itu adalah orang-orang yang punya kapasitas,
isinya orang yang memiliki potensi, bisa siapapun. Perangkat desa
pun bisa jadi penggerak namun tidak bisa menjadi pengelola.
Tahun 2016 hadirlah dari Kemendes untuk pendirian
BUMDesa setiap desa dapat mendirikan BUMDesa, namun pada
saat itu sosialisasi mengenai BUMDesa masih kurang masif
sehingga masyarakat Sambirejo masih awam mengenal BUMDesa.
Desa Sambirejo melalui Mujimin sendiri mulai berdekatan dengan
akademisi dari STPMD “APMD” masih individual, melalui
pembicaran dan diskusi pribadi dengan arahan dari dosen APMD
Suharyanto yang dilihat dari kacamata akademisi. Di tahun 2018
55 TAHUN STPMD “APMD”
119
mulai berbenah membuat Perdes dengan penyertaan modal dari
Pemdes senilai 51 juta hanya untuk simpan pinjam, lalu di tahun
2019 mulailah Breksi dimasukkan dalam BUMDesa atau dikelola
BUMDesa Sambimulyo melalui koordinasi dengan beberapa pihak
termasuk akademisi. Pokdarwis sebagai mitra lalu diserahkan
pengelola dan yg membuat regulasi di serahkan pada BUMDesa
yang mewadahi. Perubahan setelah masuk BUMDesa secara
regulasi terwadahi karna adanya perdes dan Tebing Breksi mulai
tertata secara administrasi dan mulai ada keterbukaan. Tahun 2015
PAD desa Sambirejo masih 10 juta pertahun mulai tahun 2019
tembus 1 Miliyar setelah masuk BUMDesa. Di tahun 2020 target
PAD yang tadinya 1,1 M namun karena pandemi hanya tercapai
800 juta. Di masa pandemi aktivitas pekerja atau pengelola Breksi
tidak berhenti, melainkan tetap dengan melakukan pembenahan
dan mengembangkan wisata Breksi dengan berbagai inovasi dan
kreativitas. Desa Sambirejo masih mempekerjakan masyarakat
untuk berbenah dan mempercantik tampilan Tebing Breksi agar
semakin memberikan nilai estetika yang semakin indah. Sehingga
tidak ada pemutusan hubungan kerja, walaupun Breksi di tutup
untuk sementara pada saat pandemi namun aktivitas pekerja tetap
berlangsung dan tetap memberikan gaji terhadap pekerja ataupun
pengelola yang ada di Tebing Breksi.
Tanggapan masyarakat desa Sambirejo terhadap BUMDesa
masih biasa saja mengenai BUMDesa untuk meyakinkan masyarakat
sejak tahun 2019 setiap RT dapat 1 juta dari PADes, pemdes juga
memberikan anak anak beasiswa, juga kegiatan social seperti
mendampingi bedah rumah yang kedepannya akan berkelanjutan.
BUMDesa merupakan wadah namun yang melaksanakan adalah
unit-unit usaha, contoh kuliner yang ada di Tebing Breksi daripada
belanja dari luar agar BUMDesa yang memberikan apa kebutuhan
masyarakat, apapun yg masuk ke Breksi semua melalui BUMDesa.
Sembako diadakan oleh BUMDesa tidak hanya di lokasi wisata
bahkan untuk semua kegiatan yang ada di desa Sambirejo, dengan
120
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
adanya BUMDesa yang mewadahi semua unit usaha sesuai
kebutuhan masyarakat dan potensi yang ada semua nantinya
diharapkan akan kembali pada desa dan yg merasakan pada
akhirnya masyarakat desa Sambirejo secara keseluruhan. Tebing
Breksi tidak hanya menyumbang pemasukan PADes akan tetapi
juga adanya keterlibatan semua masyarakat Sambirejo 98 persen
untuk berpartisipasi dalam hal pengelolaan atau menyediakan
kebutuhan, mulai dari pengelola, penjual makanan dan warung
makan, petugas kebersihan, keamanan sampai penyedia spot foto
di Tebing. Warga Sambirejo juga ada yang memiliki homestay
dan pemilik jeep sehingga semua merasakan dampak positif dari
hadirnya desa wisata Tebing Breksi ini.
Keberhasilan BUMDesa dalam pengelolaan Tebing Breksi
tidak terlepas dari sinergi berbagai elemen baik dari Pokdarwis yang
sejak awal sudah menjadi motor penggerak untuk terbentuknya
wisata Breksi juga dari beberapa lintas komunitas lainnya, warga
Sambirejo, akademisi, pemerintah desa, pemerintah daerah,
provinsi sampai kementerian pusat termasuk Kementerian Desa
yang telah memberikan bantuan.
Daftar Pustaka
Eko, S. (2014), Desa Membangun Indonesia, Yogyakarta: FPPD
Eko, S. dkk (2014), Policy Paper Membangun BUMDesa yang Mandiri,
Kokoh dan Berkelanjutan (Yogyakarta: Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa (FPPD).
ANOM, S.P (2015), Badan Usaha Milik Desa, Spirit Usaha Kolektif
Desa, Yogyakarta: kementrian desa PDTT
Undang-Undang Desa No. 16 tahun 2014
55 TAHUN STPMD “APMD”
121
122
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BAB 8
AKSI PEDULI DESA:
MENGAMALKAN TRADISI
“MUDA BERDESA” 16
Oleh: Aulia Widya Sakina 17
Desa memang tak menawarkan kehidupan yang serba lengkap
seperti di perkotaan Namun kehidupan desa yang sederhana
itu justru bisa membuat diri kita begitu rindu karena kehidupan
desa memang begitu kaya, di balik segala keterbatasannya. “Desa
Ibarat kaki, jika kaki lumpuh maka tubuh dan kepala tidak akan optimal”
(Mohammad Yamin). Potret di masa lalu, desa selalu berfungsi
hanya sebagai objek yang tidak berdaya bahkan program
pemberdayaan yang pernah dirintis dan diterapkan tidak pernah
berkesinambungan. Bahkan, perkembangan desa dengan segala
aktivitasnya membuat kebanyakan diantara kita lupa: apa dan
dari mana asal-usul desa. Sehingga konsep pembangunan desa
menuju kemandirian cenderung memberikan dampak negatif
terhadap sumber daya alam sebagai daya dukung lingkungan
yang seharusnya diperhatikan kelestariannya (sustainable).
Banyak nya pekerjaan yang menyangkut desa, selalu dihadapkan
16 Tulisan ini merupakan kontribusi dari Bruder Johny Kedang, S.Sos., MTB. (Alumni
Prodi Ilmu Sosiatri Angkatan 2008 dan kini menjadi Tenaga Pemberdayaan
Masyarakat Orang Asli Papua “OAP”), Umbu Domu Mahani (Ketua HMPS Ilmu
Sosiatri 2018/2019 dan Wisudawan Terbaik Prodi Pembangunan Sosial Periode
November 2020), Dra. Oktarina Albizzia, M.Si. (Ketua Prodi Pembangunan
Sosial STPMD “APMD”), serta Rina Ardianti (Ketua HMPS Pembangunan
Sosial 2019/2020), Hermanus Kabut (Ketua Kelompok Studi Tentang Desa/
KESA 2020/2021) dan Paskalis Smailino Darmawan (Ketua Komisariat PMKRI
STPMD “APMD” 2020/2021) yang merupakan Mahasiswa Aktif Program Studi
Pembangunan Sosial.
17 Staff Pengajar Program Studi Pembangunan Sosial STPMD “APMD” Yogyakarta.
55 TAHUN STPMD “APMD”
123
pada sisi mana yang harus dikerjakan lebih dahulu. Oleh karena
itu, desa membutuhkan fasilitasi berbagai pihak yang benar-benar
bertanggung jawab serta mampu menghantarkan dan mengawal
proses perencanaan kegiatan pembangunan, hingga desa dikatakan
mandiri.
Diangkat dari pemikiran kepedulian terhadap desa dan upaya
untuk memecahkan persoalan masyarakat desa dalam konteks
pemberdayaan masyarakat lokal maka muncul sebuah aksi
kepedulian terhadap desa. Gagasan ini kemudian menjadi sebuah
konsep pembelajaran antara mahasiswa dengan masyarakat
desa, dalam kerangka Program Aksi Peduli Desa (APD). Perilaku
pemberdayaan masyarakat yang coba diterapkan melalui APD
dalam rangka penguatan kapasitas lokal dilakukan sebagai basis
penguatan nilai-nilai sosial setempat. Sehingga APD merupakan
proses pengembangan jaringan hubungan (fisik) antara komponen
kepercayaan (trust), jaringan hubungan kerja (network), dan kerja
sama (cooperation). Proses yang berlangsung diharapkan tidak hanya
berada pada titik superfisial, namun bisa menyentuh langsung ke
akar atau inti dari penguatan nilai-nilai sosial itu sendiri
Mengawal Proses Panjang Aksi Peduli Desa
APD dicetuskan pertama kali oleh mahasiswa Program
Studi Ilmu Sosiatri (S1) dan Pembangunan Masyarakat desa (DIII)
yang tergabung dalam wadah Ikatan Mahasiswa Ilmu Sosiatri
(IMATRI) yang dinahkodai oleh Bruder Johny Kedang. Kegiatan
APD pertama kali dilakukan pada Bulan Februari 2010, yang
diawali dengan pembentukan panitia yang melibatkan seluruh
mahasiswa IMATRI. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh
panitia, maka kegiatan APD perdana dilaksanakan di Padukuhan
Kracaan, Desa Semin, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul,
D.I.Yogyakarta. Kala itu, mahasiswa IMATRI yang saat ini telah
berubah nama menjadi Himpunan Masiswa Program Studi
Pembangunan Sosial (HMPS Pembsos), mengawali persiapan APD
124
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
dengan melakukan proses penggalangan dana secara mandiri,
serta membangun jejaring kerjasama dengan Mahasiswa Fakultas
Kedokteran UMY, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan Dinas Sosial
Provinsi DIY. Persiapan yang cukup panjang dan matang pun
berakhir pada kesuksesan pelaksanaan Aksi Peduli Desa (APD),
yang dilaksanakan pada tanggal 23 - 25 April 2010.
Kesuksesan APD perdana tidak lepas dari keberhasilan
maha siswa untuk berkolaborasi dengan masyarakat desa.
Melalui koordinasi yang apik dengan warga masyarakat desa,
IMATRI mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang ada di
desa lokasi APD. Dari berbagai persoalan yang ada, mahasiswa
IMATRI kemudian bekerjasama dengan warga untuk menciptakan
solusi atas permasalahan tersebut. Pada penyelenggaraan APD
perdana, salah satu bentuk kepedulian mahasiswa guna menjawab
permasalahan masyarakat desa, adalah dengan mengadakan
kegiatan pendampingan anak-anak usia dini (PAUD), penanaman
aneka bibit pohon, pengobatan kesehatan gratis dan pasar murah.
Kegiatan lain seperti pelatihan tentang pengisian formulir monografi
desa dan padukuhan yang merupakan dasar administrasi desa
menjadi pelengkap menu pembelajaran mahasiswa di Padukuhan
Kracaan. Antusiasme mahasiswa dalam mempelajari hal baru di
desa menghasilkan kesan tersendiri baik bagi mahasiswa maupun
warga masyarakat desa. Kontribusi positif baik melaui pemikiran
maupun tindakan nyata yang dilakukan oleh mahasiswa IMATRI
menjadi aksi nyata kepedulian APMD muda untuk berbakti
kepada masyarakat.
Bruder Johny Kedang memaparkan bahwa APD memiliki
bebe rapa tujuan sekaligus. Tujuan awal APD adalah agar mahasiswa
berani mengawal proses pemberdayaan masyarakat desa.
Selain itu, memberikan tantangan belajar tentang kompleksitas
persoalan desa agar bisa menyeimbangkan antara praktik
dengan teori yang diperoleh selama di kelas, rela berbaur dengan
masyarakat untuk mengenal kearifan lokal desa dan terus
55 TAHUN STPMD “APMD”
125
berpihak kepada masyarakat desa yang pada waktu itu masih
terpinggirkan. Desa memiliki karakteristik yang unik sehingga
setiap mahasiswa dituntut untuk menyelami denyut kehidupan
masyarakat desa. Kehadiran mahasiswa di desa dapat akan
memotivasi anak-anak dan kaum muda desa tentang pentingnya
pendidikan dan pembangunan desa yang lebih baik. Sehingga,
desa bisa menjadi pioneer dalam pembangunan ekonomi untuk
mengatasi persoalan kemiskinan dan urbanisasi. Hal ini sejalan
dengan pemaparan Oktarina Albizzia bahwa melalui kegiatan
APD diharapkan mahasiswa bisa mengenal desa secara dekat dan
mendengarkan kebutuhan masyarakat secara langsung sehingga
muncul kepedulian dan rasa bangga mahasiswa terhadap desa.
Pelaksanaan program APD rutin diselenggarakan setiap
1 tahun sekali oleh HMPS Pembangunan Sosial dengan jangka
waktu pelaksanaan selama 3 hari live in bersama masyarakat.
Tinggal bersama masyarakat desa tidak hanya sekedar tidur, tapi
juga bagaimana mahasiswa bisa berinteraksi dan bersosialisasi
dengan warga, sehingga manfaat kegiatan APD ini tidak hanya
dirasakan oleh masyarakat desa setempat tetapi dirasakan pula
oleh mahasiswa yang berkesempatan mengaplikasikan langsung
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
Mengasah Kepedulian Sosial Terhadap Desa
Mahasiswa dijuluki sebagai agent of exchange karena
“dianggap” bisa membawa perubahan dalam lingkungan
masyarakat. Untuk itu sebagai mahasiswa yang tengah hijrah
menempuh pendidikan di kota sudah seyogyanya berperan dalam
mengamalkan tradisi berdesa yang bermartabat menurut spirit
Undang-undang Desa Nomor 06 Tahun 2014 tentang Desa. Artinya
mahasiswa sebagai agen perubahan harus senatiasa menghormati,
melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat bertenaga
secara sosial, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan
bermartabat secara budaya. Makna penting dari spirit berdesa
126
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
tersebut diaplikasikan oleh Mahasiswa Prodi Pembangunan Sosial
melalui kegiatan Aksi Peduli Desa yang merupakan kegiatan
unggulan HMPS Pembangunan Sosial yang telah berjalan selama
1 dasawarsa.
Tradisi berdesa ala mahasiswa sebagai garda terdepan
pembangunan dan perubahan desa ditundukkan atas dasar
kepedulian generasi muda terhadap desa yang mulai luntur
ditelan digitalisasi. Melalui Kegiatan APD mahasiswa dituntut
untuk mampu memahami kondisi masyarakat desa, memiliki
ruang inovasi pemberdayaan desa yang bisa mengawal
keberadaan korporasi rakyat, serta mampu menjadi social bridging
antar pemangku kepentingan di desa. Mahasiswa yang mengikuti
55 TAHUN STPMD “APMD”
127
kegiatan akan dilatih dan menjadi terlatih kepribadiaannya, di mana
mahasiswa harus aktif berpartipasi dalam kegiatan di masyarakat,
belajar beradaptasi dengan kondisi lingkungan masyarakat, belajar
menjadi pribadi yang mandiri dan rela berbagai saat berada di
tengah masyarakat.
Rina Ardianti memaparkan bahwa dalam kegiatan APD,
bentuk pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan telah
memberikan dampak positif bagi mahasiswa dan masyarakat.
Dampak tersebut baik itu berupa langsung ataupun tidak langsung,
besar atau kecil, banyak atau sedikit, telah membuat APD menjadi
sesuatu yang berharga bagi mahasiswa maupun bagi masyarakat.
APD pada tahun 2018 di Padukuhan Kuwiran, Desa Tamanagung,
Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, kiranya dapat
menjadi gambaran tersebut. Kegiatan APD yang mengusung tema
“Membangun Desa Berbasis Aset dan Potensi Masyarakat Mewujudkan
Desa Mandiri” dilaksanakan selama 3 hari. Dalam kegiatan itu,
mahasiswa dan masyarakat berkerjasama menjalankan program
mulai dari, membersihkan sungai dari tumpukan sampah,
memberikan workshop kewirausahaan serta menanam bibit pohon
dibantaran sungai bekas galian tambang pasir Merapi yang kini
menjadi lokasi wisata kuliner. Proses live in bersama masyarakat
membuat mahasiswa belajar beradaptasi dengan masyarakat dan
mampu mengamalkan tradisi yang muda yang berdesa. Sebuah
kemajuan perubahan hidup bagi Rina Ardianti yang semula
introvert, kini menjadi ambivert dan dipercaya mewakili HMPS
Pembangunan Sosial dalam berbagai kegiatan eksternal.
Sedangkan gelaran APD tahun 2019 di Padukuhan Wates,
Desa Kemiri, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi D.I.Yogyakarta
juga memberikan kesan serupa. Dengan mengusug tema
“Membangun Desa Ramah Anak Berbasis Kearifan Lokal Yang Maju dan
Mandiri”, APD dirancang berdasarkan hasil pemetaan kebutuhan
warga. Pemetaan tersebut menghasilkan kegiatan yakni membuat
taman toga, taman hidroponik, sosialisasi tentang desa ramah
128
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
anak, workshop decoupage dari botol bekas, workshop Hasta Karya,
pemutaran edukasi tentang anak dan kegiatan lain yang melibatkan
masayarakat Padukuhan Wates.
Kegiatan APD tahun 2019, meski singkat namun mengena di
hati masyarakat karena mengasilkan ikatan batin yang cukup kuat
antara mahasiswa dengan masyarakat. Tidak sedikit masyarakat
berlinang air mata atas berakhirnya kegiatan APD. Kepala
Padukuhan Wates, Yohana Rahayuningsih, tidak bisa berkata apaapa
ketika melepas kepergian mahasiswa HMPS Pembangunan
Sosial. Pias kesedihan terpampang jelas di wajahnya “Baru dekat
kok sudah harus berpisah” begitu ungkapan hati singkat yang
55 TAHUN STPMD “APMD”
129
mewakili rasa yang dialami Ibu Yohana. Meski demikian bu
Dukuh berterimkasih kepada mahasiswa karena bersedia berbagi
karya, karsa, asa, cita dan rasa dengan masyarakat di Padukuhan
Wates. APD bahkan memiliki pesona tersendiri untuk memikat
siapapun yang terlibat dalam kegiatan yang dilaksanakan. Dari
kegiatan APD ini Puteri Ibu Dukuh Wates, Emren Avila Bening
Prahasty, kini bergabung menjadi mahasiswa Angkatan 2020 di
Prodi Pembangunan Sosial STPMD ”APMD”.
Refleksi Kritis Aksi Peduli Desa
Umbu Domu Mahani, Ketua HMPS Ilmu Sosiatri Periode
2018/2019 mengisahkan bahwa pada saat melaksanakan
Praktikum I di Desa Sidorejo tahun 2018, seorang petani berujar
kepada kami: “desa kami sudah sering dijadikan lokasi kegiatan
mahasiswa, tapi kami tidak merasakan perubahan”. Pengakuan dari
seorang petani ini, bisa berkembang menjadi bahan diskusi yang
panjang soal mahasiswa turun desa. Tetapi diskusi yang panjang
lebar itu akan bermuara pada dua hal: “mahasiswa mengepung
desa” dan “desa mengepung mahasiswa”. Diskursus “mahasiswa
mengepung desa” menjadikan desa sebagai tempat atau lokasi
untuk mempraktikkan teori dengan niat baik, tetapi seringkali
justru mengeksploitasi desa.
Mahasiswa ramai-ramai turun desa membawa ide teks book,
lalu mengambil data untuk kepentingan kegiatan, praktik dan
penelitian yang dibungkus dalam kerangka pemberdayaan dan
partisipasi. Desa memberi data dan mahasiswa mengakumulasi
pengetahuan dari data, namun desa tidak mendapat apa-apa,
komplit seperti pengakuan seorang petani di atas. Inilah yang
Umbu sebut sebagai mahasiswa mengepung desa dengan niat baik
tetapi justru mengekspoitasi desa.
Diskursus “desa mengepung mahasiswa” lebih dimaknai
sebagai basis hubungan keilmuan antara desa dan mahasiswa atau
“ilmu yang berdesa dan desa yang berilmu” seperti yang diajarkan
130
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
oleh Bung Karno soal hubungan antara ilmu dan amal, “ilmu yang
amaliah dan “amal yang ilmiah”. Desa tidak hanya dijadikan objek
atau lokasi kegiatan keilmuan seperti diskursus yang pertama
yang justru mengeksploitasi desa, tetapi harus memberi manfaat
bagi desa. Ini hakikat soal ilmu yang tidak hanya bermanfaat
bagi pemilik ilmu tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat, desa
dan negara. Diskursus “desa mengepung mahasiswa” atau
“desa mengepung ilmu” Umbu gunakan untuk memahami dan
menjelaskan APD, sekaligus untuk mendudukkan APD sebagai
spirit tradisi berdesa mahasiswa Program Studi Pembangunan
Sosial.
Berdasarkan diskursus tersebut, Umbu berbicara berberapa
hal soal APD. Pertama, APD sebagai aksi dialektika antara teori dan
praktik teori yang diperoleh mahasiswa dari ruang kelas dan teks
book di bawah ke desa untuk memberi manfaat bagi masyarakat
dan desa. Kemudian hasil temuan mahasiswa dari desa di bawah
di ruang kelas untuk didiskusikan dan dinalarkan menjadi narasi
besar. Inilah yang disebut sebagai dialektika antara narasi kecil dan
narasi besar. Narasi kecil yang diperoleh dari hasil diskusi dengan
rakyat di desa dan narasi besar yang diperoleh dari buku yang
diproduksi oleh komunitas epistemik. Hasil dialektika mengantar
pada novelty ilmu yang lebih relevan dan membawa manfaat ketika
dibawa kembali ke desa.
Kedua, APD sebagai ajang belajar, berbaur, bersosial, dan
berdesa bagi mahasiswa. Hal ini berguna bagi mahasiswa
untuk belajar bersopan santun, bergotong royong, saling tolong
membantu, empati dan seterusnya. Desa yang satu punya cerita
dan kebiasan yang berbeda dengan desa yang lain. Jika ada
seribu desa maka akan ada seribu cerita dan kebiasaan. APD
bisa memperkaya mahasiswa dari segi cerita dan kebiasaan yang
berbeda itu sekaligus penghormatan terhadap kebergaman untuk
menemukan inspirasi dari hasil dialog dengan masyarakat dan
desa.
55 TAHUN STPMD “APMD”
131
Ketiga, APD sebagai tradisi berdesa yang khas ala mahasiswa
Program Studi Pembangunan Sosial. Tradisi berdesa memerlukan
dan menjadikan desa untuk semua urusan yang ada di desa,
tidak sebatas urusan administrasi, tetapi meliputi semua basis
kehidupan di desa. Tradisi berdesa memahami desa sebagai
entitas politik yang oleh Azar Gat (2003) disebut sebagai negara
kecil (petty states). Desa sebagai negara kecil, negara yang dekat
dengan rakyat. Menjadikan desa sebagai solusi institusi dari
semua urusan masyarakat desa. APD bisa mengambil bagian
untuk memperkuat tradisi “muda berdesa” dan merajut hubungan
antara desa, masyarakat dan kehidupan melalui desa sebagai petty
states. Ketiga pemahaman di atas untuk menjelaskan APD sebagai
basis diskursus desa mengepung ilmu untuk memperkuat tradisi
“muda berdesa” dari sisi keilmuan.
Keberlangsungan APD, meski hanya “live in” dengan
masyarakat di desa selama tiga hari, bisa memberi dua manfaat
bagi desa. Pertama, untuk mendorong daya ungkit ekonomi
desa. Seperti cerita kegiatan APD tahun 2019 di Desa Kemiri soal
workshop decoupage untuk ibu rumah tangga tentang pemanfaatan
botol bekas sehingga memiliki nilai ekonomis. Ini bisa menjadi
daya dorong ekonomi kreatif apabila dimanfaatkan secara
berkelanjutan. Tetapi yang jauh lebih penting adalah mendorong
daya ungkit ekonomi yang memiliki basis dengan ekonomi
produksi masyarakat, sehingga bisa tumbuh menjadi ekonomi
produksi yang berkembang menjadi korporasi rakyat.
Kedua, menempatkan pembangunan dari berbasis komunitas
menjadi berbasis desa. Tradisi village itu adalah tradisi yang cocok
untuk Asia termasuk Indonesia karena kita memiliki desa sebagai
institusi struktural sekaligus kultural, berbeda dengan Amerika
dan Eropa yang memakai community dan rural. Mahasiswa melalui
kegiatan APD bisa menemukan ruh village atau tradisi berbasis
desa. Cara ini digunakan untuk mendorong ekonomi kreatif
melalui gagasan membangun wisata berbasis desa saat kegiatan
132
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
APD 2017 di Desa Dlingo. APD melakukan kolaborasi dengan desa
untuk melakukan promosi melalui jalur offline dan online termasuk
melalui kegiatan yang fokus di Tebing Watu Mabur. Tetapi yang
menjadi jalur paling cepat adalah jalur online, dan kemudian
wisata Tebing Watu Mabur yang merupakan icon wisata di Dlingo
berkembang menjadi wisata viral. Pengalaman Umbu ini bisa
menjadi inspirasi tentang cara memperkuat tradisi berdesa melalui
kegiatan APD. Sehingga APD tidak sekedar menjadi aktivitas rutin
tanpa makna. APD harus menghadirkan makna dan dampak bagi
desa. Sehingga inspirasi melalui cerita dan pengalaman ini bisa
menemukan novelty praktik dan keilmuan yang berdesa atau desa
mengepung ilmu yang berguna untuk APD di tahun berikutnya.
Kini, tugas kita adalah merumuskan secara matang konsep
kegiatan APD agar bisa berjalan dengan baik dan efektif bagi
pengembangan tradisi “muda berdesa”, sebagai pengejawantahan
dari Tridharma perguruan tinggi. Salah satu rekomendasi bagi
terwujud nya rupa Aksi Peduli Desa adalah pengorganisasian
masyarakat sebagaimana disampaikan Paskalis Smailino
Darmawan. Mahasiswa Prodi Pembangunan Sosial yang saat ini
menjabat sebagai Ketua PMKRI Komisariat STPMD “APMD” ini
menambah kan ketika desa tersebut belum memiliki karang taruna,
maka mahasiswa bisa mengkoordinir dan mengorganisir kaum
muda untuk membentuk wadah bagi pemuda desa.
Sementara itu, Hermanus Kabut Mahasiswa Pembangunan
Sosial Angkatan 2018 menegaskan bahwa betapa penting
memaknai dan merumuskan ulang definisi Aksi Peduli Desa.
Ketua Kelompok Studi Tentang Desa (KESA) menyatakan hal
ini dilakukan agar APD tetap berjalan dalam koridor yang sama
sesuai dengan cita-cita para penggagasnya. “Apa itu Aksi Peduli
Desa?”, “Mengapa kita peduli dengan desa?”, dan “Apa bentuk
kepedulian kita terhadap desa?” perlu dimunculkan kembali
ke permukaan. Menurutnya, pertanyaan-pertanyaan itu dapat
membantu kita dalam menemukan konsep maupun imajinasi
55 TAHUN STPMD “APMD”
133
tentang kegiatan Aksi Peduli Desa. Sehingga, kegiatan APD tidak
hanya sekedar menjadi program dan agenda tahunan Mahasiswa
HMPS Pembangunan Sosial. Tetapi, lebih daripada itu, kegiatan
tersebut memiliki tujuan yang jelas, yaitu mengenal dan mengawal
desa agar menjadi entitas yang mandiri, kuat, dan berdaulat
dengan membawa nilai-nilai filosofi yang jauh lebih hebat, yaitu
nilai-nilai gotong royong, toleransi, solidaritas dan modal sosial
yang luar biasa.
Proses ini perlu diawali dengan penguatan pengetahuan
mahasiswa tentang nilai-nilai socio cultural masyarakat desa.
Kemudian hal itu diikuti dengan peningkatan pemahaman
tentang pemberdayaan masyarakat dan pelayanan sosial.
Kesemua itu ditujukan agar terjadi harmonisasi dalam mengawal
proses kepedulian desa yakni dalam rangka “desa membangun
dan membangun desa”. Hal ini diharapkan bisa mengantarkan
mahasiswa Prodi Pembangunan Sosial memiliki komitmen dalam
mengorganisasikan kegiatan Aksi Peduli Desa agar lebih bermakna
dan bermanfaat. Sehingga hal itu bisa seiring sejalan dengan Visi
Prodi Pembangunan Sosial, yakni: “Menjadi Program Studi yang
Unggul dalam Pembangunan Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa”.
134
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BAB 9
EDUKASI DAN
MEMAMPUKAN DESA
Oleh: Hery Purnomo 18
Edukasi dan memampukan desa menjadi bagian integral
dalam menyelami denyut kehidupan desa. Desa memiliki berbagai
macam sumber penghidupan dan pengetahuan yang secara
alamiah tumbuh di dalamnya. Memaknai desa, dapat dilihat dari
dua sisi wajah yaitu desa lama dan desa baru. Wajah desa lama
yang indah tetapi mendapatkan bombardir program pembangunan
dari negara. Desa direduksi kemampuan dan dayanya sehingga
berakibat desa menjadi kerdil.
Transformasi desa lama menuju desa baru mendapatkan
momennya dengan terbitnya UU Desa. Keberadaan Undang-
Undang Desa membawa angin segar bagi desa untuk mulai meniti
kembali meraih kemampuan dan daya. Paska diterbitkannya UU
Desa, desa menggeliat dalam memajukan kehidupan ekonomi,
sosial, dan budaya. Desa bergerak untuk memantabkan jati diri
melalui rekognisi dan subsidiaritas. Meski demikian, implementasi
Undang-Undang Desa masih memerlukan penguatan yang
dilakukan melalui berbagai macam bentuk edukasi. Edukasi
bertujuan agar desa dapat menata diri secara bertahap menuju
kondisi sebagai mana cita-cita UU Desa. Upaya memampukan
desa yang memposisikan desa sebagai aktor memang menghadapi
berbagai macam rintangan.
18 Staff Pengajar Prodi Pembangunan Masyarakat Desa, Diploma Tiga. Penulis
mengucapkan terimakasih pada narasumber yang telah meluangkan waktunya: Dr
Widodo Triputro M.M, M. Si, Dr Supardal, M. Si, Dr Sutoro Eko Yunanto.
55 TAHUN STPMD “APMD”
135
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD)
“APMD” Yogyakarta yang didirikan 55 tahun silam telah lama
berpihak pada desa. Komitmen dari founding fathers terhadap
keberpihakan desa berjalan hingga saat ini. Komitmen tersebut
diejawantahkan dengan mengedukasi dan memampukan desa
yang menempatkan desa bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek.
Melebur Menjadi Satu
STPMD “APMD” Yogyakarta menjadi institusi pendidikan
yang ambil bagian dalam upaya memampukan desa dan mengawal
Undang-Undang Desa melalui edukasi desa. Kunci utama yang
dijalankan STPMD “APMD” dalam memampukan desa adalah
menegakkan komitmen, menjaga konsistensi, dan memastikan
keberlanjutan. Dalam mengedukasi desa, sivitas akademik terjun
baik secara langsung maupun tidak langsung ke desa-desa. Edukasi
dilakukan melalui Bimtek, diklat, pelatihan hingga pendampingan
menjadi jembatan untuk memampukan desa. Dari berbagai cara
mengedukasi yang dilakukan salah satu prinsip yang dipegang
adalah melebur menjadi satu atau menjadi bagian dari desa itu
sendiri. Prinsip melebur menjadi satu menjadi suatu keharusan
ketika terjun di desa.
Pengalaman panjang dalam mengedukasi desa telah dilakukan
STPMD “APMD” jauh sebelum Undang-Undang Desa dilahirkan.
Salah satu pengalaman berharga yang disampaikan oleh Dr Supardal,
M.Si. Pada tahun 2004, Supardal dan sivitas akademik melakukan
pengabdian di Desa Wiladeg, Kecamatan Karang mojo, Kabupaten
Gunungkidul. Perjumpaan antara Supardal selaku Ketua Prodi Ilmu
Pemerintahan dengan Sukoco, Kepala Desa Wiladeg membuahkan
kerjasama yang manis, bak “gayung bersambut”.
Desa Wiladeg pada tahun 2004 merupakan desa yang
sedang berkembang. Partisipasi masyarakat dalam aktivitas pembangunan
desa masih kurang. Sejak Sukoco di daulat sebagai
kepala desa, Desa Wiladeg mulai berbenah. Kapasitas kepala desa
136
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
yang memiliki jejaring dengan berbagai kalangan yang berpihak
terhadap desa menjadi modal awal Wiladeg dalam membangun
kemadiriannya. Semangat membangun desa yang ditunjukkan
Sukoco dengan membangun kerjasama dengan STPMD “APMD”
melalui Supardal. Kerjasama yang terjalin dengan masyarakat
Desa Wiladeg ditindaklanjuti dengan serius oleh segenap sivitas
akademik prodi Ilmu Pemerintahan.
Upaya melebur menjadi bagian dari desa adalah prinsip
bagi sivitas akademik STPMD “APMD” dalam menjalankan
pendampingan. Melebur artinya menjadi bagian masyarakat yang
mampu mendengar keluh kesah dan bersama-sama menemukan
alternatif pemecahan masalah. Melebur menjadi satu dengan
masyarakat dilakukan dengan berbagai strategi misal dengan
menggunakan pendekatan participatory rural appraisal hingga
metode yang ekstrim seperti etnografi. Dosen ataupun sivitas
akademik yang terjun melakukan pengabdian, tidak hanya
menjalankan tugas untuk mendampingi masyarakat tetapi menjadi
bagian dari masyarakat itu sendiri.
Berbagai kegiatan yang diprakarsai oleh STPMD “APMD”
Yogyakarta disambut antusias oleh masyarakat Desa Wiladeg.
Pendekatan awal yang dilakukan dengan terjun langsung,
berdialog dengan masyarakat desa, mengikuti aktivitas kegiatan
kemasyarakatan, bergaul dalam forum-forum yang ada di desa.
Salah satunya melalui radio komunitas pada waktu itu menjadi
hal yang popular bagi masyarakat Desa Wiladeg. Melalui radio
komunitas, banyak informasi desa yang dapat diakses oleh
masyarakat desa. Radio komunitas menjadi sumber berharga bagi
dosen-dosen pada kala itu. Salah satunya saat sivitas akademik
di Desa Wiladeg mendorong masyarakat untuk dapat mampu
menginventarisasi potensi desa dan mengelola potensi yang ada
secara bersama dan mandiri.
Upaya tersebut yang membuat masyarakat menjadi nyaman
dan tidak canggung dengan keberadaan tim dosen dan sivitas
55 TAHUN STPMD “APMD”
137
STMPD “APMD”. Memang prosesnya membutuhkan waktu yang
lama, pendampingan yang dilakukan Prodi Ilmu Pemerintahan
berjalan hampir 10 tahun. Hasilnya terlihat jelas, kombinasi
antara institusi pendidikan dengan desa, menjadikan Desa
Wiladeg dapat berkembang menjadi desa yang mampu mengelola
potensi desanya. Penyuluhan ataupun pertemuan yang diadakan
selalu disambut dengan antusias masyarakat desa. Warisan dari
Sukoco selaku kepala desa pada saat ini masih terasa manfaatnya.
Mengedukasi dan memampukan desa merupakan bagian dari
pemberdayaan. Ketika masyarakat mampu, masyarakat juga harus
mengembangkan apa yang telah dikerjakan.
Edukasi yang dilakukan STPMD “APMD” terhadap desa di
luar Jawa menjadi suatu pengalaman berharga yang patut disimak.
Supardal menuturkan pengalamannya mengedukasi Desa di
Dogyai, Papua. Tim STPMD “APMD” Yogyakarta melakukan
edukasi dan sosialisasi terkait Undang-Undang Desa di Dogyai,
Papua. Implementasi Undang-Undang Desa belum berjalan
dengan baik. Salah satu contoh terkait pengelolaan Dana Desa. Bagi
kepala kampung di Distrik Dogyai, pengelolaaan dana desa masih
dilakukan seadanya, Dana Desa lebih banyak dimanfaatkan untuk
pembangunan fisik. Kemudian pelaporan Dana Desa menggunakan
jasa dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat di tingkat kabupaten.
Permasalahan ini menjadi suatu hal yang serius, di mana negara
gagal melindungi desa.
Permasalahan yang ada di Dogyai, Papua, direspon Tim
“STPMD” APMD dengan memberikan edukasi. Edukasi yang
dilakukan menyasar pada kepala distrik (camat). Melalui kepala
distrik ini diharapkan transfer pengetahuan kepada kepala
kampung dapat terjadi. Kepala distrik merupakan ujung tombak
yang mengetahui medan, budaya, dan keadaan masyarakat
kampung. Strategi yang digunakan dinamakan “training of trainer”.
Memberdayakan kepala distrik alangkah lebih bijak dibanding
langsung kepala kampung, karena kepala distrik dihormati dan
138
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
disegani. Strategi-strategi mengedukasi ini merupakan cara jitu
dalam memecahkan permasalahan terkait di Dogyai.
Mengedukasi desa dalam forum pertemuan anggota DPRD
menjadi cerita menarik yang disampaikan Supardal. Keberadaan
Undang-Undang Desa memang menguntungkan desa. Tetapi
keberadaan Undang-Undang Desa belum menjamin kemakmuran
desa itu sendiri. Berlakunya Undang-Undang Desa juga dibarengi
dengan terbitnya berbagai macam peraturan kementerian yang
membelitnya. Peraturan-peraturan kementerian justru membuat
desa menjadi terjerat oleh urusan administrasi yang harus dipatuhi
desa. Salah satunya penambahan nomenklatur dalam pengelolaan
dana desa melalui peraturan kementerian dalam negeri menyebabkan
desa menjadi kesulitan untuk mengoperasionalkan dana
desa secara maksimal. Permasalahan ini yang kemudian ditangkap
Supardal untuk disampaikan dalam forum dengan anggota DPRD
yang topiknya berkaitan. Penyampaian gagasan yang diberikan
sebagai upaya untuk memberikan “warning” bahwa ada sesuatu
hal yang kurang pas dan perlu dicermati bersama.
Keberadaan Undang-Undang Desa memang harus dikawal
dengan seksama agar keberadaannya benar-benar dapat mem berikan
manfaat yang besar untuk desa. Jangan sampai desa menjadi
bulan-bulanan sehingga muncul istilah “wes dicekel buntute, tetep
dicekel ndase, malah di idak-idak” (dalam arti Bahasa Indonesia:
sudah di pegang ekornya, tetap di pegang kepalanya, bahkan
diinjak-injak). Istilah tersebut menganalogikan bahwa desa yang
diberikan kebebasan terkait dengan pengakuan dan kewenangan
terjerat kembali untuk didikte dan dieksploitasi.
Mendorong dan Mengawal
Upaya sosialisasi Undang-Undang Desa telah mulai digaungkan
sejak undang-undang tersebut diketok. Berbagai sosialisasi
dilakukan dalam bentuk bimbingan teknis, diklat, pendampingan
yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas individu maupu
55 TAHUN STPMD “APMD”
139
organisasi. Harapan edukasi semacam ini agar desa memahami dan
mampu dalam mengimplementasikan Undang-Undang Desa. Desa
dapat menjalankan kewenangan lokal yang di miliki dan mampu
mengelola sumber daya desa secara mandiri. Dalam kenyataannya,
pelaksanaan bimtek, asistensi, dan diklat yang di terima perangkat
desa memang telah membawa transfer pengetahuan tentang
pelaksanaan Undang-Undang Desa. Perangkat desa dan jajarannya
mendapatkan pemahaman tentang pengelolaan dana desa,
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes), penyusunan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa
(RKPDes), dan aktivitas siklus tahunan desa.
Tetapi sayangnya bimtek dan sejenisnya ini hanya dimaknai
sebatas kegiatan rutin tahunan oleh kabupaten melalui dinas
pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan pengalaman, pelatihan
berombongan yang dilakukan dinas cenderung hanya ceramah saja
dengan minim diskusi. Transfer pengetahuan berlangsung ketika
ada pelatihan tetapi setelahnya tidak ada tindak lanjutnya. Selain
itu, kegiatan pelatihan dan edukasi yang dilakukan kabupaten
memiliki keterbatasan dari sisi anggaran dan waktu. Alhasil,
kegiatan yang diselenggarakan kabupaten untuk memampukan
desa hanya menjadi kegiatan yang formalitas. Pada tataran ini
kabupaten belum serius dalam memampukan desa. Bimtek
memang telah memungkinkan transfer pengetahuan terjadi. Tetapi
pelaksanaan tradisi “berdesa” seperti yang diamanatkan dalam
Undang-Undang Desa belum terwujud.
Pengalaman Dr. Widodo Triputro menegaskan kondisi
tersebut. Widodo menuturkan, dalam memberikan pelatihan dan
edukasi kerjasama dengan kabupaten/intitusi terkait menjelaskan
bahwa setiap bimtek yang dilakukan dia hanya diberikan alokasi
waktu dua jam, kemudian forum diskusi yang terjadi tidak ideal.
Pelatihan dan edukasi yang tidak menjadi kebutuhan peserta
(perangkat desa dan jajarannya) akhirnya menjadi kegiatan
formalitas semata. Transfer ilmu pengetahuan berjalan tetapi tidak
140
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
mengendap dengan baik. Melihat kondisi tersebut Widodo sering
memberikan masukan kepada penyelenggara pelatihan baik itu
kabupaten atau institusi agar penyelenggaraan bimtek ditindak
lanjuti dengan kegiatan pendampingan. Kemudian penyelenggara
pelatihan diharapkan melakukan diskusi terlebih dahulu terkait
dengan mengidentifikasi kebutuhan pelatihan.
Berbeda dengan pelatihan dan edukasi yang dilakukan
Widodo di Desa Tamanan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten
Bantul yang menjadi tempat tinggalnya. Pelatihan dan edukasi
yang dilakukan secara berkelanjutan hingga saat ini. Perangkat desa
ataupun Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sering berkonsultasi
dengan dia, misal terkait dengan penyusunan Peraturan Desa,
tugas dan fungsi perangkat desa, penyusunan RPJMDes, dan
berbagai macam hal yang berkaitan dengan pemerintahan desa.
Setiap “selapan” hari, BPD mengadakan sarasehan rutin yang
membahas terkait pembangunan desa. Kegiaatan sarasehan
ini dihadiri oleh berbagai elemen mayarakat dan kelompok
masyarakat di desa tersebut. Dalam sarasehan tersebut, Widodo
menjadi fasilitator sekaligus narasumber. BPD ataupun kepala desa
sering berkonsultasi dengan dia perihal penyusunan peraturan
desa. Mereka meminta bantuan untuk mengoreksi draf perdes dari
sistematika hingga substansi perdes.
Dalam sarasehan BPD, Widodo sebagai fasilitator membantu
elemen masyarakat dalam menampung berbagai macam aspirasi,
kemudian dia memberikan masukan dan pencerahan terhadap
permasalahan yang ada di desanya. Silang pendapat lazim terjadi
dalam forum diskusi. Dinamika dalam forum diskusi dinilai
menjadi nilai postif dalam membangun demokrasi di desanya. Dia
dapat memposisikan dirinya sebagai fasilitator sekaligus mediator
yang memberikan alternatif solusi. Hubungan baik antara Widodo
dengan perangkat desa dan BPD karena masing-masing pihak
memiliki komitmen bersama untuk memajukan desa.
55 TAHUN STPMD “APMD”
141
Ada pula pengalaman edukasi menarik yang menjadi
kenangan Widodo dalam melakukan bimtek, yaitu salah satunya
bimtek di Gayo luwes, Aceh. Bimtek yang dilakukan menyasar
pada memampukan petani kopi. Petani kopi di daerah tersebut
memiliki hasil produksi kopi mentah yang baik. Permasalahan
yang ada, petani kopi belum memaksimalkan hasil produksi
kopi mentah menjadi barang yang memiliki nilai tambah lebih,
kemudian belum terbentuknya wadah yang menaungi petani
kopi. Bimtek tersebut dilakukan dengan menghadirkan berbagai
stakeholders, baik dari pemerintah, LSM, dan petani kopi. Sebagai
pengisi bimtek, Widodo mengambil peran dalam peningkatan
kapasitas kelembagaan.
Bimtek yang dilakukan kepada petani kopi di Gayuluwes
menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu terbentuknya 7
kelompok petani kopi yang berada dalam wadah Badan Usaha
Milik Desa (Bumdes). Kelompok petani kopi yang terbentuk
mengembangkan produksi kopi mentah menjadi produk minuman
kopi. Peran masing-masing stakeholders mampu memberikan
kebermanfaatan bagi petani kopi. Pemerintah desa berperan
dalam memfasilitasi kegiatan bimtek untuk kelompok petani,
LSM menjadi mediator dalam meningkatkan soft skill dari petani
kopi tersebut terkait pengolajhan kopi. Tindak lanjut dari bimtek
sebagai penguatan kelompok petani kopi ini kemudian diinisiasi
dengan melakukan magang ke koperasi yang ada di Yogyakarta.
Widodo mengarahkan ketujuh kelompok petani kopi untuk
magang dan belajar selama tiga bulan di koperasi-koperasi yang
direkomendasikan.
Pelatihan dan edukasi diharapkan dapat mewujudkan transfer
pengetahuan yang kemudian dielaborasi dengan pelaksanakan
tindakan nyata. Perlu ada perubahan pandangan dalam memaknai
pelatihan dan edukasi. Pelatihan dan edukasi diposisikan sebagai
kebutuhan yang memang benar dibutuhkan dan kebutuhan
tersebut di wujud nyatakan dalam pelaksanaan. Tentu pelatihan
142
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
dan edukasi yang berkelanjutan melalui proses trial dan error. Desa
sebagai aktor yang memiliki kewenangan lokal harus serius dalam
melakukan peningkatan kapasitas. Pembangunan yang selama ini
masih banyak di arahkan ke pembangunan fisik perlu diimbangi
dengan pembangunan sumber daya manusia. Ketergantungan
dengan pemerintah supra desa harus dikurangi , sehingga desa
mampu untuk menyesuaikan diri dan mandiri.
Memperluas Ruang Pengetahuan
Mengedukasi tidak hanya berada pada ranah pelatihan, bimtek,
asistensi, diklat, dan sebagainya. Banyak ruang pengetahuan yang
dapat disinggahi, Dalam konteks berdesa, ketika kita sedang
mengobrol santai dengan kolega membahas isu mengenai Undang-
Undang Desa yang di by pass oleh banyak peraturan menteri
itu sudah membuka masuknya ruang pengetahuan. Ketika kita
berada di warung kopi, berselancar di dunia maya mengunggah
review buku Desa Baru Negara Lama kemudian mendapatkan
tanggapan di kolom chat itu juga membuka ruang pengetahuan.
Ruang pengetahuan terbangun apabila terjadi interaksi dan
transfer informasi.
Ruang pengetahuan dapat dimaknai sempit sebagai tempat di
mana dialektika pengetahuan itu dibangun. Saat ini banyak sarana
yang dapat digunakan dalam menciptakan ruang pengetahuan,
salah satunya melalui teknologi informasi. Ruang pengetahuan
dalam teknologi informasi seperti Facebook, Instagram, Twitter,
Youtube, Podcast menjadi ruang pengetahuan yang bebas nilai,
dimana berbagai hal dapat tersaji dan dibahas terutama terkait
topik desa. Dalam ruang pengetahuan tersebut kemudian muncul
transfer pengetahuan.
Dr Sutoro Eko, ketua STPMD “APMD” Yogyakarta berbagi
pengalaman dalam memperluas ruang-ruang pengetahuan
berkaitan dengan berdesa. Memperluas ruang pengetahuan
tentang berdesa ini merupakan salah satu tindak lanjut dan
55 TAHUN STPMD “APMD”
143
kesinambungan implementasi Undang-Undang Desa. Ruang
pengetahuan dapat muncul dalam suasana dan kondisi yang santai
misalnya pada saat ngobrol di ruangan kerja dia. Banyak kepala
desa ataupun rombongan yang menyempatkan diri untuk bertemu
dengan Pak Toro (sapaan akrabnya) membicarakan masalah desa.
Kehangatan yang ditunjukkan dia dalam melayani kepala desa
atau rombongan yang berkunjung memberikan pencerahan dan
dampak yang luar biasa.
Dodiet Prasetyo, Kepala Desa Wlahar Wetan, Kalibangor,
Banyumas berbagi pengalaman ketika Sutoro Eko berkunjung ke
desanya. Kunjungan ke Desa Wlahar terjadi pada bulan Maret
tahun 2018. Kunjungan yang dilakukan STPMD “APMD” sebagai
bentuk kunjungan balasan. Menyambut kehadiran begawan desa,
antusias kepala desa dan perangkat desa tersebut sangat luar biasa.
Kepala Desa dan jajarannya banyak menyampaikan curhatan dan
keluh kesah yang berkaitan dengan desa. Curhatan dan keluh
kesah di respon dengan penuh seksama bahkan Sutoro Eko mampu
memberikan pandangan yang mencerahkan. Ruang pengetahuan
terbangun dengan nilai humanisme yang dibawa begawan desa.
Pengalaman yang sama dirasakan oleh Hadian Supriatna,
SP, Kepala Desa Cibiruwetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten
Bandung. Ruang pengetahuan yang di dapat berawal dari kedai
kopi. Perjumpaan dia dengan Sutoro Eko di Kedai Kopi Poenam
daerah Kebun Sirih Jakarta tahun 2014 memberikan spirit
dalam memampukan desa. Kewenangan lokal dan pengakuan
yang terkandung dalam Undang-Undang Desa (pada masa
itu masih rancangan undang-undang) menyadarkan Kepala
Desa Cibiruwetan bahwa desa harus mampu menentukan arah
kebijakan pembangunan desa secara mandiri, di mana peran serta
masyarakat ada di dalamnya. Hasil dari perjumpaan di warung
kedai kopi membantu kepala desa dalam membuat kebijakan
pembangunan dan kegiatan pembangunan yang inovatif dan
kreatif sehingga mampu mensejahterakan masyarakat desa.
144
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Ruang pengetahuan tidak mengharuskan tempat yang formal
seperti di hotel ataupun di audiotorium. STPMD “APMD” memiliki
ruang diskusi yang cukup representatif yaitu Ruang M. Soetopo.
Ruang M. Soetopo dahulu dan sekarang memiliki rupa yang berbeda
dengan fungsi yang sama. Dahulu ruang tersebut merupakan ruang
seminar yang dapat digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat
yang ada di lingkungan sekitar kampus. Kelompok petani,
perangkat desa, masyarakat umum menggunakan ruang tersebut
untuk mendiskusikan berbagai macam hal. Dari ruangan tersebut
muncul ide gagasan yang memberikan pengharapan bagi kalangan
tersebut. Ruangan M. Soetopo dapat menjangkau segala aspek
lapisan masyarakat untuk membangun ruang pengetahuan. Memang
sekarang R. M. Soetopo sudah semakin bersolek, tetapi esensinya
tetap terjaga dengan menghidupkan ruang-ruang pengetahuan.
STPMD “APMD” Yogyakarta yang diidentikkan dengan kampus
desa berupaya membuka seluas-luasnya ruang pengetahuan tersebut.
Ruang pengetahuan dapat muncul dari media sosial. Keaktifan
Sutoro Eko di media sosial seperti Facebook mendapatkan respons
positif dari berbagai kalangan seperti kepala desa, pegiat desa,
dan masyarakat umum yang peduli pada desa. Banyak postingan
berkaitan dengan desa dia syiarkan. Kemampuan dia dalam
memberikan informasi tentang desa memang tidak terbantahkan,
baik itu opini ataupun gagasan-gagasan dia. Salah satunya Kepala
Desa Kabela Wuntu, Kecamatan Katiku Tana, Kabupaten Sumba
Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gustiawan Walawengu.
Kepala desa tersebut menuturkan perjumpaannya dengan
Sutoro Eko melalui Facebook. Kepala desa pada awal mula hanya
berteman dan menjadi pengikut saja. Postingan-postingan berdesa
baik itu opini ataupun gagasan memikat kepala desa tersebut
untuk mengikutinya. Hampir semua postingan rutin dibaca dan
nyaris tidak ada postingan yang terlewatkan. Dari rutin dan rasa
penasaran kepala desa ini kemudian yang mempertemukan kepala
desa tersebut dengan Begawan desa secara langsung.
55 TAHUN STPMD “APMD”
145
Bulan September 2019 Kepala Desa Kabela Wuntu mendampingi
pengurus Bumdes melakukan bimtek dan studi banding
di Yogyakarta. Momen inilah yang kemudian mempertemukan
kepala desa dengan Sutoro Eko. Kesempatan yang baik itu tidak
disia-siakan untuk mendapatkan ilmu berdesa. Berkunjung ke
STPMD “APMD” Yogyakarta dan diterima dengan baik menjadi
pengalaman yang berharga bagi kepala desa. Perjumpaan yang
singkat sambil menyeruput kopi dan cemilan, Pak Toro dengan
bersahaja berbagi ilmu tentang bagaimana mengelola Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes) dan Badan Usaha Milik Desa Bersama
(Bumdesa Bersama). Kondisi diskusi yang cair, penuh kehangatan,
dan semangat berbagi cukup memberikan efek yang luar biasa.
Memperluas ruang pengetahuan merupakan suatu gagasan
yang membuka jendela berpikir kita. Logika tersebut sangat
relevan di mana keberadaan ruang-ruang pengetahuan akan berkontribusi
pada pengembangan pengetahuan itu sendiri. Transfer
pengetahuan, transfer informasi, diskursus yang terjadi akan
melanggengkan pengetahuan itu sendiri, sehingga kemandegan
pengetahuan dapat terhindarkan Memperluas ruang pengetahuan
memberikan daya tersendiri dalam menghadapi berbagai tantangan
permasalahan kehidupan.
Keberadaan ruang pengetahuan juga dilandasi dengan nilai
humanis yang perlu di pelihara. Nilai humanis ini merupakan
pondasi atau benteng sehingga kita tidak terjebak pada ruang
pengetahuan yang membabi buta atau pengetahuan yang disalahgunakan
untuk kepentingan pribadi atau golongan. Keberadaan
ruang pengetahuan jangan sampai mengikis nurani sehingga
menjadikan orang menjadi rakus.
Simpulan
Mengedukasi dan memampukan desa adalah bagian yang
tak terpisahkan dari melayani desa. Berbagai macam strategi
dalam melayani kemudian bisa kita sarikan menjadi tiga hal
146
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
yaitu melebur menjadi satu, mendorong dan mengawal, serta
memperluas ruang pengetahuan. Melebur menjadi satu dapat
diartikan bahwa dalam melayani desa kita harus mampu menjadi
bagian dari desa itu sendiri. Mendorong dan mengawal dapat
diartikan bahwa dalam melayani sebagai upaya mengedukasi dan
memampukan desa kita cukup perlu mendorong dan mengawal.
Kita tidak perlu mengintervensi terlalu dalam supaya tidak menciptakan
ketergantungan. Ketergantungan tersebut bisa terlihat
dari munculnya desa-desa ilmiah, dimana desa ilmiah ini malah
merusak tatatan alamiah berdesa.
Kemudian yang terakhir, memperluas ruang pengetahuan
dalam artian bahwa keberadaan ruang pengetahuan ini akan
memberikan transfer pengetahuan dan membuka dimensi cara
berpikir dalam memahami suatu fenomena yang muncul. Dalam
memperluas ruang pengetahuan nilai humanis juga menjadi bagian
yang penting. Keberadaan nilai humanis inilah yang mampu
menggiring kita untuk berpikir jernih dan bijaksana dalam melihat
berbagai fenomena yang muncul dalam berdesa. Intisari yang dapat
dipetik dari pengalaman dosen dalam mengedukasi dan berbagai
desa adalah bentuk refleksi dari pengalaman berupa pencerahan
yang dapat memperkaya khazanah dalam mengedukasi dan
memampukan desa.
55 TAHUN STPMD “APMD”
147
148
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BAB 10
MENDAMPINGI SELEKSI PERANGKAT
DESA YANG BERMARTABAT
Oleh: Minardi 19
Saat pertama kali panitia seleksi perangkat desa memasuki kampus
STPMD “APMD” untuk melakukan kerjasama, pertanyaan pertama
yang dilontarkan oleh pihak kampus adalah: “Apakah ada titipan yang
nanti mau dijadikan (perangkat desa) atau tidak,? Jika ada titipan,
silahkan Bapak dan Ibu keluar dari ruangan saya”, biasanya mereka lalu
diam dan terbelalak.
Itulah penggalan percakapan antara Tim STPMD “APMD”
dengan panitia seleksi perangkat desa. Memang pernyataan ini
sunggah sangat kasar. Namun Tim STPMD “APMD” hendak
menyampaikan pesan mulia dibalik pernyataan tersebut. Tim
STPMD “APMD” mengajukan persyaratan agar seluruh pihak
turut mengawal penyelenggaraan tes perangkat desa yang
berintegritas. STPMD “APMD” tidak ingin merusak marwah desa,
dan nama besar STPMD “APMD” Yogyakarta yang telah hadir
sejak 1965 untuk desa. Karena dari desa, Indonesia membangun.
Desa harus dimuliakan dan dijaga bersama-sama.
19 Staf Pengajar Prodi S1 Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta. Penulis
berterima kasih pada sejumlah narasumber yang telah bersedia meluangkan waktu:
Drs. RY Gatot Raditya, M.Si (Kepala P3M STPMD “APMD”), Drs. Suharyanto
MM (Anggota PPK-APD STPMD “APMD”), Dr. Supardal, M.Si (Kepala PSKPPM
STPMD “APMD”, Ali Yahya (Kepala Seksi Pemerintahan Desa Panggungharjo,
Sewon, Bantul), Sudarman (Kepala Seksi Pemerintahan Desa Panggungharjo,
Sewon, Bantul) dan Haryono (Dukuh di Desa Hargowilis, Kulon Progo).
55 TAHUN STPMD “APMD”
149
A. Mengawal Penegakan Integritas Seleksi perangkat desa
Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang diakui
dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Bagi seorang
pemimpin pengakuan atas kepemimpinannya menjadi perihal
pokok. Itulah legitimasi. Guna membangun legitimasi, proses
rekrutmen pemimpin berintegritas sangat menentukan pengakuan
tersebut. Untuk melahirkan kepemimpinan yang dibangun dengan
legitimasi kokoh, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa
“APMD” Yogyakarta turut memberikan kontribusi melalui Seleksi
Perangkat Desa.
Di lingkungan STPMD “APMD” Yogyakarta miliki tiga
tim seleksi perangkat desa. Ketiga tim seleksi yaitu Pusat Studi
Kebijakan Publik dan Pemberdayaan Masyarakat (PSKPPM),
Pusat Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintahan Desa
“APMD” (PPK-APD) dan Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat (P3M). Ketiga tim ini saling mengisi dan bekerjasama
dalam pelaksanaan seleksi perangkat desa di berbagai desa di DIY.
Tercatat, puluhan desa dari tiga kabupaten di Propinsi D.I.
Yogyakarta yang mempercayakan tes seleksi perangkat desa
kepada STPMD “APMD” Yogyakarta. Ketiga Kabupaten itu adalah
Sleman, Bantul dan Kulon Progo. Sedangkan seleksi perangkat
desa di Gunungkidul diserahkan kepada panitia seleksi perangkat
desa yang dibentuk oleh Pemerintah Desa. “Di Gunungkidul
ditangani sendiri dan tidak diserahkan pada pihak ketiga, “ ujar
salah seorang personel PPK-APD Suharyanto.
Lalu bagaimana cara Tim-tim STPMD “APMD” Yogyakarta
dalam menyiapkan dukungan bagi penyelengaraan seleksi atau
rekrutmen perangkat desa yang berintegritas? Tim STPMD
“APMD” mendasarkan regulasi berupa peraturan daerah atau
peraturan bupati yang ada. Sebab, masing-masing kabupaten
memiliki pengaturan yang berbeda. “Dari tiga kabupaten yang
desa-desanya telah menjalin kerjasama dengan Tim Penguji
dijumpai perbedaan persyaratan maupun model seleksi. Setelah
150
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
calon lolos seleksi administrasi baru diijinkan mengikuti ujian
yang modelnya juga variatif,“ kata Suharyanto.
Kabupaten Kulon Progo mengatur seleksi hanya satu
tahap yakni tes tulis saja. Tim STPMD “APMD” memiliki peran
menyiapkan soal bergantung permohonan soal yang diajukan
panitia. Urusan pendaftaran dan teknis penyelenggaraan ujian
menjadi ranah panitia seleksi. Sedangkan regulasi Kabupaten
Bantul dan Sleman lebih rumit karena melewati 4 hingga 5 tahap
seleksi. Untuk seleksi perangkat di Bantul dan Sleman, tim STPMD
“APMD” menjadi pelaksana ujian, setelah melakukan serah terima
ujian dari pihak pemerintah desa kepada tim STPMD “APMD”.
“Di Kulon progo lebih sederhana. kami hanya datang lalu
menyerahkan soal, dan kami tunggu sampai ada terpilih, “ kata
kepala P3M RY Gatot Raditya.
Integritas dalam membangun legitimasi telah dimulai sejak
pertama kali pihak desa dan panitia seleksi memasuki Saat pertama
kali panitia desa dan kepada desa serta Muspika memasuki kampus
STPMD “APMD” Yogyakarta untuk melakukan kerjasama.
Pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh pihak kampus adalah:
“Ada titipan tidak yang nanti mau dijadikan, salah satu peserta ini yang
mau dijadikan nomor satu? Jika ada titipan, silahkan Bapak dan Ibu
keluar dari ruangan saya dan mencari pihak ketiga yang lain”, biasanya
mereka lalu diam dan terbelalak.
Persyaratan tersebut mutlak dipenuhi oleh desa yang ingin
bekerja sama dengan STPMD “APMD” dalam hal tes seleksi
perangkat desa. Jika ada desa atau panitia seleksi yang memiliki
agenda tersendiri di luar mencari pamong desa yang berintegritas,
biasaya mereka mundur teratur. Namun kasus semacam ini sangat
jarang terjadi. Umumnya, pihak pemerintah desa atau pantia
seleksi menyambut perjumpaan awal tersebut secara positif terkait
persyaratan yang diajukan oleh Tim STPMD “APMD” Mereka
mengapresiasi terkait kenetralan APMD dalam tes perangkat desa.
Sebab panitia seleksi juga mendapat manfaat dengan persyaratan
55 TAHUN STPMD “APMD”
151
tersebut, mereka juga dipercaya oleh warga. “(Persyaratan) ini
sebelum ada MoU antara APMD dengan kami. Kita juga enak, tidak
ada beban, nanti jika ada yang mempertanyakan silahkan tanyakan
kepada pihak ketiga yang menguji,” tutur Kasi Pemerintahan Desa
Panggungharjo, Ali Yahya.
Hal serupa juga dialami panitia seleksi perangkat Desa
Timbulharjo. Pihak desa dan panitia merasa nyaman atas cara
yang dilakukan STPMD “APMD” dalam proses seleksi, khususnya
saat awal pertama kali ke kampus. Timbulharjo selalu bekerjasama
dengan STPMD “APMD”. Awalnya Kepala Desa Timbulharjo
mengacu pada kampus APMD karena concern dengan desa. Di
dalam benak Kepala desa setempat, untuk pengisian pamong itu
lebih cocok di STPMD “APMD”, sesuai dengan namanya ada kata
“Desa”. Kemudian, mereka menjajaki kerjasama dengan STPMD
“APMD”. Di awal perjumpaan mereka sangat terkesan dengan
syarat terkait menjaga integritas penyelenggaraan seleksi yang
diajukan oleh tim STPMD “APMD”. “Jawaban kami atas syarat
itu, jika kami punya kepentingan, maka tidak mungkin kami
sampai sini berkali-kali, “ ujar Kepala Seksi Pemerintahan Desa
Timbulharjo Sudarman.
Upaya mengawal integritas penyelenggaraan seleksi perangkat
desa memasuki tahap penyusunan soal ujian. Tim STPMD
“APMD” biasaya akan mendistribusikan penyusunan soal kepada
para dosen di STPMD “APMD” sesuai dengan bidang keahlian
masing-masing dosen. Dalam setiap tes seleksi perangkat desa,
dosen yang terlibat bisa mencapai 7 hingga 8 dosen yang terlibat.
“Soal ini kami share ke berbagai dosen. Misalnya soal tentang
Pancasila tentu kita serahkan ke dosen yang mengajar pancasila,”
kata Kepala P3M RY Gatot raditya.
Model semacam ini ini digunakan untuk mensiasati kebocoran
soal. Karena tidak menutup kemungkinan ada peserta
atau tim sukses peserta datang ke STPMD “APMD” Yogyakarta
untuk mencari bocoran soal. Dengan model penyusunan yang
152
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
disebar semacam itu, kecil kemungkinan peserta dapat menembus
tim untuk mendapat bocoran soal secara utuh. Bahkan saat soal
dikompilasi oleh tim, soal tersebut masih diacak. Setelah soal selesai
disusun, soal kemudian dikemas dalam bundel-bundel soal yang
disegel. Penyegelan bundel paket soal ini penting dilakukan untuk
memastikan soal tidak buka sampai pada saat pelaksanaan ujian.
Ada kisah menarik yang dilakukan oleh ketua panitia di
sebuah desa untuk menguji integritas STPMD “APMD” Yogyakarta
dalam komitmen tes seleksi perangkat desa. Kebetulan kediaman
salah satu Tim STPMD “APMD” berada di desa yang tengah
menyelenggarakan seleksi perangkat tersebut. Dengan dalih
bersilaturahmi, ketua panitia ingin rumah anggota tim STPMD
“APMD” tersebut. Namun, oleh yang bersangkutan sementara
menolak kunjungan tamu dari desa yang tengah menyelenggarakan
tes perangkat desa tersebut. Dia baru bersedia kembali menerima
tamu, jika tes selesai digelar. Walaupun dengan dalih silaturahim
tanpa membahas tes perangkat desa, namun yang bersangkutan
menjaga dari fitnah karena yang mendatangi adalah panitia seleksi
perangkat desa. Ketua panitia seleksi tersebut semakin menaruh
kepercayaan kepada STPMD “APMD” Yogyakarta.
Memasuki hari pelaksanaan ujian, soal pun dibawa sendiri
oleh oleh Tim STPMD “APMD” Yogyakarta ke lokasi tes. Tim
STPMD “APMD, benar-benar membawakan paket soal langsung
dari kampus, tidak dibawakan oleh panitia seleksi perangkat desa.
Hal ini menunjukkan transparansi, karena soal benar-benar dibawa
oleh tim STPMD “APMD” dan tidak sempat “mampir” ke tangan
panitia seleksi. Soal kemudian dibuka dihadapan para peserta,
kepala desa, perangkat desa, pimpinan kecamatan maupun
masyarakat umum. Pada saat pelaksanaan ujian, sebelum soal
dibagikan, tim STPMD “APMD” menunjukan soal masih dalam
keadaan tersegel. Segel tersebut merupakan pesan yang ingin
disampaikan kepada seluruh pihak, bahwa soal yang diujikan
telah dijamin kerahasiaannya sampai pada saat pelaksanaan ujian.
55 TAHUN STPMD “APMD”
153
Setelah tahap demi tahap ujian diselesaikan, maka dilakukan
koreksi hasil ujian. Uniknya, koreksi dilakukan secara terbuka.
Proses koreksi secara teknis dilakukan oleh korektor dari Tim
STPMD “APMD”. Kemudian disaksikan oleh peserta, panitia
seleksi, pemerintah desa, perwakilan kecamatan, hingga warga.
Prinsip keterbukaan itu artinya siapapun boleh mengikuti proses
dari awal sampai akhir penyerahan hasil. Sehingga mereka
tahu prosesnya. Salah seorang peserta tes Dukuh Klepu, Desa
Hargowilis, Kulon Progo memberi kesaksian tes yang dilakukan
tim STPMD “APMD” sangat transparan. Haryono yang kemudian
lolos menjadi dukuh menambahkan, saat koreksi semua bisa saling
mengawasi. “Yang mengkoreksi didampingi dari BPD, Muspika,
disaksikan masyarakat umum, dan hasilnya dibacakan di depan
umum, “ kata Haryono.
Koreksi hasil ujian tes menjadi titik puncak dalam penyelenggaraan
seleksi perangkat desa. Pada tahap ini sesunguhnya sangat
rawan terhadap praktik-praktik kecurangan. Kecurigaan sangat
mudah berkembang manakala proses koreksi berlangsung sangat
tertutup, meski panitia tidak melakukan praktik kecurangan
sekalipun. Apalagi jika praktik kecurangan dilakukan oleh pihakpihak
tertentu. Kejanggalan-kejanggalan bisa saja ditemukan saat
proses koreksi tertutup karena tidak dapat diawasi oleh publik.
Atas dasar itulah, Tim STPMD “APMD” mengembangkan model
penyelenggaraan tes perangkat yang transparan, karena terbuka
untuk diawasi oleh siapapun.
B. Manfaat Menegakkan Integritas
Saat seleksi perangkat desa, kepala desa itu dan panitia
seleksi menjadi yang paling banyak menerima tekanan. Mereka
dipusingkan dengan banyaknya titipan kepentingan. Banyak pihak
berkepentingan untuk meloloskan calon masing-masing. Belum
lagi, jika kepala desa atau pemerntah desa terlibat dalam konflik
kepentingan, karena memiliki “jago” tersendiri. Situasi tersebut
154
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
semakin rumit, manakala warga menghendaki proses seleksi yang
terbuka dan transparan. Belum lagi supra desa yang diwakili
kecamatan mengamanatkan agar proses seleksi diselenggarakan
mengikuti aturan. Dilema pun muncul.
Tekanan semacam ini pun juga dialami oleh Tim STPMD
“APMD” saat menjadi pihak ketiga dalam penyelenggaraan tes
perangkat desa. Berdasar pengalaman, banyak pula calon atau tim
sukses calon yang berupaya “menembus” barikade integritas Tim
STPMD “APMD”. Mereka mencari “jalur-jalur belakang” dengan
meminta bocoran soal dengan iming-iming imbalan tertentu.
Tentu tawaran tersebut ditolak mentah-mentah. Tawaran pun
dinaikkan. Namun Tim STPMD “APMD” tetap bergeming. Tim
STPMD “APMD” menyadari jika mengambil tawaran tersebut
sama dengan sedang mempertaruhkan nasib desa dan juga
mempertaruhkan kredibilitas nama baik kampus desa.
Tekanan bahkan tidak berhenti sampai di situ. Pada saat hari
pelaksanaan ujian, saat Tim tiba di lokasi ujian, beberapa kali Tim
STPMD “APMD” disambut dengan aroma dupa dan kembang
setaman. Dalam kepercayaan orang Jawa, dupa dan kembang
sebagi medium dan simbol bekerjanya alam ghaib untuk mencapai
tujuan tertentu. Namun Tim STPMD “APMD” tetap tegak lurus
dan bergeming mempertahankan keyakinan untuk menjaga
marwah desa serta menegakkan kredibilitas STPMD “APMD”
yang berpihak pada desa.
Sketsa persoalan tersebut memberikan gambaran tentang
sisik melik seleksi perangkat desa yang bermuara kepada
diujinya integritas masing-masing pihak dalam penyelenggaraan
tes perangkat desa. Pertanyaan berikutnya, apa untungnya
menegakkan integritas? Apakah memberi manfaat jangka panjang
bagi pihak-pihak yang terlibat. Dari pengalaman panjang STPMD
“APMD” turut serta menyelenggarakan seleksi perangkat desa,
terdapat sejumlah manfaat yang dapat dipetik yang akan dipaparkan
sebagai berikut ini.
55 TAHUN STPMD “APMD”
155
Menghasilkan Pamong Terpercaya dengan Legitimasi Kokoh
Di masa lalu, seleksi perangkat desa menjadi arena politik
pedesaan yang tidak steril dari isu-isu kolusi dan bahkan suap.
Akibatnya, kepercayaan masyarakat runtuh terhadap penyelenggaraan
tes perangkat desa. Jika proses seleksi diseleng garakan
dengan curang dan sembrono, maka siapapun yang lolos sebagai
perangkat desa akan menghadapi persoalan ketidakpercayaan
warga. Mereka yang terpilih akan menangguk gugatan yang
dibangun dari rendahnya ketidakpercayaan warga. Kondisi
demikian tentu sangat rentan bagi mereka yang terpilih karena
miskin legitimasi. Sekalipun mereka yang terpilih memiliki
kompetensi dan mumpuni, warga terlanjur tidak mengakui calon
terpilih karena dilahirkan dari proses yang cacat.
Bagaimanapun juga proses seleksi perangkat desa bertujuan
untuk menghasilkan perangkat-perangkat desa berkualitas. Jika
proses seleksi dilakukan dengan tidak mengindahkan prinsip jujur
dan adil, maka sesungguhnya desa tengah beresiko menghasilkan
sosok yang tidak kompeteten. Dalam proses demikian, mereka
yang terpilih bukan karena telah memenuhi kualifikasi yang
dipersyaratkan dan telah memenangi dalam setiap tahapan ujian.
Namun, mereka yang terpilih karena adanya “permainan belakang”
yang memberi jalan bagi terpilihnya orang-orang semacam ini.
Akibatnya, perangkat desa terpilih justru menjadi beban bagi
desa. Disamping menghadapi persoalan pengakuan di masyarakat,
sosok semacam ini juga tidak memiliki kompetensi yang cukup
untuk memperkuat pemerintahan desa. Mereka yang terpilih
melalui “jalan belakang” sejatinya bukan calon yang terbaik.
Ketika mereka mulai menjabat, visi pelayanan kepada warga tidak
tampak kuat. Orientasi bekerja mereka cenderung melayani diri
sendiri.
Guna memperbaiki situasi tersebut maka pihak pemerintah
desa dan panitia seleksi mensiasati secara dinamis dengan
menyelenggarakan pemilihan perangkat desa secara terbuka dan
156
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
transparan. Mereka juga bermitra dengan pihak ketiga yang kredibel
dan terpercaya yakni perguruan tinggi yang mumpuni di bidangnya
dengan tujuan meningkatkan kepercayaan penyelenggaraan
seleksi perangkat desa. Perguruan tinggi yang dipilih tentunya,
kampus yang berkomitmen untuk menyelenggarakan melakukan
seleksi secara transparan seperti STPMD “APMD”. Dengan
demikian, lahirnya perangkat desa yang berkualitas dan memiliki
kompetensi serta bukan “titipan” menjadi harapan baru bagi desa
melalui penyelenggaraan seleksi perangkat desa.
Pada akhirnya, dampak keterbukaan proses penyelenggaraan
tes perangkat desa meningkatkan kepercayaan terhadap hasil tes
yang dilakukan oleh pihak ketiga sebagaimana yang dilakukan oleh
STPMD “APMD”. Hasil seleksi perangkat desa yang transparan,
akan memperkuat legitimasi kepada calon yang lolos seleksi. Bagi
peserta tes yang tidak lolos menerima hasil tes dengan lapang dada
dengan alasan memang demikian kemampuan mereka. Mereka
yang tidak lolos juga mengakui keunggulan calon atau peserta
yang meraih jabatan perangkat desa. “Karena ini hasil kompetisi
sehat yang menunjukkan kompetensi masing-masing, maka jika
mau marah, mau marah kepada siapa. Di Kulonprogo soalnya
pilihan ganda semua,” kata Haryono.
Melalui berbagai tahap penyaringan yang sangat ketat
diperoleh perangkat desa yang berkualitas sesuai dengan
kualifikasi yang dibutuhkan. Mereka diharapkan mampu bekerja
membawa desa ke arah kemajuan yang menyejahterakan warga
dengan spirit melayani warga. Mereka yang memiliki kapasitas,
mereka pula yang biasanya lolos seleksi. Mereka yang lolos
seleksi biasanya tidak jauh-jauh dari prediksi masyarakat umum.
Biasanya, masyarakat umum sudah bisa menebak siapa yang
akan lolos seleksi, dengan melihat kualitas pendidikan, rekam
jejak, dan kiprah kemasyarakatan para calon. Hasil tes perangkat
desa acapkali mengkonfirmasi keyakinan atau suasana kebatinan
warga terhadap calon tertentu yang dianggap unggul oleh warga.
55 TAHUN STPMD “APMD”
157
Sehingga calon “titipan” dan politik uang akan tidak berguna
dalam model seleksi perangkat desa seperti ini.
Proses rekrutmen jabatan pamong desa yang transparan
dan berintegritas, dimana setiap warga memiliki hak yang sama,
menjadi dambaan warga hari ini. Seluruh warga dapat mengikuti
seleksi, mengawasi proses pelaksanaannya, dan bisa mengetahui
hasilnya. Warga merasa puas dengan hasil yang dicapai. Mereka
juga mengakui siapapun calon yang memenangkan kompetisi
telah melewati tahapan dan proses kompetisi yang jujur dan adil.
Hal itu juga meminimalkan terjadinya gejolak pasca tes rekrutmen
di masyarakat. Calon yang terpilih pun diakui karena memang
mumpuni kemampuannya. Warga akan menaruh kepercayaan
kepada peserta yang lolos seleksi. Karena mereka yang lolos bukan
berasal dari “permainan belakang” yang berupaya memberi jalan
bagi orang-orang dekat kepala desa.
Menjadi Lembaga Terpercaya Dalam Penyelenggaraan Tes
Perangkat
STPMD “APMD” Yogyakarta yang sejak berdiri konsisten
untuk memajukan desa-desa di Indonesia merupakan lembaga yang
tepat untuk kegiatan tersebut. Sejak terbitnya UU No 6 Tahun 2014
tentang Desa, desa diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan
seleksi perangkat desa untuk berbagai formasi. Formasi tersebut
antara lain sekretaris desa, kepala seksi, kepala urusan hingga
kepala dusun.
Kepercayaan desa dan masyarakat umum kepada STPMD
“APMD” Yogyakarta telah terbangun sejak lama. Model seleksi
perangkat desa yang transparan membuat Tim STPMD “APMD”
dicari oleh banyak desa. Pengalaman desa-desa yang telah bermitra
dengan STPMD “APMD” Yogyakarta dalam seleksi perangkat
desa, akan tersyiar sendiri ke desa-desa lain, sehingga desa-desa
lain tertarik untuk bermitra/berkerjasama. “Gethok Tular” atau
cerita dari mulut ke mulut tentang reputasi STPMD “APMD”
158
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
sebagai lembaga terpercaya dalam penyelenggaraan seleksi
perangkat desa terus berjalan.
Sudah tidak terhitung STPMD “APMD” Yogyakarta menjadi
mitra dalam tes/seleksi rekrutmen perangkat desa. Total desa yang
pernah bekerjasama dalam seleksi perangkat desa tidak kurang dari
100 an desa, denga ratusan formasi perangkat desa di tiga kabupaten
di D.I. Yogyakarta, yakni Sleman, Bantul dan Kulonprogo. Alasan
desa-desa di beberapa kabupaten di DIY bekerjasama dengan
STPMD “APMD” antara lain agar seleksi perangkat desa lebih
transparan, obyektif serta kapabel untuk memperoleh calon yang
memiliki kualifikasi seperti yang diharapkan oleh desa.
Rata-rata setiap desa lebih dari dua kali mempercayakan
seleksi perangkat desanya bersama kampus STPMD “APMD”
Yogyakarta. Desa Panggungharjo misalnya, dari beberapa
pengisian pamong, telah empat kali bekerja sama dengan Tim
STPMD “APMD”. “Sampai saat ini tidak ada masalah dan yang
dihasilkan pun ya Alhamdulillah berkualitas,“ kata Ali Yahya.
Sekitar dua tahun yang lalu, Ketua DPRD Kulon Progo saat
itu, Akhid Nuryati memuji kinerja Tim STPMD “APMD” dalam
penyelenggaraan tes perangkat desa. Di sebuah situs laman berita,
Akhid menyatakan kemampuan tim STPMD “APMD” sangat
profesional dalam rekrutmen perangkat desa. Hal ini disebabkan
karena pernah terjadi kekrisruhan di salah satu desa di Kulon Progo
saat tes rekrutmen perangkat desa. Terindikasi terjadi kecurangan
dengan adanya kunci jawaban soal yag tersimpan dalam flashdisk
tidak berada satu tempat dengan hardfile kunci jawaban. Seleksi
perangkat di suatu desa tertentu itu juga dinodai dengan adanya
prosesi penandatanganan berita acara yang dilakukan sebelum tes
selesai. Para peserta menilai itu janggal dan tidak ada dalam tata
tertib.
Pihak ketiga yang dipercayakan membuat soal ujian oleh
panitia juga dinilai tidak terpercaya. Lembaga terpilih yang
menyelenggarakan seleksi perangkat desa dianggap tidak
55 TAHUN STPMD “APMD”
159
profesional sehingga memunculkan kecurigaan di kalangan
peserta maupun warga. Ketidakprofesionalan tersebut menjadi
celah dan dapat mengurangi kepercayaan warga terhadap hasil tes
perangakat desa. Hal ini juga menjadi catatan para anggota Dewan.
Menurut Akhid Nuryati, Ketua DPRD Kulonprogo, sesuai azas
kelaziman dalam pembuatan soal ujian perangkat desa haruslah
dari lembaga yang kredibel. “Biasanya dari lembaga pendidikan
seperti APMD, tapi kalau ini ….. (sensor), kami tidak tahu itu lembaga
dari mana dan kredibilitasnya seperti apa,” ujar Akhid.
Kesemua itu dibangun dari prinsip integritas dan profesional
dalam penyelenggaraan tes perangkat desa. Bagaimana tim
STPMD “APMD” membangun kapasitas profesionalnya dalam
penyelenggaraan tes perangkat desa? Profesionalisme tim STPMD
“APMD” dibangun dari pengalaman pembelajaran selama
turut serta dalam menyelenggarakan seleksi perangkat desa.
Pembelajaran yang didapat dari tes perangkat desa satu ke desa yang
lain, justru semakin memperkuat kapasitas tim STPMD “APMD”.
Setiap terdapat kasus baru menjadi pembelajaran yang menjadi
rujukan pada seleksi perangjat desa berikutnya. Pembelajaran dari
kasus ke kasus, semakin dan mengasah kematangan tim STPMD
“APMD” dalam menyikapi tantangan penyelenggaraan seleksi
perangkat desa.
C. Penutup: Mengabdi Tiada Henti
Sebagai kampus desa yang pada tahun 2020 ini genap berusia
55 tahun, STPMD “APMD” didirikan sebagai bentuk pengabdian
kepada Desa. Kampus yang lahir pada tanggal 17 November 1965,
STPMD “APMD” Yogyakarta lahir dari rahim eks-Tentara Pelajar
yang membentuk Yayasan 17 Yogyakarta. APMD yang merupakan
nama lama STPMD “APMD” Yogyakarta didirikan sebagai bentuk
pengabdian dan balas budi dari eks-Tentara Pelajar kepada
masyarakat desa. Karena sepanjang perang mempertahankan
kemerdekaan, desa yang telah menolong perjuangan para
160
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
penjuang Indonesia saat itu, termasuk Tentara Pelajar. Pendirian
institusi pendidikan ini sebagai bentuk pengabdian dan balas budi
kepada desa. STPMD “APMD” Yogyakarta yang secara spesifik
mencantumkan kata nama “Desa” di dalam nama kampusnya,
dan itu satu-satunya di Indonesia. Hal itu merupakan bentuk
keseriusan STPMD “APMD” Yogyakarta dalam turut serta dalam
kepedulian terhadap desa.
Cerita tentang pelaksanaan seleksi perangkat desa, juga
menjadi bentuk pengabdian kepada desa. Melalui seleksi
perangkat desa, STPMD “APMD” berupaya memastikan desa
memperoleh sumber daya terbaiknya. Ringkasnya, upaya tersebut
tidak lepas dalam rangka mewujudkan perangkat desa yang
kompeten, dan diterima oleh masyarakat.Kesaksian sebagian
besar warga menyatakan puas dengan seleksi perangkat desa yang
dilaksanakan dengan bekerjasama dengan STPMD “APMD”.
Upaya tersebut juga dibangun dari proses yang transparan
dan berintegritas, agar tradisi berdesa dimana mutual trust
menjadi fondasinya dapat dipulihkan. Hanya dengan membangun
kepercayaan terhadap pemerintah desa oleh warganya, tradisi
berdesa dapat tumbuh. Selama kepercayaan warga terhadap
pemerintah desa belum tumbuh, tradisi berdesa sulit berkembang.
Dengan seleksi perangkat desa yang berintegritas, STPMD
“APMD” berupaya mengembalikan kepercayaan warga terhadap
pemerintah desa. Transparan, profesional dan berintegritas
menjadi nilai dasar yang diusung dalam penyelenggaraan seleksi
perangkat desa. Itulah sekelumit proses seleksi perangkat desa
menjadi ladang pengabdian kepada masyarakat civitas akademika
STPMD “APMD” secara bermartabat.
55 TAHUN STPMD “APMD”
161
162
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BAB 11
MENYIAPKAN KADER PERUBAHAN
DESA 20
Oleh: Kanita Khoirun Nisa 21
Secara etimologis, istilah kader pada mulanya berkembang di
Perancis dari bahasa asli cadre, yang secara literal dapat diartikan
sebagai bingkai (a frame of picture). Dalam perkembangannya,
konsep kader sebagaimana lazim dipahami dalam sebuah
organisasi dapat diartikan sebagai a small group of people specially
trained for a particular purpose or profession. Dengan kata lain kader
adalah seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk untuk
memegang peran penting (orang kunci) dan memiliki komitmen
dan dedikasi kuat untuk menggerakkan organisasi mewujudkan
visi misinya. Dalam konteks desa, kader Desa adalah “orang kunci“
yang mengorganisir dan memimpin rakyat desa bergerak menuju
pencapaian cita-cita bersama. Kader Desa terlibat aktif dalam proses
belajar bersama yang dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat
desa. Bab ini membahas tentang komitmen STPMD “APMD” dalam
mendidik, membentuk, dan mempromosikan para kader yang bisa
menjadi village organizer yang tangguh dan mampu menggerakan
perubahan desa di berbagai penjuru tanah air.
Kader-kader penggerak desa hadir di dalam pengelolaan
urusan desa melalui perannya sebagai kepala desa, anggota BPD,
Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), tokoh adat;
20 Diskusi dengan para kader penggerak desa diantaranya Umbu Wulang, Hardjono,
Minardi dan Ade Chandra selaku perancang master triener Kader Desa.
21 Staf Pengajar di prodi Pembangunan Masyarakat Desa APMD
55 TAHUN STPMD “APMD”
163
tokoh agama; tokoh masyarakat; tokoh pendidikan; pengurus/
anggota kelompok tani; pengurus/anggota kelompok nelayan;
pengurus/anggota kelompok perajin; pengurus/anggota kelom pok
perempuan. Kader Desa dapat berasal dari kaum perem puan dan
laki-laki dalam kedudukannya yang sejajar, mencakup warga desa
dengan usia tua, kaum muda maupun anak-anak. Kader penggerak
desa memiliki derajat aktifitas yang jauh lebih intens dalam
dinamika pembangunan desa. Kader juga harus dibekali dengan
kompetensi dan kapasitas yang cukup memadai dalam perencanaan,
pengorganisasian, dan implementasi kebijakan di desa.
Konsisten dengan mandat UU Desa, keberadaan kader
desa yang berasal dari warga desa itu sendiri berkewajiban
untuk melakukan upaya mengembangkan kemandirian dan
kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan,
sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta
memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan,
program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi
masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
Kebutuhan akan kader penggerak di desa diatur dalam
Pasal 4 Permendesa PDTT No.3/2015 tentang Pendampingan
Desa. Regulasi tersebut mengatur tentang Kader Pemberdayaan
Masyarakat Desa (KPMD). Fokus pendamping desa adalah
memperkuat proses kaderisasi bagi Kader Pemberdayaan
Masyarakat Desa (KPMD), dengan tidak tertutup peluang
untuk melakukan kaderisasi terhadap komponen masyarakat
lainnya. Pasal tersebut menetapkan bahwa pendampingan
Desa dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas tenaga
pendamping profesional, kader Pemberdayaan Masyarakat Desa
(KPMD); dan/atau pihak ketiga 22
Dengan demikian, KPMD merupakan pendamping desa yang
dipilih dari warga desa setempat, untuk bekerja mendampingi
22 Abdulloh. Kader Desa “Penggerak Prakarsa Masyarakat Desa”. Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
164
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
beragam kegiatan di desanya secara mandiri. Selain itu, dalam
ketentuan PP Desa maupun Permendesa disebutkan bahwa
KPMD dipilih dari masyarakat setempat oleh pemerintah Desa
melalui Musyawarah Desa untuk ditetapkan dengan keputusan
kepada Desa. Maknanya semakin terang bahwa KPMD merupakan
individu-individu yang dipersiapkan sebagai kader
yang akan melanjutkan kerja pemberdayaan di kemudian hari.
Oleh karenanya, kaderisasi masyarakat Desa menjadi sangat penting
untuk keberlanjutan kerja pemberdayaan sebagai penyiapan
warga desa untuk menggerakkan seluruh kekuatan Desa.
KPMD selanjutnya masuk ke dalam sistem pendampingan
Desa skala lokal dan institusi Desa. Pendampingan Desa
merupakan mandat UU Desa agar terdapat sistem pendampingan
internal Desa guna menjadikan Desa yang kuat, maju, mandiri,
dan demokratis. UU Desa dan peraturan-peraturan di bawahnya
menegaskan pendampingan Desa sebagai kegiatan untuk
melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat. Tindakan
pemberdayaan masyarakat Desa itu dijalankan secara “melekat”
melalui strategi pendampingan pada lingkup skala lokal Desa.
Identitas KPMD semakin jelas bahwa UU Desa mengarahkan
representasi dari kelompok masyarakat Desa setempat untuk giat
melakukan pendampingan sesuai dengan esensi masalah dan
prioritas kebutuhan masyarakat skala lokal Desa (Abdulloh, 2015).
Pembangunan desa dapat berjalan dengan baik jika dibarengi
dengan para kader desa yang mampu mengimplementasi RPJM-
Desa dengan baik. Dalam bab buku ini, penulis berdiskusi dengan
beberapa pakar yang memiliki konsentrasi dalam pengkaderan
desa. Para pakar tersebut antara lain: Umbu Wulang selaku Ketua
Walhi NTT, Hardjono selaku ketua Prodi PMD dan Minardi selaku
penggiat Desa di Klaten.
Dalam pandangan Harjono, kader perubahan desa adalah
pegiat-pegiat desa. Termasuk pegiat desa di dalamnya itu adalah
Pendamping desa, pengurus-pengurus Lembaga Kemasyarakatan
55 TAHUN STPMD “APMD”
165
desa, dan Kader-kader yang ada di desa Seperti kader PKK
kader kesehatan Kader gizi. Mereka mempunyai tugas untuk
menyiapkan generasi penerus itu sesuai dengan bidangnya
masing-masing. Misalnya kalau kader kesehatan menyiapkan
bagaimana hidup sehat. Apalagi saat pandemi peran kader
kesehatan itu sangat penting. Kemudian ada pula kader PKK juga
terkait dengan bagaimana kaum ibu-ibu menyiapkan generasi
penerus dengan mengajak beraktivitas dalam berorganisasi. Tidak
lupa juga para pemuda melalui Karang Taruna. Para pemuda dan
pemudi merupakan tulang punggung masyarakat di desa. Hanya
saja kesadaran kebanyakan pemuda untuk kembali ke desa sangat
minim. Mereka yang menimba ilmu di sekolah hingga perguruan
tinggi kemudian mencari pekerjaan yang ada di kota. Mereka
enggan tidak mau lagi kembali ke desa apalagi bekerja di bidang
pertanian seperti sekarang ini.
Harjono menambahkan pemuda maupun pemudi mempunyai
peluang yang sangat kuat dan yang sangat besar untuk
mengembangkan bakat maupun minatnya serta menjadi agen
pembaharu di desa. Seorang pemuda Desa menimba ilmu di kota,
menimba ilmu di perguruan tinggi, mereka mempelajari teori
yang memampukan desa. Jika sudah selesai mereka kembali ke
desa dan menjadi agen pembaharu di desanya. Berbagai ilmu yang
telah dipelajari misalnya tentang tata kelola desa, teknik fasilitasi,
pengelolaan keuangan dan aset desa bisa memberikan penguatan
dan daya dorong bagi desa untuk maju.
Menurut pengalaman Harjono, masyarakat desa diajari
tradisi berdesa diawali dari hal-hal yang sangat kecil. Misalnya
saja mengecek apakah perangkat desa itu lengkap atau tidak
dalam mengisi struktur kelembagaan perangkat desa. Jika tidak
lengkap, menurut peraturan itu harus dilengkapi. Bagaimana cara
mengisinya, menggunakan regulasi apa. Apabila pamongnya
sudah lengkap, apakah menjalankan tugasnya dengan ngantor
dan memberikan pelayanan pada warga. Jangan-jangan perangkat
166
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
tersebut tidak berangkat kerja dan hanya di rumah. Jika ada
perangkat tapi dia tidak membolos, bagaimana memotivasi agar
mereka mau bekerja di kantor. Sudah bekerja di kantor, namun
jam kerjanya tidak terpenuhi, ini juga harus perlu ditingkatkan
lagi. Hardjono juga menuturkan bagaimana dalam menyiapkan
kader dia selalu mengingatkan tugas pokok fungsi dengan
aturan masing-masing. Misalnya tugas Carik itu apa saja, jabatan
kepala urusan memiliki peran apa saja, jabatan kepala seksi harus
menjalankan kewajiban apa, dan apa saja tugas kepala dusun.
Lulusan perguruan tinggi sebenarnya sangat potensial
karena telah menguasai ilmu yang kemudian untuk membangun
desa. Pergantian pengurus Lembaga Kemasyarakatan Desa juga
perlu dipikirkan. Sebab, saat ini susah mencari orang yang benarbenar
bersedia dan memenuhi kualifikasi. Banyak bakal calon
yang enggan menjadi pegiat desa dengan terlibat dalam lembaga
kemasyarkatan. Justru sekarang terjadi krisis sumber daya manusia
desa, yang mampu tidak mau menjadi penggerak lembaga desa.
Sedangkan salah seorang alumni STPMD “APMD”, Umbu
Wulang menuturkan kisah menyiapkan kader perubahan desa.
Umbu Wulang saat ini adalah ketua WALHI NTT, dan pernah
menempuh studi di program studi Ilmu Sosiatri STPMD “APMD”.
Selepas lulus dari kampus desa, Umbu membentuk wadah bagi
kaum muda, yakni Sahabat Alam. Melalui Sahabat Alam, Umbu
mengkader pemuda desa, biasanya berusia di bawah 30 tahun.
Calon kader-kader ini didampingi dan dilatih melalui dua hal.
Pertama, membangun wacana tentang pengembangan kampung
dengan mengembangkan aset dan potensi desa. Kedua, mengelola
isu dan persoalan lingkungan hidup di kampung berdasar
pengalaman mereka di kampung. Berdasar dua hal tersebut,
kemudian dikembangkan lagi menjadi konsep model perlindungan
kampung, membangun wacana dan penguatan kapasitas warga
sesuai dengan kebutuhan mereka, dalam konteks pengelolaan
desa dan perlindungan desa.
55 TAHUN STPMD “APMD”
167
Kader perubahan dalam desa itu berada dalam satu
sistem warga, penggerak, pemerhati kampung, budayawan/
tokoh. Komponen pemerintahan, eksekutif desa maupun pada
sistem kemasyarakatan. Biasanya dimulai dari basis ekonomi,
pembangunan pemberdayaan ekonomi, kerajinan, disertifikasi
pangan lokal, dan pengelolaan sumber daya alam. Kemudian
mengenalkan potensi desa berbasis masyarakat/komunal yang
tidak bersifat individual. Hingga membaca kondisi makro mereka
dan apa yang sedang tumbuh dan berpengaruh di dusun mereka.
Sejalan pengalaman Umbu, Minardi yang juga alumni STPMD
“APMD” memiliki pengalaman menarik saat melaksanakan KKN
di Dusun Jono, Desa Tancep, Kec Ngawen, Kab Gunung Kidul.
Masyarakat sekitar dusun sangat welcome kepada mahasiswa,
walaupun ada pertentangan paham keagamaan saat itu. Setelah selesai
KKN, warga dusun masih kontak dengan mahasiswa KKN. Saat
itu ada mahasiswa KKN dari Universitas lain, namun mereka tidak
seramah seperti mahasiswa KKN dari APMD. Mahasiswa Universitas
lain cenderung tertutup tidak berinteraksi dengan masyarakat sekitar
dukuh. Kader APMD lebih humanis dan lebih militan. Kader APMD
setelah keluar dari desa atau kampus kebanyakan menjadi “orang”
entah itu menjadi perangkat desa atau staf desa atau pemegang suatu
organisasi kemasyarakatan di tingkat desa.
Penjelasan dari Ade Candra, selaku master trainer UUD Desa
dulu bulan Juni tahun 2015 direkomendasikan oleh Sutoro Eko dari
STPMD”APMD” ke Jakarta untuk mengikuti Training of Trainer
(ToT) master trainer nasional yang disiapkan oleh Kementerian
Desa untuk bekerja di sejumlah wilayah yaitu Sumatera Utara,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan. Ade Chandra
diterjunkan di Indonesia bagian Tengah dan Timur dengan pusat
markasnya di Manado. Melakukan pendampingan desa di sana.
Ada sekitar 150 peserta yang mengikuti TOT. Di kelompo Ade ada
pegawai dari ASN yang berasal dari daerah tertinggal. Ada juga
orang dari media saat itu yang sangat ternama di Republik ini.
168
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Training yang dilakukan oleh Ade Chandra dan kawankawan
mengusung konsep empowerming, para master trainer
tersebut dibekali oleh materi dan pemahaman dari para grand
master termasuk Sutoro Eko, (Alm) Widyohari Murdianto, Farid
Hadi, yang merupakan orang-orang yang kompeten. Tugas utama
para trainer ini adalah mendelivery makna UU Desa terhadap
perubahan mendasar di level masyarakat. Proses belajar dilakukan
lewat sharing bersama, melakukan roleplay, membuat analisis
sosial dan lain-lain. Para trainer harus mampu mengatasi segala
dinamika lapangan jika akan memberi materi di seluruh Indonesia.
Proses ini menjadi babak baru dalam tradisi berdesa, misalnya
jika kita bandingkan dengan PNPM yang mana pendampingnya
sibuk sebagai mandor proyek dan absen memperhatikan sumber
daya manusia di desa. Pembangunan fisik lebih banyak daripada
pembangunan sumber daya manusia dan keseluruhan proses yang
dilakukan oleh Ade Chandra dan kawan-kawan merupakan proses
transformasional, yang didasari oleh rekognisi.
Peran para grand master adalah memberikan helicopter project.
Lalu para master trainer membuat materi dan dikonsultasikan
sebelum disampaikan kepada para calon pendamping desa. Pada
tahun 2088 dan 2009, desa dibanjiri dengan program PNPM.
Banyak pihak menginginkan kembali PNPM dilanjutkan di
bawah UU Desa. Sementara teman-teman kritis dan berbeda serta
memberikan kritik kepada PNPM saat itu. Desa tidak bisa lagi
dijadikan sebagai lokasi proyek, dan para pendamping bukan
sebagai mandor project. Dalam paradigma baru UU Desa, para
pendamping tidak harus melaksanakan proyek, tetapi membangun
kelembagaan yang kuat, merumuskan cetak biru pembangunan
masyarakatnya, pembangunan insfratuktur, serta tidak disibukan
lagi dengan project.
Presiden Jokowi ingin para aktor di Desa mampu menegosiasi
kepentingan desa dan berperan dalam pembangunan desa.
BUMDes yang secara umum dibangun di desa mangkrak.
55 TAHUN STPMD “APMD”
169
Penyebabnya karena BUMDes tidak dibangun dari kearifal lokal
berdasarkan potensi dan tantangan masing-masing. Misalnya ada
desa yang tidak mempunyai tong sampah, namun BUMDes nya
tentang bak sampah. Terlebih lagi di masa pandemi, banyak desa
wisata tidak berjalan efektif di masa pandemi ini. Dalam UU Desa
BUMDes tidak seperti badan hukum lainnya. BUMDes dibangun
oleh masyarakat ketika ada hasil produksi maka dipasarkan ke
pusat ekonomi lain. Itu berbeda sekali dengan kondisi yang ada
di lapangan. Tanah yang mangkrak ditanami tanaman lalu 5
tahun kemudian bisa menanam. Di kota industri yang selama ini
kita kenal, dengan begitu kita bisa memperkuat jalannya otonomi
daerah, misalnya masyarakat yang punya sawah ditanami. Dengan
demikian, para kader muda di desa, baik perempuan maupun lakilaki,
agar bisa menjadikan desanya sebagai basis penghidupan.
Landasan yang mengatur tentang Kader Desa adalah
Permendesa PDTT tahun 2019 tentang pedoman umum pendampingan
masyarakat desa. Peraturan Menteri ini mencabut dan
menggantikan Permendesa PDTT 3 tahun 2015 tentang Pendampingan
Desa, dengan alasan untuk disesuaikan dengan perkembangan
kebutuhan hukum.
Permendesa PDTT 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum
Pendampingan Masyarakat Desa memiliki dasar pertimbangan
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 131 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pendampingan Masyarakat Desa adalah kegiatan Pemberdayaan
Masyarakat Desa melalui asistensi, pengorganisasian,
penga rahan, dan fasilitasi Desa. Pendampingan Masyarakat Desa
dalam Permendesa PDTT 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum
Pendampingan Masyarakat Desa diatur secara struktural kembali
yaitu dilaksanakan oleh Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Di tingkat Kecamatan
170
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Pendampingan Masyarakat Desa dikoordinasikan oleh Camat atau
sebutan semacam lainnya. Dalam Pendampingan Masyarakat Desa
tersebut, Menteri, Pemprov, Pemkab=Pemkot dapat dibantu oleh
tenaga pendamping profesional, KPMD (Kader Pemberdayaan
Masyarakat Desa) dan/atau pihak ketiga.
Pihak Ketiga dapat melakukan Pendampingan Masyarakat
Desa dengan biaya sendiri, tidak dengan APBN/APBD, namun
biaya mandiri Pihak Ketiga. Pihak Ketiga yang dimaksud dalam
Permendesa PDTT 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum
Pendampingan Masyarakat Desa adalah:
a. lembaga swadaya masyarakat;
b. perguruan tinggi;
c. organisasi kemasyarakatan;
d. perusahaan; dan
e. individu yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan
masyarakat Desa.
Tahapan Pengelolaan Pendampingan Masyarakat Desa
dilakukan mulai dari rekrutmen, peningkatan kapasitas, sertifikasi
dan evaluasi kinerja. Tenaga Pendamping Profesional tersebut
adalah pendamping lokal desa, pendamping desa, pendamping
teknis dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat. Fungsi Tenaga
Pendamping Profesional Desa adalah untuk fasilitasi, edukasi,
mediasi dan advokasi.
Permendesa PDTT 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum
Pendampingan Masyarakat Desa ditetapkan Menteri Desa PDTT
Eko Putro Sandjojo pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Nomor 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum
Pendampingan Masyarakat Desa diundangkan oleh Dirjen PUU
Kemenkumham Widodo Ekatjahjana dan ditempatkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia tahun 2019 Nomor 1262, pada tanggal
22 Oktober 2019 di Jakarta. Agar setiap orang mengetahuinya.
55 TAHUN STPMD “APMD”
171
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Umbu Wulang
selaku Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa
Tenggara Timur (NTT) menggelar Pelatihan Kader Rakyat Dasar
(PKRD) bagi mahasiswa, relawan WALHI NTT dan perwakilan
petani. Pelatihan ini berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama
pada 4 – 5 Oktober 2016, 6 – 7 November 2016 dan 8 – 9 Desember
2016. Kegiatan ini mengangkat tema “Wahana Calon Pemimpin
Muda NTT yang Berwawasan Lingkungan”.
Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu
Paranggi menceritakan kegiatan tersebut merupakan program
yang didasari oleh mandat untuk WALHI NTT. Mandat tersebut
diberikan oleh seluruh anggota di NTT dalam Pertemuan Daerah
Lingkungan Hidup di Maumere pada Februari 2016.
Kegiatan ini dalam upaya menumbuh kembangkan pengetahuan
ekologis bagi orang-orang muda NTT. Baik itu, dari
mahasiswa, petani dan kalangan lainnya,” Menurut Umbu Wulang,
kegiatan itu dilakukan untuk membuka cakrawala pengetahuan
orang muda terkait dengan berbagai persoalan ekologis di NTT.
Diantaranya tentang bahaya pertambangan di pulau-pulau, krisis
sumber daya air dan maraknya privatisasi daerah pesisir yang
tengah marak di NTT atas nama pariwisata.
Persoalan – persoalan tersebut terjadi akibat kebijakan
yang tidak berpihak pada kepentingan publik dan keselamatan
ekologis. Umbu juga menyampaikan, persoalan lingkungan
merupakan persoalan kolektif, di era yang marak penyimpangan
dan pencemaran lingkungan haruslah memperkuat daya juang
rakyat dalam kegiatan-kegiatan dan kampanye lingkungan di
masyarakat, sebab persoalan lingkungan merupakan persoalan
serius yang membutuhkan pikiran dan kerja serius dalam
penanganannya. Hal inilah yang menjadi acuan kritis Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah NTT membentuk
pelatihan seperti ini, dan diharapkan Sahabat Alam (SHALAM)
sebagai organisasi underbound WALHI NTT mampu memberikan
172
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
pendidikan lingkungan dan kampanye-kampanye lingkungan
hidup di masyarakat NTT.
Begitu juga informasi yang didapat oleh Hardjono selaku
ketua prodi Pembangunan Masyarakat Desa bahwa APMD
menyambut baik para kader desa yang memiliki karakter kokoh.
Karakter kokoh seperti yang dijelaskan oleh Habib Muhsin S.Sos,
M.Si menekankan bahwa generasi penerus tidak hanya sebagai
penonton masa depan tetapi sebagai pemain masa depan. Kerja
keras menjadi kunci dalam menghadapi tantangan yang makin
berat dan kompleks seperti persoalan kemiskinan, terbatasnya
lapangan kerja, ketidakberdayaan masyarakat, perilaku korupsi,
maraknya tindakan kekerasan, menurunnya nilai-nilai kebangsaan
dan ketidakadilan, serta ancaman keutuhan NKRI. Selanjutnya
Habib Muhsin berharap bahwa wisudawan akan dapat menjadi
seorang entrepreneur di berbagai bidang. Selain itu sebagai kader
bangsa harus memiliki karakter yang kokoh serta mengedepankan
aklak yang mulia di atas semangat persatuan dan kesatuan
Indonesia. Karakter yang kokoh ini bercirikan semangat patriotik,
jiwa nasionalis, jati diri yang mengakar, berwawasan luas,
kecerdasan yang mencerahkan, kepedulian yang merekatkan,
serta keteguhan untuk bersatu yang semua ini dinaungi nilai-nilai
Pancasila dalam bingkai NKRI. Desa membutuhkan pengawalan
dan peran serta STPMD”APMD”.
Sementara itu Ketua Yayasan Pengembangan Pendidikan
Tujuh Belas Yogyakarta, Ir.M. Barori, M.Si, menegaskan bahwa
dalam implementasi Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang
Desa membutuhkan pengawalan dan peran serta STPMD”APMD”.
Oleh karena itu inovasi perlu terus dikembangkan, konsolidasi
dilakukan untuk memperteguh standing position akademik dan
sosial.
Hardjono, M.Si. selaku ketua prodi PMD menyelenggarakan
Lokakarya Siklus Tahunan Desa, pada hari Selasa dan Rabu tanggal
10 dan 11 Januari 2017, di Gedung Pasca Sarjana STPMD “APMD”
55 TAHUN STPMD “APMD”
173
Yogyakarta. Hardjono menyampaikan bahwa tujuan, lokakarya
ini untuk membekali dosen-dosen STPMD “APMD” khususnya
dosen Prodi PMD Jenjang Program Diploma III sebagai pengampu
mata kuliah yang menekankan pada pembangunan masyarakat
desa serta mengaplikasikan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa.
STPMD “APMD” juga menyelenggarakan lokakarya tentang
siklus tahunan desa. Lokakarya ini diselenggarakan karena semua
desa di Indonesia telah melaksanakan Siklus Tahunan Desa sebagai
konsekuensi dari implementasi UU Desa No 6 tahun 2014 namun
masih mengalami berbagai kendala, sehingga akan mempengaruhi
proses pembangunan masyarakat desa. Peserta lokakarya diberi
wawasan pelaksanaan Siklus Tahunan Desa meliputi Perencanaan
Pembangunan Desa, Pengelolaan Aset Desa, Pengelolaan
Keuangan Desa, Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
dan Penyusunan Peraturan di Desa.
Pemateri berasal dari praktisi yakni Wahyu Anggoro Hadi,
S.Farm., Apt. yang menjabat sebagai Lurah Desa Panggungharjo
Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul yang saat ini sedang
menempuh Program Pasca Sarjana Prodi Ilmu Pemerintahan
STPMD “APMD”, dan Masrukhan S.Sos. M.Si, Kabid Pemerintahan
Desa Pemda Kabupaten Magelang (alumni STPMD “APMD”).
Penyelnggaraan Lokakarya ini juga membahas kendalakendala
yang dihadapi oleh perangkat desa saat melaksanakn
Siklus Tahunan Desa dan menampung gagasan para peserta untuk
mencari solusi demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan
masyarakat desa.
Berbeda dengan alumni APMD yaitu Minardi. Dalam konteks
Desa, Minardi berperan sebagai penggiat desa, yang mempunyai
inisiatif untuk memajukan Desa di Klaten. Dalam bidang keagamaan,
Minardi berperan sebagai penyuluh keagamaan. Bidang yang
Minardi tekuni yaitu penyuluh pernikahan. Penyuluh pernikahan
biasanya berbentuk Sosialisasi kepada para calon penganten. Hal
174
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
ini bertujuan untuk mengantisipasi permasalahan yang kurang
baik seperti gagalnya membentuk keluarga bahagia dan sejahtera.
Sosialisasi tersebut bisa dipakai bekal untuk menciptakan generasi
muda yang berprestasi dan tentunya dengan harapan memiliki
keluarga yang sakinah.
55 TAHUN STPMD “APMD”
175
176
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
EPILOG
JALAN PANJANG MAHZAB TIMOHO:
MELAYANI DAN MENGABDI
PADA DESA
Gregorius Sahdan
Sejak didirikan pada tahun 1965, kampus kami STPMD
“APMD” menempatkan desa sebagai standing position keberpihakan.
Standing position ini bukan tanpa alasan yang rasional.
Desa memiliki kontribusi terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Pada zaman perjuangan kemerdekaan, pasukan
pejuang kemerdekaan memperoleh dukungan perbekalan dari
desa. Mereka juga kerap “ngaso” atau sekedar beristirahat di desa.
Masyarakat desa menerima para pejuang dengan hati gembira.
Para pemimpinnya diarak-arak dari desa ke desa, sebagai bentuk
dukungan mereka terhadap perjuangan kemerdekaan.
Kisah keramahan dan berbagai bentuk kontribusi desa ini,
dengan mudah dilupakan negara. Paska kemerdekaan tahun 1945,
para pejuang yang sudah menjadi elite dan pemimpin baru negara,
mengabaikan dan melupakan desa. Desa bahkan dijadikan sebagai
anak tiri republik. Berbagai peraturan dan kebijakan, menempatkan
desa sebagai obyek. Desa dikerdilkan melalui berbagai kebijakan
pemerintah dan segala petunjuk teknisnya.
Berbagai latar itu, mendorong para pendiri STPMD “APMD”
untuk mendedikasikan diri “mengabdi dan melayani desa”.
Proses mengabdi dan melayani desa, tentu saja mengalami
berbagai tantangan. Tantangan yang paling sulit tentu saja adalah
55 TAHUN STPMD “APMD”
177
bagaimana mengubah pandangan negara terhadap desa. Negara
sampai dengan saat ini, bahkan tetap memperlakukan desa sebagai
obyek. Desa belum sepenuhnya dianggap sebagai subyek yang
memiliki kemampuan untuk menjalankan pemerintahan sendiri,
tanpa intervensi negara. Negara tidak hanya menghadirkan
kebijakan yang intervensionis terhadap desa dalam berbagai
bentuk perangkat tekno-administrasinya, tetapi juga tak pernah
menghadirkan kebijakan yang lebih proteksionis terhadap desa.
Kemampuan self governing dan kewenangan desa, seringkali
diabaikan negara dalam berbagai wujud instruksi dan peraturan
perundang-undangan yang memiliki karakter yang sama,
mengawasi dan mengendalikan desa. Selama Orde Baru, desa dicap
sebagai tempat tinggal orang miskin dan bodoh. Karena itu, rezim
developmentalis Orde Baru membuat berbagai kebijakan yang
mengekang kemampuan desa dalam mengurus rumah tangganya
sendiri. Orde Baru juga menghadirkan pendekatan militeristik
untuk merepresi nalar berpikir kritis desa, sehingga desa menjadi
tidak berdaya secara politik dan juga secara sosial ekonomi. Orde
Baru mengagungkan investasi yang dijamin dengan stabilitas
politik. Pemberdayaan masyarakat diabaikan untuk menopang
kesetiaan terhadap pemerintah.
Bagaimana pun, warisan cara berpikir negara Orde Baru,
masih mendominasi cara berpkir elite politik di Indonesia saat
ini. Umumnya mereka berpandangan bahwa desa harus dicekoki
dengan berbagai kebijakan developmentalism dan modernism yang
menganggap desa tidak mampu mengatur dan mengurus dirinya
sendiri. Berbagai kebijakan dan peraturan-perundangan dibuat
hanya untuk mengatakan bahwa rekognisi negara melalui UU
No.6 Tahun 2014 tentang desa, merupakan bagian dari kebaikan
hati negara terhadap desa, sehingga desa tidak perlu mengelola
desa berdasarkan kepentingan dan kemampuanya, tetapi tunduk
dan setia kepada petunjuk teknis administratif yang dibuat negara.
Demokrasi desa pun kian tidak berjalan. Musyawarah desa hanya
178
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
sekedar formalitas, karena dijebak negara dengan cara berpikir
developmentalism. Desa sibuk dengan pembangunan infratsruktur
dan abai dengan pemberdayaan masyarakat yang menjadi masa
depan desa.
Bagi sivitas akademika STPMD “APMD” cara pandang dan
perlakuan negara yang tidak adil terhadap desa, perlu dikritik.
Kritik sivitas akademika sejauh ini, melahirkan komitmen yang
kuat untuk membela desa. Pembelaan terhadap desa, tentu saja
sebagaimana dikatakan Archon Fung dan Erik Olin Wrigth (2003)
bahwa; “the state is the problem, not the solution”, sebagai bentuk
kritik terhadap negara yang menganggap remeh desa. Dengan
tema “Mengabdi dan Melayani Desa”, sivitas akademika STPMD
“APMD” tidak hanya melakukan kritik terhadap negara, tetapi
menjalankan agenda-agenda yang jelas untuk perubahan desa.
Berbagai agenda itu di antaranya adalah;
Pertama, membuat kebijakan akademik yang mendorong
sivitas akademika untuk terus peduli dan memperkuat keberpihakan
terhadap desa. Kebijakan yang paling menonjol sejak
kepemimpinan Sutoro Eko 2002-2006 adalah menggeser perhatian
tridharma dari inward looking ke outward looking. Pergeseran
ini menghasilkan dinamika yang luar biasa di lingkungan
akademik. Banyak dosen dan mahasiswa yang tadinya “jago
kandang”, kemudian mampu merebut panggung yang ada di
luar melalui kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah,
Lembaga Swadaya Masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Perusahaan dan dengan Perguruan Tinggi lain untuk memperkuat
jaringan, komitmen dan keberpihakan terhadap desa. Pada masa
kepemimpinan berikutnya, dilakukan kebijakan yang lebih
mengarah pada penguatan organisasi kelembagaan untuk menjamin
transformasi ke outward looking. Melalui penguatan organisasi
kelembagaan di tingkat internal, banyak dosen yang terbang
keliling Indonesia, dari satu pulau ke pulau lain, dari satu desa ke
desa yang lain sebagai bentuk mengabdi dan melayani desa.
55 TAHUN STPMD “APMD”
179
Kedua, memproduksi berbagai gagasan dan pengetahuan
untuk mempengaruhi cara berpikir pemerintah dan masyarakat
umum tentang bagaimana membangun Indonesia dari desa. Di
antara gagasan dan pengetahuan yang diproduksi itu adalah
beberapa buku yang sangat monumental antara lain; “Manifesto
Pembaruan Desa” yang diterbitkan pada tahun 2005 pada saat
STPMD “APMD” merayakan ulang tahun yang ke-40.
Ketiga, melakukan penelitian, advokasi dan kerjasama
dengan berbagai pihak untuk melahirkan Undang-undang desa
yang dianggap sebagai pelopor terdepan dalam pembaruan
desa. Komitmen STPMD “APMD” untuk melahirkan undangundang
desa dilakukan dengan berbagai bentuk kegiatan action
research yang diterbitkan dalam berbagai bentuk “policy paper”
dan dikristalisasi dalam buku; “Transformasi Ekonomi Politik
Desa” yang diterbitkan pada Februari 2005. Buku ini sebenarnya
merupakan dukungan terhadap rancangan undang-undang desa
supaya mendapat rekognisi dari negara.
Keempat, melakukan kegiatan CSR dengan desa-desa yang
berada di lingkungan perusahaan untuk meningkatkan kontribusi
perusahaan terhadap desa. Perusahaan yang sejauh ini sudah
sering bekerjasama dengan STPMD “APMD” di antaranya adalah
KPC yaitu perusahaan Batu Bara yang berlokasi di Kalimantan
Timur.
Enam, mengembangkan jaringan dan keterampilan berdesa
melalui kerjasama fasilitasi dan pemberdayaan terhadap masyarakat
desa. Dalam berbagai kegiatan ini, STPMD “APMD” merintis
kerjasama dengan IRE, FPPD, Satunama, dan sebagainya. Kerjasama
ini di samping bertujuan untuk mengembangkan jaringan,
juga untuk memperkuat keterampilan berdesa.
Tentu saja, masih banyak hal lain yang dilakukan oleh civitas
akademika STPMD “APMD” sebagai bentuk komitmen, kepedulian
dan pembelaan terhadap desa untuk mengatakan bahwa kita
sudah mempunyai pengalaman yang panjang bersentuhan dengan
180
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
“Mengabdi dan Melayani Desa”. Kalimat “Mengabdi dan Melayani
Desa” inilah yang kami sebut dengan Mazhab Timoho. Jadi Mazhab
Timoho adalah Mazhab yang mengamalkan ilmu, pengetahuan,
gagasan, kebijakan dan komitmen semata-mata untuk “Mengabdi
dan Melayani Desa”. Akhirnya, selamat kepada STPMD “APMD”
yang memasuki usia 55 tahun. Usia ini mengkristalisasi pengalaman
dan kontribusi kita dalam “Mengabdi dan Melayani Desa” menjadi
Mazhab Timoho yaitu mazhabnya mereka yang hati, pikiran dan
tindakannya selalu untuk desa.***
55 TAHUN STPMD “APMD”
181
182
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
BIOGRAFI PENULIS
Aulia Widya Sakina, lahir di
Magelang, Jawa Tengah. Seharihari
menjadi dosen di Program
Studi Pembangunan Sosial STPMD
“APMD”. Lulus S1 Jurusan Ilmu
Sosiatri, FISIPOL UGM pada
tahun 2011 dengan Minat Studi
Pemberdayaan Masyarakat. Sembari
menempuh S1, terlibat aktif
dalam beberapa penelitian tentang
“Recovery After Natural Disasters:
The Case of the 2006 Yogyakarta Earthquake” bersama United Nations
Development Programme (UNDP). Kemudian, pada tahun 2015
lulus dari Program Studi S2 Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
FISIPOL UGM dengan konsentrasi keahlian Pemberdayaan
Masyarakat dan CSR. Ketika menempuh S2 sempat menjadi Staff
Peneliti di Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama (PPKK)
FISIPOL UGM dan membantu di Tim Kinerja FISIPOL UGM dalam
mengawal Papua Days and Innovation Summit. Fokus terhadap isuisu
mengenai Pemberdayaan Kelompok Rentan di Masyarakat,
Manajemen Bencana Inklusif, dan saat ini sedang concern terhadap
isu Digipreneurship.
55 TAHUN STPMD “APMD”
183
Fatih Gama Abisono Nst. adalah
staf pengajar pada Prodi Ilmu
Pemerintahan STPMD “APMD”
Yogyakarta. Menamatkan pendidik
an sarjana dan magister pada
Departemen Politik Pemerintahan,
FISIPOL, UGM. Pernah bekerja
sebagai jurnalis Tempo dan Metro
TV. Sejak tahun 2008, menjadi
pengurus pada sebuah NGO yakni
Centre for LEAD sekaligus sebagai
peneliti pada lembaga tersebut. Soni, demikian dia biasa disapa,
juga terlibat dalam berbagai aktivitas riset, advokasi kebijakan,
dan gerakan sosial untuk isu democratic governance, kewargaan,
dan sumber daya baik pada level lokal maupun desa. Soni juga
telah menghasilkan sejumlah karya berupa kumpulan artikel yang
dibukukan, jurnal, dan editor beberapa buku. Dalam program ini,
Soni bertindak sebagai salah satu penulis dan editor buku ini.
184
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Mohamad Firdaus, S.IP., M.A
lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah.
Merupakan alumni S1 STPMD
“APMD” Yogyakarta. Men dapatkan
gelar Magister Politik dan
Pemerintahan di Fisipol UGM.
Minat studinya lebih ke politik
elektoral dan teori politik. Studi
skripsi dan tesisnya berkaitan
dengan pilkada dimana skripsinya
mencoba membahas mengenai
pilkada di Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2011 dengan
fokus studi terkait strategi pemenangan. Kemudian tesisnya
meneliti tentang pilkada di Provinsi Lampung pada tahun 2018
dengan fokus kajian terkait analisis kekalahan petahana. Selain itu
juga menekuni di bidang politik agama dan kultur di Indonesia,
minat studi di dalam politik dan agama sudah mulai dipelajari
sejak menempuh pendidikan Madrasah Tsanawiyah di pondok
pesantren pendidikan islam Miftahussalam Banyumas.
55 TAHUN STPMD “APMD”
185
Hery Purnomo, S.Sos, MPA.,
lahir di Magetan 10 Januari 1988.
Lulus S1 Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Program Studi Ilmu
Sosiatri/Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta tahun 2011.
Kemudian menyelesaikan studi S2
di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Jurusan Manajemen dan Kebijakan
Publik Universitas Gadjah Mada
tahun 2015. Sambil menyelesaikan studi S2 telah bekerja menjadi
pekerja sosial perlindungan anak Kementerian Sosial RI pada tahun
2011-2014. Kemudian pada tahun 2016-2017 menjadi community
development officer (CDO) di PT Pertamina DPPU Ngurah Rai, Bali,
mengelola kegiatan corporate social responsibility (CSR) desa binaan
perusahaan. Pada tahun 2017-2018 menjadi asisten lapangan tenaga
peneliti di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan Universitas
Gadjah Mada, melakukan kegiatan penelitian di beberapa provinsi
yang ada di Pulau Jawa, dan Sumatera. Sejak tahun 2019 hingga
saat ini menjadi dosen tetap Prodi Pembangunan Masyarakat
Desa, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”.
Bidang keahlian yang dikuasai yaitu kebijakan publik, CSR, dan
pemberdayaan masyarakat. Keorganisasian yang diikuti dan
dijalankan yaitu menjadi volunteer bidang literasi di Komunitas
Jendela dari tahun 2011 hingga saat ini. Aktvitas korespondensi
dapat dilakukan melalui hery.purnomo.apmd@gmail.com.
186
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Dr. Irsasri, M.Pd., lahir di Yoyakarta
23 Juli 1985. Lulus S1 Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
program studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta tahun
2009. Menyelesaikan studi S2 di
Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta (UNS)
tahun 2011 sekaligus mendapatkan
kesempatan melanjutkan studi di
program doktor (S3) di kampus yang sama hingga selesai pada
tahun 2019. Sejak tahun 2010 menjadi dosen tamu di Universitas
Sanata Dharma, Universitas Atma Jaya, Universiteit Leiden
Belanda, National University of Laos, Universitas Kebangsaan
Malaysia, Princeston University, Indonesia-Australia Language
Foundation selanjutnya tahun 2013 menjadi dosen tetap di
STPMD”APMD” Yogyakarta. Bidang keahlian yang dikuasai yaitu
bahasa Indonesia, public speaking, jurnalistik, communication skills,
BIPA, public relation management, teknik fasilitasi.
55 TAHUN STPMD “APMD”
187
Minardi, lahir di Klaten pada
bulan April 1990. Menyelesaikan
TK, SD, SMP, dan SMA di tanah
kelahirannya di Bayat, Klaten.
Kemudian menempuh S1 (sarjana)
di S1 Ilmu Pemerintahan STPMD
“APMD” Yogyakarta dengan
predikat cum laude. Kemudian
menye lesaikan S2 di Ketahanan
Nasional, Sekolah Pascasarjana,
UGM dengan mengambil tesis
tentang Agenda Setting Pencegahan Terorisme di Media Sosial pada
Pemuda. Minardi saat ini menjadi staff pengajar di almameternya
sendiri yaitu S1 Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.
Selama kuliah sampai saat ini, aktif di berbagai kegiatan sosial dan
kemanusiaan. Dia juga menjadi staff di Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa (FPPD) Yogyakarta. Saat ini Minardi sedang
melakukan penelitian tentang Deradikalisasi di LAPAS.
188
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Kanita Khoirun Nisa, lahir
di Cilacap 22 Juni 1994. Lulus
S1 Fakultas Ilmu Sosial Prodi
Pendidikan Sosiologi dan
Antropologi, Universitas Negeri
Semarang tahun 2016. Kemudian
menyelesaikan studi S2 di Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik tahun
2019. Sambil menyelesaikan studi
S2, beliau telah aktif mengajar di
Bimbingan Belajar tahun 2016-
2019. Beberapa karya yang sudah pernah dipublikasikan berjudul
Sinkretisasi Nilai Islam dan Jawa dalam laku Ritual Peziarah yang
diterbitkan oleh jurnal Solidarity Unnes Volume 9 No 1 (2020),
lalu Pengembangan Pariwisata berbasis CBT yang diterbitkan
oleh jurnal Hermeneutika Universitas Sultan Agung Tirtayasa
Banten serta tulisan tentang Exploitation Behind the Growth of Batik
Home Industry in Lawean, Solo yang termuat dalam International
Journal of Social Science and Humanity, Vol. 7, No. 9, September
2017. Kemudian beliau juga aktif menjadi Asisten Redaksi Jurnal di
Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada. Tahun
2020 menjadi staf pengajar di STPMD “APMD” Yogyakarta.
55 TAHUN STPMD “APMD”
189
Reiki Nauli Harahap S.Sos M.A.,
lahir di Bandar Lampung 25
tahun yang lalu. Menyelesaikan
pen didikan strata satu di Departemen
Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan, Fisipol, UGM
pada tahun 2016. Dua tehun
kemudian menyelesaikan pendidikan
pasca sarjana di Departemen
Pembangunan Sosial dan
Kesejah teraan, Fisipol, UGM
dengan konsentrasi keahlian berupa pemberdayaan masyarakat,
tanggung jawab sosial perusahaan, kesukarelawanan. Penulis
terlibat aktif dalam forum-forum ilmiah salah satunya yaitu
Best Student Presenter The 2 nd Wolrd Disability & Rehabilitation
Conference di Colombo, Srilanka pada Tahun 2017. Penulis juga
aktif di penelitian dengan tema tanggung jawab sosial perusahaan
diantaranya bersama PT. Pertamina RU IV Balongan, PT Badak
LNG, Puslitbang Kementerian ESDM, PT. Pupuk Kalimantan
Timur, PT. Pertamina DPPU Adisujipto, PT Holcim Indonesia
Tbk dan JOB Pertamina Talisman Jambi Merang. Sebelum bekerja
sebagai Dosen di Sekolah Tinggi pembangunan Masyarakat Desa
“APMD” Yogyakarta, penulis merupakan Asisten Pengembangan
Departemen PSDK Fisipol UGM.
190
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Rema Marina, lulus S1 Fakultas
Ilmu Sosial Ilmu Politik Program
Studi Sosiologi Universitas
Sriwijaya Palembang pada tahun
2006. Sebelum memulai karier
menjadi dosen pernah bekerja
di PT. KAI DIVRE 3 Palembang
Sumsel dan mejadi tentor di
Bimbel Primagama Palembang.
Pada tahun 2016 menjadi dosen
di prodi Ilmu Pemerintahan Stisip
Wamena Papua. Kemudian menyelesaikan pendidikan pada
Magister Ilmu Pemerintahan di STPMD ”APMD” Yogyakarta pada
tahun 2018. Dan saat ini memilih untuk memperkuat almamater
dengan menjadi dosen di STPMD “APMD” Yogyakarta.
55 TAHUN STPMD “APMD”
191
Siti Sumaryatiningsih, S.Si, M.I.P
lahir di Magelang, 10 April
1980, lulus S1 Fakultas Geografi
Peng khususan Kartografi Penginderaan
Jauh Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta tahun
2006. Melanjutkan pendidikan S2
di Program Pascasarjana STPMD
“APMD” Yogyakarta mengambil
Progam Studi Ilmu Pemerintahan.
Sejak tahun 2000 aktif di NGO,
International NGO dan ormas yaitu LAPPERA Indonesia, Institute
for Development and Economic Analysis (IDEA), Institute
for Development and Environment Studies (IdeAs), OXFAM,
Perkumpulan NARASITA, Forum Komunikasi LSM Sleman,
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), PW Fatayat NU DIY, Forum
Komunikasi Perempuan Politik DIY, Forum Partisipasi Publik
untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) DIY. Terlibat
aktif dan langsung dalam kerja-kerja advokasi, pengorganisasian
dan pendampingan masyarakat di aras lokal dan pemerintah
daerah (DIY, Kulonprogo, Gunungkidul, Bantul, Kalimantan Utara,
Sumatera Barat). Konsen terhadap isu desa, lingkungan, sustainable
development, livelihood, food security, perempuan, anak, difabel,
lansia, gender dan politik. Saat ini menjadi Dosen Program Studi
Pembangunan Masyarakat Desa STPMD “APMD” Yogyakarta.
192
MENGABDI DAN MELAYANI DESA
Yonatan Hans Luter Lopo menyelesaikan
studi S1 pada Prodi Ilmu
Pemerintahan STPMD “APMD”
Yogyakarta (2014) dan S2 Jurusan
Politik dan Pemerintahan FISIPOL
UGM (2019). Semasa kuliah pernah
menjadi Presiden BEM STPMD
“APMD” Yogyakarta tahun 2011-
2012. Ia juga aktif di GMNI sebagai
Sekretaris GMNI Komisariat
STPMD “APMD” 2011-2012 dan
Wakabid Pengembangan Organisasi GMNI Cabang Yogyakarta
2012-2014. Sejak tahun 2017 sampai sekarang menjadi staf peneliti
di Research Centre for Politics and Government (PolGov) Departemen
Politik dan pemerintahan FISIPOL UGM. Saat ini aktif sebagai
staf pengajar pada Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD”
Yogyakarta. Sejumlah karya tulis yang pernah dipublikasikannya
yaitu: Reposisi Fungsi Representasi BPD Menuju Proses Pelembagaan
Demokrasi Desa (dalam Anang Zakaria, eds. 2017. Potret Politik
dan Ekonomi Lokal di Indonesia: IRE & Akatiga); Kecerdikan Rezim
Lokal Menyikapi Konsentrasi Uang: Transformasi Paternalisme menjadi
Oligarki (dalam Longgina Novadona Bayo, dkk. Eds.2018. In Search
of Local Regime: PolGov & Yayasan Obor); Pembiayaan Kampanye Calon
Usungan Partai Politik di Pilkada: Kasus Pilkada Kota dan Kabupaten
Madiun (dalam Mada Sukmajati & Aditya Perdana, eds. 2018.
Pembiayaan Pemilu di Indonesia: Bawaslu RI); Daily Patronage Politics:
A Village Chief’s Route to Power (Jurnal PCD UGM, Vol. VII, No.2,
2019);
55 TAHUN STPMD “APMD”
193
194
MENGABDI DAN MELAYANI DESA