17.11.2020 Views

Mengabdi dan Melayani Desa "Mutiara Pembelajaran Pengabdian Kepada Masyarakat dari Kampus Desa"

Tulisan saya ada pada Bab 5 dengan Judul "Kemitraan CSR dan Kemajuan Desa" Buku ini bercerita tentang pengalaman empirik pengabdian masyarakat oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogyakarta. Ditulis oleh Yonatan Hans Luter Lopo, Mohamad Firdaus, Irsasri, Fatih Gama Abisono Reiki Nauli Harahap, Siti Sumaryatiningsih, Rema Marina, Aulia Widya Sakina, Hery Purnomo, Minardi, Kanita Khoirun Nisa.

Tulisan saya ada pada Bab 5 dengan Judul "Kemitraan CSR dan Kemajuan Desa"

Buku ini bercerita tentang pengalaman empirik pengabdian masyarakat oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogyakarta. Ditulis oleh Yonatan Hans Luter Lopo, Mohamad Firdaus, Irsasri, Fatih Gama Abisono Reiki Nauli Harahap, Siti Sumaryatiningsih, Rema Marina, Aulia Widya Sakina, Hery Purnomo, Minardi, Kanita Khoirun Nisa.

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.



MENGABDI DAN MELAYANI DESA

Mutiara Pembelajaran Pengabdian Kepada Masyarakat dari Kampus Desa

Penulis:

Yonatan Hans Luter Lopo, Mohamad Firdaus, Irsasri, Fatih Gama Abisono

Reiki Nauli Harahap, Siti Sumaryatiningsih, Rema Marina, Aulia Widya Sakina

Hery Purnomo, Minardi, Kanita Khoirun Nisa

Prolog: Sutoro Eko

Editor: Fatih Gama Abisono

Co-editor: Yonatan Luther Lopo

Epilog: Gregorius Sahdan

Editor Bahasa: Irsasri

Desain Sampul: Reiki Nauli Harahap

Penerbit:

APMD Press

Jln. Timoho 317 Yogyakarta 55225

Cetakan Pertama 2020

xiv+194 hlm., 14,8 x 21 cm

ISBN: 978-623-91597-1-9

Hak cipta dilindungi undang-undang

(all rights reserved)


KATA PENGANTAR

EDITOR

Sebagai komunitas akademik yang corncern pada Desa,

STPMD “APMD” telah meniti perjalanan sangat panjang di bidang

pengabdian kepada masyarakat, terutama Desa. Sayangnya,

karya-karya pengabdian yang telah dihadirkan belum terarsip,

belum terdokumentasi dengan memadai. Banyak karya-karya

pengabdian hanya menjadi laporan pengabdian dan hanya

menghuni sudut-sudut perpustakaan tanpa makna. Ringkasnya,

karya-karya pengabdian tersebut belum sepenuhnya ditempatkan

menjadi kekayaan lembaga. Padahal, karya-karya pengabdian

tersebut mengandung khazanah pengetahuan bagi transformasi

sosial.

Buku yang ada di hadapan sidang pembaca adalah hasil

dari ikhtiar kami, civitas akademika STPMD “APMD”, untuk

mendokumentasikan karya-karya pengabdian kepada masyarakat.

Upaya mendokumentasi atau mengarsip karya-karya pengabdian

ini memuat misi melakukan penelusuran: telah sejauh mana

pengabdian masyarakat oleh komunitas STPMD “APMD”

memberikan dampak perubahan bermakna bagi masyarakat dan

Desa. Dari penelusuran yang telah dilakukan oleh tim penulis,

ternyata aktivitas pengabdian oleh komunitas STPMD “APMD”

banyak memberikan warna terhadap perubahan sosial masyarakat,

terutama Desa.

55 TAHUN STPMD “APMD”

iii


Melalui berbagai tema dan isu, karya-karya pengabdian

masyarakat dari kampus desa telah merambah pada berbagai

aras. Karya-karya tersebut telah menjangkau baik menghasilkan

ilmu transformatif, mengkonsolidasi advokasi kebijakan, serta

mendorong gerakan atau aksi kolektif warga bagi tata kehidupan

publik yang lebih adil, sejahtera dan demokratis. Di samping itu,

karya-karya pengabdian komunitas akademik STPMD “APMD”

juga menghasilkan abstraksi tentang pengetahuan yang bukan saja

ilmiah namun juga amaliyah. Tidak ditemukan gagasan dalam

karya-karya pengabdian tersebut yang memisahkan antara teori

dan praktik, ilmu dan amal. Seluruhnya jumbuh dalam praktikpraktik

pengabdian kepada masyarakat.

Lahirnya buku ini sekaligus juga menerbitkan harapan, agar

upaya dokumentasi karya pengabdian menjadi tradisi pada tahuntahun

mendatang. Melalui dolumentasi, tentu dapat menarik

mutiara pembelajaran dari setiap langkah pengabdian yang

telah kami lakukan. Lahir dari proses “hiruk-pikuk” di tengah

menyiapkan perayaan Dies Natalis STPMD “APMD” ke-55, buku

ini diharapkan menjadi tonggak bagi kampus desa untuk terus

menegaskan posisinya membela desa, lokal, dan pinggiran.

Proses penerbitan buku ini juga tidak lepas dari kerja keras

energi muda, para dosen muda di lingkungan STPMD “APMD”.

Dari tangan merekalah, berbagai bahan penulisan buku ini

diracik, diramu, dan disajikan. Mengumpulkan cerita dari para

pelaku pengabdian, mewawancarai para mitra dan jejaring

kerja, membaca laporan karya-karya pengabdian adalah bagian

dinamika penyusunan buku ini. Dalam kurun waktu kurang dari

tiga minggu, naskah final buku ini pun siap untuk diterbitkan

menjadi publikasi.

Untuk itu kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

pada tim penulis buku. Apresiasi secara khusus, kami haturkan

pada dua orang penulis yakni Yonatan Luther Lopo yang telah

bersedia menjadi co-editor dan Dr Irsasri sebagai editor bahasa

iv

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dalam penerbitan buku ini. Kami ucapkan terima kasih yang

mendalam pada Dr Sutoro Eko, selaku ketua sekolah tinggi yang

bersedia menuliskan prolog buku ini. Tak lupa pada Gregorius

Sahdan yang ditengah kesibukannnya menempuh studi doktoral

masih menyempatkan menyiapkan epilog dari buku ini.

Apresiasi juga kami sampaikan kepada para narasumber yang

tidak dapat kami sebutkan satu per satu yang meluangkan waktu

untuk menyampaikan cerita dan kisah pengabdian. Kami haturkan

pula terima kasih pada segenap pimpinan STPMD “APMD”, yang

memberikan dukungan penuh atas penerbitan buku ini. Semoga

dengan terbitnya buku ini, menjadi lonceng pengingat tentang

makna dan pembelajaran penting tentang pengabdian kepada

masyarakat yang bermartabat. Selamat membaca!

Fatih Gama Abisono

55 TAHUN STPMD “APMD”

v


vi

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


PROLOG

“APMD” ADALAH

“LSM BESAR”

Sutoro Eko

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak memiliki kantor

yang jelas, tetapi memiliki dunia yang luas. Perguruan tinggi

memiliki kantor dan kampus yang luas tetapi hanya memiliki

dunia yang terbatas, hanya dalam lingkup internal. Itulah

ledekan menyegarkan dan menantang yang mengemuka ketika

kami bergaul dengan aktivis dan profesional LSM – yang tengah

booming dan menikmati “tahun madu” – dua puluh tahun silam.

Di ruang bersama (common room) kami mendiskusikan “kampus

vs LSM” dalam memandang dan memperlakukan desa, yang

kemudian di tahun 2002, senior M. Barori berujar: “APMD” adalah

“LSM Besar”. Frasa “LSM Besar” adalah pendekatan dan spirit

yang kami kedepankan, untuk melampaui kampus dan LSM.

Tridarma (pengajaran, penelitian, dan pengabdian) yang kami

rajut dengan trinitas (pemikiran, gerakan, dan kebijakan) adalah fitur

utama “LSM Besar”. Apa maknanya? Makna dasarnya: “APMD”

mempunyai kampus yang jelas dan luas, sekaligus memiliki dunia

kehidupan yang luas. Kami adalah kampus yang tidak pernah

membentuk dan mengawetkan “menara gading”. Kepekaan lokal

dan spirit kedesaan-kemasyarakatan sudah lama menjadi tradisi

“APMD”, jauh sebelum Robert Chamber (1987) mengritik “orang

luar” (ilmuwan dan pelaksana profesional) yang suka melakukan

wisata pembangunan desa. Meski pada dekade 1980-an, “APMD”

menjadi “pelaksana kebijakan” Departemen Dalam Negeri, tetapi

55 TAHUN STPMD “APMD”

vii


kami tidak bertindak secara birokratik terhadap desa, melainkan

bertindak secara kontekstual, tetap memegang spirit kedesaan

dan kemasyarakatan. Berbeda dengan kampus “menara gading”

yang memiliki “desa binaan” untuk disuluh dengan induksi

modernisasi, “APMD” datang ke desa, jajah desa milang kori, tidak

membawa “modal, model, dan modul” yang terlalu ilmiah. Kami

bergaul (srawung) dengan orang desa dengan cair (manjing ajur

ajer), sembari merajut cara berpikir tentang pemerintahan dan

pembangunan dari sudut desa.

Tetapi bukan berarti kami hadir sempurna, tanpa cacat. Kami

memiliki spirit kedesaan yang kuat, tetapi kami tidak memiliki

pengetahuan dan pemikiran besar untuk menandingi paradigma

“desa ilmiah” yang datang dari kampus “menara gading”. Kami

hanya menjadi konsumen (pembaca) atas karya-karya para

“ilmuwan negatif” seperti Jan Breman, Ben White, Frans Husken,

dan lain-lain, yang membombardir desa dari sudut Eropa. Kelak,

sekian tahun kemudian, kami tahu bahwa karya-karya para

“ilmuwan negatif”, yang menyukai konsep “kekuasaan elite”,

tidak memberi sumbangan perubahan, atau bukan “ilmu alamiah”,

kecuali hanya membenarkan kolonialisasi, teknokratisasi dan

birokratisasi atas desa. Di sisi lain, kami tidak memiliki “keahlian

teknikal” seperti “ilmuwan positif” (modernis) yang membikin

model untuk teknokratisasi pembangunan desa oleh negara. Kelak,

kami tahu bahwa karya-karya teknokratik “ilmuwan positif” seperti

pembangunan berbasis masyarakat, penanggulangan kemiskinan,

maupun community driven development, yang dipakai negara untuk

“mengatur desa dengan proyek”, hanya membuahkan istana pasir.

LSM adalah dunia lain yang menarik bagi kami. Mereka juga

memiliki “tridarma” seperti kampus, yang mereka padukan dengan

trinitas “gerakan, pemikiran, dan kebijakan”. Gerakan adalah

basis eksistensi mereka. Meskipun kecil, LSM memiliki kampus

luas dalam kehidupan rakyat, komunitas, desa, bahkan masuk ke

seluruh pelosok negeri. Mereka juga melakukan connecting people

viii

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dari satu tempat ke tempat lain di seluruh penjuru negeri Indonesia

yang beragam. Mereka melakukan gerakan yang lebih dalam

ketimbang pengabdian kepada masyarakat yang diselanggarakan

kampus. Gerakan menjadi basis untuk merumuskan pengetahuan

sekaligus advokasi kebijakan.

Menghadirkan pengetahuan lokal menjadi ciri khas menonjol

bagi LSM, yang tidak dimiliki oleh kampus menara gading.

Di dunia LSM tentu juga hadir banyak aktivis-pemikir yang

berpengaruh. Mansoer Fakih adalah seorang doktor yang banyak

bicara tentang masyarakat sipil, sekaligus juga sebagai aktivispemikir

dan pemikir-aktivis yang menjadi kiblat bagi pemikiran

dan gerakan LSM. Yando Zakaria, yang tidak bergelar tinggi

dan banyak, adalah praktisi antropologi dan pegiat LSM, secara

seksama meneliti dengan mengorganisir dan mengorganisir

dengan meneliti masyarakat adat dan desa di penjuru negeri.

Karya Yando Zakaria, Abih Tandeh (2000), yang menjadi santapan

kami 20 tahun silam, memandang desa bukan dari Jakarta maupun

Eropa, tetapi dari desa, bahkan ia melakukan pembelaan desa dari

penindasan negara. Dadang Juliantara, jebolan mahasiswa fisika,

adalah pemikir, ideolog dan provokator yang banyak bicara tentang

demokrasi, otonomi, dan pembaruan desa. Demikian juga dengan

Lilis Nurul Husna, pegiat LAKPESDAM NU, yang pada tahun

2003, mengedepankan spirit “dialog antara narasi besar dan narasi

kecil” dalam pembentukan pengetahuan dan gerakan. Dengan

begitu, LSM yang berkiprah pada trinitas “pemikiran, gerakan

dan kebijakan”, tidak kalah bertanding berhadapan ilmuwan dan

teknokrat ketika berbicara tentang pengetahuan dan kebijakan.

Tidak semua LSM mempunyai keluasan pemikiran, gerakan

dan kebijakan. Tentu lebih banyak LSM yang menekuni kedalaman

gerakan lokal melalui pendampingan dari desa ke desa, serupa

dengan pendekatan “desa binaan” yang ditempuh oleh kampus.

Namun saya berkeyakinan bahwa kerja lapangan yang dilakukan

oleh LSM jauh lebih dalam ketimbang yang dikerjakan oleh

55 TAHUN STPMD “APMD”

ix


kampus. Pandangan ini bukan berarti LSM sangat hebat. LSM –

yang memiliki spirit kuat dalam gerakan – bukan tanpa kelemahan,

meskipun dedengkot LSM seperti Soekirman – yang kemudian

menjadi Bupati Serdang Bedagai – memiliki klaim bahwa teknologi

tepat guna karya Bitra Indonesia di banyak desa tetap terawat awet,

yang jauh lebih baik ketimbang dengan proyek negara.

Robert Chamber adalah satu “dewa” bagi LSM yang bergerak

dalam pembangunan desa, serupa dengan Muhammad Yunus

sebagai “dewa” bagi LSM yang bergerak di sektor credit union. Dalam

melakukan pendampingan desa, LSM memakai model sustainable

rural livelihood (SRL) karya Robert Chamber bersama tim Institute of

Development Studies, yang juga ditebarkan oleh DFID dan OXFAM

Inggris Raya. Kerja-kerja lokal LSM penuh dengan narasi menarik,

yang menyuntikkan pengalaman, pengetahuan dan spirit kepada

kami. Tetapi pada tahun 2002, sahabat Hans Antlov menyampaikan

kritik: “Kalau STPMD akan melakukan pendampingan pada desadesa

binaan seperti dilakukan NGOs, maka akan terjebak pada

pendekatan tradisional yang anti-politik”. Kritik Hans, sebagai

teman diskusi yang menarik, sungguh menjadi pelajaran berharga

bagi LSM dan kampus. Kelak, tahun 2009, saya membaca karya Ian

Scoones (salah satu anggota tim IDS yang merancang SRL tahun

1992/93) yang melakukan otokritik terhadap SRL: lokalisme naif

dan anti-politik, tidak terhubung dengan kebijakan, governance, dan

dunia global yang berpengaruh terhadap kehidupan desa. Dengan

begitu, pendekatan pendampingan desa, baik ala LSM maupun

ala kampus, memberdayakan desa sekaligus mengisolasi desa dari

pergaulan sosial dan ekonomi-politik yang lebih luas. Mengisolasi

(mengurung) desa sama dengan mengawetkan ketidakberdayaan

desa.

Diskusi pembelajaran antara kami dengan dunia LSM selama

dua puluh tahun merefleksikan tentang relevansi perubahan

dari sekadar kedalaman menjadi keluasaan, yang memperdalam

sekaligus memperluas pemikiran, gerakan dan kebijakan.

x

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Pengetahuan lokal, pengalaman lokal, maupun narasi kecil kami

hadirkan (representasi) untuk menantang, menandingi, dan mempengaruhi

pengetahuan, pemikiran dan kebijakan besar yang

datang dari tradisi “desa ilmiah”. Para ilmuwan “desa ilmiah”

barangkali menuding pengetahuan lokal sebagai barang jadul,

kolot, dan tahayul, sehingga mereka secara gencar menginduksi

merk dagang, yang mereka klaim ilmiah (seperti smart village,

digital village, global village), ke dalam tubuh proyek-proyek negara

dan masuk ke dalam desa. Apa yang disebut ilmiah itu, di mata

kami, adalah barang tahayul, sebab tidak relevan dengan denyut

kehidupan orang desa. Sebaliknya pengetahuan lokal – seperti

sasanti “desa mawa cara, negara mawa tata” – merupakan karya

ilmiah yang bermakna untuk emansipasi desa berdikari. Kelak di

kemudian hari, representasi dan emansipasi pengetahuan lokal,

yang kami yakini itu, bertemu dengan tradisi studi budaya, pospositivisme,

pasca-struktural, dan pasca-kolonial yang melawan

ilmu pengetahuan kolonial, modernis, dan positivis.

Jika para ilmuwan negatif sibuk memproduksi pengetahuan

yang anti-desa, jika para ahli profesional sibuk menjadi perantara

penjualan berbagai merk dagang kepada pemerintah dan desa, kami

membentuk Mazhab Timoho, untuk memperjuangkan perubahan

desa dengan memuliakan desa, melalui jalur pemikiran, gerakan

dan kebijakan. Kami melakukan kerja pengetahuan, kerja gerakan,

dan kerja politik melahirkan UU Desa, sekaligus juga memberikan

sentuhan untuk perubahan desa pada level akar-rumput.

Tahun 2020 menandai 55 tahun “APMD” sekaligus menyaksikan

perjalanan 20 tahun kami melakukan putar haluan menjadi

“LSM Besar” yang merajut tridama (pengajaran, penelitian, dan

pengabdian) dengan trinitas (pemikiran, gerakan, dan kebijakan).

Dua momen berbeda, lima puluh lima tahun dan dua puluh tahun,

yang telah kami lalui, sekaligus hari-hari ke depan, merupakan

kesempatan bermakna bagi kami untuk terus-menerus becoming

“kampus ber-LSM, LSM berkampus” melalui proses refleksi

55 TAHUN STPMD “APMD”

xi


dan aksi maupun falsifikasi dan akumulasi. Di tengah perayaan

55 tahun “APMD”, kami menghadirkan buku “Mengabdi dan

Melayani Desa”, sebagai sebuah serpihan dari tridarma dan

trinitas yang telah kami jalani selama dua puluh tahun. Kami

menulis dengan gotong-royong. Para dosen senior, para alumni,

mahasiswa, dan para sahabat, bertindak sebagai narasumber

yang bertutur tentang gagasan dan pengalaman dalam kiprah

pengabdian kami. Para dosen muda, dipimpin oleh Fatih Gama

Abisono Nasution, berjibaku menulis bab demi bab buku ini.

Sebelas bab buku ini mencerminkan gagasan-pengalaman trinitas

“pemikiran, gerakan, dan kebijakan” yang luas, beragam, dan

bermakna, yang paling tidak, berguna untuk memperkaya tridama

kami dalam memuliakan desa dan mempersatukan Indonesia.

xii

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR EDITOR ......................................................... iii

PROLOG “APMD” ADALAH “LSM BESAR” .............................. vii

DAFTAR ISI ....................................................................................... xiii

MELAHIRKAN DAN MENGAWAL UU DESA

Oleh: Yonatan Hans Luter Lopo .........................................................1

ADVOKASI DAN ASISTENSI KEBIJAKAN

Oleh: Mohamad Firdaus ....................................................................17

MENJELAJAHI DESA MENGANGKAT

KHAZANAH LOKAL

Oleh: Irsasri ..........................................................................................33

KKN: BERGAUL, BELAJAR, BEKERJA DAN BERDESA

Oleh: Fatih Gama Abisono Nst .........................................................57

KEMITRAAN CSR UNTUK KEMAJUAN DESA

Oleh: Reiki Nauli Harahap ................................................................75

JARINGAN, GERAKAN & PEMBELAJARAN

BERDESA MULAI DARI PIKIRAN, PEMBELAJARAN,

JARINGAN DAN GERAKAN

Oleh: Siti Sumaryatiningsih ...............................................................91

55 TAHUN STPMD “APMD”

xiii


MENDAMPINGI BUMDESA,

MERAJUT KORPORASI RAKYAT

Oleh: Rema Marina ...........................................................................107

AKSI PEDULI DESA: MENGAMALKAN TRADISI

“MUDA BERDESA”

Oleh: Aulia Widya Sakina ...............................................................123

EDUKASI DAN MEMAMPUKAN DESA

Oleh: Hery Purnomo ........................................................................135

MENDAMPINGI SELEKSI PERANGKAT

DESA YANG BERMARTABAT

Oleh: Minardi.....................................................................................149

MENYIAPKAN KADER PERUBAHAN DESA

Oleh: Kanita Khoirun Nisa ..............................................................163

EPILOG

JALAN PANJANG MAHZAB TIMOHO:

MELAYANI DAN MENGABDI PADA DESA

Gregorius Sahdan..............................................................................177

BIOGRAFI PENULIS ........................................................................183

xiv

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 1

MELAHIRKAN DAN

MENGAWAL UU DESA 1

Oleh: Yonatan Hans Luter Lopo 2

Pembuka

“Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta,

Indonesia baru akan bercahaya karena lilin-lilin kecil di desa-desa”.

Begitulah ungkapan tersohor dari salah satu founding fathers

Republik Indonesia, Mohammad Hatta. Ungkapan tersebut bukan

sebatas jargon politik, melainkan mengandung spirit, cita-cita,

ideologi, serta visi dan misi masa depan Republik. Visi masa depan

tersebut dimaknai, diterjemahkan, dan dikerjakan oleh setiap rezim

politik yang pernah berkuasa dan diberi mandat untuk mengurus

desa dengan beragam cara berikut pilihan rute yang berbeda pula.

Musim berlalu, rezim berganti. Negara selalu mengatur desa,

tetapi selalu gagal mengurus desa. Akibatnya konkrit: kemiskinan,

ketimpangan, ketertinggalan, kelaparan, dan kebodohan serta

masih banyak label yang diberikan oleh para cerdik pandai untuk

menjelaskan situasi desa. Diagnosis para ahli tersebut belum

tentu benar, tetapi tidak berarti salah. Para pihak perlu menyadari

kenyataan yang ada di desa, sekaligus melampaui realitas desa,

dengan mempelopori gerakan pembaharuan desa, melalui ber-

1 Tulisan ini merupakan hasil diskusi dengan Dr. Sutoro Eko, M.Si., Ketua STPMD

“APMD” Yogyakarta, yang pernah menjadi Tenaga Ahli Kemendagri dan DPR RI dan

menjadi perancang UU Desa, serta Ir. Muhammad Barori, M.Si., dan Drs. Hastowiyono,

M.S. Keduanya memainkan fungsi backstop dengan menyediakan berbagai data yang

dibutuhkan oleh Sutoro Eko untuk dibawa ke Senayan.

2 Staf pengajar pada Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” sekaligus Peneliti pada

Research Centre for Politics and Government (PoLGov), FISIPOL UGM

55 TAHUN STPMD “APMD”

1


bagai rute, mulai dari, kerja ilmu pengetahuan yang bersifat

transformatif, kerja pengorganisasian masyarakat desa, hingga

kerja politik kebijakan, termasuk di dalamnya meperjuangkan UU

Desa. Persis di titik itulah, spirit, misi, semangat, dan positioning

STPMD “APMD” mengada secara kelembagaan.

Panggilan (vocation) untuk mempelopori gerakan pembaharuan

desa merupakan komitmen moral, etik, dan akademik

dari segenap sivitas akademika STPMD “APMD”. Panggilan

tersebut ditunaikan lewat serangkaian kerja keilmuan dan kerja

pengabdian masyarakat yang dihubungkan dengan perubahan

kebijakan baik di level lokal maupun nasional. Selain mempelopori

pembaharuan desa dalam bentuk riset dan advokasi kebijakan,

kampus juga turut serta mempromosikan sejumlah tokoh

pembaharu desa, melahirkan banyak kader, birokrat dan politisi

yang transformatif dan penuh dedikasi untuk memajukan desa di

seluruh penjuru tanah air.

Pada tahun 1999, tidak terlepas dari reformasi 1998, merupakan

tonggak penting bagi perubahan STPMD “APMD”

secara kelembagaan dalam memasuki babak baru aktivitas Tri

Dharma Perguruan Tinggi, termasuk pengabdian masyarakat.

Kebaruan tersebut ditandai dengan keterbukaan kampus secara

kelembagaan untuk membangun jaringan dan kerjasama dengan

multi stakeholder, seperti kelompok Non-Government Organization

(NGO), pemerintah daerah, pemerintah desa, dan berbagai

kelompok masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia. Selain

itu, aktivitas pengabdian masyarakat juga tidak lagi terisolasi dalam

berbagai bentuk kegiatan pengabdian yang bersifat konvensional,

seperti penyuluhan dan pelatihan. Kampus mulai terbuka dengan

berbagai bentuk aktvitas pengabdian yang berdimensi politik,

seperti advokasi kebijakan dan perundang-undangan. Sejak saat

itu, sampai pada akhirnya terbit UU No 6 Tahun 2014 tentang

Desa, merupakan sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan

tetapi penuh makna. Narasi berikut adalah true story kelahiran UU

2

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Desa, yang mana STPMD “APMD” turut serta membidani proses

kelahirannya.

Merajut UU Desa

Kelahiran UU No 22/1999 juga menjadi salah satu tonggak

penting bagi STPMD “APMD” dalam memulai wacana baru tentang

spirit demokrasi, otonomi, dan keberagaman desa di seluruh

Indonesia. Semenjak lahirnya UU 22/1999, para pegiat desa di

Yogyakarta menyambut baik UU tersebut, sembari membicarakan

isu otonomi dan demokratisasi desa. Pada bulan September 2001,

Sutoro Eko menghadiri sebuah forum yang bertempat di Hotel

Garuda Yogyakarta, yang dihadiri pula Prof. M. Ryaas Rasyid.

Pada pertemuan tersebut Ryaas Rasyid berujar bahwa sebenarnya

pada tahun 1999 pemerintah berkehendak untuk mengatur desa

secara terpisah dari pengaturan tentang pemerintahan daerah.

Tetapi karena debat yang panjang dan waktu yang terbatas, desa

diatur bersamaan dalam UU No. 22/1999 tentang pemerintahan

daerah. Paska forum tersebut, para pegiat desa di Yogyakarta terus

melakukan diskusi dan kajian serta mulai menggagas pengaturan

desa dalam UU tersendiri.

Pada bulan November 2002, terjadi perubahan kepemimpinan

di STPMD “APMD” yang mengantarkan Sutoro Eko menjadi Ketua

Sekolah Tinggi. Sutoro Eko mengusung semangat besar untuk

menjadikan kampus sebagai sumur pengetahuan tentang desa.

Komitmen tersebut dikerjakan lewat berbagai rute yang dipilih

sebagai cara mewujudkan pembaharuan desa yaitu melalui kerja

pengetahuan, gerakan sosial,, dan juga kerja politik kebijakan.

Dalam hal gerakan sosial, STPMD “APMD” membangun

kolaborasi dengan jejaring NGO, semisal Institute for Research and

Empowernment (IRE), Forum Pengembangan Pembaharuan Desa

(FPPD), Lapera Indonesia, dan lain sebagainya yang mengusung

visi dan semangat yang sama tentang desa. Diskusi, pembelajaran,

jaringan dan aksi para pegiat desa Yogyakarta ini terus bergulir.

55 TAHUN STPMD “APMD”

3


Pertemuan antara pegiat desa dengan para kepala desa, Badan

Perwakilan Desa, dan lain-lain sudah biasa dilakukan, termasuk

bertempat di Ruang Seminar STPMD “APMD”. 3 Ruang Seminar

menjadi melting pot, yang mana para pegiat desa dari berbagai

penjuru seringkali berjumpa dan mendiskusikan banyak gagasan

tentang pembaharuan desa. Berbagai gerakan yang terus dirajut

antara kampus, NGO, dan para aparat desa tersebut berlangsung

perlahan namun pasti. Pada tahun 2003 lahirlah Asosiasi Badan

Perwakilan Desa Seluruh Indonesia yang memperjuangkan

otonomi, demokrasi dan kesejahteraan desa, dengan UU tersendiri.

Pada saat yang sama, di banyak kabupaten telah lahir asosiasi desa

yang memperjuangkan kepentingan desa di hadapan negara.

Sementara itu, pada tahun 2005, STPMD “APMD” menerbitkan

dua (2) buku yang secara serius menjadi penanda dimulainya

gerakan pembaharuan desa melalui kerja akademik. Pertama

adalah sebuah buku bertitel Manifesto Pembaharuan Desa (Eko,

2005) dan yang kedua berjudul Transformasi ekonomi Politik desa

(Sahdan, 2005). Kedua karya ini secara substansial mengusung

tema Desa Membangun Indonesia. Jargon Desa Membangun Indonesia

merupakan abstraksi teoritik dan kristalisasi pengalaman

panjang komunitas STPMD “APMD” dalam bergaul, belajar,

bermasyarakat, dan berdesa. Konsep Desa Membangun merupakan

kontribusi pemikiran komunitas STPMD “APMD” yang berbeda

secara diametral dengan konsep Membangun Desa. Konsep Desa

Membangun menempatkan desa sebagai aktor utama dalam

perencanaan, pembiayaan, dan pelaksanaan pembangunan desa.

Sementara itu, konsep Membangun Desa menempatkan desa sebatas

sebagai lokasi proyek, yang mana desa hanya berperan sebagai

partisipan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, tetapi

kendali utamanya ada pada pemerintah supra desa, terutama

pemerintah daerah. Belakangan gagasan Desa membangun Indonesia

inilah yang menjadi jiwa, spirit, dan roh UU Desa. (Eko, 2014)

3 Saat ini Ruang Seminar berubah nama menjadi Ruang M. Soetopo

4

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Pada saat yang bersamaaan di tahun 2005, pemerintah dan

DPR RI, sepakat memecah UU No 32/2004, yang pelaksanaanya

baru seumur jagung, menjadi tiga (3) UU, yaitu UU tentang

Pemerintahan Daerah, UU tentang pemilihan Kepala Daerah, dan

UU tentang Desa. Momentum ini menjadi pintu masuk bagi STPMD

“APMD” untuk terus melakukan kajian akademis tentang RUU

Desa, secara khusus tentang kedudukan desa, serta secara intensif

mulai menjalin komunikasi dengan Ditjen PMD, Kementerian

Dalam Negeri. Pada awal tahun 2006, Kementerian Dalam Negeri

menyelenggarakan lokakarya di Jakarta yang membahas tentang

kewenangan desa, yang melibatkan para akademisi dari STPMD

“APMD”. Dari forum tersebutlah dibuat pemetaan tentang

kedudukan desa yang menjadi tiga (3) bagian yaitu desa sebagai

self-governing community, desa sebagai local state government, dan

desa sebagai local self-government (Eko, 2015) . Ketiga azas dan

kedudukan desa inilah yang menjadi discourse hangat di antara

para pegiat desa, dalam merumuskan UU Desa.

Sejak tahun 2006, pemerintah melalui Direktorat Jenderal

PMD Kementerian Dalam Negeri secara resmi mulai membahas

secara serius Rancangan Undang-Undang tentang Desa, yang

mana sivitas akademika STPMD “APMD” terlibat langsung dalam

proses perumusan UU Desa. Pada saat itu Ditjen PMD Kementerian

Dalam Negeri bekerjasama dengan Forum Pengembangan

Pembaharuan Desa (FPPD) yang merupakan forum gabungan

antara STPMD “APMD”, IRE Yogyakarta, Gita Pertiwi, dan lainlain,

serta melibatkan para pegiat desa seperti seperti Sutoro Eko

dan Widyo Hari Murdiyanto (STPMD “APMD”), Arie Sudjito,

Bambang Hudayana (IRE Yogyakarta), Haryo Habirona, Diah Y.

Suradiredja, dan Rossana Dewi, melakukan diskusi dan kajian

rutin, yang secara resmi mulai menyusun Naskah Akademik RUU

Desa pada bulan Januari 2007. Sutoro Eko secara resmi terlibat

langsung sebagai Tenaga Ahli Kementerian Dalam Negeri, yang

bertugas menyiapkan dan merumuskan UU Desa. Peluang dan

55 TAHUN STPMD “APMD”

5


kesempatan ini dimanfaatkan untuk menyerap banyak cerita

lokal saat berkunjung ke banyak daerah dan desa seperti di NTT

(Kabupaten Timor Tengah Selatan), Sulawesi Selatan, Kalimantan

Barat (Kabupaten Landak), Sulawesi Utara, NTB, Bali, Aceh, dan

masih banyak daerah yang lain.

Pengalaman berkunjung ke banyak daerah tersebut membuat

Sutoro Eko memiliki pandangan yang kaya dan luas tentang

desa-desa di Indonesia, dan mendorongnya untuk berusaha

menjembatani dunia teori dengan praktik sosial di desa, serta

dunia kebijakan di level negara dengan proses advokasi yang

dilakukan oleh kalangan kampus dan NGO. Pengalaman ini

menjadi ajang pemurnian gagasan tentang Desa membangun

Indonesia, yang belakangan dikristalisasi menjadi asas subsidiaritas

dalam rancangan RUU Desa. Asas Subsidiaritas tersebut kemudian

di-breakdown dalam UU Desa menjadi pasal tentang kewenangan

lokal berskala desa. Kewenangan lokal bersakala desa berarti

bahwa semua hal yang bisa diurus dan diselesaikan oleh desa, maka

kewenangan tersebut dimandatkan lewat UU untuk dituntaskan

di level desa.

Secara resmi Naskah Akademik UU Desa mulai disusun pada

tahun 2007. Dalam proses penyusunan Naskah Akademik, STPMD

“APMD” secara konsisten mengusung konsep Desa membangun

Indonesia, yang dikonkritkan dengan jargon “satu desa satu rencana,

dan satu anggaran”. Naskah Akademik tersebut didiskusikan

dengan multi pihak, baik pegiat maupun Asosiasi Desa, di banyak

kota dan pelosok, yang mana draf awalnya diselesaikan pada

bulan Agustus 2007, dan disusul dengan drafting RUU Desa. Sejak

saat itu pembahasan RUU Desa di tubuh pemerintah berlangsung

alot dan panjang.

Debat substantif mengenai RUU Desa yang paling hangat

adalah terkait kedudukan desa. Pada saat itu, debat mengenai

kedudukan desa dipetakan menjadi dua (2) aliran besar yaitu

aliran realis, dan formalis. Kelompok beraliran realis memandang

6

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


desa dari kacamata empirik, yaitu apa yang sedang terjadi di

desa, dan bagaimana seharusnya negara bersikap atau berposisi

terhadap desa. Sementara itu kelompok beraliran formalis terus

mencari formula kedudukan desa dengan menafsirkan konstitusi,

serta menyesuaikan kedudukan desa sesuai kaidah hukum tata

negara. Diskusi dan debat mengenai kedudukan desa ini berjalan

alot bahkan panas. Akan tetapi, para ahli sepakat untuk melampaui

(beyond) aspek legal-formal tersebut dengan melihat berbagai

aspek-aspek lain seperti ekonomi politik, serta mempertegas posisi

negara terhadap desa.

Semua upaya untuk melampaui urusan legal-formal tersebut

tidak terlepas dari inspirasi dan pengalaman yang diperoleh dari

Selo Soemardjan, Bapak Sosiologi Indonesia, yang merupakan salah

satu guru dan pelaku sejarah yang ikut memperjuangkan otonomi

desa di Indonesia. Selo Soemardjan muda menyiapkan rancangan

otonomi dan demokrasi desa di Daerah Istimewa Yogyakarta,

antara lain menelorkan kebijakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX

yang melakukan penggabungan (blengketan) sejumlah desa menjadi

satu desa yang lebih besar, sekaligus juga mendistribusikan tanah

Sultan ground menjadi tanah milik desa. Pendistribusian tanah

tersebut yakni titi soro untuk orang miskin, paguron untuk gaji para

guru, pangonan untuk gembala ternak, sengkeran untuk pelestarian

tanaman langka, segahan untuk jamuan tamu dari luar yang datang

ke desa, dan palungguh atau bengkok untuk penghasilan kepala desa

dan pamong desa (Eko, 2015). Penggabungan desa, redistribusi aset

dan mandat merupakan tiga isu penting yang pernah ditorehkan

oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk memuliakan dan

memperkuat desa.

Namun kisah sukses DIY tidak terjadi secara nasional. Pada

tahun 1956, Selo Soemarjan berujar bahwa sikap politik pemerintah

terhadap desa tidak jelas. Pada tahun 1979, ketika lahir UU No.

5/1979 tentang Pemerintahan Desa, Selo juga menyampaikan

kekecewaannya karena substansi UU itu jauh dari spirit otonomi

55 TAHUN STPMD “APMD”

7


desa dan demokrasi desa. Pengalaman, spirit, dan inspirasi dari Selo

Soemarjan ini juga sangat berpengaruh dalam proses penyusunan

UU Desa, terutama untuk mempertegas sikap negara terhadap

desa. Dalam konstruksi UU No 6 2014, terdapat pengakuan dan

penghormatan negara kepada desa, negara memberikan mandat

kewenangan dan pembangunan kepada desa, serta redistribusi

sumberdaya negara kepada desa.

Akan tetapi, upaya untuk menghasilkan UU yang mempertegas

sikap negara terhadap desa, yang mengandung spirit

otonomi, serta pengakuan dan penghormatan kepada desa,

tidak lah mudah. Salah satu tantangan yang dihadapi misalnya

masifnya program PNPM Mandiri yang menjadikan desa sebagai

lokasi proyek, sepanjang tahun 2008 dan 2009. Program PNPM

diniatkan untuk tujuan yang baik, akan tetapi mendapatkan

kritik dan perlawanan dari berbagai pihak karena prosesnya yang

mulai dari perencanaan sampai eksekusi kebijakan mengeksklusi

peran institusi desa. Hal ini menjadi diskursus hangat di kalangan

pegiat desa yang memperjuangkan otonomi desa, karena program

PNPM dianggap tidak masuk dalam sistem desa. Program PNPM

masuk ke desa, melalui desa, tetapi tanpa desa. Oleh karena itu

para pegiat desa yang mengusung semangat otonomi melakukan

‘perlawanan’ dengan terus menerus menggaungkan jargon “satu

desa, satu rencana, satu anggaran”.

Pada tahun 2009, para pegiat desa menambah haluan baru

dalam upaya menghasilkan UU Desa, yang tidak hanya melalui

rute gerakan sosial dan kajian akademik, tetapi juga masuk

ke ranah politik. Para pegiat desa sadar bahwa isu desa perlu

“dipolitisisasi” di Senayan. Oleh karenanya jalur politik ditempuh

dengan mendukung caleg Budiman Sudjatmiko (PDI Perjuangan)

di Dapil Cilacap-Banyumas, yang mengusung RUU Desa sebagai

isu kampanye. Setelah masuk ke Senayan, Budiman Sudjatmiko

menjadi jangkar politik bagi para pegiat desa, misalnya dengan

mempertemukan para pegiat desa dengan Komisi II baik secara

8

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


institusional dan informal. Sejak tahun 2010, para pegiat desa

diberikan ruang bertemu dengan banyak tokoh-tokoh di Komisi

II DPR RI seperti Ganjar Pranowo, Nurul Arifin, dan lain-lain.

Budiman Sudjatmiko merupakan politisi yang punya peran untuk

memindahkan isu desa dari pinggiran ke pusat kekuasaan di

Senayan.

Perjuangan RUU Desa bertambah kencang setelah lahir

forum Persatuan Aparat Desa (PARADE) Nusantara pada tahun

2009, di bawah pimpinan Sudir Santosa, dan Budiman Sudjatmiko

yang juga berperan sebagai pembinanya. Parade Nusantara

terus menerus melakukan desakan kepada Pemerintah agar

menyelesaikan pembahasan RUU Desa. Desakan paling seru terjadi

di antara bulan September hingga Desember 2011, yang kemudian

mendorong Presiden SBY mengeluarkan amanat Presiden tentang

RUU Desa pada bulan Januari 2012. Setelah itu DPR RI membentuk

Pansus RUU Desa yang dipimpin oleh Ketua Akhmad Muqowam

(PPP), serta wakil ketua Budiman Sudjatmiko (PDI Perjuangan),

Khatibul Umam Wiranu (Demokrat), dan Ibnu Mundzir (Golkar).

Ketua Pansus Akhmad Muqowam begitu piawai, hingga sanggup

melakukan konsolidasi yang solid terhadap 30 anggota Pansus

RUU Desa. Mereka semua bersepakat bahwa RUU Desa harus

ditempuh dengan cara menanggalkan politik kepartaian, sembari

mengutamakan politik kenegaraan dan politik kerakyatan.

Sepanjang tahun 2012, Pansus menggelar Rapat Dengar

Pendapat Umum (RDPU), serta melakukan studi banding dan

kunjungan lapangan. Pada periode ini STPMD “APMD” menjadi

mitra Pansus yang diundang terlibat dalam RDPU, yang pada

saat itu diwakili oleh Habib Muhsin dan Hastowiyono, yang tetap

konsisten dengan semangat Desa Membangun Indonesia. Sementara

Sutoro Eko secara resmi menjadi Tenaga Ahli DPR RI untuk

menyusun UU Desa. Sutoro Eko berkesempatan berkunjung ke

banyak tempat dan daerah, untuk melihat desa dari dekat. Hal ini

semakin memperkaya bahan dan data dalam merancang UU Desa,

55 TAHUN STPMD “APMD”

9


terutama mendialogkan dunia teori dan konsep dengan dunia

empirik.

Sementara itu, Pansus RUU Desa juga melakukan studi

banding, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Misalnya

Pansus RUU Desa pernah melakukan studi banding ke Desa Huaxi

di China. Desa Huaxi adalah desa kaya raya yang diklaim sebagai

desa terbaik di dunia, yang merupakan hasil penggabungan

sejumlah desa, yang semula hanya 3 Km persegi menjadi 32 Km

persegi (seluas wilayah Kota Yogyakarta). Pansus RUU Desa juga

melakukan kunjungan lapangan dalam negeri, yang difasilitasi

oleh para pegiat desa. Beberapa pegiat desa yang terlibat seperti

Sutoro Eko, Arie Sudjito Abdur Rozaki, Sunazi Zamroni, Titok

Hariyanto, Farid Hadi, bersama Prof Nurdin Abdullah yang saat

itu menjabat sebagai Bupati Bantaeng. Salah satu pertemuan antara

pimpinan Pansus dengan para pelaku dan pegiat desa dalam acara

Festival Kemandirian Desa, bertempat di Desa Rappoa, Bantaeng,

awal November 2012.

Pada awal tahun 2013, Pemerintah dan DPR RI membentuk

panitia kerja (Panja) yang terus melakukan rapat kerja untuk

membahas UU Desa. Saat itu Sutoro Eko sudah menjadi Tenaga

Ahli DPR RI, bersama dengan Yando Zakaria dan Suhirman, serta

Bito Wakantosa yang merupakan perwakilan pemerintah. Mereka

menjalin kolaborasi dan kerjasama yang apik untuk membahasa

UU Desa bersama dengan Akhmad Muqowam dan Budiman

Sudjatmiko (DPR RI), serta dari luar arena mereka dibantu oleh

Arie Sudjito dan kawan-kawan.

Bahkan Budiman Sudjatmiko pernah berceloteh soal kolaborasi

mereka yang seperti kesebelasan sepakbola: “Yando Zakaria

itu seperti kiper, Sutoro Eko itu playmaker, Akhmad Muqowam

itu Kapten, Budiman ibarat striker, dan Arie Sudjito ibarat official

di pinggir lapangan”. Posisi sebagai Tenaga Ahli DPR RI ini

dimaksimalkan oleh Sutoro Eko untuk mejadi policy transformer,

dengan menyerap aspirasi dan masukan dari banyak pihak

10

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


termasuk STPMD “APMD”, IRE, FPPD, Parade Nusantara, serta

berbagai asosiasi kepala desa dan perangkat desa. Pada saat itu juga

muncul Forum Pembaruan Desa (FPD), yang dipimpin oleh Agus

Tri Raharjo, Kepala Desa Gedangan, Kabupaten Sukoharjo, yang

terus-menerus melakukan kunjungan massal ke Senayan untuk

mendesak pemerintah dan Pansus untuk segera mengesahkan

RUU Desa.

Ada beberapa isu kunci yang menjadi pokok pembahasan

yang hangat, yaitu azas dan kedudukan desa, azas demokrasi

dalam UU Desa, BUMDesa, dan terutama adalah dana desa. Dalam

pembahasan RUU Desa, Dana Desa (DD) memang yang paling

panjang dan seru, serta mengundang pro dan kontra. DPR pernah

meminta kepada pemerintah tentang data mikro jumlah uang

negara yang masuk ke desa. Tetapi pemerintah (Bappenas dan

Kementerian Keuangan) tidak sanggup menyediakan data yang

dibutuhkan. Oleh karena itu Ganjar Pranowo meminta Sutoro Eko,

dalam kapasitas sebagai tenaga ahli DPR RI, untuk mengumpulkan

data mikro jumlah uang yang masuk ke desa.

Sutoro Eko bersama tim STPMD “APMD”, yakni M. Barori dan

Hastowiyono beserta jaringan bergerak melakukan pengumpulan

data dengan survei. Peran M. Barori yakni menggerakkan

jaringan kerjasama STPMD “APMD” di berbagai daerah untuk

mengumpulkan data Sedangkan Hastowiyono dengan tekun

dan sukarela melakukan entry data survei sekaligus menyajikan

peta dan analisis tentang data uang masuk ke desa. Berdasarkan

basis data tahun 2011, survei menunjukkan bahwa rata-rata desa

menerima uang sebesar 1,040 M pe tahun, tentu dengan sumber

yang bermacam-macam, dan 76% di antaranya dari pemerintah

pusat. Hasil pekerjaan ini dibawa oleh Sutoro Eko ke senayan, yang

secara resmi digunakan oleh Pansus sebagai basis pembahasan

keuangan desa.

Pembicaraan tentang dana desa memang dinamis. Ada

ang gota Pansus yang hanya bicara “satu desa, satu milyar”.

55 TAHUN STPMD “APMD”

11


Budiman Sudjatmiko selalu bicara soal “kombinasi cash transfer

dan demokrasi lokal akan memperbanyak kelas menengah desa”.

Pihak Kementerian Keuangan dan Bappenas selalu keberatan

dengan dana desa. Pada tanggal 30 September 2013, terjadi diskusi

yang menarik di ruang meeting Ketua DPR RI. Dalam pertemuan

itu hadir 9 anggota Pansus/Panja, Menteri Keuangan, Menteri

Dalam Negeri, pejabat Bappenas, dan rapat dipimpin oleh Ketua

DPR Marzuki Alie (Demokrat).

Kemenkeu dan Bappenas keberatan dengan dana desa.

Menteri Dalam Negeri dan Ketua Akhmad Muqowam bermain

cantik untuk meng-goal-kan Dana Desa. Mendagri Gamawan Fauzi

berujar: “Saya setuju dana desa, asalkan satu pintu, tidak ada lagi

bantuan langsung ke masyarakat”. Ketua DPR dengan sangat

tegas “marah” pada menteri yang menolak dana desa, sembari

mengatakan bahwa “kalau untuk rakyat kita harus wujudkan,

Presiden SBY sudah setuju”. Sutoro Eko Bersama Yando Zakaria

dan Suhirman yang menyaksikan langsung pertemuan itu,

memandang bahwa pertemuan itu adalah keputusan politik yang

cantik dan tegas. Selesai rapat, Sutoro Eko mengacungkan dua

jempol dan pujian kepada Ketua DPR RI.

Hari-hari berikutnya yang masih panjang adalah mendiskusikan

formula dana desa. Formula ini memang susah

ditemukan. Para tenaga ahli (Sutoro Eko, dkk) melakukan exersice

sejumlah formula tetapi belum disepakati. Setelah melewati

proses diskusi dan perdebatan yang panjang, maka pada tanggal

12 malam hingga 13 Desember 2013 pagi, Rapat kerja Mendagri

bersama Pansus sungguh bersejarah. Dari berbagai gagasan yang

diperdebatkan, muncul usulan rumusan dari Dr. A.W Thalib (PPP),

sebagai berikut: “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya

langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan

di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap. Usulan

ini diterima oleh sidang dan dijadikan penjelasan Pasal 72 ayat

(2) tentang dana desa. Pertemuan itu juga menyepakati untuk

12

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


menyudahi pembahasan RUU Desa dan 18 Desember 2013 untuk

Sidang Paripurna.

Alhamdulillah, pada 18 Desember 2013, Sidang Paripurna

DPR RI yang dipimpin oleh Priyo Budi Santosa, menetapkan

UU Desa. Pada sidang ini, FPD pimpinan Agus Tri Raharjo

mengerahkan sekitar 3000 pamong desa. Sebagian besar di Fraksi

balkon, sebagian besar di jalan depan gedung DPR RI. Mereka

sujud syukur begitu Sidang Paripurna menetapkan UU Desa, dan

kemudian disahkan oleh Presiden SBY menjadi UU No. 6/2014

pada 15 Januari 2014.

UU Desa disambut dengan sukacita dan dirayakan di berbagai

tempat, dengan beragam acara atau kegiatan. Di Kabupaten

Suko harjo, ada syukuran yang besar pada bulan Januari 2014

yang menghadirkan Akhmad Muqowam, Budiman Sudjatmiko,

dan lain-lain. Hari-hari berikutnya, UU Desa juga dirayakan di

berbagai tempat seperti Magelang, bahkan di luar Jawa seperti

Sulawesi Selatan, Selawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan

lain sebagainya.

Memberdayakan Masyarakat, Memampukan Desa

UU Desa disambut dengan banyak pujian sekaligus kritik.

Pujian datang dari banyak pihak, terutama dari para pemerhati

desa yang sejak lama menginginkan otonomi desa. Para aparat

dan perangkat desa menggelar syukuran di banyak daerah

untuk menyambut UU Desa. Pada saat yang sama, kritik datang

dari para ahli dan teknokrat yang meragukan kemampuan desa

dalam mengelola dana sekitar 1 Milyar per tahun. Ada pula yang

mengkritik bahwa dana desa hanya memperkaya segelintir orang,

terutama aparat desa dan para konsultan yang menjadikan dana

desa sebagai proyek yang menguntungkan.

Jika pemerintah memberikan power, maka kampus melakukan

empowernment. Negara memberikan power kepada desa lewat

rekognisi, subsidiaritas, dan redistribusi anggaran kepada desa.

55 TAHUN STPMD “APMD”

13


Sementara itu, sebagai institusi yang ikut membidani kelahiran UU

Desa, STPMD “APMD” melakuan empowering kepada masyarakat

dan pemerintah desa dalam kerangka memampukan desa (to

give ability). Agar Desa siap dan sanggup menjawab harapan dan

tan tangan yang dimandatkan oleh UU Desa, yakni pemberian

kewenangan lokal bersakal desa. Berbagai aktivitas yang bertujuan

memberdayakan (empowering) dan memampukan desa (to give ability)

tersebut dilakukan lewat berbagai cara, misalnya sebagai berikut.

Pertama, STPMD “APMD” secara aktif terus melakukan

sosialisasi, training, dan advokasi kepada para perangkat desa,

para kader pendamping desa, dan masyarakat terkait substansi

UU Desa. Para pihak tersebut didorong untuk memaksimalkan

peran, fungsi, dan kewenangan yang dimandatkan oleh UU

Desa. Misalnya lewat fasilitasi rekrutmen perangkat desa,

pelatihan kader pendamping desa, Bimtek RPJMDes dan RKPDes,

pelatihan, pemberdayaan, dan pendampingan BUMDesa dan

lain sebagainya. Semua aktivitas ini bertujuan memberdayakan

masyarakat sekaligus memampukan aparat desa dalam mengurus

dan mengelola desa. Upaya untuk mentransformasi (transforming)

perubahan sesuai mandat UU Desa tersebut tidak hanya dilakukan

lewat intervensi terhadap masyarakat desa, tetapi juga terhadap

aparat, perangkat, maupun pemerintah supra desa.

Kedua, STPMD “APMD” secara konsisten mengawal implementasi

UU Desa, misalnya dengan mendorong mahasiswa dan

semua civitas akademika untuk memperbanyak kajian, penelitian,

dan pengabdian kepada masyarakat desa, khususnya terkait

implementasi UU Desa. Para mahasiswa dididik dan dipersiapkan

untuk menjadi kader penggerak di desanya kelak. Para dosen

didorong untuk terlibat aktif melakukan penelitian dan pengabdian

lewat berbagai skema Kerjasama, baik dengan pemerintah desa,

pemerintah daerah, maupun dengan pihak swasta dan NGO, yang

memiliki semangat dan visi yang sama dengan STPMD “APMD”

dalam menggerakkan perubahan desa.

14

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Ketiga, STPMD “APMD” juga secara kritis melakukan evaluasi,

baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap berbagai

peraturan turunan dari UU Desa, yang justru banyak menghambat

dan mengerdilkan UU Desa. Dalam konteks ini, kampus baik

secara personal maupun kelembagaan menyampaikan kritik dan

masukan kepada pemerintah. Kritik dan masukan dialamatkan

terutama pada kementerian desa, kementerian keuangan, dan

kementerian dalam negeri. Kritik yang disampaikan terkait

mekanisme laporan pertanggungjawaban dana desa yang justru

memperberat dan menyita banyak waktu para aparat desa sehingga

lalai menjalankan program kerjanya.

Penutup

Sebagai bagian dari Tri Dharma Pendidikan Tinggi, maka

pengabdian kepada masyarakat, dalam bentuk keterlibatan

langsung dalam membidani kelahiran UU Desa yang diperankan

oleh STPMD “APMD” selama ini, merefleksikan beberapa hal.

Pertama, kampus memainkan peran menghubungkan (connecting)

berbagai pihak yang punya interest yang sama terhadap desa,

yaitu desa yang demokratis, berdaulat, mandiri, dan bermartabat.

Kampus STPMD ‘APMD” juga menjadi ruang perjumpaan (melting

pot) berbagai pihak seperti aparat dan perangkat desa, BPD,

masyarakat desa, pegiat NGO, dan pemerintah supra desa yang

berurusan langsung dengan desa.

Kedua, perjumpaan para pihak yang berkepentingan terhadap

otonomi dan demokratisasi desa tersebut selanjutnya

dirajut dengan narasi ilmiah, menjadi ilmu pengetahuan yang

amaliah bagi masyarakat desa. UU Desa dirajut (crafting) dengan

kacamata realisme, yang berangkat dari realitas empirik yang ada

di desa, sembari melampaui (beyond) kacamata legal-formal, serta

mempertegas posisi negara terhadap desa. Perjuangan merajut UU

Desa juga tidak hanya ditempuh dengan kajian akademis, tetapi

juga lewat advokasi, gerakan sosial, dan politik kebijakan.

55 TAHUN STPMD “APMD”

15


Ketiga, segala upaya dan komitmen pengabdian kepada

desa melalui perjuangan UU Desa merupakan bagian dari ikhtiar

STPMD “APMD’ dalam rangka proses transformasi (transforming)

kehidupan masyarakat desa secara utuh, menyeluruh, untuk

kehidupan desa yang lebih bermartabat, berdaulat, mandiri, dan

demokratis. Dalam proses ini STPMD “APMD” secara konsisten

dan teguh memperjuangkan banyak gagasan-gagasan kunci yang

menjadi ruh UU Desa. Antara lain misalnya spirit desa membangun

Indonesia yang menjadi roh dari UU Desa. Gagasan pokok

lainnya yang berhasil dipromosikan yaitu azas subsidiaritas,

yang merupakan kristalisasi dari pengalaman panjang komunitas

STPMD “APMD” dalam belajar, bergaul, bermasyarakat, dan

berdesa. Azas subsidiaritas inilah yang kemudian diterjemahkan

dalam pasal UU Desa mengenai kewenangan lokal berskala desa.

Pada akhirnya, segala upaya tersebut di atas adalah bagian

dari ikhtiar serta komitmen moral, akademik, dan etik dari STPMD

“APMD” untuk memuliakan desa-desa di seluruh Indonesia

Daftar Pustaka

Eko, S. (ed). (2005). Manifesto pembaharuan Desa. Yogyakarta: APMD

Press.

Eko, S. 2014. Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: Forum

Pengmbangan Pembaharuan Desa.

Eko, S. (2015). Desa Baru Negara Lama. Yogyakarta: APMD Press.

Eko, S. (2015). Regulasi Baru, Desa Baru. Jakarta: Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI.

Sahdan, Gregorius. (ed). (2005). Transformasi Ekonomi politik Desa.

Yogyakarta: APMD Press.

16

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 2

ADVOKASI DAN

ASISTENSI KEBIJAKAN

Oleh: Mohamad Firdaus 4

Abdi Yang Abadi

Sejak Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

Yogyakarta berdiri pada 55 tahun silam, para sivitas akademika

terus berupaya memberikan pengabdian kepada masyarakat

di pedesaan terutama dalam advokasi dan asistensi kebijakankebijakan

di tingkat kabupaten dan desa. Dalam kaitannya dengan

pengabdian, maka pihak-pihak yang bersangkutan terutama dari

sivitas akademika APMD sejatinya bekerja setulus hati untuk

mencapai kebaikan bersama. Pelatihan pembuatan Peraturan

desa (Perdes), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

(RPJMDes), upaya optimalisasi potensi desa serta pendidikan dan

pelatihan para perangkat desa sudah dilakukan dari tahun ke tahun

sampai dengan tulisan ini dibuat dan diharapkan terus berlanjut.

Pengabdian dapat diartikan sebagai langkah untuk memberikan

empowerment untuk membuat pemerintah desa dan masyarakat

desa bisa lebih mandiri. STPMD “APMD” pada tahun 1980

sangat terkenal sebagai sekolah calon pegawai negeri, hal tersebut

dapat dilihat dari banyaknya lulusan APMD yang menjadi PNS

di daerah Banjarnegara, Wonosobo, Purworejo, dan Temanggung.

4 Staf Pengajar Prodi Ilmu Pemerintahan, Penulis memberikan apresiasi sebesarbesarnya

dan ucapan terima kasih kepada nara sumber yang telah meluangkan

waktunya: Dr. Sutoro Eko Yunanto, Dr. Widodo Triputro, Ir. Muhammad Barori, M.Si,

Drs. Hastowiyono, M.Si.

55 TAHUN STPMD “APMD”

17


Mahasiswa yang ditanya kenapa bersekolah di APMD pasti

jawaban nya ingin jadi PNS. Jawaban tersebut tidaklah salah

karena pasti semua manusia ingin mendapatkan kehidupan dan

penghidupan yang lebih baik lagi, sehingga menurut mereka PNS

adalah jawaban terbaik. Namun sebelum menjadi kampus yang

mencetak banyak PNS, pengabdian APMD ke desa sudah jauh

lebih dulu dikenal oleh banyak orang. Salah satu jurusan yang

betul-betul concern terhadap desa adalah prodi Pembangunan

Masyarakat Desa (PMD), dan sampai saat ini prodi tersebut tetap

eksis dalam melakukan pengabdian ke desa. Bersama prodi lain

seperti Ilmu Pemerintahan, Ilmu Komunikasi, Ilmu Pembangunan

Sosial, PMD dapat dikatakan cukup banyak membawa perubahan

kepada desa. Pengabdian yang dilakukan STPMD “APMD”

Yogyakarta yang tiada henti salah satunya meningkatkan kapasitas

seperti advokasi dan asistensi sebuah kebijakan.

Kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan pemerintah untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever govenments

choose to do or not to do) (Thomas Dye:1972). Meskipun kebijakan

dapat diartikan pemerintah tidak melakukan suatu tindakan,

namun dalam hal pengabdian ini kebijakan diartikan dengan

upaya pembuatan sebuah kebijakan publik yang tertuang dalam

naskah dan nantinya akan disahkan oleh pemerintah daerah

atau pemerintah desa. Adapun Anderson et. all (1984) mencoba

menjelaskan ciri dari kebijakan: 1) Public Policy is purposive, Goaloriented

behaviour rather than random or chace behaviour. Setiap

Kebijakan harus ada tujuannya. Artinya, pembuatan suatu

kebijakan tidak boleh sekadar asal buat atau karena kebetulan

ada kesempatan membuatnya. Tanpa ada tujuan tidak perlu

ada kebijakan. 2) public policy consists of course of action rather

than separate, discrete decision, or action performed by government

official. Artinya suatu kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah

dari kebijakan yang lain. Namun, ia berkaitan dengan berbagai

kebijakan dalam masyarakat dan berorientasi pada implementasi,

18

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


interpretasi, dan penegakan hukum. 3) policy is what government do,

not what they say will do or what thei intend to do. Kebijakan adalah

apa yang dilakukan oleh pemerintah, bukan apa yang masih ingin

atau dikehendaki untuk dilakukan pemerintah. 4) public policy may

either negative or positive. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau

melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan

atau menganjurkan. 5) public policy is based on law and is authoritative.

Kebijaksanaan harus berdasarkan hukum, sehingga mempunyai

kewenangan untuk memaksa masyarakat untuk mengikutinya.

Berbicara tentang APMD maka juga akan berbicara tentang

desa, penulis mencoba menjelaskan fungsi desa bagi masyarakat

menurut Buku Persembahan 40 tahun STPMD “APMD” Yogyakarta.

Sutoro Eko et, all (2005) menjelaskan bahwa jauh sebelum terjadi

negaranisasi dan kapitalisasi, desa merupakan sebuah entitas

yang berfungsi sebagai basis penghidupan dalam kerangka self

governing community. Pada awalnya kesatuan masyarakat lokal/

adat (desa, nagari, binua, kampung, gampong, negeri, huta, sosor,

marga, lembang, kuwu, pemusungan, yo, paraingu, lumban, dan

lain-lain) yang tersebar di penjuru nusantara mempunyai karakter

yang sama. Desa, atau nama lain adalah kesatuan masyarakat yang

tergabung berdasarkan garis keturunan (genealogi) yang mendiami

wilayah (teritori) tertentu. Orang tidak bisa mengukur berapa luas

wilayah yang mereka diami, tetapi selalu ada kearifan lokal untuk

mengukur batas-batas wilayah berdasarkan prinsip sejauh mata

memandang atau sejauh batu dilempar. Semuanya merupakan

organisasi masyarakat lokal yang mempunyai kepemerintahan atau

kepengurusan sendiri (self governing community) yang berdasarkan

pada adat istiadat setempat. Adat mengandung jati diri, norma,

nilai dan tata aturan untuk mengelola tanah, sumber daya alam,

warga maupun hubungan-hubungan sosial (pernikahan, kematian,

sengketa, pembagian tanah, dan sebagainya). Setiap masyarakat

adat mempunyai tata cara adat untuk mengelola (merawat

dan membagi) tanah (kekayaan) secara komunal (bersama)

55 TAHUN STPMD “APMD”

19


dengan prinsip kesejahteraan (welfare society), keseimbangan dan

berkelanjutan. Pemimpin adat ditentukan secara turun-temurun

melalui jalan musyawarah tanpa pergolakan keuasaan (politik)

di dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Pemimpin adat atau

ketua desa bukanlah jabatan yang sarat dengan kekuasaan dan

kekayaan, tetapi posisi kehormatan yang sarat tanggung jawab

untuk mengurus dan melindungi tanah, penduduk, keamanan,

hubungan-hubungan sosial dan sebagainya.

Kondisi tersebut yang menjadi cita-cita oleh banyak kalangan

baik akademisi, praktisi dan pegiat desa agar supaya desa kembali

lagi ke marwah awal di mana desa itu mandiri dan memiliki

penghidupan yang berkelanjutan bagi masyarakatnya. Desa bukan

lagi menjadi sebuah objek seperti sekarang ini. Desa menjadi entitas

di mana kehidupan masyarakat bisa damai, tentram dan sejahtera

sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat desa bukan

konsep pembangunan yang diinginkan oleh negara. Memang pada

masa sekarang ini pembangunan bisa dikatakan sangat berperan

dalam memberikan pelayanan publik bagi kehidupan masyarakat,

namun di sisi lain desa juga harus menjadi aktor yang bisa

mengelola dirinya sendiri dan bukan hanya menjadi boneka dari

negara. Sehingga upaya yang harus dilakukan adalah to give power

and to give abillity, desa harus diberikan kekuatan dan dimampukan

sehingga bisa berdaya dan mandiri. Upaya to give power and to

give ability diterjemahkan oleh para akademisi, pegiat desa dan

mendapat dukungan dari pemerintah melalui Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Berawal dari berdirinya STPMD “APMD” yang memiliki

fokus untuk memuliakan masyarakat desa, lalu banyak akademisi

dan aktivis yang juga lambat laun peduli dengan desa. Pengabdian

abadi yang dilakukan oleh kampus tercinta kepada desa memang

sudah semenjak berdirinya APMD. Desa selalu dibimbing,

diberikan arahan, disupport agar lebih berdaya dan dibimbing

menjadi desa yang mandiri. Puncaknya adalah saat lahirnya UU

20

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


desa, ada sekitar 3 kali pembahasan terkait masa depan masyarakat

desa dilakukan di kampus tercinta. Sehingga bisa dikatakan bahwa

APMD adalah salah satu lembaga yang memprakarsai lahirnya UU

tersebut. Dan APMD juga menjadi inisiator terkait besaran Dana

Desa, di mana Hastowiyono bersama dengan tim mengumpulkan

data terkait uang yang masuk ke desa dari beberapa kabupaten

sehingga bisa ketemu kira-kira besaran uang tersebut adalah

sekitar 1,041 miliar rupiah. Namun perjuangan tidak hanya sampai

disitu, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun

2014, APMD harus tetap selalu mengawal implementasinya agar

cita-cita yang diharapkan yaitu desa yang mandiri bisa terwujud.

Pengabdian kepada desa akan memerlukan waktu yang panjang,

penulis menyadari bahwa tantangan ke depan untuk memperkuat

desa memang tidak mudah. Oleh karena itu, perlu ada spirit yang

kuat untuk bersama-sama menjadikan tantangan tersebut sebagai

motivasi bersama. Arti pengabdian yang abadi adalah proses

panjang pengabdian yang dilakukan oleh APMD untuk selalu

memperkuat desa ditengah badai kapitalisasi dan negaranisasi.

Kebijakan Ke Arah Yang Lebih Baik

Proses sebuah kebijakan diawali dari Agenda Setting, Formulasi

Kebijakan, Implementasi Kebijakan, Monitoring Kebijakan

dan Evaluasi Kebijakan. Dalam setiap proses tersebut terdapat

dinamikanya masing-masing, dampak dari dinamika kebijakan

tersebut yang nantinya bisa menilai apakah kebijakan publik

dapat dikatakan sudah baik atau belum baik. Dalam proses

agenda setting dan formulasi kebijakan APMD telah berkontribusi

dalam pembuatan Naskah Akademik dan Raperda (Rancangan

Peraturan Daerah). Kerjasama dengan Kabupaten Demak tahun

2018, menyusun dan memperbaiki perda tentang pilkades, raperda

tentang perangkat desa, tentang aset desa. Bekerjasama dengan

Kabupaten Sleman tahun 2019 tentang peraturan perangkat desa

dan Peraturan Bupati tentang kewenangan desa. Gunungkidul

55 TAHUN STPMD “APMD”

21


tahun 2019, perda tentang Kapanewon dan Kalurahan. Kabupaten

Barito Timur tentang perangkat desa dan susunan organisasi dan

tatakerja pemerintah desa. Dalam pembuatan Peraturan Daerah

diawali dengan pembuatan naskah akademik dan Raperda, sedangkan

peraturan bupati langsung Raperbup dan tidak memerlukan

naskah akademik.

Pembuatan naskah akademik dan Raperda tentang perangkat

desa di Sleman pada tahun 2019 menjadi salah satu langkah

APMD dalam upaya transfer pengetahuan pemerintah daerah.

Pengabdian APMD yang diketuai oleh R. Widodo Tri Putro

sudah menyusun secara lengkap terkait naskah akademik dan

Raperda sebagai upaya untuk menerjemahkan apa yang telah

tertuang di UU desa terkait dengan perangkat desa. Namun,

dalam implementasinya terjadi tarik-menarik kepentingan antara

DPRD dan eksekutif sehingga banyak modifikasi terkait Raperda

yang sudah disusun. Kondisi tersebut menyebabkan Raperda

yang sudah disahkan menjadi perda sulit di implementasikan,

sehingga diubah lagi dikarenakan mereka memiliki kepentingan

sendiri. Advokasi sebuah kebijakan sudah dijalankan oleh APMD

dengan upaya seideal mungkin, namun seringkali para stakeholders

memiliki kepentingan sendiri dalam pembuatan sebuah kebijakan.

Dalam raperda yang dibuat pemerintah Kabupaten Sleman

melakukan intervensi terkait rekrutmen perangkat desa dengan

membuat musyawarah pemilihan perangkat desa, seperti

diketahui sejatinya rekrutmen perangkat desa adalah kewenangan

dari pemerintah desa. Seperti dijelaskan oleh Sahya Anggara

(2014), setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda

dan kepentingan yang berbeda tersebut membuat pihak-pihak

yang berkepentingan (stakeholders) bersuara dan ikut menitipkan

suaranya. Proses tawar-menawar (bargaining) antar aktor pembuat

kebijakan dengan menggunakan kebebasan dan kewenangannya,

sering disalahgunakan bukan untuk menyinkronkan kepentingan

rakyat, melainkan untuk kekuasaan (power). Seringkali perda yang

22

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


sarat dengan kepentingan juga memberikan dampak yang buruk

dalam implementasinya, dimana yang terjadi di Sleman atas dalih

ketidakpercayaan terhadap desa maka seleksi perangkat desa

pernah dipusatkan dikabupaten. Namun dalam pelaksanaannya,

soal-soal untuk ujian perangkat desa dibuat oleh kabupaten dan

prosedurnya juga terlalu rumit sehingga kesulitan dan banyak

masalah. Untuk itu akhirnya perda dirubah lagi dalam rangka

memudahkan rekrutmen perangkat desa yang diserahkan kepada

desa.

Kontribusi APMD sebagai lembaga pendidikan, penelitian

dan pengabdian bisa dikatakan cukup besar di beberapa daerah

dalam rangka pembuatan perda kabupaten. Proses agenda

setting dan formulasi kebijakan merupakan tahapan yang dimana

APMD memiliki andil besar, yaitu pembuatan naskah akademik

dan Raperda. Dalam pembuatan Raperda harus sesuai dengan

peraturan yang berlaku yaitu tidak boleh berseberangan dengan

peraturan di atasnya dan harus melihat kondisi di daerah. Kearifan

lokal adalah bagian yang penting dalam pembuatan naskah

akademik dan Raperda tersebut, karena kearifan lokal harus

berpegang terhadap nilai-nilai yang ada di masyarakat sekitar.

Seringkali memang karena ada kepentingan-kepentingan oleh

para stakeholders Raperda yang telah dibuat oleh tim dari APMD

dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun perda

yang baik adalah jika memang terdapat modifikasi karena ada

kepentingan dari berbagai pihak namun tidak merubah substansi

besarnya.

Kabupaten Demak juga melibatkan tim dari APMD dalam

rangka pembuatan Raperda tentang pilkades pada tahun 2018.

Ada konflik di kabupaten Demak antara desa dengan kabupaten,

selanjutnya desa mengadvokasikan kepentingannya ke DPRD

sehingga konflik beralih antara DPRD dengan eksekutif. Sumber

konflik tersebut adalah terkait dengan masa jabatan kepala desa,

yakni di salah satu pasal mengatakan syarat pencalonan kepala

55 TAHUN STPMD “APMD”

23


desa adalah belum pernah menjabat sampai 3 (tiga) kali masa

jabatan atau 18 tahun. Sementara UU desa hanya menyebut

untuk pencalonan kepala desa, di mana yang akan mencalonkan

diri belum pernah menjabat sampai dengan 3 kali masa jabatan.

Masa jabatan kepala desa sebelumnya ada yang menjabat selama

10 tahun, 8 tahun dan 6 tahun, hal tersebut yang menyebabkan

konflik berlangsung lama.

Selanjutnya tim APMD dimintai bantuan untuk menyelesaikan

konflik tertait perda pilkades tersebut. Pihak eksekutif dan

legislatif kemudian dipertemukan untuk membahas perda

tersebut dengan tim APMD selama kurang lebih 2 hari, dan konflik

tersebut dapat diselesaikan dengan mencoret 1 ayat, yaitu sesuai

dengan UU desa di mana tidak menyebutkan tahun namun hanya

3 kali masa jabatan. Selain masa jabatan yang menjadi sumber

konflik, persyaratan calon juga menjadi perdebatan yang panjang.

Seseorang yang berasal dari desa lain boleh mencalonkan diri di

desa tersebut menyebabkan perdebatan dikarenakan kedekatan

dengan masyarakat setempat dipertanyakan. Akhirnya dibuatkan

strategi yang tidak menyalahi UU desa yaitu warga luar desa boleh

mencalonkan sebagai kepala desa dengan syarat mendapatkan

dukungan dari masyarakat sebanyak 150 dukungan atau KTP. 5

Pembuatan naskah akademik tentang Kapanewon dan

Kalurahan merupakan kerjasama antara APMD dengan Kabupaten

Gunungkidul yang mendapatkan banyak pujian dan apresiasi

pemerintah DIY. Hal tersebut didasari oleh naskah akademik

yang sangat lengkap terutama berlandaskan unsur teoritis,

historis, empiris, yuridis, sosiologis dan filosofis. Dibandingkan

dengan 3 kabupaten lainnya di DIY yaitu Sleman, Bantul dan

Kulonprogo, Gunungkidul mendapatkan apresiasi dan lebih baik

Raperdanya dibanding kabupaten yang lain. Dalam pembuatan

sebuah kebijakan di tahap pembuatan Raperda memang harus

5 Upaya APMD dalam menyelesaikan sengketa perda tentang pilkades di Kabupaten

Demak (Problem Solver, R Widodo Tri Putro)

24

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


memiliki unsur teoritis yang kuat, teori tentang kelembagaan

(institusionalism), contohnya akan menjelaskan terkait dengan

hakikat lembaga, asal-muasal lembaga, fungi lembaga dan outcome

yang akan didapatkan. Selanjutnya aspek historis, unsur ini akan

lebih banyak berbicara terkait sejarah kelembagaan di wilayah

Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampai dengan unsur filosofis,

dimaknai sebagai pertimbangan atau alasan yang menggambarkan

bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan

hidup, kesadaran, cita hukum yang meliputi suasana kebatinan

serta falsafah bangsa Indonesia. APMD juga mendapatkan

kesempatan dalam bentuk pengabdian dan kerjasama dengan

Pemprov DIY pada tahun 2020 untuk membuat Rapergub, yang

kemudian telah disahkan menjadi Peraturan Gubernur tentang

Pedoman Pemerintahan Kalurahan. 6

Dalam tahap implementasi APMD juga pernah dimintai

bantuan untuk sosialisasi tupoksi dari BPD di Sleman, sehingga

pemerintah desa mendapatkan pengetahuan yang baru terkait

apa saja yang harus kerjakan oleh BPD. Untuk mengubah keadaan

mayarakat dan pemerintah desa menjadi lebih baik lagi APMD juga

pernah bekerjasama dengan PT Agincourt Resources Martabe Gold

Mine di Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2019. Kerjasama

tersebut dalam rangka mengimplementasikan UU desa dengan

pembuatan beberapa perbup, yaitu Perbup tentang Kewenangan

Desa, Perbup Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah

Desa, Perbup tentang Penghasilan Tetap Pemerintah Desa, Perbup

tentang Perangkat Desa, dan Perbup tentang BUMDes 7 .

6 DIY yang memiliki keistimewaan, yaitu kedudukan hukum berdasarkan sejarah dan

hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa, sehingga dapat membuat

pedoman pemerintahan sesuai dengan kewenangan istimewa (kerjasama pembuatan

rapergub dari tim APMD yakni Sutoro Eko Yunanto dan Fatih Gama Abisono Nst).

7 Pengalaman dan pengabdian Hastowiyono bersama tim dari Pusat Pengembangan

Kapasitas Aparatur Pemerintah Desa (PPK APD) STPMD “APMD” (Suharyanto dan

Muhammad Barori) dalam pengabdian didesa-desa lingkar tambang yang kerjasama

dengan PT Agincourt Resources di Kabupaten Tapanuli Selatan.

55 TAHUN STPMD “APMD”

25


Kebijakan Diterjemahkan Secara Teknis

Kebijakan Publik dapat dipahami dan dijelaskan dengan

pembuatan strata dalam sebuah kebijakan. Di mana ada kebijakan

yang besifat umum, bersifat pelaksana, dan operasional. Kebijakan

yang bersifat umum adalah kebijakan yang membahas hal-hal

umum dan substansial saja, sedangkan kebijakan pelaksana dan

operasional adalah kebijakan yang dibuat untuk menjelaskan dan

menjabarkan sampai dengan hal yang sangat teknis. Advokasi

dilakukan dalam rangka menjadi sebuah check and balances dari

sebuah kebijakan di setiap tahapan di dalam sebuah kebijakan.

Sebuah kebijakan juga perlu disoroti secara tajam dari bebagai aktor

dan lapisan masyarakat agar kebijakan tersebut bisa berjalan sesuai

dengan rute yang telah ditetapkan. Dalam rangka mengadvokasi

sebuah kebijakan, terdapat pengalaman yang berbeda dari setiap

aktor yang terlibat, di mana advokasi tersebut bisa berjalan sesuai

dengan harapan ataupun masih jauh dari harapan.

Sebagai salah satu upaya untuk menerjemahkan sebuah

kebijakan, APMD telah melakukan kerjasama dalam penyusunan

RPJMDes dengan Kabupaten Kutai Timur bersama PT Kaltim

Prima Coal. Sebelum UU desa dan masih menggunakan UU

32 tahun 2004 dan PP 72 tahun 2005 tentang desa. Pengalaman

Muhammad Barori selaku Akademisi dari APMD pada tahun 2011

yaitu menemani dan mendampingi desa di sekitar tambang terkait

proses Musyawarah Desa, untuk penyusunan RPJMDes yang

bersifat tematik sesuai dengan potensi desa tersebut. Di mana saat

ini kemandirian desa diterjemahkan sebagai sebuah upaya desa

yang mampu menghasilkan produk unggulan dan dari hasil itu

mampu menjamin penghidupan yang berkelanjutan (suistainable

livelihood) bagi warganya dalam tata kelola pemerintah desa yang

baik dan lokal demokrasi. 8 Dalam rangka mengembangkan visi

8 Kemandirian desa diterjemahkan sebagai substainable livelihood, pengalaman

Muhammad Barori di Kabupaten Kutai Timur bersama tim PPDB (Pusat Pembaharuan

Desa Berkelanjutan) yakni Sutoro Eko, Suharyanto, Hastowiyono dan Widyohari

Murdianto.

26

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


desa ke depan, Musyawarah desa dilakukan dan menjabarkan

RPJMDes dengan cara mengidentifikasi terlebih dahulu potensi

desa terutama yang berkaitan dengan potensi ekonomi. Upaya

mengidentifikasi potensi desa sehingga terbentuk sebuah visi yaitu

“Terwujudnya Desa Mandiri Rantau Makmur berbasis Agribisnis”.

Program-program yang tertuang di RPJMDes mengupayakan

pertanian desa maju dan mandiri, di mana kelompok tani

diperkuat, pengunakan kelompok masyarakat yang mengolah

bahan pangan, membuat kelompok ternak, dan pembukaan lahan

yang masih kosong untuk pertanian. Kemudian, RPJMDes tersebut

dipresentasikan di tingkat Kabupaten dengan maksud adanya

atensi atau perhatian dengan dinas-dinas terkait.

Dengan adanya rancangan RPJMDes tersebut, maka Dinas

Pertanian dan Dinas Kehutanan mengetahui terhadap apa yang

dibutuhkan masyarakat desa Rantau Makmur dan hal tersebut

merupakan aspirasi dari masyarakat sehingga model Buttom Up

yang dilakukan bukan model Top Down. Kebijakan yang bersifat

Buttom Up adalah kebijakan yang dibuat berdasarkan aspirasi

dari masyarakat. Kebijakan tersebut cenderung bisa menjadi

cara untuk memecahkan persoalan yang ada di masyarakat,

karena masyarakatlah yang mengetahui apa kebutuhannya, apa

keinginannya dan apa harapan ke depan terkait kehidupannya.

Dengan menggunakan kebijakan Buttom Up artinya semua pihak

sudah dilibatkan dari awal proses pembuatan kebijakan sampai

dengan implemantasi, sehingga semua pihak diharapkan dengan

sungguh-sungguh bekerja sesuai apa yang telah disepakati dan

ditetapkan. Berbeda dengan pendekatan Top Down, di mana

kebijakan dibuat dari atas sehingga masyarakat terutama di

desa hanya diberikan aturan untuk mengimplementasikannya.

Sedangkan kondisi dan keadaan di masyarakat sering berbeda

dengan kebijakan yang dibuat sehingga masyarakat tidak

mendapat dampak yang positif.

55 TAHUN STPMD “APMD”

27


Kerjasama yang dilakukan oleh APMD bersama PT Kaltim

Prima Coal di Kabupaten Kutai Timur tersebut merupakan sebuah

upaya untuk mengadvokasi kebijakan, namun karena memang

dari sisi monitoring kurang maksimal maka gerakan tersebut

mengalami pasang surut. Alumni APMD yang berada di lokasi

tersebut berkontribusi untuk memonitoring desa-desa tersebut,

dalam rangka mengawal dan mendampingi RPJMDes. Alumni

tersebut merupakan hasil kerjasama perusahaan tersebut yang

disekolahkan dari tahun 2005 sampai tahun 2009 yang tergabung

dalam kelompok Gapura. Namun juga tidak selalu monitoring

dari sebuah kebijakan bisa berjalan baik, hal tersebut dikarenakan

soliditas para stakeholders kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari

bagaimana pemerintah desa tersebut bekerja, apakah dari kepala

desa sentris atau sekretaris desa sentris, dan ini sangat berkaitan

dengan individu masing-masing. Banyak fenomena secara empiris

memperlihatkan peran kepala desa yang terlalu kuat sehingga

menjadi single player dalam setiap kebijakan yang dibuat pemerintah

desa. Dominasi yang terlalu kuat oleh kepala desa nantinya akan

menciptakan abuse of power (kekuasaan yang sewenang-wenang)

sehingga memprioritaskan kepentingan sendiri dan kelompoknya

serta cenderung merugikan masyarakat desa. Salah satu upaya

untuk mencegah praktik dominasi kekuasaan adalah filsafat Jawa

yaitu “ngono yo ngono ning ojo ngono” (boleh saja berperilaku

sesuai dengan kehendakmu namun jangan sampai merugikan

orang lain). Kekuasaan kepala desa perlu didampingi oleh BPD

dan lembaga kemasyarakatan sebagai upaya check and balances.

Hal tersebut dilakukan untuk mendampingi pemerintah desa,

khususnya kepala desa untuk bertindak dan berperilaku sesuai

dengan norma, nilai, dan budaya yang berlaku.

Dalam menjelaskan sebuah kebijakan umum, maka kebijakan

yang bersifat umum tersebut harus dijelaskan sampai dengan ke

unsur yang paling teknis. APMD yang dalam hal ini merupakan

pengalaman dan pengabdian dari Hastowiyono pernah beberapa

28

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


kali membantu dan memberikan transfer pengetahuan ke beberapa

daerah seperti kabupaten Sleman, Magelang dan Bantul. Sebelum

adanya UU Desa, sistem perencanaan pembangunan nasional

yang ada di UU No 5 Tahun 2005 hanya menjelaskan perencanaan

pembangunan sampai ketingkat kabupaten dan tidak sampai ke

tingkat desa. Pengalaman bermula mengenai sikap terkait PNPM

(Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri yang

menjadi program Nasional dan APMD tidak sepakat denga adanya

PNPM. Hal tersebut karena PNPM mandiri dianggap tidak efektif

yaitu lebih banyak melemahkan desa dari pada memperkuat desa.

Desa dipecah-pecah, seperti ada sekat antara masyarakat dengan

pemerintah desa, dan program ini banyak tertuju ke masyarakat

tanpa pemerintah desa. PNPM yang bersifat ad hoc di mana suatu

saat nanti berakhir dan hanya akan menjalankan tugas jika ada

program serta tidak ada pemikiran exit strategi sehingga PNPM

dianggap banyak memiliki kelemahan. Di akhir program terjadi

banyak kericuhan terutama sisa dari program PNPM terutama

berupa infrastruktur maupun finansial yang dikelola oleh Unit

Pengelola Kegiatan. Namun atas prakarsa PNPM, APMD juga

sering bekerjasama untuk membahas RPJMDes dengan harapan

pembangunan di desa menjadi lebih baik lagi.

Setelah hadir UU Nomor 6 tentang Desa Tahun 2014, STPMD

“APMD” Yogyakarta sebagai lembaga yang memprakarsai

lahirnya UU tersebut terlibat banyak dalam menjabarkannya ke

beberapa daerah. Pengalaman menarik juga pernah dilakukan

di kabupaten Pegunungan Bintang, yang difasilitas oleh alumni

APMD yang memiliki lembaga yang concern tentang desa yaitu

Syarief Aryfaid pada tahun 2016. Dalam pembuatan sebuah

kebijakan harus mempertimbangkan unsur sosiologis. Hal tersebut

adalah bekal utama bagi para sivitas akademika untuk mengetahui

keadaan sosial di masyarakat. Kejadian yang menarik salah satunya

yaitu ada peserta yang kurang lancar dalam penggunaan bahasa

Indonesia sehingga dalam berkomunikasi sering terkendala.

55 TAHUN STPMD “APMD”

29


Memang bahasa Indonesia adalah bahasa yang wajib digunakan

untuk semua warga Indonesia, namun bahasa tersebut adalah

bahasa kedua setelah bahasa Ibu sehingga seringkali memang di

daerah tertentu bahasa Indonesia masih kurang familiar untuk

digunakan. Kemudian kehadiran Tim APMD di Pegunungan

Bintang dicurigai, “orang Jawa” dianggap datang ke daerah Papua

hanya mau mencari kejelekan Papua saja. Setelah meminta bantuan

kepada Kepala Kampung untuk menjelaskan kedatangan tim dari

APMD, maka kegiatan di kabupaten Pegunungan Bintang berjalan

lancar dalam rangka memberikan transfer pengetahuan terkait

pembuatan RPJMdes.

Cita-Cita Dan Harapan (Lesson Learn)

Sebuah kebijakan dapat diartikan sebagai sebuah bangunan

utuh, di mana terdapat fondasi, atap, dinding, pintu, jendela dan

bagian lain dari bangunan. Sebuah sistem selalu terhubung satu

sama lain, sehingga setiap fungsi dari bagian-bagiannya harus bisa

dijalankan sebagai upaya untuk membuat cita-cita dan harapan

bisa terwujud. Kapal besar harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki

kompetensi hebat sebagai nahkodanya. Seseorang pemimpin harus

mampu memberikan arah tujuan, mampu menurunkan jangkar dan tahu

kapan waktunya dalam mengibarkan layar. Cita-cita harus dipandang

sebagai bintang-bintang di angkasa yang tidak berubah dengan keadaan

dan jangan tergoda dengan adanya lampu lalu-lalang yang bisa

mengaburkan sebuah cita-cita besar (Aburizal Bakrie, pidato Munas

Golkar tahun 2016). Pada prinsipnya sebuah kebijakan yang dibuat

adalah untuk memberikan kebaikan kepada pemerintah desa dan

masyarakat desa. Dari UU tentang desa, peraturan menteri, perda

provinsi, perda kabupaten dan perdes dibuat untuk menjadikan

desa mandiri. Mandiri dalam politik, mandiri dalam ekonomi dan

mandiri dalam kebudayaan.

Gemah ripah loh jinawi adalah salah satu slogan yang sering

digaungkan untuk melihat kekayaan yang melimpah ruah di

30

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Indonesia, di mana tanahnya subur, masyarakatnya tentram

dan kehidupan yang bahagia. Seperti halnya pandangan terkait

adanya politik oleh Plato dan Aristoteles yaitu untuk menciptakan

kebaikan bersama. Potensi sumberdaya alam yang melimpah

di berbagai desa di Indonesia seharusnya mampu memberikan

kesejahteraan bagi masyarakatnya. Potensi pertanian, perikanan

dan kelautan, tambang dan industri lokal harus bisa dikembangkan

dengan baik. Untuk itu perlu adanya sebuah regulasi yang dibuat

oleh pemerintah untuk memperkuat msayarakat desa. Tetapi tidak

hanya regulasi yang dibuat saja, namun harus sampai tingkat

pengawalan yang ketat agar regulasi tersebut tidak lari dari

substansi awalnya pada saat diimplementasikan.

Ngeli ning ojo keli, setelah adanya UU desa yang menguatkan

desa, ditambah dengan adanya Dana Desa dan Dana perimbangan

dari daerah maka pemerintah desa jangan sampai terlena.

Pembangunan infrastruktur yang dikebut dari dana tersebut

namun justru melupakan tugas utamanya yaitu memberikan

kesejahteraan dan kemandirian pada rakyatnya. Jika sudah

berhubungan dengan uang, banyak fenomena (menilep uang

dalam saku) sehingga banyak kepala desa yang ditangkap karena

menyelewengkan kekuasaan. Administrasi yang belibet membuat

desa menjadi seperti macam dalam kandang, disisi lain memiliki

kekuatan dan garang tetapi disisi lainnya lagi mereka tidak bebas

dalam mengembangkan dirinya sendiri. Maraknya wisata di desa

yang dijadikan prioritas dalam pembuatan BUMDES menjadikan

desa hanyut dalam ruang lingkup ekonomi. Tetapi desa lupa

bahwa masyarakat kesusahan untuk menjual hasil buminya, dan

seringkali dihargai dengan tidak layak. Untuk itu pemerintah

desa harus bisa hadir dalam rangka memberikan protecting kepada

masyarakatnya.

Tata titi tentrem kertaraharjo, dalam kehidupan bernegara dan

berdesa maka harus dibuatkan sebuah aturan yang jelas untuk

menata masyarakatnya. Hal tersebut untuk membuat kehidupan

55 TAHUN STPMD “APMD”

31


di desa menjadi lebih harmonis dan mengurangi konflik antar

anggota masyarakat. Adanya beberapa konflik di desa sebagai

contoh perebutan lahan, adalah dampak dari unsur tata tidak

dijalankan dengan baik dan tegak. Selain itu konsep titi diartikan

sebagai upaya untuk membuat tatanan berjalan dengan baik dalam

melakukan segala sesuatunya dengan teliti. Untuk menjalankan

tatanan kehidupan dengan baik perlu adanya punishment bagi

anggota masyarakat agar tidak merusak tatanan tersebut.

Punishment dalam hal ini juga diberikan oleh pemerintah desa

kepada para tengkulak yang memainkan harga pertanian, dimana

perlu ada regulasi yang jelas agar para tengkulak tidak seenaknya

sendiri dan regulasi tersebut dibuat dalam rangka memutus

rantai distribusi yang terlampau panjang. Tentrem yaitu suatu

kondisi kedamaian dan ketentraman dimana unsur tata dan titi

sudah terpenuhi. Dan kertaraharja adalah kehidupan masyarakat

yang damai, seseorang bekerja tidak hanya ingin mendapatkan

keuntungan material semata tatapi keraharjan atau kemakmuran

secara lahir batin.

Daftar Pustaka

Anderson, James E. dan Davis W. Brady et. all. (1984), Public Policy

and politics in America, Monterey. California: Brooks/Cole

Publishing Company.

Anggara, Sahya (2014), Kebijakan Publik, Bandung: Pustaka Setia.

Dye, Thomas R. (1972), Understanding Public Policy. Englewood

Cliffs, N.J: Printice Hall, Inc.

Eko, Sutoro et, all (2005), Manifesto Pembaharuan Desa, Yogyakarta:

APMD Press.

32

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 3

MENJELAJAHI DESA MENGANGKAT

KHAZANAH LOKAL 9

Oleh: Irsasri 10

Desa kian menarik untuk dibicarakan tidak melulu tentang

kebijakan lokal serta dana desanya saja. Khazanah lokal yang

terkandung di dalamnya dan perkembangan masyarakat patut

pula diperhatikan. Ada banyak potensi-potensi desa di Indonesia

menarik untuk ditelusuri. Menjelajahi desa untuk menggali,

menyibak, dan mengangkat segala hal yang terkandung dalam

sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dalam konteks khazanah

lokal tentu memiliki upaya dan makna tersendiri. Desa memang

memiliki tempat istimewa dalam ruang kehidupan berbangsa

dan bernegara. Desa harus mampu mengidentifikasi potensi dan

kearifan lokal guna mewujudkan kemandirian di tengah gempuran

modernisasi dan teknologi yang berkembang sangat pesat. Potensi

maupun kearifan lokal mulai dari ekonomi, sosial, hingga budaya

haruslah dikembangkan dengan kemauan dan usaha yang

sungguh-sungguh. Menjelajah desa untuk mengangkat khazanah

lokal betul-betul mendukung upaya dalam membangun potensi

khususnya menghadapi tantangan perubahan.

9 Tulisan ini diolah berdasarkan wawancara dan kajian dari narasumber: Drs. Nikson

Nababan, M.Si. (Bupati Tapanuli Utara), Yakobus Dumupa, S.IP. (Bupati Dogiyai), Dr.

Yuli Setyawati, M.Si.,

Habib Muhsin, S.Sos., M.Si., Fadjarini Sulistyowati, S.IP., M.Si., (Dosen Prodi Ilmu

Komunikasi), Bahrul Ulum (kontributor tulisan) & Tony Tokan (Mahasiswa Prodi

Ilmu Komunikasi)

10 Staf Pengajar Prodi Ilmu Komunikasi,

55 TAHUN STPMD “APMD”

33


Pengarusutamaan Desa dan Perkembangan Teknologi Informasi

Njajah desa milang kori, ungkapan peribahasa dalam bahasa

Jawa yang bermakna melakukan perjalanan ke berbagai wilayah

(desa) untuk mengenal, menggali, menyelami, dan memahami

kehidupan penduduk di suatu wilayah. Peribahasa ini salah satu

nuansa khazanah lokal yang diresapi masyarakat desa khususnya

di Jawa. Khazanah lokal lain yang bermakna tidak jauh berbeda

dari Njajah desa milang kori, yaitu istilah Blusukan. Dalam bahasa

kekinian, terma blusukan sering menjadi tagline para pejabat

maupun dalam kontestasi politik di Indonesia yang sangat akrab

di telinga kita. Njajah desa milang kori maupun blusukan merupakan

sebuah spirit kearifan lokal yang sering kali dipakai untuk menggali

potensi yang ada guna kepentingan pemberdayaan desa. STPMD

“APMD” Yogyakarta pun sejak dulu menanamkan prinsip ini bagi

segenap sivitas akademika maupun dalam konteks syiar khalayak.

Njajah desa milang kori memiliki spirit “berangkat dengan

manfaat, membaur/bersama menambah manfaat, kembali pulang

membawa manfaat”. Semangat semacam itu pulalah yang dipegang

teguh oleh mahasiswa maupun dosen selama melakukan penelitian

dan pengabdian pada masyarakat. Para alumni STPMD “APMD”

Yogyakarta pun tak mau kalah, alumni yang berkiprah di level

eksekutif maupun legislatif tersebar di seluruh Indonesia saling

berlomba memberikan sumbangsih nyata bagi masyarakat yang

dipimpinnya terutama dalam memberdayakan dan mengangkat

potensi-potensi lokal. Banyak prestasi yang telah ditorehkan

melalui kegiatan jelajah desa untuk mengangkat khazanah lokal

ini. Tentu hal ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi

keluarga besar STPMD”APMD” Yogyakarta.

STPMD ”APMD” Yogyakarta secara periodik dengan

daya dukung yang mumpuni banyak melakukan penelitian dan

pengabdian pada masyarakat. Secara terstrukur dan sistematis,

kegiatan ini memiliki manfaat yang sangat lengkap. Semangat

yang dicanangkan yaitu “Desa Membangun Indonesia” tentu

34

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


bukanlah sebuah jargon semata. Upaya nyata terus dilakukan

untuk mewujudkan semangat memuliakan desa. Kegiatan

pengabdian pada masyarakat yang bernapaskan njajah desa milang

kori menyajikan banyak temuan berupa keunikan yang merupakan

kekayaan khazanah lokal. Desa menjadi pusat orientasi pemikiran

dan permenungan demi mewujudkan semangat memuliakan desa

tersebut.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal bertaburan

desa yang bernapaskan desa wisata maupun desa budaya. Hal

ini merupakan kredit tersendiri mengingat DIY biasa disebut

Indonesia mini. Berbagai latar belakang suku, agama, dan budaya

dari para pendatang bahkan pengaruh teknologi informasi tentu

memberikan tantangan tersendiri bagi eksistensi desa dalam

menunjukkan dan mempertahankan kelokalannya. Tidak kurang

puluhan bahkan lebih desa maupun kampung yang tersebar di Kota

Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten

Gunungkidul, dan Kabupaten Kulon Progo memiliki potensi

lokal yang variatif. Aspek adat, tradisi sosial kemasyarakatan,

budaya, ekonomi, pariwisata, hasil kerajinan, dan lain sebagainya

merupakan kekayaan yang murni dimiliki desa. Tentu tidak hanya

di wilayah DIY saja, desa yang tersebar di seluruh provinsi di

Indonesia mempunyai khazanah lokal yang beragam pula.

Desa sedari dulu mudah dikenali dari ciri masyarakatnya

antara lain: (1) Antar warganya mempunyai hubungan yang lebih

mendalam, (2) sistem kehidupannya berkelompok dengan dasar

sistem kekeluargaan, (3) sebagian besar masyarakat pedesaan hidup

bertani, (4) Masyarakat pedesaan bersifat homogen baik dalam hal

agama, mata pencaharian, adat kebiasaan dan atau kebudayaan.

Masyarakat awam pun dahulu memandang klasifikasi antara desa

kota tak hanya ada pada kemajuan pembangunannya saja, tapi juga

ada pada gaya hidup masyarakatnya yang sangat mudah dikenali.

Pengkotak-kotakan semacam itu hari ini sudah tidak lagi

menjadi sesuatu yang mutlak untuk membedakan antara desa

55 TAHUN STPMD “APMD”

35


dan kota. Sebab masyarakat desa kini mampu menyamakan diri

dengan kota dalam hal perkembangan gaya hidup. Misalnya saja

konsumsi teknologi informasi berupa ponsel pintar, kini pengguna

ponsel pintar tidak hanya terbatas pada masyarakat perkotaan saja,

melainkan masyarakat desa juga kini ikut menggunakan ponsel

pintar terkait kebutuhan informasi dan sarana komunikasi yang

kini menjadi kebutuhan pokok. Begitupun sebaliknya, banyak

juga warga kota yang masih kental menjunjung norma-norma

sosial dan tidak bersikap individualis di tengah-tengah manisnya

kehidupan perkotaan. Sejalan dengan makin majunya teknologi

yang memudahkan antar individu untuk saling berkomunikasi

jarak dekat. Melihat lagi ciri khas masyarakat pedesaan dari

segi relasi dan komunikasi tentu sangat bertolak belakang

dibandingkan dengan pola komunikasi bermedium teknologi saat

ini. Di Yogyakarta khususnya masih banyak perkampungan di

wilayah kota yang eksis menerapkan kearifan lokal relasi secara

langsung tanpa sekat, berbincang langsung tanpa perantara ponsel

pintar, interaksi yang luwes dan dinamis serta semangat hidup

gotong-royong dan sebagainya.

Keunikan-keunikan yang ada di desa menarik untuk diangkat,

batas-batas yang ditembus oleh masyarakat desa dan kota kini

bisa disebut sebagai penyulut terjadinya sebuah perubahan.

Dorongan-dorongan dari masyarakat sendirilah yang lebih ampuh

untuk membuat suatu wilayah menjadi berkembang dan maju.

Kemajuan ini bisa dimulai dari adanya pembaharuan teknologi

yang masuk ke wilayah atau justru kesadaran yang timbul karena

ketidaknyamanan masyarakat terhadap kondisi yang mereka

alami. Pembaruan teknologi yang masuk bisa berupa teknologi

pertanian, industri, pangan, hingga teknologi informasi dan

komunikasi.

Teknologi informasi dan komunikasi merupakan suatu bagian

penting dalam hidup hari ini, ia tidak lagi menjadi sebuah barang

mewah melainkan sudah bergeser menjadi kebutuhan pokok.

36

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Bahkan hari ini, di beberapa daerah. Kita tidak lagi melihat adanya

sekat dalam penyebaran teknologi informasi dan komunikasi.

Hampir semua masyarakat sudah menjadi pengguna teknologi

informasi dan komunikasi modern khususnya ponsel pintar.

Ketiadaan sekat ini bisa kita rasakan contohnya di Desa Trimulyo,

Kretek, Bantul dan Gilangharjo, Pandak, Bantul. Penggunaan

ponsel pintar, sama halnya media informasi lain. Gawai ini tentu

memiliki banyak sekali fungsi, mula dari hiburan, pendidikan,

hingga komersil. Namun, kurangnya literasi dalam penggunaan

ponsel pintar khususnya literasi dalam mengakses media sosial

sangat kurang. Sebagai penggambaran, sepuluh orang remaja di

Desa Trimulyo yang sudah mengakses media sosial masih belum

memanfaatkannya secara maksimal.

Penyelenggaraan sosialisasi mengenai literasi media sosial

di kedua desa tersebut oleh STPMD “APMD” Yogyakarta yang

digawangi oleh Habib Muhsin, Fadjarini, dan Yuli Setyowati

dalam rangka kegiatan pengabdian pada masyarakat mendapat

sambutan yang baik dari warga desa. Ada beberapa fakta menarik

Gambar 1. Sosialisasi Literasi Media

55 TAHUN STPMD “APMD”

37


mengenai penggunaan media sosial di Desa Trimulyo. Di sana

ditemukan bahwa para remaja hanya menggunakan media sosial

sebatas untuk media hiburan saja, tanpa memperhatikan fungsi

informasi maupun komersial.

Lain halnya dengan masyarakat Desa Gilangharjo, yang

dalam hal ini berfokus pada ibu-ibu PKK. Saat digali informasi

mengenai penggunaan media sosial, ibu-ibu Desa Gilangharjo

cenderung menggunakan media sosial sebagai ladang informasi.

Mereka “memanen” informasi yang ada di sana serta “menabur”

kembali informasi-informasi yang mereka ketahui. Meski demikian

masyarakat di tingkat desa, dalam hal ini baik Desa Trimulyo

maupun Gilangharjo masih sangat kurang untuk pengetahuan dan

literasi terhadap media sosial. Media sosial yang kini sudah ada

dalam genggaman tangan kita, dalam ponsel pintar kita menjelma

sebagai pedang bermata dua.

Satu sisi bersifat positif dan sisi lain bersifat negatif. Sayangnya,

resiko-resiko semacam ini kurang diketahui oleh masyarakat

desa Trimulyo maupun Gilangharjo. Saat ditanya tentang apakah

mereka mengetahui tentang adanya UU ITE, mereka menjawab

tahu dan pernah dengar, namun tidak begitu paham perihal isinya

apa saja, baik batasan-batasan dalam penggunaan media sosial

maupun sanksi yang bakal mereka dapat jika melanggar aturanaturan

yang ada. Tentu saja ini harusnya menjadi keprihatinan

kita semua, mengingat literasi media sosial tidak hanya untuk

masyarakat kota saja, melainkan untuk semua kalangan masyarakat

tanpa menimbang zonasi wilayah.

Resistensi kultur sosial kemasyarakatan desa khususnya di

DIY masih sangat kuat. Meskipun pengaruh teknologi sudah secara

nyata masuk di setiap lini kehidupan masyarakat desa namun

tidak mengurangi rasa budaya dan adat istiadat khususnya dalam

tatanan pola komunikasi desa. Dapat ditemui di berbagai desa

kegiatan seperti keberadaan kentongan yang masih eksis sebagai

media komunikasi warga. Tradisi rembug atau musyawarah

38

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


warga atau kampung sebagai salah satu forum komunikasi yang

sebenarnya pada era teknologi saat ini sudah fasih ditemui dan

digunakan media pertemuan menggunakan internet secara live

streaming dengan aplikasi whatsapp video call grup, zoom meeting,

dan lain sebagainya.

Melihat fenomena temuan dari salah satu kegiatan pengabdian

tersebut, kita melihat kembali bagaimana eksistensi diri

identitas desa tetap dipertahankan dengan tidak menutup mata

dari hadirnya teknologi informasi yang berkembang saat ini.

Terjadi banyak perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat

desa dengan adanya pengaruh teknologi informasi. Perubahanperubahan

masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, normanorma

sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga

kemasyarakatan, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial

dan lain sebagainya. Perubahan itu terjadi sebagai akibat karena

masyarakat mengalami proses perubahan dalam bermasyarakat

(Soekanto 2001, 259).

Maka tak pelak, khazanah lokal berupa forum-forum

musyawarah warga desa atau pun rembug desa dalam balutan

tradisi adat dan budaya lokal tetap terus dijaga dan dilestarikan

sampai saat ini dan tidak menutup mata dengan hadirnya

teknologi informasi. Layaknya teknologi yang lain di mana

harus ada pengetahuan tentang cara dan batasan-batasan dalam

pemakaian, teknologi informasi dan komunikasi yang masuk ke

suatu wilayah tentu harus dibarengi dengan literasi yang sepadan,

agar tidak terjadi penyalahgunaan dan tidak bijaknya penggunaan

teknologi tersebut. Penggunaan teknologi yang tepat tentunya

mampu membuat sebuah perubahan yang signifikan dalam diri

masyarakat, baik pada masing-masing individu maupun skala

wilayah.

Arus informasi yang dikelola secara baik oleh masyarakat

dapat berperan besar dalam pemberdayaan wilayah. Perjalanan

STPMD “APMD” Yogyakarta tidak hanya sebatas mengkaji

55 TAHUN STPMD “APMD”

39


kualitas sebuah kebijakan, keputusan, dan pengembangan skills

pemerintah desa saja. Membenahi kualitas komunikasi serta mening

katkan literasi masyarakat dalam bermedia merupakan salah

satu langkah yang menjadikan STPMD“APMD” berbeda dari lembaga

lainnya dalam bidang pemberdayaan. Pemberdayaan dalam

suatu wilayah tidak hanya terjadi melalui pihak eksternal saja,

pemberdayaan masyarakat tentu saja harus dimulai dari dalam

diri masyarakat bersangkutan. Karena sebanyak apapun stimulus

maupun program yang ditawarkan oleh pihak eksternal, jika tidak

dibarengi dengan spirit masyarakat untuk berubah ke arah yang

lebih baik, tentu saja langkah pemberdayaan ini akan menjadi siasia.

Seperti yang terjadi pada masyarakat Kampung Preman.

Warga kota Yogyakarta tentu tidak asing dengan nama

Kampung Preman atau yang sekarang ini disebut dengan Kampung

Badran. Badran sendiri bukanlah sebuah desa secara administratif,

melainkan kumpulan rukun warga (RW) yang membentuk sebuah

kampung. Tentu saja akan muncul di benak kita bayang-bayang

Gambar 2. Pemuda kampung “preman” Badran

40

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


ngeri jika mendengar kata Kampung Preman, mulai dari warganya

yang memiliki tato-tato sangar atau bayangan bahwa jika sekali

saja masuk ke sana tidak ada jaminan kalau kita akan pulang

dengan selamat. Label negatif yang didapat Badran yang berupa

nama Kampung Preman dikarenakan memang dahulu setidaknya

terdapat 30% warga yang berprofesi sebagai preman. Bahkan,

konon Badran merupakan kampung “menangan” yaitu kampung

yang selalu menjadi juara bertahan dalam tawuran antar warga.

Citra menyeramkan inilah yang menjadikan Badran sebagai

“kampung hitam” dalam masyarakat Yogyakarta.

Pengalaman dua tahun melakukan penelitian di Badran

merupakan waktu yang tidak sebentar bagi Yuli Setyowati untuk

mengenal Badran dan menguak apa sebenarnya yang membuat

Badran mampu berubah secara cepat dari yang awalnya menjadi

“Kampung Hitam” hingga kini yang menjadi sebuah kampung

yang begitu inspiratif. Pasalnya, mengubah citra preman yang

sudah melekat di masyarakat merupakan hal yang cukup sulit di

lakukan. Layaknya seorang penjahat yang ingin menebus segala

dosa-dosa masa lalu mereka kepada masyarakat. Namun ajaibnya

perubahan itu benar-benar terjadi di Kampung Badran.

Masyarakat Kampung Badran memulai langkah perubahan

mereka dengan menanamkan budaya malu pada seluruh

warga nya. Malu jika kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan,

malu berhutang kepada rentenir hingga terlilit hutang yang

tidak berkesudahan, hingga malu jika anak-anak mereka tidak

mengenyam pendidikan yang layak. Budaya malu yang dibangun

di Kampung Badran dimulai dan digerakkan oleh para kader yang

terdiri dari para perempuan di Badran. Berangkat dari keinginan

kuat bahwa mereka bisa berubah dan keluar dari citra buruk

sebagai Kampung Preman. Para pegiat atau para kader tidak

segan-segan untuk mengingatkan dan serta memberi semangat

untuk bangkit dan percaya bahwa mereka bisa berubah pada setiap

kesempatan dan forum warga. Pesan-pesan yang diberikan secara

55 TAHUN STPMD “APMD”

41


terus menerus ini sukses membentuk kesadaran akan budaya

malu tersebut. Para kepala keluarga yang dulunya betah menjadi

preman dan tidak memiliki pekerjaan kini berubah dan memiliki

pekerjaan, bahkan beberapa dari mereka sudah menikmati masa

tuanya.

Percepatan perubahan ini juga didukung oleh adanya CSR dari

PT. Sari Husada yang berlangsung kurang lebih selama 10 tahun,

melalui program Rumah Srikandi melakukan pendampinganpendampingan

yang diberikan kepada para perempuan di

Kampung Badran dan sekitarnya. Selain itu, adanya dinamika

masyarakat internal yang menginisiasi perubahan di masyarakat.

Dinamika masyarakat internal ini lahir karena adanya model

kepemimpinan partisipatif dari para tokoh masyarakat yang ada.

Mereka membuktikan bahwa sosok pemimpin bukan hanya

menjadi seseorang yang memimpin rapat lalu mengurus surat

menyurat. Namun mereka betul-betul mengoordinasikan kegiatan

dan ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan berjalan. Dengan

Gambar 3. Pendampingan perempuan Badran

42

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


demikian Badran mampu mematahkan pandangan umum yang

menyatakan bahwa masyarakat kota merupakan masyarakat yang

individualis. Badran sebagai masyarakat yang berada di wilayah

kota justru merupakan model masyarakat yang sangat guyub dan

komunikatif layaknya masyarakat di wilayah desa pada umumnya.

Keunikan semacam ini tentu jarang dapat ditemukan di desa-kota

di daerah lain.

“Tidak ada masyarakat yang tidak bisa berubah.” Kira-kira

begitu kalimat yang bisa kita ambil sebagai pembelajaran dari apa

yang telah dilakukan oleh masyarakat Badran. Seburuk apapun

masyarakat, mereka akan mampu berubah menjadi lebih baik

jika ada dorongan dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Badran

memiliki spirit yang unik dalam melakukan perubahan selain

adanya budaya malu, yaitu semangat belajar atau mengetahui halhal

baru yang nantinya bakal membawa perubahan positif dalam

masyarakat. Masyarakat Badran merupakan masyarakat yang

tidak pernah menolak jika ada kegiatan yang bersifat inovatif yang

ditawarkan kepada mereka. Tentunya hal ini akan menjadi lebih

efektif jika didukung secara maksimal oleh dorongan eksternal

dari pihak-pihak luar seperti pemerintah maupun pihak swasta.

Pemicu-pemicu gerakan masyarakat yang inovatif dan bisa

dikatakan ekstrim tidak hanya bisa kita temukan di kampung

Badran saja. Beralih ke Pulau Belitung misalnya, di Desa Balok,

Kecamatan Dendang bisa kita lihat hasil-hasil nyata dari kontribusi

pihak eksternal yang menjadi pemantik semangat warga dalam

pemberdayaan masyarakat. Spirit pemberdayaan STPMD “APMD”

Yogyakarta yang memang sedari dulu menjunjung tinggi prinsip

“dari, oleh dan untuk masyarakat” tentunya selaras dengan hal

tersebut. Masyarakat Desa Balok mengembangkan potensi wisata

Sungai Balok menjadi objek wisata Keretak Nibong. Pembangunan

objek wisata ini diawali oleh program kerja Mahasiswa asal Pulau

Belitung yang mengajak warga setempat untuk mengembangkan

potensi-potensi wisata yang ada di Desa Balok. Beberapa mahasiswa

55 TAHUN STPMD “APMD”

43


yang merupakan perwakilan STPMD “APMD” Yogyakarta ikut

serta dalam gerakan tersebut.

Keinginan yang besar dari masyarakat ditambah inisiasi

dari mahasiswa membawa perkembangan yang nampak jelas,

Sungai Balok yang dulunya hanya sebagai dermaga nelayan untuk

melaut, kini sudah menjadi objek wisata yang ramai dikunjungi

oleh wisatawan lokal, domestik maupun mancanegara. Hakikat

sifat masyarakat pedesaan memang banyak bergotong-royong dan

tolong menolong, suka bekerja dan memiliki nilai tinggi terhadap

kegiatan bekerja, maka tidak perlu adanya motivasi untuk

menambah semangat kegiatan bekerja bagi masyarakat pedesaan.

Namun inisiatif dan inspirasi eksternal sangat dibutuhkan karena

pandangan dari pihak luar desa mampu mengembangkan potensipotensi

yang ada di desa tersebut. Desa Balok sendiri jika dilihat

dari letak wilayah, termasuk dalam Desa terluar di Belitung

Timur, wilayahnya pun masih didominasi hutan dan perkebunan.

Namun, seperti yang sudah disampaikan di awal, sekat antara

desa dan kota tidak bisa dilihat melalui perkembangan teknologi,

sosial budaya, perekonomian maupun gaya hidup.

Gambar 4. Tradisi lokal nirok nanggok (menombak ikan)

44

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Meski lokasi yang nampak jelas bahwa Desa Balok merupakan

wilayah pedesaan bukaannya kota, namun kemajuan

pengetahuan warga yang mumpuni patut diapresiasi. Sebab dalam

mengembangkan objek wisata Keretak Nibong, masyarakat Desa

Balok mengg unakan refrensi wisata mangrove di luar daerah

dengan mengakses media sosial Instagram. Kemampuan akses

ini bukan semata-mata bergantung pada kemampuan berpikir

masyarakat saja, karena jika mengagumi warga desa yang

mampu mengakses internet hanya berdasarkan kecerdasan warga,

ini agaknya terlalu mengerdilkan masyarakat desa. Namun,

kemampuan dalam mengakses internet hingga media sosial ini

bermaksud pada fasilitas jaringan internet yang sudah menjangkau

wilayah tersebut. Jangan jarak yang cukup jauh, sekitar 80 km

dari pusat kota, Desa Balok terbukti tidak menjadi daerah terisolir

dengan masuknya akses internet. Dengan demikian, khazanah

lokal yang berupa gotong-royong warga dengan membuka diri

dan sadar tentang pentingnya mengangkat potensi wisata lokal

menjadi kekuatan yang luar biasa dalam menjaga desa tetap berdiri

tegak.

Gambar 5. Tradisi adat Maras Taun Desa Balok

55 TAHUN STPMD “APMD”

45


Khazanah Lokal Yang Mengglobal

Semangat jelajah desa berlanjut ke kawasan pulau Sumatra

bagian utara. Salah satu alumni STPMD ”APMD” Yogyakarta yang

berprestasi dan memiliki kiprah luar biasa sebagai kepala daerah

yaitu Nikson Nababan. Sebagai bupati Tapanuli Utara tentu

memiliki pengalaman tersendiri dalam memimpin daerah yang

banyak memiliki potensi-potensi yang beragam. Tapanuli Utara

dikenal karena keindahan alam, budaya, dan potensi agraris yang

terus berkembang. Pakaian adat Ulos, wisata danau Toba, dan

potensi agrarisnya yang sangat kuat menjadi ciri khas khazanah

lokal yang dimiliki kabupaten Tapanuli Utara. Sebagaimana

diketahui secara umum bahwa pakaian adat Ulos merupakan jenis

pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan khusus adat saja

namun saat ini dengan upaya pemberdayaan dan mengangkat

potensi lokal, kain Ulos saat ini sudah menembus ke mancanegara

dibuktikan dengan adanya fashion show menampilkan busana

berupa jas, jaket, kemeja yang berbahan dasar kain Ulos.

Semangat membangun Tapanuli Utara dari desa menjadikan

sebuah inspirasi tersendiri bagi Nikson Nababan. Sebagaimana

46

Gambar 6. Nikson Nababan blusukan ke lahan pertanian

Sumber : Facebook Nikson Nababan

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


desa berperan, inspirasi desa kuat maka Indonesia juga kuat

merasuki prinsip kerja bupati untuk mewujudkannya. Sebagai

bupati yang sangat memahami rakyatnya, Nikson Nababan

berupaya melalui program-program kerjanya menjadikan

Tapanuli utara lumbung pangan, lumbung sumber daya manusia

yang berkualitas, dan tujuan wisata. Guna mewujudkan impian

yang mulia tersebut, Nikson Nababan memulai dengan langkah

menjelajah desa-desa yang masih terisolir. Dengan mengupayakan

akses baik sarana prasarana infrastruktur jalan, jembatan, listrik,

teknologi komunikasi, dan transportasi maka diharapkan hasilhasil

pertanian yang memang menjadi sumber potensi agraris

lokal bisa sampai ke kota. Selama ini ada hal menarik dari tradisi

masyarakat setempat ketika akan menjual hasil pertaniannya

selalu menggunakan transportasi kuda karena belum tersedianya

infrastruktur jalan dan terisolir.

Selain menyediakan alat-alat berat untuk membangun

infrastruktur jalan, Nikson Nababan juga memberikan pelatihanpelatihan

bagi masyarakat desa-desa yang masih terisolir dengan

membekali mereka keterampilan berwirausaha. Mengingat

Gambar 7. Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan

Sumber : Facebook Nikson Nababan

55 TAHUN STPMD “APMD”

47


banyak sekali sumber daya alam dan potensi-potensi lain yang

ada di setiap desa tersebut akan sangat sayang sekali apabila tidak

dimaksimalkan. Melalui upaya akses teknologi informasi, mulailah

internet terhubung ke daerah-daerah tersebut. Akses internet yang

sudah masuk berarti arus informasi di sana juga ikut sebanding

dengan arus informasi yang ada di kota. Karena beberapa daerah

hingga hari ini masih kita temui belum mendapat akses internet

sehingga arus informasi tidak bisa mereka dapatkan. Bupati

Tapanuli Utara Nikson Nababan yang mewarisi spirit berdesa

dari STPMD “APMD” Yogyakarta terus menerus berikhtiar untuk

membuka jalur agar desa tersebut mudah diakses.

Kesulitan fasilitas internet masuk ke sana juga disebabkan

karena sulitnya jalan masuk ke desa tersebut. Karenanya Nikson

Nababan memulai langkahnya dengan cara membuka jalur agak

siapapun mudah untuk mengunjungi desa tersebut. Nikson

Nababan semenjak menjabat menjadi bupati Tapanuli Utara sudah

menjelajahi desa-desa pelosok di Tapanuli Utara serta menggali

potensi-potensi luar biasa dari desa-desa tersebut. Tindakan yang

dirasa tepat ini berlandaskan pada visinya secara pribadi yang

ingin membangun daerah dari desa (bottom-up) bukan menerapkan

sistem menetes dari atas (top-down). Membangun desa tentu saja

harus dibarengi dengan mengangkat potensi-potensi lokal yang

ada di desa tersebut, baik itu sumber daya alam, budaya maupun

sumber daya manusia yang unggul.

Falsafah njajah desa milang kori atau menelusuri potensi desa

satu persatu seperti ini tentu sangat penting, mengingat garda

terdepan pembangunan sebuah daerah dan negara adalah desa.

Membangkitkan potensi-potensi lokal yang ada guna meningkatkan

mutu masyarakatnya bakal menjadi jalan pemberdayaan yang amat

berarti. Khazanah lokal desa-desa di Indonesia tentu tidak mungkin

seragam, mengingat kekayaan ragam budaya, masyarakat hingga

kondisi alam Indonesia yang heterogen. Desa-desa yang terisolir

bisa kita sebut sebagai desa yang kehilangan hubungan dengan

48

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


desa-desa lainnya. Sehingga langkah membuka akses masuk ke

desa tersebut merupakan gerbang emas bagi pemberdayaan desa

dalam usaha mengangkat khazanah lokal.

Setelah membuka akses masuk menuju desa, langkah paling

utama selanjutnya ialah menyiapkan amunisi untuk menyambut

perubahan. Amunisi yang harus disiapkan tentu bukan hanya

pasokan sumber daya alam yang melimpah, persiapan pada

sumber daya manusianya (SDM) juga musti mumpuni. Inilah yang

dilakukan Bupati Dogiyai Papua, Yakobus Dumupa yang juga

seorang alumni STPMD “APMD” Yogyakarta. Yakobus Dumupa

dengan optimis membina pemuda-pemuda desa di Kabupaten

Dogiyai. Sebagai bupati tidak sedetik pun Yakobus Dumupa

menduduki kursinya yang empuk di kantor dinas. Dengan

semangat jelajah desa dan tentu saja gaya blusukan menembus

desa-desa yang terisolir, menapaki bentang alam yang masih

belum banyak terjamah tangan-tangan asing, menerobos iklim dan

cuaca yang tidak bisa ditebak. Sebuah pengalaman tersendiri bagi

Gambar 8. Yakobus Dumupa mendampingi pemuda desa

Sumber : http://www.yakobusdumupa.com/

55 TAHUN STPMD “APMD”

49


Yakobus Dumupa dalam melayani dan senantiasa dekat dengan

warganya.

Kabupaten Dogiyai memiliki satu suku besar yaitu suku Mee.

Tiap suku bangsa memiliki lembaga adat istiadat dan budaya sendiri.

Warga suku Mee bercirikan hidup berkelompok dan berpencar

berdasarkan sukunya serta bergantung pada alam sehingga sering

berpindah tempat. Segi sistem kekerabatan masyarakat, suku Mee

memiliki tali persaudaraan sesama suku yang sangat kuat. Warga

pedesaan di wilayah Dogiyai bergantung pada potensi lokal dari

sumber-sumber daya yang merupakan anugerah istimewa. Lahan

pertanian yang subur, perkebunan terhampar luas, hasil hutan

berupa kayu masohi, rotan, damar, gaharu yang sangat langka,

tambang emas yang berserakan, peternakan dan perikanan yang

melimpah, juga penghasil kopi Arabica (Mowanemani) yang

tersohor bahkan sampai mancanegara. Semua potensi istimewa

tersebut merupakan kekayaan lokal kabupaten Dogiyai yang harus

terus dilestarikan dan dipromosikan.

Kekayaan sumber daya di kabupaten Dogiyai tentu harus

dikelola dan dikembangkan dengan sistem yang baik. Pemberdayaan

aset lokal yang terdiri dari pemuda desa yang potensial

dan masih murni belum terpengaruh globalisasi merupakan

strategi yang jitu dalam mengangkat khasanah lokal Dogiyai.

Maka pembinaan berbasis kemampuan kerja untuk warga Dogiyai

dilakukan Yakobus Dumupa secara berkala, setahun sekali.

Program ini diprioritaskan agar nantinya sedikit demi sedikit,

orang asli Kabupaten Dogiyai menjadi orang-orang yang produktif

dalam berwirausaha dan memiliki kemampuan kerja yang

mumpuni. Pembinaan ini tak hanya sebatas memberikan ilmu

lalu selesai, model seperti itu tentu hanya akan membuat program

pemberdayaan ini menjadi bersifat karikatif saja. Yakobus Dumupa

berkomitmen terus mendukung para pemuda desa sampai mereka

menjadi pengusaha yang mandiri. Ketika potensi SDM mumpuni

maka selanjutnya dibekali modal usaha. Setiap pemuda Dogiyai

50

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dengan daya kreativitas dan proyeksi usaha yang dimiliki akan

terus didampingi dan dibina hingga mereka mampu mandiri.

Giat jelajah desa menyibak khazanah lokal yang bermuara

pada temuan menarik dan khas. Temuan-temuan berupa potensi

sumber daya alam dan manusia ini tentunya merupakan hal

penting untuk dikaji dan diangkat lebih kuat lagi, mengingat

ketahanan sumber daya manusia jauh lebih efektif dan efisien

tidak hanya mengandalkan potensi sumber daya alam saja. Karena

hakikatnya sumber daya alam jenis apapun tidak akan menjadi

berguna bagi sebuah daerah jika tidak diolah oleh sumber daya

manusia yang mumpuni. Tentu saja ini sejalan dengan kemajuan

desa, para pemuda yang diberdayakan merupakan tonggak utama

atau garda terdepan desa untuk berkembang dan maju. Semangat

penguatan dan pemberdayaan potensi lokal dari para pemuda

sangat penting bagi kemajuan desa. Pemuda-pemuda yang telah

dibina dan memiliki kemampuan inilah yang nantinya membuka

usaha-usaha mereka secara mandiri, kemudian membuka

lapangan pekerjaan di tingkat desa, dan dengan demikian kualitas

kehidupan di desa tersebut akan semakin maju dan berkualitas

tanpa kehilangan identitas.

Jelajah desa nusantara tentu menjadi istilah yang tepat dalam

mengingatkan kembali memori bahwa Indonesia dengan bentang

alam yang sangat luas bersemi keanekaragaman budaya tersebar

segala penjuru pulau. Menyibak khazanah Adonara, sebuah pulau

yang ada di Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara

Timur. Dikenal secara global dengan cerita perang tanding yang

ada di Adonara menjadi suatu perdebatan yang terus-menerus ada

di tingkatan masyarakat lokal, nasional sampai pada internasional.

Beberapa jurnal dari Eropa pernah menulis tentang perang yang

ada di Adonara. Khazanah lokal yang bisa dikatakan unik sekaligus

membuat fenomena tersendiri cerita di Adonara ini. Bagaimana

melihat Adonara sebagai sebuah pulau yang selalu saja terjadi

perang. Perang itu sendiri memiliki dua faktor pemantik yaitu (1)

55 TAHUN STPMD “APMD”

51


Perang itu terjadi itu karena berhubungan dengan tanah sehingga

terjadi perebutan tanah, sengketa tanah dan sebagainya. Kemudian

orang turun untuk melakukan negosiasi dan jika kesepakatan

adatnya tidak jalan, tidak sampai pada hasil bicara, kemudian

mereka memutuskan untuk melakukan perang.

Perang dalam masyarakat Adonara pun ada tradisi-tradisi

seni di dalam perang itu. Terdapat kesepakatan sebelum perang

itu terjadi, biasanya terkait dengan waktu, kemudian alat-alat yang

digunakan dan jarak-jarak antar kedua suku serta lain sebagainya.

Itu semua disepakati terlebih dulu dan kalau masih ada yang

melanggar kesepakatan itu tanpa sebab, pasti orang tersebut

akan mati tanpa sebab yang jelas. Karenanya nilai-nilai tersebut

sudah menjadi kepercayaan adat lokal dan orang-orang kemudian

mempercayai hal tersebut sebagai sebuah tradisi.

Memang menjadi suatu problematika ketika dilihat situasi

dengan perspektif hak asasi manusia, poin penting bahwa kemanusia

an itu menjadi jauh lebih utama dari pada perang

itu sendiri, tetapi menjadikan hal lain lagi bila ini merupakan

budaya masyarakat lokal. Artinya perang dalam konteks budaya

masyarakat tersebut itu bersifat natural. Hal ini kemudian menjadi

pertanyaan khusus. Bagaimana cara agar khalayak memahami

perang di Adonara dalam perspektif yang lebih kontekstual

bagi masyarakat Adonara dan bagi khalayak yang menggeluti

komunikasi pemberdayaan serta varian-varian disiplin komunikasi

lainnya sebagai sebuah kekuatan bagi masyarakat lokal untuk

melihat potensi dalam dirinya sendiri.

Perang di Adonara sendiri sejauh pengamatan, merupakan

perang yang bersifat natural sehingga ada istilah-istilah kedaerahan

yang digunakan. Misalnya secara harafiah dalam bahasa Indonesia

ada sebutan yang menyatakan “tanah kita sedang bengkok” saat

istilah ini sudah dinyatakan, mau tidak mau, suka tidak suka, darah

itu harus jatuh. Orang awam akan melihat tanah sebagai sebuah

benda, tetapi lain dengan orang Adonara, mereka melihat tanah itu

52

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


sebagai seorang ibu. Ini merupakan bentuk pelampauan terhadap

nilai, misalnya di dalam ilmu komunikasi bisa dilihat sebagai

perspektif semiotika maka akan dapat secara jelas terlihat bahwa

ternyata ada jenis penanda-penanda lain yang harus dipahami

lebih jauh.

Kelompok masyarakat ini merasa perlu ada kestabilan

ekosistem. Bagi orang-orang lokal, mereka merasa bahwa perang

itu terasa biasa saja, karena mereka merasa sudah menjadi bagian

dari perang itu selama bertahun-tahun. Tetapi, karena adanya

standarisasi nasional yang mengedepankan hak asasi manusia,

menyebabkan pandangan awam terhadap perang menjadi berbeda

dengan kacamata orang lokal Adonara.

Desa, dalam hal ini memiliki pola penyelesaian masalah

yang sangat berbeda dengan yang selama ini terlihat. Di dunia

akademi menggunakan perspektif teoritis untuk melihat segala

persoalan, tetapi problemnya adalah wilayah kontekstual dalam

perspektif teoritis ternyata tidak bisa selamanya menyelesaikan

problem yang ada di suatu wilayah. Menjadi temuan tersendiri

berupa varian komunikasi yang ada di setiap daerah menjadi

semacam komunikasi yang kompleks. Tidak hanya sekadar pesan

dari komunikator ke komunikan yang menciptakan understanding.

Justru komunikasi yang baik itu merupakan bagian dari bagaimana

orang-orang merasa kepuasan terhadap apa yang akan

disampaikan dan itu semua berupa penanda-penanda. Sehingga

dalam hal ini muncul spekulasi bahwa komunikasi yang baik itu

adalah komunikasi yang tidak diucapkan secara verbal.

Perihal metode komunikasi yang dapat dipahami pada desadesa

di Indonesia Timur khususnya adalah bagaimana orang

menyelesaikan perang di Adonara. Barangkali solusi alternatifnya

memang kita perlu satu konstitusi lokal, semcam dewan komunal

dan lain sebagainya untuk untuk bicara tentang bagaimana

menghubungkan banyak konflik ini dan itu agar mampu diselesaikan

oleh orang lokal. Sayangnya, problem hukum di Indonesia

55 TAHUN STPMD “APMD”

53


selalu menyelesaikan masalah menggunakan perspektif “apa

yang diajukan oleh negara”. Tidak pernah melihat dari bawah,

bagaimana perspektif kontekstual itu bekerja pada problem perang

di Adonara sehingga ini bakal menjadi problem yang sangat khas.

Maka seiring dengan itu problem ini juga membutuhkan solusi

yang memang hanya bisa diselesaikan oleh orang lokal sendiri,

artinya memang campur tangan negara dalam urusan hukum

formal itu hanya menjadi penambah masalah, karena di lapangan

beberapa kali sudah dilakukan usaha semacam ini Misalnya

beberapa perang yang sudah dilakukan di Adonara kemudian

diselesaikan dengan jalur hukum dan justru membuat dampaknya

dirasa ke mana-mana. Dampaknya sampai kepada bagaimana

relasi sosial masyarakat, kemudian hubungan komunikasi mereka

menjadi makin bermasalah. Ini artinya memang bukan dengan

cara itu untuk menyelesaikan perang lokal. Menjadikan khazanah

tersendiri bagaimana kemudian dibentuk varian-varian menjadi

suatu institusi lokal kemudian bisa memunculkan ide tentang

penyelesaian perang ini.

Kehidupan masyarakat di desa yang terkemas apik dalam

bingkai khazanah lokal patutlah dilestarikan lebih-lebih dikenalkan

khalayak ramai. Njajah desa milang kori, menjelajahi desa

mengangkat khazanah lokal dari perspektif sosial budaya tentu

saja menyajikan kekayaan adat, tradisi, dan pola kehidupan

masyarakat lokal yang beragam. Etalase khazanah lokal semakin

menguatkan Indonesia yang dikenal dengan budaya dan tradisi

yang masih natural. Njajah desa milang kori dari perspektif politik

merupakan sebuah laku blusukan yang mengandung makna salah

satu konsep dalam kepemimpinan. Pemimpin yang tidak hanya

“ngendon” atau berkantor di tempatnya bekerja tetapi pemimpin

yang harus terus belajar, mengamati, menyelami, dan memahami

langsung dari rakyat dan bekerja secara nyata bagi rakyat yang

dipimpinnya karena pemimpin itu bagian yang tidak terpisahkan

dari rakyat.

54

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Daftar Pustaka

Altinay L dan Paraskevas A. 2008. Planning Research in Hospitality

and Tourism. Burlington (US): Butterworth-Heinemann.

Fajarini U. 2014. Peranan kearifan lokal dalam pendidikan karakter.

Sosio Didaktika.1(2): 123130.

Liliweri A. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung (ID): Nusa

Media.

Soerjono Soekanto. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja

Grafindo Persada,.

55 TAHUN STPMD “APMD”

55


56

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 4

KKN: BERGAUL, BELAJAR, BEKERJA

DAN BERDESA

Oleh: Fatih Gama Abisono Nst 11

Imam Sutrisno tidak pernah menyangka, apa yang dilakukan

saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) lima tahun lalu, ternyata

meninggalkan jejak-jejak perubahan bagi warga Dusun Gayam,

Desa Jatimulyo, Kabupaten Bantul, DIY. Saat itu, Imam tengah

terlibat dalam Program KKN Tematik pada tahun 2015 lalu. Salah

satu peninggalan yang terus diingat warga Gayam adalah tentang

upaya Imam dan kawan-kawan menyelamatkan sejarah asalusul

mereka. Cerita lokal Cokro Joyo berhasil membangkitkan

memori kolektif warga tentang identitas mereka dan nilai-nilai

hidup bersama. Identitas kolektif mampu menghidupkan kembali

kepercayaan diri mereka terhadap jati diri sebagai orang desa.

Cerita serupa juga disampaikan Lintang Noor Khaliq. Tahun

2017 lalu, Lintang mengikuti program KKN Reguler Periode 51

Tahun 2017 di Dusun Mendolo, Desa Pagerharjo, Kulon Progo.

Bersama kelompok, Lintang mengusulkan sensus makam sebagai

program kerja kelompok. Program sensus dilakukan dengan

11 Staf Pengajar Prodi Ilmu Pemerintahan, Penulis memberikan apresiasi mendalam

pada Drs. Jaka Triwidaryanta, M.Si (Dosen Pembimbing Lapangan), yang telah

memberikan kontribusi berupa tulisan pendek tentang pengalaman mendampingi

mahasiswa KKN Peduli Covid-19 di kelurahan Sorosutan, Kota Yogyakarta.

Penulis juga mengucapkan terima kasih pada nara sumber yang telah meluangkan

waktu: Imam Sutrisno (Alumni Prodi Pembangunan Sosial 2012), Lintang Noor

Choliq (Alumni Prodi Ilmu Pemerintahan 2014), Agustinus Sakro (Mahasiswa Ilmu

Pemerintahan 2016), Badarudin (Dukuh Gayam, Desa Jatimulyo, Bantul), Widayat

(Lurah Desa Pagerharjo, Kulon Prpgo) dan Suhardi (Lurah Desa Pacarejo, Gunung

Kidul), serta Drs. RY. Gatot Raditya, M.Si (Kepala P3M STPMD ‘APMD”).

55 TAHUN STPMD “APMD”

57


melacak asal-usul makam yang ada di Dusun Mendolo pada ahli

waris. Tak kurang 200 makam berhasil diidentifikasi, diarsipkan

serta kemudian dibuatkan tanda yang memuat identitas jenazah.

Dua tahun kemudian, arsip yang dikumpulkan bermanfaat saat

warga mengurus hak-hak waris warga berupa sertifikat tanah.

Bahkan upaya untuk memperbaharui dan mendigitalkan arsip

dilanjutkan oleh kelompok pemuda dusun setempat.

Dua kisah tersebut mewakili spirit penghayatan tentang cara

memahami persoalan kemasyarakatan yang berlangsung melalui

program pembelajaran KKN di Kampus Desa STPMD “APMD”

Yogyakarta. Sebagai mata kuliah wajib bagi program studi S-1

(Strata Satu), KKN STPMD “APMD” dibangun dari empat prinsip

dasar yakni: Bergaul, Belajar, Bekerja, dan Berdesa. Bagaimana

keempat prinsip dasar tersebut mengejawantah dalam praktik

KKN? Bab ini secara khusus akan memaparkan capaian-capaian

dan refleksi pembelajaran atas KKN STPMD “APMD” yang

dilandasi keempat prinsip tersebut dalam pengabdian kepada

masyarakat.

Komunikasi Antar Budaya: Srawung

Sejak diterjunkan ke lokasi KKN, mahasiswa peserta KKN

selalu didorong untuk beradaptasi dengan ritme kehidupan

masyarakat setempat. Tentu perkara ini tidak mudah dilakukan,

di tengah tantangan KKN acapkali diidentikkan dengan bantuan

mahasiswa berupa program-program fisik. Program-program

seperti plangisasi, pembuatan gapura, hingga neonisasi kerap kali

memenuhi daftar permintaan warga kepada mahasiswa KKN.

Padahal, sejak pembekalan, peserta KKN telah ditanamkan nilainilai

pemberdayaan masyarakat. Tantangan ini jika tidak dikelola

dapat menjadi bumerang bagi mahasiswa, sebab mereka tengah

berupaya meraih kepercayaan warga.

Sejak sosialiasi pada warga di lokasi KKN, Pusat Penelitian

dan pengabdian Kepada Masayarakat (P3M) telah membangun

58

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


pemahaman bahwa KKN adalah arena pembelajaran baik bagi

warga maupun mahasiswa KKN. Spirit saling belajar inilah yang

coba dibangun sehingga antara mahasiswa dan warga terjalin

hubungan yang hangat dan guyub. Saat diterjunkan mahasiswa

memperkenalkan diri dan pelaksanaan mahasiswa dituntut dapat

beradaptasi dengan baik bisa manjing ajur ajer.

Beragam strategi pendekatan ke masyarakat pun digunakan

untuk mengenali dengan lebih baik apa yang menjadi persoalan,

kebutuhan dan kepentingan warga. Strategi umum yang ditempuh

dengan mengikuti beragam kegiatan keseharian hingga aktivitas

sosial warga. Sejak hari pertama mereka mengikuti induk semang

dari membantu pekerjaan rumah hingga ke ladang atau kebun.

Mereka juga turut dalam berbagai kegiatan rutin seperti arisan,

pengajian, pertemuan rutin di tingkat RT hingga dusun, hingga

ikut dalam kegiatan ronda. Bahkan mereka juga terlibat dalam

kegiatan sambatan atau rewang manakala ada warga yang sedang

menggelar hajatan seperti membangun rumah atau pernikahan.

Lebih jauh, mahasiswa berupaya memperpendek jarak dengan

warga. Mereka berusaha untuk melepaskan identitas sebagai mahasiswa.

Bahkan Imam menuturkan, saat berada di tengah masyarakat,

mereka berupaya tampil bukan sebagai mahasiswa tetapi

menjadi bagian dari masyarakat setempat. Ungkapan serupa juga

disampaikan oleh Agustinus Sakro, mahasiswa asal Kalimantan

Barat. Sakro menyatakan pentingnya melepaskan identitas sebagai

mahasiswa atau identitas asal daerah agar lebih cair.

Forum-forum informal menjadi medium pertukaran khazanah

kebudayaan lokal. Forum informal menjadi arena saling mengenal

antara mahasiswa KKN dengan masyarakat setempat yang berbeda

latar budaya. Upaya mengenal budaya setempat dilakukan dengan

menempatkan diri dengan menerima adat lokal dan mengikuti

semua mekanisme sosial yang ada. “Saya merasa bukan sebagai

orang Dayak, tetapi saya adalah bagian dari masyarakat setempat”,

ujar Sakro.

55 TAHUN STPMD “APMD”

59


Komunikasi antar budaya semacam itu juga dirasakan

warga. Kedatangan KKN telah memberi nuansa atau warna baru

bagi masyarakat. Lurah Desa Pagerharjo, Widayat, menuturkan

masyarakat melihat perbedaan dan keberagaman menjadi daya

tarik. Warga berupaya mengenalkan adat setempat. Mereka

mengenalkan nilai-nilai yang perlu ditularkan, misalkan etika

pergaulan dalam budaya Jawa. Di samping mengenalkan adat

setempat, warga juga berupaya memahami karakter mahasiswa

asal luar daerah. “ Ada hal-hal yang membuat kaget masyarakat. Misal

terkait dengan gaya bicara keras, jelas ada penyesuaian, mengingat

kebanyakan dari Indonesia Timur,” kata Widayat.

Peristiwa-peristiwa tersebut sekaligus menjadi ruang

perjumpaan untuk membincangkan berbagai ragam persoalan

warga. Lintang menyatakan saat ber-KKN dia dan kawan-kawan

berusaha hadir di setiap kegiatan warga entah kegiatan pemuda,

kegiatan para ibu, hingga anak-anak agar dapat menangkap pesanpesan

warga tentang berbagai keluhan, masalah, dan kebutuhan

warga. “Yang kami lakukan adalah srawung, kita datang, menarik perhatian

mereka. Pas lagi di pos ronda kita datangi, kita ajak ngobrol, dan

diskusi untuk mengurai masalah-masalah warga. Dan tanggapan mereka

sangat baik”, ujar Lintang.

Jika kisah-kisah terdahulu merujuk situasi normal saat KKN,

kisah berikut menujunkkan tantangan ekstrim terkait penerimaan

warga terhadap KKN STPMD “APMD”. Ditengah Pandemi

COVID-19, STPMD “APMD” tetap menggelar KKN Reguler Periode

53 tahun 2020. Dengan Tema KKN Peduli Pandemi COVID-19,

STPMD “APMD” menerjunkan 158 mahasiswa di lima kelurahan

Kota Yogyakarta. KKN Reguler ini memang agak berbeda dengan

KKN reguler yang biasa mengambil lokasi di suatu Desa saja. Pilihan

menggelar KKN di kota bukan tanpa alasan. Pertimbangan ber-

KKN di kota agar mahasiswa yang kebanyakan dari luar DIY, tetap

terpantau dalam rangka pencegahan COVID-19. Lima kelurahan

yang dipilih juga kelurahan yang paling dekat dengan kampus.

60

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Salah satu kelurahan yang menjadi lokasi KKN peduli

COVID-19, adalah kelurahan Sorosutan. Pada awal penerjunan ke

lokasi, tidak ada masalah terkait dengan mahasiswa KKN. Namun

keesokan hari, beberapa RW dan RT menolak mahasiswa KKN

STPMD”APMD” Yogyakarta. Dengan alasan penolakan yang

kabur, pihak kelurahan setempat menyatakan warga merasa tidak

nyaman dengan kehadiran KKN karena sebagian besar peserta dari

luar DIY yang dapat meningkatkan resiko penyebaran COVID-19.

Meski diyakinkan, bahwa seluruh mahasiswa KKN adalah yang

telah tinggal 6 bulan di Yogya, warga tetap menghendaki seluruh

peserta KKN dan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) harus

menjalani Rapid Test bebas Covid-19. Test Rapid pun dilakukan di

sebuah Rumah Sakit di Kota Yogyakarta.

Namun setelah menyerahkan hasil Rapid Test, warga tetap

berkeberatan. Akar persoalan bukan ada tidaknya surat bebas

Covid-19. Sebab KKN dari kampus-kampus lain yang dilakukan

di Kelurahan Sorosutan tidak diminta Rapid Test dan lancar tanpa

hambatan. DPL kelompok KKN, Jaka Triwidaryanta memberi

kesaksian kelurahan sampai menggelar rapat khusus. Rapat yang

semula menghadirkan pengurus kampung, RW dan RT untuk mencari

solusi pada KKN STPMD “APMD” tidak memberi ruang cukup

untuk mengurai benang kusut pelaksanaan KKN STPMD “APMD”.

Ada beberapa pengurus RW dan RT yang meninggalkan rapat dan

menitipkan secarik kertas: mereka tetap menolak KKN APMD.

Kebekuan akhirnya dapat dicairkan dengan mediasi tokoh

kunci dua kampung. Nitikan dan Sorosutan. Dengan bijak mereka

meminta mahasiswa untuk dapat menyesuaikan diri dan menyerap

tata nilai dan kesusilaan di kampung. Ada kesepakatan

bahwa agenda mahasiswa KKNtetap dapat dilaksanakan. Namun

mahasiswa harus menerapkan secara ketat protokol kesehatan

Pandemi Covid-19 agar memberi rasa aman dan nyaman bagi

warga setempat. Mahasiswa juga harus mengindahkan norma dan

kesantunan yang berlaku dalam masyarakat.

55 TAHUN STPMD “APMD”

61


Dengan menitikberatkan pemberdayaan masyarakat kampung,

mahasiswa KKN mengembangkan komunikasi antar budaya

yang tercermin dari sikap peduli, saling menerima dan memahami.

Kejelian memetakan persoalan dengan pendekatan taktis pada

program KKN, membuat mahasiswa KKN dapat diterima. Kejelian

membaca persoalan tentu didapat setelah mahasiswa menghayati

persoalan warga yang selama berbula-bulan dikepung oleh

Pandemi.

Mereka melakukan pendekatan secara tepat, baik individu,

tokoh kunci dan menanyakan kebutuhan mereka untuk mengatasi

dampak Pandemi covid 19. Bersama dengan masyarakat, mereka

mencari solusi terhadap kesulitan yang menghadang. Sejak saat itu

berbagai program KKN APMD di Kelurahan Sorosutan Kecamatan

Umbulharjo berjalan dengan baik. Menariknya, saat penarikan

mahasiswa KKN di Kelurahan Sorosutan, para mahasiswa KKN

STPMD “APMD” tetap “digondeli” agar memperpanjang masa KKN

mereka. Mereka tetap diminta membantu kegiatan administratif

dan kemasyarakatan.

Nilai yang dapat ditarik adalah sesuatu dapat diselesaikan

dengan menemukan sense of common yang memberi pengaruh

besar terhadap penerimaan mahasiswa KKN dihadapan warga.

Senyatanya cara semacam itu cukup ampuh untuk meraih

kepercayaan warga. Ketika mahasiswa meluruhkan identitas dan

menjalin komunikasi antar budaya, hambatan budaya seperti

prasangka sosial lebih mudah dicairkan. Pada saat itulah mahasiswa

lebih mudah membangun pemahaman bahwa mahasiswa bukan

sebagai sinterklas yang membawa bantuan fisik atau sebagai sosok

asing yang anti sosial.

Pada aras ini, mahasiswa KKN telah menempuh satu fase

dasar sekaligus menentukan: belajar mengasah kepekaan dengan

menghayati pergulatan problema masyarakat setempat. Mahasiswa

KKN telah mempraktikkan sebuah ungkapan Jawa untuk manjing

ajur ajer. Ajur berarti hancur dan ajer mencair. Secara harafiah

62

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


berarti masuk melebur dan mencair di dalamnya. Ungkapan

tersebut bermakna orang sejauh mungkin dapat menyatu dengan

lingkungan sekitar. Orang dituntut dapat beradaptasi dengan

lingkungan sekitar.

Srawung atau bergaul, bukan hanya berarti sekadar terlibat

dalam aktivitas keseharian warga dan mengenal adat setempat.

Srawung, lebih jauh lagi, bermakna membuatnya tak berjarak,

meleburkan identitas, bahkan “menjadi” warga setempat. Berkebun,

arisan, pengajian dan pos ronda adalah menjadi arena

dimana kepekaan mahasiswa diasah sekaligus diuji. Sebab, bagi

orang desa yang paling terpenting soal rasa dan soal norma. “Kalau

kita mampu mengikuti rasa dan norma, kita bisa diterima secara

utuh”, ujar Sakro.

Mata Air Pengetahuan

Aktivitas KKN sesungguhnya merupakan wahana pembelajaran

yang sangat cocok untuk menghadirkan sarjana

yang sujana. KKN merupakan experience based learning. KKN

menyediakan ruang belajar dimana semua tempat adalah sekolah

dan semua orang adalah guru. Desa menjadi ruang kelas yang

baru. Cara belajar demikian sekali lagi mensyaratkan mahasiswa

KKN untuk “bunuh diri kelas”, manjing ajur ajer. Dalam hal ini,

desa sekaligus menawarkan perspektif alternatif dalam memahami

persoalan-persoalan kemasyarakatan. Cara berfikir yang telah

mapan dipertanyakan kembali manakala mahasiswa KKN terlibat

dalam pergumulan keseharian masyarakat desa.

Pengalaman pembelajaran semacam itu, didapatkan Imam

saat KKN. Alumni prodi pembangunan sosial ini menyatakan

inti pembelajaran KKN adalah berproses menjadi seperti warga

yang didampinginya. Sebisa mungkin tidak berjarak. Ia pun

mengaktifkan seluruh indranya untuk dapat menghayati denyut

kehidupan warga yang didampinginya. Bahkan Imam mengaku

melepas jaket almameter, karena apa yang dikenakannya hanya

55 TAHUN STPMD “APMD”

63


menciptakan jarak dengan warga. Upaya membangun totalitas

penghayatan dimaksudkan untuk menggali perspektif warga desa

tentang dunianya.

Imam sendiri terinspirasi dari Buku Panduan KKN yang

menekankan bahwa KKN tidak lagi dijalankan dengan pendekatan

konvensional seperti pendekatan karitatif. Pada saat yang

sama, Imam tengah mengikuti kelas pembelajaran informal

tentang metode penelitian terlibat (partisipant observation) yang

diselenggarakan salah satu dosen STPMD “APMD”. Kedua

hal itu, dia ramu ke dalam KKN yang tengah dia jalani. Bahkan

sebelum berinteraksi secara intensif dengan masyarakat dia telah

menemukan tema yang akan diusung yakni sinergitas kampungkampus.

“Harapan saya, mahasiswa KKN bisa menjadi jembatan

implementasi keilmuan yang didapatkan di kampus untuk

menjawab persoalan-persoalan yang ada di masyarakat,” kata

Imam.

Dalam hal ini, Imam mengaku memang proses pendekatan tidak

dapat instan. Sebagai konsekuensi pilihan metode pembelajaran

yang diambil, Imam memutuskan untuk tidak terburu-buru

menentukan secara spesifik apa yang seharusnya dilakukan. Dia

merasa harus berangkat dari persoalan yang benar-benar dianggap

persoalan menurut kacamata masyarakat setempat. Dia membatasi

diri membawa perangkat pengetahuan yang didapat dari kampus

dan merasa bisa menyelesaikan persoalan dari sudut pandang

diri dia. Dia memilih memastikan bahwa persoalan yang hendak

diurai lahir dari definisi warga, bukan diri dia. “Saat itu saya ingin

mendapatkan native’s point of view, yang saya rasa menjadi fondasi

kita dalam melakukan pengabdian, “ kata Imam.

Imam dan kelompok saat itu baru mencatat dan mengikuti

berbagai pertemuan warga, tanpa banyak melakukan intervensi

Hal itu bahkan berlangsung selama satu bulan. Namun di satu

sisi, dia juga wajib melaporkan program-program KKN karena

pelaksanaan KKN dibatasi waktunya. Dia melaporkan program-

64

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


program yang tidak berangkat dari pengamatan terlibatnya

(partisipant observation). Beberapa program yang dilaporkan

misalkan, sanggar belajar untuk anak-anak dan administrasi

padukuhan.

Selepas KKN, Imam dan beberapa kawannya melajutnya misi

pengabdiannya. Dari hasil pengamatannya, dia dan kawan-kawan

beserta kepala dusun setempat bersepakat untuk mengangkat

khazanah lokal sebagai identitas bersama. Diawali dari ketertarikan

Imam tentang asal-usul Dusun bahkan Desa Jatimulyo, penelurusan

mulai dilakukan. Dalam penelurusan, Imam menemukan tokoh

lokal Cokro Joyo atau Sunan Geseng, salah satu murid Sunan

Kalijaga. Menurut Imam, ternyata tidak banyak warga setempat

yang mengetahui cerita tersebut. Berbekal informasi yang terbatas,

Imam menggali cerita pada para sesepuh kampung, atau orangorang

yang dianggap menyimpan cerita Cokro Joyo.

Dari hasil penelusurannya, bersama dengan Dukuh setempat

Badarudin, Imam berhasil menggali, mengarsipkan, dan mendokumentasikan

asal-usul Desa Jatimulyo. Beberapa nama tempat

di Desa Jatimulyo seperti Maladan, Banyu Urip, Selo Miring, Jati

Kluwih, dan Badean terkait erat dengan sang tokoh Cokro Joyo.

Masing-masing tempat juga menyimpan kekayaan nilai bermakna

tentang etos ketekunan, kesabaran, rendah hati, penghargaan

terhadap sesama, spirit pembelajaran dan keberserahan pada

Tuhan.

Sejarah lokal tentang tohoh lokal kemudian didokumentasikan

secara kreatif oleh Imam dan kawan-kawan dengan mengemasnya

dalam pertunjukan teater yang diperankan kelompok pemuda

setempat. Bersama dengan kawan-kawannya di STPMD “APMD”,

Muhamad Hidayanto dan Donni Ardiansyah, Imam menggarap

pementasan teater dengan tokoh Cokro Joyo sebagai simpul

ceritanya. Pementasan saat itu, dilakukan di Balai Desa, dan

dihadiri warga, pemerintah desa, hingga pejabat Dinas Pariwisata

dan Kebudayaan setempat. Pertunjukkan pun terbilang sukses

55 TAHUN STPMD “APMD”

65


karena mampu menyedot ratusan penonton. Pementasan dengan

lakon yang sama kemudian juga diujicobakan pada siswa-siswa

sekolah di Dusun Gayam dan juga terbilang sukses.

Hal yang membuat menarik para pengunjung adalah

keingintahuan warga terhadap sejarah dan identitas mereka.

Pementasan tentang tokoh lokal Cokro Joyo telah membangkitkan

identitas kolektif warga tentang asal-usul mereka dan merevitalisasi

nilai-nilai yang menjadi dasar kehidupan bersama. Sepeninggal

Imam dan kawan-kawan, aktivitas Teater masih berjalan hingga

dua tahun lalu. Teater bentukan Imam masih sempat menggelar

pementasan di desa mereka, namun kemudian mandeg karena

tidak ada lagi yang melatih. Meski demikian, sejarah lokal yang

didokumentasikan telah menumbuhkan kepercayaan diri warga,

bahwa sebagai orang desa mereka memiliki mutiara berharga yang

terus dirawat.

Pembelajaran serupa juga didapatkan oleh Sakro. Pengalaman

turun ke desa melalui KKN telah mengajarkan banyak hal. Bagi

mahasiswa ilmu pemerintahan ini, aktivitas kemasyarakatan,

kelembagaan, dan keluh kesah dari masyarakat sebenarnya

adalah sumber pengetahuan yang luar biasa. Dalam amatan Sakro,

lembaga-lembaga sosial yang hidup di masyarakat desa menjadi

modal sosial yang maha dahsyat dalam mengatasi berbagai

persoalan-persoalan publik. Bahkan lembaga-lembaga sosial desa

memiliki daya lenting ketika menghadapi situasi-situasi sulit

seperti pandemi. Lembaga-lembaga sosial desa bisa hidup justru

karena tidak ada support negara tetapi karena berdikari yang

dibangun dari spirit kesukarelaan (voluntarism). “Dia tumbuh

karena dasar kepentingan bersama,” kata Sakro.

Namun sebaliknya, lembaga-lembaga sosial bentukan negara

justru sangat rentan terhadap perpecahan, mudah melakukan

eksklusi, dan tidak memiliki daya tahan terhadap krisis dan tekanan

yang tinggi. Dia melihat intervensi negara dalam kelembagan sosial

di desa justru kontra produktif. Sakro mencontohkan program

66

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


penanggulangan kemiskinan di desa ternyata justru tidak membuat

kelembagaan warga semakin kuat, tapi justru menghilangkan

imaginasi kelembagaan sosial secara utuh. Pengamatan Sakro telah

membawa inspirasi untuk penulisan tugas akhir dia yang membedah

tragedi bersama pengelolaan sumber-sumber daya bersama

karena absennya kelembagaan Desa yang kuat.

Pengalaman KKN telah menghantar Sakro pada refleksi

tentang cara pandang dalam melihat perlakuan terhadap desa hari

ini. Pandangan di awal bahwa negara harus membangun desa,

mengangkat harkat martabat desa, ternyata runtuh. Setelah belajar

dari KKN, justru bekerja dengan logika terbalik. Pembangunan

banyak masuk desa tetapi tidak menyelesaikan persoalan, malah

melanggengkan persoalan yang ada, misalkan kemiskinan. Angkaangka

kemiskinan sampai sekarang juga belum banyak berubah.

KKN telah mengubah cara pandang yang sebelumnya dari atas

ke bawah, menjadi dari bawah ke atas. “Ada hal yang tidak bisa

kita samakan. Ternyata ada kekhasan dari masing-masing desa di

tanah air,” Kata Sakro.

Selain memunculkan kesadaran baru tentang cara pandang

yang berpihak pada lokalitas dan desa, pembelajaran KKN

ternyata menjadi bekal yang sangat berarti bagi mahasiswa

KKN saat memasuki dunia kerja. Lintang yang saat ini bekerja

sebagai staf Desa Ngestiharjo menuturkan, pengalaman KKN

telah membantunya dalam memahami persoalan-persoalan yang

dihadapi desa dan masyarakat desa. Saat berada di lokasi KKN,

mereka mendapatkan kesempatan mengasah kemampuan memahami

masalah, kapasitas memfasilitasi warga melalui diskusidiskusi,

menyusun rencana-rencana pembangunan. “Saya di

kam pung. Karena terlatih berorganisasi, saat di KKN tinggal

mengimplementasikan. Itu memupuk keterampilan kita ketika

berhadapan dengan warga,“ ujar Lintang.

Bahkan menurut Lintang, beberapa kawan seangkatan di

KKN-nya mengaku mendapat pengalaman pembelajaran berharga

55 TAHUN STPMD “APMD”

67


di KKN. Sejumlah teman Lintang menjadi pegiat desa di kampung

halaman masing-masing dan mereka berhimpun dalam sebuah

LSM. Mereka memahami bahwa kondisi di kampung halaman

mereka tidak semudah di Jogjakarta dalam menumbuhkan partisipasi

warga dan memberdayakan diri untuk maju dan berkembang.

Ketika mereka mendapatkan pengalaman di KKN

mereka bisa merefleksikan dengan kondisi yang ada di kampung

halaman mereka masing-masing. Mereka juga mereproduksi

berbagai pengetahuan dan ketrampilan yang didapatkan di KKN

saat mereka melakukan kerja-kerja pengabdian di kampung

halaman masing-masing. Mereka juga menerima pembelajaran

ber makna bahwa kehadiran mereka diterima masyarakat sejauh

mereka berangkat dari perspektif masyarakat.

Bagaimanapun juga, KKN telah menghadirkan pengalaman

menjadi pembelajar sejati bagi mahasiswa KKN. Sejumlah alumni

KKN STPMD “APMD” mengakui bahwa kKN memberi kesempatan

mereka untuk memetik banyak pembelajaran. Pembelajaran

di KKN menjadi bekal hidup yang berarti dalam karya-karya

pengabdian mereka setelah mereka lulus kuliah. Ini berarti

pembelajaran berbasis pada masalah yang hidup di masyarakat

menjadi mata air pengetahuan yang demikian kaya. “Tujuan

kita mencari ilmu untuk memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatan,

tapi uniknya jawaban masalah justru tersedia pada

perjumpaan dengan masyarakat sendiri, “ ujar Lintang.

Pendekatan Partisipatoris dalam Kerja Pengabdian

Saat menjalani proses KKN, mahasiswa mendapatkan

pengalaman menuangkan gagasan dan memperagakan berbagai

kecakapan dalam kerja-kerja pengabdian. Tantangan yang

terentang dalam kerja pengabdian kepada masyarakat acapkali

berhadapan dengan gap antara teori yang dipelajari di ruang kelas

dengan praktik sosial yang hidup di masyarakat. Teori maupun

konsep membutuhkan kontekstualisasi, translasi, subversi, bahkan

68

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


membuang teori. Dalam konteks itu, mahasiswa KKN dituntut

menyesuaikan pendekatan yang digunakan sesuai dengan praktik

sosial yang berkembang di masyarakat. “Kami kerja di sana

menggunakan satu pendekatan yang bernama bermasyarakat.

Menyesuaikan konteks lokal yang tidak bisa kita paksakan sesuai

dengan teori di kelas,” ujar Sakro.

Saat merancang program misalnya, mahasiswa dituntut

sejauh mungkin dapat menghadirkan program-program yang

sungguh menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat

setempat. Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian (P3M) STPMD

“APMD” menyatakan, bahkan sejak pembekalan, mahasiswa telah

ditekankan untuk menghadirkan program sesuai dengan kondisi

wilayah. Saat pembekalan, P3M selalu menghadirkan Camat dan

Lurah untuk memberikan deskripsi terkait profil, potensi serta

tantangan di wilayah KKN. Sehingga mahasiswa KKN benarbenar

memahami wilayah.

Pada saat melakukan survey awal dalam kerangka merancang

program mereka juga didampingi DPL. Sehingga setiap program

yang direncanakan didiskusikan bersama DPL sehingga terpantau

betul. Program yang telah direncanakan, lalu didiskusikan

kembali dengan warga dan dimungkinkan revisi. Sehingga apa

yang dikerjakan memang betul-betul berdasarkan kebutuhan

masyarakat. “KKN APMD memang menyentuh pada tataran

kebutuhan atas dasar perencanaan yang tepat bersama warga, “

ujar Kepala P3M STPMD “APMD”, Gatot Raditya.

Hal serupa juga disampaikan Lintang yang menyatakan

fokus program adalah pemberdayaan warga. Tantangan yang

muncul adalah bagaimana program yang dirancang tidak sekadar

berjalan di masyarakat, tapi bagaimana program berkelanjutan.

Kunci menjawab tantangan adalah mengedepankan pendekatan

partisipatoris, pendekatan yang melibatkan warga dalam setiap

keputusan. Pendekatan itulah yang dilakukan Lintang bersama

kelompok KKN. Program yang direncanakan telah didiskusikan

55 TAHUN STPMD “APMD”

69


dan dinegosiasikan dengan warga setempat, termasuk aspek

pembiayaan program. “Kita wait and see, yang penting kita diterima

dulu. Lalu kita amati apa yang sungguh mereka butuhkan, “ kata

Lintang.

Sejak awal melakukan sosialisasi KKN pada warga, P3M sudah

membangun pemahaman bahwa KKN STPMD “APMD” fokus pada

pemberdayaan masyarakat. Sehingga kalau warga mengusulkan

program-program fisik justru warga yang menanggung. Misalkan

saat warga mengusulkan pembuatan gapura, plang atau

penerangan, mahasiswa menggerakkan sumber daya yang ada.

Warga menyumbang bahan baku, seperti semen, pasir, kayu dan

bahan-bahan lain. Mahasiswa juga melakukan pendampingan

misal kan, membuatkan proposal permohonan bantuan seperti

per mohonan lampu ke salah satu pabrik lampu (GE Lighting) dan

mereka memperoleh sumbangan lampu. “Sehingga warga juga

paham, mahasiswa yang datang untuk belajar dan tidak membawa

materi menjadi sinterklas, pemasok dana, “ tambah Gatot.

Bagaimana cara agar program bisa terima masyarakat tanpa

mengeluarkan biaya atau yang sangat besar? Lintang dan kelompok

mengorganisasikan program dengan adalah menarik sumber dayasumber

daya yang ada di masyarakat. Dengan mengandalkan

kreativitas, lintang dan kawan-kawan menggunakan sumber daya

lokal. Misalkan, jika warga meminta program plangisasi maupun

neonisasi, tiang-tiang yang gunakan dari bahan-bahan lokal yang

tidak terpakai namun didesain dan diolah artistik sehingga terlihat

unik dan cukup awet.

Selain mengorganisasikan sumber daya lokal, peran mahasiswa

juga menjadi jembatan (bridging) antara warga dengan lembagalembaga

desa dan supra desa. Mahasiswa KKN menghubungkan

warga dengan sumber daya di luar desa baik berupa sumber

pengetahuan, jaringan pemasaran, dan otoritas perijinan. Sebagai

gambaran adalah program peningkatan kapasitas ekonomi

keluarga di Desa Tancep, Ngawen, Gunung Kidul.

70

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Mahasiswa KKN merancang program produk olahan

makanan berbahan lokal yang dikerjakan kelompok perempuan.

Mahasiswa juga memikirkan pemasaran produk olahan makanan.

Mahasiswa lalu mendorong agar, dalam setiap hajatan warga dan

rapat yang membutuhkan snack diminta memesan dari ibu-ibu.

Saat pemerintah kabupaten menyelenggarakan pameran produk

UMKM, mahasiswa juga menghubungkan agar kelompok para

ibu dapat mengenalkan produk mereka pada khalayak yang lebih

luas. “Mahasiswa juga menguruskan izin ke dinas kesehatan dan

membantu memperbaiki kemasan, “ terang Gatot.

Peran connecting juga tampak dari program edukasi tentang

kesehatan reproduksi pada kelompok remaja di beberapa desa

yang menjadi lokasi KKN STPMD “APMD”. Program ini banyak

diinisiasi sejumlah desa di DIY karena terdapat fenomena

pernikahan dini cukup tinggi. Mahasiswa KKN lalu memberikan

pendampingan pada remaja dan orang tua dengan menggandeng

Dinas Pemberdayaan dan KB atau Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) yang concern pada isu kesehatan reproduksi. Tak hanya

sampai memberi edukasi mahasiswa juga turut membentuk peer

group di kalangan remaja desa yang concern pada isu kesehatan

reproduksi. “Minimal menghambat tingkat kasus perkawinan usia

dini pada remaja, “ tambah Gatot.

Apa yang dikerjakan mahasiswa KKN dan warga sampai

saat ini masih dirawat oleh warga setempat. Lintang menuturkan

saat dia berkunjung ke lokasi KKN setahun lalu, hasil KKN masih

dirawat dengan baik oleh warga. Pos ronda yang dulu direhab

Mahasiswa KKN dengan warga malah semakin bagus. Program

pengarsipan data warga yang meninggal diteruskan oleh kelompok

pemuda setempat bahkan telah digitalkan dan terintegrasi dengan

sistem informasi desa. Ketika ada warga yang meninggal langsung

diinput ke sistem oleh karang taruna. “Saya senang tinggalan kami

masih di rawat dan diteruskan, “ kata Lintang.

55 TAHUN STPMD “APMD”

71


Hal serupa dituturkan oleh Kepala Dusun Gayam, Badarudin,

terkait hasil-hasil kerja-kerja pengabdian oleh Imam dan kelompok.

Selain menghidupkan sejarah lokal, Imam juga mengangkat

potensi lokal berupa pangan lokal berupa umbi yang diubah dan

diolah menjadi minuman lokal. Umbi tertentu yang oleh warga

setempat disebut lembong, difasilitasi oleh Imam dan kawankawan

menjadi sejenis minuman tradisional yang kemudian

diberi branding wedhang lembong. Minuman wedhang lembong

kemudian disajikan dalam setiap pertemuan dan hajatan warga,

bahkan sampai ke luar desa. Sajian wedhang lembong menjadi

identitas lokal warga setempat.

Tantangan KKN: Menumbuhkan Tradisi Berdesa

Menumbuhkan tradisi berdesa menjadi tantangan tersendiri

saat menjalani KKN. Masih tertancap kuat dalam benak mahasiswa

KKN dan masyarakat bahwa desa adalah situs dimana program

dijalankan dan masyarakat adalah penerima manfaat program.

Cara pandang semacam ini tentu memunggungi cara pandang

STPMD “APMD” yang menempatkan desa sebagai subyek yang

berdaulat. Bukan sebagai objek penderita. Desa adalah entitas

politik yang utuh. Dalam setiap KKN, STPMD “APMD” selalu

mendorong dan memperkuat tradisi berdesa, meski tidak mudah.

Tantangan tersebut muncul, baik dari dalam desa sendiri

maupun supra desa. Sudah sejak lama, tradisi berdesa dilemahkan.

Identitas masyarakat desa di Yogyakarta lebih diikat oleh satuan

sosial yang disebut dusun atau padukuhan. Kondisi demikian,

membuat desa sebagai entitas politik kehilangan wibawa

dihadapan warga. Tak jarang ketegangan justru muncul antara

desa dan dusun. Tidak hanya sampai di situ, desa juga mengalami

pelemahan supra desa melalui beragam program pembangunan

yang hanya menempatkan desa sebagai situs proyek pembangunan.

KKN STPMD “APMD” berada dalam medan semacam

itu. Acapkali beragam program mahasiswa KKN hanya bekerja

72

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dalam skala sangat mikro yakni pada level dusun. Dampak

program pun hanya dapat dirasakan pada skala dusun dan jarang

menghasilkan multiflier efect berikutnya. Mahasiswa juga kesulitan

untuk menariknya dalam skala Desa, karena disibukkan dengan

pernak-pernik kehidupan warga desa yang sangat mikro namun

justru rumit. Alhasil untuk menumbuhkan tradisi berdesa, belum

sepenuhnya berhasil. “ Yang kami lakukan baru ‘berdusun’,

berdesa belum kuat, “ ujar Sakro.

Namun demikian, harapan memperkuat tradisi berdesa terus

dipupuk. Lurah Desa Pacarejo Suhadi mengungkapkan sejak

kehadiran KKN STPMD “APMD” muncul kegairahan warga desa

untuk membincang persoalan-persoalan dusun pada level Desa.

Solidaritas warga mulai terbangun saat membincang masalahmasalah

bersama dengan adanya jejaring warga antar dusun.

“Untuk menumbuhkan kembali tradusi berdesa, muncul soliditas,

gotong royong warga,” kata Suhadi.

Suhadi menambahkan salah satu masalah di Pacarejo adalah

penguasaan beberapa aset yang menjadi potensi desa seperti gua

bawah tanah dan telaga oleh sekelompok warga. Padahal meski

aset teletak di dusun tertentu, bukan berarti di bawah kelompok

warga di dusun tersebut karena menyangkut hajat hidup orang

banyak. Gua bawah tanah maupun telaga menjadi sumber air bersih

di Pacarejo. Keberadaan sumber-sumber air tadi sangat vital bagi

warga. “Saya berharap tumbuhnya tradisi berdesa akan muncul,

dan ada sikap saling menghargai. Apabila fungsi akademisi APMD

bisa turun ke kami, maka akan merubah paradigma lama, “ tambah

Suhadi.

Simpul Wacana

Kisah pengabdian kepada masyarakat melalui KKN membawa

konsekuensi tidak hanya pada warga desa dan Desa. KKN

memang telah memberikan kontribusi perubahan berarti bagi

warga dan Desa. Namun lebih jauh lagi, KKN telah mengubah

55 TAHUN STPMD “APMD”

73


pelaku, mahasiswa peserta KKN. Perjalanan ke desa tidak hanya

tentang aktivitas Kuliah Kerja Nyata. Bukan pula sepenuhnya

tentang kisah pengabdian pada Desa. Namun juga tentang

metamorfosis menjadi pribadi yang semakin matang dan peka

terhadap pergulatan masalah kehidupan sehari-hari masyarakat

desa, lokal dan pinggiran.

74

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 5

KEMITRAAN CSR UNTUK

KEMAJUAN DESA

Oleh: Reiki Nauli Harahap 12

Prakata

Desa sudah seharusnya menjadi entry point. Pendekatan

sektoral sudah tidak lagi relevan untuk mengimplementasikan

tanggung jawab sosial perusahaan. Sekolah Tinggi Pembangunan

Masyarakat “APMD” menjadi juruselamat dengan menyambung

rantai yang terputus diantara multi-stakeholders (pemerintah,

swasta, masyarakat). Aktualisasi hubungan diantara multistakeholders

tersebut sepatunya terintegrasi menjadi bagian dari

“Sistem Desa”. Jika desa berdaulat, maka negara pasti kuat.

Diskursus tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social

responsibility) kian hari makin menarik untuk diperdebatkan,

demikian juga diskursus desa. Dua konsep yang jarang bertemu

dalam forum dan kajian-kajian akademis akan tetapi nyata terjadi

di masyarakat. Corporate social responsibility (perusahaan) dan desa

(masyarakat) memiliki hubungan dua arah. Dilihat dari sudut

pandang bisnis, perusahaan membutuhkan social license untuk

beroperasi yang diperoleh dari desa dan masyarakat desa. Dilihat

dari sudut pandang pembangunan sosial, desa dan masyarakat

desa membutuhkan perusahaan sebagai alternatif stakeholder untuk

pemberdayaan di Desa.

12 Ditulis dari pengalaman Ir. M. Barori M.Si, Drs, Suharyanto M.M, Drs. Hasto Wiyono MS,

Ratna Sesotya Wedadjati S.Psi M.si dan Robertus Suryantopo (Alumnus)

55 TAHUN STPMD “APMD”

75


Diibaratkan embrio, kemitraan dalam perspektif tanggung

jawab sosial perusahaan merupakan sesuatu yang cukup baru.

Fakta empirik ditemukan bahwa selama ini aktifitas tanggung

jawab sosial perusahaan hanya dijadikan sebagai “pemadam api”.

Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan sifatnya hanya

untuk meredam konflik, tidak ada proses dialog dan komunikasi

di dalamnya. Pendekatan kemitraaan dianggap sebagai wajah

baru implementasi tanggung jawab sosial perusahaan. Tanggung

jawab sosial perusahaan tidak lagi dikategorikan sebagai biaya

yang harus dikeluarkan (cost), akan tetapi tanggung jawab sosial

perusahaan merupakan salah satu bentuk investasi sosial (social

investment) sekaligus perwujudan upaya perusahaan menjadi

warga negara yang baik.

Hal yang sama juga terjadi di wacana ke-desa-an. Diskursus

desa sebagai objek kajian akademis masih memunculkan

perdebatan, salah satu diantaranya yaitu perkara perdesaan

(rural) dan desa (village). Meskipun demikian, hal yang sebenarnya

menarik dari perkembangna wacana desa adalah kelahiran UU No

6 Tahun 2014. Kebijakan tersebut sebagai sebuah produk politik

dianggap menjadi batu loncatan “semangat” untuk memuliakan

desa. Regulasi tersebut secara tegas memberikan daya kepada

desa. Desa diberikan ruang gerak untuk maju sehingga mampu

menjadi mandiri.

Artikel ini merupakan sebuah irisan kecil dari begitu

banyak pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh

sivitas akademika di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat

Desa “APMD” Yogyakarta. Meminjam judul Kemitraan CSR untuk

Kemajuan Desa, penulis akan memaparkan kegiatan-kegiatan

pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan dengan berbagai

pihak, khususnya perusahaan-perusahaan yang beroperasi

disekitar wilayah desa. Tulisan ini akan diawali dengan diskursus

kemajuan desa dan dilanjutkan dengan diskursus kemitraan CSR

dari kacamata desa serta diakhiri dengan refleksi (leasson learned)

76

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dari pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh STPMD

“APMD” Yogyakarta.

Kemitraan untuk Kemajuan

Kemajuan desa oleh STPMD “APMD” diidentikan dengan

kemandirian desa. Desa yang mandiri adalah desa yang

mampu melaksanakan fungsi pemeritahan, desa yang mampu

memberdayakan masyarakat, desa yang mampu mengelola

potensi dan permasalahan yang ada disekitarnya serta desa yang

memiliki inisiatif untuk tidak bergantung dengan pihak lainnya.

Kemandirian desa adalah sebuah proses panjang dari serangkaian

kegiatan-kegiatan.

Desa mandiri sebenarnya telah menjadi diskursus

sejak orde baru, sebagaimana tercermin dalam konsep desa

swasembada. Kemandirian desa tentu bukan “kedirian” (autarkhi)

yang berarti desa bersikap congkak, sombong, ekslusif dan tidak

mau bekerjasama dengan pihak lain, atau tidak mau diatur oleh

pemerintah. Kemandirian bukan juga berarti “kesendirian”, yang

berarti desa mengurus dan membiayai sendiri seluruh kegiatan

pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Secara filosofis,

kemandirian desa sebenarnya bermakna: bertenaga secara sosial,

berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat

secara budaya.

UU Desa No. 6 Tahun 2014 adalah asbabunnuzul atas wacanawacana

kemandirian desa. Azas rekognisi dan asas subsidiaritas

merupakan dua azas mendasari UU Desa No. 6 Tahun 2014.

Rekoginisi adalah pengakuan terhadap asal-usul sedangkan

subsidiaritas adalah penetapan kewenanagan lokal bersakala

desa dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan

masyarakat.

55 TAHUN STPMD “APMD”

77


Gambar 1. Pengabdian Masyarakat bersama PT. Agincourt Resource

UU Desa No. 6 Tahun 2014 dilihat menggunakan kacamata

pemberdayaan masyarakat telah menunaikan nilai untuk

memberikan kuasa/daya (to give power). Produk politik tersebut

secara nyata menunjukkan desa sebagai aktor yang berdiri sendiri,

sebagai pihak yang memiliki daya untuk mengelola urusannya

Gambar 2. Pola Kemitraan Pemerintah Desa

78

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


sendiri. Nilai to give power tersebut kemudian diwujudkan

dalam bentuk alokasi dana desa. Selain to give power, paradigma

pemberdayaan juga mensyaratkan nilai “menjadikan berdaya/

berkuasa” (to give enable). Upaya perwujudan nilai to give enable

dilakukan dengan pembentukan ekosistem yang “ramah” desa.

Kemitraan menjadi jalan ketiga untuk merealisasikan sebuah

ekosistem yang “ramah” desa.

Kemitraan adalah strategi utama sebagai pintu masuk

untuk menajalankan strategi advokasi kebijakan, manajemen

pengetahuan, pengembangan kapasitas dan pengorganisasian

desa. Kemitraan diwujudkan dalam bentuk dukungan dari berbagai

pihak atas upaya dan usaha desa untuk melakukan perubahan

menuju kepada kemajuan dan kemandirian. Problematika yang

selama ini sering terjadi adalah dominasi sepihak dan ego sektoral

dari berbagai pihak yang ada disekitar desa. Desa kemudian

dijadikan objek projek dan ladang pertempuran “politik”.

Kemitraan dalam konteks to give enable, maka STPMD

“APMD” berdiri sebagai fasilitator/pendamping. Desa menjadi

entry point untuk melakukan pemberdayaan kepada pihak-pihak

yang ada di dalam desa, sehingga mereka menjadi lebih mandiri.

Keterlibatan berbagai pihak berkepentingan yang ada di sekitar

desa, khususnya kemitraan tanggung jawab sosial perusahaan

merupakan alat/media untuk mewujudkan semangat to give enable

kepada desa.

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

sebagai fasilitator kemajuan dan kemandirian desa telah melakukan

banyak pendampingan, beberapa diantaranya bersama PT. Kaltim

Prima Coal di Kabupaten Kalimantan Timur dan PT Agincourt

Resource di Kabupaten Tapanuli Selatan. Sivitas akademika

yang terlibat pada pengabdian masyarakat bersama PT Kaltim

Prima Coal yaitu: Sutoro Eko Yunanto, M. Barori, Suharyanto,

Hastowiyono, dan YB. Widyohari Murdianto (Pusat Pebaharuan

Desa Berkelanjutan), sedangkan yang terlibat pada pengabdian

55 TAHUN STPMD “APMD”

79


masyarakat bersama PT Agincourt Resource adalah M. Barori,

Suharyanto, dan Hastowiyono (Pusat Pengembangan Kapasitas

Aparatur Pemerintah Desa).

Kemitraan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk

kemajuan desa bersama PT. Kaltim Prima Coal dilakukan sejak

tahun 2005-2015, meliputi 28 desa disekitar daerah tambang PT.

Kaltim Prima Coal. Pendampingan diawali dengan obersevasi

existing condition di masing-masing desa. Kondisi desa-desa

termasuk dalam kategori tertinggal (pada saat itu kebijakan

nasional yang berlaku adalah UU. 32/2004 dan PP. No72/2005)

dan apabila merujuk kepada UU Desa No 6 Tahun 2014 bahwa

empat kewenangan desa belum terlaksana dengan baik, meliputi

1) penyelenggaran pemerintahan, 2) pelaksanaan pembangunan,

3) pembinaan kemasyarakatan dan 4) pemberdayaan masyarakat.

Melalui agenda CSR, PT Kaltim Prima Coal telah dan tengah

berupaya “membangun desa” (pembangunan perdesaan) dengan

pendekatan sektoral: infrastruktur, pendidikan, kesehatan, lingkungan,

agribisnis, dan sebagainya, yang mempunyai kontri busi

terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat di Kabupaten

Kutai Timur.

Perjuangan panjang pengabdian kepada masyarakat oleh

STPMD “APMD” kemudian membuahkan hasil, salah satunya

yaitu Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) yang diresmikan

pada tanggal 21 April 2011 di Desa Rantau Makmur Kecamatan

Rantau Pulung Kabupaten Kutai Timur. Masa-masa fasilitasi juga

digunakan untuk mendampingi desa belajar menyusun Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJMDesa), Rencana Kerja

Pemerintah Desa (RKPDesa), Anggaran Pendapatan dan Belanja

Desa (APBDes), Peraturan Desa (Perdes) sampai dengan proses

penyusunan laporan pertanggungjawaban.

Kegiatan dan program fasilitasi yang dilakukan oleh STPMD

“APMD” bersama dengan PT. Kaltim Prima Coal bermuara pada

satu mimpi, yaitu memandirikan desa sebelum proses bisnis (pasca

80

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


tambang) dilakukan. Desa mampu mengelola urusannya sendiri

dan tidak lagi bergantung dengan pihak-pihak disekitar desa (PT.

Kaltim Prima Coal).

Setelah menyelesaikan pengabdian kepada masyarakat

di desa-desa sekitar PT. Kaltim Prima Coal di Kabupaten

Kalimantan Timur, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat

Desa melanjutkan proses pengabdian di desa-desa yang menjadi

mitra PT. Agincourt Resource (PT. AR) di Kabupaten Tapanuli

Selatan. PT. Agincourt Resource merupakan sebuah perusahaan

tambang emas yang berada di Kabupaten Tapanuli Selatan. Proses

fasilitasi/pendampingan dilakukan di sepuluh desa dan lima

kelurahan semenjak tahun 2015 dan masih berlangsung hingga saat

ini. Tiga desa ditetapkan sebagai desa pilot project. Pendekatan best

practices merupakan metode yang paling tepat untuk melakukan

pembangunan di desa. Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat

Desa “APMD” mengharapkan keberhasilan tiga desa “pilot project”

tersebut dapat menjadi contoh bagi desa-desa lainnya sehingga

mau melaukan perubahan.

Proses advokasi juga dilakukan sebagai bagian dari upaya

memajukan/memandirikan desa. Sekolah Tinggi Pembangunan

Masyarakat Desa “APMD” melakukan advokasi kebijakan

ke pemerintah kabupaten untuk menerbitkan produk politik

(Peraturan Bupati). Langkah advokasi ini dilakukan setalah proses

identifikasi existing condition desa-desa yang ada di Kabupaten

Tapanuli Selatan, khususnya desa-desa yang berada disekitar

daerah tambang PT. Agincourt Resource. Salah satu permasalahan

yang ditemukan yaitu struktur dan tata kelola pemerintah desa

yang jauh dari kata ideal. Advokasi kebijakan yang dilakukan oleh

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” kepada

Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan mengasilkan diantaranya

sebagai berikut:

1. Peraturan Bupati perihal Susunan Organisasi dan Tata Kerja

Pemerintah Desa (SOTK)

55 TAHUN STPMD “APMD”

81


2. Peraturan Bupati perihal Kewenangan Desa

3. Peraturan Bupati perihal Badan Usaha Miliki Desa (BUMDesa)

4. Peraturan Bupati perihal Perangkat Desa

5. Peraturan Bupati perihal Penghasilan Tetap (SILTAP) di

Pemerintahan Desa.

Peraturan Bupati sabagai produk politik diharapkan dapat

memperlancar dan mempermudah upaya STPMD “APMD” dan

pihak-pihak terkait untuk memajukan dan memandirikan desa.

Regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli

Selatan menjadi perwujudan aksi nyata kepedulian pemerintah

supra desa terhadap perkembangan dan pembangunan di desa.

Langkah tersebut dianggap sebagai upaya menepis rumor

yang selama ini ada bahwa pemerintah kabupaten akan tetap

membiarkan kondisi desa dalam keadaan minor, terdiskriminasi

dan termarjinalkan sehingga proyek-proyek pembangunan tetap

dilakukan dalam jangka waktu panjang dan terus menerus.

STPMD “APMD” melalui proses fasilitasi yang dilakukan telah

berhasil mengelaborasi berbagai kepentingan yang dibawa oleh

masing-masing stakeholders. Kealpaan ego sektoral dari berbagai

pihak dalam proses pengabdian kepada masyarakat menjadi bukti

kemampuan dan spesifikasi khusus ke-desa-an yang dimiliki yang

oleh STPMD “APMD”.

Proses-proses yang dilakukan oleh STPMD “APMD”

Yogyakarta kepada desa-desa disekitar perusahaan tersebut

pernah disinggung oleh Lawrance Kincaid pada tahun 2002.

Working paper yang berdujul The Integrated Model of Communication

for Social Change menyebutkan pentingnya “community dialogue”

dan “collective action” dalam rangka melakukan perubahan sosial

(Harahap: 2016).

82

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Gambar 3. Tahapan Pencapaian Konvergensi

Catalyst adalah faktor pemantik dimulainya sebuah

perubahan sosial. Agent of change merupakan katalisator yang

paling dominan digunakan oleh Sekolah Tinggi Pembangunan

Masyarakat Desa “APMD”. Pihak-pihak yang ada di sekitar desa,

khususnya perusahaan (PT. Kaltim Prima Coal dan PT Agincourt

Resource) dianggap sebagai agen yang dapat melangsungkan

proses perubahan di desa.

Tahapan selanjutnya yang dilakukan oleh STPMD “APMD”

adalah community dialogue. Tahapan community dialogue menjadi

sangat penting sebagai bagian dari dinamika untuk memetakan

konflik, potensi, permasalahan dan kebutuhan desa. Beberapa

hal yang kemudian dilakukan selama proses community dialogue

adalah identifikasi existing condition di masing-masing desa melalui

penelitian, diskusi terarah dan public hearing. Tahap community

dialogue ini berakhir dengan perumusan strategi dan langkahlangkah

kongkret yang akan dilakukan oleh pihak-pihak yang

berkepentingan.

Tahapan akhir dari upaya pencapaian konvergensi adalah

aksi bersama (collective action). Pada tahapan ini masing-masing

pemangku kepentingan berkolaborasi dan bekerjasama untuk

mencapai perubahan sosial yang telah disepakati bersama. STPMD

“APMD” sebagai fasilitator mengorganisir pihak-pihak terkait.

55 TAHUN STPMD “APMD”

83


Proses mengorganisir ini dilakukan untuk menggali upaya-upaya

pemecahan masalah yang dihadapi desa dan didistribusikan

kepada pihak-pihak yang memiliki kemauan dan disesuaikan

dengan kemampuannya. Beberapa hal yang dilakukan oleh STPMD

“APMD” adalah mendorong Pemerintah Kabupaten Tapanuli

Selatan untuk menerbitkan Peraturan Bupati berkaitan dengan

urusan desa, mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

di Desa Rantau Makmur Kecamatan Rantau Pulung Kabupaten

Kutai Timur dan restrukturisasi kelengkapan pemerintah desa.

Seluruh proses tersebut kemudian bermuara pada satu hal yaitu

pembaharuan desa untuk kemajuan dan kemandirian desa.

Alumnus dan DNA Pengabdian

Robertus Suryantopo merupakan salah satu alumnus STPMD

“APMD” yang secara nyata mengabdikan dirinya sebagai agen

perubahan dan pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 1982

Robertus Suryantopo memantapkan dirinya masuk ke Prodi Pembangunan

Sosial (dahulu sosiatri).

Aktivitas pengabdian kepada masyarakat diawali dengan

jabatan sabagai seorang tenaga lapangan “Tenaga Pengembang

Kelompok Swadaya” (TPKS). Setelah menyelesaikan pendidikan

di STPMD, Robertus Suryantopo bekerja sebagai seorang trainer

yang kemudian melatih para calon-calon pemberdaya masyarakat

(Pembina wilayah). Aktivitas diawali dengan program plasma

perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT. Tania Selatan.

Pendekatan yang digunakan adalah “sistem kesatuan ekonomi”

(community/group based). Masyarakat sebagai penerima manfaat

dianggap sebagai sebuah kesatuan utuh atau kelompok. Pendekatan

kelompok ini dianggap lebih efektif karena menjadikan kelompok

sebagai jaminan keberlansungan program.

Proses “rekayasa sosial” juga dilkaukan oleh Robertus

Suryantopo untuk merubah pola pikir dan perulaku masyarakat di

perkebunan plasma kelapa sawit. Aktifitas rekayasa sosial “social

84

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


engineering” tersebut merupakan salah satu bentuk pendekatan

yang sering digunakan dalam proses pembangunan masyarakat.

Rekaya sosial dilakukan untuk memastikan masyarakat siap dengan

perubahan-perubahan yang akan terjadi di waktu mendatang.

Masyarakat yang tidak siap dengan perubahan cendrung akan

menolak atau justru kembali ke keadaan sebelumnya.

Robertus Suryantopo sangat getol dalam aktifitas pembangunan

masyarakat. Selah merasa cukup puas dengan kegiatan

yang dilakukan di perkebunan plasma kelapa sawit tersebut,

aktifitas membangun masyarakat dilanjutkan di berbagai daerah

diantaranya Timor leste, Papua dan Kalimantan.

Bekerja di bawah payung keorganisasian Oxfam, Robertus

Suryantopo hadir sebagai fasilitator pembangunan masyarakat.

Proses pembangunan tersebut diawali dengan pemberian akses air

bersih kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan kualitas

kehidupan masyarakat yang difasilitasi. Secara makro, tugas

Robertus Suryantopo sebagai fasilitator adalah untuk meningkatkan

kualitas sumber daya manusia.

Bahasa menjadi kendala yang dihadapi oleh Robertus

Suryantopo selama proses pembangunan masyarakat dilakukan.

Timor Leste sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki

bahasa nasional sehingga dalam aktifitas kemasyarakatan setidaknya

terdapat tiga bahasa yang digunakan yaitu Bahasa Indonesia,

Portugis dan Inggris.

Dilihat dari sudut pandang proses pendampingan atau

fasilitasi di masyarakat, kemampuan seorang fasilitator untuk

meng gunakan bahasa lokal adalah sebuah keuntungan. Penggunaan

bahasa sebagai simbol atau media yang dimengerti masyarakat

menjadikan fasilitator sebagai sosok yang berasal dari dalam

masyarakat. Komunitas menjadi lebih percaya dan bersedia

bersama-sama melakukan perubahan sosial.

Pekerjaan sebagai seorang aktor yang melakukan pemberdayaan

di masyarakat terus dilanjutkan oleh Robertus

55 TAHUN STPMD “APMD”

85


Suryantopo. Setidaknya tiga bulan dihabiskan oleh Robertus

Suryantopo di Timor Leste dan kemudian melanjutkan aktifitasnya

di PT Freeport di Papua. Robertus Suryantopo melakukan

program pemberdayaan masyarakat di sebelas kampung di

sekitar PT Freeport dengan suku atau adat yang berbeda antara

kampung yang satu dengan kampung yang lainnya. Setalah dua

tahun bertugas sebagai agen perpanjangan tangan PT. Freeport di

masyarakat, Robertus Suryantopo melanjutkan aktifitasnya di PT.

Kaltim Prima Coal dan juga perusahaan tambang batu bara Barito

Pacific.

Kendala yang kemudian dihadapi dan menjadi tantanga

bagi Robertus Suryantopo adalah berkaitan dengan budaya

dan adat di masyarakat. Robertus Suryantopo menilai bahwa

mayoritas masyarakat belum siap untuk melakukan perubahan

yang prosesnya difasilitasi oleh pihak-pihak dari luar (peruahaan).

Anggapan bahwa perusahaan sebagai mesin ATM tidak terjadi

hanya di Papua, akan tetapi di Kalimantan dan juga di Sumatera.

Hal tersebut menjadi problematika yang terjadi dari tahun ke tahun

dan bahkan terkesan seperti dilestarikan.

Robertus Suryantopo mengatakan bahwa tanggung jawab

sosial perusahaan adalah aktivitas “menunggangi dan ditunggangi”.

Menunggangi tanggung jawab sosial perusahaan

dibuktikan melalui ketidakseriusan pihak perusahaan untuk

melakukan pembangunan di masyarakat. Robertus Suryantopo

merasa bahwa beberapa perusahaan atau organisasi tidak serius

dalam melakukan pembangunan masyarakat dan membatasi

akses keuangan yang akan dijadikan sebagai program-program

pemberdayaan masyarakat.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan diibaratkan dua sisi

dari sebuah koin. Selain menunggangi, Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan juga ditunggangi oleh berbagai pihak. Pemerintah,

masyarakat dan organisasi-organisasi yang ada dimasyarakat

melihat tanggung jawab sosial perusahaan sebagai ladang bisnis.

86

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Tanggung Jawab Sosial ditunggangi oleh pemerintah untuk

mendapatkan “tambahan” dan tanggung jawab sosial perusahaan

ditunggangi oleh masyarakat sebagai sumber pendanaan alternatif

sehingga mendapatkan dana yang berlimpah. Masyarakat juga

tidak segan untuk membenturkan perusahaan yang satu dengan

perusahaan yang lainnya, sehingga terjadi kompetisi dalam

aktifitas tanggung jawab sosial perusahaan. Padahal “kemitraan”

adalah pendekatan yang paling sempurna untuk menyikapi

tanggung jawab sosial perusahaan.

Puncak dari kiprah Robertus Suryantopo sebagai seorang

ahli pemberdayaan masyarakat adalah menjadi Senior Manager di

PT. Gudang Garam yang fokus pada pengembangan perkebunan

plasma kelapa sawit. Kemitraan antara perusahaan dan desa

(masyarakat) terlihat nyata terjadi. Robertus Suryantopo dengan

kekuasaan dan keahlian yang dimiliknya melakukan berbagai

macam bentuk program pemberdayaan masyarakat di komunitas

perkebunan plasma kelapa sawit, salah satu diantaranya yaitu

mendirikan minimarket yang dikelola langsung oleh masyarakat.

Leason Learned

Pada 17 November 2020, STPMD “APMD” Yogyakarta genap

berusia 55 tahun. Perjalanan panjang yang tidak memiliki ujung.

Pengabdian kepada masyarakat (Tri Dharma Perguruan Tinggi)

hanyalah tempat pemberhentian sementara untuk kemudian

melanjutkan perjalan menjadi Perguruan Tinggi yang berpihak

kepada desa.

Pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan di desadesa

di sekitar wilayah tambang PT. Kaltim Prima Coal dan PT

Agincourt Resource hanyalah salah dua contoh dari berbagai

mecam kegiatan pengabdian kepada masyarakat, baik yang telah

dilakukan ataupun yang sedang berlangsung. Sekolah Tinggi

Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” hadir sebagai pemantik

(trigger) api semangat untuk memuliakan desa. “Api semangat”

55 TAHUN STPMD “APMD”

87


ini harus dijaga kobarannya dengan aksi bersama (collaborative

action), sehingga semua pihak (pemeintah-swasta-masyarakat)

berkontribusi dan merasa bertanggung jawab. Teori tanggung

jawab sosial perusahaan menyebutkan bahwa salah satu wujud

aktualisasi kontribusi dan tanggung jawab itu adalah dengan

membentuk departemen/divisi/bagian yang secara khusus

mengurusi perihal tanggung jawab sosial perusahaan. Hal tersebut

dibuktikan oleh PT. Kaltim Prima Coal dengan membentuk

departemen bernama community relation, dan PT Agincourt

Resource dengan pembentukan struktur kelembagaan bernama

community empowerment.

Sosok Robertus Suryantopo (alumnus) menjadi bukti bahwa

roh sebagai seorang motor penggerak pembangunan di masyarakat

sudah melekat didalam jiwa civitas akademik Sekolah

Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa. Pengalaman Robertus

Suryantopo mengjarkan kita bahwa praktik tanggung jawab

sosial perusahaan memang masih belum sempurna “ditunggangi

atau menunggangi”. Meskipun demikian tanggung jawab sosial

perusahaan juga memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga

menjadi alat yang tepat apabila digunakan di masyarakat.

Leason learned yang dapat kita refleksikan dari pengalaman

pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh Sekolah

Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” adalah, bahwa

memandirikan desa merupakan sebauh proses yang panjang.

Sebuah rangkaian kegiatan yang tidak mungkin dapat dilakukan

sendiri oleh pemerintah maupun perusahaan. Dengan berbagai

keterbatasan dan permasalahan, baik yang disadari maupun yang

tidak disadari, pemerintah desa membutuhkan kerjasama dan

keterlibatan berbagai pihak untuk mempermudah dan melakukan

akselerasi proses perubahan serta pembangunan di desa.

Kemitraan dianggap pendekatan yang paling ideal. Peningkatan

interaksi multistakeholders (pemerintah-swasta-masyarakat)

diharapkan terjadi kerjasama yang saling menguntung kan

88

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


(Krisdyatmiko: 2012). Hubungan kemitraan antara desa dan

perusahaan diharapkan bersifat multiarah. Tanggung Jawab

Sosial Perusahaan (CSR) merupakan salah satu media (tools) yang

dapat digunakan oleh perusahaan untuk memberikan kontribusi

pembangunan di desa.

Tulisan ini, dengan berbagai keterbatasan yang dimilikinya

hanya mampu mendokumentasikan dan memetakan dua bentuk

kontribusi dari begitu banyak aktifitas penelitian dan pengabdian

yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat

Desa “APMD” terhadap desa dan diskursus desa. Tulisan ini

diharapkan dapat memperjelas posisi Sekolah Tinggi Pembangunan

Masyarakat Desa “APMD” sebagai institusi pendidikan yang

berpihak pada desa dan masyarakat desa. Terima kasih penulis

ucapkan kepada M. Barori, Suharyanto, Ratna Sesotya Wedadjati,

dan Robertus Suryantopo (Alumnus) atas partisipasinya dalam

proses penulisan artikel ini.

Daftar Pustaka

Krisdyatmiko. 2012. “Kemitraan Pemerintah-Swasta-Masyarakat

dalam bingkai forum multistakeholder Corporate Social

Responsibility (MSH-CSR)”. Dalam Susetiawan, dkk (eds),

Corporate social responsibility: komitmen pemberdayaan masyarakat.

Yoyakarta. Azzagrafika.

Harahap, Reiki Nauli. 2016. Pemberdayaan Difable Tuna Netra

oleh multistakeholder di Kabupaten Cilacap. Universitas Gadjah

Mada. Yogyakarta. Indonesia.

UU No 6 tahun 2014. Pemerintah Republik Indonesia. Indonesia.

55 TAHUN STPMD “APMD”

89


90

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 6

JARINGAN, GERAKAN

& PEMBELAJARAN

BERDESA MULAI DARI PIKIRAN,

PEMBELAJARAN, JARINGAN

DAN GERAKAN 13

Oleh: Siti Sumaryatiningsih

STPMD “APMD” terlahir dengan nama Akademi Pem bangunan

Masyarakat Desa (APMD) secara resmi pada 17 November

1965 dengan jurusan Pembangunan Masyarakat Desa. Jadi APMD

memang terlahir atas spirit membangun masyarakat desa yang

mana menyiapkan lulusannya sebagai “dokter masyarakat”,

penggerak pembangunan masyarakat, mengajak masyarakat

menjadi penggerak dalam pembangunan, bukan menjadi penonton.

Spirit ini sangat kental karena pendiri APMD, Drs Soetopo,

M.M sangat banyak terinspirasi dengan pidato Soekarno tentang

nation and character building, rencana pembangunan 80 tahun

oleh “Brain Trust” yang dipimpin Prof. Ir. Herman Johannes

dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) dengan

jangka waktu setiap 8 tahun setiap tahapnya. Dari tahapan

pem bangunan tersebut muncul gagasan dalam menyediakan

tenaga yang mampu menjembatani antara sarjana di tingkat atas

dan komisaris pembangunan di tingkat bawah yang notabene

berpendidikan SLTA yang mendapatkan pendidikan 6 bulan

tentang pembangunan masyarakat. Hingga saat ini sudah puluhan

13 Tulisan ini hasil wawancara dengan narasumber Dr. Sutoro Eko Yunanto, Anom

Surya Putra, SH, M.H, Drs. Farid Hadi Rahman, dipl. Ing.,M.E

55 TAHUN STPMD “APMD”

91


ribu lulusannya yang tersebar di seluruh nusantara mengabdi

pada negara dan masyarakat dalam membangun desa. Dalam

perjalanannya nama APMD berubah menjadi STPMD “APMD”

sejak tahun 1989 dengan 3 Jenjang Program S1 dan 1 Jurusan

Jenjang Program D3. (Soetopo, 2015)

Menurut Sutoro Eko, “Sang Begawan Desa”, hingga tahun

1999 konteks orde baru sentralistik dan birokratik terhadap desa.

Frame ini mengisolasi aktifitas tridharma Perguruan Tinggi yaitu

Pendidikan, pengabdian dan penelitian dari dunia politik.

“Dalam tridharma, kita kritis membaca Robert Chamber

membangun desa dari belakang. Selama orba pembangunan

desa dari depan yang didukung oleh para ilmuwan pelaksana

professional yang sebenarnya tidak banyak membawa perubahan

fundamental, hanya fisik dan wajah desa yang berubah. APMD

kritis dalam hal itu, pun dalam mengajarkan ke mahasiswa.

Diskursus aspirasi desa, kebijakan pemerintahan ilmu pengetahuan

tidak terhubung. Pengabdian masyarakat penting

untuk membangun kepekaan terhadap denyut kehidupan desa,

ini jarang dilakukan. Pengabdian institusional lebih banyak

penyuluhan, induksi pengetahuan, teknologi dan program

kampus dimasukkan ke desa. Di satu sisi menyerap dengan

baik ajaran Robert chambers membangun desa dari belakang

pengabdian melakukan penetrasi iptek dari desa, ini kontradiktif.

1998 sebelum 1999 APMD banyak diskusi bagaimana melakukan

reform perubahan cara pandang. Situasi belum memungkinkan

di waktu itu dulu kita punya kepekaan terbatas dari dunia lokal

mengkritisi UU No.5 Tahun 1979. Banyak pengetahuan kritis,

literatur, belum terhubung dengan baik.”

Menurut Sutoro Eko, ilmu belum amaliah dalam arti besar,

dalam arti kecil masih menggunakan cara developmentalis, mengajari

orang desa dengan administrasi pemerintah desa. Pengabdian

dilakukan tanpa menyentuh pemberdayaan dan kebijakan di level

lokal maupun nasional.

92

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Perubahan Paradigma:

Belajar dari Kampus ke Kampung menjadi Belajar dari Kampung

ke Kampus

Tahun 1999 tonggak penting “APMD” dalam memuliakan

desa. Komitmen APMD secara historis etik moral keilmuan

terhadap desa tentu tidak perlu di pertanyakan, dari namanya

sudah tercermin visinya. Perubahan orientasi “APMD” adalah

hasil kristalisasi pengetahuan, jaringan, gerakan dan kebijakan.

Pada tahun ini terdapat dua hal penting dalam kiprahnya.

Pertama, APMD mulai bergerak keluar kampus, berjejaring

dengan stakeholder desa dan ikut berkontribusi langsung dalam

melahirkan kebijakan penting bagi desa. Pada titik ini APMD

tidak lagi menjadi menara gading dan gudang para ilmuwan desa.

Kedua, momentum penting berakhirnya rezim UU No. 5 Tahun

1979 dan digantikan dengan UU No. 22 Tahun 1999, tentang

pemerintahan darerah. Munculnya UU ini memberikan spirit baru

dalam keragaman otonomi dan spirit berdesa. Dari kedua faktor

tersebut kemudian mengalir dengan berbagai kegiatan jaringan,

NGO, penggiat desa dan pengambil kebijakan dalam hal ini

kementrian desa dan DPR.

Tahun 2000 APMD ikut terlibat dalam jaringan FPPM

(Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat), forum itu mulai

membicarakan otonomi masyarakat desa. Lappera bekerjasama

dengan Ford Foundation, mengkaji parlemen desa, Badan

Perwakilan Desa (BPD). Lappera memegang andil besar dalam

pembicaraaan desa di awal. Lappera yang dirintis Dadang

Juliantara dan Agung Wibawanto menggulirkan Pembaruan desa,

politik otonomi dan demokrasi desa. Lappera juga menginisiasi

Forum Komunikasi BPD dari level Kecamatan hingga Nasional.

Diskursus desa cukup kuat digaungkan, sering ada forum diskusi

FPPM dan Lappera. LSM lain yang terlibat adalah USC Satunama,

CD Bethesda, Cindelaras. Dalam sebuah diskusi di Desa Panggang,

Gunung Kidul, berbagai pihak hadir melahirkan pemikiran otak atik

55 TAHUN STPMD “APMD”

93


gathuk, desa itu jika diperjuangkan agar Demokratis, Emansipatoris,

Sejahtera, Adil. Desa menjadi subjek jika demokrasi dan emansipasi

tumbuh dan melahirkan kesejahteraan, itu adil. Desa milik rakyat,

bukan milik elit. Selain itu, spirit otonomi dan demokrasi belum ada

distribusi uang, memberikan peluang tanpa uang.

Tahun 2001 desa mulai bergejolak dengan menguatnya

parlemen desa. Konflik antara lurah desa dan parlemen desa mulai

terasa, sampai ada plesetan BPD “Badan Provokasi Desa “. Dari

situ desa mulai bergerak, APMD turut serta dalam memfaslitasi

lahirnya demokrasi dengan asosiasi Asosiasi Kepala desa, Asosiasi

Perangkat Desa juga mulai terbentuk. Dinamika desa semakin

hangat. Desa bergerak maka akan menghasilkan kebijakan yang

memihak. Tumbuhnya asosiasi ini menjadi embrio tumbuhnya

gerakan civil society di desa. Asosiasi ini diharapkan memperkuat

masyarakat bukan alat menindas rakyat.

Titok Hariyanto, sebagai organisasi profesi tidak masalah

muncul organisasi-organisasi asosiasi tersebut, yang menjadi

masalah organisasi tersebut difungsikan menekan suara kritis dari

masyaraakat.

“Bicara substansi demokrasi yang penting dibangun pada pemdes,

asosiasi BPD, memperkuat masyarakat, memperkuat rakyat.

Di beberapa desa sudah muncul, ada yang mengorganisasir

kelompok perempuan, difabel, beberapa kelompok yang

diorganisir mampu mendorong perubahan di tingkat desa.

Meski tidak fundamental bisa memberikan warna yang berbeda.

Pemdes hari-hari harus berdiskusi dan berdialog. Belum menguat

di level kabupaten, masih sectoral. Merajut kepentingan mereka

belum terbentuk. Embrio Gerakan sosial sudah muncul tapi

belum ada di tingkat kabupaten. Butuh transformasi gagasan,

nilai di level desa, menjadi semakin luas gerakannya. Rajutan

pada level kabupatennya. Ini mengimbangi tekanan politisasi

sering digunakan asosiasi profesi asosiasi pemdes. Mereka

memiliki kepentingan sendiri tanpa memiliki keterkaitan kuat

dengan masyarakat desa”.

94

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Tahun 2001- 2005 APMD memperoleh pengalaman penting

dengan dukungan dana dari Ford Foundation. APMD mulai

turun melihat dinamika desa secara langsung di berbagai wilayah

di Indonesia melalui penelitian. Isu yang berkembang yaitu BPD

sebagai arena baru kekuasaan dan demokrasi di desa, masyarakat

adat dan isu lainnya. Pengalaman di aras lokal disampaikan pada

pidato pertama saat Sutoro Eko diangkat menjadi ketua STPMD

“APMD” melalui pemilihan yang demokratis, dinamis, langsung,

pada 17 November 2002. Dalam pidatonya Sutoro Eko juga bertekad

menjadi Begawan Desa. APMD melibatkan diri pada ruang

kehidupan desa, ruang gerakan maupun ruang kebijakan. APMD

harus mendorong perubahan desa melalui tiga arena perubahan

yaitu pemikiran dan pengetahuan, gerakan dan kebijakan.

FPPM mengalami pemekaran pada Bulan Juli 2003, dimana

FPPM Fokus partisipasi masyarakat dan kebijakan publik dan

FPPD (Forum Pengembangan Pembaharuan Desa) fokus untuk

desa. Pada bulan September 2003 banyak tokoh berkumpul lagi

membicarakan konsep pembaruan atau pembaharuan desa.

Konsep ini disesuaikan konteksnya dalam Bahasa Inggris,

pembaruan adalah renewal, sedang pembaharuan adalah reform.

Maka kalimat pembaharuan disepakati dan lahirlah FPPD sebagai

Forum Pengembangan Pembaharuan Desa. FPPD mengkonsolidasi

pemikiran dan gerakan kebijakan terkait desa. Mulai dari sini

agak sulit memisahkan antara STPMD “APMD” dan FPPD, ibarat

FPPD mainboard maka APMD Processor. Hal ini dibenarkan oleh

Farid Hadi, Pasca reformasi, 2003 FPPD mengkaji desa pasca

reformasi. Fokus kajian pada distribusi fiskal, dari pusat ke desa,

negara ke desa, berhenti setelah reformasi. Hasil penelitian FPPD

menyatakan bahwa semua fokus pada perubahan desentralisasi

daerah minus desentralisasi desa. Riset berikutnya kajian nasional

dari Sumatera hingga Papua tentang peluang transfer fiskal yang

baru. Farid mendapat kesempatan melakukan riset di Kepulauan

Selayar. Hasil riset menyatakan bahwa Kepulauan Selayar sangat

55 TAHUN STPMD “APMD”

95


progresif sebagai salah satu pelari terdepan memberikan alokasi

dana desa di masa pasca orba, pasca reformasi. Sumatera Barat

juga ada kebijkan mengenai Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN).

Praktek baik ini juga ada di beberapa Kabupaten lain seperti

Kebumen, Magelang dan Tuban. Kebijakan dalam bentuk transfer

fiskal dari daerah ke desa, Dana Alokasi Desa (DAD) mendorong

otonomi desa.

Menurut Farid Hadi, hasil penelitian ini menunjukkan 10%

dari sisa DAU yang dipakai untuk kebutuhan umum, gaji operasional,

menyebutkan ADD hanya sisanya sisa. Ini gebrakan pertama

daerah melakukan bimbingan memperjelas posisi desa. Desa

dengan sumber daya luar biasa perlu diperhatikan. Banyak daerah

belum memberikan ADD, belum memberikan hak desa. Hasil riset

ini kemudian dibukukan dengan judul alokasi dana desa.

Pengalaman ADD di beberapa daerah direspon dengan

terbitnya Surat Edaran dan dipertegas dalam UU No. 32 Tahun

2004 dalam perubahan, ADD masuk menjadi bagian dari transfer

fiskal. Momentum penting berikutnya adalah pada awal 2004 ada

pertemuan di Hotel Brongto dihadiri oleh perusahaan, pemerintah

pusat, daerah dan desa. Dalam momen ini embrio jaringan STPMD

“APMD”mulai terbentuk. Perkenalan pertama Hasto Wiyono,

dosen STPMD “APMD” dengan Nurul Karim, Kalimantan Timur,

kemudian Kerjasama secara kelembagaan antara STPMD “APMD”

dan Pemerintah Daerah bermula.

Di tahun ini juga banyak pembicaraan menggugat UU

No. 22 Tahun 1999 yang dinyatakan sebagai otonomi liberal

dan kebablasan. Suasana kebatinan saat itu para Bupati berani

“melawan” Gubernur, Gubernur melawan Presiden, konfliktual,

lurah dan BPD, kadang dengan DPRD. Dalam pembahasannya

desa tetap tidak tersentuh hingga lahirnya UU No. 32 Tahun 2004.

APMD menjadi salah satu aktor utama dengan membedah UU

No. 32 Tahun 2004 di kampus. Ada banyak catatan kekecewaan

atas kelahiran UU ini, diantaranya munculnya birokratisasi di

96

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


desa dimana sekretaris desa adalah PNS. Di sisi lain kewenangan

parlemen desa dalam hal ini BPD dipreteli atas nama demokrasi.

Seperti pendapat Titok Hariyanto dalam wawancaranya:

“Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ada banyak konflik seperti

mengurangi mreteli kewenangan yang dipunyai BPD, dimana

BPD tidak punya kontrol ke pemdes. Di UU 32 mengebiri,

mengecilkan peran BPD, BPD menjadi Badan Permusyawaratan

Desa, permusyawaratan, mestinya Lembaga perwakilan, sebagai

parlemen desa lebih cocok. BPD tidak lagi bisa mengusulkan

pencopotan kades. Peran BPD kecil, orang melihatnya BPD

lembaga tidak bergigi sampai sekarang sebenernya. UU Desa

desain ke arah sana belum cukup kuat. Peran BPD kurang

optimal dalam UU desa, tukang stemple bagi pemdes, bukan chek

and balances.”

Namun demikian ada satu poin penting yang menjadi progress

dalam perjuangan desa yaitu mengenai sumber keuangan desa.

Sumber keuangan desa tidak lagi bantuan tapi bagian yang tersurat

sebagai dana perimbangan. Secara politis posisi desa menguat

dengan adanya dana perimbangan, desa mendapatkan haknya

atas kue pembangunan. Pada 2005 STPMD “APMD” tambah kuat

internal dan eksternal. Secara internal, April 2005 melaunching

buku sebagai produksi pengetahuan, pengalaman dan gerakan

yanng telah dilakukan. Buku Transformasi Ekonomi Politik Desa

(Gregorius Sahdan). Pada November 2005, juga melaunching 5

buku, salah satunya berjudul Manifesto Pembaharuan Desa, 40

tahun STPMD APMD. Secara eksternal STPMD “APMD” telah

mengukuhkan posisinya dalam jaringan gerakan dan kebijakan.

Sebarai upaya mereproduksi pengetahuan maka M. Barori,

Suharyanto, dan Widyohari merintis pelatihan setelah PP No. 72

tahun 2005 lahir. Pertengahan 2005 pengalaman pertama APMD

menyelenggarakan pelatihan dengan peserta dari Polewali Mandar.

Dalam pelatihan yang dihadiri Bupati dan kades ini menjadi arena

transfer pengetahuan di mana APMD memperoleh cerita aspirasi

55 TAHUN STPMD “APMD”

97


dan daerah dan sebagai timbal baliknya APMD memberikan

pembelajaran berdesa dan mempengaruhi kebijakan kabupaten.

Perkembangan berikutnya pada tahun 2005 pemerintah

dan DPR memecah UU No. 32 tahun 2004 menjadi UU pilkada

dan UU desa. Disini peran kunci STPMD “APMD” dimainkan.

Kampus menjadi ajang diskusi tentang posisi desa yang tidak

berkesudahan. Hingga tahun 2006 APMD terlibat dalam

lokakarya kedudukan dan kewenangan desa di Jakarta. Diskusi

ini memperkenalkan memetakan ada 3 kedudukan desa, self

governing community, local state government dan local self government.

Yando Zakaria, memperkenalkan konsep rekognisi, selfgoverning

community. Sementara Sutoro Eko, saat itu menjabat sebagai

tenaga ahli di kemendagri mempunyai posisi strategis dan akses

ke daerah semakin luas. Akses ini memberikan pengetahuan baru

dengan menemukan dan menyerap aspirasi local desa. Suara dari

desa terpencil dan daerah tertinggal seperti NTT dapat terdengar

dan diperdengarkan sebagai pengetahuan sekaligus membangun

kekuatan gerakan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan.

Secara tidak langsung jaringan STPMD “APMD” semakin

meluas, pengetahuan bertambah dan gerakan semakin termaknai.

Menurut Farid, di tahun 2005 FPPD menuliskan pengalaman dan

pengetahuan pada majalah MUDIK tentang perkembangan desa.

Majalah ini menjadi ditunggu di daerah. Saat itu belum popular

medsos, di situ Sutoro Eko yang juga ketua FPPD membongkar

pemikiran tentang desa. Diseminasi informasi mengenai desa

bertumpu pada majalah ini.

Membidani Lahirnya UU Desa

Gerakan APMD semakin masif bersama jaringan ikut terlibat

aktif membidani lahirnya UU Desa. Mulai dari proses pembuatan

Naskah Akademik hingga menjadi UU Desa. Januari – Agustus

2007 bersama FPPD dan Dirjen PMD menyusun Naskah Akademik

UU desa. Sutoro Eko mengusulkan konsep subsidiaritas, yang

98

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


merupakan kristalisasi pengetahuan dan pengalaman local desa.

Subsidiaritas dalam bahasa formal dapat dikatakan sebagai

kewenangan lokal berskala desa. Sementara Yando Zakaria bersama

Ari Dwipayana mengajukan konsep rekognisi. Pada bulan Agustus

Naskah Akademik selesai dengan beberapa catatan, pertama,

secara akademik belum kuat spiritnya, kedua, aspek historis lemah.

Dalam naskah akademik didominasi 2 konsep desa, rekognisi dan

subsidiaritas. Kedua konsep itu kemudian menjadi ruh UU Desa.

Orientasi masa depan desa, dimana desa dipandang sebagai entitas

di mana desa itu otonom, memiliki kewenangan yang lebih jelas

dalam mengambil keputusan dan dana desa harus jelas, karena

uang tanpa uang sama saja bohong, uang tanpa duang percuma.

Pelajaran penting lain pada tahun 2008 -2009 yaitu adanya

PNPM mandiri pedesaan. Bagi STPMD “APMD” PNPM tidak

masuk dalam sistem desa, masuk ke dalam desa melalui desa tetapi

tanpa desa. Sementara Sutoro Eko menganggap bahwa program ini

seperti “menarik sapi kurus dengan tali yang besar dan panjang”. PNPM

menggaungkan jargon satu desa satu rencana satu anggaran. Desa

itu banyak jadi lokasi dan obyek, banyak rencana, seperti pasar,

ini disebut fragmentalis. Kondisi ini menjadi semangat dan spirit

sendiri dalam Gerakan Desa Membangun. Pengetahuan dan

gerakan sosial semakin banyak tidak tumbuh kuat kalau tidak

masuk di politik. Gayung bersambut dengan terpilihnya Budiman

Sujatmiko duduk di DPR dan menjadi jangkar RUU Desa. Budiman

Sujatmiko berhasil membawa isu desa dari pinggir ke tengah.

RUU yang diinisiasi memasukkan konsep subsidiaritas

dan diterima tahun 2010. Konsep kewenangan lokal berskala

desa, diterima setelah proses dan diskusi yang panjang. Konsep

rekognisi masih alot dibicarakan. Peran Sutoro Eko menjadi tenaga

ahli di kemendagri menjadi sangat strategis dalam merajut aspirasi

dan ide, mengorganisir jaringan serta mempengaruhi kebijakan.

Desa dengan pengalaman-pengalaman local yang baik mampu

memberi warna yang berbeda atas pengakuan pada kemampuan

55 TAHUN STPMD “APMD”

99


desa dalam mengelola dirinya. Pengalaman dan kearifan berskala

desa turut mewarnai pasal demi pasal dalam UU Desa.

Praktik baik dan kekuatan mulai temukan di kawasan kerja

di ACCESS pada tahun 2011. Lesson learn dari kawasan timur

NTT, NTB Makasar mewarnai dialog substansi UU Desa. APMD

bersama FPPD, IRE mengkaji dan mengambil mutiara tersebut

dan dibahas dalam diskusi nasional. Desa bersuara salah satunya

desa di Rapoa, Bantaeng. Desa mampu mengubah pangan Jakarta

bahwa desa mampu menngelola dirinya sendiri. Substansi

rancangan UU desa semakin tajam dengan suntikan pasal-pasal

tentang kemandirian desa dan desa menjadi subjek bukan obyek.

Selain itu, pemberdayaan fungsinya adalah kepercayaan, desa

tidak akan berdaya kalau tidak dipercaya.

Pada Januari 2012 mulai terbentuk pansus dinahkodai oleh

Ahmad Muqowam, maka Sutoro Eko, Abdul rozaki, Ari Sujito

mulai menggagas dan mengkonsep draft RUU. FPPD dan IRE,

Barori dan Hasto Wiyono, mengumpulkan survei data uang

masuk desa, dari berbagai daerah mitra kita yang telah terbangun

sejak 2005 melalui pelatihan. Hasto meng-entry dan mengolah

data bermalam-malam tanpa bayaran. Pansus mengadakan Rapat

Dengar Pendapat Umum (RDPU). Dalam RDPU menghadirkan

sekitar 104 pakar, APMD menjadi salah satunya. Dalam kesempatan

itu Habib Muhsin menyampaikan pandangan STPMD “APMD”

dengan konsep baru “Desa Membangun Indonesia”. Pada saat

yang sama 12 kades pilihan Indonesia Timur hadir di RDPU dan

salah satu kades diberikan kesempatan bicara bahwa desa mampu,

desa punya pengalaman inovatif, yang kemudian disebut sebagai

mutiara perubahan dari timur.

Pada tahun 2013 mulai dibentuk panitia kerja antara

Pemerintah dan DPR membahas secara intensif RUU Desa.

Beberapa diskusi alot asas demokratisasi, dana desa, BUM Desa

yang belum mampu mempertemukan rezim bisnis dan rezim desa.

Tim ahli melakukan kerja politik sekaligus kerja akademik. Dalam

100

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


menggodok pasal demi pasal dalam UU Desa Farid menyediakan

“warung” untuk diskusi, semua kebutuhan diskusi dicukupi.

“Saya memfasilitasi konsumsi, akomodasi dan keperluan diskusi

lain. Proses diskusi ini mempertajam dialog kami datangkan ada

RDPU Rapat Dengar Pendapat Umum kami hadirkan teman dari

NTT, NTB Sulawesi mewakili desa di sana kades actor membuat

dialog diskusi menjadi tema yang menarik untuk di RDPU dan

kita publikasi. Pertama nama RDPU di streaming. Mengajak kawan

LSM kuat di media mendukung diskusi di ruangan nusantara

bisa dibawa keluar. Semua orang mulai belajar media itu penting

system informasi itu penting, mendorong SID. Tema yang agak

terpisah ini menjadi bagian dari informasi pemberdayaan dengan

tata Kelola dan pembaharuan yang dilakukan”.

UU desa memberikan banyak pembaharuan, desa mampu

membangun kesejahteraan substansial bukan legal formal. Di

akhir 2013 UU desa disetujui dan disahkan awal 2014. Kelahiran

UU Desa mendapat sambutan luar biasa dari desa. Kemanangan

ini dinodai dengan munculnya PP No. 43 Tahun 2014 dan PP No.60

Tahun 2014 menurunkan spirit berdesa. Kondisi ini diperparah

dengan teknokratisasi desa dimana desa diampu Kemendagri dan

Kemendesa.

Desa Salah Asuhan

Menurut Titok Hariyanto, desa tidak berkembang seperti

yang diharapkan, yang melahirkan dan yang membesarkan

berbeda. APMD termasuk yang melahirkan tapi banyak pihak

yang membesarkan.

“Dalam kaitan advokasi UU Desa, Sutoro Eko adalah figure yang

paling menonjol. Dia menjadi magnet mempertemukan aktifis

Gerakan sosial. APMD menjadi bagian support, Perguruan Tinggi

melahirkan UU Desa. Setelah lahir tidak banyak secara aktif

mengikuti, yang ikut menikmati banyak. Tidak semua Perguruan

Tinggi terlibat. Dari APMD, ruh aktifisme mengadvokasi desa

55 TAHUN STPMD “APMD”

101


muncul. Banyak Perguruan Tinggi di periode sebelumnya

melakuan aktifitas di desa, tetapi tidak banyak melakukan

advokasi, menangkap problem sosial structural di desa. Penting

untuk satu kebijakan untuk desa. APMD mendialogkan narasi

lokal diangkat dikontekstualisasi untuk melahirkan UU Desa.

Ini poin strategis dalam UU Desa. Kontribusi semacam itu tidak

bisa lahir cara pandang intelektual tradisional membicarakan

persoalan di desa, tanpa solusi ideal di desa. Manangkap apa

yang menjadi persoalan di desa diolah kemudian apa yang harus

dilakukan pemerintah”.

Fase awal 2 tahunan dari UU desa, banyak pihak melakukan

aktifitas di desa tidak paham substansi UU desa. Ini menjadi

masalah. Membuat program aktifitas advokasi baik Non-

Government Organization (NGO) local maupun internasional serta

Perguruan Tinggi tidak memberikan ruang pembebasan terhadap

desa tetapi sebaliknya malah memberi beban desa. Desa harus

melakukan dan menerima program sesuai dengan proyek. Menurut

Titok, APMD berbeda karena memegang ruh UU Desa, mengajak

desa melihat dirinya. Cara pengorganisasian dan advokasi dengan

melibatkan desa, memuliakan desa dan berembug bersama pemdes

dan masyarakat desa. Frame berpikir ini menjadi pembelajaran

terutama bagi lulusannya dalam berjaringan, mereproduksi

pengetahuan dan membangun gerakan berdesa. UU desa adalah

harapan desa menjadi hidup dan bermakna.

“Titok mengkhawatirkan mengulangi sejarah otonomi daerah. Di

awal banyak champion, Bupati Jembrana, Sragen, Jogja tapi periode

kedua UU desa hilang begitu saja. Apa yang dirintis hilang tidak

berbekas. Spirit dari pelaksanaan otonomi daerah berpusat pada

agen, pemimpin. Sementara upaya mentransformasi membangun

kesadaran di level public memberikan ruang di masyarakat

menentukan, di UU desa seperti itu. Panggungharjo, Ponggok,

apa yang dirintis oleh Kades hilang. Proses transformasi gagasan

ini masih milik pemimpin itu sendiri. Menjadi rawan pembajakan

102

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


oleh elit otomatis program yang akan dijalankan oleh elit tidak

menjadi kesejahteraan ke desa. Munculnya desa champion inisiatif

lebih banyak dari pemimpinnya bukan dari masyarakat.”

Pengalaman ini menjadi pembelajaran penting. Tantangan

bagi pemimpin desa dalam mengelola gagasan berdesa tidak hanya

viral dan masuk dalam APBDesa, namun dimengerti betul oleh

masyarakatnya. Pemimpin juga menjadi agen perubahan dalam

mentransformasikan spirit berdesa kepada masyarakat desa. Spirit

kewarganegaraan menjadi keharusan karena pemimpin tidaklah

abadi dalam kekuasaan. Masyarakat desa harus memahami

dan meyakini bahwa berdesa menjadi alternatif jalan menuju

kesejahteraan warga. Pelaksanaan UU desa harus ada yang

mengawal sehingga tidak lagi salah asuhan. Strategi advokasi yang

tepat, jaringan yang kuat, pengetahuan yang hebat mewujudkan

desa yang kuat dan rakyat berdaulat. Gagasan bisa nendang kalau

lewat jaringan dan persoalan keadilan jangan sampai dikalahkan

dengan laporan.

Tradisi Berdesa

Menurut Anom Surya Putra, tradisi berdesa yang merupakan

bagian dari mazhab Timoho, perlu mendapatkan porsi lebih dalam

pemikiran dan pengetahuan berdesa. Gagasan ini disampaikan

ke jaringan supaya lebih nendang dan menjadi sebuah gerakan.

Berdesa adalah bagaimana menghidupkan desa. Desa bukan

sekedar ruang kosong. Desa dipandang sebagai subyek dengan

lokalitasnya, hidup dan penghidupannya, kehidupan sosial,

ekonomi, politik dipandang secara terintegrasi. Bentang lahan dan

bentang fisik desa menjadi bagian utuh desa. Berdesa itu bagian

dari dinamika tradisi, kearifan lokal situasi kebiasaan yang menjadi

bagian dari dinamika berdesa. Berdesa diantaranya adalah cara

bermasyarakat, cara membangun, cara berpemerintahan semua

memiliki tradisi.

55 TAHUN STPMD “APMD”

103


Menurut Farid Hadi, setiap daerah memiliki tradisi berdesa

beragam dan dinamis. Namun demikian tradisi berdesa ini

memiliki satu catatan penting dimana petani tidak atau belum

menjadi bagian dalam system dan tradiri berdesa. Salah satu

persoalan berdesa adalah meminggirkan petani dari desa. Petani

dengan pertaniannya menjadi ikon simbolik desa, namun dalam

pembangunannya desa meminggirkan petani, baik dari program

maupun anggaran desa. Petani ini punya bapak sendiri yaitu Dinas

Pertanian dan kehutanan. Desa tidak ada yang mengalokasikan

anggaran dan program untuk petani. LMDH lebih menjadi

kepanjangan tangan perhutani, perhutani swasta.

Reposisi STPMD “APMD”

Dari berbagai pengalaman dalam membangun jaringan,

Gerakan dan kebijakan STPMD “APMD dapat mereposisi

tempatnya dalam memproduksi gagasan dan Gerakan berdesa.

Pertama, APMD berubah dalam hal Tridharma, tidak hanya

menjadi gudang ilmuwan desa tapi terlibat dalam kerja nyata.

Integrasi antara tridharma dengan kerja politik dan kebijakan.

Kedua, APMD bisa merajut, pemikiran pengetahuan, gerakan dan

politik kebijakan di ranah lokal, meso, ranah makro. APMD adalah

tempat untuk memproduksi dan mereproduksi pengetahuan,

memiliki reputasi baik dan kepercayaan publik meningkat.

Lulusan APMD harus bisa menjadi kader desa yang mempunyai

kemampuan connecting. Crafting dan transforming. STPMD “APMD”

104

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


menjadi orkestrator baik isu maupun jaringan berdesa. Isu tradisi

berdesa yang benar dan clear dalam memperlakukan desa dengan

mazhab Timoho harus lebih sering digaungkan. Tradisi berdesa

harus menjadi spirit utama dan kental dalam seluruh kegiatan di

APMD dan terintegrasi dalam implementasi tridharma.

Perubahan paradigma dalam melakukan Tridharma Perguruan

Tinggi. Menurut Anom, sudah saatnya pengabdian mempunyai

posisi utama dan melandasi penelitian dan pengembangan serta

pengajaran di STPMD “APMD”. Membawa tradisi berdesa menjadi

ilmu pengetahun yang layak diperhitungkan dalam membangun

negara. Desa yang berdaulat negara bermartabat. Selain itu STPMD

“APMD” dapat menjadi suara kritis bagi sesama Perguruan Tinggi,

pemerintah dan penggiat desa dalam memperlakukan desa.

Reframming dan repositioning STPMD “APMD” dalam

menyatukan tradisi berdesa yang benar dengan Tridharma.

Tridharma menjadi rutinitas yang penuh makna. Dalam pidato

pengukuhannya Sutoro eko merujuk pada Filsafat Proses Manusia,

mengatakan bahwa makna adalah proses dinamis manusia

yang terus bergerak dari “mengada” (being) berubah “menjadi”

55 TAHUN STPMD “APMD”

105


(becoming). Baginya makna berarti hati, hati adalah cinta, yang

melandasi kebajikan, vocation dan passion dalam memuliakan

Tridharma. Kebijakan tanpa kebajikan ibarat otak tanpa hati, ibarat

nalar tanpa cinta. Menjalankan Tridharma dengan penuh cinta

dan sepenuh hati memproduksi kebijakan yang penuh kebajikan,

membawa kebaikan bagi semesta raya. Tridharma memberikan

kontribusi riil pada pembangunan masyarakat, dari desa untuk

Indonesia. Ilmu yang diproduksi menjadi ilmiah dan amaliah

dengan kontribusi STPMD “APMD” baik secara keilmuan maupun

tindakan untuk desa berdaulat dan bermartabat.

STPMD sebagai mercusuar melahirkan generasi berdesa yang

membumi. Jaringan telah terbangun secara baik dengan banyaknya

kerjasama pemerintah daerah juga alumni yang tersebar di seluruh

negeri menjadi modalitas besar dan strategis gerakan. Gerakan

dapat melahirkan perubahan desa di masa depan. Masa depan

desa diubah dengan kebijakan yang memakmurkan rakyat dan

bukan bukan pejabat. Kebijakan yang memakmurkan bumi bukan

korporasi.

Daftar Pustaka

M. Soetopo, M.M. 2015. APMD Lahir dan Berkembang, STPMD

“APMD”. Yogyakarta.

Sutoro Eko Yunanto. 2019. Mendudukkan Keilmuan, Kelembagaan

dan Kemakmuran. Pidato Kelembagaan Ketua dalam Rangka

Dies Ke-54 Dengan Tema “Maju dan Bermartabat”. Yogyakarta

106

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 7

MENDAMPINGI BUMDESA,

MERAJUT KORPORASI RAKYAT

Oleh: Rema Marina 14

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

memandang BUMDesa sebagai sebagai upaya untuk menciptakan

kemandirian desa. Kemandirian tersebut dapat dicapai melaui

kerjasama yang baik antara pemerintah desa dengan BUMDesa

dalam rangka memaksimalkan potensi yang ada di desa. Potensi

seperti pertanian, perkebunan, perikanan atau kelautan, tambang,

industri lokal dan UMKM sejatinya harus bisa menjadi kekuatan

atas kemandirian desa. BUMDesa sebagai satu lembaga ekonomi

desa idealnya mampu memberikan kontribusi yang besar untuk

kesejahteraan masyarakat desa. Dalam hal ini APMD selaku institusi

yang concern pada isu-isu tentang desa juga membahas terkait

keberadaan BUMDesa, di mana upaya yang dilakukan adalah

memberikan pelatihan dan pendampingan agar terwujudnya

BUMDesa yang mampu meningkatkan kualitas hidup manusia.

Sebelum adanya BUMDesa ada beberapa institusi sosial

dan institusi keuangan mikro yang dibentuk pemerintah: BKD,

BINMAS, KUEPEDES, KIK, KCK, BUUD, KUD, UEDSP, LPD di Bali

sejak 1985. Juga hadir beberapa kelompok-kelompok masyarakat

yang dibentuk oleh proyek-proyek sektoral kementerian seperti

UPK dan simpan pinjam untuk perempuan (SPP) dalam PNPM

14 Staff pengajar STPMD “APMD”. Tulisan ini merupakan hasil diskusi bersama Dr.

Sutoro Eko, Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta, penulis juga menyampaikan

terimakasih kepada narasumber Drs.Suharyanto MM. Dosen STPMD “APMD”

juga kepada Mujimin, S.Sos alumni STPMD “APMD”.

55 TAHUN STPMD “APMD”

107


Mandiri Perdesaan. Semua ini adalah LKM korporatis, atau

lembaga keuangan mikro (LKM) yang dibentuk oleh pemerintah.

Berbagai LKM ini dibentuk oleh pemerintah karena komitmen

pemerintah menolong rakyat desa (termasuk kaum miskin) dari

jeratan renternir dan sekaligus membuka akses kredit bagi rakyat

desa mengingat bank-bank komersial (baik BUMN maupun

swasta) tidak pro poor. 15

Kehadiran UU Desa No. 6 tahun 2014 merupakan tonggak

sejarah bagi desa di Indonesia, yang mana selama ini desa hanya

sebagai objek dalam pembangunan, namun dengan hadirnya UU

Desa memberikan kekuatan kepada desa dalam membangun

desanya agar dapat berkembang terutama di basis perekonomian.

Jika dulu pemerintahan di atas desa dapat mengintervensi kebijakan

yang dibuat oleh desa namun sekarang sepenuhnya kewenangan itu

ada di desa yang dirumuskan melalui musyawarah desa. Sebelumnya

beberapa program pemerintah sudah diupayakan dalam

pengembangan perekonomian desa namun belum memberikan

hasil yang memuaskan untuk mensejahterakan masyarakat desa

secara keseluruhan. Intervensi pemerintah yang terlalu dominan

menjadikan masyarakat desa terhambat daya kreativitas dan

inovasinya dalam menjalankan mekanisme perekonomian di desa.

Pada penjelasan UU No.6/2014 tentang Desa pasal 8 ayat (1)

menyebutkan bahwa:

BUM Desa di bentuk oleh pemerintah desa untuk mendayagunakan

segala potensi ekonomi, kelembagaaan perekonomian, serta potensi

sumber daya alam dan sumber daya manuasia dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat desa

Lahirnya BUMDesa sebagai badan usaha milik desa yang

dikelola dengan melibatkan seluruh masyarakat desa dengan

support dari pemerintah desa menjadikan BUMDesa sebagai

altenatif desa dalam mengembangkan potensi maupun asset desa

15 Sutoro Eko Yunanto dkk, Policy Paper Membangun BUMDesa yang Mandiri, Kokoh dan

Berkelanjutan (Yogyakarta:Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), hal.1

108

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


melalui berbagai jenis usaha untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat desa. Pengelolan BUMDesa yang sepenuhnya dilaksana

kan oleh masyarakat desa ini diharapkan dapat mem berikan

kontribusi yang baik terhadap kesejahteraan desa karna dari desa,

oleh desa, dan untuk desa. Hal ini sesuai dengan visi Presiden

Jokowi membangun Indonesia dari pinggiran dalam Nawacita-nya

adalah salah satu pengharapan agar desa mendapatkan nasib baik

sehingga dapat menyinari sudut-sudut wilayah Indonesia.

Membentuk Pengetahuan Tentang Bumdesa

Pembentukan pengetahuan tentang BUMDesa perlu dilihat

dari tradisi berdesa sebagai konsep hidup bermasyarakat dan

bernegara di ranah desa. Inti dari gagasan berdesa adalah;

pertama, desa menjadi basis modal sosial yang memupuk tradisi

solidaritas, kerjasama, swadaya, dan gotong royong secara

inklusif yang melampaui batas-batas ekslusif kekerabatan, suku,

agama, aliran atau sejenisnya. Kedua, desa memiliki kekuasaan

dan berpemerintahan yang di dalamnya mengandung otoritas

dan akuntabilitas untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat. Ketiga desa hadir sebagai penggerak ekonomi lokal

yang mampu menjalankan fungsi proteksi dan distribusi pelayanan

dasar kepada masyarakat. Tradisi berdesa ini merupakan salah

satu gagasan fundamental yang mengiringi pendirian BUMDesa.

Tradisi berdesa pararel dengan kekayaan modal sosial dan modal

politik serta berpengaruh terhadap daya tahan dan keberlanjutan

BUMDesa.

Maraknya BUMDes yang berdiri di setiap desa sebelum

hadirnya UU Desa No.6 tahun 2014, memberikan kekhawatiran

atas ketidakjelasan status hukum (legal standing). Untuk itu

Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) yang juga

keanggotannya merupakan beberapa dosen STPMD “APMD”,

sehingga STPMD “APMD” terlibat langsung dalam memberikan

kontribusi gagasan terhadap kebijakan nasional guna membangun

55 TAHUN STPMD “APMD”

109


BUMDesa yang mandiri, kokoh dan berkelanjutan di masa depan

melalui policy paper. Hasil dari sebuah riset panjang mengenai policy

paper ini dengan berlandaskan pada tradisi berdesa menghasilkan

Permendesa No. 4 tahun 2015 tentang pendirian, pengurusan dan

pengelolaan, dan pembubaran badan usaha milik desa.

Terdapat empat tujuan utama pendirian BUM Desa, yaitu

meningkatkan perekonomian desa, meningkatkan pendapatan

asli desa, meningkatkan pengelolaan potensi desa sesuai dengan

kebutuhan masyarakat dan menjadi tulang punggung pertumbuhan

dan pemerataan ekonomi pedesaan. Pendirian dan pengelolaan

BUM Desa adalah perwujudan dari pengelolaan ekonomi

produktif desa yang dilakukan secara kooperatif, partisipatif,

emansipatif, transparansi, akuntabel, dan sustainable. Oleh karena

itu, diperlukan upaya yang cukup serius agar BUM Desa dapat

berjalan secara efektif, efisien, profesional dan mandiri. Sebagai

salah satu lembaga ekonomi yang beroperasi di pedesaan, BUM

Desa harus memiliki perbedaan dengan lembaga ekonomi pada

umumnya. Hal ini agar keberadaan dan kinerja BUM Desa Mampu

Memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan

kesejahteraan warga desa.

Prakarsa Mendampingi Dan Membentuk Bumdesa

Prakarsa pendampingan BUMDesa seharusnya diselaraskan

dengan adanya Korporasi rakyat. Korporasi rakyat sendiri adalah

kapitalisme rakyat, atau dengan kata lain kapitalisme yang dimiliki

atau dikuasai oleh rakyat secara komunal. Sutoro Eko memberikan

penjelasan bahwa korporasi rakyat berarti bahwa rakyat merebut

kapitalisme, jadi artinya kapitalisme itu jangan dihancurkan, jangan

dihabisi seperti gagasan komunisme, yang telah habis cerita, dan

pada sisi yang lain kapitalisme itu sistem ekonomi yang tidak bisa

dibendung. Persoalannya apakah rakyat itu hanya menjadi residu,

sisanya sisa, atau menjadi basis eksploitasi kapitalisme atau rakyat

itu memang harus hadir melakukan konsolidasi.

110

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Korporasi rakyat bertumpu pada produksi, artinya rakyat

berproduksi. Dalam menyalurkan hasil produksi, Sutoro Eko

men je laskan dua pola korporasi rakyat: Pola pertama, rakyat berproduksi,

kemudian dikonsolidasi oleh BUM Desa dengan pendekatan

partisipatoris, emansipatoris dan demokratis. Wadahnya

apa? Musyawarah desa. Kedua, rakyat berproduksi sendiri dan

mendistribusikan sendiri entah melalui jalur ofline maupun online.

Namun, pada pola yang kedua terdapat kelemahan dalam hal

persaingan antara sesama pelaku usaha. Ini pasti akan muncul

kanibalisasi (saling memakan) antara sesama usaha. Pemerintah

tidak perlu mengulang pendekatan yang keliru dengan membentuk

BUMDesa secara serentak dan memeberi bantuan modal secara

merata kepada seluruh BUMDesa yang telah di bentuk. Dukungan

pemerintah lebih baik bersifat proporsional tergantung pada

prakarsa dan usulan dari desa atau dari BUMDesa. Pendampingan

oleh LSM, perguruan tinggi atau fasilitator profesional sangat di

butuhkan untuk membangkitkan prakarsa dan kesiapan desa.

STPMD “APMD” sebagai perguruan tinggi yang sedari awal

pendiriannya selalu konsisten pada pembangunan masyarakat

desa dan dalam hal mendampingi BUMDesa merajut korporasi

rakyat telah memberikan kontribusi dengan terlibatnya beberapa

dosen APMD dalam pengabdian terhadap masyarakat desa dengan

memfasilitasi desa-desa yang ingin mendirikan dan mem bentuk

BUMDesa. Diawali dari dosen APMD yang mengabdi bersama PT.

KPC (Kaltim Prima Coal) di desa-desa seputar tambang batu bara di

kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur yaitu Sutoro Eko yang

saat ini menjabat sebagai ketua STPMD “APMD” juga bersama dosendosen

senior APMD M. Barori, Suharyanto, Hastowiyono, dan alm.

Widyo Hari yang tergabung dalam sebuah lembaga yang bernama

PDDB (Pusat Pembaharuan Desa Berkelanjutan). Pengalaman

pertama dosen APMD dalam mendampingi mendirikan BUMDesa

di desa Rantau Makmur kecamatan Rantau Pulung kabupaten

Kutai Timur pada tanggal 21 april 2011.

55 TAHUN STPMD “APMD”

111


Gambar 1. Pengabdian dosen APMD bersama PT. KPC mengenai BUMDesa.

Melalui wawancara penulis bersama Suharyanto, beliau

sebagai dosen di kampus STPMD “APMD” melalui pengalaman

pengabdiannya kepada Masyarakat (Peningkatan Kapasitas

Pemerintah Desa) dalam bentuk ceramah dan dialog maupun Pendampingan

tentang Pembentukan, Pengelolaan dan Pengembangan

Badan Usaha Milik Desa. Pengalaman pengabdian yang dilakukan

beliau terkait pendampingan pendirian BUMDesa selain bersama

PT. KPC beliau juga banyak menjadi narasumber di berbagai

daerah/kabupaten atau desa-desa untuk memberikan pemahaman

mengenai pengelolaan BUMDesa. Sebagian desa-desa di DIY

melibatkan APMD sebagai narasumbernya adalah Suharyanto dan

beberapa desa-desa lain di luar DIY antara lain Sumba Tengah,

Raja Ampat, Dairi, Labura, dan Sergai. Propinsi Sumatera Utara

hampir 10 kabupaten semua kepala desanya pernah melibatkan

APMD terkait diskusi mengenai BUMDesa.

Potensi dan Kebutuhan

Dalam undang-undang desa no. 6 tahun 2014 tentang desa

menyebutkan desa dapat mendirikan badan usaha milik desa

yang di sebut BUMDesa. Berarti desa tidak wajib membentuk

112

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BUMDesa, tetapi pada kenyataannya bahwa banyak desa-desa

yang latah mendirikan BUMDesa. Sejatinya desa tidak juga dapat

disalahkan namun terkadang instruksi dari pemerintah yang

tidak tegas mensosialisasikan bahwa desa tidak harus mendirikan

BUMDesa artinya tidak didirikan tidak masalah karena BUMDesa

tidak wajib. BUMDesa itu dapat berdiri asal ada kebutuhan dan

adanya potensi, melihat persyaratan BUMDesa sendiri tidaklah

mudah dikhawatirkan setelah berdiri BUMDesa hanya tinggal

papan nama saja, tetapi jika bisa melangkah kesana justru lebih

baik asalkan ada kebutuhan dan potensi.

Banyak sekali perkumpulan problematika dari pengalaman

STPMD “APMD” dalam mendampingi desa-desa yang akan

mendirikan BUMDesa dengan di temukannya beberapa kelemahan

di awal dalam pendirian BUMDesa yaitu pertama problem di

SDM, banyak masyarakat yang mampu mengelola BUMDesa akan

tetapi tidak mau memulai karena mengetahui biasanya di awal

pembentukan BUMDesa tidak bisa dipungkiri harus berproses

secara kerja bakti atau swadaya dari pengelola BUMDesa itu

sendiri. Hal ini dikarenakan masyarakat hanya antusias ketika

melihat BUMDesa setelah maju, tapi justru tidak paham bahwa di

awal ada beberapa problematika yang substansial karena syaratnya

yaitu mau dan mampu untuk mengelola, karena pengelola seperti

menjadi relawan pada awal terbentukmya BUMDesa. Kedua,

banyak desa yang kesulitan memilih unit usaha yang tepat karena

tidak ada fasilitas memadai misalnya terkait permodalan. Unit

usaha yang tidak melalui supporting permodalan dan pemilihan

usaha yang tepat akan menjadikan BUMDesa yang pada akhirnya

hanya sekadar papan nama namun tidak ada kegiatan. Ketiga

terkait saat operasionalisasi juga ada problematika, seperti teknis,

kemampuan SDM, lalu masyarakat yang mendirikan BUMDesa

tapi masyarakat tidak ikut berpartisipasi.

Pada saat BUMDesa sudah besar biasanya permasalahan

yang muncul adalah adanya elit capture, yaitu hanya dinikmati

55 TAHUN STPMD “APMD”

113


oleh segelintir penguasa namun tidak merembes ke masyarakat.

Kepala desa adalah kunci desa mau melangkah karena mendirikan

BUMDesa butuh permodalan dan sebagainya jika kepala desa

tidak punya view terkait BUMDesa tidak akan ada arti, setelah

BUMDesa berjalan akan terseok-seok tidak ada backup dan

political will pemerintah desa atau kepala desa akan menyusahkan

BUMDesa. Selanjutnya BUMDesa bisa berjalan baik namun pada

akhirnya jadi sapi perahan elit ini juga problem sehingga harus

ada supporting terkait pendirian BUMDesa ini sendiri terutama dari

kepala desa yang punya jiwa entrepreneurship atau kewirausahaan,

jika kepala desa tipe birokrat saja itu pun tidak bisa berjalan. Kepala

desa menjadi kunci suksesnya BUMDesa misalnya ada supporting

penyerahan lahan desa atau tanah kas desa. Jaman sekarang ini,

kepala desa tidak hanya berfungsi sebagai pemberi tanda-tangan

berbagai dokumen administratif saja namun juga dipengaruhi oleh

kemampuan seorang kepala desa dalam menjalankan visi ekonomi

untuk desanya.

Adanya perubahan paradigma dulu kita melihat usaha di

mulai dari SDA yang dengan menghasilkan sebuah produk terlebih

dahulu, sekarang justru bergeser kepada customer needs (kebutuhan

konsumen). Dengan kata lain memahami apa yang dibutuhkan

masyarakat dahulu baru membuat produk ketimbang membuat

produk dahulu tetapi kesulitan dalam hal pemasaran. Kita melihat

saat ini setiap desa mulai bersaing untuk membuat desa wisata

yang diangap merupakan jenis usaha yang terbaik saat ini untuk

di kelola demi meningkatkan perekonomian desa. Apakah potensi

yang dibutuhkan desa itu hanya bisa dikembangkan oleh BUMDesa

sebatas pengelolaan desa wisata saja terbukti dari beberapa

BUMDesa yang mendapatkan omset hingga milyaran rupiah

pertahunnya itu di kuasai oleh desa-desa yang menghadirkan

desa wisata sebagai jenis usaha yang memang terbukti mampu

memberikan PADes yang luar biasa. Sehingga BUMDesa menjadi

bergengsi manakala bisa menciptakan pendapatan keuntungan

114

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


yang besar. BUMDesa yang tidak menghasilkan pendapatan yang

besar seperti layaknya unit wisata dianggap kurang berhasil atau

kurang.

BUMDesa yang berhasil bukan berarti yang bisa memberikan

keuntungan besar itu keliru, padahal mungkin menyediakan

kemanfaatan bagi desa yang luar biasa. Contoh pengelolaan

air bersih, desa yang selama ini kesulitan akan air bersih dan

kemudian dibantu oleh BUMDesa keuntungan tidak besar

karena di jual ke masyarakat sendiri tidak mungkin ditarik

keuntungan yang besar-besarnya, namun bisa bermanfaat bagi

warga desa dan jika keuntungan itu kemudian diratakan atau

di share kepada masyarakat dalam berbagai program misalnya

program beasiswa pendidikan perbaikan rumah kumuh, dan

program-program lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat

desa. BUMDesa yg menghasilkan uang yang sangat besar namun

tidak begitu memberikan berdampak pada kesejahteraan warga

dapat dikategorikan BUMDesa yang belum berhasil. Ukuran dari

keberhasilan BUMDesa, manakala BUMDesa itu bisa memberikan

manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Bisa

dalam bentuk secara langsung atau tidak langsung. BUMDesa

mampu untuk memasarkan produk produk masyarakat desa dan

BUMDesa mampu menggalang kebutuhan yang diinginkan desa.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) sendiri merupakan salah

satu lembaga ekonomi yang diharapkan kedepannya dapat menjadi

salah satu yang berkontribusi pada sumber pendapatan desa.

Sehingga keberadaan BUMDesa perlu mendapatkan justifikasi

hukum yang pasti dan jelas. Menurut Suharyanto BUMDesa

adalah lembaga ekonomi desa yang unik karena cukup dengan

payung hukum perdes untuk berkiprah dengan aneka macam

kegiatan. Problemnya manakala BUMDesa akan bersinergi dengan

perbankan maka perdes itu tidak laku, dalam hal peminjaman

uang untuk penambahan modal, Jika tidak bersindikasi ke

perbankan tidak masalah peraturan desa sudah berkonsideran

55 TAHUN STPMD “APMD”

115


dengan undang-undang dan peraturan menteri. Karena jika

hanya problem kerjasama dengan perbankan maka timbul badan

hukum hingga yang maju hanya individual justru cocok untuk

pribadi-pribadi yang akan membuka usaha. BUMDesa tidak di

desain untuk PT, melainkan ini desain sebagai lembaga ekonomi

desa yg mengelola potensi dan kebutuhan yg ada di desa untuk

mensejahterakan masyarakat desa. Konsekuensi badan hukum

itu tidak ringan, butuh biaya dan mengambil keuntungan sedikit

pajak yg lumayan besar. BUMDesa ini adalah lembaga unik cukup

berdasarkan perdes, jangan berpikir tentang badan hukum yang

penting lembaga yang ada ini jalan dulu untuk mengembangkan

perekonomian masyarakat sehingga belum saatnya BUMDesa

berbadan hukum dan menjadi perseroan terbatas. APMD sendiri

saat melakukan pengabdian kepada masyarakat di banyak desa

pembahasan tentang badan hukum BUMDesa di bahas diakhir

yang penting tumbuh dan dapat memberikan manfaat untuk

masyarakat dan berkesinambungan.

Pengembangan ekonomi lokal memungkinkan pengembangan

ekonomi yang ada di desa tetap harus jaga. Desa maju tidak

hanya dengan BUMDesa, desa maju karena lembaga ekonomi

yang dikembangkan selama ini luar biasa. Maka tidak berarti

semua urusan ekonomi desa masuk dalam ranah BUMDes, sama

sekali tidak. Soalnya di desa masih ada banyak lembaga ekonomi

yang tidak masuk dalam cakupan BUMDes bahkan tidak bisa di

BUMDes-kan. Tirtonirmolo, simpan pinjamnya, meledak tidak

dibungkus BUMDesa. Pengembangan ekonomi desa bisa dilakukan

melalui banyak cara tidak semua harus BUM desa. Kelompok

masyarakat yang telah berusaha tidak harus diintegrasikan dalam

BUM Desa. Apapun itu baik BUM Desa, usaha warga desa, usaha

kelompok masyarakat desa yang utama adalah proteksi, pemdes

hadir memproteksi warga dari berbagai macam kekuatan dari luar.

Pemerintah desa hadir di usaha masyarakat, usaha desa dan usaha

kelompok masyarakat.

116

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Suharyanto ini juga mengingatkan tentang teori BUM Desa,

bahwa pada dasarnya divisi usaha BUM Desa itu mempertemukan

2 hal penting, yaitu ada kebutuhan dan ada potensi. Inilah langkah

awal terbentuknya divisi usaha. Kalau ini benar-benar dilakukan

secara kelayakan studi diharapkan akan lebih abadi. Terkait dengan

langkah memulai BUM desa, ini langkah yang dilakukan sederhana.

Pemetaan awal pertama ada kebutuhan dan adakah potensi di

desa dalam rangka mendirikan jenis usaha, divisi usaha, atau yang

salah kaprah unit usaha. Potensi dipertemukan need dan resources

akan berdampak pada kelanggengan usaha. Ada kebutuhan akan

supporting permodalan di warga desa. Ada potensi dana desa yang

cukup besar, dialihkan untuk kebutuhan permodalan. Akan tumbu

oleh tutup. Memberikan jaminan kelanggengan. Manakala bisa

dikelola dengan baik

Korporasi Rakyat melalui BUMDesa sebagai “usaha bersama”

(Holding)

BUMDesa yang bertemakan desa wisata akhir-akhir ini

menjadi salah satu jenis usaha yang memberikan kontribusi yang

baik untuk keberlangsungan hidup masyarakat desa. Ini dapat

dilihat dari salah satu desa di kecamatan Prambanan di kabupaten

Sleman yaitu desa Sambirejo yang berhasil mengubah PADes

yang hanya 10 jt pertahun menjadi milyaran rupiah. Kinerja

BUMDesa jenis usaha desa wisata ini masuk kedalam tipe Holding

yaitu BUMDesa sebagai usaha bersama, atau sebagai induk dari

unit-unit usaha yang ada di desa, di mana masing-masing unit

yang berdiri sendiri-sendiri ini, diatur dan ditata sinerginya oleh

BUMDesa agar tumbuh usaha bersama di mana tujuan dan sifat

dari jenis usaha ini adalah mengonsolidasikan berbagai jenis

usaha lokal yang terkait dengan wisata, guna meningkatkan

pendapatan masyarakat dan PADes. Bisnis ini sangat khas dan

prospektif bagi desa-desa yang memiliki potensi wisata. Sehingga

dapat berkembang secara sehat, kokoh dan berkelanjutan dan

55 TAHUN STPMD “APMD”

117


memberikan manfaat untuk menggairahkan perekonomian desa

dan membuka lapangan pekerjaan, sekaligus meningkatkan pendapatan

desa dan masyarakat.

Mujimin sekretaris desa Sambirejo kecamatan Prambanan

adalah salah satu alumni STPMD “APMD” yang berhasil dalam

menggerakkan roda perekonomian di desanya melalui BUMDesa.

Menurut Pak Ji sapaan akrab beliau, dari kampus APMD Ia banyak

mendapat ilmu mengenai konflik sosial, pemberdayaan masyarakat,

pengembangan potensi dan lain-lain yang berhubungan dengan

desa. Potensi yang sudah dikembangkan pastinya ada konflik

internal dan eksternal dengan banyak hal yang didapat dari APMD

dikembangkan di desa tersebut. Sebelum membuat jenis usaha

seperti halnya desa wisata beliau berpendapat juga terkait konflik

kepemilikan tanah dalam wilayah desa, banyak sekali tanah yg

tidak memiliki kepemilikan yang jelas sehingga pada saat unit

usaha telah berkembang timbul konflik jangan sampai desa hanya

mendapatkan sisanya saja. Ada 3 hal yang harus di perhatikan.

Pertama, tanah itu milik siapa? milik desa atau pribadi? Kedua,

siapa yang mengelola apakah masyarakat atau pemda? Ketiga,

bagi hasilnya seperti apa? Dengan demikian harus diyakini dengan

penguatan dan regulasi terlebih dahulu agar tidak bermasalah

kemudian hari ditengah perjalanannya.

Awalnya Sambirejo adalah desa paling miskin di kabupaten

Sleman secara geografis menempati area pegunungan yang kontur

tanahnya batu, ketika hilang tanahnya tinggal batunya sehingga

warga Sambirejo seperti hidup di atas pot raksasa. Jika berbicara

mengenai pertanian, di musim hujanlah baru bisa bercocok tanam

dan setahun sekali sering di sebut petani tadah hujan karna tidak

mungkin menanam pertanian. Sambirejo sangat sulit air dan mahal

karena batu yang ada di Sambirejo kedap air, sehingga dihadapkan

dengan kondisi mengembangkan potensi itu susah. Termasuk desa

dengan warganya susah, mereka yang punya ide dan gagasan

turun ke bawah transmigrasi dan tidak pulang yang tinggal di

118

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Sambirejo yang kurang punya pengalaman dalam banyak hal. Di

tambah lagi dengan PADes Sambirejo yang hanya 10 jt pertahun

dari tanah kas desa dan juga pungutan desa. Sehingga pada saat

itu banyak warga desa diminta jadi perangkat desa tidak ada yg

beminat.

Tebing Breksi yang berada di desa Sambirejo, kecamatan

Prambanan, Kabupaten Sleman, awalnya adalah tempat penambangan

batu alam untuk material bangunan oleh warga masyarakat

Sambirejo secara manual untuk pertambahan penghasilan. Sejak

tahun 2014 pemerintah menutup kegiatan pertambangan ini untuk

menjaga kelestarian lingkungan. Namun tidak semua warga

mene rima akan hal ini bahkan sampai ada yang mengancam

sampai ke Kades karna mereka merasa sudah memiliki Tebing

Breksi tersebut. Akhirnya desa Sambirejo mulai berbenah diri,

sebelumnya dalam hal pengembangan kawasan Breksi tidak

melalui BUMDesa, melainkan melalui pokdarwis (kelompok sadar

wisata) yang di gerakkan oleh Mujimin dan teman-teman. Karena

pokdarwis hanya penggerak dibutuhkan pengelola akhir nya

dibentuk pengelola yang pada saat itu masih mengacu pada UU

No. 5 tahun 1979. Setelah ada pengelolaan atau eksekutor diserahkan

dengan nama organisasi lowo ijo, sehingga pokdarwis hanya

motor penggerak dan pelaku pelaksana sapta pesona yg tingkatnya

di desa. Pokdarwis itu adalah orang-orang yang punya kapasitas,

isinya orang yang memiliki potensi, bisa siapapun. Perangkat desa

pun bisa jadi penggerak namun tidak bisa menjadi pengelola.

Tahun 2016 hadirlah dari Kemendes untuk pendirian

BUMDesa setiap desa dapat mendirikan BUMDesa, namun pada

saat itu sosialisasi mengenai BUMDesa masih kurang masif

sehingga masyarakat Sambirejo masih awam mengenal BUMDesa.

Desa Sambirejo melalui Mujimin sendiri mulai berdekatan dengan

akademisi dari STPMD “APMD” masih individual, melalui

pembicaran dan diskusi pribadi dengan arahan dari dosen APMD

Suharyanto yang dilihat dari kacamata akademisi. Di tahun 2018

55 TAHUN STPMD “APMD”

119


mulai berbenah membuat Perdes dengan penyertaan modal dari

Pemdes senilai 51 juta hanya untuk simpan pinjam, lalu di tahun

2019 mulailah Breksi dimasukkan dalam BUMDesa atau dikelola

BUMDesa Sambimulyo melalui koordinasi dengan beberapa pihak

termasuk akademisi. Pokdarwis sebagai mitra lalu diserahkan

pengelola dan yg membuat regulasi di serahkan pada BUMDesa

yang mewadahi. Perubahan setelah masuk BUMDesa secara

regulasi terwadahi karna adanya perdes dan Tebing Breksi mulai

tertata secara administrasi dan mulai ada keterbukaan. Tahun 2015

PAD desa Sambirejo masih 10 juta pertahun mulai tahun 2019

tembus 1 Miliyar setelah masuk BUMDesa. Di tahun 2020 target

PAD yang tadinya 1,1 M namun karena pandemi hanya tercapai

800 juta. Di masa pandemi aktivitas pekerja atau pengelola Breksi

tidak berhenti, melainkan tetap dengan melakukan pembenahan

dan mengembangkan wisata Breksi dengan berbagai inovasi dan

kreativitas. Desa Sambirejo masih mempekerjakan masyarakat

untuk berbenah dan mempercantik tampilan Tebing Breksi agar

semakin memberikan nilai estetika yang semakin indah. Sehingga

tidak ada pemutusan hubungan kerja, walaupun Breksi di tutup

untuk sementara pada saat pandemi namun aktivitas pekerja tetap

berlangsung dan tetap memberikan gaji terhadap pekerja ataupun

pengelola yang ada di Tebing Breksi.

Tanggapan masyarakat desa Sambirejo terhadap BUMDesa

masih biasa saja mengenai BUMDesa untuk meyakinkan masyarakat

sejak tahun 2019 setiap RT dapat 1 juta dari PADes, pemdes juga

memberikan anak anak beasiswa, juga kegiatan social seperti

mendampingi bedah rumah yang kedepannya akan berkelanjutan.

BUMDesa merupakan wadah namun yang melaksanakan adalah

unit-unit usaha, contoh kuliner yang ada di Tebing Breksi daripada

belanja dari luar agar BUMDesa yang memberikan apa kebutuhan

masyarakat, apapun yg masuk ke Breksi semua melalui BUMDesa.

Sembako diadakan oleh BUMDesa tidak hanya di lokasi wisata

bahkan untuk semua kegiatan yang ada di desa Sambirejo, dengan

120

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


adanya BUMDesa yang mewadahi semua unit usaha sesuai

kebutuhan masyarakat dan potensi yang ada semua nantinya

diharapkan akan kembali pada desa dan yg merasakan pada

akhirnya masyarakat desa Sambirejo secara keseluruhan. Tebing

Breksi tidak hanya menyumbang pemasukan PADes akan tetapi

juga adanya keterlibatan semua masyarakat Sambirejo 98 persen

untuk berpartisipasi dalam hal pengelolaan atau menyediakan

kebutuhan, mulai dari pengelola, penjual makanan dan warung

makan, petugas kebersihan, keamanan sampai penyedia spot foto

di Tebing. Warga Sambirejo juga ada yang memiliki homestay

dan pemilik jeep sehingga semua merasakan dampak positif dari

hadirnya desa wisata Tebing Breksi ini.

Keberhasilan BUMDesa dalam pengelolaan Tebing Breksi

tidak terlepas dari sinergi berbagai elemen baik dari Pokdarwis yang

sejak awal sudah menjadi motor penggerak untuk terbentuknya

wisata Breksi juga dari beberapa lintas komunitas lainnya, warga

Sambirejo, akademisi, pemerintah desa, pemerintah daerah,

provinsi sampai kementerian pusat termasuk Kementerian Desa

yang telah memberikan bantuan.

Daftar Pustaka

Eko, S. (2014), Desa Membangun Indonesia, Yogyakarta: FPPD

Eko, S. dkk (2014), Policy Paper Membangun BUMDesa yang Mandiri,

Kokoh dan Berkelanjutan (Yogyakarta: Forum Pengembangan

Pembaharuan Desa (FPPD).

ANOM, S.P (2015), Badan Usaha Milik Desa, Spirit Usaha Kolektif

Desa, Yogyakarta: kementrian desa PDTT

Undang-Undang Desa No. 16 tahun 2014

55 TAHUN STPMD “APMD”

121


122

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 8

AKSI PEDULI DESA:

MENGAMALKAN TRADISI

“MUDA BERDESA” 16

Oleh: Aulia Widya Sakina 17

Desa memang tak menawarkan kehidupan yang serba lengkap

seperti di perkotaan Namun kehidupan desa yang sederhana

itu justru bisa membuat diri kita begitu rindu karena kehidupan

desa memang begitu kaya, di balik segala keterbatasannya. “Desa

Ibarat kaki, jika kaki lumpuh maka tubuh dan kepala tidak akan optimal”

(Mohammad Yamin). Potret di masa lalu, desa selalu berfungsi

hanya sebagai objek yang tidak berdaya bahkan program

pemberdayaan yang pernah dirintis dan diterapkan tidak pernah

berkesinambungan. Bahkan, perkembangan desa dengan segala

aktivitasnya membuat kebanyakan diantara kita lupa: apa dan

dari mana asal-usul desa. Sehingga konsep pembangunan desa

menuju kemandirian cenderung memberikan dampak negatif

terhadap sumber daya alam sebagai daya dukung lingkungan

yang seharusnya diperhatikan kelestariannya (sustainable).

Banyak nya pekerjaan yang menyangkut desa, selalu dihadapkan

16 Tulisan ini merupakan kontribusi dari Bruder Johny Kedang, S.Sos., MTB. (Alumni

Prodi Ilmu Sosiatri Angkatan 2008 dan kini menjadi Tenaga Pemberdayaan

Masyarakat Orang Asli Papua “OAP”), Umbu Domu Mahani (Ketua HMPS Ilmu

Sosiatri 2018/2019 dan Wisudawan Terbaik Prodi Pembangunan Sosial Periode

November 2020), Dra. Oktarina Albizzia, M.Si. (Ketua Prodi Pembangunan

Sosial STPMD “APMD”), serta Rina Ardianti (Ketua HMPS Pembangunan

Sosial 2019/2020), Hermanus Kabut (Ketua Kelompok Studi Tentang Desa/

KESA 2020/2021) dan Paskalis Smailino Darmawan (Ketua Komisariat PMKRI

STPMD “APMD” 2020/2021) yang merupakan Mahasiswa Aktif Program Studi

Pembangunan Sosial.

17 Staff Pengajar Program Studi Pembangunan Sosial STPMD “APMD” Yogyakarta.

55 TAHUN STPMD “APMD”

123


pada sisi mana yang harus dikerjakan lebih dahulu. Oleh karena

itu, desa membutuhkan fasilitasi berbagai pihak yang benar-benar

bertanggung jawab serta mampu menghantarkan dan mengawal

proses perencanaan kegiatan pembangunan, hingga desa dikatakan

mandiri.

Diangkat dari pemikiran kepedulian terhadap desa dan upaya

untuk memecahkan persoalan masyarakat desa dalam konteks

pemberdayaan masyarakat lokal maka muncul sebuah aksi

kepedulian terhadap desa. Gagasan ini kemudian menjadi sebuah

konsep pembelajaran antara mahasiswa dengan masyarakat

desa, dalam kerangka Program Aksi Peduli Desa (APD). Perilaku

pemberdayaan masyarakat yang coba diterapkan melalui APD

dalam rangka penguatan kapasitas lokal dilakukan sebagai basis

penguatan nilai-nilai sosial setempat. Sehingga APD merupakan

proses pengembangan jaringan hubungan (fisik) antara komponen

kepercayaan (trust), jaringan hubungan kerja (network), dan kerja

sama (cooperation). Proses yang berlangsung diharapkan tidak hanya

berada pada titik superfisial, namun bisa menyentuh langsung ke

akar atau inti dari penguatan nilai-nilai sosial itu sendiri

Mengawal Proses Panjang Aksi Peduli Desa

APD dicetuskan pertama kali oleh mahasiswa Program

Studi Ilmu Sosiatri (S1) dan Pembangunan Masyarakat desa (DIII)

yang tergabung dalam wadah Ikatan Mahasiswa Ilmu Sosiatri

(IMATRI) yang dinahkodai oleh Bruder Johny Kedang. Kegiatan

APD pertama kali dilakukan pada Bulan Februari 2010, yang

diawali dengan pembentukan panitia yang melibatkan seluruh

mahasiswa IMATRI. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh

panitia, maka kegiatan APD perdana dilaksanakan di Padukuhan

Kracaan, Desa Semin, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul,

D.I.Yogyakarta. Kala itu, mahasiswa IMATRI yang saat ini telah

berubah nama menjadi Himpunan Masiswa Program Studi

Pembangunan Sosial (HMPS Pembsos), mengawali persiapan APD

124

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dengan melakukan proses penggalangan dana secara mandiri,

serta membangun jejaring kerjasama dengan Mahasiswa Fakultas

Kedokteran UMY, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan Dinas Sosial

Provinsi DIY. Persiapan yang cukup panjang dan matang pun

berakhir pada kesuksesan pelaksanaan Aksi Peduli Desa (APD),

yang dilaksanakan pada tanggal 23 - 25 April 2010.

Kesuksesan APD perdana tidak lepas dari keberhasilan

maha siswa untuk berkolaborasi dengan masyarakat desa.

Melalui koordinasi yang apik dengan warga masyarakat desa,

IMATRI mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang ada di

desa lokasi APD. Dari berbagai persoalan yang ada, mahasiswa

IMATRI kemudian bekerjasama dengan warga untuk menciptakan

solusi atas permasalahan tersebut. Pada penyelenggaraan APD

perdana, salah satu bentuk kepedulian mahasiswa guna menjawab

permasalahan masyarakat desa, adalah dengan mengadakan

kegiatan pendampingan anak-anak usia dini (PAUD), penanaman

aneka bibit pohon, pengobatan kesehatan gratis dan pasar murah.

Kegiatan lain seperti pelatihan tentang pengisian formulir monografi

desa dan padukuhan yang merupakan dasar administrasi desa

menjadi pelengkap menu pembelajaran mahasiswa di Padukuhan

Kracaan. Antusiasme mahasiswa dalam mempelajari hal baru di

desa menghasilkan kesan tersendiri baik bagi mahasiswa maupun

warga masyarakat desa. Kontribusi positif baik melaui pemikiran

maupun tindakan nyata yang dilakukan oleh mahasiswa IMATRI

menjadi aksi nyata kepedulian APMD muda untuk berbakti

kepada masyarakat.

Bruder Johny Kedang memaparkan bahwa APD memiliki

bebe rapa tujuan sekaligus. Tujuan awal APD adalah agar mahasiswa

berani mengawal proses pemberdayaan masyarakat desa.

Selain itu, memberikan tantangan belajar tentang kompleksitas

persoalan desa agar bisa menyeimbangkan antara praktik

dengan teori yang diperoleh selama di kelas, rela berbaur dengan

masyarakat untuk mengenal kearifan lokal desa dan terus

55 TAHUN STPMD “APMD”

125


berpihak kepada masyarakat desa yang pada waktu itu masih

terpinggirkan. Desa memiliki karakteristik yang unik sehingga

setiap mahasiswa dituntut untuk menyelami denyut kehidupan

masyarakat desa. Kehadiran mahasiswa di desa dapat akan

memotivasi anak-anak dan kaum muda desa tentang pentingnya

pendidikan dan pembangunan desa yang lebih baik. Sehingga,

desa bisa menjadi pioneer dalam pembangunan ekonomi untuk

mengatasi persoalan kemiskinan dan urbanisasi. Hal ini sejalan

dengan pemaparan Oktarina Albizzia bahwa melalui kegiatan

APD diharapkan mahasiswa bisa mengenal desa secara dekat dan

mendengarkan kebutuhan masyarakat secara langsung sehingga

muncul kepedulian dan rasa bangga mahasiswa terhadap desa.

Pelaksanaan program APD rutin diselenggarakan setiap

1 tahun sekali oleh HMPS Pembangunan Sosial dengan jangka

waktu pelaksanaan selama 3 hari live in bersama masyarakat.

Tinggal bersama masyarakat desa tidak hanya sekedar tidur, tapi

juga bagaimana mahasiswa bisa berinteraksi dan bersosialisasi

dengan warga, sehingga manfaat kegiatan APD ini tidak hanya

dirasakan oleh masyarakat desa setempat tetapi dirasakan pula

oleh mahasiswa yang berkesempatan mengaplikasikan langsung

pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.

Mengasah Kepedulian Sosial Terhadap Desa

Mahasiswa dijuluki sebagai agent of exchange karena

“dianggap” bisa membawa perubahan dalam lingkungan

masyarakat. Untuk itu sebagai mahasiswa yang tengah hijrah

menempuh pendidikan di kota sudah seyogyanya berperan dalam

mengamalkan tradisi berdesa yang bermartabat menurut spirit

Undang-undang Desa Nomor 06 Tahun 2014 tentang Desa. Artinya

mahasiswa sebagai agen perubahan harus senatiasa menghormati,

melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat bertenaga

secara sosial, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan

bermartabat secara budaya. Makna penting dari spirit berdesa

126

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


tersebut diaplikasikan oleh Mahasiswa Prodi Pembangunan Sosial

melalui kegiatan Aksi Peduli Desa yang merupakan kegiatan

unggulan HMPS Pembangunan Sosial yang telah berjalan selama

1 dasawarsa.

Tradisi berdesa ala mahasiswa sebagai garda terdepan

pembangunan dan perubahan desa ditundukkan atas dasar

kepedulian generasi muda terhadap desa yang mulai luntur

ditelan digitalisasi. Melalui Kegiatan APD mahasiswa dituntut

untuk mampu memahami kondisi masyarakat desa, memiliki

ruang inovasi pemberdayaan desa yang bisa mengawal

keberadaan korporasi rakyat, serta mampu menjadi social bridging

antar pemangku kepentingan di desa. Mahasiswa yang mengikuti

55 TAHUN STPMD “APMD”

127


kegiatan akan dilatih dan menjadi terlatih kepribadiaannya, di mana

mahasiswa harus aktif berpartipasi dalam kegiatan di masyarakat,

belajar beradaptasi dengan kondisi lingkungan masyarakat, belajar

menjadi pribadi yang mandiri dan rela berbagai saat berada di

tengah masyarakat.

Rina Ardianti memaparkan bahwa dalam kegiatan APD,

bentuk pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan telah

memberikan dampak positif bagi mahasiswa dan masyarakat.

Dampak tersebut baik itu berupa langsung ataupun tidak langsung,

besar atau kecil, banyak atau sedikit, telah membuat APD menjadi

sesuatu yang berharga bagi mahasiswa maupun bagi masyarakat.

APD pada tahun 2018 di Padukuhan Kuwiran, Desa Tamanagung,

Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, kiranya dapat

menjadi gambaran tersebut. Kegiatan APD yang mengusung tema

“Membangun Desa Berbasis Aset dan Potensi Masyarakat Mewujudkan

Desa Mandiri” dilaksanakan selama 3 hari. Dalam kegiatan itu,

mahasiswa dan masyarakat berkerjasama menjalankan program

mulai dari, membersihkan sungai dari tumpukan sampah,

memberikan workshop kewirausahaan serta menanam bibit pohon

dibantaran sungai bekas galian tambang pasir Merapi yang kini

menjadi lokasi wisata kuliner. Proses live in bersama masyarakat

membuat mahasiswa belajar beradaptasi dengan masyarakat dan

mampu mengamalkan tradisi yang muda yang berdesa. Sebuah

kemajuan perubahan hidup bagi Rina Ardianti yang semula

introvert, kini menjadi ambivert dan dipercaya mewakili HMPS

Pembangunan Sosial dalam berbagai kegiatan eksternal.

Sedangkan gelaran APD tahun 2019 di Padukuhan Wates,

Desa Kemiri, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi D.I.Yogyakarta

juga memberikan kesan serupa. Dengan mengusug tema

“Membangun Desa Ramah Anak Berbasis Kearifan Lokal Yang Maju dan

Mandiri”, APD dirancang berdasarkan hasil pemetaan kebutuhan

warga. Pemetaan tersebut menghasilkan kegiatan yakni membuat

taman toga, taman hidroponik, sosialisasi tentang desa ramah

128

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


anak, workshop decoupage dari botol bekas, workshop Hasta Karya,

pemutaran edukasi tentang anak dan kegiatan lain yang melibatkan

masayarakat Padukuhan Wates.

Kegiatan APD tahun 2019, meski singkat namun mengena di

hati masyarakat karena mengasilkan ikatan batin yang cukup kuat

antara mahasiswa dengan masyarakat. Tidak sedikit masyarakat

berlinang air mata atas berakhirnya kegiatan APD. Kepala

Padukuhan Wates, Yohana Rahayuningsih, tidak bisa berkata apaapa

ketika melepas kepergian mahasiswa HMPS Pembangunan

Sosial. Pias kesedihan terpampang jelas di wajahnya “Baru dekat

kok sudah harus berpisah” begitu ungkapan hati singkat yang

55 TAHUN STPMD “APMD”

129


mewakili rasa yang dialami Ibu Yohana. Meski demikian bu

Dukuh berterimkasih kepada mahasiswa karena bersedia berbagi

karya, karsa, asa, cita dan rasa dengan masyarakat di Padukuhan

Wates. APD bahkan memiliki pesona tersendiri untuk memikat

siapapun yang terlibat dalam kegiatan yang dilaksanakan. Dari

kegiatan APD ini Puteri Ibu Dukuh Wates, Emren Avila Bening

Prahasty, kini bergabung menjadi mahasiswa Angkatan 2020 di

Prodi Pembangunan Sosial STPMD ”APMD”.

Refleksi Kritis Aksi Peduli Desa

Umbu Domu Mahani, Ketua HMPS Ilmu Sosiatri Periode

2018/2019 mengisahkan bahwa pada saat melaksanakan

Praktikum I di Desa Sidorejo tahun 2018, seorang petani berujar

kepada kami: “desa kami sudah sering dijadikan lokasi kegiatan

mahasiswa, tapi kami tidak merasakan perubahan”. Pengakuan dari

seorang petani ini, bisa berkembang menjadi bahan diskusi yang

panjang soal mahasiswa turun desa. Tetapi diskusi yang panjang

lebar itu akan bermuara pada dua hal: “mahasiswa mengepung

desa” dan “desa mengepung mahasiswa”. Diskursus “mahasiswa

mengepung desa” menjadikan desa sebagai tempat atau lokasi

untuk mempraktikkan teori dengan niat baik, tetapi seringkali

justru mengeksploitasi desa.

Mahasiswa ramai-ramai turun desa membawa ide teks book,

lalu mengambil data untuk kepentingan kegiatan, praktik dan

penelitian yang dibungkus dalam kerangka pemberdayaan dan

partisipasi. Desa memberi data dan mahasiswa mengakumulasi

pengetahuan dari data, namun desa tidak mendapat apa-apa,

komplit seperti pengakuan seorang petani di atas. Inilah yang

Umbu sebut sebagai mahasiswa mengepung desa dengan niat baik

tetapi justru mengekspoitasi desa.

Diskursus “desa mengepung mahasiswa” lebih dimaknai

sebagai basis hubungan keilmuan antara desa dan mahasiswa atau

“ilmu yang berdesa dan desa yang berilmu” seperti yang diajarkan

130

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


oleh Bung Karno soal hubungan antara ilmu dan amal, “ilmu yang

amaliah dan “amal yang ilmiah”. Desa tidak hanya dijadikan objek

atau lokasi kegiatan keilmuan seperti diskursus yang pertama

yang justru mengeksploitasi desa, tetapi harus memberi manfaat

bagi desa. Ini hakikat soal ilmu yang tidak hanya bermanfaat

bagi pemilik ilmu tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat, desa

dan negara. Diskursus “desa mengepung mahasiswa” atau

“desa mengepung ilmu” Umbu gunakan untuk memahami dan

menjelaskan APD, sekaligus untuk mendudukkan APD sebagai

spirit tradisi berdesa mahasiswa Program Studi Pembangunan

Sosial.

Berdasarkan diskursus tersebut, Umbu berbicara berberapa

hal soal APD. Pertama, APD sebagai aksi dialektika antara teori dan

praktik teori yang diperoleh mahasiswa dari ruang kelas dan teks

book di bawah ke desa untuk memberi manfaat bagi masyarakat

dan desa. Kemudian hasil temuan mahasiswa dari desa di bawah

di ruang kelas untuk didiskusikan dan dinalarkan menjadi narasi

besar. Inilah yang disebut sebagai dialektika antara narasi kecil dan

narasi besar. Narasi kecil yang diperoleh dari hasil diskusi dengan

rakyat di desa dan narasi besar yang diperoleh dari buku yang

diproduksi oleh komunitas epistemik. Hasil dialektika mengantar

pada novelty ilmu yang lebih relevan dan membawa manfaat ketika

dibawa kembali ke desa.

Kedua, APD sebagai ajang belajar, berbaur, bersosial, dan

berdesa bagi mahasiswa. Hal ini berguna bagi mahasiswa

untuk belajar bersopan santun, bergotong royong, saling tolong

membantu, empati dan seterusnya. Desa yang satu punya cerita

dan kebiasan yang berbeda dengan desa yang lain. Jika ada

seribu desa maka akan ada seribu cerita dan kebiasaan. APD

bisa memperkaya mahasiswa dari segi cerita dan kebiasaan yang

berbeda itu sekaligus penghormatan terhadap kebergaman untuk

menemukan inspirasi dari hasil dialog dengan masyarakat dan

desa.

55 TAHUN STPMD “APMD”

131


Ketiga, APD sebagai tradisi berdesa yang khas ala mahasiswa

Program Studi Pembangunan Sosial. Tradisi berdesa memerlukan

dan menjadikan desa untuk semua urusan yang ada di desa,

tidak sebatas urusan administrasi, tetapi meliputi semua basis

kehidupan di desa. Tradisi berdesa memahami desa sebagai

entitas politik yang oleh Azar Gat (2003) disebut sebagai negara

kecil (petty states). Desa sebagai negara kecil, negara yang dekat

dengan rakyat. Menjadikan desa sebagai solusi institusi dari

semua urusan masyarakat desa. APD bisa mengambil bagian

untuk memperkuat tradisi “muda berdesa” dan merajut hubungan

antara desa, masyarakat dan kehidupan melalui desa sebagai petty

states. Ketiga pemahaman di atas untuk menjelaskan APD sebagai

basis diskursus desa mengepung ilmu untuk memperkuat tradisi

“muda berdesa” dari sisi keilmuan.

Keberlangsungan APD, meski hanya “live in” dengan

masyarakat di desa selama tiga hari, bisa memberi dua manfaat

bagi desa. Pertama, untuk mendorong daya ungkit ekonomi

desa. Seperti cerita kegiatan APD tahun 2019 di Desa Kemiri soal

workshop decoupage untuk ibu rumah tangga tentang pemanfaatan

botol bekas sehingga memiliki nilai ekonomis. Ini bisa menjadi

daya dorong ekonomi kreatif apabila dimanfaatkan secara

berkelanjutan. Tetapi yang jauh lebih penting adalah mendorong

daya ungkit ekonomi yang memiliki basis dengan ekonomi

produksi masyarakat, sehingga bisa tumbuh menjadi ekonomi

produksi yang berkembang menjadi korporasi rakyat.

Kedua, menempatkan pembangunan dari berbasis komunitas

menjadi berbasis desa. Tradisi village itu adalah tradisi yang cocok

untuk Asia termasuk Indonesia karena kita memiliki desa sebagai

institusi struktural sekaligus kultural, berbeda dengan Amerika

dan Eropa yang memakai community dan rural. Mahasiswa melalui

kegiatan APD bisa menemukan ruh village atau tradisi berbasis

desa. Cara ini digunakan untuk mendorong ekonomi kreatif

melalui gagasan membangun wisata berbasis desa saat kegiatan

132

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


APD 2017 di Desa Dlingo. APD melakukan kolaborasi dengan desa

untuk melakukan promosi melalui jalur offline dan online termasuk

melalui kegiatan yang fokus di Tebing Watu Mabur. Tetapi yang

menjadi jalur paling cepat adalah jalur online, dan kemudian

wisata Tebing Watu Mabur yang merupakan icon wisata di Dlingo

berkembang menjadi wisata viral. Pengalaman Umbu ini bisa

menjadi inspirasi tentang cara memperkuat tradisi berdesa melalui

kegiatan APD. Sehingga APD tidak sekedar menjadi aktivitas rutin

tanpa makna. APD harus menghadirkan makna dan dampak bagi

desa. Sehingga inspirasi melalui cerita dan pengalaman ini bisa

menemukan novelty praktik dan keilmuan yang berdesa atau desa

mengepung ilmu yang berguna untuk APD di tahun berikutnya.

Kini, tugas kita adalah merumuskan secara matang konsep

kegiatan APD agar bisa berjalan dengan baik dan efektif bagi

pengembangan tradisi “muda berdesa”, sebagai pengejawantahan

dari Tridharma perguruan tinggi. Salah satu rekomendasi bagi

terwujud nya rupa Aksi Peduli Desa adalah pengorganisasian

masyarakat sebagaimana disampaikan Paskalis Smailino

Darmawan. Mahasiswa Prodi Pembangunan Sosial yang saat ini

menjabat sebagai Ketua PMKRI Komisariat STPMD “APMD” ini

menambah kan ketika desa tersebut belum memiliki karang taruna,

maka mahasiswa bisa mengkoordinir dan mengorganisir kaum

muda untuk membentuk wadah bagi pemuda desa.

Sementara itu, Hermanus Kabut Mahasiswa Pembangunan

Sosial Angkatan 2018 menegaskan bahwa betapa penting

memaknai dan merumuskan ulang definisi Aksi Peduli Desa.

Ketua Kelompok Studi Tentang Desa (KESA) menyatakan hal

ini dilakukan agar APD tetap berjalan dalam koridor yang sama

sesuai dengan cita-cita para penggagasnya. “Apa itu Aksi Peduli

Desa?”, “Mengapa kita peduli dengan desa?”, dan “Apa bentuk

kepedulian kita terhadap desa?” perlu dimunculkan kembali

ke permukaan. Menurutnya, pertanyaan-pertanyaan itu dapat

membantu kita dalam menemukan konsep maupun imajinasi

55 TAHUN STPMD “APMD”

133


tentang kegiatan Aksi Peduli Desa. Sehingga, kegiatan APD tidak

hanya sekedar menjadi program dan agenda tahunan Mahasiswa

HMPS Pembangunan Sosial. Tetapi, lebih daripada itu, kegiatan

tersebut memiliki tujuan yang jelas, yaitu mengenal dan mengawal

desa agar menjadi entitas yang mandiri, kuat, dan berdaulat

dengan membawa nilai-nilai filosofi yang jauh lebih hebat, yaitu

nilai-nilai gotong royong, toleransi, solidaritas dan modal sosial

yang luar biasa.

Proses ini perlu diawali dengan penguatan pengetahuan

mahasiswa tentang nilai-nilai socio cultural masyarakat desa.

Kemudian hal itu diikuti dengan peningkatan pemahaman

tentang pemberdayaan masyarakat dan pelayanan sosial.

Kesemua itu ditujukan agar terjadi harmonisasi dalam mengawal

proses kepedulian desa yakni dalam rangka “desa membangun

dan membangun desa”. Hal ini diharapkan bisa mengantarkan

mahasiswa Prodi Pembangunan Sosial memiliki komitmen dalam

mengorganisasikan kegiatan Aksi Peduli Desa agar lebih bermakna

dan bermanfaat. Sehingga hal itu bisa seiring sejalan dengan Visi

Prodi Pembangunan Sosial, yakni: “Menjadi Program Studi yang

Unggul dalam Pembangunan Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat

dan Desa”.

134

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 9

EDUKASI DAN

MEMAMPUKAN DESA

Oleh: Hery Purnomo 18

Edukasi dan memampukan desa menjadi bagian integral

dalam menyelami denyut kehidupan desa. Desa memiliki berbagai

macam sumber penghidupan dan pengetahuan yang secara

alamiah tumbuh di dalamnya. Memaknai desa, dapat dilihat dari

dua sisi wajah yaitu desa lama dan desa baru. Wajah desa lama

yang indah tetapi mendapatkan bombardir program pembangunan

dari negara. Desa direduksi kemampuan dan dayanya sehingga

berakibat desa menjadi kerdil.

Transformasi desa lama menuju desa baru mendapatkan

momennya dengan terbitnya UU Desa. Keberadaan Undang-

Undang Desa membawa angin segar bagi desa untuk mulai meniti

kembali meraih kemampuan dan daya. Paska diterbitkannya UU

Desa, desa menggeliat dalam memajukan kehidupan ekonomi,

sosial, dan budaya. Desa bergerak untuk memantabkan jati diri

melalui rekognisi dan subsidiaritas. Meski demikian, implementasi

Undang-Undang Desa masih memerlukan penguatan yang

dilakukan melalui berbagai macam bentuk edukasi. Edukasi

bertujuan agar desa dapat menata diri secara bertahap menuju

kondisi sebagai mana cita-cita UU Desa. Upaya memampukan

desa yang memposisikan desa sebagai aktor memang menghadapi

berbagai macam rintangan.

18 Staff Pengajar Prodi Pembangunan Masyarakat Desa, Diploma Tiga. Penulis

mengucapkan terimakasih pada narasumber yang telah meluangkan waktunya: Dr

Widodo Triputro M.M, M. Si, Dr Supardal, M. Si, Dr Sutoro Eko Yunanto.

55 TAHUN STPMD “APMD”

135


Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD)

“APMD” Yogyakarta yang didirikan 55 tahun silam telah lama

berpihak pada desa. Komitmen dari founding fathers terhadap

keberpihakan desa berjalan hingga saat ini. Komitmen tersebut

diejawantahkan dengan mengedukasi dan memampukan desa

yang menempatkan desa bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek.

Melebur Menjadi Satu

STPMD “APMD” Yogyakarta menjadi institusi pendidikan

yang ambil bagian dalam upaya memampukan desa dan mengawal

Undang-Undang Desa melalui edukasi desa. Kunci utama yang

dijalankan STPMD “APMD” dalam memampukan desa adalah

menegakkan komitmen, menjaga konsistensi, dan memastikan

keberlanjutan. Dalam mengedukasi desa, sivitas akademik terjun

baik secara langsung maupun tidak langsung ke desa-desa. Edukasi

dilakukan melalui Bimtek, diklat, pelatihan hingga pendampingan

menjadi jembatan untuk memampukan desa. Dari berbagai cara

mengedukasi yang dilakukan salah satu prinsip yang dipegang

adalah melebur menjadi satu atau menjadi bagian dari desa itu

sendiri. Prinsip melebur menjadi satu menjadi suatu keharusan

ketika terjun di desa.

Pengalaman panjang dalam mengedukasi desa telah dilakukan

STPMD “APMD” jauh sebelum Undang-Undang Desa dilahirkan.

Salah satu pengalaman berharga yang disampaikan oleh Dr Supardal,

M.Si. Pada tahun 2004, Supardal dan sivitas akademik melakukan

pengabdian di Desa Wiladeg, Kecamatan Karang mojo, Kabupaten

Gunungkidul. Perjumpaan antara Supardal selaku Ketua Prodi Ilmu

Pemerintahan dengan Sukoco, Kepala Desa Wiladeg membuahkan

kerjasama yang manis, bak “gayung bersambut”.

Desa Wiladeg pada tahun 2004 merupakan desa yang

sedang berkembang. Partisipasi masyarakat dalam aktivitas pembangunan

desa masih kurang. Sejak Sukoco di daulat sebagai

kepala desa, Desa Wiladeg mulai berbenah. Kapasitas kepala desa

136

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


yang memiliki jejaring dengan berbagai kalangan yang berpihak

terhadap desa menjadi modal awal Wiladeg dalam membangun

kemadiriannya. Semangat membangun desa yang ditunjukkan

Sukoco dengan membangun kerjasama dengan STPMD “APMD”

melalui Supardal. Kerjasama yang terjalin dengan masyarakat

Desa Wiladeg ditindaklanjuti dengan serius oleh segenap sivitas

akademik prodi Ilmu Pemerintahan.

Upaya melebur menjadi bagian dari desa adalah prinsip

bagi sivitas akademik STPMD “APMD” dalam menjalankan

pendampingan. Melebur artinya menjadi bagian masyarakat yang

mampu mendengar keluh kesah dan bersama-sama menemukan

alternatif pemecahan masalah. Melebur menjadi satu dengan

masyarakat dilakukan dengan berbagai strategi misal dengan

menggunakan pendekatan participatory rural appraisal hingga

metode yang ekstrim seperti etnografi. Dosen ataupun sivitas

akademik yang terjun melakukan pengabdian, tidak hanya

menjalankan tugas untuk mendampingi masyarakat tetapi menjadi

bagian dari masyarakat itu sendiri.

Berbagai kegiatan yang diprakarsai oleh STPMD “APMD”

Yogyakarta disambut antusias oleh masyarakat Desa Wiladeg.

Pendekatan awal yang dilakukan dengan terjun langsung,

berdialog dengan masyarakat desa, mengikuti aktivitas kegiatan

kemasyarakatan, bergaul dalam forum-forum yang ada di desa.

Salah satunya melalui radio komunitas pada waktu itu menjadi

hal yang popular bagi masyarakat Desa Wiladeg. Melalui radio

komunitas, banyak informasi desa yang dapat diakses oleh

masyarakat desa. Radio komunitas menjadi sumber berharga bagi

dosen-dosen pada kala itu. Salah satunya saat sivitas akademik

di Desa Wiladeg mendorong masyarakat untuk dapat mampu

menginventarisasi potensi desa dan mengelola potensi yang ada

secara bersama dan mandiri.

Upaya tersebut yang membuat masyarakat menjadi nyaman

dan tidak canggung dengan keberadaan tim dosen dan sivitas

55 TAHUN STPMD “APMD”

137


STMPD “APMD”. Memang prosesnya membutuhkan waktu yang

lama, pendampingan yang dilakukan Prodi Ilmu Pemerintahan

berjalan hampir 10 tahun. Hasilnya terlihat jelas, kombinasi

antara institusi pendidikan dengan desa, menjadikan Desa

Wiladeg dapat berkembang menjadi desa yang mampu mengelola

potensi desanya. Penyuluhan ataupun pertemuan yang diadakan

selalu disambut dengan antusias masyarakat desa. Warisan dari

Sukoco selaku kepala desa pada saat ini masih terasa manfaatnya.

Mengedukasi dan memampukan desa merupakan bagian dari

pemberdayaan. Ketika masyarakat mampu, masyarakat juga harus

mengembangkan apa yang telah dikerjakan.

Edukasi yang dilakukan STPMD “APMD” terhadap desa di

luar Jawa menjadi suatu pengalaman berharga yang patut disimak.

Supardal menuturkan pengalamannya mengedukasi Desa di

Dogyai, Papua. Tim STPMD “APMD” Yogyakarta melakukan

edukasi dan sosialisasi terkait Undang-Undang Desa di Dogyai,

Papua. Implementasi Undang-Undang Desa belum berjalan

dengan baik. Salah satu contoh terkait pengelolaan Dana Desa. Bagi

kepala kampung di Distrik Dogyai, pengelolaaan dana desa masih

dilakukan seadanya, Dana Desa lebih banyak dimanfaatkan untuk

pembangunan fisik. Kemudian pelaporan Dana Desa menggunakan

jasa dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat di tingkat kabupaten.

Permasalahan ini menjadi suatu hal yang serius, di mana negara

gagal melindungi desa.

Permasalahan yang ada di Dogyai, Papua, direspon Tim

“STPMD” APMD dengan memberikan edukasi. Edukasi yang

dilakukan menyasar pada kepala distrik (camat). Melalui kepala

distrik ini diharapkan transfer pengetahuan kepada kepala

kampung dapat terjadi. Kepala distrik merupakan ujung tombak

yang mengetahui medan, budaya, dan keadaan masyarakat

kampung. Strategi yang digunakan dinamakan “training of trainer”.

Memberdayakan kepala distrik alangkah lebih bijak dibanding

langsung kepala kampung, karena kepala distrik dihormati dan

138

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


disegani. Strategi-strategi mengedukasi ini merupakan cara jitu

dalam memecahkan permasalahan terkait di Dogyai.

Mengedukasi desa dalam forum pertemuan anggota DPRD

menjadi cerita menarik yang disampaikan Supardal. Keberadaan

Undang-Undang Desa memang menguntungkan desa. Tetapi

keberadaan Undang-Undang Desa belum menjamin kemakmuran

desa itu sendiri. Berlakunya Undang-Undang Desa juga dibarengi

dengan terbitnya berbagai macam peraturan kementerian yang

membelitnya. Peraturan-peraturan kementerian justru membuat

desa menjadi terjerat oleh urusan administrasi yang harus dipatuhi

desa. Salah satunya penambahan nomenklatur dalam pengelolaan

dana desa melalui peraturan kementerian dalam negeri menyebabkan

desa menjadi kesulitan untuk mengoperasionalkan dana

desa secara maksimal. Permasalahan ini yang kemudian ditangkap

Supardal untuk disampaikan dalam forum dengan anggota DPRD

yang topiknya berkaitan. Penyampaian gagasan yang diberikan

sebagai upaya untuk memberikan “warning” bahwa ada sesuatu

hal yang kurang pas dan perlu dicermati bersama.

Keberadaan Undang-Undang Desa memang harus dikawal

dengan seksama agar keberadaannya benar-benar dapat mem berikan

manfaat yang besar untuk desa. Jangan sampai desa menjadi

bulan-bulanan sehingga muncul istilah “wes dicekel buntute, tetep

dicekel ndase, malah di idak-idak” (dalam arti Bahasa Indonesia:

sudah di pegang ekornya, tetap di pegang kepalanya, bahkan

diinjak-injak). Istilah tersebut menganalogikan bahwa desa yang

diberikan kebebasan terkait dengan pengakuan dan kewenangan

terjerat kembali untuk didikte dan dieksploitasi.

Mendorong dan Mengawal

Upaya sosialisasi Undang-Undang Desa telah mulai digaungkan

sejak undang-undang tersebut diketok. Berbagai sosialisasi

dilakukan dalam bentuk bimbingan teknis, diklat, pendampingan

yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas individu maupu

55 TAHUN STPMD “APMD”

139


organisasi. Harapan edukasi semacam ini agar desa memahami dan

mampu dalam mengimplementasikan Undang-Undang Desa. Desa

dapat menjalankan kewenangan lokal yang di miliki dan mampu

mengelola sumber daya desa secara mandiri. Dalam kenyataannya,

pelaksanaan bimtek, asistensi, dan diklat yang di terima perangkat

desa memang telah membawa transfer pengetahuan tentang

pelaksanaan Undang-Undang Desa. Perangkat desa dan jajarannya

mendapatkan pemahaman tentang pengelolaan dana desa,

penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

(RPJMDes), penyusunan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa

(RKPDes), dan aktivitas siklus tahunan desa.

Tetapi sayangnya bimtek dan sejenisnya ini hanya dimaknai

sebatas kegiatan rutin tahunan oleh kabupaten melalui dinas

pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan pengalaman, pelatihan

berombongan yang dilakukan dinas cenderung hanya ceramah saja

dengan minim diskusi. Transfer pengetahuan berlangsung ketika

ada pelatihan tetapi setelahnya tidak ada tindak lanjutnya. Selain

itu, kegiatan pelatihan dan edukasi yang dilakukan kabupaten

memiliki keterbatasan dari sisi anggaran dan waktu. Alhasil,

kegiatan yang diselenggarakan kabupaten untuk memampukan

desa hanya menjadi kegiatan yang formalitas. Pada tataran ini

kabupaten belum serius dalam memampukan desa. Bimtek

memang telah memungkinkan transfer pengetahuan terjadi. Tetapi

pelaksanaan tradisi “berdesa” seperti yang diamanatkan dalam

Undang-Undang Desa belum terwujud.

Pengalaman Dr. Widodo Triputro menegaskan kondisi

tersebut. Widodo menuturkan, dalam memberikan pelatihan dan

edukasi kerjasama dengan kabupaten/intitusi terkait menjelaskan

bahwa setiap bimtek yang dilakukan dia hanya diberikan alokasi

waktu dua jam, kemudian forum diskusi yang terjadi tidak ideal.

Pelatihan dan edukasi yang tidak menjadi kebutuhan peserta

(perangkat desa dan jajarannya) akhirnya menjadi kegiatan

formalitas semata. Transfer ilmu pengetahuan berjalan tetapi tidak

140

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


mengendap dengan baik. Melihat kondisi tersebut Widodo sering

memberikan masukan kepada penyelenggara pelatihan baik itu

kabupaten atau institusi agar penyelenggaraan bimtek ditindak

lanjuti dengan kegiatan pendampingan. Kemudian penyelenggara

pelatihan diharapkan melakukan diskusi terlebih dahulu terkait

dengan mengidentifikasi kebutuhan pelatihan.

Berbeda dengan pelatihan dan edukasi yang dilakukan

Widodo di Desa Tamanan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten

Bantul yang menjadi tempat tinggalnya. Pelatihan dan edukasi

yang dilakukan secara berkelanjutan hingga saat ini. Perangkat desa

ataupun Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sering berkonsultasi

dengan dia, misal terkait dengan penyusunan Peraturan Desa,

tugas dan fungsi perangkat desa, penyusunan RPJMDes, dan

berbagai macam hal yang berkaitan dengan pemerintahan desa.

Setiap “selapan” hari, BPD mengadakan sarasehan rutin yang

membahas terkait pembangunan desa. Kegiaatan sarasehan

ini dihadiri oleh berbagai elemen mayarakat dan kelompok

masyarakat di desa tersebut. Dalam sarasehan tersebut, Widodo

menjadi fasilitator sekaligus narasumber. BPD ataupun kepala desa

sering berkonsultasi dengan dia perihal penyusunan peraturan

desa. Mereka meminta bantuan untuk mengoreksi draf perdes dari

sistematika hingga substansi perdes.

Dalam sarasehan BPD, Widodo sebagai fasilitator membantu

elemen masyarakat dalam menampung berbagai macam aspirasi,

kemudian dia memberikan masukan dan pencerahan terhadap

permasalahan yang ada di desanya. Silang pendapat lazim terjadi

dalam forum diskusi. Dinamika dalam forum diskusi dinilai

menjadi nilai postif dalam membangun demokrasi di desanya. Dia

dapat memposisikan dirinya sebagai fasilitator sekaligus mediator

yang memberikan alternatif solusi. Hubungan baik antara Widodo

dengan perangkat desa dan BPD karena masing-masing pihak

memiliki komitmen bersama untuk memajukan desa.

55 TAHUN STPMD “APMD”

141


Ada pula pengalaman edukasi menarik yang menjadi

kenangan Widodo dalam melakukan bimtek, yaitu salah satunya

bimtek di Gayo luwes, Aceh. Bimtek yang dilakukan menyasar

pada memampukan petani kopi. Petani kopi di daerah tersebut

memiliki hasil produksi kopi mentah yang baik. Permasalahan

yang ada, petani kopi belum memaksimalkan hasil produksi

kopi mentah menjadi barang yang memiliki nilai tambah lebih,

kemudian belum terbentuknya wadah yang menaungi petani

kopi. Bimtek tersebut dilakukan dengan menghadirkan berbagai

stakeholders, baik dari pemerintah, LSM, dan petani kopi. Sebagai

pengisi bimtek, Widodo mengambil peran dalam peningkatan

kapasitas kelembagaan.

Bimtek yang dilakukan kepada petani kopi di Gayuluwes

menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu terbentuknya 7

kelompok petani kopi yang berada dalam wadah Badan Usaha

Milik Desa (Bumdes). Kelompok petani kopi yang terbentuk

mengembangkan produksi kopi mentah menjadi produk minuman

kopi. Peran masing-masing stakeholders mampu memberikan

kebermanfaatan bagi petani kopi. Pemerintah desa berperan

dalam memfasilitasi kegiatan bimtek untuk kelompok petani,

LSM menjadi mediator dalam meningkatkan soft skill dari petani

kopi tersebut terkait pengolajhan kopi. Tindak lanjut dari bimtek

sebagai penguatan kelompok petani kopi ini kemudian diinisiasi

dengan melakukan magang ke koperasi yang ada di Yogyakarta.

Widodo mengarahkan ketujuh kelompok petani kopi untuk

magang dan belajar selama tiga bulan di koperasi-koperasi yang

direkomendasikan.

Pelatihan dan edukasi diharapkan dapat mewujudkan transfer

pengetahuan yang kemudian dielaborasi dengan pelaksanakan

tindakan nyata. Perlu ada perubahan pandangan dalam memaknai

pelatihan dan edukasi. Pelatihan dan edukasi diposisikan sebagai

kebutuhan yang memang benar dibutuhkan dan kebutuhan

tersebut di wujud nyatakan dalam pelaksanaan. Tentu pelatihan

142

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


dan edukasi yang berkelanjutan melalui proses trial dan error. Desa

sebagai aktor yang memiliki kewenangan lokal harus serius dalam

melakukan peningkatan kapasitas. Pembangunan yang selama ini

masih banyak di arahkan ke pembangunan fisik perlu diimbangi

dengan pembangunan sumber daya manusia. Ketergantungan

dengan pemerintah supra desa harus dikurangi , sehingga desa

mampu untuk menyesuaikan diri dan mandiri.

Memperluas Ruang Pengetahuan

Mengedukasi tidak hanya berada pada ranah pelatihan, bimtek,

asistensi, diklat, dan sebagainya. Banyak ruang pengetahuan yang

dapat disinggahi, Dalam konteks berdesa, ketika kita sedang

mengobrol santai dengan kolega membahas isu mengenai Undang-

Undang Desa yang di by pass oleh banyak peraturan menteri

itu sudah membuka masuknya ruang pengetahuan. Ketika kita

berada di warung kopi, berselancar di dunia maya mengunggah

review buku Desa Baru Negara Lama kemudian mendapatkan

tanggapan di kolom chat itu juga membuka ruang pengetahuan.

Ruang pengetahuan terbangun apabila terjadi interaksi dan

transfer informasi.

Ruang pengetahuan dapat dimaknai sempit sebagai tempat di

mana dialektika pengetahuan itu dibangun. Saat ini banyak sarana

yang dapat digunakan dalam menciptakan ruang pengetahuan,

salah satunya melalui teknologi informasi. Ruang pengetahuan

dalam teknologi informasi seperti Facebook, Instagram, Twitter,

Youtube, Podcast menjadi ruang pengetahuan yang bebas nilai,

dimana berbagai hal dapat tersaji dan dibahas terutama terkait

topik desa. Dalam ruang pengetahuan tersebut kemudian muncul

transfer pengetahuan.

Dr Sutoro Eko, ketua STPMD “APMD” Yogyakarta berbagi

pengalaman dalam memperluas ruang-ruang pengetahuan

berkaitan dengan berdesa. Memperluas ruang pengetahuan

tentang berdesa ini merupakan salah satu tindak lanjut dan

55 TAHUN STPMD “APMD”

143


kesinambungan implementasi Undang-Undang Desa. Ruang

pengetahuan dapat muncul dalam suasana dan kondisi yang santai

misalnya pada saat ngobrol di ruangan kerja dia. Banyak kepala

desa ataupun rombongan yang menyempatkan diri untuk bertemu

dengan Pak Toro (sapaan akrabnya) membicarakan masalah desa.

Kehangatan yang ditunjukkan dia dalam melayani kepala desa

atau rombongan yang berkunjung memberikan pencerahan dan

dampak yang luar biasa.

Dodiet Prasetyo, Kepala Desa Wlahar Wetan, Kalibangor,

Banyumas berbagi pengalaman ketika Sutoro Eko berkunjung ke

desanya. Kunjungan ke Desa Wlahar terjadi pada bulan Maret

tahun 2018. Kunjungan yang dilakukan STPMD “APMD” sebagai

bentuk kunjungan balasan. Menyambut kehadiran begawan desa,

antusias kepala desa dan perangkat desa tersebut sangat luar biasa.

Kepala Desa dan jajarannya banyak menyampaikan curhatan dan

keluh kesah yang berkaitan dengan desa. Curhatan dan keluh

kesah di respon dengan penuh seksama bahkan Sutoro Eko mampu

memberikan pandangan yang mencerahkan. Ruang pengetahuan

terbangun dengan nilai humanisme yang dibawa begawan desa.

Pengalaman yang sama dirasakan oleh Hadian Supriatna,

SP, Kepala Desa Cibiruwetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten

Bandung. Ruang pengetahuan yang di dapat berawal dari kedai

kopi. Perjumpaan dia dengan Sutoro Eko di Kedai Kopi Poenam

daerah Kebun Sirih Jakarta tahun 2014 memberikan spirit

dalam memampukan desa. Kewenangan lokal dan pengakuan

yang terkandung dalam Undang-Undang Desa (pada masa

itu masih rancangan undang-undang) menyadarkan Kepala

Desa Cibiruwetan bahwa desa harus mampu menentukan arah

kebijakan pembangunan desa secara mandiri, di mana peran serta

masyarakat ada di dalamnya. Hasil dari perjumpaan di warung

kedai kopi membantu kepala desa dalam membuat kebijakan

pembangunan dan kegiatan pembangunan yang inovatif dan

kreatif sehingga mampu mensejahterakan masyarakat desa.

144

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Ruang pengetahuan tidak mengharuskan tempat yang formal

seperti di hotel ataupun di audiotorium. STPMD “APMD” memiliki

ruang diskusi yang cukup representatif yaitu Ruang M. Soetopo.

Ruang M. Soetopo dahulu dan sekarang memiliki rupa yang berbeda

dengan fungsi yang sama. Dahulu ruang tersebut merupakan ruang

seminar yang dapat digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat

yang ada di lingkungan sekitar kampus. Kelompok petani,

perangkat desa, masyarakat umum menggunakan ruang tersebut

untuk mendiskusikan berbagai macam hal. Dari ruangan tersebut

muncul ide gagasan yang memberikan pengharapan bagi kalangan

tersebut. Ruangan M. Soetopo dapat menjangkau segala aspek

lapisan masyarakat untuk membangun ruang pengetahuan. Memang

sekarang R. M. Soetopo sudah semakin bersolek, tetapi esensinya

tetap terjaga dengan menghidupkan ruang-ruang pengetahuan.

STPMD “APMD” Yogyakarta yang diidentikkan dengan kampus

desa berupaya membuka seluas-luasnya ruang pengetahuan tersebut.

Ruang pengetahuan dapat muncul dari media sosial. Keaktifan

Sutoro Eko di media sosial seperti Facebook mendapatkan respons

positif dari berbagai kalangan seperti kepala desa, pegiat desa,

dan masyarakat umum yang peduli pada desa. Banyak postingan

berkaitan dengan desa dia syiarkan. Kemampuan dia dalam

memberikan informasi tentang desa memang tidak terbantahkan,

baik itu opini ataupun gagasan-gagasan dia. Salah satunya Kepala

Desa Kabela Wuntu, Kecamatan Katiku Tana, Kabupaten Sumba

Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gustiawan Walawengu.

Kepala desa tersebut menuturkan perjumpaannya dengan

Sutoro Eko melalui Facebook. Kepala desa pada awal mula hanya

berteman dan menjadi pengikut saja. Postingan-postingan berdesa

baik itu opini ataupun gagasan memikat kepala desa tersebut

untuk mengikutinya. Hampir semua postingan rutin dibaca dan

nyaris tidak ada postingan yang terlewatkan. Dari rutin dan rasa

penasaran kepala desa ini kemudian yang mempertemukan kepala

desa tersebut dengan Begawan desa secara langsung.

55 TAHUN STPMD “APMD”

145


Bulan September 2019 Kepala Desa Kabela Wuntu mendampingi

pengurus Bumdes melakukan bimtek dan studi banding

di Yogyakarta. Momen inilah yang kemudian mempertemukan

kepala desa dengan Sutoro Eko. Kesempatan yang baik itu tidak

disia-siakan untuk mendapatkan ilmu berdesa. Berkunjung ke

STPMD “APMD” Yogyakarta dan diterima dengan baik menjadi

pengalaman yang berharga bagi kepala desa. Perjumpaan yang

singkat sambil menyeruput kopi dan cemilan, Pak Toro dengan

bersahaja berbagi ilmu tentang bagaimana mengelola Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes) dan Badan Usaha Milik Desa Bersama

(Bumdesa Bersama). Kondisi diskusi yang cair, penuh kehangatan,

dan semangat berbagi cukup memberikan efek yang luar biasa.

Memperluas ruang pengetahuan merupakan suatu gagasan

yang membuka jendela berpikir kita. Logika tersebut sangat

relevan di mana keberadaan ruang-ruang pengetahuan akan berkontribusi

pada pengembangan pengetahuan itu sendiri. Transfer

pengetahuan, transfer informasi, diskursus yang terjadi akan

melanggengkan pengetahuan itu sendiri, sehingga kemandegan

pengetahuan dapat terhindarkan Memperluas ruang pengetahuan

memberikan daya tersendiri dalam menghadapi berbagai tantangan

permasalahan kehidupan.

Keberadaan ruang pengetahuan juga dilandasi dengan nilai

humanis yang perlu di pelihara. Nilai humanis ini merupakan

pondasi atau benteng sehingga kita tidak terjebak pada ruang

pengetahuan yang membabi buta atau pengetahuan yang disalahgunakan

untuk kepentingan pribadi atau golongan. Keberadaan

ruang pengetahuan jangan sampai mengikis nurani sehingga

menjadikan orang menjadi rakus.

Simpulan

Mengedukasi dan memampukan desa adalah bagian yang

tak terpisahkan dari melayani desa. Berbagai macam strategi

dalam melayani kemudian bisa kita sarikan menjadi tiga hal

146

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


yaitu melebur menjadi satu, mendorong dan mengawal, serta

memperluas ruang pengetahuan. Melebur menjadi satu dapat

diartikan bahwa dalam melayani desa kita harus mampu menjadi

bagian dari desa itu sendiri. Mendorong dan mengawal dapat

diartikan bahwa dalam melayani sebagai upaya mengedukasi dan

memampukan desa kita cukup perlu mendorong dan mengawal.

Kita tidak perlu mengintervensi terlalu dalam supaya tidak menciptakan

ketergantungan. Ketergantungan tersebut bisa terlihat

dari munculnya desa-desa ilmiah, dimana desa ilmiah ini malah

merusak tatatan alamiah berdesa.

Kemudian yang terakhir, memperluas ruang pengetahuan

dalam artian bahwa keberadaan ruang pengetahuan ini akan

memberikan transfer pengetahuan dan membuka dimensi cara

berpikir dalam memahami suatu fenomena yang muncul. Dalam

memperluas ruang pengetahuan nilai humanis juga menjadi bagian

yang penting. Keberadaan nilai humanis inilah yang mampu

menggiring kita untuk berpikir jernih dan bijaksana dalam melihat

berbagai fenomena yang muncul dalam berdesa. Intisari yang dapat

dipetik dari pengalaman dosen dalam mengedukasi dan berbagai

desa adalah bentuk refleksi dari pengalaman berupa pencerahan

yang dapat memperkaya khazanah dalam mengedukasi dan

memampukan desa.

55 TAHUN STPMD “APMD”

147


148

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 10

MENDAMPINGI SELEKSI PERANGKAT

DESA YANG BERMARTABAT

Oleh: Minardi 19

Saat pertama kali panitia seleksi perangkat desa memasuki kampus

STPMD “APMD” untuk melakukan kerjasama, pertanyaan pertama

yang dilontarkan oleh pihak kampus adalah: “Apakah ada titipan yang

nanti mau dijadikan (perangkat desa) atau tidak,? Jika ada titipan,

silahkan Bapak dan Ibu keluar dari ruangan saya”, biasanya mereka lalu

diam dan terbelalak.

Itulah penggalan percakapan antara Tim STPMD “APMD”

dengan panitia seleksi perangkat desa. Memang pernyataan ini

sunggah sangat kasar. Namun Tim STPMD “APMD” hendak

menyampaikan pesan mulia dibalik pernyataan tersebut. Tim

STPMD “APMD” mengajukan persyaratan agar seluruh pihak

turut mengawal penyelenggaraan tes perangkat desa yang

berintegritas. STPMD “APMD” tidak ingin merusak marwah desa,

dan nama besar STPMD “APMD” Yogyakarta yang telah hadir

sejak 1965 untuk desa. Karena dari desa, Indonesia membangun.

Desa harus dimuliakan dan dijaga bersama-sama.

19 Staf Pengajar Prodi S1 Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta. Penulis

berterima kasih pada sejumlah narasumber yang telah bersedia meluangkan waktu:

Drs. RY Gatot Raditya, M.Si (Kepala P3M STPMD “APMD”), Drs. Suharyanto

MM (Anggota PPK-APD STPMD “APMD”), Dr. Supardal, M.Si (Kepala PSKPPM

STPMD “APMD”, Ali Yahya (Kepala Seksi Pemerintahan Desa Panggungharjo,

Sewon, Bantul), Sudarman (Kepala Seksi Pemerintahan Desa Panggungharjo,

Sewon, Bantul) dan Haryono (Dukuh di Desa Hargowilis, Kulon Progo).

55 TAHUN STPMD “APMD”

149


A. Mengawal Penegakan Integritas Seleksi perangkat desa

Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang diakui

dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Bagi seorang

pemimpin pengakuan atas kepemimpinannya menjadi perihal

pokok. Itulah legitimasi. Guna membangun legitimasi, proses

rekrutmen pemimpin berintegritas sangat menentukan pengakuan

tersebut. Untuk melahirkan kepemimpinan yang dibangun dengan

legitimasi kokoh, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa

“APMD” Yogyakarta turut memberikan kontribusi melalui Seleksi

Perangkat Desa.

Di lingkungan STPMD “APMD” Yogyakarta miliki tiga

tim seleksi perangkat desa. Ketiga tim seleksi yaitu Pusat Studi

Kebijakan Publik dan Pemberdayaan Masyarakat (PSKPPM),

Pusat Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintahan Desa

“APMD” (PPK-APD) dan Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada

Masyarakat (P3M). Ketiga tim ini saling mengisi dan bekerjasama

dalam pelaksanaan seleksi perangkat desa di berbagai desa di DIY.

Tercatat, puluhan desa dari tiga kabupaten di Propinsi D.I.

Yogyakarta yang mempercayakan tes seleksi perangkat desa

kepada STPMD “APMD” Yogyakarta. Ketiga Kabupaten itu adalah

Sleman, Bantul dan Kulon Progo. Sedangkan seleksi perangkat

desa di Gunungkidul diserahkan kepada panitia seleksi perangkat

desa yang dibentuk oleh Pemerintah Desa. “Di Gunungkidul

ditangani sendiri dan tidak diserahkan pada pihak ketiga, “ ujar

salah seorang personel PPK-APD Suharyanto.

Lalu bagaimana cara Tim-tim STPMD “APMD” Yogyakarta

dalam menyiapkan dukungan bagi penyelengaraan seleksi atau

rekrutmen perangkat desa yang berintegritas? Tim STPMD

“APMD” mendasarkan regulasi berupa peraturan daerah atau

peraturan bupati yang ada. Sebab, masing-masing kabupaten

memiliki pengaturan yang berbeda. “Dari tiga kabupaten yang

desa-desanya telah menjalin kerjasama dengan Tim Penguji

dijumpai perbedaan persyaratan maupun model seleksi. Setelah

150

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


calon lolos seleksi administrasi baru diijinkan mengikuti ujian

yang modelnya juga variatif,“ kata Suharyanto.

Kabupaten Kulon Progo mengatur seleksi hanya satu

tahap yakni tes tulis saja. Tim STPMD “APMD” memiliki peran

menyiapkan soal bergantung permohonan soal yang diajukan

panitia. Urusan pendaftaran dan teknis penyelenggaraan ujian

menjadi ranah panitia seleksi. Sedangkan regulasi Kabupaten

Bantul dan Sleman lebih rumit karena melewati 4 hingga 5 tahap

seleksi. Untuk seleksi perangkat di Bantul dan Sleman, tim STPMD

“APMD” menjadi pelaksana ujian, setelah melakukan serah terima

ujian dari pihak pemerintah desa kepada tim STPMD “APMD”.

“Di Kulon progo lebih sederhana. kami hanya datang lalu

menyerahkan soal, dan kami tunggu sampai ada terpilih, “ kata

kepala P3M RY Gatot Raditya.

Integritas dalam membangun legitimasi telah dimulai sejak

pertama kali pihak desa dan panitia seleksi memasuki Saat pertama

kali panitia desa dan kepada desa serta Muspika memasuki kampus

STPMD “APMD” Yogyakarta untuk melakukan kerjasama.

Pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh pihak kampus adalah:

“Ada titipan tidak yang nanti mau dijadikan, salah satu peserta ini yang

mau dijadikan nomor satu? Jika ada titipan, silahkan Bapak dan Ibu

keluar dari ruangan saya dan mencari pihak ketiga yang lain”, biasanya

mereka lalu diam dan terbelalak.

Persyaratan tersebut mutlak dipenuhi oleh desa yang ingin

bekerja sama dengan STPMD “APMD” dalam hal tes seleksi

perangkat desa. Jika ada desa atau panitia seleksi yang memiliki

agenda tersendiri di luar mencari pamong desa yang berintegritas,

biasaya mereka mundur teratur. Namun kasus semacam ini sangat

jarang terjadi. Umumnya, pihak pemerintah desa atau pantia

seleksi menyambut perjumpaan awal tersebut secara positif terkait

persyaratan yang diajukan oleh Tim STPMD “APMD” Mereka

mengapresiasi terkait kenetralan APMD dalam tes perangkat desa.

Sebab panitia seleksi juga mendapat manfaat dengan persyaratan

55 TAHUN STPMD “APMD”

151


tersebut, mereka juga dipercaya oleh warga. “(Persyaratan) ini

sebelum ada MoU antara APMD dengan kami. Kita juga enak, tidak

ada beban, nanti jika ada yang mempertanyakan silahkan tanyakan

kepada pihak ketiga yang menguji,” tutur Kasi Pemerintahan Desa

Panggungharjo, Ali Yahya.

Hal serupa juga dialami panitia seleksi perangkat Desa

Timbulharjo. Pihak desa dan panitia merasa nyaman atas cara

yang dilakukan STPMD “APMD” dalam proses seleksi, khususnya

saat awal pertama kali ke kampus. Timbulharjo selalu bekerjasama

dengan STPMD “APMD”. Awalnya Kepala Desa Timbulharjo

mengacu pada kampus APMD karena concern dengan desa. Di

dalam benak Kepala desa setempat, untuk pengisian pamong itu

lebih cocok di STPMD “APMD”, sesuai dengan namanya ada kata

“Desa”. Kemudian, mereka menjajaki kerjasama dengan STPMD

“APMD”. Di awal perjumpaan mereka sangat terkesan dengan

syarat terkait menjaga integritas penyelenggaraan seleksi yang

diajukan oleh tim STPMD “APMD”. “Jawaban kami atas syarat

itu, jika kami punya kepentingan, maka tidak mungkin kami

sampai sini berkali-kali, “ ujar Kepala Seksi Pemerintahan Desa

Timbulharjo Sudarman.

Upaya mengawal integritas penyelenggaraan seleksi perangkat

desa memasuki tahap penyusunan soal ujian. Tim STPMD

“APMD” biasaya akan mendistribusikan penyusunan soal kepada

para dosen di STPMD “APMD” sesuai dengan bidang keahlian

masing-masing dosen. Dalam setiap tes seleksi perangkat desa,

dosen yang terlibat bisa mencapai 7 hingga 8 dosen yang terlibat.

“Soal ini kami share ke berbagai dosen. Misalnya soal tentang

Pancasila tentu kita serahkan ke dosen yang mengajar pancasila,”

kata Kepala P3M RY Gatot raditya.

Model semacam ini ini digunakan untuk mensiasati kebocoran

soal. Karena tidak menutup kemungkinan ada peserta

atau tim sukses peserta datang ke STPMD “APMD” Yogyakarta

untuk mencari bocoran soal. Dengan model penyusunan yang

152

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


disebar semacam itu, kecil kemungkinan peserta dapat menembus

tim untuk mendapat bocoran soal secara utuh. Bahkan saat soal

dikompilasi oleh tim, soal tersebut masih diacak. Setelah soal selesai

disusun, soal kemudian dikemas dalam bundel-bundel soal yang

disegel. Penyegelan bundel paket soal ini penting dilakukan untuk

memastikan soal tidak buka sampai pada saat pelaksanaan ujian.

Ada kisah menarik yang dilakukan oleh ketua panitia di

sebuah desa untuk menguji integritas STPMD “APMD” Yogyakarta

dalam komitmen tes seleksi perangkat desa. Kebetulan kediaman

salah satu Tim STPMD “APMD” berada di desa yang tengah

menyelenggarakan seleksi perangkat tersebut. Dengan dalih

bersilaturahmi, ketua panitia ingin rumah anggota tim STPMD

“APMD” tersebut. Namun, oleh yang bersangkutan sementara

menolak kunjungan tamu dari desa yang tengah menyelenggarakan

tes perangkat desa tersebut. Dia baru bersedia kembali menerima

tamu, jika tes selesai digelar. Walaupun dengan dalih silaturahim

tanpa membahas tes perangkat desa, namun yang bersangkutan

menjaga dari fitnah karena yang mendatangi adalah panitia seleksi

perangkat desa. Ketua panitia seleksi tersebut semakin menaruh

kepercayaan kepada STPMD “APMD” Yogyakarta.

Memasuki hari pelaksanaan ujian, soal pun dibawa sendiri

oleh oleh Tim STPMD “APMD” Yogyakarta ke lokasi tes. Tim

STPMD “APMD, benar-benar membawakan paket soal langsung

dari kampus, tidak dibawakan oleh panitia seleksi perangkat desa.

Hal ini menunjukkan transparansi, karena soal benar-benar dibawa

oleh tim STPMD “APMD” dan tidak sempat “mampir” ke tangan

panitia seleksi. Soal kemudian dibuka dihadapan para peserta,

kepala desa, perangkat desa, pimpinan kecamatan maupun

masyarakat umum. Pada saat pelaksanaan ujian, sebelum soal

dibagikan, tim STPMD “APMD” menunjukan soal masih dalam

keadaan tersegel. Segel tersebut merupakan pesan yang ingin

disampaikan kepada seluruh pihak, bahwa soal yang diujikan

telah dijamin kerahasiaannya sampai pada saat pelaksanaan ujian.

55 TAHUN STPMD “APMD”

153


Setelah tahap demi tahap ujian diselesaikan, maka dilakukan

koreksi hasil ujian. Uniknya, koreksi dilakukan secara terbuka.

Proses koreksi secara teknis dilakukan oleh korektor dari Tim

STPMD “APMD”. Kemudian disaksikan oleh peserta, panitia

seleksi, pemerintah desa, perwakilan kecamatan, hingga warga.

Prinsip keterbukaan itu artinya siapapun boleh mengikuti proses

dari awal sampai akhir penyerahan hasil. Sehingga mereka

tahu prosesnya. Salah seorang peserta tes Dukuh Klepu, Desa

Hargowilis, Kulon Progo memberi kesaksian tes yang dilakukan

tim STPMD “APMD” sangat transparan. Haryono yang kemudian

lolos menjadi dukuh menambahkan, saat koreksi semua bisa saling

mengawasi. “Yang mengkoreksi didampingi dari BPD, Muspika,

disaksikan masyarakat umum, dan hasilnya dibacakan di depan

umum, “ kata Haryono.

Koreksi hasil ujian tes menjadi titik puncak dalam penyelenggaraan

seleksi perangkat desa. Pada tahap ini sesunguhnya sangat

rawan terhadap praktik-praktik kecurangan. Kecurigaan sangat

mudah berkembang manakala proses koreksi berlangsung sangat

tertutup, meski panitia tidak melakukan praktik kecurangan

sekalipun. Apalagi jika praktik kecurangan dilakukan oleh pihakpihak

tertentu. Kejanggalan-kejanggalan bisa saja ditemukan saat

proses koreksi tertutup karena tidak dapat diawasi oleh publik.

Atas dasar itulah, Tim STPMD “APMD” mengembangkan model

penyelenggaraan tes perangkat yang transparan, karena terbuka

untuk diawasi oleh siapapun.

B. Manfaat Menegakkan Integritas

Saat seleksi perangkat desa, kepala desa itu dan panitia

seleksi menjadi yang paling banyak menerima tekanan. Mereka

dipusingkan dengan banyaknya titipan kepentingan. Banyak pihak

berkepentingan untuk meloloskan calon masing-masing. Belum

lagi, jika kepala desa atau pemerntah desa terlibat dalam konflik

kepentingan, karena memiliki “jago” tersendiri. Situasi tersebut

154

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


semakin rumit, manakala warga menghendaki proses seleksi yang

terbuka dan transparan. Belum lagi supra desa yang diwakili

kecamatan mengamanatkan agar proses seleksi diselenggarakan

mengikuti aturan. Dilema pun muncul.

Tekanan semacam ini pun juga dialami oleh Tim STPMD

“APMD” saat menjadi pihak ketiga dalam penyelenggaraan tes

perangkat desa. Berdasar pengalaman, banyak pula calon atau tim

sukses calon yang berupaya “menembus” barikade integritas Tim

STPMD “APMD”. Mereka mencari “jalur-jalur belakang” dengan

meminta bocoran soal dengan iming-iming imbalan tertentu.

Tentu tawaran tersebut ditolak mentah-mentah. Tawaran pun

dinaikkan. Namun Tim STPMD “APMD” tetap bergeming. Tim

STPMD “APMD” menyadari jika mengambil tawaran tersebut

sama dengan sedang mempertaruhkan nasib desa dan juga

mempertaruhkan kredibilitas nama baik kampus desa.

Tekanan bahkan tidak berhenti sampai di situ. Pada saat hari

pelaksanaan ujian, saat Tim tiba di lokasi ujian, beberapa kali Tim

STPMD “APMD” disambut dengan aroma dupa dan kembang

setaman. Dalam kepercayaan orang Jawa, dupa dan kembang

sebagi medium dan simbol bekerjanya alam ghaib untuk mencapai

tujuan tertentu. Namun Tim STPMD “APMD” tetap tegak lurus

dan bergeming mempertahankan keyakinan untuk menjaga

marwah desa serta menegakkan kredibilitas STPMD “APMD”

yang berpihak pada desa.

Sketsa persoalan tersebut memberikan gambaran tentang

sisik melik seleksi perangkat desa yang bermuara kepada

diujinya integritas masing-masing pihak dalam penyelenggaraan

tes perangkat desa. Pertanyaan berikutnya, apa untungnya

menegakkan integritas? Apakah memberi manfaat jangka panjang

bagi pihak-pihak yang terlibat. Dari pengalaman panjang STPMD

“APMD” turut serta menyelenggarakan seleksi perangkat desa,

terdapat sejumlah manfaat yang dapat dipetik yang akan dipaparkan

sebagai berikut ini.

55 TAHUN STPMD “APMD”

155


Menghasilkan Pamong Terpercaya dengan Legitimasi Kokoh

Di masa lalu, seleksi perangkat desa menjadi arena politik

pedesaan yang tidak steril dari isu-isu kolusi dan bahkan suap.

Akibatnya, kepercayaan masyarakat runtuh terhadap penyelenggaraan

tes perangkat desa. Jika proses seleksi diseleng garakan

dengan curang dan sembrono, maka siapapun yang lolos sebagai

perangkat desa akan menghadapi persoalan ketidakpercayaan

warga. Mereka yang terpilih akan menangguk gugatan yang

dibangun dari rendahnya ketidakpercayaan warga. Kondisi

demikian tentu sangat rentan bagi mereka yang terpilih karena

miskin legitimasi. Sekalipun mereka yang terpilih memiliki

kompetensi dan mumpuni, warga terlanjur tidak mengakui calon

terpilih karena dilahirkan dari proses yang cacat.

Bagaimanapun juga proses seleksi perangkat desa bertujuan

untuk menghasilkan perangkat-perangkat desa berkualitas. Jika

proses seleksi dilakukan dengan tidak mengindahkan prinsip jujur

dan adil, maka sesungguhnya desa tengah beresiko menghasilkan

sosok yang tidak kompeteten. Dalam proses demikian, mereka

yang terpilih bukan karena telah memenuhi kualifikasi yang

dipersyaratkan dan telah memenangi dalam setiap tahapan ujian.

Namun, mereka yang terpilih karena adanya “permainan belakang”

yang memberi jalan bagi terpilihnya orang-orang semacam ini.

Akibatnya, perangkat desa terpilih justru menjadi beban bagi

desa. Disamping menghadapi persoalan pengakuan di masyarakat,

sosok semacam ini juga tidak memiliki kompetensi yang cukup

untuk memperkuat pemerintahan desa. Mereka yang terpilih

melalui “jalan belakang” sejatinya bukan calon yang terbaik.

Ketika mereka mulai menjabat, visi pelayanan kepada warga tidak

tampak kuat. Orientasi bekerja mereka cenderung melayani diri

sendiri.

Guna memperbaiki situasi tersebut maka pihak pemerintah

desa dan panitia seleksi mensiasati secara dinamis dengan

menyelenggarakan pemilihan perangkat desa secara terbuka dan

156

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


transparan. Mereka juga bermitra dengan pihak ketiga yang kredibel

dan terpercaya yakni perguruan tinggi yang mumpuni di bidangnya

dengan tujuan meningkatkan kepercayaan penyelenggaraan

seleksi perangkat desa. Perguruan tinggi yang dipilih tentunya,

kampus yang berkomitmen untuk menyelenggarakan melakukan

seleksi secara transparan seperti STPMD “APMD”. Dengan

demikian, lahirnya perangkat desa yang berkualitas dan memiliki

kompetensi serta bukan “titipan” menjadi harapan baru bagi desa

melalui penyelenggaraan seleksi perangkat desa.

Pada akhirnya, dampak keterbukaan proses penyelenggaraan

tes perangkat desa meningkatkan kepercayaan terhadap hasil tes

yang dilakukan oleh pihak ketiga sebagaimana yang dilakukan oleh

STPMD “APMD”. Hasil seleksi perangkat desa yang transparan,

akan memperkuat legitimasi kepada calon yang lolos seleksi. Bagi

peserta tes yang tidak lolos menerima hasil tes dengan lapang dada

dengan alasan memang demikian kemampuan mereka. Mereka

yang tidak lolos juga mengakui keunggulan calon atau peserta

yang meraih jabatan perangkat desa. “Karena ini hasil kompetisi

sehat yang menunjukkan kompetensi masing-masing, maka jika

mau marah, mau marah kepada siapa. Di Kulonprogo soalnya

pilihan ganda semua,” kata Haryono.

Melalui berbagai tahap penyaringan yang sangat ketat

diperoleh perangkat desa yang berkualitas sesuai dengan

kualifikasi yang dibutuhkan. Mereka diharapkan mampu bekerja

membawa desa ke arah kemajuan yang menyejahterakan warga

dengan spirit melayani warga. Mereka yang memiliki kapasitas,

mereka pula yang biasanya lolos seleksi. Mereka yang lolos

seleksi biasanya tidak jauh-jauh dari prediksi masyarakat umum.

Biasanya, masyarakat umum sudah bisa menebak siapa yang

akan lolos seleksi, dengan melihat kualitas pendidikan, rekam

jejak, dan kiprah kemasyarakatan para calon. Hasil tes perangkat

desa acapkali mengkonfirmasi keyakinan atau suasana kebatinan

warga terhadap calon tertentu yang dianggap unggul oleh warga.

55 TAHUN STPMD “APMD”

157


Sehingga calon “titipan” dan politik uang akan tidak berguna

dalam model seleksi perangkat desa seperti ini.

Proses rekrutmen jabatan pamong desa yang transparan

dan berintegritas, dimana setiap warga memiliki hak yang sama,

menjadi dambaan warga hari ini. Seluruh warga dapat mengikuti

seleksi, mengawasi proses pelaksanaannya, dan bisa mengetahui

hasilnya. Warga merasa puas dengan hasil yang dicapai. Mereka

juga mengakui siapapun calon yang memenangkan kompetisi

telah melewati tahapan dan proses kompetisi yang jujur dan adil.

Hal itu juga meminimalkan terjadinya gejolak pasca tes rekrutmen

di masyarakat. Calon yang terpilih pun diakui karena memang

mumpuni kemampuannya. Warga akan menaruh kepercayaan

kepada peserta yang lolos seleksi. Karena mereka yang lolos bukan

berasal dari “permainan belakang” yang berupaya memberi jalan

bagi orang-orang dekat kepala desa.

Menjadi Lembaga Terpercaya Dalam Penyelenggaraan Tes

Perangkat

STPMD “APMD” Yogyakarta yang sejak berdiri konsisten

untuk memajukan desa-desa di Indonesia merupakan lembaga yang

tepat untuk kegiatan tersebut. Sejak terbitnya UU No 6 Tahun 2014

tentang Desa, desa diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan

seleksi perangkat desa untuk berbagai formasi. Formasi tersebut

antara lain sekretaris desa, kepala seksi, kepala urusan hingga

kepala dusun.

Kepercayaan desa dan masyarakat umum kepada STPMD

“APMD” Yogyakarta telah terbangun sejak lama. Model seleksi

perangkat desa yang transparan membuat Tim STPMD “APMD”

dicari oleh banyak desa. Pengalaman desa-desa yang telah bermitra

dengan STPMD “APMD” Yogyakarta dalam seleksi perangkat

desa, akan tersyiar sendiri ke desa-desa lain, sehingga desa-desa

lain tertarik untuk bermitra/berkerjasama. “Gethok Tular” atau

cerita dari mulut ke mulut tentang reputasi STPMD “APMD”

158

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


sebagai lembaga terpercaya dalam penyelenggaraan seleksi

perangkat desa terus berjalan.

Sudah tidak terhitung STPMD “APMD” Yogyakarta menjadi

mitra dalam tes/seleksi rekrutmen perangkat desa. Total desa yang

pernah bekerjasama dalam seleksi perangkat desa tidak kurang dari

100 an desa, denga ratusan formasi perangkat desa di tiga kabupaten

di D.I. Yogyakarta, yakni Sleman, Bantul dan Kulonprogo. Alasan

desa-desa di beberapa kabupaten di DIY bekerjasama dengan

STPMD “APMD” antara lain agar seleksi perangkat desa lebih

transparan, obyektif serta kapabel untuk memperoleh calon yang

memiliki kualifikasi seperti yang diharapkan oleh desa.

Rata-rata setiap desa lebih dari dua kali mempercayakan

seleksi perangkat desanya bersama kampus STPMD “APMD”

Yogyakarta. Desa Panggungharjo misalnya, dari beberapa

pengisian pamong, telah empat kali bekerja sama dengan Tim

STPMD “APMD”. “Sampai saat ini tidak ada masalah dan yang

dihasilkan pun ya Alhamdulillah berkualitas,“ kata Ali Yahya.

Sekitar dua tahun yang lalu, Ketua DPRD Kulon Progo saat

itu, Akhid Nuryati memuji kinerja Tim STPMD “APMD” dalam

penyelenggaraan tes perangkat desa. Di sebuah situs laman berita,

Akhid menyatakan kemampuan tim STPMD “APMD” sangat

profesional dalam rekrutmen perangkat desa. Hal ini disebabkan

karena pernah terjadi kekrisruhan di salah satu desa di Kulon Progo

saat tes rekrutmen perangkat desa. Terindikasi terjadi kecurangan

dengan adanya kunci jawaban soal yag tersimpan dalam flashdisk

tidak berada satu tempat dengan hardfile kunci jawaban. Seleksi

perangkat di suatu desa tertentu itu juga dinodai dengan adanya

prosesi penandatanganan berita acara yang dilakukan sebelum tes

selesai. Para peserta menilai itu janggal dan tidak ada dalam tata

tertib.

Pihak ketiga yang dipercayakan membuat soal ujian oleh

panitia juga dinilai tidak terpercaya. Lembaga terpilih yang

menyelenggarakan seleksi perangkat desa dianggap tidak

55 TAHUN STPMD “APMD”

159


profesional sehingga memunculkan kecurigaan di kalangan

peserta maupun warga. Ketidakprofesionalan tersebut menjadi

celah dan dapat mengurangi kepercayaan warga terhadap hasil tes

perangakat desa. Hal ini juga menjadi catatan para anggota Dewan.

Menurut Akhid Nuryati, Ketua DPRD Kulonprogo, sesuai azas

kelaziman dalam pembuatan soal ujian perangkat desa haruslah

dari lembaga yang kredibel. “Biasanya dari lembaga pendidikan

seperti APMD, tapi kalau ini ….. (sensor), kami tidak tahu itu lembaga

dari mana dan kredibilitasnya seperti apa,” ujar Akhid.

Kesemua itu dibangun dari prinsip integritas dan profesional

dalam penyelenggaraan tes perangkat desa. Bagaimana tim

STPMD “APMD” membangun kapasitas profesionalnya dalam

penyelenggaraan tes perangkat desa? Profesionalisme tim STPMD

“APMD” dibangun dari pengalaman pembelajaran selama

turut serta dalam menyelenggarakan seleksi perangkat desa.

Pembelajaran yang didapat dari tes perangkat desa satu ke desa yang

lain, justru semakin memperkuat kapasitas tim STPMD “APMD”.

Setiap terdapat kasus baru menjadi pembelajaran yang menjadi

rujukan pada seleksi perangjat desa berikutnya. Pembelajaran dari

kasus ke kasus, semakin dan mengasah kematangan tim STPMD

“APMD” dalam menyikapi tantangan penyelenggaraan seleksi

perangkat desa.

C. Penutup: Mengabdi Tiada Henti

Sebagai kampus desa yang pada tahun 2020 ini genap berusia

55 tahun, STPMD “APMD” didirikan sebagai bentuk pengabdian

kepada Desa. Kampus yang lahir pada tanggal 17 November 1965,

STPMD “APMD” Yogyakarta lahir dari rahim eks-Tentara Pelajar

yang membentuk Yayasan 17 Yogyakarta. APMD yang merupakan

nama lama STPMD “APMD” Yogyakarta didirikan sebagai bentuk

pengabdian dan balas budi dari eks-Tentara Pelajar kepada

masyarakat desa. Karena sepanjang perang mempertahankan

kemerdekaan, desa yang telah menolong perjuangan para

160

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


penjuang Indonesia saat itu, termasuk Tentara Pelajar. Pendirian

institusi pendidikan ini sebagai bentuk pengabdian dan balas budi

kepada desa. STPMD “APMD” Yogyakarta yang secara spesifik

mencantumkan kata nama “Desa” di dalam nama kampusnya,

dan itu satu-satunya di Indonesia. Hal itu merupakan bentuk

keseriusan STPMD “APMD” Yogyakarta dalam turut serta dalam

kepedulian terhadap desa.

Cerita tentang pelaksanaan seleksi perangkat desa, juga

menjadi bentuk pengabdian kepada desa. Melalui seleksi

perangkat desa, STPMD “APMD” berupaya memastikan desa

memperoleh sumber daya terbaiknya. Ringkasnya, upaya tersebut

tidak lepas dalam rangka mewujudkan perangkat desa yang

kompeten, dan diterima oleh masyarakat.Kesaksian sebagian

besar warga menyatakan puas dengan seleksi perangkat desa yang

dilaksanakan dengan bekerjasama dengan STPMD “APMD”.

Upaya tersebut juga dibangun dari proses yang transparan

dan berintegritas, agar tradisi berdesa dimana mutual trust

menjadi fondasinya dapat dipulihkan. Hanya dengan membangun

kepercayaan terhadap pemerintah desa oleh warganya, tradisi

berdesa dapat tumbuh. Selama kepercayaan warga terhadap

pemerintah desa belum tumbuh, tradisi berdesa sulit berkembang.

Dengan seleksi perangkat desa yang berintegritas, STPMD

“APMD” berupaya mengembalikan kepercayaan warga terhadap

pemerintah desa. Transparan, profesional dan berintegritas

menjadi nilai dasar yang diusung dalam penyelenggaraan seleksi

perangkat desa. Itulah sekelumit proses seleksi perangkat desa

menjadi ladang pengabdian kepada masyarakat civitas akademika

STPMD “APMD” secara bermartabat.

55 TAHUN STPMD “APMD”

161


162

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BAB 11

MENYIAPKAN KADER PERUBAHAN

DESA 20

Oleh: Kanita Khoirun Nisa 21

Secara etimologis, istilah kader pada mulanya berkembang di

Perancis dari bahasa asli cadre, yang secara literal dapat diartikan

sebagai bingkai (a frame of picture). Dalam perkembangannya,

konsep kader sebagaimana lazim dipahami dalam sebuah

organisasi dapat diartikan sebagai a small group of people specially

trained for a particular purpose or profession. Dengan kata lain kader

adalah seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk untuk

memegang peran penting (orang kunci) dan memiliki komitmen

dan dedikasi kuat untuk menggerakkan organisasi mewujudkan

visi misinya. Dalam konteks desa, kader Desa adalah “orang kunci“

yang mengorganisir dan memimpin rakyat desa bergerak menuju

pencapaian cita-cita bersama. Kader Desa terlibat aktif dalam proses

belajar bersama yang dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat

desa. Bab ini membahas tentang komitmen STPMD “APMD” dalam

mendidik, membentuk, dan mempromosikan para kader yang bisa

menjadi village organizer yang tangguh dan mampu menggerakan

perubahan desa di berbagai penjuru tanah air.

Kader-kader penggerak desa hadir di dalam pengelolaan

urusan desa melalui perannya sebagai kepala desa, anggota BPD,

Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), tokoh adat;

20 Diskusi dengan para kader penggerak desa diantaranya Umbu Wulang, Hardjono,

Minardi dan Ade Chandra selaku perancang master triener Kader Desa.

21 Staf Pengajar di prodi Pembangunan Masyarakat Desa APMD

55 TAHUN STPMD “APMD”

163


tokoh agama; tokoh masyarakat; tokoh pendidikan; pengurus/

anggota kelompok tani; pengurus/anggota kelompok nelayan;

pengurus/anggota kelompok perajin; pengurus/anggota kelom pok

perempuan. Kader Desa dapat berasal dari kaum perem puan dan

laki-laki dalam kedudukannya yang sejajar, mencakup warga desa

dengan usia tua, kaum muda maupun anak-anak. Kader penggerak

desa memiliki derajat aktifitas yang jauh lebih intens dalam

dinamika pembangunan desa. Kader juga harus dibekali dengan

kompetensi dan kapasitas yang cukup memadai dalam perencanaan,

pengorganisasian, dan implementasi kebijakan di desa.

Konsisten dengan mandat UU Desa, keberadaan kader

desa yang berasal dari warga desa itu sendiri berkewajiban

untuk melakukan upaya mengembangkan kemandirian dan

kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan,

sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta

memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan,

program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi

masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.

Kebutuhan akan kader penggerak di desa diatur dalam

Pasal 4 Permendesa PDTT No.3/2015 tentang Pendampingan

Desa. Regulasi tersebut mengatur tentang Kader Pemberdayaan

Masyarakat Desa (KPMD). Fokus pendamping desa adalah

memperkuat proses kaderisasi bagi Kader Pemberdayaan

Masyarakat Desa (KPMD), dengan tidak tertutup peluang

untuk melakukan kaderisasi terhadap komponen masyarakat

lainnya. Pasal tersebut menetapkan bahwa pendampingan

Desa dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas tenaga

pendamping profesional, kader Pemberdayaan Masyarakat Desa

(KPMD); dan/atau pihak ketiga 22

Dengan demikian, KPMD merupakan pendamping desa yang

dipilih dari warga desa setempat, untuk bekerja mendampingi

22 Abdulloh. Kader Desa “Penggerak Prakarsa Masyarakat Desa”. Kementerian

Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia

164

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


beragam kegiatan di desanya secara mandiri. Selain itu, dalam

ketentuan PP Desa maupun Permendesa disebutkan bahwa

KPMD dipilih dari masyarakat setempat oleh pemerintah Desa

melalui Musyawarah Desa untuk ditetapkan dengan keputusan

kepada Desa. Maknanya semakin terang bahwa KPMD merupakan

individu-individu yang dipersiapkan sebagai kader

yang akan melanjutkan kerja pemberdayaan di kemudian hari.

Oleh karenanya, kaderisasi masyarakat Desa menjadi sangat penting

untuk keberlanjutan kerja pemberdayaan sebagai penyiapan

warga desa untuk menggerakkan seluruh kekuatan Desa.

KPMD selanjutnya masuk ke dalam sistem pendampingan

Desa skala lokal dan institusi Desa. Pendampingan Desa

merupakan mandat UU Desa agar terdapat sistem pendampingan

internal Desa guna menjadikan Desa yang kuat, maju, mandiri,

dan demokratis. UU Desa dan peraturan-peraturan di bawahnya

menegaskan pendampingan Desa sebagai kegiatan untuk

melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat. Tindakan

pemberdayaan masyarakat Desa itu dijalankan secara “melekat”

melalui strategi pendampingan pada lingkup skala lokal Desa.

Identitas KPMD semakin jelas bahwa UU Desa mengarahkan

representasi dari kelompok masyarakat Desa setempat untuk giat

melakukan pendampingan sesuai dengan esensi masalah dan

prioritas kebutuhan masyarakat skala lokal Desa (Abdulloh, 2015).

Pembangunan desa dapat berjalan dengan baik jika dibarengi

dengan para kader desa yang mampu mengimplementasi RPJM-

Desa dengan baik. Dalam bab buku ini, penulis berdiskusi dengan

beberapa pakar yang memiliki konsentrasi dalam pengkaderan

desa. Para pakar tersebut antara lain: Umbu Wulang selaku Ketua

Walhi NTT, Hardjono selaku ketua Prodi PMD dan Minardi selaku

penggiat Desa di Klaten.

Dalam pandangan Harjono, kader perubahan desa adalah

pegiat-pegiat desa. Termasuk pegiat desa di dalamnya itu adalah

Pendamping desa, pengurus-pengurus Lembaga Kemasyarakatan

55 TAHUN STPMD “APMD”

165


desa, dan Kader-kader yang ada di desa Seperti kader PKK

kader kesehatan Kader gizi. Mereka mempunyai tugas untuk

menyiapkan generasi penerus itu sesuai dengan bidangnya

masing-masing. Misalnya kalau kader kesehatan menyiapkan

bagaimana hidup sehat. Apalagi saat pandemi peran kader

kesehatan itu sangat penting. Kemudian ada pula kader PKK juga

terkait dengan bagaimana kaum ibu-ibu menyiapkan generasi

penerus dengan mengajak beraktivitas dalam berorganisasi. Tidak

lupa juga para pemuda melalui Karang Taruna. Para pemuda dan

pemudi merupakan tulang punggung masyarakat di desa. Hanya

saja kesadaran kebanyakan pemuda untuk kembali ke desa sangat

minim. Mereka yang menimba ilmu di sekolah hingga perguruan

tinggi kemudian mencari pekerjaan yang ada di kota. Mereka

enggan tidak mau lagi kembali ke desa apalagi bekerja di bidang

pertanian seperti sekarang ini.

Harjono menambahkan pemuda maupun pemudi mempunyai

peluang yang sangat kuat dan yang sangat besar untuk

mengembangkan bakat maupun minatnya serta menjadi agen

pembaharu di desa. Seorang pemuda Desa menimba ilmu di kota,

menimba ilmu di perguruan tinggi, mereka mempelajari teori

yang memampukan desa. Jika sudah selesai mereka kembali ke

desa dan menjadi agen pembaharu di desanya. Berbagai ilmu yang

telah dipelajari misalnya tentang tata kelola desa, teknik fasilitasi,

pengelolaan keuangan dan aset desa bisa memberikan penguatan

dan daya dorong bagi desa untuk maju.

Menurut pengalaman Harjono, masyarakat desa diajari

tradisi berdesa diawali dari hal-hal yang sangat kecil. Misalnya

saja mengecek apakah perangkat desa itu lengkap atau tidak

dalam mengisi struktur kelembagaan perangkat desa. Jika tidak

lengkap, menurut peraturan itu harus dilengkapi. Bagaimana cara

mengisinya, menggunakan regulasi apa. Apabila pamongnya

sudah lengkap, apakah menjalankan tugasnya dengan ngantor

dan memberikan pelayanan pada warga. Jangan-jangan perangkat

166

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


tersebut tidak berangkat kerja dan hanya di rumah. Jika ada

perangkat tapi dia tidak membolos, bagaimana memotivasi agar

mereka mau bekerja di kantor. Sudah bekerja di kantor, namun

jam kerjanya tidak terpenuhi, ini juga harus perlu ditingkatkan

lagi. Hardjono juga menuturkan bagaimana dalam menyiapkan

kader dia selalu mengingatkan tugas pokok fungsi dengan

aturan masing-masing. Misalnya tugas Carik itu apa saja, jabatan

kepala urusan memiliki peran apa saja, jabatan kepala seksi harus

menjalankan kewajiban apa, dan apa saja tugas kepala dusun.

Lulusan perguruan tinggi sebenarnya sangat potensial

karena telah menguasai ilmu yang kemudian untuk membangun

desa. Pergantian pengurus Lembaga Kemasyarakatan Desa juga

perlu dipikirkan. Sebab, saat ini susah mencari orang yang benarbenar

bersedia dan memenuhi kualifikasi. Banyak bakal calon

yang enggan menjadi pegiat desa dengan terlibat dalam lembaga

kemasyarkatan. Justru sekarang terjadi krisis sumber daya manusia

desa, yang mampu tidak mau menjadi penggerak lembaga desa.

Sedangkan salah seorang alumni STPMD “APMD”, Umbu

Wulang menuturkan kisah menyiapkan kader perubahan desa.

Umbu Wulang saat ini adalah ketua WALHI NTT, dan pernah

menempuh studi di program studi Ilmu Sosiatri STPMD “APMD”.

Selepas lulus dari kampus desa, Umbu membentuk wadah bagi

kaum muda, yakni Sahabat Alam. Melalui Sahabat Alam, Umbu

mengkader pemuda desa, biasanya berusia di bawah 30 tahun.

Calon kader-kader ini didampingi dan dilatih melalui dua hal.

Pertama, membangun wacana tentang pengembangan kampung

dengan mengembangkan aset dan potensi desa. Kedua, mengelola

isu dan persoalan lingkungan hidup di kampung berdasar

pengalaman mereka di kampung. Berdasar dua hal tersebut,

kemudian dikembangkan lagi menjadi konsep model perlindungan

kampung, membangun wacana dan penguatan kapasitas warga

sesuai dengan kebutuhan mereka, dalam konteks pengelolaan

desa dan perlindungan desa.

55 TAHUN STPMD “APMD”

167


Kader perubahan dalam desa itu berada dalam satu

sistem warga, penggerak, pemerhati kampung, budayawan/

tokoh. Komponen pemerintahan, eksekutif desa maupun pada

sistem kemasyarakatan. Biasanya dimulai dari basis ekonomi,

pembangunan pemberdayaan ekonomi, kerajinan, disertifikasi

pangan lokal, dan pengelolaan sumber daya alam. Kemudian

mengenalkan potensi desa berbasis masyarakat/komunal yang

tidak bersifat individual. Hingga membaca kondisi makro mereka

dan apa yang sedang tumbuh dan berpengaruh di dusun mereka.

Sejalan pengalaman Umbu, Minardi yang juga alumni STPMD

“APMD” memiliki pengalaman menarik saat melaksanakan KKN

di Dusun Jono, Desa Tancep, Kec Ngawen, Kab Gunung Kidul.

Masyarakat sekitar dusun sangat welcome kepada mahasiswa,

walaupun ada pertentangan paham keagamaan saat itu. Setelah selesai

KKN, warga dusun masih kontak dengan mahasiswa KKN. Saat

itu ada mahasiswa KKN dari Universitas lain, namun mereka tidak

seramah seperti mahasiswa KKN dari APMD. Mahasiswa Universitas

lain cenderung tertutup tidak berinteraksi dengan masyarakat sekitar

dukuh. Kader APMD lebih humanis dan lebih militan. Kader APMD

setelah keluar dari desa atau kampus kebanyakan menjadi “orang”

entah itu menjadi perangkat desa atau staf desa atau pemegang suatu

organisasi kemasyarakatan di tingkat desa.

Penjelasan dari Ade Candra, selaku master trainer UUD Desa

dulu bulan Juni tahun 2015 direkomendasikan oleh Sutoro Eko dari

STPMD”APMD” ke Jakarta untuk mengikuti Training of Trainer

(ToT) master trainer nasional yang disiapkan oleh Kementerian

Desa untuk bekerja di sejumlah wilayah yaitu Sumatera Utara,

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan. Ade Chandra

diterjunkan di Indonesia bagian Tengah dan Timur dengan pusat

markasnya di Manado. Melakukan pendampingan desa di sana.

Ada sekitar 150 peserta yang mengikuti TOT. Di kelompo Ade ada

pegawai dari ASN yang berasal dari daerah tertinggal. Ada juga

orang dari media saat itu yang sangat ternama di Republik ini.

168

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Training yang dilakukan oleh Ade Chandra dan kawankawan

mengusung konsep empowerming, para master trainer

tersebut dibekali oleh materi dan pemahaman dari para grand

master termasuk Sutoro Eko, (Alm) Widyohari Murdianto, Farid

Hadi, yang merupakan orang-orang yang kompeten. Tugas utama

para trainer ini adalah mendelivery makna UU Desa terhadap

perubahan mendasar di level masyarakat. Proses belajar dilakukan

lewat sharing bersama, melakukan roleplay, membuat analisis

sosial dan lain-lain. Para trainer harus mampu mengatasi segala

dinamika lapangan jika akan memberi materi di seluruh Indonesia.

Proses ini menjadi babak baru dalam tradisi berdesa, misalnya

jika kita bandingkan dengan PNPM yang mana pendampingnya

sibuk sebagai mandor proyek dan absen memperhatikan sumber

daya manusia di desa. Pembangunan fisik lebih banyak daripada

pembangunan sumber daya manusia dan keseluruhan proses yang

dilakukan oleh Ade Chandra dan kawan-kawan merupakan proses

transformasional, yang didasari oleh rekognisi.

Peran para grand master adalah memberikan helicopter project.

Lalu para master trainer membuat materi dan dikonsultasikan

sebelum disampaikan kepada para calon pendamping desa. Pada

tahun 2088 dan 2009, desa dibanjiri dengan program PNPM.

Banyak pihak menginginkan kembali PNPM dilanjutkan di

bawah UU Desa. Sementara teman-teman kritis dan berbeda serta

memberikan kritik kepada PNPM saat itu. Desa tidak bisa lagi

dijadikan sebagai lokasi proyek, dan para pendamping bukan

sebagai mandor project. Dalam paradigma baru UU Desa, para

pendamping tidak harus melaksanakan proyek, tetapi membangun

kelembagaan yang kuat, merumuskan cetak biru pembangunan

masyarakatnya, pembangunan insfratuktur, serta tidak disibukan

lagi dengan project.

Presiden Jokowi ingin para aktor di Desa mampu menegosiasi

kepentingan desa dan berperan dalam pembangunan desa.

BUMDes yang secara umum dibangun di desa mangkrak.

55 TAHUN STPMD “APMD”

169


Penyebabnya karena BUMDes tidak dibangun dari kearifal lokal

berdasarkan potensi dan tantangan masing-masing. Misalnya ada

desa yang tidak mempunyai tong sampah, namun BUMDes nya

tentang bak sampah. Terlebih lagi di masa pandemi, banyak desa

wisata tidak berjalan efektif di masa pandemi ini. Dalam UU Desa

BUMDes tidak seperti badan hukum lainnya. BUMDes dibangun

oleh masyarakat ketika ada hasil produksi maka dipasarkan ke

pusat ekonomi lain. Itu berbeda sekali dengan kondisi yang ada

di lapangan. Tanah yang mangkrak ditanami tanaman lalu 5

tahun kemudian bisa menanam. Di kota industri yang selama ini

kita kenal, dengan begitu kita bisa memperkuat jalannya otonomi

daerah, misalnya masyarakat yang punya sawah ditanami. Dengan

demikian, para kader muda di desa, baik perempuan maupun lakilaki,

agar bisa menjadikan desanya sebagai basis penghidupan.

Landasan yang mengatur tentang Kader Desa adalah

Permendesa PDTT tahun 2019 tentang pedoman umum pendampingan

masyarakat desa. Peraturan Menteri ini mencabut dan

menggantikan Permendesa PDTT 3 tahun 2015 tentang Pendampingan

Desa, dengan alasan untuk disesuaikan dengan perkembangan

kebutuhan hukum.

Permendesa PDTT 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum

Pendampingan Masyarakat Desa memiliki dasar pertimbangan

untuk melaksanakan ketentuan Pasal 131 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pendampingan Masyarakat Desa adalah kegiatan Pemberdayaan

Masyarakat Desa melalui asistensi, pengorganisasian,

penga rahan, dan fasilitasi Desa. Pendampingan Masyarakat Desa

dalam Permendesa PDTT 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum

Pendampingan Masyarakat Desa diatur secara struktural kembali

yaitu dilaksanakan oleh Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi

dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Di tingkat Kecamatan

170

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Pendampingan Masyarakat Desa dikoordinasikan oleh Camat atau

sebutan semacam lainnya. Dalam Pendampingan Masyarakat Desa

tersebut, Menteri, Pemprov, Pemkab=Pemkot dapat dibantu oleh

tenaga pendamping profesional, KPMD (Kader Pemberdayaan

Masyarakat Desa) dan/atau pihak ketiga.

Pihak Ketiga dapat melakukan Pendampingan Masyarakat

Desa dengan biaya sendiri, tidak dengan APBN/APBD, namun

biaya mandiri Pihak Ketiga. Pihak Ketiga yang dimaksud dalam

Permendesa PDTT 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum

Pendampingan Masyarakat Desa adalah:

a. lembaga swadaya masyarakat;

b. perguruan tinggi;

c. organisasi kemasyarakatan;

d. perusahaan; dan

e. individu yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan

masyarakat Desa.

Tahapan Pengelolaan Pendampingan Masyarakat Desa

dilakukan mulai dari rekrutmen, peningkatan kapasitas, sertifikasi

dan evaluasi kinerja. Tenaga Pendamping Profesional tersebut

adalah pendamping lokal desa, pendamping desa, pendamping

teknis dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat. Fungsi Tenaga

Pendamping Profesional Desa adalah untuk fasilitasi, edukasi,

mediasi dan advokasi.

Permendesa PDTT 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum

Pendampingan Masyarakat Desa ditetapkan Menteri Desa PDTT

Eko Putro Sandjojo pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi Nomor 18 tahun 2019 tentang Pedoman Umum

Pendampingan Masyarakat Desa diundangkan oleh Dirjen PUU

Kemenkumham Widodo Ekatjahjana dan ditempatkan dalam Berita

Negara Republik Indonesia tahun 2019 Nomor 1262, pada tanggal

22 Oktober 2019 di Jakarta. Agar setiap orang mengetahuinya.

55 TAHUN STPMD “APMD”

171


Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Umbu Wulang

selaku Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa

Tenggara Timur (NTT) menggelar Pelatihan Kader Rakyat Dasar

(PKRD) bagi mahasiswa, relawan WALHI NTT dan perwakilan

petani. Pelatihan ini berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama

pada 4 – 5 Oktober 2016, 6 – 7 November 2016 dan 8 – 9 Desember

2016. Kegiatan ini mengangkat tema “Wahana Calon Pemimpin

Muda NTT yang Berwawasan Lingkungan”.

Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu

Paranggi menceritakan kegiatan tersebut merupakan program

yang didasari oleh mandat untuk WALHI NTT. Mandat tersebut

diberikan oleh seluruh anggota di NTT dalam Pertemuan Daerah

Lingkungan Hidup di Maumere pada Februari 2016.

Kegiatan ini dalam upaya menumbuh kembangkan pengetahuan

ekologis bagi orang-orang muda NTT. Baik itu, dari

mahasiswa, petani dan kalangan lainnya,” Menurut Umbu Wulang,

kegiatan itu dilakukan untuk membuka cakrawala pengetahuan

orang muda terkait dengan berbagai persoalan ekologis di NTT.

Diantaranya tentang bahaya pertambangan di pulau-pulau, krisis

sumber daya air dan maraknya privatisasi daerah pesisir yang

tengah marak di NTT atas nama pariwisata.

Persoalan – persoalan tersebut terjadi akibat kebijakan

yang tidak berpihak pada kepentingan publik dan keselamatan

ekologis. Umbu juga menyampaikan, persoalan lingkungan

merupakan persoalan kolektif, di era yang marak penyimpangan

dan pencemaran lingkungan haruslah memperkuat daya juang

rakyat dalam kegiatan-kegiatan dan kampanye lingkungan di

masyarakat, sebab persoalan lingkungan merupakan persoalan

serius yang membutuhkan pikiran dan kerja serius dalam

penanganannya. Hal inilah yang menjadi acuan kritis Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah NTT membentuk

pelatihan seperti ini, dan diharapkan Sahabat Alam (SHALAM)

sebagai organisasi underbound WALHI NTT mampu memberikan

172

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


pendidikan lingkungan dan kampanye-kampanye lingkungan

hidup di masyarakat NTT.

Begitu juga informasi yang didapat oleh Hardjono selaku

ketua prodi Pembangunan Masyarakat Desa bahwa APMD

menyambut baik para kader desa yang memiliki karakter kokoh.

Karakter kokoh seperti yang dijelaskan oleh Habib Muhsin S.Sos,

M.Si menekankan bahwa generasi penerus tidak hanya sebagai

penonton masa depan tetapi sebagai pemain masa depan. Kerja

keras menjadi kunci dalam menghadapi tantangan yang makin

berat dan kompleks seperti persoalan kemiskinan, terbatasnya

lapangan kerja, ketidakberdayaan masyarakat, perilaku korupsi,

maraknya tindakan kekerasan, menurunnya nilai-nilai kebangsaan

dan ketidakadilan, serta ancaman keutuhan NKRI. Selanjutnya

Habib Muhsin berharap bahwa wisudawan akan dapat menjadi

seorang entrepreneur di berbagai bidang. Selain itu sebagai kader

bangsa harus memiliki karakter yang kokoh serta mengedepankan

aklak yang mulia di atas semangat persatuan dan kesatuan

Indonesia. Karakter yang kokoh ini bercirikan semangat patriotik,

jiwa nasionalis, jati diri yang mengakar, berwawasan luas,

kecerdasan yang mencerahkan, kepedulian yang merekatkan,

serta keteguhan untuk bersatu yang semua ini dinaungi nilai-nilai

Pancasila dalam bingkai NKRI. Desa membutuhkan pengawalan

dan peran serta STPMD”APMD”.

Sementara itu Ketua Yayasan Pengembangan Pendidikan

Tujuh Belas Yogyakarta, Ir.M. Barori, M.Si, menegaskan bahwa

dalam implementasi Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang

Desa membutuhkan pengawalan dan peran serta STPMD”APMD”.

Oleh karena itu inovasi perlu terus dikembangkan, konsolidasi

dilakukan untuk memperteguh standing position akademik dan

sosial.

Hardjono, M.Si. selaku ketua prodi PMD menyelenggarakan

Lokakarya Siklus Tahunan Desa, pada hari Selasa dan Rabu tanggal

10 dan 11 Januari 2017, di Gedung Pasca Sarjana STPMD “APMD”

55 TAHUN STPMD “APMD”

173


Yogyakarta. Hardjono menyampaikan bahwa tujuan, lokakarya

ini untuk membekali dosen-dosen STPMD “APMD” khususnya

dosen Prodi PMD Jenjang Program Diploma III sebagai pengampu

mata kuliah yang menekankan pada pembangunan masyarakat

desa serta mengaplikasikan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa.

STPMD “APMD” juga menyelenggarakan lokakarya tentang

siklus tahunan desa. Lokakarya ini diselenggarakan karena semua

desa di Indonesia telah melaksanakan Siklus Tahunan Desa sebagai

konsekuensi dari implementasi UU Desa No 6 tahun 2014 namun

masih mengalami berbagai kendala, sehingga akan mempengaruhi

proses pembangunan masyarakat desa. Peserta lokakarya diberi

wawasan pelaksanaan Siklus Tahunan Desa meliputi Perencanaan

Pembangunan Desa, Pengelolaan Aset Desa, Pengelolaan

Keuangan Desa, Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,

dan Penyusunan Peraturan di Desa.

Pemateri berasal dari praktisi yakni Wahyu Anggoro Hadi,

S.Farm., Apt. yang menjabat sebagai Lurah Desa Panggungharjo

Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul yang saat ini sedang

menempuh Program Pasca Sarjana Prodi Ilmu Pemerintahan

STPMD “APMD”, dan Masrukhan S.Sos. M.Si, Kabid Pemerintahan

Desa Pemda Kabupaten Magelang (alumni STPMD “APMD”).

Penyelnggaraan Lokakarya ini juga membahas kendalakendala

yang dihadapi oleh perangkat desa saat melaksanakn

Siklus Tahunan Desa dan menampung gagasan para peserta untuk

mencari solusi demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan,

pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan

masyarakat desa.

Berbeda dengan alumni APMD yaitu Minardi. Dalam konteks

Desa, Minardi berperan sebagai penggiat desa, yang mempunyai

inisiatif untuk memajukan Desa di Klaten. Dalam bidang keagamaan,

Minardi berperan sebagai penyuluh keagamaan. Bidang yang

Minardi tekuni yaitu penyuluh pernikahan. Penyuluh pernikahan

biasanya berbentuk Sosialisasi kepada para calon penganten. Hal

174

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


ini bertujuan untuk mengantisipasi permasalahan yang kurang

baik seperti gagalnya membentuk keluarga bahagia dan sejahtera.

Sosialisasi tersebut bisa dipakai bekal untuk menciptakan generasi

muda yang berprestasi dan tentunya dengan harapan memiliki

keluarga yang sakinah.

55 TAHUN STPMD “APMD”

175


176

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


EPILOG

JALAN PANJANG MAHZAB TIMOHO:

MELAYANI DAN MENGABDI

PADA DESA

Gregorius Sahdan

Sejak didirikan pada tahun 1965, kampus kami STPMD

“APMD” menempatkan desa sebagai standing position keberpihakan.

Standing position ini bukan tanpa alasan yang rasional.

Desa memiliki kontribusi terhadap Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Pada zaman perjuangan kemerdekaan, pasukan

pejuang kemerdekaan memperoleh dukungan perbekalan dari

desa. Mereka juga kerap “ngaso” atau sekedar beristirahat di desa.

Masyarakat desa menerima para pejuang dengan hati gembira.

Para pemimpinnya diarak-arak dari desa ke desa, sebagai bentuk

dukungan mereka terhadap perjuangan kemerdekaan.

Kisah keramahan dan berbagai bentuk kontribusi desa ini,

dengan mudah dilupakan negara. Paska kemerdekaan tahun 1945,

para pejuang yang sudah menjadi elite dan pemimpin baru negara,

mengabaikan dan melupakan desa. Desa bahkan dijadikan sebagai

anak tiri republik. Berbagai peraturan dan kebijakan, menempatkan

desa sebagai obyek. Desa dikerdilkan melalui berbagai kebijakan

pemerintah dan segala petunjuk teknisnya.

Berbagai latar itu, mendorong para pendiri STPMD “APMD”

untuk mendedikasikan diri “mengabdi dan melayani desa”.

Proses mengabdi dan melayani desa, tentu saja mengalami

berbagai tantangan. Tantangan yang paling sulit tentu saja adalah

55 TAHUN STPMD “APMD”

177


bagaimana mengubah pandangan negara terhadap desa. Negara

sampai dengan saat ini, bahkan tetap memperlakukan desa sebagai

obyek. Desa belum sepenuhnya dianggap sebagai subyek yang

memiliki kemampuan untuk menjalankan pemerintahan sendiri,

tanpa intervensi negara. Negara tidak hanya menghadirkan

kebijakan yang intervensionis terhadap desa dalam berbagai

bentuk perangkat tekno-administrasinya, tetapi juga tak pernah

menghadirkan kebijakan yang lebih proteksionis terhadap desa.

Kemampuan self governing dan kewenangan desa, seringkali

diabaikan negara dalam berbagai wujud instruksi dan peraturan

perundang-undangan yang memiliki karakter yang sama,

mengawasi dan mengendalikan desa. Selama Orde Baru, desa dicap

sebagai tempat tinggal orang miskin dan bodoh. Karena itu, rezim

developmentalis Orde Baru membuat berbagai kebijakan yang

mengekang kemampuan desa dalam mengurus rumah tangganya

sendiri. Orde Baru juga menghadirkan pendekatan militeristik

untuk merepresi nalar berpikir kritis desa, sehingga desa menjadi

tidak berdaya secara politik dan juga secara sosial ekonomi. Orde

Baru mengagungkan investasi yang dijamin dengan stabilitas

politik. Pemberdayaan masyarakat diabaikan untuk menopang

kesetiaan terhadap pemerintah.

Bagaimana pun, warisan cara berpikir negara Orde Baru,

masih mendominasi cara berpkir elite politik di Indonesia saat

ini. Umumnya mereka berpandangan bahwa desa harus dicekoki

dengan berbagai kebijakan developmentalism dan modernism yang

menganggap desa tidak mampu mengatur dan mengurus dirinya

sendiri. Berbagai kebijakan dan peraturan-perundangan dibuat

hanya untuk mengatakan bahwa rekognisi negara melalui UU

No.6 Tahun 2014 tentang desa, merupakan bagian dari kebaikan

hati negara terhadap desa, sehingga desa tidak perlu mengelola

desa berdasarkan kepentingan dan kemampuanya, tetapi tunduk

dan setia kepada petunjuk teknis administratif yang dibuat negara.

Demokrasi desa pun kian tidak berjalan. Musyawarah desa hanya

178

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


sekedar formalitas, karena dijebak negara dengan cara berpikir

developmentalism. Desa sibuk dengan pembangunan infratsruktur

dan abai dengan pemberdayaan masyarakat yang menjadi masa

depan desa.

Bagi sivitas akademika STPMD “APMD” cara pandang dan

perlakuan negara yang tidak adil terhadap desa, perlu dikritik.

Kritik sivitas akademika sejauh ini, melahirkan komitmen yang

kuat untuk membela desa. Pembelaan terhadap desa, tentu saja

sebagaimana dikatakan Archon Fung dan Erik Olin Wrigth (2003)

bahwa; “the state is the problem, not the solution”, sebagai bentuk

kritik terhadap negara yang menganggap remeh desa. Dengan

tema “Mengabdi dan Melayani Desa”, sivitas akademika STPMD

“APMD” tidak hanya melakukan kritik terhadap negara, tetapi

menjalankan agenda-agenda yang jelas untuk perubahan desa.

Berbagai agenda itu di antaranya adalah;

Pertama, membuat kebijakan akademik yang mendorong

sivitas akademika untuk terus peduli dan memperkuat keberpihakan

terhadap desa. Kebijakan yang paling menonjol sejak

kepemimpinan Sutoro Eko 2002-2006 adalah menggeser perhatian

tridharma dari inward looking ke outward looking. Pergeseran

ini menghasilkan dinamika yang luar biasa di lingkungan

akademik. Banyak dosen dan mahasiswa yang tadinya “jago

kandang”, kemudian mampu merebut panggung yang ada di

luar melalui kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah,

Lembaga Swadaya Masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Perusahaan dan dengan Perguruan Tinggi lain untuk memperkuat

jaringan, komitmen dan keberpihakan terhadap desa. Pada masa

kepemimpinan berikutnya, dilakukan kebijakan yang lebih

mengarah pada penguatan organisasi kelembagaan untuk menjamin

transformasi ke outward looking. Melalui penguatan organisasi

kelembagaan di tingkat internal, banyak dosen yang terbang

keliling Indonesia, dari satu pulau ke pulau lain, dari satu desa ke

desa yang lain sebagai bentuk mengabdi dan melayani desa.

55 TAHUN STPMD “APMD”

179


Kedua, memproduksi berbagai gagasan dan pengetahuan

untuk mempengaruhi cara berpikir pemerintah dan masyarakat

umum tentang bagaimana membangun Indonesia dari desa. Di

antara gagasan dan pengetahuan yang diproduksi itu adalah

beberapa buku yang sangat monumental antara lain; “Manifesto

Pembaruan Desa” yang diterbitkan pada tahun 2005 pada saat

STPMD “APMD” merayakan ulang tahun yang ke-40.

Ketiga, melakukan penelitian, advokasi dan kerjasama

dengan berbagai pihak untuk melahirkan Undang-undang desa

yang dianggap sebagai pelopor terdepan dalam pembaruan

desa. Komitmen STPMD “APMD” untuk melahirkan undangundang

desa dilakukan dengan berbagai bentuk kegiatan action

research yang diterbitkan dalam berbagai bentuk “policy paper”

dan dikristalisasi dalam buku; “Transformasi Ekonomi Politik

Desa” yang diterbitkan pada Februari 2005. Buku ini sebenarnya

merupakan dukungan terhadap rancangan undang-undang desa

supaya mendapat rekognisi dari negara.

Keempat, melakukan kegiatan CSR dengan desa-desa yang

berada di lingkungan perusahaan untuk meningkatkan kontribusi

perusahaan terhadap desa. Perusahaan yang sejauh ini sudah

sering bekerjasama dengan STPMD “APMD” di antaranya adalah

KPC yaitu perusahaan Batu Bara yang berlokasi di Kalimantan

Timur.

Enam, mengembangkan jaringan dan keterampilan berdesa

melalui kerjasama fasilitasi dan pemberdayaan terhadap masyarakat

desa. Dalam berbagai kegiatan ini, STPMD “APMD” merintis

kerjasama dengan IRE, FPPD, Satunama, dan sebagainya. Kerjasama

ini di samping bertujuan untuk mengembangkan jaringan,

juga untuk memperkuat keterampilan berdesa.

Tentu saja, masih banyak hal lain yang dilakukan oleh civitas

akademika STPMD “APMD” sebagai bentuk komitmen, kepedulian

dan pembelaan terhadap desa untuk mengatakan bahwa kita

sudah mempunyai pengalaman yang panjang bersentuhan dengan

180

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


“Mengabdi dan Melayani Desa”. Kalimat “Mengabdi dan Melayani

Desa” inilah yang kami sebut dengan Mazhab Timoho. Jadi Mazhab

Timoho adalah Mazhab yang mengamalkan ilmu, pengetahuan,

gagasan, kebijakan dan komitmen semata-mata untuk “Mengabdi

dan Melayani Desa”. Akhirnya, selamat kepada STPMD “APMD”

yang memasuki usia 55 tahun. Usia ini mengkristalisasi pengalaman

dan kontribusi kita dalam “Mengabdi dan Melayani Desa” menjadi

Mazhab Timoho yaitu mazhabnya mereka yang hati, pikiran dan

tindakannya selalu untuk desa.***

55 TAHUN STPMD “APMD”

181


182

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


BIOGRAFI PENULIS

Aulia Widya Sakina, lahir di

Magelang, Jawa Tengah. Seharihari

menjadi dosen di Program

Studi Pembangunan Sosial STPMD

“APMD”. Lulus S1 Jurusan Ilmu

Sosiatri, FISIPOL UGM pada

tahun 2011 dengan Minat Studi

Pemberdayaan Masyarakat. Sembari

menempuh S1, terlibat aktif

dalam beberapa penelitian tentang

“Recovery After Natural Disasters:

The Case of the 2006 Yogyakarta Earthquake” bersama United Nations

Development Programme (UNDP). Kemudian, pada tahun 2015

lulus dari Program Studi S2 Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

FISIPOL UGM dengan konsentrasi keahlian Pemberdayaan

Masyarakat dan CSR. Ketika menempuh S2 sempat menjadi Staff

Peneliti di Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama (PPKK)

FISIPOL UGM dan membantu di Tim Kinerja FISIPOL UGM dalam

mengawal Papua Days and Innovation Summit. Fokus terhadap isuisu

mengenai Pemberdayaan Kelompok Rentan di Masyarakat,

Manajemen Bencana Inklusif, dan saat ini sedang concern terhadap

isu Digipreneurship.

55 TAHUN STPMD “APMD”

183


Fatih Gama Abisono Nst. adalah

staf pengajar pada Prodi Ilmu

Pemerintahan STPMD “APMD”

Yogyakarta. Menamatkan pendidik

an sarjana dan magister pada

Departemen Politik Pemerintahan,

FISIPOL, UGM. Pernah bekerja

sebagai jurnalis Tempo dan Metro

TV. Sejak tahun 2008, menjadi

pengurus pada sebuah NGO yakni

Centre for LEAD sekaligus sebagai

peneliti pada lembaga tersebut. Soni, demikian dia biasa disapa,

juga terlibat dalam berbagai aktivitas riset, advokasi kebijakan,

dan gerakan sosial untuk isu democratic governance, kewargaan,

dan sumber daya baik pada level lokal maupun desa. Soni juga

telah menghasilkan sejumlah karya berupa kumpulan artikel yang

dibukukan, jurnal, dan editor beberapa buku. Dalam program ini,

Soni bertindak sebagai salah satu penulis dan editor buku ini.

184

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Mohamad Firdaus, S.IP., M.A

lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah.

Merupakan alumni S1 STPMD

“APMD” Yogyakarta. Men dapatkan

gelar Magister Politik dan

Pemerintahan di Fisipol UGM.

Minat studinya lebih ke politik

elektoral dan teori politik. Studi

skripsi dan tesisnya berkaitan

dengan pilkada dimana skripsinya

mencoba membahas mengenai

pilkada di Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2011 dengan

fokus studi terkait strategi pemenangan. Kemudian tesisnya

meneliti tentang pilkada di Provinsi Lampung pada tahun 2018

dengan fokus kajian terkait analisis kekalahan petahana. Selain itu

juga menekuni di bidang politik agama dan kultur di Indonesia,

minat studi di dalam politik dan agama sudah mulai dipelajari

sejak menempuh pendidikan Madrasah Tsanawiyah di pondok

pesantren pendidikan islam Miftahussalam Banyumas.

55 TAHUN STPMD “APMD”

185


Hery Purnomo, S.Sos, MPA.,

lahir di Magetan 10 Januari 1988.

Lulus S1 Fakultas Ilmu Sosial

dan Politik Program Studi Ilmu

Sosiatri/Pembangunan Sosial dan

Kesejahteraan Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta tahun 2011.

Kemudian menyelesaikan studi S2

di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Jurusan Manajemen dan Kebijakan

Publik Universitas Gadjah Mada

tahun 2015. Sambil menyelesaikan studi S2 telah bekerja menjadi

pekerja sosial perlindungan anak Kementerian Sosial RI pada tahun

2011-2014. Kemudian pada tahun 2016-2017 menjadi community

development officer (CDO) di PT Pertamina DPPU Ngurah Rai, Bali,

mengelola kegiatan corporate social responsibility (CSR) desa binaan

perusahaan. Pada tahun 2017-2018 menjadi asisten lapangan tenaga

peneliti di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan Universitas

Gadjah Mada, melakukan kegiatan penelitian di beberapa provinsi

yang ada di Pulau Jawa, dan Sumatera. Sejak tahun 2019 hingga

saat ini menjadi dosen tetap Prodi Pembangunan Masyarakat

Desa, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”.

Bidang keahlian yang dikuasai yaitu kebijakan publik, CSR, dan

pemberdayaan masyarakat. Keorganisasian yang diikuti dan

dijalankan yaitu menjadi volunteer bidang literasi di Komunitas

Jendela dari tahun 2011 hingga saat ini. Aktvitas korespondensi

dapat dilakukan melalui hery.purnomo.apmd@gmail.com.

186

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Dr. Irsasri, M.Pd., lahir di Yoyakarta

23 Juli 1985. Lulus S1 Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan

program studi Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta tahun

2009. Menyelesaikan studi S2 di

Program Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret Surakarta (UNS)

tahun 2011 sekaligus mendapatkan

kesempatan melanjutkan studi di

program doktor (S3) di kampus yang sama hingga selesai pada

tahun 2019. Sejak tahun 2010 menjadi dosen tamu di Universitas

Sanata Dharma, Universitas Atma Jaya, Universiteit Leiden

Belanda, National University of Laos, Universitas Kebangsaan

Malaysia, Princeston University, Indonesia-Australia Language

Foundation selanjutnya tahun 2013 menjadi dosen tetap di

STPMD”APMD” Yogyakarta. Bidang keahlian yang dikuasai yaitu

bahasa Indonesia, public speaking, jurnalistik, communication skills,

BIPA, public relation management, teknik fasilitasi.

55 TAHUN STPMD “APMD”

187


Minardi, lahir di Klaten pada

bulan April 1990. Menyelesaikan

TK, SD, SMP, dan SMA di tanah

kelahirannya di Bayat, Klaten.

Kemudian menempuh S1 (sarjana)

di S1 Ilmu Pemerintahan STPMD

“APMD” Yogyakarta dengan

predikat cum laude. Kemudian

menye lesaikan S2 di Ketahanan

Nasional, Sekolah Pascasarjana,

UGM dengan mengambil tesis

tentang Agenda Setting Pencegahan Terorisme di Media Sosial pada

Pemuda. Minardi saat ini menjadi staff pengajar di almameternya

sendiri yaitu S1 Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.

Selama kuliah sampai saat ini, aktif di berbagai kegiatan sosial dan

kemanusiaan. Dia juga menjadi staff di Forum Pengembangan

Pembaharuan Desa (FPPD) Yogyakarta. Saat ini Minardi sedang

melakukan penelitian tentang Deradikalisasi di LAPAS.

188

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Kanita Khoirun Nisa, lahir

di Cilacap 22 Juni 1994. Lulus

S1 Fakultas Ilmu Sosial Prodi

Pendidikan Sosiologi dan

Antropologi, Universitas Negeri

Semarang tahun 2016. Kemudian

menyelesaikan studi S2 di Fakultas

Ilmu Sosial dan Politik tahun

2019. Sambil menyelesaikan studi

S2, beliau telah aktif mengajar di

Bimbingan Belajar tahun 2016-

2019. Beberapa karya yang sudah pernah dipublikasikan berjudul

Sinkretisasi Nilai Islam dan Jawa dalam laku Ritual Peziarah yang

diterbitkan oleh jurnal Solidarity Unnes Volume 9 No 1 (2020),

lalu Pengembangan Pariwisata berbasis CBT yang diterbitkan

oleh jurnal Hermeneutika Universitas Sultan Agung Tirtayasa

Banten serta tulisan tentang Exploitation Behind the Growth of Batik

Home Industry in Lawean, Solo yang termuat dalam International

Journal of Social Science and Humanity, Vol. 7, No. 9, September

2017. Kemudian beliau juga aktif menjadi Asisten Redaksi Jurnal di

Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada. Tahun

2020 menjadi staf pengajar di STPMD “APMD” Yogyakarta.

55 TAHUN STPMD “APMD”

189


Reiki Nauli Harahap S.Sos M.A.,

lahir di Bandar Lampung 25

tahun yang lalu. Menyelesaikan

pen didikan strata satu di Departemen

Pembangunan Sosial dan

Kesejahteraan, Fisipol, UGM

pada tahun 2016. Dua tehun

kemudian menyelesaikan pendidikan

pasca sarjana di Departemen

Pembangunan Sosial dan

Kesejah teraan, Fisipol, UGM

dengan konsentrasi keahlian berupa pemberdayaan masyarakat,

tanggung jawab sosial perusahaan, kesukarelawanan. Penulis

terlibat aktif dalam forum-forum ilmiah salah satunya yaitu

Best Student Presenter The 2 nd Wolrd Disability & Rehabilitation

Conference di Colombo, Srilanka pada Tahun 2017. Penulis juga

aktif di penelitian dengan tema tanggung jawab sosial perusahaan

diantaranya bersama PT. Pertamina RU IV Balongan, PT Badak

LNG, Puslitbang Kementerian ESDM, PT. Pupuk Kalimantan

Timur, PT. Pertamina DPPU Adisujipto, PT Holcim Indonesia

Tbk dan JOB Pertamina Talisman Jambi Merang. Sebelum bekerja

sebagai Dosen di Sekolah Tinggi pembangunan Masyarakat Desa

“APMD” Yogyakarta, penulis merupakan Asisten Pengembangan

Departemen PSDK Fisipol UGM.

190

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Rema Marina, lulus S1 Fakultas

Ilmu Sosial Ilmu Politik Program

Studi Sosiologi Universitas

Sriwijaya Palembang pada tahun

2006. Sebelum memulai karier

menjadi dosen pernah bekerja

di PT. KAI DIVRE 3 Palembang

Sumsel dan mejadi tentor di

Bimbel Primagama Palembang.

Pada tahun 2016 menjadi dosen

di prodi Ilmu Pemerintahan Stisip

Wamena Papua. Kemudian menyelesaikan pendidikan pada

Magister Ilmu Pemerintahan di STPMD ”APMD” Yogyakarta pada

tahun 2018. Dan saat ini memilih untuk memperkuat almamater

dengan menjadi dosen di STPMD “APMD” Yogyakarta.

55 TAHUN STPMD “APMD”

191


Siti Sumaryatiningsih, S.Si, M.I.P

lahir di Magelang, 10 April

1980, lulus S1 Fakultas Geografi

Peng khususan Kartografi Penginderaan

Jauh Universitas Gadjah

Mada (UGM) Yogyakarta tahun

2006. Melanjutkan pendidikan S2

di Program Pascasarjana STPMD

“APMD” Yogyakarta mengambil

Progam Studi Ilmu Pemerintahan.

Sejak tahun 2000 aktif di NGO,

International NGO dan ormas yaitu LAPPERA Indonesia, Institute

for Development and Economic Analysis (IDEA), Institute

for Development and Environment Studies (IdeAs), OXFAM,

Perkumpulan NARASITA, Forum Komunikasi LSM Sleman,

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), PW Fatayat NU DIY, Forum

Komunikasi Perempuan Politik DIY, Forum Partisipasi Publik

untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) DIY. Terlibat

aktif dan langsung dalam kerja-kerja advokasi, pengorganisasian

dan pendampingan masyarakat di aras lokal dan pemerintah

daerah (DIY, Kulonprogo, Gunungkidul, Bantul, Kalimantan Utara,

Sumatera Barat). Konsen terhadap isu desa, lingkungan, sustainable

development, livelihood, food security, perempuan, anak, difabel,

lansia, gender dan politik. Saat ini menjadi Dosen Program Studi

Pembangunan Masyarakat Desa STPMD “APMD” Yogyakarta.

192

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Yonatan Hans Luter Lopo menyelesaikan

studi S1 pada Prodi Ilmu

Pemerintahan STPMD “APMD”

Yogyakarta (2014) dan S2 Jurusan

Politik dan Pemerintahan FISIPOL

UGM (2019). Semasa kuliah pernah

menjadi Presiden BEM STPMD

“APMD” Yogyakarta tahun 2011-

2012. Ia juga aktif di GMNI sebagai

Sekretaris GMNI Komisariat

STPMD “APMD” 2011-2012 dan

Wakabid Pengembangan Organisasi GMNI Cabang Yogyakarta

2012-2014. Sejak tahun 2017 sampai sekarang menjadi staf peneliti

di Research Centre for Politics and Government (PolGov) Departemen

Politik dan pemerintahan FISIPOL UGM. Saat ini aktif sebagai

staf pengajar pada Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD”

Yogyakarta. Sejumlah karya tulis yang pernah dipublikasikannya

yaitu: Reposisi Fungsi Representasi BPD Menuju Proses Pelembagaan

Demokrasi Desa (dalam Anang Zakaria, eds. 2017. Potret Politik

dan Ekonomi Lokal di Indonesia: IRE & Akatiga); Kecerdikan Rezim

Lokal Menyikapi Konsentrasi Uang: Transformasi Paternalisme menjadi

Oligarki (dalam Longgina Novadona Bayo, dkk. Eds.2018. In Search

of Local Regime: PolGov & Yayasan Obor); Pembiayaan Kampanye Calon

Usungan Partai Politik di Pilkada: Kasus Pilkada Kota dan Kabupaten

Madiun (dalam Mada Sukmajati & Aditya Perdana, eds. 2018.

Pembiayaan Pemilu di Indonesia: Bawaslu RI); Daily Patronage Politics:

A Village Chief’s Route to Power (Jurnal PCD UGM, Vol. VII, No.2,

2019);

55 TAHUN STPMD “APMD”

193


194

MENGABDI DAN MELAYANI DESA


Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!