Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Tulisan saya berjudul Pengembangan Ekowisata Laut berbasis Pemberdayaan Masyarakat dan Ekonomi Kreatif di Bunguran Selatan, Kabupaten Natuna Ditulis bersama Dr. S. Djuni Prihatin M.Si
Tulisan saya berjudul Pengembangan Ekowisata Laut berbasis Pemberdayaan Masyarakat dan Ekonomi Kreatif di Bunguran Selatan, Kabupaten Natuna
Ditulis bersama Dr. S. Djuni Prihatin M.Si
- No tags were found...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
DALAM PERSPEKTIF
PEMBANGUNAN
SOSIAL DAN
KESEJAHTERAAN
Editor: Suzanna Eddyono
PENGEMBANGAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF
PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN
xii+264 halaman 14,5 x 21 cm
ISBN : 978-602-53192-9-7
Editor:
Suzanna Eddyono
Penulis:
Agnes Sunartiningsih
Ahmad Nur Ardiansyah dan S. Djuni Prihatin
Eka Zuni Lusi Astuti
Galih Prabaningrum
Hempri Suyatna , Suharko , Subando Agus Margono dan Bevaola Kusumasari
Janianton Damanik
Matahari Farransahat dan Siti Hadiyati Nur Hafida
Milda Longgeita Pinem
Mufti Nafiatut Darajat dan Hendrie Adji Kusworo
Reiki Nauli Harahap dan S. Djuni Prihatin
S. Djuni Prihatin dan Susi Daryanti
Tri Winarni
Cover dan Tata Letak:
Wazirul H.
Cetakan kedua November 2018
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Penerbit:
CV. Buana Grafika
Jl. Seturan II No.128 Caturtunggal Depok Sleman Yogyakarta.
Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK),
Jl. Sosio Yustisia No. 1, Gedung BC, FISIPOL-UGM,
Bulaksumur, Yogyakarta-55281
Kata Pengantar
Penelitian adalah salah satu bentuk Tri Darma Perguruan
Tinggi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di Perguruan
Tinggi. Ber kaitan dengan hal tersebut, Prodi Pembangunan Sosial
dan Kesejahteran setiap tahunnya melakukan kegiatan penelitian
baik yang dilakukan oleh mahasiswa S1 ataupun S2 sebagai
persyaratan kelulusan maupun kegiatan para staf pengajar untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan kapasitas
akademik. Oleh karenanya hasil penelitian yang dicapai ini perlu
didesiminasikan melalui proses publikasi sehingga hasil penelitian
dan kajiannya dapat menjadi inspirasi perubahan bagi semua
pihak yang tertarik pada isu-isu di seputar pembangunan sosial
dan kesejahteraan.
Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan juga
banyak melibatkan mahasiswa baik strata satu maupun strata
dua dalam kerjasama penelitian dengan berbagai institusi
yang dilakukan. Dengan berbagai pengalaman ini mahasiswa
diharapkan akan semakin memiliki kemampuan kapasitas
akademik sebagai bekal penguasaan akademik nantinya setelah
mahasiswa selesai menempuh studi. Publikasi bersama antara
mahasiswa dan dosen pembimbing juga merupakan upaya
program studi mengembangkan hubungan akademis yang positif
dan produktif diantara keduanya.
Besar harapan publikasi kumpulan hasil penelitian ini dapat
mendorong penelitian-penelitian yang lain yang lebih mengikuti
perkembangan isu-isu pengembangan ilmu pengetahuan
pembangunan sosial dan kesejahteraan. Melalui publikasi hasil
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
iii
penelitian ini, berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah,
swasta dan organisasi masyarakat sipil akan memeroleh informasi
untuk merumuskan kebijakan, program, maupun aksi berkaitan
dengan pembangunan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Program Studi strata satu Pembangunan Sosial dan
Kesejahateraan mengucapkan terima kasih pada dukungan para
penulis yang telah menyumbangkan tulisannya untuk buku ini dan
Suzanna Eddyono yang telah mengorganisir proses penyusunan
ini dari awal hingga akhir hingga terwujud menjadi buku ini.
Ketua Program Studi S1
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK)
Dr. S. Djuni Prihatin, MSi
iv
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Kata Pengantar Editor
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan
Sosial memuat tulisan-tulisan yang mengangkat problematika
upaya penguatan pelembagaan dalam proses pemberdayaan
masyarakat di Indonesia. Penguatan pelembagaan yang khusus
dibahas dalam tulisan-tulisan yang dihimpun dalam buku ini
mencakup pelembagaan inisiatif-inisiatif pemberdayaan masyarakat
melalui Corporate Social Responsibility (CSR) oleh perusahaan,
program-program pembangunan sosial oleh negara, maupun
inisiatif-inisiatif perubahan dan pemberdayaan oleh komunitas
dan masyarakat itu sendiri.
Dari sisi peran pemerintah dan pemberdayaan masyarakat,
beberapa tulisan menyoroti aspek-aspek yang perlu diperhatikan
pengambil kebijakan. Berangkat dari kondisi pelayanan publik
di wilayah perbatasan DIY-Jateng berdasarkan fokus layanan
urusan wajib yang tertuang pada RPJMD DIY 2012-2017, Matahari
Farransahat dan Siti Hadiyati Nur Hafida melihat pentingnya
pening katan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Studi mereka merekomendasikan, antara lain, kerjasama lintas
bidang guna meningkatkan ketercukupan tenaga kesehatan di
wilayah perbatasan dimaksud.
Dalam fokusnya pada kebijakan dan tubuh, Milda Longgeita
Pinem mengajak pembaca memikirkan (kembali) relevansi topik
tubuh dalam kebijakan sosial. Ia memperlihatkan lebih jauh keterkaitan
ini dengan persoalan tubuh lansia dan anak, tubuh dan
kriminalitas maupun kontrol atas reproduksi. Selanjutnya, Tri
Winarni menyoroti pentingnya sosialisasi yang lebih baik terhadap
pasangan pra-nikah agar memahami pentingnya kerja sama antara
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
v
suami – isteri (orang tua) dan anak dalam suatu keluarga. Untuk itu
sebelum membentuk keluarga calon pasangan suami isteri perlu
diberi informasi mengenai hak dan kewajiban dalam keluarga
yang berperspektif gender.
Dalam kasus yang lain, Mufti Nafiatut Darajat dan Hendrie
Adji Kusworo mengedepankan urgensi penyediaan fasilitas
yang ramah bagi difabel, utamanya tunadaksa monoplegia dan
tunadaksa paraplegia di tujuan wisata. Selain menggugat rendahnya
respon pemerintah atau pengelola lokasi wisata dalam menyediakan
fasilitas khusus bagi difabel tunadaksa, mereka juga
mene kankan pentingnya penyediaan fasilitas yang tepat sasaran
ber dasarkan tipologi dan karakteristik tunadaksa.
Beberapa tulisan lainnya lebih fokus pada peran perusahaan
melalui berbagai program CSR dan pentingnya pelibatan masyarakat
dalam program-program CSR yang ada. Agnes Sunartiningsih,
misalnya, memperlihatkan bahwa pengelolaan program CSR yang
mendasarkan pada penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat
memungkinkan berlangsung baiknya program-program yang
direncanakan.
Juga berangkat dari pengalaman program CSR, Galih
Prabaningrum mendiskusikan bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan
yang dilakukan oleh negara, perusahaan, dan masyarakat
belum berjalan secara integral. Hal ini antara lain berkaitan erat
dengan perbedaan pemahaman konseptual dan penggunaan
indikator ketiga stakeholders dalam upaya mewujudkan konsep
kesejahteraan sosial. Dengan demikian tak dapat dipungkiri
pentingnya pelembagaan kolaborasi ketiga stakeholders tersebut termasuk
dalam perumusan konseptual yang dapat diadopsi bersama.
Beberapa penulis buku ini juga melihat persoalan pemberdayaan
masyarakat dan pelembagaannya dari perspektif masyarakat
yang lebih luas maupun yang termarjinalkan. Dalam kritiknya
terhadap konsep kemandirian desa yang umum berkembang,
Janianton Damanik menawarkan pentingnya melihat kemandirian
vi
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
desa berkaitan dengan kemampuan masyarakat desa membuat
pilihan-pilihan strategis. Menurutnya, ini merupakan elemen
pen ting kemandirian desa dan kapasitas ini perlu dikembangkan
dalam suatu kebijakan pembangunan desa.
Reiki Nauli Harahap dan S. Djuni Prihatin memperlihatkan
bahwa minimnya partisipasi masyarakat dapat disebabkan oleh
praktik program pemerintah itu sendiri yang lebih mengedepankan
aspek charity ketimbang pemberdayaan sehingga menghilangkan
prinsip keberlanjutan dan menciptakan ketergantungan masyarakat
terhadap program. Menurut kedua penulis, dibutuhkan kerjasama
dari berbagai lini sektor, strategi pemberdayaan masyarakat yang
inklusif dan memperhitungkan kearifan lokal masyarakat agar
partisipasi masyarakat dapat berkembang.
Eka Zuni Lusi Astuti menggarisbawahi pentingnya proses
pelembagaan agar kewiralembagaan ekonomi dalam kaitannya
dengan pro dan kontra rencana penambangan pasir besi di Kulonprogo
dapat terus berkembang. Untuk itu, dibutuhkan upaya yang
sinergis antar stakeholders sehingga Koperasi Serba Usaha Forum
Komunikasi Masyarakat Pesisir (KSU FKMP) Manunggal yang
ditelaahnya dapat menjalankan fungsi kewiralembagaan (institutional
entrepreneurship).
Bertolak dari pengalaman petani, tulisan Hempri Suyatna,
Suharko , Subando Agus Margono dan Bevaola Kusumasari mengidentifikasi
proses marjinalisasi yang dialami petani pangan di
Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam diskusi mereka, terdapat
indikasi bahwa driving force, pressures dan state merupakan
faktor-faktor penting yang memengaruhi marjinalisasi petani
tersebut. Temuan ini tidak saja menggarisbawahi pentingnya
melihat-ulang kebijakan pertanian pemerintah terkait, namun juga
pen tingnya pemberdayaan petani untuk menghadapi driving force
dan pressures yang ada.
Tulisan S. Djuni Prihatin dan Susi Daryanti berikutnya memper
lihatkan bagaimana strategi penjual jamu dapat mempertahan-
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
vii
kan bahkan mengembangkan usahanya di tengah-tengah persaingan
pelaku usaha yang lebih besar. Selain mempertahankan
kualitas produksi jamu, kelompok jamu juga aktif mencari
dan mempertahankan konsumen melalui pesan singkat (sms).
Walaupun demikian kedua penulis melihat adanya kesenjangan
dalam perolehan keuntungan antara penjual dan produsen jamu
di kelompok yang diteliti.
Dalam kasus yang berbeda, Ahmad Nur Ardiansyah dan S.
Djuni Prihatin menyoroti bahwa di tengah-tengah upaya pemerintah
mensosialisasikan pendidikan karakter, tindakan klithih
yang dilakukan kelompok pelajar di Yogyakarta memperlihatkan
adanya kesenjangan antara harapan ideal dan realitas. Oleh karena
itu, tidak saja menjadi agenda penting pemerintah untuk mencegah
berkembangya klithih namun juga untuk melembagakan
pentingnya pendidikan nir-kekerasan di kalangan muda.
Secara keseluruhan selain memperlihatkan urgensi pelembagaan
upaya-upaya pembangunan sosial oleh masing-masing
aktor negara, perusahaan dan masyarakat, tulisan-tulisan dalam
buku ini juga menyoroti kelindan pelembagaan ketiga aktor
negara, bisnis dan masyarakat dan persoalan-persoalan yang
meng ikutinya. Tanpa mereduksi urgensi pentingnya pelembagaan
inisiatif masing-masing aktor masyarakat, negara dan perusahaan
tersebut, mereka memperlihatkan bahwa kolaborasi antar ketiga
aktor itu masih merupakan tantangan besar dalam proses pembangunan
sosial di Indonesia.
Editor
Suzanna Eddyono
viii
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Daftar Isi
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR EDITOR
DAFTAR ISI
iii
v
ix
Kontribusi Modal Sosial Dalam Pengembangan Masyarakat.
(Studi Program CSR PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap)
Agnes Sunartiningsih 1
Tingginya Angka Kekerasan Antar Pelajar
di Yogyakarta dan Alternatif Solusinya
Ahmad Nur Ardiansyah dan S. Djuni Prihatin 25
Kewiralembagaan di Aras Konflik:
Institutional Entrepreneurship KSU FKMP Manunggal dalam
Pengembangan Masyarakat di Desa Karangwuni,
Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo
Eka Zuni Lusi Astuti 43
Pluralisme Kesejahteraan: Kesejahteraan dalam
Kerangka Pikir Negara, Bisnis dan Masyarakat
Galih Prabaningrum 77
Liberalisasi Pertanian, Perubahan Iklim dan Marginalisasi
Petani di Kabupaten Sleman dan Gunungkidul
Hempri Suyatna, Suharko, Subando Agus Margono
dan Bevaola Kusumasari 103
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
ix
Merentang Kemandirian Desa
Janianton Damanik 123
Evaluasi Upaya Pemenuhan Pelayanan Kesehatan
pada Wilayah Perbatasan DIY
Matahari Farransahat dan Siti Hadiyati Nur Hafida 143
Memikirkan (Kembali) Topik Tubuh dalam Kebijakan Sosial
Milda Longgeita Pinem 163
Pariwisata Inklusif: Kebutuhan Fasilitasi
Akses Wisatawan Difabel Tunadaksa Monoplegia dan
Paraplegia di Pantai Boom, Banyuwangi – Jawa Timur
Mufti Nafiatut Darajat dan Hendrie Adji Kusworo, 183
Pengembangan Ekowisata Laut berbasis
Pemberdayaan Masyarakat dan Ekonomi Kreatif
di Bunguran Selatan, Kabupaten Natuna
Reiki Nauli Harahap dan S. Djuni Prihatin 201
Perilaku Penjual Jamu dalam Menghadapi
Produk Jamu Pabrikan
S. Djuni Prihatin dan Susi Daryanti 217
Perencanaan Keluarga Berperspektif Gender
Tri Winarni 241
x
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Daftar Tabel
Tabel 1. Sembilan Koperasi Bentukan Program 45
Tabel 2. Kapasitas Wiralembagawan 48
Tabel 3. Dokumen Berbadan Hukum KSU FKMP Manunggal 57
Tabel 4. Hasil perhitungan Bobot Final AHP pada
Permasalahan Pelayanan Kesehatan, Gunung Kidul 150
Tabel 5. Bobot Final Permasalahan Pelayanan Kesehatan
pada Wilayah Perbatasan di Kabupaten Sleman. 153
Tabel 6. Bobot Final Permasalahan Pelayanan Kesehatan
pada Wilayah Perbatasan di Kabupaten Kulonprogo 157
Tabel 7. Theoretical Framework of Leisure Constraints
oleh Crawford dan Godbey (1987) 190
Tabel 8. Daftar Produk-Produk Jati Husada Mulya
yang Berijin PIRT 236
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
xi
Daftar Gambar
Gambar 1. Diagram Jaringan Kerjasama Antar Stakeholder 33
Gambar 2. Bagan Individual-Institutional Opportunity
Nexus (IION) 50
Gambar 3. Bagan Struktur Kelembagaan Koperasi
KSU FKMP Manunggal 56
Gambar 4. Bagan Relasi Struktur-Aktor KSU FKMP
Manunggal 60
Gambar 5. Kerangka DPSIR 108
Gambar 6. Dampak Perubahan Iklim 109
Gambar 7. Nilai IPM Kecamatan di Wilayah Perbatasan 144
Gambar 8. Struktur Hirarki Pelayanan 148
Gambar 9. Waktu Luang (Leisure) dan Wisata (Tourism) 189
xii
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Kontribusi Modal Sosial dalam
Pengembangan Masyarakat
(Studi Program CSR
PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap)
Agnes Sunartiningsih 1
A. Pendahuluan
Setiap warga masyarakat mengharapkan agar kondisi kehidupan
nya kedepan akan lebih baik dari kehidupan yang sekarang
yang artinya bahwa kondisi sejahtera merupakan dambaan
dari setiap warga masyarakat. Salah satu perbedaan yang dapat
diamati dari intensitas pencapaiannyanya adalah bahwa setiap
elemen di dalam masyarakat senantiasa mengalami perbedaan di
dalam upaya pen capaian kesejahteraannya. Agar perubahan yang
terjadi di dalam masyarakat merupakan perubahan yang bersifat
konstruktif, maka harus diupayakan terciptanya kondisi kehidupan
yang lebih baik yang tercermin dalam peningkatan taraf hidup dan
upaya tersebut sering disebut sebagai upaya pembangunan atau
pengembangan masya rakat.
Pembangunan masyarakat sebagai sebuah fenomena mengandung
beberapa unsur yang cukup esensial. Unsur-unsur esen sial
tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal yaitu proses perubahan,
mobilisasi atau pemanfataan sumber daya dan pengembangan
kapasitas masyarakat. Ketiga konsep dasar tadi merupakan
asumsi-asumsi yang menjadi pilar-pilar utama yang diperlukan
untuk membangun konsepsi tentang pembangunan masyarakat
1 Dosen di Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas
Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:
agnes_ugm@yahoo.co.id
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
1
(Soetomo, 2006:25). Pengembangan kapasitas masyarakat sangat
terkait dengan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan diri
yang mencakup kemampuan masyarakat untuk mengidentifikasi
kebutuhan yang mereka rasakan, sumber daya yang mereka miliki
dan peluang yang ada.
Pengembangan masyarakat adalah kegiatan yang me nempatkan
manusia/masyarakat sebagai sentral atau pusat perhatian.
Dalam konteks ini masyarakat diharapkan dapat mengorganisir
diri untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhannya dan
berkegiatan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah
disusun secara bersama-sama. Apabila kegiatan ini dapat dilakukan
secara terus menerus maka ini akan menjadikan pengembangan
masyarakat tersebut dapat berkelanjutan. Dalam konteks ini diperlukan
adanya pendampingan terhadap masyarakat agar mereka
mampu mendefinisikan dan merumuskan kebutuhan mereka,
memahami persoalan atau problem individual, kelompok maupun
persoalan masyarakat secara umum, kemudian mampu membuat
perencanaan sendiri dengan membentuk kelompok dalam rang ka
menjawab kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan yang ada.
Yang kemudian harus diupayakan adalah bagaimana meningkatkan
atau menguatkan kapasitas masyarakat.
Penghidupan berkelanjutan penting untuk dikaji guna me -
mahami sampai seberapa jauh komitmen moral dari stake hol ders
dalam mewujudkan CSR yang telah terimplementasi. Pengembangan
masyarakat tidak hanya merupakan tanggungjawab
negara, melainkan menjadi tanggung jawab bersama antara bisnis,
negara dan masyarakat. Hubungan antara bisnis dan pemerintah
daerah, demikian juga antara bisnis dan masyarakat menjadi
kajian yang tidak terpisahkan dengan pengembangan masyarakat
secara holistik. Hubungan antara perusahaan dan pemerintah
daerah, hubungan antara perusahaan dan masyarakat menjadi titik
penting untuk mewujudkan pengembangan masyarakat menuju
penghidupan berkelanjutan.
2
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Dalam upaya menuju penghidupan yang berkelanjutan maka
penguatan kapasitas masyarakat menjadi penting yang arti nya
adalah penguatan kapasitas kelembagaannya. Ini adalah pendekatan
pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari
bawah atau dari masyarakat itu sendiri yang berupa sumberdaya
atau modal alam, modal ekonomi dan sumberdaya manusia.
Menurut Sumpeno (2002), penguatan kapasitas adalah suatu proses
peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi dan
sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
secara efektif dan efeisien. Kemampuan masyarakat untuk meningkatkan
kehidupannya disebabkan karena masyarakat memiliki
kompetensi yang diperoleh dari proses belajar sosial yang cukup
panjang (Soetomo 2012:129). Agar kompetensi tersebut dapat
tumbuh secara efektif maka dibutuhkan institusi sosial pada tingkat
komunitas. Institusi sosial yang dimaksud bukan semata–
mata dalam bentuk wadah, asosiasi atau organisasi. Lebih dari
itu, hal itu merupakan suatu pranata yang sudah terlembagakan.
Uphoff (1986 dalam Soetomo 2012:129) menyebutnya sebagai
organizations that are isnstitutions. Penguatan kapasitas masyarakat
kemudian akan terlihat dengan adanya perubahan perilaku untuk
meningkatkan kemampuan individu, kelembagaan, kemandirian
dan keswadayaan masyarakat.
Penguatan kelembagaan agar dapat berkembang serta mampu
menggerakkan sumber daya masyarakat harus berbasis komunitas,
dalam artian penguatan kelembagaan direncanakan dan
dilaksanakan oleh komunitas secara partisipatif untuk kepentingan
komunitas. Dalam proses penguatan kapasitas kelembagaan itulah
maka menjadi penting untuk memanfaatkan faktor modal sosial
yang ada di masyarakat. Seperti diketahui bahwa modal sosial
baru eksis bila ia berinteraksi dengan struktur sosial. Sifat ini jelas
berbeda dengan dua modal lainnya yakni modal ekonomi dan modal
manusia. Dengan modal ekonomi yang dimiliki seseorang bisa
melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
3
struktur sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia. Hal
inilah yang menyebabkan Coleman (1994) mendefinisikan modal
sosial berdasarkan fungsinya. Menurutnya, modal sosial bukanlah
entitas tunggal, tetapi entitas majemuk yang mengandung dua
elemen: (i) modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur
sosial, dan (ii) modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari
pelaku (aktor) di dalam struktur tersebut. Individu yang berada
dalam struktur sosial dengan adanya saling percaya secara timbal
balik dalam kadar yang tinggi berarti memiliki modal sosial yang
lebih baik. Kepercayaan dan hubungan timbal-balik dikembangkan
dalam sebuah proses yang terus-menerus sehingga memungkinkan
untuk mengembangkan suatu usaha.
Uphoff (1986) menyatakan bahwa modal sosial merupakan
aku mulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya,
kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang mem -
engaruhi perilaku kerjasama. Dengan demikian modal sosial
kemudian merujuk kepada norma atau jaringan yang memungkinkan
orang untuk melakukan tindakan kolektif. Norma dan
jaringan merupakan unsur penting dalam formulasi modal sosial
sehingga eksistensinya sangat dibutuhkan. Norma dalam sebuah
komunitas yang mendukung individu untuk memeroleh prestasi
merupakan bentuk modal sosial yang sangat penting. Demikian
juga norma yang berlaku secara efektif dalam sebuah komunitas
bisa menjamin produktivitas kerja yang semakin tinggi. Sementara
individu yang memiliki jaringan luas akan lebih mudah dan lebih
murah untuk memperoleh informasi, dan ini sangat membantu
dalam pencapaian suatu tujuan atau usaha, sehingga bisa dikatakan
sebagai modal sosial yang memiliki nilai ekonomi tinggi
CSR bukan saja upaya menunjukkan kepedulian perusahaan
pada persoalan sosial dan lingkungan, namun juga dapat menjadi
pendukung terwujudnya pengembangan masyarakat yang
berkesinambungan dengan menyeimbangan aspek ekonomi,
sosial dan lingkungan. Dalam rangka merespon perubahan
4
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
dan menciptakan hubungan kepercayaan, maka upaya yang kini
dilaksanakan organisasi bisnis adalah merancang dan mengembangkan
serangkaian program yang mengarah pada bentuk
tanggung jawab sosial. Program ini menjadi parameter kepedulian
organisasi dengan mengembangkan aspek sosial kepada publik.
Kepedulian ini bukan dalam kerangka kegiatan karitatif yang dalam
prakteknya perusahaan hanya memfokuskan pada pemberian
bantuan secara financial yang dapat menyenangkan banyak pihak,
tetapi lebih pada bagaimana melakukan pengembangan masyarakat,
agar bersama-sama dengan perusahaan dan negara dapat
peduli terhadap masalah – masalah sosial di dalam masyarakat
lebih – lebih masyarakat di sekitar perusahaan.
1. Metode Penelitian
Penentuan lokasi penelitian pada penelitian ini menempuh
langkah–langkah sebagai berikut. Pertama, dengan memetakan
jenis-jenis perusahaan yang berada di Kabupaten Cilacap, Propinsi
Jawa Tengah. Berdasarkan atas pemetaan jumlah perusahaan yang
ada, peneliti telah memilih satu kelurahan yang terletak diantara
be berapa perusahaan besar, yakni Perusahaan Nasional Minyak
dan Gas Bumi ( Pertamina ) dan perusahaan semen (Holcim), yaitu
Kalurahan Lomanis kecamatan Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap.
Kedua, dengan melakukan pendekatan dengan perusahaan terkait
program CSR yang sudah dilakukan dan komitment perusahaan
terhadap pengembangan masyarakat di sekitar wilayah perusahaan.
Ketiga, mengingat proses pembangunan itu otoritasnya ada pada
pemerintah, narasumber yang berasal dari birokrasi pemerintah
sangat diperlukan untuk mengetahui sampai seberapa dekat
hubungan antara pemerintah dan perusahaan dalam menegakkan
komitmen moral demi tegaknya pembangunan sosial di wilayah
sekitar perusahaan. Keempat, masyarakat sebagai penerima program
pengembangan masyarakat menjadi narasumber berikutnya sebagai
cross check dalam perolehan data yang telah dilakukan.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
5
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan diskripsi mendalam (thick description).
Diskripsi mendalam dari sebauah fakta yang tersurat, baik dalam
diskusi dengan masyarakat penerima program, birokrat maupun
para karyawan perusahaan dan menejer yang membawahi divisi
pengembangan masyarakat, merupakan fakta yang sering kali
menyembunyikan realitas sesungguhnya. Oleh sebab itu, mencari
makna dari fakta tersirat merupakan usaha untuk menunjukkan
realitas yang sesungguhnya. Usaha memahami sesuatu yang
ter surat yang bersifat faktual sering disebut sebagai usaha
untuk memahami apa yang tersirat dibelakang fakta (behind the
facts). Dalam penelitian ini menggunakan tiga macam tehnik
pengumpulan data yaitu pencarian data sekunder diperoleh
melalui pelacakan ke pemerintah Kalurahan, Kecamatan maupun
ke perusahaan; wawancara secara intensif mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan proses perencanaan pengembangan
masyarakat dan wawancara yang bersifat individual. Untuk
mengurangi subyektivitas informasi dari nara sumber, dilakukan
trianggulasi atau cross check dengan nara sumber lain dalam
jenis informasi yang sama. Dalam penelitian ini selain data yang
dikumpulkan kemudian dideskripsikan, peneliti juga melakukan
interpretasi data yang ada mengacu pada kerangka pemikiran
teoretik tertentu.
Keputusan untuk memilih lokasi penelitian di Kalurahan
Lomanis Kecamatan Cilacap Tengah Kabupaten Cilacap, Propinsi
Jawa Tengah dengan pertimbangan bahwa di Kalurahan tersebut
terdapat setidaknya dua perusahaan besar yang melakukan
aktivitasnya yakni Perusahaan Nasional Minyak dan Gas Bumi
( Pertamina ) dan perusahaan semen ( Holcim ). Disamping itu
ada beberapa perusahaan kecil lainnya seperti : PT. Pertamina
Lubricants, PT. Pertamina TBBM, PT. Pertamina Elpiji. Proses
analisis data berjalan seiring dengan penelitian lapangan, proses
ini semata – mata untuk memenuhi kebutuhan atas analisis yang
6
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
komprehensif dan mendalam sejalan dengan kebutuhan pengem -
bangan substansi penelitian lapangan agar dapat di peroleh
gambaran yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang sesungguhnya.
Hasil
1. Kalurahan Lomanis dengan perusahan yang mengitarinya
Kalurahan Lomanis merupakan salah satu Kelurahan di antara
5 kelurahan yang terletak di kecamatan Cilacap Tengah. Kalurahan
Lomanis secara geografis berada di dataran rendah dan terdiri
dari enam RW dengan dua puluh dua RT. Kelurahan Lomanis
berdampingan langsung dengan Kawasan Industri Cilacap yaitu
PT Holcim dan PT Pertamina. Kelurahan Lomanis berada di dekat
pusat kota Kabupaten Cilacap dan dikitari oleh perusahaan.
Dilihat dari permasalahan sosial yang dihadapi oleh warga
masyarakat dapat dibagi menjadi permasalahan sosial yang
bersifat personal dan permasalahan sosial yang bersifat struktural.
Permasalahan-permasalahan yang bersifat personal adalah kemiskinan,
pengangguran musiman, putus sekolah, prostitusi,
perjudian dan beberapa kasus pencurian unggas serta perjudian.
Sempat pula terjadi peristiwa pembegalan di wilayah Lomanis
yang dalam kondisi sepi di malam hari. Sedangkan permasalahan
sosial yang bersifat struktural adalah konflik laten antara warga
dengan perusahaan, antara warga dengan pemerintah dan antara
partai politik dengan pemerintah Kalurahan.
Permasalahan sosial yang berkaitan dengan dampak perusahaan
mencakup masalah pencemaran udara, masalah sulitnya akses
warga sekitar untuk bekerja di perusahaan dan masalah bantuan
sosial yang kurang merata. Pengaruh lain dengan hadirnya industri
di kawasan Lomanis dapat dilihat dengan banyak ditemukannya
perubahan sosial dalam bentuk lunturnya nilai sosial budaya
masyarakat. Proses perubahan kondisi masyarakat dari desa ke
kota berimplikasi pada terjadinya pergeseran nilai budaya desa ke
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
7
nilai budaya perkotaan. Sebagai daerah yang berdekatan dengan
kawasan industri, menyebabkan daerah ini banyak didatangi oleh
masyarakat dari luar kelurahan. Keberadaan pendatang menyebabkan
perubahan karakter masyarakat dari sebagian masyarakat
yang sebelumnya tradisional menjadi masyarakat yang cenderung
bergaya hidup modern.
Permasalahan yang dihadapi terkait modal sumber daya
manusia adalah masih minimnya keterampilan-keterampilan yang
dimiliki individu dalam mengelola sumber daya alam yang ada
untuk mengembangkan kewirausahaan maupun untuk akses ke
perusahaan. Hal ini sebenarnya sudah menjadi perhatian pemerintah
kelurahan dan perusahaan sekitar namun permasalahan ini tetap
saja belum terpecahkan. Hal ini karena intensitas pendampingan
terhadap program serta pembekalan ketrampilan yang masih
kurang. Setelah program pembekalan keterampilan selesai sering
tidak ada keberlanjutan dalam pendampingan sehingga program
yang telah terlaksana tidak efektif. Pengkajian lebih dalam didapatkan
data bahwa rata-rata mata pencaharian warga adalah
sebagai buruh bangunan dan mekanik maintenance (tenaga out
source). Sebagai tenaga bangunan upah yang didapat sebesar Rp
3500/jam, sedangkan untuk mekanik Rp 8000/jam, sementara itu
untuk produktifitas ekonomi kurang tampak dominan.
Program CSR berjalan di Kalurahan Lomanis sejak adanya
PT Holcim. Pada awalnya PT Holcim menjalin kerjasama dengan
Universitas Jendral Sudirman dan sejak tahun 2000 memberikan
program pengembangan Pos Daya yang meliputi RW 6, RW 2
dan RW 1. Program ini berlanjut dengan adanya kegiatan KKN
dari UMP 2013. Sedangkan program CSR yang dilakukan oleh
Pertamina RU IV dilaksanakan dengan model langsung terjun ke
komunitas-komunitas, sementara itu untuk Pertamina lubricants
dan Pertamina TBBM baru memulai CSR bersamaan dengan
munculnya rumah cemara yaitu kelompok swadaya masyarakat
yang diinisiasi oleh KKN UGM tahun 2014. Rumah Cemara
8
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
dimaksudkan untuk menjadi lembaga satu pintu bagi pelaksanaan
CSR di Kalurahan Lomanis sehingga pengelolaannya bisa lebih
terintegrasi. Sedangkan untuk Pertamina elpiji pada saat penelitian
ini dilakukan belum memulai kegiatan CSRnya di kalurahan
Lomanis.
Dari pimpinan lokal yang kala itu dijabat oleh Bapak Edy
Susilo (Lurah Lomanis) diperoleh keterangan bahwa pengembangan
masyarakat menuju penghidupan berkelanjutan atau yang
menurut istilah beliau adalah kesejahteraan yang selalu meningkat,
bisa tercapai apabila telah terjadi perubahan di dalam masyarakat
dimana tingkat produktifitas warga semakin meningkat. Hal
ini diharapkan dapat menciptakan keswadayaan masyarakat
dan terjaga semangat kolektifitas dalam kehidupan sehari – hari
sehingga dapat menciptakan keharmonisan dalam kehidupan.
Apa yang disampaikan oleh bapak Lurah Lomanis ter sebut
sebenarnya mengarah pada bagaimana menumbuhkan kemandirian
masyarakat dengan tetap mengakomodasi modal sosial yang ada
dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut memang
menurut beliau sangat dibutuhkan intervensi dari luar terutama
perusahaan–perusahaan yang telah ada di sekitar Lomanis.
Sebenarnya ada sebuah tuntutan bahwa harusnya masyarakat
Lomanis bisa lebih sejahtera dengan adanya banyak perusahaan
yang mengitarinya, namun demikian realita yang ada bahwa
sebagian masyarakat masih kurang mendapatkan dampak positif
yang signifikan dari banyaknya perusahaan yang hadir di sana.
Apabila dicermati lebih dalam mengenai kehidupan warga
di Lomanis, maka permasalahan utama mereka adalah tentang
lapangan pekerjaan dan kurangnya keterampilan. Rata-rata mereka
adalah buruh musiman untuk pengerjaan proyek-proyek Pertamina
sehingga setelah proyek selesai maka mereka menganggur dan
rata-rata bekerja serabutan. Warga dapat mengakses pekerjaan di
Pertamina melalui beberapa jalur seperti pemborong lokal yang
ada di Lomanis sebagai sub kontraktor pertamina, kemudian ada
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
9
juga yang langsung dengan pemborong utama atau kontraktor
Pertamina atau ada juga yang dengan konektifitas dengan staffstaff
Pertamina melalui jalur khusus. Jenis pekerjaan yang biasa
dilakukan adalah helper yang tidak membutuhkan ketrampilan
( un-skill), tukang dengan minimum skill, mandor dan forman
yang harus menguasai gambar. Dengan demikian sebenarnya
butuh pelatihan teknik yang terkait lapangan kerja yang tersedia
agar warga Lomanis memiliki daya saing untuk bisa masuk ke
lingkungan pekerja di perusahaan yang ada di sekitar mereka.
Sementara itu sebagian warga yang lain memilih menjadi TKI
dengan jalur legal maupun illegal.
Untuk lebih jelasnya Perusahaan yang melaksanakan CSRnya
di kalurahan Lomanis dapat dirinci sebagai berikut:
a. PT. Holcim Pabrik Cilacap, perusahaan ini mulai melaksanakan
CSR sekitar tahun 2000 dengan metode fokus pengembangan
program berkelanjutan POS DAYA di RW 6, RW 2 dan RW 1.
Program dilaksanakan dengan kemitraan KKN UNSOED dan
KKN UMP
b. PT. Pertamina RU IV, program CSR diberikan langsung ke
komunitas warga dengan pemberian pemberdayaan ekonomi
yaitu ternak lele di RW 1, Budi daya jamur di RW 1 dan dan
RW 3, dan infra struktur dengan membangun jalan.
c. PT. Pertamina Lubricants, Program CSR dilaksanakan pada
tahun 2013 - 2015 berupa Pelatihan bengkel motor di BLK
untuk 20 pemuda, dukungan kegiatan-kegiatan masyarakat,
dukungan kesehatan untuk lansia Rumah Cemara dan
kegiatan sosial secara insidental misal pada perayaan hari
Proklamasi kemerdekaan RI.
d. PT. Pertamina TBBM, melaksanakan kegiatan CSR pada 2013-
2015 dengan program : Bank Sampah, dukungan layanan
Kesehatan untuk lansia Rumah Cemara
e. PT. Pertamina Elpiji, pada saat penelitin ini dilakukan belum
melakukan kegiatan CSR di Kalurahan Lomanis.
10
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Pelaksanaan CSR yang cukup beragam baik dari cakupan
wilayah maupun jenis program sering memunculkan beberapa
implikasi yang menyebabkan terjadinya sedikit permasalahan di
kalangan warga. Hal ini meliputi:
a. Adanya tarik menarik antara PT. HOLCIM dan PT.Pertamina:
PT. HOLCIM meminta fokus di 3 RW dengan alasan keberlanjutan
program, sedangkan PT. Pertamina RU IV sudah
menjalankan program secara acak dan rata-rata belum berkembang,
sementara itu PT. Pertamina Lubricant lebih banyak
melakukan promosi.
b. Terjadi ketidak merataan dalam pemberian bantuan. Ada
sebagian masyarakat yang mendapat lebih banyak sementara
yang lain merasa sangat jarang mendapatkannya.
Penge lompokan pemberian bantuan dari kedua perusahaan
disebut-sebut sebagai penyebab dari ketidakmerataan dan
memunculkan ketimpangan dalam masyarakat. Ada wilayah
yang berada sangat dekat dengan perusahaan namun sangat
jarang mendapatkan dana CSR, namun yang lebih jauh justru
mendapatkan.
c. Dengan adanya pembagian wilayah mereka sering beranggapan
bahwa yang menerima bantuan CSR dari perusahaan
yang satu lebih sejahtera daripada mereka yang menerima
bantuan dana dari perusahaan lainnya.
d. Adanya rumor bahwa ada pihak yang menyalahgunakan
dana bantuan CSR dari perusahaan untuk kepentingan
mereka secara pribadi.
Untuk kepentingan penelitian ini dengan menyesuaikan pada
pokok kajian, maka fokus penelitian adalah PT Holcim Pabrik
Cilacap dengan program–program CSRnya yang akan dibahas
secara lebih dalam melalui uraian berikut.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
11
2. PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap Dalam Pengembangan
Masyarakat
PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap merupakan salah satu
perusahaan yang mempunyai komitmen yang kuat dalam penyelenggaraan
program program CSR. Penjelasan mengenai komitmen
perusahaan dalam menyelenggarakan CSR dapat dilihat dari Visi
dan Misi perusahaan yang bukan hanya fokus pada peningkatan
keuntungan saja melainkan juga fokus pada persoalan lingkungan
maupun dalam penyelenggaraan CSR. Secara garis besar dapat
dijelaskan bahwa ada dua level visi dan misi yang dirumuskan
oleh PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap, yang pertama adalah
visi dan misi perusahaan, dan yang kedua visi dan misi CSR.
Visi PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap adalah Membangun
solusi berkelanjutan untuk masa depan bangsa. Visi tersebut
direalisasikan melalui 3 misi yaitu: (1) menyediakan solusi pembangunan
berkelanjutan bagi masing masing segmen pelanggan;
(2) peduli akan keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan; dan
(3) mengembangkan kemampuan karyawan, melakukan inovasi
untuk menjadi yang terbaik dan membentuk jaringan yang terpadu.
Selanjutnya dasar pemikiran yang melandasi beroperasinya PT
Holcim Indonesia dikaitkan dengan prinsip Triple Bottom Line
yaitu (1) penciptaan nilai untuk semua pemangku kepentingan
(stakeholder); (2) kinerja lingkungan yang berkelanjutan; dan (3)
tanggung jawab sosial perusahaan.
Besarnya komitmen PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap juga
dapat dilihat dari dirumuskannya visi dan misi tanggung jawab
sosial perusahaan sebagaimana yang tertuang dalam dokumen
Rencana Strategis Implementasi Program CSR. Adapun visi CSR
PT Holcim Cilacap, yaitu mewujudkan masyarakat yang sejahtera
dan mandiri. Visi ini merupakan turunan dari visi besar PT
Holcim Cilacap sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Pada tingkat praksis, program-program CSR dilaksanakan oleh
satu departemen General Administration and Community Relation.
12
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Departemen ini secara langsung membawahi Community Relation
Coordinator yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan
koordinasi secara langsung dengan Community Relation Officer.
Dalam rangka merealisasikan visi dan misi CSR, PT Holcim
Indonesia Pabrik Cilacap merumuskan serangkaian kebijakan yang
dijadikan sebagai pedoman implementasi program-program CSR.
Tujuan dirumuskannya kebijakan CSR ini di antaranya: untuk
mengetahui tanggung jawab sosial perusahaan dan bertujuan
untuk terjun dalam lingkungan sebagai bagian dari komitmen
PTHI untuk kemajuan yang berkelanjutan dan untuk menjamin
program-program atau aktifitas-aktifitas CSR disetujui oleh pihak
yang berwenang seperti yang dijabarkan dalam kebijakan ini
sebelum diproses atau dilaksanakan.
Secara garis besar PT Holcim Indonesia memperhatikan
enam pilar Kebijakan CSR dalam setiap melakukan aktifitas CSR
serta melibatkan pihak ketiga yang telah ditunjuk oleh PTHI untuk
aktifitas CSR jika diperlukan. Enam pilar tersebut adalah:
a. Pelaksanaan kewajiban, yaitu berkomitmen terhadap standar
pelaksanaan yang tinggi dan berpartisipasi dalam perjanjian
global PBB serta mendukung Deklarasi Universal HAM.
b. Pelaksanaan kerja dengan menghargai hak-hak pekerja,
menjamin gaji yang layak, sesuai dengan upah pekerja industri
setempat, dan berusaha untuk menyediakan kondisi
pekerjaan terbaik serta perkembangan para pekerjanya.
Melaksanakan restrukturisasi dan reorganisasi yang dapat
dipertanggung jawabkan sesuai batasan legal setempat.
Menghormati perbedaan serta mengembangkan kesempatan
yang setara dalam pengangkatan pekerja baru, aktifitas
pekerjaan, perkembangan pekerja, serta retensi. Menolak
mempekerjakan anak yang berada dalam usia wajib belajar.
c. Kesehatan dan Kesalamatan Kerja dengan menyediakan
tempat kerja yang aman dan sehat dengan berusaha mengurangi
dan menghilangkan resiko kecelakaan pada karyawan,
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
13
kontraktor dan pengunjung, serta menerapkan standar dan
pedoman K3, menyediakan pelatihan terkait yang diperlukan
dan mengukur pelaksanaannya.
d. Keterlibatan masyarakat yang mencakup menganalisa kebutuhan
lokal, mengembangkan keterlibatan masyarakat
dan bermitra dengan stakeholder di sekitar daerah operasi
untuk meningkatkan perkembangan pendidikan, budaya dan
sosial. Mendorong dan mendukung keterlibatan karyawan
dalam aktifitas masyarakat setempat ataupun untuk menjadi
relawan.
e. Hubungan pelanggan dan penyalur, yaitu dengan menawarkan
produk dan pelayanan yang kompetitif dan inovatif
yang sesuai dengan kebutuhan klien, dan diharapkan
para penyalur juga melakukan demikian juga. Mencoba
untuk terkait dalam hubungan yang berkelanjutan dengan
pelanggan dan penyalur yang sesuai dengan prinsip-prinsip
United Nations Global Compact dan Deklarasi Universal HAM.
f. Pemantauan dan pelaporan dengan mengidentifikasi dan
memantau persoalan penting pada performa sosial. Mengevaluasi
program dan aktifitas serta melaporkan performa
dan kemajuannya secara terbuka. Bertujuan untuk memiliki
laporan sosial yang secara independen ternilai. Mengharapkan
umpan balik dari para stakeholder dan mempertimbangkan
saran-saran mereka untuk langkah selanjutnya.
Untuk membahas implementasi CSR yang dilaksanakan oleh
PT Holcim secara komprehensif maka pembahasan CSR kemudian
agak meluas cakupannya dan tidak sebatas yang ada di Kalurahan
Lomanis. Untuk implementasi CSR dapat dijelaskan, bahwa
program-program CSR yang dilaksanakan oleh PT Holcim Cilacap
bukan hanya sekedar menyelesaikan masalah yang ada dalam
masyarakat melalui kegiatan-kegiatan yang lazim dilakukan oleh
kebanyakan perusahaan. Program dan kegiatan yang dilaksanakan
14
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
selama ini merupakan perpaduan dan pengembangan ide,
gagasan, pengetahuan, ketrampilan dari proses interaksi antara
staf perusahaan yang mengelola CSR dengan masyarakat, yang
menghasilkan inovasi dalam pemberdayaan masyarakat. Aspek
Inovasi dari program-program yang dilaksanakan mencakup
inovasi dalam aspek kelembagaan, Inovasi proses maupun inovasi
produk. Program-program inovatif yang sudah dilaksanakan
oleh PT Holcim dimaksudkan untuk menjawab berbagai macam
persoalan riil yang ada di masyarakat, baik masalah lingkungan,
sosial maupun masalah ekonomi. Aspek inovatif dari program
dan kegiatan yang dilaksanakan terletak pada cara memecahkan
masalah yang ada di masyarakat dengan menciptakan kegiatankegiatan
yang mampu memecahkan masalah tersebut sekaligus
memberikan keuntungan ekonomi bagi warga masyarakat.
Kegiatan yang telah berhasil dilaksanakan meliputi:
a. Bank Sampah Mandiri, kegiatan yang dilakukan: tabungan
sampah, kerajinan daur ulang sampah, warung sampah,
PPOB, rumah pintar/Taman Bacaan. Program ini unik dan
inovatif baik dari sisi inovasi kelembagaan maupun inovasi
produk yang dihasilkan. Dari sisi kelembagaan meskipun
inovasi ini tidak tergolong baru tetapi program mampu
menggerakkan dan mampu merubah perilaku masyarakat
khsususnya perilaku hidup bersih dan sehat. Di samping itu
program ini juga mampu mendorong kegiatan lain seperti
rumah laundry, pembayaran rekening listrik dan pulsa dari
tabungan sampah dan rumah pintar. Dari sisi inovasi produk,
program ini mampu menciptakan produk-produk dari
sampah yang tidak mempunyai nilai ekonomi dan bahkan
berpotensi merusak lingkungan menjadi produk barang yang
mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, seperti tas, bunga
dan produk lainnya.
b. Kelompok Usaha Pondok Jamur Posdaya Omah Jamur
Mertasinga. Program Kelompok Usaha Pondok Jamur
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
15
Pos daya ini memiliki inovasi kelembagaan yang berupa
pengembangan mata rantai produksi jamur sebagai bahan baku
untuk menciptakan produk-produk olahan jamur yang lebih
bervariasi. Pada tahap sebelumnya kelompok usaha ini hanya
mengembangkan budi daya tanaman jamur, namun sejalan
dengan dinamika kelompok maka usaha ini dikembangkan
menjadi Rumah Makan “Omah Jamur Mertasinga”. Inovasi ini
bukan hanya mampu meningkatkan pendapatan kelompok
usaha melainkan juga mampu meningkatkan pendapatan
warga masyarakat yang ada dalam wilayah RW karena bahan
baku jamur, sayuran dan bahan-bahan lain disetor dari warga
masyarakat.
c. Program Mengangkat Potensi Lokal (Brekecek) Menjadi Ikon
Cilacap. Brekecek merupakan salah satu masakan tradisional
yang terbuat dari ikan ataupun Basur (angsa jantan) yang
hampir dilupakan oleh banyak orang di Cilacap. Program ini
dilatarbelakangi oleh situasi bahwa belum ada makanan Khas
Cilacap, sementara itu ikan dan Basur merupakan potensi alam
Kabupaten Cilacap. Brekecek adalah makanan asli Cilacap yang
sudah hampir punah dan masyarakat lebih memilih nama baru
untuk makanan ini yaitu rica-rica. Dengan mengangkat kembali
Brekecek sebagai Ikon Cilacap diharapkan dapat menambah
Kekayaan Wisata Kuliner di Kabupaten Cilacap. Bekerja sama
dengan Dinas Pariwisata PT Holcim Indonesia berinisiasi
untuk memunculkan kembali Potensi Lokal ini dengan langkah
pertama menyelenggarakan Lomba memasak Brekecek Iwak
dan Basur, dengan harapan bisa membangkitkan kebanggan
masyarakat Cilacap dan juga sebagai Ikon kabupaten Cilacap
yang mampu meningkatkan perekonomian.
d. Program Pengembangan Sumberdaya manusia yang terdiri
dari beberapa kegiatan. Pertama, Pelatihan Welding Profesional
yang bekerjasama dengan BLKI yang meliputi program
Three in One yaitu Pelatihan, Sertifikasi dan Penempatan. Ini
16
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
merupakan upaya menyalurkan anak didik ke perusahaanperusahaan
yang sedang membutuhkan tenaga kerja,
setelah anak didik mendapatkan pelatihan dan bersertifikat.
Kedua, Program Pendampingan Alih Profesi Jaring Apong,
merupakan program yang ditujukan kepada masyarakat
nelayan jaring Apong untuk bisa alih profesi secara individu.
Sebanyak dua belas nelayan sudah mampu beralih profesi dari
jaring apong ke profesi lain diantaranya adalah: transportasi
barang, penyeberangan Sungai Donan, bertani, budidaya
kambing, nelayan jaring cikrak dan lain-lain. Masyarakat
dapat mendapatkan ketrampilan professional di bidang
pengelasan dan dapat diinformasikan warga masyarakat yang
sudah menyelesaikan pelatihan sebagian besar sudah terserap
pasar kerja di Cilacap dan di luar daerah seperti di Tangerang
dan bahkan ada yang bekerja di luar negeri (Jerman).
Dari program – program PT Holcim Pabrik Cilacap yang
telah dilaksanakan baik di Kalurahan Lomanis maupun di
lokasi binaan yang lain, dapat disimpulkan bahwa penguatan
kapasitas kelembagaan berbasis komunitas dilakukan dengan
memperhatikan faktor modal sosial yang ada di masyarakat. Modal
sosial (social capital) yang secara sederhana bisa didefinisikan
sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang
dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang
memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika para
anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggota
yang lain akan berperilaku jujur dan dapat dipercaya, maka
mereka akan saling mempercayai satu sama lain sehingga akan
melahirkan tindakan bersama. Modal sosial adalah kapabilitas
yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat
atau di bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan
dalam kelompok sosial dari yang paling kecil dan paling mendasar
sampai dengan kelompok besar bahkan dalam lingkup Negara.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
17
Program yang telah dikelola oleh PT Holcim Pabrik Cilacap
ternyata telah berhasil mengembangkan modal sosial dalam
komunitas atau kelompok binaanya, yang wujudnya bahwa di
dalam kelompok senantiasa diupayakan adanya kepemimpinan dari
komunitas yang bersangkutan, pengadaan sumber dana dan sumber
daya dari komunitas, pengetahuan dan teknologi dari komunitas
dan berkembang di dalam komunitas serta pengambilan keputusan
di dalam komunitas. Secara umum modal sosial yang didefinisikan
sebagai informasi, kepercayaan dan norma-norma timbal balik
dalam suatu sistem jaringan sosial telah terlihat dan sangat
berkontribusi bagi penguatan kelembagaan yang ada. Tentang model
pengembangan masyarakat yang diharapkan dapat berekelanjutan
PT Holcim mengacu pada visi misi yang ada. Untuk CSR ada empat
pilar: ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lingkungan, itu pun
masih ditambah bagaimana cara pengorganisasiannya, yang dapat
diartikan sebagai penguatan kapasitas kelembagaannya.
Walaupun demikian, ada satu persoalan yang harus segera
dipecahkan yaitu bagaimana mengubah mindset masyarakat
Cilacap yang pada awalnya sebagai nelayan kemudian hadir
banyak industri di sekitarnya, sementara di sektor nelayan sendiri
hasil tangkapan ikan semakin berkurang akibat terjadinya pendangkalan
di kawasan pantai dan keterbatasan alat tangkap.
Kondisi ini sangat disadari oleh PT Holcim yang berkeinginan
supaya pengembangan masyarakat dapat berkelanjutan. Untuk
itu PT Holcim berprinsip harus ditemukan kompetensi inti masyarakat
Cilacap yang berdasarkan kompetensi wilayah yang ada
yang kemudian bisa dikembangkan. Cara yang ditempuh adalah
dengan mengkombinasikan potensi lokal dengan sumber daya
manusianya, misalnya dengan kewirusahaan lokal yang memadukannya
dengan pariwisata karena Cilacap berpotensi
untuk wisata. Seperti yang sudah dilakukan di Laguna Pantai
Segara Anakan, di sana dilakukan penanaman mangrove untuk
alih profesi dari nelayan yang menggunakan jaring apong yang
18
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
tidak ramah lingkungan dan mengganggu jalur transportasi
air, kemudian dialihkan menjadi tempat pemancingan, jaring
sirat, budidaya sapi, dan parawisata sehingga tidak ada yang
memasang jaring lagi. Kemudian dibuat pula wisata mangrove
dan wisata pemancingan, industri batik serta pengembangan
parawisata. Dalam konteks inilah maka sangat dibutuhkan adanya
penguatan kelembagaan. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam
rangka penguatan kapasitas suatu lembaga. Pertama, dalam setiap
proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan
anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, terutama
kepentingan masyarakat golongan bawah, maka mekanisme
pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan
demo kratis. Kedua, kegiatan pengembangan masyarakat harus
dilaku kan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa
kebersamaan melalui proses belajar dan bekerjasama. Ketiga, keterbuka
an terhadap pelaksanaan program dengan tujuan seluruh
warga masyarakat dapat mengetahui keseluruhan tentang program
pengembangan masyarakat sampai dengan pelaksanaan
kegiatannya, sehingga masyarakat dapat berperan aktif dalam
mengontrol kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat
Salah satu unsur penting dalam modal sosial (social capital)
adalah norma informal yang dapat mendorong kerjasama
antar anggota masyarakat. Dengan demikian aspek kerjasama
(cooperation) menjadi unsur penting dalam berusaha. Untuk bekerjasama
diperlukan kepercayaan diantara anggota kelompok yang
bekerjasama. Oleh karena itu kepercayaan (trust) menjadi syarat
yang mutlak. Selamanya orang tidak akan bisa kerjasama bila
tidak didasari sifat saling percaya. Bahwa rasa saling percaya yang
saat ini mulai luntur adalah suatu tantangan tersendiri bagi upaya
pemberdayaan, namun tetap dipercaya bahwa modal sosial itu
masih ada dan masih memungkinkan untuk dihimpun kembali
dan kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui CSR dapat menghimpun
kembali modal sosial yang terserak selama ini.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
19
CSR yang dapat dijalankan secara efektif akan dapat memperkuat
akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Modal sosial yang diyakini mempunyai
pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dihimpun
melalui kegiatan–kegiatan dalam program CSR. Elemen–elemen
modal sosial seperti: kepercayaan, kohesifitas, gotong royong,
jaringan, kolaborasi sosial, semuanya menjadi penting pada
saat kegiatan ekonomi dijalankan dengan berbasis masyarakat.
Terbangunnya suatu modal sosial hanya bisa dicapai bila orangorang
yang terlibat di dalamnya tergabung dalam suatu struktur
sosial yang wujudnya organisasi ataupun paguyuban. Dengan
adanya paguyuban ini akan memfasilitasi (memudahkan) para
anggotanya untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan bersama.
Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan masyarakat
kemudian dapat diwujudkan melalui pelaksanaan program –
program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspekaspek
kehidupan masyarakat. Hal ini sejalan dengan strategi
pemberdayaan bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan
langsung pada peningkatan kemampuan rakyat, dengan kata lain
memberdayakannya (Sasmita 1996:14).
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu
sebagai anggota masyarakat tetapi juga yang menyangkut
pranata–pranatanya. Menanamkan nilai- nilai seperti kerja keras,
hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban adalah bagian pokok
dari upaya pemberdayaan. Modal sosial yang ditanamkan dapat
meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama
dan ini berdampak pada menguatnya keserasian hubungan dalam
masyarakat. Apabila ini bisa dicapai maka dampaknya adalah
pada menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan di dalam
masyarakat. Sebaliknya di dalam masyarakat akan tercipta adanya
tanggung jawab bersama dalam suatu usaha yang bersifat kolektif,
ada rasa saling mempercayai secara timbal balik serta adanya
interaksi sosial untuk memacu usaha bersama.
20
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Program-program pengembangan masyarakat yang dilakukan
oleh PT Holcim Cilacap ternyata telah mampu meningkatkan
kepercayaan diri masyarakat sebagai penerima program
dan mitra lainnya. Kebersamaan yang terjalin antara pengurus/
pengelola lembaga atau kelompok binaan telah mampu menumbuhkan
kepercayaan diri masyarakat. Dengan semangat, etos kerja
yang tinggi di kalangan pengelola/pengurus juga telah mampu
mengantarkan beberapa lembaga meraih prestasi di tingkat
kabupaten maupun di tingkat nasional. Sebagai contoh Posdaya
Mawar V yang ada di Desa Mertasinga meraih juara pertama
sebagai Posdaya terbaik tingkat nasional. Disamping itu kelompok
sasaran sudah merasakan hasil yang berupa peningkatan pendapatan,
tertatanya kondisi lingkungan yang semakin baik dan
asri, meningkatnya ketrampilan masyarakat, meningkatnya
aksesibilitas anak-anak usia sekolah dalam mengenyam pendidikan
yang lebih tinggi, terfasilitasinya kelompok marginal
(penyandang tuna netra), terserapnya tenaga kerja yang produktif
dan professional ke pasar kerja baik di Cilacap maupun di daerah
lain. Untuk menyiapank keberlanjutan program tanpa selalu
bergantung pada perusahaan, PT Holcim sudah menyusun skema
untuk menciptakan keberlanjutan kelompok binaan. Salah satu
mekanisme yang dikembangkan adalah menciptakan kategori
posdaya berdasarkan tingkat kemandiriannya yang dibedakan
pada empat tingkatan, yaitu: posdaya pemula, posdaya semi
mandiri, posdaya mandiri dan posdaya mandiri inti.
Penutup
Pendekatan pengembangan masyarakat yang dilakukan
oleh PT Holcim Pabrik Cilacap yang lebih mengedepankan
pentingnya untuk menggalang aktivitas bersama masyarakat
dengan memperhatikan adanya solidaritas, kesadaran kolektif,
saling percaya sebagai motor penggerak aktivitas bersama, telah
menunjukkan bahwa betapa pentingnya peran modal sosial dalam
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
21
pengembangan masyarakat. Kondisi tersebut juga menunjukkan
betapa pentingnya prakarsa masyarakat dalam upaya pembangunan
sehingga penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat menjadi
suatu yang sangat penting. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pengelolaan program CSR yang mendasarkan pada
penguatan kapasitas kelembagaan, maka lembaga yang ada di
dalamnya dapat memunculkan kemandirian masyarakat sehingga
dalam jangka panjang pengembangan masyarakat dapat
ber kelanjutan dan memutus rantai ketergantungan dengan
perusahaan. Periode selanjutnya menjadi penting untuk memonitor
hasil yang menunjukkan adanya kemandirian tersebut.
Oleh karena itu dirasa perlu pada saatnya nanti melakukan telaah
lebih dalam untuk melihat apakah sudah terjadi perubahan secara
substansial di dalam masyarakat sebagai hasil dari pendekatan
yang telah dilakukan.
Walaupun demikian, bukanlah hal yang mudah untuk membuat
masyarakat mampu mengambil keputusan, melaksanakan
serta mengelola proses pembangunan. Namun apabila pengembangan
masyarakat hendak diarahkan pada terwujudnya kemandirian
masyarakat maka itulah yang harus dilakukan. Agar
tujuan tersebut dapat terwujud maka harus diikuti dengan
pengembangan kapasitas baik secara individu maupun kelompok,
dan dalam konteks inilah dibutuhkan adanya pendampingan yang
kemudian secara bersama–sama dengan masyarakat melakukan
belajar sosial dalam jangka yang panjang.
Daftar Pustaka
Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang.
Jakarta: LP3ES.
Colleman, J. C. 1994. Foundation of Social Theory. Cambridge and
London: Harvard University Press.
Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat:
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES.
22
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Hayami dan Kikuchi. 1997. Dilema Ekonomi Desa (Edisi
terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor.
Moleong, J. Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Prastowo, Joko dan Miftachul Huda. 2011. Corporate Social
Responsibility (Kunci Meraih Kemuliaaan Bisnis). Yogyakarta:
Samudra Biru.
Rahmatullah dan Trianita Kurniati. 2011. Panduan Praktis
Pengelolaan CSR. Yogyakarta: Samudra Biru.
Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soetomo. 2012. Keswadayaan Masyarakat, Manifestasi Kapasitas
Masyarakat untuk Berkembang secara Mandiri. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan
Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial
dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Sumpeno. 2002. Capacity Building: Persiapan dan Perencanaan.
Jakarta: Catholic Relief Services.
Tony, Fredinan N. dan Dharmawan Arya Hadi. 2006. Sosiologi
untuk Pengembangan Masyarakat. Bogor, IPB,.
_______. Konsep Dasar CSR (http://rahmatullah.net/2012/01/
konsep-dasar-csr.html).
_______. Tanggung jawab sosial perusahaan (http://id.wikipedia.
org/wiki/tanggung_jawab_sosial_perusahaan)
_______. ImplementasiCSR untuk Pemberdayaan Masyarakat
Miskin (http://lateralbandung.wordpress.com/2007/08/22/
implementasi-csr-untuk-pemberdayaan-masyarakat-miskin)
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
23
24
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Tingginya Angka Kekerasan Antar Pelajar
di Yogyakarta dan Alternatif Solusinya
Ahmad Nur Ardiansyah 1 dan S. Djuni Prihatin 2
Pendahuluan
Yogyakarta memiliki sebutan sebagai kota pelajar dan kota
budaya, dua identitas ini melekat dibenak setiap orang ketika
mengingat tentang kota ini. Khususnya pada sektor pendidikan,
Yogyakarta merupakan kota yang menjadi kiblat bagi para pencari
ilmu dari sabang hingga merauke untuk menggali ilmu sedalam
dalamnya. Pendidikan yang maju menjadi medan magnet dari
semua kalangan untuk menimba ilmu pada lembaga pendidikan
yang tersedia.
Beberapa tahun belakangan ini masyarakat Yogyakarta
disibukan dan diresahkan dengan aksi klithih. Klithih identik
dengan segerombolan para remaja yang ingin melukai atau melumpuhkan
lawannya dengan kekerasan. Ironisnya klitih juga
sering kali melukai lawannya dengan benda-benda tajam. Berdasar
pengamatan yang dilakukan oleh JPW (Jogja Police Watch) sudah
ada delapan korban dari aksi klitih. Polda DIY pada akhir tahun
2016 mencatat 43 laporan tindak kejahatan yang didominasi oleh
kalangan pelajar. Aksi yang dilakukan selain tawuran adalah aksi
klithih yang terjadi di seluruh wilayah Polres di DIY. Polres Sleman
dan Bantul paling banyak dengan masing-masing 21 kasus dan
1 Staf pengembangan jurusan S1, Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
(PSdK), Universitas Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta
55281, Indonesia. Email: ardians.op@gmail.com
2 Dosen di Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas
Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:
Djuni_pr@yahoo.com
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
25
15 kasus, di wilayah Polres Gunungkidul terdapat empat kasus,
sementara di Polresta Yogyakarta terdapat dua kasus dan wilayah
Kulonprogo ada satu kasus, yakni yang terjadi pada awal bulan
Desember di wilayah Kecamatan Kalibawang (Kurniawan 2016).
Berdasarkan JPW, kebanyakan korban masih duduk dibangku
sekolah dengan latar belakang yang sangat bermacam-macam
seperti dendam, bertatapan mata, senggolan, perempuan, dan lain
sebagainya.
Menurut Kartono (1986), mayoritas juvenile deliquency berusia
dibawah 21 tahun. Angka tertinggi tindak kejahatan ada pada usia
15 – 19 tahun. Hal ini senada dengan hasil riset Nicholas (2017)
yang menyatakan bahwa sasaran perekrutan anggota klitih yakni
usia remaja berkisar dari umur 15 – 19 tahun dimana mereka rerata
duduk dibangku SMP dan SMA. Pemilihan anggota usia remaja
memang menjadi target pemimpin kelompok karena masih sangat
mudah untuk ditanamkan ideologi yang sifatnya anarkis. Ketika
sudah masuk dalam group atau kelompok tersebut, penanaman
ideo logi kekerasan terus menerus dilakukan. Ketua kelompok
selalu mengajarkan agar anggotanya menyabet pelajar yang tak
dikenal atau mungkin menyabet lawannya yang memiliki dendam.
Pemimpin yang memberikan arahan untuk mencari dan mengorganisasi
setiap aktifitas yang dilakukan oleh kelompok gangster
klitih. Anggota kelompok yang tidak mau melakukan perintah dari
pemimpin akan diberi hukuman secara fisik oleh senior di dalam
kelompok maupun dari pemimpin. Ancaman senior juga menekan
anggota untuk berani maupun terpaksa melakukan tindakan
tersebut.
Mencermati fenomena kenakalan remaja dengan kekerasan di
Yogyakarta penting untuk dilakukan. Tradisi tawuran antar pelajar
di Yogyakarta memang sudah lama terjadi, namun perkembangan
aksi klithih demikian mendorong pentingnya pertanyaan pendidikan
karakter yang seperti apa sebaiknya dibangun dan
diberikan kepada pelajar serta bagaimana lingkungan berperan
26
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
dalam menumbuhkan karakter yang baik, agar tidak terjadi krisis
identitas dan tidak melakukan tindakan kekerasan.
Tinjauan Pustaka
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (dalam
Dalmeri 2014) berkaitan dengan konsep moral (moral knowing),
sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behaviour).
Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa
karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan,
keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan.
Thomas Lickona menyebutkan tujuh unsur-unsur karakter
esensial dan utama yang harus ditanamkan kepada peserta didik
yang meliputi ketulusan hati atau kejujuran (honesty), belas kasih
(compassion), kegagahberanian (courage), kasih Sayang (kindness),
kontrol diri (self-control), kerjasama (cooperation) dan kerja keras
(deligence or hard work). Ketujuh unsur ini menjadi landasan bagaimana
pendidikan karakter mampu menjadi kekuatan bagi generasi
untuk membangun dirinya sendiri. Dengan ketujuh unsur tersebut,
terciptanya hubungan sinergitas antar keluarga (home), sekolah
(school), masyarakat (community), dan aparatur keamanan dalam
membentuk karakter pelajar untuk menjadi lebih baik.
Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah perspektif
patologi sosial (Poloma 1987 dalam Soetomo 2008:75). Pada perspektif
ini, masalah sosial timbul karena individu gagal dalam
bersikap. Ia berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial
dan nilai-nilai kepercayaan yang ada di masyarakat. Dalam
perspektif patologi sosial, nilai-nilai sosial yang menjadi pedoman
dalam kehidupan bermasyarakat lebih ditekankan pada nilai
moral dan humanitarian. Pandangan Patologi Sosial baru ingin
men diagnosis masalah dengan cara melihat cacat yang ada
dalam masyarakat dan institusi sosialnya. Dengan perkataan lain
diagnosis didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat yang
immoral akan menghasilkan individu yang immoral dan keadaan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
27
inilah yang menyebabkan terjadinya masalah sosial. Individu yang
perilakunya patologis merupakan akibat dari korban sistem yang
patologis.
Anak-anak dalam gang yang delinkuen pada umumnya
mempunyai kebiasaan memakai uniform atau pakaian yang
khas, aneh dan mencolok, dengan gaya rambut khusus, punya
lagak tingkah-laku dan kebiasaan khas, suka mendengarkan
jenis lagu tertentu, senang mengunjungi tempat-tempat hiburan
dan kesenangan. Pada umumnya mereka senang sekali mencari
gara-gara, membuat jengkel hati orang lain dan mengganggu
orang dewasa serta objek lain yang dijadikan sasaran buruannya
(Kartono 1986).
Metode Penelitian
Studi ini menggunakan kajian pustaka dengan melihat
bermacam kasus yang telah dipotret dari berbagai sumber pustaka
berbasis hasil riset, jurnal, kajian ilmiah, buku, data statistik dan
lain sebagainya. Zed (2004) menyebutkan ada empat ciri utama
studi pustaka. Pertama, peneliti berhadapan langsung dengan teks
(nash) atau data angka dan bukan dengan pengetahuan langsung
dari lapangan atau saksi-mata (eyewitness) berupa kejadian,
orang atau benda-benda lainnya. Kedua, data pustaka bersifat
“siap pakai” (ready-made). Artinya peneliti tidak pergi ke manamana,
kecuali hanya berhadapan langsung dengan bahan sumber
yang sudah tersedia di perpustakaan. Ketiga, ialah bahwa data
pustaka umumnya adalah sumber sekunder yang artinya peneliti
memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari
tangan pertama dilapangan. Keempat, bahwa kondisi data pustaka
tidak dibatas oleh ruang dan waktu. Peneliti berhadapan dengan
informasi statistik yang memiliki sifat tetap.
28
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Praktik Klithih di Yogyakarta
Klithih yang dilakukan oleh pelajar di Yogyakarta terkait
erat dengan beberapa tradisi sebagaimana tampak dalam tradisi
mubeng, tradisi keseragaman (uniform) dan tradisi melukai. Ketiga
tradisi ini menjadi satu kesatuan dalam pola pikir para pelajar
yang sering kali terlibat dalam aksi kekerasan. Ideologi kekerasan
didapatkan secara turun temurun dari kakak angkatannya maupun
alumni. Penanam ideologi kebencian yaitu dengan diajak
nongkrong hampir setiap harinya di daerah yang menjadi titik
kumpul kelompok klithih.
Ada juga aturan main yang diberlakukan agar anggota taat
pada pimpinannya. Anggota wajib ikut kumpul setiap hari dan
setiap malam. Jika sudah masuk waktu dinihari para anggota
geng klithih tersebut baru melakukan aktifitasnya untuk melukai
korbannya. Jika tidak ada permusuhan atau konflik dengan
sekolah lain, maka aksi itu dilakukan dengan melukai orang
lain siapapun yang lewat dengan prinsip menemukan korban.
Konsekuensinya jika hanya ikut kumpul seminggu sekali, akan
disampar dan dihajar sama leader walaupun dengan alasan apapun
harus tetap ikut kumpul. Jika ada anggota yang menolak untuk
melakukan klithih maka akan dihajar oleh pimpinannya sehingga
keinginan untuk menolak sangat kecil. Sebelum melakukan aksi
pasti diajak minum alkohol terlebih dahulu, ada yg menenggak pil,
atau narkoba hisap yang dikemas dalam bentuk rokok agar jiwa
keberaniannya muncul (Chrisna 2017).
Geng klithih memiliki tradisi tempuk (tawaran untuk tawuran)
juga sering iseng disampaikan melalui pesan singkat SMS atau
melalui media sosial. Jika pihak lawan tidak menanggapi ajakan
untuk tempuk, maka ada bayaran yang mesti diberikan kepada
geng penantang. Bayaran yang biasa diminta adalah membelikan
minuman keras sejumlah tertentu. Dalam suatu peristiwa, geng
yang ditantang tidak berani tempuk, maka mereka menyanggupi
membelikan satu krat minuman keras kepada penantang. Akan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
29
tetapi, pada satu kasus, yang dikirim ternyata bohong. Dalam satu
krat hanya satu botol yang berisi minuman sesuai yang disepakati.
Botol yang lain adalah botol kosong. Hal semacam ini dianggap
pelecehan oleh geng penantang. Maka pada peristiwa botol kosong
itu diisi dengan bensin dan dijadikan bom molotov. Sekolah yang
ditantang itupun dilempar dengan bom molotof dan terbakar
dibagian depannya. Kasus ini menjadi kasus yang cukup besar
beberapa tahun yang lalu (Budi 2017).
Ideologi yang ditanamkan pemimpin geng lama-kelamaan
akan menjadi kebiasaan bagi para anggotanya. Memang awalnya
untuk melakukan tindakan kekerasaan itu ada sisi ketakutan,
namun ketakukan itu direduksi dengan minuman beralkohol dan
obat-obatan terlarang sehingga sifat agresifnya muncul. Selain itu,
anggota klithih yang sudah melakukan aksinya diberi penghargaan
atau apresiasi dari pemimpinnya sehingga dianggap sebagai
prestasi yang paling berharga.
Menurut Soetomo (2008), sumber masalah sosial jika dilihat
dari kacamata patologi sosial, perilaku individu sebagai masalah
sosial terjadi ketika individu tersebut gagal dalam proses sosialisasi
atau individu karena adanya beberapa cacat yang dimilikinya,
dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai
sosial dan nilai-nilai kepercayaan yang ada di dalam masyarakat.
Individu yang bermasalah tentu membuat ketidakstabilan lingkungan
di masyarakat. Jika di lihat dari individu bermasalah, maka
ada beberapa faktor internal secara psikologis yang mempengaruhi
individu (remaja) masuk dalam aksi klithih yaitu:
1. Remaja pelaku klithih mengalami krisis identitas, pada proses
ini remaja tidak mampu mengiternalisasi nilai-nilai positif
ke dalam dirinya dan tidak mampu menemukan figur ideal
sebagai contoh perilaku kebaikan sehingga remaja di fase ini
mengalami disrupsi nilai-nilai positif cenderung jadi orang
yang tak mau diatur.
30
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
2. Remaja pelaku klithih memiliki kontrol diri yang lemah, tidak
mampu beradaptasi dengan lingkungannya karena manajemen
emosi yang kurang baik dan cenderung menyelesaikan persoalan
dengan cara-cara yang tidak bijaksana. Manajemen
konflik yang dilakukan tidak mampu menyelesaikan konflik
malah menjadikan konflik semakin besar.
3. Remaja pelaku klithih tidak siap di segala medan (tidak adaptif)
dengan lingkungan yang kompleks. Kesiapan remaja untuk
bisa beradaptasi di lingkungan belum cukup kuat sehingga
ketika remaja salah tempat untuk beradaptasi pada akhirnya
masuk dalam lingkaran kenakalan remaja.
Dari ketiga faktor tersebut, remaja yang masuk dalam lingkaran
kenakalan remaja atau klithih, belum sepenuhnya mampu
menyaring, menerima dan mengaplikasikan simbol-simbol yang
ada dimasyarakat guna menciptakan harmonisasi kehidupan.
Selain itu, masalah sosial muncul dari level sistem (organisasinya),
individu yang perilakunya patologis merupakan akibat
atau korban dari sistem yang patologis. Kenakalan remaja
khusus nya klithih bukan hanya perkara tiap individunya, akan
tetapi ada dorongan dari organisasi/geng/komunitasnya untuk
melakukan hal tersebut. Dengan semakin seringnya melakukan
tindak kejahatan maka akan semakin menaikkan pamor gengnya.
Perilaku yang dilakukan dengan cara melukai orang lain itu sudah
menjadi tradisi.
Selain melukai, geng ini juga melakukan vandalisme di
be berapa tembok atau bangunan yang ada beberapa sudut
kota. Vandalisme tersebut hanya untuk menunjukkan sebagai
simbol bahwa geng sudah sampai wilayah tersebut juga untuk
memberikan tantangan pada geng lain untuk mengadakan tradisi
tempuk (tawuran). Tradisi mubeng yang dilakukan yang kemudian
melukai orang lain menjadi salah satu aksi untuk menggodok
mental para anggota. Pimpinan geng akan memberikan apresiasi
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
31
bagi anggota yang sudah berani melakukan pembacokan atau
penyabetan kepada korban. Terlihat bahwa sistem yang menjadi
sumber masalah sosial yang terjadi di lingkungannya dan
kenakalan remaja tersebut memang menjadi perilaku secara sosial
dikonstruksikan oleh pemimpin serta kelompok tersebut agar
langgeng.
Peran Multi Stakeholder dalam Penanganan Aksi Klithih
Fenomena klithih yang semakin sering mengundang perlunya
peranan berbagai pihak agar persoalan ini tidak semakin mewabah
ke pelajar yang lain. Klithih terlihat seperti trend yang mengikuti
perkembangan jaman, dimana terjadi pergeseran tindak kekerasan
dari tradisi tawuran menjadi tradisi kriminalitas. Karakter seperti
ini menunjukkan bahwa dalam diri pelajar tersebut sudah tidak
ada lagi rasa cinta kepada sesama, rasa tanggung jawab, rasa kasih
sayang serta kepedulian, cinta damai dan lain sebagainya. Karakter
anarkis tertanam pada pola pikir para pelajar yang tergabung pada
gank klithih tersebut. Para pelajar ini bertindak bukan berdasarkan
kemauan sendiri pada mulanya, akan tetapi karena mereka masuk
dalam komunitas atau group yang menyimpang maka mereka
berperilaku seperti ini.
Pembangunan karakter menjadi sangat penting bagi pelajar di
Yogyakarta, melihat banyaknya kasus pembacokan yang dilakukan.
Banyak pihak yang harus turut mencegah kejadian tersebut agar
citra Yogyakarta sebagai kota pelajar menjadi bersemi kembali.
Selama ini penanganan terhadap beberapa kasus yang terjadi yaitu
dengan proses hukum. Walaupun sudah banyak yang tertangkap
ternyata belum banyak dari pelajar yang masuk dalam anggota
klithih tersebut sadar ataupun insaf untuk tidak melakukannya
lagi. Oleh karena itu pentingnya ada hubungan antar sakeholder
guna melakukan tindakan pemberantasan dan pengurangan aksi
klithih yang dilakukan pelajar guna menciptakan Yogyakarta yang
damai. Diagram integritas dibawah ini merupakan jaringan antar
32
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
stakeholder yang turut berperan dalam mengatasi persoalan klithih
dengan membangun karakter para pelajar yakni sebagai berikut:
Gambar 1.
Diagram Jaringan Kerjasama Antar Stakeholder
Keluarga
Aparatur
Keamanan
Karakter
Sekolah
Masyarakat
(Sumber: Olah Data Peneliti 2017)
Diagram di atas menunjukkan sinergitas antar pemangku
kepentingan untuk memerangi aksi klithih yang bisa dilakukan
dengan cepat dan akurat. Setiap stakeholder memiliki peran
masing-masing yakni sebagai berikut:
1. Keluarga.
Keluarga memiliki peran penting dalam mendidik
karakter dengan memperkenalkan nilai dan norma yang
terbentuk di masyarakat. Pendidikan keluarga seharusnya
mam pu sebagai pendidikan karakter yang paling pertama dan
utama. Keluarga pulalah yang pada mulanya mengenalkan
rasa tanggungjawab, rasa empati, rasa keadilan, saling menghormati,
kerjasama, dan lain sebainya. Pada kasus klithih yang
terjadi di Yogyakarta, pelajar yang tergabung dalam komunitas
itu kebanyakan dari keluarga yang berada dan mampu secara
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
33
finansial. Terbukti bahwa pelaku klithih banyak menggunkan
motor Kawasaki KLX, dimana motor ini memiliki harga yang
cukup mahal dan bagi orang menengah ke bawah untuk beli
motor tersebut ada kesulitan. Melihat fenomena tersebut,
kemungkinan para pelajar kurang mendapatkan pendidikan
karakter yang semestinya didapatkan dari orang tua yang
mampu memberikan arahan. Keterbatasan waktu untuk saling
berkomunikasi sudah tergerus oleh jam kerja para orang tua
itu sendiri. Ketika fungsi kontrol sosial dan ruang komunikasi
antara orang tua dengan anak sudah kurang, maka seorang
anak (pelajar) akan mencari jatidiri sendiri di luar. Pada
saat itulah remaja juga dari pola pikir dan emosi juga tidak
stabil, komunitas atau pertemanan yang salah menjadi ruang
berekspresi. Akan tetapi terkadang ekspresi dan emosinya
cenderung tidak terarah.
Bagi anak laki-laki, ayah dapat menjadi contoh baik untuk
belajar bagaimana bekata, bersikap, berperilaku, dan berfikir
sebagai seorang laki-laki. Melalui sosok ayah, anak laki-laki
dapat belajar tentang cara bergaul, cara memimpin orang
lain, cara memperlakukan perempuan, cara menyelesaikan
masalah, dan cara mempertahankan pendapat (Zubaedi, 2015).
Menurut Budi (2017), ketahanan keluarga dalam memberikan
pendidikan karakter pada anak dapat dilihat dari beberapa
indicator. Pertama, Indikator Ketahanan Fisik, ketika dalam
sebuah ditandai setidaknya satu dari salah satu orang tuanya
bekerja. Jika aset terpenuhi maka keluarga itu bisa dikatakan
memiliki kemampuan fisik yang baik.
Kedua, Indikator Ketahanan Psikologis, yaitu terbebasnya
anggota keluarga dari pembiaran dan gambaran diri yang
kabur. Remaja yang mengalami pembiaran dan tidak memiliki
gambaran diri yang jelas akan mengembangkan potensi
kenakalannya karena ia didera oleh kondisi itu. Jika anak
dari sebuah keluarga banyak mengalami perasaan cemas,
34
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
takut, marah, kecewa, putus harapan, maka disinyalir peran
keluarga untuk membantu keluar dari permasalah klithih ini
akan sulit. Sebaliknya keluarga keluarga yang sudah membebaskan
diri dari perasaan perasaan tersebut akan lebih
mudah memberikan kontribusi untuk keluar dari masalah
klithih ini.
Ketiga, Indikator Ketahanan Sosial, yaitu merujuk pada
adanya partisipasi yang baik dari setiap individu dalam kehidupan
keluarga maupun di masyarakat. Peran sosial ini
akan membangun identitas sosial setiap individu. Ter cukupinya
kebutuhan ini akan menyuburkan jiwa sosial sese orang
dan akan menjadi solusi jangka panjang yang baik bagi
berbagai eskalasi sosial yang sering timbul ditengah masyarakat
kita. Upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh segenap
penyelenggara keluarga adalah dengan memberikan lingkungan
yang stabil bagi anak anak. Lingkungan yang stabil
akan membuat anak anak tenteram dan tidak perlu membuat
ulah untuk mempertegas eksistensi dirinya, misalnya dengan
klithih.
2. Sekolah
Lembaga pendidikan menjadi tempat kedua untuk membentuk
karakter seseorang agar lebih paham dan lebih peka
terhadap rasa cinta damai, rasa aman, rasa tanggung jawab,
rasa keadilan, dan lain sebagainya. Pada pandangan ini,
sekolah tidak hanya memiliki tanggungjawab dalam mengelola
dan mencerdaskan pelajarnya, akan tetapi mampu mendidik
siswanya memiliki karakter yang baik sesuai dengan nilai
dan norma yang berlaku. Peran guru dalam mengajarkan
pendidikan karakter merupakan hal utama dan penting, sosok
guru merupakan figur kedua setelah orang tua.
Tindakan yang harus dilakukan sekolah untuk mengatasi
persoalan klithih yang sedang mewabah dalam jati diri pelajar
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
35
yaitu dengan melakukan screening terhadap siswanya untuk
mengetahui yang berpotensi baik dan yang kurang baik.
Disamping itu, klithih merupakan dinamika lanjutan dari
perubahan tawuran pelajar ke arah tindakan kekerasan melukai
korban. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan
mencari dan memutus mata rantai tradisi tindak kekerasan
pelajar tersebut. Selama ini terjadi hubungan antara alumni
dari sekolah yang dulu juga mantan remaja yang nakal dengan
pelajar dari sekolah tersebut. Alumni tersebut memberikan
doktrin bahwasannya tindak kekerasaan me rupa kan tradisi
dari geng sekolah tersebut. Oleh karena itu memutus mata
rantai pelaku kekerasaan harus dilakukan agar tercipta
pendidikan yang damai, berperilaku baik, dan mencerdaskan.
Setelah memutus mata rantai, mendorong siswa yang memiliki
potensi atau bakat sebagai petarung untuk masuk
dalam olahraga karate, pencak silat, muangthay, judo, tinju,
dan lain-lain.
Selain memutus mata rantai komunitas kekerasaan yang
ada di lingkungan pelajar, sekolah perlu memiliki guru yang
pro gresif. Guru progresif merupakan guru yang memiliki
karakter yang kuat dan suka akan kemajuan. Karakter
ingin maju berarti karakter ingin mengubah keadaan yang
dianggapnya kurang baik dan keadaan yang penuh masalah
serta keadaan yang menghambat kemajuan. Dalam benak dan
batin guru progresif hanya ada cara bagaimana mengubah kondisi
sosial melalui perubahan kesadaran murid dan menya dari
bahwa proses pendidikan adalah upaya untuk mengkritisir
realitas yang terbentuk dan kesadaran murid yang terbentuk
pula oleh realitas itu. Ia adalah guru yang menganggap
bahwa pengetahuan itu penting, tetapi lebih penting adalah
menggunakan pengetahuan untuk perubahan (Mu’in, 2016).
Guru progresif sangat dibutuhkan oleh se kolah yang ada di
Yogyakarta guna membuka mata hati pelajar untuk meng-
36
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
gunakan pengetahuannya untuk selalu peka terhadap realitas
dan menjawab persoalan dari realitas yang dihadapi. Ketika
guru dekat muridnya, persoalan apa yang dihadapi murid
tentu akan diketahuinya. Disamping itu mata pelajaran yang
mengajarkan nilai dan norma agar menghasilkan figur yang
progresif dipengaruhi oleh faktor guru. Perubahan kurikulum
memang memiliki dampak, namun yang mengajarkanlah yang
sangat berdampak pada perubahan karakter pada siswanya.
Disatu sisi, perlu adanya kehadiran forum antar pelajar
cinta damai sebagai wujud untuk memerangi aksi-aksi klithih
yang selama ini membuat keresahan bagi masyarakat. Fungsi
forum pelajar cinta damai yakni mengurai benang kusut
dari kasus yang selama ini terjadi, karena selama ini setiap
SMA memiliki geng atau kelompok suka onar dimana selalu
suka berkelahi. Dengan adanya forum pelajar cinta damai ini
menjadi salah sau jembatan kedamaian antar sekolah-sekolah
yang suka berbuat onar guna mengurangi dan menghentikan
aksi tindakan kekerasan yang terjadi selama ini.
Selain itu perlu optimalisasi peran konselor sekolah.
Selama ini, Ruang Bimbingan Konseling (BK) bagi pelajar
diang gap sebagai ruang bagi pelajar nakal, anggapan ini
belum juga luntur sampai detik ini. Keberadaan BK menjadi
salah satu layanan sekolah sebagai ajang konsultasi
siswa tentang kondisinya ketika menempuh proses belajar
belum berjalan optimal. Perlunya mendorong siswa agar memanfaatkan
fasilitas ini, sehingga sekolah tahu dan faham
tentang perkembangan siswa didiknya. Selama ini BK sendiri
juga hanya sebagai pemadam kebakaran, ketika ada kasus
baru bertindak dan belum menjadi orang yang mengajarkan
pentingnya pengetahuan untuk perubahan ke yang lebih
baik. Menurut Zubaedi (2015) Peran konselor sekolah selain
menjadi pendidik harus mampu sebagai manajer kegiatan
pen didikan karakter, konselor pembimbing karakter, kon-
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
37
sultan, panutan/figur sentral, perancang kegiatan, healer/
problem solver, dan mediator dan juga partner.
Selama ini sekolah juga belum mengajarkan pendidikan
manajemen konflik dan mengelola emosi. Hal ini sangat
penting karena pelajar sangat mudah tersulut amarahnya.
Sekolah sebagai tempat pendidikan karakter tidak hanya
mengajarkan nilai dan norma yang berdasarkan kurikulum,
tapi bagaimana manajerial konflik dan kelola emosi masuk
dalam mata pelajaran sehingga ketika ada persoalan para
pelajar mampu menghadapinya.
3. Masyarakat
Masyarakat merupakan lembaga atau institusi ketiga
paska sekolah bagi anak untuk mendapatkan pendidikan
karakter. Lingkungan masyarakat yang baik tentu akan memberikan
dampak yang positif bagi remaja untuk bertingkah
laku. Nilai dan norma yang baik itu lahir dari masyarakat,
karena dengan adanya nilai dan norma kehidupan menjadi
stabil. Pada posisi pendidikan karakter bagi para pelajar,
diharapkan masyarakat mampu menjadi polisi masyarakat
dan edukator untuk pencegahan perilaku klithih yang kian
mewabah. Masyarakat juga menjadi kontrol sosial bagi
perkembangan dan keamanan lingkungannya. Dengan berkembangnya
media sosial bermanfaat bagi pelaporan atau
informasi tentang perkembangan tindakan kekerasan yang
dilakukan para pelajar. Group FB ICJ (Info Cegatan Jogja)
mampu menjadi salah satu group yang terus melaporkan
tindakan kekerasan yang dilakukan pelajar. Dengan adanya
laporan tersebut memberikan dampak yang bagus
bagi masyarakat untuk menjadi polisi masyarakat guna
menciptakan keamanan dan kenyamanan lingkungannya.
38
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
4. Aparatur Keamanan
Aparatur keamanan merupakan lembaga atau institusi
yang dibentuk dalam rangka memberikan perlindungan, rasa
aman, rasa nyaman, dan penindakan hukum bagi para pelaku
kejahatan. Dengan maraknya tindakan klithih yang dilakukan
oleh beberapa pelajar Yogyakarta, untuk menjaga rasa aman,
nyaman serta memberikan perlindungan bagi masyarakatnya
tim kepolisian Yogyakarta membentuk tim Resmob Progo
Sakti. Tim ini memang dibentuk untuk melakukan penindakan
terhadap tindak kejahatan yang terjadi di jalan. Akan tetapi
alangkah baiknya pula, Aparatur Keamanan ini memiliki
salah satu program edukasi terhadap pendidikan karakter
bagi pelajar. Setidaknya dari pihak aparatur mengirimkan
satu wakil ke sekolah-sekolah untuk memberikan pendidikan
rasa tanggung jawab, toleransi dan cinta damai. Program
ini dilajukan agar para pelajar juga mendapatkan atmosfir
pengajar lain dari pihak aparatur sebagai penegak hukum,
karena selama ini pihak aparatur keamanan hanya sebagai
lembaga penindakan kejahatan yang dilakukan. Oleh karena
itu, program edukasi pendidikan karakter tolak perilaku klithih
dapat dilaksanakan. Kurikulumnya perlu dikoordinasikan
dengan dinas pendidikan agar menemukan format yang bagus
guna menciptakan pendidikan karakter pelajar Yogyakarta
lebih baik.
Penutup
Semakin banyaknya pelajar yang tergabung dalam kelompok
klithih menjadi kritik besar bagi pendidikan karakter pelajar
di Yogyakarta. Kenakalan remaja klithih dilakukan dalam komunitas/kelompok
geng. Mereka yang tergabung dalam geng ini
ada lah pelajar yang belum menemukan jati dirinya/karakter
serta emosi yang masih belum stabil dan sangat mudah didoktrin
untuk melakukan tindakan kekerasan. Pentingnya peran multi
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
39
stakeholder antara orang tua, sekolah, masyarakat, dan aparatur
keamanan menjadi salah satu poin penting guna memerangi aksi
pelajar klithih yang selama ini meresahkan. Disamping itu kehadiran
forum pelajar cinta damai menjadi ajang bagi para pelajar untuk
bisa mereduksi dan menumpas habis perilaku klithih yang selama
ini menjadi momok bagi masyarakat Yogyakarta. Kehadiran
negara tiak hanya menelurkan kebijakan tentang kekerasaan
yang dilakukan oleh beberapa remaja klithih akan tetapi negara
memberikan porsi pendidikan karakter yang lebih sebagai bukti
tanggung jawab bahwa kehadiran negara mampu mencerdaskan
kehidupan anak-anak bangsa.
Daftar Pustaka
Chrisna, Nicolas Yudha. 2017. Pengorganisasian ketakutan dalam
Identitas Sosial: Studi Kasus Gengser klitih Kursi Putih di
Yogyakarta. https://repository.usd.ac.id/12318/2/129114016
_full.pdf. Diakses 07 Januari 2018.
Kartono, Kartini. 1986. Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta:
CV Rajawali
Kurniawan, Bagus. 2016. Kapolda DIY: Sepanjang 2016, 43 Kasus
Kriminal Didominasi Pelajar. http://news.detik.com/berita/
d-3382743/kapolda-diy-sepanjang-2016-43-kasus-kriminaldidominasi-pelajar.
diakses 07 Januari 2018.
Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap
Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik. Bandung: Nusa
Media.
Mu’in, Fatchul. 2016. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik
dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Muhaimin, Akhmad Azzet, 2016. Urgensi Pendidikan Karakter di
Indonesia. Yogyakarta: Ar-rus Media.
Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Tindak Kekerasan Satuan Pendidikan.
40
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Sabandar, Switzy. 2017. Daftar Panjang Aksi Kekerasan Klithih di
Yogyakarta. http://regional.liputan6.com/read/2887568/
daftar-panjang-aksi-kekerasan-klithih-di-yogyakarta diakses
07 Januari 2018.
Saroh, Mutaya. 2016. Darurat Klitih di Yogyakarta. https://tirto.
id/darurat-klitih-di-yogyakarta-cbH7 diakses 07 Januari 2018.
Yuwono, Markus. 2017. Mengintip Fasilitas Pendidikan untuk
Penghuni Lapas Anak di Gunungkidul. http://regional.
kompas.com/read/2017/05/05/07000061/mengin tip.
fasilitas.pendidikan.untuk.penghuni.lapas.anak.di.gunungkidul.
diakses 07 Januari 2018.
Zubaedi. 2015. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya
dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
41
42
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Kewiralembagaan di Aras Konflik:
Institutional Entrepreneurship KSU FKMP
Manunggal dalam Pengembangan Masyarakat
di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates,
Kabupaten Kulon Progo
Eka Zuni Lusi Astuti 1
Latar Belakang Masalah
Peran negara dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat
semakin melemah seiring dengan banyaknya persoalan sosial dan
politik di Indonesia. Masyarakat sipil mulai mengambil peran
dalam meningkatkan kesejahteraannya melalui kolaborasi dengan
pemerintah, akademisi, NGO, dan perusahaan. Fenomena ini
menandakan bergesernya terminologi negara sebagai aktor utama
pembangunan. Pergeseran ini juga disertai dengan perubahan
goodgoverment menjadi goodgovernance. Tatakelola inovatif
(goodgovernance) ini cenderung dilakukan melalui usaha-usaha
pem berdayaan masyarakat oleh masyarakat sipil, NGO dan
perusahaan.
Koperasi Serba Usaha Forum Komunikasi Masyarakat
Pesisir (KSU FKMP) Manunggal, merupakan salah satu organisasi
masyarakat sipil yang melaksanakan praktik baik tatakelola
inovatif. Masyarakat Desa Karangwuni dan Tim Lokal berhasil
memanfaatkan peluang program pengembangan masyarakat
(community development) PT JMI menjadi sebuah institusi inovatif
(innovative institution) berupa KSU FKMP Manunggal. Pengurus
KSU FKMP Manunggal dan Tim Lokal, menjadi aktor
1 Dosen di Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas
Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:
ekazunilusi@gmail.com
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
43
wira lembagawan dalam mengimplementasikan institutional
entrepreneurship melalui sebuah tatakelola inovatif. Tatakelola inovatif
ini berhasil memanfaatkan peluang dari adanya program
pengembangan masyarakat PT JMI berupa dana usaha dan
berbagai pekerjaan sub kontrak pembangunan fisik di PT JMI.
Meskipun diinisiasi oleh PT JMI atas masukan dari Pemerintah
Kabupaten Kulon Progo, pengurus dan masyarakat Desa
Karangwuni berusaha untuk mengembangkan dan menjadikan
KSU FKMP Manunggal untuk dan oleh masyarakat. Ini terbukti
dari eksistensi KSU FKMP Manunggal sejak didirikan pada tahun
2011. Praktik institutional entrepreneurship berhasil membuktikan
bahwa KSU FKMP Manunggal menjadi koperasi yang paling
berhasil dari kesembilan koperasi yang diinisiasi oleh PT. JMI.
Pembentukan koperasi oleh PT JMI di wilayah kontrak
karyanya diawali sosialisasi kepada masyarakat supaya segera dibentuk
koperasi. Kurun waktu Bulan September sampai Desember
tahun 2011, PT. JMI telah mendirikan sembilan koperasi di sembilan
desa wilayah kontrak karya. Kesembilan koperasi tersebut telah
memiliki landasan hukum, yaitu melalui Bupati Kulon Progo,
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor: 123/Kep/M.
KUKM/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004 tentang Penyelenggaraan
Tugas Pembantuan Dalam Rangka Pengesahan Akta Pendirian,
Perubahan Anggaran Dasar dan Pembubaran Koperasi pada
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Berikut kesembilan koperasi
tersebut.
44
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Tabel 1. Sembilan Koperasi Bentukan Program Community
Development PT JMI
No Nama Koperasi Sekretariat Jenis Usaha
1. KSU FKMP
Manunggal
Jln. Deandels,
Karangwuni, Wates,
Kulon Progo
2. KSU Tani Jaya Desa Garongan,
Panjatan, Kulon
Progo
3. KSU Cemara Jln. Deandels,
Pleret
Pedukuhan l Pleret,
Panjatan, Kulon
Progo
4. KSU Perak Bugel Jln. Deandels,
Pedukuhan l, Bugel,
Panjatan, Kulon
Progo
5. KSU Sido Mukti Sewugalur, Galur,
Kulon Progo
6. KSU Banaran Bunder, Pedukuhan
Jaya
IV , Banaran, Galur,
Kulon Progo
simpan pinjam
pengadaan
barang
simpan pinjam
simpan pinjam
perdaganggan
simpan pinjam
perdaganggan
simpan pinjam
peternakan kambing
7. KSU Makmur
Abadi
8. KSU Kranggan
Maju
Jln. Deandels,
Nomporejo, Galur,
Kulon Progo
Nepi, Pedukuhan
IV, Kranggan ,
Galur, Kulon Progo
usaha jasa cuci
pakaian (laundry)
simpan pinjam
simpan pinjam
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
45
9. KSU Jaya Abadi Pandowan, Galur,
Kulon Progo.
(Sumber: Astuti, 2013).
simpan pinjam
Institutional entrepreneurship yang dilakukan oleh KSU
FKMP Manunggal, tidak hanya memanfaatkan peluang-peluang
pengembangan masyarakat dari PT JMI. KSU FKMP Manunggal
juga berusaha memperluas relasi dengan Dinas Kelautan Provinsi
DIY, pengelola pelabuhan ikan di Pantai Glagah, Desa Karangwuni.
Tidak dapat dipungkiri bahwa KSU FKMP Manunggal menjadi alat
PT JMI untuk meminimalisir konflik penolakan terhadap rencana
penambangan pasir besi.
Pro kontra terhadap rencana penambangan pasir besi pada
masyarakat pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo semakin
mereda. Sejak PT. Jogja Magasa Iron (PT JMI) mensosialisasikan
rencana penambangan pasir besi pada tahun 2006 silam, disintegrasi
sosial mewarnai kehidupan masyarakat di lima desa wilayah ring
1 rencana penambangan pasir besi. Bagi PT. JMI, titik terang mulai
terlihat ketika beberapa warga Pedukuhan XVII Imorenggo, Desa
Karangsewu bersedia menyewakan lahan pertaniannya untuk
dibangun Pilot Plan Pusat Pelatihan Tenaga Kerja PT. JMI dan
pendirian pilot plan di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates pada
tahun 2008. Keberadaan pilot plan ini sangat membantu PT. JMI
melaksanakan sosialisasi rencana penambangan pasir besi.
Selain melalui pendekatan teknis dengan memberikan contoh
mekanisme penambangan dan reklamasi paska penambangan di
pilot plan, PT. JMI menggunakan CSR (Corporate Social Responsibility)
untuk mendekati masyarakat pesisir. Upaya ini sesuai dengan
salah satu mandat negara pada Pasal 74 Ayat 1 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa perseroan
yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan. Meskipun demikian, PT. JMI menyebut upayanya
46
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
ini sebagai program community development, bukan program CSR.
Alasannya, program ini dilaksanakan pada tahap eksplorasi dan
konstruksi, bukan pada tahap eksploitasi atau operasi perusahaan.
Program-program CSR akan dilaksanakan ketika perusahaan
berproduksi. Pelaksanaan program community development ini
sesuai dengan Pasal 22 pada Kontrak Karya.
Secara politis, PT. JMI memanfaatkan program pengembangan
masyarakat sebagai sebuah upaya perusahaan supaya dapat
diterima oleh masyarakat yang menolak rencana penambangan
pasir besi. Di sisi lain, KSU FKMP Manunggal memanfaatkan
program pengembangan masyarakat PT JMI ini sebagai peluang
meningkatkan perekonomian masyarakat, mengantisipasi kerentan
an ekonomi masyarakat terdampak tambang pasir besi, dan
menjadikannya sebagai sarana untuk memperluas relasi.
Tulisan ini disarikan dari hasil penelitian Hibah Riset
Individu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Tahun 2015. Tulisan
ini mendiskripsikan tentang strategi KSU FKMP Manunggal
dalam pengembangan masyarakat di Desa Karangwuni. Dua hal
menjadi sorotan. Pertama, strategi KSU FKMP Manunggal dan
sinergi dengan aktor lain dalam pengembangan masyarakat di
Desa Karangwuni. Kedua, inovasi-inovasi yang dilakukan KSU
FKMP Manunggal dalam memanfaatkan Program Pengembangan
Masyarakat PT. JMI.
Kajian Teoritis Kewiralembagaan
Kapasitas Wiralembagawan
Berdasarkan kajian Tang (2010), wiralembagawan dapat dibentuk
oleh sumber daya manusia (human capital), modal sosial
(social capital), dan keterampilan sosial (social skill). Kusworo (2015),
mensyaratkan bahwa seseorang disebut sebagai wiralembagawan
ketika dapat menggunakan hal-hal tersebut untuk memobilisasi
struktur yang baru. Wiralembagawan yaitu pengurus KSU FKMP
Manunggal, memiliki kapasitas kewiralembagaan berupa modal
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
47
sumber daya manusia (human kapital), modal sosial (social capital),
dan keterampilan sosial (social skill) untuk memobilisasi struktur
baru. Berikut ini tabel kapasitas wiralembagawan berdasarkan
modal, aspek dan fungsinya.
Tabel 2. Kapasitas Wiralembagawan
Modal Aspek Fungsi
Sumber daya
manusia
Modal sosial
a. Pengetahuan
b. Kemampuan
kognitif
a. Interaksi sosial
b. Kepercayaan
c. Sistem nilai
d. Fasilitasi
jaringan
1. Meningkatkan
produktifitas dan efisiensi
wiralembagawan dalam
beraktifitas
2. Membangun jaringan yang
kuat
3. Membangun sumber
informasi
4. Menemukenali kesempatan
1. Menjalankan fungsi dan
menciptakan keberdayaan
wiralembagawan
2. Mengidentifikasi dan
mengumpulkan informasi
penting dan kerentanan
sumberdaya
3. Mengenali, menemukan,
menciptakan, dan menggali
kesempatan
4. Melibatkan
wiralembagawan dalam
mentransformasikan,
menegosiasikan, dan
memperoleh infrastruktur
institusi
48
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Keterampilan
sosial
a. Persepsi sosial
b. Adaptasi sosial
c. Kemampuan
mempengaruhi
d. Managemen
pengaruh/
kesan
1. Menemukenali dan
mengelola berbagai
interaksi sosial
2. Menghimpun sumberdaya
dari luar
3. Membangun antusiasme
dan komitmen
4. Menjalin komunikasi efektif
5. Mengembangkan jaringan
6. Membangun kepercayaan
dan legitimasi
7. Melakukan negosiasi
terhadap isu
(Sumber: Battilana (2004), Pacheco (2010), dan Tang (2010)).
Relasi Struktur Aktor
Merujuk pada konsep Individual-Institutional Opportunity
Nexus (IION), masyarakat Desa Karangwuni hidup dalam struktur
atau ekternalitas. Struktur tersebut meliputi diskursus tentang
pro dan kontra terhadap penambangan pasir besi dan jaringan
dengan PT. JMI, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, dan pihak
lainnya. Masyarakat Desa Karangwuni tidak menerima struktur
tersebut secara taken for granted. Mereka mampu menemukenali
kontradiksi, adanya manfaat dari keberadaan PT. JMI, berupa uang
ganti untung sewa lahan dan program pengembangan masyarakat
PT. JMI. Tidak semata-mata terkungkung dalam ketakutan akan
kehilangan matapencaharian sebagai petani lahan pantai, kerusakan
lingkungan dan masalah sosial akibat industrialisasi.
Kondisi dimana aktor terhubung dengan struktur disebut
sebagai Individual-Institutional Opportunity Nexus (IION). Aktor
mem butuhkan tiga prasyarat supaya dapat terhubung dengan
struk tur, yaitu individu hidup dalam eksternalitas, individu memiliki
motivasi, dan individu memiliki pengetahuan serta relasi.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
49
Pengurus KSU FKMP Manunggal, selaku wiralembagawan, memenuhi
tiga prasyarat tersebut. Pertama, hidup dalam eksternalitas
pro dan kontra terhadap rencana penambangan pasir besi. Kedua,
memiliki motivasi untuk memanfaatkan program community
development PT JMI. Ketiga, memiliki pengetahuan tentang perkoperasiaan
dan multiplier effect keberadaan PT JMI serta memiliki
relasi dengan Tim Lokal, PT JMI, Pemerintah Kabupaten Kulon
Progo, dan pihak-pihak lain.
Gambar 2. Bagan Individual-Institutional Opportunity Nexus
(IION)
(Sumber: Kusworo, 2015).
Aktor masyarakat Desa Karangwuni dapat terhubung dan
berinteraksi dengan struktur sehingga berhasil memanfaatkan
peluang (moment of institution). Moment of institution merupakan titik
tolak kerja wiralembagawan. Moment of institution dapat berupa: 1)
recognition jika aktor mampu mengenali atau menemukan formasi
dan fungsi; 2) creation jika aktor mampu membuat formasi dan fungsi
karena keduanya belum ada di dalam struktur; dan 3) modification
dimana salah satu dari formasi atau fungsi sudah ada sehingga
50
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
aktor memodifikasinya supaya sesuai dengan kebutuhan untuk
pembentukan struktur baru. KSU FKMP Manunggal merupakan
innovative institution produk institutional entrepreneurship yang
merupakan hasil kerja modifikasi wiralembagawan pada aras
konflik pasir besi.
Penelitian ini memusatkan perhatian pada peran institutional
entrepreneurship yang dilaksanakan oleh organisasi masyarakat sipil
dalam pengembangan masyarakat di sekitar perusahaan. Kapasitas
aktor penggerak masyarakat sipil selaku wiralembagawan, berupa
modal sumber daya manusia (human capital), modal sosial (social
capital), dan keterampilan sosial (social skill) dipandang sebagai
modal untuk meraih peluang dalam pengembangan masyarakat di
sekitar perusahaan.
Program Community Development sebagai Peredam Konflik
Sekilas Pro dan Kontra Rencana Penambangan Pasir Besi
Keberadaan KSU FKMP Manunggal tidak dapat dilepaskan
dari konflik pro kontra terhadap rencana penambangan pasir besi
di pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo. Sampai saat ini, dimana
masyarakat Desa Karangwuni telah bersedia menyewakan lahan
pertaniannya untuk ditambang dan konflik sudah mengalami
penurunan, namun penolakan terhadap rencana penambangan
pasir besi masih tetap ada, terutama di Desa Garongan, Bugel,
dan Karangsewu. Pertengahan tahun 2006 menjadi awal bagi
perjalanan panjang konflik pasir besi. Saat itu, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kulon Progo bersama PT JMI, selaku perusahaan
penambang, melakukan sosialisasi rencana penambangan pasir
besi kepada masyarakat pesisir. Upaya tersebut disambut dengan
aksi-aksi penolakan dan blokade. Tak gentar, pemerintah tetap
melaksanakan tahap demi tahap rencana penambangan pasir
besi. Langkah legalisasi berupa penandatanganan Kontrak Karya
Rencana Penambangan Pasir Besi oleh Menteri ESDM atas nama
Pemerintah Republik Indonesia dan Presiden Komisaris serta
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
51
Presiden Direktur PT JMI dilaksanakan pada tanggal 4 November
2008. Naskah kontrak karya tersebut menyatakan areal konsesi
penambangan pasir besi seluas 2.987,79 hektar. Areal konsesi
tersebut meliputi Desa Banaran dan Karangsewu di Kecamatan
Galur, Desa Garongan dan Desa Bugel di Kecamatan Panjatan serta
Desa Karangwuni di Kecamatan Wates.
Selain Kontrak Karya Rencana Penambangan dan Pemrosesan
Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo (Contract of Work between The
Government of the Republic of Indonesia and PT. Jogja Magasa Iron),
rencana penambangan pasir besi dipayungi oleh regulasi di tingkat
lokal. Regulasi tersebut meliputi Peraturan Daerah Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi (DIY), Peraturan Daerah Kabupaten Kulon
Progo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012-2032, AMDAL Penambangan
dan Pemrosesan Pasir Besi, dan Surat Keterangan Bupati Kulon
Progo No. 47 tahun 2010 tentang Pemberian Ijin Pemanfaatan
Ruang Wilayah Pantai Selatan untuk Kegiatan Pertambangan Pasir
Besi dan Mineral Pengikutnya kepada PT. Jogja Magasa Iron dan
SK Perubahannya, yaitu Surat Keterangan No. 140 tahun 2010.
Secara umum, konflik pasir besi muncul akibat perbedaan kepentingan
antara masyarakat pesisir dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kulon Progo dan PT JMI terhadap kepentingan ekonomi
atas pemanfaatan lahan pantai. Masyarakat pesisir ingin
mempertahankan lahan pantai sebagai lahan pertanian produktif.
Di sisi lain, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo ingin
menambang potensi pasir besi di lahan pantai untuk mendongkrak
Pendapatan Asli Daerah (PAD), menciptakan lapangan pekerjaan
baru di sektor industri penambangan dan pengolahan pasir besi, serta
meraih multiplier effect yang akan muncul. Kesemuanya bermuara
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Kulon Progo.
Benturan kepentingan ekonomi terhadap pemanfaatan lahan
pantai bukan menjadi alasan satu-satunya penyebab konflik.
Konflik didorong oleh berbagai permasalahan, baik di akar rumput
52
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
maupun di tingkat elit. Kepemilikan tanah pesisir oleh Paku Alam
(PA Ground) dan keistimewaan Yogyakarta menjadi salah satu
cabang akar konflik pasir besi. Konflik dimanifestasikan menjadi
konflik vertikal dan horisontal. Konflik vertikal mengatasnamakan
perbedaan kepentingan ekonomi. Sementara itu, pertarungan
antarelit yang sarat akan kepentingan direpresentasikan mejadi
konflik horisontal. Ketidakpastian (uncertainty) yang dirasakan
oleh masyarakat pesisir terhadap keuntungan (reward) yang
akan didapat ketika penambangan dilakukan juga menyumbang
terhadap akumulasi penolakan yang menjadi penyebab konflik.
Selanjutnya, masyarakat pesisir yang menolak rencana penambangan
pasir besi menghimpun diri ke dalam Paguyuban Petani
Lahan Pantai (PPLP). PPLP melakukan berbagai aksi penolakan
terhadap rencana penambangan pasir besi, seperti menolak dan
memblokade sosialisasi, mendirikan posko PPLP dan palang jalan
di titik-titik strategis di pedukuhan pesisir, memasang papan-papan
penolakan di wilayah pedukuhan pesisir, menggelar demonstrasi
ke instansi terkait, menghimpun advokasi dari LSM, pertengkaran,
mendiskriminasikan masyarakat yang setuju dengan rencana
penambangan dan berbagai konfrontasi fisik seperti perkelahian,
menahan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata, dan
melarang karyawan PT JMI melintasi jalan di pedukuhan pesisir.
Berikut foto-foto bentuk penolakan masyarakat pesisir terhadap
rencana penambangan pasir besi.
Latar belakang didirikannya KSU FKMP Manunggal oleh
PT. JMI dapat dirunut dari dinamika konflik pasir besi. Di Desa
Karangwuni, Tim Delapan merupakan kelompok masyarakat
yang pertamakali menerima sosialisasi rencana penambangan
pasir besi. Anggota Tim Delapan ini bersedia menyewakan lahan
per taniannya seluas 20 hektar untuk pembangunan Pilot Plan PT
JMI di Desa Karangwuni (Astuti, 2013). Dalam perkembangannya,
anggota Tim Delapan menjadi alat komunikasi masyarakat Desa
Karangwuni dengan PT JMI. Keuntungan lain yang didapat adalah
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
53
anggota Tim Delapan dapat menjadi karyawan Pilot Plan PT JMI atau
merekomendasikan warga untuk menjadi karyawan. Di masingmasing
kecamatan pesisir, terdapat Aliansi yang beranggotakan
masyarakat di 8 desa pesisir wilayah Kontrak Karya pendukung
rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi.
Aliansi dan PT JMI membangun hubungan resiprokal yang
bersifat take and give. Aliansi mendapatkan kepercayaan dari PT
JMI untuk mengelola program community development PT JMI. Salah
satu bentuk program community development adalah didirikannya
9 koperasi oleh PT JMI di desa-desa pesisir yang berada di
wilayah kontrak karyanya. Sama seperti Tim Delapan, Aliansi
juga difungsikan sebagai alat meredam konflik pasir besi, sebagai
kekuat an tandingan bagi PPLP, dan memfasilitasi hubungan
masya rakat pesisir kontra penambangan dengan PT. JMI dan
Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo. Di Desa Karangwuni,
beberapa aktor dari Tim Delapan dan Aliansi tergabung dalam
Tim Lokal yang selanjutnya menjadi aktor KSU FKMP Manunggal.
Inilah awal terbentuknya KSU FKMP Manunggal.
KSU FKMP Manungal: Best Practice Program Community
Development PT. JMI
Salah satu program community development unggulan PT JMI yang
berorientasi pada upaya pemberdayaan masyarakat adalah koperasi.
KSU FKMP Manunggal merupakan koperasi inisiasi PT JMI yang
saat ini berusaha untuk bisa berkembang secara mandiri. Sekretariat
KSU FKMP Manunggal terletak di Dusun Keboan, Blok I, Desa
Karangwuni, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo. Koperasi
ini resmi didirikan pada bulan Oktober tahun 2011 berdasarkan Akta
Notaris Nomor : 19/31 Oktober 2011 dan telah terdaftar di Dinas
Perindustrian Perdagangan dan ESDM Nomor: 01/SKT/VI/2013.
Merujuk pada Profil Company KSU FKMP Manunggal, koperasi serba
usaha ini memiliki visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi perencanaan
layaknya koperasi berbadan hukum lainnya.
54
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Visi yang diperjuangkan adalah terwujudnya koperasi dan
UMKM di lingkungan Desa Karangwuni yang tangguh dan berdaya
saing menuju kemandirian dan kesejahteraan anggota dan
masyarakat. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, didukung
oleh beberapa misi, yaitu:
a. Meningkatkan kualitas kelembagaan, organisasi dan management
koperasi sesuai jatidirinya;
b. Mewujudkan usaha mikro kecil, menengah, produktif, kreatif,
inovatif, dan berdaya saing global;
c. Menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan
koperasi dan usaha mikro kecil menengah;
d. Meningkatkan profesionalisme aparatur dalam pemberdayaan
koperasi dan UMKM.
Visi dan misi tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan
koperasi, yaitu memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya
dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan
perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat
yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Sasaran yang ingin dicapai adalah
meningkatnya kinerja ekonomi dan peningkatan pendapatan
anggota dan masyarakat Karangwuni khusunya dan Kulon
Progo pada umumya. Sementara itu, strategi perencanaan yang
dilakukan meliputi pembinaan kelembagaan yang lebih efisien dan
efektif, usaha kecukupan permodalan koperasi, support kegiatan
yang berkembang, melakukan cakupan pasar yang mengikat, dan
sistem pengawasan yang efektif dan efisien.
Secara kelembagaan KSU FKMP Manunggal memiliki kepengurusan
di tingkat desa dan di tingkat dusun. Pengurus di
tingkat desa terdiri dari pelindung, ketua, sekretaris, bendahara,
manager, bidang simpan pinjam, bidang pengadaan barang dan
jasa serta bidang produksi dan konstruksi. Kelembagaan utama
(induk) berada di tingkat desa, yaitu Desa Karangwuni. Di tingkat
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
55
dusun, koperasi memiliki 6 orang pengurus unit sesuai dengan
jumlah dusun yang ada. Berikut Bagan Struktur Kelembagaan
Koperasi KSU FKMP Manunggal.
Gambar 3. Bagan Struktur Kelembagaan Koperasi KSU FKMP
Manunggal
(Sumber: Profil Company KSU FKMP Manunggal).
Administrasi koperasi dilaksanakan oleh tiga orang tenaga
administrasi. Sementara itu, untuk mengerjakan pekerjaanpekerjaan
subkontrak PT JMI, koperasi memiliki 4 orang koordinator
lapangan yang dibantu oleh 1 orang asisten. Jumlah pekerja lokal
56
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
yang terdaftar adalah 41 orang. Sebagai lembaga resmi berbadan
hukum, KSU FKMP Manunggal memiliki berbagai Surat Ijin/
Surat Keterangan. Berikut ini Surat Ijin/Surat Keterangan yang
menunjukkan KSU FKMP Manunggal merupakan usaha berbadan
hukum resmi.
Tabel 3. Dokumen Berbadan Hukum KSU FKMP Manunggal
No. Nama/Nomor Surat Ijin/Surat Pejabat yang Mengesahkan
Keterangan
1. Surat Izin Usaha Perdagangan
(IUP) Kecil Nomor: 510/984/
PK/V/2013, tertanggal 27 Mei
Badan Penanaman Modal dan
Perizinan Terpadu Kabupaten
Kulon Progo
2013
2. Akta Pendirian Koperasi
Nomor: 56/BH/XV.3/2011,
Menteri Negara Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah
tertanggal 6 Desember 2011
3. Surat Ijin Usaha Simpan
Pinjam Nomor: 518/SISP/32/
XII/2011, tertanggal 7
Kepala Dinas Koperasi dan
UMKM Kabupaten Kulon
Progo
Desember 2011
4. Tanda Daftar Perusahaan
Koperasi Nomor TDP:
12.04.2.47.00028, tertanggal 28
Badan Penanaman Modal dan
Perizinan Terpadu Kabupaten
Kulon Progo
Mei 2013
5. Surat Keterangan Domisili Kepala Desa Karangwuni
Usaha Nomor: 30/01/
VI/2013, tertanggal 6 Juni
2013
6. Surat Keterangan Terdaftar
Nomor: 06/SKT/IX/2014,
tertanggal 8 September 2014
Kepala Dinas Perindag dan
ESDM Kabupaten Kulon
Progo
(Sumber: Profil Company KSU FKMP Manunggal).
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
57
Dokumen-dokumen tersebut merupakan pendukung
secara legal untuk memperkuat bargaining position KSU FKMP
Manunggal. Selain itu, dokumen resmi tersebut juga berfungsi
se bagai dasar untuk mengembangkan koperasi dengan berbagai
pengawasan dari pihak-pihak terkait. Pengawasan ini sangat
penting guna mendukung transparansi dan akuntabilitas koperasi
beserta seluruh kegiatannya. Koperasi merupakan lembaga berbadan
hukum, maka pertanggungjawaban terhadap hukum harus
dilaksanakan.
Kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal
Eksternalitas positif dan negatif
PT JMI membentuk 9 Koperasi sebagai salah satu program
community development-nya. Salah satu koperasi yaitu FKMP
Manunggal di Desa Karangwuni dan dianggap paling berhasil
karena kegiatannya berjalan dan berkembang. Koperasi FKMP
Manunggal mempunyai izin kerjasama dengan pertambangan.
Pada awal pembentukan PT JMI, sudah terjadi kesepakatan antara
masyarakat dengan JMI bahwa semua pekerjaan proyek PT. JMI
yang bisa dikerjakan oleh masyarakat Karangwuni akan dikerjakan
oleh masyarakat, hal ini menjadi komitmen pemberian pekerjaan
subkontrak mulai dari proses pembangunan PT JMI. Subkontrak
yang menjadi kegiatan Koperasi FKMP Manunggal diantaranya:
1. Menjadi pemasok barang (material, kayu, batu-bata, split dll.)
pada proyek pembangunan Pilot Plan PT JMI.
2. Mengerjakan proyek pembangunan portal/pos keamanan di
Pilot Plan PT. JMI.
3. Program penyiraman jalan menuju Pilot Plan PT JMI.
4. Pelatihan pembuatan pagar pracetak (beton pracetak) dan
pembuatannya.
5. Menggunakan jasa catering dari ibu-ibu PKK dan persewaan
alat untuk acara-acara PT JMI.
58
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Selain itu, masyarakat yang kehilangan lahan diberikan kesempatan
untuk memanfaatkan lahan penghijauan yang terletak di
selatan jalan Pilot Plant PT. JMI untuk bertani. Koperasi ini mendapat
dukungan dari Pemerintah Kabupaten Kulon Progo melalui Dinas
Koperasi dan UMKM dan Dinas ESDM. Dinas Koperasi dan
UMKM Kabupaten Kulonprogo memberikan pendampingan pada
koperasi dan menawarkan dana hibah kepada koperasi untuk
me nunjang upaya pengembangan Koperasi FKMP Manunggal.
Dinas ESDM memberikan pendampingan dan pemantauan pada
pekerjaan subkontrak. Di wilayah desa Karangwuni terdapat juga
pengerjaan proyek pelabuhan Tanjung Adikarta, ada rencana
pengembangan WASERDA (Warung Serba Ada) dan potensi ini
bisa dimanfaatkan oleh koperasi.
Berbagai dampak positif keberadaan Koperasi FKMP
Manung gal, merupakan eksternalitas positif. Namun demikian,
ter dapat beberapa eksternalitas negatif dilihat dari aspek internal
dan eksternal. Secara internal, eksternalitas negatif berupa ketidak
percayaan terhadap koperasi, kurangnya sumber daya
manusia, perubahan mode of production, dan status kepemilikan
lahan. Beberapa warga masyarakat Karangwuni tidak percaya
terhadap koperasi karena sebelumnya pernah didirikan koperasi
namun macet. Kekurangan tenaga dalam menjalankan pekerjaan
subkontrak menjadi tantangan bagi Koperasi FKMP Manunggal
karena para anggota sudah bekerja di sektor lain. Kondisi ini
memaksa koperasi untuk mencari tenaga kerja dari luar, bahkan
menolak beberapa pekerjaan. Perubahan mode of production dari
semula bertani menjadi pekerja di sektor jasa proyek juga menuai
gejolak pada masyarakat. Masyarakat membutuhkan waktu untuk
beradaptasi dengan pekerjaan yang baru. Mereka yang masih ingin
bertani, bisa menyewa lahan yang telah mereka jual kepada PT
JMI. Sementara itu, secara eksternal, Koperasai FKMP Manunggal
belum bisa bekerjasama dengan koperasi di sembilan desa lainnya
karena koperasi yang lain belum dikelola dengan baik.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
59
Relasi Aktor-Struktur
Didalam relasi antara aktor dan struktur, ada kemungkinan
munculnya innovative institution. Aktor adalah seseorang dan
segala atribut yang ada pada dirinya, sedangkan struktur adalah
eksternalitas atau kondisi diluar diri individu yang dapat direspon
oleh aktor yang dapat menangkap maksud dan memanfaatkan
peluang yang tersedia pada ruang eksternalitas aktor kemudian
menghasilkan innovative institution. KSU FKMP Manunggal merupakan
di inisiasi oleh PT JMI. Inovative institution yang dimaksud
disini bukan koperasi yang di inisisasi oleh PT JMI melainkan
koperasi yang sudah dimodifikasi oleh aktor-aktor cerdas yakni
pengurus dan pengelola koperasi sehingga koperasi sebagai
lembaga ini bisa beroperasi dan berdampak positif bagi masyarakat
dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Berikut bagan relasi
aktor-struktur yang terjadi KSU FKMP Manunggal sebagai institusi
inovatif.
Gambar 4. Bagan Relasi Struktur-Aktor KSU FKMP Manunggal
Discourse: hilangnya
matapencaharian petani
lahan pantai, dampak
alih fungsi lahan
structure
Networks:
PT JMI,
Pemkab KP
Institutional Opportunity:
• PT JMI mendirikan 9 koperasi
• Pekerjaan subkontrak dari PT JMI
• Masyarakat Karangwuni pro penambangan
Motivasi:
Alih profesi dan
pemberdayaan
masyarakat
terdampak tambang
Knowledge:
Pengetahuan
perkoperasian dan
pengalaman
berorganisasi
Relationship:
Dinkop, Tim Lokal,
innovative
institution:
Koperasi
FKMP
Manunggal
Modification:
Pengurus melakukan
inovasi terhadap koperasi
bentukan PT JMI
outcome:
Pemberdayaan
masyarakat
actor
(Sumber: interpretasi data menggunakan bagan IION).
60
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Pada wilayah stuktur eksternalitas aktor yang ada adalah alih
fungsi lahan pertanian lahan pantai menjadi pilot project pertambangan
pasir besi. Hal ini menyebabkan hilangnya matapencaharian
petani lahan pantai dan memerlukan matapencaharian baru.
Transisi matapencaharian dan usaha pemberdayaan masyarakat
menjadi motivasi untuk mengembangkan fungsi koperasi. Diskursus
yang terjadi adalah bagaimana upaya mengatasi transisi
matapencaharian petani lahan pantai untuk menjamin keberlanjutan
hidupnya dan meminimalisir dampak yang terjadi
akibat alih fungsi lahan. Nerworks atau jaringan di wilayah struktur
yang ada adalah PT JMI dan pemerintah Kabupaten Kulon Progo.
Institutional opportunity atau kesemapatan institusi yang tersedia
adalah: (1). PT JMI mendirikan 9 Koperasi di wilayah kontrak
karya. (2). Adanya pekerjaan subkontrak dari PT JMI dan sudah
menjadi komitmen perusahan untuk menggunakan tenaga kerja
lokal selama masih mampu mengerjakan, jikalau belum mampu
maka ada upaya seperti pelatihan dan peningkatan kapasitas dan
kompetensi tenaga kerja lokal. Tidak hanya tenaga kerja namun
juga memanfaatkan sumber daya lokal. (3). Adanya dukungan dari
masyarakat desa Karangwuni karena mereka sudah pro terhadap
penambangan pasir besi.
Dari wilayah internal aktor, wiralembagawan memiliki stock
of knowledge tentang manajemen, perkoperasian, dan pengalaman
organisasi yang dapat diterapkan untuk pengorganisasian masyarakat.
Selain pengetahuan, aktor juga mempunyai relasi dengan
tim lokal sebagai bagian dari PT JMI yang berasal dari masyarakat
desa Karangwuni. Relasi lainnya adalah dinas koperasi terutama
pendamping yang sangat mendukung beroperasinya koperasi.
Dengan kapasitas yang dimiliki aktor tersebut, maka sang aktor
mampu menerjemahkan situasi eksternalitas dengan mengambil
langkah modifikasi kegaitan koperasi. Akumulasi dari situasi
eksternalitas yakni pada wilayah struktur dan situasi internal
aktor mampu menghasilkan inovative institution yakni Koperasi
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
61
Serba Usaha Forum Komunikasi Mayarakat Pesisir (KSU FKMP)
Manunggal. Outcome atau luaran dari adanya intitusi tersebut
adalah pemberdayaan masyarakat.
Kapasitas Wiralembagawan
Kewiralembagaan FKMP Manunggal hanya bisa dicipta kan
oleh aktor yang memiliki kapasitas sebagai seorang wiralem bagawan
(entrepreneur). Seorang wiralembagawan dibentuk oleh
beberapa aspek, yakni sumberdaya manusia, modal sosial, dan
keterampilan sosial. Aspek-aspek tersebut saling berinteraksi di
dalam lingkungan sosial wiralembagawan dan terinstitusionalisasi
menjadi prasyarat yang harus ada pada diri wiralembagawan.
Berikut interpretasi kapasitas wiralembagawan yang dimiliki olah
pengurus KSU FKMP Manunggal.
Sumberdaya manusia.
Pelaksana utama manajemen KSU FKMP Manunggal adalah
ketua dan bendahara. Ketua koperasi dijabat oleh Bapak Sularso.
Beliau memiliki latar belakang pengetahuan yang digunakan sebagai
bekal mengelola koperasi. Penagalamannya sebagai pensiunan staf
manajemen rumah sakit di RSUD Wates sangat membantu dalam
manajemen koperasi. Sementara itu, bendahara koperasi adalah
Bapak Suratmo. Latar belakang pendidikannya di SMA jurusan
IPS, pengalaman di berbagai organisasi kemasyarakatan menjadi
modal awal sebagai pengurus koperasi. Pengetahuan tersebut semakin
meningkat dengan adanya pengalaman mengikuti pelatihan
akuntansi perkoperasian yang diselenggarakan oleh Dinas Koperasi
dan UMKM Kabupaten Kulon Progo pada tanggal 23 – 27 April 2012.
Modal Sosial
Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan
norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu
kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama
62
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
diantara mereka (Fukuyama dalam Soetomo, 2013:86). Modal sosial
menjadi efektif ketika didukung oleh kesadaran kolektif yang
dapat memunculkan kepentingan bersama dan mengesampingkan
kebutuhan individu. Modal sosial dapat menjadi energi bagi
tindakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama. (Soetomo,
2012:23). Kepercayaan (trust) menjadi komponen utama dalam
modal sosial.
Keberhasilan KSU FKMP Manunggal tidak lepas dari kedasaran
kolektif dan rasa saling percaya pengurus dan anggota
nya. Selama ini, kepercayaan terhadap kinerja pengurus
menjadi motivasi anggota untuk bergabung dengan koperasi. Di
samping itu, kesadaran kolektif pengurus dan anggota koperasi
muncul karena dihadapkan pada tantangan yang sama, yaitu
ada nya alih fungsi lahan pertanian menjadi tambang pasir
besi. Institusi berbentuk koperasi dipandang dapat mengatasi
persoalan pergantian pekerjaan dan pemberdayaan masyarakat.
Para aktor dan masyarakat mengorganisir diri untuk tergabung
dalam koperasi bentukan PT JMI. Berbagai kegiatan KSU FKMP
Manunggal bermanfaat bagi masyarakat Karangwuni, terutama
yang terdampak penambangan. Inilah mekanisme asas resiprositas
di dalam KSU FKMP Manunggal. Selain itu, koperasi menjadi
jembatan komunikasi antara warga dengan PT JMI.
Modal sosial berupa jaringan diwujudkan melalui membangun
6 buah subunit koperasi di tingkat dusun. Masing-masing unit
di dusun mempunyai skema pertemuan yang berbeda, namun
memiliki fungsi yang sama sebagai sebuah forum silaturahmi,
diseminasi kegiatan koperasi, informasi pekerjaan subkontrak, dan
kegiatan simpan pinjam. Ini menunjukkan bahwa kesadaran kolektif
sengaja dipupuk guna memperkuat modal sosial yang dimiliki.
Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial yang dimiliki aktor berupa kemampuan
membangun persepsi sosial, kemampuan beradaptasi, kemampuan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
63
mempengaruhi orang lain dan manajemen pengaruh/kesan.
Koperasi bisa berkembang karena masyarakat Karangwuni peduli
terhadap koperasi. Kepedulian ini tidak semata-mata didapat begitu
saja, Koperasi FKMP Manunggal berhasil merubah persepsi warga
dan meyakinkan masyarakat akan fungsinya. Fungsi dari koperasi
ini menjadi jembatan antara masyarakat dengan PT JMI. Amanah
ini diemban oleh pengurus koperasi untuk menjalin hubungan baik
dengan PT JMI, menjaga komunikasi, memperjuangkan pekerjaan
subkontrak, menjalankan serta mengembangkan koperasi. Ketika
kegiatan 8 koperasi yang lain vakum dan beberapa mengalami
disfungsi, Koperasi FKMP Manunggal tetap berjalan dan
memberikan manfaat bagi masyarakat. Praktik baik ini berhasil
membangun persepsi positif masyarakat Karangwuni terhadap
koperasi. Persepsi positif ini penting guna mendapatkan dukungan
dari masyarakat untuk mewujudkan keberlanjutan koperasi.
Di sisi lain, kesamaan nasib sebagai masyarakat terdampak
rencana penambangan pasir besi menjadikan solidaritas masyarakat
semakin kuat. Hal ini mempermudah adaptasi sosial masyarakat
terhadap koperasi. Pengurus koperasi selalu berupaya
me ngembangkan koperasi dan ‘unjuk gigi’ atas keberhasilankeberhasilan
koperasi. Strategi ini digunakan untuk mempengaruhi
masyarakat supaya tergabung dalam koperasi. Kemampuan
mempengaruhi ditunjukkan oleh koperasi melalui keberhasilannya
melakukan negosiasi dengan PT JMI dalam mendapatkan
pekerjaan-pekerjaan subkontrak, simpan pinjam, dan sebagai pintu
utama untuk warga untuk berinteraksi dengan PT JMI. Manajemen
pengaruh atau kesan dijalankan dengan cara berusaha menjaga
kepercayaan masyarakat dan usaha mengembangkan koperasi
agar semakin bermanfaat dan berkontribusi secara luas.
Entrepreneurial Task KSU FKMP Manunggal
Keberadaan PT JMI diharapkan dapat meningkatkan perekonomian
warga masyarakat. Usaha pemberdayaan masyarakat di-
64
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
lakukan agar masyarakat terdampak tidak hanya menjadi penonton
tetapi bisa tumbuh bersama, meningkat kapasitasnya
dan memiliki daya untuk berkembang serta merespon masalah
yang dihadapinya. Sumber saya manusia di Desa Karangwuni
tersedia namun belum memiliki kompetensi yang memadai untuk
mendukung kegiatan pertambangan. Hal ini sudah direspon oleh PT
JMI dengan memberikan pelatihan kepada masyarakat contohnya
pada pembuatan beton pracetak yang difasilitasi pelatihan dengan
menggandeng kerjasama dengan pihak yang memiliki kompetensi
dibidangnya. Hal ini mendukung upaya keterliabtan masyatrakat
dalam pekerjaan subkontrak.
Melihat situasi eksternalitas yang ada di Desa Karangwuni,
aktor pengelola koperasi mengembangkan jaringan agar kegiatan
koperasi bertambah dan dapat bermanfaat lebih banyak kepada
masyarakat. Aktor disini mampu melihat kemampuan dan
sumberdaya yang tersedia di masyarkaat dan mampu menya lurkannya
pada kegaitan yang tepat sehingga mendatangkan peningkatan
perekonomian warga. sumberdaya yang tersedia di masyarakat
antara lain: jasa penyedia material bangunan, adanya pekerja
bangunan, jasa catering ibu-ibu pkk, kemampuan berternak, dll.
koperasi berhasil menjalin relasi dan membangun komitmen
bersama PT JMI bahwa semua pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh
warga maka harus diberikan kepada warga.
Koperasi yang pada awalnya dibentuk untuk membantu meningkatkan
UMKM dengan menyediakan akses tambahan modal
melalui simpan pinjam, dimodifikasi menjadi lembaga yang berfungsi
mengoordinir atau memfasilitasi berbagai pekerjaan subkontrak.
Selain menambah kegiatan koperasi, hal ini dilakukan
untuk merealisasikan komitmen pemberdayaan masyarakat.
Koperasi menjadi pintu sekaligus penghubung antara masyarakat
dengan PT JMI. Jadi, modifikasi pada innovative institution ini
me liputi penambahan kegiatan untuk usaha pemberdayaan
masyarakat, menjadi sarana penghubung antara masyarakat
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
65
dengan PT JMI, dan juga menjadi agen kontrol komitmen antara
PT JMI dengan masayrakat. Anggota koperasi meruapakn
warga terdampak dan koperasi mampu menjadi ruang untuk
berkomunikasi. Semuanya dilakukan untuk menjalin hubungan
ynag harmonis sehingga dampak positif atas keberadaan PT JMI
dapat dirasakan manfaatnya untuk masyarakat luas.
Berbagai upaya tersebut merupakan entrepreneurial task
(kerja wiralembagawan) yang mampu memodifikasi sebuah
lem baga dan mempu memberikan dampak positif terhadap
penanganan masalah yang ada. Aktor wiralembagawan disini
ada lah pengurus KSU FKMP Manunggal terutama bendahara
dan ketua. Jadi, kerja wiralembagawan yang terjadi pada lembaga
KSU FKMP Manunggal adalah modifikasi. Modifikasi pada fungsi
lem baga dilakukan dengan ekspansi kegiatan koperasi melalui
pengembangan kerjasama dengan berbagai pihak.
Tantangan Pengembangan Kewiralembagaan
Praktik kewiralembagaan membutuhkan prasyarat-prasyarat
berupa kapasitas wiralembagawan dan kerja wiralembagawan
(entrepreneurial task). Dibutuhkan proses dan waktu yang cukup
lama untuk dapat menghasilkan inovasi-inovasi kelembagaan.
Demikian halnya dengan praktik kewiralembagaan di KSU
FKMP Manunggal. Eksternalitas konflik pro dan kontra terhadap
rencana penambangan pasir besi, menjadi tantangan utama dalam
menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi didalam koperasi.
Selain itu, KSU FKMP Manunggal dihadapkan dengan beberapa
tantangan dalam mengembangkan kewiralembagaan, yaitu
minimnya sumberdaya wiralembagawan, sulitnya melakukan
institusionalisasi kelembagaan, pragmatisme masyarakat pesisir
terhadap masuknya PT JMI, dan yang paling berat adalah tantangan
untuk menciptakan keberlanjutan.
66
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Minimnya Sumberdaya Wiralembagawan
Salah satu faktor kunci penentu berjalannya sebuah lembaga
adalah sumberdaya. Sumberdaya kewiralembagaan yang dimaksud
adalah sumber daya manusia atau wiralembagawan. Wiralembagawan
harus mampu merespon ekternalitasnya dengan
me manfaatkan pengetahuan dan relasi yang ia miliki untuk
melakukan sesuatu hal yang bermanfaat untuk dirinya sendiri dan
masyarakat di sekitarnya. Dari 9 koperasi yang dibentuk oleh PT
JMI, hanya 1 koperasi yang mampu bejalan sampai saat ini. Hal
itu tidak lepas dari peran pengelolanya yang mempunyai kapasitas
sumber daya manusia yang unggul. Pengurus utama koperasi, yaitu
Bapak Suratmo dengan latar belakang aktivis organisasi dan Bapak
Sularso yang mempunyai latar bekakang manajemen rumah sakit
mampu menerapkan pengetahuannya dalam mengelola koperasi
dan mengembangkannya menjadi praktik kewiralembagaan.
Meskipun demikian, kualitas sumber daya manusia pengelola
KSU FKMP Manunggal masih minim. Pengurus KSU FKMP
Manunggal dipilih oleh anggota berdasarkan ketokohannya di
dalam kehidupan sosial masyarakat, bukan dilihat dari kompetensi
yang dimiliki, misalnya pengetahuan tentang perkoperasian atau
akuntansi. Kondisi ini merupakan ekses dilakukannya pemilihan
pengurus secara demokratis oleh anggota koperasi. Pengurus juga
dipilih atas dasar relasinya dengan PT JMI dan kemampuannya
melakukan lobi, baik dengan PT JMI maupun dengan dinas
terkait. Bapak Suratmo selaku bendahara KSU FKMP Manunggal
pernah mengikuti pelatihan tentang akuntansi perkoperasian dari
Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Kabupaten Kulon
Progo. Di sisi lain, beberapa warga Desa Karangwuni memiliki
latar belakang pendidikan dan kompetensi yang cukup memadai.
Persoalannya, ia tidak mampu menggerakkan masyarakat dan
tidak mempunyai semangat volunterisme seperti yang dimiliki oleh
Bapak Suratmo dan Bapak Sularso. Disinilah letak keunikan pada
kapasitas kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal. Pengetahuan,
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
67
latar belakang pendidikan dan kmpetensi menjadi prasayarat kedua
setelah kemampuan menggerakkan masyarakat dan ketokohan yang
melekat pada wiralembagawan. Perbedaan kapasitas sumber daya
manusia di masing-masing subunit juga menjadi salah satu kendala
dalam pengembangan kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal.
Dilihat dari sisi manajemen koperasi, minimnya sumberdaya
manusia wiralembagawan ini berdampak pada persoalan
administratif, seperti kendala dalam penyusunan laporan keuangan.
Ini terjadi pada saat menyusun dokumen-dokumen RAT
(Rapat Anggota Tahunan). Persoalan RAT ada pada belum adanya
pemisahan neraca pada kegiatan yang berbeda. Pelatihan
dalam bidang akuntansi perkoperasian sangat diperlukan dan
tidak cukup hanya satu kali saja. Selain itu, dibutuhkan regenerasi
sumberdaya manusia untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan
koperasi. Regenerasi terutama dari kalangan pemuda supaya
usaha yang sudah dilakukan saat ini tidak berhenti di tengah
jalan ketika pengurus koperasi saat ini tidak lagi bisa bertugas.
Tentunya pemuda dengan kapasitas yang sama dengan yang
dimiliki pengurus koperasi saat ini.
Sulitnya Institusionalisasi Kelembagaan
Regenerasi dibutuhkan untuk mempersiapkan aktor-aktor
yang siap untuk melanjutkan pengelolaan KSU FKMP Manunggal.
KSU FKMP Manunggal sudah melibatkan peran pemuda di dalam
kepengurusannya, sebagai sekretaris dan pengawas lapangan.
Namun, peran pemuda tidak sebesar peran golongan tua. Dalam
hali ini, budaya Jawa yang mengunggulkan dan mendahulukan
peran golongan tua dengan anggapan mempunyai kematangan
dalam berpikir dan mempunyai banyak pengalaman juga turut
andil. Ini yang terjadi di dalam struktur kepengurusan KSU FKMP
Manunggal, yaitu mendudukkan golongan tua pada struktur atas.
Dampaknya adalah kurangnya institusionalisasi kelembagaan di
kalangan pemuda.
68
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Tantangan institusionalisasi kelembagaan juga pada rendahnya
kepedulian masyarakat terhadap kepengurusan koperasi.
Partisipasi masyarakat hanya sebatas pada mengikuti kegiatan koperasi,
seperti simpan pinjam dan menjadi pekerja pada pekerjaanpekerjaan
subkontrak dari PT JMI. Volunterisme masyarakat untuk
menjadi pengurus koperasi belum muncul. Masyarakat hanya
menjadi penikmat program-program koperasi belum berupaya
mempengaruhi kebijakan yang ada di koperasi atau berperan
aktif dalam membantu mengelola koperasi. Selain itu, beberapa
masyarakat Desa Karangwuni yang tidak terdampak penambangan
bersikap apatis dan memiliki kepercayaan yang rendah terhadap
koperasi. Kondisi ini juga terjadi pada awal berdirinya koperasi,
dimana hampir semua masyarakat Desa Karangwuni apatis dan
pesimis terhadap keberadaan koperasi. Keberhasilan koperasi
mendapatkan pekerjaan-pekerjaan subkontrak dari PT JMI menjadi
bukti awal bahwa koperasi mampu memberdayakan masyarakat.
Setelah melihat bukti ini, baru masyarakat mau berpartisipasi
menjadi anggota koperasi. Kepercayaan dan partisipasi masyarakat
menjadi energi untuk penguatan kelembagaan.
Komunikasi antara pengurus koperasi dengan masyarakat
luas Desa Karangwuni juga menjadi tantangan. Tidak semua
warga Desa Karangwuni mengetahui kegiatan koperasi dan perkembangannya.
Komunikasi dan koordinasi antara pengurus
koperasi dengan kepala dusun dan kepala desa juga masih minim.
Ketika arus komunikasi terjalin baik, maka ruang partisipasi dan
kepedulian akan semakin meluas.
Pragmatisme Masyarakat
Ganti untung atas pembebasan lahan pertanian masyarakat
yang ditambang menjadikan masyarakat memiliki pemikiran
pragmatis. Ganti untung yang didapat dari pembebasan lahan
cukup besar dan menyebabkan masyarakat menjadi lebih konsumtif.
Besaran ganti untung pembebasan lahan cukup fantastis, bahkan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
69
ada yang mencapai Rp. 250.000.000,00 sehingga dapat melakukan
alih profesi sendiri dari petani lahan pantai menjadi wiraswasta.
Meningkatnya orientasi masyarakat terhadap uang semakin
meningkatkan sikap individualistis dan menurunkan voluntarisme
masyarakat terhadap pengelolaan institusi sosial kemasyarakatan.
Sejak awal berdiri, PT JMI sudah memberikan berbagai
program community development yang cenderung bersifat karitataif.
Ini menyebabkan masyarakat tergantung pada program community
development PT JMI. Banyak masyarakat yang mengajukan proposal
ke PT JMI dan diberikan program. Kondisi ini juga menjadikan
masyarakat berpikir prakmatis. Di samping itu, komitmen PT
JMI untuk memberikan kesempatan kepada anggota Tim Lokal
menjadi karyawan PT JMI, menjadikan para anggota Tim Lokal
mengandalkan janji tersebut. Pragmatisme masyarakat Desa
Karangwuni ini sengaja diciptakan melalui bantuan-bantuan
dan kemudahan-kemudahan yang dimiliki oleh elit-elit tertentu.
Pragmatisme ini menjadi tantangan besar bagi kelembagaan KSU
FKMP Manunggal.
Keberlanjutan
KSU FKMP Manunggal ini diharapkan menjadi lembaga yang
mampu memberdayakan masyarakat Desa Karangwuni secara
berkelnjutan. Sampai saat ini KSU FKMP Manunggal telah berhasil
menciptakan keberlanjutannya, jika dibandingkan dengan delapan
koperasi inisiasi PT JMI lainnya yang mengalami stagnasi, bahkan
vakum. Kemampuan KSU FKMP Manunggal dalam menjalin relasi
dengan berbagai stakeholder menjadi peluang keberlanjutan usaha dan
kelembagaannya. Selain bekerjasama dengan PT JMI, KSU FKMP
Manunggal menjalin kerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi DIY. Rencananya, KSU FKMP Manunggal akan bekerjasama
dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY untuk mendirikan
waserda (warung serba ada) jika Pelabuhan Tanjung Adikarta di
sebelah timur Pantai Glagah Indah sudah beroperasi. Meskipun
70
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
demikian, keberlanjutan kelembagaan KSU FKMP Manunggal masih
menjadi tantangan besar karena sejak tahun 2006 sampai saat ini, PT
JMI belum beroperasi, masih dalam tahap konstruksi.
Penutup
Penelitian terhadap kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal
ini menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, program commu
nity development berupa inisiasi KSU FKMP Manunggal
oleh PT JMI yang juga sebagai peredam konflik pro dan kontra
terhadap rencana penambangan pasir besi, secara tidak langsung
mendorong lahirnya praktik kewiralembagaan. Kewiralembagaan
ini tidak muncul begitu saja, namun muncul dari aktor-aktor lokal
yang melihat eksternalitas konflik dan keberadaan PT JMI sebagai
peluang pemberdayaan masyarakat. Praktik kewiralembagaan ini
berhasil menumbuhkan kerja-kerja inovatif yang menguntungkan
kedua belah pihak yang sebelumnya berkonflik, yaitu masyarakat
Desa Karangwuni dan PT JMI. Wiralembagawan memaknai konflik
bersifat konstruktif. Ini berbeda dengan pemaknaan konflik oleh
masyarakat kebanyakan, yang memandang konflik sebagai suatu
hal yang bersifat destruktif.
Kedua, wiralembagawan mampu memodifikasi program community
development yang pada awalnya cenderung bersifat karitatif
menjadi program pemberdayaan masyarakat. Modifikasi ini
dilakukan dengan cara merubah orientasi PT JMI yang menjadikan
koperasi sebagai alat untuk menyalurkan program. Berbeda
dengan wiralembagawan yang menempatkan koperasi sebagai
institusi pelaksana pemberdayaan masyarakat.
Ketiga, entrepreneurial task yang dilakukan oleh wiralembagawan
tidak hanya berorientasi untuk menghasilkan uang,
tetapi juga membangun institusi koperasi yang solid dan berkelanjutan.
Upaya ini menjadi tantangan tersendiri bagi KSU FKMP
Manunggal karena sebagian masyarakat memiliki pandangan lain,
bahwa koperasi sebagai wadah penyalur bantuan dari PT JMI.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
71
Keempat, keberhasilan kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal
tidak lepas dari peran tiga sektor yang ada dalam masyarakarat
sipil yaitu negara, sektor swasta dan civil society organization.
Dinas Koperasi dan UMKM serta Bagian Pertambangan Dinas
Perindustrian Perdagangan dan ESDM merupakan representasi
dari negara yang selalu mendampingi dan memonitoring pengembangan
koperasi. PT JMI sebagai inisiator sekaligus donor
me representasikan sektor swasta. Sementara itu, organisasi
kemasyarakatan direpresentasikan oleh Tim Delapan dan Tim
Lokal yang menjadi cikal bakal aktor-aktor wiralembagawan
KSU FKMP Manunggal. Sinergi peran ketiga aktor tersebut
dapat mendukung upaya keberlanjutan koperasi di masa yang
akan datang. Harapannya, ketika PT JMI selesai melakukan
penambangan pasir besi, KSU FKMP Manunggal telah berhasil
menjadikan masyarakat Karangwuni berdaya dan mandiri, tanpa
mengalami ketergantungan terhadap bantuan program community
development atau program corporate social responsibility (CSR) dari
PT JMI.
Di samping itu, hasil penelitian ini merekomendasikan saran
bagi KSU FKMP Manunggal, Pemerintah Daerah Kabupaten
Kulon Progo, PT JMI, dan civil society organization (CSO), dan
masyarakat Desa Karangwuni dalam mendorong pengembangan
kewiralembagaan yang dikembangkan oleh KSU FKMP Manunggal.
Institusi inovatif KSU FKMP Manunggal perlu melakukan
promosi untuk mengakselerasi upaya pengembangan koperasi.
Promosi dapat dilakukan melalui mengikuti pameran-pameran
produk yang dihasilkan koperasi, mengikuti berbagai perlombaan
di bidang perkoperasian atau UMKM, berpartisipasi dalam jejaring
koperasi lainnya, dan melakukan promosi melalui website dan
media sosial.
Di sisi lain, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo dapat
memfasilitasi KSU FKMP Manunggal melalui dukungan dana,
kegiatan pendampingan, monitorong dan evaluasi serta membuat
72
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
kebijakan yang dapat mendukung keberlanjutan. Kebijakan seperti
peraturan daerah dapat mengakselerasi pengembangan KSU
FKMP Manunggal dan institusi inovatif sejenis yang berkembang
di Kabupaten Kulon Progo, baik dari sisi administratif maupun
operasional, sekaligus menjamin keberlanjutannya.
PT JMI perlu merubah orientasinya dalam pemberdayaan masyarakat.
Ini dapat dilakukan dengan cara menempatkan koperasi
bentukannya sebagai pemantik munculnya aktor-aktor lokal
dan kemudian mengintitusionalisasikannya. Tidak hanya menjadikannya
sebagai institusi penyalur program-program community
development yang selama ini dimanfaatkan untuk meredam konflik.
Praktik baik di dalam KSU FKMP Manunggal dapat dijadikan
sebagai raw model untuk menghidupkan delapan koperasi bentukan
PT JMI lainnya yang selama ini mengalami disfungsi atau vakum.
Pemetaan sosial dibutuhkan untuk mengidentifikasi aktor-aktor
potensial yang memiliki kapasitas sebagai wiralembagawan.
Selanjutnya, dapat dilakukan mobilisasi terhadap sumber daya
wiralembagawan ke dalam institusi koperasi yang sudah ada.
Tentu saja selalu dibutuhkan mekanisme fasilitasi, monitoring dan
evaluasi.
Paska konflik rencana penambangan pasir besi, banyak bermunculan
CSO baik dari masyarakat lokal maupun dari luar.
Diharapkan keberadaan CSO ini memberikan dukungan terhadap
kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal, meskipun tidak
meninggalkan atributnya dari diskursus pro dan kontra rencana
penambangan pasir besi. Advokasi dari CSO sangat dibutuhkan di
dalam mengembangkan dan mewujudkan keberlanjutan koperasi.
Penguatan dari sisi advokasi sangat dibutuhkan supaya para
pemangku kepentingan lebih ramah dan mau menyediakan akses
bagi pengembangan KSU FKMP Manunggal.
Penerimaan masyarakat Desa Karangwuni terhadap rencana
penambangan pasir besi tidak bisa lepas dari pengaruh KSU
FKMP Manunggal. Secara umum, kondisi ini membuktikan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
73
meningkatkanya kepercayaan masyarakat Desa Karangwuni
terhadap KSU FKMP Manunggal. Ini juga mengindikasikan
tumbuhnya kepercayaan masyarakat Desa Karangwuni terhadap
PT JMI. Kompensasi ganti untung juga menjadi salah satu alasannya.
Maka dari itu, masyarakat Desa Karangwuni diharapkan dapat
mendukung pengembangan koperasi terlepas dari kompensasi
ganti untung atau berbagai pekerjaan subkontrak yang dijanjikan
oleh koperasi. Partisipasi masyarakat dalam mengembangkan
koperasi lebih dibutuhkan daripada sekedar mobilisasi kepercayaan.
Masyarakat Desa Karangwuni diharapkan dapat
ber partisipasi dalam kegiatan, pekerjaan sub kontrak maupun
kepengurusan koperasi. Institusi inovatif seperti KSU FKMP
Manunggal tidak dapat berkelanjutan tanpa adanya regenerasi
aktor wiralembagawan dari masyarakat lokal itu sendiri.
Kelima rekomendasi tersebut tidak dapat berjalan sendirisendiri.
Dibutuhkan upaya yang sinergis dari masing-masing
stakeholders untuk mewujudkan keberlanjutan KSU FKMP
Manung gal sebagai praktik baik kewiralembagaan (institutional
entrepreneurship) yang lahir dan berkembang dalam nuansa konflik
pro dan kontra terhadap rencana penambangan pasir besi.
Daftar Pustaka
Battilana, Julia. 2004. Foundations for a Theory of Institutional
Entrepreneurship: Solving the Paradox of Embedded Agency.
Working Paper, Fountainbleau: INSEAD.
usworo, Hendrie Adji. 2015. Framing Poverty. An Institutional
Entrepreneurship Approach on Poverty Alleviation Through
Tourism. Doctoral Thesis, Groningen: Rijksuniversiteit Groningen.
Pacheco, Desiree F., Jeffrey G. York, Thomas J. Dean, and Saras
D. Sarasvathy. 2010. The Coevolution of Institutional Entrepreneurship:
A Tale of Two Theories, Journal of Management.
74
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Soetomo. 2012. Keswadayaan Masyarakat: Manifestasi Kapasitas
Masyarakat untuk Berkembang secara Mandiri. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Soetomo. 2013. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tang, J. 2010. How Entrepreneurs Discover Opportunities in China: An
Institutional View, Asia Pacific Journal of Management, 27 (3):461-
479.
Tribunjogja.com. 2015. ”Penolak Pasir Besi di Karangwuni Kulon
Progo Kini Berubah Pikiran”, Tribun Jogja, 22 Maret.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
75
76
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Pluralisme Kesejahteraan:
Kesejahteraan dalam Kerangka Pikir Negara,
Bisnis dan Masyarakat
Galih Prabaningrum 1
Pendahuluan
Dalam tiga dekade terakhir, masyarakat di negara berkembang,
termasuk di Indonesia, mengalami fase perkembangan penting
dalam mewujudkan kesejahteraannya. Berbagai studi (Barrientos
2009; Davis 2001; Kwon 1997 dan Sumarto 2013) menunjukkan
bahwa negara berkembang sedang mengalami suatu transformasi
rezim kesejahteraan (welfare regime) yang memberikan kesempatan
yang lebih besar bagi setiap warga negara untuk mendapatkan
kesejahteraan. Transformasi ini didorong oleh perubahan struktur
politik-ekonomi yang merupakan fenomena global. Sebagian
besar negara berkembang mengalami kesulitan ekonomi yang
diakibatkan oleh krisis ekonomi global (Merlevede 2003; McMillan
dan Naughton 1992; Wei 1997). Kondisi ini mendorong mereka
untuk meminjam bantuan asing pada Bank Dunia yang pada
gilirannya memaksa negara-negara peminjam bantuan asing
tersebut harus menjalani reformasi struktur politik-ekonomi. Salah
satu implikasi mendasar dari restrukturisasi sistem politik-ekonomi
ini adalah banyak negara berkembang menjalani desentralisasi
sistem politik-ekonomi yang pada satu sisi harus mentransfer
sebagian kewenangan pemerintah pusat pada pemerintah daerah
dan pada saat yang sama memberi ruang yang besar pada sektor
privat untuk terlibat dalam kegiatan sosial-ekonomi.
1 Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas
Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:
galihprabaningrum@gmail.com
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
77
Fenomena ini telah mendorong negara untuk terlibat secara lebih
serius dalam distribusi kesejahteraan. Di Indonesia, fenomena ini
diawali dengan distribusi jaring pengaman sosial (JPS) untuk rumah
tangga miskin pada tahun 1998 (Sumarto 2013; Kaasch, Sumarto dan
Wilmsen 2016). Program JPS ini terdiri atas lima skema perlindungan
sosial yang ditujukan untuk menolong rumah tangga miskin dalam
menghadapi kesulitan ekonomi (Sumarto, Suryahadi dan Widyanti
2010) selama krisis ekonomi yang mulai menghantam perekonomian
Indonesia di tahun 1997 (Thee 2004, 2010). Berawal dari program
JPS itu pemerintah Indonesia kemudian mengembangkan program
penanggulangan kemiskinann (Sumarto 2013). Di bawah program
penanggulangan kemiskinan ini bisa dijumpai empat kluster kategori
program, yaitu perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat,
kredit usaha mikro, dan perumahan yang terkases oleh rumah tangga
miskin (Wilmsen, Kaasch dan Sumarto 2016). Salah satu program di
bawah kluster pertama, yaitu jaminan kesehatan masyarakat yang
sebelumnya bersidat ad hoc telah mengalami perkembangan secara
berarti menjadi jaminan kesehatan nasional (JKN) program yang lebih
sistematis-terinstitutionalisasi (Sumarto, Wilmsen dan Kaasch 2016).
Perkembangan peranan pemerintah Indonesia pasca krisis
ekonomi 1997 ini telah meningkatkan pengeluaran pemerintah
dalam persentase yang cukup tinggi. Di banding pengeluaran pada
periode sebelum krisis ekonomi, pada masa pemerintahan Suharto,
pengeluaran dana pemerintah untuk belanja program perlindungan
sosial mencapai sekitar dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi
(Sumarto 2013). Walaupun peningkatannya cukup signifikan tetapi
nilai presentasenya terhadap produk domestic bruto (PDB) masih
dalam presentase yang memprihatinkan. Pada periode 1994/1995
misalnya, pemerintahan Soeharto hanya mengeluarkan anggaran
sebesar anggaran untuk belanja penanggulangan kemiskinan
sebesar 0,3 persen PDB sementara pada tahun 2005 dan 2006,
misalnya mencapai 0,7 persen dan 1,0 persen terhadap PDB (World
Bank 2012).
78
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Pada saat peranan pemerintah dalam distribusi kesejahteraan
menguat, ini dibarengi dengan peningkatan peranan sektor
privat dalam menyediakan kesejahteraan bagi rumah tangga
miskin. Ini ditunjukkan oleh praktik program tanggung jawab
sosial perusahaan (corporate social responsibility – CSR) yang
mulai berkembang secara pesat pada tahun 2000. Pada tahun
2000, sekeretaris Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kofi Annan
menyerukan kepada pelaku bisnis global untuk berpartisipasi
menyelesaikan masalah kemiskinan kronis global, terutama di
negara-negara berkembang. Pernyataan Kofi Annan ini direspon
positif oleh pelaku bisnis global, yang ditunjukkan dengan realisasi
program CSR.
Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan bahwa program
CSR merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap
perusahaan. Pemerintah telah mengesahkan Undang-undang
perseroan terbatas (UU PT) yang salah satu pasalnya mengatur
tentang pelaksanaan program CSR. Secara lebih detail UU PT
tersebut dijelaskan dalam peraturan pemerintah mengenai CSR
(PP CSR). Untuk memperkuat dorongan merealisasi program CSR,
pemerintah sedang menyiapkan UU CSR. Dalam situasi seperti
ini maka keterlibatan sektor privat dalam distribusi kesejahteraan
menjadi lebih besar. Dalam banyak kasus program CSR
diwujudkan untuk memberikan berbagai bentuk bantuan sosial
yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga
miskin. Selain itu, program CSR juga dilaksanakan dalam bentuk
upaya peningkatan pendapatan rumah tangga melalui program
pengembangan masyarakat (community development).
Dalam kondisi seperti ini peranan komunitas untuk mendistribusikan
kesejahteraan tidak surut. Komunitas masih meniliki
peran penting dalam distribusi kesejahteraan sosial melalui bekerja
sama secara kolektif (collective action) dalam bentuk gotong-royong
(Sumarto 2013). Melalui jaringan sosial (social network) dalam bentuk
gotong-royong, yang dijalin oleh komunitas, anggota komunitas
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
79
melakukan kerja kolektif untuk kepentingan semua anggota
masyarakat. Mereka juga saling memberi pertolongan pada anggota
komunitas pada saat anggota komunitas itu memerlukannya dan
anggota komunitas tersebut memberi pertolongan pada pihak lain
yang telah menolongnya (Sumarto 2013).
Peran multi aktor, yaitu pemerintah, perusahaan dan komunitas
sebagaimana yang dijelaskan di atas dan keterlibatan meraka
dalam distribusi kesejahteraan ini sering disebut sebagai pluralisme
kesejahteraan (welfare pluralism). Pluralisme kesejahteraan muncul
menjadi suatu pendekatan dalam distribusi kesejahteraan pada
saat peranan negara, terutama di negara-negara kesejahteraan
(welfare state) mengalami penurunan. Sebagian dari negaranegara
kesejahteraan di welayah Eropa, Amerika, dan Australia
mengalami kesulitan ekonomi sebagai implikasi dari globalisasi.
Kesulitan ekonomi tersebut telah mengakibatkan pemerintah di
negara-negara tersebut harus memangkas anggaran mereka untuk
membiayai berbagai program distribusi kesejahteraan.
Peningkatan peranan pemerintah dan program CSR di
Indonesia, seharusnya diikuti dengan penurunan angka kemiskinan
dan penurunan indeks ketimpangan atau koefiesean Gini.
Namun, dalam kenyataannya tidak demikian. Grafik di bawah ini
menunjukkan bahwa secara umum dari tahun 2003 sampai dengan
tahun 2015 telah terjadi penurunan baik jumlah penduduk miskin
maupun angka kemiskinan. Ini indikasi yang cukup baik, namun
dalam periode tersebut koefisien Gini mengalami peningkatan
secara tajam. Ini menunjukkan bahwa pengurangan angka
kemiskinan yang sebagian dari itu disebabkan karena distribusi
kesejahteraan yang dilakukan oleh pemerintah dan program
CSR, belum mampu mempersempit kesenjangan kesejahteraan di
antara penduduk yang masuk dalam kategori miskin dan mereka
yang ditermasuk dalam klasifikasi tidak miskin. Ini seharusnya
tidak terjadi karena distribusi kesejahteraan seharusnya mampu
meningkatkan kesetaraan (Goodin et.al.1999).
80
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji peran dan keterlibatan
aktor pelaku distribusi kesejahteraan, yaitu negara, perusahaan,
dan komunitas dalam distribusi kesejahteraan yang akan dilihat
dari perspektif studi kebijakan sosial terutama dari pendekatan
pluralism kesejahteraan. Untuk melihat peran dan keterlibatan ini,
artikel ini akan menjelaskan dari tiga poin penting dalam kajian
pluralism kesejahteraan, yaitu: (1) konsepsi negara, perusahaan,
dan komunitas mengenai kesejahteraan; (2) indikator kesejahteraan
yang digunakan oleh negara, perusahaan, dan komunitas dalam
mengukur kesejahteraan dan (3) upaya yang dilakukan oleh
ketiganya dalam mewujudkan konsep kesejahteraan.
Untuk menjelaskan ketiga poin tersebut, penulis akan menggunakan
pengalaman Kabupaten Sleman sebagai kasus kajian.
Untuk mendapatkan kedalaman analisis, studi ini memfokuskan
analisis di Desa Kalitirto dan Desa Tegaltirto, Kecamatan Berbah.
Di kedua desa tersebut ditemukan distribusi kesejahteraan yang
dilakukan oleh negara, oleh masyarakat, dan oleh perusahaan
swasta (melalui program CSR). Program CSR PT Angkasa Pura
merupakan salah satu program yang cukup besar dan program
yang relatif sistematis dibanding program CSR perusahaan lain
yang berada di Kabupaten Sleman. Dengan mengambil suatu
kasus di mana dijumpai titik temu peran negara, perusahaan,
dan komunitas bisa ditangkap peran, keterlibatan, relasi di antara
mereka dalam distribusi kesejahteraan. Selain itu, bisa juga diketahui
implikasinya pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kajian
artikel ini didasarkan pada dokumen pemerintah dan perusahaan,
berita di media massa, dan data primer. Data primer dihasilkan
melalui obeservasi dan wawancara mendalam dengan pejabat
kabupaten Sleman, pengurus forum CSR Daerah Istimewa
Yogyakarta, manajer CSR perusahaan dan tokoh masyarakat.
Dengan menganalisis data dari multi-sumber diharapkan dapat
diperoleh hasil analisis yang utuh dan mendalam.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
81
Penelitian ini mengambil wilayah studi di tiga aktor, yaitu
negara, perusahaan dan masyarakat. Untuk masyarakat, wilayah
studi yang dipilih yaitu Desa Tegaltirto dan Desa Kalitirto dimana
dua wilayah tersebut merupakan wilayah sub-urban (wilayah
perbatasan antar desa dan kota) yang terletak agak jauh dari
kota Yogyakarta dan berkembang menjadi tujuan/arah kegiatan
masyarakat di wilayah Kecamatan sekitarnya sehingga menjadi
pusat pertumbuhan dan merupakan wilayah sub-urban. Selain
itu, wilayah tersebut merupakan daerah sasaran bagi perusahaan
untuk mengimplementasikan program corporate social responsibility
dan sudah tentu merupakan wilayah yang mendapatkan program
peningkatan kesejahteraan oleh pemerintah, khususnya
pemerintah Kabupaten Sleman.
Kesejahteraan dan Pluralisme Kesejahteraan
Konsep kesejahteraan
Konsep keejahteraan sosial (social welfare) merupakan konsep
yang bersifat multidimensional. Selama ini belum ada konsensus
yang utuh dalam menentukan pengertian konsep tersebut (Alcock,
Erskine dan May 2002). Secara umum, konsep kesejahteraan sosial
bisa diartikan sebagai ‘the condition of faring or doing well’ (Sumner
1996:1). Pengertian kesejahteraan sering dianggap tidak berbeda
dengan konsep kebahagiaan (happiness) (Bruni dan Porta 2007)
dan well-being (Goodin et al. 1999) sehingga konsep kesejahteraan
sering digunakan secara bergantian dengan konsep kebahagiaan
dan well-being (Easterlin 2001). Konsep kesejahteraan bisa dibagi
menjadi dua kategori, yaitu kesejahteraan obyektif (objective
welfare) dan kesejahteraa subyektif (subjective welfare). Dalam kajian
kebijakan publik atau kebijakan sosial, pengertian kesejahteraan
sosial sering merujuk pada pengertian kesejahteraan sosial sebagai
kesejahteraan obyektif. Kesejahteraan obyektif diartikan sebagai
barang atau pelayanan yang bermanfaat untuk meningkatkan
standar hidup seseorang atau sekelompok orang (Goodin et al.
82
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
2008). Konsep kesejahteraan tidak hanya mencakup dimensi
ekonomi tetapi juga mencakup dimensi sosial dan politik. Dalam
hal ini, konsep kesejahteraan dilihat bukan hanya meliputi kondisi
ekonomi dan penghasilan rumah tangga tetapi juga mencakup
kebaikan (benevolence), pertemanan, keadilan (Sumner 1996), modal
sosial, dan partisipasi politik (Alcock, Erskine dan May 2002).
Dari cakupan aspek di atas, secara teoritis, konsep kesejahteraan
mestinya diukur dengan indikator yang bersifat multi-dimensi,
yaitu dimensi ekonomi, sosial, dan politik. Namun demikian
banyak negara berkembang, termasuk Indonesia mengukur kesejahteraan
secara ekonomis. Indikator yang digunalkan oleh
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang
mencakup 24 ukuran dan yang diperkenalkan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) yang terdiri atas 14 ukuran merupakan contoh riil
indikator kesejahteraan berdimensi ekonomi.
Berbeda dengan negara berkembang, negara maju telah
menggunakan indikator multi dimensi. Perkembangan mutakhir
penerapan indikator kesejahteraan multi dimensi telah diadopsi
negara-negara kesejahteraan yang tergabung dalam negara-negara
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Pada tahun 2011, negara-negara yang tergabung dalam OECD telah
menggunakan indikator yang mereka sebut sebagai better life indeks
(BLI) yang mencakup beberapa ukuran yang meliputi pendapatan,
pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan, keseimbangan kerja
dan kehidupan sosial (work-life balance), keamanan, jaringan sosial,
kepuasan hidup, dan pelibatan masyarakat (civic engagement).
Sebelum BLI, masyarakat global juga sudah menerapkan indeks
pembangunan manusia (Human Development Index - HDI) yang
diperkenalkan oleh United Nations Development Programs. HDI
dan BLI sebenarnya merupakan turunan dari pendekatan kapasitas
(capability approach) yang dikembangkan oleh Amrtya Sen pada
tahun 1980-an (Gasper 2011). Pendekatan ini melihat kesejahteraan
sebagai suatu entitas yang bersifat multifaset. Pendekatan kapasitas
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
83
memfokuskan pada apa yang bisa orang lakukan dan bisa diraih,
bukan pada apa yang dimiliki.
Pluralisme Kesejahteraan
Konsep pluralisme kesejahteraan berkembang pada tahun
1980an ketika peran negara, terutama yang bisa dikategorikan
sebagai negara kesejahteraan dalam distribusi kesejahteraan
mengalami penurunan. Negara kesejahteraan yang mengalami
perkembangan pesat pada tahun 1940-an dianggap merupakan
model yang tepat untuk mengakomodasi upaya pencapaian pertumbuhan
ekonomi dan secara simultan juga menyelesaikan
masalah-masalah sosial akibat perang dunia kedua. Namun
demikian, seiring dengan dinamika perubahan sosial, negara
kesejahteraan tidak mampu mengakomodasi perubahan struktur
politik-ekonomi global yang mengarah pada reduksi peranan
sentral negara. Gelombang demokratisasi telah mereduksi kekuatan
negara dalam rezim kesejahteraan di negara kesejahteraan.
Walaupun konsep pluralisme kesejahteraan telah banyak dikaji
dalam studi kebijakan sosial dan ilmu politik namun pengertian
mengenai konsep ini memiliki variasi yang cukup kompleks.
Secara umum, konsep pluralisme kesejahteraan bisa diterjemahkan
sebagai suatu pendekatan dalam distribusi kesejahteraan yang
melibatkan multi aktor (Dahlberg 2005) yang mencakup negara,
perusahaan, rumah tangga, dan komunitas (Hatch dan Mocroft
1983). Dalam pendekatan ini, semua aktor distribusi kesejahteraan
menempati posisi yang setara (Midgley 1997; Spicker 1995). Dalam
model ini baik negara, kesempatan berpartisipasi dari semua aktor
dibuka selebar-lebarnya (Hatch dan Mocroft 1983; Walker 1989)
sehingga pasar, rumah tangga, dan komunitas (Hill 1996; Spicker
1995) memiliki kesempatan yang seimbang untuk memberikan
pelayanan sosial bagi masyarakat sebagai penerima pelayanan.
Dalam situasi demikian diharapkan ada relasi dinamis
yang saling mengisi keterbatasan kapasitas aktor. Sebagaimana
84
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
latar belakang konsep ini muncul karena negara menghadapi
kesulitan penganggaran distribusi kesejahteraan maka secara
normatif keterlibatan perusahaan dan komunitas, seharusnya
mengisi keterbatasan yang dihadapi pemerintah. Upaya mengisi
keterbatasan ini bisa dilakukan dengan cara substitusi (substitution)
dan pelengkapan (complementarity) peran (Dahlberg 2005). Dalam
substitusi peran, ketika negara menghadapi kekurangan sumber
finansial, negara terpaksa mengurangi perannya sehingga terdapat
suatu “ruang kosong” yang ditinggalkan negara. Dalam keadaan
demikian perusahaan dan komunitas bisa mengisi ruang kosong
tersebut dengan cara melakukan subsitusi peran negara. Dalam
sitauasi yang sama, ketika menghadapi kesulitan finansial negara
tidak menciptakan ruang kosong tersebut tetapi tetap “hadir”
dalam ruang tersebut, namun cakupan dan intensitasnya yang
dikurangi. Dalam situasi seperti ini perusahaan dan komunitas bisa
hadir untuk melengkapi peran negara dengan cara memperluas
cakupan dan memperkuat intensitasnya. Melalui substitusi atau
pelengkapan peran ini diharapkan akan tercipta suatu mekanisme
distribusi kesejahteraan yang lebih optimal. Salah satu wujud riil
dari gagasan ini adalah realisasi konsep public-private partnership.
Secara empiris, untuk mewujudkannya diperlukan keselarasan
pemahaman mengenai pengertian, indikator, upaya mewujudkan
konsep kesejahteraan. Tidak kalah dari isu keselarasan pemahaman,
juga diperlukan kesediaan untuk bekerjasama di antara para aktor
pelaku distribusi kesejahteraan. Ini kadang sulit terjadi karena
banyak isu. Beberapa isu tersebut misalnya adalah, keterbatasan
kapasitas pemerintah dalam perencanaan kesejahteraan sehingga
tidak mampu mengelola perwujudan substitusi atau pelengkapan
peran. Selain itu, adanya isu mal-administrasi seperti praktik
korupsi atau politisasi program distribusi kesejahteraan sehingga
membuat aktor di luar negara enggan untuk bekerjasama dengan
negara. Faktor yang lain, terdapat hubungan yang kurang harmonis
atau hubungan konflik di antara aktor distribusi kesejahteraan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
85
sehingga komunikasi dan kerjasama sulit dibangun di antara
mereka.
Terlepas dari berbagai kesulitan teknis di atas, konsep pluralisme
kesejahteraan didasari pada keinginan untuk melibatkan
aktor non-negara, terutama dari sektor privat. Gagasan ini muncul
dalam momentum yang tepat karena tidak lama setelah gagasan
tentang konsep pluralisme kesejahteraan ini diperkenalkan,
berkembang praktik CSR di tahun 2000. Salah satu definisi konsep
CSR yang sering diacu oleh banyak pihak adalah definisi yang
melibatkan masyarakat global baik lembega non-profit, lembaga
profit, praktisi, maupun akademisi. Menurut ISO 26.000, tanggung
jawab sosial merupakan suatu tanggung jawab suatu organisasi
pada dampak yang diakibatkan oleh pengambilan keputusan dan
kegiatan yang dilakukannya pada masyarakat dan lingkungan
yang diwujudakan dengan berbagai bentuk tindakan yang bersifat
etis dan transparan untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan, yang mencakup kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat (ISO 26000).
Pada tahun 2000 Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk
UN Global Compact sebagai suatu lembaga yang mengerangkai
konsep dan kegiatan CSR. Lembaga ini merupakan representasi
kerangka kerja sektor swasta untuk mendukung pembangunan
yang berkelanjutan dan terciptanya good corporate citizenship (UN
Global Compact: 10). Secara umum, tujuan yang ingin dicapainya
adalah: memberantas kemiskinan, menyelesaikan masalah buta
huruf, memperbaiki pelayanan kesehatan, mengurangi angka
kematian bayi, memberantas aids, menciptakan keberlanjutan
pengelolaan lingkungan, dan merangsang terciptanya kemitraan
dalam proses pembangunan. Dengan demikian, realisasi program
CSR diharapkan menjadi suatu sumber daya baru yang diharapkan
bisa mengambil sebagai peran substitusi atau pelengkapan peran
distribusi kesejahteraan.
86
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Namun demikian dalam praktiknya banyak program CSR
diwujudkan karena problem eksternalitas (externality) yang terjadi
karena kegiatan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan (Sumarto
2007). Eksternalitas merupakan suatu dampak yang diciptakan
oleh suatu kegiatan ekonomi yang dialami oleh pihak yang tidak
terlibat dalam kegiatan ekonomi itu (Stiglitz 2000). Eksternalitas
yang berwujud kerusakan ekosistem, telah menciptakan berbagai
permasalahan sosial pada masyarakat yang hidup di sekitar
perusahaan. Sektor privat yang seharusnya bertanggung jawab
terhadap eksternalitas, dalam banyak kasus, tidak menginternalisasi
ekses ekternalitas tersebut. Kondisi ini mengancam kehidupan
masyarakat yang hidup di sekitar perusahaan baik secara sosial
maupun secara ekonomis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
kondisi seperti ini memicu konflik antara perusahaan, masyarakat
lokal, dan pemerintah (CPPS dan UNDP 2003; Sumarto 2003).
Problem hubungan konfliktual tersebut muncul karena tidak
terdapat sistem yang komprehensif dalam merespon eksternalitas.
Kasus yang terjadi dalam sektor pertambangan cukup menarik.
Kesepakatan kontrak kerjasama antara sektor privat dengan
negara dibangun antara pemerintah pusat dengan perusahaan
pertambangan. Sementara itu pihak yang menanggung eksternalitas
yaitu masyarakat lokal dan pemerintah daerah tidak dilibatkan
dalam proses persetujuan tersebut (Mulyadi, 2003: 6). Dalam
kondisi seperti ini, perusahaan merasa telah memenuhi kewajiban
membayar pajak dan pungutan lainnya kepada pemerintah
pusat. Pada sisi yang lain, pemerintah daerah dan masyarakat
merasa berhak untuk mendapatkan kompensasi ekses munculnya
eksternalitas. Keduanya mencoba untuk mendapatkan hak mereka
dengan pendekatan mereka sesuai dengan kepentingan mereka.
Kondisi seperti ini mengarah pada terciptanya konflik. Dalam
situasi demikian, distribusi kesejahteraan yang dilakukan oleh
perusahaan melalui program CSR belum tentu menjawab problem
yang dihadapi masyarakat.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
87
Indikator Kesejahteraan Menurut Negara, Perusahaan, dan
Masyarakat.
Secara konstitusional Indonesia dapat dinyatakan sebagai
welfare state. Welfare state seringkali menunjuk pada peran negara
atau bahkan dominasi negara dalam menjalankan pembangunan
demi terwujudnya kesejahteraan. Namun demikian, pada dasarnya
keberadaan negara sangat penting, bahkan harus ada,
dalam memberikan perlindungan dan pelayanan hak dasar kepada
warganya. Walaupun demikian, kesejahteraan tidak akan
terwujud hanya dengan mengandalkan peran negara tetapi
perlu dilaksanakan secara bersama-sama oleh berbagai pihak
(stakeholders). Perlu pembagian porsi yang pas antara negara, sektor
swasta dan civil society. Mengenai pembagian porsi inilah yang
sebenarnya perlu untuk dikaji lebih lanjut sebelum membahas
mengenai kesejahteraan. Seperti apakah rasa tanggung jawab ketiga
sektor tersebut dalam mewujudkan kesejahteraan. Dari tanggung
jawab tersebut akan terlihat bagaimana irisan porsi yang seharusnya
masing-masing sektor lakukan. Pertama, negara dapat menjalankan
tugasnya melalui program-program yang sudah dirancang dengan
mendapatkan dukungan dari sektor swasta maupun masyarakat.
Negara tetap menjadi aktor utama dalam merencanakan program
sehingga masukan dari aktor yang lain tidak menjadi perhatian.
Implikasi lain yang muncul yaitu negara hanya akan membuka
kerjasama dengan aktor swasta maupun masyarakat ketika program
tersebut akan atau sudah dilaksanakan. Negara masih mempunyai
porsi yang lebih besar untuk “mengatur” aktor yang lain.
Kedua, aktor swasta maupun negara dapat saling mendukung
dan melengkapi. Namun demikian, berdasarkan apa yang sudah
dilakukan oleh aktor swasta dalam pelaksanaan CSR maupun
PKBL di Desa Kalitirto maupun Desa Tegaltirto, perusahaan
belum memulai kerjasama program dengan negara/pemerintah.
Perusahaan selama ini berkoordinasi dengan aktor representasi
negara di tingkat paling bawah, yaitu pada aparat pemerintah
88
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
desa maupun kecamatan, yang maka tidak mempunyai wewenang
sebagai pengatur program. Tipikal program dari pemerintah ratarata
adalah top down dan dilaksanakan sama hampir di semua
wilayah sehingga aparat pemerintah di level bawah hanya tinggal
menjalankan saja. Selain itu, perusahaan juga belum menyesuaikan
dengan program dari pemerintah sehingga yang terjadi adalah
adanya replikasi maupun adanya tumpeng tindih program. Hal
ini dapat dikatakan bahwa aktor swasta masih sekedar menunggu
dan belum mempunyai inisiatif untuk membahas pengaturan porsi
antara masing-masing aktor, terutama dengan aktor pemerintah.
Ketiga, terjadi koordinasi antara aktor pemerintah dan aktor
perusahaan dengan melibatkan masyarakat sehingga tidak terjadi
kebingungan pada saat program dilaksanakan. Faktanya,
masya rakat masih dijadikan obyek oleh negara maupun swasta.
Koordinasi mulai dari memetakan masalah hingga perencanaan
program masih sangat minim dilakukan. Masyarakat selama
ini hanya ditempatkan sebagai penerima program semata. Oleh
karena itu, masyarakat kadang menggunakan kearifan lokal dalam
pelaksanaan program agar semua program dapat berjalan. Oleh
karena program pemerintah biasanya top down dan program dari
perusahaan sudah terancang dengan baik maka kurang adanya
ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan. Ruang
memberi masukan sebenarnya ada namun hanya dapat di lakukan
ketika pelaksanaan maupun pasca pelaksanaan pro gram sehingga
masyarakat hanya sebagai penerima.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa masingmasing
aktor mempunyai tujuan masing-masing namun belum
dikoordinasikan. Masing-masing aktor mempunyai egoisme dalam
menjalankan program peningkatan kesejahteraan sehingga perihal
koordinasi dengan aktor yang lain masih belum menjadi prioritas. Di
Kabupaten Sleman, koordinasi masih sebatas menggunakan logika
administratif melalui surat dan laporan. Faktanya, kurang lebih 30%
dari seluruh total perusahaan yang sudah memberikan laporan.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
89
Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, tentang
Kesejah teraan Sosial, kesejahteraan masyarakat adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara
agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga
dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Dari Undang–Undang di
atas dapat kita cermati bahwa ukuran tingkat kesejahteraan dapat
dinilai dari kemampuan seorang individu atau kelompok dalam
usahanya memenuhi kebutuhan material dan spiritualnya. Ukuran
kesejahteraan bagi pemerintah dinilai berdasarkan hal-hal yang
sifatnya material yang mudah diukur.
Perspektif masyarakat berbeda-beda dalam melihat pengertian
kesejahteraan. Individu dikatakan sejahtera apabila telah memiliki
kehidupan yang berkecukupan, tidak hanya kebutuhan dasar
terpenuhi seperti sandang dan pangan tetapi juga papan. Hal lain
dapat dikatakan sejahtera apabila terpenuhi kebutuhan pendidikan,
keamanan, kenyamanan, perlindungan dan tidak hidup di daerah
tercemar. Pengertian kesejahteraan juga melihat apakah pemenuhan
kebutuhan sehari-hari telah terpenuhi. Pemahaman sejahtera
pun relatif tergantung pada perspektif masing-masing individu.
Tidak hanya terkait dengan aspek ekonomi dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari tetapi juga sosial budaya dalam masyarakat
sekitar. Namun disamping semua konsep kesejahteraan diatas,
masyarakat juga meyakini sebuah kesejahteraan itu berasal dari
rasa kecukupan tiap individu. Kesejahteraan tidak bergantung
pada kaya atau miskinnya seseorang namun pada seberapa besar
mereka menilai dan menjalani kehidupannya masing-masing.
Kesejahteraan tidak hanya dilihat secara material tetapi juga secara
non material termasuk spiritual. Bagi masyarakat, kesejahteraan
tidak cukup diukur berdasarkan kriteria kemiskinan yang ditetapkan
oleh pemerintah tetapi ada banyak hal diluar aspek material
yang mempengaruhinya. Misalnya, ukuran sejahtera tidak semata
hanya diukur dengan berapa pendapatan per-bulan melainkan
lebih dari itu yaitu bagaimana mereka melakukan manajeman
90
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
keuangan keluarga. Ada anggapan di masyarakat bahwa yang
bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan adalah
pribadi masing-masing sedangkan kedudukan negara hanya
mendukung dan membantu.
Oleh sebab itu, walaupun peran pemerintah dalam mewujudkan
kesejahteraan itu penting namun perlu adanya ruang bagi
masyarakat untuk turut serta. Dalam hal ini, kearifan lokal
masyarakat menjadi kunci terciptanya kesejahteraan, yaitu
bagai mana dengan apa yang mereka miliki dapat menjadi kekuatan
untuk mewujudkan kesejahteraan. Walaupun dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial
pasal 4 menerangkan bahwa Negara bertanggung jawab atas
penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Akan tetapi, apabila tidak
didukung oleh semua pihak termasuk masyarakat maka kesejahteraan
sosial akan sulit untuk tercapai.
Upaya Negara, Perusahaan dan Masyarakat dalam Mewujudkan
Kesejahteraan
Upaya meningkatkan kualitas hidup manusia dalam kaitannya
dengan peningkatan kesejahteraan keluarga bukanlah persoalan
yang mudah. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas
sumber daya manusia di dalam ruang lingkup keluarga, baik faktor
internal maupun eksternal yang nantinya akan berpengaruh pada
kesejahteraan tiap individu di dalamnya. Faktor-faktor tersebut
dapat berasal dari berbagai dimensi, dapat dilihat dari ketersediaan
akses dan kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya yang
terdapat pada lingkungannya, kondisi sosial geografis serta
kondisi kultural yang terdapat disekitarnya sangat berpengaruh
terhadap penilaian mengenai kesejahteraan dalam lavel keluarga.
Di sisi lain, fenomena kesejahteraan keluarga sesungguhnya
meru pakan realitas sosio-budaya yang penuh makna dan simbol
serta menyangkut pola perilaku. Seperti halnya masyarakat yang
terdapat di Desa Kaliajir dan Tegaltirto.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
91
Hasil wawancara yang dilakukan kepada masyarakat Desa
Kaliajir dan Tegaltirto menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan
yang dimiliki keluaranya rata-rata mengalami peningkatan.
Masyarakat merasakan banyak kesempatan-kesempatan yang
mereka dapat dari berbagai program pemerintah dan pihak swasta
dalam mengembangkan program-program baik pada level desa
atau bahkan pada level keluarga. Banyak bantuan-bantuan yang
berasal dari pemerintah atau swasta yang membuat usulan-usulan
masyarakat semakin mudah terealisasi. Selain itu terdapat juga
program-program pemerintah yang memberikan manfaat seperti
halnya program BPJS, bantuan pengembangan kelompok usaha
tani dan perikanan serta program-program pendidikan gratis serta
beasiswa yang dibantu oleh pihak swasta.
Upaya pemerintah untuk mengurangi masalah sosial bagi
rakyatnya sedikit telah membantu seperti adanya program
kesehatan, program pengembangan kapasitas usaha mandiri atau
kelompok serta bantuan-bantuan lain bagi masyarakat miskin.
Namun, setiap orang sering mendefinisikan pembangunan memang
cenderung normatif, sesuatu yang diharapkan terhadap perubahan
kekinian maupun dimasa depan. Namun jika pembangunan itu
mengakibatkan keadaan buruk yang tidak diharapkan, tidak
menghasilkan perbaikan masyarakat secara berarti. Demikan juga
terjadi pengkutuban hasil pembangunan oleh sebagian kecil warga
negara yang kekayaannya melimpah sedang sebagian besar warga
negara menikmati sebagian sisa dari apa yang telah dinikmati oleh
orang kaya.
Pada hakekatnya banyak program pembangunan yang
dilaksanakan oleh pemerintah bersama rakyat dengan tujuan
memberikan kemakmuran dan kesejahteraan pada rakyat dengan
harapan adanya kemandirian dari setaip masyarakat. Desa atau
kelurahan dan tokoh masyarakat atau ketua kelompok-kelompok
usaha mandiri mempunyai kedudukan yang penting dilihat dari
nilai-nilai positif yang dimiliki sebagai sumber perubahan dan
92
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
menyalurkannya kepada masyarakat pada level terkecil yakini RT
atau RW setempat. Namun, tidak jarang pada level pemerintah
desa sebagai lingkup pemerintahan yang paling dekat dengan
masyarakat tidak menjalankan tanggungjawab dan tugasnya
dengan semestinya. Seperti banyaknya bantuan yang dianggap
tidak tepat sasaran hanya diberikan kepada keluarga, atau
pemerintah desa yang kurang informatif kepada masyarakatnya.
Tidak jarang banyak program yang seharusnya dapat diikuti
masyarakat seperti pelatihan-pelatihan peningkatan skill yang
sepi peminat. Kesejahteraan dan kemandirian masyarakat perlu
didukung oleh pengelolaan pembangunan yang partisipatif. Pada
tatanan pemerintahan khususnya pemerintah desa sebagai lavel
pemerintahan terdekat dengan masyarakat, diperlukan kejujuran,
keterbukaan, tanggung jawab dan demokrasi, sedangkan pada
lavel masyarakat perlu juga dikembangkan mekanisme yang
memberikan peluang peran serta masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan bagi kepentingan bersama.
Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa serta
penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan telah menjadi
fenomena yang semakin kompleks, pembangunan pedesaan dalam
perkembangannya tidak semata-mata terbatas pada peningkatan
produksi pertanian. Pembangunan pedesaan juga tidak hanya
mencakup implementasi program peningkatan kesejahteraan
sosial melalui distribusi uang dan jasa untuk mencukupi kebutuhan
dasar. Lebih dari itu, pembangunan desa adalah sebuah upaya
dengan spektrum kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai
macam kebutuhan sehingga segenap anggota masyarakat dapat
mandiri, percaya diri, tidak bergantung dan dapat lepas dari
belenggu struktural yang membuat hidup sengsara. Karena itu
ruang lingkup pembangunan pedesaan sebenarnya sangat luas,
implikasi sosial dan politiknya pun juga tidak sederhana.
Banyak hal yang dilakukan masyarakat baik secara individu
atau kelompok masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
93
mereka, salah satunya dengan bergotongroyong untuk belajar
menjadi masyarakat mandiri. Berawal dari bantuan-bantuan
tetangga atau informasi-informasi yang berasal dari tetangga dapat
memberikan masyarakat mencapai akses yang dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Selama ini kedua kelurahan seperti di Kaliajir adan Tegaltirto
sudah merasakan manfaat dari gotong royong. Namun setiap
individu juga memerlukan keterampilan dalam mengolah potensi
dirinya sendiri dan mengasah keterampilannya. Hal ini dapat
dilakukan dengan adanya pendampingan yang tidak hanya
diberikan pada awal program pemberdayaan tapi juga diperlukan
pendampingan dan pelatihan-pelatihan yang berasal dari berbagai
pihak. Sejauh ini yang terlihat pada dua desa yakni desa Kaliajir dan
Tegaltirto telah banyak bantuan-bantuan baik berupa modal uang
atau barang untuk pengembangan usaha dalam hal ini mengarah
pada pembangunan ekonomi. Namun, tidak semua bantuanbantuan
tersebut disertai dengan pendampingan dan pelatihanpelatihan
untuk mengelolahnya sehingga bantuan-bantuan yang
ada tersebut tidak terpakai atau bahkan dijual. Hanya sebagian
dari beberapa program pembangunan kesejahteraan yang telah
berhasil bertahan karena adanya pendampingan dari berbagai
pihak, seperti pemerintahan, sektor swasta dan keagamaan. Salah
satu contoh adalah kelompok ternak ikan yang dilakukan dengan
bantuan modal serta pendampingan dari pihak Gereja. Tidak
hanya itu saja, di Desa Kaliajir setelah beberapa kali mendapatkan
bantuan dari Dinas Perikanan dan Kelautan telah merencanakan
langkah selanjutnya untuk menjadi kelompok mandiri. Dengan
desakan permintaan pasar yang cukup banyak saat ini, kelompok
nelayan harus menyediakan modal usaha yang tidak sedikit
sehingga mereka berencana membuat rintisan koprasi yang diawali
dengan adanya arisan.
Dari sisi lain, upaya pemerintah dalam menditribusikan
kesejahteraan beragam dan didukung oleh pendanaan yang lebih
94
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
kuat. Beberapa program pemerintah yang telah dilaksanakan di desa
Tegaltirto dan Kalitirto misalnya adalah program raskin, program
jaminan kesehatan nasional, dan PNPM. Di antara programprogram
itu, program Raskin yang paling sering dan paling
banyak mendapat kritik dari masyarakat. Dalam implementasi
kebijakan, Program Raskin telah cukup jelas apabila dilihat pada
sistem hukum dan aturan teknis pelaksanaannya. Namun fakta di
lapangan menunjukkan bahwa masyarakat masih mengeluhkan
mengenai ukuran seseorang dinyatakan berhak menerima raskin.
Selama ini masalah raskin dirasa kurang tepat sasaran, banyaknya
keluhan-keluhan masyarakat mengenai ketidak sesuaian data yang
berasal dari pusat dengan kondisi penerima yang ditunjuk.
Selama ini sering dan masih terdapat wilayah yang membagi
raskin secara merata, namun untuk dua desa di sekitar wilayah
oprasi Angkasapura Yogyakarta yakini Desa Kaliajir dan Desa
Tegaltirto raskin tidak lagi dibagikan merata pada semua
masyarakatnya namun diberikan sesuai data yang diterima dari
pusat. Namun masih terdapat masalah lain yang timbul dari
pendistribusian raskin, salah satunya ketidak sesuaian antara data
nama penerima manfaat dari pusat dengan kondisi real masyarakat
atau KK yang menerima raskin. Masalah lain adalah penerima
manfaat raskin terkadang hanya keluarga atau kerabat dari orang
yang bertanggung jawab mendistribusikan raskin pada penerima
manfaat. Sehingga sangat diperlukan pengawasan yang ketat dan
penyesuaian data secara rutin. Secara teknis penentuan RTS yang
dapat menerima Raskin sudah diputuskan oleh kelurahan yaitu
dari BPS, berupa kartu yang sudah ada nama dan alamatnya.
Kenyataannya ada warga miskin yang tidak dapat Raskin
sementara ada pula warga yang cukup mampu mendapatkan
kartu sehingga menimbulkan keresahan.
Untuk mengatasi masalah ini ketua RT dan RW juga
berperan dalam mengatur pembagian Raskin kepada warganya
yang berhak. Diperlukan fasilitator dan pengawas penerimaan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
95
raskin pada tingkat daerah. Minimal dengan adanya fasilitator
ini dapat menampung dan menyelesaikan berbagai pengaduan
masyarakat mengenai raskin dan pendistribusiannya. Dengan
ada nya mekanisme pengaduan dan pengawasan yang jelas dapat
memberikan umpan balik bagi pelaksanaan program pada tahaptahap
selanjutnya, selain menghindari munculnya berbagai aksi
kekerasan dan gejolak sosial. Pengembangan mekanisme pengaduan
ini juga sepatutnya membuka kesempatan bagi munculnya
inisiatif lokal dalam penyelesaian masalah yang dihadapi.
Selain bantuan raskin yang diperuntukkan keluarga miskin,
pemerintah juga mendorong adanya kemandirian masyarakatnya.
Melalui adanya kelompok-kelompok usaha kecil masyarakat
mendorong mayarakat untuk mandiri namun dengan kekuatan
bersama melalui kelompok. Sejauh ini telah banyak contohcontoh
kelompok usaha masyarakat yang berkembang dan
memeberikan manfaat lebih bagi anggotanya. Kelompok dijadikan
wadah individu-individu yang bergerak pada bidang usaha yang
sama untuk saling bekomunikasi dan bertukar ide informasi
pada individu lain atau bahkan pada kelompok lain yang tidak
tergabung dalam kelompok. Banyak respon-respon positif dari
masyarakat mengenai adanya kelompok-kelompok usaha mandiri
yang ikut dibantu oleh pemerintah.
Berbeda dengan program distribusi yang dilakukan oleh
pemerintah yang selama ini dilakukan secara otonom oleh negara,
program CSR sering dilaksanakan oleh perusahaan yang bermitra
dengan pihak lain. Kemitraan ini bisa dibangun secara partisipatif
bersama masyarakat atau bersama lembaga lain yang kurang
melibatkan masyarakat. Dengan adanya kerjasama terutama
dengan masyarakat maka konsep pembangunan partisipatif
dapat terealisasi dan berbagai sasaran peningkatan kesejahteraan
rakyat sekiranya dapat dicapai. Dengan begitu pemerintah juga
ikut mendorong peran sektor swasta juga sangat dibutuhkan,
dengan adanya UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
96
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Terbatas dan UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
yang mewajibkan perusahaan khususnya perusahaan yang
memanfaatkan sumber daya alam untuk mengeluarkan dana
tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan peraturan ini,
diharapkan sektor swasta terutama sektor atau industri yang
menggunakan sumber daya alam dalam menjalankan usahanya
agar dapat lebih meningkatkan perannya dalam mengatasi permasalahan
sosial seperti kemiskinan dan pengangguran melalui
kebijakan dana tanggung jawab sosial perusahaan terhadap
karyawannya atau yang biasa disebut dengan Corporate
Social Responsibility (CSR). CSR merupakan wujud komit ment
perusahaan untuk bertanggungjawab secara sosial dan lingkungan
terhadap dampak beroperasinya perusahaan tersebut
pada daerah dimana perusahaan tersebut berdiri.
Selama ini sektor swasta hanya dianggap sebagai pihak
yang hanya mencari untung dari proses produksi barang atau
jasa nya saja tanpa memperhatikan nasib masyarakat miskin,
sementara masyarakat dianggap sebagai objek pembangunan
yang tidak terlibat dalam proses pembangunan dan hanya
menerima program yang diberikan tanpa adanya kesempatan
untuk ikut dalam pembangunan tersebut. Implementasi dari
CSR sendiri mengarah pada pengembangan masyarakat atau
(community development) berupa kegiatan-kegiatan pengembangan
masyarakat yang dilakukan secara terencana, sis tematis
dan diarahkan pada akses masyarakat meningkatkan kesejahteraanya
secara mandiri.
Namun, konsep sebenarnya mengenai CSR dan community
development belum benar-benar diketahui oleh perusahaanperusahaan
swasta bahkan milik negara. Banyak perusahaanperusahaan
yang mengaku telah menjalankan CSR namun
hanya sebatasa pada pemberian sembako atau uang pada
masyarakat, peningkatan fasilitas fisik saja tanpa ada wujud
partisipasi dalam mewujudkan masyarakat yang mandiri. Hal
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
97
ini juga dapat dilihat pada salah satu perusahaan miliki negara
yang bergerak pada sektor jasa transportasi yakini Angkasa
Pura Bandara Adisutjipto Yogyakarta. Menurut keterangan
informan yang berasal dari dua desa, selama ini Angkasa Pura
memberikan bantuan berupa uang untuk peningkatan fasilitas
jalan dan bantuan berupa fisik tanpa proses pendampingan dan
evaluasi program. Bantuan-bantuan yang diberikan oleh pihak
Angkasa Pura terfokus pada wilayah Ring 1.
Selain itu, sebagian masyarakat Desa Kaliajir maupun
Tegaltirto mengeluhkan mengenai dampak dan gantirugi
kerusakan genting rumah akibat asap dari pesawat yang hendak
landing atau take off. Selain hembusan angin dari pesawat,
suara bising dan asap pesawat juga dikeluhkan masyarakat.
Pihak sekolah disekitarnya juga ikut terganggu. Proses belajar
seringkali terhenti karena harus menunggu pesawat yang
melintas diatas sekolah. Namun sejauh ini telah ada repon
mengenai dampak tersebut. Angkasa Pura memberikan bantuan
uang senilai Rp 50.000.000,00 untuk pengembangan laboratorium
komputer sekolah yang kemudian dinilai sangat membantu.
Menurut berbagai informan, pihak Angkasa Pura pernah
melakukan pembekalan keterampilan yang bekerja sama dengan
pihak lain, namun pada praktiknya pihak Angkasa Pura hanya
memilih masyarakat yang telah memiliki kemampuan untuk
dilatih, bukan mereka yang memang benar-benar tidak memiliki
keterampilan sama sekali. Konsekuensinya dampak yang terlihat
tidak signifikan karena tidak memunculkan orang-orang baru
dengan peningkatan kemampuan yang telah direncanakan. Selain
itu sebagian masyarakat menilai bahwa bantuan yang diberkan
oleh Angkasa Pura masih belum dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat disekitarnya. Kekurangan lainnya adalah tidak adanya
informasi, komunikasi dan koordinaasi pihak Angkasa
Pura dengan masyarakat. Pihak Angkasa Pura hanya meberikan
bantuan ketika masyarakat mengajukan proposal saja. Hal ini
98
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
tidak disertai dialog-dialog bersama untuk menentukan prioritas
kebutuhan masyarakat yang juga menunjang keberlanjutan
program.
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
pemahaman konseptual dan penggunaan indikator di antara negara,
perusahaan, dan masyarakat dalam upaya mewujudkan konsep
kesejahteraan sosial. Dari perspektif negara, negara memaknai
kesejah teraan dari dimensi ekonomi dan cenderung mengukur
kesejah teraan secara kuantitatif. Bagi negara, peningkatan
kesejah teraan bisa dilihat dari penurunan angka pengangguran,
penurunan angka kemiskinan, dan penurunan angka penerima
pro gram beras miskin (Raskin). Pemahaman ini menimbulkan
konsekuensi bahwa kebijakan peningkatan kesejahteraan sosial
yang dikembangkan oleh negara cenderung berorientasi pada
upaya mewujudkan program yang terukur secara ekonomis. Dari
pemahaman perusahaan, kesejahteraan dimaknai secara sektoral
dan perwujudannya diukur dari kinerja program secara ekonomis
dan fisik yang bisa dilihat secara kasat mata. Secara riil konsep
kesejahteraan ini diwujudkan dalam program-program CSR yang
berusaha meningkatkan kesehatan, meningkatkan pendapatan
rumah tangga miskin, dan memperbaiki kualitas infrastruktur
fisik. Sedangkan dari sisi masyarakat, kesejahteraan tidak hanya
dimaknai ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup melainkan
juga dilihat dari adanya rasa aman, nyaman, jaringan sosial
informal yang kuat, dan perlindungan sosial.
Kondisi ini menunjukkan beberapa hal berikut. Pertama,
upaya mewujudkan kesejahteraan yang dilakukan oleh negara,
perusahaan, dan masyarakat belum berjalan secara integral.
Upaya mewujudkan kesejahteraan yang dilakukan oleh negara,
perusahaan, dan masyarakat seharusnya saling melengkapi atau
memperkuat satu sama lain sehingga berbagai bentuk upaya itu
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
99
memiliki kekuatan yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan
sosial masyarakat. Kedua, upaya yang dilakukan oleh negara dan
perusahaan dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat
belum memberikan kontribusi seperti yang diharapkan. Ketiga,
program peningkatan kesejahteraan masyarakat yang diwujudkan
oleh negara dan perusahaan kurang memperhatikan aspek sosiokultural
yang ada di masyarakat. Permasalahan sosial yang
sering muncul antara lain konflik yang terjadi karena distribusi
kesejahteraan atau ketergantungan masyarakat terhadap program
yang dilakukan oleh negara.
Daftar Pustaka
Alcock, P., A. Erskine dan M. May (Eds.). 2002. The Blackwell
Dictionary of Social Policy. Oxford: Blackwell Publishers.
Barrientos, A. 2009. Labour Markets and the (Hyphenated) Welfare
Regime in Latin America. Economy and Society, 38 (1): 87-108.
Dahlberg, L. 2005. Interaction between Voluntary and Statutory Social
Service Provision in Sweden: A Matter of Welfare Pluralism,
Substitution or Complementarity? Social Policy and Administration,
39 (7): 740–763.
Davis, P.R. 2001. Rethinking the Welfare Regime Approach: the Case of
Bangladesh. Global Social Policy, 1(1): 79-107.
Easterlin, R.A. 2001. Income and Happiness: Towards A Unified Theory.
The Economic Journal, (111): 465-484
Goodin, R.E., B. Headey, R. Muffels dan H.J. Dirven. 1999. The
Real Worlds of Welfare Capitalism. Cambridge: Cambridge
University Press.
Goodin, R.E., J.M. Rice, A. Parpo dan L. Eriksson. 2008. Discretionary
Time: A New Measure of Freedom. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hatch, S. dan I. Mocroft. 1983. Components of Welfare: Voluntary
Organizations, Social Services and Politics in Two Local Authorities.
100
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
London: Bedford Square Press of the National Council for
Voluntary Organizations.
Hill, Michael. 1996. Social Policy: A Comparative Analysis. London:
Prentice Hall
Kaasch, A, M. Sumarto dan B. Wilmsen. 2016. Indonesian Social
Policy in a Context of Global Social Governance. UNRISD paper.
Kwon, H.J. 1997. Beyond European Welfare Regimes: Comparative
Perspectives on East Asian Welfare Systems. Journal of Social
Policy, 26 (4): 467–484.
Ife, James. 1995. Community Development: Creating Community
Alternatives-Vision, Analysis and Practice. Melbourne: Longman
Le Grand, Julian, C. Propper dan R. Robinson. 1992. The Economics
of Social Problems. Hampshire: Palgrave.
McMillan, J, dan B. Naughton, B. 1992. How to Reform A Planned
economy: Lesson from China. Oxford Review of Economic Policy, 8
(1): 130-143.
Merlevede, B. 2003. Reform Reversals and Output Growth in Transition
Economies. Economics of Transition, 11 (4): 649–669.
Midgley, James. 1997. Social Welfare in Global Context. Thousand
Oaks: Sage Publication.
Spicker, Paul. 1995. Social Policy: Themes and Approaches. London:
Prentice Hall.
Stiglitz, Joseph E. 2000. Economics of the Public Sector. New York:
WW Norton and Company.
Sumarto, M. 2013. Welfare Regime, Social Conflict, and Clientelism
in Indonesia. Tesis PhD, the Australian National University,
Canberra.
Sumarto, M., A. Kaasch dan B. Wilmsen. 2016. New Directions in Social
Policy in Developing World - Learning from the Indonesian Health
Insurance Program. UNRISD Paper.
Sumarto, S., A. Suryahadi dan W. Widyanti. 2010. Design and the
Implementation of Indonesia’s Social Safety Net Programs. Dalam
J. Hardjono, N Akhmadai dan S. Sumarto (Editor), Poverty and
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
101
Social Protection in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies.
Sumner, L.W. 1996. Welfare, Happiness, and Ethics. Oxford: Oxford
University Press.
Thee, K.W. 2004. Pembangunan, Kebebasan, dan “Mukjizat” Orde
Baru: Esai-Esai. Jakarta: Kompas.
________. 2010. A Brief Overview of Growth and Poverty in Indonesia
during the New Order and after the Asian Economic Crisis. In J.
Hardjono, N Akhmadai dan S. Sumarto (Editor), Poverty and
Social Protection in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies.
Walker, A. 1989. Community Care. In M. McCarthy (Editor), The
New Politics of Welfare: An Agenda for the 1990s? Basingstoke:
Macmillan.
Wei, S.J. 1997. Gradualism versus Big Bang: Speed and Sustainability of
Reforms. The Canadian Journal of Economics, 30 (4b):1234-1247.
Wilmsen, B., A. Kaasch dan M. Sumarto. 2016. Indonesian Social
Policy Development in the Context of Overseas Development Aid.
UNRISD paper
World Bank. 2012. Targeting Poor and Vulnerable Households in
Indonesia. Jakarta: The World Bank, Jakarta Office.
102
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Liberalisasi Pertanian, Perubahan Iklim dan
Marginalisasi Petani di Kabupaten Sleman
dan Gunungkidul
Hempri Suyatna 1 , Suharko 2 , Subando Agus Margono 3 dan
Bevaola Kusumasari 4
Pendahuluan
Jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian
pada tahun 2013 mencapai 38,07 juta orang atau menyerap tenaga
kerja di Indonesia sebesar 34,6 persen dari total tenaga kerja
Indonesia. Selain itu, berdasarkan Sensus Pertanian 2013 BPS
mencatat bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap produk
domestik bruto (PDB) selama sepuluh tahun terakhir mengalami
penurunan. Pada tahun 2003, sektor pertanian memberikan
kontribusi 15,19 persen terhadap PDB, namun pada tahun 2013
turun. Pada tahun 2013, sektor pertanian memberikan kontribusi
14,43 persen terhadap PDB (Warta Ekonomi 12 Agustus 2014).
Namun potensi besar di sektor pertanian tersebut tidak
berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan petani. Besarnya
potensi pertanian di Indonesia sepertinya gagal dikonversi menjadi
arena untuk mengakselerasi level kesejahteraan rakyat Indonesia.
Salah satu alat ukur kesejahteraan petani yang digunakan saat
ini adalah Nilai Tukar Petani (NTP). NTP dihitung dari rasio
1 Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas
Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:
hempry@yahoo.com
2 Dosen di Departemen Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia,
Bulaksumur, Yogyakarta.
3 Dosen di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada,
Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta.
4 Dosen di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada,
Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
103
harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar
petani (HB) dalam bentuk persentase (Ismanthono 2003:45).
Dengan kata lain konsep ini secara sederhana menggambarkan
daya beli petani. Asumsinya, jika daya beli petani tinggi, maka
level kesejahteraannya tergolong tinggi.Petani juga lemah posisi
tawarnya di dalam akses tata niaga khususnya terkait dengan
penetapan Harga Produk Penjualan Petani (Suyatna 2013).
Rendahnya tingkat kesejahteraan petani ini menyebabkan
terjadinya penurunan jumlah petani di Indonesia. Dalam survei
pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah rumah
tangga usaha tani di Indonesia pada tahun 2003 masih 31,17 juta
akan tetapi sepuluh tahun kemudian (tahun 2013), jumlah petani
menyusut menjadi 26,13 juta. Turun sekitar 5 juta dalam sepuluh
tahun atau kalau di rata-rata terjadi penurunan 1,75% per tahun
atau sekitar 500.000 petani. Penurunan jumlah petani ini sebagian
besar dari para petani kecil yang memiliki luas lahan sangat minim
yakni sekitar 0,3 hektar. Mereka meninggalkan profesi sebagai
petani karena penghasilan sangat minim, hanya sekitar Rp 200 ribu
per bulan, sangat jauh dari kebutuhan (Jawa Pos, 9 Maret 2015).
Kondisi tersebut diduga berkaitan dengan pergeseran orientasi
pembangunan ekonomi yang awalnya menitiberatkan pada sektor
pertanian dan sekarang bergeser menjadi sektor non-pertanian
tersebut yang terutama didorong oleh menguatnya paradigma
ekonomi neoliberal di Indonesia.Sebagaimana dikatakan Hardono,
et.al. (2004), suatu kebijakan pembangunan yang baik harus
mengandung tiga unsur yaitu ecological security, livelihood security
dan food security. Namun praktik pembangunan pertanian yang
berbasis tiga unsur tersebut berangsur-angsur hilang ketika
dihadapkan pada era globalisasi dan perdagangan bebas, terutama
ketika munculnya berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh
badan-badan internasional, terutama World Trade Orgazation
(WTO) yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan praktek
pertanian di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
104
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Kebijakan tentang Trade Related Intelllectual Propoerty Right
dan berbagai keputusan lain yang menyangkut pertanian, akan
mengubah ketiga aspek dasar kebijakan ketahanan ekologis
suatu sistem pertanian, karena keputusan seperti itu akan
mendorong terciptanya konsentrasi pemilikan sumberdaya
alam, dengan cara menghilangkan batasan kepemilikan terhadap
sumber alam tersebut. Nampaknya liberalisasi pardagangan
produk-produk pertanian tidak menjadikan pertanian menjadi
bebas. Sebaliknya liberalisasi perdagangan justru memperkuat
sentralisme pembangunan pertanian. Dalam era perdagangan
bebas, ketika negara tidak lagi mencampuri urusan pengembangan
sektor pertanian, negara tidak mengembalikan kekuasaan dan
fungsi petani untuk mengatur usaha tani mereka, tetapi justru
memfasilitasi penyerahan penguasaan sumber-sumber alam,
sistem produksi, sistem pemasaran dan perdagangan kepada
perusahaan agribisnis global. Terkait dengan aspek perdagangan
internasional, pemerintah Indonesia justru banyak meliberalisasi
pasar produk pertanian padahal aturan WTO masih memberi
kesempatan pemerintah untuk melindungi pasar domestik.
Subsidi pertanian seperti subsidi input dikurangi sangat drastis
oleh pemerintah Indonesia padahal negara-negara maju masih
memberikan subsidi sampai 300 milliar US$ tiap tahunnya kepada
sektor pertanian (The New York Times, 2 Desember 2002).
Selain itu, pemerintah Indonesia menerapkan tarif produk
pertanian impor yang rendah. Hal ini kontras dengan di negaranegara
maju.Proteksi yang sangat kuat pada sektor pertanian di
negara-negara maju ditunjukan dengan perlindungan produk
dalam negeri melalui penerapan tarif impor yang tinggi. Bahkan di
sejumlah negara eksportir beras, gula dan produk pertanian lainnya
tariff impornya sangat tinggi. Untuk gula, Uni Eropa menerapkan
297 persen, Jepang 361 persen, sedangkan Indonesia hanya 30 persen.
Di samping permasalahan yang terkait dengan ketersediaan
dan pengembangan lahan beririgasi, ketersediaan, akses, dan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
105
penerapan varietas unggul baru serta teknologi spesifik lokasi,
pengembangan produksi pertanian juga menghadapi permasalahan
yang terkait dengan ketersediaan anggaran pembangunan dan
penyediaan sistem insentif untuk mendorong peningkatan
produksi dan pendapatan petani. Penurunan anggaran pemerintah
dalam pengembangan infrastruktur dan subsidi pupuk berdampak
terhadap stagnasi atau penurunan produktivitas dan produksi
komoditas pertanian. Insentif yang diterima petani terdiri atas
dua komponen utama, yaitu subsidi sarana produksi (pupuk,
benih, kredit dan mekanisasi pertanian) dan proteksi harga hasil
produksi. Sejak pertengahan 1980-an, total insentif pemerintah
secara bertahap menurun. Penurunan subsidi sarana produksi
berdampak terhadap peningkatan biaya produksi dan penurunan
pendapatan petani (Simatupang et al. 2004).
Selain terkait faktor kebijakan pemerintah di sektor pertanian
yang tidak berpihak kepada petani kecil, serta berbagai variabel
ekonomi-politik internasional, salah satu tantangan bagi
pengembangan sektor pertanian di Indonesia adalah faktor alam
terutama fenomena perubahan iklim sebagai akibat dari gejala
global warming (pemanasan global). Isu perubahan iklim merupakan
tantangan multidimensi paling serius dan kompleks yang dihadapi
umat manusia pada awal abad ke-21. Semua negara-negara di
dunia merasakan ancaman dan tantangan dari perubahan iklim dan
pemanasan global ini yang terjalin erat dengan perilaku dan gaya
hidup manusia, keputusan politik, pola pembangunan, pilihan
teknologi, kondisi sosial ekonomi dan kesepakatan internasional.
Dampak negatifnya menjadi cepat meluas dari tingkat global hingga
ke tingkat lokal.Ketika suhu bumi semakin panas, pola curah hujan
berubah drastic, iklim dan cuaca menjadi lebih ekstrem. Seringnya
muncul bencana kekeringan, badai dan banjir maka gelombang
panas dan kebakaran hutan makin banyak dan meluas. Pada suhu
bumi yang mencapai titik panas tertentu, bongkahan es di kutub
dan salju dapat mencair dan menimbulkan gejala pemekaran air
106
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
laut, permukaan laut naik dengan kemampuan menenggelamkan
dataran rendah, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil padat penghuni
di negara-negara sedang berkembang. Puluhan juta rakyat miskin
yang rentan menjadi kekurangan air bersih dan semakin terancam
oleh gagalnya panen hasil pertanian, merosotnya produktivitas
dan hasil usaha tani, kebun dan perikanan.
Berkaitan dengan hal tersebut maka penelitian yang dilakukan
ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan berikut yakni:
1. Kondisi marginalisasi seperti apa yang dialami oleh petani,
khususnya petani tanaman pangan?
2. Kebijakan-kebijakan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah
pusat dan daerah dalam upaya mengatasi marginalisasi petani
tersebut?
3. Bagaimana jaringan relasi petani dengan para aktor bekerja
dalam upaya mengatasi gejala marginalisasi?
DPSIR dan Pembangunan Sektor Pertanian
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas,
kerangka analisis Drivers (driving forces), Pressures, State, Impacts
and Responses (DPSIR) akan dipergunakan untuk menganalisis
dan memahami data. Dalam kaitan itu, pada bagian awal sub-bab
ini akan dipaparkan kerangka umum DPSIR yang dikembangkan
oleh UNEP, yang selanjutnya diikuti oleh uraian kerangka DPSIR
dalam konteks pembangunan sektor pertanian.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
107
Gambar 5. Kerangka DPSIR
Source: http://lan.umces.edu
RESPONSES
Political and
stakeholders
prioritisations
DRIVERS
Human
demands and
lifestyles
DPSIR FRAMEWORK
PRESSURES
Human
activities
affecting the
environment
IMPACTS
Effects of
changed
environment
STATE
Physical,
chemical end
biological
conditions
(Sumber: http://ian.umces.edu)
Kekuatan Pendorong (Drivers)
1. Liberalisasi Ekonomi dan Perdagangan
Pembangunan sektor pertanian tidak dapat dilepaskan dari
pembangunan ekonomi secara umum, yang dalam beberapa dekade
terakhir diwarnai oleh pesatnya liberalisasi ekonomi. Liberalisasi
di sektor perdagangan yang dimotori oleh WTO telah mencakup
sektor pertanian. Produk-produk pertanian saat ini telah menjadi
komoditas perdagangan sebagaimana produk-produk industri.
Liberalisasi ekonomi merupakan penggunaan mekanisme harga
yang lebih intensif sehingga dapat mengurangi bias anti ekspor
dari rezim perdagangan (Ilham, s2003). Dengan adanya liberalisasi
ekonomi, terdapat kecenderungan semakin terbukanya pasar
domestik untuk produk-produk luar negeri sebagai konsekuensi
atas berkurangnya intervensi pasar. Perkembangan teknologi,
telekomunikasi dan transportasi semakin mendorong percepatan
dalam liberalisasi pasar (Kariyasa, 2003). Liberalisasi ekonomi
dianggap sebagai salah satu langkah efektif dalam meningkatkan
108
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
daya saing nasional di pasar global (Susastro, 2004: 2). Melalui
penggunaan teknologi baru, aplikasi teknologi baru, liberalisasi
mendorong kinerja perekonomian menjadi lebih efisien. Logika
perdagangan bebas dibangun dengan mendasarkan asumsi
bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara akan tercapai ketika
ada superioritas pasar bebas dan kebebasan individual (Friedman
dalam O’brien dan Penna, 1998 :92). Dengan demikian, jika
kebijakan tersebut mengganggu kinerja pasar harus dihapuskan
atau paling tidak diubah agar sesuai dengan prinsip pasar bebas.
2. Perubahan Iklim
Dengan Ibu kota negara dan hampir semua ibu kota provinsi
terletak di wilayah pantai. Jumlah Penduduk kurang lebih 230
juta, 65% penduduk tinggal di wilayah pesisir. Panjang pantai total
kurang lebih 81.000 km menjadi sangat rentan terhadap gangguan
cuaca atau iklim ekstrim karena variabilitas iklim dan/atau
perubahan iklim. Dampak pemanasan global tampak pada gambar
berikut ini.
Gambar 6. Dampak Perubahan Iklim
(Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2014)
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
109
Tekanan (Pressures) dan Kondisi Lingkungan (State)
Persoalan pertanian khususnya tanaman pangan tidak hanya
berkait dengan konsumsi dan produksi tetapi juga soal daya
dukung pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang
menjadi prasyarat melaksanakan pembangunan pertanian (Bahri,
2004): (1) akses terhadap kepemilikan tanah, (2) akses input dan
proses produksi, (3) akses terhadap pasar dan (4) akses terhadap
kebebasan. Ketimpangan kepemilikan tanah tampak semakin
melebar. Jika pada tahun 1983 indeks kepemilikan tanah 0,50
maka pada tahun 2003 indeks gini mencapai 0,72. Ketimpangan
kepemilikan aset di negeri ini amat akut dimana 56% aset nasional
hanya dikuasai 0,2% dari jumlah penduduk. Hal ini berarti aset
nasional hanya dikuasai 440.000 orang. Konsentrasi aset tersebut
62-87% berupa tanah. Sebaliknya 49,5% petani di Jawa dan 18,7%
petani di luar Jawa tidak memiliki tanah (Winoto dalam Khudori,
2013). Dengan demikian sangat logis ketika pertanian Indonesia
didominasi pelaku usaha kecil (gurem) dan 9,5 juta usaha rumah
tangga dengan penggunaan teknologi yang rendah.
Kepemilikan tanah yang timpang inilah yang menyebabkan
petani tidak memiliki basis material yang cukup di dalam
mengem bangkan produksi pertanian. Hasil penelitian Valeriana
Darwis (2008) mengungkapkan bahwa kontribusi pendapatan dari
pertanian bagi petani yang menguasai lahan antara 0,1 - 0,25 hektar
hanya 29% di Jawa Barat dan 24% di Sulawesi Selatan. Kontribusi
ini menjadi lebih besar apabila petani memiliki lahan lebih dari
satu hektar. Hal ini terlihat di Jawa Barat sebesar 79% dan 52% di
Sulawesi Selatan. Data ini menunjukan bahwa pendapatan petani
sangat tergantung dari luasan lahan garapan (Prihatin 2014).
Dampak (Impacts)
Permasalahan kesejahteraan petani tidak hanya dipengaruhi
oleh on-farm agribusiness tetapi juga oleh off-farm agribusiness. Arifin
(2001:100) menyatakan bahwa dunia agribisnis di negara – negara
110
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
berkembang termasuk di Indonesia umumnya merupakan suatu
“pertanian rakyat” dan hanya sedikit saja yang berupa “perusahaan
pertanian”. Walaupun keduanya tidak dapat dipisahkan dan
sangat menentukan kinerja secara keseluruhan pertanian
Indonesia, akan tetapi perbedaan pada skala usaha, penguasaan
tek nologi, kemampuan manajemen dan perspektif pemasaran
sudah cukup mewakili kenyataan bahwa keduanya merupakan
entitas yang sangat berbeda. Permasalahan off-farm agribusiness
yang dihadapi petani saat ini adalah mengalirnya arus globalisasi.
Makna globalisasi pada dasarnya adalah semakin menipisnya
batas-batas hubungan antar negara yang satu dengan negara yang
lain dalam berbagai hal, antara lain dalam hal ekonomi, politik,
migrasi, komunikasi dan transportasi.
Beberapa masalah mendasar yang masih banyak dihadapi oleh
petani dan negara pertanian di Indonesia adalah masih lemahnya
interlinkage antara penyedia input, pasar, negara pengolahan dan
lembaga keuangan dengan para petani kita. Sebenarnya negara
kita memiliki potensi pertanian dan sumber bahan baku yang luar
biasa namun belumdikelola dengan efisien. Komoditas perikanan,
perkebunan, tanaman pangan dan hutan yang luar biasa belum
dikelola secara efektif dan efisien untuk meningkatkan daya
saing dan memberikan nilai tambah bagi petani yang terlibat di
dalamnya.
Dimensi pertanian nasional mencakup aspek ketersediaan,
distribusi, dan konsumsi serta keamanan pangan. Pada aspek
ketersediaan pangan termasuk elemen: produksi, impor, ekspor,
cadangan dan transfer pangan dari pihak lain. Adanya elemen
ekspor-impor pada aspek ketersediaan pangan menunjukkan
bahwa kinerja ketahanan pangan nasional tidak terlepas dari
dinamika peran perdagangan (Arifin 2003; Simatupang et al. 2004).
Sedangkan berkaitan dengan dampak iklim, akan mempengaruhi
beberapa hal yakni kebakaran hutan, kemarau panjang,
gagal panen, dan berbagai bencana alam dan lingkungan. Dampak
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
111
perubahan iklim terhadap ekonomi mencuat setelah terbitnya
Stern Review pada awal 2007. Dalam review tersebut Stern menulis
bahwa perubahan iklim diperkirakan akan menimbulkan kerugian
ekonomi yang sangat berarti bagi dunia. Jika pemerintah di
negara-negara maju tidak berupaya menurunkan emisi gas rumah
kaca (GRK) dan pemerintah negara-negara yang terkena dampak
tidak melakukan adaptasi, maka kerugian akibat perubahan iklim
dapat mencapai 14 persen dari produk domestik bruto global pada
pertengahan abad ke 21.
Respon
Menurut Lubis dan Arianti (2001), beberapa upaya preventif
untuk menghambat dampak dari liberalisasi ekonomi yang lebih
buruk dapat dilakukan melalui upaya-upaya berikut : Peningkatan
kapasitas produksi melalui pengembangan teknologi; Menghitung
nilai kebutuhan riil beras secara nasional sebagai dasar kalkulasi
kebutuhan impor; Mengatur tata niaga yang tidak merugikan
produsen dengan bias kepada kepentingan konsumen; dan Ketegasan
pelaksanaan sanksi hukum dalam perdagangan.
Cukup tidaknya dan kurang lebihnya ketersediaan pangan di
suatu negara akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang dianutnya.
Wujud kebijakan tersebut akan mencerminkan sejauh mana negara
menempatkan sumber daya domestik (lahan, pengetahuan dan
sebagainya) yang dimilikinya. Ketika sebuah kebijakan dirakit
dengan mengabaikan sumber daya domestik dipastikan sumber daya
domestik terabaikan. Namun sebaliknya apabila sebuah kebijakan
negara dirakit dengan menempatkan sumber daya domestik pada
prioritas pertama dan utama maka dapat dipastikan sumber daya
domestik tersebut akan terus berkembang bahkan akan tetap lestari.
Negara-negara maju masih memberikan subsidi kepada petani
bukan karena negara tersebut kaya akan tetapi pangan adalah cermin
kedaulatan bangsa. Misalnya, di Amerika Serikat, pangan bukan
sekedar barang privat akan tetapi juga sebagai komoditas politik
112
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
dan strategis. Jika diperlukan, pemerintah AS dapat menggunakan
pangan sebagai senjata ampuh untuk menekan suatu negara yang
tidak sejalan dengan garis politiknya. Implikasinya, Jepang telah
merasakan embargo kedelai pada tahun 1974. Negara Uni Soviet
tercerai berai, manakala ekspor gandum dihentikan, padahal Uni
Soviet unggul di bidang senjata, militer dan politik namun amat
lemah di bidang pangan (Khudori 2008:305).
Metode Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kabupaten Sleman,
Kabupaten Gunung Kidul (Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta).
Untuk Kabupaten Sleman dipilih Kecamatan Moyudan (representasi
daerah pertanian irigasi teknis), dan Kecamatan Prambanan
(Pertanian tadah hujan). Sedangkan di Kabupaten Gunungkidul
dipilih Kecamatan Ponjong (daerah pertanian irigasi teknis) dam
Kecamatan Saptosari (Pertanian tadah hujan).
Perbedaan karakter dari dua daerah tersebut diharapkan
akan diperoleh komparasi yang menarik terkait bentuk-bentuk
marginalisasi dan strategi petani di dalam menghadapi marginalisasi.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah analisa
data sekunder untuk mencandra perubahan iklim, liberalisasi
pertanian dan marginalisasi petani, kemudian survey, wawancara
mendalam dilakukan kepada informan – informan di lokasi
penelitian serta melakukan review kebijakan untuk mengetahui
strategi dan efektifitas kebijakan dalam bidang pertanian.
Hasil Penelitian
Kekuatan Pendorong Tekanan, Dampak dan Respon Petani Di
Sleman
Selain liberalisasi pertanian, salah satu kekuatan pendorong
(driving forces) yang mempengaruhi pertanian adalah perubahan
iklim. Di Dusun Pendulan Sumberagung dan Nawung Prambanan
menunjukkan bahwa kondisi iklim dahulu lebih bisa diprediksi,
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
113
sedangkan sekarang sulit diprediksi. Dampaknya adalah munculnya
banyak hama, seperti walang sangit sehingga bulir padi dapat
kosong. Adanya hal tersebut membuat hasil penan menurun.
Selain itu, keberadaan hama semakin hari semakin bertambah.
Adapun untuk kualitas hasil produksi, otomatis kualitasnya akan
semakin berkurang. Perubahan iklim juga mempengaruhi lama
produksi karena masa penjemuran dalam kondisi normal cukup
1 hari sudah kering. Namun kalau hujan tidak dapat diprediksi,
proses penjemuran dapat memakan waktu 2-3 hari untuk kering.
Dalam estimasi Pak Cukri, kalau musim kemarau susutnya bisa
mencapai 15 kg. Sedangkan kalau musim hujan susutnya bisa
mencapai 20 kilogram.
Dari aspek pressures menunjukkan bahwa kepemilikan asset
tanah petani juga rendah. Ketergantungan petani terhadap pupuk
kimiawi menyebabkan kesuburan tanah pun juga menjadi ancaman
bagi keberlanjutan petani. PPL Moyudan pernah menghitung
bahwa untuk 1000 meter lahan yang ditanami padi varietas
cisadane, rata-rata menghasilka 6-7 kuintal gabah kering dan 11-
12 kuintal jerami basah. Jika hukum keseimbangan dilaksanakan,
secara logika sederhana petani telah zalim terhadap lahan. Untuk
membayar 6-7 kuintal gabah dan 11-12 jerami basah, petani hanya
“mengembalikan” 40 kg urea, 10 kg SP, tanpa pupuk kandang dan
damen. Penggunaan pupuk kimia yang intensif dan masif sebagai
warisan masa lalu ketika didorong untuk meningkatkan produksi
yang salah satunya adalah penggunaan pupuk kimia turut serta
mempengaruhi kesuburan tanah pertanian. Tanah dalam kondisi
sakit karena unsur hara tanah semakin turun. Sedangkan dari sisi
state, ada banyak kendala yang dihadapi para petani di Sleman.
MIsalnya tikus yang merajalela di Moyudan. Hama yang dihadapi
di Kecamatan Moyudan adalah tikus. Sejak puluhan tahun yang
lalu masalah tikus ini menjadi persoalan yang berat bagi pertanian
di Kecamatan Moyudan. Meskipun diakui bahwa pada musim
tanam terakhir jumlah tikus semakin berkurang. Jumlah hama
114
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
tikus ini diyakini sebagai dampak dari pola tanam padi-padi-padi.
Selain itu kondisi dari selokan yang sangat kotor dan keberadaan
ladang tebu, sehingga menjadi sarang tikus.
Perubahan iklim yang membuat semakin banyak hama
penyakit berkembang seperti wungkul sama dengkluk juga mempengaruhi
petani. Jadi padinya itu belum sampai mekatak (muncul
bulir padi) namun batangnya jadi tugel (seperti patah), sehingga
menyebabkan padi gabuk. Kerusakan tanaman ini mengurangi
produktivitas padi.
Kualitas tanah di Kecamatan Prambanan maupun Kecamatan
Moyudan saat ini tengah mengalami penurunan kualitas, dan
diindikasi kan sebagai tanah yang “sakit”. Kondisi ini terjadi
sebagai dampak dari penggunaan pupuk kimia yang berlebihan,
sehingga tanah kehilangan unsur haranya. Keberadaan Bimas
pada jaman Orde Baru yang salah satunya memaksa petani untuk
meng gunakan pupuk sebanyak mungkin untuk meningkatkan
produktivitas pertanian diyakini sebagai salah satu penyebab
“sakit” nya tanah.
Kekuatan pendorong, pressure dan state yang ada akhirnya
memberikan dampak negatif petani. Hasil dari pertanian dirasakan
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga
banyak yang menjadikan penghasilan dari pertanian ini sekedar
sebagai pekerjaan sampingan, atau mereka mencari pekerjaan
lain. Selain cenderung merugi, nilai tukar hasil pertanian (HPP) yg
diberlakukan pemerintah cenderung rendah.
Di dalam mengatasi berbagai kesulitan yang ada para petani
memiliki respon dan berbagai strategi survival. Di level pemerintah
mendorong kebijakan mekanisasi dalam pengolahan pertanian.
Di Kecamatan Prambanan untuk pengolahan tanah sendiri, saat
ini sebagian besar petani telah menggunakan traktor untuk lahan
basah. Hal ini terjadi karena saat ini sulit ditemukan sapi sebagai
tenaga untuk membajak tanah secara manual. Jikalau ada, hanya
beberapa saja yang masih menggunakan luku. Traktor sendiri
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
115
biasanya dari menyewa secara personal, atau menyewa milik
kelompok karena beberapa kelompok telah mendapatkan bantuan
traktor. Sedangkan untuk di wilayah lahan kering, beberapa telah
menggunakan traktor yang kecil. Namun di beberapa wilayah traktor
ini tidak bisa digunakan karena sulit untuk mengangkut traktor ke
wilayah tertentu. Namun pada umumnya di lahan kering, tanah
diolah dengan menggunakan dongkrak karena kerasnya tanah.
Sedangkan kelompok-kelompok tani juga melakukan antisipasi
di dalam mengatasi masalah tersebut. Salah satu masalah yang
dihadapi pertanian lahan kering adalah persoalan ketersediaan air.
Makanya cuma bisa sekali panen, setelah itu caisin, bayem, ketela.
Ada juga yang padi, lombok. Tapi yang pasti biasanya ada sisipan
ketela. Sekarang disiasati dengan pembangunan embung, angkruk.
Dalam level kelompok, keberadaan kelompok tani memiliki
peran yang besar dalam akses terhadap pupuk, maupun dalam
mekanisme pengajuan berbagai bantuan pemerintah. Kelompok
yang berkembang tidak sekedar menjadikan kelompok sebagai
kelompok pasif tetapi juga membentuk unit-unit sebagai respon
atas kebutuhan anggota kelompok.
Selain itu di kelompok-kelompok, terdapat seksi yang
meng urusi urusan tertentu, seperti untuk sarana produksi pertanian
(saprodi) dan elsinta. Bila kelompoknya aktif, bisa juga
mengadakan simpan pinjam. Beberapa kelompok juga memiliki
regu tanam. Modal sosial di dalam kelompok untuk menyepakati
peraturan bersama juga membuat hama tidak banyak. Contohnya
di Prambanan, hama tikus tidak banyak karena masing-masing
petani mempunyai kesadaran untuk menanam bersama dalam
satu hamparan.
Kekuatan Pendorong Tekanan, Dampak dan Respon Petani Di
Gunungkidul
Kekuatan pendorong (driving forces) yang mempengaruhi
pertanian di Gunungkidul adalah perubahan iklim. Pemanasan
116
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
global dan kondisi cuaca yang tidak beraturan menyulitkan petani
dalam melaksanakan kegiatan pertanian karena umumnya petani
tidak memiliki pengetahuna yang cukup mengenai terjadinya
perubahan iklim, dampaknya pada lingkungan khususnya
pertanian dan bagaimana mengantisipasi dampak dari perubahan
iklim tersebut. Dampaknya adalah sebagian petani harus memulai
menanam padi tidak bergantung pada bulan yang diprediksikan
akan memasuki musim penghujan, namun dimulai dari saat hujan
pertama tiba. Namun hal tersebut juga bersifat kondisional dimana
beberapa petani memilih memulai masa tanam lebih awal tanpa
menunggu hujan karena apabila menyesuaikan penanaman padi
pertama dengan musim hujan akan memakan rentang waktu yang
lebih panjang dan tidak menentu. Kegiatan tersebut bukan tidak
memunculkan dampak lanjutan. Menanam padi lebih awal tanpa
menunggu datangnya hujan juga membawa implikasi lain seperti
kemunculan hama. Pada akhirnya kualitas dan kuantitas hasil
produksi, akan semakin berkurang.
Sedangkan dari sisi pressures, adanya konversi lahan pertanian
juga menjadi ancaman serius bagi pertanian Gunungkidul. Luasan
lahan pertanian di Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo
sebesar 71,2% dari keseluruhan luasan lahan pertanian di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Apabila tidak melalui proses
pengawalan yang serius, jumlah lahan pertanian tersebut akan
berkurang dari tahun ke tahun dan terkonversi atau dialihkan
untuk perumahan maupun industri. Tekanan pertanian juga dapat
dilihat dari pemanfaatan lahan pertanian secara intensif, pola
tanam padi secara terus-menerus tanpa jeda juga turut berpengaruh
pada kesuburan tanah. Bagi petani di lahan basah maupun kering
mengoptimalkan lahan pertanian merupakan hal yang wajar
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di Kecamatan
Saptosari, termasuk dusun Planjan di dalamnya, panen padi hanya
sekali, dua kali sisanya palawija, semenatra di Ponjong 3 kali panen
padi. Meskipun di Planjan dengan keterbatasan kondisi geografis
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
117
yang didominasi perbukitan dan lereng tidak bisa melakukan
penanaman padi selama tiga kali berturut – turut dalam satu
tahun, namun masyarakat petani di daerah Planjan menggunakan
lahannya di daerah yang cenderung miring (lereng dan tebing)
untuk menanam pohon jati yang memiliki nilai jual tinggi. Namun
penanaman pohon jati tersebut pada akhirnya membawa dampak
negatif pula untuk kesuburan tanah tegalan. Selain itu, petani juga
mengalami ketergantungan terhadap pupuk dengan penggunaan
pupuk kimiawi yang intensif-masif. Petani pada umumnya masih
berpikiran bahwa pemberian pupuk urea merupakan komposisi
yang penting untuk tanaman. Pola pikir ini sudah terbentuk sejak
lama ketika pemerintah menggalakkan penggunaan urea secara
massif untuk mencapai tujuan swasembada beras. Namun pada
saat itu tujuan yang dipikirkan hanya bagaimana mandiri secara
pangan dengan menggalakkan swasembada beras, namun dampak
penggunaan urea secara massif dan intensif tidak dipikirkan.
Akibatnya setelah sekian lama konstruksi pikiran petani yang
terbangun adalah kewajiban penggunaan pupuk urea ketika
bertani. Padahal sebetulnya penggunaan urea maupun pupuk
kimia lain secara berlebihan akan mengurahi kesuburan dan
unsure hara dalam tanah yang pada akhirnya membawa implikasi
pada tidak sehatnya tanah dan mengurangi produktivitas tanah.
Dari aspek state, perubahan lingkungan/ekosistem pertanian
ditandai dengan ketidakseimbangan ekologi. Uret dan kera
menjadi hama yang belakangan menyibukkan petani di daerah
Planjan. Tikus dan kera menyerang jagung dan habitatnya di
lahan pinggiran pantai dan pinggiran hutan. kera tidak bisa
dibunuh/ dibasmi, karena merupakan hewan yang dilindungi.
Permasalahan petani muncul dengan hama baru. Hama yang saat
ini sedang merajalela dan belum ditemukan, yaitu kupu atau isep
yang bertelur dan menyebakan merebaknya penggerek batang.
Kekuatan dan tekanan terhadap pertanian tersebut akhirnya
menyebabkan terjadinya marginalisasi petani. Hasil pertanian
118
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
hanya sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan seharihari.
Kondisi ini ditambah dengan ketidaktepatan kebijakan
pemerintah. Kebijakan swasembada pangan merupakan bentuk
legal dari upaya pemerintah menyeragamkan pangan di Indonesia.
Kebijakan tersebut pada akhirnya malah menjadi sebuah blunder
karena ketika pangan masyarakat menjadi seragam yakni beras,
potensi pangan lokal menjadi semakin lemah atau bahkan hilang.
Selain itu juga ada ketidaktepatan subsidi pemerintah. Pemerintah
memberikan subsidi untuk pupuk, benih dan bantuan dalam
bentuk raskin, namun implementasinya masih jauh dari harapan.
Realisasi pupuk bersubsidi masih jauh dari kebutuhan petani,
benih subsidi juga tidak memadai secara kualitas dan kuantitas,
kemudian pembagian raskin pada akhirnya hanya menjadi permainan
tersistem yang menguntungkan tengkulak besar.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, petani, kelompok
tani dan pemerintah juga melakukan respon. Hal ini misalnya
dilakukan dengan upaya penanggulangan seperti melakukan
mekanisasi pertanian, menyesuaikan komoditas tanaman pangan
dengan karakter lahan dan musim, mengantisipasi hama, penyakit
dan organisme pengganggu tanaman, serta menggalakkan penggunaan
pupuk organik. Sementara sebagai startegi bertahan hidup
karena tidak dapat mengandalkan hasil pertanian sebagai satu –
satunya sumber penghasilan, mayoritas petani bekerja di bidang
selain pertanian (diversifikasi usaha).
Penutup
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada driving force,
pressures dan state yang mempengaruhi marginalisasi petani.
Driving force yang terlihat adalah adanya peningkatan jumlah
penduduk yang diikuti oleh meningkatnya kebutuhan pangan,
ketercukupan, ketersediaan & ketahananpangan, perubahaniklim
(climate change) yakni adanya gejala perubahan iklim yang
dirasakan dan dialami oleh masyarakat dan adanya kebijakan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
119
pertanian internasional seperti Liberalisasi sektor pertanian
melalui Agreement on Agriculture (AoA) oleh WTO yang diratifikasi
dalam berbagai kebijakan nasional dan daerah. Pressures terkait
dengan aktivitas petani yang menyebabkan terjadinya kerusakan
lingkungan. Misalnya pemanfaatan lahan pertanian secara
intensif, tanam padi secara terus-menerus tanpa jeda (misalnya
di Moyudan dan Ponjong), penggunaan pupuk kimiawi yang
intensif-masif (ketergantungan petani pada korporasi pupuk)
dan penggunaan pestisida (gejala ketergantungan petani pada
korporasi pestisida). Sedangkan aspek state berkaitan dengan
adanya perubahan lingkungan/ ekosistem pertanian di 4 lokasi.
Aspek state ini berkaitan dengan perubahan fisik (Lahan sempit
dan tidak subur (bantat) karena hilang unsur hara, Keterbatasan
air atau terlalu banyak air dan berlumpur dalam (di Moyudan).
Dari aspek biologi berkurangnya predator/ ketidakseimbangan
ekologi (tikus merajalela di Moyudan); munculnya jenis hama baru
(akibat iklim yang tidak berpola, di Prambanan). Sedangkan dari
aspek Kimiawi terdapat kandungan zat-zat kimia di lahan/tanah
sebagai residu dari pupuk kimia dan pestisida.
1. Tekanan-tekanan tersebut akhirnya memberikan dampak
yang cenderung negatif bagi para petani. Dampak yang dirasakan
adalah Pendapatan cenderung kecil/rendah; bertani itu
merugi (tidak menguntungkan). Selain cenderung merugi,
nilai tukar hasil pertanian (HPP) yang diberlakukan pemerintah
cenderung rendah. Hal ini mengakibatkan nilai tukar produkproduk
pertanian cenderung menurun dibandingkankan
dengan produk-produk industri manufaktur.
2. Dalam menghadapi marginalisasi, petani, kelompok tani
dan pemerintah daerah juga memberikan respon. Petani
misal nya melakukan dengan diversifikasi usaha/pekerjaan
untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka. Selain bertani,
banyak dari mereka yang kemudian menjadi buruh
banguan atau pedagang di kota. Kelompok tani juga men-
120
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
dorong pembentukan pupuk organic untuk menghindari
ke tergantungan atas pupuk kimiawi dan menekan biaya
produksi. Sedangkan Dinas pertanian juga melakukan
beberapa kebijakan misalnya dengan memelihara burung
hantu di area persawahan seperti halnya di Moyudan.
3. Kehidupan petani yang biasanya dilekatkan dengan sosok
yang tradisional, sederhana, menerima apa adanya, ternyata
dalam kaitan dengan marjinalitas menunjukkan fenomena
menarik. Mereka bisa saja memiliki rasionalitas, hanya saja
rasionalitas yang mereka kembangkan adalah rasionalitas
instant sebagai akibat kuatnya bentuk kebijakan pertanian
yang sangat rigid yang tidak hanya mengendalikan cara
bertanam namun sampai pada tingkatan bagaimana mengelola
pembelian pupuk. Di balik sosok yang tradisional, mereka di
klaim memiliki gaya hidup manja dan justru semakin tidak
berdaya di tengah kelimpahan ketersediaan sumber daya air.
Daftar Pustaka
BPS: Kontribusi Sektor Pertanian untuk PDB Turun. Warta
Ekonomi, 12 Agustus 2014.
Ismanthono, Henricus W. 2003. Kamus Istilah Ekonomi Populer.
Jakarta: Kompas
Khudori. 2004. Neoliberalime Menumpas Petani. Yogyakarta: Resist
Book.
____________. 2008. Ironi Negara Beras. Yogyakarta: Insist Press.
O’brien Martin dan Sub Penna. 1998. Theorising Welfare. London:
Sage Publications.
Kaimiya, M. 2002. 1990s : A Decade for Agricultural Policy Reform in
Japan: Breakaway from the Postwar Policy Research. Bogor: IPB
Kariyasa, K. 2003. Dampak Tarif Impor dan Kinerja Kebijakan Harga
Dasar serta Implikasinya terhadap Daya Saing Beras Indonesia
di Pasar Dunia. Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 1 (4).
Desember 2003. Bogor: Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
121
Lubis, Adrian D. dan Arianti, Reni K. 2011. Dampak Liberalisasi
WTO terhadap Ketahanan Pangan Beras dan Gula. Dalam
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember:
148-163
Prihatin, Djuni. 2014. Perilaku Petani Miskin Dalam Mewujudkan
Kedaulatan Pangan Rumah Tangga di Lahan Sawah dan Lahan
Kering Daerah Istimewa Yogyakarta. Disertasi Sekolah Pasca
Sarjana UGM Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi
Pembangunan.
Suyatna, Hempri. 2013. Menuju Kemandirian Petani. Jurnal
Sosiologi USK, Volume 3 (3) Juni.
Jumlah Petani Turun 500 ribu per tahun, Jawa Pos 9 Maret 2015.
122
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Merentang Kemandirian Desa 1
Janianton Damanik 2
Pendahuluan
Makalah ini diawali dengan uraian singkat tetapi penting
tentang konsep kemandirian. Arti sempit kemandirian adalah
“hal atau keadaan berdiri sendiri; tanpa bergantung pada pihak
lain” (KBBI, 2008). Jika dipadankan dengan bahasa Inggris ia
menemukan makna yang sama sebagai autonomy, yakni: “the
power or right of a country, group, etc., to govern itself” (www.
merriam-webster.com). Kedua arti itu saling melengkapi karena
memuat arti tentang kemampuan unit organisasi untuk mengatur
diri sendiri tanpa bergantung pada pihak lain. Dengan demikian,
kemandirian tidak dapat dilekatkan pada suatu objek jika objek
tersebut tidak (mampu) melepaskan diri dari intervensi pihak luar.
Jika logika sederhana ini digunakan untuk menelaah kemandirian
desa, maka akan muncul pertanyaan, misalnya: adakah fakta
empirik yang menunjukkan desa yang benar-benar mandiri dan
tanpa tergantung pada pihak lain? Terbukti, pada masa penggunaan
teknologi maju yang pesat saat ini hampir mustahil melepaskan
diri dari pengaruh eksternal. Desa pedalaman menemukan jalan
keluar dari keterasingannya ketika intervensi pembangunan
infrastruktur dari luar (telekomunikasi dan transportasi) merasuk
ke dalamnya. Apa yang bisa disaksikan di berbagai pelosok desa
adalah penggunaan teknologi komunikasi dan informasi (antenna
1 Paper ini pernah disapaikan sebagai bahan Pidato Ilmiah pada acara Dies Natalis
ke-51 Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa ‘APMD” Yogyakarta pada
tanggal 17 November 2016.
2 Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas Gadjah
Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:
antondmk@yahoo.com
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
123
parabola, jaringan telepon bergerak dan sebagainya). Artinya,
secara umum tampak bahwa desa yang maju, sebaliknya, justru
sangat bergantung pada dukungan pihak luar atau beradaptasi
dengan perubahan yang terjadi di luar desa (Pirie, 2006: 100).
Belum lama berselang, Bappenas & BPS (2015:3) mengklaim
hampir sebanyak 2.900 dari 74.093 desa di Indonesia merupakan
desa mandiri dan sisanya berstatus “desa berkembang” dan
“desa tertinggal.” Desa Mandiri diartikan sebagai desa yang telah
memenuhi Standar Pelayanan Minimal, yakni “kebutuhan sosial
dasar, infrastruktur dasar, sarana dasar, pelayanan umum, dan
penye lenggaraan pemerintahan, serta kelembagaan desa yang
berkelanjutan” (Bappenas & BPS (2015: 3). Jelas sekali indikator
yang digunakan adalah ketersediaan standar layanan minimal.
Pertanyaan berikut, dengan cara apa layanan itu terpenuhi?
Apakah desa yang mampu memenuhi layanan minimal itu otomatis
tergolong desa mandiri, meskipun sumber-sumber pemenuhannya
berasal dari luar desa?
Pertanyaan singkat di atas sengaja diajukan untuk mengajak
kita semua memahami bahwa kemandirian desa tidak mungkin
tercapai tanpa kerjasama dengan, tapi minus campur-tangan pihak
luar. Kemandirian desa itu juga bukanlah produk pekerjaan instan
dan sporadis yang bersandar pada capaian target fisik. Mengabaikan
tendensi untuk melihatnya sebagai ilusi politik, kemandirian
desa harus dipahami sebagai suatu kondisi di mana desa mampu
menentukan pilihan-pilihan sendiri untuk berkembang maju
(progresif) sesuai dengan dan mengatasi persoalan sendiri dengan
menggunakan sumberdaya sosial, ekonomi, budaya, lingkungan,
dan politik yang tersedia. Konsep sederhana ini menegaskan
suatu prakondisi kesiapan memilih peluang yang sesuai dengan
kondisi nyata lingkungannya untuk mencapai kesejahteraan
desa. Kemampuan menentukan pilihan-pilihan inilah yang harus
dipandang sebagai esensi kemandirian desa.
124
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Oleh karena itu, makalah ini akan mengupas persoalan pilihanpilihan
yang tersedia bagi desa dan berbasis sumberdaya lokalnya
untuk mencapai kemandirian. Tujuannya adalah untuk menegaskan
posisi atau status kemandirian desa berdasarkan pilihan-pilihan apa
yang mampu mereka lakukan untuk mempertahankan eksistensi
atau memajukan diri dengan memanfaatkan sumberdaya yang
tersedia. Agar lebih memudahkan pemahaman kita, maka posisi
kemandirian desa dianalogikan sebagai kondisi kemerdekaan suatu
negara yang dicapai melalui proses panjang dan terakumulasi oleh
berbagai usaha dan pengorbanan banyak pihak.
Sekadar Kemadirian Politik?
Semangat kemandirian desa mulai menguat sejak persoalan
tata kelola desa diatur secara lebih khusus di dalam Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 2005 dan kemudian lebih ditegaskan
lagi dalam UU No. 6 Tahun 2014. Iklim kemandirian itu terekam
dalam perubahan tata kelola desa pada empat hal berikut,
yakni: a) kebebasan desa dari pengaruh unit pemerintahan yang
lebih tinggi; b) ketersediaan ruang bagi keragaman budaya dan
tanggungjawab terhadap aspirasi lokal; c) pemisahan kekuasaan
melalui pembentukan/pemilihan BPD; d) pertanggungjawaban
Kepala Desa kepada BPD (Antlöv, dikutip Antlöv Wetterberg &
Dharmawan, 2016: 164; Pasal 17 butir c UU No. 6 Tahun 2014).
Membebaskan diri dari belenggu satuan pemerintahan yang lebih
tinggi yang berlangsung terutama selama Orde Baru membuat desa
mampu berimprovisasi untuk mengembangkan diri dan mengelola
sumberdaya sendiri. Demikian pula pemisahan kekuasaan antara
lembaga eksekutif (kepala desa) dengan lembaga legislatif (BPD)
mampu menyediakan ruang terbuka bagi warga desa untuk
mengendalikan pemerintahan desa, sehingga menghindari desa
dari kepemimpinan diktatorial (Hunter, 2004: 105). Tidak kalah
penting tentu saja efek dari kewajiban Kepala Desa memberikan
laporan pertanggungjawaban tahunan kepada BPD terhadap
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
125
kemandirian desa mengurus kepentingan internalnya yang
sebelumnya diambil-alih oleh Pemerintah Kabupaten. Artinya,
kemandirian desa dalam konteks keberdayaan politik semakin
terangkat ke permukaan dan membuka peluang bagi desa untuk
berkembang secara berkelanjutan.
Terkait dengan hal ini, ada satu catatan kritis yang perlu
diberikan. Pertambahan jumlah desa secara signifikan di satu sisi
menunjukkan atmosfir kemandirian desa yang positif, tetapi di sisi
lain ia juga menimbulkan distorsi dalam bentuk ambisi berlebihan
untuk membentuk desa-desa baru. Desa baru muncul dengan
pertimbangan yang tidak fundamental, misalnya penguatan tata
kelola administrasi. Di tingkat kabupaten ada kesan kuat, bahwa
pemekaran wilayah tidak berjalan efektif untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Beberapa waktu yang lalu dilaporkan,
bahwa sekitar 80% daerah pemekaran tidak menunjukkan
kinerja yang baik, bahkan tidak sedikit di antaranya mengalami
kemunduran (Tryatmoko 2014:194). Sebagaimana dilaporkan oleh
seorang peneliti, “pemekaran daerah ternyata memecah soliditas
kekuatan lembaga-lembaga sosial, politik, dan pemerintahan di
daerah sehingga demokrasi dan sistem pemerintahan lokal tidak
dapat berjalan dengan baik” (Tryatmoko 2014:194).
Versi yang mirip dengan itu juga terjadi di tingkat desa.
Usulan penambahan desa hampir tidak pernah berhenti. Data
menunjukkan, tahun 2013 tercatat sebanyak 72.944 buah desa (Sidik
2015), selain kelurahan, di Indonesia. Dalam waktu yang singkat,
tepatnya tahun 2015, jumlah desa bertambah menjadi 74.093 buah
(BPS 2016) 3 atau sebanyak 1.149 buah hanya dalam dua tahun.
Dengan rasionalitas sederhana dapat diduga bahwa pertambahan
ini tidak steril dari motif politik sesaat, baik dalam konteks
perebutan kekuasaan politik desa maupun sumberdaya finansial
yang digelontorkan oleh pemerintah pusat. Hal ini terekam dari
berbagai sumber. Misalnya, aparat pemerintah desa menginginkan
3 Lampiran Permendagri No. 39 Tahun 2015.
126
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
kelurahan di pinggiran kota difungsikan sebagai desa. Alasannya,
PAD kota tidak mampu mendanai pengembangan kelurahan. Jika
kelurahan tersebut beralih-fungsi menjadi desa, maka ada harapan
untuk memperoleh dana bantuan desa yang jumlahnya 1 milyar
per tahun 4 (Ariyanti 2016).
Para peneliti menemukan kecenderungan bahwa Undang-
Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa akan meningkatkan
daya tanggap pemerintah lokal terhadap kebutuhan masyarakat
perdesaan (Antlöv, Wetterberg dan Dharmawan 2016) yang
sebelumnya banyak terabaikan. Dukungan yang diberikan, antara
lain keuangan dan kelembagaan baru, pasti akan membawa
perubahan yang signifikan menuju penguatan kapasitas ekonomi
dan politik desa. Misalnya, alokasi dana desa yang mencapai
Rp 1,5 milyar per tahun dapat memicu kegiatan ekonomi desa.
Namun demikian, harus diantisipasi bahwa dukungan ter sebut
juga berpotensi untuk tidak memandirikan desa karena menciptakan
ketergantungan sepihak pada pemerintah. Hal ini dapat
dilakukan, antara lain dengan cara membuat perencanaan bertahap
dan siklikal pengembangan desa (Lewis 2015) dan batas-batas
dukungan yang rasional.
Tanpa mengabaikan perubahan positif yang terjadi, iklim
baru, yakni otonomi desa, itu juga secara faktual telah menciptakan
deviasi yang mengacaukan karena otonomi daerah lebih sering
menampakkan wajah arogansi politik lokal yang eksesif, mulai
dari kontestasi Pilkada, ambisi pemekaran wilayah, konsentrasi
kekuasaan politik di tangan segelintir elite lokal yang justru
meminggirkan masyarakat lokal itu sendiri dari demokrasi yang
ingin ditegakkan oleh otonomi daerah. Deviasi atau ekses otonomi
tersebut berujung pada perilaku korupsi yang subur di kalangan
elite lokal dan ditanamkan ke kehidupan masyarakat, misalnya
melalui politik uang dalam Pilkada, yang pada akhirnya menjadi
ancaman serius bagi demokrasi di aras lokal (Hunter 2004). Bahkan
4 Hasil komunikasi pribadi dengan Pejabat Kelurahan Kutawaru, Kota Cilacap, 7
November 2016.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
127
di beberapa daerah yang sebelumnya sepi dari hiruk-pikuk politik,
otonomi politik dengan mudah menciptakan tensi dan rivalitas
politik di kalangan elite desa, mulai dari pemimpin adat, pemimpin
agama, hingga birokrat lokal desa, khususnya berkaitan dengan
pemilihan kepala desa (Kingsley 2012).
Keberadaan BPD memberikan peluang pemberdayaan
masya rakat desa, tetapi jalan menuju kemandirian desa yang
dilan dasi oleh rasa percaya diri, pengihidupan yang terjamin,
dan berkurangnya penduduk miskin (Hunter 2004) tetap masih
pan jang dan banyak tantangan (Prabaningrum 2015). Artinya,
meraih kemandirian politik bukanlah terminal pencarian sosok
kemandirian desa yang utuh, tetapi hanya salah satu prasyarat saja.
Meskipun iklim politik telah mendukung kemandirian desa, ia
masih menjadi sesuatu yang baru diterjemahkan ke dalam kebijakan
dan perencanaan pembangunan di tingkat lokal. Masih dibutuhkan
waktu yang tidak singkat untuk mewujudkan kemandirian yang
faktual, yakni kemandirian yang melembaga. Maksudnya adalah
kemandirian yang diyakini oleh seluruh masyarakat sebagai
kondisi ideal untuk mencapai kesejahteraan bersama. Di sini, desa
tidak perlu lagi menoleh model pembangunan apa yang harus
dipilih untuk desa selain menunjukkan model yang sedang diikuti
sesuai dengan pilihan yang dibuat sendiri.
Ekses-ekses politik, ekonomi, dan lingkungan yang tidak
terbayangkan sebelumnya berpotensi mengancam kemandirian
desa di masa yang akan datang. Oleh sebab itu kemandirian desa
perlu direntang untuk tidak sekedar menunjukkan otoritas politik
yang lebih besar dalam penentuan arah pembangunan desa. Lebih
dari itu, kemandirian harus mencakup kemampuan menentukan
pilihan mempertahankan atau bahkan mengakumulasi sumberdaya
ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan dari tarikan kuat
kepentingan luar desa. Pengalaman sudah menunjukkan, desa-desa
di Indonesia bertambah dan bertumbuh secara kuantitatif, tetapi
pertambahan itu jarang berkorelasi positif dengan ketangguhannya
128
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
mengelola dan mempertahankan sumberdayanya. Sedikit saja
guncangan alam, misalnya, kemarau panjang, banjir, gagal panen,
dan sebagainya, desa segera setengah lumpuh yang diikuti oleh
pengalihkuasaan sebagian sumberdaya ke pihak luar atau migrasi
tenaga kerja. Jadi, kita sulit memahami fakta tentang kemandirian
desa jika semua atau sebagian sumberdaya penghidupan
masyarakat desa itu dengan mudah tersedot keluar (leakage) dan
hanya menyisakan jumlah yang hanya mampu sekedar bertahan
hidup desa di tingkat dasar.
Rentangan Kemandirian
Untuk itu kemandirian desa perlu diperluas dengan pembobotan
kapasitasnya untuk memiliki enam aspek berikut ini,
yakni: tata kelola, diversifikasi ekonomi, kesesuaian infrastruktur,
keterkaitan desa dengan kota, relasi jender, dan keberlanjutan
lingkungan. Desa mandiri berarti ia memiliki tata kelola yang baik.
Memiliki kegiatan ekonomi yang beragam sangat penting bagi
desa, karena dengan itu produk ekonominya, jenis keahlian tenaga
kerjanya, dan sumber pendapatan rumah tanganya juga bervariasi
dan semua hal ini mampu menahan guncangan ekonomi yang
tidak terduga. Kesesuaian infrastruktur desa akan menentukan
kebermanfaatannya bagi masyarakat desa. Relasi desa dengan kota
secara proporsional mampu menghindari ketimpangan regional
dan pembentukan kantong-kantong miskin daerah pinggiran yang
umumnya berbasis desa. Kesetaraan jender akan melipatgandakan
kemampuan sumberdaya manusia perdesaan untuk mencapai
kesejahteraan, karena perempuan memiliki ruang yang lebih
luas untuk mencapai kemandirian pekerjaan dan pendapatan,
pendidikan dan kesehatan. Struktur demografi yang seimbang
memampukan desa memutar rodak perekonomian lokal berkat
ketersediaan tenaga kerja yang cukup dengan ketrampilan yang
sesuai. Keberlanjutan lingkungan mencegah desa kehilangan
sumberdaya yang menjadi basis penghidupan masyarakat.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
129
Lebih lanjut paparan berikut ini akan menjelaskan masingmasing
aspek fundamental kemandirian desa tersebut.
Tata Kelola (yang Baik)
Tata kelola atau “cara menata dan memerintah warga atau
cara mengadministrasi dan mengatur masalah pemerintahan”
(Nanda 2006:273) desa sudah lama menjadi isu yang terabaikan
meskipun sangat elementer dalam pembangunan perdesaan.
Pengabaian tersebut mengakibatkan desa sering hanya diwakili
oleh keberadaan elite pemerintahan desa yang berdampak pada
wacana pembangunan desa hanya berputar di sekeliling elite
tersebut. Melalui tata kelola yang baik, hal itu dapat dihindari
sekaligus menghadirkan tiga elemen lain dari aktor-aktor tata
kelola, yakni masyarakat politik yang diwakili oleh Badan
permusyawaratan Desa, masyarakat sipil yang diwakili oleh
institusi dan organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat ekonomi
yang diwakili oleh organisasi produksi dan distribusi ekonomi
desa (Sidik 2015:118). Peran dan interaksi keempat aktor tersebut
akan menentukan bentuk dan ragam program pembangunan
desa dan lebih menjamin kesesuaian program dengan kebutuhan
yang dirasakan oleh masyarakat desa. Karena itu, tata kelola yang
baik adalah “instrumen yang menjamin implementasi programprogram
yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat’
(Mkandawire 2007:681).
Tata kelola yang baik juga menguatkan kemampuan desa di
dalam menentukan pilihan-pilhan dalam arena pembangunan.
Keputusan untuk menentukan apakah suatu program pembangunan,
baik yang diinisiasi oleh pemerintah pusat maupun oleh
kelompok kepentingan di desa, bukan lagi didasarkan semata-mata
pada usulan salah satu aktor pengelola desa secara elitis, tetapi
merupakan sintesis pemikiran dan usulan dari bawah (bottomup)
yang disalurkan melalui dan direpresentasi oleh tiga aktoraktor
lain. Oleh karena bersandar pada inisiasi bersama kelompok
130
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
kepentingan desa, maka campur-tangan luar dalam menentukan
pilihan semakin menipis dan orientasi program pembangunan
desa terfokus pada kebutuhan-kebutuhan desa.
Diversifikasi Ekonomi
Pada masa lampau kehidupan ekonomi desa sering disebut
monoton karena bertumpu pada sektor pertanian. Namun saat ini
keberagaman aktivitas ekonomi desa semakin menonjol karena
introduksi berbagai inovasi dan dampak internaksi desa dengan
ekonomi perkotaan. Fenomena ini dapat dipandang sebagai hal
yang positif bagi desa. Diversifikasi ekonomi jelas akan menjamin
kemandirian desa. Logika sederhana dapat diajukan untuk itu.
Kegiatan ekonomi yang beragam memberikan peluang
kepada warga desa untuk lebih fleksibel menghadapi perubahanpe
rubahan yang terjadi dan berpengaruh negatif terhadap
kegiatan ekonomi monokultur, misalnya pertanian. Desa nelayan,
misalnya, sering menjadi gambaran desa yang rawan, rentan,
dan tidak mandiri akibat tergantung pada aktivitas penangkapan
ikan. Ketika gelombang laut sangat tinggi, para nelayan terpaksa
menganggur, sehingga denyut ekonomi desa hampir berhenti total
(Anonim 2015a). Kemampuan desa sepertu itu untuk melakukan
diversifikasi usaha ekonomi pada gilirannya terbukti mampu
untuk menghindari desa dari kerentanan yang akut dan kemudian
memperkuat kemandirian (Sakuntaladewi dan Sylviani 2014:289).
Diversifikasi ekonomi juga membantu desa untuk mengurangi
tekanan dan eksploitasi berlebih pada sumberdaya lingkungan
yang secara potensial menurunkan derajat mutu lingkungan
desa. Perlu dicatat, bahwa kemandirian desa tidak mungkin
dicapai jika lingkungan alam desa rusak. Jadi untuk mengurangi
tekanan lingkungan oleh aktivitas pertanian yang intensif, maka
pengalihan ke aktivitas ekonomi non pertanian (non-farm dan offfarm)
merupakan jawaban yang sangat masuk akal. Tentu saja alihaktivitas
ekonomi tersebut tidak selalu diikuti dengan alih-fungsi
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
131
lahan secara massif, tetapi justru menciptakan unit-unit usaha
ekonomi baru berbasis pertanian, seperti keajinan atau pengolahan
hasil pertanian itu sendiri.
Kesesuaian Infrastruktur
Salah satu persoalan kemandirian desa adalah keterbatasan
jumlah dan mutu infrastruktur ekonomi dan sosial. Hal ini menjadi
titik lemah yang sering memaksa desa bergantung pada bantuan
dari luar, khususnya pemerintah pusat. Keberadaan Dana Desa
dapat dilihat sebagai salah satu bukti ketergantungan desa pada
bantuan luar, selain berbagai dukungan yang diberikan oleh
lembaga non-pemerintah.
Di sisi lain, kemandirian desa juga sering melemah ketika
dihadapkan pada pilihan yang sulit terkait dengan penyediaan
infrastruktur yang pembiayaannya bersumber dari dana pemerintah
pusat. Syarat dan ketentuan yang didasarkan pada kepentingan
pemberi dana berlaku mutlak. Desa yang ingin memperbaiki
infrastruktur ekonomi terpaksa mengalah atau tunduk pada
ketentuan tersebut, sehingga desalah yang menyesuaikan diri
dengan program dengan sejumlah syarat yang berlaku. Persoalan
tidak selesai, sebab realitas di lapangan tidak selalu sesuai dengan
apa yang dituntut oleh program. Namun, daripada melepas
peluang untuk ‘membangun desa’, akhirnya program penyediaan
infrastruktur itu terpaksa diterima. Tidak semuanya gagal, tetapi
banyak program seperti itu tidak mampu memberikan dampak
positif panjang bagi perkembangan masyarakat desa.
Ambil contoh pelaksanaan PNPM. Dalam pengamatan
panjang penulis ketika mendampingi pelaksanaan PNPM
Pariwisata di berbagai daerah (Damanik 2015) perencanaan
berbasis komunitas sudah berjalan, setidaknya secara procedural.
Konsep desain program disusun oleh Kementerian Pariwisata
dengan mengakomodasi tipe desa yang akan difasilitasi. Konsep
tersebut disusun dalam suatu petunjuk pelaksanaan yang harus
132
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
diikuti, misalnya: 60 persen dana pendampingan dialokasikan
pada kegiatan fisik dengan kriteria tertentu. Meskipun cukup baik,
namun standar dan kriteria itu tetap tidak mampu mengakomodasi
atau sesuai dengan realitas di lapangan, karena karakteristik ‘desa
wisata’ yang disasar sering berbeda jauh. Pilihan pada kegiatan
pengembangan fisik akhirnya dilakukan secara terpaksa dengan
konsekuensi produk yang bermutu rendah dan bersifat instan. Di
sini inefektivitas dan inefisiensi program menjadi sangat mudah
ditemukan.
Oleh sebab itu, penyediaan infrastruktur perlu diarahkan
pada pemenuhan kebutuhan masyarakat desa. Pilihan harus benarbenar
yang sesuai dengan dan mampu meningkatkan penguasaan
sumberdaya lokal oleh masyarakat. Pertama, infrastruktur
harus mampu memberdayakan ekonomi rakyat, menyediakan
kesempatan kerja bagi warga desa, memperluas distribusi
produk-produk pertanian dan kerajinan desa. Konotasinya adalah
memperkuat pasar rakyat daripada mengundang toko berjejaring
masuk ke desa, karena pilihan terakhir akan berpotensi merugikan
desa. Analisis para peneliti menemukan bahwa pengembangan
infrastruktur pasar modern secara signifikan melemahkan posisi
pasar tradisional yang menjadi basis perdagangan di perdesaan
maupun sebagian perkotaan (Suryadarma dkk. 2007:25,32).
Jika harus membangun infrastruktur perdagangan perdesaan,
maka pilihan yang sesuai adalah renovasi pasar tradisional
yang menjajakan bahan kebutuhan pokok masyarakat desa,
mempekerjakan warga desa, dan memberikan pendapatan
langsung kepada masyarakat. Artinya, peredaran uang semakin
luas di desa.
Kedua, kemandirian desa akan kuat jika infrastruktur
mampu memotong spiral rumit pembiayaan bisnis warga desa.
Perekonomian desa sudah lama diintervensi oleh peredaran uang
dan akan semakin bergantung pada peredaran uang kontan.
Kebutuhan terhadap uang kontan juga terus meningkat sejalan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
133
dengan semakin beragamnya aktivitas ekonomi dan non-ekonomi
berbasis uang kontan. Para petani selalu berhadapan dengan
situasi yang rumit terkait dengan masa tunggu panen yang menjadi
basis penerimaan uang kontan. Di sisi lain, kebutuhan uang
kontan hampir tidak dibatasi oleh waktu. Dalam posisi seperti ini
petani, buruh tani, bakul gendong, dan sebagian besar warga desa
menjadi kelompok yang sangat rentan. Begitu rentannya, sehingga
mereka sering dengan mudah terperangkap oleh ‘bank plecit’ yang
memanfaatkan situasi krisis tersebut.
Oleh sebab itu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang menjadi
entitas usaha ekonomi bersama desa dapat mengembangkan unit
permodalan menjadi kebutuhan penting bagi kemandirian desa.
BUMDes dipandang sebagai instrumen bagi warga desa untuk
memberdayakan dan memandirikan desa (Sidik 2015:119) dengan
mengelola sumberdaya-sumberdaya ekonomi secara profesional.
Karena ada kebutuhan atau permintaan terhadap uang kontan,
maka BUMDes dapat membentuk unit usaha permodalan bagi para
petani atau warga desa. Unit usaha ini sekaligus berfungsi sebagai
alat untuk mempersempit peluang masuknya entitas-entitas bisnis
finansial informal atau non-formal yang bersifat menghisap.
Ketiga, infrastruktur perdesaan harus mampu meningkatkan
akses warga desa terhadap layanan publik. Akses tersebut terutama
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, seperti fasilitas
kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Pertama-tama, perbaikan
infrastruktur jalan harus mendapat prioritas agar arus barang dan
jasa dapat bergerak lebih mudah dan murah. Mutu jalan raya ke
dan di perdesaan perlu disetarakan dengan mutu jalan perkotaan
karena dampaknya positifnya sangat luas bagi perkembangan
desa itu sendiri. Jalan yang mudah diakses tidak saja mencegah
ekonomi biaya tinggi yang mengakibatkan daya-saing produkproduk
perdesaan menjadi lemah, tetapi juga menekan laju
migrasi permanen keluar desa. Di negara lain juga terungkap
bahwa berkat akses yang mudah, orang-orang dari desa dapat
134
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
melakukan pergerakan sirkuler dengan tujuan untuk memperoleh
pekerjaan baik di desa maupun di kota (Deshingkar 2006). Prioritas
berikutnya adalah fasilitas kesehatan dan pendidikan, dalam arti
kemudahan warga desa mengakses tidak saja sarana pendidikan
dan kesehatan tetapi juga mutu layanan yang diberikan. Hal yang
ditekankan di sini adalah tenaga medis dan paramedis, serta tenaga
pendidik yang kompeten.
Keterkaitan Desa dengan Kota
Kemandirian desa tidak berarti desa harus hidup terisolir.
Menganggap desa sebagai entitas yang terpisah dari
kota dan sebaliknya adalah kekeliruan di dalam memahami
kesalingtergantungan antar-keduanya (OECD Development
Centre 2016:27). Ia tetap berinteraksi dan terkait dengan lingkungan
eksternalnya, terutama kota yang menjadi sentra pertumbuhan
ekonomi utama. Harus diakui, bahwa semandiri apa pun suatu
desa pada masa kini, ia tidak mungkin mengabaikan interaksinya
dengan kota. Hal ini dapat dibuktikan dengan besarnya produkproduk
pertanian yang memasuki wilayah perkotaan, yang
berarti bahwa kota adalah lumbung bagi produk-produk ekonomi
perdesaan.
Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah memosisikan
desa sebagai mitra kota di dalam pengadaan logistik, terutama
berkaitan dengan bahan pangan yang menjadi kebutuhan warga
kota. Kemandirian desa akan terbentuk dalam pola hubungan
simbiosis-mutualisme desa-kota, apabila – misalnya – volume
transaksi perdagangan barang dan jasa antara desa dengan kota
mendekati seimbang. Berkat kesiapan sumberdaya manusianya,
desa dapat juga sebagai penyedia tenaga kerja bagi kota yang pada
gilirannya menyumbang pendapatan bagi desa melalui remitan.
Desa harus dapat memanfaatkan pertumbuhan kota sebagai
bagian dari upaya memandirikan diri. Misalnya, ketika kebutuhan
kota terhadap pemukiman semakin tinggi atau kepadatan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
135
penduduk kota memicu keterbatasan ruang terbuka hijau, maka
desa dapat mengambil kesempatan untuk menyediakan lahan
atau memanfaatkan sumberdayanya sebagai zona rekreasi yang
ekonomis. Singkatnya, kemandirian desa dalam interaksi desakota
terbentuk dalam kemampuannya memilih peluang yang
tersedia untuk kesejahteraan masyarakat.
Kesetaraan Jender
Meskipun tidak dapat berlangsung dalam waktu yang
relatif singkat, praktik kesetaraan jender diakui telah membawa
perubahan penting dalam perkembangan desa-desa di berbagai
negara, khususnya negara berkembang. Perempuan menyumbang
43 persen tenaga kerja di negara berkembang dan menjadi
penanggungjawab utama dalam penyediaan bahan pangan dan
pekerjaan domestik rumah tangga (OECD Development Centre,
2016: 33). Namun demikian tidak sedikit fakta yang menunjukkan
bahwa akses mereka pada infrastruktur dan layanan pendidikan
dan kesehatan lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki. Studi
para ahli juga membuktikan bahwa pemberdayaan perempuan
dengan membuka peluang lebar untuk mengakses sumberdaya
ekonomi, sosial, dan politik telah memberikan dampak positif yang
luas bagi peningkatan kesejahteraan rumah tangga dan masyarakat
desa (Mason dan Smith, 2003; Self dan Grabowski, 2013).
Apa relevansinya dengan kemandirian desa? Jelas, bahwa
kesetaraan jender mampu memobilisasi sumberdaya desa secara
optimal, menggerakkan kapasitas perempuan sebagai pelaku aktif
ekonomi (Mason dan Smith, 2003), menurunkan kerentanan kesehatan
ibu dan anak (OECD Development Centre, 2016: 33). Kemandirian
perempuan di dalam pengambilan keputusan-keputusan keluarga
dan keterlibatan di dalam rencana-rencana pembangunan desa
berkorelasi positif dengan tambahan kekayaan yang diraih oleh
mereka (Acharya, dkk, 2010: 10). Artinya membaiknya relasi gender
diikuti oleh perbaikan ekonomi rumah tangga dan kesejahteraan
136
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
warga desa. Jika kondisi ini tercipta maka desa secara keseluruhan
mampu bertahan hidup dengan kekuatan sendiri secara berkelanjutan.
Keberlanjutan Lingkungan
Kemandirian desa dapat lebih lengkap diukur dari
kemampuannya untuk menata pemanfaatan dan konservasi
lingkungan secara bertanggungjawab. Meskipun tuntutan
peningkatan ekonomi menjadi hal yang mutlak, namun keberlanjutan
lingkungan tidak boleh dikesampingkan. Apa yang dilakukan
oleh desa untuk menjaga kemandiriannya dalam pemanfaatan
lingkungan adalah membatasi ekstensifikasi pertanian, mereduksi
penggunaan pestisida dan insektisida, pemuliaan tanaman lokal,
sebab penggunaan pestisida dan insektisida secara massif telah
terbukti meningkatkan kandungan racun dalam air bawah tanah
dan air permukaan tanah (OECD Development Centre 2016:30).
Semakin tinggi tingkat pencemaran lingkungan yang bersumber
dari zat kimia anorganik, semakin rentan masyarakat terkena
berbagai jenis penyakit yang penyembuhannya lebih sulit. Efek
berantainya adalah degradasi mutu hidup masyarakat yang
menyerap pembiayaan (kesehatan) yang lebih besar.
Selain itu desa juga dipandu untuk mampu tanggap
bencana. Perubahan iklim yang sangat cepat saat ini berkorelasi
positif dengan ancaman gagal panen di sektor pertanian (OECD
Development Centre 2016: 269) yang terkonsentrasi di desa-desa.
Kekeringan dan banjir datang silih-berganti dan diikuti oleh
ketidakpastian iklim yang mengganggu siklus pengelolaan usaha
tani. Perubahan iklim ini telah lama dirasakan oleh para petani
di negara berkembang yang ditandai oleh menurunnya volume
panen. Resiko yang mengancam lebih lanjut adalah meningkatnya
ongkos produksi pertanian karena desakan kebutuhan untuk
menambah modal produksi (pupuk, obat tanaman), lemahnya
ketahanan pangan, hingga kerentanan kesehatan akibat mutu
bahan makanan semakin menurun.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
137
Tanggap bencana ini dapat dilakukan dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek misalnya adalah
mendiversifikasi jenis tanaman, keseimbangan pemakaian pupuk
dan hama tanaman, migrasi tenaga kerja non-permanen sebagai
cara untuk ‘mengistrahatkan’ lahan sementara, pengenalan
asuransi pertanian yang menjamin petani mampu memperoleh
ganti-rugi akibat gangguan iklim (Kurukulasuriya dan Rosenthal,
2003: 33-38). Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa
diversifikasi jenis dan varietas tanaman dapat meningkatkan
produksi. Jika diikuti dengan keseimbangan pemakaian pupuk,
maka kemampuan jenis tanaman untuk tumbuh produktif semakin
baik (Kurukulasuriya dan Rosenthal 2003:34). Pengenalan asuransi
pertanian juga mendesak, seperti yang sedang dilakukan oleh
pemrintah (Anonim 2016; Insyafiah dan Wardhani 2014) karena
dengan demikian para petani dapat terlindungi dari resiko-resiko
yang secara teknis tidak dapat mereka atasi.
Artinya, kemandirian desa terekam dari kemampuannya
untuk menjaga keberlanjutan lingkungan melalui praktekpraktek
konservasi dan limitasi penggunaan bahan berbahaya
bagi lingkungan. Ketika desa terpaksa atau bahkan dipaksa
untuk mengeksploitasi lingkungan demi meraih keuntungan
ekonomi jangka pendek, maka kemandiriannya sebenarnya sangat
rendah. Jadi, desa perlu menyiapkan diri untuk tidak serta-merta
mengeksekusi perubahan-perubahan radikal di dalam pengelolaan
sumberdayanya, jika hal itu tidak menjadi pilihan yang sesuai
dengan kebutuhan desa. Dan berkaitan dengan perubahan iklim,
kemandirian desa semakin teguh ketika ia mampu menawarkan
pilihan-pilihan untuk melakukan mitigasi bencana yang diakibatkan
oleh perubahan iklim.
Sesungguhnya kapasitas seperti inilah yang perlu dikembangkan
dalam suatu kebijakan pembangunan desa sebagai elemen
penting kemandirian desa, sekaligus untuk menyelaraskannya
dengan kemandirian politik yang terlalu ditonjolkan.
138
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Penutup
Pemikiran kritis dan kebijakan strategis untuk mewujudkan
kemandirian desa masih terlalu sedikit, baik di lingkungan
akademisi maupun praktisi. Ada kesenjangan antara kebutuhan
untuk menyusun parameter kemandirian dengan temuantemuan
penelitian yang didasarkan pada kasus-kasus yang berbeda.
Kesenjangan ini mengakibatkan diskusi-diskusi tentang
kemandirian desa hanya berkisar pada isu-isu distribusi kekuasaan
atau otoritas di internal warga desa dan antara desa dengan
pemerintah kabupaten atau pusat. Fokus yang terlalu spesifik
ini mengakibatkan pemahaman publik tentang kemandirian
desa condong sempit, yakni bagaimana agar pengelolaan desa
dilakukan oleh otoritas-otoritas politik berbasis desa. Meskipun
tidak sepenuhnya keliru, hal itu berpotensi untuk mendorong
masyarakat desa hanya terpaku pada urusan-urusan politik
lokal desa. Misalnya, persoalan pemilihan kepala desa yang
sering menyedot energi masyarakat. Meskipun dilakukan secara
prosedural, namun sering terjadi bias politik yang merugikan atau
“tidak melahirkan karakter kemandirian dalam pemerintahan
desa” (Tan 2010:164).
Oleh karena itu, pemerintah dan peneliti perlu merentangkan
konsep kemandirian desa ke aspek-aspek non-ekonomi politik,
sebab kekuatan desa itu sering tersimpan di sana. Bentuknya boleh
jadi beragam, antara lain kohesivitas dan soliditas warga, modal
sosial, kearifan lokal merespon perubahan-perubahan eksternal,
dan sebagainya.
Inilah tantangan ke depan terutama bagi para akademisi yang
memiliki konsentrasi dan modal pengetahuan yang kuat di dalam
perkembangan dan pembangunan desa. Lembaga perguruan
tinggi yang tersebar di seluruh nusantara mempunyai kapasitas
yang terandalkan untuk menggali rumusan kemandirian desa
yang lebih operasional. Institusi akademik ini harus mengambil
posisi strategis untuk merumuskan desain sekaligus praktik
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
139
sukses kemandirian desa, sehingga menjadi institusi rujukan
bagi pemerintah untuk mengaplikasikan praktek-praktek sukses
kemandirian desa tersebut di masa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Acharya, D. R., Bell, J. S., Simkhada, P., van Teijlingen, E. R & Regmi,
P. R. 2010. Women’s autonomy in household decision making: a
demographic study in Nepal. Reproduction Health, 7(15): 1-12.
Anonym. 2015a.. Cuaca Buruk, 60 Persen Nelayan Bengkulu
Tak Melaut. https://nasional.tempo.co/read/news/ 2016/
10/31/058816357/cuaca-buruk-60-persen-nelayan-bengkulutak-melaut)
diakses tanggal 2 November 2016.
Anonym. 2016. OJK Kembangkan Asuransi Pertanian: Ini Tujuannya.
(http://www.jpnn.com/read/2016/06/08/429997/OJK-
Kembangkan-Asuransi-Pertanian-Ini-Tujuannya-), diakses
tanggal 5 November 2016.
Antlöv, H., Wetterberg, A., Dharmawan, L. 2016. Village Governance,
Community Life, and the 2014 Village Law in Indonesia. Bulletin
of Indonesian Economics Studies, 52(2):161-183.
Ariyanti, F. 2016. Muncul Usulan 1.800 Desa Baru untuk Terima
Dana Rp 1 Miliar. (http://bisnis.liputan6.com/read/2488167/
muncul-usulan-1800-desa-baru-untuk-terima-dana-rp-1-
miliar), diakses tanggal 12 November 2016.
Damanik, J., Cemporaningsih, E., Marpaung, F., Raharjana D. T.,
Rindrasih, E., Bramantya, H., & Wijaya. 2015. Membangun
Pariwisata dari Bawah. Yogyakarta: UGM Press.
Deshingkar, P. 2006. The role of circular migration in economic growth.
Agriculture & Rural Development, 2:54-57.
Hunter, C. L. 2004. Local Issues and Changes: The Post-New Order
Situation in Rural Lombok. SOJOURN, 19(1):100-122.
Insyafiah dan Wardhani, I. 2014. Kajian Persiapan Implementasi
Asuransi Pertanian Secara Nasional. Jakarta: Pusat Pengelolaan
Risiko Fiskal, Kementerian Keuangan.
140
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Kingsley, J. J. 2012. Village Elections, Violence and Islamic Leadership
in Lombok, Eastern Indonesia. Sojourn: Journal of Social Issues in
Southeast Asia, 27(2):285-309.
Kurukulasuriya, P dan Rosenthal, S. 2003. Climate Change and
Agriculture: A Review of Impacts and Adaptations. Washington,
D.C: The International Bank for Reconstruction and
Development/THE WORLD BANK.
Lewis, B. 2015. Indonesian village decentralization is all money no plan.
EASTASIAFORUM, 27 Juni. (http://www.eastasiaforum.
org/2015/06/27/indonesian-village-decentralisation-is-allmoney-no-plan/),
diakses tanggal 1 November 2016.
Mason, K.O dan Smith, H. L. (2003). Women’s Empowerment and
Social Context: Results from Five Asian Countries, Washington,
DC: Gender Development Group, World Bank.
Mkandawire, T. (2007). ‘Good governance’: the itinerary of
an idea. Development in Practice, 17(4-5), 679-681. DOI
10.1080/09614520701469997.
Nanda, V. P. (2006). The “Good Governance” Concept Revisited. Annals
of the American Academy of Political and Social Science, 603:269-
283.
OECD Development Centre. (2016). A New Rural Development
Paradigm for the 21 st Century: A Toolkit for developing Countries.
Paris: OECD.
Pirie, F. (2006). Legal Autonomy as Political Engagement: The Ladakhi
Village in the Wider World. Law & Society Review, 40(1):77-103.
Prabaningrum, G. 2015. “Solusi Pembangunan Desa: Sebuah Upaya
Meminimalisir Konflik dalam menciptakan Kesejahteraan,”
dalam E. Z. L. Astuti (ed.), Merajut Kesejahteraan di Aras
Lokal, hal. 75-100. Yogyakarta: Azzagrafika.
Sakuntaladewi, N dan Sylviani. 2014. Kerentanan dan Upaya
Adaptasi Masyarakat Pesisir terhadap Perubahan Iklim. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(4):281-293.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
141
Self, S dan Grabowski, R. (2013). Female Autonomy in Rural North
India: Impact on Economic, Social, and Political Factors. Journal of
Economic Development, 38(1):59-82.
Sidik, F. (2015). Menggali Potensi Lokal Mewujudkan Kemandirian
Desa. Jurnal Administrasi & Kebijakan Publik, 19(2):115-131.
Suryadarma, D., Poesoro, A., Budiyati, S. Akhmadi, Rosfadhila,
M. 2007. Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang
Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia. Jakarta:
SMERU.
Tan, Q. 2010. Why Village Election Has Not Much Improved Village
Governance. Journal of China Political Science, 15:153-167. DOI
10.1007/s11366-010-9095-1.
Tryatmoko, M. W. 2014. Menata Ulang Kebijakan Pemekaran
Daerah di Indonesia. Masyarakat Indonesia, 40(2):191-209.
www.merriem-webster.com (http://www.merriam-webster.com/
dictionary/autonomy (diakses tanggal 2 November 2016).
142
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Evaluasi Upaya Pemenuhan Pelayanan
Kesehatan pada Wilayah Perbatasan DIY
Matahari Farransahat 1 dan Siti Hadiyati Nur Hafida 2
Latar Belakang
Banyak fenomena menarik ditemukan pada wilayah perbatasan
administrasi pemerintahan, baik pada tingkat antar
negara maupun antar wilayah di dalam suatu negara. Begitu
juga pada fenomena penyediaan pelayanan publik antar wilayah
adminis trasi provinsi di Indonesia. Pemberlakuan otonomi
daerah yang mensyaratkan batas wilayah/daerah sebagai dasar
penye lenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
setempat, memberikan “keunikan sosial” pada masyarakat di
wilayah perbatasan selaku penerima manfaat pelayanan publik
dari negara. Keunikan tersebut khususnya dalam hal mengakses
dan memanfaatkan pelayanan publik yang disediakan dari kedua
wilayah pemerintahan yang berbeda. Pada wilayah perbatasan
Daerah Istimewa Yogyakarta – Provinsi Jawa Tengah diketahui
ternyata tidak hanya keunikan sosial yang terjadi melainkan juga
pelayanan publik yang masih belum optimal.
Masyarakat di wilayah perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta
– Provinsi Jawa Tengah belum dapat mengakses layanan dasar
seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur (konteks urusan
pekerjaan umum) dengan memadai. Salah satu indikator yang
digunakan untuk mengetahui keberhasilan pelayanan publik tersebut
adalah dengan melihat tingkat Indeks Pembangunan Manusia
1 Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas
Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:
matahari.farransahat@ugm.ac.id
2 Kantor Konsultan, Madani Callysta Saibuyun. Email: nur.hafida@ums.ac.id
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
143
(IPM). IPM secara umum dapat menggambarkan manfaat pembangunan
kualitas hidup manusia dengan memadukan perhitungan
agregasi dari aspek kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak.
Selain itu IPM juga berguna sebagai data strategis dalam mengukur
kinerja pemerintah dan membandingkan level pembangunan antar
wilayah. Data dari Badan Pusat Statistik DI. Yogyakarta pada
tahun 2014 menunjukkan bahwa 14 wilayah dari total 18 wilayah
perbatasan DI. Yogyakarta mempunyai capaian IPM yang lebih
rendah daripada nilai rata-rata IPM DIY (76.81) (BPS & Bappeda DIY,
2014). Nilai terendah dari keempat belas wilayah tersebut adalah
Kecamatan Gedangsari (68.58) dan tertinggi adalah Kecamatan
Cangkringan (76.48). Sedangkan nilai IPM tertinggi pada wilayah
perbatasan adalah Kecamatan Kalasan (81.17) yang berbatasan
dengan Kabupaten Klaten, seperti terlihat pada gambar 1.
Gambar 7. Nilai IPM Kecamatan di Wilayah Perbatasan
(Sumber: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014)
Sayangnya, kondisi ini belum dianggap oleh Pemerintah
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai hal yang mendesak
dan menjadi prioritas untuk ditangani. RPJMD Daerah Istimewa
144
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Yogyakarta Tahun 2012-2017 meskipun disusun dengan memasukkan
isu ketimpangan pembangunan antar wilayah, namun
tidak melihat wilayah perbatasan sebagai area prioritas dalam
pembangunan daerah. Beberapa hal di wilayah perbatasan seperti
sektor transportasi, kesehatan dan penanaman modal juga telah
disebutkan pada dokumen perencanaan tersebut, namun masih
bersifat umum. Oleh karena itu, program dan kegiatan, beserta
alokasi anggaran pembangunan oleh Pemerintah Daerah Daerah
Istimewa Yogyakarta ke wilayah perbatasan Daerah Istimewa
Yogyakarta-Provinsi Jawa Tengah masih relatif minim. Wilayah
perbatasan masih menjadi halaman belakang yang tertinggal dari
sisi pembangunan fisik dan pelayanan publik.
Instansi Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
tampaknya masih terlalu fokus melayani ke dalam pusat-pusat
pertumbuhan wilayah (inward looking) yang mudah dalam hal
jangkauan dan ketersediaan sarana pendukung layanan. Kondisi
tersebut akan berbeda saat melakukan pelayanan publik di
wilayah perbatasan. Instansi pemberi layanan akan dihadapkan
pada topografi medan yang relatif sulit, keterbatasan infrastruktur
pendukung layanan, dan perbedaan kebijakan administrasi
pelayanan bagi pengguna yang berasal dari daerah otonom lain yang
berbatasan. Sebagai contoh yang pernah terjadi mengenai perbedaan
kebijakan administrasi dalam pelayanan kesehatan melalui
Jamkesda di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Purworejo.
Masing-masing pemerintah daerah menerapkan layanan berjenjang
dengan menganut sistem rujukan, mulai dari puskesmas di wilayah
kabupaten setempat hingga rumah sakit rujukan provinsi. Sistem
ini tentunya menimbulkan kesulitan tersendiri bagi masyarakat
di wilayah perbatasan yang ingin mengakses layanan kesehatan
melalui Jamkesda pada daerah otonom sebelahnya, misalnya karena
alasan jarak tempuh yang lebih dekat.
Pelayanan publik bagi masyarakat di wilayah perbatasan
semestinya tidak kaku. Masyarakat wilayah perbatasan sebaiknya
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
145
tidak dibebani dengan persoalan administratif karena perbedaan
kebijakan antar daerah otonom. Paradigma desentralisasi telah
menumbuhkan kepekaan masyarakat untuk menuntut kualitas
pelayanan publik yang sederhana, cepat dan murah pada
pemerintah. Oleh karena itu, fungsi penyediaan layanan publik
oleh pemerintah daerah perlu ditingkatkan, salah satunya melalui
perjanjian kerjasama antar daerah. Dalam hal ini, kesepakatan
bersama antara Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Purworejo
Tahun 2015 patut menjadi contoh. Untuk peningkatan layanan
kesehatan, warga di Kabupaten Kulon Progo dapat berobat gratis
ke fasilitas kesehatan Kabupaten Purworejo dan sebaliknya. Biaya
pengobatan selanjutnya diklaim lewat masing-masing Dinas
Kesehatan kabupaten. Ini merupakan sebuah bentuk pelayanan
publik di wilayah perbatasan yang luwes dan tidak tersegmentasi
oleh batas daerah administrasi pemerintahan.
Oleh karena pentingnya pelayanan publik pada wilayah
perbatasan, artikel ini akan membahas hasil studi evaluasi pada
aspek kesehatan yang telah dilakuakan Pemerintah Provinsi
DI. Yogyakarta dengan melihat pencapaian standar pelayanan
minimumnya berdasar dokumen Rencana Strategis Kementrian
Kesehatan 2015-2019 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Provinsi DIY 2012 -2017.
Metode Analisis AHP
Metode analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) yang
disertai dengan wawancara mendalam kepada narasumber
kunci dan desk review pada data sekunder menjadi metode utama
dalam menganalisa permasalahan pelaksanaan urusan wajib
bidang kesehatan pada kajian ini. Konsep model AHP adalah
merubah nilai-nilai kualitatif menjadi nilai kuantitatif, sehingga
memudahkan dalam mendapatkan bobot/prioritas pada suatu
masalah. Hal terpenting dalam menggunakan metode AHP terletak
pada input utamanya, yaitu persepsi seorang ahli. Dalam analisa
146
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
kajian ini, narasumber-narasumber (key informants) merupakan
seseorang yang mempunyai jabatan dalam melaksanaan program
urusan wajib bidang kesehatan yang dilakukan pada wilayah
perbatasan antara Provinsi DI. Yogyakarta dengan Provinsi Jawa
Tengah. Narasumber tersebut antara lain: Kepala Puskesmas,
Kepala Bagian Tata Usaha Puskesmas dan Pejabat struktural
Puskesmas yang telah lama bekerja pada suatu wilayah dan sangat
mengetahui permasalahan dan kondisi kesehatan pada wilayah
perbatasan.
Kriteria utama AHP pada kajian ini disarikan dari sasaran
pembangunan kesehatan yang tertuang pada Recana Strategis
Kementrian Kesehatan (Renstra Kemenkes) 2015-2019. Pada
dokumen tersebut tertulis mengenai sasaran yang ingin dicapai
yang berupa peningkatan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat
melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan
pelayanan kesehatan. Aspek sasaran pembangunan kesehatan pada
dokumen Renstra Kemenkes 2015-2019 antara lain: meningkatnya
status kesehatan dan gizi masyarakat; meningkatnya pengendalian
penyakit menular dan tidak menular; meningkatnya pemerataan
dan mutu pelayanan; meningkatnya perlindungan finansial,
ketersediaan penyebaran dan mutu obat serta sumber daya
kesehatan.
Sedangkan turunannya pada sub kriteria AHP mengacu pada
aspek pelayanan umum pada fokus layanan urusan kesehatan wajib
RPJMD DIY 2012-2017. Pada dokumen tersebut, layanan urusan
wajib bidang kesehatan dilakukan melalui kebijakan program
dan kegiatan yang menekankan pada upaya peningkatan mutu
dan pelayanan kesehatan yang semakin terjangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat, khususnya pada penyediaan pelayanan dan
sarana kesehatan. Aspek prioritas pembangunan kesehatan pada
dokumen RPJMD DIY 2012-2017 antara lain: rasio posyandu
per satuan balita; rasio uskesmas dan Puskesmas pembantu;
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
147
ketersediaan rumah sakit; rasio dokter per satuan penduduk;
rasio tenaga kesehatan per satuan penduduk; cakupan komplikasi
kebidanan yang ditangani; cakupan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan; cakupan desa/ kelurahan universal child
immunization (UCI); cakupan balita gizi buruk yang mendapat
perawatan; pola penyakit; jumlah kunjungan pasien miskin di
sarana kesehatan; dan cakupan kunjungan neonatus lengkap. Hasil
penggabungan menjadi hirarki AHP dari kedua dokumen tersebut
terlihat seperti pada gambar 2 berikut.
Gambar 8. Struktur Hirarki Pelayanan
Hasil akhir pada analisis AHP merupakan bobot final pada tiaptiap
faktor yang diperbandingkan dengan jumlah nilai total 1. Jika
ada kelompok nilai yang cukup signifikan berbeda dibandingkan
dengan kelompok nilai lain yang relatif sama, maka kelompok
148
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
nilai yang berbeda itulah yang menjadi pokok permasalahan dari
pembobotan seluruh faktor permasalahan. Kelompok nilai dengan
nilai yang relatif sama mempunyai arti bahwa faktor-faktor tersebut
mempunyai bobot permasalahan yang sama atau dapat dikatakan
tidak ada permasalahan yang signifikan atau tidak perlu mendapat
prioritas dalam penanganannya.
Pembahasan Hasil Studi mengenai Permasalahan Pelayanan
Kesehatan di Perbatasan DIY
1. Wilayah Gunung Kidul
Pada wilayah Gunungkidul, permasalahan kesehatan pada
kriteria utama memiliki bobot yang cukup merata dan tidak
terlihat ada permasalahan yang jauh menonjol. Bobot nilai terbesar
dimiliki oleh permasalahan dalam meningkatkan status kesehatan
dan gizi masyarakat dengan nilai 0,28 diikuti oleh pengendalian
penyakit menular dan tidak menular; serta perlindungan finansial,
ketersediaan penyebaran dan mutu obat serta sumber daya
kesehatan dengan nilai yang sama 0,25; dan terakhir permasalahan
dalam meningkatkan pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan
dengan nilai 0,22. Besarnya nilai yang tidak signifikan berbeda ini
menandakan bahwa keempat permasalahan pada kriteria utama
ini mempunyai bobot prioritas yang sama bagi narasumber.
Sedangkan pada bobot final, permasalahan kesehatan pada
wilayah perbatasan di Gunung Kidul didominasi oleh permasalahan
pengendalian penyakit tidak menular dengan nilai (0.18); diikuti
oleh permasalahan ketersediaan dokter dan pelayanan Puskesmas
dan Puskesmas Pembantu dengan nilai yang sama (0.12); serta
permasalahan komplikasi persalinan yang ditangani dengan nilai
(0,11), seperti yang terlihat pada tabel 1. Kelompok nilai yang
relatif sama dari faktor-faktor lainnya dibandingkan dengan empat
faktor permasalahan teratas mengindikasikan bahwa faktor-faktor
tersebut bukan merupakan permasalahan utama.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
149
Tabel 4. Hasil perhitungan Bobot Final AHP
pada Permasalahan Pelayanan Kesehatan, Gunung Kidul
No Permasalahan Pelayanan Kesehatan Bobot Final
1 Pengendalian penyakit tidak menular 0.18
2 Ketersediaan Dokter 0.12
3 Pelayanan Puskesmas dan Pustu 0.12
4 Komplikasi persalinan yang ditangani 0.11
5 Pelayanan Rumah Sakit 0.08
6 Pengendalian penyakit menular 0.08
7 Kunjungan Neonatus Lengkap 0.07
8 Ketersediaan Tenaga Kesehatan 0.06
9 Perawatan balita gizi buruk 0.05
10 Akses dan Pelayanan Pasien Miskin 0.05
11 Pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan 0.04
12 Pelayanan Posyandu 0.03
13 Cakupan Universal Child Immunization
(UCI) 0.02
Permasalahan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM)
Dari sepuluh besar penyakit yang tercatat pada puskesmas–
puskemas pada wilayah perbatasan Kabupaten Gunung Kidul
dengan Jawa tengah, diketahui bahwa penyakit tidak menular
sudah mulai mendominasi dibandingkan dengan penyakit
menular. Menurut Kementrian Kesehatan hal ini diakibatkan oleh
transisi demografi, sosial ekonomi dan budaya di masyarakat,
dan diperkirakan akan terus meningkat jika tidak ada usaha
pengendalian (Kemenkes RI 2014). Penyakit tidak menular tersebut
antara lain: hipertensi primer, dispepsia, nyeri sendi - athralgia, sakit
kepala, penyakit pada jaringan pulpa dan periapikal, dan diabetes
melitus (DM). Dari beberapa penyakit tersebut, narasumber
memberikan perhatian lebih pada penyakit Hipertensi dan DM.
Penyakit hipertensi, yang dikenal sebagai the silent killer, penting
untuk diperhatikan karena merupakan salah satu faktor penting
150
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
pemicu penyakit tidak menular lainnya seperti penyakit jantung
dan stroke. Penelitian dari Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan
menyatakan bahwa 17,7% kematian di Indonesia disebabkan oleh
stroke dan 10% disebabkan oleh penyakit jantung koroner dengan
faktor utama hipertensi (Kementrian Kesehatan 2015). Sedangkan
pada penyakit diabetes mellitus, kewaspadaan dan pengendalian
penting untuk terus dilakukan karena menurut WHO penyakit ini
diproyeksikan akan menjadi salah satu penyebab utama kematian
pada tahun 2030 (WHO, 2015). Diketahui Provinsi DIY merupakan
Provinsi dengan prevalensi DM tertinggi, dengan nilai 2,6%.
Deteksi dini diperlukan sebagai langkah penanganan
hipertensi dan DM. Salah satunya adalah dengan kegiatan Pos
Pembinaan Terpadu Pengendalian Penyakit Tidak Menular
(Posbindu-PTM). Masyarakat diharapkan dapat melakukkan cek
kesehatan secara rutin meskipun tidak sakit. Jika ditemukan faktor
risiko, maka kader Posbindu akan memberikan konseling dan
akan merujuk ke Puskesmas untuk penanganan lanjutan. Namun
narasumber mengungkapkan kegiatan ini belum terasa nyata
hasilnya. Hal tersebut disebabkan oleh belum rutinnya pelaksanaan
Posbindu; dan juga pelaksanaan yang sudah rutin dilakukan
belum memberikan pelayanan konseling yang optimal. Hal ini
serupa dengan hasil tesis penelitian Hadiyanta yang dilakukan
di Gunungkidul, diketahui bahwa tidak optimalnya penanganan
PTM melalui Posbindu dikarenakan kader kurang percaya diri
dalam melakukan konseling dan kader merasa kesulitan jika harus
membaca untuk memahami modul sendiri (Hadiyanta 2016)
Permasalahan Ketersediaan Dokter dan Pelayanan Puskesmas
Ketersediaan dokter juga menjadi permasalahan yang krusial,
dan sayangnya semakin hari hal ini semakin mendapatkan
pemakluman. Hal ini karena wilayah perbatasan yang umumnya
berjarak cukup jauh dari wilayah perkotaan dengan fasilitas
umum yang relatif lebih terbatas. Hal tersebut membuat seorang
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
151
dokter akan lebih memilih untuk bekerja pada wilayah perkotaan.
Menurut profil kesehatan Kabupaten Gunungkidul tahun 2016,
rasio dokter umum tercatat 14,4 per 100.000 jiwa atau 1 dokter
untuk 6.944 penduduk. Jadi tidak mengherankan jika pada suatu
kecamatan di wilayah perbatasan hanya memiliki 2-4 dokter
umum pada penduduk yang berjumlah 25.000 s.d. 55.000 jiwa.
Padahal rasio standar nasional yang disebutkan pada RPJMD DIY
2012 -2017 adalah satu dokter umum untuk 2.500 jiwa.
Pelayanan Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, khususnya
pada sarana dan prasarana dan persalinan menjadi permasalahan
yang penting untuk diprioritaskan. Hal tersebut karena pada kajian
ini memperlihatkan Puskesmas di Kecamatan Girisubo yang memiliki
cakupan pelayanan pemeliharaan sarana Puskesmas dan Pustu
yang sangat kurang, dengan nilai cakupan 34.3% dan pada cakupan
persalinan, dengan nilai hanya sebesar 59.52% (Laporan Puskesmas
Girisubo, 2016). Komplikasi pada persalinan yang ditangani juga
menjadi permasalahan yang masih muncul dikarenakan terkait
erat pada kurangnya ketersediaan dokter yang dapat melakukan
skrining kehamilan risiko tinggi dengan lebih baik.
2. Wilayah Sleman
Pada wilayah Sleman, permasalahan pada kriteria utama
didominasi oleh pelayanan dalam meningkatkan pengendalian
penyakit menular dan tidak menular, dengan bobot nilai sebesar
0,41. Pada urutan kedua dan ketiga dengan bobot nilai yang tidak
jauh berbeda ditempati oleh permasalahan dalam meningkatkan
perlindungan finansial, ketersediaan penyebaran dan mutu
obat serta sumber daya kesehatan, dengan nilai sebesar 0,28 dan
diikuti peningkakan status kesehatan dan gizi masyarakat dengan
nilai 0,24. Narasumber AHP pada wilayah Sleman menyebutkan
pelayanan dalam meningkatkan pemerataan dan mutu pelayanan
kesehatan tidak mempunyai masalah yang berarti dengan bobot
nilai sebesar 0,07.
152
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Sedangkan pada bobot final, permasalahan pelayanan
kesehatan terlihat cukup nyata pada 3 sub kriteria. Diantaranya
adalah permasalahan pada pengendalian penyakit menular,
dengan nilai bobot final sebesar 0,24. Diikuti oleh permasalahan
ketersediaan dokter pada urutan kedua dengan nilai sebesar 0,21,
dan permasalahan pada pengedalian penyakit tidak menular
dengan nilai 0,17. Nilai bobot final selengkapnya seperti terlihat
pada table 2.
Tabel 5.
Bobot Final Permasalahan Pelayanan Kesehatan
pada Wilayah Perbatasan di Kabupaten Sleman.
No Permasalahan Pelayanan Kesehatan Bobot Final
1 Pengendalian penyakit menular 0.24
2 Ketersediaan Dokter 0.21
3 Pengendalian penyakit tidak menular 0.17
4 Kunjungan Neonatus Lengkap 0.08
5 Komplikasi persalinan yang ditangani 0.07
6 Perawatan balita gizi buruk 0.04
7 Pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan
0.04
8 Pelayanan Posyandu 0.03
9 Akses dan Pelayanan Pasien Miskin 0.03
10 Pelayanan Rumah Sakit 0.02
11 Ketersediaan Tenaga Kesehatan 0.02
12 Cakupan Universal Child Immunization
(UCI)
0.02
13 Pelayanan Puskesmas dan Pustu 0.01
Permasalahan Pengendalian Penyakit Menular
Penanganan penyakit menular masih menjadi prioritas yang
utama pada pelayanan kesehatan di wilayah perbatasan Sleman
dengan Jawa Tengah. Penyakit menular tersebut diantaranya
adalah penyakit demam dengue/demam berdarah dengue (DBD),
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
153
tuberkulosis, diare dan penyakit menular seksual (PMS) serta HIV-
AIDS. Kewaspadaan tinggi juga terus dilakukan terhadap ancaman
penyakit pes dan lepstospirosis.
Pencegahan dan pengendalian penyakit DBD dilakukan
dengan melakukan program-program promotif dan preventif yang
melibatkan peran serta masyarakat. Namun upaya ini tidak cukup
efektif untuk memutus mata rantai penularan DBD dikarenakan
kesadaran perubahan perilaku hidup sehat tidak dilakukan oleh
seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut terlihat dari cakupan
rumah/bangunan bebas jentik nyamuk aedes aegypti yang masih
dibawah target Standar Pelayanan Minimal di Puskesmas-
Puskesmas wilayah perbatasan. Kegiatan promosi Perilaku
Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) juga dilakukan untuk mencegah
penularan penyakit diare yang disebabkan karena kurangnya
kesadaran hidup sehat khususnya pada kebersihan lingkungan dan
sanitasi. Hal tersebut terlihat pada masih kurangnya nilai cakupan
rumah yang mempunyai Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)
dan juga dari rendahnya nilai rumah tangga ber-PHBS, yang
hanya memiliki nilai sebesar 43%. (Profil Kesehatan Sleman 2016).
Sedangkan penanganan pengobatan penyakit Tuberkulosis paru
baksil tahan asam (BTA) dilakukan mengacu pada program DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse) yang telah terbukti efektif
menyebuhkan penderitanya. Kegiatan lain pada penanganan
penyakit ini adalah dengan terus mencari untuk menemukan kasus
baru melalui kegiatan penyuluhan dan sosialisasi.
Kewaspadaan penyakit menular juga diarahkan pada Penyakit
menular PMS dan HIV-AIDS, dengan lebih memperhatikan faktor
risiko di wilayah obyek wisata pada kawasan menginap perhotelan,
salon kecantikan dan panti pijat. Hal ini perlu diwaspadai karena
mempunyai fenomena gunung es, dimana terlihat sedikit di
per mukaan, padahal pada kenyataannya lebih banyak jumlah
penderitanya. Faktor risiko yang menyebabkan peningkatan
penyakit ini ditengarai oleh penyalahgunaan konsumsi Napza
154
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
dan penyimpangan perilaku seksual. Dalam hal penanganannya,
belum adanya kesepahaman mengenai program dan kegiatan
antar wilayah menjadikan pencegahan dan pengendalian penyakit
PMS dan HIV-AIDS ini sulit untuk dilakukan. Kegiatan screening
melalui sero survey dan pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS)
menjadi tidak efektif ketika penderita (ODHA) maupun tersangka
penderita selalu berpindah-pindah, sehingga mereka tidak akan
mendapatkan pengobatan dan akses terapi Antiretroviral (ARV).
Walaupun kasus penyakit pes dan lepstospirosis sudah tidak
lagi ditemukan, tetapi kewaspadaan tetap terus dilakukan. Terlebih
pada wilayah Kecamatan Cangkringan yang berdekatan dengan
wilayah Boyolali yang pernah terjangkit wabah pes. Begitu pula
pada wilayah Kalasan dan wilayah perbatasan sekitarnya dalam
mewaspadai penyakit lepstospirosis, karena belum lama pada
tahun 2015 ditemukan kasus lepstospirosis di wilayah tersebut.
Ketika kasus tersebut muncul, penanganan bersama antar wilayah
kabupaten-propinsi mutlak untuk dilakukan seperti yang telah
tertuang pada kerjasama lintas batas DIY dan Jawa Tengah 2017
dan 2018. Namun perbedaan jumlah dan jadwal waktu rencana
kegiatan surveilans yang dipengaruhi oleh perbedaan sumber
pembiayaan menjadi hal yang akan sangat berpengaruh pada
keefektifitasan kegiatan bersama ini.
Permasalahan Ketersediaan Dokter
Pada profil kesehatan Kabupaten Sleman, diketahui ratarata
jumlah dokter umum pada tiap Puskesmas dari 7 Puskesmas
(Puskesmas Prambanan, Kalasan, Ngemplak 2, Tempel 2, Turi,
Pakem dan Cangkringan) di wilayah perbatasan Sleman dengan
Jawa Tengah adalah sejumlah tiga dokter, dengan asumsi tanpa
menambahkan keberadaan dokter pada praktek klinik (non
Puskesmas). Perhitungan jumlah penduduk pada tahun 2015
diketahui sejumlah 294.082 jiwa. Menghasilkan perhitungan rasio
keberadaan dokter terhadap jumlah penduduk sebesar 1:15.478 jiwa.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
155
Nilai tersebut masih jauh dari nilai rasio ideal yang ditetapkan oleh
BPJS sejumlah 1:5.000 jiwa, dan juga rasio ideal Dinas Kesehatan
Kabupaten Sleman 1:2.500. Dengan membandingkan nilai rasio
dokter umum keseluruhan yang ada pada Kabupaten Sleman
sebesar 1: 3.333 jiwa, maka nyata terlihat distribusi ketersediaan
dokter pada wilayah Sleman dengan wilayah perbatasan sangatlah
timpang.
Permasalahan Penyakit Tidak Menular
Diketahui penyakit tidak menular pada wilayah perbatasan
Sleman dengan Jawa tengah masih didominasi oleh penyakit
hipertensi, diabetes militus dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif
Kronik). Beberapa narasumber menyatakan bahwa penyakitpenyakit
tidak menular cukup sulit dalam penanganan
pengendaliaanya dikarenakan masih relatif rendahnya tingkat
pendidikan penduduk pada wilayah perbatasan. Hal tersebut
secara tidak langsung berdampak pada efektifitas perbaikan
presepsi kesehatan masyarakat dari upaya promotif dan preventif
yang telah dan terus dilakukan. Dengan persepsi kesehatan yang
kurang, membuat permasalahan ini menjadi lebih sulit untuk
ditangani. Hal ini dikarenakan penderita tidak mengetahui jika
dirinya menderita penyakit tidak menular tersebut, sehingga
harapan kepada masyarakat untuk dapat melakukan deteksi
dini secara proaktif tidak terlaksana. Pada beberapa wilayah,
permasalahan ini menjadi lebih berat ketika pelayanan dan fungsi
Posbindu masih kurang dan belum terlaksana secara optimal.
Diketahui pada area kerja tujuh Puskesmas dan tiga puluh
kelurahan yang berada di wilayah Sleman berbatasan dengan
Jawa tengah, hanya ada dua puluh empat Posbindu yang aktif
melakukan kegiatan (Profil Kesehatan Sleman 2016).
156
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
3. Wilayah Kulonprogo
Permasalahan kesehatan pada kriteria utama di wilayah
perbatasan Kabupaten Kulonprogo dengan Provinsi Jawa Tengah
terlihat sangat menonjol pada perlindungan finansial, ketersediaan
penyebaran dan mutu obat serta sumber daya kesehatan dengan
nilai bobot sebesar 0,52. Kemudian diikuti oleh permasalahan
pengendalian penyakit menular dan tidak menular dengan bobot
nilai sebesar 0,25. Permasalahan selanjutnya dengan bobot nilai
yang tidak signifikan ada pada permasalahan dalam meningkatkan
pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan; dan permasalahan
dalam meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat dengan
bobot nilai 0,12 dan 0,11.
Tabel 6.
Bobot Final Permasalahan Pelayanan Kesehatan
pada Wilayah Perbatasan di Kabupaten Kulonprogo
No Permasalahan Pelayanan Kesehatan Bobot Final
1 Ketersediaan Dokter 0.38
2 Pengendalian penyakit menular 0.16
3 Pelayanan Posyandu dan Pustu 0.09
4 Pengendalian penyakit tidak menular 0.09
5 Ketersediaan Tenaga Kesehatan 0.07
6 Kunjungan Neonatus Lengkap 0.04
7 Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 0.04
8 Cakupan Universal Child Immunization
(UCI) 0.03
9 Akses dan Pelayanan Pasien Miskin 0.03
10 Pelayanan Puskesmas dan Pustu 0.02
11 Perawatan balita gizi buruk 0.02
12 Komplikasi persalinan yang ditangani 0.02
13 Pelayanan Rumah Sakit 0.01
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
157
Ketersediaan Dokter
Pada permasalahan ketersediaan dokter, berdasarkan data dari
Profil Kesehatan Kabupaten Kulonprogo 2016 di tujuh Puskesmas
perbatasan (Puskesmas Temon 2, Kokap 1 dan 2, Samigaluh 1
dan 2, Girimulyo 2 dan Kalibawang), jumlah dokter umum yang
melakukan praktek adalah sejumlah tiga belas dokter dengan
asumsi tanpa menambahkan keberadaan dokter pada praktek klinik
(non Puskesmas). Padahal jumlah dari wilayah cakupan penduduk
pada tujuh puskesmas tersebut adalah 112.768 jiwa, sehingga
rasio antara jumlah dokter dan jumlah penduduk pada wilayah
perbatasan tersebut adalah 1:8.675 jiwa. Jika dibandingkan dengan
rasio ketersediaan dokter di wilayah Kabupaten Kulonprogo dengan
nilai 1:2.958 (Profil Kesehatan Kulonprogo 2016), maka akan sangat
terlihat ketimpangan persebaran dokter pada wilayah perbatasan.
Hal tersebut jelas memengaruhi beban kerja dokter, terlebih ketika
seorang dokter masih mempunyai tugas ganda pada jabatan
fungsional dan struktural. Berdasarkan keterangan dari narasumber,
walaupun Puskesmas di wilayah perbatasan telah beralih sistem
menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), yang berarti telah
mampu melakukan penyediaan barang dan jasa secara mandiri
termasuk dalam penambahan tenaga dokter, tetapi hal tersebut
dirasa tidak banyak membantu. Pada kebutuhan penambahan yang
telah diusulkan oleh beberapa Puskesmas belum juga berhasil.
Permasalahan pengendalian penyakit menular
Penyakit menular yang masih terdapat pada wilayah
perbatasan Kulonprogo dan Jawa Tengah menurut narasumber
adalah malaria, demam berdarah dengue (DBD) dan diare.
Perhatian ekstra diberikan pada penanganan penyakit Malaria
dengan melaksanakan program kerjasama lintas batas antara
pemerintah daerah tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kulonprogo,
Magelang dan Purworejo. Namun ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yang terkait ketidakefektifan pelaksanaan program
158
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
bersama di masa lalu, diantaranya: kurang adanya kesamaan
kebijakan program dan kegiatan dalam penanganan Malaria
di wilayah perbatasan termasuk perbedaan tata cara kegiatan
surveilans epidemiologi; terdapat migrasi lokal antar dusun dalam
wilayah, antar dusun luar wilayah, antar dusun antar provinsi;
koordinasi lintas batas yang belum berjalan dengan baik; lemahnya
koordinasi dan pembagian peran antara Puskesmas, kabupaten,
propinsi dan pusat dan Masyarakat tidak lagi merasa malaria
sebagai penyakit yang berbahaya. Selain beberapa permasalahan
tersebut, perbedaan waktu dalam pelaksanaan kegiatan lapangan
menjadikan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko pada
vektor pembawa penyakit tidak efektif.
Pada saat ini, seharusnya perbedaan waktu dalam melaksanakan
kegiatan lapangan pada pengendalian vektor malaria sudah
tidak lagi menjadi masalah jika perencanaan anggaran telah
tersedia. Tidak saja pada penyakit malaria, melainkan juga pada
penyakit menular lain yang berhubungan erat dengan perubahan
lingkungan seperti Leptospirosis dan Turbekulosis. Hal tersebut
dikarenakan teknologi peginderaan jauh terkini telah dapat melihat
pola kerentanan per musim dengan menggambarkan kondisi
lingkungan fisik, biotik dan sosial budaya masyarakat, sehingga
dapat membantu kewaspadaan dini dan dalam menentukan waktu
serta daerah prioritas penanganan (Widayani 2016).
Kesimpulan dan Rekomendasi
Beberapa hal yang bisa ditarik sebagai kesimpulan pada studi
pelayanan kesehatan pada wilayah perbatasan DIY antara lain:
1. Diketahui kondisi pelayanan publik di wilayah perbatasan DIY
Jateng berdasarkan fokus layanan urusan wajib yang tertuang
pada RPJMD DIY 2012-2017 mengarah pada permasalahan
ketersediaan dokter; penanganan penyakit menular serta tidak
menular; Pelayanan Puskesmas dan Pustu; dan Komplikasi
persalinan yang ditangani.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
159
2. Permasalahan ketersediaan dokter, khususnya pada ke tim pang an
persebaran diketahui menjadi permasalahan yang pa ling krusial
karena muncul pada ketiga kabupaten di wilayah perbatasan.
3. Pelaksanaan program lintas batas dalam menangani
permasalahan penyakit menular dan program pelayanan
Posbindu pada penanganan penyakit tidak menular menjadi
hal yang penting untuk diperhatikan pada pelayanan publik
urusan wajib kesehatan di wilayah perbatasan.
Sedangkan rekomendasi yang bisa diusulkan diantaranya:
1. Program kerjasama lintas bidang untuk memberikan besiswa
pendidikan sekolah kedokteran. Hal tersebut dikhususkan
kepada masyarakat lokal (rural) wilayah perbatasan untuk
menempuh sekolah Pendidikan kedokteran. Sumber daya
dokter dari wilayah rural pada beberapa negara telah efektif
berhasil menangani permasalahan kurangnya dokter dan
tenaga kesehatan di wilayah pedesaan (Kolstad, 2014).
2. Program Penanggulangan Penyakit Menular Kawasan
Perbatasan. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah kegiatan
peng in deraan jauh pada survelans epidiemologi, guna membantu
menentukan waktu dan prioritas area pada pelaksanaan
kegiatan lapangan penanggulangan penyakit menular yang
berhubungan dengan perubahan lingkungan.
3. Program Penanggulangan Penyakit Tidak Menular, dengan
mengoptimalkan kegiatan Posbindu. Hal tersebut berguna untuk
memberikan pengetahuan dan ketrampilan dalam memberi
penyuluhan, sehingga akan berpengaruh pada kesadaran
masyarakat untuk aktif melakukan skrining secara periodik.
4. Program penyehatan lingkungan permukiman, seperti
kegiatan pembangunan jamban keluarga dan penyehatan
sanitasi lingkungan. Hal tersebut diharapkan akan mampu
mengurangi prevalensi penyakit diare yang masih umum
terjadi pada wilayah perbatasan.
160
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Daftar Pustaka
Bappeda Provinsi DIY. 2012. Rencana Pembangungan Jangka
Memengah Daerah DIY 2012-2017.
BPS dan Bappeda DIY. 2013. Indeks Pembangunan Manusia Per
Kecamatan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013.
Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul. 2016. Profil Kesehatan
Kabupaten Gunungkidul 2016.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo. 2016. Profil Kesehatan
Kabupaten Kulonprogo 2016.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. 2016. Profil Kesehatan
Kabupaten Sleman 2016.
Hadiyanta, H. 2016. Dampak pelatihan oleh dokter keluarga
terhadap kinerja kader dalam melakukan konseling di
posbindu Dusun Tahunan Gunungkidul. Tesis tidak
diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Rencana Strategis Kementrian
Kesehatan 2015-2019.
Kolstad, JR. 2011. How to make rural jobs more attractive to health
workers. Findings from a discrete choice experiment in Tanzania.
Health Econ, vol. 20(2):196-211.
Puskesmas Girisubo. 2016. Sistem Pencatatan dan Pelaporan
Terpadu Puskesmas Girisubo.
Widayani, P. 2016. Permodelan spasial kerentanan wilayah terhadap
penyakit menular terkait lingkungan berbasis penginderaan
jauh (kasus malaria, leptospirosis, dan tuberculosis di
sebagian wilayah Jateng dan DIY). Disertasi tidak diterbitkan.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
WHO. 2015. “Diabetes” (http www who int. mediacenter/
factsheet/fs 312/en, diakses pada 4 Mei 2017.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
161
162
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Memikirkan (Kembali)
Topik Tubuh dalam Kebijakan Sosial
Milda Longgeita Pinem 1
Pengantar
Topik tubuh telah mendapat tempat istimewa dalam kajian
ilmu sosial dan humaniora beberapa dekade ini (Bordo 1993; Brook
1999; Butler 1993; Murray 2008; Scott & Morgan 1993; Synnott 1993;
Turner 1984; Wolkowitz 2006; Young 2005). Akan tetapi, di area
kebijakan sosial, topik tersebut boleh dikatakan belum mendapat
perhatian khusus, termasuk di Indonesia. Meskipun terdapat
karya pioner yang menginvestigasi tubuh seperti Ellis dan Dean
(2000) dan disusul dengan karya yang relatif lebih baru seperti
Twigg, et. al. (2011), minat terhadap topik tersebut belum juga
populer terbukti dari masih minimnya literatur kebijakan sosial
yang membahasnya.
Menurut Twigg (2000) ada dua hal yang bisa menjelaskan
ketidakpopuleran tersebut: positif dan negatif. Pertama, alasan
positif yang merupakan pembelaan dari kebijakan sosial terhadap
metodologinya sendiri. Tak bisa dipungkiri bahwa teorisasi tubuh
yang berkembang sekarang ini merupakan buah dari pendekatan
posmodern yang memandang praktik-praktik kehidupan adalah
diskursus yang cair, berubah-ubah, dan mudah berganti. Sementara,
kebijakan sosial merupakan arena yang masih saja menantang
kecenderungan relativisme dari pendekatan posmodern. Disiplin
ini masih dipandang sebagai subjek empiris yang kuat serta
1 Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL, UGM. Sedang menempuh
studi S3 atau Ph.D bidang Gender Studies di University of Hull, United Kingdom.
Email: mildapinem@ugm.ac.id
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
163
memiliki tradisi investigasi fakta dan pengumpulan data yang
akurat. Kontradiksi tersebut menjadi muasal dari ‘keengganan’
studi kebijakan sosial untuk menyertakan topik tubuh di dalam
kajiannya. Kedua, alasan negatif yang menjadi penolakan dari
kebijakan sosial adalah kecenderungan dalam memandang
topik tubuh secara monolitis pada dimensi ‘negatif’ ataupun
‘kekurangan’ saja seperti tubuh yang disabled, tua, abnormal dan
lain sebagainya. Dalam konteks yang demikian, kebijakan sosial
berperan semata-mata sebagai ‘penyelamat’ untuk ‘menormalkan’
dan ‘menertibkan’ tubuh.
Melampaui rasionalisasi ketidakpopuleran topik tubuh di atas,
artikel singkat ini mencoba untuk memberi pandangan bagaimana
sesungguhnya topik tubuh layak dipikirkan kembali, baik karena
adanya tantangan bagi pendekatan tradisional di dalam kebijakan
sosial itu sendiri maupun pergeseran diskursus dan isu-isu sosial
di dalam masyarakat kontemporer. Merespon hal tersebut, artikel
ini akan memaparkan perubahan pendekatan di dalam kebijakan
sosial. Apa yang hendak ditekankan bukanlah defenisi esensial
dari varian pendekatan di dalam area tersebut, melainkan dimensi
historis terjadinya pergeseran pendekatan khususnya ke arah
posmodern yang memberi peluang bagi pembahasan topik-topik
keseharian masyarakat seperti tubuh. Selanjutnya, kajian tubuh
akan disajikan secara ringkas sebagai gambaran bahwa topik
tersebut telah menjadi bahasan serius selama beberapa dekade ini,
sehingga layak dilihat relevansinya dengan Kebijakan sosial.
Pergeseran Pendekatan dalam Kebijakan Sosial
Kebijakan sosial dikenal sebagai subjek ataupun produk
sejarah yang terlahir pasca Perang Dunia II. Oleh karenanya
defenisi serta teori yang muncul pun tak jauh dari konteks tersebut
(Lewis 2000). Berdirinya sistem negara kesejahteraan (welfare state)
khususnya di negara-negara Eropa Barat, menandai peran negara
yang menguat dalam praktek-praktek kebijakan sosial termasuk
164
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
praktik pemberian pelayanan sosial dasar bagi setiap warga
negara. Namun, perubahan sosial dan destabilisasi sistem negara
kesejahteraan yang muncul sekitar dua dekade kemudian telah
mengguncang kemapanan defenisi, konsep, dan teori tradisional
di dalam kebijakan sosial. Situasi yang demikian menuntut area
tersebut untuk merumuskan kembali agenda baru, begitu juga
dengan perlengkapan konseptual sebagai alat analisisnya.
Mendominasinya neoliberalisme telah menggeser peran
kuat negara dalam hal penyedia kesejahteraan ke arah yang lebih
terfragmentasi, terprivatisasi, dan plural. Kebijakan sosial pun
tak lagi bisa dimaknai secara klasik sebagai aktivitas negara saja.
Globalisasi yang massif pun turut mengguncang otonomi negara
sekaligus memproduksi arena baru yang melampaui batas-batas
negara. Perubahan menuju masyarakat post industrial khususnya di
negara-negara Barat, tentu memiliki implikasi pada negara-negara
lainnya seperti bertumbuhnya tipe masyarakat informatif dan
restrukturisasi dunia tenaga kerja yang akhirnya turut mengubah
wajah kebijakan sosial. Demikian juga perubahan orientasi dari
aktivitas produksi kepada konsumsi telah meyumbang identitas
dan kultur baru di tengah-tengah masyarakat sehingga topik-topik
yang berkembang di dalam area kebijakan sosial telah bergeser
kepada aktivitas keseharian seperti belanja, wisata, kuliner, dan
lainnya. Menurut Cahill (1994) dalam konteks masyarakat paska
industrialis, mode aktivitas sehari-hari seperti itu pun pada
gilirannya telah membentuk ketidaksetaraan dan ekslusi baru yang
tentunya menjadi fokus baru pula di dalam kajian kebijakan sosial.
Perubahan sosial dan transformasi berbagai praktek kehidup
an di dalam masyarakat turut mempengaruhi peralihan
pen dekat an di dalam kajian akademis termasuk munculnya
aliran posmodernisme dan posstrukturalisme. Dengan kehadiran
pendekatan tersebut, terdapat tantangan baru dalam berpikir
termasuk pergulatan posisi teoritis yang kompleks dan tak jarang
memunculkan kontradiksi secara metodologis (Carter 1998;
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
165
Gibbins 1998; Hillyard & Watson 1996; Watson 2000). Perdebatan
terjadi karena adanya hal kontradiktif yakni posmodern di satu
sisi sungguh mengkritisi narasi-narasi dan teori-teori besar
sementara pada sisi lainnya ‘mainstream’ dari kebijakan sosial
masih memiliki komitmen pada universalisasi. Kebijakan sosial
dengan kecenderungan universalisme tersebut dipandang kurang
mempertimbangkan episteme lokal dan realitas perbedaan,
bahkan menurut Gibbins (1998: 31) ‘kurang politis dan cenderung
pragmatis’.
Area kebijakan sosial diwarnai oleh oposisi yang saling
berlawanan: pengangguran dan pekerja; the abled dan disabled;
sehat dan sakit; normal dan abnormal; ataupun pelaku kriminal
dan warga yang tertib (Hillyard & Watson 1996; Watson 2000).
Di satu pihak terdapat kategori yang membawa ‘superioritas
moral’ sementara pada pihak lainnya terdapat kategori yang
‘kurang’, ‘salah’, ‘lemah’ dan perlu dikoreksi ataupun diperbaiki.
Tirani dari oposisi biner seperti itu terasa kental di dalam kajian
tersebut. Pendekatan yang umum di dalam kebijakan sosial juga
berciri linear yang merupakan fondasi dan kelanjutan dari proyek
enlightenment atau pencerahan di Eropa sekitar abad ke-17 dan ke-
18. Apa yang diyakini dari pendekatan demikian adalah bahwa
tahap demi tahap, langkah demi langkah yang tepat dijalani akan
membawa kepada kemajuan dan perbaikan kehidupan masyarakat
yang lebih tertata, rapi dan teratur.
Lain dengan esensi pendekatan yang lazim di dalam kebijakan
sosial tersebut, pendekatan posmodern justru membongkar dan
menginterupsi batas dari kategori - kategori oposisi (Carter 1998;
Gibbins 1998). Yang diperdebatkan oleh pendekatan ini adalah
keterkaitan juga fragmentasi kategori berdasarkan pandangan
adanya dominasi dan kekuasaan. Tak ada tirani linearitas bagi
kemajuan dan tak ada langkah-langkah yang mutlak dilalui untuk
sampai pada sesuatu yang bernama progresivitas. Posmodenisme
sebagai pendekatan akademis sesungguhnya tidak jauh berbeda
166
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
dengan pendekatan sebelumnya yang (akan) selalu berada
pada proses pembentukan dan pematangan. Yang membuat
pendekatan ini lebih unik dan tersendiri adalah penolakannya
terhadap totalitas dan supremasi nilai dari kategori tertentu.
Selain itu, posmodernisme juga tidak melegitimasi metodenya
sebagai yang paling mampu mendekati kebenaran universal untuk
diaplikasikan, seperti yang terjadi pada Marxisme. Pergeseran
pendekatan kebijakan sosial ke arah yang seperti itu tentunya
membuka diskusi baru dengan topik-topik yang baru pula. Hal
ini sangat mungkin mengingat kebijakan sosial sendiri merupakan
area atau kajian yang sebenarnya sangat dinamis dan sangat
luas serta diwarnai oleh berbagai perspektif seperti komparatif,
feminis, kritis, sejarah dan radikal (Hillyard & Watson 1996).
Dengan pergeseran pendekatan ke arah posmodern, terdapat
ide-ide yang akan mengemuka di dalam kajian kebijakan sosial
seperti ide tentang diskursus, relasi kekuasaan dan pengetahuan,
serta berakhirnya narasi-narasi besar (Carter 1998; Gibbins 1998;
Hillyard & Watson 1996; Watson 2000).
Hal pertama adalah terkait pada gagasan diskursus dan
teks. Posmodernisme dan post strukturalisme telah menggugat
pandangan bahwa bahasa dan teks adalah representasi sederhana
dari realitas. Posmodern mendekonstruksi kecenderungan gagasan
Cartesian yang demikian dengan menunjukkan bahwa tak ada
dualisme atau pembedaan radikal antara ‘yang mengetahui atau
the knower’ dan ‘yang diketahui atau the known’. Ataupun tak ada
pemisahan antara abstraksi dari entitas ‘yang mengetahui’ dengan
realitas sosial, politik, ekonomi yang memproduksinya di mana
ide seperti ini merupakan inti dari enlightenment atau pencerahan
tentang objektivitas yang mempengaruhi perkembangan ilmu
sosial termasuk kebijakan sosial. Implikasi dari transformasi bahasa
dan teks yang demikian menantang keyakinan akan kepastian di
mana subjek telah dibangun serta memandang kebijakan sosial
semata-mata sebagai sebuah diskursus.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
167
Bila kemudian kebijakan sosial dipandang sebagai sebuah
diskursus maka konsep-konsep universalisme yang ada di dalam
kajian tersebut seperti ‘kesejahteraan atau welfare’ dan ‘kebutuhan
atau need’ akan diurai dari sisi pembentukan diskursusnya
dengan cara menginvestigasi ide-ide kekuasaan, kontrol,
ataupun normalisasi. Akan terlihat bagaimana produksi konsep
‘kesejahteraan’ dan ‘kebutuhan’ telah membentuk kelompok atau
individu yang dipandang rentan dan lemah. Dalam konteks yang
demikian, kebijakan sosial sebenarnya telah membentuk bahkan
memreproduksi subjek atau fokus kesejahteraan seperti ‘orang
miskin’, ‘tak berdaya’, ‘kaum disabled’ dan lainnya dalam wilayah
yang selalu dikontrol, diintai atau diamati. Pendekatan posmodern
yang demikian pun telah membongkar ‘ketidakkritisan’ di dalam
memperlakukan subjek tanpa melihat keterkaitan antara kekuasaan
dan pengetahuan sebagai proses justifikasi area kebijakan sosial
(Watson 2000).
Selanjutnya, investigasi relasi antara kekuasaan dan
pengetahuan. Pendekatan posmodern, khususnya menurut ‘the
legend’ Michel Foucault (1926-1984), telah membongkar konsep
kekuasaan klasik yang dilihat sebagai kepemilikan subjek atau
institusi tertentu. Kekuasaan dilihat tidak memiliki pusat tapi
menyebar pada berbagai dimensi kehidupan seperti institusi
agama, rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya. Posmodern
memandang kekuasaan dan pengetahuan saling terjalin dan semua
bentuk pengetahuan tercipta karena adanya relasi kekuasaan.
Watson (2000) menilai salah satu masalah dari pendekatan klasik
di dalam kebijakan sosial khususnya di era tahun 1970-an adalah
berkaitan dengan fokus diskusi yang dominan pada negara,
sementara hal-hal yang tampak biasa, sehari-hari, dan sederhana
namun penting yang tersebar di dalam kehidupan masyarakat
justru diabaikan.
Konsep negara dalam pendekatan klasik berakar dari tradisi
Marxis ataupun liberal. Di dalam Marxisme, negara dilihat sebagai
168
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
sebuah entitas yang independen dan objektif dengan perangkat
strukturnya. Negara dinilai memainkan peran kunci di dalam
mengorganisasi relasi-relasi kekuasaan dan memiliki kepentingan
atas kapital. Sementara di dalam tradisi liberal, negara diposisikan
sebagai entitas yang netral terutama dalam konteks kompetisi antar
kelompok-kelompok di luar negara. Dalam fungsi negara menurut
Marxisme dan Liberalisme yang lebih menonjolkan kedaulatan
(sovereignty) dan juga pemaksaan untuk tunduk pada hukumnya,
pendekatan posmodern khususnya Foucauldian justru lebih
menekankan negara pada praktek kekuasaan (exercise of power).
Dalam konteks demikian, kekuasaan difokuskan pada ranah
sosial yang terkait dengan pengelolaan dan fasilitasi penyelesaian
persoalan kebutuhan, sumber daya dan kesejahteraan masyarakat.
Model kekuasaan negara demikian bisa dicontohkan pada
teknologi baru pemantauan populasi penduduk.
Gagasan ketiga yang muncul adalah berakhirnya narasinarasi
besar (grand narratives) khususnya Marxisme ataupun ideide
lainnya yang punya kecenderungan mendeterminasi struktur.
Selama tahun 70an dan 80an, kajian kritis dari kebijakan sosial
berakar pada Marxisme yang menganalisis negara kesejahteraan
pada keterkaitannya dengan kapitalisme dan memandang kelas
sebagai pengkategori, pembagi atau pembeda masyarakat yang
utama, sementara konsep seperti gender, usia, dan ras ditambahkan
kemudian (Hillyard dan Watson 1996; Watson 2000). Posmodernisme
menantang pandangan yang condong pada totalitas dan meta narasi
seperti itu dengan menawarkan gagasan bahwa pengetahuan hanya
mungkin bila lokal, spesifik, dan parsial.
Akan tetapi, gagasan seperti di atas tak selalu bisa diterima.
Taylor-Gooby (1994) misalnya, memandang posmodernisme yang
begitu fokus pada keragaman, perbedaan, dan lokalisme serta
mengkritisi tawaran universal atau yang disebut dengan meta
narasi bagi masalah ketimpangan, justru melupakan perubahan
yang benar-benar terjadi di masyarakat yakni universalisasi
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
169
ke arah liberalisme pasar. Hal senada juga disampaikan oleh
Carter (1998) yang mengkritisi kecenderungan keberpihakan
posmodernisme pada ‘kelompok kanan’ yang kembali menciptakan
ketidaksetaraan baru. Ide berakhirnya grand narratives yang digagas
oleh posmodernisme memang telah secara radikal mengubah
epistemologi dari pendekatan umum kebijakan sosial yang
berakar pada investigasi empiris dan kritik moral. Untuk hal ini,
Watson (2000) turut menekankan bagaimana gagasan posmodern
khususnya Foucauldian telah memangkas habis konsep keadilan,
kebenaran, dan kesetaraan yang telah mentradisi di dalam analisis
kebijakan sosial.
Kajian Tubuh
Perkembangan kajian tubuh diawali dari ketidakpuasan atas
dominasi rasionalisme yang mewarnai ilmu sosial humaniora
khususnya sejak abad ke-18 (Twigg 2000). Ilmu sosial pada
umumnya telah melanjutkan proyek pencerahan yang memandang
rasio, kemampuan untuk mengontrol dan berabstraksi, lebih tinggi
hirarkinya dibanding hal-hal yang tak terjangkau nalar. Dalam
konteks yang demikian, emosi dan juga tubuh berada pada kategori
sekunder. Berangkat dari warisan Rene Descartes (1596-1650) filsuf
modern dari Perancis, yang memisahkan secara tegas tubuh dan
jiwa, tradisi dominan dari ilmu sosial selalu merujuk pada aktor
yang rasional. Hal ini juga yang mewarnai sebagian dari pendekatan
di dalam ilmu politik, ekonomi, termasuk kebijakan sosial. Tubuh
dikonseptualisasikan terpisah bahkan berada di luar aktor yang
rasional sehingga tidak masuk pada kategori analisis dari ilmu sosial.
Ilmu sosial dan khususnya sosiologi telah berjuang membangun
spektrum intelektualitasnya yang steril dari hal-hal biologis.
Menurut Turner (1984), kecenderungan dan dorongan seperti itulah
yang akhirnya mengeksklusi tubuh dari analisis ilmu sosial.
Perlawanan dan kritik terhadap dominasi rasionalisme yang
menyingkirkan analisis tubuh telah dilakukan oleh kaum feminis
170
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
(Bordo 1993; Brook 1999; Scott & Morgan 1993; Twigg 2000; Young
2005). Fokus awal dari feminisme adalah tubuh perempuan
yang dikontrol dan dimanipulasi di dalam kultur patriarkis. Isuisu
yang muncul adalah hak-hak reproduksi, pornografi, kasus
pemerkosaan, hingga komodifikasi tubuh perempuan oleh pasar.
Berbagai institusi yang dipandang mengontrol tubuh perempuan
pun tak luput dari analisis feminis seperti institusi kesehatan,
agama, perkawinan, dan lain sebagainya. Feminisme memandang
bahwa selama ini perempuan digambarkan lebih dekat dengan
tubuh dibanding laki-laki, bahkan perempuan adalah tubuh itu
sendiri. Hal tersebut, menurut para feminis, menjadi justifikasi
untuk menyingkirkan perempuan dari dunia kerja, pendidikan,
dan area publik secara umum. Perempuan direduksi semata-mata
pada fungsi seksualitas dan reproduksi dari tubuhnya. Tubuh
perempuan dikonstruksi secara patologis sebagai lemah, rentan
dan tak terkontrol, yang berbeda dengan deskripsi tubuh laki-laki
yang kokoh dan mudah didefenisikan.
Bukan hanya feminisme saja, analisis terhadap tubuh
sebenarnya juga telah dilakukan sejak Friedrich Nietzsche (1844-
1900), seorang filsuf Jerman, yang mempengaruhi filsuf dan
sosiolog Jerman lainnya seperti Herbert Marcuse (1898-1979)
yang mengidentifikasi tubuh sebagai sumber nafsu, irasional,
dan kesenangan seksualitas, di mana pandangan ini menjadi
basis bagi kritik terhadap kapitalisme (Turner 1984). Namun,
analisis yang paling dalam dan kuat bisa ditemukan kembali pada
gagasan-gagasan Foucault (1972; 1973; 1979). Pemikir posmodern
ini memandang tubuh bukanlah entitas yang netral dan natural
melainkan diciptakan dan direproduksi melalui diskursus. Ia
memetakan sejarah tubuh beserta efek kekuasaan atasnya yang
dinamai sebagai bio power. Dengan bentuk kekuasaan yang demikian,
tubuh didefenisikan, dikontrol, dan didisplinkan. Manajemen dan
cara beroperasinya diatur dalam teknik pemilahan antara yang
sakit dan sehat, ataupun antara yang gila dan waras. Pemisahan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
171
seperti itu dilakukan dengan menyediakan bangunan atau ruang
pendisiplinan seperti rumah sakit jiwa, penjara, dan lainnya yang
bertujuan untuk mengatur, mengelola, dan mendisiplinkan tubuh.
Ide Foucault mengenai kekuasaan yang melekat pada
pengetahuan sangat mengena pada praktek-praktek pendisiplinan
tubuh seperti di atas. Sejalan dengan hadirnya institusi dan
bangunan pemilahan tadi, berkembang pula ilmu pengetahuan
yang menjadi taksonomi dan memberi klasifikasi bagi gangguan
jiwa dan mental, begitu juga dengan penyimpangan seksual. Dengan
mengaplikasikan sistem pengetahuan seperti itu, orang-orang
dan kelompok tertentu bisa dengan mudah didefenisikan bahkan
diciptakan. Melalui perangkat teknologi pendisiplinan, individual
dan komunitas diklasifikasikan, dihakimi, dan dikoreksi. Pandangan
Foucault seperti itu hendak menunjukkan bahwa ide progresivitas
yang hadir dalam teknik pendisiplinan tubuh di zaman modern
sebenarnya ekspresi dari kekuasaan yang halus tapi sesungguhnya
represif. Ia menambahkan bahwa pengobatan, perawatan orang gila
dan orang sakit, berkembangnya toleransi bagi ekspresi seksualitas,
merupakan progresivitas ataupun kemajuan yang ambigu yang
telah menginternalisasi bukan semata-mata fisik tapi juga sistem
pemikiran dan praktek-praktek kehidupan. Teknologi pendisiplinan
tubuh pun bukan lagi dilakukan oleh institusi-institusi tertentu
melainkan telah menjadi ‘kebenaran’ dan ‘keyakinan’ bersama yang
dipakai untuk mengoreksi dan memata-matai diri sendiri.
Lebih lanjut, karya Foucault mengenai seksualitas juga
mempengaruhi teori Queer yang menggugat gagasan esensialisme
dari seksualitas. Ide tentang seksualitas dan tubuh sebagai entitas
yang tak bisa berubah dibongkar dengan menunjukkan bahwa
dua kategori tersebut sebenarnya berkarakter transhistoris
ataupun transkultural. Butler (1993) menjelaskan hal ini dengan
mengaitkannya pada diskursus yang memproduksi ataupun
mengkonstruksi bukan hanya gender melainkan juga seks. Baginya,
seksualitas dan juga tubuh merupakan hasil dari konstruksi sosial
172
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
yang mana ide ini membuka peluang politis untuk mengkritik
ideologi heteroseksual dan memberi ruang pengakuan identitas
kaum ‘gender ketiga’ LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender,
Queer/Questioning sexual identity).
Minat terhadap investigasi tubuh telah berkembang pesat di
bawah payung posmodernisme. Tubuh pun menjadi isu penting di
dalam ilmu sosial humaniora sebagai yang sentral bagi identitas diri
(Shilling 1993; Synnott 1993). Bukan saja pada dimensi kesehatan
yang banyak menggunakan alat analisis Foucauldian, isu tubuh
juga menyebar pada masyarakat konsumeris. Meluasnya privatisasi
makna dan bergesernya nilai konsumsi di dalam kehidupan pada
gilirannya membuat orang-orang mencari makna bukan lagi di
level struktur melainkan pada level individu termasuk tubuh.
Tubuh pun menjadi proyek yang tidak lagi bisa diacuhkan. Dalam
masyarakat konsumeris, tubuh juga menjelma sebagai kendaraan
penting bagi kesenangan, kenikmatan, sesuatu yang (semestinya)
dipamerkan, dan menjadi ekspresi diri (Featherstone 1991).
Teknologi informasi dan iklan telah membentuk dunia baru dan
mempromosikan bentuk ‘kehidupan ideal’ dalam rupa kegiatan
belanja dan konsumsi. Media seperti ini menjadi perpanjangan
tangan komoditas yang menjangkau kehidupan masyarakat luas
termasuk pengalaman tubuh. Budaya konsumeris disibukkan
dengan impian memiliki tubuh sempurna yang diwartakan
melalui model-model glamor yang lebih sering tak bisa terjangkau
di dalam kehidupan nyata. Akan tetapi pengalaman tubuh bukan
sekedar kenikmatan saja, ia juga pararel dengan sisi asketis dalam
bentuk rezim penyangkalan diri seperti diet dan olah raga yang
digandrungi oleh banyak orang.
Relevansi Topik Tubuh dalam Kebijakan Sosial
Bagaimanakah relevansi topik tubuh di dalam kebijakan
sosial? Dengan melihat kesamaan pergeseran pendekatan di
antara keduanya yakni ke arah posmodernisme, bukan tidak
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
173
mungkin melihat kembali keterkaitan di antara keduanya. Ada
beberapa topik yang bisa dipakai untuk melihat relevansi topik
tubuh dalam kebijakan sosial: institusi pengobatan dan perawatan
kesehatan; institusi pendisiplinan seperti penjara dan rumah
sakit; disabilitas; dan praktek kehidupan konsumeris. Topik-topik
seperti ini memang telah muncul dalam praktek kebijakan sosial,
akan tetapi lebih ditekankan pada struktur yang menciptakan dan
mempengaruhinya sementara topik tubuh yang merupakan aspek
kedirian individu belum banyak tersentuh di sana.
Pertama, berkaitan dengan salah satu wilayah di dalam
kebijakan sosial yakni institusi pengobatan dan perawatan kesehatan
di mana manajemen tubuh sangat sentral tapi diabaikan. Diskursus
institusi seperti itu diproduksi dan dikembangkan di dalam
wilayah pekerjaan sosial (social work). Akan tetapi, perkembangan
studi pekerjaan sosial belum memberi tempat khusus bagi topik
tubuh sementara pendekatan yang dilakukan adalah pada level
individual dan juga komunitas dengan menekankan faktorfaktor
psiko-sosial (Cunningham & Cunningham 2008; Doel 2012;
Rowe et al. 2008; Twigg et al. 2011). Area pekerjaan sosial pada
titik tertentu mendefenisikan dan membatasi wilayah eksplorasi
dari para pekerja sosial berhadapan dengan tenaga medis.
Dokter, misalnya, dipandang sebagai yang paling kompeten dan
semestinya menangani persoalan tubuh, sementara pekerja sosial
lebih dihadapkan pada dimensi sosial dan emosional. Pada konteks
ini, batasan tegas ataupun oposisi biner antara tubuh dan emosi
masih mewarnai area pekerjaan sosial.
Akan tetapi, situasi paradoks muncul ketika institusi
pengobatan dan perawatan kesehatan yang menjadi wilayah
pekerjaan sosial, didominasi oleh persoalan tubuh (Twigg 2000;
2009). Di satu sisi, tubuh terabaikan, tapi pada sisi lainnya ia begitu
lekat dan hadir dalam institusi perawatan kesehatan. Sebagai
contoh di panti lansia di mana semua pasien adalah orang tua yang
masalahnya banyak terkait dengan tubuh seperti penglihatan,
174
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
pendengaran, mobilitas, dan lain sebagainya. Diskursus institusi
perawatan memang telah fokus pada konsekuensi sosial dari
situasi tersebut, tapi tetap saja perbincangan serius terkait dengan
tubuh belum masif. Bagian terpenting dari institusi pengobatan
dan perawatan kesehatan justru dilupakan yang pertama-tama
adalah tubuh yakni menolong pasien untuk bangun, berpakaian,
menemani bepergian, dan juga perawatan personal.
Pengabaian tubuh dalam diskusi kebijakan sosial khususnya
yang terkait dengan institusi pengobatan dan perawatan kesehatan
merupakan konsekuensi dari warisan pendekatan yang masih
memandang tubuh adalah wilayah privat, tabu untuk dibicarakan,
tidak sopan, meskipun hal yang ambigu kerap terjadi ketika tubuh
tak jarang menjadi bahan candaan banyak orang. Kesopanan dan
kesungkanan dibutuhkan bila hendak membicarakan tubuh secara
terbuka. Artinya lagi, tubuh tak perlu dibawa ke diskusi publik,
cukup berada di area privat saja. Bila menggunakan pendekatan
seperti ini, tubuh pun menjadi topik yang dihindari oleh para
pengambil kebijakan. Akan tetapi bila tubuh dipandang tidak
terpisah dari individu, maka persoalan tabu atau tidak untuk
membicarakannya secara terbuka pun bisa diatasi. Dalam hal
ini, pergeseran pendekatan kebijakan sosial ke arah posmodern
membuka peluang bagi diskusi topik tubuh. Meletakkan topik
tubuh pada spektrum yang tidak kaku dan luas, akan memunculkan
ragam diskursus terkait dengan kebijakan bagi institusi pengobatan
dan perawatan kesehatan.
Kedua, tubuh yang berada pada institusi pendisiplinan
seperti penjara dan rumah sakit. Foucault (1973; 1977; 1979) telah
menekankan bahwa kekuasaan beroperasi pada dan melalui tubuh.
Baginya, kekuasaan ibarat kapiler yang bekerja melalui teknologi
mikro dan halus dari rezim pendisiplinan yang terus menerus
bekerja pada tubuh dan keseharian siapa saja. Konsep bio power
yang digagas oleh Foucault tersebut membuka (kembali) diskusi
kebijakan sosial yang terkait dengan areanya seperti rumah sakit
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
175
jiwa, klinik, penjara, dan lainnya. Diskursus yang hadir di dalam
institusi seperti itu, menurut Ellis (2000), juga telah merambah pada
bidang lainnya seperti pendidikan dan juga perawatan kesehatan.
Pendisiplinan dan pengelolaan tubuh, menurut Foucault
(1977), berkaitan dengan praktek pemilahan di mana kelompok
ataupun individu diklasifikasikan dan dikelompokkan berdasarkan
standar kategori tertentu, sehingga yang normal dipisahkan dari
yang abnormal, yang gila dibedakan dari yang waras, yang lurus
dipilah dari yang menyimpang. Klasifikasi yang demikian telah
menghadirkan wujud ekspresi berupa bangunan-bangunan dan
institusi-institusi di mana tubuh-tubuh pasien atau pesakitan
‘dipenjara’ ataupun ‘dipamerkan’ (Twigg 2000). Dalam konteks
pengklasifikasian tubuh seperti itu, kebijakan sosial memegang
peranan penting untuk menetapkan standar dan norma.
Bagi Foucault (1972), negara modern bergantung pada praktek
pengawasan dan pengintaian (surveillance) terhadap masyarakat
sehingga sejak kelahiran hingga kematian, mereka terus-menerus
dipantau, dihitung, dan direkam. Model negara kesejahteraan di
abad ke-20 pun telah diperkuat dengan teknik pengawasan dan
pengintaian seperti itu (Ellis & Dean 2000). Akan tetapi, diskusi
tentang pengawasan dan pendisiplinan tubuh belum menjadi
sesuatu yang signifikan di dalam kebijakan sosial. Dengan
menggunakan pendekatan posmodern khususnya Foucauldian,
fokus utama yang selama ini diarahkan pada negara beserta
institusi-institusi formalnya, bisa digeser pada isu terabaikan seperti
tubuh untuk menunjukkan bagaimana kekuasaan berpraktek dan
hadir secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, disabilitas tubuh sebagai relevansi nyata mengenai
relasi antara topik tubuh dan kebijakan sosial. Hingga sekarang, isu
mengenai disabilitas telah banyak dibahas terutama berhubungan
dengan dimensi sosial bagi pengakuan dan penerimaan kaum
disabilitas yang kerap mengalami stigmatisasi di tengah-tengah
masyarakat (Barnes & Mercer 2006; Clements & Read 2008; Morris
176
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
1991). Namun, topik tubuh masih dipandang secara reaktif dan
opresif di dalam diskursus disabilitas termasuk praktek kebijakan
sosial itu sendiri. Membicarakan tubuh dianggap melecehkan dan
merendahkan kaum disabilitas. Keengganan di dalam membahas
tubuh terjadi karena kajian disabilitas selama ini terlalu menekankan
perbedaan antara kecacatan (impairment) dan ketidakmampuan
(disability) yang memiliki konsekuensi pada tersingkirnya diskusi
serius ataupun teorisasi mengenai kecacatan itu sendiri (Hughes
& Paterson 1997; Hughes 1999). Di tengah-tengah masyarakat
modern, kecacatan dilekatkan pada dimensi biologis, sementara
disabilitas berkaitan dengan hal-hal sosial. Masyarakat modern yang
melakukan fetisisasi terhadap penampilan dan rupa, sebenarnya
secara pararel juga telah menjadi tekanan bagi orang-orang disabled.
Hughes (1999) melihat logika masyarakat modern yang seperti itu
telah mengkonstruksi kaum disabled sebagai ‘yang lain’ (other).
Morris (1991) telah mengkritisi sebelumnya mengenai
kebijakan sosial yang melupakan pengalaman subjektif dari orangorang
disabled seperti rasa sakit pada tubuh, di mana pengalaman
seperti ini berakar dari kecacatan tadi. Mengatasi kecenderungan
yang demikian, gerakan feminisme yang terinspirasi dari
pendekatan posmodern telah mencoba melakukan renegosiasi
batasan antara biologi dan sosial yang tampak pada dekonstruksi
perbedaan seks dan gender, dan hal ini sebenarnya bisa dipakai di
dalam kajian disabilitas. Pengalaman rasa sakit pada tubuh yang
dialami oleh orang-orang disabled perlu dimaknai bukan saja pada
tataran biologis tapi juga secara sosiologis. Bila perlu kedua-duanya
tidak dilihat secara terpisah. Gagasan yang demikian menjadi
sangat signifikan bagi pengkayaan pendekatan di dalam kebijakan
sosial tentang bagaimana konsep disabilitas dibangun secara sosial
tapi juga dialami secara personal. Ini juga menjadi tantangan bagi
kebijakan yang terkait dengan aborsi selektif dan bedah tubuh atau
wajah yang disesuaikan dengan konstruksi standar tubuh sehat
dan sempurna (Seymour, 1998).
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
177
Keempat adalah praktek kehidupan konsumeris yang berpengaruh
pada agenda kebijakan sosial. Masyarakat yang
berkembang ke arah posmodern telah merubah nilai-nilai kehidupan
lama yang kerap menyanjung asketisme, kontrol terhadap
gaya hidup konsumtif dan hedonisme. Kesenangan, kenikmatan,
konsumsi dan aktivitas terkait lainnya menjadi sesuatu yang
bukan salah dan tabu lagi di dalam masyarakat posmodern. Dalam
konteks yang demikian, tubuh menjadi tempat bagi kesenangan
dan konsumsi yang dipromosikan dalam rupa iklan-iklan yang
mengkonstruksi gagasan belanja dan kepemilikan harta benda
sebagai wujud kebahagiaan dan kesejahteraan. Di sini, tubuh pun
menjadi pusat identitas diri dan proyek yang dikerjakan terusmenerus
melalui rezim diet, olah raga, operasi plastik, dan modelmodel
perawatan dan penyempurnaan tubuh lainnya (Bordo 1993;
Featherstone 1991).
Perubahan kesadaran dalam masyarakat seperti itu telah
memberi tantangan tersediri bagi kebijakan sosial. Kebijakan
sosial adalah mengenai wellbeing, kehidupan yang lebih sejahtera
serta kebahagiaan. Jelas bahwa di dalam masyarakat posmodern,
kebahagiaan tampak fokus pada tubuh. Fokus lama di dalam
kebijakan sosial menjadi berubah khususnya di antara generasi
baru yang mengalami kehidupan dan wellbeing berpusat pada
tubuh. Berkembangnya gaya hidup konsumeris juga telah
merombak paradigma lama khususnya dalam negara-negara
kesejahteraan yang dulunya berorientasi pada produksi dan kini
pada konsumsi yang membuat masyarakat semakin terfragmentasi
dan individualistis (Twigg 2000). Situasi ini pun berpengaruh
pada kesadaran dan suka rela orang-orang yang dulunya tertarik
bergabung di dalam gerakan kolektif. Model gerakan sosial yang
dulunya dibangun berdasarkan kesadaran kelas kini mulai luntur
karena kehidupan konsumeris.
Cahill (1994) mengatakan bahwa di dalam masyarakat
konsumeris yang seperti itu, hadir bentuk baru dari marginalisasi,
178
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
ketidakadilan, dan ketidaksetaraan. Bisa dilihat dalam kaitannya
dengan tubuh, sebagai contoh kegemukan dan obesitas yang pada
pandangan umum memiliki status rendah (Murray 2008). Ataupun
pada kosmetik dan perawatan gigi di mana gigi putih dan bersinar
menjadi normatif dan semua tahu bahwa akses pada perawatan
yang demikian hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang
berpenghasilan besar. Penampilan yang berpusat pada tubuh telah
menjadi identitas baru yang tidak bisa lagi diabaikan di dalam kajian
kebijakan sosial karena rentan terhadap eksklusi dan marjinalisasi.
Penutup
Tubuh bersifat ubiquitous yang artinya berada di mana-mana,
mudah ditemukan, dan lekat dengan kehidupan sehari-hari, karena
realitas kehidupan pun mengatakan semua manusia memiliki
tubuh. Hal ini juga menjadi realitas yang memerlukan eksplorasi
intelektualitas dan ilmu sosial humaniora telah ditantang untuk
mendiskusikan persoalan intelektual yang terkait dengannya
seperti: relasi antara tubuh dan jiwa/pikiran, peranan emosi,
makna konseptualisasi tubuh dalam kehidupan sosial, batasan
konstruksi sosial terkait tubuh, dan pentingnya dimensi biologis
dalam kajian ilmu sosial. Hal ini semua merupakan isu penting
yang bukanlah secara murni bagian dari kebijakan sosial tapi pada
beberapa hal semuanya memiliki relevansi dengan kebijakan sosial
seperti yang telah diuraikan di dalam artikel ini. Kebijakan sosial
bukan studi yang fokus pada tubuh atau entitas kedirian tubuh itu
sendiri, melainkan yang hendak ditekankan adalah konsekuensi
dari kebijakan yang dibangun di wilayah-wilayah yang tak bisa
lepas dari praktek dan diskusi tubuh.
Berbagai tema yang muncul di dalam artikel ini hanyalah
contoh kecil untuk mengajak memikirkan (kembali) relevansi topik
tubuh dalam kebijakan sosial. Ada tema-tema lainnya yang bisa
dicari dan dikembangkan seperti tubuh lansia dan anak, tubuh dan
kriminalitas ataupun kontrol atas reproduksi, dan lain sebagainya.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
179
Namun, ada catatan penting lainnya yang perlu ditekankan
bagaimana pergeseran pendekatan ke arah posmodernisme di
dalam kajian kebijakan sosial memberi peluang untuk tidak ragu
lagi membahas topik-topik yang tidak sekedar dominan pada
negara ataupun institusi formal.
Daftar Pustaka
Barnes, C. dan G. Mercer. 2006. Independet Futures: Creating user-led
disability services in a disabling society. Bristol: The Policy Press.
Bordo, S. 1993. Unbearable Weight: Feminism, Western Culture, and
the Body, Berkeley, Los Angeles dan London: University of
California Press.
Brook, B. 1999. Feminist Perspetives on the body. London and New
York: Routledge.
Butler, J. 1993. Bodies that Matter: On the discursive limits of “sex”.
London dan New York: Routledge.
Cahill, M., 1994. The New Social Policy. Oxford: Blackwell.
Carter, J. 1998. Studying Social Policy after Modernity. Dalam J.
Carter (Editor), Postmodernity and the Fragmentation of Welfare.
London: Routledge.
Clements, L. dan Read, J. 2008. Disabled People and the Right to Life:
The protection and violation of disabled people’s most basic human
rights. New York: Routledge.
Cunningham, J. dan S. Cunningham. 2008. Sociology and Social
Work. Exeter: Learning Matters.
Doel, M. 2012. Social Work: The Basics. London and New York:
Routledge.
Ellis, K. dan H. Dean. 2000. Social Policy and the Body: Transitions
in Corporeal Discourse. Houndmills, London: Macmillan Press.
Featherstone, M. 1991. The Body in Consumer Culture. Dalam M.
Featherstone, Hepworth dan B. S. Turner (Editor), The Body:
Social Process and Cultural Theory. London: Sage.
180
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Foucault, M. 1977. Discipline and Punish: The Birth of the Prison.
London: Allen Lane.
Foucault, M. 1972. The Archaeology of Knowledge. New York:
Pantheon Books.
Foucault, M. 1973. The Birth of the Clinic: An Archaeology of Medical
Perception. London: Tavistock Publications.
Foucault, M. 1979. The History of Sexuality, Volume 1: An Introduction.
London: Allen Lane.
Gibbins, J.R. 1998. Postmodernism, Poststructuralism and Social Policy.
Dalam Postmodernity and the Fragmentation of Welfare. London
and New York: Routledge.
Hillyard, P. dan S. Watson. 1996. Postmodern Social Policy: A
Contradiction in Terms? Journal of Social Policy, 25(3): 321–346.
Hughes, B. 1999. The Constitution of Impairment: Modernity and the
Aesthetic of Oppression. Disability & Society, 14(2):155–172.
Hughes, B. dan K. Paterson. 1997. The Social Model of Disability
and the Disappearing Body: Towards a Sociology of Impairment.
Disability & Society, 12(3):325–340.
Lewis, G. 2000. Introduction: Expanding the Social Policy Imaginary.
In G. Lewis, S. Gewirtz dan J. Clarke (Editor), Rethinking Social
Policy. London, Thousand Oaks, and New Delhi: The Open
University and Sage Publications.
Morris, J. 1991. Pride Against Prejudice: Transforming Attitudes to
Disability, London: The Women’s Press.
Murray, S. 2008. The “Fat” Female Body. London: Palgrave Macmillan.
Rowe, W. et al. 2008. Comprehensive Handbook of Social Work and
Social Welfare. New Jersey: John Wiley & Sons.
Scott, S. dan D. Morgan. 1993. Body Matters: Essays on the Sociology
of the Body. London and Washington, D.C: The Falmer Press.
Seymour, W. 1998. Remaking the Body: Rehabilitation and Change.
London dan New York: Routledge.
Shilling, C. 1993. The Body and Social Theory. London: Sage.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
181
Synnott, A. 1993. The Body Social: Symbolism, Self and Society. London
and New York: Routledge.
Taylor-Gooby, P. 1994. Postmodernism and Social Policy: A Great Leap
Backwards? Social Policy, 23(3):385–404.
Turner, B.S. 1984. The Body and Society: Explorations in Social Theory.
Oxford: Blackwell.
Twigg, J. et al. 2011. Body Work in Health and Social Care. Sussex:
United Kingdom: Wiley-Blackwell.
Twigg, J. 2009. Clothing, Identity and the Embodiment of Age. Dalam J.
Powell dan T. Gilbert (Editor), Aging and Identity: A Postmodern
Dialogue. New York: Nova Science Publishers.
Twigg, J. 2000. Social Policy and the Body. In G. Lewis, S. Gewirtz
dan J. Clarke (Editor), Rethinking Social Policy. London,
Thousand Oaks dan New Delhi: The Open University and
Sage Publications.
Watson, S. 2000. Foucault and the Study of Social Policy. Dalam G.
Lewis, S. Gewirtz dan J. Clarke (Editor), Rethinking Social
Policy. London, Thousand Oaks, and New Delhi: The Open
University and Sage Publications.
Wolkowitz, C. 2006. Bodies at Work. London, Thousand Oaks, New
Delhi: Sage Publications.
Young, I.M. 2005. On Female Body Experience: “Throwing Like a Girl”
and Other Essays. Oxford, New York: Oxford University Press.
182
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Pariwisata Inklusif:
Kebutuhan Fasilitasi Akses Wisatawan Difabel
Tunadaksa Monoplegia dan Paraplegia
di Pantai Boom, Banyuwangi – Jawa Timur
Mufti Nafiatut Darajat 1 dan Hendrie Adji Kusworo 2 ,
Pendahuluan
Selain menjadi kebutuhan, pariwisata saat ini menjadi
sektor prioritas dalam upaya pembangunan di luar sektor migas.
Kebutuhan berwisata saat ini mengacu pada hak setiap orang
untuk mengekspresikan leisure termasuk dalam bentuk tourism.
Yang dimaksud ‘setiap orang’ termasuk masyarakat berkebutuhan
khusus yang dalam penelitian ini adalah difabel tunadaksa.
Undang-Undang Kepariwisataan No. 10 Tahun 2009 telah
mengatur hak difabel untuk berwisata. Di tingkat global, fasilitasi
berwisata bagi seluruh lapisan masyarakat khususnya bagi
difabel tunadaksa menjadi prioritas dan arah baru pengelolaan
dan pengembangan kawasan wisata dengan diperkenalkannya
pariwisata inklusif. Banyak penelitian mengungkapkan bahwa
wisatawan difabel merupakan salah satu potensi besar dalam
meningkatkan pangsa pasar industri pariwisata, namun masih
banyak destinasi pariwisata yang belum aksesibel bagi difabel.
Banyuwangi menjadi salah satu kabupaten yang mengandalkan
sektor pariwisata sebagai mesin penggerak perubahan ekonomi
dan sosial masyarakat. Mengacu Rencana Induk Pengembangan
1 Alumni S2 Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas
Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta 55281,
Indonesia. Email: muftidenafie@yahoo.com
2 Dosen Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas
Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta 55281,
Indonesia. Email: adjikusworo@yahoo.com.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
183
Kepariwisataan Kabupaten Banyuwangi yang tertuang dalam
Perda No. 13 Tahun 2012 tentang hak berwisata bagi difabel,
memberikan nuansa baru untuk berkontribusi menambah aspek
pertimbangan dalam hal fasilitasi berwisata. Hal itu berkaitan
dengan kemudahan akses berwisata bagi seluruh komponen
masyarakat termasuk difabel tunadaksa untuk dapat menghindari
euforia semu dari geliat pariwisata di Kabupaten Banyuwangi.
Lebih dalam, wisatawan difabel tidak berarti memiliki
kebutuhan yang sama berdasarkan karakteristik difabilitasnya
sebagai tunadaksa. Mengetahui perbedaan kebutuhan fasilitasi
berwisata bagi tunadaksa berdasarkan tipologi monoplegia
berkarakteristik pengguna orthosis dengan tipologi paraplegia
berkarakteristik pengguna kursi roda kemudian menjadi relevan
dilakukan untuk mewujudkan pariwisata bebas hambatan. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui kesadaran wisatawan difabel
tunadaksa tentang hambatan berwisata serta untuk mengetahui
perbedaan kebutuhan fasilitasi akses berwisata antara pengguna
orthosis dan pengguna kursi roda di Pantai Boom Banyuwangi.
Hasil menunjukkan wisatawan difabel tunadaksa memiliki
kebutuhan fasilitasi yang berbeda antara tunadaksa pengguna
orthosis monoplegia dengan pengguna kursi roda paraplegia.
Penelitian yang Relevan
Penelitian studi kelayakan Candi Prambanan sebagai destinasi
wisata yang ramah bagi penyandang difabel dilakukan oleh
Budiatiningsih et.al. (2015) dengan fokus mengenai aksesibilitas
bagi penyandang difabel. Tujuan penelitian Budiatiningsih
untuk mengetahui kondisi 3A yaitu atraksi, amenitas, dan
aksesibilitas di Candi Prambanan, untuk mengetahui kelayakan
aksesibilitas di Candi Prambanan bagi penyandang difabel, serta
memberikan alternatif pengembangan dalam mewujudkan Candi
Prambanan sebagai destinasi pariwisata yang aksesibel bagi
penyandang difabel. Hasil penelitian Budiatiningsih berupa desain
184
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
pengembangan Candi Prambanan yang ramah bagi penyandang
difabel, dan dimuat dalam artikel ilmiah. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan oleh Budiatiningsih disimpulkan bahwa
Candi Prambanan telah memenuhi sebagai sebuah destinasi wisata
dengan terpenuhinya aspek 3A bagi wisatawan non difabel. Akan
tetapi, aspek aksesibilitas Candi Prambanan yang mengacu pada
lima standar aksesibilitas destinasi pariwisata yaitu parking areas,
signage, horizontal movement, vertical movement, dan public hygiene
facilities belum ramah bagi penyandang difabel sehingga masih
perlu adanya perencanaan yang lebih baik untuk mewujudkan
destinasi pariwisata yang ramah bagi semua wisatawan. Penelitian
Buditianingsih dapat menunjukkan secara detail kebutuhan
fasilitas berwisata bagi difabel khususnya di area wisata Candi
Prambanan. Namun Buditianingsih hanya membandingkan
kebutuhan berwisata bagi semua jenis difabel secara umum.
Sehingga belum memastikan kebutuhan antar sesama jenis difabel
khususnya tunadaksa seperti dalam penelitian ini.
Penelitian sebelumnya tentang wisata ramah difabel juga
dilakukan oleh Endang Kintamani (2013) tentang pengembangan
kawasan wisata alam kebun raya dan kebun binatang Gembira
Loka untuk wisatawan difabel. Tujuan penelitian Kintamani
untuk mengetahui kesesuaian fasilitas wisata bagi wisatawan
difabel, untuk mengetahui tingkat kepuasan wisatawan difabel,
dan untuk membuat strategi pengembangan kawasan wisata alam
Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka untuk wisatawan
difabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesesuaian fasilitas
berwisata bagi semua jenis difabel adalah kurang dari 30 persen,
tingkat kepuasan wisatawan semua jenis difabel belum mencapai
100 persen, serta strategi pengembangan kawasan wisata dengan
meningkatkan kualitas 3A yaitu atraksi, amenitas, dan aksesibilitas.
Penelitian Kintamani secara kuantitatif dapat menunjukkan secara
rinci kesesuaian fasilitas wisata serta tingkat kepuasan wisatawan
dari semua jenis difabel sehingga selanjutnya dapat membuat
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
185
strategi pengembangan wisata ramah difabel. Namun penelitian
Kintamani masih meneliti tentang kebutuhan fasilitasi berwisata
di ranah semua jenis difabel, sehingga perbedaan kebutuhan dari
salah satu jenis difabel itu sendiri belum tersentuh seperti dalam
penelitian ini.
Difabel: Tunadaksa Monoplegia dan Tunadaksa Paraplegia
Kondisi difabel dihasilkan dari interaksi antara seseorang
dengan kelemahan dan hambatan lingkungan yang mengganggu
atau menghalangi keseluruhan serta partisipasi efektif dalam
masyarakat berdasarkan kesamaan dengan yang lainnya. Dalam
penelitian ini digunakan istilah difabel atau different ability yang
berarti orang dengan kemampuan berbeda. Penelitian ini tidak
menggunakan istilah disable atau disabilitas yang berarti orang
yang tidak memiliki kemampuan atau cacat, lumpuh, walaupun
lazim digunakan dalam istilah internasional. Sedangkan istilah
wisatawan difabel, mengacu pada World Tourism Organiation,
berarti seseorang yang berpartisipasi efektif dalam masyarakat
berdasarkan kesamaan dengan yang lainnya dalam perjalanan,
akomodasi, dan pelayanan pariwisata lainnya yang terganggu
oleh hambatan dalam lingkungan mereka. Wisatawan difabel
merupakan seseorang yang berwisata dengan keterbatasan
fisik, psikis, serta pancaindera yaitu tuna rungu (keterbatasan
pendengaran), tuna daksa (gangguan/kerusakan tubuh), tuna
netra (keterbatasan penglihatan), maupun tuna grahita (hambatan
fungsi kecerdasan intelektual) sehingga memerlukan pemenuhan
kebutuhan khusus dalam berwisata. Difabel dalam penelitian ini
adalah tunadaksa. Pertimbangan peneliti mengangkat mengenai
wisatawan difabel tunadaksa diantaranya karena tunadaksa
merupakan salah satu jenis difabilitas yang memiliki peluang
kebutuhan fasilitasi berwisata lebih besar dibandingkan dengan
jenis difabilitas lainnya. Kebutuhan fasilitasi juga berkaitan dengan
mobilitas yang bergantung pada kondisi fisik individu dalam
186
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
hal ini adalah wisatawan difabel tunadaksa. Tunadaksa adalah
individu yang mengalami keadaan rusak atau terganggu sebagai
akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan
sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan
oleh penyakit, kecelakaan, atau juga dapat disebabkan oleh bawaan
sejak lahir. Tunadaksa juga sering diartikan sebagai suatu kondisi
yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau
gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas
normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri
sendiri (Soemantri 2005).
Berdasarkan beberapa pengertian tunadaksa dapat diketahui
bahwa tunadaksa merupakan sesorang atau individu yang
memiliki hambatan secara fisik sehingga berpengaruh terhadap
interaksi dengan lingkungannya. Tundaksa dalam penelitian ini
terbagi menjadi dua, yaitu tunadaksa dengan tipologi monoplegia
serta tunadaksa dengan tipologi paraplegia. Monoplegia adalah
individu yang mengalami kelumpuhan pada salah satu bagian
tubuh, misalnya lumpuh pada kaki kiri saja, sedangkan kaki kanan
serta kedua tangannya masih bisa berfungsi. Pengidap monoplegia
biasanya menggunakan alat bantu untuk menggerakkan organ
tubuh yang mengalami kelumpuhan. Alat gerak yang digunakan
oleh penderita monoplegia disebut dengan orthosis dan sering
dikenal dengan istilah umum kaki palsu atau tangan palsu.
Sedangkan tunadaksa dengan tipologi paraplegia merupakan
individu yang memiliki kelumpuhan pada kedua bagian tubuh,
misalnya lumpuh pada kedua kaki sedangkan kedua tangan masih
berfungsi dengan baik. Pengidap paraplegia dengan kelumpuhan
di kedua kaki ini biasanya menggunakan alat bantu kursi roda
untuk menjalankan aktivitas khususnya aktivitas di luar kesejarian
serta tempat tinggalnya. Dalam konteks penelitian ini kesadaran
difabel tunadaksa dengan karakteristik pengguna orthosis dan
pengguna kursi roda menjadi relevan dengan kebutuhan fasilitasi
berwisata karena berkaitan dengan aspek mobilitas di area pantai.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
187
Pada penelitian ini difabel dengan jenis tunadaksa dipilih
sebagai unit analisis karena berhubungan dengan kebutuhan
atau ketersediaan fasilitasi yang diberikan oleh penyedia jasa
pariwisata khususnya pemerintah serta pengelola Kawasan
Wisata Pantai Boom di Banyuwangi. Kebutuhan tersebut misalnya
kebutuhan wisatawan difabel tunadaksa yang memakai kursi roda
atau orthosis untuk berjalan di area pantai, mengakses toilet, dan
kebutuhan wisatawan untuk mengakses fasilitas fisik lain yang
ada di sekitar area pantai khususnya di Pantai Boom Banyuwangi.
Leisure Constraints dan Tourism Constraints
Leisure diartikan sebagai waktu luang khususnya dalam
bahasa Inggris. Sedangkan dalam bahasa latin, leisure berasal dari
kata licere yang berarti diizinkan (to be permitted) atau menjadi bebas
(to be free). Selain itu dalam bahasa Perancis leisure berasal dari
kata loisir yang mengandung arti waktu luang (free time) (Gorge
1992). Secara keseluruhan, leisure dapat didefinisikan sebagai suatu
kondisi terlepas dari segala tekanan (freedom from constraint), adanya
kesempatan untuk memilih (opportunity to choose), waktu yang
tersisa usai kerja (time left over after work) atau waktu luang setelah
mengerjakan segala tugas sosial yang telah menjadi kewajiban.
Leisure dapat dilihat dari aspek sosiologis, psikologis,
maupun antropologis. Aspek sosiologis leisure berkaitan dengan
free time, aspek psikologis berkaitan dengan state of mind, dan aspek
antropologis yaitu leisure sebagai activity. Dari aspek sosiologis
atau free time, waktu luang adalah suatu kondisi yang terbentuk
dari berbagai macam kegiatan baik yang sifatnya mendidik atau
menghibur. Pengertian Leisure dari sisi psikologis lebih dekat
dengan bahasan state of mind dari individu, yaitu waktu luang harus
dimengerti sebagai hal yang berhubungan dengan kejiwaan dan
sikap yang berhubungan dengan suasana hati atau mental. Leisure
dari aspek antropologis atau disebut juga dengan leisure as activity
dilihat sebagai waktu yang digunakan dan berisikan berbagai macam
188
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
kegiatan. Dalam pengertian ini individu mengikuti keinginannya
sendiri baik untuk beristirahat, menghibur diri sendiri, menambah
pengetahuan atau mengembangkan keterampilan secara objektif
atau untuk meningkatkan keikutsertaan dalam bermasyarakat.
Wisata (torism) dapat digambarkan sebagai perjalanan ke
luar dari tempat tinggal sehari-hari menuju suatu tempat dengan
berbagai tujuan mulai dari belanja, ziarah, maupun mengikuti
konferensi. Namun beberapa hal yang sama tersebut jika hanya
dilakukan di wilayah tempat tinggalnya tidak bisa dikatakan
sebagai kegiatan wisata. WTO (World Tourism Organization)
menjelaskan bahwa wisata merupakan aktivitas dari orang yang
melakukan perjalanan dan menetap di suatu tempat di luar
lingkungan yang mereka tempati dalam jangka waktu setidaknya
24 jam dan tidak lebih dari satu tahun berturut-turut dimana
tujuan aktivitas tersebut meliputi tujuan kesenangan, alasan
keluarga, kesehatan, rekreasi, liburan, dan tujuan lain yang bukan
merupakan pekerjaan. Dari beberapa pemaparan definisi wisata
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wisata merupakan suatu
kegiatan seseorang secara sukarela di luar lingkungan tempat
tinggal dengan tujuan tertentu dengan rentan waktu minimal 24
jam di luar pekerjaan sehari-hari. Hubungan antara leisure dan
tourism dapat diilustrasikan melalui gambar berikut.
Gambar 9. Waktu Luang (Leisure) dan Wisata (Tourism)
Leisure Constraints
Tourism Constraints
Sosiologis
Psikologis
Antropologis
Leisure
Tourism
Out of Realm
(di luar ranah/wilayah)
(Sumber: Diolah oleh peneliti 2017)
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
189
Sosiologis
Psikologis
Leisure
Tourism
Antropologis
Out of Realm
Kerangka teori Leisure Constraints Crowford dan (di Goodbey luar ranah/wilayah) (1987
dalam Nyaupane dkk. 2002) digunakan dalam penelitian ini melalui
tiga dimensi model hirarki yaitu intrapersonal, interpersonal,
dan struktural. Selanjutnya penelitian ini membahasakan Leisure
Constraints yang berarti hambatan yang ditemui dan dialami saat
dalam kondisi leisure time khususnya dalam ranah tourism atau
berwisata sebagai tourism constraints atau hambatan berwisata.
Tabel 7. Theoretical Framework of Leisure Constraints
oleh Crawford dan Godbey (1987) :
Intrapersonal
Constraints
Interpersonal
Constraints
Structural
Constraints
Individual’s psychological states
The result of relationships, or lack of
relationship, with others
Physical or environmental factors
(Sumber: Nyaupane, Gyan P. dkk. 2002.)
Pertama, hambatan intrapersonal yang ditemui berupa
keadaan psikologis atau sifat yang mempengaruhi untuk memilih
menggunakan waktu luang seperti stress, depresi, keadaan
gelisah, ketaatan beragama atau fanatisme, dan sebagainya. Kedua,
hambatan interpersonal merupakan keadaan tidak mendukung atau
hambatan yang berasal dari relasi individu dengan individu lain
salah satunya adalah dengan keluarga maupun teman. Hambatan
interpersonal yaitu hambatan yang berasal dari relasi individu
dengan individu lain sebagai bentuk partisipasi dalam aktivitas
waktu luang. Salah satu contohnya adalah kurangnya teman atau
anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam aktivitas waktu luang
karena berbagai faktor. Ketiga, kendala struktural dalam hal ini
meliputi keseluruhan faktor di luar individu yang mempengaruhi
190
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
aktivitas wisata seperti sumber keuangan, ketersediaan kesempatan
termasuk aksesibilitas, jadwal waktu kerja, sampai pada musim
atau iklim. Pendekatan teori Leisure Constraints dalam penelitian ini
digunakan untuk melihat dan menganalisis kesadaran wisatawan
difabel terhadap hambatan fasilitasi yang dialami dalam berwisata
serta perbedaan kebutuhan fasilitasi antara difabel tunadaksa
pengguna orthosis dengan pengguna kursi roda di Kawasan
Pantai Boom Banyuwangi sehingga dapat menjelaskan fenomena
aksesibilitas bagi wisatawan penyandang disabilitas.
Penelitian ini juga menggunakan konsep kesadaran Bloom
(Jamanti 2014) dengan melihat kesadaran wisatawan difabel
melalui indikator pengetahuan, sikap, dan tindakan. Kesadaran
adalah pengetahuan tentang sesuatu itu dengan orang lain atau
diri sendiri (Hastjarjo 2015). Kesadaran merujuk pada keawasan
kejadian eksternal dan internal, termasuk kemawasan terhadap
diri sendiri dan berbagai pikiran tentang pengalaman keadaan
fisiologis saat seseorang sedang terlibat dengan lingkungan.
Dalam konteks penelitian ini kesadaran digunakan untuk melihat
bagaimana wisatawan difabel tunadaksa mengetahui, menyikapi,
serta bertindak berdasarkan constraints dan fasilitasi berwisata,
serta perbedaan kebutuhan fasilitasi antara tunadaksa pengguna
orthosis dengan pengguna kursi roda di Pantai Boom Banyuwangi.
Berkaitan dengan keberadaan aspek wisata (tourism)
dapat dijelaskan bahwa tourism merupakan bagian dari leisure.
Penekanannya berada pada tourism yang dilihat dari aktivitas yang
dilakukan di luar kebiasaan serta berada di luar lingkup rutinitas
maupun wilayah. Sedangkan leisure merupakan keseluruhan dari
aktivitas yang tersedia dilihat dari segi sosiologis berupa free time,
psikologis sebagai state of mind, dan antropologis sebagai sebuah
activity. Leisure constraints merupakan kendala atau hambatanhambatan
dari leisure, hambatan pada aspek wisata atau tourism
disebut dengan tourism constraints. Tourism Constraints merupakan
kendala atau hambatan yang terjadi dan menyebabkan aktivitas
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
191
wisata tidak dapat dilakukan oleh seseorang atau individu tertentu.
Sedikit berbeda dengan leisure constraints yang menekankan pada
tiga dimensi hierarki sebagai hambatan yang dapat terjadi pada
sesorang atau individu dalam melakukan aktivitas leisure secara
keseluruhan, tourism constraints lebih dilihat sebagai hambatan
atau kendala yang dapat menyebabkan sesorang atau individu
tidak dapat melakukan kegiatan wisata.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab masalah
dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Pendekatan
kualitatif pada penelitian ini dipilih karena dirasa dapat digunakan
untuk menemukan dan memahami mengenai kesadaran pelaku
pariwisata pada wisatawan difabel yang menjadi fokus dalam
penelitian. Penelitian kualitatif pada dasarnya memahami dan
memaknai apa yang terjadi pada individu, sebuah masyarakat,
atau objek lain.
Alasan peneliti menggunakan penelitian kualitatif adalah
karena penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan
lain-lain (Moleong 2010). Fokus penelitian ini adalah mengenai
kesadaran wisatawan difabel tunadaksa terhadap kebutuhan
fasilitasi akses berwisata berdasarkan hambatan yang ditemui.
Selain itu, fokus penelitian lainnya adalah perbedaan kebutuhan
wisatawan difabel tunadaksa berdasarkan karakteristik difabilitas.
Penelitian ini melihat perbedaan kebutuhan fasilitasi berwisata
tunadaksa berdasarkan karakteristik pengguna orthosis dengan
pengguna kursi roda. Penelitian ini menggambarkan bagaimana
wisatawan difabel tunadaksa melihat sudut pandang leisure
berkaitan dengan leisure constraints dan tourism constraints sebagai
bentuk dari hambatan yang dihadapi.
192
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Unit analisis dalam penelitian ini adalah wisatawan difabel
tunadaksa dengan perbedaan berdasarkan karakteristik difabilitas.
Difabel tunadaksa sebagai informan dalam penelitian ini yaitu
tunadaksa dengan tipologi monoplegia dan paraplegia. Tunadaksa
dengan tipologi monoplegia menggunakan otrhosis kaki palsu
sebagai alat bantu berjalan. Sedangkan tunadaksa dengan tipologi
paraplegia menggunakan kursi roda untuk beraktivitas. Informan
dalam penelitian ini adalah difabel tunadaksa pengguna orthosis
dan difabel tunadaksa pengguna kursi roda. Informan penelitian
ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu
informan dipilih dengan sengaja berdasarkan kriteria tertentu yang
dianggap sesuai dengan kebutuhan penelitian. Selain tunadaksa
pengguna orthosis dan tunadaksa pengguna kursi roda, Pihak
Kelurahan Kampung Mandar dan Pihak Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Banyuwangi juga menjadi informan dalam
penelitian ini.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi.
Peneliti melakukan observasi dan dokumentasi di wilayah
kawasan wisata Pantai Boom serta objek yang masih berkaitan
dengan penelitian. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan
pada informan difabel tunadaksa dengan karakteristik pengguna
orthosis dan karakteristik pengguna kursi roda.
Hasil
Kesadaran wisatawan difabel khususnya dalam penelitian ini
adalah tunadaksa pengguna orthosis (monoplegia) dan tunadaksa
pengguna kursi roda (paraplegia) menjadi bagian penting dalam
upaya mewujudkan Pantai Boom sebagai destinasi wisata yang
bebas hambatan. Hal ini berkaitan dengan upaya menyediakan
fasilitas berwisata ramah difabel yang benar-benar tepat guna
dan tepat sasaran. Tepat guna yang dimaksud yaitu pemerintah
tidak asal menyediakan fasilitas berwisata bagi difabel di Pantai
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
193
Boom hanya untuk tujuan memenuhi peraturan atau ketetapan
undang-undang kepariwisataan, tetapi secara tepat dapat benarbenar
difungsikan bagi setiap difabel yang berkunjung khususnya
tunadaksa.
Kesadaran Wisatawan Difabel Tunadaksa tentang Hambatan
Berwisata di Pantai Boom Berdasarkan Aspek Pengetahuan,
Sikap, dan Tindakan.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa difabel tunadaksa baik
tipologi monoplegia pengguna orthosis dengan tipologi paraplegia
pengguna kursi roda memiliki kesadaran tentang constraints yang
dialami serta kebutuhan fasilitasi berwisata di Pantai Boom karena
memenuhi komponen kesadaran yaitu pengetahuan, sikap, dan
tindakan. Pertama, pengetahuan wisatawan difabel tunadaksa
tentang kebutuhan fasilitas berwisata di Pantai Boom Banyuwangi
mengacu pada pengetahuan mereka bahwa tidak bisa melakukan
perjalanan berwisata sendiri berdasarkan pengalaman yang telah
diceritakan oleh Ibu Luluk dan Andri yang mengalami kesulitan
saat melewati pembatas tali dan menuruni tangga panggung.
Dalam konteks wawancara yang telah dilakukan, informan difabel
tunadaksa tahu, memahami, dapat mengaplikasikan pengalaman
yang dipahami, dapat menganalisis, sampai pada penilaian atas
suatu objek yang telah ditemui sehingga dapat mengungkapkan
kebutuhan fasilitas yang seharusnya ada di Pantai Boom misalnya
tangga yang terlalu tinggi, akses jalan khusus untuk difabel dengan
ukuran yang sesuai, atau fasilitas toilet yang tidak terjangkau oleh
difabel karena tidak cukup ruang untuk kursi roda. Sehingga
wisatawan difabel tunadaksa dikatakan memiliki pengetahuan
tentang kebutuhan fasilitasi berwisata di Pantai Boom Banyuwangi.
Kedua, dalam hal sikap sebagai komponen kesadaran berupa
reaksi atau respon dari sesorang atas suatu stimulus atau objek
yang ada di sekitarnya atau yang telah dilihat, difabel tunadaksa
memiliki sikap menerima, merespon, menghargai, serta mau
194
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
bertanggung jawab atas kondisi ketersediaan fasilitas berwisata
di Pantai Boom Banyuwangi. Wisatawan difabel tunadaksa
menerima ketersediaan fasilitas yang ada di Pantai Boom saat ini
misalnya paving yang bisa sedikit memudahkan difabel tundaksa
seperti Ibu Luluk dan Andri untuk berjalan di sepanjang area
pantai. Namun ada beberapa sikap yang tidak dapat sepenuhnya
menerima ketersediaan fasilitas di Pantai Boom Banyuwangi saat
ini yaitu sikap tentang keberadaan panggung atau ampitheatre yang
masih kurang bersahabat dengan kondisi fisik informan tunadaksa
karena tidak ada tangga khusus bagi difabel tunadaksa khususnya
pengguna orthosis serta area landai bagi pengguna kursi roda.
Ketiga, berkaitan dengan perilaku atau tindakan, dalam
penelitian ini hal ini masih berada pada tahap persepsi yaitu wisatawan
difabel mengenal dan memilih berbagai objek sehubung an
dengan tindakan yang diambil. Misalnya hasil wawancara dengan
Ibu Luluk yang memilih untuk tidak melewati tali pembatas
karena terlalu tinggi dan tidak dapat dijangkau oleh dirinya. Selain
itu Andri yang memilih untuk tetap menggunakan kaki palsunya
walaupun dirasa tidak dapat digunakan saat berada di Kawasan
Pantai Boom Banyuwangi.
Kesadaran constraints yang dialami berupa hambatan
intrapersonal, hambatan interpersonal, dan hambatan struktural:
a. Hambatan Intrapersonal
Hambatan intrapersonal disadari oleh Andri sebagai
wisatawan tunadaksa pengguna orthosis memandang
bahwa berwisata merupakan kegiatan yang dibutuhkan
dan penting bagi diri sendiri, namun Andri manyadari
bahwa butuh lebih banyak kesiapan dalam hal tertentu
dibandingkan dengan orang lain saat berwisata di Pantai
Boom sehingga terkadang menjadi beban pikiran ketika
akan berwisata. Sedangkan Ibu Luluk sebagai pengguna
kursi roda mengetahui bahwa berwisata selama ini tidak
hanya menyenangkan karena menjadi sarana penghibur
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
195
diri maupun melepas penat dari aktivitas seharihari,
tetapi juga sebagai salah satu sumber penambah
wawasan. Namun Ibu Luluk menyadari dengan keadaan
fisiknya, tentu mengharuskan beriwsata dengan lebih
mandiri sehingga tidak tergantung pada orang lain.
b. Hambatan Interpersonal
Hambatan intrapersonal mengarah pada difabel
tunadaksa pengguna orthosis sadar tentang hubungan
antara diri sendiri dengan orang lain (teman atau
keluarga). Dalam konteks penelitian ini, Andri seorang
informan tunadaksa pengguna orthosis sadar bagaimana
respon teman atau keluarga yang ikut menemani Andri
berwisata ke Pantai Boom dengan kondisinya sebagai
orang yang memiliki kebutuhan khusus. Sedangkan Ibu
Luluk sebagai tunadaksa pengguna kursi roda menyadari
bahwa saat berkunjung ke Pantai Boom Banyuwangi,
masih ada orang lain yang kurang peduli terhadap upaya
difabel mewujudkan kemandirian berwisata. Hal ini
ditunjukkan oleh salah satu petugas penjaga pantai yang
kurang merespon kebutuhan khusus bagi Ibu Luluk saat
di Pantai Boom.
c. Hambatan Struktural
Wisatawan difabel tunadaksa menyadari hambatan
struktural dalam berwisata di Pantai Boom yang
digambarkan oleh Andri sebagai pengguna orthosis kaki
palsu. Andri merasa tidak dapat dengan mudah berjalan
di area pantai yang berpasir karena kaki palsu yang
dipakai terbuat dari bahan yang tidak ringan. Padahal
menurut Andri, salah satu tujuan berwisata ke Pantai
Boom adalah untuk menikmati air laut, bermain pasir
pantai, atau sekedar duduk di kursi beratap payung.
196
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Sedangkan kesadaran hambatan struktural bagi Ibu
Luluk digambarkan dalam ungkapan mengenai masih
banyaknya fasilitas yang tidak bisa dijangkau atau
dilalui oleh kursi roda walaupun hampir seluruh area
pantai telah dipasang paving/trotoar seperti panggung/
amphiteater, kantin, maupun toilet.
Perbedaan Kebutuhan Fasilitasi Antara Wisatawan Difabel
Tunadaksa Pengguna Orthosis dengan Pengguna Kursi Roda
dalam Berwisata di Pantai Boom Banyuwangi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti
menemukan bahwa terdapat perbedaan antara kebutuhan fasilitasi
bagi wisatawan difabel tunadaksa dengan tipologi monoplegia dan
tipologi paraplegia. Secara garis besar, fasilitas fisik yang dibutuhkan
dan perlu mendapat perbaikan desain agar dapat digunakan oleh
pengguna orthosis kaki palsu dengan pengguna kursi roda meliputi:
a. Kantin (tidak ada jalan bagi pengguna kursi roda, desain
wastafel, serta meja makan, pengguna orthosis tidak
mudah berjalan di lantai yang landai)
b. Panggung/Amphiteater (ketinggian tangga yang tidak
bisa dijangkau dengan mudah oleh pengguna orthosis,
dan tidak ada akses jalan landai untuk pengguna kursi
roda menuju panggung)
c. Toilet (ruang yang sempit bagi pengguna orthosis serta
bebatuan yang menghalangi jalan, dan sama sekali tidak
bisa diakses oleh pengguna kursi roda, serta ketinggian
bak penampungan air yang tidak sesuai)
d. Payung Pantai (jarak yang telalu jauh bagi pengguna
orthosis untuk berlama-lama berjalan di atas pasir, serta
tidak bisa diakses sama sekali oleh pengguna kursi roda)
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
197
Kesimpulan dan agenda
Beberapa kesimpulan dalam penelitian ini adalah:
1. Kesadaran mengenai hambatan dalam berwisata berdasarkan
ranah pengetahuan, sikap, dan tindakan, yaitu wisatawan
difabel tunadaksa mengetahui keterbatasan fisik yang ada
pada tubuhnya sehingga dapat membatasi ruang gerak serta
intensitas berwisata (hambatan intrapersonal). Wisatawan
difabel tunadaksa merasa senang jika ada orang lain yang
bersedia menemani berwisata (hambatan interpersonal), serta
ukuran panggung yang sesuai, adanya akses jalan khusus
untuk difabel dengan ukuran yang sesuai dengan tunadaksa,
fasilitas toilet yang tidak terjangkau karena tidak cukup untuk
kursi roda dan sebagainya (hambatan struktural).
2. Wisatawan difabel tunadaksa memiliki kebutuhan fasilitasi
yang berbeda antara tunadaksa tipologi monoplegia dengan
tipologi paraplegia. Secara garis besar, perbedaan fasilitas
fisik yang dibutuhkan oleh pengguna orthosis kaki palsu
(monoplegia) dengan pengguna kursi roda (paraplegia)
meliputi kantin, panggung, toilet, serta payung pantai seperti
yang telah dijelaskan.
Kemudahan dalam mengakses fasilitas berwisata bagi
wisatawan menjadi prioritas dalam setiap area kawasan wisata
termasuk di Pantai Boom Banyuwangi. Lebih lanjut, ketersediaan
fasilitas khusus untuk berwisata juga menjadi kebutuhan vital bagi
wisatawan difabel khususnya tunadaksa. Ketersediaan fasilitas
berwisata bagi masyarakat berkebutuhan khusus yang selama ini
dipandang menjadi tanggung jawab penuh penyedia jasa pariwisata
hendaknya menjadi perhatian bagi seluruh pelaku pariwisata
termasuk Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sebagai penyedia
jasa pariwisata dan wisatawan difabel tunadaksa itu sendiri.
Lebih lanjut, fasilitas khusus yang disediakan oleh pemerintah
atau pengelola Pantai Boom bagi difabel tunadaksa harus tepat
198
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
sasaran yaitu berdasarkan tipologi dan karakteristik tunadaksa.
Tunadaksa dengan tipologi monoplegia berkarakteristik pengguna
orthosis kaki palsu dengan tipologi paraplegia berkarakteristik
pengguna kursi roda harus dibedakan menurut kebutuhannya.
Penelitian ini hanya merupakan studi awal untuk penelitian
selanjutnya khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan fasilitasi
bagi wisatawan dengan karakteristik difabel. Selanjutnya dapat
meliputi penelitian difabel dengan karakteristik yang berbeda selain
tunadaksa, respon pengelola dan penyedia jasa pariwisata terhadap
kesadaran wisatawan difabel tentang fasilitasi akses berwisata di
Pantai Boom, perubahan sosial ekonomi di Pantai Boom, Corporate
Social Responsibility yang berkaitan dengan pengembangan
kawasan wisata di Pantai Boom, peran kelembagaan, strategi
pengembangan serta pengelolaan, dan konflik sosial.
Daftar Pustaka
Budiatiningsih, Mahmudah dkk. 2015. Studi Kelayakan Candi
Prambanan Sebagai Destinasi Pariwisata Yang ramah Bagi
Penyandang Difabel. http://www.academia.edu
Gorge, Torkildsen. 1992. Definisi Waktu Luang. http://id.shvoong.
com/sosial sciences/economics/definisiwaktuluang
Hastjarjo, D. 2015. Sekilas Tentang Kesadaran (Consciousness). Jurnal
Buletin Psikologi Vol. 13, No. 2, Desember 2005. Diakses Pada
World Wide Web at http://jurnal.ugm.ac.id
Jamanti, Retno. 2014. Pengaruh Berita Banjir di Koran Kaltim Terhadap
Kesadaran Lingkungan Masyarakat Kelurahan Temindung Permai
Samarinda.
Kintamani, Endang. 2013. Pengembangan Kawasan Wisata Alam
Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka Untuk Wisatawan
Difabel. Tesis. Program Studi Ilmu Kehutanan. Yogyakarta.
Universitas Gadjah Mada.
Lexy, Moleong. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
199
Nyaupane, Gyan P. dkk. 2002. Proceedings of the 2002 Northeastern
Recreation Research Symposium. Pennsylvania State University.
Soemantri, MS. 2005. Pengembangan Keterampilan Motorik Anak Usia
Dini. Jakarta. Dinas Pendidikan
200
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Pengembangan Ekowisata Laut berbasis
Pemberdayaan Masyarakat dan Ekonomi
Kreatif di Bunguran Selatan, Kabupaten Natuna
Reiki Nauli Harahap 1 dan S. Djuni Prihatin 2
Pengantar
Kabupaten Natuna langsung berbatasan langsung dengan
empat negara berbeda yaitu Singapura, Malaysia, Vietnam dan
Kamboja. Sebagai salah satu garis terdepan Indonesia yang berada
di Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Natuna kaya akan potensi
dan sumber daya alam, termasuk menjadi bagian penghasil minyak
dan gas bumi terbesar di Asia. Potensi alam tersebut juga didukung
oleh potensi lain terutama di bidang pertanian atau perkebunan
seperti kelapa, karet, kelapa sawit, cengkeh dan potensi sumber
daya kelautan yang cukup besar. Keunggulan sumber daya alam
tersebut menjadikan Kabupaten Natuna memiliki potensi besar
di bidang wisata bahari, salah satu diantaranya deretan pulaupulau
berbatuan granit dengan karakteristik alur vertikal sehingga
dijuluki dengan sebutan “Mutiara di ujung utara”. Kabutapen
Natuna juga kaya akan ekosistem perairan dangkal dan laut yang
menjadi rumah berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya.
Potensi ekowista tersebut juga di dukung oleh potensi wisata
budaya yang sangat unitk, seperti atraksi budaya dan wisata
warisan-warisan sejarah yang dapat di explorasi oleh wistawan
baik domestik maupun mancanegara. Pemilihan potensi dan
1 Staf pengembangan jurusan, Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
(PSdK), Universitas Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta
55281, Indonesia. Email: reiki.nauli@mail.ugm.ac.id
2 Dosen di Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas
Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:
djuni_pr@yahoo.com
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
201
sumberdaya serta sektor yang akan mendapat prioritas tersebut
didasarkan pada beberapa pertimbangan. Natuna merupakan salah
satu Kabupten di Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki potensi
wisata bahari yang cukup besar. Perkembangan potensi wisata di
Kabupaten Natuna tentunya secara langsung akan memengaruhi
perkembangan ekonomi dan berbagai sektor lainnya. Pengelolaan
dan pengembangan berbagai potensi wisata yang dimiliki Kabupaten
Natuna merupakan salah satu tujuan dari program pemberdayaan
masyarakat sehingga tercipta masyarakat yang sadar akan berbagai
potensi di sekitarnya dan mampu menjadi mandiri. Melalui selfmenegement
harapannya masyarakat mampu memanfaatkan peluang
tersebut sebagai langkah awal untuk mewujudkan kesejahteraan.
Kenyataannya, masyarakat belum mampu serta belum secara
maksimal mengenali berbagai potensi-potensi disekitarnya.
Pada umumnya permasalahan Kabupaten Natuna sebagai
garis terdepan Indonesia memiliki kesamaan dengan berbagai
daerah perbatasan lainnya. Minimnya perhatian pemerintah
pusat dengan potensi-potensi yang terdapat di daerah tersebut
dan pengelolaan belum dilakukan secara baik serta belum adanya
konsepsi pembangunan yang jelas, komprehensif dan integratif
merupakan beberapa contoh permasalahan pembangunan di
Indonesia. Kegiatan pembangunan yang ada masih berupa rencana
pembangunan parsial dengan pendekatan yang sangat sektoral
(Mufizar 2012) dan mengakibatkan ketimpangan. Oleh karena
itu, pola pembangunan yang terpusat dan bersifat homogen telah
menghambat banyak daerah untuk berkembang, hal tersebut
dapat terlihat dari prinsip pembangunan yang selama ini berjalan
dimana pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan utamanya.
Otonomi daerahpun tidak seutuhnya memberikan kesempatan
daerah-daerah untuk berkembang. Diketahui bahwa potensi
setiap daerah di Indonesia sangatlah berbeda-beda oleh karena
demikian diperlukan treatment yang berbeda pula untuk mencapai
pembangunan dan kesejahteraan yang merata.
202
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Status kabupaten Natuna sebagai daerah perbatasan sekaligus
kawasan dengan dominasi perairan yang luas mengakibatkan
perbedaan pendekatan strategi pemberdayaan masyarakat yang
akan digunakan. Kondisi masyarakat yang masyoritas hidup dari
sumber daya perairan tentu menjadi keunikan sendiri. Tulisan
ini berbicara terkait pendekatan serta strategi pemberdayaan
masyarakat kawasan perbatasan melalui pengembangan
ekowisata bahari berbasis peningkatan kapasitas masyarakat dan
ekonomi kreatif. Selama kurang lebih dua bulan penulis tinggal
dan membaur bersama dengan masyarakat Kecamatan Bunguran
Selatan Kabupaten Natuna. Langkah tersebut dirasa tepat untuk
memahami makna-makna yang ditemui selama dilapangan.
Pada dasarnya konsepsi pemberdayaan telah lama menjadi
diskursus keilmuan dunia, akan tetapi di Indonesia sendiri,
kon sep pemberdayaan masuk bersamaan dengan runtuhnya
rezim pemerintahan Soeharto (Orde Baru). Di paska reformasi,
pembenahan dilakukan di berbagai sektor, mulai dari yang bersifat
fundamental dan prinsipil hingga ke penerapan di lapangan. Konsep
pemberdayaan muncul sebagai antitesis dari paham pembangunan
yang terlalu ekonomi sentris. Di level negara sendiri, penerapan
pemberdayaan diaktualisasikan dengan undang-undang otonomi
daerah dan diwujudkan dalam bentuk pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai contoh
pengambilan kebijakan yang sebelumnya bersifat top-down
perlahan bergeser ke arah bottom-up, serta beberapa sektor yang
sepenuhnya menjadi urusan pemerintah daerah.
Konsep community development dari waktu ke waktu terus
mengalami perkembangan baik pada tataran substantif, metode
dan prakteknya (Suparjan 2012). Sebagai sebuah pendekatan
alternatif, konsep pemberdayaan masyarakat lebih berpihak
kepada lokalitas. Konsep ini mencerminkan paradigma baru
pembangunan yakni yang bersifat “People centre, participatory,
empowering, and sustainable” (Chambers 1995). Hal tersebut sejalan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
203
dengan pendapat Sunartiningsih (2015) bahwa pembangunan
masyarakat adalah kegiatan menempatkan manusia/masyarakat
sebagai pusat perhatian. Konsep pemberdayaan lebih luas
dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar karena
pemberdayaan menyediakan mekanisme untuk mencegah proses
pemiskinan lebih lanjut (safety net) yang pemikirannya belakangan
ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif
terhadap konsep-konsep pembangunan dimasa lalu. Jadi esensi
dari pemberdayaan masyarakat adalah memberikan kekuasaan;
mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas pihak lain;
upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan kepada
pihak lain dalam berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, budaya,
politik hukum, dan sebagainya, baik secara kolektif maupun
personal (Nurhadi 2007). Skema pemberdayaan masyarakat memberikan
kesempatan kepada masyarakat itu sendiri untuk menyesuaikan
pemenuhan kebutuhan dengan ketersediaan sumber daya
di sekitarnya.
Berbicara tentang pemberdayaan masyarakat di daerah
perbatasan tentunya terdapat pendekatan khusus baik yang akan
digunakan oleh pemerintah (state) maupun lembaga swadaya
masyarakat (civil society). Pertimbangannya bahwa pada hakekatnya
masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang masing-masing
mempunyai kepentingan dan sistem nilai sendiri-sendiri. Kondisi
masyarakat yang majemuk menyebabkan akses keberbagai
sumberdaya tidak sama atau tidak merata. Kemajemukan atau
pluralisme inilah yang kemudian perlu untuk dipahami bersama.
Selama ini kegagalan pemerintah sering terjadi dikarenakan
pemerintah mamaksakan pemecahan masalah yang seragam kepada
masyarakat yang realitanya terdiri dari kelompok-kelompok yang
beragam dan berbeda. Ketidakpedulian terhadap heterogenitas
masyarakat dan memaksakan homogenitas mengakibatkan individuindividu
tidak memiliki kuasa sehingga berbagai program yang ada
hanya disetir oleh segelintir elit yang berkuasa (Kartasasmita 2003).
204
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Benang merahnya adalah pendekatan alternatif yaitu pemberdayaan
masyarakat. Mem posisi kan masyarakat bukan sebagai objek dari
pembangunan melainkan sebagai subjek sekaligus aktor yang turut
menentukan arah pembangunan dengan memperhatikan lokalitas
dalam hal ini adalah kearifan lokal setempat. Berbagai kemungkinan
bantuan (perubahan kebijakan, program pembangunan) yang ada
hanya bersifat stimulan atau pemantik perubahan sosial di tengahtengah
masyarakat.
Pengembangan Kapasitas Masyarakat
Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan
suatu masyarakat bertahan karena keberdayaanlah yang
menjamin masyarakat untuk bisa secara dinamis mengembangkan
diri mencapai kemajuan. Memberdayakan masyarakat kemudian
mengandung arti adanya upaya untuk meningkatkan harkat
martabat lapisan masyarakat yang masih dalam kondisi belum
mampu, baik secara sosial maupun ekonomi ke tingkat yang lebih
layak (Sunartiningsih 2015). Sejalan dengan itu, teori pertumbuhan
baru menekankan pentingnya peranan pemerintah, terutama dalam
meningkatkan pembangunan modal manusia (human capital) serta
mendorong penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan
produktivitas manusia (Mufizar 2012). Sebagaimana kita ketahui
bahwa perbaikan kualitas sumber daya manusia tidak hanya terbatas
di pendidikan formal, akan tetapi dapat dilakukan melalui pelatihanpelatihan.
Menurut Rencana Tataruang Wilayah Kabupaten Natuna
pada tahun 2009, Indeks Pembangunan Manusia di tinjau dari
pendidikan hanya menamatkan bangku sekolah sampai dengan
kelas satu sekolah menengah pertama. Angka ini lebih rendah di
bandingkan rata-rata lama sekolah penduduk di Provinsi Kepulauan
Riau dan Indonesia (RTRW Kabupaten Natuna 2011-2031).
Pada tahun 2014 terdapat enam sekolah dasar dan hanya
1 sekolah menengah pertama serta satu sekolah menegah atas
di kecamatan Bunguran selatan (BPS Kecematan Bunguran
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
205
Selatan 2014). Hal tersebut menandakan masih minimnya akses
pendidikan bagi masyarakat kecamatan Bunguran Selatan untuk
memperbaiki kualitas hidup. Kondisi tersebut diperparah dengan
budaya malas sekolah yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini dikaitkan dengan kondisi perekonomian di level keluarga
yang beranggapan lebih baik mendidik putra-putri untuk melaut
sehingga dapat menghasilkan uang. Padahal di dalam pendidikan
terkandung makna kesadaran kritis yang memberikan bekal untuk
meningkatkan pengetahuan sosial dari masyarakat (Darmawan
2011). Menyikapi hal tersebut dibutuhkan sebuah gebrakan baru
pendidikan masyarakat yang dapat diwujudkan dalam bentuk
pelatihan, kursus serta pendampingan.
Masyakarakat perbatasan termasuk dalam kategori masyarakat
kelompok rentan. Alasan utama adalah minimnya
aksesibilitas bagi masyarakat perbatasan untuk mengembangkan
diri dan mencapai batas garis kesejahteraan. Selama ini kegagalan
program-program pengentasan kemiskinan komunitas nelayan
sebenarnya disebabkan karena kebijakan-kebijakan yang di desain
oleh pemerintah lebih bersifat karitatif (charity) dibandingkan
memberikan solusi terhadap kemiskinan (Suyatna 2004). Sebagai
antitesis desain tersebut, program pemberdayaan yang penulis
dan tim lakukan dalam bidang pengembangan kualitas sumber
daya manusia adalah pelatihan pemandu wisata dan pelatihan
penggunaan GPS bagi nelayan.
Kelompok sasaran pelatihan pemandu wisata adalah siswasiswa
sekolah menengah kejuruan pariwisata serta masyarakat desa
setempat. Pemberdayaan ini dilakukan sebagai bentuk kelanjutan
program “Pembentukan kelompok sadar wisata” yang sebelumnya
pernah dilakukan oleh pemerintah dan untuk mendukung Kabupaten
Natuna sebagai destinasi wisata yang ramah dan dapat diakses oleh
wisatawan. Kemudian pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan
penggunaan GPS bagi nelayan dimaksudkan untuk meningkatkan
kapasitas nelayan desa karena selama ini nelayan di desa
206
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Cemaga tengah kecamatan Bunguran Selatan Kabupaten Natuna
mengidentifikasi keberadaan ikan dengan metode konvensional
sehingga masih terdapat nelayan yang tidak mendapatkan hasil
ikan sepulang dari melaut. Faktor penghambatnya adalah masih
minimnya kesadaran masyarakat terkait potensi perikanan yang
dimiliki oleh kabupaten Natuna serta keterbatasan masyarakat
mengakses teknologi dalam rangka efektifitas melaut. Padahal,
kabupten Natuna memiliki potensi perikanan yang memiliki nilai
jual tinggi, tidak hanya potensi perikanan melainkan potensi wisata
alam, kuliner ataupun potensi wisata budaya juga merupakan
beberapa aspek yang ke depannya perlu untuk dijamah.
Menurut Kusnadi (dalam Prihatin 2004) perangkap kemiskinan
yang melanda nelayan terjadi dikarenakan fluktuasi musimmusim
ikan, modal dan akses, jaringan perdangan ikan yang
eksploitatif dan sudah barang tentu keterbatasan sumber daya
manusia. Pelatihan GPS fishfinder merupakan salah satu skema
pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasistas sumber
daya manusia. Para nelayanyang sebelumnya telah mendapatkan
alat bantu GPS fishfinder oleh pemerintah diberikan pelatihan
teknik-teknis dasar penggunaan seperti menyimpan titik rute-rute
baru serta melakukan input data ke GPS fishfinder. Output dari
pelatihan tersebut adalah untuk memudahkan para nelayan ketika
menangkap ikan di laut seperti efisiensi bahan bakar karena telah
menyimpan titik-titik di laut dengan jumlah ikan yang banyak dan
dalam jangka waktu yang panjang diharapkan terjadi peningkatan
taraf ekonomi keluarga nelayan.
Pengembangan Ekonomi Kreatif
Bidang ekonomi kreatif yang dimaksud disini adalah
pengelolaan potensi-potensi yang ada disekitar masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di level keluarga. Menurut
data pemerintah kabupaten Natuna, sektor pertanian memberikan
kontribusi yang tinggi terhadap perekonomian kabupaten Natuna,
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
207
yaitu sekitar 69,35% dari PDRB, dan pada tahun 2010 Bunguran
Selatan menyumbang 450 ton kelapa kepada perekonomian
Kabupaten Natuna. Akan tetapi potensi tersebut belum dikelola
secara maksimal baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar.
Kebanyakan dari masyarakat Desa Cemaga Kecamatan Bunguran
Selatan Kabupaten Natuna masih menggunakan bahan bakar
minyak tanah untuk kebutuhan rumah tangga dan setiap rumah
tangga dibatasi pembelian serta penggunaan minyak tanahnya.
Pelatihan pembuatan kompor biogas merupakan salah satu
cara untuk menghemat pengeluaran rumah tangga yang memiliki
hewan ternak di Kecamatan Bunguran Selatan Kabupaten Natuna.
Masyarakat diberikan pemahaman terkait limbah ternak yang dapat
dimanfaatkan untuk bahan biogas. Masyarakat juga didampingi
untuk melakukan pembuatan bank (penyimpanan) kotoran
ternak terpusat untuk kemudian disambungkan dengan pipa dan
dihubungkan dengan kompor rumah tangga. Penggunaan kompor
biogas membantu rumah tangga untuk mengelola keuangan
sehingga biaya yang sebelumnya digunakan untuk membeli gas/
minyak tanah dapat didistribusikan untuk hal lainnya seperti
kebutuhan sekolah anak.
Melihat keterbatasan dan potensi yang ada, beberapa program
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh penulisan dan
tim adalah pelatihan pembuatan briket tempurung kelapa serta
pemanfaatan limbah kotoran ternak untuk kompor biogas sebagai
bahan bakar alternatif minyak tanah. Pemberdayaan masyarakat
dilakukan dengan beberapa tahapan mulai dari pembuatan modul,
kemudian sosialisasi kepada masyarakat dan pelatihan pemanfaatan
tempurung kelapa serta limbah ternak menjadi bahan bakar
konsumsi rumah tangga sehingga masyarakat tidak sepenuhnya
menggantungkan kebutuhan kepada ketersediaan minyak tanah.
Potensi selanjutanya yang dimiliki kecamatan Bunguran
Selatan adalah komoditas buah kelapa. Hampir disepanjang garis
pantai di Kecamatan Bunguran Selatan terhampar pohon-pohon
208
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
kelapa. Selama ini bagian yang dimanfaatkan dari pohon kelapa
oleh masyarakat Kecamatan Bunguran Selatan adalah sebagai
bahan dasar lidi. Selain itu kebutuhan masyarakat atas buah
kelapa itu sendiri tidak begitu besar sehingg tidak jarang ditemui
banyak sekali buah yang jatuh ketanah dan membusuk. Berangkat
dari hal tersebut maka penulis dan tim merumuskan untuk
melakukan pelatihan pembuatan kompor briket bagi masyarakat
Kecamatan Bunguran Selatan. Buah kelapa yang busuk kemudian
dikumpulkan dan dijadikan satu dengan limbah buah kelapa dari
rumah-rumah masyarakat. Sosialisasi pemanfaatan tempurung
kelapa sebagai bahan bakar dilakukan sebagai langkah awal untuk
mengenalkan masyarakat terhadap potensi limbah kelapa. Setelah
itu masyarakat kemudian diberikan pelatihan untuk memodifikasi
kompor lama bahan bakar minyak tanah untuk dirubah menjadi
kompo briket. Pelatihan permbuatan kompor briket tempurung
kelapa dilakukan untuk melengkapi pelatihan pembuatan kompor
biogas karena tidak semua rumah tanngga di Kecamatan Bunguran
Selatan memiliki hewan ternak.
Pengambangan Ekowisata Bahari
Menurut Usman (2004) keterbelakangan pembangunan
(underdevelopment) yang terjadi khususnya di daerah perbatasan
antara negara mencakup masalah yang kompleks misalnya
kemiskinan dan kesenjangan, dimana kemiskinan merupakan
sebuah kondisi kehilangan (depravation) terhadap sumber-sumber
pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa pangan, sandang,
papan, pendidikan ataupun kesehatan, sedangkan kesenjangan
adalah sebuah kondisi dimana di dalamnya terjadi ketimpangan
akses pada sumber-sumber ekonomi (Mufizar 2012). Menanggapi
permasalahan tersebut banyak negara, terurutama negara-negara
skandinavia merubah haluan pembangunan yang sebelumnya
bersifat top-down kearah bottom-up dan program pemberdayaan
masyakat merupakan salah satu contoh penerapannya.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
209
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa daerah yang berhasil
melakukan pembangunan dengan potensi wisata yang dimiliki
misalnya Yogyakarta dan Bali. Keberhasilan tersebut diringi dengan
kesiapan masyarakat melalui program-program pemberdayaan
masyarakat yang ada dan berdampak positif menjamurnya
industri kreatif baik di Yogyakarta maupun di Bali. Kembali
kepada permasalahan dan potensi yang dimiliki kabupaten Natuna
terutama Desa Cemaga, cepat atau lambat program pemberdayaan
masyarakat menjadi jawaban atas semua kegagalan pembangunan.
Menyoal tentang peran masyarakat, selama kegiatan pemberdayaan
yang penulis lakukan di lapangan ditemukan bahwa partisipasi
masyarakat tergolong pada tingkatan sedang. Menurut Sayuti
(dalam Hadi 2015), partisipasi masyarakat tersebut tergolong pada
tahapan “collaboration” artinya masyarakat lokal bekerjasama dengan
pihak luar untuk menentukan prioritas dan pihak lain (pemerintah,
sektor swasta) bertanggung jawab langsung dalam proses.
Pada dasarnya setiap masyarakat tanpa campur tangan
eksternal termasuk campur tangan negara mempunyai kemampuan
untuk mengani dan memecahkan masalah sosial secara mandiri.
Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apabila sistem yang
dibangun oleh masyarakat sedang bermasalah atau sedang
“sakit” sistem yang demikian akan kehilangan kemampuannya
untuk mengolah umpan balik (Soetomo 2011). Di sinilah peran
fasilitator sebagai “supporting actor” dibutuhkan. Fasilitator dalam
program pemberdayaan masyarakat hanya bertugas memberikan
stimulan kepada masyarakat untuk menuju perubahan. Metode
yang digunakan fasilitator adalah personal blame approach, strategi
demikian ditujukan agar program pemberdayaan masyarakat
terinternalisasi dan terinstitusionalisasi ke dalam diri masyarakat.
Perlu untuk diketahui bersama bahwa fasilitator dapat berasal baik
eksternal maupun internal masyarakat (local hero).
Melalui “internalisasi” harapannya nilai-nilai baru yang dibawa
oleh fasilitator dapat diterima oleh masyarakat sehingga
210
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
memudah kan program pemberdayaan masyarakat. Proses internaliasasi
tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan keseharian
masyarakat. Kemudian hal yang harus dilakukan adalah membangun
kelembangaan di tengah-tengah masyarakat, kelembangaan
yang dimaksud tidak bersifat fisik. Fungsi kelembangaan disini
adalah untuk menjamin kegiatan pemberdayaan masyarakat tetap
berkelanjutan meskipun fasilitator sudah tidak mendampingi
masyarakat di lapangan. Proses institusionaliasi dapat ditempuh
dengan cara pembentukan kelompok-kelompok masyarakat
ataupun memberdayakan kembali kelompok yang telah ada
sebelumnya dalam hal ini kelompok sadar wisata.
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar menyebutkan bahwa Pengelolaan Pulaupulau
kecil terluar dilakukan dengan tujuan: (a) menjaga keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keamanan
Nasional, Pertahanan Negara dan Bangsa serta menciptakan
stabilitas Kawasan; (b) memanfaatkan sumber daya alam dalam
rangka pem bangunan yang berkelanjutan dan (c) memberdayakan
masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan
Adapun prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah
berwawasan nusantara, berkelanjutan dan berbasis masyarakat
(Widiyanta 2007). Wawasan nusantara yaitu tetap memperhatikan
keberagaman permasalahan dan potensi yang ada di masingmasing
daerah di Indonesia sehingga dibutuhkan strategi dan
treatment yang berbeda pula. Berkelanjutan artinya seluruh
kebijakan ataupun program dari pemerintah harus memperhatikan
relevansi dengan situasi dan kondisi di masa mendatang,
sedangkan berbasis masyarakat dimaknai dengan people centered
development, masyarakat sebagai poros utama pembangunan dan
juga sebagai subjek sekaligus objek pembangunan Dilihat dari
aspek kedaerahan maka tidak akan terlepas dari kearifan lokal
yang dimiliki masyarakat di setiap daerah masing-masing.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
211
Pengembangan ekowisata bahari di kabupaten di kabupaten
Natuna diharapkan dapat memberikan dampak positif yang besar
hingga ke masyarakat paling bawah dan bersifat berkelanjutan.
Malalui kegiatan pemberdayaan, diharapkan masyarakat semakin
dekat dengan akses-akses peningkatan kesejahteraan, baik yang
bersifat ekonomis maupun status sosial masyarakat. Sebagaimana
diungkapkan dalam pluralisme kesejahteraan, terdapat tiga
aktor penting dalam kegiatan pembangunan masyarakat di
kabupaten Natuna diantaranya pemerintah sebagai penjamin
mutu pembangunan di daerah-daerah terdepan yang di wujudkan
dalam bentuk kebijakan serta peraturan-peraturan, kemudian
pihak swasta sebagai aktor pendukung jalannya roda pemerintah
mengingat beberapa keterbatasan pemerintah, misalnya dalam
hal pendanaan dapat dilakukan dengan cara program coorporate
social responsibility dengan strategi pemberdayaan masayarakat.
Terakhir adalah masyarakat itu sendiri sebagai bagian dari
pembangunan yang direalisasikan dengan peran dan partisipasi
aktif dalam pemberdayaan masyarakat. Sejalan dengan dinamika
kepariwisataan dunia, gerakan perkembangan pariwisata saat
ini telah merambah dalam berbagai aspek dan terminologi salah
satunya yaitu “suistainable tourism development” (Sastrayuda
2010). Konsep suistainable tourism development diharapkan dapat
memberikan efek domino kepada seluruh aspek kehidupan di
masyarakat sehingga tercipta kesejahteraan.
Kesimpulan
Masalah sosial bersifat multidimensional sehingga berbagai
faktor penyebab serta tindakan penyelesaiannyapun akan sangat
beragam. Ekowisata hanyalah satu dari sekian banyak potensi
yang terdapat di Kabupaten Natuna dan strategi pemberdayaan
masyarakat serta kegiatan eknomi kreatif juga merupakan
salah dua strategi yang dapat ditempuh untuk merealisasikan
pengembangan potensi ekowisata tersebut. Salah satu strategi
212
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan adalah pelatihan
penggunaan teknologi moderen (GPS) bagi para nelayan
di Kabupaten Natuna. Kegiatan tersebut merupakan suatu
kebaharuan sehingga ke depannya diharapkan aktivitas melaut
para nelayan lebih efektif. Berbicara tentang potensi lokal yang
dimiliki oleh kabupaten Natuna maka tidak telepas dari dominasi
vegetasi tanaman kelapa. Selama ini tanaman kelapa belum
sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Masyarakat hanya
mengambil daun kelapa untuk kemudian dijadikan sebagai bahan
sapu lidi rumah tangga. Jumlah buah kelapa yang terlalu banyak
dan keterbatasan masyarakat untuk mengolah berdampak banyak
buah kelapa jatuh membusuk. Berangkat dari permasalahan
tersebut kegiatan mengolah tempurung kelapa menjadi bahan
bakar briket merupakan salah satu aktivitas dari strategi ekonomi
kreatif, sehingga masyarakat tidak bertumpu dengan ketersediaan
minyak tanah yang terbatas dengan harga yang cukup tinggi.
Terlepas dari itu, permasalahan utama kegiatan pemberdayaan
masyarakat saat ini adalah minimnya partisipasi dari masyarakat
itu sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh praktik program yang
ada di tengah-tengah masyarakat oleh pemerintah selama ini
didominasi dengan kegiatan charity yang bersifat bantuan sehingga
menghilangkan prinsip keberlanjutan dan membuat masyarakat
menjadi ketergantungan. Menyikapi permasalahan tersebut,
dibutuhkan kerjasama dari berbagai lini sektor untuk mengubah
pola kehidupan masyarakat dengan strategi pemberdayaan
masyarakat yang inklusif, menunjung tinggi kearifan lokal
masyarakat. Dalam studi kasus ini, pemberdayaan masyarakat
harus memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat yang
bergantung dengan kemaritiman di wilayah utara Indonesia,
minimnya akses masyarakat terhadap berbagai hal mulai dari
teknologi informasi ataupun yang berhubungan dengan kebutuhan
dasar salah satunya pendidikan. Aktor eksternal dalam hal ini
adalah fasilitator pemberdayaan masyarakat yang bertugas sebagai
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
213
supporting system dan memberikan stimulan perubahan kepada
masyarakat untuk memulai pembangunan dari level terendah
yaitu masing-masing individu.
Daftar Pustaka
Darmawan, D. A. 2011. Migrasi dan Kesejahteraan: Kajian Ekonomi,
Pendidikan, dan Jaminan Sosial. Dalam M. Fithriati dan N.
Setiyowati, Jalan Menuju Kesejahteraan dari Wacana hingga
Realita. Yogyakarta: Azzagrafika.
Hadi, Agus Purbathin. 2015. Konsep Pemberdayaan, Partisipasi
dan Kelembagaan dalam Pembangunan. Yayasan Agribisnis/
Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA).
Kartasasmita, Ginandjar. 2003. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep
Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. Jakarta:
Program Pasca Sarjana Institut Tekonologi Bandung.
Mufizar, Arkanudin dan M. Sabran. 2012. Pembangunan Sosial
Masyarakat Perbatasan di Kecamatan Sajingan Besar
Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat. Laporan
Penelitian. Kalimantan: Program Studi Ilmu Sosiologi,
Program Magister Ilmu Sosial, Universitas Tanjungpura.
Nurhadi. 2007. Mengembangkan Jaminan Sosial Mengentaskan
Kemiskinan. Yogyakarta: Media Wacana.
Pemerintah Kabupaten Natuna. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah dan Penanaman Modal. Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) 2011-2013. Kabupaten Natuna
Pemerintah Kabupaten Natuna. 2014. Badan Pusat Statistik.
Statistik Daerah Kecamatan Bunguran Selatan, Natuna.
Prihatin, S. D. 2004. Pengentasan Kemiskinan Nelayan Tradisional
di Indonesia. Dalam A. Sunartiningsih, Strategi Pemberdayaan
Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media.
Sastrayuda, Gumelar. 2010. Strategi Pengembangan dan
Pengelolaan Resort and Leisure. Hand Out Mata Kuliah
Concept Resort and Leisure.
214
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Soetomo. 2004. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan
Potensi Andalan Daerah. Dalam A. Sunartiningsih, Strategi
Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media.
Soetomo. 2011. Efektivitas Kebijakan Sosial dalamPemecahan
Masalah Sosial. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 15(1):15-28.
Sunartiningsih, A. 2015. Memadukan Potensi dan Sumberdaya guna
Menanggulangi Masalah Sosial. Dalam E. Z. Astuti, Merajut
Kesejahteraan di Aras Lokal. Yogyakarta: Azzagrafika.
Sunartiningsih, A. 2015. Membaca Inovasi Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan dalam Memberdayakan Masyarakat. Dalam S.
Eddyono, Tantangan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta:
Azzagrafika.
Suparjan. 2012. CSR dan Kebijakan Pemerintah dalam Pemberdayaan
Masyarakat. Dalam Susetiawan, Corporate Social Responsibility:
Komitmen untuk Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta:
Azzagrafika.
Suyatna, H. 2004. Pendekatan Kultural dalam Pemberdayaan
Nelayan (Sebuah Reorientasi Kebijakan Pemberdayaan
Masyarakat Nelayan). Dalam A. Sunartiningsih, Strategi
Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media.
Widiyanta, Danar. 2007. Upaya Mempertahankan kedaulatan
dan Memberdayakan Pulau-pulau terluar Indonesia Pasca
Lepasnya Sipadan dan Ligitan (2002-2007).
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
215
216
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Perilaku Penjual Jamu dalam
Menghadapi Produk Jamu Pabrikan
S. Djuni Prihatin dan Susi Daryanti 1
Pendahuluan
Indonesia saat ini sedang menuju era ekonomi perdagangan
bebas yang semakin terbuka terhadap pengaruh pasar nasional
dan internasional. Persaingan produk pangan dalam negeri
dengan komoditas pangan sejenis di pasar internasional tidak
dapat dihindari. Oleh karena itu perlu diciptakan upaya meningkatkan
kapasitas produksi melalui pengembangan sistem dan
usaha agribisnis yang berbasis pada komoditas pangan dengan
melakukan diversifikasi, mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
alam nasional, efisiensi penerapan teknologi spesifik
lokasi dan prasarana ekonomi untuk menghasilkan produk-produk
makanan dan minuman yang berdaya saing tinggi (Herdiawan,
2012:102).
Sebagai negara dengan kekayaan sumberdaya alam dan
keanekaragaman hayati yang relatif besar, Indonesia mempunyai
peluang yang cukup besar untuk mewujudkan kedaulatan pangan
yang berkelanjutan. Perkembangan teknologi yang pesat, tingkat
pendidikan masyarakat yang lebih baik, keberadaan berbagai
institusi di tingkat lokal (posyandu, kelompok tani, organisasi
kemasyarakatan dan lain-lain), serta adanya pendekatan baru
manajemen pembangunan ke arah desentralisasi dan partisipasi
masyarakat, merupakan faktor pendorong bagi upaya pemantapan
1 S. Djuni Prihatin dan Susi Daryanti merupakan dosen di Departmen Pembangunan
Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia,
Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email: djuni_pr@yahoo.com dan
susied@ugm.ac.id
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
217
capaian produk pangan dan gizi masyarakat. Dengan memanfaatkan
keragaman potensi sumber daya antar daerah dan keragaman selera
serta permintaan pangan yang semakin mengglobal, pemantapan
dapat diwujudkan melalui upaya (a) memanfaatkan potensi dan
keragaman sumberdaya lokal yang dilaksanakan secara efisien
dengan memanfaatkan teknologi spesifik lokasi dan ramah
lingkungan; (b) mendorong pengembangan sistem dan usaha
agribisnis pangan yang berdaya saing, berkelanjutan, kerakyatan
dan terdesentralisasi; (c) mengembangkan perdagangan regional
(antar daerah) yang mampu meningkatkan ketersediaan dan
kegiatan ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat; (d)
memanfaatkan pasar internasional secara bijaksana bagi pemenuhan
kebutuhan konsumen dan (e) memberikan jaminan akses
yang lebih baik bagi masyarakat miskin dalam melakukan kegiatan
usaha (Suryana 2003:135).
Kesadaran serupa juga diperlihatkan oleh masyarakat dunia
pada saat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang
dinamai World Food Summit: Five Years Later pada pertengahan
Juni 2002 di Roma, Italia. Pertemuan yang diprakarsai FAO
bertujuan untuk menggalang komitmen memobilisasi sumber
daya guna mengatasi kelaparan dan mengentaskan kemiskinan,
yaitu pengurangan penduduk miskin dan rawan pangan, pada
tahun 2015, yaitu sekitar 400 juta jiwa (Suryana 2003:146).
Namun demikian globalisasi pangan sebenarnya tidak
sepenuhnya terbukti efisien bahkan proses tersebut mengancam
keragaman sumber daya hayati. Globalisasi cenderung lebih
menguntungkan industri skala besar dan mengesampingkan
industri kecil dan menengah sebagai industri dominan di negara
berkembang. Salah satu alternatif bijaksana bagi negara berkembang
untuk menghadapi globalisasi ialah dengan pembentukan sentrasentra
industri bagi budidaya produk lokal (seperti jamu gendong)
(Sulistyawati, 2006:127). Globalisasi hingga kini masih merupakan
utopia dari kompetisi ekonomi karena hanya efisiensi yang
218
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
diperhitungkan dengan tanpa adanya batasan (borderless) oleh
struktur atau tradisi lokal unik apapun. Dunia divisualisasikan
sebagai pasar raksasa, faktor-faktor produksi dibeli dengan harga
termurah dan komoditas dijual pada harga tertinggi yang bisa dicapai
(pemasaran global). Efisiensi dalam globalisasi hendaknya dilihat
dari beberapa aspek, selain dari produksinya, aspek terkait bahan
baku (meliputi kelestarian sumber daya hayati dan lingkungan di
mana bahan baku diperoleh yang merupakan kekayaan lokal) dan
paska produksi (mencakup transportasi dan distribusi produk)
yang juga berdampak pada lingkungan dan keamanan konsumsi
produk tersebut juga perlu dipertimbangkan. Biaya sosial dan
lingkungan perlu diperhitungkan sebagai harga yang harus dibayar
dalam produksi massal yang didominasi oleh sejumlah perusahaan
transnasional. Selain itu, ada anggapan bahwa efisiensi sendiri
selalu harus dengan produksi massal yang hanya dapat dilakukan
oleh pihak yang mempunyai modal besar dan memiliki akses pada
keseluruhan rantai produksi dan pemasaran (Sulistyawati 2006:121).
Pada kondisi seperti itu produk lokal terasa usang dan
ketinggalan. Harap dipahami, dibalik produk global tersebut
ada kekuatan kapital besar yang sangat berperanan dalam
proses seleksi dan distribusi melewati batas-batas negara dengan
sangat efisien. Kekuatan kapital juga berada dibalik riset dan
pemanfaatan teknologi budidaya, pengolahan, pengemasan
bahkan hingga sosialisasinya ke masyarakat lewat iklan. Sementara
apa yang terjadi dengan produk lokal minim dengan sentuhan
teknologi, budidaya maupun teknologi pengolahan. Produk lokal
dibudidayakan seadanya serta diolah seadanya pula. Pamornya
makin lama tambah meredup, sekalipun kandungan nutrisinya
baik. Tetapi disisi lain, mekanisme pasar global ini tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Butuh pemihakan terhadap produk lokal
untuk bisa bertahan atau berdampingan dengan produk global
dalam memperkaya keragaman konsumsi. Setidaknya ada dua
alasan pemihakan: pertama, sebagai negara yang berstatus agraris,
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
219
banyak anggota masyarakat Indonesia yang punya kepentingan
terhadap keberadaan produk lokal, baik sebagai produsen,
distributor maupun konsumen. Jika produk lokal ini pamornya
terus berkurang, produksi cenderung turun dan bisa jadi suatu
saat ia akan menghilang. Kedua, globalisasi produk memang
cenderung menjadikan masyarakat sebagai konsumen belaka,
karena produk global yang masuk ke negara sudah siap pakai,
siap olah maupun siap konsumsi. Jika semakin banyak masyarakat
berprinsip “sebagai konsumen pun tidak apa-apa” maka bisa
dibayangkan akibat selanjutnya, berupa daya produksi masyarakat
menjadi lemah (Retnaningsih 2006:209-210)
Oleh karena itu, setidaknya perlu revitalisasi dan pengembangan
produk lokal itu agar mampu bertahan di daerahnya
sendiri, menjadi simbol atau menjadi bagian dari kultur setempat
tidak tenggelam oleh produk global dan daerah lain, mampu
berkembang sehingga mengisi keanekaragaman produk dan bisa
menjadi bagian dari produk global (Retnaniningsih 2006:213).
Oleh karenanya pengembangan produk lokal seperti jamu itu
bukan sesuatu yang sederhana. Banyak pertanyaan yang muncul
sehubungan dengan hal itu. Misalnya, bagaimana melakukan
pengembangan jamu? Pada skala berapa besar jamu itu bisa
dikembangkan? Siapa saja yang terlibat di dalamnya? Bagaimana
prospek pengembangan usaha jamu tersebut dalam jangka pendek
maupun jangka panjang dalam kaitannya dengan menghadapi
produk jamu pabrikan?
Perilaku dalam Perkembangan Global
Perilaku memang tidak dapat dipisahkan dari sikap yang
dimiliki individu terhadap suatu hal yang dihadapinya. Walaupun
demikian, hubungan sikap dan perilaku tidak selalu linear,
bahkan tidak jarang saling bertentangan. Satu penentu kunci dari
kepentingan sikap adalah istilah yang disebut oleh psikolog sosial
sebagai kepentingan pribadi (vested interest) – sejauh mana sikap
220
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
tertentu tersebut relevan dengan individu yang memilikinya, obyek
atau isu itu memiliki konsekuensi penting bagi orang tersebut.
Hasil dari banyak penelitian menunjukkan bahwa semakin besar
vested interest, maka semakin kuat dampak sikap tersebut pada
tingkah laku (Baron dan Byrne 2004:134). Melihat gambaran itu
memang tidak mudah menentukan atau memprakirakan perilaku
seseorang sebab individu memiliki aspek, pengalaman historis dan
latar belakang berbeda-beda.
Fishbein dan Azjen (1975) memprakirakan perilaku dengan
memasukkan sekaligus empat faktor, yaitu target, perilaku, context
dan waktu. Senada dengan tulisan sebelumnya, Fishbein dan Azjen
mengungkapkan hubungan niat dan perilaku adalah yang paling
dekat, yaitu setiap perilaku bebas ditentukan kemauan sendiri
selalu didahului niat. Keyakinan dalam mengambil keputusan atas
perilaku sangat terkait dengan sikap yang ditentukan oleh dua hal.
Pertama, kepercayaan atau keyakinan (belief) tentang konsekuensikonsekuensi
dari perilaku. Kedua, evaluasi terhadap konsekuensikonsekuensi
yang ada untuk diri subyek itu sendiri (Sarwono
2005:245). Lebih jelas bahwa dalam mengambil keputusan dalam
berperilaku, seseorang atau individu akan mempertimbangkan
berbagai hal. Konsekuensi logis atas perilaku individu tersebut
merupakan pertimbangan utama karena berhubungan dengan
bagaimana sustainabilitas pemenuhan kebutuhan mereka.
Kurt Lewin (1951) merumuskan suatu model hubungan
perilaku yang mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi
karakteristik personal/individu dan lingkungan. Karakteristik
individu meliputi berbagai variabel motif, nilai-nilai, sifat
kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi pula dengan
faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor
lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku,
bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar dari karakteristik
individu. Teori tindakan beralasan (theory of reasoned action)
melihat penyebab perilaku volisional (perilaku yang disebabkan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
221
kemauannya sendiri), bahwa perilaku didasarkan pada asumsiasumsi
a) bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan
cara-cara yang masuk akal, b) bahwa manusia mempertimbangkan
semua informasi yang ada, dan c) bahwa secara eksplisit maupun
implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka
(Azwar, 1995: 11).
Teori tindakan beralasan mengungkapkan bahwa sikap
mempengaruhi perilaku lewat proses pengambilan keputusan
yang teliti dan beralasan, serta dampaknya terbatas pada tiga hal.
Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan sikap umum, tetapi
oleh sikap spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi
tidak hanya sikap tapi juga oleh norma-norma subjektif (subjective
norms) yaitu keyakinan mengenai apa yang orang inginkan agar
diperbuat. Ketiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama normanorma
subjektif membentuk intensi atau niat untuk berperilaku
tertentu. Teori tindakan beralasan kemudian diperluas dan
dimodifikasi oleh Azjen, modifikasi ini dinamai Teori Perilaku
Terencana (Theory of Planned Behavior).
Kerangka pemikiran teori perilaku terencana dimaksudkan
untuk mengatasi masalah kontrol volisional yang belum lengkap
dalam teori terdahulu. Inti teori perilaku terencana tetap berada
pada faktor intensi perilaku namun determinasi intensi tidak hanya
dua (sikap terhadap perilaku yang bersangkutan dan normanorma
subyektif) melainkan tiga dengan diikutsertakannya aspek
kontrol perilaku yang dihayati (memberikan kerangka keteraturan
bagaimana seseorang harus bertindak. Selain itu, adanya informasi
mengenai hal-hal baru yang kemudian dianggap relevan dengan
kehidupan individu bersangkutan akan menjadi pertimbangan
penting dalam mempengaruhi perilaku.
Kast dan Rosenzweig (1995) menyebutkan perilaku adalah
cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan
merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis,
fisiologis dan psikologis dan pola perilaku dikatakan sebagai
222
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
tingkah laku yang dipakai seseorang dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatannya. Perilaku (B) juga merupakan fungsi ( F) dari
interaksi antara sifat personal/individu (P) dengan lingkungannya
(E) yang dapat dilihat dari ucapannya, gerakan dan gaya seseorang
atau B = F (P.E) (Thoha 1988 :34-35).
Unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tidak nampak
seperti pengetahuan (cognitive) dan sikap (affective) serta perilaku
yang tampak seperti ketrampilan (psychomotoric) dan tidakan nyata
(action) (Samsudin, 1977). Gabungan dari atribut biologis, psikologis
dan pola perilaku aktual menghasilkan kepribadian (character)
yakni kombinasi yang kompleks dari sifat-sifat dan mental, nilainilai,
sikap, kepercayaan, selera, ambisi, minat, kebiasaan dan ciriciri
lain yang membentuk suatu diri yang unik (unique self).
Teori kognisi percaya bahwa perilaku seseorang itu disebabkan
karena adanya rangsangan (stimulus). Pemahaman atas stimulus
yang ada membuat orang berusaha untuk mengetahui (cognition)
dan akhirnya menghasilkan response. Thoha (1988:48) juga
mengemukakan bahwa kognitif mempunyai fungsi memberikan
pengertian pada kognitif baru, menghasilkan emosi, membentuk
sikap, dan memberi motivasi terhadap konsekuensi perilaku.
Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan (kognitif) oleh fungsi
informasi, dan pengetahuan merupakan faktor yang membentuk
perilaku, membentuk sikap dan memberi motivasi.
Teori interaksionis yang dipelopori oleh Erik Erikson (kelompok
teori psikoanalisis), Bandura dan Brovenbrener (kelompok teori
belajar sosial) bahwa perilaku dianggap sebagai hasil interaksi
antara faktor-faktor yang terdapat didalam diri sendiri dan faktor
luar. Proses interaksi itu sendiri terjadi pada kesadaran atau kognisi
seseorang (Sarwono, 2005). Bidle dan Bidle (1965) mengemukakan
bahwa perubahan perilaku dapat terjadi karena paksaan, perintah,
propaganda, bujukan, peniruan dan pendidikan (formal, non
formal dan informal). Dalam hal perubahan perilaku BF. Skinner
(Alimandan 1992:87) mengungkapkan dalam teori behavioral
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
223
sociology yang menjadi pemahamannya adalah “reinformcement”
yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Suatu ganjaran
yang tak membawa pengaruh terhadap aktor tidak akan diulang.
Bila kebutuhan psikologis dapat dipenuhi maka kebutuhan
tersebut tidak akan berguna lagi sebagai faktor pemaksa.
Berdasarkan teori Kast dan Rosenzweig (1995) tentang
terbentuknya perilaku, bahwa perilaku seseorang dapat terjadi
karena adanya suatu sebab, dan sebab itu adalah sasaran yang
ingin dicapai atau kebutuhan untuk mencapai kondisi yang
diinginkan. Begitu pula perilaku penjual jamu dalam menghadapi
produk jamu pabrikan didefinisikan sebagai cara bertindak yang
menunjukkan tingkahlaku tercermin dari curahan waktu (totalitas
usaha) untuk menambah penghasilan keluarga, penggunaan
teknologi, penguatan jaringan kerjasama, penguatan kesadaran
akan hak dan kewajiban, penguatan kelembagaan kelompok jamu,
standarisasi usaha jamu, dan sertifikasi halal.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif.
Pemilihan pendekatan kualitatif deskriptif dilakukan atas
dasar spesifikasi obyek penelitian agar didapat informasi yang
mendalam tentang obyek kajian tentang perilaku penjual jamu
dalam menghadapi perkembangan global. Penelitian dilakukan
di Dusun Watu, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Informan dalam penelitian ini adalah penjual jamu penerima
program CSR Pertamina Rewulu, yang tergabung dalam kelompok
jamu Jati Husada Mulya. Adapun jumlah informan yang diperoleh
dalam penelitian sebanyak sebelas orang. Dengan kriteria para
penjual jamu yang menjadi informan adalah mereka yang memiliki
penghasilan minimal satu juta rupiah dalam sebulan. Kesebelas
informan tersebut adalah Bu Yanti, Bu Erni, Bu Ngadiyem, Bu
Sri Sulasinah, Bu Jumyati, Bu Murgi, Bu Suti, Bu Ngatinem,
224
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Bu Margiyani, Bu Dwi Retno, dan Bu Suratiyem. Keseluruhan
informan ini terdiri dari pengurus dan anggota kelompok jamu Jati
Husada Mulya.
Pengumpulan data mencakup beberapa cara. Pertama,
pengum pulan data dan informasi dengan melalui observasi,
pengamatan di lokasi penjual jamu dan kunjungan ke rumah-rumah
maupun mengikuti pertemuan kelompok jamu Jati Husada Mulya.
Kedua, wawancara mendalam (indepth-interview), yaitu untuk
memperoleh informasi yang mendalam tentang perilaku penjual
jamu, kata-kata dan tindakan perilaku penjual jamu yang diamati
dan diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data
utama ini dicatat melalui catatan tertulis ataupun catatan lapangan
dijadikan bahan analisis dan pelaporan data. Ketiga, studi pustaka,
yaitu pengumpulan data untuk mencari tambahan referensi yang
mendukung penelitian perilaku penjual jamu dalam menghadapi
perkembangan global. Selain itu dilakukan pula dokumentasi atau
pencatatan data sekunder, meliputi data tentang monografi desa.
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh
data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara,
pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan. Hal
ini dilanjutkan dengan klasifikasi dan kategorisasi data (Moleong
1990). Selanjutnya pada tahap penafsiran data peneliti menguraikan
pola hubungan dan menyertakan penjelasan yang muncul dari
keseluruhan data tentang berbagai bentuk strategi yang dilakukan
oleh para penjual jamu kelompok Jati Husada Mulya.
Administrasi Wilayah dan Kondisi Demografi Dusun Watu
Dusun Watu merupakan salah satu dusun dari empat belas
dusun yang berada di bawah Pemerintahan Desa Argomulyo.
Secara administratif Dusun Watu terbagai kedalam sepuluh RT.
Secara geografis Dusun Watu terbagi dalam dua wilayah, yaitu:
wilayah Watu dan wilayah Sengon Madinan. Pembagian wilayah
tersebut dibatasi oleh rel kereta api yang menghubungkan Stasiun
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
225
Kereta Api Rewulu dengan Terminal BBM Rewulu. Wilayah watu
terdiri dari empat RT, yaitu RT 1 sampai dengan RT 4 yang berada
di sisi timur rel kereta api. Sedangkan wilayah Sengon Madinan
berada di sisi barat rel kereta api yang terdiri dari enam RT yaitu
RT 5 sampai dengan RT 10. Secara geografis wilayah Dusun Watu
berbatasan dengan Dusun Samben di sisi utara, Dusun Sengon
Karang dan Kabupaten Sleman di sisi timur, Dusun Plawonan di
sisi selatan serta sebelah barat berbatasan dengan Dusun Panggang
dan wilayah persawahan Dusun Srontakan.
Hal yang membedakan antara Dusun Watu dengan dusundusun
lainnya di Desa Argmulyo yaitu di wilayah Dusun Watu
khususunya di sekitra RT 10 berdiri Terminal BBM yang merupakan
bagian dari unit bisnis PT Pertamina (Persero). Keberadaan Terminal
BBM ini berpengaruh bagi kehidupan masyarakat di Dusun Watu
baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, banyak
diantara masyarakat yang bekerja sebagai tenaga outsourcing di
Pertamina serta Dusun Watu sebagai salah satu wilayah sasaran
dari program-program CSR yang dilakukan oleh Pertamina.
Secara Demografi, menurut data laporan pemetaan sosial
(PT Pertamina (Persero) Terminal BBM Rewulu, 2014): jumlah
penduduk di Dusun Watu terdiri dari 282 kepala keluarga (KK).
Karakteristik masyarakat Dusun Watu adalah masyarakat agraris.
Sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani. Selain itu,
Dusun Watu merupakan salah satu dusun di Desa Argomulyo
yang hingga saat ini masih banyak perempuan di dusun ini
berprofesi sebagai penjual jamu tradisional khususnya para ibuibu.
Aktivitas ini telah digeluti secara turun temurun, generasi
saat ini merupakan generasi ketiga yang menggeluti usaha jamu
tradisional. Sedangkan profesi lain yang menjadi mata pencaharian
masyarakat antara lain: pekerja outsourcing di Terminal BBM
Rewulu, PNS, pedagang serta buruh tani.
Karakeristik masyarakat di Dusun Watu adalah masyarakat
rural. Modal sosial yang ada di dusun ini masih terjaga dengan
226
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
baik. Hal ini terlihat dari adanya berbagai kelompok-kelompokkelompok
yang ada di Dusun Watu, antara lain: PKK Dusun, pertemuan
rutin RT di masing-masing RT, pengajian rutin, kegiatan
arisan dan simpan pinjam serta adanya kelompok-kelompok
dengan basis profesi, misal: perkumpulan kelompok tani,
perkumpulan kelompok jamu. Kegiatan masing-masing kelompok
merupakan kesepakatan anggota di masing-masing kelompok.
Terdapat kelompok yang secara rutin menggelar per temuan,
misalnya: kegiatan PKK Dusun, kelompok jamu, kelompok
pengajian. Selain itu, seperti kelompok tani menggelar pertemuan
hanya sebatas kebutuhan. Meskipun demikian, distribusi informasi
pada masyarakat di Dusun Watu tergolong mudah, masyarakat
masih terbiasa dengan sistem informasi dari gethok tular (dari mulut
ke mulut). Sehingga ketika ada informasi baru mudah menyebar
dikalangan masyarakat.
Perilaku Penjual Jamu Dalam Menghadapi Produk Jamu
Pabrikan
Curahan Waktu Rangkaian Proses Produksi Jamu Tradisional
Sebagai aktivitas pekerjaan, alokasi waktu yang dicurahkan
para penjual jamu baik dari persiapan produksi sampai paska
produksi memerlukan waktu yang cukup lama antara 10-12 jam
dalam satu kali produksi. Kegiatan produksi jamu dimulai dengan
kegiatan pra-produksi. Kegiatan ini berupa kegiatan berbelanja
bahan baku. Bahan yang menjadi kebutuhan utama para penjual
jamu antara lain: kunyit, asem, kencur, gula jawa, rempah serta
racikan jamu godokan. Bahan tersebut dapat diperoleh secara
mudah oleh para penjual jamu. Cara yang digunakan oleh para
penjual jamu untuk memperoleh bahan baku beragam, antara lain
berbelanja di warung sekitar rumah, di pasar Godean dan Pasar
Menulis atau di Koperasi Kelompok Jati Husada Mulya.
Kelompok Jati Husada Mulya memiliki koperasi untuk
memudahkan anggotanya mengakses bahan baku untuk membuat
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
227
produk jamu. Menurut hasil wawancara, terdapat selisih harga
antara harga yang ditawarkan oleh koperasi dengan harga pasar,
mes kipun demikian koperasi masih menjadi pilihan anggota kelompok
Jati Husada Mulya untuk berbelanja bahan baku kebutuhan
produksi. Hal ini disebabkan selisih harga pasar dengan
harga di koperasi hanya sedikit serta lokasi koperasi yang berada di
sekretariat kelompok, sehingga anggota sekaligus dapat berbelanja
ketika mengikuti kegiatan kelompok.
“Harga selisihnya lebih tinggi dari pasar, karena kelompok tidak
berbelanja secara jumlah besar” (Petikan Wawancara dengan Ibu
JYM, 30 Oktober 2015).
Meskipun memiliki pandangan yang beragam terhadap harga
bahan baku di koperasi milik kelompok Jati Husada Mulya. Para
penjual jamu memiliki cara-cara yang berbeda dalam menyiasati
ketersediaan bahan baku produksi mereka. Irama kegiatan praproduksi
beragam dan berbeda antara satu penjual dengan penjual
lainnya. Sebagai contoh, Ibu SS berjualan empat kali dalam satu
minggu, memiliki kegiatan rutin berbelanja bahan baku setiap awal
minggu. Bahan baku yang diperoleh Ibu SS disimpan untuk enam
kali proses produksi dalam minggu tersebut. Sedangkan Ibu NGY
dalam satu minggu berjualan sebanyak tiga kali dan berbelanja
setiap kali melakukan produksi jamu. Ibu NGY tidak menyimpan
bahan baku untuk produksi selanjutnya. Perbedaan ini bergantung
pada kebiasaan masing-masing penjual jamu.
“.... saya satu kali belanja untuk satu kali pembuatan produk jamu
yang akan dijual” (Kutipan wawancara dengan Ibu NGY, 28
Oktober 2015).
Secara keseluruhan informan menyatakan tidak mengalami
kesulitan dalam mendapatkan bahan baku. Bahan baku dapat diperoleh
di sekitar mereka, serta dapat diperoleh ketika beraktivitas,
misalnya: sekalian berbelanja ketika berjualan, berbelanja di
228
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
warung sekitar rumah, atau berbelanja di Koperasi Jati Husada
Mulya.
Aktivitas terkait proses produksi yang dilakukan oleh penjual
jamu selanjutnya adalah kegiatan produksi jamu. Kegiatan ini
membutuhkan waktu lama, meskipun demikian aktivitas ini
dapat dilakukan secara bersama-sama dengan aktivitas lainnya,
seperti mencuci botol-botol yang telah digunakan pada hari
sebelumnya atau mencuci botol-botol yang akan digunakan untuk
berjualan jamu. Ketika obvervasi penelitian dilakukan pada sore
hari, peneliti menemukan aktivitas yang sama yang dilakukan
oleh ibu-ibu penjual jamu yaitu sedang mencuci botol. Kondisi
yang sama juga ditemukan ketika melakukan wawancara dengan
informan lainnya. Ketika wawancara dengan Ibu JMY, wawancara
dilakukan disela ibu penjual jamu tersebut melakukan persiapan
untuk berjualan keesokan harinya.
Apabila Ibu penjual jamu berjualan jamu pada pagi hari,
maka kegiatan persiapan produksi telah dilakukan sore hari
sebelum hari berjualan. Berikut merupakan petikan wawancara
dengan Ibu NGY yang menjelaskan mengenai persiapan dalam
proses produksi jamu tradisional.
“Pagi belanja, jamu rebusan di buat sore hari sebelumnya (kunir
putih), karena semakin lama direbus semakin enak. Jamu beras
kencur, kunir asem dan uyup-uyup dibuat pagi setelah subuh”
(Kutipan wawancara dengan Ibu NDY, 28 Oktober 2015).
Informasi sama juga diperoleh dari Ibu SS yang mulai melakukan
persiapan proses produksi pada sore hari dan dilanjutkan
pada keesokan pagi harinya. Berikut merupakan petikan wawacara
dengan Ibu SS terkait proses produksi jamu yang dilakukan.
“Jam 6 sore atau setelah maghrib merebus air, merebus kunir, “nyangani”
jamu, mempersiapkan bahan-bahan. Keesokan harinya, jam lima pagi
melakukan proses pembuatan jamu dan memasukannya kedalam botolbotol”(Kutipan
wawancara dengan Ibu SS, 28 Oktober 2015).
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
229
Berdasar petikan dua wawacara di atas diketahui bahwa
pada dasarnya persiapan proses produksi jamu membutuhkan
waktu yang cukup lama. Aktivitas tersebut dilakukan sendiri
atau kadang juga mendapat bantuan dari anggota keluarga
lainnya. Proses penggilingan bahan baku menjadi jamu rata-rata
penjual jamu menggunakan blender. Penggunaan alat ini dianggap
praktis bagi para ibu-ibu penjual jamu. Meskipun demikian masih
terdapat penjual jamu yang tetap bertahan dengan menggunakan
penumbuk tradisional, yaitu menggunakan alu, karena rasa jamu
menjadi lebih enak.
Curahan waktu yang dialokasikan juga menunjukkan kemampuan
dari masing-masing para penjual jamu dalam mengolah,
mengemas dan menjualnya sampai terdistribusi ke konsumen.
Masing-masing penjual jamu memiliki kebiasaan tersendiri berkaitan
dengan aktivitas yang dilakukannya, ini terjadi karena
berkaitan dengan pangsa pasar yang telah menjadi langganannya.
Penggunakan Teknologi untuk Orientasi Efisiensi Kegiatan
Usaha
Penggunaan teknologi dalam efisiensi kegiatan usaha jamu
sudah mulai dan dilakukan oleh para penjual jamu anggota
kelompok Jati Husada Mulya. Rata-rata para penjual jamu tersebut
sudah memiliki alat komunikasi berupa telepon seluler, sehingga
mereka dapat menerima pemesanan jamu melalui telepon maupun
SMS. Berdasar hasil wawancara dengan informan, tingkat
pemanfaatan dan penggunakan teknologi berbeda antara
penjual jamu satu dengan yang lainnya. Berikut merupakan
petikan wawancara dengan Ibu NGY terhadap penggunaan dan
pemanfaatkan telepon seluler dalam kaitanya terhadap kegiatan
usahanya.
“Setiap jum’at saya berjualan di Alun-Alun Denggung di kegiatan
senam masal. Saya jamin dagangan yang saya bawa selalu habis.
Banyak diantara langganan saya yang SMS dulu supaya disisihkan.
230
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Jika tidak akan kehabisan, saya mendahulukan yang pesen-pesen
dulu. Jadi banyak yang bertanya jamu masih banyak tapi kok sudah
dibilang habis, saya jawab itu pesanan. (Wawacara dengan Ibu
JMY, 30 Oktober 2015)
Tingkat pemanfaatan teknologi khususnya telepon seluler oleh
para penjual jamu anggota kelompok Jati Husada Mulya beragam.
Pada dasarnya mereka terbantu terhadap penggunaan teknologi
tersebut untuk melakukan komunikasi dengan konsumen mereka.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan penggunaan teknologi
sebatas memudahkan komunikasi dengan para konsumen
tetap mereka terkait pemesanan produk jamu.
Penggunaan teknologi belum sampai pada upaya untuk
mengem bangkan jaringan pemasaran yang dilakukan oleh masingmasing
individu penjual jamu. Dukungan pelatihan kearah
digitalisasi ini yang perlu didorong bagi para penjual jamu kaitannya
semakin menghadapi tuntutan dan persaingan kompetisi produk
pabrikan jamu yang telah merasuk di kalangan pasar jamu. Proses
kompetisi sadar atau tidak sadar telah dimulai, meskipun para
penjual jamu tidak merasakan prosesnya, bagi sebagian penjual jamu
menjual dengan alamiah dirasa masih bisa cukup menguntungkan
dan menjanjikan tanpa harus melakukan kegiatan yang ribet-ribet.
Yang utama adalah memperkenalkan dan menyiapkan para penjual
jamu dalam penggunaan media sosial dan digital untuk menjangkau
luasan pasar jamu yang telah dilakukannya, ini menjadi bagian dari
proses inovasi yang dilakukan.
Meskipun persoalan penggunaan media sosial dan digital
senantiasa dihadapkan pada persoalan sumberdaya manusia
dari para penjual jamu, tetapi para penjual jamu meski dengan
keterbatasan mereka tetap bisa mengikuti perluasan jangkauan
pasar melalui digital, dengan kemungkian didampingi oleh anakanaknya
atau sanak famili yang ikut serta dalam menikmati hasil
dari proses penjualan jamu itu. Di era perkembangan global
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
231
ini, praktis produk-produk olahan rumah tangga seperti jamu
ini pasti menghadapi tantangan persaingan yang tidak ringan.
Dengan hadirnya produk-produk sejenis yang berasal dari luar
menyebabkan persaingan usaha ataupun bisnis akan semakin ketat
(Sunartiningsih dan Suyatna 2009). Sektor usaha kecil menegah
yang tidak mampu bersaing akhirnya memiliki resiko gulung
tikar.
Bentuk-bentuk perilaku penjual jamu dalam menghadapi
perkembangan global, diantaranya melalui beberapa cara berikut.
Penguatan Jaringan Kerjasama
Gagasan globalisasi pada dasarnya menghendaki suatu
tatanan perdagangan yang bebas hambatan. Era ini ditandai dengan
liberalisasi di segala bidang. Liberalisasi mengandung beberapa
implikasi seperti (a) penyertaan pelaku ekonomi nasional dalam
dinamika mondial secara lebih terbuka dan langsung berhadapan
dengan pelaku ekonomi diberbagai kawasan (b) penyertaan pelaku
ekonomi lokal dalam dinamika nasional, regional dan mondial (c)
penyertaan pelaku ekonomi tradisional dalam dinamika ekonomi
modern yang rasional. (Sunartiningsih dan Suyatna 2009)
Secara kelembagaan, Kelompok Jati Husada Mulya mengalami
revitalisasi kelembagaan pada 2012. Kelompok Jati Husada Mulya
cukup banyak mendapatkan perhatian dari berbagai lembaga
eksternal, antara lain: CSR Pertamina, Universitas Mercubuana
Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, Dinas Tenaga Kerja Kab.
Bantul, Universitas Teknologi Yogyakarta, Dinas Perindustrian
Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Bantul. Lembaga-lembaga
eksternal tersebut memberikan bantuan dalam bentuk rangkaian
kegiatan yang bersifat pemberdayaan masyarakat maupun yang
bersifat bantuan untuk kelengkapan usaha dalam lingkup lembaga
maupun individu.
232
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Penguatan Kesadaran Hak dan Kewajiban
Kelompok Jati Husada Mulya memiliki dua kelembagaan di
dalamnya, yaitu: sebagai kelompok yang menaungi para penjual
jamu dan lembaga koperasi yang berbadan hukum. Sebagai wadah
yang mengorganisir ibu-ibu penjual jamu di Dusun Watu, anggota
Jati Husada Mulya memiliki kewajiban dan hak. Kewajiban
anggota JHM diantaranya membayar dana kelompok (simpan
pinjam, tabungan dan sosial) dan produksi jamu instan. Dana
kelompok sendiri terdiri dari arisan Rp10.000, dana simpan pinjam
koperasi Rp. 10.000,- , tabungan Rp. 10.000 , dan dana sosial Rp.
2.000,-. Ketiga dana ini dibayarkan secara rutin kepada bendahara
kelompok saat pertemuan rutin mingguan setiap selasa sore
ketika pertemuan rutin kelompok Jati Husada Mulya. Kegiatan
rutin kelompok dilaksanakan di sekretariat kelompok Jati Husada
Mulya yang berada di rumah ketua kelompok (Ibu Wagiyanti), RT
03 Dusun Watu, Desa Argomulyo, Kec. Sedayu, Kab. Bantul.
Sebagai anggota kelompok Jati Husada Mulya, ibu penjual
jamu mendapatkan fasilitas misalnya: dapat menyimpan dan
memimjam uang di kelompok, mendapatkan sumbangan dari
kelompok apabila ada anggota maupun keluarga inti ada yang
sakit atau terkena musibah. Besaran sumbangan yang diperoleh
bergantung pada kesepakatan kelompok yang dibicarakan dalam
forum perkumpulan rutin.
Sedangkan sebagai koperasi yang berbadan hukum, aktivitas
kelompok Jati Husada Mulya antara lain: pertemuan rutin koperasi
digelar setiap selasa pada minggu pertama disetiap bulannya.
Anggota kelompok Jati Husada Mulya merupakan anggota
Koperasi Jati Husada Mulya. Sebagai anggota koperasi, ibu-ibu
anggota kelompok berhak mendapatkan sisa hasil usaha (SHU)
pada tiap tahunnya.
Kewajiban anggota untuk memproduksi jamu instan tidak
dilakukan secara harian, mingguan, bulanan atau tahunan,
melainkan disesuaikan dengan kondisi ketersediaan jamu instan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
233
yang dimiliki. Kelompok melakukan kegiatan produksi jamu instan
apabila ketersediaan jamu sudah menipis atau habis, atau jika ada
pesanan dalam jumlah yang besar. Oleh karenanya kelompok
Jati Husada Mulya ke depan harus memiliki kemampuan untuk
menjamin kepada anggota bahwa dengan aktif dalam kelompok itu
diperoleh sesuatu yang tidak mungkin didapat dari luar kelompok.
Dinamika Organisasi Kelompok Jati Husada Mulya
Jumlah anggota kelompok Jati Husada Mulya sebanyak dua
puluh delapan orang. Ketika kegiatan penelitian ini berlangsung,
proses petimbangan oleh kelompok dilakukan untuk memasukan
dua orang anggota baru. Dua orang tersebut itu bukan merupakan
penjual jamu keliling seperti umumnya anggota kelompok Jati
Husada Mulya. Calon anggota baru tersebut merupakan penjaga
tradisional corner kelompok Jati Husada Mulya yang merupakan
bantuan dari CSR Pertamina.
Secara aktivitas kelembagaan, kegiatan rutin Kelompok Jati
Husada Mulya terdiri dari arisan dan produksi jamu produk
kelompok. Kegiatan pertemuan rutin diadakan setiap hari Selasa
pukul 15.30-17.00 WIB di sekretariat kelompok Jati Husada
Mulya yang juga rumah ketua kelompok Jati Husada Mulya.
Agenda dalam pertemuan tersebut antara lain: arisan, simpan
pinjam, koperasi, pembayaran untuk dana sosial, evaluasi
kinerja kelompok, pembagian kerja produksi jamu instan untuk
pemenuhian ketersediaan produksi, pembahasan apabilan ada
pesanan dan pameran yang diadakan oleh pihak eksternal, serta
distribusi informasi apabila ada anggota kelompok yang mengikuti
pelatihan ada kegiatan dari pihak eksternal.
Berdasarkan data lapangan, aktivitas yang nampak ketika
pertemuan rutin berlangsung sebelum acara dimulai yaitu anggota
kelompok yang hadir menyetorkan dana kelompok (simpan
pinjam, atau koperasi, tabungan dan sosial) kepada bendahara.
Bendahara terdiri dari empat orang, sesuai dengan bidang kerja
234
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
mereka masing-masing. Setelah seluruh anggota dan bendahara
menyelesaikan proses administrasi tersebut, pertemuan dimulai
dengan diawali oleh sambutan dari ketua Jati Husada Mulya.
Dalam sambutannya, ketua Jati Husada Mulya, melalui bendahara,
melaporkan perkembangan keuangan dan kegiatan kelompok yang
telah dilakukan selama satu minggu terakhir. Pelaporan keuangan
meliputi pendapatan dan pengeluaran, termasuk diantaranya
bentuk penggunaan dana baik yang dikeluarkan untuk kegiatan
kelompok maupun yang dipinjam oleh anggota.
Baron dan Byrne (Sunarru 2011) menyebut social loafing
sebagai bentuk penurunan motivasi dan usaha ketika individu
bekerja secara kolektif di dalam kelompok dibandingkan dengan
ketika mereka bekerja secara individual atau bekerja secara bebas.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa apabila jumlah anggota suatu
kelompok meningkat, maka setiap anggota merasa dirinya kurang
bertanggungjawab untuk tugas yang sedang dikerjakan. Hasilnya,
setiap orang akan menurun motivasi/usahanya. Teori yang lain
memfokuskan pada kenyataan yang terjadi pada kelompok,
bahwa motivasi anggota kelompok menurun disebabkan kenyataan
yang dihadapi, yaitu kontribusinya tidak dievaluasi atau tidak
diperhitungkan secara individual, karenanya, mengapa harus
bekerja keras? Harkin (Sunarru 2011) menjelaskan bahwa evaluasi
kelompok cukup dapat memotivasi kinerja, baik evaluasi melalui
cara membanding hasil kelompok dengan standar tujuan (optimasi
tugas) ataupun melalui cara membanding dengan standar sosial
(maksimasi tugas).
Social loafing juga terjadi ketika hubungan antara kinerja
kelompok dan rewardnya melemah jika dibandingkan dengan
individu bekerja secara sendirian. Oleh karena itu Baron dan Byrne
(Sunarru,2011) mengemukakan social loafing melemah jika (a)
individu bekerja dalam kelompok yang kecil (sedikit jumlahnya);
(b) mereka bekerja menyelesaikan tugas yang menarik atau penting
bagi dirinya; (c) mereka bekerja dengan orang/tim yang disegani
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
235
atau dihormati; (d) mereka mengetahui bahwa kontribusinya pada
kelompok sangat berharga dan tidak mubazir dan (e) mereka
berasal dari budaya yang menekankan hasil kelompok.
Standarisasi Produk
Kelompok Jati Husada Mulya secara kelembagaan tidak
mengatur mengenai produk-produk yang dihasilkan oleh para
anggotanya. Sejauh ini belum ada anggota Jati Husada Mulya yang
secara individu memiliki sertifikat stadarisasi produk misalnya,
P-IRT atau atau bentuk setifikasi lainnya. Sertifikasi produk hanya
diperuntukkan untuk produk-produk kelompok. Saat ini produkproduk
Jati Husada Mulya khusunya produk instan telah memiliki
ijin PIRT yang berlaku hingga tahun 2017 dengan nomer PIRT
2133402021581-18. Ijin tersebut dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan
Kab. Bantul. Atas pendampingan dari program CSR Pertamina
saat ini kelompok Jati Husada Mulya sedang menunggu terbitnya
surat ijin label halal dari MUI. Berikut merupakan produk-produk
Jati Husada Mulya yang telah mendapatakan ijin PIRT antara lain:
Produk Instan
Produk Cair
Tabel 8. Daftar Produk-Produk Jati Husada Mulya
yang Berijin PIRT
secang instan, beras kencur instan, jahe wangi
instan, temulawak instan, kunyit asem instan,
kencur sunthi instan
sirup secang, wedang secang, kunyit asem,
beras kencur
(Sumber: Laporan Monitoring Pelaksanaan CSR Terminal BBM Rewulu
Tahun 2013)
Saat ini masih terdapat produk-produk kelompok Jati Husada
Mulya yang belum terdaftar. Hal ini disebabkan produk tersebut
harus didaftarkan melalui Badan Pengawas Obat Makanan karena
kandungan bahan baku dalam produk tersebut mengandung
236
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
bahan baku yang mengandung unsur tanaman obat, misalnya: jahe
merah, kunyit putih. Hal lain yang juga mempengaruhi adalah saat
ini kelompok JHM belum memiliki rumah produksi yang terpisah
dari rumah warga serta kelompok Jati Husada Mulya belum
memiliki apoteker yang dapat memantau produk-produk mereka
sebagai persyaratan untuk mendaftarkan ke Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
Standarisasi produk jamu yang dilakukan oleh para penjual
jamu telah berangsur-angsur mengikuti aturan dan permintaan
pasar yang ada. Ini menunjukkan sesungguhnya perilaku para
penjual jamu di dusun Watu telah memiliki kesadaran yang tinggi
guna mencapai tujuan pemasaran atas produk-produk yang
dibuatnya. Orientasi perbaikan kemasan produk dengan standar
PIRT dan dukungan produk halal dari MUI merupakan gagasan
keinginan para penjual jamu untuk tetap eksis sebagai pendukung
kegiatan mata pencaharian yang dapat mendatangkan keuntungan
disamping sekaligus juga untuk melanjutkan tradisi karya nenek
moyang yang telah terbiasa mengkonsumsi dan memproduksi
sendiri tentang ramuan jamu. Yang belakangan diketahui ternyata
produk jamu telah memiliki pangsa pasar yang makin meluas tidak
saja digemari oleh para orang tua namun juga semua kalangan
mulai menikmati racikan jamu, baik yang instan maupun produk
cairan langsung minum.
Hanya saja yang perlu ditekankan oleh para penjual jamu
yaitu aspek higienis yang perlu diperhatikan agar memiliki standar
jamu yang betul-betul higienis yang semakin dibutuhkan sebagai
minuman tambahan yang bersifat herbal. Jadi selain prosedur
yang harus dipatuhi tetapi juga kemasan produk baik yang instan
maupun cair perlu diperhatikan agar konsumen merasa terjamin
ketika mengkonsumsi produk jamu itu. Para penjual jamu yang
tergabung dalam kelompok Jati Husada Mulya memang telah
memiliki keunggulan dari proses pembuatan jamu karena didapat
dari warisan orang tua maupun tetangga sekitar yang dengan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
237
sukarela memberikan pengetahuan pembuatan jamu itu, sehingga
mampu membentuk citra suatu perkampungan jamu dan memiliki
ikon jamu yang dibutuhkan oleh warga masyarakat lokal dan
sekitarnya.
Penutup
Perilaku penjual jamu dalam menghadapi produk jamu pabrikan
telah ditunjukkan dengan beberapa aktivitas sebagai bentuk strategi
untuk semakin eksis dan mampu bersaing dalam kancah persaingan
tentang jamu. Para penjual jamu telah mencurahkan intensitas
waktu yang tinggi untuk persiapan produksi jamu, intensitas ini
diperlukan untuk tetap menghasilkan jamu yang berkualitas dan
memiliki cita rasa jamu yang betul-betul dapat dirasakan para
pelanggan, sehingga para pelanggan kembali mengulang untuk
mengonsumsinya. Dari sisi pemasaran para penjual jamu telah
melakukan usaha perluasan jaringan pasar dengan selalu siap sedia
menerima pesanan jamu melalui SMS dan bentuk-bentuk saluran
media yang dapat mendukung kelancaran jaringan pemasaran.
Demikian pula para penjual jamu telah memiliki jaringan
penguatan kerjasama melalui kelompok jamu Jati Husada Mulya.
Meskipun penguatan kelompok jamu ini belum berfungsi optimal
dalam membantu anggota/penjual jamu dalam pemasaran
maupun peningkatan kualitas produk. Kelompok sementara ini
masih menjadi beban bagi anggota/para penjual jamu, karena
beban kerja anggota dalam proses produksi dengan curahan waktu
yang diberikan belum mendapat imbalan seperti yang diharapkan
oleh para penjual jamu. Curahan waktu yang diberikan untuk
proses produksi dalam kelompok memiliki imbalan yang lebih
rendah dibandingkan dengan jualan keliling jamu. Sehingga ini
menjadikan penurunan motivasi anggota dalam mendukung
proses produksi jamu. Kemudian dalam standarisasi produk
para penjual jamu telah memiliki label PIRT dan dalam proses
mendapatkan label halal dari MUI.
238
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Daftar Pustaka
Alimandan. 1992. Sosiologi Ilmu pengetahuan Berparadigma
Ganda. Jakarta: Rajawali Press.
Azwar, Saifuddin. 1995. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baron, Robert dan Donn Byrne. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Hariadi, Sunarru S. 2011. Dinamika Kelompok. Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana UGM.
Herdiawan, Didit. 2012. Ketahanan Pangan dan Radikalisme.
Jakarta: Republika.
Retnaningsih, Christiana. 2006. Mencari Celah Pengembangan
Pangan Lokal. Renai Tahun VI. No.2.
Moleong, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Rosdakarya.
Samsudin. 1977. Dasar-dasar Penyuluhan dan Modernisasi
Pertanian. Bandung: Binacipta.
Sarwono, Sarlito W. 2005. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori
Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Sulistyawati, Ita. 2006. Menggugat Efisiensi Globalisasi Pangan.
Renai Tahun VI.
Sunartiningsih, A dan Suyatna, H. 2009. Ekonomi Rakyat dalam
Pusaran Pasar Bebas. Yogyakarta: Media Wacana.
Suryana, Achad. 2003. Kapita Selekta Evolusi pemikiran Kebijakan
ketahanan Pangan. Yogyakarta: BPFE Fakultas Ekonomi
UGM.
Thoha, Mifta. 1988. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan
Aplikasinya. Jakarta: Rajawali.
Walgito, Bimo. 2009. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
239
240
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Perencanaan Keluarga Berperspektif Gender
Tri Winarni 1
Pendahuluan
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling awal dikenal
oleh anggota keluarga khususnya anak. Keluarga merupakan
tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak
mendapatkan seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan, maupun
pengertian-pengertian tentang kehidupan. Ayah, ibu, serta anggota
keluarga yang lain merupakan guru bagi anak. Oleh karena
itu keluarga menjadi institusi yang penting bagi anak di dalam
mengembangkan perilaku-perilaku tertentu dan dalam keluarga
proses pembentukan pribadi seorang anak sangat dominan.
Tumbuh kembangnya kepribadian anak sangat dipengaruhi
oleh keadaan keluarganya. Seorang anak yang berada di lingkungan
keluarga ”broken home” karena ibu dan ayahnya bercerai, dapat
menyebabkan kurangnya kasih sayang dari kedua orang tuanya,
anak menjadi kurang memahami penerapan nilai dan norma yang
ada di dalam masyarakat, akibatnya seorang anak dari keluarga
broken home akhirnya sering memiliki aspek psikologis yang kurang
baik. Oleh sebab itu lingkungan keluarga yang kondusif sangat
berpengaruh dalam menentukan optimalisasi perkembangan
kepribadian seorang anak yang meliputi moral, kemampuan
bersosialisasi, penyesuaian diri, kecerdasan, kreativitas dan juga
peningkatan kapasitas diri.
1 Dosen di Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas
Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:
triwinarnifisipol@yahoo.com
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
241
Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai potensi yang
positif untuk berkembang. Potensi tersebut dapat teraktualisasikan
atau tidak sangat dipengaruhi oleh pendidikan dalam keluarga.
Disamping itu, sekarang ini para pendidik (guru) dan orang tua
harus menyadari bahwa dengan semakin berkembangnya teknologi
yang semakin canggih maka dampak negatif dari perkembangan
teknologi juga merupakan tantangan yang amat berat yang harus
dihadapi oleh sekolah maupun keluarga dalam pendidikan anak.
Hidup berkeluarga yang bahagia adalah sebuah impian bagi semua
orang sehingga hidup berkeluarga harus direncanakan dengan
sebaik-baiknya oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
akan membentuk keluarga. Mereka sangat memerlukan perencanaan
untuk membentuk sebuah keluarga. Perencanaan membentuk satu
keluarga dimulai dari tahap sebelum berkeluarga, tahap membentuk
keluarga, dan tahap setelah membentuk keluarga.
Perencanaan pada tahap sebelum berkeluarga disebut juga
tahap perencanaan sebelum menikah. Pada tahap ini setiap
pasangan harus mampu merencanakan dengan belajar dari
keluarga inti atau mengikuti ”sekolah kehidupan awal” yang
sering diadakan oleh lembaga keagamaan misalnya oleh Kantor
Urusan Agama bagi pasangan yang beragama Islam dan gereja bagi
pasangan yang beragama Katholik/Kristen. Selain itu ada cara lain
untuk membentuk keluarga yang baik yaitu calon pasangan belajar
memahami peran dari seorang suami dan isteri dalam keluarga.
Akan tetapi tentu saja rencana tersebut tidak bisa mencapai sasaran
yang tepat sebagaimana yang diharapkan kalau tidak ada contoh
sehingga diperlukan figur yang telah sukses dalam membina
rumah tangga. Tahap selanjutnya yaitu membentuk keluarga atau
tahap hidup berkeluarga yang akan dijalankan bersama pasangan.
Perencanaan yang semestinya ada ditahap ini ialah bagaimana
mempertahankan hidup berkeluarga walaupun ada tantangan
yang muncul dan tetap berusaha untuk memperjuangkan dan
memperkuat relasi antar pasangan hidup. Tahap ini merupakan
242
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
masa penyesuaian antara suami isteri. Sedangkan dalam
tahap ketiga yaitu setelah membentuk keluarga, suami isteri
perlu memikirkan dan merencanakan dengan kehadiran anak.
Keduanya harus saling mendukung, saling memahami dan saling
melengkapi. Disamping itu juga harus memaksimalkan peran dan
fungsi masing-masing dalam berkeluarga.
Namun berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan
tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan
baik secara langsung maupun tidak langsung dan dampak
suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah
menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam
adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan
oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin, akibatnya di
dalam kehidupan masyarakat masih ada yang berpandangan
bahwa perempuan dan laki - laki tidak sama kedudukannya
dalam keluarga, masih terjadi proses pembagian peran dan
tanggung jawab terhadap laki - laki dan perempuan. Hal inilah
yang menyulitkan membedakan pengertian antara seks (laki-laki
dan perempuan) dengan gender. Untuk memahami gender harus
dibedakan antara kata gender dan seks (jenis kelamin). Gender
menurut Fakih (2006:71) merupakan suatu sifat yang melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara
sosial maupun kultural. Masyarakat belum memahami bahwa
gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan
tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan.
Tidak sedikit masyarakat yang masih berpikir bahwa
membicarakan kesetaraan gender merupakan sesuatu yang
mengada-ada dan hal yang terlalu dibesar-besarkan. Kelompok
orang yang berpikir konservatif seperti ini menganggap bahwa
kedudukan perempuan dan laki-laki dalam keluarga maupun
dalam masyarakat memang harus berbeda. Jadi untuk hidup
berkeluarga harus terencana sejak awal dengan didukung oleh
adanya komitmen antara suami dan isteri tentang perlunya
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
243
kesetaraan gender. Jika hidup berkeluarga sudah direncanakan
dengan baik melalui manajemen keluarga yang baik dan
berperspektif gender maka sebuah keluarga akan sukses dalam
membangun kualitas hidup berkeluarga.
Terbentuknya Keluarga
Bagaimana membangun sebuah keluarga? Cara membangun
sebuah keluarga harus diketahui sedini mungkin oleh pasangan
yang mau menikah, bukan hanya pada saat akan menikah. Seorang
remaja laki–laki atau perempuan harus memahami bagaimana cara
membangun sebuah keluarga sebelum masuk pada usia pernikahan
dan selanjutnya menjalani pernikahan tersebut. Dengan niat untuk
merintis sebuah keluarga dalam bentuk pernikahan yang sah baik
menurut agama maupun sah menurut aturan negara tidak cukup
hanya atas dasar cinta semata-mata, namun harus direncanakan
supaya menjadi keluarga yang harmonis, tenang dan aman di
dalam kehidupan masyarakat. Banyaknya pasangan usia remaja
yang belum matang secara psikologis karena mental dan emosinya
masih labil, apalagi di usia muda umumnya pasangan belum
memiliki pekerjaan tetap sehingga secara ekonomi akan terganggu
lebih-lebih yang terpaksa menikah diusia muda maka akan rentan
terjadi perceraian. Dua hal tersebut merupakan pilar penting yang
diperlukan untuk membentuk keluarga yaitu harus direncanakan
dan adanya sifat kasih sayang yang terwujud dalam keluarga
supaya dapat melahirkan sebuah masyarakat yang bahagia, saling
menghormati, saling mempercayai dan saling tolong-menolong
dalam kehidupan berumah tangga. Tanpa kasih sayang sebuah
keluarga akan hancur dan kebahagiaan hanya akan menjadi
sebuah impian. Apalagi setelah menjalani pernikahan mengetahui
kekurangan pada istri atau suami, maka kedua pilar itu akan
dapat menjadi pondasi untuk saling melengkapi satu sama lain
dan menutupi kekurangan satu sama lain karena kesemuanya bisa
menjadi jalan untuk menciptakan keluarga harmonis dalam sebuah
244
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
lingkungan masyarakat. Kebahagiaan yang ada dalam keluarga
dapat merupakan langkah awal yang baik dalam menciptakan
generasi penerus bangsa yang kuat, beriman dan berakhlak serta
cerdas di masa mendatang.
Keluarga mempunyai peran yang besar dalam pembentukan
perilaku individu serta pembentukan vitalitas dan ketenangan
dalam diri anak-anak karena melalui keluarga anak-anak
mendapatkan bahasa, nilai-nilai kehidupan yang pertama. Keluarga
harus bertanggungjawab mendidik anak-anak dengan benar dalam
kriteria yang benar, jauh dari penyimpangan. Untuk itu dalam
keluarga memiliki sejumlah tugas dan tanggungjawab. Tugas dan
kewajiban keluarga adalah bertanggungjawab menyelamatkan
faktor-faktor cinta kasih serta kedamaian, menghilangkan adanya
unsur kekerasan, keluarga harus melakukan dan mengawasi
proses pendidikan.
Tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi semua anggota keluarganya, baik kesejahteraan
fisik, sosial, ekonomi dan psikologi. Keluarga yang sejahtera
diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan
yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang
layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki
hubungan yang serasi antar anggota keluarga, dan antar keluarga
dengan masyarakat dan lingkungannya.
Konsep keluarga tidak dapat dipahami hanya dalam perspektif
yang sempit dan dalam satu perspektif, keluarga merupakan
sebuah konsep yang memiliki pengertian dan cakupan yang sangat
luas, komprehensif dan beragam. Menurut Departemen Kesehatan
RI (1998) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat dan tinggal
disatu tempat atau yang terdiri dan kepala keluarga dan beberapa
orang yang berkumpul dan tinggal disatu tempat atau atap dalam
keadaan saling ketergantungan. Menurut Effendy keluarga adalah
dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan
darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
245
dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam
perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan
kebudayaan (Effendy, 2004). Keluarga adalah tempat pertama bagi
anak, lingkungan pertama yang memberi penampungan baginya,
tempat anak akan memperoleh rasa aman (Gunarsa, 2002). Sedangkan
menurut Duvall dan Logan (1986) dalam Mubarak (2009), keluarga
adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran
dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan
budaya dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional,
serta serta sosial dari tiap anggota keluarga. Selanjutnya dalam
Pasal 1 ayat (6) Undang – undang Nomer 52 tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
disebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat
yang terdiri dari suami–isteri, atau suami istri dan anaknya,
atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Jadi keluarga
merupakan unit/institusi/sistem sosial terkecil yang ada dalam
masyarakat yang beranggotakan sekelompok orang atas dasar
hubungan perkawinan, pertalian darah, atau adopsi yang tinggal
bersama dalam sebuah rumah tangga, tempat pertama bagi anak
memperoleh pendidikan dan rasa aman dan saling ketergantungan
untuk menciptakan serta mempertahankan kebudayaan.
Sesuai dengan konsep keluarga, maka struktur keluarga
dapat dicirikan sebagai berikut. Pertama, terorganisasi, maksudnya
saling berhubungan, saling ketergantungan antara anggota
keluarga. Kedua, terbatas, yaitu setiap anggota memiliki kebebasan,
tetapi mereka juga mempunyai keterbatasan dalam menjalankan
fungsi dan tugasnya masing-masing. Ketiga, ada perbedaan dan
kekhususan, yaitu setiap anggota keluarga mempunyai peranan
dan fungsi masing-masing.
Pada tingkat hukum internasional, Pasal 16 Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa keluarga merupakan unit
terkecil dan mendasar yang harus mendapat perlindungan dari
negara dan masyarakat. Batasan keluarga berdasarkan hukum
246
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
internasional ini menekankann bahwa masyarakat internasional
menyadari bahwa jaminan terhadap ketentraman keluarga harus
menjadi tanggung jawab negara dan semua pihak, maksudnya
bahwa keluarga tidak hanya bebas dari kekerasan secara fisik
tetapi juga upaya untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga itu
sendiri. Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan, maka negara
perlu melakukan pembangunan keluarga. Membangun keluarga
harus dilakukan secara seksama dengan mempertimbangkan
dimensi keluarga sebagai sasaran dan pelaku. Hal ini sekaligus
mengarah pada peran keluarga sebagai pengembang sumber daya
manusia yang potensial dengan mendaya gunakan keluarga untuk
mempertajam potensi dasar seseorang.
Tujuan dari pembangunan keluarga sesuai dengan pasal 7
ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 tahun 2014 adalah
untuk memberdayakan keluarga agar dapat melaksanakan fungsi
keluarga secara optimal. Untuk itu kecerdasan dan kepekaan dari
suami dan isteri sangat diperlukan untuk dapat menjalankan dan
mengefektifkan delapan fungsi keluarga yang meliputi:
1. Fungsi Keagamaan. Keluarga sebagai tatanan sosial terkecil
dalam masyarakat memiliki fungsi sebagai tempat memperkenalkan
dan mengajarkan kepercayaan terhadap Tuhan
YME, Dalam hal ini keluarga berperan untuk membentuk
generasi masyarakat yang agamis, yang beriman, dan percaya
terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Fungsi Cinta Kasih. Dalam satu keluarga, masing – masing
anggota keluarga diharapkan saling memberikan perhatian
dan kasih sayang. Dengan kasih sayang maka diharapkan
akan terbentuk manusia-manusia yang memiliki kecerdasan
emo sional yang baik sehingga tercipta keluarga yang
berkualitas, dan seterusnya akan terbentuk generasi-generasi
yang berkualitas sehingga akan menciptakan suasana yang
nyaman dalam sebuah kehidupan bermasyarakat.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
247
3. Fungsi Reproduksi. Fungsi ini merupakan fungsi yang
paling hakiki dalam sebuah keluarga karena harus dapat
melanjutkan keturunan, membesarkan anak dan merawat
keturunan supaya berkualitas.
4. Fungsi Perlindungan. Keluarga menjadi satu tempat yang
memberikan perlindungan yang nyaman bagi anggotanya.
Melindungi setiap anggotanya dari tindakan-tindakan yang
kurang baik. Sehingga anggota keluarga merasa nyaman dan
terlindung dari hal-hal yang tidak menyenangkan.
5. Fungsi Sosial Budaya. Keluarga sebagai basis untuk
membentuk generasi yang mengerti aturan sosial. Mengenai
norma-norma yang berlaku di masyarakat, mengenai aturanaturan
tak baku bagaimana cara bersosialisasi terhadap sesama
manusia, bagaimana menghargai alam, dan kehidupan sosial.
Anak-anak, sebagai generasi penerus dari sebuah keluarga,
diberikan pendidikan mengenai tingkah laku sesuai dengan
fase perkembangan mereka.
6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan. Keluarga sebagai tempat
pendidikan pertama bagi anak-anak generasi penerusnya.
Idealnya sebuah keluarga mampu menjadi tempat dimana
terjadi interaksi yang mendidik. Suami terhadap istri, atau
orang tua terhadap anak-anaknya. Memberikan pendidikan
pada anak-anak sesuai dengan tahapan usia adalah salah satu
fungsi pendidikan dalam sebuah keluarga.
7. Fungsi Ekonomi. Serangkaian dari fungsi lain yang tidak
dapat dipisahkan dari sebuah keluarga adalah fungsi
ekonomi. Fungsi ini dilakukan dengan cara mencari sumbersumber
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, dan menabung untuk
memenuhi kebutuhan keluarga di masa datang.
8. Fungsi Pelestarian Lingkungan. Seperti fungsi-fungsi lainnya,
fungsi pelestarian lingkungan merupakan satu dari delapan
248
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
fungsi keluarga. Dalam fungsi ini, keluarga memberikan
pengetahuan mengenai norma terhadap lingkungan sehingga
diharapkan generasi penerus keluarga tersebut akan lebih
santun terhadap alam dan lingkungannya.
Dengan menjalankan dan mengefektifkan delapan fungsi
keluarga akan lebih memperjelas arah dan tujuan terbentuknya
keluarga sejahtera yang berkualitas. Karena delapan fungsi keluarga
merupakan esensi berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa serta
bernegara. Oleh sebab itu sebelum membentuk keluarga seorang
laki-laki dan seorang perempuan perlu memahami delapan fungsi
yang harus dilakukan sehingga dapat mencapai keluarga yang
aman, tentram, tenang dan saling melindungi. Kemitraan peran
gender antara suami istri dalam pembagian peran dan pengambilan
keputusan akan mempermudah dalam melakukan semua fungsi
keluarga. Oleh karena itu, kemitraan peran gender antara suami
istri akan membentuk keharmonisan dalam keluarga.
Kerentanan dan Ketahanan Keluarga
Dalam temuan hasil kajian dari Kebijakan Revitalisasi Fungsi
Keluarga di Daerah Istimewa Yogyakarta disebutkan bahwa
cepatnya pergeseran nilai sosial budaya yang disebabkan oleh
evolusi dari suatu kepercayaan dalam beragama, pengaruh media
massa, inovasi dan perkembangan teknologi, perubahan dalam
nilai moral dan perubahan kondisi ekonomi yang tidak disertai
dengan kesiapan keluarga dapat menyebabkan terjadinya berbagai
masalah yang dapat timbul dalam keluarga. Hal ini menunjukkan
adanya kerentanan keluarga yang disebabkan karena ketidaksiapan
calon suami dan isteri atau mereka tidak memiliki bekal yang
memadai sehingga kerentanan bisa dialami keluarga di sepanjang
rentang kehidupannya. Menurut Sunarti (2009) kerentanan atau
krisis yang dihadapi oleh keluarga dalam setiap fase kehidupan
meliputi kerentanan pada fase kehamilan, kerentanan pada fase
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
249
perkembangan anak dan remaja, kerentanan pada masa dewasa,
dan kerentanan pada usia lanjut. Dalam hal kerentanan keluarga
berdasarkan kajian di DIY dapat dilihat dari sisi internal dengan
enam kerentanan yang akan menyertai keluarga karena minimnya
bekal pengetahuan berkeluarga yang dimiliki oleh calon suami/
isteri. Sementara dari sisi eksternal pergeseran nilai dan budaya
dapat memberikan efek negatif kepada kehidupan keluarga.
Oleh sebab itu untuk mengantisipasi terjadinya kerentanan
keluarga diperlukan ketahanan keluarga yaitu merupakan
proses dinamis dalam keluarga untuk melakukan adaptasi positif
terhadap bahaya dari luar dan dari dalam keluarga, dengan cara
mempersiapkan atau merencanakan keluarga yang berperspektif
gender, yaitu masing–masing pasangan perlu memahami peran
dan fungsi sebagai calon suami/isteri dan sebagai orang tua. Sunarti
(2009) menyatakan ketahanan keluarga menyangkut kemampuan
keluarga berdasarkan nilai dasar yang dimiliki dan tujuan yang
ingin dicapai, untuk mengelola masalah yang dihadapi dengan
sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan keluarga. Menurut
Chapman (2000) ada 5 indikator adanya ketahanan keluarga:
sikap melayani sebagai tanda kemuliaan, keakraban antara suami
istetri menuju kualitas perkawinan yang baik, orang tua yang
mengajar dan melatih anaknya dengan penuh tantangan kreatif,
pelatihan yang konsisten dan mengembangkan ketrampilan,
suami istri yang menjadi pemimpin dengan penuh kasih dan anakanak
yang mentaati dan menghormati orang tuanya. Ketahanan
keluarga menyangkut kemampuan individu atau keluarga untuk
memanfaatkan potensinya dalam menghadapi tantangan hidup,
termasuk kemampuan untuk mengembalikan fungsi-fungsi
keluarga seperti semula dalam menghadapi tantangan dan krisis.
Ketahanan keluarga sangat dibutuhkan untuk mempertahankan
keberadaan keluarga supaya tetap harmonis dan jauh dari
kerentanan yang disebabkan karena adanya pengaruh dari dalam
maupun luar. Untuk itu representasi pemerintah khususnya
250
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
di Daerah Istimewa Yogyakarta lewat Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Masyarakat berusaha melakukan pembangunan
keluarga dengan melakukan sosialisasi, pendampingan dan pembinaan
di masyarakat. Pada dasarnya indikator keluarga berkualitas
ditentukan dan ditunjukkan oleh pelaksanaan tugas yang
detil dalam kehidupan berkeluarga (Sunarti 2013).
Beberapa aspek yang harus dipersiapkan sepanjang rentang
kehidupan berdasar dokumen Modul dari Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Masyarakat (BPPM) (2016) yaitu:
(a) mempersiapkan pernikahan sampai dengan bagaimana beradaptasi
dengan keluarga baru; (b) menyambut kehadiran anak
pertama (kehamilan yang berkualitas); (c) mendidik anak usia
pra sekolah sampai SD; (d) mendidik anak usia SD; (e) mendidik
anak remaja; (f) menyeimbangkan karier orang tua dan keluarga;
(g) mempersiapkan anak menikah; (h) hubungan antar generasi
dalam keluarga; (i) adaptasi dengan masa lansia; (j) pendidikan
keuangan keluarga; (k) berpartisipasi dalam lingkungan keluarga
dan masyarakat; (l) IT Literacy dan mencegah daya rusak TV dan
potensi candu gadget dan (m) urgensi peran ayah dalam pengasuhan
anak.
Implementasi dari modul tersebut disosialisasikan di
masyarakat yang dilaksanakan oleh lintas instansi/sektoral
maupun melalui organisasi/lembaga sosial seperti PKK, Karang
Taruna dalam mempersiapkan pembentukan keluarga supaya
terjadi kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga. Wujud
Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam keluarga meliputi:
1. Akses diartikan sebagai Kesempatan dan kapasitas yang
sama bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh
sumber daya pembangunan untuk keluarga. Kapasitas untuk
menggunakan sumberdaya untuk sepenuhnya berpartisipasi
secara aktif dan produktif (secara sosial, ekonomi dan politik)
dalam masyarakat termasuk akses ke sumberdaya, pelayanan,
tenaga kerja dan pekerjaan, informasi dan manfaat). Memberi
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
251
kesempatan yang sama bagi seorang perempuan dan laki-laki
untuk menikmati pelayanan yang ada sesuaidengan minat
dan kemampuannya, dengan asumsi sumberdaya keluarga
mencukupi.
2. Partisipasi diartikan sebagai suami dan istri berpartisipasi
yang sama dalam proses pengambilan keputusan atas
penggunaan sumberdaya keluarga secara demokratis dan
bila perlu melibatkan anak-anak baik laki-laki maupun
perempuan.
3. Kontrol diartikan sebagai perempuan dan laki-laki mempunyai
kekuasaan yang sama pada sumber daya pembangunan yang
ada. Perempuan dan laki-laki mempunyai kontrol yang sama
dalam penggunaan sumberdaya keluarga. Suami dan istri
dapat memiliki properti atas nama keluarga.
4. Manfaat diartikan semua aktivitas keluarga harus mempunyai
manfaat yang sama bagi perempuan dan laki-laki dan seluruh
anggota keluarga.
5. Kesetaraan dan keadilan gender menghendaki sebuah relasi
keluarga yang egaliter, demokratis, dan terbuka. Hal ini
ditandai dengan rasa hormat dari yang muda kepada yang
lebih tua, rasa kasih sayang dari yang lebih tua kepada yang
muda, agar terwujud sebuah komunitas yang harmonis,
sehingga laki-laki maupun perempuan sebagai anggota
keluarga sama-sama mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai
manusia, memperoleh penghargaan dan terjaga harkat
dan martabatnya. Dewasa ini, kesetaraan dan keadilan
gender dalam keluarga telah menjadi sebuah kebutuhan
setiap pasangan suami istri sebab, prinsip-prinsip membina
keluarga yang aman, tentram, harmonis, bahagia dan saling
melindungi sama dengan prinsip-prinsip dasar mewujudkan
kesetaran dan keadilan gender.
252
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Membentuk Keluarga Berdasarkan Kesetaraan Gender
Menurut Instruksi Presiden RI No. 9 tahun 2000, gender adalah
konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki
dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh
keadaan sosial dan budaya masyarakat. Gender dalam konteks
sosial budaya menggambarkan peran, fungsi serta perilaku lakilaki
dan perempuan dalam suatu masyarakat. Konsep ini muncul
didasarkan pada konteks seks atau perbedaan jenis kelamin lakilaki
dan perempuan dimana yang diikat oleh budaya tempat
seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Dengan demikian, pelabelan
perempuan dan laki-laki berakar dalam kebudayaan bukan hanya
aspek biologis saja. Melalui proses sosialisasi yang terbentuk mulai
dari keluarga, konsep tentang perilaku perempuan dan perilaku
laki-laki yang tepat, diserap sejak kecil (Mely G. Tan 1995:286-287).
Gender tidak bersifat universal na mun bervariasi dari
masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dari waktu ke waktu.
Ciri dari sifat itu sendiri dapat dipertukarkan, dapat berubah dari
waktu ke waktu, serta berbeda dari satu tempat ke tempat yang
lain. Terbentuknya perbedaan gender melalui proses yang sangat
panjang, dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksi
secara sosiokultural bahkan melalui ajaran keagamaan maupun
negara (Mansour Fakih,2006). Heddy Shri Ahimsa Putra (2002:2)
membagi istilah gender dalam beberapa pengertian antara lain:
Pertama, gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu
yang tidak banyak diketahui orang sehinga wajar jika istilah
gender menimbulkan kecurigaan tertentu pada sebagian orang
yang mendengarnya. Seringkali orang memandang perbedaan
gender disamakan dengan perbedaan jenis kelamin (seks) sehingga
menimbulkan pengertian yang salah. Kedua, gender sebagai suatu
fenomena sosial budaya. Perbedaan jenis kelamin adalah alami dan
kodrati dengan ciri-ciri yang jelas dan tidak dapat dipertukarkan.
Sebagai fenomena sosial gender bersifat relatif dan kontekstual.
Sekalipun demiki an, ada dua elemen gender yang bersifat
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
253
universal, yaitu: (1) gender tidak identik dengan jenis kelamin
dan (2) gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua
masyarakat (Gallery dalam Nugroho 2008:6).
Konsep gender perlu didekati dalam dua pendekatan yaitu
peran gender dan analisa hubungan sosial. Pendekatan peran
gender terfokus pada distribusi peran dan tanggung jawab dalam
rumah tangga. Pendekatan ini secara sistematis meneliti kegiatan
laki-laki dan perempuan agar dapat mengatasi stereotype dan adanya
paham yang membuat pekerjaan perempuan menjadikan tidak
terlihat. Dengan demikian pendekatan ini menekankan argumentasi
ekonomi untuk memberikan label ketidak mampuan kepada kaum
perempuan. Sementara dalam pendekatan analisa hubungan sosial,
gender merujuk pada dimensi hubungan sosial yang menyebabkan
terjadinya perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan
dalam proses sosial. Permasalahan yang mendasar dalam
pendekatan ini tidak hanya melihat subordinasi dan marginalisasi
perempuan yang tidak hanya pada masalah pembagian sumbersumber
ekonomi, akan tetapi lebih pada persoalan pembagian
kekuasaan. Implikasi dari pentingnya hubungan kekuasaan dalam
pendekatan ini posisi kaum perempuan perlu diperbaiki baik
dalam kehidupan rumah tangga dengan adanya kesetaraan antara
suami dan isteri maupun dalam masyarakat dengan melibatkan
perempuan dalam proses pembangunan melalui berbagai bentuk
pemberdayaan perempuan yang upaya untuk meningkatkan
kualitas keluarga, baik sebagai sasaran maupun sebagai pelaku
pembangunan, sehingga tercipta peningkatan ketahanan baik fisik
maupun non fisik, kemandirian serta kesejahteraan keluarga dalam
rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Gender merupakan suatu konsep kultural yang berupaya
membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat. Ketertinggalan perempuan
mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan
254
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
antara laki-laki dan perempuan di Indonesia. Hal ini dapat terlihat
dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya
perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi
tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan.
Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan
berbagai ketidakadilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi
juga bagi kaum laki-laki. Masyarakat belum memahami bahwa
gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan
tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi
demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung
jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan
perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap
perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.
Kesetaraan gender adalah suatu kondisi dimana semua
manusia (baik laki-laki maupun perempuan) bebas mengembangkan
kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan
tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku. Hal ini
bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama,
tetapi hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi
oleh apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan
(Unesco, 2002). Namun biasanya perempuan selalu ditempatkan
pada posisi nomer dua atau bahkan merupakan golongan yang
terpinggirkan yang dianggap lemah dan miskin, dimana di setiap
upaya yang dilakukan kaum perempuan, belum dinilai sebagai
bagian dan kontribusi yang sangat strategis untuk dihargai dalam
banyak aspek.
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki
dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya
sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan
pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kese taraan gender
juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
255
struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Terwujudnya
kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian
mereka memiliki akses, kesem patan berpartisipasi, dan kontrol
atas pem bangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil
dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi be rarti memiliki
peluang atau kesempatan un tuk menggunakan sumber daya dan
memi liki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara
penggunaan dan hasil sum ber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti
memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan
atas penggunaan dan hasil sumber daya sehingga memeroleh
manfaat yang sama dari pembangunan. Keadilan gender adalah
suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan lakilaki.
Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran,
beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap
perempuan maupun laki-laki.
Keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
merupakan salah satu tujuan pembangunan Indonesia. Kesetaraan
tersebut dapat dilihat dari kemam puan dan kesempatan
yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki dalam mengakses,
mengontrol, berpartisipasi dan berperan di dalam proses pembangunan.
Namun dalam berbagai kondisi masih ser ing ditemukan
ketidakadilan dan ketidak setaraan antara perempuan dan lakilaki,
khususnya dalam pembagian peran yang disebabkan karena
masih adanya konstruksi budaya yang melekat dalam pemahaman
tentang konsep gender yang salah di tengah-ten gah masyarakat.
Upaya yang dilakukan guna mewujudkan kesetaraan gender adalah
dengan melakukan Pengarusutamaan Gen der (PUG) pada semua
lini kehidupan mas yarakat. Moser (1993) dalam Atashendartini
Habsjah (2004:216) menyatakan pentingnya memisahkan unsurunsur
dalam keluarga berdasarkan gender karena laki-laki
dan perempuan memainkan peranan yang berbeda sehingga
kebutuhannya juga berbeda. Untuk itu merencanakan kehidupan
256
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
keluarga yang baik perlu memahami peran dari masing-masing
anggota keluarga karena peranan keluarga menggambarkan
seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan
dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu.
Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola
perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
Peran dan tanggung jawab dari seorang isteri/ibu dalam
mem bentuk keluarga sejahtera, sesungguhnya tidak dapat
dipisah kan dari peran dan tanggung jawab dari seorang suami/
bapak. Tidak dapat dikatakan yang satu lebih dominan dan
lebih menentukan, sedangkan yang lain tidak sekedar sebagai
pelengkap, namun keduanya harus saling melengkapi dan saling
mendukung. Isteri/ibu dan suami/bapak adalah merupakan team
work dalam membentuk keluarga sejahtera. Membentuk keluarga
sejahtera pada dasarnya adalah menggerakkan proses dan fungsi
manajemen dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu,
selain tugas-tugas kodrati seperti ibu mengandung dan menyusui,
segala sesuatu yang berhubungan dengan membentuk keluarga
sejahtera haruslah saling menyesuaikan, terbuka dan demokratis.
Untuk membangun nilai keseimbangan isteri/ibu dan suami
/bapak dalam memutuskan sesuatu bisa dilakukan secara bersama,
bersepakat dan segala sesuatu ditempatkan pada proporsi yang
tepat. Tugas pokok bisa berbeda, tetapi tujuan dan acuan nilainya
harus sama. Di samping itu kondisi saat ini adanya pergeseran
dalam kemampuan intelektual, khususnya tingkat pendidikan
kaum perempuan merupakan salah satu kunci perkembangan
sekaligus masalah baru dalam keluarga. Emansipasi dalam
kehidupan sosial juga turut membutuhkan hubungan harmonisasi
antara bapak dan ibu serta anak-anak di rumah. Berbagai peran dan
tanggung jawab yang perlu dipahami oleh seorang calon suami/
ayah maupun calon isteri/ibu dalam keluarga yang nantinya akan
dijalankan dapat diperinci sebagai berikut:
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
257
1. Peran suami/ayah. Suami /ayah adalah sosok pria yang
memiliki kedudukan khusus di dalam sebuah keluarga.
Suami/ayah tak hanya sekedar sosok yang bertugas mencari
nafkah belaka, namun menjadi sosok yang berperan penting
dalam pendidikan anak-anaknya kelak. Menjadi seorang
ayah adalah kebanggaan bagi setiap pria, menjadi seorang
ayah pun adalah sebuah anugrah yang tak terkira harganya.
Kebahagiaan dalam hidup akan semakin lengkap dengan
status baru menjadi seorang ayah untuk anak-anaknya
(Gymnastiar 2006). Peran suami dalam keluarga mencakup:
a. suami sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga
harus mampu menjaga sikapnya. Jangan sampai bertindak
melampaui batas. Jangan pernah merendahkan anggota
keluarga yang lain, sebab tanpa keluarga seorang suami
tidak akan pernah menjadi pemimpin rumah tangga.
Tidak layak jadi seorang pemimpin jika merasa lebih dari
orang lain. Sebab pemimpin ada karena yang dipimpin.
b. Suami sebagai tulang punggung keluarga diibaratkan
sebagai nahkoda yang harus mampu mengendalikan
dan mengelola bahtera rumah tangga dalam mengarungi
badai kehidupan.
c. Suami tidak hanya dituntut bekerja keras, banting tulang
untuk mencari nafkah, tetapi seorang suami dituntut
untuk mencari rezeki yang halal dan berkah bagi
keluarganya.
d. Untuk mendidik keluarga, seorang suami dituntut untuk
memiliki pandangan yang jauh ke depan. Untuk itu,
seorang suami harus mempunyai bekal ilmu dan mencontohkan
sikap yang baik pada keluarganya.
e. Suami harus dapat menggali potensi yang dimiliki oleh
masing-masing anggota keluarganya, sebab istri dan
anak-anak memiliki potensinya masing-masing. Diharapkan
setiap potensi yang dimiliki oleh setiap keluarga
258
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
diharapkan dapat dijadikan dasar untuk membangun
sebuah sinergi yang baik dalam membina rumah tangga.
2. Peran ibu. Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai
peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai
pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai
salah satu kelompok dari peranan sosialnya, serta sebagai
anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga
dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam
keluarganya. Sosok ibu adalah pusat hidup rumah tangga,
pemimpin dan pencipta kebahagiaan anggota keluarga.
sosok ibu bertanggung jawab menjaga dan memperhatikan
kebutuhan anaknya, mengelola kehidupan rumah tangga,
memikirkan keadaan ekonomi dan makanan anak-anaknya,
memberi teladan akhlak, serta mencurahkan kasih sayang
bagi kebahagiaan sang anak. Menjadi seorang ibu adalah hal
yang sangat membanggakan. Peran seorang ibu dalam rumah
tangga sangat penting. Bukan sekedar 3 M, Macak (bersolek),
Masak (di dapur) dan Manak (melahirkan). Seorang ibu
dituntut untuk bisa berperan dalam berbagai bidang:
a. Kesehatan. Ketika melahirkan seorang bayi, ibu dituntut
untuk memahami seluk beluk kesehatan bayi.
Mengetahui berbagai macam jenis penyakit, cara
mengantisipasi dan mengobati (pertolongan pertama)
demi menjaga kesehatan keluarganya.
b. Kebersihan. Dapat menjaga kebersihan dilingkungan
rumahnya. Bersih artinya terhindar dari segala macam
kotoran, termasuk diantaranya dari debu, sampah dan
bau. Agar lingkungan terhindar dari segala macam bibit
penyakit.
c. Ahli Gizi. Dapat memilah dan memilih bahan makanan
dan pengolahan makanan yang tepat. Agar bisa
memberikan asupan gizi yang baik dan seimbang bagi
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
259
keluarganya. Hingga dapat membentuk anak-anak yang
sehat dan cerdas.
d. Keuangan. Keuangan rumah tangga bukan hanya
monopoli para suami. Ibu dituntut untuk dapat
mengatur arus keluar masuknya keuangan keluarga.
Dapat menguasai manajemen keuangan keluarganya
dengan baik. Bahkan dapat pula menghasilkan uang bagi
keluarganya.
e. Manajemen Waktu. Hal ini sangat penting dalam
keluarga, ibu dituntut untuk dapat mengatur waktunya
seefektif dan seefisien mungkin. Memberikan contoh
disiplin bagi anggota rumah.
f. Guru. Menjadi ibu juga harus berwawasan luas, sehingga
dapat menjadi teman berdiskusi bagi anak-anaknya dikala
mereka sedang mengerjakan tugas sekolah . Dapat pula
mengajarkan pendidikan agama kepada anak-anaknya.
g. Psikolog. Ibu harus bisa memahami dan mengontrol
keinginan anak, emosi anak, tingkah laku anak dan cara
mengatasi dan menghadapi perilaku anaknya tersebut.
Masih banyak hal / ilmu lainnya yang harus dan wajib dikuasai
dan dipelajari oleh calon seorang ayah dan ibu selain tersebut diatas.
Karena masa depan anak terbentuk dan berawal dari lingkungan
yang paling kecil yaitu dalam lingkungan keluarga. Dalam
kaitan peran dan tanggung jawab membentuk keluarga sejahtera,
manajemen rumah tangga tidak boleh kaku dan tertutup. Masingmasing
harus elastis dan mau membuka diri dari kemungkinan
masuknya pengaruh positif dari luar. Sebagai suami isteri/orang
tua harus memahami apa yang paling dibutuhkan seluruh anggota
keluarga. Bahkan harus mengerti potensi dan karakter anak-anak
kita, agar proses sosialisasinya tidak salah kaprah. Kecerdasan dan
kepekaan kaum ibu di sini bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi
juga bagi keharmonisan keluarga dan kemajuan masyarakat.
260
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Semakin jelas bahwa peran ibu dalam membentuk keluarga
sejahtera, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Peran dan
tanggungjawab tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari peran dan tanggung jawab bapak, keluarga, masyarakat, dan
pemerintah. Salah satunya adalah menerapkan konsep Keluarga
(kecil) Bahagia Sejahtera, agar isteri banyak memiliki kesempatan
untuk mengurus dan mengatur diri, keluarga, serta berperan
aktif dalam masyarakat. Masalah-masalah yang sering dihadapi
keluarga karena kurangnya perencanaan seperti:
1. Terjadi KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi
karena masing-masing merasa lebih dari yang lain.
2. Masalah ekonomi, karena penghasilan kecil/besar. Penghasilan
kecil atau besar bisa menjadi masalah dalam rumah
tangga kalau tidak dikelola secara transparan dan saling
memahami keadaan.
3. Masalah Anak. Anak bisa menjadi pemicu permasalahan
dalam rumah tangga yang disebabkan karena pernikahan
usia dini atau pengaruh faktor lingkungan.
4. Perbedaan pendapat antara suami–isteri. Perbedaan pendapat
akan berakibat terjadi keretakan rumah tangga kalau kalau
suami isteri tidak bisa saling menghargai dan memaklumi
keadaan.
Dengan sinerginya peran serta tanggung jawab suami dan isteri
dalam keluarga yang berwawasan gender maka diharapkan akan
dapat mengurangi permasalahan yang terjadi yang berdampak
pada kerentanan keluarga.
Penutup
Faktor-faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan
atau ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang
dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Beberapa anggapan
yang memojokkan kaum perempuan dalam konteks sosial ini
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
261
menyebabkan sejumlah persoalan. Oleh sebab itu dalam keluarga
suami isteri dalam melaksanaan hak dan kewajiban harus
berdasarkan pada prinsip kesamaan, keseimbangan dan keadilan.
Dengan demikian hubungan antara suami istri perlu diletakkan
atas dasar kesejajaran dan kebersamaan tanpa harus ada pemaksaan
atau tindakan kekerasan dalam keluarga supaya terjadi kesetaraan
dan keadilan gender. Peran dan tanggung jawab dalam kehidupan
rumah tangga antara suami isteri tidak dapat dipisahkan dalam
membentuk keluarga sejahtera yang harmonis dan bahagia,
keduanya harus saling melengkapi dan saling mendukung, tidak
dapat dikatakan yang satu lebih dominan dan lebih menentukan,
sedang yang lain hanya sekedar sebagai pelengkap.
Dalam tata kehidupan keluarga, suami – istri (orang tua)
sebagai partner, dan anak sebagai plasma. Kalau orang tua dan
anak bersinergi, yaitu masing-masing pihak menyadari akan
fungsi dan peranannya, menyadari akan hak dan kewajibannya
maka akan terbentuk keluarga sejahtera yang harmonis dan
bahagia serta akan dapat menjadi panutan dalam masyrakat dan
pergaulan sehari- hari. Sebuah keluarga akan bisa menciptakan
keluarga sejahtera yang harmonis dan bahagia, apabila didukung
kerja sama antara suami – isteri (orang tua) dan anak dalam segala
hal, sehingga peran dan fungsi dapat dilakukan sesuai hak dan
kewajiban dari anggota keluarga, untuk itu sebelum membentuk
keluarga diperlukan memahami kehidupan berkeluarga, hak
dan kewajiban serta peranan sebagai suami - istri supaya dapat
merencanakan keluarga yang berperspektif gender.
Daftar Pustaka
Ahid, Nur. 2010. Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Gymnastiar, Abdullah. 2006. Keluarga Kaya Hati (Kiat Efektif
Membentuk Keluarga Sakinah). Bandung: Khas MQ.
262
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Habsjah, Atashendartini. 2004. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
BPPM. 2016. Dokumen Modul.
Chapman, G. 2000. Five Sigs of a Functional Family (Lima Tanda
Keluarga yang Mantap). Batam: Interaksara.
Departemen Kesehatan RI. 1998. Bekalku Membina Keluarga Sadar
Gizi. Jakarta.
Effendy. 2004. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: EGC.
Fakih, M. 2006. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fatimah. 2012. Gender dalam bingkai Sosial Budaya, Islam dan
Transformasi Sosial. Musawa, Vol. 4 (1): 59-70.
Gunarsa, Singgih D dan Y. Singgih Gunarsa. 2002. Psikologi Untuk
Membimbing. Jakarta: Balai Pustaka.
Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan
Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Prenada Media
Group.
Mubarak, dkk. 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas I – Pengantar
dan Teori. Jakarta: Salemba Medika.
Nugroho, Riant D. 2008. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya
di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Putra, Heddy Shri Ahimsa. Gender dan Pemaknaannya: Sebuah
Ulasan Singkat. Makalah Workshop Sensitivitas Gender
dalam Kajian Management. Yogyakarta: PSW IAIN SUKA, 18
September 2002.
Sunarti, E., H. Sumarno, Murdiyanto dan A. Hadianto. 2009.
Analisis Indikator Kerentanan Keluarga Petani dan Nelayan
Untuk Pengurangan Resiko Bencana di Sektor Pertanian.
Bogor: Pusat Studi Bencana LPPM IPB.
Sunarti, E. 2013. Tipologi Keluarga: Ketahanan Keluarga. Bogor:
IPB Press.
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
263
Tan, Mely G. 1995. Kemitraan: Wujud Kesetaraan dalam Keluarga
dalam, Mendidik Manusia Merdeka. Yogyakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Peraturan Perundang–undangan:
• Unesco, Guidelines for Preparing Gender responsive EFA Plans.
2002
• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009.
Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
• Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 tahun 2014,
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga,
Keluarga Berencana, Dan Sistem Informasi Keluarga.
• http://tentangkb.wordpress.com
• Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, tentang Pengarusutamaan
Gender dalam Pemban gunan Nasional
264
Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan