17.11.2020 Views

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Tulisan saya berjudul Pengembangan Ekowisata Laut berbasis Pemberdayaan Masyarakat dan Ekonomi Kreatif di Bunguran Selatan, Kabupaten Natuna Ditulis bersama Dr. S. Djuni Prihatin M.Si

Tulisan saya berjudul Pengembangan Ekowisata Laut berbasis Pemberdayaan Masyarakat dan Ekonomi Kreatif di Bunguran Selatan, Kabupaten Natuna

Ditulis bersama Dr. S. Djuni Prihatin M.Si

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

PENGEMBANGAN

MASYARAKAT

DALAM PERSPEKTIF

PEMBANGUNAN

SOSIAL DAN

KESEJAHTERAAN

Editor: Suzanna Eddyono


PENGEMBANGAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF

PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

xii+264 halaman 14,5 x 21 cm

ISBN : 978-602-53192-9-7

Editor:

Suzanna Eddyono

Penulis:

Agnes Sunartiningsih

Ahmad Nur Ardiansyah dan S. Djuni Prihatin

Eka Zuni Lusi Astuti

Galih Prabaningrum

Hempri Suyatna , Suharko , Subando Agus Margono dan Bevaola Kusumasari

Janianton Damanik

Matahari Farransahat dan Siti Hadiyati Nur Hafida

Milda Longgeita Pinem

Mufti Nafiatut Darajat dan Hendrie Adji Kusworo

Reiki Nauli Harahap dan S. Djuni Prihatin

S. Djuni Prihatin dan Susi Daryanti

Tri Winarni

Cover dan Tata Letak:

Wazirul H.

Cetakan kedua November 2018

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Penerbit:

CV. Buana Grafika

Jl. Seturan II No.128 Caturtunggal Depok Sleman Yogyakarta.

Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK),

Jl. Sosio Yustisia No. 1, Gedung BC, FISIPOL-UGM,

Bulaksumur, Yogyakarta-55281


Kata Pengantar

Penelitian adalah salah satu bentuk Tri Darma Perguruan

Tinggi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di Perguruan

Tinggi. Ber kaitan dengan hal tersebut, Prodi Pembangunan Sosial

dan Kesejahteran setiap tahunnya melakukan kegiatan penelitian

baik yang dilakukan oleh mahasiswa S1 ataupun S2 sebagai

persyaratan kelulusan maupun kegiatan para staf pengajar untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan kapasitas

akademik. Oleh karenanya hasil penelitian yang dicapai ini perlu

didesiminasikan melalui proses publikasi sehingga hasil penelitian

dan kajiannya dapat menjadi inspirasi perubahan bagi semua

pihak yang tertarik pada isu-isu di seputar pembangunan sosial

dan kesejahteraan.

Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan juga

banyak melibatkan mahasiswa baik strata satu maupun strata

dua dalam kerjasama penelitian dengan berbagai institusi

yang dilakukan. Dengan berbagai pengalaman ini mahasiswa

diharapkan akan semakin memiliki kemampuan kapasitas

akademik sebagai bekal penguasaan akademik nantinya setelah

mahasiswa selesai menempuh studi. Publikasi bersama antara

mahasiswa dan dosen pembimbing juga merupakan upaya

program studi mengembangkan hubungan akademis yang positif

dan produktif diantara keduanya.

Besar harapan publikasi kumpulan hasil penelitian ini dapat

mendorong penelitian-penelitian yang lain yang lebih mengikuti

perkembangan isu-isu pengembangan ilmu pengetahuan

pembangunan sosial dan kesejahteraan. Melalui publikasi hasil

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

iii


penelitian ini, berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah,

swasta dan organisasi masyarakat sipil akan memeroleh informasi

untuk merumuskan kebijakan, program, maupun aksi berkaitan

dengan pembangunan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.

Program Studi strata satu Pembangunan Sosial dan

Kesejahateraan mengucapkan terima kasih pada dukungan para

penulis yang telah menyumbangkan tulisannya untuk buku ini dan

Suzanna Eddyono yang telah mengorganisir proses penyusunan

ini dari awal hingga akhir hingga terwujud menjadi buku ini.

Ketua Program Studi S1

Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK)

Dr. S. Djuni Prihatin, MSi

iv

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Kata Pengantar Editor

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan

Sosial memuat tulisan-tulisan yang mengangkat problematika

upaya penguatan pelembagaan dalam proses pemberdayaan

masyarakat di Indonesia. Penguatan pelembagaan yang khusus

dibahas dalam tulisan-tulisan yang dihimpun dalam buku ini

mencakup pelembagaan inisiatif-inisiatif pemberdayaan masyarakat

melalui Corporate Social Responsibility (CSR) oleh perusahaan,

program-program pembangunan sosial oleh negara, maupun

inisiatif-inisiatif perubahan dan pemberdayaan oleh komunitas

dan masyarakat itu sendiri.

Dari sisi peran pemerintah dan pemberdayaan masyarakat,

beberapa tulisan menyoroti aspek-aspek yang perlu diperhatikan

pengambil kebijakan. Berangkat dari kondisi pelayanan publik

di wilayah perbatasan DIY-Jateng berdasarkan fokus layanan

urusan wajib yang tertuang pada RPJMD DIY 2012-2017, Matahari

Farransahat dan Siti Hadiyati Nur Hafida melihat pentingnya

pening katan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.

Studi mereka merekomendasikan, antara lain, kerjasama lintas

bidang guna meningkatkan ketercukupan tenaga kesehatan di

wilayah perbatasan dimaksud.

Dalam fokusnya pada kebijakan dan tubuh, Milda Longgeita

Pinem mengajak pembaca memikirkan (kembali) relevansi topik

tubuh dalam kebijakan sosial. Ia memperlihatkan lebih jauh keterkaitan

ini dengan persoalan tubuh lansia dan anak, tubuh dan

kriminalitas maupun kontrol atas reproduksi. Selanjutnya, Tri

Winarni menyoroti pentingnya sosialisasi yang lebih baik terhadap

pasangan pra-nikah agar memahami pentingnya kerja sama antara

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

v


suami – isteri (orang tua) dan anak dalam suatu keluarga. Untuk itu

sebelum membentuk keluarga calon pasangan suami isteri perlu

diberi informasi mengenai hak dan kewajiban dalam keluarga

yang berperspektif gender.

Dalam kasus yang lain, Mufti Nafiatut Darajat dan Hendrie

Adji Kusworo mengedepankan urgensi penyediaan fasilitas

yang ramah bagi difabel, utamanya tunadaksa monoplegia dan

tunadaksa paraplegia di tujuan wisata. Selain menggugat rendahnya

respon pemerintah atau pengelola lokasi wisata dalam menyediakan

fasilitas khusus bagi difabel tunadaksa, mereka juga

mene kankan pentingnya penyediaan fasilitas yang tepat sasaran

ber dasarkan tipologi dan karakteristik tunadaksa.

Beberapa tulisan lainnya lebih fokus pada peran perusahaan

melalui berbagai program CSR dan pentingnya pelibatan masyarakat

dalam program-program CSR yang ada. Agnes Sunartiningsih,

misalnya, memperlihatkan bahwa pengelolaan program CSR yang

mendasarkan pada penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat

memungkinkan berlangsung baiknya program-program yang

direncanakan.

Juga berangkat dari pengalaman program CSR, Galih

Prabaningrum mendiskusikan bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan

yang dilakukan oleh negara, perusahaan, dan masyarakat

belum berjalan secara integral. Hal ini antara lain berkaitan erat

dengan perbedaan pemahaman konseptual dan penggunaan

indikator ketiga stakeholders dalam upaya mewujudkan konsep

kesejahteraan sosial. Dengan demikian tak dapat dipungkiri

pentingnya pelembagaan kolaborasi ketiga stakeholders tersebut termasuk

dalam perumusan konseptual yang dapat diadopsi bersama.

Beberapa penulis buku ini juga melihat persoalan pemberdayaan

masyarakat dan pelembagaannya dari perspektif masyarakat

yang lebih luas maupun yang termarjinalkan. Dalam kritiknya

terhadap konsep kemandirian desa yang umum berkembang,

Janianton Damanik menawarkan pentingnya melihat kemandirian

vi

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


desa berkaitan dengan kemampuan masyarakat desa membuat

pilihan-pilihan strategis. Menurutnya, ini merupakan elemen

pen ting kemandirian desa dan kapasitas ini perlu dikembangkan

dalam suatu kebijakan pembangunan desa.

Reiki Nauli Harahap dan S. Djuni Prihatin memperlihatkan

bahwa minimnya partisipasi masyarakat dapat disebabkan oleh

praktik program pemerintah itu sendiri yang lebih mengedepankan

aspek charity ketimbang pemberdayaan sehingga menghilangkan

prinsip keberlanjutan dan menciptakan ketergantungan masyarakat

terhadap program. Menurut kedua penulis, dibutuhkan kerjasama

dari berbagai lini sektor, strategi pemberdayaan masyarakat yang

inklusif dan memperhitungkan kearifan lokal masyarakat agar

partisipasi masyarakat dapat berkembang.

Eka Zuni Lusi Astuti menggarisbawahi pentingnya proses

pelembagaan agar kewiralembagaan ekonomi dalam kaitannya

dengan pro dan kontra rencana penambangan pasir besi di Kulonprogo

dapat terus berkembang. Untuk itu, dibutuhkan upaya yang

sinergis antar stakeholders sehingga Koperasi Serba Usaha Forum

Komunikasi Masyarakat Pesisir (KSU FKMP) Manunggal yang

ditelaahnya dapat menjalankan fungsi kewiralembagaan (institutional

entrepreneurship).

Bertolak dari pengalaman petani, tulisan Hempri Suyatna,

Suharko , Subando Agus Margono dan Bevaola Kusumasari mengidentifikasi

proses marjinalisasi yang dialami petani pangan di

Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam diskusi mereka, terdapat

indikasi bahwa driving force, pressures dan state merupakan

faktor-faktor penting yang memengaruhi marjinalisasi petani

tersebut. Temuan ini tidak saja menggarisbawahi pentingnya

melihat-ulang kebijakan pertanian pemerintah terkait, namun juga

pen tingnya pemberdayaan petani untuk menghadapi driving force

dan pressures yang ada.

Tulisan S. Djuni Prihatin dan Susi Daryanti berikutnya memper

lihatkan bagaimana strategi penjual jamu dapat mempertahan-

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

vii


kan bahkan mengembangkan usahanya di tengah-tengah persaingan

pelaku usaha yang lebih besar. Selain mempertahankan

kualitas produksi jamu, kelompok jamu juga aktif mencari

dan mempertahankan konsumen melalui pesan singkat (sms).

Walaupun demikian kedua penulis melihat adanya kesenjangan

dalam perolehan keuntungan antara penjual dan produsen jamu

di kelompok yang diteliti.

Dalam kasus yang berbeda, Ahmad Nur Ardiansyah dan S.

Djuni Prihatin menyoroti bahwa di tengah-tengah upaya pemerintah

mensosialisasikan pendidikan karakter, tindakan klithih

yang dilakukan kelompok pelajar di Yogyakarta memperlihatkan

adanya kesenjangan antara harapan ideal dan realitas. Oleh karena

itu, tidak saja menjadi agenda penting pemerintah untuk mencegah

berkembangya klithih namun juga untuk melembagakan

pentingnya pendidikan nir-kekerasan di kalangan muda.

Secara keseluruhan selain memperlihatkan urgensi pelembagaan

upaya-upaya pembangunan sosial oleh masing-masing

aktor negara, perusahaan dan masyarakat, tulisan-tulisan dalam

buku ini juga menyoroti kelindan pelembagaan ketiga aktor

negara, bisnis dan masyarakat dan persoalan-persoalan yang

meng ikutinya. Tanpa mereduksi urgensi pentingnya pelembagaan

inisiatif masing-masing aktor masyarakat, negara dan perusahaan

tersebut, mereka memperlihatkan bahwa kolaborasi antar ketiga

aktor itu masih merupakan tantangan besar dalam proses pembangunan

sosial di Indonesia.

Editor

Suzanna Eddyono

viii

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Daftar Isi

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR EDITOR

DAFTAR ISI

iii

v

ix

Kontribusi Modal Sosial Dalam Pengembangan Masyarakat.

(Studi Program CSR PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap)

Agnes Sunartiningsih 1

Tingginya Angka Kekerasan Antar Pelajar

di Yogyakarta dan Alternatif Solusinya

Ahmad Nur Ardiansyah dan S. Djuni Prihatin 25

Kewiralembagaan di Aras Konflik:

Institutional Entrepreneurship KSU FKMP Manunggal dalam

Pengembangan Masyarakat di Desa Karangwuni,

Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo

Eka Zuni Lusi Astuti 43

Pluralisme Kesejahteraan: Kesejahteraan dalam

Kerangka Pikir Negara, Bisnis dan Masyarakat

Galih Prabaningrum 77

Liberalisasi Pertanian, Perubahan Iklim dan Marginalisasi

Petani di Kabupaten Sleman dan Gunungkidul

Hempri Suyatna, Suharko, Subando Agus Margono

dan Bevaola Kusumasari 103

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

ix


Merentang Kemandirian Desa

Janianton Damanik 123

Evaluasi Upaya Pemenuhan Pelayanan Kesehatan

pada Wilayah Perbatasan DIY

Matahari Farransahat dan Siti Hadiyati Nur Hafida 143

Memikirkan (Kembali) Topik Tubuh dalam Kebijakan Sosial

Milda Longgeita Pinem 163

Pariwisata Inklusif: Kebutuhan Fasilitasi

Akses Wisatawan Difabel Tunadaksa Monoplegia dan

Paraplegia di Pantai Boom, Banyuwangi – Jawa Timur

Mufti Nafiatut Darajat dan Hendrie Adji Kusworo, 183

Pengembangan Ekowisata Laut berbasis

Pemberdayaan Masyarakat dan Ekonomi Kreatif

di Bunguran Selatan, Kabupaten Natuna

Reiki Nauli Harahap dan S. Djuni Prihatin 201

Perilaku Penjual Jamu dalam Menghadapi

Produk Jamu Pabrikan

S. Djuni Prihatin dan Susi Daryanti 217

Perencanaan Keluarga Berperspektif Gender

Tri Winarni 241

x

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Daftar Tabel

Tabel 1. Sembilan Koperasi Bentukan Program 45

Tabel 2. Kapasitas Wiralembagawan 48

Tabel 3. Dokumen Berbadan Hukum KSU FKMP Manunggal 57

Tabel 4. Hasil perhitungan Bobot Final AHP pada

Permasalahan Pelayanan Kesehatan, Gunung Kidul 150

Tabel 5. Bobot Final Permasalahan Pelayanan Kesehatan

pada Wilayah Perbatasan di Kabupaten Sleman. 153

Tabel 6. Bobot Final Permasalahan Pelayanan Kesehatan

pada Wilayah Perbatasan di Kabupaten Kulonprogo 157

Tabel 7. Theoretical Framework of Leisure Constraints

oleh Crawford dan Godbey (1987) 190

Tabel 8. Daftar Produk-Produk Jati Husada Mulya

yang Berijin PIRT 236

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

xi


Daftar Gambar

Gambar 1. Diagram Jaringan Kerjasama Antar Stakeholder 33

Gambar 2. Bagan Individual-Institutional Opportunity

Nexus (IION) 50

Gambar 3. Bagan Struktur Kelembagaan Koperasi

KSU FKMP Manunggal 56

Gambar 4. Bagan Relasi Struktur-Aktor KSU FKMP

Manunggal 60

Gambar 5. Kerangka DPSIR 108

Gambar 6. Dampak Perubahan Iklim 109

Gambar 7. Nilai IPM Kecamatan di Wilayah Perbatasan 144

Gambar 8. Struktur Hirarki Pelayanan 148

Gambar 9. Waktu Luang (Leisure) dan Wisata (Tourism) 189

xii

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Kontribusi Modal Sosial dalam

Pengembangan Masyarakat

(Studi Program CSR

PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap)

Agnes Sunartiningsih 1

A. Pendahuluan

Setiap warga masyarakat mengharapkan agar kondisi kehidupan

nya kedepan akan lebih baik dari kehidupan yang sekarang

yang artinya bahwa kondisi sejahtera merupakan dambaan

dari setiap warga masyarakat. Salah satu perbedaan yang dapat

diamati dari intensitas pencapaiannyanya adalah bahwa setiap

elemen di dalam masyarakat senantiasa mengalami perbedaan di

dalam upaya pen capaian kesejahteraannya. Agar perubahan yang

terjadi di dalam masyarakat merupakan perubahan yang bersifat

konstruktif, maka harus diupayakan terciptanya kondisi kehidupan

yang lebih baik yang tercermin dalam peningkatan taraf hidup dan

upaya tersebut sering disebut sebagai upaya pembangunan atau

pengembangan masya rakat.

Pembangunan masyarakat sebagai sebuah fenomena mengandung

beberapa unsur yang cukup esensial. Unsur-unsur esen sial

tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal yaitu proses perubahan,

mobilisasi atau pemanfataan sumber daya dan pengembangan

kapasitas masyarakat. Ketiga konsep dasar tadi merupakan

asumsi-asumsi yang menjadi pilar-pilar utama yang diperlukan

untuk membangun konsepsi tentang pembangunan masyarakat

1 Dosen di Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas

Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:

agnes_ugm@yahoo.co.id

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

1


(Soetomo, 2006:25). Pengembangan kapasitas masyarakat sangat

terkait dengan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan diri

yang mencakup kemampuan masyarakat untuk mengidentifikasi

kebutuhan yang mereka rasakan, sumber daya yang mereka miliki

dan peluang yang ada.

Pengembangan masyarakat adalah kegiatan yang me nempatkan

manusia/masyarakat sebagai sentral atau pusat perhatian.

Dalam konteks ini masyarakat diharapkan dapat mengorganisir

diri untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhannya dan

berkegiatan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah

disusun secara bersama-sama. Apabila kegiatan ini dapat dilakukan

secara terus menerus maka ini akan menjadikan pengembangan

masyarakat tersebut dapat berkelanjutan. Dalam konteks ini diperlukan

adanya pendampingan terhadap masyarakat agar mereka

mampu mendefinisikan dan merumuskan kebutuhan mereka,

memahami persoalan atau problem individual, kelompok maupun

persoalan masyarakat secara umum, kemudian mampu membuat

perencanaan sendiri dengan membentuk kelompok dalam rang ka

menjawab kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan yang ada.

Yang kemudian harus diupayakan adalah bagaimana meningkatkan

atau menguatkan kapasitas masyarakat.

Penghidupan berkelanjutan penting untuk dikaji guna me -

mahami sampai seberapa jauh komitmen moral dari stake hol ders

dalam mewujudkan CSR yang telah terimplementasi. Pengembangan

masyarakat tidak hanya merupakan tanggungjawab

negara, melainkan menjadi tanggung jawab bersama antara bisnis,

negara dan masyarakat. Hubungan antara bisnis dan pemerintah

daerah, demikian juga antara bisnis dan masyarakat menjadi

kajian yang tidak terpisahkan dengan pengembangan masyarakat

secara holistik. Hubungan antara perusahaan dan pemerintah

daerah, hubungan antara perusahaan dan masyarakat menjadi titik

penting untuk mewujudkan pengembangan masyarakat menuju

penghidupan berkelanjutan.

2

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Dalam upaya menuju penghidupan yang berkelanjutan maka

penguatan kapasitas masyarakat menjadi penting yang arti nya

adalah penguatan kapasitas kelembagaannya. Ini adalah pendekatan

pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari

bawah atau dari masyarakat itu sendiri yang berupa sumberdaya

atau modal alam, modal ekonomi dan sumberdaya manusia.

Menurut Sumpeno (2002), penguatan kapasitas adalah suatu proses

peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi dan

sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan

secara efektif dan efeisien. Kemampuan masyarakat untuk meningkatkan

kehidupannya disebabkan karena masyarakat memiliki

kompetensi yang diperoleh dari proses belajar sosial yang cukup

panjang (Soetomo 2012:129). Agar kompetensi tersebut dapat

tumbuh secara efektif maka dibutuhkan institusi sosial pada tingkat

komunitas. Institusi sosial yang dimaksud bukan semata–

mata dalam bentuk wadah, asosiasi atau organisasi. Lebih dari

itu, hal itu merupakan suatu pranata yang sudah terlembagakan.

Uphoff (1986 dalam Soetomo 2012:129) menyebutnya sebagai

organizations that are isnstitutions. Penguatan kapasitas masyarakat

kemudian akan terlihat dengan adanya perubahan perilaku untuk

meningkatkan kemampuan individu, kelembagaan, kemandirian

dan keswadayaan masyarakat.

Penguatan kelembagaan agar dapat berkembang serta mampu

menggerakkan sumber daya masyarakat harus berbasis komunitas,

dalam artian penguatan kelembagaan direncanakan dan

dilaksanakan oleh komunitas secara partisipatif untuk kepentingan

komunitas. Dalam proses penguatan kapasitas kelembagaan itulah

maka menjadi penting untuk memanfaatkan faktor modal sosial

yang ada di masyarakat. Seperti diketahui bahwa modal sosial

baru eksis bila ia berinteraksi dengan struktur sosial. Sifat ini jelas

berbeda dengan dua modal lainnya yakni modal ekonomi dan modal

manusia. Dengan modal ekonomi yang dimiliki seseorang bisa

melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

3


struktur sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia. Hal

inilah yang menyebabkan Coleman (1994) mendefinisikan modal

sosial berdasarkan fungsinya. Menurutnya, modal sosial bukanlah

entitas tunggal, tetapi entitas majemuk yang mengandung dua

elemen: (i) modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur

sosial, dan (ii) modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari

pelaku (aktor) di dalam struktur tersebut. Individu yang berada

dalam struktur sosial dengan adanya saling percaya secara timbal

balik dalam kadar yang tinggi berarti memiliki modal sosial yang

lebih baik. Kepercayaan dan hubungan timbal-balik dikembangkan

dalam sebuah proses yang terus-menerus sehingga memungkinkan

untuk mengembangkan suatu usaha.

Uphoff (1986) menyatakan bahwa modal sosial merupakan

aku mulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya,

kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang mem -

engaruhi perilaku kerjasama. Dengan demikian modal sosial

kemudian merujuk kepada norma atau jaringan yang memungkinkan

orang untuk melakukan tindakan kolektif. Norma dan

jaringan merupakan unsur penting dalam formulasi modal sosial

sehingga eksistensinya sangat dibutuhkan. Norma dalam sebuah

komunitas yang mendukung individu untuk memeroleh prestasi

merupakan bentuk modal sosial yang sangat penting. Demikian

juga norma yang berlaku secara efektif dalam sebuah komunitas

bisa menjamin produktivitas kerja yang semakin tinggi. Sementara

individu yang memiliki jaringan luas akan lebih mudah dan lebih

murah untuk memperoleh informasi, dan ini sangat membantu

dalam pencapaian suatu tujuan atau usaha, sehingga bisa dikatakan

sebagai modal sosial yang memiliki nilai ekonomi tinggi

CSR bukan saja upaya menunjukkan kepedulian perusahaan

pada persoalan sosial dan lingkungan, namun juga dapat menjadi

pendukung terwujudnya pengembangan masyarakat yang

berkesinambungan dengan menyeimbangan aspek ekonomi,

sosial dan lingkungan. Dalam rangka merespon perubahan

4

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


dan menciptakan hubungan kepercayaan, maka upaya yang kini

dilaksanakan organisasi bisnis adalah merancang dan mengembangkan

serangkaian program yang mengarah pada bentuk

tanggung jawab sosial. Program ini menjadi parameter kepedulian

organisasi dengan mengembangkan aspek sosial kepada publik.

Kepedulian ini bukan dalam kerangka kegiatan karitatif yang dalam

prakteknya perusahaan hanya memfokuskan pada pemberian

bantuan secara financial yang dapat menyenangkan banyak pihak,

tetapi lebih pada bagaimana melakukan pengembangan masyarakat,

agar bersama-sama dengan perusahaan dan negara dapat

peduli terhadap masalah – masalah sosial di dalam masyarakat

lebih – lebih masyarakat di sekitar perusahaan.

1. Metode Penelitian

Penentuan lokasi penelitian pada penelitian ini menempuh

langkah–langkah sebagai berikut. Pertama, dengan memetakan

jenis-jenis perusahaan yang berada di Kabupaten Cilacap, Propinsi

Jawa Tengah. Berdasarkan atas pemetaan jumlah perusahaan yang

ada, peneliti telah memilih satu kelurahan yang terletak diantara

be berapa perusahaan besar, yakni Perusahaan Nasional Minyak

dan Gas Bumi ( Pertamina ) dan perusahaan semen (Holcim), yaitu

Kalurahan Lomanis kecamatan Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap.

Kedua, dengan melakukan pendekatan dengan perusahaan terkait

program CSR yang sudah dilakukan dan komitment perusahaan

terhadap pengembangan masyarakat di sekitar wilayah perusahaan.

Ketiga, mengingat proses pembangunan itu otoritasnya ada pada

pemerintah, narasumber yang berasal dari birokrasi pemerintah

sangat diperlukan untuk mengetahui sampai seberapa dekat

hubungan antara pemerintah dan perusahaan dalam menegakkan

komitmen moral demi tegaknya pembangunan sosial di wilayah

sekitar perusahaan. Keempat, masyarakat sebagai penerima program

pengembangan masyarakat menjadi narasumber berikutnya sebagai

cross check dalam perolehan data yang telah dilakukan.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

5


Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian

kualitatif dengan pendekatan diskripsi mendalam (thick description).

Diskripsi mendalam dari sebauah fakta yang tersurat, baik dalam

diskusi dengan masyarakat penerima program, birokrat maupun

para karyawan perusahaan dan menejer yang membawahi divisi

pengembangan masyarakat, merupakan fakta yang sering kali

menyembunyikan realitas sesungguhnya. Oleh sebab itu, mencari

makna dari fakta tersirat merupakan usaha untuk menunjukkan

realitas yang sesungguhnya. Usaha memahami sesuatu yang

ter surat yang bersifat faktual sering disebut sebagai usaha

untuk memahami apa yang tersirat dibelakang fakta (behind the

facts). Dalam penelitian ini menggunakan tiga macam tehnik

pengumpulan data yaitu pencarian data sekunder diperoleh

melalui pelacakan ke pemerintah Kalurahan, Kecamatan maupun

ke perusahaan; wawancara secara intensif mengenai hal-hal

yang berhubungan dengan proses perencanaan pengembangan

masyarakat dan wawancara yang bersifat individual. Untuk

mengurangi subyektivitas informasi dari nara sumber, dilakukan

trianggulasi atau cross check dengan nara sumber lain dalam

jenis informasi yang sama. Dalam penelitian ini selain data yang

dikumpulkan kemudian dideskripsikan, peneliti juga melakukan

interpretasi data yang ada mengacu pada kerangka pemikiran

teoretik tertentu.

Keputusan untuk memilih lokasi penelitian di Kalurahan

Lomanis Kecamatan Cilacap Tengah Kabupaten Cilacap, Propinsi

Jawa Tengah dengan pertimbangan bahwa di Kalurahan tersebut

terdapat setidaknya dua perusahaan besar yang melakukan

aktivitasnya yakni Perusahaan Nasional Minyak dan Gas Bumi

( Pertamina ) dan perusahaan semen ( Holcim ). Disamping itu

ada beberapa perusahaan kecil lainnya seperti : PT. Pertamina

Lubricants, PT. Pertamina TBBM, PT. Pertamina Elpiji. Proses

analisis data berjalan seiring dengan penelitian lapangan, proses

ini semata – mata untuk memenuhi kebutuhan atas analisis yang

6

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


komprehensif dan mendalam sejalan dengan kebutuhan pengem -

bangan substansi penelitian lapangan agar dapat di peroleh

gambaran yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang sesungguhnya.

Hasil

1. Kalurahan Lomanis dengan perusahan yang mengitarinya

Kalurahan Lomanis merupakan salah satu Kelurahan di antara

5 kelurahan yang terletak di kecamatan Cilacap Tengah. Kalurahan

Lomanis secara geografis berada di dataran rendah dan terdiri

dari enam RW dengan dua puluh dua RT. Kelurahan Lomanis

berdampingan langsung dengan Kawasan Industri Cilacap yaitu

PT Holcim dan PT Pertamina. Kelurahan Lomanis berada di dekat

pusat kota Kabupaten Cilacap dan dikitari oleh perusahaan.

Dilihat dari permasalahan sosial yang dihadapi oleh warga

masyarakat dapat dibagi menjadi permasalahan sosial yang

bersifat personal dan permasalahan sosial yang bersifat struktural.

Permasalahan-permasalahan yang bersifat personal adalah kemiskinan,

pengangguran musiman, putus sekolah, prostitusi,

perjudian dan beberapa kasus pencurian unggas serta perjudian.

Sempat pula terjadi peristiwa pembegalan di wilayah Lomanis

yang dalam kondisi sepi di malam hari. Sedangkan permasalahan

sosial yang bersifat struktural adalah konflik laten antara warga

dengan perusahaan, antara warga dengan pemerintah dan antara

partai politik dengan pemerintah Kalurahan.

Permasalahan sosial yang berkaitan dengan dampak perusahaan

mencakup masalah pencemaran udara, masalah sulitnya akses

warga sekitar untuk bekerja di perusahaan dan masalah bantuan

sosial yang kurang merata. Pengaruh lain dengan hadirnya industri

di kawasan Lomanis dapat dilihat dengan banyak ditemukannya

perubahan sosial dalam bentuk lunturnya nilai sosial budaya

masyarakat. Proses perubahan kondisi masyarakat dari desa ke

kota berimplikasi pada terjadinya pergeseran nilai budaya desa ke

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

7


nilai budaya perkotaan. Sebagai daerah yang berdekatan dengan

kawasan industri, menyebabkan daerah ini banyak didatangi oleh

masyarakat dari luar kelurahan. Keberadaan pendatang menyebabkan

perubahan karakter masyarakat dari sebagian masyarakat

yang sebelumnya tradisional menjadi masyarakat yang cenderung

bergaya hidup modern.

Permasalahan yang dihadapi terkait modal sumber daya

manusia adalah masih minimnya keterampilan-keterampilan yang

dimiliki individu dalam mengelola sumber daya alam yang ada

untuk mengembangkan kewirausahaan maupun untuk akses ke

perusahaan. Hal ini sebenarnya sudah menjadi perhatian pemerintah

kelurahan dan perusahaan sekitar namun permasalahan ini tetap

saja belum terpecahkan. Hal ini karena intensitas pendampingan

terhadap program serta pembekalan ketrampilan yang masih

kurang. Setelah program pembekalan keterampilan selesai sering

tidak ada keberlanjutan dalam pendampingan sehingga program

yang telah terlaksana tidak efektif. Pengkajian lebih dalam didapatkan

data bahwa rata-rata mata pencaharian warga adalah

sebagai buruh bangunan dan mekanik maintenance (tenaga out

source). Sebagai tenaga bangunan upah yang didapat sebesar Rp

3500/jam, sedangkan untuk mekanik Rp 8000/jam, sementara itu

untuk produktifitas ekonomi kurang tampak dominan.

Program CSR berjalan di Kalurahan Lomanis sejak adanya

PT Holcim. Pada awalnya PT Holcim menjalin kerjasama dengan

Universitas Jendral Sudirman dan sejak tahun 2000 memberikan

program pengembangan Pos Daya yang meliputi RW 6, RW 2

dan RW 1. Program ini berlanjut dengan adanya kegiatan KKN

dari UMP 2013. Sedangkan program CSR yang dilakukan oleh

Pertamina RU IV dilaksanakan dengan model langsung terjun ke

komunitas-komunitas, sementara itu untuk Pertamina lubricants

dan Pertamina TBBM baru memulai CSR bersamaan dengan

munculnya rumah cemara yaitu kelompok swadaya masyarakat

yang diinisiasi oleh KKN UGM tahun 2014. Rumah Cemara

8

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


dimaksudkan untuk menjadi lembaga satu pintu bagi pelaksanaan

CSR di Kalurahan Lomanis sehingga pengelolaannya bisa lebih

terintegrasi. Sedangkan untuk Pertamina elpiji pada saat penelitian

ini dilakukan belum memulai kegiatan CSRnya di kalurahan

Lomanis.

Dari pimpinan lokal yang kala itu dijabat oleh Bapak Edy

Susilo (Lurah Lomanis) diperoleh keterangan bahwa pengembangan

masyarakat menuju penghidupan berkelanjutan atau yang

menurut istilah beliau adalah kesejahteraan yang selalu meningkat,

bisa tercapai apabila telah terjadi perubahan di dalam masyarakat

dimana tingkat produktifitas warga semakin meningkat. Hal

ini diharapkan dapat menciptakan keswadayaan masyarakat

dan terjaga semangat kolektifitas dalam kehidupan sehari – hari

sehingga dapat menciptakan keharmonisan dalam kehidupan.

Apa yang disampaikan oleh bapak Lurah Lomanis ter sebut

sebenarnya mengarah pada bagaimana menumbuhkan kemandirian

masyarakat dengan tetap mengakomodasi modal sosial yang ada

dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut memang

menurut beliau sangat dibutuhkan intervensi dari luar terutama

perusahaan–perusahaan yang telah ada di sekitar Lomanis.

Sebenarnya ada sebuah tuntutan bahwa harusnya masyarakat

Lomanis bisa lebih sejahtera dengan adanya banyak perusahaan

yang mengitarinya, namun demikian realita yang ada bahwa

sebagian masyarakat masih kurang mendapatkan dampak positif

yang signifikan dari banyaknya perusahaan yang hadir di sana.

Apabila dicermati lebih dalam mengenai kehidupan warga

di Lomanis, maka permasalahan utama mereka adalah tentang

lapangan pekerjaan dan kurangnya keterampilan. Rata-rata mereka

adalah buruh musiman untuk pengerjaan proyek-proyek Pertamina

sehingga setelah proyek selesai maka mereka menganggur dan

rata-rata bekerja serabutan. Warga dapat mengakses pekerjaan di

Pertamina melalui beberapa jalur seperti pemborong lokal yang

ada di Lomanis sebagai sub kontraktor pertamina, kemudian ada

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

9


juga yang langsung dengan pemborong utama atau kontraktor

Pertamina atau ada juga yang dengan konektifitas dengan staffstaff

Pertamina melalui jalur khusus. Jenis pekerjaan yang biasa

dilakukan adalah helper yang tidak membutuhkan ketrampilan

( un-skill), tukang dengan minimum skill, mandor dan forman

yang harus menguasai gambar. Dengan demikian sebenarnya

butuh pelatihan teknik yang terkait lapangan kerja yang tersedia

agar warga Lomanis memiliki daya saing untuk bisa masuk ke

lingkungan pekerja di perusahaan yang ada di sekitar mereka.

Sementara itu sebagian warga yang lain memilih menjadi TKI

dengan jalur legal maupun illegal.

Untuk lebih jelasnya Perusahaan yang melaksanakan CSRnya

di kalurahan Lomanis dapat dirinci sebagai berikut:

a. PT. Holcim Pabrik Cilacap, perusahaan ini mulai melaksanakan

CSR sekitar tahun 2000 dengan metode fokus pengembangan

program berkelanjutan POS DAYA di RW 6, RW 2 dan RW 1.

Program dilaksanakan dengan kemitraan KKN UNSOED dan

KKN UMP

b. PT. Pertamina RU IV, program CSR diberikan langsung ke

komunitas warga dengan pemberian pemberdayaan ekonomi

yaitu ternak lele di RW 1, Budi daya jamur di RW 1 dan dan

RW 3, dan infra struktur dengan membangun jalan.

c. PT. Pertamina Lubricants, Program CSR dilaksanakan pada

tahun 2013 - 2015 berupa Pelatihan bengkel motor di BLK

untuk 20 pemuda, dukungan kegiatan-kegiatan masyarakat,

dukungan kesehatan untuk lansia Rumah Cemara dan

kegiatan sosial secara insidental misal pada perayaan hari

Proklamasi kemerdekaan RI.

d. PT. Pertamina TBBM, melaksanakan kegiatan CSR pada 2013-

2015 dengan program : Bank Sampah, dukungan layanan

Kesehatan untuk lansia Rumah Cemara

e. PT. Pertamina Elpiji, pada saat penelitin ini dilakukan belum

melakukan kegiatan CSR di Kalurahan Lomanis.

10

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Pelaksanaan CSR yang cukup beragam baik dari cakupan

wilayah maupun jenis program sering memunculkan beberapa

implikasi yang menyebabkan terjadinya sedikit permasalahan di

kalangan warga. Hal ini meliputi:

a. Adanya tarik menarik antara PT. HOLCIM dan PT.Pertamina:

PT. HOLCIM meminta fokus di 3 RW dengan alasan keberlanjutan

program, sedangkan PT. Pertamina RU IV sudah

menjalankan program secara acak dan rata-rata belum berkembang,

sementara itu PT. Pertamina Lubricant lebih banyak

melakukan promosi.

b. Terjadi ketidak merataan dalam pemberian bantuan. Ada

sebagian masyarakat yang mendapat lebih banyak sementara

yang lain merasa sangat jarang mendapatkannya.

Penge lompokan pemberian bantuan dari kedua perusahaan

disebut-sebut sebagai penyebab dari ketidakmerataan dan

memunculkan ketimpangan dalam masyarakat. Ada wilayah

yang berada sangat dekat dengan perusahaan namun sangat

jarang mendapatkan dana CSR, namun yang lebih jauh justru

mendapatkan.

c. Dengan adanya pembagian wilayah mereka sering beranggapan

bahwa yang menerima bantuan CSR dari perusahaan

yang satu lebih sejahtera daripada mereka yang menerima

bantuan dana dari perusahaan lainnya.

d. Adanya rumor bahwa ada pihak yang menyalahgunakan

dana bantuan CSR dari perusahaan untuk kepentingan

mereka secara pribadi.

Untuk kepentingan penelitian ini dengan menyesuaikan pada

pokok kajian, maka fokus penelitian adalah PT Holcim Pabrik

Cilacap dengan program–program CSRnya yang akan dibahas

secara lebih dalam melalui uraian berikut.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

11


2. PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap Dalam Pengembangan

Masyarakat

PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap merupakan salah satu

perusahaan yang mempunyai komitmen yang kuat dalam penyelenggaraan

program program CSR. Penjelasan mengenai komitmen

perusahaan dalam menyelenggarakan CSR dapat dilihat dari Visi

dan Misi perusahaan yang bukan hanya fokus pada peningkatan

keuntungan saja melainkan juga fokus pada persoalan lingkungan

maupun dalam penyelenggaraan CSR. Secara garis besar dapat

dijelaskan bahwa ada dua level visi dan misi yang dirumuskan

oleh PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap, yang pertama adalah

visi dan misi perusahaan, dan yang kedua visi dan misi CSR.

Visi PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap adalah Membangun

solusi berkelanjutan untuk masa depan bangsa. Visi tersebut

direalisasikan melalui 3 misi yaitu: (1) menyediakan solusi pembangunan

berkelanjutan bagi masing masing segmen pelanggan;

(2) peduli akan keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan; dan

(3) mengembangkan kemampuan karyawan, melakukan inovasi

untuk menjadi yang terbaik dan membentuk jaringan yang terpadu.

Selanjutnya dasar pemikiran yang melandasi beroperasinya PT

Holcim Indonesia dikaitkan dengan prinsip Triple Bottom Line

yaitu (1) penciptaan nilai untuk semua pemangku kepentingan

(stakeholder); (2) kinerja lingkungan yang berkelanjutan; dan (3)

tanggung jawab sosial perusahaan.

Besarnya komitmen PT Holcim Indonesia Pabrik Cilacap juga

dapat dilihat dari dirumuskannya visi dan misi tanggung jawab

sosial perusahaan sebagaimana yang tertuang dalam dokumen

Rencana Strategis Implementasi Program CSR. Adapun visi CSR

PT Holcim Cilacap, yaitu mewujudkan masyarakat yang sejahtera

dan mandiri. Visi ini merupakan turunan dari visi besar PT

Holcim Cilacap sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Pada tingkat praksis, program-program CSR dilaksanakan oleh

satu departemen General Administration and Community Relation.

12

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Departemen ini secara langsung membawahi Community Relation

Coordinator yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan

koordinasi secara langsung dengan Community Relation Officer.

Dalam rangka merealisasikan visi dan misi CSR, PT Holcim

Indonesia Pabrik Cilacap merumuskan serangkaian kebijakan yang

dijadikan sebagai pedoman implementasi program-program CSR.

Tujuan dirumuskannya kebijakan CSR ini di antaranya: untuk

mengetahui tanggung jawab sosial perusahaan dan bertujuan

untuk terjun dalam lingkungan sebagai bagian dari komitmen

PTHI untuk kemajuan yang berkelanjutan dan untuk menjamin

program-program atau aktifitas-aktifitas CSR disetujui oleh pihak

yang berwenang seperti yang dijabarkan dalam kebijakan ini

sebelum diproses atau dilaksanakan.

Secara garis besar PT Holcim Indonesia memperhatikan

enam pilar Kebijakan CSR dalam setiap melakukan aktifitas CSR

serta melibatkan pihak ketiga yang telah ditunjuk oleh PTHI untuk

aktifitas CSR jika diperlukan. Enam pilar tersebut adalah:

a. Pelaksanaan kewajiban, yaitu berkomitmen terhadap standar

pelaksanaan yang tinggi dan berpartisipasi dalam perjanjian

global PBB serta mendukung Deklarasi Universal HAM.

b. Pelaksanaan kerja dengan menghargai hak-hak pekerja,

menjamin gaji yang layak, sesuai dengan upah pekerja industri

setempat, dan berusaha untuk menyediakan kondisi

pekerjaan terbaik serta perkembangan para pekerjanya.

Melaksanakan restrukturisasi dan reorganisasi yang dapat

dipertanggung jawabkan sesuai batasan legal setempat.

Menghormati perbedaan serta mengembangkan kesempatan

yang setara dalam pengangkatan pekerja baru, aktifitas

pekerjaan, perkembangan pekerja, serta retensi. Menolak

mempekerjakan anak yang berada dalam usia wajib belajar.

c. Kesehatan dan Kesalamatan Kerja dengan menyediakan

tempat kerja yang aman dan sehat dengan berusaha mengurangi

dan menghilangkan resiko kecelakaan pada karyawan,

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

13


kontraktor dan pengunjung, serta menerapkan standar dan

pedoman K3, menyediakan pelatihan terkait yang diperlukan

dan mengukur pelaksanaannya.

d. Keterlibatan masyarakat yang mencakup menganalisa kebutuhan

lokal, mengembangkan keterlibatan masyarakat

dan bermitra dengan stakeholder di sekitar daerah operasi

untuk meningkatkan perkembangan pendidikan, budaya dan

sosial. Mendorong dan mendukung keterlibatan karyawan

dalam aktifitas masyarakat setempat ataupun untuk menjadi

relawan.

e. Hubungan pelanggan dan penyalur, yaitu dengan menawarkan

produk dan pelayanan yang kompetitif dan inovatif

yang sesuai dengan kebutuhan klien, dan diharapkan

para penyalur juga melakukan demikian juga. Mencoba

untuk terkait dalam hubungan yang berkelanjutan dengan

pelanggan dan penyalur yang sesuai dengan prinsip-prinsip

United Nations Global Compact dan Deklarasi Universal HAM.

f. Pemantauan dan pelaporan dengan mengidentifikasi dan

memantau persoalan penting pada performa sosial. Mengevaluasi

program dan aktifitas serta melaporkan performa

dan kemajuannya secara terbuka. Bertujuan untuk memiliki

laporan sosial yang secara independen ternilai. Mengharapkan

umpan balik dari para stakeholder dan mempertimbangkan

saran-saran mereka untuk langkah selanjutnya.

Untuk membahas implementasi CSR yang dilaksanakan oleh

PT Holcim secara komprehensif maka pembahasan CSR kemudian

agak meluas cakupannya dan tidak sebatas yang ada di Kalurahan

Lomanis. Untuk implementasi CSR dapat dijelaskan, bahwa

program-program CSR yang dilaksanakan oleh PT Holcim Cilacap

bukan hanya sekedar menyelesaikan masalah yang ada dalam

masyarakat melalui kegiatan-kegiatan yang lazim dilakukan oleh

kebanyakan perusahaan. Program dan kegiatan yang dilaksanakan

14

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


selama ini merupakan perpaduan dan pengembangan ide,

gagasan, pengetahuan, ketrampilan dari proses interaksi antara

staf perusahaan yang mengelola CSR dengan masyarakat, yang

menghasilkan inovasi dalam pemberdayaan masyarakat. Aspek

Inovasi dari program-program yang dilaksanakan mencakup

inovasi dalam aspek kelembagaan, Inovasi proses maupun inovasi

produk. Program-program inovatif yang sudah dilaksanakan

oleh PT Holcim dimaksudkan untuk menjawab berbagai macam

persoalan riil yang ada di masyarakat, baik masalah lingkungan,

sosial maupun masalah ekonomi. Aspek inovatif dari program

dan kegiatan yang dilaksanakan terletak pada cara memecahkan

masalah yang ada di masyarakat dengan menciptakan kegiatankegiatan

yang mampu memecahkan masalah tersebut sekaligus

memberikan keuntungan ekonomi bagi warga masyarakat.

Kegiatan yang telah berhasil dilaksanakan meliputi:

a. Bank Sampah Mandiri, kegiatan yang dilakukan: tabungan

sampah, kerajinan daur ulang sampah, warung sampah,

PPOB, rumah pintar/Taman Bacaan. Program ini unik dan

inovatif baik dari sisi inovasi kelembagaan maupun inovasi

produk yang dihasilkan. Dari sisi kelembagaan meskipun

inovasi ini tidak tergolong baru tetapi program mampu

menggerakkan dan mampu merubah perilaku masyarakat

khsususnya perilaku hidup bersih dan sehat. Di samping itu

program ini juga mampu mendorong kegiatan lain seperti

rumah laundry, pembayaran rekening listrik dan pulsa dari

tabungan sampah dan rumah pintar. Dari sisi inovasi produk,

program ini mampu menciptakan produk-produk dari

sampah yang tidak mempunyai nilai ekonomi dan bahkan

berpotensi merusak lingkungan menjadi produk barang yang

mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, seperti tas, bunga

dan produk lainnya.

b. Kelompok Usaha Pondok Jamur Posdaya Omah Jamur

Mertasinga. Program Kelompok Usaha Pondok Jamur

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

15


Pos daya ini memiliki inovasi kelembagaan yang berupa

pengembangan mata rantai produksi jamur sebagai bahan baku

untuk menciptakan produk-produk olahan jamur yang lebih

bervariasi. Pada tahap sebelumnya kelompok usaha ini hanya

mengembangkan budi daya tanaman jamur, namun sejalan

dengan dinamika kelompok maka usaha ini dikembangkan

menjadi Rumah Makan “Omah Jamur Mertasinga”. Inovasi ini

bukan hanya mampu meningkatkan pendapatan kelompok

usaha melainkan juga mampu meningkatkan pendapatan

warga masyarakat yang ada dalam wilayah RW karena bahan

baku jamur, sayuran dan bahan-bahan lain disetor dari warga

masyarakat.

c. Program Mengangkat Potensi Lokal (Brekecek) Menjadi Ikon

Cilacap. Brekecek merupakan salah satu masakan tradisional

yang terbuat dari ikan ataupun Basur (angsa jantan) yang

hampir dilupakan oleh banyak orang di Cilacap. Program ini

dilatarbelakangi oleh situasi bahwa belum ada makanan Khas

Cilacap, sementara itu ikan dan Basur merupakan potensi alam

Kabupaten Cilacap. Brekecek adalah makanan asli Cilacap yang

sudah hampir punah dan masyarakat lebih memilih nama baru

untuk makanan ini yaitu rica-rica. Dengan mengangkat kembali

Brekecek sebagai Ikon Cilacap diharapkan dapat menambah

Kekayaan Wisata Kuliner di Kabupaten Cilacap. Bekerja sama

dengan Dinas Pariwisata PT Holcim Indonesia berinisiasi

untuk memunculkan kembali Potensi Lokal ini dengan langkah

pertama menyelenggarakan Lomba memasak Brekecek Iwak

dan Basur, dengan harapan bisa membangkitkan kebanggan

masyarakat Cilacap dan juga sebagai Ikon kabupaten Cilacap

yang mampu meningkatkan perekonomian.

d. Program Pengembangan Sumberdaya manusia yang terdiri

dari beberapa kegiatan. Pertama, Pelatihan Welding Profesional

yang bekerjasama dengan BLKI yang meliputi program

Three in One yaitu Pelatihan, Sertifikasi dan Penempatan. Ini

16

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


merupakan upaya menyalurkan anak didik ke perusahaanperusahaan

yang sedang membutuhkan tenaga kerja,

setelah anak didik mendapatkan pelatihan dan bersertifikat.

Kedua, Program Pendampingan Alih Profesi Jaring Apong,

merupakan program yang ditujukan kepada masyarakat

nelayan jaring Apong untuk bisa alih profesi secara individu.

Sebanyak dua belas nelayan sudah mampu beralih profesi dari

jaring apong ke profesi lain diantaranya adalah: transportasi

barang, penyeberangan Sungai Donan, bertani, budidaya

kambing, nelayan jaring cikrak dan lain-lain. Masyarakat

dapat mendapatkan ketrampilan professional di bidang

pengelasan dan dapat diinformasikan warga masyarakat yang

sudah menyelesaikan pelatihan sebagian besar sudah terserap

pasar kerja di Cilacap dan di luar daerah seperti di Tangerang

dan bahkan ada yang bekerja di luar negeri (Jerman).

Dari program – program PT Holcim Pabrik Cilacap yang

telah dilaksanakan baik di Kalurahan Lomanis maupun di

lokasi binaan yang lain, dapat disimpulkan bahwa penguatan

kapasitas kelembagaan berbasis komunitas dilakukan dengan

memperhatikan faktor modal sosial yang ada di masyarakat. Modal

sosial (social capital) yang secara sederhana bisa didefinisikan

sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang

dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang

memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika para

anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggota

yang lain akan berperilaku jujur dan dapat dipercaya, maka

mereka akan saling mempercayai satu sama lain sehingga akan

melahirkan tindakan bersama. Modal sosial adalah kapabilitas

yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat

atau di bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan

dalam kelompok sosial dari yang paling kecil dan paling mendasar

sampai dengan kelompok besar bahkan dalam lingkup Negara.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

17


Program yang telah dikelola oleh PT Holcim Pabrik Cilacap

ternyata telah berhasil mengembangkan modal sosial dalam

komunitas atau kelompok binaanya, yang wujudnya bahwa di

dalam kelompok senantiasa diupayakan adanya kepemimpinan dari

komunitas yang bersangkutan, pengadaan sumber dana dan sumber

daya dari komunitas, pengetahuan dan teknologi dari komunitas

dan berkembang di dalam komunitas serta pengambilan keputusan

di dalam komunitas. Secara umum modal sosial yang didefinisikan

sebagai informasi, kepercayaan dan norma-norma timbal balik

dalam suatu sistem jaringan sosial telah terlihat dan sangat

berkontribusi bagi penguatan kelembagaan yang ada. Tentang model

pengembangan masyarakat yang diharapkan dapat berekelanjutan

PT Holcim mengacu pada visi misi yang ada. Untuk CSR ada empat

pilar: ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lingkungan, itu pun

masih ditambah bagaimana cara pengorganisasiannya, yang dapat

diartikan sebagai penguatan kapasitas kelembagaannya.

Walaupun demikian, ada satu persoalan yang harus segera

dipecahkan yaitu bagaimana mengubah mindset masyarakat

Cilacap yang pada awalnya sebagai nelayan kemudian hadir

banyak industri di sekitarnya, sementara di sektor nelayan sendiri

hasil tangkapan ikan semakin berkurang akibat terjadinya pendangkalan

di kawasan pantai dan keterbatasan alat tangkap.

Kondisi ini sangat disadari oleh PT Holcim yang berkeinginan

supaya pengembangan masyarakat dapat berkelanjutan. Untuk

itu PT Holcim berprinsip harus ditemukan kompetensi inti masyarakat

Cilacap yang berdasarkan kompetensi wilayah yang ada

yang kemudian bisa dikembangkan. Cara yang ditempuh adalah

dengan mengkombinasikan potensi lokal dengan sumber daya

manusianya, misalnya dengan kewirusahaan lokal yang memadukannya

dengan pariwisata karena Cilacap berpotensi

untuk wisata. Seperti yang sudah dilakukan di Laguna Pantai

Segara Anakan, di sana dilakukan penanaman mangrove untuk

alih profesi dari nelayan yang menggunakan jaring apong yang

18

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


tidak ramah lingkungan dan mengganggu jalur transportasi

air, kemudian dialihkan menjadi tempat pemancingan, jaring

sirat, budidaya sapi, dan parawisata sehingga tidak ada yang

memasang jaring lagi. Kemudian dibuat pula wisata mangrove

dan wisata pemancingan, industri batik serta pengembangan

parawisata. Dalam konteks inilah maka sangat dibutuhkan adanya

penguatan kelembagaan. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam

rangka penguatan kapasitas suatu lembaga. Pertama, dalam setiap

proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan

anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, terutama

kepentingan masyarakat golongan bawah, maka mekanisme

pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan

demo kratis. Kedua, kegiatan pengembangan masyarakat harus

dilaku kan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa

kebersamaan melalui proses belajar dan bekerjasama. Ketiga, keterbuka

an terhadap pelaksanaan program dengan tujuan seluruh

warga masyarakat dapat mengetahui keseluruhan tentang program

pengembangan masyarakat sampai dengan pelaksanaan

kegiatannya, sehingga masyarakat dapat berperan aktif dalam

mengontrol kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat

Salah satu unsur penting dalam modal sosial (social capital)

adalah norma informal yang dapat mendorong kerjasama

antar anggota masyarakat. Dengan demikian aspek kerjasama

(cooperation) menjadi unsur penting dalam berusaha. Untuk bekerjasama

diperlukan kepercayaan diantara anggota kelompok yang

bekerjasama. Oleh karena itu kepercayaan (trust) menjadi syarat

yang mutlak. Selamanya orang tidak akan bisa kerjasama bila

tidak didasari sifat saling percaya. Bahwa rasa saling percaya yang

saat ini mulai luntur adalah suatu tantangan tersendiri bagi upaya

pemberdayaan, namun tetap dipercaya bahwa modal sosial itu

masih ada dan masih memungkinkan untuk dihimpun kembali

dan kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui CSR dapat menghimpun

kembali modal sosial yang terserak selama ini.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

19


CSR yang dapat dijalankan secara efektif akan dapat memperkuat

akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Modal sosial yang diyakini mempunyai

pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dihimpun

melalui kegiatan–kegiatan dalam program CSR. Elemen–elemen

modal sosial seperti: kepercayaan, kohesifitas, gotong royong,

jaringan, kolaborasi sosial, semuanya menjadi penting pada

saat kegiatan ekonomi dijalankan dengan berbasis masyarakat.

Terbangunnya suatu modal sosial hanya bisa dicapai bila orangorang

yang terlibat di dalamnya tergabung dalam suatu struktur

sosial yang wujudnya organisasi ataupun paguyuban. Dengan

adanya paguyuban ini akan memfasilitasi (memudahkan) para

anggotanya untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan bersama.

Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan masyarakat

kemudian dapat diwujudkan melalui pelaksanaan program –

program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspekaspek

kehidupan masyarakat. Hal ini sejalan dengan strategi

pemberdayaan bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan

langsung pada peningkatan kemampuan rakyat, dengan kata lain

memberdayakannya (Sasmita 1996:14).

Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu

sebagai anggota masyarakat tetapi juga yang menyangkut

pranata–pranatanya. Menanamkan nilai- nilai seperti kerja keras,

hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban adalah bagian pokok

dari upaya pemberdayaan. Modal sosial yang ditanamkan dapat

meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama

dan ini berdampak pada menguatnya keserasian hubungan dalam

masyarakat. Apabila ini bisa dicapai maka dampaknya adalah

pada menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan di dalam

masyarakat. Sebaliknya di dalam masyarakat akan tercipta adanya

tanggung jawab bersama dalam suatu usaha yang bersifat kolektif,

ada rasa saling mempercayai secara timbal balik serta adanya

interaksi sosial untuk memacu usaha bersama.

20

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Program-program pengembangan masyarakat yang dilakukan

oleh PT Holcim Cilacap ternyata telah mampu meningkatkan

kepercayaan diri masyarakat sebagai penerima program

dan mitra lainnya. Kebersamaan yang terjalin antara pengurus/

pengelola lembaga atau kelompok binaan telah mampu menumbuhkan

kepercayaan diri masyarakat. Dengan semangat, etos kerja

yang tinggi di kalangan pengelola/pengurus juga telah mampu

mengantarkan beberapa lembaga meraih prestasi di tingkat

kabupaten maupun di tingkat nasional. Sebagai contoh Posdaya

Mawar V yang ada di Desa Mertasinga meraih juara pertama

sebagai Posdaya terbaik tingkat nasional. Disamping itu kelompok

sasaran sudah merasakan hasil yang berupa peningkatan pendapatan,

tertatanya kondisi lingkungan yang semakin baik dan

asri, meningkatnya ketrampilan masyarakat, meningkatnya

aksesibilitas anak-anak usia sekolah dalam mengenyam pendidikan

yang lebih tinggi, terfasilitasinya kelompok marginal

(penyandang tuna netra), terserapnya tenaga kerja yang produktif

dan professional ke pasar kerja baik di Cilacap maupun di daerah

lain. Untuk menyiapank keberlanjutan program tanpa selalu

bergantung pada perusahaan, PT Holcim sudah menyusun skema

untuk menciptakan keberlanjutan kelompok binaan. Salah satu

mekanisme yang dikembangkan adalah menciptakan kategori

posdaya berdasarkan tingkat kemandiriannya yang dibedakan

pada empat tingkatan, yaitu: posdaya pemula, posdaya semi

mandiri, posdaya mandiri dan posdaya mandiri inti.

Penutup

Pendekatan pengembangan masyarakat yang dilakukan

oleh PT Holcim Pabrik Cilacap yang lebih mengedepankan

pentingnya untuk menggalang aktivitas bersama masyarakat

dengan memperhatikan adanya solidaritas, kesadaran kolektif,

saling percaya sebagai motor penggerak aktivitas bersama, telah

menunjukkan bahwa betapa pentingnya peran modal sosial dalam

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

21


pengembangan masyarakat. Kondisi tersebut juga menunjukkan

betapa pentingnya prakarsa masyarakat dalam upaya pembangunan

sehingga penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat menjadi

suatu yang sangat penting. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa pengelolaan program CSR yang mendasarkan pada

penguatan kapasitas kelembagaan, maka lembaga yang ada di

dalamnya dapat memunculkan kemandirian masyarakat sehingga

dalam jangka panjang pengembangan masyarakat dapat

ber kelanjutan dan memutus rantai ketergantungan dengan

perusahaan. Periode selanjutnya menjadi penting untuk memonitor

hasil yang menunjukkan adanya kemandirian tersebut.

Oleh karena itu dirasa perlu pada saatnya nanti melakukan telaah

lebih dalam untuk melihat apakah sudah terjadi perubahan secara

substansial di dalam masyarakat sebagai hasil dari pendekatan

yang telah dilakukan.

Walaupun demikian, bukanlah hal yang mudah untuk membuat

masyarakat mampu mengambil keputusan, melaksanakan

serta mengelola proses pembangunan. Namun apabila pengembangan

masyarakat hendak diarahkan pada terwujudnya kemandirian

masyarakat maka itulah yang harus dilakukan. Agar

tujuan tersebut dapat terwujud maka harus diikuti dengan

pengembangan kapasitas baik secara individu maupun kelompok,

dan dalam konteks inilah dibutuhkan adanya pendampingan yang

kemudian secara bersama–sama dengan masyarakat melakukan

belajar sosial dalam jangka yang panjang.

Daftar Pustaka

Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang.

Jakarta: LP3ES.

Colleman, J. C. 1994. Foundation of Social Theory. Cambridge and

London: Harvard University Press.

Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat:

Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES.

22

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Hayami dan Kikuchi. 1997. Dilema Ekonomi Desa (Edisi

terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor.

Moleong, J. Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Prastowo, Joko dan Miftachul Huda. 2011. Corporate Social

Responsibility (Kunci Meraih Kemuliaaan Bisnis). Yogyakarta:

Samudra Biru.

Rahmatullah dan Trianita Kurniati. 2011. Panduan Praktis

Pengelolaan CSR. Yogyakarta: Samudra Biru.

Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soetomo. 2012. Keswadayaan Masyarakat, Manifestasi Kapasitas

Masyarakat untuk Berkembang secara Mandiri. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan

Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial

dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Sumpeno. 2002. Capacity Building: Persiapan dan Perencanaan.

Jakarta: Catholic Relief Services.

Tony, Fredinan N. dan Dharmawan Arya Hadi. 2006. Sosiologi

untuk Pengembangan Masyarakat. Bogor, IPB,.

_______. Konsep Dasar CSR (http://rahmatullah.net/2012/01/

konsep-dasar-csr.html).

_______. Tanggung jawab sosial perusahaan (http://id.wikipedia.

org/wiki/tanggung_jawab_sosial_perusahaan)

_______. ImplementasiCSR untuk Pemberdayaan Masyarakat

Miskin (http://lateralbandung.wordpress.com/2007/08/22/

implementasi-csr-untuk-pemberdayaan-masyarakat-miskin)

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

23


24

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Tingginya Angka Kekerasan Antar Pelajar

di Yogyakarta dan Alternatif Solusinya

Ahmad Nur Ardiansyah 1 dan S. Djuni Prihatin 2

Pendahuluan

Yogyakarta memiliki sebutan sebagai kota pelajar dan kota

budaya, dua identitas ini melekat dibenak setiap orang ketika

mengingat tentang kota ini. Khususnya pada sektor pendidikan,

Yogyakarta merupakan kota yang menjadi kiblat bagi para pencari

ilmu dari sabang hingga merauke untuk menggali ilmu sedalam

dalamnya. Pendidikan yang maju menjadi medan magnet dari

semua kalangan untuk menimba ilmu pada lembaga pendidikan

yang tersedia.

Beberapa tahun belakangan ini masyarakat Yogyakarta

disibukan dan diresahkan dengan aksi klithih. Klithih identik

dengan segerombolan para remaja yang ingin melukai atau melumpuhkan

lawannya dengan kekerasan. Ironisnya klitih juga

sering kali melukai lawannya dengan benda-benda tajam. Berdasar

pengamatan yang dilakukan oleh JPW (Jogja Police Watch) sudah

ada delapan korban dari aksi klitih. Polda DIY pada akhir tahun

2016 mencatat 43 laporan tindak kejahatan yang didominasi oleh

kalangan pelajar. Aksi yang dilakukan selain tawuran adalah aksi

klithih yang terjadi di seluruh wilayah Polres di DIY. Polres Sleman

dan Bantul paling banyak dengan masing-masing 21 kasus dan

1 Staf pengembangan jurusan S1, Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

(PSdK), Universitas Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta

55281, Indonesia. Email: ardians.op@gmail.com

2 Dosen di Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas

Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:

Djuni_pr@yahoo.com

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

25


15 kasus, di wilayah Polres Gunungkidul terdapat empat kasus,

sementara di Polresta Yogyakarta terdapat dua kasus dan wilayah

Kulonprogo ada satu kasus, yakni yang terjadi pada awal bulan

Desember di wilayah Kecamatan Kalibawang (Kurniawan 2016).

Berdasarkan JPW, kebanyakan korban masih duduk dibangku

sekolah dengan latar belakang yang sangat bermacam-macam

seperti dendam, bertatapan mata, senggolan, perempuan, dan lain

sebagainya.

Menurut Kartono (1986), mayoritas juvenile deliquency berusia

dibawah 21 tahun. Angka tertinggi tindak kejahatan ada pada usia

15 – 19 tahun. Hal ini senada dengan hasil riset Nicholas (2017)

yang menyatakan bahwa sasaran perekrutan anggota klitih yakni

usia remaja berkisar dari umur 15 – 19 tahun dimana mereka rerata

duduk dibangku SMP dan SMA. Pemilihan anggota usia remaja

memang menjadi target pemimpin kelompok karena masih sangat

mudah untuk ditanamkan ideologi yang sifatnya anarkis. Ketika

sudah masuk dalam group atau kelompok tersebut, penanaman

ideo logi kekerasan terus menerus dilakukan. Ketua kelompok

selalu mengajarkan agar anggotanya menyabet pelajar yang tak

dikenal atau mungkin menyabet lawannya yang memiliki dendam.

Pemimpin yang memberikan arahan untuk mencari dan mengorganisasi

setiap aktifitas yang dilakukan oleh kelompok gangster

klitih. Anggota kelompok yang tidak mau melakukan perintah dari

pemimpin akan diberi hukuman secara fisik oleh senior di dalam

kelompok maupun dari pemimpin. Ancaman senior juga menekan

anggota untuk berani maupun terpaksa melakukan tindakan

tersebut.

Mencermati fenomena kenakalan remaja dengan kekerasan di

Yogyakarta penting untuk dilakukan. Tradisi tawuran antar pelajar

di Yogyakarta memang sudah lama terjadi, namun perkembangan

aksi klithih demikian mendorong pentingnya pertanyaan pendidikan

karakter yang seperti apa sebaiknya dibangun dan

diberikan kepada pelajar serta bagaimana lingkungan berperan

26

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


dalam menumbuhkan karakter yang baik, agar tidak terjadi krisis

identitas dan tidak melakukan tindakan kekerasan.

Tinjauan Pustaka

Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (dalam

Dalmeri 2014) berkaitan dengan konsep moral (moral knowing),

sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behaviour).

Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa

karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan,

keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan.

Thomas Lickona menyebutkan tujuh unsur-unsur karakter

esensial dan utama yang harus ditanamkan kepada peserta didik

yang meliputi ketulusan hati atau kejujuran (honesty), belas kasih

(compassion), kegagahberanian (courage), kasih Sayang (kindness),

kontrol diri (self-control), kerjasama (cooperation) dan kerja keras

(deligence or hard work). Ketujuh unsur ini menjadi landasan bagaimana

pendidikan karakter mampu menjadi kekuatan bagi generasi

untuk membangun dirinya sendiri. Dengan ketujuh unsur tersebut,

terciptanya hubungan sinergitas antar keluarga (home), sekolah

(school), masyarakat (community), dan aparatur keamanan dalam

membentuk karakter pelajar untuk menjadi lebih baik.

Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah perspektif

patologi sosial (Poloma 1987 dalam Soetomo 2008:75). Pada perspektif

ini, masalah sosial timbul karena individu gagal dalam

bersikap. Ia berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial

dan nilai-nilai kepercayaan yang ada di masyarakat. Dalam

perspektif patologi sosial, nilai-nilai sosial yang menjadi pedoman

dalam kehidupan bermasyarakat lebih ditekankan pada nilai

moral dan humanitarian. Pandangan Patologi Sosial baru ingin

men diagnosis masalah dengan cara melihat cacat yang ada

dalam masyarakat dan institusi sosialnya. Dengan perkataan lain

diagnosis didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat yang

immoral akan menghasilkan individu yang immoral dan keadaan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

27


inilah yang menyebabkan terjadinya masalah sosial. Individu yang

perilakunya patologis merupakan akibat dari korban sistem yang

patologis.

Anak-anak dalam gang yang delinkuen pada umumnya

mempunyai kebiasaan memakai uniform atau pakaian yang

khas, aneh dan mencolok, dengan gaya rambut khusus, punya

lagak tingkah-laku dan kebiasaan khas, suka mendengarkan

jenis lagu tertentu, senang mengunjungi tempat-tempat hiburan

dan kesenangan. Pada umumnya mereka senang sekali mencari

gara-gara, membuat jengkel hati orang lain dan mengganggu

orang dewasa serta objek lain yang dijadikan sasaran buruannya

(Kartono 1986).

Metode Penelitian

Studi ini menggunakan kajian pustaka dengan melihat

bermacam kasus yang telah dipotret dari berbagai sumber pustaka

berbasis hasil riset, jurnal, kajian ilmiah, buku, data statistik dan

lain sebagainya. Zed (2004) menyebutkan ada empat ciri utama

studi pustaka. Pertama, peneliti berhadapan langsung dengan teks

(nash) atau data angka dan bukan dengan pengetahuan langsung

dari lapangan atau saksi-mata (eyewitness) berupa kejadian,

orang atau benda-benda lainnya. Kedua, data pustaka bersifat

“siap pakai” (ready-made). Artinya peneliti tidak pergi ke manamana,

kecuali hanya berhadapan langsung dengan bahan sumber

yang sudah tersedia di perpustakaan. Ketiga, ialah bahwa data

pustaka umumnya adalah sumber sekunder yang artinya peneliti

memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari

tangan pertama dilapangan. Keempat, bahwa kondisi data pustaka

tidak dibatas oleh ruang dan waktu. Peneliti berhadapan dengan

informasi statistik yang memiliki sifat tetap.

28

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Praktik Klithih di Yogyakarta

Klithih yang dilakukan oleh pelajar di Yogyakarta terkait

erat dengan beberapa tradisi sebagaimana tampak dalam tradisi

mubeng, tradisi keseragaman (uniform) dan tradisi melukai. Ketiga

tradisi ini menjadi satu kesatuan dalam pola pikir para pelajar

yang sering kali terlibat dalam aksi kekerasan. Ideologi kekerasan

didapatkan secara turun temurun dari kakak angkatannya maupun

alumni. Penanam ideologi kebencian yaitu dengan diajak

nongkrong hampir setiap harinya di daerah yang menjadi titik

kumpul kelompok klithih.

Ada juga aturan main yang diberlakukan agar anggota taat

pada pimpinannya. Anggota wajib ikut kumpul setiap hari dan

setiap malam. Jika sudah masuk waktu dinihari para anggota

geng klithih tersebut baru melakukan aktifitasnya untuk melukai

korbannya. Jika tidak ada permusuhan atau konflik dengan

sekolah lain, maka aksi itu dilakukan dengan melukai orang

lain siapapun yang lewat dengan prinsip menemukan korban.

Konsekuensinya jika hanya ikut kumpul seminggu sekali, akan

disampar dan dihajar sama leader walaupun dengan alasan apapun

harus tetap ikut kumpul. Jika ada anggota yang menolak untuk

melakukan klithih maka akan dihajar oleh pimpinannya sehingga

keinginan untuk menolak sangat kecil. Sebelum melakukan aksi

pasti diajak minum alkohol terlebih dahulu, ada yg menenggak pil,

atau narkoba hisap yang dikemas dalam bentuk rokok agar jiwa

keberaniannya muncul (Chrisna 2017).

Geng klithih memiliki tradisi tempuk (tawaran untuk tawuran)

juga sering iseng disampaikan melalui pesan singkat SMS atau

melalui media sosial. Jika pihak lawan tidak menanggapi ajakan

untuk tempuk, maka ada bayaran yang mesti diberikan kepada

geng penantang. Bayaran yang biasa diminta adalah membelikan

minuman keras sejumlah tertentu. Dalam suatu peristiwa, geng

yang ditantang tidak berani tempuk, maka mereka menyanggupi

membelikan satu krat minuman keras kepada penantang. Akan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

29


tetapi, pada satu kasus, yang dikirim ternyata bohong. Dalam satu

krat hanya satu botol yang berisi minuman sesuai yang disepakati.

Botol yang lain adalah botol kosong. Hal semacam ini dianggap

pelecehan oleh geng penantang. Maka pada peristiwa botol kosong

itu diisi dengan bensin dan dijadikan bom molotov. Sekolah yang

ditantang itupun dilempar dengan bom molotof dan terbakar

dibagian depannya. Kasus ini menjadi kasus yang cukup besar

beberapa tahun yang lalu (Budi 2017).

Ideologi yang ditanamkan pemimpin geng lama-kelamaan

akan menjadi kebiasaan bagi para anggotanya. Memang awalnya

untuk melakukan tindakan kekerasaan itu ada sisi ketakutan,

namun ketakukan itu direduksi dengan minuman beralkohol dan

obat-obatan terlarang sehingga sifat agresifnya muncul. Selain itu,

anggota klithih yang sudah melakukan aksinya diberi penghargaan

atau apresiasi dari pemimpinnya sehingga dianggap sebagai

prestasi yang paling berharga.

Menurut Soetomo (2008), sumber masalah sosial jika dilihat

dari kacamata patologi sosial, perilaku individu sebagai masalah

sosial terjadi ketika individu tersebut gagal dalam proses sosialisasi

atau individu karena adanya beberapa cacat yang dimilikinya,

dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai

sosial dan nilai-nilai kepercayaan yang ada di dalam masyarakat.

Individu yang bermasalah tentu membuat ketidakstabilan lingkungan

di masyarakat. Jika di lihat dari individu bermasalah, maka

ada beberapa faktor internal secara psikologis yang mempengaruhi

individu (remaja) masuk dalam aksi klithih yaitu:

1. Remaja pelaku klithih mengalami krisis identitas, pada proses

ini remaja tidak mampu mengiternalisasi nilai-nilai positif

ke dalam dirinya dan tidak mampu menemukan figur ideal

sebagai contoh perilaku kebaikan sehingga remaja di fase ini

mengalami disrupsi nilai-nilai positif cenderung jadi orang

yang tak mau diatur.

30

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


2. Remaja pelaku klithih memiliki kontrol diri yang lemah, tidak

mampu beradaptasi dengan lingkungannya karena manajemen

emosi yang kurang baik dan cenderung menyelesaikan persoalan

dengan cara-cara yang tidak bijaksana. Manajemen

konflik yang dilakukan tidak mampu menyelesaikan konflik

malah menjadikan konflik semakin besar.

3. Remaja pelaku klithih tidak siap di segala medan (tidak adaptif)

dengan lingkungan yang kompleks. Kesiapan remaja untuk

bisa beradaptasi di lingkungan belum cukup kuat sehingga

ketika remaja salah tempat untuk beradaptasi pada akhirnya

masuk dalam lingkaran kenakalan remaja.

Dari ketiga faktor tersebut, remaja yang masuk dalam lingkaran

kenakalan remaja atau klithih, belum sepenuhnya mampu

menyaring, menerima dan mengaplikasikan simbol-simbol yang

ada dimasyarakat guna menciptakan harmonisasi kehidupan.

Selain itu, masalah sosial muncul dari level sistem (organisasinya),

individu yang perilakunya patologis merupakan akibat

atau korban dari sistem yang patologis. Kenakalan remaja

khusus nya klithih bukan hanya perkara tiap individunya, akan

tetapi ada dorongan dari organisasi/geng/komunitasnya untuk

melakukan hal tersebut. Dengan semakin seringnya melakukan

tindak kejahatan maka akan semakin menaikkan pamor gengnya.

Perilaku yang dilakukan dengan cara melukai orang lain itu sudah

menjadi tradisi.

Selain melukai, geng ini juga melakukan vandalisme di

be berapa tembok atau bangunan yang ada beberapa sudut

kota. Vandalisme tersebut hanya untuk menunjukkan sebagai

simbol bahwa geng sudah sampai wilayah tersebut juga untuk

memberikan tantangan pada geng lain untuk mengadakan tradisi

tempuk (tawuran). Tradisi mubeng yang dilakukan yang kemudian

melukai orang lain menjadi salah satu aksi untuk menggodok

mental para anggota. Pimpinan geng akan memberikan apresiasi

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

31


bagi anggota yang sudah berani melakukan pembacokan atau

penyabetan kepada korban. Terlihat bahwa sistem yang menjadi

sumber masalah sosial yang terjadi di lingkungannya dan

kenakalan remaja tersebut memang menjadi perilaku secara sosial

dikonstruksikan oleh pemimpin serta kelompok tersebut agar

langgeng.

Peran Multi Stakeholder dalam Penanganan Aksi Klithih

Fenomena klithih yang semakin sering mengundang perlunya

peranan berbagai pihak agar persoalan ini tidak semakin mewabah

ke pelajar yang lain. Klithih terlihat seperti trend yang mengikuti

perkembangan jaman, dimana terjadi pergeseran tindak kekerasan

dari tradisi tawuran menjadi tradisi kriminalitas. Karakter seperti

ini menunjukkan bahwa dalam diri pelajar tersebut sudah tidak

ada lagi rasa cinta kepada sesama, rasa tanggung jawab, rasa kasih

sayang serta kepedulian, cinta damai dan lain sebagainya. Karakter

anarkis tertanam pada pola pikir para pelajar yang tergabung pada

gank klithih tersebut. Para pelajar ini bertindak bukan berdasarkan

kemauan sendiri pada mulanya, akan tetapi karena mereka masuk

dalam komunitas atau group yang menyimpang maka mereka

berperilaku seperti ini.

Pembangunan karakter menjadi sangat penting bagi pelajar di

Yogyakarta, melihat banyaknya kasus pembacokan yang dilakukan.

Banyak pihak yang harus turut mencegah kejadian tersebut agar

citra Yogyakarta sebagai kota pelajar menjadi bersemi kembali.

Selama ini penanganan terhadap beberapa kasus yang terjadi yaitu

dengan proses hukum. Walaupun sudah banyak yang tertangkap

ternyata belum banyak dari pelajar yang masuk dalam anggota

klithih tersebut sadar ataupun insaf untuk tidak melakukannya

lagi. Oleh karena itu pentingnya ada hubungan antar sakeholder

guna melakukan tindakan pemberantasan dan pengurangan aksi

klithih yang dilakukan pelajar guna menciptakan Yogyakarta yang

damai. Diagram integritas dibawah ini merupakan jaringan antar

32

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


stakeholder yang turut berperan dalam mengatasi persoalan klithih

dengan membangun karakter para pelajar yakni sebagai berikut:

Gambar 1.

Diagram Jaringan Kerjasama Antar Stakeholder

Keluarga

Aparatur

Keamanan

Karakter

Sekolah

Masyarakat

(Sumber: Olah Data Peneliti 2017)

Diagram di atas menunjukkan sinergitas antar pemangku

kepentingan untuk memerangi aksi klithih yang bisa dilakukan

dengan cepat dan akurat. Setiap stakeholder memiliki peran

masing-masing yakni sebagai berikut:

1. Keluarga.

Keluarga memiliki peran penting dalam mendidik

karakter dengan memperkenalkan nilai dan norma yang

terbentuk di masyarakat. Pendidikan keluarga seharusnya

mam pu sebagai pendidikan karakter yang paling pertama dan

utama. Keluarga pulalah yang pada mulanya mengenalkan

rasa tanggungjawab, rasa empati, rasa keadilan, saling menghormati,

kerjasama, dan lain sebainya. Pada kasus klithih yang

terjadi di Yogyakarta, pelajar yang tergabung dalam komunitas

itu kebanyakan dari keluarga yang berada dan mampu secara

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

33


finansial. Terbukti bahwa pelaku klithih banyak menggunkan

motor Kawasaki KLX, dimana motor ini memiliki harga yang

cukup mahal dan bagi orang menengah ke bawah untuk beli

motor tersebut ada kesulitan. Melihat fenomena tersebut,

kemungkinan para pelajar kurang mendapatkan pendidikan

karakter yang semestinya didapatkan dari orang tua yang

mampu memberikan arahan. Keterbatasan waktu untuk saling

berkomunikasi sudah tergerus oleh jam kerja para orang tua

itu sendiri. Ketika fungsi kontrol sosial dan ruang komunikasi

antara orang tua dengan anak sudah kurang, maka seorang

anak (pelajar) akan mencari jatidiri sendiri di luar. Pada

saat itulah remaja juga dari pola pikir dan emosi juga tidak

stabil, komunitas atau pertemanan yang salah menjadi ruang

berekspresi. Akan tetapi terkadang ekspresi dan emosinya

cenderung tidak terarah.

Bagi anak laki-laki, ayah dapat menjadi contoh baik untuk

belajar bagaimana bekata, bersikap, berperilaku, dan berfikir

sebagai seorang laki-laki. Melalui sosok ayah, anak laki-laki

dapat belajar tentang cara bergaul, cara memimpin orang

lain, cara memperlakukan perempuan, cara menyelesaikan

masalah, dan cara mempertahankan pendapat (Zubaedi, 2015).

Menurut Budi (2017), ketahanan keluarga dalam memberikan

pendidikan karakter pada anak dapat dilihat dari beberapa

indicator. Pertama, Indikator Ketahanan Fisik, ketika dalam

sebuah ditandai setidaknya satu dari salah satu orang tuanya

bekerja. Jika aset terpenuhi maka keluarga itu bisa dikatakan

memiliki kemampuan fisik yang baik.

Kedua, Indikator Ketahanan Psikologis, yaitu terbebasnya

anggota keluarga dari pembiaran dan gambaran diri yang

kabur. Remaja yang mengalami pembiaran dan tidak memiliki

gambaran diri yang jelas akan mengembangkan potensi

kenakalannya karena ia didera oleh kondisi itu. Jika anak

dari sebuah keluarga banyak mengalami perasaan cemas,

34

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


takut, marah, kecewa, putus harapan, maka disinyalir peran

keluarga untuk membantu keluar dari permasalah klithih ini

akan sulit. Sebaliknya keluarga keluarga yang sudah membebaskan

diri dari perasaan perasaan tersebut akan lebih

mudah memberikan kontribusi untuk keluar dari masalah

klithih ini.

Ketiga, Indikator Ketahanan Sosial, yaitu merujuk pada

adanya partisipasi yang baik dari setiap individu dalam kehidupan

keluarga maupun di masyarakat. Peran sosial ini

akan membangun identitas sosial setiap individu. Ter cukupinya

kebutuhan ini akan menyuburkan jiwa sosial sese orang

dan akan menjadi solusi jangka panjang yang baik bagi

berbagai eskalasi sosial yang sering timbul ditengah masyarakat

kita. Upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh segenap

penyelenggara keluarga adalah dengan memberikan lingkungan

yang stabil bagi anak anak. Lingkungan yang stabil

akan membuat anak anak tenteram dan tidak perlu membuat

ulah untuk mempertegas eksistensi dirinya, misalnya dengan

klithih.

2. Sekolah

Lembaga pendidikan menjadi tempat kedua untuk membentuk

karakter seseorang agar lebih paham dan lebih peka

terhadap rasa cinta damai, rasa aman, rasa tanggung jawab,

rasa keadilan, dan lain sebagainya. Pada pandangan ini,

sekolah tidak hanya memiliki tanggungjawab dalam mengelola

dan mencerdaskan pelajarnya, akan tetapi mampu mendidik

siswanya memiliki karakter yang baik sesuai dengan nilai

dan norma yang berlaku. Peran guru dalam mengajarkan

pendidikan karakter merupakan hal utama dan penting, sosok

guru merupakan figur kedua setelah orang tua.

Tindakan yang harus dilakukan sekolah untuk mengatasi

persoalan klithih yang sedang mewabah dalam jati diri pelajar

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

35


yaitu dengan melakukan screening terhadap siswanya untuk

mengetahui yang berpotensi baik dan yang kurang baik.

Disamping itu, klithih merupakan dinamika lanjutan dari

perubahan tawuran pelajar ke arah tindakan kekerasan melukai

korban. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan

mencari dan memutus mata rantai tradisi tindak kekerasan

pelajar tersebut. Selama ini terjadi hubungan antara alumni

dari sekolah yang dulu juga mantan remaja yang nakal dengan

pelajar dari sekolah tersebut. Alumni tersebut memberikan

doktrin bahwasannya tindak kekerasaan me rupa kan tradisi

dari geng sekolah tersebut. Oleh karena itu memutus mata

rantai pelaku kekerasaan harus dilakukan agar tercipta

pendidikan yang damai, berperilaku baik, dan mencerdaskan.

Setelah memutus mata rantai, mendorong siswa yang memiliki

potensi atau bakat sebagai petarung untuk masuk

dalam olahraga karate, pencak silat, muangthay, judo, tinju,

dan lain-lain.

Selain memutus mata rantai komunitas kekerasaan yang

ada di lingkungan pelajar, sekolah perlu memiliki guru yang

pro gresif. Guru progresif merupakan guru yang memiliki

karakter yang kuat dan suka akan kemajuan. Karakter

ingin maju berarti karakter ingin mengubah keadaan yang

dianggapnya kurang baik dan keadaan yang penuh masalah

serta keadaan yang menghambat kemajuan. Dalam benak dan

batin guru progresif hanya ada cara bagaimana mengubah kondisi

sosial melalui perubahan kesadaran murid dan menya dari

bahwa proses pendidikan adalah upaya untuk mengkritisir

realitas yang terbentuk dan kesadaran murid yang terbentuk

pula oleh realitas itu. Ia adalah guru yang menganggap

bahwa pengetahuan itu penting, tetapi lebih penting adalah

menggunakan pengetahuan untuk perubahan (Mu’in, 2016).

Guru progresif sangat dibutuhkan oleh se kolah yang ada di

Yogyakarta guna membuka mata hati pelajar untuk meng-

36

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


gunakan pengetahuannya untuk selalu peka terhadap realitas

dan menjawab persoalan dari realitas yang dihadapi. Ketika

guru dekat muridnya, persoalan apa yang dihadapi murid

tentu akan diketahuinya. Disamping itu mata pelajaran yang

mengajarkan nilai dan norma agar menghasilkan figur yang

progresif dipengaruhi oleh faktor guru. Perubahan kurikulum

memang memiliki dampak, namun yang mengajarkanlah yang

sangat berdampak pada perubahan karakter pada siswanya.

Disatu sisi, perlu adanya kehadiran forum antar pelajar

cinta damai sebagai wujud untuk memerangi aksi-aksi klithih

yang selama ini membuat keresahan bagi masyarakat. Fungsi

forum pelajar cinta damai yakni mengurai benang kusut

dari kasus yang selama ini terjadi, karena selama ini setiap

SMA memiliki geng atau kelompok suka onar dimana selalu

suka berkelahi. Dengan adanya forum pelajar cinta damai ini

menjadi salah sau jembatan kedamaian antar sekolah-sekolah

yang suka berbuat onar guna mengurangi dan menghentikan

aksi tindakan kekerasan yang terjadi selama ini.

Selain itu perlu optimalisasi peran konselor sekolah.

Selama ini, Ruang Bimbingan Konseling (BK) bagi pelajar

diang gap sebagai ruang bagi pelajar nakal, anggapan ini

belum juga luntur sampai detik ini. Keberadaan BK menjadi

salah satu layanan sekolah sebagai ajang konsultasi

siswa tentang kondisinya ketika menempuh proses belajar

belum berjalan optimal. Perlunya mendorong siswa agar memanfaatkan

fasilitas ini, sehingga sekolah tahu dan faham

tentang perkembangan siswa didiknya. Selama ini BK sendiri

juga hanya sebagai pemadam kebakaran, ketika ada kasus

baru bertindak dan belum menjadi orang yang mengajarkan

pentingnya pengetahuan untuk perubahan ke yang lebih

baik. Menurut Zubaedi (2015) Peran konselor sekolah selain

menjadi pendidik harus mampu sebagai manajer kegiatan

pen didikan karakter, konselor pembimbing karakter, kon-

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

37


sultan, panutan/figur sentral, perancang kegiatan, healer/

problem solver, dan mediator dan juga partner.

Selama ini sekolah juga belum mengajarkan pendidikan

manajemen konflik dan mengelola emosi. Hal ini sangat

penting karena pelajar sangat mudah tersulut amarahnya.

Sekolah sebagai tempat pendidikan karakter tidak hanya

mengajarkan nilai dan norma yang berdasarkan kurikulum,

tapi bagaimana manajerial konflik dan kelola emosi masuk

dalam mata pelajaran sehingga ketika ada persoalan para

pelajar mampu menghadapinya.

3. Masyarakat

Masyarakat merupakan lembaga atau institusi ketiga

paska sekolah bagi anak untuk mendapatkan pendidikan

karakter. Lingkungan masyarakat yang baik tentu akan memberikan

dampak yang positif bagi remaja untuk bertingkah

laku. Nilai dan norma yang baik itu lahir dari masyarakat,

karena dengan adanya nilai dan norma kehidupan menjadi

stabil. Pada posisi pendidikan karakter bagi para pelajar,

diharapkan masyarakat mampu menjadi polisi masyarakat

dan edukator untuk pencegahan perilaku klithih yang kian

mewabah. Masyarakat juga menjadi kontrol sosial bagi

perkembangan dan keamanan lingkungannya. Dengan berkembangnya

media sosial bermanfaat bagi pelaporan atau

informasi tentang perkembangan tindakan kekerasan yang

dilakukan para pelajar. Group FB ICJ (Info Cegatan Jogja)

mampu menjadi salah satu group yang terus melaporkan

tindakan kekerasan yang dilakukan pelajar. Dengan adanya

laporan tersebut memberikan dampak yang bagus

bagi masyarakat untuk menjadi polisi masyarakat guna

menciptakan keamanan dan kenyamanan lingkungannya.

38

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


4. Aparatur Keamanan

Aparatur keamanan merupakan lembaga atau institusi

yang dibentuk dalam rangka memberikan perlindungan, rasa

aman, rasa nyaman, dan penindakan hukum bagi para pelaku

kejahatan. Dengan maraknya tindakan klithih yang dilakukan

oleh beberapa pelajar Yogyakarta, untuk menjaga rasa aman,

nyaman serta memberikan perlindungan bagi masyarakatnya

tim kepolisian Yogyakarta membentuk tim Resmob Progo

Sakti. Tim ini memang dibentuk untuk melakukan penindakan

terhadap tindak kejahatan yang terjadi di jalan. Akan tetapi

alangkah baiknya pula, Aparatur Keamanan ini memiliki

salah satu program edukasi terhadap pendidikan karakter

bagi pelajar. Setidaknya dari pihak aparatur mengirimkan

satu wakil ke sekolah-sekolah untuk memberikan pendidikan

rasa tanggung jawab, toleransi dan cinta damai. Program

ini dilajukan agar para pelajar juga mendapatkan atmosfir

pengajar lain dari pihak aparatur sebagai penegak hukum,

karena selama ini pihak aparatur keamanan hanya sebagai

lembaga penindakan kejahatan yang dilakukan. Oleh karena

itu, program edukasi pendidikan karakter tolak perilaku klithih

dapat dilaksanakan. Kurikulumnya perlu dikoordinasikan

dengan dinas pendidikan agar menemukan format yang bagus

guna menciptakan pendidikan karakter pelajar Yogyakarta

lebih baik.

Penutup

Semakin banyaknya pelajar yang tergabung dalam kelompok

klithih menjadi kritik besar bagi pendidikan karakter pelajar

di Yogyakarta. Kenakalan remaja klithih dilakukan dalam komunitas/kelompok

geng. Mereka yang tergabung dalam geng ini

ada lah pelajar yang belum menemukan jati dirinya/karakter

serta emosi yang masih belum stabil dan sangat mudah didoktrin

untuk melakukan tindakan kekerasan. Pentingnya peran multi

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

39


stakeholder antara orang tua, sekolah, masyarakat, dan aparatur

keamanan menjadi salah satu poin penting guna memerangi aksi

pelajar klithih yang selama ini meresahkan. Disamping itu kehadiran

forum pelajar cinta damai menjadi ajang bagi para pelajar untuk

bisa mereduksi dan menumpas habis perilaku klithih yang selama

ini menjadi momok bagi masyarakat Yogyakarta. Kehadiran

negara tiak hanya menelurkan kebijakan tentang kekerasaan

yang dilakukan oleh beberapa remaja klithih akan tetapi negara

memberikan porsi pendidikan karakter yang lebih sebagai bukti

tanggung jawab bahwa kehadiran negara mampu mencerdaskan

kehidupan anak-anak bangsa.

Daftar Pustaka

Chrisna, Nicolas Yudha. 2017. Pengorganisasian ketakutan dalam

Identitas Sosial: Studi Kasus Gengser klitih Kursi Putih di

Yogyakarta. https://repository.usd.ac.id/12318/2/129114016

_full.pdf. Diakses 07 Januari 2018.

Kartono, Kartini. 1986. Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta:

CV Rajawali

Kurniawan, Bagus. 2016. Kapolda DIY: Sepanjang 2016, 43 Kasus

Kriminal Didominasi Pelajar. http://news.detik.com/berita/

d-3382743/kapolda-diy-sepanjang-2016-43-kasus-kriminaldidominasi-pelajar.

diakses 07 Januari 2018.

Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap

Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik. Bandung: Nusa

Media.

Mu’in, Fatchul. 2016. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik

dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Muhaimin, Akhmad Azzet, 2016. Urgensi Pendidikan Karakter di

Indonesia. Yogyakarta: Ar-rus Media.

Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan

Tindak Kekerasan Satuan Pendidikan.

40

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Sabandar, Switzy. 2017. Daftar Panjang Aksi Kekerasan Klithih di

Yogyakarta. http://regional.liputan6.com/read/2887568/

daftar-panjang-aksi-kekerasan-klithih-di-yogyakarta diakses

07 Januari 2018.

Saroh, Mutaya. 2016. Darurat Klitih di Yogyakarta. https://tirto.

id/darurat-klitih-di-yogyakarta-cbH7 diakses 07 Januari 2018.

Yuwono, Markus. 2017. Mengintip Fasilitas Pendidikan untuk

Penghuni Lapas Anak di Gunungkidul. http://regional.

kompas.com/read/2017/05/05/07000061/mengin tip.

fasilitas.pendidikan.untuk.penghuni.lapas.anak.di.gunungkidul.

diakses 07 Januari 2018.

Zubaedi. 2015. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya

dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

41


42

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Kewiralembagaan di Aras Konflik:

Institutional Entrepreneurship KSU FKMP

Manunggal dalam Pengembangan Masyarakat

di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates,

Kabupaten Kulon Progo

Eka Zuni Lusi Astuti 1

Latar Belakang Masalah

Peran negara dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat

semakin melemah seiring dengan banyaknya persoalan sosial dan

politik di Indonesia. Masyarakat sipil mulai mengambil peran

dalam meningkatkan kesejahteraannya melalui kolaborasi dengan

pemerintah, akademisi, NGO, dan perusahaan. Fenomena ini

menandakan bergesernya terminologi negara sebagai aktor utama

pembangunan. Pergeseran ini juga disertai dengan perubahan

goodgoverment menjadi goodgovernance. Tatakelola inovatif

(goodgovernance) ini cenderung dilakukan melalui usaha-usaha

pem berdayaan masyarakat oleh masyarakat sipil, NGO dan

perusahaan.

Koperasi Serba Usaha Forum Komunikasi Masyarakat

Pesisir (KSU FKMP) Manunggal, merupakan salah satu organisasi

masyarakat sipil yang melaksanakan praktik baik tatakelola

inovatif. Masyarakat Desa Karangwuni dan Tim Lokal berhasil

memanfaatkan peluang program pengembangan masyarakat

(community development) PT JMI menjadi sebuah institusi inovatif

(innovative institution) berupa KSU FKMP Manunggal. Pengurus

KSU FKMP Manunggal dan Tim Lokal, menjadi aktor

1 Dosen di Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas

Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:

ekazunilusi@gmail.com

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

43


wira lembagawan dalam mengimplementasikan institutional

entrepreneurship melalui sebuah tatakelola inovatif. Tatakelola inovatif

ini berhasil memanfaatkan peluang dari adanya program

pengembangan masyarakat PT JMI berupa dana usaha dan

berbagai pekerjaan sub kontrak pembangunan fisik di PT JMI.

Meskipun diinisiasi oleh PT JMI atas masukan dari Pemerintah

Kabupaten Kulon Progo, pengurus dan masyarakat Desa

Karangwuni berusaha untuk mengembangkan dan menjadikan

KSU FKMP Manunggal untuk dan oleh masyarakat. Ini terbukti

dari eksistensi KSU FKMP Manunggal sejak didirikan pada tahun

2011. Praktik institutional entrepreneurship berhasil membuktikan

bahwa KSU FKMP Manunggal menjadi koperasi yang paling

berhasil dari kesembilan koperasi yang diinisiasi oleh PT. JMI.

Pembentukan koperasi oleh PT JMI di wilayah kontrak

karyanya diawali sosialisasi kepada masyarakat supaya segera dibentuk

koperasi. Kurun waktu Bulan September sampai Desember

tahun 2011, PT. JMI telah mendirikan sembilan koperasi di sembilan

desa wilayah kontrak karya. Kesembilan koperasi tersebut telah

memiliki landasan hukum, yaitu melalui Bupati Kulon Progo,

berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha

Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor: 123/Kep/M.

KUKM/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004 tentang Penyelenggaraan

Tugas Pembantuan Dalam Rangka Pengesahan Akta Pendirian,

Perubahan Anggaran Dasar dan Pembubaran Koperasi pada

Provinsi dan Kabupaten/Kota. Berikut kesembilan koperasi

tersebut.

44

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Tabel 1. Sembilan Koperasi Bentukan Program Community

Development PT JMI

No Nama Koperasi Sekretariat Jenis Usaha

1. KSU FKMP

Manunggal

Jln. Deandels,

Karangwuni, Wates,

Kulon Progo

2. KSU Tani Jaya Desa Garongan,

Panjatan, Kulon

Progo

3. KSU Cemara Jln. Deandels,

Pleret

Pedukuhan l Pleret,

Panjatan, Kulon

Progo

4. KSU Perak Bugel Jln. Deandels,

Pedukuhan l, Bugel,

Panjatan, Kulon

Progo

5. KSU Sido Mukti Sewugalur, Galur,

Kulon Progo

6. KSU Banaran Bunder, Pedukuhan

Jaya

IV , Banaran, Galur,

Kulon Progo

simpan pinjam

pengadaan

barang

simpan pinjam

simpan pinjam

perdaganggan

simpan pinjam

perdaganggan

simpan pinjam

peternakan kambing

7. KSU Makmur

Abadi

8. KSU Kranggan

Maju

Jln. Deandels,

Nomporejo, Galur,

Kulon Progo

Nepi, Pedukuhan

IV, Kranggan ,

Galur, Kulon Progo

usaha jasa cuci

pakaian (laundry)

simpan pinjam

simpan pinjam

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

45


9. KSU Jaya Abadi Pandowan, Galur,

Kulon Progo.

(Sumber: Astuti, 2013).

simpan pinjam

Institutional entrepreneurship yang dilakukan oleh KSU

FKMP Manunggal, tidak hanya memanfaatkan peluang-peluang

pengembangan masyarakat dari PT JMI. KSU FKMP Manunggal

juga berusaha memperluas relasi dengan Dinas Kelautan Provinsi

DIY, pengelola pelabuhan ikan di Pantai Glagah, Desa Karangwuni.

Tidak dapat dipungkiri bahwa KSU FKMP Manunggal menjadi alat

PT JMI untuk meminimalisir konflik penolakan terhadap rencana

penambangan pasir besi.

Pro kontra terhadap rencana penambangan pasir besi pada

masyarakat pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo semakin

mereda. Sejak PT. Jogja Magasa Iron (PT JMI) mensosialisasikan

rencana penambangan pasir besi pada tahun 2006 silam, disintegrasi

sosial mewarnai kehidupan masyarakat di lima desa wilayah ring

1 rencana penambangan pasir besi. Bagi PT. JMI, titik terang mulai

terlihat ketika beberapa warga Pedukuhan XVII Imorenggo, Desa

Karangsewu bersedia menyewakan lahan pertaniannya untuk

dibangun Pilot Plan Pusat Pelatihan Tenaga Kerja PT. JMI dan

pendirian pilot plan di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates pada

tahun 2008. Keberadaan pilot plan ini sangat membantu PT. JMI

melaksanakan sosialisasi rencana penambangan pasir besi.

Selain melalui pendekatan teknis dengan memberikan contoh

mekanisme penambangan dan reklamasi paska penambangan di

pilot plan, PT. JMI menggunakan CSR (Corporate Social Responsibility)

untuk mendekati masyarakat pesisir. Upaya ini sesuai dengan

salah satu mandat negara pada Pasal 74 Ayat 1 Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa perseroan

yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan

sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan. Meskipun demikian, PT. JMI menyebut upayanya

46

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


ini sebagai program community development, bukan program CSR.

Alasannya, program ini dilaksanakan pada tahap eksplorasi dan

konstruksi, bukan pada tahap eksploitasi atau operasi perusahaan.

Program-program CSR akan dilaksanakan ketika perusahaan

berproduksi. Pelaksanaan program community development ini

sesuai dengan Pasal 22 pada Kontrak Karya.

Secara politis, PT. JMI memanfaatkan program pengembangan

masyarakat sebagai sebuah upaya perusahaan supaya dapat

diterima oleh masyarakat yang menolak rencana penambangan

pasir besi. Di sisi lain, KSU FKMP Manunggal memanfaatkan

program pengembangan masyarakat PT JMI ini sebagai peluang

meningkatkan perekonomian masyarakat, mengantisipasi kerentan

an ekonomi masyarakat terdampak tambang pasir besi, dan

menjadikannya sebagai sarana untuk memperluas relasi.

Tulisan ini disarikan dari hasil penelitian Hibah Riset

Individu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Tahun 2015. Tulisan

ini mendiskripsikan tentang strategi KSU FKMP Manunggal

dalam pengembangan masyarakat di Desa Karangwuni. Dua hal

menjadi sorotan. Pertama, strategi KSU FKMP Manunggal dan

sinergi dengan aktor lain dalam pengembangan masyarakat di

Desa Karangwuni. Kedua, inovasi-inovasi yang dilakukan KSU

FKMP Manunggal dalam memanfaatkan Program Pengembangan

Masyarakat PT. JMI.

Kajian Teoritis Kewiralembagaan

Kapasitas Wiralembagawan

Berdasarkan kajian Tang (2010), wiralembagawan dapat dibentuk

oleh sumber daya manusia (human capital), modal sosial

(social capital), dan keterampilan sosial (social skill). Kusworo (2015),

mensyaratkan bahwa seseorang disebut sebagai wiralembagawan

ketika dapat menggunakan hal-hal tersebut untuk memobilisasi

struktur yang baru. Wiralembagawan yaitu pengurus KSU FKMP

Manunggal, memiliki kapasitas kewiralembagaan berupa modal

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

47


sumber daya manusia (human kapital), modal sosial (social capital),

dan keterampilan sosial (social skill) untuk memobilisasi struktur

baru. Berikut ini tabel kapasitas wiralembagawan berdasarkan

modal, aspek dan fungsinya.

Tabel 2. Kapasitas Wiralembagawan

Modal Aspek Fungsi

Sumber daya

manusia

Modal sosial

a. Pengetahuan

b. Kemampuan

kognitif

a. Interaksi sosial

b. Kepercayaan

c. Sistem nilai

d. Fasilitasi

jaringan

1. Meningkatkan

produktifitas dan efisiensi

wiralembagawan dalam

beraktifitas

2. Membangun jaringan yang

kuat

3. Membangun sumber

informasi

4. Menemukenali kesempatan

1. Menjalankan fungsi dan

menciptakan keberdayaan

wiralembagawan

2. Mengidentifikasi dan

mengumpulkan informasi

penting dan kerentanan

sumberdaya

3. Mengenali, menemukan,

menciptakan, dan menggali

kesempatan

4. Melibatkan

wiralembagawan dalam

mentransformasikan,

menegosiasikan, dan

memperoleh infrastruktur

institusi

48

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Keterampilan

sosial

a. Persepsi sosial

b. Adaptasi sosial

c. Kemampuan

mempengaruhi

d. Managemen

pengaruh/

kesan

1. Menemukenali dan

mengelola berbagai

interaksi sosial

2. Menghimpun sumberdaya

dari luar

3. Membangun antusiasme

dan komitmen

4. Menjalin komunikasi efektif

5. Mengembangkan jaringan

6. Membangun kepercayaan

dan legitimasi

7. Melakukan negosiasi

terhadap isu

(Sumber: Battilana (2004), Pacheco (2010), dan Tang (2010)).

Relasi Struktur Aktor

Merujuk pada konsep Individual-Institutional Opportunity

Nexus (IION), masyarakat Desa Karangwuni hidup dalam struktur

atau ekternalitas. Struktur tersebut meliputi diskursus tentang

pro dan kontra terhadap penambangan pasir besi dan jaringan

dengan PT. JMI, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, dan pihak

lainnya. Masyarakat Desa Karangwuni tidak menerima struktur

tersebut secara taken for granted. Mereka mampu menemukenali

kontradiksi, adanya manfaat dari keberadaan PT. JMI, berupa uang

ganti untung sewa lahan dan program pengembangan masyarakat

PT. JMI. Tidak semata-mata terkungkung dalam ketakutan akan

kehilangan matapencaharian sebagai petani lahan pantai, kerusakan

lingkungan dan masalah sosial akibat industrialisasi.

Kondisi dimana aktor terhubung dengan struktur disebut

sebagai Individual-Institutional Opportunity Nexus (IION). Aktor

mem butuhkan tiga prasyarat supaya dapat terhubung dengan

struk tur, yaitu individu hidup dalam eksternalitas, individu memiliki

motivasi, dan individu memiliki pengetahuan serta relasi.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

49


Pengurus KSU FKMP Manunggal, selaku wiralembagawan, memenuhi

tiga prasyarat tersebut. Pertama, hidup dalam eksternalitas

pro dan kontra terhadap rencana penambangan pasir besi. Kedua,

memiliki motivasi untuk memanfaatkan program community

development PT JMI. Ketiga, memiliki pengetahuan tentang perkoperasiaan

dan multiplier effect keberadaan PT JMI serta memiliki

relasi dengan Tim Lokal, PT JMI, Pemerintah Kabupaten Kulon

Progo, dan pihak-pihak lain.

Gambar 2. Bagan Individual-Institutional Opportunity Nexus

(IION)

(Sumber: Kusworo, 2015).

Aktor masyarakat Desa Karangwuni dapat terhubung dan

berinteraksi dengan struktur sehingga berhasil memanfaatkan

peluang (moment of institution). Moment of institution merupakan titik

tolak kerja wiralembagawan. Moment of institution dapat berupa: 1)

recognition jika aktor mampu mengenali atau menemukan formasi

dan fungsi; 2) creation jika aktor mampu membuat formasi dan fungsi

karena keduanya belum ada di dalam struktur; dan 3) modification

dimana salah satu dari formasi atau fungsi sudah ada sehingga

50

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


aktor memodifikasinya supaya sesuai dengan kebutuhan untuk

pembentukan struktur baru. KSU FKMP Manunggal merupakan

innovative institution produk institutional entrepreneurship yang

merupakan hasil kerja modifikasi wiralembagawan pada aras

konflik pasir besi.

Penelitian ini memusatkan perhatian pada peran institutional

entrepreneurship yang dilaksanakan oleh organisasi masyarakat sipil

dalam pengembangan masyarakat di sekitar perusahaan. Kapasitas

aktor penggerak masyarakat sipil selaku wiralembagawan, berupa

modal sumber daya manusia (human capital), modal sosial (social

capital), dan keterampilan sosial (social skill) dipandang sebagai

modal untuk meraih peluang dalam pengembangan masyarakat di

sekitar perusahaan.

Program Community Development sebagai Peredam Konflik

Sekilas Pro dan Kontra Rencana Penambangan Pasir Besi

Keberadaan KSU FKMP Manunggal tidak dapat dilepaskan

dari konflik pro kontra terhadap rencana penambangan pasir besi

di pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo. Sampai saat ini, dimana

masyarakat Desa Karangwuni telah bersedia menyewakan lahan

pertaniannya untuk ditambang dan konflik sudah mengalami

penurunan, namun penolakan terhadap rencana penambangan

pasir besi masih tetap ada, terutama di Desa Garongan, Bugel,

dan Karangsewu. Pertengahan tahun 2006 menjadi awal bagi

perjalanan panjang konflik pasir besi. Saat itu, Pemerintah Daerah

Kabupaten Kulon Progo bersama PT JMI, selaku perusahaan

penambang, melakukan sosialisasi rencana penambangan pasir

besi kepada masyarakat pesisir. Upaya tersebut disambut dengan

aksi-aksi penolakan dan blokade. Tak gentar, pemerintah tetap

melaksanakan tahap demi tahap rencana penambangan pasir

besi. Langkah legalisasi berupa penandatanganan Kontrak Karya

Rencana Penambangan Pasir Besi oleh Menteri ESDM atas nama

Pemerintah Republik Indonesia dan Presiden Komisaris serta

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

51


Presiden Direktur PT JMI dilaksanakan pada tanggal 4 November

2008. Naskah kontrak karya tersebut menyatakan areal konsesi

penambangan pasir besi seluas 2.987,79 hektar. Areal konsesi

tersebut meliputi Desa Banaran dan Karangsewu di Kecamatan

Galur, Desa Garongan dan Desa Bugel di Kecamatan Panjatan serta

Desa Karangwuni di Kecamatan Wates.

Selain Kontrak Karya Rencana Penambangan dan Pemrosesan

Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo (Contract of Work between The

Government of the Republic of Indonesia and PT. Jogja Magasa Iron),

rencana penambangan pasir besi dipayungi oleh regulasi di tingkat

lokal. Regulasi tersebut meliputi Peraturan Daerah Rencana Tata

Ruang Wilayah Propinsi (DIY), Peraturan Daerah Kabupaten Kulon

Progo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012-2032, AMDAL Penambangan

dan Pemrosesan Pasir Besi, dan Surat Keterangan Bupati Kulon

Progo No. 47 tahun 2010 tentang Pemberian Ijin Pemanfaatan

Ruang Wilayah Pantai Selatan untuk Kegiatan Pertambangan Pasir

Besi dan Mineral Pengikutnya kepada PT. Jogja Magasa Iron dan

SK Perubahannya, yaitu Surat Keterangan No. 140 tahun 2010.

Secara umum, konflik pasir besi muncul akibat perbedaan kepentingan

antara masyarakat pesisir dengan Pemerintah Daerah

Kabupaten Kulon Progo dan PT JMI terhadap kepentingan ekonomi

atas pemanfaatan lahan pantai. Masyarakat pesisir ingin

mempertahankan lahan pantai sebagai lahan pertanian produktif.

Di sisi lain, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo ingin

menambang potensi pasir besi di lahan pantai untuk mendongkrak

Pendapatan Asli Daerah (PAD), menciptakan lapangan pekerjaan

baru di sektor industri penambangan dan pengolahan pasir besi, serta

meraih multiplier effect yang akan muncul. Kesemuanya bermuara

pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Kulon Progo.

Benturan kepentingan ekonomi terhadap pemanfaatan lahan

pantai bukan menjadi alasan satu-satunya penyebab konflik.

Konflik didorong oleh berbagai permasalahan, baik di akar rumput

52

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


maupun di tingkat elit. Kepemilikan tanah pesisir oleh Paku Alam

(PA Ground) dan keistimewaan Yogyakarta menjadi salah satu

cabang akar konflik pasir besi. Konflik dimanifestasikan menjadi

konflik vertikal dan horisontal. Konflik vertikal mengatasnamakan

perbedaan kepentingan ekonomi. Sementara itu, pertarungan

antarelit yang sarat akan kepentingan direpresentasikan mejadi

konflik horisontal. Ketidakpastian (uncertainty) yang dirasakan

oleh masyarakat pesisir terhadap keuntungan (reward) yang

akan didapat ketika penambangan dilakukan juga menyumbang

terhadap akumulasi penolakan yang menjadi penyebab konflik.

Selanjutnya, masyarakat pesisir yang menolak rencana penambangan

pasir besi menghimpun diri ke dalam Paguyuban Petani

Lahan Pantai (PPLP). PPLP melakukan berbagai aksi penolakan

terhadap rencana penambangan pasir besi, seperti menolak dan

memblokade sosialisasi, mendirikan posko PPLP dan palang jalan

di titik-titik strategis di pedukuhan pesisir, memasang papan-papan

penolakan di wilayah pedukuhan pesisir, menggelar demonstrasi

ke instansi terkait, menghimpun advokasi dari LSM, pertengkaran,

mendiskriminasikan masyarakat yang setuju dengan rencana

penambangan dan berbagai konfrontasi fisik seperti perkelahian,

menahan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata, dan

melarang karyawan PT JMI melintasi jalan di pedukuhan pesisir.

Berikut foto-foto bentuk penolakan masyarakat pesisir terhadap

rencana penambangan pasir besi.

Latar belakang didirikannya KSU FKMP Manunggal oleh

PT. JMI dapat dirunut dari dinamika konflik pasir besi. Di Desa

Karangwuni, Tim Delapan merupakan kelompok masyarakat

yang pertamakali menerima sosialisasi rencana penambangan

pasir besi. Anggota Tim Delapan ini bersedia menyewakan lahan

per taniannya seluas 20 hektar untuk pembangunan Pilot Plan PT

JMI di Desa Karangwuni (Astuti, 2013). Dalam perkembangannya,

anggota Tim Delapan menjadi alat komunikasi masyarakat Desa

Karangwuni dengan PT JMI. Keuntungan lain yang didapat adalah

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

53


anggota Tim Delapan dapat menjadi karyawan Pilot Plan PT JMI atau

merekomendasikan warga untuk menjadi karyawan. Di masingmasing

kecamatan pesisir, terdapat Aliansi yang beranggotakan

masyarakat di 8 desa pesisir wilayah Kontrak Karya pendukung

rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi.

Aliansi dan PT JMI membangun hubungan resiprokal yang

bersifat take and give. Aliansi mendapatkan kepercayaan dari PT

JMI untuk mengelola program community development PT JMI. Salah

satu bentuk program community development adalah didirikannya

9 koperasi oleh PT JMI di desa-desa pesisir yang berada di

wilayah kontrak karyanya. Sama seperti Tim Delapan, Aliansi

juga difungsikan sebagai alat meredam konflik pasir besi, sebagai

kekuat an tandingan bagi PPLP, dan memfasilitasi hubungan

masya rakat pesisir kontra penambangan dengan PT. JMI dan

Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo. Di Desa Karangwuni,

beberapa aktor dari Tim Delapan dan Aliansi tergabung dalam

Tim Lokal yang selanjutnya menjadi aktor KSU FKMP Manunggal.

Inilah awal terbentuknya KSU FKMP Manunggal.

KSU FKMP Manungal: Best Practice Program Community

Development PT. JMI

Salah satu program community development unggulan PT JMI yang

berorientasi pada upaya pemberdayaan masyarakat adalah koperasi.

KSU FKMP Manunggal merupakan koperasi inisiasi PT JMI yang

saat ini berusaha untuk bisa berkembang secara mandiri. Sekretariat

KSU FKMP Manunggal terletak di Dusun Keboan, Blok I, Desa

Karangwuni, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo. Koperasi

ini resmi didirikan pada bulan Oktober tahun 2011 berdasarkan Akta

Notaris Nomor : 19/31 Oktober 2011 dan telah terdaftar di Dinas

Perindustrian Perdagangan dan ESDM Nomor: 01/SKT/VI/2013.

Merujuk pada Profil Company KSU FKMP Manunggal, koperasi serba

usaha ini memiliki visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi perencanaan

layaknya koperasi berbadan hukum lainnya.

54

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Visi yang diperjuangkan adalah terwujudnya koperasi dan

UMKM di lingkungan Desa Karangwuni yang tangguh dan berdaya

saing menuju kemandirian dan kesejahteraan anggota dan

masyarakat. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, didukung

oleh beberapa misi, yaitu:

a. Meningkatkan kualitas kelembagaan, organisasi dan management

koperasi sesuai jatidirinya;

b. Mewujudkan usaha mikro kecil, menengah, produktif, kreatif,

inovatif, dan berdaya saing global;

c. Menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan

koperasi dan usaha mikro kecil menengah;

d. Meningkatkan profesionalisme aparatur dalam pemberdayaan

koperasi dan UMKM.

Visi dan misi tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan

koperasi, yaitu memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya

dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan

perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat

yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945. Sasaran yang ingin dicapai adalah

meningkatnya kinerja ekonomi dan peningkatan pendapatan

anggota dan masyarakat Karangwuni khusunya dan Kulon

Progo pada umumya. Sementara itu, strategi perencanaan yang

dilakukan meliputi pembinaan kelembagaan yang lebih efisien dan

efektif, usaha kecukupan permodalan koperasi, support kegiatan

yang berkembang, melakukan cakupan pasar yang mengikat, dan

sistem pengawasan yang efektif dan efisien.

Secara kelembagaan KSU FKMP Manunggal memiliki kepengurusan

di tingkat desa dan di tingkat dusun. Pengurus di

tingkat desa terdiri dari pelindung, ketua, sekretaris, bendahara,

manager, bidang simpan pinjam, bidang pengadaan barang dan

jasa serta bidang produksi dan konstruksi. Kelembagaan utama

(induk) berada di tingkat desa, yaitu Desa Karangwuni. Di tingkat

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

55


dusun, koperasi memiliki 6 orang pengurus unit sesuai dengan

jumlah dusun yang ada. Berikut Bagan Struktur Kelembagaan

Koperasi KSU FKMP Manunggal.

Gambar 3. Bagan Struktur Kelembagaan Koperasi KSU FKMP

Manunggal

(Sumber: Profil Company KSU FKMP Manunggal).

Administrasi koperasi dilaksanakan oleh tiga orang tenaga

administrasi. Sementara itu, untuk mengerjakan pekerjaanpekerjaan

subkontrak PT JMI, koperasi memiliki 4 orang koordinator

lapangan yang dibantu oleh 1 orang asisten. Jumlah pekerja lokal

56

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


yang terdaftar adalah 41 orang. Sebagai lembaga resmi berbadan

hukum, KSU FKMP Manunggal memiliki berbagai Surat Ijin/

Surat Keterangan. Berikut ini Surat Ijin/Surat Keterangan yang

menunjukkan KSU FKMP Manunggal merupakan usaha berbadan

hukum resmi.

Tabel 3. Dokumen Berbadan Hukum KSU FKMP Manunggal

No. Nama/Nomor Surat Ijin/Surat Pejabat yang Mengesahkan

Keterangan

1. Surat Izin Usaha Perdagangan

(IUP) Kecil Nomor: 510/984/

PK/V/2013, tertanggal 27 Mei

Badan Penanaman Modal dan

Perizinan Terpadu Kabupaten

Kulon Progo

2013

2. Akta Pendirian Koperasi

Nomor: 56/BH/XV.3/2011,

Menteri Negara Koperasi dan

Usaha Kecil dan Menengah

tertanggal 6 Desember 2011

3. Surat Ijin Usaha Simpan

Pinjam Nomor: 518/SISP/32/

XII/2011, tertanggal 7

Kepala Dinas Koperasi dan

UMKM Kabupaten Kulon

Progo

Desember 2011

4. Tanda Daftar Perusahaan

Koperasi Nomor TDP:

12.04.2.47.00028, tertanggal 28

Badan Penanaman Modal dan

Perizinan Terpadu Kabupaten

Kulon Progo

Mei 2013

5. Surat Keterangan Domisili Kepala Desa Karangwuni

Usaha Nomor: 30/01/

VI/2013, tertanggal 6 Juni

2013

6. Surat Keterangan Terdaftar

Nomor: 06/SKT/IX/2014,

tertanggal 8 September 2014

Kepala Dinas Perindag dan

ESDM Kabupaten Kulon

Progo

(Sumber: Profil Company KSU FKMP Manunggal).

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

57


Dokumen-dokumen tersebut merupakan pendukung

secara legal untuk memperkuat bargaining position KSU FKMP

Manunggal. Selain itu, dokumen resmi tersebut juga berfungsi

se bagai dasar untuk mengembangkan koperasi dengan berbagai

pengawasan dari pihak-pihak terkait. Pengawasan ini sangat

penting guna mendukung transparansi dan akuntabilitas koperasi

beserta seluruh kegiatannya. Koperasi merupakan lembaga berbadan

hukum, maka pertanggungjawaban terhadap hukum harus

dilaksanakan.

Kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal

Eksternalitas positif dan negatif

PT JMI membentuk 9 Koperasi sebagai salah satu program

community development-nya. Salah satu koperasi yaitu FKMP

Manunggal di Desa Karangwuni dan dianggap paling berhasil

karena kegiatannya berjalan dan berkembang. Koperasi FKMP

Manunggal mempunyai izin kerjasama dengan pertambangan.

Pada awal pembentukan PT JMI, sudah terjadi kesepakatan antara

masyarakat dengan JMI bahwa semua pekerjaan proyek PT. JMI

yang bisa dikerjakan oleh masyarakat Karangwuni akan dikerjakan

oleh masyarakat, hal ini menjadi komitmen pemberian pekerjaan

subkontrak mulai dari proses pembangunan PT JMI. Subkontrak

yang menjadi kegiatan Koperasi FKMP Manunggal diantaranya:

1. Menjadi pemasok barang (material, kayu, batu-bata, split dll.)

pada proyek pembangunan Pilot Plan PT JMI.

2. Mengerjakan proyek pembangunan portal/pos keamanan di

Pilot Plan PT. JMI.

3. Program penyiraman jalan menuju Pilot Plan PT JMI.

4. Pelatihan pembuatan pagar pracetak (beton pracetak) dan

pembuatannya.

5. Menggunakan jasa catering dari ibu-ibu PKK dan persewaan

alat untuk acara-acara PT JMI.

58

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Selain itu, masyarakat yang kehilangan lahan diberikan kesempatan

untuk memanfaatkan lahan penghijauan yang terletak di

selatan jalan Pilot Plant PT. JMI untuk bertani. Koperasi ini mendapat

dukungan dari Pemerintah Kabupaten Kulon Progo melalui Dinas

Koperasi dan UMKM dan Dinas ESDM. Dinas Koperasi dan

UMKM Kabupaten Kulonprogo memberikan pendampingan pada

koperasi dan menawarkan dana hibah kepada koperasi untuk

me nunjang upaya pengembangan Koperasi FKMP Manunggal.

Dinas ESDM memberikan pendampingan dan pemantauan pada

pekerjaan subkontrak. Di wilayah desa Karangwuni terdapat juga

pengerjaan proyek pelabuhan Tanjung Adikarta, ada rencana

pengembangan WASERDA (Warung Serba Ada) dan potensi ini

bisa dimanfaatkan oleh koperasi.

Berbagai dampak positif keberadaan Koperasi FKMP

Manung gal, merupakan eksternalitas positif. Namun demikian,

ter dapat beberapa eksternalitas negatif dilihat dari aspek internal

dan eksternal. Secara internal, eksternalitas negatif berupa ketidak

percayaan terhadap koperasi, kurangnya sumber daya

manusia, perubahan mode of production, dan status kepemilikan

lahan. Beberapa warga masyarakat Karangwuni tidak percaya

terhadap koperasi karena sebelumnya pernah didirikan koperasi

namun macet. Kekurangan tenaga dalam menjalankan pekerjaan

subkontrak menjadi tantangan bagi Koperasi FKMP Manunggal

karena para anggota sudah bekerja di sektor lain. Kondisi ini

memaksa koperasi untuk mencari tenaga kerja dari luar, bahkan

menolak beberapa pekerjaan. Perubahan mode of production dari

semula bertani menjadi pekerja di sektor jasa proyek juga menuai

gejolak pada masyarakat. Masyarakat membutuhkan waktu untuk

beradaptasi dengan pekerjaan yang baru. Mereka yang masih ingin

bertani, bisa menyewa lahan yang telah mereka jual kepada PT

JMI. Sementara itu, secara eksternal, Koperasai FKMP Manunggal

belum bisa bekerjasama dengan koperasi di sembilan desa lainnya

karena koperasi yang lain belum dikelola dengan baik.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

59


Relasi Aktor-Struktur

Didalam relasi antara aktor dan struktur, ada kemungkinan

munculnya innovative institution. Aktor adalah seseorang dan

segala atribut yang ada pada dirinya, sedangkan struktur adalah

eksternalitas atau kondisi diluar diri individu yang dapat direspon

oleh aktor yang dapat menangkap maksud dan memanfaatkan

peluang yang tersedia pada ruang eksternalitas aktor kemudian

menghasilkan innovative institution. KSU FKMP Manunggal merupakan

di inisiasi oleh PT JMI. Inovative institution yang dimaksud

disini bukan koperasi yang di inisisasi oleh PT JMI melainkan

koperasi yang sudah dimodifikasi oleh aktor-aktor cerdas yakni

pengurus dan pengelola koperasi sehingga koperasi sebagai

lembaga ini bisa beroperasi dan berdampak positif bagi masyarakat

dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Berikut bagan relasi

aktor-struktur yang terjadi KSU FKMP Manunggal sebagai institusi

inovatif.

Gambar 4. Bagan Relasi Struktur-Aktor KSU FKMP Manunggal

Discourse: hilangnya

matapencaharian petani

lahan pantai, dampak

alih fungsi lahan

structure

Networks:

PT JMI,

Pemkab KP

Institutional Opportunity:

• PT JMI mendirikan 9 koperasi

• Pekerjaan subkontrak dari PT JMI

• Masyarakat Karangwuni pro penambangan

Motivasi:

Alih profesi dan

pemberdayaan

masyarakat

terdampak tambang

Knowledge:

Pengetahuan

perkoperasian dan

pengalaman

berorganisasi

Relationship:

Dinkop, Tim Lokal,

innovative

institution:

Koperasi

FKMP

Manunggal

Modification:

Pengurus melakukan

inovasi terhadap koperasi

bentukan PT JMI

outcome:

Pemberdayaan

masyarakat

actor

(Sumber: interpretasi data menggunakan bagan IION).

60

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Pada wilayah stuktur eksternalitas aktor yang ada adalah alih

fungsi lahan pertanian lahan pantai menjadi pilot project pertambangan

pasir besi. Hal ini menyebabkan hilangnya matapencaharian

petani lahan pantai dan memerlukan matapencaharian baru.

Transisi matapencaharian dan usaha pemberdayaan masyarakat

menjadi motivasi untuk mengembangkan fungsi koperasi. Diskursus

yang terjadi adalah bagaimana upaya mengatasi transisi

matapencaharian petani lahan pantai untuk menjamin keberlanjutan

hidupnya dan meminimalisir dampak yang terjadi

akibat alih fungsi lahan. Nerworks atau jaringan di wilayah struktur

yang ada adalah PT JMI dan pemerintah Kabupaten Kulon Progo.

Institutional opportunity atau kesemapatan institusi yang tersedia

adalah: (1). PT JMI mendirikan 9 Koperasi di wilayah kontrak

karya. (2). Adanya pekerjaan subkontrak dari PT JMI dan sudah

menjadi komitmen perusahan untuk menggunakan tenaga kerja

lokal selama masih mampu mengerjakan, jikalau belum mampu

maka ada upaya seperti pelatihan dan peningkatan kapasitas dan

kompetensi tenaga kerja lokal. Tidak hanya tenaga kerja namun

juga memanfaatkan sumber daya lokal. (3). Adanya dukungan dari

masyarakat desa Karangwuni karena mereka sudah pro terhadap

penambangan pasir besi.

Dari wilayah internal aktor, wiralembagawan memiliki stock

of knowledge tentang manajemen, perkoperasian, dan pengalaman

organisasi yang dapat diterapkan untuk pengorganisasian masyarakat.

Selain pengetahuan, aktor juga mempunyai relasi dengan

tim lokal sebagai bagian dari PT JMI yang berasal dari masyarakat

desa Karangwuni. Relasi lainnya adalah dinas koperasi terutama

pendamping yang sangat mendukung beroperasinya koperasi.

Dengan kapasitas yang dimiliki aktor tersebut, maka sang aktor

mampu menerjemahkan situasi eksternalitas dengan mengambil

langkah modifikasi kegaitan koperasi. Akumulasi dari situasi

eksternalitas yakni pada wilayah struktur dan situasi internal

aktor mampu menghasilkan inovative institution yakni Koperasi

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

61


Serba Usaha Forum Komunikasi Mayarakat Pesisir (KSU FKMP)

Manunggal. Outcome atau luaran dari adanya intitusi tersebut

adalah pemberdayaan masyarakat.

Kapasitas Wiralembagawan

Kewiralembagaan FKMP Manunggal hanya bisa dicipta kan

oleh aktor yang memiliki kapasitas sebagai seorang wiralem bagawan

(entrepreneur). Seorang wiralembagawan dibentuk oleh

beberapa aspek, yakni sumberdaya manusia, modal sosial, dan

keterampilan sosial. Aspek-aspek tersebut saling berinteraksi di

dalam lingkungan sosial wiralembagawan dan terinstitusionalisasi

menjadi prasyarat yang harus ada pada diri wiralembagawan.

Berikut interpretasi kapasitas wiralembagawan yang dimiliki olah

pengurus KSU FKMP Manunggal.

Sumberdaya manusia.

Pelaksana utama manajemen KSU FKMP Manunggal adalah

ketua dan bendahara. Ketua koperasi dijabat oleh Bapak Sularso.

Beliau memiliki latar belakang pengetahuan yang digunakan sebagai

bekal mengelola koperasi. Penagalamannya sebagai pensiunan staf

manajemen rumah sakit di RSUD Wates sangat membantu dalam

manajemen koperasi. Sementara itu, bendahara koperasi adalah

Bapak Suratmo. Latar belakang pendidikannya di SMA jurusan

IPS, pengalaman di berbagai organisasi kemasyarakatan menjadi

modal awal sebagai pengurus koperasi. Pengetahuan tersebut semakin

meningkat dengan adanya pengalaman mengikuti pelatihan

akuntansi perkoperasian yang diselenggarakan oleh Dinas Koperasi

dan UMKM Kabupaten Kulon Progo pada tanggal 23 – 27 April 2012.

Modal Sosial

Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan

norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu

kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama

62

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


diantara mereka (Fukuyama dalam Soetomo, 2013:86). Modal sosial

menjadi efektif ketika didukung oleh kesadaran kolektif yang

dapat memunculkan kepentingan bersama dan mengesampingkan

kebutuhan individu. Modal sosial dapat menjadi energi bagi

tindakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama. (Soetomo,

2012:23). Kepercayaan (trust) menjadi komponen utama dalam

modal sosial.

Keberhasilan KSU FKMP Manunggal tidak lepas dari kedasaran

kolektif dan rasa saling percaya pengurus dan anggota

nya. Selama ini, kepercayaan terhadap kinerja pengurus

menjadi motivasi anggota untuk bergabung dengan koperasi. Di

samping itu, kesadaran kolektif pengurus dan anggota koperasi

muncul karena dihadapkan pada tantangan yang sama, yaitu

ada nya alih fungsi lahan pertanian menjadi tambang pasir

besi. Institusi berbentuk koperasi dipandang dapat mengatasi

persoalan pergantian pekerjaan dan pemberdayaan masyarakat.

Para aktor dan masyarakat mengorganisir diri untuk tergabung

dalam koperasi bentukan PT JMI. Berbagai kegiatan KSU FKMP

Manunggal bermanfaat bagi masyarakat Karangwuni, terutama

yang terdampak penambangan. Inilah mekanisme asas resiprositas

di dalam KSU FKMP Manunggal. Selain itu, koperasi menjadi

jembatan komunikasi antara warga dengan PT JMI.

Modal sosial berupa jaringan diwujudkan melalui membangun

6 buah subunit koperasi di tingkat dusun. Masing-masing unit

di dusun mempunyai skema pertemuan yang berbeda, namun

memiliki fungsi yang sama sebagai sebuah forum silaturahmi,

diseminasi kegiatan koperasi, informasi pekerjaan subkontrak, dan

kegiatan simpan pinjam. Ini menunjukkan bahwa kesadaran kolektif

sengaja dipupuk guna memperkuat modal sosial yang dimiliki.

Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial yang dimiliki aktor berupa kemampuan

membangun persepsi sosial, kemampuan beradaptasi, kemampuan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

63


mempengaruhi orang lain dan manajemen pengaruh/kesan.

Koperasi bisa berkembang karena masyarakat Karangwuni peduli

terhadap koperasi. Kepedulian ini tidak semata-mata didapat begitu

saja, Koperasi FKMP Manunggal berhasil merubah persepsi warga

dan meyakinkan masyarakat akan fungsinya. Fungsi dari koperasi

ini menjadi jembatan antara masyarakat dengan PT JMI. Amanah

ini diemban oleh pengurus koperasi untuk menjalin hubungan baik

dengan PT JMI, menjaga komunikasi, memperjuangkan pekerjaan

subkontrak, menjalankan serta mengembangkan koperasi. Ketika

kegiatan 8 koperasi yang lain vakum dan beberapa mengalami

disfungsi, Koperasi FKMP Manunggal tetap berjalan dan

memberikan manfaat bagi masyarakat. Praktik baik ini berhasil

membangun persepsi positif masyarakat Karangwuni terhadap

koperasi. Persepsi positif ini penting guna mendapatkan dukungan

dari masyarakat untuk mewujudkan keberlanjutan koperasi.

Di sisi lain, kesamaan nasib sebagai masyarakat terdampak

rencana penambangan pasir besi menjadikan solidaritas masyarakat

semakin kuat. Hal ini mempermudah adaptasi sosial masyarakat

terhadap koperasi. Pengurus koperasi selalu berupaya

me ngembangkan koperasi dan ‘unjuk gigi’ atas keberhasilankeberhasilan

koperasi. Strategi ini digunakan untuk mempengaruhi

masyarakat supaya tergabung dalam koperasi. Kemampuan

mempengaruhi ditunjukkan oleh koperasi melalui keberhasilannya

melakukan negosiasi dengan PT JMI dalam mendapatkan

pekerjaan-pekerjaan subkontrak, simpan pinjam, dan sebagai pintu

utama untuk warga untuk berinteraksi dengan PT JMI. Manajemen

pengaruh atau kesan dijalankan dengan cara berusaha menjaga

kepercayaan masyarakat dan usaha mengembangkan koperasi

agar semakin bermanfaat dan berkontribusi secara luas.

Entrepreneurial Task KSU FKMP Manunggal

Keberadaan PT JMI diharapkan dapat meningkatkan perekonomian

warga masyarakat. Usaha pemberdayaan masyarakat di-

64

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


lakukan agar masyarakat terdampak tidak hanya menjadi penonton

tetapi bisa tumbuh bersama, meningkat kapasitasnya

dan memiliki daya untuk berkembang serta merespon masalah

yang dihadapinya. Sumber saya manusia di Desa Karangwuni

tersedia namun belum memiliki kompetensi yang memadai untuk

mendukung kegiatan pertambangan. Hal ini sudah direspon oleh PT

JMI dengan memberikan pelatihan kepada masyarakat contohnya

pada pembuatan beton pracetak yang difasilitasi pelatihan dengan

menggandeng kerjasama dengan pihak yang memiliki kompetensi

dibidangnya. Hal ini mendukung upaya keterliabtan masyatrakat

dalam pekerjaan subkontrak.

Melihat situasi eksternalitas yang ada di Desa Karangwuni,

aktor pengelola koperasi mengembangkan jaringan agar kegiatan

koperasi bertambah dan dapat bermanfaat lebih banyak kepada

masyarakat. Aktor disini mampu melihat kemampuan dan

sumberdaya yang tersedia di masyarkaat dan mampu menya lurkannya

pada kegaitan yang tepat sehingga mendatangkan peningkatan

perekonomian warga. sumberdaya yang tersedia di masyarakat

antara lain: jasa penyedia material bangunan, adanya pekerja

bangunan, jasa catering ibu-ibu pkk, kemampuan berternak, dll.

koperasi berhasil menjalin relasi dan membangun komitmen

bersama PT JMI bahwa semua pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh

warga maka harus diberikan kepada warga.

Koperasi yang pada awalnya dibentuk untuk membantu meningkatkan

UMKM dengan menyediakan akses tambahan modal

melalui simpan pinjam, dimodifikasi menjadi lembaga yang berfungsi

mengoordinir atau memfasilitasi berbagai pekerjaan subkontrak.

Selain menambah kegiatan koperasi, hal ini dilakukan

untuk merealisasikan komitmen pemberdayaan masyarakat.

Koperasi menjadi pintu sekaligus penghubung antara masyarakat

dengan PT JMI. Jadi, modifikasi pada innovative institution ini

me liputi penambahan kegiatan untuk usaha pemberdayaan

masyarakat, menjadi sarana penghubung antara masyarakat

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

65


dengan PT JMI, dan juga menjadi agen kontrol komitmen antara

PT JMI dengan masayrakat. Anggota koperasi meruapakn

warga terdampak dan koperasi mampu menjadi ruang untuk

berkomunikasi. Semuanya dilakukan untuk menjalin hubungan

ynag harmonis sehingga dampak positif atas keberadaan PT JMI

dapat dirasakan manfaatnya untuk masyarakat luas.

Berbagai upaya tersebut merupakan entrepreneurial task

(kerja wiralembagawan) yang mampu memodifikasi sebuah

lem baga dan mempu memberikan dampak positif terhadap

penanganan masalah yang ada. Aktor wiralembagawan disini

ada lah pengurus KSU FKMP Manunggal terutama bendahara

dan ketua. Jadi, kerja wiralembagawan yang terjadi pada lembaga

KSU FKMP Manunggal adalah modifikasi. Modifikasi pada fungsi

lem baga dilakukan dengan ekspansi kegiatan koperasi melalui

pengembangan kerjasama dengan berbagai pihak.

Tantangan Pengembangan Kewiralembagaan

Praktik kewiralembagaan membutuhkan prasyarat-prasyarat

berupa kapasitas wiralembagawan dan kerja wiralembagawan

(entrepreneurial task). Dibutuhkan proses dan waktu yang cukup

lama untuk dapat menghasilkan inovasi-inovasi kelembagaan.

Demikian halnya dengan praktik kewiralembagaan di KSU

FKMP Manunggal. Eksternalitas konflik pro dan kontra terhadap

rencana penambangan pasir besi, menjadi tantangan utama dalam

menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi didalam koperasi.

Selain itu, KSU FKMP Manunggal dihadapkan dengan beberapa

tantangan dalam mengembangkan kewiralembagaan, yaitu

minimnya sumberdaya wiralembagawan, sulitnya melakukan

institusionalisasi kelembagaan, pragmatisme masyarakat pesisir

terhadap masuknya PT JMI, dan yang paling berat adalah tantangan

untuk menciptakan keberlanjutan.

66

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Minimnya Sumberdaya Wiralembagawan

Salah satu faktor kunci penentu berjalannya sebuah lembaga

adalah sumberdaya. Sumberdaya kewiralembagaan yang dimaksud

adalah sumber daya manusia atau wiralembagawan. Wiralembagawan

harus mampu merespon ekternalitasnya dengan

me manfaatkan pengetahuan dan relasi yang ia miliki untuk

melakukan sesuatu hal yang bermanfaat untuk dirinya sendiri dan

masyarakat di sekitarnya. Dari 9 koperasi yang dibentuk oleh PT

JMI, hanya 1 koperasi yang mampu bejalan sampai saat ini. Hal

itu tidak lepas dari peran pengelolanya yang mempunyai kapasitas

sumber daya manusia yang unggul. Pengurus utama koperasi, yaitu

Bapak Suratmo dengan latar belakang aktivis organisasi dan Bapak

Sularso yang mempunyai latar bekakang manajemen rumah sakit

mampu menerapkan pengetahuannya dalam mengelola koperasi

dan mengembangkannya menjadi praktik kewiralembagaan.

Meskipun demikian, kualitas sumber daya manusia pengelola

KSU FKMP Manunggal masih minim. Pengurus KSU FKMP

Manunggal dipilih oleh anggota berdasarkan ketokohannya di

dalam kehidupan sosial masyarakat, bukan dilihat dari kompetensi

yang dimiliki, misalnya pengetahuan tentang perkoperasian atau

akuntansi. Kondisi ini merupakan ekses dilakukannya pemilihan

pengurus secara demokratis oleh anggota koperasi. Pengurus juga

dipilih atas dasar relasinya dengan PT JMI dan kemampuannya

melakukan lobi, baik dengan PT JMI maupun dengan dinas

terkait. Bapak Suratmo selaku bendahara KSU FKMP Manunggal

pernah mengikuti pelatihan tentang akuntansi perkoperasian dari

Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Kabupaten Kulon

Progo. Di sisi lain, beberapa warga Desa Karangwuni memiliki

latar belakang pendidikan dan kompetensi yang cukup memadai.

Persoalannya, ia tidak mampu menggerakkan masyarakat dan

tidak mempunyai semangat volunterisme seperti yang dimiliki oleh

Bapak Suratmo dan Bapak Sularso. Disinilah letak keunikan pada

kapasitas kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal. Pengetahuan,

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

67


latar belakang pendidikan dan kmpetensi menjadi prasayarat kedua

setelah kemampuan menggerakkan masyarakat dan ketokohan yang

melekat pada wiralembagawan. Perbedaan kapasitas sumber daya

manusia di masing-masing subunit juga menjadi salah satu kendala

dalam pengembangan kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal.

Dilihat dari sisi manajemen koperasi, minimnya sumberdaya

manusia wiralembagawan ini berdampak pada persoalan

administratif, seperti kendala dalam penyusunan laporan keuangan.

Ini terjadi pada saat menyusun dokumen-dokumen RAT

(Rapat Anggota Tahunan). Persoalan RAT ada pada belum adanya

pemisahan neraca pada kegiatan yang berbeda. Pelatihan

dalam bidang akuntansi perkoperasian sangat diperlukan dan

tidak cukup hanya satu kali saja. Selain itu, dibutuhkan regenerasi

sumberdaya manusia untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan

koperasi. Regenerasi terutama dari kalangan pemuda supaya

usaha yang sudah dilakukan saat ini tidak berhenti di tengah

jalan ketika pengurus koperasi saat ini tidak lagi bisa bertugas.

Tentunya pemuda dengan kapasitas yang sama dengan yang

dimiliki pengurus koperasi saat ini.

Sulitnya Institusionalisasi Kelembagaan

Regenerasi dibutuhkan untuk mempersiapkan aktor-aktor

yang siap untuk melanjutkan pengelolaan KSU FKMP Manunggal.

KSU FKMP Manunggal sudah melibatkan peran pemuda di dalam

kepengurusannya, sebagai sekretaris dan pengawas lapangan.

Namun, peran pemuda tidak sebesar peran golongan tua. Dalam

hali ini, budaya Jawa yang mengunggulkan dan mendahulukan

peran golongan tua dengan anggapan mempunyai kematangan

dalam berpikir dan mempunyai banyak pengalaman juga turut

andil. Ini yang terjadi di dalam struktur kepengurusan KSU FKMP

Manunggal, yaitu mendudukkan golongan tua pada struktur atas.

Dampaknya adalah kurangnya institusionalisasi kelembagaan di

kalangan pemuda.

68

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Tantangan institusionalisasi kelembagaan juga pada rendahnya

kepedulian masyarakat terhadap kepengurusan koperasi.

Partisipasi masyarakat hanya sebatas pada mengikuti kegiatan koperasi,

seperti simpan pinjam dan menjadi pekerja pada pekerjaanpekerjaan

subkontrak dari PT JMI. Volunterisme masyarakat untuk

menjadi pengurus koperasi belum muncul. Masyarakat hanya

menjadi penikmat program-program koperasi belum berupaya

mempengaruhi kebijakan yang ada di koperasi atau berperan

aktif dalam membantu mengelola koperasi. Selain itu, beberapa

masyarakat Desa Karangwuni yang tidak terdampak penambangan

bersikap apatis dan memiliki kepercayaan yang rendah terhadap

koperasi. Kondisi ini juga terjadi pada awal berdirinya koperasi,

dimana hampir semua masyarakat Desa Karangwuni apatis dan

pesimis terhadap keberadaan koperasi. Keberhasilan koperasi

mendapatkan pekerjaan-pekerjaan subkontrak dari PT JMI menjadi

bukti awal bahwa koperasi mampu memberdayakan masyarakat.

Setelah melihat bukti ini, baru masyarakat mau berpartisipasi

menjadi anggota koperasi. Kepercayaan dan partisipasi masyarakat

menjadi energi untuk penguatan kelembagaan.

Komunikasi antara pengurus koperasi dengan masyarakat

luas Desa Karangwuni juga menjadi tantangan. Tidak semua

warga Desa Karangwuni mengetahui kegiatan koperasi dan perkembangannya.

Komunikasi dan koordinasi antara pengurus

koperasi dengan kepala dusun dan kepala desa juga masih minim.

Ketika arus komunikasi terjalin baik, maka ruang partisipasi dan

kepedulian akan semakin meluas.

Pragmatisme Masyarakat

Ganti untung atas pembebasan lahan pertanian masyarakat

yang ditambang menjadikan masyarakat memiliki pemikiran

pragmatis. Ganti untung yang didapat dari pembebasan lahan

cukup besar dan menyebabkan masyarakat menjadi lebih konsumtif.

Besaran ganti untung pembebasan lahan cukup fantastis, bahkan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

69


ada yang mencapai Rp. 250.000.000,00 sehingga dapat melakukan

alih profesi sendiri dari petani lahan pantai menjadi wiraswasta.

Meningkatnya orientasi masyarakat terhadap uang semakin

meningkatkan sikap individualistis dan menurunkan voluntarisme

masyarakat terhadap pengelolaan institusi sosial kemasyarakatan.

Sejak awal berdiri, PT JMI sudah memberikan berbagai

program community development yang cenderung bersifat karitataif.

Ini menyebabkan masyarakat tergantung pada program community

development PT JMI. Banyak masyarakat yang mengajukan proposal

ke PT JMI dan diberikan program. Kondisi ini juga menjadikan

masyarakat berpikir prakmatis. Di samping itu, komitmen PT

JMI untuk memberikan kesempatan kepada anggota Tim Lokal

menjadi karyawan PT JMI, menjadikan para anggota Tim Lokal

mengandalkan janji tersebut. Pragmatisme masyarakat Desa

Karangwuni ini sengaja diciptakan melalui bantuan-bantuan

dan kemudahan-kemudahan yang dimiliki oleh elit-elit tertentu.

Pragmatisme ini menjadi tantangan besar bagi kelembagaan KSU

FKMP Manunggal.

Keberlanjutan

KSU FKMP Manunggal ini diharapkan menjadi lembaga yang

mampu memberdayakan masyarakat Desa Karangwuni secara

berkelnjutan. Sampai saat ini KSU FKMP Manunggal telah berhasil

menciptakan keberlanjutannya, jika dibandingkan dengan delapan

koperasi inisiasi PT JMI lainnya yang mengalami stagnasi, bahkan

vakum. Kemampuan KSU FKMP Manunggal dalam menjalin relasi

dengan berbagai stakeholder menjadi peluang keberlanjutan usaha dan

kelembagaannya. Selain bekerjasama dengan PT JMI, KSU FKMP

Manunggal menjalin kerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan

Provinsi DIY. Rencananya, KSU FKMP Manunggal akan bekerjasama

dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY untuk mendirikan

waserda (warung serba ada) jika Pelabuhan Tanjung Adikarta di

sebelah timur Pantai Glagah Indah sudah beroperasi. Meskipun

70

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


demikian, keberlanjutan kelembagaan KSU FKMP Manunggal masih

menjadi tantangan besar karena sejak tahun 2006 sampai saat ini, PT

JMI belum beroperasi, masih dalam tahap konstruksi.

Penutup

Penelitian terhadap kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal

ini menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, program commu

nity development berupa inisiasi KSU FKMP Manunggal

oleh PT JMI yang juga sebagai peredam konflik pro dan kontra

terhadap rencana penambangan pasir besi, secara tidak langsung

mendorong lahirnya praktik kewiralembagaan. Kewiralembagaan

ini tidak muncul begitu saja, namun muncul dari aktor-aktor lokal

yang melihat eksternalitas konflik dan keberadaan PT JMI sebagai

peluang pemberdayaan masyarakat. Praktik kewiralembagaan ini

berhasil menumbuhkan kerja-kerja inovatif yang menguntungkan

kedua belah pihak yang sebelumnya berkonflik, yaitu masyarakat

Desa Karangwuni dan PT JMI. Wiralembagawan memaknai konflik

bersifat konstruktif. Ini berbeda dengan pemaknaan konflik oleh

masyarakat kebanyakan, yang memandang konflik sebagai suatu

hal yang bersifat destruktif.

Kedua, wiralembagawan mampu memodifikasi program community

development yang pada awalnya cenderung bersifat karitatif

menjadi program pemberdayaan masyarakat. Modifikasi ini

dilakukan dengan cara merubah orientasi PT JMI yang menjadikan

koperasi sebagai alat untuk menyalurkan program. Berbeda

dengan wiralembagawan yang menempatkan koperasi sebagai

institusi pelaksana pemberdayaan masyarakat.

Ketiga, entrepreneurial task yang dilakukan oleh wiralembagawan

tidak hanya berorientasi untuk menghasilkan uang,

tetapi juga membangun institusi koperasi yang solid dan berkelanjutan.

Upaya ini menjadi tantangan tersendiri bagi KSU FKMP

Manunggal karena sebagian masyarakat memiliki pandangan lain,

bahwa koperasi sebagai wadah penyalur bantuan dari PT JMI.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

71


Keempat, keberhasilan kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal

tidak lepas dari peran tiga sektor yang ada dalam masyarakarat

sipil yaitu negara, sektor swasta dan civil society organization.

Dinas Koperasi dan UMKM serta Bagian Pertambangan Dinas

Perindustrian Perdagangan dan ESDM merupakan representasi

dari negara yang selalu mendampingi dan memonitoring pengembangan

koperasi. PT JMI sebagai inisiator sekaligus donor

me representasikan sektor swasta. Sementara itu, organisasi

kemasyarakatan direpresentasikan oleh Tim Delapan dan Tim

Lokal yang menjadi cikal bakal aktor-aktor wiralembagawan

KSU FKMP Manunggal. Sinergi peran ketiga aktor tersebut

dapat mendukung upaya keberlanjutan koperasi di masa yang

akan datang. Harapannya, ketika PT JMI selesai melakukan

penambangan pasir besi, KSU FKMP Manunggal telah berhasil

menjadikan masyarakat Karangwuni berdaya dan mandiri, tanpa

mengalami ketergantungan terhadap bantuan program community

development atau program corporate social responsibility (CSR) dari

PT JMI.

Di samping itu, hasil penelitian ini merekomendasikan saran

bagi KSU FKMP Manunggal, Pemerintah Daerah Kabupaten

Kulon Progo, PT JMI, dan civil society organization (CSO), dan

masyarakat Desa Karangwuni dalam mendorong pengembangan

kewiralembagaan yang dikembangkan oleh KSU FKMP Manunggal.

Institusi inovatif KSU FKMP Manunggal perlu melakukan

promosi untuk mengakselerasi upaya pengembangan koperasi.

Promosi dapat dilakukan melalui mengikuti pameran-pameran

produk yang dihasilkan koperasi, mengikuti berbagai perlombaan

di bidang perkoperasian atau UMKM, berpartisipasi dalam jejaring

koperasi lainnya, dan melakukan promosi melalui website dan

media sosial.

Di sisi lain, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo dapat

memfasilitasi KSU FKMP Manunggal melalui dukungan dana,

kegiatan pendampingan, monitorong dan evaluasi serta membuat

72

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


kebijakan yang dapat mendukung keberlanjutan. Kebijakan seperti

peraturan daerah dapat mengakselerasi pengembangan KSU

FKMP Manunggal dan institusi inovatif sejenis yang berkembang

di Kabupaten Kulon Progo, baik dari sisi administratif maupun

operasional, sekaligus menjamin keberlanjutannya.

PT JMI perlu merubah orientasinya dalam pemberdayaan masyarakat.

Ini dapat dilakukan dengan cara menempatkan koperasi

bentukannya sebagai pemantik munculnya aktor-aktor lokal

dan kemudian mengintitusionalisasikannya. Tidak hanya menjadikannya

sebagai institusi penyalur program-program community

development yang selama ini dimanfaatkan untuk meredam konflik.

Praktik baik di dalam KSU FKMP Manunggal dapat dijadikan

sebagai raw model untuk menghidupkan delapan koperasi bentukan

PT JMI lainnya yang selama ini mengalami disfungsi atau vakum.

Pemetaan sosial dibutuhkan untuk mengidentifikasi aktor-aktor

potensial yang memiliki kapasitas sebagai wiralembagawan.

Selanjutnya, dapat dilakukan mobilisasi terhadap sumber daya

wiralembagawan ke dalam institusi koperasi yang sudah ada.

Tentu saja selalu dibutuhkan mekanisme fasilitasi, monitoring dan

evaluasi.

Paska konflik rencana penambangan pasir besi, banyak bermunculan

CSO baik dari masyarakat lokal maupun dari luar.

Diharapkan keberadaan CSO ini memberikan dukungan terhadap

kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal, meskipun tidak

meninggalkan atributnya dari diskursus pro dan kontra rencana

penambangan pasir besi. Advokasi dari CSO sangat dibutuhkan di

dalam mengembangkan dan mewujudkan keberlanjutan koperasi.

Penguatan dari sisi advokasi sangat dibutuhkan supaya para

pemangku kepentingan lebih ramah dan mau menyediakan akses

bagi pengembangan KSU FKMP Manunggal.

Penerimaan masyarakat Desa Karangwuni terhadap rencana

penambangan pasir besi tidak bisa lepas dari pengaruh KSU

FKMP Manunggal. Secara umum, kondisi ini membuktikan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

73


meningkatkanya kepercayaan masyarakat Desa Karangwuni

terhadap KSU FKMP Manunggal. Ini juga mengindikasikan

tumbuhnya kepercayaan masyarakat Desa Karangwuni terhadap

PT JMI. Kompensasi ganti untung juga menjadi salah satu alasannya.

Maka dari itu, masyarakat Desa Karangwuni diharapkan dapat

mendukung pengembangan koperasi terlepas dari kompensasi

ganti untung atau berbagai pekerjaan subkontrak yang dijanjikan

oleh koperasi. Partisipasi masyarakat dalam mengembangkan

koperasi lebih dibutuhkan daripada sekedar mobilisasi kepercayaan.

Masyarakat Desa Karangwuni diharapkan dapat

ber partisipasi dalam kegiatan, pekerjaan sub kontrak maupun

kepengurusan koperasi. Institusi inovatif seperti KSU FKMP

Manunggal tidak dapat berkelanjutan tanpa adanya regenerasi

aktor wiralembagawan dari masyarakat lokal itu sendiri.

Kelima rekomendasi tersebut tidak dapat berjalan sendirisendiri.

Dibutuhkan upaya yang sinergis dari masing-masing

stakeholders untuk mewujudkan keberlanjutan KSU FKMP

Manung gal sebagai praktik baik kewiralembagaan (institutional

entrepreneurship) yang lahir dan berkembang dalam nuansa konflik

pro dan kontra terhadap rencana penambangan pasir besi.

Daftar Pustaka

Battilana, Julia. 2004. Foundations for a Theory of Institutional

Entrepreneurship: Solving the Paradox of Embedded Agency.

Working Paper, Fountainbleau: INSEAD.

usworo, Hendrie Adji. 2015. Framing Poverty. An Institutional

Entrepreneurship Approach on Poverty Alleviation Through

Tourism. Doctoral Thesis, Groningen: Rijksuniversiteit Groningen.

Pacheco, Desiree F., Jeffrey G. York, Thomas J. Dean, and Saras

D. Sarasvathy. 2010. The Coevolution of Institutional Entrepreneurship:

A Tale of Two Theories, Journal of Management.

74

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Soetomo. 2012. Keswadayaan Masyarakat: Manifestasi Kapasitas

Masyarakat untuk Berkembang secara Mandiri. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Soetomo. 2013. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Tang, J. 2010. How Entrepreneurs Discover Opportunities in China: An

Institutional View, Asia Pacific Journal of Management, 27 (3):461-

479.

Tribunjogja.com. 2015. ”Penolak Pasir Besi di Karangwuni Kulon

Progo Kini Berubah Pikiran”, Tribun Jogja, 22 Maret.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

75


76

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Pluralisme Kesejahteraan:

Kesejahteraan dalam Kerangka Pikir Negara,

Bisnis dan Masyarakat

Galih Prabaningrum 1

Pendahuluan

Dalam tiga dekade terakhir, masyarakat di negara berkembang,

termasuk di Indonesia, mengalami fase perkembangan penting

dalam mewujudkan kesejahteraannya. Berbagai studi (Barrientos

2009; Davis 2001; Kwon 1997 dan Sumarto 2013) menunjukkan

bahwa negara berkembang sedang mengalami suatu transformasi

rezim kesejahteraan (welfare regime) yang memberikan kesempatan

yang lebih besar bagi setiap warga negara untuk mendapatkan

kesejahteraan. Transformasi ini didorong oleh perubahan struktur

politik-ekonomi yang merupakan fenomena global. Sebagian

besar negara berkembang mengalami kesulitan ekonomi yang

diakibatkan oleh krisis ekonomi global (Merlevede 2003; McMillan

dan Naughton 1992; Wei 1997). Kondisi ini mendorong mereka

untuk meminjam bantuan asing pada Bank Dunia yang pada

gilirannya memaksa negara-negara peminjam bantuan asing

tersebut harus menjalani reformasi struktur politik-ekonomi. Salah

satu implikasi mendasar dari restrukturisasi sistem politik-ekonomi

ini adalah banyak negara berkembang menjalani desentralisasi

sistem politik-ekonomi yang pada satu sisi harus mentransfer

sebagian kewenangan pemerintah pusat pada pemerintah daerah

dan pada saat yang sama memberi ruang yang besar pada sektor

privat untuk terlibat dalam kegiatan sosial-ekonomi.

1 Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas

Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:

galihprabaningrum@gmail.com

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

77


Fenomena ini telah mendorong negara untuk terlibat secara lebih

serius dalam distribusi kesejahteraan. Di Indonesia, fenomena ini

diawali dengan distribusi jaring pengaman sosial (JPS) untuk rumah

tangga miskin pada tahun 1998 (Sumarto 2013; Kaasch, Sumarto dan

Wilmsen 2016). Program JPS ini terdiri atas lima skema perlindungan

sosial yang ditujukan untuk menolong rumah tangga miskin dalam

menghadapi kesulitan ekonomi (Sumarto, Suryahadi dan Widyanti

2010) selama krisis ekonomi yang mulai menghantam perekonomian

Indonesia di tahun 1997 (Thee 2004, 2010). Berawal dari program

JPS itu pemerintah Indonesia kemudian mengembangkan program

penanggulangan kemiskinann (Sumarto 2013). Di bawah program

penanggulangan kemiskinan ini bisa dijumpai empat kluster kategori

program, yaitu perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat,

kredit usaha mikro, dan perumahan yang terkases oleh rumah tangga

miskin (Wilmsen, Kaasch dan Sumarto 2016). Salah satu program di

bawah kluster pertama, yaitu jaminan kesehatan masyarakat yang

sebelumnya bersidat ad hoc telah mengalami perkembangan secara

berarti menjadi jaminan kesehatan nasional (JKN) program yang lebih

sistematis-terinstitutionalisasi (Sumarto, Wilmsen dan Kaasch 2016).

Perkembangan peranan pemerintah Indonesia pasca krisis

ekonomi 1997 ini telah meningkatkan pengeluaran pemerintah

dalam persentase yang cukup tinggi. Di banding pengeluaran pada

periode sebelum krisis ekonomi, pada masa pemerintahan Suharto,

pengeluaran dana pemerintah untuk belanja program perlindungan

sosial mencapai sekitar dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi

(Sumarto 2013). Walaupun peningkatannya cukup signifikan tetapi

nilai presentasenya terhadap produk domestic bruto (PDB) masih

dalam presentase yang memprihatinkan. Pada periode 1994/1995

misalnya, pemerintahan Soeharto hanya mengeluarkan anggaran

sebesar anggaran untuk belanja penanggulangan kemiskinan

sebesar 0,3 persen PDB sementara pada tahun 2005 dan 2006,

misalnya mencapai 0,7 persen dan 1,0 persen terhadap PDB (World

Bank 2012).

78

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Pada saat peranan pemerintah dalam distribusi kesejahteraan

menguat, ini dibarengi dengan peningkatan peranan sektor

privat dalam menyediakan kesejahteraan bagi rumah tangga

miskin. Ini ditunjukkan oleh praktik program tanggung jawab

sosial perusahaan (corporate social responsibility – CSR) yang

mulai berkembang secara pesat pada tahun 2000. Pada tahun

2000, sekeretaris Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kofi Annan

menyerukan kepada pelaku bisnis global untuk berpartisipasi

menyelesaikan masalah kemiskinan kronis global, terutama di

negara-negara berkembang. Pernyataan Kofi Annan ini direspon

positif oleh pelaku bisnis global, yang ditunjukkan dengan realisasi

program CSR.

Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan bahwa program

CSR merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap

perusahaan. Pemerintah telah mengesahkan Undang-undang

perseroan terbatas (UU PT) yang salah satu pasalnya mengatur

tentang pelaksanaan program CSR. Secara lebih detail UU PT

tersebut dijelaskan dalam peraturan pemerintah mengenai CSR

(PP CSR). Untuk memperkuat dorongan merealisasi program CSR,

pemerintah sedang menyiapkan UU CSR. Dalam situasi seperti

ini maka keterlibatan sektor privat dalam distribusi kesejahteraan

menjadi lebih besar. Dalam banyak kasus program CSR

diwujudkan untuk memberikan berbagai bentuk bantuan sosial

yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga

miskin. Selain itu, program CSR juga dilaksanakan dalam bentuk

upaya peningkatan pendapatan rumah tangga melalui program

pengembangan masyarakat (community development).

Dalam kondisi seperti ini peranan komunitas untuk mendistribusikan

kesejahteraan tidak surut. Komunitas masih meniliki

peran penting dalam distribusi kesejahteraan sosial melalui bekerja

sama secara kolektif (collective action) dalam bentuk gotong-royong

(Sumarto 2013). Melalui jaringan sosial (social network) dalam bentuk

gotong-royong, yang dijalin oleh komunitas, anggota komunitas

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

79


melakukan kerja kolektif untuk kepentingan semua anggota

masyarakat. Mereka juga saling memberi pertolongan pada anggota

komunitas pada saat anggota komunitas itu memerlukannya dan

anggota komunitas tersebut memberi pertolongan pada pihak lain

yang telah menolongnya (Sumarto 2013).

Peran multi aktor, yaitu pemerintah, perusahaan dan komunitas

sebagaimana yang dijelaskan di atas dan keterlibatan meraka

dalam distribusi kesejahteraan ini sering disebut sebagai pluralisme

kesejahteraan (welfare pluralism). Pluralisme kesejahteraan muncul

menjadi suatu pendekatan dalam distribusi kesejahteraan pada

saat peranan negara, terutama di negara-negara kesejahteraan

(welfare state) mengalami penurunan. Sebagian dari negaranegara

kesejahteraan di welayah Eropa, Amerika, dan Australia

mengalami kesulitan ekonomi sebagai implikasi dari globalisasi.

Kesulitan ekonomi tersebut telah mengakibatkan pemerintah di

negara-negara tersebut harus memangkas anggaran mereka untuk

membiayai berbagai program distribusi kesejahteraan.

Peningkatan peranan pemerintah dan program CSR di

Indonesia, seharusnya diikuti dengan penurunan angka kemiskinan

dan penurunan indeks ketimpangan atau koefiesean Gini.

Namun, dalam kenyataannya tidak demikian. Grafik di bawah ini

menunjukkan bahwa secara umum dari tahun 2003 sampai dengan

tahun 2015 telah terjadi penurunan baik jumlah penduduk miskin

maupun angka kemiskinan. Ini indikasi yang cukup baik, namun

dalam periode tersebut koefisien Gini mengalami peningkatan

secara tajam. Ini menunjukkan bahwa pengurangan angka

kemiskinan yang sebagian dari itu disebabkan karena distribusi

kesejahteraan yang dilakukan oleh pemerintah dan program

CSR, belum mampu mempersempit kesenjangan kesejahteraan di

antara penduduk yang masuk dalam kategori miskin dan mereka

yang ditermasuk dalam klasifikasi tidak miskin. Ini seharusnya

tidak terjadi karena distribusi kesejahteraan seharusnya mampu

meningkatkan kesetaraan (Goodin et.al.1999).

80

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Artikel ini bertujuan untuk mengkaji peran dan keterlibatan

aktor pelaku distribusi kesejahteraan, yaitu negara, perusahaan,

dan komunitas dalam distribusi kesejahteraan yang akan dilihat

dari perspektif studi kebijakan sosial terutama dari pendekatan

pluralism kesejahteraan. Untuk melihat peran dan keterlibatan ini,

artikel ini akan menjelaskan dari tiga poin penting dalam kajian

pluralism kesejahteraan, yaitu: (1) konsepsi negara, perusahaan,

dan komunitas mengenai kesejahteraan; (2) indikator kesejahteraan

yang digunakan oleh negara, perusahaan, dan komunitas dalam

mengukur kesejahteraan dan (3) upaya yang dilakukan oleh

ketiganya dalam mewujudkan konsep kesejahteraan.

Untuk menjelaskan ketiga poin tersebut, penulis akan menggunakan

pengalaman Kabupaten Sleman sebagai kasus kajian.

Untuk mendapatkan kedalaman analisis, studi ini memfokuskan

analisis di Desa Kalitirto dan Desa Tegaltirto, Kecamatan Berbah.

Di kedua desa tersebut ditemukan distribusi kesejahteraan yang

dilakukan oleh negara, oleh masyarakat, dan oleh perusahaan

swasta (melalui program CSR). Program CSR PT Angkasa Pura

merupakan salah satu program yang cukup besar dan program

yang relatif sistematis dibanding program CSR perusahaan lain

yang berada di Kabupaten Sleman. Dengan mengambil suatu

kasus di mana dijumpai titik temu peran negara, perusahaan,

dan komunitas bisa ditangkap peran, keterlibatan, relasi di antara

mereka dalam distribusi kesejahteraan. Selain itu, bisa juga diketahui

implikasinya pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kajian

artikel ini didasarkan pada dokumen pemerintah dan perusahaan,

berita di media massa, dan data primer. Data primer dihasilkan

melalui obeservasi dan wawancara mendalam dengan pejabat

kabupaten Sleman, pengurus forum CSR Daerah Istimewa

Yogyakarta, manajer CSR perusahaan dan tokoh masyarakat.

Dengan menganalisis data dari multi-sumber diharapkan dapat

diperoleh hasil analisis yang utuh dan mendalam.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

81


Penelitian ini mengambil wilayah studi di tiga aktor, yaitu

negara, perusahaan dan masyarakat. Untuk masyarakat, wilayah

studi yang dipilih yaitu Desa Tegaltirto dan Desa Kalitirto dimana

dua wilayah tersebut merupakan wilayah sub-urban (wilayah

perbatasan antar desa dan kota) yang terletak agak jauh dari

kota Yogyakarta dan berkembang menjadi tujuan/arah kegiatan

masyarakat di wilayah Kecamatan sekitarnya sehingga menjadi

pusat pertumbuhan dan merupakan wilayah sub-urban. Selain

itu, wilayah tersebut merupakan daerah sasaran bagi perusahaan

untuk mengimplementasikan program corporate social responsibility

dan sudah tentu merupakan wilayah yang mendapatkan program

peningkatan kesejahteraan oleh pemerintah, khususnya

pemerintah Kabupaten Sleman.

Kesejahteraan dan Pluralisme Kesejahteraan

Konsep kesejahteraan

Konsep keejahteraan sosial (social welfare) merupakan konsep

yang bersifat multidimensional. Selama ini belum ada konsensus

yang utuh dalam menentukan pengertian konsep tersebut (Alcock,

Erskine dan May 2002). Secara umum, konsep kesejahteraan sosial

bisa diartikan sebagai ‘the condition of faring or doing well’ (Sumner

1996:1). Pengertian kesejahteraan sering dianggap tidak berbeda

dengan konsep kebahagiaan (happiness) (Bruni dan Porta 2007)

dan well-being (Goodin et al. 1999) sehingga konsep kesejahteraan

sering digunakan secara bergantian dengan konsep kebahagiaan

dan well-being (Easterlin 2001). Konsep kesejahteraan bisa dibagi

menjadi dua kategori, yaitu kesejahteraan obyektif (objective

welfare) dan kesejahteraa subyektif (subjective welfare). Dalam kajian

kebijakan publik atau kebijakan sosial, pengertian kesejahteraan

sosial sering merujuk pada pengertian kesejahteraan sosial sebagai

kesejahteraan obyektif. Kesejahteraan obyektif diartikan sebagai

barang atau pelayanan yang bermanfaat untuk meningkatkan

standar hidup seseorang atau sekelompok orang (Goodin et al.

82

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


2008). Konsep kesejahteraan tidak hanya mencakup dimensi

ekonomi tetapi juga mencakup dimensi sosial dan politik. Dalam

hal ini, konsep kesejahteraan dilihat bukan hanya meliputi kondisi

ekonomi dan penghasilan rumah tangga tetapi juga mencakup

kebaikan (benevolence), pertemanan, keadilan (Sumner 1996), modal

sosial, dan partisipasi politik (Alcock, Erskine dan May 2002).

Dari cakupan aspek di atas, secara teoritis, konsep kesejahteraan

mestinya diukur dengan indikator yang bersifat multi-dimensi,

yaitu dimensi ekonomi, sosial, dan politik. Namun demikian

banyak negara berkembang, termasuk Indonesia mengukur kesejahteraan

secara ekonomis. Indikator yang digunalkan oleh

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang

mencakup 24 ukuran dan yang diperkenalkan oleh Badan Pusat

Statistik (BPS) yang terdiri atas 14 ukuran merupakan contoh riil

indikator kesejahteraan berdimensi ekonomi.

Berbeda dengan negara berkembang, negara maju telah

menggunakan indikator multi dimensi. Perkembangan mutakhir

penerapan indikator kesejahteraan multi dimensi telah diadopsi

negara-negara kesejahteraan yang tergabung dalam negara-negara

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).

Pada tahun 2011, negara-negara yang tergabung dalam OECD telah

menggunakan indikator yang mereka sebut sebagai better life indeks

(BLI) yang mencakup beberapa ukuran yang meliputi pendapatan,

pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan, keseimbangan kerja

dan kehidupan sosial (work-life balance), keamanan, jaringan sosial,

kepuasan hidup, dan pelibatan masyarakat (civic engagement).

Sebelum BLI, masyarakat global juga sudah menerapkan indeks

pembangunan manusia (Human Development Index - HDI) yang

diperkenalkan oleh United Nations Development Programs. HDI

dan BLI sebenarnya merupakan turunan dari pendekatan kapasitas

(capability approach) yang dikembangkan oleh Amrtya Sen pada

tahun 1980-an (Gasper 2011). Pendekatan ini melihat kesejahteraan

sebagai suatu entitas yang bersifat multifaset. Pendekatan kapasitas

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

83


memfokuskan pada apa yang bisa orang lakukan dan bisa diraih,

bukan pada apa yang dimiliki.

Pluralisme Kesejahteraan

Konsep pluralisme kesejahteraan berkembang pada tahun

1980an ketika peran negara, terutama yang bisa dikategorikan

sebagai negara kesejahteraan dalam distribusi kesejahteraan

mengalami penurunan. Negara kesejahteraan yang mengalami

perkembangan pesat pada tahun 1940-an dianggap merupakan

model yang tepat untuk mengakomodasi upaya pencapaian pertumbuhan

ekonomi dan secara simultan juga menyelesaikan

masalah-masalah sosial akibat perang dunia kedua. Namun

demikian, seiring dengan dinamika perubahan sosial, negara

kesejahteraan tidak mampu mengakomodasi perubahan struktur

politik-ekonomi global yang mengarah pada reduksi peranan

sentral negara. Gelombang demokratisasi telah mereduksi kekuatan

negara dalam rezim kesejahteraan di negara kesejahteraan.

Walaupun konsep pluralisme kesejahteraan telah banyak dikaji

dalam studi kebijakan sosial dan ilmu politik namun pengertian

mengenai konsep ini memiliki variasi yang cukup kompleks.

Secara umum, konsep pluralisme kesejahteraan bisa diterjemahkan

sebagai suatu pendekatan dalam distribusi kesejahteraan yang

melibatkan multi aktor (Dahlberg 2005) yang mencakup negara,

perusahaan, rumah tangga, dan komunitas (Hatch dan Mocroft

1983). Dalam pendekatan ini, semua aktor distribusi kesejahteraan

menempati posisi yang setara (Midgley 1997; Spicker 1995). Dalam

model ini baik negara, kesempatan berpartisipasi dari semua aktor

dibuka selebar-lebarnya (Hatch dan Mocroft 1983; Walker 1989)

sehingga pasar, rumah tangga, dan komunitas (Hill 1996; Spicker

1995) memiliki kesempatan yang seimbang untuk memberikan

pelayanan sosial bagi masyarakat sebagai penerima pelayanan.

Dalam situasi demikian diharapkan ada relasi dinamis

yang saling mengisi keterbatasan kapasitas aktor. Sebagaimana

84

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


latar belakang konsep ini muncul karena negara menghadapi

kesulitan penganggaran distribusi kesejahteraan maka secara

normatif keterlibatan perusahaan dan komunitas, seharusnya

mengisi keterbatasan yang dihadapi pemerintah. Upaya mengisi

keterbatasan ini bisa dilakukan dengan cara substitusi (substitution)

dan pelengkapan (complementarity) peran (Dahlberg 2005). Dalam

substitusi peran, ketika negara menghadapi kekurangan sumber

finansial, negara terpaksa mengurangi perannya sehingga terdapat

suatu “ruang kosong” yang ditinggalkan negara. Dalam keadaan

demikian perusahaan dan komunitas bisa mengisi ruang kosong

tersebut dengan cara melakukan subsitusi peran negara. Dalam

sitauasi yang sama, ketika menghadapi kesulitan finansial negara

tidak menciptakan ruang kosong tersebut tetapi tetap “hadir”

dalam ruang tersebut, namun cakupan dan intensitasnya yang

dikurangi. Dalam situasi seperti ini perusahaan dan komunitas bisa

hadir untuk melengkapi peran negara dengan cara memperluas

cakupan dan memperkuat intensitasnya. Melalui substitusi atau

pelengkapan peran ini diharapkan akan tercipta suatu mekanisme

distribusi kesejahteraan yang lebih optimal. Salah satu wujud riil

dari gagasan ini adalah realisasi konsep public-private partnership.

Secara empiris, untuk mewujudkannya diperlukan keselarasan

pemahaman mengenai pengertian, indikator, upaya mewujudkan

konsep kesejahteraan. Tidak kalah dari isu keselarasan pemahaman,

juga diperlukan kesediaan untuk bekerjasama di antara para aktor

pelaku distribusi kesejahteraan. Ini kadang sulit terjadi karena

banyak isu. Beberapa isu tersebut misalnya adalah, keterbatasan

kapasitas pemerintah dalam perencanaan kesejahteraan sehingga

tidak mampu mengelola perwujudan substitusi atau pelengkapan

peran. Selain itu, adanya isu mal-administrasi seperti praktik

korupsi atau politisasi program distribusi kesejahteraan sehingga

membuat aktor di luar negara enggan untuk bekerjasama dengan

negara. Faktor yang lain, terdapat hubungan yang kurang harmonis

atau hubungan konflik di antara aktor distribusi kesejahteraan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

85


sehingga komunikasi dan kerjasama sulit dibangun di antara

mereka.

Terlepas dari berbagai kesulitan teknis di atas, konsep pluralisme

kesejahteraan didasari pada keinginan untuk melibatkan

aktor non-negara, terutama dari sektor privat. Gagasan ini muncul

dalam momentum yang tepat karena tidak lama setelah gagasan

tentang konsep pluralisme kesejahteraan ini diperkenalkan,

berkembang praktik CSR di tahun 2000. Salah satu definisi konsep

CSR yang sering diacu oleh banyak pihak adalah definisi yang

melibatkan masyarakat global baik lembega non-profit, lembaga

profit, praktisi, maupun akademisi. Menurut ISO 26.000, tanggung

jawab sosial merupakan suatu tanggung jawab suatu organisasi

pada dampak yang diakibatkan oleh pengambilan keputusan dan

kegiatan yang dilakukannya pada masyarakat dan lingkungan

yang diwujudakan dengan berbagai bentuk tindakan yang bersifat

etis dan transparan untuk mendukung pembangunan yang

berkelanjutan, yang mencakup kesehatan dan kesejahteraan

masyarakat (ISO 26000).

Pada tahun 2000 Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk

UN Global Compact sebagai suatu lembaga yang mengerangkai

konsep dan kegiatan CSR. Lembaga ini merupakan representasi

kerangka kerja sektor swasta untuk mendukung pembangunan

yang berkelanjutan dan terciptanya good corporate citizenship (UN

Global Compact: 10). Secara umum, tujuan yang ingin dicapainya

adalah: memberantas kemiskinan, menyelesaikan masalah buta

huruf, memperbaiki pelayanan kesehatan, mengurangi angka

kematian bayi, memberantas aids, menciptakan keberlanjutan

pengelolaan lingkungan, dan merangsang terciptanya kemitraan

dalam proses pembangunan. Dengan demikian, realisasi program

CSR diharapkan menjadi suatu sumber daya baru yang diharapkan

bisa mengambil sebagai peran substitusi atau pelengkapan peran

distribusi kesejahteraan.

86

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Namun demikian dalam praktiknya banyak program CSR

diwujudkan karena problem eksternalitas (externality) yang terjadi

karena kegiatan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan (Sumarto

2007). Eksternalitas merupakan suatu dampak yang diciptakan

oleh suatu kegiatan ekonomi yang dialami oleh pihak yang tidak

terlibat dalam kegiatan ekonomi itu (Stiglitz 2000). Eksternalitas

yang berwujud kerusakan ekosistem, telah menciptakan berbagai

permasalahan sosial pada masyarakat yang hidup di sekitar

perusahaan. Sektor privat yang seharusnya bertanggung jawab

terhadap eksternalitas, dalam banyak kasus, tidak menginternalisasi

ekses ekternalitas tersebut. Kondisi ini mengancam kehidupan

masyarakat yang hidup di sekitar perusahaan baik secara sosial

maupun secara ekonomis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa

kondisi seperti ini memicu konflik antara perusahaan, masyarakat

lokal, dan pemerintah (CPPS dan UNDP 2003; Sumarto 2003).

Problem hubungan konfliktual tersebut muncul karena tidak

terdapat sistem yang komprehensif dalam merespon eksternalitas.

Kasus yang terjadi dalam sektor pertambangan cukup menarik.

Kesepakatan kontrak kerjasama antara sektor privat dengan

negara dibangun antara pemerintah pusat dengan perusahaan

pertambangan. Sementara itu pihak yang menanggung eksternalitas

yaitu masyarakat lokal dan pemerintah daerah tidak dilibatkan

dalam proses persetujuan tersebut (Mulyadi, 2003: 6). Dalam

kondisi seperti ini, perusahaan merasa telah memenuhi kewajiban

membayar pajak dan pungutan lainnya kepada pemerintah

pusat. Pada sisi yang lain, pemerintah daerah dan masyarakat

merasa berhak untuk mendapatkan kompensasi ekses munculnya

eksternalitas. Keduanya mencoba untuk mendapatkan hak mereka

dengan pendekatan mereka sesuai dengan kepentingan mereka.

Kondisi seperti ini mengarah pada terciptanya konflik. Dalam

situasi demikian, distribusi kesejahteraan yang dilakukan oleh

perusahaan melalui program CSR belum tentu menjawab problem

yang dihadapi masyarakat.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

87


Indikator Kesejahteraan Menurut Negara, Perusahaan, dan

Masyarakat.

Secara konstitusional Indonesia dapat dinyatakan sebagai

welfare state. Welfare state seringkali menunjuk pada peran negara

atau bahkan dominasi negara dalam menjalankan pembangunan

demi terwujudnya kesejahteraan. Namun demikian, pada dasarnya

keberadaan negara sangat penting, bahkan harus ada,

dalam memberikan perlindungan dan pelayanan hak dasar kepada

warganya. Walaupun demikian, kesejahteraan tidak akan

terwujud hanya dengan mengandalkan peran negara tetapi

perlu dilaksanakan secara bersama-sama oleh berbagai pihak

(stakeholders). Perlu pembagian porsi yang pas antara negara, sektor

swasta dan civil society. Mengenai pembagian porsi inilah yang

sebenarnya perlu untuk dikaji lebih lanjut sebelum membahas

mengenai kesejahteraan. Seperti apakah rasa tanggung jawab ketiga

sektor tersebut dalam mewujudkan kesejahteraan. Dari tanggung

jawab tersebut akan terlihat bagaimana irisan porsi yang seharusnya

masing-masing sektor lakukan. Pertama, negara dapat menjalankan

tugasnya melalui program-program yang sudah dirancang dengan

mendapatkan dukungan dari sektor swasta maupun masyarakat.

Negara tetap menjadi aktor utama dalam merencanakan program

sehingga masukan dari aktor yang lain tidak menjadi perhatian.

Implikasi lain yang muncul yaitu negara hanya akan membuka

kerjasama dengan aktor swasta maupun masyarakat ketika program

tersebut akan atau sudah dilaksanakan. Negara masih mempunyai

porsi yang lebih besar untuk “mengatur” aktor yang lain.

Kedua, aktor swasta maupun negara dapat saling mendukung

dan melengkapi. Namun demikian, berdasarkan apa yang sudah

dilakukan oleh aktor swasta dalam pelaksanaan CSR maupun

PKBL di Desa Kalitirto maupun Desa Tegaltirto, perusahaan

belum memulai kerjasama program dengan negara/pemerintah.

Perusahaan selama ini berkoordinasi dengan aktor representasi

negara di tingkat paling bawah, yaitu pada aparat pemerintah

88

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


desa maupun kecamatan, yang maka tidak mempunyai wewenang

sebagai pengatur program. Tipikal program dari pemerintah ratarata

adalah top down dan dilaksanakan sama hampir di semua

wilayah sehingga aparat pemerintah di level bawah hanya tinggal

menjalankan saja. Selain itu, perusahaan juga belum menyesuaikan

dengan program dari pemerintah sehingga yang terjadi adalah

adanya replikasi maupun adanya tumpeng tindih program. Hal

ini dapat dikatakan bahwa aktor swasta masih sekedar menunggu

dan belum mempunyai inisiatif untuk membahas pengaturan porsi

antara masing-masing aktor, terutama dengan aktor pemerintah.

Ketiga, terjadi koordinasi antara aktor pemerintah dan aktor

perusahaan dengan melibatkan masyarakat sehingga tidak terjadi

kebingungan pada saat program dilaksanakan. Faktanya,

masya rakat masih dijadikan obyek oleh negara maupun swasta.

Koordinasi mulai dari memetakan masalah hingga perencanaan

program masih sangat minim dilakukan. Masyarakat selama

ini hanya ditempatkan sebagai penerima program semata. Oleh

karena itu, masyarakat kadang menggunakan kearifan lokal dalam

pelaksanaan program agar semua program dapat berjalan. Oleh

karena program pemerintah biasanya top down dan program dari

perusahaan sudah terancang dengan baik maka kurang adanya

ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan. Ruang

memberi masukan sebenarnya ada namun hanya dapat di lakukan

ketika pelaksanaan maupun pasca pelaksanaan pro gram sehingga

masyarakat hanya sebagai penerima.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa masingmasing

aktor mempunyai tujuan masing-masing namun belum

dikoordinasikan. Masing-masing aktor mempunyai egoisme dalam

menjalankan program peningkatan kesejahteraan sehingga perihal

koordinasi dengan aktor yang lain masih belum menjadi prioritas. Di

Kabupaten Sleman, koordinasi masih sebatas menggunakan logika

administratif melalui surat dan laporan. Faktanya, kurang lebih 30%

dari seluruh total perusahaan yang sudah memberikan laporan.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

89


Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, tentang

Kesejah teraan Sosial, kesejahteraan masyarakat adalah kondisi terpenuhinya

kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara

agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga

dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Dari Undang–Undang di

atas dapat kita cermati bahwa ukuran tingkat kesejahteraan dapat

dinilai dari kemampuan seorang individu atau kelompok dalam

usahanya memenuhi kebutuhan material dan spiritualnya. Ukuran

kesejahteraan bagi pemerintah dinilai berdasarkan hal-hal yang

sifatnya material yang mudah diukur.

Perspektif masyarakat berbeda-beda dalam melihat pengertian

kesejahteraan. Individu dikatakan sejahtera apabila telah memiliki

kehidupan yang berkecukupan, tidak hanya kebutuhan dasar

terpenuhi seperti sandang dan pangan tetapi juga papan. Hal lain

dapat dikatakan sejahtera apabila terpenuhi kebutuhan pendidikan,

keamanan, kenyamanan, perlindungan dan tidak hidup di daerah

tercemar. Pengertian kesejahteraan juga melihat apakah pemenuhan

kebutuhan sehari-hari telah terpenuhi. Pemahaman sejahtera

pun relatif tergantung pada perspektif masing-masing individu.

Tidak hanya terkait dengan aspek ekonomi dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari tetapi juga sosial budaya dalam masyarakat

sekitar. Namun disamping semua konsep kesejahteraan diatas,

masyarakat juga meyakini sebuah kesejahteraan itu berasal dari

rasa kecukupan tiap individu. Kesejahteraan tidak bergantung

pada kaya atau miskinnya seseorang namun pada seberapa besar

mereka menilai dan menjalani kehidupannya masing-masing.

Kesejahteraan tidak hanya dilihat secara material tetapi juga secara

non material termasuk spiritual. Bagi masyarakat, kesejahteraan

tidak cukup diukur berdasarkan kriteria kemiskinan yang ditetapkan

oleh pemerintah tetapi ada banyak hal diluar aspek material

yang mempengaruhinya. Misalnya, ukuran sejahtera tidak semata

hanya diukur dengan berapa pendapatan per-bulan melainkan

lebih dari itu yaitu bagaimana mereka melakukan manajeman

90

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


keuangan keluarga. Ada anggapan di masyarakat bahwa yang

bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan adalah

pribadi masing-masing sedangkan kedudukan negara hanya

mendukung dan membantu.

Oleh sebab itu, walaupun peran pemerintah dalam mewujudkan

kesejahteraan itu penting namun perlu adanya ruang bagi

masyarakat untuk turut serta. Dalam hal ini, kearifan lokal

masyarakat menjadi kunci terciptanya kesejahteraan, yaitu

bagai mana dengan apa yang mereka miliki dapat menjadi kekuatan

untuk mewujudkan kesejahteraan. Walaupun dalam

Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial

pasal 4 menerangkan bahwa Negara bertanggung jawab atas

penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Akan tetapi, apabila tidak

didukung oleh semua pihak termasuk masyarakat maka kesejahteraan

sosial akan sulit untuk tercapai.

Upaya Negara, Perusahaan dan Masyarakat dalam Mewujudkan

Kesejahteraan

Upaya meningkatkan kualitas hidup manusia dalam kaitannya

dengan peningkatan kesejahteraan keluarga bukanlah persoalan

yang mudah. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas

sumber daya manusia di dalam ruang lingkup keluarga, baik faktor

internal maupun eksternal yang nantinya akan berpengaruh pada

kesejahteraan tiap individu di dalamnya. Faktor-faktor tersebut

dapat berasal dari berbagai dimensi, dapat dilihat dari ketersediaan

akses dan kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya yang

terdapat pada lingkungannya, kondisi sosial geografis serta

kondisi kultural yang terdapat disekitarnya sangat berpengaruh

terhadap penilaian mengenai kesejahteraan dalam lavel keluarga.

Di sisi lain, fenomena kesejahteraan keluarga sesungguhnya

meru pakan realitas sosio-budaya yang penuh makna dan simbol

serta menyangkut pola perilaku. Seperti halnya masyarakat yang

terdapat di Desa Kaliajir dan Tegaltirto.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

91


Hasil wawancara yang dilakukan kepada masyarakat Desa

Kaliajir dan Tegaltirto menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan

yang dimiliki keluaranya rata-rata mengalami peningkatan.

Masyarakat merasakan banyak kesempatan-kesempatan yang

mereka dapat dari berbagai program pemerintah dan pihak swasta

dalam mengembangkan program-program baik pada level desa

atau bahkan pada level keluarga. Banyak bantuan-bantuan yang

berasal dari pemerintah atau swasta yang membuat usulan-usulan

masyarakat semakin mudah terealisasi. Selain itu terdapat juga

program-program pemerintah yang memberikan manfaat seperti

halnya program BPJS, bantuan pengembangan kelompok usaha

tani dan perikanan serta program-program pendidikan gratis serta

beasiswa yang dibantu oleh pihak swasta.

Upaya pemerintah untuk mengurangi masalah sosial bagi

rakyatnya sedikit telah membantu seperti adanya program

kesehatan, program pengembangan kapasitas usaha mandiri atau

kelompok serta bantuan-bantuan lain bagi masyarakat miskin.

Namun, setiap orang sering mendefinisikan pembangunan memang

cenderung normatif, sesuatu yang diharapkan terhadap perubahan

kekinian maupun dimasa depan. Namun jika pembangunan itu

mengakibatkan keadaan buruk yang tidak diharapkan, tidak

menghasilkan perbaikan masyarakat secara berarti. Demikan juga

terjadi pengkutuban hasil pembangunan oleh sebagian kecil warga

negara yang kekayaannya melimpah sedang sebagian besar warga

negara menikmati sebagian sisa dari apa yang telah dinikmati oleh

orang kaya.

Pada hakekatnya banyak program pembangunan yang

dilaksanakan oleh pemerintah bersama rakyat dengan tujuan

memberikan kemakmuran dan kesejahteraan pada rakyat dengan

harapan adanya kemandirian dari setaip masyarakat. Desa atau

kelurahan dan tokoh masyarakat atau ketua kelompok-kelompok

usaha mandiri mempunyai kedudukan yang penting dilihat dari

nilai-nilai positif yang dimiliki sebagai sumber perubahan dan

92

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


menyalurkannya kepada masyarakat pada level terkecil yakini RT

atau RW setempat. Namun, tidak jarang pada level pemerintah

desa sebagai lingkup pemerintahan yang paling dekat dengan

masyarakat tidak menjalankan tanggungjawab dan tugasnya

dengan semestinya. Seperti banyaknya bantuan yang dianggap

tidak tepat sasaran hanya diberikan kepada keluarga, atau

pemerintah desa yang kurang informatif kepada masyarakatnya.

Tidak jarang banyak program yang seharusnya dapat diikuti

masyarakat seperti pelatihan-pelatihan peningkatan skill yang

sepi peminat. Kesejahteraan dan kemandirian masyarakat perlu

didukung oleh pengelolaan pembangunan yang partisipatif. Pada

tatanan pemerintahan khususnya pemerintah desa sebagai lavel

pemerintahan terdekat dengan masyarakat, diperlukan kejujuran,

keterbukaan, tanggung jawab dan demokrasi, sedangkan pada

lavel masyarakat perlu juga dikembangkan mekanisme yang

memberikan peluang peran serta masyarakat dalam proses

pengambilan keputusan bagi kepentingan bersama.

Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa serta

penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan telah menjadi

fenomena yang semakin kompleks, pembangunan pedesaan dalam

perkembangannya tidak semata-mata terbatas pada peningkatan

produksi pertanian. Pembangunan pedesaan juga tidak hanya

mencakup implementasi program peningkatan kesejahteraan

sosial melalui distribusi uang dan jasa untuk mencukupi kebutuhan

dasar. Lebih dari itu, pembangunan desa adalah sebuah upaya

dengan spektrum kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai

macam kebutuhan sehingga segenap anggota masyarakat dapat

mandiri, percaya diri, tidak bergantung dan dapat lepas dari

belenggu struktural yang membuat hidup sengsara. Karena itu

ruang lingkup pembangunan pedesaan sebenarnya sangat luas,

implikasi sosial dan politiknya pun juga tidak sederhana.

Banyak hal yang dilakukan masyarakat baik secara individu

atau kelompok masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

93


mereka, salah satunya dengan bergotongroyong untuk belajar

menjadi masyarakat mandiri. Berawal dari bantuan-bantuan

tetangga atau informasi-informasi yang berasal dari tetangga dapat

memberikan masyarakat mencapai akses yang dapat dimanfaatkan

untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Selama ini kedua kelurahan seperti di Kaliajir adan Tegaltirto

sudah merasakan manfaat dari gotong royong. Namun setiap

individu juga memerlukan keterampilan dalam mengolah potensi

dirinya sendiri dan mengasah keterampilannya. Hal ini dapat

dilakukan dengan adanya pendampingan yang tidak hanya

diberikan pada awal program pemberdayaan tapi juga diperlukan

pendampingan dan pelatihan-pelatihan yang berasal dari berbagai

pihak. Sejauh ini yang terlihat pada dua desa yakni desa Kaliajir dan

Tegaltirto telah banyak bantuan-bantuan baik berupa modal uang

atau barang untuk pengembangan usaha dalam hal ini mengarah

pada pembangunan ekonomi. Namun, tidak semua bantuanbantuan

tersebut disertai dengan pendampingan dan pelatihanpelatihan

untuk mengelolahnya sehingga bantuan-bantuan yang

ada tersebut tidak terpakai atau bahkan dijual. Hanya sebagian

dari beberapa program pembangunan kesejahteraan yang telah

berhasil bertahan karena adanya pendampingan dari berbagai

pihak, seperti pemerintahan, sektor swasta dan keagamaan. Salah

satu contoh adalah kelompok ternak ikan yang dilakukan dengan

bantuan modal serta pendampingan dari pihak Gereja. Tidak

hanya itu saja, di Desa Kaliajir setelah beberapa kali mendapatkan

bantuan dari Dinas Perikanan dan Kelautan telah merencanakan

langkah selanjutnya untuk menjadi kelompok mandiri. Dengan

desakan permintaan pasar yang cukup banyak saat ini, kelompok

nelayan harus menyediakan modal usaha yang tidak sedikit

sehingga mereka berencana membuat rintisan koprasi yang diawali

dengan adanya arisan.

Dari sisi lain, upaya pemerintah dalam menditribusikan

kesejahteraan beragam dan didukung oleh pendanaan yang lebih

94

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


kuat. Beberapa program pemerintah yang telah dilaksanakan di desa

Tegaltirto dan Kalitirto misalnya adalah program raskin, program

jaminan kesehatan nasional, dan PNPM. Di antara programprogram

itu, program Raskin yang paling sering dan paling

banyak mendapat kritik dari masyarakat. Dalam implementasi

kebijakan, Program Raskin telah cukup jelas apabila dilihat pada

sistem hukum dan aturan teknis pelaksanaannya. Namun fakta di

lapangan menunjukkan bahwa masyarakat masih mengeluhkan

mengenai ukuran seseorang dinyatakan berhak menerima raskin.

Selama ini masalah raskin dirasa kurang tepat sasaran, banyaknya

keluhan-keluhan masyarakat mengenai ketidak sesuaian data yang

berasal dari pusat dengan kondisi penerima yang ditunjuk.

Selama ini sering dan masih terdapat wilayah yang membagi

raskin secara merata, namun untuk dua desa di sekitar wilayah

oprasi Angkasapura Yogyakarta yakini Desa Kaliajir dan Desa

Tegaltirto raskin tidak lagi dibagikan merata pada semua

masyarakatnya namun diberikan sesuai data yang diterima dari

pusat. Namun masih terdapat masalah lain yang timbul dari

pendistribusian raskin, salah satunya ketidak sesuaian antara data

nama penerima manfaat dari pusat dengan kondisi real masyarakat

atau KK yang menerima raskin. Masalah lain adalah penerima

manfaat raskin terkadang hanya keluarga atau kerabat dari orang

yang bertanggung jawab mendistribusikan raskin pada penerima

manfaat. Sehingga sangat diperlukan pengawasan yang ketat dan

penyesuaian data secara rutin. Secara teknis penentuan RTS yang

dapat menerima Raskin sudah diputuskan oleh kelurahan yaitu

dari BPS, berupa kartu yang sudah ada nama dan alamatnya.

Kenyataannya ada warga miskin yang tidak dapat Raskin

sementara ada pula warga yang cukup mampu mendapatkan

kartu sehingga menimbulkan keresahan.

Untuk mengatasi masalah ini ketua RT dan RW juga

berperan dalam mengatur pembagian Raskin kepada warganya

yang berhak. Diperlukan fasilitator dan pengawas penerimaan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

95


raskin pada tingkat daerah. Minimal dengan adanya fasilitator

ini dapat menampung dan menyelesaikan berbagai pengaduan

masyarakat mengenai raskin dan pendistribusiannya. Dengan

ada nya mekanisme pengaduan dan pengawasan yang jelas dapat

memberikan umpan balik bagi pelaksanaan program pada tahaptahap

selanjutnya, selain menghindari munculnya berbagai aksi

kekerasan dan gejolak sosial. Pengembangan mekanisme pengaduan

ini juga sepatutnya membuka kesempatan bagi munculnya

inisiatif lokal dalam penyelesaian masalah yang dihadapi.

Selain bantuan raskin yang diperuntukkan keluarga miskin,

pemerintah juga mendorong adanya kemandirian masyarakatnya.

Melalui adanya kelompok-kelompok usaha kecil masyarakat

mendorong mayarakat untuk mandiri namun dengan kekuatan

bersama melalui kelompok. Sejauh ini telah banyak contohcontoh

kelompok usaha masyarakat yang berkembang dan

memeberikan manfaat lebih bagi anggotanya. Kelompok dijadikan

wadah individu-individu yang bergerak pada bidang usaha yang

sama untuk saling bekomunikasi dan bertukar ide informasi

pada individu lain atau bahkan pada kelompok lain yang tidak

tergabung dalam kelompok. Banyak respon-respon positif dari

masyarakat mengenai adanya kelompok-kelompok usaha mandiri

yang ikut dibantu oleh pemerintah.

Berbeda dengan program distribusi yang dilakukan oleh

pemerintah yang selama ini dilakukan secara otonom oleh negara,

program CSR sering dilaksanakan oleh perusahaan yang bermitra

dengan pihak lain. Kemitraan ini bisa dibangun secara partisipatif

bersama masyarakat atau bersama lembaga lain yang kurang

melibatkan masyarakat. Dengan adanya kerjasama terutama

dengan masyarakat maka konsep pembangunan partisipatif

dapat terealisasi dan berbagai sasaran peningkatan kesejahteraan

rakyat sekiranya dapat dicapai. Dengan begitu pemerintah juga

ikut mendorong peran sektor swasta juga sangat dibutuhkan,

dengan adanya UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan

96

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Terbatas dan UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

yang mewajibkan perusahaan khususnya perusahaan yang

memanfaatkan sumber daya alam untuk mengeluarkan dana

tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan peraturan ini,

diharapkan sektor swasta terutama sektor atau industri yang

menggunakan sumber daya alam dalam menjalankan usahanya

agar dapat lebih meningkatkan perannya dalam mengatasi permasalahan

sosial seperti kemiskinan dan pengangguran melalui

kebijakan dana tanggung jawab sosial perusahaan terhadap

karyawannya atau yang biasa disebut dengan Corporate

Social Responsibility (CSR). CSR merupakan wujud komit ment

perusahaan untuk bertanggungjawab secara sosial dan lingkungan

terhadap dampak beroperasinya perusahaan tersebut

pada daerah dimana perusahaan tersebut berdiri.

Selama ini sektor swasta hanya dianggap sebagai pihak

yang hanya mencari untung dari proses produksi barang atau

jasa nya saja tanpa memperhatikan nasib masyarakat miskin,

sementara masyarakat dianggap sebagai objek pembangunan

yang tidak terlibat dalam proses pembangunan dan hanya

menerima program yang diberikan tanpa adanya kesempatan

untuk ikut dalam pembangunan tersebut. Implementasi dari

CSR sendiri mengarah pada pengembangan masyarakat atau

(community development) berupa kegiatan-kegiatan pengembangan

masyarakat yang dilakukan secara terencana, sis tematis

dan diarahkan pada akses masyarakat meningkatkan kesejahteraanya

secara mandiri.

Namun, konsep sebenarnya mengenai CSR dan community

development belum benar-benar diketahui oleh perusahaanperusahaan

swasta bahkan milik negara. Banyak perusahaanperusahaan

yang mengaku telah menjalankan CSR namun

hanya sebatasa pada pemberian sembako atau uang pada

masyarakat, peningkatan fasilitas fisik saja tanpa ada wujud

partisipasi dalam mewujudkan masyarakat yang mandiri. Hal

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

97


ini juga dapat dilihat pada salah satu perusahaan miliki negara

yang bergerak pada sektor jasa transportasi yakini Angkasa

Pura Bandara Adisutjipto Yogyakarta. Menurut keterangan

informan yang berasal dari dua desa, selama ini Angkasa Pura

memberikan bantuan berupa uang untuk peningkatan fasilitas

jalan dan bantuan berupa fisik tanpa proses pendampingan dan

evaluasi program. Bantuan-bantuan yang diberikan oleh pihak

Angkasa Pura terfokus pada wilayah Ring 1.

Selain itu, sebagian masyarakat Desa Kaliajir maupun

Tegaltirto mengeluhkan mengenai dampak dan gantirugi

kerusakan genting rumah akibat asap dari pesawat yang hendak

landing atau take off. Selain hembusan angin dari pesawat,

suara bising dan asap pesawat juga dikeluhkan masyarakat.

Pihak sekolah disekitarnya juga ikut terganggu. Proses belajar

seringkali terhenti karena harus menunggu pesawat yang

melintas diatas sekolah. Namun sejauh ini telah ada repon

mengenai dampak tersebut. Angkasa Pura memberikan bantuan

uang senilai Rp 50.000.000,00 untuk pengembangan laboratorium

komputer sekolah yang kemudian dinilai sangat membantu.

Menurut berbagai informan, pihak Angkasa Pura pernah

melakukan pembekalan keterampilan yang bekerja sama dengan

pihak lain, namun pada praktiknya pihak Angkasa Pura hanya

memilih masyarakat yang telah memiliki kemampuan untuk

dilatih, bukan mereka yang memang benar-benar tidak memiliki

keterampilan sama sekali. Konsekuensinya dampak yang terlihat

tidak signifikan karena tidak memunculkan orang-orang baru

dengan peningkatan kemampuan yang telah direncanakan. Selain

itu sebagian masyarakat menilai bahwa bantuan yang diberkan

oleh Angkasa Pura masih belum dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat disekitarnya. Kekurangan lainnya adalah tidak adanya

informasi, komunikasi dan koordinaasi pihak Angkasa

Pura dengan masyarakat. Pihak Angkasa Pura hanya meberikan

bantuan ketika masyarakat mengajukan proposal saja. Hal ini

98

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


tidak disertai dialog-dialog bersama untuk menentukan prioritas

kebutuhan masyarakat yang juga menunjang keberlanjutan

program.

Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

pemahaman konseptual dan penggunaan indikator di antara negara,

perusahaan, dan masyarakat dalam upaya mewujudkan konsep

kesejahteraan sosial. Dari perspektif negara, negara memaknai

kesejah teraan dari dimensi ekonomi dan cenderung mengukur

kesejah teraan secara kuantitatif. Bagi negara, peningkatan

kesejah teraan bisa dilihat dari penurunan angka pengangguran,

penurunan angka kemiskinan, dan penurunan angka penerima

pro gram beras miskin (Raskin). Pemahaman ini menimbulkan

konsekuensi bahwa kebijakan peningkatan kesejahteraan sosial

yang dikembangkan oleh negara cenderung berorientasi pada

upaya mewujudkan program yang terukur secara ekonomis. Dari

pemahaman perusahaan, kesejahteraan dimaknai secara sektoral

dan perwujudannya diukur dari kinerja program secara ekonomis

dan fisik yang bisa dilihat secara kasat mata. Secara riil konsep

kesejahteraan ini diwujudkan dalam program-program CSR yang

berusaha meningkatkan kesehatan, meningkatkan pendapatan

rumah tangga miskin, dan memperbaiki kualitas infrastruktur

fisik. Sedangkan dari sisi masyarakat, kesejahteraan tidak hanya

dimaknai ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup melainkan

juga dilihat dari adanya rasa aman, nyaman, jaringan sosial

informal yang kuat, dan perlindungan sosial.

Kondisi ini menunjukkan beberapa hal berikut. Pertama,

upaya mewujudkan kesejahteraan yang dilakukan oleh negara,

perusahaan, dan masyarakat belum berjalan secara integral.

Upaya mewujudkan kesejahteraan yang dilakukan oleh negara,

perusahaan, dan masyarakat seharusnya saling melengkapi atau

memperkuat satu sama lain sehingga berbagai bentuk upaya itu

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

99


memiliki kekuatan yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan

sosial masyarakat. Kedua, upaya yang dilakukan oleh negara dan

perusahaan dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat

belum memberikan kontribusi seperti yang diharapkan. Ketiga,

program peningkatan kesejahteraan masyarakat yang diwujudkan

oleh negara dan perusahaan kurang memperhatikan aspek sosiokultural

yang ada di masyarakat. Permasalahan sosial yang

sering muncul antara lain konflik yang terjadi karena distribusi

kesejahteraan atau ketergantungan masyarakat terhadap program

yang dilakukan oleh negara.

Daftar Pustaka

Alcock, P., A. Erskine dan M. May (Eds.). 2002. The Blackwell

Dictionary of Social Policy. Oxford: Blackwell Publishers.

Barrientos, A. 2009. Labour Markets and the (Hyphenated) Welfare

Regime in Latin America. Economy and Society, 38 (1): 87-108.

Dahlberg, L. 2005. Interaction between Voluntary and Statutory Social

Service Provision in Sweden: A Matter of Welfare Pluralism,

Substitution or Complementarity? Social Policy and Administration,

39 (7): 740–763.

Davis, P.R. 2001. Rethinking the Welfare Regime Approach: the Case of

Bangladesh. Global Social Policy, 1(1): 79-107.

Easterlin, R.A. 2001. Income and Happiness: Towards A Unified Theory.

The Economic Journal, (111): 465-484

Goodin, R.E., B. Headey, R. Muffels dan H.J. Dirven. 1999. The

Real Worlds of Welfare Capitalism. Cambridge: Cambridge

University Press.

Goodin, R.E., J.M. Rice, A. Parpo dan L. Eriksson. 2008. Discretionary

Time: A New Measure of Freedom. Cambridge: Cambridge

University Press.

Hatch, S. dan I. Mocroft. 1983. Components of Welfare: Voluntary

Organizations, Social Services and Politics in Two Local Authorities.

100

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


London: Bedford Square Press of the National Council for

Voluntary Organizations.

Hill, Michael. 1996. Social Policy: A Comparative Analysis. London:

Prentice Hall

Kaasch, A, M. Sumarto dan B. Wilmsen. 2016. Indonesian Social

Policy in a Context of Global Social Governance. UNRISD paper.

Kwon, H.J. 1997. Beyond European Welfare Regimes: Comparative

Perspectives on East Asian Welfare Systems. Journal of Social

Policy, 26 (4): 467–484.

Ife, James. 1995. Community Development: Creating Community

Alternatives-Vision, Analysis and Practice. Melbourne: Longman

Le Grand, Julian, C. Propper dan R. Robinson. 1992. The Economics

of Social Problems. Hampshire: Palgrave.

McMillan, J, dan B. Naughton, B. 1992. How to Reform A Planned

economy: Lesson from China. Oxford Review of Economic Policy, 8

(1): 130-143.

Merlevede, B. 2003. Reform Reversals and Output Growth in Transition

Economies. Economics of Transition, 11 (4): 649–669.

Midgley, James. 1997. Social Welfare in Global Context. Thousand

Oaks: Sage Publication.

Spicker, Paul. 1995. Social Policy: Themes and Approaches. London:

Prentice Hall.

Stiglitz, Joseph E. 2000. Economics of the Public Sector. New York:

WW Norton and Company.

Sumarto, M. 2013. Welfare Regime, Social Conflict, and Clientelism

in Indonesia. Tesis PhD, the Australian National University,

Canberra.

Sumarto, M., A. Kaasch dan B. Wilmsen. 2016. New Directions in Social

Policy in Developing World - Learning from the Indonesian Health

Insurance Program. UNRISD Paper.

Sumarto, S., A. Suryahadi dan W. Widyanti. 2010. Design and the

Implementation of Indonesia’s Social Safety Net Programs. Dalam

J. Hardjono, N Akhmadai dan S. Sumarto (Editor), Poverty and

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

101


Social Protection in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast

Asian Studies.

Sumner, L.W. 1996. Welfare, Happiness, and Ethics. Oxford: Oxford

University Press.

Thee, K.W. 2004. Pembangunan, Kebebasan, dan “Mukjizat” Orde

Baru: Esai-Esai. Jakarta: Kompas.

________. 2010. A Brief Overview of Growth and Poverty in Indonesia

during the New Order and after the Asian Economic Crisis. In J.

Hardjono, N Akhmadai dan S. Sumarto (Editor), Poverty and

Social Protection in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast

Asian Studies.

Walker, A. 1989. Community Care. In M. McCarthy (Editor), The

New Politics of Welfare: An Agenda for the 1990s? Basingstoke:

Macmillan.

Wei, S.J. 1997. Gradualism versus Big Bang: Speed and Sustainability of

Reforms. The Canadian Journal of Economics, 30 (4b):1234-1247.

Wilmsen, B., A. Kaasch dan M. Sumarto. 2016. Indonesian Social

Policy Development in the Context of Overseas Development Aid.

UNRISD paper

World Bank. 2012. Targeting Poor and Vulnerable Households in

Indonesia. Jakarta: The World Bank, Jakarta Office.

102

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Liberalisasi Pertanian, Perubahan Iklim dan

Marginalisasi Petani di Kabupaten Sleman

dan Gunungkidul

Hempri Suyatna 1 , Suharko 2 , Subando Agus Margono 3 dan

Bevaola Kusumasari 4

Pendahuluan

Jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian

pada tahun 2013 mencapai 38,07 juta orang atau menyerap tenaga

kerja di Indonesia sebesar 34,6 persen dari total tenaga kerja

Indonesia. Selain itu, berdasarkan Sensus Pertanian 2013 BPS

mencatat bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap produk

domestik bruto (PDB) selama sepuluh tahun terakhir mengalami

penurunan. Pada tahun 2003, sektor pertanian memberikan

kontribusi 15,19 persen terhadap PDB, namun pada tahun 2013

turun. Pada tahun 2013, sektor pertanian memberikan kontribusi

14,43 persen terhadap PDB (Warta Ekonomi 12 Agustus 2014).

Namun potensi besar di sektor pertanian tersebut tidak

berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan petani. Besarnya

potensi pertanian di Indonesia sepertinya gagal dikonversi menjadi

arena untuk mengakselerasi level kesejahteraan rakyat Indonesia.

Salah satu alat ukur kesejahteraan petani yang digunakan saat

ini adalah Nilai Tukar Petani (NTP). NTP dihitung dari rasio

1 Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas

Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:

hempry@yahoo.com

2 Dosen di Departemen Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia,

Bulaksumur, Yogyakarta.

3 Dosen di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada,

Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta.

4 Dosen di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada,

Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

103


harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar

petani (HB) dalam bentuk persentase (Ismanthono 2003:45).

Dengan kata lain konsep ini secara sederhana menggambarkan

daya beli petani. Asumsinya, jika daya beli petani tinggi, maka

level kesejahteraannya tergolong tinggi.Petani juga lemah posisi

tawarnya di dalam akses tata niaga khususnya terkait dengan

penetapan Harga Produk Penjualan Petani (Suyatna 2013).

Rendahnya tingkat kesejahteraan petani ini menyebabkan

terjadinya penurunan jumlah petani di Indonesia. Dalam survei

pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah rumah

tangga usaha tani di Indonesia pada tahun 2003 masih 31,17 juta

akan tetapi sepuluh tahun kemudian (tahun 2013), jumlah petani

menyusut menjadi 26,13 juta. Turun sekitar 5 juta dalam sepuluh

tahun atau kalau di rata-rata terjadi penurunan 1,75% per tahun

atau sekitar 500.000 petani. Penurunan jumlah petani ini sebagian

besar dari para petani kecil yang memiliki luas lahan sangat minim

yakni sekitar 0,3 hektar. Mereka meninggalkan profesi sebagai

petani karena penghasilan sangat minim, hanya sekitar Rp 200 ribu

per bulan, sangat jauh dari kebutuhan (Jawa Pos, 9 Maret 2015).

Kondisi tersebut diduga berkaitan dengan pergeseran orientasi

pembangunan ekonomi yang awalnya menitiberatkan pada sektor

pertanian dan sekarang bergeser menjadi sektor non-pertanian

tersebut yang terutama didorong oleh menguatnya paradigma

ekonomi neoliberal di Indonesia.Sebagaimana dikatakan Hardono,

et.al. (2004), suatu kebijakan pembangunan yang baik harus

mengandung tiga unsur yaitu ecological security, livelihood security

dan food security. Namun praktik pembangunan pertanian yang

berbasis tiga unsur tersebut berangsur-angsur hilang ketika

dihadapkan pada era globalisasi dan perdagangan bebas, terutama

ketika munculnya berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh

badan-badan internasional, terutama World Trade Orgazation

(WTO) yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan praktek

pertanian di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

104

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Kebijakan tentang Trade Related Intelllectual Propoerty Right

dan berbagai keputusan lain yang menyangkut pertanian, akan

mengubah ketiga aspek dasar kebijakan ketahanan ekologis

suatu sistem pertanian, karena keputusan seperti itu akan

mendorong terciptanya konsentrasi pemilikan sumberdaya

alam, dengan cara menghilangkan batasan kepemilikan terhadap

sumber alam tersebut. Nampaknya liberalisasi pardagangan

produk-produk pertanian tidak menjadikan pertanian menjadi

bebas. Sebaliknya liberalisasi perdagangan justru memperkuat

sentralisme pembangunan pertanian. Dalam era perdagangan

bebas, ketika negara tidak lagi mencampuri urusan pengembangan

sektor pertanian, negara tidak mengembalikan kekuasaan dan

fungsi petani untuk mengatur usaha tani mereka, tetapi justru

memfasilitasi penyerahan penguasaan sumber-sumber alam,

sistem produksi, sistem pemasaran dan perdagangan kepada

perusahaan agribisnis global. Terkait dengan aspek perdagangan

internasional, pemerintah Indonesia justru banyak meliberalisasi

pasar produk pertanian padahal aturan WTO masih memberi

kesempatan pemerintah untuk melindungi pasar domestik.

Subsidi pertanian seperti subsidi input dikurangi sangat drastis

oleh pemerintah Indonesia padahal negara-negara maju masih

memberikan subsidi sampai 300 milliar US$ tiap tahunnya kepada

sektor pertanian (The New York Times, 2 Desember 2002).

Selain itu, pemerintah Indonesia menerapkan tarif produk

pertanian impor yang rendah. Hal ini kontras dengan di negaranegara

maju.Proteksi yang sangat kuat pada sektor pertanian di

negara-negara maju ditunjukan dengan perlindungan produk

dalam negeri melalui penerapan tarif impor yang tinggi. Bahkan di

sejumlah negara eksportir beras, gula dan produk pertanian lainnya

tariff impornya sangat tinggi. Untuk gula, Uni Eropa menerapkan

297 persen, Jepang 361 persen, sedangkan Indonesia hanya 30 persen.

Di samping permasalahan yang terkait dengan ketersediaan

dan pengembangan lahan beririgasi, ketersediaan, akses, dan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

105


penerapan varietas unggul baru serta teknologi spesifik lokasi,

pengembangan produksi pertanian juga menghadapi permasalahan

yang terkait dengan ketersediaan anggaran pembangunan dan

penyediaan sistem insentif untuk mendorong peningkatan

produksi dan pendapatan petani. Penurunan anggaran pemerintah

dalam pengembangan infrastruktur dan subsidi pupuk berdampak

terhadap stagnasi atau penurunan produktivitas dan produksi

komoditas pertanian. Insentif yang diterima petani terdiri atas

dua komponen utama, yaitu subsidi sarana produksi (pupuk,

benih, kredit dan mekanisasi pertanian) dan proteksi harga hasil

produksi. Sejak pertengahan 1980-an, total insentif pemerintah

secara bertahap menurun. Penurunan subsidi sarana produksi

berdampak terhadap peningkatan biaya produksi dan penurunan

pendapatan petani (Simatupang et al. 2004).

Selain terkait faktor kebijakan pemerintah di sektor pertanian

yang tidak berpihak kepada petani kecil, serta berbagai variabel

ekonomi-politik internasional, salah satu tantangan bagi

pengembangan sektor pertanian di Indonesia adalah faktor alam

terutama fenomena perubahan iklim sebagai akibat dari gejala

global warming (pemanasan global). Isu perubahan iklim merupakan

tantangan multidimensi paling serius dan kompleks yang dihadapi

umat manusia pada awal abad ke-21. Semua negara-negara di

dunia merasakan ancaman dan tantangan dari perubahan iklim dan

pemanasan global ini yang terjalin erat dengan perilaku dan gaya

hidup manusia, keputusan politik, pola pembangunan, pilihan

teknologi, kondisi sosial ekonomi dan kesepakatan internasional.

Dampak negatifnya menjadi cepat meluas dari tingkat global hingga

ke tingkat lokal.Ketika suhu bumi semakin panas, pola curah hujan

berubah drastic, iklim dan cuaca menjadi lebih ekstrem. Seringnya

muncul bencana kekeringan, badai dan banjir maka gelombang

panas dan kebakaran hutan makin banyak dan meluas. Pada suhu

bumi yang mencapai titik panas tertentu, bongkahan es di kutub

dan salju dapat mencair dan menimbulkan gejala pemekaran air

106

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


laut, permukaan laut naik dengan kemampuan menenggelamkan

dataran rendah, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil padat penghuni

di negara-negara sedang berkembang. Puluhan juta rakyat miskin

yang rentan menjadi kekurangan air bersih dan semakin terancam

oleh gagalnya panen hasil pertanian, merosotnya produktivitas

dan hasil usaha tani, kebun dan perikanan.

Berkaitan dengan hal tersebut maka penelitian yang dilakukan

ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan berikut yakni:

1. Kondisi marginalisasi seperti apa yang dialami oleh petani,

khususnya petani tanaman pangan?

2. Kebijakan-kebijakan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah

pusat dan daerah dalam upaya mengatasi marginalisasi petani

tersebut?

3. Bagaimana jaringan relasi petani dengan para aktor bekerja

dalam upaya mengatasi gejala marginalisasi?

DPSIR dan Pembangunan Sektor Pertanian

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas,

kerangka analisis Drivers (driving forces), Pressures, State, Impacts

and Responses (DPSIR) akan dipergunakan untuk menganalisis

dan memahami data. Dalam kaitan itu, pada bagian awal sub-bab

ini akan dipaparkan kerangka umum DPSIR yang dikembangkan

oleh UNEP, yang selanjutnya diikuti oleh uraian kerangka DPSIR

dalam konteks pembangunan sektor pertanian.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

107


Gambar 5. Kerangka DPSIR

Source: http://lan.umces.edu

RESPONSES

Political and

stakeholders

prioritisations

DRIVERS

Human

demands and

lifestyles

DPSIR FRAMEWORK

PRESSURES

Human

activities

affecting the

environment

IMPACTS

Effects of

changed

environment

STATE

Physical,

chemical end

biological

conditions

(Sumber: http://ian.umces.edu)

Kekuatan Pendorong (Drivers)

1. Liberalisasi Ekonomi dan Perdagangan

Pembangunan sektor pertanian tidak dapat dilepaskan dari

pembangunan ekonomi secara umum, yang dalam beberapa dekade

terakhir diwarnai oleh pesatnya liberalisasi ekonomi. Liberalisasi

di sektor perdagangan yang dimotori oleh WTO telah mencakup

sektor pertanian. Produk-produk pertanian saat ini telah menjadi

komoditas perdagangan sebagaimana produk-produk industri.

Liberalisasi ekonomi merupakan penggunaan mekanisme harga

yang lebih intensif sehingga dapat mengurangi bias anti ekspor

dari rezim perdagangan (Ilham, s2003). Dengan adanya liberalisasi

ekonomi, terdapat kecenderungan semakin terbukanya pasar

domestik untuk produk-produk luar negeri sebagai konsekuensi

atas berkurangnya intervensi pasar. Perkembangan teknologi,

telekomunikasi dan transportasi semakin mendorong percepatan

dalam liberalisasi pasar (Kariyasa, 2003). Liberalisasi ekonomi

dianggap sebagai salah satu langkah efektif dalam meningkatkan

108

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


daya saing nasional di pasar global (Susastro, 2004: 2). Melalui

penggunaan teknologi baru, aplikasi teknologi baru, liberalisasi

mendorong kinerja perekonomian menjadi lebih efisien. Logika

perdagangan bebas dibangun dengan mendasarkan asumsi

bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara akan tercapai ketika

ada superioritas pasar bebas dan kebebasan individual (Friedman

dalam O’brien dan Penna, 1998 :92). Dengan demikian, jika

kebijakan tersebut mengganggu kinerja pasar harus dihapuskan

atau paling tidak diubah agar sesuai dengan prinsip pasar bebas.

2. Perubahan Iklim

Dengan Ibu kota negara dan hampir semua ibu kota provinsi

terletak di wilayah pantai. Jumlah Penduduk kurang lebih 230

juta, 65% penduduk tinggal di wilayah pesisir. Panjang pantai total

kurang lebih 81.000 km menjadi sangat rentan terhadap gangguan

cuaca atau iklim ekstrim karena variabilitas iklim dan/atau

perubahan iklim. Dampak pemanasan global tampak pada gambar

berikut ini.

Gambar 6. Dampak Perubahan Iklim

(Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2014)

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

109


Tekanan (Pressures) dan Kondisi Lingkungan (State)

Persoalan pertanian khususnya tanaman pangan tidak hanya

berkait dengan konsumsi dan produksi tetapi juga soal daya

dukung pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang

menjadi prasyarat melaksanakan pembangunan pertanian (Bahri,

2004): (1) akses terhadap kepemilikan tanah, (2) akses input dan

proses produksi, (3) akses terhadap pasar dan (4) akses terhadap

kebebasan. Ketimpangan kepemilikan tanah tampak semakin

melebar. Jika pada tahun 1983 indeks kepemilikan tanah 0,50

maka pada tahun 2003 indeks gini mencapai 0,72. Ketimpangan

kepemilikan aset di negeri ini amat akut dimana 56% aset nasional

hanya dikuasai 0,2% dari jumlah penduduk. Hal ini berarti aset

nasional hanya dikuasai 440.000 orang. Konsentrasi aset tersebut

62-87% berupa tanah. Sebaliknya 49,5% petani di Jawa dan 18,7%

petani di luar Jawa tidak memiliki tanah (Winoto dalam Khudori,

2013). Dengan demikian sangat logis ketika pertanian Indonesia

didominasi pelaku usaha kecil (gurem) dan 9,5 juta usaha rumah

tangga dengan penggunaan teknologi yang rendah.

Kepemilikan tanah yang timpang inilah yang menyebabkan

petani tidak memiliki basis material yang cukup di dalam

mengem bangkan produksi pertanian. Hasil penelitian Valeriana

Darwis (2008) mengungkapkan bahwa kontribusi pendapatan dari

pertanian bagi petani yang menguasai lahan antara 0,1 - 0,25 hektar

hanya 29% di Jawa Barat dan 24% di Sulawesi Selatan. Kontribusi

ini menjadi lebih besar apabila petani memiliki lahan lebih dari

satu hektar. Hal ini terlihat di Jawa Barat sebesar 79% dan 52% di

Sulawesi Selatan. Data ini menunjukan bahwa pendapatan petani

sangat tergantung dari luasan lahan garapan (Prihatin 2014).

Dampak (Impacts)

Permasalahan kesejahteraan petani tidak hanya dipengaruhi

oleh on-farm agribusiness tetapi juga oleh off-farm agribusiness. Arifin

(2001:100) menyatakan bahwa dunia agribisnis di negara – negara

110

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


berkembang termasuk di Indonesia umumnya merupakan suatu

“pertanian rakyat” dan hanya sedikit saja yang berupa “perusahaan

pertanian”. Walaupun keduanya tidak dapat dipisahkan dan

sangat menentukan kinerja secara keseluruhan pertanian

Indonesia, akan tetapi perbedaan pada skala usaha, penguasaan

tek nologi, kemampuan manajemen dan perspektif pemasaran

sudah cukup mewakili kenyataan bahwa keduanya merupakan

entitas yang sangat berbeda. Permasalahan off-farm agribusiness

yang dihadapi petani saat ini adalah mengalirnya arus globalisasi.

Makna globalisasi pada dasarnya adalah semakin menipisnya

batas-batas hubungan antar negara yang satu dengan negara yang

lain dalam berbagai hal, antara lain dalam hal ekonomi, politik,

migrasi, komunikasi dan transportasi.

Beberapa masalah mendasar yang masih banyak dihadapi oleh

petani dan negara pertanian di Indonesia adalah masih lemahnya

interlinkage antara penyedia input, pasar, negara pengolahan dan

lembaga keuangan dengan para petani kita. Sebenarnya negara

kita memiliki potensi pertanian dan sumber bahan baku yang luar

biasa namun belumdikelola dengan efisien. Komoditas perikanan,

perkebunan, tanaman pangan dan hutan yang luar biasa belum

dikelola secara efektif dan efisien untuk meningkatkan daya

saing dan memberikan nilai tambah bagi petani yang terlibat di

dalamnya.

Dimensi pertanian nasional mencakup aspek ketersediaan,

distribusi, dan konsumsi serta keamanan pangan. Pada aspek

ketersediaan pangan termasuk elemen: produksi, impor, ekspor,

cadangan dan transfer pangan dari pihak lain. Adanya elemen

ekspor-impor pada aspek ketersediaan pangan menunjukkan

bahwa kinerja ketahanan pangan nasional tidak terlepas dari

dinamika peran perdagangan (Arifin 2003; Simatupang et al. 2004).

Sedangkan berkaitan dengan dampak iklim, akan mempengaruhi

beberapa hal yakni kebakaran hutan, kemarau panjang,

gagal panen, dan berbagai bencana alam dan lingkungan. Dampak

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

111


perubahan iklim terhadap ekonomi mencuat setelah terbitnya

Stern Review pada awal 2007. Dalam review tersebut Stern menulis

bahwa perubahan iklim diperkirakan akan menimbulkan kerugian

ekonomi yang sangat berarti bagi dunia. Jika pemerintah di

negara-negara maju tidak berupaya menurunkan emisi gas rumah

kaca (GRK) dan pemerintah negara-negara yang terkena dampak

tidak melakukan adaptasi, maka kerugian akibat perubahan iklim

dapat mencapai 14 persen dari produk domestik bruto global pada

pertengahan abad ke 21.

Respon

Menurut Lubis dan Arianti (2001), beberapa upaya preventif

untuk menghambat dampak dari liberalisasi ekonomi yang lebih

buruk dapat dilakukan melalui upaya-upaya berikut : Peningkatan

kapasitas produksi melalui pengembangan teknologi; Menghitung

nilai kebutuhan riil beras secara nasional sebagai dasar kalkulasi

kebutuhan impor; Mengatur tata niaga yang tidak merugikan

produsen dengan bias kepada kepentingan konsumen; dan Ketegasan

pelaksanaan sanksi hukum dalam perdagangan.

Cukup tidaknya dan kurang lebihnya ketersediaan pangan di

suatu negara akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang dianutnya.

Wujud kebijakan tersebut akan mencerminkan sejauh mana negara

menempatkan sumber daya domestik (lahan, pengetahuan dan

sebagainya) yang dimilikinya. Ketika sebuah kebijakan dirakit

dengan mengabaikan sumber daya domestik dipastikan sumber daya

domestik terabaikan. Namun sebaliknya apabila sebuah kebijakan

negara dirakit dengan menempatkan sumber daya domestik pada

prioritas pertama dan utama maka dapat dipastikan sumber daya

domestik tersebut akan terus berkembang bahkan akan tetap lestari.

Negara-negara maju masih memberikan subsidi kepada petani

bukan karena negara tersebut kaya akan tetapi pangan adalah cermin

kedaulatan bangsa. Misalnya, di Amerika Serikat, pangan bukan

sekedar barang privat akan tetapi juga sebagai komoditas politik

112

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


dan strategis. Jika diperlukan, pemerintah AS dapat menggunakan

pangan sebagai senjata ampuh untuk menekan suatu negara yang

tidak sejalan dengan garis politiknya. Implikasinya, Jepang telah

merasakan embargo kedelai pada tahun 1974. Negara Uni Soviet

tercerai berai, manakala ekspor gandum dihentikan, padahal Uni

Soviet unggul di bidang senjata, militer dan politik namun amat

lemah di bidang pangan (Khudori 2008:305).

Metode Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kabupaten Sleman,

Kabupaten Gunung Kidul (Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta).

Untuk Kabupaten Sleman dipilih Kecamatan Moyudan (representasi

daerah pertanian irigasi teknis), dan Kecamatan Prambanan

(Pertanian tadah hujan). Sedangkan di Kabupaten Gunungkidul

dipilih Kecamatan Ponjong (daerah pertanian irigasi teknis) dam

Kecamatan Saptosari (Pertanian tadah hujan).

Perbedaan karakter dari dua daerah tersebut diharapkan

akan diperoleh komparasi yang menarik terkait bentuk-bentuk

marginalisasi dan strategi petani di dalam menghadapi marginalisasi.

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah analisa

data sekunder untuk mencandra perubahan iklim, liberalisasi

pertanian dan marginalisasi petani, kemudian survey, wawancara

mendalam dilakukan kepada informan – informan di lokasi

penelitian serta melakukan review kebijakan untuk mengetahui

strategi dan efektifitas kebijakan dalam bidang pertanian.

Hasil Penelitian

Kekuatan Pendorong Tekanan, Dampak dan Respon Petani Di

Sleman

Selain liberalisasi pertanian, salah satu kekuatan pendorong

(driving forces) yang mempengaruhi pertanian adalah perubahan

iklim. Di Dusun Pendulan Sumberagung dan Nawung Prambanan

menunjukkan bahwa kondisi iklim dahulu lebih bisa diprediksi,

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

113


sedangkan sekarang sulit diprediksi. Dampaknya adalah munculnya

banyak hama, seperti walang sangit sehingga bulir padi dapat

kosong. Adanya hal tersebut membuat hasil penan menurun.

Selain itu, keberadaan hama semakin hari semakin bertambah.

Adapun untuk kualitas hasil produksi, otomatis kualitasnya akan

semakin berkurang. Perubahan iklim juga mempengaruhi lama

produksi karena masa penjemuran dalam kondisi normal cukup

1 hari sudah kering. Namun kalau hujan tidak dapat diprediksi,

proses penjemuran dapat memakan waktu 2-3 hari untuk kering.

Dalam estimasi Pak Cukri, kalau musim kemarau susutnya bisa

mencapai 15 kg. Sedangkan kalau musim hujan susutnya bisa

mencapai 20 kilogram.

Dari aspek pressures menunjukkan bahwa kepemilikan asset

tanah petani juga rendah. Ketergantungan petani terhadap pupuk

kimiawi menyebabkan kesuburan tanah pun juga menjadi ancaman

bagi keberlanjutan petani. PPL Moyudan pernah menghitung

bahwa untuk 1000 meter lahan yang ditanami padi varietas

cisadane, rata-rata menghasilka 6-7 kuintal gabah kering dan 11-

12 kuintal jerami basah. Jika hukum keseimbangan dilaksanakan,

secara logika sederhana petani telah zalim terhadap lahan. Untuk

membayar 6-7 kuintal gabah dan 11-12 jerami basah, petani hanya

“mengembalikan” 40 kg urea, 10 kg SP, tanpa pupuk kandang dan

damen. Penggunaan pupuk kimia yang intensif dan masif sebagai

warisan masa lalu ketika didorong untuk meningkatkan produksi

yang salah satunya adalah penggunaan pupuk kimia turut serta

mempengaruhi kesuburan tanah pertanian. Tanah dalam kondisi

sakit karena unsur hara tanah semakin turun. Sedangkan dari sisi

state, ada banyak kendala yang dihadapi para petani di Sleman.

MIsalnya tikus yang merajalela di Moyudan. Hama yang dihadapi

di Kecamatan Moyudan adalah tikus. Sejak puluhan tahun yang

lalu masalah tikus ini menjadi persoalan yang berat bagi pertanian

di Kecamatan Moyudan. Meskipun diakui bahwa pada musim

tanam terakhir jumlah tikus semakin berkurang. Jumlah hama

114

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


tikus ini diyakini sebagai dampak dari pola tanam padi-padi-padi.

Selain itu kondisi dari selokan yang sangat kotor dan keberadaan

ladang tebu, sehingga menjadi sarang tikus.

Perubahan iklim yang membuat semakin banyak hama

penyakit berkembang seperti wungkul sama dengkluk juga mempengaruhi

petani. Jadi padinya itu belum sampai mekatak (muncul

bulir padi) namun batangnya jadi tugel (seperti patah), sehingga

menyebabkan padi gabuk. Kerusakan tanaman ini mengurangi

produktivitas padi.

Kualitas tanah di Kecamatan Prambanan maupun Kecamatan

Moyudan saat ini tengah mengalami penurunan kualitas, dan

diindikasi kan sebagai tanah yang “sakit”. Kondisi ini terjadi

sebagai dampak dari penggunaan pupuk kimia yang berlebihan,

sehingga tanah kehilangan unsur haranya. Keberadaan Bimas

pada jaman Orde Baru yang salah satunya memaksa petani untuk

meng gunakan pupuk sebanyak mungkin untuk meningkatkan

produktivitas pertanian diyakini sebagai salah satu penyebab

“sakit” nya tanah.

Kekuatan pendorong, pressure dan state yang ada akhirnya

memberikan dampak negatif petani. Hasil dari pertanian dirasakan

tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga

banyak yang menjadikan penghasilan dari pertanian ini sekedar

sebagai pekerjaan sampingan, atau mereka mencari pekerjaan

lain. Selain cenderung merugi, nilai tukar hasil pertanian (HPP) yg

diberlakukan pemerintah cenderung rendah.

Di dalam mengatasi berbagai kesulitan yang ada para petani

memiliki respon dan berbagai strategi survival. Di level pemerintah

mendorong kebijakan mekanisasi dalam pengolahan pertanian.

Di Kecamatan Prambanan untuk pengolahan tanah sendiri, saat

ini sebagian besar petani telah menggunakan traktor untuk lahan

basah. Hal ini terjadi karena saat ini sulit ditemukan sapi sebagai

tenaga untuk membajak tanah secara manual. Jikalau ada, hanya

beberapa saja yang masih menggunakan luku. Traktor sendiri

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

115


biasanya dari menyewa secara personal, atau menyewa milik

kelompok karena beberapa kelompok telah mendapatkan bantuan

traktor. Sedangkan untuk di wilayah lahan kering, beberapa telah

menggunakan traktor yang kecil. Namun di beberapa wilayah traktor

ini tidak bisa digunakan karena sulit untuk mengangkut traktor ke

wilayah tertentu. Namun pada umumnya di lahan kering, tanah

diolah dengan menggunakan dongkrak karena kerasnya tanah.

Sedangkan kelompok-kelompok tani juga melakukan antisipasi

di dalam mengatasi masalah tersebut. Salah satu masalah yang

dihadapi pertanian lahan kering adalah persoalan ketersediaan air.

Makanya cuma bisa sekali panen, setelah itu caisin, bayem, ketela.

Ada juga yang padi, lombok. Tapi yang pasti biasanya ada sisipan

ketela. Sekarang disiasati dengan pembangunan embung, angkruk.

Dalam level kelompok, keberadaan kelompok tani memiliki

peran yang besar dalam akses terhadap pupuk, maupun dalam

mekanisme pengajuan berbagai bantuan pemerintah. Kelompok

yang berkembang tidak sekedar menjadikan kelompok sebagai

kelompok pasif tetapi juga membentuk unit-unit sebagai respon

atas kebutuhan anggota kelompok.

Selain itu di kelompok-kelompok, terdapat seksi yang

meng urusi urusan tertentu, seperti untuk sarana produksi pertanian

(saprodi) dan elsinta. Bila kelompoknya aktif, bisa juga

mengadakan simpan pinjam. Beberapa kelompok juga memiliki

regu tanam. Modal sosial di dalam kelompok untuk menyepakati

peraturan bersama juga membuat hama tidak banyak. Contohnya

di Prambanan, hama tikus tidak banyak karena masing-masing

petani mempunyai kesadaran untuk menanam bersama dalam

satu hamparan.

Kekuatan Pendorong Tekanan, Dampak dan Respon Petani Di

Gunungkidul

Kekuatan pendorong (driving forces) yang mempengaruhi

pertanian di Gunungkidul adalah perubahan iklim. Pemanasan

116

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


global dan kondisi cuaca yang tidak beraturan menyulitkan petani

dalam melaksanakan kegiatan pertanian karena umumnya petani

tidak memiliki pengetahuna yang cukup mengenai terjadinya

perubahan iklim, dampaknya pada lingkungan khususnya

pertanian dan bagaimana mengantisipasi dampak dari perubahan

iklim tersebut. Dampaknya adalah sebagian petani harus memulai

menanam padi tidak bergantung pada bulan yang diprediksikan

akan memasuki musim penghujan, namun dimulai dari saat hujan

pertama tiba. Namun hal tersebut juga bersifat kondisional dimana

beberapa petani memilih memulai masa tanam lebih awal tanpa

menunggu hujan karena apabila menyesuaikan penanaman padi

pertama dengan musim hujan akan memakan rentang waktu yang

lebih panjang dan tidak menentu. Kegiatan tersebut bukan tidak

memunculkan dampak lanjutan. Menanam padi lebih awal tanpa

menunggu datangnya hujan juga membawa implikasi lain seperti

kemunculan hama. Pada akhirnya kualitas dan kuantitas hasil

produksi, akan semakin berkurang.

Sedangkan dari sisi pressures, adanya konversi lahan pertanian

juga menjadi ancaman serius bagi pertanian Gunungkidul. Luasan

lahan pertanian di Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo

sebesar 71,2% dari keseluruhan luasan lahan pertanian di Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta. Apabila tidak melalui proses

pengawalan yang serius, jumlah lahan pertanian tersebut akan

berkurang dari tahun ke tahun dan terkonversi atau dialihkan

untuk perumahan maupun industri. Tekanan pertanian juga dapat

dilihat dari pemanfaatan lahan pertanian secara intensif, pola

tanam padi secara terus-menerus tanpa jeda juga turut berpengaruh

pada kesuburan tanah. Bagi petani di lahan basah maupun kering

mengoptimalkan lahan pertanian merupakan hal yang wajar

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di Kecamatan

Saptosari, termasuk dusun Planjan di dalamnya, panen padi hanya

sekali, dua kali sisanya palawija, semenatra di Ponjong 3 kali panen

padi. Meskipun di Planjan dengan keterbatasan kondisi geografis

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

117


yang didominasi perbukitan dan lereng tidak bisa melakukan

penanaman padi selama tiga kali berturut – turut dalam satu

tahun, namun masyarakat petani di daerah Planjan menggunakan

lahannya di daerah yang cenderung miring (lereng dan tebing)

untuk menanam pohon jati yang memiliki nilai jual tinggi. Namun

penanaman pohon jati tersebut pada akhirnya membawa dampak

negatif pula untuk kesuburan tanah tegalan. Selain itu, petani juga

mengalami ketergantungan terhadap pupuk dengan penggunaan

pupuk kimiawi yang intensif-masif. Petani pada umumnya masih

berpikiran bahwa pemberian pupuk urea merupakan komposisi

yang penting untuk tanaman. Pola pikir ini sudah terbentuk sejak

lama ketika pemerintah menggalakkan penggunaan urea secara

massif untuk mencapai tujuan swasembada beras. Namun pada

saat itu tujuan yang dipikirkan hanya bagaimana mandiri secara

pangan dengan menggalakkan swasembada beras, namun dampak

penggunaan urea secara massif dan intensif tidak dipikirkan.

Akibatnya setelah sekian lama konstruksi pikiran petani yang

terbangun adalah kewajiban penggunaan pupuk urea ketika

bertani. Padahal sebetulnya penggunaan urea maupun pupuk

kimia lain secara berlebihan akan mengurahi kesuburan dan

unsure hara dalam tanah yang pada akhirnya membawa implikasi

pada tidak sehatnya tanah dan mengurangi produktivitas tanah.

Dari aspek state, perubahan lingkungan/ekosistem pertanian

ditandai dengan ketidakseimbangan ekologi. Uret dan kera

menjadi hama yang belakangan menyibukkan petani di daerah

Planjan. Tikus dan kera menyerang jagung dan habitatnya di

lahan pinggiran pantai dan pinggiran hutan. kera tidak bisa

dibunuh/ dibasmi, karena merupakan hewan yang dilindungi.

Permasalahan petani muncul dengan hama baru. Hama yang saat

ini sedang merajalela dan belum ditemukan, yaitu kupu atau isep

yang bertelur dan menyebakan merebaknya penggerek batang.

Kekuatan dan tekanan terhadap pertanian tersebut akhirnya

menyebabkan terjadinya marginalisasi petani. Hasil pertanian

118

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


hanya sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan seharihari.

Kondisi ini ditambah dengan ketidaktepatan kebijakan

pemerintah. Kebijakan swasembada pangan merupakan bentuk

legal dari upaya pemerintah menyeragamkan pangan di Indonesia.

Kebijakan tersebut pada akhirnya malah menjadi sebuah blunder

karena ketika pangan masyarakat menjadi seragam yakni beras,

potensi pangan lokal menjadi semakin lemah atau bahkan hilang.

Selain itu juga ada ketidaktepatan subsidi pemerintah. Pemerintah

memberikan subsidi untuk pupuk, benih dan bantuan dalam

bentuk raskin, namun implementasinya masih jauh dari harapan.

Realisasi pupuk bersubsidi masih jauh dari kebutuhan petani,

benih subsidi juga tidak memadai secara kualitas dan kuantitas,

kemudian pembagian raskin pada akhirnya hanya menjadi permainan

tersistem yang menguntungkan tengkulak besar.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, petani, kelompok

tani dan pemerintah juga melakukan respon. Hal ini misalnya

dilakukan dengan upaya penanggulangan seperti melakukan

mekanisasi pertanian, menyesuaikan komoditas tanaman pangan

dengan karakter lahan dan musim, mengantisipasi hama, penyakit

dan organisme pengganggu tanaman, serta menggalakkan penggunaan

pupuk organik. Sementara sebagai startegi bertahan hidup

karena tidak dapat mengandalkan hasil pertanian sebagai satu –

satunya sumber penghasilan, mayoritas petani bekerja di bidang

selain pertanian (diversifikasi usaha).

Penutup

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada driving force,

pressures dan state yang mempengaruhi marginalisasi petani.

Driving force yang terlihat adalah adanya peningkatan jumlah

penduduk yang diikuti oleh meningkatnya kebutuhan pangan,

ketercukupan, ketersediaan & ketahananpangan, perubahaniklim

(climate change) yakni adanya gejala perubahan iklim yang

dirasakan dan dialami oleh masyarakat dan adanya kebijakan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

119


pertanian internasional seperti Liberalisasi sektor pertanian

melalui Agreement on Agriculture (AoA) oleh WTO yang diratifikasi

dalam berbagai kebijakan nasional dan daerah. Pressures terkait

dengan aktivitas petani yang menyebabkan terjadinya kerusakan

lingkungan. Misalnya pemanfaatan lahan pertanian secara

intensif, tanam padi secara terus-menerus tanpa jeda (misalnya

di Moyudan dan Ponjong), penggunaan pupuk kimiawi yang

intensif-masif (ketergantungan petani pada korporasi pupuk)

dan penggunaan pestisida (gejala ketergantungan petani pada

korporasi pestisida). Sedangkan aspek state berkaitan dengan

adanya perubahan lingkungan/ ekosistem pertanian di 4 lokasi.

Aspek state ini berkaitan dengan perubahan fisik (Lahan sempit

dan tidak subur (bantat) karena hilang unsur hara, Keterbatasan

air atau terlalu banyak air dan berlumpur dalam (di Moyudan).

Dari aspek biologi berkurangnya predator/ ketidakseimbangan

ekologi (tikus merajalela di Moyudan); munculnya jenis hama baru

(akibat iklim yang tidak berpola, di Prambanan). Sedangkan dari

aspek Kimiawi terdapat kandungan zat-zat kimia di lahan/tanah

sebagai residu dari pupuk kimia dan pestisida.

1. Tekanan-tekanan tersebut akhirnya memberikan dampak

yang cenderung negatif bagi para petani. Dampak yang dirasakan

adalah Pendapatan cenderung kecil/rendah; bertani itu

merugi (tidak menguntungkan). Selain cenderung merugi,

nilai tukar hasil pertanian (HPP) yang diberlakukan pemerintah

cenderung rendah. Hal ini mengakibatkan nilai tukar produkproduk

pertanian cenderung menurun dibandingkankan

dengan produk-produk industri manufaktur.

2. Dalam menghadapi marginalisasi, petani, kelompok tani

dan pemerintah daerah juga memberikan respon. Petani

misal nya melakukan dengan diversifikasi usaha/pekerjaan

untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka. Selain bertani,

banyak dari mereka yang kemudian menjadi buruh

banguan atau pedagang di kota. Kelompok tani juga men-

120

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


dorong pembentukan pupuk organic untuk menghindari

ke tergantungan atas pupuk kimiawi dan menekan biaya

produksi. Sedangkan Dinas pertanian juga melakukan

beberapa kebijakan misalnya dengan memelihara burung

hantu di area persawahan seperti halnya di Moyudan.

3. Kehidupan petani yang biasanya dilekatkan dengan sosok

yang tradisional, sederhana, menerima apa adanya, ternyata

dalam kaitan dengan marjinalitas menunjukkan fenomena

menarik. Mereka bisa saja memiliki rasionalitas, hanya saja

rasionalitas yang mereka kembangkan adalah rasionalitas

instant sebagai akibat kuatnya bentuk kebijakan pertanian

yang sangat rigid yang tidak hanya mengendalikan cara

bertanam namun sampai pada tingkatan bagaimana mengelola

pembelian pupuk. Di balik sosok yang tradisional, mereka di

klaim memiliki gaya hidup manja dan justru semakin tidak

berdaya di tengah kelimpahan ketersediaan sumber daya air.

Daftar Pustaka

BPS: Kontribusi Sektor Pertanian untuk PDB Turun. Warta

Ekonomi, 12 Agustus 2014.

Ismanthono, Henricus W. 2003. Kamus Istilah Ekonomi Populer.

Jakarta: Kompas

Khudori. 2004. Neoliberalime Menumpas Petani. Yogyakarta: Resist

Book.

____________. 2008. Ironi Negara Beras. Yogyakarta: Insist Press.

O’brien Martin dan Sub Penna. 1998. Theorising Welfare. London:

Sage Publications.

Kaimiya, M. 2002. 1990s : A Decade for Agricultural Policy Reform in

Japan: Breakaway from the Postwar Policy Research. Bogor: IPB

Kariyasa, K. 2003. Dampak Tarif Impor dan Kinerja Kebijakan Harga

Dasar serta Implikasinya terhadap Daya Saing Beras Indonesia

di Pasar Dunia. Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 1 (4).

Desember 2003. Bogor: Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

121


Lubis, Adrian D. dan Arianti, Reni K. 2011. Dampak Liberalisasi

WTO terhadap Ketahanan Pangan Beras dan Gula. Dalam

Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember:

148-163

Prihatin, Djuni. 2014. Perilaku Petani Miskin Dalam Mewujudkan

Kedaulatan Pangan Rumah Tangga di Lahan Sawah dan Lahan

Kering Daerah Istimewa Yogyakarta. Disertasi Sekolah Pasca

Sarjana UGM Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi

Pembangunan.

Suyatna, Hempri. 2013. Menuju Kemandirian Petani. Jurnal

Sosiologi USK, Volume 3 (3) Juni.

Jumlah Petani Turun 500 ribu per tahun, Jawa Pos 9 Maret 2015.

122

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Merentang Kemandirian Desa 1

Janianton Damanik 2

Pendahuluan

Makalah ini diawali dengan uraian singkat tetapi penting

tentang konsep kemandirian. Arti sempit kemandirian adalah

“hal atau keadaan berdiri sendiri; tanpa bergantung pada pihak

lain” (KBBI, 2008). Jika dipadankan dengan bahasa Inggris ia

menemukan makna yang sama sebagai autonomy, yakni: “the

power or right of a country, group, etc., to govern itself” (www.

merriam-webster.com). Kedua arti itu saling melengkapi karena

memuat arti tentang kemampuan unit organisasi untuk mengatur

diri sendiri tanpa bergantung pada pihak lain. Dengan demikian,

kemandirian tidak dapat dilekatkan pada suatu objek jika objek

tersebut tidak (mampu) melepaskan diri dari intervensi pihak luar.

Jika logika sederhana ini digunakan untuk menelaah kemandirian

desa, maka akan muncul pertanyaan, misalnya: adakah fakta

empirik yang menunjukkan desa yang benar-benar mandiri dan

tanpa tergantung pada pihak lain? Terbukti, pada masa penggunaan

teknologi maju yang pesat saat ini hampir mustahil melepaskan

diri dari pengaruh eksternal. Desa pedalaman menemukan jalan

keluar dari keterasingannya ketika intervensi pembangunan

infrastruktur dari luar (telekomunikasi dan transportasi) merasuk

ke dalamnya. Apa yang bisa disaksikan di berbagai pelosok desa

adalah penggunaan teknologi komunikasi dan informasi (antenna

1 Paper ini pernah disapaikan sebagai bahan Pidato Ilmiah pada acara Dies Natalis

ke-51 Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa ‘APMD” Yogyakarta pada

tanggal 17 November 2016.

2 Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas Gadjah

Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:

antondmk@yahoo.com

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

123


parabola, jaringan telepon bergerak dan sebagainya). Artinya,

secara umum tampak bahwa desa yang maju, sebaliknya, justru

sangat bergantung pada dukungan pihak luar atau beradaptasi

dengan perubahan yang terjadi di luar desa (Pirie, 2006: 100).

Belum lama berselang, Bappenas & BPS (2015:3) mengklaim

hampir sebanyak 2.900 dari 74.093 desa di Indonesia merupakan

desa mandiri dan sisanya berstatus “desa berkembang” dan

“desa tertinggal.” Desa Mandiri diartikan sebagai desa yang telah

memenuhi Standar Pelayanan Minimal, yakni “kebutuhan sosial

dasar, infrastruktur dasar, sarana dasar, pelayanan umum, dan

penye lenggaraan pemerintahan, serta kelembagaan desa yang

berkelanjutan” (Bappenas & BPS (2015: 3). Jelas sekali indikator

yang digunakan adalah ketersediaan standar layanan minimal.

Pertanyaan berikut, dengan cara apa layanan itu terpenuhi?

Apakah desa yang mampu memenuhi layanan minimal itu otomatis

tergolong desa mandiri, meskipun sumber-sumber pemenuhannya

berasal dari luar desa?

Pertanyaan singkat di atas sengaja diajukan untuk mengajak

kita semua memahami bahwa kemandirian desa tidak mungkin

tercapai tanpa kerjasama dengan, tapi minus campur-tangan pihak

luar. Kemandirian desa itu juga bukanlah produk pekerjaan instan

dan sporadis yang bersandar pada capaian target fisik. Mengabaikan

tendensi untuk melihatnya sebagai ilusi politik, kemandirian

desa harus dipahami sebagai suatu kondisi di mana desa mampu

menentukan pilihan-pilihan sendiri untuk berkembang maju

(progresif) sesuai dengan dan mengatasi persoalan sendiri dengan

menggunakan sumberdaya sosial, ekonomi, budaya, lingkungan,

dan politik yang tersedia. Konsep sederhana ini menegaskan

suatu prakondisi kesiapan memilih peluang yang sesuai dengan

kondisi nyata lingkungannya untuk mencapai kesejahteraan

desa. Kemampuan menentukan pilihan-pilihan inilah yang harus

dipandang sebagai esensi kemandirian desa.

124

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Oleh karena itu, makalah ini akan mengupas persoalan pilihanpilihan

yang tersedia bagi desa dan berbasis sumberdaya lokalnya

untuk mencapai kemandirian. Tujuannya adalah untuk menegaskan

posisi atau status kemandirian desa berdasarkan pilihan-pilihan apa

yang mampu mereka lakukan untuk mempertahankan eksistensi

atau memajukan diri dengan memanfaatkan sumberdaya yang

tersedia. Agar lebih memudahkan pemahaman kita, maka posisi

kemandirian desa dianalogikan sebagai kondisi kemerdekaan suatu

negara yang dicapai melalui proses panjang dan terakumulasi oleh

berbagai usaha dan pengorbanan banyak pihak.

Sekadar Kemadirian Politik?

Semangat kemandirian desa mulai menguat sejak persoalan

tata kelola desa diatur secara lebih khusus di dalam Peraturan

Pemerintah No. 72 Tahun 2005 dan kemudian lebih ditegaskan

lagi dalam UU No. 6 Tahun 2014. Iklim kemandirian itu terekam

dalam perubahan tata kelola desa pada empat hal berikut,

yakni: a) kebebasan desa dari pengaruh unit pemerintahan yang

lebih tinggi; b) ketersediaan ruang bagi keragaman budaya dan

tanggungjawab terhadap aspirasi lokal; c) pemisahan kekuasaan

melalui pembentukan/pemilihan BPD; d) pertanggungjawaban

Kepala Desa kepada BPD (Antlöv, dikutip Antlöv Wetterberg &

Dharmawan, 2016: 164; Pasal 17 butir c UU No. 6 Tahun 2014).

Membebaskan diri dari belenggu satuan pemerintahan yang lebih

tinggi yang berlangsung terutama selama Orde Baru membuat desa

mampu berimprovisasi untuk mengembangkan diri dan mengelola

sumberdaya sendiri. Demikian pula pemisahan kekuasaan antara

lembaga eksekutif (kepala desa) dengan lembaga legislatif (BPD)

mampu menyediakan ruang terbuka bagi warga desa untuk

mengendalikan pemerintahan desa, sehingga menghindari desa

dari kepemimpinan diktatorial (Hunter, 2004: 105). Tidak kalah

penting tentu saja efek dari kewajiban Kepala Desa memberikan

laporan pertanggungjawaban tahunan kepada BPD terhadap

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

125


kemandirian desa mengurus kepentingan internalnya yang

sebelumnya diambil-alih oleh Pemerintah Kabupaten. Artinya,

kemandirian desa dalam konteks keberdayaan politik semakin

terangkat ke permukaan dan membuka peluang bagi desa untuk

berkembang secara berkelanjutan.

Terkait dengan hal ini, ada satu catatan kritis yang perlu

diberikan. Pertambahan jumlah desa secara signifikan di satu sisi

menunjukkan atmosfir kemandirian desa yang positif, tetapi di sisi

lain ia juga menimbulkan distorsi dalam bentuk ambisi berlebihan

untuk membentuk desa-desa baru. Desa baru muncul dengan

pertimbangan yang tidak fundamental, misalnya penguatan tata

kelola administrasi. Di tingkat kabupaten ada kesan kuat, bahwa

pemekaran wilayah tidak berjalan efektif untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Beberapa waktu yang lalu dilaporkan,

bahwa sekitar 80% daerah pemekaran tidak menunjukkan

kinerja yang baik, bahkan tidak sedikit di antaranya mengalami

kemunduran (Tryatmoko 2014:194). Sebagaimana dilaporkan oleh

seorang peneliti, “pemekaran daerah ternyata memecah soliditas

kekuatan lembaga-lembaga sosial, politik, dan pemerintahan di

daerah sehingga demokrasi dan sistem pemerintahan lokal tidak

dapat berjalan dengan baik” (Tryatmoko 2014:194).

Versi yang mirip dengan itu juga terjadi di tingkat desa.

Usulan penambahan desa hampir tidak pernah berhenti. Data

menunjukkan, tahun 2013 tercatat sebanyak 72.944 buah desa (Sidik

2015), selain kelurahan, di Indonesia. Dalam waktu yang singkat,

tepatnya tahun 2015, jumlah desa bertambah menjadi 74.093 buah

(BPS 2016) 3 atau sebanyak 1.149 buah hanya dalam dua tahun.

Dengan rasionalitas sederhana dapat diduga bahwa pertambahan

ini tidak steril dari motif politik sesaat, baik dalam konteks

perebutan kekuasaan politik desa maupun sumberdaya finansial

yang digelontorkan oleh pemerintah pusat. Hal ini terekam dari

berbagai sumber. Misalnya, aparat pemerintah desa menginginkan

3 Lampiran Permendagri No. 39 Tahun 2015.

126

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


kelurahan di pinggiran kota difungsikan sebagai desa. Alasannya,

PAD kota tidak mampu mendanai pengembangan kelurahan. Jika

kelurahan tersebut beralih-fungsi menjadi desa, maka ada harapan

untuk memperoleh dana bantuan desa yang jumlahnya 1 milyar

per tahun 4 (Ariyanti 2016).

Para peneliti menemukan kecenderungan bahwa Undang-

Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa akan meningkatkan

daya tanggap pemerintah lokal terhadap kebutuhan masyarakat

perdesaan (Antlöv, Wetterberg dan Dharmawan 2016) yang

sebelumnya banyak terabaikan. Dukungan yang diberikan, antara

lain keuangan dan kelembagaan baru, pasti akan membawa

perubahan yang signifikan menuju penguatan kapasitas ekonomi

dan politik desa. Misalnya, alokasi dana desa yang mencapai

Rp 1,5 milyar per tahun dapat memicu kegiatan ekonomi desa.

Namun demikian, harus diantisipasi bahwa dukungan ter sebut

juga berpotensi untuk tidak memandirikan desa karena menciptakan

ketergantungan sepihak pada pemerintah. Hal ini dapat

dilakukan, antara lain dengan cara membuat perencanaan bertahap

dan siklikal pengembangan desa (Lewis 2015) dan batas-batas

dukungan yang rasional.

Tanpa mengabaikan perubahan positif yang terjadi, iklim

baru, yakni otonomi desa, itu juga secara faktual telah menciptakan

deviasi yang mengacaukan karena otonomi daerah lebih sering

menampakkan wajah arogansi politik lokal yang eksesif, mulai

dari kontestasi Pilkada, ambisi pemekaran wilayah, konsentrasi

kekuasaan politik di tangan segelintir elite lokal yang justru

meminggirkan masyarakat lokal itu sendiri dari demokrasi yang

ingin ditegakkan oleh otonomi daerah. Deviasi atau ekses otonomi

tersebut berujung pada perilaku korupsi yang subur di kalangan

elite lokal dan ditanamkan ke kehidupan masyarakat, misalnya

melalui politik uang dalam Pilkada, yang pada akhirnya menjadi

ancaman serius bagi demokrasi di aras lokal (Hunter 2004). Bahkan

4 Hasil komunikasi pribadi dengan Pejabat Kelurahan Kutawaru, Kota Cilacap, 7

November 2016.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

127


di beberapa daerah yang sebelumnya sepi dari hiruk-pikuk politik,

otonomi politik dengan mudah menciptakan tensi dan rivalitas

politik di kalangan elite desa, mulai dari pemimpin adat, pemimpin

agama, hingga birokrat lokal desa, khususnya berkaitan dengan

pemilihan kepala desa (Kingsley 2012).

Keberadaan BPD memberikan peluang pemberdayaan

masya rakat desa, tetapi jalan menuju kemandirian desa yang

dilan dasi oleh rasa percaya diri, pengihidupan yang terjamin,

dan berkurangnya penduduk miskin (Hunter 2004) tetap masih

pan jang dan banyak tantangan (Prabaningrum 2015). Artinya,

meraih kemandirian politik bukanlah terminal pencarian sosok

kemandirian desa yang utuh, tetapi hanya salah satu prasyarat saja.

Meskipun iklim politik telah mendukung kemandirian desa, ia

masih menjadi sesuatu yang baru diterjemahkan ke dalam kebijakan

dan perencanaan pembangunan di tingkat lokal. Masih dibutuhkan

waktu yang tidak singkat untuk mewujudkan kemandirian yang

faktual, yakni kemandirian yang melembaga. Maksudnya adalah

kemandirian yang diyakini oleh seluruh masyarakat sebagai

kondisi ideal untuk mencapai kesejahteraan bersama. Di sini, desa

tidak perlu lagi menoleh model pembangunan apa yang harus

dipilih untuk desa selain menunjukkan model yang sedang diikuti

sesuai dengan pilihan yang dibuat sendiri.

Ekses-ekses politik, ekonomi, dan lingkungan yang tidak

terbayangkan sebelumnya berpotensi mengancam kemandirian

desa di masa yang akan datang. Oleh sebab itu kemandirian desa

perlu direntang untuk tidak sekedar menunjukkan otoritas politik

yang lebih besar dalam penentuan arah pembangunan desa. Lebih

dari itu, kemandirian harus mencakup kemampuan menentukan

pilihan mempertahankan atau bahkan mengakumulasi sumberdaya

ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan dari tarikan kuat

kepentingan luar desa. Pengalaman sudah menunjukkan, desa-desa

di Indonesia bertambah dan bertumbuh secara kuantitatif, tetapi

pertambahan itu jarang berkorelasi positif dengan ketangguhannya

128

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


mengelola dan mempertahankan sumberdayanya. Sedikit saja

guncangan alam, misalnya, kemarau panjang, banjir, gagal panen,

dan sebagainya, desa segera setengah lumpuh yang diikuti oleh

pengalihkuasaan sebagian sumberdaya ke pihak luar atau migrasi

tenaga kerja. Jadi, kita sulit memahami fakta tentang kemandirian

desa jika semua atau sebagian sumberdaya penghidupan

masyarakat desa itu dengan mudah tersedot keluar (leakage) dan

hanya menyisakan jumlah yang hanya mampu sekedar bertahan

hidup desa di tingkat dasar.

Rentangan Kemandirian

Untuk itu kemandirian desa perlu diperluas dengan pembobotan

kapasitasnya untuk memiliki enam aspek berikut ini,

yakni: tata kelola, diversifikasi ekonomi, kesesuaian infrastruktur,

keterkaitan desa dengan kota, relasi jender, dan keberlanjutan

lingkungan. Desa mandiri berarti ia memiliki tata kelola yang baik.

Memiliki kegiatan ekonomi yang beragam sangat penting bagi

desa, karena dengan itu produk ekonominya, jenis keahlian tenaga

kerjanya, dan sumber pendapatan rumah tanganya juga bervariasi

dan semua hal ini mampu menahan guncangan ekonomi yang

tidak terduga. Kesesuaian infrastruktur desa akan menentukan

kebermanfaatannya bagi masyarakat desa. Relasi desa dengan kota

secara proporsional mampu menghindari ketimpangan regional

dan pembentukan kantong-kantong miskin daerah pinggiran yang

umumnya berbasis desa. Kesetaraan jender akan melipatgandakan

kemampuan sumberdaya manusia perdesaan untuk mencapai

kesejahteraan, karena perempuan memiliki ruang yang lebih

luas untuk mencapai kemandirian pekerjaan dan pendapatan,

pendidikan dan kesehatan. Struktur demografi yang seimbang

memampukan desa memutar rodak perekonomian lokal berkat

ketersediaan tenaga kerja yang cukup dengan ketrampilan yang

sesuai. Keberlanjutan lingkungan mencegah desa kehilangan

sumberdaya yang menjadi basis penghidupan masyarakat.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

129


Lebih lanjut paparan berikut ini akan menjelaskan masingmasing

aspek fundamental kemandirian desa tersebut.

Tata Kelola (yang Baik)

Tata kelola atau “cara menata dan memerintah warga atau

cara mengadministrasi dan mengatur masalah pemerintahan”

(Nanda 2006:273) desa sudah lama menjadi isu yang terabaikan

meskipun sangat elementer dalam pembangunan perdesaan.

Pengabaian tersebut mengakibatkan desa sering hanya diwakili

oleh keberadaan elite pemerintahan desa yang berdampak pada

wacana pembangunan desa hanya berputar di sekeliling elite

tersebut. Melalui tata kelola yang baik, hal itu dapat dihindari

sekaligus menghadirkan tiga elemen lain dari aktor-aktor tata

kelola, yakni masyarakat politik yang diwakili oleh Badan

permusyawaratan Desa, masyarakat sipil yang diwakili oleh

institusi dan organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat ekonomi

yang diwakili oleh organisasi produksi dan distribusi ekonomi

desa (Sidik 2015:118). Peran dan interaksi keempat aktor tersebut

akan menentukan bentuk dan ragam program pembangunan

desa dan lebih menjamin kesesuaian program dengan kebutuhan

yang dirasakan oleh masyarakat desa. Karena itu, tata kelola yang

baik adalah “instrumen yang menjamin implementasi programprogram

yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat’

(Mkandawire 2007:681).

Tata kelola yang baik juga menguatkan kemampuan desa di

dalam menentukan pilihan-pilhan dalam arena pembangunan.

Keputusan untuk menentukan apakah suatu program pembangunan,

baik yang diinisiasi oleh pemerintah pusat maupun oleh

kelompok kepentingan di desa, bukan lagi didasarkan semata-mata

pada usulan salah satu aktor pengelola desa secara elitis, tetapi

merupakan sintesis pemikiran dan usulan dari bawah (bottomup)

yang disalurkan melalui dan direpresentasi oleh tiga aktoraktor

lain. Oleh karena bersandar pada inisiasi bersama kelompok

130

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


kepentingan desa, maka campur-tangan luar dalam menentukan

pilihan semakin menipis dan orientasi program pembangunan

desa terfokus pada kebutuhan-kebutuhan desa.

Diversifikasi Ekonomi

Pada masa lampau kehidupan ekonomi desa sering disebut

monoton karena bertumpu pada sektor pertanian. Namun saat ini

keberagaman aktivitas ekonomi desa semakin menonjol karena

introduksi berbagai inovasi dan dampak internaksi desa dengan

ekonomi perkotaan. Fenomena ini dapat dipandang sebagai hal

yang positif bagi desa. Diversifikasi ekonomi jelas akan menjamin

kemandirian desa. Logika sederhana dapat diajukan untuk itu.

Kegiatan ekonomi yang beragam memberikan peluang

kepada warga desa untuk lebih fleksibel menghadapi perubahanpe

rubahan yang terjadi dan berpengaruh negatif terhadap

kegiatan ekonomi monokultur, misalnya pertanian. Desa nelayan,

misalnya, sering menjadi gambaran desa yang rawan, rentan,

dan tidak mandiri akibat tergantung pada aktivitas penangkapan

ikan. Ketika gelombang laut sangat tinggi, para nelayan terpaksa

menganggur, sehingga denyut ekonomi desa hampir berhenti total

(Anonim 2015a). Kemampuan desa sepertu itu untuk melakukan

diversifikasi usaha ekonomi pada gilirannya terbukti mampu

untuk menghindari desa dari kerentanan yang akut dan kemudian

memperkuat kemandirian (Sakuntaladewi dan Sylviani 2014:289).

Diversifikasi ekonomi juga membantu desa untuk mengurangi

tekanan dan eksploitasi berlebih pada sumberdaya lingkungan

yang secara potensial menurunkan derajat mutu lingkungan

desa. Perlu dicatat, bahwa kemandirian desa tidak mungkin

dicapai jika lingkungan alam desa rusak. Jadi untuk mengurangi

tekanan lingkungan oleh aktivitas pertanian yang intensif, maka

pengalihan ke aktivitas ekonomi non pertanian (non-farm dan offfarm)

merupakan jawaban yang sangat masuk akal. Tentu saja alihaktivitas

ekonomi tersebut tidak selalu diikuti dengan alih-fungsi

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

131


lahan secara massif, tetapi justru menciptakan unit-unit usaha

ekonomi baru berbasis pertanian, seperti keajinan atau pengolahan

hasil pertanian itu sendiri.

Kesesuaian Infrastruktur

Salah satu persoalan kemandirian desa adalah keterbatasan

jumlah dan mutu infrastruktur ekonomi dan sosial. Hal ini menjadi

titik lemah yang sering memaksa desa bergantung pada bantuan

dari luar, khususnya pemerintah pusat. Keberadaan Dana Desa

dapat dilihat sebagai salah satu bukti ketergantungan desa pada

bantuan luar, selain berbagai dukungan yang diberikan oleh

lembaga non-pemerintah.

Di sisi lain, kemandirian desa juga sering melemah ketika

dihadapkan pada pilihan yang sulit terkait dengan penyediaan

infrastruktur yang pembiayaannya bersumber dari dana pemerintah

pusat. Syarat dan ketentuan yang didasarkan pada kepentingan

pemberi dana berlaku mutlak. Desa yang ingin memperbaiki

infrastruktur ekonomi terpaksa mengalah atau tunduk pada

ketentuan tersebut, sehingga desalah yang menyesuaikan diri

dengan program dengan sejumlah syarat yang berlaku. Persoalan

tidak selesai, sebab realitas di lapangan tidak selalu sesuai dengan

apa yang dituntut oleh program. Namun, daripada melepas

peluang untuk ‘membangun desa’, akhirnya program penyediaan

infrastruktur itu terpaksa diterima. Tidak semuanya gagal, tetapi

banyak program seperti itu tidak mampu memberikan dampak

positif panjang bagi perkembangan masyarakat desa.

Ambil contoh pelaksanaan PNPM. Dalam pengamatan

panjang penulis ketika mendampingi pelaksanaan PNPM

Pariwisata di berbagai daerah (Damanik 2015) perencanaan

berbasis komunitas sudah berjalan, setidaknya secara procedural.

Konsep desain program disusun oleh Kementerian Pariwisata

dengan mengakomodasi tipe desa yang akan difasilitasi. Konsep

tersebut disusun dalam suatu petunjuk pelaksanaan yang harus

132

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


diikuti, misalnya: 60 persen dana pendampingan dialokasikan

pada kegiatan fisik dengan kriteria tertentu. Meskipun cukup baik,

namun standar dan kriteria itu tetap tidak mampu mengakomodasi

atau sesuai dengan realitas di lapangan, karena karakteristik ‘desa

wisata’ yang disasar sering berbeda jauh. Pilihan pada kegiatan

pengembangan fisik akhirnya dilakukan secara terpaksa dengan

konsekuensi produk yang bermutu rendah dan bersifat instan. Di

sini inefektivitas dan inefisiensi program menjadi sangat mudah

ditemukan.

Oleh sebab itu, penyediaan infrastruktur perlu diarahkan

pada pemenuhan kebutuhan masyarakat desa. Pilihan harus benarbenar

yang sesuai dengan dan mampu meningkatkan penguasaan

sumberdaya lokal oleh masyarakat. Pertama, infrastruktur

harus mampu memberdayakan ekonomi rakyat, menyediakan

kesempatan kerja bagi warga desa, memperluas distribusi

produk-produk pertanian dan kerajinan desa. Konotasinya adalah

memperkuat pasar rakyat daripada mengundang toko berjejaring

masuk ke desa, karena pilihan terakhir akan berpotensi merugikan

desa. Analisis para peneliti menemukan bahwa pengembangan

infrastruktur pasar modern secara signifikan melemahkan posisi

pasar tradisional yang menjadi basis perdagangan di perdesaan

maupun sebagian perkotaan (Suryadarma dkk. 2007:25,32).

Jika harus membangun infrastruktur perdagangan perdesaan,

maka pilihan yang sesuai adalah renovasi pasar tradisional

yang menjajakan bahan kebutuhan pokok masyarakat desa,

mempekerjakan warga desa, dan memberikan pendapatan

langsung kepada masyarakat. Artinya, peredaran uang semakin

luas di desa.

Kedua, kemandirian desa akan kuat jika infrastruktur

mampu memotong spiral rumit pembiayaan bisnis warga desa.

Perekonomian desa sudah lama diintervensi oleh peredaran uang

dan akan semakin bergantung pada peredaran uang kontan.

Kebutuhan terhadap uang kontan juga terus meningkat sejalan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

133


dengan semakin beragamnya aktivitas ekonomi dan non-ekonomi

berbasis uang kontan. Para petani selalu berhadapan dengan

situasi yang rumit terkait dengan masa tunggu panen yang menjadi

basis penerimaan uang kontan. Di sisi lain, kebutuhan uang

kontan hampir tidak dibatasi oleh waktu. Dalam posisi seperti ini

petani, buruh tani, bakul gendong, dan sebagian besar warga desa

menjadi kelompok yang sangat rentan. Begitu rentannya, sehingga

mereka sering dengan mudah terperangkap oleh ‘bank plecit’ yang

memanfaatkan situasi krisis tersebut.

Oleh sebab itu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang menjadi

entitas usaha ekonomi bersama desa dapat mengembangkan unit

permodalan menjadi kebutuhan penting bagi kemandirian desa.

BUMDes dipandang sebagai instrumen bagi warga desa untuk

memberdayakan dan memandirikan desa (Sidik 2015:119) dengan

mengelola sumberdaya-sumberdaya ekonomi secara profesional.

Karena ada kebutuhan atau permintaan terhadap uang kontan,

maka BUMDes dapat membentuk unit usaha permodalan bagi para

petani atau warga desa. Unit usaha ini sekaligus berfungsi sebagai

alat untuk mempersempit peluang masuknya entitas-entitas bisnis

finansial informal atau non-formal yang bersifat menghisap.

Ketiga, infrastruktur perdesaan harus mampu meningkatkan

akses warga desa terhadap layanan publik. Akses tersebut terutama

berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, seperti fasilitas

kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Pertama-tama, perbaikan

infrastruktur jalan harus mendapat prioritas agar arus barang dan

jasa dapat bergerak lebih mudah dan murah. Mutu jalan raya ke

dan di perdesaan perlu disetarakan dengan mutu jalan perkotaan

karena dampaknya positifnya sangat luas bagi perkembangan

desa itu sendiri. Jalan yang mudah diakses tidak saja mencegah

ekonomi biaya tinggi yang mengakibatkan daya-saing produkproduk

perdesaan menjadi lemah, tetapi juga menekan laju

migrasi permanen keluar desa. Di negara lain juga terungkap

bahwa berkat akses yang mudah, orang-orang dari desa dapat

134

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


melakukan pergerakan sirkuler dengan tujuan untuk memperoleh

pekerjaan baik di desa maupun di kota (Deshingkar 2006). Prioritas

berikutnya adalah fasilitas kesehatan dan pendidikan, dalam arti

kemudahan warga desa mengakses tidak saja sarana pendidikan

dan kesehatan tetapi juga mutu layanan yang diberikan. Hal yang

ditekankan di sini adalah tenaga medis dan paramedis, serta tenaga

pendidik yang kompeten.

Keterkaitan Desa dengan Kota

Kemandirian desa tidak berarti desa harus hidup terisolir.

Menganggap desa sebagai entitas yang terpisah dari

kota dan sebaliknya adalah kekeliruan di dalam memahami

kesalingtergantungan antar-keduanya (OECD Development

Centre 2016:27). Ia tetap berinteraksi dan terkait dengan lingkungan

eksternalnya, terutama kota yang menjadi sentra pertumbuhan

ekonomi utama. Harus diakui, bahwa semandiri apa pun suatu

desa pada masa kini, ia tidak mungkin mengabaikan interaksinya

dengan kota. Hal ini dapat dibuktikan dengan besarnya produkproduk

pertanian yang memasuki wilayah perkotaan, yang

berarti bahwa kota adalah lumbung bagi produk-produk ekonomi

perdesaan.

Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah memosisikan

desa sebagai mitra kota di dalam pengadaan logistik, terutama

berkaitan dengan bahan pangan yang menjadi kebutuhan warga

kota. Kemandirian desa akan terbentuk dalam pola hubungan

simbiosis-mutualisme desa-kota, apabila – misalnya – volume

transaksi perdagangan barang dan jasa antara desa dengan kota

mendekati seimbang. Berkat kesiapan sumberdaya manusianya,

desa dapat juga sebagai penyedia tenaga kerja bagi kota yang pada

gilirannya menyumbang pendapatan bagi desa melalui remitan.

Desa harus dapat memanfaatkan pertumbuhan kota sebagai

bagian dari upaya memandirikan diri. Misalnya, ketika kebutuhan

kota terhadap pemukiman semakin tinggi atau kepadatan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

135


penduduk kota memicu keterbatasan ruang terbuka hijau, maka

desa dapat mengambil kesempatan untuk menyediakan lahan

atau memanfaatkan sumberdayanya sebagai zona rekreasi yang

ekonomis. Singkatnya, kemandirian desa dalam interaksi desakota

terbentuk dalam kemampuannya memilih peluang yang

tersedia untuk kesejahteraan masyarakat.

Kesetaraan Jender

Meskipun tidak dapat berlangsung dalam waktu yang

relatif singkat, praktik kesetaraan jender diakui telah membawa

perubahan penting dalam perkembangan desa-desa di berbagai

negara, khususnya negara berkembang. Perempuan menyumbang

43 persen tenaga kerja di negara berkembang dan menjadi

penanggungjawab utama dalam penyediaan bahan pangan dan

pekerjaan domestik rumah tangga (OECD Development Centre,

2016: 33). Namun demikian tidak sedikit fakta yang menunjukkan

bahwa akses mereka pada infrastruktur dan layanan pendidikan

dan kesehatan lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki. Studi

para ahli juga membuktikan bahwa pemberdayaan perempuan

dengan membuka peluang lebar untuk mengakses sumberdaya

ekonomi, sosial, dan politik telah memberikan dampak positif yang

luas bagi peningkatan kesejahteraan rumah tangga dan masyarakat

desa (Mason dan Smith, 2003; Self dan Grabowski, 2013).

Apa relevansinya dengan kemandirian desa? Jelas, bahwa

kesetaraan jender mampu memobilisasi sumberdaya desa secara

optimal, menggerakkan kapasitas perempuan sebagai pelaku aktif

ekonomi (Mason dan Smith, 2003), menurunkan kerentanan kesehatan

ibu dan anak (OECD Development Centre, 2016: 33). Kemandirian

perempuan di dalam pengambilan keputusan-keputusan keluarga

dan keterlibatan di dalam rencana-rencana pembangunan desa

berkorelasi positif dengan tambahan kekayaan yang diraih oleh

mereka (Acharya, dkk, 2010: 10). Artinya membaiknya relasi gender

diikuti oleh perbaikan ekonomi rumah tangga dan kesejahteraan

136

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


warga desa. Jika kondisi ini tercipta maka desa secara keseluruhan

mampu bertahan hidup dengan kekuatan sendiri secara berkelanjutan.

Keberlanjutan Lingkungan

Kemandirian desa dapat lebih lengkap diukur dari

kemampuannya untuk menata pemanfaatan dan konservasi

lingkungan secara bertanggungjawab. Meskipun tuntutan

peningkatan ekonomi menjadi hal yang mutlak, namun keberlanjutan

lingkungan tidak boleh dikesampingkan. Apa yang dilakukan

oleh desa untuk menjaga kemandiriannya dalam pemanfaatan

lingkungan adalah membatasi ekstensifikasi pertanian, mereduksi

penggunaan pestisida dan insektisida, pemuliaan tanaman lokal,

sebab penggunaan pestisida dan insektisida secara massif telah

terbukti meningkatkan kandungan racun dalam air bawah tanah

dan air permukaan tanah (OECD Development Centre 2016:30).

Semakin tinggi tingkat pencemaran lingkungan yang bersumber

dari zat kimia anorganik, semakin rentan masyarakat terkena

berbagai jenis penyakit yang penyembuhannya lebih sulit. Efek

berantainya adalah degradasi mutu hidup masyarakat yang

menyerap pembiayaan (kesehatan) yang lebih besar.

Selain itu desa juga dipandu untuk mampu tanggap

bencana. Perubahan iklim yang sangat cepat saat ini berkorelasi

positif dengan ancaman gagal panen di sektor pertanian (OECD

Development Centre 2016: 269) yang terkonsentrasi di desa-desa.

Kekeringan dan banjir datang silih-berganti dan diikuti oleh

ketidakpastian iklim yang mengganggu siklus pengelolaan usaha

tani. Perubahan iklim ini telah lama dirasakan oleh para petani

di negara berkembang yang ditandai oleh menurunnya volume

panen. Resiko yang mengancam lebih lanjut adalah meningkatnya

ongkos produksi pertanian karena desakan kebutuhan untuk

menambah modal produksi (pupuk, obat tanaman), lemahnya

ketahanan pangan, hingga kerentanan kesehatan akibat mutu

bahan makanan semakin menurun.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

137


Tanggap bencana ini dapat dilakukan dalam jangka pendek

maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek misalnya adalah

mendiversifikasi jenis tanaman, keseimbangan pemakaian pupuk

dan hama tanaman, migrasi tenaga kerja non-permanen sebagai

cara untuk ‘mengistrahatkan’ lahan sementara, pengenalan

asuransi pertanian yang menjamin petani mampu memperoleh

ganti-rugi akibat gangguan iklim (Kurukulasuriya dan Rosenthal,

2003: 33-38). Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa

diversifikasi jenis dan varietas tanaman dapat meningkatkan

produksi. Jika diikuti dengan keseimbangan pemakaian pupuk,

maka kemampuan jenis tanaman untuk tumbuh produktif semakin

baik (Kurukulasuriya dan Rosenthal 2003:34). Pengenalan asuransi

pertanian juga mendesak, seperti yang sedang dilakukan oleh

pemrintah (Anonim 2016; Insyafiah dan Wardhani 2014) karena

dengan demikian para petani dapat terlindungi dari resiko-resiko

yang secara teknis tidak dapat mereka atasi.

Artinya, kemandirian desa terekam dari kemampuannya

untuk menjaga keberlanjutan lingkungan melalui praktekpraktek

konservasi dan limitasi penggunaan bahan berbahaya

bagi lingkungan. Ketika desa terpaksa atau bahkan dipaksa

untuk mengeksploitasi lingkungan demi meraih keuntungan

ekonomi jangka pendek, maka kemandiriannya sebenarnya sangat

rendah. Jadi, desa perlu menyiapkan diri untuk tidak serta-merta

mengeksekusi perubahan-perubahan radikal di dalam pengelolaan

sumberdayanya, jika hal itu tidak menjadi pilihan yang sesuai

dengan kebutuhan desa. Dan berkaitan dengan perubahan iklim,

kemandirian desa semakin teguh ketika ia mampu menawarkan

pilihan-pilihan untuk melakukan mitigasi bencana yang diakibatkan

oleh perubahan iklim.

Sesungguhnya kapasitas seperti inilah yang perlu dikembangkan

dalam suatu kebijakan pembangunan desa sebagai elemen

penting kemandirian desa, sekaligus untuk menyelaraskannya

dengan kemandirian politik yang terlalu ditonjolkan.

138

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Penutup

Pemikiran kritis dan kebijakan strategis untuk mewujudkan

kemandirian desa masih terlalu sedikit, baik di lingkungan

akademisi maupun praktisi. Ada kesenjangan antara kebutuhan

untuk menyusun parameter kemandirian dengan temuantemuan

penelitian yang didasarkan pada kasus-kasus yang berbeda.

Kesenjangan ini mengakibatkan diskusi-diskusi tentang

kemandirian desa hanya berkisar pada isu-isu distribusi kekuasaan

atau otoritas di internal warga desa dan antara desa dengan

pemerintah kabupaten atau pusat. Fokus yang terlalu spesifik

ini mengakibatkan pemahaman publik tentang kemandirian

desa condong sempit, yakni bagaimana agar pengelolaan desa

dilakukan oleh otoritas-otoritas politik berbasis desa. Meskipun

tidak sepenuhnya keliru, hal itu berpotensi untuk mendorong

masyarakat desa hanya terpaku pada urusan-urusan politik

lokal desa. Misalnya, persoalan pemilihan kepala desa yang

sering menyedot energi masyarakat. Meskipun dilakukan secara

prosedural, namun sering terjadi bias politik yang merugikan atau

“tidak melahirkan karakter kemandirian dalam pemerintahan

desa” (Tan 2010:164).

Oleh karena itu, pemerintah dan peneliti perlu merentangkan

konsep kemandirian desa ke aspek-aspek non-ekonomi politik,

sebab kekuatan desa itu sering tersimpan di sana. Bentuknya boleh

jadi beragam, antara lain kohesivitas dan soliditas warga, modal

sosial, kearifan lokal merespon perubahan-perubahan eksternal,

dan sebagainya.

Inilah tantangan ke depan terutama bagi para akademisi yang

memiliki konsentrasi dan modal pengetahuan yang kuat di dalam

perkembangan dan pembangunan desa. Lembaga perguruan

tinggi yang tersebar di seluruh nusantara mempunyai kapasitas

yang terandalkan untuk menggali rumusan kemandirian desa

yang lebih operasional. Institusi akademik ini harus mengambil

posisi strategis untuk merumuskan desain sekaligus praktik

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

139


sukses kemandirian desa, sehingga menjadi institusi rujukan

bagi pemerintah untuk mengaplikasikan praktek-praktek sukses

kemandirian desa tersebut di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

Acharya, D. R., Bell, J. S., Simkhada, P., van Teijlingen, E. R & Regmi,

P. R. 2010. Women’s autonomy in household decision making: a

demographic study in Nepal. Reproduction Health, 7(15): 1-12.

Anonym. 2015a.. Cuaca Buruk, 60 Persen Nelayan Bengkulu

Tak Melaut. https://nasional.tempo.co/read/news/ 2016/

10/31/058816357/cuaca-buruk-60-persen-nelayan-bengkulutak-melaut)

diakses tanggal 2 November 2016.

Anonym. 2016. OJK Kembangkan Asuransi Pertanian: Ini Tujuannya.

(http://www.jpnn.com/read/2016/06/08/429997/OJK-

Kembangkan-Asuransi-Pertanian-Ini-Tujuannya-), diakses

tanggal 5 November 2016.

Antlöv, H., Wetterberg, A., Dharmawan, L. 2016. Village Governance,

Community Life, and the 2014 Village Law in Indonesia. Bulletin

of Indonesian Economics Studies, 52(2):161-183.

Ariyanti, F. 2016. Muncul Usulan 1.800 Desa Baru untuk Terima

Dana Rp 1 Miliar. (http://bisnis.liputan6.com/read/2488167/

muncul-usulan-1800-desa-baru-untuk-terima-dana-rp-1-

miliar), diakses tanggal 12 November 2016.

Damanik, J., Cemporaningsih, E., Marpaung, F., Raharjana D. T.,

Rindrasih, E., Bramantya, H., & Wijaya. 2015. Membangun

Pariwisata dari Bawah. Yogyakarta: UGM Press.

Deshingkar, P. 2006. The role of circular migration in economic growth.

Agriculture & Rural Development, 2:54-57.

Hunter, C. L. 2004. Local Issues and Changes: The Post-New Order

Situation in Rural Lombok. SOJOURN, 19(1):100-122.

Insyafiah dan Wardhani, I. 2014. Kajian Persiapan Implementasi

Asuransi Pertanian Secara Nasional. Jakarta: Pusat Pengelolaan

Risiko Fiskal, Kementerian Keuangan.

140

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Kingsley, J. J. 2012. Village Elections, Violence and Islamic Leadership

in Lombok, Eastern Indonesia. Sojourn: Journal of Social Issues in

Southeast Asia, 27(2):285-309.

Kurukulasuriya, P dan Rosenthal, S. 2003. Climate Change and

Agriculture: A Review of Impacts and Adaptations. Washington,

D.C: The International Bank for Reconstruction and

Development/THE WORLD BANK.

Lewis, B. 2015. Indonesian village decentralization is all money no plan.

EASTASIAFORUM, 27 Juni. (http://www.eastasiaforum.

org/2015/06/27/indonesian-village-decentralisation-is-allmoney-no-plan/),

diakses tanggal 1 November 2016.

Mason, K.O dan Smith, H. L. (2003). Women’s Empowerment and

Social Context: Results from Five Asian Countries, Washington,

DC: Gender Development Group, World Bank.

Mkandawire, T. (2007). ‘Good governance’: the itinerary of

an idea. Development in Practice, 17(4-5), 679-681. DOI

10.1080/09614520701469997.

Nanda, V. P. (2006). The “Good Governance” Concept Revisited. Annals

of the American Academy of Political and Social Science, 603:269-

283.

OECD Development Centre. (2016). A New Rural Development

Paradigm for the 21 st Century: A Toolkit for developing Countries.

Paris: OECD.

Pirie, F. (2006). Legal Autonomy as Political Engagement: The Ladakhi

Village in the Wider World. Law & Society Review, 40(1):77-103.

Prabaningrum, G. 2015. “Solusi Pembangunan Desa: Sebuah Upaya

Meminimalisir Konflik dalam menciptakan Kesejahteraan,”

dalam E. Z. L. Astuti (ed.), Merajut Kesejahteraan di Aras

Lokal, hal. 75-100. Yogyakarta: Azzagrafika.

Sakuntaladewi, N dan Sylviani. 2014. Kerentanan dan Upaya

Adaptasi Masyarakat Pesisir terhadap Perubahan Iklim. Jurnal

Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(4):281-293.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

141


Self, S dan Grabowski, R. (2013). Female Autonomy in Rural North

India: Impact on Economic, Social, and Political Factors. Journal of

Economic Development, 38(1):59-82.

Sidik, F. (2015). Menggali Potensi Lokal Mewujudkan Kemandirian

Desa. Jurnal Administrasi & Kebijakan Publik, 19(2):115-131.

Suryadarma, D., Poesoro, A., Budiyati, S. Akhmadi, Rosfadhila,

M. 2007. Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang

Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia. Jakarta:

SMERU.

Tan, Q. 2010. Why Village Election Has Not Much Improved Village

Governance. Journal of China Political Science, 15:153-167. DOI

10.1007/s11366-010-9095-1.

Tryatmoko, M. W. 2014. Menata Ulang Kebijakan Pemekaran

Daerah di Indonesia. Masyarakat Indonesia, 40(2):191-209.

www.merriem-webster.com (http://www.merriam-webster.com/

dictionary/autonomy (diakses tanggal 2 November 2016).

142

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Evaluasi Upaya Pemenuhan Pelayanan

Kesehatan pada Wilayah Perbatasan DIY

Matahari Farransahat 1 dan Siti Hadiyati Nur Hafida 2

Latar Belakang

Banyak fenomena menarik ditemukan pada wilayah perbatasan

administrasi pemerintahan, baik pada tingkat antar

negara maupun antar wilayah di dalam suatu negara. Begitu

juga pada fenomena penyediaan pelayanan publik antar wilayah

adminis trasi provinsi di Indonesia. Pemberlakuan otonomi

daerah yang mensyaratkan batas wilayah/daerah sebagai dasar

penye lenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah

setempat, memberikan “keunikan sosial” pada masyarakat di

wilayah perbatasan selaku penerima manfaat pelayanan publik

dari negara. Keunikan tersebut khususnya dalam hal mengakses

dan memanfaatkan pelayanan publik yang disediakan dari kedua

wilayah pemerintahan yang berbeda. Pada wilayah perbatasan

Daerah Istimewa Yogyakarta – Provinsi Jawa Tengah diketahui

ternyata tidak hanya keunikan sosial yang terjadi melainkan juga

pelayanan publik yang masih belum optimal.

Masyarakat di wilayah perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta

– Provinsi Jawa Tengah belum dapat mengakses layanan dasar

seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur (konteks urusan

pekerjaan umum) dengan memadai. Salah satu indikator yang

digunakan untuk mengetahui keberhasilan pelayanan publik tersebut

adalah dengan melihat tingkat Indeks Pembangunan Manusia

1 Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas

Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:

matahari.farransahat@ugm.ac.id

2 Kantor Konsultan, Madani Callysta Saibuyun. Email: nur.hafida@ums.ac.id

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

143


(IPM). IPM secara umum dapat menggambarkan manfaat pembangunan

kualitas hidup manusia dengan memadukan perhitungan

agregasi dari aspek kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak.

Selain itu IPM juga berguna sebagai data strategis dalam mengukur

kinerja pemerintah dan membandingkan level pembangunan antar

wilayah. Data dari Badan Pusat Statistik DI. Yogyakarta pada

tahun 2014 menunjukkan bahwa 14 wilayah dari total 18 wilayah

perbatasan DI. Yogyakarta mempunyai capaian IPM yang lebih

rendah daripada nilai rata-rata IPM DIY (76.81) (BPS & Bappeda DIY,

2014). Nilai terendah dari keempat belas wilayah tersebut adalah

Kecamatan Gedangsari (68.58) dan tertinggi adalah Kecamatan

Cangkringan (76.48). Sedangkan nilai IPM tertinggi pada wilayah

perbatasan adalah Kecamatan Kalasan (81.17) yang berbatasan

dengan Kabupaten Klaten, seperti terlihat pada gambar 1.

Gambar 7. Nilai IPM Kecamatan di Wilayah Perbatasan

(Sumber: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014)

Sayangnya, kondisi ini belum dianggap oleh Pemerintah

Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai hal yang mendesak

dan menjadi prioritas untuk ditangani. RPJMD Daerah Istimewa

144

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Yogyakarta Tahun 2012-2017 meskipun disusun dengan memasukkan

isu ketimpangan pembangunan antar wilayah, namun

tidak melihat wilayah perbatasan sebagai area prioritas dalam

pembangunan daerah. Beberapa hal di wilayah perbatasan seperti

sektor transportasi, kesehatan dan penanaman modal juga telah

disebutkan pada dokumen perencanaan tersebut, namun masih

bersifat umum. Oleh karena itu, program dan kegiatan, beserta

alokasi anggaran pembangunan oleh Pemerintah Daerah Daerah

Istimewa Yogyakarta ke wilayah perbatasan Daerah Istimewa

Yogyakarta-Provinsi Jawa Tengah masih relatif minim. Wilayah

perbatasan masih menjadi halaman belakang yang tertinggal dari

sisi pembangunan fisik dan pelayanan publik.

Instansi Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta

tampaknya masih terlalu fokus melayani ke dalam pusat-pusat

pertumbuhan wilayah (inward looking) yang mudah dalam hal

jangkauan dan ketersediaan sarana pendukung layanan. Kondisi

tersebut akan berbeda saat melakukan pelayanan publik di

wilayah perbatasan. Instansi pemberi layanan akan dihadapkan

pada topografi medan yang relatif sulit, keterbatasan infrastruktur

pendukung layanan, dan perbedaan kebijakan administrasi

pelayanan bagi pengguna yang berasal dari daerah otonom lain yang

berbatasan. Sebagai contoh yang pernah terjadi mengenai perbedaan

kebijakan administrasi dalam pelayanan kesehatan melalui

Jamkesda di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Purworejo.

Masing-masing pemerintah daerah menerapkan layanan berjenjang

dengan menganut sistem rujukan, mulai dari puskesmas di wilayah

kabupaten setempat hingga rumah sakit rujukan provinsi. Sistem

ini tentunya menimbulkan kesulitan tersendiri bagi masyarakat

di wilayah perbatasan yang ingin mengakses layanan kesehatan

melalui Jamkesda pada daerah otonom sebelahnya, misalnya karena

alasan jarak tempuh yang lebih dekat.

Pelayanan publik bagi masyarakat di wilayah perbatasan

semestinya tidak kaku. Masyarakat wilayah perbatasan sebaiknya

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

145


tidak dibebani dengan persoalan administratif karena perbedaan

kebijakan antar daerah otonom. Paradigma desentralisasi telah

menumbuhkan kepekaan masyarakat untuk menuntut kualitas

pelayanan publik yang sederhana, cepat dan murah pada

pemerintah. Oleh karena itu, fungsi penyediaan layanan publik

oleh pemerintah daerah perlu ditingkatkan, salah satunya melalui

perjanjian kerjasama antar daerah. Dalam hal ini, kesepakatan

bersama antara Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Purworejo

Tahun 2015 patut menjadi contoh. Untuk peningkatan layanan

kesehatan, warga di Kabupaten Kulon Progo dapat berobat gratis

ke fasilitas kesehatan Kabupaten Purworejo dan sebaliknya. Biaya

pengobatan selanjutnya diklaim lewat masing-masing Dinas

Kesehatan kabupaten. Ini merupakan sebuah bentuk pelayanan

publik di wilayah perbatasan yang luwes dan tidak tersegmentasi

oleh batas daerah administrasi pemerintahan.

Oleh karena pentingnya pelayanan publik pada wilayah

perbatasan, artikel ini akan membahas hasil studi evaluasi pada

aspek kesehatan yang telah dilakuakan Pemerintah Provinsi

DI. Yogyakarta dengan melihat pencapaian standar pelayanan

minimumnya berdasar dokumen Rencana Strategis Kementrian

Kesehatan 2015-2019 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah Provinsi DIY 2012 -2017.

Metode Analisis AHP

Metode analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) yang

disertai dengan wawancara mendalam kepada narasumber

kunci dan desk review pada data sekunder menjadi metode utama

dalam menganalisa permasalahan pelaksanaan urusan wajib

bidang kesehatan pada kajian ini. Konsep model AHP adalah

merubah nilai-nilai kualitatif menjadi nilai kuantitatif, sehingga

memudahkan dalam mendapatkan bobot/prioritas pada suatu

masalah. Hal terpenting dalam menggunakan metode AHP terletak

pada input utamanya, yaitu persepsi seorang ahli. Dalam analisa

146

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


kajian ini, narasumber-narasumber (key informants) merupakan

seseorang yang mempunyai jabatan dalam melaksanaan program

urusan wajib bidang kesehatan yang dilakukan pada wilayah

perbatasan antara Provinsi DI. Yogyakarta dengan Provinsi Jawa

Tengah. Narasumber tersebut antara lain: Kepala Puskesmas,

Kepala Bagian Tata Usaha Puskesmas dan Pejabat struktural

Puskesmas yang telah lama bekerja pada suatu wilayah dan sangat

mengetahui permasalahan dan kondisi kesehatan pada wilayah

perbatasan.

Kriteria utama AHP pada kajian ini disarikan dari sasaran

pembangunan kesehatan yang tertuang pada Recana Strategis

Kementrian Kesehatan (Renstra Kemenkes) 2015-2019. Pada

dokumen tersebut tertulis mengenai sasaran yang ingin dicapai

yang berupa peningkatan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat

melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat

yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan

pelayanan kesehatan. Aspek sasaran pembangunan kesehatan pada

dokumen Renstra Kemenkes 2015-2019 antara lain: meningkatnya

status kesehatan dan gizi masyarakat; meningkatnya pengendalian

penyakit menular dan tidak menular; meningkatnya pemerataan

dan mutu pelayanan; meningkatnya perlindungan finansial,

ketersediaan penyebaran dan mutu obat serta sumber daya

kesehatan.

Sedangkan turunannya pada sub kriteria AHP mengacu pada

aspek pelayanan umum pada fokus layanan urusan kesehatan wajib

RPJMD DIY 2012-2017. Pada dokumen tersebut, layanan urusan

wajib bidang kesehatan dilakukan melalui kebijakan program

dan kegiatan yang menekankan pada upaya peningkatan mutu

dan pelayanan kesehatan yang semakin terjangkau oleh seluruh

lapisan masyarakat, khususnya pada penyediaan pelayanan dan

sarana kesehatan. Aspek prioritas pembangunan kesehatan pada

dokumen RPJMD DIY 2012-2017 antara lain: rasio posyandu

per satuan balita; rasio uskesmas dan Puskesmas pembantu;

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

147


ketersediaan rumah sakit; rasio dokter per satuan penduduk;

rasio tenaga kesehatan per satuan penduduk; cakupan komplikasi

kebidanan yang ditangani; cakupan pertolongan persalinan

oleh tenaga kesehatan; cakupan desa/ kelurahan universal child

immunization (UCI); cakupan balita gizi buruk yang mendapat

perawatan; pola penyakit; jumlah kunjungan pasien miskin di

sarana kesehatan; dan cakupan kunjungan neonatus lengkap. Hasil

penggabungan menjadi hirarki AHP dari kedua dokumen tersebut

terlihat seperti pada gambar 2 berikut.

Gambar 8. Struktur Hirarki Pelayanan

Hasil akhir pada analisis AHP merupakan bobot final pada tiaptiap

faktor yang diperbandingkan dengan jumlah nilai total 1. Jika

ada kelompok nilai yang cukup signifikan berbeda dibandingkan

dengan kelompok nilai lain yang relatif sama, maka kelompok

148

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


nilai yang berbeda itulah yang menjadi pokok permasalahan dari

pembobotan seluruh faktor permasalahan. Kelompok nilai dengan

nilai yang relatif sama mempunyai arti bahwa faktor-faktor tersebut

mempunyai bobot permasalahan yang sama atau dapat dikatakan

tidak ada permasalahan yang signifikan atau tidak perlu mendapat

prioritas dalam penanganannya.

Pembahasan Hasil Studi mengenai Permasalahan Pelayanan

Kesehatan di Perbatasan DIY

1. Wilayah Gunung Kidul

Pada wilayah Gunungkidul, permasalahan kesehatan pada

kriteria utama memiliki bobot yang cukup merata dan tidak

terlihat ada permasalahan yang jauh menonjol. Bobot nilai terbesar

dimiliki oleh permasalahan dalam meningkatkan status kesehatan

dan gizi masyarakat dengan nilai 0,28 diikuti oleh pengendalian

penyakit menular dan tidak menular; serta perlindungan finansial,

ketersediaan penyebaran dan mutu obat serta sumber daya

kesehatan dengan nilai yang sama 0,25; dan terakhir permasalahan

dalam meningkatkan pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan

dengan nilai 0,22. Besarnya nilai yang tidak signifikan berbeda ini

menandakan bahwa keempat permasalahan pada kriteria utama

ini mempunyai bobot prioritas yang sama bagi narasumber.

Sedangkan pada bobot final, permasalahan kesehatan pada

wilayah perbatasan di Gunung Kidul didominasi oleh permasalahan

pengendalian penyakit tidak menular dengan nilai (0.18); diikuti

oleh permasalahan ketersediaan dokter dan pelayanan Puskesmas

dan Puskesmas Pembantu dengan nilai yang sama (0.12); serta

permasalahan komplikasi persalinan yang ditangani dengan nilai

(0,11), seperti yang terlihat pada tabel 1. Kelompok nilai yang

relatif sama dari faktor-faktor lainnya dibandingkan dengan empat

faktor permasalahan teratas mengindikasikan bahwa faktor-faktor

tersebut bukan merupakan permasalahan utama.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

149


Tabel 4. Hasil perhitungan Bobot Final AHP

pada Permasalahan Pelayanan Kesehatan, Gunung Kidul

No Permasalahan Pelayanan Kesehatan Bobot Final

1 Pengendalian penyakit tidak menular 0.18

2 Ketersediaan Dokter 0.12

3 Pelayanan Puskesmas dan Pustu 0.12

4 Komplikasi persalinan yang ditangani 0.11

5 Pelayanan Rumah Sakit 0.08

6 Pengendalian penyakit menular 0.08

7 Kunjungan Neonatus Lengkap 0.07

8 Ketersediaan Tenaga Kesehatan 0.06

9 Perawatan balita gizi buruk 0.05

10 Akses dan Pelayanan Pasien Miskin 0.05

11 Pertolongan persalinan oleh tenaga

kesehatan 0.04

12 Pelayanan Posyandu 0.03

13 Cakupan Universal Child Immunization

(UCI) 0.02

Permasalahan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM)

Dari sepuluh besar penyakit yang tercatat pada puskesmas–

puskemas pada wilayah perbatasan Kabupaten Gunung Kidul

dengan Jawa tengah, diketahui bahwa penyakit tidak menular

sudah mulai mendominasi dibandingkan dengan penyakit

menular. Menurut Kementrian Kesehatan hal ini diakibatkan oleh

transisi demografi, sosial ekonomi dan budaya di masyarakat,

dan diperkirakan akan terus meningkat jika tidak ada usaha

pengendalian (Kemenkes RI 2014). Penyakit tidak menular tersebut

antara lain: hipertensi primer, dispepsia, nyeri sendi - athralgia, sakit

kepala, penyakit pada jaringan pulpa dan periapikal, dan diabetes

melitus (DM). Dari beberapa penyakit tersebut, narasumber

memberikan perhatian lebih pada penyakit Hipertensi dan DM.

Penyakit hipertensi, yang dikenal sebagai the silent killer, penting

untuk diperhatikan karena merupakan salah satu faktor penting

150

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


pemicu penyakit tidak menular lainnya seperti penyakit jantung

dan stroke. Penelitian dari Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan

menyatakan bahwa 17,7% kematian di Indonesia disebabkan oleh

stroke dan 10% disebabkan oleh penyakit jantung koroner dengan

faktor utama hipertensi (Kementrian Kesehatan 2015). Sedangkan

pada penyakit diabetes mellitus, kewaspadaan dan pengendalian

penting untuk terus dilakukan karena menurut WHO penyakit ini

diproyeksikan akan menjadi salah satu penyebab utama kematian

pada tahun 2030 (WHO, 2015). Diketahui Provinsi DIY merupakan

Provinsi dengan prevalensi DM tertinggi, dengan nilai 2,6%.

Deteksi dini diperlukan sebagai langkah penanganan

hipertensi dan DM. Salah satunya adalah dengan kegiatan Pos

Pembinaan Terpadu Pengendalian Penyakit Tidak Menular

(Posbindu-PTM). Masyarakat diharapkan dapat melakukkan cek

kesehatan secara rutin meskipun tidak sakit. Jika ditemukan faktor

risiko, maka kader Posbindu akan memberikan konseling dan

akan merujuk ke Puskesmas untuk penanganan lanjutan. Namun

narasumber mengungkapkan kegiatan ini belum terasa nyata

hasilnya. Hal tersebut disebabkan oleh belum rutinnya pelaksanaan

Posbindu; dan juga pelaksanaan yang sudah rutin dilakukan

belum memberikan pelayanan konseling yang optimal. Hal ini

serupa dengan hasil tesis penelitian Hadiyanta yang dilakukan

di Gunungkidul, diketahui bahwa tidak optimalnya penanganan

PTM melalui Posbindu dikarenakan kader kurang percaya diri

dalam melakukan konseling dan kader merasa kesulitan jika harus

membaca untuk memahami modul sendiri (Hadiyanta 2016)

Permasalahan Ketersediaan Dokter dan Pelayanan Puskesmas

Ketersediaan dokter juga menjadi permasalahan yang krusial,

dan sayangnya semakin hari hal ini semakin mendapatkan

pemakluman. Hal ini karena wilayah perbatasan yang umumnya

berjarak cukup jauh dari wilayah perkotaan dengan fasilitas

umum yang relatif lebih terbatas. Hal tersebut membuat seorang

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

151


dokter akan lebih memilih untuk bekerja pada wilayah perkotaan.

Menurut profil kesehatan Kabupaten Gunungkidul tahun 2016,

rasio dokter umum tercatat 14,4 per 100.000 jiwa atau 1 dokter

untuk 6.944 penduduk. Jadi tidak mengherankan jika pada suatu

kecamatan di wilayah perbatasan hanya memiliki 2-4 dokter

umum pada penduduk yang berjumlah 25.000 s.d. 55.000 jiwa.

Padahal rasio standar nasional yang disebutkan pada RPJMD DIY

2012 -2017 adalah satu dokter umum untuk 2.500 jiwa.

Pelayanan Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, khususnya

pada sarana dan prasarana dan persalinan menjadi permasalahan

yang penting untuk diprioritaskan. Hal tersebut karena pada kajian

ini memperlihatkan Puskesmas di Kecamatan Girisubo yang memiliki

cakupan pelayanan pemeliharaan sarana Puskesmas dan Pustu

yang sangat kurang, dengan nilai cakupan 34.3% dan pada cakupan

persalinan, dengan nilai hanya sebesar 59.52% (Laporan Puskesmas

Girisubo, 2016). Komplikasi pada persalinan yang ditangani juga

menjadi permasalahan yang masih muncul dikarenakan terkait

erat pada kurangnya ketersediaan dokter yang dapat melakukan

skrining kehamilan risiko tinggi dengan lebih baik.

2. Wilayah Sleman

Pada wilayah Sleman, permasalahan pada kriteria utama

didominasi oleh pelayanan dalam meningkatkan pengendalian

penyakit menular dan tidak menular, dengan bobot nilai sebesar

0,41. Pada urutan kedua dan ketiga dengan bobot nilai yang tidak

jauh berbeda ditempati oleh permasalahan dalam meningkatkan

perlindungan finansial, ketersediaan penyebaran dan mutu

obat serta sumber daya kesehatan, dengan nilai sebesar 0,28 dan

diikuti peningkakan status kesehatan dan gizi masyarakat dengan

nilai 0,24. Narasumber AHP pada wilayah Sleman menyebutkan

pelayanan dalam meningkatkan pemerataan dan mutu pelayanan

kesehatan tidak mempunyai masalah yang berarti dengan bobot

nilai sebesar 0,07.

152

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Sedangkan pada bobot final, permasalahan pelayanan

kesehatan terlihat cukup nyata pada 3 sub kriteria. Diantaranya

adalah permasalahan pada pengendalian penyakit menular,

dengan nilai bobot final sebesar 0,24. Diikuti oleh permasalahan

ketersediaan dokter pada urutan kedua dengan nilai sebesar 0,21,

dan permasalahan pada pengedalian penyakit tidak menular

dengan nilai 0,17. Nilai bobot final selengkapnya seperti terlihat

pada table 2.

Tabel 5.

Bobot Final Permasalahan Pelayanan Kesehatan

pada Wilayah Perbatasan di Kabupaten Sleman.

No Permasalahan Pelayanan Kesehatan Bobot Final

1 Pengendalian penyakit menular 0.24

2 Ketersediaan Dokter 0.21

3 Pengendalian penyakit tidak menular 0.17

4 Kunjungan Neonatus Lengkap 0.08

5 Komplikasi persalinan yang ditangani 0.07

6 Perawatan balita gizi buruk 0.04

7 Pertolongan persalinan oleh tenaga

kesehatan

0.04

8 Pelayanan Posyandu 0.03

9 Akses dan Pelayanan Pasien Miskin 0.03

10 Pelayanan Rumah Sakit 0.02

11 Ketersediaan Tenaga Kesehatan 0.02

12 Cakupan Universal Child Immunization

(UCI)

0.02

13 Pelayanan Puskesmas dan Pustu 0.01

Permasalahan Pengendalian Penyakit Menular

Penanganan penyakit menular masih menjadi prioritas yang

utama pada pelayanan kesehatan di wilayah perbatasan Sleman

dengan Jawa Tengah. Penyakit menular tersebut diantaranya

adalah penyakit demam dengue/demam berdarah dengue (DBD),

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

153


tuberkulosis, diare dan penyakit menular seksual (PMS) serta HIV-

AIDS. Kewaspadaan tinggi juga terus dilakukan terhadap ancaman

penyakit pes dan lepstospirosis.

Pencegahan dan pengendalian penyakit DBD dilakukan

dengan melakukan program-program promotif dan preventif yang

melibatkan peran serta masyarakat. Namun upaya ini tidak cukup

efektif untuk memutus mata rantai penularan DBD dikarenakan

kesadaran perubahan perilaku hidup sehat tidak dilakukan oleh

seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut terlihat dari cakupan

rumah/bangunan bebas jentik nyamuk aedes aegypti yang masih

dibawah target Standar Pelayanan Minimal di Puskesmas-

Puskesmas wilayah perbatasan. Kegiatan promosi Perilaku

Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) juga dilakukan untuk mencegah

penularan penyakit diare yang disebabkan karena kurangnya

kesadaran hidup sehat khususnya pada kebersihan lingkungan dan

sanitasi. Hal tersebut terlihat pada masih kurangnya nilai cakupan

rumah yang mempunyai Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)

dan juga dari rendahnya nilai rumah tangga ber-PHBS, yang

hanya memiliki nilai sebesar 43%. (Profil Kesehatan Sleman 2016).

Sedangkan penanganan pengobatan penyakit Tuberkulosis paru

baksil tahan asam (BTA) dilakukan mengacu pada program DOTS

(Directly Observed Treatment Shortcourse) yang telah terbukti efektif

menyebuhkan penderitanya. Kegiatan lain pada penanganan

penyakit ini adalah dengan terus mencari untuk menemukan kasus

baru melalui kegiatan penyuluhan dan sosialisasi.

Kewaspadaan penyakit menular juga diarahkan pada Penyakit

menular PMS dan HIV-AIDS, dengan lebih memperhatikan faktor

risiko di wilayah obyek wisata pada kawasan menginap perhotelan,

salon kecantikan dan panti pijat. Hal ini perlu diwaspadai karena

mempunyai fenomena gunung es, dimana terlihat sedikit di

per mukaan, padahal pada kenyataannya lebih banyak jumlah

penderitanya. Faktor risiko yang menyebabkan peningkatan

penyakit ini ditengarai oleh penyalahgunaan konsumsi Napza

154

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


dan penyimpangan perilaku seksual. Dalam hal penanganannya,

belum adanya kesepahaman mengenai program dan kegiatan

antar wilayah menjadikan pencegahan dan pengendalian penyakit

PMS dan HIV-AIDS ini sulit untuk dilakukan. Kegiatan screening

melalui sero survey dan pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS)

menjadi tidak efektif ketika penderita (ODHA) maupun tersangka

penderita selalu berpindah-pindah, sehingga mereka tidak akan

mendapatkan pengobatan dan akses terapi Antiretroviral (ARV).

Walaupun kasus penyakit pes dan lepstospirosis sudah tidak

lagi ditemukan, tetapi kewaspadaan tetap terus dilakukan. Terlebih

pada wilayah Kecamatan Cangkringan yang berdekatan dengan

wilayah Boyolali yang pernah terjangkit wabah pes. Begitu pula

pada wilayah Kalasan dan wilayah perbatasan sekitarnya dalam

mewaspadai penyakit lepstospirosis, karena belum lama pada

tahun 2015 ditemukan kasus lepstospirosis di wilayah tersebut.

Ketika kasus tersebut muncul, penanganan bersama antar wilayah

kabupaten-propinsi mutlak untuk dilakukan seperti yang telah

tertuang pada kerjasama lintas batas DIY dan Jawa Tengah 2017

dan 2018. Namun perbedaan jumlah dan jadwal waktu rencana

kegiatan surveilans yang dipengaruhi oleh perbedaan sumber

pembiayaan menjadi hal yang akan sangat berpengaruh pada

keefektifitasan kegiatan bersama ini.

Permasalahan Ketersediaan Dokter

Pada profil kesehatan Kabupaten Sleman, diketahui ratarata

jumlah dokter umum pada tiap Puskesmas dari 7 Puskesmas

(Puskesmas Prambanan, Kalasan, Ngemplak 2, Tempel 2, Turi,

Pakem dan Cangkringan) di wilayah perbatasan Sleman dengan

Jawa Tengah adalah sejumlah tiga dokter, dengan asumsi tanpa

menambahkan keberadaan dokter pada praktek klinik (non

Puskesmas). Perhitungan jumlah penduduk pada tahun 2015

diketahui sejumlah 294.082 jiwa. Menghasilkan perhitungan rasio

keberadaan dokter terhadap jumlah penduduk sebesar 1:15.478 jiwa.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

155


Nilai tersebut masih jauh dari nilai rasio ideal yang ditetapkan oleh

BPJS sejumlah 1:5.000 jiwa, dan juga rasio ideal Dinas Kesehatan

Kabupaten Sleman 1:2.500. Dengan membandingkan nilai rasio

dokter umum keseluruhan yang ada pada Kabupaten Sleman

sebesar 1: 3.333 jiwa, maka nyata terlihat distribusi ketersediaan

dokter pada wilayah Sleman dengan wilayah perbatasan sangatlah

timpang.

Permasalahan Penyakit Tidak Menular

Diketahui penyakit tidak menular pada wilayah perbatasan

Sleman dengan Jawa tengah masih didominasi oleh penyakit

hipertensi, diabetes militus dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif

Kronik). Beberapa narasumber menyatakan bahwa penyakitpenyakit

tidak menular cukup sulit dalam penanganan

pengendaliaanya dikarenakan masih relatif rendahnya tingkat

pendidikan penduduk pada wilayah perbatasan. Hal tersebut

secara tidak langsung berdampak pada efektifitas perbaikan

presepsi kesehatan masyarakat dari upaya promotif dan preventif

yang telah dan terus dilakukan. Dengan persepsi kesehatan yang

kurang, membuat permasalahan ini menjadi lebih sulit untuk

ditangani. Hal ini dikarenakan penderita tidak mengetahui jika

dirinya menderita penyakit tidak menular tersebut, sehingga

harapan kepada masyarakat untuk dapat melakukan deteksi

dini secara proaktif tidak terlaksana. Pada beberapa wilayah,

permasalahan ini menjadi lebih berat ketika pelayanan dan fungsi

Posbindu masih kurang dan belum terlaksana secara optimal.

Diketahui pada area kerja tujuh Puskesmas dan tiga puluh

kelurahan yang berada di wilayah Sleman berbatasan dengan

Jawa tengah, hanya ada dua puluh empat Posbindu yang aktif

melakukan kegiatan (Profil Kesehatan Sleman 2016).

156

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


3. Wilayah Kulonprogo

Permasalahan kesehatan pada kriteria utama di wilayah

perbatasan Kabupaten Kulonprogo dengan Provinsi Jawa Tengah

terlihat sangat menonjol pada perlindungan finansial, ketersediaan

penyebaran dan mutu obat serta sumber daya kesehatan dengan

nilai bobot sebesar 0,52. Kemudian diikuti oleh permasalahan

pengendalian penyakit menular dan tidak menular dengan bobot

nilai sebesar 0,25. Permasalahan selanjutnya dengan bobot nilai

yang tidak signifikan ada pada permasalahan dalam meningkatkan

pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan; dan permasalahan

dalam meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat dengan

bobot nilai 0,12 dan 0,11.

Tabel 6.

Bobot Final Permasalahan Pelayanan Kesehatan

pada Wilayah Perbatasan di Kabupaten Kulonprogo

No Permasalahan Pelayanan Kesehatan Bobot Final

1 Ketersediaan Dokter 0.38

2 Pengendalian penyakit menular 0.16

3 Pelayanan Posyandu dan Pustu 0.09

4 Pengendalian penyakit tidak menular 0.09

5 Ketersediaan Tenaga Kesehatan 0.07

6 Kunjungan Neonatus Lengkap 0.04

7 Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 0.04

8 Cakupan Universal Child Immunization

(UCI) 0.03

9 Akses dan Pelayanan Pasien Miskin 0.03

10 Pelayanan Puskesmas dan Pustu 0.02

11 Perawatan balita gizi buruk 0.02

12 Komplikasi persalinan yang ditangani 0.02

13 Pelayanan Rumah Sakit 0.01

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

157


Ketersediaan Dokter

Pada permasalahan ketersediaan dokter, berdasarkan data dari

Profil Kesehatan Kabupaten Kulonprogo 2016 di tujuh Puskesmas

perbatasan (Puskesmas Temon 2, Kokap 1 dan 2, Samigaluh 1

dan 2, Girimulyo 2 dan Kalibawang), jumlah dokter umum yang

melakukan praktek adalah sejumlah tiga belas dokter dengan

asumsi tanpa menambahkan keberadaan dokter pada praktek klinik

(non Puskesmas). Padahal jumlah dari wilayah cakupan penduduk

pada tujuh puskesmas tersebut adalah 112.768 jiwa, sehingga

rasio antara jumlah dokter dan jumlah penduduk pada wilayah

perbatasan tersebut adalah 1:8.675 jiwa. Jika dibandingkan dengan

rasio ketersediaan dokter di wilayah Kabupaten Kulonprogo dengan

nilai 1:2.958 (Profil Kesehatan Kulonprogo 2016), maka akan sangat

terlihat ketimpangan persebaran dokter pada wilayah perbatasan.

Hal tersebut jelas memengaruhi beban kerja dokter, terlebih ketika

seorang dokter masih mempunyai tugas ganda pada jabatan

fungsional dan struktural. Berdasarkan keterangan dari narasumber,

walaupun Puskesmas di wilayah perbatasan telah beralih sistem

menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), yang berarti telah

mampu melakukan penyediaan barang dan jasa secara mandiri

termasuk dalam penambahan tenaga dokter, tetapi hal tersebut

dirasa tidak banyak membantu. Pada kebutuhan penambahan yang

telah diusulkan oleh beberapa Puskesmas belum juga berhasil.

Permasalahan pengendalian penyakit menular

Penyakit menular yang masih terdapat pada wilayah

perbatasan Kulonprogo dan Jawa Tengah menurut narasumber

adalah malaria, demam berdarah dengue (DBD) dan diare.

Perhatian ekstra diberikan pada penanganan penyakit Malaria

dengan melaksanakan program kerjasama lintas batas antara

pemerintah daerah tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kulonprogo,

Magelang dan Purworejo. Namun ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan, yang terkait ketidakefektifan pelaksanaan program

158

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


bersama di masa lalu, diantaranya: kurang adanya kesamaan

kebijakan program dan kegiatan dalam penanganan Malaria

di wilayah perbatasan termasuk perbedaan tata cara kegiatan

surveilans epidemiologi; terdapat migrasi lokal antar dusun dalam

wilayah, antar dusun luar wilayah, antar dusun antar provinsi;

koordinasi lintas batas yang belum berjalan dengan baik; lemahnya

koordinasi dan pembagian peran antara Puskesmas, kabupaten,

propinsi dan pusat dan Masyarakat tidak lagi merasa malaria

sebagai penyakit yang berbahaya. Selain beberapa permasalahan

tersebut, perbedaan waktu dalam pelaksanaan kegiatan lapangan

menjadikan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko pada

vektor pembawa penyakit tidak efektif.

Pada saat ini, seharusnya perbedaan waktu dalam melaksanakan

kegiatan lapangan pada pengendalian vektor malaria sudah

tidak lagi menjadi masalah jika perencanaan anggaran telah

tersedia. Tidak saja pada penyakit malaria, melainkan juga pada

penyakit menular lain yang berhubungan erat dengan perubahan

lingkungan seperti Leptospirosis dan Turbekulosis. Hal tersebut

dikarenakan teknologi peginderaan jauh terkini telah dapat melihat

pola kerentanan per musim dengan menggambarkan kondisi

lingkungan fisik, biotik dan sosial budaya masyarakat, sehingga

dapat membantu kewaspadaan dini dan dalam menentukan waktu

serta daerah prioritas penanganan (Widayani 2016).

Kesimpulan dan Rekomendasi

Beberapa hal yang bisa ditarik sebagai kesimpulan pada studi

pelayanan kesehatan pada wilayah perbatasan DIY antara lain:

1. Diketahui kondisi pelayanan publik di wilayah perbatasan DIY

Jateng berdasarkan fokus layanan urusan wajib yang tertuang

pada RPJMD DIY 2012-2017 mengarah pada permasalahan

ketersediaan dokter; penanganan penyakit menular serta tidak

menular; Pelayanan Puskesmas dan Pustu; dan Komplikasi

persalinan yang ditangani.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

159


2. Permasalahan ketersediaan dokter, khususnya pada ke tim pang an

persebaran diketahui menjadi permasalahan yang pa ling krusial

karena muncul pada ketiga kabupaten di wilayah perbatasan.

3. Pelaksanaan program lintas batas dalam menangani

permasalahan penyakit menular dan program pelayanan

Posbindu pada penanganan penyakit tidak menular menjadi

hal yang penting untuk diperhatikan pada pelayanan publik

urusan wajib kesehatan di wilayah perbatasan.

Sedangkan rekomendasi yang bisa diusulkan diantaranya:

1. Program kerjasama lintas bidang untuk memberikan besiswa

pendidikan sekolah kedokteran. Hal tersebut dikhususkan

kepada masyarakat lokal (rural) wilayah perbatasan untuk

menempuh sekolah Pendidikan kedokteran. Sumber daya

dokter dari wilayah rural pada beberapa negara telah efektif

berhasil menangani permasalahan kurangnya dokter dan

tenaga kesehatan di wilayah pedesaan (Kolstad, 2014).

2. Program Penanggulangan Penyakit Menular Kawasan

Perbatasan. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah kegiatan

peng in deraan jauh pada survelans epidiemologi, guna membantu

menentukan waktu dan prioritas area pada pelaksanaan

kegiatan lapangan penanggulangan penyakit menular yang

berhubungan dengan perubahan lingkungan.

3. Program Penanggulangan Penyakit Tidak Menular, dengan

mengoptimalkan kegiatan Posbindu. Hal tersebut berguna untuk

memberikan pengetahuan dan ketrampilan dalam memberi

penyuluhan, sehingga akan berpengaruh pada kesadaran

masyarakat untuk aktif melakukan skrining secara periodik.

4. Program penyehatan lingkungan permukiman, seperti

kegiatan pembangunan jamban keluarga dan penyehatan

sanitasi lingkungan. Hal tersebut diharapkan akan mampu

mengurangi prevalensi penyakit diare yang masih umum

terjadi pada wilayah perbatasan.

160

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Daftar Pustaka

Bappeda Provinsi DIY. 2012. Rencana Pembangungan Jangka

Memengah Daerah DIY 2012-2017.

BPS dan Bappeda DIY. 2013. Indeks Pembangunan Manusia Per

Kecamatan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013.

Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul. 2016. Profil Kesehatan

Kabupaten Gunungkidul 2016.

Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo. 2016. Profil Kesehatan

Kabupaten Kulonprogo 2016.

Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. 2016. Profil Kesehatan

Kabupaten Sleman 2016.

Hadiyanta, H. 2016. Dampak pelatihan oleh dokter keluarga

terhadap kinerja kader dalam melakukan konseling di

posbindu Dusun Tahunan Gunungkidul. Tesis tidak

diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Kementrian Kesehatan RI. 2015. Rencana Strategis Kementrian

Kesehatan 2015-2019.

Kolstad, JR. 2011. How to make rural jobs more attractive to health

workers. Findings from a discrete choice experiment in Tanzania.

Health Econ, vol. 20(2):196-211.

Puskesmas Girisubo. 2016. Sistem Pencatatan dan Pelaporan

Terpadu Puskesmas Girisubo.

Widayani, P. 2016. Permodelan spasial kerentanan wilayah terhadap

penyakit menular terkait lingkungan berbasis penginderaan

jauh (kasus malaria, leptospirosis, dan tuberculosis di

sebagian wilayah Jateng dan DIY). Disertasi tidak diterbitkan.

Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

WHO. 2015. “Diabetes” (http www who int. mediacenter/

factsheet/fs 312/en, diakses pada 4 Mei 2017.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

161


162

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Memikirkan (Kembali)

Topik Tubuh dalam Kebijakan Sosial

Milda Longgeita Pinem 1

Pengantar

Topik tubuh telah mendapat tempat istimewa dalam kajian

ilmu sosial dan humaniora beberapa dekade ini (Bordo 1993; Brook

1999; Butler 1993; Murray 2008; Scott & Morgan 1993; Synnott 1993;

Turner 1984; Wolkowitz 2006; Young 2005). Akan tetapi, di area

kebijakan sosial, topik tersebut boleh dikatakan belum mendapat

perhatian khusus, termasuk di Indonesia. Meskipun terdapat

karya pioner yang menginvestigasi tubuh seperti Ellis dan Dean

(2000) dan disusul dengan karya yang relatif lebih baru seperti

Twigg, et. al. (2011), minat terhadap topik tersebut belum juga

populer terbukti dari masih minimnya literatur kebijakan sosial

yang membahasnya.

Menurut Twigg (2000) ada dua hal yang bisa menjelaskan

ketidakpopuleran tersebut: positif dan negatif. Pertama, alasan

positif yang merupakan pembelaan dari kebijakan sosial terhadap

metodologinya sendiri. Tak bisa dipungkiri bahwa teorisasi tubuh

yang berkembang sekarang ini merupakan buah dari pendekatan

posmodern yang memandang praktik-praktik kehidupan adalah

diskursus yang cair, berubah-ubah, dan mudah berganti. Sementara,

kebijakan sosial merupakan arena yang masih saja menantang

kecenderungan relativisme dari pendekatan posmodern. Disiplin

ini masih dipandang sebagai subjek empiris yang kuat serta

1 Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL, UGM. Sedang menempuh

studi S3 atau Ph.D bidang Gender Studies di University of Hull, United Kingdom.

Email: mildapinem@ugm.ac.id

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

163


memiliki tradisi investigasi fakta dan pengumpulan data yang

akurat. Kontradiksi tersebut menjadi muasal dari ‘keengganan’

studi kebijakan sosial untuk menyertakan topik tubuh di dalam

kajiannya. Kedua, alasan negatif yang menjadi penolakan dari

kebijakan sosial adalah kecenderungan dalam memandang

topik tubuh secara monolitis pada dimensi ‘negatif’ ataupun

‘kekurangan’ saja seperti tubuh yang disabled, tua, abnormal dan

lain sebagainya. Dalam konteks yang demikian, kebijakan sosial

berperan semata-mata sebagai ‘penyelamat’ untuk ‘menormalkan’

dan ‘menertibkan’ tubuh.

Melampaui rasionalisasi ketidakpopuleran topik tubuh di atas,

artikel singkat ini mencoba untuk memberi pandangan bagaimana

sesungguhnya topik tubuh layak dipikirkan kembali, baik karena

adanya tantangan bagi pendekatan tradisional di dalam kebijakan

sosial itu sendiri maupun pergeseran diskursus dan isu-isu sosial

di dalam masyarakat kontemporer. Merespon hal tersebut, artikel

ini akan memaparkan perubahan pendekatan di dalam kebijakan

sosial. Apa yang hendak ditekankan bukanlah defenisi esensial

dari varian pendekatan di dalam area tersebut, melainkan dimensi

historis terjadinya pergeseran pendekatan khususnya ke arah

posmodern yang memberi peluang bagi pembahasan topik-topik

keseharian masyarakat seperti tubuh. Selanjutnya, kajian tubuh

akan disajikan secara ringkas sebagai gambaran bahwa topik

tersebut telah menjadi bahasan serius selama beberapa dekade ini,

sehingga layak dilihat relevansinya dengan Kebijakan sosial.

Pergeseran Pendekatan dalam Kebijakan Sosial

Kebijakan sosial dikenal sebagai subjek ataupun produk

sejarah yang terlahir pasca Perang Dunia II. Oleh karenanya

defenisi serta teori yang muncul pun tak jauh dari konteks tersebut

(Lewis 2000). Berdirinya sistem negara kesejahteraan (welfare state)

khususnya di negara-negara Eropa Barat, menandai peran negara

yang menguat dalam praktek-praktek kebijakan sosial termasuk

164

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


praktik pemberian pelayanan sosial dasar bagi setiap warga

negara. Namun, perubahan sosial dan destabilisasi sistem negara

kesejahteraan yang muncul sekitar dua dekade kemudian telah

mengguncang kemapanan defenisi, konsep, dan teori tradisional

di dalam kebijakan sosial. Situasi yang demikian menuntut area

tersebut untuk merumuskan kembali agenda baru, begitu juga

dengan perlengkapan konseptual sebagai alat analisisnya.

Mendominasinya neoliberalisme telah menggeser peran

kuat negara dalam hal penyedia kesejahteraan ke arah yang lebih

terfragmentasi, terprivatisasi, dan plural. Kebijakan sosial pun

tak lagi bisa dimaknai secara klasik sebagai aktivitas negara saja.

Globalisasi yang massif pun turut mengguncang otonomi negara

sekaligus memproduksi arena baru yang melampaui batas-batas

negara. Perubahan menuju masyarakat post industrial khususnya di

negara-negara Barat, tentu memiliki implikasi pada negara-negara

lainnya seperti bertumbuhnya tipe masyarakat informatif dan

restrukturisasi dunia tenaga kerja yang akhirnya turut mengubah

wajah kebijakan sosial. Demikian juga perubahan orientasi dari

aktivitas produksi kepada konsumsi telah meyumbang identitas

dan kultur baru di tengah-tengah masyarakat sehingga topik-topik

yang berkembang di dalam area kebijakan sosial telah bergeser

kepada aktivitas keseharian seperti belanja, wisata, kuliner, dan

lainnya. Menurut Cahill (1994) dalam konteks masyarakat paska

industrialis, mode aktivitas sehari-hari seperti itu pun pada

gilirannya telah membentuk ketidaksetaraan dan ekslusi baru yang

tentunya menjadi fokus baru pula di dalam kajian kebijakan sosial.

Perubahan sosial dan transformasi berbagai praktek kehidup

an di dalam masyarakat turut mempengaruhi peralihan

pen dekat an di dalam kajian akademis termasuk munculnya

aliran posmodernisme dan posstrukturalisme. Dengan kehadiran

pendekatan tersebut, terdapat tantangan baru dalam berpikir

termasuk pergulatan posisi teoritis yang kompleks dan tak jarang

memunculkan kontradiksi secara metodologis (Carter 1998;

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

165


Gibbins 1998; Hillyard & Watson 1996; Watson 2000). Perdebatan

terjadi karena adanya hal kontradiktif yakni posmodern di satu

sisi sungguh mengkritisi narasi-narasi dan teori-teori besar

sementara pada sisi lainnya ‘mainstream’ dari kebijakan sosial

masih memiliki komitmen pada universalisasi. Kebijakan sosial

dengan kecenderungan universalisme tersebut dipandang kurang

mempertimbangkan episteme lokal dan realitas perbedaan,

bahkan menurut Gibbins (1998: 31) ‘kurang politis dan cenderung

pragmatis’.

Area kebijakan sosial diwarnai oleh oposisi yang saling

berlawanan: pengangguran dan pekerja; the abled dan disabled;

sehat dan sakit; normal dan abnormal; ataupun pelaku kriminal

dan warga yang tertib (Hillyard & Watson 1996; Watson 2000).

Di satu pihak terdapat kategori yang membawa ‘superioritas

moral’ sementara pada pihak lainnya terdapat kategori yang

‘kurang’, ‘salah’, ‘lemah’ dan perlu dikoreksi ataupun diperbaiki.

Tirani dari oposisi biner seperti itu terasa kental di dalam kajian

tersebut. Pendekatan yang umum di dalam kebijakan sosial juga

berciri linear yang merupakan fondasi dan kelanjutan dari proyek

enlightenment atau pencerahan di Eropa sekitar abad ke-17 dan ke-

18. Apa yang diyakini dari pendekatan demikian adalah bahwa

tahap demi tahap, langkah demi langkah yang tepat dijalani akan

membawa kepada kemajuan dan perbaikan kehidupan masyarakat

yang lebih tertata, rapi dan teratur.

Lain dengan esensi pendekatan yang lazim di dalam kebijakan

sosial tersebut, pendekatan posmodern justru membongkar dan

menginterupsi batas dari kategori - kategori oposisi (Carter 1998;

Gibbins 1998). Yang diperdebatkan oleh pendekatan ini adalah

keterkaitan juga fragmentasi kategori berdasarkan pandangan

adanya dominasi dan kekuasaan. Tak ada tirani linearitas bagi

kemajuan dan tak ada langkah-langkah yang mutlak dilalui untuk

sampai pada sesuatu yang bernama progresivitas. Posmodenisme

sebagai pendekatan akademis sesungguhnya tidak jauh berbeda

166

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


dengan pendekatan sebelumnya yang (akan) selalu berada

pada proses pembentukan dan pematangan. Yang membuat

pendekatan ini lebih unik dan tersendiri adalah penolakannya

terhadap totalitas dan supremasi nilai dari kategori tertentu.

Selain itu, posmodernisme juga tidak melegitimasi metodenya

sebagai yang paling mampu mendekati kebenaran universal untuk

diaplikasikan, seperti yang terjadi pada Marxisme. Pergeseran

pendekatan kebijakan sosial ke arah yang seperti itu tentunya

membuka diskusi baru dengan topik-topik yang baru pula. Hal

ini sangat mungkin mengingat kebijakan sosial sendiri merupakan

area atau kajian yang sebenarnya sangat dinamis dan sangat

luas serta diwarnai oleh berbagai perspektif seperti komparatif,

feminis, kritis, sejarah dan radikal (Hillyard & Watson 1996).

Dengan pergeseran pendekatan ke arah posmodern, terdapat

ide-ide yang akan mengemuka di dalam kajian kebijakan sosial

seperti ide tentang diskursus, relasi kekuasaan dan pengetahuan,

serta berakhirnya narasi-narasi besar (Carter 1998; Gibbins 1998;

Hillyard & Watson 1996; Watson 2000).

Hal pertama adalah terkait pada gagasan diskursus dan

teks. Posmodernisme dan post strukturalisme telah menggugat

pandangan bahwa bahasa dan teks adalah representasi sederhana

dari realitas. Posmodern mendekonstruksi kecenderungan gagasan

Cartesian yang demikian dengan menunjukkan bahwa tak ada

dualisme atau pembedaan radikal antara ‘yang mengetahui atau

the knower’ dan ‘yang diketahui atau the known’. Ataupun tak ada

pemisahan antara abstraksi dari entitas ‘yang mengetahui’ dengan

realitas sosial, politik, ekonomi yang memproduksinya di mana

ide seperti ini merupakan inti dari enlightenment atau pencerahan

tentang objektivitas yang mempengaruhi perkembangan ilmu

sosial termasuk kebijakan sosial. Implikasi dari transformasi bahasa

dan teks yang demikian menantang keyakinan akan kepastian di

mana subjek telah dibangun serta memandang kebijakan sosial

semata-mata sebagai sebuah diskursus.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

167


Bila kemudian kebijakan sosial dipandang sebagai sebuah

diskursus maka konsep-konsep universalisme yang ada di dalam

kajian tersebut seperti ‘kesejahteraan atau welfare’ dan ‘kebutuhan

atau need’ akan diurai dari sisi pembentukan diskursusnya

dengan cara menginvestigasi ide-ide kekuasaan, kontrol,

ataupun normalisasi. Akan terlihat bagaimana produksi konsep

‘kesejahteraan’ dan ‘kebutuhan’ telah membentuk kelompok atau

individu yang dipandang rentan dan lemah. Dalam konteks yang

demikian, kebijakan sosial sebenarnya telah membentuk bahkan

memreproduksi subjek atau fokus kesejahteraan seperti ‘orang

miskin’, ‘tak berdaya’, ‘kaum disabled’ dan lainnya dalam wilayah

yang selalu dikontrol, diintai atau diamati. Pendekatan posmodern

yang demikian pun telah membongkar ‘ketidakkritisan’ di dalam

memperlakukan subjek tanpa melihat keterkaitan antara kekuasaan

dan pengetahuan sebagai proses justifikasi area kebijakan sosial

(Watson 2000).

Selanjutnya, investigasi relasi antara kekuasaan dan

pengetahuan. Pendekatan posmodern, khususnya menurut ‘the

legend’ Michel Foucault (1926-1984), telah membongkar konsep

kekuasaan klasik yang dilihat sebagai kepemilikan subjek atau

institusi tertentu. Kekuasaan dilihat tidak memiliki pusat tapi

menyebar pada berbagai dimensi kehidupan seperti institusi

agama, rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya. Posmodern

memandang kekuasaan dan pengetahuan saling terjalin dan semua

bentuk pengetahuan tercipta karena adanya relasi kekuasaan.

Watson (2000) menilai salah satu masalah dari pendekatan klasik

di dalam kebijakan sosial khususnya di era tahun 1970-an adalah

berkaitan dengan fokus diskusi yang dominan pada negara,

sementara hal-hal yang tampak biasa, sehari-hari, dan sederhana

namun penting yang tersebar di dalam kehidupan masyarakat

justru diabaikan.

Konsep negara dalam pendekatan klasik berakar dari tradisi

Marxis ataupun liberal. Di dalam Marxisme, negara dilihat sebagai

168

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


sebuah entitas yang independen dan objektif dengan perangkat

strukturnya. Negara dinilai memainkan peran kunci di dalam

mengorganisasi relasi-relasi kekuasaan dan memiliki kepentingan

atas kapital. Sementara di dalam tradisi liberal, negara diposisikan

sebagai entitas yang netral terutama dalam konteks kompetisi antar

kelompok-kelompok di luar negara. Dalam fungsi negara menurut

Marxisme dan Liberalisme yang lebih menonjolkan kedaulatan

(sovereignty) dan juga pemaksaan untuk tunduk pada hukumnya,

pendekatan posmodern khususnya Foucauldian justru lebih

menekankan negara pada praktek kekuasaan (exercise of power).

Dalam konteks demikian, kekuasaan difokuskan pada ranah

sosial yang terkait dengan pengelolaan dan fasilitasi penyelesaian

persoalan kebutuhan, sumber daya dan kesejahteraan masyarakat.

Model kekuasaan negara demikian bisa dicontohkan pada

teknologi baru pemantauan populasi penduduk.

Gagasan ketiga yang muncul adalah berakhirnya narasinarasi

besar (grand narratives) khususnya Marxisme ataupun ideide

lainnya yang punya kecenderungan mendeterminasi struktur.

Selama tahun 70an dan 80an, kajian kritis dari kebijakan sosial

berakar pada Marxisme yang menganalisis negara kesejahteraan

pada keterkaitannya dengan kapitalisme dan memandang kelas

sebagai pengkategori, pembagi atau pembeda masyarakat yang

utama, sementara konsep seperti gender, usia, dan ras ditambahkan

kemudian (Hillyard dan Watson 1996; Watson 2000). Posmodernisme

menantang pandangan yang condong pada totalitas dan meta narasi

seperti itu dengan menawarkan gagasan bahwa pengetahuan hanya

mungkin bila lokal, spesifik, dan parsial.

Akan tetapi, gagasan seperti di atas tak selalu bisa diterima.

Taylor-Gooby (1994) misalnya, memandang posmodernisme yang

begitu fokus pada keragaman, perbedaan, dan lokalisme serta

mengkritisi tawaran universal atau yang disebut dengan meta

narasi bagi masalah ketimpangan, justru melupakan perubahan

yang benar-benar terjadi di masyarakat yakni universalisasi

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

169


ke arah liberalisme pasar. Hal senada juga disampaikan oleh

Carter (1998) yang mengkritisi kecenderungan keberpihakan

posmodernisme pada ‘kelompok kanan’ yang kembali menciptakan

ketidaksetaraan baru. Ide berakhirnya grand narratives yang digagas

oleh posmodernisme memang telah secara radikal mengubah

epistemologi dari pendekatan umum kebijakan sosial yang

berakar pada investigasi empiris dan kritik moral. Untuk hal ini,

Watson (2000) turut menekankan bagaimana gagasan posmodern

khususnya Foucauldian telah memangkas habis konsep keadilan,

kebenaran, dan kesetaraan yang telah mentradisi di dalam analisis

kebijakan sosial.

Kajian Tubuh

Perkembangan kajian tubuh diawali dari ketidakpuasan atas

dominasi rasionalisme yang mewarnai ilmu sosial humaniora

khususnya sejak abad ke-18 (Twigg 2000). Ilmu sosial pada

umumnya telah melanjutkan proyek pencerahan yang memandang

rasio, kemampuan untuk mengontrol dan berabstraksi, lebih tinggi

hirarkinya dibanding hal-hal yang tak terjangkau nalar. Dalam

konteks yang demikian, emosi dan juga tubuh berada pada kategori

sekunder. Berangkat dari warisan Rene Descartes (1596-1650) filsuf

modern dari Perancis, yang memisahkan secara tegas tubuh dan

jiwa, tradisi dominan dari ilmu sosial selalu merujuk pada aktor

yang rasional. Hal ini juga yang mewarnai sebagian dari pendekatan

di dalam ilmu politik, ekonomi, termasuk kebijakan sosial. Tubuh

dikonseptualisasikan terpisah bahkan berada di luar aktor yang

rasional sehingga tidak masuk pada kategori analisis dari ilmu sosial.

Ilmu sosial dan khususnya sosiologi telah berjuang membangun

spektrum intelektualitasnya yang steril dari hal-hal biologis.

Menurut Turner (1984), kecenderungan dan dorongan seperti itulah

yang akhirnya mengeksklusi tubuh dari analisis ilmu sosial.

Perlawanan dan kritik terhadap dominasi rasionalisme yang

menyingkirkan analisis tubuh telah dilakukan oleh kaum feminis

170

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


(Bordo 1993; Brook 1999; Scott & Morgan 1993; Twigg 2000; Young

2005). Fokus awal dari feminisme adalah tubuh perempuan

yang dikontrol dan dimanipulasi di dalam kultur patriarkis. Isuisu

yang muncul adalah hak-hak reproduksi, pornografi, kasus

pemerkosaan, hingga komodifikasi tubuh perempuan oleh pasar.

Berbagai institusi yang dipandang mengontrol tubuh perempuan

pun tak luput dari analisis feminis seperti institusi kesehatan,

agama, perkawinan, dan lain sebagainya. Feminisme memandang

bahwa selama ini perempuan digambarkan lebih dekat dengan

tubuh dibanding laki-laki, bahkan perempuan adalah tubuh itu

sendiri. Hal tersebut, menurut para feminis, menjadi justifikasi

untuk menyingkirkan perempuan dari dunia kerja, pendidikan,

dan area publik secara umum. Perempuan direduksi semata-mata

pada fungsi seksualitas dan reproduksi dari tubuhnya. Tubuh

perempuan dikonstruksi secara patologis sebagai lemah, rentan

dan tak terkontrol, yang berbeda dengan deskripsi tubuh laki-laki

yang kokoh dan mudah didefenisikan.

Bukan hanya feminisme saja, analisis terhadap tubuh

sebenarnya juga telah dilakukan sejak Friedrich Nietzsche (1844-

1900), seorang filsuf Jerman, yang mempengaruhi filsuf dan

sosiolog Jerman lainnya seperti Herbert Marcuse (1898-1979)

yang mengidentifikasi tubuh sebagai sumber nafsu, irasional,

dan kesenangan seksualitas, di mana pandangan ini menjadi

basis bagi kritik terhadap kapitalisme (Turner 1984). Namun,

analisis yang paling dalam dan kuat bisa ditemukan kembali pada

gagasan-gagasan Foucault (1972; 1973; 1979). Pemikir posmodern

ini memandang tubuh bukanlah entitas yang netral dan natural

melainkan diciptakan dan direproduksi melalui diskursus. Ia

memetakan sejarah tubuh beserta efek kekuasaan atasnya yang

dinamai sebagai bio power. Dengan bentuk kekuasaan yang demikian,

tubuh didefenisikan, dikontrol, dan didisplinkan. Manajemen dan

cara beroperasinya diatur dalam teknik pemilahan antara yang

sakit dan sehat, ataupun antara yang gila dan waras. Pemisahan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

171


seperti itu dilakukan dengan menyediakan bangunan atau ruang

pendisiplinan seperti rumah sakit jiwa, penjara, dan lainnya yang

bertujuan untuk mengatur, mengelola, dan mendisiplinkan tubuh.

Ide Foucault mengenai kekuasaan yang melekat pada

pengetahuan sangat mengena pada praktek-praktek pendisiplinan

tubuh seperti di atas. Sejalan dengan hadirnya institusi dan

bangunan pemilahan tadi, berkembang pula ilmu pengetahuan

yang menjadi taksonomi dan memberi klasifikasi bagi gangguan

jiwa dan mental, begitu juga dengan penyimpangan seksual. Dengan

mengaplikasikan sistem pengetahuan seperti itu, orang-orang

dan kelompok tertentu bisa dengan mudah didefenisikan bahkan

diciptakan. Melalui perangkat teknologi pendisiplinan, individual

dan komunitas diklasifikasikan, dihakimi, dan dikoreksi. Pandangan

Foucault seperti itu hendak menunjukkan bahwa ide progresivitas

yang hadir dalam teknik pendisiplinan tubuh di zaman modern

sebenarnya ekspresi dari kekuasaan yang halus tapi sesungguhnya

represif. Ia menambahkan bahwa pengobatan, perawatan orang gila

dan orang sakit, berkembangnya toleransi bagi ekspresi seksualitas,

merupakan progresivitas ataupun kemajuan yang ambigu yang

telah menginternalisasi bukan semata-mata fisik tapi juga sistem

pemikiran dan praktek-praktek kehidupan. Teknologi pendisiplinan

tubuh pun bukan lagi dilakukan oleh institusi-institusi tertentu

melainkan telah menjadi ‘kebenaran’ dan ‘keyakinan’ bersama yang

dipakai untuk mengoreksi dan memata-matai diri sendiri.

Lebih lanjut, karya Foucault mengenai seksualitas juga

mempengaruhi teori Queer yang menggugat gagasan esensialisme

dari seksualitas. Ide tentang seksualitas dan tubuh sebagai entitas

yang tak bisa berubah dibongkar dengan menunjukkan bahwa

dua kategori tersebut sebenarnya berkarakter transhistoris

ataupun transkultural. Butler (1993) menjelaskan hal ini dengan

mengaitkannya pada diskursus yang memproduksi ataupun

mengkonstruksi bukan hanya gender melainkan juga seks. Baginya,

seksualitas dan juga tubuh merupakan hasil dari konstruksi sosial

172

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


yang mana ide ini membuka peluang politis untuk mengkritik

ideologi heteroseksual dan memberi ruang pengakuan identitas

kaum ‘gender ketiga’ LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender,

Queer/Questioning sexual identity).

Minat terhadap investigasi tubuh telah berkembang pesat di

bawah payung posmodernisme. Tubuh pun menjadi isu penting di

dalam ilmu sosial humaniora sebagai yang sentral bagi identitas diri

(Shilling 1993; Synnott 1993). Bukan saja pada dimensi kesehatan

yang banyak menggunakan alat analisis Foucauldian, isu tubuh

juga menyebar pada masyarakat konsumeris. Meluasnya privatisasi

makna dan bergesernya nilai konsumsi di dalam kehidupan pada

gilirannya membuat orang-orang mencari makna bukan lagi di

level struktur melainkan pada level individu termasuk tubuh.

Tubuh pun menjadi proyek yang tidak lagi bisa diacuhkan. Dalam

masyarakat konsumeris, tubuh juga menjelma sebagai kendaraan

penting bagi kesenangan, kenikmatan, sesuatu yang (semestinya)

dipamerkan, dan menjadi ekspresi diri (Featherstone 1991).

Teknologi informasi dan iklan telah membentuk dunia baru dan

mempromosikan bentuk ‘kehidupan ideal’ dalam rupa kegiatan

belanja dan konsumsi. Media seperti ini menjadi perpanjangan

tangan komoditas yang menjangkau kehidupan masyarakat luas

termasuk pengalaman tubuh. Budaya konsumeris disibukkan

dengan impian memiliki tubuh sempurna yang diwartakan

melalui model-model glamor yang lebih sering tak bisa terjangkau

di dalam kehidupan nyata. Akan tetapi pengalaman tubuh bukan

sekedar kenikmatan saja, ia juga pararel dengan sisi asketis dalam

bentuk rezim penyangkalan diri seperti diet dan olah raga yang

digandrungi oleh banyak orang.

Relevansi Topik Tubuh dalam Kebijakan Sosial

Bagaimanakah relevansi topik tubuh di dalam kebijakan

sosial? Dengan melihat kesamaan pergeseran pendekatan di

antara keduanya yakni ke arah posmodernisme, bukan tidak

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

173


mungkin melihat kembali keterkaitan di antara keduanya. Ada

beberapa topik yang bisa dipakai untuk melihat relevansi topik

tubuh dalam kebijakan sosial: institusi pengobatan dan perawatan

kesehatan; institusi pendisiplinan seperti penjara dan rumah

sakit; disabilitas; dan praktek kehidupan konsumeris. Topik-topik

seperti ini memang telah muncul dalam praktek kebijakan sosial,

akan tetapi lebih ditekankan pada struktur yang menciptakan dan

mempengaruhinya sementara topik tubuh yang merupakan aspek

kedirian individu belum banyak tersentuh di sana.

Pertama, berkaitan dengan salah satu wilayah di dalam

kebijakan sosial yakni institusi pengobatan dan perawatan kesehatan

di mana manajemen tubuh sangat sentral tapi diabaikan. Diskursus

institusi seperti itu diproduksi dan dikembangkan di dalam

wilayah pekerjaan sosial (social work). Akan tetapi, perkembangan

studi pekerjaan sosial belum memberi tempat khusus bagi topik

tubuh sementara pendekatan yang dilakukan adalah pada level

individual dan juga komunitas dengan menekankan faktorfaktor

psiko-sosial (Cunningham & Cunningham 2008; Doel 2012;

Rowe et al. 2008; Twigg et al. 2011). Area pekerjaan sosial pada

titik tertentu mendefenisikan dan membatasi wilayah eksplorasi

dari para pekerja sosial berhadapan dengan tenaga medis.

Dokter, misalnya, dipandang sebagai yang paling kompeten dan

semestinya menangani persoalan tubuh, sementara pekerja sosial

lebih dihadapkan pada dimensi sosial dan emosional. Pada konteks

ini, batasan tegas ataupun oposisi biner antara tubuh dan emosi

masih mewarnai area pekerjaan sosial.

Akan tetapi, situasi paradoks muncul ketika institusi

pengobatan dan perawatan kesehatan yang menjadi wilayah

pekerjaan sosial, didominasi oleh persoalan tubuh (Twigg 2000;

2009). Di satu sisi, tubuh terabaikan, tapi pada sisi lainnya ia begitu

lekat dan hadir dalam institusi perawatan kesehatan. Sebagai

contoh di panti lansia di mana semua pasien adalah orang tua yang

masalahnya banyak terkait dengan tubuh seperti penglihatan,

174

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


pendengaran, mobilitas, dan lain sebagainya. Diskursus institusi

perawatan memang telah fokus pada konsekuensi sosial dari

situasi tersebut, tapi tetap saja perbincangan serius terkait dengan

tubuh belum masif. Bagian terpenting dari institusi pengobatan

dan perawatan kesehatan justru dilupakan yang pertama-tama

adalah tubuh yakni menolong pasien untuk bangun, berpakaian,

menemani bepergian, dan juga perawatan personal.

Pengabaian tubuh dalam diskusi kebijakan sosial khususnya

yang terkait dengan institusi pengobatan dan perawatan kesehatan

merupakan konsekuensi dari warisan pendekatan yang masih

memandang tubuh adalah wilayah privat, tabu untuk dibicarakan,

tidak sopan, meskipun hal yang ambigu kerap terjadi ketika tubuh

tak jarang menjadi bahan candaan banyak orang. Kesopanan dan

kesungkanan dibutuhkan bila hendak membicarakan tubuh secara

terbuka. Artinya lagi, tubuh tak perlu dibawa ke diskusi publik,

cukup berada di area privat saja. Bila menggunakan pendekatan

seperti ini, tubuh pun menjadi topik yang dihindari oleh para

pengambil kebijakan. Akan tetapi bila tubuh dipandang tidak

terpisah dari individu, maka persoalan tabu atau tidak untuk

membicarakannya secara terbuka pun bisa diatasi. Dalam hal

ini, pergeseran pendekatan kebijakan sosial ke arah posmodern

membuka peluang bagi diskusi topik tubuh. Meletakkan topik

tubuh pada spektrum yang tidak kaku dan luas, akan memunculkan

ragam diskursus terkait dengan kebijakan bagi institusi pengobatan

dan perawatan kesehatan.

Kedua, tubuh yang berada pada institusi pendisiplinan

seperti penjara dan rumah sakit. Foucault (1973; 1977; 1979) telah

menekankan bahwa kekuasaan beroperasi pada dan melalui tubuh.

Baginya, kekuasaan ibarat kapiler yang bekerja melalui teknologi

mikro dan halus dari rezim pendisiplinan yang terus menerus

bekerja pada tubuh dan keseharian siapa saja. Konsep bio power

yang digagas oleh Foucault tersebut membuka (kembali) diskusi

kebijakan sosial yang terkait dengan areanya seperti rumah sakit

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

175


jiwa, klinik, penjara, dan lainnya. Diskursus yang hadir di dalam

institusi seperti itu, menurut Ellis (2000), juga telah merambah pada

bidang lainnya seperti pendidikan dan juga perawatan kesehatan.

Pendisiplinan dan pengelolaan tubuh, menurut Foucault

(1977), berkaitan dengan praktek pemilahan di mana kelompok

ataupun individu diklasifikasikan dan dikelompokkan berdasarkan

standar kategori tertentu, sehingga yang normal dipisahkan dari

yang abnormal, yang gila dibedakan dari yang waras, yang lurus

dipilah dari yang menyimpang. Klasifikasi yang demikian telah

menghadirkan wujud ekspresi berupa bangunan-bangunan dan

institusi-institusi di mana tubuh-tubuh pasien atau pesakitan

‘dipenjara’ ataupun ‘dipamerkan’ (Twigg 2000). Dalam konteks

pengklasifikasian tubuh seperti itu, kebijakan sosial memegang

peranan penting untuk menetapkan standar dan norma.

Bagi Foucault (1972), negara modern bergantung pada praktek

pengawasan dan pengintaian (surveillance) terhadap masyarakat

sehingga sejak kelahiran hingga kematian, mereka terus-menerus

dipantau, dihitung, dan direkam. Model negara kesejahteraan di

abad ke-20 pun telah diperkuat dengan teknik pengawasan dan

pengintaian seperti itu (Ellis & Dean 2000). Akan tetapi, diskusi

tentang pengawasan dan pendisiplinan tubuh belum menjadi

sesuatu yang signifikan di dalam kebijakan sosial. Dengan

menggunakan pendekatan posmodern khususnya Foucauldian,

fokus utama yang selama ini diarahkan pada negara beserta

institusi-institusi formalnya, bisa digeser pada isu terabaikan seperti

tubuh untuk menunjukkan bagaimana kekuasaan berpraktek dan

hadir secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, disabilitas tubuh sebagai relevansi nyata mengenai

relasi antara topik tubuh dan kebijakan sosial. Hingga sekarang, isu

mengenai disabilitas telah banyak dibahas terutama berhubungan

dengan dimensi sosial bagi pengakuan dan penerimaan kaum

disabilitas yang kerap mengalami stigmatisasi di tengah-tengah

masyarakat (Barnes & Mercer 2006; Clements & Read 2008; Morris

176

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


1991). Namun, topik tubuh masih dipandang secara reaktif dan

opresif di dalam diskursus disabilitas termasuk praktek kebijakan

sosial itu sendiri. Membicarakan tubuh dianggap melecehkan dan

merendahkan kaum disabilitas. Keengganan di dalam membahas

tubuh terjadi karena kajian disabilitas selama ini terlalu menekankan

perbedaan antara kecacatan (impairment) dan ketidakmampuan

(disability) yang memiliki konsekuensi pada tersingkirnya diskusi

serius ataupun teorisasi mengenai kecacatan itu sendiri (Hughes

& Paterson 1997; Hughes 1999). Di tengah-tengah masyarakat

modern, kecacatan dilekatkan pada dimensi biologis, sementara

disabilitas berkaitan dengan hal-hal sosial. Masyarakat modern yang

melakukan fetisisasi terhadap penampilan dan rupa, sebenarnya

secara pararel juga telah menjadi tekanan bagi orang-orang disabled.

Hughes (1999) melihat logika masyarakat modern yang seperti itu

telah mengkonstruksi kaum disabled sebagai ‘yang lain’ (other).

Morris (1991) telah mengkritisi sebelumnya mengenai

kebijakan sosial yang melupakan pengalaman subjektif dari orangorang

disabled seperti rasa sakit pada tubuh, di mana pengalaman

seperti ini berakar dari kecacatan tadi. Mengatasi kecenderungan

yang demikian, gerakan feminisme yang terinspirasi dari

pendekatan posmodern telah mencoba melakukan renegosiasi

batasan antara biologi dan sosial yang tampak pada dekonstruksi

perbedaan seks dan gender, dan hal ini sebenarnya bisa dipakai di

dalam kajian disabilitas. Pengalaman rasa sakit pada tubuh yang

dialami oleh orang-orang disabled perlu dimaknai bukan saja pada

tataran biologis tapi juga secara sosiologis. Bila perlu kedua-duanya

tidak dilihat secara terpisah. Gagasan yang demikian menjadi

sangat signifikan bagi pengkayaan pendekatan di dalam kebijakan

sosial tentang bagaimana konsep disabilitas dibangun secara sosial

tapi juga dialami secara personal. Ini juga menjadi tantangan bagi

kebijakan yang terkait dengan aborsi selektif dan bedah tubuh atau

wajah yang disesuaikan dengan konstruksi standar tubuh sehat

dan sempurna (Seymour, 1998).

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

177


Keempat adalah praktek kehidupan konsumeris yang berpengaruh

pada agenda kebijakan sosial. Masyarakat yang

berkembang ke arah posmodern telah merubah nilai-nilai kehidupan

lama yang kerap menyanjung asketisme, kontrol terhadap

gaya hidup konsumtif dan hedonisme. Kesenangan, kenikmatan,

konsumsi dan aktivitas terkait lainnya menjadi sesuatu yang

bukan salah dan tabu lagi di dalam masyarakat posmodern. Dalam

konteks yang demikian, tubuh menjadi tempat bagi kesenangan

dan konsumsi yang dipromosikan dalam rupa iklan-iklan yang

mengkonstruksi gagasan belanja dan kepemilikan harta benda

sebagai wujud kebahagiaan dan kesejahteraan. Di sini, tubuh pun

menjadi pusat identitas diri dan proyek yang dikerjakan terusmenerus

melalui rezim diet, olah raga, operasi plastik, dan modelmodel

perawatan dan penyempurnaan tubuh lainnya (Bordo 1993;

Featherstone 1991).

Perubahan kesadaran dalam masyarakat seperti itu telah

memberi tantangan tersediri bagi kebijakan sosial. Kebijakan

sosial adalah mengenai wellbeing, kehidupan yang lebih sejahtera

serta kebahagiaan. Jelas bahwa di dalam masyarakat posmodern,

kebahagiaan tampak fokus pada tubuh. Fokus lama di dalam

kebijakan sosial menjadi berubah khususnya di antara generasi

baru yang mengalami kehidupan dan wellbeing berpusat pada

tubuh. Berkembangnya gaya hidup konsumeris juga telah

merombak paradigma lama khususnya dalam negara-negara

kesejahteraan yang dulunya berorientasi pada produksi dan kini

pada konsumsi yang membuat masyarakat semakin terfragmentasi

dan individualistis (Twigg 2000). Situasi ini pun berpengaruh

pada kesadaran dan suka rela orang-orang yang dulunya tertarik

bergabung di dalam gerakan kolektif. Model gerakan sosial yang

dulunya dibangun berdasarkan kesadaran kelas kini mulai luntur

karena kehidupan konsumeris.

Cahill (1994) mengatakan bahwa di dalam masyarakat

konsumeris yang seperti itu, hadir bentuk baru dari marginalisasi,

178

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


ketidakadilan, dan ketidaksetaraan. Bisa dilihat dalam kaitannya

dengan tubuh, sebagai contoh kegemukan dan obesitas yang pada

pandangan umum memiliki status rendah (Murray 2008). Ataupun

pada kosmetik dan perawatan gigi di mana gigi putih dan bersinar

menjadi normatif dan semua tahu bahwa akses pada perawatan

yang demikian hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang

berpenghasilan besar. Penampilan yang berpusat pada tubuh telah

menjadi identitas baru yang tidak bisa lagi diabaikan di dalam kajian

kebijakan sosial karena rentan terhadap eksklusi dan marjinalisasi.

Penutup

Tubuh bersifat ubiquitous yang artinya berada di mana-mana,

mudah ditemukan, dan lekat dengan kehidupan sehari-hari, karena

realitas kehidupan pun mengatakan semua manusia memiliki

tubuh. Hal ini juga menjadi realitas yang memerlukan eksplorasi

intelektualitas dan ilmu sosial humaniora telah ditantang untuk

mendiskusikan persoalan intelektual yang terkait dengannya

seperti: relasi antara tubuh dan jiwa/pikiran, peranan emosi,

makna konseptualisasi tubuh dalam kehidupan sosial, batasan

konstruksi sosial terkait tubuh, dan pentingnya dimensi biologis

dalam kajian ilmu sosial. Hal ini semua merupakan isu penting

yang bukanlah secara murni bagian dari kebijakan sosial tapi pada

beberapa hal semuanya memiliki relevansi dengan kebijakan sosial

seperti yang telah diuraikan di dalam artikel ini. Kebijakan sosial

bukan studi yang fokus pada tubuh atau entitas kedirian tubuh itu

sendiri, melainkan yang hendak ditekankan adalah konsekuensi

dari kebijakan yang dibangun di wilayah-wilayah yang tak bisa

lepas dari praktek dan diskusi tubuh.

Berbagai tema yang muncul di dalam artikel ini hanyalah

contoh kecil untuk mengajak memikirkan (kembali) relevansi topik

tubuh dalam kebijakan sosial. Ada tema-tema lainnya yang bisa

dicari dan dikembangkan seperti tubuh lansia dan anak, tubuh dan

kriminalitas ataupun kontrol atas reproduksi, dan lain sebagainya.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

179


Namun, ada catatan penting lainnya yang perlu ditekankan

bagaimana pergeseran pendekatan ke arah posmodernisme di

dalam kajian kebijakan sosial memberi peluang untuk tidak ragu

lagi membahas topik-topik yang tidak sekedar dominan pada

negara ataupun institusi formal.

Daftar Pustaka

Barnes, C. dan G. Mercer. 2006. Independet Futures: Creating user-led

disability services in a disabling society. Bristol: The Policy Press.

Bordo, S. 1993. Unbearable Weight: Feminism, Western Culture, and

the Body, Berkeley, Los Angeles dan London: University of

California Press.

Brook, B. 1999. Feminist Perspetives on the body. London and New

York: Routledge.

Butler, J. 1993. Bodies that Matter: On the discursive limits of “sex”.

London dan New York: Routledge.

Cahill, M., 1994. The New Social Policy. Oxford: Blackwell.

Carter, J. 1998. Studying Social Policy after Modernity. Dalam J.

Carter (Editor), Postmodernity and the Fragmentation of Welfare.

London: Routledge.

Clements, L. dan Read, J. 2008. Disabled People and the Right to Life:

The protection and violation of disabled people’s most basic human

rights. New York: Routledge.

Cunningham, J. dan S. Cunningham. 2008. Sociology and Social

Work. Exeter: Learning Matters.

Doel, M. 2012. Social Work: The Basics. London and New York:

Routledge.

Ellis, K. dan H. Dean. 2000. Social Policy and the Body: Transitions

in Corporeal Discourse. Houndmills, London: Macmillan Press.

Featherstone, M. 1991. The Body in Consumer Culture. Dalam M.

Featherstone, Hepworth dan B. S. Turner (Editor), The Body:

Social Process and Cultural Theory. London: Sage.

180

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Foucault, M. 1977. Discipline and Punish: The Birth of the Prison.

London: Allen Lane.

Foucault, M. 1972. The Archaeology of Knowledge. New York:

Pantheon Books.

Foucault, M. 1973. The Birth of the Clinic: An Archaeology of Medical

Perception. London: Tavistock Publications.

Foucault, M. 1979. The History of Sexuality, Volume 1: An Introduction.

London: Allen Lane.

Gibbins, J.R. 1998. Postmodernism, Poststructuralism and Social Policy.

Dalam Postmodernity and the Fragmentation of Welfare. London

and New York: Routledge.

Hillyard, P. dan S. Watson. 1996. Postmodern Social Policy: A

Contradiction in Terms? Journal of Social Policy, 25(3): 321–346.

Hughes, B. 1999. The Constitution of Impairment: Modernity and the

Aesthetic of Oppression. Disability & Society, 14(2):155–172.

Hughes, B. dan K. Paterson. 1997. The Social Model of Disability

and the Disappearing Body: Towards a Sociology of Impairment.

Disability & Society, 12(3):325–340.

Lewis, G. 2000. Introduction: Expanding the Social Policy Imaginary.

In G. Lewis, S. Gewirtz dan J. Clarke (Editor), Rethinking Social

Policy. London, Thousand Oaks, and New Delhi: The Open

University and Sage Publications.

Morris, J. 1991. Pride Against Prejudice: Transforming Attitudes to

Disability, London: The Women’s Press.

Murray, S. 2008. The “Fat” Female Body. London: Palgrave Macmillan.

Rowe, W. et al. 2008. Comprehensive Handbook of Social Work and

Social Welfare. New Jersey: John Wiley & Sons.

Scott, S. dan D. Morgan. 1993. Body Matters: Essays on the Sociology

of the Body. London and Washington, D.C: The Falmer Press.

Seymour, W. 1998. Remaking the Body: Rehabilitation and Change.

London dan New York: Routledge.

Shilling, C. 1993. The Body and Social Theory. London: Sage.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

181


Synnott, A. 1993. The Body Social: Symbolism, Self and Society. London

and New York: Routledge.

Taylor-Gooby, P. 1994. Postmodernism and Social Policy: A Great Leap

Backwards? Social Policy, 23(3):385–404.

Turner, B.S. 1984. The Body and Society: Explorations in Social Theory.

Oxford: Blackwell.

Twigg, J. et al. 2011. Body Work in Health and Social Care. Sussex:

United Kingdom: Wiley-Blackwell.

Twigg, J. 2009. Clothing, Identity and the Embodiment of Age. Dalam J.

Powell dan T. Gilbert (Editor), Aging and Identity: A Postmodern

Dialogue. New York: Nova Science Publishers.

Twigg, J. 2000. Social Policy and the Body. In G. Lewis, S. Gewirtz

dan J. Clarke (Editor), Rethinking Social Policy. London,

Thousand Oaks dan New Delhi: The Open University and

Sage Publications.

Watson, S. 2000. Foucault and the Study of Social Policy. Dalam G.

Lewis, S. Gewirtz dan J. Clarke (Editor), Rethinking Social

Policy. London, Thousand Oaks, and New Delhi: The Open

University and Sage Publications.

Wolkowitz, C. 2006. Bodies at Work. London, Thousand Oaks, New

Delhi: Sage Publications.

Young, I.M. 2005. On Female Body Experience: “Throwing Like a Girl”

and Other Essays. Oxford, New York: Oxford University Press.

182

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Pariwisata Inklusif:

Kebutuhan Fasilitasi Akses Wisatawan Difabel

Tunadaksa Monoplegia dan Paraplegia

di Pantai Boom, Banyuwangi – Jawa Timur

Mufti Nafiatut Darajat 1 dan Hendrie Adji Kusworo 2 ,

Pendahuluan

Selain menjadi kebutuhan, pariwisata saat ini menjadi

sektor prioritas dalam upaya pembangunan di luar sektor migas.

Kebutuhan berwisata saat ini mengacu pada hak setiap orang

untuk mengekspresikan leisure termasuk dalam bentuk tourism.

Yang dimaksud ‘setiap orang’ termasuk masyarakat berkebutuhan

khusus yang dalam penelitian ini adalah difabel tunadaksa.

Undang-Undang Kepariwisataan No. 10 Tahun 2009 telah

mengatur hak difabel untuk berwisata. Di tingkat global, fasilitasi

berwisata bagi seluruh lapisan masyarakat khususnya bagi

difabel tunadaksa menjadi prioritas dan arah baru pengelolaan

dan pengembangan kawasan wisata dengan diperkenalkannya

pariwisata inklusif. Banyak penelitian mengungkapkan bahwa

wisatawan difabel merupakan salah satu potensi besar dalam

meningkatkan pangsa pasar industri pariwisata, namun masih

banyak destinasi pariwisata yang belum aksesibel bagi difabel.

Banyuwangi menjadi salah satu kabupaten yang mengandalkan

sektor pariwisata sebagai mesin penggerak perubahan ekonomi

dan sosial masyarakat. Mengacu Rencana Induk Pengembangan

1 Alumni S2 Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas

Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta 55281,

Indonesia. Email: muftidenafie@yahoo.com

2 Dosen Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas

Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta 55281,

Indonesia. Email: adjikusworo@yahoo.com.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

183


Kepariwisataan Kabupaten Banyuwangi yang tertuang dalam

Perda No. 13 Tahun 2012 tentang hak berwisata bagi difabel,

memberikan nuansa baru untuk berkontribusi menambah aspek

pertimbangan dalam hal fasilitasi berwisata. Hal itu berkaitan

dengan kemudahan akses berwisata bagi seluruh komponen

masyarakat termasuk difabel tunadaksa untuk dapat menghindari

euforia semu dari geliat pariwisata di Kabupaten Banyuwangi.

Lebih dalam, wisatawan difabel tidak berarti memiliki

kebutuhan yang sama berdasarkan karakteristik difabilitasnya

sebagai tunadaksa. Mengetahui perbedaan kebutuhan fasilitasi

berwisata bagi tunadaksa berdasarkan tipologi monoplegia

berkarakteristik pengguna orthosis dengan tipologi paraplegia

berkarakteristik pengguna kursi roda kemudian menjadi relevan

dilakukan untuk mewujudkan pariwisata bebas hambatan. Tujuan

penelitian ini untuk mengetahui kesadaran wisatawan difabel

tunadaksa tentang hambatan berwisata serta untuk mengetahui

perbedaan kebutuhan fasilitasi akses berwisata antara pengguna

orthosis dan pengguna kursi roda di Pantai Boom Banyuwangi.

Hasil menunjukkan wisatawan difabel tunadaksa memiliki

kebutuhan fasilitasi yang berbeda antara tunadaksa pengguna

orthosis monoplegia dengan pengguna kursi roda paraplegia.

Penelitian yang Relevan

Penelitian studi kelayakan Candi Prambanan sebagai destinasi

wisata yang ramah bagi penyandang difabel dilakukan oleh

Budiatiningsih et.al. (2015) dengan fokus mengenai aksesibilitas

bagi penyandang difabel. Tujuan penelitian Budiatiningsih

untuk mengetahui kondisi 3A yaitu atraksi, amenitas, dan

aksesibilitas di Candi Prambanan, untuk mengetahui kelayakan

aksesibilitas di Candi Prambanan bagi penyandang difabel, serta

memberikan alternatif pengembangan dalam mewujudkan Candi

Prambanan sebagai destinasi pariwisata yang aksesibel bagi

penyandang difabel. Hasil penelitian Budiatiningsih berupa desain

184

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


pengembangan Candi Prambanan yang ramah bagi penyandang

difabel, dan dimuat dalam artikel ilmiah. Berdasarkan penelitian

yang telah dilakukan oleh Budiatiningsih disimpulkan bahwa

Candi Prambanan telah memenuhi sebagai sebuah destinasi wisata

dengan terpenuhinya aspek 3A bagi wisatawan non difabel. Akan

tetapi, aspek aksesibilitas Candi Prambanan yang mengacu pada

lima standar aksesibilitas destinasi pariwisata yaitu parking areas,

signage, horizontal movement, vertical movement, dan public hygiene

facilities belum ramah bagi penyandang difabel sehingga masih

perlu adanya perencanaan yang lebih baik untuk mewujudkan

destinasi pariwisata yang ramah bagi semua wisatawan. Penelitian

Buditianingsih dapat menunjukkan secara detail kebutuhan

fasilitas berwisata bagi difabel khususnya di area wisata Candi

Prambanan. Namun Buditianingsih hanya membandingkan

kebutuhan berwisata bagi semua jenis difabel secara umum.

Sehingga belum memastikan kebutuhan antar sesama jenis difabel

khususnya tunadaksa seperti dalam penelitian ini.

Penelitian sebelumnya tentang wisata ramah difabel juga

dilakukan oleh Endang Kintamani (2013) tentang pengembangan

kawasan wisata alam kebun raya dan kebun binatang Gembira

Loka untuk wisatawan difabel. Tujuan penelitian Kintamani

untuk mengetahui kesesuaian fasilitas wisata bagi wisatawan

difabel, untuk mengetahui tingkat kepuasan wisatawan difabel,

dan untuk membuat strategi pengembangan kawasan wisata alam

Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka untuk wisatawan

difabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesesuaian fasilitas

berwisata bagi semua jenis difabel adalah kurang dari 30 persen,

tingkat kepuasan wisatawan semua jenis difabel belum mencapai

100 persen, serta strategi pengembangan kawasan wisata dengan

meningkatkan kualitas 3A yaitu atraksi, amenitas, dan aksesibilitas.

Penelitian Kintamani secara kuantitatif dapat menunjukkan secara

rinci kesesuaian fasilitas wisata serta tingkat kepuasan wisatawan

dari semua jenis difabel sehingga selanjutnya dapat membuat

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

185


strategi pengembangan wisata ramah difabel. Namun penelitian

Kintamani masih meneliti tentang kebutuhan fasilitasi berwisata

di ranah semua jenis difabel, sehingga perbedaan kebutuhan dari

salah satu jenis difabel itu sendiri belum tersentuh seperti dalam

penelitian ini.

Difabel: Tunadaksa Monoplegia dan Tunadaksa Paraplegia

Kondisi difabel dihasilkan dari interaksi antara seseorang

dengan kelemahan dan hambatan lingkungan yang mengganggu

atau menghalangi keseluruhan serta partisipasi efektif dalam

masyarakat berdasarkan kesamaan dengan yang lainnya. Dalam

penelitian ini digunakan istilah difabel atau different ability yang

berarti orang dengan kemampuan berbeda. Penelitian ini tidak

menggunakan istilah disable atau disabilitas yang berarti orang

yang tidak memiliki kemampuan atau cacat, lumpuh, walaupun

lazim digunakan dalam istilah internasional. Sedangkan istilah

wisatawan difabel, mengacu pada World Tourism Organiation,

berarti seseorang yang berpartisipasi efektif dalam masyarakat

berdasarkan kesamaan dengan yang lainnya dalam perjalanan,

akomodasi, dan pelayanan pariwisata lainnya yang terganggu

oleh hambatan dalam lingkungan mereka. Wisatawan difabel

merupakan seseorang yang berwisata dengan keterbatasan

fisik, psikis, serta pancaindera yaitu tuna rungu (keterbatasan

pendengaran), tuna daksa (gangguan/kerusakan tubuh), tuna

netra (keterbatasan penglihatan), maupun tuna grahita (hambatan

fungsi kecerdasan intelektual) sehingga memerlukan pemenuhan

kebutuhan khusus dalam berwisata. Difabel dalam penelitian ini

adalah tunadaksa. Pertimbangan peneliti mengangkat mengenai

wisatawan difabel tunadaksa diantaranya karena tunadaksa

merupakan salah satu jenis difabilitas yang memiliki peluang

kebutuhan fasilitasi berwisata lebih besar dibandingkan dengan

jenis difabilitas lainnya. Kebutuhan fasilitasi juga berkaitan dengan

mobilitas yang bergantung pada kondisi fisik individu dalam

186

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


hal ini adalah wisatawan difabel tunadaksa. Tunadaksa adalah

individu yang mengalami keadaan rusak atau terganggu sebagai

akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan

sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan

oleh penyakit, kecelakaan, atau juga dapat disebabkan oleh bawaan

sejak lahir. Tunadaksa juga sering diartikan sebagai suatu kondisi

yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau

gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas

normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri

sendiri (Soemantri 2005).

Berdasarkan beberapa pengertian tunadaksa dapat diketahui

bahwa tunadaksa merupakan sesorang atau individu yang

memiliki hambatan secara fisik sehingga berpengaruh terhadap

interaksi dengan lingkungannya. Tundaksa dalam penelitian ini

terbagi menjadi dua, yaitu tunadaksa dengan tipologi monoplegia

serta tunadaksa dengan tipologi paraplegia. Monoplegia adalah

individu yang mengalami kelumpuhan pada salah satu bagian

tubuh, misalnya lumpuh pada kaki kiri saja, sedangkan kaki kanan

serta kedua tangannya masih bisa berfungsi. Pengidap monoplegia

biasanya menggunakan alat bantu untuk menggerakkan organ

tubuh yang mengalami kelumpuhan. Alat gerak yang digunakan

oleh penderita monoplegia disebut dengan orthosis dan sering

dikenal dengan istilah umum kaki palsu atau tangan palsu.

Sedangkan tunadaksa dengan tipologi paraplegia merupakan

individu yang memiliki kelumpuhan pada kedua bagian tubuh,

misalnya lumpuh pada kedua kaki sedangkan kedua tangan masih

berfungsi dengan baik. Pengidap paraplegia dengan kelumpuhan

di kedua kaki ini biasanya menggunakan alat bantu kursi roda

untuk menjalankan aktivitas khususnya aktivitas di luar kesejarian

serta tempat tinggalnya. Dalam konteks penelitian ini kesadaran

difabel tunadaksa dengan karakteristik pengguna orthosis dan

pengguna kursi roda menjadi relevan dengan kebutuhan fasilitasi

berwisata karena berkaitan dengan aspek mobilitas di area pantai.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

187


Pada penelitian ini difabel dengan jenis tunadaksa dipilih

sebagai unit analisis karena berhubungan dengan kebutuhan

atau ketersediaan fasilitasi yang diberikan oleh penyedia jasa

pariwisata khususnya pemerintah serta pengelola Kawasan

Wisata Pantai Boom di Banyuwangi. Kebutuhan tersebut misalnya

kebutuhan wisatawan difabel tunadaksa yang memakai kursi roda

atau orthosis untuk berjalan di area pantai, mengakses toilet, dan

kebutuhan wisatawan untuk mengakses fasilitas fisik lain yang

ada di sekitar area pantai khususnya di Pantai Boom Banyuwangi.

Leisure Constraints dan Tourism Constraints

Leisure diartikan sebagai waktu luang khususnya dalam

bahasa Inggris. Sedangkan dalam bahasa latin, leisure berasal dari

kata licere yang berarti diizinkan (to be permitted) atau menjadi bebas

(to be free). Selain itu dalam bahasa Perancis leisure berasal dari

kata loisir yang mengandung arti waktu luang (free time) (Gorge

1992). Secara keseluruhan, leisure dapat didefinisikan sebagai suatu

kondisi terlepas dari segala tekanan (freedom from constraint), adanya

kesempatan untuk memilih (opportunity to choose), waktu yang

tersisa usai kerja (time left over after work) atau waktu luang setelah

mengerjakan segala tugas sosial yang telah menjadi kewajiban.

Leisure dapat dilihat dari aspek sosiologis, psikologis,

maupun antropologis. Aspek sosiologis leisure berkaitan dengan

free time, aspek psikologis berkaitan dengan state of mind, dan aspek

antropologis yaitu leisure sebagai activity. Dari aspek sosiologis

atau free time, waktu luang adalah suatu kondisi yang terbentuk

dari berbagai macam kegiatan baik yang sifatnya mendidik atau

menghibur. Pengertian Leisure dari sisi psikologis lebih dekat

dengan bahasan state of mind dari individu, yaitu waktu luang harus

dimengerti sebagai hal yang berhubungan dengan kejiwaan dan

sikap yang berhubungan dengan suasana hati atau mental. Leisure

dari aspek antropologis atau disebut juga dengan leisure as activity

dilihat sebagai waktu yang digunakan dan berisikan berbagai macam

188

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


kegiatan. Dalam pengertian ini individu mengikuti keinginannya

sendiri baik untuk beristirahat, menghibur diri sendiri, menambah

pengetahuan atau mengembangkan keterampilan secara objektif

atau untuk meningkatkan keikutsertaan dalam bermasyarakat.

Wisata (torism) dapat digambarkan sebagai perjalanan ke

luar dari tempat tinggal sehari-hari menuju suatu tempat dengan

berbagai tujuan mulai dari belanja, ziarah, maupun mengikuti

konferensi. Namun beberapa hal yang sama tersebut jika hanya

dilakukan di wilayah tempat tinggalnya tidak bisa dikatakan

sebagai kegiatan wisata. WTO (World Tourism Organization)

menjelaskan bahwa wisata merupakan aktivitas dari orang yang

melakukan perjalanan dan menetap di suatu tempat di luar

lingkungan yang mereka tempati dalam jangka waktu setidaknya

24 jam dan tidak lebih dari satu tahun berturut-turut dimana

tujuan aktivitas tersebut meliputi tujuan kesenangan, alasan

keluarga, kesehatan, rekreasi, liburan, dan tujuan lain yang bukan

merupakan pekerjaan. Dari beberapa pemaparan definisi wisata

tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wisata merupakan suatu

kegiatan seseorang secara sukarela di luar lingkungan tempat

tinggal dengan tujuan tertentu dengan rentan waktu minimal 24

jam di luar pekerjaan sehari-hari. Hubungan antara leisure dan

tourism dapat diilustrasikan melalui gambar berikut.

Gambar 9. Waktu Luang (Leisure) dan Wisata (Tourism)

Leisure Constraints

Tourism Constraints

Sosiologis

Psikologis

Antropologis

Leisure

Tourism

Out of Realm

(di luar ranah/wilayah)

(Sumber: Diolah oleh peneliti 2017)

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

189


Sosiologis

Psikologis

Leisure

Tourism

Antropologis

Out of Realm

Kerangka teori Leisure Constraints Crowford dan (di Goodbey luar ranah/wilayah) (1987

dalam Nyaupane dkk. 2002) digunakan dalam penelitian ini melalui

tiga dimensi model hirarki yaitu intrapersonal, interpersonal,

dan struktural. Selanjutnya penelitian ini membahasakan Leisure

Constraints yang berarti hambatan yang ditemui dan dialami saat

dalam kondisi leisure time khususnya dalam ranah tourism atau

berwisata sebagai tourism constraints atau hambatan berwisata.

Tabel 7. Theoretical Framework of Leisure Constraints

oleh Crawford dan Godbey (1987) :

Intrapersonal

Constraints

Interpersonal

Constraints

Structural

Constraints

Individual’s psychological states

The result of relationships, or lack of

relationship, with others

Physical or environmental factors

(Sumber: Nyaupane, Gyan P. dkk. 2002.)

Pertama, hambatan intrapersonal yang ditemui berupa

keadaan psikologis atau sifat yang mempengaruhi untuk memilih

menggunakan waktu luang seperti stress, depresi, keadaan

gelisah, ketaatan beragama atau fanatisme, dan sebagainya. Kedua,

hambatan interpersonal merupakan keadaan tidak mendukung atau

hambatan yang berasal dari relasi individu dengan individu lain

salah satunya adalah dengan keluarga maupun teman. Hambatan

interpersonal yaitu hambatan yang berasal dari relasi individu

dengan individu lain sebagai bentuk partisipasi dalam aktivitas

waktu luang. Salah satu contohnya adalah kurangnya teman atau

anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam aktivitas waktu luang

karena berbagai faktor. Ketiga, kendala struktural dalam hal ini

meliputi keseluruhan faktor di luar individu yang mempengaruhi

190

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


aktivitas wisata seperti sumber keuangan, ketersediaan kesempatan

termasuk aksesibilitas, jadwal waktu kerja, sampai pada musim

atau iklim. Pendekatan teori Leisure Constraints dalam penelitian ini

digunakan untuk melihat dan menganalisis kesadaran wisatawan

difabel terhadap hambatan fasilitasi yang dialami dalam berwisata

serta perbedaan kebutuhan fasilitasi antara difabel tunadaksa

pengguna orthosis dengan pengguna kursi roda di Kawasan

Pantai Boom Banyuwangi sehingga dapat menjelaskan fenomena

aksesibilitas bagi wisatawan penyandang disabilitas.

Penelitian ini juga menggunakan konsep kesadaran Bloom

(Jamanti 2014) dengan melihat kesadaran wisatawan difabel

melalui indikator pengetahuan, sikap, dan tindakan. Kesadaran

adalah pengetahuan tentang sesuatu itu dengan orang lain atau

diri sendiri (Hastjarjo 2015). Kesadaran merujuk pada keawasan

kejadian eksternal dan internal, termasuk kemawasan terhadap

diri sendiri dan berbagai pikiran tentang pengalaman keadaan

fisiologis saat seseorang sedang terlibat dengan lingkungan.

Dalam konteks penelitian ini kesadaran digunakan untuk melihat

bagaimana wisatawan difabel tunadaksa mengetahui, menyikapi,

serta bertindak berdasarkan constraints dan fasilitasi berwisata,

serta perbedaan kebutuhan fasilitasi antara tunadaksa pengguna

orthosis dengan pengguna kursi roda di Pantai Boom Banyuwangi.

Berkaitan dengan keberadaan aspek wisata (tourism)

dapat dijelaskan bahwa tourism merupakan bagian dari leisure.

Penekanannya berada pada tourism yang dilihat dari aktivitas yang

dilakukan di luar kebiasaan serta berada di luar lingkup rutinitas

maupun wilayah. Sedangkan leisure merupakan keseluruhan dari

aktivitas yang tersedia dilihat dari segi sosiologis berupa free time,

psikologis sebagai state of mind, dan antropologis sebagai sebuah

activity. Leisure constraints merupakan kendala atau hambatanhambatan

dari leisure, hambatan pada aspek wisata atau tourism

disebut dengan tourism constraints. Tourism Constraints merupakan

kendala atau hambatan yang terjadi dan menyebabkan aktivitas

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

191


wisata tidak dapat dilakukan oleh seseorang atau individu tertentu.

Sedikit berbeda dengan leisure constraints yang menekankan pada

tiga dimensi hierarki sebagai hambatan yang dapat terjadi pada

sesorang atau individu dalam melakukan aktivitas leisure secara

keseluruhan, tourism constraints lebih dilihat sebagai hambatan

atau kendala yang dapat menyebabkan sesorang atau individu

tidak dapat melakukan kegiatan wisata.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab masalah

dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Pendekatan

kualitatif pada penelitian ini dipilih karena dirasa dapat digunakan

untuk menemukan dan memahami mengenai kesadaran pelaku

pariwisata pada wisatawan difabel yang menjadi fokus dalam

penelitian. Penelitian kualitatif pada dasarnya memahami dan

memaknai apa yang terjadi pada individu, sebuah masyarakat,

atau objek lain.

Alasan peneliti menggunakan penelitian kualitatif adalah

karena penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud

untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan

lain-lain (Moleong 2010). Fokus penelitian ini adalah mengenai

kesadaran wisatawan difabel tunadaksa terhadap kebutuhan

fasilitasi akses berwisata berdasarkan hambatan yang ditemui.

Selain itu, fokus penelitian lainnya adalah perbedaan kebutuhan

wisatawan difabel tunadaksa berdasarkan karakteristik difabilitas.

Penelitian ini melihat perbedaan kebutuhan fasilitasi berwisata

tunadaksa berdasarkan karakteristik pengguna orthosis dengan

pengguna kursi roda. Penelitian ini menggambarkan bagaimana

wisatawan difabel tunadaksa melihat sudut pandang leisure

berkaitan dengan leisure constraints dan tourism constraints sebagai

bentuk dari hambatan yang dihadapi.

192

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Unit analisis dalam penelitian ini adalah wisatawan difabel

tunadaksa dengan perbedaan berdasarkan karakteristik difabilitas.

Difabel tunadaksa sebagai informan dalam penelitian ini yaitu

tunadaksa dengan tipologi monoplegia dan paraplegia. Tunadaksa

dengan tipologi monoplegia menggunakan otrhosis kaki palsu

sebagai alat bantu berjalan. Sedangkan tunadaksa dengan tipologi

paraplegia menggunakan kursi roda untuk beraktivitas. Informan

dalam penelitian ini adalah difabel tunadaksa pengguna orthosis

dan difabel tunadaksa pengguna kursi roda. Informan penelitian

ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu

informan dipilih dengan sengaja berdasarkan kriteria tertentu yang

dianggap sesuai dengan kebutuhan penelitian. Selain tunadaksa

pengguna orthosis dan tunadaksa pengguna kursi roda, Pihak

Kelurahan Kampung Mandar dan Pihak Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Kabupaten Banyuwangi juga menjadi informan dalam

penelitian ini.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian

ini adalah observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi.

Peneliti melakukan observasi dan dokumentasi di wilayah

kawasan wisata Pantai Boom serta objek yang masih berkaitan

dengan penelitian. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan

pada informan difabel tunadaksa dengan karakteristik pengguna

orthosis dan karakteristik pengguna kursi roda.

Hasil

Kesadaran wisatawan difabel khususnya dalam penelitian ini

adalah tunadaksa pengguna orthosis (monoplegia) dan tunadaksa

pengguna kursi roda (paraplegia) menjadi bagian penting dalam

upaya mewujudkan Pantai Boom sebagai destinasi wisata yang

bebas hambatan. Hal ini berkaitan dengan upaya menyediakan

fasilitas berwisata ramah difabel yang benar-benar tepat guna

dan tepat sasaran. Tepat guna yang dimaksud yaitu pemerintah

tidak asal menyediakan fasilitas berwisata bagi difabel di Pantai

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

193


Boom hanya untuk tujuan memenuhi peraturan atau ketetapan

undang-undang kepariwisataan, tetapi secara tepat dapat benarbenar

difungsikan bagi setiap difabel yang berkunjung khususnya

tunadaksa.

Kesadaran Wisatawan Difabel Tunadaksa tentang Hambatan

Berwisata di Pantai Boom Berdasarkan Aspek Pengetahuan,

Sikap, dan Tindakan.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa difabel tunadaksa baik

tipologi monoplegia pengguna orthosis dengan tipologi paraplegia

pengguna kursi roda memiliki kesadaran tentang constraints yang

dialami serta kebutuhan fasilitasi berwisata di Pantai Boom karena

memenuhi komponen kesadaran yaitu pengetahuan, sikap, dan

tindakan. Pertama, pengetahuan wisatawan difabel tunadaksa

tentang kebutuhan fasilitas berwisata di Pantai Boom Banyuwangi

mengacu pada pengetahuan mereka bahwa tidak bisa melakukan

perjalanan berwisata sendiri berdasarkan pengalaman yang telah

diceritakan oleh Ibu Luluk dan Andri yang mengalami kesulitan

saat melewati pembatas tali dan menuruni tangga panggung.

Dalam konteks wawancara yang telah dilakukan, informan difabel

tunadaksa tahu, memahami, dapat mengaplikasikan pengalaman

yang dipahami, dapat menganalisis, sampai pada penilaian atas

suatu objek yang telah ditemui sehingga dapat mengungkapkan

kebutuhan fasilitas yang seharusnya ada di Pantai Boom misalnya

tangga yang terlalu tinggi, akses jalan khusus untuk difabel dengan

ukuran yang sesuai, atau fasilitas toilet yang tidak terjangkau oleh

difabel karena tidak cukup ruang untuk kursi roda. Sehingga

wisatawan difabel tunadaksa dikatakan memiliki pengetahuan

tentang kebutuhan fasilitasi berwisata di Pantai Boom Banyuwangi.

Kedua, dalam hal sikap sebagai komponen kesadaran berupa

reaksi atau respon dari sesorang atas suatu stimulus atau objek

yang ada di sekitarnya atau yang telah dilihat, difabel tunadaksa

memiliki sikap menerima, merespon, menghargai, serta mau

194

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


bertanggung jawab atas kondisi ketersediaan fasilitas berwisata

di Pantai Boom Banyuwangi. Wisatawan difabel tunadaksa

menerima ketersediaan fasilitas yang ada di Pantai Boom saat ini

misalnya paving yang bisa sedikit memudahkan difabel tundaksa

seperti Ibu Luluk dan Andri untuk berjalan di sepanjang area

pantai. Namun ada beberapa sikap yang tidak dapat sepenuhnya

menerima ketersediaan fasilitas di Pantai Boom Banyuwangi saat

ini yaitu sikap tentang keberadaan panggung atau ampitheatre yang

masih kurang bersahabat dengan kondisi fisik informan tunadaksa

karena tidak ada tangga khusus bagi difabel tunadaksa khususnya

pengguna orthosis serta area landai bagi pengguna kursi roda.

Ketiga, berkaitan dengan perilaku atau tindakan, dalam

penelitian ini hal ini masih berada pada tahap persepsi yaitu wisatawan

difabel mengenal dan memilih berbagai objek sehubung an

dengan tindakan yang diambil. Misalnya hasil wawancara dengan

Ibu Luluk yang memilih untuk tidak melewati tali pembatas

karena terlalu tinggi dan tidak dapat dijangkau oleh dirinya. Selain

itu Andri yang memilih untuk tetap menggunakan kaki palsunya

walaupun dirasa tidak dapat digunakan saat berada di Kawasan

Pantai Boom Banyuwangi.

Kesadaran constraints yang dialami berupa hambatan

intrapersonal, hambatan interpersonal, dan hambatan struktural:

a. Hambatan Intrapersonal

Hambatan intrapersonal disadari oleh Andri sebagai

wisatawan tunadaksa pengguna orthosis memandang

bahwa berwisata merupakan kegiatan yang dibutuhkan

dan penting bagi diri sendiri, namun Andri manyadari

bahwa butuh lebih banyak kesiapan dalam hal tertentu

dibandingkan dengan orang lain saat berwisata di Pantai

Boom sehingga terkadang menjadi beban pikiran ketika

akan berwisata. Sedangkan Ibu Luluk sebagai pengguna

kursi roda mengetahui bahwa berwisata selama ini tidak

hanya menyenangkan karena menjadi sarana penghibur

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

195


diri maupun melepas penat dari aktivitas seharihari,

tetapi juga sebagai salah satu sumber penambah

wawasan. Namun Ibu Luluk menyadari dengan keadaan

fisiknya, tentu mengharuskan beriwsata dengan lebih

mandiri sehingga tidak tergantung pada orang lain.

b. Hambatan Interpersonal

Hambatan intrapersonal mengarah pada difabel

tunadaksa pengguna orthosis sadar tentang hubungan

antara diri sendiri dengan orang lain (teman atau

keluarga). Dalam konteks penelitian ini, Andri seorang

informan tunadaksa pengguna orthosis sadar bagaimana

respon teman atau keluarga yang ikut menemani Andri

berwisata ke Pantai Boom dengan kondisinya sebagai

orang yang memiliki kebutuhan khusus. Sedangkan Ibu

Luluk sebagai tunadaksa pengguna kursi roda menyadari

bahwa saat berkunjung ke Pantai Boom Banyuwangi,

masih ada orang lain yang kurang peduli terhadap upaya

difabel mewujudkan kemandirian berwisata. Hal ini

ditunjukkan oleh salah satu petugas penjaga pantai yang

kurang merespon kebutuhan khusus bagi Ibu Luluk saat

di Pantai Boom.

c. Hambatan Struktural

Wisatawan difabel tunadaksa menyadari hambatan

struktural dalam berwisata di Pantai Boom yang

digambarkan oleh Andri sebagai pengguna orthosis kaki

palsu. Andri merasa tidak dapat dengan mudah berjalan

di area pantai yang berpasir karena kaki palsu yang

dipakai terbuat dari bahan yang tidak ringan. Padahal

menurut Andri, salah satu tujuan berwisata ke Pantai

Boom adalah untuk menikmati air laut, bermain pasir

pantai, atau sekedar duduk di kursi beratap payung.

196

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Sedangkan kesadaran hambatan struktural bagi Ibu

Luluk digambarkan dalam ungkapan mengenai masih

banyaknya fasilitas yang tidak bisa dijangkau atau

dilalui oleh kursi roda walaupun hampir seluruh area

pantai telah dipasang paving/trotoar seperti panggung/

amphiteater, kantin, maupun toilet.

Perbedaan Kebutuhan Fasilitasi Antara Wisatawan Difabel

Tunadaksa Pengguna Orthosis dengan Pengguna Kursi Roda

dalam Berwisata di Pantai Boom Banyuwangi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti

menemukan bahwa terdapat perbedaan antara kebutuhan fasilitasi

bagi wisatawan difabel tunadaksa dengan tipologi monoplegia dan

tipologi paraplegia. Secara garis besar, fasilitas fisik yang dibutuhkan

dan perlu mendapat perbaikan desain agar dapat digunakan oleh

pengguna orthosis kaki palsu dengan pengguna kursi roda meliputi:

a. Kantin (tidak ada jalan bagi pengguna kursi roda, desain

wastafel, serta meja makan, pengguna orthosis tidak

mudah berjalan di lantai yang landai)

b. Panggung/Amphiteater (ketinggian tangga yang tidak

bisa dijangkau dengan mudah oleh pengguna orthosis,

dan tidak ada akses jalan landai untuk pengguna kursi

roda menuju panggung)

c. Toilet (ruang yang sempit bagi pengguna orthosis serta

bebatuan yang menghalangi jalan, dan sama sekali tidak

bisa diakses oleh pengguna kursi roda, serta ketinggian

bak penampungan air yang tidak sesuai)

d. Payung Pantai (jarak yang telalu jauh bagi pengguna

orthosis untuk berlama-lama berjalan di atas pasir, serta

tidak bisa diakses sama sekali oleh pengguna kursi roda)

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

197


Kesimpulan dan agenda

Beberapa kesimpulan dalam penelitian ini adalah:

1. Kesadaran mengenai hambatan dalam berwisata berdasarkan

ranah pengetahuan, sikap, dan tindakan, yaitu wisatawan

difabel tunadaksa mengetahui keterbatasan fisik yang ada

pada tubuhnya sehingga dapat membatasi ruang gerak serta

intensitas berwisata (hambatan intrapersonal). Wisatawan

difabel tunadaksa merasa senang jika ada orang lain yang

bersedia menemani berwisata (hambatan interpersonal), serta

ukuran panggung yang sesuai, adanya akses jalan khusus

untuk difabel dengan ukuran yang sesuai dengan tunadaksa,

fasilitas toilet yang tidak terjangkau karena tidak cukup untuk

kursi roda dan sebagainya (hambatan struktural).

2. Wisatawan difabel tunadaksa memiliki kebutuhan fasilitasi

yang berbeda antara tunadaksa tipologi monoplegia dengan

tipologi paraplegia. Secara garis besar, perbedaan fasilitas

fisik yang dibutuhkan oleh pengguna orthosis kaki palsu

(monoplegia) dengan pengguna kursi roda (paraplegia)

meliputi kantin, panggung, toilet, serta payung pantai seperti

yang telah dijelaskan.

Kemudahan dalam mengakses fasilitas berwisata bagi

wisatawan menjadi prioritas dalam setiap area kawasan wisata

termasuk di Pantai Boom Banyuwangi. Lebih lanjut, ketersediaan

fasilitas khusus untuk berwisata juga menjadi kebutuhan vital bagi

wisatawan difabel khususnya tunadaksa. Ketersediaan fasilitas

berwisata bagi masyarakat berkebutuhan khusus yang selama ini

dipandang menjadi tanggung jawab penuh penyedia jasa pariwisata

hendaknya menjadi perhatian bagi seluruh pelaku pariwisata

termasuk Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sebagai penyedia

jasa pariwisata dan wisatawan difabel tunadaksa itu sendiri.

Lebih lanjut, fasilitas khusus yang disediakan oleh pemerintah

atau pengelola Pantai Boom bagi difabel tunadaksa harus tepat

198

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


sasaran yaitu berdasarkan tipologi dan karakteristik tunadaksa.

Tunadaksa dengan tipologi monoplegia berkarakteristik pengguna

orthosis kaki palsu dengan tipologi paraplegia berkarakteristik

pengguna kursi roda harus dibedakan menurut kebutuhannya.

Penelitian ini hanya merupakan studi awal untuk penelitian

selanjutnya khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan fasilitasi

bagi wisatawan dengan karakteristik difabel. Selanjutnya dapat

meliputi penelitian difabel dengan karakteristik yang berbeda selain

tunadaksa, respon pengelola dan penyedia jasa pariwisata terhadap

kesadaran wisatawan difabel tentang fasilitasi akses berwisata di

Pantai Boom, perubahan sosial ekonomi di Pantai Boom, Corporate

Social Responsibility yang berkaitan dengan pengembangan

kawasan wisata di Pantai Boom, peran kelembagaan, strategi

pengembangan serta pengelolaan, dan konflik sosial.

Daftar Pustaka

Budiatiningsih, Mahmudah dkk. 2015. Studi Kelayakan Candi

Prambanan Sebagai Destinasi Pariwisata Yang ramah Bagi

Penyandang Difabel. http://www.academia.edu

Gorge, Torkildsen. 1992. Definisi Waktu Luang. http://id.shvoong.

com/sosial sciences/economics/definisiwaktuluang

Hastjarjo, D. 2015. Sekilas Tentang Kesadaran (Consciousness). Jurnal

Buletin Psikologi Vol. 13, No. 2, Desember 2005. Diakses Pada

World Wide Web at http://jurnal.ugm.ac.id

Jamanti, Retno. 2014. Pengaruh Berita Banjir di Koran Kaltim Terhadap

Kesadaran Lingkungan Masyarakat Kelurahan Temindung Permai

Samarinda.

Kintamani, Endang. 2013. Pengembangan Kawasan Wisata Alam

Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka Untuk Wisatawan

Difabel. Tesis. Program Studi Ilmu Kehutanan. Yogyakarta.

Universitas Gadjah Mada.

Lexy, Moleong. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

199


Nyaupane, Gyan P. dkk. 2002. Proceedings of the 2002 Northeastern

Recreation Research Symposium. Pennsylvania State University.

Soemantri, MS. 2005. Pengembangan Keterampilan Motorik Anak Usia

Dini. Jakarta. Dinas Pendidikan

200

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Pengembangan Ekowisata Laut berbasis

Pemberdayaan Masyarakat dan Ekonomi

Kreatif di Bunguran Selatan, Kabupaten Natuna

Reiki Nauli Harahap 1 dan S. Djuni Prihatin 2

Pengantar

Kabupaten Natuna langsung berbatasan langsung dengan

empat negara berbeda yaitu Singapura, Malaysia, Vietnam dan

Kamboja. Sebagai salah satu garis terdepan Indonesia yang berada

di Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Natuna kaya akan potensi

dan sumber daya alam, termasuk menjadi bagian penghasil minyak

dan gas bumi terbesar di Asia. Potensi alam tersebut juga didukung

oleh potensi lain terutama di bidang pertanian atau perkebunan

seperti kelapa, karet, kelapa sawit, cengkeh dan potensi sumber

daya kelautan yang cukup besar. Keunggulan sumber daya alam

tersebut menjadikan Kabupaten Natuna memiliki potensi besar

di bidang wisata bahari, salah satu diantaranya deretan pulaupulau

berbatuan granit dengan karakteristik alur vertikal sehingga

dijuluki dengan sebutan “Mutiara di ujung utara”. Kabutapen

Natuna juga kaya akan ekosistem perairan dangkal dan laut yang

menjadi rumah berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya.

Potensi ekowista tersebut juga di dukung oleh potensi wisata

budaya yang sangat unitk, seperti atraksi budaya dan wisata

warisan-warisan sejarah yang dapat di explorasi oleh wistawan

baik domestik maupun mancanegara. Pemilihan potensi dan

1 Staf pengembangan jurusan, Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

(PSdK), Universitas Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta

55281, Indonesia. Email: reiki.nauli@mail.ugm.ac.id

2 Dosen di Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas

Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:

djuni_pr@yahoo.com

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

201


sumberdaya serta sektor yang akan mendapat prioritas tersebut

didasarkan pada beberapa pertimbangan. Natuna merupakan salah

satu Kabupten di Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki potensi

wisata bahari yang cukup besar. Perkembangan potensi wisata di

Kabupaten Natuna tentunya secara langsung akan memengaruhi

perkembangan ekonomi dan berbagai sektor lainnya. Pengelolaan

dan pengembangan berbagai potensi wisata yang dimiliki Kabupaten

Natuna merupakan salah satu tujuan dari program pemberdayaan

masyarakat sehingga tercipta masyarakat yang sadar akan berbagai

potensi di sekitarnya dan mampu menjadi mandiri. Melalui selfmenegement

harapannya masyarakat mampu memanfaatkan peluang

tersebut sebagai langkah awal untuk mewujudkan kesejahteraan.

Kenyataannya, masyarakat belum mampu serta belum secara

maksimal mengenali berbagai potensi-potensi disekitarnya.

Pada umumnya permasalahan Kabupaten Natuna sebagai

garis terdepan Indonesia memiliki kesamaan dengan berbagai

daerah perbatasan lainnya. Minimnya perhatian pemerintah

pusat dengan potensi-potensi yang terdapat di daerah tersebut

dan pengelolaan belum dilakukan secara baik serta belum adanya

konsepsi pembangunan yang jelas, komprehensif dan integratif

merupakan beberapa contoh permasalahan pembangunan di

Indonesia. Kegiatan pembangunan yang ada masih berupa rencana

pembangunan parsial dengan pendekatan yang sangat sektoral

(Mufizar 2012) dan mengakibatkan ketimpangan. Oleh karena

itu, pola pembangunan yang terpusat dan bersifat homogen telah

menghambat banyak daerah untuk berkembang, hal tersebut

dapat terlihat dari prinsip pembangunan yang selama ini berjalan

dimana pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan utamanya.

Otonomi daerahpun tidak seutuhnya memberikan kesempatan

daerah-daerah untuk berkembang. Diketahui bahwa potensi

setiap daerah di Indonesia sangatlah berbeda-beda oleh karena

demikian diperlukan treatment yang berbeda pula untuk mencapai

pembangunan dan kesejahteraan yang merata.

202

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Status kabupaten Natuna sebagai daerah perbatasan sekaligus

kawasan dengan dominasi perairan yang luas mengakibatkan

perbedaan pendekatan strategi pemberdayaan masyarakat yang

akan digunakan. Kondisi masyarakat yang masyoritas hidup dari

sumber daya perairan tentu menjadi keunikan sendiri. Tulisan

ini berbicara terkait pendekatan serta strategi pemberdayaan

masyarakat kawasan perbatasan melalui pengembangan

ekowisata bahari berbasis peningkatan kapasitas masyarakat dan

ekonomi kreatif. Selama kurang lebih dua bulan penulis tinggal

dan membaur bersama dengan masyarakat Kecamatan Bunguran

Selatan Kabupaten Natuna. Langkah tersebut dirasa tepat untuk

memahami makna-makna yang ditemui selama dilapangan.

Pada dasarnya konsepsi pemberdayaan telah lama menjadi

diskursus keilmuan dunia, akan tetapi di Indonesia sendiri,

kon sep pemberdayaan masuk bersamaan dengan runtuhnya

rezim pemerintahan Soeharto (Orde Baru). Di paska reformasi,

pembenahan dilakukan di berbagai sektor, mulai dari yang bersifat

fundamental dan prinsipil hingga ke penerapan di lapangan. Konsep

pemberdayaan muncul sebagai antitesis dari paham pembangunan

yang terlalu ekonomi sentris. Di level negara sendiri, penerapan

pemberdayaan diaktualisasikan dengan undang-undang otonomi

daerah dan diwujudkan dalam bentuk pembagian kekuasaan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai contoh

pengambilan kebijakan yang sebelumnya bersifat top-down

perlahan bergeser ke arah bottom-up, serta beberapa sektor yang

sepenuhnya menjadi urusan pemerintah daerah.

Konsep community development dari waktu ke waktu terus

mengalami perkembangan baik pada tataran substantif, metode

dan prakteknya (Suparjan 2012). Sebagai sebuah pendekatan

alternatif, konsep pemberdayaan masyarakat lebih berpihak

kepada lokalitas. Konsep ini mencerminkan paradigma baru

pembangunan yakni yang bersifat “People centre, participatory,

empowering, and sustainable” (Chambers 1995). Hal tersebut sejalan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

203


dengan pendapat Sunartiningsih (2015) bahwa pembangunan

masyarakat adalah kegiatan menempatkan manusia/masyarakat

sebagai pusat perhatian. Konsep pemberdayaan lebih luas

dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar karena

pemberdayaan menyediakan mekanisme untuk mencegah proses

pemiskinan lebih lanjut (safety net) yang pemikirannya belakangan

ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif

terhadap konsep-konsep pembangunan dimasa lalu. Jadi esensi

dari pemberdayaan masyarakat adalah memberikan kekuasaan;

mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas pihak lain;

upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan kepada

pihak lain dalam berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, budaya,

politik hukum, dan sebagainya, baik secara kolektif maupun

personal (Nurhadi 2007). Skema pemberdayaan masyarakat memberikan

kesempatan kepada masyarakat itu sendiri untuk menyesuaikan

pemenuhan kebutuhan dengan ketersediaan sumber daya

di sekitarnya.

Berbicara tentang pemberdayaan masyarakat di daerah

perbatasan tentunya terdapat pendekatan khusus baik yang akan

digunakan oleh pemerintah (state) maupun lembaga swadaya

masyarakat (civil society). Pertimbangannya bahwa pada hakekatnya

masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang masing-masing

mempunyai kepentingan dan sistem nilai sendiri-sendiri. Kondisi

masyarakat yang majemuk menyebabkan akses keberbagai

sumberdaya tidak sama atau tidak merata. Kemajemukan atau

pluralisme inilah yang kemudian perlu untuk dipahami bersama.

Selama ini kegagalan pemerintah sering terjadi dikarenakan

pemerintah mamaksakan pemecahan masalah yang seragam kepada

masyarakat yang realitanya terdiri dari kelompok-kelompok yang

beragam dan berbeda. Ketidakpedulian terhadap heterogenitas

masyarakat dan memaksakan homogenitas mengakibatkan individuindividu

tidak memiliki kuasa sehingga berbagai program yang ada

hanya disetir oleh segelintir elit yang berkuasa (Kartasasmita 2003).

204

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Benang merahnya adalah pendekatan alternatif yaitu pemberdayaan

masyarakat. Mem posisi kan masyarakat bukan sebagai objek dari

pembangunan melainkan sebagai subjek sekaligus aktor yang turut

menentukan arah pembangunan dengan memperhatikan lokalitas

dalam hal ini adalah kearifan lokal setempat. Berbagai kemungkinan

bantuan (perubahan kebijakan, program pembangunan) yang ada

hanya bersifat stimulan atau pemantik perubahan sosial di tengahtengah

masyarakat.

Pengembangan Kapasitas Masyarakat

Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan

suatu masyarakat bertahan karena keberdayaanlah yang

menjamin masyarakat untuk bisa secara dinamis mengembangkan

diri mencapai kemajuan. Memberdayakan masyarakat kemudian

mengandung arti adanya upaya untuk meningkatkan harkat

martabat lapisan masyarakat yang masih dalam kondisi belum

mampu, baik secara sosial maupun ekonomi ke tingkat yang lebih

layak (Sunartiningsih 2015). Sejalan dengan itu, teori pertumbuhan

baru menekankan pentingnya peranan pemerintah, terutama dalam

meningkatkan pembangunan modal manusia (human capital) serta

mendorong penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan

produktivitas manusia (Mufizar 2012). Sebagaimana kita ketahui

bahwa perbaikan kualitas sumber daya manusia tidak hanya terbatas

di pendidikan formal, akan tetapi dapat dilakukan melalui pelatihanpelatihan.

Menurut Rencana Tataruang Wilayah Kabupaten Natuna

pada tahun 2009, Indeks Pembangunan Manusia di tinjau dari

pendidikan hanya menamatkan bangku sekolah sampai dengan

kelas satu sekolah menengah pertama. Angka ini lebih rendah di

bandingkan rata-rata lama sekolah penduduk di Provinsi Kepulauan

Riau dan Indonesia (RTRW Kabupaten Natuna 2011-2031).

Pada tahun 2014 terdapat enam sekolah dasar dan hanya

1 sekolah menengah pertama serta satu sekolah menegah atas

di kecamatan Bunguran selatan (BPS Kecematan Bunguran

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

205


Selatan 2014). Hal tersebut menandakan masih minimnya akses

pendidikan bagi masyarakat kecamatan Bunguran Selatan untuk

memperbaiki kualitas hidup. Kondisi tersebut diperparah dengan

budaya malas sekolah yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Hal ini dikaitkan dengan kondisi perekonomian di level keluarga

yang beranggapan lebih baik mendidik putra-putri untuk melaut

sehingga dapat menghasilkan uang. Padahal di dalam pendidikan

terkandung makna kesadaran kritis yang memberikan bekal untuk

meningkatkan pengetahuan sosial dari masyarakat (Darmawan

2011). Menyikapi hal tersebut dibutuhkan sebuah gebrakan baru

pendidikan masyarakat yang dapat diwujudkan dalam bentuk

pelatihan, kursus serta pendampingan.

Masyakarakat perbatasan termasuk dalam kategori masyarakat

kelompok rentan. Alasan utama adalah minimnya

aksesibilitas bagi masyarakat perbatasan untuk mengembangkan

diri dan mencapai batas garis kesejahteraan. Selama ini kegagalan

program-program pengentasan kemiskinan komunitas nelayan

sebenarnya disebabkan karena kebijakan-kebijakan yang di desain

oleh pemerintah lebih bersifat karitatif (charity) dibandingkan

memberikan solusi terhadap kemiskinan (Suyatna 2004). Sebagai

antitesis desain tersebut, program pemberdayaan yang penulis

dan tim lakukan dalam bidang pengembangan kualitas sumber

daya manusia adalah pelatihan pemandu wisata dan pelatihan

penggunaan GPS bagi nelayan.

Kelompok sasaran pelatihan pemandu wisata adalah siswasiswa

sekolah menengah kejuruan pariwisata serta masyarakat desa

setempat. Pemberdayaan ini dilakukan sebagai bentuk kelanjutan

program “Pembentukan kelompok sadar wisata” yang sebelumnya

pernah dilakukan oleh pemerintah dan untuk mendukung Kabupaten

Natuna sebagai destinasi wisata yang ramah dan dapat diakses oleh

wisatawan. Kemudian pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan

penggunaan GPS bagi nelayan dimaksudkan untuk meningkatkan

kapasitas nelayan desa karena selama ini nelayan di desa

206

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Cemaga tengah kecamatan Bunguran Selatan Kabupaten Natuna

mengidentifikasi keberadaan ikan dengan metode konvensional

sehingga masih terdapat nelayan yang tidak mendapatkan hasil

ikan sepulang dari melaut. Faktor penghambatnya adalah masih

minimnya kesadaran masyarakat terkait potensi perikanan yang

dimiliki oleh kabupaten Natuna serta keterbatasan masyarakat

mengakses teknologi dalam rangka efektifitas melaut. Padahal,

kabupten Natuna memiliki potensi perikanan yang memiliki nilai

jual tinggi, tidak hanya potensi perikanan melainkan potensi wisata

alam, kuliner ataupun potensi wisata budaya juga merupakan

beberapa aspek yang ke depannya perlu untuk dijamah.

Menurut Kusnadi (dalam Prihatin 2004) perangkap kemiskinan

yang melanda nelayan terjadi dikarenakan fluktuasi musimmusim

ikan, modal dan akses, jaringan perdangan ikan yang

eksploitatif dan sudah barang tentu keterbatasan sumber daya

manusia. Pelatihan GPS fishfinder merupakan salah satu skema

pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasistas sumber

daya manusia. Para nelayanyang sebelumnya telah mendapatkan

alat bantu GPS fishfinder oleh pemerintah diberikan pelatihan

teknik-teknis dasar penggunaan seperti menyimpan titik rute-rute

baru serta melakukan input data ke GPS fishfinder. Output dari

pelatihan tersebut adalah untuk memudahkan para nelayan ketika

menangkap ikan di laut seperti efisiensi bahan bakar karena telah

menyimpan titik-titik di laut dengan jumlah ikan yang banyak dan

dalam jangka waktu yang panjang diharapkan terjadi peningkatan

taraf ekonomi keluarga nelayan.

Pengembangan Ekonomi Kreatif

Bidang ekonomi kreatif yang dimaksud disini adalah

pengelolaan potensi-potensi yang ada disekitar masyarakat untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di level keluarga. Menurut

data pemerintah kabupaten Natuna, sektor pertanian memberikan

kontribusi yang tinggi terhadap perekonomian kabupaten Natuna,

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

207


yaitu sekitar 69,35% dari PDRB, dan pada tahun 2010 Bunguran

Selatan menyumbang 450 ton kelapa kepada perekonomian

Kabupaten Natuna. Akan tetapi potensi tersebut belum dikelola

secara maksimal baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar.

Kebanyakan dari masyarakat Desa Cemaga Kecamatan Bunguran

Selatan Kabupaten Natuna masih menggunakan bahan bakar

minyak tanah untuk kebutuhan rumah tangga dan setiap rumah

tangga dibatasi pembelian serta penggunaan minyak tanahnya.

Pelatihan pembuatan kompor biogas merupakan salah satu

cara untuk menghemat pengeluaran rumah tangga yang memiliki

hewan ternak di Kecamatan Bunguran Selatan Kabupaten Natuna.

Masyarakat diberikan pemahaman terkait limbah ternak yang dapat

dimanfaatkan untuk bahan biogas. Masyarakat juga didampingi

untuk melakukan pembuatan bank (penyimpanan) kotoran

ternak terpusat untuk kemudian disambungkan dengan pipa dan

dihubungkan dengan kompor rumah tangga. Penggunaan kompor

biogas membantu rumah tangga untuk mengelola keuangan

sehingga biaya yang sebelumnya digunakan untuk membeli gas/

minyak tanah dapat didistribusikan untuk hal lainnya seperti

kebutuhan sekolah anak.

Melihat keterbatasan dan potensi yang ada, beberapa program

pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh penulisan dan

tim adalah pelatihan pembuatan briket tempurung kelapa serta

pemanfaatan limbah kotoran ternak untuk kompor biogas sebagai

bahan bakar alternatif minyak tanah. Pemberdayaan masyarakat

dilakukan dengan beberapa tahapan mulai dari pembuatan modul,

kemudian sosialisasi kepada masyarakat dan pelatihan pemanfaatan

tempurung kelapa serta limbah ternak menjadi bahan bakar

konsumsi rumah tangga sehingga masyarakat tidak sepenuhnya

menggantungkan kebutuhan kepada ketersediaan minyak tanah.

Potensi selanjutanya yang dimiliki kecamatan Bunguran

Selatan adalah komoditas buah kelapa. Hampir disepanjang garis

pantai di Kecamatan Bunguran Selatan terhampar pohon-pohon

208

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


kelapa. Selama ini bagian yang dimanfaatkan dari pohon kelapa

oleh masyarakat Kecamatan Bunguran Selatan adalah sebagai

bahan dasar lidi. Selain itu kebutuhan masyarakat atas buah

kelapa itu sendiri tidak begitu besar sehingg tidak jarang ditemui

banyak sekali buah yang jatuh ketanah dan membusuk. Berangkat

dari hal tersebut maka penulis dan tim merumuskan untuk

melakukan pelatihan pembuatan kompor briket bagi masyarakat

Kecamatan Bunguran Selatan. Buah kelapa yang busuk kemudian

dikumpulkan dan dijadikan satu dengan limbah buah kelapa dari

rumah-rumah masyarakat. Sosialisasi pemanfaatan tempurung

kelapa sebagai bahan bakar dilakukan sebagai langkah awal untuk

mengenalkan masyarakat terhadap potensi limbah kelapa. Setelah

itu masyarakat kemudian diberikan pelatihan untuk memodifikasi

kompor lama bahan bakar minyak tanah untuk dirubah menjadi

kompo briket. Pelatihan permbuatan kompor briket tempurung

kelapa dilakukan untuk melengkapi pelatihan pembuatan kompor

biogas karena tidak semua rumah tanngga di Kecamatan Bunguran

Selatan memiliki hewan ternak.

Pengambangan Ekowisata Bahari

Menurut Usman (2004) keterbelakangan pembangunan

(underdevelopment) yang terjadi khususnya di daerah perbatasan

antara negara mencakup masalah yang kompleks misalnya

kemiskinan dan kesenjangan, dimana kemiskinan merupakan

sebuah kondisi kehilangan (depravation) terhadap sumber-sumber

pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa pangan, sandang,

papan, pendidikan ataupun kesehatan, sedangkan kesenjangan

adalah sebuah kondisi dimana di dalamnya terjadi ketimpangan

akses pada sumber-sumber ekonomi (Mufizar 2012). Menanggapi

permasalahan tersebut banyak negara, terurutama negara-negara

skandinavia merubah haluan pembangunan yang sebelumnya

bersifat top-down kearah bottom-up dan program pemberdayaan

masyakat merupakan salah satu contoh penerapannya.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

209


Di Indonesia sendiri terdapat beberapa daerah yang berhasil

melakukan pembangunan dengan potensi wisata yang dimiliki

misalnya Yogyakarta dan Bali. Keberhasilan tersebut diringi dengan

kesiapan masyarakat melalui program-program pemberdayaan

masyarakat yang ada dan berdampak positif menjamurnya

industri kreatif baik di Yogyakarta maupun di Bali. Kembali

kepada permasalahan dan potensi yang dimiliki kabupaten Natuna

terutama Desa Cemaga, cepat atau lambat program pemberdayaan

masyarakat menjadi jawaban atas semua kegagalan pembangunan.

Menyoal tentang peran masyarakat, selama kegiatan pemberdayaan

yang penulis lakukan di lapangan ditemukan bahwa partisipasi

masyarakat tergolong pada tingkatan sedang. Menurut Sayuti

(dalam Hadi 2015), partisipasi masyarakat tersebut tergolong pada

tahapan “collaboration” artinya masyarakat lokal bekerjasama dengan

pihak luar untuk menentukan prioritas dan pihak lain (pemerintah,

sektor swasta) bertanggung jawab langsung dalam proses.

Pada dasarnya setiap masyarakat tanpa campur tangan

eksternal termasuk campur tangan negara mempunyai kemampuan

untuk mengani dan memecahkan masalah sosial secara mandiri.

Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apabila sistem yang

dibangun oleh masyarakat sedang bermasalah atau sedang

“sakit” sistem yang demikian akan kehilangan kemampuannya

untuk mengolah umpan balik (Soetomo 2011). Di sinilah peran

fasilitator sebagai “supporting actor” dibutuhkan. Fasilitator dalam

program pemberdayaan masyarakat hanya bertugas memberikan

stimulan kepada masyarakat untuk menuju perubahan. Metode

yang digunakan fasilitator adalah personal blame approach, strategi

demikian ditujukan agar program pemberdayaan masyarakat

terinternalisasi dan terinstitusionalisasi ke dalam diri masyarakat.

Perlu untuk diketahui bersama bahwa fasilitator dapat berasal baik

eksternal maupun internal masyarakat (local hero).

Melalui “internalisasi” harapannya nilai-nilai baru yang dibawa

oleh fasilitator dapat diterima oleh masyarakat sehingga

210

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


memudah kan program pemberdayaan masyarakat. Proses internaliasasi

tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan keseharian

masyarakat. Kemudian hal yang harus dilakukan adalah membangun

kelembangaan di tengah-tengah masyarakat, kelembangaan

yang dimaksud tidak bersifat fisik. Fungsi kelembangaan disini

adalah untuk menjamin kegiatan pemberdayaan masyarakat tetap

berkelanjutan meskipun fasilitator sudah tidak mendampingi

masyarakat di lapangan. Proses institusionaliasi dapat ditempuh

dengan cara pembentukan kelompok-kelompok masyarakat

ataupun memberdayakan kembali kelompok yang telah ada

sebelumnya dalam hal ini kelompok sadar wisata.

Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar menyebutkan bahwa Pengelolaan Pulaupulau

kecil terluar dilakukan dengan tujuan: (a) menjaga keutuhan

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keamanan

Nasional, Pertahanan Negara dan Bangsa serta menciptakan

stabilitas Kawasan; (b) memanfaatkan sumber daya alam dalam

rangka pem bangunan yang berkelanjutan dan (c) memberdayakan

masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan

Adapun prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah

berwawasan nusantara, berkelanjutan dan berbasis masyarakat

(Widiyanta 2007). Wawasan nusantara yaitu tetap memperhatikan

keberagaman permasalahan dan potensi yang ada di masingmasing

daerah di Indonesia sehingga dibutuhkan strategi dan

treatment yang berbeda pula. Berkelanjutan artinya seluruh

kebijakan ataupun program dari pemerintah harus memperhatikan

relevansi dengan situasi dan kondisi di masa mendatang,

sedangkan berbasis masyarakat dimaknai dengan people centered

development, masyarakat sebagai poros utama pembangunan dan

juga sebagai subjek sekaligus objek pembangunan Dilihat dari

aspek kedaerahan maka tidak akan terlepas dari kearifan lokal

yang dimiliki masyarakat di setiap daerah masing-masing.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

211


Pengembangan ekowisata bahari di kabupaten di kabupaten

Natuna diharapkan dapat memberikan dampak positif yang besar

hingga ke masyarakat paling bawah dan bersifat berkelanjutan.

Malalui kegiatan pemberdayaan, diharapkan masyarakat semakin

dekat dengan akses-akses peningkatan kesejahteraan, baik yang

bersifat ekonomis maupun status sosial masyarakat. Sebagaimana

diungkapkan dalam pluralisme kesejahteraan, terdapat tiga

aktor penting dalam kegiatan pembangunan masyarakat di

kabupaten Natuna diantaranya pemerintah sebagai penjamin

mutu pembangunan di daerah-daerah terdepan yang di wujudkan

dalam bentuk kebijakan serta peraturan-peraturan, kemudian

pihak swasta sebagai aktor pendukung jalannya roda pemerintah

mengingat beberapa keterbatasan pemerintah, misalnya dalam

hal pendanaan dapat dilakukan dengan cara program coorporate

social responsibility dengan strategi pemberdayaan masayarakat.

Terakhir adalah masyarakat itu sendiri sebagai bagian dari

pembangunan yang direalisasikan dengan peran dan partisipasi

aktif dalam pemberdayaan masyarakat. Sejalan dengan dinamika

kepariwisataan dunia, gerakan perkembangan pariwisata saat

ini telah merambah dalam berbagai aspek dan terminologi salah

satunya yaitu “suistainable tourism development” (Sastrayuda

2010). Konsep suistainable tourism development diharapkan dapat

memberikan efek domino kepada seluruh aspek kehidupan di

masyarakat sehingga tercipta kesejahteraan.

Kesimpulan

Masalah sosial bersifat multidimensional sehingga berbagai

faktor penyebab serta tindakan penyelesaiannyapun akan sangat

beragam. Ekowisata hanyalah satu dari sekian banyak potensi

yang terdapat di Kabupaten Natuna dan strategi pemberdayaan

masyarakat serta kegiatan eknomi kreatif juga merupakan

salah dua strategi yang dapat ditempuh untuk merealisasikan

pengembangan potensi ekowisata tersebut. Salah satu strategi

212

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


pemberdayaan masyarakat yang dilakukan adalah pelatihan

penggunaan teknologi moderen (GPS) bagi para nelayan

di Kabupaten Natuna. Kegiatan tersebut merupakan suatu

kebaharuan sehingga ke depannya diharapkan aktivitas melaut

para nelayan lebih efektif. Berbicara tentang potensi lokal yang

dimiliki oleh kabupaten Natuna maka tidak telepas dari dominasi

vegetasi tanaman kelapa. Selama ini tanaman kelapa belum

sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Masyarakat hanya

mengambil daun kelapa untuk kemudian dijadikan sebagai bahan

sapu lidi rumah tangga. Jumlah buah kelapa yang terlalu banyak

dan keterbatasan masyarakat untuk mengolah berdampak banyak

buah kelapa jatuh membusuk. Berangkat dari permasalahan

tersebut kegiatan mengolah tempurung kelapa menjadi bahan

bakar briket merupakan salah satu aktivitas dari strategi ekonomi

kreatif, sehingga masyarakat tidak bertumpu dengan ketersediaan

minyak tanah yang terbatas dengan harga yang cukup tinggi.

Terlepas dari itu, permasalahan utama kegiatan pemberdayaan

masyarakat saat ini adalah minimnya partisipasi dari masyarakat

itu sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh praktik program yang

ada di tengah-tengah masyarakat oleh pemerintah selama ini

didominasi dengan kegiatan charity yang bersifat bantuan sehingga

menghilangkan prinsip keberlanjutan dan membuat masyarakat

menjadi ketergantungan. Menyikapi permasalahan tersebut,

dibutuhkan kerjasama dari berbagai lini sektor untuk mengubah

pola kehidupan masyarakat dengan strategi pemberdayaan

masyarakat yang inklusif, menunjung tinggi kearifan lokal

masyarakat. Dalam studi kasus ini, pemberdayaan masyarakat

harus memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat yang

bergantung dengan kemaritiman di wilayah utara Indonesia,

minimnya akses masyarakat terhadap berbagai hal mulai dari

teknologi informasi ataupun yang berhubungan dengan kebutuhan

dasar salah satunya pendidikan. Aktor eksternal dalam hal ini

adalah fasilitator pemberdayaan masyarakat yang bertugas sebagai

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

213


supporting system dan memberikan stimulan perubahan kepada

masyarakat untuk memulai pembangunan dari level terendah

yaitu masing-masing individu.

Daftar Pustaka

Darmawan, D. A. 2011. Migrasi dan Kesejahteraan: Kajian Ekonomi,

Pendidikan, dan Jaminan Sosial. Dalam M. Fithriati dan N.

Setiyowati, Jalan Menuju Kesejahteraan dari Wacana hingga

Realita. Yogyakarta: Azzagrafika.

Hadi, Agus Purbathin. 2015. Konsep Pemberdayaan, Partisipasi

dan Kelembagaan dalam Pembangunan. Yayasan Agribisnis/

Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA).

Kartasasmita, Ginandjar. 2003. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep

Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. Jakarta:

Program Pasca Sarjana Institut Tekonologi Bandung.

Mufizar, Arkanudin dan M. Sabran. 2012. Pembangunan Sosial

Masyarakat Perbatasan di Kecamatan Sajingan Besar

Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat. Laporan

Penelitian. Kalimantan: Program Studi Ilmu Sosiologi,

Program Magister Ilmu Sosial, Universitas Tanjungpura.

Nurhadi. 2007. Mengembangkan Jaminan Sosial Mengentaskan

Kemiskinan. Yogyakarta: Media Wacana.

Pemerintah Kabupaten Natuna. Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah dan Penanaman Modal. Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) 2011-2013. Kabupaten Natuna

Pemerintah Kabupaten Natuna. 2014. Badan Pusat Statistik.

Statistik Daerah Kecamatan Bunguran Selatan, Natuna.

Prihatin, S. D. 2004. Pengentasan Kemiskinan Nelayan Tradisional

di Indonesia. Dalam A. Sunartiningsih, Strategi Pemberdayaan

Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media.

Sastrayuda, Gumelar. 2010. Strategi Pengembangan dan

Pengelolaan Resort and Leisure. Hand Out Mata Kuliah

Concept Resort and Leisure.

214

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Soetomo. 2004. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan

Potensi Andalan Daerah. Dalam A. Sunartiningsih, Strategi

Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media.

Soetomo. 2011. Efektivitas Kebijakan Sosial dalamPemecahan

Masalah Sosial. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 15(1):15-28.

Sunartiningsih, A. 2015. Memadukan Potensi dan Sumberdaya guna

Menanggulangi Masalah Sosial. Dalam E. Z. Astuti, Merajut

Kesejahteraan di Aras Lokal. Yogyakarta: Azzagrafika.

Sunartiningsih, A. 2015. Membaca Inovasi Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan dalam Memberdayakan Masyarakat. Dalam S.

Eddyono, Tantangan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta:

Azzagrafika.

Suparjan. 2012. CSR dan Kebijakan Pemerintah dalam Pemberdayaan

Masyarakat. Dalam Susetiawan, Corporate Social Responsibility:

Komitmen untuk Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta:

Azzagrafika.

Suyatna, H. 2004. Pendekatan Kultural dalam Pemberdayaan

Nelayan (Sebuah Reorientasi Kebijakan Pemberdayaan

Masyarakat Nelayan). Dalam A. Sunartiningsih, Strategi

Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media.

Widiyanta, Danar. 2007. Upaya Mempertahankan kedaulatan

dan Memberdayakan Pulau-pulau terluar Indonesia Pasca

Lepasnya Sipadan dan Ligitan (2002-2007).

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

215


216

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Perilaku Penjual Jamu dalam

Menghadapi Produk Jamu Pabrikan

S. Djuni Prihatin dan Susi Daryanti 1

Pendahuluan

Indonesia saat ini sedang menuju era ekonomi perdagangan

bebas yang semakin terbuka terhadap pengaruh pasar nasional

dan internasional. Persaingan produk pangan dalam negeri

dengan komoditas pangan sejenis di pasar internasional tidak

dapat dihindari. Oleh karena itu perlu diciptakan upaya meningkatkan

kapasitas produksi melalui pengembangan sistem dan

usaha agribisnis yang berbasis pada komoditas pangan dengan

melakukan diversifikasi, mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya

alam nasional, efisiensi penerapan teknologi spesifik

lokasi dan prasarana ekonomi untuk menghasilkan produk-produk

makanan dan minuman yang berdaya saing tinggi (Herdiawan,

2012:102).

Sebagai negara dengan kekayaan sumberdaya alam dan

keanekaragaman hayati yang relatif besar, Indonesia mempunyai

peluang yang cukup besar untuk mewujudkan kedaulatan pangan

yang berkelanjutan. Perkembangan teknologi yang pesat, tingkat

pendidikan masyarakat yang lebih baik, keberadaan berbagai

institusi di tingkat lokal (posyandu, kelompok tani, organisasi

kemasyarakatan dan lain-lain), serta adanya pendekatan baru

manajemen pembangunan ke arah desentralisasi dan partisipasi

masyarakat, merupakan faktor pendorong bagi upaya pemantapan

1 S. Djuni Prihatin dan Susi Daryanti merupakan dosen di Departmen Pembangunan

Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia,

Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email: djuni_pr@yahoo.com dan

susied@ugm.ac.id

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

217


capaian produk pangan dan gizi masyarakat. Dengan memanfaatkan

keragaman potensi sumber daya antar daerah dan keragaman selera

serta permintaan pangan yang semakin mengglobal, pemantapan

dapat diwujudkan melalui upaya (a) memanfaatkan potensi dan

keragaman sumberdaya lokal yang dilaksanakan secara efisien

dengan memanfaatkan teknologi spesifik lokasi dan ramah

lingkungan; (b) mendorong pengembangan sistem dan usaha

agribisnis pangan yang berdaya saing, berkelanjutan, kerakyatan

dan terdesentralisasi; (c) mengembangkan perdagangan regional

(antar daerah) yang mampu meningkatkan ketersediaan dan

kegiatan ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat; (d)

memanfaatkan pasar internasional secara bijaksana bagi pemenuhan

kebutuhan konsumen dan (e) memberikan jaminan akses

yang lebih baik bagi masyarakat miskin dalam melakukan kegiatan

usaha (Suryana 2003:135).

Kesadaran serupa juga diperlihatkan oleh masyarakat dunia

pada saat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang

dinamai World Food Summit: Five Years Later pada pertengahan

Juni 2002 di Roma, Italia. Pertemuan yang diprakarsai FAO

bertujuan untuk menggalang komitmen memobilisasi sumber

daya guna mengatasi kelaparan dan mengentaskan kemiskinan,

yaitu pengurangan penduduk miskin dan rawan pangan, pada

tahun 2015, yaitu sekitar 400 juta jiwa (Suryana 2003:146).

Namun demikian globalisasi pangan sebenarnya tidak

sepenuhnya terbukti efisien bahkan proses tersebut mengancam

keragaman sumber daya hayati. Globalisasi cenderung lebih

menguntungkan industri skala besar dan mengesampingkan

industri kecil dan menengah sebagai industri dominan di negara

berkembang. Salah satu alternatif bijaksana bagi negara berkembang

untuk menghadapi globalisasi ialah dengan pembentukan sentrasentra

industri bagi budidaya produk lokal (seperti jamu gendong)

(Sulistyawati, 2006:127). Globalisasi hingga kini masih merupakan

utopia dari kompetisi ekonomi karena hanya efisiensi yang

218

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


diperhitungkan dengan tanpa adanya batasan (borderless) oleh

struktur atau tradisi lokal unik apapun. Dunia divisualisasikan

sebagai pasar raksasa, faktor-faktor produksi dibeli dengan harga

termurah dan komoditas dijual pada harga tertinggi yang bisa dicapai

(pemasaran global). Efisiensi dalam globalisasi hendaknya dilihat

dari beberapa aspek, selain dari produksinya, aspek terkait bahan

baku (meliputi kelestarian sumber daya hayati dan lingkungan di

mana bahan baku diperoleh yang merupakan kekayaan lokal) dan

paska produksi (mencakup transportasi dan distribusi produk)

yang juga berdampak pada lingkungan dan keamanan konsumsi

produk tersebut juga perlu dipertimbangkan. Biaya sosial dan

lingkungan perlu diperhitungkan sebagai harga yang harus dibayar

dalam produksi massal yang didominasi oleh sejumlah perusahaan

transnasional. Selain itu, ada anggapan bahwa efisiensi sendiri

selalu harus dengan produksi massal yang hanya dapat dilakukan

oleh pihak yang mempunyai modal besar dan memiliki akses pada

keseluruhan rantai produksi dan pemasaran (Sulistyawati 2006:121).

Pada kondisi seperti itu produk lokal terasa usang dan

ketinggalan. Harap dipahami, dibalik produk global tersebut

ada kekuatan kapital besar yang sangat berperanan dalam

proses seleksi dan distribusi melewati batas-batas negara dengan

sangat efisien. Kekuatan kapital juga berada dibalik riset dan

pemanfaatan teknologi budidaya, pengolahan, pengemasan

bahkan hingga sosialisasinya ke masyarakat lewat iklan. Sementara

apa yang terjadi dengan produk lokal minim dengan sentuhan

teknologi, budidaya maupun teknologi pengolahan. Produk lokal

dibudidayakan seadanya serta diolah seadanya pula. Pamornya

makin lama tambah meredup, sekalipun kandungan nutrisinya

baik. Tetapi disisi lain, mekanisme pasar global ini tidak bisa

dibiarkan begitu saja. Butuh pemihakan terhadap produk lokal

untuk bisa bertahan atau berdampingan dengan produk global

dalam memperkaya keragaman konsumsi. Setidaknya ada dua

alasan pemihakan: pertama, sebagai negara yang berstatus agraris,

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

219


banyak anggota masyarakat Indonesia yang punya kepentingan

terhadap keberadaan produk lokal, baik sebagai produsen,

distributor maupun konsumen. Jika produk lokal ini pamornya

terus berkurang, produksi cenderung turun dan bisa jadi suatu

saat ia akan menghilang. Kedua, globalisasi produk memang

cenderung menjadikan masyarakat sebagai konsumen belaka,

karena produk global yang masuk ke negara sudah siap pakai,

siap olah maupun siap konsumsi. Jika semakin banyak masyarakat

berprinsip “sebagai konsumen pun tidak apa-apa” maka bisa

dibayangkan akibat selanjutnya, berupa daya produksi masyarakat

menjadi lemah (Retnaningsih 2006:209-210)

Oleh karena itu, setidaknya perlu revitalisasi dan pengembangan

produk lokal itu agar mampu bertahan di daerahnya

sendiri, menjadi simbol atau menjadi bagian dari kultur setempat

tidak tenggelam oleh produk global dan daerah lain, mampu

berkembang sehingga mengisi keanekaragaman produk dan bisa

menjadi bagian dari produk global (Retnaniningsih 2006:213).

Oleh karenanya pengembangan produk lokal seperti jamu itu

bukan sesuatu yang sederhana. Banyak pertanyaan yang muncul

sehubungan dengan hal itu. Misalnya, bagaimana melakukan

pengembangan jamu? Pada skala berapa besar jamu itu bisa

dikembangkan? Siapa saja yang terlibat di dalamnya? Bagaimana

prospek pengembangan usaha jamu tersebut dalam jangka pendek

maupun jangka panjang dalam kaitannya dengan menghadapi

produk jamu pabrikan?

Perilaku dalam Perkembangan Global

Perilaku memang tidak dapat dipisahkan dari sikap yang

dimiliki individu terhadap suatu hal yang dihadapinya. Walaupun

demikian, hubungan sikap dan perilaku tidak selalu linear,

bahkan tidak jarang saling bertentangan. Satu penentu kunci dari

kepentingan sikap adalah istilah yang disebut oleh psikolog sosial

sebagai kepentingan pribadi (vested interest) – sejauh mana sikap

220

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


tertentu tersebut relevan dengan individu yang memilikinya, obyek

atau isu itu memiliki konsekuensi penting bagi orang tersebut.

Hasil dari banyak penelitian menunjukkan bahwa semakin besar

vested interest, maka semakin kuat dampak sikap tersebut pada

tingkah laku (Baron dan Byrne 2004:134). Melihat gambaran itu

memang tidak mudah menentukan atau memprakirakan perilaku

seseorang sebab individu memiliki aspek, pengalaman historis dan

latar belakang berbeda-beda.

Fishbein dan Azjen (1975) memprakirakan perilaku dengan

memasukkan sekaligus empat faktor, yaitu target, perilaku, context

dan waktu. Senada dengan tulisan sebelumnya, Fishbein dan Azjen

mengungkapkan hubungan niat dan perilaku adalah yang paling

dekat, yaitu setiap perilaku bebas ditentukan kemauan sendiri

selalu didahului niat. Keyakinan dalam mengambil keputusan atas

perilaku sangat terkait dengan sikap yang ditentukan oleh dua hal.

Pertama, kepercayaan atau keyakinan (belief) tentang konsekuensikonsekuensi

dari perilaku. Kedua, evaluasi terhadap konsekuensikonsekuensi

yang ada untuk diri subyek itu sendiri (Sarwono

2005:245). Lebih jelas bahwa dalam mengambil keputusan dalam

berperilaku, seseorang atau individu akan mempertimbangkan

berbagai hal. Konsekuensi logis atas perilaku individu tersebut

merupakan pertimbangan utama karena berhubungan dengan

bagaimana sustainabilitas pemenuhan kebutuhan mereka.

Kurt Lewin (1951) merumuskan suatu model hubungan

perilaku yang mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi

karakteristik personal/individu dan lingkungan. Karakteristik

individu meliputi berbagai variabel motif, nilai-nilai, sifat

kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi pula dengan

faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor

lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku,

bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar dari karakteristik

individu. Teori tindakan beralasan (theory of reasoned action)

melihat penyebab perilaku volisional (perilaku yang disebabkan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

221


kemauannya sendiri), bahwa perilaku didasarkan pada asumsiasumsi

a) bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan

cara-cara yang masuk akal, b) bahwa manusia mempertimbangkan

semua informasi yang ada, dan c) bahwa secara eksplisit maupun

implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka

(Azwar, 1995: 11).

Teori tindakan beralasan mengungkapkan bahwa sikap

mempengaruhi perilaku lewat proses pengambilan keputusan

yang teliti dan beralasan, serta dampaknya terbatas pada tiga hal.

Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan sikap umum, tetapi

oleh sikap spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi

tidak hanya sikap tapi juga oleh norma-norma subjektif (subjective

norms) yaitu keyakinan mengenai apa yang orang inginkan agar

diperbuat. Ketiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama normanorma

subjektif membentuk intensi atau niat untuk berperilaku

tertentu. Teori tindakan beralasan kemudian diperluas dan

dimodifikasi oleh Azjen, modifikasi ini dinamai Teori Perilaku

Terencana (Theory of Planned Behavior).

Kerangka pemikiran teori perilaku terencana dimaksudkan

untuk mengatasi masalah kontrol volisional yang belum lengkap

dalam teori terdahulu. Inti teori perilaku terencana tetap berada

pada faktor intensi perilaku namun determinasi intensi tidak hanya

dua (sikap terhadap perilaku yang bersangkutan dan normanorma

subyektif) melainkan tiga dengan diikutsertakannya aspek

kontrol perilaku yang dihayati (memberikan kerangka keteraturan

bagaimana seseorang harus bertindak. Selain itu, adanya informasi

mengenai hal-hal baru yang kemudian dianggap relevan dengan

kehidupan individu bersangkutan akan menjadi pertimbangan

penting dalam mempengaruhi perilaku.

Kast dan Rosenzweig (1995) menyebutkan perilaku adalah

cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan

merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis,

fisiologis dan psikologis dan pola perilaku dikatakan sebagai

222

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


tingkah laku yang dipakai seseorang dalam melaksanakan

kegiatan-kegiatannya. Perilaku (B) juga merupakan fungsi ( F) dari

interaksi antara sifat personal/individu (P) dengan lingkungannya

(E) yang dapat dilihat dari ucapannya, gerakan dan gaya seseorang

atau B = F (P.E) (Thoha 1988 :34-35).

Unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tidak nampak

seperti pengetahuan (cognitive) dan sikap (affective) serta perilaku

yang tampak seperti ketrampilan (psychomotoric) dan tidakan nyata

(action) (Samsudin, 1977). Gabungan dari atribut biologis, psikologis

dan pola perilaku aktual menghasilkan kepribadian (character)

yakni kombinasi yang kompleks dari sifat-sifat dan mental, nilainilai,

sikap, kepercayaan, selera, ambisi, minat, kebiasaan dan ciriciri

lain yang membentuk suatu diri yang unik (unique self).

Teori kognisi percaya bahwa perilaku seseorang itu disebabkan

karena adanya rangsangan (stimulus). Pemahaman atas stimulus

yang ada membuat orang berusaha untuk mengetahui (cognition)

dan akhirnya menghasilkan response. Thoha (1988:48) juga

mengemukakan bahwa kognitif mempunyai fungsi memberikan

pengertian pada kognitif baru, menghasilkan emosi, membentuk

sikap, dan memberi motivasi terhadap konsekuensi perilaku.

Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan (kognitif) oleh fungsi

informasi, dan pengetahuan merupakan faktor yang membentuk

perilaku, membentuk sikap dan memberi motivasi.

Teori interaksionis yang dipelopori oleh Erik Erikson (kelompok

teori psikoanalisis), Bandura dan Brovenbrener (kelompok teori

belajar sosial) bahwa perilaku dianggap sebagai hasil interaksi

antara faktor-faktor yang terdapat didalam diri sendiri dan faktor

luar. Proses interaksi itu sendiri terjadi pada kesadaran atau kognisi

seseorang (Sarwono, 2005). Bidle dan Bidle (1965) mengemukakan

bahwa perubahan perilaku dapat terjadi karena paksaan, perintah,

propaganda, bujukan, peniruan dan pendidikan (formal, non

formal dan informal). Dalam hal perubahan perilaku BF. Skinner

(Alimandan 1992:87) mengungkapkan dalam teori behavioral

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

223


sociology yang menjadi pemahamannya adalah “reinformcement”

yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Suatu ganjaran

yang tak membawa pengaruh terhadap aktor tidak akan diulang.

Bila kebutuhan psikologis dapat dipenuhi maka kebutuhan

tersebut tidak akan berguna lagi sebagai faktor pemaksa.

Berdasarkan teori Kast dan Rosenzweig (1995) tentang

terbentuknya perilaku, bahwa perilaku seseorang dapat terjadi

karena adanya suatu sebab, dan sebab itu adalah sasaran yang

ingin dicapai atau kebutuhan untuk mencapai kondisi yang

diinginkan. Begitu pula perilaku penjual jamu dalam menghadapi

produk jamu pabrikan didefinisikan sebagai cara bertindak yang

menunjukkan tingkahlaku tercermin dari curahan waktu (totalitas

usaha) untuk menambah penghasilan keluarga, penggunaan

teknologi, penguatan jaringan kerjasama, penguatan kesadaran

akan hak dan kewajiban, penguatan kelembagaan kelompok jamu,

standarisasi usaha jamu, dan sertifikasi halal.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif.

Pemilihan pendekatan kualitatif deskriptif dilakukan atas

dasar spesifikasi obyek penelitian agar didapat informasi yang

mendalam tentang obyek kajian tentang perilaku penjual jamu

dalam menghadapi perkembangan global. Penelitian dilakukan

di Dusun Watu, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten

Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Informan dalam penelitian ini adalah penjual jamu penerima

program CSR Pertamina Rewulu, yang tergabung dalam kelompok

jamu Jati Husada Mulya. Adapun jumlah informan yang diperoleh

dalam penelitian sebanyak sebelas orang. Dengan kriteria para

penjual jamu yang menjadi informan adalah mereka yang memiliki

penghasilan minimal satu juta rupiah dalam sebulan. Kesebelas

informan tersebut adalah Bu Yanti, Bu Erni, Bu Ngadiyem, Bu

Sri Sulasinah, Bu Jumyati, Bu Murgi, Bu Suti, Bu Ngatinem,

224

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Bu Margiyani, Bu Dwi Retno, dan Bu Suratiyem. Keseluruhan

informan ini terdiri dari pengurus dan anggota kelompok jamu Jati

Husada Mulya.

Pengumpulan data mencakup beberapa cara. Pertama,

pengum pulan data dan informasi dengan melalui observasi,

pengamatan di lokasi penjual jamu dan kunjungan ke rumah-rumah

maupun mengikuti pertemuan kelompok jamu Jati Husada Mulya.

Kedua, wawancara mendalam (indepth-interview), yaitu untuk

memperoleh informasi yang mendalam tentang perilaku penjual

jamu, kata-kata dan tindakan perilaku penjual jamu yang diamati

dan diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data

utama ini dicatat melalui catatan tertulis ataupun catatan lapangan

dijadikan bahan analisis dan pelaporan data. Ketiga, studi pustaka,

yaitu pengumpulan data untuk mencari tambahan referensi yang

mendukung penelitian perilaku penjual jamu dalam menghadapi

perkembangan global. Selain itu dilakukan pula dokumentasi atau

pencatatan data sekunder, meliputi data tentang monografi desa.

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh

data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara,

pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan. Hal

ini dilanjutkan dengan klasifikasi dan kategorisasi data (Moleong

1990). Selanjutnya pada tahap penafsiran data peneliti menguraikan

pola hubungan dan menyertakan penjelasan yang muncul dari

keseluruhan data tentang berbagai bentuk strategi yang dilakukan

oleh para penjual jamu kelompok Jati Husada Mulya.

Administrasi Wilayah dan Kondisi Demografi Dusun Watu

Dusun Watu merupakan salah satu dusun dari empat belas

dusun yang berada di bawah Pemerintahan Desa Argomulyo.

Secara administratif Dusun Watu terbagai kedalam sepuluh RT.

Secara geografis Dusun Watu terbagi dalam dua wilayah, yaitu:

wilayah Watu dan wilayah Sengon Madinan. Pembagian wilayah

tersebut dibatasi oleh rel kereta api yang menghubungkan Stasiun

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

225


Kereta Api Rewulu dengan Terminal BBM Rewulu. Wilayah watu

terdiri dari empat RT, yaitu RT 1 sampai dengan RT 4 yang berada

di sisi timur rel kereta api. Sedangkan wilayah Sengon Madinan

berada di sisi barat rel kereta api yang terdiri dari enam RT yaitu

RT 5 sampai dengan RT 10. Secara geografis wilayah Dusun Watu

berbatasan dengan Dusun Samben di sisi utara, Dusun Sengon

Karang dan Kabupaten Sleman di sisi timur, Dusun Plawonan di

sisi selatan serta sebelah barat berbatasan dengan Dusun Panggang

dan wilayah persawahan Dusun Srontakan.

Hal yang membedakan antara Dusun Watu dengan dusundusun

lainnya di Desa Argmulyo yaitu di wilayah Dusun Watu

khususunya di sekitra RT 10 berdiri Terminal BBM yang merupakan

bagian dari unit bisnis PT Pertamina (Persero). Keberadaan Terminal

BBM ini berpengaruh bagi kehidupan masyarakat di Dusun Watu

baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, banyak

diantara masyarakat yang bekerja sebagai tenaga outsourcing di

Pertamina serta Dusun Watu sebagai salah satu wilayah sasaran

dari program-program CSR yang dilakukan oleh Pertamina.

Secara Demografi, menurut data laporan pemetaan sosial

(PT Pertamina (Persero) Terminal BBM Rewulu, 2014): jumlah

penduduk di Dusun Watu terdiri dari 282 kepala keluarga (KK).

Karakteristik masyarakat Dusun Watu adalah masyarakat agraris.

Sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani. Selain itu,

Dusun Watu merupakan salah satu dusun di Desa Argomulyo

yang hingga saat ini masih banyak perempuan di dusun ini

berprofesi sebagai penjual jamu tradisional khususnya para ibuibu.

Aktivitas ini telah digeluti secara turun temurun, generasi

saat ini merupakan generasi ketiga yang menggeluti usaha jamu

tradisional. Sedangkan profesi lain yang menjadi mata pencaharian

masyarakat antara lain: pekerja outsourcing di Terminal BBM

Rewulu, PNS, pedagang serta buruh tani.

Karakeristik masyarakat di Dusun Watu adalah masyarakat

rural. Modal sosial yang ada di dusun ini masih terjaga dengan

226

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


baik. Hal ini terlihat dari adanya berbagai kelompok-kelompokkelompok

yang ada di Dusun Watu, antara lain: PKK Dusun, pertemuan

rutin RT di masing-masing RT, pengajian rutin, kegiatan

arisan dan simpan pinjam serta adanya kelompok-kelompok

dengan basis profesi, misal: perkumpulan kelompok tani,

perkumpulan kelompok jamu. Kegiatan masing-masing kelompok

merupakan kesepakatan anggota di masing-masing kelompok.

Terdapat kelompok yang secara rutin menggelar per temuan,

misalnya: kegiatan PKK Dusun, kelompok jamu, kelompok

pengajian. Selain itu, seperti kelompok tani menggelar pertemuan

hanya sebatas kebutuhan. Meskipun demikian, distribusi informasi

pada masyarakat di Dusun Watu tergolong mudah, masyarakat

masih terbiasa dengan sistem informasi dari gethok tular (dari mulut

ke mulut). Sehingga ketika ada informasi baru mudah menyebar

dikalangan masyarakat.

Perilaku Penjual Jamu Dalam Menghadapi Produk Jamu

Pabrikan

Curahan Waktu Rangkaian Proses Produksi Jamu Tradisional

Sebagai aktivitas pekerjaan, alokasi waktu yang dicurahkan

para penjual jamu baik dari persiapan produksi sampai paska

produksi memerlukan waktu yang cukup lama antara 10-12 jam

dalam satu kali produksi. Kegiatan produksi jamu dimulai dengan

kegiatan pra-produksi. Kegiatan ini berupa kegiatan berbelanja

bahan baku. Bahan yang menjadi kebutuhan utama para penjual

jamu antara lain: kunyit, asem, kencur, gula jawa, rempah serta

racikan jamu godokan. Bahan tersebut dapat diperoleh secara

mudah oleh para penjual jamu. Cara yang digunakan oleh para

penjual jamu untuk memperoleh bahan baku beragam, antara lain

berbelanja di warung sekitar rumah, di pasar Godean dan Pasar

Menulis atau di Koperasi Kelompok Jati Husada Mulya.

Kelompok Jati Husada Mulya memiliki koperasi untuk

memudahkan anggotanya mengakses bahan baku untuk membuat

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

227


produk jamu. Menurut hasil wawancara, terdapat selisih harga

antara harga yang ditawarkan oleh koperasi dengan harga pasar,

mes kipun demikian koperasi masih menjadi pilihan anggota kelompok

Jati Husada Mulya untuk berbelanja bahan baku kebutuhan

produksi. Hal ini disebabkan selisih harga pasar dengan

harga di koperasi hanya sedikit serta lokasi koperasi yang berada di

sekretariat kelompok, sehingga anggota sekaligus dapat berbelanja

ketika mengikuti kegiatan kelompok.

“Harga selisihnya lebih tinggi dari pasar, karena kelompok tidak

berbelanja secara jumlah besar” (Petikan Wawancara dengan Ibu

JYM, 30 Oktober 2015).

Meskipun memiliki pandangan yang beragam terhadap harga

bahan baku di koperasi milik kelompok Jati Husada Mulya. Para

penjual jamu memiliki cara-cara yang berbeda dalam menyiasati

ketersediaan bahan baku produksi mereka. Irama kegiatan praproduksi

beragam dan berbeda antara satu penjual dengan penjual

lainnya. Sebagai contoh, Ibu SS berjualan empat kali dalam satu

minggu, memiliki kegiatan rutin berbelanja bahan baku setiap awal

minggu. Bahan baku yang diperoleh Ibu SS disimpan untuk enam

kali proses produksi dalam minggu tersebut. Sedangkan Ibu NGY

dalam satu minggu berjualan sebanyak tiga kali dan berbelanja

setiap kali melakukan produksi jamu. Ibu NGY tidak menyimpan

bahan baku untuk produksi selanjutnya. Perbedaan ini bergantung

pada kebiasaan masing-masing penjual jamu.

“.... saya satu kali belanja untuk satu kali pembuatan produk jamu

yang akan dijual” (Kutipan wawancara dengan Ibu NGY, 28

Oktober 2015).

Secara keseluruhan informan menyatakan tidak mengalami

kesulitan dalam mendapatkan bahan baku. Bahan baku dapat diperoleh

di sekitar mereka, serta dapat diperoleh ketika beraktivitas,

misalnya: sekalian berbelanja ketika berjualan, berbelanja di

228

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


warung sekitar rumah, atau berbelanja di Koperasi Jati Husada

Mulya.

Aktivitas terkait proses produksi yang dilakukan oleh penjual

jamu selanjutnya adalah kegiatan produksi jamu. Kegiatan ini

membutuhkan waktu lama, meskipun demikian aktivitas ini

dapat dilakukan secara bersama-sama dengan aktivitas lainnya,

seperti mencuci botol-botol yang telah digunakan pada hari

sebelumnya atau mencuci botol-botol yang akan digunakan untuk

berjualan jamu. Ketika obvervasi penelitian dilakukan pada sore

hari, peneliti menemukan aktivitas yang sama yang dilakukan

oleh ibu-ibu penjual jamu yaitu sedang mencuci botol. Kondisi

yang sama juga ditemukan ketika melakukan wawancara dengan

informan lainnya. Ketika wawancara dengan Ibu JMY, wawancara

dilakukan disela ibu penjual jamu tersebut melakukan persiapan

untuk berjualan keesokan harinya.

Apabila Ibu penjual jamu berjualan jamu pada pagi hari,

maka kegiatan persiapan produksi telah dilakukan sore hari

sebelum hari berjualan. Berikut merupakan petikan wawancara

dengan Ibu NGY yang menjelaskan mengenai persiapan dalam

proses produksi jamu tradisional.

“Pagi belanja, jamu rebusan di buat sore hari sebelumnya (kunir

putih), karena semakin lama direbus semakin enak. Jamu beras

kencur, kunir asem dan uyup-uyup dibuat pagi setelah subuh”

(Kutipan wawancara dengan Ibu NDY, 28 Oktober 2015).

Informasi sama juga diperoleh dari Ibu SS yang mulai melakukan

persiapan proses produksi pada sore hari dan dilanjutkan

pada keesokan pagi harinya. Berikut merupakan petikan wawacara

dengan Ibu SS terkait proses produksi jamu yang dilakukan.

“Jam 6 sore atau setelah maghrib merebus air, merebus kunir, “nyangani”

jamu, mempersiapkan bahan-bahan. Keesokan harinya, jam lima pagi

melakukan proses pembuatan jamu dan memasukannya kedalam botolbotol”(Kutipan

wawancara dengan Ibu SS, 28 Oktober 2015).

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

229


Berdasar petikan dua wawacara di atas diketahui bahwa

pada dasarnya persiapan proses produksi jamu membutuhkan

waktu yang cukup lama. Aktivitas tersebut dilakukan sendiri

atau kadang juga mendapat bantuan dari anggota keluarga

lainnya. Proses penggilingan bahan baku menjadi jamu rata-rata

penjual jamu menggunakan blender. Penggunaan alat ini dianggap

praktis bagi para ibu-ibu penjual jamu. Meskipun demikian masih

terdapat penjual jamu yang tetap bertahan dengan menggunakan

penumbuk tradisional, yaitu menggunakan alu, karena rasa jamu

menjadi lebih enak.

Curahan waktu yang dialokasikan juga menunjukkan kemampuan

dari masing-masing para penjual jamu dalam mengolah,

mengemas dan menjualnya sampai terdistribusi ke konsumen.

Masing-masing penjual jamu memiliki kebiasaan tersendiri berkaitan

dengan aktivitas yang dilakukannya, ini terjadi karena

berkaitan dengan pangsa pasar yang telah menjadi langganannya.

Penggunakan Teknologi untuk Orientasi Efisiensi Kegiatan

Usaha

Penggunaan teknologi dalam efisiensi kegiatan usaha jamu

sudah mulai dan dilakukan oleh para penjual jamu anggota

kelompok Jati Husada Mulya. Rata-rata para penjual jamu tersebut

sudah memiliki alat komunikasi berupa telepon seluler, sehingga

mereka dapat menerima pemesanan jamu melalui telepon maupun

SMS. Berdasar hasil wawancara dengan informan, tingkat

pemanfaatan dan penggunakan teknologi berbeda antara

penjual jamu satu dengan yang lainnya. Berikut merupakan

petikan wawancara dengan Ibu NGY terhadap penggunaan dan

pemanfaatkan telepon seluler dalam kaitanya terhadap kegiatan

usahanya.

“Setiap jum’at saya berjualan di Alun-Alun Denggung di kegiatan

senam masal. Saya jamin dagangan yang saya bawa selalu habis.

Banyak diantara langganan saya yang SMS dulu supaya disisihkan.

230

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Jika tidak akan kehabisan, saya mendahulukan yang pesen-pesen

dulu. Jadi banyak yang bertanya jamu masih banyak tapi kok sudah

dibilang habis, saya jawab itu pesanan. (Wawacara dengan Ibu

JMY, 30 Oktober 2015)

Tingkat pemanfaatan teknologi khususnya telepon seluler oleh

para penjual jamu anggota kelompok Jati Husada Mulya beragam.

Pada dasarnya mereka terbantu terhadap penggunaan teknologi

tersebut untuk melakukan komunikasi dengan konsumen mereka.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan penggunaan teknologi

sebatas memudahkan komunikasi dengan para konsumen

tetap mereka terkait pemesanan produk jamu.

Penggunaan teknologi belum sampai pada upaya untuk

mengem bangkan jaringan pemasaran yang dilakukan oleh masingmasing

individu penjual jamu. Dukungan pelatihan kearah

digitalisasi ini yang perlu didorong bagi para penjual jamu kaitannya

semakin menghadapi tuntutan dan persaingan kompetisi produk

pabrikan jamu yang telah merasuk di kalangan pasar jamu. Proses

kompetisi sadar atau tidak sadar telah dimulai, meskipun para

penjual jamu tidak merasakan prosesnya, bagi sebagian penjual jamu

menjual dengan alamiah dirasa masih bisa cukup menguntungkan

dan menjanjikan tanpa harus melakukan kegiatan yang ribet-ribet.

Yang utama adalah memperkenalkan dan menyiapkan para penjual

jamu dalam penggunaan media sosial dan digital untuk menjangkau

luasan pasar jamu yang telah dilakukannya, ini menjadi bagian dari

proses inovasi yang dilakukan.

Meskipun persoalan penggunaan media sosial dan digital

senantiasa dihadapkan pada persoalan sumberdaya manusia

dari para penjual jamu, tetapi para penjual jamu meski dengan

keterbatasan mereka tetap bisa mengikuti perluasan jangkauan

pasar melalui digital, dengan kemungkian didampingi oleh anakanaknya

atau sanak famili yang ikut serta dalam menikmati hasil

dari proses penjualan jamu itu. Di era perkembangan global

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

231


ini, praktis produk-produk olahan rumah tangga seperti jamu

ini pasti menghadapi tantangan persaingan yang tidak ringan.

Dengan hadirnya produk-produk sejenis yang berasal dari luar

menyebabkan persaingan usaha ataupun bisnis akan semakin ketat

(Sunartiningsih dan Suyatna 2009). Sektor usaha kecil menegah

yang tidak mampu bersaing akhirnya memiliki resiko gulung

tikar.

Bentuk-bentuk perilaku penjual jamu dalam menghadapi

perkembangan global, diantaranya melalui beberapa cara berikut.

Penguatan Jaringan Kerjasama

Gagasan globalisasi pada dasarnya menghendaki suatu

tatanan perdagangan yang bebas hambatan. Era ini ditandai dengan

liberalisasi di segala bidang. Liberalisasi mengandung beberapa

implikasi seperti (a) penyertaan pelaku ekonomi nasional dalam

dinamika mondial secara lebih terbuka dan langsung berhadapan

dengan pelaku ekonomi diberbagai kawasan (b) penyertaan pelaku

ekonomi lokal dalam dinamika nasional, regional dan mondial (c)

penyertaan pelaku ekonomi tradisional dalam dinamika ekonomi

modern yang rasional. (Sunartiningsih dan Suyatna 2009)

Secara kelembagaan, Kelompok Jati Husada Mulya mengalami

revitalisasi kelembagaan pada 2012. Kelompok Jati Husada Mulya

cukup banyak mendapatkan perhatian dari berbagai lembaga

eksternal, antara lain: CSR Pertamina, Universitas Mercubuana

Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, Dinas Tenaga Kerja Kab.

Bantul, Universitas Teknologi Yogyakarta, Dinas Perindustrian

Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Bantul. Lembaga-lembaga

eksternal tersebut memberikan bantuan dalam bentuk rangkaian

kegiatan yang bersifat pemberdayaan masyarakat maupun yang

bersifat bantuan untuk kelengkapan usaha dalam lingkup lembaga

maupun individu.

232

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Penguatan Kesadaran Hak dan Kewajiban

Kelompok Jati Husada Mulya memiliki dua kelembagaan di

dalamnya, yaitu: sebagai kelompok yang menaungi para penjual

jamu dan lembaga koperasi yang berbadan hukum. Sebagai wadah

yang mengorganisir ibu-ibu penjual jamu di Dusun Watu, anggota

Jati Husada Mulya memiliki kewajiban dan hak. Kewajiban

anggota JHM diantaranya membayar dana kelompok (simpan

pinjam, tabungan dan sosial) dan produksi jamu instan. Dana

kelompok sendiri terdiri dari arisan Rp10.000, dana simpan pinjam

koperasi Rp. 10.000,- , tabungan Rp. 10.000 , dan dana sosial Rp.

2.000,-. Ketiga dana ini dibayarkan secara rutin kepada bendahara

kelompok saat pertemuan rutin mingguan setiap selasa sore

ketika pertemuan rutin kelompok Jati Husada Mulya. Kegiatan

rutin kelompok dilaksanakan di sekretariat kelompok Jati Husada

Mulya yang berada di rumah ketua kelompok (Ibu Wagiyanti), RT

03 Dusun Watu, Desa Argomulyo, Kec. Sedayu, Kab. Bantul.

Sebagai anggota kelompok Jati Husada Mulya, ibu penjual

jamu mendapatkan fasilitas misalnya: dapat menyimpan dan

memimjam uang di kelompok, mendapatkan sumbangan dari

kelompok apabila ada anggota maupun keluarga inti ada yang

sakit atau terkena musibah. Besaran sumbangan yang diperoleh

bergantung pada kesepakatan kelompok yang dibicarakan dalam

forum perkumpulan rutin.

Sedangkan sebagai koperasi yang berbadan hukum, aktivitas

kelompok Jati Husada Mulya antara lain: pertemuan rutin koperasi

digelar setiap selasa pada minggu pertama disetiap bulannya.

Anggota kelompok Jati Husada Mulya merupakan anggota

Koperasi Jati Husada Mulya. Sebagai anggota koperasi, ibu-ibu

anggota kelompok berhak mendapatkan sisa hasil usaha (SHU)

pada tiap tahunnya.

Kewajiban anggota untuk memproduksi jamu instan tidak

dilakukan secara harian, mingguan, bulanan atau tahunan,

melainkan disesuaikan dengan kondisi ketersediaan jamu instan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

233


yang dimiliki. Kelompok melakukan kegiatan produksi jamu instan

apabila ketersediaan jamu sudah menipis atau habis, atau jika ada

pesanan dalam jumlah yang besar. Oleh karenanya kelompok

Jati Husada Mulya ke depan harus memiliki kemampuan untuk

menjamin kepada anggota bahwa dengan aktif dalam kelompok itu

diperoleh sesuatu yang tidak mungkin didapat dari luar kelompok.

Dinamika Organisasi Kelompok Jati Husada Mulya

Jumlah anggota kelompok Jati Husada Mulya sebanyak dua

puluh delapan orang. Ketika kegiatan penelitian ini berlangsung,

proses petimbangan oleh kelompok dilakukan untuk memasukan

dua orang anggota baru. Dua orang tersebut itu bukan merupakan

penjual jamu keliling seperti umumnya anggota kelompok Jati

Husada Mulya. Calon anggota baru tersebut merupakan penjaga

tradisional corner kelompok Jati Husada Mulya yang merupakan

bantuan dari CSR Pertamina.

Secara aktivitas kelembagaan, kegiatan rutin Kelompok Jati

Husada Mulya terdiri dari arisan dan produksi jamu produk

kelompok. Kegiatan pertemuan rutin diadakan setiap hari Selasa

pukul 15.30-17.00 WIB di sekretariat kelompok Jati Husada

Mulya yang juga rumah ketua kelompok Jati Husada Mulya.

Agenda dalam pertemuan tersebut antara lain: arisan, simpan

pinjam, koperasi, pembayaran untuk dana sosial, evaluasi

kinerja kelompok, pembagian kerja produksi jamu instan untuk

pemenuhian ketersediaan produksi, pembahasan apabilan ada

pesanan dan pameran yang diadakan oleh pihak eksternal, serta

distribusi informasi apabila ada anggota kelompok yang mengikuti

pelatihan ada kegiatan dari pihak eksternal.

Berdasarkan data lapangan, aktivitas yang nampak ketika

pertemuan rutin berlangsung sebelum acara dimulai yaitu anggota

kelompok yang hadir menyetorkan dana kelompok (simpan

pinjam, atau koperasi, tabungan dan sosial) kepada bendahara.

Bendahara terdiri dari empat orang, sesuai dengan bidang kerja

234

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


mereka masing-masing. Setelah seluruh anggota dan bendahara

menyelesaikan proses administrasi tersebut, pertemuan dimulai

dengan diawali oleh sambutan dari ketua Jati Husada Mulya.

Dalam sambutannya, ketua Jati Husada Mulya, melalui bendahara,

melaporkan perkembangan keuangan dan kegiatan kelompok yang

telah dilakukan selama satu minggu terakhir. Pelaporan keuangan

meliputi pendapatan dan pengeluaran, termasuk diantaranya

bentuk penggunaan dana baik yang dikeluarkan untuk kegiatan

kelompok maupun yang dipinjam oleh anggota.

Baron dan Byrne (Sunarru 2011) menyebut social loafing

sebagai bentuk penurunan motivasi dan usaha ketika individu

bekerja secara kolektif di dalam kelompok dibandingkan dengan

ketika mereka bekerja secara individual atau bekerja secara bebas.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa apabila jumlah anggota suatu

kelompok meningkat, maka setiap anggota merasa dirinya kurang

bertanggungjawab untuk tugas yang sedang dikerjakan. Hasilnya,

setiap orang akan menurun motivasi/usahanya. Teori yang lain

memfokuskan pada kenyataan yang terjadi pada kelompok,

bahwa motivasi anggota kelompok menurun disebabkan kenyataan

yang dihadapi, yaitu kontribusinya tidak dievaluasi atau tidak

diperhitungkan secara individual, karenanya, mengapa harus

bekerja keras? Harkin (Sunarru 2011) menjelaskan bahwa evaluasi

kelompok cukup dapat memotivasi kinerja, baik evaluasi melalui

cara membanding hasil kelompok dengan standar tujuan (optimasi

tugas) ataupun melalui cara membanding dengan standar sosial

(maksimasi tugas).

Social loafing juga terjadi ketika hubungan antara kinerja

kelompok dan rewardnya melemah jika dibandingkan dengan

individu bekerja secara sendirian. Oleh karena itu Baron dan Byrne

(Sunarru,2011) mengemukakan social loafing melemah jika (a)

individu bekerja dalam kelompok yang kecil (sedikit jumlahnya);

(b) mereka bekerja menyelesaikan tugas yang menarik atau penting

bagi dirinya; (c) mereka bekerja dengan orang/tim yang disegani

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

235


atau dihormati; (d) mereka mengetahui bahwa kontribusinya pada

kelompok sangat berharga dan tidak mubazir dan (e) mereka

berasal dari budaya yang menekankan hasil kelompok.

Standarisasi Produk

Kelompok Jati Husada Mulya secara kelembagaan tidak

mengatur mengenai produk-produk yang dihasilkan oleh para

anggotanya. Sejauh ini belum ada anggota Jati Husada Mulya yang

secara individu memiliki sertifikat stadarisasi produk misalnya,

P-IRT atau atau bentuk setifikasi lainnya. Sertifikasi produk hanya

diperuntukkan untuk produk-produk kelompok. Saat ini produkproduk

Jati Husada Mulya khusunya produk instan telah memiliki

ijin PIRT yang berlaku hingga tahun 2017 dengan nomer PIRT

2133402021581-18. Ijin tersebut dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan

Kab. Bantul. Atas pendampingan dari program CSR Pertamina

saat ini kelompok Jati Husada Mulya sedang menunggu terbitnya

surat ijin label halal dari MUI. Berikut merupakan produk-produk

Jati Husada Mulya yang telah mendapatakan ijin PIRT antara lain:

Produk Instan

Produk Cair

Tabel 8. Daftar Produk-Produk Jati Husada Mulya

yang Berijin PIRT

secang instan, beras kencur instan, jahe wangi

instan, temulawak instan, kunyit asem instan,

kencur sunthi instan

sirup secang, wedang secang, kunyit asem,

beras kencur

(Sumber: Laporan Monitoring Pelaksanaan CSR Terminal BBM Rewulu

Tahun 2013)

Saat ini masih terdapat produk-produk kelompok Jati Husada

Mulya yang belum terdaftar. Hal ini disebabkan produk tersebut

harus didaftarkan melalui Badan Pengawas Obat Makanan karena

kandungan bahan baku dalam produk tersebut mengandung

236

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


bahan baku yang mengandung unsur tanaman obat, misalnya: jahe

merah, kunyit putih. Hal lain yang juga mempengaruhi adalah saat

ini kelompok JHM belum memiliki rumah produksi yang terpisah

dari rumah warga serta kelompok Jati Husada Mulya belum

memiliki apoteker yang dapat memantau produk-produk mereka

sebagai persyaratan untuk mendaftarkan ke Badan Pengawas

Obat dan Makanan.

Standarisasi produk jamu yang dilakukan oleh para penjual

jamu telah berangsur-angsur mengikuti aturan dan permintaan

pasar yang ada. Ini menunjukkan sesungguhnya perilaku para

penjual jamu di dusun Watu telah memiliki kesadaran yang tinggi

guna mencapai tujuan pemasaran atas produk-produk yang

dibuatnya. Orientasi perbaikan kemasan produk dengan standar

PIRT dan dukungan produk halal dari MUI merupakan gagasan

keinginan para penjual jamu untuk tetap eksis sebagai pendukung

kegiatan mata pencaharian yang dapat mendatangkan keuntungan

disamping sekaligus juga untuk melanjutkan tradisi karya nenek

moyang yang telah terbiasa mengkonsumsi dan memproduksi

sendiri tentang ramuan jamu. Yang belakangan diketahui ternyata

produk jamu telah memiliki pangsa pasar yang makin meluas tidak

saja digemari oleh para orang tua namun juga semua kalangan

mulai menikmati racikan jamu, baik yang instan maupun produk

cairan langsung minum.

Hanya saja yang perlu ditekankan oleh para penjual jamu

yaitu aspek higienis yang perlu diperhatikan agar memiliki standar

jamu yang betul-betul higienis yang semakin dibutuhkan sebagai

minuman tambahan yang bersifat herbal. Jadi selain prosedur

yang harus dipatuhi tetapi juga kemasan produk baik yang instan

maupun cair perlu diperhatikan agar konsumen merasa terjamin

ketika mengkonsumsi produk jamu itu. Para penjual jamu yang

tergabung dalam kelompok Jati Husada Mulya memang telah

memiliki keunggulan dari proses pembuatan jamu karena didapat

dari warisan orang tua maupun tetangga sekitar yang dengan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

237


sukarela memberikan pengetahuan pembuatan jamu itu, sehingga

mampu membentuk citra suatu perkampungan jamu dan memiliki

ikon jamu yang dibutuhkan oleh warga masyarakat lokal dan

sekitarnya.

Penutup

Perilaku penjual jamu dalam menghadapi produk jamu pabrikan

telah ditunjukkan dengan beberapa aktivitas sebagai bentuk strategi

untuk semakin eksis dan mampu bersaing dalam kancah persaingan

tentang jamu. Para penjual jamu telah mencurahkan intensitas

waktu yang tinggi untuk persiapan produksi jamu, intensitas ini

diperlukan untuk tetap menghasilkan jamu yang berkualitas dan

memiliki cita rasa jamu yang betul-betul dapat dirasakan para

pelanggan, sehingga para pelanggan kembali mengulang untuk

mengonsumsinya. Dari sisi pemasaran para penjual jamu telah

melakukan usaha perluasan jaringan pasar dengan selalu siap sedia

menerima pesanan jamu melalui SMS dan bentuk-bentuk saluran

media yang dapat mendukung kelancaran jaringan pemasaran.

Demikian pula para penjual jamu telah memiliki jaringan

penguatan kerjasama melalui kelompok jamu Jati Husada Mulya.

Meskipun penguatan kelompok jamu ini belum berfungsi optimal

dalam membantu anggota/penjual jamu dalam pemasaran

maupun peningkatan kualitas produk. Kelompok sementara ini

masih menjadi beban bagi anggota/para penjual jamu, karena

beban kerja anggota dalam proses produksi dengan curahan waktu

yang diberikan belum mendapat imbalan seperti yang diharapkan

oleh para penjual jamu. Curahan waktu yang diberikan untuk

proses produksi dalam kelompok memiliki imbalan yang lebih

rendah dibandingkan dengan jualan keliling jamu. Sehingga ini

menjadikan penurunan motivasi anggota dalam mendukung

proses produksi jamu. Kemudian dalam standarisasi produk

para penjual jamu telah memiliki label PIRT dan dalam proses

mendapatkan label halal dari MUI.

238

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Daftar Pustaka

Alimandan. 1992. Sosiologi Ilmu pengetahuan Berparadigma

Ganda. Jakarta: Rajawali Press.

Azwar, Saifuddin. 1995. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron, Robert dan Donn Byrne. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta:

Penerbit Erlangga.

Hariadi, Sunarru S. 2011. Dinamika Kelompok. Yogyakarta:

Sekolah Pascasarjana UGM.

Herdiawan, Didit. 2012. Ketahanan Pangan dan Radikalisme.

Jakarta: Republika.

Retnaningsih, Christiana. 2006. Mencari Celah Pengembangan

Pangan Lokal. Renai Tahun VI. No.2.

Moleong, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:

Rosdakarya.

Samsudin. 1977. Dasar-dasar Penyuluhan dan Modernisasi

Pertanian. Bandung: Binacipta.

Sarwono, Sarlito W. 2005. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori

Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

Sulistyawati, Ita. 2006. Menggugat Efisiensi Globalisasi Pangan.

Renai Tahun VI.

Sunartiningsih, A dan Suyatna, H. 2009. Ekonomi Rakyat dalam

Pusaran Pasar Bebas. Yogyakarta: Media Wacana.

Suryana, Achad. 2003. Kapita Selekta Evolusi pemikiran Kebijakan

ketahanan Pangan. Yogyakarta: BPFE Fakultas Ekonomi

UGM.

Thoha, Mifta. 1988. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan

Aplikasinya. Jakarta: Rajawali.

Walgito, Bimo. 2009. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

239


240

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Perencanaan Keluarga Berperspektif Gender

Tri Winarni 1

Pendahuluan

Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling awal dikenal

oleh anggota keluarga khususnya anak. Keluarga merupakan

tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak

mendapatkan seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan, maupun

pengertian-pengertian tentang kehidupan. Ayah, ibu, serta anggota

keluarga yang lain merupakan guru bagi anak. Oleh karena

itu keluarga menjadi institusi yang penting bagi anak di dalam

mengembangkan perilaku-perilaku tertentu dan dalam keluarga

proses pembentukan pribadi seorang anak sangat dominan.

Tumbuh kembangnya kepribadian anak sangat dipengaruhi

oleh keadaan keluarganya. Seorang anak yang berada di lingkungan

keluarga ”broken home” karena ibu dan ayahnya bercerai, dapat

menyebabkan kurangnya kasih sayang dari kedua orang tuanya,

anak menjadi kurang memahami penerapan nilai dan norma yang

ada di dalam masyarakat, akibatnya seorang anak dari keluarga

broken home akhirnya sering memiliki aspek psikologis yang kurang

baik. Oleh sebab itu lingkungan keluarga yang kondusif sangat

berpengaruh dalam menentukan optimalisasi perkembangan

kepribadian seorang anak yang meliputi moral, kemampuan

bersosialisasi, penyesuaian diri, kecerdasan, kreativitas dan juga

peningkatan kapasitas diri.

1 Dosen di Departmen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas

Gadjah Mada, Jl. Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email:

triwinarnifisipol@yahoo.com

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

241


Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai potensi yang

positif untuk berkembang. Potensi tersebut dapat teraktualisasikan

atau tidak sangat dipengaruhi oleh pendidikan dalam keluarga.

Disamping itu, sekarang ini para pendidik (guru) dan orang tua

harus menyadari bahwa dengan semakin berkembangnya teknologi

yang semakin canggih maka dampak negatif dari perkembangan

teknologi juga merupakan tantangan yang amat berat yang harus

dihadapi oleh sekolah maupun keluarga dalam pendidikan anak.

Hidup berkeluarga yang bahagia adalah sebuah impian bagi semua

orang sehingga hidup berkeluarga harus direncanakan dengan

sebaik-baiknya oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

akan membentuk keluarga. Mereka sangat memerlukan perencanaan

untuk membentuk sebuah keluarga. Perencanaan membentuk satu

keluarga dimulai dari tahap sebelum berkeluarga, tahap membentuk

keluarga, dan tahap setelah membentuk keluarga.

Perencanaan pada tahap sebelum berkeluarga disebut juga

tahap perencanaan sebelum menikah. Pada tahap ini setiap

pasangan harus mampu merencanakan dengan belajar dari

keluarga inti atau mengikuti ”sekolah kehidupan awal” yang

sering diadakan oleh lembaga keagamaan misalnya oleh Kantor

Urusan Agama bagi pasangan yang beragama Islam dan gereja bagi

pasangan yang beragama Katholik/Kristen. Selain itu ada cara lain

untuk membentuk keluarga yang baik yaitu calon pasangan belajar

memahami peran dari seorang suami dan isteri dalam keluarga.

Akan tetapi tentu saja rencana tersebut tidak bisa mencapai sasaran

yang tepat sebagaimana yang diharapkan kalau tidak ada contoh

sehingga diperlukan figur yang telah sukses dalam membina

rumah tangga. Tahap selanjutnya yaitu membentuk keluarga atau

tahap hidup berkeluarga yang akan dijalankan bersama pasangan.

Perencanaan yang semestinya ada ditahap ini ialah bagaimana

mempertahankan hidup berkeluarga walaupun ada tantangan

yang muncul dan tetap berusaha untuk memperjuangkan dan

memperkuat relasi antar pasangan hidup. Tahap ini merupakan

242

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


masa penyesuaian antara suami isteri. Sedangkan dalam

tahap ketiga yaitu setelah membentuk keluarga, suami isteri

perlu memikirkan dan merencanakan dengan kehadiran anak.

Keduanya harus saling mendukung, saling memahami dan saling

melengkapi. Disamping itu juga harus memaksimalkan peran dan

fungsi masing-masing dalam berkeluarga.

Namun berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan

tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan

baik secara langsung maupun tidak langsung dan dampak

suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah

menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam

adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan

oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin, akibatnya di

dalam kehidupan masyarakat masih ada yang berpandangan

bahwa perempuan dan laki - laki tidak sama kedudukannya

dalam keluarga, masih terjadi proses pembagian peran dan

tanggung jawab terhadap laki - laki dan perempuan. Hal inilah

yang menyulitkan membedakan pengertian antara seks (laki-laki

dan perempuan) dengan gender. Untuk memahami gender harus

dibedakan antara kata gender dan seks (jenis kelamin). Gender

menurut Fakih (2006:71) merupakan suatu sifat yang melekat pada

kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara

sosial maupun kultural. Masyarakat belum memahami bahwa

gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan

tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan.

Tidak sedikit masyarakat yang masih berpikir bahwa

membicarakan kesetaraan gender merupakan sesuatu yang

mengada-ada dan hal yang terlalu dibesar-besarkan. Kelompok

orang yang berpikir konservatif seperti ini menganggap bahwa

kedudukan perempuan dan laki-laki dalam keluarga maupun

dalam masyarakat memang harus berbeda. Jadi untuk hidup

berkeluarga harus terencana sejak awal dengan didukung oleh

adanya komitmen antara suami dan isteri tentang perlunya

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

243


kesetaraan gender. Jika hidup berkeluarga sudah direncanakan

dengan baik melalui manajemen keluarga yang baik dan

berperspektif gender maka sebuah keluarga akan sukses dalam

membangun kualitas hidup berkeluarga.

Terbentuknya Keluarga

Bagaimana membangun sebuah keluarga? Cara membangun

sebuah keluarga harus diketahui sedini mungkin oleh pasangan

yang mau menikah, bukan hanya pada saat akan menikah. Seorang

remaja laki–laki atau perempuan harus memahami bagaimana cara

membangun sebuah keluarga sebelum masuk pada usia pernikahan

dan selanjutnya menjalani pernikahan tersebut. Dengan niat untuk

merintis sebuah keluarga dalam bentuk pernikahan yang sah baik

menurut agama maupun sah menurut aturan negara tidak cukup

hanya atas dasar cinta semata-mata, namun harus direncanakan

supaya menjadi keluarga yang harmonis, tenang dan aman di

dalam kehidupan masyarakat. Banyaknya pasangan usia remaja

yang belum matang secara psikologis karena mental dan emosinya

masih labil, apalagi di usia muda umumnya pasangan belum

memiliki pekerjaan tetap sehingga secara ekonomi akan terganggu

lebih-lebih yang terpaksa menikah diusia muda maka akan rentan

terjadi perceraian. Dua hal tersebut merupakan pilar penting yang

diperlukan untuk membentuk keluarga yaitu harus direncanakan

dan adanya sifat kasih sayang yang terwujud dalam keluarga

supaya dapat melahirkan sebuah masyarakat yang bahagia, saling

menghormati, saling mempercayai dan saling tolong-menolong

dalam kehidupan berumah tangga. Tanpa kasih sayang sebuah

keluarga akan hancur dan kebahagiaan hanya akan menjadi

sebuah impian. Apalagi setelah menjalani pernikahan mengetahui

kekurangan pada istri atau suami, maka kedua pilar itu akan

dapat menjadi pondasi untuk saling melengkapi satu sama lain

dan menutupi kekurangan satu sama lain karena kesemuanya bisa

menjadi jalan untuk menciptakan keluarga harmonis dalam sebuah

244

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


lingkungan masyarakat. Kebahagiaan yang ada dalam keluarga

dapat merupakan langkah awal yang baik dalam menciptakan

generasi penerus bangsa yang kuat, beriman dan berakhlak serta

cerdas di masa mendatang.

Keluarga mempunyai peran yang besar dalam pembentukan

perilaku individu serta pembentukan vitalitas dan ketenangan

dalam diri anak-anak karena melalui keluarga anak-anak

mendapatkan bahasa, nilai-nilai kehidupan yang pertama. Keluarga

harus bertanggungjawab mendidik anak-anak dengan benar dalam

kriteria yang benar, jauh dari penyimpangan. Untuk itu dalam

keluarga memiliki sejumlah tugas dan tanggungjawab. Tugas dan

kewajiban keluarga adalah bertanggungjawab menyelamatkan

faktor-faktor cinta kasih serta kedamaian, menghilangkan adanya

unsur kekerasan, keluarga harus melakukan dan mengawasi

proses pendidikan.

Tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan

kesejahteraan bagi semua anggota keluarganya, baik kesejahteraan

fisik, sosial, ekonomi dan psikologi. Keluarga yang sejahtera

diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan

yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang

layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki

hubungan yang serasi antar anggota keluarga, dan antar keluarga

dengan masyarakat dan lingkungannya.

Konsep keluarga tidak dapat dipahami hanya dalam perspektif

yang sempit dan dalam satu perspektif, keluarga merupakan

sebuah konsep yang memiliki pengertian dan cakupan yang sangat

luas, komprehensif dan beragam. Menurut Departemen Kesehatan

RI (1998) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat dan tinggal

disatu tempat atau yang terdiri dan kepala keluarga dan beberapa

orang yang berkumpul dan tinggal disatu tempat atau atap dalam

keadaan saling ketergantungan. Menurut Effendy keluarga adalah

dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan

darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

245


dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam

perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan

kebudayaan (Effendy, 2004). Keluarga adalah tempat pertama bagi

anak, lingkungan pertama yang memberi penampungan baginya,

tempat anak akan memperoleh rasa aman (Gunarsa, 2002). Sedangkan

menurut Duvall dan Logan (1986) dalam Mubarak (2009), keluarga

adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran

dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan

budaya dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional,

serta serta sosial dari tiap anggota keluarga. Selanjutnya dalam

Pasal 1 ayat (6) Undang – undang Nomer 52 tahun 2009 tentang

Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga

disebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

yang terdiri dari suami–isteri, atau suami istri dan anaknya,

atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Jadi keluarga

merupakan unit/institusi/sistem sosial terkecil yang ada dalam

masyarakat yang beranggotakan sekelompok orang atas dasar

hubungan perkawinan, pertalian darah, atau adopsi yang tinggal

bersama dalam sebuah rumah tangga, tempat pertama bagi anak

memperoleh pendidikan dan rasa aman dan saling ketergantungan

untuk menciptakan serta mempertahankan kebudayaan.

Sesuai dengan konsep keluarga, maka struktur keluarga

dapat dicirikan sebagai berikut. Pertama, terorganisasi, maksudnya

saling berhubungan, saling ketergantungan antara anggota

keluarga. Kedua, terbatas, yaitu setiap anggota memiliki kebebasan,

tetapi mereka juga mempunyai keterbatasan dalam menjalankan

fungsi dan tugasnya masing-masing. Ketiga, ada perbedaan dan

kekhususan, yaitu setiap anggota keluarga mempunyai peranan

dan fungsi masing-masing.

Pada tingkat hukum internasional, Pasal 16 Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa keluarga merupakan unit

terkecil dan mendasar yang harus mendapat perlindungan dari

negara dan masyarakat. Batasan keluarga berdasarkan hukum

246

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


internasional ini menekankann bahwa masyarakat internasional

menyadari bahwa jaminan terhadap ketentraman keluarga harus

menjadi tanggung jawab negara dan semua pihak, maksudnya

bahwa keluarga tidak hanya bebas dari kekerasan secara fisik

tetapi juga upaya untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga itu

sendiri. Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan, maka negara

perlu melakukan pembangunan keluarga. Membangun keluarga

harus dilakukan secara seksama dengan mempertimbangkan

dimensi keluarga sebagai sasaran dan pelaku. Hal ini sekaligus

mengarah pada peran keluarga sebagai pengembang sumber daya

manusia yang potensial dengan mendaya gunakan keluarga untuk

mempertajam potensi dasar seseorang.

Tujuan dari pembangunan keluarga sesuai dengan pasal 7

ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 tahun 2014 adalah

untuk memberdayakan keluarga agar dapat melaksanakan fungsi

keluarga secara optimal. Untuk itu kecerdasan dan kepekaan dari

suami dan isteri sangat diperlukan untuk dapat menjalankan dan

mengefektifkan delapan fungsi keluarga yang meliputi:

1. Fungsi Keagamaan. Keluarga sebagai tatanan sosial terkecil

dalam masyarakat memiliki fungsi sebagai tempat memperkenalkan

dan mengajarkan kepercayaan terhadap Tuhan

YME, Dalam hal ini keluarga berperan untuk membentuk

generasi masyarakat yang agamis, yang beriman, dan percaya

terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.

2. Fungsi Cinta Kasih. Dalam satu keluarga, masing – masing

anggota keluarga diharapkan saling memberikan perhatian

dan kasih sayang. Dengan kasih sayang maka diharapkan

akan terbentuk manusia-manusia yang memiliki kecerdasan

emo sional yang baik sehingga tercipta keluarga yang

berkualitas, dan seterusnya akan terbentuk generasi-generasi

yang berkualitas sehingga akan menciptakan suasana yang

nyaman dalam sebuah kehidupan bermasyarakat.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

247


3. Fungsi Reproduksi. Fungsi ini merupakan fungsi yang

paling hakiki dalam sebuah keluarga karena harus dapat

melanjutkan keturunan, membesarkan anak dan merawat

keturunan supaya berkualitas.

4. Fungsi Perlindungan. Keluarga menjadi satu tempat yang

memberikan perlindungan yang nyaman bagi anggotanya.

Melindungi setiap anggotanya dari tindakan-tindakan yang

kurang baik. Sehingga anggota keluarga merasa nyaman dan

terlindung dari hal-hal yang tidak menyenangkan.

5. Fungsi Sosial Budaya. Keluarga sebagai basis untuk

membentuk generasi yang mengerti aturan sosial. Mengenai

norma-norma yang berlaku di masyarakat, mengenai aturanaturan

tak baku bagaimana cara bersosialisasi terhadap sesama

manusia, bagaimana menghargai alam, dan kehidupan sosial.

Anak-anak, sebagai generasi penerus dari sebuah keluarga,

diberikan pendidikan mengenai tingkah laku sesuai dengan

fase perkembangan mereka.

6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan. Keluarga sebagai tempat

pendidikan pertama bagi anak-anak generasi penerusnya.

Idealnya sebuah keluarga mampu menjadi tempat dimana

terjadi interaksi yang mendidik. Suami terhadap istri, atau

orang tua terhadap anak-anaknya. Memberikan pendidikan

pada anak-anak sesuai dengan tahapan usia adalah salah satu

fungsi pendidikan dalam sebuah keluarga.

7. Fungsi Ekonomi. Serangkaian dari fungsi lain yang tidak

dapat dipisahkan dari sebuah keluarga adalah fungsi

ekonomi. Fungsi ini dilakukan dengan cara mencari sumbersumber

penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,

pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk

memenuhi kebutuhan keluarga, dan menabung untuk

memenuhi kebutuhan keluarga di masa datang.

8. Fungsi Pelestarian Lingkungan. Seperti fungsi-fungsi lainnya,

fungsi pelestarian lingkungan merupakan satu dari delapan

248

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


fungsi keluarga. Dalam fungsi ini, keluarga memberikan

pengetahuan mengenai norma terhadap lingkungan sehingga

diharapkan generasi penerus keluarga tersebut akan lebih

santun terhadap alam dan lingkungannya.

Dengan menjalankan dan mengefektifkan delapan fungsi

keluarga akan lebih memperjelas arah dan tujuan terbentuknya

keluarga sejahtera yang berkualitas. Karena delapan fungsi keluarga

merupakan esensi berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa serta

bernegara. Oleh sebab itu sebelum membentuk keluarga seorang

laki-laki dan seorang perempuan perlu memahami delapan fungsi

yang harus dilakukan sehingga dapat mencapai keluarga yang

aman, tentram, tenang dan saling melindungi. Kemitraan peran

gender antara suami istri dalam pembagian peran dan pengambilan

keputusan akan mempermudah dalam melakukan semua fungsi

keluarga. Oleh karena itu, kemitraan peran gender antara suami

istri akan membentuk keharmonisan dalam keluarga.

Kerentanan dan Ketahanan Keluarga

Dalam temuan hasil kajian dari Kebijakan Revitalisasi Fungsi

Keluarga di Daerah Istimewa Yogyakarta disebutkan bahwa

cepatnya pergeseran nilai sosial budaya yang disebabkan oleh

evolusi dari suatu kepercayaan dalam beragama, pengaruh media

massa, inovasi dan perkembangan teknologi, perubahan dalam

nilai moral dan perubahan kondisi ekonomi yang tidak disertai

dengan kesiapan keluarga dapat menyebabkan terjadinya berbagai

masalah yang dapat timbul dalam keluarga. Hal ini menunjukkan

adanya kerentanan keluarga yang disebabkan karena ketidaksiapan

calon suami dan isteri atau mereka tidak memiliki bekal yang

memadai sehingga kerentanan bisa dialami keluarga di sepanjang

rentang kehidupannya. Menurut Sunarti (2009) kerentanan atau

krisis yang dihadapi oleh keluarga dalam setiap fase kehidupan

meliputi kerentanan pada fase kehamilan, kerentanan pada fase

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

249


perkembangan anak dan remaja, kerentanan pada masa dewasa,

dan kerentanan pada usia lanjut. Dalam hal kerentanan keluarga

berdasarkan kajian di DIY dapat dilihat dari sisi internal dengan

enam kerentanan yang akan menyertai keluarga karena minimnya

bekal pengetahuan berkeluarga yang dimiliki oleh calon suami/

isteri. Sementara dari sisi eksternal pergeseran nilai dan budaya

dapat memberikan efek negatif kepada kehidupan keluarga.

Oleh sebab itu untuk mengantisipasi terjadinya kerentanan

keluarga diperlukan ketahanan keluarga yaitu merupakan

proses dinamis dalam keluarga untuk melakukan adaptasi positif

terhadap bahaya dari luar dan dari dalam keluarga, dengan cara

mempersiapkan atau merencanakan keluarga yang berperspektif

gender, yaitu masing–masing pasangan perlu memahami peran

dan fungsi sebagai calon suami/isteri dan sebagai orang tua. Sunarti

(2009) menyatakan ketahanan keluarga menyangkut kemampuan

keluarga berdasarkan nilai dasar yang dimiliki dan tujuan yang

ingin dicapai, untuk mengelola masalah yang dihadapi dengan

sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan keluarga. Menurut

Chapman (2000) ada 5 indikator adanya ketahanan keluarga:

sikap melayani sebagai tanda kemuliaan, keakraban antara suami

istetri menuju kualitas perkawinan yang baik, orang tua yang

mengajar dan melatih anaknya dengan penuh tantangan kreatif,

pelatihan yang konsisten dan mengembangkan ketrampilan,

suami istri yang menjadi pemimpin dengan penuh kasih dan anakanak

yang mentaati dan menghormati orang tuanya. Ketahanan

keluarga menyangkut kemampuan individu atau keluarga untuk

memanfaatkan potensinya dalam menghadapi tantangan hidup,

termasuk kemampuan untuk mengembalikan fungsi-fungsi

keluarga seperti semula dalam menghadapi tantangan dan krisis.

Ketahanan keluarga sangat dibutuhkan untuk mempertahankan

keberadaan keluarga supaya tetap harmonis dan jauh dari

kerentanan yang disebabkan karena adanya pengaruh dari dalam

maupun luar. Untuk itu representasi pemerintah khususnya

250

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


di Daerah Istimewa Yogyakarta lewat Badan Pemberdayaan

Perempuan dan Masyarakat berusaha melakukan pembangunan

keluarga dengan melakukan sosialisasi, pendampingan dan pembinaan

di masyarakat. Pada dasarnya indikator keluarga berkualitas

ditentukan dan ditunjukkan oleh pelaksanaan tugas yang

detil dalam kehidupan berkeluarga (Sunarti 2013).

Beberapa aspek yang harus dipersiapkan sepanjang rentang

kehidupan berdasar dokumen Modul dari Badan Pemberdayaan

Perempuan dan Masyarakat (BPPM) (2016) yaitu:

(a) mempersiapkan pernikahan sampai dengan bagaimana beradaptasi

dengan keluarga baru; (b) menyambut kehadiran anak

pertama (kehamilan yang berkualitas); (c) mendidik anak usia

pra sekolah sampai SD; (d) mendidik anak usia SD; (e) mendidik

anak remaja; (f) menyeimbangkan karier orang tua dan keluarga;

(g) mempersiapkan anak menikah; (h) hubungan antar generasi

dalam keluarga; (i) adaptasi dengan masa lansia; (j) pendidikan

keuangan keluarga; (k) berpartisipasi dalam lingkungan keluarga

dan masyarakat; (l) IT Literacy dan mencegah daya rusak TV dan

potensi candu gadget dan (m) urgensi peran ayah dalam pengasuhan

anak.

Implementasi dari modul tersebut disosialisasikan di

masyarakat yang dilaksanakan oleh lintas instansi/sektoral

maupun melalui organisasi/lembaga sosial seperti PKK, Karang

Taruna dalam mempersiapkan pembentukan keluarga supaya

terjadi kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga. Wujud

Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam keluarga meliputi:

1. Akses diartikan sebagai Kesempatan dan kapasitas yang

sama bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh

sumber daya pembangunan untuk keluarga. Kapasitas untuk

menggunakan sumberdaya untuk sepenuhnya berpartisipasi

secara aktif dan produktif (secara sosial, ekonomi dan politik)

dalam masyarakat termasuk akses ke sumberdaya, pelayanan,

tenaga kerja dan pekerjaan, informasi dan manfaat). Memberi

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

251


kesempatan yang sama bagi seorang perempuan dan laki-laki

untuk menikmati pelayanan yang ada sesuaidengan minat

dan kemampuannya, dengan asumsi sumberdaya keluarga

mencukupi.

2. Partisipasi diartikan sebagai suami dan istri berpartisipasi

yang sama dalam proses pengambilan keputusan atas

penggunaan sumberdaya keluarga secara demokratis dan

bila perlu melibatkan anak-anak baik laki-laki maupun

perempuan.

3. Kontrol diartikan sebagai perempuan dan laki-laki mempunyai

kekuasaan yang sama pada sumber daya pembangunan yang

ada. Perempuan dan laki-laki mempunyai kontrol yang sama

dalam penggunaan sumberdaya keluarga. Suami dan istri

dapat memiliki properti atas nama keluarga.

4. Manfaat diartikan semua aktivitas keluarga harus mempunyai

manfaat yang sama bagi perempuan dan laki-laki dan seluruh

anggota keluarga.

5. Kesetaraan dan keadilan gender menghendaki sebuah relasi

keluarga yang egaliter, demokratis, dan terbuka. Hal ini

ditandai dengan rasa hormat dari yang muda kepada yang

lebih tua, rasa kasih sayang dari yang lebih tua kepada yang

muda, agar terwujud sebuah komunitas yang harmonis,

sehingga laki-laki maupun perempuan sebagai anggota

keluarga sama-sama mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai

manusia, memperoleh penghargaan dan terjaga harkat

dan martabatnya. Dewasa ini, kesetaraan dan keadilan

gender dalam keluarga telah menjadi sebuah kebutuhan

setiap pasangan suami istri sebab, prinsip-prinsip membina

keluarga yang aman, tentram, harmonis, bahagia dan saling

melindungi sama dengan prinsip-prinsip dasar mewujudkan

kesetaran dan keadilan gender.

252

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Membentuk Keluarga Berdasarkan Kesetaraan Gender

Menurut Instruksi Presiden RI No. 9 tahun 2000, gender adalah

konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki

dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh

keadaan sosial dan budaya masyarakat. Gender dalam konteks

sosial budaya menggambarkan peran, fungsi serta perilaku lakilaki

dan perempuan dalam suatu masyarakat. Konsep ini muncul

didasarkan pada konteks seks atau perbedaan jenis kelamin lakilaki

dan perempuan dimana yang diikat oleh budaya tempat

seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Dengan demikian, pelabelan

perempuan dan laki-laki berakar dalam kebudayaan bukan hanya

aspek biologis saja. Melalui proses sosialisasi yang terbentuk mulai

dari keluarga, konsep tentang perilaku perempuan dan perilaku

laki-laki yang tepat, diserap sejak kecil (Mely G. Tan 1995:286-287).

Gender tidak bersifat universal na mun bervariasi dari

masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dari waktu ke waktu.

Ciri dari sifat itu sendiri dapat dipertukarkan, dapat berubah dari

waktu ke waktu, serta berbeda dari satu tempat ke tempat yang

lain. Terbentuknya perbedaan gender melalui proses yang sangat

panjang, dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksi

secara sosiokultural bahkan melalui ajaran keagamaan maupun

negara (Mansour Fakih,2006). Heddy Shri Ahimsa Putra (2002:2)

membagi istilah gender dalam beberapa pengertian antara lain:

Pertama, gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu

yang tidak banyak diketahui orang sehinga wajar jika istilah

gender menimbulkan kecurigaan tertentu pada sebagian orang

yang mendengarnya. Seringkali orang memandang perbedaan

gender disamakan dengan perbedaan jenis kelamin (seks) sehingga

menimbulkan pengertian yang salah. Kedua, gender sebagai suatu

fenomena sosial budaya. Perbedaan jenis kelamin adalah alami dan

kodrati dengan ciri-ciri yang jelas dan tidak dapat dipertukarkan.

Sebagai fenomena sosial gender bersifat relatif dan kontekstual.

Sekalipun demiki an, ada dua elemen gender yang bersifat

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

253


universal, yaitu: (1) gender tidak identik dengan jenis kelamin

dan (2) gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua

masyarakat (Gallery dalam Nugroho 2008:6).

Konsep gender perlu didekati dalam dua pendekatan yaitu

peran gender dan analisa hubungan sosial. Pendekatan peran

gender terfokus pada distribusi peran dan tanggung jawab dalam

rumah tangga. Pendekatan ini secara sistematis meneliti kegiatan

laki-laki dan perempuan agar dapat mengatasi stereotype dan adanya

paham yang membuat pekerjaan perempuan menjadikan tidak

terlihat. Dengan demikian pendekatan ini menekankan argumentasi

ekonomi untuk memberikan label ketidak mampuan kepada kaum

perempuan. Sementara dalam pendekatan analisa hubungan sosial,

gender merujuk pada dimensi hubungan sosial yang menyebabkan

terjadinya perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan

dalam proses sosial. Permasalahan yang mendasar dalam

pendekatan ini tidak hanya melihat subordinasi dan marginalisasi

perempuan yang tidak hanya pada masalah pembagian sumbersumber

ekonomi, akan tetapi lebih pada persoalan pembagian

kekuasaan. Implikasi dari pentingnya hubungan kekuasaan dalam

pendekatan ini posisi kaum perempuan perlu diperbaiki baik

dalam kehidupan rumah tangga dengan adanya kesetaraan antara

suami dan isteri maupun dalam masyarakat dengan melibatkan

perempuan dalam proses pembangunan melalui berbagai bentuk

pemberdayaan perempuan yang upaya untuk meningkatkan

kualitas keluarga, baik sebagai sasaran maupun sebagai pelaku

pembangunan, sehingga tercipta peningkatan ketahanan baik fisik

maupun non fisik, kemandirian serta kesejahteraan keluarga dalam

rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Gender merupakan suatu konsep kultural yang berupaya

membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan

karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang

berkembang dalam masyarakat. Ketertinggalan perempuan

mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan

254

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


antara laki-laki dan perempuan di Indonesia. Hal ini dapat terlihat

dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya

perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi

tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan.

Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan

berbagai ketidakadilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi

juga bagi kaum laki-laki. Masyarakat belum memahami bahwa

gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan

tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi

demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung

jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan

perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap

perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.

Kesetaraan gender adalah suatu kondisi dimana semua

manusia (baik laki-laki maupun perempuan) bebas mengembangkan

kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan

tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku. Hal ini

bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama,

tetapi hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi

oleh apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan

(Unesco, 2002). Namun biasanya perempuan selalu ditempatkan

pada posisi nomer dua atau bahkan merupakan golongan yang

terpinggirkan yang dianggap lemah dan miskin, dimana di setiap

upaya yang dilakukan kaum perempuan, belum dinilai sebagai

bagian dan kontribusi yang sangat strategis untuk dihargai dalam

banyak aspek.

Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki

dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya

sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam

kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan

pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan

dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kese taraan gender

juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

255


struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Terwujudnya

kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya

diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian

mereka memiliki akses, kesem patan berpartisipasi, dan kontrol

atas pem bangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil

dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi be rarti memiliki

peluang atau kesempatan un tuk menggunakan sumber daya dan

memi liki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara

penggunaan dan hasil sum ber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti

memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan

atas penggunaan dan hasil sumber daya sehingga memeroleh

manfaat yang sama dari pembangunan. Keadilan gender adalah

suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan lakilaki.

Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran,

beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap

perempuan maupun laki-laki.

Keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki

merupakan salah satu tujuan pembangunan Indonesia. Kesetaraan

tersebut dapat dilihat dari kemam puan dan kesempatan

yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki dalam mengakses,

mengontrol, berpartisipasi dan berperan di dalam proses pembangunan.

Namun dalam berbagai kondisi masih ser ing ditemukan

ketidakadilan dan ketidak setaraan antara perempuan dan lakilaki,

khususnya dalam pembagian peran yang disebabkan karena

masih adanya konstruksi budaya yang melekat dalam pemahaman

tentang konsep gender yang salah di tengah-ten gah masyarakat.

Upaya yang dilakukan guna mewujudkan kesetaraan gender adalah

dengan melakukan Pengarusutamaan Gen der (PUG) pada semua

lini kehidupan mas yarakat. Moser (1993) dalam Atashendartini

Habsjah (2004:216) menyatakan pentingnya memisahkan unsurunsur

dalam keluarga berdasarkan gender karena laki-laki

dan perempuan memainkan peranan yang berbeda sehingga

kebutuhannya juga berbeda. Untuk itu merencanakan kehidupan

256

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


keluarga yang baik perlu memahami peran dari masing-masing

anggota keluarga karena peranan keluarga menggambarkan

seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan

dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu.

Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola

perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.

Peran dan tanggung jawab dari seorang isteri/ibu dalam

mem bentuk keluarga sejahtera, sesungguhnya tidak dapat

dipisah kan dari peran dan tanggung jawab dari seorang suami/

bapak. Tidak dapat dikatakan yang satu lebih dominan dan

lebih menentukan, sedangkan yang lain tidak sekedar sebagai

pelengkap, namun keduanya harus saling melengkapi dan saling

mendukung. Isteri/ibu dan suami/bapak adalah merupakan team

work dalam membentuk keluarga sejahtera. Membentuk keluarga

sejahtera pada dasarnya adalah menggerakkan proses dan fungsi

manajemen dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu,

selain tugas-tugas kodrati seperti ibu mengandung dan menyusui,

segala sesuatu yang berhubungan dengan membentuk keluarga

sejahtera haruslah saling menyesuaikan, terbuka dan demokratis.

Untuk membangun nilai keseimbangan isteri/ibu dan suami

/bapak dalam memutuskan sesuatu bisa dilakukan secara bersama,

bersepakat dan segala sesuatu ditempatkan pada proporsi yang

tepat. Tugas pokok bisa berbeda, tetapi tujuan dan acuan nilainya

harus sama. Di samping itu kondisi saat ini adanya pergeseran

dalam kemampuan intelektual, khususnya tingkat pendidikan

kaum perempuan merupakan salah satu kunci perkembangan

sekaligus masalah baru dalam keluarga. Emansipasi dalam

kehidupan sosial juga turut membutuhkan hubungan harmonisasi

antara bapak dan ibu serta anak-anak di rumah. Berbagai peran dan

tanggung jawab yang perlu dipahami oleh seorang calon suami/

ayah maupun calon isteri/ibu dalam keluarga yang nantinya akan

dijalankan dapat diperinci sebagai berikut:

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

257


1. Peran suami/ayah. Suami /ayah adalah sosok pria yang

memiliki kedudukan khusus di dalam sebuah keluarga.

Suami/ayah tak hanya sekedar sosok yang bertugas mencari

nafkah belaka, namun menjadi sosok yang berperan penting

dalam pendidikan anak-anaknya kelak. Menjadi seorang

ayah adalah kebanggaan bagi setiap pria, menjadi seorang

ayah pun adalah sebuah anugrah yang tak terkira harganya.

Kebahagiaan dalam hidup akan semakin lengkap dengan

status baru menjadi seorang ayah untuk anak-anaknya

(Gymnastiar 2006). Peran suami dalam keluarga mencakup:

a. suami sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga

harus mampu menjaga sikapnya. Jangan sampai bertindak

melampaui batas. Jangan pernah merendahkan anggota

keluarga yang lain, sebab tanpa keluarga seorang suami

tidak akan pernah menjadi pemimpin rumah tangga.

Tidak layak jadi seorang pemimpin jika merasa lebih dari

orang lain. Sebab pemimpin ada karena yang dipimpin.

b. Suami sebagai tulang punggung keluarga diibaratkan

sebagai nahkoda yang harus mampu mengendalikan

dan mengelola bahtera rumah tangga dalam mengarungi

badai kehidupan.

c. Suami tidak hanya dituntut bekerja keras, banting tulang

untuk mencari nafkah, tetapi seorang suami dituntut

untuk mencari rezeki yang halal dan berkah bagi

keluarganya.

d. Untuk mendidik keluarga, seorang suami dituntut untuk

memiliki pandangan yang jauh ke depan. Untuk itu,

seorang suami harus mempunyai bekal ilmu dan mencontohkan

sikap yang baik pada keluarganya.

e. Suami harus dapat menggali potensi yang dimiliki oleh

masing-masing anggota keluarganya, sebab istri dan

anak-anak memiliki potensinya masing-masing. Diharapkan

setiap potensi yang dimiliki oleh setiap keluarga

258

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


diharapkan dapat dijadikan dasar untuk membangun

sebuah sinergi yang baik dalam membina rumah tangga.

2. Peran ibu. Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai

peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai

pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai

salah satu kelompok dari peranan sosialnya, serta sebagai

anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga

dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam

keluarganya. Sosok ibu adalah pusat hidup rumah tangga,

pemimpin dan pencipta kebahagiaan anggota keluarga.

sosok ibu bertanggung jawab menjaga dan memperhatikan

kebutuhan anaknya, mengelola kehidupan rumah tangga,

memikirkan keadaan ekonomi dan makanan anak-anaknya,

memberi teladan akhlak, serta mencurahkan kasih sayang

bagi kebahagiaan sang anak. Menjadi seorang ibu adalah hal

yang sangat membanggakan. Peran seorang ibu dalam rumah

tangga sangat penting. Bukan sekedar 3 M, Macak (bersolek),

Masak (di dapur) dan Manak (melahirkan). Seorang ibu

dituntut untuk bisa berperan dalam berbagai bidang:

a. Kesehatan. Ketika melahirkan seorang bayi, ibu dituntut

untuk memahami seluk beluk kesehatan bayi.

Mengetahui berbagai macam jenis penyakit, cara

mengantisipasi dan mengobati (pertolongan pertama)

demi menjaga kesehatan keluarganya.

b. Kebersihan. Dapat menjaga kebersihan dilingkungan

rumahnya. Bersih artinya terhindar dari segala macam

kotoran, termasuk diantaranya dari debu, sampah dan

bau. Agar lingkungan terhindar dari segala macam bibit

penyakit.

c. Ahli Gizi. Dapat memilah dan memilih bahan makanan

dan pengolahan makanan yang tepat. Agar bisa

memberikan asupan gizi yang baik dan seimbang bagi

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

259


keluarganya. Hingga dapat membentuk anak-anak yang

sehat dan cerdas.

d. Keuangan. Keuangan rumah tangga bukan hanya

monopoli para suami. Ibu dituntut untuk dapat

mengatur arus keluar masuknya keuangan keluarga.

Dapat menguasai manajemen keuangan keluarganya

dengan baik. Bahkan dapat pula menghasilkan uang bagi

keluarganya.

e. Manajemen Waktu. Hal ini sangat penting dalam

keluarga, ibu dituntut untuk dapat mengatur waktunya

seefektif dan seefisien mungkin. Memberikan contoh

disiplin bagi anggota rumah.

f. Guru. Menjadi ibu juga harus berwawasan luas, sehingga

dapat menjadi teman berdiskusi bagi anak-anaknya dikala

mereka sedang mengerjakan tugas sekolah . Dapat pula

mengajarkan pendidikan agama kepada anak-anaknya.

g. Psikolog. Ibu harus bisa memahami dan mengontrol

keinginan anak, emosi anak, tingkah laku anak dan cara

mengatasi dan menghadapi perilaku anaknya tersebut.

Masih banyak hal / ilmu lainnya yang harus dan wajib dikuasai

dan dipelajari oleh calon seorang ayah dan ibu selain tersebut diatas.

Karena masa depan anak terbentuk dan berawal dari lingkungan

yang paling kecil yaitu dalam lingkungan keluarga. Dalam

kaitan peran dan tanggung jawab membentuk keluarga sejahtera,

manajemen rumah tangga tidak boleh kaku dan tertutup. Masingmasing

harus elastis dan mau membuka diri dari kemungkinan

masuknya pengaruh positif dari luar. Sebagai suami isteri/orang

tua harus memahami apa yang paling dibutuhkan seluruh anggota

keluarga. Bahkan harus mengerti potensi dan karakter anak-anak

kita, agar proses sosialisasinya tidak salah kaprah. Kecerdasan dan

kepekaan kaum ibu di sini bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi

juga bagi keharmonisan keluarga dan kemajuan masyarakat.

260

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Semakin jelas bahwa peran ibu dalam membentuk keluarga

sejahtera, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Peran dan

tanggungjawab tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan

dari peran dan tanggung jawab bapak, keluarga, masyarakat, dan

pemerintah. Salah satunya adalah menerapkan konsep Keluarga

(kecil) Bahagia Sejahtera, agar isteri banyak memiliki kesempatan

untuk mengurus dan mengatur diri, keluarga, serta berperan

aktif dalam masyarakat. Masalah-masalah yang sering dihadapi

keluarga karena kurangnya perencanaan seperti:

1. Terjadi KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi

karena masing-masing merasa lebih dari yang lain.

2. Masalah ekonomi, karena penghasilan kecil/besar. Penghasilan

kecil atau besar bisa menjadi masalah dalam rumah

tangga kalau tidak dikelola secara transparan dan saling

memahami keadaan.

3. Masalah Anak. Anak bisa menjadi pemicu permasalahan

dalam rumah tangga yang disebabkan karena pernikahan

usia dini atau pengaruh faktor lingkungan.

4. Perbedaan pendapat antara suami–isteri. Perbedaan pendapat

akan berakibat terjadi keretakan rumah tangga kalau kalau

suami isteri tidak bisa saling menghargai dan memaklumi

keadaan.

Dengan sinerginya peran serta tanggung jawab suami dan isteri

dalam keluarga yang berwawasan gender maka diharapkan akan

dapat mengurangi permasalahan yang terjadi yang berdampak

pada kerentanan keluarga.

Penutup

Faktor-faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan

atau ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang

dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Beberapa anggapan

yang memojokkan kaum perempuan dalam konteks sosial ini

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

261


menyebabkan sejumlah persoalan. Oleh sebab itu dalam keluarga

suami isteri dalam melaksanaan hak dan kewajiban harus

berdasarkan pada prinsip kesamaan, keseimbangan dan keadilan.

Dengan demikian hubungan antara suami istri perlu diletakkan

atas dasar kesejajaran dan kebersamaan tanpa harus ada pemaksaan

atau tindakan kekerasan dalam keluarga supaya terjadi kesetaraan

dan keadilan gender. Peran dan tanggung jawab dalam kehidupan

rumah tangga antara suami isteri tidak dapat dipisahkan dalam

membentuk keluarga sejahtera yang harmonis dan bahagia,

keduanya harus saling melengkapi dan saling mendukung, tidak

dapat dikatakan yang satu lebih dominan dan lebih menentukan,

sedang yang lain hanya sekedar sebagai pelengkap.

Dalam tata kehidupan keluarga, suami – istri (orang tua)

sebagai partner, dan anak sebagai plasma. Kalau orang tua dan

anak bersinergi, yaitu masing-masing pihak menyadari akan

fungsi dan peranannya, menyadari akan hak dan kewajibannya

maka akan terbentuk keluarga sejahtera yang harmonis dan

bahagia serta akan dapat menjadi panutan dalam masyrakat dan

pergaulan sehari- hari. Sebuah keluarga akan bisa menciptakan

keluarga sejahtera yang harmonis dan bahagia, apabila didukung

kerja sama antara suami – isteri (orang tua) dan anak dalam segala

hal, sehingga peran dan fungsi dapat dilakukan sesuai hak dan

kewajiban dari anggota keluarga, untuk itu sebelum membentuk

keluarga diperlukan memahami kehidupan berkeluarga, hak

dan kewajiban serta peranan sebagai suami - istri supaya dapat

merencanakan keluarga yang berperspektif gender.

Daftar Pustaka

Ahid, Nur. 2010. Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Islam.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Gymnastiar, Abdullah. 2006. Keluarga Kaya Hati (Kiat Efektif

Membentuk Keluarga Sakinah). Bandung: Khas MQ.

262

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan


Habsjah, Atashendartini. 2004. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

BPPM. 2016. Dokumen Modul.

Chapman, G. 2000. Five Sigs of a Functional Family (Lima Tanda

Keluarga yang Mantap). Batam: Interaksara.

Departemen Kesehatan RI. 1998. Bekalku Membina Keluarga Sadar

Gizi. Jakarta.

Effendy. 2004. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat.

Jakarta: EGC.

Fakih, M. 2006. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fatimah. 2012. Gender dalam bingkai Sosial Budaya, Islam dan

Transformasi Sosial. Musawa, Vol. 4 (1): 59-70.

Gunarsa, Singgih D dan Y. Singgih Gunarsa. 2002. Psikologi Untuk

Membimbing. Jakarta: Balai Pustaka.

Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan

Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Prenada Media

Group.

Mubarak, dkk. 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas I – Pengantar

dan Teori. Jakarta: Salemba Medika.

Nugroho, Riant D. 2008. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya

di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Putra, Heddy Shri Ahimsa. Gender dan Pemaknaannya: Sebuah

Ulasan Singkat. Makalah Workshop Sensitivitas Gender

dalam Kajian Management. Yogyakarta: PSW IAIN SUKA, 18

September 2002.

Sunarti, E., H. Sumarno, Murdiyanto dan A. Hadianto. 2009.

Analisis Indikator Kerentanan Keluarga Petani dan Nelayan

Untuk Pengurangan Resiko Bencana di Sektor Pertanian.

Bogor: Pusat Studi Bencana LPPM IPB.

Sunarti, E. 2013. Tipologi Keluarga: Ketahanan Keluarga. Bogor:

IPB Press.

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

263


Tan, Mely G. 1995. Kemitraan: Wujud Kesetaraan dalam Keluarga

dalam, Mendidik Manusia Merdeka. Yogyakarta: Pustaka

Sinar Harapan.

Peraturan Perundang–undangan:

• Unesco, Guidelines for Preparing Gender responsive EFA Plans.

2002

• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009.

Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga

• Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 tahun 2014,

Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga,

Keluarga Berencana, Dan Sistem Informasi Keluarga.

• http://tentangkb.wordpress.com

• Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, tentang Pengarusutamaan

Gender dalam Pemban gunan Nasional

264

Pengembangan Masyarakat dalam Perspektif Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!