22.05.2020 Views

KARAKTERISTIK MANUSKRIP ACEH-JAWI DI NUSANTARA

Manuskrip karya ulama-ulama Aceh dalam bahasa Jawi (Melayu) menjadi “kiblat” bagi ilmuwan di Melayu-Nusantara dalam pelbagai bidang keilmuwan setiap abadnya. Bidang tauhid, tasawuf dan fiqh menjadi prioritas utama yang menghiasi tumbuh berkembangnya tarekat dan lembaga keagamaan. Sedangkan bidang bahasa (nahw, sarf dan balaghah) pun menjadi wajib dalam pengembangan ilmu utama. Di sisi lain, bidang artistik, pengetahuan dan kesenian ikut serta menghiasi manuskrip-manuskrip Melayu. Karakteristik manuskrip tersebut ikut serta mengangkat martabat Aceh-Melayu Peranan ulama mengarang dan menulis kitab sebagai naskah-naskah klasik saat ini telah memberikan ruang dan informasi perkembangan agama, budaya, sosial masyarakat dan kehidupan kompleksitas tersebut. Karangan ulama-ulama hadir setiap zaman dan periodenya secara silih berganti sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan kultur masyarakat, adat budaya, sosial-politik dan ekonomi. Periodisasi pengarangan dan penulisan naskah telah terjadinya perubahan dan pergeseran kajian dan kandungan naskah tersebut, demikian periodisasi pernaskahan di Aceh dapat dipilah menjadi tiga bagian, pertama; periode kejayaan kerajaan Aceh, kedua; masa kemunduran kerajaan Aceh, dan ketiga; pada masa peperangan Aceh dengan Belanda, ketiga periode tersebut memiliki corak isi kandungan naskah yang berbeda dan keistimewaan tersendiri dipengaruhi oleh sosial-politik yang terjadi dan perkembangan cara berpikir setiap masanya menjadikan manuskrip Aceh dan Melayu tetap eksis.

Manuskrip karya ulama-ulama Aceh dalam bahasa Jawi (Melayu) menjadi “kiblat” bagi ilmuwan di Melayu-Nusantara dalam pelbagai bidang keilmuwan setiap abadnya. Bidang tauhid, tasawuf dan fiqh menjadi prioritas utama yang menghiasi tumbuh berkembangnya tarekat dan lembaga keagamaan. Sedangkan bidang bahasa (nahw, sarf dan balaghah) pun menjadi wajib dalam pengembangan ilmu utama. Di sisi lain, bidang artistik, pengetahuan dan kesenian ikut serta menghiasi manuskrip-manuskrip Melayu. Karakteristik manuskrip tersebut ikut serta mengangkat martabat Aceh-Melayu
Peranan ulama mengarang dan menulis kitab sebagai naskah-naskah klasik saat ini telah memberikan ruang dan informasi perkembangan agama, budaya, sosial masyarakat dan kehidupan kompleksitas tersebut. Karangan ulama-ulama hadir setiap zaman dan periodenya secara silih berganti sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan kultur masyarakat, adat budaya, sosial-politik dan ekonomi.
Periodisasi pengarangan dan penulisan naskah telah terjadinya perubahan dan pergeseran kajian dan kandungan naskah tersebut, demikian periodisasi pernaskahan di Aceh dapat dipilah menjadi tiga bagian, pertama; periode kejayaan kerajaan Aceh, kedua; masa kemunduran kerajaan Aceh, dan ketiga; pada masa peperangan Aceh dengan Belanda, ketiga periode tersebut memiliki corak isi kandungan naskah yang berbeda dan keistimewaan tersendiri dipengaruhi oleh sosial-politik yang terjadi dan perkembangan cara berpikir setiap masanya menjadikan manuskrip Aceh dan Melayu tetap eksis.

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan 2013

KARAKTERISTIK MANUSKRIP ACEH-JAWI DI NUSANTARA

Oleh: Hermansyah, MA.Hum

(Staf Pengajar Kajian Teks dan Naskah di Fakultas Adab, IAIN Ar-Raniri, Banda Aceh.)

Abstrak

Manuskrip karya ulama-ulama Aceh dalam bahasa Jawi (Melayu) menjadi “kiblat” bagi

ilmuwan di Melayu-Nusantara dalam pelbagai bidang keilmuwan setiap abadnya. Bidang

tauhid, tasawuf dan fiqh menjadi prioritas utama yang menghiasi tumbuh

berkembangnya tarekat dan lembaga keagamaan. Sedangkan bidang bahasa (nahw, sarf

dan balaghah) pun menjadi wajib dalam pengembangan ilmu utama. Di sisi lain, bidang

artistik, pengetahuan dan kesenian ikut serta menghiasi manuskrip-manuskrip Melayu.

Karakteristik manuskrip tersebut ikut serta mengangkat martabat Aceh-MelayuPeranan

ulama mengarang dan menulis kitab sebagai naskah-naskah klasik saat ini telah

memberikan ruang dan informasi perkembangan agama, budaya, sosial masyarakat dan

kehidupan kompleksitas tersebut. Karangan ulama-ulama hadir setiap zaman dan

periodenya secara silih berganti sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan kultur

masyarakat, adat budaya, sosial-politik dan ekonomi. Periodisasi pengarangan dan

penulisan naskah telah terjadinya perubahan dan pergeseran kajian dan kandungan

naskah tersebut, demikian periodisasi pernaskahan di Aceh dapat dipilah menjadi tiga

bagian, pertama; periode kejayaan kerajaan Aceh, kedua; masa kemunduran kerajaan

Aceh, dan ketiga; pada masa peperangan Aceh dengan Belanda, ketiga periode tersebut

memiliki corak isi kandungan naskah yang berbeda dan keistimewaan tersendiri

dipengaruhi oleh sosial-politik yang terjadi dan perkembangan cara berpikir setiap

masanya menjadikan manuskrip Aceh dan Melayu tetap eksis.

Pendahuluan

Islamisasi di Nusantara memiliki karakteristik tersendiri dari negara-negara Islam di dunia, bahkan karakter

tersebut menonjol di beberapa wilayah di Nusantara berbasis kerajaan atau kesultanan Islam, perpaduan

Islam Arab sebagai sumbernya dengan adat budaya lokal di Nusantara menghadirkan keistimewaan

pengetahuan dan khazanah di Nusantara. Proses perpaduan dua kultur tersebut terjadi berabad-abad

lamanya, sampai pada fase penyesuaian terhadap intelektual dan budaya lokal, perbedaan pro kontra dalam

lintas sejarah Islam Nusantara memberikan esensi muatan Islam tersendiri di Nusantara.

Karakteristik Islamisasi terjadi baik pada bidang budaya, adat, sejarah, dan intelektual khususnya,

termasuk intelektual pemikiran keagamaan, ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, maupun beberapa bidang

lainnya yang mempengaruhi pada perkembangan keagamaan dan keilmuan sejak abad ke-13 sampai awal

abad ke-19, tepatnya pada masa munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, seperti kerajaan Islam

Peureulak (Perlak), kerajaan Islam Samudera Pasee (Pasai), kerajaan Pedir (Pidie) dan kerajaan Islam Aceh

Dār al-Salām.

Beberapa kajian telah difokuskan tentang intelektual Melayu-Nusantara (khususnya Aceh), seperti

Hasjmy dan Zainuddin merujuk kepada beberapa catatan awal sejarah menyimpulkan bahwa Islam hadir di

Aceh sejak tahun 800 M (173/183 H), 1 sesuai dengan kajian Yunus Jamil dalam merunut daftar raja-raja

Pereulak (Perlak), 2 Aboebakar menyimpulkan dari kedua sumber (Barat dan Timur) menemukan proses tahun

Islamisasi yang bersamaan. 3

Catatan penting yang tidak bisa diabaikan adalah perjalanan Ibnu Batutah yang merekam sejarah

perjalanan lawatannya ke Cina dan menyempatkan dirinya singgah di Pasai pada tahun 1316 M atau pada

masa pimpinan Sultan Malik al-Zahir. 4 Dalam bukunya “Rihlah” ia mencatat sultan di kerajaan yang disinggahi

7


Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan 2013

itu alim dan bijaksana, iapun menulis bahwa pendidikan Islam sangat maju dan banyak sekali ulama dari

negeri Arab dan cendekiawan Persia berdatangan serta menetap untuk mengajar di negeri tersebut. 5

Ilmuwan Barat seperti Winstedt, Wilkinson, Maxwell dan W. Marsden, atau beberapa ilmuwan masa

penjajahan dan pasca kolonial di Nusantara seperti Snouck Hurgronje, Moquette, Hushoff Poll, Rouffaer,

Drewes dan A. Teeuw memiliki persepsi yang berbeda dan menyimpulkan bahwa Kerajaan Islam Samudra

Pasai sebagai kerajaan Islam di Nusantara muncul pada pertengahan abad ke-13 sesuai dengan peninggalan

artefak (batu nisan) yang terdapat di pemakaman kesultanan Samudra Pasai.

Perbedaan pendapat kelompok “sejarawan” hadir dari sumber yang beragam dan berbeda, melalui

sumber manuskrip (filologi) dan lainnya bersumber artefak berupa batu nisan dan prasasti (arkeologi) di

Aceh, perbedaan masa proses Islamisasi juga disebabkan geografis hadirnya Islam di Aceh yang tidak terekam

dalam sejarah Islam Nusantara secara lengkap dan menyeluruh, baik melalui kajian manuskrip terkenal

seperti Bustān al-Salātīn, Hikayat Aceh, Hikayat Raja-raja Pasai, dan naskah lain yang sezaman dengannya.

Sejak berdirinya Kerajaan Aceh abad ke-15 M, telah mempengaruhi kerajaan-kerajaan wilayah di

pesisir Timur dan Barat Aceh (Sumatra) seperti Pedir, Pasai, Perlak, Aru, dan Dili, demikian juga di wilayah

Malaya (Malaysia), hingga sampai pada penyatuan kerajaan Pasai kedalam kerajaan Aceh Durussalam. Dalam

naskah Bustān al-Salātīn fi Zikr al-Awwalin wa al-Akhirin karya Nūr al-Dīn al-Rānirī (Nuruddin al-Raniri)

merekam beberapa wilayah kerajaan yang dikuasai oleh kerajaan Aceh, dan mengungkapkan terdapat jalinan

dan jaringan kuat antara kerajaan Pasai dan Aceh Darussalam di Banda Aceh.

Penyatuan dua kekuasaan juga telah menjadikan beberapa tokoh alim ulama hijrah ke Koetaradja,

faktor perpindahan ini dikarenakan pusat keilmuwan dan kekuasaan ibukota kerajaan Aceh berada di

Koetaraja, diantaranya ulama Pasai adalah Shams al-Dīn bin ‘Abd Allāh al-Pasai al-Sumatrānī (wafat Senin, 12

Ra’jab 1039 H / 25 Februari 1630 M), 6 ia menjadi Qadhi Malikul Adil dan Ketua Balai Gadeng (beranggota 7

ulama dan 8 ulee balang) pada masa Sultan ‘Alá al-Dīn Ri’āyat Shāh IV Sayyid al-Mukammil (997-1011 H

/1589-1604 M) dan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1016-1045 H/1607-1636 M).

Eksistensi kerajaan Aceh sebagai kerajaan Islam di Asia Tenggara menumbuhkan perubahan

pemikiran yang berawal dari peranan ulama-ulama Arab dan atau ulama Nusantara yang belajar di Jazirah

Arab yang didukung dan disokong oleh Sultan-sultan yang berkuasa setiap zamannya, memiliki otoritas dan

kekuatan diberbagai lini, termasuk perhatiannya terhadap pengetahuan dan keagamaan. Maka Azra, telah

menempatkan Aceh, para ulamanya, beserta karya-karya tulisnya sebagai poros utama jaringan keilmuan

Islam di dunia Melayu-Nusantara dengan Makkah dan Madinah pada abad ke-17. 7

Peranan ulama menulis kitab sebagai naskah-naskah klasik saat ini telah memberikan ruang dan

informasi perkembangan agama, sosial masyarakat dan kehidupan pada suatu masa, karangan ulama hadir

setiap zaman dan abad, secara silih berganti sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan kultur

masyarakat, sosial-politik dan ekonomi. Sesuai masanya, periode penulisan dan penyalinan naskah di Aceh

setidaknya terbagi tiga masa, pertama periode kejayaan kerajaan Aceh, kedua masa kemunduran kerajaan

Aceh dan periode terakhir pada masa perang Aceh dengan Belanda, ketiga periode tersebut memiliki

kandungan naskah yang berbeda dan ciri khas dan keistimewaan tersendiri khususnya naskah sufistik dan

kesusasteraan.

Keunggulan Intelektual Aceh dan Karyanya Sepanjang Abad

Pada abad ke-16 dan ke-17 Aceh mencapai puncak keselarasan dalam semua bidang, terutama sentrum

keagamaan, pemikiran dan intelektual. Aceh memiliki peranan penting pada awal-awal penyebaran Islam di

Melayu-Nusantara secara damai, dialog dan akademis, posisi para ulama sangat penting dalam pembinaan

masyarakat, roda pemerintahan dan hubungan nasional serta Internasional, beberapa karya kitab ulama

8


Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan 2013

menjadi rujukan bagi sultan-sultan dalam menjalankan pemerintahan tata negara dan qanun (undangundang)

serta pedoman masyarakat dalam melaksanakan rutinitas dan ibadah sesuai dengan syariat Islam.

Beberapa ulama dari luar Aceh (Melayu dan Nusantara) mengenyam pendidikan di Aceh, sosok

Syeikh Yusuf al-Makassari (wafat 1699 M) dari Sulawesi, Syeikh Burhanuddin Ulakan (wafat. 1699 M), Syeikh

Abdul Muhyi (wafat 1738 M) dari Pamijahan (Jawa), Syeikh ‘Abd al-Rahman Minangkabau dan Syeikh Nawawi

al-Tsani al-Bantani juga pernah mengecap pendidikan di Aceh, Syeikh Abd al-Shamad al-Palimbani dan Syeikh

Daud al-Fathani (wafat 1874 M) dari Thailand Selatan, keduanya menerima ijazah muqaranah tarekat dan

ilmu dari Syeikh Muhammad Zain bin Syeikh Faqih Jalaluddin al-Asyi di Aceh.

Sealur dengan banyaknya ulama-ulama luar yang eksis di Aceh bergandengan dengan ulama-ulama

dalam negeri (lokal) baik mereka yang pernah mengenyam pendidikan di jazirah Arab maupun tidak. Hasil

karya kitab ulama-ulama kelahiran Aceh pada masa kesultanan sangat produktif, memiliki kedudukan penting

bagi perkembangan Islam di Nusantara dan menghasilkan karya yang berbobot sebanding dengan ulamaulama

luar Aceh, seperti karya Syeikh Hamzah Fansuri berjudul Asrār al-Arifīn fī ‘Ilmi al-Sulūk wal Tauhīd,

Syarab al-‘Asyiqīn wa Zīnat al-Muwahhidīn, al-Muntahī, dan ontology syair-syairnya yang konsen dalam

bidang filsafat, tasawuf dan tauhid. 8

Syair-syair Hamzah Fansuri sebagai kunci pembuka pintu dunia kesusasteraan dan menjadi

penggagas sekaligus pelopor sastra klasik di dunia Melayu dan Nusantara, menurut Al-Attas bahwa Hamzah

Fansuri adalah pujangga Melayu terbesar dalam abad ke-16 dan ke-17 M, penyair sufi yang tidak ada

tandingan dan bandingan pada zaman itu, sekaligus pencipta bentuk pantun pertama dalam bahasa Melayu.

Keagungannya dan kealimannya pada zaman kesulatanan Aceh diakui oleh orang-orang dari Eropa seperti

Frederich de Houtman dan John Davis (1599 M), Sir James Lancaster (1602 M) menyebutkan “syekh

penasehat agung raja” dan “uskup/imam agung”.

Ulama Syams al-Dīn bin ‘Abdullāh al-Sumatrānī (wafat Senin, 12 Ra’jab 1039 H / 25 Februari 1630 M)

sebagai Qadhi Malikul Adil pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), mengarang puluhan kitab

dibidang tasawuf, akhlak dan tauhid, diantara Mir’at al-Mukmin, Jauhar al-Haqāiq dan Mir’at al-Muhaqqiqīn,

dan lain sebagainya. Kebesaran dan keahliannya diakui langsung oleh Syeikh Nūr al-Dīn al-Raniri dalam karya

fenomenalnya Bustān al-Salātīn pada bab 2 pasal 13, dari 7 bab keseluruhannya, menyebutkan telah wafat

Syams al-Dīn bin ‘Abdullāh al-Sumatrānī pada hari Senin 12 Ra’jab 1039 H, adalah ia yang alim dalam ilmunya

dan wara’ dalam bidang Tasawuf pada masanya.

Catatan penting dalam kitab Bustān al-Salātīn mampu mengurut silsilah sultan Aceh Dār al-Salām,

dan merekam rutinitas sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani, salah satunya kunjungan ziarah ke makam

kesultanan Samudra Pasai dan penghormatannya kepada Syams al-Dīn al-Sumatrānī. Ini sekaligus

menegaskan tidak adanya kontak face to face antara Nūr al-Dīn al-Raniri, Syams al-Dīn al-Sumatrānī dan

Hamzah Fansuri, walau perhatian Nūr al-Dīn al-Raniri lebih pada tasawuf dan ketauhidan dalam menentang

ajaran Wujudiyyah (Wahdat al-Wujūd) yang dikembangkan pada masanya.

Ulama Aceh masyhur dan ‘keramat’ di masyarakatnya ialah ‘Abd al-Rauf bin ‘Ali al-Jawī al-Singkilī

(wafat 1693 M), mengeyam ilmu 19 tahun di Mekkah-Madinah dan menjadi Syeikh al-Islam dan Mufti

Kerajaan menggantikan posisi Nūr al-Dīn al-Raniri, karyanya lebih dari 30 judul kitab berbagai disiplin ilmu

dalam waktu yang relatif singkat berada di Aceh, di antaranya Mir’at al-Thullāb fī Tashīl Ma’rifah al-Ahkām,

Turjumān al-Mustafīd al-Jāwi dan Sullam al-Mustafidīn, dan lain sebagainya yang masih menjadi rujukan dan

kajian para sarjana sampai saat ini.

Pola pemikiran yang terbangun pada abad ke-16 di Aceh pada bidang keagamaan, tasawuf (falsafat)

dan ketauhidan hingga abad ke-17 berkembang pada ilmu-ilmu lainnya, pada dua masa tersebut dapat

9


Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan 2013

membentuk suatu jaringan keilmuan Aceh dengan perkembangan keilmuan di jazirah Arab, banyaknya kiprah

ulama-ulama jazirah Arab tidak menghentikan kiprah ulama Aceh dalam mengembangkan ilmunya. Dan

jaringan lainnya hubungan perdagangan dan diplomasi dengan negara-negara Eropa yang tidak

mempengaruhi pola pikir kehidupan masyarakat Aceh.

Perjalanan keilmuan Aceh dalam karya tulis (manuskrip) sejak akhir abad ke-18 dan abad ke-19

terjadinya proses transisi keilmuan pada masyarakat, berkembang pada kandungan ilmu-ilmu terapan

lainnya, kecenderungan memiliki kandungan perkembangan sufistik (tarekat) dan kandungan roman epic dan

patriotisme (kesusteraan). Masing-masing keduanya memiliki latar belakang yang kuat dan rentang waktu

yang berbeda, hadirnya tarekat di Aceh adalah simbol kekuatan kerohanian dalam ajaran Islam, sedangkan

hadirnya roman patriotisme dalam kesusasteraan disadur dari bentuk dan pola syair-syair epos Arab dalam

berperang menjadi syair-syair kesusteraan Melayu dan Aceh dalam membangkitkan semangat dalam

menghadapi peperangan dengan penjajahan.

Beberapa ulama Aceh abad ke-18 mengukir karyanya dengan tinta emas, Syeikh Jalāl al-Dīn Tursani

yang juga menjadi salah satu penasehat Sultanah dalam karya Safinah al-Hukkām, Syeikh Jamāl al-Dīn bin

Syeikh Kamāl, Syeikh Faqih Jalāl al-Dīn salah satu karyanya Manzal al-Ajlā ilā Rutbah al-A’lā, Syeikh

Muhammad Zain kitab terkenalnya kasyf al-Kirām, Syeikh Abbdullah Al-Asyi menulis Syifā’ al-Qulūb, Ahmad

Khatib Langien kitabnya berjudul Dawā’ al-Qulūb min al-‘Uyūb, dan lain sebagainya.

Satu abad setelahnya (abad ke-19), nama-nama ulama yang masyhur menulis kitab diantaranya

Syeikh Abbas Kuta Karang juga Qadhi Malik pada masa sultan Mansur Syah (1857-1870 M) terkenal Sirāj al-

Zalām fi Ma’rifat al-Sa’ād wa al-Nahās dan kitab al-Rahmah fi al-Tibb wa al-Hikmah sebagai rujukan obatobatan

herbal para tabib-tabib di Aceh, Syeikh Muhammad bin Ahmad Khatib Langien, Syeikh Daud Rūmi

dikenal juga Teungku Chiek di Leupue karya terkenalnya berjudul Risālah Masāil al-Muhtadī li-ikhwān al-

Mubtadī, menjadi salah satu kitab popular yang digunakan di dayah-dayah di Aceh, selain itu masih terdapat

kitab Bidāyat al-Mubtadī bi-Fadh Allah al-Muhdī oleh Zayn al-Dīn atau dikenal sebagai Angku Besar Melayu

Aceh.

Pada periode terakhir diatas, karya para ulama tersebut dalam bidang keilmuan kurang menjadi

perhatian disebabkan oleh faktor politik dan peperangan dengan Belanda, sehingga beberapa karya ulama

menfokuskan pada patriotism dan semangat melawan penjajah, dari sinilah muncul beberapa karya seperti

Hikayat Prang Sabi, sastra epos jihad dalam bahasa Aceh beraksara Jawi yang sangat fenomenal dikarang

oleh Tgk H. Chik Muhammad Pante Kulu, Hikayat Prang Compeuni dikarang oleh Tgk. Nyak Ahmad dan

Hikayat Maleem Dagang dikarang oleh Tgk Chik Pantee Geulima.

Periode transisi tersebut juga terjadi pada perubahan-perubahan pola pikir dan pandangan para

ulama sufistik dan intelektual, munculnya kemungkinan besar disebabkan kondisi sosial-politik yang dialami

oleh para ulama, filosuf, dan intelektual muslim Aceh itu sendiri, situasi dan kondisi pada abad ke-19 jauh

berbeda dengan abad ke-18 dan ke-17. Beberapa kajian dalam naskah tarekat juga terjadi pergeseran

kandungannya, seperti kitab Manzal al-Ajlā ilā Rutbat al-A’lā karya Faqih Jalāl al-Dīn, dan kitab Sirāj al-Dīn

karangan Tgk. Muhammad Ali Pulo Peub.

Manuskrip Aceh Penggugah Dunia

Naskah yang diproduksi pada zaman silam merupakan salah satu bentuk warisan bangsa, warisan khazanah

Aceh dalam bentuk naskah jauh lebih luas informasinya dan lebih mendalam dibandingkan dengan

peninggalan-peninggalan klasik lainnya dalam bentuk material seperti istana, mesjid, batu nisan, mata uang,

prasasti. Sebagaimana diungkapkan Djamaris bahwa naskah kuno merupakan salah satu sumber informasi

kebudayaan daerah masa lampau yang sangat penting. 9

10


Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan 2013

Sumber yang berharga tersebut belum sebanding dengan perhatian dan kajian para pewarisnya

generasi saat ini, kondisi tersebut disebabkan kurang memahami bacaan dan tulisan Jawi, juga disebabkan

keberadaanya dikoleksi secara pribadi tanpa terawat dengan layak serta kurangnya publikasi akan naskahnaskah

tersebut. Sesungguhnya manuskrips Aceh mengandung nilai yang cukup besar dan dapat memberikan

sumbangan yang luar biasa untuk masa depan budaya bangsa.

Naskah Aceh memiliki karakteristik dan kekhasan keislaman dan keacehan, keistimewaan tersebut

sangat menonjol dari naskah-naskah lainnya di Nusantara, baik secara filologis yang mencerminkan identitas

naskah keagamaan keislaman, kandungan isi, pembahasan dan metode penyampaian dalam semua bidang

ilmu, maupun tentang kehidupan yang bernafaskan Islam, baik dalam proses sosial-budaya, spiritual

keagamaan dan legitimasi politisasi kerajaan.

Dari sisi kodikologis, sebagian besar manuskrip menggunakan alas naskah dari kertas Eropa yang

memiliki cap kertas (watermark) bercorak islami, walaupun sebenarnya pada masa tersebut di Nusantara

diyakini sudah mampu memproduksi kertas dan menggunakan alas naskah produk dalam negeri seperti

daluwang, daun lontar, daun nipah, kulit kayu, bambu dan rotan yang diproduksi dan dikembangkan oleh

masyarakat lokal dengan tehnik bermacam ragam. 10

Manuskrip karya ulama Aceh yang dimaksud termasuk dalam dua kategori, baik ulama luar Aceh

yang berkiprah dan fokus terhadap Aceh, dan kedua kontribusi ulama pribumi sendiri sebagai anak bangsa,

karya-karya yang menjadi buah tangan para tokoh alim ulama dan intelektual Aceh tampil dengan berbagai

alasan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masanya sehingga perbedaan dan perubahan-perubahan dapat

dilihat dan diperoleh kemudian setiap periode.

Sastra Kitab karya syeikh Hamzah Fansuri dalam bentuk syair dialiri dengan hikayat perumpamaan

atau Alegori Sufi. Syair-syair Hamzah Fansuri banyak diilhami para sastra sufi sebelumnya, terutama di Jazirah

Arab dan Parsi seperti kitab Hadīqah al-Haqīqah karya Sana’i (w. 1131 M) dan antologi syair Mantiq al-Thayr

(Musyawarah Burung) karya sufi Syeikh Farid al-Din al-‘Attar (1136-1230 M) versi naskah tersebut tersimpan

di Leiden Cod. Or. 3341, ia adalah salah seorang sufi Persia termasyhur, dalam karyanya yang berisi kumpulan

fable, kisah ruhani dan berbagai hikayat yang membentuk kisah tunggal.

Jika mendalami antologi puisi Hamzah Fansuri juga tak terlepas dari perumpamaan-perumpaman

yang diungkapkan secara sufistik dan nilai-nilai ruhani melaui fable Syair Burung Pingai, Syair Pungguk dan

Syair Ikan Tongkol atau tamsil seperti Syair Perahu dan Syair Dagang, tak terlepas dari ciri khas kesusasteraan

dan penggambaran kesufian pada masa tersebut. Lambang-lambang berupa berbagai jenis burung dan

binatang dengan keunikannya tersendiri dalam perjuangannya menuju kesempurnaan dipandang

mengandung nilai didaktis yang tinggi bagi kaum sufi dalam pengembaraan mereka di jalan ruhani menuju

satu titik pusat, yaitu Sang Maha Esa dan Kuasa.

Serapan dan peminjaman kosakata bahasa Arab dalam syair-syairnya adalah bagian dari proses

Islamisasi di Nusantara yang juga terintegrasi ke dalam bahasa Melayu, dan telah mendorong pemakaian

kosa kata (vocabulary) bahasa Arab ke dalam tulisan naskah atau teks Melayu yang beraksara Jawi pada

semua bidang ilmu, termasuk bahasa sastra (syair, puisi dan lainnya) melalui naskah-naskah karyanya sebagai

pelopor utama di Melayu-Nusantara sebagai pengarang dan perintis sastra klasik.

Dalam bidang sejarah, kitab terkenal Nūr al-Dīn al-Raniri berjudul Bustān as-Salātīn menjadi acuan

para sejarawan dalam mengungkapkan sejarah kerajaan Aceh Darussalam, naskah yang dikarang atas

permintaan sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M). Naskah akbar yang tersimpan di beberapa koleksi museum

luar negeri, seperti di Belanda, Afrika, Inggris, Malaysia dan di Nusantara. menurut Braginsky, kitab ini begitu

besar sehingga tidak tersimpan sebuahpun naskah yang mengandung semua babnya sekarang, biasanya

naskah-naskahnya berisi hanya satu atau dua-tiga bab tertentu. 11

11


Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan 2013

Menilik isinya, Bustān as-Salātīn merupakan sebuah gubahan ensiklopedis yang menggabungkan

genre sejarah universal dengan cermin didaktis dan bersifat teologis-historis, kandungannya terbagi kepada 7

bab dan 40 pasal, diawali dari penciptaan Alam dan segala makhluk-Nya, selanjutnya sirah Nabi-nabi, dan

raja-raja di belahan dunia ini, termasuk kerajaan Aceh Darussalam, sedangkan tiga bab selanjutnya

menjelaskan kriteria raja dan para menterinya sesuai syariat Islam, fokus utama selain historis tentang

perjalanan raja-raja, juga mengutamakan pada etika, akhlak dan adab, sosok pemimpin yang mampu

mengabdikan diri untuk rakyatnya, pada dua bab terakhir dalam naskah ini mengupas karakter manusia dan

mengurai tentang dasar-dasar pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam.

Naskah lainnya yang mengukir tentang sejarah sebelumnya adalah dalam bentuk roman India-Parsi

seperti Hikayat Birma Syahdan, Hikayat Nahkoda Muda, Hikayat Bayan Budiman secara ekplisit menyerupai

alur cerita Hindu. Perkembangan selanjutnya menyadur hikayat dari Parsi-Islam seperti Hikayat Iskandar

Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Nabi Yusuf, Hikayat Ali Hanafiah, dan termasuk Taj al-Salātin,

Hikayat Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai, keberadaan Bustān as-Salātīn secara tidak langsung ‘terkesan’

melanjutkan kisah dalam Hikayat Melayu (Sejarah Melayu) walau tidak diketahui asli pengarangnya.

Turjumān al-Mustafīd karya ‘Abd Rauf al-Singkili (1693 M) menjadi kitab Tafsir perdana di dunia

Islam Melayu-Nusantara, hal tersebut juga menunjukkan kepakarannya sebagai mufassir dan perhatiannya

dalam berbagai bidang ilmu, walau sudah banyak manjadi kajian para sarjana, termasuk Johns (1998). 12

Namun, di Aceh sendiri saat ini tidak terdapat satupun naskah tafsir Turjumān al-Mustafīd dalam versi

reproduksi dan buku sebagai bacaan masyarakat luas, termasuk ukiran ilustrasi (iluminasi) dalam naskah

tersebut yang memiliki makna sufistik tersendiri.

Karya spektakuler lainnya di bidang fiqh berjudul Mir’at al-Tullāb fī Tashīl Ma’rifat Ahkam, Abd Rauf

al-Singkili dengan tegas menyebutkan bahwa tujuan penulisan kitab ini mempersiapkan untuk seluruh para

raja-raja dan Qadhi (hakim) sebagai tuntunan bagi mereka, untuk itulah Abd Rauf al-Singkili selalu mengawali

setiap awal pembahasannya dengan kalimat seperti “Adapun setengah daripada segala hukum yang

seyogyanya diketahui oleh Qadhi akan dia itu, yaitu…”.

Kitab ini dikarang atas permintaan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675 M) sebagai

penengah yang dapat mengurusi berbagai masalah sosial-keagamaan, karena itu fokus utama dari kitab ini

bukan pada fiqih ibadah (ubudiyah), melainkan fiqih muamalah yang lebih menekankan pada aspek-aspek

hukum pidana dan perdata, termasuk sosial ekonomi. Bahkan kitab ini masih sangat relevan penerapannya di

Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, karena sebagian besar pasal pembahasannya mengenai

problem yang dialami oleh masyarakat, hukum jual beli, hukum riba, hukum khiyar, hukum segala mata

benda dijual sampai sistem pembagian hasil sewa tanah, hukum mendirus tanam-tanaman, hukum

penggunaan atau pemanfaatan lahan kosong dan usaha-usaha lainnya.

Safinat al-Hukkām karangan Syeikh Jalāl al-Dīn Tursani juga salah seorang penasehat Sultanah

membahas dalam kitabnya tentang hukum Islam yang membahas hukum dagang, hukum keluarga, hukum

tata negara, adat, kanun dan reusam, hukum perdata atau pidana serta syarat-syarat Sultan, para menteri

dan hakim (termasuk kejaksaan) serta teori-teori pemerintahan yang maju. Kitab ini dibagi kepada tiga bab,

pertama tentang dagang, kemudian tentang nikah (perkawinan) dan terakhir menyangkut hukum pidana.

Pada periode diatas (abad ke-16 dan ke-17), kandungan naskah-naskah lebih menyorot pada bidang

hukum Islam dan hukum pemerintahan dan tatanegara, termasuk kabinet Sultan berupa para menteri

termasuk kehakiman dan kejaksaan, perhatian karya lainnya pada bidang perdagangan dan bisnis (ekonomi),

keduanya didukung oleh situasi dan kondisi Aceh saat itu dibawah kesultanan dan terjalin hubungan dagang

dengan negara-negara Eropa. Pola alur penulisan sangat terlihat antara ulama-ulama Aceh pada masa yang

berbeda, seperti kajian sejarah Melayu dan Aceh di kitab Bustān al-Salātīn dengan Hikayat Melayu, kajian

12


Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan 2013

Qadhi dan Menteri antara kitab Bustān al-Salātīn dengan Mir’at al-Tullāb dan dengan Safinah al-Hukkām,

sedangkan naskah sufistik dan patriotisme menjadi kajian tersendiri, juga telah terjadi pergeseran dan

perubahan diakibatkan situasi dan kondisi Aceh.

Abad ke-18 dan ke-19, kajian naskah ulama-ulama Aceh mengalir dan berkembang kepada ilmu

pengetahuan dan patriotisme, beberapa intelek muslim Aceh mengisi bidang ini sebagai kajian dibidang ilmu

pengetahuan sosial, alam, kedokteran dan lainnya. Naskah Ta’bir Gempa, naskah Takwil Mimpi, naskah

Astronomi, naskah Biologi, Ilmu Hisab, naskah Tabib (obat-obatan) dan Nazam menghiasi keilmuan Aceh.

Naskah Ta’bir Gempa salah satunya, walau tidak diketahui pengarangnya, namun ia menjadi

pedoman para ulama dan intelektual di Aceh dan Nusantara selama berabad-abad. Kontekstulisasi memang

tidak diabaikan oleh para pendahulu, dengan melakukan konservasi, investigasi dan intropeksi setiap

kejadian pasca gempa, tujuannya untuk penggulangan dini secara cepat, tepat dan akurat baik dalam jangka

pendek maupun jangka panjang, tentu sesuai dengan teknologi yang tersedia pada masa tersebut, sama

dengan sistem teknologi yang digunakan zaman ini Early Warning System (sistem peringatan dini),

geotomography dan teknologi Global Positioning System (GPS).

Sedangkan naskah-naskah berbahasa Aceh pada periode ini lebih cenderung kepada syair-syair

patriotisme, epic dan jihad, Tgk H. Chik Muhammad Pante Kulu, Tgk. Nyak Ahmad dan Tgk Chik Pantee

Geulima dari sekian banyak pengarang dan penulis hikayat-hikayat heroic untuk membangkitkan semangat

jihad dalam perang melawan penjajah pada saat deklarasi agresi Belanda I di Aceh pada tahun 1873 M.

Perubahan bentuk karya ulama pada masa tersebut dari prosa ke pola syair ruba’i atau masnawi, sama

dengan yang dilakukan oleh syeikh Hamzah Fansuri dalam syair-syair sufistik Melayu dalam membangkitkan

semangat jiwa dan ghirah kepada Tuhan Sang Pencipta beberapa abad sebelumnya.

Naskah Sufistik Tarekat di Aceh

Naskah-naskah Aceh berisi kandungan tasawuf tak terhingga jumlahnya, hampi setiap periode zaman hadir

berbagai naskah, selain pengaruh ulama-ulama Arab berkonsentrasi di Aceh dan kepribadian ulama-ulama

Aceh sangat serius dan mendalam dalam membentuk karakter dan akhlaknya sebagai tauladan kepada

masyarakat awam, karenanya antusias masyarakat untuk memupuk keimanan dan merawat keruhanian

sangatlah besar, sehingga naskah-naskah yang dijumpai saat ini hampir terekam setiap pada masa lampau.

Dalam ilmu tasawuf, Tarekat merupakan suatu organisasi tasawuf yang terdiri dari sekelompok

mursyid dan murid untuk melaksanakan ajaran-ajaran yang ada dalam suatu tarekat, munculnya tarekat

dalam bermacam-macam bentuk bertebaran di berbagai wilayah di Aceh, diantara tarekat yang popular di

kalangan masyarakat adalah tarekat Qadariyyah, Naqsyabandiyyah, Samaniyah, Syatariyyah, dan Rifa’iyyah. 13

Sebagaimana yang telah disebut diatas tentang perubahan dan pergeseran kandungan ajaran sufi

sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi di Aceh, seperti tarekat Naqsyabandiyyah salah satu yang

berkembang pada masa kerajaan Aceh dan sekarang berkembang di wilayah Barat Aceh, tarekat Syattariyyah

juga mencapai puncak kejayaan dari dua orang mursyid, syeikh Abd Rauf al-Singkili yang diperoleh dari

gurunya dan syeikh Abd Wahāb Firus al-Baghdādy, keduanya dari jalur berbeda dan bertemu pada guru

besarnya syeikh al-Qusyasyi dari Mekkah.

Karya-karya tarekat di Aceh melalui naskah tulisan tangan yang dimulai dari masa kesultanan sampai

masa peperangan Belanda (pasca kemerdekaan) terdapat beberapa perubahan-perubahan seiring bergulir

waktu, pola pikir dan budaya ikut berperan mempengaruhi gerak dan cara berpikir masyarakat. Rentang

waktu tersebut dapat dipilah menjadi tiga bagian, yaitu, pertama; masa kejayaan pemerintahan (kesultanan)

Aceh, beberapa naskah-naskah Tarekat pada periode awal memiliki karakteristik keislaman yang lebih kental

13


Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan 2013

dan keruhanian yang murni, kitab Mir’at al-Muhaqqiqīn dan Kifāyat al-Muhtājin dalam bahasa Arab-Melayu,

‘Umdat al-Ansab dan Tanbīh al-Māsyi dalam bahasa Arab, merupakan kitab kajian periode tersebut.

Kedua; pada masa kemunduran kerajaan Aceh sekitar abad ke-18, melemahnya kerajaan Aceh saat

itu ditandai oleh ketidaksetiaan pimpinan wilayah kepada Sultan, sehingga muncul konflik antara uleebalang

dengan ulama. Kedua unsur ini (ulama dan uleebalang) adalah penyokong utama terhadap kerajaan. Situasi

politik dan perubahan pada struktur masyarakat, terutama kaum elit yang ikut mempengaruhi pola pikir

sufistik Aceh, beberapa naskah tasawuf muncul pada periode ini seperti Kasyf al-Kirām, Asrār al-Sulūk, dan

Manzal al-Ajla ilā Rutbat al-A’lā.

Dan terakhir, pada masa peperangan melawan Belanda di Aceh, tepatnya pada awal agresi Belanda

tahun 1873 M, perubahan tarekat sufistik sangat menonjol, pengaruh tersebut terlihat dari minimnya karyakarya

ulama berbahasa Melayu dan Arab, pergeseran tersebut beralih ke naskah-naskah sufistik berbahasa

Aceh, walau tidak sebanding ketenarannya dengan naskah-naskah patriotisme dan jihad, pengaruh tersebut

juga diakibatkan situasi yang tidak stabil oleh karena perpecahan dan peperangan, itu sebabnya beberapa

naskah dipengaruhi oleh situasi politik kolonial Belanda. Naskah Sirājuddin dan Mi’raj al-Sālikīn mewakili

sebagian besar naskah yang berkembang pada abad ke-19, perubahan dan pergeseran kandungan tersebut

tidak terdapat dalam naskah sufistik ulama-ulama sebelumnya.

Perubahan-perubahan itu terjadi karena pengaruh kondisi sosial-politik yang berkembang pada

setiap periode, sehingga pola pikir para pengarang dipengaruhi oleh pengalaman hidup mereka yang dialami

dan berkembang sesuai alurnya yang berbeda dengan masa sebelumnya, perkembangan komunikasi,

informasi, dan interaksi dengan dunia luar yang terus terjadi di Aceh dan meresap dalam kehidupan

masyarakat Aceh tak dapat dielakkan.

Naskah Heroik dan Epos di Aceh

Karakteristik dan keistimewaan yang terkandung dalam naskah epos (patriotism) Aceh abad ke-19 M, hal itu

dapat dilihat dari cara para pengarang atau penulis naskah, diawali dengan puji-pujian kepada sang Khaliq,

kemudian Shalawat kepada Rasulullah dan disertakan beberapa ayat-ayat suci al-Qur’an, atau juga perkataan

orang-orang shaleh (imam, ulama atau tokoh tertentu). Jika merujuk ke naskah-naskah ulama sebelumnya,

‘konsep’ jihad terpadu pada pembentengan diri daripada perbuatan-perbuatan tercela, kemungkaran dan

sifat-sifat yang kurang terpuji dapat menghalangi jalan hamba mencapai keridhaan Tuhan.

Dalam beberapa naskah Aceh abad ke-16 sampai ke-18, tidak terdapat isi naskah yang

membangkitkan kebencian dan permusuhan dengan penjajah, atau berbeda agama dan kepercayaan,

pengecualian pada kasus tuduhan Nūr al-Dīn al-Rāniri terhadap pengikut doktrin Wujudiyyah. Gambaran

perkembangan kondisi Aceh jauh dari permusuhan dan doktrin-doktrin kebencian terhadap orang Eropa,

terutama Belanda seperti apa yang terjadi pada abad ke-19 terwujud dalam beberapa tulisan karya ulama

masa tersebut.

Hikayat Prang Sabi mengawali sastra epos jihad dalam bahasa Aceh, karya Tgk H. Chik Muhammad

Pante Kulu (l836 M) di Pidie berguru kepada seorang ulama Tgk Haji Chik Muhammad Amin Dayah Cut di Tiro

(Pidie). Hikayat Prang Kaphee, Hikayat Prang Compeuni yang dikarang oleh Tgk. Nyak Ahmad (Uthi) dari

Gampöng Cot Paleue, adalah dari sebagian besar naskah-naskah epos yang mewakili perjuangan melawan

penjajahan, muncul dari kekhawatiran para ulama terhadap masyarakat Aceh yang terbaur keduniawian.

Kesemua naskah Hikayat Aceh tersebut diatas disalin secara turun temurun, sehingga melahirkan

berbagai versi dan varian naskah di berbagai wilayah pada masa perlawanan penjajah dan memadukan

roman keagamaan, kejiwaan dan kerohanian (Spiritual Quantity) dan roman epic dan patriotisme (Emotional

Quantity).

14


Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan 2013

Hikayat Maleem Dagang yang dikarang oleh Tgk Chik Pantee Geulima pada (l889 M) menceritakan

perjalanan sosok Malem Dagang sebagai Laksamana Muda ke negri Malaka untuk mengusir Portugis, dalam

hikayat ini roman ksatria bercampur dengan kisah percintaan tentang kerinduannya ke Aceh saat di Malaka.

Ada beberapa tokoh yang disebutkan seperti Iskandar Muda sebagai tokoh utama, sebagai pemimpin armada

kapal laut Cakra Donya ke Melaka, Putri Pahang, permaisuri Sultan Iskandar Muda, seorang putri dari istana

Pahang. Raja Raden, saudara Raja Si Ujud dan sahabat Iskandar Muda.

Upaya Snouck Hugronje memberi nasehat kepada Kepala Pemerintah Belanda di Batavia untuk

membungkam perjuangan rakyat Aceh dengan cara memisahkan ulama-ulama Aceh dengan rakyatnya

(pengikut) bukan hanya dengan membunuh dan mengasingkan sang tokoh, tapi juga dengan menghentikan

karya-karya tulis (naskah) religious dan patriotic yang mampu membakar jiwa, spirit dan semangat pejuangpejuang

Aceh. 14

Lebih dari itu, Belanda juga menerbitkan berbagai karya tulis (naskah), baik dokumen negara, tulisan

umum ataupun pernyataan media cetak pada era tersebut guna mendapat dukungan pihak luar negeri, dan

memutar balikkan realitas yang terjadi, seperti pada tahun 1872 Multatuli menerbitkan Brief aan den Koning

(Surat Kepada Raja) W.A van Rees (1879), yang banyak menulis buku tentang ilmu perang Hindia dan sejarah

militer, mendapat dukungan dari Kapten Artileri G.F.W. Borel berjudul Onze Vestiging in Atjeh (Pendudukan

Kita di Aceh), De Waarheid over Onze Vestiging in Atjeh (Kenyataan yang sebenarnya tentang pendudukan

kita di Aceh), 15 usaha tersebut untuk menutupi kegagalan perang yang terjadi di Aceh.

Penyalinan naskah di Aceh bahwa pada era tersebut sesuai suhu politik sedang bergejolak dengan

terjadinya pergolakan dan perlawanan melawan penjajah, peranan ulama mengarang dan memperbanyak

salinan kitab-kitab dari berbagai bidang ilmu untuk disebarkan ke seluruh wilayah melalui dayah-dayah atau

dunia pendidikan berbasis agama, maka alur hikayat pun tak terlepas dari unsur heroik dan patriotisme. Ding

Choo Ming berpendapat, telah terjadi penyalinan besar-besaran antara akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19

akibat money politik Eropa membeli naskah-naskah Nusantara (terutama Aceh). 16 Selain rampasan perang

dan pencurian terhadap naskah-naskah Aceh keluar negeri, cukup sudah Raffles yang melarikan naskah

berpeti-peti akhirnya binasa tenggelam kapalnya di tengah lautan.

Karya ulama-ulama Aceh dalam membangkitkan semangat juang dan membela agama, marwah,

jiwa, dan tanah air mampu mendapat sambutan hangat di hati masyarakat, hubungan ulama dengan

masyarakat terjalin erat seperti hubungan mursyid dengan murid. Sehingga menempatkan mereka pada

posisi utama, baik sebagai imam, ulama, umara (amir) dan panglima perang, karena itu karya-karya mereka

tetap hidup di masyarakat Aceh dan Melayu-Nusantara.

Penutup

Naskah Aceh memiliki banyak ragam, termasuk di dalamnya corak ragam bernuansa keagamaan, baik yang

menyangkut ajaran Islam sendiri maupun tentang kehidupan yang bernafaskan keislaman, sehingga karya

naskah-naskah ulama Aceh memiliki karakteristik dan kekhassan keislaman yang sangat menonjol pada setiap

masa, baik awal masa di pemerintahan kesultanan Aceh sampai kepada periode kemerdekaan Nusantara.

Identifikasi periode tersebut dapat memahami karakter dan perkembanga pemikiran, intelektual dan

konstruksi masyarakat pada masa tersebut.

Periodisasi penulisan kitab dan isi kandungannya dalam naskah-naskah keagamaan dan

kesusasteraan telah terjadinya perubahan dan pergeseran kajian dan kandungan naskah tersebut, demikian

periodisasi pernaskahan di Aceh dapat dipilah menjadi tiga bagian, pertama; periode kejayaan kerajaan Aceh,

kedua; masa kemunduran kerajaan Aceh, dan ketiga; pada masa peperangan Aceh dengan Belanda, ketiga

periode tersebut memiliki corak isi kandungan naskah yang berbeda dan keistimewaan tersendiri dipengaruhi

15


Seminar Serantau Kajian Manuskrip Melayu dan Kearifan Tempatan 2013

oleh sosial-politik yang terjadi dan perkembangan cara berpikir setiap masanya menjadikan naskah Aceh

tetap eksis dan menonjol.

Catatan Akhir:

1 A. Hasjmy, Syi’ah Dan Ahlussunnah; Saling Rebut Pengaruh Dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara.

Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983, h. 45. Lihat juga, M. Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar Muda,

1957.

2 M. Yunus Jamil, Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh. Banda Aceh: Ajdam I Iskandar Muda, 1968, h. 8

3 Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia. Solo: Ramadhani, 1985.

4 H.A.R. Gibb, Ibn Batuttah. Travels in Asia and Africa, London:,1929, Chapter X, No. 6

5 Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Solo: Ramadhani, 1971, h. 15

6 Nūr al-Dīn al-Rānirī , Bustān as-Salātīn, Bab II, Fasal 13, MS Cod. Or. 5443 Leiden, (ed) Siti Hawa Salleh (Kuala Lumpur: Dewan

Bahasa dan Pustaka, 1992), 27

7 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Prenada Media, 2005.

8 Lihat: G.W.J Drewes & L.F. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri, Holland: Dordrecht, 1986, dan Syed Muhammad Naguib Al-

Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970.

9 Edwar Djamaris, Metode Penelitian Filologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993), 19

10 Jumsari Jusuf, Naskah Sebagai Sumber Sejarah (Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional Jakarta, 1983), 11

11 Braginsky, K.I., Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS, 1998. h. 336

12 A.H Johns, The Qur’an in The Malay World: Reflection on ‘Abd Al-Rauf of Singkil (1615-1693) dalam jurnal Islamic Studies 9:2,

1998, h. 120-145

13 J.S Trimingham, The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University Press, 1971, h. 131

14 E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasehat-nasehat C. Snouk Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia

Belanda 1889 — 1936, Jakarta: INIS, Jilid 1, 1990

15 Paul Van 'T Veer, Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985, Hal. 99

16 Ding Choo Ming, Access to Malay Manuscripts, Tulisan di Seminar Internasional kerjasama Asean dan Afrika Utara ke 32,

Hamburg, 25-30 Agustus 1986, h. 4

16

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!