12.05.2020 Views

STUDI KONDISI BIOFISIK EKOSISTEM TERUMBU KARANG PULAU KAPOTA WAKATOBI_Irwanto

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

STUDI KONDISI BIOFISIK EKOSISTEM TERUMBU KARANG

DAN STRATEGI PENGELOLAANNYA (Studi Kasus

Pulau Kapota Kabupaten Wakatobi)

HASIL PENELITIAN

IRWANTO

(L 111 05 027)

Pembimbing

Prof. Dr. Amran Saru, ST., M.Si (Pembimbing Utama)

Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si (Pembimbing Kedua)

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2011


i

STUDI KONDISI BIOFISIK EKOSISTEM TERUMBU KARANG

DAN STRATEGI PENGELOLAANNYA (Studi Kasus

Pulau Kapota Kabupaten Wakatobi)

Oleh :

IRWANTO

L 111 05 027

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

PadaFakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2011


ii

HALAMAN PENGESAHAN

Judul

Nama

: Studi Kondisi Biofisik Ekosistem Terumbu Karang dan

Strategi Pengelolaannya (Studi Kasus Pulau Kapota

Kabupaten Wakatobi)

: Irwanto

Stambuk : L 111 05 027

Jurusan

Program studi

: Ilmu Kelautan

: Ilmu Kelautan

Laporan Telah diperiksa

dan disetujui oleh :

Pembimbing Utama,

Pembimbing Anggota,

Prof. Dr. Amran Saru, ST., M.Si.

Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si

NIP. 1967 0924 1995031001 NIP. 1968 0402 1992022001

Mengetahui,

Pembantu Dekan Bidang Akademik

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Ketua Jurusan

Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Najamuddin, M.Sc

Dr. Ir. Amir Hamzah M., M. Si

NIP. 1960 0701 1986011001 NIP. 1963 1120 1993031002

Tanggal Pengesahan :


iii

ABSTRAK

Irwanto. Studi Kondisi Biofisik Ekosistem Terumbu Karang dan Strategi

Pengelolaannya, Studi Kasus Pulau Kapota Kabupaten wakatobi (dibimbing oleh

Amran Saru dan Chair Rani)

Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah Pulau

Kapota dengan keberadaan terumbu karang dan ikan-ikan karang diyakini dapat

memenuhi kelangsungan hidup masyarakat dan menciptakan tingkat

kesejahteraan bagi masyarakat nelayan. Penelitian ini bertujuan mengetahui

kondisi dan profil sumber daya ekosistem terumbu karang, mengetahui bentuk

pemanfaatan terumbu karang, dan merumuskan strategi pengelolaan ekosistem

terumbu karang yang lestari dan berkelanjutan di perairan Pulau Kapota.

Metode yang digunakan adalah mengidentifikasi potensi sumber daya

ekosistem terumbu karang melalui survey langsung di lapangan dan perolehan

bentuk pemanfaatan ekosistem melalui data quesioner sosial dan ekonomi

kemudian merumuskan strategi pengelolaan dengan menggunakan analisis

SWOT yang menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Teknik

pengumpulan data dilakukan melalui wawancara/kuisionering terhadap

stakeholder representasi lembaga yang meliputi; lembaga eksekutif, lembaga

legislatif, lembaga yudikatif, pihak swasta, LSM dan masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa untuk kondisi terumbu karang

dalam kategori sedang sampai baik, ditemukan 78 jenis spesies ikan karang

yang didominasi oleh kategori ikan target, ditemukan 50 jenis spesies karang

keras yang didominasi oleh famili Acroporidae, Pavidae dan Porites, ditemukan 7

jenis megabentos yang didominasi oleh small clamb, terdapat dua bentuk

pengelolaan ekosistem terumbu karang yakni sebagai daerah penagkapan dan

daerah ekowisata. Strategi pengelolaan untuk daerah penangkapan yakni

Optimalisasi perikanan tangkap di daerah Pulau Kapota, penguatan hukum dan

kelembagaan, penciptaan peluang pemasaran hasil tangkapan dan sedangkan

untuk daerah ekowisata adalah optimalisasi pemanfaatan ekosistem terumbu

karang dan faktor penunjang kegiatan ekowisata, pengembangan ekowisata

sebagai prospek jangka panjang dan Pelestarian sumberdaya ekosistem

terumbu karang.

Kata kunci: Ekosistem Terumbu karang, Strategi pengelolaan, Kabupeten

Wakatobi


iv

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirabbilalamin, penulis panjatkan atas kehadirat – Nya,

karena hanya dengan Ridho dan Rahmat Allah SWT. sehingga penulis dapat

menyelesaikan tahap demi tahap penyusunan skripsi yang berjudul ”Studi

Kondisi Biofisik Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya

(Studi Kasus Pulau Kapota Kabipaten Wakatobi)” yang merupakan laporan hasil

penelitian yang dilaksanakan penulis sejak bulan Juli 2010 sampai dengan Maret

2011 dengan baik.

Tak lupa pula penulis menghaturkan shalawat dan salam atas Nabi

Muhammad SAW, Rasulullah yang telah menyampaikan nikmat Iman dan Islam

di seluruh penjuru dunia.

Kupersembahkan salah satu karya terbaikku kepada keluargaku tercinta,

Ayahanda Maksmur, S.Pd. dan Ibunda Irawati, serta adik-adikku; Muh. Makruf

(semoga cepat menjadi insinyur), Muh. Syadat (semoga menjadi petualang

sejati) dan si bungsu yang paling cantik Nuril Mutmainnah. Terima kasih atas

segala doa, cinta dan motifasi yang diberikan kepada saya selama ini.

Adalah merupakan suatu waktu yang panjang dalam menyelesaikan

rangkaian penyusunan skripsi ini, yang telah melibatkan bantuan dari berbagai

pihak dan oleh kerena itu, di lembaran kertas yang sederhana ini, penulis

mencoba untuk menuangkan ungkapan terima kasih dan penghargaan yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membatu.

Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

terkhusus penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Amran Saru, ST., M.Si. sebagai pembimbing utama dan

Bapak Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si. sebagai pembimbing anggota, yang telah

berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan serta

melanturkan saran dan perhatiannya kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

2. Seluruh Dosen pengajar dan staf Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, yang telah membatu

penulis selama menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Kelautan.


v

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si., sebagai Penasehat Akademik, atas

segala perhatian, masukan dan arahannya selama penulis menjadi

mahasiswa dan bantuannya dalam analisis statistik serta peminjaman

bukunya.

4. Rekan-rekan seperjuangan Tim Peneliti di Kepulauan Wakatobi; Voltra

Veronica, Retha Sahertian dan La ode Ma’aruf yang senantiasa

menyemangati dan memberikan candanya selama dilapangan.

5. Team Menami Survey; Kak Iksan, Kak hardin, Kak Akas, Kak Ana, Mas Putu

dan nahkoda kapal yang berkenan memberikan waktunya membantu peneliti

dalam pengambilan data di lapangan.

6. Kakanda tercinta; Kak Marni dan Kak agus yang berkenan memberikan

tempat menetap untuk peneliti selama berada di lokasi penelitian.

7. Tersayang Wa Ode Asrida, yang selalu setia dan selalu ada memberikan

semangat dan inspirasi yang tak lelahnya.

8. Team Komunitas Pecinta Alam Kelautan UNHAS (Setapak 22); Laode

Ma’aruf, Fachril Muhajir, M. Rizal, Harianto K., Arry Fengkiari, Muh. Nasir,

Sulaeman Nasir, Haerul, Yusra, Rahmadi, M. Iksan dan Samsurizal yang

selalu mewarnai jiwa petualang penulis dan memberikan canda tawa selama

berinspirasi di alam.

9. Rekan-rekan terbaikku yang selalu siap memberi canda khas kelautan (calla);

Mirwan A., Aidil Syam, Muh. Risalah, A. Arham, Suriatno, Taufik Tajuddin,

Mustakim dan seluruh angkatan 2005 yang namanya tidak sempat

disebutkan, terima kasih atas bantuannya selama kita menjalani kehidupan

kampus, yang penuh harapan dan cita-cita.

10. Serta seluruh sahabat dan kawan yang selalau bersama penulis untuk

memberikan bantuannya dimana penulis tidak sempat menggores namanya

di secarik kertas ini.

Terakhir, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, namun dengan keterbatasan yang ada, penulis berharap skripsi

ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi baru bagi penelitian dan pembaca.

Amien.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, Maret 2011

Penulis


vi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI.....................................................................................................

DAFTAR TABEL..............................................................................................

DAFTAR GAMBAR..........................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................

B. Tujuan dan Kegunaan....................................................................

C. Ruang Lingkup...............................................................................

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekosistem Terumbu Karang..........................................................

B. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut.................................

C. Analisis KEKEPAN/ SWOT...........................................................

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat.........................................................................

B. Alat dan Bahan..............................................................................

C. Prosedur Penelitian.......................................................................

D. Analisis Data..................................................................................

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi...............................................................

B. Kondisi Oseanografi.......................................................................

C. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang..............................................

D. Kondisi Ikan Karang.......................................................................

E. Kondisi Genera Karang Keras........................................................

F. Kondisi Megabentos......................................................................

G. Kondisi Sosial dan Ekonomi..........................................................

H. Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang.......................

V. PENUTUP

A. Simpulan...............................................................................................

vi

viii

ix

xi

1

3

3

4

17

20

25

25

25

31

36

37

40

44

55

58

62

73

88


vii

B. Saran....................................................................................................

89

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

RIWAYAT PENULIS


viii

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1.

2.

Matriks analisis SWOT.....................................................................

Kategori Lifeform LIT.......................................................................

23

28

3. Kriteria penutupan kondisi terumbu karang berdasarkan

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

penutupan karang hidupnya.............................................................

Standar matriks kombinasi SWOT...................................................

Jumlah penduduk pulau kapota berdasarkan jenis kelamin............

Kondisi oseanografi lokasi penelitian...............................................

Persentase tutupan komponen terumbu karang di kapota..............

Komposisi ikan karang berdasarkan famili di lokasi penelitian........

Kelimpahan spesies kategori ikan karang di lokaasi penelitian.......

Kelimpahan jenis ikan karang di lokasi penelitian............................

Jumlah bangunan sekolah ditiap Desa di Pulau Kapota..................

Matriks faktor-faktor strategi internal ekosistem terumbu karang

daerah penangkapan.......................................................................

Matriks faktor-faktor strategi eksertal ekosistem terumbu karang

daerah penangkapan.......................................................................

Matriks faktor-faktor strategi internal ekosistem terumbu karang

daerah ekowisata.............................................................................

Matriks faktor-faktor strategi eksterrnal ekosistem terumbu karang

daerah ekowisata.............................................................................

Matriks alternatif strategi untuk penangkapan..................................

Matriks alternatif strategi untuk ekowisata.......................................

33

35

38

39

44

49

51

52

63

77

78

80

81

82

86


ix

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1.

2.

Terumbu karang berdasarkan tipe tumbuhnya………………………

Struktur melintang polip karang………………………………………..

6

13

3. Logika

analisis 21

4. SWOT……………s…………………………………….

26

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

Peta lokasi penelitian…………………………………………………..

Cara melakukan sensus visual ikan karang………………………….

Rangkaian kerja analisis SWOT.......................................................

Persentase penutupan pada lokasi penelitian, kedalaman 3 m (a)

dan kedalaman 10 m (b)...................................................................

Komposisi jenis Ikan karang berdasarkan jumlah jenis(a) dan

jumlah individu(b) di lokasi penelitian...............................................

Komposisi jenis Ikan karang berdasarkan jumlah jenis pada

kedalaman disetiap stasiun..............................................................

Komposisi kategori ikan karang berdasarkan jumlah individu pada

kedalaman disetiap stasiun..............................................................

Indeks Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi................

Jumlah jenis karang keras berdasarkan stasiun…………………….

Jumlah jenis karang keras berdasarkan kedalaman……………….

Kepadatan karang keras berdasarkan stasiun………………………

Kepadatan karang keras berdasarkan kedalaman…………………

Jumlah Jenis megabenthos berdasarkan stasiun…………………..

Jumlah jenis megabentos berdasarkan kedalaman………………..

Kepadatan Megabenthos berdasarkan stasiun……………………..

Kepadatan megabenthos berdasarkan Kedalaman………………..

Tingkat pendidikan masyarakat Pulau Kapota………………………

Persentase pekerjaan utama masyarakat Pulau Kapota…………..

Persentase kepemilikan alat tangkap oleh masyarakat Pulau

Kapota……………………………………………………………………

Rata-rata pendapatan perbulan masyarakat Pulau Kapota………..

29

35

41

45

47

48

54

56

57

58

59

60

60

61

62

64

65

66

67

68


x

25.

26.

27.

28.

29.

30.

31.

Kegiatan dan intensitas kegiatan disekitar terumbu karang……..

Kegiatan dan intensitas kegiatan disekitar terumbu karang……..

Persentase pemanfaatan terumbu karang………………………….

Harapan terhadap pemanfaatan terumbu karang………………..

Bentuk partisipasi pemerintah yang diharapkan dalam

pemanfaatan terumbu karang………………………………………..

Bentuk pemanfaatan terumbu karang………………………………..

Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan

faktor eksternal pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu

karang sebgai area penangkapan...................................................

Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan

faktor eksternal pemanfaatan sumberdaya terumbu karang

sebagai daerah ekowisata...............................................................

69

70

71

72

73

79

82


xi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1.

Kuesioner tertutup untuk pengumpulan data sosial dan

ekonomi

2.

3..

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Kuesioner identifikasi faktor strategi internal dan eksternal

Penutupan karang di lokasi penelitian berdasarkan stasiun di

tiap kedalaman

Hasil identifikasi ikan karang di pulau kapota

Indeks ekologi ikan karang di lokasi penelitian

Identifikasi karang keras di lokasi penelitian

Identifikasi megabenthos di lokasi penelitian

Hasil analisis Two Way ANOVA

Uji Lanjut kruskal Wallis karang keras dan megabenthos


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Luas terumbu karang di Indonesia adalah sekitar 51.000 km2. Angka ini

belum mencakup terumbu karang di wilayah terpencil yang belum dipetakan atau

yang berada di perairan agak dalam (inland waters). Jika estimasi ini akurat maka

51% terumbu karang di Asia Tenggara atau 18% terumbu karang di dunia berada di

perairan Indonesia. Sebagian besar dari terumbu karang ini bertipe terumbu karang

tepi (fringingreefs) yang berdekatan dengan garis pantai sehingga mudah diakses

oleh masyarakat sekitar. Lebih dari 480 jenis karang batu (hard coral) telah didata di

wilayah timur Indonesia dan merupakan 60% dari jenis karang batu di dunia yang

telah berhasil dideskripsikan. Keanekaragaman tertinggi ikan karang di dunia juga

ditemukan di Indonesia dengan lebih dari 1.650 jenis hanya untuk wilayah Indonesia

bagian timur.

Supriharyono, (2002) mengemukakan bahwa sebagai salah satu ekosistem

utama pesisir dan laut, terumbu karang dengan beragam biota asosiatif dan

keindahan yang mempesona, memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi.

Selain berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat,

terumbu karang juga mempunyai nilai ekologis antara lain sebagai habitat, tempat

mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan bagi

berbagai biota laut. Nontji, (1987) menambahkan tentang nilai ekonomis terumbu

karang yang menonjol adalah sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut

konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan baku

farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi yang menarik.

1


Semakin bertambahnya nilai ekonomis maupun kebutuhan masyarakat akan

sumberdaya yang ada di terumbu karang seperti ikan, udang lobster, teripang dan

lain-lain, maka aktivitas yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan potensi

tersebut semakin besar pula. Dengan demikian tekanan ekologi terhadap ekosistem

terumbu karang juga akan semakin meningkat. Meningkatnya tekanan ini tentunya

akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem terumbu karang

dan biota yang hidup di dalamnya. Sehingga sudah waktunya bangsa Indonesia

mengambil tindakan yang cepat dan tepat guna mengurangi laju degradasi terumbu

karang akibat dieksploitasi oleh manusia. (Dahuri, dkk., 2004)

Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (PWPT) sebenarnya

merupakan satu upaya yang menyatukan antara pemerintahan dengan komunitas,

ilmu pengetahuan dengan manajemen, dan antara kepentingan sektoral dengan

kepentingan masyarakat dalam mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan

terpadu bagi perlindungan dan pengembangan ekosistem pesisir dan

sumberdayanya. Tujuan akhir dari PWPT adalah meningkatkan kualitas hidup dari

komunitas masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sumberdaya yang

terkandung di wilayah pesisir dan pada saat yang bersamaan juga menjaga

keanekaragaman hayati dan produktifitas dari ekosistem pesisir tersebut. Sehingga

untuk mencapainya diperlukan suatu perencanaan yang komprehensif dan realistis

(Darmawan, 2001).

Pulau Kapota merupakan salah satu gugusan pulau yang ada di kepulauan

Wakatobi yang memiliki luas 73,3 km² dan sebagian besar masyarakatnya

bermatapencaharian sebagai nelayan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka

tergantung dari hasil tangkap. Hasil tangkapannya nelayan sebagian besar

bersumber dari ikan-ikan yang berada di sekitar terumbu karang. Dengan demikian,

2


keberadaan terumbu karang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup

masyarakat Pulau Kapota. Untuk mengetahui kondisi terumbu karang di pulau ini

maka perlu dilakukan penelitian tentang Studi Kondisi Biofisik Ekosistem Terumbu

Karang serta Strategi Pengelolaannya sehingga pemanfaatan terumbu karang dapat

terkendali sebagaimana mestinya.

b. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan adalah untuk :

a. Mengetahui kondisi dan profil sumberdaya terumbu karang di Pulau Kapota

Kabupaten Wakatobi.

b. Mengetahui bentuk peruntukan pemanfaatan terumbu karang di Pulau Kapota

Kabupaten Wakatobi.

c. Merumuskan strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang yang lestari dan

berkelanjutan.

Sedangkan kegunaannya yaitu untuk memberikan informasi dalam upaya

pengelolaan, konservasi dan pemanfaatan terumbu karang dan sebagai bahan

acuan bagi penelitian sejenis maupun penelitian lain yang dilakukan di daerah

tersebut.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah ;

a. Ekosistem terumbu karang, parameter yang akan di ukur yakni :

1. Penutupan komponen bentik terumbu karang.

2. Kepadatan karang keras dan megabenthos.

3. Kelimpahan ikan karang.

4. Serta parameter oseanografi fisika seperti suhu, salinitas dan arus.

3


b. Sosial ekonomi meliputi :

1. Tingkat kesejahteraan.

2. Sarana dan prasarana.

3. Kondisi kelembagaan setempat.

4. Peluang pemanfaatan ekosistem terumbu karang.

4


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekosistem Terumbu Karang

1. Defenisi

Terumbu karang (coral reef) merupakan masyarakat organisme yang hidup

di dasar peraiaran laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu karang terutama

disusun oleh karang-karang jenis anthozoa dari kelas scleractinia, yang mana

termasuk hermatypic coral atau jenis-jenis karang yang mampu membuat banguan

atau kerangka karang dari kalsium karbonat. Struktur bangunan kapur tersebut

(CaCO3)cukup kuat, sehingga koloni karang mampu menahan gaya gelombang air

laut. Sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup di sini

disamping scleractinian corals adalah algae yang banyak diantaranya juga

mengandung kapur.(Dawes, 1981 dalam Supriharyono, 2000)

Nontji, 2007 mengemukakan bahwa ekosistem ini mempunyai produktivitas

organik yang sangat tinggi. Demikian pula keanekaragaman biota yang ada di

dalamnya.Di tengan samudra yang miskin biasa terdapat pulau karang yang sangat

produktif, hingga kadang-kadang terumbu karang ini diandaikan seperti oase di

tengah gurun pasir yang gersang. Dari segi estetika terumbu karang yang masih

utuh menampilkan pemandangan yang sangat indah, jarang dapat ditandingi oleh

ekosistem lain. Taman-taman laut yang terkenal terdapat dipulau atau pantai yang

mempunyai terumbu karang.

Karang atau karang batu merupakan hewan penyusun ekosistem terumbu

karang yang paling dominan. Karang Batu (Scleractinia) memiliki lebih dari 2500

spesies. Hewan ini berbeda dengan anemon laut dimana tersusun atas polip-polip

yang terselubung dalam ekoskeleton lapisan basal. Biasanya ukuran polip antara 1-

5


30 mm kecuali dari suku Fungiidae dengan diameter sekitar 25 cm atau lebih

(Cesar, 1996).

Berdasarkan tipe tumbuhnya karang, maka terumbu karang dibedakan

menjadi 3 tipe dasar (Wibisono, 2005), yakni :

a.

b.

c.

Gambar 1. Terumbu karang berdasarkan tipe tumbuhnya (Wibisono, 2005).

a. Karang tepi (freenging reefs), yakni terumbu karang yang tumbuh di luar sutau

pulau sejajar dengan garis pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m.

b. Karang pembatas (barrier reefs), Yakni terumbu karang yang tumbuh di luar

suatu pulau atau kontinen yang membentuk sebuah laguna (goba).

c. Karang atol, yakni terumbu karang yang tumbuh melingkar seperti cincin, di

bagian tengah terdapat sebuah laguna (goba). Kedalaman goba di dalam atol

rata-rata 45 m.

6


Harrison, 1984 mengemukakan bahwa formasi awal merupakan fringing

reefs yang terbentuk di sekitar pulau. Jika pulau tersebut mengalami penurunan

permukaan secara tektonik, fringing reefs akan berubah menjadi barrier Reefs.

Apabila proses terus berlanjut, maka atolls akan terbentuk. Namun sebagai bahan

pemikiran, Daly juga mengemukakan teory bahwa proses penurunan permukaan

pulau tidak terjadi melainkan yang terjadi adalah penaikan permukaan. Pada proses

penaikan permukaan terus terjadi sehingga daratan (pulau) lambat laun akan

menghilang sehingga pada akhirnya membentuk atoll.

Bedasarkan kemampuan karang untuk membentuk terumbu dan

simbiosisnya dengan alga simbiotik, keseluruhan karang dapat dibagi oleh beberapa

kelompok (Sorokin, 1993), yaitu :

1. Hermatipik-simbiotik. Kelompok ini termasuk sebagian besar karang-karang

Skleractinia pembentuk bangunan terumbu, Octocoral dan Hydrocoral.

2. Hermatipik-asimbiotik. Kelompok ini memiliki pertumbuhan yang lambat dapat

membentuk kerangka kapur masif tanpa pertolongan algae simbiotik, yang mana

mereka mampu untuk hidup di lingkungan yang gelap di dalam gua, terowongan

dan bagian terdalam dalam kontinental slope. Di antara mereka terdapat

Scleractinia-Scleractinia asimbiotik Tubastrea dan Dendrophyllia, dan Hydrocoral

Stylaster rosacea.

3. Ahermatipik-simbiotik. Di antara Scleractina didapatkan bagian yang dapat

masuk ke dalam grup ini, sebagian kecil Fungiidae, seperti Heteropsammia dan

Diaseris, dan juga karang Leptoseris (Famili Agaricidea), yang tetap sebagai

satu polip-polip yang kecil atau koloni-koloni kecil, dan tidak dapat dimasukkan

sebagai pembentuk bangunan karang. Kelompok ini juga termasuk sebagian

7


besar Octocoral-Alcyonacea dan Gorgonacea, yang memiliki algae simbion akan

tetapi tidak membentuk bangunan kapur masif.

4. Ahermatipik-asimbiotik. Untuk kelompok ini termasuk beberapa Scleractinia,

beberapa spesies dari genera Dendrophyllia dan Tubastrea, yang mempunyai

polip yang kecil. Ahermatipik-asimbiotik juga termasuk Hexacoral dari ordo

Antiphataria dan Corallimorpharia, dan simbiotik Octocoral.

2. Fungsi Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang mempunyai fungsi sebagai Rumah berbagai aneka ragam

biota laut, tempat bertelur, tempat memijah, pembesaran, tempat mencari makanan

serta tempat tinggal sementara bagi biota laut. Terumbu karang juga berfungsi

sebagai benteng hempasan ombak, arus dan pasang surut bagi pulau-pulau dan

berbagai ekosistem pantai lainnya seperti padang lamun dan mangrove

(Suharsono,1996).

Selanjutnya menurut Whitten dkk. (1987), terumbu karang memiliki arti

penting dalam melindungi hewan-hewan yang lebih besar yang berasosiasi dengan

terumbu karang. Nontji (1987) dan Sukarno dkk. (1983) menambahkan bahwa fungsi

alami terumbu karang adalah :

a. Sebagai lingkungan hidup karena merupakam tempat tinggal dan tempat

berlindung, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi biota yang hidup

di terumbu karang.

b. Sebagai pelindung fisik terhadap pantai dari pengaruh arus dan gelombang

karena terumbu karang sebagaipemecah ombak dan penahan arus.

c. Sebagai sumberdaya hayati karena menghasilkan beberapa produk ynag

memiliki nilai ekonomis penting seperti berbagai jenis ikan karang, alga, teripang,

dan mutiara.

8


d. Sebagai sumber keindahan karena menampilkan pemandangan yang sangat

indah dan jarang dapat ditandingi oleh ekosistem lain.

3. Aspek Ekologi Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan komunitas lautan dengan produktifitas hayati

yang tinggi serta keanekaragaman jenis biota yang besar, bila ditinjau dari sudut

estetika memang indah sekali. Terumbu karang hanya tumbuh pada suhu perairan

diatas dari 20 o C pada perairan yang dangkal dan mencapai pertumbuhan yang

optimum pada kedalaman kurang dari 30 meter. Air laut yang jernih dengan salinitas

yang tinggi (18-32 o / oo ) merupakan faktor utama kehidupan terumbu karang

(Johanes dalam Sukarno dkk,1983).

4. Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang

Untuk dapat membentuk terumbu, karang memerlukan persyaratan hidup

tertentu, terpenting diantaranya adalah faktor kedalaman/ cahaya,

suhu,salinitas,kecerahan,arus, substrat dan sedimentasi (Nontji,1986)

a. Kedalaman/cahaya

Terumbu karang dapat tumbuh secara optimum kurang dari 10 m (Hutabarak dan

Evans, 1996). Terumbu karang dapat tumbuh sampai kedalaman 50 m dan

dibawah kedalaman ini terumbu karang sangat sulit hidup karena lapisan air

sangat dingin dan lemahnya intensitas cahaya. Kedalaman kompensasi untuk

perkembangan karang hermatipik terjadi pada kedalaman dimana intensitas

cahaya 15-20 % dari intensitas cahaya permukaan (Baoden, 1985 ;

Nybakken,1988). Sehubungan dengan faktor cahaya tersebut, kedalaman

maksimum untuk hewan karang membentuk terumbu adalah 40 m (Nontji,1986).

Dibawah kedalaman 40 m pertumbuhan karang akan menurun (Grzimek, 1972).

Pada kedalaman lebih dari 50-70 m, terumbu karang tidak dapat berkembang

9


(Nyabakken,1988). Cahaya merupakan sebab utama terjadinya variasi pada

struktur komunitas terumbu karang, karena masing-masing spesies karang batu

bersama zooxanthellae simbiotiknya memiliki toleransi maksimum dan minimum

yang berbeda terhadap cahaya (Veron,1986)

b. Salinitas

Karang hermatipik merupakan organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan

pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air laut yang normal atau berkisar

32-35 0 / 00 (Nyabakken, 1988). Terhadap salinitas, toleransi hewan karang batu

sekitar 27- 40 ppm (Nonji,1986), akan tetapi dapat pula dijumpai pada perairan

intensitasnya lebih dari 40 ppm seperti pada teluk Persia (Nyabakken, 1988 dan

Boaden, 1985). Salinitas yang rendah merupakan faktor yang sangat

mempengaruhi destribusi karang batu di daerah pantai. Karang batu dapat hidup

pada salinitas antara 27 – 40 0 / 00 . Pada umumnya terumbu karang dapat

bertahan pada salinitas yaang rendah untuk rentang waktu yang pendek,tetapi

jika terjadi hujan yang dikombinasikan dengan pasang surut yang rendah, akan

menimbulkan efek yang merusak bahkan meghancurkan keseluruhan terumbu

karang (Nyabakken, 1988; Veron,1986; Sukarno, dkk, 1983; Nonji,1986)

c. Arus, Kecerahan, dan Sedimentasi

Arus berfungsi bagi karang sebagi pengsuplai oksigen dari laut bebas, makanan

berupa plankton. Seleain itu arus dan gelombang dapat membersihkan karang

dari endapan. Sehingga pada tempat yang arus dan ombakntya cukup besar

terumbu karangnya tumbuh subur (Nontji, 1986; Nyabakken, 1988 ; Boaden,

1985).

Karang batu memerlukan air laut yang bersih dari kotoran-kotoran. Kotorankotoran

yang terdapat di dalam air dapat menghalangi masuknya cahaya

10


matahari yang diperlukan untuk fotosintesis zooxanthellae. Akibatnya terumbu

tidak dapat berkembang dengan baik di daerah yang banyak endapannya.

Selain itu, Partikel-partikel endapan dapat membunuh karang batu dengan

mengubur atau menyumbat polip, sehinggga polip tidak mendapat makanan.

Jika endapan tersebut

berasal dari sungai, maka gabungan berkurangnnya

salinitas dan bertambahnya endapan merupakan penyebab rusaknya terumbu

(Sukarnno, dkk 1983 ; Veron, 1986 ; Nyabakken, 1988).

Endapan lumpur atau pasir yang terkandung dalm air yang di endapkan oleh

arus dapat menyababkan kematian pada karang batu oleh karena pada

umumnya mereka tidak mampu membersihkannya, kecuali beberapa kaerang

batu dari Faviidae dan Fungidae (Kuenen, 1950 dan Yonge, 1940 dalam

Sukarno dkk,1983)

Adanya sedimentasi yang tinggi, akan menyebabkan kualitas terumbu karang,

sebab hal tersebut menyebabkan suspensi dan sedimentasi yang mengganggu

respirasi terumbu karang (Dahuri, dkk,1996).

Substrat keras dibutuhkan untuk perlekatan larva planula. Substrat tersebut

dapat berupapragmen bebatuan, cangkang moluska dan organisme lain, batu

gamping, puing-puing yang dihasilkan hewan pembentuk kapur, algae berkapur

dan karang yang sudah mati (Barnes,1986).

Faktor-faktor tersebut saling berhubungan, terutama saat gelombang

mempengaruhi sedimentasi, kemudian pada gilirannya sedimen mempengaruhi

kecarahan air (Veron,1986). Sutarna (1991), mengatakan bahwa variasi dan

jumlah komposisi jenis karang batu sangat dipengaruhi oleh kedalaman air,

Kondisi substrat serta intensitas matahari yang mampu menembus dasar

perairan disamping itu morfologi dasar perairan juga berpengaruh terhadap

11


kehadiran suatu jenis karang batu sebab ada kaitannya dengan pola arus air

yang mana arus berperan dalam menyuplai makanan.

5. Biologi Karang Keras

Karang termasuk ke dalam Kelas Anthozoa, merupakan kelas organisme

terbesar dari phylum Cnidaria. Karang keras (Scleractinia) merupakan ordo terbesar

dari kelas Anthozoa, dan karang keras ini merupakan kelompok utama yang

membentuk kerangka dan membangun terumbu karang. Adapun klasifikasi

Scleractinia berdasarkan Boaden and Seed (1985), sebagai berikut:

Phylum

Klass

: Cnidaria

: Anthozoa

Sub-klass

Ordo

: Hexacorallia

: Scleractinia

Sebagian besar Scleractinia adalah koloni-koloni organisme yang tersusun

dari ratusan sampai ratusan ribu individu atau jaringan hidup dari binatang karang,

dengan bentuk yang relatif sederhana dan menyerupai anemon. Tubuh seperti

anemon itulah yang disebut sebagai polip dan umumnya berbentuk seperti tabung

silinder dengan ukuran diameter yang bervariasi ada yang kurang dari satu mm

hingga beberapa cm (Barnes, 1987; Lalli and Parsons, 1995; Veron, 1986;

Mapstone, 1990; Wallace and AW, 2000; Suharsono, 1996). Mulut polip pada bagian

atas silinder yang dikelilingi oleh banyak tentakel dapat dijulurkan dan ditarik masuk

(Wallace and AW, 2000; Suharsono, 1996).

Karang tersusun dari jaringan yang lunak dan bagian yang keras yang

berbentuk kerangka kapur (Veron, 1986; Mapstone, 1990; Suharsono, 1996). Bagian

lunak hewan karang terdiri dari tiga bagian yaitu ektoderm, mesoglea dan

12


gastroderm. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang banyak mengandung silia,

kantung mukus dan sejumlah nematosit. Mesoglea adalah jaringan homogen

menyerupai jeli, terletak antara ektoderm dan gastroderm. Gastroderm merupakan

jaringan paling dalam, sebagian besar terisi oleh zooxanthellae yang merupakan

algae uniseluler yang hidup bersimbiosis dengan hewan karang (Mapstone, 1990).

Bagian yang keras berupa kerangka kapur terdiri dari lempeng dasar yang

tipis, dan disebut sebagai basal plate. Dari lempeng dasar muncul lempeng-lempeng

yang berdiri tegak secara radikal dan disebut septa. Masing-masing septa

dihubungkan oleh lempengan yang melingkar disebut theca atau dinding (Gambar

3). Penyusun kerangka ini terdiri dari serat kristal atau butir-butir organik CaCO 3

yang mempunyai diameter 2 mikron. Perbedaan pengendapan CaCO 3 dan adanya

faktor genetik memberikan bentuk-bentuk tertentu yang menjadi karakter tiap jenis

karang (Suharsono, 1984 dalam Halim, 1995; Barnes, 1987).

Gambar 2. Struktur melintang polip karang (Barnes, 1987)

Pada dasarnya polip karang adalah hewan karnivor (Nybakken, 1988).

Mereka mempunyai tentakel-tentakel yang dipenuhi kapsul-kapsul berduri

(nematokis) yang digunakan untuk menyengat dan menangkap mangsanya.

13


Selanjutnya zooplankton yang tertangkap oleh tentakel kemudian dipindahkan ke

bagian mulut, yang terletak pada bagian atas dan sekaligus berfungsi sebagai anus.

Makanan yang masuk akan dicerna oleh filamen mesenteri dan sisa makanan

dikeluarkan melalui mulut. Selain mengambil makanan dari luar, binatang karang

juga mendapat suplai makanan dari alga yang hidup bersimbiosis dengannya yang

dikenal dengan zooxanthellae (Nybakken, 1988). Zooxanthella merupakan algae

simbiotik yang terdapat di dalam sel gastrodermal. Karang menyediakan algae

kondisi lingkungan yang terlindungi dan komponen yang dibutuhkan untuk

fotosintesis; termasuk karbondioksida yang dihasilkan dari respirasi karang dan

anorganik nutrien seperti nitrat dan fosfat yang berasal dari buangan metabolisme

karang. Sebaliknya zooxanthella menghasilkan oksigen dan membantu karang

menghilangkan sisa metabolisme; dan yang paling penting zooxanthella

memberikan karang produk bahan organik hasil fotosintesis. Komponen komponen

ini meliputi glukosa, gliserol dan asam amino, yang digunakan karang sebagai

bahan dalam pembentukan protein, lemak dan karbohidrat, serta pembentukan

kalsium karbonat (CaCO 3 ). Simbiosis mutualisme yang terjadi antara algae

fotosintesis dan Cnidaria merupakan kunci dari produktifitas biologi yang luar biasa

dan kemampuan menghasilkan kerangka kapur dari karang pembentuk terumbu

(Barnes, 1987; Barnes and Hughes, 1988; Lalli and Parsons, 1995; Levinton, 1982;

Sumich, 1996).

Binatang karang berkembang biak secara seksual dan aseksual (Veron,

1995; Sumich, 1996). Veron (1995) menyatakan reproduksi seksual karang bersifat

vivipar dan hermaprodit, namun ada pula yang kosmopolit reproduksi. Reproduksi

aseksual dilakukan dengan pembelahan satu individu polip dari polip induk, koloni

polip baru terlepas dari polip induk berkembang dan memulai dengan koloni yang

14


baru (Sumich, 1996). Morton (1990) mengatakan, bahwa planula yang dilepaskan

akan melayang-layang di perairan terbuka selama beberapa hari sebelum

menemukan substrat yang cocok untuk tumbuh. Planula akan mengalami

metamorfosa, membentuk kerangka dan sekat-sekat polip yang baru. Larva karang

mempunyai kemampuan untuk menunda metamorfosis jika tidak terdapat substrat

yang cocok untuk tumbuh (Pechenik, 1990; Baird, 1998). Karang yang spawning

mampu menunda metamorfosis lebih lama dibandingkan dengan karang yang

brooding (Richmond, 1987 dalam Martin, 2002).

6. Sebaran dan Struktur Komunitas Karang Keras

Komunitas karang keras yang berada pada terumbu karang di dunia

sangatlah bervariasi (Potts, 1979 dalam Sorokin, 1993). Jumlah total dari seluruh

taxa mendekati 800 spesies yang terbagi ke dalam 110 genera. Karang keras

Scleractinia hidup di perairan yang hangat pada daerah dimana suhu perairan tidak

turun di bawah 18-19 0 C pada musim dingin, dan dapat ditemukan sampai dengan

80-100 m, dibatasi oleh cahaya atas kebutuhan mereka sebagai hewan simbiotik

(Sorokin, 1993). Komposisi dari fauna Scleractinia dan juga tingkat

keanekaragamannya bervariasi di daerah serta kawasan terumbu karang. Total

jumlah genera mencapai maximum pada kawasan Indonesia-Filipina-Australia utara,

dimana ditemukan lebih dari 70 genera, dengan total jumlah berkisar antara 25-350

spesies. (Porter, 1972 dan Veron, 1985, dalam Sorokin, 1993; Veron, 1986).

Selanjutnya dikatakan kenekaragaman fauna Scleractinia yang terendah didapatkan

pada karang-karang basin Atlantik dengan hanya 20 genera.

Distribusi horizontal karang di dunia dibatasi oleh lintang, sedangkan

distribusi vertikalnya dibatasi oleh faktor kedalaman. Pertumbuhan, penutupan dan

kecepatan tumbuh karang berkurang secara eksponensial dengan kedalaman.

15


Faktor utama yang mempengaruhi sebaran vertikal karang adalah intensitas cahaya,

oksigen, suhu dan kecerahan air (Suharsono, 1996).

Distribusi spasial dari taksa karang-karang pada biotop dasar karang dapat

dianggap sebagai refleksi yang statis dari struktur komunitas mereka, sebab hal

tersebut merupakan hasil dari proses stokhastik rekruitmen, pertumbuhan dan

survival dari individu karang, dan dari hubungan sosio-ekologi yang umum dari

populasi yang spesifik, di antara mereka dan lingkungan dengan baik (Dana, 1976

dalam

Sorokin, 1993). Selanjutnya dijelaskan beberapa faktor yang mengontrol

distribusi spasial dari karang adalah; (1) tingkat pengaruh dari parameter yang

menyebabkan pengaruh fisik, seperti gelombang, arus, tinggi pasang surut,

konsentrasi nutrien, kecerahan dan kekeruhan air; (2) faktor sosial: formasi

monospesifik, interspesifik atau kelompok yang reproduksinya biseksual; (3)

hubungan interorganisme: komensalisme, simbiosis, antagonis, predatorisme; (4)

berbagai kejadian yang ekstrim dan stokhastik seperti, badai, banjir, wabah

Acanthaster; dan (5) penyebab antropogenik.

Pada ekosistem terumbu karang, apakah terumbu karang itu termasuk tipe

fringing reef, barrier reef atau atoll, pada dasarnya dapat dijumpai 3 macam bentuk

permukaan dasar, yaitu: bentuk permukaan dasar yang mendatar di tempat dangkal

yang disebut dengan istilah rataan terumbu (reef flat), bentuk permukaan dasar yang

miring ke arah tempat yang lebih dalam yang disebut lereng terumbu (reef slope), di

sini dapat landai atau curam; dan bentuk permukaan dasar yang mendatar di tempat

yang lebih dalam yang disebut goba (lagoon floor) atau teras dasar (sub-marine

terrace) (Sukarno, 2001).

Genus Porites dan Acropora adalah jenis karang yang ditemukan tumbuh

dominan di luar tepian terumbu, sedangkan jenis Montipora dan Acropora ditemukan

16


dominan di reef crest dan reef slope pada daerah yang terlindung. Kondisi karang di

daerah laguna, umumnya sama dengan kondisi karang yang terdapat di bagian luar,

namun dengan koloni yang lebih besar dan mudah pecah (rapuh), sedangkan pada

daerah reef flat biasa ditumbuhi padang lamun dan algae yang didominasi oleh

Thallasia sp. (Salm et al., 1982 dan EMDI Project, 1993 dalam PSTK, 2002).

Morton (1990) mengatakan bahwa pola penyebaran biota karang pada

terumbu karang

Indo-Pasifik secara umum hampir sama. Pada daerah dimana

energi gelombang paling besar diterima oleh terumbu dan kondisi turbulen besar,

didominasi oleh Pocillopora spp, yang berasosiasi dengan karang api Millepora sp.

Pada lereng terumbu paling luar dimana pergerkan air kecil, kecepatan dan

pergerakan arus berkurang, didominasi oleh Acropora spp, dengan beberapa

Pocillopora dan Millepora sebagai selingan. Bentuk utama Acropora yang

mendominasi daerah ini yaitu bentuk seperti meja (tabulate) dan bercabang

(branching). Pada daerah rataan terumbu, daerah antara permukaan terumbu dan

pantai yang merupakan daerah yang tenang, Porites merupakan jenis karang yang

paling banyak terdapat dan biasanya berasosiasi dengan Pavona atau Acropora bila

terdapat pergerakan air.

B. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan pada hakekatnya

mempumyai makna yang sama dalam pengelolaan lingkungan hidup seperti yang

dimaksud dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1993 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang tersebut yang dimaksud dengan

Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi

lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,

penegembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian

17


lingkungan hidup. Dengan demikian maka dalam konteks ini dapat diartikan bahwa

pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan adalah upaya terpadu

(Integrated Coastal and Marine Resources Management) dalam penetapan,

pelestarian dan pengendalian, pemanfaatan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir

dan lautan (Yunus, 2009).

Dahuri et al. (2001) mengemukakan pengelolaan wilayah pesisir secara

terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua

atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan)

secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara

berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan (integratiaon) mengandung tiga

dimensi: sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.

Keunikan wilayah pesisir serta beragamnya sumberdaya yang ada,

mengisyaratkan pentingnya pengelolaan Wilayah tersebut secara terpadu bukan

secara sektoral. Menurut Dahuri, et al. (2001) lima alasan mengapa wilayah pesisir

perlu dikelolah secara terpadu:

1. Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar

ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antar kawasan pesisir dengan

lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang akan terjadi pada

sutau ekosistem, cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya.

2. Dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam

sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan.

3. Dalam suatau kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu

kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/ keahlian dan

kesenangan (preference) bekerja yang berbeda. Padahal sangat sukar untuk

18


mengubah profesi sesorang yang sudah mentradisi menekuni suatu bidang

pekerjaan.

4. Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir

secara monokultur (singel use) adalah sangat rentan terhadap perubahan

internal maupun eksternal yang menjurus kepada kegagalan usaha.

5. Kawasan pesisir pada umumnya adalah merupakan sumberdaya milik bersama

(common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open

acces), padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip

memaksimalkan keuntungan.

Pengelolaan lautan sangat terkait dengan kebijakan nasional yang mengatur

pengelolaan wilayah laut. Lautan disini merupakan suatu kesatuan dari permukaan,

kolom air sampai ke dasar dan bawah dasar laut. Adapun batas wilayah lautan

dimulai dari batas yurisdiksi di darat (dukur dari rata-rata pasang tinggi atau rendah)

sampai kelaut lepas sejauh klaim negara yang bersangkutan. Konvesi Hukum Laut

PBB 1982 memberikan dasar hukum bagi negara-negara pantai untuk menentukan

batasan lautan sampai ZEE dan landas kontinen. Dengan dasar itu suatu negara

memiliki wewenang untuk mengeksploitasi sumberdaya yang ada di zona tersebut,

terutama perikanan, minyak, gas bumi dan berbagai macam bahan tambang lainnya

(Dahuri et al., 2001).

Dengan demikian Dahuri et al., 2001 menyimpulkan bahwa yang

membedakan antara program pengelolaan lautan dengan pengelolaan wilayah

pesisir adalah pada ruang lingkup pengelolaannya. Program pengelolaan wilayah

pesisir mencakup kawasan daratan sampai laut pesisir, sedangkan pengelolaan

lautan hanya mencapai pengelolaan laut diluar paparan benua.

19


Pengelolaan ekosistem terumbu karang pada hakekatnya adalah suatu

proses pengontrolan tindakan manusia, agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat

dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan.

Apabila dilihat permasalahan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang

yang ada, yang menyangkut berbagai sektor, maka pengelolaan sumberdaya

terumbu karang tidak dapat dilakukan dengan sendiri-sendiri, namum harus

dilakukan secara terpadu oleh beberapa instansi terkait (Supriharyono, 2000).

Supriharyono, 2000 menambahkan didalam pengelolaan ekosistem terumbu

karang, setiap pengelola perlu melakukan beberapa pertimbangan sebelum

melakukan pengelolaan. Pertimbangan tersebut hendaknya mencakup, baik

pertimbangan ekonomis, pertimbangan lingkungan maupun pertimbangan sosialbudaya.

Disamping itu pengelola juga harus menentukan informasi atau data penting

apakah yang diperlukan untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang.

C. Analisis KEKEPAN/ SWOT

Analisis KEKEPAN adalah analisis kualitatif yang digunakan untuk

mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk memformulasikan strategi

suatu kegiatan. Analisis KEKEPAN/ SWOT adalah singkatan dari Lingkungan

internal Strenghts dan Weaknesses serta lingkungan eksternal opportunities dan

Threats (Rangkuti, 2005).

Menurut Robinson, 2000 dalam Alfian, 2009 analisis SWOT adalah teknik

historis yang terkenal dimana para menejer menciptakan gambaran umum secara

cepat mengenai situasi strategis perusahaan. Analisis SWOT didasarkan pada

asumsi bahwa strategi yang efektif diturunkan dari kesesuan yang baik antara

sumberdaya internal perusahaan (kekuatan, kelemahan) dengan situasi

eksternalnya (peluang, ancaman) kesesuaian yang baik akan memaksimalkan

20


kekauatan dan peluang perusahaan serta meminimalkan kelemahan dan ancaman.

Dengan menggunakan matriks dapat memberikan bobot dan skor pada parameter

yang telah ditentukan sehingga diperoleh nilai. Nilai akan memberikan kesimpulan

tentang pengaruh kegiatan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir yang optimal

yang dilanjutkan dengan penyusunan konsep strategi.

Adapun bagian-bagian dari SWOT yakni (Hadi, 1996 dalam Rangkuti, 2005):

a. Kekuatan (Strengths) adalah segala hal yang dibutuhkan pada kondisi yang

sifatnya internal agar supaya kegiatan-kegiatan berjalan maksimal.

b. Kelemahan (Weaknesses) adalah terdapatnya kekurangan pada kondisi

internal, akibatnya kegiatan-kegiatan organisasi belum maksimal terlaksana.

c. Peluang (Opportunities) adalah faktor-faktor lingkungan luar yang positif.

d. Ancaman (Threatss) adalah faktor-faktor lingkungan luar yang negatif.

Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan

(strenghts) dan peluang (opportunities) suatu kegiatan umum secara bersamaan

dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) dan untuk

lebih jelasnya dapat pada Gambar 3 berikut :

Berbagai Peluang

4. Mendukung strategi

turn-around

Kelemahan internal

1. Mendukung strategi

agresif

Kekuatan internal

3. Mendukung strategi

defrensiif

2. Mendukung strategi

diversifikasi

Berbagai ancaman

Gambar 3. Logika analisis SWOT (Rangkuti, 2005)

21


Analisis SWOT melahirkan empat kombinasi strategi yaitu (Alfian, 2009) :

a. Strategi O - S adalah strategi yang ditetapkan berdasarkan jalan pikiran yaitu

dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan

peluang sebesar-besarnya inilah yang disebut strategi agresif positif yaitu penuh

inisiatif dan terencana.

b. Strategi O - W adalah strategi yang ditetapkan berdasarkan pemanfaatan peluang

yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Dalam hal ini perlu

dirancang strategi turnaround yaitu strategi merubah haluan, maksudnya

terkadang anda harus mundur satu atau dua langkah ke belakang untuk maju

melangkah jauh ke depan. Peluang eksternal yang besar penting untuk diraih,

namun permasalahan internal atau kelemahan yang ada pada internal lembaga

lebih utama untuk dicarikan solusi atau diminimalkan sehingga peluang yang

besar tadi perlu dturunkan skalanya sedikit.

c. Strategi T - S adalah strategi yang ditetapkan berdasarkan kekuatan yang dimiliki

untuk mengatasi ancaman. Strategi ini dikenal dengan istilah strategi diversifikasi

atau strategi perbedaan maksudnya seberapa besar ancaman yang ada,

kepanikan dan ketergesa-gesaan hanya memperkeruh dan memperburuk

suasana.

d. Strategi T - W adalah strategi yang ditetapkan berdasarkan kegiatan yang bersifat

defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari

ancaman, seperti pada Table 1 dibawah ini:

22


Tabel 1. Matriks analisis SWOT (Rangkuti, 2005)

Eksternal

Factor

Opportunity

(Peluang)

Threats

(Ancaman)

Internal

Factor

Strenghts

(Kekuatan)

Strategi Kekuatan-

Peluang

(S – O)

Ciptakan strategi yang

menggunakan

kekuatan untuk

memanfaatkan peluang

Strategi Kekuatan-

Ancaman

(S – T)

Ciptakan strategi yang

menggunakan

kekuatan mengatasi

ancaman

Weaknesses

(Kelemahan)

Strategi Peluang-

Kelemahan

(W – O)

Ciptakan strategi yang

meminimalkan kelemahan

untuk memanfaatkan

peluang

Strategi Kelemahan-

Ancaman

(T – W)

Ciptakan strategi yang

meminimalkan kelemahan

untuk menghindari

ancaman

Untuk pengembangan kawasan pulau-pulau, analisis potensi dan strategi

pengembangan dilakukan dengan analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses,

Opportunities, and Threats). Analisi ini dilakukan dengan menerapkan kriteria

kesesuaian dengan menggunakan data kuantitatif, maupun dengan deskripsi

keadaan. Dari hasil analisis diatas dapat dihasilkan pembatasan wilayah observasi

dan peruntukan untuk setiap jenis usaha yang akan dikembangkan serta tingkat

teknologi yang layak untuk perairan tersebut (Yunus, 2009).

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT ini adalah

(Rangkuti, 2006) :

1. Identifikasi Kekuatan/ Kelemahan/ Peluang/ Ancaman

Dari potensi sumberdaya dan tingkat pembangunan wilayah dapat di identifikasi

beberapa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pembangunan pulaupulau

kecil.

23


2. Analisis SWOT

Dalam menentukan strategi yang terbaik dilakukan pemberian bobot (nilai)

terhadap tiap unsur SWOT berdasarkan tingkat kepentingan dan kondisi

kawasan. Setelah masing-masing unsur SWOT dianalisis dengan pengolahan

data menggunakan Expert Choice, unsur-unsur tersebut dihubungkan

keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif strategi (SO, ST, WO, WT)

yang merupakan prioritas alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan.

3. Alternatif strategi hasil analisis SWOT

Alternatif strategi pada matriks hasil analisi SWOT dihasilkan dari penggunaan

unsur-unsur kekuatan kawasan untuk mendapatkan peluang yang ada (S-O),

penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang

(S-T), pengurangan kelemahan kawasan yang ada dengan memanfaatkan

peluang yang ada (W-O), dan pengurangan kelemahan yang ada untuk

menghadapi ancaman yang akan datang (W-T).

24


III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juli 2010 – Maret 2011 yang

meliputi tahap persiapan, pengambilan data lapangan, analisis data, penyusunan

laporan akhir hasil penelitian. Sedangkan tempat penelitian dilakukan di Pulau

Kapota, kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu : Speedboat digunakan

untuk akses lokasi, SCUBA set (SCUBA tank, BCD, Regulator) sebagai alat

bantu pernafasan dalam air, alat selam dasar (Fins, Snorkle, Masker) untuk alat

bantu bergerak dalam air, GPS (Global Positioning System) untuk menentukan

titik koordinat lokasi penelitian, sabak underwater alat tulismenulis dalam air, roll

meter sepanjang 50 meter sebagai transek pengukuran, salinometer untuk

mengukur salinitas, thermometer untuk mengukur suhu perairan, layang-layang

arus dan stopwatch untuk mengukur kecepatan arus, tali dan patok untuk

membuat batasan pengambilan data, kamera digital underwater untuk merekam

serta pengambilan gambar dalam air.

Sedangkan bahan yang akan digunakan adalah beberapa literatur serta

data sekunder dari beberapa laporan dan dokumen yang berkaitan dengan

penelitian dicantumkan sebagai sumber informasi.

C. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu : tahap persiapan,

tahap observasi awal, tahap pengambilan data, tahap mengorganisir data, tahap

analisis data, dan tahap penyusunan laporan akhir.

25


1. Persiapan

Sebelum melakukan penelitian atau pengambilan data lapangan maka

tahap persiapan sangat dibutuhkan, dimana tahap ini meliputi survey awal lokasi

untuk mengetahui kondisi atau gambaran yang jelas mengenai kondisi umum

lokasi yang akan dijadikan sebagai lokasi penelitian, dan studi literatur serta

pengumpulan data penunjang yang berkaitan dengan penelitian ini seperti peta

tematik dan lain-lain.

2. Penentuan Stasiun dan Pemasangan Transek

Pada lokasi pulau penelitian ditentukan 4 stasiun pengamatan (Gambar

4). Prinsip penentuan stasiun ini didasarkan pada keterwakilan lokasi. Tiap

stasiun memiliki 7 ulangan yang diambil dari perhitungan meteran transek garis

dengan ukuran 2x2 meter dengan jarak antara ulangan 5 meter. Transek

dipasang secara horisontal (sejajar garis pantai). Pemasangan transek yakni di

dua kedalaman antara 3-5 meter dan antara 7-10 meter pada daerah reef slope

tergantung topografi terumbu karang tiap pulau.

1. Stasiun I terletak di sebelah timur dan berhadapan dengan Pulau Wangiwangi

2. Stasiun II terletak disebelah utara yang merupakan daerah yang berhadapan

dengan pemukiman setempat.

3. Stasiun III terlatak disebelah barat yang merupakan daerah hempasan laut

flores.

4. Stasiun IV terletak disebelah utara ujung pulau dan merupakan pintu masuk

dari jalur transportasi laut yang bersal dari Kota Bau-bau dan Kota Kendari.

26


27

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

27



3. Pengambilan Data Lapangan

Dalam penelitian ini ada tiga jenis data lapangan yang diambil, yakni a)

data ekologi meliputi kondisi terumbu karang, data kelimpahan dan kepadatan

ikan karang, data megabentos dan data karang batu, b) data parameter

lingkungan (perairan) meliputi suhu, salinitas, kecerahan dan kecepatan arus dan

c) data sosial dan ekonomi.

a. Data Ekologi.

Untuk mengetahui kondisi terumbu karang di gunakan metode LIT (Line

Intercept Transect). Transek (roll meter) ditarik lurus dan mengikuti kontur

kedalaman sepanjang 50 meter di atas terumbu karang sejajar dengan garis

pantai. kemudian dicatat panjang penutupan setiap bentuk pertumbuhannya

(lifeform) berdasarkan kategori yang dikembangkan oleh English, et al. (1994).

Seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Kategori Lifeform

1994)

LIT (Line Intercept Transect). English, et al,

Kategori

Karang Batu

Acropora : Bercabang (branching)

Mengerak (encrusthing)

Submassiv

Digitate

Meja (tabulate)

Non-Acropora : Bercabang (branching)

Lembaran (foliose)

Jamur (mushroom)

Submassive

Padat (Massive)

Mengerak (encrusthing)

Millepora

Heliopora

Abiotik

- Karang mati dan alga (Dead coral algae)

- Karang mati (Dead coral)

- Patahan karang (ruble)

- Sand (pasir)

- Air (Wather)

- Lumpur (Silt)

- Batu (Rock)

kode

ACB

ACE

ACS

ACD

ACT

CB

CF

CMR

CSM

CM

CE

CME

CHL

DCA

DC

RB

S

WA

SI

RCK

28


Tabel 2. Lanjutan

Algae

- Alagae Asseemblage

- Corralline algae

- Macro algae

- Hallimeda

- Turf algae

Biotik

- Soft Cioral (Karanga Lunak)

- Sponge

- Zooanthids

- Others

AA

CA

MA

HA

TA

SC

SP

ZO

OT

Data kelimpahan ikan karang menggunakan metode sensus langsung

(Visual Census Method) (English, et al.,1994). Pengambilan data ikan dan

karang dilakukan secara bersamaan, setelah pendataan ikan, selang beberapa

menit diikuti pendataan karang (Manuputty, et al., 2006). Dengan pertimbangan

waktu dan persediaan oksigen yang terbatas, kegiatan pendataan ikan karang

dimulai beberapa menit setelah pemasangan transek.

Setelah itu kelimpahan ikan tiap jenis mulai dihitung dengan batasan jarak

2,5 meter ke bagian kiri dan kanan (English, et al., 1994). Lebar batasan

sampling tersebut sudah merupakan standar batas penglihatan bawah air

dengan menggunakan kacamata selam (masker) pada saat pengamatan Selama

pengamatan tersebut, apabila ikan berada dalam kelompok atau schooling

dengan jumlah yang banyak atau melimpah, maka perhitungan digenapkan pada

kelipatan 5 atau 10 (English, et al., 1994) seperti pada Gambar 5. Untuk

identifikasi jenis ikan terumbu karang dilakukan secara langsung di lapangan

(untuk jenis ikan yang dikenali pada saat pengamatan),merujuk pada Pictorial

Guide To : Indonesian Reef Fishes Part 1 – 3 Rudie H. Kuiter & Takamasa

Tonozuka terbitan 2001.

29


2,5 m 2,5 m

Gambar 5. Cara melakukan sensus visual ikan karang (English, et al., 1994).

Komposisi jenis karang batu serta megabentos dipantau dengan

menggunakan metode transek kuadrat dengan kuadiran berukuran 5 x 5 m 2 .

yang di pasang sepanjang transek garis (LIT) dengan interval ± 5 m sebanyak 5

kali ulangan, kemudian untuk identifikasi karang dengan menggunakan buku

identifikasi merujuk pada Jenis-Jenis Karang di Indhonesia, Suharsono, Jakarta

terbitan 2008.

Data hasil identifikasi ikan karang kemudian dikelompokkkan ke dalam 3

kategori yakni (Setiapermana (1996) dalam Aziz (2004):

Kelompok ikan utama (major group)

Major Group A yang terdiri atas famili Pomacentridae

Major Group B terdiri atas famili Labridae

30


Major Group C meliputi famili Scaridae, Pomacanthidae, Acanthuridae,

Holocentridae, Nemipteridae, Apogonidae dan Pempheridae.

Kelompok ikan target (target group)

Ikan target group adalah ikan-ikan yang dikonsumsi dan bernilai ekonomis

penting yang hidup berasosiasi dengan terumbu karang seperti ikan kakap

(Lutjanidae), kerapu (Serranidae) dan baronang (Siganidae). Ada beberapa

ikan target yang sering dijumpai dalam kelompok besar, misalnya ikan ekor

kuning (Caesionidae).

Kelompok ikan indikator (indicator group)

Ikan yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah yang dianggap

berasosiasi paling kuat dengan karang, meliputi ikan kepe-kepe

(Chaetodontidae) yang terdiri atas beberapa genus yakni Chaetodon,

Chelmon, Heniochus dan Forcipiger.

b. Parameter Lingkungan (Perairan)

Pengukuran parameter lingkungan antara lain suhu dengan

menggunakan thermometer, salinitas dengan menggunakan salinometer,

kecerahan menggunakan secchi disc untuk masing-masing di setiap stasiun

pengamatan dilakukan secara insitu pada titik penempatan transek.

Pengamatan arus umumnya bertujuan untuk mengetahui variasi arus di

suatu daerah survei berkaitan dengan variasi pasang surut di daerah itu.

Pengukuran kecepatan arah arus dilakukan pada setiap stasiun pengamatan

dengan menggunakan layang-layang arus (drift float) yakni dengan cara

menghitung selang waktu ( t) yang dibutuhkan pelampung untuk menempuh

suatu jarak (Δx) tertentu. Sedangkan arah arus diukur dengan menggunakan

kompas dengan mengamati arah layang-layang arus. Kecepatan arus dihitung

dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

31


V=

Keterangan : V: Kecepatan arus (meter/detik)

S: Jarak

T: Waktu tempuh (detik)

c. Data sosial dan ekonomi

Data sosial dan ekonomi meliputi kondisi sosial dan ekonomi,

pendapatan, tingkat pendidikan, sarana dan prasarana serta kelembagaan yang

terkait yang didata dengan menggunakan kuesioner yakni pengumpulan data

primer atau verifikasi data sekunder dengan memberikan pertanyaanpertaanyaan

singkat yang sama pada sejumlah responden. Jenis kuesioner

berdasarkan responden antara lain pemerintah (kabupaten, kecamatan, desa/

kelurahan, RT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh masyarakat,

pengguna sumberdaya (Pengusaha) dan masyarakat lokal/ nelayan (yang

memiliki alat tangkap berbeda). Contoh kuesioner disajikan pada Lampiran 1.

C. Analisis Data

1. Komposisi Jenis dan kepadatan

Struktur komunitas karang, ikan karang dan megabenthos dianalisis

berdasarkan : komposisi jenis dan kepadatan,

Komposisi jenis (Greenberg, et al.,1989)

Ket.: KJ = Komposisi jenis

ni = Jumlah individu setiap jenis

N = Jumlah individu seluruh spesies

32


Kepadatan dihitung dengan menggunakan rumus Cox (1967) dalam Effendy

(2003), yaitu sebagai berikut :

Ket.: K = Rata-rata kelimpahan (ind/m 2 )

Σ Di

= Jumlah individu

A = Luas transek (m 2 )

Jumlah konloni dan kepadatan genera karang, dan megabentos yang

ditemukan pada stasiun pengamatan dikelompokkan berdasarkan stasiun

selanjutnya dilakukan ananlisis ragam (Two – Way Anova) untuk mengetahui

perbedaan masing-masing stasiun dan kedalaman yang telah ditentukan.

Perhitungan dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS.

Kemudian dilakukan uji lanjut Kruskal Wallis.

2. Indeks Ekologi

indeks keanekaragaman (H), Indeks keseragaman (E) dan Indeks

dominansi (D) digunakan untuk mengamati kondisi ikan karang.

Indeks keanekaragaman (Odum, 1971)

Indeks keanekaragaman yaitu suatu nilai yang dapat menunjukkan

keseimbangan keanekaragaman dalam suatu pembagian jumlah individu tiap

jenis. Indikasi besarnya indeks keanekaragaman ditentukan bilamana indeks

keanekaragamannya mempunyai nilai di atas 1,5 (Chou, 1984). Formula indeks

keanekaragaman yaitu:

H '

= - pi ln pi

Ket.: H '

= Indeks keanekaragaman

pi = Proporsi kelimpahan dari spesies ke-i (ni/N)

33


Tabel 3. Kategori Indeks Keanekaragaman (Dagget, 1996 dalam Hukom,

1998)

No Keanekaragaman (H’) Kategori

I H’ < 2,0 Rendah

II 2,0 < H’ < 3,0 Sedang

II H’ > 3,0 Tinggi

Indeks keseragaman

Pengujian juga dilakukan dengan pendugaan indeks keseragaman (E),

dimana semakin besar nilai E menunjukkan kelimpahan yang hampir seragam

dan merata antar spesies (Odum, 1971). Adapun rumus dari indeks

keseragaman (E) yaitu:

E =

H'

lnS

Ket.: E = Indeks keseragaman

H = Indeks keanekaragaman

S = Jumlah spesies

Tabel 4. Kategori Indeks Keseragaman (Dagsget, 1996 dalam Hukom, 1998)

No Keseragaman (E) Kategori

I 0,00 < E < 0,50 Komunitas Tertekan

II 0,50 < E < 0,75 Komunitas Labil

II 0,75 < E < 1,00 Komunitas Stabil

Indeks dominansi Simpson (Odum, 1971).

Berbeda dengan indeks keanekaragaman, nilai dari indeks dominansi

Simpson memberikan gambaran tentang dominansi organisme dalam sampling.

34


Indeks ini dapat menerangkan bilamana suatu jenis lebih banyak terdapat

selama pengambilan data.

Rumus yang digunakan yaitu sebagai berikut:

D =

ni(

ni 1)

N(

N 1)

Ket.: D = Indeks dominansi Simpson

ni = Jumlah individu setiap spesies

N = Jumlah individu seluruh spesies

Tabel 5. Kategori Indeks Dominansi (Dagget, 1996 dalam Hukom, 1998)

No Dominansi (D) Kategori

I 0,00 < D < 0,50 Rendah

II 0,50 < D < 0,75 Sedang

III 0,75 < D < 1,00 Tinggi

3. Penentuan Kondisi Terumbu Karang

Persentase penutupan terumbu karang unsur biotik dan abiotik dihitung

dengan persamaan English et al. (1994), sebagai berikut:

PC

Li

L

total

x100%

Ket.:

PC = Persentase penutupan unsur biotik dan abiotik

Li = Panjang tutupan unsur biotik dan abiotik

L = Panjang total transek

35


Penilaian kondisi terumbu karang dilakukan berdasarkan nilai presentase

penutupan karang (UPMSC ,1997 dalam Brown, 1986) seperti pada Tabel 6

berikut :

Tabel 6. Kriteria penutupan kondisi terumbu karang berdasarkan

penutupan Karang hidupnya (Brown, 1986)

Presentase penutupan

0,0 – 24,9

25,0 – 49,9

50,0 – 74,9

75,0 – 100,0

Kondisi terumbu karang

Buruk

sedang

baik

sangat baik

4. Penentuan Strategi Pengelolaan

Dari hasil analisis dilakukan identifikasi faktor-faktor strategis berdasarkan

deskripsi hasil dan pembahasan yang selanjutnya akan digunakan untuk

mengidentifikasi SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats) (Rangkuti,

2005). Adapun langkah-langkah analisis SWOT sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi faktor-faktor strategis pengelolaan.

2. Meingidentifikasi kekuatan (S), Kelemahan (W), Peluang (O), dan ancaman

(T) dari hasil pengamatan yang dilakukan.

3. Dari hasil identifikasi, dipilih 5 (lima) point yang dianggap penting dari setiap

komponen SWOT diatas.

4. Selanjutnya untuk menentukan strategi yang akan dijalankan dengan

membuat matriks gabungan dari ke empat komponen SWOT. Dari hasil

matriks gabungan, kita dapat menentukan strategi dalam kelompok umum

(SO, WO, ST, dan WT).

Menurut Saru (2007), Tahapan analisis SWOT yang digunakan dalam

menganalisis data lebih lanjut yaitu mengumpulkan semua informasi yang

mempengaruhi ekosistem pada wilayah kajian, baik secara eksternal maupun

36


secara internal. Pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian

dan pra-analisis, pada tahap ini data dapat dibagi dua yaitu : pertama data

eksternal dan kedua data internal. Data eksternal meliputi : peluang

(opportunities) dan acaman (threaths) dapat diperoleh dari lingkungan luar yang

mempengaruhi kebijakan pemanfaatan ekosistem.

Sedangkan data internal

meliputi : kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) diperoleh dari

lingkunagan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem di wilayah kajian.

Tahapan pengumpulan data sampai pada tahap analisis dapat dirinci pada

Gambar 6.

Tahap Pengumpulan Data

Evaluasi Faktor Eksternal Evaluasi Faktor Internal Matrik Profil Kompetitif

Tahap Analisis Data

Matrik SWOT

Gambar 6. Rangkaian kerja analisis SWOT (Saru, 2007).

Tahap analisis data untuk menyusun faktor-faktor strategi, diolah dalam

bentuk matriks SWOT.

Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas

bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang kemungkinan muncul,

demikian pula penyesuaian dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.

Matriks dapat menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategi secara

detail pada Tabel 7.

37


Tabel 7. Standar matriks kombinasi SWOT Sumber : Rangkuti (2005)

IFAS

EFAS

Strengths (S)

Tentukan 2 – 10 faktorfaktorkelemahan

internal

Weaknesses (W)

Tentukan 2 – 10

kekuatan internal

Opportunities (O)

Tentukan 2 – 10

faktor-faktor

kelemahan

Strategi (SO)

Ciptakan starategi yang

menggunakan kekuatan

untuk memanfaatkan

Strategi (WO)

Ciptakan strategis

yang meminimalkan

kelemahan untuk

memanfaatkan

peluag

Treaths (T)

Tentukan 2 – 10

faktor – faktor

ancaman ekstarnal.

Strategis (ST)

Ciptakan strategi yang

menggunakan kekuatan

untuk menghindari

ancaman

Strategi (WT)

Ciptakan strategi

yang meminimalkan

kelemahan dan

menghidari ancaman

5. Penentuan Strategi Pengelolaan Ekosistem terumbu Karang

Perumusan strategi berdasarkan data yang telah di perifikasi melalui

tabel kombinasi analisis SWOT yang mengacu pada kondisi ekologis sumber

daya terumbu karang dan persepsi masyarakat. Kemudian merekomendasikan

strategi yang tepat untuk pengelolaan ekosisitem terumbu karang berdasarkan

elemen SWOT pada posisi kualitas ekosistem terumbu karang (Saru, 2007).

38


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi

Kabupaten Wakatobi memiliki luas wilayah 13.990 km 2 , yang terdiri atas

luas daratan 457 km 2 , luas perairan 13.533 km 2

dan keliling 327 km. Kabupaten

wakatobi merupakan gugusan pulau-pulau kecil berjumlah 48 buah dan 9

diantaranya berpenghuni. Kepulauan wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda

dan Laut Flores.

Secara geografis Kabupaten Wakatobi terletak disebelah timur Pulau

Buton. Kabupaten ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara

Sebelah Timur

: Berbatasan dengan Laut Banda dan Kabupaten Buton

: Berbatasan dengan Laut Banda

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Laut Flores

Sebelah Barat

: Berbatasan dengan Kabupaten Buton dan Laut Flores

Secara astronomis Kabupaten Wakatobi terletak antara 5º12’ Lintang

Selatan dan 6º10’ Lintang Selatan dan antara 123º20’ Bujur Timur dan 124º39’

Bujur Timur. Dengan melihat letak lintang yang tak jauh dari garis khatulistiwa,

maka wilayah kabupaten ini masih termasuk daerah sekitar khatulistiwa yang

beriklim tropis (Wangi-wangi selatan dalam angka 2009).

Pulau Kapota merupakan salah satu dari gugusan pulau di kepulauan

wakatobi yang berpenghuni dan masuk dalam Kecamatan Wangi-wangi Selatan.

Dimana luas wilayahnya sekitar 73,3 km 2 dan di bagi menjadi 5 desa, yakni Desa

Kapota dengan luas 11,87 km 2 , Desa Kabita 24 km 2 , Desa Kapota Utara 9,50

km 2 , Desa Kabita Togo 21 km 2 dan Desa Wisata Kolo 6,93 km 2 (Wangi-wangi

selatan dalam angka 2009).

Secara geografis Desa Kapota Utara terletak disebelah barat pulau

wangi-wangi, yang berbatasan langsung dengan:

39


Sebelah Utara

Sebelah Timur

: Berbatasan dengan Laut Waha dan Pulau Wanci

: Berbatasan dengan pulau komponaone dan laut kaledupa

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan karang kapota dan Laut Flores

Sebelah Barat

: Berbatasan dengan Pulau Buton

1. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Pulau Kapota adalah seperti pada Tabel 8 berikut:

Tabel 8. Jumlah penduduk Pulau Kapota berdasarkan jenis kelamin.

No. Desa Laki-laki Perempuan Keseluruhan %

(jiwa) (jiwa) (jiwa)

1 Kapota 585 572 1.157 22.55

2 Kabita 665 683 1.348 26.28

3 Kapota Utara 646 691 1.337 26.06

4 Kabita Togo 314 315 629 12.26

5 Wisata Kolo 306 353 659 12.85

Jumlah 2516 2614 5130 100

Sumber : Buku Wangi-wangi Selatan dalam Angka 2010 dan Wawancara

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang paling

banyak adalah Desa Kabita yaitu berjumlah 1.348 jiwa dengan persentase

26,28%. Sedangkan desa yang jumlah penduduknya paling sedikit adalah Desa

Kabita Togo dengan jumlah 629 jiwa dengan persentase 12,26%. Desa Kabita

Togo adalah desa baru yang mekar merupakan pemisahan dari Desa Kabita.

B. Kondisi Oseanografi

Kondisi Lingkungan perairan menjadi karakteristik dan faktor pembatas

serta pendukung pada kondisi ekosistem terumbu karang. Adapun hasil

pengamatan terhadap parameter lingkungan perairan yang terdapat pada stasiun

pengamatan di Pulau Kapota adalah seperti pada Tabel 9 berikut:

40


1. Arus

Tabel 9. Kondisi Oseanografi Lokasi Penelitian

Stasiun

Kec. Arus

(m/s)

Kecerahan

(m)

Suhu

( 0 C)

Salinitas (%0)

I 0.10 15 27 35.5

II 0.09 15 27.2 35.8

III 0.17 16 26.6 35.1

IV 0.33 14 25 34

Rata-rata 0.17 15 26.45 35.1

Arus merupakan salah satu faktor pembatas yang sangat berfungsi bagi

karang sebagi pengsuplai oksigen dari laut bebas, makanan berupa plankton.

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan kecepatan arus yang diperoleh

berkisar antara 0,09-0,33 m/s, dimana rata-rata kecepatan arusnya adalah 0,17

m/s. Kecepatan arus yang paling tinggi ditemukan pada Stasiun IV yaitu 0,33 m/s

karena stasiun ini berada di ujung paling timur pulau kapota yang merupakan

daerah lintasan arus yang bersumber dari Laut Flores. Sedangkan arus yang

paling rendah kecepatannya berada pada Stasiun II yakni 0,09 m/s dimana

stasiun ini berada di sebelah dalam dari 2 pulau, yakni Pulau Wanci dan Pulau

Kapota.

2. Kecerahan

Kecerahan perairan berkaitan erat dengan tingkat intensitas cahaya yang

sampai pada dasar perairan. Kecerahan parairan sangat bergantung kepada

kejernihan dan kedalaman perairan. Nilai kecerahan yang di temukan di lokasi

penelitian berkisar antara 14-16 meter dimana rata-rata kecerahannya 15 meter.

Nilai kecerahan paling tinggi ditemukan di Stasiun III yakni 16 meter sedangkan

kecerahan yang rendah ditemukan pada Stasiun IV yakni 14 meter. Kinsman

(1964) dalam Supriharyono (2000), mengatakan bahwa secara umum karang

tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m walaupun tidak sedikit spesies

41


mampu bartahan pada kedalaman satu meter, karena kekeruhan air dan tingkat

sedimentasi yang tinggi.

3. Suhu

Suhu air merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan karang

yakni dapat mempengaruhi tingkah laku makan bagi karang serta berperan

terhadap laju metabolisme dan laju respirasi biota air (supriharyono, 2000).

Kisaran suhu yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah antara 25-27,2 0 C

dengan rata-rata 26,45 0 C. Suhu yang paling tinggi ditemukan pada Stasiun II

yakni 27,2 0 C dan paling rendah pada Stasiun IV yakni 25 0 C. Menurut Wells,

(1954) dalam Supriharyono, (2000) mengatakan bahwa suhu yang paling baik

untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25-29 0 C. Kemampuan karang

untuk menangkap makanan dapat hilang pada suhu diatas 33,5 0 C dan di bawah

16 0 C (Mayor, 1915 dalam Supriharyono, 2000).

4. Salinitas

Secara umum salinitas dapat diartikan sebagai total garam yang terlarut

dalam sampel air laut, dimana konsentrasi rata-rata garam terlarut di laut adalah

35 0 / 00. Salinitas juga diketahui sebagai faktor pembatas kehidupan binatang

karang. Menurut Kinsman, 1964 dalam Supriharyono, 2000 binatang karang

hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36 0 / 00 . Pada lokasi penelitian

ditemukan salinitas berkisar antara 34-35,8 0 / 00 dimana rata-rata salinitasnya

35,1 0 / 00 . Salinitas yang paling tinggi ditemukan pada Satasiun II yakni 35,8 0 / 00

sedangkan yang paling rendah ditemukan pada Stasiun IV yakni 34 0 / 00 . Pada

saat pengambilan data di Stasiun IV kondisi cuaca sedang hujan sehingga

mempengaruhi penurunan jumlah salinitas di stasiun ini.

42


C. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang

1. Persentase Penutupan Komponen Substrat Dasar Terumbu Karang

Tipe terumbu karang pada pulau kapota adalah tipe terumbu karang tepi

(Fringing Reef) yang 70 % perairannya dikelilingi oleh reef slope sehingga

pertumbuhan karangnya lebih banyak di bagian tubir pantai. Pada stasiun

pengamatan substrat menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT)

dengan bantuan Lifeform ditemukan beberapa kategori komposisi jenis

(Lampiran 3) seperti pada Gambar 7 berikut :

Gambar 7. Persentase penutupan pada lokasi penelitian, kedalaman 3 m (a)

dan kedalaman 10 m (b)

Untuk persentase penutupan kategori pengukuran dikelompokan menjadi

10 yakni : Acropora, Non Acropora, Dead Coral, Dead Coral Algae. Turf Algae,

Coralline Algae, Halimeda, Soft Coral, Other dan Abiotic. Dari gambar di atas

43


dapat dilihat bahwa yang mendominasi seluruh stasiun adalah Non Acropora,

penutupannya berkisar antara 35,8 %-53,1 %. Pada kedalaman 3 meter yang

memiliki persentase penutupan yang lebih besar adalah Non Acropora yang

terdapat pada Stasiun II dengan nilai 53,1 %. Sedangkan yang memiliki

persentase penutupan yang paling kecil adalah Turf Algae, pada Stasiun I

dengan penutupan 0,48 %, pada Stasiun II sekitar 2,98 % dan pada Stasiun III

dan IV tidak ditemukan. Kategori Dead Coral yang terdapat pada Stasiun III

dengan nilai 0,42 %. Untuk kategori Dead Coral tidak ditemukan pada Stasiun IV,

Dead Coral Algae tidak ditemukan pada Stasiun I dan II, serta kategori Halimeda

juga tidak ditemukan pada Stasiun I dan II. Hal ini disebabkan karena pada

kedalaman 3 meter terletak pada daerah reef crest memiliki intensitas cahaya

yang cukup stabil untuk pertumbuhan karang. Untuk jenis algae tumbuh pada

daerah yang rentan terhadap sedimentasi yang banyak terdapat sumber nutrien

berasal dari daratan utama (Tomascik, dkk.,1977 dalam Bahri, 2003).

Pada kedalaman 3 meter, persentase penutupan kategori Acropora

tertinggi pada Stasiun II dengan penutupan 21,36 %. Kategori Abiotic tertinggi

persentasenya pada Stasiun III dengan penutupan sekitar 23,54 %. Kategori

Dead Coral tertinggi ditemukan pada Stasiun I dengan penutupan 0,48 %.

Sedangkan pada kedalam 10 meter yang memiliki persentase penutupan

tertinggi adalah kategori Non Acropora dimana juga ditemukan pada Stasiun II

dengan penutupan sekitar 48,28 %. Sedangkan penutupan terkecil adalah

kategori Dead Coral yang terdapat pada Stasiun III dengan penutupan 0,5 %.

Untuk kategori Turf Algae tidak ditemukan pada kedalaman 10 meter, kategori

Coralline Algae tidak ditemukan pada Stasiun I dan II, serta kategori Halimeda

tidak ditemukan pada Stasiun I.

Di kedalaman 10 meter, persentase penutupan kategori Acropora

tertinggi ditemukan pada Stasiun I dengan penutupan 20,14 %. Pada stasiun ini

44


dengan kondisi topografi yang landai dengan kemringan sekitar 45º adalah

memungkinkan pertumbuhan karang jenis acropora dimana menurut

Supriharyono (2000), bahwa jenis ini mampu tumbuh pada daerah yang memiliki

kelandaian untuk berkembang dan menyebar membentuk terumbu. Dan untuk

kategori Abiotic tertinggi ditemukan pada Stasiun IV dengan penutupan 18,8 %.

Sedangkan kategori Dead Coral tertinggi ditemukan pada Stasiun IV dengan

penutupan 3,72 %. Kategori Dead Coral Algae tertinggi ditemukan pada Stasiun

III dengan penutupan sekitar 4,9 %.

Untuk kategori Soft coral, pada kedalaman 3 meter penutupannya

berkisar antara 8,78 %-30,16 %. Penutupan tertinggi ditemukan pada Stasiun I

dan terendah pada Stasiun II. Pada kedalaman ini rata-rata ditemukan soft coral

yang di dominasi oleh Family Alcyonacea jenis Xenia dan Gorgonia. Dimana

menurut Fabricius dan Alderslade (2001), bahwa jenis ini mampu bertahan pada

kondisi obak pecah dimana kemiringan topografinya tergolong landai dan daerah

reef flat. Pada Stasiun I, dominannya jenis-jenis tersebut dimungkinkan

karena kemampuan beberapa spesies dari Gorgonia memiliki bentuk yang

besar, kuat, fleksibel dengan pertumbuhan koloni yang cepat, dan mampu

bertahan dari sedimentasi, air yang keruh dan gerakan Ombak (Opresko,

1973 dalam Sorokin, 1993).

Sedangkan penutupan soft coral pada kedalaman 10 meter paling banyak

ditemukan pada Stasiun II dengan penutupan sekitar 16,74 %. Dan paling sedikit

ditemukan pada Stasiun I dengan penutupan hanya 6,92 %. Hal ini disebabkan

karena pada Stasiun II kondisi tipografinya adalah reef slop yang memiliki arus

cukup tinggi sehingga memungkinkan untuk pertumbuhan soft coral. Sorokin

(1993), mengatakan bahwa kebanyakan Octocorallia membutuhkan arus yang

konsisten, cukup kuat utamanya dari satu arah untuk mendapatkan makanan

45


yang maksimal dimana arus sangat berperan untuk transportasi makanan,

penyebaran larva dan merangsang terjadinya fotosintesis. Sedangkan pada

Stasiun I banyak ditemukan substrat yang berpasir sehingga soft coral tidak

dapat tumbuh. Sebagaimana Benayahu (1985), menyatakan bahwa salah satu

faktor pembatas utama terhadap penyebaran soft coral yaitu ketersediaan

substrat yang keras yang cocok untuk pelekatan.

2. Kondisi Penutupan Karang Hidup

Berdasarkan data yang diperoleh dialapangan mengenai kondisi terumbu

karang di setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10. Persentase Tutupan Komponen Terumbu Karang di Pulau Kapota

Kategori

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m

Live Coral 51.16 61.9 74.46 53.9 47.52 37.04 55.6 45.14

Dead Coral 0.48 6.32 0.8 3.02 4.08 5.4 5.6 6.04

Algae 1.62 0 2.98 4.28 0.44 18.08 7.3 3.04

Other 33 18.06 8.78 30.56 24.42 28.64 20.56 26.98

Abiotik 13.74 13.72 12.98 8.24 23.54 10.84 10.94 18.8

Kondisi Baik Baik Baik Baik Sedang Sedang Baik Sedang

Pada Tabel 7 diatas, berdasarkan tutupan karang hidupnya (Live Coral)

menurut Brown (1986), dapat dilihat bahwa kondisi tutupan karang di lokasi

penelitian berkisar sedang-baik. Pada Stasiun I dan II kondisi tutupan karangnya

baik di masing-masing kedalaman (3 m dan 10 m), Stasiun III pada kedalaman 3

m dan 10 m dalam kondisi sedang serta Stasiun

IV pada kedalaman 3 m

kondisinya baik sedangkan di kedalaman 10 m kondisinya sedang. Pada lokasi

penelitian di setiap stasiunnya tidak ditemukan indikasi kerusakan oleh

masyarakat akibat penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan

terutama bom dan potasium. Jenis kerusakan hanya terjadi secara alami oleh

ikan-ikan pemangsa polip karang dan gelombang.

Pada Stasiun III memiliki kondisi penutupan yang menurut Brown (1986)

termasuk dalam kategori sedang karena pada stasiun ini penutupan karang

46


hidupnya pada kedalaman 3 meter hanya 47,52% dan kedalaman 10 meter

37,04%, dimana bentuk topografi perairan di sekitar terumbu karang pada

kedalaman >3 meter adalah reef slop dan pada saat pengamatan dilapangan

pada kedalaman ini memiliki arus yang cukup kuat. Supriharyono (2000)

menyatakan bahwa pada daerah yang kemiringan topografi yang sangat landai

tidak cocok bagi juvenile karang untuk tumbuh dan berkembang dengan baik,

sebab membutuhkan arus yang tenang untuk melekat pada substrat. Selanjutnya

Sorokin (1993), mengemukakan bahwa daerah karang rata-rata banyak

membentuk terumbu pada daerah yang termasuk dalam zona reef crest.

D. Kondisi Ikan Karang

1. Komposisi Jenis

Komposisi jenis ikan karang yang ditemukan di setiap stasiun lokasi

pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 4, dapat dibagi berdasarkan jumlah

jenis dan jumlah individu dari masing-masing stasiunnya.

Komposisi jenis ikan karang berdasarkan jumlah jenis dan jumlah individu

di seluruh stasiun dapat dilihat pada Gambar 8 berikut :

Gambar 8. Komposisi jenis Ikan karang berdasarkan jumlah jenis(a) dan

jumlah individu(b) di lokasi penelitian

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa diseluruh stasiun jumlah spesies

yang mendominasi seluru stasiun adalah termasuk dalam kategori ikan target

dimana jumlahnya sekitar 42 % dari seluruh spesies yang ada dilokasi penelitian.

Kemudian spesies berikutnya adalah yang termasuk dalam kategori ikan

indikator yakni sebanyak 33 %. Spesies yang termasuk ikan mayor hanya sekitar

47


25 % dari jumlah seluruh spesies yang ditemukan pada lokasi penelitian. Pada

umumnya yang termasuk dalam kategori ikan mayor seperti pada famili

Pomacentridae dan Labridae berkembang biak dengan baik apabila daerah

tersebut cukup menyediakan tempat untuk berteduh. Beberapa spesies yang

termasuk dalam famili Pomacentridae dalam penelitian ini menunjukkan adanya

keterkaitan yang sangat erat dengan beberapa jenis dari terumbu karang. Pada

saat pengamatan spesies ini sering ditemukan pada karang Acropora. Bentuk

dari jenis karang ini menyerupai ranting pohon yang dijadikan sebagai tempat

berlindung dari serangan pemangsanya, dimana pada lokasi penelitian yang

mendominasi adalah kategori Non Acropora.

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa di seluruh stasiun pengamatan

komposisi ikan karang berdasarkan jumlah individu di dominasi oleh kategori

ikan target dimana persentasenya sekitar 48 %. Pada saat pengamatan di

seluruh stasiun genus yang termasuk dalam kategori ini adalah Acanthurus dan

Naso paling banyak ditemui di tiap stasiunnya. Genus ini hidupnya bergerombol

dan membentuk schooling di antara terumbu karang. Kategoti ikan mayor lebih

banyak dibandingkan dengan ikan indikator dimana ikan mayor berjumlah sekitar

28 % dan ikan indikator hanya 24 %. Kategori ikan mayor di domiasi oleh genus

Caesio, dimana terutama spesies Caesio teres dan Caesio cuning pada saat

melakukan pengukuran jenis ini ditemukan banyak berada pada daerah sekitar

terumbu dan hidup bergerombol.

Komposisi berdasarkan jenis dan individu ikan karang di setiap

kedalaman pada seluruh stasiun dapat dilihat pada Gambar 9 berikut :

48


3 m 10 m 3 m 10 m

3 m 10 m 3 m 10 m

Gambar 9. Komposisi jenis Ikan karang berdasarkan jumlah jenis pada

kedalaman disetiap stasiun.

Pada Stasiun I, komposisi jenis yang mendominasi adalah kategori ikan

target. Pada kedalaman 3 meter dengan jumlah sekitar 54 % dan kedalaman 10

meter sekitar 58 %. Pada saat pengambilan data lapangan jenis ikan target yang

banyak ditemukan adalah famili Acanthuridae yang hidup secara bergerombol

untuk menakuti predator besar, dan famili Kyphosidae yang hidup berkoloni dan

menetap paada celah karang keras. Kemudian disusul oleh kategori ikan

indikator pada kedalaman 3 meter berjumlah sekitar 32 % sedangkan pada

kedalaman 10 meter berjumlah sekitar 34 %. Pada stasiun ini kategori ikan

indikator di dominasi oleh famili Chaetodontidae dan Scaridae. Kategori ikan

mayor ditemukan pada kedalam 3 meter berjumlah 14 % dan kedalaman 10

meter hanya berjumlaha 8 %. Kategori ikan ini di dominasi oleh famili

Caesionidae.

Pada Stasiun II yang komposisi jenis yang mendominasi adalah kategori

ikan indikator dimana pada kedalaman 3 meter dengan jumlah sekitar 40 % dan

kedalaman 10 meter sekitar 33 %. Ikan indikator paling banyak di huni oleh famili

Chaetodontidae dan Scaridae. Kemudian disusul oleh ikan target yang komposisi

49


jensinya 35 %. Dan komposisi jenis yang paling sedikit jumlahnya adalah

kategori ikan mayor dengan jumlah 25 %. Pada Stasiun II kedalaman 10 meter

jumlah komposisi jenis ketiga kategori ikan karang adalah sama karena jumlah

spesies yang termasuk dalam kategori ikan tersebut sama yakni masing-masing

8 spesies.

Di Stasiun III komposisi jenis didominasi oleh kategori ikan target dimana

pada kedalaman 3 meter dengan jumlah 42 % dan kedalaman 10 meter 41 %.

Kemudian ikan indikator pada kedalaman 3 meter berjumlah sekitar 30 % dan

pada 10 meter 34 %. Untuk komposisi jenis kategori ikan mayor pada kedalaman

3 meter berjumlah 28 % sedangkan di 10 meter sekitar 25 %. Pada Stasiun IV

komposisi jenis ikan karang di dominasi oleh kategori ikan target pada

kedalaman 3 meter berjumlah sekitar 41 % dan kedalaman 10 meter 40 %. Pada

kedalaman 3 meter jumlah kategori ikan mayor lebih banyak di banding ikan

indikator. Sedangkan pada kedalaman 10 meter jumlah antara kategori ikan

mayor dan ikan indikator adalah sama yakni sekitar 30 %.

Untuk mengetahui jumlah individu di setiap kedalaman pada seluruh

stasiun dapat dilihat pada Gambar 10 berikut :

3 m 10 m 3 m 10 m

3 m 10 m 3 m 10 m

Gambar 10. Komposisi kategori ikan karang berdasarkan jumlah individu

pada kedalaman disetiap stasiun.

50


Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa yang mendominasi seluruh stasiun

pada lokasi penelitian adalah individu yang tergolong dalam kategori ikan target,

kecuali pada Stasiun IV kedalaman 10 meter. Pada saat pengamatan di

lapangan di stasiun ini terutama di kedalaman 10 meter banyak ditemukan

karang masive dan karang menjalar (encrusting). Sehingga tidak terdapat tempat

persembunyian bagi ikan-ikan target. Hal ini sesuai dengan pernyataan Allen

(1991) yang mengatakan bahwa ikan biasanya melindungi diri dari pemangsaan

yakni dengan berlindung pada celah-celah karang. Kemudian di ikuti oleh

individu yang tergolong dalam kategori ikan mayor kecuali pada Stasiun II

kedalaman 10 meter dan Stasiun III kedalaman 3 meter. Dimana pada stasiun

ini jumlah kategori ikan indikator lebih banyak dibanding ikan mayor.

Untuk mengetahui komposisi ikan karang berdasarkan famili dapat dilihat

pada Tabel 11 berikut :

Tabel 11. Komposisi ikan karang berdasarkan famili di lokasi penelitian

Famili

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

Total

3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m

Caesionidae 10.2 27.4 10.3 13.9 5.0 9.3 1.1 18.7 12.0

Pomacentridae 7.8 0.0 14.2 0.0 11.8 15.4 16.3 12.6 9.8

Labridae 4.9 0.0 4.2 0.0 5.5 7.8 10.3 8.3 5.1

Mullidae 0.0 0.0 0.0 0.0 1.8 0.0 0.0 0.0 0.2

Acanthuridae 49.1 38.2 33.1 45.8 28.7 34.1 46.0 19.9 36.9

Siganidae 4.6 7.3 3.3 7.4 7.8 8.1 2.3 0.0 5.1

Lutjanidae 0.5 5.4 4.2 7.9 3.8 1.8 0.0 1.8 3.2

Serranidae 2.4 3.0 1.9 3.7 0.8 0.8 1.1 0.0 1.7

Haemulidae 1.5 0.0 1.9 1.4 0.0 2.0 0.0 5.2 1.5

Muraenidae 0.2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.03

Kyphosidae 0.0 0.0 3.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.4

Carangidae 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.8 0.8 0.0 0.2

Scaridae 4.1 9.2 11.7 2.8 17.6 8.3 4.9 7.7 8.3

Balistidae 6.8 4.9 0.3 0.0 8.6 3.0 0.0 11.0 4.3

Chaetodontidae 7.8 3.0 10.6 11.1 8.6 5.3 15.6 14.7 9.6

Scorpaenidae 0.0 1.6 1.1 6.0 0.0 1.0 0.0 0.0 1.2

Pomachantidae 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.3 0.0 0.0 0.3

Zanclidae 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.5 0.0 0.2

Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100

51


Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui komposisi iakn karang

berdasarkan famili didominasi oleh famili Acanthuridae dengan jumlah sekitar 36,

9 %. Dan yang paling sedikit adalah famili Muraenidae dengan jumlah hanya

0,03 %. Menurut Allen (1991) bahwa dengan adanya celah pada daerah sekitar

terumbu memungkinkan untuk dijadikan sebagai tempat berlindung dari predator

bagi ikan-ikan target yang termasuk dalam famili Acanthuridae. Selanjutnya

untuk jenis famili Muraenidae umumnya tergolong kedalam ikan yang aktif di

malam hari (nocturnal) sehingga pada saat pendataan dilakukan hanya terlihat

sebagaian dari tubuhnya yakni kepala yang selalu menunggu mangsa lewat di

daerah yang dijadikan sebagai tempat bersembunyi.

Pada Stasiun I seperti pada tabel di atas dapat dilihat komposisi jenis

yang paling tinggi nilai persentasenya adalah famili Acanthuridae yakni pada

kedalaman 3 meter sekitar 49,1 % dan dikedalaman 3 meter 38 %. Sedangkan

yang paling sedikit muncul adalah famili Muraenidae dengan nilai 0,13 %. Pada

Stasiun II di domonasi oleh famili Acanthuridae dengan persentase sekitar 37,39

%, sedangkan yang paling sedikit adalah famili Balistidae yakni sekitar 0,17 %.

Stasiun III juga di dominasi oleh famili Acanthuridae dengan nilai sekitar 31,40 %

sedangkan yang paling sedikit adalah famili Carangidae dengan nilai 0,38 %

kemudian disusul oleh famili Scorpaenidae yang nilainya 0,50 %. Komposisi jenis

pada Stasiun IV ini berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa komposisi jenis

ikan karangnya di dominasi oleh famili Acanthuridae dengan nilai persentase

sekitar 31, 58 %. Sedangkan yang paling sedikit adalah famili Carangidae yakni

sekitar 0,34 %.

2. Kelimpahan

Berdasarkan hasil monitoring ikan karang secara keseluruhan jumlah dan

jenis ikan dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu ikan mayor, indikator dan

52


target. Kelimpahan ikan karang dipisahkan menurut jumlah jenis dan jumlah

individu.

Berdasarkan jumlah spesies dapat dibedakan berdasarkan kedalaman

disetiap stasiunnya. Dari hasil pengukuran dilapangan pada kedalaman 3 meter

ditemukan sebanyak 72 spesies sedangkan kedalaman 10 meter sebanyak 47

spesies ikan karang. Pengelompokan berdasarkan kategori dapat dilihat pada

Tabel 12 berikut :

Tabel 12. Kelimpahan spesies kategori ikan karang di lokasi penelitian

Kategori

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m

Mayor 3 2 10 8 12 8 10 6

Target 12 15 14 8 18 13 11 8

Indikator 7 9 16 8 13 11 6 6

Total 22 26 40 24 43 32 27 20

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa spesies yang banyak ditemukan

diseluruh stasiun adalah kategori Ikan Target, yang didominasi oleh spesies

Acanthurus blochii, Acanthurus auranticavus, Zebrasoma scopas dan Naoso

Hexacanthus. Dimana spesies ini kebanyakan hidupnya bergerombol dan

membentuk schooling mencari makan didaerah sekitar terumbu (Syakir, 2000).

Sedangkan spesies yang paling sedikit mendominasi daerah terumbu karang

adalah spesies yang termasuk dalam kategori ikan mayor, dimana ikan yang

termasuk dalam golongan ini seperti jenis Abudefduf dan Stethojulis strigiventer

yang pada saat pendataan ditemukan pada potongan-potongan karang yang

banyak terdapat makroalga. Terkadang ikan ini ditemukan pada daerah lamun

dan berpasir, kemungkinan ikan ini bersifat herbivora.

Kelimpahan spesies terbanyak ditemukan pada Stasiun III di kedalaman

3 meter. Dimana di stasiun ini di dominasi oleh ikan target sebanyak 18 spesies.

Sedangkan kelimpahan spesies yang paling sedikit ditemukan pada Stasiun IV di

53


kedalaman 10 meter, stasiun ini juga di dominasi oleh jenis ikan target dengan

jumlah spesies 8.

Berdasarkan hasil perhitungan ditemukan kelimpahan individu semua

stasiun adalah 2738 ekor. Dimana kelimpahan ikan indikator adalah 658 ekor,

ikan mayor 755 ekor dan ikan target 1325 ekor. Adapun jumlah individunya

disetiap kedalaman dan setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 13s berikut :

Tabel 13. Kelimpahan jenis ikan karang di lokasi penelitian

Kategori

Famili

I II III IV Ratarata

3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m

Mayor

Target

Indikator

Caesionidae 42 101 37 30 20 37 3 61 41

Pomacentridae 32 0 51 0 47 61 43 41 34

Labridae 20 0 15 0 22 31 27 27 18

Mullidae 0 0 0 0 7 0 0 0 1

Jumlah 94 101 103 30 96 129 73 129 94

Acanthuridae 202 141 119 99 114 135 121 65 125

Siganidae 19 27 12 16 31 32 6 0 18

Lutjanidae 2 20 15 17 15 7 0 6 10

Serranidae 10 11 7 8 3 3 3 0 6

Haemulidae 6 0 7 3 0 8 0 17 5

Muraenidae 1 0 0 0 0 0 0 0 0

Kyphosidae 0 0 12 0 0 0 0 0 2

Carangidae 0 0 0 0 0 3 2 0 1

Jumlah 240 199 172 143 163 188 132 88 166

Scaridae 17 34 42 6 70 33 13 25 30

Balistidae 28 18 1 0 34 12 0 36 16

Chaetodontidae 32 11 38 24 34 21 41 48 31

Scorpaenidae 0 6 4 13 0 4 0 0 3

Pomachantidae 0 0 0 0 0 9 0 0 1

Zanclidae 0 0 0 0 0 0 4 0 1

Jumlah 77 69 85 43 138 79 58 109 82

Total 411 369 360 216 397 396 263 326 342

Pada tabel dapat dilihat bahwa ikan indikator yang ditemukan di lokasi

penelitian berkisar antara 43-138 ekor/50 m² dan ditemukan terbanyak pada

Stasiun III di kedalaman 3 meter yakni 138 ekor/50 m². Menurut Crosby dan

Reese (1996) bahwa kelimpahan ikan indikator dapat dijadikan parameter untuk

54


kondisi terumbu karang, tetapi pada lokasi penelitian tidak menggambarkan

demikian. Ikan mayor ditemukan berkisar antara 30-129 ekor/50 m² dan

ditemukan terbanyak pada Stasiun III dan IV kedalaman 10 meter yakni 129

ekor/50 m². hal ini disebabkan karena pada stasiun ini terdapat banyak celah

dimana White et al (1990) mengemukakan bahwa ikan mayor memanfaatkan

celah pada karang sebagai tempat berlindung. Ikan target berkisar antara 88-240

ekor/50 m² dan ditemukan terbanyak pada Stasiun I kedalaman 3 meter yakni

240 ekor/50 m². Diseluruh lokasi penelitian ikan target mendominasi di setiap

stasiunnya. Menurut Polovina (1991) bahwa ikan target banyak ditemukan pada

daerah yang bersubstrat keras karena dapat menarik perhatian untuk mencari

makan bagi golongan Ikan Target.

Di seluruh stasiun kelimpahan ikan terbanyak terdapat pada Stasiun I

kedalaman 3 meter dengan jumlah kelimpahan 411 ekor/50 m². Kelimpahan

individu paling sedikit ditemukan pada Stasiun II kedalaman 10 meter dengan

kelimpahan 216 ekor/50 m². Dari seluruh jumlah individu di lokasi penelitian

jumlah rata-rata ikan target yang ada di seluru stasiun adalah 166 ekor/50 m²,

ikan mayor 94 ekor/50 m² dan ikan indikator sebanyak 82 ekor/50 m². Dimana

ikan target yang di dominasi oleh Famili Acanthuridae dengan rata-rata 125

ekor/50 m², ikan mayor yang di dominasi oleh Famili Caesionidae dengan ratarata

41 ekor/50 m² dan Famili Pomacentridae dengan rata-rata 34 ekor/50 m².

Sedangkan ikan indikator yang mendominasi adalah Famili Chaetodontidae

dengan rata-rata 31 ekor/50 m². Dan Famili Scaridae dengan rata-rata 30

ekor/250 m².

3. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi

Nilai keanekaragaman dan keseragaman dapat menunjukkan

keseimbangan dalam suatu pembagian jumlah individu tiap jenis (Odum, 1971).

Keseragaman (E) mempunyai nilai yang besar jika individu ditemukan berasal

55


dari spesies atau genera yang berbeda-beda, sedangkan keanekaragaman (H’)

mempunyai nilai yang kecil atau sama dengan nol jika semua individu berasal

dari satu spesies Indeks keseragaman merupakan angka yang tidak bersatuan,

besarnya berkisar nol sampai satu. Semakin kecil nilai suatu keseragaman,

semakin kecil pula keseragaman dalam komunitas.

Nilai dari keanekaragaman, keseragaman dan dominan dapat dilihat pada

Gambar 11 berikut :

Gambar 11. Indeks Keanekaragaman, keseragaman dan Dominansi

Komunitas Ikan Karang.

Indeks keanekaragaman merupakan parameter untuk mengukur besar

kecilnya keanekaragaman spesies dalam satu lokasi. Indeks keanekaragaman

(H’) ikan karang yang ditemukan dilokasi penelitian berkisar antara 2,55 - 3,38

(Lampiran 5). Keanekaragaman tertinggi ditemukan pada stasiiun III pada

kedalaman 3 meter dengan nilai 3,38 sedangkan yang paling rendah ditemukan

di stasiun I pada kedalaman 3 meter dengan nilai 2,55.

Menurut Dagget, 1996 dalam Hukom, 1998 kisaran indeks

keanekaragaman yang ditemukan pada semua stasiun penelitian adalah

termasuk dalam kategori sedang dan tinggi. Pada stasiun I kedalaman 3 meter

dan 10 meter, stasiun II kedalaman 10 meter dan stasiun IV kedalaman 10 meter

termasuk dalam kategori sedang. Keanekaragaman pada stasiun II kedalaman 3

56


meter, Stasiun III kedalaman 3 dan 10 meter dan stasiun IV kedalaman 3 meter

termasuk dalam kategori tinggi.

Indeks keseragaman menjelaskan apakah sebaran jumlah individu

masing-masing spesies diperoleh secara seragam atau tidak. Nilai indeks

keseragaman (E) ditemukan pada lokasi penelitian berkisar antara 0,82 – 0,92

(Lampiran 5). Menurut Dagget, 1996 dalam Hukom, 1998, kisaran 0,75 < E <

1,00 termasuk dalam kategori komunitas stabil. Keseragaman paling tinggi

terdapat pada stasiun IV di kedalaman 3 meter dan yang paling rendah terdapat

pada stasiun I di kedalaman 3 meter. Wilhm (1975) mengemukakan bahwa

semakin besar nilai keseragaman menunjukkan keseragaman spesies yang

tinggi, artinya kelimpahan spesies dapat dikatakan sama dan kecenderungan

untuk didominasi oleh spesies tertentu sangat kecil.

Indeks Dominansi menjelaskan jika terdapat satu atau beberapa spesies

yang jumlahnya besar sehingga terlihat dominan dalam suatu stasiun.

Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh indeks dominansi (D) pada

semua stasiun berkisar antara 0,04 - 0,11 (Lampiran 5). Dimana nilai tertinggi

terdapat pada stasiun I kedalaman 3 meter dengan nilai 0,11 dan terendah pada

stasiun III kedalaman 3 meter dengan nilai 0,04.

Menurut Dagget, 1996 dalam Hukom, 1998, didapatkan bahwa seluruh

stasiun penelitian berada pada kategori rendah. Indeks dominansi (D) biasanya

berbanding terbalik dengan indeks keseragaman, dimana pada stasiun penelitian

kurang bahkan tidak ditemui adanya dominansi suatu spesies. Hal ini sesuai

dengan penyebaran masing-masing spesies yang tidak terlalu jauh berbeda

kisarannya (hampir seragam). Semakin tinggi nilai indeks dominansinya,

semakin melimpah suatu spesies yang ditemui dengan perbedaan jumlah yang

sangat menyolok dibandingkan dengan spesies lainnya.

57


E. Kondisi Genera Karang Keras

1. Jumlah Jenis

Pada lokasi penelitian, di kedalaman 3 meter dan 10 meter dibagi

menjadi 7 ulangan, dimana tiap ulangan dibatasi oleh transek kuadran yang

berukuran 2x2 meter dan jarak antara transek sejauh 5 meter. Ditemukan 50

jenis karang keras yang berasal dari 11 famili (Lampiran 6). Untuk mengetahui

rata-rata jumlah jenis karang keras per ulangan di tiap stasiun dapat dilihat pada

Gambar 12 berikut :

a

ab

ab

b

Gambar 12. Jumlah jenis karang keras berdasarkan stasiun.

Pada gambar diatas dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah jenis disetiap

ulangan terbanyak ditemukan pada Stasiun I dengan nilai rata-rata 6,9 jenis di

setiap ulangan dan yang paling sedikit ditemukan pada Stasiun III dengan ratarata

4,5 jenis. Hal ini disebabkan karena berdasarkan penutupan Lifeforn

kategori Acropora pada Stasiun I lebih besar dibanding pada Stasiun III. Pada

stasiun I di dominasi oleh family Acroporidae. Sorokin (1993) dalam Tuwo

(2011), menyatakan bahwa terdapat family Acroporidae masuk ke dalam

golongan karang yang oportunistik (r-strategi) yang umum ditemukan di daerah

Indo-Pasifik, hidup dalam koloni ukuran kecil atau menengah, mempunyai

pertumbuhan yang terdeterminasi, mencapai kematangan seksual yang cepat,

dan menghabiskan sebagian besar energinya untuk berkembang biak (breeding).

58


Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Kruskal Wallis One-Way AOV

ditemukan bahwa rata-rata jumlah jenis antara ulangan pada Stasiun I, II dan IV

adalah sama dan pada Stasiun II, III dan IV adalah sama sedangkan Stasiun I

dan III adalah beda (Lampiran 8).

Rata-rata jumlah jenis disetiap ulangan berdasarkan kedalaman dapat

dilihat pada Gambar 13 berikut ini :

a

b

Gambar 13. Jumlah jenis karang keras berdasarkan kedalaman

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah jenis pada

kedalaman 3 meter lebih banyak dibanding dengan kedalaman 10 meter. Pada

kedalaman 3 meter, pada saat survey dilapangan, ditemukan family Faviidae

dengan jumlah koloni kecil dan mendominasi di kedalaman 3 meter. Secara

umum family faviidae, termasuk family karang yang memiliki strategi di antara

karang oportunistik dan konservatif. Karang-karang tersebut kurang

terspesialisasi, polip dari genera-genera tersebut umumnya aktif sepanjang hari,

memiliki sifat fenotip, bersifat labil, mampu hidup pada berbagai kondisi

lingkungan dan memiliki adaptasi morfologi yang besar (Sorokin, 1993 dalam

Tuwo, 2011). Hal inilah yang menyebabkan karang-karang pada golongan ini

dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang beragam dan berbagai tipe

substrat keras. Uji statistik dengan menggunakan Kruskal Wallis One-Way AOV

ditemukan bahwa pada kedalaman 3 meter dan 10 meter adalah beda secara

signifikan.

59


2. Kepadatan

Nilai rata-rata kepadatan untuk genera karang keras disetiap ulanagan

ditemukan di lokasi penelitian berdasarkan stasiun dapat dilihat pada Gambar 14

berikut :

ab

b

ab

a

Gambar 14. Kepadatan karang keras berdasarkan stasiun.

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa rata-rata kepadatan

pada Stasiun IV paling tinggi dan pada Stasiun II lebih redah. Hal ini sesuai

dengan data yang diperoleh dilapangan bahwa jumlah individu terbanyak

ditemukan pada Stasiun IV yang di dominasi oleh family Acroporidae, Pavidae

dan Porites. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Kruskal Wallis One-

Way AOV (Lampiran 7), kepadatan karang pada Stasiun I, III dan IV adalah

sama dan Stasiun I, II dan III juga saman tetapi antara Stasiun II dan IV adalah

berbeda secara signifikan.

Untuk mengetahui rata-rat kepadatan disetiap kedalaman dapat dilihat

pada Gambar 15 berikut :

60


a

b

Gambar 15. Kepadatan karang keras berdasarkan kedalaman

Pada gambar dapat diketahui bahwa kepadatan pada kedalaman 3 meter

lebih besar dibanding pada kedalaman 10 meter. Hal ini disebabkan karena pada

saat pendataan banyak jumlah idividu karang keras yang ditemukan pada

kedalaman 3 meter. Sorokin, 1993 mengemukakan bahwa antara kedalaman 3

dan 5 meter adalah komunitas yang paling stabil dimana intensitas yang masuk

kedalam kolom perairan sesuai yang dibutuhkan oleh organisme laut.

Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Kruskal Wallis One-Way AOV

bahwa kepadatan antara kedalaman 3 meter dengan 10 meter berbeda secara

signifikan.

F. Kondisi Megabentos

1. Jumlah Jenis

Pada saat pengamatan di lapangan ditemukan 7 jenis dan terdapat 39

megabenthos yang terdapat di seluruh stasiun penelitian. Adapun jenisnya dapat

dilihat pada Lampiran 7. Untuk mengetahui rata-rata jumlah jenis disetiap

ulangan berdasarkan stasiun seperti pada Gambar 16 berikut :

61


a

ab

ab

b

Gambar 16. Jumlah Jenis Megabenthos berdasarkan Stasiun

Rata-rata jumlah jenis di tiap ulangan berdasarkan stasiun, yang

terbanyak terdapat pada Stasiun I dan paling sedikit terdapat pada Stasiun IV.

Hal ini disebabkan karena pada Stasiun I bentuk dasar karangnya reefcrest

dengan bentuk landai hingga kedalamn 10 meter, berbeda dimana stasiun

lainnya adalah reefslop dimulai pada kedalaman 4 meter. Sehingga

memungkinkan sebaran megabentos dapat hidup pada daerah sekitar stasiun

tersebut. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Kruskal Wallis One-Way

AOV ditemukan bahwa rata-rata jumlah jenis antara Stasiun I, II dan III adalah

sama dan pada Stasiun II, III dan IV juga sama. Tetapi antara Stasiun I dan IV

berbeda secara nyata (Lampiran 8).

Berdasarkan kedalaman rata-rata jumlah jenis megabentos dapat dilihat

pada Gambar 17 berikut :

a

b

Gambar 17. Jumlah jenis megabentos berdasarkan kedalaman

62


Pada gambar dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah megabentos paling

banyak ditemukan pada kedalaman 3 meter dibanding pada 10 meter. Pada

kedalaman 3 meter ditemukan banyak kima kecil yang hidup pada celah batu

sebagai habitat dan digunakan sebagai tempat berlindung dari predator.

Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Kruskal Wallis One-Way AOV

ditemukan bahwa rata-rata jumlah jenis pada kedalaman 3 dan 10 adalah

berbeda secara nyata.

2. Kepadatan

Pada saat pengambilan data di lokasi penelitian ditemukan rata-rata

kepadatan megabentos pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 18

berikut :

a

ab

ab

b

Gambar 18. Kepadatan Megabenthos berdasarkan stasiun

Pada gambar diatas dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kepadatan

tertinggi terdapat pada Stasiun I dan paling rendah pada Stasiun IV. Dimana

kepadatan terbanyak ini di dominasi oleh jenis kima kecil yang hidup menetap

pada dasar perairan dan ditemukan tersebar disekitar Stasiun I. Berdasarkan uji

statistik dengan menggunakan two way analisis of varians (Lampiran 9),

kepadatan pada ke empat stasiun adalah saling berbeda secara signifikan

(p≤0.00), begitpun kepadatan disetiap kedalaman adalah saling berbeda secara

signifikan (p≤0.00). Interaksi antara kedalaman dengan stasiun dinyatakan tidak

63


ada dimana p>0,05. Sedangkan uji statistik dengan menggunakan Kruskal Wallis

One-Way AOV bahwa kepadatan antara Stasiun I, II, II adalah sama dan antara

Stasiun II, III dan IV juga sama. Tetapi kepadatan antara Stasiun I dan IV adalah

berbeda secara signifikan (Lampiran 8).

Berdasarkan kedalaman nilai rata-rata kepadatan dapat dilihat pada

Gambar 19 berikut :

a

b

Gambar 19. Kepadatan Megabenthos berdasarkan Kedalaman

Nilai kepadatan megabentos berdasrkan gambar diatas, rata-rata kepadatan

tertinggi ditemukan pada kedalaman 3 meter. Biota yang hidup pada daerah

ekosisitem terumbu karang seperti biota megabentos memiliki hubungan yang

intensif dimana biota laut mendapat perlindungan oleh terumbu karang yang

memiliki celah sebagai tempat bersembunyinya spesies megabentos.

Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Kruskal Wallis One-Way AOV

ditemukan bahwa rata-rata kepadatan pada kedalaman 3 dan 10 adalah berbeda

secara nyata.

64


G. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

1. Sosial

Kondisi sosial masyarakat Pulau Kapota dapat dapat dilihat berdasarkan :

a) Pendidikan

Kemajuan suatu desa berdasarkan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh

penduduknya. Dimana ketersediaan infrastruktur berperan penting didalamnya,

baik secra formal maupun lebaga pendidikan lainnya. Berdasarkan data yang

diperoleh dilapangan jumlah bangunan sekolah dapat dilihat pada Tabel 11

berikut:

Tabel 11. Jumlah Bangunan Sekolah di Tiap Desa di Pulau Kapota

Bangunan

Kapota

Kapota

Utara

Kabita

Kabita

Togo

Kolo

Total

TK 1 1 1 3

SD 1 1 1 1 1 5

SMP 1 1 2

SMA 1 1

Jumlah 2 4 1 2 2 11

Keg. Pendidikan Kapota

Kapota

Kabita

Kabita

Utara

Togo

Kolo Total

Keaksaraan Fungsional 1 1 2

PAUD 1 1 2

Jumlah 0 0 2 2 0 4

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa bangunan TK berjumlah 3 buah

yakni terdapat di Desa Kapota, Kapota Utara dan Kabita Togo. Bangunan SD

terdapat di masing-masing Desa di Pulau Kapota. Bangunan SMP terdaat di

Desa Kapota Utara dan Desa Kolo sedangkan bangunan SMA hanya terdapat di

Desa Kapota Utara.

Di Pulau Kapota juga terdapat kegiatan pendidikan yang di fasilitasi oleh

Taman Nasional Wakatobi join program TNC dan WWF. kegiatan pendidikan ini

adalah Pendidikan Keaksaraan Fungsional yang hanya terdapat di Desa Kabita

65


dan Kabita Togo serta PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) juag terdapat di Desa

Kabita dan Kabita Togo.

Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh di lapangan tingkat

pendidikan terakhir masyarakat Pulau Kapota di lihat berdasarkan Desa seperti

pada Gambar 20 berikut :

1q

Sumber data: Wangi-wangi Selatan dalam Angka 2009

Gambar 20. Tingkat Pendidikan Masyarakat Pulau Kapota

Di Desa Kapota persentase tingkat pendidikan masyarakatnya dari

seluruh penduduknya sekitar 23,5 % tamat SD dan yang tingkat pendidikan

tamat Sarjana/ Diploma hanya sekitar 2,7 %. Sedangkan di Desa Kapota Utara

yang tamat Diploma/Sarjana hanya 2,5 % sama halnya dengan desa-desa yang

lain di Pulau Kapota tingkat pendidikan masyarakat yang tamat Diploma/ Sarjana

berkisar 2,6 % dan 2,7 %. Di Pulau Kapota Tingkat pendidikan masyarakatnya

tergolong rendah ini disebabkan karena infrastruktur untuk lanjutan ke tingkat

perguruan tinggi sangat minim bahkan di tingkat kabupaten hanya tersedia satu

Universitas Terbuka yang mana bangunannya belum memadai sehingga daya

dukung masyarakat untuk melanjutkan pendidikannya tidak mewadahi.

Kemudian untuk akses ke Perguruan Tinggi Negeri menempuh jarak yang

66


sangat jauh mengingat lokasi Kabupaten wakatobi adalah Kepulauan yang

berjarak sekitar 10 - 12 jam dengan menggunakan kapal reguler.

Di Pulau Kapota sebagian besar masyarakatnya hanya tamat SD karena

masing-masing desanya memiliki bangunan Infrastruktur tersebut, sehingga

masyarakat lebih mudah untuk memenuhi tingkat pendidikan dasarnya. Di pulau

ini masyarakat yang tidak sempat menyelesaikan pendidikannya pada tingkat

dasar adalah rata-rata 21,7 %.

b) Pekerjaan Utama

Pekerjaan utama masyarakat Pulau Kapota dapat dilihat pada Gambar 21

berikut :

Gambar 21. Persentase Pekerjaan Utama Masyarakat Pulau Kapota

Pada gamabar diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat

Pulau Kapota bermatapencaharian sebagai nelayan tangkap dengan jumlah

sekitar 53 % dan kemudian sekitar 24 % pekerjaannya di bidang budidaya

rumput laut. Di pulau ini juga sekitar 2 % masyarakatnya bekerja sebagai ABK

(Anak Buah Kapal) dan 3 % adalah karyawan swasta serta 4 % PNS (Pegawai

Negeri Sipil). Pulau ini adalah terdiri dari pasir, batu dan rawa sehingga untuk

bertani hanya jenis tanaman tertentu, yakni tanaman/ tumbuhan yang cocok

hidup pada kondisi substrat berpasir, seperti umbi-umbian dan tanaman kelapa.

67


Sumber daya manusia di Pulau Kapota sangat minim, seperti tenaga

kerja guru yang orang-orangnya berdomisili di luar pulau. Mengingat akses kapal

reguler aktif mulai pagi sampai sore sehingga mendukung para guru untuk tidak

bertempat di pulau ini. Sebagian besar pedagang yang ada di Pulau Kapota

berdagangka ikan hasil tangkapan, bahan makanan pokok seperti umbi yang

telah diolah (kasuami) serta kue-kue khas adat.

c) Kepemilikan Alat Tangkap

Dengan adanya peraturan oleh pemerintah tentang larangan penggunaan

alat tangkap yang tidak ramah lingkungan menyebabkan masyrakat hanya

berfokus pada alat tangkap mereka yang tradisional dan murah. Adapun

persentase kepemilikan alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat dapat

dilihat pada Gambar 22 di bawah ini :

Gambar 22. Persentase Kepemilikan Alat Tangkap oleh Masyarakat Pulau

Kapota

Di Pulau Kapota dapat dilihat berdasarkan gambar bahwa untuk

melakukan penagkapan ikan para nelayan menggunakan perahu baik tanpa

mesin maupun memakai mesin dengan bantuan pancing, keramba dan jaring. Di

pulau ini jumlah alat tangkap yang dimiliki oleh masyrakatnya sekitar 42 % alat

tangkap pancing, 41 % perahu tanpa mesin, keramba 8 %, jaring 5 % serta

perahu tanpa mesin 4 %.

68


2. Ekonomi

Kondisi ekonomi masyarakat pulau kapota dapat dilihat berdasarkan

pendapatan rata-rata dalam sebulan. Pendapatan itu dapat dilihat pada Gambar

23:

Gambar 23. Rata-rata Pendapatan bersih/bulan Masyarakat Pulau Kapota

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa pendapatan masyarakatnya

paling banyak < Rp. 250.000,- dengan persentase 38 %. Kemudian diikuti

pendapatan Rp. 250.000,- -Rp. 500.000,- persentasenya sekitar 37 %.

Sedangkan pendapatan Rp.750.000,- - Rp. 1.000.000,- dan >Rp. 1.000.000,-

hanya sekitar 1 % saja. Berdasarkan hasil wawancara ini disebabkan karena

rata-rata penduduk di pulau ini bermatapencaharian sebagai nelayan yang

menggunakan alat tangkap sederhana sehingga tidank memungkinkan

menagkap ikan dengan jumlah yang banyak. Ketersedian bibiit rumput laut juga

sanagat jarang sehingga untuk mendapatkannya membutuhkan biaya yang

sangat mahal sehingga mayarakat yang bekerja dalam budidaya rumput laut

setelah pemanenan biayanya harus menutupi pinjaman saat pembelian bibit

rumput laut tadi. Sama halnya dengan masyarakat yang bekerja sebagai PNS

dan Pegawai Swasta yang manatidak memiliki pekerjaan sampingan sehingga

69


untuk membiayai dan melengkapi kebutuhan rumah tangganya harus dengan

kredit dulu kemudian dicicil berdasarkan potongan gaji mereka perbulan.

3. Perlakuan Tehadap Ekosistem Terumbu Karang

a) Kegiatan dan intensitas kegiatan disekita terumbu karang

Masyarakat Pulau Kapota adalah masyarakat yang sebagian besar

hidupnya bergantung pada hasil laut. Adapun kegiatan dan intensitas kegiatan

masyrakat disekitar terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 24 berikut ;

Gambar 24. Kegiatan dan Intensitas Kegiatan Disekitar Terumbu Karang

Berdasarkan data yang diperoleh dilapangan kegiatan di sekitar terumbu

karang adalah sekitar 70 % untuk menagkap ikan dan sekitar 14 % memasang

alat tangkap. Alat tangkap ini seperti keramba dan jaring. Untuk aktifitas ini

intensitas kegiatannya 43 % dilakukan setiap hari dan 12 % dilakukan setiap

minggu. Serta 26 % ini tidak menentu.

b) Jenis komponen ekosistem terumbu karang yang biasa di ambil

Di dalam ekosistem terumbu karang banyak organism yang dapat

dijadikan sumber ekonomis oleh masyarakat untuk memenuhi berbagai

kehidupannya. Persentase jenis komponen ekosistem terumbu karang yang

biasa di ambil dapat dilihat pada Gambar 25 dibawah ini

70


Gambar 25. Kegiatan dan Intensitas Kegiatan Disekitar Terumbu Karang

Dari berbagai komponen atau organisme yang ada apada ekosistem

terumbu karang yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk diambil

sebagai sumber penghasilan mereka adalah ikan. Jenis komponen yang paling

sering dimanfaatkan masyarakat Pulau Kapota adalah ikan yakni sekitar 62 %

dan yang paling sedikit adalah teripang yakni sekitar 1 % saja. Komponen lain

yang biasa diambil oleh masyarakat adalah kepiting sekitar 11 %.

Di perairan Pulau Kapota berdasarkan hasil wawancara ketersediaan

organisme teripang sebenarnya banyak tetapi ketersediaan alat bantu untuk

menagkap tidak tersedia didukung oleh kurangnya tempat pengumpul sebagai

tempat terakhir penjualan oleh masyarakat. sehingga masyarakat cenderung

memanfaatkan komponen yang mudah diperoleh dan membutuhkan biaya yang

relative murah.

c) Pemanfaatan terumbu karang

Penambangan batu karang mempunyai konstribusi terhadap terjadinya

degradasi sumber daya laut di Kabupaten Wakatobi termasuk di lokasi

penelitian. Pengambilan batu karang mulai marak dilakukan sejak tahun 1970-an

ketika masyrakat mulai membangun rumah permanen dengan fondasi rumah

dari batu karang. Kebutuhan batu karang semakin meningkat, bukan hanya

memenuhi kebutuhan masyarakat saja, melainkan untuk memenuhi kebutuhan

71


pembangunan kota wanci yang sedang giat-giatnya dilakukan dalam rangka

melengkapi sarana dan prasarana serta fasilitas ibukota kabupaten wakatobi.

Di Pulau Kapota dapat dilihat persentase pemanfaatan terumbu karang

pada Gambar 26 berikut :

Gambar 26. Persentase Pemanfaatan Terumbu Karang

Penambangan batu karang sudah dilarang pemerintah dan larangan iini

sudah diketahui oleh para penambang. Tetapi kegiatan ini masih terus

berlangsung karena merupakan sember bahan dasar untuk mendirikan rumah

mereka secara permanen. Berdasarkan gambar diatas sekitar 7 % masyarakat

Pulau Kapota menggunakan batu karang sebagai htemapat penyimpanan kapal.

Khusunya desa yang letaknya tidak berbatasan langsung dengan laut, seperti

Desa Kabita Togo yang ketika menyimpan kapalnya di tempat yang berbahan

dasar batu karang, karena letak rumah mereka berada di tengah-tengan pulau.

Sekitar 6 % dari masyrakat pulau ini memanfaatkan batu karang sebagai bahan

bangunan, baik untuk bahan dasar rumah mereka maupun untuk bangunan

sarana dan prasarana desa.

d) Harapan masyarakat dan bentuk partisipasi pemerintah yang diharapkan

dalam pemanfaatan terumbu karang

Telah berbagai upaya pemerintah dalam proses perlindungan ekosistem

terumbu karang demi pelestarian sumber daya secara berkelanjutan. Begitu juga

72


dengan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya menjaga kelestarian

ekosistem terumbu karang berangsur-angsur membaik. Ditandai dengan

berkurangnya intensitas pengambilan batu karang serta penangkapan dengan

menggunakan bahan yang dapat merusak lingkungan disekitar ekosistem

terumbu karang. Telah banyak dampak yang dapat dilihat langsung oleh

masyarakat seperti terjadinya abrasi pantai dan berkurangnya hasil penagkapan

mereka.

Maka dari itu muncul harapan masyarakat untuk memperbaiki dan

melestarikan ekosistemb terumbu karang. Adapun harapan masyarakat dalam

pemanfaatan terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 27 berikut :

Gambar 27. Harapan Terhadap Pemanfaatan Terumbu Karang

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa 94 % dari masyarakat memilih

bahwa dalam upaya pemanfaatan terumbu karang harus ada kerjasama antara

pemerintah dan masyarakat. Seperti pada pembuatan konsep pemanfaatan

ataupun pengelolaan serta perumusan langkah-langkah yang ditempuh untuk

upaya pemanfaatan secara lestari. Keterlibatan mereka disini dalam upaya

menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang sehingga dapat

dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Dengan adanya kerjasama antara pemerintah baik dalam upaya

pemanfaatan maupun pelestarian, jika melihat dari sisi keterbatasan msyarakat

73


baik dari seggi pengetahuan, sikap dan perilaku maka mereka maka dipandang

perlu untuk mempertimbangkan hal-hal mengenai harapan serta bentuk

partisipasi pemerintah dalam upaya pemanfaatan terumbu karang. Adapun

bentuk partisipasi pemerintah yang diharapkan oleh masyarakat Pulau Kapota

dapat dilihat pada Gambar 28 dibawah ini :

Gambar 28. Bentuk Partisipasi Pemerintah yang Diharapkan dalam

Pemanfaatan Terumbu Karang

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa harapan masyarakat

dalam upaya partisipasi pemerintah sekitar 43 % dalam bentuk bantuan dana

dan 34 % dalam bentuk peraturan. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah

satu responden, bahwa bantuan dana ini diharapkan sebagai modal usaha dan

juga digunakan untuk memperbaharui alat tangkap mereka. Karena sampai saat

ini belum ada bantuan yang sempat mereka nikmati bersama keluarga.

Partisipasi dalam bentuk peraturan yakni diharapkan pemerintah dalam

menyusun aturan harus melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan. Dan

ketegasan pemerintah dalam membuat aturan tersebut sangat dibutuhkan oleh

masyarakat. Karena banyak pelanggaran yang dilakukan di pulau ini tetapi yang

melakukan pelanggaran tersebut adalah orang yang berasal dari luar Pulau

Kapota.

74


e) Harapan Bentuk Pemanfaatan Ekosistem Terumbu Karang

Sebagai Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, terdiri dari beberapa

penetapan zona, salah satu diantaranya adalah Zona Pemanfaatan Lokal.

Diperuntukan bagi pemanfaatan potensi sumber daya alam tertentu oleh

masyarakat setempat melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidupnya dan peningkatan kesejahteraan. Pulau Kapota adalah salah

satu pulau yang masuk dalam zona tersebut. Sehingga penduduk setempat

memanfaatkan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari.

Harapan masyarakat terhadap bentuk pemanfaatan ekosistem terumbu

karang dapat dilihat pada Gambar 29 dibawah ini:

Gambar 29. Bentuk Pemanfaatan Terumbu Karang

Berdasarkan ketentuan bahwa kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di

dalam zona pemanfaatan lokal tiga diantaranya adalah ; inventarisasi dan

monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh masyrakat. Penelitian dan

pengembangan serta pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai

dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku. Pada gambar diatas dapat

dilihat terdapat 2 pemanfaatan yang dominan diharapkan oleh masyarakat yakni

pemanfaatan dalam bentuk daerah Penagkapan serta Pemanfaatan dalam

bentuk Ekowisata. Masing-masing sekitar 45 % masyarakat yang mengharapkan

bentuk pengelolaan tersebut.

75


H. Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang

Strategi pemanfaatan ekosistem terumbu karang di Pulau Kapota

menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opprtunity and Thearts).

Analisis SWOT merupakan bagian dari proses perencanaan stategi yang

dilakukan dalam tiga (3) tahap pengambilan keputusan (Rangkuti, 2005).

Berdasarkan hasil wawancara dengan bantuan kuiesioner bahwa

rekomendasi pengelolaan berdasarkan persentase tertinggi adalah Pulau Kapota

dimanfatkan sebagai area Ekowisata dan Penangkapan (Gambar 29). Hal paling

pertama yang dilakukan dalam analisis ini adalah mengidentifikasi faktor

lingkungan internal dan faktor lingkungan eksternal yang memberi pengaruh

nyata dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang di Pulau Kapota. Kemudian

merumuskan alternatif-alternatif strategi guna memperoleh strategi yang dipilih

sebagai rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang.

1. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal

a) Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Sumberdaya Ekosistem

Terumbu Karang sebagai daerah Penagkapan di Pulau Kapota

Kekuatan

i. Perairan pulau Kapota memiliki potensi dengan jumlah ikan target yang

mendominasi seluruh perairannya.

ii. Masyarakat pulau kapota memahami cara penagkapan yang baik dan tidak

merusak lingkungan.

iii. Pulau Kapota termasuk kedalam zona pemanfaatan lokal berdasarkan pada

buku Pedoman Zonasi Taman Nasional.

iv. Kemauan politik pemerintah dalam rangka peningkatan produksi hasil

tangkapan ikan.

v. Dukungan dari lembaga-lembaga yang bergerak pada sektor perikanan

tangkap.

76


Kelemahan

i. Belum optimalnya pemanfaatan hasil penangkapan dalam memenuhi

kebutuhan pangan lokal.

ii. Penggunaan alat tangkap di Pulau Kapota masih tergolong tradisional.

iii. Belum jelas batas-batas jalur penangkapan antara kawasan Taman Nasional

dengan daerah Perlindungan Laut oleh DKP-Program Coremap.

iv. Pendapatan masyarakat masih rendah.

Peluang

i. Isu pembangunan wilayah menjadi prioritas pemerintah.

ii. Tingkat konsumsi ikan perkapita tergolong tinggi.

iii. Kemauan masyarakat untuk memperjelas batas-batas area penangkapan

berdasarkan kawasan dan DPL oleh DKP-Program Coremap.

iv. Peningkatan tuntutan produk ramah lingkungan

Ancaman

i. Penangkapan yang kurang terkendali dan tidak berkelanjutan menyebabkan

penurunan daya dukung.

ii. Peningkatan jumlah penduduk.

iii. Pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah tangga.

iv. Belum adanya penetapan jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi.

b) Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Sumberdaya Ekosistem

Terumbu Karang sebagai Daerah Ekowisata di Pulau Kapota

Kekuatan

i. Potensi terumbu karang sebagai obyek wisata dengan kondisi terumbu karang

umumnya dalam kategori baik.

ii. Potensi keragaman spesies ikan karang.

iii. Kemauan politik pemerintah untuk meningkatkan ekowisata.

iv. Jumlah masyarakat yang berpotensi sebagai tenaga kerja.

77


v. Aksesibilitas ke Pulau Kapota mudah dan tergolong murah.

Kelemahan

i. Ketersediaan sumberdaya masyarakat dalam segi pengembangan wisata

masih minim.

ii. Pendidikan masyarakat masih rendah.

iii. Belum tersedianya tempat pembuangan sampah umum sebagai Tempat

Pembuangan Akhir Samapah (TPA)

iv. Informasi dan teknologi pengembangan usaha masih terbatas.

Peluang

i. Peningkatan minat wisata bahari dan ekowisata.

ii. Salah satu pusat perhatian baik pemerintah maupun non pemerintah dalam

pengembangan potensi wilayah.

iii. Ketersiadaan sarana wisata diving.

iv. Wakatobi dikenal sampai ke internasional.

Ancaman

i. Degradasi fisik/ abrasi pantai.

ii. Harga BBM tinggi.

iii. Kurangnya data mengenai spesies yang memiliki daya tarik di Pulau Kapota.

iv. Kurang berkembangnya usaha di sektor pertanian dan usaha kecil.

2. Analisis Strategi faktor Internal dan Eksternal

a) Faktor strategi internal sumberdaya ekosisitem terumbu karang dalam

pemanfaatannya sebagai daerah penagkapan.

Hasil analisis dan akumulasi pendapat dari responden untuk komponen

internal dapat dilihat pada Tabel 15 berikut:

78


Tabel 15. Matriks faktor-faktor strategi internal ekosistem terumbu karang

daerah penagkapan

i.

ii.

iii.

iv.

v.

i.

ii.

iii.

Kekuatan Bobot Rating BxR Akumulasi

Perairan pulau kapota memiliki potensi

dengan jumlah ikan target yang

0.2 4 0.8

mendominasi seluruh perairannya

Masyarakat pulau kapota memahami

cara penagkapan yang baik dan tidak

merusak lingkungan.

Pulau kapota termasuk kedalam zona

pemanfaatan lokal berdasarkan pada

buku Pedoman Zonasi Taman

Nasional.

Kemauan politik pemerintah dalam

rangka peningkatan produksi hasil

tangkapan ikan.

0.1 2 0.2

0.17 3 0.51

0.06 1 0.06

Dukungan dari lembaga-lembaga yang

bergerak pada sektor perikanan

0.05 1 0.05

tangkap.

Kelemahan 1.62

Belum optimalnya pemanfaatan hasil

penangkapan dalam memenuhi

kebutuhan pangan lokal.

Penggunaan alat tangkap di Pulau

Kapota masih tergolong tradisional.

Belum jelas batas-batas jalur

penangkapan antara kawasan Taman

Nasional dengan daerah Perlindungan

Laut oleh DKP-Program Coremap.

0.09 -2 -0.18

0.12 -3 -0.36

0.14 -1 -0.14

iv. Pendapatan masyarakat masih rendah. 0.07 -4 -0.28

Jumlah 1.00 -0.96

0.66

Komponen kekuatan menunjukkan nilai yang cukup signifikan terhadap

pemanfaatan ekosistem terumbu karang dengan nilai +1,62.

Sedangkan

kelemahan dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang menunjukkan nilai -

0,96, sehingga akumulasi nilai dari pengaruh faktor-faktor internal adalah 0,66.

Keadaan ini menunjukkan bahwa faktor kekuatan yang dimiliki wilayah ini sangat

besar, sehingga upaya dalam merumuskan strategi pemanfaatan sumberdaya

perikanan tangkap perlu dilakukan untuk mengoptimalkan nilai pemanfaatan

sumberdaya ekosistem sebagai area penangkapan untuk masa sekarang dan

dimasa yang akan datang.

79


b) Faktor strategi eksternal sumberdaya ekosisitem terumbu karang dalam

pemanfaatannya sebagai daerah penagkapan.

Sedangkan hasil analisis dan akumulasi pendapat dari responden untuk

komponen eksternal dapat dilihat pada Tabel 16 berikut:

Tabel 16. Matriks faktor-faktor strategi eksternal ekosistem terumbu karang

daerah penagkapan

i.

ii.

iii.

iv.

i.

Peluang Bobot Rating BxR Akumulasi

Isu pembangunan wilayah menjadi

prioritas pemerintah.

0.17 2 0.34

Tingkat konsumsi ikan perkapita tergolong

tinggi.

Kemauan masyarakat untuk memperjelas

batas-batas area penangkapan

berdasarkan kawasan dan DPL oleh DKP-

Program Coremap.

0.2 4 0.8

0.13 2 0.26

Peningkatan tuntutan produk ramah

lingkungan

0.08 2 0.16

Ancaman 1.56

Penangkapan yang kurang terkendali dan

tidak berkelanjutan menyebabkan

0.12 -2 -0.24

penurunan daya dukung.

ii. Peningkatan jumlah penduduk. 0.05 -4 -0.2

iii.

iv.

Pencemaran yang diakibatkan oleh limbah

rumah tangga.

0.19 -1 -0.19

Belum adanya penetapan jenis ikan yang

bernilai ekonomis tinggi.

0.06 -3 -0.18

Jumlah 1.00 -0.81

0.75

Matriks strategi eksternal pada Tabel 9, menunjukkan bahwa nilai

komponen peluang sebesar +1,56 dan komponen ancaman sebesar -0,81. Dari

faktor eksternal diperoleh akumulasi sebesar 0,75. Saru (2007) mengatakan

bahwa keadaan ini mengindikasikan bahwa peluang dalam mengoptimalkan

pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang sebagai area

penangkapan lebih besar dibandingkan ancaman yang akan menjadi hambatan

dalam proses impelemtasi strategi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap

di wilayah Pulau Kapota .

Setelah mendapatkan nilai akumulasi dari hasil analisis matriks SWOT,

dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal, menunjukkan bahwa

80


kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Kapota dimanfaatkan sebagai area

penagkapan berada pada posisi kuadrant I dengan nilai 0,66 sampai dengan

0,75, seperti pada Gambar 30 dibawah ini :

Peluang

III. (mendukung strategi trun-around)

I. Posisi strategi pemanfaatan ekosistem

terumbu karang sebagai area penagkapan

0,66-0,75 (mendukung strategi agresif)

Kelemahan

Kekuatan

IV. (mendukung strategi defensif)

II. (mendukung strategi diversifikasi)

Ancaman

Gambar 30. Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal

dan faktor eksternal pemanfaatan sumberdaya ekosistem

terumbu karang sebgai area penangkapan

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa dari berbagai faktor internal dan

eksternal didapatkan hasil yang berada pada kuadran I, yang mendukung

strategi agresif. Menurut Rangkuti (2005) ini merupakan situasi yang sangat baik

dimana pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai area penagkapan

memiliki kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Selanjutnya

Saru (2007) mengemukakan bahwa strategi yang harus diterapkan dalam kondisi

seperti ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif. Artinya

dengan kekuatan yang cukup besar yang harus memanfaatkan peluang sebaikbaiknya.

81


c) Faktor strategi internal sumberdaya ekosisitem terumbu karang dalam

pemanfaatannya sebagai aderah ekowisata.

Hasil akumulasi dari faktor strategi internal sumberdaya ekosistem yang

dijadikan sebagai area ekowisata dapat dilihat pada Tabel 17 berikut :

Tabel 17. Matriks faktor-faktor strategi internal ekosistem terumbu karang

area ekowisata

Kekuatan Bobot Rating BxR Akumulasi

Potensi terumbu karang sebagai obyek

i. wisata dengan kondisi terumbu karang

umumnya dalam kategori baik.

0.18 4 0.72

ii. Potensi keragaman spesies ikan karang. 0.17 4 0.68

iii.

iv.

v.

i.

Kemauan politik pemerintah untuk

meningkatkan ekowisata.

Jumlah masyarakat yang berpotensi

sebagai tenaga kerja.

Aksesibilitas ke Pulau Kapota mudah dan

tergolong murah.

0.15 2 0.3

0.06 2 0.12

0.07 2 0.14

Kelemahan 1.96

Ketersediaan sumberdaya masyarakat

dalam segi pengembangan wisata masih

minim.

0.12 -1 -0.12

ii. Pendidikan masyarakat masih rendah. 0.05 -2 -0.1

iii.

Belum tersedianya tempat pembuangan

sampah umum sebagai Tempat

Pembuangan Akhir Samapah (TPA)

0.1 -1 -0.1

iv.

Informasi dan teknologi pengembangan

usaha masih terbatas.

0.1 -3 -0.3

Jumlah 1 -0.62

1.34

Pada tabel diatas memperlihatkan matriks strategi bahwa untuk

pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai area ekowisata memiliki

kekuatan yang cukup besar sebesar 1,96, sedangkan kelemahan menunjukan

nilai -0,62. Dimana nilai akumulasi dari faktor internal ini sebesar 1,34. Dari segi

internal pemanfaatan sumberdaya ekosistem ini sangat kuat sehingga untuk

merumuskan strateginya mengandalkan kekuatan yang ada.

82


d) Faktor strategi eksternal sumberdaya ekosisitem terumbu karang dalam

pemanfaatannya sebagai daerah ekowisata.

Sedangkan hasil akumulasi dari faktor eksternal sumberdaya ekosistem

terumbu karang yang dimanfaatkan sebagai daerah ekowisata dapat dilihat pada

Tabel 18 berikut:

Tabel 18. Matriks faktor-faktor strategi eksternal ekosistem terumbu karang

daerah ekowisata

i.

Peluang Bobot Rating BxR Akumulasi

Peningkatan minat wisata bahari dan

ekowisata.

0.15 2 0.3

Salah satu pusat perhatian baik

ii. pemerintah maupun non pemerintah 0.12 2 0.24

dalam pengembangan potensi wilayah.

iii. Ketersiadaan sarana wisata diving. 0.07 1 0.07

iv.

Wakatobi dikenal sampai ke

internasional.

0.12 2 0.24

Ancaman 0.85

i. Degradasi fisik/ abrasi pantai. 0.2 -1 -0.2

ii. Harga BBM tinggi. 0.07 -4 -0.28

iii.

iv.

Kurangnya data mengenai spesies yang

memiliki daya tarik di Pulau Kapota.

Kurang berkembangnya usaha di sektor

pertanian dan usaha kecil.

0.15 -1 -0.15

0.12 -2 -0.24

Jumlah 1 -0.87

-0.02

Berdasarkan matriks faktor-faktor strategi eksternal pada tabel diatas

memperlihatkan bahwa dari segi eksternal memiliki peluang yang yang cukup

kecil dibanding ancaman. Nilai peluang yang di peroleh adalah 0,85 sedangkan

ancaman -0,87. Dimana nilai akumulasi yang diperoleh dari matriks strategi

eksternal adalah -0,02. Keadaain ini dapat mengindikasikan bahwa untuk

memanfaatkan peluang yang ada harusnya mengantisipasi ancaman yang

mungkin akan terjadi sehingga pemanfaatan dapat berjalan sesuai yang

diharapkan (Saru, 2007).

Nilai akumulasi dari hasil analisis matriks SWOT, dengan

mempertimbangkan faktor internal dan eksternal, menunjukkan bahwa kondisi

83


ekosistem terumbu karang di Pulau Kapota dimanfaatkan sebagai area

ekowisata berada pada posisi kuadrant II dengan nilai 1,34 – (-0,02), seperti

pada Gambar 31 dibawah ini:

Peluang

III. (mendukung strategi trun-around)

I. (mendukung strategi agresif)

Kelemahan

Kekuatan

IV. (Mendukung strategi defensif)

II. Posisi pemanfaatan ekosistem terumbu

karang sebagai area ekowisata dengan

nilai 1,34 –(-0,02)(mendukung strategi

diversifikasi)

Ancaman

Gambar 31. Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal

dan faktor eksternal pemanfaatan sumberdaya terumbu

karang sebagai daerah ekowisata

Hasil analisis matriks pada gambar diatas dengan mempertimbangkan

faktor internal, didapatkan hasil yang berada pada kuadran II, yang mendukung

strategi diversifikasi. Rangkuti (2005) mengatakan bahwa ipada kondisi ini

meskipun menghadapi berbagai ancaman pemanfaatan sumberdaya ini masih

memiliki kekuatan dari segi internal. Menurut Saru (2007), strategi yang harus

diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka

panjang dengancara strategi diversifikasi.

84


3. Alternatif Strategi

Setelah mengetahui posisi dari hasil analisis matriks SWOT maka

langkah selanjutnya adalah menentukan alternatif strategi pemanfaatan yang

akan di rekomendasikan. Berikut adalah matriks alternatif strategi pemanfaatan

untuk area penagkapan pada Tabel 19 :

Tabel 19. Matriks Alternatif strategi untuk daerah penangkapan

i

ii

iii

iv

i

ii

iii

iv

IFAS

EFAS

Peluang (Opportunities)

Isu pembangunan wilayah

menjadi prioritas pemerintah.

Tingkat konsumsi ikan

perkapita tergolong tinggi.

Kemauan masyarakat untuk

memperjelas batas-batas

area penangkapan

berdasarkan kawasan dan

DPL oleh DKP-Program

Coremap.

Peningkatan tuntutan produk

ramah lingkungan.

Ancaman (Treaths)

Penangkapan yang kurang

terkendali dan tidak

berkelanjutan menyebabkan

penurunan daya dukung.

Penningkatan jumlah

penduduk

Pencemaran yang

diakibatkan oleh limbah

rumah tangga.

Belum adanya penetapan

jenis ikan yang bernilai

ekonomis tinggi.

i

ii

iii

iv

v

Kekuatan (Strenghts)

Perairan pulau kapota

memiliki potensi dengan

jumlah ikan target yang

mendominasi seluruh

perairannya

Masyarakat pulau kapota

memahami cara penagkapan

yang baik dan tidak merusak

lingkungan.

Pulau kapota termasuk

kedalam zona pemanfaatan

lokal berdasarkan pada buku

Pedoman Zonasi Taman

Nasional.

Kemauan politik pemerintah

dalam rangka peningkatan

produksi hasil tangkapan

ikan.

Dukungan dari lembagalembaga

yang bergerak pada

sektor perikanan tangkap.

Strategi SO

Ciptakan starategi yang

menggunakan kekuatan

untuk memanfaatkan

Peluang

Strategi ST

Ciptakan strategi yang

menggunakan kekuatan untuk

menghindari ancaman

i

ii

iii

iv

Kelemahan (Weaknesses)

Belum optimalnya pemanfaatan

hasil penangkapan dalam

memenuhi kebutuhan pangan

lokal.

Penggunaan alat tangkap di

Pulau Kapota masih tergolong

tradisional.

Belum jelas batas-batas jalur

penangkapan antara kawasan

Taman Nasional dengan

daerah Perlindungan Laut oleh

DKP-Program Coremap.

Pendapatan masyarakat masih

rendah.

Strategi WO

Ciptakan strategis yang

meminimalkan kelemahan untuk

memanfaatkan peluang

Strategi WT

Ciptakan strategi yang

meminimalkan kelemahan dan

menghidari ancaman

85


Dari hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan

faktor eksternal pemanfaatan sumberdaya terumbu karang sebagai area

penangkapan berada pada kuadran I (Gambar 30). Dengan melihat

pertimbangan antara kekuatan dan peluang pada sumberdaya memberikan

strategi khusus terhadap bentuk pemanfaatan sebagai area penagkapan yakni

dengan dilakukan strategi agresif – SO (Kekuatan dan Peluang) yang

menciptakan starategi dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan

peluang.

Diketahui bahwa faktor kekuatan terbesar dalam pemanfaatan

sumberdaya di wilayah perairan Pulau Kapota, bersumber dari : (1) Perairan

pulau kapota memiliki potensi dengan jumlah ikan target yang mendominasi

seluruh perairannya dan (2) Pulau kapota termasuk kedalam zona pemanfaatan

lokal berdasarkan pada buku Pedoman Zonasi Taman Nasional. Faktor kekuatan

ini merupakan potensi dalam pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu

karang di wilayah tersebut sebagai area penangkapan. Oleh sebab itu dilakukan

langkah-langkah strategi yang akan mendukung bentuk pemanfaatan

sumberdaya ekosistem terumbu karang. Strategi tersebut adalah :

1. Optimalisasi perikanan tangkap di daerah Pulau Kapota ;

Pembuatan database potensi jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi di

perairan Pulau Kapota.

Membangun sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan

penagkapan khusunya TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan tempat

pengawetan ikan (cold storage).

Memotivasi pemerintah dan stakeholders untuk mengoptimalkan produksi

penangkapan sebagai kebutuhan pangan lokal dan untuk Pendapatan

Asli Daerah (PAD).

86


2. Penguatan hukum dan kelembagaan ;

Memperjelas batasan antara wilayah Taman Nasional (berdasarkan

Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006/tanggal 29 agustus 2006 tentang

Pedoman Zonasi Taman nasional) dan wilayah DPL oleh DKP-Program

Coremap II khususnya di sekitar perairan Pulau Kapota, sehingga tidak

terjadi tumpang tindih kewilayahan.

Penerapan dan penegakan Undang-undang/Perda mengenai jenis dan

ukuran alat tangkap yang dapat digunakan oleh masyrakat nelayan.

3. Penciptaan peluang pemasaran hasil tangkapan ;

Melakukan pemantauan pasar dan promosi produksi penagkapan baik di

tingkat regional maupun internasional.

Penyediaan sarana yang dijadikan sebagai alternatif penyimpanan hidup

atau budidaya hasil penangkapan yang belum dapat dijual.

Mengoptimalkan kerjasama dengan lembaga-lembaga atau

investor/pihak swasta untuk pemasaran produksi penangkapan.

4. Pelestarian ekosistem terumbu karang untuk kepentingan perikanan tangkap;

Penyediaan industri pengolahan limbah atau daur ulang limbah yang juga

dilakukan sebagai penambahan lapangan kerja.

Sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian

dan ketersediaan sumber daya perikanan sebagai tujuan jangka panjang.

Melakukan penataan pemanfaatan ruang terhadap wilayah pesisir

sehingga meminimalisir terjadinya konflik kepentingan diantara

stakeholders dalam pemanfaatan sumberdaya ekosistem yang ada.

87


Sedangkan untuk alternatif strategi pemanfaatan sumberdaya ekosistem

terumbu karang sebagai area ekowisata dapat dilihat pada Tabel 20 berikut:

Tabel 20. Matriks Alternatif strategi untuk daerah ekowisata

IFAS

EFAS

Kekuatan (Strenghts)

i Potensi terumbu karang

sebagai obyek wisata

dengan kondisi terumbu

karang umumnya dalam

kategori baik..

ii Potensi keragaman

spesies ikan karang.

iii Kemauan politik

pemerintah untuk

meningkatkan ekowisata.

iv Jumlah masyarakat yang

berpotensi sebagai tenaga

kerja.

v Aksesibilitas ke Pulau

Kapota mudah dan

tergolong murah.

Kelemahan (Weaknesses)

I Ketersediaan SDM dalam segi

pengembangan wisata masih

minim.

ii Pendidikan masyarakat masih

rendah.

iii Belum tersedianya tempat

pembuangan sampah umum

sebagai Tempat Pembuangan

Akhir Sampah (TPA).

Iv Informasi dan teknologi

pengembangan usaha masih

terbatas.

Peluang (Opportunities)

i

ii

iii

iv

Peningkatan minat wisata bahari

dan ekowisata.

Salah satu pusat perhatian baik

pemerintah maupun non

pemerintah dalam

pengembangan potensi wilayah.

Ketersiadaan sarana wisata

diving.

Wakatobi dikenal sampai ke

internasional.

Strategi SO

Ciptakan starategi yang

menggunakan kekuatan untuk

memanfaatkan Peluang

Strategi WO

Ciptakan strategis yang

meminimalkan kelemahan untuk

memanfaatkan peluang

Ancaman (Treaths)

i

ii

iii

iv

Degradasi fisik/ abrasi pantai.

Harga BBM tinggi.

Kurangnya data mengenai

spesies yang memiliki daya tarik

di Pulau Kapota.

Kurang berkembangnya usaha

di sektor pertanian dan usaha

kecil.

Strategi ST

Ciptakan strategi yang

menggunakan kekuatan

untuk menghindari

ancaman

Strategi WT

Ciptakan strategi yang meminimalkan

kelemahan dan menghidari ancaman

Dari hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan

faktor eksternal pemanfaatan sumberdaya terumbu karang sebagai area

ekowisata berada pada kuadran II (Gambar 31). Dengan melihat pertimbangan

antara kekuatan dan peluang pada sumberdaya memberikan strategi khusus

terhadap bentuk pemanfaatan sebagai area ekowisata yakni dengan dilakukan

strategi diversifikasi – ST (Kekuatan dan Ancaman) yang menciptakan strategi

yang menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman.

88


Kekuatan terbesar pada pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu

karang sebagai area ekowisata adalah: (1) Potensi terumbu karang sebagai

obyek wisata dengan kondisi terumbu karang umumnya dalam kategori baik dan

(2) Potensi keragaman spesies ikan karang. Adapun langkah-langkah strategi

yang dilakukan untuk menunjang pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu

karang sebagai area ekowisata antara lain:

1. Optimalisasi pemanfaatan ekosistem terumbu karang dan faktor penunjang

kegiatan ekowisata ;

Identifikasi lokasi-lokasi dan spesies yang memiliki daya tarik terhadap

wisatawan.

Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang secara

berkelanjutan.

Peningkatan sarana aksessibilitas serta akses informasi untuk menunjang

kegiatan ekowisata di perairan Pulau Kapota.

Peningkatan keamanan wisatawan dengan pembuatan Perda yang

mengacu pada pelayanan sosial dan perlindungan.

Penyediaan sarana dan prasarana yang menunjang pendidikan

masyarakat lokal.

2. Pengembangan ekowisata sebagai prospek jangka panjang ;

Kegiatan ekowisata lebih diarahkan ke marine eco-tourism, dimana lebih

memperhitungkan kualitas wisatawan yang lebih memiliki kepedulian

terhadap lingkungan dibanding kuantitas wisatawan.

Optimalisasi kerjasama dengan investor/ pihak swasta untuk

pengembangan wisata.

Pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam mengelolah sumberdaya

ekosistem terutama dalam pengawasan aktivitas wisatawan.

89


3. Pelestarian sumberdaya ekosistem terumbu karang ;

Pengembangan usaha dibidang pertanian, perkebunan, industri kecil dan

lain-lain yang ramah lingkungan untuk menunjang kegiatan ekowisata.

Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang harus tetap

memperhatikan kelestarian dan mempertimbangkan sebab yang dapat

menurunkan atau merusak faktor penting seperti degradasi garis pantai.

Perlindungan terhadap spesies endemik baik oleh pengelolah maupun

wisatawan.

90


V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. Kondisi terumbu karang di Pulau Kapota dalam kategori sedang sampai baik

dengan persentase penutupan karang hidup berkisar mulai 37,04 %-74,46 %.

Penutupan komponen dasar diseluruh stasiun di dominasi oleh kategori Non

Acropora berkisar 35,8 % - 53,1 %.

2. Ditemukan 78 jenis ikan karang di perairan Pulau Kapota. Komposisi jenis

ikan karang di dominasi oleh kategori ikan target berkisar mulai 27 %- 66,2

%, kelimpahan jenis ikan karang juga di dominasi oleh ikan target berkisar

mulai 88 ekor/50 m²-240 ekor/50 m². Dimana di seluruh stasiun penelitian di

dominasi oleh famili Acanthuridae yakni sekitar 36,9 % ditemukan terbanyak

di Stasiun I kedalaman 3 meter.

3. Jumlah genera karang keras di perairan Pulau Kapota ditemukan sebanyak

50 jenis spesies. Rata-rata jumlah jenis karang keras di temukan disetiap

stasiun berkisar mulai 4,5 jenis/4m²-6,9 jenis/4m². Kepadatan karang keras

yakni 2 individu/m² yang di dominasi oleh famili Acroporidae, Pavidae dan

Porites.

4. Jumlah jenis megabentos ditemukan di perairan Pulau Kapota adalah 7 jenis.

komposisi jenis megabentos berkisar mulai 0,3-0,9 individu, kepadatan

megabentos mulai 0,1-0,4 individu/m². dan di dominasi oleh jenis kima kecil.

5. Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Kapota dalam

peruntukannya sebagai daerah penagkapan yaitu : 1) Optimalisasi perikanan

tangkap di daerah Pulau Kapota, 2) Penguatan hukum dan kelembagaan, 3)

Penciptaan peluang pemasaran hasil tangkapan dan 3) Pelestarian

91


ekosistem terumbu karang untuk kepentingan perikanan tangkap;

sedangkan peruntukannya sebagai daerah ekowisata yaitu : 1) Optimalisasi

pemanfaatan ekosistem terumbu karang dan faktor penunjang kegiatan

ekowisata, 2) Pengembangan ekowisata sebagai prospek jangka panjang

dan 3) Pelestarian sumberdaya ekosistem terumbu karang.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil analisis dan pembahasan studi lapangan,

maka dirumuskan beberapa point rekomendasi yang dalam studi ini dimasukkan

sebagai saran, yakni :

a. Perlu Peninjauan kembali kewilayaan tentang kepulaun Wakatobi dalam

posisi sebagai Taman Nasional atau kaitannya dengan Otonimi daerah.

b. Kiranya pemerintah Kab. Wakatobi mempertimbangkan poin-poin strategi

yang telah direkomendasikan oleh penelitian ini.

c. Dapat dilakukan penelitian lanjutan tentang aplikasi dari strategi/evaluasi

strategi pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang khususnya di

perairan Pulau Kapota.

92


DAFTAR PUSTAKA

Alfian, 2009. Strategi Manajemen Sekretariat Daerah Provinsi Kepulauan Riau.

TAPM, Program Pasca Sarjana, Universitas Terbuka. Jakarta

Allen, G. R., 1991. Damselfishes of the World. Aquarium Systems, Mentor, Ohio.

Bahri, S., 2003. Struktur Komunitas dan Distribusi Spasial Vegetasi Lamun

Sepanjang Perairan Pantai Majene. Skripsi Ilmu Kelautan Universitas

Hasanuddin. Makassar.

Baird, A., 1998. The length of larval phase in corals, new insights to patterns of

reef connectivity, Australian Coral Reef Society. Newsletter, 27; 6-8.

Barnes, R.D., 1987. Invertebrate Zoology. Saunders College Publishing. Harcourt

Brace Jonanovich College Publishers. 893 p.

Barnes,R.S.K. and R.N. Huges, 1988. An Introduction to Marine

Ecology.Blackwell Scientific Publication, Oxford-Melbourne. Australia

Benayahu, Y., 1985. Faunistic Composition and Patterns In the Distribution of

Soft Coral (Octocorallia Alcyonacea) Along the Coral Reefs of Sinai

Peninsula. Proceedings of The Fifth International Coral Reef Congress,

Tahiti.

Boaden,P.J.S. and R.Seed, 1985. An Introduction to Coastal Ecology. Blackie

and Son Ltd., New York, USA.

Brower, J.E., Zar, J.H., and Von Ende, C.N., 1989. Field and Laboratory Methods

for General Ecology. WMC. Brown Publisher, Dubuque, Indiana, USA.

Brown, B. E. 1986. Human-induced damage to coral reefs. Results of a regional

UNESCO (COMAR) workshop with advanced training, Diponegoro

University, Jepara and National Institute of Oceanology, Jakarta,

Indonesia. UNESCO Reports in Marine Science 40.

Crosby, M.P., and Reese, E.S.,1996. A Manual for Monitoring Coral Reef with

Indicator Species : Butterflyfishes as Indicator of Change on Indi Pasific

Reefs. Office of Ocean and Coral Resource Management, National

Oceanic and Atmospheric administration, Silver Spring, MD

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting and M.J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Sumber

Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita,

Jakarta.

Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2004. Pengelolaan Sumber

Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradanya Paramita.

Jakarta.

Darmawan, 2001. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor

93


Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan

Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 p.

English, S., Wilkinson, C. and Barker, V., 1994. Survey Manual for Tropical

Marine Resources. Australia Institute of Marine Science. Townsville,

Australia.

Fabricus, K., P. Anderslade., 2001. Soft Coral and Sea Fan. Australian Institude

of Marine Science, Queensland, Australia.

Greenberg, D.A., Hodge, SE (1989). Linkage Analysis Under “random’’ and

“Genetic” Reduced Penetrance. Genet epidemiol 6

Grzimek, 1972. Grzimek's Animal Life Encyclopedia. New York: Van Nostrand

Reinhold Company.

Halim, A., 1995. Struktur Ikan Karang dan Interaksinya dengan Life Forms

Karang Penyusun Terumbu Karang Pulau Hoga dan Karang Kaledupa di

Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Skripsi,

Fakultas Perikanan IPB-Bogor.

Harrison, P.L., 1984. Mass spawing in tropical reef corals. Science, 223

Hukom, F. D., 1998. Ekostruktur dan Organisasi Spasio-Temporal Ikan Karang di

Perairan Teluk Ambon. Tesis S-2 Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Hutabarat, S. dan Evans, S.M., 1996. Pengantar Oseanografi. UI Press, Jakarta.

Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row Publishers, New

York. 654 pp.

Lalli, C.M. and Parsons, T.R., 1995. Biological oceanography: an introduction.

Oxford, UK: Butterworth-Heinemann Ltd. http://coris.noaa.

gov/about/what_are/what_are.html. diakses tanggal 17 Maret 2010 pukul

22.00 wita

Levinton, J.S., 1982. Marine Ecology. Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, NJ.

New York.

Manuputty, A.E.W., Giyanto, Winardi, S.R. Suharti dan Djuwariah, 2006. Manual

monitoring kesehatan karang (Reef health monitoring). CRITC

COREMAP Indonesia. Jakarta

Mapstone, G.M., 1990. Reef Corals and Sponges of Indonesia. National Museum

of Natural Hystory, Leiden, Netrherlands.

Martin, B.B., 2002. Influence of larval competence periods on coral larval

settlement on reef conectivity : A modeling aproach. In Proceedings 9 th

International Coral Reef Symposium, Bali,. Indonesia 23-27 October

2000, Vol.1. Ministry of Environtment Indonesian, Institute of Science,

International Society for Reef Studies.

94


Morton, J., 1990. The Shore Ecology of the Tropical Pacific. UNESCO Regional

Office for Science and Technology for South-East Asia, Jakarta.

Nontji, A., 1986. Coral reef pollution and degradation by LNG Plant in south

Bontang Bay (East Kalimantan), indonesia. Proceeding of MAB-COMAR

Region Workshop on Coral Reef Ecosystem, Their Managemen

Practicies and Research/ Training Needs. UNESCO, MAB_COMAR and

LIPI. Jakarta. http://www.zoology.ubc.ca/~krebs/papers/228.pdf download

pada tanggal 02 April 2010, Pukul 16.00 WITA

Nontji, A., 1987. Laut Nusantara. Lembaga Oseanologi Nasional – LIPI.

Djambatan, Jakarta.

Nontji, A., 2007. Laut Nusantara. Ed. Rev. Cet. 5. Djambatan. jakarta.

Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut; Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia,

Jakarta.

Odum, E. P., 1971. Dasar-dasar Ekology. Cetakan ke-3. Gajah Mada University

Press, Yogyakarta.

Pechenik,1990. Delayed metamorphosis by larvae of benthic marine

invertebrates: does it occur? Is the price to pay? Ophellia, 32, 63-94.

Pusat Studi Terumbu Karang (PSTK), 2002. Laporan Akhir Penilaian Ekosistem

Kepulauan Spermonde, Kabupaten Pangkep Propinsi Sulawasi Selatan.

Pusat Studi Terumbu Karang-UNHAS, Makassar.

Polovina, J.J. 1991. Fisheries Aplication and Biological Impacts of Artificial

Habitat in Artificial Habitat for Marine and Freshwater Fisheries Academic.

Press California, p 153-176.

Rangkuti, R., 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi

Konsep perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta

Saru, A., 2007. Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu

Berkelanjutan Di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Program Pasca

Sarjana Istitut Pertanian Bogor. Bogor

Sorokin, Y.I., 1993. Coral Reef Ecology. Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg.

Suharsono,1996. Jenis-Jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan

Indonesia. P3-O LIPI, Proyek Penelitian dan Pengembangan Daerah

Pantai, Jakarta.

Sumich, J.L. 1996. An introduction to the biology of marine life, sixth edition.

Dubuque, IA: Wm. C. Brown.

Sukarno, R., Hutomo, M., Moosa, M.K. dan Darsono, P., 1983. Terumbu Karang

di Indonesia: Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek

Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. LON-LIPI, Jakarta.

95


Sukarno, R., 2001. Ekosistem Terumbu Karang dan Masalah Pengelolaannya.

Dalam Pendidikan dan Latihan-Metode Penilaian Kondisi Terumbu

Karang; P30-LIPI, UNHAS, BAPPEDA, COREMAP, POSSI, Makassar.

Supriharyono, 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan,

Jakarta

Sutarna, I. N., 1991. Kondisi dan Produktifitas Karang Batu di Tanjung Setan,

Pulau Ambon. BPPSDL –P3O-LIPI. Ambon

Syakir, M., 2000. Inventarisasi Kelimpahan Ikan Karang di Pulau Bauluang.

Skripsi Jurusan Ilmu Kelautan. FIKP. Universitas Hasanuddin.

Tuwo, A., 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut, Pendekatan Ekologi,

sosial Ekonomi, Kelembagaan dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional.

Surabaya.

Veron, JEN., 1986. Coral of Australia and the Indo-Pacific. Angus Robertson

Publish, Australia.

Veron, JEN., 1986. Corals in Space and Time: The Biogeography and Evolution

of the Scleractinia. Australian Institute of Marine Science. Townsville,

Quensland.

Wallace, CC. and AW. M., 2000. Acropora: Staghorn Corals Indian Ocean-South

East Asia-Pacific Ocean. Ocean Environment, NSW, Australia.

White, A.T., Chou, L.M., de Silva, M.W.R.N., and Guarin, F.Y., 1990. Africal

Reefs for Marine Habitat Enhancement in South Asia ICLARM Education

Series 11. International Center for Living Aquatic Resource Management.

Philippines.

Whitten, A.J., M. Mustafa dan G.S. Henderson, 1987. The Ecology of Sulawesi.

Gadjah mada University Press, Yogyakarta, Indonesia.

Wilhm, J.F., 1975. Biology Indicator of Pollution River Ecology. B.A.Wilton.

Blackwell, Oxford.

Wibisono, MS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT Gramedia Widiasarana

Indonesia. Jakarta

Yunus, 2009. Strategi Pengelolaan Ekowisata Kepulauan Tanakeke Kabupaten

Takalar. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Makassar

96


Lampiran 1. Kuesioner tertutup untuk pengumpulan data sosial ekonomi.

RT/RW :

Dusun :

Desa :

Kecamatan :

Kabupaten :

Provinsi :

No Kuisioner : ……………

I. Identitas Responden

Nama :

Umur : ……… tahun

Jumlah anggota keluarga : …….. orang

II. Data sosial ekonomi

Pendidikan terakhir :

Tidak Sekolah

Tidak Tamat SD

SD

SLTP

SLTA

Diploma

Sarjana

Lainnya ………………

Pencaharian utama :

Nelayan tangkap

Tambak (budidaya perikanan)

Pedagang

PNS

Lain-lain

Pencaharian tambahan / alternatif : ………….

Jarak/ jangkauan untuk menagkap ikan…………..mil laut

Luas area penangkapan ikan/ dll : ………….. ha

Luas area pennagkapan di areal terumbu karang : ……………. ha

Masa bermukim di P. Kapota : ……………. Tahun

Status kependudukan :

Tetap

Sementara / numpang

Kepemilikan Sarana / Prasarana Alat Tangkap :

Perahu ……….buah

Bagang Perahu …………..buah

Bagang Tancap ………… buah

Pancing ……….buah

Jaring / Pukat ……….. buah


Keramba………….buah

Parit ……….. buah

Bubu ……….buah

Lainnya

Status penggunaan alat tangkap :

Milik sendiri

Sewa

Lain-lain

Pemanfaatan perahu :

Dipakai sendiri untuk menangkap ikan

Dipakai sendiri untuk keperluan lain

Disewakan untuk transportasi

Disewakan untuk penangkapan ikan

Penghasilan per bulan :

Kurang dari Rp. 250.000,-

Rp. 250.000,- sampai Rp. 500.000,-

Rp. 500.000,- sampai Rp. 750.000,-

Rp. 750.000,- sampai Rp. 1.000.000,-

Lainnya

Sumber Penghasilan per Unit Usaha :

Nelayan tangkap ( Rp. ………………..)

Tambak (Rp. ………………...)

Petani (sawah / ladang) ( Rp. ………………..)

Pedagang ( Rp. ………………..)

PNS ( Rp. ………………..)

Lain-lain ( Rp. ………………..)

Jenis komponen ekosistem terumbu karang yang biasa diambil :

Ikan ( Rp. ………………..)

Cumi-cumi ( Rp. ………………..)

Udang ( Rp. ………………..)

Kepiting (Rp. ………………...)

Kerang ( Rp. ………………..)

Batu untuk bangunan (Rp. ………………...)

Lain-lain ( Rp. ………………..)

III. Pengetahuan tentang terumbu karang

Nama terumbu karang yang dikenal :

Kegiatan di sekitar terumbu karang :

Menagkap ikan

Pasang alat tangkap

Perahu

Lain-lain

Intensitas kegiatan di sekitar terumbu karang :

Setiap hari

Setiap minggu

2 kali sebulan setiap bulan


Kadang-kadang

Lain-lain

Kebutuhan terhadap terumbu karang :

Ikan

Kepiting

Cumi-cumi

Teripang

Kima

Lain-lain

Intensitas pengambilan karang:

Setiap hari

Setiap minggu

2 kali sebulan setiap bulan

Kadang-kadang

Lain-lain

Pemanfaatan terumbu karang :

Bahan bangunan

Tempat penyimpanan kapal

Lain-lain

Skala pemanfaatan terumbu karang :

Dijual dengan harga ……………

Dipakai untuk R.Tangga

Lain-lain

Harapan terhadap pemanfaatan terumbu karang :

Pemerintah saja

Masyarakat saja

Pemerintah dan masyarakat

Lainnya

Bentuk partisipasi pemerintah yang diharapkan dalam pemanfaatan terumbu

karang

Bantuan dana

Penyuluhan

Peraturan

Penanaman

Lain – lain

Bentuk pemanfaatan terumbu karang :

Ekowisata

Konservasi

Penangkapan

Budidaya

…………


Lampiran 2. Quesioner Identifikasi Faktor Strategi Internal dan Eksternal

KUISIONER

STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

SEBAGAI DAERAH PENANGKAPAN

Petunjuk

Pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan khusus kepada

Stakeholders dari Lembaga Eksekutif

Tanggal : / /

Nomor :

Tulis jawaban Anda secara singkat, jelas dan terbaca.

Nama Responden :

Instansi :

Jabatan :

Alamat :

1. Bagaimana visi dan misi anda tentang strategi pengelolaan potensi ekosistem terumbu karang

(penangkapan) di pulau kapota ?

_____________________________________________________________

_____________________________________________________________

_____________________________________________________________

_____________________________________________________________

_____________________________________________________________

_________________________________________________

2. Bagaimana pengaturan terhadap jumlah/jenis perahu terhadap peningkatan jumlah produksi

tangkapan di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

3. Bagaimana strategi modernisasi alat tangkap terhadap perluasan wilayah areal penangkapan

dalam pengelolaan potensi sumberdaya ekosistem terumbu karang di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

4. Apakah ada program, strategi atau langkah-langkah konkrit menyangkut pemanfaatan potensi

sumberdaya ekosisem terumbu karang (penangkapan) yang berhubungan dengan areal

penangkapan yang telah anda lakukan ? Sebutkan !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________


5. Bagaimana sebaiknya, menurut anda mekanisme pemanfaatan potensi sumberdaya

ekosistem terumbu karang (penangkapan) yang berhubungan dengan areal penangkapan di

pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

6. Bagaimana pengaturan pemanfaatan area penagkapan (marine fishing area) terhadap

pengelolaan potensi sumberdaya ekosistem terumbu karang di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

___________________________________

7. Apakah ada jenis alat tangkap baru yang dapat digunakan agar hasil penagkapan dapat

meningkat dan penting dilakukan di pulau kapota ? Sebutkan !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

___________________________________

8. Bagaimana pengaturan pemanfaatan lahan penagkapan terhadap upaya ekstensifikasi lahan

dalam pengelolaan potensi sumberdaya ekosistem tyerumbu karang di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

___________________________________

9. Bagaimana hubungan dalam pengatutan wilayah konservasi (marine protect area) terhadap

areal penangkapan ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

___________________________________

10. Bagaimana hubungan dalam pengaturan wilayah terhadap usaha penciptaan alat tangkap

baru di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________

Pewawancara


KUISIONER

STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

SEBAGAI DAERAH PENANGKAPAN

Petunjuk

Pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan khusus kepada Stake

Holder dari Lembaga Yudikatif dan Sektor Elemen Penegakan

Hukum lainnya.

Tulis jawaban Anda secara singkat, jelas dan terbaca.

Tanggal : / /

Nomor :

Nama Responden :

Instansi :

Jabatan :

Alamat :

1. Bagaimana pandangan anda tentang pemanfaatan ekosistem terumbu karang (penangkapan

dan ekowista) di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

2. Apakah ada pelanggaran aturan pemanfaatan sumber daya ekosisten terumbu karang

(Penagkapan dan ekowisata) di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

3. Bagaimana pandangan anda tentang kegiatan penangkapan dan ekowisata merusak di pulau

kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

4. Apakah ada kasus-kasus pemanfaatan potensi ekosistem terumbu karang (penangkapan dan

ekowisata) yang merusak lingkungan yang pernah anda tangani ? Sebutkan (pelaku, asal,

status perkara) !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________


Pertanyaan ini khusus untuk penegak hukum preventif (Polisi, Angkatan laut, Polairud, Polisi ,

Kapolsek, Koramil, Babinsa, Bimmas)

5. Apakah ada program, strategi atau langkah-langkah konkrit yang telah anda lakukan untuk

mencegah (preventif) terjadinya pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang yang

merusak di wilayah anda ? Jelaskan bentuk dan mekanismenya ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

6. Bagaimana implementasinya dilapangan ? Sebutkan efektifitas dan pengaruhnya !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

7. Apakah ada masalah dan kendala yang anda hadapi dalam mencegah (preventif) terjadinya

pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang tersebut ? Sebutkan !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

8. Bagaimana sebaiknya, menurut anda mekanisme cara mengatasi masalah dan kendala dalam

pencegahan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang yang merusak di wilayah

anda ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

9. Bagaimana pendapat anda, tentang adanya korelasi kegiatan pemanfaatan potensi ekosistem

terumbu karang yang merusak dengan keterlibatan oknum aparat dalam hal melindungi

pelaku ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

Pertanyaan ini khusus untuk penegak hukum refresif

(Kajati, Kejari Pengadilan Tinggi, Pengadilan negeri,)

10. Apakah ada program, strategi atau langkah-langkah konkrit yang telah anda lakukan dalam

mengawasi pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah anda ? Jelaskan

bentuk dan mekanismenya ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________________________


Lampiran 2. Lanjutan…

KUISIONER

STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

SEBAGAI DAERAH PENANGKAPAN

Petunjuk

Pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan khusus kepada Stake

Holder dari Lembaga Legeslatif

.

Tulis jawaban Anda secara singkat, jelas dan terbaca.

Tanggal : / /

Nomor :

Nama Responden :

Instansi :

Jabatan :

Alamat :

11. Bagaimana pandangan anda tentang pemanfaatan potensi ekosistem terumbu karang sebagai

area penagkapan di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

12. Apakah ada kebijakan/perundang-undangan yang mengatur tentang jumlah/jenis alat tangkap

terhadap luas/jarak areal penangkapan di wilayah pulau kapota ? Jika ada, sebutkan ! dan jika

belum, strategi apa yang akan dilakukan untuk pengaturan tersebut !

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

___________________________

13. Apakah ada kebijakan/perundang-undangan yang mengatur tentang jumlah/jenis tangkapan

berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan di wilayah pulau kapota ? jika ada, sebutkan !

dan jika belum, strategi apa yang akan dilakukan untuk pengaturan tersebut !

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

___________________________

14. Apakah ada kebijakan/perundang-undangan yang mengatur tentang luas/jarak penangkapan

hubungannya dengan kawasan konservasi di wilayah pulau kapota ? jika ada, sebutkan ! dan

jika belum, strategi apa yang akan dilakukan untuk pengaturan tersebut !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________


15. Apakah ada kendala/hambatan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan/perundangundangan

tersebut (point 1 – 4) ? Jika ada, sebutkan ! jika tidak, strategi apa yang akan

dilakukan untuk mengawasi kebijakan/perundang-undangan tersebut !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

__________________________

16. Apakah ada kebijakan/perundang-undangan yang mengatur tentang usaha penagkapan

menyangkut jumlah/jenis biota yang memiliki nilai ekonomis tinggi di wilayah pulau kapota ?

Jika ada, sebutkan ! dan jika tidak ada, strategi apa yang akan dilakukan untuk pengaturan

tersebut !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

__________________________

17. Apakah ada kebijakan/perundang-undangan yang mengatur hubungan antara wilayah

konservasi (marine protect area) terhadap usaha penangkapan ikan ? Sebutkan !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

18. Apakah ada kebijakan/perundang-undangan yang mengatur tentang usaha perikanan

budidaya menyangkut upaya peningkatan hasil melalui ekstensifikasi lahan di wilayah pulau

kapota ? Jika ada, sebutkan ! dan jika tidak ada, strategi apa yang akan dilakukan untuk

pengaturan tersebut !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

19. Bagaimana sebaiknya menurut anda, stategi pengawasan kebijakan/perundang-undangan

yang menyangkut pemanfaatan potensi terumbu karang khususnya usaha penagkapan di

Pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

_______________________________

20. 20. Apakah ada program, strategi atau langkah-langkah konkrit yang telah anda lakukan dalam

mengawasi pemanfaatan sumberdaya dalam usaha penagkapan di plau kapota ? Jelaskan

bentuk dan mekanismenya ?

________________________________________________________________________

___________________


Lampiran 2. Lanjutan…

KUISIONER

STRATEGI PENGELOLAAN EOSISTEM TERUMBU KARANG

SEBAGAI DAERAH EKOWISATA

Petunjuk

Pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan khusus kepada

Stakeholders dari Lembaga Eksekutif

Tanggal : / /

Nomor :

Tulis jawaban Anda secara singkat, jelas dan terbaca.

Nama Responden :

Instansi :

Jabatan :

Alamat :

7. Bagaimana visi dan misi anda tentang strategi pengelolaan potensi ekosistem terumbu karang

(ekowisata) di pulau kapota ?

_____________________________________________________________

_____________________________________________________________

_____________________________________________________________

_____________________________________________________________

_____________________________________________________________

_________________________________________________

8. Bagaimana pengaturan terhadap jumlah pengunjung terhadap pengembangan kawasan

sebagai area ekowisata?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

9. Bagaimana strategi terhadap penentuan dan perluasan wilayah tujuan ekowisata dalam

pengelolaan potensi sumberdaya ekosistem terumbu karang di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

10. Apakah ada program, strategi atau langkah-langkah konkrit menyangkut pemanfaatan potensi

sumberdaya ekosistem terumbu karang yang berhubungan dengan areal ekowisata yang telah

anda lakukan ? Sebutkan !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________


11. Bagaimana sebaiknya, menurut anda mekanisme pemanfaatan potensi sumberdaya

ekosistem terumbu karang yang berhubungan dengan areal ekowisata di pulau kapota?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

12. Bagaimana pengaturan pemanfaatan area ekowisata terhadap pengelolaan potensi

sumberdaya ekosistem terumbu karang ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

___________________________________

7. Apakah ada usaha pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang yang memiliki daya

tarik tinggi dan penting disekitar perairan pulau kapota ? Sebutkan !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

___________________________________

8. Bagaimana pengaturan pemanfaatan ekosistem terumbu karang terhadap upaya ekstensifikasi

lahan dalam pengelolaan potensi sumberdaya di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

___________________________________

9. Bagaimana hubungan dalam pengatutan wilayah konservasi (marine protect area) terhadap

areal ekowisata ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

___________________________________

10. Bagaimana hubungan dalam pengaturan wilayah konservasi (marine protect area) terhadap

usaha pemanfaatan ekowisata ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

_______________________

Pewawancara


Lampiran 2. Lanjutan…

KUISIONER

STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

SEBAGAI DAERAH EKOWISATA

Petunjuk

Pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan khusus kepada Stake

Holder dari Lembaga Legeslatif

Tanggal : / /

Nomor :

Tulis jawaban Anda secara singkat, jelas dan terbaca.

Nama Responden :

Instansi :

Jabatan :

Alamat :

21. Bagaimana pandangan anda tentang pemanfaatan potensi ekosistem terumbu karang sebagai

daerah ekowisata di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

22. Apakah ada kebijakan/perundang-undangan yang mengatur tentang jenis obyek yang dapat

dijadikan sebagai wahana ekoweisata di wilayah pulau kapota ? Jika ada, sebutkan ! dan jika

belum, strategi apa yang akan dilakukan untuk pengaturan tersebut !

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

___________________________

23. Apakah ada kebijakan/perundang-undangan yang mengatur tentang jumlah/jenis pengunjung

yang mendatangi area wisata di wilayah pulau kapota ? jika ada, sebutkan ! dan jika belum,

strategi apa yang akan dilakukan untuk pengaturan tersebut !

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

___________________________

24. Apakah ada kebijakan/perundang-undangan yang menetapkan suatu area sebagai lokasi

ekowisata di pulau kapota ? jika ada, sebutkan ! dan jika belum, strategi apa yang akan

dilakukan untuk pengaturan tersebut !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________


25. Apakah ada kendala/hambatan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan/perundangundangan

tersebut (point 1 – 4) ? Jika ada, sebutkan ! jika tidak, strategi apa yang akan

dilakukan untuk mengawasi kebijakan/perundang-undangan tersebut !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

__________________________

26. Apakah ada kebijakan/perundang-undangan yang mengatur tentang lokasi ekowisata

menyangkut obyek atau biota yang memiliki daya tarik tinggi di wilayah pulau kapota ? Jika

ada, sebutkan! dan jika tidak ada, strategi apa yang akan dilakukan untuk pengaturan tersebut!

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

__________________________

27. Apakah ada kebijakan/perundang-undangan yang mengatur hubungan antara wilayah

konservasi (marine protect area) terhadap area ekowisata ? Sebutkan !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

28. Apakah ada kebijakan/perundang-undangan yang mengatur tentang upaya pemanfaatan lahan

sebagai wahana ekowisata denagn obyek tertentu melalui ekstensifikasi lahan di wilayah pulau

kapota ? Jika ada, sebutkan ! dan jika tidak ada, strategi apa yang akan dilakukan untuk

pengaturan tersebut !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

29. Bagaimana sebaiknya menurut anda, stategi pengawasan kebijakan/perundang-undangan

yang menyangkut pemanfaatan potensi terumbu karang khususnya usaha penagkapan di

Pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

_______________________________

30. Apakah ada program, strategi atau langkah-langkah konkrit yang telah anda lakukan dalam

mengawasi pemanfaatan sumberdaya dalam usaha ekowisata di plau kapota ? Jelaskan

bentuk dan mekanismenya ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

_______________________________


Lampiran 2. Lanjutan…

KUISIONER

STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

SEBAGAI DAERAH EKOWISATA

Petunjuk

Pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan khusus kepada Stake

Holder dari Lembaga Yudikatif dan Sektor Elemen Penegakan

Hukum lainnya.

Tulis jawaban Anda secara singkat, jelas dan terbaca.

Tanggal : / /

Nomor :

Nama Responden :

Instansi :

Jabatan :

Alamat :

31. Bagaimana pandangan anda tentang pemanfaatan ekosistem terumbu karang (penangkapan

dan ekowista) di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

32. Apakah ada pelanggaran aturan pemanfaatan sumber daya ekosisten terumbu karang

(Penagkapan dan ekowisata) di pulau kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

33. Bagaimana pandangan anda tentang kegiatan penangkapan dan ekowisata merusak di pulau

kapota ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________

34. Apakah ada kasus-kasus pemanfaatan potensi ekosistem terumbu karang (penangkapan dan

ekowisata) yang merusak lingkungan yang pernah anda tangani ? Sebutkan (pelaku, asal,

status perkara) !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

________________________________


Pertanyaan ini khusus untuk penegak hukum preventif (Polisi, Angkatan laut, Polairud, Polisi ,

Kapolsek, Koramil, Babinsa, Bimmas)

35. Apakah ada program, strategi atau langkah-langkah konkrit yang telah anda lakukan untuk

mencegah (preventif) terjadinya pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang yang

merusak di wilayah anda ? Jelaskan bentuk dan mekanismenya ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

36. Bagaimana implementasinya dilapangan ? Sebutkan efektifitas dan pengaruhnya !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

37. Apakah ada masalah dan kendala yang anda hadapi dalam mencegah (preventif) terjadinya

pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang tersebut ? Sebutkan !

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

38. Bagaimana sebaiknya, menurut anda mekanisme cara mengatasi masalah dan kendala dalam

pencegahan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang yang merusak di wilayah

anda ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

39. Bagaimana pendapat anda, tentang adanya korelasi kegiatan pemanfaatan potensi ekosistem

terumbu karang yang merusak dengan keterlibatan oknum aparat dalam hal melindungi

pelaku ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

Pertanyaan ini khusus untuk penegak hukum refresif

(Kajati, Kejari Pengadilan Tinggi, Pengadilan negeri,)

40. Apakah ada program, strategi atau langkah-langkah konkrit yang telah anda lakukan dalam

mengawasi pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah anda ? Jelaskan

bentuk dan mekanismenya ?

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

____________________________________________________________________

_______________________________


Lampiran 3. Penutupan Karang di Lokasi Penelitian Berdasarkan Stasiun Di setiap Kedalaman

ID : STASIUN I KEDALAMAN 3 METER ID : STASSIUN I KEDALAMAN 10 METER

SITE NAME : DEPAN KMPNG KABITA SITE NAME : DEPAN KMPNG KABITA

LOCATION : PULAU KAPOTA LOCATION : PULAU KAPOTA

DATE : SABTU, 7/08/10 DATE : SABTU, 7/08/10

TIME : 08:53 WITA TIME : 08:53 WITA

LON X : 123°30.387' LON X : 123°30.387'

LAT Y : 05°20.101' LAT Y : 05°20.101'

REEF TYPE : REEF CREST REEF TYPE : REEF SLOP

DEPTH : 3 M DEPTH : 10 M

VISIBILITY : 20 M VISIBILITY : 20 M

ARAH BENTANGAN : REEF RIGHT ARAH BENTANGAN : REEF RIGHT

Kategori

Frek.

Frek. Panjang

Panjang Individu % penutupan Kategori

Kemunculan

Kemunculan Individu

% penutupan

ACB 11 385 7.7 ACB 6 594 11.88

ACT 0 0 0 ACT 0 0 0

ACE 0 0 0 ACE 3 269 5.38

ACS 0 0 0 ACS 4 144 2.88

ACD 0 0 0 ACD 0 0 0

CB 8 177 3.54 CB 11 679 13.58

CM 34 1354 27.08 CM 30 1132 22.64

CE 10 228 4.56 CE 5 262 5.24

CS 5 121 2.42 CS 0 0 0

CF 2 144 2.88 CF 1 15 0.3

CMR 6 149 2.98 CMR 0 0 0

CME 0 0 0 CME 0 0 0

CHL 0 0 0 CHL 0 0 0

DC 2 24 0.48 DC 2 92 1.84

DCA 0 0 0 DCA 4 224 4.48

MA 0 0 0 MA 0 0 0

TA 2 24 0.48 TA 0 0 0

CA 3 57 1.14 CA 0 0 0

HA 0 0 0 HA 0 0 0

AA 0 0 0 AA 0 0 0

SC 31 1508 30.16 SC 12 346 6.92

SP 5 122 2.44 SP 19 540 10.8

ZO 0 0 0 ZO 0 0 0

OT 1 20 0.4 OT 1 17 0.34

S 6 140 2.8 S 4 147 2.94

R 6 186 3.72 R 7 462 9.24

SI 0 0 0 SI 0 0 0

WA 0 0 0 WA 0 0 0

RCK 13 361 7.22 RCK 2 77 1.54

Total

5000 100 Total 5000 100



Lampiran 3. Lanjutan

ID : STASIUN II KEDALAMAN 3 METER ID : STASIUN II KEDALAMAN 10 METER

SITE NAME : DEPAN KMPNG PADANGKUKU SITE NAME : DEPAN KMPNG PADANGKUKU

LOCATION : PULAU KAPOTA LOCATION : PULAU KAPOTA

DATE : SABTU, 7/08/10 DATE : SABTU, 7/08/10

TIME : 09:55 WITA TIME : 09:55 WITA

LON X : 123°29.923' LON X : 123°29.923'

LAT Y : 05°19.930' LAT Y : 05°19.930'

REEF TYPE : REEF CREST REEF TYPE : REEF SLOP

DEPTH : 3 M DEPTH : 10 M

VISIBILITY : 20 M VISIBILITY : 20 M

ARAH BENTANGAN : REEF LEFT ARAH BENTANGAN : REEF LEFT

Kategori

Frek.

Frek. Panjang

Panjang Individu % penutupan Kategori

Kemunculan

Kemunculan Individu

% penutupan

ACB 14 1068 21.36 ACB 5 127 2.54

ACT 0 0 0 ACT 2 119 2.38

ACE 0 0 0 ACE 0 0 0

ACS 0 0 0 ACS 1 35 0.7

ACD 0 0 0 ACD 0 0 0

CB 6 799 15.98 CB 13 473 9.46

CM 18 812 16.24 CM 26 869 17.38

CE 7 334 6.68 CE 15 639 12.78

CS 6 219 4.38 CS 0 0 0

CF 4 293 5.86 CF 7 409 8.18

CMR 6 198 3.96 CMR 1 24 0.48

CME 0 0 0 CME 0 0 0

CHL 0 0 0 CHL 0 0 0

DC 2 40 0.8 DC 2 63 1.26

DCA 0 0 0 DCA 5 88 1.76

MA 0 0 0 MA 0 0 0

TA 6 149 2.98 TA 0 0 0

CA 0 0 0 CA 0 0 0

HA 0 0 0 HA 10 214 4.28

AA 0 0 0 AA 0 0 0

SC 11 439 8.78 SC 21 837 16.74

SP 0 0 0 SP 20 669 13.38

ZO 0 0 0 ZO 0 0 0

OT 0 0 0 OT 1 22 0.44

S 1 51 1.02 S 4 153 3.06

R 4 158 3.16 R 3 101 2.02

SI 0 0 0 SI 0 0 0

WA 0 0 0 WA 1 98 1.96

RCK 11 440 8.8 RCK 1 60 1.2

Total

5000 100 Total

5000 100



Lampiran 3. Lanjutan

ID : STASIUN III KEDALAMAN 3 METER ID : STASIUN III KEDALAMAN 10 METER

SITE NAME : BLAKANG KP. KOLO SITE NAME : BLKANG KP. KOLO

LOCATION : PULAU KAPOTA LOCATION : PULAU KAPOTA

DATE : SELASA, 10/08/10 DATE : SELASA, 10/08/10

TIME : 09:15 WITA TIME : 09:15 WITA

LON X : 123°27.478' LON X : 123°27.478'

LAT Y : 05°20.473' LAT Y : 05°20.473'

REEF TYPE : REEF CREST REEF TYPE : REEF SLOP

DEPTH : 3 M DEPTH : 10 M

VISIBILITY : 20 M VISIBILITY : 20 M

ARAH BENTANGAN : REEF LEFT ARAH BENTANGAN : REEF LEFT

Kategori

Frek.

Frek. Panjang

Kategori

Kemunculan Panjang Individu % penutupan

Kemunculan Individu

% penutupan

ACB 16 520 10.4 ACB 1 40 0.8

ACT 0 0 0 ACT 1 22 0.44

ACE 3 50 1 ACE 0 0 0

ACS 0 0 0 ACS 0 0 0

ACD 0 0 0 ACD 0 0 0

CB 17 599 11.98 CB 5 101 2.02

CM 26 897 17.94 CM 11 508 10.16

CE 8 287 5.74 CE 16 1162 23.24

CS 0 0 0 CS 1 19 0.38

CF 1 23 0.46 CF 0 0 0

CMR 0 0 0 CMR 0 0 0

CME 0 0 0 CME 0 0 0

CHL 0 0 0 CHL 0 0 0

DC 1 21 0.42 DC 1 25 0.5

DCA 4 183 3.66 DCA 4 245 4.9

MA 0 0 0 MA 0 0 0

TA 0 0 0 TA 0 0 0

CA 0 0 0 CA 7 669 13.38

HA 1 22 0.44 HA 6 235 4.7

AA 0 0 0 AA 0 0 0

SC 25 841 16.82 SC 10 398 7.96

SP 15 260 5.2 SP 17 942 18.84

ZO 0 0 0 ZO 0 0 0

OT 5 120 2.4 OT 4 92 1.84

S 3 256 5.12 S 0 0 0

R 6 252 5.04 R 4 205 4.1

SI 0 0 0 SI 0 0 0

WA 0 0 0 WA 3 262 5.24

RCK 12 669 13.38 RCK 2 75 1.5

Total

5000 100 Total

5000 100



Lampiran 3. Lanjutan

ID : STASIUN IV KEDALAMAN 3 METER ID : STASIUN IV KEDALAMAN 10 METER

SITE NAME : DEPAN TANJUNG KAPOTA SITE NAME : DEPAN TANJUNG KAPOTA

LOCATION : PULAU KAPOTA LOCATION : PULAU KAPOTA

DATE : SELASA, 10/08/10 DATE : SELASA, 10/08/10

TIME : 09:15 WITA TIME : 09:15 WITA

LON X : 123°27.917' LON X : 123°27.917'

LAT Y : 05°19.755' LAT Y : 05°19.755'

REEF TYPE : REEF CREST REEF TYPE : REEF CREST

DEPTH : 3 M DEPTH : 10 M

VISIBILITY : 20 M VISIBILITY : 20 M

ARAH BENTANGAN : REEF LEFT ARAH BENTANGAN : REEF LEFT

Kategori

Frek.

Frek. Panjang

Panjang Individu % penutupan Kategori

Kemunculan

Kemunculan Individu

% penutupan

ACB 21 710 14.2 ACB 3 75 1.5

ACT 0 0 0 ACT 0 0 0

ACE 1 50 1 ACE 4 129 2.58

ACS 0 0 0 ACS 1 22 0.44

ACD 0 0 0 ACD 0 0 0

CB 21 833 16.66 CB 8 254 5.08

CM 21 886 17.72 CM 27 1044 20.88

CE 5 192 3.84 CE 14 612 12.24

CS 0 0 0 CS 0 0 0

CF 3 109 2.18 CF 4 121 2.42

CMR 0 0 0 CMR 0 0 0

CME 0 0 0 CME 0 0 0

CHL 0 0 0 CHL 0 0 0

DC 0 0 0 DC 6 186 3.72

DCA 9 280 5.6 DCA 4 116 2.32

MA 0 0 0 MA 0 0 0

TA 0 0 0 TA 0 0 0

CA 5 122 2.44 CA 1 31 0.62

HA 4 243 4.86 HA 2 121 2.42

AA 0 0 0 AA 0 0 0

SC 14 658 13.16 SC 13 506 10.12

SP 11 323 6.46 SP 22 766 15.32

ZO 0 0 0 ZO 0 0 0

OT 1 47 0.94 OT 4 77 1.54

S 4 195 3.9 S 7 296 5.92

R 4 180 3.6 R 3 260 5.2

SI 0 0 0 SI 0 0 0

WA 0 0 0 WA 0 0 0

RCK 6 172 3.44 RCK 10 384 7.68

Total

5000 100 Total

5000 100



Lampiran 4. Hasil identifikasi Ikan Karang di Pulau Kapota

STASIUN I STASIUN II STASIUN III STASIUN IV

3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m

Total

Ikan Mayor

Caesionidae Casio teres 27 56 37 30 5 37 3 195

Casio cuning 15 45 15 61 136

Pomacentridae Abudefduf vaigiensis 32 15 12 20 5 84

Abudefduf sexfasciatus 4 17 21

Abudefduf abdominalis 6 18 35 18 77

Amblyglyphidodon curacao 8 5 2 15

Chromis flavipectoralis 5 1 6

Pomacentrus coelestis 4 8 6 18 23 59

Amphiprion crarcii 3 4 7

Amphiprion ocellaris 6 6

Labridae Stethojulis strigiventer 20 15 15 25 2 17 94

Leptojulis polylepis 2 1 5 6 14

Labroides bicolor 2 3 8 13

Hologymnosus annulatus 3 2 4 9

Choerodon zosterphorus 12 12

Mullidae Parupeneus bifasciatus 7 7

Jumlah

94 101 103 30 96 129 73 129 755

Ikan Target

Acanthuridae Zebrasoma scopas 70 15 39 15 7 20 30 196

Zebrasoma flavescens 10 10

Acanthurus blochii 85 70 51 25 51 40 12 30 364

Acanthurus auranticavus 47 25 24 43 24 23 186

Acanthurus xanthoptherus 20 10 10 40

Acanthurus nigrofuscus 4 4

Acanthurus linneatus 3 25 10 38

Naso caeruleacauda 7 8 15

Naso unicornis 7 7

Naso lopezi 15 15

Naso hexacanthus 4 5 6 5 50 20 25 115

Stenochaetus cyanocheilus 6 6

Siganidae Siganus linneatus 4 15 19

Siganus guttatus 15 20 9 10 1 18 6 79

Siganus doliatus 2 6 3 8 19

siganus argenteus 5 1 6

Siganus tetrazona 3 3

Siganus virgatus 11 6 17

Lutjanidae Lutjanus bohar 2 4 3 6 3 18

Lutjanus rivulatus 6 11 10 11 2 40

Lutjanus fulvus 10 10

Macolor macularis 1 1 1 7 4 14

Serranidae Plectopomus leopardus 6 6

Chepalopolis argus 3 1 2 6

Chepalopolis miniata 1 4 1 2 8

Chepalopolis urodeta 6 6 5 1 3 21

Epinephelus rivulatus 1 1

Epinephelus polyphekadion 1 1

Haemulidae Plectorincus orientalis 6 5 11

Plectorincus chaetodonoides 4 6 10

Plectorincus lineatus 3 3 2 8 16

Plectorincus picus 4 4

Variola albimarginata 2 2

Muraenidae Gymnothorax javanicus 1 1

Kyphosidae Kyphosus vagiensis 12 12

Carangidae Carangx ignobilis 3 3

Caranx melampigus 2 2

Jumlah

240 199 172 143 163 188 132 88 1325


Lampiran 4. Lanjutan

STASIUN I STASIUN II STASIUN III STASIUN IV

3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m

Total

Ikan Indikator

Scaridae Scarus rivulatus 10 6 15 6 20 4 7 10 78

Scarus forsteni 7 10 10 14 41

Scarus schlegeli 6 6 6 13 6 37

Scarus quoyi 12 12 12 36

Scarus dimidiatus 5 8 13

Chlorurus sordidus 4 4

Scarus ghobban 2 2

Chlorurus perspicillatus 4 4

Chlorurus japanensis 2 10 16 15 43

Balistidae Odonus niger 28 16 34 12 36 126

Balistoides conspicillum 2 2

Balistapus undulatus 1 1

Chaetodontidae Forcipiger flavissimus 6 6

Forcipiger longirostris 6 2 4 20 32

Chelmon rostratus 12 5 8 12 18 55

Chaetodon vagabundus 8 3 7 6 2 16 13 55

Hemitaurichkthyis polylepis 6 11 12 4 10 3 7 15 68

Chaetodon melannotus 4 7 11

Chaetodon auriga 5 3 8

Chaetodon miliaris 3 3

Scorpaenidae Pterois volitans 2 1 2 4 9

Pterois antennata 4 3 4 11

Pomachantidae Pomacanthus sextriatus 5 5

Pygoplites diacanthus 4 4

Zanclidae Zanclus cornutus 4 4

Jumlah

77 69 85 43 138 79 58 109 658

Total

411 369 360 216 397 396 263 326 2738


Lampiran 5. Indek Ekologi Ikan Karang di Lokasi Penelitian

Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Indeks Dominansi Ikan Karang Stasiun 1 kedalaman 3

NO Family Spesies

ni

H`

E

D

ni/N (pi) Ln (pi) pix ln pi H S H/lnS ni-1 ni(ni-1) N-1 N(N-1) ni(ni-1)/N(N-1) D

1 Scaridae Scarus rivulatus 10 0.024 -3.716 -0.090 2.547 22 0.824 9 90 410 168510 0.0005 0.1059

Scarus forsteni 7 0.017 -4.073 -0.069 6 42 0.0002

2 Acanthuridae Zebrasoma Scopas 70 0.170 -1.770 -0.301 69 4830 0.0287

Acanthurus blochii 85 0.207 -1.576 -0.326 84 7140 0.0424

Acanthurus auranticavus 47 0.114 -2.168 -0.248 46 2162 0.0128

3 Siganidae Siganus linneatus 4 0.010 -4.632 -0.045 3 12 0.0001

Siganus guttatus 15 0.036 -3.311 -0.121 14 210 0.0012

4 Balistidae Odonus niger 28 0.068 -2.686 -0.183 27 756 0.0045

5 Casionidae Casio teres 27 0.066 -2.723 -0.179 26 702 0.0042

casio cuning 15 0.036 -3.311 -0.121 14 210 0.0012

6 Lutjanidae Lutjanus bohar 2 0.005 -5.325 -0.026 1 2 0.0000

7 Chaetodontidae Forcipiger longirostris 6 0.015 -4.227 -0.062 5 30 0.0002

Chelmon rostratus 12 0.029 -3.534 -0.103 11 132 0.0008

Chaetodon vagabundus 8 0.019 -3.939 -0.077 7 56 0.0003

Hemitaurichkthyis polylepis 6 0.015 -4.227 -0.062 5 30 0.0002

8 Serranidae Chepalopolis argus 3 0.007 -4.920 -0.036 2 6 0.0000

Chepalopolis miniata 1 0.002 -6.019 -0.015 0 0 0.0000

Chepalopolis urodeta 6 0.015 -4.227 -0.062 5 30 0.0002

9 Pomacentridae Abudefduf vaigiensis 32 0.078 -2.553 -0.199 31 992 0.0059

10 Labridae Stethojulis strigiventer 20 0.049 -3.023 -0.147 19 380 0.0023

11 Muraenidae Gymnothorax javanicus 1 0.002 -6.019 -0.015 0 0 0.0000

12 Haemulidae Plectorincus orientalis 6 0.015 -4.227 -0.062 5 30 0.0002

Jumlah 411 1.000



Lampiran 5. Lanjutan

Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Indeks Dominansi Ikan Karang Stasiun 1 kedalaman 10

NO Family Spesies

ni

H`

E

D

ni/N (pi) Ln (pi) pix ln pi H S H/lnS ni-1 ni(ni-1) N-1 N(N-1) ni(ni-1)/N(N-1) D

1 Scaridae Scarus schlegeli 6 0.016 -4.119 -0.067 2.733 26 0.839 5 30 368 135792 0.000 0.091

Scarus rivulatus 6 0.016 -4.119 -0.067 5 30 0.000

Scarus forsteni 10 0.027 -3.608 -0.098 9 90 0.001

Scarus quoyi 12 0.033 -3.426 -0.111 11 132 0.001

2 Acanthuridae Zebrasoma scopas 15 0.041 -3.203 -0.130 14 210 0.002

Acanthurus blochii 70 0.190 -1.662 -0.315 69 4830 0.036

Acanthurus auranticavus 25 0.068 -2.692 -0.182 24 600 0.004

acanthurus xanthoptherus 20 0.054 -2.915 -0.158 19 380 0.003

Naso caeruleacauda 7 0.019 -3.965 -0.075 6 42 0.000

Naso hexacanthus 4 0.011 -4.525 -0.049 3 12 0.000

3 Balistidae Odonus niger 16 0.043 -3.138 -0.136 15 240 0.002

Balistoides conspicillum 2 0.005 -5.218 -0.028 1 2 0.000

4 Siganidae Siganus doliatus 2 0.005 -5.218 -0.028 1 2 0.000

Siganus guttatus 20 0.054 -2.915 -0.158 19 380 0.003

siganus argenteus 5 0.014 -4.301 -0.058 4 20 0.000

5 Casionidae Casio teres 56 0.152 -1.885 -0.286 55 3080 0.023

Casio cuning 45 0.122 -2.104 -0.257 44 1980 0.015

6 Lutjanidae Lutjanus bohar 4 0.011 -4.525 -0.049 3 12 0.000

Lutjanus rivulatus 6 0.016 -4.119 -0.067 5 30 0.000

Lutjanus fulvus 10 0.027 -3.608 -0.098 9 90 0.001

7 Chaetodontidae Hemitaurichkthyis polylepis 11 0.030 -3.513 -0.105 10 110 0.001

8 Serranidae Chepalopolis argus 1 0.003 -5.911 -0.016 0 0 0.000

Chepalopolis miniata 4 0.011 -4.525 -0.049 3 12 0.000

Chepalopolis urodeta 6 0.016 -4.119 -0.067 5 30 0.000

9 Scorpaenidae Pterois volitans 2 0.005 -5.218 -0.028 1 2 0.000

Pterois antennata 4 0.011 -4.525 -0.049 3 12 0.000

Jumlah 369 1.000



Lampiran 5. Lanjutan

Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Indeks Dominansi Ikan Karang Stasiun 2 kedalaman 3

NO Family Spesies

ni

H`

E

D

ni/N (pi) Ln (pi) pix ln pi H S H/lnS ni-1 ni(ni-1) N-1 N(N-1) ni(ni-1)/N(N-1) D

1 Scaridae Scarus rivulatus 15 0.042 -3.178 -0.132 3.201 40 0.868 14 210 359 129240 0.002 0.058

Scarus forsteni 10 0.028 -3.584 -0.100 9 90 0.001

Scarus schlegeli 6 0.017 -4.094 -0.068 5 30 0.000

Scarus dimidiatus 5 0.014 -4.277 -0.059 4 20 0.000

Chlorurus sordidus 4 0.011 -4.500 -0.050 3 12 0.000

Chlorurus japanensis 2 0.006 -5.193 -0.029 1 2 0.000

2 Acanthuridae Zebrasoma Scopas 39 0.108 -2.223 -0.241 38 1482 0.011

Acanthurus blochii 51 0.142 -1.954 -0.277 50 2550 0.020

Acanthurus auranticavus 24 0.067 -2.708 -0.181 23 552 0.004

Naso hexacanthus 5 0.014 -4.277 -0.059 4 20 0.000

3 Siganidae Siganus guttatus 9 0.025 -3.689 -0.092 8 72 0.001

Siganus tetrazona 3 0.008 -4.787 -0.040 2 6 0.000

4 Balistidae Balistapus undulatus 1 0.003 -5.886 -0.016 0 0 0.000

5 Casionidae Casio teres 37 0.103 -2.275 -0.234 36 1332 0.010

6 Lutjanidae Lutjanus bohar 3 0.008 -4.787 -0.040 2 6 0.000

Macolor macularis 1 0.003 -5.886 -0.016 0 0 0.000

Lutjanus rivulatus 11 0.031 -3.488 -0.107 10 110 0.001

7 Chaetodontidae Forcipiger flavissimus 6 0.017 -4.094 -0.068 5 30 0.000

Chelmon rostratus 5 0.014 -4.277 -0.059 4 20 0.000

Chaetodon vagabundus 3 0.008 -4.787 -0.040 2 6 0.000

Hemitaurichkthyis polylepis 12 0.033 -3.401 -0.113 11 132 0.001

Chaetodon melannotus 4 0.011 -4.500 -0.050 3 12 0.000

Chaetodon auriga 5 0.014 -4.277 -0.059 4 20 0.000

Chaetodon miliaris 3 0.008 -4.787 -0.040 2 6 0.000

8 Serranidae Plectopomus leopardus 6 0.017 -4.094 -0.068 5 30 0.000

Epinephelus rivulatus 1 0.003 -5.886 -0.016 0 0 0.000

9 Pomacentridae Abudefduf vaigiensis 15 0.042 -3.178 -0.132 14 210 0.002

Abudefduf sexfasciatus 4 0.011 -4.500 -0.050 3 12 0.000

Abudefduf abdominalis 6 0.017 -4.094 -0.068 5 30 0.000

Amblyglyphidodon curacao 8 0.022 -3.807 -0.085 7 56 0.000

Chromis flavipectoralis 5 0.014 -4.277 -0.059 4 20 0.000

Pomacentrus coelestis 4 0.011 -4.500 -0.050 3 12 0.000

Amphiprion crarcii 3 0.008 -4.787 -0.040 2 6 0.000

Amphiprion ocellaris 6 0.017 -4.094 -0.068 5 30 0.000

10 Haemulidae Plectorincus chaetodonoides 4 0.011 -4.500 -0.050 3 12 0.000

Plectorincus lineatus 3 0.008 -4.787 -0.040 2 6 0.000

11 Kyphosidae Kyphosus vagiensis 12 0.033 -3.401 -0.113 11 132 0.001

12 Scorpaenidae Pterois volitans 1 0.003 -5.886 -0.016 0 0 0.000

Pterois antennata 3 0.008 -4.787 -0.040 2 6 0.000

13 Labridae Stethojulis strigiventer 15 0.042 -3.178 -0.132 14 210 0.002

Jumlah 360



Lampiran 5. Lanjutan

Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Indeks Dominansi Ikan Karang Stasiun 2 kedalaman 10

NO Family Spesies

ni

H`

E

D

ni/N (pi) Ln (pi) pix ln pi H S H/lnS ni-1 ni(ni-1) N-1 N(N-1) ni(ni-1)/N(N-1) D

1 Scaridae Scarus schlegeli 6 0.027 -3.615 -0.097 2.675 23 0.853111 5 30 222 49506 0.0006 0.0929

Scarus rivulatus 6 0.027 -3.615 -0.097 5 30 0.0006

Scarus quoyi 12 0.054 -2.922 -0.157 11 132 0.0027

Acanthuridae Zebrasoma scopas 15 0.067 -2.699 -0.182 14 210 0.0042

Acanthurus blochii 25 0.112 -2.188 -0.245 24 600 0.0121

Acanthurus auranticavus 43 0.193 -1.646 -0.317 42 1806 0.0365

acanthurus xanthoptherus 10 0.045 -3.105 -0.139 9 90 0.0018

Naso hexacanthus 6 0.027 -3.615 -0.097 5 30 0.0006

2 Siganidae Siganus doliatus 6 0.027 -3.615 -0.097 5 30 0.0006

Siganus guttatus 10 0.045 -3.105 -0.139 9 90 0.0018

Casionidae Casio teres 37 0.166 -1.796 -0.298 36 1332 0.0269

Lutjanidae Lutjanus bohar 6 0.027 -3.615 -0.097 5 30 0.0006

3 Lutjanus rivulatus 10 0.045 -3.105 -0.139 9 90 0.0018

Macolor macularis 1 0.004 -5.407 -0.024 0 0 0.0000

Chaetodontidae Forcipiger longirostris 2 0.009 -4.714 -0.042 1 2 0.0000

Chaetodon vagabundus 7 0.031 -3.461 -0.109 6 42 0.0008

Hemitaurichkthyis polylepis 4 0.018 -4.021 -0.072 3 12 0.0002

4 Serranidae Chepalopolis argus 2 0.009 -4.714 -0.042 1 2 0.0000

Chepalopolis miniata 1 0.004 -5.407 -0.024 0 0 0.0000

5 Chepalopolis urodeta 5 0.022 -3.798 -0.085 4 20 0.0004

Scorpaenidae Pterois volitans 2 0.009 -4.714 -0.042 1 2 0.0000

Pterois antennata 4 0.018 -4.021 -0.072 3 12 0.0002

Haemulidae Plectorincus linneatus 3 0.013 -4.309 -0.058 2 6 0.0001

Jumlah 223



Lampiran 5. Lanjutan

Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Indeks Dominansi Ikan Karang Stasiun 3 kedalaman 3

NO Family Spesies

ni

H`

E

D

ni/N (pi) Ln (pi) pix ln pi H S H/lnS ni-1 ni(ni-1) N-1 N(N-1) ni(ni-1)/N(N-1) D

1 Scaridae Scarus rivulatus 20 0.050 -2.988 -0.151 3.377 43 0.898 19 380 396 157212 0.002 0.045

Scarus forsteni 14 0.035 -3.345 -0.118 13 182 0.001

Scarus quoyi 12 0.030 -3.499 -0.106 11 132 0.001

Scarus dimidiatus 8 0.020 -3.904 -0.079 7 56 0.000

Scarus ghobban 2 0.005 -5.291 -0.027 1 2 0.000

Chlorurus perspicillatus 4 0.010 -4.598 -0.046 3 12 0.000

Chlorurus japanensis 10 0.025 -3.681 -0.093 9 90 0.001

2 Acanthuridae Zebrasoma Scopas 7 0.018 -4.038 -0.071 6 42 0.000

Acanthurus blochii 51 0.128 -2.052 -0.264 50 2550 0.016

Acanthurus auranticavus 24 0.060 -2.806 -0.170 23 552 0.004

Acanthurus linneatus 3 0.008 -4.885 -0.037 2 6 0.000

Acanthurus xanthoptherus 10 0.025 -3.681 -0.093 9 90 0.001

Naso hexacanthus 5 0.013 -4.374 -0.055 4 20 0.000

Naso caeruleacauda 8 0.020 -3.904 -0.079 7 56 0.000

Stenochaetus cyanocheilus 6 0.015 -4.192 -0.063 5 30 0.000

3 Siganidae Siganus guttatus 1 0.003 -5.984 -0.015 0 0 0.000

Siganus linneatus 15 0.038 -3.276 -0.124 14 210 0.001

Siganus virgatus 11 0.028 -3.586 -0.099 10 110 0.001

siganus argenteus 1 0.003 -5.984 -0.015 0 0 0.000

Siganus doliatus 3 0.008 -4.885 -0.037 2 6 0.000

4 Casionidae Casio teres 5 0.013 -4.374 -0.055 4 20 0.000

Casio cuning 15 0.038 -3.276 -0.124 14 210 0.001

5 Lutjanidae Lutjanus bohar 3 0.008 -4.885 -0.037 2 6 0.000

Macolor macularis 1 0.003 -5.984 -0.015 0 0 0.000

Lutjanus rivulatus 11 0.028 -3.586 -0.099 10 110 0.001

6 Chaetodontidae Chelmon rostratus 8 0.020 -3.904 -0.079 7 56 0.000

Chaetodon vagabundus 6 0.015 -4.192 -0.063 5 30 0.000

Hemitaurichkthyis polylepis 10 0.025 -3.681 -0.093 9 90 0.001

Chaetodon melannotus 7 0.018 -4.038 -0.071 6 42 0.000

Chaetodon auriga 3 0.008 -4.885 -0.037 2 6 0.000

7 Serranidae Epinephelus polyphekadion 1 0.003 -5.984 -0.015 0 0 0.000

Variola albimarginata 2 0.005 -5.291 -0.027 1 2 0.000

8 Pomacentridae Abudefduf vaigiensis 12 0.030 -3.499 -0.106 11 132 0.001

Abudefduf abdominalis 18 0.045 -3.094 -0.140 17 306 0.002

Amblyglyphidodon curacao 5 0.013 -4.374 -0.055 4 20 0.000

Pomacentrus coelestis 8 0.020 -3.904 -0.079 7 56 0.000

Amphiprion crarcii 4 0.010 -4.598 -0.046 3 12 0.000

9 Balistidae Odonus niger 34 0.086 -2.458 -0.210 33 1122 0.007

10 Labridae Stethojulis strigiventer 15 0.038 -3.276 -0.124 14 210 0.001

Leptojulis polylepis 2 0.005 -5.291 -0.027 1 2 0.000

Labroides bicolor 2 0.005 -5.291 -0.027 1 2 0.000

Hologymnosus annulatus 3 0.008 -4.885 -0.037 2 6 0.000

11 Mullidae Parupeneus bifasciatus 7 0.018 -4.038 -0.071 6 42 0.000

Jumlah 397



Lampiran 5. Lanjutan

Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Indeks Dominansi Ikan Karang Stasiun 3 kedalaman 10

NO Family Spesies

ni

H`

E

D

ni/N (pi) Ln (pi) pix ln pi H S H/lnS ni-1 ni(ni-1) N-1 N(N-1) ni(ni-1)/N(N-1) D

1 Scaridae Scarus schlegeli 13 0.033 -3.416 -0.112 3.003 32 0.866 12 156 395 156420 0.001 0.062

Scarus rivulatus 4 0.010 -4.595 -0.046 3 12 0.000

Chlorurus japanensis 16 0.040 -3.209 -0.130 15 240 0.002

2 Acanthuridae Zebrasoma scopas 20 0.051 -2.986 -0.151 19 380 0.002

Acanthurus blochii 40 0.101 -2.293 -0.232 39 1560 0.010

Acanthurus linneatus 25 0.063 -2.763 -0.174 24 600 0.004

Naso hexacanthus 50 0.126 -2.069 -0.261 49 2450 0.016

3 Siganidae Siganus doliatus 8 0.020 -3.902 -0.079 7 56 0.000

Siganus guttatus 18 0.045 -3.091 -0.141 17 306 0.002

Siganus virgatus 6 0.015 -4.190 -0.063 5 30 0.000

4 Casionidae Casio teres 37 0.093 -2.370 -0.221 36 1332 0.009

5 Lutjanidae Macolor macularis 7 0.018 -4.036 -0.071 6 42 0.000

6 Scorpaenidae Pterois volitans 4 0.010 -4.595 -0.046 3 12 0.000

7 Chaetodontidae Forcipiger longirostris 4 0.010 -4.595 -0.046 3 12 0.000

Chaetodon vagabundus 2 0.005 -5.288 -0.027 1 2 0.000

Hemitaurichkthyis polylepis 3 0.008 -4.883 -0.037 2 6 0.000

Chelmon rostratus 12 0.030 -3.497 -0.106 11 132 0.001

8 Serranidae Chepalopolis miniata 2 0.005 -5.288 -0.027 1 2 0.000

Chepalopolis urodeta 1 0.003 -5.981 -0.015 0 0 0.000

9 Balistidae Odonus niger 12 0.030 -3.497 -0.106 11 132 0.001

10 Pomachantidae Pomacanthus sextriatus 5 0.013 -4.372 -0.055 4 20 0.000

Pygoplites diacanthus 4 0.010 -4.595 -0.046 3 12 0.000

11 Haemulidae Plectorincus chaetodonoides 6 0.015 -4.190 -0.063 5 30 0.000

Plectorincus linneatus 2 0.005 -5.288 -0.027 1 2 0.000

12 Labridae Stethojulis strigiventer 25 0.063 -2.763 -0.174 24 600 0.004

Leptojulis polylepis 1 0.003 -5.981 -0.015 0 0 0.000

Labroides bicolor 3 0.008 -4.883 -0.037 2 6 0.000

Hologymnosus annulatus 2 0.005 -5.288 -0.027 1 2 0.000

13 Pomacentridae Abudefduf vaigiensis 20 0.051 -2.986 -0.151 19 380 0.002

Abudefduf abdominalis 35 0.088 -2.426 -0.214 34 1190 0.008

Pomacentrus coelestis 6 0.015 -4.190 -0.063 5 30 0.000

14 Carangidae Carangx ignobilis 3 0.008 -4.883 -0.037 2 6 0.000

Jumlah 396



Lampiran 5. Lanjutan

Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Indeks Dominansi Ikan Karang Stasiun 4 kedalaman 3

NO Family

Spesies

ni

H`

E

D

ni/N (pi) Ln (pi) pix ln pi H S H/lnS ni-1 ni(ni-1) N-1 N(N-1) ni(ni-1)/N(N-1) D

1 Scaridae Scarus schlegeli 6 0.023 -3.780 -0.086 3.021 27 0.917 5 30 262 68906 0.000 0.055

Scarus rivulatus 7 0.027 -3.626 -0.097 6 42 0.001

2 Acanthuridae Zebrasoma scopas 30 0.114 -2.171 -0.248 29 870 0.013

Zobrasoma flavescens 10 0.038 -3.270 -0.124 9 90 0.001

Acanthurus blochii 12 0.046 -3.087 -0.141 11 132 0.002

Acanthurus auranticavus 23 0.087 -2.437 -0.213 22 506 0.007

Acanthurus nigrofuscus 4 0.015 -4.186 -0.064 3 12 0.000

Naso hexacanthus 20 0.076 -2.576 -0.196 19 380 0.006

Naso unicornis 7 0.027 -3.626 -0.097 6 42 0.001

Naso lopezi 15 0.057 -2.864 -0.163 14 210 0.003

3 Zanclidae Zanclus cornutus 4 0.015 -4.186 -0.064 3 12 0.000

4 Siganidae Siganus guttatus 6 0.023 -3.780 -0.086 5 30 0.000

5 Casionidae Casio teres 3 0.011 -4.474 -0.051 2 6 0.000

6 Chaetodontidae Chelmon rostratus 18 0.068 -2.682 -0.184 17 306 0.004

Chaetodon vagabundus 16 0.061 -2.800 -0.170 15 240 0.003

Hemitaurichkthyis polylepis 7 0.027 -3.626 -0.097 6 42 0.001

7 Labridae Stethojulis strigiventer 2 0.008 -4.879 -0.037 1 2 0.000

Leptojulis polylepis 5 0.019 -3.963 -0.075 4 20 0.000

Labroides bicolor 8 0.030 -3.493 -0.106 7 56 0.001

Choerodon zosterphorus 12 0.046 -3.087 -0.141 11 132 0.002

8 Pomacentridae Abudefduf vaigiensis 5 0.019 -3.963 -0.075 4 20 0.000

Abudefduf sexfasciatus 17 0.065 -2.739 -0.177 16 272 0.004

Amblyglyphidodon curacao 2 0.008 -4.879 -0.037 1 2 0.000

Chromis flavipectoralis 1 0.004 -5.572 -0.021 0 0 0.000

Pomacentrus coelestis 18 0.068 -2.682 -0.184 17 306 0.004

9 Serranidae Chepalopolis urodeta 3 0.011 -4.474 -0.051 2 6 0.000

10 Carangidae Caranx melampigus 2 0.008 -4.879 -0.037 1 2 0.000

Jumlah 263



Lampiran 5. Lanjutan

Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Indeks Dominansi Ikan Karang Stasiun 4 kedalaman 10

NO Family

Spesies

ni

H` E D

ni/N (pi) Ln (pi) pix ln pi H S H/lnS ni-1 ni(ni-1) N-1 N(N-1) ni(ni-1)/N(N-1) D

1 Scaridae Scarus rivulatus 10 0.031 -3.484 -0.107 2.693 20 0.899 9 90 325 105950 0.001 0.083

Chlorurus japanensis 15 0.046 -3.079 -0.142 14 210 0.002

2 Acanthuridae Acanthurus linneatus 10 0.031 -3.484 -0.107 9 90 0.001

Acanthurus blochii 30 0.092 -2.386 -0.220 29 870 0.008

Naso hexacanthus 25 0.077 -2.568 -0.197 24 600 0.006

3 Balistidae Odonus niger 36 0.110 -2.203 -0.243 35 1260 0.012

4 Haemulidae Plectorincus lineatus 8 0.025 -3.707 -0.091 7 56 0.001

Plectorincus picus 4 0.012 -4.401 -0.054 3 12 0.000

Plectorincus orientalis 5 0.015 -4.177 -0.064 4 20 0.000

5 Chaetodontidae Forcipiger longirostris 20 0.061 -2.791 -0.171 19 380 0.004

Chaetodon vagabundus 13 0.040 -3.222 -0.128 12 156 0.001

Hemitaurichkthyis polylepis 15 0.046 -3.079 -0.142 14 210 0.002

6 Labridae Stethojulis strigiventer 17 0.052 -2.954 -0.154 16 272 0.003

Leptojulis polylepis 6 0.018 -3.995 -0.074 5 30 0.000

Hologymnosus annulatus 4 0.012 -4.401 -0.054 3 12 0.000

7 Pomacentridae Abudefduf abdominalis 18 0.055 -2.897 -0.160 17 306 0.003

Pomacentrus coelestis 23 0.071 -2.651 -0.187 22 506 0.005

8 Casionidae Casio cuning 61 0.187 -1.676 -0.314 60 3660 0.035

9 Lutjanidae Lutjanus rivulatus 2 0.006 -5.094 -0.031 1 2 0.000

Macolor macularis 4 0.012 -4.401 -0.054 3 12 0.000

326



Lampiran 6. Identifikasi Karang Keras di Lokasi Penelitian

ID : STASIUN I KEDALAMAN 3 METER ID :STASIUN I KEDALAMAN 10 METER

SITE NAME : DEPAN KMPNG KABITA SITE NAME : DEPAN KMPNG KABITA

LOCATION : PULAU KAPOTA LOCATION : PULAU KAPOTA

DATE : SABTU, 7/08/10 DATE : SABTU, 7/08/10

TIME : 08:53 WITA TIME : 08:53 WITA

LON X : 123°30.387' LON X : 123°30.387'

LAT Y : 05°20.101' LAT Y : 05°20.101'

Genus Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 T. Family total Genus Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 T. Family total

Acroporidae A. humilis 2 1 1 1 39 5 Acroporidae A. humilis 1 1 15 2

A. brueggemanni 1 2 3 A. gemmifera 1 1 2

A. gemmifera 1 2 1 4 A. palifera 1 1

A. palifera 1 1 A. fosbesi 1 1 2

A. fosbesi 1 1 1 3 A. aspera 1 1

A. aspera 2 1 1 4 A. vermiculata 1 1

A. subulata 1 1 M. danae 2 1 1 4

A. vermiculata 2 1 3 M. venosa 1 1

M. danae 1 1 1 3 As. gracilis 1 1

M. venosa 1 1 1 2 5 Agariciidae Pavona varians 1 1 1 4 3

As. myriophthalma 2 1 2 5 Pavona venosa 1 1

As. gracilis 1 1 2 Dendrophylliade Tubastrea faulkneri 1 1 3 2

Agariciidae Pavona varians 1 1 4 2 Turbinaria peltata 1 1

Pavona venosa 1 1 2 Euphylidae Physogyra lichtensteini 1 1 1

Dendrophylliade Tubastrea faulkneri 1 2 1 Faviidae Chypastrea serailia 1 11 1

Turbinaria mesenterina 1 1 Favia maxima 1 1 2 4

Euphylidae Physogyra lichtensteini 1 1 1 Favia rotumana 2 2 4

Faviidae Chypastrea chalcidicum 1 5 1 Leptastrea sp. 2 2

Favia maxima 1 1 Fungiidae Fungia repanda 1 1 1

Favia stelligera 1 1 Mussidae Lobophyllia hemprichii 1 1 1

Goniastrea favulus 1 1 2 Pectinidae oxipora lacera 1 1 2 2

Fungiidae Fungia paumotensis 1 1 1 6 3 Pocilloporidae Stylophora pistillata 1 1 1

Fungia repanda 2 1 3 Poritidae Goniopora columna 1 9 1

Mussidae Lobophyllia hemprichii 1 2 1 Porites solida 1 1 2

Symphyllia recta 1 1 Porites rugosa 1 1

Pectinidae P. lactua 1 1 1 porites nigrescens 1 1 1 2 5

Pocilloporidae Pocollopora verrucora 1 1 1 Total 6 8 8 8 5 6 7 48 48

Poritidae Goniopora columna 1 3 1 Kepadatan 1.5 2 2 2 1.25 1.5 1.75 1.7

Porites lobata 1 1

Porites rugosa 1 1

Total 9 9 10 8 9 9 10 64 64

Kepadatan 2.3 2.3 2.5 2.0 2.3 2.3 2.5 2.3



Lampiran 6. Lanjutan

ID : STASIUN II KEDALAMAN 3 METER ID : STASIUN II KEDALAMAN 10 METER

SITE NAME : DEPAN KMPNG PADANGKUKU SITE NAME : DEPAN KMPNG PADANGKUKU

LOCATION : PULAU KAPOTA LOCATION : PULAU KAPOTA

DATE : SABTU, 7/08/10 DATE : SABTU, 7/08/10

TIME : 09:55 WITA TIME : 09:55 WITA

LON X : 123°29.923' LON X : 123°29.923'

LAT Y : 05°19.930' LAT Y : 05°19.930'

Genus Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 T. Family Total Genus Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 T. Family Total

Acroporidae A. fosbesi 1 14 1 Acroporidae A. humilis 1 1 11 2

A. gemmifera 1 1 A. brueggemanni 1 1 2

A. palifera 1 1 2 A. gemmifera 1 1 2

A. vermiculata 3 3 A. subulata 1 1

M. nodosa 1 1 2 M. verruculosus 1 1 2

M. millepora 1 1 M. grisea 1 1

M. venosa 1 1 As. gracilis 1 1

As. myriophthalma 1 1 1 3 Agariciidae Pavona varians 1 1 1

Agariciidae Pavona varians 1 2 1 Faviidae Favia maxima 1 1 1 1 6 4

Pavona venosa 1 1 Diploastrea heliopora 1 1

Dendrophylliade Turbinaria mesenterina 1 1 1 Goniastrea favulus 1 1

Euphylidae Physogyra lichtensteini 1 1 2 2 Fungiidae Fungia paumotensis 1 1 1

Faviidae Chypastrea chalcidicum 2 8 2 Mussidae Symphyllia recta 1 1 1

Favia maxima 1 1 2 Pectinidae P. lactua 1 1 1

Favia stelligera 2 2 Pocilloporidae Pocillopora verrucora 1 3 1

Goniastrea favulus 1 1 2 Pocillopora Pistillata 2 2

Fungiidae Fungia paumotensis 1 5 1 Poritidae Porites cumulatus 1 2 6 3

Fungia repanda 1 1 2 4 Porites rugosa 1 1

Mussidae Lobophyllia hemprichii 1 1 4 2 Porites nigrescens 1 1

Symphyllia recta 1 1 2 Porites monticulosa 1 1

Pectinidae P. lactua 1 1 1 Siderastreiidae Coscinaraea columna 1 1 1

Pocilloporidae Pocollopora verrucora 1 1 2 2 Total 4 4 4 6 5 3 5 31 31

Poritidae Goniopora columna 1 2 11 3 Kepadatan 1 1 1 1.5 1.25 0.8 1.25 1.1

Porites lobata 1 2 3

Porites rugosa 1 1

Porites solida 1 1 2 4

Siderastreidae Psammocora haineana 1 1 1

Total 7 7 4 10 7 7 9 51 51

Kepadatan 1.8 1.8 1 2.5 1.8 1.8 2.3 1.8



Lampiran 6. Lanjutan

ID : STASIUN III KEDALAMAN 3 METER ID : STASIUN III KEDALAMAN 10 METER

SITE NAME : BLAKANG KP. KOLO SITE NAME : BLAKANG KP. KOLO

LOCATION : PULAU KAPOTA LOCATION : PULAU KAPOTA

DATE : SELASA, 10/08/10 DATE : SELASA, 10/08/10

TIME : 09:15 WITA TIME : 09:15 WITA

LON X : 123°27.478' LON X : 123°27.478'

LAT Y : 05°20.473' LAT Y : 05°20.473'

Genus Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 T. Family total Genus Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 T. Family Total

Acroporidae A. brueggemanni 1 1 13 2 Acroporidae A. brueggemanni 1 9 1

A. gemmifera 2 1 1 4 A. palifera 2 2

A. fosbesi 1 1 2 A. fosbesi 1 1

A. subulata 1 2 3 A. aspera 1 1

A. vermiculata 2 2 A. subulata 1 1

Agariciidae Pavona varians 2 3 2 M. venosa 1 1

Pavona venosa 1 1 As. myriophthalma 2 2

Faviidae Chypastrea chalcidicum 1 3 53 4 Agariciidae Pavona varians 1 3 1

Favia maxima 5 6 2 13 Pavona venosa 1 1 2

Favia stelligera 4 6 2 7 19 Dendrophylliade Tubastrea faulkneri 1 2 1

Goniastrea favulus 4 1 6 3 14 Turbinaria mesenterina 1 1

Leptoria irregularis 1 2 3 Euphylidae Leptoseris yabei 2 2 2

Mussidae Lobophyllia hemprichii 1 1 1 Faviidae Chypastrea chalcidicum 2 17 2

Poritidae Goniopora columna 2 4 12 6 Favia maxima 5 3 8

Porites lobata 1 1 2 4 Favia stelligera 3 3

Porites rugosa 1 1 2 Goniastrea favulus 4 4

Total 15 7 13 9 15 10 13 82 82 Fungiidae Fungia paumotensis 1 1 2 2

Kepadatan 3.8 1.8 3.3 2.3 3.8 2.5 3.3 2.9 Mussidae Lobophyllia hemprichii 1 1 1

Pectinidae P. lactua 1 1 1

Pocilloporidae Pocollopora verrucora 1 1 1

Poritidae Goniopora columna 1 6 1

Porites lobata 1 1 2

Porites rugosa 1 2 3

Total 7 11 4 5 4 5 8 44 44

Kepadatan 1.75 2.75 1 1.25 1 1.25 2 1.6



Lampiran 6. Lanjutan

ID : STASIUN IV KEDALAMAN 3 METER ID : STASIUN IV KEDALAMAN 10 METER

SITE NAME : DEPAN TANJUNG KAPOTA SITE NAME : DEPAN TANJUNG KAPOTA

LOCATION : PULAU KAPOTA LOCATION : PULAU KAPOTA

DATE : SELASA, 10/08/10 DATE : SELASA, 10/08/10

TIME : 09:15 WITA TIME : 09:15 WITA

LON X : 123°27.917' LON X : 123°27.917'

LAT Y : 05°19.755' LAT Y : 05°19.755'

Genus Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 T. Family Total Genus Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 T. Family Total

Acroporidae A. fosbesi 2 1 2 19 5 Acroporidae A. palifera 1 1 14 2

A. gemmifera 1 1 2 A. fosbesi 2 2

A. palifera 2 1 1 4 A. aspera 2 2

A. vermiculata 1 1 2 A. subulata 1 1 2

M. nodosa 1 1 M. danae 1 1 2

M. millepora 1 1 M. venosa 1 1 2

M. venosa 1 1 1 3 As. myriophthalma 1 1 2

As. myriophthalma 1 1 Agariciidae Pavona varians 1 2 1

Agariciidae Pavona varians 1 4 1 Pavona venosa 1 1

Pavona venosa 2 1 3 Euphylidae Leptoseris yabei 1 1 1

DendrophylliadeTurbinaria mesenterina 1 1 1 Faviidae Chypastrea chalcidicum 1 1 1 22 3

Euphylidae Physogyra lichtensteini 1 1 1 Favia maxima 3 2 1 6

Faviidae Chypastrea chalcidicum 2 1 2 32 5 Favia stelligera 2 5 1 2 10

Favia maxima 4 3 5 12 Leptoria irregularis 1 1 2

Favia stelligera 2 3 1 1 7 Goniastrea favulus 1 1

Goniastrea favulus 2 2 4 8 Fungiidae Fungia paumotensis 1 1 1

Fungiidae Fungia paumotensis 2 1 5 3 Mussidae Lobophyllia hemprichii 1 1 1

Fungia repanda 1 1 2 Pocilloporidae Pocollopora verrucora 1 1 1

Mussidae Lobophyllia hemprichii 1 2 1 Poritidae Goniopora columna 1 1 7 2

Symphyllia recta 1 1 Porites lobata 1 1 2

Pectinidae P. lactua 1 1 1 Porites rugosa 1 2 3

Pocilloporidae Pocollopora verrucora 1 1 1 Total 11 8 5 7 4 9 5 49 49

Poritidae Goniopora columna 1 18 1 kepadatan 2.75 2 1.3 1.75 1 2.25 1.3 1.75

Porites lobata 2 1 1 1 5

Porites rugosa 3 3

Porites solida 1 1

Porites comulatus 2 3 1 2 8

Siderastreidae Psammocora haineana 1 1 1

Total 19 15 16 10 11 8 6 85 85

Kepadatan 4.8 3.8 4 2.5 2.8 2 1.5 3.0



Lampiran 7. Identifikasi Megabenthos di Lokasi Penelitian

STASIUN I KEDALAMAN 3 METER

STASIUN III KEDALAMAN 3 METER

Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 Jumlah Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 Jumlah

Linckia 2 2 1 1 6 Diadema setosum 2 1 3

Diadema setosum 2 1 3 Small clams 3 1 4

Small clams 2 1 4 7 Jumlah 0 3 2 0 1 0 1 7

Jumlah 2 4 2 1 2 1 4 16

STASIUN I KEDALAMAN 10 METER

STASIUN III KEDALAMAN 10 METER

Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 Jumlah Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 Jumlah

Linckia 2 2 Large Holothuroidea 1 1

Protoreaster nudosus 1 1 Jumlah 0 0 0 0 1 0 0 1

Large Holothuroidea 1 1

Small clams 1 1

Jumlah 1 1 2 0 0 1 0 5

STASIUN II KEDALAMAN 3 METER

STASIUN IV KEDALAMAN 3 METER

Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 Jumlah Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 Jumlah

Trochus niloticus 1 1 Linckia 1 1

Protoreaster nudosus 1 1 Diadema setosum 1 1

Small clams 2 1 3 Small clams 1 1

Jumlah 1 2 1 0 1 0 0 5 Jumlah 0 1 1 0 0 1 0 3

STASIUN II KEDALAMAN 10 METER

STASIUN IV KEDALAMAN 10 METER

Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 Jumlah Jenis U 1 U 2 U 3 U 4 U 5 U 6 U 7 Jumlah

Large clams 1 1 Small clams 1 1

Jumlah 0 0 1 0 0 0 0 1 Jumlah 0 1 0 0 0 0 0 1





Lampiran 8. Hasil Analisis Two Way ANOVA

1. Jumlah Jenis Karang Keras

Descriptive Statistics

Stasiun

1

2

3

4

Total

Kedalama

n

Mean Std. Deviation N

3 7.8571 .89974 7

10 6.0000 1.29099 7

Total 6.9286 1.43925 14

3 6.1429 1.21499 7

10 4.1429 .89974 7

Total 5.1429 1.46009 14

3 5.0000 1.41421 7

10 4.0000 1.63299 7

Total 4.5000 1.55662 14

3 7.7143 2.98408 7

10 5.2857 2.05866 7

Total 6.5000 2.76656 14

3 6.6786 2.09149 28

10 4.8571 1.67142 28

Total 5.7679 2.08885 56

Levene's Test of Equality of Error Variances a

F df1 df2 Sig.

5.774 7 48 .000

Tests the null hypothesis that the error variance of the

dependent variable is equal across groups.

a. Design: Intercept + Stasiun + Kedalaman

Source

Tests of Between-Subjects Effects

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 100.786 a 4 25.196 9.232 .000

Intercept 1863.018 1 1863.018 682.589 .000

Stasiun 54.339 3 18.113 6.636 .001

Kedalaman 46.446 1 46.446 17.017 .000

Error 139.196 51 2.729

Total 2103.000 56

Corrected Total 239.982 55

a. R Squared = .420 (Adjusted R Squared = .374)

Estimated Marginal Means

1. Stasiun

Stasiun Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

1 6.929 .442 6.042 7.815

2 5.143 .442 4.256 6.029

3 4.500 .442 3.614 5.386

4 6.500 .442 5.614 7.386

2. Kedalaman

Kedalaman Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

3 6.679 .312 6.052 7.305

10 4.857 .312 4.230 5.484


Lampiran 4. Lanjutan…

2. Kepadatan Karang Keras

Descriptive Statistics

Stasiun Kedalaman Mean

1

2

3

4

Total

Std.

Deviation

3 2.3143 .16762 7

10 1.7286 .29277 7

Total 2.0214 .38064 14

3 1.8571 .47559 7

10 1.1286 .24300 7

Total 1.4929 .52399 14

3 2.9714 .77828 7

10 1.6000 .65064 7

Total 2.2857 .99062 14

3 3.0571 1.18301 7

10 1.7857 .63621 7

Total 2.4214 1.12604 14

3 2.5500 .86816 28

10 1.5607 .53426 28

Total 2.0554 .87135 56

N

Levene's Test of Equality of Error Variances a

F df1 df2 Sig.

4.487 7 48 .001

Tests the null hypothesis that the error variance of the

dependent variable is equal across groups.

a. Design: Intercept + Stasiun + Kedalaman

Source

Type III Sum of

Squares

Tests of Between-Subjects Effects

df Mean Square F Sig.

Corrected Model 20.766 a 4 5.192 12.613 .000

Intercept 236.572 1 236.572 574.751 .000

Stasiun 7.065 3 2.355 5.721 .002

Kedalaman 13.702 1 13.702 33.288 .000

Error 20.992 51 .412

Total 278.330 56

Corrected Total 41.758 55

a. R Squared = .497 (Adjusted R Squared = .458)

Estimated Marginal Means

1. Stasiun

Stasiun Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

1 2.021 .171 1.677 2.366

2 1.493 .171 1.149 1.837

3 2.286 .171 1.941 2.630

4 2.421 .171 2.077 2.766

2. Kedalaman

Kedalaman Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

3 2.550 .121 2.307 2.793

10 1.561 .121 1.317 1.804


Lampiran 8. Lanjutan

3. Jumlah Jenis Megabentos

Descriptive Statistics

Stasiun Kedalaman Mean Std. Deviation N

3 1.2857 .48795 7

1 10 .5714 .53452 7

Total .9286 .61573 14

3 .5714 .53452 7

2 10 .1429 .37796 7

Total .3571 .49725 14

3 .5714 .53452 7

3 10 .1429 .37796 7

Total .3571 .49725 14

3 .4286 .53452 7

4 10 .1429 .37796 7

Total .2857 .46881 14

3 .7143 .59982 28

Total 10 .2500 .44096 28

Total .4821 .57179 56

Levene's Test of Equality of Error Variances a

F df1 df2 Sig.

2.316 7 48 .041

Tests the null hypothesis that the error variance of

the dependent variable is equal across groups.

a. Design: Intercept + Stasiun + Kedalaman

Source

Type III Sum of

Squares

Tests of Between-Subjects Effects

df Mean Square F Sig.

Corrected Model 6.786 a 4 1.696 7.727 .000

Intercept 13.018 1 13.018 59.297 .000

Stasiun 3.768 3 1.256 5.721 .002

Kedalaman 3.018 1 3.018 13.746 .001

Error 11.196 51 .220

Total 31.000 56

Corrected Total 17.982 55

a. R Squared = .377 (Adjusted R Squared = .329)

Estimated Marginal Means

1. Stasiun

Stasiun Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

1 .929 .125 .677 1.180

2 .357 .125 .106 .609

3 .357 .125 .106 .609

4 .286 .125 .034 .537

2. Kedalaman

Kedalaman Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

3 .714 .089 .537 .892

10 .250 .089 .072 .428


Lampiran 8. Lanjutan…

4. Kepadatan Karang Keras

Descriptive Statistics

Stasiun Kedalaman Mean

1

2

3

4

Total

Std.

Deviation

3 .5714 .31339 7

10 .1786 .18898 7

Total .3750 .32150 14

3 .1429 .13363 7

10 .0357 .09449 7

Total .0893 .12431 14

3 .2500 .28868 7

10 .0357 .09449 7

Total .1429 .23440 14

3 .1071 .13363 7

10 .0357 .09449 7

Total .0714 .11720 14

3 .2679 .28810 28

10 .0714 .13363 28

Total .1696 .24359 56

N

Levene's Test of Equality of Error Variances a

F df1 df2 Sig.

2.159 7 48 .055

Tests the null hypothesis that the error variance of

the dependent variable is equal across groups.

a. Design: Intercept + Stasiun + Kedalaman

Source

Type III Sum of

Squares

Tests of Between-Subjects Effects

df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.366 a 4 .342 9.180 .000

Intercept 1.612 1 1.612 43.320 .000

Stasiun .826 3 .275 7.400 .000

Kedalaman .540 1 .540 14.520 .000

Error 1.897 51 .037

Total 4.875 56

Corrected Total 3.263 55

a. R Squared = .419 (Adjusted R Squared = .373)

Estimated Marginal Means

1. Stasiun

Stasiun Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

1 .375 .052 .272 .478

2 .089 .052 -.014 .193

3 .143 .052 .039 .246

4 .071 .052 -.032 .175

2. Kedalaman

Kedalaman Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

3 .268 .036 .195 .341

10 .071 .036 -.002 .145


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rumajuk pada tanggal 11 September

1987. Anak sulung dari empat bersaudara. Buah Hati dari

pasangan Makmur S.Pd. dan Irawati. Penulis mengawali

pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1

Sidondo, Sulawesi Tengah tahun 1993–1999, kemudian

melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama (SLTP) Negeri 1 Bajo, Kab. Luwu tahun 1999–

2002, dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 3

Palopo, tahun 2002–2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Universitas

Hasanuddin melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada

Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan dan mengambil

konsentrasi Eksplorasi Sumber Daya Hayati Laut.

Selama kuliah Penulis pernah menjadi pengurus SEMA Kelautan Unhas

dan menjabat sebagai Senator pada periode 2007–2008. Penulis juga telah

bergabung pada Lembaga Semi Otonom Marine Science Diving Club (MSDC)

Unhas dan menjabat sebagai Koordinator Divisi Litbang pada periode 2008-

2009. Penulis pernah menjadi Asisten Dosen pada mata kuliah Coralogy dan

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Penulis adalah salah

seorang pendiri Komunitas Pecinta Alam Kelautan (Setapak 22) dan menjadi

koordinator pelaksana Launching Setapak 22.

Penulis menyelesaikan rangkaian tugas akhir, yaitu Kuliah Kerja Nyata

(KKN) Reguler Angkatan Khusus di Desa Karrang, Kecamatan Cendana,

Kabupaten Enrekang pada tahun 2009, Praktek Kerja Lapang di Dinas Kelautan

dan Perikanan (DKP) Kab. Wakatobi Program Coremap II tahun 2010 dengan

judul “Monitoring Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Desa Kapota Utara

Kecamatan Wangi-wangi Selatan, kemudian melakukan penelitian untuk

penyelesaian tugas akhir di Jurusan Ilmu Kelautan dengan judul “Studi Kondisi

Biofisik Ekosistem Terumbu Karang dan Strategi Pengelolaannya (Studi Kasus

Pulau Kapota, Kab. Wakatobi”.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!