Sriwijaya Maret 2018

Majalah resmi maskapai Sriwijaya Air dan NAM Air edisi bulan Maret 2018 Majalah resmi maskapai Sriwijaya Air dan NAM Air edisi bulan Maret 2018

28.02.2018 Views

58 JOURNEY sUAKA MARGASATWA Rimbang Baling memiliki luas 130.000 Ha dengan wilayah berada di dua Kabupaten, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuantan Singingi. Sebagai rumah dari harimau sumatera, kucing hutan, bunga bangkai, dan berbagai flora fauna yang unik, di dalam kawasan suaka margasatwa terdapat 12 desa. Sebelum penetapan kawasan Rimbang Baling menjadi kawasan suaka margasatwa. Dua belas desa ini sejak ratusan tahun yang lalu sudah ada. Bahkan di dalam catatan perjalanan Thomas Diazs, seorang utusan VOC (perusahaan dagang Hindia Belanda) menuju Kerajaan Pagar Ruyung, pada tahun 1684, cerita mengenai desa-desa ini sudah ada. “Bang foto, bang foto,” teriak anak-anak yang bermain di tepi sungai saat melihat perahu kami melewati mereka. Sungai Subayang sore itu sangat jernih. Sudah satu minggu tidak turun hujan di hulu sungai, akibatnya, batu-batu yang berada di dasar dapat terlihat dengan jelas dari atas. Perahu yang ditumpangi delapan orang baru saja melewati desa bernama Tanjung Belit, desa terakhir sebelum masuk ke dalam Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Lanskap perbukitan dengan hutan rimba serta sungai yang sedikit berjeram menemani perjalanan kami. Beberapa kali baling-baling mesin perahu yang kami tumpangi tersangkut batu. “Beban kita berat,” ujar Datuk Marlan yang memegang kemudi perahu, menyengir lebar ke arah saya. Perjalanan ini istimewa, seorang pemimpin adat menjemput kami. Dua puluh menit dari Desa Tanjung Belit, perahu atau dalam bahasa lokalnya disebut piau melewati desa Muara Bio. Muara Bio adalah percabangan dari sungai Subayang dan sungai Bio. Saat kerajaan Gunung Sahilan masih memerintah di Kampar Kiri, Muara Bio merupakan tempat dimana sumpah sote/ sumpah adat masyarakat Kampar Kiri berlangsung. Dari desa Muaro Bio, jika perahu diarahkan ke kiri, kita melewati sungai Subayang dan masuk kedalam zona inti Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Terdapat enam desa di dalam zona inti kawasan. A B C D E Pagi hari di desa Koto Lamo, Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Sungai Bio dan sungai Subayang menjadi urat nadi transportasi bagi desa desa yang berada di dalam Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Perahu ditepian sungai Subayang, di desa Tanjung Belit, Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Batu belah, yang dipercaya dibelah oleh panglima kerajaan Majapahit yang mencari Putri Lindung Bulan. Monyet di tepi sungai Subayang, Cagar Alam Rimbang Baling, Provinsi Riau. Hulu dari sungai adalah desa Pangkalan Serai, Kabupaten Kampar, desa ini berbatas langsung dengan Kabupaten Lima Puluh Koto, Provinsi Sumatera Barat. BATU BELAH Diantara enam desa di jalur Sungai Subayang, Batu Songgan merupakan salah satu diantaranya. Terdapat legenda menarik di Batu Songgan. Jika kita menuju ke bagian hulu desa, kurang lebih lima belas menit berperahu, terdapat batu berukuran besar. Jika Sungai Subayang sedang surut, wujud batu terlihat dengan jelas. Batu besar ini seolah-olah dipotong dengan mesin pemotong berukuran raksasa. EDISI 85 | MARET 2018 |

JOURNEY 59 Di dalam legenda masyarakat Batu Songgan, batu ini disebut Batu Belah. Batu Belah dipotong oleh seorang bagak/pemberani yang berasal dari tanah Jawa. Legenda ini berhubungan D erat dengan cerita Putri Lindung Bulan, seorang putri cantik yang ingin dipersunting oleh seorang raja dari Kerajaan Majapahit. Batu belah merupakan wujud kekesalan dari panglima perang kerajaan yang tidak bisa menemukan keberadaan putri Lindung Bulan. Sang putri sudah disembunyikan terlebih dahulu oleh masyarakat Kampar Kiri. Karena tidak menemukan sang Putri, panglima kerajaan Majapahit memotong batu belah dengan menggunakan pedang. Pada bagian belakang batu belah, terdapat bukit dengan air terjun sebanyak tujuh tingkat. B E TRIP GUIDE C Sriwijaya Air layani penerbangan dari/ke Padang melalui Jakarta dan Medan. | EDISI 85 | MARET 2018

58<br />

JOURNEY<br />

sUAKA MARGASATWA Rimbang Baling<br />

memiliki luas 130.000 Ha dengan<br />

wilayah berada di dua Kabupaten,<br />

Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuantan<br />

Singingi. Sebagai rumah dari harimau<br />

sumatera, kucing hutan, bunga bangkai,<br />

dan berbagai flora fauna yang unik, di dalam<br />

kawasan suaka margasatwa terdapat 12<br />

desa. Sebelum penetapan kawasan Rimbang<br />

Baling menjadi kawasan suaka margasatwa.<br />

Dua belas desa ini sejak ratusan tahun yang<br />

lalu sudah ada. Bahkan di dalam catatan<br />

perjalanan Thomas Diazs, seorang utusan VOC<br />

(perusahaan dagang Hindia Belanda) menuju<br />

Kerajaan Pagar Ruyung, pada tahun 1684,<br />

cerita mengenai desa-desa ini sudah ada.<br />

“Bang foto, bang foto,” teriak anak-anak yang<br />

bermain di tepi sungai saat melihat perahu kami<br />

melewati mereka. Sungai Subayang sore itu<br />

sangat jernih. Sudah satu minggu tidak turun<br />

hujan di hulu sungai, akibatnya, batu-batu yang<br />

berada di dasar dapat terlihat dengan jelas dari<br />

atas. Perahu yang ditumpangi delapan orang<br />

baru saja melewati desa bernama Tanjung Belit,<br />

desa terakhir sebelum masuk ke dalam Suaka<br />

Margasatwa Rimbang Baling.<br />

Lanskap perbukitan dengan hutan rimba<br />

serta sungai yang sedikit berjeram menemani<br />

perjalanan kami. Beberapa kali baling-baling<br />

mesin perahu yang kami tumpangi tersangkut<br />

batu. “Beban kita berat,” ujar Datuk Marlan<br />

yang memegang kemudi perahu, menyengir<br />

lebar ke arah saya. Perjalanan ini istimewa,<br />

seorang pemimpin adat menjemput kami.<br />

Dua puluh menit dari Desa Tanjung Belit,<br />

perahu atau dalam bahasa lokalnya disebut<br />

piau melewati desa Muara Bio. Muara Bio<br />

adalah percabangan dari sungai Subayang<br />

dan sungai Bio. Saat kerajaan Gunung Sahilan<br />

masih memerintah di Kampar Kiri, Muara<br />

Bio merupakan tempat dimana sumpah<br />

sote/ sumpah adat masyarakat Kampar Kiri<br />

berlangsung. Dari desa Muaro Bio, jika<br />

perahu diarahkan ke kiri, kita melewati sungai<br />

Subayang dan masuk kedalam zona inti Suaka<br />

Margasatwa Rimbang Baling. Terdapat enam<br />

desa di dalam zona inti kawasan.<br />

A<br />

B<br />

C<br />

D<br />

E<br />

Pagi hari di desa Koto Lamo,<br />

Kampar Kiri, Kabupaten<br />

Kampar, Provinsi Riau.<br />

Sungai Bio dan sungai<br />

Subayang menjadi urat<br />

nadi transportasi bagi<br />

desa desa yang berada di<br />

dalam Suaka Margasatwa<br />

Rimbang Baling.<br />

Perahu ditepian sungai<br />

Subayang, di desa<br />

Tanjung Belit, Kampar Kiri,<br />

Kabupaten Kampar,<br />

Provinsi Riau.<br />

Batu belah, yang<br />

dipercaya dibelah oleh<br />

panglima kerajaan<br />

Majapahit yang mencari<br />

Putri Lindung Bulan.<br />

Monyet di tepi sungai<br />

Subayang, Cagar<br />

Alam Rimbang Baling,<br />

Provinsi Riau.<br />

Hulu dari sungai adalah desa Pangkalan<br />

Serai, Kabupaten Kampar, desa ini<br />

berbatas langsung dengan Kabupaten<br />

Lima Puluh Koto, Provinsi Sumatera Barat.<br />

BATU BELAH<br />

Diantara enam desa di jalur Sungai<br />

Subayang, Batu Songgan merupakan<br />

salah satu diantaranya. Terdapat legenda<br />

menarik di Batu Songgan. Jika kita<br />

menuju ke bagian hulu desa, kurang<br />

lebih lima belas menit berperahu,<br />

terdapat batu berukuran besar. Jika<br />

Sungai Subayang sedang surut, wujud<br />

batu terlihat dengan jelas. Batu besar<br />

ini seolah-olah dipotong dengan mesin<br />

pemotong berukuran raksasa.<br />

EDISI 85 | MARET <strong>2018</strong> |

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!