STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS GOOD GOVERNANCE DAN GOOD EDUCATION DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

17.01.2018 Views

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN LAPORAN AKHIR STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS GOOD GOVERNANCE DAN GOOD EDUCATION DI PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2016

BA<strong>DAN</strong> PENELITIAN <strong>DAN</strong> PENGEMBANGAN DAERAH<br />

<strong>PROVINSI</strong> <strong>SULAWESI</strong> <strong>SELATAN</strong><br />

LAPORAN AKHIR<br />

<strong>STRATEGI</strong> <strong>PENANGGULANGAN</strong> <strong>KEMISKINAN</strong><br />

<strong>BERBASIS</strong> <strong>GOOD</strong> <strong>GOVERNANCE</strong> <strong>DAN</strong> <strong>GOOD</strong> <strong>EDUCATION</strong><br />

<strong>DI</strong> <strong>PROVINSI</strong> <strong>SULAWESI</strong> <strong>SELATAN</strong><br />

TAHUN 2016


<strong>STRATEGI</strong> <strong>PENANGGULANGAN</strong> <strong>KEMISKINAN</strong><br />

<strong>BERBASIS</strong> <strong>GOOD</strong> <strong>GOVERNANCE</strong> <strong>DAN</strong> <strong>GOOD</strong> <strong>EDUCATION</strong><br />

<strong>DI</strong> <strong>PROVINSI</strong> <strong>SULAWESI</strong> <strong>SELATAN</strong><br />

Tim Peneliti :<br />

- Dr. Ilham Tajuddin, SE., MSi. (Ketua)<br />

- Dr. Ir. Musdalifah Machmud, MSi. (Anggota)<br />

- Ir. Paul Abd. Aziz Gunadi, MP. (Anggota)<br />

- Ir. Awaluddin Yunus, MPd. (Anggota)<br />

Diterbitkan oleh :<br />

BA<strong>DAN</strong> PENELITIAN <strong>DAN</strong> PENGEMBANGAN DAERAH<br />

(BALITBANGDA)<br />

<strong>PROVINSI</strong> <strong>SULAWESI</strong> <strong>SELATAN</strong><br />

Cetakan Pertama, Maret 2016<br />

Hak Cipta @ 2016<br />

Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda)<br />

Provinsi Sulawesi Selatan<br />

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang<br />

Dilarang mengutip atau menyebarkan sebagian<br />

Atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit<br />

ISBN :


KATA PENGANTAR<br />

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT.<br />

karena atas Rahmat dan HidayahNya sehingga Penelitian<br />

Strategi Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Good<br />

Governance dan Good Education di Provinsi Sulawesi Selatan<br />

dapat terlaksana.<br />

Masalah kemiskinan merupakan masalah serius yang<br />

harus diminimalisasi atau bahkan bila memungkinkan<br />

dihilangkan. Upaya dan strategi penanggulangan kemiskinan<br />

yang lebih komprehensif ke depan sangat dibutuhkan dalam<br />

rangka meningkatkan taraf kehidupan masyarakat khususnya di<br />

wilayah perdesaan Provinsi Sulawesi Selatan.<br />

Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka dilakukan<br />

Penelitian Strategi Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Good<br />

Governance dan Good Education di Provinsi Sulawesi Selatan,<br />

dengan maksud untuk mengetahui efektivitas program<br />

penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan serta<br />

merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan berbasis<br />

good governance dan good education melalui analisis distribusi<br />

pendapatan dan identifikasi jumlah penduduk miskin<br />

berdasarkan Indeks Kemiskinan Manusia.<br />

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah<br />

satu bahan masukan dalam pengambilan kebijakan<br />

penanggulangan kemiskinan di wilayah Provinsi Sulawesi<br />

Selatan yang berbasis good governance dan good education.<br />

Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan<br />

membantu dalam penyusunan Laporan Akhir ini diucapkan<br />

terima kasih.<br />

Makassar, Maret 2016<br />

Ketua Tim Pelaksana<br />

Dr. Ilham Tajuddin, SE., MSi.


ABSTRAK<br />

Dr. Ilham Tajuddin, SE., MSi., Dr. Ir. Musdalifah<br />

Machmud, MSi., Ir. Paul Abd. Aziz Gunadi, Ir. Awaluddin<br />

Yunus, MPd., 2016. Strategi Penanggulangan Kemiskinan<br />

Berbasis Good Governance dan Good Education di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan.<br />

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis distribusi<br />

pendapatan rumahtangga, mengidentifikasi jumlah penduduk<br />

miskin wilayah kabupaten/kota berdasarkan Indeks Kemiskinan<br />

Manusia dan merumuskan strategi penanggulangan<br />

kemiskinan berbasis good governance dan good education di<br />

wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Populasi dalam penelitian ini<br />

adalah seluruh masyarakat di Sulawesi Selatan. Penarikan<br />

sampel dengan menggunakan teknik Stratified Random<br />

Sampling, dengan area sampling di Kabupaten Jeneponto,<br />

Pangkep dan Toraja Utara. Jumlah responden sebanyak 152<br />

orang.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah<br />

kuesioner dan wawancara individual. Sedangkan model analisis<br />

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis<br />

deskriptif kualitatif.<br />

Hasil penelitian menunjukkan: 1) Distribusi pendapatan<br />

masyarakat yang tergolong miskin di Provinsi Sulawesi Selatan<br />

sebagian besar berpendapatan antara Rp 501.000 hingga Rp.<br />

750.000 per bulannya. Distribusi pendapatan rumah tangga<br />

miskin tersebut cukup merata tetapi kemerataan pendapatan<br />

terjadi pada golongan rumahtangga yang berpendapatan<br />

rendah. Sedang berdasarkan analisis data PDRB<br />

kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan diperoleh distribusi<br />

pendapatan di Kabupaten Jeneponto, Pangkep dan Toraja<br />

Utara dengan nilai ketimpangan masing-masing sebesar<br />

0,4645, 0,3279 dan 0,2616. Penggunaan analisis Indeks<br />

Entropi Theil menunjukkan bahwa ketimpangan tertinggi terjadi<br />

di Kabupaten Jeneponto (0,0264) diikuti Kabupaten Pangkep<br />

(0,0188) dan Kabupaten Toraja Utara (0,0153), 2) Sebagian<br />

besar penduduk miskin di Sulawesi Selatan belum dapat<br />

memenuhi kebutuhan dasarnya. Belum terpenuhinya


kebutuhan dasar sebagian besar penduduk miskin tersebut<br />

disebabkan oleh kondisi ekonomi rumah tangga (tingkat<br />

pendapatan) yang rendah untuk menjangkau sarana<br />

pendidikan, kesehatan, air dan pemenuhan gizi untuk balita, 3)<br />

Strategi penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan good<br />

governance yaitu pemberdayaan kelembagaan pemerintah<br />

yang lebih diprioritaskan pada pelayanan publik dan penguatan<br />

serta pengembangan kelembagaan seperti : a) penguatan<br />

kelembagaan pemerintah daerah, b) peningkatan kerjasama<br />

antar pemerintah daerah, c) pemberdayaan aparatur<br />

pemerintah daerah, d) peningkatan kualitas pelayanan publik,<br />

e) penelitian, pengkajian dan pengembangan, f)<br />

pengembangan perencanaan pembangunan daerah, g)<br />

pemberdayaan pengawasan. Sedangkan pendekatan good<br />

education dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan<br />

dan pengembangan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu :<br />

a) peningkatan layanan pendidikan yang baik dan bermutu<br />

utamanya bagi penduduk yang menghadapi hambatan ekonomi<br />

dan sosial budaya yaitu penduduk miskin, memiliki hambatan<br />

geografis, daerah perbatasan dan daerah terpencil, b)<br />

peningkatan wajib belajar 9 tahun menjadi wajib belajar 12<br />

tahun, c) peningkatan pemerataan pendidikan melalui program<br />

pendidikan gratis dan perluasan akses pendidikan utamanya<br />

pendidikan dasar, d) peningkatan kualitas pendidikan melalui<br />

penambahan sarana dan prasarana belajar, e) peningkatan<br />

ilmu pengetahuan dan teknologi tenaga pendidik melalui<br />

pendidikan lanjutan, diklat dan pemenuhan sarana/prasarana<br />

pendidikan, f) pemenuhan kebutuhan dasar lainnya yang<br />

menunjang sektor pendidikan seperti peningkatan pelayanan<br />

kesehatan, perbaikan infrastruktur jalan desa dan peningkatan<br />

pendapatan usaha rumah tangga (pemberian kredit lunak,<br />

pemberian benih komoditas unggulan dan penyuluhan<br />

pertanian).


ABSTRAC<br />

Dr. Ilham Tajuddin, SE., MSi., Dr. Ir. Musdalifah<br />

Machmud, MSi., Ir. Paul Abd. Aziz Gunadi, Ir. Awaluddin<br />

Yunus, MPd., 2016 Poverty Reduction Strategy Based Good<br />

Governance and Education in South Sulawesi province.<br />

The purpose of this study was to analyze the distribution<br />

of household income, identifying the number of poor<br />

districts/cities by the Human Poverty Index and formulate<br />

poverty reduction strategies based on good governance and<br />

good education in the province of South Sulawesi. The<br />

population in this study are all the people in South Sulawesi.<br />

Sampling using Stratified Random Sampling technique, the<br />

sampling area in Jeneponto, Pangkep and North Toraja. Total<br />

respondents are 152 people. Collecting data technique used<br />

were questionnaires and individual interviews. While the model<br />

of data analysis used in this research is qualitative descriptive<br />

analysis.<br />

The results showed: 1) distribution of income of the<br />

people who are poor in the province of South Sulawesi largely<br />

income of between Rp. 501,000 to Rp. 750,000 per month.<br />

Distribution of poor households' income is quite uneven but<br />

evenness household income occurred in low-income groups.<br />

Being based on the GDP data analysis regency/city in South<br />

Sulawesi Province obtained the distribution of income in<br />

Jeneponto, Pangkep and North Toraja with inequality value<br />

respectively 0.4645, 0.3279 and 0.2616. The use of entropy<br />

theil index analysis shows that inequality was highest in<br />

Jeneponto (0.0264) followed Pangkep (0.0188) and North<br />

Toraja Regency (0.0153), 2) most of the poor people in South<br />

Sulawesi has not been able to meet their basic needs. The<br />

unmet basic needs of the majority of poor people was caused<br />

by the economic conditions of households (income) is low for<br />

reaching means of education, health, water and nutrition for<br />

infants, 3) strategies to reduce poverty through an approach of<br />

good governance: empowerment of government agencies more<br />

prioritized on public services and the strengthening and<br />

institutional development such as: a) institutional strengthening<br />

of local government, b) increasing cooperation among regional<br />

governments, c) empowerment of local government officials, d)<br />

improving the quality of public services, e) research,


assessment and development, f) development and regional<br />

planning, g) the empowerment of oversight. While the approach<br />

of good education is done through improving the quality of<br />

education and development of science, namely: a) improving<br />

good education and quality especially for people facing<br />

economic and social constraints of culture, ie the poor, has a<br />

geographical barriers, border areas and remote areas, b) the<br />

increase in compulsory 9 years as a compulsory 12 years, c) an<br />

increase in equity of education through a program of free<br />

education and expanding access to education primary basic<br />

education, d) improving the quality of education through the<br />

addition of facilities and infrastructure, e) enhancement of<br />

science and technology personnel educators through continuing<br />

education, training and meeting facilities/infrastructure of<br />

education, f) the fulfillment of other basic needs that support the<br />

education sector such as improved health care, infrastructure<br />

repair rural roads and the growth of operating income<br />

household (granting soft loans, provision of seeds leading<br />

commodity and agricultural extension ).


DAFTAR ISI<br />

SUSUNAN TIM PENELITI<br />

KATA PENGANTAR .......................................... i<br />

ABSTRAK ................................................................ ii<br />

ABSTRACT ................................................................<br />

DAFTAR ISI ................................................................<br />

DAFTAR TABEL ..................................................... viii<br />

DAFTAR GAMBAR .....................................................<br />

BAB I. PENDAHULUAN ........................................... 1<br />

A. Latar Belakang ................................ 1<br />

B. Perumusan Masalah ..................... 7<br />

C. Tujuan ........................................... 9<br />

D. Manfaat Hasil Penelitian ..................... 9<br />

E. Rancangan Kebijakan ..................... 10<br />

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................ 11<br />

A. Landasan Teoritis ................................ 11<br />

1. Definisi, Konsep dan Ukuran<br />

Kemiskinan ................................ 11<br />

2. Teori-Teori Kemiskinan ..................... 17<br />

3. Indikator-Indikator Kemiskinan .......... 22<br />

4. Penyebab Kemiskinan ..................... 26<br />

5. Penanggulangan kemiskinan .......... 28<br />

6. Good Governance ..................... 30<br />

7. Pendidikan yang Baik dan Berkualitas 40<br />

B. Kerangka Pemikiran ..................... 51<br />

iv<br />

vi<br />

x


BAB III. METODE PENELITIAN ................................ 53<br />

A. Pendekatan Penelitian ............................ 53<br />

B. Lokasi dan Waktu ................................ 54<br />

C. Populasi dan Sampel ..................... 54<br />

D. Metoda dan Instrumen Pengumpulan<br />

Data ...................................................... 55<br />

E. Model Analisis ................................ . 56<br />

1. Analisis Deskriptif ................................ 56<br />

2. Analisis Gini Ratio ..................... 56<br />

3. Indeks Kemiskinan Manusia .......... 57<br />

BAB IV. HASIL PENELITIAN <strong>DAN</strong> PEMBAHASAN 59<br />

A. Gambaran Umum Kemiskinan di<br />

Sulawesi Selatan ................................. 59<br />

B. Karakteristik Responden ...................... 65<br />

1. Keadaan Responden Menurut Usia 65<br />

2. Keadaan Responden Menurut<br />

Tingkat Pendidikan ..................... 67<br />

3. Keadaan Responden Menurut<br />

Tingkat Pendapatan ..................... 68<br />

4. Keadaan Responden Menurut Faktor<br />

Internal dan Eksternal ..................... 70<br />

C. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga 72<br />

D. Penggolongan Penduduk Miskin<br />

Berdasarkan Indeks Kemiskinan<br />

Manusia ............................................ 77


E. Pendekatan dan Strategi Penanggulangan<br />

Kemiskinan ............................................ 81<br />

1. Good Governance ...................... 82<br />

2. Good Education ................................ 94<br />

BAB V. KESIMPULAN, SARAN, REKOMENDASI <strong>DAN</strong><br />

IMPLIKASI KEBIJAKAN .................................. 104<br />

A. Kesimpulan ............................................. 104<br />

B. Saran ........................................................ 108<br />

C. Rekomendasi ................................... 109<br />

D. Implikasi Kebijakan ................................... 114<br />

DAFTAR PUSTAKA .............................................. 118


DAFTAR TABEL<br />

Tabel 4.1. Garis Kemiskinan dan Jumlah Penduduk<br />

Miskin di Provinsi Sulawesi Selatan .......... 60<br />

Tabel 4.2. Tingkat Usia Responden ..................... 66<br />

Tabel 4.3. Tingkat Pendidikan Responden .......... 67<br />

Tabel 4.4. Distribusi Pendapatan Responden .......... 69<br />

Tabel 4.5. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga di<br />

Kabupaten Jeneponto, Pangkep, Toraja<br />

Utara dan Provinsi Sulawesi Selatan 72<br />

Tabel 4.6. Indeks Kemiskinan Manusia Berdasarkan<br />

Indikatornya ........................................... 78<br />

Tabel 4.7. Analisis Permasalahan dari Hasil Gini Ratio<br />

dan Indeks Kemiskinan Manusia Wilayah<br />

Perdesaan di Sulawesi Selatan .......... 82<br />

Tabel 4.8. Capaian Indikator-Indikator Utama<br />

Pendidikan di Sulawesi Selatan dan<br />

Nasional ..................................................... 96


DAFTAR GAMBAR<br />

Gambar 2.1. Lingkaran Kemiskinan Baldwin and Meier 28<br />

Gambar 2.2. Hubungan antar sektor ..................... 34<br />

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian .......... 52<br />

Gambar 4.1. Posisi Relatif Tingkat Kemiskinan (P0)<br />

Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi<br />

Selatan ........................................... 61<br />

Gambar 4.2. Posisi Relatif Indeks Kedalaman<br />

Kemiskinan (P1) Kabupaten/Kota di<br />

Provinsi Sulawesi Selatan .......... 62<br />

Gambar 4.3. Posisi Relatif Indeks Keparahan<br />

Kemiskinan (P2) Kabupaten/Kota di<br />

Provinsi Sulawesi Selatan .......... 64<br />

Gambar 4.4. Tingkat Usia Responden ..................... 66<br />

Gambar 4.5. Tingkat Pendidikan Responden .......... 68<br />

Gambar 4.6. Tingkat Pendapatan Responden 69<br />

Gambar 4.7. Posisi Relatif Angka Partisipasi Kasar<br />

SD/MI Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan ................................ 98<br />

Gambar 4.8. Posisi Relatif Angka Partisipasi Kasar<br />

SMP/MTs Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan ................................ 99<br />

Gambar 4.9. Posisi Relatif Angka Partisipasi Kasar<br />

SMA/MA Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan ................................ 100


Gambar 4.10. Posisi Relatif Angka Partisipasi Murni<br />

SD/MI Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan ................................ 101<br />

Gambar 4.11. Posisi Relatif Angka Partisipasi Murni<br />

SMP/MTs Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan ................................ 102<br />

Gambar 4.12. Posisi Relatif Angka Partisipasi Murni<br />

SMA/MA Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan ................................ 103<br />

Gambar 4.13. Posisi Relatif Angka Putus Sekolah<br />

Usia 7-12 Tahun Kabupaten/Kota<br />

di Provinsi Sulawesi Selatan .......... 104<br />

Gambar 4.14. Posisi Relatif Angka Putus Sekolah<br />

Usia 13-15 Tahun Kabupaten/Kota<br />

di Provinsi Sulawesi Selatan .......... 105<br />

Gambar 4.15. Posisi Relatif Angka Putus Sekolah<br />

Usia 16 – 18 Tahun Kabupaten/Kota<br />

di Provinsi Sulawesi Selatan .......... 106<br />

Gambar 4.16. Posisi Relatif Angka Buta Huruf Usia<br />

15+ Tahun Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan ................................ 107<br />

Gambar 4.17. Posisi Relatif Angka Buta Huruf Usia<br />

15-45 Tahun Kabupaten/Kota di<br />

Provinsi Sulawesi Selatan .......... 108<br />

Gambar 4.18. Posisi Relatif Angka Buta Huruf Usia<br />

45+ Tahun Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan ................................ 109


1<br />

BAB I. PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang<br />

Strategi pembangunan yang lebih berorientasi pada<br />

pertumbuhan telah melahirkan banyak kelemahan, diantaranya<br />

adalah terjadinya kesenjangan produktivitas antar sektor<br />

ekonomi. Industri yang berkembang hanyalah industri yang<br />

berskala besar dan menengah yang berpusat di wilayah<br />

perkotaan. Kesenjangan tersebut melahirkan urbanisasi dan<br />

perubahan struktur dalam perekonomian masyarakat. Programprogram<br />

yang dirancang lebih banyak berpihak pada kelompokkelompok<br />

usaha besar serta berbagai fasilitas dan kemudahan<br />

hanya diberikan pada sebagian kecil orang untuk memacu<br />

pertumbuhan ekonomi.<br />

Kegiatan pembangunan yang terpusat di wilayah kota<br />

dan hanya sebagian kecil yang menyentuh perdesaan terkesan<br />

tidak adanya suatu pemerataan pembangunan. Ketimpangan<br />

pembangunan antar wilayah kota-desa dan terpusatnya sarana<br />

dan prasarana ekonomi di kota akibat pola pembangunan yang<br />

terpusat ini mendorong timbulnya tuntutan otonomi yang<br />

dianggap lebih adil dan sesuai kondisi pembangunan saat ini.<br />

Merespon keinginan tersebut, pemerintah mengeluarkan<br />

UU No. 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 32 Tahun<br />

2004 tentang Pemerintahan Daerah (yang selanjutnya<br />

diperbaharui dengan UU No. 23 Tahun 2014) dan UU No. 25<br />

Tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004


2<br />

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan<br />

Pemerintah Daerah. Berdasarkan undang-undang<br />

pemerintahan daerah yang memiliki prinsip otonomi, daerah<br />

diberikan wewenang yang luas dalam penyelenggaraan<br />

pemerintahan. Penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah<br />

telah terjadi implikasi terhadap perkembangan daerah,<br />

terutama dalam kewenangan luas untuk mengelola potensi<br />

sumberdaya yang tersedia seoptimal mungkin sebagai upaya<br />

dalam memprioritaskan pembangunan daerah yang<br />

berbasiskan pada pengembangan masyarakat.<br />

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di<br />

mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola<br />

sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan<br />

antara antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk<br />

menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang<br />

perkembangan pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut.<br />

Pada hakekatnya pembangunan daerah yang baik hanya dapat<br />

dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran dari tiga pilar,<br />

yaitu pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat. Ketiganya<br />

mengisi fungsi dan peran masing-masing dalam mengisi<br />

pembangunan (Junawi Hartasi Saragih, 2009). Salah satu<br />

indikator utama keberhasilan pembangunan adalah laju<br />

penurunan jumlah penduduk miskin.<br />

Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah<br />

mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis<br />

peluang kerja untuk masyarakat daerah sehingga


3<br />

kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat meningkat.<br />

Kesejahteraan umum/rakyat dapat ditingkatkan kalau<br />

kemiskinan dapat dikurangi, sehingga untuk meningkatkan<br />

kesejahteraan masyarakat/umum dapat dilakukan melalui<br />

upaya penanggulangan kemiskinan.<br />

Dalam upaya untuk mencapai tujuan pembangunan<br />

ekonomi daerah, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus<br />

secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan<br />

daerah. Efektivitas dalam menurunkan jumlah penduduk miskin<br />

merupakan pertumbuhan utama dalam memilih strategi atau<br />

instrumen pembangunan. Kemiskinan merupakan masalah<br />

kompleks tentang kesejahteraan yang dipengaruhi oleh<br />

berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat<br />

pendapatan masyarakat, pengangguran, kesehatan,<br />

pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis,<br />

gender dan lokasi lingkungan. Kemiskinan tidak lagi dipahami<br />

hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga<br />

kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan<br />

bagi seseorang atau kelompok orang dalam menjalani<br />

kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui<br />

secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan,<br />

kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,<br />

pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman<br />

dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak<br />

berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. Esensi kemiskinan<br />

adalah menyangkut kondisi kekurangan dari sebuah tuntutan


4<br />

kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek<br />

konsumsi dan pendapatan.<br />

Banyak dampak negatif yang disebabkan oleh<br />

kemiskinan, selain timbulnya banyak masalah-masalah sosial,<br />

kemiskinan juga dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi<br />

suatu negara. Kemiskinan yang tinggi akan menyebabkan<br />

biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pembangunan<br />

ekonomi menjadi lebih besar, sehingga secara tidak langsung<br />

akan menghambat pembangunan ekonomi. Pembangunan<br />

yang sejak masa sentralistik terpusat di Pulau Jawa tidak<br />

meluputkan Jawa dari masalah kemiskinan. Menurut Siregar<br />

dan Wahyuniarti (2008), jumlah penduduk miskin di Indonesia<br />

terpusat di Pulau Jawa, terutama di Provinsi Jawa Timur, Jawa<br />

Tengah dan Jawa Barat. Konsentrasi penduduk miskin di Pulau<br />

Jawa mencapai rata-rata 57,5% dari total penduduk miskin di<br />

Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan<br />

ekonomi selama ini hanya dinikmati oleh golongan masyarakat<br />

tertentu, tidak merata bagi seluruh golongan masyarakat.<br />

Kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia akan<br />

berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi suatu wilayah.<br />

Kuantitas sumberdaya manusia dapat dilihat dari jumlah<br />

penduduknya, sedangkan kualitas sumberdaya manusia dapat<br />

dilihat dari tingkat pendidikannya. Menurut Sadono Sukirno<br />

(2009) perkembangan jumlah penduduk bisa menjadi faktor<br />

penghambat pembangunan karena akan menurunkan<br />

produktivitas, dan akan banyak terdapat pengangguran. Dalam


5<br />

kaitannya dengan kemiskinan, jumlah penduduk yang besar<br />

justru akan memperparah tingkat kemiskinan. Banyak teori dan<br />

pendapat para ahli yang meyakini adanya hubungan antara<br />

jumlah penduduk dengan kemiskinan, salah satunya adalah<br />

Thomas Robert Malthus yang meyakini jika pertumbuhan<br />

penduduk tidak dikendalikan maka suatu saat nanti<br />

sumberdaya alam akan habis sehingga muncul wabah<br />

penyakit, kelaparan dan berbagai macam penderitaan manusia.<br />

Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah<br />

otonom di Indonesia terus berupaya meningkatkan kinerja<br />

pembangunan ekonominya. Peningkatan kinerja pembangunan<br />

ekonomi dilakukan melalui berbagai program pembangunan<br />

yang berorientasi tidak hanya pada wilayah perkotaan tetapi<br />

juga pada wilayah perdesaan dalam rangka meningkatkan<br />

pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan<br />

pengentasan kemiskinan.<br />

Program penanggulangan kemiskinan menjadi salah<br />

satu fokus pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan.<br />

Berbagai upaya melalui program pengentasan kemiskinan telah<br />

dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Hasilnya<br />

adalah persentase penduduk miskin cenderung menurun tetapi<br />

jika dilihat dari sisi jumlah penduduk miskin masih tetap besar<br />

yaitu sekitar 825.790 jiwa. Kemiskinan dan ketidakmerataan<br />

merupakan permasalahan pembangunan serius yang dihadapi<br />

oleh Provinsi Sulawesi Selatan karena kemiskinan merupakan<br />

faktor penyebab timbulnya kesenjangan antar wilayah.


6<br />

Provinsi Sulawesi Selatan merupakan daerah dengan<br />

potensi sumberdaya alam yang sangat besar. Posisi geografis<br />

yang strategis, iklim yang memungkinkan untuk<br />

pendayagunaan lahan sepanjang tahun, hutan dan kandungan<br />

bumi yang sangat kaya, merupakan modal utama untuk<br />

meningkatkan kemakmuran masyarakat. Saat ini potensi besar<br />

tersebut belum dapat secara penuh meningkatkan kemakmuran<br />

bagi masyarakatnya. Total penduduk miskin yang masih cukup<br />

banyak di Provinsi Sulawesi Selatan, ditunjukkan dengan<br />

adanya kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian dan<br />

ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Kondisi ini<br />

terjadi khususnya di wilayah perdesaan yang memiliki<br />

keterbatasan infrastruktur, rendahnya kualitas sumberdaya<br />

manusia dan penduduknya berpendapatan rendah. Kondisi<br />

tersebut mengakibatkan tingginya beban sosial ekonomi<br />

masyarakat, rendahnya kualitas dan produktivitas sumberdaya<br />

manusia dan rendahnya partisipasi aktif masyarakat.<br />

Adanya globalisasi, kondisi perekonomian dunia yang<br />

tidak menentu serta krisis pangan dan energi semakin<br />

memberikan tekanan terhadap perekonomian saat ini. Kondisi<br />

tersebut berdampak terhadap penurunan tingkat kesejahteraan<br />

masyarakat secara keseluruhan termasuk meningkatnya angka<br />

kemiskinan di berbagai wilayah khususnya di wilayah<br />

perdesaan. Upaya penurunan derajat kemiskinan yang<br />

dilakukan selama ini masih sangat rentan terhadap perubahan<br />

kondisi ekonomi, politik dan sosial. Program-program


7<br />

penanggulangan kemiskinan yang dibuat oleh pemerintah<br />

daerah sampai saat ini belum mampu menurunkan jumlah<br />

penduduk miskin secara nyata. Akibatnya, timbul beberapa<br />

kelemahan dari penanggulangan kemiskinan pada waktu lalu<br />

yang perlu diperbaiki secara mendasar. Hal tersebut menuntut<br />

adanya langkah perbaikan yang terpadu karena tantangan ke<br />

depan sangatlah berat dan membutuhkan kerja keras dari<br />

semua pihak.<br />

Masalah kemiskinan merupakan masalah serius yang<br />

harus diminimalisasi atau bahkan bila memungkinkan<br />

dihilangkan. Upaya dan strategi penanggulangan kemiskinan<br />

yang lebih komprehensif ke depan sangat dibutuhkan dalam<br />

rangka meningkatkan taraf kehidupan masyarakat khususnya di<br />

wilayah perdesaan. Untuk itulah dilaksanakan suatu penelitian<br />

menyangkut Strategi Penanggulangan Kemiskinan Berbasis<br />

Good Governance dan Good Education di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan.<br />

B. Perumusan Masalah<br />

Banyak dampak negatif yang disebabkan oleh<br />

kemiskinan, selain timbulnya banyak masalah-masalah sosial,<br />

kemiskinan juga dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi<br />

suatu negara. Kemiskinan yang tinggi akan menyebabkan<br />

biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pembangunan<br />

ekonomi menjadi lebih besar, sehingga secara tidak langsung<br />

akan menghambat pembangunan ekonomi.


8<br />

Kemiskinan bersifat multidimensi dan multisektoral<br />

dengan beragam karakteristik sesuai dengan kondisi spesifik<br />

wilayah. Hingga saat ini, kemiskinan masih merupakan masalah<br />

utama yang dihadapi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan,<br />

sehingga harus segera diatasi karena menyangkut harkat dan<br />

martabat bangsa. Kemiskinan salah satunya disebabkan oleh<br />

adanya ketimpangan pendapatan diantara masyarakat akibat<br />

pembangunan yang tidak merata dan lebih berorientasi pada<br />

aspek pertumbuhan semata. Kesenjangan pendapatan<br />

memunculkan fenomena adanya penduduk kaya dan miskin.<br />

Penduduk miskin ini terutama banyak tersebar di wilayah<br />

perdesaan.<br />

Upaya penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan<br />

oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan selama ini, belum<br />

dilakukan secara terpadu. Hal ini menunjukkan beberapa<br />

kelemahan dari penanggulangan kemiskinan pada masa lalu<br />

yang perlu dikoreksi secara mendasar. Kelemahan tersebut<br />

antara lain masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi<br />

makro, kebijakan yang terpusat, cara pandang tentang<br />

kemiskinan yang diorientasikan pada ekonomi. Bahkan, dalam<br />

orientasi tersebut juga menempatkan masyarakat miskin<br />

sebagai obyek pembangunan bukan sebagai subyek<br />

pembangunan.<br />

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam studi ini<br />

dirumuskan pokok-pokok permasalahan yang akan dijawab,<br />

yaitu :


9<br />

1. Bagaimana distribusi pendapatan rumahtangga di berbagai<br />

wilayah kabupaten/kota hingga ke wilayah perdesaan.<br />

2. Bagaimana strategi penanggulangan kemiskinan berbasis<br />

good governance dan good education di wilayah Provinsi<br />

Sulawesi Selatan.<br />

C. Tujuan<br />

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan<br />

di atas maka tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah :<br />

1. Menganalisis distribusi pendapatan rumahtangga di wilayah<br />

Provinsi Sulawesi Selatan.<br />

2. Mengidentifikasi jumlah penduduk miskin wilayah<br />

kabupaten/kota berdasarkan Indeks Kemiskinan Manusia.<br />

3. Merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan berbasis<br />

good governance dan good education di wilayah Provinsi<br />

Sulawesi Selatan.<br />

D. Manfaat Hasil Penelitian<br />

Manfaat yang dapat diambil dari kegiatan penelitian ini<br />

adalah :<br />

1. Bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, hasil studi ini<br />

diharapkan dapat dijadikan masukan kebijakan<br />

penanggulangan kemiskinan di wilayah Provinsi Sulawsesi<br />

Selatan berbasis good governance dan good education.<br />

2. Sebagai referensi bagi pihak lain selanjutnya terutama<br />

mengenai strategi penanggulangan kemiskinan berbasis<br />

good governance dan good education.


10<br />

E. Rancangan Kebijakan<br />

Untuk menjamin keberlanjutan program dan menghindari<br />

tumpang-tindihnya program kebijakan penanggulangan<br />

kemiskinan yang dikerjakan oleh masing-masing SKPD, perlu<br />

adanya perencanaan yang sistematis yang didasarkan pada<br />

cetak biru yang komprehensif. Dapat dikatakan bahwa pada<br />

dasarnya semua program penanggulangan kemiskinan harus<br />

memberikan kesempatan seluas-luasnya pada masyarakat<br />

miskin untuk terlibat dalam perencanaan, implementasi dan<br />

evaluasi, seperti lazimnya dalam model pendekatan<br />

Participatory Poverty Assessment.<br />

Dalam hal percepatan program kebijakan<br />

penanggulangan kemiskinan, perlu adanya prinsip merit sistem<br />

(reward and punishment) bagi stakeholders berprestasi untuk<br />

merangsang percepatan penurunan angka-angka indikator<br />

basic needs baik yang bersifat agregat seperti dalam bidang :<br />

kesehatan (rendahnya kematian bayi-ibu, bebas penyakit<br />

endemik), pendidikan (rendahnya putus sekolah, banyak anak<br />

miskin yang lulus PT dsb.) dan penguatan ekonomi<br />

(meningkatnya pendapatan), maupun yang non-agregat<br />

(memandirikan orang miskin dari ketergantungan), dengan<br />

memberikan insentif bagi pemangku kepentingan yang berhasil<br />

menurunkan angka-angka itu secara signifikan.


11<br />

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA<br />

A. Landasan Teoritis<br />

1. Definisi, Konsep Dan Ukuran Kemiskinan<br />

Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi kekurangan<br />

hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian,<br />

tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat<br />

dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak<br />

adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu<br />

mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan<br />

yang layak sebagai warga negara.<br />

Pengertian kemiskinan dalam arti luas adalah<br />

keterbatasan yang disandang oleh seseorang, sebuah<br />

keluarga, sebuah komunitas atau bahkan sebuah negara yang<br />

menyebabkan ketidaknyamanan dalam kehidupan,<br />

terancamnya penegakan hak dan keadilan, terancamnya posisi<br />

tawar (bargaining) dalam pergaulan dunia, hilangnya generasi,<br />

serta suramnya masa depan bangsa dan negara. Dalam segala<br />

bidang selalu menjadi kaum tersingkir karena tidak dapat<br />

menyamakan kondisi dengan kondisi masyarakat sekitarnya.<br />

Negara-negara maju yang lebih menekan-kan pada “kualitas<br />

hidup” yang dinyatakan dengan perubahan lingkungan hidup<br />

melihat bahwa laju pertumbuhan industri tidak mengurangi<br />

bahkan justru menambah tingkat polusi udara dan air,<br />

mempercepat penyusutan sumberdaya alam dan mengurangi<br />

kualitas lingkungan. Sementara untuk negara-negara yang


12<br />

sedang berkembang, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi<br />

pada tahun 1960 sedikit sekali pengaruhnya dalam mengurangi<br />

tingkat kemiskinan.<br />

Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi seluruh<br />

negara, terutama negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini<br />

dikarenakan kemiskinan itu bersifat multi dimensional, artinya<br />

karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka<br />

kemiskinan pun memiliki banyak aspek primer yang berupa<br />

miskin akan aset, organisasi sosial politik, pengetahuan dan<br />

keterampilan serta aspek sekunder yang berupa miskin akan<br />

jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi.<br />

Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut termanifestasikan<br />

dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang sehat,<br />

perawatan kesehatan yang kurang baik dan tingkat pendidikan<br />

yang rendah. Selain itu, dimensi-dimensi kemiskinan saling<br />

berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini<br />

berarti kemajuan atau kemunduran pada salah satu aspek<br />

dapat mempengaruhi kemajuan atau kemunduran aspek<br />

lainnya. Dan aspek lain dari kemiskinan ini adalah bahwa yang<br />

miskin itu manusianya baik secara individual maupun kolektif<br />

(Lincolin Arsyad, 2010).<br />

Menurut PBB kemiskinan adalah bahwa kemiskinan<br />

merupakan kondisi di mana seseorang tidak dapat menikmati<br />

segala macam pilihan dan kesempatan dalam pemenuhan<br />

kebutuhan dasarnya, seperti tidak dapat memenuhi kesehatan,


13<br />

standar hidup, kebebasan, harga diri dan rasa dihormati seperti<br />

orang lain.<br />

Menurut Sumitro Djojohadikusumo (1995) pola<br />

kemiskinan ada empat yaitu, pertama adalah persistent poverty,<br />

yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Pola<br />

kedua adalah cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti<br />

pola siklus ekonomi secara keseluruhan. Pola ketiga adalah<br />

seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti dijumpai<br />

pada kasus nelayan dan petani tanaman pangan. Pola keempat<br />

adalah accidental poverty, yaitu kemiskinan terjadi karena<br />

bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang<br />

menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu<br />

masyarakat.<br />

Ada banyak definisi dan konsep yang berbeda tentang<br />

kesejahteraan atau “well being” (World Bank, 2002).<br />

Kesejahteraan seseorang dapat dikatakan sebagai kemampuan<br />

untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara umum.<br />

Seseorang dikatakan mampu (memiliki kemampuan ekonomi<br />

yang lebih baik) jika memiliki kemampuan yang lebih besar<br />

dalam menggunakan sumberdaya yang dimiliki (kekayaan) atau<br />

dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk memperoleh jenis<br />

barang-barang tertentu (misalnya makanan dan perumahan).<br />

Seseorang yang kurang mampu untuk andil dalam masyarakat<br />

mungkin memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah atau lebih<br />

rentan terhadap krisis atau gejolak ekonomi dan cuaca. Jadi,


14<br />

dalam konteks ini kemiskinan dapat berarti juga kurangnya<br />

kemampuan untuk andil atau berfungsi dalam masyarakat.<br />

Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang bersifat<br />

multi-dimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut<br />

pandang. Dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok,<br />

diantaranya kurangnya kesempatan (lack of opportunity),<br />

rendahnya kemampuan (low of capability), kurangnya jaminan<br />

(low-level of security) dan ketidak-berdayaan (low of capacity or<br />

empowerment). Kemiskinan juga dikaitkan dengan<br />

keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik sehingga<br />

menyebabkan kerentanan, keterpurukan dan ketidakberdayaan.<br />

Menurut Nurkse (1953), ada dua kondisi yang<br />

menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan<br />

alamiah dan struktural. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain<br />

akibat sumberdaya alam yang terbatas, penggunaan teknologi<br />

yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan struktural terjadi<br />

karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat<br />

sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana<br />

ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga<br />

mereka tetap miskin. Selanjutnya Nurkse juga mengemukakan<br />

bahwa berbagai persoalan kemiskinan penduduk dapat disimak<br />

dari berbagai aspek : sosial, ekonomi, psikologi dan politik.<br />

Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan<br />

penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada<br />

terbatasnya pemilikan faktor produksi, upah rendah, daya tawar


15<br />

petani rendah, rendahnya tingkat tabungan dan lemah<br />

mengantisipasi peluang-peluang kesempatan berusaha yang<br />

ada. Aspek psikologi, kemiskinan terjadi terutama akibat rasa<br />

rendah diri, fatalisme, malas dan rasa terisolir. Aspek politik<br />

berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas<br />

dan kesempatan, diskriminasi, posisi lemah dalam proses<br />

pengambilan keputusan.<br />

Lebih lanjut menurut Nurkse (1953), kemiskinan dapat<br />

dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut,<br />

kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk<br />

golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di<br />

bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi<br />

kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, papan,<br />

kesehatan dan pendidikan. Garis kemiskinan merupakan<br />

ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat<br />

memenuhi kebutuhan hidup minimum. Seseorang yang<br />

tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis<br />

kemiskinan tetapi masih berada di bawah kemampuan<br />

masyarakat sekitarnya. Miskin kultural berkaitan erat dengan<br />

sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau<br />

berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada<br />

usaha dari pihak lain yang membantunya.<br />

Sajogyo (1987), mengungkapkan bahwa kemiskinan<br />

merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah<br />

standar kebutuhan hidup minimum. Standar kebutuhan hidup<br />

minimum tersebut ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan


16<br />

pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup<br />

sehat didasarkan pada kebutuhan beras dan kebutuhan gizi.<br />

Ukuran kemiskinan menurut Nurkse 1953 (dalam<br />

Lincolin Arsyad, 2010) secara sederhana dan yang umum<br />

digunakan dapat dibedakan menjadi dua pengertian:<br />

a. Kemiskinan Absolut dan Relatif<br />

Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil<br />

pendapatannya berada di bawah garis kemiskinandan tidak<br />

cukup untuk menentukan kebutuhan dasar hidupnya.<br />

Seseorang termasuk golongan miskin relatif apabila telah<br />

dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, tetapi masih<br />

jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat<br />

sekitarnya.<br />

b. Kemiskinan Kultural<br />

Seseorang termasuk golongan miskin kultural apabila sikap<br />

orang atau sekelompok masyarakat tersebut tidak mau<br />

berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada<br />

usaha dari pihak lain yang membantunya atau dengan kata<br />

lain seseorang tersebut miskin karena sikapnya sendiri yaitu<br />

pemalas dan tidak mau memperbaiki kondisinya.<br />

Kebutuhan dasar dapat dibagi menjadi dua golongan<br />

yaitu kebutuhan dasar yang diperlukan sekali untuk<br />

mempertahankan hidupnya dan kebutuhhan lain yang lebih<br />

tinggi. United Nation Research Institute for Social Development<br />

(UNRISD) menggolongkan kebutuhan dasar manusia atas tiga<br />

kelompok yaitu :


17<br />

a. Kebutuhan fisik primer yang terdiri dari kebutuhan gizi,<br />

perumahan dan kesehatan.<br />

b. Kebutuhan kultural yang terdiri dari pendidikan, waktu luang<br />

(leisure), dan rekreasi ketenangan hidup.<br />

c. Kelebihan pendapatan untuk mencapai kebutuhan lain yang<br />

lebih tinggi.<br />

Kebutuhan dasar tidak hanya meliputi kebutuhan<br />

keluarga, tetapi juga meliputi kebutuhan fasilitas lingkungan<br />

kehidupan manusia, seperti yang dikemukakan oleh<br />

International Labor Organization (ILO, 1976) bahwa kebutuhan<br />

dasar meliputi 2 unsur yaitu : pertama, kebutuhan yang meliputi<br />

tuntutan minimum tertentu suatu keluarga konsumsi pribadi<br />

seperti makanan yang cukup, tempat tinggal, pakaian,<br />

peralatan dan perlengkapan rumah tangga yang dilaksanakan.<br />

Kedua, kebutuhan meliputi pelayanan sosial yang diberikan<br />

oleh dan untuk masyarakat seperti air minum yang bersih,<br />

pendidikan dan kultural (Lincolin Arsyad, 2010).<br />

2. Teori-Teori Kemiskinan<br />

Teori ekonomi mengatakan bahwa untuk memutus mata<br />

rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan peningkatan<br />

keterampilan sumberdaya manusia, penambahan modal<br />

investasi dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai<br />

macam dorongan dan dukungan diharapkan produktivitas akan<br />

meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya tidak<br />

semudah itu.


18<br />

Menurut Suharto (2003), dalam upaya mengatasi<br />

kemiskinan diperlukan sebuah bentuk kajian yang lengkap<br />

sebagai acuan perancangan kebijakan dan program anti<br />

kemiskinan. Hampir semua pendekatan dalam mengkaji<br />

kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi<br />

(modernization paradigm) yang dimotori oleh Bank Dunia.<br />

Paradigma ini bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi<br />

Neoklasik (orthodox neoclassical economics) dan model yang<br />

berpusat pada produksi (production-centered model). Sejak<br />

pendapatan nasional (GNP) mulai dijadikan indikator<br />

pembangunan tahun 1950-an, misalnya para ahli ilmu sosial<br />

selalu merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara<br />

masalah kemiskinan di suatu negara. Pengukuran kemiskinan<br />

kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty<br />

yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator<br />

‘garis kemiskinan’.<br />

Suharto (2003) mengemukakan bahwa di bawah<br />

kepemimpinan ekonomi asal Pakistan, Mahbub Ul Haq, pada<br />

tahun 1990-an UNDP memperkenalkan pendekatan human<br />

development yang diformulasikan dalam bentuk Indeks<br />

Pembangunan Manusia (Human Development Index).<br />

Dibandingkan dengan pendekatan yang dipakai Bank Dunia,<br />

pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif karena mencakup<br />

bukan saja dimensi ekonomi (pendapatan), melainkan pula<br />

pendidikan (angka melek huruf), dan kesehatan (angka<br />

harapan hidup). Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos


19<br />

pada paradigma pembangunan kerakyatan (popular<br />

development paradigm) yang memadukan konsep pemenuhan<br />

kebutuhan dasar dari Paul Streeten dan teori kapabilitas yang<br />

dikembangkan peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen.<br />

Paradigma baru studi kemiskinan sedikitnya<br />

mengusulkan empat poin yang perlu dipertimbangkan.<br />

Pertama, kemiskinan sebaiknya dilihat tidak hanya karakteristik<br />

penduduk miskin secara statis, melainkan dilihat secara<br />

dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan penduduk<br />

miskin dalam merespon kemiskinannya. Kedua, indikator untuk<br />

mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan<br />

indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah<br />

tangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial (social capability)<br />

dipandang lebih lengkap daripada konsep pendapatan (income)<br />

dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan.<br />

Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin<br />

dapat difokuskan pada beberapa key indicator yang mencakup<br />

kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata<br />

pencaharian (livelihood capability), memenuhi kebutuhan dasar<br />

(basic need fulfillment), mengelola aset (asset management),<br />

menjangkau sumber-sumber (acces to resources),<br />

berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (acces to social<br />

capital), serta kemampuan dalam menghadapi guncangan dan<br />

tekanan (cope with shocks and stresses) (Suharto, 2003).<br />

Pembangunan menurut rumusan Bank Dunia,<br />

merupakan strategi untuk memperbaiki kehidupan sosial


20<br />

ekonomi lapisan masyarakat tertentu, masyarakat yang miskin<br />

dan melibatkan secara luas manfaat dari pola pembangunan<br />

untuk kelompok termiskin diantara mereka yang mencari nafkah<br />

(Alala, 1992). Khususnya dalam kaitannya dengan<br />

pembangunan masyarakat, PBB lebih menekankan pada<br />

proses dimana semua usaha swadaya masyarakat<br />

digabungkan dengan usaha pemerintah setempat guna<br />

meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial<br />

dan kultural serta untuk mengintegrasikan masyarakat yang<br />

ada ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan<br />

memberikan kesempatan secara penuh pada kemajuan dan<br />

kemakmuran bangsa (Conyers, 1994).<br />

Pembangunan perdesaan merupakan suatu strategi<br />

yang dirancang guna memperbaiki kehidupan sosial dan<br />

ekonomi golongan miskin maka usaha untuk memeratakan<br />

pendapatan golongan miskin dituntut adanya perbaikan<br />

kelembagaan (Juoro, 1985). Menurut Soekartawi (1990), aspek<br />

kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi<br />

ekonomi pertanian secara keseluruhan, tetapi juga segi<br />

ekonomi perdesaan. Dikatakan, bahkan aspek kelembagaan<br />

merupakan syarat pokok yang diperlukan agar struktur<br />

pembangunan di seluruh wilayah dikatakan maju sebagaimana<br />

yang dikemukakan Mosher (1974).<br />

Selama ini program-program pembangunan di wilayah<br />

perdesaan seperti program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dan<br />

PPTAD (Program Pengembangan Terpadu Antar Desa) lebih


21<br />

cenderung pada pembangunan fisik saja sehingga penekanan<br />

terhadap pembangunan masyarakat umum belum tersentuh.<br />

Padahal berbagai persoalan yang membutuhkan penanganan<br />

pembangunan masyarakat sesungguhnya mendesak, seperti<br />

ketertinggalan desa dari kota, tidak terakomodasinya keinginan<br />

dan kebutuhan masyarakat dalam program-program<br />

pemerintah dan kualitas pendidikan dan kesejahteraan masih<br />

rendah (Hernowo, 2003).<br />

Dalam hubungannya dengan model pembangunan,<br />

basis strategi pembangunan adalah peningkatan kapasitas dan<br />

komitmen masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam<br />

proses pembangunan. Partisipasi masyarakat secara langsung<br />

dalam setiap tahap proses pembangunan adalah merupakan<br />

ciri utama pembangunan yang ideal, yang membedakannya<br />

dari pembangunan lainnya (Ndraha, 1987).<br />

Terdapat paradigma baru dalam pembangunan wilayah<br />

perdesaan dimana pertanian diposisikan sebagai sumber<br />

pendapatan yang menjanjikan hasil memadai. Pertanian dapat<br />

menjadi sumber pendapatan yang memadai apabila setiap<br />

program melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang ada di<br />

wilayah perdesaan (sekitar 75%) dari total penduduk dan<br />

tentunya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki dalam hal ini<br />

potensi sumberdaya manusia dan potensi sumberdaya<br />

alamnya. Paradigma pembangunan tersebut akan dapat<br />

dicapai apabila potensi sumberdaya manusia yang sebelumnya


22<br />

menjadi obyek diposisikan menjadi subyek pada setiap<br />

kegiatan yang akan dilaksanakan (Saharia, 2003).<br />

Pembangunan mulai diarahkan secara integral dengan<br />

mempertimbangkan kekhasan daerah baik dari sisi kondisi,<br />

potensi dan prospek dari masing-masing daerah. Namun di<br />

dalam penyusunan kebijakan pembangunan secara umum<br />

dapat dilihat dalam tiga kelompok (Hernowo, 2003), yaitu :<br />

a. Kebijakan secara tidak langsung diarahkan pada penciptaan<br />

kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya<br />

pembangunan yang mendukung kegiatan sosial ekonomi,<br />

seperti penyediaan sarana dan prasarana pendukung (pasar,<br />

pendidikan, kesehatan, jalan dan lain sebagainya).<br />

b. Kebijakan yang langsung diarahkan pada peningkatan<br />

kegiatan ekonomi masyarakat.<br />

c. Kebijakan khusus menjangkau masyarakat melalui upaya<br />

khusus, seperti penjaminan hukum melalui perundangundangan<br />

dan penjaminan terhadap keamanan dan<br />

kenyamanan masyarakat.<br />

3. Indikator-Indikator Kemiskinan<br />

Garis kemiskinan adalah suatu ukuran yang menyatakan<br />

besarnya pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar<br />

minimum makanan dan kebutuhan non makanan, atau standar<br />

yang menyatakan batas seseorang dikatakan miskin bila<br />

dipandang dari sudut konsumsi. Garis kemiskinan yang<br />

digunakan setiap negara berbeda-beda, sehingga tidak ada


23<br />

satu garis kemiskinan yang berlaku umum. Hal ini disebabkan<br />

karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup.<br />

Kunci perumusan strategi penanggulangan kemiskinan<br />

adalah pemahaman yang akurat terhadap konsep kemiskinan<br />

dan indikator yang digunakan untuk mengukur kemiskinan.<br />

Indikator kemiskinan menjadi dasar penentuan kelompok<br />

sasaran (targetting), pemantauan kemajuan dan kinerja<br />

(performance indikator).<br />

Sajogyo (1987) dalam menentukan garis kemiskinan<br />

menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita. Konsumsi<br />

beras untuk perkotaan dan perdesaan masing-masing<br />

ditentukan sebesar 360 kg dan 240 kg per kapita per tahun.<br />

Menurut Badan Pusat Statistik (2011), penduduk miskin<br />

adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per<br />

kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Penetapan<br />

penghitungan garis kemiskinan dalam masyarakat adalah<br />

masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp. 7.057 per orang<br />

per hari. Penetapan angka Rp. 7.057 per orang per hari<br />

tersebut berasal dari perhitungan garis kemiskinan yang<br />

mencakup kebutuhan makanan dan non makanan. Untuk<br />

kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100<br />

kilokalori per kapita per hari. Sedang untuk pengeluaran<br />

kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran<br />

untuk perumahan, pendidikan dan kesehatan. Sedangkan garis<br />

kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk<br />

perumahan (luas lantai bangunan, penggunaan air bersih dan


24<br />

fasilitas tempat pembuangan air besar), pendidikan (angka<br />

melek huruf, wajib belajar 9 tahun dan angka putus sekolah)<br />

dan kesehatan (rendahnya konsumsi makanan bergizi,<br />

kurangnya sarana kesehatan serta keadaan sanitasi dan<br />

lingkungan yang tidak memadai).<br />

Sedangkan ukuran menurut World Bank menetapkan<br />

standar kemiskinan berdasarkan pendapatan per kapita.<br />

Penduduk yang pendapatan per kapitanya kurang dari<br />

sepertiga rata-rata pendapatan per kapita nasional. Dalam<br />

konteks tersebut, maka ukuran kemiskinan menurut World Bank<br />

adalah USD $2 per orang per hari.<br />

Ukuran kemiskinan dipertimbangkan berdasarkan pilihan<br />

pada norma pilihan di mana norma tersebut sangat penting<br />

terutama dalam hal pengukuran didasarkan konsumsi<br />

(consumption based poverty line). Oleh sebab itu, menurut<br />

Kuncoro (2010) garis kemiskinan yang didasarkan pada<br />

konsumsi terdiri dari dua elemen, yaitu :<br />

a. Pengeluaran yang diperlukan untuk memberi standar gizi<br />

minimum dan kebutuhan mendasar lainnya.<br />

b. Jumlah kebutuhan yang sangat bervariasi yang<br />

mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan seharihari.<br />

Menurut Paul Spicker (2002), penyebab kemiskinan<br />

dapat dibagi empat yaitu :<br />

a. Individual explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh<br />

karakteristik orang miskin itu sendiri : malas, pilihan yang


25<br />

salah, gagal dalam bekerja, cacat bawaan, belum siap<br />

memiliki anak dan sebagainya.<br />

b. Familiar explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh<br />

faktor keturunan, di mana antar generasi terjadi<br />

ketidakberuntungan yang berulang, terutama akibat<br />

pendidikan.<br />

c. Subcultural explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh<br />

karakteristik perilaku suatu lingkungan yang berakibat pada<br />

moral dari masyarakat.<br />

d. Structural explanation, menganggap kemiskinan sebagai<br />

produk dari masyarakat yang menciptakan ketidakseimbangan<br />

dengan pembedaan status atau hak.<br />

Garis kemiskinan dibedakan menurut tempat dan waktu,<br />

jadi setiap daerah baik di desa maupun di kota memiliki nilai<br />

yang berbeda-beda dan biasanya nilai ini bertambah pada<br />

norma tertentu, pilihan norma tersebut sangat penting terutama<br />

dalam hal pengukuran kemiskinan. Batas garis kemiskinan<br />

dibedakan antara desa dan kota. Perbedaan ini sangat<br />

signifikan antara di desa dan di kota, hal ini disebabkan pada<br />

perbedaan dan kompleksitas di desa dan di kota.<br />

Bappenas dalam Strategi Nasional Pengentasan<br />

Kemiskinan (SNPK) menerjemahkan kemiskinan sebagai<br />

kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan<br />

perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasar untuk<br />

mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang<br />

bermartabat. Tidak terpenuhi hak-hak dasar diartikan sebagai


26<br />

ketidakmampuan dalam memenuhi pangan, sandang,<br />

kesehatan, pendidikan, akses terhadap sumberdaya sosial dan<br />

ekonomi, kegiatan usaha produktif, perumahan, air bersih dan<br />

rasa aman.<br />

United Nation Development Program (UNDP) dalam<br />

mengukur kemiskinan menggunakan Human Poverty Index<br />

(HPI) yang lebih dikenal sebagai Indeks Kemiskinan Manusia<br />

(IKM). Pengukuran kemiskinan didasarkan pada tiga indikator<br />

utama, yaitu : (1) angka daya hidup kurang dari 40 tahun, (2)<br />

tingkat pendidikan dasar, diukur berdasarkan persentase<br />

penduduk dewasa yang buta huruf dan hilangnya hak<br />

pendidikan, (3) kriteria ekonomi.<br />

4. Penyebab Kemiskinan<br />

Sharp (1996) dalam Mudrajad Kuncoro (2010)<br />

mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi<br />

ekonomi :<br />

a. Secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya<br />

ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang<br />

menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.<br />

b. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas<br />

sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang<br />

rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya<br />

upahnya rendah.<br />

c. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.


27<br />

Menurut Rencana Kerja Pemerintah Bidang Prioritas<br />

Penanggulangan Kemiskinan, penyebab kemiskinan (dikutip<br />

dari Deny Tisna Amijaya, 2008) adalah pemerataan<br />

pembangunan yang belum menyebar secara merata terutama<br />

di daerah pedesaan. Penyebab lain adalah masyarakat miskin<br />

belum mampu menjangkau pelayanan dan fasilitas dasar<br />

seperti pendidikan, kesehatan, air minum dan sanitasi serta<br />

transportasi. Gizi buruk masih terjadi di lapisan masyarakat<br />

miskin. Hal ini disebabkan terutama oleh cakupan perlindungan<br />

sosial bagi masyarakat miskin yang belum memadai. Bantuan<br />

sosial kepada masyarakat miskin, pelayanan bantuan kepada<br />

masyarakat rentan (seperti penyandang cacat, lanjut usia dan<br />

yatim piatu) dan cakupan jaminan sosial bagi rumah tangga<br />

miskin masih jauh dari memadai.<br />

Penyebab kemiskinan (Sharp, 1996 dalam Mudrajad<br />

Kuncoro, 2010) bermuara pada teori lingkaran kemiskinan<br />

(vicious circle of poverty). Yang dimaksud lingkaran kemiskinan<br />

adalah suatu lingkaran/rangkaian yang saling mempengaruhi<br />

satu sama lain secara sedemikian rupa, sehingga menimbulkan<br />

suatu keadaan di mana suatu negara akan tetap miskin dan<br />

akan banyak mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat<br />

pembangunan yang lebih baik. Adanya keterbelakangan,<br />

ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan<br />

rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas<br />

mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima.<br />

Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya


28<br />

tabungan dan investasi, baik investasi manusia maupun<br />

investasi kapital. Rendahnya investasi berakibat pada<br />

keterbelakangan dan seterusnya. Logika berpikir ini<br />

dikemukakan oleh Ragnar Nurkse (1953) dalam Mudrajad<br />

Kuncoro (2010) yang mengatakan “a poor country is a poor<br />

because it is poor” (negara miskin itu miskin karena dia miskin).<br />

Ketidaksempurnaan Pasar,<br />

Keterbelakangan, Ketertinggalan SDM<br />

Kekurangan Modal<br />

Produktivitas Rendah<br />

Produktivitas Rendah<br />

Tabungan Rendah<br />

Pendapatan Rendah<br />

Sumber: Mudrajad Kuncoro, 1997<br />

Gambar 2.1. Lingkaran Kemiskinan Baldwin and Meier<br />

5. Penanggulangan Kemiskinan<br />

Ada 3 (tiga) cara untuk menanggulangi kemiskinan<br />

dengan menggunakan model untuk memobilisasi<br />

perekonomian pedesaan (Mudrajad Kuncoro, 2000, dalam<br />

Achmad Hendra Setiawan, 2011) :


29<br />

a. Mendasarkan pada mobilisasi tenaga kerja yang masih<br />

belum didayagunakan dalam rumah tangga agar terjadi<br />

pembentukan modal di pedesaan (R. Nurkse, 1954).<br />

b. Menitikberatkan pada transfer sumberdaya dari pertanian ke<br />

industri melalui mekanisme pasar (Lewis, 1954, dan Fei dan<br />

Ranis, 1964).<br />

c. Menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam sektor<br />

pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi (modern)<br />

dan kemungkinan sektor pertanian menjadi sektor yang<br />

memimpin (Schultz, 1963, dan Mellor, 1976).<br />

Ada tiga pilar utama yang dapat dijadikan sebagai<br />

strategi pengurangan kemiskinan (Tulus Tambunan, 2001,<br />

dalam Achma Hendra Setiawan, 2011) :<br />

a. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pro<br />

kemiskinan.<br />

b. Pemerintahan yang baik (good corporate governance).<br />

c. Pembangunan sosial terutama di bidang pendidikan dan<br />

kesehatan.<br />

Selanjutnya, ada tiga strategi pengurangan kemiskinan<br />

menurut Teori Klasik :<br />

a. Perubahan struktural dan ketenagakerjaan.<br />

b. Memperluas kesempatan kerja<br />

c. Redistribusi pendapatan (pajak, subsidi)<br />

Kebijakan penanggulangan kemiskinan menurut Sumodiningrat<br />

(1996) dalam Achma Hendra Setiawan (2011) digolongkan<br />

dalam tiga kelompok, yaitu:


30<br />

a. Kebijakan yang secara tidak langsung mengarah pada<br />

sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang<br />

mendukung kegiatan sosial ekonomi penduduk miskin.<br />

b. Kebijakan yang secara langsung mengarah pada<br />

peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran.<br />

c. Kebijakan khusus yang menjangkau masyarakat miskin dan<br />

daerah terpencil melalui upaya khusus.<br />

Secara garis besar, kebijakan penanggulangan<br />

kemiskinan di Indonesia dapat dibedakan antara sebelum krisis<br />

ekonomi tahun 1998 dengan sesudah krisis ekonomi tahun<br />

1998. Sebelum krisis ekonomi tahun 1998, kebijakan<br />

penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui Program Inpres<br />

Desa Tertinggal (IDT), sedangkan setelah krisis ekonomi 1998<br />

diperkenalkan program-program yang terangkum dalam Jaring<br />

Pengaman Sosial (JPS). Program IDT bertujuan memicu dan<br />

memacu gerakan nasional penanggulangan kemiskinan,<br />

meningkatkan pemerataan atau menciutkan jurang antara si<br />

kaya dan si miskin, dan menggerakkan ekonomi rakyat.<br />

Sasarannya adalah penduduk miskin yang tersebar di 28.376<br />

desa tertinggal. Siapa saja yang termasuk kategori penduduk<br />

miskin ditentukan oleh warga masyarakat sendiri berdasarkan<br />

musyawarah desa.<br />

6. Good Governance<br />

Pada awal tahun 1900-an, diadakan pertemuan negaranegara<br />

donor yang di promotori oleh Bank Dunia. Pertemuan


31<br />

ini, kemudian dikenal sebagai “Konsesnsus Washington.”<br />

Dalam pertemuan itu terungkap, banyak bantuan asing “bocor”<br />

akibat praktik bad governance (pemerintah yang tidak<br />

akuntabel, tidak transparan, penyalahgunaan wewenang,<br />

korupsi, dll). Oleh karena itu, kemudian disepakati bahwa<br />

penerima bantuan harus diberi persyaratan (conditionally), yaitu<br />

ketersediaan untuk mempraktikan good governance<br />

(keterbukaan, demokrasi, check and balance, dll). Maka sejak<br />

pertengahan 1900-an, bantuan asing disertai kondisionalitas<br />

untuk mengurangi kebocoran bantuan asing dan efektivitas<br />

pemerintahan negara berkembang.<br />

Kjaer (2004) menyebutkan bahwa secara etimologis,<br />

governance dapat ditelusuri kembali ke kata kerja Yunani<br />

kubernan (untuk pilot atau mengarahkan) dan digunakan oleh<br />

Plato berkaitan dengan bagaimana merancang sebuah sistem<br />

kekuasaan. Istilah Yunani memunculkan gubernare latin abad<br />

pertengahan, yang memiliki konotasi yang sama piloting,<br />

aturan-membuat atau kemudi. Istilah ini telah digunakan identik<br />

dengan pemerintah, definisi ini sama dalam Kamus Concise<br />

Oxford bahwa, governance adalah "tindakan atau cara<br />

mengatur, kantor atau fungsi mengatur.<br />

Governance merupakan paradigma baru dalam tatanan<br />

pengelolaan kepemerintahan. Ada tiga pilar governance, yaitu:<br />

pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Sementara itu,<br />

paradigma pengelolaan pemerintahan yang sebelumnya


32<br />

berkembang adalah goverment sebagai satu-satunya<br />

penyelenggara pemerintahan (Santosa, 2008).<br />

Dengan bergesernya paradigma dari goverment ke arah<br />

governance, yang menekankan pada kolaborasi dalam<br />

kesetaraan dan keseimbangan antara pemerintah, sektor<br />

swasta, dan masyarakat madani (civil society), maka<br />

dikembangkan pandangan atau paradigma baru administrasi<br />

publik yang disebut dengan kepemerintahan yang baik (good<br />

governance).<br />

World Bank dalam Batubara (2006) mendefinisikan good<br />

governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen<br />

pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan<br />

dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,<br />

penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan<br />

korupsi baik secara politik maupun administrasi, menjalankan<br />

disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework<br />

bagi tumbuhnya aktivitas usaha.<br />

Sedangkan United Nations Development Program<br />

(UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul<br />

Governance for sustainable human development, (1997)<br />

mendefinisikan kepemerintahan (governance) sebagai berikut :<br />

“governance is exercise of economic, political, and<br />

administrative authority to manage a country’s affairs at all level<br />

and means by which states promote social cohesion,<br />

integration, and ensure the well being of their population” atau<br />

kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan/kekuasaan


33<br />

di bidang ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola<br />

berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan<br />

merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong<br />

terciptanya kondisi kesejahteraan negara, intergritas, dan<br />

kohesivitas sosial dalam masyarakat.<br />

Menurut Santosa (2008) Good Governance<br />

mengandung arti hubungan yang sinergis dan konstruktif di<br />

antara negara, sektor swasta, dan masyarakat (society). Dalam<br />

hal ini adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan<br />

menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas,<br />

transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas,<br />

supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.<br />

Sedangkan Sedarmayanti (2008) menjelaskan good<br />

governance adalah merupakan proses penyelenggaraan<br />

kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public<br />

goods and service disebut governance (pemerintah atau<br />

kepemerintahan), sedangkan praktik terbaiknya disebut good<br />

governance (kepemerintahan yang baik). Sependapat dengan<br />

apa yang dikemukakan oleh Santoso, menurut Sedarmayanti<br />

(2008) intitusi governance meliputi tiga domain, yaitu state<br />

(negara atau pemerintah),private sector (sektor swasta atau<br />

dunia usaha), dan society (masyarakat) yang saling berinteraksi<br />

dan menjalankan fungsinya masing-masing. State berfungsi<br />

menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif,<br />

private sector menciptakan pekerjaan dan pendapatan,<br />

sedangkan society berperan positif dalam kelompok


34<br />

masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial<br />

dan politik. Berikut ini adalah gambar hubungan antar sektor.<br />

State<br />

Society<br />

Private Sector<br />

Gambar 2.2. Hubungan antar sektor<br />

Lembaga Administrasi Negara dalam Sedarmayanti<br />

(2008) menyimpulkan bahwa wujud good governance adalah<br />

penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan<br />

bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga<br />

“kesinergian” interaksi yang konstruktif diantara domain-domain<br />

negara, sektor swasta dan masyarakat.<br />

Pengertian good governance menurut Mardiasmo (2006)<br />

adalah suatu konsep pendekatan yang berorientasi kepada<br />

pembangunan sektor publik oleh pemerintahan yang baik.<br />

Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000<br />

merumuskan arti good governance sebagai berikut:<br />

“kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan


35<br />

prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi,<br />

pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi<br />

hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat”.<br />

Dari banyak perspektif yang berbeda sebagaimana di<br />

atas dalam menjelaskan konsep good governance maka tidak<br />

mengherankan jika kemudian terdapat banyak pemahaman<br />

yang berbeda-beda mengenai good governance. Dwiyanto<br />

(2006) mengemukakan ada beberapa karakteristik dan nilai<br />

yang melekat dalam praktek good governance, yaitu :<br />

a. Praktik good governance harus memberi ruang kepada aktor<br />

lembaga non pemerintah untuk berperanserta secara optimal<br />

dalam kegiatan pemerintahan sehingga memungkinkan<br />

adanya sinergi diantara aktor dan lembaga pemerintah<br />

dengan non pemerintah seperti masyarakat sipil dan<br />

mekanisme pasar.<br />

b. Dalam praktik good governance terkandung nilai-nilai yang<br />

membuat pemerintahan dapat lebih efektif bekerja untuk<br />

mewujudkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai seperti<br />

efisiensi, keadilan dan daya tanggap menjadi nilai yang<br />

penting.<br />

c. Praktik good governance adalah praktik pemerintahan yang<br />

bersih dan bebas dari praktik KKN serta berorientasi pada<br />

kepentingan publik.<br />

Karena itu, praktik kepemerintahan dinilai baik jika mampu<br />

mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas<br />

publik.


36<br />

Dalam modul penerapan prinsip-prinsip tata<br />

kepemerintahan yang baik pada sesi yang keempat oleh<br />

Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata<br />

Kepemerintahan Yang Baik BAPPENAS tahun 2007<br />

mengungkapkan mengenai prinsip-prinsip tata kepemerintahan<br />

yang baik yang meliputi 14 prinsip, yaitu :<br />

a. Wawasan ke Depan (Visionary)<br />

b. Keterbukaan dan Transparansi (Openness and<br />

Transparency)<br />

c. Partisipasi Masyarakat (Participation)<br />

d. Tanggung Jawab (Accountability)<br />

e. Supremasi Hukum (Rule of Law)<br />

f. Demokrasi (Democracy)<br />

g. Profesionalisme dan Kompetensi (Profesionalism and<br />

Competency)<br />

h. Daya Tanggap (Responsiveness)<br />

i. Efisiensi dan Efektivitas (Efficiency and Effectiveness)<br />

j. Desentralisasi (Decentralization)<br />

k. Kemitraan dengan Dunia Usaha Swasta dan Masyarakat<br />

(Private Sector and Civil Society Partnership)<br />

l. Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan (Commitment to<br />

Reduce Inequality)<br />

m. Komitmen pada Perlindungan Lingkungan Hidup<br />

(Commitment to Environmental Protection)<br />

n. Komitmen pada Pasar yang Fair (Commitment to Fair<br />

Market).


37<br />

Sedangkan menurut UNDP dalam Sedarmayanti (2008)<br />

mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip yang harus<br />

dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan<br />

kepemerintahan yang baik, meliputi:<br />

a. Partisipasi (Participation)<br />

Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun<br />

perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses<br />

pengambilan keputusan, baik secara langsung, maupun<br />

melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan<br />

aspirasinya masing-masing.<br />

b. Aturan Hukum (Rule of Law)<br />

Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus<br />

berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama<br />

aturan hukum tentang hak asasi manusia.<br />

c. Transparansi (Transparency)<br />

Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan<br />

aliran informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan<br />

informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang<br />

membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat<br />

dimonitor.<br />

d. Daya Tanggap (Responsiveness)<br />

Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya<br />

untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan<br />

(stakeholders).


38<br />

e. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation)<br />

Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah<br />

bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai<br />

konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan<br />

masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat<br />

diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur<br />

yang akan ditetapkan pemerintah.<br />

f. Berkeadilan (Equity)<br />

Pemerintah yang baik akan memberi kesempatan yang baik<br />

terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka<br />

untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.<br />

g. Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)<br />

Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk<br />

menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan<br />

kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya<br />

berbagai sumber-sumber yang tersedia.<br />

h. Akuntabilitas (Accountability)<br />

Para pengambil keputusan dalam organisasi publik, swasta,<br />

dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban<br />

(akuntabilitas) ke arah publik (masyarakat umum),<br />

sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders).<br />

i. Visi Strategis (Strategic Vision)<br />

Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang<br />

luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan<br />

pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia,


39<br />

bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk<br />

pembangunan tersebut.<br />

Dari berbagai prinsip-prinsip good governance yang<br />

dikemukakan di atas, terdapat beberapa unsur utama yang<br />

mencerminkan kepemerintahan yang baik (good governance).<br />

Menurut Sedarmayanti (2008) terdapat prinsip utama yang<br />

mencerminkan kepemerintahan yang baik, yaitu :<br />

a. Akuntabilitas : Adanya kewajiban bagi aparatur pemerintah<br />

untuk bertindak selaku penanggungjawab dan penanggung<br />

gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang<br />

ditetapkannya.<br />

b. Transparansi : Kepemerintahan yang baik akan bersih dan<br />

transparan terhadap rakyatnya, baik ditingkat pusat maupun<br />

daerah.<br />

c. Keterbukaan : menghendaki terbukanya kesempatan bagi<br />

rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap<br />

pemerintah yang dinilai tidak transparan.<br />

d. Aturan hukum : Kepemerintahan yang baik mempunyai<br />

karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa<br />

keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang<br />

ditempuh.<br />

Sedangkan pendapat lain dari Dwiyanto (2014) praktik<br />

good governance adalah praktik pemerintahan yang bersih dan<br />

bebas dari praktik KKN serta berorientasi pada kepentingan<br />

publik. Karena itu, praktik kepemerintahan dinilai baik jika


40<br />

mampu mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan<br />

akuntabilitas publik.<br />

7. Pendidikan yang Baik dan Berkualitas<br />

Keberhasilan pembangunan pendidikan nasional<br />

ditentukan oleh kualitas gurunya serta perangkat sekolah yang<br />

bertindak sebagai sumberdaya manusia. Sebagai roda<br />

penggerak tingkat keberhasilan pembangunan, sekolah dalam<br />

hal ini termasuk perangkat sistem di dalamnya merupakan<br />

pengambil keputusan, penentu kebijakan, perancang, pemikir,<br />

perencana juga pelaksana terdepan pelaku kontrol sekaligus<br />

pengamat serta pengawas pembangunan dalam bidang<br />

pendidikan.<br />

Mengingat keberadaan sumberdaya manusia merupakan<br />

syarat utama bagi keberhasilan pembangunan pendidikan<br />

dewasa ini, maka kualitas pendidikan harus mendapat<br />

perhatian khusus dari pemerintah secara terus-menerus dan<br />

berkesinambungan sehingga dapat mengimbangi kemajuan<br />

dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang sejalan dengan<br />

perkembangan pembangunan nasional yang tengah di rintis<br />

pada saat ini. Pendidikan akan sangat berarti apabila<br />

pendidikan yang bersangkutan memiliki sistem yang berkualitas<br />

serta relevan dengan pembangunan dewasa ini, mengingat hal<br />

tersebut maka dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya<br />

manusia secara menyeluruh dan berlangsung secara terus<br />

menerus, yang tentu saja tidak lepas dari arah kebijakan


41<br />

pemerintah dengan strategi pengembangan yang sudah<br />

sedemikian rupa di rancang sehingga peningkatan kualitas<br />

pendidikan merupakan kebijakan dan program yang harus<br />

dilaksanakan secara optimal.<br />

Pada dasarnya peningkatan mutu pendidikan harus<br />

dimulai pada sekolah dasar, mengingat pendidikan sekolah<br />

dasar merupakan fondasi untuk pengembangan ke jenjang<br />

pendidikan selanjutnya, akan lebih baik lagi apabila orang tua<br />

berinisiatif menyekolahkan anak-anaknya yang dimulai dari<br />

pendidikan taman kanak-kanak, maka akan lebih efektif lagi<br />

dalam pengembangannya ketika peserta didik berada pada<br />

jenjang pendidikan dasar. Jenjang pendidikan dasar<br />

merupakan bentuk satuan pendidikan yang sangat penting<br />

keberadaannya, dalam hal ini seorang anak tanpa menempuh<br />

sekolah pendidikan dasar maka yang bersangkutan tidak akan<br />

bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.<br />

Keberhasilan peserta didik dalam menempuh pendidikan pada<br />

jenjang pendidikan selanjutnya sangatlah ditentukan oleh<br />

standar kompetensi pada jenjang pendidikan dasar, dengan<br />

demikian jelas bahwa pemerintah harus benar-benar jeli dan<br />

tanggap untuk senantiasa melakukan terobosan-terobosan<br />

untuk mengembangkan kompetensi yang harus dikuasai oleh<br />

guru sekolah dasar. Hal ini dimaksudkan agar cita-cita yang<br />

ingin di capai untuk peningkatan mutu pendidikan dapat<br />

terwujud sesuai yang tertuang dalam tujuan pendidikan<br />

nasional.


42<br />

Berkaitan dengan peningkatan kualitas pendidikan pada<br />

jenjang pendidikan sekolah dasar yang merupakan standar<br />

prioritas untuk tingkat keberhasilan peserta didik pada jenjang<br />

pendidikan selanjutnya, ada dua hal yang harus dilaksanakan<br />

yaitu, sebagai langkah pertama adalah subtansi peningkatan<br />

mutu pendidikan dan langkah berikutnya adalah strategi<br />

peningkatan mutu pendidikan yang lebih difokuskan kepada<br />

strategi pengembangan sekolah dasar secara menyeluruh.<br />

Selanjutnya dalam peningkatan mutu pendidikan harus<br />

dipusatkan kepada pembinaan kegiatan belajar mengajar<br />

dalam berbagai komponen pendukungnya yaitu<br />

profesionalisme guru, sarana dan prasarana belajar,<br />

manajemen pendidikan, penampilan dan fisik sekolah, serta<br />

partisipasi masyarakat.<br />

a. Sekolah<br />

Sekolah merupakan suatu lembaga atau organisasi yang<br />

didalamnya terdiri dari perangkat sistem yang terdiri dari:<br />

pimpinan sekolah, guru yang bertindak sebagai obyek pelaku<br />

dan pengelola administrasi serta orang tua dari peserta didik<br />

yang menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan<br />

tersebut. Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan, dalam<br />

hal ini sekolah, tidak terlepas dari kemampuan profesional<br />

dari pimpinan dalam mengendalikan perangkat di dalamnya<br />

dengan komitmen pada tugas pokok dan fungsi, mengingat<br />

pimpinan yang baik adalah seseorang yang tahu kecakapan<br />

yang dimiliki oleh mitra kerjanya sehingga yang


43<br />

bersangkutan tahu memposisikan dimana guru di tempatkan<br />

sesuai dengan keakhlian yang dimilikinya. Pendidikan<br />

sekolah dasar, mengemban misi sebagai lembaga<br />

pendidikan yang menyelenggarakan proses pembelajaran<br />

yang merupakan pondasi bagi peserta didik, guru di sini<br />

mengemban tugas memberikan bekal yang berfungsi<br />

sebagai kemampuan dasar bagi peserta didik untuk siap dan<br />

layak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan<br />

diatasnya.<br />

b. Peran masyarakat sekolah<br />

Berbicara peserta didik, tidak lepas dari orang tua yang<br />

bertindak sebagai subyek pelaku. Pada posisinya ketika<br />

sekolah banyak melibatkan orang tua siswa dalam<br />

penerapan kebijakan-kebijakan yang dijalankannya dan<br />

membuat orang tua mengerti tentang program-program<br />

sekolah yang dijalankan maka pihak sekolah akan mendapat<br />

banyak kemudahan, dimana peran serta orang tua secara<br />

finansial turut andil menjadi bagian yang berperan serta aktif<br />

dalam membangun pendidikan ini agar berjalan dengan<br />

maksimal tanpa kendala yang berarti. Peran aktif orang tua<br />

siswa sangat menunjang kelangsungan pelaksanaan<br />

program-program sekolah yang akan dilaksanakan dimana<br />

minimal diperlukan sekurang-kurangnya enam kali<br />

pertemuan dengan orang tua dalam satu tahunnya sehingga<br />

akan mempermudah bagi sekolah dalam mengambil<br />

keputusan-keputusan yang akan dijalankan karena adanya


44<br />

partisipasi masyarakat dalam hal ini orang tua peserta didik.<br />

Dengan kemudahan pengambilan keputusan perihal<br />

pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi<br />

pendidikan, akan lebih mengoptimalkan pengelolaan<br />

sumberdaya manusia sesuai dengan program prioritas<br />

sekolah untuk lebih eksis dalam memenuhi kebutuhan<br />

sekolah karena tersedianya fasilitas penunjang secara<br />

maksimal. Hal ini akan dapat mempermudah dalam transfer<br />

ilmu pengetahuan, keterampilan untuk mendapatkan<br />

pendidikan yang berkualitas sesuai yang diharapkan.<br />

c. Peran peserta didik<br />

Peran peserta didik sebagai subyek belajar yang merupakan<br />

individu dari berbagai karakter, adat istiadat, lingkungan<br />

sosial, cara pendidikan orang tua yang variatif, serta daya<br />

nalar dan kecerdasan yang tentu saja berbeda, merupakan<br />

bahan pertimbangan bagi guru untuk lebih mengenal lagi<br />

peserta didik sebagai individu dengan ciri-ciri seperti: 1)<br />

dalam diri peserta didik ada syaraf yang memiliki fungsi<br />

rasional dan secara refleks menggerakkan tingkah laku<br />

intelektual sebagai makhluk sosial, 2) secara individu peserta<br />

didik memiliki potensi dan kompetensi walaupun dalam<br />

keterbatasan, dalam hal ini peserta didik sebagai makhluk<br />

sosial tidak lepas dari perilaku yang baik dan buruk, 3) sisi<br />

lingkungan adalah penentu tingkah laku bagi peserta didik<br />

secara individu yang merupakan pengalaman dari<br />

kemampuan untuk bergaul. Dengan demikian peserta didik


45<br />

merupakan titik sentral dari target atau rancang bangun<br />

sistem yang akan dijalankan. Peserta didik merupakan faktor<br />

penentu dalam pengembangan proses belajar mengajar<br />

dimana peserta didik merupakan pihak yang ingin mencapai<br />

segala yang telah dicita-citakan, memiliki harapan serta<br />

tujuan yang hendak dicapai melalui kompetensi yang di<br />

kuasainya. Keberadaan peserta didik dalam proses belajar<br />

mengajar sebagai individu yang belum dewasa baik secara<br />

jasmani maupun rohani yang memerlukan bimbingan,<br />

arahan serta pembinaan dari guru secara terus menerus<br />

untuk mencapai tingkat kedewasaan sesuai proses yang<br />

dilaluinya sehingga memiliki suatu kecakapan. Disamping<br />

melalui proses belajar maka bentuk-bentuk kemampuan<br />

yang ada secara kodrati dengan sendirinya akan muncul<br />

sehingga peserta didik dapat menguasai kecakapan khusus<br />

setelah melalui proses belajar mengajar secara bertahap.<br />

Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam proses belajar<br />

mengajar yang bertujuan untuk menginformasikan materi<br />

pelajaran yang dilengkapi dengan sarana prasarana<br />

sehingga materi yang disampaikan dapat dipahami dengan<br />

jelas, seperti:<br />

Kebutuhan jasmani dan rohani<br />

Kebutuhan sosial<br />

Kebutuhan intelektual<br />

Akan lebih mudah apabila hal-hal diatas menjadi bahan<br />

pertimbangan untuk mensikapi kelangsungan pelaksanaan


46<br />

proses belajar mengajar sehingga peserta didik dalam<br />

pertumbuhan dan perkembangannya dapat berjalan dengan<br />

normal dan mencapai tujuan yang diharapkan baik oleh<br />

pihak orang tua, sekolah maupun pemerintah. Untuk<br />

mempermudah transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan<br />

juga pesan moral yang disampaikan kepada peserta didik<br />

maka seyogyanya guru mengenal lebih dekat hal-hal yang<br />

berkaitan dengan peserta didik, yaitu :<br />

Latar belakang dan tingkat pengetahuan<br />

Cara belajar<br />

Usia dan tingkat kematangan<br />

Spektrum dan ruang lingkup minat<br />

Lingkungan sosial ekonomi<br />

Hambatan-hambatan lingkungan dan kebudayaan<br />

Inteligensia<br />

Keselarasan dan sikap<br />

Prestasi belajar<br />

Motivasi<br />

Dengan mengenal hal-hal diatas, dapat lebih mempermudah<br />

guru dalam menjalankan tugasnya mengajar sekaligus<br />

mendidik serta mengembangkan metode pembelajaran<br />

sehingga peningkatan kualitas pendidikan dapat tercapai<br />

sesuai yang diharapkan.


47<br />

d. Peran guru sebagai tenaga profesional.<br />

Guru merupakan bagian terpenting yang berperan dalam<br />

pemberdayaan peserta didik, mengingat guru memiliki andil<br />

besar dalam proses pelaksanaan pembelajaran. Guru<br />

berkewajiban untuk berperan aktif dalam menempatkan<br />

tuntutan masyarakat akan kompetensi yang harus di kuasai<br />

oleh peserta didik dengan memposisikan diri sebagai tenaga<br />

profesional yang memiliki tanggung jawab untuk membentuk<br />

bakat, minat serta prestasi peserta didik yang menguasai<br />

suatu kecakapan dan dapat bermanfaat di kemudian hari<br />

sebagai generasi bangsa yang punya nilai jual dan siap<br />

menjadi manusia produktif serta tepat guna. Guru sebagai<br />

tenaga profesional mengandung arti bahwa profesi guru<br />

adalah suatu pekerjaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan<br />

teknologi dengan ciri mengandung filosofis dan kebijakan<br />

sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya, memiliki<br />

ketelitian serta kecermatan dalam menentukan langkah serta<br />

sikap pada saat berhadapan dengan peserta didik. Guru<br />

memiliki latar belakang teori yang luas, berwawasan luas,<br />

dan berkeahlian khusus yang handal. Profesi guru<br />

merupakan karir yang dibina secara organistor dalam artian<br />

guru memiliki hak otonomi jabatan, kode etik jabatan, dan<br />

berkarya seumur hidup. Guru sebagaimana diakui<br />

masyarakat sebagai pekerjaan yang terhormat serta memiliki<br />

dedikasi tinggi memperoleh pengesahan dan perlindungan<br />

hukum, memiliki status pekerjaan yang jelas dan sehat, serta


48<br />

memiliki jaminan hidup yang layak. Profesi guru dengan<br />

berbagai kriterianya akan membawa konsekuensi yang<br />

fundamental terhadap lajunya program pendidikan terutama<br />

yang berkaitan dengan tenaga kependidikan. Hal ini<br />

mengandung arti bahwa keberhasilan program pendidikan<br />

tidak lepas dari peran aktif guru secara keseluruhan, baik<br />

sebagai sumberdaya manusia atau sebagai pihak yang<br />

berkepentingan dalam kelangsungan keberhasilan peserta<br />

didik sebagaimana yang tertuang dalam tujuan pendidikan<br />

nasional yang telah di gariskan.<br />

e. Peran guru sebagai pendidik dan pembimbing.<br />

Guru dengan jabatan fungsionalnya sebagai tenaga<br />

kependidikan profesional dan mendapat kepercayaan penuh<br />

dari masyarakat harus memiliki segudang prestasi dengan<br />

sejumlah ilmu pengetahuan dan teknologi yang berarti guru<br />

adalah gudangnya ilmu. Guru tidak cukup hanya menguasai<br />

materi pelajaran saja, namun hendaknya mampu secara<br />

maksimal menunjukkan kepiawaian yang lebih yang disertai<br />

dengan tingkat kedewasaan yang matang, disamping itu<br />

guru juga harus mampu memposisikan diri sebagai orang tua<br />

kedua bagi peserta didik, teman, sahabat, juga lawan bicara<br />

yang menyenangkan sehingga peserta didik akan merasa<br />

nyaman bila berhadapan dengan figur guru. Dalam<br />

keseharian guru tidak hanya menguasai dan menyampaikan<br />

materi pelajaran saja tapi juga membimbing, mengarahkan,<br />

dan membina peserta didik sehingga memiliki karakter yang


49<br />

terpuji. Melalui pendidikan guru dapat secara bertahap<br />

menanamkan nilai-nilai moral yang tidak lepas dari contohcontoh<br />

yang dilakukan sehingga akan menjadi suri tauladan<br />

bagi peserta didik. Pada saat ini banyak guru hanya<br />

berperan sebagai tenaga pengajar saja, secara umum hal ini<br />

akan memberikan kesan bahwa guru cenderung hanya<br />

mengejar tingkat keberhasilan peserta didiknya yang<br />

terfokus pada nilai-nilai dari mata pelajarannya saja, dan<br />

kurang memperhatikan tingkah laku atau tindakan moral<br />

peserta didik dalam kehidupan sehari-harinya.Guru adalah<br />

suatu profesi yang memiliki warna dan nuansa dimata<br />

peserta didik, masyarakat atau lingkungan sosial dimana<br />

guru itu bertempat tinggal. Dalam kaitan dengan fungsinya<br />

sebagai pendidik maka sosok guru merupakan sosok yang<br />

harus memiliki integritas, dimana seorang guru sekaligus<br />

sebagai pembimbing, mengarahkan, dan membina yang<br />

merupakan bagian dari upaya pendidikan yang mutlak harus<br />

dilakukan. Pada pelaksanaan proses pembelajaran baik<br />

yang berlangsung di dalam sekolah maupun di luar sekolah,<br />

guru memiliki dua fungsi yaitu fungsi moral dan fungsi<br />

kedinasan. Intinya adalah bahwa dalam kehidupan seharihari<br />

baik dalam lingkungan kedinasan ataupun diluar<br />

kedinasan yang kelihatan adalah fungsi moralnya yang tidak<br />

bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-harinya, sehingga<br />

selalu diposisikan sebagai pembimbing dan juga pendidik.<br />

Nuansa fungsi moral mewarnai dalam wujud pekerjaan


50<br />

sebagai abdi negara karena dan dari sisi finansial harus<br />

dikesampingkan. Guru sebagai abdi negara senantiasa<br />

harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :<br />

Panggilan sesuai hati nurani.<br />

Senantiasa menyayangi dan mencintai peserta didik.<br />

Menerima peserta didik dengan segala kekurangan dan<br />

kelemahannya.<br />

Tidak memilah-milah keberadaan peserta didik.<br />

Menjalankan tugas dan fungsi sebagai guru dengan<br />

penuh rasa tanggung jawab dan menyadari sepenuhnya<br />

akan tugas dan fungsi sebagai guru.<br />

Pendidikan adalah upaya yang harus di jalankan oleh guru<br />

terhadap peserta didik untuk mencapai pertumbuhan serta<br />

perkembangan peserta didik kearah kedewasaan berbekal<br />

sejumlah ilmu pengetahuan dan teknologi sehinggga mampu<br />

memilah antara benar dan salah, baik dan buruk serta<br />

memiliki nilai moral yang dapat dipertanggung jawabkan dan<br />

mempunyai kecakapan. Dengan demikian akan<br />

menimbulkan kepercayaan dari masyarakat terhadap<br />

lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah serta mempunyai<br />

nilai jual yang tinggi sebagai sekolah favorit. Dengan<br />

sendirinya masyarakatlah yang akan mendatangi sekolah<br />

bersangkutan karena memiliki perangkat system yang<br />

berkualitas sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah<br />

melalui pendidikan yang baik dan berkuaitas.


51<br />

B. Kerangka Pemikiran<br />

Paradigma baru pembangunan perdesaan dan<br />

pengentasan kemiskinan di perdesaan, bertumpuh pada<br />

pemberdayaan masyarakat desa. Potensi desa dan potensi<br />

masyarakat desa harus diberdayakan. Demikian pula dalam<br />

memahami masalah kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan.<br />

Diperlukan data dan analisis mengenai distribusi pendapatan<br />

penduduk rumah tangga dan indeks kemiskinan Manusia dari<br />

masing-masing kabupaten untuk dapat menyusun strategi<br />

penanggulangan kemiskinan yang tepat dan terpadu.<br />

Penelitian ini melihat dari dua sisi dalam menanggulangi<br />

kemiskinan, sisi pertama adalah mencari penyebab kemiskinan.<br />

Kemiskinan terkait dengan masalah ketidakmerataan<br />

pendapatan rumah tangga. Sisi kedua adalah perlunya<br />

menemukan wilayah mana yang tergolong berpenduduk miskin<br />

dan tidak miskin berdasarkan indeks kemiskinan manusia yang<br />

berupa tingkat kehidupan, tingkat pendidikan dan tingkat<br />

ketetapan ekonomi. Hasil perhitungan dari indeks kemiskinan<br />

manusia diharapkan mampu mengkategorikan wilayah mana<br />

yang tergolong berpenduduk miskin dan tidak miskin.<br />

Melalui identifikasi dan analisis mengenai distribusi<br />

pendapatan rumah tangga dan pengkategorian wilayah, dapat<br />

dirumuskan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat<br />

dan terpadu. Strategi pembangunan yang akan dirumuskan<br />

adalah strategi pembangunan yang pro bagi pengentasan<br />

kemiskinan dan bukan semata-mata lebih mengutamakan


52<br />

orang kaya. Tidak hanya hal tersebut di atas, strategi<br />

pembangunan yang dirumuskan adalah bukan pembangunan<br />

yang lebih mengutamakan perbaikan fisik semata dan<br />

pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pembangunan yang<br />

mampu memberdayakan potensi dan masyarakat sampai ke<br />

tingkat desa.<br />

Strategi pembangunan tersebut dituangkan dalam<br />

rumusan alternatif strategis pembangunan dalam<br />

mengentaskan kemiskinan. Tujuan utama dari rumusan<br />

tersebut adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan<br />

berkurangnya kemiskinan di Sulawesi Selatan.<br />

Kemiskinan<br />

Analisis Disparitas<br />

Pendapatan Rumahtangga<br />

Gini Ratio<br />

Kategori Penduduk<br />

Miskin atau Tidak Miskin<br />

Indeks<br />

Kemiskinan<br />

Manusia<br />

Alternatif Strategi<br />

Pengentasan Kemiskinan<br />

Rekomendasi Kebijakan<br />

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian


53<br />

BAB III. METODE PENELITIAN<br />

A. Pendekatan Penelitian<br />

Pendekatan penelitian yang akan digunakan adalah<br />

metode deskriptif kualitatif. Hal ini dikarenakan penelitian ini<br />

berupaya untuk menghasilkan strategi penanggulangan<br />

kemiskinan yang berbasis Good Governance dan Good<br />

Education di Provinsi Sulawesi Selatan yang didasarkan pada<br />

tiga sumber informasi yaitu pengelola kegiatan, pemangku<br />

kepentingan dan penduduk miskin itu sendiri (triangulation).<br />

Untuk memperoleh data, dilakukan melalui wawancara<br />

mendalam baik kepada warga miskin sebagai penerima<br />

program (beneficiaries) pengentasan kemiskinan, tokoh<br />

masyarakat, maupun tentunya para pejabat pemangku<br />

kepentingan yang terkait langsung dengan implementasi<br />

penanggulangan kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan. Bila<br />

diperlukan dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan<br />

para pejabat SKPD terkait yang dimaksudkan selain untuk<br />

pendalaman materi, juga sebagai media trianggulasi guna<br />

mendapatkan informasi yang akurat. Data pendukung lainnya<br />

diambil dari berbagai sumber melalui observasi maupun<br />

analisis dokumen yang terkait dengan strategi penanggulangan<br />

kemiskinan di Sulawesi Selatan.<br />

Dalam penelitian ini yang dimaksud masyarakat miskin<br />

adalah kelompok Rumah Tangga Miskin yang tergolong dalam<br />

rumahtangga pra-sejahtera dan sejahtera I seperti yang telah


54<br />

ditetapkan oleh BPS. Sementara itu, ruang lingkup analisis<br />

mencakup distribusi pendapatan rumahtangga di wilayah<br />

Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini juga mencakup faktorfaktor<br />

yang menentukan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)<br />

diantaranya angka harapan hidup, tingkat pendidikan,<br />

aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih serta<br />

angka balita yang gizi buruk.<br />

B. Lokasi dan Waktu<br />

Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Sulawesi<br />

Selatan yaitu mencakup Kabupaten Jeneponto, Pangkep dan<br />

Toraja Utara, merupakan daerah kabupaten yang mempunyai<br />

angka kemiskinan yang tinggi. Lokasi kegiatan dilakukan<br />

dengan pertimbangan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan masih<br />

mempunyai cukup banyak penduduk miskin dan tolok ukur<br />

keberhasilan pembangunan daerah adalah berkurangnya<br />

jumlah penduduk miskin. Penelitian ini dilaksanakan selama 3<br />

bulan yaitu sejak Bulan Januari 2016 (persiapan) hingga Bulan<br />

Maret 2016 (Pembuatan laporan Akhir).<br />

C. Populasi dan Sampel<br />

Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam<br />

penelitian ini adalah non probability sampling. Informan yang<br />

ditentukan dalam penelitian dibagi dalam tiga kelompok<br />

(triangulation), yaitu; unsur pemerintah, unsur tokoh<br />

masyarakat dan unsur kelompok masyarakat itu sendiri<br />

(khususnya masyarakat miskin).


55<br />

Pemilihan sampel untuk keluarga sejahtera dan pra<br />

sejahtera di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan menggunakan<br />

teknik stratified random sampling artinya responden dipilih<br />

berdasarkan pada penggolongan keluarga sejahtera dan pra<br />

sejahtera yang diperoleh dari BPS Provinsi Sulawesi Selatan.<br />

Adapun jumlah responden yang dijadikan sampel berjumlah<br />

152 responden yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi<br />

Sulawesi Selatan yang dipilih secara acak.<br />

D. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data<br />

Data yang digunakan dalam kegiatan ini terdiri dari data<br />

primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil<br />

wawancara melalui pengisian kuesioner terhadap responden.<br />

Kuesioner disusun untuk mengidentifikasi dan menganalisis<br />

distribusi pendapatan. Kuesioner ini disajikan dalam dua<br />

format, yaitu :<br />

a. Pertanyaan terbuka (Open Ended Question), merupakan<br />

format pertanyaan yang tidak mengiring ke satu jawaban<br />

yang sudah ditentukan sehingga responden bebas<br />

menjawab sesuai pikirannya.<br />

b. Pertanyaan tertutup (Close Ended Question), yaitu berupa<br />

pertanyaan yang alternatif jawabannya telah disediakan<br />

sehingga responden hanya memilih salah satu jawaban yang<br />

menurutnya paling sesuai.<br />

Dalam kegiatan ini data sekunder bersumber dari Badan<br />

Pusat Statistik (BPS), Provinsi Sulawesi Selatan Dalam Angka,


56<br />

serta informasi-informasi lainnya yang berkaitan dengan<br />

kegiatan ini yang diperoleh dari buku-buku literatur, media<br />

cetak, perpustakaan dan internet dalam bentuk studi<br />

dokumentasi.<br />

E. Model Analisis<br />

1. Analisis Deskriptif<br />

Analisis deskriptif dalam kegiatan ini digunakan untuk<br />

melakukan analisis terhadap data-data yang bersifat kualitatif<br />

dan interpretasi terhadap data-data kuantitatif seperti hasil<br />

analisis Gini Ratio dan Indeks Kemiskinan Manusia.<br />

2. Analisis Gini Ratio<br />

Langkah pertama untuk menentukan Gini Ratio<br />

digunakan cara dengan membagi penduduk menjadi sepuluh<br />

bagian dari kelompok termiskin hingga terkaya. Langkah<br />

selanjutnya adalah melaporkan tingkat atau proposisi<br />

pendapatan (pengeluaran) yang diterima oleh setiap kelompok.<br />

Dalam membentuk Gini Ratio dapat menggambarkan<br />

grafik persentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga<br />

terkaya) pada sumbu horizontal dan persentase kumulatif<br />

pengeluaran (pendapatan) pada sumbu vertikal. Hal tersebut<br />

menghasilkan kurva Lorenz. Misalkan titik (xi, yi) suatu titik yang<br />

membentuk kurva Lorenz, maka :<br />

n<br />

Koefisien Gini = 1 - ∑ (xi – xi-1) (yi – yi-1)<br />

i=1


57<br />

Kisaran nilai gini 0 ≤ gini ≤ 1<br />

Pengertian nilai :<br />

0 berarti pemerataan sempurna<br />

1 berarti ketimpangan sempurna<br />

3. Indeks Kemiskinan Manusia<br />

Indeks Kemiskinan Manusia adalah indeks komposit<br />

yang mengukur deprivasi (keterbelakangan) dalam tiga<br />

dimensi: lamanya hidup, pengetahuan dan standar hidup layak.<br />

Indeks tersebut di susun dari tiga indikator: penduduk yang<br />

diperkirakan tidak berumur panjang, ketertinggalan dalam<br />

pendidikan dan keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar<br />

(BPS, 2004).<br />

Indikator pertama diukur dengan peluang suatu populasi<br />

untuk tidak bertahan hidup sampai umur 40 tahun (P1), maka :<br />

∑ M<br />

P1 = -------- x 100<br />

N<br />

Indikator kedua diukur dengan angka buta huruf dewasa atau<br />

penduduk usia 15 tahun ke atas (P2), maka :<br />

∑ I<br />

P2 = -------- x 100<br />

N<br />

Adapun keterbatasan akses pelayanan dasar (P3) terdiri dari :<br />

- Persentase penduduk yang tidak memiliki akses ke sarana<br />

kesehatan (P3A) didefinisikan sebagai persentase rumah<br />

tangga yang tinggal di tempat yang jaraknya 5 km atau lebih<br />

dari sarana kesehatan.


58<br />

- Persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih (P3B)<br />

didefinisikan sebagai persentase rumah tangga yang tidak<br />

menggunakan air PAM, air pompa air sumur yang letaknya<br />

lebih dari 10 meter dari septic-tank.<br />

- Persentase anak berumur lima tahun ke bawah (balita)<br />

dengan status gizi kurang (P3C) didefinisikan sebagai<br />

persentase balita yang tergolong status gizi buruk dan<br />

kurang.<br />

Nilai komposit dari keterbatasan akses pelayanan dasar<br />

dirumuskan sebagai berikut :<br />

1<br />

P3 = ---- (P3A + P3B + P3C)<br />

3<br />

Metode penghitungan IKM mengikuti metode yang digunakan<br />

dalam Human Development Report Tahun 1997 yang<br />

diterbitkan oleh UNDP sebagai berikut :<br />

1<br />

IKM = [ ---- (P1 3 + P2 3 + P3 3 ) ] 1/3<br />

3<br />

Keterangan :<br />

∑ M = jumlah penduduk diperkirakan hidup tidak mencapai<br />

usia 40 tahun (jiwa)<br />

∑ I = jumlah penduduk dewasa usia di atas 15 tahun yang<br />

buta huruf (jiwa)<br />

N = jumlah penduduk total (jiwa)<br />

Wilayah dikatakan sebagai wilayah yang berpenduduk<br />

miskin jika wilayah tersebut memiliki IKM lebih tinggi dari IKM<br />

wilayah di atasnya.


59<br />

BAB IV. HASIL PENELITIAN <strong>DAN</strong> PEMBAHASAN<br />

A. Gambaran Umum Kemiskinan di Sulawesi Selatan<br />

Jumlah penduduk miskin di Provinsi Sulawesi Selatan<br />

cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada<br />

tahun 2007 jumlah penduduk miskin mencapai 1 juta jiwa lebih<br />

dan pada tahun 2015 menurun hingga 806 ribu jiwa lebih.<br />

Jumlah penduduk miskin terendah pernah dicapai pada tahun<br />

2012 sebesar 805 ribu jiwa lebih, namun kemudian mengalami<br />

peningkatan pada tahun 2013 dan kembali menurun pada<br />

tahun 2014 dan 2015. Secara umum, angka kemiskinan di<br />

Provinsi Sulawesi Selatan berada di bawah rata-rata<br />

kemiskinan secara nasional.<br />

Tingkat kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan pada<br />

tahun 2015 sebesar 9,54% jumlah total jumlah penduduk atau<br />

sebanyak 806.350 jiwa yang menurun dari tahun sebelumnya<br />

863.230 jiwa, yang terdiri dari jumlah penduduk miskin di<br />

perkotaan sebanyak 154.400 jiwa dan di wilayah pedesaan<br />

sebanyak 651.950 jiwa. Garis kemiskinan pada tahun 2015<br />

sebesar Rp. 229.222 atau berubah sekitar 5,4%. Garis<br />

kemiskinan makanan terlihat tinggi di wilayah pedesaan<br />

sementara garis kemiskinan bukan makanan menunjukkan<br />

angka yang tinggi di wilayah perkotaan. Namun dalam<br />

perkembangannya terlihat bahwa garis kemiskinan makanan<br />

mengalami peningkatan yang lebih besar di pedesaan dan<br />

sebaliknya di perkotaan. Selanjutnya secara umum garis


60<br />

kemiskinan di pedesaan meningkat lebih tinggi yakni sebesar<br />

5,8% dibandingkan dengan di wilayah perkotaan yakni sebesar<br />

4,6%. Sedangkan jumlah penduduk miskin pedesaan<br />

mengalami penurunan sebesar 7,1% sementara di wilayah<br />

perkotaan menurun 4,5%. Hal ini berarti bahwa sebagian besar<br />

masyarakat telah memiliki kemampuan untuk bertahan dan<br />

memiliki pendapatan yang sudah memadai untuk memenuhi<br />

kebutuhan pokoknya. (Tabel 4.1)<br />

Tabel 4.1. Garis Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin di<br />

Provinsi Sulawesi Selatan<br />

Daerah<br />

Garis Kemiskinan (GK)<br />

(Rp/Kap/Bulan)<br />

Jumlah<br />

Penduduk<br />

GK<br />

Makanan<br />

GK<br />

B.Makanan<br />

GK<br />

Total<br />

Miskin<br />

Perkotaan 170.274 76.142 246.416 154.400<br />

Pedesaan 173.098 46.011 219.109 651.950<br />

Desa + kota 172.052 57.170 229.222 806.350<br />

Perkembangan (%)<br />

Perkotaan 3,7 6,8 4,6 -4,5<br />

Pedesaan 6,4 3,7 5,8 -7,1<br />

Desa + Kota 5,4 5,2 5,4 -6,8<br />

Sumber : BPS Sulsel , 2015<br />

Pada tingkat kabupaten/kota data kemiskinan yang<br />

tersedia adalah keadaan tahun 2014. Sedangkan data jumlah<br />

penduduk miskin, angka kemiskinan dan indeks P1 maupun P2<br />

menggunakan data tahun 2015 yang secara resmi diterbitkan<br />

oleh Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. Pada tahun 2014<br />

terdapat 10 kabupaten/kota dengan angka kemiskinan lebih<br />

tinggi dibandingkan dengan rata-rata kemiskinan provinsi


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

61<br />

(Gambar 4.1) yaitu Kabupaten Pangkep, Toraja Utara,<br />

Jeneponto, Luwu Utara, Enrekang, Tana Toraja, Luwu, Bone,<br />

Maros dan Selayar.<br />

20<br />

18<br />

16<br />

14<br />

12<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

0<br />

Gambar 4.1. Posisi Relatif Tingkat Kemiskinan (P0)<br />

Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan<br />

Persoalan kemiskinan di Sulawesi Selatan bukan hanya<br />

mengacu pada jumlah dan persentase penduduk miskin, tetapi<br />

tingkat kedalaman dan tingkat keparahan kemiskinan<br />

merupakan dimensi lain yang ikut menjadi parameter<br />

kemiskinan suatu wilayah. Selain harus mampu memperkecil<br />

jumlah penduduk miskin, kebijakan pengentasan kemiskinan<br />

juga harus bisa mengurangi tingkat kedalaman (P1) dan<br />

keparahan kemiskinan (P2). Posisi relatif capaian indeks<br />

kedalaman kemiskinan (P1) Sulawesi Selatan berada di bawah<br />

rata-rata nasional yaitu dengan nilai indeks 1,41. Keadaan P1


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

62<br />

pada kabupaten/kota di Sulawesi Selatan sebagaimana kondisi<br />

P0 menunjukkan semua wilayah kota dan beberapa kabupaten<br />

lainnya memperoleh capaian yang memuaskan. Lima<br />

kabupaten/kota dengan capaian terbaik adalah Kota Parepare<br />

(0,68) yang terendah, kemudian Kota Makassar (0,85),<br />

kabupaten Soppeng (0,94), Sidrap (1,01) dan Bulukumba<br />

(1,02). Sementara 5 kabupaten dengan nilai P1 tertinggi adalah<br />

Kabupaten Pangkep (3,17), Toraja Utara (3,05), Jeneponto<br />

(2,43), Maros (2,36) dan Luwu (2,26), sebagaimana pada<br />

Gambar 4.2.<br />

3.5<br />

3<br />

2.5<br />

2<br />

1.5<br />

1<br />

0.5<br />

0<br />

Gambar 4.2. Posisi Relatif Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)<br />

Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan<br />

Berdasarkan Gambar 4.2 di atas, masih terdapat 8<br />

kabupaten dengan nilai P1 yang lebih besar dibandingkan<br />

dengan keadaan provinsi, terdapat 3 kabupaten yang lebih


63<br />

besar dari capaian provinsi dan 12 kabupaten/kota dengan<br />

capaian lebih kecil dari keadaan provinsi. Dari 8 kabupaten<br />

dengan nilai P1 yang lebih tinggi dari nilai provinsi tersebut,<br />

mengindikasikan bahwa tingkat kemiskinan (P0) dan indeks<br />

kedalaman kemiskinan (P1) cenderung saling mempengaruhi<br />

satu sama lain. Inflasi yang relatif tinggi sepanjang tahun<br />

dengan puncak inflasi yang terjadi pada bulan Juli dan Agustus<br />

diduga menyebabkan beberapa kelompok pra sejahtera tidak<br />

mampu untuk mengimbangi kebutuhan pengeluaran sehingga<br />

terdorong semakin dalam di bawah garis kemiskinan.<br />

Besarnya rata-rata pengeluaran penduduk miskin dan<br />

ketimpangan pengeluaran penduduk miskin per wilayah (P1)<br />

terlihat cenderung semakin mendekati garis kemiskinan dan<br />

menjadi lebih sempit. Perkembangan indeks kedalaman<br />

kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan<br />

penurunan sebesar 32,54% dengan trend penurunan dan laju<br />

penurunan indeks sebesar 0,2% per tahun.<br />

Selanjutnya indeks keparahan kemiskinan (P2) atau<br />

poverty severity index memberikan gambaran mengenai<br />

penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin<br />

tinggi nilai indeks, maka semakin tinggi ketimpangan<br />

pengeluaran di antara penduduk miskin. Indeks keparahan<br />

kemiskinan Sulawesi Selatan pada tahun 2015 menunjukkan<br />

angka 0,32 yang berada di atas rata-rata nasional (Gambar<br />

4.3).


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

64<br />

1<br />

0.9<br />

0.8<br />

0.7<br />

0.6<br />

0.5<br />

0.4<br />

0.3<br />

0.2<br />

0.1<br />

0<br />

Gambar 4.3. Posisi Relatif Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)<br />

Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan<br />

Sebagaimana pada Gambar 4.3, pada tingkat<br />

kabupaten/kota dalam provinsi menunjukkan 15 kabupaten<br />

dengan nilai P2 lebih tinggi dari capaian provinsi dan 9<br />

kabupaten dengan nilai P2 lebih rendah dari capaian provinsi.<br />

Lima kabupaten dengan capaian tertinggi berturut-turut adalah<br />

Kabupaten Toraja Utara (0,87), Pangkep (0,86), Maros (0,67),<br />

Jeneponto (0,62) dan Luwu (0,53). Sedangkan 5<br />

kabupaten/kota dengan nilai P2 terendah adalah Kota Parepare<br />

(0,15), Kabupaten Soppeng (0,16), Bulukumba (0,18), Pinrang<br />

(0,22) dan Kabupaten Sidrap (0,23). Dari 7 kabupaten dengan<br />

nilai P2 tertinggi di atas, enam kabupaten diantaranya juga<br />

menunjukkan nilai P0 dan P1 yang tinggi, dengan nilai capaian<br />

yang lebih buruk dibandingkan keadaan provinsi yaitu


65<br />

Kabupaten Selayar, Jeneponto, Maros, Pangkep, Luwu dan<br />

Kabupaten Toraja Utara.<br />

Hasil pengamatan pada beberapa indikator ekonomi dan<br />

kemiskinan, terindikasi bahwa pada keenam kabupaten di atas<br />

terdapat segolongan masyarakat miskin yang belum mampu<br />

untuk meningkatkan pendapatan keluarganya, dan golongan<br />

masyarakat tersebut juga menunjukkan gejala pengelompokanpengelompokan<br />

yang cukup banyak dibandingkan kabupaten<br />

lainnya.<br />

B. Karakteristik Responden<br />

1. Keadaan Responden Menurut Usia<br />

Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki mobilitas<br />

yang tinggi dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat<br />

seperti bekerja untuk mendapatkan upah dengan tujuan utama<br />

adalah agar bisa bertahan hidup. Namun pada hakekatnya<br />

didalam kelebihan yang dimiliki oleh manusia pasti terdapat<br />

aspek kekurangan yang dimiliki yaitu tingkat usia. Produktivitas<br />

kerja seseorang selain dari etos kerja yang tinggi, ilmu yang<br />

didapatkan juga dari tingkat usia yang dimiliki. Faktor usia tanpa<br />

disadari juga akan mempengaruhi produktifitas dan tingkat<br />

kemiskinan yang diperoleh. Dengan semakin rendah<br />

produktivitas maka akan semakin tinggi tingkat kemiskinan<br />

yang diperoleh begitu juga sebaliknya.


66<br />

Tabel 4.2. Tingkat Usia Responden<br />

No. Usia<br />

Jumlah %<br />

(Tahun) Responden<br />

1. 21 – 30 13 8,18<br />

2. 31 – 40 70 46,40<br />

3. 41 – 50 67 44,40<br />

4. > 50 2 1,02<br />

Jumlah 152 100,00<br />

Sumber : Hasil Survey, 2016<br />

1.03 8.18<br />

44.4<br />

46.4<br />

21-30<br />

31-40<br />

41-50<br />

>50<br />

Gambar 4.4. Tingkat Usia Responden<br />

Berdasarkan Tabel 4.2 dan Gambar 4.4 menunjukkan<br />

bahwa tingkat usia responden secara keseluruhan lebih<br />

didominasi oleh responden antara usia 31 – 40 tahun berjumlah<br />

70 orang atau 46,40%, sedangkan untuk usia 41 – 50 tahun<br />

berjumlah 67 orang atau 44,40%.


67<br />

2. Keadaan Responden Menurut Tingkat Pendidikan<br />

Pendidikan merupakan salah satu faktor pendukung<br />

untuk meningkatkan kualitas, meningkatkan daya pikir,<br />

meningkatkan kreatifitas, dan meningkatkan kesejahteraan dari<br />

seseorang. Namun pada kenyataannya ada beberapa dari<br />

sebagian kelompok masyarakat yang belum menyadari betapa<br />

pentingnya pendidikan dan ada pula masyarakat yang tidak<br />

mampu untuk menempuh pendidikan dikarenakan masalah<br />

kemiskinan. Berdasarkan alasan tersebut banyak anak-anak<br />

dari keluarga kurang mampu harus mengubur impianya untuk<br />

merasakan dunia pendidikan. Hingga akhirnya sebagian dari<br />

mereka banyak yang tidak bisa untuk membaca dan menulis<br />

utamanya di daerah terpencil pada wilayah pedesaan.<br />

Tabel 4.3. Tingkat Pendidikan Responden<br />

No. Tingkat<br />

Jumlah %<br />

Pendidikan Responden<br />

1. Tidak sekolah 51 33,33<br />

2. Tidak Tamat SD 8 5,15<br />

3. Tamat SD 29 19,10<br />

4. Tidak Tamat SMP 2 1,07<br />

5. Tamat SMP 31 20,20<br />

6. Tidak Tamat SMA 24 16,10<br />

7. Tamat SMA 7 5,05<br />

8. Perguruan Tinggi - 0,00<br />

Jumlah 152 100,00<br />

Sumber : Hasil Survey, 2016


68<br />

16.1<br />

5.5<br />

33.33<br />

Tidak Sekolah<br />

Tidak Tamat SD<br />

Tamat SD<br />

Tidak Tamat SMP<br />

20.2<br />

1.07<br />

19.1<br />

5.15<br />

Tamat SMP<br />

Tidak Tamat SMA<br />

Tamat SMA<br />

Gambar 4.5. Tingkat Pendidikan Responden<br />

Tabel 4.3 dan Gambar 4.5 menunjukan bahwa tingkat<br />

pendidikan responden kurang baik, hal ini ditunjukkan dengan<br />

51responden atau 33,33% yang tidak pernah menempuh<br />

pendidikan, sedangkan responden yang lain pernah menempuh<br />

pendidikan namun ada yang sampai tamat dan ada juga yang<br />

tidak tamat. Meskipun rata-rata dari responden pernah<br />

menempuh pendidikan namun tingkat pendidikannya masih<br />

tergolong rendah. Ini terlihat dari fasilitas pendidikan yaitu<br />

sekolah yang masih dinilai kurang.<br />

3. Keadaan Responden Menurut Tingkat Pendapatan<br />

Pendapatan merupakan hasil yang diterima atau<br />

diberikan kepada seseorang sebagai imbalan atas<br />

pekerjaannya. Berdasar hasil penelitian yang telah dilakukan


69<br />

maka diperoleh sebuah data mengenai tingkat pendapatan<br />

responden yang tergolong rendah karena pada umumnya<br />

matapencaharian responden adalah buruh tani di daerah<br />

pedesaan dan buruh pabrik untuk wilayah perkotaan. Tingkat<br />

pendapatan responden dapat digolongkan menjadi beberapa<br />

tipe berdasarkan jumlah pendapatan yang diperoleh<br />

sebagaimana pada Tabel 4.4.<br />

Tabel 4.4. Distribusi Pendapatan Responden<br />

No. Tingkat Pendapatan Jumlah %<br />

Responden<br />

1. Rp. 250.000 – Rp. 500.000 42 27,93<br />

2. Rp. 501.000 – Rp. 750.000 65 42,87<br />

3. Rp. 751.000 – Rp. 1.000.000 41 26,73<br />

4. > Rp. 1.000.000 4 2,47<br />

Jumlah 152 100,00<br />

Sumber : Hasil Survey, 2016<br />

2.47<br />

26.73<br />

27.93<br />

Rp. 250.000 - 500.000<br />

Rp. 501.000 - 750.000<br />

Rp. 751.000 - 1.000.000<br />

> 1.000.000<br />

42.87<br />

Gambar 4.6. Tingkat Pendapatan Responden


70<br />

Berdasarkan Tabel 4.4 dan diagram Gambar 4.6<br />

diperoleh data tingkat pendapatan responden, yaitu tingkat<br />

pendapatan responden antara Rp. 250.000 – Rp. 500.000<br />

sebanyak 42 responden atau 27,93% sedangkan tingkat<br />

pendapatan responden antara Rp. 501.000 – Rp. 750.000<br />

sebanyak 65 responden atau 42,87%, tingkat pendapatan<br />

responden Rp. 751.000 – Rp. 1.000.000 terdapat sebanyak 41<br />

responden atau 26,73% dan pendapatan responden di atas ≥<br />

Rp. 1.000.000 sebanyak 4 responden atau 2,47%. Tabel diatas<br />

menggambarkan bahwa pendapatan yang diperoleh responden<br />

terbanyak antara Rp. 501.000 – Rp. 750.000, hal ini<br />

membuktikan bahwa tingkat kesejahteraan responden<br />

tergolong masih rendah.<br />

4. Keadaan Responden Menurut Faktor Internal dan<br />

Eksternal<br />

a. Faktor Internal<br />

Ada beberapa faktor internal yang diamati pada saat<br />

pelaksanaan penelitian, yaitu 1) status tempat tinggal<br />

responden yang pada umumnya kontrak/sewa (70%)<br />

sedangkan sisanya (30%) merupakan milik sendiri; 2)<br />

fasilitas MCK responden menunjukkan bahwa 87,88% tidak<br />

memiliki fasilitas MCK sendiri/MCK di sungai/tempat-tempat<br />

yang lain; 3) sumber air minum responden menunjukkan<br />

bahwa 57,58% sumber air minum tidak terlindungi dan<br />

39,39% sumber air minum dari sumur/sumber terlindungi


71<br />

(PAM); 4) sumber penerangan rumah responden<br />

menunjukkan 96,97% menggunakan sumber penerangan<br />

listrik dengan kapasitas daya 450 Watt atau menumpang ke<br />

tetangga; 5) jenis bahan bakar untuk memasak rumah<br />

tangga responden menunjukkan bahwa 96,97% responden<br />

menggunakan jenis bahan bakar kayu dan sejenisnya untuk<br />

memasak dan sisanya menggunakan Gas 3 Kg bantuan<br />

pemerintah; 6) frekuensi makan rumah tangga responden<br />

yaitu bahwa 3,03% mempunyai frekuensi makan satu kali<br />

sehari, 69,70% mempunyai frekuensi makan dua kali sehari,<br />

dan 27,27% mempunyai frekuensi makan tiga kali sehari; 7)<br />

kepemilikan sandang rumah tangga responden menunjukkan<br />

menunjukkan bahwa 21,21% tidak pernah membeli, 27,27%<br />

hanya membeli satu stel pakaian per tahun, dan 21,21%<br />

membeli dua stel atau lebih per tahun; 8) kemampuan akan<br />

fasilitas kesehatan responden menunjukkan bahwa 90,91%<br />

responden berobat ke Puskesmas dan 9,09% tidak<br />

diobati/ke dukun.<br />

b. Faktor Eksternal<br />

Faktor eksternal yang diamati pada saat survey dilakukan<br />

adalah kebijakan pemerintah dan masalah permodalan<br />

responden. Dalam hal kebijakan pemerintah, hasil survey<br />

menunjukkan bahwa responden yang menerima bantuan<br />

langsung dari pemerintah terdapat 74,55% responden<br />

berupa BLT dan sisanya 25,45% sama sekali belum<br />

memperoleh bantuan padahal keadaannya cukup


72<br />

memperihatinkan. Dalam hal permodalan, pada umumnya<br />

responden memanfaatkan potensi alam setempat untuk<br />

memperoleh pendapatan dengan tanpa akses modal dari<br />

pemerintah maupun lembaga keuangan lainnya. Potensi<br />

alam tersebut berupa pertanian dan peternakan.<br />

c. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga<br />

Survei yang dilakukan pada daerah sampel adalah untuk<br />

memperoleh gambaran kondisi rumah tangga secara lebih<br />

lengkap. Berdasarkan hasil survei dari 152 responden rumah<br />

tangga di Kabupaten Jeneponto, Pangkep dan Kabupaten<br />

Toraja Utara diperoleh gambaran mengenai tingkat pemerataan<br />

pendapatan rumah tangga yang ditunjukkan oleh nilai Gini<br />

Ratio dari setiap kabupaten.<br />

Tabel 4.5. Distribusi Pendapatan Rumah tangga di Kabupaten<br />

Jeneponto, Pangkep, Toraja Utara dan Provinsi<br />

Sulawesi Selatan<br />

Kabupaten<br />

Gini Rasio<br />

Jeneponto 0,31<br />

Pangkajene Kepulauan 0,40<br />

Toraja Utara 0,30<br />

Provinsi Sulawesi Selatan 0,44<br />

Sumber : BPS, 2015<br />

Berdasarkan hasil analisis Gini Rasio (Tabel 4.5), tingkat<br />

pemerataan pendapatan rumah tangga pada 3 kabupaten<br />

sampel (Jeneponto, Pangkep dan Toraja Utara) serta Provinsi<br />

Sulawesi Selatan berkisar antara 0,30 – 0,44, artinya tingkat


73<br />

pendapatan rumah tangga tergolong merata. Namun, tingkat<br />

kemerataan tersebut berada pada kelompok rumah tangga<br />

berpendapatan rendah. Hal tersebut disebabkan oleh kelompok<br />

rumah tangga berpendapatan rendah didominasi oleh<br />

penduduk yang bekerja sebagai buruh tani. Perolehan<br />

pendapatan rumah tangga buruh tani tidak menentu setiap<br />

bulannya dan tergantung pada musim, seperti musim tanam<br />

dan musim panen. Bahkan, penduduk yang bekerja sebagai<br />

buruh tani tidak memiliki pekerjaan sampingan di luar sektor<br />

pertanian.<br />

Adapun yang menjadi beberapa alasan buruh tani tidak<br />

memiliki pekerjaaan sampingan, diantaranya mereka tinggal di<br />

wilayah perdesaan dengan sektor pertanian yang memegang<br />

peranan penting dalam penyediaan lapangan pekerjaan di<br />

perdesaan. Mereka menganggap bahwa sektor pertanian<br />

sudah menjadi bagian dalam kehidupan untuk menyediakan<br />

bahan pangan. Jika mereka memiliki pekerjaan di luar sektor<br />

pertanian seperti buruh bangunan, mereka merasa semakin<br />

terbebani karena tempat kerjanya jauh dari tempat tinggalnya<br />

dan menyeluarkan banyak biaya transportasi. Mereka merasa<br />

lebih senang kumpul bersama keluarga di rumah daripada<br />

harus bekerja di luar perdesaan. Melihat kondisi tersebut,<br />

sebagian besar rumah tangga buruh tani di Provinsi Sulawesi<br />

Selatan tergolong rumah tangga yang berpendapatan rendah<br />

sehingga pemerataan pendapatan yang terjadi berada pada<br />

kelompok rumah tangga yang berpendapatan rendah.


74<br />

Sebagian besar rumah tangga yang di survei adalah<br />

rumah tangga tani (buruh tani dan petani pemilik lahan) yaitu<br />

sebesar 78% dan sisanya 22% adalah rumah tangga non tani.<br />

Rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan<br />

keluarga tersebut disebabkan karena masyarakat pada<br />

umumnya berusaha di sektor pertanian tanaman pangan dan<br />

palawija. Beberapa tahun terakhir, areal lahan petani<br />

mengalami kekeringan dan kebanjiran. Besarnya pendapatan<br />

rata-rata rumah tangga tani tersebut diperoleh dari sektor<br />

pertanian saja. Sebagian besar rumah tangga tani belum<br />

memiliki pekerjaan sampingan. Kurang lebih sebanyak 58%<br />

rumah tangga responden tidak memiliki pekerjaan sampingan.<br />

Sedangkan rumah tangga responden yang memiliki pekerjaan<br />

sampingan sebesar 42%. Hal ini mengindikasikan terjadinya<br />

ketergantungan yang tinggi rumah tangga terhadap sektor<br />

pertanian. Tingginya ketergantungan terhadap satu sumber<br />

pendapatan akan berakibat pada rentannya rumah tangga<br />

responden terhadap masalah kemiskinan. Apabila harga<br />

produk pertanian khususnya tanaman pangan sedang<br />

mengalami penurunan atau harga input pertanian mengalami<br />

peningkatan maka pendapatan rumah tangga juga cenderung<br />

turun. Menurunnya pendapatan tersebut tidak dapat diimbangi<br />

dengan pendapatan dari usaha lainnya. Pada akhirnya rumah<br />

tangga tani sangat rentan untuk terjerat dalam kemiskinan.<br />

Berdasarkan uraian di atas, Provinsi Sulawesi Selatan<br />

memiliki tingkat pemerataan pendapatan rumah tangga yang


75<br />

merata dengan nilai Gini Ratio mendekati 0 (0,44). Namun,<br />

tingkat kemerataan pendapatan rumah tangga yang terjadi<br />

berada pada golongan penduduk berpendapatan rendah.<br />

Melihat kondisi tersebut, peningkatan pendapatan rumah<br />

tangga berpendapatan rendah harus menjadi prioritas dalam<br />

pembangunan daerah sebagai upaya untuk mengurangi tingkat<br />

kemiskinan.<br />

Perkembangan kesejahteraan pada ketiga kabupaten<br />

sampel (Jeneponto, Pangkep dan Toraja Utara) serta Provinsi<br />

Sulawesi Selatan juga dapat dilihat dari PDRB per kapita. Pada<br />

tahun 2015 di Kabupaten Jeneponto PDRB per kapita atas<br />

dasar harga berlaku mencapai 17,4 juta rupiah dengan<br />

pertumbuhan sebesar 16,02%, sementara PDRB per kapita<br />

atas dasar harga konstan sebesar Rp. 11,54 juta. Parameter<br />

lain dari distribusi pendapatan rumah tangga di Kabupaten<br />

Jeneponto adalah perkembangan tingkat pengeluaran rumah<br />

tangga. Paritas daya beli penduduk di Kabupaten Jeneponto<br />

mengalami peningkatan 0,85% setiap tahun menjadi 8.417<br />

pada tahun 2014 atau dapat dikatakan bahwa rata-rata<br />

penduduk memiliki daya beli 8.417.000 rupiah per tahun.<br />

PDRB per kapita di Kabupaten Pangkep pada tahun<br />

2015 mencapai 49,71 juta rupiah dengan pertumbuhan sebesar<br />

16,69% atau naik 7,11% dibandingkan tahun sebelumnya.<br />

Pengeluaran per kapita penduduk di Kabupaten Pangkep<br />

sebesar Rp. 654.727 yang terdiri dari untuk makanan sebesar<br />

45,99% dan bukan makanan sebesar 54,01%.


76<br />

PDRB perkapita atas dasar harga berlaku di Kabupaten<br />

Toraja Utara menunjukkan peningkatan dari Rp. 19.103.286<br />

tahun 2014 menjadi Rp. 22.522.748 pada tahun 2015 atau<br />

meningkat sebesar 17,90%. Sedangkan PDRB per kapita atas<br />

dasar harga konstan di Kabupaten Toraja Utara sebesar Rp.<br />

15.657.828 pada tahun 2015. Paritas daya beli masyarakat di<br />

Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2015 sebesar 6.955 rupiah<br />

dengan indeks pengeluaran sebesar 59,04.<br />

Provinsi Sulawesi Selatan dengan tingkat pertumbuhan<br />

ekonomi sebesar 7,57 dan IPM sebesar 68,49 pada tahun 2015<br />

mempunyai PDRB per kapita sebesar Rp. 35.592.792.<br />

Pengeluaran per kapita penduduk Sulawesi Selatan sebesar<br />

Rp. 677.300 atau Rp. 2,8 juta per rumah tangga. Pergerakan ini<br />

terlihat menjauhi garis kemiskinan (Rp.229.222) yang<br />

menandakan bahwa secara deskriptif terjadi peningkatan<br />

kesejahteraan sisi ekonomi masyarakat Sulawesi Selatan.<br />

Sedangkan angka kesenjangan pendapatan yang ditunjukkan<br />

dengan nilai gini rasio di Sulawesi Selatan sebesar 0,44 pada<br />

tahun 2015. Peningkatan Indeks daya beli hingga 2015 juga<br />

belum memperlihatkan percepatan yang lebih baik. Kondisi ini<br />

diakibatkan oleh adanya kesenjangan tingkat pendapatan<br />

masyarakat yang cukup tinggi pada tingkat pendapatan<br />

masyarakat yang rendah sebagaimana angka gini rasio di atas<br />

(0,44). Sehingga daya beli masyarakat dapat meningkat di atas<br />

Rp. 677.300. Pola konsumsi masyarakat yang tidak efisien dan<br />

efektif, dimana dari pengeluaran perkapita masyarakat sebesar


77<br />

Rp. 677.300 yang terbesar adalah untuk belanja barang dan<br />

jasa (pesta dan upacara, perumahan, kendaraan) mencapai<br />

Rp. 345.792, sedangkan untuk kebutuhan pokok pendidikan,<br />

sandang, pangan hanya Rp. 331.508. Kondisi ini<br />

memperlihatkan perlunya perbaikan pola hidup yang konsumtif<br />

khususnya pola konsumsi masyarakat dan termasuk perlunya<br />

perbaikan pola pengeluaran Pemerintah.<br />

Dari analisis data PDRB kabupaten/kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan diperoleh distribusi pendapatan di Kabupaten<br />

Jeneponto, Pangkep dan Toraja Utara dengan nilai<br />

ketimpangan sebesar 0,4645 di Kabupaten Jeneponto, 0,3279<br />

di Kabupaten Pangkep dan 0,2616 di Kabupaten Toraja Utara<br />

(menggunakan analisis Indeks Ketimpangan Williamson).<br />

Sedangkan apabila menggunakan analisis Indeks Entropi Theil<br />

menunjukkan bahwa ketimpangan tertinggi berada di<br />

Kabupaten Jeneponto (0,0264) diikuti Kabupaten Pangkep<br />

(0,0188) dan Kabupaten Toraja Utara (0,0153).<br />

d. Penggolongan Penduduk Miskin Berdasarkan Indeks<br />

Kemiskinan Manusia<br />

Pada umumnya, Indeks Kemiskinan Manusia dihitung<br />

hanya sampai pada tingkat kabupaten dan penghitungan belum<br />

sampai pada tingkat kecamatan bahkan desa/kelurahan.<br />

Berdasarkan data yang diperoleh dari 3 kabupaten sampel di<br />

Provinsi Sulawesi Selatan dan kemudian diolah, Kabupaten<br />

Jeneponto dan Toraja Utara merupakan daerah yang memiliki


78<br />

IKM di atas IKM Provinsi Sulawesi Selatan yang dapat dilihat<br />

pada Tabel 4.6. Hal tersebut menandakan bahwa kedua<br />

kabupaten tersebut memiliki penduduk yang belum terpenuhi<br />

sebagian kebutuhan dasarnya atau dapat dikatakan bahwa<br />

kedua kabupaten tersebut masih di bawah rata-rata dalam<br />

memenuhi kebutuhan dasar penduduknya.<br />

Mengukur dimensi yang berlawanan arah dari IPM, yaitu<br />

seberapa besar penduduk yang kurang beruntung, tertinggal<br />

(deprived people), karena tidak mempunyai akses untuk<br />

mencapai standar kehidupan yang layak. Indeks tersebut<br />

dihitung menggunakan persentase penduduk yang tidak<br />

mencapai usia 40 tahun, persentase penduduk buta huruf,<br />

persentase balita dengan status gizi kurang, persentase<br />

penduduk yang tidak punya akses pada pelayanan kesehatan<br />

dasar, sanitasi air bersih. Semakin besar penduduk suatu<br />

wilayah pada situasi ini dipresentasikan oleh IKM yang semakin<br />

tinggi.<br />

Tabel 4.6. Indeks Kemiskinan Manusia Berdasarkan<br />

Indikatornya<br />

Wilayah Indikator IKM IKM<br />

P1 P2 P3A P3B P3C P3<br />

Jeneponto 2,43 0,62 8,90 50,01 12,30 22,59 16,11<br />

Pangkep 3,17 0.86 14,41 26,28 27,94 22,90 15,82<br />

Toraja Utara 3,05 0,87 5,10 39,35 14,77 16,93 10,87<br />

Sulsel 1,66 0,32 6,29 41,71 25,00 20,00 13,88<br />

Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2016


79<br />

Keterangan :<br />

P1 = Persentase jumlah penduduk diperkirakan hidup tidak<br />

mencapai usia 40 tahun (%)<br />

P2 = Persentase angka buta huruf penduduk dewasa usia<br />

15 tahun (%)<br />

P3 = Persentase ketetapan ekonomi (%)<br />

P3A = Persentase jumlah rumah tangga tanpa akses pada<br />

sarana kesehatan (%)<br />

P3B = Persentase jumlah rumahtangga tanpa akses pada air<br />

bersih (%)<br />

P3C = Persentase jumlah balita bergizi kurang dan bergizi<br />

buruk (%)<br />

Dari tabel tersebut di atas, menunjukkan bahwa sebagian<br />

besar penduduk Provinsi Sulawesi Selatan tidak terlalu<br />

mengalami masalah aksesibilitas terhadap sarana kesehatan.<br />

Begitu juga dengan bidang pendidikan, aksesibilitas terhadap<br />

pendidikan di Sulawesi Selatan relatif mudah. Persentase<br />

terbesar indikator IKM di Sulawesi Selatan yaitu dari indikator<br />

air bersih. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa sebagian kecil<br />

rumah tangga tidak menggunakan air PDAM, air pompa atau air<br />

sumur. Rumah tangga yang dimaksud tinggal di bantaran<br />

sungai dan mereka menggunakan air sungai untuk keperluan<br />

sehari-hari. Namun, air sungai tersebut dipompa menuju ke bak<br />

penampungan untuk selanjutnya diendapkan. Walaupun sudah<br />

diendapkan air sungai tersebut diduga tidak layak untuk<br />

dikonsumsi. Mereka tidak berlangganan air PDAM karena<br />

instalasi pipa sulit untuk menuju ke daerah pemukiman mereka.<br />

Mereka juga tidak membuat sumur karena jaraknya dekat<br />

dengan septic-tank. Akibatnya kelompok rumah tangga tersebut


80<br />

mengumpulkan dana pribadi untuk membuat bak<br />

penampungan dan membeli pompa air.<br />

Berbeda dengan BPS, Badan Koordinasi Keluarga<br />

Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi<br />

kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Unit survey<br />

pada BPS digunakan rumah tangga sedangkan BKKBN<br />

menggunakan keluarga. Hal ini tentunya sejalan dengan visi<br />

program Keluarga Berencana (KB) yaitu “Keluarga yang<br />

Berkualitas”. Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN<br />

melakukan program yang disebut sebagai Pendekatan<br />

Keluarga. Pendataan Keluarga dilakukan dengan tujuan untuk<br />

memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam<br />

rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan.<br />

terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan<br />

Keluarga, yaitu: Data Demografi, misalnya jumlah jiwa dalam<br />

keluarga menurut jenis kelamin, dll;. Data Keluarga Berencana,<br />

misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB, Data<br />

Tahapan Keluarga Sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang<br />

masuk dalam katagori keluarga pra-sejahtera, sejahtera I, II dan<br />

III. Data kemiskinan dilakukan melalui pentahapan keluarga<br />

sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu Keluarga Pra<br />

Sejahtera (sangat miskin), Keluarga Sejahtera I (miskin),<br />

Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III dan Keluarga<br />

Sejahtera III plus.


81<br />

e. Pendekatan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan<br />

Berdasarkan hasil analisis gini ratio, distribusi<br />

pendapatan rumah tangga di Sulawesi Selatan merata pada<br />

kelompok rumah tangga yang berpendapatan rendah (Rp.<br />

501.000 – Rp. 750.000). Hal ini mencerminkan bahwa sebagian<br />

besar rumah tangga di Sulawesi Selatan yang tinggal di wilayah<br />

perdesaan memiliki pendapatan yang rendah. Pendapatan<br />

rumah tangga yang rendah tersebut disebabkan oleh sumber<br />

pendapatan yang diperoleh sebagian besar dari sektor<br />

pertanian khususnya pertanian tanaman pangan berupa buruh<br />

tani. Kegiatan usaha bergantung pada usaha pertanian skala<br />

kecil yang tidak produktif dan tidak komersial.<br />

Berdasarkan hasil dari Indeks Kemiskinan Manusia di<br />

Sulawesi Selatan, terdapat beberapa permasalahan yang<br />

terjadi, yaitu infrastruktur pedesaan seperti jalan desa yang<br />

menghubungkan sarana pendidikan dengan rumah penduduk<br />

memiliki kondisi jalan yang kurang baik. Sarana pendidikan<br />

yang terdapat di daerah pedesaan masih kurang memadai dan<br />

keadaan fisik bangunan yang kurang layak. Penduduk<br />

mengalami keterbatasan dalam mengakses air bersih sehingga<br />

menggunakan air sungai dan air irigasi untuk keperluan seharihari<br />

karena instalasi PDAM sulit menuju pemukiman penduduk<br />

di wilayah pedesaan. Pelayanan kesehatan masih kurang aktif<br />

sehingga masih terdapat balita yang tergolong bergizi kurang<br />

dan bergizi buruk.


82<br />

Tabel 4.7. Analisis Permasalahan dari Hasil Gini Ratio dan<br />

Indeks Kemiskinan Manusia Wilayah Perdesaan di<br />

Sulawesi Selatan<br />

Analisis<br />

Gini Ratio<br />

Indeks<br />

Kemiskinan<br />

Manusia (IKM)<br />

Permasalahan<br />

Sumber pendapatan rumah tangga sebagian besar dari<br />

sektor pertanian (buruh tani) dan kegiatan usaha<br />

bergantung pada usaha pertanian skala kecil yang tidak<br />

produktif dan tidak komersial.<br />

Infrastruktur perdesaan seperti jalan desa masih<br />

terbatas dan kondisinya kurang baik sehingga<br />

menghambat kegiatan ekonomi.<br />

Sarana pendidikan dan kesehatan kurang memadai.<br />

Masih terhambatnya aksesibilitas terhadap air bersih.<br />

Pelayanan kesehatan yang masih rendah menyebabkan<br />

masih terdapatnya balita bergizi kurang dan bergizi<br />

buruk<br />

Berdasarkan hasil analisis Gini Ratio dan analisis<br />

permasalahan dari Indeks Kemiskinan Manusia di Sulawesi<br />

Selatan yang secara ringkas ditunjukkan pada Tabel 4.7 maka<br />

dapat dirumuskan strategi penanggulangan kemiskinan di luar<br />

program penanggulangan kemiskinan provinsi yaitu dilakukan<br />

dengan dua pendekatan, diantaranya pendekatan good<br />

governance dan pendekatan good education untuk pemenuhan<br />

pelayanan dan kebutuhan dasar masyarakat di Sulawesi<br />

Selatan.<br />

1. Good Governance<br />

Meningkatnya perwujudan Pemerintahan yang baik dan<br />

bersih di Sulawesi Selatan bertujuan untuk meningkatkan dan<br />

memperkuat Kelembagaan Pemerintah. Arah kebijakan agenda<br />

ini terkait dengan Misi dan tujuan yang ketujuh dalam RPJMD


83<br />

Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013-2018 yang diarahkan<br />

dalam upaya untuk menguatkan kelembagaan Pemerintah<br />

dalam perwujudan tatakelola yang baik dalam arti kelembagaan<br />

yang tangguh, terpercaya dan mandiri. Penguatan lembaga<br />

Pemerintah Sulawesi Selatan tetap mengacu pada prinsipprinsip<br />

dasar tata kelola Pemerintahan yang baik. Sekalipun<br />

terjadi dinamika perkembangan lingkungan yang kuat,<br />

keberadaan kelembagaan tetap sanggup beradaptasi secara<br />

kreatif. Upaya pemberdayaan kelembagaan Pemerintah di<br />

Sulawesi Selatan lebih diprioritaskan pada pelayanan publik<br />

dan pengembangan yang diarahkan pada terwujudnya<br />

Pemerintahan yang baik (Good Governance).<br />

Upaya pemberdayaan kelembagaan Pemerintah di<br />

Sulawesi Selatan yang perlu dilakukan dalam upaya<br />

pengentasan kemiskinan yaitu :<br />

1. Penguatan Kelembagaan Pemerintah Daerah;<br />

2. Peningkatan Kerjasama Antar Pemerintah Daerah;<br />

3. Pemberdayaan Aparatur Pemerintah;<br />

4. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik;<br />

5. Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan;<br />

6. Pengembangan Perencanaan Pembangunan; dan<br />

7. Pemberdayaan Pengawasan;<br />

Semua hal tersebut di atas diharapkan mampu menciptakan<br />

kelembagaan Pemerintah yang terpercaya yakni transparan,<br />

konsisten dan akuntabel serta efisien dan efektif.


84<br />

Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mewujudkan<br />

kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan suatu lembaga<br />

yaitu dengan memahami visi dan tupoksinya serta mampu<br />

menerapkan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dengan<br />

baik dan benar. Hal ini merupakan salah satu strategi untuk<br />

meningkatkan pelayanan publik sebagaimana yang tersirat<br />

dalam berbagai regulasi tentang pelayanan publik di Sulawesi<br />

Selatan. Oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian<br />

sehingga mempunyai kontribusi yang sangat signifikan<br />

terhadap pencapaian kinerja yang semakin baik.<br />

Indikator kinerja yang akan dicapai tersebut akan<br />

dilaksanakan dalam bentuk program dan kegiatan prioritas.<br />

Peletakan kebijakan dan sasaran dari program prioritas pada<br />

tahun 2015 antara lain adalah:<br />

1. Terciptanya kelembagaan yang menerapkan prinsip good<br />

governance, membangun suatu sistem, prosedur dan<br />

mekanisme kerja yang kompetitif.<br />

2. Melakukan transformasi organinasasi birokrasi yang lebih<br />

inovatif, fleksibel dan responsif.<br />

Untuk itu fokus kegiatan dapat meliputi :<br />

1. Peningkatan kualitas aparat yang perlu memiliki wawasan<br />

dan visi untuk kemajuan organisasi.<br />

2. Perlu paradigma baru terhadap pola pikir dan perilaku<br />

aparatur pemerintahan dengan kegiatan prioritas pendidikan<br />

dan pelatihan.


85<br />

3. Perlu kesempatan berproses belajar secara merata bagi<br />

setiap orang,<br />

4. Optimalisasi kinerja semua staf sesuai sumberdaya yang<br />

melekat dan ada pada dirinya dengan dukungan fasilitas<br />

kerja yang memadai.<br />

Untuk membangun pemerintahan yang baik, maka perlu<br />

dukungan keberadaan kelembagaan masyarakat, kelembagaan<br />

ekonomi dan sosial budya yang berperspektif kemiskinan dan<br />

gender. Dalam membangun kelembagaan masyarakat yang<br />

tangguh dan mandiri perlu dilakukan dengan membangun,<br />

membentuk dan memberi peluang kepada masyarakat agar<br />

mampu menyediakan segala kebutuhan hidup mereka secara<br />

mandiri dan berkelanjutan.Penguatan kelembagaan sosial<br />

(organisasi keagamaan, profesi, dan pemuda dan olahraga);<br />

Pemberdayaan dan Penguatan Kelembagaan Politik.<br />

Penguatan kelembagaan yang berperspektif gender<br />

sebagai jabaran dari Strategi Pengarus Utamaan Gender agar<br />

tetap sanggup beradaptasi secara kreatif sehingga<br />

keberadaannya dibutuhkan dan bermanfaat bagi seluruh<br />

lapisan masyarakat. Keterlibatan wanita dalam pembangunan<br />

dilakukan dengan berusaha mengintergrasikan perempuan ke<br />

dalam proses pembangunan dengan sasaran meningkatkan<br />

produktifitas tenaga kerja perempuan, sehingga mendukung<br />

pembangunan lebih efektif dan efisien.<br />

Kelembagaan masyarakat tidak dapat berfungsi secara<br />

efektif tanpa dukungan keberadaan peranan dari lembaga


86<br />

pemerintah. Indikator sasaran kualitatif yang diharapkan antara<br />

lain adalah 1) terfasilitasinya keterlibatan kelembagaan<br />

masyarakat dalam proses, pelaksanaan, pengawasan<br />

pembangunan, 2) terbangunnya kelembagaan yang mampu<br />

mentransformasikan potensinya menjadi keunggulan lokal, dan<br />

3) terkelolanya kekayaan budaya dan seni secara<br />

berkelanjutan. Disamping itu terkait kelembagaan ekonomi<br />

sasaran yang diharapkan adalah terbangunnya kelembagaan<br />

ekonomi masyarakat yang mandiri, tumbuh berkembang secara<br />

sehat.<br />

Terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang baik<br />

atau “good governance” dalam hal penanggulangan kemiskinan<br />

di Sulawesi Selatan merupakan impian sekaligus harapan<br />

semua masyarakat. Pandangan tersebut dapat dimengerti<br />

karena melalui pelaksanaan good governance, upaya<br />

penciptaan aparatur pemerintah yang bersih, bebas dari<br />

tindakan yang tidak terpuji serta berpihak pada kepentingan<br />

masyarakat diharapkan dapat diwujudkan secara nyata. Selain<br />

itu, pelaksanaan good governance juga akan bersentuhan atau<br />

berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kinerja birokrasi<br />

pemerintah yang kemudian berujung pada peningkatan kualitas<br />

pelayanan publik. Oleh sebab itu, pelaksanaan good<br />

governance dalam lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi<br />

Selatan dengan fokus utama penanggulangan kemiskinan<br />

sudah selayaknya menjadi komitmen semua pihak untuk<br />

mewujudkannya. Secara fungsional pelaksanaan good


87<br />

governance tidak hanya melibatkan sektor pemerintah semata,<br />

tetapi juga melibatkan masyarakat dan swasta.<br />

Oleh sebab itu, perlu adanya korelasi positif antara<br />

dinamika dan kinerja pembangunan sumberdaya manusia<br />

dengan kualitas governance. Kualitas governance yang baik<br />

akan menghasilkan kinerja pembangunan yang baik dan<br />

sustainable. Kebijakan dan instrumen yang dikembangkan<br />

untuk mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan sosial<br />

belakangan ini pada kenyataannya belum mampu menunjukkan<br />

hasil yang maksimal. Menguatnya fenomena kemiskinan dan<br />

ketimpangan sosial, terpuruknya perekonomian dan adanya<br />

krisis politik, menunjukkkan menurunnya kinerja dan perilaku<br />

aparatur dalam menerjemahkan pelayanan yang diberikan<br />

pada masyarakat. Sehingga dalam pelaksanaan good<br />

governance pemerintah Sulawesi Selatan tidak dapat berjalan<br />

sendiri, tetapi harus melibatkan berbagai pihak, baik<br />

masyarakat maupun kalangan swasta, dimana pemerintah<br />

Provinsi Sulawesi Selatan berfungsi dalam menciptakan<br />

lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta<br />

mendorong terciptanya lapangan kerja dan pendapatan<br />

masyarakat, sedangkan masyarakat mewadahi interaksi sosial<br />

politik dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi,<br />

sosial dan politik.<br />

Tugas pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan adalah<br />

mewujudkan masyarakat yang sejahtera melalui peningkatan<br />

kinerja birokrasi pemerintahan dan peningkatan kualitas


88<br />

pelayanan publik. Selain itu, pemerintah Provinsi Sulawesi<br />

Selatan juga harus mampu mewujudkan pembangunan<br />

manusia yang berkelanjutan serta melakukan penataan ulang<br />

terhadap berbagai sektor yang mendukung pembangunan<br />

kualitas sumber daya manusia. Sektor-sektor yang dimaksud<br />

antara lain: sektor ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum,<br />

pertahanan, insfrastruktur, penguatan demokrasi,<br />

desentralisasi, dan lingkungan.<br />

Sektor swasta juga memiliki peran yang sangat besar<br />

dan strategis, karena tanpa adanya keterlibatan pihak swasta,<br />

agaknya sulit bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan<br />

bahkan tidak mungkin untuk dapat melaksanakan konsep good<br />

governance secara optimal. Salah satu peran penting sektor<br />

swasta dalam mendukung terwujudnya konsep good<br />

governance untuk penanggulangan kemiskinan adalah<br />

keterlibatan dalam sektor ekonomi, tentu saja dengan tidak<br />

mengabaikan sektor-sektor lainnya, seperti lingkungan hidup,<br />

sektor sosial, budaya dan lain-lain, melalui investasi,<br />

pemasaran, maupun produksi, sehingga pada akhirnya<br />

diharapkan mampu mendorong pembangunan ekonomi di<br />

Sulawesi Selatan.<br />

Selain kedua faktor tersebut di atas, organisasi<br />

kemasyarakatan (civil society organizations) pun tampaknya<br />

tidak boleh dipandang sebelah mata dalam mendukung<br />

terwujudnya good governance di Sulawesi Selatan. Secara<br />

fungsional, organisasi kemasyarakatan tersebut berperan


89<br />

dalam memfasilitasi interaksi sosial, politik, ekonomi, hukum,<br />

lingkungan hidup maupun sektor lainnya. Selain itu, organisasi<br />

kemasyarakatan juga berperan dalam melakukan “check and<br />

balance” terhadap kewenangan dan kekuasaan pemerintah<br />

daerah dalam menjalankan tugasnya serta aktivitas sektor<br />

swasta yang berkaitan dengan masalah kepentingan publik.<br />

Peran lain yang juga dimainkan oleh organisasi<br />

kemasyarakatan dalam konteks pelaksanaan good governance<br />

untuk penanggulangan kemiskinan adalah menyalurkan<br />

partisipasi masyarakat terkait dengan aktivitas sosial, ekonomi,<br />

politik, hukum, lingkungan hidup, ketenagakerjaan dan lain-lain.<br />

Intinya, organisasi kemasyarakatan juga berperan dalam<br />

memberikan kontribusi pemikiran dan penekanan dalam<br />

mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan oleh<br />

pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.<br />

Dengan demikian, good governance untuk<br />

penanggulangan masalah kemiskinan merupakan sistem yang<br />

memungkinkan terjadinya mekanisme penyelenggaraan<br />

pemerintah daerah yang efisien dan efektif dengan menjaga<br />

sinergi yang konstruktif diantara pemerintah, sektor swasta, dan<br />

masyarakat.<br />

Pelaksanaan Good Governance secara konsisten dan<br />

berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan bukanlah suatu<br />

proses yang mudah dan sederhana, tetapi membutuhkan<br />

adanya komitmen dan sejumlah ketentuan yang dapat dijadikan<br />

sebagai pedoman atau landasan bagi semua pihak yang


90<br />

terlibat (stakeholders), khususnya pemerintah daerah yaitu<br />

diarahkan pada upaya penciptaan aparatur yang bersih dan<br />

berwibawa. Untuk itu, jajaran birokrasi pemerintahan di<br />

Sulawesi Selatan harus memahami esensi birokrasi yang terkait<br />

dengan good governance yang dimaksud. Hal tersebut meliputi:<br />

1. Peran sebagai katalisator, dimana pelaksanaan<br />

pembangunan dikendalikan dari sumber-sumber yang ada di<br />

masyarakat yaitu optimalisasi penggunaan dana dan daya<br />

sesuai dengan kepentingan masyarakat.<br />

2. Memberdayakan masyarakat dalam pemberian pelayanan,<br />

dimana organisasi-organisasi kemasyarakatan meliputi<br />

koperasi, LSM dan sebagainya diajak untuk memecahkan<br />

permasalahannya sendiri, seperti masalah keamanan,<br />

kebersihan, kebutuhan sekolah, pemukiman murah dan lainlain.<br />

3. Menciptakan persaingan antara sektor swasta dan<br />

pemerintah dalam setiap pelayanan, dengan demikian<br />

pemerintah daerah akan bekerja secara lebih profesional<br />

dan efisien.<br />

4. Berorientasi pada kinerja yang baik yang berarti bahwa<br />

Instansi atau SKPD yang berkinerja baik diberikan reward<br />

dan anggaran yang lebih besar dibanding instansi atau<br />

SKPD yang kinerjanya kurang.<br />

5. Penerapan otonomi daerah secara bertanggungjawab,<br />

berorientasi hirarkhi dan partisipatif dalam pengelolaan


91<br />

pemerintahan, sehingga SKPD dibawahnya akan lebih<br />

leluasa untuk berkreasi dan berinisiatif.<br />

6. Membuat kebijakan-kebijakan berdasarkan pada kebutuhan<br />

masyarakat yang berorientasi pasar.<br />

Agar kelembagaan pemerintah Provinsi Sulawesi<br />

Selatan lebih tangguh dalam melaksanakan fungsi good<br />

governance, perlu diciptakan suatu sistem birokrasi dengan ciriciri<br />

sebagai berikut :<br />

1. Mempunyai struktur yang sederhana dengan sumberdaya<br />

manusia yang berkompeten dalam melaksanakan tugastugas<br />

kepemerintahan (pengembangan kebijakan dan<br />

pelayanan) secara arif, efesien dan efektif.<br />

2. Mengembangkan hubungan kemitraan (partnership) antara<br />

pemerintah dan setiap unsur dalam masyarakat.<br />

3. Memahami dan berkomitmen tinggi terhadap manfaat dan<br />

arti pentingnya tanggung jawab bersama dan kerjasama<br />

dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam<br />

pencapaian tujuan pembangunan daerah.<br />

4. Adanya dukungan dan sistem imbalan (reward and<br />

punishment) utuk mendorong terciptanya motivasi,<br />

kemampuan dan keberanian menanggung resiko (risk<br />

taking), berinisiatif, partisipatif, yang telah diperhitungkan<br />

secara realistik dan rasional.<br />

5. Adanya kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai internal<br />

(kode etik) administrasi publik, juga terhadap nilai-nilai etika


92<br />

dan moralitas dalam pelaksanaan pelayanan kepada<br />

masyarakat.<br />

Adapun strategi dan upaya untuk mewujudkan<br />

pelaksanaan good governance terhadap pengentasan<br />

kemiskinan di Sulawesi Selatan adalah :<br />

1. Sensitif dan responsif terhadap permasalahan-permasalahan<br />

yang timbul dari masyarakat.<br />

2. Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait<br />

dengan fungsi instrumental birokrasi, akan tetap mampu<br />

melakukan terobosan-terobosan baru melalui pemikiran yang<br />

kreatif dan inovatif.<br />

3. Mempunyai wawasan futuristik dan sistemik.<br />

4. Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi,<br />

memperhitungkan dan meminimalkan risiko.<br />

5. Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang-peluang<br />

baru.<br />

6. Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber<br />

menjadi resources mix yang mempunyai produktivitas tinggi.<br />

7. Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber<br />

yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang<br />

berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang<br />

berproduktivitas tinggi.<br />

8. Mengkonversikan setiap demand yang ada di masyarakat<br />

menjadi kebijakan yang senantiasa mengedepankan peran<br />

masyarakat.


93<br />

9. Mengkonsepsikan setiap respon dan demand masyarakat ke<br />

dalam berbagai agenda kebijakan publik dan<br />

mengimplementasikannya secara konsekuen.<br />

10.Melakukan harmonisasi terhadap demand yang muncul<br />

dalam masyarakat agar tercipta kondisi yang seimbang<br />

terhadap kompleksitas kepentingan.<br />

Untuk mewujudkan profesionalisme birokrasi tersebut<br />

diatas, perlu dilakukan beberapa langkah sebagai berikut:<br />

1. Role Modelling, dimana standar perilaku dan pola perilku<br />

birokrat terbentuk antara lain melalui keteladanan. Oleh<br />

karena itu sikap pemimpin akan amat menentukan sosok<br />

profesionalisme birokrasi.<br />

2. Recruitment, kondisi kerja dan pelatihan, yaitu proses<br />

rekruitmen yang objektif, kondisi kerja yang kondusif dan<br />

pelatihan yang menggunakan metodik dan didaktik yang<br />

tepat merupakan wacana pembentukan profesionalisme<br />

yang efektif.<br />

3. Pendekatan proses belajar, dimana pendekatan ini<br />

memberikan margin toleransi yang besar bagi birokrasi untuk<br />

berbuat kesalahan dalam proses pembentukan dan<br />

penyempurnaan profesionalisme karena kesalahan akan<br />

menjadi input untuk perbaikan diri. Melalui kesalahan<br />

tersebut, birokrat akan belajar efektif dan dari sana akan<br />

melangkah menuju belajar efisien serta pada akhirnya akan<br />

belajar berkembang


94<br />

4. Penguatan organisasi yang memfokuskan pada sistem<br />

manajemen untuk meningkatkan kinerja pada struktur mikro<br />

dan reformasi kelembagaan yang memfokuskan pada<br />

struktur makro kelembagaan.<br />

5. Menerima kontrol sosial dari masyarakat sipil melalui<br />

empowering masyarakat sipil. Hal ini menuntut mutual<br />

learning process antara birokrat dan masyarakat sipil.<br />

Percepatan pembangunan perdesaan melalui<br />

pengembangan potensi lokal juga perlu partisipasi aktif dari<br />

masyarakat dan pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota<br />

dalam menarik investor. Peningkatan investasi di sektor<br />

pertanian juga sangat dibutuhkan untuk pengembangan potensi<br />

lokal tersebut. Pencapaian dalam pengembangan potensi lokal<br />

dibutuhkan perijinan, fleksibilitas birokrasi yang tidak berbelit<br />

dan juga penataan pajak yang sesuai merupakan insentif bagi<br />

para investor untuk berinvestasi di sektor pertanian pada<br />

wilayah pedesaan Sulawesi Selatan, yang kesemuanya itu<br />

akan menunjang program penanggulangan kemiskinan.<br />

2. Good Education<br />

Penanggulangan kemiskinan bukan hanya dapat dicapai<br />

melalui pengembangan satu sektor tertentu saja tetapi berbagai<br />

sektor penting yang berkenaan dengan kepentingan<br />

masyarakat. Salah satu program yang penting ialah pendidikan<br />

serta pengembangan ilmu pengetahuan melalui pendidikan.<br />

Dengan pendidikan yang baik, setiap orang memiliki bekal


95<br />

pengetahuan dan keterampilan, mempunyai pilihan untuk<br />

mendapat pekerjaan, dan menjadi lebih produktif sehingga<br />

dapat meningkatkan pendapatannya. Dengan demikian<br />

pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan dan<br />

menghilangkan eksklusi sosial, untuk kemudian meningkatkan<br />

kualitas hidup dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat di<br />

Sulawesi Selatan.<br />

Dalam perspektif demikian, Pemerintah Provinsi<br />

Sulawesi Selatan mempunyai kewajiban untuk menyediakan<br />

layanan pendidikan bagi setiap warga masyarakatnya,<br />

sebagaimana ditunjukkan dengan program pendidikan gratis 9<br />

tahun bagi seluruh penduduk Provinsi Sulawesi Selatan serta<br />

program wajib belajar 9 tahun yang selanjutnya akan<br />

ditingkatkan menjadi wajib belajar 12 tahun. Untuk memenuhi<br />

komitmen tersebut, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan terus<br />

berupaya meningkatkan pemerataan pendidikan, terutama bagi<br />

kelompok masyarakat miskin yang selama ini tidak bisa sekolah<br />

atau drop out karena berbagai alasan dan biaya.<br />

Secara umum partisipasi pendidikan di Sulawesi Selatan<br />

yang diukur dengan indikator angka partisipasi sekolah (APS)<br />

meningkat dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.<br />

Menurut hasil analisis data TNP2K (2015) sebagaimana pada<br />

Tabel 4.5, menunjukkan bahwa sebagian besar capaian<br />

indikator pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan tidak lebih<br />

baik dibandingkan dengan capaian nasional, hanya terdapat 3


96<br />

indikator dimana posisi provinsi lebih baik dibandingkan dengan<br />

capaian nasional.<br />

Tabel 4.8. Capaian Indikator-Indikator Utama Pendidikan di<br />

Sulawesi Selatan dan Nasional<br />

Indikator<br />

Sulawesi<br />

Selatan<br />

Capaian<br />

Nasional<br />

Angka Partisipasi Kasar (APK)<br />

SD / MI (%) 108,52 107,69<br />

SMP / MTs (%) 78,78 85,81<br />

SMA / MA (%) 74,12 66,13<br />

Angka Partisipasi Murni (APM)<br />

SD / MI (%) 95,67 95,53<br />

SMP / MTs (%) 69,80 73,72<br />

SMA / MA (%) 53,79 53,89<br />

Angka Putus Sekolah (APtS)<br />

Penduduk Umur 7-12 Tahun (%) 1,19 0,58<br />

Penduduk Umur 13-15 Tahun (%) 9,79 8,54<br />

Penduduk Umur 16-18 Tahun (%) 36,70 35,66<br />

Angka Buta Huruf (AHB)<br />

Penduduk Usia 15+ Tahun (%) 13,99 7,98<br />

Penduduk Usia 15-45 Tahun (%) 5,37 3,36<br />

Penduduk Usia 45+ Tahun (%) 20,62 11,68<br />

Sumber : TNP2K, 2015<br />

Selain masalah partisipasi pendidikan, Provinsi Sulawesi<br />

Selatan juga menghadapi masalah masih cukup tingginya<br />

angka putus sekolah untuk umur 16-18 tahun. Menurut hasil<br />

analisis data TNP2K pada tahun 2015, jumlah penduduk usia<br />

sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi (drop out) pada<br />

kelompok umur 7-12 tahun tercatat sebanyak 1,19%, kelompok<br />

umur 13-15 tahun sebanyak 9,79%, dan kelompok umur 16-18<br />

tahun sebanyak 36,70%. Masalah ekonomi merupakan faktor


97<br />

utama yang menyebabkan rendahnya partisipasi pendidikan<br />

dan tingginya angka putus sekolah pada kelompok masyarakat<br />

miskin. Mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk mengirim<br />

anak-anak ke sekolah, karena pendidikan memang<br />

membutuhkan biaya yang relatif besar. Keluarga miskin, akan<br />

kehilangan sumber pendapatan bila anak-anak mereka pergi ke<br />

sekolah.Terjadi forgone earning yakni nilai pendapatan (uang)<br />

yang mungkin diperoleh dengan mempekerjakan anak, namun<br />

hilang karena harus sekolah.<br />

a. Angka Partisipasi Kasar (APK)<br />

Tingkat partisipasi penduduk secara umum pada tingkat<br />

pendidikan sekolah dasar (SD/MI) menunjukkan nilai<br />

108,52%. Dengan nilai APK lebih dari 100% tersebut lah<br />

mengindikasikan bahwa terdapat penduduk yang sekolah<br />

belum mencukupi umur dan atau melebihi usia siswa di<br />

sekolah dasar (7-12 tahun). Keadaan APK SD/MI pada<br />

kabupaten/kota di Sulawesi Selatan sebagaimana pada<br />

Gambar 4.7 menunjukkan bahwa terdapat 12<br />

kabupaten/kota dengan nilai APK yang berada di bawah<br />

APK provinsi (108,52%) dan sisanya sebanyak 12<br />

kabupaten/kota mempunyai capaian di atas APK provinsi.<br />

Lima kabupaten dengan capaian APK tertinggi adalah<br />

Kabupaten Jeneponto (114,74), Toraja Utara (112,87),<br />

Enrekang (112,81), Luwu Timur (112,78) dan Kabupaten<br />

Pangkep (109,73).


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

98<br />

116<br />

114<br />

112<br />

110<br />

108<br />

106<br />

104<br />

102<br />

100<br />

98<br />

96<br />

Gambar 4.7. Posisi Relatif Angka Partisipasi Kasar SD/MI<br />

Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan<br />

Capaian APK SMP/MTs Provinsi Sulawesi Selatan sebesar<br />

78,78%, yang mengindikasikan bahwa masih terdapat<br />

sejumlah penduduk yang berusia 13-15 tahun (setara<br />

SMP/MTs) yang tidak bersekolah (Gambar 4.8). Gambar<br />

tersebut memperlihatkan bahwa masih terdapat 15<br />

kabupaten dengan capaian di bawah provinsi dan 9<br />

kabupaten/kota di atas provinsi. Lima kabupaten/kota<br />

dengan capaian tertinggi adalah Kota Parepare (88,53),<br />

Kabupaten Toraja Utara (87,76), Luwu Utara (87,41), Kota<br />

Palopo (86,89) dan Kabupaten Tana Toraja (85,2).


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

99<br />

100<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

Gambar 4.8. Posisi Relatif Angka Partisipasi Kasar<br />

SMP/MTs Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi<br />

Selatan<br />

Capaian nilai APK pada jenjang pendidikan SMA/MA<br />

Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 74,12%. Persentase APK<br />

SMA/MA ini yang belum mencapai 100% menunjukkan<br />

masih banyaknya penduduk usia sekolah SMA/MA (16-18<br />

Tahun) yang tidak bersekolah (sekitar 25,88%). Gambar 4.9<br />

menunjukkan bahwa pada tingkat kabupaten/kota terdapat<br />

11 kabupaten/kota dengan capaian di bawah capaian<br />

provinsi, dan 13 kabupaten kota mempunyai capaian di atas<br />

capaian provinsi. Lima kabupaten dengan capaian tertinggi<br />

adalah Kabupaten Luwu (92,9), Barru (91,0), Enrekang<br />

(87,0), Bulukumba (83,24) dan Kabupaten Pinrang (81,08).


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

100<br />

100<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

Gambar 4.9. Posisi Relatif Angka Partisipasi Kasar SMA/MA<br />

Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan<br />

APK Provinsi Sulawesi Selatan yang berada lebih tinggi dari<br />

100 bermakna bahwa sarana dan prasarana pendidikan<br />

untuk sekolah saat ini telah sepadan dengan jumlah<br />

penduduk usia sekolah yang ada.<br />

b. Angka Partisipasi Murni (APM)<br />

Pengukuran APM lebih kepada perhitungan penduduk yang<br />

bersekolah tepat pada usianya, maka APM lebih ditekankan<br />

kepada kelompok usia dibandingkan dengan jenjang<br />

pendidikannya. Partisipasi murni peduduk usia 7-12 tahun<br />

yaitu pada jenjang pendidikan SD/MI Provinsi Sulawesi<br />

Selatan sebesar 95,67%. Pada tingkat kabupaten/kota<br />

terdapat 9 kabupaten dengan capaian berada di bawah<br />

capaian provinsi sedangkan 15 kabupaten/kota lainnya<br />

berada di atas capaian provinsi. Lima kabupaten dengan


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

101<br />

capaian tertinggi adalah Kabupaten Enrekang (98,67), Wajo<br />

(98,46), Barru (98,39), Sidrap (97,9) dan Kabupaten Luwu<br />

Timur (97,84).<br />

100<br />

98<br />

96<br />

94<br />

92<br />

90<br />

88<br />

Gambar 4.10. Posisi Relatif Angka Partisipasi Murni SD/MI<br />

Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan<br />

Pada kelompok usia 13 – 15 tahun, partisipasi masyarakat<br />

yang berskolah pada jenjang pendidikan SMP/MTs Provinsi<br />

Sulawesi Selatan sebesar 69,8%, yang menunjukkan bahwa<br />

masih terdapat kurang lebih 30,2% penduduk berusia 13-15<br />

tahun yang tidak bersekolah dan belum mencapai target<br />

RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan (78%). Lima<br />

kabupaten/kota dengan capaian tertinggi adalah Kabupaten<br />

Tana Toraja (78,17), Toraja Utara (77,87), Kota Parepare<br />

(77,3), Palopo (73,58) dan Makassar (73,42), sebagaimana<br />

pada Gambar 4.11.


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

102<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

Gambar 4.11. Posisi Relatif Angka Partisipasi Murni<br />

SMP/MTs Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan<br />

Penduduk usia 16-18 tahun yang bersekolah pada jenjang<br />

pendidikan SMA/MA di Sulawesi Selatan sebesar 53,79%<br />

yang menunjukkan bahwa hampir setengah (46,21%) dari<br />

penduduk usia 16-18 tahun tidak bersekolah yang sebagian<br />

besar disebabkan putus sekolah karena tidak mampu.<br />

Terdapat sebanyak 13 kabupaten/kota yang mempunyai<br />

capaian yang lebih baik dari capaian provinsi (53,79%) dan<br />

terdapat 11 kabupaten/kota yang mempunyai capaian di<br />

bawah capaian provinsi. Lima kabupaten/kota yang memiliki<br />

capaian tertinggi adalah Kabupaten Enrekang (69,11), Barru<br />

(68,01), Luwu (62,51), Bulukumba (61,72) dan Toraja Utara<br />

(61,7).


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

103<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

Gambar 4.12. Posisi Relatif Angka Partisipasi Murni SMA/<br />

MA Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi<br />

Selatan<br />

Walaupun Provinsi Sulawesi Selatan belum mampu<br />

meningkatkan laju pertumbuhan APM nya, namun dari segi<br />

perkembangan mengindikasikan bahwa program-program<br />

pembangunan dalam Provinsi Sulawesi Selatan relevan<br />

dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan masyarakat<br />

yang berjalan sinergi dan mendukung agenda pembangunan<br />

pendidikan nasional.<br />

c. Angka Putus Sekolah (APtS)<br />

Angka ini merupakan proporsi anak menurut kelompok usia<br />

sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak<br />

menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu.<br />

Angka putus sekolah penduduk usia 7-12 tahun di Sulawesi<br />

Selatan sebesar 1,19%, dimana terdapat 9 kabupaten/kota


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

104<br />

dengan APtS yang berada di atas capaian provinsi dan 11<br />

kabupaten/kota yang mempunyai angka capaian dibawah<br />

capaian provinsi, serta 4 kabupaten/kota tidak memiliki data.<br />

Lima kabupaten/kota dengan angka putus sekolah tertinggi<br />

adalah Kabupaten Bantaeng (3,49), Bone (2,56), Takalar<br />

(2,12), Sinjai (1,69) dan Jeneponto (1,51).<br />

4<br />

3.5<br />

3<br />

2.5<br />

2<br />

1.5<br />

1<br />

0.5<br />

0<br />

Gambar 4.13. Posisi Relatif Angka Putus Sekolah Usia 7-12<br />

Tahun Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi<br />

Selatan<br />

Penduduk berusia 13-15 tahun atau pada jenjang pendidikan<br />

SMP/MTs terdapat sebanyak 9,79% dimana terdapat 13<br />

kabupaten/kota yang berada di atas rata-rata capaian<br />

provinsi dan 11 kabupaten/kota yang berada di bawah<br />

capaian provinsi. Lima kabupaten/kota dengan capaian<br />

tertinggi (nilai APtS besar) adalah Kabupaten Bantaeng


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

105<br />

(17,44), Wajo (15,96), Sidrap (15,29), jeneponto (14,4) dan<br />

Kabupaten Bone (13,46).<br />

20<br />

18<br />

16<br />

14<br />

12<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

0<br />

Gambar 4.14. Posisi Relatif Angka Putus Sekolah Usia 13-<br />

15 Tahun Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan<br />

Angka putus sekolah penduduk berusia 16-18 tahun di<br />

Sulawesi Selatan sebesar 36,71%, dimana terdapat 12<br />

kabupaten/kota dengan capaian yang lebih tinggi dari<br />

capaian provinsi dan 12 kabupaten/kota dengan capaian<br />

yang lebih rendah dari capaian provinsi. Lima<br />

kabupaten/kota dengan nilai APtS yang besar adalah<br />

Kabupaten Bantaeng (55,92), Bone (50,78), Maros, (48,43),<br />

Luwu Timur (45,56) dan Kabupaten Selayar (44,47).


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

106<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

Gambar 4.15. Posisi Relatif Angka Putus Sekolah Usia 16 –<br />

18 Tahun Kabupaten/Kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan<br />

Kondisi perkembangan APtS tersebut di atas menunjukkan<br />

perkembangan dampak dari berbagai upaya untuk menekan<br />

angka putus sekolah yang dilakukan daerah dalam<br />

mendukung program pemerintah pusat yang berarti sinergi<br />

antara pemerintah pusat dan daerah dalam penanggulangan<br />

kemiskinan dalam bidang pendidikan dasar semakin baik.<br />

d. Angka Buta Huruf (ABH)<br />

Angka buta huruf ini menunjukkan bahwa penduduk usia 15<br />

tahun ke atas namun tidak mempunyai kemampuan<br />

membaca dan menulis huruf latin. Angka buta huruf pada<br />

usia 15+ tahun di Sulawesi Selatan sebesar 13,99%, 15-45<br />

tahun sebesar 5,37% dan diatas 45 tahun sebesar 20,62%.


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

107<br />

Keadaan ABH penduduk usia 15+ tahun di Sulawesi Selatan<br />

sebesar 13,99%, dimana terdapat 19 kabupaten/kota dengan<br />

ABH 15+ tahun yang lebih tinggi dari capaian provinsi dan 5<br />

kabupaten/kota yang berada di bawah capaian provinsi.<br />

Lima kabupaten/kota dengan dengan ABH 15+ tahun<br />

tertinggi adalah Kabupaten Bantaeng (30,38), Jeneponto<br />

(22,86), Barru (19,62), Toraja Utara (19,05) dan Kabupaten<br />

Gowa (18,39).<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Gambar 4.16. Posisi Relatif Angka Buta Huruf Usia 15+<br />

Tahun Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi<br />

Selatan<br />

Penduduk usia produktif (15-45 tahun) di Sulawesi Selatan<br />

yang belum bisa baca tulis aksara mencapai 5,38% atau<br />

kurang lebih 216.161 jiwa. Ditingkat kabupaten/kota masih<br />

terdapat 8 kabupaten/kota dengan ABH penduduk usia 15-


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

108<br />

45 tahun berada di atas ABH provinsi, dan 16<br />

kabupaten/kota dengan capaian dibawah capaian provinsi.<br />

Lima kabupaten/kota tertinggi adalah Kabupaten Bantaeng<br />

(20,02), Jeneponto (18,02), Maros (8,72), Gowa (8,26) dan<br />

Kabupaten Sinjai (7,86).<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Gambar 4.17. Posisi Relatif Angka Buta Huruf Usia 15-45<br />

Tahun Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi<br />

Selatan<br />

Kelompok usia 45 tahun ke atas memiliki persentase buta<br />

huruf yang paling tinggi dibandingkan kedua kelompok usia<br />

lainnya. ABH Provinsi Sulawesi Selatan kelompok usia 45+<br />

tahun mencapai angka 20,62%. Keadaan tersebut tidak<br />

lepas dari keadaan ABH kabupaten/kota yang juga masih<br />

menunjukkan keadaan yang kurang memuaskan. Di tingkat<br />

kabupaten/kota terdapat 12 kabupaten/kota yang lebih tinggi


Selayar<br />

Bulukumba<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Takalar<br />

Gowa<br />

Sinjai<br />

Maros<br />

Pangkep<br />

Barru<br />

Bone<br />

Soppeng<br />

Wajo<br />

Sidrap<br />

Pinrang<br />

Enrekang<br />

Luwu<br />

Tana Toraja<br />

Luwu Utara<br />

Luwu Timur<br />

Toraja Utara<br />

Makassar<br />

Parepare<br />

Palopo<br />

109<br />

dari capaian provinsi, dan 12 kabupaten/kota berada di<br />

bawah capaian provinsi.<br />

45<br />

40<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Gambar 4.18. Posisi Relatif Angka Buta Huruf Usia 45+<br />

Tahun Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi<br />

Selatan<br />

Gejala umum yang terjadi pada sektor pendidikan di<br />

Sulawesi Selatan adalah bahwa semakin tinggi jenjang<br />

pendidikan maka semakin rendah pula partisipasi penduduk<br />

yang bersekolah sesuai jenjang pendidikannya. Penurunan<br />

APM terjadi terutama pada peralihan antara jenjang pendidikan,<br />

dari SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke SMA/MA yang<br />

berati terjadi peningkatan angka putus sekolah yang semakin<br />

meningkat seiring dengan kenaikan jenjang pendidikan.<br />

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa<br />

alasan utama anak-anak usia sekolah tidak dapat melanjutkan


110<br />

pendidikan adalah karena tidak ada biaya (67,0%) dan harus<br />

bekerja membantu orang tua mencari nafkah bagi keluarga<br />

(8,7%). Jadi, kesulitan ekonomi (75,7%) menjadi masalah<br />

mendasar sehingga anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa<br />

meneruskan pendidikan. Konteks ini, membuktikan bahwa<br />

pendidikan merupakan medium bagi upaya mengatasi masalah<br />

kemiskinan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan perlu terus<br />

berupaya meningkatkan pemerataan dan perluasan akses<br />

pendidikan yang berfokus pada pendidikan dasar sebagaimana<br />

program pendidikan gratis yang lalu dan visi dari RPJMD 2013-<br />

2018.<br />

Upaya membangun pendidikan bermutu yang dimulai<br />

dari pendidikan dasar (12 tahun) ini didasarkan pada dua<br />

pertimbangan penting. Pertama, pendidikan dasar akan<br />

melahirkan dan meningkatkan jumlah penduduk melek huruf (to<br />

produce a literate and numerate population). Selain itu, jumlah<br />

penduduk pada kelompok umur 7-12 tahun sangat besar dan<br />

menjadi lebih banyak lagi bila ditambah dengan kelompok umur<br />

13-15 tahun. Penduduk usia sekolah memerlukan pelayanan<br />

pendidikan yang baik dan bermutu agar dapat survive dalam<br />

menjalani kehidupan di masa depan. Kedua, pendidikan dasar<br />

merupakan kerangka landasan bagi pendidikan lanjutan (to lay<br />

the ground work for further education). Pendidikan dasar<br />

memberi sumbangan sangat besar, bahkan menentukan,<br />

dalam menyiapkan anak-anak untuk mengembangkan segenap


111<br />

potensi dan kemampuan mereka guna mengikuti pendidikan<br />

pada jenjang selanjutnya.<br />

Dengan membangun landasan pendidikan yang kokoh<br />

diharapkan dapat melahirkan SDM yang berkualitas dan dapat<br />

membantu menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Sebab,<br />

pendidikan dapat menjadi landasan kuat bagi dua pilar utama<br />

penanggulangan kemiskinan yaitu: 1) partumbuhan ekonomi<br />

berkelanjutan yang berpihak pada kaum miskin, dan 2)<br />

pembangunan sosial yang berorientasi pada kesejahteraan<br />

masyarakat. Pertumbuhan ekonomi memerlukan dan harus<br />

ditopang dengan tenaga kerja terdidik, yang punya<br />

pengetahuan dan keterampilan, serta menguasai teknologi<br />

untuk meningkatkan produktivitas. Sedangkan pembangunan<br />

sosial hanya dapat berlangsung dengan baik bila berfokus pada<br />

human investment yang mencakup pendidikan, kesehatan, dan<br />

pemenuhan gizi, yang merupakan elemen pokok dalam<br />

membangun masyarakat sejahtera.<br />

Pendidikan diyakini sebagai sarana paling efektif untuk<br />

memutus mata rantai kemiskinan. Karena pendidikan memberi<br />

bekal pengetahuan dan keterampilan bagi setiap warga<br />

masyarakat untuk dapat meningkatkan kualitas hidupnya.<br />

Peranan pendidikan dalam upaya pengentasan kemiskinan<br />

secara langsung dapat berfungsi sebagai kekuatan untuk<br />

mengurangi jumlah kemiskinan yang ada padat saat ini. Oleh<br />

karena itu perspektif program yang tepat adalah


112<br />

mengembangkan pilar-pilar penguatan program kegiatan<br />

penanggulangan kemiskinan yang bersandar pada pentingnya<br />

peranan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan. Hal<br />

konkrit yang dapat diwujudkan adalah dengan memperluas<br />

akses, meningkatkan pemerataan pendidikan dan<br />

meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri, sehingga<br />

diharapkan dengan adanya program secara berkelanjutan<br />

dapat mengentaskan serta mengurangi kemiskinan secara<br />

bertahap.<br />

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memiliki<br />

kewajiban untuk mewujudkan misi pembangunan daerah<br />

provinsi Sulawesi Selatan yaitu perwujudan pemerintahan yang<br />

baik dan bersih serta pembangunan pendidikan melalui<br />

peningkatan akses dan kualitas pendidikan secara<br />

berkesinambungan. Untuk itu perlu upaya-upaya sistematis<br />

dalam melaksanakan program pemerataan dan perluasan<br />

akses pendidikan serta peningkatan kualitas pendidikan<br />

dengan mentargetkan Angka Partisipasi Murni (APM-SD)<br />

hingga 95%, dan memperluas akses SMP/MTs hingga Angka<br />

Partisipasi Kasar (APK) sebesar 98% serta serta berupaya<br />

keras menurunkan angka buta huruf penduduk usia 15 tahun<br />

ke atas hingga dibawah 5%. Hal ini tidak saja bertujuan untuk<br />

mengurangi angka kemiskinan namun juga beorientasi kearah<br />

peningkatan kapasitas penduduk/masyarakat untuk dapat


113<br />

belajar serta meningkatkan peringkat Indeks Pembangunan<br />

manusia (IPM).<br />

Adapun target RPJMD 2013-2018 yaitu : 1) pencapaian<br />

Angka Melek Huruf (AMH) sebesar 95%, pencapaian Angka<br />

Gini ratio sebesar 0,39, penurunan Tingkat Pengangguran<br />

Terbuka (TPT) menjadi sebesar 5,30%, penurunan jumlah<br />

penduduk miskin menjadi 5,0 – 6,5%, peningkatan PDRB per<br />

kapita menjadi sebesar 30,2 juta rupiah, pertumbuhan ekonomi<br />

mencapai 8,2 – 8,4%, pencapaian Angka Harapan Hidup (AHH)<br />

menjadi sebesar 73,10 tahun, pencapaian angka rata-rata lama<br />

sekolah menjadi 8,12 tahun pada semua jenjang pendidikan,<br />

peningkatan daya beli masyarakat menjadi 662.780 rupiah, dan<br />

peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi<br />

76,50 – 77,50.<br />

Untuk mencapai target-target tersebut Pemerintah<br />

Provinsi Sulawesi Selatan saat ini telah mencanangkan<br />

pelaksanaan penuntasan wajib belajar 12 tahun di sektor<br />

pendidikan dan penguatan kelembagaan. Kebijakan di sektor<br />

pendidikan berupa pelayanan pendidikan yang adil dan merata<br />

bagi penduduk yang menghadapi hambatan ekonomi dan<br />

sosial budaya (yaitu penduduk miskin, memiliki hambatan<br />

geografis, daerah perbatasan dan daerah terpencil) dalam<br />

kaitan ini pemerintah perlu membantu dan mempermudah<br />

mereka yang belum bersekolah, putus sekolah, serta lulusan<br />

SD/MI/SDLB yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih di<br />

atas yang diprediksikan masih besar jumlahnya, untuk


114<br />

memperoleh layanan pendidikan, disamping itu perlu juga<br />

dilakukan langkah yang tepat untuk meningkatkan aspirasi<br />

masyarakat terhadap pendidikan khususnya pada masyarakat<br />

yang menghadapi hambatan tersebut. Sedangkan dalam hal<br />

pelaksanaan good governance melalui penguatan<br />

kelembagaan pemerintah dalam arti kelembagaan yang<br />

tangguh, terpercaya dan mandiri. Sekalipun terjadi dinamika<br />

perkembangan lingkungan yang kuat, keberadaan<br />

kelembagaan tetap sanggup beradaptasi secara kreatif. Upaya<br />

pemberdayaan kelembagaan Pemerintah di Sulawesi Selatan<br />

akan lebih diprioritaskan pada pelayanan publik dan<br />

pengembangan yang diarahkan pada terwujudnya<br />

pemerintahan yang baik (Good Governance) di wilayah Provinsi<br />

Sulawesi Selatan. Upaya pemberdayaan kelembagaan<br />

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan seperti : 1) penguatan<br />

kelembagaan Pemerintah Daerah; 2) peningkatan kerjasama<br />

antar Pemerintah Daerah; 3) pemberdayaan aparatur<br />

pemerintah; 4) peningkatan kualitas pelayanan publik; 5)<br />

penelitian, pengkajian dan pengembangan; 6) pengembangan<br />

perencanaan pembangunan; dan 7) pemberdayaan<br />

pengawasan; yang diharapkan mampu menciptakan<br />

kelembagaan pemerintah yang terpercaya yakni transparan,<br />

konsisten dan akuntabel serta efisien dan efektif.


115<br />

BAB V. KESIMPULAN, SARAN, REKOMENDASI<br />

<strong>DAN</strong> IMPLIKASI KEBIJAKAN<br />

A. Kesimpulan<br />

Dari hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Provinsi<br />

Sulawesi Selatan menyangkut strategi penanggulangan<br />

kemiskinan berbasis good governance dan good education<br />

dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :<br />

1. Distribusi pendapatan masyarakat yang tergolong miskin di<br />

Provinsi Sulawesi Selatan sebagian besar berpendapatan<br />

antara Rp 501.000 hingga Rp. 750.000 per bulannya.<br />

Distribusi pendapatan rumah tangga miskin tersebut cukup<br />

merata tetapi kemerataan pendapatan terjadi pada golongan<br />

rumahtangga yang berpendapatan rendah. Sedang<br />

berdasarkan analisis data PDRB kabupaten/kota di Provinsi<br />

Sulawesi Selatan diperoleh distribusi pendapatan di<br />

Kabupaten Jeneponto, Pangkep dan Toraja Utara dengan<br />

nilai ketimpangan masing-masing sebesar 0,4645, 0,3279<br />

dan 0,2616. Penggunaan analisis Indeks Entropi Theil<br />

menunjukkan bahwa ketimpangan tertinggi terjadi di<br />

Kabupaten Jeneponto (0,0264) diikuti Kabupaten Pangkep<br />

(0,0188) dan Kabupaten Toraja Utara (0,0153).<br />

2. Sebagian besar penduduk miskin di Sulawesi Selatan belum<br />

dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Belum terpenuhinya<br />

kebutuhan dasar sebagian besar penduduk miskin tersebut<br />

disebabkan oleh kondisi ekonomi rumah tangga (tingkat


116<br />

pendapatan) yang rendah untuk menjangkau sarana<br />

pendidikan, kesehatan, air dan pemenuhan gizi untuk balita.<br />

3. Strategi penanggulangan kemiskinan lainnya di wilayah<br />

Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan dengan dua<br />

pendekatan, yaitu :<br />

a. Pendekatan good governance melalui pemberdayaan<br />

kelembagaan Pemerintah yang lebih diprioritaskan pada<br />

pelayanan publik dan penguatan serta pengembangan<br />

kelembagaan seperti :<br />

- Penguatan kelembagaan pemerintah daerah.<br />

- Peningkatan kerjasama antar pemerintah daerah.<br />

- Pemberdayaan aparatur pemerintah daerah.<br />

- Peningkatan kualitas pelayanan publik.<br />

- Penelitian, pengkajian dan pengembangan.<br />

- Pengembangan perencanaan pembangunan daerah.<br />

- Pemberdayaan pengawasan.<br />

Sehingga kualitas governance yang baik akan<br />

menghasilkan kinerja pembangunan yang baik dan<br />

sustainable dengan melibatkan semua unsur yaitu<br />

masyarakat, swasta dan pemerintah daerah dalam<br />

menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif,<br />

penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan<br />

masyarakat, serta peningkatan partisipasi masyarakat<br />

dalam berbagai bidang.


117<br />

b. Pendekatan good education melalui peningkatan kualitas<br />

pendidikan dan pengembangan pengembangan ilmu<br />

pengetahuan, yaitu :<br />

- Peningkatan layanan pendidikan yang baik dan<br />

bermutu utamanya bagi penduduk yang menghadapi<br />

hambatan ekonomi dan sosial budaya yaitu penduduk<br />

miskin, memiliki hambatan geografis, daerah<br />

perbatasan dan daerah terpencil.<br />

- Peningkatan wajib belajar 9 tahun menjadi wajib belajar<br />

12 tahun.<br />

- Peningkatan pemerataan pendidikan melalui program<br />

pendidikan gratis dan perluasan akses pendidikan<br />

utamanya pendidikan dasar.<br />

- Peningkatan kualitas pendidikan melalui penambahan<br />

sarana dan prasarana belajar.<br />

- Peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi tenaga<br />

pendidik melalui pendidikan lanjutan, diklat dan<br />

pemenuhan sarana/prasarana pendidikan.<br />

- Pemenuhan kebutuhan dasar lainnya yang menunjang<br />

sektor pendidikan seperti peningkatan pelayanan<br />

kesehatan, perbaikan infrastruktur jalan desa dan<br />

peningkatan pendapatan usaha rumah tangga<br />

(pemberian kredit lunak, pemberian benih komoditas<br />

unggulan dan penyuluhan pertanian).<br />

Dengan pendidikan yang baik, setiap orang akan memiliki<br />

bekal pengetahuan dan keterampilan, mempunyai pilihan


118<br />

untuk mendapat pekerjaan, dan menjadi lebih produktif<br />

sehingga dapat meningkatkan pendapatannya.<br />

B. Saran<br />

Dalam rangka penanggulangan kemiskinan melalui<br />

pendekatan good governance dan good education dapat<br />

disarankan beberapa hal sebagai berikut :<br />

1. Peningkatan pendapatan masyarakat miskin pedesaan<br />

melaui revitalisasi desa yang dapat dilakukan dengan<br />

program seperti bantuan benih dan bibit, penyuluhan,<br />

bantuan modal kerja, alokasi dana APBD dan pembangunan<br />

infrastruktur desa.<br />

2. Memprioritaskan pembangunan daerah pada wilayah<br />

kabupaten/kota yang memiliki angka kemiskinan yang tinggi<br />

terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan agar<br />

dapat meningkatkan angka partisipasi sekolah, mengurangi<br />

angka buta huruf dan jumlah balita gizi buruk.<br />

3. Mendorong investasi di sektor pertanian melalui kemudahan<br />

perijinan, fleksibilitas birokrasi, penataan pajak yang sesuai<br />

sehingga dapat lebih menggairahkan sektor pertanian yang<br />

merupakan tulang punggung masyarakat di Sulawesi<br />

Selatan yang pada akhirnya dapat meningkatkan<br />

kesejahteraan masyarakat Sulawesi Selatan di wilayah<br />

pedesaan.<br />

4. Disarankan pula untuk melakukan penelitian lanjutan<br />

utamanya untuk mengkaji kemiskinan pada wilayah


119<br />

perkotaan, karena disamping jumlah penduduknya yang<br />

cukup besar juga memiliki aspek-aspek penyebab<br />

kemiskinan yang lebih kompleks. Hal ini dimaksudkan untuk<br />

dapat menerangkan kondisi kemiskinan yang sebenarnya di<br />

Sulawesi Selatan.<br />

C. Rekomendasi<br />

Adapun rekomendasi dari penelitian ini adalah :<br />

1. Perwujudan tata pemerintahan yang baik (good<br />

government), yang ditandai oleh:<br />

a. Peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah daerah<br />

di Sulawesi Selatan yang bertanggungjawab pada tugas<br />

dan fungsinya.<br />

b. Peningkatan kualitas layanan birokrasi yang mudah,<br />

murah dan berkualitas.<br />

c. Penguatan peran serta masyarakat, lembaga swadaya<br />

masyarakat, pemuka masyarakat dan partai politik dalam<br />

proses perumusan, pembuatan dan pengambilan<br />

keputusan atas kebijakan atau peraturan daerah.<br />

d. Terciptanya kerangka kehidupan demokratis dalam<br />

berbagai bidang kehidupan sehingga perkembangan<br />

masyarakat tetap bisa dipertahankan dalam kerangka<br />

peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa<br />

meninggalkan potensi dan kemampuan dasarnya.


120<br />

2. Perwujudan masyarakat Sulawesi Selatan yang berkualitas<br />

melalui peningkatan pendidikan, pengembangan ilmu<br />

pengetahuan dan teknologi, yang ditandai oleh:<br />

a. Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)<br />

Provinsi Sulawesi Selatan setiap tahunnya sebagai<br />

cerminan perbaikan kesejahteraan masyarakat.<br />

b. Terciptanya pemerataan akses masyarakat terhadap<br />

pelayanan pendidikan yang berkualitas untuk mendukung<br />

tuntasnya program pendidikan dasar 12 tahun.<br />

c. Peningkatan kemampuan masyarakat dalam penguasaan<br />

dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.<br />

d. Peningkatan keberdayaan dan partisipasi masyarakat<br />

(utamanya kaum perempuan, anak dan remaja) dalam<br />

pembangunan daerah.<br />

D. Implikasi Kebijakan<br />

Agar good governance dalam kerangka<br />

penanggulangan kemiskinan di Sulawesi Selatan dapat<br />

tercapai dengan baik, terdapat beberapa faktor yang<br />

harus menjadi perhatian, yaitu :<br />

1. Peningkatan peran pemerintah sebagai unsur pelaksana<br />

Berhasil atau tidaknya pelaksanaan good governance<br />

sebagian besar tergantung pada pemerintah daerah yang<br />

terdiri dari unsur pimpinan daerah dan DPRD. Disamping itu<br />

terdapat aparatur atau alat perlengkapan daerah lainnya<br />

yaitu para pegawai daerah itu sendiri.


121<br />

2. Peningkatan partisipasi masyarakat<br />

Keberhasilan penyelenggaraan good governance juga tidak<br />

terlepas dari adanya partisipasi aktif anggota masyarakat.<br />

Masyarakat di daerah baik sebagai sistem maupun sebagai<br />

individu merupakan bagian integral yang sangat penting<br />

dalam sistem pemerintah daerah. Salah satu wujud dari rasa<br />

tanggungjawab masyarakat terhadap pencapaian good<br />

governance adalah sikap mendukung terhadap<br />

penyelenggaraan pemerintahan. Wujud partisipasi<br />

masyarakat tersebut antara lain :<br />

a. Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan.<br />

b. Partisipasi dalam pelaksanaan.<br />

c. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil.<br />

d. Partisipasi dalam evaluasi<br />

3. Peningkatan Anggaran Keuangan Daerah<br />

Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata<br />

kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah<br />

tangganya adalah kemampuan self supporting dalam bidang<br />

keuangan. Dengan kata lain, faktor keuangan merupakan<br />

faktor esensial dlam mengukur tingkat pencapaian good<br />

governance. Ini berarti bahwa penerapan dan pencapaian<br />

good governance di Sulawesi Selatan membutuhkan<br />

dana/finansial.<br />

4. Perbaikan dan pengembangan peralatan<br />

Faktor peralatan juga tergolong penting dalam pelaksanaan<br />

dan pencapaian good governance. Dalam pengertian ini


122<br />

peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan<br />

untuk memperlancar dan mempermudah pekerjaan gerak<br />

dan aktivitas pemerintah dalam upaya pencapaian dan<br />

perwujudan good governance.<br />

5. Perbaikan dan pengembangan Organisasi dan Manajemen<br />

Faktor kelima yang mempengaruhi pelaksanaan good<br />

governance adalah faktor organisasi dan manajemen<br />

(meliputi fungsi manajemen). Agar pencapaian good<br />

governance dapat terwujud maka diperlukan adanya<br />

organisasi dan manajemen yang baik pula.<br />

Implementasi kebijakan mensyaratkan agar pelaksana<br />

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi<br />

tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada<br />

kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi<br />

implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak<br />

jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh masyarakat,<br />

maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari masyarakat.<br />

Peran good education dalam penanggulangan<br />

kemiskinan di Sulawesi Selatan mencakup beberapa hal<br />

sebagai berikut :<br />

1. Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas layanan pendidikan<br />

melalui peningkatan partisipasi masyarakat, serta<br />

mendorong dan memberikan kesempatan yang luas kepada<br />

siswa miskin untuk menyelesaikan tingkat pendidikan dasar<br />

agar dapat memiliki dasar-dasar keterampilan hidup untuk<br />

peningkatan kesejahteraan dirinya dan keluarganya.


123<br />

2. Meningkatkan status wajib belajar 9 tahun menjadi wajib<br />

belajar 12 tahun yang dibiayai oleh pemerintah daerah,<br />

utamanya bagi siswa dengan latar belakang keluarga miskin.<br />

3. Meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga pendidik (guru)<br />

melalui pendidikan lanjutan, diklat dan pemenuhan<br />

sarana/prasarana belajar mengajar.<br />

4. Meningkatkan fasilitas pembelajaran yang memadai di setiap<br />

sekolah.<br />

5. Peningkatan pelayanan kesehatan, perbaikan infrastruktur<br />

jalan desa dan peningkatan pendapatan usaha rumah<br />

tangga (pemberian kredit lunak, pemberian benih komoditas<br />

unggulan dan penyuluhan pertanian) dalam kerangka<br />

pemenuhan kebutuhan dasar lainnya yang menunjang sektor<br />

pendidikan.<br />

Dengan demikian, dalam bidang pendidikan di Sulawesi<br />

Selatan masih ada beberapa standar yang belum terpenuhi<br />

yaitu standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar<br />

sarana dan prasarana, dan standar pembiayaan. Oleh karena,<br />

itu diperlukan kebijakan untuk menangani permasalahanpermasalahan<br />

tersebut.


124<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Alala, H. 1992. Masalah Kebijakan dan Peran Institusi Pedesaan;<br />

Suatu Kajian Kritis. Media Baru No. 2 Tahun 1. Jakarta<br />

Alkatiri, L. 2005. Demoktratisasi Pemerintahan dan Penanggulangan<br />

Kemiskinan. http://www.psik.itb.it.<br />

Amijaya, Deny Tisna. 2008, Pengaruh Ketidakmerataan Distribusi<br />

Pendapatan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pengangguran<br />

terhadap tingkat Kemiskinan di Indonesia tahun 2003-2004.<br />

Kumpulan Skripsi UN<strong>DI</strong>P: Semarang.<br />

Batubara, Alwi Hasyim, 2008. Konsep Good Governance Dalam<br />

Konsep Otonomi Daerah. Jakarta.<br />

BPS. 2015. Provinsi Sulawesi Selatan Dalam Angka 2015. BPS<br />

Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar.<br />

_____, 2015. Kabupaten Jeneponto Dalam Angka 2015. BPS<br />

Kabupaten Jeneponto.<br />

_____, 2015. Kabupaten Pangkajene Kepulauan Dalam Angka 2015.<br />

BPS Kabupaten Pangkajene Kepulauan.<br />

_____, 2015. Kabupaten Toraja Utara Dalam Angka 2015. BPS<br />

Kabupaten Toraja Utara.<br />

_____, 2004, Monitoring dan Kaitan terhadap Program Kemiskinan<br />

di Indonesia, Jakarta.<br />

_____, 2011. Perhitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia<br />

Tahun 2011. BPS: CV Nario Sari.<br />

Conyers, D. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Suatu<br />

Pengantar (diterjemahkan oleh Susetiawan). Yogyakarta:<br />

Gajah Mada University Press.<br />

Djojohadikusumo, Sumitro. 1995. Perkembangan Pemikiran<br />

Ekonomi: Dasar Teori Pertumbuhan dan Ekonomi<br />

Pembangunan. Jakarta


125<br />

Dwiyanto, A., 2014. Mewujudkan Good Governance melalui<br />

Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.<br />

Hendra Setiawan, Achmad. 2011. Penanggulangan Kemiskinan<br />

Daerah. Bandung.<br />

Hernowo, Basah. 2003. Kajian Pembangunan Ekonomi Desa untuk<br />

Mengatasi Kemiskinan. www.bappenas.go.id<br />

Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti, 2008. Dampak Pertumbuhan<br />

Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin :<br />

Jurnal http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/PROS_2008_<br />

MAK3.pdf<br />

Juoro, Umar. 1985. Masalah Terdepan dalam Pembangunan<br />

Ekonomi Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung<br />

Kjaer, Anne Mette, 2004. Governance: Key Concept. Cambridge:<br />

Polity Press .<br />

Kuncoro Mudrajad, 2010. Dasar-dasar Ekonomika Pembangunan.<br />

Yogyakarta. UPP STIM YKPN Yogyakarta.<br />

Lincolin Arsyad. 2010. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta. Unit<br />

penerbit dan percetakan STIM YKPN Yogyakarta.<br />

Mardiasmo, 2006. Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik<br />

Melalui Akuntansi Sektor Publik: Suatu Sarana Good<br />

Governance. Jurnal Akuntansi Pemerintahan.<br />

Mosher. 1974. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. PT<br />

Yasaguna, Jakarta.<br />

Ndraha, Taliziduhu, 1987. Pembangunan Masyarakat:<br />

Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: Bina<br />

Aksara.<br />

Nurkse, Ragnar. 1953. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan<br />

Masyarakat. http://www.kimpraswil.go.id/publik/P2KP/Des/<br />

memahami99.htm


126<br />

_____, 1954. Berbagai Kebijakan Dalam Upaya Pengentasan<br />

Kemiskinan. Jakarta.<br />

Papilaya, Eddy Chiljon. 2006. Akar Penyebab Kemiskinan Menurut<br />

Rumahtangga Miskin dan Strategi Penanggulangannya.<br />

[Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor.<br />

Paul Spicker. 2002, Poverty and the Welfare State: Dispelling the<br />

Myths, A Catalyst Working Paper, London: Catalyst.<br />

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2000<br />

Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri<br />

Sipil.<br />

Sadu, Wasistiono, 2002. Desentralisasi, Demokratisasi dan<br />

Pembentukan Good Governance. Dalam Syamsuddin Haris<br />

(eds), Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas<br />

Pemerintah Daerah, AIPI and Partnership for Governance<br />

Reform in Indonesia.<br />

Saharia. 2003. Pemberdayaan Masayarakat Di Pedesaan Sebagai<br />

Salah Satu Upaya Pemanfaatan Potensi Sumberdaya<br />

Manusia Secara Optimal. Makalah Individu Pengantar<br />

Falsafah Sains (PPS702). Sekolah Pascasarjana/S3 Institut<br />

Pertanian Bogor. E-mail: sahauntad@yahoo.com .<br />

Sajogyo. 1987. Ekologi Pedesaan, Sebuah Bunga Rampai. Rajawali<br />

Pers, Jakarta.<br />

Santosa, Pandji, 2008. Administrasi Publik, Teori dan Aplikasi Good<br />

Governance, Gramedia, Jakarta.<br />

Saragih, Junawi Hartasi. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang<br />

Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi (Studi Komparatif:<br />

Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Langkat).<br />

(Skripsi). Universitas Sumatera Utara. Medan.<br />

Sedarmayati. 2008. Penerapan Good Governance Dalam Organisasi<br />

Kepemerintahan. Jurnal Manajemen Mutu.


127<br />

Soekartawi. 1990. Prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan dengan<br />

Pokok Bahasan Khusus Perencanaan Pembangunan Daerah.<br />

Rajawali Pers, Jakarta<br />

Suharto, Edi. 2003. Paradigma Baru Studi Kemiskinan.<br />

http://www.immugm .org/public/html_article.php?story:200309<br />

11194808123<br />

Sukirno, Sadono. 2009. Mikroekonomi : Teori Pengantar. Edisi<br />

Ketiga. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.<br />

Syafwannur, Edy. 2004. Strategi Penanggulangan Kemiskinan di<br />

Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir. [Tesis].<br />

Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor.<br />

Trisna, Iwan. 2005. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui<br />

Pemberdayaan Usaha Ekonomi Produktif di Kabupaten<br />

Bengkalis. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor.<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan<br />

Daerah.<br />

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan<br />

Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.<br />

UNDP, 1997. Governance for Sustainable Human Development.<br />

Wiraswara, A. 2005. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Angka<br />

Kemiskinan di Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi,<br />

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor.<br />

World Bank. 2002. World Development Indicator. Washington DC:<br />

World Bank.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!