01.11.2017 Views

BUKU STRATEGI PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENGOLAHAN PASCA PANEN JAGUNG

Program pembangunan sektor pertanian di Sulawesi Selatan, khususnya jagung termasuk prioritas utama untuk dikembangkan yang ditargetkan produksi dapat mencapai 1,5 juta ton pada tahun 2009. Namun, yang menjadi permasalahan adalah umumnya petani kurang menggunakan benih unggul, ketersediaan sarana dan prasarana penampungan hasil terutama pada sentra produksi, dan belum optimalnya teknologi pengelolaan pasca panen

Program pembangunan sektor pertanian di Sulawesi Selatan, khususnya
jagung termasuk prioritas utama untuk dikembangkan yang ditargetkan produksi
dapat mencapai 1,5 juta ton pada tahun 2009. Namun, yang menjadi
permasalahan adalah umumnya petani kurang menggunakan benih unggul,
ketersediaan sarana dan prasarana penampungan hasil terutama pada sentra
produksi, dan belum optimalnya teknologi pengelolaan pasca panen

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>STRATEGI</strong> <strong>PENINGKATAN</strong> <strong>PRODUKSI</strong> <strong>DAN</strong><br />

PENGELOLAAN <strong>PASCA</strong> <strong>PANEN</strong> <strong>JAGUNG</strong><br />

DI SELAWESI SELATAN<br />

Diterbitkan oleh:<br />

Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah<br />

( BALITBANGDA )<br />

Provinsi Sulawesi Selatan<br />

2010


<strong>STRATEGI</strong> <strong>PENINGKATAN</strong> <strong>PRODUKSI</strong> <strong>DAN</strong> PENGELOLAAN<br />

<strong>PASCA</strong> <strong>PANEN</strong> <strong>JAGUNG</strong> DI SELAWESI SELATAN<br />

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2009 yang menguraikan tentang usaha<br />

peningkatan produktifitas dan<br />

kualitas komoditi jagung<br />

di Sulawesi Selatan.<br />

Tim Peneliti:<br />

Ketua: Dr.Ir. Muhibuddin, M.Sc<br />

Anggota; Dr. Ir. Aylee Ch. Alamsyah S., MSi.,<br />

Ir. Abri, MP, dan Ir. Abriana, MP.<br />

Editor/penyelaras akhir: Ir. H. Muh. Haruna Saleh, MM.<br />

Desain cover: Dermayana Arsal, S.Hut, MP.<br />

Diterbitkan atas dukungan dan kerjasama:<br />

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov.Sulsel,<br />

Dewan Riset Daerah Prov. Sulsel, Pemerintah Kabupaten Bone,<br />

Pinrang, Bantaeng, Jeneponto dan Gowa.<br />

Cetakan Pertama, Januari 2010<br />

Hak Cipta@2010<br />

Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah<br />

Provinsi Sulawesi Selatan<br />

Hak Cipta dilindungi undang-undang<br />

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini<br />

tanpa izin tertulis dari penerbit<br />

ISBN: 978-602-8400-21-3


ii<br />

KATA PENGANTAR<br />

Hasil produksi jagung merupakan salah satu komoditas unggulan yang banyak<br />

dibutuhkan masyarakat di negeri ini baik sebagai subtitusi bahan makanan pokok<br />

maupun sumber bahan pakan ternak. Jagung sebagai tanaman rakyat di daerah ini<br />

juga telah memberi sumbangan dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat<br />

pedesaan yang kini diupayakan pencapaian produksinya hingga 1,5 juta ton oleh<br />

Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan. Perwujudan pelaksanaan kegiatan program<br />

tersebut oleh instansi teknis terkait maka diperlukan adanya data dan informasi yang<br />

akurat agar program tersebut dapat mencapai sasaran dan tujuan secara tepat dan<br />

cepat.<br />

Mendukung program tersebut maka dalam tahun anggaran 2009 telah<br />

dilaksanakan kegiatan penelitian yang berjudul “Strategi peningkatan produksi dan<br />

pengelolaan pasca panen di Sulawesi Selatan)”, oleh Badan Penelitian dan<br />

Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan melalui kerjasama lembaga<br />

penelitian Universitas “45” Makassar.<br />

Berbagai permasalahan yang harus diungkap sehubungan peningkatan<br />

produksi jagung yang berkesinambungan di daerah ini, semoga hasil laporan<br />

kegiatan penelitian ini dapat memberi informasi seperti yang yang diharapkan oleh<br />

semua stakeholders. Meskipun demikian masih ditemui adanya beberapa<br />

kekurangan dalam isi laporan ini, untuk itu saran dan kritik dari semua pihak<br />

merupakan bahan yang juga sangat diharapkan agar kegiatan penelitian selanjutnya<br />

dapat lebih disempurnakan.<br />

Sebagaimana harapan kami pada pelaksanaan penelitian tersebut, semoga<br />

hasil kesimpulan yang diperoleh dan rekomendasi kebijakan yang diusulkan kepada<br />

Bapak Gubernur Sulawesi Selatan mendapat respon positif dan bermanfaat bagi<br />

masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan.<br />

Makassar , Desember 2009<br />

Kepala Badan,<br />

Ir. H. Muhammad Idrus Hafid<br />

Pangkat: Pembina Tk.I<br />

NIP: 19540917 198203 1 005<br />

iii


iv<br />

ABSTRAK<br />

Program pembangunan sektor pertanian di Sulawesi Selatan, khususnya<br />

jagung termasuk prioritas utama untuk dikembangkan yang ditargetkan produksi<br />

dapat mencapai 1,5 juta ton pada tahun 2009. Namun, yang menjadi<br />

permasalahan adalah umumnya petani kurang menggunakan benih unggul,<br />

ketersediaan sarana dan prasarana penampungan hasil terutama pada sentra<br />

produksi, dan belum optimalnya teknologi pengelolaan pasca panen<br />

Tujuan penelitian ini adalah : a) Menganalisis hambatan produksi jagung<br />

dengan menjaga kesinambungan dalam penggunaan benih unggul di kalangan<br />

petani, b) Mengidentifikasi ketersediaan sarana dan prasarana penampungan hasil<br />

jagung pada daerah sentra produksi dan c) Menetapkan strategi dalam upaya<br />

meningkatkan produksi dan mengoptimalkan teknologi pengelolaan pasca panen<br />

jagung di tingkat petani.<br />

Penelitian ini dilaksanakan dari Juni sampai November 2009 pada 5 (lima)<br />

kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Pinrang, Bantaeng, Jeneponto,<br />

Bone, dan Gowa. Sampel diambil secara acak (Random Sampling) dari rumah<br />

tangga petani jagung, pedagang jagung dan pedagang sarana dan prasarana<br />

produksi jagung sebanyak 200 sampel. Model Analisis yang digunakan adalah<br />

analisis Structural Equation Modelling (SEM) dengan perangkat lunak Excel 2007,<br />

SPSS 11, LISREL versi 88 dan analisis SWOT.<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa a) Faktor-faktor yang menyebabkan<br />

petani kurang menggunakan benih unggul sehingga menghambat peningkatan<br />

produksi jagung di Sulawesi Selatan adalah harga benih unggul hibrida yang relatif<br />

mahal dan tidak terjangkau serta sering tidak tersedia dalam volume dan waktu<br />

yang tepat di pasaran pada saat dibutuhkan petani, b) Ketersediaan sarana dan<br />

prasarana penampungan hasil jagung pada daerah sentra produksi jagung di<br />

Sulawesi Selatan terutama di tingkat petani kurang tersedia dan tidak memadai<br />

karena masih dilakukan secara tradisionil, dengan kapasitas penyimpanan yang<br />

terbatas dengan teknik yang sederhana, baik dari sisi penjagaan, mutu, maupun<br />

keamanan, dan c) Strategi yang harus dilakukan untuk meningkatkan produksi dan<br />

mengoptimalkan teknologi pengelolaan pasca panen jagung di tingkat petani di<br />

Sulawesi Selatan adalah peningkatan dan perbaikan manajemen produksi,<br />

terutama ketersediaan benih unggul hibrida dan faktor penunjang penampungan<br />

hasil jagung terutama saat panen raya.<br />

Kata kunci : strategi, peningkatan produksi, pasca panen


v<br />

ABSTRACT<br />

Agricultural sector development program in South Sulawesi, especially<br />

maize, including the main priorities for development of production targeted to<br />

reach 1.5 million tons in 2009. However, the problem is generally less farmers<br />

using superior seeds, availability of shelter facilities and infrastructure especially<br />

in centers of production, and non optimal management of post-harvest<br />

technology.<br />

The purpose of this study are: a) Analyzing the maize production constraints<br />

in maintaining continuity in the use of superior seeds among farmers, b) Identify<br />

the availability of shelter facilities and infrastructure in areas of corn production<br />

centers, and c) Establish a strategy in an effort to increase production and<br />

management technology to optimize the post-corn harvest at farmers' level.<br />

The study was conducted from June to November 2009 at 5 (five) districts in<br />

South Sulawesi, namely Pinrang, Bantaeng, Jeneponto, Bone and Gowa.<br />

Samples taken at random (Random Sampling) of the corn farmer households,<br />

corn merchants and traders of infrastructure facilities and corn production of 200<br />

samples. Analysis model used is the analysis of Structural Equation Modeling<br />

(SEM) with the software Excel 2007, SPSS 11, LISREL 88 version and SWOT<br />

analysis.<br />

The results showed that a) The factors that cause farmers to use seeds<br />

less superior that inhibit the increase in maize production in South Sulawesi is<br />

superior hybrid seed price is relatively expensive and not affordable and often<br />

are available in the volume and timing in the market when farmers needed,<br />

b) The availability of shelter facilities and infrastructure of central regions of<br />

maize in maize production in South Sulawesi, especially at the level of farmers is<br />

less available and not adequate because it is still done in traditional, with limited<br />

storage capacity with a simple technique, both in the security, quality and safety,<br />

and c) Strategies that must be done to improve production and optimize the<br />

post-harvest management technologies in the level of maize farmers in South<br />

Sulawesi is increased and improved production management, especially the<br />

availability of superior hybrid seeds and the factors supporting the shelter,<br />

especially when the results of the corn harvest.<br />

Keywords: strategy, increasing production, post-harvest


vi<br />

DAFTAR ISI<br />

Halaman<br />

HALAMAN JUDUL……………………………………………………...<br />

KATA PENGANTAR…………………………………………...............<br />

ABSTRAK .......................................................................................<br />

ABSTRACT ....................................................................................<br />

DAFTAR ISI………………………………………………………….......<br />

DAFTAR TABEL………………………………………………………...<br />

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………..<br />

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................<br />

BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………….. 1<br />

A. Latar Belakang…………………………………………………. 1<br />

B. Perumusan Masalah…………………………………………… 6<br />

C. Tujuan Penelitian……………………………………………….. 6<br />

D. Manfaat Hasil Penelitian……………………………………….. 7<br />

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….. 8<br />

A. Landasan Teoritis................................................................... 8<br />

1. Agroekologi Jagung .......................................................... 8<br />

2. Manajemen Produksi Jagung ........................................... 9<br />

3. Kelembagaan Perbenihan dan Peranan Benih dalam<br />

Peningkatan Produksi Jagung ......................................... 10<br />

4. Pengelolaan Pasca Panen Jagung ................................. 12<br />

5. Prospek Bisnis Komoditas Jagung ................................. 19<br />

6. Prospek Pengembangan Agroindustri Jagung ................. 21<br />

7. Kebutuhan Investasi Agroindustri Jagung ......................... 21<br />

8. Alsintan Jagung ................................................................ 22<br />

9. Aspek Kelembagaan sebagai Faktor Pendukung<br />

Manajemen Produksi dan Pengelolaan Pasca Panen ...... 23<br />

B. Kerangka Pemikiran.............................................................. 26<br />

C. Definisi Operasional dan Konseptual Variablel...................... 28<br />

D. Hipotesis................................................................................ 29<br />

i<br />

ii<br />

iv<br />

v<br />

vi<br />

viii<br />

ix<br />

x


vii<br />

BAB III. METODE PENELITIAN....................................................... 30<br />

A. Lokasi dan Waktu................................................................... 30<br />

B. Populasi dan Sampel.............................................................. 30<br />

C. Indikator / Parameter Penelitian ............................................ 31<br />

D. Pendekatan / Model Analisis................................................... 32<br />

1. SEM .................................................................................... 32<br />

2. SWOT ................................................................................. 35<br />

BAB IV. HASIL PENELITIAN <strong>DAN</strong> PEMBAHASAN .......................... 39<br />

A. Deskripsi Provinsi Sulawesi Selatan …………………………. 39<br />

B. Keragaan Jagung Lokasi Penelitian dan Sasaran Produksi<br />

Sulawesi Selatan Tahun 2009 ................................................. 44<br />

C. Karakteristik Responden Petani Jagung ……………………. 46<br />

D. Hasil Uji Kecocokan Model …………………………………….. 52<br />

1. Uji Kecocokan Seluruh Model ........................................... 52<br />

2. Uji Validitas ........................................................................ 53<br />

E. Analisis Pemecahan Masalah ………………………………… 58<br />

F. Strategi untuk Pengembangan Faktor-Faktor yang<br />

Mempengaruhi Peningkatan Produksi dan Pengelolaan<br />

PascaPanen Jagung di Sulawesi Selatan …………………... 60<br />

BAB V. KESIMPULAN, SARAN, REKOMENDASI, <strong>DAN</strong> IMPLIKASI<br />

KEBIJAKAN .............................................................................. 68<br />

A. Kesimpulan ............................................................................... 68<br />

B. Saran .............................................................................................. 68<br />

C. Rekomendasi Kebijakan ................................................................ 69<br />

D. Implikasi Kebijakan ......................................................................... 69<br />

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 71<br />

LAMPIRAN ……………………………………………………………. ………. 73


viii<br />

Tabel<br />

DAFTAR TABEL<br />

T e k s<br />

Halaman<br />

1. Luas areal panen, luas panen, produktifitas, produksi jagung.<br />

Sul-sel Tahun 2003 -2007………………………………………………. 3<br />

2. Peluang pengembangan jagung di sul-sel…………………………….. 4<br />

3. Kelayakan usaha tani jagung hibrida perhektar………………………. 20<br />

4. Kebutuhan mekanisasi pertanian untuk mendukung<br />

budidaya jagung................................................................................. 23<br />

5. Jumlah responden untuk setiap Desa/Kelurahan ............................. 30<br />

6. Variabel, Indikator dan Parameter Penelitian..................................... 32<br />

7. Tahapan-tahapan dalam Analisis Model Struktural ........................... 33<br />

8. Good of Fit Index untuk evaluasi model ........................................... 35<br />

9. Produksi Tanaman Pangan dan Hrtikultura Sulawesi Selatan .......... 38<br />

10. Luas, Persentase Luas Kecamatan, Luas Panen dan Produksi<br />

Jagung Kabupaten PinrangTahun 2008............................................ 39<br />

11. Luas, Persentase Luas Kecamatan, Luas Panen dan Produksi<br />

Jagung Kabupaten BantaengTahun 2008 ........................................ 40<br />

12. Luas, Persentase Luas Kecamatan, Luas Panen dan Produksi<br />

JagungKabupatenJenepontoTahun2008.......................................... 41<br />

13. Luas, Persentase Luas Kecamatan, Luas Panen dan Produksi<br />

Jagung Bone Tahun 2008 ............................................................... 42<br />

14. Luas, Persentase Luas Kecamatan, Luas Panen dan Produksi<br />

Jagung Bone Tahun 2008 ............................................................... 43<br />

15. Produksi Jagung Kabupaten Pinrang, Bantaeng, Jeneponto,<br />

Bone, dan Gowa Tahun 2004 – 2008 ............................................. 44<br />

16. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Umur ..................... 47<br />

17. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ........... 48<br />

18. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Produktif.... 48<br />

19. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani<br />

Jagung ............................................................................................ 49<br />

20. Karakteristik Responden Berdasarkan Skala Usaha......................... 50


ix<br />

21. Karakteristik Responden Berdasarkan Produksi yang Dihasilkan..... 50<br />

22. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan per Tahun......... 50<br />

23. Uji GOF (Gooddness Of FIT ) …………………………………………. 52<br />

24. Uji Validitas Variabel Ketersediaan Benih Unggul (X1)<br />

terhadap Variabel Endogen Manajemen Produksi (MP)................... 53<br />

25. Uji Validitas Variabel Penampungan Hasil (X2) terhadap Variabel<br />

Endogen Faktor Penunjang (FP) ...................................................... 54<br />

26. Uji Validitas Variabel Teramati (Y) terhadap variabel Eksogen<br />

Peningkatan Produksi (PP) .............................................................. 54<br />

27. Uji Validitas Variabel Teramati (Y) terhadap Variabel Eksogen<br />

Pengolahan Pasca Panen (PPn) ..................................................... 55<br />

28. Hasil Analisis Uji Variabel Laten Faktor Penunjang (FP), Manajemn<br />

Produksi (MP), Peningkatan Produksi (PP) dan Pengolahan<br />

Pascapanen (PPn).......................................................................... 56<br />

29. Analisis SWOT Aspek Manajemen Produksi/Ketersediaan<br />

Benih Unggul ................................................................................... 61<br />

30. Analisis SWOT Aspek Penunjang/Sarana dan Prasarana<br />

Penampungan Hasil ........................................................................ 62<br />

31. Analisis SWOT Aspek Pengelolaan Pasca Panen ......................... 64


ix<br />

DAFTAR GAMBAR<br />

GAMBAR<br />

T e k s<br />

HALAMAN<br />

1. Pohon Industri Jagung …………………………………………….......... 18<br />

2. Peta Jalan (Road map) Program Pengembangan Industri Jagung ... 20<br />

3. Kerangka Pemikiran ……………………………………….................. 27<br />

. 4. Model Struktur Hubungan Antar Variabel ………………................... 34<br />

5. Keragaan Produksi Jagung Kabupaten Pinrang, Bantaeng,<br />

Jeneponto, Bone, dan Gowa Tahun 2004 – 2009 ………………........ 44<br />

6. Bagan Sasaran Produksi Jagung Sulawesi Selatan Tahun 2009 .... 46<br />

7. Diagram Path analisis SEM .............................................................. 56


BAB I. PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang<br />

Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang<br />

prospektif untuk dikembangkan dan dimasyarakatkan, karena perannya sangat<br />

srategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia, mengingat<br />

komoditas ini sebagai kontributor terbesar kedua terhadap Produk Domestik Bruto<br />

(PDB) setelah padi dalam sub-sektor tanaman pangan. Disamping itu, jagung<br />

mempunyai fungsi multiguna, baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai<br />

bahan baku utama industri pakan serta industri pangan, memiliki keunggulankeunggulan<br />

dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya, karena termasuk<br />

golongan padi-padian sumber energi dan sebagai makanan pengganti dengan nilai<br />

gizi yang tinggi dibandingkan komoditas lainnya.<br />

Program agropolitan berbasis jagung sebagai unggulan merupakan solusi<br />

terbaik bagi pengembangan jagung yang berskala ekonomi, berkualitas,<br />

berkelanjutan. Mengingat akan terbentuknya kesatuan wilayah sentra produksi,<br />

berjalannya seluruh sistem agribisnis, tumbuh dan berkembangnya agroindustri<br />

(hulu dan hilir), terpenuhinya kebutuhan konsumsi serta meningkatnya<br />

kesejahteraan petani dan keluarga sekaligus meningkatkan Pendapatan Asli<br />

Daerah (PAD).<br />

Upaya pengembangan jagung perlu diikuti dengan upaya peningkatan<br />

citra jagung, partisipasi industri hulu maupun hilir, dan promosi secara<br />

berkelanjutan. Dengan demikian, diharapkan jagung sebagai pangan pokok<br />

alternatif dapat bersaing dengan pangan impor, sehingga pengembangan jagung<br />

perlu didukung oleh kemampuan petani dalam menerapkan teknologi dan efisiensi<br />

penggunaan faktor produksi yang mencakup penyediaan benih unggul, budidaya<br />

tanaman yang sederhana dan praktis, serta pengelolaan pasca panen yang<br />

berorientasi pasar.<br />

Prospek pasar jagung, baik di pasar domestik maupun pasar dunia sangat<br />

cerah. Pasar jagung domestik masih terbuka lebar, mengingat sampai saat ini<br />

produksi jagung Indonesia belum mampu secara baik memenuhi kebutuhan, yaitu


aru sekitar 90% (BPS, 2008). Meningkatnya permintaan jagung dunia terutama<br />

dari negara-negara Asia akibat pesatnya perkembangan industri peternakan<br />

di negara tersebut dan relatif turunnya pasar jagung dunia (13% dari total produksi<br />

jagung dunia) menunjukkan bahwa pasar jagung dunia sangat terbuka lebar bagi<br />

para eksportir baru (BPPP, 2007).<br />

Sekalipun semua biaya diperhitungkan, ternyata usahatani jagung<br />

terutama yang menggunakan varietas hibrida tetap memberikan keuntungan yang<br />

cukup menarik bagi petani (Rp. 884 ribu – 2,1 juta per ha pada tingkat B/C berkisar<br />

1,24-1,50). Selain menguntungkan, produksi jagung di Indonesia juga mampu<br />

bersaing dengan jagung impor, ditunjukkan oleh nilai DRCR (Domestic Resource<br />

Cost Ratio)


Tabel 1. Luas Areal Panen, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung<br />

Tahun 2004-2008<br />

Tahun Luas Area Luas area Produktivitas Produksi<br />

Tanam (ha) Panen (ha) (ku/ha) (ton)<br />

2004 216.445 192.462 34,36 661.265<br />

2005 221.500 206.569 34,18 705.990<br />

2006 215.831 206.387 33,73 696.085<br />

2007 290.291 262.436 36,96 969.955<br />

2008 323.436 284.964 41,94 1.196.064<br />

Sumber: BPS 2008; dan sumber-sumber lain.<br />

Tabel 1 menunjukkan masih rendahnya produktivitas jagung di Sulawesi<br />

Selatan selama lima tahun terakhir, di bawah potensi produksi yang dapat<br />

mencapai 8-10 ton/ha (BPPP, 2007). Hal ini disebabkan antara lain karena<br />

penggunaan benih unggul yang masih rendah dikalangan petani, dimana peranan<br />

benih sebagai salah satu komponen produksi sangat penting dalam kapasitas<br />

sebagai penentu produktivitas, sehingga perlu diupayakan dapat memenuhi lima<br />

tepat, yaitu tepat waktu, jenis, mutu, jumlah dan tersedia dilokasi dengan harga<br />

yang terjangkau oleh petani. Selain itu, yang menjadi permasalahan selama ini<br />

adalah terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana penampungan hasil pada<br />

sentra produksi dan belum optimalnya pemanfaatan teknologi pengolahan pasca<br />

panen di tingkat petani.<br />

Komoditas jagung termasuk salah satu prioritas utama untuk<br />

dikembangkan dalam program pembangunan sektor pertanian Propinsi Sulawesi<br />

Selatan yang tercantum dalam Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah,<br />

dengan target pencapaian produksi 1,5 juta ton pipilan kering pada tahun 2009.<br />

Namun permasalahan lain yang dihadapi petani selain yang kemukakan di atas<br />

adalah rendahnya produktivitas, meningkatkan alih fungsi lahan, adanya gangguan<br />

OPT, fenomena iklim, rendahnya kualitas hasil, belum adanya kontinuitas hasil,<br />

lemahnya kelembagaan pertanian, kurangnya akses permodalan, dan tidak<br />

stabilnya harga (DTPSS, 2007).<br />

Pengembangan komoditas jagung di Sulawesi Selatan tidak semata-mata<br />

untuk mendukung diversifikasi pangan nasional dan penyangga pangan di KTI,


tetapi diarahkan sebagai komoditas industri. Dengan menjadikan jagung sebagai<br />

komoditas industri, maka secara tidak langsung akan terjadi proses pembelajaran<br />

kepada petani (learning process) untuk mengikuti aturan main di dunia industri<br />

sehingga akan terjadi perubahan mindset dari peasant ke farmer.<br />

Di Sulawesi Selatan, daerah yang memiliki potensi terbesar dalam<br />

pengembangan jagung di Sulawesi Selatan di tunjukkan pada Tabel 2.<br />

Tabel 2. Peluang Pengembangan Jagung di Sulawesi Selatan<br />

Potensi Areal Peluang<br />

No Kabupaten<br />

Tanam (ha) Tanam (ha) Pengembangan (ha)<br />

1 Gowa 40.000 27.441 12.559<br />

2 Takalar 6.500 6.217 283<br />

3 Jeneponto 43.500 41.632 1.868<br />

4 Bantaeng 40.000 30.607 9.393<br />

5 Bulukumba 45.000 33.667 11.333<br />

6 Selayar 40.000 3.536 36.464<br />

7 Sinjai 20.000 12.518 7.482<br />

8 Bone 112.500 41.412 71.088<br />

Jumlah 347.500 197.030 150.470<br />

9 Kab. Lain 80.000 32.523 47.477<br />

Total 427.500 229.553 197.947<br />

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangaan dan Hortikultura Sul-Sel 2008 dan<br />

sumber-sumber lain.<br />

Berdasarkan data pada Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa Sulawesi<br />

Selatan sebagai salah satu sentra pengembangan jagung di Kawasan Timur<br />

Indonesia mempunyai potensi ± 427.500 ha, telah dimanfaatkan 229.553 ha<br />

(53,7%) sehingga masih ada peluang 197.947 ha (46,3%) untuk peningkatan<br />

produksi. Dalam rangka pencapaian sasaran produksi 1,5 juta ton pada tahun<br />

2013 diperlukan dukungan berbagai kegiatan seperti : penggunaan benih jagung<br />

varietas hibrida, ketersediaan sarana dan prasarana, terutama penampungan hasil<br />

jagung pada sentra produksi; pemanfaatan teknologi pengolahan pasca panen,<br />

pengadaan dan perbaikan mekanisme subsidi pupuk, penggunaan Alsintan,


perbaikan infrastuktur usahatani, pengendalian OPT, penguatan kelembagaan<br />

perbenihan, penyuluhan, pendampingan, mekanisasi kegiatan produksi, dan<br />

pengaktifan kelompok tani.<br />

Selama ini telah dilakukan usaha peningkatan produktivitas dan produksi<br />

jagung dan telah memperlihatkan hasil yang cukup menggembirakan, tetapi<br />

peningkatan produktivitas dan produksi belum menunjukkan keberhasilan<br />

seutuhnya, terutama dalam peningkatan kualitas hidup petani. Peningkatan<br />

produktivitas belum menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan petani,<br />

selama petani hanya mampu menjual hasil panennya dalam bentuk bahan mentah.<br />

Pemasaran hasil dalam bentuk bahan mentah, memiliki beberapa kelemahan<br />

diantaranya : nilai tambahnya rendah, mudah rusak, daya simpan terbatas, dan<br />

konsistensi mutu sulit dijamin. Lemahnya daya saing komoditas Indonesia selama<br />

ini karena hanya mengandalkan keunggulan komparatif dengan kelimpahan<br />

sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (factor–driven), sehingga produk<br />

yang dihasilkan didominasi oleh produk primer atau bersifat natural recourcesbased<br />

dan unskilled-labor intensive.<br />

Kegiatan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan<br />

agribisnis jagung, yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah sampai<br />

pemasaran produk akhir. Peran kegiatan pascapanen sangat penting, karena<br />

merupakan salah satu sub-sistem agribisnis yang mempunyai peluang besar<br />

dalam upaya meningkatkan nilai tambah produk agribisnis. Dibandingkan dengan<br />

produk segar, produk olahan mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar.<br />

Selama ini penanganan hasil panen, masih lemah dengan tingginya tingkat<br />

kehilangan hasil panen jagung.<br />

Kebijaksanaan penanganan pasca panen diarahkan pada upaya<br />

mengurangi kehilangan hasil, baik kualitas maupun kuantitas, memperbaiki<br />

penyimpanan produk, dan pengolahan hasil terutama untuk meningkatkan nilai<br />

tambah produk dan meningkatkan kesempatan berusaha. Berbagai studi<br />

menyebutkan bahwa susut pasca panen jagung di Sulawesi Selatan berkisar<br />

antara 15-23% (Fransiscus, 2003; Gurnar, 2003). Indikasi ini menunjukkan<br />

penangananan pasca panen belum dilaksanakan secara intensif. Dengan


demikian, apabila pasca panen dapat ditangani lebih intensif maka kita dapat<br />

meningkatkan persediaan jagung dengan jalan menekan kehilangaan tersebut<br />

sehingga potensi produksi jagung yang dapat diamankan melalui pasca panen<br />

akan semakin besar.<br />

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka perlu<br />

dilakukan penelitian dan pengkajian tentang “Strategi Peningkatan Produksi dan<br />

Pengelolaan Pasca Panen Jagung di Sulawesi Selatan”.<br />

B. Perumusan Masalah<br />

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang,<br />

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:<br />

a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan petani kurang menggunakan benih<br />

unggul sehingga menghambat peningkatan produksi jagung?<br />

b. Bagaimana ketersedian sarana dan prasarana penampungan hasil jagung<br />

pada daerah sentra produksi jagung?<br />

c. Strategi apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan produksi dan<br />

mengoptimalkan teknologi pengelolaan pasca panen di tingkat petani ?<br />

C. Tujuan<br />

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan rumusan masalah, maka<br />

tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini:<br />

a. Menganalisis hambatan produksi jagung dengan menjaga kesinambungan<br />

dalam pengggunaan benih unggul di kalangan petani;<br />

b. Mengidentifikasi ketersediaan sarana dan prasarana penampungan hasil<br />

jagung pada daerah sentra produksi;<br />

c. Menetapkan strategi dalam upaya meningkatkan produksi dan mengoptimalkan<br />

teknologi pengelolaan pasca panen jagung di tingkat petani.


D. Manfaat Hasil Penelitian<br />

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain sebagai<br />

berikut:<br />

a. Menambah wawasan dan pengetahuan petani tentang teknik budidaya dan<br />

peningkatan pengelolaan pasca panen untuk menunjang peningkatan<br />

pendapatan petani jagung.<br />

b. Menunjang program instansi teknis terkait mengenai tehnik budidaya dan<br />

model inovasi dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas tanaman<br />

jagung di Sulawesi Selatan.<br />

c. Menunjang peningkatan pendapatan daerah (APBD) dengan adanya<br />

peningkatan produktifitas tanaman dan kualitas produk jagung, sesuai standar<br />

mutu yang telah ditentukan.


A. Landasan Teori<br />

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA<br />

1. Agroekologi Jagung<br />

Jagung (Zea mays, L.) termasuk dalam famili rumput-rimputan dan<br />

menurut jenisnya dapat dibagi dalam 4 golongan, yaitu : a) Dent corn (jagung gigi<br />

kuda – Zea mays identata), b) Flint corn Jagung mutiara – Zea mays indurata),<br />

c) Sweet corn (Zea mays saccharata) (Badia dan Bangun, 2005)<br />

Jagung di Indonesia umumnya ditanam di dataran rendah, baik ditegalan,<br />

sawah tadah hujan maupun sawah irigasi. Sebagian juga dibudidayakan di dataran<br />

tinggi (1000-1800 m) di atas permukaan laut. Tanah yang sesuai adalah gembur<br />

dan subur, sebab tanaman jagung memerlukan aerasi dan drainase yang baik.<br />

Tanah lempung berdebu paling sesuai bagi pertumbuhan jagung. Kemasaman<br />

tanah yang terbaik untuk jagung sekitar 5,5 – 7,0. Tanah kemiringan 8% masih<br />

dapat ditanami jagung dengan arah barisan tegak lurus terhadap miringnya tanah<br />

untuk mencegah erosi yang terjadi pada saat turun hujan lebat (Badia dan Bangun,<br />

2005). Faktor iklim paling penting dalam budidaya jagung adalah jumlah dan<br />

distribusi dari cahaya matahari dan curah hujan, temperatur, kelembaban dan<br />

angin. Temperatur optimum untuk pertumbuhan jagung adalah antara 23 0 – 27 0 C,<br />

tetapi pada umumnya temperatur jarang menjadi faktor pembatas. Namun curah<br />

hujan dan kelembaban sering menjadi pembatas (Anonim, 1999).<br />

Waktu tanam yang baik pada di tegalan sebaiknya ditanam pada awal<br />

musim hujan, pengolahan tanah sebaiknya dilakukan jauh sebelum tanam,<br />

sehingga tanah dalam keadaan siap tanam pada waktu hujan sudah mulai turun.<br />

Terlambatnya penanaman jagung menyebabkan tanaman terserang penyakit bulai<br />

(Downy mildew) dan dapat menyebabkan kegagalan total. Penanaman jagung di<br />

tegalan dapat pula dilkukan pada musim marengan/saat musim hujan akan<br />

berakhir (Februari – April) (Anonim, 1999). Di tanah sawah biasanya jagung<br />

ditanam dala tiga musim yaitu sebelum musim penghujan ditanam, pada musim<br />

marengan setelah padi musim penghujan dipanen dan juga pada musim kemarau<br />

(Anonim, 1999).


Pada waktu pengolahan, keadaan tanah hendaknya tidak terlampau basah<br />

tetapi harus cukup lembab sehingga mudah dikerjakan dan tidak lengket, sampai<br />

tanah menjadi gembur. Pada tanah-tanah berpasir tidak diperlukan pengolahan<br />

tanah yang intensif. Pada tanah-tanah berat dengan kelebihan air diperlukan<br />

saluran pembuangan untuk menghindarkan terjadinya genangan air (Ikomang,<br />

2004).<br />

Jarak tanam jagung tergantung varietas, bagi varietas yang berumur<br />

dalam (± 110 hari), ditanam dengan jarak tanam 100 x 40 cm (± 50.000<br />

tanaman/ha). Varietas yang berumur tengahan (80-90 hari), ditanam dengan jarak<br />

tanam 75 x 20 cm (± 70.000 tanaman/ha), dan varietas yang berumur genjah<br />

(70-80 hari), ditanam dengan jarak tanam 50 x 20 cm (200.000 tanaman/ha).<br />

Tanaman jagung tidak akan memberikan hasil maksimal jika unsur hara yang<br />

diperlukan tidak cukup tersedia. Pemupukan dapat meningkatkan hasil panen<br />

secara kuntitatif maupun kualitatif. Pemupukan nitrogen merupakan kunci utama<br />

dalam usaha meningkatkan produksi. Pemupukan fosfat dan kalium bersamasama<br />

dengan nitrogen akan memberikan hasil yang lebih baik (Badia dan Bangun,<br />

2005)<br />

2. Manajemen Produksi Jagung<br />

Manajemen produksi tanaman jagung pada hakekatnya selalu berusaha<br />

mengembangkan sistem kegiatan dan sistem produksi yang sistematis, efektif,<br />

efisien, dan serasi, untuk mencapai hasil secara ideal atau optimal dimana telah<br />

menyatu di dalamnya juga sistem pemantauan dan evaluasi, sehingga melalui<br />

sistem tersebut perbaikan sistem pengelolaan yang baik merupakan tuntutan<br />

(Sutidjo, 2006). Maka sistem produksi tanaman jagung secara optimal yang<br />

berkesinambungan, dipengaruhi oleh faktor-faktor kegiatan atau bagian kegiatan<br />

(sub-sistem) yang saling berpengaruh.<br />

Sistem budidaya tanaman atau sistem kegiatan produksi tanaman jagung<br />

adalah pemanfaatan lahan, iklim, varietas, alat-alat, modal, tenaga kerja,<br />

kemampuan pengelolaan dari petani pemasaran dan sebagainya yang saling<br />

berpengaruh. Jadi, tujuan utama produksi tanaman jagung adalah produksi


maksimum yang berkesinambungan yang dipengaruhi aspek produksi yang dapat<br />

dirumuskan :<br />

Y = f (E, G, C),<br />

dimana :<br />

E = lingkungan : tanah, iklim, pengelolaan, dan sebagainya<br />

G = Genotife : Jenis tanaman/varietas<br />

C = Teknik budidaya, alat=alat dan sebagainya.<br />

Secara detail rumus tersebut dapat dilanjutkan menjadi :<br />

Y = f (T, I, V, K, P, A, dll)<br />

dimana :<br />

T = Tanah/lahan, I = Iklim, V = Varietas, K = Kultur reknik, P = Pengelolaan,<br />

A = alat-alat. Jadi produkssi tanaman jagung adalah kegiatan (sistem) budidaya<br />

tanaman jagung yang melibatkan faktor-faktor produksi (sus-sistem) T, I, V, K, P, A<br />

dan sebagainya untuk memperoleh hasil maksimum secara berkesinambungan<br />

3. Kelembagaan Perbenihan dan Peranan Benih dalam Peningkatan Produksi<br />

Jagung<br />

Salah satu faktor penting dalam peningkatan produksi jagung adalah<br />

ketersediaan benih, baik kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini menyangkut antara<br />

lain kejelasan sumber benih, pengadaan, sertifikasi, dan distribusinya.<br />

Kebijaksanaan pembenihan sebelumnya adalah memanfaatkan dan memperkuat<br />

sistem pembenihan yang telah ada dengan semakin meningkatnya partisipasi<br />

swasta disertai peningkatan bimbingan, pembinaan dan pengawasan mutu yang<br />

intensif oleh pemerintah.<br />

Dalam rangka peningkatan kemampuan kelembagaan perbenihan jagung<br />

(DEPTAN, 2007), maka perlu : a) dilaksanakan secara terkoordinasi antara dinas<br />

Pertanian Tanaman Pangan tingkat Propinsi (Subdin Produksi) dengan Balai Benih<br />

Palawija, b) Petugas perbenihan melaksanakan penangkaran Benih pokok<br />

Palawija (BD-BP) di lahan Balai Benih, namun apabila tidak memungkinkan<br />

pelaksanaannya dapat juga dilahan BBU atau lahan penangkar terpilih dengan


imbingan dan tanggung jawab dari BBI, c) Benih Sumber (BS/BD) yang<br />

digunakan disesuaikan dengan kebutuhan benih di daerah/lokasi, d) Pengadaan<br />

benih direncanakan secara cermat sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan<br />

semaksimal mungkin dan tepat waktu oleh penangkar terplilih di wilayah setempat,<br />

dengan demikian maka kebutuhan akan Benih sumber (BP) maupun BR)<br />

di masing-masing daerah manjadi tanggungjawab sepenuhnya daerah, e) Metode<br />

penangkaran benih jagung sesuai dengan anjuran perbanyakan produksi Benih<br />

Pokok (BD ke BP) di masing-masing daerah, f) Benih pokok (BP) yang dihasilkan<br />

sebagian disalurkan kepada penangkar terpilih dalam rangka memperkuat<br />

kelembagaan perbenihan guna diperbanyak menjadi Benih Sebar (BR), dan<br />

g) Produksi benih pokok yang tidak memenuhi standar mutu benih harus<br />

dilaporkan sebab-sebabnya.<br />

Lembaga-lembaga pembenihan sangat besar peranannya dalam<br />

mengembangkan tanaman pangan disamping unsur-unsur agronomi lainnya<br />

(Pengelolaan tanah, perbaikan tata air, pemupukan, pengawetan tanah, pola<br />

tanam). Walaupun unsur-unsur agronomi tersebut telah diusahakan dengan<br />

teknologi yang semestinya, tetapi jika benihnya tidak baik, maka produksi yang<br />

diharapkan sangat sulit dicapai, bahkan tidak jarang menggagalkan hasil tanaman<br />

tersebut. Kuantitas dan kualitas produk yang selalu diidam-idamkan para petani<br />

jagung, hanya dapat dicapai apabila benihnya merupakan benih unggul atau benih<br />

yang memperoleh seritifikat.<br />

Benih yang memenuhi tandar mutu ditandai dengan Label Benih<br />

Bersertifikat yang dikeluarkan oleh Sub Direktorat Pembinaan Mutu Benih Balai<br />

Pengawasan Mutu Benih Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB). Bagi<br />

benih bersertifikat ditetapkan kelas-kelas benih sesuai dengan urutan keturunan<br />

dan mutunya, antara lain penetepannya sebagai berikut (Kamil 1979; Sadjad,<br />

1993) :<br />

a. Benih Penjenis (BS) adalah benih yang diproduksi oleh dan di bawah<br />

pengawasan Pemulia Tanaman yang besangkutan atau instansinya, dan harus<br />

merupakan sumber untuk perbanyakan benih dasar.


. Benih Dasar (BD) adalah turunan pertama dari Benih Penjenis (BS) atau Benih<br />

Dasar yang diproduksi di bawah bimbingan yang intensif dan pengawasan<br />

yang ketat, sehingga kemurnian varietas yang berkualiats tinggi dapat<br />

terpelihara.<br />

c. Benih Pokok (BP) adalah turunan dari Benih Penjenis atau Benih Dasar yang<br />

diproduksi dan dipelihara sedemikian rupa sehingga identitas maupun tingkat<br />

kemurnian varietas memenuhi standar mutu yang ditetapkan dan telah<br />

disertifikasi.<br />

d. Benih Sebar adalah turunan dari Benih Penjenis, Benih Dasar atau Benih<br />

Pokok yang diproduksi dan dipelihara sehingga identitas dan tingkat<br />

kemurnian varietas dapat mmenuhi standar mutu benih yang ditetapkan dan<br />

telah disertifikasi.<br />

4. Pengelolaan Pasca Panen Jagung<br />

Pascapanen jagung meliputi semua proses kegiatan pengeringan jagung<br />

(tongkol, dan pipil), pemipilan, pembersihan, sortasi/pengkelasan mutu<br />

pengeringan biji dan pengolahan hasil.<br />

a. Pengeringan<br />

Tujuan pengeringan adalah untuk menurunkan kadar air agar<br />

memudahkan pemipilan dan meningkatkan daya simpan. Pengeringan dibedakan<br />

dua macam yaitu, pengeringan jagung tongkol dan jagung pipil. Pengeringan<br />

bentuk tongkol berkelobot maupun kelobot dapat dilakukan dengan cara<br />

menghampar atau menggantungnya. Pengeringan cara hamparan jagung kelobot,<br />

tongkol tanpa kelobot dan pipilan masing-masing membutuhkan waktu 91, 87,<br />

57 jam untuk menurunkan kadar air dari 38% menjadi 12%. Pengeringan jagung<br />

berkelobot dapat mengurangi keretakan (Anonim, 1999). Dari ketiga bentuk<br />

pengeringan tersebut, keretakan terkecil terjadi pada pengeringan berkelobot.<br />

Pengeringan jagung dapat dilakukan dengan sinar matahari dan pengering buatan.<br />

Pengeringan jagung pipil untuk menurunkan kadar air sampai 17%.<br />

Pengeringan jagung pipil sebaiknya dilakukan pada ketebalan paling tinggi 3 cm,


dibalik dengan garpu kayu setiap setengah jam dan diletakkan di atas alas plastik.<br />

Manfaat/keuntungan pengeringan jagung, antara lain : a) Umur simpan biji jagung<br />

bertambah, b) Viabilitas (tingkat pertumbuhan) benih dapat dipertahankan, c) Nilai<br />

ekonomi (harganya) meningkat, dan d) Pengangkutan biji jagung lebih mudah dan<br />

ongkos angkut berkurang.<br />

Teknologi pengeringan jagung selama ini masih dikerjakan secara<br />

tradisional. Panen jagung dilakukan secara manual (dipetik), kemudian jagung<br />

dipipil untuk merontokkan biji jagung dari tongkolnya. Pengeringan biji masih<br />

dilakukan dengan mengandalkan teknik penjemuran di bawah sinar matahari<br />

dengan beralaskan tikar atau terpal yang digelar di halaman rumah atau jalan desa.<br />

Pengeringan jagung dengan alat pengering dapat memperbaiki mutu<br />

jagung karena waktu pengeringan yang lebih singkat. Penggunaan alat pengering<br />

ini sebenarnya telah dikenal oleh sebagian pedagang jagung. Alat pengering yang<br />

telah dikenal tersebut adalah jenis pengering Lister Dryer dan Flat Bed Dryer.<br />

Pengering tipe flat bed ini banyak digunakan perusahaan jagung untuk orientasi<br />

ekspor(Suyono, 2002).<br />

b. Pemipilan<br />

Jagung tongkol berkadar 17-18% selanjutnya dipipil. Pada tingkat kadar air<br />

tersebut, tongkol jagung dapat dipipil secara manual maupun secara mekanis<br />

(dengan mesin pemipil). Proses pemipilan umumnya sudah dilaksanakan dengan<br />

memanfaatkan alat pemipil, baik pemipil mekanis maupun bermotor Alat pemipil<br />

jagung bermotor ini digerakkan dengan motor disel atau motor listrik. Kapasitas<br />

dapat mencapai 1-2 ton/jam dan hasil pipilan memenuhi standar kualitas yang<br />

memenuhi syarat.<br />

c. Pembersihan<br />

Pembersihan dapat dilakukan dengan udara, saringan atau mgnit yang<br />

berfungsi memisahkan biji jagung dari benda-benda seperti pasir dan logam,<br />

tongkol atau biji-bijian asing, biji pecah, debu dan bahan-bahan lain yng tidak<br />

dikehendaki. Disamping itu, dapat dilakukan degan cara ditampi atau di ayak.


d. Sortasi dan Pengkelasan Mutu<br />

Pengkelasan bertujuan untuk menggolongkan jagung pipil yang telah<br />

disortir ke dalam kelas-kelas mutu tertentu yang biasanya disesuaikan dengan<br />

standar atau permintaan pasar. Dengan pengkelasan ini akan mempermudah<br />

dalam penentuan harga jual dan pemasarannya.<br />

Faktor-faktor penentu mutu jagung ada tiga macam yaitu, persyaratan<br />

kualitatif, kuantitatif dan persayaratan kimiawi :<br />

- Persyaratan kualitatif meliputi : Biji jagung harus bebas dari hama dan penyakit,<br />

Biji jagung harus bebas dari bau busuk, asam, bau asing lainnya, Biji jagung<br />

harus bebas dari bahan kimia yang membahayakan seperti insektisida dan<br />

fungisida, Memiliki suhu normal.<br />

- Persyaratan kuantitatif meliputi : Kadar air maksimm 14%, Butir pecah maksimal<br />

1%, Butir rusak maksimal 12%, Kotoran/benda asing maksimal 1%, dan Butir<br />

warna lain maksimal 1%.<br />

- Persyaratan kimiawi : Tidak mengandung aflatoxin. Dalam tata niaga<br />

perdagangan jagung diharapkan berpedoman pada SNI-01-3920-1995.<br />

e. Penyimpanan<br />

Penyimpanan jagung biasanya dilakukan dalam kapasitas gudang yang<br />

terbatas dengan teknik penyimpanan yang belum memadai dari sisi penjagaan<br />

mutu, keamanan maupun masa simpan. Penyimpanan dapat dilakukan di atas<br />

para-para atau dalam karung.<br />

- Penyimpanan di atas para-para :<br />

Penyimpanan jagung bentuk tongkol berkelobot dapat dilakukan di atas parapara<br />

dan dilangit-langit rumah yang dilengkapi dengan kawat anti tikus. Parapara<br />

di atas dapur dapat memperoleh asap dari pembakaran kayu sewaktu<br />

masak di dapu yang meninggalkan residu yang bersifat anti terhadap bakteri,<br />

jamur maupun serangga.


- Dalam karung :<br />

Dalam bentuk pipilan, jagung dapat disimpan dalam karung goni, karung plastik,<br />

bakul besar dan kotak kayu . Bahkan dalam jumlah yang besar dapat disimpan<br />

dalam bentuk curah di dalam gudang atau silo-silo. Penyimpanan dalam bentuk<br />

pipilan sebaiknya kadar airnya di atur setelah mencapai 13-14%. Karena kadar<br />

air di atas 14% merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan jamur. Wadah<br />

yang digunakan sebaiknya di bersihkan terlebih dahulu, bila perlu di semprot<br />

dengan cair insektisida. Tanpa teknologi penyimpanan yang memadai,maka<br />

pengembangan ekspor jagung ke pasar internasional akan mengalami hambatan.<br />

f. Pengolahan Hasil<br />

Sebagai bahan yang mengandung sekitar 70% pati, 10% protein, dan 5%<br />

lemak, jagung mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi<br />

beragam produk dan berbagai jenis usaha (BPPP, 2003). Jagung memiliki potensi<br />

sebagai bahan pangan untuk keperluan industri makanan, minuman, kimia dan<br />

industri lainnya. Dari 100 kg jagung dapat di hasilkan 64-67 kg pati, 27-30 bungkil,<br />

3,5-4 kg minyak jagung dan sejumlah makanan ternak, gluten, serat dan<br />

sebagainya. Tepung jagung dapat di manfaatkan pula untuk pembuatan berbagai<br />

makanan tradisional, campuran dengan tepung jenis seralia lainnya.<br />

Beberapa olahan makanan dari jagung secara skala rumah tangga antara<br />

lain: Pembuatan beras jagung, Pembuatan tepung jagung, Ceriping jagung, Keripik<br />

jagung, Kue jagung coklat, Kue putu jagung, Podeng jagung, Lapis jagung, Kue<br />

pelepo jagung, Kue pisang jagung, Kue dadar, Cake marmar, Pisang goreng<br />

tepung jagung, Kue bangket, Kue bika, kue resoles jagung, Jenang jagung , Apem<br />

jagung dan Kue donat<br />

Teknologi pengolahan untuk biji jagung utuh berpotensi membawa jagung<br />

ke dalam berbagai usaha, baik untuk produksi pakan maupun produksi pangan<br />

seperti corn-flake, popcorn, tepung jagung dan sebagainya (Earle, 2007).<br />

Sebaliknya, berbagai teknologi pengolahan lainnya juga berpotensi menjadikan<br />

jagung sebagai bahan baku dalam usaha pengolahan produk turunan parsial dari<br />

jagung, seperti usaha produksi pati, protein maupun lemak (minyak) jagung dan


produk turunan masing-masing. Jagung juga berpotensi diusahakan dalam bentuk<br />

utuh tanpa diolah. Meskipun usaha ini berpeluang tidak mendapatkan nilai tambah<br />

yang besar akibat pengolahan, prospek usaha ekspor biji jagung relatif cukup baik.<br />

Terbukanya pasar jagung dunia sebesar 77–90 juta ton per tahun<br />

merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengisi segmen pasar tersebut. Dengan<br />

potensi jagung nasional, maka pengembangan agribisnis jagung di masa depan<br />

dapat diarahkan pada pengembangan ekspor jagung dan pengembangan<br />

agroindustri pati jagung (Wirakartakusumah dan Hariyadi, 2008).<br />

Teknologi pengolahan pati jagung pada skala kecil-menengah di Indonesia<br />

sejauh ini belum dikenal. PT Suba Indah Tbk yang beroperasi pada kapasitas<br />

1.000 ton per hari merupakan industri pati jagung dalam negeri yang paling dikenal<br />

saat ini. Berbagai alat, seperti Centrifuge Separator untuk pemisahan pati-protein,<br />

Hydrocyclone untuk pencucian pati, Peeler Centrifuge untuk penirisan pati,<br />

Vacuum Drum Filter, Evaporator, Flash dan Bundle Dryer, Grind Miller, Screen dan<br />

lain-lain, sangat diperlukan dalam proses ini. Dengan dukungan seperangkat<br />

teknologi ini, maka industri pengolah jagung tidak hanya akan memperoleh pati<br />

jagung (BBKP,2001). tetapi juga beragam produk samping yang bernilai tambah<br />

cukup tinggi. Dengan kapasitas produksi 1.000 ton biji jagung per hari dan 250 hari<br />

kerja per tahun, maka akan diolah 250.000 ton jagung. Jika rendemen pati<br />

mencapai 60–65%, maka akan diperoleh 150.000-1 62.500 ton pati yang telah<br />

dipasok. Dengan demikian masih terdapat 800.000 ton hingga 850.000 ton lagi per<br />

tahun yang menjadi pangsa pasar pati jagung (Suyono, 2002). Dengan potensi<br />

seperti ini, maka pengembangan komoditas jagung ke arah usaha produksi pati<br />

memiliki prospek yang cukup cerah. Hampir seluruh bagian dari tanaman jagung<br />

mempunyai potensi nilai ekonomis, buah jagung pipilan, sebagai produk utamanya<br />

merupakan bahan baku utama (50%) industri pakan, selain dapat dikonsumsi<br />

langsung dan sebagai bahan baku industri pangan. Daun, batang, kelobot,<br />

tongkolnya dapat dipakai sebagai pakan ternak dan pemanfaatan lainnya<br />

(Hardiansyah dan Martianto, 2002). Demikian juga dengan bagian lainnya jika<br />

dikelola dengan baik berpotensi mempunyai nilai ekonomi yang cukup menarik,<br />

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.


5. Prospek Bisnis Komoditas Jagung<br />

Pengembangan usahatani jagung diarahkan terutama untuk<br />

mengembangkan usahatani komersial. Upaya yang perlu ditempuh dalam<br />

mendukung kebijaksanaan tersebut antara lain : a) Mengembangkan informasi<br />

pasar dan kemudian ditingkatkan menjadi informasi peramalan harga (market<br />

intelegent), b) Merumuskan harga dasar dan memantau pelaksanaannya,<br />

c) Mengusahakan kerjasama saling menguntungkan antara pengusaha/pabrik<br />

pengolah dengan petani, d) Mengadakan rintisan pemasaran ke daerah/pasar baru<br />

dan promosi pasar dan pameran.<br />

Pengembangan usaha pada industri hulu (penangkaran benih) dan industri<br />

hilir (pabrik pakan) untuk mendukung pengembangan jagung di Indonesia cukup<br />

menguntungkan. Contoh usaha penangkaran benih jagung yang dilakukan petani<br />

plasma PT. Sang Hyang Sri di Sulawesi Selatan mampu memberikan keuntungan<br />

Rp 6,6 juta/ha pada tingkat B/C=2,84 (Wirakartakusumah dan Hariyadi, 2008).<br />

Kinerja industri pakan di tiga lokasi (Lampung, Bogor dan Bandung) menunjukkan<br />

bahwa usaha industri pakan ayam baik untuk pakan ayam petelur (starter, grower,<br />

dan layer) maupun pakan ayam pedaging (starter dan finisher) cukup<br />

menguntungkan pada tingkat R/C = 1,08–1,30. Usaha ini diperkirakan akan<br />

semakin menguntungkan jika kapasitas terpakai bisa mendekati kapasitas<br />

terpasang melalui penyediaan jagung dalam negeri secara berkelanjutan<br />

(Hardiansyah dan Martianto, 2002).<br />

Pada Tabel 3 ditunjukkan bahwa usahatani jagung yang menggunakan<br />

varietas hibrida akan memberikan keuntungan yang cukup besar untuk setiap<br />

hektarnya yang diusahakan pada lahan sawah dan lahan kering di Sumatera Utara,<br />

Lampung, dan JawaTimur.


Tabel 3 . Kelayakan Usahatani Jagung Hibrida per Hektar<br />

A. Produksi<br />

Uraian<br />

Sumatera Utara Lampung Jawa<br />

Timur<br />

Lahan<br />

Sawah<br />

Lahan<br />

Kering<br />

Lahan<br />

Sawah<br />

Lahan<br />

Kering<br />

Lahan<br />

Sawah<br />

1. Produksi (kg) 6.508 6.957 4.966 4 .685 6.755<br />

2. Nilai (Rp000) 5.987 5.572 4.569 4 .310 6.215<br />

B. Total Biaya (Rp) 4.100 3.491 3.685 3 .100 5.195<br />

C. Keuntungan 1 887 2.081 884 1 210 1.020<br />

R/C 1,46 1,60 1,24 1,39 1,20<br />

TIP (Kg/ha) 456,8 4 358,7 405,2 369.7 5.646,4<br />

TIH (Rp/kg) 630,0 501,8 742,0 661,7 769,1<br />

Toleransi penurunan (%) 31,52 37,35 19,35 28,07 16,41<br />

Sumber : (BPPP, 2007)<br />

Keterangan : TIP : Titik Impas Produksi dan TIH : Titik Impas Harga<br />

Kini, jumlah penggunaan jagung untuk pakan lebih dari 50%, dan sisanya<br />

untuk industri pangan, konsumsi langsung, dan penggunaan lainnya. Dalam<br />

program jangka pendek, pengembangan industri jagung melalui intensifikasi<br />

(dengan memperluas penggunaan benih hibrida) dan ekstensifikasi diharapkan<br />

mampu untuk swasembada terutama untuk memenuhi industri pakan dan pangan.<br />

Sementara dalam program jangka menengah, selain swasembada jagung,<br />

Indonesia juga diharapkan sebagai eksportir serta sekaligus mengembangkan<br />

industri pati jagung, dan dalam program jangka panjang juga mengembangkan<br />

industri yang berbasis pati jagung seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.


Pati<br />

Olahan Pati<br />

Pati<br />

Jagung<br />

Pakan<br />

Pangan<br />

Pakan<br />

Pangan<br />

2005 2010 2015 2025<br />

Gambar 2. Peta jalan (Road map) program pengembangan industri jagung<br />

6. Prospek Pengembangan Agroindustri Jagung<br />

Indonesia diperkirakan akan mengalami kelebihan produksi jagung<br />

sebesar 620.660 ton pada tahun 2009 dan 2,04 juta ton pada tahun 2015, maka<br />

fokus pengembangan komoditas jagung dalam 5 tahun ke depan seyogyanya<br />

diarahkan berdasarkan arus permintaan dan kemampuan (daya saing) yang<br />

dimiliki produk (Soekirman, 2007). Terbukanya pasar jagung dunia sebesar 77–90<br />

juta ton per tahun merupakan pasar yang sangat menantang. Peluang ini menjadi<br />

lebih besar mengingat adanya gejala penurunan pasokan jagung oleh Amerika dan<br />

Cina akibat peningkatan kebutuhan dalam negeri mereka. Produksi jagung<br />

di masa depan bisa saja sepenuhnya diarahkan pada pemenuhan pasar ekspor.<br />

Di sisi lain, seluruh kelebihan produksi dapat juga diarahkan sebagai bahan baku<br />

pengolahan pati jagung.<br />

Perkembangan industri pangan dan non pangan seperti industri sorbitol,<br />

kertas, tekstil dan kayu lapis di Indonesia memberikan peluang lain bagi<br />

pengembangan komoditas jagung. Selama ini, berbagai industri di atas dikenal


sebagai konsumen utama pati. Kebutuhan pati secara nasional berkisar antara<br />

1,5–2,0 juta ton per tahun. Kebutuhan pati domestik ini umumnya masih dipenuhi<br />

oleh pati singkong (tapioka) domestik maupun impor (BPPP, 2007).<br />

Produk pati di Indonesia terutama diserap oleh industri krupuk/cracker<br />

(25%), pemanis (15%), mi instan dan berbagai roti (20%), sorbitol (9%), kertas<br />

(7%), dan sisanya untuk berbagai industri lainnya. Berdasarkan karakteristiknya,<br />

pati jagung tidak mampu menggantikan peran tapioka di dalam produksi krupuk.<br />

Namun untuk produk yang lain, pati jagung potensial mensubstitusi terigu maupun<br />

tapioka dari 20-100%. Jika pati jagung menggantikan 10% saja dari penggunaan<br />

yang lain, maka akan terdapat sekitar 0,3 - 1,0 juta ton pati jagung yang diperlukan<br />

per tahun (Soekirman, 2007).<br />

7. Kebutuhan Investasi Agroindustri Jagung<br />

Hasil studi analisis menunjukkan bahwa kebutuhan investasi untuk dapat<br />

melakukan ekspor jagung sebesar 8% total produksi per tahun pada kurun waktu<br />

tahun 2005– 2009 diperlukan dana sebesar Rp. 69,07 Triliun. Komponen investasi<br />

yang termasuk dalam perhitungan ini meliputi biaya pembukaan lahan baru, litbang<br />

pemerintah, penyuluhan, pengadaan traktor, pompa air, hand sprayer, pemipil,<br />

pengering flat bed, gudang, penangkar benih, litbang swasta, sumur bor, dan<br />

modal kerja. Sementara itu untuk pengembangan industri pati jagung, surplus<br />

produksi tahun 2009 adalah setara dengan 2,5 kali kebutuhan PT Suba Indah per<br />

ahun (250.000 ton) (BPPP, 2007). Oleh sebab itu, usaha pengembangan industri<br />

pati jagung dapat dilakukan dengan mengembangkan 1–2 unit pengolah baru<br />

sejenis PT Suba Indah, tanpa mengurangi pangsa pasokan bahan baku maupun<br />

pasar industri yang sudah ada. Jika langkah ini ditempuh, maka kebutuhan<br />

investasinya mencapai Rp. 80–160 miliar. Studi kelayakan industri PT Suba Indah<br />

menyatakan bahwa untuk mengembangkan industri pati jagung pada 5 tahun yang<br />

lalu (1999-2000) diperlukan dana 40 miliar rupiah. Dengan asumsi bahwa laju<br />

inflasi 10% per tahun, maka per unit pengolahan pati jagung pada tahun 2009<br />

diperlukan 80 miliar rupiah (BPPP, 2007). Dana tersebut meliputi pembelian lahan,<br />

alat-alat, pembangunan pabrik dan silo serta modal kerja. Sedangkan dana untuk


sosialisasi dan promosi pati jagung dan produk lainnya tidak termasuk dalam<br />

cakupan investasi tersebut.<br />

8. Alsintan Jagung<br />

Teknologi budidaya jagung tidak hanya memerlukan traktor, pompa dan<br />

thresher, tetapi juga penyiang, sprayer, dan Alsintan budidaya lainnya. Pada saat<br />

sekarang teknologi mekanisasi untuk pembibitan, penanaman (transplanter),<br />

penyiangan (power weeder) dan pemanen (reaper) penggunaannya masih<br />

terbatas, namun pada masa mendatang jika infrastruktur terbangun, kapasitas<br />

adopsi dan kelembagaan sudah mulai berubah seiring dengan semakin langkanya<br />

tenaga kerja di sub-sektor tanaman pangan, teknologi tersebut akan berkembang<br />

dengan baik. Optimasi dan efisiensi mekanisasi panen dan pasca panen. Sumber<br />

pertumbuhan lain yang dapat digali adalah menekan susut panen dan pasca<br />

panen yang belum optimal dilaksanakan. Indikasi ini menunjukkan betapa<br />

penanganan pasca panen masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara<br />

lainnya. Sangat terasa kurang diperhatikan adalah besarnya kehilangan pada saat<br />

panen sampai dengan penggilingan dan penyimpanan. Sebagai gambaran untuk<br />

komoditas jagung di Indonesia ditargetkan adanya peningkatan dalam<br />

penggunaan traktor, alat tanam, dan Alsintan pasca panen pada Tahun 2010 yang<br />

ditunjukkan pada Tabel 4.<br />

Tabel 4. Kebutuhan Mekanisasi Pertanian untuk Mendukung Budidaya Jagung.<br />

No<br />

Jenis Alsintan<br />

Tahun 2005<br />

Kapasitas Kebutuhan Kekurangan<br />

Harga<br />

Alsintan<br />

(Rp Juta)<br />

Estimasi<br />

Kebutuhan<br />

Alsintan<br />

(Unit)<br />

Tahun 2010<br />

Estimasi<br />

Kebutuhan<br />

Investasi<br />

(Rp Juta)<br />

1 Traktor roda 2 2) 25 139.887 139.887 16 174.859 2.797.736<br />

2 Pompa air 3) 15 116.572 116.572 1,75 145.715 255.002<br />

3 Alat tanam 4) 53 13.197 13.197 7,5 6.496 123.721<br />

4 Hand sprayer 5) 6 582.862 582.862 0,25 728.577 182.128<br />

5 Pemipil 6) 120 20.400 20.400 9,00 22.660 202.936<br />

6 Dryer 7) 60 29.143 29.143 53,5 32.371 1.731.841<br />

Sumber : (BPPP, 2007)


Keterangan :<br />

1) Total luas panen jagung di Indonesia tahun 2005 sebesar 3.504.234 hektar, Statistik<br />

Pertanian 2005.(Tidak tersedia data tentang jumlah dan jenis alat mesin untuk budidaya<br />

dan prosesing jagung).<br />

2) Asumsi 100% pekerjaan dilakukan dengan menggunakan alsintan<br />

3) Asumsi 50% pekerjaan dilakukan dengan menggunakan alsintan<br />

4) Asumsi 20% pekerjaan dilakukan dengan menggunakan alsintan<br />

5) Asumsi 100% pekerjaan dilakukan dengan menggunakan alsintan<br />

6) Asumsi 70% pekerjaan dilakukan dengan menggunakan alsintan<br />

7) Asumsi 50% pekerjaan dilakukan dengan menggunakan alsintan<br />

Estimasi secara umum didasarkan pada peningkatan intensifikasi penggunaan<br />

Alsintan dan peningkatan produktifitas yang diasumsikan oleh Balai Komoditas.<br />

9. Aspek Kelembagaan sebagai Faktor Pendukung Manajemen Produksi<br />

dan Pengelolaan Pasca Panen<br />

Hal yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus, untuk<br />

mendukungmanajemen produksi dan pengelolaan pasca panen jagung adalah<br />

masalah lemahnya kelembagaan dalam sistem pengembangan mekanisasi<br />

pertanian. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan jika mekanisasi pertanian harus<br />

disiapkan sebagai mesin penggerak revitalisasi (engine of revitalization) (BPPP,<br />

2007), antara lain :<br />

a. Lembaga/Asosiasi Petani<br />

Lembaga petani perlu dibangun dengan tujuan untuk memberikan<br />

pelayanan kepada petani-petani yang merupakan anggotanya, serta melobi<br />

pemerintah dalam hal kepentingan usahatani. Melalui lembaga pertanian ini<br />

diharapkan dapat tercipta komunikasi antara pemerintah dengan petani sehingga<br />

petani dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingannya dengan lebih baik.<br />

Lembaga seperti ini hendaknya dibangun atas inisiatif petani, bukan dari<br />

pemerintah.<br />

b. Kebijakan Perdagangan Alsintan<br />

Pengadaan, distribusi dan penggunaan Alsintan dipengaruhi oleh<br />

kebijakan perdagangan. Pemerintah perlu menciptakan iklim perdagangan yang<br />

kondusif dengan menaikkan proteksi terhadap impor alsintan, terutama terhadap<br />

negara yang melakukan dumping. Kebijakan proteksi ini selain dapat mendorong


perkembangan industri Alsintan dalam negeri juga dapat memberikan proteksi<br />

terhadap petani sebagai konsumen. Alsintan produksi luar seringkali tidak sesuai<br />

untuk digunakan di Indonesia karena kondisi lahan dan ergonomis yang berbeda.<br />

Selain itu, pemerintah juga perlu memeratakan distribusi alsintan di seluruh<br />

wilayah Indonesia. Salah satu caranya yaitu dengan tidak memberikan bantuan<br />

Alsintan hanya pada satu jenis Alsintan tertentu atau di daerah tertentu saja.<br />

Distribusi Alsintan harusnya disesuaikan dengan kebutuhan Alsintan di tiap<br />

wilayah.<br />

c. Penelitian dan Pengembangan<br />

Penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh pihak swasta saja<br />

tidak cukup. Pemerintah harus meningkatkan riset dan pengembangan yang<br />

dilakukan melalui lembaga pemerintah yang ada seperti BBP Mektan dan LIPI<br />

serta membina kerjasama antara lembaga riset pemerintah, swasta, universitas<br />

dan asing. Dengan demikian inovasi teknologi dapat lebih ditingkatkan dan<br />

menguntungkan semua pihak. Dalam penelitian dan pengembangan yang<br />

dilakukan, perlu juga diciptakan penghubung antara peneliti dengan petani.<br />

Penghubung ini selain bertugas untuk mendemonstrasikan teknologi baru kepada<br />

petani dan meningkatkan kesadaran petani akan pentingnya teknologi, juga<br />

berfungsi sebagai sarana bagi petani untuk menyampaikan mengenai jenis<br />

alsintan apa yang dibutuhkan dan tingkat mekanisasi seperti apa yang diharapkan.<br />

Jadi melalui penghubung ini dapat tercipta feed back bagi penelitian selanjutnya.<br />

d. Kredit<br />

Selama ini kesulitan perolehan kredit selalu menjadi kendala bagi petani<br />

dalam usaha pengembangan usahatani. Menurut Nuswantara (2003), untuk<br />

mengatasi kendala ini, pemerintah perlu mempersiapkan upaya pembentukan<br />

Bank pertanian. Bank pertanian hendaknya terletak di daerah-daerah sentra<br />

produksi pertanian, terutama di pedesaan dan kota-kota kecil yang mudah<br />

dijangkau petani. Melalui bank pertanian diharapkan dapat memberi kemudahan<br />

bagi petani dalam memperoleh kredit, baik itu sebagai modal usaha maupun untuk


pembiayaan aktivitas pertanian. Kredit yang diberikan jangan dibatasi pada jenis<br />

Alsintan tertentu karena ini akan mempengaruhi pilihan petani terhadap Alsintan<br />

yang akan digunakan. Petani harus diberikan kebebasan dalam memilih Alsintan<br />

yang diinginkan dan yang sesuai dengan kebutuhannya.<br />

e. Lembaga Pelatihan dan Pendidikan<br />

Petani Indonesia pada umumnya berpendidikan rendah. Untuk<br />

mengintroduksi teknologi baru maka diperlukan pelatihan dan pendidikan agar<br />

petani mampu mengoperasikan Alsintan dengan baik dan aman. Pelatihan dan<br />

pendidikan ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan<br />

ketrampilan petani sehingga dapat mengembangkan diri di sub sektor lain maupun<br />

di bidang agroindusri, serta memajukan cara berpikir petani.<br />

f. Fasilitas Produksi dan Perbaikan Lokal<br />

Kondisi lahan di tiap daerah berbeda-beda. Dengan melakukan produksi<br />

lokal maka produksi dapat dilakukan secara spesifik sesuai dengan kondisi lahan<br />

setempat dan mengurangi biaya transportasi ke petani. Selain itu, penyerapan<br />

tenaga kerja di desa juga dapat ditingkatkan.<br />

g. Penyediaan Jasa Penyewaan Mesin<br />

Dengan penyediaan jasa penyewaan mesin, petani kecil yang tidak<br />

sanggup membeli Alsintan dapat tertolong. Mereka dapat menggunakan mesin<br />

dan mendapatkan manfaat dari mesin tanpa harus mengeluarkan biaya besar<br />

untuk membelinya. Selain itu, petani yang berfungsi sebagai kontraktor dapat<br />

mendapatkan manfaat ganda. Mereka dapat memperoleh keuntungan dari<br />

pemanfaatan mesin maupun dari penyewaan mesin. Usaha jasa penyewaan<br />

Alsintan oleh kelompok tani dan KUD kurang menguntungkan karena rendahnya<br />

profesionalisme dan pengelolaan yang kurang baik. Karena itu, kemampuan<br />

manajemen kelompok tani atau KUD perlu ditingkatkan agar mampu mendapatkan<br />

keuntungan dari usaha sewa jasa yang dilakukan. Untuk mendukung


perkembangan lembaga-lembaga tersebut di atas, maka peran pemerintah<br />

sangatlah penting. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah baik itu<br />

di bidang mekanisasi pertanian, pertanian secara umum, perdagangan,<br />

perindustrian, keuangan, keagrariaan, maupun ketenagakerjaan dan pendidikan<br />

diharapkan dapat diselaraskan dalam mendukung perkembangan mekanisasi<br />

pertanian di Indonesia.<br />

B. Kerangka Pemikiran<br />

Peningkatkan produksi jagung guna memenuhi kebutuhan dalam negeri<br />

telah banyak dilakukan, meskipun hasil yang dicapai belum cukup<br />

menggembirakan. Persoalan manajemen produksi (menyangkut teknologi<br />

penggunaan varietas unggul, cara bercocok tanam yang lebih baik, pengelolaan<br />

hara dan tanah, serta cara penanggulangan hama penyakit), belum seperti yang<br />

diharapkan. Selain itu, berbaga faktor penunjang (seperti sarana dan prasarana<br />

penampungan hasil) selayaknya terjamin di kalangan petani, sehingga harapan<br />

peningkatan produksi dapat tercapai, serta pengelolaan pasca panen jagung dapat<br />

dilakukan secara optimal yang diarahkan untuk mengurangi kehilangan hasil, baik<br />

secara kualitas maupun kuantitas. Berdasarkan hal tersebut maka disusun<br />

kerangka pemikiran seperti pada Gambar 3.


Manajemen<br />

Produksi (MP)<br />

Faktor<br />

Penunjang (FP)<br />

Peningkatan<br />

Produksi (PP)<br />

Pengelolaan<br />

Pasca Panen<br />

(PPn)<br />

Kebijakan Peningkatan<br />

Produksi dan<br />

Pengelolaan Pasca Panen<br />

Jagung di Sulawesi<br />

Selatan<br />

Gambar 3. Kerangka Pemikiran


C. Definisi Operasional dan Konseptual Variabel<br />

Beberapa definisi operasional berkaitan dengan penelitian ini dapat<br />

dikemukakan seperti berikut :<br />

1. Manajemen produksi adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan<br />

sumberdaya melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan<br />

sumberdaya lainnya menghasilkan jagung guna memenuhi kebutuhan<br />

manusia secara lebih baik.<br />

2. Benih unggul tanaman adalah unsure tanaman jagung yang merupakan<br />

varietas hasil seleksi yang teruji mutu perkembangan vegetative maupun<br />

generatifnya yang digunakan untuk memperbanyak dan/atau<br />

mengembangbiakkan tanaman jagung.<br />

3. Organisme pengganggu tumbuhan (OPT) adalah semua organisme yang dapat<br />

merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tanaman<br />

jagung.<br />

5. Kondisi sosial-ekonomi petani adalah variabel-variabel sosial dan ekonomi yang<br />

mempengaruhi kinerja usahatani jagung.<br />

6. Kelembagaan adalah kegiatan pengorganisasian sistem agribisnis jagung<br />

dengan tujuan agar keterkaitan antara sistem agribisnis jagung dapat<br />

berinteraksi dengan baik.<br />

7. Agribisnis adalah Suatu kegiatan bisnis jagung yang secara utuh dan<br />

profesional terkait mulai dari proses budidaya, pengolahan, penyimpanan,<br />

pasca panen, grading, pengepakan, hingga proses pemasaran.<br />

8. Pengelolaan pasca panen, meliputi : Pengeringan, Pemipilan, Pembersihan,<br />

Sortasi/Pengkelasan mutu, Penyimpanan, dan Pengolahan hasil jagung.<br />

9. Peningkatan produksi, meliputi ; Peningkatan luas tanam, Peningkatan<br />

produktivitas, dan Peningkatan intensitas penanaman.<br />

10. Faktor penunjang, meliputi : Pemasaran, Kelembagaa, Program pemerintah,<br />

Lemabaga keuangan, sosek petani, Infrasruktur usahatani, Penyuluhan,<br />

Pendampingan, dan Pembentukan / pengaktifan kelompok tani.


11. SWOT adalah Analisis dengan melihat kekuatan, kelemahan, peluang, dan<br />

ancaman dengan memperhitungkan kondisi eksternal dan internal yang ada<br />

dan akan terjadi pada masa akan datang.<br />

D. Hipotesis<br />

Berdasarkan kerangka pemikiran dan tujuan yang ingin dicapai maka<br />

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :<br />

a. Manajemen produksi terutama ketersediaan benih unggul (yang memenuhi<br />

tepat waktu, jenis, mutu, jumlah, dan harga) berpengaruh signifikan terhadap<br />

peningkatan produksi jagung di Sulawesi Selatan.<br />

b. Faktor penunjang terutama sarana dan prasarana penampungan hasil jagung<br />

kurang tersedia pada daerah sentra produksi jagung di Sulawesi Selatan.<br />

c. Perbaikan manajemen produksi (ketersediaan benih unggul) dan faktor<br />

penunjang (sarana dan prasarana penampungan hasil) merupakan strategi<br />

dalam upaya meningkatkan produksi dan mengoptimalkan teknologi<br />

pengelolaan pasca panen jagung di tingkat petani di SulawesiSelatan.


III.<br />

METODE PENELITIAN<br />

A. Lokasi dan Waktu Penelitian<br />

Penelitian ini dilaksanakan pada lima kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu:<br />

di Kabupaten Pinrang, Bantaeng, Jeneponto, Bone, dan Gowa. Daerah ini dipilih<br />

karena merupakan sentra produksi atau termasuk daerah penghasil jagung<br />

terbesar di Sulawesi Selatan. Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) bulan,<br />

yaitu mulai bulan Juni sampai November 2009.<br />

B. Populasi dan Sampel<br />

Sumber data penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Untuk<br />

perolehan data primer, pada setiap kabupaten dipilih satu kecamatan dan pada<br />

setiap kecamatan dipilih dua desa/kelurahan. Dari tiap desa, sampel diambil<br />

secara acak (Random Sampling) dari rumah tangga petani jagung, pedagang<br />

jagung dan pedagang sarana dan prasarana produksi.<br />

Kriteria pengambilan<br />

sampel, yaitu populasi < 100 diambil 25 % dan > 100 diambil 10-15% (Arikunto,<br />

1998), dari populasi petani jagung, pedagang jagung dan pedagang sarana dan<br />

prasarana produksi jagung, yang dijadikan responden. Dengan demikian, jumlah<br />

sampel dalam penelitian ini setiap desa bervariasi yang berasal dari 10<br />

desa/kelurahan. Dengan cara pengambilan sampel yang demikian, distribusi dan<br />

jumlah sampel pada tiap kabupaten dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :<br />

Tabel 5. Jumlah Responden untuk Setiap Desa/Kelurahan.<br />

Kabupaten Kecamatan Desa/Kelurahan Jumlah<br />

Pinrang Batu Lappa Kassa<br />

Watangkassa<br />

Bantaeng Pajukukkang Baruga<br />

Papan Loe<br />

Jeneponto Kelara Tallo Utara<br />

Tallo Selatan<br />

Bone Sibulue Manjalling<br />

Bori Matangkasa<br />

Gowa Bajeng Bajeng<br />

Bajeng Barat<br />

20 orang<br />

20 orang<br />

20 orang<br />

20 orang<br />

20 orang<br />

20 orang<br />

20 orang<br />

20 orang<br />

20 orang<br />

20 orang


Teknik pengumpulan data primer dikumpulkan dari petani jagung (responden)<br />

secara langsung dengan metode survai, wawancara dan observasi berdasarkan<br />

instrumen dalam kuisioner.<br />

Data sekunder yang dikumpulkan mencakup data yang diperoleh dari<br />

pihak kelurahan/desa, Laporan Dinas Pertanian, Kantor Statistik Kabupaten hingga<br />

pemerintah kabupaten yang kemudian diolah berdasarkan tujuan penelitian<br />

termasuk pula data-data yang bersumber dari dokumen (pustaka) sebagai<br />

referensi dan informasi yang diperoleh dari instansi terkait .<br />

C. Indikator/Parameter Penelitian<br />

Penelitian ini menggunakan empat variabel, yaitu dua variabel Independen,<br />

satu variabel dependen, dan satu variabel antara. Variabel Independen terdari dari<br />

Faktor Manajemen Produksi (MP) (Ketersediaan Benih Unggul) dan Faktor<br />

Penunjang (FP) (Penampungan Hasil). Variabel Dependen adalah Pengelolaan<br />

Pasca Panen, dan variabel antara adalah Peningkatan Produksi (PP).<br />

Berdasarkan operasionalisasi variabel, dapat dirumuskan kuisioner penelitian yang<br />

terdiri atas :<br />

(1) Karakteristik manajemen produksi jagung<br />

(2) Karakteristik Pengelolaan Pasca panen jagung<br />

(3) Faktor Penunjang dalam manajemen produksi dan pengelolaan pasca<br />

panen jagung yang mendukung kegiatan usahatani jagung<br />

(4) Peningkatan produksi dan pengelolaan pasca panen jagung<br />

(5) Karakteristik kondisi sosial-ekonomi petani jagung<br />

Strategi dan model pengembangan peningkatan produksi dan pengelolaan<br />

pasca panen jagung di Sulawesi Selatan dapat ditentukan dengan mengukur<br />

parameter-parameter pembentuknya (Tabel 6).


Tabel 6. Variabel, Indikator dan Parameter Penelitian<br />

Variabel Indikator Parameter<br />

Manajemen Produksi (MP)<br />

Faktor Penunjang (FP)<br />

Peningkatan Produksi (PP)<br />

Pengelolaan Pasca<br />

Panen (PPn)<br />

Ketersediaan benih<br />

Unggul (X1)<br />

Penampungan hasil (X2)<br />

Produksi meningkat (Y1)<br />

Pemipil (Y2)<br />

Pembersihan (Y3)<br />

Sortasi/Pengkelasan<br />

Mutu (Y4)<br />

Pengeringan (Y5)<br />

Pengolahan hasil (Y6)<br />

Tepat waktu<br />

Tepat jenis<br />

Tepat mutu<br />

Tepat jumlah<br />

Tepat harga<br />

Para-para<br />

Dalam karung<br />

Silo-silo<br />

Produktivitas meningkat<br />

Luas panen meningkat<br />

Manual<br />

Mekanis/mesin pemipil<br />

Udara<br />

Saringan<br />

Ditampi/diayak<br />

Kualitatif<br />

Kuantitatif<br />

Kimiawi<br />

Dengan sinar matahari<br />

Pengering buatan/Dryer<br />

Beras jagung<br />

Tepung jagung<br />

dll<br />

D. Pendekatan/Model Analisis<br />

Model Analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis Structural<br />

Equation Modelling (SEM), dan analisis SWOT, sebagai berikut :<br />

1. SEM<br />

Pengujian model dengan menggunakan Structural Equation Modelling<br />

(SEM), terdapat tujuh langkah yang ditempuh. (Hair et al., 1988; Ferdinand, A.<br />

2002), yaitu seperti pada Tabel 7 berikut :


Tabel 7. Tahap-tahapan dalam Analisis Model Struktural<br />

Tahapan<br />

Kegiatan<br />

1 Pengembangan sebuah model berbasis teori<br />

2 Menyusun path diagram untuk menyatakan hubungan<br />

kausalitas<br />

3 Konversi diagram alur ke dalam persamaan struktur dan<br />

model pengukuran<br />

4 Memilih matrik input dan model/teknik estimasi<br />

5 Menilai problem identification<br />

6 Evaluasi goodness of fit<br />

7 Interpretasi dan modifikasi model<br />

Model analisis Stuctural Equation Modeling<br />

merupakan gabungan dari<br />

model regresi dan analisis jalur. Alasan digunakannya model Stuctural<br />

Equation Modelling pada penelitian ini dengan pertimbangan bahwa Stuctural<br />

Equation Modelling memberikan metode langsung berkaitan dengan hubungan<br />

ganda secara simultan sekaligus memberikan efesiensi analisis statistika dan<br />

kemampuannya untuk menguji hubungan komprehensif dan memberikan<br />

suatu bentuk transisi analisis confirmatory. Model diagram jalur dari masingmasing<br />

variabel dan indikator dalam penelitian dapat digambarkan sebagai<br />

berikut :<br />

X1<br />

MP<br />

Y1<br />

Y2<br />

Y3<br />

PP<br />

PPn<br />

a<br />

Y4<br />

X2<br />

FP<br />

Y6<br />

Y5<br />

Gambar 4. Model Struktur Hubungan Antar Variabel


Selanjutnya model jalur hubungan antar variabel penelitian yang tampak pada<br />

Gambar 4, diterjemahkan ke dalam persamaan struktural yang menunjukkan<br />

pengaruh antara variabel Faktor Penunjang (FP), dan Manajemen Produksi (MP),<br />

terhadap variabel Peningkatan Produksi (PP) dan Pengelolaan Pasca Panen<br />

(PPn), sebagai berikut :<br />

Peningkatan Produksi = β 1 FP + β 2 MP + ζ 1<br />

Pengelolaan Pasca Panen = η 1, Peningkatan Produksi + ζ 1<br />

Dimana :<br />

β = Koefisien jalur yang menegaskan pengaruh dari variabel independen ke<br />

variabel dependen.<br />

η = Koefisien jalur yang menegaskan pengaruh dari variabel independen ke<br />

variabel independen lainnya.<br />

ζ (Zeta) = Error Term<br />

Tabel 8. Good of Fit Index untuk Evaluasi Model<br />

Chi-Square Menguji apakah Covariance populasi yang<br />

diestimasi samadengan Covariance sample<br />

(apakah model sesuai dengan data). Bersifat<br />

sangat sensitive untuk sample besar (di atas 200)<br />

Probability Uji signifikan terhadap perbedaan matriks<br />

Covariance data dan matriks Covariance yang<br />

diestimasi<br />

RMSEA Mengkompensasi kelemahan Chi-Square pada<br />

sample besar<br />

GFI<br />

Menghitung proporsi tertimbang varians dalam<br />

matriks sample yang dijelaskan oleh matriks<br />

Covariance popilasi yang diestimasi (analog<br />

dengan R 2 dalam regresi berganda)<br />

Diharapkan<br />

Kecil<br />

0,05<br />

0,08<br />

0,90<br />

AGFI GFI yang disesuaikan terhadap DF 0, 90<br />

CMIND/DF Kesesuaian antara data dan model 2. 00<br />

TLI<br />

Pembandingan antara model yang diuji terhadap 0,95<br />

base line model<br />

CFI Uji kelayakan model yang tidak sensitive 0,94<br />

terhadap besarnya sample dan kerumitan model<br />

Sumber: Ferdinand, A. (2002)


Analisis Structural Equation Modelling (SEM) lebih istimewa dibandingkan<br />

dengan uji lainnya, karena merupakan gabungan model regresi dan analisis jalur.<br />

Pada penelitian ini, digunakan beberapa perangkat lunak untuk mengolah data,<br />

yaitu Excel 2007, SPSS (Statistical Product and Service Solution) 11, dan LISREL<br />

(Linear Structural Relationships) versi 8.8. Data mentah yang diperoleh dari<br />

kuesioner yang kembali dan layak diolah, direkap dengan bantuan perangkat lunak<br />

Excel 2007 dan SPSS 11. Selanjutnya, data indikator per variabel diolah dengan<br />

metode CFA melalui perangkat lunak LISREL versi 8.8.<br />

2. SWOT<br />

Metode pengamatan ditinjau dari aspek kekuatan, kelemahan, peluang<br />

dan ancaman, dengan mempertimbangkan kondisi eksternal dan internal yang ada<br />

dan akan terjadi pada masa akan datang. Hasil SEM dan SWOT digunakan untuk<br />

menentukan strategi dan model peningkatan produksi dan pengelolaan pasca<br />

panen jagung di Sulawesi Selatan.


IV. HASIL PENELITIAN <strong>DAN</strong> PEMBAHASAN<br />

A. Deskripsi Provinsi Sulawesi Selatan<br />

Provinsi Sulawesi Selatan terletak antara 0 0 12 0 -8 0 LS dan 116 0 48 ’ – 122 0<br />

36’ BT, yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara dan<br />

Teluk Bone serta Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah timur. Sebelah Barat dan<br />

Selatan masing-masing Selat Makassar dan Laut Flores. Jumlah sungai yang<br />

mengairi wilayah Sulawesi Selatan tercatat sekitar 65 aliran sungai dengan jumlah<br />

aliran terbesar di Kabupaten Luwu, yakni 25 aliran sungai. Sungai terpanjang<br />

tercatat ada satu sungai yakni Sungai Saddang yang mengalir meliputi Kabupaten<br />

Tator, Enrekang, Pinrang, dan Polmas, panjang sungai tersebut 150 km.<br />

Di Sulwesi Selatan terdapat empat danau yakni Danau Tempe dan<br />

Sidenreng Rappang yang berada di Kabupaten Wajo, serta Danau Matana dan<br />

Towuti yang berlokasi di Kabupaten Luwu. Jumlah gunung tercatat sebanyak<br />

7 gunung dengan gunung tertinggi adalah Gunung Rantemario dengan ketinggian<br />

3.470 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tercatat<br />

46.108,55 km 2 yang meliputi 20 Kabupaten dan 3 Kota dengan 296 kecamatan<br />

dan 2.884 desa/kelurahan.<br />

Berdasarkan data BPS tahun 2008, jumlah penduduk Sulawesi Selatan<br />

adalah 7.629.138 jiwa yang terdiri atas laki-laki 3.738.401 jiwa dan perempuan<br />

3.890.737 jiwa, tersebar di 23 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk terbesar<br />

1.223.530 jiwa mendiami Kota Makassar. Secara keseluruhan jumlah penduduk<br />

berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin<br />

laki-laki. Hal tersebut tercermin dari angka rasio jenis kelamin yang lebih kecil dari<br />

100. Hanya di daerah Kabupaten Gowa, Enrekang Luwu, Tana Toraja, Luwu Utara,<br />

dan Luwu Timur yang menunjukkan angka rasio jenis kelamin lebih besar dari 100,<br />

yang berarti penduduk laki-laki di enam daerah tersebut lebih besar dari jumlah<br />

penduduk perempuan.<br />

Jika ditinjau dari aspek persebaran penduduk, penyebaran penduduk<br />

di Sulawesi Selatan belum merata, terbukti Kota Makassar yang hanya memiliki<br />

luas wilayah 175,77 km 2 merupakan daerah terpadat penduduknya. Selanjutnya,


penduduk usia kerja (penduduk yang berumur 10 tahun ke atas, terdiri dari<br />

angkatan kerja dan bukan angkatan kerja) di Sulawesi Selatan pada tahun 2007<br />

berjumlah 5.257.238 jiwa. Dari seluruh penduduk usia kerja, yang masuk menjadi<br />

angkatan kerja berjumlah 3.005.723 jiwa. Dari jumlah tersebut tercatat 370.308<br />

orang dalam status mencari pekerjaan. Dilihat dari aspek lapangan usaha,<br />

sebagian besar penduduk Sulawesi Selatan bekerja di sektor pertanian yang<br />

berjumlah 1,469.418 orang atau 55,76% dari jumlah penduduk yang bekerja.<br />

Kondisi iklim di Sulawesi Selatan banyak dipengaruhi oleh kondisi<br />

geografis wilayah antara pantai timur dan pantai barat yang dibatasi oleh dua<br />

pegunungan utama, yaitu pegunungan Latimojong dan Lompobattang. Kedua<br />

pegunungan ini membagi wilayah sulawesi Selatan menjadi dua sektor dengan<br />

pola musim yang berbeda, yakni sektor timur dan sektor barat. Pola musim<br />

di sektor barat adalah musim hujan pada periode Oktober-Maret dan musim<br />

kemarau periode April-September. Sebaliknya di sektor timur, musim hujan jatuh<br />

pada periode April-September dan musim kemarau pada Oktober-Maret .<br />

Daerah-daerah yang termasuk ke dalam wilayah sektor barat adalah<br />

Kabupaten Selayar,Jeneponto,Takalar, Gowa, Makassar, Maros, Pangkep, Barru,<br />

Pare-pare, Enrekang, dan Tator. Wilayah sektor timur meliputi Kabupaten Luwu,<br />

Pinrang, Sidrap,Wajo, Bone, Soppeng, Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng.<br />

Kabupaten Bulukumba, Luwu, dan Pinrang adalah daerah yang sebagian<br />

wilayahnya juga termasuk sektor timur yang disebut sebagai daerah peralihan.<br />

Pola iklim tersebut sangat mengutungkan bagi pengembangan produksi tanaman<br />

pangan dan holtikultura, sehingga Sulawesi Selatan tidak pernah mengalami<br />

paceklik bahan pangan pertanian karena musim tanam dapat berlangsung<br />

sepanjang tahun secara bergantian.<br />

Tipe iklim di Sulawesi Selatan menurut oldeman adalah tipe iklim A, B, C,<br />

D, dan E dengan curah hujan bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain yang<br />

secara garis besar terbagi atas :<br />

a. 1000-2000 mm per tahun meliputi daerah sebelah utara garis yang garis yang<br />

menghubungkan kota Barru dan Watampone sampai daerah Kabupaten Tator<br />

dan sebagian Kabupaten Jeneponto.


. 2000-3000 mm per tahun sebagian daerah utara, yaitu Kabupaten Tator, Luwu,<br />

dan sebagian daerah utara, yaitu Kabupaten Tator, Luwu, dan sebagian di<br />

kota Pare-pare, Barru, Sinjai, Bulukumba, Bantaeng, Takalar, Gowa, dan<br />

Makassar.<br />

c. Di atas 3.000 mm per tahun sebagian lainnya Kabupaten Pangkep dan Maros.<br />

Provinsi Sulawesi Selatan memiliki potensi dan kekayaan yang cukup<br />

besar untuk digarap dan dimanfaatkan secara baik, khususnya sektor pertanian.<br />

Hal ini terlihat dari luas wilayah Sulawesi Selatan sebesar 46.108,55 km 2 memiliki<br />

potensi seperti ditunjukkan pada Tabel 9.<br />

Tabel 9. Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulawesi Selatan<br />

Tahun 2008<br />

No. Komoditi Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)<br />

01 Padi 719.846 3.365.509<br />

02 Jagung 284.964 1.195.064<br />

03 Kedelai 14.189 22.242<br />

04 Ubi kayu 32.852 567.749<br />

05 Ubi jalar 5.029 54.303<br />

06 Kacang tanah 36.776 41.759<br />

07 Kacang hijau 23.490 28.554<br />

Jumlah 1.117.146 5.275.180<br />

Sumber: BPS 2008; dan sumber-sumber lain.<br />

Selanjutnya penelitian ini dilaksanakan pada lima kabupaten yang ada<br />

di Provinsi Sulawesi Selatan. Berikut dapat dijelaskan tentang keadaan umum<br />

lokasi penelitian pada lima kabupaten tersebut.<br />

1. Kabupaten Pinrang<br />

Wilayah administrasi Kabupaten Gowa antara 3 0 19’, 13’ – 4 0 10’30 0 Lintang<br />

Selatan dan hingga 199 0 26.30’- 119 0 47’20 0 Bujur timur. Berada di daerah tengah<br />

Sulawesi Selatan, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja.


Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten enrekang dan Sidenreng Rappang,.<br />

Sebelah selatan berbatasan dengan Kotamadya Pare-Pare sedangkan bagian<br />

baratnya dengan Kabupaten Polewali Mamasa dan Selat Makassar.<br />

Luas wilayah Kabupaten Pinrang adalah 1.961,77 Km 2 , secara<br />

administrasi pemerintah Kabupaten Pinrang terbagi menjadi 12 Kecamatan yang<br />

terdiri dari 104 Desa/Kelurahan, yang merupakan salah satu wilayah penghasil<br />

jagung di Sulawesi selatan dengan produksi sebesar 13.718 ton dengan luas<br />

panen 390,4 Ha (Tabel 10).<br />

Tabel 10. Luas, Persentase Luas Kecamatan, Luas Panen dan Produksi<br />

Jagung Kabupaten Pinrang Tahun 2008<br />

No Kecamatan Luas (Km 2 ) Persentase Luas Produksi<br />

(%) Panen (Ha) (Ton)<br />

01 Suppa 74.20 3,78 84 295<br />

02 Mattirosompe 96.99 4,94 2 7<br />

03 Lanrisang 73,01 3,72 7 24<br />

04 Mattiro Bulu 132.49 6,75 10 35<br />

05 Watang Sawitto 58,97 3,01 - -<br />

06 Palateang 37,29 1,90 29 101<br />

07 Tiroang 77,73 3,96 15 53<br />

08 Patampanua 136,85 6,98 1073 3771<br />

09 Cempa 90,30 4,60 348 1223<br />

10 Duampanua 291,86 14,88 537 1887<br />

11 Batulappa 158,99 8,10 1670 5870<br />

12 Lembang 733,09 37,37 129 453<br />

Jumlah 1.961,09 100,00 3.904 13.718<br />

Sumber: BPS 2008; dan sumber-sumber lain.<br />

2. Kabupaten Bantaeng<br />

Kabupaten Bantaeng secara geografis terletak ± 120 km arah selatan Kota<br />

Makassar Ibu Kota Propinsi Sulawesi Selatan dengan posisi 5 0 21’13” – 5 0 35’26”<br />

Lintang Selatan dan 119 0 51’42”- 120 0 05’27” Bujur Timur. Terletak di daerah pantai


yang memanjang pada bagian barat dan timur kota yang salah satunya berpotensi<br />

untuk perikanan.<br />

Kabupaten Bantaeng dengan ketinggian antara 0–1350 di atas permukaan<br />

laut merupakan wilayah yang terluas atau 29,6% dari luas wilayah seluruhnya dan<br />

terkecil adalah wilayah dengan ketinggian dari permukaan laut 0-23 m dpl atau<br />

hanya 10,3% dari luas wilayah. Luas daerah dan persentase luas kecamatan, yang<br />

merupakan salah satu wilayah penghasil jagung<br />

di Sulawesi selatan dengan<br />

produksi sebesar 177.748 ton dengan luas panen 33.569 Ha (Tabel 11).<br />

Tabel 11. Luas, Persentase Luas Kecamatan, Luas Panen dan Produksi<br />

Jagung Kabupaten Bantaeng Tahun 2008<br />

No Kecamatan Luas Persentase Luas Produksi<br />

(Km 2 ) (%) Panen (Ha) (Ton)<br />

01 Bissapu 32,84 8,30 4.423 22.314<br />

02 Bantaeng 28,85 7,29 5.076 27.796<br />

03 Tompobulu 76,99 19,45 1.323 6.794<br />

04 Ulu Ere 67,29 17,00 4,454 23.936<br />

05 Pa’jukukkang 48,9 12,35 3.496 19.078<br />

06 Ermerasa 45,01 11,37 4.565 23.081<br />

07 Sinoa 43,00 10,86 6.154 33.287<br />

08 Gantarang Keke 52,95 13,38 4.078 22.054<br />

Jumlah 395,83 100,00 33.569 177.748<br />

Sumber: BPS 2008; dan sumber-sumber lain.<br />

3. Kabupaten Jeneponto<br />

Kabupaten Jeneponto terletak antara 5 0 23’12” – 5 0 42’1,2” Lintang Selatan<br />

dan 119 0 29’12”- 119 0 56’44,9” Bujur Timur. Berbatasan dengan Kabupaten Gowa<br />

dan Takalar di sebelah utara, Kabupaten Bantaeng di sebelah Timur, Kabupaten<br />

Takalar di sebelah Barat dan Laut Flores di sebelah Selatan. Luas wilayah<br />

Kabupaten Jeneponto tercatat 749,79 km 2 yang meliputi 11 Kecamatan,<br />

merupakan salah satu wilayah penghasil jagung di Sulawesi Selatan, dengan<br />

produksi sebesar 172.604 ton dengan luas panen 40.184 Ha (Tabel 12).


Tabel 12. Luas, Persentase Luas Kecamatan, Luas Panen dan Produksi<br />

Jagung Kabupaten Jeneponto Tahun 2008<br />

No Kecamatan Luas Persentase Luas Produksi<br />

(Km 2 ) (%) Panen (Ha) (Ton)<br />

01 Bangkala 121.82 16,25 6.252 28.257<br />

02 Bangkala Barat 152,96 20,40 6.961 31.916<br />

03 Tamalatea 67,58 7,68 3.521 10.725<br />

04 Bontoramba 88,30 11,78 4.156 17.194<br />

05 Binamu 69,49 9,27 2.693 10.744<br />

06 Turatea 53,76 7,17 2.735 12.665<br />

07 Batang 33,04 4,41 695 2.055<br />

08 Arungkeke 29,91 3,99 499 2.802<br />

09 Tarowang 40,68 5,43 1.888 5.870<br />

10 Kelara 43,95 5,86 5.524 27.967<br />

11 Rumbia 58,30 7,78 5.260 22.409<br />

Jumlah 749,79 100,00 40.184 172.604<br />

Sumber: BPS 2008; dan sumber-sumber lain.<br />

4. Kabupaten Bone<br />

Kabupaten Bone merupakan salah satu kabupaten di pesisir timur Propinsi<br />

Sulawesi Selatan yang berjarak sekitar 174 km dari Kota Makassar. Secara<br />

astronomis letak dalam posisi antara 4013’5 o 06 Lintang Selatan dan antara<br />

119 0 42’12”- 120 0 40” Bujur Timur dengan batas-batas wilayah, sebelah utara<br />

berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng, Sebelah Selatan berbatasan<br />

dengan Kabupaten Sinjai dan Gowa, Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk<br />

Bone, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bone.<br />

Luas wilayah Kabupaten Bone tercatat 4.559.00 km 2 yang meliputi 27<br />

Kecamatan, merupakan salah satu sentra wilayah penghasil jagung di Sulawesi<br />

Selatan, dengan produksi sebesar 40.370 ton dengan luas panen 170.388 Ha<br />

(Tabel 13).


Tabel 13. Luas, Persentase Luas Kecamatan, Luas Panen, dan Produksi<br />

Jagung Kabupaten Bone Tahun 2008<br />

No Kecamatan Luas<br />

(Ha)<br />

Persentase<br />

(%)<br />

Luas<br />

Panen (Ha)<br />

Produksi<br />

(Ton)<br />

01 Bontocani 463,35 10,16 112 299<br />

02 Kahu 189,90 4,16 1.031 4.593<br />

03 Kajuara 124,13 2,72 2.194 6.043<br />

04 Salomekko 84,91 1,86 407 1.506<br />

05 Tonra 200,32 4,39 199 673<br />

06 Patimpeng 130,47 2,86 629 2.439<br />

07 Libureng 344,25 7,55 1.541 8.431<br />

08 Mare 263,50 5,78 692 3.484<br />

09 Sibulue 155,80 3,42 1.202 4.654<br />

10 Cina 147,20 3,24 1.312 5.885<br />

11 Barebbo 114,20 2,50 2.182 6.673<br />

12 Ponre 293,00 6,43 888 2.415<br />

13 Lappariaja 138,00 3,03 2.192 5.856<br />

14 Lamuru 208,00 4,56 1.866 4.836<br />

15 Tellu Limpoe 318,10 6,98 628 1.154<br />

16 Bengo 164,00 3,60 759 2.448<br />

17 Ulaweng 161,67 3,55 2.000 5.837<br />

18 Palakka 115,32 2,53 1.086 5.459<br />

19 Awangpone 110,70 2,43 1.188 4.570<br />

20 Tellu Siattinge 159,30 3,49 5.746 30.978<br />

21 Amali 119,13 2,61 4.169 22.770<br />

22 Ajangale 139,00 3,05 2.448 11.734<br />

23 Dua boccoe 144,90 3,18 3.463 18.089<br />

24 Cenrana 143,60 3,15 452 1.537<br />

25 Tanete R. barat 53,68 1,18 914 4.295<br />

26 T.Riattang 23,79 0,52 399 1.881<br />

27 T. R.Timur 48,88 1,07 671 1.849<br />

Jumlah 4.559.00 100,00 40.370 170.388<br />

Sumber: BPS 2008; dan sumber-sumber lain.


5. Kabupaten Gowa<br />

Wilayah administrasi Kabupaten Gowa antara 12 0 33, 19’ hingga 13 0 15.17’<br />

Bujur timur dan 5 0 5’ hingga 5 0 34.7’ Lintang Selatan. Berada di daerah selatan dari<br />

Sulawesi Selatan, di sebelah utara berbatasan dengan Kota Makassar dan<br />

Kabupaten Maros.<br />

Bulukumba dan Bantaeng.<br />

Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sinjai,<br />

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten<br />

Takalar dan Jeneponto sedangkan bagian barat dengan Kota Makassar dan<br />

Takalar. Wilayah Kabupaten Gowa terdiri dari 18 kecamatan dan 167<br />

desa/kelurahan dengan luas sekitar 1.883,33 km 2 atau sama dengan 3,01% dari<br />

luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.<br />

Merupakan salah satu sentra wilayah<br />

penghasil jagung di Sulawesi Selatan dengan luas lahan 37.036 dengan produksi<br />

177.245 ton (Tabel 14).<br />

Tabel 14. Luas, Persentase Luas Kecamatan, Luas panen dan Produksi<br />

Kabupaten Gowa Tahun 2008<br />

No Kecamatan Luas<br />

(Km 2 )<br />

Persentase<br />

(%)<br />

Luas<br />

Panen (Ha)<br />

Produksi<br />

(Ton)<br />

01 Bontompo 30,39 1,61 357 1.780<br />

02 Bontonompoi<br />

Selatan<br />

29,24 1,55 1.835 9.182<br />

03 Bajeng 60,09 3,19 354 1.771<br />

04 Bajeng Barat 19,04 1,01 115 575<br />

05 Pallangga 48,24 2,56 251 1.256<br />

06 Barombong 20,67 1,10 93 457<br />

07 Sombaopu 28,09 1,49 217 1.079<br />

08 Bontomarannu 52,63 2,79 2.010 10.050<br />

09 Pattalassang 84,96 4,51 406 2.030<br />

10 Parangloe 22126 11,75 1.226 6.141<br />

11 Manuju 91,90 4,88 1.018 5.093<br />

12 Tinggimoncong 142,87 7,59 789 3.943<br />

13 Tombolo Pao 251,82 13,37 1.101 5.507<br />

14 Parigi 132,76 7,05 366 1.826<br />

15 Bungaya 175,53 9,32 4.370 21.869<br />

16 Bontolempangan 142,46 7,56 3.019 15.080<br />

17 Tompobulu 132,54 7,04 8.008 40.041<br />

18 Biringbulu 218,84 11,62 12.180 60.921<br />

Jumlah 1.883,33 100,00 37.036 188.596<br />

Sumber: BPS 2008; dan sumber-sumber lain.


B. Keragaan Jagung Lokasi Penelitian dan Sasaran Produksi Sulawesi<br />

Selatan Tahun 2009<br />

Berdasarkan data lima tahun terakhir (2004–2008), produksi jagung di<br />

Sulawesi Selatan, khususnya pada lima kabupaten (Pinrang, Bantaeng, Jeneponto,<br />

Bone, dan Gowa) lokasi penelitian menunjukkan fluktuasi produksi, seperti yang<br />

ditunjukkan pada Tabel 15 dan Gambar 5.<br />

Tabel 15. Produksi Jagung Kabupaten Pinrang, Bantaeng, Jeneponto,<br />

Gowa tahun 2004 - 2008<br />

Bone dan<br />

Produksi (ton)<br />

No Kabupaten<br />

2004 2005 2006 2007 2008<br />

1 Pinrang 1.050 2.397 1.642 8.594 13.718<br />

2 Bantaeng 127.211 138.071 96.038 156.958 177.748<br />

3 Jeneponto 129.179 123.046 164.290 147.393 172.604<br />

4 Bone 67.530 95.571 71.942 129.314 170.388<br />

5 Gowa 116.938 103.636 129.745 175.308 188.596<br />

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sul-Sel 2009.


Pruduksi (ton)<br />

210,000<br />

195,000<br />

180,000<br />

165,000<br />

150,000<br />

135,000<br />

120,000<br />

105,000<br />

Pinrang<br />

Bantaeng<br />

Jeneponto<br />

Bone<br />

Gowa<br />

129,179<br />

127,211<br />

116,938<br />

138,071<br />

123,046<br />

103,636<br />

164,290<br />

129,645<br />

96,038<br />

175,303<br />

152,958<br />

147,393<br />

129,314<br />

188,596<br />

177,748<br />

172,604<br />

170,630<br />

90,000<br />

75,000<br />

67,530<br />

95,571<br />

71,942<br />

60,000<br />

45,000<br />

30,000<br />

15,000<br />

1,050 2,397 1,642<br />

8,594<br />

13,718<br />

0<br />

2004 2005 2006 2007 2008<br />

Tahun<br />

Gambar 5. Keragaan Produksi Jagung Kabupaten Pinrang, Bantaeng,<br />

Jeneponto, Bone, dan Gowa Tahun 2004- 2008<br />

Berdasarkan data pada Tabel 15 dan Gambar 5 menunjukkan terjadinya<br />

fluktuasi produksi dan terjadi peningkatan produksi pada dua tahun terakhir<br />

(2007-2008). Keberhasilan ini perlu diikuti dengan upaya-upaya untuk<br />

mempertahankan dan meningkatkan produksi secara berkesinambungan, guna<br />

mewujudkan target produksi yang dicanangkan Pemerintah Provinsi Sulawesi<br />

Selatan.<br />

Peningkatan produksi<br />

tersebut merupakan hasil dari peningkatan luas<br />

panen, hasil per hektar dan peningkatan intensitas tanam. Peningkatan hasil per<br />

hektar disebabkan karena adanya penerapan teknologi yang lebih baik melalui<br />

kegiatan intensifikasi. Dengan demikian, masih terbuka peluang melalui berbagai<br />

upaya peningkatan produksi, misalnya peningkatan produktivitas dan ekstensifikasi<br />

dengan meminimalkan permasalahan yang selama ini menjadi kendala<br />

peningkatan produksi, misalnya penggunaan benih unggul yang masih rendah di


kalangan petani, baik kuantitas maupun kualitas; terbatasnya ketersediaan sarana<br />

dan prasarana penampungan hasil pada sentra produksi; dan belum optimalnya<br />

pemanfaatan teknologi pengolahan pasca panen jagung di tingkat petani dan<br />

berbagai tantangan lain, seperti terjadinya konversi dan degradasi lahan subur;<br />

semakin terbatasnya ketersediaan air pengairan dan sumber air; perubahan iklim<br />

akibat pemanasan global; banyaknya infrastruktur pertanian yang rusak, terutama<br />

prasarana irigasi dan pendangkalan bendungan; sempitnya kepemilikan lahan<br />

usaha tani; masih kurangnya akses kredit modal usaha bagi petani; adanya<br />

kecendrungan meningkatnya gangguan hama penyakt; dan semakin<br />

meningkatnya harga sarana produksi, Alsintan, energi dan upah tenaga kerja tinggi,<br />

di sisi lain modal petani terbatas (DPTPSS, 2008).<br />

Berdasarkan data luas panen, produktivitas, dan produksi jagung Sulawesi<br />

Selatan tahun 2007 dan 2008 (Tabel 1), dan target produksi 1, 5 juta pada tahun<br />

2009, maka pada tahun 2009 diperlukan peningkatan luas panen 49.656 hektar<br />

(14,84%), produktivitas 2,89 kuintal/hektar (6,45%), dan peningkatan produksi<br />

303.936 ton (20,26%), seperti pada Gambar 6 berikut :<br />

KONDISI 2007<br />

Luas panen : 262.436 Ha<br />

Produktivitas : 36.96 Ku/Ha<br />

Produksi : 969.085 Ton<br />

KONDISI 2008<br />

Luas panen : 284.964 Ha<br />

Produktivitas : 41,94 Ku/Ha<br />

Produksi : 1.196.064 Ton<br />

KONDISI YANG<br />

DIHARAPKAN 2009<br />

Luas panen<br />

: 334.620 Ha<br />

Produktivitas : 44,83 Ku/Ha<br />

Produksi<br />

: 1.5 Juta Ton PK<br />

<strong>PENINGKATAN</strong><br />

Luas panen : 49.656 Ha (14,84%)<br />

Produktivitas : 2,89 Ku/Ha (6,45%)<br />

Produksi : 303.936 Ton<br />

(20,26%)<br />

Gambar 6. Sasaran Produnnksi Jagung Sulawesi Selatan Tahun 2009<br />

Gambar 6. Sasaran Produksi Jagung Sulawesi Selatan Tahun 2009


Untuk memenuhi sasaran produksi jagung Sulawesi Selatan 1,5 juta ton<br />

pipilan kering tahun 2009, maka diprakirakan diperlukan luas tanam 352.232<br />

hektar, dengan target luas panen 334.620 hektar (95% dari luas tanam, seperti<br />

pada Gambar 6). Jika setiap hektar dibutuhkan 15 kg benih, maka diperlukan<br />

sekitar 6.283.480 ton benih hibrida. Kebutuhan pupuk untuk jagung adalah urea<br />

± 3,3 ton/ha, SP-36 ± 10 ton/ha, KCl ± 20 ton/ha, dan ZA ± 20 ton/ha, maka<br />

dengan luas tanam 352.232 untuk provinsi Sulawesi Selatan dibutuhkan masingmasing<br />

pupuk urea : 839.932 ton, 35.223 ton, KCl 17.612 ton, dan ZA 17.612 ton.<br />

Apabila harga jagung di tingkat petani rata-rata Rp 2.200/kg, maka kontribusi<br />

program peningkatan produksi jagung 1,5 juta ton pipilan kering terhadap<br />

perputaran uang pada 23 Kabupeten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009<br />

sebesar Rp 3.300.000.000.- (Tiga miliar tiga ratus juta rupiah).<br />

C. Karakterisitik Responden Petani Jagung<br />

1. Umur.<br />

Tingkat umur petani jagung sangat bervariasi, dan salah satu faktor yang<br />

berpengaruh dalam meningkat produksi tanaman jagung adalah umur petani.<br />

Semakin tinggi umur sesorang maka kemampuan untuk melakukan suatu usaha<br />

akan semakin berkurang, jika dibandingkan dengan sesorang yang umurnya jauh<br />

lebih muda. Variasi umur dari masing-masing responden petani jagung dapat<br />

dilihat dalam Tabel 16.<br />

Tabel 16. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Umur<br />

No Umur ( Tahun) Frekuensi (Orang) Persentase (%)<br />

1 < 31 38 19,0<br />

2 31 - 40 68 34,0<br />

3 41 - 50 61 30,5<br />

4 51 - 60 23 11,5<br />

5 > 60 10 5,0<br />

Jumlah 200 100,00<br />

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2009.


Tabel 16 menunjukkan bahwa yang melakukan budidaya tanaman jagung<br />

umumnya dilakukan tenaga kerja yang masih produktif. Standar produktif yang<br />

berlaku di Indonesia yang dikemukakan oleh Wirosuharjo (1981) bahwa umur yang<br />

produktif adalah 15 sampai 64 tahun. Akan tetapi jumlah petani jagung yang<br />

berumur 31 sampai 40 tahun memiliki persentase yang paling tinggi yaitu<br />

sebanyak 68 orang atau 34 persen, kemudian berikut pada umur 41 sampai 50<br />

tahun berjumlah 61 orang atau 30,5 persen, sedangkan yang paling rendah<br />

persentasenya yaitu berada pada umur lebih dari 60 tahun yang jumlah petaninya<br />

10 orang atau 5,0 persen.<br />

2. Tingkat Pendidikan.<br />

Tingkat produktifitas kerja seseorang dalam suatu usaha salah satunya<br />

sangat dipengaruhi oleh pendidikan yang dimiliki. Individu yang memiliki tingkat<br />

pendidikan yang lebih tinggi biasanya lebih mudah dalam menjalankan suatu<br />

usaha karena sudah memiliki perencanaan yang matang mengenai resiko yang<br />

akan ditanggung serta keuntungan yang akan didapatkan. Tingkat pendidikan dari<br />

masing-masing petani jagung dapat dilihat pada Tabel 17.<br />

Tabel 17. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan<br />

No Pendidikan Frekwensi<br />

Persentase<br />

(Orang)<br />

(%)<br />

1 Sarjana 4 2,0<br />

2 SMA 54 27,0<br />

3 SMP 57 28,5<br />

4 SD 85 42,5<br />

5 Tidak Sekolah 0 0<br />

Jumlah 200 100,00<br />

Sumber : Data Primer Diolah, 2009.<br />

Tabel 17 menunjukkan persentase pendidikan petani jagung pada tingkat<br />

SD yang paling tinggi dengan jumlah 85 orang atau persentase 42,5 persen,<br />

kemudian disusul dengan tingkat SMP sebanyak 57 orang atau 28,5 persen.


Sedangkan tingkat pendidikan yang paling rendah petani jagung yaitu sarjana<br />

yang hanya berjumlah 4 orang dengan persentase 2,50 persen.<br />

3. Jumlah Tenaga Produktif<br />

Tabel 18 menunjukkan persentase jumlah tenaga produktif petani jagung<br />

yang paling tinggi yang memiliki masing-masing indikator jumlah tenaga produktif<br />

(1-2) dan (3-4) dengan jumlah 87 orang atau 43,5 persen. Sedangkan yang paling<br />

rendah adalah Jumlah tenaga produktif (7-8) dan (9-10) dengan jumlah 3 orang<br />

atau 1,5 persen.<br />

Tabel 18. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Produktif<br />

No Tenaga Produktif Frekwensi Persentase<br />

(Orang)<br />

(Orang)<br />

(%)<br />

1 1 - 2 87 43,5<br />

2 3 - 4 87 43,5<br />

3 5 - 6 20 10,0<br />

4 7 - 8 3 1,5<br />

5 9 - 10 3 1,5<br />

Jumlah 200 100,00<br />

Sumber : Data Primer Diolah, 2009.<br />

4. Pengalaman Usaha Tani Jagung.<br />

Pengalaman merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung<br />

pengembangan usaha tani jagung. Pengalaman dalam usaha tani jagung<br />

merupakan faktor yang cukup menunjang seorang petani dalam meningkatkan<br />

produktifitas dan kemampuan kerjanya dalam usaha tani jagung. Disamping itu,<br />

pengalaman dalam usaha tani jagung juga sangat memberikan dampak terhadap<br />

tingkat pendidikan yang cukup, dan akan terampil dalam mengelola usaha.<br />

Pengalaman usaha tani jagung rata-rata masih rendah hal ini dapat dilihat pada<br />

Tabel 19.


Tabel 19. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Usaha<br />

Tani Jagung<br />

No Pengalaman Usaha Tani<br />

(tahun)<br />

Frekuensi<br />

(Orang)<br />

Persentase<br />

(%)<br />

1 1 - 5 83 41,5<br />

2 6 - 10 54 27,0<br />

3 11 - 15 20 10,0<br />

4 16 - 20 22 11,0<br />

5 > 21 21 10,5<br />

Jumlah 200 100,00<br />

Sumber : Data Primer Diolah, 2009.<br />

Tabel 19 menunjukkan bahwa umumnya petani jagung belum memiliki<br />

pengalaman yang cukup lama dalam usaha tani jagung, persentase pengalaman<br />

usaha tani jagung yang paling tinggi berada pada 1 sampai 5 tahun sebanyak 83<br />

orang dengan persentase sebesar 41,5 persen, selanjutnya pengalaman usaha<br />

tani dari rentang 6 sampai 10 tahun berjumlah 54 orang dengan persentase 27<br />

persen.<br />

Sedangkan yang terendah adalah petani jagung yang memiliki<br />

pengalaman selama 21 ke atas yang berjumlah 21 orang atau 10,5 persen.<br />

5. Skala Usaha<br />

Skala usaha tani jagung yang dikembangkan oleh masing-masing petani<br />

bervariasi, hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 20.<br />

Tabel 20. Karakteristik Responden Berdasarkan Skala Usaha<br />

No Skala Usaha (ha) Frekwensi Persentase<br />

(Orang)<br />

(%)<br />

1 < 0,5 75 37<br />

2 0,6 - 1 64 34<br />

3 1,1 - 1,6 24 12,0<br />

4 1,7 - 2,2 25 12,5<br />

5 > 2,3 7 3,5<br />

Jumlah 200 100,00<br />

Sumber : Data Primer Diolah, 2009.


Berdasarkan Tabel 20 dapat dijelaskan bahwa rata-rata petani jagung<br />

di Sulawesi Selatan memiliki lahan yang sempit. Adapun skala usaha yang paling<br />

tinggi dari data distribusi frekuensi < 0,5 sebanyak 75 orang atau persentase 37 %,<br />

kemudian disusul pada skala usaha 0,6-1 dengan jumlah petani 64 orang<br />

persentase 34 %. Selanjutnya skala usaha >2,3 yang paling rendah yaitu 7 orang<br />

atau 3,5 %.<br />

6. Produksi<br />

Produksi jagung yang diperoleh petani jagung yang diperoleh masingmasing<br />

petani bervariasi, hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 21.<br />

Tabel 21. Karakteristik Responden Berdasarkan Produksi yang<br />

Dihasilkan<br />

No Produksi Frekwensi Persentase<br />

(kg)<br />

(Orang)<br />

(%)<br />

1 9000 32 16<br />

Jumlah 200 100,00<br />

Sumber : Data Primer Diolah, 2009.<br />

Produksi yang dihasilkan sangat bervariasi tergantung pada luas lahan<br />

atau skala usaha yang dimiliki, akan tetapi rata-rata produktifitas yang dihasilkan<br />

sangat rendah. Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa produksi (5000 - 6900<br />

kg) yang tertinggi dihasilkan oleh 62 petani jagung atau sekitar 31 persen dengan<br />

skala usaha (1,1 - 1,6 ha), kemudian disusul produksi (3000 - 4900 kg) yang<br />

dihasilkan 36 orang persentase 18 persen. Sedangkan yang paling rendah adalah<br />

produksi (> 9000) yang hanya diperoleh petani jagung sekitar 32 orang atau 16<br />

persen dari 200 populasi yang dijadikan sampel.


7. Pendapatan Per Tahun<br />

Karakteristik petani jagung berdasarkan indikator rata-rata penghasilan<br />

dapat dilihat pada Tabel 22.<br />

Tabel 22. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan per tahun<br />

No<br />

Pendapatan<br />

Frekwensi Persentase<br />

(Rp)<br />

(Orang)<br />

(%)<br />

1 < 6.900.000 73 36,5<br />

2 7.000.000 - 9.900.000 52 26,0<br />

3 10.000.000 - 12.900.000 36 18,0<br />

4 13.000.000 - 15.000.000 8 4,0<br />

5 > 15.000.000 31 15,0<br />

Sumber : Data Primer Diolah, 2009.<br />

Jumlah 200 100,00<br />

Berdasarkan Tabel 22, dapat dijelaskan bahwa rata-rata penghasilan<br />

petani jagung di Sulawesi Selatan per tahun yaitu Rp < 6.900.000 berjumlah 73<br />

orang dengan persentase 36,5 persen, kemudian diikuti oleh 52 responden atau<br />

26,0 persen yang berpenghasilan rata-rata Rp. 7.000.000 sampai Rp.<br />

9.900.000. Selanjutnya hanya 8 orang atau 4,0 persen petani yang memiliki<br />

penghasilan Rp. 13.000.000-15.000.000 dan 31 orang 15 persenyang memiliki<br />

penghasilan Rp. >15.000.000. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata penghasilan<br />

petani jagung di Sulawesi Selatan masih tergolong rendah karena rata-rata<br />

luas/skala usaha yang dimiliki sangat terbatas dan tingkat pengelolaan yang<br />

bersifat tradisional sehingga produktivitasnya masih rendah.<br />

D. Hasil Uji Kecocokan Model<br />

1. Uji kecocokan seluruh model<br />

Uji kecocokan dari seluruh model atau overall model fit berkaitan dengan<br />

analisis terhadap GOP (Goodness Of Fit) statistik dengan menggunakan program<br />

LISREL. 8.8 ini dapat dilihat pada Tabel 23.


Tabel 23. Uji GOF (Goodness Of Fit).<br />

Target-Tingkat Hasil<br />

Ukuran GOF<br />

Kecocokan Estimasi<br />

Chi- Square Nilainya kecil 55.80<br />

P > 0,05 0,0029<br />

NCP Nilai yang kecil 25.80<br />

Interval Interval yang sempit 8.59<br />

50.82<br />

RMSEA < 0,08 0,066<br />

P ( close fit ) < 0,05 0,16<br />

ECVI<br />

AIC<br />

CAIC<br />

Nilai yang kecil dan<br />

Dekat dengan ECVI<br />

saturate<br />

Nilainya yang kecil<br />

dan dekat dengan<br />

AIC Saturate<br />

Nilai yang Kecil dan<br />

dekat dengan CAIC<br />

saturate<br />

M* 0,55<br />

S* 0,6<br />

I* 0, 53<br />

M* 105.80<br />

S* 110.00<br />

I* 126.26<br />

M* 213.26<br />

S* 346.41<br />

I* 169.24<br />

Tingkat<br />

Kecocokan<br />

Kurang Baik<br />

Kurang Baik<br />

Baik<br />

Baik<br />

Baik<br />

Kurang Baik<br />

NFI > 0.90 0.46 Kurang Baik<br />

NNFI > 0.90 0.32 Kurang Baik<br />

CFI > 0.90 0.31 Kurang Baik<br />

IFI > 0.90 0.64 Kurang Baik<br />

RFI > 0.90 0.19 Kurang Baik<br />

CN >200 176.74 Kurang Baik<br />

GFI > 0.90 0.95 Baik<br />

Sumber : Data Primer Diolah, 2009.<br />

Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa hasil analisis GOF bahwa<br />

terdapat 9 ukuran Goodness Of Fit (GOF) yang menunjukkan kecocokan yang<br />

kurang baik dan 4 ukuran yang menunjukkan kecocokan yang baik. Nilai chisquare<br />

p –value sebesar 0.0029 < 0,05 cenderung lebih kecil, maka untuk<br />

memperbaiki kerakteristik chi-square tersebut maka harus dilihat nilai RMSEA dan<br />

DFI. Suatu model dikatakan Fit atau cocok dengan data apabila model mampu


menghasilkan nilai RMSEA yang kecil mendekati nol. Para ahli merekomendasikan<br />

nilai RMSEA maksimum sebesar 0,05 sampai 0,08 sebagai ukuran dasar dan nilai<br />

0,90 sebagai batas minimal untuk mengatakan model Fit dengan data (Kusnendi,<br />

2008). Berdasarkan nilai RMSEA 0,90 maka dapat<br />

disimpulkan bahwa kecocokan dari keseluruhan model.<br />

2. Uji Validitas.<br />

a. Manajemen Produksi (MP)<br />

Uji validitas Ketersediaan Benih Unggul (X1), terhadap variabel endogen<br />

Manajemen Produksi (MP) ditunjukkan pada Tabel 24.<br />

Tabel 24. Uji Validitas Variabel Ketersediaan Benih Unggul (X1) terhadap Variabel<br />

Endogen Manajemen Produksi (MP)<br />

Variabel Endogen<br />

MP<br />

Kesimpulan<br />

Variabel Teramati SLF*>0,5 Nilai T>2 Validitas<br />

Ketersediaan<br />

Benih Unggul (X1)<br />

0,86 3,06 Valid<br />

Sumber : Data Primer Diolah, 2009<br />

Berdasarkan<br />

Tabel 24 dapat dijelaskan bahwa besarnya nilai loading<br />

faktor pada variabel Ketersediaan Benih Unggul (X1) terhadap variabel endogen<br />

Manajemen Produksi (MP), nilai loading yaitu 0,86 untuk Ketersediaan Benih<br />

Unggul (X1) yang berarti secara statistik valid dalam mengukur Manajemen<br />

Produksi (MP) karena lebih besar dari nilai standar loading yaitu >0,5, dan nilai T<br />

(T Value) juga lebih besar yaitu 3,06 dari nilai standar T (>2). Hal ini menunjukkan<br />

bahwa kesimpulan validitas untuk tahapan ini adalah baik atau valid.<br />

b. Faktor Penunjang (FP)<br />

Uji validitas sarana prasarana Penampungan Hasil (X2), terhadap variabel<br />

endogen Faktor Penunjang (FP), ditunjukkan pada Tabel 25.


Tabel 25. Uji Validitas Variabel Penampungan Hasil (X2) terhadap Variabel<br />

Endogen Faktor Penunjang (FP)<br />

Variabel Laten<br />

Variabel Teramati<br />

FP<br />

SLF*>0,5 Nilai T>2<br />

Kesimpulan<br />

Validitas<br />

Penampungan Hasil (X2) 2,02 2,31 Valid<br />

Sumber : Data Primer Diolah, 2009<br />

Berdasarkan<br />

Tabel 25 dapat dijelaskan bahwa besarnya nilai loading<br />

factor pada variabel sarana prasarana Penampungan Hasil (PNH) terhadap<br />

variabel endogen Faktor Penunjang (FP), nilai loading yaitu 2,02 untuk sarana<br />

prasarana Penampungan Hasil (X2) yang berarti secara statistik valid atau<br />

signifikan dalam mengukur Faktor Penunjang (FP) karena lebih besar dari nilai<br />

standar loading yaitu >0,5, dan nilai T (T Value) juga lebih besar yaitu 2,31 dari<br />

nilai standar T (>2).<br />

tahapan ini adalah baik atau valid.<br />

Hal ini menunjukkan bahwa kesimpulan validitas untuk<br />

c. Peningkatan Produksi (PP)<br />

Berdasarkan Tabel 26 dapat dijelaskan bahwa besarnya nilai loading<br />

faktor pada variabel eksogen Peningkatan Produksi (PP), nilai loading yaitu 1,18<br />

untuk indikator Produksi Meningkat (Y1) yang berarti secara statistik valid dalam<br />

mengukur Peningkatan Produksi (PP) karena lebih besar dari nilai standar loading<br />

yaitu >0,5, dan nilai T (T Value) juga lebih besar yaitu 8,15 dari nilai standar T<br />

(>2). Hal ini menunjukkan bahwa kesimpulan validitas untuk tahapan ini adalah<br />

baik atau valid. Uji validitas variabel teramati (Y1) terhdap variabel eksogen<br />

Peningkatan {roduksi (PP) ditunjukkan pada Tabel 25.<br />

Tabel 26. Uji Validitas Variabel Teramati (Y) terhadap variabel Eksogen<br />

Peningkatan Produksi (PP)<br />

Variabel Eksogen<br />

PP<br />

Kesimpulan<br />

Variabel Teramati<br />

SLF*>0,5 Nilai T>2<br />

Validitas<br />

Produksi meningkat (Y3) 1,18 8,15 Valid<br />

Sumber : Data Primer Diolah, 2009


d. Pengelolaan Pasca Panen (PPn)<br />

Uji validitas<br />

Sortasi/Pengkelasan Mutu (Y4) dan Pengeringan (PNG)<br />

terhadap variabel endogen Pengelolaan Pasca Panen (PPn) ditunjukkan pada<br />

Tabel 27.<br />

Tabel 27. Uji Validitas Variabel Teramati (Y) terhadap Variabel Eksogen<br />

Pengolahan Pasca Panen (PPn)<br />

Variabel Endogen<br />

PPn<br />

Kesimpulan<br />

Variabel Teramati SLF*>0,5 Nilai T>2 Validitas<br />

Sortasi/Pengkelasan<br />

Mutu (Y4)<br />

0,68 0,52 Valid<br />

Pengeringan (Y5) 0,22 6,80 Tidak Valid<br />

Sumber : Data Primer Diolah, 2009<br />

Berdasarkan Tabel 27 dapat dijelaskan bahwa untuk variabel<br />

Sortasi/Pengkelasan Mutu (Y4) besarnya nilai loading faktor terhadap variabel<br />

eksogen Pengelolaan Pascapanen (PPn), nilai loading yaitu 0,68 untuk<br />

Sortasi/Pengkelasan Mutu (Y4) yang berarti secara statistik valid dalam mengukur<br />

Pengolahan Pascapanen (PPn) karena lebih besar dari nilai standar loading yaitu<br />

>0,5, walaupun nilai T (T Value) lebih kecil yaitu 0,52 dari nilai standar T (>2).<br />

Hal ini menunjukkan bahwa kesimpulan validitas untuk tahapan ini adalah baik<br />

atau valid.<br />

Untuk variabel Pengeringan (Y5) nilai loading 0,22 yang berarti secara<br />

statistik kurang baik dalam mengukur Pengolahan Pascapanen (PPn) karena nilai<br />

loding lebih kecil dari nilai standar loding yaitu (>0,5, ) walaupun nilai value lebih<br />

besar 6,80 dari nilai standar T (>2).<br />

Hal ini menunjukkan bahwa kesimpulan<br />

validitasi untuk variabel Pengeringan (Y2) untuk mengukur variabel eksogen<br />

Pengolahan Pascapanen (PPn) adalah kurang baik atau tidak valid.<br />

c. Analisis Model Struktur Lengkap<br />

Hasil pengujian dengan model persamaan struktural (structural equation<br />

modeling) dengan program LISREL 8,8 menunjukkan bahwa seluruh kriteria yang<br />

digunakan untuk menilai kesesuaian model telah memenuhi kriteria , oleh karena<br />

itu model dapat diterima karena adanya kesesuaian antara model dengan data.


Dengan demikian, kofisien jalur dari masing-masing hubungan antara variabel<br />

yang digunakan dalam penelitian disajikan untuk menguji hipotesis. Hasil analisis<br />

SEM tahap akhir dapat dilihat pada Gambar 5, nilai koofisien jalur dapat dilihat<br />

pada Tabel 28.<br />

Tabel 28. Hasil Analisis Uji Variabel Laten Faktor Penunjang (FP), Manajemn<br />

Produksi (MP), Peningkatan Produksi (PP) dan Pengolahan<br />

Pascapanen (PPn).<br />

No Variabel Laten Koefisien T Hitung Kesimpulan<br />

Jalur<br />

1 MP (X1) - PP 0,97 5,8 Signifikan<br />

2 FP (X2) - PP 0,11 1,90 Tidak Signifikan<br />

3 MP(X1)+FP(X2)–PP-PPn 1,08 7,70 Signifikan<br />

Sumber: Data Primer Diolah, 2009<br />

X1<br />

0,86<br />

MP<br />

0,97<br />

Y1<br />

1,18<br />

PP<br />

0,043<br />

PPn<br />

0,68<br />

Y4<br />

0,096<br />

X2<br />

2,02<br />

FP<br />

0,11<br />

Y5<br />

0,22<br />

Gambar 7. Diagram Path Analisis SEM<br />

1. Pengujian Hipotesis Satu (H1)<br />

Hasil Perhitungan menunjukkan bahwa variabel laten Manajemen<br />

Produksi/Ketersediaan Benih Unggul (X1) memiliki pengaruh yang signifikan dan<br />

positif terhadap terhadap variabel laten Peningkatan Produksi (PP). Hal ini terlihat<br />

dari koofisien jalur yang bertanda positif 0,97 dengan nilai t-Velue 5,8. Nilai ini


lebih besar dengan yang disyaratkan yaitu dengan koefisien jalur lebih besar dari<br />

0,50 sedangkan t-value lebih besar dari 2 dengan demikian hipotesis yang<br />

menyatakan bahwa Manajemen Produksi/Ketersediaan Benih Unggul (X1)<br />

berpengrauh signifikan terhadap Peningkatan Produksi (PP) telah terbukti.<br />

Besarnya pengaruh langsung dari Ketersediaan Benih Unggul (X1) terhadap<br />

Peningkatan Produksi (PP) sebesar 0,97 artinya bahwa setiap peningkatan<br />

Ketersediaan Benih Unggul (X1) maka akan meningkatkan Peningkatan Produksi<br />

(PP) sebesar 0,97 satuan.<br />

2. Pengujian Hipotesis Dua (H2)<br />

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel Laten Faktor<br />

Penunjang/Sarana dan prasarana Penampungan Hasil (X2) memiliki pengaruh<br />

yang tidak signifikan terhadap variabel laten Peningkatan Produksi (PP). Hal ini<br />

terlihat dari koefesien jalur dengan nilai 0,11 dan nilai t-value 1,90. Nilai ini lebih<br />

kecil dengan yang disyaratkan yaitu kefesien jalur yang lebih besar dari 0,50<br />

sedangkan t-velue lebih besar dari 2 dengan demikian hipotesis yang menyatakan<br />

bahwa Faktor penunjang Penampungan Hasil (X2) berpengaruh signifikan<br />

terhadap Peningkatan Produksi (PP) tidak terbukti, dimana nilai koefesien jalur<br />

0,11 lebih kecil dari standar koefisen jalur yaitu 0,50.<br />

3. Pengujian Hipotesis Tiga (H3)<br />

Hasil Perhitungan menunjukkan bahwa variabel laten Manajemen<br />

Produksi/Ketersediaan Benih Unggul (X1) dengan Faktor<br />

Penunjang/Penampungan Hasil (X2) berpengaruh signifikan terhadap variabel<br />

laten Peningkatan Produksi (PP). Hal ini terlihat dari koofisien jalur yang bertanda<br />

positif 1,08 dengan nilai t-Velue 7,70. Nilai ini lebih besar dengan yang<br />

disyaratkan yaitu koefisien jalur lebih besar dari 0,50 sedangkan t-value lebih<br />

besar dari 2 dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa Manajemen<br />

Produksi/Ketersediaan Benih Unggul (X1) dan Faktor Penunjang/Penampungan<br />

Hasil (X2) secara bersama-sama berpenrauh signifikan terhadap Peningkatan<br />

Produksi (PP) telah terbukti. Besarnya pengaruh langsung dari Ketersediaan


Benih Unggul (X1) dan Sarana-Prasarana Penampungan Hasil (X2) terhadap<br />

Peningkatan Produksi (PP) sebesar 1,08 artinya bahwa setiap peningkatan<br />

Ketersediaan Benih Unggul (X1) dan Sarana dan Prasaran Penampungan Hasil<br />

(X2), akan meningkatkan Peningkatan Produksi (PP) sebesar 1,08 satuan.<br />

D. Analisis Pemecahan Masalah<br />

a. Permasalahan Pertama<br />

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel Manajemen<br />

Produksi terutama indikator Ketersediaan Benih unggul adalah faktor yang<br />

berpengaruh terhadap peningkatan produksi jagung di Sulawesi Selatan.<br />

Hasil analisis pada Tabel 24, 25, 26, dan 27 menunjukkan bahwa indikator<br />

setiap variabel Manajemen Produksi Ketersediaan benih unggul, Faktor Penunjang<br />

Penampungan hasil, Peningkatan Produksi, dan Pengelolaan Pasca Panen jagung<br />

yang dipakai dalam model adalah valid/signifikan, kecuali indikator<br />

Sortasi/Pengkelasan Mutu terhadap produksi dan pengelolaan pasca panen<br />

jagung di Sulawesi Selatan. Dapat disimpulkan bahwa untuk memecahkan<br />

masalah peningkatan produksi dan pengelolaan pasca panen jagung, pemerintah<br />

harus mengatasi/menanggulangi masalah perbenihan yang terkait lima tepat, yaitu<br />

tepat waktu, jenis, mutu, jumlah, dan tersedia dilokasi dengan harga yang<br />

terjangkau oleh petani. Masalah yang paling sering menjadi hambatan petani di<br />

daerah dalam aspek perbenihan tersebut dari lima aspek tersebut adalah tidak<br />

tersedia benih di pasaran pada saat petani membutuhkan benih dan harga benih<br />

yang relatif mahal di kalangan petani jagung. Masalah perbenihan ini sangat<br />

penting karena merupakan komponen produksi hulu yang mempunyai peranan<br />

strategis dalam tiga hal, yaitu peningkatan kuantitas hasil persatuan luas,<br />

peningkatan mutu hasil, dan nilai ekonomis produk jagung. Ketiga hal tersebut<br />

secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan<br />

kesejahteraan petani. Karena begitu pentingnya peranan benih dalam pertanian,<br />

produksi dan distribusi benih sudah menjadi industri dan bisnis yang sangat besar.<br />

Dengan demikian, untuk peningkatan produksi jagung di Sulawesi Selatan


pembenahan dari aspek perbenihan tersebut mutlak harus diperhatikan.<br />

Kebijaksanaan perbenihan jagung pada masa akan datang, seyogyanya<br />

memanfaatkan dan memperkuat sistem perbenihan yang telah ada dengan<br />

semakin meningkatkan partisipasi swasta disertai bimbingan, pembinaan, dan<br />

pengawasan mutu yang intensif oleh Pemerintah.<br />

b. Permasalahan Kedua<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan analisis SEM dengan<br />

perangkat lunak Excel 2007, SPSS 11 dan Lisrel 8.8, Faktor penunjang<br />

ketersediaan Sarana dan prasarana Penampungan Hasil (PNH) jagung<br />

berpengaruh signifikan terhadap Peningkatan Produksi (PP), terutama pada<br />

daerah sentra produksi jagung.<br />

Hasil tersebut menunjukkan/membuktikan bahwa model yang diajukan,<br />

yang bertumpu pada sarana-prsarana penampungan hasil adalah model yang<br />

berpengaruh terhdap peningkatan produksi dan pengelolaan pasca panen jagung<br />

di Sulawesi Selatan. Selama ini penyimpanan jagung dilakukan dalam kapasitas<br />

gudang yang terbatas dengan teknik penyimpanan yang kurang memadai dari sisi<br />

penjagaan mutu, keamanan maupun masa simpan. Tanpa memperbaiki<br />

penampungan dengan teknologi yang memadai, maka pengembangan mutu<br />

jagung untuk orientasi pasar, baik pasar domestik maupun untuk ekspor ke pasar<br />

internasional tidak akan tercapai. Selama ini tersedia fasilitas penampungan<br />

berupa Silo-silo di daerah, tetapi tidak dimanfaatkan secara optimal oleh petani<br />

karena jarak yang cukup jauh antara tempat penampungan /Silo-silo dengan lahan<br />

petani dimana ia melakukan budidaya jagung.<br />

c. Permasalahan Ketiga<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator pasca panen, yaitu<br />

Sortasi/Pengkelasan mutu (Y4) berpengaruh signifikan terhadap teknologi<br />

Pengelolaan Pasca Panen (PPn) jagung. Hal tersebut dapat dipahami karena<br />

aspek tersebut sangat berpengaruh terhadap mutu jagung yang dihasilkan setelah<br />

panen. Sortasi dan pengkelasan mutu jagung, disortir ke dalam kelas-kelas mutu


yang disesuaikan dengan standar permintaan pasar, sedangkan pengeringan<br />

adalah menurunkan kadar air untuk meningkatkan daya simpan. Teknologi<br />

pengeringan selama ini dilakukan secara tradisional dengan mengandalkan teknik<br />

penjemuran di bawah sinar matahari yang belalaskan terpal. Kebijaksanaan<br />

penanganan pasca panen jagung terutama dalam memperbaiki penyimpanan<br />

hasil panen diarahkan pada upaya mengurangi kehilngan hasil, baik secara<br />

kualitas maupun kuantitas. Penanganan pasca panen bukan meningkatkan<br />

produksi, tetapi menekan kehilangan hasil sehingga persediaan dapat ditingkatkan.<br />

Pengalaman selama ini terjadi kehilangan hasil pada pasca panen sekitar 15% -<br />

20%. Jadi, apabila kehilangan hasil dapat ditekan 1% saja, maka itu berarti<br />

persediaan jagung meningkat 1%. Selanjutnya, strategi peningkatan produksi dan<br />

pengelolaan pasca panen jagung di Sulawesi Selatan akan diuraikan lebih rinci<br />

pada sub bab selanjutnya dengan analisis SWOT.<br />

E. Strategi untuk Pengembangan Aspek-Aspek yang Mempangaruhi<br />

Peningkatan Produksi dan Pengelolaan Pasca Panen Jagung di Sulawesi<br />

Selatan<br />

Untuk mengarahkan kebijakan dan program peningkatan produksi dan<br />

pengelolaan pasca panen jagung, agar sasaran yang ditetapkan dapat dicapai,<br />

maka perlu disusun strategi. Penyusunan strategi ini ditetapkan melalui tahapan<br />

analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (SWOT) (Lampiran 1), yang<br />

mempengaruhi peningkatan produksi dan pengelolaan pasca panen jagung di<br />

Sulawesi Selatan terhadap variabel Manajemen Produksi/Ketersediaan Benih<br />

Unggul, Faktor Penunjang/Sarana dan prasarana Penampungsn Hasil,<br />

Peningkatan Produksi (PP), dan Pengelolaan Pasca Panen (PPn) yang<br />

diprioritaskan pengembangannya dari hasil analisis SEM serta data dan informasi<br />

yang berkaitan dengan aspek tersebut.<br />

Strategi-strategi pengembangan setiap aspek yang mempengaruhi<br />

peningkatan produksi dan pengelolaan pasca panen jagung di Sulawesi Selatan<br />

dari hasil analisis SEM dan SWOT tersebut adalah sebagai berikut :


a. Aspek Ketersediaan Benih<br />

Table 28. Analisis SWOT Aspek Manajemen Produksi/Ketersediaan Benih<br />

Unggul<br />

Kekuatan (S) Kelemahan (W)<br />

Pengetahuan petani<br />

tentang benih unggul<br />

cukup memadai **)<br />

Harga benih unggul<br />

masih tinggi **)<br />

Jenis, mutu dan<br />

Internal<br />

Komitmen pemerintah jumlah benih masih<br />

Provinsi/Kabupaten<br />

terbatas *)<br />

terhdap peningkatan<br />

produksi jagung**)<br />

Dukungan Tim teknis<br />

Kerjasama<br />

petani/kelompok<br />

tani selama ini cukup<br />

baik **)<br />

Penggunaan benih<br />

unggul masih rendah<br />

*)<br />

Ketersediaan benih<br />

unggul dalam jumlah,<br />

waktu yang tepat &<br />

harga yang kurang<br />

terjangkau petani *)<br />

Permodalan petani<br />

yang masih rendah<br />

dalam pengadaan<br />

Eksternal<br />

benih unggul<br />

Lemahnya<br />

kelembagaan<br />

perbenihan **)<br />

Kurannya akses<br />

permodalan petani<br />

untuk membeli benih<br />

unggul **)<br />

Peluang (O) S-O W-O<br />

Jagung memiliki potensi<br />

pasar yang baik<br />

(domestik & manca<br />

negara)<br />

Jagung sangat<br />

dibutuhkan untuk pakan<br />

ternak<br />

Petani memiliki<br />

keterampilan yang<br />

memadai menerapkan<br />

teknologi budidaya<br />

sesuai perkembangan**)<br />

Regulasi kelembagaan ,<br />

perbenihan, permodalan<br />

& Orientasi ekspor **)<br />

Peningkatan bimbingan<br />

dan penyuluhan kepada<br />

petani tentang pentingnya<br />

penggunaan benih unggul,<br />

baik secara kuantitas<br />

maupun kualitas<br />

Penguatan kelembagaan<br />

perbenihan di sentrasentra<br />

produksi jagung<br />

Peningkatan manajemen<br />

produksi terutama<br />

penyediaan benih unggul<br />

untuk mendukung<br />

peningkatan produksi dan<br />

produktivitas jagung yang<br />

berkelanjutan<br />

Perbaikan kualitas<br />

manajemen budidaya<br />

untuk peningkatan<br />

produksi dan mutu<br />

jagung yang<br />

dihasilkan agar dapat<br />

menjadi sumber benih<br />

pada penanaman<br />

selanjutnya untuk<br />

efisiensi pendanaan<br />

petani<br />

Peningkatan<br />

dukungan<br />

Dinas/Instansi terkait<br />

dalam<br />

pengadaan/pembelian<br />

benih unggul pada<br />

kelompok tani/petani<br />

melalui bantuan kredit<br />

lunak


ANCAMAN (T) S-T W-T<br />

Tidak stabilnya harga Pembangunan pabrik<br />

benih **)<br />

pakan ternak hendaknya<br />

Gangguan OPT &<br />

didekatkan dengan<br />

dampak penomena iklim<br />

**)<br />

Persaingan mutu benih<br />

dari para produsen<br />

benih **)<br />

produsen jagung<br />

Keterangan :<br />

*) Hasil analisis data<br />

**) Berbagai sumber<br />

Strategi Pengembangan Manajemen Produksi/Ketersediaan Benih Unggul<br />

Peningkatan bimbingan dan penyuluhan kepada petani tentang pentingnya<br />

penggunaan benih unggul, baik secara kuantitas maupun kualitas<br />

Penguatan kelembagaan perbenihan di sentra-sentra produksi jagung<br />

Peningkatan manajemen produksi terutama penyediaan benih unggul<br />

mendukung peningkatan produksi dan produktivitas jagung yang berkelanjutan<br />

untuk<br />

Perbaikan kualitas manajemen budidaya untuk peningkatan produksi dan mutu<br />

jagung yang dihasilkan agar dapat menjadi sumber benih pada penanaman<br />

selanjutnya untuk efisiensi pendanaan petani<br />

Peningkatan dukungan Dinas/Instansi terkait dalam pengadaan/pembelian benih<br />

unggul pada kelompok tani/petani melalui bantuan kredit lunak<br />

Pembangunan pabrik pakan ternak hendaknya didekatkan dengan produsen<br />

jagung.


. Aspek Sarana dan Prasarana Penampungan Hasil<br />

Tabel 29. Analisis SWOT Aspek Penunjang/Sarana dan Prasarana<br />

Penampungan Hasil<br />

Kekuatan (S) Kelemahan (W)<br />

Pemerintah Daerah Jumlah & kapasitas<br />

Internal<br />

semakin sadar pentingnya gudangan belum<br />

pemberian kredit/pinjaman memadai di tingkat<br />

bagi petani **)<br />

petani **)<br />

Penjagaan mutu, &<br />

keamanan simpan<br />

yang terbatas **)<br />

Dukungan teknologi<br />

penyimpanan masih<br />

lemah **)<br />

Aksesbilitas jalan<br />

usaha tani kurang<br />

mendukung ke tempat<br />

penampungan *)<br />

Masih kurangnya<br />

akses kredit untuk<br />

modal pembelian<br />

benih<br />

Eksternal<br />

*)<br />

Minimnya fasilitas<br />

penyimpanan di<br />

tingkat petani % masih<br />

tradisional *)<br />

Lokasi produksi<br />

jagung menyebar &<br />

jaraknya jauh dengan<br />

lokasi penyimpanan &<br />

angkutan mahal<br />

Peluang (O) S-O W-O<br />

Perbaikan<br />

penampungan hasil **)<br />

Pemberdayaan<br />

Poktan/Gapoktan dalam<br />

pengadaan<br />

penampungan hasil<br />

jagung **)<br />

Tempat penyimpanan<br />

ditempatkan dekat lokasi<br />

produksi jagung<br />

Peningkatan koordinasi<br />

dan kerjasama antar aparat<br />

Dinas Pertanian dengan<br />

kelompok tani dalam hal<br />

perencanaan, pengelolaan<br />

penampungan hasil jagung<br />

Peningkatan usaha-usaha<br />

untuk peningkatan sarana<br />

prasarana penampungan<br />

hasil jagung<br />

Perbaikan infrastruktur<br />

untuk mempermudah<br />

petani ke lokasi<br />

penampungan hasil<br />

jagung<br />

Peningkatan dukugan<br />

perbankan dalam<br />

membantu petani<br />

untuk pengadaan<br />

fasilitas penampungan<br />

hasil jagung


ANCAMAN (T)<br />

Puncak panen jagung<br />

pada saat curah hujan<br />

tinggi, sehingga kualitas<br />

jagung rendah<br />

Perbedaan perencanaan<br />

dan regulasi antar<br />

daerah/kabupaten **)<br />

S-T<br />

Penciptaan iklim investasi<br />

yang kondusif untuk<br />

pembuatan<br />

dan<br />

penyewaan penampungan<br />

hasil jagung<br />

Strategi Pengembangan Faktor Penunjang/Sarana dan Prasarana<br />

Penampungan Hasil<br />

Tempat penyimpanan ditempatkan dekat lokasi produksi jagung<br />

Peningkatan koordinasi dan kerjasama antar aparat Dinas Pertanian dengan<br />

kelompok tani dalam hal perencanaan, pengelolaan penampungan hasil jagung<br />

Peningkatan usaha-usaha untuk peningkatan sarana prasarana penampungan<br />

hasil jagung<br />

Optimalisasi pemanfaatan peralatan pasca panen di tingkat petani<br />

Tempat penyimpanan ditempatkan dekat lokasi produksi jagung<br />

Peningkatan koordinasi dan kerjasama antar aparat Dinas Pertanian dengan<br />

kelompok tani dalam hal perencanaan, pengelolaan penampungan hasil jagung<br />

Peningkatan usaha-usaha untuk peningkatan sarana prasarana penampungan<br />

hasil jagung<br />

Penciptaan iklim investasi yang kondusif untuk pembuatan dan penyewaan<br />

penampungan hasil jagung terutama saat panen raya.


c. Aspek Pengelolaan Pasca Panen<br />

Tabel 30. Analisis SWOT Aspek Pengelolaan Pasca Panen<br />

Internal<br />

Eksternal<br />

Kekuatan (S)<br />

Meningkatnya kesempatan<br />

berusaha diversifikasi hasil<br />

jagung **)<br />

Penanganan pasca panen<br />

yang lebih intensif *)<br />

Kelemahan (W)<br />

Belum intensifnya<br />

penanganan pasca<br />

panen jagung *)<br />

Pengeringan masih<br />

dilakukan secara<br />

tradisional (sinar<br />

matahari) *)<br />

Masih terbatasnya<br />

pengolahan hasil *)<br />

Petani kutang memiliki<br />

fasilitas pemipilan &<br />

pengeringan karena<br />

harga tidak terjangkau<br />

Minimnya peralatan<br />

pasca panen ditingkat<br />

petani (dryer, corn<br />

seller)<br />

Peluang (O) S-O W-O<br />

Optimalisasi pemanfaatan<br />

peralatan pasca panen di<br />

tingkat petani<br />

Peningkatan koordinasi<br />

dan kerjasama antar Dinas<br />

terkait dengan kelompok<br />

tani dalam hal<br />

perencanaan, pengelolaan<br />

Masih rendahnya<br />

kualitas hasil<br />

panen *)<br />

Permintaan jagung<br />

masih tinggi **)<br />

Belum adanya<br />

kontinuitas hasil **)<br />

Kehilangan hasil dalam<br />

pasca panen masih<br />

dapat ditekan **)<br />

Kesempatan kerja dapat<br />

meningkat **)<br />

Pengembangan<br />

teknologi pengolahan **)<br />

Pengamanan hasil masih<br />

memungkinkan ** )<br />

dan implementasi<br />

penerapan teknologi pasca<br />

panen<br />

Peningkatan kerjasama<br />

pengelolaan pasca panen<br />

dengan sektor swasta<br />

Pengujian adaptasi<br />

teknologi pasca panen &<br />

demonstrasi penggunaan<br />

alat pasca panen, agar<br />

dapat mendorong petani<br />

menerapkan teknologi<br />

pasca panen<br />

Peningkatan mutu<br />

pelayanan serta<br />

pemenuhan kebutuhan<br />

konsumen melalui<br />

peningkatan kunatitas<br />

dan kualitas hasil<br />

panen jagung<br />

Peningkatan<br />

aksessibilitas pada<br />

sentra produksi jagung<br />

dan pengolahan<br />

jagung<br />

Penyediaan informasi<br />

pasar yang efisien dan<br />

efektif melalui<br />

kerjasama pemasaran<br />

untuk skala regional<br />

dan nasional<br />

Optimalisasi<br />

pemanfaatan peralatan<br />

pasca panen di tingkat<br />

petani (dryer, corn<br />

seller)


ANCAMAN (T)<br />

Anjloknya harga jagung<br />

karena mutu rendah ** )<br />

Produk hasil olahan<br />

jagung semakin banyak<br />

dari luar provinsi **)<br />

S-T<br />

Peciptaan iklim investasi<br />

yang kondusif melalui<br />

penciptaan dan perbaikan<br />

harga yang memberikan<br />

kepastian berusahatani dan<br />

keamanan bagi petani<br />

Perbaikan kualitas<br />

manajemen pengelolaan<br />

usaha ke arah yang lebih<br />

profesional untuk efisiensi<br />

dan efektivitas usaha<br />

pasca panen<br />

Strategi Pengembangan Pengelolaan Pasca Panen<br />

Optimalisasi pemanfaatan peralatan pasca panen di tingkat petani<br />

Peningkatan koordinasi dan kerjasama antar Dinas terkait dengan kelompok tani<br />

dalam hal perencanaan, pengelolaan dan implementasi penerapan teknologi<br />

pasca panen<br />

Peningkatan kerjasama pengelolaan pasca panen dengan sektor swasta<br />

Pengujian adaptasi teknologi pasca panen & demonstrasi penggunaan alat<br />

pasca panen, agar dapat mendorong petani menerapkan teknologi pasca panen<br />

Peningkatan mutu pelayanan serta pemenuhan kebutuhan konsumen melalui<br />

peningkatan kunatitas dan kualitas hasil panen jagung<br />

Peningkatan aksessibilitas pada sentra produksi jagung dan pengolahan jagung<br />

Penyediaan informasi pasar yang efisien dan efektif melalui kerjasama<br />

pemasaran untuk skala regional dan nasional<br />

Optimalisasi pemanfaatan peralatan pasca panen di tingkat petani (dryer, corn<br />

seller)<br />

Peciptaan iklim investasi yang kondusif melalui penciptaan dan perbaikan harga<br />

yang memberikan kepastian berusahatani dan keamanan bagi petani<br />

Perbaikan kualitas manajemen pengelolaan usaha ke arah yang lebih<br />

profesional untuk efisiensi dan efektivitas usaha pasca panen<br />

Secara khusus, dari penelitian ini di masing-masing daerah penelitian<br />

dijumpai masalah spesifik dan harapan dari petani yang diharapkan menjadi bahan


ekomendasi instansi terkait untuk menentukan strategi pengembangan dan<br />

peningkatan produksi jagung yang berkelanjutan (sustainable) di masa-masa akan<br />

datang, yaitu :<br />

a. Di Kabupaten Pinrang, kelompok tani/petani mengeluhkan permasalahan yang<br />

selama ini menghambat peningkatan produksi jagung adalah harga pupuk dan<br />

benih unggul yang mahal, pada saat dibutuhkan di tidak ada di pasaran.<br />

Selain itu, harga hasil jagung tidak menentu dan anjlok setelah panen<br />

menyebabkan petani seringkali mengalami kerugian. Mereka mendambakan<br />

perhatian pemerintah daerah agar harga pupuk murah dan mudah didapat,<br />

dan tersedia pada waktu dibutuhkan. Harga jagung agar terkendali dan ada<br />

kepastian pasar. Pada saat sekarang harga pupuk relatif mahal dan kadangkadang<br />

sulit didapat. Seringkali nanti tersedia pada saat tidak dibutuhkan lagi<br />

dan harga hasil panen mereka tidak menentu. Diharapkan harapan mereka ini<br />

dapat ditindaklanjuti oleh yang berwenang agar harapan mereka dalam<br />

pengembangan/budidaya jagung dapat digeluti untuk menjamin kehidupannya.<br />

b. Di Kabupaten Bantaeng, petani mengeluhkan harga benih unggul hibrida yang<br />

mahal dan sering hilang di pasaran, juga harga jagung hasil petani harganya<br />

murah sehingga kehidupan mereka semakin sulit. Selain itu, petani<br />

mengeluhkan kesulitan mendapatkan/membleli pupuk dan obat-obatan<br />

pertanian. Petani di daerah ini mengharapkan agar ada bantuan/pinjaman<br />

benih dan pupuk dengan harga yang wajar.<br />

c. Di Kabupaten Jeneponto, petani menilai bahwa permasalahan yang paling<br />

mendasar dalam pengembangan jagung adalah keterbatasan air. Lahan<br />

cukup luas, tetapi tergolong sawah tadah hujan. Pada waktu musim hujan,<br />

tenaga kerja musiman yang berusaha yang mencari nafkah di Kota Makassar<br />

mudik untuk bertani dan setelah selesai panen, kembali ke Makassar untuk<br />

bekerja di sektor non-formal. Petani mengharapkan agar diusahakan mencari<br />

sumber air tanah yang mampu dimanfaatkan sebagai sumber air. Selain itu,<br />

benih yang mereka gunakan dalam budidaya jagung, baru dibayara/lunasi ke<br />

pedagang setelah habis panen, sehingga harga benih yang mereka pakai<br />

sangat tinggi dan penjualan hasil panennya harganya rendah.


d. Di Kabupaten Bone, petani mengeluhkan tanaman jagung mereka sering<br />

diganggu ternak dan serangan ulat tongkol, serta kesulitan untuk memperoleh<br />

pinjaman modal untuk membeli benih dan pupuk serta obat-obatan. Umumnya<br />

pemberi kredit meminta jaminan/agunan dalam pemberian kredit, sedangkan<br />

petani tidak memiliki aset yang dapat dijaminkan. Mereka berharap agar<br />

mereka memperoleh pinjaman modal dari kredit usaha mikro dan kecil, bebas<br />

jaminan dalam jumlah tertentu. Selain itu, mereka mengharapkan kemudahan<br />

memperoleh pupuk dan jaminan harga jagung yang memadai, berimbang<br />

dengan biaya produksi dan kebutuhan hidup keluarganya.<br />

e. Di Kabupaten Gowa, petani mengharapkan dukungan peningkatan modal<br />

petani dari pemerintah untuk dapat mengelola usahatani jagung dan bantuan<br />

bibit/benih, harga pupuk yang terjangkau serta harga hasil panen jagung tetap<br />

tinggi pada saat panen raya. Di samping itu, petani mengharapkan adanya<br />

pembinaan pengelolaan usaha tani dan bercocok tanam jagung yang lebih<br />

baik dan ekonomis


BAB V. KESIMPULAN, SARAN, REKOMENDASI, <strong>DAN</strong> IMPLIKASI<br />

KEBIJAKAN<br />

A. Kesimpulan<br />

berikut :<br />

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai<br />

a. Faktor-faktor yang menyebabkan petani kurang menggunakan benih unggul<br />

sehingga menghambat peningkatan produksi jagung di Sulawesi Selatan<br />

adalah harga benih unggul hibrida yang relatif mahal dan kurang terjangkau<br />

serta sering tidak tersedia dalam volume dan waktu yang tepat di pasaran<br />

pada saat dibutuhkani.<br />

b. Ketersediaan sarana dan prasarana penampungan hasil jagung pada daerah<br />

sentra produksi jagung di Sulawesi Selatan, kurang tersedia dan tidak<br />

memadai terutama di tingkat petani karena masih dilakukan secara tradisionil,<br />

dimana kapasitas penyimpanan yang terbatas dengan teknik yang sederhana,<br />

baik dari sisi penjagaan, mutu, maupun keamanan.<br />

c. Strategi yang harus dilakukan untuk meningkatkan produksi dan<br />

mengoptimalkan teknologi pengelolaan pasca panen jagung di tingkat petani<br />

di Sulawesi Selatan adalah peningkatan dan perbaikan manajemen produksi<br />

terutama ketersediaan benih unggul hibrida dan faktor penunjang<br />

penampungan hasil jagung terutama saat panen raya.<br />

B. Saran<br />

a. Untuk pencapaian peningkatan produksi jagung di Sulawesi Selatan secara<br />

berkelanjutan, agar terus diperkuat sistem perbenihan yang sudah ada dengan<br />

melibatkan partisipasi swasta disertai peningkatan bimbingan, pembinaan dan<br />

pengawasan mutu yang intensif oleh pemerintah<br />

b. Diperlukan peningkatan berbagai usaha untuk peningkatan dan pengadaan<br />

sarana dan prasarana penampungan hasil jagung, untuk penyelamatan hasil,<br />

terutama saat panen raya.


c. Diperlukan perbaikan manajemen pengelolaan pasca panen jagung secara<br />

intensif dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas hasil<br />

(menekan kehilangan hasil), memperbaiki pengolahan hasil untuk<br />

meningkatkan nilai tambah dari produk jagung, sehingga dapat meningkatkan<br />

kesempatan berusaha di daerah.<br />

C. Rekomendasi Kebijakan<br />

Berdasarkan kesimpulan dan saran dalam penelitiani ini, maka<br />

direkomendasi hal-hal sebagai berikut :<br />

a. Perumusan harga dasar jagung dan memantau pelaksanaannya dengan<br />

koordinasi dan kerjasama antar aparat Dinas Pertanian dengan Gapoktan<br />

(Gabungan kelompok tani) untuk menjamin kepastian harga jagung seperti<br />

yang dilakukan Pemerintah Provinsi Gorontalo.<br />

b. Pengembangan benih komposit untuk dilakukan penangkaran oleh kelompok<br />

tani karena harga benih komposit relatif lebih murah dan produktifitasnya<br />

hampir sama dibandingkan dengan benih unggul hibrida.<br />

d. Hendaknya Pemerintah mendirikan Bank Pertanian yang terletak di daerahdaerah<br />

sentra produksi jagung yang mudah dijangkau petani, sehingga dapat<br />

memberikan kemudahan bagi mereka dalam memperoleh kredit yang selama<br />

ini menjadi kendala dalam mengembangkan usaha budidaya jagung.<br />

e. Penguatan kelembagaan perbenihan dengan meningkatkan partisipasi swasta<br />

disertai peningkatan bimbingan, pembinaan dan pengawasan mutu yang<br />

intensif kepada Poktan/Gapoktan oleh Dinas terkait untuk mewujudkan<br />

persyaratan mutu, tersedia dalam volume dan waktu yang tepat, harga yang<br />

wajar, serta input produksi yang dibutuhkan efisien.<br />

d. Koordinasi dan kerjasama antar aparat Pemerintah, Dinas Pertanian, dan<br />

Poktan/Gapoktan dalam merencanakan lokasi sarana dan prasarana<br />

penampungan hasil terutama Silo-silo, yang dekat dengan lokasi lahan petani,<br />

sehingga dapat digunakan secara efisien dan efektif terutama pada saat panen<br />

raya.


e. Kebijaksanaan perbaikan pasca panen untuk meningkatkan mutu hasil dan<br />

peluang pemasaran produksi dan ekspor jagung, melalui pendekatan wilayah<br />

yang didasarkan atas pertimbangan petani sebagai faktor dominan dan<br />

pendekatan rekayasa tepat guna yang didasarkan atas faktor ekonomi dan<br />

sosial petani.<br />

D. Implikasi Kebijakan<br />

Implikasi yang akan terjadi apabila rekomendasi kebijakan yang diusulkan<br />

dalam penelitian ini dilaksanakan adalah :<br />

a. Tercapainya peningkatan produksi jagung 1,5 juta ton pipilan kering pada tahun<br />

2009 melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian yang akan<br />

menunjang peningkatan riil pendapatan petani dan produksi jagung nasional<br />

dalam rangka mencapai ketahanan pangan.<br />

b. Terwujudnya strategi peningkatan mutu jagung melalui optimalisasi pengelolaan<br />

pasca panen, sehingga akan meningkatkan peluang pemasaran (domestik dan<br />

ekspor) yang menguntungkan.<br />

c. Peningkatan produksi dan mutu jagung akan memberi peluang Sulawesi<br />

Selatan sebagai pengekspor jagung yang akan menunjang peningkatkan<br />

Pendapatan Asli Daerah (APBD).<br />

d. Meningkatnya gairah petani dalam mengusahakan dan mengembangkan<br />

komoditas jagung sebagai komoditas unggulan yang mengungtungkan secara<br />

ekonomi dalam rangka meningkatkan ketahanan ekonomi wilayah berbasis<br />

komoditas jagung dalam skala regional maupun nasional.


DAFTAR PUSTAKA<br />

Achmad, S. 2003. Refleksi 40 Tahun dan Perspektif Penganekaragaman Pangan<br />

dalam Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Badan Bimas<br />

Ketahanan Pangan Departemen Pertanian. Disampaikan dalam<br />

Simposium Penganekaragaman Pangan, di Sheraton Bandara Hotel,<br />

Jakarta 10 September 2003.<br />

Anonim. 1999. Pedoman Teknis. Konsultan Manajemen dan Monitoring dan<br />

Bantuan teknis Program Peningkatan Produksi Tanaman Pangan Melalui<br />

Pengembangan Sarana Prasarana dan Kelembgaan Pertanian (SPL-<br />

OECF INP-22). PT Kogas Driyap Konsultan dan Assosiasi.<br />

Badia, G dan P, Bangun. 2005. Respon Pertumbuhan dan Hasil Tanaman<br />

Jagung terhadap Persiapan Tanam dan Sistem Pengendalian Gulma.<br />

Dalam Prosiding Seminar Nasional V. Budidaya Pertanian Olah Tanah<br />

konservasi. Bandar Lampung. 8-9 Mei 2005.<br />

[BBKP] Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2001. Rencana Strategis dan Program<br />

Kerja Pemantapan Ketahanan Pangan Tahun 2001-2004. Departemen<br />

Pertanian, Jakarta<br />

[BPPP] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah<br />

Pengembangan Agribisnis: Rangkuman Kebutuhan Investasi, Edisi Kedua.<br />

Departemen Pertanian.<br />

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Sulawesi Selatan Dalam angka. Badan Pusat<br />

Statistik Provinsi Sulawesi Selatan.<br />

DEPTAN. 2007. Prosfek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung. Balai<br />

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian,<br />

Republik Indonesia.<br />

[DPTPSS] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sulawesi Selatan. 2008.<br />

Departemen Pertanian, Republik Indonesia.<br />

Earle, M.D. 2007. Innovation in The Food Industry. Trend in Food Science and<br />

Tech. 8: 166-175.<br />

Ferdinand, A. 2002. Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen :<br />

Aplikasi Model-Model Rumit dalam Penelitian untuk Tesis2 dan Disertasi,<br />

Badan Penerbit Universitas Diponegoro.<br />

Fransiscus, W. 2003. Revitalisasi Penganekaragaman Pangan. Direktur PT ISM<br />

Bogasari Flour Mills. Disampaikan dalam Simposium Penganekaragaman<br />

Pangan, di Sheraton Bandara Hotel, Jakarta 10 September 2003.


Gurnar,I. 2003. Jagung Sebagai Pangan Pokok Alternatif Dalam<br />

Penganekaragaman Pangan. Disampaikan dalam Simposium<br />

Penganekaragaman Pangan, di Sheraton Bandara Hotel, Jakarta 10<br />

September 2003.<br />

Hardiansyah dan D. Martianto. 2002. Gizi Terapan. PAU Pangan dan Gizi. Bogor<br />

I Komang, D.J. 2004. Pertumbuhan dan Hasil Jagung yang ditanam<br />

dengan Kerapatan dan Orientasi Berbeda. Dalam : Agroteksos, Majalah<br />

Ilmiah Pertanian. Volume 13 Nomor 4, Januari 2004.<br />

Kamil. J. 1979. Teknologi Benih I. Penerbit Angkasa Raya. Bandung.<br />

[PKMT] Pusat Kajian Makanan Tradisional IPB, 2007. Review Riset Iptek<br />

Pertanian dan Pangan. Disampaikan dalam Simposium<br />

Penganekaragaman Pangan, di Sheraton Bandara Hotel, Jakarta 10<br />

September 2003.<br />

Sadjad, S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. PT Gramedia Widiasarana. Indonesi.<br />

Soekirman, 2007. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.<br />

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Jakarta.<br />

Sutidjo, D. 2006. Pengantar Sistem Produksi Tanaman Agronomi. Jurusan<br />

Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak<br />

dipublikasikan.<br />

Suyono, A. G. 2002. Peta Pangan dan Program Penganekaragaman Pangan di<br />

Indonesia, 1939-2002. Materi Pra Simposium Penganekaragaman<br />

Pangan, disampaikan di Sheraton Bandara Hotel, Jakarta 10 September<br />

2002.<br />

Wirakartakusumah, M.A. dan P.Hariyadi. Technical Aspect of Food Fortification.<br />

Food and Nutrition Bulletin. Vol. 19 Nomor 2.


LAMPIRAN


Lampiran 1. Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman (SWOT) yang<br />

MempengarIuhi Peningkatant Produksi dan Pengelolaan Pasca Panen<br />

Jagung<br />

Aspek<br />

I. Manajemen<br />

Produksi<br />

(Ketersediaan<br />

benih unggul)<br />

II.FaktorPenunjang<br />

(Sarana<br />

penampungan<br />

hasil)<br />

Kekuatan<br />

(Strength)<br />

Pengetahuan<br />

petani<br />

tentang<br />

benih unggul<br />

cukup<br />

memadai **)<br />

Kerjasama<br />

petani/kelom<br />

pok tani<br />

selama ini<br />

cukup baik<br />

**)<br />

Pemerintah<br />

Daerah<br />

semakin<br />

sadar<br />

pentingnya<br />

pemberian<br />

kredit/pinjam<br />

anbagi<br />

petani **)<br />

Kelemahan<br />

(Weakness)<br />

Harga benih<br />

unggul masih<br />

tinggi **)<br />

Jenis, mutu dan<br />

jumlah benih<br />

masih terbatas *)<br />

Penggunaan<br />

benih unggul<br />

masih rendah *)<br />

Ketersediaan<br />

benih unggul<br />

dalam jumlah,<br />

waktu yang tepat<br />

& harga yang<br />

kurang<br />

terjangkau petani<br />

*)<br />

Permodalan<br />

petani yang<br />

masih rendah<br />

dalam<br />

pengadaan benih<br />

unggul<br />

Lemahnya<br />

kelembagaan<br />

perbenihan **)<br />

Kurannya akses<br />

permodalan<br />

petani untuk<br />

membeli benih<br />

unggul **)<br />

Jumlah &<br />

kapasitas<br />

gudangan belum<br />

memadai di<br />

tingkat petani **)<br />

Penjagaan mutu,<br />

& keamanan<br />

simpan yang<br />

terbatas **)<br />

Dukungan<br />

teknologi<br />

penyimpanan<br />

masih lemah **)<br />

Aksesbilitas<br />

jalan usaha tani<br />

kurang<br />

mendukung ke<br />

tempat<br />

penampungan *)<br />

Peluang<br />

(Opportunity)<br />

Jagung memiliki<br />

potensi pasar<br />

yang baik<br />

(domestik &<br />

manca negara)<br />

Jagung sangat<br />

dibutuhkan<br />

untuk pakan<br />

ternak<br />

Petani memiliki<br />

keterampilan<br />

yang memadai<br />

menerapkan<br />

teknologi<br />

budidaya sesuai<br />

perkembangan**<br />

)<br />

Regulasi<br />

kelembagaan ,<br />

perbenihan,<br />

permodalan &<br />

Orientasi ekspor<br />

**)<br />

Petani/kelompok<br />

tani respon<br />

terhdap<br />

berbagai<br />

kebijakan<br />

pemerintah **)<br />

Peluang pasar<br />

jagung masih<br />

cerah **)<br />

Perbaikan<br />

penampungan<br />

hasil **)<br />

Ancaman<br />

(Threath)<br />

Tidak<br />

stabilnya<br />

harga benih<br />

**)<br />

Ketidakstabil<br />

an harga di<br />

pasaran *)


Kurangnya akses<br />

permodalan *)<br />

Teknik<br />

penyimpanan<br />

yang masih<br />

tradisional *)<br />

IV.Pengelolaan<br />

Pasca Panen<br />

Meningkatny<br />

a<br />

kesempatan<br />

berusaha<br />

diversifikasi<br />

hasil jagung<br />

**)<br />

Penanganan<br />

pasca panen<br />

yang lebih<br />

intensif *)<br />

Belum<br />

intensifnya<br />

penanganan<br />

pasca panen<br />

jagung *)<br />

Pengeringan<br />

masih dilakukan<br />

secara<br />

tradisional (sinar<br />

matahari) *)<br />

Masih<br />

terbatasnya<br />

pengolahan hasil<br />

*)<br />

Petani kutang<br />

memiliki fasilitas<br />

pemipilan &<br />

pengeringan<br />

karena harga<br />

tidak terjangkau<br />

Masih rendahnya<br />

kualitas hasil<br />

panen<br />

Permintaan<br />

jagung masih<br />

tinggi **)<br />

Belum adanya<br />

kontinuitas hasil<br />

**<br />

)<br />

Kehilangan hasil<br />

dalam pasca<br />

panen masih<br />

dapat ditekan **)<br />

Kesempatan<br />

kerja dapat<br />

meningkat **)<br />

Pengembangan<br />

teknologi<br />

pengolahan **)<br />

Pengamanan<br />

hasil masih<br />

memungkinkan ** )<br />

Anjloknya<br />

harga jagung<br />

karena mtu<br />

rendah ** )<br />

Produk hasil<br />

olahan<br />

jagung<br />

semakin<br />

banyak dari<br />

luar provinsi<br />

**)<br />

Keterangan :<br />

*) Hasil analisis data<br />

**) Berbagai sumber


LAMPIRAN 2. Analisis SWOT Aspek Manajemen Produksi /Ketersediaan<br />

Benih Unggul KBU)<br />

Kekuatan (S) Kelemahan (W)<br />

Eksternal<br />

Internal<br />

Pengetahuan petani<br />

tentang benih unggul<br />

cukup memadai **)<br />

Kerjasama<br />

petani/kelompok<br />

tani selama ini<br />

cukup baik **)<br />

Harga benih unggul<br />

masih tinggi **)<br />

Jenis, mutu dan jumlah<br />

benih masih terbatas *)<br />

Penggunaan benih<br />

unggul masih rendah *)<br />

Ketersediaan benih<br />

unggul dalam jumlah,<br />

waktu yang tepat &<br />

harga yang kurang<br />

terjangkau petani *)<br />

Permodalan petani<br />

yang masih rendah<br />

dalam pengadaan<br />

benih unggul<br />

Lemahnya<br />

kelembagaan<br />

perbenihan **)<br />

Kurannya akses<br />

permodalan petani<br />

untuk membeli benih<br />

unggul **)<br />

Peluang (O) S-O W-O<br />

Jagung memiliki potensi<br />

pasar yang baik (domestik<br />

& manca negara)<br />

Jagung sangat dibutuhkan<br />

untuk pakan ternak<br />

Petani memiliki<br />

keterampilan yang<br />

memadai menerapkan<br />

teknologi budidaya sesuai<br />

perkembangan**)<br />

Regulasi kelembagaan ,<br />

perbenihan, permodalan &<br />

Orientasi ekspor **)<br />

Pembangunan pabrik<br />

pakan ternak hendaknya<br />

didekatkan dengan<br />

produsen jagung<br />

Peningkatan jumlah dan<br />

mutu benih jagung hibrida<br />

Peningkatan bimbingan<br />

dan penyuluhan kepada<br />

petani pentingnya<br />

penggunaan benih unggul<br />

Penguatan kelembagaan<br />

perbenihan<br />

Pemberian kredit lunak<br />

petani untuk pembelian<br />

Peningkatan efisiensi<br />

produktivitas dan<br />

kualitas produksi jagung<br />

melalui adopsi teknologi<br />

yang efisien dan efektif<br />

Peningkatan<br />

manajemen produksi<br />

dan penyediaan benih<br />

unggul untuk<br />

mendukung<br />

peningkatan produksi<br />

dan produktivitas<br />

jagung yang<br />

berkelanjutan<br />

Peningkatan dukungan<br />

Dinas Pertanian dan


Penjagaan mutu, &<br />

keamanan simpan ya<br />

terbatas **)<br />

benih unggul hibrida BUMN (Perhutani,<br />

Inhutani) dalam<br />

pengadaan benih di<br />

tingkat petani<br />

ANCAMAN (T) S-T W-T<br />

Tidak stabilnya harga benih<br />

**)<br />

Persaingan mutu benih dari<br />

para<br />

produsen benih **)<br />

Perbaikan kualitas<br />

manajemen budidaya<br />

jagung untuk peningkatan<br />

produksi dan mutu jagung<br />

yang dihasilkan<br />

Peningkatan dukungan<br />

Dinas/Instansi terkait<br />

dalam pengadaan dan<br />

bantuan benih pada<br />

kelompok tani/petani.<br />

LAMPIRAN 3. Analisis SWOT Aspek Penunjang/Sarana-Prasaran<br />

Penampungan Hasil<br />

Kekuatan (S) Kelemahan (W<br />

Internal<br />

Pemerintah Daerah semakin<br />

sadar pentingnya pemberian<br />

kredit/pinjaman bagi petani **)<br />

Jumlah & kapasitas g<br />

belum memadai di tin<br />

petani **)<br />

Dukungan teknologi<br />

penyimpanan masih l<br />

Eksternal<br />

<br />

<br />

Aksesbilitas jalan usa<br />

kurang mendukung k<br />

penampungan *)<br />

Kurangnya akses per<br />

*)<br />

Teknik penyimpanan<br />

masih tradisional *)<br />

Peluang (O) S-O W-O


Perbaikan penampungan hasil **)<br />

Pemberdayaan Poktan/Gapoktan<br />

dalam pengadaan penampungan<br />

hasil jagung **)<br />

Peningkatan koordinasi dan<br />

kerjasama antar aparat Dinas<br />

Pertanian dengan kelompok tani<br />

dalam hal perencanaan,<br />

pengelolaan penampungan hasil<br />

jagung<br />

Peningkatan usaha-usaha untuk<br />

peningkatan sarana prasarana<br />

penampungan hasil jagung<br />

Perbaikan infrastruktu<br />

mempermudah petan<br />

lokasi penampungan<br />

jagung<br />

Peningkatan dukugan<br />

perbankan dalam mem<br />

petani untuk pengada<br />

fasilitas penampungan<br />

jagung<br />

ANCAMAN (T)<br />

Perbedaan perencanaan dan regulasi<br />

antar daerah/kabupaten **)<br />

S-T<br />

Penciptaan iklim investasi yang<br />

kondusif untuk pembuatan dan<br />

penyewaan penampungan hasil<br />

jagung<br />

Lampiran 4. Analisis SWOT Aspek Pengelolaan Pasca Panen<br />

Kekuatan (S) Kelemahan (W)<br />

Internal<br />

Meningkatnya<br />

kesempatan berusaha<br />

diversifikasi hasil jagung<br />

**)<br />

Penanganan pasca<br />

panen yang lebih intensif<br />

*)<br />

Belum intensifnya<br />

penanganan pasca<br />

panen jagung *)<br />

Pengeringan masih<br />

dilakukan secara<br />

tradisional (sinar<br />

matahari) *)<br />

Masih terbatasnya<br />

pengolahan hasil *)<br />

Eksternal<br />

Petani kutang memiliki<br />

fasilitas pemipilan &<br />

pengeringan karena<br />

harga tidak terjangkau<br />

Peluang (O) S-O W-O<br />

Masih rendahnya<br />

kualitas hasil<br />

panen *)<br />

Permintaan jagung<br />

Optimalisasi pemanfaatan<br />

peralatan pasca panen di<br />

tingkat petani<br />

Peningkatan koordinasi<br />

dan kerjasama antar<br />

Peningkatan mutu<br />

pelayanan serta<br />

pemenuhan kebutuhan<br />

konsumen melalui<br />

peningkatan kunalitas


masih tinggi **)<br />

Belum adanya kontinuitas<br />

hasil **)<br />

Kehilangan hasil dalam<br />

pasca panen masih dapat<br />

ditekan **)<br />

Kesempatan kerja dapat<br />

meningkat **)<br />

Pengembangan teknologi<br />

pengolahan **)<br />

Pengamanan hasil masih<br />

memungkinkan ** )<br />

ANCAMAN (T)<br />

Anjloknya harga jagung<br />

karena mutu rendah ** )<br />

Produk hasil olahan jagung<br />

semakin banyak dari luar<br />

provinsi **)<br />

aparat Dinas Pertanian<br />

dengan kelompok tani<br />

dalam hal perencanaan,<br />

pengelolaan dan<br />

implementasi aspek<br />

kebijakan Pemerintah<br />

Daerah<br />

Peningkatan kerjasama<br />

pengelolaan pasca panen<br />

dengan sektor swasta<br />

Pengembangan Alsintan<br />

S-T<br />

Peciptaan iklim investasi<br />

yang kondusif melalui<br />

penciptaan dan perbaikan<br />

harga yang memberikan<br />

kepastian berusahatani<br />

dan keamanan bagi petani<br />

Perbaikan kualitas<br />

manajemen pengelolaan<br />

usaha ke arah yang lebih<br />

profesional untuk efisiensi<br />

dan efektivitas usaha<br />

Pengembangan alih<br />

teknologi pasca panen<br />

jagung<br />

dan kualitas hasil<br />

panen jagung<br />

Peningkatan<br />

aksessibilitas pada<br />

sentra produksi jagung<br />

dan pengolahan jagung<br />

Penyediaan informasi<br />

pasar yang efisien dan<br />

efektif melalui<br />

kerjasama pemasaran<br />

untuk skala regional<br />

dan nasional


Gambar 1. Petani bersama peneliti pada saat sedang istirahat<br />

jagung


Gambar 2. Peneliti sedang memperlihatkan jagung yang<br />

habis panen didampingi petani jagung


Gambar 3. Ketua dan anggota peneliti sedang berfose setelah<br />

wawancara Dengan petani jagung


Gambar 4. Gambar jagung saat sebelum panen jagung di lokasi<br />

penelitian

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!