12.12.2012 Views

b - Repository UPI

b - Repository UPI

b - Repository UPI

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

BAB II<br />

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN,<br />

2.1 Distribusi Pendapatan<br />

DAN HIPOTESIS<br />

Disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan atau kesenjangan ekonomi<br />

dan tingkat kemiskinan adalah merupakan masalah besar yang dihadapi banyak<br />

negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Distribusi pendapatan<br />

mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu<br />

negara di kalangan penduduknya. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu<br />

terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya<br />

masalah kemiskinan. Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan<br />

semakin memperparah keadaan, dan tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi<br />

negatif terhadap kondisi sosial dan politik.<br />

Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan tidak hanya dihadapi<br />

oleh negara sedang berkembang, namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari<br />

permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat<br />

kesenjangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan<br />

mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu<br />

negara. Semakin besar angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat kesulitan<br />

mengatasinya. Negara maju menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan dan<br />

angka kemiskinan yang relatif kecil dibanding negara sedang berkembang, dan<br />

untuk mengatasinya tidak terlalu sulit mengingat GDP dan GNP mereka relative<br />

12


tinggi. Walaupun demikian, masalah ini bukan hanya menjadi masalah internal<br />

suatu negara, namun telah menjadi permasalahan bagi dunia internasional.<br />

Berbagai upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh dunia internasional,<br />

baik berupa bantuan maupun pinjaman pada dasarnya merupakan upaya<br />

sistematis untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dan tingkat kemiskinan<br />

yang terjadi di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Beberapa lembaga<br />

internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta lembaga-lembaga keuangan<br />

internasional lainnya berperan dalam hal ini. Kesalahan pengambilan kebijakan<br />

dalam pemanfaatan bantuan dan/ atau pinjaman tersebut, justru dapat berdampak<br />

buruk bagi struktur sosial dan perekonomian negara bersangkutan.<br />

Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan<br />

sumber daya dan faktor produksi terutama kepemilikan barang modal (capital<br />

stock). Pihak (kelompok masyarakat) yang memiliki faktor produksi yang lebih<br />

banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula. Menurut teori<br />

neoklasik, perbedaan pendapatan dapat dikurangi melalui proses penyesuaian<br />

otomatis, yaitu melalui proses “penetasan” hasil pembangunan ke bawah (trickle<br />

down) dan kemudian menyebar sehingga menimbulkan keseimbangan baru.<br />

Apabila proses otomatis tersebut masih belum mampu menurunkan tingkat<br />

perbedaan pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan melalui sistem<br />

perpajakan dan subsidi. Penetapan pajak pendapatan/penghasilan akan<br />

mengurangi pendapatan penduduk yang pendapatannya tinggi. Sebaliknya subsidi<br />

akan membantu penduduk yang pendapatannya rendah, asalkan tidak salah<br />

sasaran dalam pengalokasiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi menggunakan<br />

13


sistem tarif progresif (semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi prosentase<br />

tarifnya), oleh pemerintah digunakan untuk membiayai roda pemerintahan,<br />

subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah terjadi proses redistribusi<br />

pendapatan yang akan mengurangi terjadinya ketimpangan.<br />

Penyebab kesenjangan pendapatan dan gizi menurut Procovicth (Suyatno,<br />

2009:17) disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, serta<br />

perkembangan kota dan desa. Sebab utama kesenjangan distribusi pendapatan<br />

adalah: Konsentrasi kekayaan pada kelompok atas, kurang efektifnya pajak<br />

progresif dan subsidi, terjadinya akumulasi kepemilikan modal serta aspek<br />

kualitas sumberdaya manusia<br />

2.1.1 Teori Kesenjangan Distribusi Pendapatan<br />

A. Aliran Klasik<br />

1. David Ricardo<br />

David Ricardo yang mempelopori lahirnya model dua sektor dalam<br />

pembangunan pada sekitar tahun 1780- an ketika Inggris masih merupakan negara<br />

berkembang. Dalam analisanya dia menyebutkan bahwa apabila Inggris tidak menghapus<br />

hukum jagungnya yang melindungi para petani buah dari persaingan luar negeri dan<br />

mengizinkan impor makanan untuk mendanai revolusi industrinya, maka pendapatan<br />

akan diredistribusikan dari para kaum kapitalis kepada tuan tanah, dan tingkat upah akan<br />

tetap pada tingkat subsisten (hanya sekedar untuk menyambung hidup). Karena Ricardo<br />

menganggap bahwa tuan tanah sebagai pemboros dan dia berpikir bahwa pertumbuhan<br />

ekonomia dibiayai oleh tabungan dari para kaum kapitalis yang berhemat maka dia<br />

menganggap bahwa redistribusi akan membahayakan pertumbuhan ekonomi.<br />

14


Namun ternyata prediksi Ricardo tentang distribusi pendapatan dan<br />

pertumbuhan ekonomi adalah salah. Sewa tidak menjadikan bagian yang penting<br />

dalam pendapatan nasional pada negara-negara industri, tetapi hanya menjadi<br />

bagian kecil saja. Dan tingkat upah mengalami kenaikan.<br />

Ada beberapa alasan mengapa prediksi Ricardo salah, yaitu bahwa Inggris<br />

memang menerapkan perdagangan bebas seperti yang disarankan Ricardo, namun<br />

walaupun Inggris tidak menerapkan perdagangan bebas ‘diminishing return’ tetap<br />

dapat dicapai dengan melakukan perbaikan teknologi. Kesalahan Ricardo yang<br />

lain yaitu ia terlalu melebih-lebihkan teori mekanisme populasi Malthus yang<br />

membuatnya berprediksi bahwa tingkat upah akan tetap pada tingkat subsisten.<br />

2. Karl Marx<br />

Sama halnya dengan Ricardo, Karl Marx pun berpendapat bahwa<br />

pembangunan kaum kapitalis akan menciptakan ketimpangan distribusi<br />

pendapatan. Marx menganggap kaum kapitalis akan menciptakan pengangguran<br />

yang akan mengakibatkan tingkat upah para tenaga kerja akan berada tetap pada<br />

tingkat subsisten. Menurut Marx, pemilik modal akan mendominasi<br />

perekonomian. Namun sejalan dengan perkembangan kapitalis maka laba akan<br />

menurun dan terjadi krisis, yang menyebabkan perusahaan bangkrut dan terjadi<br />

peningkatan konsentrasi industri. Namun pada akhirnya nanti kaum kapitalis juga<br />

akan hancur dan digantikan kaum sosialis. Pada saat itu menurut Karl Marx,<br />

apakah para pekerja dapat berkembang. Dan teori Karl Marx juga tidak lebih baik<br />

dari Ricardo, karena seperti Ricardo, Marx juga terpengaruh bukan karena<br />

15


teorinya yang terbukti hanya ramalan saja namun karena pendekatan analisis yang<br />

dia gunakan.<br />

B. Menurut Irma Adelman dan Cynthia Taft Morris<br />

Menurut Irma Adelman dan Cynthia Taft Morris (Lincolin Arsyad, 1988 :<br />

58), dijelaskan bahwa ada 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi<br />

pendapatan di negara-negara berkembang, yaitu :<br />

1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya<br />

pendapatan per kapita<br />

2. Inflasi, dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara<br />

proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang<br />

3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah<br />

4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal,<br />

sehingga persentase pendapatan dari harta tambahan besar dibandingkan<br />

dengan persentase pendapatan berasal dari kerja, sehingga pengangguran<br />

bertambah<br />

5. Rendahnya mobilitas sosial<br />

6. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan<br />

kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha<br />

golongan kapitalis<br />

7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang<br />

berkembang dalam perdagangan dengan negara maju, sebagai akibat<br />

ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang-barang ekspor<br />

negara sedang berkembang<br />

8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri<br />

rumah tangga, dan lain-lain.<br />

C. Menurut M.P Todaro<br />

Menurut M.P Todaro ( 2004 : 262-269 ) ada empat bidang luas yang<br />

terbuka bagi intervensi kebijakan pemerintah masing-masing berkaitan erat<br />

dengan keempat elemen pokok yang merupakan faktor-faktor penentu utama atau<br />

baik tidaknya kondisi-kondisi distribusi pendapatan di sebagian negara<br />

berkembang. Adapun keempat elemen pokok tersebut adalah :<br />

16


1. Distribusi fungsional. Hal ini pada dasarnya menyangkut segala sesuatu<br />

yang berkenaan dengan tingkat hasil yang diterima dari faktor-faktor produksi<br />

tenaga kerja, tanah, dan modal, yang sangat dipengaruhi oleh harga relatif dari<br />

masing-masing faktor produksi tersebut, tingkat pendayagunaan (ini berkenaan<br />

dengan faktor teknologi), dan bagian atau persentase dari pendapatan nasional<br />

yang diperoleh oleh para pemilik masing-masing faktor tersebut.<br />

2. Distribusi ukuran. Ini adalah distribusi pendapatan fungsional dari suatu<br />

perekonomian yang dinyatakan sebagai suatu ukuran distribusi kepemilikan dan<br />

penguasaan aset (faktor-faktor produksi non manusia atau sumber daya fisik)<br />

produktif dan faktor keterampilan yang terpusat dan tersebar ke segenap lapisan<br />

masyarakat. Distribusi kepemilikan aset dan keterampilan tersebut pada akhirnya<br />

akan menentukan merata atau tidaknya distribusi pendapatan secara perorangan.<br />

3. Program redistribusi pendapatan. Pengambilan sebagian pendapatan<br />

golongan-golongan penduduk yang berpenghasilan tinggi melalui pemberlakuan<br />

pajak secara proporsional terhadap pendapatan dan kekayaan pribadi mereka,<br />

untuk selanjutnya dimanfaatkan guna mengangkat kesejahteraan lapisan<br />

penduduk termiskin.<br />

4. Peningkatan distribusi pendapatan langsung, terutama bagi kelompok-<br />

kelompok masyarakat yang berpenghasilan yang relatif rendah, melalui anggaran<br />

belanja pihak pemerintah yang dananya bersumber dari pajak, kebijakan itu<br />

disebut juga transfer payment, dan cara lain yaitu melalui penciptaan lapangan<br />

kerja, pembebasan uang sekolah, pemberian subsidi pendidikan, dan sebagainya.<br />

17


Pemerintah dari beberapa Negara Dunia Ketiga mempunyai banyak<br />

pilihan dan alternatif kebijakan yang memungkinkannya untuk melaksanakan<br />

intervensi positif keempat bidang tersebut. Berikut sejumlah kebijakan pemerintah<br />

yang sekiranya paling relevan.<br />

a. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan<br />

yang khusus dirancang untuk mengubah harga-harga faktor produksi secara<br />

positif atau menghilangkan distorsi-distorsi harga faktor<br />

b. Perbaikan distribusi pendapatan melalui redistribusi progresif kepemilikan<br />

aset-aset<br />

c. Pengalihan sebagian pendapatan golongan atas ke golongan bawah melalui<br />

pajak pendapatan dan kekayaan yang progresif<br />

d. Peningkatan ukuran distribusi kelompok penduduk termiskin melalui<br />

pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa<br />

konsumsi atas tanggungan pemerintah (M.P Todaro, 1998 : 204–209)<br />

D. Menurut W. Arthur Lewis<br />

Menurut W. Arthur Lewis (1962 : 42) ada dua faktor pokok yang<br />

menentukan distribusi pendapatan sebelum kena pajak, yaitu distribusi milik dan<br />

distibusi kepandaian. Oleh karena itu, supaya dapat dipersamakan pendapatan<br />

sebelum kena pajak, yang harus dilakukan ialah memperbesar persamaan<br />

kesempatan. Pangkal semua itu sudah tentu adalah sistem pendidikan.<br />

18


2.1.2 Pengukuran Distribusi Pendapatan<br />

Ukuran ketimpangan yang akan dijelaskan pada kesempatan ini hanya pendekatan<br />

metode empiris. Terdapat berbagai kriteria atau tolak ukur untuk melihat<br />

pemerataan (parah atau lunaknya ketimpangan) distribusi pendapatan dimaksud,<br />

tolak ukur yang lazim digunakan untuk mengukur kemerataan distribusi<br />

pendapatan, diantaranya, yaitu: Teori Pareto, Kurva Lorenz, Indek Gini/Rasio<br />

Gini, Kriteria Bank Dunia, Hipotesis Kuznets, Indek Theil, Teori Gibrat. Setiap<br />

metode analisa memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan<br />

semuanya dapat dipergunakan tergantung dari tujuan analisa dan jenis data yang<br />

tersedia.<br />

a). Teori Pareto<br />

Konsep-konsep baru yang dikemukakan oleh Vilfredo Pareto yang<br />

terkenal dengan teori "Circulation of the Elites" (yang menyatakan bahwa<br />

kelompok kecil orang elit dalam sebuah komunitas ternyata memiliki pengaruh<br />

yang besar pada sebagian besar populasi) dan "Pareto Optimum" membawa<br />

banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat. Pareto tergolong kelompok Neo-<br />

Klasik yang telah menurunkan sebuah model hubungan antara jumlah pendapatan<br />

yang diterima denga jumlah penerimanya. Para ahli ekonomi menyebut hukum itu<br />

dengan hukum Pareto, yang berbunyi: jika Ny adalah jumlah orang yang<br />

mempunyai pendapatan kurang dari Y, sedangkan Nh adalah jumlah orang yang<br />

mempunyai pendapatan diatas Y, jika ternyata jumlah Ny semakin kecil, maka<br />

kesenjangan distribusi pendapatan secara proporsional menurun.<br />

19


Hukum ini didasarkan pada pandangan bahwa semakin tinggi pendapatan semakin<br />

sedikit orang yang dapat menerima. Hubungan itu secara matematik disusun oleh<br />

Pareto sebagai berikut:<br />

Nh = atau Nh = Ay -<br />

Nh = Jumlah individu / keluarga yang memperoleh pendapatan<br />

A = Konstanta (Koefisien Pareto)<br />

Y = Tingkat pendapatan tertentu dari keluarga atau individu yang bersangkutan<br />

= Bilangan Pareto<br />

b). Kurva Loren<br />

Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di<br />

kalangan lapisan-lapisan lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur<br />

sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan<br />

nasional, sedangkan sisi datarnya mew mewakili akili persentase kumulatif penduduk<br />

Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut.<br />

Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus)<br />

menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika<br />

kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia<br />

mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional<br />

semakin timpang dan tidak merata, untuk lebih jelas, lihat gambar berikut :<br />

20


Gambar 2.1 kurva lorenz<br />

Sumber : Tulus Tambunan (2003)<br />

Kesimpulan dari gambar di atas adalah bahwa gambar (a) menunjukan<br />

ketimpangan distribusi pendapatan yang relatif merata (ketimpangannya tidak<br />

parah), sedangkan gambar (b) menunjukan ketimpangan distribusi pendapatan<br />

yang relatif tidak merata (ketimpangannya parah).<br />

c). Indeks Gini atau Rasio Gini<br />

Indeks Gini atau Rasio gini adalah suatu koefisien yang berkisar dari<br />

angka nol hingga satu, menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi<br />

pendapatan nasional. (Dumairy, 1996:54) Gini ratio merupakan alat ukur yang<br />

umum dipergunakan dalam studi empiris, yaitu dengan formula:<br />

1 n n<br />

Gini = ---------- ∑ ∑ ⏐yi - yj ⏐ 0


Nilai Gini antara 0 dan 1, dimana nilai 0 menunjukkan tingkat<br />

pemerataan yang sempurna, dan semakin besar nilai Gini maka semakin tidak<br />

sempurna tingkat pemerataan pendapatan. Untuk mengukur kesenjangan Bilangan<br />

Gini didasarkan pada kurva Laurens yang angkanya berkisar 0 – 1, dengan<br />

kriteria kesenjangan : 0,50 – 0,70 = kesenjangan tinggi; > 0,35 - < 0,5 =<br />

kesenjangan sedang; 0,20 – 0,35 kesenjangan rendah (Suyatno, 2009 : 30).<br />

Menurut kriteria HT Oshima (Yana Rohmana, 2004 : 68) ketimpangan<br />

“rendah” bila angka Gini kurang dari 0,3 , dan ketimpangan dikatakan “tinggi”<br />

bila angka Gini lebih besar dari 0,4.<br />

Sedangkan menurut Todaro (2004), koefisien Gini negara-negara yang<br />

distribusi pendapatannya sangat tidak merata umumnya terletak diantara 0,5 dan<br />

0,7, sedangkan yang relatif merata antara 0,20 dan 0,35.<br />

d). Kriteria Bank Dunia<br />

Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi<br />

pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni :<br />

a. Tinggi, bila 40% penduduk berpenghasilan terendah menerima kurang<br />

dari 12% bagian pendapatan.<br />

b. Sedang, bila 40% penduduk berpenghasilan terendah menerima 12<br />

hingga 17% bagian pendapatan.<br />

c. Rendah, bila 40% penduduk berpenghasilan terendah menerima lebih<br />

e). Hipotesis Kuznets<br />

dari 17% bagian pendapatan. (M.P.Todaro, 1998).<br />

22


Hipotesis Kuznets yaitu, dalam jangka pendek ada korelasi positip antara<br />

pertumbuhan pendapatan perkapita dengan kesenjangan pendapatan. namun dalam<br />

jangka panjang hubungan keduanya menjadi korelasi yang negatif. Artinya, dalam<br />

jangka pendek meningkatnya pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya<br />

kesenjangan pendapatan, namun dalam jangka panjang peningkatan pendapatan<br />

akan diikuti dengan penurunan kesenjangan pendapatan. Fenomena ini dikenal<br />

dengan nama “Kurva U terbalik dari Hipotesis Kuznets”.<br />

0<br />

f). Indeks Theil<br />

Periode<br />

Tingkat Pendapatan Perkapita (Tingkat Pembangunan)<br />

Gambar 2.2 Kurva U terbalik kuznet<br />

Sumber: Tulus Tambunan (2003).<br />

Digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar individu di<br />

dalam provinsi dan ketimpanan pendapatan antar provinsi. Untuk megukurnya<br />

digunakan rumus sebagai berikut:<br />

Theil = Σi Σj (Y ij/Y)1n(Ŷij /Ŷ)<br />

Keterangan:<br />

Y ij = Total pendapatan di provinsi i, grup j<br />

23


Ŷij = Rata-rata pendapatan per kapita di provinsi i, grup j<br />

Ŷ = Total pendapatan nasional<br />

Sumber : Tulus Tambunan (2003)<br />

g). Teori Gibrat<br />

Melalui eksperimennya, R.GIBRAT menentukan bahwa penyebaran<br />

pembagian pendapatan akan mengikuti distribusi normal jika sekiranya<br />

pendapatan yang diterima seseorang itu dapat dibagi-bagi menurut factor<br />

penyebarannya. Untuk itu, ukuran ketimpangan pendapatan yang dikenalkan oleh<br />

Gibrat mengikuti<br />

rumus :<br />

C = ��� �<br />

, b =<br />

� ���<br />

b = Konstanta<br />

C = Ukuran kepincangan pembagian pendapatan<br />

SL=Standard deviasi Logaritma<br />

2.2 Pertumbuhan Ekonomi<br />

Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan<br />

kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan<br />

pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi<br />

apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan<br />

ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.<br />

Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai suatu proses pertumbuhan output<br />

perkapita dalam jangka panjang. Hal ini berarti bahwa dalam jangka panjang<br />

24


kesejahteraan ekonomi tercermin pada peningkatan output perkapita yang<br />

sekaligus memberikan banyak alternatif dalam mengkonsumsi barang dan jasa<br />

serta diikuti daya beli masyarakat yang semakin meningkat.<br />

Menurut Sadono Sukirno (2004) pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai<br />

suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu<br />

perekonomian dalam satu tahun tertentu jika dibandingkan dengan tahun<br />

sebelumnya. Dalam kajian makro ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang<br />

dimaksudkan adalah pendapatan nasional, yaitu nilai barang dan jasa yang<br />

diproduksi pada satu tahun tertentu. Dan secara konseptual nilai tersebut<br />

dinamakan PDB. Dengan menghitung PDB berdasarkan harga tetap, pendapatan<br />

nasional riil yang dihitung dari tahun ke tahun menggambarkan perkembangan<br />

produksi barang dan jasa yang sebenarnya berlaku dalam perekonomian.<br />

Proses pertumbuhan ekonomi akan dipengaruhi oleh dua macam faktor,<br />

faktor ekonomi dan non ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu negara tergantung<br />

pada sumber alamnya, sumber daya manusia, modal, usaha, teknologi dan<br />

sebagainya. Semua itu merupakan faktor ekonomi. Tetapi pertumbuhan ekonomi<br />

tidak mungkin terjadi selama lembaga sosial, kondisi politik, dan nilai-nilai moral<br />

suatu bangsa tidak menunjang. Dalam pertumbuhan ekonomi, lembaga sosial,<br />

sikap budaya, nilai moral, kondisi politik dan kelembagaan merupakan faktor non<br />

ekonomi. Dalam suatu studinya, Profesor Bauer menunjukan bahwa penentu<br />

utama pertumbuhan ekonomi “adalah bakat, kemampuan, kualitas, kapasitas dan<br />

kecakapan, sikap, adat istiadat, nilai, tujuan dan motivasi serta struktur politik dan<br />

kelembagaan. (M. L. Jhingan:2004)<br />

25


Dengan demikian, tingkat pertumbuhan ekonomi menggambarkan<br />

mengenai perkembangan kegiatan ekonomi yang berlaku dalam suatu tahun<br />

tertentu. Ia menggambarkan sampai dimana barang dan jasa telah bertambah pada<br />

suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya<br />

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berlanjut merupakan kondisi utama<br />

atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan<br />

kesejahteraan. Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun yang dengan<br />

sendirinya kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka<br />

dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun.<br />

Selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan<br />

penduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber<br />

pendapatan). Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan penambahan<br />

kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari<br />

penambahan pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan<br />

menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan<br />

kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri<br />

hanya bisa dicapai dengan peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDB<br />

yang terus menerus. Dalam pemahaman ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi<br />

adalah penambahan PDB, yang berarti peningkata PN (Pendapatan Nasional).<br />

2.2.1 Sumber-sumber Pertumbuhan<br />

Pertumbuhan ekonomi bisa bersumber dari pertumbuhan permintaan<br />

agregat (AD) atau/dan pertumbuhan penawaran agregat (AS). Dari sisi AD,<br />

26


peningkatan AD ada di dalam ekonomi bisa terjadi karena PN yang terdiri atas<br />

permintaan masyarakat (konsumen), perusahaan, dan pemerintah, meningkat.<br />

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sisi AD (penggunaan PDB) terdiri atas empat<br />

komponen : konsumsi rumah tangga, investasi (termasuk perubahan stok),<br />

konsumsi/pengeluaan pemerintah, dan ekspor neto (ekspor barang dan jasa minus<br />

impor barang dan jasa). Disisi AD didalam suatu ekonomi bisa digambarkan<br />

dalam suatu model ekonomi makro sederhana sebagai berikut :<br />

Y = C + I + G + X – M ( 1 )<br />

C = cY + Ca ( 2 )<br />

I = -ir + Ia ( 3 )<br />

G= Ga ( 4 )<br />

X = Xa ( 5 )<br />

M = m Y + Ma ( 6 )<br />

Persamaan (1) menggambarkan keseimbangan antara AS (total<br />

output/PDB) dan AD yang terdiri atas empat komponen tersebut. Persamaaan (2)<br />

adalah besarnya konsumsi rumah tangga yang ditentukan oleh tingkat pendapatan<br />

dan faktor otonom (tidak tergantung pada tingkat/perubahan pendapatan); ‘c’<br />

adalah koefisien konsumsi (Marginal Propensity to consume; MPC) dengan nilai<br />

positif antara 0 dan 1, yang artinya semakin tinggi pendapatan semakin besar<br />

pengeluaran konsumsi rumah tangga. Persamaan (3) menunjukkan niali atau<br />

jumlah investasi (misalnya dalam jumlah proyek) sangat ditentukan oleh tingkat<br />

suku bunga (i) didalam negeri, selain juga oleh sejumlah faktor –faktor lain yang<br />

besifat otonom (Ia). Semakin tinggi I, dengan asumsi faktor-faktor lain tetap<br />

(tidak berubah), semakin mahal biaya alternatif dari investasi, semakin kecil<br />

27


jumlah investasi didalam ekonomi yang dicerminkan oleh tanda negatif didepan<br />

koefisien ‘r’. Persamaan (4) adalah pengeluaran pemerintah yang sifatnya otonom<br />

: besar kecilnya pengeluaran pemerintah ditentukan oleh faktor-faktor lain<br />

(diantaranya faktor politik) diluar model tersebut. Demikian juga dengan<br />

persamaan (5), karena indonesia adalah negara kecil dilihat dari pangsa<br />

perdagangan luar negerinya didalam jumlah volume perdagangan dunia, maka<br />

pertumbuhan ekspor indonesia lebih ditentukan oleh faktor-faktor eksternal di luar<br />

pengaruh indonesia seperti permintaan di negara-negara tujuan ekspor. Persamaan<br />

(6) menggambarkan bahwa impor ditentukan oleh tingkat pendapatan didalam<br />

negeri, selain juga oleh faktor otonom. Semakin tinggi pendapatan masyarakat di<br />

Indonesia, semakin besar tingkat permintaan pasar didalam negeri terhadap impor,<br />

yang terdiri atas barang dan jasa untuk keprluan konsumsi dan kegiatan proses<br />

produksi didalam negeri.<br />

Dari sisi AS, pertumbuhan output bisa disebabkan oleh peningkatan<br />

volume dari faktor-faktor produksi yang digunakan, seperti tenaga kerja, modal<br />

(kapital), tanah; faktor produksi terakhir ini khususnya penting bagi sektor<br />

pertanian dan enerji. Pertumbuhan output juga bisa didorong oleh peningkatan<br />

produktivitas dari faktor-faktor produksi dapat ditulis dalam suatau fungsi<br />

sederhan sebagai berikut :<br />

Q = f(X1,X2,X3,…… Xn) ( 7 )<br />

+ + + +<br />

Dimana Q mewakili volume output dan X1,X2,X3……Xn adalah volume dari<br />

faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut.<br />

28


Tanda-tanda positif dibawah setiap X menandakan hubungan antara setiap faktor<br />

produksi tersebut dengan output adalah positif : jika jumlah X1 meningkat, output<br />

juga meningkat.<br />

2.2.2 Teori-teori dan Model-model Pertumbuhan<br />

1. Teori Klasik<br />

Ada dua aliran utama pemikiran mengenai pertumbuhan ekonomi (dilihat<br />

dari sisi AS/produksi), yakni teori klasik dan teori modern dan diantara kedua<br />

teori ini, teori neo keynes dan teori neo klasik.<br />

Dasar pemikiran dari teori klasik adalah pembangunan ekonomi dilandasi<br />

oleh sistem liberal, yang mana pertumbuhan ekonomi dipacu oleh semangat untuk<br />

mendapatkan keuntungan maksimal. Jika keuntungan meningkat, tabungan akan<br />

meningkat dan investasi juga akan bertambah. Hal ini akan meningkatkan stok<br />

modal yang ada. Skala produksi akan meningkat dan meningkatkan permintaan<br />

terhadap tenaga kerja sehingga tingkat upah juga meningkat, yang selanjutnya<br />

akan mengakibatkan jumlah kenaikan suplai tenaga kerja meningkat yang<br />

akhirnya akan menurunkan tingkat produktivitas dan keuntungan karena<br />

berlakunya hukum tambahan hasil yang semkin berkurang (diminishing return)<br />

karena terbatasnya jumlah sumber daya alam (SDA) seperti luas tanah. Proses ini<br />

selanjutnya mengakibatkan produksi, permintaan tenaga kerja, dan juga tingkat<br />

upah menurun. Menurut klasik pada kondisi seperti ini, perekonomian mengalami<br />

tingkat kejenuhan atau keadaan stasioner. Ini adalah sebuah keadaan dimana<br />

perekonomian telah dewasa, mapan, dan masyarakat telah sejahtera., tetapi tanpa<br />

perkembangan lebih lanjut.<br />

29


Beberapa teori klasik antara lain sebagai berikut :<br />

a) Teori pertumbuhan Adam Smith<br />

Didalam teori ini ada tiga faktor penentu proses produksi /pertumbuhan<br />

yakni SDA,SDM (sumber daya manusia), dan barang modal.<br />

b) Teori pertumbuhan David Ricardo<br />

Pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh SDA (dalam arti tanah) yang<br />

terbatas jumlahnya, dan jumlah penduduk yang menghasilkan jumlah tenaga<br />

kerja yang menyesuaikan diri dengn tingkat upah, di atas atau di bawah<br />

tingkat upah alamiah (upah minimal). David Ricardo juga melihat adanya<br />

perubahan teknologi yang selalu terjadi, yang membuat meningkatnya<br />

produktivitas tenaga kerja dan memperlambat proses diminishing return<br />

kemerosotan tingkat upah dan keuntungan ke arah yang minimumnya. David<br />

Ricardo juga melihat pertanian juga sebagai sektor utama sebagai motor<br />

penggerak pertumbuhan ekonomi.<br />

c) Teori pertumbuhan dari Thomas Robert Malthus<br />

Keberhasilan pembangunan suatu perekonomian adalah kesejahteraan<br />

negara, yakni jika PNB potensialnya meningkat. Sektor yang dominan adalah<br />

sektor pertanian dan industri. Jika output di kedua sektor tersebut<br />

ditingkatkan, maka PNB potensialnya akan bisa ditingkatkan. Ada dua<br />

kelompok faktor yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi, yakni<br />

faktor-faktor ekonomi seperti tanah, tenaga kerja, modal dan organisasi; dan<br />

faktor-faktor non ekonomi, seperti keamanan atas kekayaan, konstitusi dan<br />

hukum yang pasti, etos kerja dan displin pekerja yang tinggi. Diantara<br />

30


faktor-faktor ekonomi tersebut yang paling berpengaruh adalah faktor<br />

akumulasi modal. Tanpa penambahan modal (peningkatan investasi), proses<br />

produksi akan berhenti dan berarti PNB potensial akan berkurang atau hilang.<br />

Sumber utama akumulasi modal adalah keuntungan dari pengusaha, bukan<br />

penghematan konsumsi atau tabungan masyarakat.<br />

d) Teori Marx<br />

Marx membuat lima tahapan perkembangan sebuah perekonomian, yakni :<br />

(a) perekonomian komunal primitif; (b) perekonomian perbudakan; (c)<br />

perekonomian feodal; (d) perekonomian kapitalis; dan (e) perekonomian<br />

sosialis. Titik kritis dari teori Marx ini adalah pada transisi dari perekonomian<br />

kapitalis ke perakonomian sosialis.<br />

2. Teori Neo-Keynes<br />

Model pertumbuhan yang masuk dalam kelompok teori neo keynes adalah<br />

model dari Harrod dan Domar yang mencoba memperluas teori keynes mengenai<br />

keseimbangan pertumbuhan ekonomi dalam perspektif jangka pajang dengan<br />

melihat pengaruh dari investasi, baik pada AD maupun pada perluasan kapasitas<br />

produksi AS, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.<br />

3. Teori Neo klasik<br />

Pemikiran dari teori neo klasik didasarkan pada kritik atas kelemahan-<br />

kelemahan atau penyempurnaan terhadap pandangan /asumsi dari teori klasik.<br />

Beberapa model neo klasik antara lain sebagai berikut :<br />

a) Model pertumbuhan A. Lewis<br />

31


Model ini dikenal dengan sebutan suplai tenaga kerja yang tidak terbatas<br />

adalah salah satu diantara model neo klasik yang meneliti gejala di negara-negara<br />

sedang berkembang (NSB). Model ini menjelaskan bagaimana pertumbuhan<br />

ekonomi dimulai di sebuah NSB yang mempunyai dua sektor dengan sifat<br />

berbeda yakni pertanian tradisional yang subsistem di pedesaan dan industri yang<br />

modern di perkotaan. Dalam model ini, pertumbuhan ekonomi terjadi karena<br />

pertumbuhan industri dengan proses akumulasi modal yang pesat, sedangkan di<br />

pertanian pertumbuhannya relatif rendah dengan akumulasi kapital yang rendah<br />

sekali. Keunggulan komparatif di sektor industri adalah upah buruh yang murah<br />

dikarenakan suplai tenaga kerja yang berlimpah dari pertanian. Akibat terlalu<br />

banyaknya tenaga kerja di pertanian (sehingga upah murah sekali) membuat<br />

rendahnya marjinal produktivitas tenaga kerja di sektor tersebut, sehingga<br />

perpindahan tenaga kerja dari pertanian ke industri tidak sampai mengakibatkan<br />

turunnya produksi pertanian.<br />

b) Model pertumbuhan Paul A. Baran<br />

Model ini dikenal sebagai teori pertumbuhan dan stagnasi ekonomi.<br />

Pemikirannya sering disebut sebagai tesis neo marxis, karena ia menolak<br />

pemikiran Marxis yang menyatakan bahwa NSB akan maju seperti di Eropa<br />

karena sentuhannya dengan negara-negara maju (NM) atau negara-negara<br />

kapitalis. Baran berpendapat bahwa akibat pengaruh dari negara maju, ekonomi<br />

NSB akan menjadi buruk. Menurut Baran, proses kapitalisme di NSB berbeda<br />

dengan yang terjadi di negara maju. Teori ketergantungan Neokolonial<br />

32


Dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa pembangunan ekonomi di<br />

NSB sangat tergantung negara maju (NM), terutama dalam investasi langsung<br />

(PMA) di sektor pertambangan dan impor barang-barang industri. Pekerja-pekerja<br />

di NSB (negara periferi/pinggiran) dipekerjakan sebagai buruh di perusahaan-<br />

perusahaan asing yang berlokasi di NSB di sektor pertanian dan pertambangan,<br />

sementara semua kebutuhan produk-produk manufaktur, mulai dari barang-barang<br />

konsumsi hingga peralatan dan mesin industri di impor dari negara maju (negara<br />

inti/pusat). Hal ini membuat NSB hanya bisa berspesialisai di produk-produk<br />

primer yang niali tambahnya rendah, sementara negara maju berspesialisasi dalam<br />

produk industri yang menghasilkan niali tambah besar.<br />

c) Model pertumbuhan WW.Rostow<br />

Pembangunan ekonomi dimana pun juga merupakan proses yang bergerak<br />

dalam sebuah garis lurus yakni dari masyarakat terbelakang ke masyarakat maju.<br />

Dalam modelnya, proses pembangunan terdiri atas lima tahapan, yaitu :<br />

(1) masyarakat tradisional,<br />

(2) prakondisi lepas landas<br />

(3) lepas landas<br />

(4) menuju kedewasaan, dan<br />

(5) era konsumsi masal tinggi.<br />

Kriteria yang digunakan untuk membedakan tahap satu dengan tahap-<br />

tahap berikutnya adalah perubahan yang terjadi dalam kondisi ekonomi, sosial,<br />

politik , serta budaya dalam sebuah perekonomian.<br />

d) Model pertumbuhan Solow<br />

33


Model ini adalah penyempurnaan model pertumbuhan Harrod-Domar.<br />

Dalam model Solow, proporsi faktor produksi diasumsikan dapat berubah (jumlah<br />

kapital dan tenaga kerja atau rasio dari kedua faktor ini dalam sebuah proses<br />

produksi/produk tidak harus konstan,atau bisa saling mensubstitusi) dan tingkat<br />

upah tenaga kerja dan suku bunga juga bisa berubah. Jika jumlah tenaga kerja<br />

tumbuh melebihi jumlah stok kapital, upah akan turun relatif terhadap suku<br />

bunga. Atau sebaliknya, jika pertumbuhan kapital melebihi pertumbuhan tenaga<br />

kerja, suku bunga akan turun relatif terhadap upah. Fleksibilitas harga faktor<br />

produksi ini yang memungkinkan jalur petumbuhan dalam model ini bisa menjadi<br />

stabil.<br />

4. Teori Modern<br />

Dalam teori modern, faktor-faktor produksi yang krusial tidak hanya<br />

banyaknya tenaga kerja dan modal, tetapi juga kualitas SDM dan kemajuan<br />

teknologi (yang terkandung didalam barang modal atau mesin), energi (khususnya<br />

energi alternatif), kewirausahaan, bahan baku, dan bahan material. Bahkan dalam<br />

era globalisasi dan perdagangan bebas dunia saat ini, kualitas SDM dan teknologi<br />

merupakan dua faktor dalam satu paket yang menjadi penentu utama keberhasilan<br />

suatu bangsa/negara.<br />

Dilihat dari kerangka pemikiran kelompok teori modern tersebut ada<br />

sejumlah perbedaan yang mendasar dengan kelompok teori klasik dan neo klasik<br />

atau neo keynes, diantaranya adalah yang mencakup tenaga kerja, kapital dan<br />

kewirausahaan. Dalam kelompok teori modern, kualitas tenaga kerja lebih penting<br />

34


dari kuantitasnya. Kualitas tenga kerja tidak hanya dilihat dari tingkat pendidikan,<br />

tetapi juga kondisi kesehatannya.<br />

2.3 Inflasi<br />

2.3.1 Pengertian Inflasi<br />

Inflasi (inflation) adalah gejala yang menunjukkan kenaikan tingkat harga<br />

umum yang berlangsung terus menerus. Dari pengertian tersebut maka apabila<br />

terjadi kenaikan harga hanya bersifat sementara, maka kenaikan harga yang<br />

sementara sifatnya tersebut tidak dapat dikatakan inflasi.<br />

Dalam kehidupan kita sehari-hari, harga barang cenderung meningkat<br />

sepanjang waktu. Kenaikan harga barang-barang secara keseluruhan itulah yang<br />

disebut inflasi. (Mankiw, 2006:171). Sedangkan menurut Boediono (1998: 161 )<br />

inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan<br />

terus menerus.<br />

Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan terus menerus dalam tingkat harga<br />

suatu perekonomian akibat adanya permintaan agregat atau turunnya penawaran<br />

.agregat (Mc.Eachem, 2000:133). Inflasi karena kenaikan permintaan agregat<br />

sering disebut dengan demand pull irif!ation (inflasi karena ditarik permintaan).<br />

Dalam inflasi jenis tersebut, kenaikan kurva permintaan agregat menarik: tingkat<br />

harga ke atas. Agar demand pull inflation dapat terus terjadi maka kurva<br />

permintaan ,agregat harus terus bergeser ke atas sepanjang kurva penawaran<br />

agregat.<br />

35


2.3.2 Teori Inflasi<br />

2.3.2.1 Teori Kuantitas Uang<br />

Orang memegang uang untuk membeli barang dan jasa. Semakin banyak<br />

uang yang mereka butuhkan untuk bertransaksi, semakin banyak uang yang<br />

mereka pegang. Jadi, kuantitas uang dalam perekonomian sangat erat kaitannya<br />

dengan jumlah uang yang dipertukarkan dalam transaksi.<br />

Hubungan di antara transaksi dan uang ditunjukkan dalam persamaan<br />

berikut, yang disebut persamaan kuantitas (quantity equation):<br />

Uang x Perputaran = Harga x Transaksi<br />

M x V = P x T<br />

Sisi kanan dari persamaan kuantitas menyatakan transaksi, T menunjukkan<br />

total jumlah transaksi selama beberapa periode waktu, biasanya setahun. Dengan<br />

kata lain, T adalah jumlah waktu dalam setahun yang dibutuhkan untuk<br />

memperjual-belikan barang dan jasa untuk mendapatkan uang. P adalah harga dari<br />

. transaksi tipikal jumlah rupiah yang dipertukarkan. Produk dari harga transaksi<br />

dan jumlah transaksi, PT, serta dengan jumlah rupiah yang dipertukarkan dalam<br />

setahun.<br />

Sisi kiri persamaan kuantitas menyatakan uang yang digunakan untuk<br />

melakukan transaksi. M adalah kuantitas uang. V disebut perputaran uang<br />

transaksi (transaction velocity of money) dan mengukur tingkat di mana uang<br />

bersirkulasi dalam perekonomian, Dengan kata lain, perputaran menyatakan<br />

berapa kali uang berpindah tangan dalam periode waktu tertentu.<br />

36


Persamaan kuantitas adalah identitas: defmisi dari empat variabel yang<br />

membuatnya benar. Persamaan berguna karena menunjukkan bahwa jika satu dari<br />

variabel-variabel itu berubah, satu atau lebih variabel lainnya juga harus berubah<br />

untuk menjaga kesamaan. Misalnya jika kuantitas uang meningkat dan perputaran<br />

uang tidak berubah maka baik harga atau jumlah transaksi harus meningkat.<br />

Ketika mempelajari peran dalam perekoomian, para ekonom biasa<br />

menggunakan versi persamaan kuantitas yang agak berbeda selain yang<br />

diperkenalkan diatas. Masalah dengan persamaan pertama adalah bahwa jumlah<br />

transaksi sulit diukur. Untuk memecahcan masalah ini, Jumlah transaksi T diganti<br />

dengan output total dari perekonomian Y.<br />

Transaksi dan output sangat berlainan, karena semakin banyak<br />

perekonomian berproduksi, semakin banyak barang dibeli dan dijual. Namun<br />

demikian, keduanya tidak sama. Ketika seorang menjual mobil bekas untuk orang<br />

lain, misalnya mereka melakukan transaksi dengan menggunakan uang, meskipun<br />

mobil bekas bukan bagian dari output sekarang. Selain itu nilai transaksi adalah<br />

proporsional terhadap nilai output.<br />

Jika Y menyatakan jumlah output dan P menyatakan harga satu unit<br />

output, maka nilai uang output adalah PY (GDP Nominal). Persamaan kuantitas<br />

menjadi Uang x Perputaran = Harga x Transaksi<br />

M x V = P x Y<br />

Karena Y juga merupakan pendapatan total, V dalam versi persamaan kuantitas<br />

disebut perputaran uang pendapatan (income velocity of money). Perputaran uang<br />

37


pendapatan menyatakan berapa kali uang masuk ke dalam pendapatan seseorang<br />

dalam periode waktu tertentu. Versi persamaan kuantitas ini adalah yang paling<br />

umum, dan satu-satunya persamaan yang kita gunakan.<br />

Persamaan kuantitas bisa dianggap hanya sebagai suatu definisi:<br />

persamaan kuantitas mendefinisikan V sebagai rasio GDP nominal, PY, terhadap<br />

kuantitas uang M. Tetapi jika kita membuat asumsi tambahan bahwa perputaran<br />

uang adalah konstan, maka persamaan kuantitas menjadi sebuah teori dampak<br />

uang yang bermanfaat yang disebut teori kuaatitas uang (quantity theory of<br />

money).<br />

Sekali kita mengasumsikan bahwa perputaran adalah konstan, persamaan<br />

kuantitas bisa dilihat sebagai teori yang menentukan GDP nominal. Persamaan<br />

kuantitas menyebutkan:<br />

MV = PY<br />

Di mana garis di atas V berarti bahwa perputaran adalah tetap. Karena itu,<br />

perubahan daIam kuantitas uang (M) harus menyebabkan perubahan yang<br />

proporsional dalam GDP nominal (py). Yaitu, jika perputaran adalah tetap,<br />

kuantitas uang menentukan nilai rupiah dari output perekonomian.<br />

Teori ini menjelaskan apa yang terjadi ketika bank sentral mengubah suplai<br />

uangnya. Karena perputaran adalah tetap, setiap perubahan dalam suplai uang<br />

mengarah ke perubahan proporsional dalam GDP nominal. Karena faktor-faktor<br />

produksi dan fungsi produksi menentukan GDP riil, perubahan dalam GDP<br />

nominal harus menunjukkan perubahan dalam tingkat harga. Maka, teori kuantitas<br />

38


menunjukkan bahwa tingkat harga adalah proporsional terhadap suplay uang.<br />

Karena tingkat inflasi adalah perubahan presentase dalam tingkat harga, teori<br />

harga ini juga merupakan teori tingkat inflasi.<br />

Menurut Boediono ( 1994: 167-169 ) inti dari teori kuantitas uang adalah :<br />

a. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar (<br />

apakah penambahan uang kartal atau penambahan uang giral tidak menjadi<br />

soal ). Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, kejadian seperti<br />

misalnya kegagalan panen, hanya akan menaikkan harga-harga untuk<br />

sementara waktu saja.<br />

b. Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan<br />

oleh psikologi ( harapan ) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di<br />

masa mendatang. Ada tiga kemungkinan keadaan :<br />

1. Bila masyarakat tidak ( atau belum ) mengharapkan harga-harga untuk<br />

naik pada bulan-bulan mendatang. Dalam hal ini, sebagian besar dari<br />

penambahan jumlah uang yang beredar akan diterima oleh masyarakat<br />

untuk menambah likuiditasnya. Ini berarti bahwa sebagian besar dari<br />

kenaikan jumlah uang tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian<br />

barang. Selanjutnya, ini berarti bahwa tidak akan ada kenaikan<br />

permintaan yang berarti akan barang-barang, jadi tidak ada kenaikan<br />

harga barang-barang ( atau mungkin harga naik sedikit sekali ).<br />

2. Masyarakat ( atas dasar pengalaman di bulan-bulan sebelumnya ) mulai<br />

sadar bahwa ada inflasi. Orang-orang mulai mengharapkan kenaikan<br />

harga. Penambahan jumlah uang yang beredar tidak lagi diterima oleh<br />

39


masyarakat untuk menambah pos kasnya, tetapi akan digunakan untuk<br />

membeli barang-barang. Kenaikan harga ( inflasi ) tidak lain adalah<br />

suatu pajak atas saldo kas yang dipegang masyarakat karena uang<br />

semakin tidak berharga.<br />

3. Tahap inflasi yang lebih parah ( hiperinflasi ). Dalam keadaan ini<br />

orang-orang sudah kehilangan kepercayaannya terhadap nilai mata<br />

uang. Orang cenderung mengharapkan keadaan semakin memburuk.<br />

Laju inflasi untuk bulan-bulan mendatang diharapkan menjadi semakin<br />

besar disbanding dengan laju inflasi di bulan sebelumnya. Keadaan ini<br />

ditandai oleh makin cepatnya peredaran uang.<br />

2.3.2.2 Teori Keynes<br />

Menurut teori ini, inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di<br />

luar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi menurut pandangan ini, tidak<br />

lain adalah proses perebutan bagian rezeki diantara kelompok-kelompok sosial<br />

yang menginginkan bagian yang lebih besar daripada yang bisa disediakan oleh<br />

masyarakat tersebut. Proses perebutan ini akhirnya diterjemahkan menjadi kedaan<br />

dimana permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah<br />

barang-barang yang tersedia ( timbulnya apa yang disebut dengan inflationary<br />

gap ).<br />

Inflationary gap ini timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut<br />

berhasil menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintaan yang efektif akan<br />

barang-barang. Dengan perkataan lain, mereka berhasil memperoleh dana untuk<br />

mengubah aspirasinya menjadi rencana pembelian barang-barang yang didukung<br />

40


dengan dana. Bila jumlah dari permintaan-permintaan efektif dari semua golongan<br />

masyarakat tersebut, pada tingkat harga yang berlaku melebihi jumlah maksimum<br />

dari barang-barang yang bisa dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap<br />

timbul. Karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka<br />

harga-harga akan naik. (Boediono, 1985: 169-170)<br />

2.3.2.3 Teori Strukturalis<br />

Adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas pengalaman di Negara-<br />

negara Amerika Latin. Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (rigidities) dari<br />

struktur perekonomian Negara-negara sedang berkembang. Menurut teori ini ada<br />

dua ketegaran utama dalam perekonomian Negara-negara sedang berkembang<br />

yang bisa menimbulkan inflasi.<br />

a. Ketegaran yang pertama berupa ketidak-elastisan dari penerimaan ekspor.<br />

b. Ketegaran yang kedua berkaitan dengan ketidakelastisan dari supply atau<br />

produksi bahan makanan di dalam negeri. ( Boediono, 1985: 174-175 )<br />

2.3.3 Sumber Inflasi<br />

2.3.3.1 Demand Pull Inflation<br />

Yaitu Inflasi yang disebabkan karena permintaan masyarakat akan<br />

berbagai barang terlalu kuat. Untuk ilustrasinya perhatikan kurva di bawah ini.<br />

41


Penjelasan:<br />

Gambar 2.3 Demand Pull Inflation<br />

Pergeseran kurva D1-D2 disebabkan adanya penambahan permintaan Q1-<br />

Q2 yang berakibat naiknya harga (P1-P2) jika permintaan bertambah terus (Q2-<br />

Q3) menyebabkan harga akan terus naik (P2-P3), begitu seterusnya. Hal ini akan<br />

menyebabkan kenaikan harga terus-menerus yang menyebabkan terjadinya inflasi.<br />

Demand Pull inflation terjadi karena adanya kenaikan permintaan<br />

agregatif(bersifat aggregat) di mana kondisi produksi telah berada pada<br />

kesempatan kerja penuh (full employment). Kenaikan kesempatan agregatif<br />

(aggregate demand) selain dapat menaikkan harga-harga juga dapat meningkatkan<br />

produksi. Jika kondisi telah berada pada kesempatan kerja penuh, maka kenaikan<br />

permintaan tidak lagi mendorong kenaikan output (Produksi) tetapi hanya<br />

mendorong kenaikan harga-harga yang biasa juga disebut sebagai Inflasi Mumi<br />

(Pure Inflation). Namun jika pertambahan permintaan melebihi Gross National<br />

Product (GNP) pada kondisi kesempatan kerja penuh, ini akan mengakibatkan<br />

42


terjadinya Inflationary Gap dan selanjutnya terjadi inflasi.<br />

Inflasi yang terjadi sebagai akibat bergesernya kurva permintaan agregat<br />

disebut Inflasi Tarikan Pemintaan (Demand Pull Iriflation). Sedangkan inflasi<br />

yang terjadi akibat pergeseran kurva penawaran agregat disebut lnflasi Dorongan<br />

Biaya (Cost Push Inflation). Demand Pull Inflation tidak mengakibatkan<br />

pengurangan tenaga kerja di bawah kesempatan kerja penuh. Sebaliknya, Demand<br />

Pull Inflation dapat mengakibatkan terjadinya Cost Push Inflation. Negara yang<br />

menganut sistem pasar bebas dapat mengalami Demand Pull Inflation yang<br />

muncul dari sektor riil atau dari sektor moneter. Sedang Cost Push Inflation<br />

bersumber dari ketidaksempurnaan pasar. baik dalam permintaan maupun<br />

penawaran tenaga kerja.<br />

Sebaliknya, bagi Negara yang menganut sistem ekonomi tertutup. inflasi<br />

yang mungkin terjadi hanyalah Cost Push Inflation dengan berlandaskan pada<br />

asumsi bahwa pengembangan penawaran uangnya berasal dari sektor riil Cost<br />

Push Infiation tidak akan terjadi karena adanya monopoli terhadap produk atau<br />

tenaga kerja di negara yang menganut sistem ekonomi tertutup. Hal itu<br />

disebabkan batas keuntungan seorang pengusaha sebanding dengan harga produk<br />

dan upah riil yang dibayarkannya kepada tenaga kerja senilai dengan produk<br />

marginalnya.<br />

2.3.3.2 Cost Push Inflation<br />

Inflasi yang timbul karena kenaikan ongkos produksi secara terusmenerus.<br />

Untuk lebih lanjutnya perhatikan penjelasan inflasi tersebut dengan kurva di<br />

43


awah ini:<br />

Penjelasan:<br />

Gambar 2.4 Cost Push Inflation<br />

Pergeseran kurva D1-D2 disebabkan adanya penambahan permintaan Q1- Q2<br />

yang berakibat naiknya harga (P1-P2) jika permintaan bertambah terus (Q2-Q3)<br />

menyebabkan harga akan terus naik (P2-P3), begitu seterusnya. Hal ini akan<br />

menyebabkan kenaikan harga terus-menerus yang menyebabkan terjadinya inflasi.<br />

Pada kondisi Cost push Iriflation, tingkat penawaran lebih rendah jika<br />

dibandingkan.dengan tingkat permintaan. Ini karena adanya kenaikan harga faktor<br />

produksi sehingga produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai pada<br />

jumlah tertentu. Penawaran Total (Aggregate Supply) terus menurun karena<br />

semakin mahalnya biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung cukup<br />

lama, maka terjadilah inflasi yang disertai dengan resesi.<br />

44


Kenaikan biaya produksi yang menimbulkan Cost Push Inflation didorong<br />

oleh beberapa faktor sebagai berikut :<br />

a. Adanya tuntutan kenaikan upah dari para pekerja yang biasanya<br />

dikoordiniroleh organisasi serikat buruh atau Lembaga Swadaya<br />

Masyarakat (LSM).<br />

b. Adanya industri yang monopolis, yang memberikan kekuatan kepada<br />

pengusaha (produsen) untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan<br />

harga lebih tinggi. Hal tersebut membuat barga-harga produksi yang<br />

digunakan untuk industri mengalami kenaikan.<br />

c. Kenaikan bahan baku industri seperti terjadi pada tahun 1972-1973.<br />

d. Pemerintah terlaIu berambisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi<br />

dalam jumlah yang besar yang seharusnya dapat diserahkan kepada pihak<br />

swasta.<br />

e. Adanya efek psikologis di kalangan masyarakat seperti isu devaluasi yang<br />

menyebabkan permintaan masyarakat terhadap produk barang melonjak<br />

drastis. Keadaan demikian memicu timbulnya Cost Push lnflation.<br />

f. Berbagai golongan dan pelaku ekonomi berusaha memperoleh tambahan<br />

pendapatan yang lebih besar dengan cara menaikkan tingkat produktivitas<br />

mereka.<br />

g. Adanya kebijakan pemerintah baik yang bersifat ekonomi maupun non<br />

ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga, seperti kenaikan tarif<br />

angkutan umum, kenaikan tarif listrik.<br />

h. Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga<br />

45


seperti musim kemarau panjang yang mengakibatkan gagalnya pertanian.<br />

i. Pengaruh inflasi dari luar negeri terutama bagi negara-negara yang<br />

menganut system ekonomi terbuka atau pasar bebas. Meningkatnya harga<br />

barang impor dan komponen barn industri yang belum sanggup diproduksi<br />

di dalam negeri.<br />

2.4 Pertumbuhan Penduduk<br />

Penduduk merupakan sumber daya penting, di samping kekayaan alam,<br />

karena penduduk memegang peranan utama dalam mengubah lingkungan ke arah<br />

yang positif maupun negatif. Indonesia merupakan negara berkembang dengan<br />

jumlah penduduk terbesar keempat setelah RRC, India, dan Amerika Serikat.<br />

Besarnya jumlah penduduk Indonesia merupakan beban berat bagi masyarakat<br />

dan pemerintah mengingat setiap orang memerlukan ruang hidup yang mencukupi<br />

dalam memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.<br />

Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis<br />

Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang<br />

dari enam bulan tetapi bertujuan menetap. Menurut Ruslan H Prawiro, 1982:3<br />

Populasi atau penduduk adalah sejumlah mahluk sejenis (manusia) yang<br />

mendiami atau menduduki tempat tertentu (dunia) dan bagian-bagiannya.<br />

Pertumbuhan penduduk adalah keadaan yang dinamis antara jumlah<br />

penduduk yang bertambah dan jumlah penduduk yang berkurang. Pertumbuhan<br />

penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh empat faktor yaitu, kelahiran,<br />

kematian, migrasi keluar dan migrasi masuk. Faktor dominan yang mempengaruhi<br />

46


pertumbuhan penduduk di Indonesia adalah kelahiran dan kematian karena<br />

migrasi masuk dan migrasi keluar sangat rendah. Faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi tinggi rendahnya kelahiran dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor<br />

demografi dan non-demografi. Faktor demografi diantaranya struktur umur, status<br />

perkawinan, umur kawin pertama, sedangkan faktor non-demografi antara lain<br />

keadaan ekonomi penduduk, tingkat pendidikan, perbaikan status wanita,<br />

urbanisasi dan industrialisasi.<br />

Menurut kaum klasik, pada umumnya penduduk dipandang sebagai<br />

penghambat pembangunan apalagi dalam jumlah yang besar yang disertai dengan<br />

pertumbuhan penduduk yang tinggi. Dengan demikian penduduk dianggap<br />

sebagai beban pembangunan. Literatur klasik memandang jumlah penduduk besar<br />

hanya memperkecil pendapatan per kapita dan menimbulkan masalah<br />

kependudukan.<br />

Robert Malthus mengungkapkan bahwa “Masa depan umat manusia<br />

suram seandainya pertumbuhan penduduk tidak dapat dikendalikan”. Pernyataan<br />

ini sesuai jika dihubungkan dengan kondisi kepadatan penduduk Indonesia yang<br />

dilihat dari proporsi sangat tidak seimbang dengan laju pertumbuhan ekonomi.<br />

Pada akhirnya permasalahan kependudukan tumbuh subur dan memberikan<br />

dampak yang serius pada kesejahteraan masyarakat,<br />

Permasalah penduduk adalah masalah pertambahan jumlah penduduk<br />

yang sangat besar di negara-negara berkembang. Hal ini menimbulkan beberapa<br />

permasalahan pada upaya-upaya pembangunan karena disatu pihak pertambahan<br />

penduduk yang sangat pesat akan menimbulkan perkembangan tenaga kerja yang<br />

47


hampir sama cepatnya. Akan tetapi dilain pihak negara-negara itu mempunyai<br />

kemampuan yang jauh lebih terbatas untuk menciptakan kesempatan kerja baru.<br />

Sebagai akibat dari kedua keadaan yang bertentangan itu, pertambahan<br />

penduduk menimbulkan masalah-masalah berikut : (i) Jumlah pengagguran yang<br />

sejak berakhirnya perang dunia kedua sudah cukup serius keadaannya makin lama<br />

makin bertambah serius lagi; (ii) Perpindahan penduduk dari daerah daerah<br />

pedesaan ke kota-kota menjadi bertambah pesat dan menimbulkan masalah<br />

urbanisasi yang berlebih-lebihan; dan (iii) Pengangguran di kota-kota besar terus<br />

menerus bertambah jumlahnya. (Sadono Sukirno, 1985:173).<br />

2.4.1 Teori Kependudukan Modern<br />

1. Pandangan Merkantilisme<br />

Para ahli Merkantilisme menganggap jumlah penduduk yang banyak<br />

sebagai elemen yang penting dalam kekuatan negara. Menurut pendapat penganut<br />

merkantilisme, suatu negara yang jumlah penduduknya banyak mempunyai<br />

keuntungan tertentu, terutama jika ditinjau dari segi ekonomis dan politis. Jumlah<br />

penduduk yang banyak bukan saja merupakan faktor yang penting di dalam<br />

kekuasaan negara, tetapi malah memegang peranan dalam meningkatkan<br />

penghasilan dan kekayaan negara.<br />

2. Pandangan Kaum Fisiokrat<br />

Menurut pandangan kaum Fisiokrat, bahwa pertumbuhan seluruh ekonomi<br />

bukan ditentukan oleh jumlah penduduk, akan tetapi ditentukan oleh semakin<br />

banyaknya pertanian. Mereka sangat menentang kebijaksanaan golongan<br />

merkantilisme yang ingin memperbanyak jumlah penduduk walaupun bila perlu<br />

48


dengan menurunkan tingkat kehidupan. Meskipun demikian mereka juga ikut<br />

memberikan gambaran tentang pertumbuhan penduduk yang pada umumnya<br />

memadai dengan dilandasi oleh suatu kondisi bahwa bagaimanapun masih terbuka<br />

kesempatan untuk meningkatkan jumlah produksi pertanian dalam rangka<br />

menunjang pertambahan penduduk.<br />

3. Pandangan Cantilion (Merkantilisme)<br />

Bahwa tanah merupakan faktor utama yang dapat menentukan tinggi<br />

rendahnya kesejahteraan, selain itu dinyatakan pula bahwa jumlah penduduk akan<br />

terbatas karena jumlahnya akan dibatasi oleh jumlah makanan yang dapat<br />

diproduksi oleh tanah.<br />

2.4.2 Teori Transisi Demografi<br />

Salah satu teori kependudukan yang memberikan gambaran nyata tentang<br />

kependudukan serta kebijakannya adalah Teori Transisi Demografi. Teori ini<br />

menjelaskan bahwa teori dan kebijakan kependudukan berpangkal pada<br />

pengamatan-pengamatan tentang perubahan yang terjadi pada penduduk dari<br />

waktu ke waktu. Teori-teori kependudukan membahas sebab-sebab atau akibat-<br />

akibat dari struktur, jumlah dan penyebaran penduduk serta dinamika perubahan.<br />

Satu teori sosial modern yang utama ialah teori transisi demografis. Teori ini<br />

dikemukakan oleh Coale dan Hover (1985). Teori menyatakan bahwa setiap<br />

masyarakat memulai dengan fase angka kelahiran-kematian tinggi, kemudian<br />

disusul oleh fase menurunnya angka kematian sementara angka kelahiran masih<br />

tetap tinggi dan fase menurunnya angka kelahiran secara perlahan-lahan hinga<br />

berada pada angka kelahiran dan kematian rendah.<br />

49


Fase kelahiran dan kematian tinggi sejajar dengan fase perkembangan masyarakat<br />

tradisional agraris, dicirikan oleh ekonomi berlandaskan pertanian dengan<br />

pendapatan rendah. Unsur-unsur industrialisasi/modernisasi relatif belum<br />

berpengaruh. Tahap permulaan atau mulainya industrialisasi/ modernisasi suatu<br />

masyarakat untuk pertama kali berpengaruh atas angka kematian hingga<br />

mengalami penurunan. Ini bertalian dengan pengetahuan medis yang mulai maju,<br />

perawatan kesehatan dan perbaikan gizi. Turunnya angka kelahiran secara<br />

perlahan-lahan dimulai ketika masyarakat yang bersangkutan mengalami<br />

industrialisai/modernisasi yang cukup mendalam. Akhirnya ketika telah menjadi<br />

masyarakt industri atau masyarakat modern (unsur-unsur modernisasi telah<br />

berpengaruh secara mendalam) barulah dicapai angka kelahiran-kematian rendah.<br />

.<br />

2.5 Hasil Penelitian Sebelumnya<br />

2.5.1 Penelitian Ahmad Fahreza Zali (Yana Rohmana, 2004 : 74)<br />

Judul Penelitian : Analisis Pengaruh Kebijakan Fiskal Terhadap Distribusi<br />

Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Periode 1987 – 1997<br />

Model yang digunakan adalah sebagai berikut :<br />

Tingkat Distribusi Pendapatan :<br />

Ln Ginit = a0 + a1 LnTaxRatiot + a2 LnGDPt + a3 LnGovExpt + a4 LnPopGrowtht<br />

+ ut<br />

50


Tingkat Pertumbuhan Ekonomi :<br />

Ln Growtht = b0 + b1 LnTaxRatiot + b2 LnGovRt + b3 LnDomSGrt + b4<br />

Dimana :<br />

LnPopGrowtht + ut<br />

Ginit : indeks gini pada periode tersebut<br />

growtht<br />

TaxRatiot<br />

GovExpt<br />

: tingkat pertumbuhan PDB setiap tahunnya<br />

: rasio penerimaan pajak secara keseluruhan terhadap PDB<br />

: angka pengeluaran pemerintah tiap tahunnya<br />

Popgrowtht : tingkat pertumbuhan populasi penduduk setiap tahunnya<br />

DomSGrt<br />

GDPt<br />

: tingkat pertumbuhan tabungan domestik tiap tahunnya<br />

: angka PDB<br />

ut : gangguan stokastik<br />

a, b : konstanta<br />

Hasil estimasi persamaan tersebut adalah :<br />

Ln Ginit = -9,566 + 0,162 LnTaxRatio – 0,162 LnGDP<br />

(-3,267) (2,143) (-2,842)<br />

- 0,07454 LnGovExp + 0,0144 LnPopGrowth<br />

(-2,712) (1,835)<br />

R 2 = 0,963 Adjusted R 2 = 0,939 D – W Stat = 2,917 F stat = 39,496<br />

Ln Growtht = 60,493 – 2,99 LnTaxRatio + 1,4 LnGovR<br />

(2,381) (-2,502) (2,191)<br />

51


+ 0,228 LnDomSGr – 0,37 LnPopGrowth<br />

(1,745) (-2,964)<br />

R 2 = 0,780 Adjusted R 2 = 0,633 D – W Stat = 2,499 F-Stat = 5,316<br />

Hasil kesimpulan penelitian adalah :<br />

1. Pengaruh kebijakan fiskal terhadap distibusi pendapatan masyarakat Indonesia<br />

selama periode 1987 – 1997 adalah bahwa kebijakan fiskal yang diterapkan<br />

pemerintah, dalam hal ini rasio pajak terhadap PDB memberikan pengaruh<br />

0,162 % terhadap indeks distribusi pendapatan dan pengeluaran pemerintah<br />

memberikan pengaruh sebesar –0,075 % yang apabila pemerintah menaikan<br />

tingkat pajak sebesar 1 % maka indeks distribusi pendapatan naik sebesar<br />

0,162 % yang berarti tingkat distribusi pendapatan menjadi timpang,<br />

sedangkan pengeluaran pemerintah berpengaruh sebaliknya apabila<br />

pemerintah manambah alokasi pengeluaran pemerintah sebesar 1 % berakibat<br />

indeks distribusi pendapatan menurun sebesar 0,075 % yang berarti indeks<br />

distribusi pendapatan akan menjadi lebih merata selama periode observasi dan<br />

secara statistik signifikan. Sehingga kesimpulannya adalah pemerintah secara<br />

hati-hati menjalankan kebijakan fiskal secara berimbang dan selama observasi<br />

berjalan dengan baik.<br />

2. Pengaruh kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama<br />

periode 1987 – 1997 adalah bahwa kebijakan fiskal yang ditetapkan<br />

pemerintah, dalam hal ini rasio pajak terhadap PDB memberikan pengaruh<br />

negatif sebesar –2,99 % terhadap pertumbuhan ekonomi dimana ketika<br />

52


pemerintah menaikan rasio pajak sebesar 1 % maka terjadi penurunan<br />

pertumbuhan ekonomi sebesar 2,99 % selama periode observasi dan secara<br />

statistik signifikan. Sehingga pada periode 1980- an diberlakukan kebijakan<br />

fiskal yang ketat sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan<br />

memberikan hasil pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga akhir periode<br />

observasi. Sedangkan untuk penerimaan pemerintah selama periode tersebut<br />

mempengaruhi sebesar 1,40 sehingga setiap penambahan penerimaan<br />

pemerintah sebesar 1 % akan mengakibatkan perubahan pertumbuhan<br />

ekonomi sebesar 1,4 % dan dikarenakan pemerintah sementara berusaha<br />

menikan volume ekspor dan perbaikan iklim investasi serta deregulasi sektor<br />

pajak maka kebijakan fiskal yang diambil pada periode observasi cenderung<br />

hati-hati dan tidak semata mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.<br />

2.5.2 Penelitian Yuli Cinta Candrawati (Yana Rohmana, 2004 : 74)<br />

Judul Penelitian : Analisis Pengaruh Anggaran Pengeluaran Sektor Pertanian dan<br />

Industri Terhadap Distribusi Pendapatan di Indonesia Periode 1986 – 1995.<br />

Model yang digunakan dalam penelitiannya sebagai berikut :<br />

Y = a + bX1 + bX2 + e<br />

Diamana :<br />

Y = Distribusi Pendapatan<br />

X1 = Anggaran pengeluaran sektor pertanian<br />

X2 = Anggaran pengeluaran sektor industri<br />

53


Dalam penelitian ini R 2 yang diperoleh sebesar 0,5097 dan adjusted R 2<br />

sebesar 0,3696. semua variabel dalam penelitian ini tidak signifikan pada<br />

tingkat 5 %.<br />

2.5.3 Penelitian Yana Rohmana (2004)<br />

Judul Penelitian : Analisis Pengaruh Kebijakan Fiskal Terhadap Distribusi<br />

Pendapatan di Indonesia Periode 1980-2002<br />

Model yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :<br />

dimana :<br />

Y = a0 + a1X1 + a 2X 2 + a3X3 + a4X4 + ut<br />

Y : Koefisien Gini Indonesia<br />

X1 : Rasio komposisi pajak penghasilan terhadap total pajak<br />

X2 : Rasio komposisi anggaran pengeluaran rutin dan pembangunan sektor<br />

KUKM terhadap total anggaran<br />

X3 : Rasio komposisi anggaran pengeluaran rutin dan pembangunan sektor<br />

pendidikan terhadap total anggaran<br />

X4 : Rasio komposisi anggaran pengeluaran rutin dan pembangunan sektor<br />

pertanian terhadap total anggaran<br />

a0 : Konstanta<br />

a1, a2, a3, a4 : Koefisien arah regresi (parameter/estimator/penaksir)<br />

Hasil estimasi persamaan tersebut adalah :<br />

Pengolahan data pertama, penulis lakukan dengan beberapa asumsi data<br />

yaitu semua variabel diikutsertakan ke dalam model regresi, nilai yang hilang<br />

(missing value) pada Y dibuang sebanyak tiga dan diikuti oleh variabel lain juga<br />

54


mengeluarkan data ekstrim sebanyak dua sehingga jumlah sampel (N) yang<br />

diregresikan adalah 18 (23 – 5). Adapun hasil estimasi OLS pada pengolahan<br />

pertama dengan metode enter adalah sebagai berikut :<br />

ESTIMASI MODEL REGRESI DENGAN METODE ENTER<br />

Ŷ = 23,885 – 0,0356 X1 – 0,734 X2 + 1,859 X3 – 0,988 X4<br />

( 3,310) (0,032) (2,462) (0,519) (0,478)<br />

t = (7,216) (-1,115) (-0,298) (3,579) (-2,069)<br />

R = 0,750 R 2 = 0,562<br />

R 2 ADJ = 0,428 DW = 2,618<br />

Keterangan :<br />

Ŷ : Koefisien Gini<br />

X1<br />

X2<br />

X3<br />

X4<br />

: PPh<br />

: Anggaran Sektor KUKM<br />

: Anggaran Sektor Pendidikan<br />

: Anggaran Sektor Pertanian<br />

Dari model regresi di atas, koefisien determinasi (R 2 ) menunjukkan angka<br />

yang cukup baik yaitu 0,562 dan koefisien determinasi yang disesuaikan 0,428 hal<br />

ini menunjukkan bahwa variabel yang dipilih belum baik walaupun dapat<br />

dikatakan cukup. Kemudian dari hasil regresi diperoleh juga ada beberapa<br />

variabel yang tidak signifikan pada taraf signifikansi yang ditentukan (5%), yaitu<br />

55


pajak penghasilan, anggaran KUKM, dan anggaran pertanian. Oleh karena itu<br />

untuk mendapatkan hasil regresi yang baik dipergunakan metode BACKWARD<br />

sehingga diperoleh hasil regresi baru sebagai berikut :<br />

Keterangan :<br />

Ŷ : Koefisien Gini<br />

X3<br />

X4<br />

Ŷ = 22,493 + 1,756 X3 – 0,814 X4<br />

(2,798) (0,444) (0,327)<br />

t = (8,038) (3,951) (-2,491)<br />

R = 0,714 R 2 = 0,510<br />

R 2 ADJ = 0,445 DW = 2,462<br />

: Anggaran Sektor Pendidikan<br />

: Anggaran Sektor Pertanian<br />

Hasil kesimpulan penelitian adalah :<br />

Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai R = 0,714 , R 2 = 0,510 dan R 2<br />

yang disesuaikan 0,445. Dengan didukung oleh berbagai asumsi OLS yang<br />

meliputi uji normalitas, linieritas serta stasioneritas (multikolinieritas,<br />

heteroskedastis, dan autokorelasi) dan memenuhi unsur BLUE (Best Linier<br />

Unbiased Estimator). Maka dapat diindikasikan bahwa model regresi yang dibuat<br />

sudah baik dan tepat digunakan untuk memprediksikan (forecasting) faktor-faktor<br />

yang mempengaruhi distribusi pendapatan di Indonesia.<br />

56


Adapun dua variabel independent yang tidak signifikan dalam penelitian ini yaitu<br />

pajak penghasilan dan anggaran pengeluaran sektor koperasi usaha kecil dan<br />

menengah dikeluarkan dari model regresi, hal tersebut dapat diakibatkan sejumlah<br />

rentang waktu penelitian data menunjukkan perubahan yang relatif stabil sehingga<br />

tidak terlihat adanya pengaruh yang sangat signifikan pada perubahan distribusi<br />

pendapatan selama rentang waktu penelitian 1980 – 2002 dan adanya fahtor di<br />

luar itu yang belum dimasukan yang berpengaruh besar seperti tingkat<br />

pertumbuhan penduduk, kebijakan prioritas pembangunan, ketidaksetaraan<br />

anugerah awal baik harta fisik maupun kepandaian, serta faktor lainnya.<br />

Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa 51 % distribusi pendapatan di<br />

Indonesia dibentuk secara bersama-sama oleh anggaran pengeluaran sektor<br />

pendidikan dan anggaran pengeluaran sektor pertanian.<br />

Dari estimasi model penelitian, pada derajat kepercayaan 100 %,<br />

didapatkan bahwa setiap kenaikan anggaran pengeluaran sektor pendidikan<br />

sebesar 1 %, maka ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan naik sebesar<br />

1,756 % atau sebaliknya. Artinya, ketika anggaran pengeluaran sektor pendidikan<br />

ditingkatkan yang terjadi bukannya pemerataan pendapatan, tapi sebaliknya<br />

semakin memperluas jurang perbedaan diantara masyarakat Indonesia.<br />

2.5.4 Penelitian Dedi Setiadi Saputra (2008)<br />

Judul Penelitian : Pengaruh Investasi Padat Modal, Tingkat Inflasi, dan Tingkat<br />

Upah Terhadap Kesenjangan Pendapatan di Indonesia Periode 1984-2006<br />

Model yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut :<br />

57


Y<br />

Keterangan:<br />

= 0 1 1 2 2 3 3<br />

β + β X + β X − β X + ε<br />

Y = Kesenjangan Pendapatan<br />

X1<br />

X2<br />

X3<br />

ß0<br />

= Investasi Padat Modal<br />

= Tingkat Inflasi<br />

= Tingkat Upah<br />

= Konstanta<br />

ß1,2,3 = Koefisien arah Regresi ( parameter/ estimator/ penaksir )<br />

ε = Variabel pengganggu<br />

Hasil estimasi persamaan tersebut adalah :<br />

KP = 0,115457 + 0, 009828 PM + 0,001170 TI – 0,000774 TU<br />

t = (3,041858) (5,644495) (3,607183) (-1,554902)<br />

R 2 = 0,647742<br />

R 2 ADJ = 0,592<br />

F stat = 11,645<br />

Hasil kesimpulan penelitian adalah :<br />

1. Investasi padat modal ( X1 ) berpengaruh positif dan signifikan terhadap<br />

Kesenjangan pendapatan, artinya semakin banyak investasi yang ditanamkan<br />

pada industri yang padat modal akan mengakibatkan kesenjangan pendapatan<br />

yang semakin tinggi.<br />

2. Tingkat inflasi ( X2 ) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesenjangan<br />

pendapatan, artinya semakin tinggi tingkat inflasi ( kenaikan harga barang<br />

58


secara umum dan terus menerus ) akan menyebabkan kondisi kesenjangan<br />

pendapatan yang semakin melebar diantara golongan masyarakat Indonesia.<br />

3. Tingkat upah ( X3 ) tidak berpengaruh terhadap kesenjangan<br />

pendapatan,tetapi memiliki koefisien negatif yang artinya semakin tinggi upah<br />

yang diberikan kepada pekerja ( karyawan ) maka akan membuat kondisi<br />

kesenjangan pendapatan yang semakin kecil.<br />

2.6 Kerangka Pemikiran<br />

Masalah distribusi pendapatan mengandung dua aspek. Aspek pertama<br />

adalah bagaimana menaikkan tingkat kesejahteraan mereka yang masih berada di<br />

bawah garis kemiskinan, sedang aspek kedua adalah pemerataan pendapatan<br />

secara menyeluruh dalam arti mempersempit perbedaan tingkat pendapatan antar<br />

penduduk atau rumah tangga. Keberhasilan mengatasi aspek yang pertama dapat<br />

dilihat dari penurunan persentase penduduk yang masih berada di bawah garis<br />

kemiskinan. Sementara keberhasilan memperbaiki distribusi pendapatan secara<br />

menyeluruh, adalah jika laju pertambahan pendapatan golongan miskin lebih<br />

besar dari laju pertambahan pendapatan golongan kaya.<br />

Dalam usaha untuk menanggulangi kemiskinan dan ketidakmerataan<br />

distribusi pendapatan di negara-negara berkembang, perlu diketahui bagaimana<br />

cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila perhatian lebih ditujukan<br />

pada kewajaran distribusi pendapatan pada umumnya, dan upaya untuk<br />

meningkatkan tingkat pendapatan golongan bawah 40 % penduduk pada<br />

khususnya, maka perlu dipahami berbagai faktor yang mempengaruhi distribusi<br />

59


pendapatan, dan perlu juga diketahui upaya-upaya pemerintah agar dapat<br />

mempengaruhi atau mengubah efek yang tidak menguntungkan dari<br />

kebijaksanaan-kebijaksanaan masa lalu yang dirasa tidak menguntungkan<br />

tersebut.<br />

Menurut W. Arthur Lewis ( 1962 : 34 ) semua pemerintah modern<br />

menjunjung tinggi asas persamaan dan berupaya menghapuskan pendapatan yang<br />

di satu pihak berlebihan banyaknya sedangkan di lain pihak terlalu sedikit. Untuk<br />

menjawab ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :<br />

1. Membagi-bagi kembali pendapatan itu dengan cara pemungutan pajak.<br />

2. Mengubah faktor-faktor pokok yang menentukan distribusi pendapatan<br />

sedemikian rupa sehingga distribusi pendapatan sebelum pengambilan pajak<br />

telah menjadi sama.<br />

Dengan cara pembagian kembali pendapatan berlangsung terus dengan<br />

memungut pajak dari pendapatan-pendapatan orang kaya, dan mempergunakan<br />

hasil pemungutan pajak itu untuk menambah pendapatan orang-orang miskin<br />

merupakan cara yang paling banyak di pakai menurut Lewis dibanding cara<br />

revolusi. Meskipun demikian, menurut Lewis kembali, cara perpajakan kurang<br />

bijak karena dapat menghambat semangat berinvestasi. Oleh karena itu, maka<br />

lebih penting jika mengambil tindakan memperbesar persamaan pendapatan<br />

sebelum kena pajak.<br />

Dua faktor pokok tersebut sependapat dengan yang diungkapkan oleh<br />

Komaruddin ( 1978 : 76 ) bahwa : “ kiranya di dalam perekonomian yang<br />

menunjukkan bahwa pendapatan terutama diterima dari penjualan sumber-sumber<br />

60


produksi atau penjualan jasa-jasa sumber produksi tersebut, akan kita temukan<br />

dua faktor yang akan membawa ketidaksamaan, yaitu : ( 1 ) perbedaan penilaian<br />

keahlian dan bakat perseorangan. ( 2 ) perbedaan jumlah pendapatan yang<br />

menciptakan milik yang dikuasai setiap orang .”<br />

Mereka yang miskin bukan karena mereka menganggur, tapi karena<br />

pendapatan mereka yang rendah. Mengapa pendapatan mereka rendah ? bagi ahli<br />

ekonomi klasik jawabannya sederhana- upah rendah karena pekerja tidak<br />

produktif. Kebijakan untuk merubah pembagian pendapatan yang akan diterima<br />

penduduk selalu menjadi bahan pemikiran utama dalam perencanaan-perencanaan<br />

pemerintah, walaupun untuk sebagian besar berlandaskan pada etika.<br />

Menurut Komaruddin ( 1978 : 77 ) pemerintah pada dasarnya dapat<br />

mengubah distribusi pendapatan itu dengan berbagai cara. Sedikitnya ada tiga<br />

buah cara untuk mencapai sasaran rencana tersebut, yaitu : (1). Pemerintah dapat<br />

mengatur kembali distribusi pendapatan melalui upayanya untuk mengubah pola<br />

milik atas sumber-sumber. Untuk merubah pola itu beberapa negara telah<br />

memungut pajak kematian. Yang lainnya menetapkan batas jumlah pendapatan<br />

yang menciptakan milik yang dapat dikuasai orang. (2). Pemerintah dapat<br />

mengatur kembali distribusi pendapatan dengan mencoba untuk mengubah pola<br />

harga sumber-sumber ekonomi, melalui penetapan upah yang terendah atau harga<br />

terendah untuk hasil produksi tertentu. (3). Pemerintah dapat mengubah<br />

pendapatan perseorangan yang bebas dari milik sumber-sumber ekonomi atau<br />

harga sumber-sumber dengan pajak pendapatan perseorangan atau kebijakan yang<br />

61


mempengaruhi tenaga beli di satu pihak dan pengeluaran umum di pihak yang lain<br />

untuk membantu golongan yang berpendapatan rendah.<br />

Menurut Irma Adelman dan Cynthia Taft Morris ( Lincolin Arsyad, 1988<br />

: 58 ) ada delapan faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi<br />

pendapatan di negara-negara berkembang : (1). Pertambahan Penduduk yang<br />

Semakin Tinggi yang Menyebabkan Pendapatan Per Kapita yang Semakin<br />

Menurun ; (2). Inflasi, dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti<br />

secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang; (3).<br />

Ketidakmerataan Pembangunan Antar Daerah; (4). Investasi yang sangat banyak<br />

dalam proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase pendapatan dari<br />

harta tambahan besar dibandingkan dengan persentase pendapatan berasal dari<br />

kerja, sehingga pengangguran bertambah; (5). Rendahnya Mobilitas Sosial; (6).<br />

Pelaksanaan Kebijakan Industri Substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan<br />

harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan<br />

kapitalis; (7). Memburuknya Nilai Tukar bagi negara-negara sedang berkembang<br />

dalam perdagangan dengan negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan<br />

permintaan negara-negara terhadap barang-barang ekspor negara sedang<br />

berkembang; (8). Hancurnya Industri-Industri Kerajinan Rakyat seperti<br />

pertukangan, industri rumah tangga,dan lain-lain.<br />

Menurut Anne Booth dan R.M.Sundrum dalam H.W. Arndt (1983 : 67),<br />

ada beberapa determinan distribusi pendapatan di Indonesia, yaitu : (1). Pemilikan<br />

dan distribusi tanah pertanian; (2). Perolehan lahan; (3). Penggantian upah dan<br />

62


tenaga kerja di pedesaan; (4). Term of trade sektor pertanian; (5). Perolehan<br />

pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan; (6). Disparitas perkotaan-pedesaan.<br />

Menurut M.P.Todaro ( 2004 : 262 - 269 ), bahwa ada empat bidang luas<br />

yang terbuka bagi intervensi pemerintah masing-masing berkaitan erat dengan<br />

keempat element pokok yang merupakan faktor-faktor penentu utama atau baik<br />

tidaknya kondisi-kondisi distribusi pendapatan di sebagian negara berkembang.<br />

Adapun keempat elemen pokok tersebut adalah : (1). Distribusi fungsional; (2).<br />

Distribusi ukuran; (3). Program redistribusi pendapatan; (4). Peningkatan<br />

distribusi pendapatan langsung, terutama bagi kelompok-kelompok masyarakat<br />

yang berpenghasilan yang relatif rendah.<br />

Sedangkan menurut Procovicth, (Suyatno, 2009 : 17) penyebab<br />

kesenjangan pendapatan dikarenakan adanya: (1). Pertumbuhan ekonomi; (2).<br />

Pertumbuhan penduduk; (3). Perkembangan kota dan desa. Dia menjelaskan<br />

bahwa penyebab utama kesenjangan distribusi pendapatan adalah : 1. Konsentrasi<br />

kekayaan pada kelompok atas; 2. Kurang efektifnya pajak progresif dan subsidi;<br />

3. Terjadinya akumulasi kepemilikan modal; 4. Aspek kualitas sumberdaya<br />

manusia. Distribusi pendapatan yang baik akan mengurangi kesenjangan ekonomi<br />

antar keluarga sehingga akan mengurangi kesenjangan dalam pendapatan dan<br />

konsumsi pangan/gizi.<br />

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu dari beberapa faktor yang<br />

sangat mempengaruhi distribusi pendapatan, hal ini ada beberapa pendapat :<br />

Pendapat Kuznets (1995) yaitu, dalam jangka pendek ada korelasi positip<br />

antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan kesenjangan pendapatan. namun<br />

63


dalam jangka panjang hubungan keduanya menjadi korelasi yang negatif. Artinya,<br />

dalam jangka pendek meningkatnya pendapatan akan diikuti dengan<br />

meningkatnya kesenjangan pendapatan, namun dalam jangka panjang<br />

peningkatan pendapatan akan diikuti dengan penurunan kesenjangan pendapatan.<br />

Fenomena ini dikenal dengan nama “Kurva U terbalik dari Hipotesis Kuznets”,<br />

atau bisa dikatakan bahwa mula-mula ketika pembangunan dimulai, distribusi<br />

pendapatan akan semakin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat<br />

pembangunan tertentu, distribusi pendapatan semakin merata. (Mudrajad<br />

Kuncoro:2005).<br />

Evolusi kesenjangan dalam distribusi pendapatan pada awalnya<br />

didominasi oleh apa yang disebut Hipotesa Kuznetz. Dengan memakai data antar<br />

Negara (cross-section) dan data dari sejumlah survey/observasi disetiap negara<br />

(time series), Simon Kusnetz menemukan relasi antara kesenjangan pendapatan<br />

dan tingkat pendapatan per kapita berbentuk U terbalik. Hasil ini diinterpretasikan<br />

sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari suatu<br />

ekonomi pedesaan (rural) ke suatu ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi<br />

industri. Pada awal proses poembangunan, ketimpangan dalam distribusi<br />

pendapatan naik sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi, pada<br />

akhir proses pembangunan, ketimpangan menurun, yakni pada saat sektor industri<br />

di daerah perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang<br />

datang dari pedesaan (sektor pertanian) atau pada saat pangsa pertanian lebih kecil<br />

di dalam produksi dan penciptaan pendapatan.<br />

64


Ada dua pendapat dari hasil studi empiris yang menguji hipotesis Kusnetz,<br />

dengan menggunakan data makro dari sejumlah negara yaitu pertama, sebagian<br />

besar studi-studi itu mendukung hipotesis Kuznets, sedangkan sebagian lainnya<br />

menolak, misalnya, Bruno dkk (1995), Deininger dan Squire (1995,1996) dan<br />

Barro (1999) tidak menunjukkan adanya suatu relasi yang sistematis antara<br />

pertumbuhan pendapatan dan pola distribusinya. Juga studi dari Papenek (1978)<br />

yang mencakup 61 negara menunjukkan relasi antara tingkat ketimpangan<br />

distribusi pendapatan dan tingkat pembangunan (yang dilihat dari tingkat<br />

pendapatan) tidak signifikan. Walaupun hipotesis itu diterima, namun sebagian<br />

besar dari studi-studi tersebut menunujukkan bahwa relasi positif antara<br />

pertumbuhan dan pemerataan pada periode jangka panjang hanya terbukti nyata<br />

untuk kelompok negara-negara industri maju (kelompok negara-negara dengan<br />

tingkat pendapatan yang tinggi).<br />

Teori Karl Mark (1787) Mark berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi<br />

pada tahap awal pembangunan akan meningkatkan permintaan tenaga kerja.<br />

Kenaikan tingkat upah dari tenaga kerja selanjutnya berpengaruh terhadap<br />

kenaikan resiko kapital terhadap tenga kerja sehingga terjadi penurunan terhadap<br />

permintaan tenaga kerja. Akibatnya timbul masalah pengangguran dan<br />

ketimpangan pendapatan. Singkatnya, pertumbuhan ekonomi cenderung<br />

mengurangi masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendaptan hanya<br />

pada tahap awal pembangunan, kemudian pada tahap selanjutnya akan terjadi<br />

sebaliknya.<br />

65


Para ekonom klasik (Roberti, 1974), Hayani dan Rufffan (1985),<br />

mengemukakan pertumbuhan ekonomi akan selalu cenderung mengurangi<br />

kemiskinan dan ketimpangan pendapaatan walaupun masih dalam tahap awal<br />

pertumbuhan. Bukti empiris dari pandangan ini berdasarkan pengamatan di<br />

beberapa negara seperti Taiwan, Hongkong, Singapura, RRC. Kelompok Neo<br />

klasik sangat optimis bahwa pertumbuhan ekonomi pada prakteknya cenderung<br />

mengurangi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan.<br />

Pendapat Neo Marxist menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi justru<br />

akan selalu menyebabkan melebarnya jurang ketimpangan antara si kaya dan si<br />

miskin. Hal ini terjadi karena adanya akumulasi modal dan kemajuan teknologi<br />

yang cenderung meningkatkan konsentrasi penguasaan sumberdaya dan kapital<br />

oleh para penguasa modal kelompok “elit” masyarakat. Sebaliknya nonpemilik<br />

modal akan tetap berada dalam keadaaan kemiskinan.<br />

Pengaruh inflasi terhadap distribusi pendapatan banyak ragamnya. Kurva<br />

Philips menyatakan bahwa apabila laju inflasi tinggi, maka tingkat pengangguran<br />

akan turun. Slope negatif ini menunjukkan adanya trade off antara inflasi dan<br />

pengangguran. Inflasi yang tinggi akan berdampak pada sektor ekonomi yang<br />

lain, seperti tingkat suku bunga, investasi, dan konsumsi masyarakat. Sedangkan<br />

rendahnya tingkat pengangguran dapat mencerminkan distribusi pendapatan yang<br />

lebih merata, meningkatkan konsumsi, meningkatkan produksi nasional dan pada<br />

akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.<br />

Terjadinya trade off antara inflasi dan pengangguaran maka para<br />

pengambil kebijakan dihadapkan pada dua pilihan, apakah harus menerima inflasi<br />

66


yang tinggi dengan tingkat pengangguran yang rendah atau sebaliknya. Hal ini<br />

akan berpengaruh terhadap GDP, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap<br />

pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan itu hukum Okun (Okun law) menyatakan<br />

bahwa setiap pengurangan pengangguran satu persen, maka GDP riil akan naik<br />

2,5 persen (Dornbusch, 1986). Dengan demikian pengambil kebijakan harus<br />

melihat kerugian-kerugian dari pengangguran dan masalah yang timbul bila laju<br />

inflasi tinggi. Pembuat kebijakan harus memutuskan berapa banyak pengangguran<br />

yang bisa diterima dan berapa besar laju inflasi yang bisa ditolerir untuk mencapai<br />

keseimbangan intern.<br />

Inflasi, dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara<br />

proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang, akan menyebabkan<br />

ketidakmerataan distribusi pendapatan di Negara-negara berkembang. ( Lincolin<br />

Arsyad, 1988 : 58 )<br />

Inflasi akan menyebabkan turunnya pendapatan riil masyarakat yang<br />

memiliki pendapatan tetap. Karena dengan penghasilan yang relatif tetap, mereka<br />

tidak dapat menyesuaikan pendapatannya dengan kenaikan harga yang disebabkan<br />

karena inflasi. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki penghasilan yang dinamis<br />

(pedagang dan pengusaha misalnya), seringkali mendapat manfaat dari adanya<br />

kenaikan harga tersebut, dengan cara menyesuaikan harga jual produknya.<br />

Dengan demikian pendapatan yang mereka peroleh secara otomatis akan<br />

tersesuaikan, dan tidak jarang dengan persentase yang lebih besar sehingga akan<br />

memperbesar kesenjangan pendapatan. Dampak ini sering disebut dengan efek<br />

terhadap pendapatan (Equity Effect). ( Nopirin, 2000: 32)<br />

67


Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena<br />

nilai mata uang semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga,<br />

namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang<br />

enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena,<br />

untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari<br />

tabungan masyarakat.<br />

Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi<br />

menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang<br />

lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak<br />

yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai uang<br />

pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.<br />

Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang<br />

diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi,<br />

produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi<br />

pada pengusaha besar). Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi<br />

hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk<br />

meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk<br />

sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha<br />

produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha<br />

kecil).<br />

Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di<br />

suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal<br />

yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan<br />

68


ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan<br />

kesejahteraan masyarakat.<br />

Upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan, maka peran Bank<br />

sentral harus segera memainkan peranan penting dalam mengendalikan inflasi.<br />

Bank sentral suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi<br />

pada tingkat yang wajar. Beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan<br />

yang independen dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh<br />

pihak di luar bank sentral -termasuk pemerintah. Hal ini disebabkan karena<br />

sejumlah studi menunjukkan bahwa bank sentral yang kurang independen -- salah<br />

satunya disebabkan intervensi pemerintah yang bertujuan menggunakan kebijakan<br />

moneter untuk mendorong perekonomian -- akan mendorong tingkat inflasi yang<br />

lebih tinggi.<br />

Bank sentral umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan/atau<br />

tingkat suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu,<br />

bank sentral juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang<br />

domestik. Hal ini disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal<br />

(dicerminkan oleh tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs). Saat ini pola inflation<br />

targeting banyak diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia, termasuk<br />

oleh Bank Indonesia.<br />

Faktor selanjutnya adalah pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap<br />

distribusi pendapatan. Menurut kaum klasik, pada umumnya penduduk<br />

dipandang sebagai penghambat pembangunan apalagi dalam jumlah yang besar<br />

yang disertai dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Dengan demikian<br />

69


penduduk dianggap sebagai beban pembangunan. Literatur klasik memandang<br />

jumlah penduduk besar hanya memperkecil pendapatan per kapita dan<br />

menimbulkan masalah kependudukan.<br />

Robert Malthus mengungkapkan bahwa “Masa depan umat manusia<br />

suram seandainya pertumbuhan penduduk tidak dapat dikendalikan”. Pernyataan<br />

ini sesuai jika dihubungkan dengan kondisi kepadatan penduduk Indonesia yang<br />

dilihat dari proporsi sangat tidak seimbang dengan laju pertumbuhan ekonomi.<br />

Thomas Robert Malhus, seorang pendeta Inggris (1766-1834) teorinya<br />

diawali dengan karangan (1978) yang berjudul :” Essai on Principple of<br />

population as it affect the future improvement of society, with remarks and<br />

speculations of Mr. Godwin, M.Condocoret Writers “ yang menyatakan bahwa<br />

penduduk (seperti juga tumbuh-tumbuhan dan binatang) apabila tidak ada<br />

pembatasan, akan berkembang biak dengan cepat dan memenuhi dengan cepat<br />

permukaan bumi. Tingginya pertumbuhan penduduk ini disebabkan karena<br />

hubungan badan antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dihentikan.<br />

Permasalah penduduk adalah masalah pertambahan jumlah penduduk<br />

yang sangat besar di negara-negara berkembang. Hal ini menimbulkan beberapa<br />

permasalahan pada upaya-upaya pembangunan karena disatu pihak pertambahan<br />

penduduk yang sangat pesat akan menimbulkan perkembangan tenaga kerja yang<br />

hampir sama cepatnya. Akan tetapi dilain pihak negara-negara itu mempunyai<br />

kemampuan yang jauh lebih terbatas untuk menciptakan kesempatan kerja baru.<br />

Sebagai akibat dari kedua keadaan yang bertentangan itu, pertambahan<br />

penduduk menimbulkan masalah-masalah berikut : (i) Jumlah pengagguran yang<br />

70


sejak berakhirnya perang dunia kedua sudah cukup serius keadaannya makin lama<br />

makin bertambah serius lagi; (ii) Perpindahan penduduk dari daerah daerah<br />

pedesaan ke kota-kota menjadi bertambah pesat dan menimbulkan masalah<br />

urbanisasi yang berlebih-lebihan; dan (iii) Pengangguran di kota-kota besar terus<br />

menerus bertambah jumlahnya. (Sadono Sukirno, 1985:173).<br />

Dari uraian diatas sangat jelas bahwa pertumbuhan ekonomi, inflasi dan<br />

pertumbuhan penduduk dapat mempengaruhi distribusi pendapatan di Indonesia.<br />

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akan mempengaruhi naik dan turunnya<br />

distribusi pendapatan, inflasi yang semakin tinggi dan tidak bisa dikendalikan<br />

akan menyebabkan perekonomian terbengkalai dan masyarakat semakin tidak<br />

dapat menikmati hasil pembangunan, begitu pula kenaikan jumlah penduduk yang<br />

tidak terkendali akan menambah tingginya distribusi pendapatan, akhirnya<br />

kesenjangan pendapatanpun akan semakin melebar. Maka dengan ini dapat dibuat<br />

sebuah paradigma berpikir sebagai berikut :<br />

Pertumbuhan Ekonomi<br />

(X1)<br />

Inflasi<br />

( X 2 )<br />

Pertumbuhan Penduduk<br />

X 3<br />

Gambar 2.5<br />

Paradigma Pemikiran<br />

Distribusi Pendapatan<br />

( Y )<br />

71


2.7 Hipotesis<br />

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis yang diajukan<br />

adalah sebagai berikut :<br />

1. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap distribusi pendapatan<br />

di Indonesia.<br />

2. Inflasi berpengaruh negatif terhadap distribusi pendapatan di Indonesia.<br />

3. Pertumbuhan penduduk berpengaruh negatif terhadap distribusi<br />

pendapatan di Indonesia.<br />

72

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!