11.12.2012 Views

Unknown

Unknown

Unknown

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

FEBRUARI 2005<br />

Siapa pun penonton televisi dan pembaca koran pasti ingat peristiwa<br />

nahas tersebut. Meutya Hafid, seorang reporter Metro TV dan Budiyanto.<br />

juru kamera yang mendampinginya, disandera oleh Mujahidin Irak. Mereka<br />

diculik tiba-tiba saat sedang berhemidi sebuah POM Ben sin. Seluruh<br />

bangsa pun khawatir.berdoademi keselamatan mereka, dan<br />

mengusahakan pembebasan secepatnya.<br />

168 jam lamanya Meutya dan Budi berada dalam sandera. Di dalam


sebuah gua kecil di tengah gurun Ramadi. Tidur beralaskan batuan dan<br />

dibuai oleh suara bom dan tembakan. Di sana mereka belajar tentang<br />

kepasrahan total kepada Yang Kuasa, karena telah begitu dekatnya<br />

dengan kata "mau". Di sana mereka diingatkan, bahwa jika Tuhan<br />

menghendaki, segalanya bisa terjadi. Dan, di sana pula mereka berdua<br />

disadarkan, betapa nyawa sangat berharga.dibandingkan berita pating<br />

eksklusif sekalipun.<br />

"... (Memoar ini] mempunyai premis: iman yang teguh sanggup<br />

mengatasi bahaya dan kesulitan. Meutya Halid telah membuktikan premis<br />

int secara cemerlang, dengan setting medan perang Irak yang sampai<br />

sekarang dihantam gejolak terus ... saya katakan, dengan tampilnya<br />

Meutya: a star is born. Seorang bintang telah lahir." —H. Roslhan Anwar<br />

Wartawan Sonlot<br />

" ... bukan hanya tentang 168 )am penyanderaan yang dramatis, lebih<br />

dan Itu. kita semakin mengenal sosok seorang Meutya." —Jeffrie<br />

Geovante<br />

The Tnooficilan Inti «u t o<br />

N O N F I K S<br />

Meutya Hafid<br />

PENGANTAR<br />

Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono<br />

168 JAM DALAM<br />

SANDERA<br />

¦<br />

MEMOAR JURNALIS INDONESIA VAN6-DISANDERA 01 IRAK<br />

tak kuasa ketangguhai<br />

n menyentuh ... beberapa kali saya idak hanya bercerita tentang<br />

ketabahan dan uga menyadarkan kita tentang pentingnya ari<br />

kepasrahan dan penyerahan diri kepada kuasa Tuhan."<br />

—Dian Sastrowardoyo<br />

Pekerja Seni<br />

"Buku Ini berisi kegigihan seorang reporter, komit men kepada<br />

profesi, serta keberanian dan keteguhan sikap. Saya seboga pimpinan<br />

Metro TV. yang idah mengupayakan keselamatan Meutya dan Budiyanto.<br />

ber bangga had dengan terbitnya buku ini* —Surya Paloh Pemimpin<br />

Umum Media Group<br />

" _ sangat menarik, berisi pengalaman pahit yang langka, dilukis oleh<br />

gejolak hati anak manusia yang mengalaminya Melalui memoar ini sekali<br />

lagi terbukti bahwa perbedaan dapat dipertemukan oleh kemanusiaan<br />

dan bahwa setelah, bahkan bersama, kesulitan ada kemudahan.' -Prof.<br />

Dr. M. Quralsh Shihab Oaektur Pusat Studi Jakarta<br />

'..dengan keyakinan yang teguh kepada Allah. Swt. komitmen yang<br />

utuh pada profesinya, serta ketegaran dalam tekanan dan musibah<br />

kehidupan, seorang Meutya Hafrd akhirnya lolos dan Mus dari kelompok<br />

ktny Al-Mvjohidinr<br />

Prof Or. M.Amien Rail<br />

Guru Sesar Ilmu PoMk Ur-wruin G*d>ah Mada, Yogyakarta<br />

'Dalam buku kecil ini penulis mengisahkan pengalamannya selama<br />

ditahan oleh Mujahidin kak. Mereka adalah tentara Alah yang<br />

perjuangannya semata mala membela Islam dan kaum Mu\lim . Karena


tujuan perjuangannya semata-mata mencari ncha Allah, bukan<br />

kemewahan dun*, maka dalam melaksanakan lugas suci ini mereka<br />

dibimbing oieh syariat islam sehingga berakhlak mulia-'<br />

—Uitai Abu Bakar Ba'asyir<br />

Ketua Mujahian inde-wua<br />

'Pengalaman Meutya, perempuan yang tegar dan penuh tawakal<br />

dalam menghadapi mu srbah. selama tujuh hari di bawah penyanderaan,<br />

sangat bermanfaat untuk menyadarkan kru. betapa kekerasan atas nama<br />

agama tidak dapat dibenarkan walau diakukan aus dafch melawan<br />

kelaliman."<br />

—Prof. Dr. M. Din Syamsuddin<br />

¦etua Umum PP Muhammadiyah<br />

'Dengan buku Ini terbukti kebenaran ungkapan (iodo yang (xi lu<br />

dirofcurr fcrcuoft tttakuStm mi sendi».*<br />

—KH. Abdurrahman Wahid<br />

Wjn:*! "iiuj u-rum Ctf Mindliiul d Jmj<br />

"Sangat menggugah dan informatif, memberi gambaran kepada<br />

setiap orang yang beken* ataupun yang tertarik pada dunia jurnalistik<br />

mengenai suka duka dan lika liku di dalamnya."<br />

-Nicholas Saputra<br />

•WrlaSenl<br />

Pujian untuk 168 Jam dalam Sandera<br />

"Saya pujikan memoar Meutya Hafid, 168 Jam dalam Sandera agar<br />

dibaca oleh wartawan,khususnya reporter televisi, radio, surat kabar, dan<br />

majalah. Gaya bertutur yang kencang, percakapan salam batin<br />

(monologue inteheur) yang dikaitkan dengan pengamatan cermat alam<br />

panca indera, pelaporan yang tanpa takut dan prasangka, penerapan kilas<br />

balik, ketegangan, konflik, solusi saat ringan (takut sama tikus), penguras<br />

air mata atau tearjerker (ketika diberitahu tentang tayangan televisi [di<br />

Indonesia] lalu menangis), doa yang pasrah, kearifan yang tampak jelas,<br />

semua itu ada dalam arus dan alur cerita. Meminjam analisis dramaturgi,<br />

168 Jam dalam Sandera mempunyai premis iman yang teguh sanggup<br />

mengatasi bahaya dan kesulitan, Meutya Hafid telah membuktikan premis<br />

ini secara cemerlang, dengan setting medan perang Irak yang sampai<br />

sekarang dihantam gejolak terus. Dan, mengutip judul film aktris tenar<br />

tahun 1940-an, Janet Gaynor, saya katakan dengan tampilnya Meutya: a<br />

star is born. Seorang bintang telah lahir."<br />

-H. Rosihan Anwar Wartawan Senior<br />

"Mengharukan dan menyentuh ... beberapa kali saya terpaksa<br />

berhenti membaca karena tak kuasa menahan tangis. Tidak hanya<br />

bercerita tentang ketabahan dan ketangguhan penulis dalam menghadapi<br />

cobaan berat, memoar ini juga menyadarkan pentingnya arti kepasrahan<br />

dan penyerahan diri kepada kuasa Tuhan."<br />

-Dian Sastrowardoyo<br />

Pekerja Seni<br />

"Sangat menggugah dan informatif, memberi gambaran kepada<br />

setiap orang yang bekerja ataupun yang tertarik pada dunia jurnalistik<br />

mengenai suka duka dan lika liku di dalamnya."<br />

-Nicholas Saputra<br />

Pekerja Seni


"Bukan saja para jurnalis, tetapi kita semua anak bangsa dapat<br />

memahami serta menghayati bagaimana dengan keyakinan yang teguh<br />

kepada Allah Swt., komitmen yang utuh pada profesinya, serta ketegaran<br />

dalam tekanan dan musibah kehidupan, seorang Meutya Hafid akhirnya<br />

lolos dan lulus dari kelompok Jaisy Al-Mujahidin, yang demikian<br />

menegangkan dan menguras perhatian kita semua."<br />

-Prof. Dr. M. Amien Rais<br />

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada,<br />

Yogyakarta<br />

"Pengalaman Meutya, perempuan yang tegar dan penuh tawakal<br />

dalam menghadapi musibah, selama<br />

tujuh hari di bawah penyanderaan, sangat bermanfaat untuk<br />

menyadarkan kita, betapa kekerasan atas nama agama tidak dapat<br />

dibenarkan walau dilakukan atas dalih melawan kelaliman."<br />

-Prof. Dr. M. Din Syamsutfdin Ketua Umum PP Muhammadiyah<br />

"Dalam buku kecil ini penulis mengisahkan pengalamannya selama<br />

ditahan oleh Mujahidin Irak. Mereka adalah tentara Allah yang<br />

perjuangannya semata-mata membela Islam dan kaum Muslim. Karena<br />

tujuan perjuangannya semata-mata mencari ridha Allah, bukan<br />

kemewahan dunia, maka dalam melaksanakan tugas suci ini mereka<br />

dibimbing oleh syariat Islam sehingga berakhlak mulia. Oleh karena itu<br />

penulis sebagai seorang wanita ketika ditahan oleh mujahidin Irak<br />

diperlakukan dengan sopan, sebagaimana keterangan penulis dalam<br />

buku ini.Pengalaman penulis ini adalah merupakan pelajaran bagi<br />

penulisan khususnya dan bagi umat Islam umumnya bahwa: (1) Allah<br />

akan selalu menguji iman dengan berbagai macam ujian yang tidak<br />

menyenangkan sebagaimana difirmankan dalam surah Al-Baqarah: ISS,<br />

'Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit<br />

ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan<br />

berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,' (2) Allah<br />

menunjukkan bahwa mujahidin yang membela dien-Nya di dalam<br />

perjuangannya harus dilandasi oleh niat ikhlas dan akhlak mulia."<br />

-Ustaz Abu Bakar Ba'asyir<br />

Ketua Majelis Mujahidin Indonesia<br />

"Memoar yang sangat menarik, berisi pengalaman pahit yang langka,<br />

dilukis oleh gejolak hati anak manusia yang mengalaminya. Melalui<br />

memoar ini sekali lagi terbukti bahwa perbedaan dapat dipertemukan oleh<br />

kemanusiaan dan bahkan bersama kesulitan ada kemudahan."<br />

-Prof. Dr. M. Quraish Shihab Direktur Pusat Studi Al-Quran Jakarta<br />

"Dengan buku ini, terbukti kebenaran ungkapan tiada yang perlu<br />

ditakuti kecuali ketakutan itu sendiri."<br />

-KH. Abdurrahman Wahid Mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama<br />

"Buku ini berisi kegigihan seorang reporter, komitmen kepada profesi,<br />

serta keberanian dan keteguhan sikap. Saya sebagai pemimpin Metro TV,<br />

yang telah mengupayakan keselamatan Meutya dan Budi-yanto,<br />

berbangga hati dengan terbitnya buku ini."<br />

-Surya Paloh Pimpinan Media Group<br />

168 Jam DALAM SANDERA<br />

hikmah<br />

MEMOAR


adalah salah satu lini produk Penerbit Hikmah yang menyajikan<br />

kisah-kisah nyata dan biografi menakjubkan, mengejutkan, sekaligus<br />

menginspirasi dan mencerahkan<br />

168 Jam DALAM SANDERA<br />

MEMOAR JURNALIS INDONESIA YANG DISANDERA DI IRAK<br />

— Meutya Hafid —<br />

hikmah<br />

168 JAM DALAM SANDERA<br />

Memoar Jurnalis Indonesia yang Disandera di Irak<br />

Karya Meutya Hafid<br />

Copyright © Meutya Hafid, 2007 Penulis Pendamping: Mauluddin<br />

Anwar, A. Latief Siregar, Ninok Laksono Penyunting: Hermawan Aksan<br />

Penyelaras aksara: Emi Kusmiati Pewajah sampul: Windu Tampan<br />

Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika) Anggota IKAPI Jin. Puri Mutiara<br />

Raya No. 72 Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430 Telp. 021-75915762,<br />

Fax. 021-75915759 E-mail: hikmahku@cbn.net.id,<br />

hikmah_publisher@yahoo.com http ://www .mizan .co m/hikmah<br />

ISBN: 978-979-114-121-5<br />

Cetakan I, September 2007<br />

Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Jin. Cinambo<br />

(Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp.: (022)<br />

7815500 (hunting) Faks.: (022) 7802288 E-mail: mi?<br />

anmu@bdg.centrin.net.id<br />

JAKARTA; (021) 7661724, 7661725, MAKASSAR: (0411) 871369,<br />

SURABAYA: (031) 60050079, (031) 8286195, MEDAN: (061) 820469<br />

THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA<br />

Kata Pengantar Oleh<br />

Dr. H. Susilo Barnbang Yudhoyono<br />

SAYA menyambut baik penerbitan buku "168 Jam dalam Sandera"<br />

oleh Meutya Hafid yang menceritakan pengalamannya sewaktu disandera<br />

di Irak.<br />

Saya sendiri tidak akan pernah melupakan kejadian itu. Masih segar<br />

dalam ingatan saya ketika pada tanggal 19 Februari 2005 saya<br />

dibangunkan oleh ajudan yang mengatakan ada telepon dari staf khusus<br />

Dino Patti Djalal. Pada waktu itu, saya langsung merasa pasti ada hal<br />

yang sangat mendesak, karena tidak biasanya saya dibangunkan di<br />

tengah malam. Dino menyampaikan perkembangan terakhir yang cukup<br />

memprihatinkan mengenai situasi penyanderaan<br />

Meutya Hafid dan Budiyanto di Irak. Dari laporan intelijen,<br />

sebagian besar korban penculikan di Irak berakhir tragis, dan tidak banyak<br />

yang kembali dengan selamat, itu pun biasanya setelah proses<br />

perundingan yang rumit dan memakan waktu lama. Sementara itu, kita<br />

menghadapi masalah bahwa jaringan informasi dan relasi kita di Irak<br />

sangat minim,karena KBRI di Bagdad sudah dikosongkan sejak perang<br />

Irak dan yang tinggal hanyalah satu orang staf lokal warga Irak, bernama<br />

Walid Gatag.<br />

Setelah mempertimbangkan beberapa opsi, saya segera<br />

memutuskan untuk membuat pernyataan melalui televisi malam itu juga.<br />

Kru TV segera dipanggil untuk merekam himbauan saya kepada pihak<br />

penculik yang kemudian disiarkan di televisi internasional, terutama Al


Jazeera, Himbauan tersebut pada intinya menegaskan bahwa Meutya dan<br />

Budiyanto adalah wartawan Indonesia yang berada di Irak untuk<br />

menjalankan tugas jurnalistik mereka tanpa maksud politis, dan mereka<br />

sedang meliput kondisi rakyat Irak untuk dilaporkan ke pemirsa di<br />

Indonesia. Saya mengetuk hati nurani para penculik untuk segera<br />

membebaskan Meutya dan Budiyanto agar keduanya bisa pulang ke<br />

pelukan keluarga mereka di Indonesia yang sangat mengkhawatirkan<br />

nasib mereka.<br />

Selama beberapa hari setelah peristiwa penculikan tersebut<br />

pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia terfokus pada penyanderaan<br />

ini.Segala upaya kita lakukan untuk mencari informasi, mencoba<br />

melakukan kontak dengan penculik, dan mengirim pesan<br />

kepada kelompok penyandera. Selama masa penungguan yang<br />

tegang itu, saya tetap optimis bahwa penyanderaan akan berakhir dengan<br />

baik, karena Indonesia bukan pihak yang terlibat dalam konflik Irak.<br />

Karena itulah, kita semua lega ketika akhirnya, setelah 168 jam,<br />

penyandera membebaskan Meutya dan Budiyanto, yang kemudian<br />

ditemukan dalam keadaan selamat. Saya juga gembira karena<br />

setelannya,Meutya dan Budiyanto mengatakan bahwa mereka<br />

diperlakukan dengan baik.<br />

Buku ini menceritakan secara rinci pengalaman dan pandangan<br />

Meutya menjadi sandera di negeri orang, dalam lingkungan yang sangat<br />

asing bagi mereka, jauh dari tanah air. Kebanyakan kita melihat konflik<br />

berdarah di Irak dari layar televisi atau membacanya di Koran, namun<br />

Meutya dan Budianto menyaksikan dan merasakannya sendiri dari bilik<br />

salah satu kelompok bersenjata di Irak. Meutya berinteraksi dengan<br />

mereka, menatap mata mereka, mendengar amarah mereka, melihat cara<br />

hidup mereka, dan Alhamdulillah kemudian berhasil keluar dengan<br />

selamat dari penyanderaan.<br />

Pengalaman Meutya dan Budiyanto tersebut penting untuk diketahui<br />

komunitas wartawan, terutama mereka yang seringkali berada dalam<br />

situasi konflik yang penuh risiko. Hal-hal yang diceritakan Meutya di sini<br />

jugabermanfaat pula bagi aparat dan yang sehari-hari bergelut dengan<br />

kasus-kasus penyanderaan.<br />

Saya ucapkan selamat bagi Meutya yang telah<br />

tegar dalam menghadapi cobaan yang sangat berat dan sanggup<br />

menuangkannya dalam sebuah tulisan yang menggugah. Dengan<br />

pengalaman yang sangat langka ini, saya yakin Meutya dan Budiyanto<br />

akan terus berkarya memperkaya khasanah jurnalisme Indonesia dan<br />

menjadi tauladan bagi wartawan Indonesia.<br />

Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

TIDAK terasa sudah lebih dari dua tahun sejak detik-detik<br />

menegangkan itu terjadi. Selama itu pula saya kembali tenggelam dalam<br />

hiruk pikuk kesibukan seharihari sebagai seorang wartawan. Sesekali,<br />

sebelum memejamkan mata untuk tidur, ba yang-bayang akan peristiwa<br />

tersebut menyeruak alam pikir. Saya teringat saat berdoa di dalam gua<br />

penyekapan, memohon semoga Tuhan mengembalikan saya ke tanah<br />

air, agar saya dapat berbagi cerita tentang pengalaman ini. Ketika itulah<br />

terbit niat awal saya, untuk mewujudkan janji tersebut dalam bentuk buku,


sebelum perlahan memori kian pupus.<br />

Perhatian dan ucapan simpati dari masyarakat yang masih saya<br />

terima hingga saat ini menyadarkan, bahwa kisah ini bukan hanya milik<br />

saya seorang diri.Saya tidak mungkin dapat melewati cobaan ini dengan<br />

baik tanpa dukungan yang begitu besar, tidak hanya dari keluarga namun<br />

dari saudara setanah air. Adapun pembelajaran ataupun manfaat yang<br />

saya petik dari kejadian ini sudah selayaknya juga menjadi sesutau yang<br />

dimiliki bersama. Dengan dorongan dan bantuan dari beberapa rekan<br />

saya coba untuk menulis, dengan segala keterbatasan saya.<br />

Buku ini juga saya tulis untuk perjuangan warga Irak. Juga untuk<br />

mereka yang menyandera saya, Jaish Al Mujahideen, sebagai<br />

pemenuhan janji seorang wartawan untuk memberitakan yang<br />

berimbang. Sesuai permintaan Rois ketika membebaskan saya dan<br />

Budiyanto, "Tolong ceritakan [kejadian selama penyanderaan ini] apa<br />

adanya, tidak dilebihkan, tidak dikurangkan." Harapan besar saya,<br />

semoga keadaan di Irak membaik dan warga Irak diberi petunjuk-Nya atas<br />

cara perjuangan yang terbaik.<br />

Buku ini saya dedikasikan untuk profesi saya, yang senantiasa<br />

membawa beribu warna dalam hidup saya. Semoga menjadi semangat<br />

bagi teman-teman seprofesi, dan Anda yang ingin bergabung dalam<br />

profesi ini. Juga untuk rekan seprofesi yang gugur dalam peliputan, demi<br />

menyampaikan informasi. Semoga bangsa ini dapat lebih menghargai<br />

dan menyadari, betapa dua menit paket berita televisi ataupun satu kolom<br />

tulisan di koran, terkadang risikonya nyawa.<br />

168 jam dalam penyanderaan juga menyadarkan saya, bahwa untuk<br />

meliput dalam daerah konflik ternyata butuh tak sekadar keahlian dan<br />

keberanian, tetapi juga wisdom, kedewasaan untuk menilai kapan harus<br />

maju terus, kapan harus berhenti. Berhenti bukan hanya untuk diri kita,<br />

tetapi juga untuk orang-orang yang mencintai dan menunggu kepulangan<br />

kita. Saya persembahkan buku ini kepada keluarga; mama, Metty Hafid;<br />

kakak, Fitriana dan Iss Savitri, serta kakak ipar, Kemal Massi, dukungan<br />

dan doa mereka tak pernah putus. Terima<br />

kasih atas kesabaran menghadapi cobaan, ketabahan dalam<br />

mengorbankan waktu, perasaan, emosi, dan air mata. Untuk kakak saya,<br />

(Aim.) Farid Fitrah Syawal, dan tentunya untuk ayah, (Aim.) DR. Anwar<br />

Hafid, Ph.D., sebagai sumber ketabahan dan sumber inspirasi saya<br />

dalam bekerja keras. Saya bersyukur kepada Allah atas karunia cinta-Nya<br />

yang begitu besar, yang saya rasakan melalui dukungan dan simpati<br />

begitu banyak orang di negeri ini.<br />

Terima kasih kepada Presiden Susilo Bambang Vudhoyono dan<br />

Wakil Presiden Jusuf Kalla, Pemimpin Umum Media Group Surya Paloh,<br />

Departemen Luar Negeri dan instansi pemerintah lainnya, Badan Intelijen<br />

Nasional, atas upaya yang mereka lakukan untuk mengembalikan saya ke<br />

tanah air. Terima kasih kepada seluruh organisasi media dan asosiasi<br />

jurnalis, lokal maupun internasional, yang turut menekan penculik untuk<br />

membebaskan saya.<br />

Terima kasih kepada sahabat dan rekan kerja yang senantiasa<br />

menyayangi saya, dalam setiap langkah, guru-guru pendidik, dan juga<br />

Anda yang telah turut mendoakan untuk keselamatan saya dan Budiyanto.<br />

Terima kasih untuk waktu, untuk perhatian, untuk air mata yang begitu


tulus, yang telah tercurahkan, yang telah memudahkan langkah saya<br />

kembali ke dalam pelukan orang-orang tercinta, kepada bangsa tercinta.<br />

Saya mungkin tidak dapat membalas lebih dari persembahan buku<br />

ini, semoga Allah Swt. membalas kebaikan kalian, saudara sebangsa,<br />

dengan beribu kali lipat kebaikan yang telah kalian berikan bagi saya<br />

dan Budiyanto. Amin<br />

Allahumma Inni as aluka ridhaaka wal jannah. Ya Allah, aku mohon<br />

rida-Mu dan surga-Mu. Amin.[]<br />

Isi Buku<br />

Kata Pengantar oleh Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono ~ 11 Ucapan<br />

Terima kasih ~ 15 Bab 1.<br />

Jangan Berontak,, Jangan Bergerak! ~ 21 Bab 2.<br />

Aku Benar-Benar Diculik ~ 27 Bab 3.<br />

Gua Terpencil di Tengah Gurun ~ 43 Bab 4.<br />

Selamat Jalan, Budi ~ 71 Bab 5.<br />

Memelihara Harapan ~ 93 Bab 6.<br />

Harapan yang Pupus ~ 105 Bab 7.<br />

Hilangnya kesabaran ~ 123 Bab 8.<br />

Kabar Pembebasan ~ 135<br />

Bab 9.<br />

Pembebasan yang berliku ~ 157<br />

Bab 10. Tegang Tiada Akhir ~ 171<br />

Bab 11. Aku Pulang ~ 195<br />

Bab 12. Kapan Harus Berhenti? ~ 211 Lampiran ~ 227<br />

Pergolakan Sebuah Ruang Redaksi oleh Don Bosco Selamun ~ 229<br />

Failure is not an Option oleh Dr. R.M.Marty M.Natalegawa ~ 267 Tentang<br />

Penulis ~ 283<br />

Bab l<br />

Jangan Berontak, Jangan Bergerak!<br />

SELASA, 15 Februari 2DD5 "Bangun, Mut! Bangun!"<br />

Aku kaget mendengar teriakan Budiyanto. Lebih kaget lagi ketika tas<br />

yang kupakai sebagai bantal tidur pun terenggut dari bawah kepalaku.<br />

Kenapa Budi menarik tasku? "Bangun, Mut! Bangun!" teriaknya lagi.<br />

Aku bangkit duduk.<br />

Apa gerangan yang sedang terjadi? Otakku belum bekerja seratus<br />

persen. Namun, bisa kurasakan nada kepanikan dalam lengkingan suara<br />

Budi. Budi adalah lelaki Jawa dan setahuku tutur katanya halus. Tak<br />

pernah dia meninggikan suara kepadaku seperti itu.<br />

Belum sempat aku bertanya, Budi kembali berteriak, "Paspor, Mut!<br />

Paspor...!"<br />

Paspor? Kenapa ada yang meminta paspor? Pada hal, rasanya aku<br />

sudah lama tertidur sejak melintas perbatasan.<br />

Tetapi, tanganku refleks merogoh tas mencari paspor.<br />

"Cepat, Mut! Cepat!" Lagi-lagi Budi berteriak, kali ini lebih keras.<br />

Mungkin karena panik, tanganku sulit sekali menemukan paspor. Ku<br />

aduk-aduk isi tas. Mataku yang belum awas benar mencoba memandang<br />

sekeliling.<br />

Rupanya kami berada di sebuah POM bensin. Posisi mobil GMC yang<br />

kutumpangi seperti tengah mengisi bensin. Mataku menangkap tiga<br />

sosok lelaki mengepung mobil kami. Wajah mereka tertutup kain serban


yang biasa disebut kafiyeh. Hanya mata mereka yang kelihatan. Aku yakin<br />

mereka warga Irak.<br />

Budi, yang duduk di jok depan, memutar badannya ke arahku yang<br />

duduk di jok tengah. Pasti dia tak sabar menungguku mencari paspor<br />

tanpa hasil. Di sebelah kiri Budi, kursi pengemudi tampak kosong. Ke<br />

mana Ibrahim?<br />

Namun,perhatianku tersedot oleh suara orang menghardik dalam<br />

bahasa Arab. Mata orang itu me-melototiku.<br />

"Paspor!" Hanya itu yang bisa kupahami dari rentetan kata-kata Arab<br />

yang mencerocos dari mulutnya.<br />

Aku semakin bingung, tetapi aku yakin pasti ada yang tidak beres.<br />

Bukan hanya satu, kini tiga lelaki itu Jangan Berontak, Jangan Bergerak!<br />

memaksaku dengan tatapan menikam dan tidak sabar. Ketika kutemukan<br />

pasporku, salah seorang dari mereka langsung menyambarnya.<br />

Pada saat bersamaan, Ibrahim muncul entah dari mana. Rautnya<br />

panik dan pucat.<br />

"Sahafi.1 Sahaft! Muslim.' Andonesi.'" Setengah berteriak, Ibrahim<br />

menjelaskan kepada tiga lelaki itu bahwa kami wartawan Muslim dari<br />

Indonesia.<br />

Namun, ketiga lelaki itu tak memedulikan berondongan penjelasan<br />

Ibrahim. Malah mereka membalas dengan rentetan pernyataan yang<br />

terdengar lebih sengit. Wajah Ibrahim semakin pucat. Pasti posisinya tak<br />

berdaya.<br />

Pintu mobil dibuka. Tubuh Ibrahim yang tinggi besar didorong paksa<br />

ke arahku. Lalu, seorang lelaki memaksa masuk dari samping Ibrahim,<br />

dan melompat ke kursi paling belakang. Tangannya menenteng senjata<br />

laras panjang jenis AK. Dia mengarahkan moncong senjata buatan Uni<br />

Soviet itu padaku sambil berteriak dalam bahasa Arab. Sepertinya dia<br />

mengatakan, "Jangan berontak, jangan bergerak!"<br />

Lelaki kedua menerjang masuk dari pintu kanan jok depan, memepet<br />

tubuh Budi. Dan, lelaki ketiga masuk dari pintu depan kiri, melemparkan<br />

tubuhnya di belakang kemudi. Dia membalik ke arah Ibrahim dan merebut<br />

kunci mobil dari tangannya. Kasar dan beringas. Tubuh Budi pun<br />

didorongnya ke jok tengah sehingga posisinya kini terjepit tubuhku dan<br />

Ibrahim.<br />

Mesin dihidupkan, dan dengan entakan kuat, mobil pun melesat<br />

sangat kencang.Sekelebatan aku melihat beberapa orang di POM bensin<br />

hanya melongo tanpa mampu menolong.<br />

Mobil melaju kencang di jalan yang agak lengang, membuat barangbarang<br />

bawaan kami, termasuk kamera video, handycam, tripod, laptop,<br />

dan lain-lain perangkat liputan kami, terguncang-guncang. Semuanya<br />

terjadi begitu cepat. Aku berharap ini hanya bagian dari mimpi tidurku.<br />

Kakiku serasa melayang,tubuhku seakan-akan tak lagi menempel di<br />

kursi.<br />

Mimpikah? Bukan!<br />

Walau perasaanku sulit menerima, otakku yang sudah terjaga terusmenerus<br />

meyakinkan, "Ini kenyataan, Mut, bukan mimpi!" Akhirnya, aku<br />

pasrah. "Inilah akhir hidupmu."<br />

Di tengah kepasrahanku, Ibrahim mencoba lagi menjelaskan bahwa<br />

kami wartawan Muslim dari Indonesia. Namun ketiga orang ini, dengan


tubuh ter guncang-guncang karena laju mobil tak keruan, tidak kalah<br />

sengit menjelaskan dalam bahasa Arab, entah apa. Suasana semakin<br />

tegang. Lagi-lagi usaha Ibrahim sia-sia belaka. Ini membuatku tidak mau<br />

lagi menghiraukan perdebatan mereka. Percuma. Kalau memang harus<br />

mati saat ini, aku mau mati dalam keadaan baik.<br />

Tanganku menggapai tas, merogoh buku Yasin 40 hari meninggalnya<br />

ayahku yang hari ini belum genap satu tahun wafat. Mungkin hari ini aku<br />

akan menyusulmu, Ayah.<br />

Lelaki di belakangku menodongkan senjata AK ke tubuhku. Mungkin<br />

dia menyangka aku merogoh tas untuk mengambil pistol atau senjata<br />

pembela diri. Nyaliku semakin ciut.<br />

Namun tiba-tiba Ibrahim berteriak, "Quran! Quran!" Telunjuknya<br />

mengarah ke buku Yasin di tanganku.<br />

Aku sendiri sadar betul bahwa dalam situasi ini tak ada yang bisa<br />

kulakukan kecuali berdoa. Tak kupedulikan lagi mereka yang terus<br />

menatapku. Kubuka buku dan kubaca Surat Yasin dalam hati. Tak<br />

kusangka, ketidakacuhanku rupanya membuat mereka melunak. Salah<br />

satu lelaki di jok depan menoleh dan berbicara padaku dengan nada<br />

suara yang lebih lembut.Ibrahim menerjemahkan,"Kami bukan pencuri.<br />

Kami Muslim. Kami tidak akan melukaimu." Benarkah? Mungkin bisa<br />

membaca rona kesangsian di wajahku, Ibrahim menambahkan, "Mereka<br />

adalah Mujahidin." Mujahidin? Apa urusannya dengan kami?<br />

Kuberanikan diri menatap lelaki yang tadi berbicara padaku. Sorot<br />

matanya kini tampak lebih lembut, bersahabat. Dari balik lilitan kafiyeh-nya<br />

yang melorot, sepertinya aku melihat senyuman yang tertahan di bibirnya.<br />

Dia menganggukkan kepala seolah-olah membenarkan Ibrahim. Entah<br />

kenapa aku menjadi yakin kembali. Mungkin Tuhan masih memberiku<br />

kesempatan hidup.<br />

Mataku memandang ke luar ketika iring-iringan tentara Amerika<br />

Serikat berpapasan dengan mobil kami.Iring-iringan yang sangat panjang.<br />

Puluhan tank, jip humvee, kendaraan antitank, dipenuhi tentara. Ketiga<br />

penangkap kami tampaknya tak menyangka bakal berpapasan dengan<br />

rombongan besar tentara Amerika. Wajah mereka kelihatan menegang.<br />

Terdengar kokangan senjata AK di belakangku. Ya Tuhan, kami akan<br />

diberondong puluhan tentara Amerika jika tiga /elaki ini nekat. Tiba-tiba,<br />

sopir membanting setir ke sebelah kanan, membuat posisi<br />

mobil terlempar dari ruas jalan. Untunglah gerakan itu tak membuat<br />

rombongan tentara curiga. Di depan dan belakang mobil kami memang<br />

banyak kendaraan lain yang juga memberikan jalan bagi iring-iringan<br />

serdadu itu.<br />

Setelah iring-iringan serdadu lewat, ketiga penangkap kami<br />

berdiskusi setengah berbisik. Sesaat kemudian, mereka menutup mata<br />

Ibrahim dengan kafiyeh. Punggung Ibrahim didorong sehingga posisi<br />

tubuhnya membungkuk. Lalu, giliran mata Budiyanto dililit. Dia juga<br />

dipaksa merunduk. Mungkin mereka khawatir kami akan berteriak<br />

meminta tolong saban berpapasan dengan kendaraan lain.<br />

Aku memandang ke arah lelaki di jok depan. Matanya seperti<br />

meyakinkan bahwa mereka tak akan mencelakaiku. Sempat kulirik jam<br />

tanganku, pukul 4 sore Waktu Indonesia Barat. Pukul 12 siang waktu Irak.<br />

Lalu, tiba-tiba mataku pun ditutup. Lelaki bersenjata di belakangku


melilitkan kafiyeh-nya. Kencang sekali, membuatku sulit bernapas.<br />

Tangannya menekan punggungku, memaksa tubuhku merunduk. Hanya<br />

deru mesin mobil yang kini kudengar, bersahutan dengan suara<br />

jantungku yang semakin kencang berdegup.<br />

Dunia kini benar-benar gelap.<br />

Inikah perjalanan menuju kematian?[]<br />

Bab 2<br />

Aku Benar-Benar Diculik<br />

HARI itu, Senin, 31 Januari 2DD5, aku agak terlambat tiba di kantor. Ini<br />

hari pertamaku muncul lagi di studio Metro TV Kedoya, Jakarta Barat,<br />

setelah dua pekan bertugas di Aceh, tepatnya di Meulaboh. Sepulang dari<br />

Aceh, aku sempatkan pergi ke Makassar, untuk menuntaskan urusan<br />

pensiunan almarhum ayah yang terbengkalai. Dan pagi itu, karena<br />

keberangkatan pesawatku dari Makassar tertunda, agak molor juga<br />

kedatanganku di Bandara Soekano-Hatta. Kemacetan Jakarta di awal<br />

pekan semakin menghambat kehadiranku di Kedoya.<br />

Suasana kantor ekstra sibuk. Sisa bencana tsunami yang<br />

meluluhlantakkan Aceh, 26 Desember 20 04, masih menjadi berita yang<br />

dinanti pemirsa. Dan, Metro TV adalah stasiun terdepan yang<br />

menayangkan informasi pasca bencana tsunami dari berbagai pelosok<br />

Aceh dan Nias. Lebih separuh kru redaksi Metro TV saat itu seperti pindah<br />

kantor ke berbagai daerah di Aceh yang diterjang tsunami: Banda Aceh,<br />

Meulaboh, Galang, dan Lhokseumawe. Itu berarti kurang 50 persen SDM<br />

yang tertinggal di<br />

kantor pusat harus bekerja ekstra keras. Tentu saja termasuk anchor<br />

(penyiar berita atau presenter) sepertiku, yang harus siap menjalani<br />

jadwal siaran panjang dalam sehari karena banyaknya program khusus<br />

tambahan selain program reguler yang ditayangkan. Kantor biasa<br />

menyebutnya "siaga satu".<br />

Setelah menyampaikan rangkaian informasi mengenai bencana<br />

tsunami di studio, aku mampir ke ruang redaksi, yang menjadi jantung<br />

sebuah media berita. Di sinilah semua berita diolah, dari bahan mentah<br />

menjadi materi siap tayang.Di ruang ini pula kebijakan-kebijakan penting<br />

redaksi dibahas. Juga, kalau tidak ingin ketinggalan isu dan rumpian<br />

aktual, wajib hukumnya menyambangi ruangan ini.<br />

"Horee, Meutya sudah balik. Mana oleh-oleh nya?"<br />

"Wah, kulitmu lebih manis, nih."<br />

Begitulah candaan teman-teman di redaksi menyambut rekan yang<br />

baru pulang tugas cukup lama di luar kota. Sepulang dari Aceh, kulit<br />

mukaku memang kersang terbakar. Maklumlah, selama di Aceh aku kerap<br />

masuk ke daerah terisolasi. Teunom dan PhangHa di Kabupaten Aceh<br />

Jaya, misalnya, luluh lantak sehingga tidak ada satu pun pohon rindang<br />

atau bangunan untukku berlindung dari sengatan matahari pantai yang<br />

terik. Saling canda masih berlanjut ketika lamat-lamat kudengar dari ruang<br />

Koordinator Liputan (Korlip), perbincangan soal kru yang akan mendapat<br />

tugas ke Irak. Ruangan Korlip adalah satu bagian kecil dari ruang redaksi<br />

yang lebih sibuk karena dari sanalah<br />

semua gerakan pasukan peliput alias reporter dan kontributor<br />

dikomandokan.Aku coba mencuri dengar sambil melanjutkan obrolan


dengan teman-teman. Kupikir, memang tidak berlebihan jika Metro TV<br />

mengirim tim untuk meliput pemilu Irak. Warga Irak tengah merayakan<br />

pesta demokrasi pertama setelah Saddam Hussein, pemimpin Irak<br />

selama hampir 24 tahun, jatuh. Juga, mengingat pemberitaan Metro TV<br />

mengenai Irak sebelumnya cukup intens, baik sebelum, selama, maupun<br />

setelah invasi pasukan Amerika Serikat dan sekutunya.<br />

Dari ruangan kecil itu, kudengar namaku juga disebut-sebut. Rasa<br />

ingin tahu membuatku tak berpikir dua kali langsung menerobos ke ruang<br />

korlip. Beberapa koordinator liputan tengah berembuk. Kulihat juga<br />

Budiyanto, koordinator juru kamera Metro TV yang beberapa kali ditugasi<br />

bersamaku. Penugasan kami terakhir adalah November 2004, meliput<br />

amnesti atau pengampunan yang diberikan pemerintah Malaysia kepada<br />

para tenaga kerja ilegal, termasuk dari Indonesia. Peliputan kami selama<br />

hampir satu bulan di Malaysia itu dinilai cukup sukses oleh Metro TV.<br />

"Lah, ini kebetulan ada Meutya, dia kan mahir berbahasa Inggris," ujar<br />

Budiyanto dengan logat Jawanya yang medok, sambil tersenyum ke<br />

arahku.<br />

"Ada apa sih, Mas, kok seru sekali ngobrolnya?" tanyaku.<br />

Selain Budiyanto, ada juga Dadi R. Sumaat-madja, Wakil Kepala<br />

Peliputan, dan Irfan Maulana, Koordinator Liputan.<br />

"Ada rencana penugasan ke Irak. Kalau jadi, harus berangkat<br />

secepatnya, biar tidak kehilangan momentum," kata Budiyanto. Dia<br />

menjelaskan, kalau tidak pergi segera, lebih baik rencana penugasan<br />

dibatalkan saja.<br />

"Apa saja yang perlu disiapkan, Bud? Kita tidak punya banyak waktu.<br />

Bagaimana dengan visa?" tanya Dadi.<br />

Budiyanto memang sudah dua kali meliput di Irak. Pertama, ketika<br />

sebelum invasi militer Amerika Serikat, dan kedua sesaat setelah<br />

Saddam jatuh.<br />

"Setahu saya, dua tahun lalu kita bisa minta visa on arrival ke<br />

Yordania. Paling tidak, masuk dulu ke Yordan. Urusan visa Irak kita<br />

pikirkan nanti. Yang penting berangkat dulu." Budiyanto menegaskan<br />

kemungkinan untuk mengejar waktu. Yordania merupakan negara<br />

tetangga Irak yang berbatasan langsung dan terbilang aman.<br />

Aku memilih tidak banyak bicara.<br />

"Baik, kita akan segera rapat soal jadi tidaknya berangkat, dan siapa<br />

yang akan ditugaskan. Kita masih tunggu Don." Dadi menyebut nama Don<br />

Bosco Selamun, Pemimpin Redaksi Metro TV.<br />

Keluar dari ruangan kecil itu, aku tersenyum. Asyik juga kalau aku<br />

yang dipilih. Tetapi, kutepis pikiran itu karena aku tak mau berharap<br />

banyak. Lagi pula, aku belum cukup istirahat sejak kembali dari Meulaboh.<br />

Bayangan kehancuran Kota Meulaboh, bau kematian, dan sosok Yundha,<br />

bocah berusia empat tahun yang kehilangan ayah ibunya, masih melekat<br />

dalam ingatanku. Hampir setiap sore sepulang<br />

liputan di sana, aku bermain bersama Yundha. Kebetulan kami<br />

sama-sama mengungsi di Kompi C, satu-satunya markas TNI di<br />

Meulaboh yang lolos dari terjangan tsunami. Aku ingat betul mimik muka<br />

Yundha, senyumnya yang tertahan, dan sorot matanya yang kosong tetapi<br />

masih sanggup membelalak senang ketika disodori susu kotak dari<br />

bantuan kemanusiaan.


Aku melenggang ke ruang presenter. Di sini biasanya aku dan temanteman<br />

presenter mendiskusikan beragam topik, mulai dari pemberitaan<br />

yang tengah aktual, urusan jadwal siaran, hingga resto ran-restoran enak<br />

dan murah sekitar kawasan Kedoya, yang akan jadi sasaran makan siang<br />

kami berikutnya.Koordinator Presenter, Usi Karundeng,sibuk memelototi<br />

jadwal siaran presenter. Raut mukanya agak muram hari itu. Segera<br />

kutebak artinya: akan ada seorang presenter yang mendapat tugas "ke<br />

luar"ke luar kota atau ke luar negeri sehingga dia harus merombak ulang<br />

jadwal yang sudah puluhan kali dirombaknya.Menyadari<br />

kedatanganku,Usi membalik ke arahku.<br />

"Nah, ini Meutya. Kamu siap-siap berangkat ke Irak, yah."<br />

"Ke Irak, Mbak? Ada apa?" Aku pura-pura tidak tahu agar dia<br />

memberikan penjelasan lebih terperinci.<br />

"Kan lagi pemilu, Muti. Kita sudah terlambat, kamu harus segera<br />

berangkat."<br />

"Segera? Kapan?" Raut mukaku sedikit memprotes penugasan<br />

dadakan itu, tetapi tak bisa kututupi,<br />

semangatku muncul seketika.<br />

"Ehm, mungkin malam ini. Tetapi, kamu koordinasi sama Korlip, yah,"<br />

jawab Usi.<br />

"Hah, malam ini? Berapa lama, Mbak?" Walau bersemangat, aku<br />

terkejut harus berangkat malam itu juga. Padahal, waktu sudah<br />

menunjukkan pukul 1 siang. Otakku langsung berhitung: perjalanan ke<br />

rumahku saja di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, paling cepat satu<br />

jam. Belum lagi mengepak baju dan perlengkapan liputan. Ini berarti aku<br />

hanya bisa meluangkan maksimum dua jam untuk mempersiapkan<br />

segala materi yang berhubungan dengan Irak.<br />

"Satu minggu, Muti. Tetapi, kamu siap-siaplah untuk dua minggu."<br />

Senyuman Usi mengingatkanku pada penugasan di Aceh yang<br />

rencananya hanya satu minggu, tetapi kenyataannya molor hingga dua<br />

minggu.<br />

"Ini Irak, lho, Mbak. Harus pasti, satu atau dua minggu?" Aku<br />

memikirkan berapa banyak pakaian yang harus kubawa karena siapa tahu<br />

tidak ada laundry di hotel Irak yang masih porak-poranda.<br />

"Oke, Mut, gini aja deh. Kamu segera pastikan semuanya sama<br />

Claudius dan Dadi," Usi menyebutkan nama Kepala Divisi Peliputan Metro<br />

TV, Claudius Boekan, dan wakilnya, Dadi R. Suraatmadja.Kibasan<br />

tangannya mengisyaratkan agar aku segera pergi ke ruang redaksi.<br />

Belum sampai kakiku di ruang redaksi, telepon selulerku berdering.<br />

Nama "Dadi RS" tertera di layar telepon.<br />

"Siang, Mut. Rapat memutuskan kamu yang kita pilih berangkat ke Irak<br />

bersama Budiyanto. Sekretariat Redaksi sekarang sedang<br />

mengusahakan tiket untuk berangkat malam ini juga."<br />

"Mas, ini Irak, lho. Bukan Bogor. Apa harus berangkat malam ini juga?<br />

Tidak bisa besok?"<br />

"Tidak bisa, Mut. Proses pemilu sudah berjalan. Maaf, tetapi kita harus<br />

mengejar waktu. O ya, satu hal lagi. Saya cuma mau sampaikan bahwa<br />

kamu kita pilih dengan pertimbangan peliputan kamu di Aceh<br />

menunjukkan kamu tough, energi kamu seperti tiada habisnya, dan lobi<br />

kamu bagus. Harapan kita, di Irak kamu bisa melakukan hal yang sama."


Ucapan Dadi membuatku terdiam. Haruskah kuterima sebagai pujian,<br />

atau malah beban berat? Kantor berharap peliputan di Irak harus lebih<br />

baik, atau paling tidak sebanding dengan peliputanku di Aceh. Padahal,<br />

medannya sangat berbeda.<br />

"Oke, Mas," jawabku pendek. Ucapan Dadi tadi membuatku kesulitan<br />

merangkai kata-kata lain.<br />

Di ruang Koordinator Liputan, aku berdiskusi untuk mematangkan<br />

target dan strategi peliputan di Irak bersama Claudius, Dadi, dan Irfan.<br />

Budiyanto, camera person yang ditugasi menyertaiku, sibuk<br />

mempersiapkan peralatan di ruang camstore. Claudius dan Dadi<br />

menegaskan, satu yang harus terpenuhi dari penugasanku: menjawab<br />

keingintahuan masyarakat Indonesia tentang pemilu bebas pertama di<br />

Irak setelah Saddam Hussein tumbang.<br />

Keingintahuan masyarakat! Tugas seorang jurnalis untuk<br />

memenuhinya. Itulah kalimat kunci<br />

yang menggerakkanku untuk melangkah tanpa ragu ke medan tersulit<br />

sekalipun. Itu pula yang membuatku menerima penugasan ini dengan<br />

senang hati. Keyakinan dan rasa percaya diriku memuncak saat itu.<br />

Ucapan Dadi di telepon pun kuanggap sebagai tantangan yang harus<br />

kupenuhi. Ini awal yang baik. Dilengkapi dengan persiapan dan strategi<br />

peliputan yang matang, termasuk meminta tim riset redaksi untuk<br />

mencarikan segala informasi menyangkut Irak, tentu semuanya akan<br />

berjalan lancar dan baik -baik saja.<br />

* * *<br />

LANCAR dan baik-baik saja? Sungguh, peristiwa yang kini kualami,<br />

jangankan terbahas dalam diskusi kami di Kedoya, terlintas di benakku<br />

pun tidak pernah.<br />

Mobil GMC yang membawa kami tiba-tiba berhenti. Entah di mana aku<br />

sekarang. Mataku masih tertutup kafiyeh. Sepanjang perjalanan tadi,<br />

sambil berdoa kucoba mengikuti gerakan mobil. Kuhitung berapa kali<br />

mobil belok kanan, berapa kali belok kiri. Tetapi akhirnya, aku menyerah.<br />

Aku tak mampu menghitung lagi. Sebab, sang sopir cukup cerdas,<br />

melajukan kendaraan kami dengan zig-zag. Padahal yang kukenal,<br />

jalanan di Irak jarang yang berkelok-kelok seperti itu.<br />

Lagi pula, konsentrasiku buyar karena kaki kananku mulai kram dan<br />

terasa sangat sakit. Pasti karena sepanjang perjalanan posisi tubuhku<br />

merunduk<br />

sehingga harus banyak bertumpu pada kaki yang tertekuk.<br />

Sesekali kudengar rintihan Budi. Pasti dia pun sangat tersiksa. Aku sudah<br />

membayangkan banyak risiko yang akan dihadapi dalam peliputan di Irak.<br />

Tetapi, penderitaan seperti ini tak pernah terlintas!<br />

Mesin mobil dimatikan. Aku tak kuat lagi menahan kram yang luar<br />

biasa di kaki. Tetapi, aku masih bisa merasakan jemari tangan melucuti<br />

ikatan kafiyeh di kepalaku. Pasti tangan lelaki di belakangku. Meskipun<br />

belum sepenuhnya mampu beradaptasi dengan cahaya terang setelah<br />

sekian lama terbenam dalam gelap, mataku bisa melihat letak jarum jam<br />

tanganku. Itulah yang pertama kali kulakukan setelah mataku terlepas dari<br />

lilitan kafiyeh. Pukul 6 sore WIB. Berarti persis dua jam kami menempuh<br />

perjalanan dengan mata tertutup. Percuma aku menerka di mana posisi<br />

keberadaan kami kini.


Pukul 6 sore WIB!<br />

Mestinya saat ini aku menyampaikan laporan untuk Metro Hari Ini.<br />

Kantor memang mengharuskanku muncul di layar melaporkan hasil<br />

liputan Irak setidaknya satu kali sehari, pada program Metro Hari Ini (MHI).<br />

Untuk program yang tayang pada prime time ini, beberapa kali aku<br />

melaporkan secara live dari studio Associated Press Television Nets-work<br />

(APTN) di Bagdad.<br />

Biasanya, menjelang pukul 6 sore WIB, produser MHI sibuk<br />

meneleponku untuk memastikan materi apa saja yang akan kulaporkan.<br />

Sesungguhnya<br />

kemunculanku di layar tidak hanya mewartakan kondisi terkini Irak<br />

kepada pemirsa di Indonesia. Tampilanku juga sekaligus meyakinkan<br />

pada keluarga dan kerabatku bahwa aku baik-baik saja. Dan sore ini, aku<br />

tidak muncul menyapa mereka.<br />

Tahukah mereka bahwa aku tengah menghadapi masalah? Tahukah<br />

mereka saat ini hidupku di ujung tanduk?<br />

Mesin mobil telah dimatikan, tetapi para penculik belum<br />

membolehkan kami turun. Posisiku pun masih merunduk, tak berani<br />

memandang ke luar.Dua lelaki yang duduk di jok depan sudah turun. Aku<br />

bisa mendengar percakapan mereka, seperti tengah membahas dan<br />

mempersiapkan sesuatu. Apa yang akan mereka /akukan pada kami?<br />

Siapa yang dapat menolongku? Budi dan Ibrahim sama tak berdayanya<br />

denganku. Moncong senjata milik lelaki di jok belakang masih mengarah<br />

ke kepala kami.<br />

Kami tak mampu berbuat apa-apa. Mengharapkan bantuan datang<br />

dari luar rasanya mustahil.Aku menyesal tak mengontak Muhammad<br />

Nasser, guide kami di Bagdad, untuk mengabarkan bahwa kami akan<br />

kembali ke Bagdad. Mister Wail, sopir kami di Bagdad, juga pasti tak bakal<br />

menunggu, dan tak akan bertanya-tanya kenapa kami belum juga tiba di<br />

sana karena aku tak mengabarinya. Jadi, siapa yang bakal menyadari<br />

kami menghilang? Satu-satunya harapan adalah kantorku di Kedoya.<br />

Hanya mereka yang tahu persis posisi terakhir kami.<br />

Tetapi, tahukah mereka apa yang tengah kualami?<br />

Aku yakin tidak. Sebab, korlip dan produser di Kedoya sudah tahu<br />

bahwa sore ini aku tidak akan muncul di layar. Bukan karena aku tengah<br />

"menghadapi masalah" ini, melainkan karena mereka sudah kukabari<br />

bahwa aku tengah dalam perjalanan darat dari Amman, Ibu Kota Yordania,<br />

ke Bagdad. Ya, pukul 2.30 dini hari, aku dan Budiyanto bertolak dari<br />

Amman dengan menyewa mobil GMC milik Ibrahim. Sekitar pukul 7 pagi,<br />

kami tiba di perbatasan Yoda nia-Irak. Ini kali kedua kami memasuki Irak<br />

melalui perbatasan ini. Dua belas hari sebelumnya, kami juga menembus<br />

Irak melalui perbatasan yang sama.<br />

Seperti yang sudah kuduga, persoalan di pos imigrasi cukup rumit.<br />

Alasannya sama dengan ketika kami masuk sebelumnya, yakni ada travel<br />

ban untuk warga negara Indonesia, yang dilarang pergi ke Irak karena<br />

pemerintah tidak menjamin keselamatan mereka setelah kedutaan<br />

Indonesia untuk Irak ditarik sejak invasi tahun 2003.<br />

Namun, persoalan kali ini lebih rumit karena kepala imigrasi<br />

mempertanyakan alasan kami masuk kembali ke Irak dalam waktu<br />

singkat. Meski begitu, dia tetap ramah menyambut kami yang sudah


dikenalnya 12 hari lalu, dengan menyuguhkan chai, teh khas Irak, di<br />

ruangannya. Setelah memaklumi penjelasanku kenapa kembali ke<br />

Bagdad, dia pun menandatangani surat izin, bertepatan dengan ketika<br />

chai di gelas kecil itu sudah habis kuseruput.<br />

Perjalanan berlanjut dari perbatasan menuju Bagdad. Biasanya, tak<br />

jauh dari perbatasan, sinyal GSM akan hilang. Karenanya kusempatkan<br />

mengirim<br />

pesan singkat, SMS, kepada keluarga dan teman-teman. Sudah<br />

menjadi kebiasaanku setiap meliput di daerah konflik, memohon maaf<br />

dan doa kepada kerabat terdekat. Aku secara khusus menelepon mamaku.<br />

"Halo Mama, ini baru masuk perbatasan Irak menuju Bagdad.<br />

Paling lama lima jam lagi sampai. Nanti dikabari lagi kalau sudah di<br />

Bagdad, insya Allah."<br />

Ke nomor ponsel Koordinator Liputan, kukabar-kan posisi kami saat<br />

itu, dan perkiraan tiba di Bagdad sore hari Waktu Indonesia Barat. Kutulis<br />

pula bahwa selama perjalanan, kemungkinan banyak daerah tak bersinyal<br />

bakal kulewati sehingga akan sulit mereka menghubungi kami. Setelah<br />

mengirimkan semua SMS itu, aku merasa lebih siap masuk kembali ke<br />

Irak. Kurebahkan kepala pada tas di sampingku sebagai bantal. Aku<br />

memang paling mudah tidur di perjalanan walau dalam suasana tegang<br />

sekalipun. Sebelum lelap, sempat kuberharap, ketika membuka mata<br />

nanti, kami sudah tiba di Bagdad.<br />

Ternyata harapan itu tak kesampaian. Teriakan Budi dan entakan<br />

tangannya pada tasku membuatku kaget. Lalu, peristiwa demi peristiwa<br />

yang tak pernah kubayangkan itu terjadi dalam sekejap, bermula di POM<br />

bensin. Tiga lelaki menghardik meminta paspor, memaksa masuk ke<br />

dalam mobil, menodongkan moncong senjata AK, menutup mata kami,<br />

dan melarikan mobil kami entah ke mana.<br />

Sebelum mata kami ditutup, Ibrahim menjelaskan bahwa tiga lelaki<br />

ini adalah anggota Mujahidin. Setahuku, itulah kelompok gerilyawan yang<br />

dijuluki<br />

pemerintah Amerika Serikat sebagai pemberontak, dan biasa<br />

meledakkan kawasan-kawasan tertentu di Irak, terutama Bagdad, dengan<br />

bom mobil. Baru beberapa hari lalu, aku meliput peristiwa ledakan bom<br />

mobil di Bagdad. Dan kini, aku bersama kelompok pelakunya?<br />

Mungkinkah mereka akan menggunakan mobil ini untuk bom bunuh diri,<br />

lengkap dengan kami di dalamnya? Rasanya tak mungkin bom bunuh diri<br />

dilakukan beramai-ramai. Setidaknya, yang kutahu, belum pernah terjadi.<br />

Otakku terus bekerja ketika mataku hanya bisa melihat kegelapan.<br />

Boleh jadi mereka hanyalah para perampok yang dikenal di Irak sebagai<br />

Ali Baba, yang menculik orang asing demi uang. Mereka melakukannya<br />

karena tak lagi memiliki pekerjaan, akibat po rak-porandanya ekonomi Irak<br />

pasca-invasi. Tetapi, kenapa kami harus dibawa ke sebuah tempat entah<br />

di mana? Kenapa mereka tak mengambil saja uang dan barang bawaan<br />

kami, lalu membiarkan kami pergi? Mungkinkah mereka kelompok<br />

perlawanan anti-Amerika Serikat dan sekutunya, yang biasa menculik<br />

orang asing di Irak, dan memenggal leher sanderanya kalau tuntutan<br />

mereka tak dipenuhi? Aku akan mati dipenggal?<br />

* * *<br />

RASA sakit dan kejang di kakiku belum pulih. Kulirik Budiyanto.


Wajahnya meringis. Pasti dia juga merasakan kejang dan sakit luar biasa<br />

di kakinya yang tertekuk dan menahan beban tubuhnya selama<br />

dua jam.<br />

Lelaki di belakangku memberikan isyarat dengan senjata yang<br />

digerakkan kedua tangannya, meminta kami turun dari mobil yang<br />

pintunya telah terbuka. Wajahnya yang tak lagi tertutup kafiyeh sangat tidak<br />

bersahabat, berbeda sekali dengan lelaki yang tadi duduk di jok depan.<br />

Tertatih kakiku menjejak tanah. Bukan tanah ternyata, melainkan pasir.<br />

Kulihat butiran-butirannya seperti kebanyakan pasir pantai yang biasa<br />

kunikmati selagi liburan, hanya bentuknya lebih besar-besar dan kasar.<br />

Namun, ketika mataku menyapu sekeliling, aku terpana. Kamu tidak<br />

sedang menikmati iiburan di pantai, Meutya! Ini gurun!<br />

Ya, ini gurun pasir. Ke arah mana pun mata memandang, hanya<br />

lautan pasir kelabu yang tampak. Tidak ada rumah, pepohonan, tidak juga<br />

makhluk hidup lain, kecuali kami berenam. Mengapa kami dibawa ke sini?<br />

Kalaupun benar kami diculik, setahuku dari tayangan-tayangan televisi<br />

dan dari berbagai pemberitaan yang pernah kubaca, para sandera<br />

biasanya ditempatkan di dalam rumah atau di gedung terbengkalai, bukan<br />

di gurun pasir seperti ini.<br />

Keringat mengucur dari dahiku.Sekujur tubuhku juga mulai basah.<br />

Padahal, sebenarnya,cuaca siang hari saat Irak memasuki akhir musim<br />

dingin sama sekali tidak menyengat. Namun, rasa takutku mendorong<br />

keringat dingin itu keluar melalui pori-pori kulit. Apakah tiga lelaki ini akan<br />

mendirikan tenda tempat kami terteduh?<br />

Ternyata tidak. Mataku menumbuk sebuah gua<br />

kecil yang letaknya agak menjorok ke bawah. Aku benar-benar diculik!<br />

Aku disandera!<br />

Aku makin yakin kami bakal disekap dalam gua ketika tiga lelaki itu<br />

masuk ke gua tersebut. Sepertinya mereka tidak khawatir membiarkan<br />

kami di luar. Lagi pula, akan lari ke mana kami karena, sejauh mata<br />

memandang, yang tampak hanya gurun pasir. Gurun kelabu yang<br />

kekuningan karena tersiram cahaya matahari. Melarikan diri malah bisa<br />

mati konyol.<br />

Toh, meskipun rasa takut tak bisa kutepis, otakku terus meyakinkan<br />

diriku untuk tetap tenang. Dalam kondisi seperti ini, aku tidak boleh salah<br />

langkah. Jangan mengumbar emosi, lawanlah dengan diplomasi!<br />

Kulirik layar ponsel. Tidak ada sinyal. Meskipun sudah kuduga<br />

sebelumnya, aku tetap berharap sinyal ponselku muncul, tetapi satu titik<br />

pun tak apa. Aku ingin mengirim SMS ke Kedoya: "Kami Diculik!" Aku juga<br />

ingin meminta mamaku mendoakan kesela-matanku. Tentu saja aku tak<br />

bakal mengabarinya bahwa aku diculik. Aku tak ingin membuatnya<br />

bersedih. Aku hanya ingin minta doa. Itu saja.<br />

Dua jam aku, Budi, dan Ibrahim hanya bisa diam. Padahal, biasanya<br />

kami tak pernah berhenti mengoceh hingga rasa kantuk mendera.<br />

Terutama Budi, selalu saja ada kisah lucu yang meluncur dari mulutnya.<br />

Tetapi dalam suasana mencekam seperti ini, kami memilih tak bicara.<br />

Lagi pula, kami khawatir para penculik akan salah mengerti jika aku dan<br />

Budi berbicara dalam bahasa Indonesia. Dengan Ibrahim, aku juga tak<br />

bicara. Aku yakin tiga lelaki itu tak<br />

mengerti bahasa Inggris, bahasa sehari-hariku dengan Ibrahim.


Namun, ketika tiga lelaki itu masuk ke gua, aku mencuri kesempatan<br />

untuk bertanya kepada Ibrahim, "Di mana kita?"<br />

Setelah melirik ke dalam gua dan merasa aman, Ibrahim<br />

menjelaskan, "POM bensin tempat kita diciduk tadi adalah Ramadi, tetapi<br />

sekarang entah di mana. Mungkin antara Ramadi dan Fallujah."<br />

Mendengar penjelasannya, tubuhku semakin lemas. Kalau dugaan<br />

Ibrahim benar, berarti kami berada tepat di zona pertempuran antara<br />

gerilyawan Irak dan tentara koalisi. Aku langsung teringat riset yang<br />

kukumpulkan bersama tim Metro TV sebelum berangkat. Ramadi dan<br />

Fallujah adalah basis perlawanan kelompok gerilyawan, yang masuk<br />

dalam wilayah segitiga Sunni setelah Bagdad. Hampir seluruh warga di<br />

wilayah ini antipendudukan.Dua wilayah ini digempur habis-habisan<br />

tentara koalisi ketika menginvasi Irak tahun 2003. Tak mengherankan<br />

kalau gerakan perlawanan tumbuh subur di sini. Pertempuran masih<br />

kerap meletus, tak peduli siang atau malam.<br />

Ya Allah, apakah mereka menjadikan kami sebagai tameng?<br />

Jika pertempuran pecah, tubuhku akan jadi sasaran empuk<br />

berondongan peluru dari dua sisi berlawanan. []<br />

Bab 3<br />

Gua Terpencil di Tengah Gurun<br />

AKU masih tak bisa memercayai peristiwa yang tengah kami jalani.<br />

Bukan untuk menjalani ini aku jauh-jauh datang ke Irak. Dua belas hari<br />

lalu, tanggal 3 Februari, aku dan Budi bertolak dari Amman ke Bagdad<br />

bersama Ibrahim, melalui rute yang sama. Tak ada masalah di<br />

perjalanan. Ibrahim memang harus menyiapkan uang recehan untuk<br />

diberikan kepada orang-orang yang kerap menghentikan mobil kami<br />

sepanjang perjalanan.<br />

"Ini salah satu akibat buruk invasi," kata Ibrahim menjelaskan<br />

fenomena baru itu.<br />

Aku maklum. Toh di Jakarta juga banyak "polisi cepe" di<br />

persimpangan jalan, padahal tidak sedang mengalami darurat perang.<br />

Di Bagdad, kami menyewa dua kamar di hotel yang tidak terlalu<br />

besar, Coral Palace. Wartawan asing umumnya lebih memilih Hotel<br />

Palestine, yang berada di kawasan green zone atau zona hijau. Kawasan<br />

ini dianggap lebih aman karena dijaga ketat pasukan pendudukan. Tetapi,<br />

sebenarnya tidak bisa dibilang aman benar. Sebab,ternyata serangan<br />

bom bunuh diri oleh gerilyawan Irak justru lebih sering<br />

diarahkan ke kawasan yang konsentrasi pasukan pendudukannya<br />

tinggi, seperti green zone. Itu juga salah satu alasan kenapa kami memilih<br />

tinggal di Coral Palace, yang terletak di kawasan red zone atau zona<br />

merah. Di hotel ini pula, Budi menginap ketika pertama kali meliput Irak<br />

saat invasi baru berlangsung dua tahun lalu.<br />

Kami menyewa Muhammad Nasser, yang sebelumnya juga<br />

membantu Budi sebagai penerjemah, sekaligus guide untuk menembus<br />

akses ke kelompok Sunni. Nasser adalah seorang Muslim Sunni Irak. Dia<br />

selalu mencoba menjelaskan secara objektif berbagai informasi tentang<br />

Irak. Tetapi, dia tak bisa menyembunyikan keberpihakannya kepada<br />

mantan Presiden Saddam Hussein. Dalam kondisi tak menentu di Irak,<br />

Nasser paham betul risiko yang mengancamnya sebagai guide wartawan<br />

asing.


"Tapi saya harus menghidupi keluarga," kata Nasser, yang juga sopir<br />

KBRI di Bagdad.<br />

Dia memang kehilangan pekerjaan setelah kantor Kedutaan<br />

Indonesia ditutup pasca-invasi. Kami membayar Nasser 80 dolar Amerika<br />

per hari. Angka yang lumayan besar sebenarnya jika dalam kondisi damai.<br />

Untuk kendaraan liputan, kami menyewa mobil seorang lelaki tua yang<br />

mengerti bahasa Inggris dan biasa kami panggil Mister Wail. Entah apa<br />

merek sedan tua berwarna abu-abu milik Mister Wail karena bagian<br />

tulisan mereknya sudah dipereteli. Harga sewanya 50 dolar per hari,<br />

termasuk bensin.<br />

Selama meliput, aku merasakan suasana mencekam di Bagdad.<br />

Kota ini tampak seperti kota tua<br />

yang terbengkalai. Jalan-jalannya sebenarnya lebar dan sangat baik<br />

kualitasnya, tetapi sayang di beberapa ruas jalan utama kadang tampak<br />

lubang besar bekas serangan roket atau bom.Jembatan-jembatan layang<br />

yang tidak terkena serangan masih terlihat kukuh. Rambu-rambu lalu<br />

lintas penunjuk jalan terpampang sangat besar dan bagus.<br />

Dibandingkan dengan Jakarta, langit Bagdad sesungguhnya tampak<br />

begitu biru dan indah, tidak ada polusi, tidak ada asap. Walau hati tertekan<br />

dengan kondisi kota, setidaknya kami bisa menghirup udara bersih dan<br />

sejuk.<br />

Tidak banyak orang berlalu-lalang kalau tidak ada kepentingan yang<br />

mendesak. Jarang sekali ada yang keluar sekadar untuk "jalan-jalan"<br />

sore. Kebanyakan orang memilih untuk tinggal di rumah agar lebih aman.<br />

Pernah sore hari, aku dan Budi mencoba mampir di sebuah kedai kopi di<br />

daerah pusat kota, sayangnya pemilik kafe hanya mau membuka toko dari<br />

pagi sampai usai makan siang. Dia tidak berani buka sampai sore, kami<br />

pun terpaksa kecewa. Banyak lagi toko lain yang seperti itu. Walau tetap<br />

buka, mereka membatasi diri dengan waktu dan melihat situasi. Kalau<br />

merasa tidak aman, mereka akan tutup semau mereka.<br />

Gerakan perlawanan secara sporadis terhadap pasukan koalisi<br />

masih membara. Pelaksanaan pemilu juga menambah ketegangan itu.<br />

Maklumlah, selama ratusan tahun, kelompok Sunni, yang jumlahnya<br />

hanya 30 persen, memegang kendali kekuasaan politik. Kini, dengan<br />

pemilu demokratis pertama, diyakini<br />

dominasi mereka akan rontok oleh kelompok Syiah yang jumlahnya<br />

mencapai 60 persen di Irak.<br />

Meliput di Irak juga selalu diwarnai kejutan. Pengalaman hari<br />

pertama, misalnya,membuatku tersentak. Lewat tengah hari waktu itu.<br />

Kami tengah menuju Hotel Al-Rasyid, tempat Komisi Pemilihan umum<br />

Irak bermarkas, ketika tiba-tiba mobil kami dihentikan dan dikepung kirakira<br />

sepuluh orang berjaket hitam. Raut wajah mereka penuh amarah, dan<br />

tangan kanan mereka menodongkan pistol. Mereka berteriak dalam<br />

bahasa Arab, memaksa kami keluar dari mobil. Salah seorang dari<br />

mereka yang bertubuh jangkung mengunci leher Budi dengan tangan<br />

kanannya dan menekankan pistol ke pinggang Budi dengan tangan<br />

kirinya. Budi digiring entah ke mana. Aku bergegas mencoba<br />

menyusulnya, tetapi seorang dari mereka menghentikan langkahku<br />

dengan tangan kanan yang terus mengarahkan moncong pistol.<br />

"Jangan khawatir, mereka tidak akan membunuh Budi. Hanya


memeriksa," kata Mister Wail. Kenapa harus menodongkan pistol?<br />

Kira-kira dua puluh menit kemudian,Budi dikembalikan. Rupanya,<br />

kami tidak sengaja melewati salah satu pos rahasia pasukan koalisi.<br />

Ketika mobil kami melintas, Budi tengah mengambil gambar suasana<br />

jalanan dari dalam mobil. Menakjubkan! Berarti mereka memonitor gerakgerik<br />

setiap pengendara yang melintas. Padahal, jarak antara pos rahasia<br />

dan jalan raya cukup jauh, dan mobil kami sedang melaju.<br />

"Mereka curiga kalian mata-mata," kata Mister Wail, menjelaskan<br />

kenapa Budi diperiksa.<br />

Menurut Budi, dia diperiksa di pos tersebut. Letaknya masuk gang<br />

sehingga cukup tersembunyi. Luas bangunan dari beton itu hanya 1x1<br />

meter, dan tingginya tiga meter. Oleh orang-orang Irak tak berseragam itu,<br />

Budi diinterogasi dan diminta memutar gambar yang telah dia rekam<br />

sepanjang hari itu. Mereka ingin memastikan tidak ada gambar pos di<br />

kamera kami.Menurut Budi, wajah mereka tampak kesal karena ada<br />

adegan pasukan sipil Irak turun dari mobil jip yang terekam kamera.<br />

Mereka memanggil serdadu Amerika, yang juga meminta rekaman<br />

tersebut diputar ulang. Mereka minta adegan itu dihapus.<br />

"Selama kuputar ulang, ujung senjata laras panjang AK-47 tak pernah<br />

lepas dari leherku. Blendes, untung nggak ada gambar pos yang<br />

terekam." Budi masih mencoba bercanda, padahal ketegangan belum<br />

sirna dari wajahnya.<br />

Setelah itu, pada hari yang sama, terjadi pengalaman serupa. Saat itu<br />

Budi sedang memasang tripod di pembatas jalan utama kota, dekat<br />

Kedutaan Amerika Serikat. Kami ingin merekam suasana Bagdad yang<br />

porak-poranda. Ketika Budi baru saja menempatkan kamera di atas<br />

tripod, terdengar teriakan menghardik dari arah kedutaan. Kali ini da-nlam<br />

bahasa Inggris.<br />

"Stop shooting! Stop shooting!" Dua senjata laras panjang mengarah<br />

ke tubuh kami.<br />

Apa lagi ini? Dari kejauhan, kulihat tangan<br />

Nasser dan Mister Wail memberi isyarat agar kami segera kembali ke<br />

mobil.<br />

Namun, kudengar teriakan lain: "Don't move!"<br />

Komandan jaga kedutaan berlari ke arah kami. Dia kemudian<br />

meminta Budi memutar ulang rekaman gambar. Rupanya dia tak<br />

memercayai penjelasanku bahwa kami tak mengambil gambar kedutaan.<br />

Kali ini sikapnya lebih sopan ketimbang sepuluh lelaki Irak tak<br />

berseragam tadi. Dia pun meminta maaf sebelum mempersilakan kami<br />

berlalu.<br />

Baru beberapa jam di Irak, dua kali aku ditodong senjata! Bagaimana<br />

dengan warga Irak yang sudah menjalani kepahitan akibat invasi selama<br />

hampir dua tahun? Tak mengherankan kalau Nasser sering mengeluh<br />

hidup tertekan.<br />

Pengalaman itu membuat kami harus lebih hati-hati. Tetapi, tentu<br />

saja sikap itu menyiksa Budi. Dia tak bisa bebas merekam gambar.<br />

Bagaimana mau merekam gambar, baru memasang tripod saja sudah<br />

dibidik senjata.Padahal, gambar adalah modal utama laporan televisi.<br />

Budi mengaku liputan di Irak kali ini jauh lebih sulit dibandingkan tahun<br />

2003. Saat itu, wartawan masih bisa memetakan zona tempur atau


attlefield, dan masih ada wilayah yang aman.<br />

Betul kata Budi. Saat ini semua wilayah adalah zona tempur.<br />

Gerilyawan dapat meledakkan bom di mana saja. Tentara koalisi juga<br />

bisa melepas tembakan di mana saja karena merasa terancam.<br />

Itulah alasan kenapa pengamanan di kawasan zona hijau sangat<br />

ketat dan merepotkan. Itu kualami ketika membuat kartu identitas<br />

wartawan atau<br />

ID card khusus yang dikeluarkan seksi penerangan tentara koalisi,<br />

pada hari kedua liputan kami. ID ini penting kami miliki guna<br />

mempermudah masuk ke kawasan yang dijaga pasukan pendudukan.<br />

Tanda pengenal wartawan ini dikeluarkan di Hotel Al-Rasyid, Markas<br />

Komando Pasukan Koalisi. Untuk memasuki markas ini, seseorang<br />

harus melewati tujuh atau delapan lapis pos jaga. Aku tak ingat secara<br />

tepat. Di bagian paling luar, ada pos yang dijaga tentara dan polisi Irak. Di<br />

lapis-lapis berikutnya, pos dijaga pasukan koalisi dari negara-negara Asia<br />

yang mengirimkan tentaranya, seperti Korea Selatan dan Jepang. Barulah<br />

di lapis terdalam, kulihat pos dijaga tentara kulit putih.<br />

Pemeriksaan di setiap pos pun berbeda-beda. Ada pos pemeriksaan<br />

tas dan tubuh. Perempuan sepertiku akan digeledah oleh petugas<br />

perempuan. Pemeriksaan berlangsung cermat, bahkan kotak kosmetikku<br />

pun dibuka satu per satu. Ada juga pos yang pemeriksaannya dibantu<br />

anjing pelacak. Tas yang kami bawa diletakkan di lantai dan diendus<br />

anjing selama beberapa saat. Di pos lainnya, dilakukan tes tingkat<br />

keasaman, menggunakan kertas lakmus untuk mengukur Ph yang<br />

dimasukkan ke tas kami. Ada juga pos pemeriksaan alat elektronik.<br />

Telepon seluler dibuka, baterai dan casingnya dipisahkan. Adapun<br />

telepon berkamera harus ditinggal di pos dan diambil kembali ketika<br />

pulang. Budi menjalani pemeriksaan yang lebih rumit karena harus<br />

melepas baterai kamera. Benda ini memang kerap dicurigai sebagai<br />

pemicu bom.<br />

Perjalanan dari satu pos ke pos lainnya ber belok-belok, dengan<br />

tumpukan karung pasir di kiri— kanan setinggi dua meter. Di atas pos-pos<br />

jaga itu tampak tentara pengintai. Untuk lolos melalui semua tes ini<br />

dibutuhkan waktu setengah jam. Barulah kami tiba di pintu utama gedung<br />

yang dulu lebih dikenal sebagai Hotel Al-Rasyid.<br />

Namun, dengan kartu identitas khusus pun, keselamatan kami<br />

belumlah terjamin. Dulu, sebelum invasi, Presiden Saddam Hussein<br />

masih melindungi keselamatan wartawan asing. Tentunya untuk<br />

kepentingan propagandanya ke dunia internasional. Sesaat setelah<br />

invasi, pasukan koalisi juga menjaga keselamatan wartawan, dengan<br />

alasan yang sama. Tetapi kini, tidak ada lagi yang punya kepentingan<br />

melindungi wartawan. Bahkan,keadaan berbalik: kehadiran wartawan<br />

tidak diinginkan.<br />

Akibatnya, kami harus mencari jalan keluar di tengah serba<br />

keterkekangan ini.Kantor sudah memberikan kepercayaan penuh. Jauhjauh<br />

ke Irak percuma kaiau liputannya asal-asalan! Lagi pula, ini<br />

penugasan yang mahal. Di luar tiket dan akomodasi peliputanku, biaya<br />

lain yang cukup besar adalah pengiriman gambar melalui satelit atau<br />

feeding. Sekali mengirim gambar berdurasi 10 menit saja biayanya 800<br />

dolar. Padahal, feeding dilakukan minimal satu kali sehari.


Budi tak kehilangan akal. Dia mengambil gambar dari balkon kamar<br />

hotel pada malam hari. Cara ini tentu berisiko karena sepanjang jam<br />

malam setiap hotel dan gedung disorot lampu besar dari tanktank<br />

tentara koalisi. Kalau tindakan Budi ketahuan, dia bisa ditembak.<br />

Sebab, posisi Budi yang memanggul kamera di bahu kanannya ketika<br />

merekam gambar mirip dengan gerakgerik kelompok perlawanan yang<br />

tengah melontarkan roket jenis RPG (Rocket Propelled Grenades). Jika<br />

kamera ditempatkan di atas tripod pun kerap dicurigai sebagai alat<br />

pelontar roket.<br />

Cara lain adalah dengan lebih memfokuskan peliputan di daerah<br />

zona merah karena di sana lebih sedikit tentara koalisi yang berpatroli.<br />

Aku pun bisa bebas mewawancarai warga Irak. Memang berisiko karena<br />

di kawasan inilah bermukim kelompok-kelom pok garis keras dan antiinvasi.<br />

Tetapi, itulah risiko yang harus dihadapi.<br />

Kalau takut risiko, pergi saja dari Irak!<br />

Hari-hari berikutnya, aku menjadi terbiasa dengan rutinitas Bagdad.<br />

Ledakan bom menjadi menu harian dan letusan senjata lebih sering lagi.<br />

Belum lagi listrik yang dimatikan pada malam hari sehingga aku harus<br />

tidur di tengah kegelapan dan di antara bunyi desingan peluru.<br />

Suatu hari, aku dan Budi menonton tayangan televisi tentang<br />

pembunuhan seorang reporter televisi Al-Hurra, stasiun televisi lokal yang<br />

dikabarkan didanai Amerika. Dia diberondong gerilyawan ketika tengah<br />

tidur di kediamannya di Bagdad.<br />

"Tenang aja, Mut, biarpun ada puluhan ribu peluru berdesing di<br />

sekitar kita, kalau nama kita ng gak tertera di situ, ya kita nggak kena." Aku<br />

tertawa mendengar ucapan Budi dalam logat Jawanya<br />

yang kental. Padahal, Budi tidak sedang guyon sebab kulihat<br />

mimiknya sangat serius. Kupikir, benar juga ucapannya. Sebagai orang<br />

beragama, aku harus percaya takdir.<br />

* * *<br />

SEBENARNYA, tiga hari lalu, kami telah menyelesaikan liputan di Irak.<br />

Kami sudah melaksanakan tugas kami meliput pemilu di Irak. Kami<br />

meliput tingkat partisipasi masyarakat Irak dalam pemilu, yang ternyata<br />

cukup tinggi, di atas 60 persen, walau memang di daerah segitiga Sunni,<br />

termasuk Ramadi, banyak TPS yang kosong karena ada serangan-sera<br />

ngan ataupun ancaman ledakan bom. Untuk melihat transparansi<br />

pelaksanaan pemilu, kami rajin menyambangi kantor Komisi Pemilihan<br />

Umum Irak. Hampir setiap hari ada konferensi pers untuk mengumumkan<br />

sudah sejauh mana penghitungan suara dilakukan. Sayang, proses<br />

penghitungan dilakukan sangat tertutup, tidak seperti di Indonesia, kita<br />

bisa melihat penghitungan suara di TPS-TPS. Alasannya, demi keamanan<br />

para penghitung suara (menghindari mereka dari sabotase yang<br />

dilakukan pihak-pihak yang tidak menghendaki pemilu karena<br />

menganggap pemilu adalah hasil rekayasa Amerika). Walhasil,<br />

penghitungan suara tidak transparan dan jurnalis tidak bisa betul-betul<br />

yakin penghitungan suara dilakukan secara jurdil atau tidak.<br />

Sayangnya, ketika itu pengumuman hasil pemilu tertunda-tunda<br />

terus.Tenggat waktu seminggu pun<br />

lewat.<br />

Selama menunggu hasil pemilu diumumkan, aku dan Budi meliput


sisi-sisi lain dari Irak. Kami merekam sebanyak mungkin suasana Kota<br />

Bagdad. Sembari meliput itulah, aku memerhatikan betapa<br />

menyedihkannya Bagdad. Ibu kota negeri yang dulu disebut negeri seribu<br />

satu malam ini kini penuh kehancuran, berantakan, dan mencekam.<br />

Jalan-jalan kota dipenuhi tank-tank militer. Hampir di setiap sudut<br />

dijumpai tentara dengan senjata siap meletus. Gedung-gedung hancur.<br />

Museum Irak yang berisi karya-karya peninggalan sastra Islam/Timur<br />

Tengah juga hancur dan banyak karya berharga itu hilang. Kawat-kawat<br />

berduri dan tumpukan karung pasir bertebaran di jalan-jalan utama kota.<br />

Orang-orang, baik berpakaian seragam maupun preman, dengan santai<br />

berjalan memanggul senjata laras panjang. Dan yang lebih menyedihkan,<br />

orang Irak, yang dulu kabarnya terkenal ramah dan sangat menghormati<br />

tamu, kini lebih banyak yang ketakutan melihat orang asing. Tatapan<br />

mereka awalnya selalu curiga dan tidak bersahabat, barulah setelah kami<br />

bicara baik-baik mereka biasanya melunak. Banyak warga yang tidak mau<br />

bicara melihat kami membawa kamera. Mereka tidak banyak yang berani<br />

berbicara di depan kamera jika kami minta wawancara.<br />

Trauma dan ketakutan, itulah yang membayangi Kota Bagdad.<br />

Liputan kami juga mencakup kehidupan sehari-hari warga Bagdad.<br />

Kami meliput suasana di pasar Syahdun. Keramaian pasar bisa dijadikan<br />

tolok ukur<br />

pergerakan ekonomi.Di sebuah pasar di Kota Bagdad terlihat hanya<br />

beberapa toko yang buka. Menurut para pedagang, selama menunggu<br />

hasil pemilu diumumkan, masyarakat lebih banyak yang memilih tidak<br />

keluar rumah akibat khawatir dengan aksi-aksi perlawanan dari kelompok<br />

penentang pemilu. Jadi, pasar terlihat sepi, penjual juga tidak bergairah.<br />

Tiga hari setelah menyelesaikan tugas meliput itulah, kami berada di<br />

perbatasan Irak-Yordania, menuju Amman. Di perbatasan itu, kami harus<br />

menunggu untuk mendapatkan visa on arrival baru sebagai izin masuk ke<br />

Yordania. Kedutaan Yordania memang hanya memberikan visa model ini<br />

untuk sekali masuk, dan itu sudah kami gunakan ketika masuk dari<br />

Indonesia.<br />

Di perbatasan, hanya ada satu komputer yang dapat digunakan. Sial,<br />

sistem online keimigrasiannya sedang hang. Kami terpaksa menunggu<br />

tujuh jam hingga komputer tersambung kembali dengan kantor imigrasi di<br />

Amman. Meski siang hari, embusan angin serasa seperti ujung-ujung<br />

jarum dingin yang menembus hingga tulang. Chai, teh hangat khas Irak,<br />

tak mampu mengadang rasa dingin yang membekukan tubuhku. Di luar<br />

kantor imigrasi, butiran-butiran salju berjatuhan seperti kerikil putih yang<br />

ditaburkan dari langit.<br />

Telepon seluler dalam tasku berbunyi tanda SM S masuk. Dari nomor<br />

Koordinator Liputan di Kedoya.<br />

"Maaf Mut, Bud, rapat redaksi memutuskan kalian membatalkan<br />

pulang ke Amman dan tetap di Irak untuk meliput peringatan Asyura, 10<br />

Muharram<br />

mendatang. Dadi RS."<br />

Kami terkejut membacanya. Aku dan Budi hanya bisa saling pandang.<br />

Kembali ke Irak? Posisi kami telah keluar dari perbatasan Irak, tetapi<br />

belum lolos dari imigrasi perbatasan Yordania karena terganjal masalah<br />

visa. Untuk kembali ke Irak, kami harus mengurus visa di Kedutaan Irak di


Amman. Sebab, visa masuk Irak pun hanya berlaku sekali. Mereka pikir<br />

kembali ke Irak segampang membalik telapak tangani Setidaknya butuh<br />

waktu dua hari untuk memperoleh lagi visa Irak.<br />

Apa mau dikata. Ini perintah.<br />

Dan sebenarnya,aku juga berharap bisa meliput Asyura, peristiwa<br />

kematian cucu Nabi Muhammad Saw., Hussein bin Ali, yang diperingati<br />

kaum Syiah secara besar-besaran di Kota Karbala. Pada masa Saddam<br />

Hussein berkuasa, peringatan itu dibatasi. Tetapi setelah invasi, kaum<br />

Syiah dari luar Irak pun berdatangan.<br />

Esok paginya, kami mengurus visa di Kedutaan Irak di Amman.<br />

Tentu saja pejabat kedutaan yang lebih sepekan lalu kami temui<br />

terkejut.<br />

"Kenapa baru kemarin keluar dari Irak kini mau masuk lagi?"<br />

Berbagai alasan kami ajukan, termasuk soal janji wawancara dengan<br />

sejumlah tokoh pemenang pemilu yang belum sempat dipenuhi. Rencana<br />

peliputan Asyura sengaja kami rahasiakan. Kami tak ingin alasan ini<br />

justru menghambat pemberian visa.<br />

Maklum, selama dua tahun peringatan besar-besar an Asyura, selalu<br />

terjadi peristiwa kekerasan yang disinyalir dilakukan kelompok Sunni.<br />

Walaupun terlihat enggan, pejabat kedutaan itu akhirnya meminta<br />

kami kembali esok paginya untuk mengambil paspor dan visa.<br />

Selama sehari menunggu itulah, aku dan Budi berdiskusi panjang<br />

soal rencana masuk kembali ke Irak. Jujur, perasaanku menjelang<br />

keberangkatan kedua ini jauh berbeda dengan kali pertama. Ada<br />

keraguan yang terus menggelayut. Mungkin karena secara fisik mulai<br />

lelah. Tetapi, faktor psikis lebih banyak berperan. Beberapa hari berada di<br />

Bagdad yang tak menentu memang membuat kami tertekan. Wajar saja<br />

jika banyak warga Irak, terutama para perempuan, yang kabarnya kini<br />

selalu mengonsumsi obat penenang. Berat rasanya bagiku harus<br />

mengulang semua pemandangan itu.<br />

Bahasan pertama diskusi kami adalah apakah kami siap atau tidak<br />

masuk kembali ke Irak. Aku dan Budi sepakat, semua keputusan ada di<br />

tangan kami.<br />

"Jakarta boleh menugaskan, tetapi dalam kondisi begini, kita di<br />

lapanganlah yang memutuskan," kataku meyakinkan Budi.<br />

Peliputan Asyura di Kota Karbala bukan hal mudah. Karbala, yang<br />

dihuni mayoritas kaum Syiah, berjarak dua jam perjalanan dari Bagdad.<br />

Tentu saja, untuk memasukinya kami harus punya akses orang Syiah.<br />

Nasser yang Sunni tidak akan mau menemani kami ke Karbala.<br />

Peringatan Asyura tahun lalu diwarnai insiden ledakan bom, yang<br />

mengakibatkan<br />

lebih dari 200 orang tewas. Hampir di seluruh wilayah Karbala<br />

juga belum ada sinyal GSM. Ini berarti, selama meliput di sana, kami akan<br />

lost contact dengan Jakarta. Semua kendala ini menjadi bahan<br />

pertimbangan.<br />

Namun, kami juga memahami keinginan Kedoya. Peringatan Asyura<br />

adalah peristiwa yang sarat nilai berita, baik dari sisi visual maupun nilai<br />

sejarah.<br />

"Mas Bud siap?" tanyaku setelah menimbang semua kendala<br />

terburuk yang mungkin kami hadapi.


Budi mengangguk. "Kamu gimana, Mut?"<br />

Aku pun menganggukkan kepala tanda kesiapanku meliput Asyura.<br />

Aku percaya, jika diawali dengan niat baik, semua akan baik-baik saja.<br />

Insya Allah.<br />

Kami memutuskan, sebelum ke Karbala, kami masuk ke Bagdad<br />

lebih dahulu. Kota ini sudah kami kenal. Dari situ pula, kami akan<br />

mengatur strategi masuk ke Karbala. Bagaimanapun, kami harus segera<br />

masuk ke Irak karena satu minggu sebelum dan sesudah peringatan<br />

Asyura, semua perbatasan masuk dan keluar Irak akan ditutup. Itu<br />

keputusan pemerintah Irak untuk mengamankan peringatan Asyura.<br />

Tampaknya mereka tidak mau insiden yang menewaskan ratusan orang<br />

kembali berulang.<br />

Bahasan berikutnya adalah lewat jalur mana kami masuk Irak: darat<br />

atau udara. Dua-duanya memang tidak aman. Dan, kami harus memilih<br />

yang terbaik di antara yang buruk. Jalur darat, berarti kami harus melewati<br />

Kota Ramadi dan Fallujah, yang dikenal sebagai basis gerakan<br />

perlawanan, dan karena<br />

itu dua wilayah ini sangat rawan pertempuran.<br />

Jalur udara, selain masih jarang pesawat komersial yang beroperasi,<br />

juga tidak lebih aman. Selama peliputan di Bagdad, kami sering<br />

mendengar pesawat menjadi target serangan gerilyawan karena<br />

kebanyakan yang menggunakan jasa pesawat adalah orang asing.<br />

Banyak pesawat yang jatuh, baik sipil maupun militer, diberitakan karena<br />

mengalami kegagalan mesin (engine failure). Padahal, sebenarnya jatuh<br />

ditembak gerilyawan. Setelah aman mendarat pun, ancaman masih<br />

menghadang. Bandara Bagdad kini digunakan juga sebagai pangkalan<br />

militer pasukan koalisi sehingga kerap menjadi target serangan para<br />

gerilyawan.<br />

Dengan berbagai pertimbangan itu, akhirnya aku dan Budi merasa<br />

lebih yakin untuk menggunakan jalur darat. Menyelusup di tengah-tengah<br />

warga lokal pada umumnya.<br />

"Kalau kita harus memilih dua kondisi yang sama berbahayanya, kita<br />

ikuti feeling saja, Mas," kataku meyakinkan keputusan kami.<br />

Lagi pula, berdasarkan pengalaman wartawan Indonesia yang<br />

meliput Irak sebelum dan selama invasi, semua masuk ke Irak melalui<br />

jalur darat. Dan, terbukti aman.<br />

Dan, keputusan kami ternyata salah.<br />

Rasa sesal terus menghunjam kalbuku. Andai saja kami memilih<br />

jalur udara, aku pasti tidak akan terdampar di gurun antah-berantah ini.<br />

Aku pasti siap bermalam dalam kenyamanan kamar Hotel Coral Palace di<br />

Bagdad, sebelum menempuh perjalanan ke<br />

Karbala. Aku keliru terlalu mengandalkan feeling. Atau inikah takdirku?<br />

Seberapa pun ikhtiarku, aku tak bisa menghindari takdir,'<br />

Ah, lebih baik menerima kenyataan ini, sambil memikirkan langkah<br />

apa yang harus kuambil dalam ketidakberdayaanku. Aku tak mau<br />

dikacaukan pikir an-pikiran yang membuatku makin mumet.Lagi pula,<br />

jangan-jangan, kalau aku naik pesawat, malah pesawatku meledak<br />

ditembak gerilyawan. Atau, aku mati di pinggiran bandara yang diledakkan<br />

bom mobil. Mengingat dua kemungkinan terakhir itu, aku merasa lebih<br />

beruntung dengan kondisi yang kualami sekarang.


* * *<br />

GUA itu sedikit melesak ke bawah sehingga tidak mudah dilihat dari<br />

permukaan gurun. Sepertinya ini bukan gua alami, melainkan ciptaan<br />

manusia. Buktinya, ada tumpukan batu yang tertata rapi di sekeliling mulut<br />

gua, membentuk tempat berlindung yang boleh jadi sengaja dirancang<br />

untuk persembunyian. Warna bebatuannya yang kusam menunjukkan gua<br />

itu sudah tua. Mungkin gua ini semula dibangun untuk menyimpan<br />

perlengkapan pertanian karena wilayah Ramadi yang dialiri Sungai Eufrat<br />

dikenal sebagai daerah pertanian yang subur. Namun pascainvasi,terutama<br />

setelah muncul gerakan perlawanan terhadap pasukan<br />

koalisi, gua ini beralih fungsi menjadi tempat persembunyian gerilyawan.<br />

Dan kini, akan menjadi tempat penyekapanku?<br />

Aku tetap berharap dugaanku salah, tetapi ternyata tidak meleset. Tiga<br />

lelaki penculik itu keluar dari gua, dan salah satunya mendatangi Ibrahim.<br />

Setelah keduanya berbincang sejenak, Ibrahim menghampiriku,<br />

memberitahukan bahwa kami harus masuk ke gua. Tubuhku masih<br />

berdiri kaku, padahal tangan Ibrahim beberapa kali memberikan isyarat<br />

agar aku mengikuti perintah mereka. Budi juga terlihat lunglai. Kerut di<br />

wajah dan sorot matanya mengekspresikan seribu tanya yang tak<br />

terjawab. Kami tetap terpaku saat Ibrahim dan tiga lelaki itu mengeluarkan<br />

barang-barang dari mobil, dan memasukkan semuanya ke gua.<br />

Setelah saling pandang seolah-olah mempertanyakan apa yang<br />

tengah terjadi, aku dan Budi dengan enggan melangkah ke dalam gua.<br />

Aku harus sedikit merunduk ketika memasuki mulut gua yang sempit,<br />

padahal tinggiku hanya 159 sentimeter. Mungkin tinggi mulut gua itu hanya<br />

satu setengah meter. Pasti Ibrahim lebih tersiksa, lantaran tubuhnya tinggi<br />

besar, mungkin lebih dari 185 sentimeter. Udara lembap gua langsung<br />

menyerbu hidungku. Untunglah, langit-langit gua lebih tinggi dibandingkan<br />

pintunya, sekitar dua meter. Aku duduk di sisi kiri gua, berjejer bersama<br />

Budi dan Ibrahim.<br />

Ya Tuhan, kami harus berdesakan di gua kecil<br />

ini?<br />

Mataku menyisir ruangan gua. Luasnya mungkin tak lebih dari 3x4<br />

meter. Ada satu lubang di bagian belakang gua yang dipasangi teralis<br />

besi sehingga mirip sel penjara. Persis di tengah gua terdapat<br />

perapian kecil berbentuk persegi panjang. Di bagian tengahnya<br />

terlihat bekas arang yang dibakar. Beberapa bungkus rokok berceceran di<br />

antara bebatuan gua. Langit-langitnya hitam gelap, mungkin karena<br />

bertahun-tahun menerima asap dari perapian.<br />

Karena saat itu masih musim dingin, suhu udara tak lebih dari<br />

sepuluh derajat. Tentu saja ini bagian yang paling menyiksa. Jangankan<br />

kasur, tikar pun tak ada. Kami duduk hanya beralaskan pasir dan<br />

bebatuan. Tubuh Ibrahim tampak menggigil. Apalagi aku dan Budi, yang<br />

tak terbiasa dengan cuaca seperti ini. Dalam kondisi ini, rasanya nasib<br />

kami tak lebih baik dibandingkan tunawisma di kolong-kolong jembatan<br />

Jakarta.<br />

Inikah takdirku? Aku tak mau mengingkarinya. Tetapi, bukankah ada<br />

sisi lain yang harus dilakukan sebelum menerima takdir: ikhtiar? Kalau<br />

saja aku dan Budi menolak perintah kantor untuk kembali ke Irak.Andai<br />

saja aku tidak kembali ke Irak melalui darat. Kalau saja aku naik pesawat


dari Amman ke Bagdad. Pasti penculikan ini tak akan terjadi. Mungkinkah<br />

aku bisa menghindari takdir?<br />

Beberapa menit setelah kami mulai tersimpuh di dalam gua, seorang<br />

penculik berbicara kepada Ibrahim,yang kemudian menyampaikannya<br />

kepadaku dan Budi dengan penuh keyakinan.<br />

"Mereka menunggu Rois. Kalau dia datang, kita bisa bebas malam ini<br />

atau esok. Dia yang akan memutuskan."<br />

Rois, kata Ibrahim, adalah pemimpin kelompok<br />

yang menculik kami. Hanya itu yang dijelaskan Ibrahim, padahal<br />

rasanya banyak sekali penjelasan lelaki penculik itu kepada Ibrahim.<br />

Sesudah itu, kami terdiam dalam dingin yang makin membekukan. Hanya<br />

mata kami yang kadang saling tatap.<br />

Walaupun berharap penjelasan Ibrahim benar, aku enggan terlalu<br />

percaya pada omongan para penculik itu.<br />

Sinar mentari di luar gua tampak sudah redup. Gua pun menjadi<br />

temaram. Pasti omongan penculik itu hanya untuk menghibur.<br />

Namun tiba-tiba, di luar gua sayup-sayup terdengar suara. Pasti itu<br />

suara kendaraan! Di tengah gurun yang sangat sunyi ini, suara langkah<br />

kaki saja sangat jelas terdengar, apalagi kendaraan. Aku tak sangsi lagi,<br />

derum suara yang makin mendekat itu pasti suara mobil. Mereka tidak<br />

bohong. Rois datang dan segera membebaskan kami! Rasanya aku ingin<br />

melonjak. Wajah Budi yang tengah berjuang menahan hawa dingin juga<br />

berubah sum-ringah. Ibrahim pasti merasakan hal yang sama. Namun,<br />

ketika suara mobil itu makin mendekat ke mulut gua dan kemudian<br />

berhenti, kesangsianku berganti harapan. Seorang penculik yang dari tadi<br />

menjaga kami menjemput keluar gua. Suara obrolan dan derap kaki<br />

makin mendekat. Harapanku untuk segera bebas pun kian membulat.<br />

Tiga lelaki melangkah ke dalam gua, salah satunya yang tadi<br />

menjemput keluar. Yang mana Rois? Kenapa mereka membawa selimut,<br />

alas tidur, dan lampu minyak?<br />

Persendianku langsung lemas. Melihat barang-barang yang mereka<br />

bawa, berarti kami harus menginap di gua. Rois tidak datang. Dua orang<br />

itu hanya anggota biasa kelompok penculik, dan mereka datang untuk<br />

mengantar logistik.<br />

"So we sleep here tonight?" Aku tak bisa menahan diri untuk bertanya<br />

kepada Ibrahim.<br />

Mata para penculik langsung memandang tajam ke arahku. Ibrahim<br />

buru-buru menjelaskan pertanyaanku dalam bahasa Arab, agar mereka<br />

tidak salah sangka. Seorang penyandera menjelaskan panjang lebar<br />

kepada Ibrahim, sambil sesekali menatap ke arahku seolah-olah dapat<br />

membuatku mengerti.<br />

"Yes, we sleep here tonight. Tomorrow Rois will come and he will<br />

decide whether we can be freed or not. Now Rois can not come here<br />

because it's too late to come to Ramadi," kata Ibrahim, menerjemahkan<br />

penjelasan seorang penculik.<br />

Aku yakin penjelasan penculik sebenarnya lebih panjang dan berbelit.<br />

Tetapi intinya, aku dan Budi harus menginap di gua itu.<br />

Dua lelaki pembawa logistik kemudian pergi. Hari makin gelap. Kami<br />

bertiga ditinggal di tengah gurun bersama tiga orang bersenjata. Tiba-tiba<br />

saja, perutku terasa mual.


Apa yang akan terjadi padaku kemudian?<br />

Ketiga penyandera itu mulai sibuk membentangkan selimut untuk<br />

alas tidur kami. Seorang penyandera yang terlihat lebih tua dan sebagian<br />

wajahnya masih ditutup kafiyeh menyuruhku beristirahat di pojok kiri gua.<br />

Untukku seorang. Rupanya<br />

dia masih menghormati privasi seorang wanita meski daiam kondisi<br />

darurat. Tetapi, seorang lelaki lain yang tadi menodongkan senjata AK dan<br />

duduk di jok mobil belakang masih saja tak bersahabat. Bahkan, sorot<br />

matanya kerap membuatku risih.<br />

Budi harus berbagi pojokan lain dengan Ibrahim. Satu pojokan lagi<br />

untuk ketiga penyandera. Tumpukan perangkat liputan kami dua kamera,<br />

tripod, dua laptop, videophone, telepon satelit di salah satu sisi lantai<br />

membuat gua itu makin terasa sempit sehingga kami tidak bisa bergerak<br />

di pojok masing-masing. Dalam posisi tidur, kakiku pasti mengenai<br />

kepala Budi dan Ibrahim, sementara posisi kaki Budi tidak jauh dari<br />

kepala para penyandera.<br />

Lampu minyak dinyalakan. Perapian di te ngah-tengah gua juga diisi<br />

kayu dan dibakar untuk memberikan kehangatan. Seolah-olah ada yang<br />

menggerakkan,kami mulai berkumpul di dekat perapian, menjulurkan<br />

tangan yang mulai membeku ke dekat api. Tak terkecuali para<br />

penyandera.<br />

Suasana pun terasa lebih cair. Rasa kebersamaan tiba-tiba muncul,<br />

meruntuhkan "tembok besar" yang mengadang penyandera dan<br />

tersandera.<br />

Untuk pertama kalinya, kami bertukar senyum dengan dua lelaki yang<br />

lilitan kafiyeh-nya sudah melorot, sambil menikmati hangatnya perapian<br />

kayu bakar. Adapun seorang lelaki yang dari tadi sudah tak berpenutup<br />

muka tetap saja membuatku curiga. Sebagai perempuan dewasa, aku<br />

sangat mengerti arti tatapannya.<br />

Namun, kepada dua penculik lain, aku mulai<br />

berani menatap wajah. Mereka tidak berbeda dengan warga Irak<br />

umumnya. Aku yakin mereka masih muda. Mungkin yang satu malah lebih<br />

muda dariku meski garis-garis pada wajahnya membuatnya kelihatan<br />

lebih tua. Untuk apa mereka melakukan semua ini?<br />

Namun, mendadak dadaku berdebar-debar. Wajah mereka<br />

mengingatkanku pada peristiwa ledakan bom mobil di lapangan At-Tahrir<br />

(Monumen Pembebasan) di pusat Kota Bagdad. Anak-anak muda seperti<br />

merekakah pelakunya? Masih terngiang ketika sebuah suara ledakan<br />

yang sangat besar terdengar hingga ke hotel kami. Waktu itu, aku dan<br />

Budi langsung bergegas menuju lokasi, meninggalkan sarapan pagi kami<br />

yang belum tuntas. Di lokasi, kerumunan massa sudah ramai. Darah<br />

berceceran di jalanan. Pecahan kaca berserakan. Luar biasa, ini<br />

merupakan salah satu ledakan terbesar selama peliputanku di Irak.<br />

Lokasi ledakan persis di jantung kota, dan hanya dipisahkan<br />

jembatan dari markas Komando Militer Amerika. Ini menandakan eskalasi<br />

gangguan keamanan terus meningkat dan semakin berani. Berhubungan<br />

atau tidak dengan hasil pemilu yang ter tunda-tunda, entahlah.Aku dan<br />

Budi berpencar. Dia mengambil gambar sebanyak mungkin, sementara<br />

aku menggali informasi dari para saksi. Kami seperti terlarut dalam<br />

liputan yang mengasyikkan.


Nasser, dengan wajah yang tampak tegang, berlari ke arahku.<br />

"Meutya, segera tinggalkan tempat ini. Berbahaya!"<br />

Tetapi, aku tak menggubrisnya. Sikap Budi juga demikian ketika<br />

Nasser mengingatkannya. Kami malah berlari ke arah serpihan mobil<br />

yang dijaga ketat polisi.Kendaraan pembawa bom itu luluh lantak. Aku<br />

menelisik serpihan di dekat mobil. Ada pecahan dari rangkaian bom yang<br />

tidak turut meledak. Arus deras adrenalin kewartawananku secara refleks<br />

mendorongku untuk melakukannya tanpa kekhawatiran sedikit pun. Budi<br />

pun secara refleks merekam gambarku memegang potongan bom.<br />

Sambil memegang potongan bom, aku menjelaskan peristiwa ledakan<br />

tersebut di depan kamera.<br />

Nasser kembali memohon aku melepaskan potongan bom itu dan<br />

segera meninggalkan lokasi.<br />

Merasa sudah cukup, kami pun segera kembali ke mobil. Mister Wail,<br />

yang rupanya dari tadi gelisah, langsung menancap gas menjauh dari<br />

lokasi ledakan.<br />

"Berbahaya, Meutya. Kamu terlalu mencolok sebagai<br />

wartawan,padahal banyak pihak yang tidak suka wartawan masuk begitu<br />

dekat. Kamu tahu, mungkin pelaku peledakan juga masih berada di<br />

sekitar lokasi dan melihat kamu memegang potongan bom. Apa kamu<br />

tidak berpikir bom itu bisa meledak?" Nasser menjelaskan panjang lebar<br />

kenapa dia memaksa kami segera pergi. Sebenarnya, aku juga<br />

sependapat dengan Nasser. Tetapi, entah kenapa saat itu aku begitu larut<br />

tanpa rasa takut sama sekali.<br />

* * *<br />

DAN kini, aku berhadap-hadapan dengan tiga manusia yang pasti<br />

memiliki kenekatan seperti pelaku bom bunuh diri itu. Meski bisa<br />

tersenyum, aku tak bisa meredakan debaran jantungku dan menutupi<br />

rasa cemasku. Kecemasan itu tambah memuncak ketika kami bersiap<br />

untuk istirahat dan mulai bersandar di pojok masing-masing. Budi dan<br />

Ibrahim tampaknya mulai nyaman walaupun kaki mereka harus ditekuk<br />

dan saling berebut selimut. Ketiga penyandera juga sudah bersandar<br />

dengan senjata laras panjang tergeletak meski masih dalam jangkauan<br />

tangan mereka.<br />

Dalam keadaan begini, rasa mual di perutku kembali terasa dan<br />

mendadak aku menjadi rindu rumah. Belaian tangan mamaku selalu<br />

membuat rasa mual di perutku sirna seketika. Petuah-petuahnya bagai<br />

menyirami hatiku saban aku gundah. Aku rindu Mama. Aku butuh<br />

kehangatannya.<br />

Aku masih ingat wajah kagetnya ketika kuka-bari akan berangkat ke<br />

Irak, padahal baru saja Mama kutinggal pergi ke Aceh dan Makassar.<br />

"Hah, ke Irak? Mau ngapain?" Mama lebih kaget lagi karena aku harus<br />

berangkat malam itu juga. "Nanti malam? Jam berapa? Sama siapa aja?<br />

Berapa orang, Bingbing?" Pertanyaan itu tak bisa distop dari mulut Mama,<br />

yang biasa memanggilku Bingbing.<br />

"Jam 12 malam berangkat. Udah ah, Mama jangan tanya-tanya dulu,<br />

cape nih," jawabku merajuk. "Mending Mama bantuin ngepakin barang aja<br />

yuk. Katanya di sana musim dingin, harus beli kaus<br />

kaki dan sarung tangan, Ma." Mama kemudian sibuk membantu


persiapanku. Tak terucap lagi protes dari mulutnya walau aku bisa<br />

membaca kekhawatiran yang memancar dari wajahnya.<br />

Aku juga teringat Teh Finny. Kakakku inilah yang menggantikan peran<br />

Ayah menjaga keluarga, selepas kepergian Ayah. Dia juga selalu menjadi<br />

teman curhat kalau Mama tidak ada di sampingku. Kemarin, aku masih<br />

mengiriminya SMS. "Teh Finny, Meutya diminta kembali ke Irak, pulang<br />

masih lama, tanggal 25. Diambil positifnya sajalah. They like my reporting,<br />

I guess. Nggak apa-apa kok, I'll be fine." Pasti Teh Finny tidak tahu aku<br />

sedang menghadapi masalah. Pasti saat ini dia sudah tertidur lelap.<br />

Di sini, meski malam makin larut, aku belum juga mampu<br />

memejamkan mata, padahal rasa lelah mendera tubuhku. Aku masih sulit<br />

menerima keberadaanku di gua ini, bersama lima lelaki, empat di<br />

antaranya baru kukenal. Masih terbayang raut beringas para penyandera<br />

ketika menculik kami di pompa bensin.<br />

Jangan-jangan mereka akan menganiayaku ketika aku terlelap.<br />

Terutama lelaki yang satu itu, yang matanya selalu menatapku penuh<br />

nafsu. Tadi dia mencoba merapikan selimutku, tetapi urung karena<br />

tangannya kutepis. Siapa yang mau menolongku jika mereka membunuh<br />

Budi dan Ibrahim lebih dulu, lalu memerko ... ahh,<br />

Tidak!<br />

Aku harus tetap berpikir positif. Kekhawatiran dan ketakutan hanya<br />

membuat panik dan mengikis<br />

kemampuanku berpikir jernih.<br />

Kupandang sekali lagi dua penyandera yang mulai terlelap, juga lelaki<br />

yang satu itu. Betulkah mereka tidur, atau ...? Badan mereka jauh lebih<br />

besar dariku. Kupandang sekali lagi senapan Kalash-nikov mereka.Pasti<br />

sudah merenggut nyawa banyak orang. Batu besar di bawah selimutku<br />

serasa menusuk punggung.Cahaya lampu minyak semakin redup.<br />

Dengkuran kelima lelaki itu mulai terdengar bersahutan.<br />

Rasanya tak ada yang bisa kulakukan saat ini kecuali pasrah dan<br />

berdoa.<br />

Semoga Tuhan melembutkan hati para penyandera, membuat<br />

mereka terlelap malam ini. []<br />

Bab 4<br />

Selamat Jalan, Budi<br />

UDARA seperti beku dan aku menggigil di dalamnya. Ah, pasti aku<br />

lupa mengecilkan volume air conditioner sebelum tidur. Kantuk masih<br />

memberati pelupuk mataku.Tetapi hawa dingin ini, dan lamat-lamat suara<br />

percakapan orang di telinga, memaksaku perlahan membuka mata.<br />

Kenapa langit-langit Hotel Coral Palace hitam legam? Kugosok kedua<br />

kelopak mataku. Ya Tuhan, aku tidak sedang menginap di hotel.<br />

Aku terperanjat bangun.<br />

Budi dan Ibrahim sedang mengobrol dengan lelaki yang kemudian<br />

tersenyum ke arahku.<br />

"Shobahal khoir, Meutya.'" sapa lelaki itu.<br />

Dia mengena/ namaku. Pasti Budi dan Ibrahim memberitahunya.<br />

Atau, mungkin dia mengetahui namaku dari pasporku.<br />

"He said, good morning, Meutya," ucap Ibrahim tersenyum.<br />

Aku sudah akrab dengan sapaan shobahal khoir, yang kerap<br />

diucapkan Nasser dan Mister Wail saat menjemputku di lobi Hotel Coral


Palace, Bagdad.<br />

"Maaf, aku terlambat bangun. Tidurku lelap sekali." Aku membalas<br />

senyum mereka.<br />

"Wah, kamu beruntung. Setiap dua jam aku<br />

selalu terjaga." Ibrahim lalu menjelaskan, tidurnya tak nyenyak karena<br />

saban dua jam selalu diganggu deru pesawat tempur yang terbang di<br />

atas gua. Kalau saja pesawat itu berhasil melacak keberadaan kami,<br />

mungkin mereka akan menembak atau menjatuhkan bom.<br />

"Kita berada di wilayah basis perlawanan. Siapa pun di gua ini pasti<br />

dianggap terlibat gerakan perlawanan," kata Ibrahim lagi.<br />

Terima kasih, ya Aliah. Kau telah membuat tidurku lelap. Kalaupun<br />

pesawat tempur itu menjatuhkan bom, aku akan menghadap-Mu dalam<br />

tidur, tanpa iringan rasa cemas seperti Ibrahim. Aku juga merasa lebih<br />

segar pagi ini.<br />

Lelaki yang tadi menyapaku, yang kini wajahnya tak lagi ditutup<br />

kafiyeh, beranjak ke luar gua.<br />

"Ke mana yang lain?" tanyaku mengenai dua lelaki lain yang tak<br />

tampak.<br />

"Mereka di luar. Kamu tidak diganggu si sontoloyo itu, kan?" Rupanya<br />

Budi juga memerhatikan lelaki yang tingkahnya selalu membuatku risih.<br />

Hm m, cocok juga julukan Budi untuk lelaki itu: si sontoloyo .<br />

Panjang umur dia! Lelaki yang kami bincangkan itu masuk dengan<br />

menenteng senjata kesayangannya, AK-47. Dia berjalan ke arahku. Mau<br />

apa lagi dia? Tanpa berkata-kata, tangan kirinya menggapai dan<br />

merapikan kerudungku. Kurang ajar! Tak cukup ngan tindakan<br />

memuakkan itu, dia kemudian meraih lenganku, mencoba menyeretku ke<br />

luar. Tentu saja aku menepisnya dengan kasar.<br />

Budi dan Ibrahim hanya melongo. Mereka ragu untuk menolong<br />

karena bisa saja senjata di tangan kanan lelaki itu menyalak.<br />

Namun, aku tak peduli. Kali ini kupukul tangannya ketika mencoba<br />

meraih lagi pergelanganku.<br />

"No!" bentakku. Dia bersungut-sungut. Entah apa yang<br />

dikatakannya. Matanya beringas.<br />

Tak berhasil menyeretku, dia berkata kasar pada Ibrahim. Setengah<br />

berbisik, Ibrahim menerjemahkannya pada Budi, "Kita berdua harus<br />

keluar."<br />

Apa maunya lelaki ini? Kenapa kami dipisah? Tubuhku bergidik.<br />

Pikiran-pikiran buruk yang melintas semalam kembali berkecamuk. Aku<br />

sangat takut lelaki ini akan memerkosaku di dalam gua, lalu<br />

membunuhku sebelum menghabisi Budi dan Ibrahim. Ya Allah, kalaupun<br />

aku harus mati, janganlah dengan cara nista seperti ini. Lelaki itu beranjak<br />

keluar, mengiringi Budi dan Ibrahim. Tatapan mata di wajah ketusnya<br />

menusuk jantungku. Jangan-jangan dia akan kembali setelah<br />

"mengamankan" Budi dan Ibrahim. Perasaanku masih terguncang oleh<br />

peristiwa tadi. Aku teringat ucapan lelaki yang lebih bersahabat ketika<br />

melarikan kami di mobil, "Kami tak akan mencelakaimu." Jaminan itu kini<br />

sulit kupercaya. Boleh jadi ketiganya sama saja. Bedanya, yang dua orang<br />

lebih banyak senyum dan sok bersahabat, sedangkan yang satu lagi<br />

kasar. Tetapi, ketiganya sama-sama penculik dan penjahat!<br />

Suara tembakan memecah kesunyian. Ya Tuhan, mereka benar-


enar melakukannya ?<br />

Kesunyian yang sejenak pecah lagi oleh beberapa letusan.<br />

Butir-butir keringat dingin membasahi tubuhku yang kian menggigil.<br />

Selamat jalan, Budi, selamat jalan Ibrahim. Aku akan segera<br />

menyusulmu, mungkin dengan cara yang lebih menyiksa. Mama, maafkan<br />

aku. Aku tak mampu lagi berpikir jernih. Baya ngan-bayangan mengerikan<br />

makin menghantui. Poto ngan-potongan gambar para sandera di Irak<br />

yang pernah kusaksikan di televisi, dan beberapa di antaranya pernah<br />

kubacakan di layar, berkelebat satu demi satu. Beberapa hari lalu, ketika<br />

mengirimkan gambar di kantor APTN Bagdad, aku juga menonton<br />

rekaman gambar kiriman orang tak dikenal, yang memperlihatkan<br />

kelompok perlawanan menembak seorang sandera.Tentara Amerika<br />

Serikat itu ditembak berkali-kali dari jarak sangat dekat. Matanya tertutup<br />

kafiyeh. Tubuhnya ambruk dengan kepala yang bersimbah darah. Tak ada<br />

kata-kata terakhir yang terucap dari mulutnya.<br />

Dan kini, aku tengah menunggu giliran menjalani nasib sang<br />

serdadu.<br />

Gambaran lain muncul. Seorang tawanan, dengan posisi tubuh<br />

bertumpu pada lutut, tengah menyongsong sang maut. Beberapa orang<br />

berdiri di belakangnya dengan muka tertutup. Tangan mereka mengokang<br />

senjata laras panjang. Seorang lagi, dengan wajah yang juga tertutup,<br />

membacakan pernyataan di kertas yang digenggamnya. "Ini peringatan<br />

bagi tentara Amerika dan sekutunya yang menolak<br />

hengkang dari bumi kami." Begitulah salah satu baris<br />

pernyataan yang dibacakan. Sang algojo itu kemudian menggorok leher<br />

sandera dengan sebilah parang, setelah mulutnya mengagungkan nama<br />

Allah. Jeritan sang sandera menggema, diikuti takbir dari para lelaki di<br />

belakangnya. Tubuhnya tersungkur.<br />

Cara kematian inikah yang akan kujalani? Aku pasrah. Seperti apa<br />

pun bentuknya, aku ingin mati dengan tersenyum. Ampuni dosa-dosaku,<br />

ya Allah.<br />

Derap langkah kaki menghampiri mulut gua. Seperti langkah tergesa.<br />

Inikah ajalku? Si sontoloyo muncul. Wajahnya tidak segarang ketika<br />

menggelandang Budi dan Ibrahim keluar. Malah dia mencoba tersenyum.<br />

Mungkin dia ingin memberikan kesan manis dengan menebar senyum di<br />

penghujung hayatku. Tetapi, rasa takut dan benciku tak luruh. Tangan si<br />

sontoloyo memberikan isyarat agar aku keluar. Bayangan kematian<br />

semakin nyata, menyeret ingatanku pada hari terberat yang pernah<br />

kualami.<br />

* * *<br />

HARI itu, 2 Mei 2004, tepat satu hari sebelum perayaan hari jadiku<br />

yang ke-26. Ayah sudah beberapa hari sakit. Awalnya kupikir batuk biasa,<br />

disertai gangguan lambung yang membuatnya terus-mene rus buang air<br />

dan sempat muntah. Wajahnya tampak lemas. Setiap menuju ruang<br />

makan dari kamarnya, Ayah minta dipapah anak-anaknya, termasuk<br />

aku. Kupikir itu hanya cara Ayah bermanja bersama kami. Kadang<br />

kuturuti, kadang lebih sering Mama atau kakak-kakakku yang membantu.<br />

Ayah memang begitu, selalu ingin dimanja olehku. Namun, sering kali<br />

kesibukan kerja dan aktivitasku membuat semua keinginan Ayah


terabaikan.<br />

Dan pagi itu, Mama memintaku mengantar Ayah ke dokter, yang hanya<br />

beberapa blok jauhnya dari rumah kami. Di mobil, kuajak Ayah bercanda,<br />

tetapi dia diam saja. Beberapa kali dia mengeluh bagian lambungnya<br />

sakit.<br />

"Kalau tetap tak mau makan, Ayah harus masuk rumah sakit,"<br />

kataku.Kuharap ucapanku bakal membuat Ayah, yang sangat membenci<br />

rumah sakit, akhirnya mau makan.<br />

Ayah tetap diam, sambil merebahkan kepalanya di pangkuan<br />

mamaku. Walaupun lemas dan mengaku sakit di lambung, bagiku Ayah<br />

masih terlihat cukup sehat. Mungkin mata dan hatiku dibutakan, atau<br />

memang mengingkari kenyataan di hadapanku. Aku lebih memilih<br />

menepati janji makan siang dengan teman dan meninggalkan Ayah di<br />

rumah, setelah kembali dari dokter. Ayah pasti sembuh. Mana mungkin<br />

peiindungku sakit parah. Itulah alasanku meneruskan aktivitas.<br />

Ketika siang hari kakakku mengabarkan bahwa Ayah dibawa ke<br />

rumah sakit karena kondisinya tak membaik, aku juga tidak langsung<br />

pulang. Baru se-mkitar dua jam kemudian, aku tiba di Rumah Sakit<br />

Fatmawati, langsung menuju ruang gawat darurat. Kudapati Ayah masih<br />

sadar dan cukup kuat untuk<br />

bangkit dari tempat tidurnya. Dia memaksa pulang.<br />

"Ayah banyak pekerjaan, Ayah mau pulang," begitu alasannya setiap<br />

kali kami menolak keinginannya. Ayah kemudian memintaku<br />

mendekatkan telingaku ke mulutnya. "Ayah mau pulang, Bing, Ayah mau<br />

pulang ..." bisiknya pelan.<br />

Aku tak punya firasat apa pun ketika dia bilang "mau pulang". Aku<br />

malah balik menjelaskan, Ayah tidak mungkin pulang kalau belum<br />

sembuh. Aku menurut saja ketika kakakku memintaku pulang menemani<br />

Mama. Ayah dirawat di ruang ECU yang tak bisa ditunggui keluarga karena<br />

di ruang yang sama juga dirawat banyak pasien lain. Hanya kakak dan<br />

pamanku yang tinggal di rumah sakit. Aku akan menjagamu nanti, esok<br />

hari, Ayah. Aku tidur di rumah dengan "hanya" sedikit rasa khawatir.<br />

Pukul dua dini hari, aku terjaga oleh ketukan keras di pintu kamar. Aku<br />

tersadar, bukan hanya dari tidurku, tetapi dari kenyataan. Semuanya<br />

tampak begitu jelas. Seketika aku dibuat mengerti. Tidak ada lagi kata<br />

"nanti". Aku berlari ke mobil. Air mata mulai berjatuhan saat aku menyadari<br />

bahwa pada saat yang sama ayahku tengah berjuang mempertahankan<br />

hidup. Berbeda dari biasanya, aku bergerak cepat. Namun perjalanan<br />

mobil, yang sebenarnya bisa mencapai rumah sakit dari kediaman kami<br />

hanya lima menit, rasanya seperti setengah jam.<br />

Aku membanting pintu ketika mobil belum berhenti sempurna, berlari<br />

menuju ruang ECU. Tidak boleh lagi ada kata "nanti" untuk ayahku,<br />

pelindungku.<br />

Waktu Ayah tidak banyak, aku harus berada di sampingnya<br />

segera. Satu detik pun tak akan kulewatkan, bahkan seperseratus detik<br />

pun tidak. Kugedor pintu ruangan, menyeruak masuk melewati pa sienpasien<br />

lain. Dalam lariku, mataku menumbuk sosok Ayah tepat ketika<br />

kakakku, Finny, menutup mata sang pelindungku. Mataku terpaku pada<br />

tubuh Ayah. Seorang suster mulai menarik kain putih. Menutupi kaki, lutut,<br />

paha, terus ke pinggang, dada, bahu, wajah, hingga kepala Ayah. Lututku


tidak kuat lagi menahan tubuhku. Aku terjatuh tepat saat badanku ditarik<br />

keluar ruangan. Tangisku pecah.<br />

Bagaimana mungkin ini terjadi. Bagaimana mungkin Ayah pergi<br />

begitu cepat, dalam usia 63 tahun. Dia masih sehat beberapa jam<br />

sebelumnya. Dia masih memintaku merayakan hari jadiku bersama<br />

keluarga besarku di Bandung. Aku seharusnya giliran menjaganya di<br />

rumah sakit hari ini. Ya Tuhan, aku bahkan belum sempat meminta maaf<br />

padanya. Bagaimana bisa aku begitu bodoh dan tidak membaca<br />

pertanda? Bagaimana bisa aku memilih tidak bersamanya pada detikdetik<br />

terakhir hidupnya? Bagaimana bisa aku tidak menemaninya,<br />

mengusap kepalanya seperti yang selalu dia minta, dan memijat kakinya?<br />

Bagaimana bisa aku tidak mengucapkan ka limat-kalimat manis di akhir<br />

hidupnya? Padahal, sepanjang hidupku, Ayah selalu memujiku,<br />

menyanjungku, menyemangatiku. Atau ... mungkinkah Ayah memilih untuk<br />

pergi tanpa menunggu kedatanganku karena dia begitu kecewa<br />

terhadapku? Aku terlambat!<br />

Aku anak durhaka!<br />

Aku hampir tak sadarkan diri. Darah segar mengalir dari hidungku.<br />

Kulihat mamaku terjatuh lemas dalam pelukan kakakku. Rautnya tampak<br />

sangat terpukul, nyaris tak sadarkan diri. Aku tak boleh terus menangis<br />

demi mamaku. Aku harus kuat. Aku tahan tangisku, tetapi rasa sakit dan<br />

pilu itu justru memuncak. Penyesalan seperti tiada habisnya, mengiris<br />

hatiku. Aku masih ingat betul rasa sakit itu, hingga kini. Teramat sangat<br />

menyakitkan. Tak ada yang mampu menandingi rasa sakit itu. Tidak para<br />

penculik ini. Tidak si sontoloyo!<br />

* * *<br />

SI SONTOLOYO kembali mengibaskan tangannya, memintaku keluar.<br />

Kali ini aku turuti perintahnya tanpa rasa takut. Kulihat tangannya tak<br />

memegang senjata. Mungkin disimpan di luar gua setelah dia<br />

menghabisi nyawa Budi dan Ibrahim. Senyum di wajahnya bagiku seperti<br />

seringai dengan taring berlumur darah. Pasti kulawan kalau dia berbuat<br />

macam-macam padaku mekipun aku harus mati. Kamu tak boleh<br />

menyerah, Meutya!<br />

Aku bangkit dari simpuhku. Kutepis tangan si sontoloyo ketika entah<br />

untuk keberapa kalinya mencoba memperbaiki letak kerudungku.<br />

"Lebih baik bunuh saja aku! Mujahidin seharusnya menghormati<br />

wanita!" Aku setengah berteriak, dengan bahasa Inggris yang sengaja<br />

tanpa aturan<br />

bahasa.<br />

Dan, teriakan itu membuatnya terperanjat, entah karena mengerti<br />

ucapanku entah karena kaget aku memakinya. Namun, ucapan nekatku itu<br />

membuatnya mundur beberapa langkah, melebarkan jalanku beranjak<br />

keluar gua.<br />

Dengan tegar, aku melangkah ke mulut gua. Doa-doa kupanjatkan<br />

untuk menenangkan diri.<br />

Di pintu gua, pandanganku silau setelah lebih dua belas jam berada<br />

di gua yang temaram. Di mana mereka menghabisi Budi dan Ibrahim?<br />

Belum sempat aku melihat sekeliling dengan jelas, suara orang yang<br />

kukenal memanggilku.<br />

"Mut, jemuran yuk sini, biar hangat ..."


Budi? Jadi, mereka tidak membunuhnya? Laiu, siapa yang mereka<br />

tembaki? Setelah beradaptasi dengan cahaya matahari, mataku melihat<br />

jelas lambaian tangan Budi. Dia bersama Ibrahim tengah duduk santai di<br />

atas pasir gurun. Mereka tanggalkan jaket yang semalaman membalut<br />

tubuh. Muka mereka menghadap langit, menikmati sinar matahari. Seperti<br />

para pelancong di bibir pantai. Santai sekali.<br />

Aku tersenyum lega.<br />

Bergegas aku melangkah naik ke lokasi duduk mereka yang<br />

datarannya lebih tinggi dari mulut gua. Dua penyandera juga duduk santai<br />

bersama Budi dan Ibrahim. Si sontoloyo menyusul di belakangku. Aku<br />

duduk berjajar dengan Budi.<br />

"Mas, tadi kok ada suara tembakan. Siapa yang ditembak?"<br />

"Oh, itu si sontoloyo iseng nembak ke arah sana.<br />

Kayaknya sengaja buat nakutin kamu." Budi menunjuk si sontoloyo<br />

yang sudah duduk, agak jauh dari kami.<br />

Penculik yang lebih ramah bertanya pada Ibrahim, "Meutya takut ya<br />

tadi?" Mereka tertawa, juga si sontoloyo. Tetapi di mataku, bentuk bibirnya<br />

ketika tertawa seperti seringai yang mengejek.<br />

Aku tak mampu menahan malu. Kurang ajar, rupanya aku dikerjain.<br />

Suasana pun kembali cair. Budi dan Ibrahim berdiri untuk melakukan<br />

peregangan. Aku juga menggerakkan tubuh yang terasa kaku dengan<br />

gera kan-gerakan senam sederhana. Karena kesibukanku, sudah lama<br />

aku tak berolahraga. Kesempatan langka itu malah kuperoleh saat aku<br />

diculik.<br />

Lima belas menit berlalu. Wajah Budi dan Ibrahim basah oleh<br />

keringat. Seorang penculik berbisik pada Ibrahim, yang dilanjutkan<br />

Ibrahim pada Budi.<br />

"Kami duluan, Mut,"kata Budi seraya menyambar jaket tebalnya.<br />

Aku ditinggal iagi sendirian ?<br />

Seolah-olah memahami isi pikiranku, si penculik yang bersahabat<br />

menjelaskan pada Ibrahim, yang kemudian menerjemahkannya<br />

untukku,"Mereka khawatir kalau ada patroli udara akan mencolok<br />

perhatian. Jadi, harus bergantian."<br />

Aku bisa memaklumi. Mereka tentu tahu pesawat pengintai tentara<br />

koalisi bisa lewat kapan saja. Nyawaku juga terancam jika pasukan<br />

koalisi mengetahui keberadaan kami.<br />

Namun, dengan kepergian Budi dan Ibrahim<br />

kembali ke gua, aku menjadi tidak bebas bergerak. Tiga lelaki masih<br />

mengawalku. Dan, tatapan si sontoloyo tetap saja mencurigakan<br />

meskipun bibirnya kini jadi murah senyum.<br />

Tetapi, aku tak mau pusing memikirkannya. Aku memilih duduk santai<br />

menikmati sinar matahari pagi menghangatkan kulitku.<br />

Tiba-tiba, kami dikejutkan suara dari dalam gua. Tiga lelaki<br />

pengawalku dengan cepat meraih senjata laras panjang, mengokangnya,<br />

dan berlari ke dalam gua. Ada apa lagi? Aku mendengar suara si<br />

sontoloyo dan seorang lagi bersungut-sungut. Sepertinya pada Ibrahim.<br />

Suara mereka makin meninggi, dan sesekali kudengar jawaban Ibrahim.<br />

Entah apa. Aku tak mau mendatangi mereka, khawatir menambah runyam<br />

persoalan.<br />

Si sontoloyo muncul di mulut gua. Tangannya memberikan isyarat


agar aku masuk. Perasaanku campur aduk. Tetapi, aku tak mau lagi<br />

mengumbar rasa takut. Rasa takut berlebihan malah membuat emosi tak<br />

terkendali.<br />

Di dalam gua, telepon seluler milik Ibrahim dan Budi sudah<br />

berpindah tangan ke seorang penculik. Rupanya yang kudengar tadi suara<br />

telepon seluler yang baru diaktifkan.<br />

"Mut, handphone-mu juga harus diserahkan," kata Budi.<br />

"Apa yang terjadi?" Aku penasaran kenapa Budi atau Ibrahim<br />

menghidupkan telepon seluler. Tak ku-pedulikan lagi apakah tiga<br />

penyandera akan curiga dengan percakapan kami yang tak mereka<br />

pahami.<br />

"Ibrahim diam-diam mencoba menghidupkan handphone. Tetapi,<br />

bunyinya malah membuat tindakannya ketahuan. Mereka marah. Yo wis,<br />

serahkan saja handphonemu."<br />

Aku heran kenapa Ibrahim melakukan tindakan konyol itu. Mestinya<br />

dia tahu, ponsel dalam posisi on pun percuma kalau tak ada sinyal di<br />

tengah gurun pasir ini, apalagi di dalam gua.<br />

"Dia hanya mencoba, siapa tahu bisa mengabari keluarganya," kata<br />

Budi lagi.<br />

Aku bergegas membuka tas, merogoh telepon selulerku, dan<br />

menyerahkannya kepada penculik.<br />

"Akan dikembalikan kalau kita bebas," kata Ibrahim setelah<br />

mendengar penjelasan seorang penculik.<br />

Aku diam saja.<br />

* * *<br />

TERDENGAR sayup-sayup suara kendaraan mendekat ke arah gua.<br />

Ketiga penyandera dengan sigap memasang kafiyeh untuk menutup<br />

muka mereka. Tatapan mereka berubah drastis, tidak lagi ramah.<br />

"Rois datang," seorang penyandera menjelaskan pada Ibrahim.<br />

Rois? Mudah-mudahan kali ini mereka tidak bohong. Sambil<br />

merapikan kerudung, aku mempersiapkan diri dengan baik. Pertemuan<br />

dengan Rois akan sangat menentukan, apakah kami langsung<br />

dibebaskan atau tidak, seperti dijanjikan para penculik<br />

itu. Atau, apakah kami boieh terus hidup atau harus mati?<br />

"Assalamu 'alaikum." Suara dari pintu gua terdengar menggema.<br />

Tampak seorang lelaki berpenutup muka.<br />

"Waalaikum salam," jawab kami, juga tiga penculik yang sikapnya kini<br />

bak tentara dengan senjata terkokang. Bisa kurasakan bagaimana para<br />

penculik itu menaruh hormat kepada sang Rois. Kedatangan Rois<br />

membuat suasana jadi lebih formal.<br />

Bersama Rois muncul di belakangnya dua orang lain yang juga<br />

berpenutup muka. Entah berapa orang yang menunggu di luar gua.<br />

Sosok Rois berbeda dari bayanganku tentang pemimpin kelompok<br />

yang disebut Ibrahim sebagai Mujahidin. Kupikir Rois berusia setengah<br />

baya, mengenakan gamis (pakaian tradisional timur tengah) dengan<br />

serban melilit kepala. Rois ternyata sangat muda, mungkin belum 30<br />

tahun. Dia memakai jaket tebal yang trendi.Kulit di bagian wajahnya yang<br />

tak tertutup kafiyeh putih bersih. Sepertinya dia seorang yang sangat<br />

akademis.<br />

Rois mendekati aku dan Budi sambil mengeluarkan pulpen dari


sakunya. Dia meminta secarik kertas dariku. Kuberikan beberapa lembar<br />

kertas kosong dari buku notes Metro TV. Ibrahim duduk di antara aku dan<br />

Rois. Pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari mulutnya yang tertutup<br />

kafiyeh. Mulai dari identitas kami, asal negara, profesi, tujuan kami di Irak,<br />

hingga sikap Indonesia terhadap Irak.<br />

Rois memilih bicara dalam bahasa Arab walaupun<br />

aku yakin dia mengerti bahasa Inggris. Seperti biasa,Ibrahimlah<br />

yang bertugas menerjemahkannya. Aku merasakan aura ketegasan dari<br />

sikap Rois yang tenang. Dia berbicara seperlunya. Sikapnya dingin, tetapi<br />

tidak memusuhi. Rois mencatat semua jawa-banku.<br />

"Kenapa kalian masuk ke Irak padahal sudah tahu di sini tidak<br />

aman?" tanya Rois setelah mencatat semua jawaban tentang identitas<br />

kami.<br />

"Kami ingin melihat dan melaporkan apa yang sebenarnya terjadi di<br />

Irak dari kacamata pers Indonesia. Kami ingin informasi yang berimbang<br />

dibanding yang selama ini kami peroleh dari pers Barat."<br />

Rois manggut-manggut. Kuharap jawabanku bisa menggugah<br />

simpatinya.<br />

"Kami tak yakin Anda menyajikan berita yang berimbang." Rupanya<br />

Rois meragukan jawabanku.<br />

Aku merasa tertantang dengan pernyataannya. Maka, aku<br />

menawarkan diri untuk meliput kelompok Rois dalam menjalankan<br />

berbagai aksinya.<br />

"Biasanya wartawan asing ikut bersama dengan pasukan koalisi,<br />

tetapi kami akan ikut bersama kelompok Mujahidin kalau Anda izinkan."<br />

Lebih baik sekalian ikut meliput perang mereka daripada tersandera di<br />

tengah gurun antah-berantah ini.<br />

Rois kaget mendengar tawaran nekatku. Kutatap matanya agar dia tak<br />

menganggapku main-main. Sepertinya dia percaya.<br />

"Jika kalian ikut meliput kami, kalianlah yang akan jadi target pertama<br />

pasukan koalisi, bukan kami. Begitu juga kalau kalian mencoba meliput<br />

bersama<br />

pasukan koalisi, kalianlah yang akan menjadi target pertama<br />

untuk kami tembak."<br />

Kali ini aku yang kaget mendengar ucapan Rois. Masuk akai juga.<br />

"Siapa yang menunggu kalian di Irak?" Rois mengaku heran kenapa<br />

kami memutuskan kembali ke Irak dalam waktu cepat. Dia curiga kami<br />

memiliki agenda tersembunyi.<br />

"Tidak ada yang menunggu kami. Itu perintah dari kantorku.Tidak ada<br />

yang tahu kami masuk kembali ke Irak, kecuali kantor di Jakarta." Aku<br />

sengaja tak mengungkapkan alasan soal liputan Asyura. Aku tahu,<br />

kelompok perlawanan di Ramadi dan Fallujah mayoritas beraliran Sunni.<br />

Rencana liputan Asyura yang biasa diperingati kelompok Syiah tentu akan<br />

menyinggung perasaan Rois.<br />

"Lalu, siapa yang menjaga kalian di Irak? Anda menyewa jasa<br />

pengamanan?" Aku lega mendengar pertanyaannya. Rois tidak<br />

melanjutkan pertanyaan soal alasan kami kembali ke Irak.<br />

"Tidak, kami tidak punya bodyguard." Aku sengaja memakai<br />

istilah bodyguard, bukan guide. Terlihat tatapan Rois seperti meragukan<br />

jawabanku.


"Jadi, tidak akan ada yang mencari kalian? Bagaimana dengan<br />

kedutaan?"<br />

"Sejak invasi, untuk sementara Kedutaan Indonesia di Bagdad tutup.<br />

Yang terdekat ada di Amman, Yordania."<br />

Rois menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya dia heran, atau<br />

mungkin takjub, kenapa kami berani meliput di Irak tanpa jaminan<br />

keselamatan dari negara<br />

kami.<br />

"Apakah kalian punya cukup baju dan bekal? Kalau tidak, kami akan<br />

belikan. Katakan apa yang kalian inginkan." Melihat tatapan matanya, aku<br />

yakin Rois tidak berbasa-basi. Dan, tawaran Rois membuatku merasa<br />

lebih nyaman. Ini kesempatan untuk mengambil simpatinya.<br />

"Kami punya cukup bekal. Hanya saja, jika diizinkan, kami ingin<br />

mewawancarai Anda." Aku mencoba keberuntunganku meskipun aku tahu<br />

tak semudah itu dia mau muncul di depan kamera. Di depanku saja dia<br />

menutup muka. Sejenak Rois terdiam. Tatapan matanya seolah-olah<br />

bertanya apakah aku bersungguh-sungguh. Aku membalas tatapan itu,<br />

menunjukkan bahwa aku serius.<br />

"Mungkin saja, lain kali." Meskipun aku sudah menduga jawaban itu<br />

akan muncul, aku tetap berharap Rois mengatakan "Ya!" tetapi tak apa. Itu<br />

saja sudah cukup untuk menarik simpatinya.<br />

Kujelaskan, sebelum aku berangkat ke Irak, berkali-kali terjadi demo<br />

besar-besaran di Jakarta yang memprotes kebijakan Amerika Serikat di<br />

Irak. Kukatakan juga, aku baru kembali meliput bencana tsunami di Aceh<br />

sebelum berangkat ke Irak.<br />

Sepertinya Rois senang mendengarnya. Kuharap penjelasanku dapat<br />

melunakkan hatinya agar dia segera melepaskan kami.<br />

Seperti memahami keinginanku, Rois mengatakan tak bisa<br />

membebaskan kami segera. Dia akan membebaskan setelah<br />

pengambilan gambar kami. "Kami akan memberikan pernyataan melalui<br />

media<br />

terkait dengan penyanderaan kalian," kata Rois.<br />

Oh, Tuhan, berarti prosesnya masih panjang. Pupuslah harapanku<br />

dan Budi untuk bisa bebas hari ini. Kupikir kalian salah tangkap dan akan<br />

langsung melepaskan kami.<br />

Kini, aku memilih diam. Percuma bicara panjang lebar untuk menarik<br />

simpatinya kalau pada akhirnya tetap saja kami tak dibebaskan segera.<br />

Melihatku tak lagi banyak bicara, Rois kemudian memeriksa paspor<br />

dan kartu identitas wartawan kami. Aku dan Budi hanya menunjukkan ID<br />

card Metro TV. Adapun ID card untuk peliputan Irak dari Joint Security<br />

Council, pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat, kami sembunyikan di<br />

sudut terdalam tas kami. Bisa jadi kartu mati kalau terlihat. Beberapa kali<br />

Rois bertanya apakah institusi yang mengirim kami, Metro TV, berafiliasi<br />

dengan pemerintah. Dia juga bertanya apakah kami kenal dengan<br />

Presiden, pernah bertemu dengan Presiden. Sepertinya dia ingin<br />

menegaskan keberadaan kami di Irak tak ada kaitannya dengan<br />

pemerintah, dan semata untuk melakukan tugas jurnalistik.<br />

"Kami bekerja di televisi swasta. Dari belasan stasiun televisi di<br />

Indonesia, hanya satu milik pemerintah."<br />

Jawabanku mengakhiri berondongan pertanyaan Rois seputar tempat


kerjaku.<br />

"Terus terang kukatakan pada kalian, kami sebenarnya tak suka<br />

wartawan datang ke sini.Kami menghormati alasan kalian meliput di sini<br />

untuk menyajikan pemberitaan yang berimbang. Tetapi, kami<br />

meragukannya. Kenyataannya malah banyak yang memojokkan<br />

perjuangan kami. Bahkan, ada juga mata-mata yang berkedok sebagai<br />

wartawan."<br />

Aku kaget mendengar pernyataan Rois. Aku memahami bahwa yang<br />

terjadi di Irak bukan hanya perang senjata, melainkan juga perang<br />

informasi. Mulut dan tulisan wartawan membentuk opini yang gaungnya<br />

merambah seluruh dunia. Pantaslah jika Rois bilang bahwa wartawan<br />

akan menjadi target utama kelompok perlawanan jika mereka ikut<br />

(embedded) dengan pasukan koalisi. Demikian pula sebaliknya.<br />

Tampaknya Rois kecewa karena pembentukan opini cenderung<br />

memojokkan kelompok perlawanan.<br />

Sebelum ini tak pernah kubayangkan betapa berbahayanya posisi<br />

wartawan. Walaupun beberapa kali aku menyaksikan berita soal<br />

wartawan diculik atau dibunuh, tak pernah kubayangkan kami, wartawan,<br />

adalah target utama perang ini. Perang informasi.<br />

* * *<br />

HAMPIR satu jam proses interogasi berlangsung. Sebelum pamit,<br />

Rois memerintahkan kepada para anggotanya untuk keluar dari gua. Lima<br />

menit kemudian, Rois muncul lagi di mulut gua. Tangannya<br />

mengisyaratkan agar Ibrahim mendekat. Dalam obrolannya, sesekali<br />

tangan Rois menunjuk ke arahku. Ibrahim juga menjelaskan sesuatu<br />

kepada Rois, entah apa. Rois kemudian melambaikan tangan sambil<br />

mengucap salam.<br />

Sepeninggal Rois, aku bertanya kepada Ibrahim apa yang tadi<br />

dipesankan.<br />

"Saya titipkan Meutya kepada kamu. Jika ada dari anggota saya yang<br />

berani menyentuh satu helai rambutnya sekalipun, laporkan pada saya.<br />

Orang itu menjadi urusan saya." Menurut Ibrahim, Rois menegaskan<br />

bahwa tidak ada Mujahidin yang boleh mengganggu wanita. Jika ada yang<br />

menggangguku, berarti mencoreng perjuangan kelompok Mujahidin.<br />

Hukumannya bisa saja kematian.<br />

Aku takjub pada Rois dan merasa tersanjung mendengar penjelasan<br />

Ibrahim. Memang, sebagai satu-satunya wanita, tentu sangat berat<br />

menerima keadaan ini. Aku harus tinggal dengan para lelaki tak kukenal<br />

yang 24 jam menjagaku dengan senjata laras panjang, dalam gua yang<br />

sangat kecil tanpa privasi, tanpa fasilitas MCK. Kalau mereka berniat jahat,<br />

tak akan ada yang peduli nasib kami.<br />

Dua penculik masuk ke gua. Wajah keduanya yang tak lagi tertutup<br />

kafiyeh kini lebih ramah, dan banyak mengumbar senyum. Pasti atas<br />

perintah Rois.<br />

"Ana Muhammad," kata lelaki yang umurnya kelihatan lebih tua, yang<br />

selama ini bersikap ramah padaku, mengenalkan namanya. Baru saat<br />

itulah, aku mengamati bahwa lelaki ini bertubuh tak terlalu tinggi. Mungkin<br />

hanya berbeda satu atau dua senti dengan Budi. "Huwa Ahmad,"<br />

tambahnya sambil menunjuk lelaki yang lebih muda darinya, yang<br />

sosoknya lebih besar dan tinggi, meski kalah tinggi diban-


dingkan Ibrahim. Ke mana si sontoloyo? Mungkin dia masih berjaga<br />

di luar.<br />

Aku dan Budi kembali duduk di sudut masing-masing. Ibrahim<br />

berbincang dengan dua lelaki itu, yang mulai sibuk menyalakan perapian.<br />

Hari merambat sore dan hawa dingin kembali menggigit kulit. Ahmad dan<br />

Muhammad juga membuka bungkusan makanan yang mungkin<br />

didatangkan bersama Rois. Mereka menawarkan roti khas Irak kepada<br />

kami.<br />

Budi menyambutnya, tetapi aku tak berselera. Aku bergerak dari<br />

pojokanku ke tengah gua, untuk menghangatkan tangan di atas<br />

perapian.Muhammad kembali menawarkan roti, tetapi aku menggeleng<br />

seraya tersenyum.<br />

Setengah jam berlalu, si sontoloyo belum juga muncul. Penasaran,<br />

kutanyakan kepada Ibrahim.<br />

"Kepada Rois kulaporkan sikap kurang ajarnya padamu. Rois marah<br />

dan melarangnya lagi berjaga di sini," kata Ibrahim.<br />

Jawabannya membuatku kaget, tetapi sekaligus lega. Satu ancaman<br />

telah terlewati, mudah-mudah an ini pertanda baik.<br />

Kukuatkan batinku untuk menjalani satu malam lagi dalam siksaan<br />

hawa dingin. Setelah pengambilan gambar esok, mimpi buruk ini<br />

berakhir. Malam ini, setidaknya aku bisa bernapas lega. Tak lagi dihantui<br />

si sontoloyo. Sehari lagi, Meutya, sehari lagi kau bebas.[]<br />

Bab 5<br />

Memelihara Harapan<br />

DENTING suara gelas mengusik lelapku pada pagi kedua. Aku<br />

terbangun, disambut sapa teman-teman segua. Ya, Budi, Ibrahim, serta<br />

dua penculik kami, Muhammad dan Ahmad. Aku tersipu karena lagi-lagi<br />

bangun belakangan. Budi sedang mencuci gelas, Muhammad<br />

menyiapkan teh, dan Ahmad menjerang air. Aku segera menarik tisu dan<br />

mengelap gelas. Ibrahim kami daulat supaya duduk saja bak raja.<br />

Ibrahim memang yang paling tua di antara kami. Usianya kutaksir<br />

menjelang 40 tahun, tetapi garis-garis wajahnya, ditambah berewoknya<br />

yang lebat, membuatnya tampak lima tahun lebih tua. Dia cukup lancar<br />

berbahasa Inggris, boleh jadi karena Yordania memang negeri yang<br />

modern dan dekat dengan Amerika. Selama ini dia sering mengantar para<br />

wartawan negara Barat, terutama Inggris dan Amerika. Ibrahim lalu<br />

bercerita. Di Irak, terutama pada musim dingin, ada kebiasaan untuk<br />

membuat chai. Teh ini memiliki rasa dan penyajian yang khas, yakni<br />

menggunakan gelas kecil, yang diameternya kira-kira tiga sentimeter.<br />

Meski merupakan kegiatan sederhana, upacara membuat teh ini<br />

menjadi sumber keakraban di antara kami, para penculik dan terculik.<br />

Sambil menunggu air matang, kami berlima berdiang tangan di pusat<br />

api.Karena sempitnya gua, tangan-tangan kami pun bersentuhan. Ini<br />

membuatku sedikit rileks. Apalagi, Ahmad dan Muhammad sudah<br />

melepas kafiyeh yang selalu menutup muka, dan malahan meletakkan<br />

senjata AK mereka di pojok gua. Dua hari sebelumnya, komunikasi kami<br />

hanya lewat tatapan mata belaka.<br />

Selama dua hari itu pula, kami dilayani. Pagi inilah pertama kalinya<br />

kami boleh ikut menyeduh teh sendiri. Ini bukan karena soal keamanan,<br />

melainkan, "Begitulah orang Arab menghormati tamu," kata Ibrahim.


Memang, selama disandera, makanan dan minuman kami tidak seperti<br />

dalam kisah penculikan yang aku tonton di film. Pada hari pertama, kami<br />

disuguhi ayam panggang dengan nasi. Hari ini, mereka menyuguhkan<br />

kebab yang potongannya begitu menggugah selera. Selain nasi, laukpauk,<br />

dan buah buahan, mereka juga membawakan untuk kami soft drink.<br />

Bukan cuma ritual ngeteh, acara makan pun membuat kami semua<br />

"akrab". Ruangan gua yang sangat sempit mengharuskan kami banyak<br />

berdekatan. Jika kami akan makan, alas tidur dan selimut harus digulung<br />

agar tidak terkena tumpahan makanan. Lalu di bagiantengah, dekat<br />

perapian, dialasi plastik, bak meja makan untuk perjamuan. Di situlah roti<br />

khubus, daging, minuman ringan, air putih, gelas,<br />

dan tisu ditata. Pada malam hari, kami makan ditemani nyala<br />

lampu minyak yang bergoyang ditiup angin. Cukup romantis. Sayang kami<br />

tidak sedang menikmati acara candle light dinner, tetapi sedang<br />

disandera.<br />

Aku menghargai upaya penculik menyenangkan aku dan Budi. Mereka<br />

membuat suasana makan yang kekeluargaan. Kami makan tanpa piring.<br />

Ibrahim menyebutnya cara makan khas Arab. Tetapi, bagiku ini sangat<br />

primitif. Roti khubus dimakan bersama-sama, bergantian. Ibrahim, tetua<br />

kami, menjadi penyobek pertama. Begitu pula dengan kebabnya. Daging<br />

diciduk dengan tangan. Padahal, setahuku Ahmad dan Muhammad<br />

makan tanpa mencuci tangan.<br />

Perlakuan terhadap minum pun sama. Air ditaruh di wadah besar, lalu<br />

diminum bergantian, tetapi hanya sekali, di awal saja. Mereka menyadari<br />

kerisi-hanku, dan mulai menghafal kebiasaanku meminum dari gelas<br />

yang sama: gelas plastik dengan gambar bunga kecil. "Gelas Meutya,"<br />

kata mereka.<br />

Namun, aku makan tanpa selera. Aku hanya mengambil roti dan<br />

daging sedikit saja. Sepertinya Ahmad gemas, dia lalu menyobekkan aku<br />

bagian kebab yang agak besar. Ah, mereka begitu menghormati<br />

aku.Tetapi,aku tak menyentuhnya. Muhammad menanyakan lewat Ibrahim,<br />

apakah aku mau memakai sendok atau sumpit. Makanan itu hanya<br />

kuaduk-aduk tanpa kusuapkan. Bukan aku tak suka, atau tak lapar. Tetapi<br />

sebagai orang terjajah, selera makanku yang besar lenyap ditelan gurun.<br />

"Meutya, kamu harus makan. Mereka bisa tersinggung,"<br />

bisik Ibrahim kebapakan. Aku tetap tak peduli.<br />

Di luar dugaanku, Ibrahim marah. Dengan nada tinggi, dia<br />

mengatakan bahwa makanan ini disediakan dengan susah payah oleh<br />

Muhammad dan Ahmad. Dia mengulang lagi soal penghormatan orang<br />

Arab kepada tamu. "Mereka sengaja menyiapkan daging untuk kita,<br />

padahal mereka sebulan sekali pun belum tentu makan daging," katanya.<br />

Aku paksakan makan sebab para Mujahidin itu tak mau mulai jika aku<br />

dan Budi tak makan. Namun, aku tak mampu mengunyah makanan yang<br />

tersedia. Kucoba mendorong makanan dengan soft drink, tetap saja<br />

gagal. Meski mulai tercipta suasana tenang yang muncul dari keakraban<br />

pagi ini, perasaanku masih bergalau rasa takut, kesal, dan entah apa lagi,<br />

yang membuatku tak bisa menikmati makanan selezat apa pun.<br />

Meski demikian, aku berjanji, siang nanti aku akan makan apa pun<br />

yang disajikan. Entah sudah berapa kali aku menuang teh ke gelas<br />

superkecil itu. Budi pun begitu. Udara dingin membuatku terus haus.


Ahmad menanyaiku, apakah aku menginginkan sesuatu. Entah makanan,<br />

minuman, atau kebutuhan apa pun. Biasanya, menjelang siang, akan<br />

datang utusan membawa segala keperluan. Mulai dari air hingga tisu.<br />

Menyeruput teh di tengah keheningan gurun, dan di tengah<br />

ketidakjelasan nasib, bukanlah pagi yang indah. Kata Ahmad, pada hari<br />

ketiga ini Rois akan datang lagi untuk mengambil gambar aku dan<br />

Budi. Aku tak sabar menunggu saat itu. Apa yang akan terjadi?<br />

Baikkah atau burukkah? Aku pun terdiam. Muhammad mencoba bercanda<br />

menenangkan. "Jangan tegang, jangan khawatir, hanya pengambilan<br />

gambar. Nanti kamu akan terkenal ke seluruh dunia. Kalau sudah<br />

terkenal, jangan lupa kami ya," katanya terkekeh. Canda yang sama sekali<br />

tak lucu.<br />

Ingin aku meninggalkan reriungan itu. Tetapi, mau ke mana? Berjalan<br />

keluar terlalu berbahaya. Bisa didor penculik yang curiga, atau dibom<br />

pesawat yang melintas rutin di udara. Kucoba tersenyum meski pahit.<br />

Budi mencairkan suasana, dengan menanyakan cara membawa logistik<br />

buat kami.<br />

Penculik itu pun bercerita. Tak jauh dari gua tempat kami disekap, ada<br />

sebuah kampung. Adik Ahmad membawa air, makanan, minuman, tisu,<br />

serta kebutuhan lain menggunakan mobil tua. Mereka memanfaatkan<br />

kekosongan patroli Amerika, lalu melaju menyusuri padang pasir. Sebuah<br />

upaya menyabung nyawa, untuk menjaga nyawa kami agar selalu bisa<br />

makan dan minum.<br />

Hal yang menarik perhatianku adalah air. Setiap datang, mereka<br />

membawa air dalam ember besar untuk persediaan sehari. Air itu mereka<br />

datangkan dari Sungai Eufrat, satu di antara dua sungai besar di Irak, yang<br />

jaraknya kira-kira satu jam dari gua. Tetapi, tak pernah ada kepastian,<br />

apakah besok air bisa datang lagi. Maka, kami pun berbagi air secara<br />

hemat. Kami hanya bisa cuci muka dan sikat gigi. Mandi tak mungkin,<br />

selain karena air terbatas, juga<br />

tidak ada tempat. Aku tersenyum ketika menyadari bahwa sudah tiga<br />

hari aku tak "ke belakang" untuk buang air besar. Ketidaknyamanan, yang<br />

berbaur dengan ketakutan dan ketidakpastian, membuat ritual yang<br />

biasanya rutin pagi hari tersebut terlupakan. Apalagi, tidak ada tempat<br />

khusus untuk itu. Hanya buang air kecil yang masih bisa kulakukan. Itu<br />

pun dengan terpaksa kalau sudah tak tahan lagi. Sungguh tidak nyaman,<br />

di alam terbuka tanpa pelindung. Ditambah lagi waktu yang diberikan<br />

penyandera amat terbatas. Berbeda dengan Budi, pagi-pagi dia sudah<br />

pamit membentuk kubangan pasir, membuang hajat dan menimbun<br />

kembali. "Aku biasa melakukan seperti itu di kampung waktu kecil,"<br />

katanya.<br />

Terdengar suara mobil di kejauhan. Kini, berada di kesunyian dalam<br />

kondisi ketidakpastian, suara mobil adalah kemewahan tak terperi. Suara<br />

itu se olah-olah menjadi petunjuk kehidupan. Sebuah harapan yang<br />

melegakan. Mungkin itu mobil adik Ahmad yang akan mengantar logistik.<br />

Atau, boleh jadi Rois. Sebab, hari ini dia menjanjikan pengambilan<br />

gambar kami: para terculik. Siapa pun itu, yang datang ada/ah kehidupan.<br />

Jika mobil butut, artinya logistik lancar. Jika bukan, berarti Rois yang akan<br />

mengambil gambar. Rekaman itu akan menjadi alat penculik untuk<br />

mengabarkan bahwa di tangan mereka ada sandera yang akan dijadikan


alat tawar-menawar perjuangan. Tetapi bagiku, itu adalah komunikasi<br />

diam dengan keluarga dan teman di tanah air.<br />

Sebagai reporter televisi, aku sudah sering menonton tayangan<br />

sandera. Beberapa kali aku ke-bagian membacakannya di buletin berita<br />

Metro TV. Bahkan, aku pula yang mewawancarai Casingkem dan<br />

Istiqomah setelah dua tenaga kerja Indonesia yang disandera di Irak itu<br />

dibebaskan, September 2DD4.<br />

Namun, tak pernah sekali pun tebersit di benakku bahwa pada suatu<br />

masa akulah yang berpose seperti itu. Sebagian dari tayangan<br />

penyanderaan memuat syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk<br />

pembebasan. Bisa dalam bentuk penarikan pasukan, jika si tersandera<br />

berasal dari negara yang tergabung dalam pasukan koalisi. Bisa juga<br />

berupa pemerasan dalam bentuk uang tebusan.<br />

Apa gerangan yang dikehendaki para penculik ini? Indonesia tidak<br />

mengirim pasukan ke Irak. Indonesia pun berkali-kali mengutuk serangan<br />

Amerika ke Irak. Lalu, apakah untuk uang? Aku tersedak.Jika itu yang<br />

mereka tuntut, aku akan merasa sangat berdosa kepada bangsaku.<br />

Negeriku sedang dalam kesusahan karena baru tiga bulan lalu tsunami<br />

maha dahsyat melanda Aceh, menewaskan ratusan ribu jiwa.<br />

Ya Allah, semoga penculik ini tidak meminta uang dari negeriku.<br />

Budi tiba-tiba sudah ada di sisiku. "Bagaimana kalau kita tawarkan,<br />

aku yang mengambil gambar," kata Budi. Perasaan kami sama: gelisah.<br />

Sebab, hingga siang tim pengambil gambar belum juga datang. Jika<br />

gambar terlambat<br />

diambil, pembebasan kami pun bisa tertunda.<br />

Tawaran itu ditolak Muhammad. "Ada juru kamera khusus untuk itu,"<br />

katanya.<br />

Siang pun berlalu dalam gelisah.<br />

Suara mobil semakin dekat. Ahmad dan Muhammad segera<br />

bersiaga. Mereka pun dengan sigap memasang penutup muka.<br />

Sebenarnya, kata Muhammad, mereka tidak boleh sama sekali<br />

memperlihatkan muka mereka kepada kami. Tetapi, sejalan dengan<br />

makin "akrabnya" kami, Ahmad dan Muhammad melanggar aturan itu.<br />

Ahmad dan Muhammad bergegas keluar menyambut rombongan.<br />

Aku mengintip dari celah gua. Berbeda dengan sehari sebelumnya,<br />

rombongan kali ini cukup ramai. Aku sempat menghitung ada lima orang,<br />

tanpa penutup muka. Berbeda dengan penculik penjaga, Mujahidin yang<br />

datang berbadan tegap, bersih, dan berpakaian modern. Aku mendekat ke<br />

celah, untuk melihat lebih jelas suasana di luar.<br />

Namun, hardikan Ibrahim mengagetkanku. "Meutya! Jangan<br />

mengintip. Itu tidak sopan!"<br />

Aku berbalik dengan sebal. Aku bilang kenapa Ibrahim marah hanya<br />

karena urusan kecil itu.<br />

"Ini bukan soal sepele. Kalau mereka marah, kita bisa fatal," terang<br />

Ibrahim.<br />

Suara Ibrahim melembut. Dia memintaku merapikan kerudung dan<br />

duduk dengan posisi tegak.<br />

"Assalamu 'alaikum." Para tamu masuk ke gua dengan muka tertutup<br />

kafiyeh.<br />

Setelah berbasa-basi menanyakan kabar dan kesehatan, mereka


meminta aku dan Budi keluar<br />

dari gua. Ibrahim tetap tinggal. Aku terkejut melihat Ahmad sudah siap<br />

berdiri memegang AK. Aku dan Budi digiring. Memelihara Harapan ke<br />

dekat Ahmad. Satu lagi Mujahidin yang baru datang berdiri di sisi lain.<br />

Juga, memegang senjata AK.<br />

Kedua Mujahidin dengan muka tertutup itu lalu mengangkat senjata,<br />

dalam posisi siap tembak. Suara "klik" senjata dikokang membuatku<br />

bergidik. Sebab, di luar gua ternyata sudah lebih banyak lagi anggota dari<br />

kelompok tersebut berkumpul. Siapa tahu mereka hanya berbohong.<br />

Walaupun selama ini kekhawatiranku tidak terbukti, tetap saja rasa takut<br />

kembali menyergap. Terbayang lagi hal-hal buruk, seperti yang diterima<br />

sandera lain yang pernah aku beritakan. Ada yang ditembak, ada yang<br />

bahkan dipenggal.<br />

Rois menjelaskan bahwa senjata itu hanya untuk keperluan<br />

pengambilan gambar. Dia berjanji tidak akan melukai kami dan meminta<br />

kami tetap tenang.<br />

Aku melihat juru kamera sedang mencari tempat pengambilan<br />

gambar yang tepat. Dia layaknya juru kamera profesional, melihat arah<br />

matahari untuk menentukan arah cahaya. Karena matahari siang tengah<br />

berada persis di atas kepala, dia pindah lagi ke sebelah kanan gua. Tiga<br />

kali dia bergeser tempat, mencari latar belakang yang sesuai. Akhirnya,<br />

dia berhenti di sebuah titik, yang cahayanya terlindung oleh tebing batu,<br />

dan yang bagian lainnya menjadi dinding gua tempat kami disekap.<br />

Kutekan gelisahku dalam-dalam. Kulirik Budi,<br />

yang juga menuruti saja kemauan para penculik. Namun, berbeda<br />

dengan biasanya, kali ini wajah Budi tampak sangat tegang. Mulutnya<br />

komat-kamit entah berdoa atau sekadar penawar rasa takut. Pengambilan<br />

gambar siap dimulai. Kamera jenis ha-ndycam lengkap dengan tripodnya<br />

sudah tersedia di depan kami. Kami diminta memegang paspor dan kartu<br />

identitas wartawan ke hadapan kamera. Di sebelah juru kamera, seorang<br />

narator membacakan dengan suara lantang pesan dari kelompok Faksi<br />

Tentara Mujahidin:<br />

Bismiiiahirrahmanirrahim,<br />

Kami, Faksi Tentara Mujahidin di Irak, menahan dua wartawan ini<br />

ketika mereka dalam perjalanan di wilayah Irak. Setelah kami<br />

menginterogasi keduanya, mereka mengaku dalam tugas jurnalistik atas<br />

perintah kantor mereka di Indonesia.<br />

Sudah diketahui oleh seluruh pemerintahan di dunia ini bahwa Irak<br />

adalah wilayah konflik. Dan, jiwa setiap orang yang datang ke Irak dalam<br />

kondisi terancam.<br />

Kami tidak menjamin keselamatan siapa pun yang masuk ke negeri<br />

kami. Keselamatan mereka berada di tangan pemerintah yang<br />

seharusnya menjaga keselamatan rakyatnya.<br />

Dan untuk itu, kami meminta pemerintah Indonesia Memelihara<br />

Harapan menjelaskan status kedua orang ini. Jika tidak, maka jiwa<br />

mereka dalam keadaan bahaya. Allahu Akbar!<br />

Tertanda<br />

Faksi Tentara Mujahidin<br />

Menurut Ahmad, beberapa jam ke depan, rekaman yang menguak<br />

keberadaan kami akan segera tersebar ke pelbagai penjuru dunia,


termasuk ke Indonesia.Aku membayangkan wajah Mama dan kakakku<br />

melihat kondisiku yang seperti itu. Tadi dalam diamku, aku berusaha<br />

sekuat tenaga menatap kamera dengan tegar. Aku tidak mau Mama<br />

melihatku lemah dan menangis.Aku tidak mau menambah penderitaan<br />

mereka, yang pasti sudah sangat hebat, begitu mendengar aku hilang di<br />

negeri orang. Melalui mataku, aku coba mengatakan Mama, jangan<br />

khawatir, aku sehat dan baik-baik saja.<br />

Aku bersyukur, penculik membiarkan kami berdiri sejajar dengan<br />

mereka. Tak seperti Casingkem dan Istiqomah yang merunduk ketakutan<br />

di bawah todongan senjata.i Aku juga tak sepilu Giulliana Sgre-na,<br />

wartawan I/Manifesto Italia, yang diculik kelompok perlawanan sepekan<br />

sebelum kami. Dia bukan hanya duduk, melainkan dibuat dalam posisi<br />

berlutut, mengiba negaranya agar menarik pasukan dari Irak, sesuai<br />

dengan keinginan penyandera.<br />

1 Kedua Tenaga Kena Indonesia itu diadang gerilyawan Irak di<br />

Fallujah, lokasi yang tidak jauh dari tempat aku dan Budi diculik, dalam<br />

perjalanan dari Amman menuju Ramadi bersama agen penyalur TKI.<br />

Keduanya dibebaskan setelah ada permintaan dari Abu Bakar Ba'asyir.<br />

Setelah rombongan Rois pergi, Ibrahim menjelaskan bahwa<br />

penyandera tidak menuntut apa-apa. Padahal biasanya, para penyandera<br />

mengajukan bermacam tuntutan, mulai dari penarikan pasukan hingga<br />

tuntutan uang tebusan dalam jumlah besar.<br />

Aku merasa ini awal yang baik. Seberapa pun pesimistisnya aku di<br />

tengah ketidakpastian ini, di sudut hatiku yang dalam aku terus<br />

memelihara harapan bisa segera bebas. Kembali ke Jakarta, ke pelukan<br />

Mama.<br />

Petang hampir berlalu di gua. Kulirik jam tanganku, yang belum<br />

kuubah dari waktu Jakarta: di sana hampir tengah malam. Semoga<br />

televisi APTN atau Af-Jazeerah sudah menyiarkannya. Kata Muhammad,<br />

penculik hanya membutuhkan pernyataan Presiden bahwa kami benar<br />

wartawan yang sedang bertugas.<br />

Puncak ikhtiar pembebasanku saat ini ada di tangan Presiden<br />

Indonesia.<br />

Di gurun sunyi, aku tiba-tiba merasa sangat dekat dengan Presiden.<br />

Semoga Bapak Presiden membantu kami.<br />

Sepi kembali menyungkup.[]<br />

Bab 6<br />

Harapan yang Pupus<br />

THIARA...thiara...!<br />

Teriakan Ahmad bergema di dalam gua kecil itu. Itu adalah aba-aba<br />

agar kami semua bersiaga. Di tengah gurun senyap, suara selirih apa<br />

pun memang jelas terdengar. Tetapi, karena masih sayup-sayup, kami<br />

belum bisa membedakan apakah itu thayyarah (helikopter) atau sayyarah<br />

(mobil). Sebagai orang tempur, Muhammad dan Ahmad rupanya selalu<br />

berpikir yang terburuk. Suara itu mereka anggap helikopter. Mereka cepatcepat<br />

menyuruh kami diam, mematikan api, lalu keluar membersihkan<br />

apa pun yang bisa jadi penanda ada kehidupan. "Ini Ramadi, basis<br />

tempur. Jika itu helikopter Amerika, kita bisa habis disiram peluru dan<br />

bom," kata Ahmad menjawab keherananku.<br />

Suara itu semakin jelas: mobil.


Ahmad dan Muhammad memasang penutup wajah. Aku lega. Lega<br />

karena tidak ada serangan. Juga, lega karena di tengah ketiadaan<br />

komunikasi dengan dunia luar, kedatangan mobil adalah pembawa<br />

harapan. Mungkinkah mobii yang datang menyampaikan<br />

kabar kebebasan? Aku memelihara harapan meskipun hari<br />

semakin sulit belakangan ini. Empat hari lewat sudah tanpa kepastian. Di<br />

tangan orang yang mengancam keselamatan pula.<br />

Tadi malam, sebelum tidur, aku sempat melihat Budi menangis<br />

menciumi foto anak-istrinya. Lestari, istri Budi, sedang hamil tiga bulan.<br />

Biasanya, setiap petang Budi dan aku "melapor" ke kantor dan keluarga<br />

masing-masing. Pada pagi hari sebelum masuk kembali ke Irak pun, Budi<br />

menelepon Ari menanyakan kehamilannya. Tetapi anaknya, Laras,<br />

sedang sekolah. Siangnya Budi kembali menelepon, Laras sedang tidur.<br />

Budi pun berjanji akan menelepon lagi, tetapi tidak kesampaian hingga<br />

hari ini. Bulir air mataku pun luruh.<br />

Suara mobil semakin dekat. Muhammad berlari menyongsong. Aku<br />

mulai hafal, tanpa dilarang, tidak ikut keluar dan tidak mengintip.<br />

Muhammad masuk, menenteng bungkusan plastik. Wajahnya keruh. Aku<br />

menangkap sesuatu yang buruk. "Belum ada kabar," katanya sambil<br />

meletakkan logistik. Mungkin dia merasa bersalah karena pernah berjanji,<br />

kalau gambar sudah direkam, kami akan dibebaskan.<br />

Aku terdiam. Kupandangi isi plastik yang justru lebih banyak<br />

dibandingkan biasanya. Ini gelagat buruk. Aku hitung kotak tisu, ada lima.<br />

Mereka juga membawa berbotol-botol soft drink. Badanku langsung<br />

lemas. Berarti kami akan lebih lama lagi di sini.<br />

Budi meminta Ibrahim menanyakan mengapa kabar pembebasan<br />

belum tiba. Ahmad menyorongkan soft drink dan kebab ke arahku.<br />

Seorang Mujahidin<br />

yang baru datang menjelaskan bahwa gambar rekaman kami<br />

sedang dalam perjalanan ke Bagdad. Huh ... Jadi, rupanya rekaman<br />

gambar tersebut beium dikirim sejak kemarin. Kata Muhammad,<br />

rencananya, jika aman, gambar akan dikirim tanpa nama ke kantor berita<br />

APTN. Mungkinkah APTN menolak menyiarkannya karena kami bukan<br />

jurnalis dari negara besar? Aku tak menyalahkan Muhammad dan Ahmad.<br />

Mereka hanyalah operator lapangan, yang tidak menentukan kebijakan<br />

Faksi Mujahidin.<br />

Ibrahim, yang biasanya tenang dan menyabarkan keresahan kami,<br />

kali ini juga terdiam dengan mulut terkatup.<br />

Aku baru sadar bahwa orang yang menjelaskan kabar tadi bukanlah<br />

yang biasa datang mengantar logistik. Mungkinkah dia seorang Rois<br />

juga? Aku mencoba memecah kebuntuan. Naluri jurnalistikku bekerja.<br />

Kalau orang ini aku wawancarai, ini bisa jadi bahan berita setelah kami<br />

bebas.Jika kami bebas. Aku tawarkan wawancara. Budi pun bergerak<br />

ingin menyiapkan kamera. Lelaki itu menolak direkam, tetapi bersedia<br />

menjawab.<br />

"Apakah kalian melawan Amerika karena mendukung Saddam<br />

Husein?"<br />

"Kami bukan pendukung Saddam, tetapi tidak berarti sudi negeri kami<br />

dijajah Amerika," jawabnya tegas.<br />

"Berarti Anda bekerja untuk Abu Musab Al Zarqawi." Aku menyebut


nama tokoh tanzim (organisasi) Al-Qaidah, musuh nomor satu Amerika di<br />

Irak. "Kami tidak sevisi dengan Al-Qaidah, tetapi kami sepakat untuk samasama<br />

mengusir Amerika. Jika Irak merdeka, kami akan berhenti."<br />

"Berapa banyak anggota pasukan Mujahidin di Irak?"<br />

"Lebih banyak dibanding seluruh pasukan negara koalisi di Irak."<br />

"Apakah ada anggota Anda yang menyusup di pemerintahan?"<br />

"Tentu, kami ada di mana-mana."Wajah lelaki itu menunjukkan<br />

keseriusannya, seolah-olah memastikan bahwa dia tidak berbohong.<br />

Rois yang tidak aku ketahui namanya itu pun pergi bersama<br />

pulangnya mobil. Mereka memang tak pernah singgah lama. Sebab,<br />

keberadaan mobil di situ bisa membahayakan kami semua, penghuni<br />

gua di tengah gurun sunyi. Mobil bisa jadi alat deteksi yang manjur bagi<br />

patroli udara Amerika, untuk tahu ada aktivitas di padang pasir.<br />

Setelah suara mobil menghilang ditelan padang pasir, gua kembali<br />

dicekam keheningan. Tak ada yang menyentuh makanan dan minuman.<br />

Kali ini giliran Muhammad yang memecah kesunyian. Dia membuka<br />

kafiyeh penutup muka, lalu mengajak kami keluar dari gua. "Mari kita<br />

olahraga pagi."<br />

Lambat, aku dan Budi menyeret langkah. Di luar, Budi berlari-lari kecil<br />

mengelilingi gua. Ibrahim berjalan di belakangnya. Aku memilih duduk<br />

saja, berjemur di dekat pintu masuk gua. Untuk apa oiaraga, keiuar<br />

selamat saja belum tentu.<br />

Aku menghadapkan mukaku ke langit, menantang<br />

hangatnya matahari. Cakrawala yang luas, yang hanya berupa<br />

garis batas padang pasir kelabu, membuat pikiranku kembali<br />

menerawang. Mungkinkah kami bisa keluar dari gurun o? Setiap hari para<br />

penculik, termasuk Rois, yang berkali-kali datang mengunjungi kami,<br />

selalu meyakinkan bahwa kami akan dibebaskan secepatnya. Tetapi<br />

nyatanya?<br />

Awalnya aku kira, setelah gambar direkam, kebebasan itu akan<br />

segera tiba. Rupanya aku kelewat optimistis. Semakin lama, semakin sulit<br />

untuk berpikir positif. Tebersit keinginan kabur. Namun, saat kupandangi<br />

luasnya gurun, logikaku bekerja. Kabur berarti mati. Mati ditembak<br />

penyandera, atau kelelahan karena tak tahu tujuan pelarianku. Sudahlah,<br />

aku tidak mau lagi berharap. Aku tidak mau peduli lagi. Lebih baik aku<br />

pasrahkan semua kepada-Nya.<br />

Sebagai manusia, aku merasa kecil. Tanpa daya, hanya menunggu<br />

takdir-Nya.<br />

Ah, benar ceramah para ustad yang dulu hanya kudengar selintas,<br />

yang kini terasa sangat berarti, "ketika pasrah semua menjadi lebih<br />

mudah". Dengan "pasrah", semua jadi lebih ringan. Rasa takut dan gentar<br />

dapat kuredam karena aku tahu ada Dia yang menjagaku. Rasa sedih<br />

hilang karena, tiba-tiba saja rasanya, sepertinya tidak ada alasan lagi<br />

untuk sedih. Aku rindu Mama, aku rindu kakak-kakakku. Tetapi, "rasa<br />

dekat" dengan-Nya membuatku sadar bahwa semua itu pada akhirnya<br />

adalah milik-Nya, yang bisa Dia ambil dan jauhkan dariku kapan pun Dia<br />

berkehendak. Begitu juga dengan karier dan semua "materi" yang telah<br />

aku kumpulkan<br />

dengan keringatku,semua itu hanya "pinjaman" dari-Nya. Semua


hanya milik-Nya.<br />

"Kamu belum berkeluarga kan Meut," tanya Ibrahim sambil mencomot<br />

potongan daging kebab, saat kami sudah kembali ke dalam gua.<br />

"Kamu hanya ditunggu ibu dan kakakmu, sedangkan aku ditunggu 8<br />

anak dan 2 istri," lanjutnya. Kami pun tergelak.<br />

"Salah sendiri punya istri dua," sambar Budi. Ibrahim lalu<br />

menjelaskan alasannya berpoligami. Pekerjaannya sebagai sopir trans<br />

Yordania-Irak membuatnya banyak berdiam di dua tempat berbeda. Ya<br />

Irak, ya Yordania. A/asan mengada-ngada, batinku. Tetapi, cerita itu cukup<br />

mencairkan suasana kaku pada pagi itu. Ibrahim memang paling bisa<br />

mencairkan suasana.<br />

Dia melanjutkan ceritanya. Semula, dia sudah berjanji ini adalah<br />

perjalanannya yang terakhir sebagai sopir trans Irak-Yordania. Atas<br />

permintaan istri pertamanya yang tinggal di Yordania, dia memutuskan<br />

untuk beralih profesi menjadi sopir bus wisata saja.<br />

"Membawa turis berkeliling Yordania, melihat-lihat daerah bersejarah<br />

abad dulu di kawasan Pet-ra," katanya menerawang. Istrinya beralasan,<br />

keadaan Irak semakin berbahaya. Kejadian ini membuat Ibrahim<br />

menyesal tidak mengikuti keinginan istrinya lebih awal.<br />

Hening sejenak.<br />

"Jadi, kalau harus ada yang mati, akulah yang paling banyak ditangisi,<br />

2 istri dan 8 anak!" lanjut<br />

Ibrahim.<br />

Kami terbahak lagi. Seolah-olah kematian begitu dekat dengan kami,<br />

para tersandera di tengah gurun pasir sunyi. Terkadang, berbicara tentang<br />

kematian membuat kita sepenuhnya menghargai arti hidup.<br />

Sekali lagi, kesadaran akan adanya Dia membuat tak ada alasan<br />

untuk bersedih. Sekian hari berada di gua pastilah merupakan ujian dari<br />

Tuhan untuk menguatkan aku setelah kehilangan Ayah. Sejak kepergian<br />

Ayah, aku menjadi manusia yang rapuh. Rasa percaya diriku menurun<br />

drastis. Sebelumnya, setiap ada masalah,bukan hanya masalah yang<br />

terkait materi, melainkan dalam setiap masalah yang aku lalui, aku selalu<br />

merasa tetap aman karena ada Ayah yang akan menjadi penolongku,<br />

pelindungku. Tetapi dalam penyanderaan ini, aku sendiri tidak dapat<br />

mengadu kepada siapa pun. Komunikasi kami dengan dunia luar putus.<br />

Aku harus kuat, aku harus mampu menjalaninya dengan sikap yang<br />

dewasa dan menanggalkan sikap manjaku (karena sebagai anak bungsu<br />

terbiasa dimanja oleh Ayah dan Mama).<br />

Mungkin karena itu tadi, merasa sendiri tanpa ada yang dapat<br />

menolong kecuali Allah, rasa pasrah itu muncul. Aku berserah diri karena<br />

dalam kondisi itu memang tidak ada pilihan lain selain pasrah. Nyawaku,<br />

nasibku, ada di tangan Penciptaku. Dalam kepasrahan, kami bisa tertawa<br />

ketika membicarakan kematian.<br />

Tanpa diminta, giliran Muhammad yang bercerita. Mungkin dia teringat<br />

keluarga juga. Dia mengaku<br />

punya dua putri. "Tapi satu istri," katanya tersenyum simpul.<br />

Ibrahim yang disindir hanya meringis. Muhammad adalah mantan<br />

tentara era Presiden Saddam Hussein. Ketika Amerika menginvasi Irak<br />

tahun 2003, bersama ribuan tentara dia melawan dengan senjata<br />

terbatas. Sebagian mati, sebagian tertangkap, dan sebagian lain


menyerahkan diri. Muhammad memilih lari ke Yordania. Muhammad<br />

menunjukkan kartu anggota tentara miliknya. Wajahnya di foto bersih<br />

tanpa jambang. Jauh berbeda dengan saat ini.<br />

"Kamu ganteng kalau bersih begini," kata Budi sambil menimang<br />

kartu.<br />

Muhammad baru berusia 25 tahun. Dua tahun lebih muda dari aku.<br />

Tetapi, gurat-gurat di wajahnya mengesankan dia jauh lebih tua dari itu.<br />

Ketika pendudukan Amerika tak juga memberikan perdamaian seperti<br />

yang dijanjikan, Muhammad dan kawan-kawan kembali masuk Irak dan<br />

membentuk kelompok perlawanan. Muhammad bergabung dengan Jaish<br />

Al Mujahideen. "Kami tak membenarkan Saddam, tetapi kami juga tak<br />

mau dijajah," Muhammad berubah serius.<br />

Aku tak pernah bertanya apa itu kelompok Jaish Al Mujahideen. Tetapi<br />

belakangan, aku tahu bahwa organisasi mereka cukup rapi. Selain orang<br />

seperti Muhammad dan Ahmad yang memanggul senjata, ada pemasok<br />

logistik, dokumentasi, urusan media, juga Rois. Rois inilah yang banyak<br />

mengambil keputusan di tingkat kebijakan. Dari wajah saja,<br />

para Rois sudah berbeda. Mereka lebih rapi, baik dari cara<br />

berpakaian maupun urusan rambut dan jambang. Menurut Ibrahim,<br />

sehari-hari mereka bekerja seperti warga Irak lainnya. Ada yang jadi<br />

dokter, dosen, mahasiswa, politisi, atau bahkan pegawai pemerintahan.<br />

Tampaknya Ahmad terbawa suasana. "Ketika pergi dan menculik<br />

kalian, kepada ibuku aku pamit menginap di rumah saudara," katanya. Dia<br />

yakin ibunya gelisah menunggunya. Keluarganya tak ada yang tahu<br />

Ahmad ikut kelompok bersenjata. Ini lazim dilakukan pemuda Irak sebab<br />

jika keluarga tahu justru bikin repot. Keluarga bisa jadi sasaran jika<br />

musuh mencari para pemuda.<br />

Meski mengaku berumur 20 tahun, seperti juga Muhammad, Ahmad<br />

terlihat jauh lebih tua dari usianya. Mungkin perjalanan hidup yang getir di<br />

negeri seribu mesiu memaksanya matang lebih cepat daripada<br />

seharusnya. Ahmad amat senang menceritakan berbagai serangan yang<br />

disertainya. Entah benar entah tidak, Ahmad mengaku mereka banyak<br />

menembak jatuh pesawat pasukan koalisi. "Tapi media Barat menyebut<br />

pesawat itu jatuh karena gagal mesin," Ahmad tersenyum pahit.<br />

Kami tak menanggapi.<br />

Ahmad juga menjelaskan keyakinannya bahwa Tuhan selalu<br />

bersama para Mujahidin. Dia menceritakan suatu pertempuran hebat di<br />

Ramadi di mana anggota pasukan koalisi jauh melebihi jumlah Mujahidin,<br />

dengan peralatan perang yang jauh lebih canggih. Pasukan Mujahidin<br />

terpaksa ditarik mundur,<br />

tetapi beberapa gelintir memilih bertahan dan bertempur hingga<br />

matahari turun. Malam itu Ahmad dan warga sekampung dikejutkan oleh<br />

suara ringkikan pasukan kuda. Di Irak, apalagi di gurun, tidak pernah ada<br />

kuda. Keesokan paginya, warga kampung Ahmad menyaksikan tubuh<br />

tubuh pasukan koalisi bergelimpangan. Di lain kesempatan, masih<br />

menurut Ahmad, seorang anak di kampungnya pulang dari bermain.<br />

Kedua tangannya menjewer telinga dua tentara koalisi menggiring<br />

mereka ke kampung-nnya. Entah dari mana sumber kekuatan anak<br />

tersebut.<br />

Mungkin Ahmad mengira kami menganggap ceritanya hanya bualan.


Dia lalu berdiri. Tak lama kemudian, tangannya sudah menggenggam<br />

keping VCD. Budi mengambil laptop, memeriksa baterainya, lalu<br />

mengambil VCD di tangan Ahmad.<br />

Kami pun menatap layar komputer yang menggambarkan proses<br />

pelaksanaan bom bunuh diri. Ada rapat persiapan, juga ledakan<br />

mematikan. Mobil yang membawa bom diambil gambarnya dari tiga sudut<br />

berbeda. Terlihat betul bahwa mereka amat berhati-hati, tidak ingin<br />

kehilangan momen dengan menggunakan tiga kamera. Aku tercekat<br />

menyaksikan mobil berisi seorang pemuda meledak ketika menghantam<br />

tank koalisi. Pastilah tubuh pemuda itu terberai. Gambar itu dikompilasi<br />

dalam VCD dan disebar lewat pasar gelap. "Warga kami perlu diberi tahu<br />

bahwa kami mampu melawan pasukan koalisi," kata Ahmad bangga.<br />

Ahmad memasukkan VCD lainnya. Kali ini layar<br />

laptop memperlihatkan suasana rapat persiapan yang mirip dengan<br />

VCD sebelumnya. Bedanya, mereka yang hadir dalam rapat mengenakan<br />

abaya hitam dengan kerudung menutupi hampir seluruh kepala, hanya<br />

menyisakan bagian mata. "Mereka ini wanita yang juga memilih mati di<br />

jalan Allah. Mujahida. Meutya berminat menjadi Mujahida?" Raut Ahmad<br />

tersenyum, tetapi serius menunggu jawaban.<br />

Bingung bagaimana harus bersikap, aku hanya tersenyum<br />

kepadanya.<br />

Ahmad lalu menanyakan pengalaman meliput aku dan Budi.<br />

Kami bercerita tentang kedahsyatan tsunami, yang beritanya juga<br />

mereka lihat di Irak. Aku juga bercerita mengenai keluargaku. Kutunjukkan<br />

foto almarhum Ayah. Budi memperlihatkan foto istri dan anaknya. Mereka<br />

juga bertanya mengenai pekerjaan sebagai jurnalis. Mengapa datang ke<br />

Irak, yang jelas-jelas sedang bergolak. Aku jelaskan bahwa kehadiran<br />

kami, jurnalis dari negeri berpenduduk mayoritas Islam, adalah membagi<br />

informasi yang seimbang. Bahaya adalah risiko pekerjaan. Sama dengan<br />

para Mujahidin, yang justru lebih dekat dengan kematian.<br />

"Kalian berjuang dengan senjata, Budi dengan kamera, dan aku<br />

dengan pulpen dan kertas," kataku.Aku berharap jalan pikir mereka<br />

dibukakan bahwa perjuangan bersenjata bukan satu-satunya pilihan.<br />

Ahmad juga menanyakan gajiku. Tetapi, aku hanya tertawa. Aku<br />

beralasan tak mungkin menjawab karena di situ ada Budi. Giliran Ahmad<br />

dan Muhammad<br />

tertawa. Mereka berjanji akan menagih jawabannya kalau<br />

Budi sedang keluar gua.<br />

Pembicaraan terhenti karena kami sadar belum makan siang. Acara<br />

makan siang berlangsung tanpa kata. Mungkin karena suasana yang<br />

terbangun membawa kami jadi sentimental.Aku bersyukur, empat hari di<br />

gua, hal-hal yang kutakutkan di awal penculikan tidak terjadi.Tidak ada<br />

todongan senjata yang menggentarkan hati. Sebagai perempuan, tak<br />

sekali pun aku merasa dilecehkan lewat perkataan, apalagi perbuatan.<br />

Kecuali oleh tatapan cunihin si sontoloyo. Tidak ada hari tanpa makanan<br />

lezat. Ahmad dan Muhammad tidak akan makan sebelum aku makan.<br />

Ketika aku mulai lemas, karena nafsu makanku yang turun drastis,<br />

mereka membawakan soft drink dan buah-buahan, bisa apel, jeruk,<br />

kadang-kadang pisang. Ketika aku tertawa melihat gelas kecil khas Irak<br />

untuk minum teh, mereka membelikan gelas besar. Ketika persediaan


tisuku semakin menipis, mereka membawakanku sekotak tisu. Padahal,<br />

untuk bolak-balik ke gua, taruhannya adalah nyawa.<br />

Waktu yang lambat terus merayap.<br />

Dan, malam yang menjelang kembali membawa kesepian yang<br />

menikam. Aku memejamkan mata, mencoba tidur. Di dalam gua yang<br />

kecil ini, cara membuat suasana pribadi, memiliki sekadar privasi, adalah<br />

menutup seluruh tubuh dengan selimut. Mungkin karena tidak letih, atau<br />

pikiran yang kalut, kantuk tak kunjung datang. Kuraih buku Yasin<br />

bersampul gambar Ayah. Tetapi, lampu minyak yang<br />

bergoyang ditiup angin membuatku sulit membaca.<br />

* * *<br />

MATAKU panas. Bukan karena lelah membaca dalam lampu<br />

temaram. Aku rindu Ayah. Ingat masa-masa kecil bersamanya. Aku lahir 3<br />

Mei 1978 di Bandung. Ayahku, Doktor Anwar Hafid, dan mamaku, Meity<br />

Hafid, memberiku nama Meutya Viada Hafid. Nama yang sering membuat<br />

orang menyangkaku orang Aceh. Padahal, nama "Meutya" itu diambil dari<br />

nama grup bola voli sekolah Mama. Mama juga pengagum Bung Hatta,<br />

dan beliau memberi nama anaknya Meutya2.Adapun "Viada" diambil dari<br />

IADA, organisasi Ayah waktu mengambil gelar doktor di University of The<br />

Philipine, Los Banos, Filipina.<br />

Oh ya, gara-gara tinggal di Filipina itu pula,aku memiliki panggilan<br />

masa kecil "Bingbing". Ceritanya, sampai usiaku dalam kandungan 8<br />

bulan, Ayah dan Mama masih tinggal di negeri jiran itu. Anak perempuan<br />

kecil di sana biasa dipanggil "Bingbing", seperti "Neneng" di Sunda.<br />

Panggilan itu melekat di kalangan terdekat hingga aku SD. Tetapi, karena<br />

teman-teman SD memelesetkannya menjadi "belimbing", aku tak mau<br />

dipanggil Bing lagi.<br />

Mama selalu mengulang cerita yang sama bahwa waktu aku lahir<br />

hujan turun cukup deras di Bandung. Tiga kakakku (almarhum) Farid,<br />

Finny, dan Fitri tidak pernah berhenti melingkari keranjangku, mengamati<br />

gerak-gerik adik kecil mereka.Di Bandung<br />

2 Sekarang Menteri Urusan Perempuan.<br />

aku hanya menumpang lahir sebab Ayah segera pindah ke Bogor. Di<br />

sana, kami mengontrak sebuah rumah mungil, di sebuah gang kecil di<br />

Jalan Bangka.<br />

Di kota hujan itulah, aku tumbuh. Polah Meutya kecil menyedot<br />

perhatian tetangga. Setiap petang, selepas memandikan, membedaki,<br />

dan mengikat rambutku ke atas menyerupai air mancur, Mama selalu<br />

mendudukkanku di bangku kayu di depan rumah. Kata Mama, rumah kami<br />

yang kecil membuatku harus banyak bermain di luar.Tak lebih dari lima<br />

menit, ada saja tetangga yang menggendongku, membawa pergi<br />

berkeliling hingga azan magrib berkumandang.<br />

Dua tahun kemudian, kami pindah lagi ke Ujung pandang3. Ayah<br />

menjadi dosen di Universitas Hasanuddin. Panasnya Makassar yang<br />

berbeda jauh dengan Bandung dan Bogor membuatku tak betah.<br />

Untunglah, banyak rekan sebaya di kompleks dosen di Baraya, Jalan<br />

Sunu, Makassar. Aku pun mengecap pendidikan formal awal di kota nenek<br />

moyangku dari garis ayah itu. Ayah, yang sudah punya cukup<br />

tabungan,membeli mobil kecil. Cukuplah untuk membawa kami bermain<br />

ke rumah nenek, di seberang Pantai Losari. Makassar pun menjadi


tempat tumbuh yang menyenangkan dan penuh kenangan. Termasuk<br />

rekor membolos selama tiga bulan, sampai guru TK-ku datang ke rumah<br />

untuk membujukku, agar mau sekolah.<br />

Hanya sebentar aku memakai seragam putih-<br />

3 Sekarang bernama Makassar.<br />

merah, kami harus pindah lagi. Kali ini ke Jakarta. Perilaku malasku<br />

tak berubah. Persiapan berangkat sekolah menjadi episode pagi yang<br />

menegangkan dan melelahkan. Mulai dari pekerjaan rumah (PR) yang<br />

lupa dikerjakan, dasi dan topi yang hilang tak tahu rimbanya, buku<br />

pelajaran yang tercecer, hingga kuku yang belum dipotong. Ditambah lagi,<br />

aku sulit bangun pagi, hingga keriuhan itu berlangsung dalam suasana<br />

pendek. Ketika lonceng sekolah jelas terdengar berdentang hingga ke<br />

rumah, barulah aku diseret setengah berlari. Sampai menginjak bangku<br />

SMP, kondisi itu tak jauh berubah. Aku menjadi langganan koperasi<br />

sekolah, dan nyaris setiap Senin pagi aku datang membeli topi dan dasi.<br />

Ah, masa lalu yang indah ....<br />

Selain slebor, aku juga disebut mamaku sebagai pemberontak cilik.<br />

Darah Bugis dari Ayah sepertinya tertanam kuat dalam diriku. Prinsipku<br />

sering sulit ditawar. Aku harus memilih baju dan gaya kuncir rambut<br />

sendiri. Padahal, Mama sedang senang-senangnya mendandani anak<br />

bungsunya, dengan baju-baju yang khusus dia beli untukku. Walhasil,<br />

setiap ada acara undangan keluarga, drama menegangkan itu selalu<br />

berulang. Mama yang memaksa mengganti bajuku, dan aku yang matimatian<br />

bertahan. Rengekan dan bentakan saling bertukar di tengah aksi<br />

tarik-tarikan baju.<br />

Untunglah, kenakalanku tertutupi dengan prestasi sekolah. Namaku<br />

tidak pernah absen dari minimal peringkat tiga terbaik. Tatkala duduk di<br />

kelas S SD, tahun 1986, aku berangkat ke Jepang menjadi<br />

duta cilik dalam pertemuan anak se-Asia-Pasifik. Tiga tahun<br />

kemudian, aku ke Jepang lagi, tepatnya di Fukuoka, untuk mengikuti<br />

pertukaran pelajar Asia-Pasifik dengan pelajar Jepang dalam program<br />

The As ia-Pacific Children's Convention (APCC). Tinggal di Fukuoka,<br />

sebuah kota industri dan pendidikan terkemuka di Jepang, meski hanya<br />

dua minggu, membuat cara pikirku mulai berubah. Inilah kali pertama aku<br />

tinggal berjauhan dengan orangtua dan hidup bersama keluarga yang<br />

budayanya jauh berbeda. Aku pun melihat sikap anak-anak Jepang yang<br />

berbeda 180 derajat dari gaya hidupku. Mereka begitu teratur, terjadwal,<br />

rajin, dan menghormati orang tua.Pagi di keluarga Jepang yang menjadi<br />

semangku sungguh bukan pagi yang rutin aku jalani di tanah air.<br />

Bukan pola hidup itu saja pelajaran yang kupetik, dari bertemu anakanak<br />

dan budaya negara lain. Binar mata kebanggaan Ayah dan Mama,<br />

ketika menyambutku pulang, memperkaya batinku bahwa aku bukan<br />

semata-mata anak yang nakal. Prestasiku menjadi penawar yang sejuk,<br />

pengobat kelelahan mereka mengurus anak yang nakal ini.<br />

Mama, Ayah, kakak-kakakku, maafkan aku. Rasanya selama hidup,<br />

apalagi saat ini, aku selalu menjadi biang masalah. Doakan aku lepas<br />

dari persoalan berat ini.<br />

* * *<br />

SUARA derum mesin mengoyak keheningan malam.<br />

Helikopter. Muhammad mengecilkan nyala lampu minyak.


Suasana di gua berubah menjadi temaram dan mencekam. Meski semua<br />

terbangun, kami larut dalam diam. Belakangan, patroli udara Amerika<br />

semakin sering saja. Bisa saja mereka sudah mendeteksi keberadaan<br />

kami di gurun ini, dari bolak-baliknya mobil pengantar logistik. Sebuah<br />

repetisi yang menguntungkan sekaligus mencelakakan.<br />

Cahaya bulan yang masuk dari celah gua membuat gua tak terlalu<br />

temaram. Ketika cahaya buatan manusia tiada, sinar bulan dan bintang<br />

terlihat lebih benderang dan indah. Berteman cahaya rembulan, di atas<br />

pasir gurun, aku mencoba pasrah. Memejamkan mata, berusaha<br />

menghalau rasa takut.<br />

Ahmad mengajak kami berdoa. Kami membaca surat-surat pendek,<br />

Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas. Di bawah deru suara helikopter, kami, aku<br />

dan Budi jurnalis asal Indonesia, Ibrahim sopir asal Yordania, serta<br />

Muhammad dan Ahmad kelompok Mujahidin Irak yang menculik kami-larut<br />

dalam kebersamaan, tunduk dalam doa agar esok masih bersua<br />

matahari. []<br />

Bab 7<br />

Hilangnya Kesabaran<br />

MATAKU mengerjap-ngerjap oleh berkas sinar terangyang menimpa<br />

wajah. Bukan sinar bulan. Cahaya matahari menerobos celah gua. Aku<br />

bersyu-kur,malam yang menegangkan telah berlalu. Aku tak ingat kapan<br />

akuterlelap. Kehadiran pagi membuatku semakin optimistis.Apalagi ini<br />

adalah hari kedua setelah pengambilan gambar. Mungkin gambar<br />

penyanderaan kami sudah ditayangkan.Ibrahim dan Budi sudah duduk<br />

berbincang.<br />

Ibrahim mengaku tidak dapat tidur nyenyak karena ketakutan.Budi pun<br />

tak bisa tidur lelap. Tetapi,dia tidak bisa tidur karena kedinginan. Rupanya,<br />

malam tadi Budi berbagi selimut dengan Ahmad yang berbadan besar.<br />

Akibatnya, sebagian badannya tidak terlindung selimut. Aku beruntung<br />

memiliki "ruang privasi", tak harus bersenggolan dengan orang lain. Tak<br />

harus berbagi selimut.Karena itu, aku sering malu, bangun paling akhir.<br />

Ritual membuat teh bersama sudah dimulai. Budi mengulurkan<br />

telapak tangannya di dekat air yang dijerang. Tetapi, kami tidak banyak<br />

bicara.<br />

Ketegangan semalam masih terbawa. "Aku jenuh, Mut," bisik Budi.<br />

Aku mengangguk, menyetujui. Maklum, sebagai jurnalis, aku dan Budi<br />

terbiasa dengan kehidupan yang dinamis, dari satu peristiwa ke peristiwa<br />

lain nyaris tanpa jeda. Aku mendadak mengerti pentingnya sebuah<br />

kemerdekaan.<br />

Pagi pun kubuka dengan mood yang kurang baik.<br />

"Ada apa?" tanya Ibrahim.<br />

Aku jelaskan bahwa kami sudah bosan tanpa kepastian. "Kalau<br />

begini terus, rasa hormatku kepada Mujahidin yang mulai terbangun bisa<br />

runtuh."<br />

"Mujahidin itu tugas suci, dan pelakunya pasti orang tepat janji,"<br />

Ibrahim tetap saja membela.<br />

Aku tekankan padanya, belajar dari keadaan tadi malam, keberadaan<br />

kami di gua semakin tidak a-man."Kita bisa mati konyol di sini," keluhku.<br />

Muhammad, yang duduk di seberang kami, tampaknya menangkap<br />

gelagat kurang baik. Dia membuka perbincangan ringan. Tentang gelas


kami yang lebih besar dari milik mereka. Tentang air yang diambil dari<br />

Sungai Eufrat. Muhammad, seperti juga Ibrahim, selalu membanggakan<br />

air Sungai Eufrat. Menurut mereka,kualitas air sungai ini hanya sedikit di<br />

bawah air zam-zam. Muhammad juga bercerita bahwa Irak pada masa<br />

silam disebut Mesopotamia tanah di antara sungai-karena mencakup<br />

sebagian besar dataran alluvial yangsubur di antara sungai-sungai Eufrat<br />

dan Tigris.<br />

Sejarah yang menarik, pikirku, tetapi diceritakan<br />

ditengah keadaan kurang baik, membuatku tak antusias.<br />

Lalu Hening.<br />

Gantian Ahmad yang membuka perbincangan. Diamenanyai Budi<br />

apakah komputer jinjing masih bisa dipakai. Budi mengecek dan<br />

mengangguk tanda oke.Ahmad mengeluarkan VCD dari saku jaketnya.<br />

Tanpa bicara, kami lalu merubung komputer, membiarkan gambar<br />

berputar. Anak-anak dan perempuan menjerit kesakitan di sebuah rumah<br />

sakit. Orang-orang berlumuran darah datang silih berganti. Kawasan<br />

permukiman penduduk. Raungan pesawat tempur melintas,lalu<br />

dentuman bom menimpa rumah penduduk. Asap membubung dari rumah<br />

yang menyala terbakar. Wargapanik berlarian tanpa arah yang jelas.<br />

"Inilah hari pertama Amerika menyerang negara kami," suara Ahmad<br />

memecah keheningan.<br />

Ahmad lalu menceritakan bahwa gambar itu diambildi Ramadi, kota<br />

kelahiran Ahmad dan Muhammad. Juga, kota tempat kami diculik.<br />

Suasana saat invasi itu berbeda jauh dengan yang kami lihat saat<br />

melintas sebelum penculikan. Gedung-gedung saat ini lebih sedikit<br />

dibandingkan sebelum invasi. Rupanya sebelum Amerika datang, Ramadi<br />

merupakan kawasan pertanian yang subur. Setelah invasi, segala<br />

ketenteraman itu pun sirna.<br />

"Ini salah satu alasan kami berontak," ujar Ahmadsambil matanya tak<br />

lepas dari layar komputer.<br />

Menyaksikan tayangan VCD itu, tiba-tiba aku teringat Suha, putri<br />

bungsu Muhammad Nasser.<br />

Nasser adalah orang Irak yang menjadi penerjemah kami padahari<br />

pertama datang ke Irak. Dulu, waktu Budi meliput pertama kali ke Irak<br />

tahun 2003, dia pernah bekerja diKBRI. Dia adalah kamus berjalan yang<br />

mengabarkanperbedaan sebelum dan sesudah Amerika menginvasilrak.<br />

Ketika kami masuk Bagdad, dia menunjukkan bekas lokasi patung<br />

Saddam Hussein, yang dirobohkan ketika serdadu Paman Sam masuk<br />

pusat kota. Melihat bangunan yang porak-poranda, dan dijelaskan<br />

bangunanapa itu dulunya, capai rasanya. Apalagi melihat tentara Amerika<br />

dengan senjata pongah berseliweran di mana-mana.<br />

Suha adalah bocah cantik berusia sembilan tahun. Wajahnya khas<br />

perempuan Arab. Hidungnya mancung, kulitnya bersih, dan rambutnya<br />

ikal. Aku tanya kenapa dia tidak sekolah. Dia hanya tersenyum.<br />

"Saya melarangnya sekolah," Nasserlah yang menjawab. Nasser<br />

melarang anak-anaknya sekolah, sebab bangunan yang mestinya bebas<br />

dari perang, termasuk sekolahan, kini sering dijadikan arena bom bunuh<br />

diri.<br />

Aku dan Budi pernah meliput suasana sekolah-sekolah di Irak.<br />

Beberapa sekolah yang kami kunjungi tampak lengang. Aku tercengang


melihat pintu sekolahyang dijaga oleh pria bersenjata laras panjang.<br />

Pikirku, bagaimana mau menimba ilmu dengan tenang kalau mau masuk<br />

sekolah saja harus menyaksikan orang bersenjata. Tetapi, beberapa anak<br />

kecil di depan sekolah sepertinya sudah terbiasa dengan senjata. Mereka<br />

tak acuh dan meneruskan<br />

bermain. Anak-anak lain yang tidak diizinkan orangtua mereka<br />

bersekolah, seperti anak-anak Nasser misalnya, memilih mengisi harihari<br />

dengan bermain bola dan kejar-kejaran di gang-gang di antara rumah<br />

susun mereka.<br />

"Semua tak lagi peduli anak-anak. Semua demi perjuangan," lanjut<br />

Nasser kecut.<br />

Suha adalah satu-satunya anak perempuan Nasser. Abbas, kakak<br />

laki-laki Suha yang baru berusia dua belas tahun, menurut Nasser, sudah<br />

pandai menggunakan senjata. "Aku terpaksa mengajarkannya untuk<br />

keamanan. Kalau hal buruk terjadi padaku, Abbas harus mampu<br />

melindungi keluarga," ujar Nasser.<br />

Seperti halnya Suha, Abbas sudah cukup lama absendari sekolah.<br />

Adik laki-laki Suha yang baru berusia lima tahun, Mikhail, belum mengerti<br />

banyak. Dia lebih sering bermain di kamarnya.<br />

Nasser lalu membawaku berkeliling ke sekitar kampung tempatnya<br />

tinggal. Suasananya mirip dengan kompleks rumah susun di Jakarta. Di<br />

situ aku melihat puluhan anak lainnya, sebaya dengan anak bungsu<br />

Nasser. Yang lelaki asyik bermain bola, yang perempuan bermain kejarkejaran.<br />

Semua tak bersekolah karena alasan yang sama.<br />

Melihat aku dan Budi, mereka berhenti bermain. Diawali satu anak,<br />

mereka tahu-tahu sudah mengelilingi aku dan Budi.<br />

Mereka berebut mengucapkan sesuatu,tetapi aku tak mengerti.<br />

"Mereka minta difoto bersama," teriak Nasser<br />

mengatasi suara berisik anak-anak.Aku tergelak dan memeluki<br />

mereka.<br />

* * *<br />

AKU berangkat ke Irak sebagai jurnalis yang berusaha independen.<br />

Tidak mengasihani bangsa Irak,tetapi juga tidak menyalahkan Amerika.<br />

Namun, tayangan VCD yang belum berhenti menggambarkan berbagai<br />

kehancuran membuatku terenyuh. Nun di lubuk hati terdalam, aku mulai<br />

memahami pilihan mereka. Ketika manusia ditekan di luar batas<br />

kewajaran, maka insting pertama adalah memberontak. Mungkin bagi<br />

Ahmad dan Muhammad, masalahnya sederhana. Keberadaan pasukan<br />

asing merupakan bentuk penjajahan, dan penjajahan harus dilawan.<br />

Bukankah kita juga menganut paham bahwa penjajahan di muka bumi<br />

harus dihapuskan?<br />

Aku tak menyalahkan jalan pikiran mereka yangmenurutku terlalu<br />

hitam-putih. Nyaris sepanjang usianya, Ahmad dan Muhammad didera<br />

konflik berkepan-jangan. Untuk mengecap pendidikan yang layak di dalam<br />

negeri saja, mereka tidak punya banyak kesempatan. Wajar kalau hal itu<br />

membuat mereka berpikiran sempit. Aku merasa beruntung, di usiaku<br />

yang masih muda, aku sudah bepergian ke banyak negara, bahkan<br />

menetap bertahun-tahun, serta bergaul dengan berbagaibangsa dan<br />

agama.<br />

Singapura, meski bukan negara yang asing lagi yang pernah


kudatangi, memiliki banyak kenangan dalam hidupku. Semua berawal<br />

dari iklan yang dilihat<br />

Mama tahun 1993. Saat itu, aku baru saja lulus SMP.ASEAN<br />

Secondary Scholarship, yang dibiayai Kementerian Pendidikan<br />

Singapura,memberikan beasiswa untuk belajar di sana. Ayah<br />

menantangku, "Nak, kamu berani tidak sekolah sendiri di Singapura?"<br />

Ayah tahu betul kebiasaanku:kalau ditantang berani atau tidak,pasti<br />

menjawab berani.<br />

Dimulailah perburuan itu. Mama mengambil sendiri formulir di<br />

Kedutaan Singapura. Lalu Mama, Ayah, dan kakak bergotong-royong<br />

menyiapkan data. Aku sendiri sibuk menonton televisi saja. Semua dataku<br />

sudah tertulis rapi di kolomnya. Aku tersenyum melihat isian NEM (Nilai<br />

Ebtanas Murni) SLTP-ku: 10 untuk matematika. Pelajaran itu memang<br />

favoritku, selain ilmu pengetahuan alam, IPA. Matematika itu pula yang<br />

mengantarku menuju kehidupan mandiri di negara tetangga, Crescent<br />

Girls Scho ol, Singapura.<br />

Menjelang si bungsu ini pergi, kegembiraan berubah. Ayah, yang<br />

pada awalnya paling bersemangat mendukung kepergianku, menjadi<br />

susah tidur. Rupanya, Ayah tidak siap melepasku hidup sendiri di negeri<br />

orang,di usiaku yang baru beranjak remaja. Tepat sehari sebelum<br />

keberangkatanku, Ayah ambruk. Ayah terserang stroke ringan. Darah<br />

tingginya memuncak karena sedih luar biasa. Melihat kondisi Ayah,<br />

keluarga mempertimbangkan ulang kepergianku. Namun di tengah<br />

kegalauan, Ayah memutuskan aku tetap berangkat. Keputusan Ayah ini<br />

membawaku ke lembar baru dalam hidupku. Sistem pendidikan<br />

Singapura yang sangat kompetitif tidak hanya<br />

mengajariku hidup mandiri,tetapi juga arti kerja keras. Akh ... andai<br />

Ayah masih hidup, pastilah dia sedih bukan kepalang anak<br />

perempuannya hilang tiada rimba.<br />

Dari Singapura, aku melanjutkan studi ke Sydney, Australia. Tahun<br />

1996, Aku menjadi mahasiswa Schoolof Manufacturing Engineering,<br />

University of New SouthWales. Fakultas yang aku pilih merupakan favorit<br />

dikalangan international students. Jadi, aku banyak bertemu dengan<br />

mahasiswa dari berbagai negara. Banyak nilai dan paham di antara kami<br />

yang berbeda. Tetapi,itu semua kami jadikan masukan untuk<br />

memperkaya khazanah, bukan untuk pertentangan.<br />

Tinggal di Australia jauh dari keluarga juga mengajarkan padaku<br />

pentingnya perjuangan. Dua tahun kuliah, Indonesia dilanda krisis<br />

ekonomi dahsyat. Nilai tukar dolar terhadap rupiah melambung.<br />

Beasiswaku dari pemerintah Indonesia diputus sepihak.Ayah sebenarnya<br />

memintaku pulang.Tetapi, dia juga tahu bahwa menyelesaikan SI di<br />

UNSW adalah impianku. "Ayah mau kamu tetap melanjutkan kuliah di<br />

Australia. Kita akan tempuh segala usaha untuk membiayai," kata Ayah<br />

waktu itu.<br />

Aku pun semakin rajin mendatangi toko dan gerai favoritku. Kali ini<br />

bukan untuk shopping, melainkan melamar kerja. Setelah ke sana kemari<br />

tanpa hasil, akhirnya nasibku tersangkut di restoran ayam cepat saji, yang<br />

letaknya tidak jauh dari kampus. Aku memulai sebagai pramusaji, lalu<br />

kasir, hingga akhirnya dipercaya meracik bermacam jenis burger.<br />

Meutya yang mengurus diri sendiri saja tidak becus kini harus pintar


menyiapkan masakan. Tak jarang kulit tanganku terciprat minyak panas<br />

atau tersengat pemanggang roti burger. Aku bekerja sepulang kuliah<br />

hingga tengah malam, lalu paginya bersiap lagi kuliah. Kadang, kalau<br />

butuh uanglebih, aku terpaksa membolos kuliah.<br />

Penghasilan kerja paruh waktu itu, aku gunakan untuk membayar<br />

sewa rumah. Untuk makan, aku punya trik khusus berhemat. Setiap<br />

malam, aku membawa ayam sisa untuk disantap besok siangnya. Untuk<br />

makan pagi, aku membawa roti burger yang dibuang restoran karena<br />

tanggal kedaluwarsa akan habis keesokan harinya. Penggal hidup yang<br />

pahit.<br />

Namun, itu pun belum cukup. Libur akhir tahun,yang waktu itu jatuh<br />

bertepatan dengan bulan Ramadhan, ku siasati dengan menambah jam<br />

kerja. Sejak krisismoneter, aku tidak lagi merasakan kehangatan<br />

Ramadhan bersama keluarga.<br />

Terhambat oleh aturan bahwa pelajar asing hanya boleh kerja 20 jam<br />

seminggu, aku pun mencari kerja yang membayar tunai supaya tidak<br />

terpantau imigrasi.Ada pabrik pengepakan majalah di pinggir Kota<br />

Sydney,yang biasa melakukan kebijakan seperti itu untuk mempekerjakan<br />

imigran. Karena lokasi pabrik cukup jauh, aku harus berangkat sebelum<br />

matahari terbit. Mengejar bus paling awal menuju central station, lalu naik<br />

kereta api ke tempat kerja.<br />

Pukul tujuh tepat, aku sudah berdiri mengelilingi<br />

belt, di mana majalah akan berputar. Aku kebagian tugas<br />

menempelkan lembaran tambahan atau hadiah,kehalaman tengah<br />

majalah. Selama sepuluh jam, dipotong istirahat makan siang 30 menit,<br />

tanganku terus-menerus bergerak naik-turun,menyerupai mesin,<br />

menempelkan hadiah. Jika kelamaan, badanku sering limbung karena<br />

pusing terus-menerus melihat ribuan majalah yang tak berhenti berputar.<br />

* * *<br />

DAN waktu terus berputar di gurun sepi ini. Sudah hari kelima kami<br />

diam tanpa kegiatan berarti. Sudah dua hari pula sejak pengambilan<br />

gambar. Tetapi, tanda-tanda pembebasan itu tak kunjung tiba. Rois yang<br />

kami nantikan untuk mengabarkan masa indah itu belum muncul hingga<br />

menjelang siang. Gundahku membuncah menjadi kesal. Aku sadar, sifat<br />

kerasku bisa muncul pada saat seperti ini.<br />

Ketika Rois kemudian datang tengah hari, kesabaranku sudah hilang.<br />

Dia menyatakan belum bisa melepas kami karena pernyataan Presiden<br />

Indonesia yang mereka tunggu belum ada. Aku bersikeras menagih janji<br />

pembebasan.<br />

"Saya hargai jihad kalian. Kalian berjihad dengan senjata, tetapi saya<br />

juga ingin meneruskan jihad saya. Jihad saya dengan ini, jihad Budi<br />

dengan itu," kataku seraya mengangkat pulpen tinggi-tinggi dan<br />

menunjuk-nunjuk kamera yang tergeletak di lantai.<br />

Semua diam.<br />

"Apa artinya berjihad jika kita hanya diam menghabiskan<br />

waktu di gua. Kalau dibom, kita bukan syahid,tetapi mati<br />

sia-sia," lanjutku.<br />

Ibrahim tampak agak bingung. Dan, aku yakin dia tidak<br />

menerjemahkan semua unek-unekku. Dia menyensor pernyataanku,untuk<br />

menjaga situasi tetap kondusif. Matanya menatapku, seolah-olah


memintaku meredakan amarah. Budi sendiri hanya menunduk.Tetapi,aku<br />

tak peduli lagi.Hanya satu dalam pikiranku: aku ingin bebas! Berharap<br />

pada kebaikan Rois saja tidak cukup. Aku harus perjuangkan<br />

kebebasanku!<br />

Rois tampak terkejut dengan perubahan sikapku. Mungkin tidak<br />

banyak orang yang bersuara tinggi dihadapannya. Namun, dia kelihatan<br />

berusaha tetap tenang, tidak membalas kata-kataku. Dia sepertinya<br />

menanyai Ibrahim, kenapa aku berubah galak siang itu.<br />

Sebelum pergi, dia mengulangi lagi janji pembebasan kami. Tetapi,<br />

aku tidak mau lagi menanggapi janjinya itu.<br />

Yang tersisa hanyalah keheningan.<br />

Sepeninggal Rois, suasana di gua berubah kaku. Ahmad dan<br />

Muhammad ikut salah tingkah. Mereka bukan lagi sekadar penculik,<br />

melainkan teman. Dan sebagai teman, Muhammad dan Ahmad<br />

sepertinya memahami kemarahanku. Ada rasa tidak enak yang terselip<br />

dalam hatiku karena aku memarahi pemimpin Ahmad dan Muhammad.<br />

Jangan-jangan mereka dihukum karena tidak bisa menjagaku.<br />

Dan, siang kembali merayap menuju malam.<br />

Namun, malam yang dingin berpadu dengan<br />

suasana hati yang juga dingin. Tak ada makan malam bersama. Aku<br />

mencomot sedikit daging, lalu menyepi disudut privasiku.Yang lain pun<br />

begitu. Sayangnya, usahaku memejamkan mata diganggu suara tikus.<br />

Entah dari mana datangnya tikus itu hingga sampai di gua kami.<br />

Tampaknya dia terperangkap mencari pintu keluar. Karena ukuran gua<br />

yang kecil, gerakan tikus terdengar jelas. Banyaknya plastik sisa<br />

pembungkus membuat gerakan tikus terdengar makin jelas. Aku<br />

memekik ketika tiba-tiba tikus itu berlari ke arahku. Yang lain tertawa.<br />

"Berani ke Irak, kok sama tikus saja takut," kata Ibrahim.<br />

Kusembunyikan wajahku di balik selimut. Aku tersenyum simpul. Aku<br />

tahu mereka mencoba mencairkan suasana. Tetapi, kemarahanku masih<br />

membara. Kutarik selimut lebih lekat.[]<br />

Bab 8<br />

Kabar Pembebasan<br />

SATU malam lagi telah kulewati dalam gua di tengah gurun. Tetapi,<br />

dingin pagi yang merejam-rejam kulit membuatku enggan keluar dari<br />

sedikit kehangatan dalam selimut.Tak ada suara-suara pengundang<br />

semangat dan tawa canda yang mengiringi ritual chai.<br />

Mungkinkah mereka marah atas sikapku kemarin?<br />

Kalau begitu, aku harus minta maaf. Buru-buru akubangkit. Tak ada<br />

Ahmad.Juga, Muhammad. Apakah mereka sedemikian tersinggungnya,<br />

Rois mereka aku marahi sehingga mereka pergi tanpa pamit?<br />

Namun, bersama Budi dan Ibrahim ada dua lelakilain, yang baru<br />

kulihat.<br />

Aku bilang kepada Ibrahim, "Hammam, ham-mam. "Maksudnya, aku<br />

mau ke belakang dan sikat gigi, meski arti sebenarnya adalah "kamar<br />

mandi" atau "toilet". Cukup lama aku di luar, sampai Budi meneriakkan<br />

namaku.<br />

"Ahmad dan Muhammad pergi pagi-pagi sekali. Mereka titip salam,"<br />

kata Budi sesampainya aku kembali di gua.<br />

Rupanya bukan kemarahan yang membuat dua penjaga itu pergi.


Menurut Ibrahim, yang mencuri dengar pembicaraan, Ahmad dan<br />

Muhammad memiliki tugas lain, yaitu menjaga sandera baru. Di gurun itu<br />

memang ada gua lain yang kabarnya lebih besar. Tetapi, aku tak tahu di<br />

mana letaknya. Aku tak pernah ke mana-mana.Aku hanya bisa bergerak<br />

dari gua ke luar gua, dan kembali ke dalam gua.<br />

Meski aroma hangat chai yang khas tetap menggelitik hidungku, ritual<br />

minum pagi hari itu berlangsung dingin. Ini mengulang hari-hari awal<br />

penculikan enam hari lalu. Kami duduk mengelilingi pusat perapian<br />

dalam diam. Biasanya, Ahmad selalu memberikan semangat padaku<br />

dengan senyum hangat dan candanya. Tetapi, pagi ini, di tengah<br />

ketidakpastian kabar pembebasan, suasana akrab yang mulai terbangun<br />

pun pelan-pelan memudar.<br />

Budi dan Ibrahim juga terlihat tidak seceria hari-hari sebelumnya.<br />

Kami hanya berbicara seperlunya. Boleh jadi pikiran kami sama, yakni<br />

bahwa kami belum merasa dekat dengan penjaga yang menggantikan<br />

Muhammad dan Ahmad.Kami bahkan tak ingat nama mereka. Salah<br />

satunya, yang berbadan tinggi, kami panggil saja si Jangkung. Walaupun<br />

mereka menunjukkan sikap yang santun dan baik, tetap saja kedekatan<br />

kami berbeda. Tak pernah terpikir olehku bahwa aku bisa merasa<br />

kehilangan sosok orang yang menculik dan menodongkan senjata<br />

kepadaku.<br />

Budi bilang, ketika meninggalkan kami kemarin, Muhammad berjanji<br />

akan menemui kami sebelum<br />

kami bebas. Mereka berusaha meyakinkan bahwa kami dalam<br />

kondisi aman meski bukan mereka yang mengawal. Muhammad juga<br />

bilang, dia pulang sebentar menengok anak dan rumahnya. Sedangkan<br />

Ahmad, khawatir ibunya mencari-cari karena dia terlalu lama<br />

meninggalkan rumah. Namun, menurut Ibrahim, itu tadi, mereka<br />

mengawal sandera lain. Menurut Ibrahim juga, sandera baru itu adalah<br />

warga Irak, yang dituduh berkhianat dengan memberikan informasi<br />

kepada pasukan koalisi mengenai keberadaan kelompok pergerakan.<br />

"Biasanya, kelompok seperti itu tidak disandera lama. Jika tidak<br />

menguntungkan, mereka akan dibunuh dengan cara dipenggal atau<br />

ditembak. Dokumentasinya disebarkan, agar menjadi peringatan bagi<br />

warga lain supaya tidak melakukan hal bodoh serupa," kata Ibrahim.<br />

Aku bergidik. Aku teringat gambar video yang pernah kulihat di kantor<br />

berita APTN, Bagdad. Ketika itu,aku dan Budi tengah mengirimkan<br />

rekaman laporan kami ke Jakarta dengan menyewa jasa satelit APTN.<br />

Pada saat yang bersamaan, datang sebuah rekaman video yang dikirim<br />

tanpa nama. Ketika diputar, kaset tersebut ternyata berisi rekaman adegan<br />

yang sungguh mengerikan. Tiga orang yang terlihat seperti warga Irak<br />

berbaris rapi dengan mata ditutup,kemudian orang bersenjata dengan<br />

muka tertutup menembak mereka dari belakang. Peluru menembus dada<br />

ketiga orang tersebut. Visual berikutnya merekam seseorang yang<br />

mengenakan seragam tentara koalisi, dengan muka tertutup dan posisi<br />

jongkok, menunggu eksekusi. Ketika tembakan<br />

pertama mengenainya, dia sempat bereaksi dengan menyumpah<br />

dalam bahasa Inggris. Tembakan berikutnya pun bersusulan, membuat<br />

badan si tentara terguncang, terlempar, dan tak bergerak lagi. Perlakuan<br />

terhadapnya mirip dengan perlakuan terhadap seekor binatang hasil


uruan. Tak lebih. Mengerikan.<br />

Tak kubayangkan sosok Ahmad dan Muhammad yang baik dan<br />

santun sanggup melakukan hal seperti itu. Mungkinkah mereka<br />

meninggalkan kami untuk sebuah eksekusi? Ah, kalau Presiden<br />

terlambat, atau salah merespons pernyataan para penculik, mungkinkah<br />

...? Aku membuang jauh-jauh bayangan buruk itu. Sebagian besar<br />

keyakinanku menyatakan tidak akan terjadi hal seperti itu. Mulai dari<br />

penculikan, hingga berhari-hari menghabiskan waktu bersama, aku selalu<br />

berpikir positif tanpa aku paksakan. Ataukah pikiran positif itu hanya<br />

ungkapan alam bawah sadar yang muncul sebagai penolakan terhadap<br />

kemelut ini?<br />

Namun, aku sadar bahwa rekaman gambar yang pernah aku dan<br />

Budi saksikan bisa juga menimpa kami. Biasanya, kelompok perlawanan<br />

yang menyandera jurnalis hanya memberikan batas waktu tiga hari bagi<br />

negara asal si sandera, untuk memberikan tanggapan. Ini sudah hari<br />

keempat dari pengambilan rekaman gambar, dan kabar dari Indonesia<br />

belum juga datang. Apakah Ahmad dan Muhammad tak tega, lalu<br />

menyerahkan tugas eksekusi kepada orang lain?<br />

Bayangan kematian lagi-lagi membawa lamunanku ke Indonesia.<br />

Sebelum meninggalkan tanah<br />

air, Indonesia tengah dicoba dengan ujian yang luar biasa dahsyat.<br />

Dalam hitungan menit, ratusan ribu nyawa melayang akibat tsunami yang<br />

meluluhlantakkan Aceh. Aku yangditugasi ke Aceh berusaha<br />

mengabarkan bagaimana dahsyatnya kerusakan. Termasuk dari Aceh<br />

Barat dan Aceh Jaya, kabupaten yang bersisian dengan pantai.<br />

Menumpang helikopter, aku terbang bersama Pangdam Iskandar<br />

Muda, Mayjen TNI Endang Su-warya, melihat Phangha, salah satu titik<br />

terisolir di Aceh Jaya. Ketika aku meminta turun, pilot ragu sebab<br />

kehancuran wilayah itu tak terperi sehingga untuk mencari koordinat<br />

pendaratan saja susah. Dari jendela aku lihat kawasan gersang, tidak ada<br />

satu pun pohon yang berdiri tegak.Tak juga rumah. Semua rata dengan<br />

tanah. Pangdam marah ketika aku tawarkan supaya aku dan juru kamera<br />

tinggal. Di sana tak ada tempat berteduh, tak ada makanan dan minuman.<br />

Begitu helikopter nyaris menapak tanah, warga dibawah sana<br />

berlarian mendekat.Seolah-olah menyambut malaikat penolong. Aku<br />

terenyuh, mataku hangat oleh genangan air mata. Ratusan ribu nyawa<br />

melayang, ratusan ribu pula kehilangan tempat tinggal dan butuhperhatian<br />

pemerintah. Berlebihankah berharap banyak kepada Presiden untuk<br />

menyelamatkan nyawaku dan Budi, di tengah maha duka yang melanda<br />

negeriku?<br />

Toh, nun di lubuk hati terdalam,aku tetap yakin Presiden akan<br />

menyelamatkan kami. Ini hanya soal waktu. Aku cukup mengenal sosok<br />

Presiden, dalam<br />

hubungan wartawan dan sumber berita. Presiden bijak dalam<br />

memutuskan, juga bisa berdiplomasi. Sisi kecil kehidupan pribadinya aku<br />

dengar dari anaknya, Lettulnf Agus Harimurti. Agus aku kenal ketika dia<br />

bertugas di Meulaboh, saat meliput pelaksanaan Darurat Militer di Aceh,<br />

tahun 2003. Agus sering bercerita bahwa SBY adalah sosok ayah yang<br />

penuh perhatian dan penyayang. Tetapi, mungkinkah dia juga punya<br />

perhatian dan sayang akan nasibku? Sudikah dia berdiplomasi dengan


kelompok yang dicap oleh negara Barat sebagai teroris? Aku meringis<br />

membayangkan jawaban tidak. Sebab, pernyataan Presiden menjadi<br />

kunci kebebasan kami.<br />

* * *<br />

TERDENGAR derum mobil di kejauhan. Kedua penjaga baru bersiap<br />

menyambut. Aku berharap yang datang Rois, membawa kabar bahagia.<br />

Entah kenapa, aku juga berharap yang datang adalah Ahmad dan<br />

Muhammad. Ternyata yang datang sosok lelaki muda yang kukenal<br />

sebagai adik Ahmad, yang pernah datang mengantar logistik. Dia muncul<br />

dengan wajah yang ceria. Dengan penuh semangat, dia pun bercerita<br />

kepada Ibrahim. Aku melihat Ibrahim menegakkan duduknya, dan<br />

matanya membelalak girang. Aku menangkap sesuatu yang<br />

menyenangkan, tetapi tak mau menyela. Akuhanya menangkap dua kata,<br />

televisyen dan Rois. Apakah Rois yang dia maksud Presiden Yudhoyono,<br />

dan muncul di televisi? Aku tetap diam sambil menyembunyikan<br />

harapan besar.<br />

Aku menatap Ibrahim, bak mengiba agar dia segera menjelaskan apa<br />

yang tengah terjadi.<br />

"Adik Ahmad mengatakan dia melihat presiden kalian di televisi," kata<br />

Ibrahim.<br />

Aku menyipitkan mata ke arah adik Ahmad untuk memancing<br />

penjelasan lebih detail.<br />

"Presiden Anda tampan dan tinggi besar?" tanya adik Ahmad, yang<br />

diterjemahkan Ibrahim.<br />

Aku mengangguk tersenyum membayangkan sosok Presiden SBY.<br />

Mungkin adik Ahmad kaget karena menduga orang Indonesia semua<br />

mungil seperti aku dan Budi.<br />

"Menurutnya, Presiden ingin sekali kalian segera kembali," tambah<br />

Ibrahim.<br />

Kali ini, air mataku benar-benar bergulir. Ku lihat mata Budi juga<br />

berkaca-kaca. Aku menunduk dalam diam, tidak lagi memancing adik<br />

Ahmad menjelaskan lebih terperinci. Keyakinanku bahwa Presiden akan<br />

menyelamatkan kami terbukti.<br />

Namun, adik Ahmad rupanya belum puas meyakinkan kami. Dengan<br />

bersemangat, dia terus menjelaskan apa yang dia lihat di televisi.<br />

"Istri Budi bersama anak perempuan, juga ada ditelevisi," kata<br />

Ibrahim menerjemahkan dengan senang.<br />

Budi, yang tadinya hanya berkaca-kaca, kini sesenggukan.<br />

Adik Ahmad kemudian berbalik ke arahku. Dia mengatakan sesuatu,<br />

tetapi aku hanya menangkap kata"Ummi ... Ummi ..."Ibrahimlah yang<br />

membuat<br />

segalanya jadi jelas."Adik Ahmad juga melihat ibu dan kakakmu,<br />

menangis di televisi.<br />

"Kali ini aku tak kuasa lagi menahan air mata yang menderas.Mama<br />

menangis gara-gara aku. Sungguh berdosa aku membuatnya merana.<br />

Isak tangisku bersahutan dengan isak tangis Budi. Selama diculik,<br />

inilah kali pertama aku menangis didepan orang lain. Kuraih kotak tisu di<br />

sebelah perapian. Kuambil selembar untuk mencoba menyeka air<br />

mataku.<br />

Sejak awal aku terjun ke dalam profesi jurnalistik ini, aku sudah


menyiapkan diri untuk segala risiko dan konsekuensi. Tetapi, tidak<br />

mamaku. Pasti dia sangat terpukul. Dia tidak siap untuk ini. Aku telah<br />

berbuat tidak adil, membuat mamaku dan keluarga ikut menanggung<br />

risiko profesiku. Aku merasa telah bersikap egoistis, yakni demi kepuasan<br />

pribadi mengorbankan perasaan keluarga. Apalagi perasaan Mama.<br />

Tangisan kami tampaknya membuat adik Ahmad kaget. Dia, yang<br />

semula bercerita sambil berdiri, kini terdiam dan duduk berlutut. "Kenapa<br />

mereka sedih? Bukankah aku membawa kabar gembira? Mereka akan<br />

dibebaskan," katanya kepada Ibrahim.<br />

Dari balik kertas tisu, aku mengintip. Raut muka adik Ahmad terlihat<br />

sedih. Aku buru-buru menghapus sisa air mataku. Aku tidak mau ada<br />

orang lagi yang bersedih karena kami. Budi juga sudah dapat<br />

mengendalikan dirinya. Aku jadi malu, mungkin mataku bengkak saat ini.<br />

Tetapi, aku tak peduli. Tanpa mata bengkak pun penampilanku pasti<br />

sudah<br />

amburadul. Enam hari tak pernah mandi dan ganti baju, tentu saja,<br />

cukup untuk membuat wajahku tidak keruan.<br />

"Apa betul kami akan segera dibebaskan?" Ku-beranikan menatap<br />

mata adik Ahmad.<br />

"Ya, itu janji dari Rois kami. Tetapi, kalian harus menunggu<br />

kedatangan Rois untuk menyatakan pembebasan secara resmi." Kali ini<br />

pengawal yang menggantikan Ahmad yang menjawab.<br />

Adik Ahmad pun pamit. Dia datang hanya untuk menyampaikan kabar<br />

itu. Tanpa logistik, yang jumlahnya selalu aku perhatikan karena menjadi<br />

penanda lama tidaknya kami akan disandera. Aku merasa bersalah telah<br />

membuatnya sedih, padahal dia datang secara pribadi, dan pasti tidak<br />

peduli dengan segala risiko, khusus untuk membagi kabar bahagia.<br />

Kabar pembebasan.<br />

"Mudah-mudahan Rois segera datang untuk membebaskan kalian,"<br />

kata adik Ahmad sebelum melangkah meninggalkan gua.<br />

"Insya Allah," jawab kami bersamaan. Aku bahkan lupa berterima<br />

kasih atas kedatangannya. Aku kesulitan mencari kalimat yang tepat.<br />

Dadaku masih disesaki rasa haru. Tayangan televisi yang kudengar<br />

dari adik Ahmad menyadar-kanku bahwa begitu banyak pihak yang<br />

berkorban demi keselamatan kami. Keluarga, Presiden, bangsaku, serta<br />

media massa. Adik Ahmad pasti menonton tayangan tadi di saluran<br />

internasional. Sebagai jurnalis televisi, aku paham bahwa pernyataan Presiden<br />

dan keluarga kami pastinya memakan durasi yang tak sedikit.<br />

Padahal, di televisi, waktu sedetik itu sangat mahal. Ternyata prasangka<br />

kukeliru bahwa jaringan televisi internasional Barat enggan memberitakan<br />

keadaanku.<br />

Lama setelah adik Ahmad pergi, kembali terdengar suara mobil.<br />

"Rois datang! Rois datang!"teriak Ibrahim. Entah mengapa dia begitu<br />

yakin yang datang adalah Rois. Penjaga membiarkan saja. Padahal<br />

biasanya, jika ada suara, semua waspada. Setelah melilitkan kafiyeh,dua<br />

penjaga itu segera menyongsong pemimpin mereka. Tak tahan, aku pun<br />

melanggar larangan, mengintip. Benar, mobilnya bagus. Itu pasti Rois.<br />

Kurapikan kerudungku,lalu duduk dengan tegak. Kali ini aku mau terlihat<br />

lebih siap menyambut kabar bahagia itu, tidak seperti siangtadi.<br />

Aku dan Budi saling tatap dan melempar senyum. Akhirnya,


pembebasan itu tiba.<br />

"Assalamu 'alaikum ..." Rois menyapa kami ramah sekali. Aku jadi<br />

menyesal, marah-marah sewaktu bertemu kemarin."<br />

Tolong jelaskan kepada Meutya. Jawaban dari permintaannya<br />

kemarin sudah bisa saya berikan. Sesuai dengan janji kami, kalian akan<br />

bebas segera setelah kami mendapat reaksi dari Indonesia. Hari ini kami<br />

sudah melihat pernyataan dari Presiden Indonesia. Jadi, tidak ada alasan<br />

untuk menahan kalian," kata Rois kepada Ibrahim, yang dengan senang<br />

menerjemahkannya untukaku dan Budi.<br />

"Syukron jazzilan," jawabku dengan bahasa Arab<br />

yang kupungut dari percakapan Ahmad dan Muhammad.<br />

Aku tak kuasa menutupi kebahagiaanku. Budi berkali-kali<br />

mengucapkan kalimat hamdalah sebagai rasa syukur.<br />

Rois lalu berbincang serius dengan Ibrahim. Setelah pembahasan<br />

yang cukup panjang, Ibrahim menjelaskannya kepada kami.<br />

"Rois mengatakan kita sudah bebas. Tetapi, kita harus ambil gambar<br />

lagi. Sebab, ketika kalian diculik, mereka mengeluarkan pernyataan resmi.<br />

Jadi, ketika kalian bebas, juga harus ada pernyataan resmi," kata Ibrahim<br />

dengan hati-hati. Mungkin dia mengerti, setelah dinyatakan bebas, waktu<br />

satu jam pun bisa terasa lama bagi orang terpenjara.<br />

"Mafi muskila, no problem," jawabku ke arah Rois, lagi-lagi dengan<br />

memungut kata-kata Arab yang pernahkudengar.<br />

Waktu menunggu kedatangan juru kamera, kamimanfaatkan untuk<br />

berkemas.Budi bersenandung riang. Berkemas adalah pertanda pulang.<br />

Kata yang kamidamba selama hampir sepekan.<br />

Di luar gua, matahari masih berada di atas kepalakami dengan<br />

sinarnya yang menyengat. Aku dan Budi tetap bersemangat mengikuti<br />

sesi pengambilan gambar. Berbeda dengan pengambilan gambar<br />

terdahulu, kali ini kami lebih rileks. Aku dan Budi telah siap di lokasi, tepat<br />

di sisi kanan gua, dengan latar belakang yang sama dengan rekaman<br />

pernyataan penculikan. Aku juga lebih bebas memandang siapa-siapa<br />

saja yang hadir. Rombongan kali ini<br />

lebih ramai. Banyak yang tidak menutup muka dengan kafiyeh. Gaya<br />

mereka terlihat santai, dengan celana dan baju yang terkesan modern,<br />

yang kadang terlihat di balik mantel musim dingin (winter-coat) mereka.<br />

Wajah mereka pun rapi dan bersih. Tak seperti Ahmad dan Muhammad.<br />

Seorang penjaga berkafiyeh, tanpa senjata, mendekati kami. Dia<br />

berdiri di sebelah Budi, memegang secarik kertas catatan yang berkalikali<br />

dia latih hafalkan. Mujahidin lainnya lalu berkumpul mendekati posisi<br />

juru kamera. Selama menunggu persiapan, aku bebas mengobrol<br />

dengan Budi.<br />

"Mas, aku sudah cantik belum?" bisikku pada Budi, sambil meminta<br />

Budi memerhatikan pas atau tidaknya letak kerudungku. "Masa<br />

komposisinya saja yang bagus, objeknya juga harus dong."<br />

"Lebih cakep daripada kalau mau siaran di kantor, kok."<br />

Aku melotot. Jelas saja Budi menyindir. Sudah enam hari aku tidak<br />

mandi. Selama itu pula aku tak pernah berkaca. Melihat tampang Budi<br />

yang amburadul, aku yakin penampilanku juga sama hancur.<br />

"Aku gimana, Mut?" balas Budi sambil melepas kupluknya.<br />

"Ganteng, Mas, tenang aja," jawabku sambil menahan geli. Rambut


Budi yang gondrong terlihat berantakan karena tidak dicuci dan disisir<br />

selama sepekan.<br />

"Pakai kupluk lebih keren, deh," usulku karena tak tega melihat<br />

rambutnya.<br />

"Pokoknya kita harus keren, Mut. Kita kan masuk<br />

CNN," kata Budi tertawa.<br />

Nyaris saja tawaku lepas. Aku sadar betapa beruntungnya aku<br />

berpasangan dengan Budi ketika menghadapi musibah ini. Budi, yang<br />

apa adanya, selalu berusaha membuatku tersenyum pada saat tersulit<br />

sekali pun. Cara pikirnya tidak rumit dan melihat persoalan dari titik<br />

pandang yang berbeda dariku.<br />

Suasana yang jauh dari tegang membawa pikiranku melayang ke<br />

rumah. Gambaran nikmatnya tidur di atas kasur empuk bergantian<br />

dengan bayangan wajah Mama, kakak-kakakku, serta kerabatku. Pasti<br />

seru sekali kalau kami bertemu nanti. Tak berhenti di situ. Aku juga<br />

membayangkan sepiring nasi dengan lauk semur bikinan Mama, lengkap<br />

dengan kerupuk. Tak ketinggalan bakso, pempek, dan tentu saja steak,<br />

makanan favoritku.<br />

Belum berhenti, aku juga sudah membayangkan keramaian mal,<br />

menghabiskan waktu bersama saha bat-sahabatku di kafe. Juga,<br />

nikmatnya pijatan tukang lulur langgananku. Dua hari lalu, di tengah keputusasaanku,aku<br />

sempat merasa bahwa hidup dan dunia bukan<br />

lagihakku. Detik demi detik yang terbayang adalah bertemusang Pencipta.<br />

Hari ini semua berbalik. Keindahan duniawi kembali menghiasi<br />

pikiranku. Padahal, kami belum seutuhnya bebas. Padahal pula, selama<br />

di gua, sebenarnya aku sudah mulai terbiasa hidup tanpa ponsel, yang<br />

disitaoleh penculik.<br />

Sebelum penyanderaan, di tengah kesibukan kerjaku, biasanya<br />

tanganku nyaris tak pernah lepas<br />

dari ponsel. Teknologi informasi memang membawa<br />

banyakkebaikan, tetapi membuat kita, manusia, menjadi<br />

sangatbergantung padanya. Satu-dua hari di gua aku merasa janggal<br />

tanpa ponsel. Tetapi lama-kelamaan, ternyata bukan masalah (padahal<br />

kalau di Jakarta sepertinya satu jam saja tak ketemu ponsel, semua jadi<br />

serba susah), bahkan aku mulai bisa menikmati hari-hari tanpa<br />

ponsel.Aku jadi lebih konsentrasi dengan lawan bicara dan memberikan<br />

perhatian penuh pada orang-orang di sekitarku, yang akhirnya membuat<br />

aku dalam waktu singkat dapat mengenal dengan baik dan pada level<br />

tertentu memahami para penculik. (Berbeda sekali dengan pertemuanku<br />

dengan orang-orang di acara "kumpul-kumpul" di Jakarta, kalaupun<br />

menghabiskan waktu bicara cukup lama, jarang tercapai saling<br />

memahami.)<br />

Putusnya komunikasi juga memberiku banyak waktu untuk<br />

berkomunikasi tidak hanya dengan para penculik,tetapi juga dengan diri<br />

sendiri/batin. Setelah sekian lama"tidak sempat", pantas aku kadang sulit<br />

memahami diri sendiri.<br />

"Siap!" Juru kamera memberikan aba-aba. Keheningan membuat<br />

suasana kembali tegang. Jurukamera menghitung mundur dengan kode<br />

jari. Aku menghela napas panjang untuk menenangkan diri agar tampak<br />

rileks di depan kamera. Ketika sampai pada hitungan "satu", lampu merah


di kamera menyala, tanda rekaman dimulai. Mujahidin di sebelah Budi<br />

mendekat, tangan kanannya merangkul pundak Budi. Tangan kirinya<br />

mengangkat<br />

secarik kertas catatan. Dia lalu mulai membaca dengan suara<br />

lantang pernyataan dalam bahasa Arab, yang kalau diterjemahkan adalah<br />

sebagai berikut.<br />

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbilala min. Atas dasar<br />

pertimbangan nurani dan rasa persaudaraan para anggota tentara<br />

Mujahidin, tibalah waktunya bagi kami untuk membebaskan dua wartawan<br />

Indonesia, meiihat perilaku dan niat tulus yang telah ditunjukkan kedua<br />

wartawan ini. Dan karena menghormati hubungan baik dan rasa<br />

persaudaraan antar kedua bangsa. Serta mengingat sikap Indonesia yang<br />

menentang agresi ke Irak. Selama ini kami memperlakukan kedua<br />

wartawanini dengan baik dan penuh rasa hormat. Atas semua<br />

pertimbangan tersebut, dengan ini kami memutuskan pembebasan<br />

kedua wartawan Indonesia, tanpa syarat apa pun. Wallahuakbar.<br />

Mujahidin.<br />

Kamera kemudian diarahkan kepada Budi. Seorang Mujahidin<br />

mendekat. Dia menyerahkan Al-Qur an kepada Budi. Setelah berjabatan,<br />

secara refleks Budi mengangkat Quran dan menciumnya. Para Mujahidin<br />

seperti kaget dengan aksi tersebut. Kamera dimatikan. Mereka lalu<br />

berdiskusi ramai.<br />

Aku dan Budi kebingungan. Jangan-jangan mereka tidak setuju<br />

dengan reaksi Budi. Kulihat muka Budi menjadi tegang.<br />

"Mut, jangan-jangan kita mau dites baca Quran. Gawat ini!" bisik Budi<br />

dengan raut muka begitu khawatir.<br />

"Bukan, Mas. Mungkin mereka surprise dengan reaksi Mas," kataku<br />

menghibur.<br />

Juru kamera mendekati Budi. Budi semakin pucat. Mereka<br />

menjelaskan dalam bahasa Arab. Lalu Mujahidin lain berteriak, "More...<br />

more." Rupanya, mereka ingin Budi mengulang "adegan" mencium Al-<br />

Quran tadi. Saking leganya, karena kekhawatirannya tidak terbukti, Budi<br />

mencium Al-Quran berkali-kali. Para Mujahidin yang ikut menonton<br />

tergelak. Selain hadiah Al-Quran, Budi juga diberi beberapa batang siwak,<br />

tasbih, dan kopiah. Spontan kupluk lusuhnya dilepas, berganti dengan<br />

kopiah. Dengan Al-Quran dan tasbih di tangan, serta kopiah di kepalanya,<br />

Budi benar-benar terlihat seperti seorang ustad.<br />

Kini, kamera berganti menghadap ke arahku. Rupanya mereka<br />

membutuhkan penjelasan lebih buatku. Ibrahim, yang ada di dalam gua,<br />

dipanggil keluar.Ibrahim menjelaskan kepadaku bahwa Mujahidin yang<br />

akan memberikan buah tangan meminta agar tangan kami tidak boleh<br />

bersentuhan sedikit pun. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. "Ini<br />

serius, Meutya. Jika dilanggar, bisa-bisa pembebasan kita terganggu."<br />

Kamera berputar. Pemberian pertama Al-Quran, langsung kudekap<br />

erat. Lalu siwak dan tasbih, yang semuanya kugenggam dengan tangan<br />

kananku. Rupanya masih ada satu hadiah lagi, yaitu kerudung<br />

bercorak putih biru yang terlipat rapi. Aku panik, harus mengambil<br />

dengan tangan yang mana. Tangan kananku sudah penuh, sementara<br />

mengambil dengan tangan kiri bukan adab yang baik dalam Islam. Mau<br />

menaruh Al-Quran di pasir, urusan bisa panjang. Seperti kata Ibrahim tadi,


pembebasan bisa terganggu.<br />

Akhirnya, aku minta Mujahidin tersebut meletakkan saja kerudung di<br />

atas Al-Quran. Toh hanya untuk kepentingan pengambilan gambar, berarti<br />

tidak lama.<br />

Ternyata aku keliru. Mereka ingin aku memakai kerudung pemberian<br />

itu. Karena sudah memakai kerudung, aku sampirkan saja di bahu.<br />

Tidak, mereka mau aku memakainya. Budi, yang sudah selesai<br />

dengan "adegan"nya melirik ke arah ku. Dia tampak ingin membantu,<br />

tetapi khawatir karena kami tidak boleh bersentuhan. Mimiknya serba<br />

salah. Aku bertambah panik ketika upayaku memakai kerudung dengan<br />

satu tangan digagalkan angin kencang yang tiba tiba bertiup.<br />

Syukurlah, mereka menyadari kesulitanku, dan menghentikan<br />

shooting.<br />

Dalam hati aku berteriak, aku bebas!<br />

Aku, Budi, dan Ibrahim kembali ke dalam gua. Kamikembali menata<br />

barang-barang untuk memastikan tidakada yang tertinggal. Kamera,<br />

laptop, dan barang-barang mudah pecah kami kumpulkan sendiri agar<br />

tidak terganggu oleh koper dan barang berat lainnya. Atas nasihat Ibrahim,<br />

kami juga mengumpulkan sampah agar gua kembali bersih. Menurutnya,<br />

itu adab seorang tamu yang baik. Ah, siapa yang sedang<br />

bertamu, kami disandera, kok. Ibrahim menambahkan, nanti jika ada<br />

korban penculikan lain, gua sudah siap pakai.Alasan yang menggelikan.<br />

Dalam hati aku berharap, jangan lagi ada orang, apalagi jurnalis, yang<br />

harus mengalami apa yang kami jalani.<br />

Rois menyusul masuk. Aku tersenyum, menunjukkan bahwa kami<br />

siap berangkat.<br />

Tetapi, dia langsung mendekati Ibrahim. Mereka berbincang serius.<br />

Daripada menunggu pembicaraan, aku pamit keluar gua untuk sikat gigi<br />

dan membasuh muka. Ini ritual yang biasa aku lakukan sebelum siaran<br />

agar terlihat segar. Siapa tahu, di perbatasan Irak-Yordania nanti sudah<br />

banyak yang menunggu. Kasihan mereka kalau sampai terganggu<br />

dengan bau kami. Aku menyeka wajah yang sudah seminggu tak pernah<br />

disapu make-up. Hmm ... tak lama lagi aku akan kembali menikmati<br />

tangan profesional yang selalu berusaha membuat aku tampil cantik.<br />

Rambutku yang kini dipenuhipasir gurun akan kumanjakan dengan<br />

creambath danblow dry.<br />

Aku kembali masuk. Wajah Ibrahim keruh. Muka Budi, yang tadi<br />

berseri-seri, tidak lagi tersenyum.<br />

Sebelum aku sempat bertanya, Ibrahim langsung menjelaskan.<br />

"Meutya, ada masalah. Kita batal pulang hari ini."<br />

Aku seperti dihantam badai pasir. Badanku, yang sesaat lalu terasa<br />

penuh energi, mendadak lemas.<br />

"Kenapa lagi?" tanyaku kepada Ibrahim. Aku juga<br />

memandang Rois. Kenapa orang ini selalu menunda<br />

pembebasanku? pikirku.<br />

"Mobil GMC kita harus diambil terlebih dahulu darisebuah tempat. Itu<br />

makan waktu dua jam. Berarti matahari mulai terbenam. Mereka tidak mau<br />

kita dalam bahaya dengan berjalan di waktu malam," kata Ibrahim.<br />

Aku memahami logika Ibrahim, tetapi tak bisa menerima cara Rois.<br />

Mengapa dia tidak menyiapkan mobil itu, seperti dia menyiapkan


pengambilan gambar? Mengapa dia tega memainkan perasaan dan<br />

harapan kami? Apa lagi yang dimaui kelompok ini? Sederet<br />

pertanyaanberbaur dengan kemarahan ber tubi-tubi menikam kepalaku.<br />

Tetapi, aku diam saja, tak mendebat. Aku lelah. Percuma saja bertanya.<br />

Aku terlampau kecewa kepada Rois. Kupikir, dia dan anggotanya tidak<br />

layak dipercaya. Seharusnya, aku tidak terbius dengan janji-janji manis<br />

mereka. Simpatiku terhadap kelompok ini turun drastis. Kepercayaanku<br />

juga terhapus seketika.<br />

Rois sendiri tampaknya tidak merasa bersalah. Diamalah bertanya<br />

dengan nada datar. "Jadi bagaimana? Apa kalian sudah memutuskan<br />

kembali ke Yordania petang ini juga, atau menginap semalam lagi di<br />

gua?"<br />

Aku malas menanggapi pertanyaan basa-basi<br />

ini.<br />

"Terserah Ibrahim," jawabku pendek.<br />

"Saya rasa besok lebih baik," jawab Ibrahim, seperti dugaanku. "Rois<br />

sudah berjanji akan mengantar mobil pagi-pagi sekali," lanjut Ibrahim.<br />

Apa jaminannya besok mobii itu datang iebih awai? Toh, selama ini<br />

sudah berbilang kali, mereka mangkir dari janji. Selalu berjanji besok,<br />

besok, dan besok.Nyatanya, sepekan juga kami di gua ini. Bahkan, ketika<br />

pernyataan Presiden datang, kami tetap tertunda pulang.<br />

"Ya sudahlah, mau bagaimana lagi," kataku sengit.<br />

Sulit menerima keadaan, harus menginap satu malam lagi, pada<br />

saat pintu kebebasan sudah di depan mata. Meutya, seminggu yang berat<br />

saja sudah kamu lewati, apa susahnya melewatkan satu malam lagi? Aku<br />

menghibur diri. Padahal, jangankan satu malam, satu jam lagi saja sudah<br />

berat buatku. Hari ini pergerakan mobil ke lokasi penculikan banyak dan<br />

berulang. Siapa yang bisa menjamin, justru setelah dibebaskan penculik,<br />

kami lalu mati di tangan pasukan koalisi. Pernyataan bebas sudah<br />

direkam. Kalau ada apa-apa, penculik bisa saja menyatakan kami sudah<br />

bebas dalam keadaan sehat. Selanjutnya, keselamatan bukan tanggung<br />

jawab mereka. Kini, kami ibarat mangsa yang siap diburu oleh berbagai<br />

pihak.<br />

"Sampai jumpa besok pagi, assalamu 'alai kum."Rois pamit.<br />

Aku menjawab salam, tetapi tak sudi melihat wajahnya. Aku juga tak<br />

mau membahas soal ini dengan Ibrahim karena dia terlihat rikuh<br />

mengetahui kami sangat kecewa dengan keputusan Rois. Aku memilih<br />

meringkuk di balik selimut yang kutarik hingga menutup wajah. Aku juga<br />

sengaja membalik badan<br />

membelakangi Ibrahim. Aku lihat Budi juga melakukan hal yang<br />

sama.<br />

"Meutya ... jam segini kok sudah mau tidur," tanya Ibrahim.<br />

Aku hanya mendehem, menunjukkan aku sudah bersiap tidur.<br />

"Ayolah, ini hari terakhir kita di gua, dan kita sudah bebas. Mari kita isi<br />

dengan perayaan. Bukan dengan tidur." Ibrahim mencoba membujuk.<br />

Aku tak menanggapi. Budi pun tidak terdengar menjawab. Aku dan<br />

Budi merajuk.[]<br />

Bab 9<br />

Pembebasan yang Berliku<br />

PERBINCANGAN Ibrahim dengan si Jangkung membuatku susah


memejamkan mata. Apalagi, ketika mencoba berangkat tidur tadi, aku<br />

memang belum mengantuk. Ditambah pula suasana hati yang tidak enak.<br />

Suara Ibrahim malam ini lebih keras dibandingkan biasa. Mungkin dia<br />

berupaya membuat suasana lebih cair. Sepertinya kedua penjaga itu juga<br />

kikuk melihat aksi diam kami. Karena ukuran gua yang kecil, perasaan<br />

dan kegundahan cepat menular di antara sesama penghuni.<br />

Dengan menyibakkan selimut sedikit, aku mengintip. Si Jangkung<br />

terlihat gelisah. Berkali-kali dia berdiri, lalu keluar gua menenteng senjata.<br />

Kadang sebentar, tetapi kadang agak lama baru dia muncul lagi.<br />

Aku ikut gelisah. Bosan pura-pura tidur, aku putuskan untuk duduk<br />

saja. Tiada guna merajuk pada saat seperti itu. Toh tidak mengubah<br />

kondisi, malah menjadikan suasana semakin tidak nyaman. Tak lama<br />

Budi juga bergabung.<br />

"Ada apa dengan si Jangkung?" tanyaku pada<br />

Ibrahim. Ibrahim menggelengkan kepala.<br />

"Kenapa dia mondar-mandir membawa senjata lengkap?" Aku terus<br />

mencari tahu.<br />

"Saya tidak tahu, tetapi yang jelas pasti ada sesuatu di luar sana.<br />

Mungkin dia membaca situasi bahaya."<br />

"Bahaya bagaimana?"<br />

"Yang jelas, terlalu bodoh keluar gua di udara dingin begini. Pasti ada<br />

alasan kuat di balik itu." Suara Ibrahim terdengar cemas.<br />

Aku masih ingin bertanya. Kurasa Ibrahim tahu sebab si Jangkung<br />

selalu pamit padanya saat hendak keluar gua. Keinginanku bertanya<br />

terputus dengan masuknya si penjaga. Ibrahim menatapku. Sorot<br />

matanya menunjukkan dia tidak menginginkan pembicaraan lanjutan,dan<br />

berharap aku cukup pandai untuk memahami situasi. Aku segera<br />

menyimpulkan: pasti daerah ini sudah diketahui musuh. Tetapi, kenapa si<br />

Jangkung perlu waktu begitu lama melihat situasi di luar gua? Apa yang<br />

dialihat? Bukankah sejauh mata memandang yang tampak hanya gurun?<br />

Tak cuma bersenjata, si Jangkung juga menutupi wajahnya dengan<br />

kafiyeh. Aku berharap dia melakukannya hanya karena dia tak kuat<br />

menahan dingin. Lagi-lagi si Jangkung melesat keluar gua.<br />

Daripada menunggu di tengah ketidakpastian, kami menyantap<br />

kebab. Ibrahim makan tanpa semangat. Aku tak mau bertanya. Tetapi, aku<br />

berusaha membuat suasana lebih santai. Pertemanan di tengah<br />

kesulitan membuat kami pintar membaca situasi.<br />

Ketika aku sedang "tinggi", Ibrahim mampu mengatur keseimbangan<br />

emosi. Hanya Budi yang relatif selalu tenang. Kini, kulihat Ibrahim perlu<br />

bantuan untuk mengimbangi emosi dan perasaannya.<br />

"Sedang membayangkan ketemu keluarga, ya?" godaku.<br />

Namun, Ibrahim menjawab datar. "Meutya, kamu dengar suara<br />

pesawat tempur dan helikopter? Belakangan suara itu semakin sering<br />

muncul. Artinya, kawasan ini sudah tidak aman."<br />

"Ya, aku dengar, tetapi mereka kan tidak melihat kita." Aku mencoba<br />

tenang meski membenarkan ucapan Ibrahim. Padahal, aku takut<br />

setengah mati. Peluru tidak bisa membedakan mana Mujahidin mana<br />

wartawan.<br />

"Kalau kita masih bersua dengan hari esok, danbisa bertemu<br />

keluarga, kita harus betul-betul bersyukur kepada Allah," tambah Ibrahim.


"Kita tetap harus meyakini bisa melewati malam ini,Ibrahim. Hanya<br />

satu malam lagi," jawabku, se olah-olah menyemangati Ibrahim saja.<br />

Padahal, itu juga usahaku menghibur diri sendiri. Aku juga sudah sangat<br />

letih, menghitung malam, menghitung pagi, dalam kondisi tertekan dan<br />

tidak pasti seperti ini.<br />

Ucapan Ibrahim, kalau kita masih bersua deng-man hari esok, begitu<br />

meresap di hatiku. Hanya kuasaNya yang kini kunanti. Pekan lalu, ketika<br />

mobil kami disergap, aku menganggap dan menerima detik itu sebagai<br />

akhir hidupku. Ketika batinku dilanda ketakutan luar biasa, menghadapi<br />

tiga lelaki kekar bersenjata yang menyekapku di tempat terasing jauh<br />

dari peradaban, akal dan fisikku hanya bisa pasrah menerima<br />

yang terburuk. Namun, Yang Maha Menjaga punya rencana lain. Nyatanya,<br />

aku masih melihat hari esoknya. Nyatanya, bukan penganiayaan ataupun<br />

pelecehan yang aku terima, melainkan sikap bersahabat dan kelembutan<br />

serta kesantunan sikap. Ketika udara dingin dan angin gurun yang kering<br />

terus menerpa, meski tanpa selimut memadai, mimisan (penyakit<br />

bawaanku sejak kecil) tak pernah terjadi. Subhanallah.<br />

Malam terus merayap. Cahaya lampu terasa kian suram dan dingin<br />

malam gurun semakin menusuk. Si Jangkung belum juga kembali. Deru<br />

pesawat tempur melecut suasana menjadi semakin mencekam. Nun<br />

dilubuk hati, aku berdoa.<br />

Tuhan, apakah Kau masih menghendaki kami hidup? Jika iya,<br />

kenapa begitu suiit perjalanan kami untuk bebas? Jika tidak, kenapa tidak<br />

Kaumatikan saja kami dari awal penculikan ?<br />

Apakah peristiwa ini Kau tunjukkan agar aku tersadar sebelum<br />

Kauambil nyawaku, sesaat lagi?<br />

Apakah malam ini dapat aku lalui dengan selamat seperti malammalam<br />

sebelumnya? Jika iya, tunjukkan padaku.<br />

Tuhanku, agar cerita ini dapat aku bagi dengan saudara-saudaraku di<br />

tanah air, cerita tentang indahnya kebersamaan seorang manusia dan<br />

Sang Pencipta, justru<br />

di dalam kondisi yang serba terbatas dan jauh dari kenikmatan<br />

duniawi...jangan jadikan malam ini malam terakhirku di bu mi-Mu.<br />

Tuhanku... beri aku kesempatan berbagi cerita ini agar menjadi cerita dan<br />

kenangan indah, tidak hanya bagiku, tetapi bagi semua. Beri aku<br />

kesempatan berbakti dan kembali ke tanah airku...<br />

"Siyarra!" Ibrahim setengah berteriak. Aku menatap Ibrahim.<br />

"Kenapa malam begini ada mobil yang datang?" Ibrahim melongok<br />

lewat celah gua, melihat suasana diluar. Raut mukanya khawatir. Belum<br />

pernah sekali pun mobil para Mujahidin datang malam begini.<br />

Di tengah kebingungan berbaur ketakutan, si Jangkung setengah<br />

berlari menerobos masuk. "Cepat keluar! Cepat keluar!" teriaknya.<br />

Dia tak sendirian. Di belakangnya ada kepala wilayah kelompok<br />

pergerakan. Dia pernah mampir ke gua bersama pengantar logistik.<br />

Mereka berdua terlihat tergesa. Melihat kepanikan mereka, aku tak<br />

mendebat atau bertanya. Aku langsung berdiri mengambil barang-barang<br />

yang mampu ku jinjing. Budi dan Ibrahim pun demikian. Dibantu kepala<br />

wilayah dan dua penjaga, kami membawa semampu dan secepat<br />

mungkin. Kami berlari keluar gua. Barang ditumpuk di bagasi sekenanya.<br />

Kami pun berebutan masuk ke sedan tua milik kepala wilayah Ramadi


tersebut. Ketika aku mau melangkah, kepala wilayah<br />

menahanku.<br />

"Tunggu! Ibrahim, pinjamkan jubahmu," ucapnya meminta Ibrahim<br />

melepaskan overcoat-nya.<br />

"Terlalu besar," aku menolak.<br />

"Pakai saja!" desak Ibrahim. Tanpa menunggu perintah<br />

berikutnya, aku langsung mengenakan jaket Ibrahim. Jaket itu<br />

sedemikian besar sehingga hampir menutup seluruh tubuhku, dari<br />

leherhingga betis.<br />

"Lilitkan ini," kata Ibrahim sambil meletakkan kafiyeh di kepalaku.<br />

Kepala wilayah terus memberikan perintah lain lewat Ibrahim.<br />

Belum sempurna aku menutup kepala dan wajah, aku sudah<br />

didorong masuk ke mobil. Mobil pun langsung dipacu kencang sebelum<br />

pintu tertutup rapat. Raungannya membelah gurun yang senyap dan<br />

gelap.<br />

"Apakah aku harus menutup mata dengan kain ini?" tanyaku sambil<br />

merapikan kafiyeh.<br />

"Seperti ini, Meutya!" Yang menjawab adalah Mujahidin yang menyetir.<br />

Aku mengenali suaranya: Muhammad. Aku bersorak dalam hati. Di<br />

tengah kepanikan, ternyata Muhammad ikut menjaga. Aku menahan diri<br />

untuk berbicara. Seminggu disekap, belum pernah aku melihat suasana<br />

panik di kalangan penculik. Apa sebenarnya yang terjadi?<br />

Aku duduk di belakang bersama Ibrahim dan Budi. Muhammad<br />

memegang kemudi. Kepala wilayah dan si Jangkung berdesakan di jok<br />

depan, yang lazimnya untuk satu orang. Untung satu pengawal lain<br />

ditinggal di gua. Jika tidak, pasti mobil tua ini akan makin keberatan<br />

beban. Enam penumpang dan barang-barang, termasuk alat-alat<br />

peliputan yang berat, membuat mobil terseok-seok. Tetapi, kepala wilayah<br />

tidak peduli. Dia meminta gas terus ditancap. Jadilah suara mesin<br />

meraung-raung di tengah sunyinya gurun. Aku menatap ke luar<br />

jendela.Kami berjalan tanpa penerangan lampu mobil, untuk menghindari<br />

pantauan udara. Untunglah langit sedang bertabur bintang. Maha besar<br />

Engkau ya Allah, malam begitu indah. Pendar-pendar cahaya bintang<br />

membuat gurun begitu eksotis.<br />

Mobil terus dipacu seolah-olah ada yang mengejar.<br />

Braakk! Mobil terantuk keras, sampai-sampai kepalaku nyaris<br />

menghantam jok depan. Mesin mobil mati. Si Jangkung dan Ibrahim<br />

segera turun. Rupanya, mobil terantuk batu besar. Ibrahim, sopir yang<br />

biasa menangani mobil, meneliti kerusakan.<br />

"Astaghfirullah, bensin bocor," Ibrahim menepuk jidatnya.<br />

Lengkap sudah! Aku semakin pasrah. Hanya kuasa-Nya yang bisa<br />

menyelamatkan kami keluar dari gurun dengan tangki bensin yang bocor.<br />

"Ayo ... ayo segera masuk ...," perintah kepala wilayah.<br />

Mobil kembali dihidupkan.<br />

Namun, upaya men-starter gagal.<br />

Beberapa kali mobil dicoba dinyalakan, tetapi gagal dan gagal lagi.<br />

"La haula wala quwwata ilia billah," seru si<br />

kepala wilayah, yang secara refleks kami ikuti bersama. Tiada daya<br />

dan kekuatan kecuali dengan izin Allah.<br />

Hening sesaat. Disertai ucapan basmalah, mesin kembali coba


dihidupkan. Berhasil. Mesin menderum.<br />

Inikah pertanda Engkau masih menyayangiku? Mobil dipacu, khawatir<br />

tabung bensin yang bocor semakin terkuras. Jujur saja, ini lebih<br />

menegangkan dibandingkan saat penculikan. Semula, ketika kami<br />

diminta keluar dari gua, aku tak tahu apa yang terjadi. Tetapi sekarang,<br />

aku paham bahwa, kalau mau selamat, yang pertama kali harus dilakukan<br />

adalah keluar dari kegelapan gurun. Apalagi tadi, sebelum mobil datang,<br />

si Jangkung sudah kelihatan sangat gelisah.<br />

"Mereka tahu pasukan infanteri mendekat ke lokasi gua kita," bisik<br />

Ibrahim.<br />

Aku senang Ibrahim memberitahuku setelah di kejauhan aku melihat<br />

cahaya lampu, tetapi takutku tak luntur. Di sebelahku, Budi terus<br />

mendaras doa dengan wajah tegang. Dia berzikir tiada putus,<br />

menggunakan tasbih pemberian Mujahidin sore tadi.<br />

Pepohonan mulai tampak. Lalu, pagar-pagar pembatas, seperti<br />

pembatas daerah perkampungan. Setelah melewati pagar, kami pun<br />

sampai di perkampungan. Aku mulai melihat rumah. Tetapi, Ibrahim<br />

memintaku tidak usah banyak melihat ke luar, dan lebih baik merunduk.<br />

Aku menurut. Lagi pula, tidak ada yang bisa dilihat dikegelapan.<br />

Pekarangan rumah warga rata-rata hanya diterangi lampu yang temaram.<br />

Mobil lalu berbelok, memasuki gang kecil. Tibalah kami di sebuah<br />

rumah berpagar kayu. Ukurannya cukup besar. Warnanya hijau, warna<br />

kesukaanku. Aku menyukai tempat ini. Entah karena warnanya, entah<br />

karena sudah lama aku tak melihat rumah. Apakah kami akan disekap<br />

lagi?<br />

"Meutya, turun! Cepat berjalan menuju pintu itu,"Ibrahim<br />

menerjemahkan perintah Mujahidin. Pintu yang ditunjuk berada di sebelah<br />

kanan rumah. Itu pintu bangunan yang terpisah dari rumah utama. Seperti<br />

paviliun. Aku turun dan berlari kecil.Senang rasanya bisa mendorong pintu<br />

lagi. Aku menyapu pandang ke ruangan besar itu. Tidak ada kursi. Ruang<br />

itu beralas karpet dan dilengkapi bantal duduk. Khas Arab. Budi dan<br />

Ibrahim menyusul masuk. Kami saling pandang dan tersenyum penuh<br />

arti. Gerbang pembebasan telah kami lewati. Gua yang sempit berganti<br />

ruangan besar. Tak ada lagi alas tidur plastik. Langit-langit yang tinggi ikut<br />

membuatku senang. Biasanya, semua serba sumpek dan sempit. Aku<br />

duduk di salah satu pojok. Budi dan Ibrahim di pojok lain. Rasanya kami<br />

jauh sekali. Selama ini, tidur pun kakiku menyenggol kepala Budi.<br />

Kurebahkan badanku tanpa dipersilakan. Nyaman sekali. Tidak ada<br />

pasir atau batu yang menu suk-nusuk tubuh. Kutarik bantal ke arah<br />

kepalaku. Aku bahkan sudah hampir lupa nikmatnya tidur dengan bantal.<br />

"Wuenak, empuk ya, Mut." Budi tersenyum menikmati<br />

bantalnya.Ibrahim juga tertawa.<br />

"Iya Mas, ini baru oke. Coba dari kemarin-kema<br />

rin.<br />

"Kami hanya bertiga di ruangan tersebut. Sambil leyah-leyeh<br />

menikmati kemewahan bantal dan alas tidur yang empuk, samar-samar<br />

terdengar suara a-nak kecil menangis. Makin lama tangisannya semakin<br />

keras.<br />

"Ini baru kehidupan," kata Ibrahim tertawa.


Maklum, selama disandera di gurun, kami tidak pernah mendengar<br />

suara makhluk hidup lain di luar suara kami sendiri, kecuali<br />

satu:tikus.Suara lain hanya mesin mobil, pesawat, dan helikopter.<br />

"Ibrahim, rumah siapa ini?"<br />

Ibrahim menggeleng. "Mungkin tempat mereka biasa berkumpul.<br />

"Pintu terbuka. Kepala wilayah masuk bersama Muhammad. Ahmad<br />

ternyata turut serta. Dia terlihat jauh lebih bersih, baik wajah maupun<br />

pakaiannya. Aku nyaris tak percaya bisa bertemu mereka lagi. Ahmad<br />

tersenyum, lalu mengambil tempat di sisi ruangan berseberangan<br />

denganku. Kepala wilayah duduk dekat Ibrahim di bagian tengah ruangan.<br />

Mungkin karena ada pemimpinnya, Ahmad dan Muham mad sungkan<br />

terlihat akrabdengan kami.<br />

"Besok pagi kalian akan berangkat pulang dari rumah ini. Mobil akan<br />

siap pukul delapan. Kami janji, tidak akan ingkar," kata kepala wilayah<br />

membuka percakapan.<br />

Dia lalu menyodorkan sebuah kantong plastik.<br />

"Ini barang-barang kalian kami kembalikan. Tolong diperiksa apa ada<br />

kekurangan," lanjutnya.<br />

Kami mengeluarkan telepon seluler kami. Bukan hendak memeriksa,<br />

tetapi karena senang, pertanda kebebasan semakin besar.<br />

"Kalau tidak ada masalah, silakan istirahat.<br />

"Kepala wilayah berdiri untuk undur diri. Tetapi, Muhammad dan<br />

Ahmad masih di dalam ruangan. Rupanya kepala wilayah meminta agar<br />

kami, walau sudah dinyatakan bebas, tetap dijaga. Tetapi kali ini, tidak lagi<br />

dengan senjata.<br />

"Ahmad, ceritakan apa yang terjadi tadi," Ibrahim memohon.<br />

Ahmad dan Muhammad bercerita bergantian. Seperti biasa, aku dan<br />

Budi harus sabar menunggu sampai perbincangan selesai, lalu Ibrahim<br />

menerjemahkan untuk kami.<br />

Rupanya gerak maju tentara Amerika sudah semakin jauh ke<br />

kawasan yang dikuasai Mujahidin. "Itulah yang membuat suara tembakan<br />

bisa terdengar hingga ke gua," terang Muhammad.<br />

Patroli udara semakin sering karena mereka mencurigai mobil yang<br />

mengarah ke gua setiap hari. Bahkan Ahmad bercerita, tadi sore dia ingin<br />

mampir ke gua, tetapi batal karena melihat pasukan tentara semakin<br />

mendekat. Ahmadlah yang melapor kepada kepala wilayah, yang<br />

kemudian memutuskan kami harus dievakuasi mendadak.<br />

"Terlambat lima menit saja, ceritanya akan berbeda," kata Ahmad.<br />

Aku meringis. Kalau tidak karena Ahmad, kami bisa saja mati konyol<br />

di gurun. Andai tentara koalisi menemukan kami bersama penyandera,<br />

kemungkinan<br />

besar kami ikut dihabisi.<br />

"Tuh, Mut, mereka bisa saja membiarkan kita digurun. Mereka<br />

menyabung nyawa lho untuk menyelamatkan kita," Ibrahim kembali<br />

memuji Mujahidin.<br />

Ahmad dan Muhammad tertawa. Ibrahim betul, mereka sudah<br />

membuat pernyataan pembebasan melalui media, jadi bisa saja lepas<br />

tangan jika mau.<br />

"Meutya, tidak ada yang ganggu kan selama kami tidak ada?" tanya<br />

Muhammad kepada Ibrahim. Dia mungkin khawatir si Jangkung bersikap


seperti si Sontoloyo, salah satu penjaga kami pada hari pertama.<br />

"Dia baik-baik saja, hanya rindu saja kepada kalian," canda Ibrahim.<br />

Aku hanya tersipu.<br />

Namun, kami semua senang bisa bersama-sama lagi malam ini. Aku<br />

dan Budi ingin memberikan kenangan. Budi meninggalkan kamera untuk<br />

Muhammad. Aku memberikan jaket dan kaus berlogo Metro TV untuk<br />

Ahmad dan SIM card Irak yang masih berisi pulsa untuk Muhammad.<br />

"Kalau rindu pada aku dan Budi, pakai kartu ini untuk menelepon ya,"<br />

kataku sambil memberikan kartu nama.<br />

Kusodorkan secarik kertas dan pulpen, dan kuminta mereka<br />

menuliskan alamat yang bisa dikontak, tetapi mereka hanya tertawa.<br />

"Meutya, jangan bercanda! Orang pergerakan tidak punya alamat,"<br />

tegur Ibrahim, yang kami sambut dengan tawa bersama.<br />

"Untuk saya mana? Masa cuma Ahmad dan Muhammad yang dapat,"<br />

pinta Ibrahim.<br />

Aku dan Budi saling pandang. Kami lupa. Mengira kami masih punya<br />

waktu bersamanya sebelum bebas nanti. Budi lalu menyodorkan jaket<br />

yang baru saja dia beli di Yordania sebelum kami masuk lagi ke Irak untuk<br />

kedua kalinya.<br />

"Ini hanya cukup untuk anak saya. Tetapi terima kasih, dia pasti akan<br />

senang sekali," ujar Ibrahim, yang memang bertubuh jauh lebih tinggi dan<br />

lebih besar dibandingkan Budi, sambil melipat pemberian itu. Dia tampak<br />

senang menerimanya.<br />

Keharuan menyelimuti pertemuan malam itu. Besok kami akan pergi.<br />

Bisa jadi ini pertemuan terakhir kami.Aku biasa berteman dalam tugas<br />

peliputanku. Banyak di antaranya yang berteman baik hingga kini. Tetapi,<br />

dengan Ahmad dan Muhammad berbeda. Selain berjauhan, mereka tidak<br />

bebas berkomunikasi. Hampir tidak mungkin kami akan bertemu kembali.<br />

Ini betul-betul perpisahan.<br />

Meski lelah, dan memiliki alas tidur empuk, kami terus saja<br />

mengobrol hingga tengah malam. Sampai Muhammad mengingatkan<br />

kami untuk istirahat karena besok kami akan berangkat pagi. Muhammad<br />

berjaga di luar ruangan saja, biar kami beristirahat dengan tenang. Kami<br />

saling mengucapkan salam perpisahan. Ahmad mengingatkanku agar<br />

tidak lupa melambaikan tangan ke arah kamera yang meliput kami nanti.<br />

Jika menontonnya, mereka akan menganggap itu sebagai salam.<br />

Beberapa saat setelah dua penjaga itu keluar, aku sudah terlelap. Aku<br />

tak sabar menunggu matahari terbit. []<br />

Bab 10<br />

Tegang Tiada Akhir<br />

SENIN, 21 Februari 2DD5<br />

Pukul delapan pagi, pintu ruangan diketuk. Kepala wilayah meminta<br />

kami segera berkemas. Kudengar mesin mobil sudah dinyalakan. Dia<br />

memintaku memakai kembali jaket Ibrahim untuk penyamaran. Aku dan<br />

Budi juga harus melilitkan kafiyeh penutup muka.Setelah merasa cukup<br />

aman,kami digiring menuju mobil yang kami gunakan semalam. Kepala<br />

wilayah duduk di belakang setir, didampingi Muhammad. Aku, Budi, dan<br />

Ibrahim duduk di jok belakang. Mobil pun melesat menembus wilayah<br />

perkampungan, melalui jalanan yangtak terlalu besar. Jika berpapasan<br />

dengan mobil lain, laju mobil dipelankan. Lalu, mobil segera digas


kembali,terutama jika bertemu sekelompok pejalan kaki.<br />

"Di sini banyak mata-mata. Itulah kenapa lokasikalian tercium Tentara<br />

Koalisi kemarin malam, karena ada informan. Mereka dibayar dengan<br />

imbalan besar untuk menjual harga diri kepada asing," ujar kepala<br />

wilayah ketus.<br />

"Sekarang, lebih baik kalian menunduk. Aku tidak<br />

mau membuat orang curiga. Wajah kalian sudah di mkenal di televisi.<br />

Berita pembebasan kalian ditayangkan berulang-ulang hampir di semua<br />

televisi," lanjut kepala wilayah, mengingatkan kami.<br />

Cepat sekali rekaman itu tersebar. Berbeda dengan rekaman<br />

pernyataan penculikan yang memakan waktu beberapa hari.<br />

Mobil berbelok ke jalan utama, meninggalkan wilayah<br />

perkampungan.Kepala wilayah mempercepat laju mobil. Di kawasan ini<br />

tank dan humvee pasukan koalisi memang banyak beroperasi. Kami<br />

melewati beberapa pos mereka. Syukurlah mobil kami tak diperiksa.<br />

"Mobil GMC kalian ada di tangan rekan kami. Kita akan bertemu<br />

mereka di suatu tempat," kata kepala wilayah.<br />

Dia menghubungi seseorang dengan ponselnya. Setelah berbicara di<br />

telepon, dia membelokkan mobil secaram mendadak ke arah bangunan<br />

tua yang kosong. Bersama Muhammad, dia keluar dari mobil ke arah jalan<br />

raya.<br />

"Ada apa lagi ini?" tanyaku pada Ibrahim.<br />

"Ada miskomunikasi dengan kelompok pembawa GMC. Mereka tak<br />

jelas berada di mana.<br />

"Oh, kenapa ketegangan belum juga usai? Kulihat kepala wilayah<br />

berbicara melalui ponsel sambil mondar-mandir. Wajahnya kesal dan<br />

bingung. Muhammad berjaga di tengah jalan untuk memastikan tidak ada<br />

yang membuntuti kami.Rautnya juga tampak tegang.<br />

"Kita akan pindah meeting point. Di sini terlalu<br />

berbahaya," kata kepala wilayah sekembalinya ke belakang kemudi.<br />

Keputusan yang melegakan. Sisa-sisa kehancuran bangunan tua ini<br />

akibat serangan bom membuatku tak nyaman berlama-lama di sini. Mobil<br />

kembali melaju dan berhenti di sebuah restoran yang cukup besar. Ada<br />

beberapa mobil yang parkir di depan restoran.<br />

"Kenapa ke tempat ramai begini? Mana bisa makan kita?" bisikku<br />

pada Ibrahim.<br />

Ibrahim hanya menggelengkan kepala.<br />

"Kita akan menunggu di sini. Restoran ini milik salah satu dari kami.<br />

Tempat ini aman," kata kepala wilayah.<br />

Muhammad tak banyak bicara. Namun, dia ikut mengantar kami<br />

masuk ke restoran, melalui pintu samping. Ada tirai kain panjang yang<br />

memisahkan kami dengan pengunjung lain sehingga mereka tak dapat<br />

melihat kami.<br />

"Mungkin kita masih harus menunggu agak lama. Kalian sarapan<br />

saja yang kenyang," kata kepala wilayah lagi.<br />

Saran yang aneh, memangnya lagi pelesir! Aku ingin secepatnya<br />

bebas. Aku tak butuh sarapan!<br />

Tak berapa lama kemudian, makanan datang. Dua tusuk sate Arab<br />

untukku dan Budi. Mirip sate di Indonesia, hanya saja ukurannya 10 kali<br />

lebih besar. Penusuknya pun menggunakan besi sebesar


kelingking.Walau tak lapar, aku coba nikmati juga sajian spesial ini.<br />

Pertama kali sejak disandera, aku menyantap makanan yang masih<br />

hangat.<br />

"Kalian sekarang terkenal. Lihat wajah kalian<br />

ditelevisi," kata seseorang yang menurut Ibrahim adalah pemilik<br />

restoran. Dia menunjuk ke arah televisi. Kulihat adegan Budi sedang<br />

mencium Al-Quran di sebuah saluran televisi lokal. Aku dan Ibrahim<br />

kontan mengolok Budi."Wah, ada bintang baru, nih." Budi hanya<br />

tersenyum. "Assalamu 'alaikum.<br />

"Pintu samping restoran terbuka. Muhammad dan kepala wilayah<br />

berdiri menyambut Rois, yang datang bersama dua orang. Mereka<br />

bergabung ke meja kami.<br />

"Sabar, mobil kalian tidak lama lagi datang," ujar Rois menenangkan.<br />

"Ibrahim, apakah Meutya senang akhirnya bebas?" Aku merasa ucapan<br />

Rois sengaja mengolokku karena aku sempat ngambek padanya didalam<br />

gua.<br />

"Katakan padanya, ketika pulang nanti dia akan menikmati akibat<br />

penculikan ini." Ibrahim menyampaikan pesan Rois padaku. Menikmati<br />

akibat penculikan ini? Mamaku menangis, bangsaku ikut susah,<br />

kerabatku khawatir, dan dia bilang aku akan menikmatinya?<br />

Aku berbisik kepada Ibrahim. "Ibrahim, tolong sampaikan ke Rois,<br />

kalau memang nikmat, suruh saja kita bertukar tempat. Kita yang menjadi<br />

penculik, dia yangkita sandera di gurun, mau tidak?"<br />

Ibrahim hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia tak<br />

berani menyampaikan pesanku.<br />

Tak berapa lama kemudian, kepala wilayah dan Muhammad mohon<br />

diri. Aku baru mengerti. Rupanya pembebasan kami dilakukan berantai.<br />

Pemimpin wilayah menyerahkan kami kepada Rois. Setelah berada di<br />

tangan Rois, berarti tugas kepala wilayah dan Muhammad selesai. Aku<br />

sedikit kecewa Muhammad tak bisa menunggu hingga kami berangkat.<br />

Sebelum meninggalkan kami, dia menjabat erat tangan Ibrahim,<br />

kemudian Budi.<br />

Ketika tiba giliran pamit padaku, Muhammad hanya menganggukkan<br />

kepala. Dia mengangkat tangan kanannya dengan jari tengah dan telunjuk<br />

mengarah ke matanya.Aku mengerti maksudnya. Dia hendak<br />

mengingatkanku agar tidak lupa janji melambaikan tangan ditelevisi untuk<br />

mereka. Tangan ke arah mata, berarti mereka akan mengikuti dan<br />

menonton dengan saksama perjalanan kami hingga tiba di tanah air.<br />

Sebelum menghilang dari pandangan kami, Muhammad berkali-kali<br />

meminta maaf karena telah menculik kami di POM bensin.<br />

Rois lalu menyarankan agar kami mengontak pihak kedutaan untuk<br />

mengatur pertemuan di perbatasan Irak-Yordania. Dia agak terkejut ketika<br />

tahu aku dan Budi belum berkomunikasi dengan pihak luar, padahal<br />

ponsel kami telah dikembalikan. Aku dan Budi memang sepakat baru<br />

akan melakukan kontak keluar jika sudah betul-betul bebas. Rindu<br />

kepada keluarga memang tak tertahankan, tetapi kami khawatir<br />

komunikasi dengan keluarga akan memancing emosi, padahal kami<br />

masih perlu fokus pada upaya keluar dari Irak. Namun, saran Rois ada<br />

benarnya. Harus ada yang mengetahui keberadaan


kami. Aku dan Budi sepakat hanya membuat satu kontak telepon,<br />

yaitu kepada Musyurifun Lajawa, Kepala Bidang Penerangan KBRI di<br />

Amman. Kami yakin, sebagai Kepala Bidang Penerangan KBRI,<br />

Musyurifun akan menyampaikan info keberadaan kami kepada pihakpihak<br />

yang tepat.<br />

"Di mana posisi Meutya? Semua baik-baik saja? "Nada suara<br />

Musyurifun menggambarkan kekagetan seseorang yang sudah lama<br />

menunggu kabar. Dia mengenal nomor ponselku.<br />

"Kami baik, Pak. Kami masih berada di suatu tempat di wilayah<br />

Ramadi. Mungkin satu jam lagi berangkat. Tolong ada yang menjemput<br />

kami di perbatasan, ya," pintaku.<br />

"Orang kita sudah stand by. Kamu masih bersama penyandera?<br />

Budiyanto di mana? Jam berapa tiba diperbatasan?" Pertanyaan<br />

Musyurifun bertubi-tubi.<br />

"Ya, masih. Karenanya saya belum bisa bicara leluasa. Sampai<br />

ketemu di border. Insya Allah.<br />

"Suara Musyurifun terdengar panik. Aku tak mau tertular kepanikannya.<br />

Telepon kututup.<br />

Dua jam kami menunggu, mobil GMC kami akhirnya tiba. Serah<br />

terima kunci mobil dilakukan di dalam restoran. Rois menjelaskan melalui<br />

Ibrahim bahwa dari titik tersebut kami akan kembali ke perbatasan Irak-<br />

Yordania dengan GMC, bertiga. Tidak ada anggota Mujahidin yang ikut.<br />

Hanya saja, akan ada anggota mereka yang mengawal kami, secara<br />

undercover, untuk memastikan kami tiba di perbatasan dengan selamat.<br />

Kami tidak akan tahu keberadaan<br />

dan identitas para pengawal itu.<br />

Sebelum membiarkan kami pergi, Rois menyampaikan permintaan<br />

maaf kepada Presiden dan bangsa Indonesia jika aksi penculikan oleh<br />

kelompoknya telah menyusahkan berbagai pihak. Rois juga mengatakan<br />

bahwa bangsa Indonesia sangat sayang padaku. Inginaku bertanya apa<br />

maksudnya, tetapi urung karena tidak mau berlama-lama lagi di sana.<br />

Kami segera menuju mobil GMC. Ibrahim kaget melihat mobil putih<br />

kesayangannya sangat kotor sehingga berubah warna jadi kecokelatan.<br />

Mobil Rois masih membuntuti kami. Ketika kami membelok ke arah POM<br />

bensin untuk mengisi bahan bakar, kulihat mobil Rois membelok ke arah<br />

berlawanan.Kupandang sekelilingku. Kami berada di POM bensin yang<br />

sama dengan etika kami diculik. Kami kembali ke titik Nol.<br />

* * *n<br />

ALHAMDULLILLAH, selamat," penjaga POM bensin melongokkan<br />

kepalanya masuk jendela. Dia mengenali kami. Dia memerhatikan Budi<br />

agak lama, lalu tersenyum sambil menunjuk ke arah peci Budi, pemberian<br />

Mujahidin. Pasti dia melihat rekaman pembebasan kami di televisi.<br />

Ibrahim melenggang meninggalkan mobil.<br />

"Ibrahim, jangan pergi jauh-jauh!" teriakku. Terbayang lagi ketika<br />

pertama kami diculik, Ibrahim sedang meninggalkan mobil, entah ke<br />

mana.<br />

"Aku harus cari bantuan. Persneling kita rusak. "Duh, jangan sampai<br />

kami diculik orang lagi. Aku<br />

masih trauma dengan suasana POM bensin.<br />

Tak berapa lama, Ibrahim kembali dengan seorang mekanik.


Tangannya menenteng plastik hitam.<br />

"Kacang arab, oleh-oleh untuk istri," katanya. Aku tersenyum. Masih<br />

sempat Ibrahim mengingat oleh-oleh.<br />

Mekanik yang memeriksa mobil kami mengatakan bahwa perbaikan<br />

akan memakan waktu lama. Ibrahim memutuskan untuk meneruskan<br />

perjalanan dengan kondisi persneling bermasalah. Konsekuensinya,<br />

menurut Ibrahim, mobil kami tidak bisa melaju kencang. Berarti tambah<br />

lama sampai di perbatasan. Cobaan belum jugausai.<br />

Ibrahim melajukan mobil perlahan meninggalkan Ramadi, memasuki<br />

jalur utama.Jalan raya sepanjang 1.000 km yang menghubungkan<br />

Amman-Bagdad ini, sejak invasi Amerika Serikat, kerap disebut rute maut.<br />

Hingga perbatasan Yordania, tidak ada tempat istirahat, restoran, atau<br />

bengkel. Mobil biasanya masuk kedaerah ini berkonvoi, demi keamanan.<br />

Semua mobil yang melaju di sini keluaran baru dengan kondisi prima.<br />

Mogok di jalur ini berarti fatal. Dan, kami harus menumpang mobil yang<br />

persnelingnya rusak!<br />

Ibrahim membetulkan posisi kaca cermin di dalam mobil. "Oh Tuhan,<br />

aku terlihat jelek sekali." dia mengusap jambangnya yang tak beraturan.<br />

Tak sabar memandang wajah setelah tujuh hari tak bertemu<br />

bayangan diri, aku dan Budi berebut mendekati Ibrahim. Alhasil muka<br />

kami bertiga beradu dalam kaca. Semua sama jeleknya. Kami pun tertawa<br />

geli.<br />

"Ssstt!" Ibrahim tiba-tiba meminta kami diam dan kembali duduk rapi.<br />

Kulihat konvoi pasukan koalisi dijalur berlawanan mendekat ke arah kami.<br />

Aku teringat VCD-VCD pemberian Ahmad. Segera kukeluarkan dari tasku<br />

dan kuselipkan di bawah karpet, khawatir VCD propaganda Mujahidin ini<br />

bisa jadi masalah.<br />

"Jangan, Mut. Nanti kalau mobilnya dipe- riksa, ketahuan.<br />

Sembunyikan di badan saja," saran Budi. Dibadan? Lalu kalau ketahuan,<br />

bagaimana aku bisa ber-kelit?<br />

"Wanita tidak akan diperiksa sampai dalam baju.Jadi, harus kamu<br />

yang sembunyikan," kata Budi lagi,seperti bisa membaca kesangsianku.<br />

Aku tak punya pilihan. Ketiga VCD tersebut aku jejalkan di balik<br />

jaketku. Tank-tank tempur semakin mendekat. Tentara yang memegang<br />

senjata di atas humvee memandang ke arah mobil kami. Aku dan Budi<br />

merunduk. Konvoi tentara pun melewati kami tanpa berhenti.<br />

Ibrahim tampak menarik napas lega. Sejak itu kamitak lagi banyak<br />

tertawa. Masing-masing tenggelam memandangi gurun yang senyap.<br />

Jarang sekali terlihat mobil lain di luar kendaraan militer. Sekali ada mobil<br />

yang lewat, Ibrahim selalu melambatkan laju kendaraan dan menyapa<br />

sopirnya dengan senyum.<br />

"Siapa tahu mereka utusan Mujahidin." Ah, Ibrahim terlalu percaya<br />

kepada Rois. Aku sendiri tak begitu yakin Rois menugasi anggotanya<br />

mengawal<br />

kami hingga perbatasan<br />

* * *<br />

DI HADAPAN kami, matahari semakin turun dila-ngit barat.<br />

Perbatasan Irak-Yordania tak jauh lagi. Entah mengapa konvoi pasukan<br />

koalisi lebih banyak dari biasanya. Mungkin karena Irak tengah<br />

memperingati perayaan Asyura sehingga perbatasan dijaga ketat.


Beberapa kilometer sebelum perbatasan, aku dan Budi mengaktifkan<br />

ponsel milik kantor. Ponsel nomor pribadi kami sengaja kami matikan.<br />

Kami perlu berkoordinasi dengan tim penjemput. Betul saja. Baru satu<br />

detik aktif, ponselku langsung berdering. Pasti KBRI.<br />

"Halo Meutya, ini Bapak. Kamu sudah di mana? Bapak sudah<br />

menunggu dari tadi di border." Suara orang di ujung telepon terdengar<br />

sangat bersuka cita. Suara yang sangat kukenal. Pak Surya Paloh di<br />

perbatasan?<br />

"Pak Surya?" tanyaku hati-hati, untuk memastikan apakah suara yang<br />

kukenal betul suara milik Pemimpin Umum Media Grup, Surya Paloh.<br />

"Iya, ini Bapak. Bapak sama teman-teman semua menunggu kamu di<br />

border. Ada Sandrina dan Thia. Kami semua menunggu kamu." Tidak<br />

mungkin Pak Surya dan teman-teman sampai menjemput kami ke<br />

Yordania! Mataku basah. Aku masih tidak yakin pemimpin kami dan<br />

sejumlah rekan Metro TV datang menjemput. Kujelaskan kepada Surya<br />

Paloh bahwa aku dan Budi hanya tinggal beberapa menit dari<br />

perbatasan. Aku janji cerita lebih banyak di Amman. Lalu, telepon<br />

ditutup.<br />

Tak berapa lama telepon kedua masuk. "Meutya, sudah sampai<br />

perbatasan, ya? Selamat ya. Kami sambungkan on air ya di studio dengan<br />

Boy No-ya." Rupanya telepon dari Kedoya, kantor Metro TV.<br />

On air? Belum sempat aku protes, suara Boy Noya, seorang<br />

presenter Metro TV, terdengar di ujung telepon. Kutengok jam tanganku,<br />

pukul 22.45 Waktu Indonesia Barat. Biasanya, tidak ada program berita<br />

jam segini, pasti mereka menyelipkan breaking news. Awalnya aku dan<br />

Budi sepakat tidak berbicara kepada pers, paling tidak sampai kami tiba di<br />

titik aman, Yordania.Tetapi, terlambat untuk menolak. Kudengar suara Boy<br />

bertanya mengenai kondisi terakhir dan penculikan. Aku enggan<br />

menjawab banyak. Hanya mengucapkan terima kasih kepada Presiden<br />

dan semua pihak yang telah membantu. Andai saja aku bisa menjelaskan<br />

kepadanya bahwa kami belum sepenuhnya aman selama masih<br />

menginjak tanah Irak. Perasaanku sungguh tidak enak.<br />

Betul saja.<br />

Gerbang perbatasan Irak-Yordania sudah di depan mata, tetapi<br />

beberapa penjaga berkebangsa-an Arab menghadang laju mobil kami.<br />

Aku tak peduli lagi dengan sambungan on air. Ponsel kuserahkan kepada<br />

Budi.<br />

"Kenapa kita tidak boleh lewat, Ibrahim?"<br />

"Menurut para penjaga,perbatasan Irak-Yordania di tutup karena<br />

perayaan Asyura. Tak ada yang boleh keluar ataupun masuk Irak," jelas<br />

Ibrahim. Wajahnya<br />

tampak pasrah setelah berusaha meyakinkan para pen-jaga<br />

tanpa hasil.<br />

"Apa mereka tidak tahu kita baru saja bebas dari penyanderaan?" Aku<br />

tak bisa menahan kekesalan ku. Sebelum kami masuk kembali ke Irak,<br />

aku memang diberi tahu ada penutupan perbatasan hingga tanggal 24<br />

Februari. Berarti kami masih harus menunggu tiga malam lagi? Tidak<br />

adakah pengecualian untuk kasus khusus seperti korban penculikan?<br />

"Ya. Mereka sudah sangat tahu, bahkan ketika baru melihat mobil<br />

kita." Ibrahim mencoba meredam kekesalanku. "Mereka mengikuti kasus


kalian melalui televisi. Mereka sangat senang kalian selamat. Tetapi, pintu<br />

baru akan dibuka kalau ada izin dari pusat. Bagdad."<br />

"Coba jelaskan pada mereka bahwa perwakilan pemerintah<br />

Indonesia juga menunggu di perbatasan seberang!"<br />

"Dengar, Meutya. Aku sangat yakin mereka tahu. Perbatasan Irak dan<br />

Yordania selalu saling memantau dan berkomunikasi. Tetapi, perintah<br />

dari pusat menyatakan demikian. Mereka menyarankan agar perwakilan<br />

pemerintahmu di perbatasan segera meminta izin ke Bagdad. Atau, kita<br />

yang kembali ke Bagdad<br />

"Aku terperangah. Kami harus kembali ke Bagdad? Tidak mungkin.<br />

Risikonya terlalu tinggi.<br />

Budi masih sibuk menjawab pertanyaan dari Boy.Aku merebut ponsel<br />

dari tangannya.<br />

"Boy, kami ada masalah. Kami tidak diizinkan melewati perbatasan.<br />

Kami harus tutup di sini.<br />

"Tanpa menunggu jawaban Boy, sambungan ku tutup. Aku merasa<br />

sedikit bersalah, tetapi tak ada pilihan lain. Wawancara live by phone kami<br />

dengan MetroTV kemungkinan dipantau media asing. Jika media tersebut<br />

menayangkan detail pernyataan kami dan dapat ditangkap oleh televisi<br />

Irak, berarti pergerakan dan pernyataan kami dapat dipantau oleh<br />

kelompok Mujahidin dan tentu lawan mereka, tentara koalisi. Kalau kami<br />

salah bicara sedikit saja atau terkesan memihak atau menyinggung salah<br />

satu kelompok, nyawa kami taruhannya.<br />

Apalagi setelah wawancara tadi, kuprediksi semua pihak kini<br />

mengetahui lokasi kami. Tidak sulit bagi mereka untuk menangkap<br />

kembali atau memeriksa kami.<br />

Mungkin kekhawatiranku terlalu berlebihan. Tetapi, pengalaman<br />

disandera mengingatkanku bahwa tidak ada satu jengkal tanah pun di Irak<br />

yang be tul-betul aman, terutama untuk jurnalis. Kami harus segera<br />

keluardari negeri ini.<br />

Teleponku berdering lagi. Kali ini dari nomor Yordania.<br />

"Halo Meutya. Perkenalkan, saya Triyono Wibo-wo.Saya bersama tim<br />

ditugaskan oleh Jakarta membawa kalian kembali. Kami di perbatasan<br />

Yordan sedang mengupayakan secara diam-diam melobi para penjaga<br />

Irak melalui bantuan pihak intelijen Yordan. Tolong jangan berbicara dulu<br />

pada pers mana pun. Itu mengganggu lobi kami." Suara di ujung telepon<br />

seperti mencoba tetap tenang. Namun, aku bisa menangkap si penelepon<br />

menahan amarahnya. Aku<br />

yakin dia tidak senang dengan wawancara via telepon kami. Aku<br />

mengiyakan permintaannya. Dia berjanji akan berusaha maksimal<br />

membuka jalan kami keluar dari Irak.<br />

Lagi-lagi teleponku berdering. Orang di ujung telepon mengaku<br />

sebagai wartawan BBC. Dia mengaku sedang menunggu di perbatasan<br />

bersama puluhan jurnalis lain. Dia menanyakan alasan kami tak boleh<br />

melintasi perbatasan. Aku minta maaf kepadanya dan menjelaskan belum<br />

boleh memberikan keterangan apapun sampai kami berhasil keluar dari<br />

Irak.<br />

Telepon terus berdering. Surya Paloh, yang terus memantau posisiku,<br />

mengaku terkejut kami tertahan. Kedoya juga mengontak.Telepon dioper<br />

bergantian dari Don Bosco Selamun, Pemimpin Redaksi, lalu Usi


Karundeng, Manager Talent yang membawahi presenter. Semua panik<br />

setelah tahu kami tak bisa segera keluar dari Irak. Semua meminta kami<br />

melobi penjaga pintu per-batasan Irak untuk membuka pintu. Mereka tak<br />

tahu keputusan ini sulit diubah, seperti harga mati. Penjaga perbatasan,<br />

berbeda dengan ketika kami masuk, kali ini tak bisa di-lobi. Mungkinkah<br />

ada instruksi untuk menahan kami di perbatasan dengan maksud<br />

memancing reaksi kelompok penyandera?<br />

Tim Deplu di perbatasan juga berulang-ulang menelepon,<br />

menanyakan situasi terakhir. Kukatakan, kami merasa tidak aman dan<br />

memohon tim masuk ke Irak mendampingi kami. Namun, sepertinya sulit<br />

berharap banyak kepada tim di perbatasan.<br />

Bagaimana mereka menyelamatkan kami keluar Irak, masuk ke Irak<br />

pun mereka tidak bisa.<br />

Ibrahim menawarkan dua solusi. Pertama, mencari tempat aman di<br />

dekat pintu perbatasan dan menunggu sampai para penjaga berubah<br />

pikiran.Entah sampaikapan. Atau kedua, mendatangi pos komandan<br />

pasukan koalisi yang bertugas di perbatasan.<br />

"Merekalah sebenarnya yang berkuasa menentukan mobil masuk dan<br />

keluar Irak," kata Ibrahim.<br />

Namun, alternatif kedua bukan tanpa risiko. Kami bisa saja<br />

diinterogasi untuk menjelaskan keberadaan kelompok Mujahidin yang<br />

menangkap kami.<br />

Aku memilih alternatif pertama. Lebih baik menunggu, walau tak jelas<br />

berapa lama, daripada diinterogasi. Mobil kami parkir persis ke depan<br />

kantor imigrasi, tak jauh dari gerbang perbatasan. Beberapa kali pejabat<br />

imigrasi mengetuk jendela. Dia menawari kami tidur di dalam kantor. Aku<br />

menolak. Perasaanku tak tenang. Aku tak bisa percaya kepada siapa pun.<br />

Syukurlah Ibrahim dan Budi setuju. Kami putuskan tidur dimobil saja.<br />

Angin bertiup melalui celah-celah tipis jendela. Dinginnya masih tetap<br />

membuat kulitku seperti membeku.Suhu malam musim dingin Irak selalu<br />

di bawah 10 derajat celsius. Dan,kami harus tidur tanpa selimut dengan<br />

perut kosong. Sulit sekali memejamkan mata, tetapikupaksa juga.<br />

Badanku mulai menggigil, tetapi keringat membasahi tubuhku. Keringat<br />

dingin. Ternyata disan-dera di gua lebih nyaman.<br />

* * *<br />

PAGINYA, tak kuat menahan lapar, kami menyerah juga dengan<br />

tawaran sarapan bersama pejabat imigrasi. Dia sangat ramah menjamu<br />

kami. Beberapa kali dia meminta maaf karena tak bisa mengizinkan kami<br />

keluar perbatasan.<br />

Aku menerima telepon dari Juru Bicara Departemen Luar Negeri,<br />

Marty Natalegawa. Mulai pagi ini, koordinasi lebih banyak dilakukan<br />

langsung dengan Jakarta karena hingga pagi tim penanggulangan krisis<br />

yang dikirim ke perbatasan belum juga berhasil menjemput kami. Lobi ke<br />

Bagdad juga banyak dilakukan langsung tim pembebasan di Jakarta.<br />

Marty menjelaskan, pihak-nya sudah mengirim faksimile surat permintaan<br />

izin ke Kementerian Dalam Negeri Irak, tetapi belum ada tanggapan.<br />

Sulit kumengerti mengapa Bagdad tak juga mengizinkan kami keluar,<br />

padahal mereka tahu persis pernyataan Presiden yang mengharapkan<br />

kami segera pulang. Mungkinkah karena Indonesia tak lagi memiliki<br />

perwakilan di Irak sejak invasi? Entahlah. Yang jelas, hingga siang hari


nasib kami masih terka tung-katung. Padahal, Kedutaan Irak di Jakarta<br />

juga sudah membantu melobi pemerintah pusat di Bagdad, termasuk<br />

berbicara langsung dengan pejabat imigrasi di perbatasan melalui<br />

ponselku. Dia memerintahkan membuka pintu perbatasan untuk kami.<br />

Namun, para pejabat imigrasi tak mengindahkannya.<br />

Matahari semakin meninggi, kabar baik tak juga<br />

datang. Kami kembali ke mobil. Sudah 20 jam kami menunggu. Aku<br />

semakin panik dan tak mampu lagi mengontrol emosi.Aku merutuki<br />

petugas imigrasi yang menurutku tidak punya hati nurani.<br />

"Kalau saja kami berkebangsaan Amerika atau Inggris dan baru<br />

dibebaskan dari penyanderaan, pasti kami sudah diizinkan lewat.<br />

"Kepada Triyono dan tim penanggulangan krisis diperbatasan, aku<br />

mengaku kecewa karena mereka tidak mampu mendampingi kami di<br />

perbatasan Irak. Aku juga kecewa kepada teman-teman Kedoya yang<br />

memintaku selalu melaporkan kondisi terkini yang kualami. Hampir dalam<br />

setiap penugasanku selama lima tahun menjadi jurnalis, aku bersedia<br />

melaporkan berbagai hal, terkadang yang dapat membahayakan diriku<br />

sendiri. Tetapi, aku tak mau melakukan tugas reportase dan menjadi<br />

objek liputan dalam kondisi seperti ini.<br />

Aku mendadak tersadar. Beginikah perasaan yangdialami para<br />

korban musibah tertentu, ketika aku wawancarai?<br />

Marty Natalegawa, yang kembali mengontakku, tak luput dari repetan<br />

panjangku. Dia memintaku untuk tenang.<br />

"Aku baru bisa tenang kalau ada perwakilan pemerintah yang masuk<br />

untuk mendampingi dan menjaga kami di perbatasan Irak," kataku.<br />

Terbayang di benakku ketika beberapa wartawan atau pekerja asing<br />

baru dilepaskan dari penyanderaan di Irak,perwakilan negara masingmasing<br />

menjemput dan mengevakuasi mereka dari pihak<br />

penculik. Casingkem dan Istiqomah pun diserahkan penyandera ke<br />

Kedutaan Besar Arab Saudi, lalu didampingi Tim Bulan Sabit Merah keluar<br />

dari Irak hingga ke Kedutaan Indonesia di Amman. Mengapa kami<br />

dibiarkan berjuang sendiri?<br />

Tak lama setelah kontakku dengan Marty, kudengar Menteri Luar<br />

Negeri Hassan Wirajuda memerintahkan kepada Duta Besar Indonesia di<br />

Yordania, Ridhan A.Wahab, untuk masuk ke Irak menjemput kami. Kabar<br />

tersebut membuatku tenang. Aku menyesal telah emosional. Rupanya<br />

semua pihak bekerja keras mengupayakan kepulangan kami. Kini,<br />

pilihanku tinggal berserah diri.<br />

Aku, Budi, dan Ibrahim menunggu dalam diam. Tim Metro TV di<br />

Amman dan Jakarta, serta tim Dep lu di duatempat yang sama, tidak lagi<br />

menelepon. Kami semua menunggu ketidakpastian.<br />

Di tengah kepasrahan itu, jawaban datang. Tanpa menunggu<br />

kedatangan Dubes RI, sore hari petugas penjaga menghampiri mobil,<br />

mengabarkan bahwa kami dapat izin keluar Irak. Tanpa alasan yang jelas.<br />

* * *<br />

SELASA, 22 Februari, pukul 19.35 WIB. Mobil mulai melaju ke gerbang<br />

pertama yang membatasi Irakdan Yordania. Di dalam mobil, aku dan Budi<br />

ber sorak-sorak, tak mampu menahan luapan kegembiraan. Ibrahim pun<br />

menyenandungkan sebuah lagu Arab. Mobil melaju pelan seakan-akan<br />

menghayati


momen-momen meninggalkan Irak. Waktu seolah-olah turut<br />

merambat pelan.<br />

Kuhubungi Marty Natalegawa untuk mengabarkan berita gembira<br />

ini.Sepertinya Marty dapat menduga dari suaraku yang ceria menyapanya.<br />

"Meutya, please tell me we made it."<br />

"Yes Pak Marty. We did. I'll be with the team in lessthan five."<br />

Aku geli sendiri mendengar Marty, yang kukenal cukup tenang,<br />

memekikkan teriakan gembiranya. Dia menutup telepon untuk segera<br />

mengabari tim di per-batasan Yordania. Aku lalu menghubungi teman<br />

MetroTV di perbatasan, Mauluddin Anwar, mengabarkan berita gembira ini.<br />

Namun di tengah kegembiraan, kulihat wajah Ibrahim berubah<br />

muram.<br />

"Meutya, kamu dijemput banyak orang. Apakah kamu dan Budi akan<br />

ikut teman-temanmu ke Amman dan meninggalkanku menyetir seorang<br />

diri?" Suaranya tak mampu menyembunyikan kesedihan. Dia menyadarkanku<br />

bahwa tidak lama lagi kami harus berpisah.<br />

"Tidak, Ibrahim." Aku mencoba menghibur- nya. "Dari perbatasan, kita<br />

akan tetap bersama-sama hingga Amman, sampai ke hotel tempat kamu<br />

menjemput kami." Tak mungkin kami membiarkan Ibrahim menyetir<br />

sendiri ke Amman.<br />

Namun, semua itu hanya harapan. Kenyataan harus memisahkan<br />

kami. Aku dan Budi bahkan tak sempat mengucapkan kalimat perpisahan<br />

kepada Ibrahim. Setelah melewati gerbang perbatasan Yordan,<br />

sejumlah lelaki berbadan tegap telah menunggu kami. Aku juga<br />

lihat Musyurifun Lajawa dan beberapa orang yangkuduga adalah anggota<br />

tim penanggulangan krisis Deplu. Mereka meminta mobil kami berhenti.<br />

Aku dan Budi langsung ditarik keluar mobil oleh tim. Sementara, Ibrahim<br />

ditarik oleh pria berbadan tegap berseragam tentara Yordania. Kami<br />

dibawa ke ruangan terpisah.<br />

Aku meronta meminta Ibrahim ikut bersama kami. Ibrahim hanya bisa<br />

memandang kami karena kedua tangannya dipegang erat dua pria dan<br />

dibawa masuk ke sebuah ruangan. Menurut Musyurifun, Ibrahim<br />

harusmenjalani interogasi bersama intel Yordania, untuk dimintai<br />

keterangan tantang kelompok penculik. Juga, untuk memastikan bahwa<br />

Ibrahim tidak terlibat dalampenculikan.<br />

Aku terkejut. Ingin kuikut menjelaskan bahwa Ibrahim tak mungkin<br />

terlibat penculikan. Namun, aku tidak dapat berbuat banyak untuk<br />

meyakinkan pihak Yordania. Ibrahim adalah warga negara Yordania, dan<br />

mereka berhak menginterogasinya. Lagi pula, badanku mendadak lemas.<br />

Aku baru sadar sejak turun dari mobil jalanku dipapah. Mungkin karena<br />

sudah mencapai puncak ketahananku, akhirnya badanku menyerah juga<br />

pada kondisi sebenarnya.<br />

"Keduanya sudah sampai, Pak. Keduanya baik-baik saja. Hanya saja,<br />

Meutya kelihatan lemas dan pucat. "Sambil dibawa menuju sebuah<br />

ruangan, kudengar samar-samar seorang anggota tim berbicara dengan<br />

seseorang di ujung telepon.<br />

"Mbak Meutya, Pak Syamsir ingin bicara." Pak<br />

Syamsir siapa? Belum sempat kubertanya, ponsel disodorkan ke<br />

arahku.<br />

"Meutya, syukurlah kalian telah selamat. Saya Syamsir Siregar.


Anggota kami di Yordania ikut membantu pembebasan. Kami semua<br />

senang Anda dan Budi selamat." Rupanya Kepala Badan Intelijen Negara,<br />

Syamsir Siregar. Aku mengucapkan banyak terima kasih kepadanya. Aku<br />

yakin tim dari BIN telah bekerja keras untuk mengupayakan kami kembali<br />

ke tanah air.<br />

Di ruang tunggu, chai hangat sudah tersaji. Harum aromanya<br />

melegakanku. Aku menyeruputnya.<br />

Tiba-tiba, ponsel kembali disodorkan ke arahku.<br />

"Mbak Meutya, Pak Menlu mau bicara."<br />

"Alhamdullillah, selamat ya Meutya. Segera kembali ke tanah air."<br />

Menlu Hassan Wirajuda menjelaskan bahwa akudan Budi sudah<br />

ditunggu segera oleh Presiden S BY. Aku mengucapkan penghargaan dan<br />

terima kasihku atas kerja tim yang telah mengupayakan pembebasan<br />

kami. Setelah barang-barang bawaan kami selesai diperiksa, aku dan Budi<br />

dibawa ke mobil besar yang diparkirdi belakang gedung.<br />

Aku tidak melihat satu pun wartawan di sana. Sepertinya mobil<br />

sengaja disiapkan untuk keluar dari pintu belakang, untuk menghindari<br />

wartawan. Aku merasa tak enak. Rekan-rekan seprofesiku, yang sengaja<br />

menginap di perbatasan menunggu kebebasanku, tak dapat merekam<br />

gambarku. Sebagai jurnalis, aku mengerti bagaimana kesalnya sudah<br />

me- nunggu lama tetapi tak memperoleh gambar.<br />

Aku juga teringat Ibrahim. Aku telah berbohong padanya. Tetapi, aku<br />

tak punya pilihan karena dijaga ketat tim penjemput. Ibrahim harus<br />

menyetir sendiri selama empat jam lebih ke Amman. Ibrahim,<br />

maafkanaku.<br />

Sebelum meninggalkan perbatasan, aku meminta tolong Musyurifun<br />

memberikan sejumlah uang kepada Ibrahim untuk menutupi kerugian<br />

mobilnya yang rusak karena penculikan, dan tambahan uang saku yang<br />

belum sempat kubayarkan.<br />

Mobil yang membawaku melaju cepat menuju Wisma Indonesia di<br />

Amman, yang berjarak sekitar empat jam dari perbatasan.<br />

* * *<br />

DI PINTU wisma, aku disambut keramaian. Suasana malam hari<br />

membuatku tak bisa melihat jelas siapasaja mereka. Hanya saja<br />

kudengar pekikan "Allahu akbar, Allahu akbar" mengiringi langkahku ke<br />

pintu masuk wisma.<br />

Di depan pintu masuk, kulihat sosok yang kukenal. Pak Surya Paloh!<br />

Dia menyambutku dengan tangan terbuka lebar. Kurasakan kelegaan<br />

seorang bapak dalampelukannya.<br />

Kemudian, kurasakan juga pelukan dari rekan kerjaku di Metro TV,<br />

Sandrina Malakiano dan Thia Vufada. Mereka tak melepaskan pelukan<br />

sambil mengiringi kumasuk menemui lebih banyak lagi teman-teman<br />

MetroTV, Muchlis Hasyim dari Media Grup,<br />

produserku Mauluddin Anwar, Kusdaryanto, Sudirman juru<br />

kamera.Kami sudah seperti keluarga. Luar biasa nikmatnya disambut<br />

orang-orang yang menyayangi.<br />

Penyambutan tak selesai sampai di situ. Duta Besar dan tim Deplu<br />

juga menyambut kami sukacita. Tak habis-habisnya aku menerima


ucapan selamat dan ungkapan sayang dari semuanya. Tidak sedikit juga<br />

lontaran pertanyaan tentang saat-saat penculikan. Ibu Dubes<br />

mempersilakan aku mandi.Tergiur membayangkan segarny aair di<br />

tubuhku, aku langsung menerima tawarannya. Itulah pertama kalinya aku<br />

mandi, keramas, dan buang air besar setelah delapan hari disekap di<br />

dalam gua.<br />

Pukul 8 malam waktu Amman, aku dipanggil turun. Kulihat ruang<br />

tamu wisma sudah dipenuhi wartawan.Belum satu jam aku menikmati<br />

keindahan itu, aku danBudi langsung diadang konferensi pers. Begitu<br />

banyak pertanyaan yang terlontar, dan aku tak lagi keberatan<br />

menjawabnya. Selain karena aku dan Budi telah merasa betul-betul aman<br />

di Wisma Idonesia, yang secara hukum dilindungi oleh pemerintah<br />

Yordania, kami juga merasa nyaman dikelilingi orang-orang yang<br />

menyayangi kami. Setelah dua jam, kututup sesi tanya-jawab dengan<br />

mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan jurnalis karena telah<br />

membantu menekan kelompok penculik melalui pemberitaan mereka.<br />

Malam ini aku menginap di Wisma Indonesia, menunggu kepulangan<br />

ke tanah air esok hari. Nyaman rasanya tidur di kasur empuk. Tempat tidur<br />

ukuran<br />

kinghanya untukku sendiri, dilengkapi bantal dan gulingjuga<br />

selimut tebal.<br />

Kusempatkan menelepon mamaku. Banyak cerita yang ingin<br />

kusampaikan, tetapi aku harus membatasi diri. Kumatikan lampu kamar.<br />

Ini bukan gua di gurun, Mut, tidak ada penyandera di sini. Tidurku nyenyak<br />

sekali.[]<br />

Bab n<br />

Aku Pulang<br />

JAKARTA sudah di depan mata. Dari jendela pesawat, aku melihat<br />

liukan sungai berwarna kecokelatan, berpadu dengan bias kemerahan<br />

atap-atap genting. Beberapa menit lagi, aku akan menjejak tanah air.<br />

Berkali-kali aku pulang dari negeri seberang, tetapi perasaan rinduku<br />

kepada tanah air kali ini berbeda sekali.<br />

Dua puluh empat hari setelah meninggalkan tanah air, sejak 31<br />

Januari 2005, aku akhirnya bisa pulang. Aku rindu sekali.<br />

Mendadak, saat melaju di ketinggian angkasa, akumerasakan bahwa<br />

drama yang kualami, mulai dari mobil kami dibawa lari, dan selama harihari<br />

di dalam gua, semuanya sudah ada yang mengatur. Dan, hanya atas<br />

kuasa-Nyalah kami dapat bertahan hidup, sehari lagi, sehari lagi, sampai<br />

akhirnya dibebaskan.<br />

Di tengah hari-hari penyanderaan, aku yakin pasti Allah sengaja<br />

mengajak dan mengajarkan padaku melalui perjalanan spiritual (aku<br />

melihat penyanderaan ini juga sebagai perjalanan spiritual dari<br />

Tuhan, mungkinkarena selama ini aku banyak melupakan-Ny a,<br />

banyak meninggalkan perintah-Nya, karena terlalu sibuk mengejar dunia).<br />

Tiba-tiba, semu-a yang kukejar atau yangdikejar oleh banyak orang<br />

selama di dunia ternyata tidak bisa menolongku keluar dari masalah,<br />

keluar dengan selamat dari gua. Hanya Dialah dan atas kehendak-Nyalah<br />

aku dapat selamat. Materi, harta, uang,tidak dapat menolong keluar dari<br />

masalah karena toh yang diinginkan para penculik bukan materi.<br />

Selama di gua, tidur tanpa alas yang memadai dengan ruang sangat


terbatas (dibandingkan tempat tidurku di rumah yang besar dan empuk),<br />

baju-baju di lemariku yang bertumpuk tidaklah berarti. Selama tujuh hari,<br />

aku tidak ganti baju. Semua serba terbatas, bahkan air sebagai kebutuhan<br />

utama juga terbatas karena satu ember harus kami bagi berlima.<br />

Di pesawat, aku duduk bersama Sandrina dan Thia Yufada, dua<br />

rekanku sesama presenter yang turut menjemput ke Yordania. Thia<br />

menggenggam tanganku, memberikan kekuatan. Sandrina sesekali<br />

mengusap kepalaku. Mungkin mereka memerhatikan mataku yang mulai<br />

berkaca-kaca. Aku masih tidak percaya akhirnyadapat betul-betul kembali<br />

ke tanah air. Thia dan Sandrina banyak bercerita bahwa ke-pulanganku tak<br />

lepas dari dukungan masyarakat luas. Masyarakat turut menangis dan<br />

berdoa untuk keselamatan aku dan Budi.Anak-anak yatim ikut menangis<br />

dan mendoakan keselamatanku. Kenapa mereka begitu perhatian?<br />

Merekakan tidak kenal<br />

aku? Lagi-lagi pipiku basah oleh airmata. Thia dan Sandrina<br />

memelukku erat.<br />

Pesawat Qatar Airways yang membawa kami dari Yordania akhirnya<br />

menjejakkan roda-rodanya di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Aku<br />

masih setengah tak percaya, perjuangan panjang kembali ke tanah<br />

kelahiran akhirnya berujung juga. Penumpang lain turun lebihdahulu<br />

dibandingkan rombongan kami. Seperti biasa, dipintu keluar pesawat<br />

sejumlah kru bandara bersiaga. Ternyata ada yang khusus menunggu<br />

kami. Aku, Budi, diiringi Tim Metro TV, dan Tim Deplu. Setelah mendapat<br />

kalungan untaian bunga anggrek yang indah, aku dan Budi langsung<br />

dibawa menuju sebuah ruang tunggu yang berbeda dengan penumpang<br />

lainnya.<br />

Belum sampai masuk, di pintu kulihat beberapa sosok yang kukenal<br />

menungguku. Ada Don Bosco Selamun, Pemimpin Redaksi Metro TV.<br />

Banyak juga petinggi kantor lainnya. Don memelukku erat, hingga aku sulit<br />

bernapas. Dia juga menciumi telapak tanganku. Betul kata Sandrina, Bang<br />

Don sempat bersumpah, kalau aku kembali dengan selamat, dia akan<br />

mencium tanganku ibarat seorang putri. Meski kikuk, aku membiarkannya.<br />

Sebab, dia tengah menunaikan janji. Marty Natalegawa, Juru Bicara<br />

Departemen Luar Negeri, menyambutku dengan senyum lebar. "Keluarga<br />

menunggu di istana," kata Marty, yang mengerti mataku mencari-cari.<br />

Seorang petugas menyodorkan tas berbahan karton."Itu titipan untuk<br />

Mbak Meutya," katanya manis. Didalamnya ada baju jas dan celana<br />

panjang<br />

hitam. Aku mengenalinya, itu bajuku. Ada pula surat. Di amplop<br />

tertulis "untuk adekku Meutya". Ce pat-cepat kusobek amplopnya.Sambil<br />

membaca,aku digiring petugas wanita itu ke ruang ganti.<br />

Hi adekku,<br />

Welcome back, ini titipan baju kalau mau ganti.<br />

Trus di bawah ini contoh tanda terima kasih, siapa tahu perlu,<br />

habis kan jadi resmi karena ke istana.<br />

Adek bayi akan pake baju baru loh, tetapi nunggu di rumah.<br />

Ah, kakak-kakakku begitu perhatian dan pengertian. Mereka mengerti<br />

aku butuh baju yang pantas untuk dikenakan ke istana karena baju-bajuku<br />

dari Irak belum dicuci. Aku tersenyum mengingat "si adek bayi",<br />

keponakanku Aisha yang baru berusia satu tahun. Aku sudah sangat rindu


akan polahnya yang selalu menggemaskan. Ah, tidak sabar rasanya ingin<br />

pulang.<br />

Setelah berganti baju, kami pun berangkat. Budi memakai jas abuabu<br />

yang disiapkan kantor, dan tetap mengenakan peci pemberian<br />

penyandera.Kami menumpang mobil yang sama dengan Marty<br />

Natalegawa dan Surya Paloh. Di luar, aku melihat kamera rekan-rekan<br />

wartawan yang menunggu ingin mengambil gambar kami. Beberapa di<br />

antaranya berlari mengejar laju mobil. Biasanya akulah yang di sana,<br />

menunggu dan memburu nara sumber. Maafkan aku teman-teman,<br />

kami harus mengikuti jadwal protokoler istana.<br />

Sirene fore rider yang membelah macet sore Jakarta membuat<br />

perjalanan dari bandara hanya kurang dari satu jam. Turun di pintu<br />

belakang Istana Negara, aku terpana melihat sambutan meriah. Dari jauh<br />

kulihat gazebo di bagian belakang istana sudah ramai sekali.Puluhan<br />

kamera mengarah kepada kami. Canggung jugarasanya menjadi objek<br />

berita. Gugup sejenak memikirkan apa yang akan kusampaikan nanti.<br />

"Papa ...I"<br />

Seorang anak kecil berlari girang menyongsong. Laras, anak sulung<br />

Budi yang berusia tujuh tahun, berteriak dengan air mata berderai di pipi.<br />

Dia melompat ke arah Budi. Sang ayah memeluknya erat-erat.<br />

Dibelakangnya ada Lestari, istri Budi. Juga orang tua Budi,Niti Heru dan<br />

Disih, yang sengaja datang dari Desa Ganjuran, Mertoyudhan, Magelang,<br />

untuk menyambut kembalinya si anak hilang.<br />

Lalu, sosok yang sangat kukenal dan kurindukan berlari ke arahku.<br />

Mama. Juga, ada kakakku Finny dan Fitri. Kami berpelukan lama, seolaholah<br />

tak ingin lepas.Pelukan yang menguatkan hatiku, sebelum<br />

melangkah ke pendopo. Menghadap Presiden.<br />

Di gazebo, pertemuan dengan Presiden berjalan hangat dan santai.<br />

Presiden membuka pertemuan dengan memberikan kata sambutan.<br />

"Alhamdulillah, kita bersama-sama bersyukur ke hadirat Allah Swt.<br />

Karena ridha Al /ah, akhirnya yang sangat kita cintai Saudara Budiyanto<br />

dan Saudara Meutya Hafid telah kembali dengan selamat dan berjumpa<br />

dengan orang-orang yang sangat disayangi. Telah kembali berada di<br />

tengah-tengah kita, di tengah keluarga besar bangsa Indonesia yang terus<br />

berdoa siang dan malam agar mereka segera dibebaskan dan kembali<br />

dengan selamat ke Indonesia. Atasnama pemerintah, atas nama rakyat<br />

Indonesia, tentu disamping bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,<br />

saya juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua<br />

pihak yang telah dengan ikhlas, dengan gigih, berbuat sesuatu untuk<br />

menyelamatkan dan membebaskan kedua wartawan kita yang sangat<br />

saya cintai ini. Pertama-per tama, saya ingin mengucapkan terima kasih<br />

kepada Menteri Luar Negeri, termasuk Dubes RI di Amman, penghubung<br />

kita di Bagdad, Saudara Triyono dari Tim Krisis,dan seluruh jajaran<br />

termasuk dari BIN yang atas nama pemerintah telah bekerja keras,<br />

dengan diplomasi danmelaksanakan semua upaya pembebasan.<br />

"Kutebar pandang menyisir ruangan. Selain Presiden,ada Menteri<br />

Luar Negeri Hassan Wirajuda, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Jubir<br />

Presiden Andi<br />

Mallarangeng dan Dinno Pati Djalal.<br />

Presiden juga menyampaikan terima kasih kepa da Metro TV.


"Yang kedua, saya berterima kasih kepada pihak Metro TV, sahabatsahabat<br />

dari Metro TV yang peduli dan berusaha. Oleh karena itu, saya<br />

memberikan penghargaan dan terima kasih. Juga kepada tokoh-tokoh<br />

lain, ulama kita, saudara-saudara kita, baik di Indonesia maupun di Timur<br />

Tengah yang berdoa, menyampaikan seruan, menyampaikan statement<br />

dengan berbagai cara agar Meutya dan Budiyanto bisa selamat dan bebas<br />

dan kembali kepada keluarga dan sau dara-saudaranya di Indonesia.<br />

"Surya Paloh dan petinggi Media Group yang ha dir menyambutnya<br />

dengan tepukan tangan keci Presiden melanjutkan,<br />

"Saya mengajak kita semua untuk memetik hikmah dan pelajaran,<br />

dan bagaimana kita memandang ke depan. Tugas wartawan sering<br />

berhadapan dengan risiko dan bahaya, apalagi di daerah konflik, baik di<br />

tanah air maupun di luar negeri. Tetapi, jangan sampai adanya episodeini<br />

melunturkan keberanian, semangat, dan kegigihan dari rekan-rekan<br />

wartawan untuk melakukan tugas jurnalis-tiknya. Wartawan juga menjadi<br />

bagian penting dari upaya menegakkan kebenaran, misi kemanusiaan,<br />

bahkan<br />

dalam pengembangan demokrasi di negara kita. Teruslah<br />

berjuang, teruslah ber= profesi, untuk kepentingan kita semua.<br />

"Kali ini tepukan semakin meriah. Kawan-kawan yang meliput ikut<br />

bertepuk tangan.Mereka yang kukenal dalam peliputan ada yang<br />

melambaikan tangan dan melempar senyum ke arahku.<br />

Presiden pun menutup sambutannya.<br />

"Saya kira itu/ah yang dapat saya sampaikan, syukur kita, terima kasih<br />

saya, dan mudah-mudahan ini pelajaran yang bisa kita petik bersama.<br />

Saya kira akan menjadi bagian penting dalam biografi, dalam sejarah<br />

kalian berdua suatu saat untuk menulis riwayat hidup. Dan tentunya kami<br />

lebih bersyukur karena orangtua, keluarga, anak tentunya lebih bersyukur,<br />

lebih berbahagia, terutama bagi Meutya dan bagi Budiyanto.<br />

"Setelah memberikan kata penyambutan, Presiden menanyakan<br />

ihwal penculikan dan bagaimana perlakuan selama kami disandera.<br />

"Kami tak pernah menangis secara terbuka, hingga menerima kabar<br />

bahwa kami bebas karena Bapak merespons dengan cepat," jawabku<br />

dengan takzim, sambil berterima kasih atas perhatian Presiden, yang<br />

menjadi kunci utama pembebasan kami. Aku juga menyampaikan pesan<br />

Rois, berupa permohonan maaf kepada Presiden dan masyarakat Indonesia<br />

karena telah menculik dan membuat susah bangsa Indonesia.<br />

"Rois memuji Bapak, katanya betapa sayangnya Presiden kepada kalian."<br />

Budi menambahi cerita tentang strategi melunakkan hati<br />

penyandera."Di tengah tekanan, kami berusaha sabar dan menempatkan<br />

diri sebagai tamu yang baik. Kadang-kadang, kami menservice mereka.<br />

Membuat teh, jugamencuci gelas. Walaupun tangan harus kedinginan".<br />

Presiden mendengar kisah kami dengan sung guh-sungguh.<br />

Presiden juga bercerita pernah melintas dari Amman ke Bagdad, tahun<br />

1999.<br />

"Jadi, saya bisa membayangkan kondisinya," tutur Presiden.<br />

Pertemuan 20 menit pun ditutup dengan berfo-to bersama Presiden.<br />

Penyambutan yang tak kalah meriah diberikan teman-teman di kantor<br />

Metro TV. Begitu mobil memasuki gerbang kantor di Kedoya, Jakarta Barat,<br />

karangan bunga berjejer hingga lobi utama. Dari balik kaca mobil, aku


aca beberapa pengirim. Ada departemen, wakil rakyat, hingga LSM, yang<br />

sebagian besar ku kenal dari peliputan. Air mataku kembali menetes.<br />

Begitu banyak perhatian ditujukan kepadaku.<br />

Mendekati lobi, rekan-rekan kerjaku berjejer menyambut sambil<br />

membawa spanduk bertuliskan "Selamat datang teman, sahabat tercinta,<br />

Meutya dan Budiyanto". Di situ juga ada fotoku dan Budi saat disandera.<br />

Jeritan teman-teman memanggil-manggil nama kami.Aku mengenali<br />

salah satu suara:<br />

Najwa Shihab. Karib ku di kantor yang rajin menyemangati setiap aku<br />

berhadapan dengan penugasan berat. Dia berlari ke arahku.Aku<br />

melepaskan diri dari kawalan sekuriti kantor. Kami berpelukan erat<br />

sekali.Kawan-kawan lain ikut memelukku.Profesi membuat kami banyak<br />

menghabiskan waktu di kantor. Membuat kami dekat seperti keluarga.<br />

Ingin rasanya aku menghabiskan waktu lebih banyak dengan mereka<br />

semua. Tetapi, sekuriti langsung menggiring aku dan Budi ke lantai tiga,<br />

menuju grand studio. Rupanya, di sana lebih banyak lagi kawan-kawan<br />

lainnya. Mereka bertepuk tangan dan memanggil-manggil, saat kami<br />

memasuki studio. Di panggung ada Virgie Baker dan Tommy Cokro, dua<br />

rekanku sesama presenter.Ternyata kantor menyiapkan siaran langsung<br />

untuk penyambutan kami. Aku dan Budi naikke panggung. Ikut pula Laras,<br />

yang memeluk erat boneka unta oleh-oleh ayahnya dari Yordania.<br />

Hening. Di keremangan, televisi berlayar lebar menayangkan gambargambar<br />

apa yang terjadi di kantor selama kami diculik.Awalnya kami<br />

hanya tersenyum melihat tingkah kawan-kawan di layar TV. Bahagia<br />

rasanya bisa bertemu kembali kawan-ka wan, handaitaulan, dan kerabat,<br />

setelah sempat berpikir bahwa dunia akan berakhir.<br />

Lambat laun, gambar pun menyingkapkan keharuan. Tiga hari<br />

setelah kami hilang kontak, kantor menyiarkan Breaking News. Prita Laura<br />

dan Virgie Baker bergantian membawakannya.Virgie melakukan siaran<br />

sambil menitikkan air mata dengan suara terbata.Gambar<br />

beralih ke suasana newsroom. Kawan-kawan yang<br />

bertangisan setiap ada kabar terbaru dari Irak. Ketika akhirnya kabar<br />

penculikan dipastikan oleh pernyataan lewat video, tangisan pun pecah di<br />

kantor.Ada kepanikan di wajah mereka. Sabtu, 19 Februari dini hari, Metro<br />

TV menyiarkan penculikan itu lewat Breaking News. Mas Helmi Yohan-nes<br />

yang membawakannya. Dia tampil tegang, tetapi mencoba tenang.<br />

Siaran dini hari itu juga ditonton Mama di rumah. Mama berpelukan<br />

erat dengan kedua kakakku, sambil memirsa siaran yang mengumumkan<br />

secara resmi aku terculik.<br />

Potongan gambar yang kami kirim sebelum penculikan, dipadu pula<br />

dengan aku tampil on sere en dibeberapa lokasi, disiarkan dalam<br />

Breaking News itu.<br />

Pada bagian lain, ditampilkan pula pernyataan Presiden, yang<br />

dibacakan tengah malam dan disiarkan Al-Jazeerah:<br />

"Saya, Doktor Haji Susiio Bambang Yud-hoyono, Presiden Republik<br />

Indonesia, menyampaikan bahwa keduawartawan itu be nar-benar<br />

menjalankan tugas sebagai jurnalis seputar pelaksanaan pemilu di Irak.<br />

Mereka samasekali tidak terlibat dalam masalah politik maupun<br />

konflikyang sedang terjadi di Irak.<br />

"Selain Presiden, ada juga pernyataan mantan presiden K.H.


Abdurrahman Wahid, mantan Ketua<br />

MPR Amien Rais, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua PMI Mar'ie<br />

Muhamad, Ketua PP Muhammadiyah Prof.Din Syamsuddin, Ketua PB NU<br />

K.H. Hasyim Mu-zadi, mantan menteri agama Dr. Quraisy Shihab, dai<br />

K.H.Abdullah Gymnastiar, dan Ustad Abu Bakar Ba1 asyir. Peran mereka<br />

selaku tokoh politik dan agama dijaminkan demi kebebasan kami. Semua<br />

satu suara bahwa kami adalah jurnalis yang bertugas murni untuk<br />

peliputan. Rupanya, setelah pernyataan Presiden disiarkan,tetapi belum<br />

ada langkah pembebasan, kantor mengupayakan pernyataan para tokoh<br />

itu, melalui stasiun Al-Jazeerah.<br />

Begitu besar perhatian itu. Membuat air mataku seolah-olah tak<br />

berhenti menggenang.<br />

Di layar aku juga melihat tim khusus Metro TV yang dipimpin Surya<br />

Paloh, berangkat ke Amman, Yordania. Kesibukan juga terjadi di<br />

Departemen Luar Negeri. Juru Bicara Marty Natalegawa banyak<br />

memberikan keterangan pers mengenai detail kejadian yang kami alami<br />

selama 168 jam di gurun. Ada pula suasana rekan kerjaku di newsroom,<br />

yang setiap sore melantunkan doabersama untuk kebebasan kami, rekan<br />

mereka.<br />

Persis pada hari pembebasan kami, suasana kantor lebih heboh lagi.<br />

Hampir semua petinggi Metro TV dan Media Indonesia ada di ruang<br />

master control, tempat seluruh tayangan dikoordinasi. Mereka berpelukan<br />

dan bertangis-tangisan mensyukuri kebebasan kami. Bahkan, ada doa<br />

syukur yang dipimpin mantan Ketua MPR Amien Rais, di Mesjid Al-Ikhsan,<br />

di kompleks kantor.<br />

Aku bersyukur, ada hikmah persaudaraan yang begitu kental di antara<br />

rekan kerja. Aku ingat ketika pertama kali memutuskan merambah dunia<br />

jurnalistik, Desember 2000. Aku memulai karier ini dari titik nol. Tertantang<br />

dengan konsep televisi berita 24 jam, aku bergabung bersama Metro TV.<br />

Tanpa pengalaman, dan tanpa latar belakang pengetahuan<br />

kewartawanan. Aku harus tandem dengan wartawan senior, untuk<br />

memulai peliputan. Belajar teknik mencari berita, mendapatkan sudut<br />

berita yang baik, juga menemukan nara sumber dan mewawancarainya.<br />

Melihat liputanku di Irak diputar, aku merasa sudah jauh berjalan.<br />

Keluarga sempat menyuruh aku mundur karena ini jauh dari pelajaran<br />

Teknik Industri yang ku dalami di Australia. Ayah ingin aku bekerja di<br />

bidang yang sesuai dengan sekolahku.Lewat pertentangan hebat, aku<br />

meluluhkan hati keluarga. Apalagi di awal liputan, aku bergelut dengan<br />

dunia teknologi. Aku meliput dan membawakan program gaya hidup era<br />

digital, e-Lifestyle.<br />

Belakangan, area liputanku banyak berkaitan dengan wilayah konflik<br />

dan bencana. Darurat Militer tahun 2003 menjadi langkah pertamaku<br />

menjejak bumi Aceh. Aku seolah-olah akrab dengan Aceh, apalagi ketika<br />

bencana tsunami melanda Desember 2004. Tsunami menjadi liputan<br />

paling berkesan dalam karierku.Selain bisa melihat sendiri dampak<br />

bencana, aku juga menemukan pengalaman yang tidak biasa, seperti<br />

lebih sering naik helikopter ketimbang naik mobil.<br />

Profesi jurnalis membuatku banyak bertemu<br />

hal-hal baru. Termasuk bersua dengan wajah duka, kepanikan,dan<br />

bermacam ketidakbahagiaan lainnya. Empati yang muncul melahirkan


kesedihan pada diriku. Apalagi akuharus menekan rasa itu, ketika muncul<br />

di layar, yang mengharuskan penampilan tetap prima.Tak jarang,aku<br />

menangis beberapa waktu setelah tugasku selesai. Seusai meliput<br />

bencana tsunami, misalnya, aku masih suka menangis mengingat<br />

penderitaan para korban. Tak terbayang suatu masa, empati atas<br />

kesedihan itu terjadi atas diriku. Perasaan bersalah, bahwa pilihan profesi<br />

telah melukai hati keluarga,kembali mencuat.Aku telah membuat Mama<br />

dan rekan kerjaku menangis dan panik. Mestinya, aku yang menanggung<br />

semua akibat dari pilihan hidupku.<br />

* * *<br />

LAMPU studio menyala benderang. Pemred Metro TV, Don Bosco<br />

Selamun, maju ke panggung. Dia membawakan seikat kembang untuk<br />

Budiyanto. Di belakangnya, Najwa Shihab memberikan kembang yang<br />

serupa untukku. Kami berpelukan berteman derai air mata. Kantor juga<br />

menyiapkan tumpengan, yang potongannya kuberikan kepada Surya<br />

Paloh dan Mama. Perjuangan dan perhatian yang diberikan oleh keluarga<br />

dan institusiku, yang sungguh di luar dugaan, membuat air mataku<br />

kembali meleleh.<br />

Setelah beberapa kata sambutan, acara penyambutan pun diakhiri.<br />

"Keluarga juga ingin menyambut mereka," begitu kata pembawa acara.<br />

Salaman,<br />

pelukan, dan suara-suara memanggil kembali terdengar. Aku<br />

ingin menyalami semuanya, ingin menyampaikan terima kasihku yang<br />

tiada terhingga.<br />

Ketika kami pulang, jalanan sudah mulai gelap. Aku dan Budi<br />

berpisah mobil. Aku semobil dengan Mama dan kakak. Tidak ada lagi<br />

ingar-bingar. Suasana di mobil hangat, tenang. Sesekali Mama menyela<br />

ketenangan dengan bercerita tentang kakek dan nenekku yang sengaja<br />

datang dari Tasikmalaya untuk menyambutku dirumah. Teh Finny<br />

menimpali bahwa saudara-saudara dari Bandung juga ikut menunggu di<br />

rumah.<br />

Aku memeluk erat Mama. Menangis di pangkuannya. Aku akhirnya<br />

pulang. Bahagia, rindu, dan rasa bersalah, berbaur menjadi satu.<br />

Sebelum terlelap, aku sempat mendengar perkataan Mama: "Di rumah<br />

sudah tersedia semur daging dan kerupuk kesukaanmu." Kantuk kian<br />

menyergap. Kelelahan fisik dan jiwa membuatku lelap di pangkuan Mama.<br />

Dalam tidurku, suara Ibrahim terngiang: "Kalau kita masih bertemu<br />

hari esok dan sampai pada keluarga masing-masing, kita harus betulbetul<br />

bersyukur kepada Allah."[]<br />

Bab 12<br />

Kapan Harus Berhenti?<br />

(Sebuah Refleksi)<br />

"Tidak ada berita yang nilainya lebih dari nyawa"<br />

KARENA karier jurnalistikku masih seumur jagung, aku senantiasa<br />

mengingatkan diri untuk tidak menantang pergi ke medan peliputan yang<br />

berat dan berisiko.Aku tak mau dengan sengaja mencari-cari, atau<br />

meminta penugasan yang berbahaya dari atasanku. Tetapi, apa bisa dan<br />

apa enaknya, seorang wartawan selamanya hanya "mengerjakan<br />

peliputan yang aman", menghindari penugasan berisiko? Ketika pada<br />

akhirnya penugasan berisiko itu datang juga padaku, selalu kuingatkan


diri bahwa nyawa dan keselamatan adalah prioritas utama.<br />

Namun, di medan peliputan, tak semudah itu menentukan garis tegas<br />

dan prioritas, antara menyelamatkan nyawa dan mengejar berita.<br />

Tantangan untuk memperoleh informasi dan visual dari dekat dengan<br />

alasan "it's not good enough, it's not close enough", tekananuntuk<br />

mendapat gambar eksklusif, hiruk pikuk di lapangan, semakin membuat<br />

adrenalin<br />

meluap-luap, menjadikan pandangan seorang wartawan kabur.<br />

Dedikasi terhadap profesi, cinta pada kegiatan reportase, tanpa disadari<br />

menjadi pembenar untuk maju selangkah lebih dekat lagi pada risiko<br />

yang bisa saja berakibat kematian. Garis batas itu semakin sulit terbaca<br />

karena, sebagai jurnalis, penilaianku kerap dikaburkan nikmatnya berada<br />

di tengah kancah sebuah berita "panas". Sebuah medan peliputan konflik<br />

atau bencana memang ibarat magnet yang menyedot seluruh perhatian,<br />

menghipnotis, memacu semangat. Hingga lupa bertanya pada diri, "kapan<br />

saya harus berhenti?"<br />

Aku harus bersyukur karena Tuhan telah mengingatkanku dengan<br />

cara halus. Penyanderaan yang kualami membuatku melihat garis batas<br />

yang sebelumnya kabur itu menjadi jelas dan terang. Juga membuatku<br />

sadar, sebagai pencari berita, aku juga bisa matidi medan tugas, dan<br />

menjadi berita. Mungkin terdengar sangat naif, tetapi risiko ini kerap<br />

terlupa ketika diri dirasuki kenikmatan meliput sebuah peristiwa. Bagiku,<br />

penyanderaan ini adalah teguran halus-Nya untuk mengingatkanku, di<br />

sinilah aku harus berhenti.<br />

Aku teringat guide kami, Muhammad Nasser, yang berteriak-teriak<br />

memintaku melepaskan serpihan bom sesaat setelah terjadi ledakan<br />

besar di pusat Kota Bagdad, Tahrir Square. Aku tidak mengindahkannya.<br />

Barang bukti itu kupegang dan kutunjukkan ke kamera sembari kukatakan:<br />

"Inilah satu rangkaian bom yang digunakan untuk meledakkan pusat Kota<br />

Bagdad, hanya beberapa kilometer dari pusat<br />

komando pasukan koalisi." Ada kepuasan (juga kebanggaan)<br />

berhasil menunjukkan kepada pemirsa benda kecil yang telah<br />

mengakibatkan kerusakan masif itu. Saking "asyiknya", tak terpikir olehku,<br />

serpihan bom tersebut masih bisa meledak di tanganku.<br />

Nasser juga membujukku dan Budi yang sibuk mengambil gambar<br />

korban ledakan, untuk segera meninggalkan lokasi. Ceceran darah dan<br />

serpihan tubuh manusia membuat Budi terpaku pada lensa<br />

kameranya,dan aku fokus mengumpulkan data. Dari sisi visual dandata,<br />

peristiwa ledakan bom ini memang sangat kuat nilai beritanya. News<br />

judgement-ku spontan mengatakan peristiwa ini akan menjadi headline<br />

berita petang kami. Dan terbukti benar, redaksi Metro TV di Kedoya<br />

menjadikan peristiwa ini berita pertama dalam program Metro Hari Ini.<br />

Begitu bersemangatnya aku dan Budi, hingga lupa untuk beberapa saat<br />

bahwa menjadi wartawan tidak berarti kami tidak bisa menambah statistik<br />

jumlah korban.Tak terpikir sama sekali, ketika itu,badanku juga bisa<br />

terburai persis seperti serpihan daging korban yang berceceran di lokasi<br />

ledakan.<br />

Karena terbukti selamat dan peliputan kami dianggap berhasil oleh<br />

redaksi di Kedoya, aku dan Budi semakin menjadi-jadi. Penugasan kedua<br />

masuk ke Irak untuk meliput perayaan Asyura di Kota Karbala kami


sambut dengan semangat. Padahal ku akui, di lubuk hati, penugasan ini<br />

amat berbahaya dengan tingkat kesulitan yang amat tinggi. Pertama, kami<br />

tidak punya akses keKarbala. Nasser yang beraliran<br />

Sunni tidak mungkin mengantar kami ke Karbala yang dihuni<br />

mayoritas kelompok Syiah. Sementara itu, menggantungkan kepercayaan<br />

dan keselamatan kami kepada orang baru akan terlalu riskan di daerah<br />

konflik seperti Irak. Kedua, Kota Karbala ketika itu tidak terjangkau sinyal<br />

teleponseluler, padahal terlalu riskan masuk ke daerah tersebut tanpa alat<br />

komunikasi. Ketiga, perayaan Asyura daritahun ke tahun kerap diwarnai<br />

insiden. Setahun sebelumnya terjadi kerusuhan yang menewaskan 200an<br />

orang.<br />

Kerusuhan, bagiku, adalah keadaan konflik yang paling berat karena<br />

polanya sulit dipahami dan dibaca. Pawai damai yang diikuti ribuan orang<br />

bisa berubah kacau dalam sekejap. Pada peristiwa Mei 1998 di Jakarta,<br />

misalnya, kelompok yang terlibat menciptakan huru-hara tidak jelas. Siapa<br />

yang menunggangi dan siapa yang ditunggangi susah diterka. Pada<br />

perayaan Asyura 2004, pihak yang diduga bermain juga beragam, mulai<br />

dari intelijen Israel Mos sad, kelompok Sunni Arab,dan kepentingan adu<br />

domba Sunni-Syiah oleh AmerikaSerikat dan Inggris. Jika benar huru-hara<br />

didasari konflik Sunni-Syiah, tentu persoalannya lebih kompleks lagi<br />

karena melibatkan emosi dan sejarah panjang pergolakan sektarian<br />

sejak awal peradaban Islam.<br />

Di tengah tantangan yang begitu berat dan tingkat keberhasilan<br />

peliputan yang kurasa tipis, aku dan Budi tetap memutuskan menjalankan<br />

penugasan itu. Entahapa yang menggerakkan kami untuk terus<br />

melangkah. Mungkin karena merasa ini suatu<br />

bentuk amanah yangharus diemban, atau karena naluri jurnalistik<br />

kamisemata. Ditambah dengan alasan "nilai berita yang kuat" dan<br />

kepercayaan pada takdir, kami maju terus.<br />

Kini, dalam pikiran jernihku, aku merasa "beruntung" dan bersyukur<br />

kami "dipaksa" berhenti oleh penyandera, sebelum terlambat. Apalagi<br />

belakangan kudengar, perayaan Asyura tahun 2005, yang sedianya<br />

hendak kuliput, memakan korban yang tidak sedikit. Sayangnya, tidak<br />

semua wartawan "sebe-runtung" aku dan Budi. Terlalu banyak rekan<br />

jurnalis yang berhenti ketika sudah terlambat. Setelah maut menyergap.<br />

Pengalaman di Irak membuatku kerap diundang lembaga-lembaga<br />

internasional, mendiskusikan masalah keselamatan jurnalis. Di situ pula<br />

aku berkenalan dengan Sarah de Jong dari International News Safety<br />

Institute (INSI), yang mendata semua wartawan yang mati atau mengalami<br />

kekerasan dalam peliputan di berbagai belahan dunia. Sebagian besar<br />

adalah wartawan senior,wartawan pilihan yang sudah memiliki jam<br />

terbang cukup tinggi. Sebagian sudah dilengkapi standar pengamanan<br />

terbaik, termasuk menggunakan jasa bodyguard dan security consultant.<br />

Semua kemewahan tersebut menjadi tak berarti karena mungkin lupa<br />

bertanya pada diri sendiri, kapan harus berhenti. Industripers kehilangan<br />

banyak orang terbaiknya di garis depan, kadang karena kesalahan sepele.<br />

Kenyataan pahit yang mengerikan.<br />

Melihat statistik itu, aku jadi merasa bodoh<br />

karena tidak merasa takut ketika berangkat ke Irak. Bukan berarti aku<br />

menyesal telah menerima penugasan ini, tidak. Naluri jurnalistikku pasti


tetap menerima penugasan ini dengan bersemangat. Hanya saja, sedikit<br />

"rasa takut" mungkin dapat membantuku membaca garis batas yang jelas<br />

ketika asyik meliput di medan berbahaya. Mungkin aku tidak akan<br />

mengangkat serpihan bom secara refleks ketika mengetahui bahwa<br />

benda tersebut sebenarnya masih bisa meledak. Mungkin sedikit "rasa<br />

takut" adalah sisi manusiawi yang penting kumiliki ketika memasuki<br />

daerah konflik untuk membuatku mampu menjawab "kapan saya harus<br />

berhenti".Ketidakkhawatiranku di awal penugasan kuanggap sebagai<br />

sikap positive thinking yang baik,tetapi membuatku kurang cermat<br />

mencerna kemungkinan buruk.<br />

Sebagai seorang anchor, aku sudah sering membawakan berita<br />

penyanderaan wartawan di Irak. Tetapi, aku tidak membayangkan aku dan<br />

Budi berada dalam kondisi tersebut. Aku berangkat dengan semangat<br />

tinggi dan kesiapan yang, menurutku saat itu, bulat. Tetapi, betulkah aku<br />

sudah siap?<br />

Hari-hari panjang penyanderaan di gua memberiku banyak waktu<br />

untuk merenung, menyadari, dan akhirnya mengakui bahwa sepanjang<br />

perjalanan jurnalistikku, aku mungkin belum pernah betul-betul siap<br />

dalam peliputan. Pemimpin dan seniorku di Metro TV kerap memuji. Aku<br />

selalu siap dan tidak pernah menolak tugas, aku siap dengan fisikku yang<br />

tahan banting, aku siap dengan berbekal ilmu dan daya nalar yang cukup<br />

baik, aku siap dengan kemampuan<br />

lobi menembus narasumber,aku siap dengan kelincahan dan<br />

kelihaianku mengemas sebuah berita menjadi menarik, aku tidak pernah<br />

gentar masuk daerah konflik. Aku siap dengan logistik dan teknologi<br />

pendukung, tetapi siapkah aku? Ternyata belum.<br />

Ketika meninggalkan Jakarta menuju Irak, secara fisik dan mental aku<br />

memang siap meliput. Tetapi, aku belum siap dengan berbagai<br />

konsekuensinya, termasuk menghadapi kemungkinan terburuk: kematian.<br />

Aku baru bisa mengatakan betul-betul siap meliput di daerah konflik hanya<br />

ketika aku siap dengan kemungkinan terburuk itu. Ini bukan berarti aku<br />

bersedia mati untuk sebuah berita, melainkan semata memahami dan<br />

siap menghadapi risiko itu, jika ditakdirkan. Berada dalam tangan<br />

kelompok penyandera membuatku mengerti arti siap yang sebenarnya.<br />

Sayangnya, aku baru menyadarinya ketika memang tak punya pilihan lain,<br />

selain mempersiapkan diri untuk risiko terburuk: kematian.<br />

"Kalau di peluru itu tidak tertera nama kita, ya kitatidak akan kena,<br />

Mut." Ucapan Budi ini menjadi modal keberanianku selama bertugas di<br />

Irak. Ber-sandarkan kepasrahan dan kepercayaan pada takdir, aku melaju<br />

tanpa takut. Yang aku lupa, pasrah adalah penyerahan diri, setelah usaha<br />

maksimal dilakukan.<br />

Seorang tentara Irak pernah bertanya padaku danBudi ketika kami<br />

meliput. "Kenapa tidak memakai rompiantipeluru?" Kujawab, "Tidak<br />

punya." Dia bertanya lagi, "Kenapa tidak memakai helm anti peluru?"<br />

Jawabanku sama, "Tidak punya." Penasaran dia bertanya lagi,<br />

"Lalu apa pelindung kalian?" Aku dan Budi menjawab mantap: "Bismillah!"<br />

Budi mengeluarkan Al-Quran kecilnya dari saku dan menempelkannya di<br />

kening.Tentara dengan pengamanan lengkap, helm dan rompi anti peluru<br />

serta senjata laras panjang itu, tertawa. Sebagai seorang Muslim yang<br />

juga percaya takdir, dia agak sulit mendebat alasan kami.


Bermodalkan "Bismillah" dan "La haula wa laquw wata illa billah",<br />

kami juga tegar keluar masuk daerah zona merah yang berbahaya.<br />

Sebelum berangkat ke Irak, aku memang kurang bersimpati terhadap cara<br />

peliputan beberapa televisi asing yang dikenal dengan hotel journalism.<br />

Wartawan melaporkan langsung dari hotel, dengan data-data yang<br />

disiapkan oleh stringer, orang lokal yang membantu mencari data dan<br />

rekaman visual. Reporter tersebut biasanya menambahkan perspektif dan<br />

analisis dalam laporannya, seolah-olah dia terjun langsung dan<br />

mengetahui persis fakta di lapangan. Aku tidak mau demikian. Aku dan<br />

Budi, ditemani Nasser, sengaja masuk ke zona merah, mencoba<br />

menggali informasi dan melihat langsung bagaimana masyarakat<br />

memandang pelaksanaan pemilu pertama di Irak pasca kejatuhan<br />

Saddam Hussein. Lagi-lagi hanya berbekal kepasrahan dan keyakinan<br />

akan takdir. Salahkah?<br />

Tidak ada salahnya pasrah dan bergantung pada takdir. Bahkan<br />

bagiku, itu adalah keniscayaan, salah satu modal utama yang<br />

membantuku berhasil<br />

menuntaskan berbagai tugas reportaseku. Hanya saja, kalau boleh<br />

aku mewakili kecenderungan orang Indonesia pada umumnya, sikap ini<br />

kadang cenderung membuat kita tidak berhati-hati dan menyerahkan<br />

semuanya padatakdir. Menyepelekan masalah, tanpa diiringi usaha<br />

maksimal.<br />

Padahal, banyak yang bisa disiapkan sebelum keberangkatanku ke<br />

kawasan konflik seperti Irak. Jaket pengaman dan helm antipeluru,<br />

misalnya. Umumnya halini tidak bisa dipenuhi karena keterbatasan<br />

anggaran. Bagi sebuah stasiun televisi Indonesia, mengirimkan krunya<br />

untuk meliput ke Irak, dengan perhitungan memberikan laporan langsung<br />

minimal satu kali sehari,sudah merupakan suatu kemewahan. Atau,<br />

kalaupun perusahaan pers tertentu sebenarnya telah memilikiperangkat<br />

lengkap peliputan di kawasan konflik, sangwartawan Indonesia sengaja<br />

tidak membawanya, dengan berbagai alasan. Ribet dan berat, biasanya,<br />

menjadi alasan utama. Tanpa perangkat pengamanan liputan tadi,aku<br />

sendiri dan Budi merasa sudah mempersiapkan segalanya secara<br />

maksimal meskipun tidak seratus persen. Dan, modal utama yang kami<br />

persiapkan cukup baik adalah pengetahuan dan pemahaman terhadap<br />

medan peliputan.<br />

Sepulangku dengan selamat dari Irak, aku banyak berdialog dengan<br />

aktivis lembaga yang menangani persoalan wartawan di kawasan konflik,<br />

seperti International News Safety Institute (INSI). Aku juga berdiskusi<br />

dengan seorang trainer perusahaan security consultant, AKE. Dari mereka<br />

aku mendapat<br />

pelajaran bahwa modal utama jurnalis ketika memasuki daerah<br />

konflik bukan peralatan komunikasi atau pun keamanan, melainkan<br />

knowledge, yakni pengetahuan atau pemahaman terhadap medan<br />

peliputan, baik wilayah maupun sosiokultural warganya. "Knowledge is the<br />

mostvaluable safety material,"kata Peter Williams,wartawan CNN yang<br />

meliput huru-hara di Bradford, Inggris,tahun 2001.<br />

Dalam penugasanku, peran Budiyanto sangat besar. Sebelum<br />

bertugas bersamaku, Budi sudah dua kali masuk ke Irak dan memiliki<br />

memori yang kuat mengenai lokasi lokasi penting di sana. Budi juga


membuka banyak akses melalui Nasser, yang sudah dikenalnya sejak<br />

tahun 2003. Berbekal pemahaman Budi itulah, kami putuskan masuk ke<br />

Irak melalui jalur darat, dengan berbagai pertimbangan, bukan sebuah<br />

keputusan asal-asalan.<br />

Pemahaman mengenai sensitivitas konflik Sunni-Syiah amat<br />

membantu kami menghadapi penyanderaan. Ibrahim menjelaskan, lokasi<br />

penculikan kami adalah Ramadi. Aku teringat catatanku, Ramadi adalah<br />

basis kelompok Sunni. Karena itu, ketika para penyandera menanyakan<br />

tujuan peliputan kami di Irak, aku langsung menjawab: meliput pemilu.<br />

Jika saja kami menjelaskan tujuan sebenarnya, yaitu meliput Asyura yang<br />

biasa diperingati warga Syiah, tentu bisa berakibat fatal. Konflik sektarian<br />

di Irak kembali menguat pasca-invasi Amerika.<br />

Namun, pemahaman dan pengetahuan, yang awalnya kurasa sudah<br />

cukup, ternyata belum. Soal penculikan, misalnya. Ketika kami<br />

memutuskan kembali<br />

kelrak melalui jalur darat, hanya selintas kemungkinan risiko<br />

diculik mampir di kepala kami. Risiko terburuk yang banyak aku dan Budi<br />

diskusikan malah soal penghadangan oleh sekelompok orang yang biasa<br />

meminta uang di perjalanan, yang dikenal dengan sebutan Ali Baba. Jika<br />

sudah dibayar, mereka akan membiarkan kami lewat. Risiko lain adalah<br />

masuk ke wilayah pertempuran antara kelompok perlawanan dan<br />

pasukan koalisi, dan kami terjebak di antara mereka. Perjalanan darat<br />

juga berisiko menginjak ranjau, atau menjadi korban bom mobil. Tetapi<br />

soal risiko penculikan, lagi-lagi, hanya melintas sekelebat. Entah kenapa,<br />

padahal sudah sering terjadi penculikan, termasuk pada wartawan di Irak,<br />

dan aku kerap pula membacakan beritanya di layar Metro TV.<br />

Setelah penyanderaan itu, aku rajin membaca buku tentang peliputan<br />

di daerah konflik, yang umumnya disusun berdasarkan pengalaman<br />

jurnalistik. Dari buku-buku itu pula kuketahui dua kategori penyanderaan:<br />

surprise attack atau serangan dadakan dan planne dattack atau<br />

penyanderaan terencana. Kasusku dan Budimasuk kategori pertama.<br />

Kasus Ferry Santoro dan almarhum Ersa Siregar dari RCTI, yang<br />

disandera kelompok Gerakan Aceh Merdeka, bisa dimasukkan kategori<br />

kedua. Pada penyanderaan terencana, penyandera biasanya menjebak<br />

wartawan dengan iming-iming untu kmewawancarai atau mendapat<br />

peliputan eksklusif.<br />

Aku juga mengenal berbagai motif penyanderaan, mulai dari<br />

komoditas politik, komoditas ekonomi,<br />

balas dendam, sandera untuk jaminan keamanan bagi<br />

penyandera, hingga kemungkinan salah tangkap. Walau terkesan sepele,<br />

ketika berada dalam penyanderaan, mengenali motif adalah hal penting.<br />

Penyanderaan ku dan Budi kemungkinan besar bermotif politik, yaitu untuk<br />

meraih atensi luas dari dunia internasional. Adapun motif penyanderaan<br />

terhadap wartawan media Barat biasanya lebih kompleks lagi. Bisa saja<br />

motif politik, ekonomi (permintaan uang tebusan), balas dendam terhadap<br />

kebijakan pemerintah asal si wartawan, atau sandera untuk jaminan<br />

keamanan di penculik, bercampur aduk.<br />

Mengenali motif penculikan tentu akan membantu menentukan<br />

langkah apa yang harus diambil. Dalam kasusku dan Budi, penyandera<br />

hanya memanfaatkan kami sebagai komoditas politik. Karena itu, kami


sebagai sandera tak perlu berpikir keras melarikan diri. Sebab,<br />

kemungkinan besar kami dibebaskan. Lain halnya dengan para sandera<br />

dari Eropa dan Amerika Serikat. Kemungkinan dibebaskan penyandera<br />

teramat kecil sehingga dianjurkan untuk escape (melarikan diri).<br />

Pengalaman penyanderaan di Irak juga menya-darkanku bahwa<br />

kelengkapan berbagai peralatan keamanan tidak akan membantu tanpa<br />

pendekatan "hati". Keberingasan para penyandera memang sempat<br />

membuatku takut setengah mati. Langsung terbayang di kepalaku<br />

bagaimana tayangan televisi memperlihatkan kelompok penyandera<br />

memenggal kepala sandera. Aku coba melawan stigma itu dengan<br />

meyakinkan diri bahwa mereka juga manusia<br />

yang memiliki nurani. Seberbeda apa pun pandangan dan cara hidup<br />

mereka, sebagai manusia, aku yakin mereka dan kami memiliki beberapa<br />

persamaan nilai, terutama menyangkut keluarga.<br />

Kami cukup berhasil mencairkan suasana ketika aku dan Budi<br />

mengeluarkan foto keluarga, sekaligus menanyakan perihal keluarga<br />

mereka. Dari sosok yang beringas dan keras, tiba-tiba mereka melunak<br />

saat bercerita tentang anak dan ibu mereka. Dan rupanya, mereka adalah<br />

orang-orang yang merasa terpinggirkan, tak pernah mendapat perhatian<br />

dan penghargaan yang layak dalam keseharian mereka. "Strategi" saling<br />

mencurahkan isi hati seputar keseharian kami ternyata berhasil menjebol<br />

tembok kekakuan. Sejak itu, moncong senjata tidak lagi diarahkan kepada<br />

kami walau mereka tetap siaga. Aku bersyukur, di tengah kepanikan<br />

danketakutan, Tuhan memberiku ketenangan, untuk melihat para<br />

penyandera bukan sebagai penjahat atau teroris. Di balik aksi perlawanan<br />

dan kekerasan yang mereka lakukan, ternyata mereka juga manusia<br />

biasa yang berhati nurani. Aku tidak setuju cara perjuangan mereka<br />

dengan menculik kami atau wartawan dan pekerja asing lain. Namun,<br />

mereka tentu punya alasan kuat untukmelakukannya.<br />

Keluhan Rois (pemimpin penyandera), bahwa media tidak adil dan<br />

cenderung memojokkan mereka, kurenungkan selama penyanderaan.<br />

Pergeseran nilai keterlibatan media dalam meliput daerah konflik<br />

memang semakin terasa. Dulu, wartawan dilindungi berbagai pihak, kini<br />

justru menjadi target sandera<br />

dan pembunuhan. Konvensi Jenewa yang mengatur perlindungan<br />

terhadap sipil kerap tidak diindahkan lagi. Dalam konvensi itu, disebutkan<br />

bahwa wartawan mempunyai hakyang sama sebagai warga sipil, untuk<br />

mendapat perlindungan dari tindak kekerasan, ancaman, pembunuhan,<br />

pemenjaraan, dan penyiksaan. Pihak yang melanggar hak-hak wartawan,<br />

dari pihak militer atau pun milisi, dapat dituntut sebagai penjahat perang.<br />

Kesepakatan yang dibentuk tahun 1949 dan diratifikasi oleh hampir<br />

semua negara ini tak lagi mampu melindungi wartawan di kawasan<br />

konflik.<br />

Yang menyedihkan, kenyataan ini kerap tidak lepas dari ulah<br />

wartawan sendiri. Distorsi fungsi wartawan sebagai pihak yang mestinya<br />

"netral" sesungguhnya sudah terjadi sejak perang Vietnam. Wartawan,<br />

tidak hanya yang berkebangsaan Amerika yang ketika itumemang tengah<br />

memerangi Vietnam, ikut memakaiseragam militer dan angkat senjata.<br />

Perang Teluk tahun 1991 juga menjadi catatan penting dalam pergeseran<br />

nilai wartawan. Ketika itu, reporter televisi Amerika dan Inggris tampil di


layar, melaporkan langsung dengan memakai atribut militer. Mereka biasa<br />

disebut wartawan embedded, yang mengenakan kelengkapan seragam<br />

militer. Di Kandahar, Walter Rodgers, seorang wartawan CNN,<br />

melaporkan dari kamp tentara Amerika memakai seragam US Marine. Hal<br />

yang sama dilakukan Geraldo Rivera, reporter Fox News. Ketika tiba di<br />

Jalalabad, diamenenteng senjata dengan target ikut memburu Osama bin<br />

Laden. Rivera telah bergesar jauh dari<br />

fungsinya sebagai seorang reporter, menjadi seorang combatant.<br />

Detik itu juga, gugur semua haknya sebagai jurnalisyang dilindungi<br />

konvensi Jenewa.<br />

Semakin banyak kupelajari tentang keselamatan jurnalis, semakin<br />

sering kulihat, insiden buruk yang menimpa wartawan kerap bermula dari<br />

kesalahan kecil dan sepele. Terakhir, kematian rekan Muhamad Guntur<br />

Saefullah, juru kamera SCTV, dan Suher-man, juru kamera Lativi, dalam<br />

tragedi tenggelamnya kapal Levina, membuatku terpukul. Kalau saja<br />

Guntur dan Suherman memakai pelampung, tanpa bermaksud<br />

mempertanyakan takdir, mungkin karya-karya jurnalistik mereka masih<br />

dapat kita nikmati. Lebih terpukul lagi, aku melihat kepiluan yang<br />

dirasakan keluarga kedua wartawan itu. Langsung ku-teringat Mama dan<br />

keluargaku yang juga mengalami masa-masa sulit selama<br />

penyanderaanku. Begitu egoisnyakah aku? Begitu egoisnyakah para<br />

wartawan yang memperjuangkan sebuah gambar eksklusif dengan risiko<br />

kematian, dan melupakan dampak buruknya bagi orang-orang yang<br />

mencintai mereka? Ataukah ini semata bentuk pengorbanan wartawan<br />

terhadap profesinya?<br />

Peristiwa tertembaknya dua wartawan perang yangsangat dihormati<br />

karena pengalaman dan kemampuannya "membaca" medan, Kurt Shorck<br />

(Reu ters) danMiguel Gil Moreno (Associated Press), menjadi peringatan<br />

untukku. Shorck dan Moreno, yang ditugasimeliput konflik di Sierra Leone<br />

pada tahun 2DDD, memutuskan untuk masuk hingga melewati garis<br />

depan walaupun telah menerima laporan<br />

mengenai bahaya didaerah tersebut. Bahkan jurnalis terbaik pun,<br />

ketika sudah berada di medan liputan, kesulitan<br />

menemukankeseimbangan antara insting untuk menyelamatkan diridan<br />

keinginan untuk memperoleh berita eksklusif.<br />

Perjalanan 168 jam dalam penyanderaan men-yadarkanku, betapa<br />

pengetahuan dan keberanian tidaklah cukup sebagai modal wartawan<br />

perang. Yang lebih penting lagi adalah kemampuan untuk mengendalikan<br />

diri: kapan kita harus melangkah di tengah bahaya dankapan saatnya<br />

berhenti. Berhenti, bukan hanya untuk dirisendiri, melainkan juga untuk<br />

orang-orang yang mencintai dan menunggu kepulangan kita, dengan<br />

selamat.<br />

Aku teramat bersyukur dan tersanjung ketika keluargaku, kawankawan<br />

seprofesi, dan pemimpin bangsaku, dengan tulus mengupayakan<br />

dan mendoakan pembebasanku dari penculikan, akibat keteledoranku.<br />

Terimakasih atas doa dan air mata yang memudahkan langkahku kembali<br />

ke tanah air, kembali ke pelukan orang-orang yang mencintaiku.[]<br />

Lampiran<br />

Pergolakan Sebuah Ruang Redaksi<br />

Oleh Don Bosco Selamun Pemimpin Redaksi Metro TV 2004-2005


BERITA itu membuat seisi ruang redaksi gaduh dan panik. Ada yang<br />

histeris, ada yang menangis. Sebagian tertegun, tertunduk lesu. Raut<br />

sedih merebak seantero ruangan yang sesak. Di ruang pengendali<br />

siaran, kegaduhan lebih terasa. Sesungguhnya kegaduhan dan<br />

kepanikan biasa terjadi saat menayangkan breaking news. Tapi kali ini<br />

bercampur ketidakpastian, perasaan getirdan sedih. Karena yang<br />

diberitakan adalah nasib Meutya Viada Hafid dan Budiyanto, wartawan<br />

MetroTV, sahabat kami sendiri. Keduanya dinyatakan hilang ketika meliput<br />

pemilihan umum di Irak.<br />

Hari itu, Jumat, 18 Februari 2DDS. Empat jam sebelumnya, di tengah<br />

rapat kerja Metro TV di Hotel Hilton (kini Hotel Sultan), seseorang berbisik<br />

kepada saya. "Bang, ada berita dari Deplu, dari Pak Marty. Meutya dan<br />

Budiyanto hilang di Irak. Bang Don diminta ke Deplu," kata Henny<br />

Puspitasari. Hen ny adalah PR Manager Metro TV yang pertama kali<br />

menerima kabardari Marty Natalegawa, Juru Bicara Kementerian<br />

LuarNegeri saat itu.<br />

Serasa disambar petir saya mendengarnya. Saya tinggalkan ruangan<br />

raker dengan gugup. Sekujur tubuh terasa dingin, badan lemas. Menyusul<br />

kemudian Zsa Zsa Vusaryahya, Direktur Programming dan PR, yang juga<br />

diberitahu Henny. Beberapa manager dari divisi pemberitaan, Claudius<br />

Boekan, Desi Anwar, Makroen Sandjaya, Bambang Hamid, Retno Shanti,<br />

dan UsiKarundeng susul-menyusul keluar ruangan. Dan dilorong depan<br />

pintu tempat raker berlangsung, saya sampaikan kabar ini. Mereka<br />

terkejut.<br />

Di tengah ketidakpastian tentang nasib Meutya dan Budi, begitu<br />

keduanya biasa dipanggil, kami menggelar koordinasi darurat di lorong<br />

itu. Zsa Zsa dan Desi Anwar bertugas menyampaikan kabar ini kepada<br />

keluarga Meutya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Claudius Boekan,<br />

manager peliputan, balik ke Kantor Metro TV, memimpin para kordinator<br />

peliputan (korlip) melacak posisi Meutya dan Budi. Juga memberitahu<br />

keluarga Budiyanto di Rawamangun, Jakarta Timur.<br />

Makroen Sandjaya, manager produksi, juga balik kekantor<br />

menyiapkan berita jika peristiwa ini benar terjadi. Endah Saptorini,<br />

manager Current Affairs, membantu Makroen dan timnya. Sementara<br />

Helmy Vohanes, Services Manager, diminta menghubungi televisi-televisi<br />

asing. Praktis, hanya Bambang Hamid, sekretaris redaksi, dan Retno<br />

Shanti, manager News Magazine,yang tersisa untuk mewakili Divisi<br />

Pemberitaan mengikuti raker yang mestinya berakhir sebelum makan<br />

sianghari itu. Bersama Usi Karunde-ng, saya bergegas<br />

menujuDepartemen Luar Negeri, di Jl Pejambon, Jakarta Pusat.<br />

* * *n<br />

MEUTYA dan Budi hilang?" Itulah pertanyaan pertama yang memagut<br />

kepala saya ketika pertama kali mendengar berita itu dari Henny.<br />

"Bagaimana nasib kedua anak buah saya itu?" Pertanyaan kedua ini<br />

merangsang adrenalin kecemasan yang membuat saya limbung. "Tuhan,<br />

lindungi kedua sahabat saya yang telah berkorban meninggalkan<br />

keluarga untuk melaksanakan tugas yang telah saya bebankan ke pundak<br />

mereka. "Hanya itu untaian doa singkat mengiringi perasaan cemas yang<br />

menekan batin.<br />

Ini kali pertama selama lebih dari 20 tahun karier kewartawanan saya,


saya dipanggil ke Deplu. Lagi pula, sangat jarang Deplu bersangkut paut<br />

dengan pemanggilan seorang pemimpin redaksi, kecuali coffee<br />

morninguntuk menyampaikan berita-berita baru.Itu pun biasanya ramerame<br />

dengan wartawan lain. Karena itu, insting saya mengatakan<br />

"sesuatu yang genting," telah terjadi. Tetapi, apakah "sesuatu yang buruk"<br />

telahmenimpa Meutya dan Budi?<br />

Menghadap Deplu saya siapkan berbagai bahan. Saya hubungi<br />

kembali Claudius Boekan untuk mengumpulkan semua catatan dari para<br />

Korlip tentang posisi perjalanan Meutya dan Budi, dari awal hingga data<br />

paling akhir. Laporan yang dibuat Claudius<br />

Boekan di crosscheck dengan laporan langsung dari para Korlip.<br />

Hampir semua Korlip ketika itu, Dadi R. Sumaatmadja,Budiyono, Muchlis<br />

Ainurrofiq, Muzakkir Hussain, Ferry Putra Utama, saya hubungi untuk<br />

mendapatkan gambaran tentang jejak Meutya dan Budi, hingga kontak<br />

terakhir dengan keduanya selama meliput di Irak.<br />

Dari para Korlip diperoleh gambaran bahwa kontak terakhir dengan<br />

Meutya dan Budi terjadi tanggal 14Februari, sore hari waktu Jakarta, atau<br />

siang hari waktu Amman, Yordania. Kontak itu terjadi ketika keduanya<br />

tengah mengurus visa di Amman, hanya beberapa saat sebelum kembali<br />

ke Bagdad. Visa sebelumnya hanyasingle trip rupanya. Penugasan untuk<br />

balik ke Irak, langsung berasal dari saya sebagai pemimpin redaksi.<br />

Seingat saya, ketika mendengar Meutya dan Budi sudah kembali ke<br />

Amman, dengan keras saya meminta Dadidan Claudius untuk<br />

menugaskan kembali Meutya danBudi ke Irak, meliput hari raya Asyura di<br />

Karbala. Lagi pula, hasil pemilu Irak belum tuntas. Padahal keduanya<br />

sangat produktif.<br />

Laporan Korlip menjelaskan, kontak selanjutnya tidak ada lagi.<br />

Alasannya, kemungkinan ada blank spotarea dalam perjalanan dari<br />

Amman menuju Bagdad. Kemungkinan serupa terjadi dalam perjalanan<br />

dari Bagdad menuju Karbala, kota terakhir tujuan peliputan Meutya dan<br />

Budi. Seluruh catatan kontak dengan keduakru sebelum tanggal 14<br />

Februari itu tercatat lengkap dilog book Korlip. Log book adalah catatan<br />

harian yangsangat rinci tentang A sampai Z kegiatan seluruh kru yang<br />

bertugas di lapangan.<br />

Sedangkan semua laporanlangsung yang mereka sajikan selama<br />

bertugas di Irak, tercatat rapi dalam run down berbagai progam berita<br />

rutin.<br />

Usai mendapatkan rekam jejak kedua kru ini, saya menelepon Surya<br />

Paloh, pemilik Metro TV."Ada apa Don?" jawab Surya Paloh, seperti<br />

biasanya, dengan nada bariton.<br />

"Ada berita buruk, Bang," kata saya gugup.<br />

"Berita buruk apa?"<br />

"Bang, tiga hari ini kita kehilangan kontak dengan Meutya dan Budi<br />

yang meliput di Irak. Menurut orang Deplu, keduanya hilang di Irak," kata<br />

saya. "Kenapa?"<br />

"Belum tahu, Bang. Cuma selama ini Korlip menghubungi mereka<br />

dan tidak dapat berkomunikasi dengan keduanya. Asumsi kita, mereka<br />

mungkin berada diblank spot area. Saya sekarang ke Deplu. Mereka juga<br />

mendapat kabar dari jaringannya telah kehilangan kontak dengan Meutya


dan Budi," saya jelaskan detil yang saya ketahui.<br />

"Oke, Don. Kita harus ambil semua langkah yang diperlukan. Jangan<br />

pikirkan biaya." Surya meminta saya segera menemuinya seusai<br />

pertemuan di Deplu.<br />

Saya dan Usi tiba di Deplu sebelum pukul 11. ?D. Kami langsung<br />

bertemu Marty Natalegawa. Pertanyaan demi pertanyaan pun meluncur<br />

dari mulut Marty. Benarkah Metro TV mengirim wartawan bernama Meutya<br />

Hafid dan Budiyanto ke Irak? Untuk tujuan apa? Apakah ada agenda<br />

politik? Sudah berapa lama Metro TV tidak dapat berkomunikasi dengan<br />

keduanya? Saya amati wajah Marty tampak<br />

sangat serius. Pertanyaan terakhir, sangat penting. Karena tidak saja<br />

tentang posisiterakhir Meutya dan Budi, tetapi juga bagaimana kondisi<br />

terakhir kedua kru Metro TV ini. Siapa tahu, Deplu mendapat informasi<br />

lebih cepat dan langsung dari tanganpertama.<br />

"Jaringan kami melaporkan bahwa kedua wartawan Metro TV itu<br />

kehilangan kontak. Kita juga berupaya mendapatkan hubungan dengan<br />

mereka," kata Marty sambil menjanjikan perlunya kerja sama untuk<br />

mencari kedua wartawan ini.<br />

Marty menjelaskan tentang arti "kehilangan kontak". Dia kemudian<br />

membawa Usi dan saya bertemu Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda.<br />

Dalam percakapan yang berlangsung 3D menit, Menlu berjanji untuk<br />

memanfaatkan saluran-saluran diplomatik agar segera mengetahui nasib<br />

Meutya dan Budi. Sesuai penjelasan yang saya berikan, Menlu kemudian<br />

mengkonfirmasikan kembali bahwa penugasan Meutya dan Budi benarbenar<br />

penugasan jurnalistik, tidak ada maksud politik di belakangnya.<br />

Kesimpulan ini rupanya penting, sebagai dasar bagi Deplu untuk menjalin<br />

kontak lebih lanjut melalui jaringan-jaringan yang tersedia.<br />

Pertemuan dengan Deplu itu memastikan bahwa Meutya dan Budi<br />

"kehilangan kontak" dengan Metro TV, keluarga mereka, dan dunia luar.<br />

Makna "kehilangan kontak," seperti dijelaskan Marty, mengandung<br />

beberapa kemungkinan. Mungkin karena blank spotarea, mungkin diculik,<br />

tetapi mungkin juga ini yang terburuk tewas karena konflik yang<br />

berkecamuk dilrak. "Tetapi, mudah-mudahan tidak terjadi<br />

sesuatu yang buruk," kata Marty.<br />

Dua kemungkinan terakhir yang diungkap Marty membuat saya shock.<br />

Usai pertemuan, saya coba menepis kemungkinan terburuk itu, atau<br />

kemungkinan diculik kelompok tertentu di Irak. Tetapi pikiran itu tetap<br />

melekat di kepala sepanjang perjalanan dari Deplu hingga kantor Metro<br />

TV, di kawasan Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Perjalanan terasa<br />

begitu lama.<br />

Perasaan yang paling membebani pikiran adalah, bagaimana cara<br />

saya mempertanggungjawabkan penugasan ini kepada keluarga Meutya<br />

dan Budi? Bagaimana pula mempertanggungjawabkan penugasan ini<br />

kepada awak redaksi dan rekan-rekan di tingkat manajemen, termasuk<br />

Surya Paloh, pemilik Metro TV? Lalu, bagaimana menjelaskan kepada<br />

publik, bahwa ini benar-benar tugas professional? Jangan sampai<br />

mengesankan bahwa saya, dan beberapa rekan yang menugaskan<br />

Meutya dan Budi ke Irak, dinilai salah secara profesional. Soalnya Irak<br />

layak menjadi berita di satu sisi, tetapi memang, sangat berbahaya karena<br />

konflik dan perang di sisi lain.


Dalam perjalanan, saya hubungi Makroen, An-drianus Pao, Agus<br />

Guna Diatmika, Wayan Eka Putra dan beberapa produser untuk<br />

menyiapkan breaking news. Disamping karena sudah mendapatkan<br />

konfirmasi dari Deplu, kantor berita asing, APTN (Associated Press<br />

Television News) juga sudah memberitakan hilangnya Meutya dan Budi,<br />

walaupun kantor berita yang berpusatdi London itu belum mendapatkan<br />

gambar.<br />

Makin dekat ke kantor Metro TV, saya mencoba sekuat tenaga<br />

menghilangkan pertanyaan-pertanya an apologetik itu. Langkah awal yang<br />

harus diupayakan adalah bagaimana dapat berkomunikasi dengan<br />

Meutya dan Budi, karena faktanya adalah kami "kehilangan kontak." Tetapi,<br />

jika kemungkinan paling buruk yang terjadi tewas tertembak di daerah<br />

perang oh, betapa pahitnya mulut saya yang menugaskan kedua rekan ini<br />

ke daerah bahaya. Sesaat itu pula saya merasa menjadi seorang<br />

pemimpin redaksi paling bodoh, karena lalai menghitung risiko sebesar<br />

ini.<br />

Sambil memikul beban perasaan itu saya masuki ruang redaksi.<br />

Saya minta Bambang Hamid, sekretaris redaksi, mengumpulkan seluruh<br />

kru pemberitaan. Seluruh direksi, Ana Wijaya, Lestari Luhur, John<br />

Balonso, dan Zsa Zsa Yusaryahya juga hadir. Saya umumkanhasil<br />

pertemuan dengan Menlu Hassan Wi-rajuda. Semua diam. Saya minta<br />

semuanya berdoa menurut keyakinan masing-masing memohon<br />

keselamatan jiwa dan raga kedua sahabat ini. Semoga tidak terjadi<br />

sesuatu yang buruk atas keduanya. Sangat nyata di ruangan itu, betapa<br />

semua awak Metro TV, memperlihatkan rasa kebersamaan yang luar<br />

biasa.<br />

Saya kemudian mengumpulkan semua korlip, produser eksekutif,<br />

produser dan para manajer di lingkungan divisi pemberitaan. Saya minta<br />

pandangan mereka tentang langkah konkret yang bisa segera ditempuh<br />

agar secepatnya bisa berkomunikasi<br />

dengan Meutya danBudi. Pertemuan kilat itu memutuskan beberapa<br />

langkah.Pertama, mencari liason of ficer di Irak atau Yordaniayang<br />

mempunyai akses luas ke berbagai kelompok dilrak. Tentang itu, Mauluddin<br />

Anwar, produser MetroHari Ini, menyebutkan nama Mohammad<br />

Nasser. Menurut beberapa rekan, Nasser mempunyai hubungan yang<br />

luas dengan beberapa kelompok di Irak. Sejumlah biaya perlu<br />

dipersiapkan untuk operasionalnya.<br />

Kedua, membentuk kelompok khusus yang fasih berbahasa Arab.<br />

Mereka bertugas mengakses seluruh informasi berbahasa Arab, baik<br />

memonitor siaran radio, televisi, koran, maupun mengais data dan<br />

informasi viain ternet, berbagai milis dan lain-lain, khususnya yang<br />

berbahasa Arab. Lebih khusus lagi memantau siaran Al-Arabiyah dan Al-<br />

Jazeerah. Tim ini sekaligus ditugaskan untuk selalu berhubungan dengan<br />

kedua stasiun televisiitu. Kedua orang yang dikontrak khusus masingmasing<br />

Sugiri dan Mohamad Syarif. Sugiri pernah dikontrak Metro TV, dan<br />

Syarif dikontrak stasiun TV-7 (sekarangTrans 7) sebagai penerjemah<br />

simultan berita-berita Al-Jazee rah ketika tentara sekutu menyerang Irak.<br />

MetroTV mempunyai dua produser yang fasih berbahasa Arab, yaitu<br />

Mauluddin Anwar dan Muchlish Ainurrofiq.<br />

Ketiga, membentuk tim khusus untuk berhubungan dengan Deplu


yang juga sudah membentuk tim khusus. Keempat, mengutus pimpinan<br />

untuk segera berangkat kelrak. Kelima, menjalin hubungan dengan<br />

beberapa tele-visi seperti CNN, Al-Jazee rah, Al-Arabiyah, kantor berita<br />

televisi asing seperti<br />

APTN dan Reuters, yang mempunyai peliputan luas di Irak. Keenam,<br />

tim bekerja 24 jam.<br />

Pukul tiga sore, usai breaking news, saya menghadap Surya Paloh.<br />

Baru memasuki pintu ruangan kerjanya, Surya langsung menyapa. "Saya<br />

siap berangkat kelrak, Don," katanya. Tentu saja saya surprise. Melihat<br />

saya terkejut, Surya melanjutkan, "Siapkan beberapakru untuk pergi<br />

bersama saya." Jawaban Surya benar-benar di luar dugaan. Semula saya<br />

menduga Surya Palohakan marah dan mempersalahkan saya atas<br />

penugasanini, lalu memberhentikan saya atau memberikan sanksi berat.<br />

Bagi saya itu sudah menjadi risiko dan tanggung jawab jabatan. Ternyata<br />

tidak ada sama sekali nada marah. Juga tidak mempersalahkan saya.<br />

Tentu saja saya respek atas kesediaan Surya.<br />

Surya Paloh, seperti para karyawan mengenalnya, sangat memegang<br />

teguh komitmen atas dedikasi, loyalitas, kesetiaan dan pengorbanan<br />

karyawan terhadap perusahaan. Nilai ini sangat penting bagi Surya. Harga<br />

kesetiaan dan loyalitas, bagi Surya, melampaui apapun. Kali ini, Surya<br />

siap berkorban untuk anak buah yang loyal itu. Termasuk mengambil alih<br />

tanggung jawab atasakibat keputusan saya.<br />

"Terima kasih Bang," jawab saya, dan kami pun terlibat dalam diskusi<br />

yang intens mengenai lang kah-langkah yang akan diambil.<br />

Bagi saya, keberangkatan Surya mempunyai beberapa keuntungan.<br />

Pertama, akses untuk berhubungan dengan berbagai pihak akan lebih<br />

mudah.<br />

Kedua, kalau Meutya dan Budi diculik, Surya Paloh dapat langsung<br />

mengambil keputusan untuk menyetujui dan menyiapkan uang tebusan<br />

jika itu menjadi syarat pembebasan. Ketiga, jika kemungkinan terburuklah<br />

yang terjadi, yaitu Meutya dan Budi tewas tertembak di daerah konflik,<br />

perusahaan telah menunjukkan itikad yang sungguh-sungguh total dan<br />

ikhlas kepada keluarga, rekan-rekan di Metro TV, dan publik dengan<br />

menerjunkan pemilik Metro TV sendiri.<br />

Usai bertemu Surya Paloh, saya menanyakan ke APTN apakah<br />

mereka mempunyai gambar tentang berita kehilangan Budi dan Meutya.<br />

Kantor berita ini memang mengindikasikan Meutya dan Budi kemungkinan<br />

diculik di sekitar Ramadi. Tapi berita itu tidak menjelaskan lebih jauh<br />

bagaimana keadaan keduanya. Segera setelah mendapatkan berita itu,<br />

saya hubungi, Y.K. Chan, representatif APTN di Hong Kong. Kami sudah<br />

lama saling kenal. Saya mencari tahu lebih lanjut tentang kebenaran<br />

berita itu. Y.K. Chan meyakinkan berita itu benar. Tetapi sebagai orang<br />

televisi, "seeingis believing". Baru percaya jika ada gambar.<br />

Y.K. (baca: waikei), begitu biasanya dia disapa, mengatakan APTN<br />

belum mendapat gambar. Janjinya, akan segera mengabari begitu<br />

mendapat gambar. Tetapi tidak jelas kapan, semuanya tergantung Irak.<br />

"Tolong feed segera ke alamat Metro TV jika Anda punya gambar," kata<br />

saya. Pada saat bersamaan, saya membaca news tickers di CNN tentang<br />

Budi dan Meutya yang hilang di Irak. Al-Ja<br />

zeerah juga memberitakan nasib keduanya. Menyaksikan berita-berita


itu, saya merasakan betapa besarnya peristiwa ini.<br />

Berita sependek itu tentu saja memancing perhatian rekan-rekan<br />

wartawan lainnya di tanah air. Beberapa saat kemudian saya mendapat<br />

telepon dari teman-teman wartawan menanyakan nasib Budi dan<br />

Meutya.Mereka juga menanyakan alasan penugasan keduanya ke<br />

Irak.Keesokannya, hampir semua media cetak menyajikan berita ini di<br />

halaman depan.<br />

Keadaan di ruang redaksi Metro TV benar-benar tegang. Saya melihat<br />

wajah-wajah sedih. Menyaksikan pemandangan itu, sekali lagi, saya<br />

merasa menjadi orang paling bodoh. Karena penugasan sayalah<br />

keduanya harus menderita dan mengalami nasib yang tak jelas. Bagi<br />

saya, dan awak Metro TV, perjalanan waktu dari pukul 10 hingga pukul 3<br />

sore hari itu tidak saja terasa lama, tetapi juga sangat meletihkan secara<br />

mental.<br />

* * *<br />

MENGAPA Meutya dan Budiyanto yang saya tugaskan? Pengenalan<br />

saya tentang Meutya secara pribadi, sebetulnya belum terlalu lama.<br />

Terhitung dari masa penugasan sebagai pemimpin redaksi Met ro TV,Juni<br />

2DD4, saya baru mengenal Meutya sekitar delapan bulan. Tapi<br />

pemunculan Meutya sebagai presenter Metro TV jelas memudahkan<br />

pengenalan terhadap kemampuannya. Beberapa kali kami berdialog.<br />

Diam-diam saya juga mengevaluasi rekaman wawancaranya<br />

sepertisaya lakukan atas wawancara dari penyiar-penyiar lainnya.<br />

Sebagai presenter Meutya tergolong bagus, baik dalam news delivery<br />

maupun mewawancarai nara sumber. Teknik delivery-nya otoritatif dan<br />

kredibel, walaupun belum didukung kualitas vokal yang bagus. Itu pun<br />

ditutupinya dengan artikulasi yang clear. Dari beberapa wawancara,<br />

Meutya mampu mengambil per-spektif tertentu, sehingga wawancaranya<br />

mengalir,fokus dan mudah dipahami. Meutya juga mampu mendalami<br />

jawaban-jawaban nara sumbernya.<br />

Tetapi bukan itu alasan utama mengapa Meutya yang dikirim ke Irak.<br />

Yang istimewa, dia juga andal melakukan laporan langsung dari<br />

lapangan, dari me dan-medan yang sulit. Setiap kali ditugaskan ke<br />

lapangan, tidak ada keraguan, dia pasti berhasil, dan menyajikannya<br />

dengan menarik. Pergaulannya yang luwes membuatnya mudah menjalin<br />

kerjasama tim, sebuah syarat mutlak dalam kerja televisi. Walaupun<br />

posturnya mungil, Meutya mempunyai daya tahan, endurance,yang kuat<br />

menghadapi medan berat. Chit-chat-nya jugalively.<br />

Salah satu puncak penugasan lapangan untuk Meutya adalah ketika<br />

pada awal hingga minggu ketiga Januari, meliput Aceh sesaat setelah<br />

gempa dan gelombang tsunami menerjang Tanah Rencong, dan<br />

menelan lebih dari 100 ribu korban jiwa. Meutya dan juru kamera Gideon<br />

Sinaga, ditugaskan di kawasan Meulaboh. Adalah Meutya dan Gideon<br />

yang<br />

menyusurui wilayah-wilayah terisolir di pantai barat Aceh itu.<br />

Keduanya memasuki Teunom dan Phang-ha, yang oleh berbagai<br />

kalangan dianggap sebagai daerah merah karena, konon, banyak<br />

anggota GAM di sana ketika itu.<br />

Ketika bertugas di sana, saya mendapat laporan Meutya dan juru<br />

kameranya harus "mengojek" untuk menggapai wilayah-wilayah bencana


yang oleh para petugas penolong pun belum dapat dijangkau. Mereka<br />

menyajikan gambar-gambar jenazah korban tsunami yang masih<br />

tergeletak di sejumlah lokasi, dia bahkan tidak takut kalau-kalau tukang<br />

ojek yang membawanya adalah anggota GAM.<br />

Bagaimana keduanya bisa sampai ke daerah terpencil itu? Meutya<br />

melobi seorang pilot heli hanya untuk didrop ke pantai barat itu. Keduanya<br />

menjadi jurnalis pertama yang masuk ke kawasan yang gelap gulita dan<br />

tidak ada sinyal telepon. Selama dua hari mereka menyusuri daerah itu<br />

dan kehilangan kontak dengan poskodi Metro TV. Bagaimana keduanya<br />

bisa keluar darisana? Saya mendapat laporan hanya faktor kebetulan<br />

belaka mereka tertolong oleh sebuah heli yang hendak mengevakuasi<br />

para korban.<br />

Hasil liputan dari Meulaboh, Aceh, itu tidak saja memperlihatkan<br />

kualitas laporannya yang mendalam dan lengkap.Tetapi juga, terutama,<br />

teladannya bagi rekan-rekan penyiar lainnya tentang pentingnya<br />

kelincahan dan pengalaman di lapangan. Dia juga mampu<br />

menyampaikan hal-hal penting lain tentang apa yangterjadi di belakang<br />

gambar dan apa yang belum<br />

terwakili dalam gambar.<br />

Atas dasar itulah, ketika baru saja beristirahat beberapa hari dari<br />

peliputan di Meulaboh, saya meminta Claudius dan Dadi untuk<br />

menugaskan Meutya meliput pemilihan umum di Irak. Tidak ada<br />

keberatan sedikit pundari kedua atasannya ini. Setelah keduanya<br />

menghubunginya, Meutya pun tak berkeberatan.<br />

Mengapa pemilu Irak? Ada tiga alasan yang melatarbelakanginya.<br />

Pertama, bagi penonton Indonesia, Irak bukanlah sesuatu yang asing.<br />

Proximity psikologisnya sangat dekat. Lagi pula sajian-sajian televisi<br />

asing seperti CNN, Fox News Channel, dan Al-Jazeerah ketika perang Irak<br />

bergolak, memperlihatkan betapa tingginya perhatian penonton di sini.<br />

Kejatuhan Saddam Husein, beberapa waktu sebelumnya, menjadi<br />

pembicaraan di mana-mana.<br />

Kedua, adalah cukup penting melihat bagaimana masa depan Irak<br />

berdasarkan hasil pemilu yang berlangsung pada awal Februari itu. Di<br />

tengah-teng ah hingar-bingar konflik yang melibatkan tentara koalisi<br />

danloyalis Saddam Husein yang dituduh melakukan bombunuh diri dan<br />

bom mobil di mana-ma na, pemberitaan konflik Syiah-Sunni di Irak juga<br />

merebak luas. Ketiga, media-media barat sering berat sebelah dalam<br />

menggambarkan keadaan di Irak. Membandingkan cara Al-Jazeerah<br />

memberitakannya, jelas ada sudut pandang yang berbeda. Di tengah<br />

situasi yang "serba kurang jelas" itulah mengapa Metro TV, sebagai<br />

televisi berita, perlu mengirim kru meliput pemilu Irak ini.<br />

Menilik kelincahan fisik dan kemampuannya untuk belajar cepat, tidak<br />

sedikit pun muncul keraguan bahwa Meutya akan berhasil menyajikan<br />

lapor an-laporan yang lengkap dan mendalam dari Irak. Kemampuan<br />

berbahasa Inggrisnya memudahkan Meutya menggali bahan-bahan dari<br />

sumber lainnya. Juga akan mendapatkan hasil maksimal karena<br />

kemampuannya lebih dari cukup untuk mewawancarai tokoh-tokoh politik<br />

penting di Irak jika sewaktu-wak tu diperlukan.<br />

Mengapa Budiyanto? Saya mengenal Budiyanto dua hari setelah saya<br />

bergabung dengan Metro TV. Penampilannya yang rendah hati dengan


smiling fa-cenya membuat saya langsung mengingat namanya sejak<br />

pertemuan pertama. Beberapa hari kemudian saya baru tahu, Budi adalah<br />

kordinator cameramen divisi pemberitaan. Budi lincah, kerjasama timnya<br />

bagus. Dari sikap dan tutur katanya, Budi menjalankan model<br />

kepemimpinan dengan memberikan teladan.Dia tidak pernah menolak<br />

tugas kemanapun dan kapan pun. Dia jugamerupakan instruktur yang<br />

andal.<br />

Budi dikenal memiliki multiskill alias serba bisa. Selain mengambil<br />

gambar, dia mampu memilih dan menyunting gambar yang bernilai berita.<br />

Budi mampu memperbaiki kamera yang tidak berfungsi, atau<br />

mengoperasikan telepon satelit yang masih langka ketika itu.Dia sangat<br />

familier dengan pengiriman gambar (feeding) melalui satelit. Semua<br />

kemampuan itu menjadi prasyarat yang lebih dari cukup untuk suksesnya<br />

sebuah peliputan. Dalam keadaan tertentu,<br />

Budi mampu menjalankan fungsinya sebagai "video journalist"<br />

(VJ) jika sesewaktu tidak ada reporter yang tersedia tepat waktu. Dalam<br />

penugasan di Irak, jika terjadi suatu peristiwa yang sangat penting, Budi<br />

akan mampu jalan sendiri dan Meutya bisa menyewa juru kamera lokal<br />

atau asing sehingga Metro TV mempunyai dua pasang kru di sana.<br />

Dan kelebihan lain dari Budi, dia sudah pernah dua kali ditugaskan<br />

dalam Perang Irak. Artinya, dia sudah mengenal medan. Dalam beberapa<br />

percakapan di kantin dan informal, saya juga mendengar Budi pernah<br />

ditugaskan ke daerah konflik seperti Aceh. Di tanah Rencongitu, Budi<br />

menyusuri bukit, gunung, dan lembah, yangmembuatnya matang di<br />

lapangan.<br />

Tentang dedikasi Budi, saya pernah memintanya untuk bertemu<br />

dengan kakak Cut Putri pada jam 2.30 dini hari sesaat setelah gempa dan<br />

tsunami mengguncang Aceh. Cut Putri adalah kontributor video amatir<br />

yang mengambil gambar pertama dan satu-satunya tentang bagaimana<br />

dahsyatnya gelombang tsunami menghantam Banda Aceh dan<br />

menghantam rumah sanak kerabatnya sendiri. Gambar itu<br />

memperlihatkan gelombang pasang yang sangat tinggi dan deras<br />

menyapu rumah-rumah yang letaknya 9 km dari pantai.<br />

Kisahnya, sekitar pukul 1.30 dini hari, saya dihubungi Ferry Putra<br />

Utama, Korlip yang bertugas malam. Menurut Ferry, ada seseorang yang<br />

ingin memberikan gambar tsunami ke Metro TV. Ketika saya tanyakan<br />

apakah gambar itu layak tayang, Fer ry tak bisa memastikan. Saat itulah<br />

saya memintanya<br />

pergimelihat gambar itu bersama Budi. Untuk memastikan,saya<br />

hubungi Budi untuk berangkat bersama Ferry.<br />

Sekitar pukul 03.00 dinihari itu juga Budi dan Ferry menghubungi<br />

saya. Budiyanto meyakinkan saya bahwa secara teknis gambar itu kurang<br />

layak tayang, tetapi sebagai berita, gambar itu sangat representatif untuk<br />

menggambarkan kedahsyatan tsunami yang menimpa Banda Aceh.<br />

Artinya, tidak ada ruginya Metro TV mengambil gambar itu dengan harga<br />

mahal sekalipun. Deskripsi Budi atas gambar itu meyakinkan saya untuk<br />

segera mengikat dan "mengunci" Cut Putri atau kakaknya agar gambar itu<br />

tidak jatuh ke tangan televisi lain. Gambar itu nyatanya memang sangat<br />

dramatis. Tidak mengherankan jika kemudian di relay CNN dan beberapa<br />

televisi asing. Menjadi rekan kerja Budi terasaenak, karena dia hampir tak


pernah bilang "tidak".<br />

Kombinasi kemampuan Meutya dan Budiyanto meyakinkan saya<br />

bahwa penugasan mereka ke Irak akan berhasil. Artinya, secara<br />

profesional sangat bisa dipertanggungjawabkan. Secara ekonomis,<br />

karena biayanya mahal, penugasan ini jelas tidak merugikan perusahaan.<br />

Hasil peliputan mereka tidak saja akan memperkuat posisi Metro TV<br />

sebagai televisi berita tetapi juga menjadi "credit point" yang besar bagi<br />

perjalanan karirjurnalistik keduanya.<br />

Seperti penugasan kru televisi pada umumnya, pre-paration atau<br />

persiapan yang baik sudah menjamin 100 persen keberhasilan peliputan<br />

berita televisi. Denganprobabilitas sebesar itulah, mengapa<br />

keduanya dikirim ke Irak. Semula ada saran agar mengirim reporter<br />

priake Irak untuk menghemat biaya kamar hotel di sana.Maklum, kalau<br />

keduanya pria, cukup membayar satukamar saja. Tetapi pikiran saya<br />

untuk mempercepat pematangan Meutya di lapangan, dengan harapan<br />

memotivasi beberapa penyiar baru lainnya, adalah hargayang cukup<br />

pantas untuk mengubah sikap kerja tim Metro TV dalam jangka menengah<br />

dan panjang.<br />

Karena ingin mendapatkan hasil yang maksimal, tentu saja saya<br />

berharap keduanya dapat bertahan lamadi Irak. Dan, nyatanya, perkiraan<br />

saya tidak meleset. Selama seminggu penuh bertugas di sana di luar<br />

waktu perjalanan banyak sekali liputan eksklusif yang mereka sajikan.<br />

Beberapa kali, Meutya melakukan standup dari lokasi bom mobil yang<br />

baru saja meledak,atau mewawancarai tokoh-tokoh politik di Irak. Di<br />

tengah deru konflik yang tak menentu, rupanya Budi dan Meutya langsung<br />

menyusuri area-area berbahaya dikota Bagdad. Sementara kebanyakan<br />

wartawan lainnya, sesuai instruksi penguasa perang di Irak, hanyaboleh<br />

meliput dari green zone, kawasan yang relatif lebih aman.<br />

Tidak heran, saya begitu terkejut ketika mendengar keduanya sudah<br />

keluar dari Irak lebih a-wal dari yang saya perkirakan. Saya ingat, ketika<br />

dua atau tiga hari, tanggal 12 dan 13 Februari, saya tidak lagi<br />

menyaksikan laporan Meutya dan Budiyanto dari Bagdad, saya tanyakan<br />

hal itu ke Korlip. Begitu mendengar kabar bahwa keduanya sudah berada<br />

di Amman, serta merta saya minta Dadi secepatnya<br />

mengirim kembali Meutya dan Budi ke Irak. Mereka harus<br />

membatalkan kepulangannya ke Jakarta.<br />

Ada dua pertimbangan. Pertama, keduanya masih diperlukan untuk<br />

meliput hari raya Asyura,tradisi memperingati hari wafatnya Hussein bin<br />

Ali, cucu Nabi Muhammad, di Kota Karbala, yang biasa dilakukan<br />

kelompok Syi'ah. Peristiwa ini tidak saja penting, tetapi juga menarik dan<br />

dramatis mengingat pemilu di Irak mungkin dimenangkan oleh Kelompok<br />

Syi'ah. Kedua, hasil penghitungan suara pemilu Irak belum selesai.<br />

Sayang jika tugas keduanya tidak tuntas. Tapi, rupanya penugasan itulah<br />

yang membawa kedua kru ini masuk dalam catatan: mereka disandera di<br />

kota Ramadi. Dan saya, yang menugaskan kembali keduanya ke Irak,<br />

terpenjara dalam perasaan bersalah dan penyesalan mendalam.<br />

* * *<br />

SEBAGAI orang yang menanti kejelasan nasib Meutya dan Budi,<br />

rasanya waktu berjalan teramat lambat. Tapi perasaan seperti itu sangat<br />

terbalik dengan kesibukan awak redaksi yang mengikuti perkembangan


peristiwa ini dari detik demi detik. Pada pukul dua siangitu, Metro TV<br />

sudah menyiarkan breaking news tentang kehilangan Meutya dan Budi di<br />

Irak. Dua jam kemudian muncul berita bahwa kedua kru Metro TV itu<br />

diculik disekitar kota Ramadi. Tapi tidak jelas siapa penculiknya,untuk<br />

tujuan apa mereka menculik, dan bagaimana nasib keduanya.<br />

Sekitar pukul 10 malam mulai ada titik terang.<br />

Sebuah berita yang diterima dari kru Al-Jazee rah menjelaskan bahwa<br />

Budi dan Meutya diculik oleh kelompok pejuang Mujahiddin. Kabarnya<br />

mereka menuntut agar pemerintah Indonesia menjelaskan untuk tujuan<br />

apa Meutya dan Budi dikirim ke Irak. Dari Korlip saya mendapat kabar<br />

beberapa saat kemudian kru Al-Jazeerah di Jakarta akan merekam<br />

pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang tujuan<br />

kepergian Meutya dan Budiyanto. Bersamaan dengan itu, kru Metro TV di<br />

Jakarta merapat ke Istana.<br />

Menjelang pukul 12 malam, saya mendapat kabardari APTN Hong<br />

Kong bahwa tidak lama lagi London akan mengirim gambar<br />

penyanderaan Meut ya dan Budi. Melihat perkembangan yang begitu<br />

cepat, HelmyYohanes, dkk. yang mempersiapkan program MidnightLive,<br />

siaga dengan breaking news.Dan benar saja, tepat pukul 00.30 WIB,<br />

Sabtu dini hari, 19 Februari, gambar Meutya dan Budiyanto muncul.<br />

Gambar itu muncul pada APTN News update pukul 17.30 GMT.<br />

Gambar berdurasi 1.43 menit itu sungguh mendebarkan hati.<br />

Bagaimana tidak? Meutya dan Budi berada di bawah todongan senjata.<br />

Meutya tampak gugup, Budiyanto komat-kamit, tidak jelas sedang bicara<br />

apa. Tidak ada soundbite yang terdengar, kecuali gambar yang<br />

memperlihatkan keduanya sedang berada dibawah ancaman berat.<br />

Gambar medium shot itu mem-perlihatkan keduanya berada di sebuah<br />

wilayah gurunpasir.<br />

Gambar itu hanya memberikan satu makna: Meutya dan Budi berada<br />

di bawah teror yang menakutkan.<br />

Bersamaan dengan breaking news itu, di istana, Presiden Susilo<br />

Bambang Yudhoyono membuat pernyataan pada dini hari itu juga. Inti<br />

pernyataan Presiden ada dua. Pertama, menyatakan bahwa Meutya dan<br />

Budi yanto adalah benar dua warga negara Indonesia yangsedang<br />

menjalankan tugas jurnalistik murni. Kedatangan mereka ke Irak tidak ada<br />

sangkut pautnya dengan kepentingan politik apa pun.Kedua,Presiden<br />

meminta para penyandera membebaskan Meutya dan Budiyanto.<br />

Pernyataan pertama Presiden itu mengingatkan pada isi penjelasan saya<br />

kepada Menlu Hassan Wirajuda dan Jubir Marty Natalegawa pada siang<br />

harinya. Dalam pertemuan itu baik Hassan maupun Marty tidak hanya<br />

sekali mengkorfimasikan motif politik ini.<br />

Hanya dalam waktu beberapa menit kemudian, Al-Jazeerah<br />

menayangkan gambar penyanderaan itu. CNN juga menayangkan<br />

gambar yang sama. Kedua televisi ini juga menyiarkan pernyataan<br />

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hal yang sama dilakukan oleh<br />

Metro TV. Kecepatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi<br />

permintaan para penyandera itu membuat saya ikut merasa sebagai<br />

warga negara yang diperhatikan oleh pemimpinnya.<br />

Pemunculan gambar penyanderaan itu menjadi babak baru<br />

penantian Metro TV. Pertama, kini menjadi jelasbahwa Budi dan Meutya


disandera kelompok pejuang Mujahiddin. Kedua, pemerintah, seperti<br />

dijanjikan Menludan Presiden, ikut ambil bagian dalam usaha<br />

pembebasan ini atas nama perlindungan kepada warga negara. Tapifase<br />

penyanderaan ini justru menimbulkan teka-teki barutentang masa depan<br />

Budi dan Meutya. Apakah mereka selamat di tangan penyandera?<br />

Bagaimana perlakuan penyandera terhadap Meutya dan Budi?<br />

Bagaimana nasib Budiyanto dan Meutya jika tentara koalisi menghajar<br />

para penyandera dan keduanya tertembak peluru nyasar seperti beberapa<br />

kejadian sebelumnya? Bagaimana caranya bisa berhubungan langsung<br />

atau bernegosiasi dengan penyandera? Bagaimana perasaan keluarga<br />

Meutya dan Budi setelah menonton gambar ini?<br />

Seperti pemberitaan mengenai penyanderaan pada umumnya,<br />

memang selalu tersedia ruang sempit untuk memikirkan kemungkinan<br />

yang positif. Misalnya, penyandera hanya ingin menyampaikan pesan<br />

politik tertentu melalui tindakan penyanderaan. Dalam beberapa kasus<br />

mereka tidak melukai dan atau membunuh korbannya. Kemungkinan lain,<br />

motif kriminal dengan meminta uang tebusan. Dalam kedua kasus<br />

tersebut, jikatujuan politik atau tujuan finansialnya tercapai,<br />

korbanbiasanya dilepas.<br />

Ditilik dari permintaan Mujahidin agar pemerintah Indonesia<br />

menjelaskan posisi Meutya dan Budiyanto, dapat diduga, penyanderaan<br />

ini berlatar belakang politis. Hal itu juga diperkuat oleh penayangan<br />

gambar penyanderaan dan pernyataan Presiden Susilo Bambang<br />

Yudhoyono, pada primetime news untuk penonton Al-Jazeerah di kawasan<br />

Timur<br />

Tengah atau dini hari waktu Indonesia, dan siang hari waktu CNN<br />

yang mewakili penonton dunia barat. Tapi situasi konflik yang tidak jelas<br />

petanya di Irak membuat semua analisis itu tetap terasa tidak ada<br />

gunanya. Dan selalu muncul kemungkinan terburuk. Namun, lepas dari<br />

semua itu, berita penyanderaan ini rupanya tidak saja menjadi perhatian<br />

pers Indonesia, tetapi juga pers dunia.<br />

Penayangan pernyataan Presiden Susilo Bambang Vudhoyono pada<br />

stasiun televisi Al-Jazeerah memunculkan inspirasi baru. Pada rapat<br />

keesokan paginya, muncul saran pada rapat redaksi agar merekam<br />

pernyataan tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh untuk disiarkan melalui<br />

Al-Jazeerah.Rapat itu juga menyepakati agar para tokoh itu berbicara<br />

dalam bahasa Arab. Maka rapat itu pun sepakat untuk menghubungi<br />

tokoh-tokoh seperti Amin Rais, Gus Dur, KH Quraish Shihab, Hidayat Nur<br />

Wahid, KH Ha-syim Muzadi, dan beberapa tokoh lainnya.<br />

Suara tokoh-tokoh ini diharapkan sampai ke kelompok penyandera<br />

atau jaringan-jaringan mereka. Untuk itu beberapa rekan lainnya<br />

menghubungi Al-Jazeerah agar membantu penayangan pernyata anpernyataan<br />

para tokoh itu. Di luar dugaan, permintaan ini disambut baik<br />

oleh Al-Jazeerah. Isinya kurang lebih sama dengan pernyataan Presiden<br />

Susilo Bambang Vudhoyono.Lebih dari itu, mereka juga diminta<br />

menyampaikan pesan untuk mengundang empati kelompok pejuang<br />

Mujahiddin maupun jaringannya di mana pun mereka berada agar<br />

melepaskan Budi dan Meutya.<br />

Sejumlah kru dikerahkan untuk menemui tokoh-tokoh itu. Saya,<br />

bersama beberapa teman menghadap DR. Hidayat Nur Wahid di gedung


MPR. Untunglah tokoh-tokoh ini menyambut antusias permintaan ini. Agar<br />

efektif, Metro TV mengirim pesan-pe san itu pada malam hari sehingga<br />

dapat ditayangkan pada earlyprime time Al-Jazeerah. Jalan pikirannya<br />

sederhana saja. Jika para penyandera sudah mendengar pesan dari<br />

pemerintah Indonesia melalui Al-Jazeerah, pesan-pesan tokoh Muslim<br />

Indonesia ini pun sangat mungkin sampai ke jaringan-jaringan pejuang<br />

Mujahiddin, termasuk kelompok penyandera yang ada di gurun pasir dekat<br />

kota Ramadi.<br />

Upaya-upaya itu jelas tak dapat diukur hasilnya. Namun ada<br />

keyakinan pesan-pesan ini cepat atau lambat akan sampai juga pada<br />

penyandera. Re aksi-reaksi atas pesan-pesan ini dipantau oleh<br />

Mohammad Nasserdi Irak maupun Yordania. Beberapa awak Metro TV<br />

yang mempunyai teman dekat di kawasan Timur Tengah, khususnya di<br />

Yordania, Mesir, Arab Saudi, Suriah, dan lain-lain melaporkan mereka<br />

menonton pesan-pesan itu melalui Al-Jazee rah. Pada saat bersamaan,<br />

hasil pengaisan informasi melalui milis-milis di internet mau-pun<br />

beberapa koran yang terbit di Timur Tengah tidak ditemukan berita-berita<br />

buruk tentang nasib Budi dan Meutya. Satu-satunya soal pokok dalam tiga<br />

hari itu adalah menunggu dalam ketidakpastian. Dalam suasana "gelap"<br />

semacam ini selalu saja muncul pikiran terburuk tentang nasib Budi dan<br />

Meutya.<br />

Tetapi, menyaksikan gambar penyanderaan yang<br />

menakutkan jelas menjadi beban mental. Maka pada pagi tanggal<br />

19 Februari itu saya merasa sudah saatnya menjelaskan kepada publik<br />

tentang latar belakang penugasan Meutya dan Budi ke Irak. Selain<br />

menjelaskan latar belakang penugasan keduanya itu kepada publik,<br />

melalui Metro TV pula, saya meminta maaf secara terbuka kepada<br />

keluarga karena penugasan ini telahmenyusahkan mereka.<br />

Usai siaran pagi itu, masih tanggal 19 Februari, setelah mengikuti<br />

rapat redaksi Metro TV, saya merasa sudah tepat waktunya mengunjungi<br />

keluarga Meutya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Sementara Claudius<br />

dan beberapa korlip lainnya, yang menjadi atasan langsung Budi,<br />

mengunjungi istri dan anak Budi di Rawamangun, Jakarta Timur.<br />

Mengunjungi keluarga adalah tugas mulia, tetapi terasa berat bagi saya<br />

karena akan begitu banyak yang hendak saya katakan, namun saya<br />

merasa tidak pantas mengatakan apa pun kepada keluarga yang sedang<br />

dirundung duka ini. Sehari sebelumnya Zsa Zsa Yu-saryahya dan Desi<br />

Anwar sudah berkunjung ke Lebak Bulus.<br />

Di rumah ibu Metty Hafid, saya diterima Finny, kakak Meutya. Sesaat<br />

kemudian saya bertemu Ibu Metty, seorang wanita tua yang tampak tegar,<br />

tenang dan tabah. Saya memperkenalkan diri sebagai pemimpin redaksi<br />

yang menugaskan Meutya ke sana. Saya minta maaf atas kejadian ini.<br />

Lebih dari itu, saya tidak bisa mengatakan apa pun. Saya mengunci mulut<br />

untuk tidak mengatakan "ini risiko tugas." Kata-kata seperti ini hanya<br />

membela diri. Lagi<br />

pula, untuk peliputan di area konflik seperti ini, risi ko-risiko itu<br />

mestinya sudah menjadi pertimbangan. Secara etis, hidup atau nyawa<br />

selalu lebih penting dari apa pun.<br />

Saya percaya kata-kata memang dapat menghibur, tetapi jika saya<br />

pun berada dalam posisi keluarga Meutya atau keluarga Budi,kata-kata itu


sama sekali tidak ada artinya bagi saya dibanding nyawa anak tercinta.<br />

Karena itu saya lebih banyak diam. Selebihnya saya menjelaskan kepada<br />

Finny bahwa pimpinan MetroTV , Surya Paloh, akan segera bertolak ke<br />

Amman dan Irak untuk ikut memimpin upaya pembebasan. Kemungkinan<br />

salah satu anggota keluarga akan diikutsertakan. Upaya ini akan berjalan<br />

bersama langkah pemerintah, atau Deplu. Selebihnya, Usi Karundeng<br />

yang juga hadir di situ meneguhkan hati Ibu Metty. Sekitar satu jam saya<br />

berada di sini, tanpa banyak kata.Di benak saya, makin banyak kata, hanya<br />

akan berkesan membela diri, dan hanya menyakitkan hati keluarga.<br />

Bukan kali ini saja saya mengalami tekanan mental akibat<br />

penugasan yang langsung maupun tidak langsung atas rekan-rekan kerja<br />

yang berujung pada risiko berat. Sepuluh tahun lalu, wartawan Liputan 6<br />

SCTV, Ferdinandus Sius (kami biasa memanggilnya Max karena wajahnya<br />

mirip Max Sopakua, mantan reporter olahraga TVRI) dan juru kamera<br />

Yance Iskandar, tewas dalam penerbangan Garuda yang menabrak<br />

GunungSibayak, Medan, sesaat sebelum mendarat di Bandara Polonia.<br />

Ketika mengantar jenazah Ferdinandus ke Kupang, kami masih<br />

mempunyai hubungan kerabat jauh,sambil meratap, keluarga<br />

menanyakan kepada saya mengapa Ferdinandus yang ditugaskan<br />

meliput kasus asap Suma-tera yang membuat Singapura dan Malaysia<br />

menderita. Saya benar-benar kehilangan kata-kata untuk menjawab<br />

ratapan pilu itu.<br />

Masih di SCTV, ketika menjadi wakil pemimpin redaksi, bersama<br />

Karni Ilyas yang menjadi pemimpin redaksi ketika itu, saya ikut panik<br />

karena kehilangan kontak selama tiga hari dengan Reporter Merdi Syof<br />

yan syah dan juru kamera Dwi Guntoro ketika Perang Irak mulai<br />

berkecamuk. Ingatan akan peristiwa itu membayang-bayangi perasaan<br />

saya ketika Meutya dan Budi diculik.<br />

Sepulang dari rumah Meutya, sekitar jam 3 siang, saya kembali<br />

menghadap Surya Paloh. Sudah jelas pada waktu itu, tim yang akan<br />

dikirim bersama Surya Paloh adalah empat wartawan masing-masing<br />

Thia Vufada, Mauluddin Anwar dan juru kamera Kusdaryanto dan<br />

Sudirman Mustari. Pada kesempatan itu, Surya Paloh menyarankan<br />

Sandrina Malaki-ano ikut. Semula saya keberatan karena akan terlalu<br />

banyak kru yang ikut, tetapi saya kembali menyerahkan itu kepada<br />

keputusan Surya.<br />

Dalam pertemuan dengan Surya Paloh siang itu saya mendapati Lisa<br />

Luhur, sekretaris yang sudah lama bekerja dengan Surya, membawa<br />

segepok plastik besar uang dollar Amerika. Insting saya mengatakan<br />

mungkin uang itu dipersiapkan sebagai bagian dari uang tebusan jika<br />

para penyadera memintanya sebagai syarat pembebasan. Atau<br />

setidaknya<br />

uang itu bisa digunakan untuk mencarter pesawat di Irak untuk<br />

menjangkau Ramadi. Tapi saya tidak menanyakan itu kepada Surya. Bagi<br />

saya,yang penting, tim ini sudah siap dengan segala kemungkinan.<br />

Kepada Surya saya juga ungkapkan tentang kemungkinan salah satu<br />

anggota keluarga Meutya dan Budi diikutsertakan. Tapi karena waktunya<br />

sangat sempit, Surya menjanjikan mereka mungkin akan berangkat jika<br />

sudah ada tanda-tanda pembebasan atau sebaliknya akan terjadi.<br />

Pembicaraan itu juga membahas berbagai skenario peliputan jika sudah


sampai di Irak. Surya Paloh dkk berangkat pada sore hari tanggal 20<br />

Februari.<br />

Bersamaan dengan itu, awak pemberitaan selalu sibuk memantau<br />

berbagai sumber berita di Timur Tengah yang berkaitan dengan berita<br />

penyanderaan ini. Dalam dua hari itu, hubungan dengan Mohammad<br />

Nasser sangat intens. Demikian juga dengan Al-Jazeerah. Untuk<br />

mengetahui keadaan lebih lanjut, karena berita dan gambar<br />

penyanderaan ini berasal dari APTN, saya kembali menghubungi Y.K.<br />

Chan di Hong Kong. Jawabannya, belum ada perkembangan yang<br />

menggembirakan.<br />

Saya juga menghubungi posko di Departemen Luar Negeri. Juga<br />

belum ada kabar dari jaringan-jari ngan mereka. Dari Marty saya dapatkan<br />

gambaran diplomat-diplomat mereka di Timur Tengah, khususnya di<br />

Amman, sedang bekerja keras. Saya juga mendapat informasi bahwa<br />

Deplu mengirim diplomat senior,Triyono Wibowo, ke Amman. Triyono<br />

Wibowo adalahKetua Penanggulangan Krisis yang dibentuk<br />

Deplu untuk menangani kasus penculikan ini<br />

* * *<br />

DALAM penantian, waktu tiga hari terasa sangat lama. Selain<br />

melelahkan, keputusasaan sudah mulai muncul di sana-sini. Tapi semua<br />

itu harus dilalui. Sepanjang pagi menjelang siang, pada 21 Februari, awak<br />

redaksi melakukan tugas-tugas rutin, termasuk mengontak berbagai<br />

jaringan di Timur Tengah. Menjelang jam 12 siang, saya mendapatkan<br />

kabar di ruang redaksi bahwa Mohammad Nasser sudah mengontak<br />

seorang ulama besar yang disegani di dekat kota Ramadi. Seseorang<br />

yang menerima berita itu mengatakan ulama itu siap menyampaikan<br />

pesan kepada kelompok penyandera untuk membebaskan Meutya dan<br />

Budi. Kabar itu tidak jelas benar, tetapi di tengah situasi tak pasti, sekecil<br />

apapun kebenarannya perlu diricek ke mana-mana.<br />

Toh, akhirnya saat yang ditunggu-tunggu itu tiba juga. Tepat pukul<br />

13.15, ruang redaksi gempar. Pada saat itu rupanya berita teks tentang<br />

pembebasan Budi dan Meutya dari APTN sudah masuk ke ruang redaksi.<br />

Lima belas menit kemudian, gambar pembebasan Meutya dan Budi<br />

muncul. Semua awak redaksi berdesak-desakan di receiver APTN.<br />

Semua orang berjingkrak-jingkrak dan saling berpelukan di ruang redaksi.<br />

Kali ini, air mata yang mengalir dari sebagian awak redaksi adalah air<br />

mata haru dan gembira. Saya sendiri, sebagai orang yang paling<br />

bertanggung jawab atas penugasan ini serasa baru<br />

melepaskan beban sangat berat yang sulit tertanggungkan. Air mata<br />

saya pun menetes sambil berpelukan dengan begitu banyak kru.<br />

Gambar berdurasi 1.53 menit itu memperlihatkan Budi sedang<br />

tersenyum menerima kitab suci Al-Qur an dan ucapan selamat dari<br />

penyandera. Sementara Meutya berdiri di sampingnya dengan ekspresi<br />

wajah yang menyembunyikan kegembiraan.Seketika itu juga, Makroen<br />

Sandjaya, dkk. menyiapkan breaking news mengenai pembebasan ini.<br />

Memasuki Control Room, semua kru tampak seperti sedang dilanda<br />

euforia pembebasan. Pemandangan yang sangat jauh berbeda dengan<br />

breaking news empat hari sebelumnya tentang penyanderaan,yang<br />

diwarnai dengan rasa sedih, takut dan cemas.<br />

Setelah penayangan gambar pembebasan itu, semua orang di ruang


edaksi bertepuk tangan. Sungguh, jika pun peristiwa ini bukan apa-apa<br />

bagi orang lain, tetapi bagi awak Metro TV, ini adalah sebuah momen, draft<br />

sejarah yang sulit dilupakan.Dan bagi saya, ini adalah salah satu sejarah<br />

penting dalam karier kepemimpinan saya. Usai breaking news saya<br />

memasuki ruang kerja saya dan sejenak mengangkat syukur ke hadirat<br />

Tuhan.<br />

Tapi ini barulah awal dari berita pembebasan yang, ternyata berjalan<br />

tidak mulus. Ada hal penting yang belum terjawab. Benar pada siang hari<br />

itu berita pembebasan Budi dan Meutya sudah diketahui, tapi belumlah<br />

jelas benar karena posko di Jakarta belum dapat berkomunikasi langsung<br />

dengan Budi dan Meutya. Menilik medan yang berat dari Ramadi<br />

menuju perbatasan Irak-Yordania, kekhawatiran atas<br />

keselamatan Budi dan Meutya tetap saja menjadi momok yang<br />

menakutkan. Mungkin mereka sudah lepas dari tangan penyandera di<br />

Ramadi, tapi tidak ada jaminan perjalanan mereka akan aman dari<br />

penculikan lainnya. Yang juga menakutkan adalah keganasan tentara<br />

sekutu yang tidak mengenal ampun menembaki orang-orang yang<br />

dicurigai.<br />

Cuma kali ini, cukup menggembirakan karena penanganan<br />

pembebasan sudah melibatkan berbagai pihak. Para diplomat Deplu di<br />

Amman, misalnya, sudah berkordinasi kemana-mana. Deplu juga akan<br />

mengirim diplomat seniornya menuju perbatasan Irak. Surya Paloh dan<br />

tim dari Metro TV yang sudah dua hari berada di Amman, Yordania, juga<br />

bergerak menuju perbatasan. Sehari sebelumnya, Surya Paloh muncul<br />

dalam program Metro Hari Ini, langsung dari Amman. Di kantor Metro TV<br />

Kedoya, semua a-wak redaksi juga siaga untuk melanjutkan breaking<br />

news pembebasan ini, jika sesewaktu sudah mendapat kontak langsung<br />

dengan Budi dan Meutya.<br />

Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu itu tiba juga. Sekitar pukul 9<br />

malam, untuk pertama kalinya saya mendengar suara Meutya melalui<br />

telepon malam itu. Betapa mengharukan setelah saya dan ka wan-kawan<br />

menanti dalam ketidakpastian. Suara Meutya mengesankan<br />

perjalanannya menuju perbatasan Irak-Yordania tidaklah aman. dia<br />

seperti diliputi ketakutan. Juga ada kesan tergesa-gesa dalam suaranya<br />

yang terbata-bata. Tapi kabar terpenting bagi saya adalah keadaannya<br />

yang sehat dan tak<br />

kurang suatu apapun. Usai berbicara dengan Meutya saya berbicara<br />

dengan Budi, termasuk menanyakan soal perbekalan mereka selama<br />

perjalanan. Budi juga menjelaskan keadaan yang kurang aman<br />

sepanjang perjalanan.<br />

Saat itu juga Kedoya mengudarakan breaking news, langsung<br />

dengan Meutya dan Budiyanto. Kali ini, kegembiraan di ruang pengendali<br />

siaran luar biasa meriah.Tapi kemeriahan itu berlangsung sejenak.<br />

Ruang pengendali siaran kembali senyap.Sebab Meutya dan Budi<br />

mengabarkan mereka tidak diperkenankan melewati perbatasan Irak-<br />

Yordania. Pos perbatasan, malam itu, hingga keesokan harinya ditutup di<br />

bawah penjagaan ketat. Tidak boleh ada yang lalu lalang dari dan ke Irak,<br />

atau sebaliknya, karena menjelang hari raya Asyura. Meutya<br />

menggambarkan keadaan di perbatasan juga menakutkan. Keduanya<br />

tidak berani keluar dari mobil. Kontak dengan keduanya pun terputus.


Bersamaan dengan itu, Surya Paloh dan tim juga sudah sampai di<br />

perbatasan untuk menjemput Budi dan Meutya. Penasaran dengan<br />

terhadangnya kedua kru itu di perbatasan, saya meminta Surya Paloh<br />

melaporkan langsung keadaan di perbatasan untuk disiarkan di Metro TV<br />

malam itu juga. Begitu on air, penyiar dari studio Metro TV menanyakan<br />

Surya Paloh tentang langkah-langkah para diplomat Indonesia yang<br />

sudah ada diperbatasan. "Saya melihat mereka seperti tenang-tenang<br />

saja dan tidak berbuat apa-apa," kata Surya Paloh.<br />

Rupanya isi laporan Surya Paloh itu membuat<br />

Marty Natalegawa kecewa. Marty menelepon saya, mengingatkan<br />

komitmen bahwa Metro TV dan Deplu harus bekerjasama untuk<br />

membebaskan Budi dan Meutya. dia juga mengingatkan perlunya<br />

memahami tata krama diplomatik dalam urusan semacam ini. Saya tidak<br />

punya pilihan lain kecuali meminta maaf atas laporan yang mungkin<br />

mengabaikan kerja keras pemerintah atau Deplu dalam upaya<br />

pembebasan ini.<br />

Penantian keesokannya tak kalah panjang. Semula kami menduga,<br />

pukul 10 siang hari Selasa, 22 Februari, posko di Kedoya sudah akan<br />

mendapatkan kabar Budi dan Meutya melintasi perbatasan Irak-Yordania.<br />

Lewat pukul 3 sore, belum juga ada tan da-tanda Budi dan Meutya bisa<br />

melintasi perbatasan. Menjadi pertanyaan, kok proses ini susah dan lama<br />

benar jalannya?<br />

Pada malam hari, atau sore waktu Irak, barulah kabar itu benar-benar<br />

nyata. Budi dan Meutya baru bisa melintasi perbatasan. Begitu Surya<br />

Paloh mengabarkan Meutya dan Budi sudah dalam dekapannya, semua<br />

beban terasa terlepaskan. Sebagai pemimpin redaksi yang menugaskan<br />

keduanya ke Irak, langkah saya terasa sangat enteng malam itu. Suasana<br />

ruang redaksi dan ruang pengendali siaran pun ceria ketika Boy Noya<br />

mengantarkan breaking news tentang pembebasan ini.<br />

Ribuan ucapan selamat berdatangan melalui telepon, email, maupun<br />

sms. Jumlahnya hampir sama dengan ucapan simpati dan doa yang<br />

mengalir selama empat hari masa penyanderaan sebelumnya.<br />

Jelas, kabar ini benar-benar mengakhiri penantian 4 hari yang terasa<br />

amat sangat panjang dan melelahkan. "Saya ingin Meutya dan Budi<br />

menikmati malam pembebasan ini di Amman," kata Surya melalui telepon<br />

dengan suaraparau. Rupanya, penantian di tengah hawa dingin malam<br />

hari di perbatasan membuat kesehatan Surya Paloh agak terganggu.<br />

Dalam percakapan telepon itu saya mendengar Budi dan Meutya akan<br />

berangkat ke Jakarta bersama tim dari Metro TV keesokannya dengan<br />

Qatar Airways.<br />

"Mungkin saya akan menyusul ke Jakarta. Saya agak sakit," kata Surya<br />

Paloh.<br />

"Abang harus pulang bersama Budi dan Meutya. Abang kan tahu,<br />

Presiden akan menyambut kedatangan Meutya dan Budi di Istana. Apa<br />

jadinya kalau Abang tidak di sini," kata saya. "Okelah, Don."<br />

* * *<br />

KEDEKATAN Meutya dan Budi dengan awak pemberitaan Metro TV<br />

mengundang rasa rindu segera bertemu dengan keduanya. Begitu pun<br />

saya. Pemberitaan yang luas melalui media cetak dan elektronik di<br />

sini,dan juga media-media internasional, menambah rasa ingin tahu


agaimana keadaan keduanya setelah diculik hampir selama seminggu.<br />

Dan yang lebih menarik, bagaimana sesungguhnya kisah penyanderaan<br />

di kota Ramadi itu. Bagi saya, karena pemberitaan yang lua situ, jelas<br />

menempatkan Budi dan Meutya menjadi "bu-kan wartawan biasa" dan<br />

"bukan juru kamera biasa" lagi. Perasaan semacam<br />

itulah yang saya bawa sampai tiba waktunya menjemput mereka di<br />

Bandara Soekarno-Hatta, Kamis, 24 Februari siang.<br />

Bersama iring-iringan mobil yang cukup panjang yang membawa<br />

awak Metro TV, begitu tiba di bandara Soekarno Hatta, enam atau tujuh<br />

diplomat dari Departemen Luar Negeri sudah lebih dulu tiba. Sejumlah<br />

wartawan cetak dan elektronik hilir mudik di sana. Perasaan saya<br />

berdebar-debar menantikan ke duanya keluar dari garbarata di ruang<br />

tunggu khusus.<br />

Begitu wajah Meutya dan Budi muncul, dari jarak sekitar 15 meter,<br />

saya melompat kegirangan. Setelah itu saya merapat. Saya memeluk<br />

tubuh mungil Meutya dengan perasaan kasih yang tulus. Air mata saya<br />

menetes. Di dalam tubuh mungil ini, bertahta hati dan jiwa yang tegar,<br />

pikirku seraya menatap mata Meutya. "Kami semua bangga padamu, Mut,"<br />

kata saya. Tidak banyak kata lagi yang kami ucapkan ketika itu.Meutya<br />

mengucapkan terima kasih, dan saya menyampaikan permintaan maaf.<br />

Juga menyampaikan selamat tiba kembali ke pangkuan keluarga dan<br />

keluarga besar Metro TV.<br />

Usai memeluk Meutya, saya memeluk Budi. "Kami semua bangga<br />

pada Mas Budi," kata saya sambil menatap mata Budiyanto. Pada<br />

wajahnya yang murah senyum bertahta jiwa yang tegar. Usai memeluk<br />

keduanya, saya memeluk Surya, mengucapkan terima kasih karena telah<br />

memikul penuh tanggung jawab atas akibat keputusan saya.<br />

Iring-iringan perjalanan menuju istana, hari itu<br />

bak mengantar pahlawan yang telah memenangkan pertempuran.<br />

Sambutan di pendopo Istana pun meriah. Presiden Susilo Bambang<br />

Yudhoyono didampingi Menlu Hassan Wirajuda menyambut keduanya<br />

dengan antusias. Menikmati sambutan semeriah itu, saya pun merasa<br />

ikut memenangkan pertempuran batin. Tanpa ragu saya ikut berdiri di<br />

pendopo, menyaksikan Meutya dan Budi, yang tampak kikuk dengan<br />

penyambutan meriah ini.<br />

Usai di istana, penyambutan di Metro TV lebih meriah lagi. Begitu<br />

memasuki gerbang Metro TV sekitar pukul 5 sore, seluruh karyawan Media<br />

Grup memadati halaman depan kantor yang megah. Di tengah<br />

kerumunan itu, Budi dan Meutya dengan sabar melayani rekan-rekannya<br />

yang memeluk dan ber jabat tangan dengan keduanya. Di sana-sini saya<br />

mendengar seruan membahana, "Hidup Meutya. Hidup Budi". Di grand<br />

studio, saya menikmati pemandangan magis: semua orang menikmati<br />

kemenangan. Sebuah catatan kecil sejarah telah ditoreh Meutya dan Budi<br />

dalam karier jurnalistiknya. Sementara dari sebuah sudut studio itu saya,<br />

kali ini, merasa bukan lagi pemimpin redaksi yang bodoh. []<br />

Failure is not an Option<br />

Oleh Dr. R.M.Marty M.Natalegawa<br />

Mantan Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI<br />

SEBAGAI seorang Juru Bicara Departemen Luar Negeri, tidak ada hari<br />

yang saya lalui bersifat rutin. Tiap hari saya selalu siapkan diri


menghadapi tantangan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.<br />

Namun hari itu, Jumat, 18 Februari 2DD5, menjadi salah satu hari luar<br />

biasa buat saya.<br />

Menjelang press briefing yang rutin diselenggarakan di Deplu, kami<br />

menerima laporan dari KBRI Amman, Yordania, mengenai 'kehilangan<br />

kontak' dengan dua wartawan Metro TV, Meutya Hafid dan Budiyanto yang<br />

tengah berkunjung ke Irak. Menurut kabar yang masih perlu dikonfirmasi<br />

itu, kendaraan yang disewa kedua wartawan Metro TV dihadang<br />

sekelompok bersenjata berseragam militer, dan keduanya dilarikan ke<br />

tempat yang belum diketahui.<br />

Ketika saya kontak ke Amman, pihak KBRI mengonfirmasikan telah<br />

kehilangan kontak dengan kedua kru Metro TV sejak mereka<br />

menyeberangi perbatasan Yordania-Irak hari Selasa, 15 Februari. Mereka<br />

sampaikan pula bahwa sesungguhnya tanggal 30 Januari, kedua<br />

wartawan tersebut telah berkunjung<br />

ke Irak untuk meliput pemilihan umum. Keduanya masuk<br />

kembali ke Irak untuk meliput perayaan Asyura di Karbala.<br />

Sesuai arahan Menteri Luar Negeri, saya hubungi Pemimpin Redaksi<br />

Metro TV, Don Bosco Sela-mun, yang juga mengonfirmasikan bahwa<br />

pihaknya telah kehilangan kontak dengan kedua wartawan sejak Selasa<br />

sore, 15 Februari. Kami sepakat menggunakan momentum press briefing<br />

mingguan di Deplu untuk mengumumkan kabar 'kehilangan kontak'<br />

tersebut kepada media massa dan masyarakat. Istilah "kehilangan<br />

kontak" sengaja digunakan karena sampai detik tersebut belum ada<br />

kejelasan mengenai nasib Budiyanto dan Meutya Hafid, sehingga belum<br />

dapat diasumsikan bahwa keduanya telah diculik.<br />

Setelah pers briefing, sekitar pukul 12:00 WIB, didampingi Direktur<br />

Diplomasi Publik, Andri Hadi dan Kabag Infomed Badan Administrasi<br />

Menteri (BAM), Umar Hadi, saya bertemu dengan Pemred Metro TV, Don<br />

Bosco Selamun dan Koordinator Penyiar Metro TV, Usi Karundeng. Dalam<br />

pertemuan itu pihak Metro TV dan Deplu sepakat untuk menjalin<br />

koordinasi dan berbagai informasi, serta perlunya kehati-hati an karena<br />

menyangkut keselamatan dua WNI. Kami juga sepakat mengedepankan<br />

kepentingan keluarga kedua wartawan. Deplu dan Metro TV akan selalu<br />

menginformasikan kepada pihak keluarga perkembangan terakhir dan<br />

upaya-upaya pengembalian kedua wartawan tersebut ke Tanah Air.<br />

Sekitar pukul 17:00 WIB, laporan tertulis Menlu<br />

kepada Presiden mengenai hilangnya 2 Wartawan Metro TV<br />

disampaikan ke Istana Merdeka. Pada saat yang sama Menlu memimpin<br />

rapat koordinasi untuk membentuk Tim Penanggulangan Krisis (TPK)<br />

Deplu. Bapak Triyono Wibowo, Staf Ahli Menlu bidang Manajemen ditunjuk<br />

sebagai Ketua TPK dan saya sebagai Wakil Ketua, serta antara lain<br />

Direktur Timur Tengah, Gatot Abdullah Mansyur; Direktur Informasi dan<br />

Media, Luthfi Rauf; Direktur Konsuler, Harimawan Suyitno; Direktur<br />

Perlindungan WNI Deplu, Ferry Adamhar, dan Kabag Infomed BAM Umar<br />

Hadi sebagai anggota.<br />

Pertemuan pertama TPK membahas langkah-langkah yang perlu<br />

dilakukan, antara lain penyiapan konsep appeal dari keluarga untuk<br />

disiarkan melalui Ai-Jazeera di negara-negara Timur Tengah. Appeal<br />

menekankan aspek kemanusiaan dengan menegaskan bahwa


keberadaan kedua wartawan Metro TV di Irak hanya untuk menjalankan<br />

tugas jurnalistik. Tim TPK juga sepakat memfasilitasi rencana pengiriman<br />

tim khusus Metro TV ke Amman, serta pengguliran upaya intensif dan<br />

serentak dari Deplu dan Perwakilan RI di sekitar wilayah Irak(Amman,<br />

Damaskus, Beirut, Doha, Abu Dhabi, Riyadh dan Jeddah) guna<br />

menggalang kontak, baik secara formal maupun informal dengan pihakpihak<br />

yang dapat membantu, baik dari kalangan pemerintahan, organisasi<br />

Bulan Sabit Merah, Palang Merah (ICRC) dan tokoh serta ulama setempat.<br />

Pukul 19:00 WIB, di Istana Merdeka, Presiden menyampaikan<br />

'imbauan resmi' (appeal) atas hilangnya<br />

kedua wartawan di Irak. Himbauan tersebut disiarkan secara<br />

langsung oleh Metro TV, dan disiarkan juga oleh Al-Jazeera.<br />

Pukul 22:00 WIB, saya mendapat telepon dari Associated Press<br />

Television News (APTN) yang menyampaikan bahwa mereka mendapat<br />

rekaman penahanan kedua wartawan Metro TV oleh Tentara Mujahidin<br />

(Jaisy Al-Mujahidin). Dalam pernyataannya yang akan ditayangkan<br />

APTN,Jaisy Al-Mujahidin meminta konfirmasi dari Pemerintah Indonesia<br />

perihal status keberadaan kedua WNI di Irak dan menyatakan bahwa<br />

mereka tidak akan bertanggung jawab atas keselamatan mereka di Irak.<br />

APTN akan menyiarkan breaking new sini 1 jam mendatang.<br />

Sejumlah hal muncul di benak saya. Pertama, dengan adanya berita<br />

ini, diperoleh kejelasan bahwa Meutya dan Budiyanto telah menjadi<br />

tahanan Tentara Mujahidin. Kedua, Pemerintah Indonesia harus segera<br />

memberikan tanggapan awal terhadap kejadian yang menimpa kedua<br />

wartawan tersebut. Perkembangan ini saya laporkan kepada Menlu, yang<br />

juga memandang penting untuk segera melaporkan masalah ini kepada<br />

Presiden dan segera menyampaikan pandangan Pemerintah RI.<br />

Akhirnya, dini hari pukul 01:00 WIB, Presiden Vudhoyono<br />

menyampaikan imbauan untuk membebaskan kedua wartawan Metro TV,<br />

yang disiarkan secara langsung melalui APTN dan Al-Jazeera. Inti<br />

imbauan Presiden adalah bahwa kedua wartawan Metro TV hanya<br />

menjalankan tugas jurnalistik,tanpa misi politik tertentu.<br />

Pagi harinya, Menteri Luar Negeri memimpin rapat TPK untuk<br />

mengkaji perkembangan terakhir. Deplu pun menginstruksikan kepada<br />

perwakilan-perwa kilan RI diwilayah sekitar Irak untuk mengintensifkan<br />

kontak, baik melalui jalur formal melalui pemerintah setempat, maupun<br />

informal dengan kalangan ulama dan rohaniawan, mengintensifkan<br />

imbauan pembebasan melalui pernyataan Presiden RI yang telah<br />

disiarkan dan disebarluaskan oleh APTN dan Al-Jazee ra. TPK juga<br />

menyiapkan konsep imbauan yang akan dibacakan keluarga Meutya dan<br />

Budiyanto dan akan direlay APTN dan Al-Jazeera. Deplu juga<br />

memfasilitasi kunjungan ketua PMI, Drs. Mar'ie Muhammad ke Abu Dhabi<br />

untuk menjalin kontak dengan Bulan Sabit Merah Uni Emirat Arab.<br />

Sore hari, sesuai instruksi Menlu RI, saya memanggil Kuasa Usaha<br />

Ad Interim Irak di Jakarta, Mrs. Sudad. untuk menjelaskan keberadaan<br />

kedua wartawan Metro TV yang ditahan Jaisy Al-Mujahidin di Irak.<br />

Pada pukul 21:30 WIB, AFP Bagdad menginformasikan bahwa pihak<br />

penyandera telah menyerahkan kedua wartawan Metro TV kepada Mufti<br />

setempat di Ramadi. Kabar yang masih sumir ini saya konfirmasikan ke<br />

ketua TPK yang sudah berada di Amman. Menlu menginstruksikan


ilamana benar terjadi penyerahan kedua sandera agar segera<br />

dikoordinasikan dengan pihak Bulan Sabit Merah di UAE, sehingga<br />

mereka dapat membantu penjemputan dan pemulangan sandera apabila<br />

kedua wartawan dibawa ke kota Bagdad.<br />

Senin, 21 Februari, TPK menggelar rapat, men-jajagi skenario<br />

evakuasi kedua sandera. Skenario pertama, evakuasi dilakukan dengan<br />

bantuan organisasi Bulan Sabit Merah. Dan skenario kedua, apabila<br />

sandera pulang sendiri ke Amman melalui perbatasan, akan dijemput<br />

oleh KBRI Amman dan Ketua TPK di perbatasan Irak-Yordania.<br />

Tengah hari, pukul 12:30 WIB, kembali saya menerima info dari<br />

Associated Press (AP) bahwa kedua wartawan Metro TV telah dibebaskan<br />

oleh pihak Jaisy Al-Mujahidin. Setelah mendengar kabar ini, saya<br />

mendampingi Menlu ke Istana Merdeka guna menyampaikan<br />

perkembangan ini kepada Presiden, meskipun kabar tersebut masih<br />

harus dikonfirmasikan kembali. Menlu juga menyampaikan kabar tersebut<br />

dalam press briefing di Istana Merdeka. Disampaikan pula bahwa pihak<br />

penyandera,Jaisy Al-Muhajidin dalam pernyataannya menyatakan bahwa<br />

'memerhatikan niat baik kedua sandera dan menghormati rasa<br />

persaudaraan Islami antara kedua negara serta menghargai posisi<br />

Indonesia yang menentang invasi Irak', diputuskan untuk membebaskan<br />

para sandera, dan bahwa Bapak Presiden RI menyambut baik kabar ini.<br />

Setelah briefing dari Menlu, saya lanjutkan press briefing untuk<br />

menyampaikan detail perkembangan terakhir, bahwa Tim TPK telah<br />

melewati tahap konfirmasi pembebasan sandera dan lokasi mereka,<br />

hingga saat ini berada dalam tahap evakuasi. Namun Deplu tidak dapat<br />

memberikan informasi mengenai proses evakuasi karena dapat<br />

mengganggu<br />

proses itu sendiri, dan bahwa kebijakan Deplu yang konsisten<br />

terhadap invasi Irak oleh pihak koalisi terbukti telah menjadi faktor<br />

pertimbangan pembebasan sandera.<br />

Pukul 20:50 WIB saya mengontak Ketua TPK di-perbatasan Yordania-<br />

Irak. Bapak Triyono menyampaikan bahwa sampai saat ini belum berhasil<br />

mengontak telepon seluler Meutya Hafid. Satu jam kemudian, Bapak<br />

Triyono menginformasikan bahwa berdasarkan percakapan telepon<br />

antara Kabidpen KBRI Amman dengan Meutya Hafid, kedua sandera akan<br />

tiba diperbatasan dalam setengah jam.<br />

Pada saat yang sama di Tanah Air, Metro TV menayangkan Breaking<br />

News telewicara dengan Meutya Hafid dan Budiyanto, yang saat itu masih<br />

berada diwilayah Irak dan belum melintas ke wilayah Yordania. Menurut<br />

Meutya, ia dan Budiyanto dalam keadaan baik, sehat dan aman, serta<br />

diperlakukan dengan baik selama penyanderaan. Meutya dan Budiyanto<br />

juga berbicara dengan anggota keluarga ma sing-masing.Namun<br />

menjelang akhir telewicara, Meutya mengatakan bahwa ada kemungkinan<br />

rombongan mereka harus kembali ke Bagdad. Tentu kabar itu sangat<br />

mengkhawatirkan.<br />

Pukul 23.00 WIB, Bapak Triyono mengabarkan informasi dari petugas<br />

perbatasan Yordania, bahwa pihak Irak tidak mengizinkan Meutya dan<br />

Budi melintas perbatasan. Saya minta Bapak Triyono untuk terus<br />

mengusahakan agar perbatasan tetap dibuka bagi rombongan sandera.<br />

Saya juga menghubungi Pemimpin Redaksi Metro TV,dan mengingatkan


ahwa<br />

telewicara dengan kedua wartawan sebelum melintasi<br />

perbatasan dapat menghambat proses kepulangan karena tidak<br />

konsisten dengan upaya evakuasi yang bersifat low-key.<br />

Sekitar pukul 23:30 WIB, Bapak Triyono mengabarkan bahwa sangat<br />

sulit untuk mengusahakan dibukanya kembali perbatasan. Pihak Irak dan<br />

Yordan juga gusar karena rencana yang telah dirancang secara seksama<br />

tidak berhasil direalisasikan. Pihak Irak mengatakan bahwa perbatasan<br />

hanya akan dibuka kembali keesokan harinya. Padahal, semua dokumen<br />

resmi perjalanan sudah selesai diurus dan dilegalisasi, dan<br />

sesungguhnya rombongan hanya tinggal melewati perbatasan.<br />

Perkembangan ini saya teruskan kepada Menlu RI, yang<br />

menginstruksikan agar saya menelepon Dubes RI di Amman dan Abu<br />

Dhabi untuk juga menyiapkan pemulangan kedua wartawan Metro TV<br />

dengan menggunakan jasa Bulan Sabit Merah. Saya juga menelepon<br />

kakak kandung Meutya, Finny Hafid, memberikan penjelasan tentang<br />

situasi terakhir, sekaligus memintanya untuk sementara tidak mencoba<br />

menghubungi Meutya.<br />

Sepanjang Senin malam hingga Selasa dini hari, melalui hubungan<br />

telepon dengan sejumlah perwakilan RI dan instansi pemerintah terkait di<br />

wilayah sekitar Irak, Tim TPK melakukan upaya-upaya fasilitasi agar<br />

perbatasan Yordan-Irak dapat dibuka untuk kedua wartawan Metro TV.<br />

Perkembangan ini saya sampaikan kepada Juru Bicara<br />

Kepresidenan, Dino Patti Djalal, termasuk informasi<br />

bahwa sesungguhnya perbatasan Irak-Yor dania telah ditutup<br />

selama 4 hari terakhir karena perayaan Asyura. Namun, sesuai rencana<br />

awal, petugas perbatasan Irak-Yordania telah memberikan pengecualian<br />

bagi kedua wartawan Metro TV dengan membuka perbatasan.<br />

Berdasarkan perkembangan ini, Bapak Triyono dan saya menyimpulkan<br />

bahwa kedua wartawan Metro TV tampaknya baru dapat meninggalkan<br />

Irak Selasa pagi.<br />

Sekitar pukul 01:30 WIB, saya menghubungi Bapak Surya Paloh,<br />

Pemimpin Media Group, yang juga mengetahui adanya kesulitan di<br />

perbatasan. Saya ungkapkan harapan bahwa kesulitan ini hanya<br />

merupakan minorhick-ups yang dapat selesai selambatnya hari Selasa<br />

pagi. Selasa pagi pukul 11:00 WIB, di Deplu, Tim TPK kembali<br />

mengadakan rapat koordinasi, menyusun skenario untuk mengantisipasi<br />

pengembalian sandera. Dalam skenario tersebut, disepakati bahwa<br />

Direktur Timur Tengah Deplu, Gatot Abdullah Mansyur akan berkoordinasi<br />

dengan Dubes RI di Amman untuk persiapan keberangkatan kedua<br />

wartawan Metro TV beserta rombongan dari Amman ke Jakarta.<br />

Sementara persiapan di Bandara Soekarno Hatta dan penjemputan kedua<br />

wartawan akan dilakukan oleh Direktur Konsuler, Harimawan Suyitno, dan<br />

Lu-tfi Rauf, Direktur Infomed Deplu. Sementara prosesi penyerahan kedua<br />

wartawan Metro TV tersebut disiapkan oleh Direktur Protokol, Dienne<br />

Muharyo.<br />

Pukul 12:00 WIB saya menerima telepon dari KBRI Doha yang<br />

mengabarkan kedatangan Ketua<br />

PMI, Drs.Mar'ie Muhammad, dan pihak KBRI telah mengatur


pertemuan Ketua PMI dengan Bulan Sabit Merah di Qatar. Hal ini<br />

selanjutnya saya komunikasikan kepada Mrs. Sudad, KUAI Irak di Jakarta.<br />

Menanggapi hal ini Mrs. Sudad di Jakarta menjanjikan secara lisan bahwa<br />

pihaknya akan menghubungi Ke-menterian Dalam Negeri Irak di Bagdad<br />

untuk memfasilitasi pemulangan kedua wartawan.<br />

Kemudian saya kembali menghubungi Bapak Triyono untuk<br />

menanyakan perkembangan terakhir di-perbatasan Vordania-Irak.Bapak<br />

Triyono mengabarkan bahwa kedua warga Indonesia saat ini tidak<br />

diinterogasi oleh petugas perbatasan Irak, dan perbatasan akan dibuka<br />

pukul 13:00 WIB. Menurut ketua TPK, kedua wartawan telah memesan<br />

ruangan istirahat, namun karena kondisi ruangan di perbatasan tidak<br />

memungkinkan, maka mereka menginap di dalam kendaraan sewaan.<br />

Begitu pun, petugas perbatasan telah menyediakan makanan bagi kedua<br />

wartawan.<br />

Saya kembali menghubungi Mrs. Sudad, menyampaikan keprihatinan<br />

terhadap hambatan yang dialami diperbatasan. Dalam kapasitas pribadi,<br />

dengan tegas saya sampaikan bahwa akan sangat inhumane apabila<br />

kedua wartawan tersebut tinggal satu malam lagi di perbatasan Irak.<br />

Menanggapi hal ini, Mrs. Sudad mengaku telah mendapatkan konfirmasi<br />

dari Departemen Dalam Negeri Irak di Bagdad yang telah memerintahkan<br />

petugas perbatasan agar membuka akses bagi kepulangan kedua<br />

wartawan. Mrs. Sudad juga mengabarkan bahwa perbatasan<br />

Irak masih akan ditutup hingga 23 atau 24 Februari.<br />

Sekitar pukul 17:00 WIB, Bapak Triyono mengabarkan bahwa saat ini<br />

Meutya dan Budiyanto masih harus menjalani pertanyaan dari petugas<br />

perbatasan Irak karena keduanya telah mengalami penyanderaan. Pukul<br />

17:20 WIB saya berhasil mengontak handphone Meutya.<br />

Saya sampaikan kepada Meutya bahwa sejak tanggal 18 Februari,<br />

Deplu telah berupaya semaksimal mungkin untuk membebaskan kedua<br />

wartawan Metro TV. Meutya mengatakan bahwa dirinya bersama Budiyanto<br />

sangat prihatin karena tidak ada kontak dengan pihak perwakilan<br />

Indonesia di Yordania. Ia juga mengatakan bahwa petugas perbatasan<br />

Irak telah mendapat instruksi dari Bagdad untuk membuka perbatasan.<br />

Saya sampaikan agar Meutya menerima telepon dari KUAI Irak di Jakarta<br />

yang akan berbicara langsung dengan petugas perbatasan di Irak melalui<br />

saluran telepon milik Meutya. Selanjutnya saya minta kepada Meutya agar<br />

terus memberikan kabar ke Deplu setiap setengah jam.<br />

Selanjutnya kembali saya menelepon Mrs. Sudad, KUAI Irak di<br />

Jakarta. Saya sampaikan kepada Mrs. Sudad bahwa kedua wartawan<br />

Metro TV sangat depressed dan prihatin terhadap penanganan petugas<br />

perbatasan di Irak dan saya meminta kesediaannya untuk menghubungi<br />

Meutya di handpho ne-nya untuk kemudian berbicara dengan petugas<br />

perbatasan Irak.<br />

Pukul 18:20 WIB, saya mengontak Bapak Triyono untuk<br />

memberitahukan bahwa saat ini Meutya<br />

sedang berbicara dengan KUAI Irak di Jakarta. Saya tanyakan pula<br />

persiapan dan kesiapan contingency KBRI Amman apabila sandera telah<br />

menyeberangi perbatasan. Seluruh perkembangan ini secara terus<br />

menerus saya laporkan kepada Menlu RI yang memberikan pengarahan<br />

penanganan permasalahan as they unfold.


Akhirnya, berita yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sekitar pukul 19:00<br />

WIB, saya mendapatkan kabar dari Meutya bahwa dirinya dan Budiyanto<br />

dalam perjalanan menuju Yordania. Pukul 19.35 WIB, Meutya dan<br />

Budiyanto diantar oleh petugas Yordania tiba di wilayah Yordania,<br />

disambut Ketua TPK dan langsung menuju kantor Border Department.<br />

Bapak Triyono menelepon Menlu melaporkan bahwa kedua wartawan<br />

yang disandera telah berada bersama beliau dan selanjutnya Menlu<br />

berbicara langsung dengan Meutya dan Budi.<br />

Kamis, pukul 10:00 WIB, staf Deplu menjemput Keluarga Meutya<br />

Hafid dan Budiyanto dari rumah mereka ke Deplu dan Istana. Kedua<br />

wartawan Metro TV tiba di Bandara pukul 14:05 WIB. Pukul 15:15, kedua<br />

wartawan Metro TV beserta Triyono Wibowo, Surya Paloh dan saya tiba di<br />

Istana Merdeka melalui Pintu Utara, dan disambut oleh anggota keluarga.<br />

Kedatangan rombongan disiarkan secara langsung oleh Metro TV dan<br />

diliput berbagai media massa nasional maupun koresponden asing di<br />

Jakarta. Saya, dan tentu semua pihak yang terlibat dalam pembebasan<br />

Meutya dan Budiyanto, merasa lega dengan pulangnya mereka ke Tanah<br />

Air, dengan selamat.<br />

Satu hal yang selalu saya nomor satukan dalam menangani masalah<br />

ini adalah kontak dengan keluarga, dan mereka harus yang pertama<br />

mendapatkan informasi sebelum pihak lain, terlebih media massa.<br />

Sebagai seorang bapak, saya sangat memahami bahwa pihak keluarga<br />

pasti ingin tahu semua informasi, sekecil apapun informasi tersebut.<br />

Karena itulah selalu saya sampaikan kepada Finny, kakak Meutya, semua<br />

perkembangan informasi upaya pembebasan, sekecil apa pun.<br />

Terasa pilu mendengar respons dari keluarga Meutya yang berusaha<br />

tenang, walau kekhawatiran mendalam tetap terbaca dari nada suara<br />

Finny. Sebagai perwakilan dari pemerintah saya mempersiapkan diri<br />

untuk menerima tuntutan ataupun tekanan dari keluarga. Akan lebih<br />

mudah diterima jika reaksi keluarga lebih emosional. Tapi respons yang<br />

begitu sabar dan pengertian terhadap kebijakan Deplu, justru menjadi<br />

'beban' bagi saya. Ini berarti keluarga memercayakan penuh nasib anak<br />

kesayangannya di tangan Deplu. Setiap menutup telepon saya berulang<br />

kali berjanji dalam hati, saya akan lakukan apa pun semampu saya untuk<br />

membawa Meutya dan Budi kembali ke pangkuan keluarga. Bagi saya,<br />

Failure is not an option.<br />

Perasaan yang sama dirasakan semua anggota Tim<br />

Penanggulangan Krisis. Ruang TPK tidak pernah ditinggal selama 24<br />

jam. Lelah fisik dan mental tentu terasa.Namun kekhawatiran akan<br />

mengecewakan pihak keluarga begitu tinggi. Sehingga untuk beristirahat<br />

menikmati secangkir teh saja terasa sebagai<br />

kesalahan. Dalam keadaan genting seperti itu satu menit bahkan<br />

satu detik pun berharga. Tapi itulah pilihan Tim: to work with no pause,<br />

sampai Meutya dan Budi kembali dengan selamat.<br />

Menlu juga siaga 24 jam. Ia minta saya secara khusus untuk terus<br />

meng-update informasi sekecil apapun, jam berapa pun. Saya pernah<br />

menelepon Menlu jam 2 pagi, dan beliau tetap fokus mengikuti laporan.<br />

Saya memandang Menlu Hasan Wirayuda sebagai sosok yang dear<br />

headed. Saya sependapat dengan Menlu, terbawa perasaan akan<br />

semakin menyulitkan upaya kami. Saya yakin sebagai seorang bapak dan


seorang Menlu, ia pun mengalami kegundahan yang sama. Tapi beliau<br />

memilih mengutamakan pikiran jernih dan logis.Karenanya beliau<br />

menjadi orang pertama yang saya cari untuk mohon pertimbangan dan<br />

masukan setiap kali ada perkembangan.<br />

Di tengah upaya kerjasama yang kami sepakati bersama Metro TV,<br />

memang sempat ada hambatan kecil. Wajar, pendekatan Deplu dan Metro<br />

TV sebagai institusi media, tentunya tidak selalu sama, walaupun tujuan<br />

utamanya sama. Situasi sempat memburuk ketika Meutya dan Budi<br />

tertahan di perbatasan, tidak diizinkan keluar dari Irak. Saya dan Meutya<br />

beberapa kali berhubungan melalui ponsel, dan terdengar kepanikan dari<br />

suaranya. Tim Metro TV yang menunggu di perbatasan bersama dengan<br />

Ketua tim penanggulangan krisis, juga tidak sabar. Saya mengontak<br />

Pemred Metro TV Don Bosco untuk meminta mereka tenang. Pintu<br />

terakhir menuju<br />

pembebasan memang biasanya lebih sulit. Silang pendapat hanya<br />

akan membuat situasi semakin berbahaya bagi Meutya dan Budi.<br />

Ketegangan pun mereda setelah kami kembali saling mengingatkan<br />

bahwa tujuan yang hendak kita capai sama.<br />

Saya selalu menekankan bahwa upaya pembebasan membutuhkan<br />

kerja sama semua pihak, bukan hanya Deplu. Namun semua pihak perlu<br />

berjalan di atas track yang sama,demi keselamatan WNI. Hal lain, jangan<br />

pernah menyerah jika satu upaya mengalami kebuntuan. Harus selalu<br />

ada inisiatif dan alternatif upaya lain, sehingga counterpart kita tidak<br />

pernah mengatakan "tidak". Faiiure is not an option. Kita juga harus<br />

menjalani berbagai upaya ini dengan cool headed dan berpikiran jernih.<br />

Menjalani upaya ini seperti berjalan di atas roller coaster, karena itu jika<br />

dihadapi dengan gegabah, akan fatal akibatnya.<br />

Bagaimanapun, kembalinya Meutya dan Budi ke Tanah Air dengan<br />

selamat, adalah salah satu saat yang paling melegakan sepanjang hidup<br />

saya. Terlihat kelegaan di muka Bapak Menlu ketika saya sampaikan<br />

kabar kepulangan mereka. Dan reward terbesar untuk kita semua adalah<br />

ketika menyampaikan kabar inikepada keluarga Meutya dan Budi. Haru<br />

dan puas telah memenuhi janji terhadap keluarga, menyelimuti perasaan<br />

saya. Makan, minum, dan istirahat saya terasa menjadinikmat dan<br />

nyaman sekali. Teringat kembali ketika kabar mengejutkan itu datang satu<br />

pekan sebelumnya.Inilah salah satu journey yang memberi warna<br />

terhadap perjalanan tugas saya sebagai Juru Bicara Deplu.[]<br />

TENTANG PENULIS<br />

Meutya Viada Hafid lahir di Bandung, 3 Mei 1978.Anak keempat<br />

(bungsu) dari pasangan DR Anwar Hafid, Ph.D. dan Metty Hafid. Meutya<br />

menghabiskan masa kecilnya di Bogor dan Makassar, sementara masa<br />

sekolahnya di Jakarta dan Singapura. Setelah menyelesaikan SI di<br />

Manufacturing Engineering University of New South Wales, Australia, gadis<br />

mungil yang memiliki motto hidup kerja keras ini pun bergabung bersama<br />

Metro TV pada Februari 2001 sampai sekarang,sebagai reporter<br />

sekaligus presenter. Peliputan yang dipercayakan kepada Meutya tidak<br />

jarang mengharuskannya berkunjung ke daerah konflik,di antaranya ke<br />

Aceh dalam keadaan Darurat Militer (Mei 2003), ke Bali pasca bom kedua<br />

(2005) , ke Irakuntuk meliput Pemilu pertama (Januari-Februari 2005),dan<br />

ke Thailand ketika terjadi Kudeta Militer (2006),atau ke daerah bencana


(disaster zone), yaitu ke Aceh pasca tsunami (Desember<br />

2DD4 - Januari 2DD5). Pengalaman peliputan mancanegara<br />

lainnya adalah in depth report tentang kondisi TKI Malaysia (November<br />

2004), tentang pertemuan tokoh islam dunia di Rusia (2005), dan barubaru<br />

ini mengenai komunitas pergerakan Muslim di Thailand Selatan<br />

(2007).[]<br />

Meutya Viada Hafid lahir di Bandung, 3 Mei 1978. Anak keempat<br />

(bungsu) dari pasangan Anwar Hafid, Ph.D. dan Metty Hafid<br />

menghabiskan masa kecilnya di Bogor dan Makassar, sementara masa<br />

sekolahnya di Jakarta dan Singapura.<br />

Setelah menyelesaikan studi S1 di jurusan Manufacturing<br />

Engineering, University of New South Wales, Australia, gadis mungil yang<br />

memiliki motto hidup kerja keras ini pun bergabung bersama Metro TV<br />

pada Februari 2001 sebagai jurnalis.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!