GUILDELINE STROKE PERDOSSI TAHUN 2011
GUILDELINE STROKE PERDOSSI TAHUN 2011 GUILDELINE STROKE PERDOSSI TAHUN 2011
Skrining lanjutan tergantung dari tipe stroke dan penyebab etiologi sesuai dengan tabel sebagai berikut. Tabel X.4. Skrining Lanjutan pada Pasien Stroke Karakteristik Pasien Pemeriksaan Darah Semua pasien Darah lengkap, elektrolit, gula darah, lipid, ureum, kreatinin, CRP atau LED Thrombosis vena serebral Skrining trombofilia, AT3, Faktor mutasi2,5, hiperkoagulopati Faktor 8, Protein C, Protein S, Antibodi antifosfolipid, D-Dimer, homosistein Gangguan Perdarahan ANR, aPTT, fibrinogen, dll Vaskulitis atau penyakit sistemik Cairan serebrospinal, skrining autoantibodi, atau PCR untuk HIV, sifilis, borreliosis, tuberkulosis, fungi, kultur darah Suspek kelainan genetik, misalnya Tes genetic kelainan mitokondrial (MELAS), CADASIL, penyakit sel sickle, penyakit Fabry, multipel cavernosa, dll E. Rekomendasi-rekomendasi 1. Pada pasien dengan stroke akut dalam waktu 3 jam setelah awitan, CT nonkontras atau MRI direkomendasikan sebelum pemberian rTPA untuk menyingkirkan adanya perdarahan dan untuk menentukan apakah adanya hipodensitas pada CT atau hiperintensitas dari iskemia (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A) 2. Pada pasien dengan stroke akut dalam awitan 3 jam, CT nonkontras kurang optimal untuk deteksi iskemia sehingga dibutuhkan MRI-DWI atau CT angiografi yang lebih sensitif untuk deteksi iskemia (AHA/ASA, Class II, Level of evidence B). 3. Pada pasien dengan awitan lebih dari 3 jam, MRI-DWI dan CTA harus dilakukan untuk pencitraan vaskular, terutama jika ada rencana untuk trombektomi atau trombolitik intraarterial (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A). 4. CT direkomendasikan untuk deteksi perdarahan subarakhnoid (AHA/ASA, Class I, Level of Evidence A). Jika ingin menggunakan MRI untuk deteksi perdarahan 127
subarakhnoid maka harus dilakukan dengan sekuens FLAIR (AHA/ASA, Class Iia, Level of Evidence B) 5. Sekuens dengan MRI GRE dan FLAIR dapat berguna untuk deteksi thrombus intravaskular (AHA/ASA, Class Iia, Level of evidence B). 6. Pemeriksaan vaskular ekstrakranial sangat penting dilakukan setelah awitan dari iskemia serebral untuk melihat mekanisme dari stroke, dan mencegah stroke berulang. (AHA/ASA, Level of evidence B). 7. Pemeriksaan vaskular ekstrakranial dapat diperiksa secara non-invasif dengan ultrasonografi, MRA kontras, CTA dan DSA, dan setiap pemeriksaan mempunyai keunggulan masing-masing (AHA/ASA, Level of evidence A). 8. Pemeriksaan karotis merupakan teknik skrining yang sangat baik untuk mengukur kecepatan aliran darah, tetapi mempunyai limitasi melihat bagian ekstrakranial bagian proksimal. Ultrasonografi juga dapat menentukan derajat strnosis dan dapat digunakan untuk mengevaluasi stenosis sebelum pembedahan (AHA/ASA, level of evidence A). 9. MRA dengan kontras dan CTA lebih sensitif dan spesifik daripada Doppler untuk pencitraan vaskulatur ekstrakranial (AHA/ASA, Level of evidence A). 10. DSA masih merupakan standar emas untuk mengambil keputusan sebelum dilakukan terapi invasif dan dapat melihat aliran kolateral (AHA/ASA, Level of Evidence A). 11. Pencitraan sirkulasi intrakranial pada pasien stroke dapat dilakukan dengan CTA dan MRA dan akurasinya hampir sama denghan DSA (AHA/ASA, Level of evidence A). 12. Pencitraan untuk stenosis kronis dan aneurisma dapat dilakukan dengan kontras MRA, CTA, dan DSA. DSA lebih superior dari CTA (AHA/ASA, level of evidence A). 13. TCD sangat berguna untuk pemantauan vasospasme pada perdarahan subarakhnoid dan melihat penyakit oklusif intrakranial, walaupun CTA, MRA, dan DSA lebih akurat (AHA/ASA, level of evidence A). TCD dapat juga digunakan untuk pemantauan Sickle Cell Disease. 14. Pada pasien dengan stroke akut dan TIA, evaluasi klinis dini, termasuk parameter fisiologi dan tes darah rutin sangat direkomendasikan (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A). 15. Semua pasien stroke dan TIA harus dilakukan pemeriksaan tes darah seperti diuraikan diatas. 128
- Page 77 and 78: BAB VI PENATALAKSANAAN KHUSUS STROK
- Page 79 and 80: hari dan dilanjutkan dengan oral 2x
- Page 81 and 82: 6 jam kemudian. Kecepatan pemberian
- Page 83 and 84: kraniotomi standar dapat dipertimba
- Page 85 and 86: a. Tatalaksana pasien PSA derajat I
- Page 87 and 88: e. Pada pasien yang gagal dengan te
- Page 89 and 90: BAB VII TERAPI SPESIFIK STROKE AKUT
- Page 91 and 92: B. Rekomendasi NIH tentang Response
- Page 93 and 94: KEPUSTAKAAN 1. Adams H, et al. 2007
- Page 95 and 96: f. Pilihan obat yang spesifik dan t
- Page 97 and 98: Tabel VIII.I Rekomendasi Pengelolaa
- Page 99 and 100: terdapat kondisi spesifik seperti r
- Page 101 and 102: 3. Faktor risiko kardiomiopati a. P
- Page 103 and 104: i. Penambahan aspirin pada terapi k
- Page 105 and 106: 4. Inheritage Trombophily a. Pasien
- Page 107 and 108: tinggi dari amyloid anginopati (mis
- Page 109 and 110: 10. Toksin botulinum direkomendasik
- Page 111 and 112: 3. Pasien mendapatkan pendidikan da
- Page 113 and 114: 3. Penggunaan stoking kompresi atau
- Page 115 and 116: c. Dikonsulkan ke professional yang
- Page 117 and 118: . visual neglect c. defisit memori
- Page 119 and 120: 3. National Clinical Guideline for
- Page 121 and 122: B. Rekomendasi Pemeriksaan Diagnost
- Page 123 and 124: c. Gambaran hiperdens dari arteri i
- Page 125 and 126: ultrasonografi vertebral ekstrakran
- Page 127: D. Tes Diagnostik lain 1. Pemeriksa
- Page 131 and 132: 11. Latchaw et at. Recommendations
subarakhnoid maka harus dilakukan dengan sekuens FLAIR (AHA/ASA, Class Iia,<br />
Level of Evidence B)<br />
5. Sekuens dengan MRI GRE dan FLAIR dapat berguna untuk deteksi thrombus<br />
intravaskular (AHA/ASA, Class Iia, Level of evidence B).<br />
6. Pemeriksaan vaskular ekstrakranial sangat penting dilakukan setelah awitan dari<br />
iskemia serebral untuk melihat mekanisme dari stroke, dan mencegah stroke berulang.<br />
(AHA/ASA, Level of evidence B).<br />
7. Pemeriksaan vaskular ekstrakranial dapat diperiksa secara non-invasif dengan<br />
ultrasonografi, MRA kontras, CTA dan DSA, dan setiap pemeriksaan mempunyai<br />
keunggulan masing-masing (AHA/ASA, Level of evidence A).<br />
8. Pemeriksaan karotis merupakan teknik skrining yang sangat baik untuk mengukur<br />
kecepatan aliran darah, tetapi mempunyai limitasi melihat bagian ekstrakranial bagian<br />
proksimal. Ultrasonografi juga dapat menentukan derajat strnosis dan dapat<br />
digunakan untuk mengevaluasi stenosis sebelum pembedahan (AHA/ASA, level of<br />
evidence A).<br />
9. MRA dengan kontras dan CTA lebih sensitif dan spesifik daripada Doppler untuk<br />
pencitraan vaskulatur ekstrakranial (AHA/ASA, Level of evidence A).<br />
10. DSA masih merupakan standar emas untuk mengambil keputusan sebelum dilakukan<br />
terapi invasif dan dapat melihat aliran kolateral (AHA/ASA, Level of Evidence A).<br />
11. Pencitraan sirkulasi intrakranial pada pasien stroke dapat dilakukan dengan CTA dan<br />
MRA dan akurasinya hampir sama denghan DSA (AHA/ASA, Level of evidence A).<br />
12. Pencitraan untuk stenosis kronis dan aneurisma dapat dilakukan dengan kontras<br />
MRA, CTA, dan DSA. DSA lebih superior dari CTA (AHA/ASA, level of evidence<br />
A).<br />
13. TCD sangat berguna untuk pemantauan vasospasme pada perdarahan subarakhnoid<br />
dan melihat penyakit oklusif intrakranial, walaupun CTA, MRA, dan DSA lebih<br />
akurat (AHA/ASA, level of evidence A). TCD dapat juga digunakan untuk<br />
pemantauan Sickle Cell Disease.<br />
14. Pada pasien dengan stroke akut dan TIA, evaluasi klinis dini, termasuk parameter<br />
fisiologi dan tes darah rutin sangat direkomendasikan (AHA/ASA, Class I, Level of<br />
evidence A).<br />
15. Semua pasien stroke dan TIA harus dilakukan pemeriksaan tes darah seperti diuraikan<br />
diatas.<br />
128