Penghidupan Perempuan Miskin dan Akses Mereka terhadap Pelayanan Umum
297mj3Q
297mj3Q
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
sebagai orang yang lemah <strong>dan</strong> ditempatkan pada jenis pekerjaan dengan tingkat risiko yang lebih<br />
rendah, cenderung bersifat mengulang, tidak memerlukan konsentrasi, <strong>dan</strong> cenderung terputus<br />
(tidak permanen). Kondisi ini dapat tergambar dari sifat pekerjaan yang dimiliki laki‐laki <strong>dan</strong><br />
perempuan. ILO (2014: 3) menyebutkan bahwa 57,9% perempuan bekerja di sektor informal,<br />
se<strong>dan</strong>gkan laki‐laki yang bekerja di sektor ini hanya 50,9%.<br />
Tingginya persentase perempuan yang bekerja di sektor informal memiliki risiko tersendiri. Bank<br />
Dunia (2007) menyatakan bahwa sektor informal memiliki sifat berupa produktivitas yang rendah,<br />
kompetisi yang tidak adil, <strong>dan</strong> pekerja yang tidak terlindungi oleh sistem jaminan sosial. Penyebab<br />
banyaknya perempuan bekerja di sektor informal adalah karena mereka memiliki tingkat<br />
pendidikan <strong>dan</strong> keterampilan yang relatif rendah (Chen, 2001). Sementara itu, menurut Wagner<br />
(2014), tingkat pendidikan yang lebih tinggi <strong>dan</strong> tingkat melek huruf yang lebih baik dapat<br />
memperbaiki penghidupan.<br />
Rendahnya tingkat pendidikan perempuan berkaitan erat dengan kondisi kemiskinan.<br />
Tjandraningsih (2000) menyebutkan bahwa kemiskinan <strong>dan</strong> rendahnya tingkat pendididikan<br />
perempuan di Indonesia menjadi penyebab makin termarginalkannya perempuan dari pekerjaan<br />
layak, khususnya di sektor formal. Pernyataan ini juga ditegaskan oleh Gallaway <strong>dan</strong> Bernasek<br />
(dalam ILO, 2010: 25) yang menyatakan bahwa sebagian besar perempuan Indonesia yang bekerja<br />
di sektor informal memiliki pendidikan rendah, berpenghasilan minim, <strong>dan</strong> tidak lagi memiliki<br />
peluang untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Di sisi lain, ILO (2010: 22) menyatakan<br />
bahwa jumlah tenaga kerja informal laki‐laki lebih tinggi daripada perempuan. Namun,<br />
pertumbuhan tenaga kerja informal perempuan jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan serupa<br />
pada laki‐laki. Masih menurut sumber yang sama, sepanjang 2006 hingga 2009, tenaga kerja<br />
informal perempuan tumbuh sebesar 17,9%, se<strong>dan</strong>gkan tenaga kerja informal laki‐laki hanya<br />
tumbuh sebesar 0,21%.<br />
Terkait pengupahan, Sohn (2015) melakukan penelitian tentang diskriminasi upah antargender di<br />
Indonesia dengan menggunakan data Indonesian Family Life Survey 2007. Sohn menemukan<br />
bahwa pendapatan perempuan di Indonesia, baik yang bekerja sebagai pegawai maupun yang<br />
berwiraswasta, 30% lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan laki‐laki. Selain karena<br />
rendahnya tingkat pendidikan, penyebab rendahnya upah perempuan adalah juga karena<br />
kecenderungan pemberi kerja untuk mempekerjakan perempuan di sektor <strong>dan</strong> jenis pekerjaan<br />
tertentu yang upahnya lebih rendah daripada upah laki‐laki (ILO, 2010).<br />
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mengatur hak‐hak pekerja perempuan, seperti<br />
maksimum jam kerja, cuti, <strong>dan</strong> fasilitas khusus bagi pekerja perempuan, dalam Un<strong>dan</strong>g‐Un<strong>dan</strong>g<br />
(UU) No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pengaturan ini dimaksudkan untuk<br />
melindungi hak‐hak dasar perempuan, misalnya memberikan kesempatan istirahat bagi pekerja<br />
perempuan dalam masa mereka mengandung hingga melahirkan. Namun, ketidakpatuhan<br />
<strong>terhadap</strong> hukum, lemahnya sistem pemantauan, <strong>dan</strong> lemahnya penegakan hukum di Indonesia<br />
menjadi penyebab masih tingginya diskriminasi <strong>terhadap</strong> perempuan dalam hal pekerjaan (ILO,<br />
N.D.; Addiniaty, N.D.).<br />
2.3 <strong>Perempuan</strong> Pekerja Migran<br />
Berdasarkan faktor penentu terjadinya migrasi, studi terkait yang pernah dilakukan menyebutkan<br />
bahwa terdapat dua model utama migrasi, yaitu individu <strong>dan</strong> rumah tangga (Ranis <strong>dan</strong> Fei Mincher<br />
dalam Kuhn, 2005: 3). Todaro (1969) menyatakan bahwa model migrasi individu akan terjadi bila<br />
terdapat perbedaan pendapatan individu antara pendapatan di daerah asal <strong>dan</strong> pendapatan di<br />
The SMERU Research Institute<br />
7