16.01.2016 Views

Inteligensi Embun Pagi (Nukilan)

Nukilan dari Supernova episode 6: Inteligensi Embun Pagi. Penulis: Dee Lestari. Terbit Februari 2016, oleh Bentang Pustaka.

Nukilan dari Supernova episode 6: Inteligensi Embun Pagi. Penulis: Dee Lestari. Terbit Februari 2016, oleh Bentang Pustaka.

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

SUPERNOVA<br />

Episode: <strong>Inteligensi</strong><br />

<strong>Embun</strong> <strong>Pagi</strong><br />

KEPING 45<br />

Waktu bergulir tergesa hari itu, menyulap senja menjadi<br />

malam yang hadir terlampau awal. Langit sore<br />

terasa lebih muram dari biasanya, lebih gelap dari<br />

seharusnya. Awan kelabu pekat membola di pucukpucuk<br />

Andes dan tak menyisakan semburat matahari<br />

jingga yang semestinya menyapu halus siluet pegunungan.<br />

Gio merasakan mendung yang sama dalam hatinya.<br />

Dengan langkah ragu, ia turun dari bus yang<br />

mengantarkannya ke Pisaq, kota yang berdiri sebagai<br />

gerbang pembuka lembah suci Urubamba. Karena<br />

tuntutan pekerjaannya di biro perjalanan, tak terhitung<br />

berapa kali sudah ia bolak-balik dari Cusco ke<br />

Lembah Urubamba. Namun, perjalanannya kali ini<br />

berbeda. Gio melangkah dalam gelap. Tak tahu harus<br />

menuju ke mana dan menemui siapa.<br />

Seorang curandero akan menemukan Anda, demikian<br />

pesan pria misterius bernama Amaru yang<br />

menemuinya beberapa hari lalu di Cusco. Ada ratusan<br />

curandero tersebar di daerah situs Inca ini, dari


yang tulen hingga gadungan. Wisata spiritual adalah<br />

primadona di Lembah Urubamba, menjadikannya<br />

lahan produktif bagi para curandero yang bertugas<br />

sebagai pemandu ke alam roh. Tidak sedikit pun Gio<br />

pernah tertarik. Tidak juga hari ini. Ia datang hanya<br />

untuk menguji pesan dari Amaru.<br />

Di mulut terminal, Gio mengencangkan tali ranselnya<br />

sambil menengok ke arah langit. Gerimis tipis<br />

mengecupi wajahnya. Arakan kabut kini meliputi pemandangan.<br />

Awan seakan bergegas turun ke bawah,<br />

menelan rakus pegunungan dan lembah, termasuk<br />

tempatnya berdiri. Mendung mengepung Gio dari<br />

segala penjuru. Dalam hatinya, sangsi bertumbuh<br />

dan membesar.<br />

“Chawpi Tuta.”<br />

Perhatian Gio langsung mendarat. Panggilan itu<br />

terlalu spesifik untuk ia abaikan. Suara itu terlalu akrab<br />

untuk ia lewatkan.<br />

Dari lalu-lalang manusia yang bergerak menyibak<br />

kabut, seseorang menyeruak ke hadapannya. Perempuan<br />

bertubuh pendek dengan siluet lebar. Perempuan<br />

itu lalu mencopot topi sombrero cokelat yang<br />

menutupi rambut hitam berkepang dan sebagian<br />

wajahnya. Napas Gio tertahan. “Mama?” desisnya.<br />

Chaska Pumachua, perempuan Quechua yang<br />

sudah dianggapnya ibu sendiri, berdiri di hadapannya<br />

seperti ajudan yang siap menjemput. Tidak ada<br />

pelukan menghambur yang biasanya terjadi setiap


kali mereka bertemu. Chaska hanya tersenyum kaku,<br />

sebelah tangan memegang topi, sementara sebelah<br />

lagi tersimpan di dalam kantong mantel, memandang<br />

kasihan seperti menyesali dosa yang Gio tak<br />

pernah tahu.<br />

Rangkaian fakta, pertanyaan, dan kecurigaan,<br />

menyambung seketika di kepala Gio. Chaska tinggal<br />

di Vallegrande, Bolivia. Sementara putra tunggalnya,<br />

Paulo, tinggal di Cusco bersama Gio. Bagaimana<br />

mungkin Chaska tahu-tahu muncul di Peru tanpa<br />

memberi kabar sebelumnya kepada Paulo? Kepadanya?<br />

“Aku harus membawamu menemui seseorang,”<br />

Chaska berkata.<br />

“Apa hubungan Mama dengan Amaru? Kalian saling<br />

kenal?” tanya Gio lantang.<br />

“Kuceritakan di jalan. Mari.” Satu tangan Chaska<br />

menjulur meraih lengan Gio. Senyum hangat terbit<br />

di wajahnya. “Cuaca ini tidak mengizinkan kita berlama-lama,<br />

Chawpi Tuta. Perjalanan masih panjang.<br />

Seorang curandero sudah menunggumu.”<br />

Gio merasa tak punya pilihan lain. Pesan dari<br />

Amaru masih perlu diuji.<br />

***<br />

Kertuk kerakal yang tergilas ban terdengar dari lantai<br />

mobil yang berguncang. Jip putih dengan tenaga<br />

penggerak empat roda itu melaju di atas jalanan ber-


kelok yang mendaki perbukitan ke arah reruntuhan<br />

Pisaq, bagian dari rangkaian situs Inca Citadel, jauh<br />

meninggalkan pusat kota.<br />

Chaska mengemudi dengan tenang dan terampil<br />

menembus kabut. Gio selalu merasa Chaska adalah<br />

pengemudi mobil yang jauh lebih baik darinya dan<br />

Paulo. Namun, hatinya tetap tidak tenang. “Mama,<br />

ke mana kita sebenarnya? Daerah situs sudah tidak<br />

bisa dimasuki lagi jam segini.”<br />

“Kita tidak masuk. Dia yang keluar dari sana. Kita<br />

cuma menjemput,” jawab Chaska.<br />

“Bagaimana Mama tahu aku berangkat ke Pisaq?<br />

Tahu dari mana jadwal busku?”<br />

“Amaru.”<br />

Tidak mungkin, bantah Gio dalam hati. Sejak<br />

kunjungan Amaru di Cusco, dirinya dan Amaru belum<br />

pernah bertemu lagi. Ia bahkan tidak memberi<br />

tahu siapa pun mengenai detail perjalanannya ke<br />

Urubamba, termasuk kepada Paulo yang memang<br />

sedang tidak di rumah saat ia berangkat.<br />

“Sejak hari apa Mama di Peru?”<br />

“Kemarin.”<br />

“Paulo tahu?”<br />

“Tidak.”<br />

“Paulo kenal Amaru?”<br />

Chaska melepaskan pandangannya sejenak dari<br />

jalan, menatap Gio sambil tersenyum samar. Muka<br />

iba itu muncul lagi. “Belum,” katanya pelan, “belum<br />

saatnya.”


“Sementara aku sudah?” Gio menyahut cepat.<br />

“Kita tidak bertemu dengan kebetulan. Perkenalanmu<br />

dengan Paulo, denganku, segalanya terlihat<br />

seperti peristiwa acak, tapi tidak. Aku sudah tahu siapa<br />

kamu sebelum kita berkenalan,” Chaska berkata.<br />

“Amaru sudah memberitahuku.”<br />

“Siapa Amaru sebenarnya?”<br />

“Kami menyebut Amaru dan kaumnya: para Pembebas.<br />

Mereka selalu ada di sini. Mengawasi.”<br />

“Mengawasi apa?”<br />

“Orang-orang seperti kamu.”<br />

“Aku?”<br />

“Kita tidak sama, Chawpi Tuta. Wujud kita serupa,<br />

tapi kamu punya tugas tertentu seperti mereka.<br />

Kalian datang dan pergi ke Bumi ini dengan satu tujuan<br />

yang berulang-ulang. Kami menyebut kalian… Los<br />

Precursores. Para Peretas.”<br />

Semua informasi itu terdengar asing di kuping<br />

Gio. Chaska membuatnya seperti makhluk angkasa<br />

luar. “Peretas? Meretas apa?” cecar Gio.<br />

Chaska menggeleng. “Info itu tidak boleh datang<br />

dariku.”<br />

Gio teringat empat batu berbungkus kain belacu<br />

yang ada di dalam ranselnya. Dengan hadirnya Chaska<br />

yang tak terduga, segalanya bertambah misterius<br />

dan kusut.


SUPERNOVA<br />

Episode: <strong>Inteligensi</strong><br />

<strong>Embun</strong> <strong>Pagi</strong><br />

KEPING 47<br />

<strong>Pagi</strong> bahkan belum bergulir menjadi siang di Kota<br />

Bandung. Namun, ruang dan waktu sudah sedemikian<br />

terdistorsi bagi Elektra dan Bodhi. Keduanya terduduk<br />

bersisian di atas karpet, termenung memandang<br />

ruang kosong.<br />

Ekor mata Bodhi bergerak, melirik perempuan<br />

mungil di sampingnya. Beberapa menit lalu, perempuan<br />

bernama Elektra adalah orang asing baginya.<br />

Kini, Bodhi merasa Elektra lebih tahu banyak tentang<br />

dirinya dibanding siapa pun di muka Bumi hanya<br />

dalam beberapa saat tangan mereka bersentuhan.<br />

Sudah terlalu banyak kegilaan yang Bodhi saksikan<br />

seumur hidupnya, dari mulai hantu berwajah rusak<br />

hingga pratinjau api neraka, tapi belum pernah ia<br />

mengalami perjalanan seperti tadi.<br />

“Sesi terapi kamu biasanya berapa lama?” tanya<br />

Bodhi, disela beberapa kali deham. Ia tak nyaman<br />

menjadi orang yang harus memecah keheningan duluan.<br />

“Empat puluh lima menit sampai sejam.” Elektra<br />

menjawab dengan nada yang sama gamangnya.


Bodhi melirik jam di dinding. “Masih setengah<br />

jam lebih sebelum orang-orang di luar curiga.”<br />

Elektra menjawab dengan gumaman. Tak sampai<br />

sepuluh menit waktu yang ia habiskan dengan Bodhi<br />

sejak pria itu masuk ke ruang praktiknya hingga mereka<br />

tersungkur bersamaan. Sepuluh menit sesudahnya<br />

mereka habiskan terduduk diam.<br />

“Apa yang kamu ingat?” tanya Bodhi lagi.<br />

“Kita… kamu… kayak punya wujud lain. Di tempat<br />

itu kamu disebut Akar. Kamu panggil saya Petir.<br />

Tempat itu namanya….”<br />

“Asko?”<br />

“Ya. Asko. Terus, saya lihat ada perempuan di<br />

sana. Dia bilang, namanya Bintang Jatuh. Ada semacam…<br />

rumah… bangunan… ada enam.”<br />

“Kamu ingat dia bilang apa?”<br />

Elektra menggeleng. “Kita terlempar lagi, nggak<br />

tahu ke mana. Semuanya serba abu-abu, terbalikbalik,<br />

nggak jelas.”<br />

“Persis sama,” desis Bodhi. “Kamu mengalami<br />

dan melihat yang persis sama. Bagaimana bisa?”<br />

“Bodhi, saya perlu bilang sesuatu.” Elektra menggeser<br />

duduknya menghadap Bodhi. “Ada satu hal<br />

yang sebetulnya sama sekali nggak nyambung sama<br />

penyembuhan, tapi belakangan bisa saya akses, saya<br />

juga nggak ngerti gimana caranya karena semua kejadiannya<br />

spontan. Barusan berulang lagi dengan<br />

kamu.”


Bodhi langsung ikut mengubah posisi duduknya<br />

berhadapan dengan Elektra. Bersiap menyimak dengan<br />

kesungguhan.<br />

“Tapi, jangan ketawain kalau kedengarannya<br />

aneh.”<br />

Bodhi mengangkat dua jarinya. “Janji. Saya sudah<br />

biasa sama yang aneh-aneh.”<br />

Elektra menahan napas sejenak. “Saya bisa baca<br />

pikiran orang.”<br />

“Oh.”<br />

“Ya, gitu.”<br />

“Terus?”<br />

“Ya, sudah.”<br />

“Kalau itu saya juga bisa. Kadang-kadang.”<br />

“Oh, ya?” Elektra terpana. “Eh, sebentar. Maksud<br />

saya begini. ‘Pikiran’ mungkin bukan istilah yang paling<br />

tepat. Saya bisa mengakses memori lewat sentuhan.<br />

Apa yang saya lihat tadi kemungkinan besar<br />

cuma memori kamu.”<br />

“Artinya?”<br />

“Artinya, kita mungkin nggak mengalaminya bareng.<br />

Bisa jadi saya cuma lihat memori kamu. Lewat<br />

kamu. Makanya bisa persis sama.”<br />

“Asko, Akar, Petir, Bintang Jatuh, dan semua<br />

yang tadi itu, adalah memori? Masa lalu?”<br />

“Mungkin.”<br />

“Kalau bukan?”<br />

“Ya, bisa saja, sih. Tapi, rasanya kok, terlalu… apa,<br />

ya?”<br />

“Aneh?”


Perlahan, Elektra mengangguk.<br />

Bodhi meraih tasnya yang tergeletak di pojok ruangan.<br />

Ia mengeluarkan sebuah agenda bersampul<br />

kulit cokelat yang sudah dekil, dari dalamnya secarik<br />

lipatan kertas ia buka ke hadapan Elektra. “Saya punya<br />

bukti lain.”<br />

Elektra menerima selembar kertas itu, membacanya<br />

cepat.<br />

“Surat itu nggak sengaja saya temukan di komputer<br />

warnet, saya cuma baca judul dokumennya. Akar.<br />

Nggak tahu kenapa, saya tergerak buka dan baca.<br />

Saya selalu merasa surat ini ditujukan buat saya. Lihat,<br />

apa yang ditulis di sana: Asko, Akar, Petir.”<br />

Elektra membacanya ulang kemudian melipatnya<br />

lagi. “Oke. Ini aneh.”<br />

“Saya belum pernah mendengar ‘Asko’ sampai<br />

saya baca surat itu. Semua yang kita alami tadi, belum<br />

pernah kejadian sebelumnya di hidup saya.”<br />

“Mungkin memori—apa, kek—kehidupan lampau?<br />

Di surat itu kan tertulis 2500 tahun. Kan, katanya<br />

orang bisa reinkarnasi….”<br />

“Saya besar di wihara, Etra. Saya tahu apa itu reinkarnasi.<br />

Tapi, surat ini baru saya temukan dua bulan<br />

lalu. Ada orang dari 2500 tahun yang lalu ngetik<br />

surat ini di warnet di Jakarta, gitu?”<br />

Elektra cuma bisa menggelengkan kepala sambil<br />

mengangkat bahu.<br />

“Tadi kamu sempat bilang, kamu suka petir.<br />

Kamu nggak merasa ada hubungannya? Kalau buat


saya, ini terlalu aneh kalau disebut kebetulan.” Bodhi<br />

menyorongkan kedua tangannya. “Mungkin<br />

kamu harus pegang tangan saya lagi.”<br />

Elektra langsung beringsut mundur. “Jangan. Please.<br />

Percaya sama saya, ini demi keselamatan kamu<br />

sendiri. Kadang-kadang saya spontan bisa nyetrum<br />

orang kalau lagi nggak stabil. Dan sekarang, saya merasa<br />

sangat nggak stabil. Oke?”<br />

Bodhi tak menduga reaksi keras Elektra. “Sori.<br />

Saya nggak bermaksud menekan kamu atau bikin<br />

kamu stres,” ucapnya lembut. Ia memungut suratnya<br />

dan menyisipkannya kembali ke dalam buku. “Dari<br />

kecil, saya punya banyak banget pertanyaan tentang<br />

diri saya sendiri. Pergi ke macam-macam tempat, ketemu<br />

macam-macam orang. Pertanyaan-pertanyaan<br />

saya bukannya terjawab, malah tambah banyak.<br />

Yang saya alami barusan, biarpun nggak jelas dan bikin<br />

tambah bingung, itulah petunjuk terkuat seumur<br />

hidup saya. Jawaban yang saya cari ada di Asko dan<br />

saya bakal cari cara kembali ke sana, biarpun tanpa<br />

bantuan siapa-siapa.”<br />

“Bodhi, saya sebetulnya kepingin bantu kamu….”<br />

“Nggak apa-apa.”<br />

“Kita masih punya waktu. Mungkin saya bisa bantu<br />

kamu soal lainnya? Kalau kamu ada keluhan kesehatan,<br />

saya bisa bantu periksa. Pasti ada tujuannya<br />

Bong nyuruh kamu ke sini.”<br />

“Masalah saya bukan kesehatan, Etra. Bong tahu<br />

itu,” jawab Bodhi sambil bangkit berdiri, meraih ranselnya.<br />

“Saya yakin kamu juga tahu.”

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!