14.07.2015 Views

Proceeding-Simposium-Hukum-Nasional-2014

Proceeding-Simposium-Hukum-Nasional-2014

Proceeding-Simposium-Hukum-Nasional-2014

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Keeping Our Small Boat AfloatBy Robert BlyIt‟s hard to grasp how much generosityIs involved in letting us go on breathing,When we contribute nothing valuable but our grief.Each of us deserves to be forgiven, if only forOur persistence in keeping our small boat afloatWhen so many have gone down in the storm.ii


Desain Sampul“Keeping Our Small Boat Afloat”Elizabeth ElysiaFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Indonesia 2013


PROSIDINGSIMPOSIUM HUKUMNASIONAL <strong>2014</strong>“Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakatdalam Melawan Kekerasan Seksual”


Prosiding <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>“Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalamMelawan Kekerasan Seksual”Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesiaoleh Badan Penerbit Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Indonesia, Juni 2015Kampus FHUI Gedung D-405Depok – Jawa Barat 16424Telp. +6221 7270003 ext. 73Email jurnalhp@ui.ac.idHak cipta dilindungi oleh undang-undangDilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi bukuini tanpa izin tertulis dari Penerbitxvi + 211 hlm.ISBN: 978-979-8972-57-7Disusun olehTim OutputPanitia <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Penanggung JawabKristi ArdianaWakil Penanggung JawabAris DzilhamsyahAlmitra IndiraAmanda Husna KEliza AnggasariIrena Lucy IshimoraMuhammad Satria JayaRaychel Mayshun


“Tanah air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, dimana tidak ada manusia menginjak manusia lain.”Y. B. MangunwijayaKepadaPrihanggodo, Haullussy & PartnersKitaBisaIndoAgri SehatiPT. Pelayaran Kartika Samudra AdijayaKartini Muljadi & RekanHakim & RekanPT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.PT. Vale IndonesiaAngkatan ‟82 FHUIPT Mitra Adiperkasa Tbk.Kailimang & PontoPT. Fonterra Brands IndonesiaPanciousKementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan AnakKomnas PerempuanEnjoy Jakarta!Terima kasih telah membantu kami mewujudkannya.


Kata Sambutan Dekan FHUIKATA SAMBUTANDEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIASyukur Alhamdulillah patut diucapkan karena atas petunjuk danbimbingan-Nya lah buku prosiding ini dapat dicetak sebagai rangkaianakhir dan hasil nyata dari kegiatan <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>(SHN <strong>2014</strong>) yang dilaksanakan oleh BEM FHUI <strong>2014</strong>.Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja dan dimanasaja. Hal tersebut dapat terjadi pada wanita, anak dan bahkan kepadapria dewasa. Korban kekerasan seksual memiliki karakter yang berbedadengan karakter korban tindak pidana lainnya. Korban tindak pidanadalam banyak kasus terlihat begitu antusias memperjuangkan haknya.Berbeda dengan korban kekerasan seksual, mereka malu dan bahkanberusaha menutupi fakta bahwa dirinya adalah korban.Saat ini hal tersebut menjadi wajar. Menjadi korban kekerasanseksual masih dapat dianggap sebagai suatu aib. Rasa malu dan tabumencegah para korban untuk melaporkan bahwa dirinya adalah korban.Nama baik keluarga menjadi lebih penting ketimbang dipenuhinya hakmereka sebagai korban. Belum lagi masih terdapat oknum penegakhukum yang belum memahami perspektif korban kekerasan seksual,yang justru dapat menyebabkan korban kekerasan seksual yang melapormenjadi korban untuk kedua kalinya karena pertanyaan-pertanyaanyang justru melecehkan. Kondisi ini tentunya menguntungkan parapelaku kekerasan seksual.Hal ini harus berubah. Dan perubahan harus dimulai dengansuatu tindakan nyata. SHN <strong>2014</strong> yang digagas oleh BEM FHUI danbeberapa BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> seluruh Indonesia merupakan suatu halnyata yang dilakukan oleh para Mahasiswa dalam perannya sebagaiagen perubahan. Dengan tema “Peningkatan Peran Pemerintah danPartisipasi Masyarakat dalam Melawan Kekerasan Seksual”, diharapkankedepan akan tercipta suatu kondisi yang ramah korban dan utamanyadapat mengurangi terjadinya kekerasan seksual. Dibutuhkan peransemua pihak untuk menciptakan kondisi tersebut.Prosiding ini dibuat sebagai hasil sumbangsih pemikiran paramahasiswa dalam menyikapi fenomena kekearasan seksual. Diharapkansemua pihak dapat membaca prosiding ini sebagai bahan baik dalampembentukan kebijakan, penanganan kasus maupun usaha advokasidalam upaya melawan kekerasan seksual. Selamat membaca!Dekan Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas IndonesiaProf. Dr. Topo Santoso S.H., M.H.i


Kata Sambutan Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan FHUIKATA SAMBUTANMANAJER PENDIDIKAN DAN KEMAHASISWAANFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIAAnyone who closes his eyes to the past is blind to the present(Richard von Weizsacker)Kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, utamanya terhadapperempuan dan anak, adalah sudah berada pada tingkatan yangmengkhawatirkan. Setiap saat terjadi kekerasan seksual di Indonesiadengan frekuensi yang semakin meningkat. Baik di perkotaan maupunperdesaan. Menurut data dari Komnas Perempuan, dalam waktu 13tahun terakhir kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempatdari seluruh total kasus kekerasan atau 93960 kasus dari seluruh kasuskekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.Dari segi perundang-undangan, negara Indonesia sudah cukupmengantisipasi fenomena ini dengan meratifikasi CEDAW sejak 1984,melahirkan UU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun2004, melahirkan UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TindakPidana Perdagangan Orang, UU Pornografi tahun 2008, lalu UUPerlindungan Anak tahun 2002 dan perubahannya tahun <strong>2014</strong>, dan lainsebagainya.Namun, keberadaan undang-undang saja tidak cukup. Harus adaupaya luar biasa untuk mengakhiri atau mengurangi kekerasan seksualini. Juga, tak bisa hanya mengandalkan penegak hukum (Polisi, Jaksa,Hakim, Advokat), Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, GugusTugas Trafficking, dan P2TP2A saja. Seluruh pemangku kepentinganharus terlibat aktif. Apakah anak, remaja, orangtua, keluarga,masyarakat, lingkungan, sekitar, sekolah, kampus, tempat kerja, duniausaha, dan sebagainya.Pelajaran dari Amerika Serikat, ada inisiatif masyarakat dandunia usaha untuk melahirkan semacam kode, misalnya „Code ofAdam‟ atau „Amber Alert‟ sebagai kode khusus untuk bereaksi cepatapabila ada kabar anak hilang atau penculikan anak. Lalu ada pula„Silver Alert‟ apabila terkabarkan ada lansia yang hilang. Inisiatiftersebut kemudian bersinergi dan terwadahi oleh penegak hukum danpembuat hukum, sehingga menjadi gerakan masyarakat sekaligus upayapenegakan hukum yang luar biasa dalam melawan kekerasan di USA.Mahasiswa dan dunia kampus adalah bagian dari pemangkukepentingan itu. Selaku bagian kecil dari masyarakat Indonesia yangberuntung karena sempat mengecap bangku pendidikan yang lebihtinggi, didukung dengan semangat idealis dan fisik yang masih prima,mahasiswa harus dan wajib ikut serta dalam upaya-upaya mengurangiii


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>atau mencegah kekerasan seksual di Indonesia. Apalagi, tidak sedikitdiantara para mahasiswa adalah sekaligus menjadi tersangka pelaku,korban, ataupun saksi dari kekerasan seksual.<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> (SHN) yang digagas dan telahdilaksanakan oleh kepanitiaan yang dibentuk BEM FHUI <strong>2014</strong> adalahbagian dari upaya mulia untuk mengurangi dan mencegah kekerasanseksual ala mahasiswa. Melalui kolaborasi dan partisipasi denganmahasiswa dari banyak kampus, melalui hari-hari penuh diskusi, dialog,debat, pencerahan dan aktualisasi pemikiran melalui tulisan, lahirlahbuku ini. Apresiasi tertinggi saya sampaikan untuk rekan-rekan panitiadan seluruh partisipan. Apa yang telah kalian lakukan insya Allah akansangat bermanfaat untuk perjuangan melawan kekerasan seksual diIndonesia.“Kezhaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orangjahat. Tapi karena "diam"nya orang-orang baik”.(Ali ibn Abi Thalib)Depok, Januari 2015Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Ph.D.iii


Kata Sambutan Ketua BEM FHUI <strong>2014</strong>KATA SAMBUTANKETUA BEM FHUI <strong>2014</strong>Assalamualaikum Wr. Wb.Salam Sejahtera Untuk Kita Semua.Pertama-tama izinkanlah saya untuk menghaturkan puji dansyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya lahmaka acara <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> berhasil dijalankandengan lancar dan prosiding yang merupakan rangkuman dari acaratersebut dapat diselesaikan dan dipublikasikan kepada masyarakat luas.Lalu kemudian izinkanlah saya untuk berterima kasih kepada parasponsor dan media partner yang telah membantu berjalannya acara ini.Tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnyakepada teman-teman Panitia <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> yangtelah bekerja amat keras untuk merealisasikan mimpi ini, dan tentunyateman-teman delegasi dari <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> yangtelah rela mengikuti seluruh rangkaian acara yang kami sediakan danmenyumbangkan ide-ide dan saran demi tercapainya tujuan hukum bagiseluruh rakyat Indonesia.Sebelum memasuki isi dari prosiding ini maka ada baiknyasaya perkenalkan dahulu acara yang merupakan landasan dari prosidingini, yaitu <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> (SHN <strong>2014</strong>). SHN <strong>2014</strong>adalah sebuah program kerja dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas<strong>Hukum</strong> Universitas Indonesia tahun <strong>2014</strong>, dimana program kerja inisudah dijalankan untuk yang ketiga kalinya semenjak tahun 2012.Tujuan dari acara ini adalah untuk mengumpulkan mahasiswamahasiswaFakultas <strong>Hukum</strong> se-Indonesia untuk berdiskusi danmenghasilkan sebuah gagasan terkait permasalahan-permasalahanhukum yang ada di Indonesia kepada para stakeholders terkait danmerancang berbagai gerakan sosial yang akan diaplikasikan di penjurudaerah di Indonesia.Pada tahun ketiga dilaksanakannya SHN <strong>2014</strong> ini, kamimengangkat sebuah Tema yaitu “Peningkatan Peran Pemerintah danPartisipasi Masyarakat dalam Memerangi Kekerasan Seksual” dengantagline “Selaras Paham Lawan Kekerasan Seksual”. Tema ini berangkatdari keprihatinan kami atas kurangnya perhatian, rumitnya penanganan,dan lambatnya penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadidi Indonesia selama ini. Isu Kekerasan Seksual sebenarnya bukanlahsebuah isu yang baru muncul belakangan ini. Menurut KOMNASPerempuan, 35 wanita Indonesia menjadi korban kekerasan seksualsetiap harinya. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan,iv


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>akan tetapi juga terjadi kepada pria, orang-orang lanjut usia dan anakanak.Kekerasan seksual bukanlah sebuah permasalahan yang dapatdipandang dengan sebelah mata. Ada luka psikis yang tertinggal padakorban yang menyebabkan trauma dan depresi. Tidak hanya itu,masyarakat masih cenderung melihat korban kekerasan seksual denganpandangan yang sinis dan melabeli mereka sebagai “orang yang kotor”.Tentu sangat mengerikan ketika korban-korban kekerasan seksualdipandang negatif oleh masyarakat, ketakutan untuk melaporkankekerasan tersebut ke lembaga yang berwenang dan mirisnya lagi, tidakjarang para korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yangtidak layak dari institusi penegak hukum.Selama acara ini yang dilaksanakan pada tanggal 17-21November <strong>2014</strong>, puluhan mahasiswa-mahasiswa dari berbagaiUniversitas yang tersebar di seluruh Indonesia saling berceritamengenai fenomena kekerasan seksual yang terjadi di daerahnyamasing-masing dan bertukar informasi dan strategi untuk bersama-samaselaras dan paham dalam melawan kekerasan seksual. Selama itu juga,para delegasi mendapatkan informasi dari tokoh-tokoh masyarakat,lembaga negara, dan LSM-LSM yang juga concern terhadappermasalahan ini. Pada akhirnya juga para delegasi membuat sebuahtinjauan hukum yang ditujukan kepada pemangku kebijakan, sepertiDPR dan Institusi Kepolisian untuk dapat lebih optimal melawankekerasan Seksual.Akhir kata, semoga usaha dan cita-cita kami pada SHN <strong>2014</strong>ini dapat bermanfaat bagi bangsa ini dan semoga prosiding dari acarainidapat menjadi sebuah bahan bacaan yang memberikan pemahamanbaru, semangat dan ajakan bagi seluruh masyarakat Indonesia untukbersama-sama memerangi kekerasan seksual yang bisa terjadi dimanasaja, kapan saja, dan siapa saja.Wassalamualaikum Wr.Wb.Gery FathurrachmanKetua BEM FHUI <strong>2014</strong>v


Kata Sambutan Ketua PelaksanaKATA SAMBUTANKETUA PELAKSANA SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL <strong>2014</strong>Abad Pertengahan di Eropa ditandai dengan bangkitnyaGereja sebagai sebuah kekuasaan yang memiliki pengaruh yang sangatbesar namun sangat korup dan menimbulkan banyak penyelewengan,termasuk di ajaran agama Kristiani sendiri, sehingga Abad Pertengahandisebut juga sebagai Abad Kegelapan. Di masa itu, muncul sosok JanHus - seorang pastur dan akademisi dari Bohemia. Kejahatan danpenyesatan yang terjadi di tubuh gereja begitu masif, sehingga iamelakukan penentangan dengan menyebarkan ajaran Reformasi.Perlawanan Jan Hus harus berakhir ketika ia akhirnya ditangkap dandihukum mati dengan cara dibakar pada tahun 1415. Seratus tahunkemudian setelah kematiannya, tulisannya menjadi salah satu yangmenginspirasi Martin Luther untuk memakukan 95 tesisnya di depangereja di Wittenberg yang menjadi awal dari era Reformasi Protestan.Berani menciptakan perubahan adalah berani mengarungisamudera luas sekecil apapun perahu yang berlayar atau sebesar apapunombak yang harus dilewati, meskipun pada akhirnya bukan kita yangakan sampai di ujung samudera. Seperti Jan Hus yang berani ikutmenantang samudera meskipun Martin Luther yang berhasil mencapaiakhirnya.Kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan terhadap manusiayang tidak hanya sekedar menyerang organ seksual, namun jugameninggalkan luka psikis yang terus dibawa oleh korban sepanjanghidupnya. KOMNAS Perempuan menyatakan bahwa setiap harinya, 35perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Sepertigunung es, angka ini pun hanya statistik dari sebuah realita yang jauhlebih mengerikan. Sungguh menyedihkan ketika menghadapi fakta ini,kita melihat betapa tidak mampu dan acuhnya hukum, aparat hukum,dan masyarakat Indonesia dalam melindungi setiap pribadi darikekejaman kekerasan seksual. Setiap hidup manusia patutdiperjuangkan, oleh karena itu negeri ini butuh perubahan. <strong>Simposium</strong><strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> diadakan untuk menjadi pionir bagi perubahantersebut.Dengan mimpi ini, kami mengumpulkan mahasiswamahasiswadari fakultas hukum di seluruh Indonesia dan seluruh bagianmasyarakat untuk bersama-sama memulai perubahan. <strong>Simposium</strong><strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> diadakan selama lima hari, dan di dalam limahari ini pula tiga belas delegasi dari berbagai penjuru Indonesiamenyatukan pikiran, tenaga, dan cinta mereka terhadap bangsa hinggatersusunnya Tinjauan <strong>Hukum</strong> Kekerasan Seksual <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong><strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>, dengan harapan bahwa tinjauan hukum ini dapatvi


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>menjadi suara nyaring yang memecah kesunyian yang meliputiproblema hukum kekerasan seksual di Indonesia.Perjalanan untuk mencapai negeri berkemanusiaan yang adildan beradab itu sungguh masih panjang - mungkin dua tahun, sepuluhtahun, atau seribu tahun lamanya. Akhir bahagia dari samudera yangkami tantang belum tentu boleh kami raih sendiri, tetapi kami percayasekecil apapun perbuatan baik kami tidak akan pernah sia sia.Kepada Mbak Muthmainnah, Bang Fadel, Bang Agung, danBang Dion yang telah memberikan kesempatan bagi kami untukmemulai dan terus mendukung kami sampai akhir, seluruh teman-temanpanitia (kalian hebat!), delegasi, Bapak dan Ibu dosen yang telahmembimbing kami, pembicara, peserta, sponsor, pendukung, mitramedia, serta semua pribadi yang telah memberikan doa, semangat, cinta,kepedulian, tenaga, serta dukungan finansial bagi <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong><strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>, selalu dan selamanya saya mengucapkan terima kasih.Selamat membaca mimpi dan cinta kami.Hidup mahasiswa, Hidup bangsa Indonesia.Florianti Kurnia SjaafKetua Pelaksana <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>vii


Daftar IsiDAFTAR ISIKata Sambutan Dekan FH UIKata Sambutan Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan FH UIKata Sambutan Ketua BEM FH UI <strong>2014</strong>iiiivKata Sambutan Ketua Pelaksana <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong><strong>2014</strong> viDaftar IsiviiiSekilas <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Peningkatan Peran Pemerintah dan PartisipasiMasyarakat Dalam Melawan Kekerasan SeksualDelegasi <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>xixviMakalah PembicaraKekerasan Seksual Terhadap Perempuan: PerspektifIslamHusein Muhammad1Peningkatan Peran Pemerintah Dan PartisipasiMasyarakat Dalam Memerangi Kekerasan SeksualMeutia Farida Hatta Swasono7Perspektif Masyarakat Terhadap Kekerasan SeksualDra. Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M.Hum.16Makalah DelegasiKomisi 1: <strong>Hukum</strong> MateriilTinjuan <strong>Hukum</strong> Materiil Mengenai KekerasanSeksual Terhadap Anak Di IndonesiaFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Bengkulu26Tindakan Kekerasan Seksual Terhadap PerempuanFakultas Syari‟ah Universitas Islam NegeriSumatera Utara40viii


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Komisi 2: <strong>Hukum</strong> FormilTinjuan <strong>Hukum</strong> Formil Mengenai KekerasanSeksualFakultas Syari‟ah dan Ilmu <strong>Hukum</strong> UniversitasIslam Negeri Sultan Syarif Kasim54Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dan Upaya<strong>Hukum</strong> Di IndonesiaFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas MuhammadiyahSurakarta67Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak PidanaPemerkosaanFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Sriwijaya77Peranan Alat Bukti Dan Etika Aparat Penegak<strong>Hukum</strong> Dalam Pemberantasan TIndak PidanaPerkosaan Di IndonesiaFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Trisakti90Komisi 3: Perlindungan dan Pendampingan KorbanPerlindungan Dan Pendampingan KorbanKekerasan Seksual Di Padang, Sumatera BaratFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Bung Hatta99Pelaksanaan Fungsi Penanganan <strong>Hukum</strong> TerhadapKorban Kekerasan Seksual Di JakartaFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Indonesia104Perlindungan Dan Pendampingan KorbanKekerasan Seksual Di Banyumas, Jawa TengahFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Jenderal Soedirman118Pencegahan Dan Perlindungan <strong>Hukum</strong> KekerasanSeksual Pada Anak di Kota BanjarmasinFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Lambung Mangkurat131ix


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Perlindungan Dan Penanganan Korban KekerasanSeksual Di Jawa BaratFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Padjajaran, Bandung145Efisiensi Perlindungan Dan Pendampingan KorbanPemerkosaan Dalam Konteks PemberlakuanSyari‟at Islam Di AcehFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Syiah Kuala161Tinjauan <strong>Hukum</strong> <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Tabel Tinjauan <strong>Hukum</strong> <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong><strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> 171Penjelasan Tabel Tinjauan <strong>Hukum</strong> <strong>Simposium</strong><strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> 181Susunan Kepanitiaan 212ix


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Sekilas <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>“Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi MasyarakatDalam Melawan Kekerasan Seksual”<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> (SHN <strong>2014</strong>) adalah sebuahgerakan hukum dan sosial, yang melibatkan partisipasi Pemerintah,Masyarakat, dan Mahasiswa, dalam melakukan perlawanan terhadapkekerasan seksual di Indonesia. Dibentuk atas prakarsa Badan EksekutifMahasiswa Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Indonesia <strong>2014</strong> (BEM FHUI<strong>2014</strong>) bersama-sama dengan dua belas universitas lain di seluruhpenjuru Indonesia sebagai delegasi, kami bersama-sama menciptakanproduk tinjauan hukum terhadap kekerasan seksual dan mewujudkangerakan sosial bernafaskan anti-kekerasan seksual. SHN <strong>2014</strong>merupakan wadah diskusi dan lumbung akademis yangmempertemukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan danPerlindungan Anak, Kementerian <strong>Hukum</strong> dan HAM, MahkamahAgung, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ketua Komisi <strong>Nasional</strong>Perempuan (Komnas Perempuan), Aparat Penegak <strong>Hukum</strong> (Hakim danKepolisian Republik Indonesia), Tokoh-tokoh Masyarakat, AktivisPejuang HAM, Akademisi, Seniman, dan Mahasiswa. Denganmengusung tema “Peningkatan Peran Pemerintah dan PartisipasiMasyarakat”, kami berharap SHN <strong>2014</strong> menjadi jembatan penghubungpemerintah dalam melindungi korban kekerasan seksual danmemberantas kekerasan seksual, sekaligus menerangi langkahpemerintah dan masyarakat untuk melawan gelap-pekatnya fenomenakekerasan seksual di negeri ini.BEM FHUI <strong>2014</strong> sempat ikut berpartisipasi dalam mengawalkasus pelecehan seksual yang dialami oleh seorang perempuan diKoridor Harmoni Bus Transjakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Pusatmerupakan tempat pengadilan kasus tersebut sekaligus menjadi saksibisu atas vonis hukuman yang sangat ringan bagi keempat pelakupelecehan seksual, yaitu 1,5 tahun. Selain itu, BEM FHUI <strong>2014</strong> jugaikut mengawal kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh SitokSrengenge terhadap seorang mahasiswi Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Indonesia. Kedua kasus ini menjadi potret kecil lemahnyapenegakan hukum bagi kasus kekerasan seksual.Tujuan besar dari SHN <strong>2014</strong> salah satunya adalahmenyadarkan masyarakat akan keberadaan kekerasan seksual sebagaipenyakit sosial dan moral bangsa. Media karya seni lukis dan filmmenjadi penghubung yang tepat dalam menyebarkankesadarankepadamasyarakat luas. SHN <strong>2014</strong> menyelenggarakan Pre-Event pada tanggal29-30 Oktober <strong>2014</strong> yang bertempat di Perpustakaan Pusat UniversitasIndonesia dan Cinema Room Universitas Indonesia, berupa Kompetisixi


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>dan Pameran Lukis Mural dengan tema “Memecahkan Kesunyian” danFestival Film yang memiliki pesan moral untuk melawan kekerasanseksual. Tiga film yang ditampilkan adalah Bitter Honey (sebuah filmdokumenter yang menceritakan fenomena poligami pada masyarakatadat Bali), Ca Bau Khan, dan Sang Penari. Rangkaian festival filmdisajikan dengan diskusi terbuka oleh beberapa narasumber, antara lainNi Nengah Budawati (Direktur Lembaga Bantuan <strong>Hukum</strong> APIK Bali),Nia Dinata (Sutradara Film Ca Bau Khan) dan Mohamad Guntur Romli(Penulis Skrip Film Sang Penari).Rangkaian acara inti <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong>diselenggarakan pada tanggal 17-21 November <strong>2014</strong> bertempat diFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Indonesia, Depok.Pada hari pertama, Senin 17 November <strong>2014</strong>, diadakanSeminar Kekerasan Seksual dengan tema“Membongkar Mitos,Menyuguhkan Realita”. Seminar ini meninjau persepsi masyarakat yangbelum tentu benar dan mengungkap fakta sebenarnya tentang fenomenakekerasan seksual dari perspektif hukum, forensik, filsafat, danpsikologi, dengan narasumber:1. Dr. Livia Iskandar Dharmawan, Psi., M.S., DirekturInternasional dan psikolog dari Yayasan Pulih;2. Dr. Gadis Arivia Effendi, S.S., Pendiri Jurnal Perempuan danDosen Studi Feminisme dan Filsafat Kontemporer UI;3. Prof. DR. dr. Agus Purwadianto, S.H., M.Si., Sp.F(K), KetuaUmum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia;4. Dr. Elfina Lebrine Sahetapy, S.H., LL.M., Dosen Viktimologidan Kriminologi dan Sistem Peradilan Anak dan Kekerasanterhadap PerempuanUniversitas Surabaya.Rangkaian acara dilanjutkan dengan Kuliah Umum“Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Peraturan Perundangan diIndonesia” untuk menyelaraskan pemahaman yuridis terhadap produkhukum yang mengatur kekerasan seksual serta membahas tentangproduk-produk hukum nasional yang mengatur tentang kekerasanseksual, apakah hukum nasional tersebut sudah cukup adil danberperspektif hak asasi manusia, dan kekerasan seksual dari perspektifRUU KUHP dan RUU KUHAP. Kuliah Umum dihadiri olehnarasumber, antara lain:1. Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.Si., Dosen Antropologi<strong>Hukum</strong> FH dan FISIP UI;2. Desti Murdijana, Koordinator Komisi <strong>Nasional</strong> Anti KekerasanTerhadap Perempuan;3. Indon Sinaga, Staf Ahli Komisi VIII DPR RI;4. Dr. H. Zainuddin, S.H., M.Hum., Panitera Muda Pidana UmumMahkamah Agung.xii


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Para delegasi SHN <strong>2014</strong> kemudian membagi pandanganmereka mengenai masalah kekerasan seksual di daerahnya masingmasing.Setiapdaerah asal delegasi pasti memiliki latar budaya dansosial yang berbeda-beda sehingga masalah kekerasan seksualnya punberagam. Acara Sharing Antar Delegasi ini dimoderatori oleh ChristinaYulita Purbawati dari Komnas Perempuan.Pada hari kedua, Selasa 18 November <strong>2014</strong>, rangkaian acaradibuka oleh Talkshow Kekerasan Seksual dengan tema “Kita (adalah)Mereka: Memahami Korban Kekerasan Seksual”. Diskusi inimembahas upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mendampingikorban kekerasan seksual dan jika kita menjadi korban kekerasanseksual sehingga peserta diharapkan dapat menjadi peka dan lebihmemahami gambaran mengenai keadaan korban perkosaan secara fisikdan psikis serta upaya-upaya pelaporan kekerasan seksual yang perluditingkatkan. Narasumber yang hadir adalah:1. Helga Worotitjan, Pendiri Lembaga Inspirasi Indonesia;2. Wulan Danoekoesoemo, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan PendiriLentera Indonesia;3. Hj. Netty Prasetiyani Heryawan, M.Si, Ketua P2TP2A JawaBarat & Istri dari Gubernur Jawa Barat;4. Mudjiati, S.H., Deputi Perlindungan Perempuan dari KementerianPemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.Lalu, acara dilanjutkan oleh Seminar <strong>Nasional</strong> KekerasanSeksual “Kekerasan Seksual Dalam Konsep Pluralitas di NegaraIndonesia”, yang membahas kekerasan seksual dari sudut pandanghukum, sosial, budaya, dan konsep pluralitas yang terdapat di Indonesiadengan narasumber:1. K.H. Husein Muhammad, Ulama dan Komisioner KomnasPerempuan;2. Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, S.S., M.A., MenteriPemberdayaan Perempuan periode 2004-2009;3. Dra. Sinta Nuriyah A. Wahid, M. Hum., Pendiri Yayasan PuanAmal Hayati;4. Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum., Penulis danSeniman.Pada hari ketiga, Rabu 19 November <strong>2014</strong>, para delegasi darifakultas hukum dari universitas di seluruh penjuru Indonesiamenghadiri forum diskusi <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> yang bertujuan untukmelahirkan sebuah tinjauan hukum terhadap peraturan perundangundangandi Indonesia dalam segi materiil, formil, dan penangananserta perlindungan korban kekerasan seksual. Diskusi terbagi menjadi 3focus-group discussion yang diselenggarakan pada pagi hari danxiii


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>masing-masing focus-group memaparkan hasil diskusi sehinggamenghasilkan satu kesatuan output yaitu tinjauan hukum.Pada hari keempat, Kamis 20 November <strong>2014</strong>, dalam rangkamemberikan inspirasi dan pemahaman untuk menciptakan gerakansosial anti kekerasan seksual, diselenggarakanlah Workshop KekerasanSeksual “Langkah Anak Muda Lawan Kekerasan Seksual” dengantujuan membahas upaya yang perlu dilakukan dalam meningkatkankesadaran masyarakat terhadap kekerasan seksual dan bertujuan untukmencari ide-ide kreatif yang berasal dari masyarakat dalam melakukanpencegahan kekerasan seksual.Workshop ini dihadirioleh narasumberantara lain:1. Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Dosen FHUI dan aktivisHAM;2. Ratna Batara Munti S.Ag., M.Si., Direktur Eksternal LBH Apik;3. Saras Dewi, Dosen dan Ketua Program Ilmu Filsafat UI;4. Kartika Jahja, Seniman dan Aktivis.Setelah Workshop, para delegasi SHN <strong>2014</strong> mengikutiekskursi di Mahkamah Agung yang dilanjutan dengan sebuah RapatTindak Lanjut dalam rangka menentukan gerakan sosial yang akandibawa ke daerah masing-masing delegasi.Pada hari kelima, Jumat 21 November <strong>2014</strong>, diselenggarakansebuah Diskusi Panel untuk menyampaikan hasil diskusi tinjauanhukum dan rapat tindak lanjut delegasi dan berdiskusi dengan pihakpemerintah, aparat penegak hukum, dan Komisi VIII DPR untukmewujudkan peningkatan peran pemerintah dalam melawan kekerasanseksual. Beberapa panelis yang datang antar a lain :1. Ratna Susianawati, S.H., M.H., Kepala Biro <strong>Hukum</strong> danHubungan Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan danPerlindungan Anak2. Kombes John Hendri, S.H., Kepala Bagian <strong>Hukum</strong> Markas BesarKepolisian Republik Indonesia3. Asmaul Khusnaeny, Asisten Koordinator Reformasi <strong>Hukum</strong> danKebijakan dari Komnas Perempuan4. Hj. Ledia Hanifa Amaliah, Wakil Ketua Komisi VIII DewanPerwakilan Rakyat5. Dr. Aidir Amin Daud, S.H., M.H., DFM., Direktur Jenderal HakAsasi Manusia Kementerian <strong>Hukum</strong> dan HAM Republik IndonesiaRangkaian acara SHN <strong>2014</strong> ditutup dengan kegiatan postevent,Sabtu 22 November <strong>2014</strong>. Para delegasi SHN <strong>2014</strong> datang keGelora Bung Karno untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakatJakarta untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadapbahaya kekerasan seksual.xiv


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Kami berharap <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> dapatmenjadi pionir bagi hukum kekerasan seksual yang lebih adil bagikorban dan setiap manusia Indonesia yang masih mempercayaieksistensi hak asasi manusia. SHN <strong>2014</strong>, Selaras Paham LawanKekerasan Seksual!Kharisma Bintang AlghazyWakil Ketua Pelaksana <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>xv


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Delegasi <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>1. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Padjadjaran1) Radius Emerson Sitanggang2) Kornelius Billheimer Sianturi3) An‟nisaa Khalida*4) Vanessa Leoprayogo*2. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Bengkulu1) Meyriza Violyta2) Dona Pratama Jonaidi3. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Syiah Kuala (PemenangDelegasi Terbaik)1) Melisa Pandu Winenda2) Mulya Rizki Nanda4. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> UIN Sumatera Utara1) Erni Syahfitri2) Saleh Rambe3) Barly Halim Siregar*5. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Sriwijaya1) Ayatullah Farhan2) Auliya Gusti Reno3) Abdul Halim*4) Heri Andika*6. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Bung Hatta1) Ali Ghafaar Susilo2) Irda Mutiari Dinita7. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Trisakti1) Paroy Buki2) Praja Wibawa3) Elisabeth Dwilina*4) Fernandus H. Pardede*8. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Lambung Mangkurat1) Ariyanto2) Eria Mardiana9. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Jenderal Soedirman1) Ardian Rizki2) Hevi Dwi Oktaviani10. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Muhammadiyah Surakarta1) Topik Adi Nugrohoxvi


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>2) Rifa Muflihah11. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> UIN Sultan Syarif Kasim Riau1) Aditya Perdana Putra2) Susi Kusmawaningsih3) Maida Jefnita Rahmi*12. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Indonesia1) Gery Fathurrachman2) Shafira Hexagraha13. BEM Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Cenderawasih1) Hendra Wasaraka*Peserta Penunjangxvii


MAKALAH PEMBICARASEMINAR NASIONAL“KEKERASAN SEKSUAL DALAM KONSEP PLURALITASNEGARA INDONESIA”SELASA, 18 NOVEMBER <strong>2014</strong>


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN:PERSPEKTIF ISLAM*Oleh: Husein MuhammadCatatan Tahunan Komnas Perempuan memperlihatkankekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Tahun 2001 ada 3.169. Tahun 2012: 216.156 dan tahun 2013:279.688. Kekerasan tersebut mencakup fisik, psikis, ekonomi danseksual. Dalam konteks kekerasan seksual, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan korban kekerasan seksual setiaphari. Tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual. 2.920 diantaranya terjadi di ruang publik/komunitas. Mayoritas kekerasanseksual muncul dalam bentuk perkosaan dan pencabulan (1620).Korban meliputi semua umur, dari balita hingga manula, rata-rata usiaantara 13-18 tahun. Ini hanyalah data yang dilaporkan ke lembagaNegara dan sosial. Yang tak tercatat akan selalu lebih besar dari yangdilaporkan. (Baca: Komnas Perempuan; Catahu tahun 2013).Pengungkapan kasus kekerasan seksual ini amat rumit, karenaterkait dengan tradisi dan budaya atau pandangan keagamaanmasyarakat yang mentabukan bicara seks di depan orang lain. Lebihdari itu pengungkapannya oleh korban seringkali semakinmenggandakan penderitaan diri perempuan dan keluarganya.Komnas Perempuan menemukan sejumlah bentuk kekerasanseksual. Minimal 15. Beberapa di antaranya adalah perkosaan, ancamanperkosaan, pelecehan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi,marital rape, prostitusi paksa, kontrol atas tubuh antara lain melaluikebijakan publik atas nama moralitas dan agama, dan lain-lain.Pelakunya dapat siapa saja, orang paling dekat maupun paling jauhorang biasa, tanpa kelas sosial, maupun orang berstatus sosial“terhormat”,.Fakta-fakta di atas tentu saja sangat memprihatinkan. KomnasPerempuan menyebut realitas tersebut telah meningkat kepada situasi:“Kegentingan Kekerasan Seksual”. Dalam pernyataannya KomnasPerempuan menyebutkan: “Kekerasan Seksual yang dialami perempuansudah dalam kondisi darurat untuk segera ditangani secara tepat danadil, komprehensif dan holistik. Keadaan darurat ini tercermin darikejadian kekerasan seksual di semua ranah: personal, publik danNegara, yang menimpa korban dari rentang usia balita-lansia, berbagaitingkat pendidikan dan profesi. Termasuk perempuan penyandangdisabilitas, migran, PRT, LBT, dan pelajar hamil. Terjadi di rumah, diangkutan umum, di sekolak, di tempat kerja maupun di tahanan”.(Komnas Perempuan, Catahu, 2013).1


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Akar Masalah: Moralitas dan KekuasaanPertanyaan krusialnya adalah mengapa terjadi kekerasanseksual terhadap perempuan dan anak, dan bagaimana sikap Islamterhadapnya?Ini adalah pertanyaan mendasar yang perlu diajukan gunamencari akar persoalan mengapa terjadi banyak kekerasan, termasukperkosaan terhadap perempuan. Ada sejumlah asumsi yang berkembangdi publik selama ini. Keduanya lebih berdimensi moralitas untuk tidakdikatakan agama. Asusmsi pertama mengarahkan kesalahan kepadaperempuan. Dengan kata lain kekerasan seksual bersumber dariperempuan sendiri. Mereka disalahkan, karena memamerkan bagianbagiantubuhnya yang terlarang (aurat) di depan publik. Mereka tidakmenutupinya atau tidak mengenakan jilbab/hijab. Perempuanlah yangmenciptakan “fitnah” (menggoda dan memicu hasrat seksual) laki-laki.Anggapan-anggapan ini sungguh sangat sulit untuk difahami olehlogika cerdas, bersih dan kritis. Bagaimana mungkin seorang yang tidakmelakukan tindakan kejahatan dan hanya karena pakaian yang dipilinyadinyatakan bersalah dan berhak dilecehkan dan diperkosa? Dalambanyak kasus kekerasan terhadap perempuan jenis ini, terutamaperkosaan, ia terjadi bukan hanya terhadap perempuan muda dan cantik,melainkan juga terjadi pada perempuan balita dan manula. Ia jugaterjadi terhadap isterinya atau terhadap darah dagingnya sendiri (incest),atau anak laki-laki terhadap orang yang melahirkannya (ibunya) atausaudara sekandungnya. Kekerasan seksual juga terjadi terhadapperempuan berjilbab. Dalam kasus perkosaan yang terjadi di sebuahperguruan tinggi agama, beberapa waktu lalu, korban mengenakanjilbab warna putih, celana hitam, baju hijau dengan dalaman kaos warnaloreng. Pada sisi lain perempuan tanpa jilbab juga tidak selalumenimbulkan perkosaan atau kekerasan seksual dalam bentuk lainnya.Orang yang melihat perempuan tanpa jilbab/hijab tidak selalumelakukan pelecehan dan perkosaan. Ini menunjukkan bahwa antaraperkosaan dan penampilan tidak berjilbab/hijab tidak memilikihubungan sebab akibat. Demikian juga alasan bahwa perkosaan terjadikarena pelaku terpengaruh oleh gambar-gambar porno atau menontonvideo porno. Tidak semua orang yang melihat gambar atau menontonvideo porno terlibat dalam aksi kekeraan seksual. Faktor-faktor ini lebihsekedar sebagai pemicu belaka bagi munculnya impuls-impuls hasratbirahi laki-laki terhadap perempuan.Ada juga pandangan atau asumsi yang menyalahkan pelakudengan basis moralitas atau agama. Ia mengatakan bahwa kekerasanseksual terjadi karena moralitas pelakunya yang rendah atau takbermoral atau kurang pengetahuan agamanya. Pandangan ini boleh jadibenar, tetapi kita kesulitan mendefinisikan atau mengidentifikasi baikburuknyamoralitas seseorang sebelum ia melakukan perbuatannya.2


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Dalam sejumlah kasus pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksualpelakunya justru orang-orang yang terhormat atau yang dianggapterhormat oleh masyarakatnya atau bermoral tinggi. KomnasPerempuan mencatat bahwa pelaku kekerasan seksual sangat beragam:ada tokoh masyarakat, pejabat Negara, pejabat NKRI, anggotaparlemen, tokoh agama, dan lain-lain. Bahkan, sebagaimana dilansirmedia massa, seorang pengasuh pesantren di daerah Jawa Timur,ditangkap polisi karena mencabuli beberapa santrinya sendiri. Beberapahari ini media massa melansir seorang Raja yang sangat dihormatididuga melakukan kekerasan seksual. Lalu bagaimana kitamendefiniskan orang yang bermoral baik sebelum ia melakukan suatutindakan? Fakta-fakta ini jelas telah menggugurkan argumen“moralitas” tersebut. (Baca: Catahu Komnas Perempuan, 2013).Kekerasan seksual adalah satu bagian saja dari kekerasanterhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan didefinisikansebagai: “Setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis genderyang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaanperempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancamanterjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasansecara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun didalam kehidupan pribadi”. (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadapPerempuan, Pasal 1)Maka, kekerasan seksual terhadap perempuan berakar lebihpada adanya ketimpangan relasi kuasa yang berbasis gender. Ia adalahsistem sosial-budaya patriarki; sebuah sistem/ideologi yangmelegitimasi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan superioritas,menguasai, kuat, pintar dan sebagainya. Dunia dibangun dengan caraberpikir, dalam dunia dan untuk kepentingan laki-laki. Keyakinanbahwa perempuan secara kodrat adalah makhluk yang lembut danlemah, posisinya di bawah laki-laki, inferior, melayani hasrat seksuallaki-laki dan sebagainya telah menempatkan perempuan seakan-akansah untuk ditaklukkan dan diperlakukan secara seenak laki-laki,termasuk dengan cara-cara kekerasan. Ideologi yang bias gender danpatriarkis ini mempengaruhi cara berfikir masyarakat, mempengaruhipenafsiran atas teks-teks agama dan kebijakan-kebijakan negara.Pengaruh ini melampaui ruang-ruang dan waktu-waktu kehidupanmanusia, baik dalam domain privat (domestik) maupun publik.Ketimpangan yang didasarkan atas system sosial/ideologi inilah yangpada berpotensi menciptakan ketidakadilan, subordinasi dan dominasiatas perempuan. Dan semuanya ini merupakan sumber utama tindakkekerasan terhadap perempuan.Ketimpangan relasi kuasa berbasis gender tersebut diperparahketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban, baikekonomi, pengetahuan, status sosial dan lain-lainnya. Kendali muncul3


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>dalam bentuk hubungan patron-klien, seperti antara orangtua-anak,majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat atau tokoh agama-warga,pengasuh-santri dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil, bahkanorang pusat-orang daerah.Agama Menolak KekerasanIslam dan saya yakin semua agama di dunia serta seluruhpandangan kemanusiaan Universal, hadir dan tampil untukmembebaskan manusia dari penderitaan, penindasan dan kebodohan, disatu sisi, dan menegakkan keadilan, kesalingan membagi kasih danmenyebarkan pengetahuan di sisi yang lain. Visi ini dibangun di atasprinsip-prinsip kemanusiaan, terutama: Penghormatan atas MartabatManusia, Kesetaraan, Kebebasaan dan Keadilan.Sumber-sumber otoritatif Islam sangat banyak menegaskanprinsip-prinsip tersebut.• Manusia adalah makhluk terhormat: “Dan sesungguhnya telahKami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka didaratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baikbaikdan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yangsempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.(Q.S. Al-Isra, [17]:70)• Laki-laki dan Perempuan adalah Setara: (Q.S. Q.S. al-Nisa,[4:1), , a.l. Q.S. al-Ahzab, 53:35, al-Taubah, 71, al-Nahl, 97, AliImran,[3]: 195 dan al-Mukmin, 40.• Manusia yang paling terhormat/unggul adalah yang palingbertaqwa: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakankamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan danmenjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supayakamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang palingmulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang palingbertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah MahaMengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Al-Hujurat, [49]:12).• “Hai orang-orang yang beriman, janganlah komunitas laki-lakimerendahkan komunitas yang lain, boleh jadi yang direndahkanitu lebih baik dari mereka yang merendahkan. Dan jangan pulakomunitas perempuan merendahkan komunitas perempuanyang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Danjanganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggildengan panggilan yang mengandung pelecehan. Sikap dantindakan merendahkan dan melecehkan itu adalah perilaku yangburuk dari seorang yang telah beriman. Barangsiapa yang tidakkembali memperbaiki diri maka mereka itulah orang-orangyang zalim”.(Q.S. al-Hujurat [49]:11).4


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>• “Tuhan tidak memandang tubuh dan wajahmu, tetapimemandang pada hati dan perbuatanmu”. (Hadits).• “Wahai manusia.Sesungguhnya darah (hidup) kamu,kehormatanmu dan harta-milikmu adalah suci dan mulia.(Hadits Nabi).• Setiap muslim diharamkan mengganggu/mencederai/melukaihak hidup, kehormatan diri dan hak milik muslim yang lain.(Hadits).Seluruh Prinsip tersebut pada hakikatnya merupakankonsekuensi paling rasional atas doktrin Kemahaesaan Tuhan, Allah.Keyakinan ini dalam bahasa Islam disebut: Tauhid. Menurut doktrin ini,semua manusia, tanpa melihat asal-usulnya pada ujungnya berasal darisumber yang tunggal, sama, yakni ciptaan Tuhan. Oleh karena itu tidaksatupun ciptaan Tuhan berhak memiliki keunggulan atas yang lainnya.Keunggulan manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspekkedekatan dan ketaatannya kepada hukum-hukum Tuhan. Al-Qur'anmenyebut keunggulan ini dengan kata “Taqwa”. Dalam ayat-ayat alQur'an taqwa tidak dibatasi maknanya hanya pada aspek-aspekkebaktian atau peribadatan personal sebagaimana kesan umum selamaini, melainkan lebih pada dimensi-dimensi moralitas sosial, ekonomi,budaya, politik dan lain-lain. Atau dengan bahasa lain taqwa adalahmoralitas kemanusiaan dalam maknanya yang luas. Dalam bahasa lain,taqwa adalah al-Akhlaq al-Karimah (budi pekerti luhur) atau etikakemanusiaan.Prinsip-prinsip tersebut harus menjadi dasar bagi setiapkeputusan hukum atau aturan kehidupan manusia. Jika demikian, makabagi saya adalah tidak masuk akal jika agama melahirkan praktikhukum, aturan atau kebijakan yang tidak adil, tidak menghargaimartabat manusia, diskriminatif, dan tidak melahirkan kesalingan kasih.Jika hal-hal ini yang terjadi, maka pastilah interpretasi (pemaknaan)atasnya dan cara pandang sosial, budaya, politik dan keagamaanmengandung kekeliruan, meskipun dengan mengatasnamakan teks-teksketuhanan.Pertanyaan yang sering muncul di tengah publik adalahapakah hukum-hukum dalam teks-teks Islam yang partikular yangdipandang diskriminatif, seperti “laki-laki adalah pemegang otoritasatas kaum perempuan”, (Q.S. al-Nisa, [4]:34), tidak mengandung nilainilaimoral di atas. Jawabannya adalah bahwa aturan-aturan hukumyang bersifat khusus (partikular) yang terdapat dalam sumber-sumberautentik dapat dipandang sebagai aturan yang mengandung moral. Akantetapi ia dianggap demikian karena aturan tersebut lebih diterimasebagai solusi yang bersifat ketuhanan atas problem partikular yang adadalam kondisi tertentu. Dengan berubahnya kondisi, aturan-aturan5


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>hukum yang bersifat khusus, tersebut bisa saja gagal memenuhi tujuanmoralnya dan karena itu harus ditinjau ulang, direvisi atau dicabut samasekali.Kembali ke KonstitusiPancasila dan UUD 1945 telah menjadi titik temu paling idealdari berbagai aspirasi dan kehendak-kehendak beragam para penganutagama-agama dan kepercayaan di manapun mereka berada di seluruhbumi nusantara ini. Seluruh sila dan pasal-pasal dalam Konstitusi inibukan hanya tidak bertentangan melainkan juga sesuai dan seiringsejalan dengan visi dan misi agama, sebagaimana sudah disebutkan.Konstitusi RI telah memuat pasal-pasal yang menjamin hak-hak asasimanusia. Ia sesuatu yang melekat secara kodrati dalam setiap manusiadan tidak dapat dicabut daripadanya. Tuhanlah yangmenganugerahkannya. Ia berlaku universal. Ia adalah cita-cita semuamanusia di muka bumi ini. Sebagai konsekuensi paling logis danbertanggungjawab bagi kesetiaan dan komitmen seluruh warga Negaraatas Konstitusi tersebut, maka produk-produk pemikiran partikularistikdan aturan-aturan hukum yang ada harus sejalan dan tidak bolehbertentangan dengan prinsip-prinsip dan kehendak-kehendak universaltersebut. Untuk ini pemerintah dan para penegak hukum dituntut untukmenjalankan dan menegakkannya secara konsekuen untuk merevisi ataubahkan mencabut segala peraturan dan kebijakan publik yangmelanggar dan bertentangan dengan Konstitusi tersebut.Cirebon, 17 Nopember <strong>2014</strong>*Disampaikan dalam Seminar <strong>Nasional</strong>: Kekerasan Seksual DalamKonsep Pluralitas di Negara Indonesia”, Selasa, 18 Nopember <strong>2014</strong>.Auditorium Fakultas <strong>Hukum</strong> UI, Depok.6


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>PENINGKATAN PERAN PEMERINTAH DAN PARTISPASIMASYARAKAT DALAM MEMERANGIKEKERASAN SEKSUAL 1Oleh: Meutia Farida Hatta SwasonoPendahuluanSeminar ini membahas mengenai kekerasan seksual dalamkonteks pluralitas di NKRI. Indonesia adalah negara bangsa denganpenduduk yang seimbang jumlahnya dari segi jenis kelamin. Salah satuciri khas Indonesia adalah komposisi penduduknya yang terdiri darisekitar 745 suku bangsa dan sub suku bangsa yang tersebar di seluruhwilayah kedaulatan NKRI. Nenek-moyang mereka masuk ke KepulauanNusantara melalui gelombang-gelombang migrasi dalam proses yangsangat lama sejak era preshistori. Penduduk multikultural denganmasing-masing kebudayaan suku bangsanya ini pada tanggal 17Agustus 1945 dipersatukan sebagai Bangsa Indonesia dalam negarabangsa RI, kini dikenal dengan sebutan populer NKRI. Bagi BangsaIndonesia ini, para pendiri negara telah menyusun suatu kebudayaannasional yang terdiri dari Pancasila sebagai perangkat nilai budayanasional dan UUD 1945 sebagai perangkat norma budaya nasional.Kebudayaan suku bangsa tetap dianut dalam interaksi warga sukubangsa, sedangkan kebudayaan nasional digunakan sebagai acuanberperilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keduanyaberjalan seiring dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.Budaya Kekerasan dalam Multikulturalisme IndonesiaAdanya dominasi budaya patriarkii dalam multikulturalismeIndonesia memang perlu diakui, namun penulis tidak beranggapanbahwa semua sukubangsa di Indonesia berpandangan dan berperilakusewenang-wenang terhadap perempuan sebagai akibat dari adanyapandangan budaya bahwa kekerasan seksual atas perempuan dianggapwajar. Sebaliknya pada banyak sukubangsa, nilai-nilai budaya merekamengajarkan bahwa perempuan harus dihormati, lebih-lebih perempuanyang merupakan keluarganya sendiri. Sebagian suku bangsa juga1 Makalah diajukan pada Seminar dalam rangka <strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong><strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> dengan tema “ Kekerasan Seksual dalam Konsep Pluralitas diNegara Indonesia”, diselenggarakan oleh BEM FHUI di Depok pada tanggal18 November <strong>2014</strong>. Penulis adalah Guru Besar Antropologi di FISIP-UI.7


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>beranggapan bahwa ada kerjasama antara laki-laki dan perempuandalam kegiatan upacara adat, dalam pembagian kerja di rumahtanggasehari-hari dan tanggungjawab bersama antara suami-isteri, bapak danibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, dalam melangsungkankehidupan keluarga, kelangsungan klen, kelangsungan matapencaharian di tanah pusaka, dan dalam pengasuhan anak.Pandangan agama juga mengajarkan warga sukubangsa atauumat agama untuk menghormati perempuan, dimulai dari ibu dan paraanggota kerabat perempuan yang lainnya, bahwa mereka hidup tidakuntuk dianiaya, apalagi dianiaya dengan memberikan penghinaan yangsangat mendalam berupa kekerasan seksual yang sukar hilang seumurhidupnya. Memang hal itu dapat terjadi, misalnya karena kemiskinandan kelangkaan ketersediaan pekerjaan, namun hanya terbatas padakasus-kasus khusus karena situasi tertentu.Budaya Patriarki. Kekerasan seksual biasanya mempunyaikaitan erat dengan dominasi budaya patriarki, di mana sebagian besarmasyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan di suatu daerahmenganggap bahwa status laki-laki dan perempuan dalam lingkungansosial mereka tidak sama, melainkan bersifat subordinatif. Dalam halini, laki-laki menganggap diri mereka lebih tinggi daripada statusperempuan. Karena itu kaum laki-laki cenderung ingin mengatur danmenetapkan agar status perempuan berada dalam posisi lebih rendahdari posisi mereka sebagai kaum laki-laki. Mereka juga mengaturtentang apa yang harus, boleh dan tidak boleh dilakukan olehperempuan dalam keluarga dan masyarakat mereka. Hal ini punseringkali termasuk tentang atribut dan dandanan yang mereka haruskenakan di berbagai tempat.Kehidupan kaum perempuan di masyarakat yang didominasibudaya patriarki akan lebih berat jika kaum perempuan pasrah danmenerima kondisi itu sebagai takdir mereka, sebagai istri harus tundukkepada suaminya, apa pun yang dilakukan suami, dan sebagai ayahpatut dipatuhi perintahnya. Jika pada umumnya kaum perempuan didalam masyarakat yang bersangkutan pasrah dan patuh menerimanasibnya, dan menganggap secara keliru bahwa itu adalah kodratmereka sebagai perempuan, maka akan sulit upaya untuk mengatasinya.Kepasrahan terhadap kekerasan umum yang dialami perempuan dapatmenyebabkan kasus-kasus, bukan adat kebiasaan, yang menyebabkansejumlah perempuan mengalami kekerasan seksual karenadikomersialkan oleh keluarganya, termasuk suaminya. Ada pulamasyarakat yang akibat dominasi budaya patriarki, terbiasa melakukankekerasan, seperti pemukulan terhadap isteri oleh suaminya. Namun8


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>tanpa faktor-faktor khusus, seorang laki-laki takkan mengkomersialkanisterinya secara seksual karena itu merusak kemartabatannya sendiri.Pola Pikir tentang Penaklukan Simbol Jenis KelaminPerempuan. Selain adanya dominasi budaya patriarki, dalam kondisikondisitertentu, laki-laki melakukan kekerasan seksual terhadapperempuan, bukan karena ia mengenal perempuan yang bersangkutan,membencinya dan ingin menganiaya atau mencelakakannya sebagaisuatu bentuk hukuman berat, melainkan karena si korban pemerkosaanberjenis kelamin perempuan, yang harus ditaklukkan oleh dirinyasebagai laki-laki. Karena itu si laki-laki itu tidak harus mengenalperempuan itu untuk memperkosanya. Kondisi ini sering terjadi dalamsituasi adanya perang atau kerusuhan, di mana mengalahkan lawanditandai dengan naluri memperkosa perempuan yang tidak sajamerupakan salah satu cara untuk menumbangkan simbol dari jeniskelamin perempuan (femininitas), namun juga merusak perasaankemartabatan pihak lawan sebagai kesatuan komunitas atau negara, baikyang laki-laki maupun yang perempuan.Dalam contoh kasus tertentu di Eropa, ketika bekas negaraYugoslavia tercabik-cabik oleh politik, sesama sukubangsa di negaraYugioslavia menjadi bangsa sendiri dengan negara masing-masing yangmerupakan pecahan negara Yugoslavia. Politik menyebabkan perangyang kejam tak terhindarkan. Dilakukannya genocide (pembunuhansuku bangsa) oleh bangsa yang lebih kuat tidak dirasa cukup danmemuaskan hanya dengan cara membunuh kaum laki-laki dari bangsayang dibenci dan berada dalam posisi lemah. Lebih jauh lagi, pihakyang kuat dan berjaya dalam perang juga memperkosa para perempuandari bangsa yang dalam posisi lemah tersebut, dengan tujuan menghinamartabat keseluruhan bangsa itu, agar melahirkan anak dari sukubangsayang dalam posisi berjaya itu dengan tujuan memberikan hukumanberat yang takkan pernah terlupakan dalam sejarah mereka.Dalam kondisi tanpa perang, persaingan ekonomi atau sulitnyamemenangkan perebutan sumberdaya ekonomi yang sering kita lihat diberbagai daerah di Indonesia menyebabkan perempuan terhambat untukmemperoleh peluang mendapatkan pekerjaan yang layak bagikemanusiaan, sesuai pesan Konstitusi (UUD 1945). Perempuan seringdikalahkan dalam persaingan ini dengan cara merendahkan martabatnyamelalui tipu-daya berupa iming-iming pekerjaan, namun dijerumuskansebagai korban perilaku komersial seksual.Masih dalam kondisi kemiskinan pula, hal itu sering menjadipenyebab berubahnya etika pergaulan terhadap kerabat, di mana kerabat9


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>perempuan sering dikorbankan. Hal ini terjadi pada perdaganganmanusia, di mana kerabat satu klan yang seharusnya dilindungi, justrudijerumuskan oleh kerabatnya, misalnya paman atau saudara sepupunyamenjadi pelacur dalam perdagangan orang. Hal ini temasuk pulamemperdagangkan anak-anak di bawah umur melalui modus yangsama.Perubahan sosial-budaya dengan terjadinya kemajuan di bidangiptek dan informatika yang sangat mempengaruhi penyajian informasidalam media telah menyebabkan perubahan nilai-nilai yang semuladianut, digantikan oleh nilai-nilai baru yang seringkali masih sulitdicerna atau keliru memahaminya sehingga menghasilkan sikap danperilaku yang tidak selalu tepat dalam menanggapi hal-hal baru yangmasuk.Pandangan dan Sikap Keliru terhadap Perempuan PenderitaKemalangan, Korban Pelecehan dan Kekerasan SeksualDalam kehidupan masyarakat, gambaran (image) terhadapperempuan yang menderita kemalangan sehingga menjadi janda karenaperceraian atau kematian suami, seringkali tidak sesuai dengan yangseharusnya. Perempuan yang menjadi janda pasti sangat menderita,bukan hanya karena harus menghidupi anka-anak dan dirinya sendiri,melainkan karena adaya gambaran keliru di masyarakat, terutama padakaum laki-laki, mengenai predikat janda itu. Lebih sedikit orang yangbersifat empati terhadap janda, dibandingkan yang diharapkan. Lebihsedikit orang yang mau mengakui atau percaya bahwa seorangperempuan yang menjadi janda sudah menderita ketidakadilan sejak iabelum diceraikan atau minta cerai karena tidak tahan lagi atas perlakuanyang dialaminya dari suaminya dan perceraian itu pun belum tentuterjadi karena adanya laki-laki lain dalam kehidupannya.Janda seringkali dianggap dalam pola pikir (yang bersifatkejam) oleh kaum laki-laki sebagai pihak yang masih memerlukankebutuhan seksual sehingga mereka rawan pelecehan dan bujukan untukdikencani atas dasar “mau sama mau”. Tentu kasus semacam ini bisaterjadi, namun tidak bisa dianggap bersifat umum. Mungkin itu terjadikarena perempuan yang menjadi janda diberi stigma dan sejak awaldijauhi, diejek, jarang mendapatkan pertolongan yang sesuai, sehinggapada suatu waktu dalam kehidupannya yang sulit, ia menjadi rawanterjerumus dalam tipu daya seperti tersebut di atas.10


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Karena itu, diperlukan peranan Pemeirntah melalui programprogramkementerian terkait untuk membangun pola pikir yang dapatmeluruskan mengenai sikap, perilaku dan kemartabatan janda. Merekaharus digambarkan sesuai dengan keadaan yang umum terjadi, bahwamereka adalah perempuan yang rela berkorban demi kelangsunganhidup anak-anak, bertekad dan berupaya mengantar anak-anakbersekolah ke jenjang penidikan yang tinggi sehingga mampu mencapaikedudukan terhormat untuk membawa nama keluarga. Untuk itu tidakjarang para janda hidup tanpa menikah lagi dan tidak tergiur olehtawaran laki-laki yang meminang mereka. Tidak juga mereka umumnyasuka menjadi simpanan orang, kecuali terpaksa atau karena memangmemiliki sifat-sifat khusus untuk menyakiti orang lain dan egoistis.Masyarakat bertanggungjawab untuk melindungi citra parajanda, terutama yang muda dan cantik, dan tidak boleh justrumasyarakat menjadi penyebab dari lunturnya kehormatan dan sikaptegar dari para janda sehingga akhirnya terjerumus ke dalam perbuatansalah atau kenistaan.Dominasi budaya patriarki dan pandangan tentang penyeranganseksual terhadap perempuan sebagai upaya menunjukkan dominasistatus dan peranan jenis kelamin laki-laki, di dalam kehidupan sehariharidi sekitar kita sering terwujud dalam berbagai sikap dan perilakuyang tidak atau kurang menghormati dan melindungi kaum perempuan,sehingga memberikan resiko terhadap keamanan dan kenyamananhidupnya.Di dalam kehidupan keluarga, tantangan kehidupan yang makinkompleks di masa kini sebenarnya justru membutuhkan kerjasamaantaranggota keluarga untuk bersama-sama menyongsong hari depanyang diaharapkan akan membawa kebaikan dan keberuntungan. Namunkemajuan iptek dan media tidak selalu memberikan dampak baik,melainkan juga dampak buruk yang di antaranya terwujud dari makinrapuhnya perasaan kebersamaan antarwarga keluarga yang semulabersifat erat dan akrab. Dengan kata lain, kemajuan iptek daninformatika dapat menjadi dinding pemisah dari komunikasi antara paraanggota keluarga yang semula memiliki lebih banyak kepedulian,perasaan kebersamaan dan kegiatan kerjasama dalam kehidupankeluarga dan kehidupan bermasyarakat.Kesenjangan pengetahuan mengenai teknologi dan saranakomunikasi modern yang diwakili oleh gadget dengan berbagai bentukdan teknologinya, telah cenderung “memisahkan” generasi tua dangenerasi muda, sehingga jika generasi tua tidak mampu mengikuti11


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>perkembangan teknologi gadget dengan baik, maka mereka akanketinggalan dan awam terhadap pandangan hidup, nilai-nilai, normanormabaru serta perilaku yang diwajarkan dalam kehidupan masa kini.Berapa banyak kasus-kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan yangdisertai ancaman (blackmail) telah terjadi atas diri kaum perempuandewasa ini, termasuk gadis-gadis muda, karena pengaruh teknologigadget (tanpa harus mengabaikan dampak baik dari gadget dalamkehidupan kita dan kemajuan peradaban).Sementara itu orangtua yang tidak paham akan tantangan danbahaya fisik maupun psikologis yang dialami anak-anaknya, tidak sadarbahwa anak-anak mereka telah terekspos atau bahkan telah menjadikorban kemajuan teknologi yang antara lain berupa kekerasan seksual,diawali dari jebakan (misalnya memotret tanpa izin atas perilakuseksual menyimpang) yang diikuti dengan blackmail. Anak laki-lakidan perempuan beresiko yang sama.Di antara pergaulan sesama siswa sekolah, berbagai kasusbullying yang dijalankan secara sistematis dan terpola dari angkatanyang satu kepada angkatan lian di bawahnya sudah makin meningkatsehingga tidak lagi sekedar merupakan perbuatan iseng dan nakal yangdikenal orangtua anak-anak itu ketika mereka masih kanak-kanak danremaja, sekitar 30-50 tahun yang lalu, melainkan sudah mengarahkepada tindakan kriminal, menghancurkan harga diri, menciderai danbahkan makan korban nyawa sesama siswa oleh para siswa temansekolahnya. Kekerasan seksual dan perlakuan kekerasan seksualkomersial termasuk di dalamnya.Peran Pemerintah dalam Penanganan Kekerasan SeksualAda beberapa hal yang dapat diajukan di sini sebagai contohdari peranan Pemerintah dalam menangani permasalahan kekerasanseksual yang mulai krusial, di antaranya sebagai berikut:Pertama, peranan Pemerintah yang utama dalam melawankekerasan seksual untuk menata kehidupan masyarakat untuk mengatasidominasi budaya patriarki. Karena itulah Pemerintah Indonesiamempunyai program pemberdayaan perempuan oleh KementerianPemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk menegaskankesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga,bermasyarakat serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, danmemberikan sarana dan upaya bagi tumbuh kembangnya anak secara12


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>fisik dan psikologis dengan baik, karena merekalah generasi yang akanmembangun Indonesia di masa depan.Kedua, mengatasi pola pikir yang membenci perempuan secaraumum melalui pendidikan moralitas yang bersumber dari ajaran agamamaupun ajaran budaya sukubangsa yang menghargai perempuan.Dalam suatu masyarakat, apabila nilai-nilai budaya acuan bagikehidupan masyarakat adalah nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki danperempuan, maka kekerasan seksual tidak akan menunjukkan persentasitinggi. Tentu akan selalu ada manusia yang lebih mementingkannaluriah berbentuk insting liar daripada pengendalian diri yangmengutamakan moralitas, sehingga insting liar itu menyebabkanperilaku memperkosa tidak terhindarkan. Karena itu pendidikanmoralitas dari segi agama maupun etika budaya perlu diperkuat untukmenghindarkan kaum perempuan ancaman dan tindakan kekerasanseksual.Ketiga, memberdayakan peranan media. Pemerintah denganberbagi instansinya yang terkait, perlu bekerjasama dengan media untukmembuat program-program yang menghapuskan anggapan bahwaperempuanlah yang salah apabila terjadi perkosaaan atas dirinya.Mengapa perempuan yang salah, jika ia, demi kelangsungan hidupnyadan karirnya, sebagai seorang gadis harus bekerja hingga malam danterpaksa pulang dengan bis yang merupakan satu-satunya alat angkutanmenunu rumahnya, pada jalan yang karena kelalaian Pemda setempat,tidak diberi penerangan cukup sehingga menjadi sarang penjahatmencari mangsa?Kempat, Pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkaitperlu memberikan sanksi hukum yang berefek jera dan mengkaji ulangdan merevisi peraturan-peraturan hukum yang tidak memberikan efekmaraknya kekerasan seksual terhadap perempuan. Penanganan proseshukum terhadp korban juga diharapkan tidak diperpanjang, dibuat lamadan membuat kasus seakan-akan “diambangkan”. Dalam kaitan iniPemerintah juga perlu melakukan kerjasama yang bersifat positifdengan media untuk menata model pemberitaan yang tidakmenyebabkan korban perkosaan menjadi pihak yang terpojok atau “matidua kali” karena pemberitaan mengenai kemalangannya justrudiberitakan seperti halnya memberitakan gaya para selebritis untukmencari popularitas. Hal ini justru memperburuk citra korban, lebihlebihkalau karena kelihaian tertentu di pihak pemerkosa danpembelanya, si korban berhasil dibuat lebih terpuruk, bukan sekedarfisiknya namun lebih besar lagi, menderita kemalangan dari segipsikologis. Karena itu Pemerintah juga perlu memberikan lebih banyak13


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>peluang bagi kaum profesional psikologi dan psikiatri untuk ikutmengatasi permasalahan masyarakat yang diakibatkan oleh kekerasan,kekerasan seksual dan kekerasan seksual komersial yang makin maraksaat ini.Kelima, Pemerintah juga perlu melakukan terobosan untukmengatasi pola pikir keliru pada pihak laki-laki umumnya dalammelihat menilai jenis kelamin perempuan. Hal ini termasukmenghilangkan pola pikir kontroversial terhadap perempuansebagaimana yang sering terjadi dewasa ini. Di satu pihak, perempuandikatakan sebagai perlu dilindungi dan dihormati, tetapi dalam praktek,perempuan dianggap pembawa sial, najis, sehingga bersalaman puntidak boleh dilakukan. Dalam lingkungan Indonesia yang sudah sejakdulu mengenal kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuanakibat pengaruh-pengaruh berbagai macam nilai budaya yang diterima,berjabatan tangan tidak harus diartikan sebagai menuduh perempuanbersifat kotor. Justru yang sebenarnya kotor adalah pikiran laki-lakiyang mencitrakan perempuan harus menutup seluruh tubuhnya olehsuami atau keluarganya yang laki-laki, namun di saat yang sama, sanglaki-laki senang membuka situs pornografi dari gadget yang tersedia.Dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, bisa pula seorang laki-lakimemindah-mindahkan wajah perempuan cantik yang dikenalnya untukditaruh di atas tubuh perempuan tanpa busana dari situs pornografinyadi gadget-nya dan berimaginasi yang kotor. Hal-hal semacam inilahyang bisa menjadi salah satu sumber kekerasan seksual terhadapperempuan, dan tidak boleh dibiarkan, melainkan harus diberi sanksi.PenutupSebagai penutup dapat dikemukakan di sini bahwa budaya patriarkitelah menunjukkan bentuknya sesuai dengan perkembangan zaman, danitu dapat memberi peluang bagi maraknya kekerasan seksual.Berkenaan dengan itu, perempuan perlu mendapat informasi lebihbanyak mengenai kejahatan dan kekerasan seksual yang terjadi di masakini, yang modusnya makin lama makin canggih.Selain itu diperlukan perubahan cara pandang dari para laki-lakiterhadap perempuan yang berstatus janda, kesiapan laki-laki untukbekerjasama dengan kaum perempuan dalam kehidupan keluarga yangdilandasi oleh prinsip kesetaraan dan keadilan gender, khususnyamembangun kerjasama yang kuat antara suami-isteri dalam memahamitantangan masa kini bagi anak-anak mereka yang menghadapi tantangan14


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>berat dalam kehidupan moral, psikologis dan fisik mereka, di antaranyakekerasan seksual dan kekerasan seksual komersial.---0---15


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>PERSPEKTIF MASYARAKAT TERHADAP KEKERASANSEKSUALOleh: Dra. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M. Hum.PendahuluanPerspektif masyarakat terhadap tindak kekerasan seksual,sangat dipengaruhi oleh sistem nilai dan moral masyarakat, yangdibentuk oleh tradisi, struktur budaya serta konstruksi sosialmasyarakatnya. Atas dasar ini, maka untuk mengetahui corak berpikirsuatu masyarakat terhadap tindak kekerasan seksual, harus dicermatisistem budaya dan konstruksi sosial masyarakat tersebut, terutama yangterkait dengan cara pandang mereka terhadap perempuan. Ini penting,karena cara pandang inilah yang akan menentukan posisi dan peranperempuan dalam membangun relasi sosial.Sehubungan dengan hal ini, saya akan melihat beberapa datasejarah serta legenda dan mitos mengenai peran dan posisi perempuan.Dari sini saya akan melacak akar-akar sosial budaya yangmencerminkan corak berpikir suatu masyarakat terhadap kekerasanseksual. Sebelumnya, saya akan mengutarakan pengertian tentangkekerasan seksual secara sekilas.Kekerasan seksual, pada dasarnya adalah setiap bentukperilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atausejumlah orang, namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orangyang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti:rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri,kehilangan kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadikorban (Supardi & Sadarjoen, 2006).Pengertian lainnya dikemukakan oleh Sanistuti (dalamDaldjoeni, 1994:4), pelecehan seksual adalah semua tindakan seksualatau kecendrungan bertindak seksual yang bersifat intimidasi nonfisik(kata-kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata denganmemegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seoranglaki-laki atau kelompoknya terhadap perempuan atau kelompoknya.Dalam pelecehan seksual, terdapat unsur-unsur meliputi:1. Suatu perbuatan yang berhubungan dengan seksual,2. Pada umumnya pelakunya laki-laki dan korbannya perempuan,3. Wujud perbuatan berupa fisik dan non fisik,4. Tidak ada kesukarelaan.Tindakan pelecehan seksual, baik yang bersifat ringan(misalnya secara verbal) maupun yang berat (seperti perkosaan)merupakan tindakan menyerang dan merugikan individu, yang berupa16


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>hak-hak privasi dan berkaitan dengan seksualitas. Demikian juga, hal itumenyerang kepentingan umum berupa jaminan hak-hak asasi yangharus dihormati secara kolektif.Corak Berpikir Masyarakat Indonesia Terhadap Kekerasan SeksualUntuk melihat corak pikir masyarakat Indonesia terhadapkekerasan seksual, saya akan memaparkan beberapa legenda dan sejarahyang terkait dengan peran, posisi, dan fungsi perempuan dari beberapaetnis yang merepresentasikan perspektif Indonesia, yaitu Jawa, Sunda,Bugis, dan Batak.Ada beberapa legenda dan sejarah yang mencerminkanpandangan masyarakat terhadap perempuan. Misalnya, perempuandijadikan sebagai alat untuk menaklukan lawan. Sebagai contoh: KisahKi Ageng Mangir, yang bisa ditaklukkan dan bahkan dibunuh olehPanembahan Senopati dengan cara mengirimkan putrinya Rr.Pembayun untuk merayu Ki Ageng Mangir. Setelah terjadi perkawinan,maka Panembahan Senopati memanggil sang menantu untuk sowan.Dalam pesowanan inilah Ki Ageng Mangir ditaklukan dan dibunuh.Namun, sikap kaum ningrat Jawa terhadap perempuan yangkemudian membentuk kultur dan konstruksi sosial yang timpang dalamrelasi sosial lelaki perempuan, merupakan cerminan dari pandangankultur Jawa terhadap perempuan. Beberapa kitab Jawa memangberpandangan pejoratif terhadap perempuan, misalnya kitab Clokantara.Di dalam kitab ini perempuan di pandang dan diposisikan secaranegatif: “… tiga ikang abener lakunya ring loka/ Iwirnya/ ikang Iwah/ikang Udwad/ ikang Janmastri/ Yeka kang telu/ wilut gatinya/ Yadinpweka nang stri hana satya budhinya/ dadi ikangtunjung tumuwuh ringcila/ …”(… ada tiga yang tidak benar jalannya di bumi yaitu/ sungai/tanaman yang melata/ dan wanita/ ketiga-tiganya/ berbelit jalannya//jika ada wanita yang lurus budinya/ akan ada (bunga) tunjung tumbuh dibatu).Pandangan yang sama juga diberikan oleh Kitab Nitisastra. Disini perempuan dipandang sebagai sosok yang bermoral rendah: “…/mangkan ngling sang parameng sastra/ ana dyah bener atine/ yen anagagak pingul/ lawan tunjung tuwuh ing curi/ kono ana wanudya/ atinerahayu/ kalingane ing sujana/ den prayitna yen pinarak ing pawestri/ywa kena manis ujar//” (…beginilah kata sang bijak dalam sastra:/(akan) ada wanita yang lurus hatinya/, jika ada (burung) gagak(berwarna) putih/, dan (bunga) tunjung tumbuh di batu/, bila di situ adawanita (yang) hatinya baik/ kata orang pintar/ hati-hatilah apabilaberhadapan (dengan) wanita tersebut/ jangan terpikat oleh katamanisnya/).Meskipun perempuan diposisikan secara rendah dibandinglelaki, namun secara umum kebudayaan Jawa memandang perempuan17


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>sebagai makhluk suci dan mulia sebagaimana tercermin dalam legendaDewi Sri, yang mencerminkan bagaimana kemuliaan wanita dalamkehidupan.Pandangan normatif-antropologis ini sejalan dengankonstruksi budaya masyarakat Batak. Dalam pandangan antropologismasyarakat Batak, perempuan dipandang sebagai sosok yang harusdihormati dan dimuliakan. Di kalangan masyarakat Batak Toba, perandan posisi perempuan dikenal dengan istilah “isteri”, yang berartipasangan sehati dan sejiwa, pendamping suami, melahirkan danmendidik generasi penerus, membina kehidupan rumah tangga danjalinan sosial masyarakat, serta sebagai wanita terhormat yang patutdihormati. (http://haposanbakara.blogspot.com/2011/03/makna-isteridalam-budaya-batak-toba.html).Posisi mulia kaum perempuan dalam pandangan kulturalmasyarakat Batak ini juga bersumber dari mitologi Batak yangmenyatakan bahwa asal usul manusia di bumi Batak adalah seorangperempuan, yaitu Siboru Deang Parujar (Siboru Dea). Juga konsepdewata sebagai manusia pertama di Banua Ginjang (bumi Batak) yangmelahirkan tiga wanita dengan fungsi masing-masing untuk menjagakehidupan; Siboru Parmeme, pengunyah makanan untuk diberikankepada anak kecil; Panturi, penasehat, memberikan pengajaran tentangsikap, budi pekerti dan etika; Parorot, penjaga, pelindung dan pengawasanak (http://haposanbakara.blogspot.com/2012/05/kedudukan-wanitadalam-suku-batak.html).Di kalangan masyarakat Bugis, perempuan juga mendapatposisi terhormat. Sebagaimana dinyatakan Maria Josephine:Status sosial perempuan Bugis tampaknya cukup tinggi. Hal itudapat kita lihat baik dalam realitas sosial maupun dalamnaskah kuno. Secara sosial kita bisa menyebut sosok ColliqPujie, seorang perempuan Bugis yang hidup pada abad ke-1yang berprofesi sebagai penulis, sastrawan dan juganegarawan. Dalam naskah kuno perempuan Bugis disebutberani (materru‟) dan bijaksana/ (malampe‟ nawa nawa).Walau begitu, tugas utama dari seorang perempuan Bugisadalah menjadi seorang ibu salehah, baik dan tulus (mancajiIndo ana tettong ridecengnge, tudang ripacingnge), menjadipenuntun suami yang jujur, hemat dan bijaksana sekaligusmitra pendukung dan penopang dalam mengatasi segalakesulitan maupun perjuangan mengatasi segala hal (Mancajipattaro tettong rilempu‟e punnai cirinna enrengngre lampu„Nawa-Nawa mmewai sibaliperri‟ waroanena Sappa „lalengatuong), menjadi kebanggan ayahnya, saudaranya dansuaminya untuk menjaga kehormatan hidupnya (mancaji„siatutuiang siri na enrengnge banapatinna ritomatoanna,18


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>risilessureng macoana letih‟ ga riworoanena) (MariaJosephine Mantik, 2013)Apa yang disampaikan Maria ini juga sesuai denganpandangan Rafles yang menyatakan: Ibu adalah jendela pertama bagiseorang bayi, dan menjadi pengontrol bagi suaminya. Ketika bayi lahir,Ibu memainkan peranan penting dalam memperkenalkan bayi kepadadunia. Masa depan anak sangat tergantung pada ibu. Sikap, pandangandan seluruhnya semua diperoleh sang bayi dari seorang ibu. Seorang ibuyang sempurna akan lebih baik dari seribu guru. (Thomas StamfordRafles, 2008).Dari pandangan kultural-antropologis ketiga etnis yangmewakili keberagaman masyarakat Indonesia, dapat disimpulkan bahwasecara normatif masyarakat Indonesia menempatkan posisi terhormatkepada kaum perempuan, seperti tercermin dalam berbagai mitos danlegenda yang ada di masyarakat Indonesia. Namun secara faktual, perandan posisi perempuan yang terhormat dan mulia itu justru tidak terlihat.Sebaliknya perempuan justru ditempatkan pada posisi rendah dandipandang sebelah mata sebagaimana tercermin dalam relasi dankonstruksi sosial yang timpang, ditandai dengan menguatnya budayapatriarkhi di kalangan masyarakat Indonesia. Bisa dikatakan, telahterjadi sikap dan corak pemikiran yang ambigu di kalangan masyarakatIndonesia terhadap perempuan.Meski banyak berbicara soal perempuan, namun hampir tidakditemukan wacana mengenai relasi seks dalam narasi masyarakatNusantara. Ini terjadi karena secara umum masyarakat Indonesiaberanggapan bahwa seks adalah sesuatu yang suci dan mulia, sehinggamenjadi tabu untuk dibicarakan dalam wilayah publik. Sejauhpenelurusan saya, hanya menemukan satu kitab/serat yang secaraspesifik berbicara mengenai masalah hubungan seksual, yaitu SeratCenthini.Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifatrepresif-feodalistik, dan berpandangan pejoratif terhadap perempuan,namun dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kitabayangkan. Masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutamasastra dan tari (Otto Sukatno, 2001). Artinya corak pemikiran yangmemandang rendah kaum perempuan ternyata tidak sebanding dengansikap dan pandangan mereka terhadap perilaku seksual. Hubunganseksual tetap dipandang sebagai ekspresi seni dan puncak keindahanyang harus diberlakukan secara baik dan mulia.Paparan diatas menunjukkan bahwa seksualitas merupakansesuatu yang mulia, oleh karenanya kekerasan seksual tetap dipandangsebagai suatu tindakan biadab yang menyimpang dan melanggar etikasosial. Bisa dikatakan bahwa meski secara sosial budaya masyarakat19


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Indonesia hidup dalam kultur patriarki dengan relasi yang timpangsehingga merugikan kaum perempuan, namun mereka berpandanganbahwa seksualitas adalah adalah sesuatu yang mulia dan sangat terkaitdengan urusan moral. Artinya dalam corak pemikiran masyarakatIndonesia, kekerasan seksual tetap dipandang sebagai kejahatan danpenyimpangan yang harus ditolak.Kekerasan Seksual Dalam Pandangan PancasilaPancasila adalah kristalisasi dan manifestasi dari nilai-nilailuhur bangsa Indonesia yang beragam. Artinya Pancasila merupakanperasan saripati dari nilai-nilai terbaik dari berbagai ragam kebudayaanyang dimiliki Bangsa Indonesia. Dengan demikian, mustahil Pancasilamemuat sesuatu yang buruk dan bertentangan dengan nilai-nilaikemanusiaan.Nilai-nilai dasar kemanusiaan termaktub tersebut secara jelasdalam Pancasila, terutama sila ke-dua; “Kemanusiaan Yang Adil danBeradab”. Dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusiadiakui harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.Adil pada hakekatnya adalah memberikan atau memperlakukanseseorang atau pihak lain sesuai dengan apa yang menjadi haknya. Jadi,orang dikatakan bersikap dan bertindak adil kalau ia tidak melanggarhak orang lain, atau secara positif memberikan kepada orang lain apayang menjadi haknya. Artinya perilaku tidak adil dan tidak beradabyang memberangus dan melecehkan nilai-nilai kemanusiaan, itubertentangan dengan Pancasila.Kekerasan seksual adalah tindakan pelecehan danpemberangusan nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan seksual tidak hanyamembuat luka fisik bagi korban, tetapi juga menghancurkan harkat danmartabat manusia yang menjadi korban. Dengan demikian jelas bahwakekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak sesuai denganPancasila.Dalam kehidupan berbangsa yang plural, kekerasan seksualtidak saja menjadi ancaman terhadap nilai kemanusiaan, tetapi jugamerupakan ancaman terhadap kehidupan berbangsa yang multikultural.Ini terjadi karena meskipun terjadi keberagaman budaya, namunterdapat kesamaan sikap dan pandangan terhadap tindakan kekerasanseksual. Semua elemen bangsa Indonesia yang plural ini sepakat, bahwakekerasan seksual merupakan tindakan biadab yang melecehkan harkatkemanusiaan, sehingga menjadi musuh bersama bangsa Indonesia yangberagam.20


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Kekerasan Seksual dalam Pemikiran Masyarakat Negara LainDalam hal ini saya hanya akan menyebut tiga Negara yangmasing-masing memiliki pengaruh kuat dalam corak pikir masyarakatIndonesia, yaitu Arab, China, dan Amerika. Arab dan China memilikipengaruh yang cukup kuat dalam kebudayaan dan pemikiranmasyarakat Indonesia. Agama Islam yang dipeluk oleh mayoritasmasyarakat Indonesia, tidak bisa lepas dari pengaruh kebudayaan Arab.Demikian pula interaksi sosial yang telah terjadi beberapa abad denganbangsa China, membuat masyarakat tidak bisa lepas dari pengaruhChina. Sementara itu kekuatan sosial politik dan intelektual Amerikayang ada di Indonesia, membuat bangsa ini sulit untuk keluar daripengaruh Amerika.Dalam konstruksi sosial budaya masyarakat Arab, perempuandiposisikan sebagai manusia kelas dua dengan derajat yang lebih rendahdibanding lelaki. Hal ini tercermin dari model perkawinan yangdilakukan oleh Bangsa Arab sebelum datangnya Islam.Meski Islam sudah melakukan transformasi sosial yangradikal melalui revolusi teologi yang berhasil menghancurkan tradisijahiliyah sebagaimana terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW, tapibias tradisi jahiliyah yang memandang rendah kaum perempuan itu,hidup lagi pada era modern, sebagaimana terlihat dalam berbagai aturanyang banyak mengekang kebebasan dan merugikan kaum perempuan.Pandangan pejoratif terhadap perempuan inilah yang kemudianmelahirkan sikap dan pemikiran yang permisif terhadap tindakankekerasan seksual dan cenderung menyalahkan perempuanjika terjaditindakan kekerasan seksual.Corak pemikiran yang memandang relasi yang timpang antaralelaki dan perempuan juga terlihat dalam kebudayaan China yangbersumber dari ajaran Yin dan Yang. Ajaran ini memang berbicaratentang keseimbangan dan harmoni, namun jika dicermati lebih lanjut,terutama yang terkait dengan relasi lelaki dan perempuan, maka akanterlihat posisi yang timpang. Sebagaimana dikatakan Seeger, Yinmerupakan unsur negatif seperti air, dingin, basah, pasif, gelap, bulan,dan bersifat perempuan, sedangkan Yang merupakan unsur positifseperti api, panas, kering, aktif, terang, matahari, dan bersifat laki-laki(Elizabeth Seeger, 1952).Menurut Lee Park, tatanan keseimbangan Yin dan Yangtersebut, menyiratkan bahwa kedudukan perempuan dalam tata hidupmanusia harus di bawah dan rendah seperti bumi. Kedudukanperempuan yang inferior dilihat sebagai bagian hukum alam. Yin(bumi) dikuasai oleh Yang (langit). Keutamaan bagi seorang perempuanadalah mengalah dan lemah, pasif dan diam, sebagaimana halnya bumi.Hal itu berbeda dengan laki-laki yang harus aktif dan kuat, penuhinisiatif sebagaimana halnya langit atau surga. Namun demikian,21


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>kedudukan laki-laki yang superior, tidak lengkap tanpa kehadiranperempuan sebagai lawan jenis yang saling mengisi (Sun Ai Lee Park,1992).Menurut Irwan Abdullah, dikotomi nature (alam) dan culture(budaya) digunakan untuk menunjukkan pemisahan jenis kelamin, yangsatu memiliki status lebih rendah dari yang lain. Perempuan yangmewakili sifat alam (nature) harus ditundukkan agar mereka lebihberbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut telahmengakibatkan terjadinya ketimpangan hubungan antara laki-laki danperempuan (Irwan Abdullah, 1997).Berbeda dengan corak pemikiran Arab dan China yangdiskriminatif terhadap perempuan, corak pemikiran masyarakatAmerika terhadap kekerasan perempuan sangat terkait dengan fahamfeminism yang berkembang di Negara tersebut. Elizabeth Cadymerupakan tokoh feminis Amerika Serikat yang memprakarsai konvensihak-hak perempuan di Seneca Falls pada 1848. Teks Declaration ofIndependence menjadi pijakan Elizabeth untuk menulis Declaration ofSentiments and Resolution yang menjadi hasil konvensi dalampertemuan bersejarah, yaitu Konvensi Hak-hak Perempuan di SenecaFalls pada 19 Juli 1848.Dia menegaskan bahwa “all the people” dalam konstitusiNegara Amerika berarti kaum perempuan sebagai manusia, termasuk didalamnya. Pemikiran Elizabeth tentang otonomi perempuan sebagaiindividu, juga berdasarkan pada pemikiran individualisme liberal, tetapiia tetap melihat bahwa perempuan merupakan suatu kolektivitas sosialyang harus bersatu dalam memperjuangkan kepentingan perempuan(Hadiz, 1998). Dengan cara pandang seperti ini, maka kekerasanseksual dalam corak pemikiran masyarakat Amerika, merupakantindakan yang biadab, yang melecehkan nilai-nilai dan martabatkemanusiaan.Uraian di atas menunjukkan terjadinya perbedaan carapandang terhadap posisi perempuan dalam konstruksi sosial budayapada masing-masing Negara, yang pada ujungnya terjadi perbedaandalam memandang kekerasan seksual. Di kalangan masyarakat Arabyang masih terdapat bias tradisi jahiliyah yang patriarkis, pandanganterhadap kekerasan seksual masih cenderung permisif dan menjadikankorban sebagai pihak yang salah, sekalipun secara normatif Islamsebagai agama yang dipeluk oleh masyarakat Arab, memberikan sanksiyang keras dan tegas, bahkan sangat berat kepada pelaku tindakkekerasan seksual. Sedangkan China, meskipun memandang adanyaperbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun memberikanhukuman yang berat kepada pelaku tindak kekerasan seksual.Pandangan masyarakat di kedua Negara ini berbeda dengan masyarakatAmerika yang sudah menerapkan kesetaraan dalam relasi lelaki22


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>perempuan. Dengan cara pandang seperti ini, maka corak pemikiranmasyarakat Amerika terhadap kekerasan seksual menjadi lebih sensitifdan tegas.Upaya Memahami Kekerasan SeksualPersoalan kekerasan seksual ternyata memiliki keterkaitandengan persoalan kultur dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat.Pada masyarakat yang memiliki hubungan sosial yang timpang antaralelaki dan perempuan, maka kekerasan seksual lebih mudah terjadi. Inidisebabkan karena masyarakat cenderung bersifat permisif terhadaptindakan kekerasan seksual. Dengan kata lain, kepekaan terhadapkekerasan seksual pada masyarakat yang patriarkis adalah rendah.Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadapkekerasan seksual, saya rasa ada dua cara yang bisa dilakukan, yaituyuridis dan kultural. Cara yuridis yaitu dengan melakukan penegakanhukum formal terhadap pelaku tindak kekerasan seksual. Melalui caraini, masyarakat akan melihat bahwa kekerasan seksual merupakantindakan yang melanggar norma hukum, sehingga layak diberi hukumanyang berat. Selain itu, melalui penegakan hukum formal ini, akanmendorong para korban kejahatan seksual berani melapor, karenadengan cara ini mereka merasa mendapat perlindungan, baik terhadaphak, harkat dan martabatnya sebagai manusia melalui jalur hukum.Cara kultural adalah melakukan sosialisasi mengenaikekerasan seksual melalui dialog langsung dari hati ke hati kepadaberbagai pihak, khususnya kaum perempuan mengenai berbagai halyang masuk dalam kategori tindak kekerasan seksual, dan upaya-upayauntuk menanggulanginya. Pengalaman yang saya peroleh selamamelakukan pendampingan terhadap korban tindak kekerasan bersamaYayasan Puan Amal Hayati, rata-rata para korban mengalami syok dandepresi yang dalam. Mereka merasa malu untuk melaporkan haltersebut kepada pihak lain/diketahui oleh orang lain. Kedua, seringkalikorban yang melapor, justru diperlakukan/direndahkan harkat danmartabatnya. Ketiga, proses penanganan yang berbelit-belit danmelelahkan.Berdasarkan hal-hal sebagaimana disebutkan di atas, makacara efektif yang bisa diterapkan kepada masyarakat Indonesia terhadapkekerasan seksual adalah mengubah pola pikir masyarakat serta pihakpihakyang bersangkutan untuk melepaskan diri dari jeratan budayapatriarki melalui pendekatan dialog dari hati ke hati secara intensif.Cara seperti ini tidak hanya bisa mengubah pandangan dan pola pikir,tetapi juga membuat para korban memiliki tempat bersandar dan temandialog yang terbuka untuk mengungkapkan berbagai persoalan. Dengandemikian mereka akan terbiasa mengungkapkan persoalan seksual yangdianggap tabu secara terbuka. Melalui cara-cara seperti ini maka akan23


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>terbentuk pemahaman yang baik mengenai kekerasan seksual sehinggabisa meningkatkan kepekaan terhadap tindak kekerasan seksual.Pendekatan yuridis dan kultural ini harus dilakukan secarasimultan. Pendekatan yuridis tanpa dibarengi degan pendekatankultural, tidak akan bisa meningkatkan pemahaman masyarakatterhadap kekerasan seksual. Tanpa pemahaman, tidak akan terjadiperubahan cara pandang yang bisa mengubah perilaku danmeningkatkan kepekaan. Demikian sebaliknya, kedua pendekatan iniharus berjalan secara bersamaan, dengan membentuk sinergi yangsaling melengkapi. ****Daftar PustakaAde Siri Na Pesse. 2013, Adat Istiadat Suku Bugihttp://blogerbugis.blogspot.com/<strong>2014</strong>/04/ adat-istiadat-suku bugisade-siri-na.htmldiakses 12 November <strong>2014</strong>.Ali, K, 2000. Sejarah Islam (Tarik Pramodern), Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.Elizabeth Seeger, 1952, Sedjarah Tiongkok Selajang Pandang,Terj.Ong Pok Kiat dan Sudarno, (Djakarta, Gronigen: J.B. Wolters).Hadiz, Liza. 1998. “Teori Feminisme Radikal” dalam JurnalPerempuan. Edisi 7, Mei-Juli. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.HJ De Graaf, Dr, 1987. Awal Kebangkitan Mataram. Jakarta,Grafitipers, http://haposanbakara.blogspot.com/2012/05/kedudukanwanita-dalam-suku-batak.html,diakses pada 13 November <strong>2014</strong>,http://haposanbakara.blogspot.com/2011/03/makna-isteri-dalambudaya-batak-toba.html,diakses pada 13 November <strong>2014</strong>.Irwan Abdullah, 1997, Dari Domestik ke Publik: Jalan PanjangPencarian Identitas Perempuan, dalam Irwan Abdullah (ed.),Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.J.B. Mangun Wijaya, 2008, Roro Mendut, Jakarta, Gramedia PustakaUtama.Maria Josephine Mantik, 2013, Gender Inequality dalam “Makkunrai”Karya Lily Yuliani Farid, http://icssis.files.wordpress.com/2013/09/2013-01-34.pdf diakses 12 November <strong>2014</strong>.Otto Sukatno CR, 2002, Seks Para Pangeran: Tradisi dan RitualisasiHedonisme Jawa, Yogyakarta, Bentang.Purwadi, 2007. Sejarah Raja-raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.24


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Seri Dian. Kisah Dari Kampung Halaman. Dian: Jogjakarta.Sindhunata, 2007. Putri Cina, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.Suharndjati Suktri, Sri. Sofwan Ridin. Perempuan dan Seksualitasdalam Tradisi Jawa. Yogyakarta, Gama Media.Sun Ai Lee Park, 1995, Konfusianisme dan Kekerasan TerhadapPerempuan, dalam Th. Sumartana, dkk., Konfusianisme diIndonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, Yogyakarta: Pustka Pelajar.Thomas Stamford Rafles, 2008. History of Java, Yogyakarta, Narasi).25


MAKALAH DELEGASIKOMISI 1: HUKUM MATERIIL


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>TINJAUAN HUKUM MATERIIL MENGENAI KEKERASANSEKSUAL TERHADAP ANAK DI INDONESIAOleh: Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas BengkuluABSTRAKKekerasan seksual terhadap anak saat ini menjadi fenomena yangsedang ramai diperbincangkan oleh semua kalangan masyarakat.Berbagai pengaturan terkait dengan kekerasan seksual terhadap anakini seperti yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong>Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentangPemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-UndangNomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak PidanaPerdagangan Orang pada dasarnya telah mengatur tentang kekerasanseksual terhadap anak. Namun, pengaturan mengenai kekerasanseksual terhadap anak yang diatur didalam peraturan perundangundangantersebut ternyata masih belum spesifik. Tidak adanya definisikekerasan seksual serta tidak disebutkan secara jelas mengenai bentukbentukkekerasan seksual didalam peraturan perundangan-undangantersebut hanya merupakan segelintir masalah yang membuktikan bahwamasih terdapat kekurangan dalam peraturan perundang-perundanganterkait dengan kekerasan seksual terhadap anak. Maka melaluipenelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan-bahan hukumprimer dan sekunder dan tersier yang bertujuan untuk mencari solusipersoalan terhadap permasalahan yang ditemukan dalam peraturanperundang-undangan terkait dengan kekerasan seksual terhadap.Diperoleh kesimpulan bahwa solusi atas permasalahan-permasalahanyang ditemukan dalam peraturan perundangundangan mengenaikekerasan seksual terhadap anak tersebut ialah dengan meninjaukembali hukum materiil mengenai kekerasan seksual terhadap anak diIndonesia.A. Latar BelakangFenomena kekerasan seksual yang sedang marak saat ini telahmenjadi topik hangat yang ramai diperbincangkan oleh berbagaikalangan masyarakat. Berbagai kasus kekerasan seksual seperti kasusJIS (Jakarta International School) dan kasus Emon menunjukkanbahwa anak telah menjadi sasaran utama dalam tindak kekerasanseksual.26


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yangdalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang patutdijunjung tinggi. Konsideran menimbang UU Nomor 23 Tahun 2002tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah tunas,potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yangmenjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.Namun melihat realita yang terjadi saat ini, maraknya tindak kekerasanseksual terhadap anak tentunya menjadi hal yang patut dikhawatirkan.Komisi <strong>Nasional</strong> Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat laporantindak kekerasan anak yang terjadi pada tahun <strong>2014</strong> mulai Januari-April<strong>2014</strong>, terdapat 342 kasus. Dari angka tersebut, banyak kasus terjadi dilingkungan sekolah. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Siraitmenjelaskan pada tahun 2013 Komnas PA mencatat sebanyak 3.339kasus kekerasan anak, 58 persen dari laporan tersebut merupakankejahatan seksual. 2 Namun tidak semua tindak kekerasan seksual itudilaporkan, sehingga diperkirakan jumlah tindak kekerasan seksual,terutama tindak kekerasan seksual terhadap anak lebih besar dari jumlahyang telah disebutkan tersebut.Perlu dilihat bahwa kekerasan seksual bukan hanya kejahatanfisik namun juga merupakan kejahatan psikis. Anak-anak yang menjadikorban kekerasan seksual akan mengalami tekanan psikologis yangsangat besar yang tentunya akan berpengaruh terhadap tumbuhkembang sang anak itu sendiri. Tidak hanya itu, anak sebagai korbankekerasan seksual akan mengalami dampak buruk yangberkepanjangan, seperti trauma, kehilangan kepercayaan diri, ataubahkan akan mengisolasi dirinya dari lingkungan sekitarnya, sertabukan tidak mungkin korban juga akan dipandang buruk didalammasyarakat. Oleh karena dampak yang ditimbulkan bagi anak sebagaikorban kekerasan seksual sangat besar, maka perlu adanya pengaturankhusus demi menjamin keberlangsungan hidup anak yang menjadikorban kekerasan seksual. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3)UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negarahukum, yang salah satu cirinya adalah legalitas dalam arti hukum, makabaik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harusberdasar atas dan melalui hukum. 3 Konsekuensi lainnya ialah setiapperaturan yang mengatur satu perbuatan harus dirumuskan secara tegas2 Wahyu Aji, Komnas Anak: <strong>2014</strong>, Kekerasan Seksual Paling TinggiTerjadi di Sekolah, diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/<strong>2014</strong>/05/12/komnas-anak-<strong>2014</strong>-kekerasanseksual-paling-tinggi-terjadi-disekolah,pada tanggal 7 Oktober <strong>2014</strong>.3 Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2010), hlm. 46.27


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>dan jelas agar tercapai kepastian hukum, di samping terpenuhinya rasakeadilan dan kemanfaatan. Terkait tindakan kekerasan seksual terhadapanak UUD 1945 pada pasal 28B ayat (2) telah menyatakan bahwa setiapanak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang sertaberhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kemudianjuga telah dibentuk peraturan-peraturan khusus yang mengatur tentanganak dari berbagai aspek, yang merupakan lex specialis dari KUHPseperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PemberantasanTindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 13Tahun 2006 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Menyikapi permasalahan-permasalahan yang muncul seputaranak dan perlindungannya terhadap kekerasan seksual, maka perlukiranya untuk mengetahui dan membahas mengenai kekerasan seksualterhadap anak tersebut dari aspek regulasinya secara lebih dalammakalah yang berjudul “Tinjauan <strong>Hukum</strong> Materiil Mengenai KekerasanSeksual Terhadap Anak Di Indonesia”.B. Landasan Teori1. Kekerasan dan Kekerasan SeksualIstilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku,baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifatmenyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertaipenggunaan kekuatan kepada orang lain. 4 Pengertian kekerasan tedapatdalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang PemberantasanTindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu terdapat didalam pasal 1angka 11 yang berbunyi sebagai berikut:“Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum,dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikisyang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkanterampasnya kemerdekaan seseorang.”Kemudian disebutkan pula di dalam penjelasan pasal 13Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anakbahwa perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatanmelukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapijuga mental dan sosial. Kekerasan seksual sebagai salah satu bentukkekerasan adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual baik telahterjadi persetubuhan ataupun tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan4 Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan, (2002), hlm. 11.28


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>antara pelaku dengan korban. 5 Ada 15 jenis kekerasan seksual yangditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15tahun (1998 –2013), yaitu: 6 perkosaan, intimidasi seksual termasukancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasiseksual , perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa,perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung,pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dansterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi danbernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yangmembahayakan atau mendiskriminasi perempuan, kontrol sosial,termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.2. Anak dan Hak-hak AnakMengacu pada konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention nthe Right Of The Child), maka definisi anak berarti setiap manusiadibawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlakupada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. 7 Konvensi Hak Anak(Convention on the Rights of the Child) telah disahkan oleh MajelisUmum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November1989, dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered in to force)pada tanggal 2 September 1990. 8 Konvensi Hak Anak ini merupakansebuah perjanjian internasional mengenai hak-hak serta perlindunganterhadap anak.Didalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of theChild) yang keseluruhannya terdiri dari 54 (lima puluh empat) pasal,mengelompokkan 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu: 91) Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights)2) Hak terhadap Perlindungan (protection rights3) Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights)4) Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB telahmeratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres Nomor 36 Tahun1990, sehingga Indonesia telah mengikat diri untuk melaksanakan5Pengertian Umum Tentang Kekerasan, diakses darihttp://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/204711012/bab2.pdf padatanggal 6 Oktober <strong>2014</strong>.6Komnas Perempuan, 15 Jenis Kekerasan Seksual, diakses darihtp://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/15-Jenis-Kekerasan-Seksual_2013.pdf pada tanggal 6Oktober <strong>2014</strong>.7 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (2013), hlm. 10.8Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek <strong>Hukum</strong>Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (1999), hlm. 29.9 Ibid, hlm. 35.29


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>konvensi tersebut. Selain itu, sebagai bentuk keseriusan pemerintahdalam memberikan perlindungan terhadap anak, dibentuklah undangundangkhusus mengenai perlindungan anak, yaitu Undang-undangNomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Didalam UUPerlindungan Anak tersebut juga disebutkan hak-hak serta perlindunganterhadap anak, dengan tidak terlepas pada prinsip-prinsip perlindungananak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hakuntuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaanterhadap pendapat anak.UU Perlindungan Anak juga menyertakan ketentuan pidanabagi yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Ketentuanpidana tersebut tentunya tetap berdasarkan asas legalitas. Asas legalitasdalam hukum positif Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat KUHP yangberbunyi sebagai berikut:“(1)Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatandilakukan.” Asas legalitas ini kemudian yang menjadi suatu “hoeksteen”(poros di ujung) 10 dalam hukum pidana. Dengan perkataan lain, tidakboleh terjadi suatu perbuatan yang semula belum diterapkan bahwapelakunya dapat dipidana, karena dirasakan oleh penguasa sangatmerugikan, lalu dibuatkan peraturan dan pelakunya dapat dijerat denganperaturan tersebut, walaupun peraturannya telah lewat, atau bolehdikatakan bahwa perundang-undangan pidana tidak boleh berlaku surut.Selain diatur didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002tentang Perlindungan Anak, terdapat pengaturan khusus lainnyamengenai perlindungan anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun2004 tentang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, danUndang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TindakPidana Perdagangan Orang.3. Hasil RisetKomisi <strong>Nasional</strong> Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatatlaporan tindak kekerasan anak yang terjadi pada tahun <strong>2014</strong> mulaiJanuari-April <strong>2014</strong>, terdapat 342 kasus. Dari angka tersebut, banyakkasus terjadi di lingkungan sekolah. Ketua Komnas PA, Arist MerdekaSirait menjelaskan pada tahun 2013 Komnas PA mencatat sebanyak3.339 kasus kekerasan anak, 58 persen dari laporan tersebut merupakankejahatan seksual. Dirinya memprediksi untuk tahun <strong>2014</strong> tingkatkejahatan seksual akan meningkat. 15 Tampaknya prediksi sebagaimanayang dikemukakan Arist menjadi kenyataan mengingat kasus kekerasanseksual terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2011,10 Utrecht, E. Djindang, dan Moh. Saleh, Pengantar Dalam <strong>Hukum</strong>Indonesia, (1989),hlm. 388.30


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>ada 2.509 kasus, 62 persen merupakan kekerasan seksual dan sisanyakekerasan terhadap fisik hingga mengakibatkan meninggal. Sementara2012, dalam 1 semester ada 1.876 kasus, ada 68 persen kekerasanseksual dan sisanya kekerasan fisik. 11 Selain itu, data POLRI <strong>2014</strong>mencatat ada 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi diseparuh tahun 2104. Dari jumlah itu, sudah 726 orang yang ditangkapdengan jumlah korban mencapai 859 orang. Sedangkan data KPAI daribulan Januari hingga April <strong>2014</strong>, terdapat 622 laporan kasus kekerasanterhadap anak. 12Berdasarkan data-data tersebut diatas terlihat bahwa tindakkekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan. <strong>Hukum</strong>positif Indonesia pun telah memberikan pengaturan yang cukup bagusterkait dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak, yaitu terdapatdidalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang PerlindunganAnak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PemberantasanKekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Nomor 21Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,namun masih terdapat beberapa kekurangan didalamnya. Berdasarkananalisis penulis, ternyata pengaturan khusus tersebut masih masihterdapat kekurangan terkait dengan tindak kekerasan seksual terhadapanak. Kekurangan tersebut antara lain tidak adanya definisi khususkekerasan seksual serta kriteria perbuatan yang terkategori sebagaikekerasan seksual terhadap anak, serta adanya ketidaksesuaian ancamanpidana terhadap jenis tindak kekerasan seksual terhadap anak. Dengandemikian terlihat bahwa pengaturan khusus mengenai kekerasan seksualterhadap anak perlu dikaji ulang mengingat masih terdapat kekurangankekurangandalam pengaturan khusus tersebut.C. Pengaturan Mengenai Kekerasan Seksual terhadap AnakDitinjau dari <strong>Hukum</strong> Positif IndonesiaSebagaimana diketahui, KUHP tidak mengenal istilahkekerasan seksual dalam pasal-pasalnya, baik terhadap anak maupunterhadap orang dewasa. KUHP meletakkan pengaturan mengenai halhaltersebut pada Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.Khusus tindak kejahatan kesusilaan terhadap anak diatur pada Pasal287, 290 angka 2 dan 3, 292, 293, 294, dan 295. Namun, dari sederetpasal-pasal tersebut, tidak ditemui bentuk kejahatan kesusilaan lain11Arif Bambani Amri dan Siti Ruqoyah,Komnas PA: AngkaKekerasan Seksual Anak Meningkat, diakses darihttp://www.m.news.viva.co.id/news/read/371471-komnas-pa--angkakekerasanseksual-anak-meningkatpada tanggal 7 Oktober <strong>2014</strong>.12 Arbi, Indonesia Darurat Kejahatan Seksual Anak, diakses darihttp://www.harianterbit.com/read/<strong>2014</strong>/08/15/6687/29/18/Indonesia-Darurat-Kejahatan-Seksual-Anak. pada tanggal 9Oktober <strong>2014</strong>.31


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>kecuali perkosaan dan pencabulan. Dengan kata lain, KUHPmengkategorikan kejahatan terhadap kesusilaan hanya terbatas padatindak perkosaan dan pencabulan saja yang pengertian danpenjelasannya pun sangat terbatas. Berangkat dari permasalahantersebut, maka dibentuklah peraturanperaturan lain di luar KUHP yangsecara khusus untuk menutupi kekurangankekurangan yang terdapatpada KUHP dan turut menjadi payung hukum terkait perkembangantindak kekerasan seksual terhadap anak yang belum terakomodir didalam KUHP. Peraturan-peraturan tersebut antara lain:a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnakBentuk perlindungan terhadap anak dari kekerasan dituangkandalam komitmen perlindungan sebagaimana ditegaskan padapasal59 yang menyatakan bahwa:“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban danbertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepadaanak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasisecara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anakyang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korbanpenculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasanbaik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anakkorban perlakuan salah dan penelantaran.”Pasal tersebut mempunyai arti bahwa pemerintah dan lembagalainnya mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungankhusus terhadap anak dalam kondisi tertentu, salah satunya terhadapanak yang berhadapan dengan hukum.Anak yang berhadapandengan hukum ini meliputi anak yang berkonflik dengan hukumdan anak korban tindak pidana. Terhadap anak korban tindakpidana, termasuk anak korban tindak pidana kekerasan seksualdijelaskan lebih lanjut dalam pasal 69 ayat yang berbunyi:(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasansebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputikekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melaluiupaya:a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturanperundang-undangan yang melindungi anak korbantindak kekerasan; danb. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,melakukan, menyuruh melakukan, atau turut sertamelakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)”32


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Pasal tersebut mengkategorikan kekerasan sebagaimana menjadi 3(tiga) macam, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Kemudianpasal tersebut juga mencantumkan upaya yang dilakukan terhadapanak korban kekerasan serta memberikan larangan untukmembiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut sertamelakukan kekerasan.Selain memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepadapemerintah, undang-undang ini juga memberikan hak kepada anakuntuk mendapatkan perlindungan dari orang tua, wali, atau pihaklain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhannya,termasuk perlindungan dari kekerasan seksual sebagaimana yangtercantum dalam pasal 13 ayat (1).b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PenghapusanKekerasan Dalam Rumah TanggaPada UU ini pengaturan mengenai kekerasan seksual terhadap anaktidak seluas pengaturan kekerasan seksual terhadap anak yangterdapat pada UU Perlindungan Anak. Hal itu karena undangundangini hanya terbatas dalam lingkup rumah tangga. Namun,walaupun demikian pengaturan mengenai kekerasan seksual padaundang-undang ini begitu tegas dituangkan dalam pasal-pasalnya.Seperti pada pasal 5 yang berbunyi:“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumahtangga terhadap orangdalam lingkup rumah tangganya,dengan cara:a. kekerasan fisik;b. kekerasan psikis;c. kekerasan seksual; ataud. penelantaran rumah tangga”Pasal inimemberikan larangan kepada setiap orang untukmelakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalamlingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasanpsikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 tersebutjuga termasuk kekerasan seksual terhadap anak. Pengaturanmengenai kekerasan seksual tersebut juga dijelaskan kembali padapasal 8 yang mengatur lebih lanjut mengenai hal-hal yangterkategori sebagai kekerasan seksual dalam undang-undang ini,yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orangyang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaanhubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumahtangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan33


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>tertentu.Selain itu, pada bagian penjelasan pasal 8 tersebutdisebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalahsetiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atautidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lainuntuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.c) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PemberantasanTindak Pidana Perdagangan OrangBerbeda dengan peraturan-peraturan khusus sebelumnya, UUPerdagangan Orang tidak mengenal istilah kekerasan seksual secaraeksplisit dalam pasal-pasalnya. Namun pada UU ini ditemui istilaheksploitasi seksual yang dijelaskan pada pasal 1 angka 8 yangberbunyi sebagai berikut: “Eksploitasi seksual adalah segalabentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh laindari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidakterbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.”Meskipun tidak menggunakan istilah kekerasan seksual tetapiistilah eksploitasi seksual dalam UU ini telah merujuk kepadamaksud dari istilah kekerasan seksual, kekerasan seksual yangdimaksud dalam UU ini tidak hanya terbatas pada perkosaan danpencabulan saja, diman hal tersebut dapat terlihat dari penggunaaanfrasa “tidak terbatas pada” dan frasa “segala bentuk pemanfaatanorgan tubuh seksual atau organ tubuh lain” pada istilah eksploitasiseksual dari ketentuan pasal 1 butir 7 dan 8 tersebut.Didalam undang-undang ini mengatur mengatur mengenaikekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual terhadap anakmelalui pasal 12 yang menyatakan bahwa:“Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korbantindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukanpersetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindakpidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidanaperdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, ataumengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdaganganorang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksuddalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”Inti dari pasal tersebut ialah adanya sanksi pidana bagi setiap orangyang memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang,termasuk anak sebagai korban. Pasal tersebut juga menyebutkanperbuatan yang termasuk kedalam tindak kekerasan seksual, yaitumelakukan persetubuhan atau perbuatan cabul.Kemudiandidalampasal 17 disebutkan pula adanya penambahan 1/3 (sepertiga)ancaman pidana terhadap pasal 2, pasal 3, dan pasal 4. Penambahan34


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>1/3 (sepertiga) tersebut dilakukan apabila perbuatan sebagaimanayang disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukanterhadap anak.D. Kekurangan yang Terdapat dalam Pengaturan MengenaiKekerasan Seksual terhadap Anak di Indonesiaa) Penggunaan istilah kekerasan seksual tidak diikuti oleh penjelasanmengenai kriteria-kriteria perbuatan yang terkategori sebagaikekerasan seksual terhadap anak: Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak, tidak disebutkan definisi kekerasanseksual. Dalam undang-undang tersebut hanya mencantumkanperbuatan yang masuk kategori kekerasan seksual, yaitupersetubuhan dengan anak sebagaimana diatur dalam pasal 81UU Perlindungan Anak.Perbuatan-perbuatan lainnya sepertitindakan mengeksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksualtidak secara eksplisit dikatakan sebagai kekerasan seksual.Begitu pula tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonohkepada anak juga bukan merupakan bagian dari kekerasanseksual karena tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonohkepada anak termasuk dalam pengertian frasa “perlakuan salah”yang juga terpisah dari frasa “anak korban kekerasan baik fisikdan/atau mental”, seperti yang dijelaskan pada bagianpenjelasan pasal 13 ayat (1) huruf f berikut ini: “Perlakuansalah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatantidak senonoh kepada anak.” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PenghapusanKekerasan Dalam Rumah Tanggalebih terspesifikasi. Padapasal 8 UU KDRT terdapat penjelasan mengenai pengertiankekerasan seksual beserta pengelompokan tindakan yang masukkriteria kekerasan seksual, namun ruang lingkup keberlakuankekerasan seksual terhadap anak dalam UU KDRT sangatsempit karena hanya terbatas dalam lingkup rumah tangga saja. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PemberantasanTindak Pidana Perdagangan Orangmemang tidak mengenalistilah kekerasan seksual tetapi terdapat istilah sepertieksploitasi dan eksploitasi seksual yang maknanya merujukpada kekerasan seksual.b)Ketidaksesuaian ancaman pidana dengan delik kekerasan seksualterhadap anakUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak pada pasal 88 disebutkan bahwa: “Setiap orang yangmengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksuduntuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidanadengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun35


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratusjuta rupiah).”Jika pasal tersebut dibandingkan dengan pasal-pasal lain padaUU Perlindungan Anak seperti pasal 81, pasal 82, pasal 83, danpasal 84 yang masing-masing mengatur perbuatan yang berbedamaka akan didapati perbedaan pada ancaman pidananya.Ancaman pidana pada pasal 81, 82, 83, dan 84 yaitu pidanapenjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tigaratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enampuluh juta rupiah). Sedangkan ancaman pidana pada pasal 88eksploitasi anak secara seksual hanya pidana penjara palinglama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyakRp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tanpa terdapat batasanpidana minimum seperti pada pasal-pasal sebelumnya.Ancaman pidana sebagaimana yang disebutkan dalam pasal88tersebut dirasa tidak sesuai, karena frasa “eksploitasi anaksecara seksual” memiliki cakupan yang lebih luas, namunancaman yang diberikan justru lebih kecil.Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PenghapusanKekerasan Dalam Rumah Tangga juga terdapat ketidaksesuaianancaman pidana, yaitu pada pasal 46 dan pasal 47. Pasal 46tidak mencantumkan pidana minimum, sedangkan di pasal 47dicantumkan pidana minimum.Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PemberantasanTindak Pidana Perdagangan Orangmenganggap tindakanmengeksploitasi anak secara seksual lebih ringan tingkatkejahatannya daripada persetubuhan, pencabulan, perdagangan,atau tindakan translpantasi organ terhadap anak.E. SolusiBerdasarkan uraian di atas telah diketahui bahwa terdapatpermasalahan dalam pengaturan khusus mengenai kekerasan seksualterhadap anak di Indonesia sehingga mengakibatkan pengaturanmengenai kekerasan seksual. Oleh karena itu, perbaikan ulang terhadappengaturan khusus terkait kekerasan seksual terhadap anak tersebutsangat penting untuk segera dilakukan. Berikut formulasi perbaikantersebut:1. Merumuskan definisi kekerasan seksual dan kriteria-keriteriaperbuatan yang termasuk sebagai tindak kekerasan seksual secaraekplisit dan terstruktur pada setiap pengaturan khusus yang terkaitdengan kekerasan seksual. Misalnya memasukan tindakaneksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual dan tindakanpelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak ke dalam36


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>pengertian dan kriteria kekerasan seksual pada UU PerlindunganAnak;.2. Menyelaraskan ancaman pidana dengan tingkat kekerasan seksualyang dilakukan. Misalnya ancaman pidana terhadap tindakanmengeksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual seperti padapasal 88 UU tentang Perlindungan Anak harus memuat ancamanpidana yang lebih berat daripada ancaman pidana terhadap tindakkekerasan seksual yang lainnya, seperti persetubuhan, pencabulan,dan sebagainya, serta harus memiliki pidana minimum di atas pidanaminimum kekerasan seksual yang lainnya.F. Kesimpulan dan SaranTindak kekerasan seksual terhadap anak telah cukup baik diaturdalam hukum positif Indonesia.Peraturan-peraturan khusus yangmengatur tentang kekerasan seksual terhadap anak, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak PidanaPerdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakanbukti dari keseriusan Pemerintah terhadap tindak kekerasan seksualterhadap anak. Namun didalam pengaturan tersebut, masih terdapatbeberapa kekurangan sehingga peraturan mengenai kekerasan seksual,terutama terhadap anak, menjadi bias dan tidak tegas. Kekurangankekurangantersebut ialah sebagai berikut:1. Penggunaan istilah kekerasan seksual tidak diikuti oleh penjelasanmengenai kriteria-kriteria perbuatan yang terkategori sebagaikekerasan seksual terhadap anak;2. Ketidaksesuaian ancaman pidana dengan tingkat kekerasan seksualyang dilakukan terhadap anak.Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya suatu formulasiperbaikan terhadap peraturan-peraturan yang mengatur tentangkekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Berikut formulasiperbaikan tersebut :1. Merumuskan definisi kekerasan seksual terhadap anak secaraekplisit pada setiap peraturan yang terkait dengan kekerasan seksualterhadap anak;2. Merumuskan kriteria-keriteria perbuatan yang termasuk sebagaitindak kekerasan seksual terhadap anak secara jelas dan tegas, sertasistematis;3. Menyelaraskan ancaman pidana dengan tingkat kekerasan seksualyang dilakukan.Pengaturan mengenai kekerasan seksual terhadap anak diIndonesia ternyata belum mampu mengatur perihal kekerasan seksual37


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>terhadap anak secara menyeluruh.Masih terdapatnya kekurangankekuranganpada peraturan-peraturan khusus terkait kekerasan seksualterhadap anak menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tersebut belummemberikan jaminan hukum secara maksimal kepada anak dari tindakkekerasan seksual yang terjadi. Sehingga dalam hal ini perlu adanyatindakan-tindakan nyata dari pembuat undang-undang dalam halmemperbaiki aturan-aturan terkait dengan kekerasan seksual terhadapanak.Selain itu, sangat perlu untuk terus mengkaji dan meninjaukembali peraturan-peraturan terkait kekerasan seksual terhadap anak diIndonesia agar kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan yangterdapat pada peraturanperaturan tersebut dapat segera diketahui dandiantisipasi dengan tindakan-tindakan yang diperlukan agar jaminanhukum kepada anak dari tindakan kekerasan seksual tidak tergadaikan.DAFTAR PUSTAKAE. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang. 1989. Pengantar Dalam <strong>Hukum</strong>Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> PidanaIndonesiaM. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta: SinarGrafikaMuhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas. 1999. Aspek<strong>Hukum</strong>Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi HakAnak.Bandung:Citra Aditya Bakti.Peter Mahmud M. 2010. Penelitian <strong>Hukum</strong>. Jakarta: Kencana.Suratman,Philips Dillah. <strong>2014</strong>. Metode Penelitian <strong>Hukum</strong>. Bandung:Alfabeta.Teguh Prasetyo. 2011. <strong>Hukum</strong> Pidana. Jakarta: Rajagrafindo Persada.Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: GhaliaIndonesia.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan AnakUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PenghapusanKekerasan Dalam Rumah TanggaUndang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TindakPidana Perdagangan Orang.38


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>http://www.harianterbit.com/read/<strong>2014</strong>/08/15/6687/29/18/Indonesia-DaruratKejahatan-Seksual-Anak.http://www.m.hukumonline.com/klinik/detail/lt51481064f40f/asaslegalitas,kebebasa-hakim-menafsirkan-hukum,-dan-kaidahyurisprudensi.http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/15-JenisKekerasan-Seksual_2013.pdf.http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/204711012/bab2.pdf.http://www.m.news.viva.co.id/news/read/371471-komnaspa--angkakekerasan-seksual-anak-meningkat.http://www.tribunnews.com/nasional/<strong>2014</strong>/05/12/komnas-anak<strong>2014</strong>-kekerasan-seksual-paling-tinggi-terjadi-di-sekolah.39


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUALTERHADAP PEREMPUANOleh: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara(Pemenang Kompetisi Penulisan Makalah Komisi 1)AbstrakMasalah tindak pidana perkosaan memiliki dimensi yang sangat luastidak hanya terbatas pada persoalan hukum saja. Faktor kulturmasyarakat menjadi determinan yang ikut menentukan perkembngankekerasan seksual yang terjadi belakangan ini. Faktor kultural initernyata justru menjadi hambatan dalam penyelesaian hukumdisamping karakteristik peristiwa perkosaan itu sendiri yang membuatketentuan yuridis positif menjadi sangat terbatas untuk menjangkaunya.Melalui penelitian ini diharapkan bisa ditelaah secara kritis tinjauanhukum materiil tentang kekerasan seksual dan perkosaan dalam hukumpidana positif di Indonesia yaitu khususnya untuk implementasinyaterhadap tindak pidana perkosaan. Apakah peraturan-peraturan hukumpidana dalam KUHP telah menjadi hukum yang baik yang mampumewujudkan tujuan dan fungsinya untuk memberikan kedamaian danmencari kebenaran serta keadilan? Konklusi dan solusi seperti apayang bisa diajukan untuk mengatasi persoalan dalam tindak pidanaperkosaan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan akan terjawabmelalui penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitianhukum normatif dengan teknik pendekatan (analisis) kualitatif.Meskipun berpijak pada wilayah hukum yang normatif namun segi-segiyuridis sosiologis dan yuridis filosofis turut dipergunakan untukmendukung dan memperluas serta memperdalam pembahasan yangdilakukan.A. Latar BelakangKekerasan merupakan isu utama di seluruh dunia, baik dinegara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Bisadikatakan kekerasan seksual mengalami perkembangan yang terusmeningkat dari tahun ke tahun. Perbincangan tentang kekerasan padaanak dan perempuan telah berkembang dan tidak hanya menjadi suatupertukaran argumen belaka namun menjadi suatu gerakan sosial.Permulaan Penelitian ini menunjukkan bahwa anak dan perempuanmasih dijadikan sasaran utama untuk tindak kejahatan.Berdasarkan fakta-fakta yang dihimpun penulis dari berbagaisumber, terbukti bahwa kasus kekerasan pada anak dan perempuan diIndonesia kini mengalami peningkatan. Terhitung sejak tahun 2010hingga saat ini di Sumatera Utara khususnya, kasus kekerasan terhadap40


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>anak di Sumatera Utara pada 2013 yang mencapai 12.679 kasus yangterjadi di 23 kabupaten dan kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7.335kasus atau 52 persen adalah praktik kejahatan seksual terhadap anak.Hal ini telah menjadi isu sentral oleh masyarakat untuk dicegah danditanggulangi. Ada beberapa sebab yang berkaitan dengan hal ini,diantaranya:1. Persoalan hak asasi manusia masih dianggap hanya sebagaipersoalan sosial. Sehingga kekerasan terhadap anak danperempuan yang dilakukan tidak dianggap sebagai pelanggaranhak asasi manusia.2. Persepsi masyarakat tidak terkecuali masyarakat perempuansendiri, tentang kekerasan terhadap perempuan masih terbatas padakekerasan fisik (perkosaan).3. Kekerasan terhadap perempuan masih dilihat sebagai masalahantarindividu dan belum dipandang sebagai masalah yangberkaitan dengan segala bentuk penyiksaan, kekerasan, kekejaman,dan pengabaian hak-hak anak dan perempuan sebagai makhlukTuhan.4. Ada gejala sinisme yang berbahaya pada sebagian masyarakatbahwa kekerasan terhadap perempuan dilihat sebagai sebab yangdimunculkan oleh perempuan itu sendiri.B. Pengertian Tindak Kekerasan SeksualKekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupapemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidakdisukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuankomersil dan atau tujuan tertentu.Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuansalah. Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dankekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, peroranganatau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan ataukemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugianpsikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. 1Tindakan kekerasan seksual atau persetubuhan yaitumemasukkan kemaluan si pria ke dalam kemaluan si wanita sedemikianrupa yang normaliter atau yang dapat mengakibatkan kehamilan.Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenispenganiayaan yang biasanya dibagi dalam 2 (dua) kategori berdasarkanidentitas pelaku, yaitu:1 Samituti S dan Bangong Suyanto, dkk, Anak Jalanan di Jawa Timur(Masalah dan Upaya Penanganannya), (Surabaya: Airlangga UniversityPress, 1999).41


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>1. Familial AbuseFamilial Abuse merupakan sexual abuse yang masih dalamhubungan darah dan juga menjadi bagian dalam keluarga inti.Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiriatau kekasih, termasuk dalam pengertian incest.2. Extrafamilial AbuseExtrafamilial Abuse adalah kekerasan yang dilakukan oleh oranglain di luar keluarga korban. Kekerasan seksual yang dilakukan olehorang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanyaadalah anak-anak.Kejahatan kekerasan termasuk salah satu dari 4 polakejahatan (kejahatan kekerasan, ekonomi, seksual, dan politik).Kejahatan kekerasan terdiri dari keselamatan jiwa, penganiayaan,penculikan dan pembunuhan. 2C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindak Kekerasan SeksualDalam setiap tindak kejahatan tidak terlepas dari faktor-faktorpendorong serta latar belakang terjadinya sebuah tindak kejahatan,maka pada kasus kekerasan seksual di Indonesia juga terdapat beberapafaktor yang menjadi alasan terjadinya tindak kekerasan seksualdiantaranya: 31. Faktor SosialPerihal yang mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan seksualadalah pergeseran nilai-nilai sosial dimasyarakat. Nilai-nilai etikadan moral yang sebelumnya dipegang masyarakat sudah tidak lagidianggap. Dengan demikian, tidak ada lagi patokan-patokan yangmenentukan suatu hal boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan,patokan baik dan buruk di kalangan masyarakat menyebabkansetiap orang saling tidak peduli terhadap perbuatan orang lain.2. Faktor PendidikanMinimnya tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhimindset seseorang untuk melakukan suatu tindak kejahatan,termasuk dalam hal ini adalah tindak kekerasan seksual.3. Faktor LingkunganLingkungan sebagai faktor terpenting dan mendasar dari kehidupanmanusia yang berperan besar dalam pembentukan karakterseseorang. Sehingga potensi seseorang dalam melakukan kekerasanseksual juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.2 Dirjosisworo, dalam M. Hamdan, dkk,Persepsi Masyarakat TentangTindak Pidana Kesusilaan Dalam Rangka Perumusan Pasal PerzinahanUntuk Pembaharuan <strong>Hukum</strong> Pidana <strong>Nasional</strong>, (1997), hlm. 9.3 A. Wahid dan M. Irfan, Perlindungan terhadap Korban KekerasanSeksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Malang: Refika Aditama,2001), hlm.70.42


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>4. Faktor PsikologisPsikologis seseorang dapat menjadi salah satu faktor terjadinyatindak kekerasan seksual. Dalam hal ini pengaruh ataupun kejadianyang pernah dialami oleh seorang korban pelecehan kekerasanseksual, berpotensi mempengaruhi psikologisnya sehinggamelakukan hal yang serupa.5. Faktor Calon KorbanPerlu diketahui bahwa yang mempengaruhi terjadinya suatu tindakkekerasan seksual, tidak hanya faktor-faktor pelaku kejahatan saja,akan tetapi faktor calon korban kekerasan seksual jugamempengaruhi terjadinya suatu tindak kejahatan, karena setiapperbuatan manusia adalah suatu hasil interaksi akibat adanyainterelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.D. Tinjauan Umum Mengenai Pencabulan1. Berdasarkan KUHPKUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalanganpraktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksualmengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungikorban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkanperlindungan yang istimewa.Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakanmenjadi dua, yaitu tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yangdiatur dalam pasal 285 dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabulyang diatur dalam pasal 289.Pasal 285 KUHP berbunyi :“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasanmemaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluarperkawinan, diancam karena melakukan perkosaan denganpidana penjara paling lama dua belas tahun”. 42. Berdasarkan Konsep KUHPKonsep KUHP tidak lagi membedakan antara kejahatankesusilaan dengan pelanggaran kesusilaan. Konsep KUHPmengelompokkan tindak pidana kesusilaan menjadi satu dengan judul“Tindak Pidana terhadap Perbuatan Melanggar Kesusilaan”.Perkosaan tidak lagi dilihat sebagai persoalan moral sematamata(moral offence). Di dalamnya juga mencakup masalah anger andviolence, yang dianggap merupakan pelanggaran dan pengingkaranterhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak wanita.4 R. Soenarto Soerocibroto, KUHP dan KUHAP, Cet. 5, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), pasal 285 KUHP.43


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Oleh sebab itu, pengertian perkosaan (modern) tidak lagidifokuskan pada pemaksaan dan hubungan seksual, tetapi diperluassehingga mencakup beberapa hal, yaitu: 5a. Forcible rape, yakni persetubuhan yang bertentangan dengankehendak wanita yang disetubuhi;b. Persetubuhan tanpa persetujuan wanita (wanita dalam keadaan tidaksadar);c. Persetubuhan dengan persetujuan wanita, tapi persetujuan itudicapai melalui ancaman pembunuhan atau penganiayaan;d. Rape by fraud, persetubuhan yang terjadi karena wanita percayabahwa laki-laki yang menyetubuhinya adalah suaminya, jadi disiniada unsur penipuan atau penyesatan;e. Statutory rape, yaitu persetubuhan dengan wanita berusia di bawahempat belas tahun meskipun atas dasar suka sama suka.Beberapa hal yang membedakan konsep tindak pidanaperkosaan menurut konsep KUHP dengan KUHP yaitu:a. bahwa untuk adanya tindak pidana perkosaan tidak harus adakekerasan, yang harus ada adalah adanya pertentangan kehendak(pasal 389 ayat (1) ke-1);b. tindak pidana perkosaan bisa juga terjadi dalam bentuk persetujuanpersetubuhan dalam hal korban/wanitanya berusia di bawah empatbelas tahun (pasal 389 ayat (1) ke-5);c. tindak pidana perkosaan (persetubuhan) tidak hanya berartimasuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuantapi juga bisa berarti masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam anusatau mulutnya perempuan;d. dan juga bisa berarti memasukkan suatu benda-benda seperti alatelektronik berbentuk kemaluan laki-laki atau alat-alat lainnya(bukan hanya alat kelamin) ke dalam vagina atau anus seorangperempuan.Konsep itu merupakan langkah maju dibandingkan keberadaanrumusan dalam Pasal-Pasal KUHP yang lama yang cenderung tidak bisamengakomodasi perkembangan kehidupan bermasyarakat danberbangsa. Kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual yang modusoperandinya kasar, keji, vulgar, dan sangat menjatuhkan martabatkemanusiaan dipersamakan dengan kejahatan kesusilaan padaumumnya.5Muladi, Memperketat Delik Susila, dalam Abdul Wahid danMuhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual(Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung: Refika Aditama, 2001),hlm. 115.44


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>E. Bentuk-bentuk Kekerasan SeksualAdapun bentuk-bentuk kekerasan seksual yang telahdiklasifikasikan sebagai berikut:1) Perkosaan, bisa dimaknai sebagai serangan dalam bentukpemaksaan hubungan seksual. Dalam serangan seksual itu adaupaya paksa, kekerasan, tekanan psikologis, penyalahgunaankekuasaan, atau mengambil kesempatan dari lingkungan yangpenuh paksaan. Pencabulan sering diidentikkan dengan perkosaandalam hukum Indonesia.2) Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan. Disini ada tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkanrasa takut atau penderitaan psikis pada korban. Bisa disampaikanlangsung atau melalui pesan singkat. Ancaman atau percobaanperkosaan termasuk kategori ini.3) Pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik ataunonfisik dengan sasaran organ seksual korban. Komnas Perempuanmemasukkan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, danmenunjukkan materi pornografi ke dalam kategori ini.4) Eksploitasi seksual, yakni tindakan penyalahgunaan kekuasaanyang timpang atau penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuankepuasaan seksual atau untuk memperoleh keuntungan. Bentukyang kerap terjadi adalah menggunakan kemiskinan keluargaperempuan untuk memasukkannya ke dalam prostitusi atau bisnispornografi.5) Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual meliputi tindakanmerekrut, mengangkut, menampung, mengirim memindahkan ataumenerima seseorang dengan paksaan atau rayuan untuk tujuanprostitusi atau ekspolitasi seksual lainnya.6) Prostitusi adalah situasi dimana korban mengalami tipu daya,ancaman, atau kekerasan untuk menjadi pekerja seks.7) Perbudakan seksual adalah situasi dimana pelaku merasa menjadi„pemilik‟ atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukanapapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melaluipemerkosaan atau cara lain.8) Pemaksaan perkawinan, misalnya pernikahan dini atau pernikahanyang dipaksakan kepada orang yang belum dewasa karena didalamnya akan ada pemaksaan seksual. Cerai gantung termasukjuga dalam kategori ini.9) Pemaksaan kehamila yaitu situasi ketika perempuan dipaksa untukmelanjutkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Misalnya dialamioleh perempuan korban perkosaan.10) Pemaksaan aborsi yaitu pengguguran kandungan yang dilakukankarena adanya tekanan, ancaman atau paksaan dari pihak lain.45


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>11) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi. Disebut pemaksaan ketikapemasangan alat kontrasepsi atau pelaksanaan sterilisasi tanpapersetujuan utuh dari pasangan, mungkin karena minim informasiatau karena belum cakap secara hukum untuk memberi persetujuan.Bisa menimpa perempuan yang terkena HIV/AIDS.12) Penyiksaan seksual adalah tindakan khusus menyerang organ atauseksualitas korban, yang dilakukan dengan sengaja sehinggamenimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat.13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual. Masukkategori kekerasan sesual karena cara menghukum yangmenyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan atau rasa malu yangluar biasa. Termasuk di dalamnya hukuman cambuk atau hukumanlain yang mempermalukan.14) Praktek tradisi bernuansa seksual yang membahayakan ataumendiskriminasi perempuan. Kebiasan masyarakat, kadangditopang alasan agama dan tradisi, yang bernuansa seksual, yangdapat menimbulkan cedera fisik, psikologis atau seksual padakorban dimasukkan Komnas Perempuan sebagai salah satu bentukkekerasan seksual.15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasanmoralitas dan agama. Pandangan yang menuduh perempuan sebagaipenyebab kekerasan seksual menjadi landasan untuk mengendalikanseksual perempuan. 6F. Ranah Pelecehan Seksuala. Pelecehan Seksual di Ranah Personal1. Pelecehan seksual di dalam rumah merupakan segalabentuk pelecehan seksual yang terjadi diantara orang-orangyang tinggal di satu rumah.2. Pelecehan seksual dalam hubungan perkawinan ataupacaran adalah segala bentuk pelecehan seksual yangterjadi pada individu yang terikat dalam hubunganperkawinan atau pacaran. Bentuk-bentuk pelecehan seksualterhadap istri maupun pacar diantaranya:1) Pemaksaan melakukan hubungan seksual.2) Mengitimidasi fisik secara halus, misalnya mencubitperut istri karena terlihat gemuk.3) Pelecehan Seksual terhadap anak adalah segala bentukhubungan atau interaksi antara anak dan orang dewasa(atau anak lainnya yang sebaya atau remaja) yang6Lima Belas Bentuk Kekerasan Seksual, diakses darihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5378ba7058483/lima-belasbentuk-kekerasan-seksualpada 20 Oktober <strong>2014</strong>.46


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>menggunakan si anak untuk stimulasi seksual daripelaku atau pengamat. Pelecehan seksual pada anakbisa melalui sentuhan maupun tanpa sentuhan.Bentuk-bentuk pelecehan seksual dengan sentuhan:a) Menyentuh penis, vagina, payudara atau pantat;b) Kontak oral genital;c) Melakukan hubungan seksual.Bentuk-bentuk pelecehan tanpa sentuhan:a) Mencoba untuk melihat tubuh anak yang telanjang;b) Melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik denganmaksud seksual;c) Menunjukkan alat kelamin pada anak atau gambar-gambarbernuansa seksual;d) Memamerkan organ seksual;e) Mengekspos anak untuk tujuan pornografi.Modus pelaku sering tidak menggunakan kekerasanfisik melainkan dengan cara mengajak bermain, pura-puramerawat anak, membelikan mainan sehingga anak merasadekat dan mengatur kegiatan-kegiatan khusus sehingga bisamempunyai waktu berdua dengan anak. Tetapi tidak jarangjuga yang menggunakan kekerasan seperti ancaman danpemaksaan.b. Pelecehan Seksual Di Ranah Publik1. Pelecehan seksual ditempat kerja bisa terjadi disemuatempat kerja, seperti di pabrik, kantor, perkebunan,pertambangan, baik itu perusahaan besar maupun kecil.Pelaku pelecehan seksual bisa siapa saja seperti manajer,pengawas, satpam, agen pemberi kerja atau teman sekerja,baik itu perempuan maupun laki-laki tanpa mengenal usia,agama, pendidikan, budaya, latar belakang maupun statussosial.Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang paling umum terjadiditempat kerja adalah sebagai berikut:a) Pegawai atau pekerja perempuan disentuh payudaraatau pantatnya atau bagian tubuh lainnya.b) Saat wawancara ditanyakan berbagai pertanyaantentang kehidupan seksual.c) Saat mengajukan cuti haid pegawai atau pekerjaperempuan diperiksa.47


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>d) Ajakan untuk kencan atau aktivitas seksual oleh orangyang lebih tinggi jabatannya dengan janji memberikanjabatan atau posisi tertentu.2. Pelecehan Seksual di SekolahTidak sedikit kasus pelecehan seksual pada anak terjadi disekolah dan itu mayoritas dilakukan oleh guru kepadamuridnya. Menurut data yang dikeluarkan oleh Komisi<strong>Nasional</strong> Perlindungan Anak, di daerah Jakarta terhitungsejak Januari hingga Maret 2011 terdapat 57 kasuskekerasan seksual yang terjadi pada anak di sekolah, yangdialami oleh pelajar SD dan SMP, belum termasukpelecehan seksual yang terjadi di sekolah-sekolah luarbiasa.3. Pelecehan Seksual di Tempat PublikSeperti halnya di transportasi umum, taman dan jalan.Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi didalam transportasi umum seperti bis, KRL, dan mikrolet,antara lain adalah:a) Menggesekkan alat kelamin ke tubuh orang lain;b) Memegang dan meraba tubuh orang lain;c) Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi dipasar, taman, jalan, terminal, dan tempat umumlainnya;d) Memperlihatkan alat kelamin, melakukan sentuhanatau gesekan seksual terhadap diri sendiri;e) Bersiul; danf) Membuat ekspresi wajah seperti main mata, menjilatlidah atau melempar ciuman.G. Akibat dari Kekerasan SeksualBanyak akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan seksual.Sebagai remaja yang masih berkembang, hal ini akan sangat membekasdan meninggalkan efek lama baik secara fisik ataupun mental. Angkabunuh diri pada wanita yang mengalami kekerasan seksual dari priayang tinggal bersamanya, lima kali lebih besar dibandingkan denganwanita yang tidak mengalami hal tersebut.Berbagai penyakit menular seksual dapat ditularkan melaluikekerasan seksual. Walaupun organ reproduksi remaja wanita sudahberkembang, kekerasan seksual yang dialami mulai dari manipulasiorgan seksual sampai pemerkosaan dapat melukai organ reproduksi danmenimbulkan infeksi, penyakit organ reproduksi lainnya, kehamilanyang tidak diinginkan bahkan aborsi.Rasa takut dan malu korban akibat intimidasi dan budayamasyarakat menyebabkan tidak terdeteksinya penyakit dan kehamilan48


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>sehingga kadang ditemukan dalam keadaan lanjut. Masalah kesehatanmental yang dihadapi oleh remaja putri yang mengalami pelecehan dankekerasan seksual bisa berupa depresi atau kecemasan yangberlangsung lama atau sindrom stress pasca trauma. Beberapamenunjukkan mekanisme mengingkari dengan beralih pada alkohol atauobat terlarang untuk menghilangkan rasa sakit. Kebanyakan dari merekamengisolasi diri mereka dan menarik diri dari lingkungan.Di antara dampak sosial yang dialami korban adalahmenurunnya prestasi sekolah atau kerja, lebih sering absen, tidakmengambil mata kuliah yang diajarkan dosen tertentu, mendapat balasdendam dari pelaku atau teman si pelaku, kehilangan kehidupan pribadikarena menjadi “yang bersalah”, menjadi objek pembicaraan,kehancuran karakter atau reputasi, kehilangan rasa percaya pada orangdengan tipe atau posisi yang serupa pelaku, kehilangan rasa percayapada lingkungan yang serupa, mengalami stres luar biasa dalam berelasidengan partner, dikucilkan, pindah universitas atau fakultas, kehilanganpekerjaan dan kesempatan mendapat referensi, dan kehilangan karir. Disamping itu juga terdapat dampak psikologis atau fisiologis, yaitudepresi, panik, kecemasan, gangguan tidur, penyalahan diri, kesulitankonsentrasi, sakit kepala, kehilangan motivasi, lupa waktu, merasadikhianati, kemarahan, dan hingga pikiran untuk melakukan bunuh diri.H. Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual MenurutKetentuan Pengaturan Perundang-Undangan yang Berlaku DiIndonesiaSanksi pidana bagi pelaku pencabulan dan kekerasan seksualterhadap perempuan menurut KUHP ialah sebagai berikut :a. Pada pasal 285 KUHP yang berbunyi:“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksaseorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diancamkarena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lamadua belas tahun.” 7Dari pasal 285 KUHP di atas, pelaku kekerasan terhadapperempuan dapat diancam hukuman pidana penjara paling lama duabelas tahun, akan tetapi dalam pasal ini tidak menyebutkan kategorikorban atau usia korban, hanya menyebutkan korbannya seorangwanita tanpa batas umur atau klasifikasi umur berarti seluruhklasifikasi umur termasuk lanjut usia maupun anak-anak dapatdikategorikan dalam pasal ini. Dalam hal pencabulan yangkorbannya anak di bawah umur berarti dapat diatur dalam Pasal ini.b. Pasal 286 KUHP yang berbunyi:7 Ibid., pasal 285 KUHP.49


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukanistrinya, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaanpingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara palinglama sembilan tahun.” 8Pengaturan pada pasal ini ialah apabila pelaku kekerasan terhadapperempuan melakukan pemenuhan hasrat seksualnya bukan dengancara kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan dengan carameminumkan suatu zat atau obat yang membuat korbannya pingsanatau tidak berdaya, pelaku dapat diancam dengan pidana penjarapaling lama sembilan tahun.I. Perlindungan dan Pembinaan Korban Kekerasan SeksualSeperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa korbanperkosaan adalah seorang perempuan yang pada umumnya mempunyaisifat kejiwaan yang lemah. Pascakejahatan perkosaan yang menimpadirinya telah menimbulkan berbagai tekanan baik yang terjadi secaralangsung maupun tekanan dalam jangka panjang. Tekanan yang terjadisecara langsung merupakan reaksi paska perkosaan seperti perasaanmalu, takut, kesakitan fisik dan tidak berdaya. Sedangkan tekananjangka panjang yang jelas akan mempengaruhi masa depan merekaadalah gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatutrauma yang memulihkan atau membangkitkan kepercayaan diri merekadalam bersosialisasi dengan masyarakat.I.S. Susanto berpendapat, “Kejahatan kekerasan terhadapwanita, khususnya perkosaan di satu sisi dipandang sebagai kejahatanyang sangat merugikan dan mencemaskan, bukan saja wanita tetapijuga masyarakat dan kemanusiaan, namun di sisi lain terdapat realitassosial-budaya yang justru “menyuburkan” perkosaan seperti mitosmitosyang berkaitan dengan jenis kelamin, “budaya diskriminatif”,“budaya tukang sulap”, budaya hukum yang “tidak adil.” 9Praktek peradilan di Indonesia belum sepenuhnya memberikanjaminan perlindungan hukum terhadap korbannya yaitu perempuan.Pada tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan seperti korbanperkosaan dilakukan dengan tidak memperhatikan hak-hak asasikorban. Sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hukum oleh hakim,korban kembali dikecewakan karena putusan yang dijatuhkan padapelaku cukup ringan atau jauh dari memperhatikan hak-hak asasiperempuan.Di Indonesia, hingga saat ini perlindungan hukum danpembinaan korban kekerasan seksual sangat disayangkan, karena masihhlm. 74.8 Ibid., pasal 286 KUHP.9 Susanto, I.S., Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011),50


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>belum ditanggapi secara sungguh-sungguh bersama dan secara resmiterbuka.Penyelesaian permasalahan dan pelayanan terhadap para korbankekerasan seksual, sebagai suatu tindakan individu dipengaruhi olehbeberapa unsur struktur sosial tertentu dari suatu masyarakat tertentu.Beberapa unsur struktural sosial tersebut adalah sebagai berikut:a. Kepentingan (yang dapat menjadi motivasi);b. Lembaga sosial;c. Nilai-nilai sosial;d. Norma-norma;e. Status;f. Peran dan sebagainya.Nilai-nilai sosial dan norma yang berlaku sebagai aspek sosialbudaya mempunyai pengaruh yang cukup banyak pada penyelesaianpermasalahan dan pelayanan terhadap para korban perkosaan maupunpara pelaksana perkosaan sebagai suatu tindakan individu. Misalnya:a. Tidak adanya keberatan pemerkosaan terhadap golongan lain,musuh. Dengan akibat terlantarnya korban perkosaan tersebut.b. Kesediaan jaksa memperjuangkan dan hakim memutuskan adanyaganti kerugian untuk pihak korban.c. Kesediaan anggota masyarakat dari berbagai lapisan masyarakatmemperjuangkan jaminan untuk para korban kekerasan seksualdapat melaksanakan hak dan kewajiban demi menegakan keadilandan pengembangan kesejahteraan dan sebagainya.Dengan demikian hal-hal negatif dibuang dan yang positifdikembangkan sebagai pendukung usaha-usaha pelayanan terhadapkorban yang bersangkutan. Misalnya, mengenai gotong royong,tanggung jawab bersama masyarakat dan tanggung jawab individu yangpositif. Maka akan dicegah penelantaran korban perkosaan. Terutamaanak-anak yang tergolong pada golongan lemah mental, fisik, dan sosialyang tidak mampu melindungi dirinya sendiri.Masalah korban bukanlah masalah baru, hanya saja selama inimerupakan salah satu subjek yang paling diabaikan dalam studimengenai kejahatan dan dalam pelaksanaan keadilan pidana. Hal inijuga merupakan gejala umum di negara-negara lain, baik di negara yangsudah berkembang dan yang sedang berkembang. Berhubung masalahkorban ini diakui sebagai masalah universal kemanusiaan, maka antaralain telah diadakan kegiatan memperbincangkan bersama secarainternasional pada simposium mengenai korban viktimologi diYerusalem 1973 dalam First International Symposium on Victimologi.Selanjutnya diadakan pada tanggal 5-11 September 1976 di BostonMassachusette, Amerika. Bila kita ingin menanggapi suatu kejahatan,51


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>delikuensi dan deviasi menurut proporsi yang sebenarnya denganmeninjau secara dimensional, maka si korban tidak boleh diabaikandalam terjadinya kejahatan, delinkuensi, dan deviasi.J. Kesimpulan dan Saran1. Dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang dapatmempengaruhi terjadinya tindak pidana kekerasan seksual antaralain adalah faktor sosial, faktor pendidikan, faktor psikologi, faktorlingkungan, dan faktor calon korban.2. Adapun penerapan sanksi pidana pada kasus pencabulan dankekerasan seksual adalah sebagai berikut:a. Pada pasal 285 disebutkan bahwa, pelaku kekerasan seksualterhadap perempuan dapat diancam maksimal dua belas tahunpenjara.b. Pada pasal 286 disebutkan bahwa, pelaku pencabulan terhadapperempuan dapat diancam maksimal Sembilan tahun penjara.Saran penulis untuk mengurangi dan memberantas tindakpidana kekerasan seksual terhadap perempuan adalah sebagaiberikut:1) Diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemendi masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikanpositif. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelolastasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruhmedia (terutama TV) terhadap perilaku masyarakat cukupbesar. Berbagai tayangan kriminal di berbagai satsiun TVtanpa kita sadari telah menampilkan potret-potretkekerasan yang tentu akan berpengaruh pada pembentukmental. Selain itu, para pekerja sosial yang peduli dalammasalah kekerasan seksual dapat menyelenggarakanpenggalangan kesadaran akan pentingnya mengetahui hakhakasasi wanita. Hal ini dapat dilakukan denganmelakukan penyuluhan mengenai kiat-kiat mencegahpelecehan seksual. Peran penyedia layanan kesehatanterutama dokter sangat penting dan juga peran pemerintahdalam memberikan rasa aman yang kurang sangatberpengaruh terhadap adanya kekerasan seksual.2) Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuhterhadap kemashlahatan rakyatnya, termasuk dalam hal iniadalah menjamin masa depan bagi generasi penerus.Pemerintah dirasa sangat perlu memperbaiki undangundang,terutama mengenai hak-hak wanita. Memperberathukuman bagi pelaku dan memberikan pendidikanmengenai kekerasan seksual pada wanita dan remaja putri.Sehingga paradigma kekerasan dan pelecehan seksual52


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>sebagai sesuatu yang lumrah dilakukan menjadi hilang.Masyarakat perlu menggalang kekuatan yang dapatmenekan pemerintah untuk segera mengatasi masalah inidengan melibatkan pekerja sosial atau dunia internasionalyang peduli pada masalah kekerasan terhadap wanita.DAFTAR PUSTAKAHamdan, M. 1997. Persepsi Masyarakat Tentang Tindak PidanaKesusilaan Dalam Rangka Perumusan Pasal Perzinahan UntukPembaharuan <strong>Hukum</strong> Pidana <strong>Nasional</strong>.Mamudji, Sri. 2005.Metode Penelitian dan Penulisan <strong>Hukum</strong>. Depok:Badan Penerbit FH Universitas Indonesia.S, Samitutidan Bangong Suyanto. 1999.Anak Jalanan di Jawa Timur(Masalah dan Upaya Penanganannya). Surabaya: AirlanggaUniversity Press.Soerocibroto, R. Soenarto. 2003.KUHP dan KUHAP, Cet. 5. Jakarta:Raja Grafindo Persada.Susanto, I.S. 2011.Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing.Wahid, Muladi. 2001. Memperketat Delik Susila (PerlindunganTerhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak AsasiPerempuan)). Bandung: Refika Aditama.Wahid, A dan M. Irfan. 2001. Perlindungan terhadap Korban KekerasanSeksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Malang:Refika Aditama.http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5378ba7058483/lima-belasbentuk-kekerasan-seksual53


KOMISI 2HUKUM FORMIL


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>TINJAUAN HUKUM FORMILMENGENAI KEKERASAN SEKSUALOleh: Fakultas Syariah dan Ilmu <strong>Hukum</strong> Universitas Islam NegeriSultan Syarif Kasim RiauA. Latar BelakangHakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusiaIndonesia seutuhnya dan seluruhnya dengan Pancasila sebagai dasar.Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruhnya, bermaknabahwa pembangunan tersebut mencakup pembangunan jasmani danrohani atau lahir dan batin. Hal ini juga tersirat dalam lirik lagukebangsaan “Indonesia Raya”. Jiwa dan badan, rohani dan jasmanimerupakan satu kesatuan utuh pada diri manusia yang dapat dibedakantetapi tak dapat dipisahkan.Dengan demikian, pembangunan manusia Indonesia seutuhnyadimaksudkan bahwa pembangunan jiwa dan pembangunan badan,dilakukan serentak atau bersamaan. Berkenaan dengan “pembangunanmanusia Indonesia seutuhnya”, Bab IV huruf B butir 1 GBHNmerumuskan antara lain yaitu: yang pertama, menumbuhkan sikap dantekad kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangkameningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkankesejahteraan lahir batin yang selaras, adil, dan merata.Kesejahteraan lahir batin tidak terlepas dari semua aspekkehidupan penghidupan manusia termasuk rasa aman dan tenteram yangdapat dicapai jika kesadaran masyarakat terhadap kewajiban danmenghargai hak orang lain telah dipahami dan dihayati sehinggapenegakan hukum dan keadilan berdasarkan kebenaran telah merupakankebutuhan bersama, kebutuhan seluruh anggota masyarakat.B. Pelaksanaan <strong>Hukum</strong> Formil Mengenai Kekerasan SeksualMenurut Enchede-Hijder yang meninjau hukum pidana sebagaiobjek studi, pengertian hukum pidana dapat dibagi menjadi dua bagianyaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. <strong>Hukum</strong> pidanamateriil berarti isi atau substansi hukum pidana. Disini hukum pidanabermakna abstrak atau dalam keadaan diam. <strong>Hukum</strong> pidana formil atauhukum acara pidana bersifat nyata atau konkret. Disini kita lihat hukumpidana dalam keadaan bergerak, atau dijalankan atau berbeda dalamsuatu proses, oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana. 11 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik <strong>Hukum</strong> Pidana, (Jakarta:SinarGrafika, 2005), hlm. 2.54


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Selain itu, Simons juga membagi hukum pidana dalam arti luasyaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Ia mengatakanbahwa hukum pidana materiil mengandung petunjuk-petunjuk danuraian tentang delik, peraturan-peraturan tentang syarat-syarat hal dapatdipidananya seseorang, penunjukan orang yang dapat dipidana danketentuan tentang pidananya, serta siapa dan bagaimana orang itu dapatdipidana. Sedangkan hukum pidana formil, menurut Simons, yaitumengatur tentang bagaimana cara negara dengan perantara parapejabatnya menggunakan haknya untuk memidana.Perbedaannya dengan rumusan Van Bemmelen, ialah VanBemmelen merinci tahap-tahap hukum acara pidana itu yang dimulaidengan mencari kebenaran dan diakhiri dengan pelaksanaan pidana dantindakan tata terbit. Definisi tentang hukum materiil dirumuskan jugaoleh Pompe, yang mirip dengan rumusan Simons namun lebih singkatyaitu keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukkanperbuatan-perbuatan mana yang seharusnya terdapat.Hazewinkel-Suringan menyatakan bahwa ius poenale (hukumpidana materiil) adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandunglarangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnyadiancam dengan pidana (sanksi hukum). Jika kita membagi hukum itumenjadi hukum publik dan hukum privat, maka hukum pidana menjadihukum publik. Hal ini baru berlaku dewasa ini, dahulu Eropa danIndonesia tidak memisahkan hukum publik dan hukum privat. 2Lambat laun muncul pengertian hukum publik yang jugatermasuk di dalamnya hukum pidana dimana yang utama ialahkepentingan umum. Bukanlah orang seorang yang bertindak jika terjadipelanggaran hukum, tetapi alat-alatnya. Apabila kepentingan umumberhadapan dengan kepentingan pribadi, maka kepentingan umum haruslebih diutamakan. Pada hukum pidana formil (hukum acara pidana)corak hukum publiknya lebih nyata lagi daripada hukum pidana materiilkarena jika terjadi pelanggaran hukum pidana yang bertindak menyidikdan menuntut ialah alat negara (polisi dan jaksa). Namun terdapatbeberapa pengecualian, misalnya dalam delik aduan, alat negara hanyabertindak jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.Simons berpendapat bahwa hukum pidana termasuk hukumpublik karena mengatur hubungan antara individu dan masyarakat ataunegara dan dijalankan untuk kepentingan masyarakat serta hanyaditerapkan jika masyarakat itu sungguh-sungguh memerlukannya.Selanjutnya Van Bemmelan mengajukan pendapat bahwahukum pidana itu merupakan ultimum remedium (obat terakhir). 32 Ibid, hlm. 4.3 Soenarto Soerodibroto, KUHP DAN KUHAP, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 169.55


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Artinya, kalau bagian lain dari hukum itu tidak cukup untukmenegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukumpidana diterapkan. Istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasaBelanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya yaitu straf. Istilahhukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata,administratif, disiplin, dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikansempit yaitu berkaitan dengan hukum pidana. Tujuan hukum pidanatidak melulu dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi juga dapat berupaupaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan.Tujuan hukum pidana lainnya adalah reformasi. Reformasiberarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baikdan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperolehkeuntungan dan tiada seorang pun yang merugi jika penjahat menjadibaik. Reformasi perlu digabung dengan tujuan yang lain sepertipencegahan. Akan tetapi, terdapat banyak kritikan bahwa reformasitidak selalu berhasil. Ketidakberhasilannya dapat dilihat dari banyaknyaresidivis setelah keluar dari penjara. Sehingga kiranya perlu adanyapeningkatan kualitas dari penjara itu sendiri.Berkaitan dengan tujuan pidana yang garis besarnya telahdisebutkan sebelumnya, maka munculah teori-teori mengenai haltersebut. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhanpidana:a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)b. Teori relatif atau tujuan (doeltheorien)c. Teori gabungan (verenigingstheorien)Teori yang pertama muncul pada abad ke-18, dianut antara lainoleh Immanuel Kant, Herbart, Stahl, Leo Polak, dan beberapa sarjanayang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan juga sarjanahukum Islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran qisas Al Quran.Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untukhal yang praktis seperti memperbaiki sifat penjahat, namun kejahatanitu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannyapidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan secara kejahatan. 4Variasi-variasi teori pembalasan juga diperinci oleh Leo Polakmenjadi:a. Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaanpemerintah negara (rechtsmacht of gezagshanddhaving)b. Teori kompensasi keuntungan (voordeelscompensatie)c. Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatuperbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan(onrechtsfustrering en blaam)2008), hlm. 1.4 Andi Hamzah, Asas-Asas <strong>Hukum</strong> Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,56


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>d. Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukume. Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginanberbuat yang bertentangan dengan kesusilaanf. Teori mengobyektifkanMenurut Leo Polak, pidana harus memenuhi 3 syarat:a. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatanyang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengankesusilaan dan tata hukum objektif 5b. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi jadipidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensic. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik,ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.Van Hamel menunjukkan bahwa prevensi khusus suatu pidanaialah:a. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegahpenjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakanniat buruknyab. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidanac. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidakmungkin diperbaikid. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertibhukumVan Bemmelan pun menganut Teori Gabungan denganmengatakan bahwa pidana bertujuan membalas kesalahan danmengamankan masyarakat. Tindakan mengamankan bermaksudmemelihara tujuan. Jadi tindakan keduanya bertujuan mempersiapkanuntuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.Selanjutnya di bawah ini akan diuraikan perkembangan mengenaikekerasan seksual.Kata “kesusilaan” sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiayang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan danditerbitkan oleh Balai Pustaka 1989 berarti “perihal susila” dan “susila”dimuat arti sebagai berikut:1. Baik budi bahasanya;2. Adat istiadat yang baik, sopan, santun, kesopanan, keadaban; dan3. Pengetahuan tentang adat;Kata “susila” dalam bahasa Inggris bisa berarti moral, ethics,dan decent. Akan tetapi, kata-kata tersebut biasa diterjemahkan berbeda.5 Ibid, hlm. 5.57


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Kata moral diterjemahkan dengan kata “moril”. Ethics diterjemahkandengan “tata susila” dan kata decent diterjemahkan dengan “patut”.Yang rumit dan selalu dicampurbaurkan adalah kata moral dan ethics.Kedua kata tersebut mengandung makna decent. Namun jika diamatidengan cermat, ternyata ethics lebih sempit dari pada moral dan nada didalam kata moral. 6Kata “moral dalam The Lexicon Webster Dictionary,dirumuskan artinya antara lain: “of or concerned with the principles ofright and wrong in conduct and character”. Behavior as to right orwrong, especially in relation to sexual matter. Jika diterjemahkan secarabebas, artinya adalah dari atau berkenaan dengan prinsip-prinsip benardan salah dalam berperilaku dan sikap atau tabiat. Kelakuan yang benaratau salah, khususnya dalam hubungan pada hal atau kejadian seksual.Sedang kata ethics dirumuskan artinya antara lain sebagaiberikut: “pertaining to right and wrong in conduct” (berkenaan dengansikap, tabiat, atau tingkah laku yang baik dan salah atau buruk). Baik“moral”, “etika” ataupun “hukum” pada hakikatnya merupakan“persepsi nilai” dari masyarakat. “Moral” merupakan pertimbangan atasdasar baik atau tidak baik sedang “etika” merupakan ketentuan ataunorma perilaku (Code of Conduct).Jika diamati berdasarkan kenyataan sehari-hari, persepsimasyarakat tentang arti “kesusilaan” lebih condong pada “ behavior asto right or wrong, especially in relation to sexual matter”. Namun, jikakita mengacu pada Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP), haltersebut nampaknya kurang tepat. Karena dalam KUHP, mengemis,menyiksa binatang, meminum minuman keras, serta melakukan juditermasuk Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan. Pun, hal tersebut jugatermuat dalam rancangan KUHP.Dengan demikian, makna dari “kesusilaan” adalah berkenandengan moral dan etika yang telah diatur dalam perundang-undangan.Namun, dengan gambaran yang demikian maka persepsi terhadap kata“kesusilaan” justru lebih membingungkan. Jika ditelaah, maka semuatindak pidana adalah bertentangan dengan moral maupun etika.Berdasarkan uraian tersebut, seyogyanya tindak pidana kesusilaan tidakdimasukkan hal-hal yang tidak berkenaan dengan “behavior in relationto sexual matter” agar dengan demikian perhatian dapat lebihdiputuskan pada pokok masalah.Kemajuan teknologi meningkatkan arus informasi antarnegara,antarbenua, bahkan antarbangsa sehingga perubahan budaya di Baratdengan cepat dapat diketahui di Timur, perubahan budaya di Eropa danAmerika dengan cepat dapat diketahui di Asia dan sebaliknya.6 Leden Marpaung, Op. Cit.58


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat turut mempengaruhiperkembangan kesusilaan. Jika dahulu orang membicarakan tentang sekstelah dianggap tabu, tetapi pada saat ini telah dibahas secara ilmiahdalam ilmu seksologi. Pada beberapa majalah, bahkan surat kabar harian,juga membahas tentang seks yang dimuat pada rubik tanya jawab ataurubrik seksologi.Demikian juga halnya dengan upaya peningkatan kesejahteraan,telah dilakukan Keluarga Berencana (KB) sehingga penggugurankandungan telah diperbolehkan dalam rangka pengendalianperkembangan atau pertambahan penduduk.Perkembangan hak-hak asasi manusia telah menitikberatkanbahwa “menikmati seks” merupakan hak orang dewasa sehinggahubungan seks yang dilakukan tanpa paksaan di sebagian negara didunia, merupakan perbuatan yang wajar. Dahulu, jika seorangperempuan dewasa melahirkan anak tanpa melakukan pernikahan atautanpa suami, adalah merupakan aib bagi keluarganya. Di beberapanegara saat ini, hal yang demikian, telah di anggap hak dari yangbersangkutan dan tidak dinilai sebagai perbuatan tercela.Perkembangan di dunia bisnis semakin menerapkan prinsipbahwa “pembeli adalah tuan” dan tidak memperhatikan lagi nilai-nilaikepatutan yang tumbuh di masyarakat, sebagai contoh, dewasa inibanyak tempat peristirahatan (hotel dan motel) yang disalahgunakanoleh sebagian anggota masyarakat untuk melakukan perbuatanperbuatanmaksiat karena pemilik tempat peristirahatan tersebut sudahtidak lagi menanyakan identitas pelanggan tamunya.Selanjutnya di bidang kesehatan, untuk mencegah menularnyapenyakit kelamin, sebagian masyarakat membagikan kondom ataumemperdagangkannya secara bebas, dan hal tersebut bukan lagimerupakan hal yang dianggap tabu.Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bagi segelintir wanitayang tidak memiliki keterampilan (skill), melakukan perbuatan jalanpintas dengan menjajakan dirinya di tempat-tempat tertentu di beberapakota. Berbagai masalah berkenaan dengan “behavior in relation tosexual matter” sedang dalam proses penilaian oleh masyarakat,khususnya mengenai hal-hal berikut:a. Banci yang melakukan operasi kelamin;b. Wanita atau pria yang mencintai atau merasakan rangsanganseksual sesama jenisnya (lesbian/gay); danc. Laki-laki bayaran yang dipelihara seorang wanita sebagai kekasih(gigolo)Perkembangan-perkembangan dalam aspek kehidupan ataupenghidupan manusia atau masyarakat akan berdampak perkembangannilai “kesusilaan” dan sepanjang masa, hal yang demikian tidak dapat59


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>dihindarkan. Kejahatan terhadap kesusilaan diatur pada Ban XIV KUHPyang terdiri dari pasal 281 sampai dengan pasal 303, sejumlah 25 pasaltetapi 3 pasal memuat hukuman tambahan atau pemberatan yakni pasal283 bis, pasal 291, pasal 298, dan 7 pasal tidak berkenaan dengan“behaviour in relation to sexual matter” yakni:1. Pasal 297 tentang memperniagakan perempuan atau laki-laki yangbelum dewasa2. Pasal 299 tentang dapat gugur kandungan karena pengobatan3. Pasal 300 tentang menjual atau memaksa meminum minuman yangmemabukkan4. Pasal 301 tentang perlindungan anak yang belum berusia 12 (duabelas) tahun dari pekerjaan mengemis5. Pasal 302 tentang penganiayaan ringan pada binatang6. Pasal 303 dan 303 bis tentang judiPada RUU KUHP yang dirumuskan oleh Panitia PenyusunanRUU KUHP 1991/1992, dan disempurnakan pada tahun 1993, terdapatpola pikir yang tidak berubah. Di dalam RUU KUHP terdapat beberapapasal tambahan yang mengatur perbuatan yang belum diatur KUHP,namun perlu diamati ulang dengan memperhatikan hak asasi manusiayang saat ini pengaruhnya tidak dapat diabaikan. Tampaknya RUUKUHP tersebut masih sulit diterima oleh sebagian pakar ataumasyarakat.Mengubah suatu undang-undang, bukan hal yang tidak sulitterutama dengan mengubah sistem dan pola pikir, akan memerlukanbiaya yang tidak sedikit. Pasal terkait kesusilaan yang tidak berkenaandengan “behaviour in relation to sexual matter”, menurut hemat penulisagar dipisahkan dari Kejahatan Terhadap Kesusilaan, misalnyamemperniagakan perempuan atau laki-laki, mengemis, dan lain-lainyang dapat merusak harkat dan martabat manusia menjadi “KejahatanTerhadap Harkat dan Martabat Manusia.” 7Demikian halnya tentang “judi”, jika diamati berita-beritadalam media massa, maka judi dari tahun ke tahun masih merupakanmasalah yang selalu timbul dalam masyarakat. Seyogyanya judi yangdiizinkan seperti domino, bridge, ceki, koah, dan pei perludipertimbangkan untuk dihapuskan dan sebaiknya judi lebih tepatmenjadi bab tersendiri di dalam KUHP.Namun sebagian para pakar berpendapat bahwa perbuatanperbuatanmaksiat, termasuk minuman-minuman keras yang dapatmemabukkan dan judi telah menjadi satu kesatuan dengan kejahatandalam arti bahwa pengaruhnya terhadap terjadinya kejahatan, sangat7 Ismail Rumadan, Kriminologi, (Yogyakarta:Grha Guru, 2007), hlm.13.60


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>besar. Selain daripada itu, mabuk dan main judi bertentangan dengankesusilaan. Hal ini dirumuskan dalam pasal 289 KUHP yaitu sebagaiberikut:“Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancamankekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkandilakukan padanya perbuatan cabul, dihukum karena salahnyamelakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukumanpenjara selama-lamanya sembilan tahun.”Makna kata “cabul” tidak dimuat di dalam KUHP, namunmenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sebagai berikut: “kejidan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan dan/atau kesusilaan)”.Dalam kamus lengkap Prof. Dr. S. Wojowasito dan Drs. Tito Wasitodimuat artinya dalam bahasa Inggris.: “indecent, dissolute,pornographical”. Umumnya, cabul diterjemahkan dengan “dissolute”.Pada The Lexicon Webster Dictionarydimuat artinya: “Loss in behaviorand morals”.Mr. J. M. Van Bemmelen terhadap arti kata “cabul”mengutarakan antara lain: “Pembuat undang-undang sendiri tidakmemberikan keterangan yang jelas tentang pengertian cabul danperbuatan cabul dan sama sekali menyerahkan kepada hakim untukmemutuskan apakah suatu tindakan tertentu harus atau dapat dianggapsebagai cabul atau tidak”.Pada RUU KUHP, pasal 289 KUHP diambil alih pada pasal390 (14.14) yang pada penjelasan resmi berbunyi sebagai berikut:Pasal ini sama dengan pasal 289 KUHP. Disini tindak pidananyaadalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksaseseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinyaperbuatan cabul. Yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialahsegala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atauperbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsuberahi kelamin.Sebagai tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanyamemaksa seseorang melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksaseseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan membiarkandilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan untukmenunjukkan sifat berat dari tindak pidana sebagai perbuatan yangsangat tercela, maka diadakan minimum khusus dalam ancamanpidananya.Ancaman pidana dalam KUHP maupun pada RUU KUHPadalah sama yakni sembilan tahun penjara. Sebagaimana pada“perkosaan”, kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut, harus dapat61


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>dibuktikan. Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada RUU KUHPadalah dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya:a. Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita danmenyentuhnya pada alat kelaminnya. (Hoge Raad 15-2-1926)b. Seorang laki-laki meraba badan seorang anak laki-laki dankemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapatmengelus teteknya dan menciuminya. Pelaku melakukan haltersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya. (Hoge Raad tanggal28-5-1963 N. J. 1964 No. 108)C. Sebab Tidak Terlaksananya <strong>Hukum</strong> Formil MengenaiKekerasan SeksualKekerasan seksual masih sering terjadi di masyarakat. Contohkonkretnya adalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorangoknum kepala sekolah pada 23 September <strong>2014</strong> di Rohul, Riau.Kejadiannya berawal dari seorang murid SD yang sedang melaksanakanpiket membersihkan ruang kelas dan kepala sekolah tersebut melewatidepan ruangan dimana murid tersebut melaksanakan piket kebersihan.Oknum kepala sekolah tersebut langsung menghampiri korban, danpelaku langsung memeluk korban dari belakang. Tidak hanya itu yangdilakukan pelaku, pelaku juga menciumi dan memegang dada dan alatvital korban. Sang korban langsung meronta-ronta untuk melepaskandiri, tapi korban diancam supaya tidak mengadukan kejadian tersebutkepada pihak guru. Dan akhirnya korban pulang dan menceritakansemua yang dialaminya kepada orang tuanya. Pihak keluarga tidakterima dan mengadukan kejadian tersebut ke pihak yang berwajib,supaya pelaku dikenakan hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku. 8Pada kenyataannya, kejahatan terhadap kekerasan seksual kerapterjadi di masyarakat, hal ini berdasar pada banyaknya kasus kejahatankekerasan seksual di masyarakat. Dengan demikian pasal 289 KUHPperlu ditegaskan penerapannya agar menimbulkan efek jera terhadappelaku. Selain itu, upaya perlindungan terhadap korban dan upayaperlindungan terhadap korban perlu diperhatikan secara ketat. Olehkarena itu, terdapat perlindungan korban dan saksi yang tertuang didalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang PerlindunganSaksi dan Korban, berdasarkan pada:1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;2. Rasa aman;3. Keadilan;4. Tidak diskriminatif; dan5. Kepastian hukum.8Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta:Kencana,2003),hlm.233.62


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Dalam hal ini kita menyadari bersama bahwa KUHAP lebihmengutamakan hak-hak tersangka atau terdakwa. Namun demikian,terdapat beberapa asas KUHAP yang dapat dijadikan landasanperlindungan korban, misalnya:1. Perlakuan yang sama didepan hukum2. Asas cepat, sederhana, dan biaya ringan3. Peradilan yang bebas4. Peradilan yang terbuka untuk umum5. Ganti kerugian6. Keadilan dan kepastian hukumTujuan perlindungan saksi dan korban adalah untukmemberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalammemberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana (vide pasal4 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksidan Korban). Rasa aman di sini dapat diartikan bebas dari ancamansehingga tidak merasa terancam atau terintimidasi haknya, jiwa, raga,harta, serta keluarganya.Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkanakibat baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan saksidan/atau korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atautidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberiankesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana (vide pasal 1 butir 4Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi danKorban). Bentuk ancaman tidak hanya fisik, tetapi juga psikis ataubentuk lain misalnya ekonomis, politis, dan sebagainya. Rasa aman agarproses peradilan pidana dapat berjalan sesuai cita-cita peradilan danmemenuhi rasa keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum.Jika asas dan tujuan perlindungan dilaksanakan secara baik,bukan saja korban dan saksi yang mendapat perlindungan tetapi lebihluas lagi. Tentu saja masyarakat, bangsa, dan negara terlindungi dannegara dianggap telah melaksanakan kewajibannya melindungiwarganya dengan baik.Hal ini merupakan salah satu tujuan negara yang termaktubdalam pembukaan Undang-undang Dasar Tahun 1945, yaituPemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsaIndonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Akan tetapi, dalampraktek pidana selama ini, terlihat negara lebih banyak memihak kepadatersangka atau terdakwa. Diharapkan korban juga dapat berperan dalampencegahan dan pemberantasan tindak pidana atau kejahatan. Padagilirannya akan tercapai tujuan yang lebih mendasar, bukan saja63


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>keadilan, kepastian hukum dan ketertiban, tetapi lebih dari itu yaitusuatu welfare state. 9Setiap warga negara mempunyai hak-hak dan kewajiban yangtertuang dalam konstitusi maupun perundang-undangan lainnya. Hakdan kewajiban juga ada dalam hukum adat tidak tertulis atau padakehidupan sehari-hari. Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajibanharus dilakukan dengan seimbang. Agar tidak terjadi konflik beberapahak yang diatur dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 yangberlandas perlindungan korban dan saksi telah ditulis pada Sub Bab A.<strong>Hukum</strong> acara pidana (formil) mengatur berbagai hak dari tersangkadan/atau terdakwa. 10Sudah seharusnya pihak korban mendapat perlindungan,diantaranya dipenuhinya hak-hak korban meskipun diimbangimelaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada. Untuk mengetahui hakhakkorban secara yuridis dapat dilihat dalam perundang-undangan.Salah satunya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006. Pasal 5 Undangundangtersebut menyebutkan beberapa hak korban dan saksi yaitu: 11a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, danharta bendanya. Serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengankesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannyab. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentukperlindungan dan dukungan keamananc. Memberikan keterangan tanpa tekanand. Mendapat penerjemahe. Bebas dari pertanyaan menjeratf. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasusg. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilanh. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskani. Mendapat identitas baruj. Mendapatkan tempat kediaman baruk. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengankebutuhanl. Mendapat nasihat hukumm. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktuperlindungan berakhirBerdasarkan analisa data diatas maka hasil riset mengenaipenelitian diatas adalah bahwa implementasi hukum acara pada kasuskekerasan seksual belum terlaksana. Hal ini didasarkan dengan masih9 Ilhami Basri, Sistem <strong>Hukum</strong> Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2012), hlm. 39.10 Agus Santoso, <strong>Hukum</strong>, Moral 7 Keadilan, (Jakarta: Kencana, 2012),hlm. 2.11 Topo Santoso, Kriminologi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada).64


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>banyaknya kasus yang terjadi dimasyarakat mengenai tindak kekerasanseksual, yang terjadi terhadap masyarakat mulai dari kalangan anakanak,remaja, dewasa hingga tua. Contohnya adalah kasus yang terjadidi Pekanbaru sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas.Setelah kasus tersebut diproses, tidak terdapat perhatian khususterhadap pelaku dan si korban. Justru peristiwa tragis tersebut dibiarkanbegitu saja lalu selanjutnya muncul lagi kejadian yang sama. Itulahsistem penerapan hukum Indonesia saat ini. Sebagai warga negara yangbaik tentu kita harus memperhatikan kejadian-kejadian di lingkungansetempat, jika terdapat tindak kejahatan atau pun pelanggaran segeralakukan laporkan kepada yang berwajib, ini adalah salah satu buktikecintaan kita terhadap negara Indonesia yang mendambakankesejahteraan (welfare state). 12Tidak terlaksananya hukum formil disebabkan karena kinerjaaparat hukum yang tidak maksimal dan kurang sadar serta pedulinyakita sebagai Warga Negara Indonesia akan adanya sistem hukum. Kerapkali aturan yang ada sering dilanggar dan dianggap remeh, kebiasaaninilah yang seharusnya dihapus dari dalam diri dan ditanamkanpemahaman yang lebih baik sehingga memberikan manfaat yang lebihbaik untuk tanah air. Caranya adalah dengan menanamkan perubahandimulai dari diri sendiri dan tanamkan kesadaran agar tercapainyatujuan hukum yaitu untuk kemanfaatan, keadilan, dan kepastian.D. Kesimpulan dan SaranSalah satu wujud perlindungan oleh negara adalahpenyelenggaraan peradilan. Warga negara mempunyai hak dankewajiban yang tertuang dalam konstitusi maupun perundangundangan.<strong>Hukum</strong> acara pidana (formil) mengatur berbagai hak daritersangka dan/atau terdakwa. Sudah seharusnya pihak korban mendapatperlindungan diantaranya dipenuhinya hak-hak korban meskipundiimbangi melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada. UndangundangNomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia(HAM) mengatur secara khusus perlindungan korban dan saksi padaBab V pasal 34.Dilanjutkan dengan penegasan pemberian kompensasi, restitusi,dan rehabilitasi. Bentuk atau jenis perlindungan adalah fisik, mental,dan sebagainya yang dilaksanakan oleh aparat terkait. Perlindunganhukum dan aspeknya merupakan salah satu hak korban dan saksi. Dariuraian diatas sudah dipaparkan bahwa korban dan saksi seakanterabaikan, bahkan juga di dalam peraturan KUHAP yang dianggapmenjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Antara lain menjelaskan40,12 Bambang Waluyo, Viktimologi, (Jakarta:Sinar Grafika, 2011), hlm.65


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>bahwa alasan perlindungan korban dan saksi, secara khusus diatursubstansi yang terkait dengan perlindungan korban dan saksi dalamberbagai perlindungan. Pengaturan bersifat umum dan khusus tetapisecara terbatas KUHAP mengatur pula hak korban dan saksi untukmendapat gambaran mendalam.Terdapat ketentuan berkenaan perlindungan korban dan saksiyang diatur KUHAP. Bab XIII tentang penggabungan perkara gantikerugian pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP. Prosedur dansubstansi pengaturan dianggap mengandung kelemahan-kelemahan.Pada praktiknya, juga jarang dan bahkan hampir tidak pernah dilakukanpenggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Hal ini terjadi antara lainkarena korban tidak mengetahui haknya dan penuntut umum tidakmemberitahukan hak tersebut kepada korban.Semoga makalah yang dibuat bermanfaat untuk kita semua danapabila terdapat kesalahan dalam penulisan ataupun kata-kata yangkurang tepat kami minta maaf.DAFTAR PUSTAKABisri, Ilhami. 2012. Sistem <strong>Hukum</strong> Indonesia. Jakarta:Rajawali Pers.Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas <strong>Hukum</strong> Pidana. Jakarta:Rineka Cipta.Marpaung, Leden. 2004. Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Jakarta:SinarGrafika Offset.Marpaung, Leden. 2005. Asas Teori Praktik <strong>Hukum</strong> Pidana.Jakarta:Sinar Grafika.Rumadan, Ismail. 2007. Kriminologi. Yogyakarta:Graha Guru.Santoso, Agus. 2012. <strong>Hukum</strong> Moral & Keadilan. Jakarta:KencanaPrenada Media Group.Santoso, Topo. 2001. Kriminologi. Jakarta:Raja Grafindo Persada.Suyanto, Bagong. 2003. Masalah Sosial Anak. Jakarta:Kencana.Soerodibroto, R.Soenarto. 2009. KUHP dan KUHAP. Jakarta:RajawaliPers.Santoso, Wahyu. 2011. Viktimologi. Jakarta:Sinar Grafika.66


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAKDAN UPAYA HUKUM DI INDONESIAOleh: Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Muhammadiyah SurakartaAbstrakAnak adalah mereka yang masih berumur dibawah 16 (enam belas)tahun dan belum atau pernah menikah. Anak adalah elemen yangpenting karena merekalah kelak yang akan mewarisi yang kita punyahari ini. Tapi sayangnya, mereka telah diberikan kecacatan oleh oknumorang dewasa dengan kekerasan seksual yang mereka lakukan.Kekerasan seksual adalah segala bentuk hubungan atau interaksiantara anak dan orang dewasa (atau anak lainnya yang sebaya atauremaja) yang menggunakan si anak untuk simulasi seksual dari pelakuatau pengamat. Sayangnya, masih bayak kasus kekerasan seksualterhadap anak hanya sedikit yang tereskspos. Hal ini juga berkaitandengan hukum yang ada di Indonesia. Berbicara tentang hukum diIndonesia, hukum harus mampu memberikan pencegahan dan efek jeraterhadap perilaku dan pelaku kekerasan seksual.A. Latar BelakangDalam Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Pidana, anak adalahmereka yang masih berumur dibawah 16 tahun dan belum atau pernahmenikah. 1 Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentangSistem Peradilan Anak, yang dimaksud anak-anak di sini adalah merekayang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum atau pernahmenikah, dan anak yang dapat bertanggung jawab mengenai tindakanpidananya adalah mereka yang sudah berusia 14 (empat belas) tahun. 2Dalam Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Perdata, anak adalah mereka yangmasih berumur dibawah 21 (dua puluh satu) tahun dan belum ataupernah menikah. 3Anak adalah seseorang yang harus benar-benar kita lindungidan kita bimbing dari sejak mereka kecil. Oleh karena itu, pemerintahdengan segala usahanya membuat peraturan ataupun undang-undangyang mengatur tentang anak. Entah anak itu sebagai pelaku ataupunkorban.1 Pasal 45 KUHP.2 Pasal 1 ayat 3 dan pasal 69 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun2012 tentang Sistem Peradilan Anak.3 Pasal 330 KUHD.67


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Namun sayangnya, kepolosan dan keluguan anak-anak seringdimanfaatkan dan disalahgunakan oleh orang dewasa. Anak-anak yangseharusnya menjadi objek arahan dan dibimbing ke sikap yang baik,tetapi pada kenyataannya mereka dijadikan objek kekerasan, pelecehan,eksploitasi birahi dan seksual oleh orang remaja atau dewasa yang tidakpunya hati nurani dan “akal sehat”. Anak-anak yang merupakan penerusbangsa dan berhak mendapatkan masa depan yang baik dan layakkenyataannya masa depan mereka direnggut oleh tangan-tangan nakalyang tidak tahu malu yang hanya memikirkan cara menyalurkan nafsu“binatang”-nya saja.Anak-anak belia yang mempunyai masa depan panjang dandigadang-gadang menjadi penerus bangsa yang seharusnya benar-benardicetak menjadi penerus yang cerdas dan kreatif tetapi karena ulahoknum-oknum orang dewasa atau remaja masa depan merekadihancurkan begitu saja. Seolah mereka tidak lagi diberi kesempatanuntuk merasakan bagaimana kehidupan mereka selanjutnya. Pelakupelecehan seksual dengan teganya dan tanpa menggunakan logika danakal pikirannya berperilaku layaknya “monster” penghancur masadepan korbannya.Dewasa ini, banyak sekali muncul kasus pelecehan dankekerasan seksual terhadap anak-anak. Kasus yang berkaitan denganoknum cleaning service dan diduga terdapat oknum guru disebuahsekolah internasional di Jakarta pun pernah menjadi sorotan publik,bahkan publik sangat mengecam hal tersebut. Pasalnya, kasus tersebutselain mencoreng kelakuan manusia di zaman sekarang, hal itu jugamencoreng nama baik dunia pendidikan. Karena sejatinya, sekolahharuslah merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak,dan bukan tempat yang membuat masa depan mereka hancurberantakan.Bahkan, muncul sebuah kasus baru yang membawa namaseorang Raja di Surakarta yang sampai saat ini belum terselesaikan.Diduga, sang Raja mencabuli seorang siswi SMA hingga membuatsiswi itu hamil 7 bulan. Dan masih banyak kasus lainnya pelecehan dankekerasan seksual terhadap anak-anak di Indonesia.Lalu sebenarnya apa yang kurang dan salah di Indonesia?Anak-anak yang seharusnya dilindungi dan diberikan kasih sayang padanyatanya psikis dan raga mereka dianiaya oleh orang yang tidakbertanggung jawab.B. Bentuk Kekerasan SeksualKekerasan seksual pada umumnya adalah setiap tindakan atauperilaku atau gerak-gerik seksual yang tidak dikehendaki dalam bentukverbal (kata-kata) atau tulisan, fisik, tidak verbal, dan visual untukkepentingan seksual, memiliki muatan seksual, sehingga menyebabkan68


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>kemarahan, perasaan terhina, malu, tidak nyaman, dan tidak aman bagiorang lain. 4Pelecehan atau kekerasan seksual pada anak adalah kekerasanseksual pada anak (child sexual abuse) di mana terjadi aktivitas ataukontak seksual yang melibatkan anak atau remaja dengan orang dewasaatau bahkan sebayanya. Jadi sekali lagi, pelaku bisa saja orang yangsudah dewasa dan cukup umur, atau bisa saja seorang anak atauremaja. 5 Pelecehan seksual terhadap anak adalah segala bentukhubungan atau interaksi antara anak dan orang dewasa (atau anaklainnya yang sebaya atau remaja) yang menggunakan si anak untuksimulasi seksual dari pelaku atau pengamat. 6Dari beberapa pengertian di atas maka bentuk dari pelecehanseksual bukan hanya melalui sentuhan dan persetubuhan, melainkanbisa juga melalui lirikan yang terasa menyudutkan dan mengintimidasitubuh kita, melalui gambar-gambar porno, melalui lisan dan juga tulisanyang mengandung dan memuat unsur seksualitas. Tentunya pula jugamengandung unsur-unsur yang membuat tidak nyaman dan rasa risihdapat juga dikategorikan pelecehan seksual. Lebih parahnya lagi, jikapelecehan seksual memburuk menjadi eksploitasi seksual dimanatermasuk salah satunya adalah penjualan anak untuk tujuan prostitusidan pornografi.Namun, banyak anak-anak yang kebanyakan masih belummengerti dan belum cukup bisa untuk mawas diri mengenai bagaimanamodus operandi yang dilakukan dan juga korban tidak akan menyangkakalau ternyata orang terdekat merekapun dapat menjadi pelaku.Memang kebanyakan kasus dari pelecehan seksual terhadap anak-anakini adalah orang terdekat mereka bisa dari keluarga, tetangga, teman,saudara, guru, dan juga bisa dari orang yang mereka baru kenal.C. Sebab dan Akibat Kekerasan Seksual Terhadap AnakTidak habis pikir memang, kenapa anak-anak yang tidakberdosa menjadi objek kekerasan seksual dan komoditas prostitusi.Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa korban belummengetahui persis modus operandi apa yang digunakan oleh pelaku.Tetapi karena minimnya pengetahuan itu, korban dapat dengan mudahmasuk dalam perangkap pelaku. Kebanyakan kasus itu dimulai dari4Christina Yulita dkk, Pelecehan Seksual, diakses darihttp://sulapaluarit.blogspot.com/2012/07/pelecehan-seksual_22.html5 Info Psikologi, Apa Itu Pelecehan/Kekerasan Seksual pada Anak danApa Bentuk-bentuknya,diakses dari http://infopsikologi.com/apa-itu-bentukpelecehan-kekerasan-seksual-pada-anak-remaja/6 Christina Yulita dkk, Op. Cit.69


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>percakapan ringan, rayuan, penipuan, menjadi korban pemerkosaan danatau dikorbankan kepada orang lain untuk dijadikan objek pencabulan.Suyanto (2002) menjelaskan bahwa maraknya praktikperdagangan anak perempuan untuk tujuan seksual disebabkan berbagaifaktor, yaitu: pertama, adanya kepercayaan para konsumen (laki-lakihidung belang) bahwa berhubungan seks dengan anak-anak sebagaiobat kuat, obat awet muda dan mendatangkan hoki terntentu. Kedua,anak-anak dipandang masih bersih dari penyakit kelamin dan belumbanyak yang “memakainya” sehingga lebih menambah selerakonsumen. Faktor pertama dan kedua merupakan pandangan dariseorang pedofil yang menyukai untuk melakukan hubungan seksdengan anak-anak. Ketiga, orang tua terkadang memandang anakperempuan sebagai aset yang mendatangkan keuntungan, sehinggaorang tua sampai hati menjual anak perempuannya, khususnya untukharga keperawanannya. Keempat, pandangan seksualitas yang sangatmenekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberikesempatan bagi mereka yang sudah tidak perawan untuk menentukandirinya, hal ini seperti dua responden penulis yang terjerumus kedalamsindikat perdagangan perempuan (trafficking in women) karena dipaksapacarnya. Kelima, karena jeratan utang. Terkadang orang tua meminjamuang kepada germo yang sekaligus rentenir dengan bunga sangat tinggi.Ketika utang sudah jatuh tempo dan dan tidak dapat dikembalikan,maka anak perempuan yang berutang diminta bekerja kepada germotersebut, namun ternyata pekerjaan yang dimaksud sebagai pelayan sekslaki-laki hidung belang. Keenam, adanya kemiskinan struktural dandisharmoni keluarga yang dapat memicu depresi dan frustasi. 7Selain itu juga terdapat faktor lain seperti yang ditulis AbdulWahid dan Muhammad Irfan (2001:72), yaitu:1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargaietika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihaklain untuk berbuat yang tidak senonoh dan jahat;2. Gaya hidup atau pergaulan antara laki-laki dan perempuan yangsemakin bebas, kurang bisa lagi membedakan mana yangseharusnya boleh dikerjakan dengan mana yang dilarang dalamhubungannya dengan kaidah akhlak mengenai hubungan laki-lakidengan perempuan;3. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-normakeagamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilaikeagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasihorizontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah7Dalam: Huraerah, Abu. 2007. Child Abuse (Kekerasanterhadap Anak). Bandung: Penerbit Nuansa.70


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat danmerugikan orang lain;4. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinyaberbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggarhukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi danpengawasan dari unsur-unsur masyarakat;5. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti sanksi yang dirasaringan yang dijatuhkan kepada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapatmendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat kejidan jahat. Artinya, mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasatakut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya;6. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsuseksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara danmenuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya; dan7. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendamterhadap sikap, ucapan (keputusan), dan perilaku korban yangdianggap menyakiti dan merugikan.Tentunya yang merasa paling dirugikan di sini adalah korban.Akibat yang paling dirasakan adala berimbas pada kondisi psikis danmental korban, terlebih lagi korban di sini adalah seorang anak yang diusia mereka belum mampu melakukan hubungan intim.Yang paling fatal adalah bila kejadian pelecehan tersebut sangatmengganggu psikis korban. Akan ada reaksi pergulatan di hati danpikiran mereka. Mereka akan merasa ketakutan dan bertanya-tanya padadiri mereka sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi, mengapa hal itubisa terjadi dan menimpa diri mereka, dan mereka akan bertanyamengapa seperti ini. Di sinilah puncaknya, mereka akan perlahan-lahanmenarik diri dari masyarakat bahkan dari keluarga sendiri. Bahkankorban tiba-tiba dapat berubah menjadi ketakutan terhadap suatu hal.Rusmil (2004:61) mengemukakan bahwa anak-anak yangmenderita kekerasan, eksploitasi, pelecehan, dan penelantaranmenghadapi risiko:1. Usia yang lebih pendek2. Kesehatan fisik dan mental yang buruk3. Masalah pendidikan (termasuk drop out dari sekolah)4. Kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak5. Menjadi gelandanganAkibat lain yang mungkin dapat menimpa korban adalahsebagai berikut:1. Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berhargaakibat kehilangan kehormatannya di mata masyarakat. Korban akanmerasa gelisah sepanjang waktu, kehilangan rasa percaya diri, tidak71


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>lagi ceria, sering melamun, menutup diri, menjauhi lingkungan,menjauhi keramaian, tumbuh rasa benci (antipati) terhadap lawanjenis, curiga yang berlebihan terhadap orang lain, dan akanmenyisakan rasa trauma yang sangat mendalam;2. Kehamilan yang mungkin dapat terjadi;3. Penderitaan fisik, artinya akibat dari kekerasan seksual tersebutakan menimbulkan luka pada diri korban, buruknya lagi apabilasampai tertular penyakit kelamin;4. Tumbuh rasa kekurangan kepercayaan pada penanganan aparatpraktis hukum, bilamana kasus yang ditanganinya lebih banyakmenyita perhatiannya, sedangkan penanganan kepada tersangkaterkesan kurang sungguh-sungguh. Korban merasa diperlakukansecara diskriminatif dan kondisinya akan semakin menderitakejiwaannya dan lemah mentalnya akibat ditekan secara terusmenerusoleh proses penyelesaian perkara yang tidak kunjungberakhir; dan5. Merasa tidak berharga dan putus asa dengan keadaan. Bisa sajakorban memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, atau bisa sajakorban terjerumus dalam dunia prostitusi sebagai wujud bentukprotes ketidakadilan dunia terhadap dirinya, oleh karena itu korbanterjun ke jalan yang salah.D. <strong>Hukum</strong> di Indonesia dalam Menyikapi Kekerasan SeksualBanyak kasus kekerasan seksual terjadi pada anak-anak diIndonesia, namun kasus kekerasan seksual di Indonesia memang sangatsulit diungkap atau merupakan fenomena gunung es. Meskipunkasusnya sudah teridentifikasi, proses penyelidikan dan peradilan seringsangat terlambat. Lemahnya hukum di Indonesia juga dianggap sebagaipemicu mengapa kekerasan seksual terhadap anak-anak masih banyakterjadi.Kesulitan dalam mengungkap kasus kekerasan seksual sulitdiungkap adalah sebagai berikut:1. Penolakan korban sendiri. Korban tidak melaporkannya karenatakut pada akibat yang kelak diterima baik dari si pelaku (adanyaancaman) maupun dari kejadian itu sendiri (trauma).2. Manipulasi pelaku. Pelaku yang umumnya orang yang lebih dewasasering menolak tuduhan (setidaknya diawal proses penyelidikan)bahwa dia adalah pelakunya. Pelaku akan berkata bahwa laporandari korban merupakan suatu kebohongan atau merupakan imajinasisemata.3. Keluarga yang mengalami kasus kekerasan seksual menganggapbahwa itu merupakan suatu aib yang harus ditutupi dan sangatmemalukan.72


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>4. Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keluarga tidakpatut dicampuri oleh masyarakat.5. Masyarakat tidak mengetahui secara jelas anak-anak yangmangalami kekeerasan seksual, karena seringnya ciri-cirinya tidakbisa dilihat secara kasat mata.6. Sistem dan prosedur pelaporan yang belum diketahui pasti dan jelasoleh masyarakat luas.Berbagai pandangan yang berkaitan dengan tujuan hukumpidana Indonesia itu terkait dengan ketiadaan (kevakuman) rumusankonkret dalam Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP). Barukemudian dalam rancangan KUHP baik pada konsep (RUU KUHP)tahun 1972 maupun 1982 dijelaskan mengenai tujuan hukum pidana.Dalam RUU KUHP 1982, dijelaskan mengenai tujuan pemidanaansecara akademis berikut ini: 81. Mencegah dilakukannya tindak pidana dalam menegakkan normahukum demi pengayoman masyarakat2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pemidanaanhingga menjadikannya orang baik dan berguna3. Menyelesaikan konkret yang ditimbulkan oleh tindak pidanamemulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalammasyarakat4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (Ninik Suparmi:1996:2)<strong>Hukum</strong> di Indonesia dalam menyikapi kekerasan seksualmempunyai tujuan tertentu dibaliknya, sebagai berikut:1. PelakuBerkaitan dengan pelaku, hukuman yang dijatuhkan merupakanbalasan yang setimpal atau diharapkan pelaku dapat menebus dosadosa(atas kekejian) yang dilakukan kepada korban. Pelakudikenakan hukuman yang cukup berat yang dapat membuatnyamenjadi jera atau agar dikemudian hari tidak mengulangi lagiperbuatan jahatnya. Ada tuntunan untuk mengantarkan manusiapada pintu tobat, yakni dimensi spiritualitas yang dilalui manusiadalam membersihkan dirinya dari perbuatan-perbuatan dosa,tercela, menodai agama, dan merugikan orang lain. Manusia(pelaku) diberikan sanksi yang tidak sebatas meringankan bebannyadi dunia, namun juga diorientasikan untuk meringankan beban yangharus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.2. Masyarakat<strong>Hukum</strong>an yang cukup berat dijatuhkan pada pelaku itu diharapkanmenjadi suatu proses pendidikan kesadaran perilaku dari8 Dalam Irfan, Muhammad dan Abdul Wahid: 2012: 100.73


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>kecenderungan berbuat jahat. <strong>Hukum</strong>an itu menjadi prevensi(pencegahan) agar anggota masyarakat yang hendak berbuat jahattidak meluruskan aksi kejahatannya. Jika pelaku kejahatankekerasan seksual mendapatkan sanksi hukum sebagaimana yangdigariskan dalam syariat islam, maka sangat mungkin anggotamasyarakat yang bermaksud melakukan perbuatan sejenis dapatdicegahnya.3. KorbanDengan menerapkan sanksi hukum kepada pelaku, maka secaratidak langsung hal itu merupakan bentuk suatu perhatian(perlindungan) secara hukum kepada korban kejahatan.Perlindungan hukum kepada anak (khususnya perempuan) yangmenjadi korban kejahatan ini bukan hanya terbatas kepadadihukumnya pelaku, namun juga kepada akibat yang menimpanya,seperti kehamilan akibat pemerkosaan.Korban tindak kekerasan seksual memiliki hak-hak yang wajibditegakkan. Rasa sakit hati, penderitaan, ketakutan, dan berbagaimacam dampak buruk yang menimpa dirinya pasca tindak kekerasan itumendapatkan perhatian yang serius dari hukum Islam. Korban tidakboleh diabaikan sendirian memperjuangkan nasib yang menimpanya,namun wajib difasilitasi oleh penegak hukum dalam memperjuangkannasibnya.Terkadang, dalam kasus penyelesaian pengadilan, banyakkeluarga korban merasa tidak puas terhadap hasil sidang dan vonishukuman yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku kekerasan seksual.Karena logikanya mereka telah merenggut kehidupan dan masa depandari korban bahkan bisa saja hal ini masih mempengaruhi di kehidupankorban ke depannya, tetapi putusan hakim memberikan hukuman yangdirasa tidak setimpal.Ancaman pidana terhadap pelaku pencabulan diatur dalam pasal289 KUHP. Pelaku diancam dengan pidana penjara maksimal 9 tahunpenjara. Pro dan kontra tentu juga menyertai tentang ancaman pidanadalam pasal ini.Masalahnya adalah tidak adanya ketentuan minimal ancamanhukuman yang diberikan hanya terdapat maksimal. Artinya adalahberapapun lamanya ancaman pidana yang diberikan asalkan tidak lebihdari 9 tahun itu diperbolehkan karena tidak adanya ketentuan minimal.Berarti putusan hakim yang memberikan ancaman pidana 9bulan itu juga sah-sah saja, karena mengacu pada pasal 289 KUHPdisana ketentuannya adalah maksimal 9 tahun.Disinilah dipertanyakannya letak keadilan. Ibaratkan sajaadalah ketika A (usia 35 tahun) telah melakukan perbuatan asusilaterhadap H (usia 13 tahun) diberikan hukuman 2 tahun penjara padahal74


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>A telah merebut masa depan H yang mungkin lebih dari 20 tahun. Disinilah yang harus dikaji ulang mengenai pengaplikasian pasal 289KUHP dalam menyelesaikan perkara.Esensi dan tujuan dari hukum di Indonesia adalah demikebaikan masyarakatnya sendiri. Sejatinya hukum dibuat untukmanusia, bukan manusia untuk hukum.E. Kesimpulan dan SaranDi Indonesia masih banyak kasus-kasus tentang kekerasanseksual Indonesia yang belum terbongkar. Meskipun kasusnya sudahteridentifikasi, proses penyelidikan dan peradilan sering terlambat.Lemahnya hukum di Indonesia juga dianggap sebagai pemicu mengapakekerasan seksual terhadap anak-anak masih banyak terjadi.Perlu adanya kerjasama antara penegak hukum dan masyarakatsehingga masyarakat mau untuk melaporkan tindak kekerasan seksualtersebut dan para penegak hukum dapat memprosesnya dengan adil.Karena hukum diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.Sebenarnya upaya pencegahan yang paling ampuh adalahdengan membentengi diri kita sendiri dengan nilai dan norma yangberlaku. Dengan tertanamnya sebuah nilai dan norma yang baik akantimbul pula pemikiran yang positif dan tindakan terpuji.Berikut ini adalah upaya pencegahan yang mungkin dapatdilakukan:1. Menanamkan nilai dan norma yang berlakuSeperti yang sebelumnya sudah disinggung bahwa dengan adanyapenanaman sifat dan sikap yang baik kepada semua orang dan takterkecuali, maka akan menimbulkan sifat positif yang baik pula.2. Perlu adanya tinjauan kembali terhadap undang-undang yangberhubungan dengan anak-anak, khususnya adalah tentangkekerasan seksualTak sedikit orang yang menganggap bahwa hukuman pelakukekerasan seksual terlalu ringan dan dirasa tidak adil karenahukuman dianggap ringan. Hal ini tentu tidak menimbulkan efekjera terhadap pelaku kekerasan seksual dan pelaku tetap beradapada penyimpangan seks tersebut. Lebih khawatirnya lagi adalahketika munculnya pelaku-pelaku kekerasan seksual yang baru.3. Adanya sex education dengan proporsi yang sesuaiIni menjadi perdebatan yang serius karena jika kita salah satulangkah saja maka akan menyimpang. Tidak semua masyarakatsetuju dengan sex education. Mereka yang tidak setuju adalahkarena dipandang anak-anak belum harus mengetahui hal tabutersebut, karena umur mereka masih belum dewas, hal inidikhawatirkan malah sebaliknya, mereka akan penasaran danmencoba melakukan hal tersebut. Mereka yang setuju adalah karena75


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>sex education itu dapat menjadi pegangan oleh anak-anak agarmereka mengetahui tentang pertumbuhan dan perubahan yangterjadi pada tubuh mereka.4. Adanya perlindungan dan perhatian dari keluarga kepada anakanaknyaTentu ini adalah hal yang terpenting. Selama keluarga masih dapatdiandalkan dan merupakan tempat kembali setelah kepenatan dansaling menyayangi satu sama lain maka kecil kemungkinannyaterjadi kekerasan seksual.DAFTAR PUSTAKA. <strong>2014</strong>. “Apa Itu Pelecehan/Kekerasan Seksual pada Anak danApa Bentuk-Bentuknya”. (Online), (http://infopsikologi.com/apaitu-bentuk-pelecehan-kekerasan-seksual-pada-anak-remaja/),diakses tanggal 10 oktober <strong>2014</strong>.Huraerah, Abu. 2007. Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak).Bandung: Penerbit Nuansa.Irfan, Muhammad dan Abdul Wahid. 2001. Perlindungan TerhadapKorban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak AsasiPerempuan). Bandung: PT Refika Aditama.Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Perdata.Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana.Umabaihi, Cua. 23 Juli 2012. “Pelecehan Seksual”.(Online),(http://sulapaluarit.blogspot.com/2012/07/pelecehanseksual_22.html),diakses tanggal 10 Oktober <strong>2014</strong>.Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Anak.76


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAPTINDAK PIDANA PEMERKOSAANOleh: Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas SriwijayaAbstrakKekerasan seksual seringkali diidentikkan hanya sebatas pada tindakanpemerkosaan saja. Hal ini dikarenakan maraknya terjadi kasuspemerkosaan belakangan ini yang menimbulkan banyak keresahandalam masyarakat khususnya kaum wanita dan orang tua. Apabiladitilik lebih lanjut, permasalahan kekerasan seksual memiliki lingkupyang sangat luas, dimana tidak hanya terbatas pada persoalan hukumsaja, namun melibatkan faktor lain contohnya faktor internal dalamsuatu masyarakat yaitu kebudayaannya. Kebudayaan dalammasyarakat merupakan cerminan nilai-nilai yang mayoritas merekaanut. Sehingga, tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan memegangandil yang cukup besar untuk menentukan bentuk penyelesaian kasuskekerasan seksual. Namun dipihak lain, kebudayaan tersebut ternyatadapat menjadi hambatan dalam penyelesaian hukum kasus kekerasanseksual disamping karakteristik peristiwa perkosaan itu sendiri yangmembuat ketentuan yuridis positif menjadi sangat terbatas untukmenjangkaunya. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat kiranyadigunakan sudut pandang ilmu kriminologi untuk membantu kitamemahami kasus kekerasan seksual.A. Latar BelakangKejahatan merupakan suatu peristiwa yang apabila kita inginmemahaminya secara utuh, maka harus diliat dari berbagai sisi yangberbeda.Itu sebabnya dalam keseharian kita seringkali menangkapberbagai komentar tentang peristiwa kejahatan yang berbeda antarayang satu dengan yang lain.Mempelajari kejahatan dan masalah-masalah yang melekatpadanya dapat dilakukan dengan mempelajari sifat dan bentuk sertaperkembangan tingkah laku. Kejahatan sebagai suatu perilaku adalahsuatu tindakan yang menyimpang, bertentangan dengan hukum ataumelanggar peraturan perundang-undangan, serta merugikan masyarakatbaik dipandang dari segi kesusilaan, kesopanan, dan ketertiban anggotamasyarakat. 1 Salah satu bentuk kejahatan tindak pidana yang akan kami1 Abintoro Prakoso, Kriminologi dan <strong>Hukum</strong> Pidana, (Yogyakarta:Laksbang Grafika, 2013), hlm. 89.77


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>bahas secara khusus dan terjadi di dalam masyarakat adalah tindakpidana pemerkosaan. 2Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul KejahatankejahatanMelanggar Kesopanan, kata zeden dalam titel asli Bab XIVbuku ke-II dan Bab VI buku ke-III Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong>Pidana, yang ditulis beliau dengan kata yang sama yakni kesopanan,maka kesopanan dapat dibagi kedalam dua bidang, yaitu: 31. Kesopanan di bidang kesusilaan (disebut zedelijkheid), dan2. Kesopanan di luar bidang kesusilaan (disebut zeden).Arti kesopanan yang dimaksud itu lebih luas dari katakesusilaan, karena kesusilaan adalah bagian dari kesopanan. Namunkenyataannya, para ahli hukum kita menggunakan dua istilah, yaitukesusilaan dan kesopanan sebagai salinan dari kata zeden dalam judultitel XVI buku II dan titel VI buku III Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong>Pidana. 4 Kejahatan kesopanan di bidang kesusilaan adalah kejahatankesopanan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalahseksual, atau disebut kejahatan kesusilaan. Tindak pidana perkosaan initermasuk ke dalam salah satunya. 5Tb. Ronny Rahman Nitibaskara (Guru Besar KriminologiUniversitas Indonesia), mengatakan: 6“Terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anakbisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual(pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi (sadism).Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkandan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelakusedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harusmelakukan hubungan seks dengan anak dibawah umur. Dariketiga faktor tersebut, masalah utama adalah lemahnyaperlindungan terhadap anak baik dari orang tua, keluarga,lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah”.Kasus kekerasan seksual seringkali melibatkan pelaku yangsebelumnya telah dikenal oleh korban, atau dengan kata lain merupakan2 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan MasalahPrevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 64.3 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2007), hlm. 4.4 Ibid.5 Ibid, hlm. 5.6 Website Komisi Perlindungan Anak Indonesia,Jakarta, 15 Agustus<strong>2014</strong>, Indonesia Darurat Kejahatan Seksual Anak, http://www.kpai.go.id/berita/indonesia-darurat-kejahatan-seksual-anak/, diakses pada tanggal 10September <strong>2014</strong>.78


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>orang yang dekat dengan kehidupan sehari-hari korban. Menurut RitaSelena Kolibonso, Direktur Eksekutif Mitra Perempuan, YayasanPenghapusan Kekerasan terhadap Perempuan: 7“Jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban,apalagi ialah ayah korban sendiri, makin sulit untukmenjangkau korban apalagi memprosesnya secara hukum,orang tua cenderung menjaga korban untuk tidak menjalaniproses hukum, ibu korban juga sulit diharapkan untukmembantu karena takut kepada suami dan keluarga. Padahaldalam proses hukum seorang anak yang berusia kurang dari 12tahun harus didampingi orang tua atau wali.”Masalah kekerasan seksual di Indonesia, khususnya terhadapwanita dan anak perlu mendapat perhatian yang intensif. Selainmemang karena mayoritas korban kekerasan seksual adalah wanita dananak-anak, terdapat pula kecenderungan bahwa mereka sering diabaikanoleh lembaga-lembaga yang seharusnya memberikan perhatian danperlindungan yang cukup berdasarkan hukum. 8 Sebagaimana kitaketahui, dampak dari perilaku tersebut terhadap anak-anak sangatlahbesar, yaitu dapat merusak mental korban bahkan seringkalimenyebabkan korban mengalami keterbelakangan mental akibat traumayang dirasakannya. Atas dasar itulah, menjadi sangat penting jika kitaterus mencari solusi terbaik guna pencegahan serta penanggulangan darikekerasan seksual. 9Data yang dihimpun Komisi <strong>Nasional</strong> Anti Kekerasan TerhadapPerempuan menunjukkan sedikitnya terdapat 35 perempuan menjadikorban kekerasan seksual setiap harinya. Pada tahun 2012, tercatat4.336 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Perkosaan danpencabulan merupakan jenis kekerasan yang paling banyak ditangani,dan mencapai angka 1.620 kasus. Kekerasan seksual tersebut terjadibaik terjadi baik di lingkungan rumah, di tengah-tengah masyarakatmaupun dilakukan oleh aparat negara. 10Apabila kita hubungkan dengan sistem peradilan pidana yangdigariskan Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Acara Pidana, dimanamenerapkan sebuah “sistem terpadu” (integrated criminal justice7 Ibid, hlm. 2-3.8 Mien Rukmini, Aspek <strong>Hukum</strong> Pidana dan Kriminologi (SebuahBunga Rampai), (Bandung: P.T. Alumni, 2009), hlm. 1.9 Ibid, hlm. 3.10 Website Komisi <strong>Nasional</strong> Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,Jakarta, 25 November 2013, Segerakan Penanganan yang Mumpuni bagiPerempuan Korban Kekerasan Seksual, http://www.komnasperempuan.or.id/2013/11/siaran-pers-kampanye-16-hari-anti-kekerasanterhadap-perempuan-25-november-10-desember-2013/,diakses pada tanggal17 September <strong>2014</strong>.79


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>system). Sistem terpadu ini diletakkan di atas landasan prinsipdiferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan“tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepadamasing-masing. 11 Dari gambaran singkat integrated criminal justicesystem, dapat dilihat: berhasil atau tidak fungsi proses pemeriksaansidang pengadilan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum dan Hakimmenyatakan terdakwa “salah” serta “memidananya”, sangat tergantungatas “hasil penyidikan” Polri. 12Berangkat dari latar belakang diatas, penulis ingin melakukanpenelitian faktor-faktor kriminologis apa yang menyebabkan terjadinyatindak pidana pemerkosaan, serta upaya penegakan hukum apa yangdilakukan oleh aparat penegak hukum di tingkat penyidikan oleh pihakKepolisian Resort Ogan Ilir dalam mengatasi tindak pidana pencabulanyang terjadi di wilayah hukum Kabupaten Ogan Ilir ini dengan judul“Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan.B. Landasan Teori1. Tinjauan Umum Tentang Kriminologi1.1. Pengertian KriminologiKriminologi (criminology) atau ilmu kejahatan sebagai disiplinilmu sosial atau non-normative discipline yang mempelajari kejahatandari segi sosial. Kriminologi disebut sebagai ilmu yang mempelajarimanusia dalam pertentangannya dengan norma-norma sosial tertentu,sehingga kriminologi juga disebut sebagai sosiologi penjahat.Kriminologi berusaha untuk memperoleh pengetahuan dan pengertianmengenai gejala sosial di bidang kejahatan yang terjadi di dalammasyarakat, atau dengan kata lain mengapa sampai terdakwa melakukanperbuatan jahatnya itu. 13Kriminologi berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua sukukata yakni “crimen” dalam bahasa Indonesia berarti kejahatan dan“logos” berarti ilmu pengetahuan. Secara sederhana dapat dikatakankriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau ilmutentang kejahatan.. 14Jika dikaji secara mendalam, dapat ditarik kesmipulanmengenai perkembangan kriminologi untuk menjadi disiplin ilmu yangberdiri sendiri, yaitu: 1511Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan PenerapanKUHAP, Ed. 2, Cet. 14, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 90.12 Ibid, hlm.91.13 Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 1.14 Syarifuddin Pettanasse, Op. Cit, hlm. 1.15Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi,(Bandung: PT. Eresco, 1992), hlm. 5-6.80


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>a. Kriminologi merupakan studi tentang tingkah laku manusia yangtidak jauh berbeda dengan studi tingkah laku lainnya yang bersifatnonkriminal.b. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat intern dan multi-disiplin,bukan ilmu yang bersifat monodisiplin.c. Kriminologi berkembang sejalan dengan perkembangan ilmupengetahuan lainnya.d. Perkembangan studi kejahatan telah membedakan antara kejahatansebagai suatu tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagai subjekperlakuan sarana peradilan pidana.e. Kriminologi telah menempatkan dirinya sejajar dengan ilmupengetahuan lainnya, sehingga tidak lagi merupakan bagiandaripadanya.Kriminologi memiliki peran yang penting perkembangan sertapembaharuan ilmu hukum pidana. Peran yang penting tersebut salahsaunya dikarenakan kriminologi memberikan kontribusinya dalammenentukan ruang lingkup daripada kejahatan atau perilaku yang dapatdihukum, sedangkan hukum pidana bukanlah merupakan silogisme daripencegahan kejahatan, akan tetapi merupakan jawaban terhadap adanyakejahatan. Kriminologi dibutuhkan oleh hukum pidana, sebab hasilhasildari penyelidikannya dapat dipergunakan untuk menyusunundang-undang untuk memberantas kejahatan. 161.2. Teori Kriminologi tentang Sebab-sebab KejahatanDalam ilmu kriminal, etiologi kriminal (criminele aetiologie)adalah ilmu yang menyelidiki tentang sebab-sebab terjadinya kejahatanatau asal usul kejahatan (kausa kejahatan). Di samping fenomenakejahatan yang sukar dirumuskan sehubungan dengan sifat kriminalitasitu sendiri, maka dengan sendirinya sukar pula untuk dapat menemukansebab-musabab kejahatan. 17Kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan, sehingga yangmenjadi misi kriminologi adalah: 18a. Apa yang dirumuskan sebagai kejahatan dan fenomenanya yangterjadi di dalam kehidupan masyarakat, kejahatan apa dan siapapenjahatnya merupakan bahan penelitian para kriminolog;b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya ataudilakukannya kejahatan.16 Syarifuddin Pettanasse, Op. Cit., hlm. 24.17 Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 97.18 Ibid. hlm. 21.81


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Menurut Bonger, adapun beberapa unsur yang turut menjadipenyebab terjadinya kejahatan dari hasil penelitian dan penyelidikanadalah sebagai berikut: 19a. Terlantarnya anak-anak 20Terlantarnya anak-anak menyebabkan tidak optimalnyapenyampaian nilai serta norma yang baik kepada anak tersebut.Sehingga, besar kemungkinkan kelak dewasa sang anak akan besardengan nilai-nilai yang diterimanya di lingkungan tanpa mengetahuimana yang benar dan salah. Hal-hal demikian tersebut dapatmenimbulkan dampak berkelanjutan yang besar, yaitu melahirkangenerasi penjahat.b. Kesengsaraan 21Faktor ekonomi menjadi salah satu penentu paling berpengaruh dantidak terelakkan dalam menentukan perilaku hidup seseorang.Tingginya harga kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya tak dapatdiabaikan terhadap meningkatnya kejahatan.c. Nafsu ingin memiliki 22Kesengsaraan dalam masyarakat merupakan unsur sosiologis akanterjadinya kejahatan.d. Demoralisasi seksual 23Psiko-patologi menyatakan bahwa lingkungan pendidikan seseorangpada waktu mudanya amat berpengaruh terhadap adanya kelainanseksual, terutama berkaitan dengan kejahatan.e. Alkoholisme 24Pengaruh alkoholisme terhadap kejahatan sampai sekarang masihmenempati posisi yang cukup besar dan beragam.f. Rendahnya budi pekerti 25Lingkungan masyarakat yang kurang mempertahankan norma-normayang berlaku termasuk rendahnya pendidikan dan pengetahuan jugaberakibat bagi seseorang untuk melakukan kejahatan. Hal demikiandisebabkan oleh kurangnya kontrol sosial dari lingkungan.2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana2.1. Pengertian Tindak PidanaDalam doktrin hukum, dikenal dua paham yang salingbertentangan dalam mengkaji dan memandang stafbaar feit, yaitupaham monisme dan paham dualisme. Paham monisme tidak secara19 Ibid. hlm. 97.20 Ibid. hlm. 98.21 Ibid.22 Ibid, hlm. 99.23 Ibid, hlm. 100.24 Ibid.25 Ibid, hlm. 101.82


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan unsur syaratsyaratdipidananya si pembuat, sedangkan paham dualisme memisahkanantara unsur-unsur yang mengenai tindak pidana dan unsur-unsurmengenai syarat dipidananya si pembuat. 26Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yangdiatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. 27 Hal iniberarti perbuatan yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yangmenimbulkan akibat dilarang dan diancam sanksi pidana bagi orangyang melakukan perbuatan tersebut. Perumusan yang lazim daripengertian tindak pidana (strafbaar feit) adalah suatu kelakuan manusia,yang termaksud dalam batas-batas perumusan suatu delik yangmelawan hukum, dan disebabkan karena kesalahan dari pada sipetindak. 283. Tinjauan Umum Tentang Pemerkosaan3.1. Pengertian PemerkosaanTindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam pasal 285KUHP adalah: “Barangsiapa yang dengan kekerasan atau denganancaman memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengandia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanyadua belas tahun”.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan berasal darikata “perkosa” yang berarti paksa, gagah, kuat, perkasa. Memperkosaberarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar(menyerang, dsb) dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikansebagai proses, cara, perbuatan memperkosa, melanggar dengankekerasan.Berdasarkan uraian tersebut, maka pengertian perkosaan adalah:1) Suatu hubungan kelamin yang dilarang dengan seseorang wanitatanpa persetujuannya.2) Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorangwanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengankemauan atau kehendak wanita yang bersangkutan.3) Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan seorang pria terhadapseorang wanita yang bukan istrinya atau tanpa persetujuannya,dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisiancaman lannya. (Suryono Ekotama dkk, 2001: 99).26 Adam Chazawi, <strong>Hukum</strong> Pidana Positif Penghinaan, (Surabaya: PutraMedia Nusantara, 2009), hlm. 16.27 Suharto R.M., <strong>Hukum</strong> Pidana Materil (Unsur-Unsur Objektif SebagaiDasar Dakwaan), Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 28.28 H.A.K. Moch. Anwar, <strong>Hukum</strong> Pidana Bagian Khusus Jilid I,Bandung: Alumni, 1989, hlm. 12.83


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Rumusan pada pasal 285 KUHP menyebutkan bahwa“Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksaperempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, karenaperkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belastahun.”Mencermati dari pasal 285 KUHP diatas, diketahui bahwaperkosaan (pemerkosaan) memiliki unsur “memaksa” dan “dengankekerasan”. Tindak pidana pada pasal 285 KUHP ini mirip dengantindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 289 KUHP yangdirumuskan sebagai: “Dengan kekerasan atau ancaman kekerasaanmemaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukanperbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerangkehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”.Perbuatan yang dipaksakan dalam pasal 289 itu merupakanperbuatan cabul yang mengandung pengertian umum, yang meliputijuga perbuatan bersetubuh dari pasal 285 sebagai pengertian khusus.Kedua tindak pidana tersebut mempunyai beberapa perbedaanpengertian, yaitu:1) “Perkosaan untuk bersetubuh” yang diatur dalam pasal 285 KUHPhanya dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita,sedangkan “perkosaan untuk cabul” pada pasal 289 KUHP jugadapat dilakukan oleh seorang wanita terhadap seorang pria.2) “Perkosaan untuk bersetubuh” hanya dapat dilakukan di luarperkawinan, sehingga seorang suami boleh saja memperkosaistrinya untuk bersetubuh, sedangkan “perkosaan untuk cabul” jugadapat dilakukan di dalam perkawinan, sehingga tidak boleh seorangsuami memaksa istrinya untuk cabul, atau seorang isteri memaksasuaminya untuk cabul (M. Sudradjat Bassar, 1986: 166).Delik ini adalah delik sengaja yang tersirat pada cara melakukanperbuatan tersebut, yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.Tindakan yang dilarang dalam pasal ini adalah dengan kekerasanmemaksa seorang wanita bersetubuh dengan ia di luar perkawinan(Djoko Prakoso, 1988: 51).3.2. Unsur-unsur Tindak Pidana PemerkosaanKUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalanganpraktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasa seksualmengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungikorban kejahatan. Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapatdibedakan menjadi dua yaitu:1) Tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam pasal28584


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>2) Tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalampasal 289Ad.1 Pasal 285 KUHP,”Barangsiapa dengan kekerasan atauancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengandia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan denganpidana penjara paling lama dua belas tahun”.Inti delik dari pasal 285 ini adalah:a. Perbuatan yang dilakukan harus dengan kekerasan atau ancamankekerasanb. Perbuatan yang dilakukan harus dengan paksa sehingga perempuanitu tidak dapat melawa dan terpaksa melakukan persetubuhan.c. Perempuan yang disetubuhi tersebut bukan istrinya, artinya tidakdikawini secara sah.d. Melakukan persetubuhan, berarti terjadi hubungan biologis antarapembuat dan perempuan yang dipaksa tersebut.Unsur dari pasal 285 itu adalah:1) Barang siapa;2) Dengan kekerasan;3) Dengan ancaman kekerasan;4) Memaksa;5) Seorang wanita (diluar perkawinan);6) Bersetubuh.Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam pasal285 KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yangakan ditanggung oleh pelaku adalah duabelas tahun penjara. Hal iniadalah ancaman hukuman secara maksimal, dan bukan sanksi hukumyang sudah dibakukan harus diterapkan begitu. Tidak terdapat sanksiminimal, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapa punlamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkanvonis. Dalam pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsurkesalahan. apa “sengaja” atau “alpa”. Tapi dengan dicantumkannyaunsur “memaksa” kiranya jelas bahwa perkosaan harus dilakukandengan “sengaja”. Pemaknaan ini lebih condong pada unsurkesengajaan untuk berbuat, artinya ada kecenderungan semi terencanadalam melakukan perbuatan kejahatan. Tanpa didahului oleh niat sepertiini, maka perbuatan itu akan sulit terlaksana.Ad 1.Unsur “barang siapa”Barang siapa sebagai subyek tindak pidana dalam KUHPmemang tidak ada penjelasan yang expressis verbis. Namun jika kitasimak pasal 2, 44, 45, 46, 48, 49, 50, dan 51 KUHP dapat disimulkan85


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah manusia ataubadan hukum.Ad 2. Unsur “Kekerasan”Kekerasan adalah kekuatan fisik atau perbuatan fisik yangmenyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya tidak mampumelakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan dalamtindak pidana perkosaan antara lain bisa berupa perbuatan mendekap,mengikat, membius, menindih, memegang, melukai, dan lainsebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkanorang yang terkena tidak berdaya.Ad 3. Unsur ancaman kekerasanAncaman kekerasan dapat berupa serangan psikis yangmenyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampumelakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belumdiwujudkan tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidakmempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancamdengan kekerasan.Ad 4. Unsur “Memaksa”Memaksa dalam perkosaan menenjukkan adanya pertentangankehendak antara pelaku dengan korban. Karenanya, tidak ada perkosaanapabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan itu dilakukan atasdasar suka sama suka. Sebagaimana juga tidak akan ada kekerasan atauancaman kekerasan bila tidak ada memaksa.Ad 5. Unsur bahwa yang dipaksa untuk bersetubuh adalah “wanitadiluar perkawinan” atau tidak terikat perkawinan dengan pelaku. Dariadanya unsur ini dapat disimpulkan bahwa:a. perkosaan hanya terjadi oleh laki-laki terhadap wanitab. tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh wanita terhadaplaki-laki, laki-laki terhadap laki-laki atau wanita terhadapwanita.c. tidak ada perkosaan untuk bersetubuh bila dilakukan oleh lakilakiyang terikat perkawinan dengan wanita yang menjadikorban atau tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh suamiterhadap isteri yang kita kenal dengan marital rape (perkosaanyang dilakukan oleh suami terhadap isterinya).Ad 6. Unsur bersetubuhSelesainya tindakan perkosaan ditandai dengan terjadinyapersetubuhan antara pelaku dengan korban, dalam arti tidak ada tindakpidana perkosaan untuk bersetubuh manakala tidak terjadi86


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>persetubuhan. Persetubuhan yakni masuknya penis laki-laki ke dalamkemaluan perempuan menjadi syarat utamanya.C. Hasil PenelitianKekerasan seksual dengan keadaan lingkungan sekitar memilikihubungan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini penulis kemukakanbukan tanpa alasan. Berdasarkan penelitian penulis di WilayahKabupaten Ogan Ilir, penulis menemukan bahwa persentase kekerasanseksual khususnya pemerkosaan yang terjadi di wilayah ini cukup tinggidan mengalami peningkatan disetiap tahunnya.Menurut data yang penulis dapatkan dari Polres Ogan Ilir,tercacat 13 kasus pemerkosaan terjadi pada tahun 2012. Kasus ini tidakberhenti pada angka itu saja, pada tahun 2013 terjadi suatu peningkatanyang bisa dikatakan sangat signifikan yaitu tercatat terjadi 20 kasusyang sama. Pada tahun <strong>2014</strong> ini sampai dengan bulan Oktober jumlahkasus pemerkosaan yang terjadi mencapai 20 kasus dan tidak menutupkemungkinan bahwa angka ini akan terus meningkat mengingatkebanyakan kasus terjadi menjelang pergantian tahun.Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasuspemerkosaan di wilayah ini. Seperti yang telah penulis kemukakandiawal bahwa keadaan lingkungan sangat berpengaruh, dimanalingkungan di wilayah ini lebih dikenal dengan wataknya yang kerassehingga tidak menjadi hal yang tabu lagi ketika kekerasan seksualberada pada persentase yang cukup tinggi.Pihak kepolisian (Polres Ogan Ilir) sendiri telah melakukanupaya penanggulangan dalam rangka menekan persentase kasuspemerkosaan yang terjadi. Upaya tersebut salah satunya ialahmelakukan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi dan dampakpacaran. Dalam sosialisasi tersebut dijelaskan pula bentuk-bentukkekerasan seksual dan faktor penyebab terjadinya pemerkosaan. Upayaini tidak hanya dilakukan oleh Pihak Polres saja tetapi juga turutmelibatkan Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak serta ormasormasyang bergerak dibidang ini dilingkungan Ogan Ilir.Menurut penulis, perlu juga dilakukan upaya tambahan selainsosialisasi, yaitu dengan melakukan tambahan jam pelajaran dan matakuliah keagamaan di sekolah dan perguruan tinggi atas dasar penerapansila Ketuhanan Yang Maha Esa.Namun, terdapat sedikit hambatan dalam hal penegakkanhukum terhadap kasus pemerkosaan ini. Dimana dalam suatu tindakpidana dibutuhkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yangmenerangkan telah terjadinya suatu tindakan tersebut. Disini tindakpidana perkosaan merupakan kasus yang kasuistis, maksudnya tindakpidana perkosaan hanya dapat dibuktikan dengan alat bukti dan barangbukti bahwa tindak pidana tersebut telah terjadi. Dalam membuktikan87


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>telah terjadi atau belum tindak pidana perkosaan sering mengalamikesulitan. Kesulitan yang dimaksud yaitu tidak terdapatnya saksi yangmelihat langsung kejadian kecuali saksi korban dan terdakwa saja, sertaterdakwa tidak mau mengakui bahwa kejadian tersebut tidak ia lakukanatau terdakwa selalu berkelik bahwa perbuatan tersebut dilakukan atasdasar suka-sama suka. Selanjutnya ketika tindak pidana ini terjadidalam lingkungan keluarga, pihak kepolisian juga memiliki kesulitandalam menanganinya dikarenakan pihak keluarga tidak maumenceritakan kronologis terjadinya sebab mereka beranggapan bahwaitu merupakan sebuah aib bagi keluarga. Sehingga, dalam hal ini hakimakan sangat sulit untuk membuktikan dan memutus perkara tersebut.Hal ini juga di perburuk dengan etika para penegak hukum yang kurangetis dalam menangani dan memutus perkara perkosaan.D. Kesimpulan dan SaranSecara teori banyak faktor yang menyebabkan terjadinya tindakpidana perkosaan. Apabila faktor tersebut ditinjau dari motif pelakudalam melakukan perbuatan perkosaan, maka terdiri atas:1) Seductive rape: pemerkosaan yang terjadi karena pelaku merasaterangsang nafsu birahi, dan ini bersifat sangat subjektif.2) Sadistic rape: pemerkosaan yang dilakukan secara sadis.3) Anger rape: pemerkosaan yang dilakukan sebagai ungkapankemarahan pelaku.4) Domination rape: pemerkosaan ingin menunjukkan dominasinyapada korban.5) Exploitation rape: perkosaan terjadi karena ketergantungan korbanpada pelaku, baik secara ekonomis maupun sosial.Fakta di lapangan (Kabupaten Ogan Ilir) menunjukkan bahwakeadaan lingkungan juga sangat berpengaruh dalam terjadinya tindakpidana ini, lingkungan yang keras membentuk watak masyarakat yangjuga keras sehingga kekerasan seksual dalam hal ini pemerkosaanrentan terjadi di wilayah ini Selanjutnya, faktor penyebab terjadinyakasus ini karena faktor pergaulan atau interaksi sosial masyarakat.Solusi lain yang dapat diterapkan yaitu dengan mengadakantambahan jam pelajaran dan mata kuliah keagamaan di sekolah danperguruan tinggi atas dasar penerapan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.Dalam hal ini, penulis juga mengharapkan dukungan danpartisipasi dari masyarakat sehingga apa yang dicita-citakan olehkepolisian dapat terwujud.88


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>DAFTAR PUSTAKAAriman, Rasyid dan Fahmi Raghib. 2011. <strong>Hukum</strong> Pidana (TindakPidana, Pertanggungjawaban Pidana, Pidana danPemidanaan). Palembang: Universitas Sriwijaya.Atmasasmita, Romli. 1992.Teori dan Kapita Selekta Kriminologi.Bandung: PT. Eresco.Chazawi, Adam. 2009.<strong>Hukum</strong> Pidana Positif Penghinaan. Surabaya:Putra Media Nusantara.Chazawi, Adami. 2007. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta:P.T. Raja Grafindo Persada.H.A.K. Moch. Anwar. 1989. <strong>Hukum</strong> Pidana Bagian Khusus Jilid I.Bandung: Alumni.Harahap, Yahya. 2012.Pembahasan Permasalahan dan PenerapanKUHAP, Ed. 2, Cet. 14. Jakarta: Sinar Grafika.Marpaung, Leden. 2004.Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan MasalahPrevensinya. Jakarta: Sinar Grafika.Prakoso, Abintoro. 2013.Kriminologi dan <strong>Hukum</strong> Pidana. Yogyakarta:Laksbang Grafika.R.M, Suharto. 2002.<strong>Hukum</strong> Pidana Materil (Unsur-Unsur ObjektifSebagai Dasar Dakwaan). Jakarta: Sinar Grafika.Rukmini, Mien. 2009.Aspek <strong>Hukum</strong> Pidana dan Kriminologi (SebuahBunga Rampai). Bandung: P.T. Alumni.Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa. 2010. Kriminologi. Jakarta:Rajawali Pers.http://www.hukumonline.comberitabacahol2472kekerasan-seksualmitos-dan-realitas.Diaksespada tanggal 22 Oktober <strong>2014</strong>.http://www.kpai.go.id/berita/indonesia-darurat-kejahatan-seksual-anak/.Diakses pada tanggal 10 November <strong>2014</strong>.http://www.komnasperempuan.or.id/2013/11/siaran-pers-kampanye-16-hari-anti-kekerasan-terhadap-perempuan-25-november-10-desember-2013/. Diakses pada tanggal 17 September <strong>2014</strong>.89


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>PERANAN ALAT BUKTI DAN ETIKA APARAT PENEGAKHUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANAPERKOSAAN DI INDONESIAOleh: Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Trisakti(Pemenang Kompetisi Penulisan Makalah Komisi 2)AbstrakMasalah tindak pidana perkosaan menjadi permasalahan serius yangterjadi di Indonesia. Proses pembuktian kasus perkosaan dengan alatbukti dan etika aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaanmemegang peranan yang sangat vital dalam membongkar kasusperkosaan. Sulitnya proses pembuktian dalam mengungkap kasusperkosaan menjadi permasalahan yang kompleks. Peranan kecepatankorban kasus perkosaan dalam melaporkan kasus perkosaan yangdialaminya menjadi sangat krusial dalam proses pembuktian untukmengarah ke pelakunya. Permasalahan penelitian ini antara lain untukdapat memahami pengertian perkosaan, mengetahui bagaimana prosespembuktian dalam kasus perkosaan, bagaimana kekuatan pembuktiandalam kasus perkosaan, dan bagaimana etika aparat penegak hukumdalam pemeriksaan kasus perkosaan. Tujuan yang diambil dalampenulisan makalah ini antara lain untuk mengetahui definisi perkosaan,mengetahui proses pembuktian kasus perkosaan di Indonesia,mengetahui seberapa kuat pembuktian dalam kasus perkosaan untukmengarah ke pelakunya, dan untuk mengetahui etika aparat penegakhukum dalam pemeriksaan kasus perkosaan.A.Latar BelakangPerempuan secara kodrati mempunyai kemampuan khusussebagai manusia untuk dapat melahirkan dan menyusui. Oleh karena itu,perempuan hendaknya mendapatkan perlindungan hukum yang baik,yang menempatkan derajat perempuan setinggi-tingginya. Namun,kenyataannya di Indonesia perempuan seolah-olah menjadi sasaranempuk bagi pelaku tindak pidana. Salah satu tindak pidana yang seringmenyerang kaum perempuan adalah kasus kekerasan seksual.Pengertian kekerasan seksual terhadap perempuan adalah setiapperbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibatkesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, ataupsikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut,pemaksaan, atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baikyang terjadi di ruang publik maupun di ruang privat. 11 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, pasal 1.90


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Komisi <strong>Nasional</strong> Perempuan (Komnas Perempuan) membagikekerasan seksual menjadi lima belas jenis, yaitu perkosaan,perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, pelecehan seksual,penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, percobaanperkosaan, kontrol seksual, pemaksaan aborsi, penghukuman bernuansaseksual, pemaksaan perkawinan, prostitusi paksa, pemaksaankehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual, dan pemaksaankontrasepsi. 2Menurut Fatuma Hashi,“..as a human rights and developmentdesecration, indeed a grave humanitarian concern, violence againstwoman demands responses at all level; from individual and familythrough community, national and international levels..”. 3 Pembangunanhak asasi manusia dalam keterkaitannya dengan kekerasan seksual padaperempuan harus menjadi perhatian serius karena menyangkutkemanusiaan. Kekerasan terhadap perempuan menuntut peranan darisemua level, dari individu, keluarga, komunitas, nasional, dan tingkatinternasional.Pada makalah ini akan dibahas kekerasan seksual berupaperkosaan yang terjadi pada perempuan. Menurut R. Sugandhi,perkosaan didefinisikan dengan “seorang pria yang memaksa kepadaseorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhandengannya dengan ancaman kekerasan yang mana diharuskan kemaluanpria ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudianmengeluarkan air mani.” 4Di Indonesia, kasus perkosaan menjadi momok yangmenyeramkan karena terus-menerus terjadi. Menurut data yangdipublikasikan oleh Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual yangpaling banyak dilaporkan adalah kasus perkosaan. Pada CATAHU 5Komnas Perempuan tahun 2012 sedikitnya terjadi kasus perkosaansebanyak 840 kasus. Sementara itu, pada CATAHU KomnasPerempuan tahun 2013 kasus perkosaan bahkan meningkat menjadi1.074 kasus.Data tersebut di atas menunjukkan sangat tingginya angkaperkosaan yang terjadi di Indonesia. Apabila dirata-rata, maka dalamsatu hari sedikitnya terjadi dua kasus perkosaan di seluruh Indonesia.2 Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani, hlm.14-16.3 PT. Raja Grafindo Persada, Dimensi HAM:Mengurai Hak Ekonomis,Sosial dan Budaya. (Rajawali Pers), hlm 232.4 Abdul Wahid, Muhamad Irfan, Perlindungan Terhadap KorbanKekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Malang: RafikaAditama, 2001), hal 41.5Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012, Stagnansi Sistem<strong>Hukum</strong>: Menggantung Asa Perempuan Korban, Jakarta, Maret 2013.91


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Tentu saja hal ini membuat perkosaan menjadi persoalan yang sangatmengkhawatirkan karena jumlah tersebut masih akan bertambahdikarenakan banyaknya perempuan korban kekerasan seksual yangtidak mampu dan tidak berani melaporkan apa yang telah terjadi baikkepada aparat kepolisian maupun pekerja sosial lembaga pelayananyang terkait.Dalam hal ini, peranan lembaga-lembaga terkait yang ada padasaat ini dirasakan tidak maksimal. Perkosaan sebagai suatu tindakpidana luar biasa seringkali menemui banyak hambatan ketikamenempuh upaya penyelesaian melalui jalur hukum, khususnya padapersoalan pembuktian tindak pidana perkosaan dan juga dari sisi etikapara penegak hukum secara represif dan preventif.B. Definisi Tindak Pidana PerkosaanTindak pidana perkosaan termasuk kejahatan dalam Buku IIBab XIV Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP) terdapatdalam Bab Kejahatan terhadap Kesusilaan. Menurut Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP), pengertian tindak pidana perkosaanmenurut Pasal 285 KUHP adalah “Barangsiapa dengan kekerasan ataudengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengandia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, denganpidana penjara paling lama dua belas tahun.”Akademisi Universitas Indonesia yang juga merupakan ahlihukum pidana, Topo Santoso, mengatakan bahwa Pasal 285 KUHPtentang perkosaan tersebut sudah usang. Topo mengatakan, pasal 285KUHP yang menyatakan bahwa perkosaan berkaitan dengan kekerasandan ancaman sudah ketinggalan zaman dan tidak mampu melindungimasyarakat. "Di berbagai negara sudah banyak pengembangan danperluasan dari pengertian rape (perkosaan) itu. Misalnya, ada yangdiperluas menjadi tanpa kehendak perempuan" 6 .C. Proses Pembuktian Kasus Perkosaan di IndonesiaProses pembuktian kasus pidana di Indonesia, termasuk kasusperkosaan diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 yanglebih dikenal sebagai Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Acara Pidana(KUHAP).Pasal 183 KUHAP menunjukkan bahwa hukum acara pidanayang berlaku positif di Indonesia menganut sistem pembuktian negatif6 Republika, Definisi Pemerkosaan di KUHP SUdah Usang, diaksesdari http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/09/20/nc7060-definisi-pemerkosaan-di-kuhp-sudah-usang.pada 21 Oktober<strong>2014</strong> pukul14.30.92


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>atau yang disebut juga dengan pembuktian berdasarkan undang-undangsecara negatif.Mengenai alat bukti, dalam KUHAP telah diatur secara limitatifyaitu pada Pasal 184 ayat (1). Dalampasal tersebut diatur beberapa alatbukti yang sah, yaitu:a. keterangan saksi;b. keterangan ahli;c. surat;d. petunjuk;e. keterangan terdakwa.Alat bukti yang telah disebutkan dalam KUHAP mempunyaikekuatan pembuktian yang sama. Pasal 185 ayat (2) KUHAPmenyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untukmembuktikan apakah terdakwa bersalah terhadap perbuatan yangdidakwakan kepadanya atau tidak, berkaitan dengan asasunus testisnullus testis yang berarti satu saksi bukanlah saksi, bahwa seoranghakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecualiapabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sahdan iamempunyai keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadidan terdakwalah yang bersalah melakukannya.Alat bukti pertama yang dapat diperiksa oleh hakim mengenaikasus perkosaan adalah keterangan saksi, dalam hal ini yaitu saksikorban maupun saksi lain. Agar dapat menjadi saksi yang sah makasyarat formil dan syarat materiil harus terpenuhi. Syarat formil tersebutyaitu dengan diangkat sumpah di dalam sidang pengadilan, sedangkansyarat materiil tersebut yaitu apa yang saksi nyatakan di sidangpengadilan sesuai dengan apa yang dia dengar sendiri, lihat sendiri, danalami sendiri. Alat bukti kedua yang dapat diperiksa oleh hakim yaituketerangan ahli yang diatur dalam pasal 186 KUHAP. Keterangan ahlidibagi menjadi dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran kehakiman danahli pada umumnya. Dalam perkara perkosaan, yang dapat dijadikansebagai alat bukti keterangan ahli yaitu ahli kedokteran kehakimanseperti dokter forensik. Hakim meminta kepada dokter forensik untukmemberikan keterangan mengenai hasil visum korban. Hasil visummerupakan salah satu alat bukti surat dalam proses pembuktian.Dengan adanya keterangan dari dokter forensik akan sangatmembantu hakim dalam menentukan tindak pidana apa yang dilakukanterdakwa kepada korban dengan melakukan visum terhadap korban.Keterangan ahli lainnya yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yangsah yaitu ahli pada umumnya seperti ahli kejiwaan. Ahli kejiwaantersebut berguna untuk mengetahui kondisi kejiwaan dari korbansehingga akan jelas dengan adanya keterangan ahli kejiwaan bahwakorban mengalami sesuatu peristiwa yang telah mengguncang jiwanya.93


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Alat bukti kelima yang dapat diperiksa oleh hakim mengenai kasusperkosaan tersebut yaitu keterangan terdakwa yang diatur dalam pasal189 KUHAP. Keterangan terdakwa dapat berupa terdakwa mengakuiperbuatannya maupun terdakwa tidak mengakui perbuatannya.Meskipun terdakwa telah mengakui perbuatannya, hal tersebut tetaptidak cukup sebagai bukti sehingga harus disertai alat bukti yang lain.D. Kekuatan Pembuktian Mengarah ke PelakunyaDari uraian diatas dapat dipahami bahwa dalam prosespembuktian dalam tindak pidana perkosaan seringkali menemui jalanyang terjal. Penyebab proses pembuktian kasus perkosaan menjadi sulitdiantaranya dikarenakan oleh tidak adanya saksi mata selain saksikorban pada saat terjadinya peristiwa tersebut karena seringkaliperistiwa tersebut dilakukan di tempat-tempat tertutup yang tidakdiketahui oleh orang lain. 7Kesulitan yang lainnya yaitu korban tidak langsung melaporkanperistiwa yang telah dialaminya itu kepada aparat terkait dikarenakankorban merasa jijik dan “hina” setelah diperkosa sehingga si korbanlangsung membersihkan tubuhnya dengan mandi. Pada saat korbanmandi banyak hal yang dapat dijadikan barang bukti ikut hilang,misalnya sperma, rambut, dan sidik jari si pelaku yang merupakanbukti-bukti perkosaan yang ada pada diri korban. 8 Hal ini mempersulitpenyidik dalam pengumpulan alat bukti yang kemudian jugamempersulit jaksa untuk membuktikan tindak pidana perkosaan dipersidangan.Proses pemeriksaan terhadap korban kasus perkosaan yang barusaja terjadi dilakukan penyidik khusus perempuan dan anak dalamwaktu yang cepat dan secara diam-diam dalam ruangan pemeriksaanyang terpisah (khusus). 9 Pihak penyidik harus dapat meyakinkan korbantentang keamanannya dan menjelaskan prosedur pemeriksaan yang akandilakukan. Terhadap korban, segera dilakukan pemeriksaan forensikoleh dokter setelah korban dalam keadaan stabil. Korban diusahakanagar tidak pergi ke kamar mandi, mandi, makan, atau minum sampaipemeriksaan telah selesai dilakukan.Setelah keadaan korban lebih stabil, penyidik yang berwenanglalu membuat permintaan tertulis kepada dokter forensik untukmembuatkan Visum et Repertum (VeR). Dalam permintaan visum inikorban diantar oleh pihak kepolisian. Visum harus berdasarkan keadaanyang didapatkan pada tubuh korban saat surat permintaan VeR diterima7 Hasil Wawancara dengan Aprima Suar, S.H., Bagian Penyidik PoldaMetro Jaya Bapak pada tanggal 23 Oktober <strong>2014</strong>.8 Ibid.9 Ibid.94


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>dokter. Jika hasil pemeriksaan korban yang diperiksa adalah atasinisiatif sendiri dan bukan atas permintaan pihak kepolisian, maka hasilpemeriksaan tersebut tidak dapat dijadikan visum, melainkan hanyasebatas surat keterangan. Dalam pemeriksaan ini, pihak keluarga,teman, perawat, atau petugas dapat mendampingi. Orang-orang yangmendampinginya ini juga berperan sebagai saksi dalam pemeriksaanyang dilakukan.Hasil visum ini menjadi salah satu alat bukti dalam prosespembuktian kasus perkosaan yang akan melengkapi alat bukti lain(keterangan saksi korban dan keterangan ahli) yang menguatkan dugaantelah terjadinya kasus perkosaan terhadap korban. Terpenuhinya alatalatbukti dalam suatu perkara tidak menjamin bahwa terdakwa akandijatuhi hukuman setimpal. Dikarenakan seorang hakim mempunyaihak prerogatif untuk memutuskan perkara tersebut sesuai dengankeyakinannya (keyakinan hakim). Apabila hakim tidak berkeyakinan,maka terhadap terdakwa bisa saja divonis bebas dan alat-alat buktitersebut menjadi sia-sia. Kasus seperti ini pernah terjadi di PulauSamosir, Sumatra Utara pada Pengadilan Negeri Balige karena korbanmengalami keterbelakangan mental.Divonis bebasnya seorang terdakwa dalam persidanganberdampak sangat buruk bagi korban, keluarga korban, maupunmasyarakat karena tujuan hukum untuk keadilan, hukum yang memberikepastian, dan hukum yang memberikan manfaat, tidak tercapai.E. Etika Aparat Penegak <strong>Hukum</strong> dalam PemeriksaanKata “etika” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesiamempunyai pengertian ilmu tentang apa yang baik dan buruk, tentanghak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas yang berkenaandengan akhlak, dan nilai-nilai yang benar maupun yang salah, yangdianut suatu golongan atau masyarakat. 10Pada proses pemeriksaan kasus perkosaan, sangat dibutuhkanetika profesi yang baik dari aparat penegak hukum. Proses pemeriksaanyang menjadi kewenangan penyidik kepolisian, kejaksaan, dan hakimsangat vital peranannya terhadap materi pemeriksaan yang akanmengarah ke pembuktian untuk mengungkap pelaku dari perkosaan.Permasalahan yang kerap terjadi mengenai etika profesi aparat penegakhukum yakni dalam proses pemeriksaan, aparat seringkali melontarkanpertanyaan-pertanyaan bahkan celotehan yang mengintimidasi danmenyudutkan korban sehingga mengakibatkan korban menjadi semakintertekan, menderita, dan shock.10 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar BahasaIndonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996).95


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Permasalahan lain yang kerap terjadi yakni karena perilakuaparat penegak hukum yang tidak sesuai dengan etika penyidik. Aparatpenegak hukum yang sesuai dengan etika penyidik sudah seharusnyamenggali informasi sesuai dengan kebenaran apa yang telah terjadi.Namun, pada kenyataanya penyidik malah melakukan pemaksaan danmengintimidasi korban sehingga mengakibatkan informasi yang tergalidari penyidikan itu menjadi tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.F. Kesimpulan dan Saran1) Indonesia menganut sistem pembuktian negatif atau yang disebutjuga dengan pembuktian berdasarkan undang-undang secaranegatif.2) Alat bukti yang dapat diperiksa oleh hakim mengenai kasusperkosaan terdapat pada pasal 184 KUHAP yaitu alat buktiketerangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keteranganterdakwa.3) Visum et Repertum (VeR) oleh ahli kedokteran forensik merupakansalah satu alat bukti dalam kasus perkosaan yang berguna untukmengetahui kerusakan fisik yang terjadi pada tubuh korban. Tiaptiapalat bukti yang telah disebutkan dalam KUHAP mempunyaikekuatan pembuktian yang sama.4) Kasus perkosaan sulit dibuktikan dikarenakan jarang adanya saksimata selain saksi korban pada saat terjadinya peristiwa tersebutkarena seringkali dilakukan di tempat-tempat tertutup yang tidakdiketahui oleh orang lain.5) Kecepatan korban dalam melaporkan kasus perkosaan yangmenimpanya memegang peranan yang sangat krusial dalam prosespembuktian.Langkah yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalahperkosaan, yaitu:1) Lembaga-lembaga terkait bersama masyarakat memberikanpemahaman dan sadar hukum yang berhubungan dengan tindakasusila kepada semua lapisan masyarakat yang ditindaklanjutidengan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan danperundang-undangan yang berlaku.2) Restorative justice terhadap pelaku perkosaan diluar persidangansehingga dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secarahukum dan secara moral, dengan harapan dapat memberikan efekjera kepada masyarakat agar tidak melakukan perbuatan serupa.3) Mendorong untuk dibentuk suatu persidangan khusus yang manapara aparat penegak hukumnya semua terdiri dari perempuan/wanita, baik dari kepolisian, kejaksaan, hingga kehakiman sehingga96


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>mereka lebih memahami kasus yang mereka tangani dan dapatmemberikan hukuman yang sangat berat terhadap pelaku.4) Mendorong kesepahaman antar lembaga-lembaga terkait danmasyarakat untuk meningkatkan kasus perkosaan menjadi tindakpidana khusus karena menyerang hak asasi manusia yangdampaknya seumur hidup bagi korban.5) Mendorong agar kasus perkosaan menjadi kasus pidana khusus,sehingga cukup satu alat bukti yakni keterangan saksi (korban)dalam kasus perkosaan dijadikan alat bukti terkuat yang akandilengkapi alat bukti lain (visum) untuk dapat membuktikan kasustersebut.DAFTAR PUSTAKADepartemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996.Kamus Besar BahasaIndonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.El Muthaj, Madja. 2008.Dimensi-dimensi HAM: Mengurai HakEkonomi, Sosial, dan Budaya.Jakarta: Rajawali GrafindoPersada.Gosita, Arif. 2007.Masalah Korban Kekerasan. Badan Fakultas <strong>Hukum</strong>Universitas Indonesia.Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Yudisial RI047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentangKode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.Kode Etik Kepolisian dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentangKode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.Komnas Perempuan. 2013. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012,Stagnansi Sistem <strong>Hukum</strong>: Menggantung Asa PerempuanKorban. Jakarta.Prof. Dr. Muladi S.H. 2002.Hak Asasi Manusia, Politik dan SistemPeradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit UniversitasDiponegoro.Purbopranoto, Prof. Dr. Kuntjoro. 1982. Hak-Hak Asasi Manusia danPancasila. Jakarta.Siregar, Bismar. 1983.<strong>Hukum</strong> Acara Pidana, Cetakan Pertama. Jakarta:Bina Cipta, Jakarta.Wahid, Abdul dan Muhamad Irfan. 2001.Perlindungan TerhadapKorban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak AsasiPerempuan. Malang: Rafika Aditama.97


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/09/20/nc7060-definisi-pemerkosaan-di-kuhp-sudah-usang98


KOMISI 3PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBANKEKERASAN SEKSUAL DI PADANG SUMATERA BARATOleh: Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Bung HattaA. Latar BelakangKekerasan seksual merupakan kejahatan yang saat ini marakdan meresahkan kalangan masyarakat terutama oleh kaum perempuandan anak-anak. Selain meresahkan, kekerasan seksual juga menjadifenomena yang menakutkan dikarenakan mayoritas korban yangmengalami kekerasan seksual tersebut akan merasakan trauma yangditinggalkan akibat perlakuan yang dialaminya.Trauma yang dialami oleh korban ternyata dapat berdampakserius baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal tersebutdikarenakan kejahatan seksual sesama jenis di Indonesia ternyataberantai dari pelaku ke korban, dan si korban bisa menjadi pelaku dikemudian hari dan begitu seterusnya. Apalagi yang sangat menakutkanjika korban kekerasan seksualnya ialah anak-anak kecil usia 5-12 tahun.Akan tersimpan di memori otak mereka bagaimana kekerasan seksualyang mereka alami dan akan teringat sampai mereka dewasa dan tak dipungkiri bahwa bisa saja mereka bisa menjadi pelaku selanjutnya.Ibarat pepatah, tak diumpan maka tak terpancing. Semua tindakkekerasan seksual ada karena ada niat dan kesempatan, tapi perlu diingat apa yang menjadi faktor penyebab pelaku melakukan tindakantersebut. Jika kita tinjau dari aturan hukum Undang-Undang Nomor 44Tahun 2008 tentang Pornografi, sudah sangat jelas ketentuan pidananyadi tiap pasalnya di atur dan hukumannya pun cukup membuat jeradengan denda maksimal Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).Kekerasan seksual di Kota Padang menjadi salah satu kasusyang paling banyak namun minim penindakan dari hukum. Hal tersebutdikarenakan kurang serius nya aparat penegak hukum yang membuatbanyak ketidakpastian hukum bagi korban. Pada pelaksanaannyaseringkali ditemukan bahwa tindak lanjut dari aparat penegak hukumhanyalah sampai pada tahap mediasi semata dan tidak diusut kembalihingga ke persidangan.B. PembahasanMeskipun angka kekerasan seksual cenderung terus meningkat,namun masih banyak masyarakat yang menganggap kekerasan seksualsebagai kejahatan kesusilaan semata. Pihak kepolisian pun ketikamendapat kasus pemerkosaan cenderung menafsirkan pemerkosaansebagai kejahatan kesusilaan seperti yang di tertuang di Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP). Biasanya, penyidik kepolisian ketika99


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>mendapat kasus pemerkosaan cenderung malas mengusutnya. Hal inilahyang membuat korban kekerasan seksual menjadi bungkam karena tidakseriusnya aparat penegak hukum untuk memproses kasus-kasuspemerkosaan.Akibat kurang di anggap pentingnya kekerasan seksual di matamasyarakat dan aparat penegak hukum, banyak korban korbankekerasan seksual yang depersi hingga gila karena hancurnya masadepan hidup korban sehingga ia merasa tak mampu untuk melanjutkanhidupnya lagi di tambah beban malu dan cemooh dari masyarakat.Saya akan sedikit bercerita tentang kehidupan sosial di KotaPadang Provinsi Sumatera Barat. Kota Padang adalah ibukota dariProvinsi Sumatera Barat yang letaknya wilayahnya di pesisir pulausumatera dengan keragaman suku dan etnis yang saling bahu membahudalam kehidupan sehari-hari. Jika berkunjung ke Kota Padang, kitadapat menjumpai banyak pantai-pantai wisata, seperti Pantai Air Manislalu Pantai Purus dan Pantai Nirwana. Walaupun bukan termasukdestinasi tujuan wisata turis mancanegara, pantai-pantai di Kota Padangselalu ramai didatangi wisatawan lokal terutama muda-mudi yangsedang kasmaran. Biasanya muda-mudi ini lebih suka menghabiskanwaktunya di pantai yang ada pondok remang-remangnya, sehinggaaktivitas percintaan mereka tak terlihat oleh orang lain dan terjaminkeamanannya oleh pemilik maupun pengelola pantai tersebut. Hanyadengan sebotol minuman teh yang harganya Rp20.000,00 (dua puluhribu rupiah), muda-mudi yang kasmaran dapat berpadu kasih sepuasnyadi pantai tersebut. Kota Padang bisa juga disebut sebagai kotapendidikan karena banyak mahasiswa-mahasiwi yang merantaumenuntut ilmu di kota ini. Asal mahasiswa-mahasiswinya pun beragam,ada yang dari Aceh, Sumatera Utara,Riau,Jambi, bahkan Jakarta. Danketika mereka sampai di Padang, proses adaptasi dengan lingkungancepat mereka jalani dan terkesan mudah untuk dipengaruhi.Ketika mahasiswa-mahasiswi mengenal tempat-tempat yangaman untuk memadu kasih mereka cenderung penasaran untukberkunjung kesana dengan pasangannya. Ketika itulah, banyak tindakkekerasan seksual terjadi di Padang akibat salah pergaulan dan fasilitasfasiltasuntuk melakukan kekerasan seksual di Padang cukup memadai.Mulai dari tempat, ada pondok remang-remang hingga hotel kelasmelati dan untuk pembelian pengaman (kondom) tak sulit di kota inikarena siapa saja bisa membelinya. Sehingga justru pergaulan bebassumber utama dari kekerasan seksual di Kota Padang. Belum lagitempat-tempat hiburan yang menjual minuman keras menggratiskanwanita untuk datang, yang ketika wanita tersebut teler dapatmenimbulkan pelecehan seksual karena tidak sadarnya wanita tersebut.Kekerasan seksual yang marak terjadi di Padang biasanyadalam bentuk pemerkosaan beramai-ramai, lalu pemaksaan seks oral100


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>kepada korban yang biasanya siswi sekolah menengah dengan ancamanfisik maupun lisan dan juga dalam bentuk pelecehan ketika berada ditempat umum maupun angkutan umum yang ramai. Untuk kekerasanseksual sejenis (homoseks, lesbian) belum terlalu terdengar kasusnyakarena kebanyakan kaum pelangi (sebutan bagi kaum homosesks,lesbian, transgender) tertutup dan menyembunyikan identitasnya rapatdari masyarakat.Sebagai contoh kasus, di Kecamatan V Koto Kampung Dalam,Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat terjadi tindakperkosaan dengan kronologi seperti berikut: Mawar (nama samaran),seorang janda muda menunggu angkutan menuju rumahnya diKampung Dalam dari Kota Pariaman. Hari menunjukan pukul 18.00WIB dan belum terlihat adanya angdes menuju rumahnya. Ketika itulewatlah Bejo (nama samaran) yang merupakan supir angdes danseketika itulah Bejo menawarkan untuk mengantarnya ke rumahnya.Mawar tanpa curiga pun naik dalam angdes tersebut, namun Bejo sukasinggah ke beberapa tempat yang dipenuhi supir angdes lainnya ditempat pencucian mobil. Naiklah beberapa supir angdes tersebut kemobil Bejo. Tanpa curiga, Mawar yang duduk di depan hanya berpikirpositif karena sudah mengenal lama Bejo dan supir angdes lainnya.Namun ketika hampir rumah Mawar, Bejo tidak berhenti namun tetapmemacu mobilnya hingga ke tempat yang sepi. Di situlah Mawardiperkosa oleh Bejo dan supir angdes lainnya. Setelah peristiwatersebut, Mawar diantarkan kerumahnya dan diancam jika beranimelapor ke siapa saja maka dia akan dibunuh. Mawar pun bungkamselama seminggu dan berujung depresi, Bejo dan kawan-kawannya punsatu persatu mulai kabur ke Kota Pekanbaru, Riau. Ketika itulah, orangtua Mawar membawa ingin Mawar ke dukun dengan asumsi Mawarkerasukan roh halus. Merasa tak tahan lagi, Mawar pun menceritakankejadian yang menimpanya dan melaporkannya ke Polsek V KotoKampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman. Ketika membuatlaporan tersebut, Kanit Reskrim menyuruh korban dan keluarga agarmediasi secara kekeluargaan saja bukan diproses secara hukum. Karenaawam dengan hukum, Mawar dan keluarganya pun kembali ke rumahdan membiarkan kejadian pemerkosaan tersebut sebagai cobaan dantidak menuntut keadilan lagi akibat sikap dari Kanit Reskrim Polsek VKoto Kampung Dalam tersebut.Dari contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa masihminimnya keseriusan dari aparat hukum untuk menyelesaikan kasuskasuskekerasan seksual dengan dalih itu semua hanya tindakankesusilaan dan dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan.Saat ini di Kota Padang sudah mulai banyak LSM pemerhatikasus-kasus kekerasan seksual, walaupun adanya LSM tersebut belumefektif membuat aparat penegak hukum lebih tegas dalam memproses101


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>kasus-kasus kekerasan seksual. LSM tersebut mendampingi korban daripenyidikan hingga persidangan dan memberikan terapi psikologi agarmental korban kekerasan seksual tumbuh kembali setelah downterhadap kejadian yang di alaminya. Pendampingan dan perlindungankorban kasus kekerasan seksual di Kota Padang merujuk dalam pasal28D ayat (1) UUD 1945 yang isinya menyebutkan setiap orang berhakatas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adilserta perlakuan sama di hadapan hukum. Oleh karena itu, mati-matianLSM pembela hak korban kekerasan seksual di Kota Padang agarkasusnya benar-benar ditangani oleh aparat hukum dan LSM tersebuttidak hanya mendampingi korban namun juga mendukung agar tetapsemangat dan tidak merasa hidupnya sudah hancur karena perbuatanpelaku.Ini semua demi kepastian hukum dan menjunjung harkat danmartabat wanita Minangkabau yang secara adat akan menjadi BundoKanduang bagi anak dan kemenakannya. Sesuai dengan asas legalitasdalam pasal 1 Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP)menyebutkan bahwa, “Tiada suatu perbuatan yang dapat di hukum,kecuali ada aturan yang mengaturnya”. Ini mempertegas bahwa tindakkekerasan seksual perlu ditangani dan penafsiran pemerkosaan tidakmeringankan hukuman si pelaku namun justru harus memberatkan sipelaku akibat perbuatannya. Sehingga tidak ada lagi kasus-kasuskekerasan seksual yang disepelekan oleh aparat hukum akibat asumsibahwa kekerasan seksual merupakan tindak kesusilaan merujukmoralitas yang penyelesaiaannya cukup dengan cara mediasikekeluargaan. Demi menjunjung hukum dan HAM di Indonesia tercintaini, hak-hak korban haruslah kita perjuangkan demi kepastian hukumdan harkat martabat korban yang telah ternodai. Semoga para pejuangpembela, pelindung, dan pendamping korban kekerasan seksual diIndonesia khususnya Sumatera Barat tidak lekang oleh waktu.C. Kesimpulan dan SaranAkhirnya dapat kita simpulkan dari contoh kasus dan realitapenegakan hukum yang terjadi di Kota Padang, bahwa kekerasanseksual dapat dipicu oleh tayangan pornografi dan juga banyaknyatempat-tempat yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk melakukannya.Hal ini tentu saja dapat dicegah apabila Pemerintah, DPR, danKepolisian tegas mencegah kekerasan sesksual dengan mempertegasUndang-Undang Pornografi yang sempat ditolak dan juga membuat satuundang-undang khusus tentang tindak kekerasan seksual sehinggaketika ada kasus-kasus yang demikian polisi tidak menggunakan delikdelikKUHP yang membuat pelaku kekerasan seksual dihukum seberatberatnya.Semoga dengan adanya makalah ini kepolisian akanmempertegas wewenanngnya sesuai hukum yang berlaku.102


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>DAFTAR PUSAKABadan Koordinasi Keluarga Berencana <strong>Nasional</strong>,Pelecehan Seksual danKekerasan Seksual 2012, diakses dari http://www.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/mb2pelecehanseksual.html pada tanggal 29September <strong>2014</strong>.103


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>PELAKSANAAN FUNGSI PENANGANAN HUKUMTERHADAP KORBANKEKERASAN SEKSUAL DI JAKARTAOleh: Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas IndonesiaAbstrakPenegakan hukum dalam proses pidana meliputi rangkaian proses yangpanjang dan tidak luput diantaranya adalah penanganan korban.Kekerasan seksual menimbulkan akibat yang berdampak padakesehatan fisik dan mental korban. Akan tetapi, pengalaman yangdilewati korban kekerasan seksual ini belum dipahami dengan baik olehpenegak hukum, termasuk polisi sehingga dalam proses penyidikantersebut, korban seringkali merasa terdiskriminasi. Tulisan inimembahas berbagai bentuk penanganan korban secara umum maupunkorban kekerasan seksual pada khususnya yang dikenal dalamperaturan perundang-undangan di Indonesia. Dibahas juga padatulisan ini sejumlah contoh kasus yang menunjukkan perilaku polisidalam penanganan korban kekerasan seksual yang kemudian dianalisisapakah perilaku polisi dalam menangani korban sudah sesuai denganperspektif korban dan juga penilaian terhadap efektivitas instrumenhukum terkait yang berlaku.A. Latar BelakangTahun 2013 dinyatakan sebagai tahun darurat kekerasan seksualterhadap anak, dari 2.637 laporan kasus kekerasan diterima oleh Komisi<strong>Nasional</strong> Perlindungan Anak (Komnas PA), 62% diantaranyamerupakan kasus kekerasan seksual. 1 Data lain yang dikumpulkan olehKomisi <strong>Nasional</strong> Perempuan pun menunjukkan peningkatan kasuskekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Dalam catatannya selamatahun 1998-2011, 93.360 dari 400.939 kasus kekerasan terhadapperempuan yang dilaporkan merupakan kekerasan seksual. 2 Angka padastatistik pun belum cukup merepresentasikan dengan baik banyaknyakasus kekerasan seksual yang secara nyata terjadi di masyarakat.Korban kekerasan seksual berbeda halnya dengan korban tindakkekerasan lainnya, seringkali dianggap sebagai catatan hitam bagimasyarakat, termasuk keluarganya sendiri. Reluktansi masyarakat danproses hukum yang berlarut-larut membungkam korban kekerasanseksual untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Pada1 Komnas Perempuan, Siaran Pers Resital Persembahan ananda untukPerempuan Indones, diakses dari http://www.komnasperempuan.or.id/<strong>2014</strong>/09/siaran-pers-resital-persembahan-ananda-untuk-perempuan-indonesia/2 Ibid.104


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>akhirnya, kekerasan seksual menjadi kesenyapan yang membayangikorban semata.Melihat dari hakikatnya, kekerasan dapat dibedakan dari aspekkekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasanpolitisdan kekerasan ekonomi. Merupakan hal yang penting untukmembuat spesifikasi kekerasan karena sebenarnya tindakan kekerasanyang bernuansakan seksual tidak sekedar melalui fisik belaka. 3 KomnasPerempuan membagi kekerasan seksual menjadi 15 (lima belas) jenis,yaitu perkosaan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual,pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakanseksual, percobaan perkosaan, kontrol seksual, pemaksaan aborsi,penghukuman bernuansa seksual,pemaksaan perkawinan, prostitusipaksa, pemaksaan kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual danpemaksaan kontrasepsi. 4 Akan tetapi, luasnya spektrum kekerasanseksual tersebut belum dipahami secara tepat bahkan oleh penegakhukum sekalipun. <strong>Hukum</strong> pada dasarnya merupakan cerminan darinilai-nilai kultural tentang seksualitas yang berlaku di masyarakatnya.Melalui hukum, nilai-nilai kultural tersebut disahkan, dikukuhkan dandilanggengkan. 5 Seringkali, kekerasan seksual dianggap sebagaikejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkandidukung oleh negara melalui muatan di dalam Kitab Undang-Undang<strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP). Dalam KUHP, kekerasan seksual sepertiperkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan.Penganggapan ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yangdilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasanseksual adalah persoalan moralitas semata.Paradigma demikian pun begitu terinstitusionalisasi dimasyarakat hingga akhirnya berdampak ke perilaku para penegakhukum dalam menangani korban kekerasan seksual. Kerangka berpikiryang membatasi bahwa kekerasan seksual adalah sifat merusakkesusilaan mengandung variabel relatif dimana penafsiran kesusilaanbergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu. 6 Absennyapenjelasan resmi tentang istilah kesusilaan yang digunakan,menyebabkan masyarakat (khususnya aparat hukum) seringkali terjebak3 Purnianti dan Rita Serena Wibisono, Menyingkap Tirai Kekerasandalam Rumah Tangga, (Jakarta: Mitra Perempuan, 2003), hlm. 14.4 Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani, hlm.14-16.5Rahayu Surtiati Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, PerempuanIndonesia dalam Masyarakat yangTengah Berubah: 10 Tahun Program StudiKajian Wanita, Jakarta: Program Pascasarjana UniversitasIndonesia, 2001,hlm. 3816 R. Soesilo, KUHP beserta Penjelasan Pasal demi Pasal, Bogor:Politeia, 1996,105


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>dalam menempatkan pasal-pasal kesusilan semata-mata sebagaipersoalan pelanggaran terhadap budaya, norma agamadan sopan santunyang berkaitan dengan nafsu perkelaminan, bukan kejahatan terhadaporang (tubuh dan jiwa). 7Menanggapi permasalahan tersebut, Kementerian NegaraPemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia(KemenPP&PA RI) mengeluarkan Peraturan Menteri Negara PPANomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal BidangPelayanan Terpadu terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.Dalam peraturan tersebut, korban kekerasan seksual menjadi salah satulingkup permasalahan yang perlu diberikan pelayanan berdasarkanstandar-standar yang ditetapkan. Adapun bidang-bidang layanantersebut mencakup: 81) Penanganan Pengaduan2) Pelayanan Kesehatan3) Rehabilitasi Sosial4) Penegakan dan Bantuan <strong>Hukum</strong>5) Pemulangan dan Reintegrasi SosialMenjadi sebuah tantangan tersendiri bagi korban kekerasanseksual untuk memperjuangkan keadilan atas apa yang telahdialaminya. Serangkaian proses penegakan dan bantuan hukumseyogyanya mampu menyingkap kesunyian dan berdampingan bersamakorban memperjuangkan keadilan. Akan tetapi pada kenyataannya,sarana tersebutlah yang kerap membungkam bahkan mengalienasikankorban.B. Penanganan Korban Kekerasan Seksual berdasarkanPeraturan Perundang-undangan di Indonesia1. Korban Kekerasan SeksualMerujuk kepada pengertian dari Undang-Undang Nomor 13Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pengertian darikorban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindakpidana. 9 Menurut Kristi Poerwandari, kekerasan seksual mencakupmelakukan tindakan yang mengarah ke ajakan atau desakan seksual,7 Rahayu Surtiati Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, Op.Cit, hlm. 383 .8Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan AnakRepublik Indonesia, ProsedurStandar Operasional: Pelaksanaan StandarPelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan danAnak Korban Kekerasan, (Jakarta: KemenPP&PA RI, 2010), hlm. 4.9 Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentangPerlindungan Saksi dan Korban106


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>seperti menyentuh, meraba, mencium dan/atau melakukan tindakantindakanlain yang tidak dikehendaki korban; memaksa korbanmenonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidakdikehendaki korban; ucapan-ucapan yang merendahkan danmelecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban;memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dengankekerasan fisik maupun tidak; memaksa melakukan aktivitasaktivitasseksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti, ataumelukai korban. 10 Akan tetapi secara yuridis, definisi korbankekerasan seksual belum terakomodasi dalam suatu redaksi yangmencakup kekerasan seksual secara umum. Hal ini dikarenakanperaturan perundang-undangan mengenai kekerasan seksual masihtersebar di berbagai peraturan perundang-undangan dengan berbagaibentuk dari ragam tindakan kekerasan seksual itu seperti perkosaan,perbuatan cabul dan prostitusi. Diantaranya, ketentuan tersebutberada pada Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP), UUNo. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 23Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.Penjabaran kekerasan seksual itu pun menjadi permasalahantersendiri, misalnyaunsur-unsur pasal yang terlalu rigid hinggasering meloloskan pelaku dari jerat hukum dan belumdiakomodasinya bentuk kekerasan seksual tertentu seperti perkosaanyang dilakukan antara laki-laki dewasa maupun perkosaan olehperempuan terhadap laki-laki.2. Penanganan Korban Kekerasan SeksualSistem Peradilan Pidana dapat digambarkan secara singkatsebagai suatu sistem yang bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan”.Menanggulangi yang dimaksudkan disini adalah usaha untukmengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batastoleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila diprosesnyasebagian besar dari laporan dan keluhan masyarakat yang telah menjadikorban dari suatu kejahatan, diajukannya pelaku ke muka sidangpengadilan dan diputuskan serta mendapat pidana. 11 Tugas dari sistemini pun tidak terbatas pada menjerat pelaku dengan suatu pemidanaan,melainkan juga akomodasi kepentingan korban. Dalam menanganikorban pada umumnya, para aparat hukum wajib memperhatikankorban agar dipenuhi haknya, antara lain: 1210Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-Bentuk TindakKekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, (Jakarta:Pusat Kajian Wanita UI, 2000), hlm. 11-12.11 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan danPengabdian <strong>Hukum</strong> Universitas Indonesia, 1997), hlm. 140.12 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun <strong>2014</strong> tentang107


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, danharta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengankesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentukperlindungan dan dukungan keamanan;3) Memberikan keterangan tanpa tekanan;4) Mendapat penerjemah;5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;6) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;7) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;8) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;9) Dirahasiakan identitasnya;10) Mendapat identitas baru;11) Mendapat tempat kediaman sementara;12) Mendapat tempat kediaman baru;13) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengankebutuhan;14) Mendapat nasihat hukum;15) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktuperlindungan berakhir; dan/atau16) Mendapat pendampingan.Dirumuskannya perlindungan terhadap korban pada prosespengadilan pidana dalam suatu peraturan perundang-undanganmenunjukkan adanya gestur dari pemerintah untuk lebihmengakomodasi hak-hak korban. Namun patut disayangkan, dalam UUNo. 13 Tahun 2006 maupun UU No. 31 Tahun <strong>2014</strong> perlindunganterhadap korban tidak mengandung norma imperatif yang otomatismelindungi korban. Untuk mendapatkan perlindungan sebagaimanayang disebutkan di atas, korban perlu melapor kepada LembagaPerlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terlebih dahulu atau menunggurujukan dari pihak yang berwenang. Hal ini mengesankan bahwaperlindungan korban merupakan bagian di luar kebulatan proses hukumyang berlaku. Adapun perlindungan korban menurut Barda NawawiArief dapat dilihat dari dua makna yaitu:1) Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana(berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang);2) Perlindungan untuk memperoleh jaminan atau santunan hukum ataspenderitaan atau kerugian orang yang telah menjadi korban tindakpidana (identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itudapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihanPerubahan terhaadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentangPerlindungan Saksi dan Korban.108


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>keseimbangan batin (dengan pemaafan), pemberian ganti rugi(restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dansebagainya. 13Akibat dari kekerasan seksual meninggalkan penderitaanmultidimensi: psikis, fisik, mental, emosional, spiritual, 14 dan sosialyang mendalam bahkan karena terkungkung oleh persepsi masyarakatsendiri bahwa penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan seksualadalah sebuah aib sehingga tidak sedikit korban yang memilih untukmenderita sendiri. Sebagai kelompok yang rentan, diperlukan layanankhusus dalam menangani hal tersebut. Hal inilah yang kemudianmelatarbelakangi lahirnya Peraturan Menteri Negara PemberdayaanPerempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010 tentangStandar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuandan Anak Korban Kekerasan, yang diantaranya secara khususmencakup kekerasan Seksual. Permenneg PP&PA Nomor 1 Tahun 2010tersebut memiliki cakupan terhadap 5 (lima) jenis pelayanan, yaitu: 15a) penanganan pengaduan/laporan korban kekerasan terhadapperempuan dan anak;b) pelayanan kesehatan bagi perempuan dan anak korban kekerasan;c) rehabilitasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan;d) penegakan dan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korbankekerasan;e) pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korbankekerasan.Pada makalah ini, penulis mengkhususkan pembahasanmengenai tinjauan pada jenis pelayanan penegakan dan bantuan hukumbagi perempuan dan anak korban kekerasan, yang dibagi menjadi 2(dua) indikator yaitu:13 Barda Nawawi Arief, Masalah Penanganan <strong>Hukum</strong> dan KebijakanPenanggulangan Kejahatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm . 5614 Mark Yantzi, Kekerasan Seksual dan Pemulihan, Jakarta: GunungMulia, 2009, hlm. 26-3515Lihat Pasal 5 Peraturan Menteri Negara PemberdayaanPerempuan dan Perlindungan Anak No. 1 Tahun 2010 tentang StandarPelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan AnakKorban Kekerasan109


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>No. Indikator Pelaksana Layanan1. Cakupan penegakan hukum padatingkat penyidikan kekerasanseksual terhadap perempuan dananak2. Cakupan perempuan dan anakkorban kekerasan seksual terhadapperempuan dan anak yangmendapatkan bantuan hukumAd. 1. Penegakan <strong>Hukum</strong> pada Tingkat PenyidikanPolisiBadan/Unit PPPelayanan penegakan hukum adalah serangkaian tindakanoleh aparat negara yang diberi kewenangan melaksanakan peraturanperundang-undangan dalam rangka menangani kasus-kasus kekerasan(re: kekerasan seksual) 16 terhadap perempuan dan anak, terutamauntuk memberikan sanksi terhadap pelaku dan memberikanperlindungan bagi saksi dan/atau korban, 17 diselenggarakan oleh Polri,khususnya UPPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) dalam halmelaksanakan proses penyelidikan; penyidikan, koordinasi dankerjasama; penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kekerasanterhadap perempuan dan anak ke kejaksaan. 18Ad. 2. Pelayanan dan Bantuan <strong>Hukum</strong>Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan olehpendamping hukum, advokat atau relawan pendamping untukmelakukan proses pendampingan saksi dan/atau korban kekerasanterhadap perempuan dan anak yang sensitif gender. 19 Pendampinganhukum kasus pidana mulai dari tingkat pemeriksaan di kepolisian,penuntutan di kejaksaan, proses sidang di pengadilan hinggapemberian restitusi.Dalam hal perempuan atau anak adalah korban benar-benarmengalami tindak kekerasan tetapi kasusnya tidak memenuhi unsurpidana, bantuan hukum juga dapat diberikan dalam rangka melakukanmediasi dengan pelaku atau pihak-pihak lain. 2016 Spesifikasi dari penulis17 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan AnakRepublik Indonesia, ProsedurStandar Operasional: Pelaksanaan StandarPelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan danAnak Korban Kekerasan, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan PerempuandanPerlindungan Anak Republik Indonesia, 2010, hlm. 21518 Ibid.19 Ibid, hlm. 240.20 Ibid.110


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>3. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal bagi KorbanKekerasan Seksual pada Tahap Penyediaan Layanan <strong>Hukum</strong> ditingkat KepolisianAturan dari rumusan KUHP ternyata memiliki keterbatasanyang sangat besar. Misalnya, masalah elemen-elemen kejahatankriminal yang tidak memadai, penafsiran yang sempit danketidaksesuaian dengan perkembangan sosial. 21 Selain itu,pembuktiannya juga sangat sukar sehingga menyebabkan aturantersebut tidak dapat diaplikasikan. Pengetahuan dan cara pandang aparatpenegak hukum, dalam hal ini polisi yang menjalankan prosespenyidikan juga menjadi tantangan lain. Pada wawancara penulisdengan salah satu pendamping hukum di LBH APIK Jakarta, dalampengalaman pendampingannya, ditemukan banyak aparat kepolisianyang dalam menjalankan proses penyidikan melalui pertanyaanpertanyaanyang diajukan cenderung victim blaming dan semakinmenyudutkan korban. Berikut kutipan pertanyaan dari penyidik danhakim dalam salah satu kasus perkosaan: 22 Sebelum anda disetubuhi apakah status anda masih perawan? Sebelum anda disetubuhi oleh Saudara A (bukan nama sebenarnya)secara paksa, apakah anda tidak berusaha untuk berteriak, jelaskan? Setelah Sdr. A selesai menyetubuhi anda, dan Sdr. A keluar darikamar, apakah waktu itu tidak ada usaha anda untuk melarikandiri atau keluar dari rumah tersebut? Coba anda jelaskan apakah persetubuhan antara anda dengan Sdr. Atersebut dilakukan secara mau sama mau, jelaskan? Sebelum anda bersama Santi (bukan nama sebenarnya) diajak mainke rumah temannya tersebut, apakah anda tidak merasa curigasebelumnya?Tambahan pertanyaan penyidik pada korban kedua dalam kasus yangsama: Apakah anda sewaktu diperkosa oleh Saudara H (bukan namasebenarnya) tersebut siapa yang memasukkan alat kemaluannya ketempat vagina anda, dan apakah anda ikut membantumemasukkannya? Apakah sewaktu Sdr. H memasukkan alat kemaluannya ke dalam21 Supriyadi Widodo Eddyono, Indri Oktaviani, Lembaga Studi danAdvokasi Masyarakat, KejahatanPerkosaan dalam RUU KUHP,Jakarta:Yayasan Tifa, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat(ELSAM),2007, hlm. 2.22 Lihat, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polisi Sektor Pasarkemis,Tanggal 19 dan 21 April 1999, serta catatan persidangannya, dokumentasiLBH APIK Jakarta111


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>vagina anda, apakah anda berusaha mengelaknya?Bandingkan dengan pertanyaan pelaku perkosaan dalam kasus yangsama:Penyidik :Setelah selesai persetubuhan, apa tindakan atau reaksiSaudari S (bukan nama sebenarnya)? Jelaskan!Pelaku: Setelah selesai bersetubuh tidak ada reaksi dari Saudari Smelainkan langsung tidur dan saya sendiri keluar untuk cucimuka ke kamar mandi dan kemudian kembali ke kamar tidurdan tidur bersama-sama Saudari S.Penyidik : Apakah persetubuhan yang anda lakukan dengan Saudari Stersebut dilakukan secara paksa atau mau sama mau,jelaskan?Pelaku: Dilakukan mau sama mau karena saya mau bertanggungjawab untuk menikahinya.Dalam kasus yang terjadi 11 tahun sebelum adanya PermennegPP&PA Nomof 1 Tahun 2010 ini, terlihat baik penyidik maupun pelakuberpegang pada kenikmatan seksual perempuan menurut persepsimereka yang bersudut pada laki-laki, sehingga mereka meragukankebenaran pengalaman korban, bahkan untuk itu mereka tak seganseganmengajukan pertanyaan-pertanyaan yang intinyamelecehkan danmenyalahkan korban (victim blaming) juga menyudutkan korbansebagai pihak yang turut bertanggung jawab terhadap peristiwaperkosaan tersebut (victim participating). 23 Setelah Permenneg PP&PANo. 1 Tahun 2010 diundangkan, penanganan polisi pada kasuskekerasan seksual, khususnya di Jakarta, masih mengalami kendalayang sama. Hal ini terefleksikan pada contoh kasus yang ditangani olehpendamping hukum UH di salah satu LBH perempuan di Jakartasebagai berikut: 24Kasus Perkosaan Aster (bukan nama sebenarnya) anak usia 15 tahunoleh Pelaku usia 25 tahunAwal berhubungan dengan korban adalah ketika pendampingmendapatkan telepon dari tetangga korban pada hari Sabtu disaat harilibur pendamping. Setelah berkoordinasi dengan koordinator divisi,pendampingan datang ke kantor Polres untuk mendampingi korbanmembuat laporan, visum dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).Setelah23 Ratna Batara Munti, Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas,Kelemahan Aturan dan Proses<strong>Hukum</strong>, Serta Strategi Menggapai Keadilan,dalam Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yangTengah Berubah,Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana UniversitasIndonesia, 2000, hlm. 389-390.24 SY. Ernaweni, Tesis: Penanganan <strong>Hukum</strong> Kasus Kekerasan Seksualterhadap Anak Perempuan berdasarkan Pengalaman Pendamping <strong>Hukum</strong>,112


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>mendampingi korban membuat laporan pada jam 10.00, pendampinglangsung membawa korban untuk visum di rumah sakit jam 12.00sampai jam 17.00. Setelah visum jam 17.00 kembali lagi ke kepolisianuntuk BAP sampai jam 22.00.“Sampai di Polres sudah buat laporan kita damping, karenawaktu itu libur jadinggak bikin surat kuasa. Kami tetapmengenalkan diri sebagai pendamping dari LBH. Akhirnyadipersilahkan untuk membuat laporan kejadiannya kapan, 3 hariyang lalu. Kalau diperkosa tiga hari yang lalu itu sudahkelamaan. Anaknya takut mau ngakuk dia baru berani ceritasekarang. Ya sudah kita buat laporan, kita data, kita visum.Laporan belum dibuat, hanyakita data, kita visum. Laporanbelum dibuat, hanya pendaftaran saja dibuat surat rujukan, kitavisum di RSCM. Jadi langsung ke RSCM. Visum langsung dapathasilnya, waktu itu harus didampingi polisi. Karena tidak bisajalan sendiri. Setelah itu, langsung kembali lagi ke polres.Setelah di polres baru kita dibuatkan laporan. Setelah dibuatlaporan di SPK, kita diarahkan ke Unit PPA di BAP. Sayabingung kok langsung di BAP. Udah hari ini buat laporan ajakarena selesai visum itu sudah jam tujuh malam masak langsungdi BAP. Harusnya tunggu kondisi korban dulu karena kondisikorban itu masih capek. Kami menyerahkan ke pihak korban,mau di BAP sekarang lebih baik. Loh biasanya kami dampingnggak seperti ini. Biasanya diberi kebebasan. Tapi dari pihakkorban kayaknya sudah ketakutan. Ya sudah sekarang saja. Pasdi tengah-tengah pemeriksaan dia bilang, „mba, aku capek,gimana kalau besok aja?‟ setelah itu kita ngomong ke penyidikbisa nggak ditunda aja untuk besok. Ya sudah, nanti kita adapemeriksaan tambahan. Karena mereka memang awam hukum.”Adapun selama pemeriksaan, menurut pendamping hukum UH,polisi memberikan pertanyaan yang membingungkan dan menyudutkankorban, antara lain:1) “Kamu melakukan ini sama-sama mau kan?”(pendamping menjawab: “bagaimana ini disebut sama-sama maupak, dia masih kecil belum tau baik buruk, sedangkan pelaku sudahdewasa jadi tidak ada mau sama mau, ini masuk unsur dalam UUPAadanya bujuk rayu, tipu muslihat”)2) “Kok kamu gak teriak?”3) Kok mau sih, kamu pacaran ya?(Pendamping memprotes sikap polisi tersebut dengan mengatakan:“Gimana sih, KANIT-nya kan sudah sering berkoordinasi denganLBH, kok anak buahnya begini ya ngga punya perspektif.”)113


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Sikap Polisi dalam penyidikan tersebut melanggar sejumlahketentuan dalam Prosedur Standar Operasional (PSO) PelaksanaanPermenneg PP&PA No. 1 Tahun 2010 yaitu:1) Penerimaan laporan polisi: 25a. apabila saksi korban dalam kondisi trauma/stress, penyidikmelakukan tindakan penyelamatan degan mengirim saksidan/atau korban ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas,untuk mendapatkan penanganan medis-psikis serta memantauperkembangannya;b. dalam hal saksi dan/atau korban memerlukan istirahat, petugasmengantar ke ruang istirahat atau rumah aman atau shelter;2) Pada tahap penyidikan: 26a. apabila korban siap diperiksa dan bersedia memberikanketerangan terkait dengan laporan polisi yang dilaporkankorban, penyidik dapat melaksanakan kegiatan membuat BeritaAcara Pemeriksaan (BAP).“Udah hari ini buat laporan aja karena selesai visum itu sudahjam 7 malam masak langsung di BAP. Harusnya tunggu kondisikorban dulu karena kondisi korban itu masih capek. Kamimenyerahkan ke pihak korban, mau di BAP sekarang lebih baik.Loh biasanya kami damping nggak seperti ini. Biasanya diberikebebasan. Tapi dari pihak korban kayaknya sudah ketakutan.Ya sudah sekarang saja. Pas di tengah-tengah pemeriksaan diabilang, „mba, aku capek, gimana kalau besok aja?‟”Pada ilustrasi tersebut tergambar bagaimana penanganan polisitidak mematuhi PSO yang dipersyaratkan pada Permenneg PP&PANo. 1 Tahun 2010. Polisi selaku penyidik memaksakan korbanuntuk menjalani BAP pada hari itu juga, padahal kondisi fisikkorban sudah kelelahan. Seharusnya, penyidik melakukan tindakpenyelamatan ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas hinggakondisi korban cukup baik untuk menjalani wawancara pembuatanlaporan polisi.3) Tata cara pemeriksaan saksi dan/atau orban 27a. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban dilaksanakandengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:a) pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati;b) dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung25Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan AnakRepublik Indonesia, Op.Cit, hlm. 217.26 Ibid, hlm. 219.27 Ibid, hlm. 221-222114


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>perasaan atau hal-hal yang sangat sensitif bagi saksidan/atau korban yang diperiksa;c) tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencemoohatau melecehkan yang diperiksa;d) tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkankekesalan/kemarahan yang diperiksa;e) selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasamemperhatikan situasi dan kondisi fisik maupun kejiwaanyang diperiksa.Penyidik mengajukan pertanyaan kepada korban, diantaranya: “Kamu melakukan ini sama-sama mau kan?”“Kok mau sih, kamu pacaran ya?”“Kok kamu gak teriak?”Dalam kondisi kelelahan, korban memaksakan diriuntuk masuk ke tahap wawancara ini karena ketakutan. Setelahitu, korban justru mendapatkan rangkaian pertanyaan yangsemakin memojokkan posisinya.Penyidik disini terlihat begitu tidak berperspektif padakorban. Padahal, pada PSO Pelaksanaan Permenneg PP&PANo. 1Tahun 2010 sudah ditetapkan prosedur yang terperincidalam menyesuaikan diri dengan kondisi korban.C. Kesimpulan dan SaranPenanganan korban kekerasan seksual di tingkat kepolisianbelum sesuai dengan Permenneg PP&PA No. 1 Tahun 2010. Selakupihak yang berwenang dalam melakukan penyidikan, pada praktiknyamasih tidak berperspektif pada korban. Polisi kerap memaksakan“prosedur” kepada korban dan kerap abai terhadap kondisi korban itusendiri.Penanganan lalai perspektif tersebut menyiratkan lemahnyapemahaman aparat penegak hukum, khususnya polisi selaku penyidik,akan luasnya spektrum akibat kekerasan seksual. Dampak fisik,psikologis dan trauma lainnya yang diakibatkan oleh kekerasan seksualyang dialami menjadikan korban perlu ditangani dengan treatmentkhusus untuk mampu menyingkap fakta-fakta hukum yangdibutuhkan.Terdapat kekosongan yang masih menjenjang antarakebutuhan korban kekerasan seksual dan perilaku penegak hukum yangmenanganinya. Pemerintah melalui Permenneg PP&PA No. 1 Tahun2010 berusaha untuk menjembatani jarak tersebut. Akan tetapi,mispersepsi penegak hukum itulah yang membuatnya menjadi sekedarnorma yang belum melembaga pada para penegak hukum terkait.Perspektif polisi selaku penyidik yang menangani korbanmerupakan inti masalah yang perlu diselesaikan sehingga perlulahdiadakan suatu pelatihan yang intens dari internal kepolisian agar polisi115


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>selaku penyidik memiliki sensitivitas terhadap korban khususnya diUPPA. Selain itu, untuk mempersiapkan penegak hukum yang memilikiperspektif di generasi selanjutnya dapat dibentuk kurikulum denganmuatan mata kuliah seputar penanganan korban, anak dan sensitifgender. Hal-hal tersebut perlu dilakukan agar instrumen seperti SPMBidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasandapat berlaku lebih efektif, instrumen tersebut dapat dilengkapi dengansanksi sehingga penegak hukum terkait mampu lebih bertanggungjawab.Daftar PustakaArief, B. Nawawi. 2001.Masalah Penanganan <strong>Hukum</strong> dan KebijakanPenanggulangan Kejahatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.Carolina, Afni. 2005. Perlindungan <strong>Hukum</strong> bagi Anak sebagai KorbanKekerasan Seksual dalam Proses Peradilan Pidana. TesisMagister pada Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Indonesia: tidakditerbitkan.Eddyono, S. Widodo, Indri Oktaviani. 2007. Lembaga Studi danAdvokasi Masyarakat. Kejahatan Perkosaan dalam RUUKUHP. Jakarta: Yayasan Tifa, Lembaga Studi dan AdvokasiMasyarakat (ELSAM).Ernaweni, Sy. 2011. Penanganan <strong>Hukum</strong> Kasus Kekerasan Seksualterhadap Anak Perempuan berdasarkan PengalamanPendamping <strong>Hukum</strong>. Tesis Magister pada Fakultas <strong>Hukum</strong>Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.Hidayat, Rahayu S., dan E. Kristi Poerwandari. 2001.PerempuanIndonesia dalamMasyarakat yang Tengah Berubah: 10 TahunProgram Studi Kajian Wanita. Jakarta:Program PascasarjanaUniversitas Indonesia.Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> PidanaKomisi <strong>Nasional</strong> Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. KekerasanSeksual: Kenali dan Tangani. Jakarta: Komnas Perempuan.Luhulima, A. Sudiarti. 2000. Pemahaman Bentuk-Bentuk TindakKekerasan Terhadap Perempuan Dan AlternatifPemecahannya. Jakarta: Pusat Kajian Wanita UI.Munti, Ratna Batara. 2000.Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas,Kelemahan Aturan danProses <strong>Hukum</strong>, Serta Strategi116


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Menggapai Keadilan, dalam Perempuan Indonesia dalamMasyarakat yang Tengah Berubah. Jakarta: Program StudiKajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia.Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan PerlindunganAnak No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan MinimalBidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak KorbanKekerasanPurnianti dan Rita Serena Wibisono. 2003.Menyingkap Tirai Kekerasandalam Rumah Tangga. Jakarta: Mitra Perempuan.Purwadianto, Agus. 2005. Perkosaan sebagai Suatu Pelanggaranterhadap Hak Asasi Manusia: Kajian Filosofis MetodologiPembuktian <strong>Hukum</strong>. Disertasi Doktor pada Fakultas IlmuPengetahuan Budaya Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.Reksodiputro, Mardjono. 1997.Kriminologi dan Sistem PeradilanPidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta: PusatPelayanan Keadilan dan Pengabdian <strong>Hukum</strong> UniversitasIndonesia.Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan AnakUndang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PenghapusanKekerasan dalam Rumah TanggaUndang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi danKorbanUndang-undang Nomor 31 Tahun <strong>2014</strong> tentang Perubahan terhadapUndang-undang Nomoe 13 Tahun 2006 tentang PerlindunganSaksi dan KorbanYantzi, Mark. 2009.Kekerasan Seksual dan Pemulihan. Jakarta:Gunung Mulia.http://www.komnasperempuan.or.id/<strong>2014</strong>/09/siaran-pers-resitalpersembahan-ananda-untuk-perempuan-indonesia/117


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBANKEKERASAN SEKSUAL DI BANYUMAS JAWA TENGAHOleh: Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Jenderal SoedirmanAbstrakKorban kekerasan seksual berpotensi untuk menjadi pelaku kejahatanserupa. Untuk itu, perlu dilakukan perlindungan dan pendampingankorban kekerasan seksual. Walaupun tidak semua korban kekerasanseksual akan menjadi pelaku tindak kejahatan kekerasan seksual dimasa yang akan datang tetapi tindakan preventif harus tetap dilakukan.Makalah ini disusun, diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untukmenghentikan kekerasan seksual dengan memberikan gambaranperlunya perlindungan dan pendampingan korban kekerasan seksualsehingga meminimalisir terjadinya peristiwa korban kekerasan seksualmenjadi pelaku kekerasan seksual. Alasan lain mengapa perlunyaperlindungan dan pendampingan korban kekerasan seksual adalahdengan melihat dampak dari kekerasan seksual yang sangatmengerikan bagi korban. Kebanyakan korban kekerasan seksualmerasakan kriteria psychological disorder yang disebut post-traumaticstress disorder (PTSD), simtom-simtomnya berupa ketakutan yangintens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelahperistiwa traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korbanyang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahununtuk terbuka pada orang lain.A. Latar BelakangKorban kekerasan seksual berpotensi untuk menjadi pelakukejahatan serupa. Untuk itu, perlu dilakukan perlindungan danpendampingan korban kekerasan seksual. Walaupun tidak semuakorban kekerasan seksual akan menjadi pelaku tindak kejahatankekerasan seksual di masa yang akan datang tetapi tindakan preventifharus tetap dilakukan.Sejauh ini, tindakan-tindakan baik represif atau preventif belumdilakukan dengan maksimal, karena memang belum terstruktur danterprogram dengan baik. Pemerintah dan seluruh pihak harus dapatbenar-benar memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini, agarkorban kejahatan tidak berpotensi menjadi pelaku, begitu juga denganpelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya.118


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>1. KekerasanKekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuansalah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000). Kekerasan adalahpenggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakanterhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang ataumasyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besarmengakibatkan memar/ trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainanperkembangan atau perampasan hak.2. Kekerasan SeksualKekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual ataubentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksualbiasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik (O‟Barnett et al.,dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksualyang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksualtanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,dkk dalam Matlin, 2008).Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruhpeta kekerasan terhadap perempuan karena ada dimensi yang sangatkhas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelakudan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalamkasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasayang dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangandiperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadapkorban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan,ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial atau modalitassosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubunganpatron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikanburuh,guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjataatau aparat-penduduk sipil.Komnas Perempuan mencatat dalam waktu tiga belas tahunterakhir kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dariseluruh total kasus kekerasan, atau 93.960 kasus dari seluruh kasuskekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan (400.939). Artinyasetiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data inimerupakan hasil dokumentasi yang berasal dari CATAHU, yaitu catatantahunan Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga layanan bagiperempuan korban, pemantauan Komnas Perempuan tentangpengalaman kekerasan terhadap perempuan di dalam konteks Aceh,Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng, pelaksanaanOtonomi Daerah, dan rujukan Komnas Perempuan pada data dari TimGabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 sertaKomisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR).119


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>B. Alasan-Alasan Perlunya Perlindungan dan PendampinganKorban Kekerasan Seksual.Secara umum, perlunya diberikan perlindungan hukum padakorban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional,tetapi juga internasional, oleh karena itu masalah ini perlu memperolehperhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatanmemperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari dibentuknyaDeclaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime andAbuses of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai hasildari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crimeand the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia,Sepetember 1985, dalam salah satu rekomendasinya disebutkan:“Offenders or third parties responsible for their behaviourshould, where appropriate, make fair restitution to victims, theirfamilies or dependents. Such restitution should include the returnof property or payment for the harm or loss suffered,reimbursement of expenses incurred as a result of thevictimization, the provision of services and the restoration ofrights”.(Pelaku atau mereka yang bertangung jawab atas suatu perbuatanmelawan hukum, harus memberi restitusi kepada korban,keluarga atau wali korban. Restitusi tersebut berupapengembalian hak milik atau mengganti kerugian yang dideritakorban, kerugian biaya atas kelalaian yang telah dilakukannyasehingga menimbulkan korban, yang merupakan suatu penetapanundang-undang sebagai bentuk pelayanan dan pemenuhan atashak).Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindunganyang diberikan mengalami perluasan yang tidak hanya ditujukan padakorban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadapkorban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap korbanmemperoleh perhatian yang serius tidak hanyadari masing-masingnegara, tetapi juga dunia. Deklarasi PBB memberi perlindunganterhadap korban dengan memberikan restitusi, sehingga korbanmendapatkan ganti kerugian atas apa yang telah dideritanya.Pada Juni, <strong>2014</strong> terjadi kembali kasus kekerasan seksual diBanyumas, Jawa Tengah yaitu seorang pedagang cilok keliling diPurwokerto Kabupaten Banyumas Jawa Tengah berinisial DS (25tahun) yang beralamat di Jalan Sokajati, Pasirmuncang, PurwokertoBarat, baru-baru ini ditangkap Timsatreskrim Polres setempat karenadiduga telah mencabuli anak-anak di bawah umur. Tak tanggungtanggung,jumlah korban pencabulan diperkirakan mencapai 28 anak120


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>berusia rata-rata antara 10-14 tahun. Modusnya, bocah yang akandijadikan korban, oleh tersangka pelaku iming-iming uang yangbesarnya antara Rp5.000,00-Rp20.000,00. Bocah yang tergiur kemudiandiajak oleh pelaku ke tempat yang sepi dengan motornya. Ada yangdibawa ke warnet, lapangan, kamar mandi atau bahkan dibawa ke WCumum. Sebelum dicabuli, korban terlebih dahulu diberi minuman kerasyang dicampur dengan pil dextro. Setelah korban diberi minuman dantidak berdaya, pelaku mencabuli korban atau melakukan perbuatan yangtidak pantas. Terkait perilakunya yang menyimpang, tersangka DSmengaku pernah menjadi korban pencabulan oleh tetangganya.Berdasarkan kasus tersebut ditemukan fakta bahwa pelakukekerasan seksual dahulu pernah menjadi korban kekerasan seksual.Memang ada berbagai macam alasan seseorang menjadi pelakukekerasan seksual seperti faktor penyimpangan seksual, kesempatan,namun pada kasus lain yaitu Kasus di TK Jakarta International Schoolsalah satu pelaku juga pernah menjadi korban kekerasan seksualsewaktu kecil.Ketika para pelaku kekerasan seksual yang dulunya pernahmenjadi korban kekerasan seksual ketika baru saja mengalami kejadianmemilukan tersebut tidak mendapat penanganan yang baik dari berbagaipihak. Maksudnya adalah kasus tersebut tidak dilaporkan ke Kepolisian,tidak ada psikolog yang menemani untuk memulihkan psikis korban,orang tua, teman-teman dan lingkungan sekitar pasif. Sehingga korbanhanya sendirian saja dan terjadilah reviktimisasi atau korban menjadikorban untuk kedua kali. Apakah kita hanya dapat diam saja melihatfakta mengerikan itu terjadi. Seolah-olah sederetan kasus kekerasanseksual yang terkuak pada <strong>2014</strong> seperti siklus, artinya pelaku kekerasanseksual ternyata dulunya korban kekerasan seksual. Jadi, perlu adanyaperlindungan dan pendampingan korban kekerasan seksual.Perlindungan dan pendampingan terhadap korban kekerasanseksual dapat dilakukan dengan cara:a) Dorong untuk melakukan proses hukum &assessment psikis utktraumanya;b) Laporkan kasus dilakukan di unit Perlindungan Perempuan & Anak(PPA) Polres, bisa melalui PPT PKBGA setempat, sangatdisarankan korban didampingi orang-orang yg mengerti isu;c) Anak sampai dengan 18 tahun diperoses di bawah UU PerlindunganAnak. Pahami UUPA, jgn sampai sudah berkasus baru berminatmempelajarinya;d) Memproses kasus kekerasan seksual secara hukum tak semataberpatokan pada cukupnya bukti dan saksi;e) Lakukan segera proses konseling atau terapi pada korban, denganmelibatkan psikolog;121


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>f) Korban sering lebih cenderung menjawab dengan tidak rileks saatassessment psikis. Gejala trauma bisa tidak terlihat. Fasepenyangkalan dan rasa bersalah bisa akibatkan korban terlihattenang & baik-baik saja. Ini sering disalahartikan dan dilaporkansebagai bahwa korban tidak terguncang, tidak trauma atau baik-baiksaja adalah sangat merugikan;g) Lakukan juga assessment psikis pembanding di lembaga atau ahlijiwa independen yang lebih mengerti soal trauma dan bisa menggalipersoalan psikis korban dengan lebih mendalam dan teliti.Janganabaikan hasil assessment psikis, salah 'membaca' gejala trauma akanmerugikan korban yang sedang butuh keadilan;h) Bila dalam proses kasus, aparat melakukan pemaksaan konfrontasiantara korban dan pelaku, pastikan korban didampingi konselor.Proses tersebut sebenarnya sangat merugikan korban karena saatkorban dipertemukan dengan pelaku, ia bisa merasa terintimidasi,tertekan, dan labil;i) Mempertemukan korban dan pelaku di luar pengadilan tanpapendamping atau konselor bisa berpotensi mencederai keadilan bagikorban;j) Karena korban yang tertekan bisa berubah karena takut atau tidakenak hati. Apalagi bila pelaku adalah orang dekat;k) Jauhkan korban dari pelaku. Sangat disarankan mengevakuasikorban ke rumah aman; danl) Libatkan lembaga-lembaga dan pegiat isu kekerasan seksual saatmemproses kasus untuk mendapatkan dukungan lebih kuat. Merekajuga akan men-support pengetahuan tentang UUPA.Alasan lain mengapa perlunya perlindungan dan pendampingankorban kekerasan seksual adalah dengan melihat dampak dari kekerasanseksual yang sangat mengerikan bagi korban. Kebanyakan korbankekerasan seksual merasakan kriteria psychological disorder yangdisebut post-traumatic stress disorder (PTSD), gejala-gejala berupaketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kakusetelah peristiwa traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002),korban yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hinggatiga tahun untuk terbuka pada orang lain. Finkelhor dan Browne (dalamTower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasanseksual, yaitu:1) Betrayal (penghianatan)Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasanseksual. Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dankepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaananak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual)122


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Russel (dalam Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yangmengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubunganseksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasanseksual dalam rumah tangga. Finkelhor (dalam Tower, 2002)mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jeniskarena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.3) Powerlessness (merasa tidak berdaya)Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dankecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaantidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korbanmerasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja.Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya,pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihandalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002).4) StigmatizationKorban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, dan memilikigambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibatketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memilikikekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbedadengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnyaakibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakanobat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya,menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memorikejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).C. Perlindungan dan Pendampingan Korban Kekerasan Seksualdi Banyumas, Jawa TengahMenurut Dra. Tri Wuryaningsih, M.Si., Dosen Fisip JurusanSosiologi Unsoed Purwokerto indikator telah terjadi kekerasan seksualantara lain:a) Adanya perubahan pada perasaan, sikap maupun perilaku anak padahal-hal yang berkaitan dengan seksualitas;b) Pengetahuan yang tiba-tiba dimilikinya tentang seks;c) Reaksi yang sangat kuat pada kontak fisik seperti misalnya sangatmenarik diri dari kontak fisik atau sebaliknya mempunyaiketertarikan yang besar untuk bermain-main dengan seksualitasnya;d) Menunjukkan kemunduran perkembangan secara fisiologis atauperilaku yang tiba-tiba, seperti: perubahan kebiasan tidur, makan,prestasi di sekolah (mundur sekali atau malah berprestasi);e) Mengalami masalah dalam hubungannya dengan orang lain disekolah, seperti:bermasalah dengan kedisiplinan, menghindar daritugas-tugas, menarik diri;f) Ketegangan emosi, misalnya selalu takut, cemas, mudahtersinggung, mudah marah, dan depresi.123


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terusmenerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan pekatentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagaikejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkandidukung secara tidak langsung oleh negara melalui muatan dalamKitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP). Dalam KUHPkekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaranterhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajatperkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwakekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata. Sikap korbanmembungkam justru pada banyak kesempatan didukung, bahkandidorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakatsekitarnya. Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasanseksual lebih sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaansemata.Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah kesusilaanmenyebabkan kekerasan seksual dipandang kurang pentingdibandingkan dengan isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhanataupun penyiksaan. Padahal, pengalaman korban kekerasan seksualmenunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruhintegritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkanhidupnya lagi. Aspek khas dari kekerasan seksual terkait denganwacana moralitas juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalamupaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan danpemulihan. Pengaitan peristiwa kekerasan seksual dengan persoalanmoralitas menyebabkan korban membungkam dan korban justrudisalahkan atas atas kekerasan yang dialaminya. Karena apa yangdialami korban dimaknai sebagai “aib”, tidak saja bagi dirinya tetapijuga bagi keluarga dan komunitasnya, korban seringkali dikucilkan.Ada pula korban yang diusir dari rumah dan kampungnya karenadianggap tidak mampu menjaga kehormatan dan merusak nama baikkeluarga ataupun masyarakat.Pengucilan dan stigmatisasi atau pelabelan dirinya sebagai“barang yang rusak” akibat kekerasan seksual itu bahkan dapatberlangsung sekalipun korban memenangkan kasusnya di pengadilan.Korban kerap dituduh membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketikaia dianggap tidak berupaya untuk melawan pelaku, menempatkandirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbuaidengan iming-iming pelaku.Landasan <strong>Hukum</strong> untuk Jaminan Perlindungan dari TindakKekerasan Seksual <strong>Nasional</strong>:1) Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP) pasal 285, 286, 287,290, dan 291;124


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PenghapusanKekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pasal 8(b), 47, dan 48;3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PemberantasanTindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3 dan 7);4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anakpasal 1(15), 17 (2), 59, 66 (1 dan 2), 69, 78, dan 88Landasan <strong>Hukum</strong> untuk Jaminan Perlindungan dari TindakKekerasan Seksual Internasional:1) Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1 dan 2, dan pasal 68;2) Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam KonflikBersenjata;3) Deklarasi Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan(ICPD) pada bulan Desember 1993;4) Deklarasi Wina Tahun 1993.1. Hambatan Mengakses Keadilan & Pemulihan Bagi KorbanKekerasan SeksualSecara umum, ada empat faktor penentu perempuan korbanperkosaan dalam mengakses keadilan dan pemulihan, yaitu faktorpersonal, sosial budaya, hukum, dan politik. Keempat faktor ini salingkait-mengait dan menentukan tingkat kepercayaan korban untukmelaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan menjadi pulih. Di tingkatpersonal, perempuan korban perkosaan bisa menderita traumamendalam akibat perkosaan yang ia alami. Trauma ini dapattermanifestasi pada kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya,kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut yangluar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakanperistiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korbantidak mampu atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya.Faktor sosial budaya seperti konsep moralitas dan aibmengakibatkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, meragukankesaksian korban atau mendesak korban untuk bungkam. Pada sejumlahmasyarakat, konsep “AIB” juga dikaitkan dengan konsep nasib sial dankarma. Perempuan korban perkosaan dianggap bernasib sial karenaharus menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukanoleh keluarga atau para leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasanseksual yang ia alami dianggap membongkar aib yang ada di dalamkeluarganya. Situasi ini pula yang mendorong keluarga untukmengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikirtentang “aib” seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusirdari lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnyadengan pelaku kekerasan, misalnya dengan memaksakan perempEuankorban menikahi pelakunya.125


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikandalam memahami hambatan yang dihadapi korban yaitu aspeksubstansi, struktur dan budaya hukum. Di tingkat substansi, sekalipunada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dandiskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali olehhukum Indonesia, ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebutmasih belum utuh. Dalam konteks perkosaan, hukum Indonesia hanyamengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentukpenetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibatpenetrasi tersebut.Padahal, ada banyak keragaman pengalamanperempuan akan perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntutkeadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki definisisempit atas tindak perkosaan itu. Di tingkat struktur, lembaga penegakhukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menanganikasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkatpenyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yangmemadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak penyelenggarahukum mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dankekerasan seksual.Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkanempati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkankorban. Pertanyaan seperti memakai baju apa, sedang berada dimana,dengan siapa jam berapa merupakan beberapa pertanyaan yang kerapditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika menerima laporan kasusperkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan bahwatiadanya perspektif korban tapi juga bentuk mengakimi korban danmenjadikan korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi).Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tersedia tidaknyaperlindungan saksi dan korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus,korban tidak mau melaporkan kasusnya karena kuatir balas dendampelaku. Korupsi dalam proses penegakan hukum yang begitu menguratakar juga menjadi hambatan bagi perempuan korban yang kehilangankeyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil danterpercaya. Faktor lain yang mempengaruhi akses perempuan korbanperkosaan pada proses mencari keadilan dan pemulihan adalah faktorpolitik. Dalam konteks konflik, proses pengungkapan kebenaran sangatditentukan oleh itikad baik politik (good will) penyelenggara negara.2. Ranah Kekerasan SeksualKekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja dan kapanpun.Data Komnas Perempuan tahun 2012 menunjukkan kekerasan seksualterjadi disemua ranah yaitu personal, publik dan negara. Jumlah palingtinggi terjadi di ranah personal, yaitu ¾ dari total kekerasan seksual. Di126


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>ranah personal artinya kekerasan seksual dilakukan oleh orang yangmemiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek),kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengankorban. Banyaknya jumlah kasus di tingkat personal bisa jadi terkaitdengan kehadiran payung hukum, yaitu UU. No. 23 tahun 2004 tentangPenghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang telahdisosialisasikan secara meluas ke masyarakat, bertambahnya lembagalembagayang dapat diakses oleh perempuan korban, sertameningkatnya kepercayaan korban pada proses keadilan dan pemulihanyang dapat ia peroleh dengan melaporkan kasusnya itu.Jumlah kedua adalah kasus-kasus kekerasan seksual yangterjadi di ranah publik, yaitu 22.284 kasus. Di ranah publik berarti kasusdimana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan, darahataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga,guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidakdikenal. Dalam berbagai dokumentasi, ditemukan pula bahwa pelakukekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Jumlahnyamencapai 1.561 kasus. Dalam konteks pelaku adalah aparat negaradalam kapasitas tugasnya inilah yang dimaksudkan sebagai ranahnegara. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika padaperistiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namuntidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindakkekerasan tersebut berlanjut.Upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindunganhukum terhadap korban kekerasan seksual dapat mencakup:a. Pada waktu korban melapor perlu ditempatkan di Ruang PelayananKhusus (RPK) yang merupakan sebuah ruang khusus yang tertutupdan nyaman di kesatuan Polri, dimana perempuan dan anak yangmenjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dapat melaporkankasusnya dengan aman kepada Polwan yang empatik, penuhpengertian dan profesional;b. Upaya pendampingan sangat dibutuhkan selama proses persidanganmengingat korban dapat/harus dipertemukan dengan pelaku yangdapat membuat korban trauma sehingga akan mempengaruhikesaksian yang akan diberikan dalam persidangan;c. Setelah pelaku dijatuhi hukuman oleh hakim, maka korban berhakmendapatkan perlindungan yang antara lain: mendapatkannasihathukum, dan/atau memperoleh bantuan biaya hidupsementara sampai batas waktu perlindungan akhir.Aparat penegak hukum dalam memberi pelayanan danperlindungan kepada korban kekerasan seksual seyogyanya dilandasioleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidakhanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakanUndang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal127


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>tunggal). Masyarakat seyogyanya juga ikut mendukung para korbankekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehinggabangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakanmasyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.3. Perlindungan dan Pendampingan Korban Kekerasan Seksual diJawa TengahBadan Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anakdan Keluarga Berencana (BP3AKB) Jawa Tengah menyatakan siapmembantu pemulihan kondisi psikologi korban secara gratis. KepalaBP3AKBP Jawa Tengah, Sri Kusuma Astuti mengatakan pihaknya siapmelakukan pendampingan kepada korban melalui Pusat PelayananTerpadu (PPT) yang memang ada di tiap kabupaten/kota. Menurut dataBP3AKB yang diperoleh detikcom, ada 247 kasus kekerasan seksualyang dialami anak dari awal tahun <strong>2014</strong> hingga triwulan kedua yaitubulan Juni.Sudah ada beberapa wadah yang berfungsi untuk perlindungandan pendampingan bagi korban kekerasan seksual seperti UnitPelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Kantor Polisi. Namun,sampai saat ini tidak ada wadah yang secara konsisten dan berkalapendampingan korban. Lembaga Swadaya Masyarakat, KomisiPerlindungan Perempuan dan Anak juga tidak memiliki program untukmendampingi korban sampai jangka waktu tidak tertentu artinyapendampingan berhenti hanya jika korban sudah mulai melupakankejadian kekerasan seksual yang menimpanya, tentu untuk menilaikapan waktunya maka tidak ada ukuran bakunya karena masing-masingkorban memiliki perbedaan. Sehingga saat ini sangat dibutuhkan wadahyang fokus dari awal sampai akhir untuk melindungi dan mendampingikorban kekerasan seksual, jadi diperlukan regulasi untuk mengatur itu.D. Kesimpulan dan Saran1. Tanpa penanganan yang tepat, terhadap korban kekerasan seksualakan timbulkan masalah kejiwaan di masa yang akan datang,mengganggu peran dan fungsi sosialnya serta berpotensimembuatnya menjadi pelaku kekerasan juga. Ide dasarperlindungan dan pendampingan terhadap korban kekerasan seksualtimbul dikarenakan korban tersebut mengalami penderitaan secarafisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkanwaktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yangdialami korban kekerasan seksual tidak ringan dan membutuhkanwaktu yang tidak singkat untuk bisa memulihkannya, maka aparatpenegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadapkorban kekerasan seksual yangdiimplementasikan dalam peraturanperundang-undangan sebagai produk hukum yang memihak korban.128


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>2. Sudah ada beberapa wadah yang berfungsi untuk perlindungan danpendampingan bagi korban kekerasan seksual seperti UnitPelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Kantor Polisi. Namun,sampai saat ini tidak ada wadah yang secara konsisten dan berkalapendampingan korban. Lembaga Swadaya Masyarakat, KomisiPerlindungan Perempuan dan Anak juga tidak memiliki programuntuk mendampingi korban sampai jangka waktu tidak tertentuartinya pendampingan berhenti hanya jika korban sudah mulaimelupakan kejadian kekerasan seksual yang menimpanya, tentuuntuk menilai kapan waktunya maka tidak ada ukuran bakunyakarena masing-masing korban memiliki perbedaan. Sehingga saatini sangat dibutuhkan wadah yang fokus dari awal sampai akhiruntuk melindungi dan mendampingi korban kekerasan seksual, jadidiperlukan regulasi untuk mengatur itu.Aparat penegak hukum dalam memberi pelayanan danperlindungan kepada korban kekerasan seksual seyogyanya dilandasioleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidakhanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakanUndang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasaltunggal). Masyarakat seyogyanya juga ikut mendukung para korbankekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehinggabangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil menyejahterakanmasyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.Daftar PustakaAbineno, J.L.Ch. 1999. Seksualitas dan Pendidikan Seksual. Jakarta: PTBPK Gunung Mulia.Hamzah, Andi. 1986. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalamKitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Acara Pidana. Bandung:Binacipta.Irfan, Muhammad dkk. 2001. Perlindungan Terhadap KorbanKekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan).Bandung: PT Refika Aditama.Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan TerhadapKorban Kekerasan Seksual : Advokasi Atas Hak AsasiPerempuan. Bandung: Refika Aditama.Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi.Jakarta: Sinar Grafika.Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP).129


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi KonvensiMenentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lainyang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan MartabatManusia.Buletin Sekretaris Jenderal PBB tentang tindakan-tindakan khusus bagiperlindungan dari eksploitasi seksual dan pelanggaran seksual,St/SGB/2003/13, 9 Oktober 2003 dalam Komnas Perempuan.Komnas Perempuan. 2007. Pembela HAM: Berjuang Dalam Tekanan.The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance ofHuman Rights as Means of Interpretation diakses darihttp://www2.ohchr.org/english/issues/women/docs/Paper_Prosecution_of_Sexua_Violence.pdf. pada 25 Oktober <strong>2014</strong>.130


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>PENCEGAHAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM KEKERASANSEKSUAL PADA ANAK DI KOTA BANJARMASINOleh: Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Lambung MangkuratAbstrakAnak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yangdidalam dirinya melekatharkat dan martabat sebagai manusiaseutuhnya. Oleh karena itu, anak juga memiliki hak asasi manusiayang diakui oleh masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia, diakuibahwa dalam masa pertumbuhannya seara mental anak membutuhkanperawatan, perlindungan yang khusus maupun perlindungan hukumbaik sebelum maupun sesudah lahir. Makalah tentang pencegahan danperlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana kekerasanseksual di Kota banjarmasin ini membahas tentang bagaimana caramencegah tindak pidana kekerasan seksual pada anak dan bagaimanaperlindungan hukum bagi korban secara yuridis. Khusus topik iniruang lingkup yang kami angkat adalah di Kota Banjarmasin yangmenurut lembaga perlindungan anak di daerah Kalimantan Selatandari tahun 2013 sampai <strong>2014</strong> menanjak. Oleh karena itu, perankeluarga, pemerintah kota, dan masyarakat sangat diperlukan untukmemberantas tindak pidana kekerasan seksual pada anak di KotaBanjarmasin.A. Latar BelakangKehidupan manusia sekarang ini diwarnai oleh berbagaikemajuan dalam segala bidang seperti teknologi komputer,telekomunikasi, kedokteran, dan lain-lain. Kemauan yang telah dicapaitersebut disamping memberikan dampak positif, dan juga dampaknegatif bagi kehidupan masyarakat. Dampak positif di antaranyaadalah memberikan kemudahan bagi manusia untuk mendapat sesuatuyang diinginkan sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan dampaknegatif di antaranya adalah dapat menimbulkan berbagai tindak pidana(kejahatan) di dalam kehidupan .Salah satu bentuk kejahatan yang cukup meresahkanmasyarakat adalah berupa tindak kekerasan seksual terhadap anak yangmasih di bawah umur yang hampir melanda di seluruh wilayahIndonesia tidak terkecuali di Kota Banjarmasin.Di Indonesia kasus kekerasan seksual terus meningkat daritahun ke tahun. Meningkatnya angka kekerasan seksual merupakan halyang harus mendapatkan perhatian serius karena sudah menjadifenomena yang sangat mengkhawatirkan. Hampir setiap hari131


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>pemberitaan di media massa seperti media cetak dan media elektronikmempublikasikan kasus-kasus kekerasan seksual, baik yang terjadipada anak maupun perempuan. Kekerasan seksual adalah suatu bentuktindakan atau percakapan seksual yang dilakukan oleh pelaku terhadapkorbannya.Tindak kekerasan seksual pada anak Indonesia masih sangattinggi. Salah satu penyebabnya adalah paradigma atau cara pandangyang keliru mengenai anak. Hal ini menggambarkan seolah-olahkekerasan terhadap anak sah-sah saja karena anak dianggap sebagaihak milik orang tua yang dididik dengan sebaik-baiknya termasukdengan cara yang salah sekalipun. Tindak kekerasan seksual terhadapanak tersebut tidak boleh dibiarkan berlangsung secara terus-menerus,melainkan harus ditanggulangi baik melalui upaya pendekatan yuridismaupun pendekatan non yuridis serta menjadi tanggung jawab seluruhkomponen masyarakat.Dengan adanya kasus kekerasan seksual terhadap anak, makaakan menjadi korban dari perbuatan seseorang dan tentunya akanmenimbulkan dampak psikologis bagi kelangsungan kehidupannya.Dalam hal ini, maka kedudukan anak sebagai generasi bangsa, akanmengalami hambatan terhadap perkembangan jiwa atau mentalnya.Secara yuridis masalah tindakan kekerasan seksual terhadapanak di bawah umur dapat dikenakan pasal 290 angka (2e) KUHPyaitu seseorang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang yangbelum cukup umur 15 tahun dan diancam pidana penjara selama tujuhtahun. Disamping itu, dapat pula dikenakan pasal 292 KUHP, yaituorang dewasa yang melakukan cabul dengan orang yang belum dewasadari jenis kelamin yang sama dan diancam pidana penjara lima tahun.Kemudian tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yangdibawah umur juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada pasal 58 ayat (1)disebutkan, bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkanperlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual.Dalam rangka menanggulangi tindak pidana kekerasan seksualterhadap anak di bawah umur, maka diterbitkan Undang-UndangNomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undangundangini telah menentukan sanksi pidana terhadap tindak pidanakekerasan seksual yang dilakukan kepada seorang anak yang belumdewasa sebagaimana disebutkan pada pasal 81 ayat (1) sebagai berikut:“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atauancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetujuandengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidanapenjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga132


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enampuluh juta rupiah).”Berdasarkan keterangan tersebut diatas, jelas menunjukkanbahwa seorang anak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakkekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa melaluipengenaan sanksi pidana penjara dan denda bagi pelakunya.Meskipun demikian, kenyataannya menunjukkan masihditemukan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap seorang anak yangbelum dewasa sebagaimana pemberitaan media massa maupun mediaelektronik. Hal ini menunjukkan bahwa masalah tindak kekerasanseksual terhadap anak yang belum dewasa tidak hanya ditanggulangimelalui pendekatan yuridis semata melainkan diperlukan pendekatannonyuridis atau sosiologis.Pendekatan nonyuridis tersebut dilakukan dalam upaya untukmengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pelaku melakukan tindakkekerasan seksual terhadap seorang yang belum dewasa, sehinggadapat diambil langkah-langkah penanggulangannya dengan baik gunamengantisipasi dan mencegah terjadinya kasus demikian.Berkaitan dengan itu, perlu diketahui dampak psikologis yangdialami seorang anak yang belum dewasa yang menjadi korban tindakkekerasan seksual. Hal ini penting dilakukan dalam upaya melakukanpembinaan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual,sehingga anak tidak mengalami gangguan atau hambatan dalamperkembangan jiwa atau mentalnya.Di Banjarmasin kasus kekerasan seksual terhadap anakdibawah umur terus mengalami peningkatan. Dari data tahun 2013yang diperoleh dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) KalimantanSelatan terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anakdibawah umur. Hal ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan danmengancam kelangsungan pertumbuhan anak-anak khususnya di KotaBanjarmasin.Berdasarkan gambaran pemikiran tersebut diatas, maka diambil judulmakalah yaitu “Pencegahan dan Perlindungan <strong>Hukum</strong> KekerasanSeksual terhadap Anak di Bawah Umur di Kota Banjarmasin”.B. Landasan Teori1. Pengertian Tindak PidanaIstilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalamhukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari 3(tiga) kata yaitu straf, baar, feit. Straf diterjemahkan dengan pidanadan hukum, baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkanuntuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran,133


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>dan perbuatan. 1 Dalam hukum pidana, istilah tindak pidana ini tumbuhdari pihak Kementerian Kehakiman, sering dipakai dalam perundangundangan.Meskipun tindak lebih pendek dari perbuatan, tapi tidakmenunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanyamenyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwadengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerakgerik,atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalamtindak-tanduk, tindakan, dan bertindak dan belakangan juga seringdipakai “ditindak”. Maka dalam perundang-undangan yangmenggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri,maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kataperbuatan. Contohnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentangPemilihan Umum (pasal 127, 129 dan lain-lain). 2Istilah “tindak” memang lebih lazim digunakan dalamperaturan perundang-undangan kita, walaupun masih banyakdiperdebatkan juga ketepatannya. Tindak menunjuk pada hal kelakuanmanusia dalam arti yang positif (handelen) semata, dan tidak termasukkelakuan manusia yang pasif atau negatif (natalen). Padahal pengertianyang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatanaktif maupun pasif tersebut.Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untukmewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan ataugerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnyamengambil (pasal 362 KUHP) atau merusak (pasal 406 KUHP).Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatubentuk perbuatan tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya,misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 351 KUHP) atau perbuatanmembiarkan (pasal 304 KUHP).Istilah perbuatan ini dipertahankan oleh Moeljatno dan dinilaioleh beliau sebagai istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan isipengertian dari strafbaar feit. Begitu juga Prof.Ruslan Salehmenggunakan istilah perbuatan pidana, misalnya dalam buku beliau“Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawab Pidana”.Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yangdidefinisikan beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatuaturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupapidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangantersebut”. Adapun istilah perbuatan pidana lebih tepat, alasannyaadalah:1Adami Chazawi. Pelajaran <strong>Hukum</strong> Pidana I. (Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2002), hlm.69.2 Moeljatno. Asas-asas <strong>Hukum</strong> Pidana. (Jakarta: PT Rineka Cipta,2002),hlm. 54.134


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>1) Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia,yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan(orang)), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya,sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancamanpidana (yang ditunjukan pada orangnya) ada hubungan yang erat,dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadianyang ditimbulkan oleh orang tadi, melanggar larangan) denganorang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.3) Untuk menyatakan hubungan yang erat itulah maka lebih tepatdigunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yangmenunjukan pada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama adalahkejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuatatau yang menimbulkan kejadian itu. 3Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana sepertitercermin dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya,menampakan bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dengan orangyang melakukan yang disebut pandangan dualisme, pandangan tersebutjuga dianut oleh banyak ahli, misalnya Pompe, Vos, Tresna, RoeslanSaleh, dan A.Zaenal Abidin.Pompe yang merumuskan bahwa suatu strafbaarfeit itusebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurutsesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakanyang dapat dihukum. 4R.Tresna merumuskan perihal peristiwa pidana yangmenyatakan bahwa“peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatanatau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan denganundang-undang atau peraturan perundang-undangan laiinya terhadapperbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.” 5R.Tresna menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itumempunyai syarat-syarat yaitu:1) Harus ada perbuatan manusia;2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalamketentuan hukum;3) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaituorang yang harus dapat dipertanggungjawabkan;4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum; dan3 Ibid.4 Lamintang, Dasar-dasar <strong>Hukum</strong> Pidana Indonesia, (Bandung: SinarBaru, 1990), hlm. 174.5 Tresna.R. Mr. Asas <strong>Hukum</strong> Pidana, (Jakarta: PT Tiara Limited, 1959),hlm. 27.135


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>5) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukmnya dalamundang-undang. 62. Pengertian AnakDalam berbagai peraturan perundang-undangan di negarahukum Indonesia, tidak melainkan adanya rumusan dari masingmasingperaturan perundang-undangan tersebut hanyalah merupakanpembatasan terhadap suatu perbuatan tertentu, keputusan tertentu,maupun untuk mencapai tujuan tertentu dengan materi hukum yangdiaturnya.Walaupun ada rumusan tentang anak, akan tetapi terdapatperbedaan dari masing-masing rumusan yang disebabkan oleh carapandang atau tolak ukur yang berbeda dalam menentukan batasanumur untuk seorang anak. Namun pada dasarnya tujuan dari semuapembatasan tersebut adalah sama yaitu berkaitan dengan dapattidaknya seseorang dijatuhi hukumnya serta dapat tidaknya suatutindak pidana pertanggungjawabkan kepadanya. Adapun beberapaperaturan perundang-undangnan yang memberi rumusan tentang anakdiantaranya adalah:Pasal 29 KUHPerdata yang menyatakan bahkan “Seorangjejaka yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun,sepertipun seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belastahun, tidak diperbolehkanmengikatkan dirinya dalam perkawinan”.Dari ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa KUHPerdatamemberikan batasan umur bagi anak untuk melangsungkanperkawinan adalah 18 (delapan belas) tahun dan 15 (lima belas) tahunbagi anak perempuan.Selain itu pada pasal 330 KUHperdata disebutkan bahwa“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21(dua puluh satu) tahun dan tidak didahului kawin”. Ketentuan iniberlaku bagi orangEropa, golongan timur asing Tionghoa, dangolongan timur asing bukan Tionghoa atau bagi siapa saja yangmelakukan penundukan diri terhadap BW.Pasal 45 KUHPidana menentukan bahwa “Jika orang yangdibawah umur dituntut karena melakukan tindak pidana ketika umurbelum cukup 16 (enam belas) tahun, dapatlah hakim.....”. ketentuan inimerumuskan secara jelas mengenai pengertian anak dibawah umur.Batas umur 16 tahun yang ditentukan tersebut bukanlah berkaitandengan penentuan bahwa umur 16 tahun merupakan anak yang belumdewasa tetapi ditunjukkan kepada masalah penentuan hukumanterhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum iamencapai umur 16 tahun. Undang-undang Nomor 1 Tahun 19746 Ibid.136


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>tentang Perkawinan pada pasal 7 ayat (1) disebutkan, bahwa“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16(enam belas) tahun”.Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang KesejahteraanAnak, pada pasal 1 angka 2 disebutkan, bahwa “Anak adalahseseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu0 tahun danbelum pernah kawin.” Batas umur 21 tahun ini ditetapkan berdasarkanpertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahapkematangan sosial. Kematangan pribadi dan kematangan mentalseseorang anak yang biasanya dicapai pada umur tersebut. UndangundangNo.3 tahun1997 tentang Peradilan Anak, pada pasal 1 angka 2disebutkan, bahwa “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakaltelah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak AsasiManusia pada pasal 1 angka 5 disebutkan, bahwa “Anak adalah setiapmanusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belummenikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila haltersebut adalah demi kepentingannya”.Kemudian Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak pada Pasal 1 angka 1 disebutkan, bahwa “Anakadalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahuntermasuk anak yang masih dalam kandungan”.Berbeda dengan hukum formal, dalam hukum adat ketentuantentang kedewasaan tidak ditentukan menurut ukuran umur yang pastikarena setiap orang berbeda tingkat kedewasaannya.Begitu pula menurut hukum islam sebagaimana dikatakan olehMulyana W.Kusumah bahwa kedewasaan seseorang itu tidakberdasarkan hitungan usia yang pasti tetapi sejak ada tanda-tandaperubahan badaniah baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan. 7Dan terjadinya perubahan ini adalah berbeda pada setiap orang.Berdasarkan uraian tersebut diatas dan sesuai dengan pokokpermasalahan, maka yang dimaksud dengan anak adalah seseorangyang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yangmasih dalam kandungan.3. Pengertian Kekerasan SeksualKekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadapanak terjadi akibat lemahnya posisi anak yang sering dianggap sebagaiobjek. Perlakuan-perlakuan tersebut tidak wajar dan sering dilakukan1986), hlm. 3.7 Mulyana W.Kusumah. <strong>Hukum</strong> dan Hak-hak Anak. (Jakarta: Rajawali,137


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>dengan mempergunakan kekerasan yang semuanya diawali denganancaman atau bujukan terhadap korban.Di dalam KUHP yang berlaku maupun RUU KUHP yang telahdisusun di Indonesia dikenal istilah kekerasan seksual, beberapabentuknya seperti perkosaan, perbuatan cabul, dan prostitusi dapatdikemukakan di dalamnya, yakni dibawah payung bab kejahatanterhadap kesusilaan.Dengan demikian, kekerasan seksual termasuk dalam kategorikejahatan kesusilaan. Itu sendiri tidak ada penjelasannya secara resmidalam KUHP. Penjelasan mengenai istilah ini dapat ditemukan dalambuku non resmi yang disusun oleh R. Soesilo yang menyebutkanbahwa: “Kesusilaan diartikan sebagai rasa kesopanan yang berkaitandengan nafsu perkelaminan. Lebih jauh dikatakan sebagai suatuperasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin”. 8 Misalnya,bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluanperempuan atau laki-laki, mencium, dan sebagainya. 9Begitu pula istilah kekerasan tindak dirumuskan secara jelasbaik dalam KUHP maupun RUU KUHP <strong>Nasional</strong>. Dalam Pasal 89KUHP hanya disebutkan bahwa yang disamakan melakukan kekerasanadalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatanjasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tanganatau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dansebagainya. 10Kemudian dalam RUU KUHP nasional kekerasan atauancamankekerasan dirumuskan sebagai berikut: 11Bahwa perempuan tidak menghendaki/menyetujui hubungan seksualtersebut. Mengeluarkan atau bahkan mengeliminasi hubungan seksualyang dilakukan berdasarkan ketundukan (submssion), karena alasanalasantertentu. Umpamanya antara seorang majikan terhadapbawahanya yang merasa khawatir dengan masa depan pekerjaannya,atau cemas dengan nilai ujian dalam konteks hubungan guru denganmurid.Menurut WHO, kekerasan atau violence adalah penggunaankekuatan fisik dan kekerasan, ancaman atau tindakan terhadap dirisendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang8 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP) SertaKomentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politteia, 1983),hlm. 204.9 Ibid.10 Ibid.11 Ratna Batara Munti. Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas. Jakarta:Deputi Kajian LBH Apik.138


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis,kelainan perkembangan ataupun perampasan hak.R.Audi menyatakan bahwa “Violence sebagai serangan ataupenyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang atau seranganpenghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganasatas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milikseseorang.” 12 Dari pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkanbahwa setiap penggunaan kekuatan fisik atau serangan yang dilakukanoleh seseorang atau sekelompok orang yang merupakan keadaanalamiah manusia dimana tindakan tersebut dapat mengakibatkanluka/trauma terhadap orang lain.Pengertian seksual menurut kamus hukum adalah “Sesuatuyang berkenaan dengan seks, segala sesuatu yang berkaitan denganmasalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan khusus di antaramanusia.” 13 Istilah seksualitas merujuk pada suatu konsep, konstruksisosial terhadap nilai, orientasi, perilaku yang berkaitan dengan seks.Seks adalah ciri-ciri anatomi biologis yang memberikan perbedaanantara laki-laki dan perempuan. 14Pengertian seksual dalam istilah ilmu kedokteran yaitu hal-halyang berkaitan dengan persetubuhan dan hasil kekerasanpenyertaannya seperti pada perkosaan dan penyimpangan seksual yanglain. 15Aktivitas seksual yang disertai kekerasan seksual tidak hanyaantar lawan jenis, tetapi pada hubungan kelamin sejenis bahkandilakukan terhadap anak-anak sekalipun.Kekerasan seksual terhadapanak diartikan sebagai penggunaan anak dan remaja yang masihdependen, sebelum matang tingkat perkembangannya dalam kegiatanyang tidak dipahami sepenuhnya oleh mereka yang tidak mampumelakukan secara sukarela atau melanggar norma sosial dari perankeluarga. 16Definisi tersebut mungkin akan lebih “keras” jika ditambahkanunsur pemaksaan ke dalamnya. Pemaksaan menjadi unsur yangniscaya dianggap bahwa anak, berhubung tingkat perkembanganbelum mampu melakukan tindakan seksual atas dasar suka sama suka.Istilah penganiayaan atau pelecehan seksual sering dipakai pengganti12 I Marshana Windhu. Kekuasaan dan Kekerasan. Jakarta: Kanisius.hlm. 63.13 Sudarson,Kamus <strong>Hukum</strong>,(Jakarta: Rineka Cipta, 1992),hlm. 432.14Ahmad Sofian, et.all,Kekerasan Seksual Terhadap AnakJerman,(Yogyakarta: Kerjasama PusatPenelitian Kependudukan UniversitasGadjah Mada dan Ford Foundation), hlm. 7.15 Kusnadi, Masalah Seksual,(Surabaya: Karya Anda, 1990), hlm. 26.16 Ibid., hlm. 8.139


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>istilah kekerasan seksual. 17 Penyalahgunaan seks pada anak adalah jikaada seorang anak (dibawah 16 tahun) dilibatkan dalam kegiatan yangbertujuan untuk membangkitkan gairah seksual pada pihak yangmengajak dan pihak pengajak tersebut secara seksual memang sudahmatang. Penyalahgunaan seksual terhadap anak menurut Ducan danBeker, misalkan dilakukan oleh dan antara anggota keluarga, denganorang diluar keluarganya atau dengan orang yang asing sama sekali.Hanya terjadi sekali atau beberapa kali, dengan orang yang sama atauorang yang berbeda. 18Bentuk kegiatan penyalahgunaan seks bisa berupa tanpakontak fisik sama sekali seperti cabul, ekshibisionisme, ada kontakfisik (diraba, dibelai, masturbasi) atau terjadi senggama. 19Penyebab pelecehan seksual pada dasarnya adalah adanyadorongan seksual yang menimbulkan ketegangan seksual, danmembutuhkan pelepasan seksual. Bagi pelaku, bentuk-bentukpelecehan seksual merupakan pelepasan ketegangan seksual, walaupuntidak selalu berupa keputusan seksual yang utuh. 20C. PembahasanPencegahan terhadap kekerasan seksual pada anak dibawahumur dapat dilakukan dengan beberapa upaya salah satunya adalahmelalui peningkatan peran dan tanggung jawab orang tua. Tanggungjawab orang tua yaitu melindungi anak-anak dari tindak kekerasanseksual. Selain pencegahan melalui peningkatan peran dan tanggungjawab orang tua, peran dan koordinasi antara lembaga-lembaga sosialmasyarakat lain seperti sekolah dan masyarakat serta LembagaPerlindungan Anak juga dibutuhkan untuk mencegah terjadinya tindakkekerasan seksual pada anak dibawah umur.Pencegahan kekerasan seksual pada anak dibawah umur dapatdilakukan melalui beberapa pendekatan. Salah satunya melaluipendekatan yuridis maupun pendekatan non-yuridis atau sosiologisseperti mengetahui faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangiseorang melakukan perbuatan itu. Dari faktor-faktor inilah, pihakaparat penegak hukum, orang tua maupun masyarakat dapatmengantisipasi kemungkinan terjadinya-tindak kekerasan seksualterhadap anak dibawah umur. Bagi orang tua misalnya perlumengawasi dengan baik, sehingga kesempatan tersebut tidakdigunakan oleh seseorang untuk melakukan tindak kekerasan seksual17 Ibid.18 Nazmi Akbar, Penyalahgunaan Seks Pada Anak, Suatu Kenistaan,Artikel Koran Kalimantan Post, (2002), hlm. 4.19 Ibid.20 Ahmad Sofian, et.al. Op. Cit., hlm. 5.140


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>terhadap anaknya. Kemudian pihak aparat penegak hukum harusbekerja sama dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pihak-pihaklainnya melakukan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat mengenaifaktor-faktor penyebab seseorang melakukan tindak kekerasan seksualterhadap anak termasuk dampaknya, sehingga dapat mengantisipasiterjadinya tindak kekerasan seksual. Selanjutnya pihak pengelolatelevisi dapat mengurangi tayangan-tayangan yang mengandung unsurunsurkekerasan dan pornografi.Begitu pula pihak aparat penegak hukum dalam hal inikepolisian lebih intensif melakukan razia terhadap peredaran VCDporno serta pihak pengelola majalah atau tabloid dapat mengurangisajian bersifat pornografi seperti memperlihatkan aurat wanita danlain-lain.Mengingat salah satu kendala penanganan kasus tindakkekerasan seksual terhadap anak adalah keenganan danketidakpercayaan (keluarga) korban pada birokrasi aparat penegakhukum, khususnya kepolisian maka untuk merangsang kesediaankorban melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminyasemestinya dilakukan pendekatan dan kemudahan dalam prosespelaporan yang sifatnya empatif terhadap penderitaan korban.Selain deregulasi atau pemberian kemudahan dalam pelaporanoleh aparat kepolisian hal lain yang dibutuhkan korban kekerasanseksual adalah persoalan kepastian hukum. Untuk menangani anakperempuan yang menjadi korban kekerasan seksual sebetulnya sangatdibutuhkan kehadiran lemabga atau pusat krisis yang benar-benarberkompeten di bidang penangana korban kekerasan seksual.Selain pencegahan melalui hal-hal tersebut diatas maka harusdiketahui bahwa faktor utama terjadinya kasus kekerasan seksualadalah karena kurangnya pembelajaran moral atau faktor agama.Dalam artian seseorang yang taat melaksanakan ajaran agama makadia mempunyai kendali dan pegangan dalam kehidupan sehari-hari,sehingga tidak mudah terpengaruh untuk melakukan tindak pidanatermasuk tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.Perlindungan anak adalah segala kegiatan yang menjamin danmelindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuhberkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat danmartabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasandan diskriminasi.Anak-anak membutuhkan perlindungan dan perawatan khusustermasuk perlindungan hukum yang berbeda dari orang dewasa. Halini didasarkan alasan fisik dan mental anak-anak yang belum dewasadan matang. Anak-anak perlu mendapatkan suatu perlindungan yangtelah termuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Setiap anakkelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu141


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh danberkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial, berakhlak muliaperlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkankesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhanhak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.Tujuan perlindungan anak menurut undang-undang adalahuntuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuhberkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkatdan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan darikekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yangberkualitas berakhlak mulia dan sejahtera.Didalam pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa perlindungan khususwajib diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dalampasal 64 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa anak-anak yang berhadapandengan hukum adalah anak-anak yang berkonflik dengan hukum dananak korban kejahatan.Perlindungan anak secara nasional telahmemperoleh dasar pijakan yuridis diantaranya Undang-Undang Dasar1945 sebagai landasan konstitusional serta pasal 21 sampai 24Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Adapun pengertian anak menurut pasal 1 angka 1 Undang-UndangNomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorangyang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yangmasih dalam kandungan. Pasal 17 ayat (2) Undang-UndangNomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak juga mengaturbahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasanseksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.”D. SolusiSolusi yang kami tawarkan dari masalah-masalah yang ada diatas:1) Memberdayakan peran masyarakat dalam rangka pencegahan danperlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual pada anak diKota Banjarmasin.2) Mengedukasi orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitar KotaBanjarmasin dalam rangka pencegahan dan perlindungan hukumbagi korban;3) Memberdayakan peran komisi nasional perlindungan anak kotaBanjarmasin sebagai pusat konsultasi, edukasi, dan pengaduanbagi korban tindak pidana kekerasan seksual pada anak dibawahumur;4) Memberdayakan dan meningkatkan peran pemerintah kota untukmensinergiskan semua elemen yang terlibat di dalam upayapencegahan dan perlindungan hukum bagi korban.142


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Langkah-langkah kongkrit yang harus dilakukan dalam upayapencegahan dan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksualpada anak di bawah umur:1) Memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat olehmahasiswa di Kota Banjarmasin terkait dengan urgensipencegahan dan perlindungan hukum bagi korban dibawah umurbekerja sama dengan lembaga konsultasi dan bantuan hukumuniversitas lambung Mangkurat (LKBH Unlam) Banjarmasin dankomisi nasional perlindungan anak;2) Membentuk forum kajian dan advokasi dibidang pencegahan danperlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual di bawah umurtingkat mahasiswa di Kota Banjarmasin sebagai upaya untukmembantu pemerintah kota dalam bidang ini;3) Membentuk posko-posko pengaduan kasus kekerasan seksual dibawah umur di pelosok-pelosok kota Banjarmasin bekerjasamadengan pemerintah daerah dan warga sekitar.E. Kesimpulan dan SaranDari pemaparan diatas kami berkesimpulan antara lain:1. Pencegahan terhadap kekerasan seksual pada anak dibawah umurdapat dilakukan dengan beberapa upaya salah satunya adalahmelalui peningkatan peran dan tanggung jawab orang tua.Tanggung jawab orang tua yaitu melindungi anak-anak dari tindakkekerasan seksual. Selain pencegahan melalui peningkatan perandan tanggung jawab orang tua, peran dan koordinasi antaralembaga-lembaga sosial masyarakat lain seperti sekolah danmasyarakat serta Lembaga Perlindungan Anak juga dibutuhkanuntuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual pada anakdibawah umur.2. Memberdayakan peran masyarakat dalam rangka pencegahan danperlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual pada anak diKota Banjarmasin.3. Selain pencegahan melalui hal-hal tersebut diatas maka harusdiketahui bahwa faktor utama terjadinya kasus kekerasan seksualadalah karena kurangnya pembelajaran moral atau faktor agama.Dalam artian seseorang yang taat melaksanakan ajaran agamamaka dia mempunyai kendali dan pegangan dalam kehidupansehari-hari, sehingga tidak mudah terpengaruh untuk melakukantindak pidana termasuk tindak kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur.Dari pemaparan diatas kami memberikan saran anatara lain :1. Perlunya sinergisitas antara elemen-elemen yang ada sepertikeluarga, masyarakat, sekolah, lembaga perlindungan anak, dalamupaya penumpasan kekerasan seksual pada anak;143


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>2. Perlunya peran pemerintah kota dalam melindungi warganyadan selaku regulator dibidang kekerasan seksual pada anak;3. Perlunya pendidikan agama sejak dini untuk menagkis seranganseranganyang negatif.Daftar PustakaAhmad Sofian, et.al. kekerasan Seksual Terhadap Anak Jerman.Yogyakarta: Kerjasama Pusat Penelitian KependudukanUniversitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation.Akbar, Nazmi. 2002. “Penyalahgunaan Seks Pada Anak, SuatuKenistaan. Artikel Koran Kalimantan Post Terbitan 16 Oktober2002.Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Perdata Indonesia.Kusumah. 1990. Masalah Seksual. Surabaya: Karya Anda.Munti, Ratna Batara. Tanpa tahun. Kekerasan Seksual: Mitos danRealitas. Jakarta: Deputi Kajian LBH ApikSoesilo, R. 1983. Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP) SertaKomentar-komentar Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.Sudarsono. 1992. Kamus <strong>Hukum</strong>. Jakarta: Rineka Cipta.Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2974 TentangPerkawinan.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 TentangKesejahteraan Anak.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 TentangHak Asasi Manusia.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 TentangPerlindungan Anak.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PenghapusanKekerasan Dalam Rumah TanggaWindu , I Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan. Jakarta: Kanisius.www.kpai.go.id/artikel/perlindungan-hukum-terhadap-anak-korbankejahatanperkosaan-dalam-pemberitaan-media-massa/www.gresnews.com/mobile/berita/sosial/00105-akar-masalah-danpenyebabkekerasan-pada-anak144


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>PERLINDUNGAN DAN PENANGANANKORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI JAWA BARATOleh: Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Padjadjaran(Pemenang Kompetisi Penulisan Makalah Komisi 3)AbstrakDi dalam upaya penegakan hukum khususnya dalam kejahatankekerasan seksual, perlindungan dan penanganan korban merupakansalah satu bagian yang tidak terpisahkan dari proses penegakan hukumitu sendiri. Sistem peradilan pidana di negara Indonesia yang bertujuanmenindak secara tepat pelaku tindak pidana dimulai dari tuntutanbahkan sampai masuknya terpidana ke lembaga pemasyarakatanmerupakan fokus utama negara melalui perangkatnya. Namun, haltersebut sedikit berbanding terbalik dengan peran negara dalammemberikan perlindungan dan penanganan terhadap korban kekerasanseksual itu sendiri khususnya terkait hak materiil yang dapat diberikankepada korban dan penanganan yang dapat diberikan kepada korbanagar pulih baik secara fisik maupun secara psikis. Atas penjelasandiatas, makalah ini dibentuk dengan tujuan untuk menganalisispelaksanaan perlindungan dan penanganan korban kekerasan seksualyang ada sekarang ini, termasuk juga instrumen perlindungan hukumkorban kekerasan seksual terkait hak korban secara materiil denganmelihat dan menimbang beberapa peraturan perundang-undanganterkait. Ruang lingkup bahasan yang dimulai secara umum di Indonesiasampai akhirnya memusat kepada penanganan di Jawa Barat. Adapunanalisis yang digunakan menggunakan pendekatan yuridis-empirisdengan melihat pengaturan perlindungan hukum dan penanganankorban, termasuk juga data-data terkait yang selanjutnya dijadikansebagai hasil penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwabelum efektifnya perlindungan hukum dan penanganan korbankekerasan seksual. Termasuk belum secara jelas mengatur terkait hakmateriil yang dapat dimintakan korban sehingga perlindungan hukumterkait hak materiil masih lemah pengaturannya.A. Latar BelakangDewasa ini, posisi korban kekerasan seksual sangatlah rentanterhadap teror, intimidasi, dan tidak terlindunginya oleh hukum sertadikucilkan dari masyarakat luas. Hal itu menjadikan korban kekerasanseksual cenderung tidak mau berbicara karena keadaannya justru dapatmenempatkan dirinya sebagai “korban untuk yang kedua kalinya”akibat dari terungkapnya peristiwa yang dialaminya. Sesuai denganistilah, siapa yang berbuat haruslah bertanggung jawab, keadilan dan145


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>kebenaran tentu harus tetap ditegakkan. Hal tersebut tidak bisadidiamkan, negara haruslah membuat instrumen hukum yang tepatterkait kejahatan-kejahatan yang khusus seperti kejahatan seksual agartidak hanya memberikan kepastian hukum, akan tetapi juga memberikankeadilan serta kebenaran terhadap korban. Negara perlu mengambilperan ganda dalam hal ini, yakni pertama, menindak pelaku sesuaidengan hukum yang berlaku dan kedua, mengambil tindakan lanjutanbagi korban dengan tepat.Tidak terlaporkannya suatu kasus atau non-reporting of crimedalam tindak pidana kekerasan seksual menjadi kendala utama dalammelihat permasalahan secara angka atau kuantitatif. Peran negara dirasatidak cukup memberikan perlindungan hukum termasuk di dalamnyaaspek medis (fisik dan psikis), sampai pada putusan pengadilan yangdirasa tidak memberikan keadilan terhadap korban kekerasan seksual.Hal ini pun sejalan dengan peningkatan kasus kekerasanseksual yangmencapai 100 persen. 1Kenyataan tersebut menjadi problema yang luar biasa di negarayang menjunjung tinggi nilai ketimuran namun sudah mulai rontokakibat perilaku immoral yang tidak berperikemanusiaan. Negara perlumengakomodir setiap kebutuhan masyarakatnya termasuk dalammencari kebenaran dan menegakkan keadilan setinggi-tingginya yangbukan saja menghukum pelaku kejahatan namun bersama-samabertanggung jawab untuk memberikan ruang dan tempat yang nyamanbagi korban kekerasan seksual yang sesuai dengan tujuan sebuah negarayang mencantumkan instrumen hak asasi manusia di dalam konstitusisebagai dasar untuk berbangsa dan bernegara.A. Mekanisme Perlindungan <strong>Hukum</strong> Korban Kekerasan SeksualBerdasarkan Peraturan Perundang-undanganRuang lingkup perlindungan hukum yang akan dibahas adalahperlindungan yang diberikan oleh pemerintah melalui perangkathukumnya seperti peraturan perundang-undangan (Kitab Undangundang<strong>Hukum</strong> Pidana, Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Acara Pidana,Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, dan instrumen hukumlainnya), mulai dari seseorang yang diidentifikasi sebagai korbankekerasan seksual, proses beracara mulai penyidikan hingga pengadilan,rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, hingga kepada prosespemulangan korban kekerasan seksual, dan reintegrasi sosial. Selain hal1 Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, PeningkatanKasus Kekerasan Seksual Capai 100 Persen, diakses darihttp://2010.menkokesra.go.id/content/peningkatan-kasus-kekerasan-seksualcapai-100-persenpada tanggal 10 Oktober <strong>2014</strong>.146


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>tersebut juga akan dibahas masalah pemberian restitusi atau ganti rugiyang dapat diberikan kepada korban kekerasan seksual.Dalam mekanisme perlindungan hukum terhadap korbankejahatan termasuk kekerasan seksual, tidak terlepas dari beberapa asashukum yang memerlukan perhatian yakni dalam hukum pidana itusendiri. Adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut:1) Asas ManfaatArtinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainyakemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korbankejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas,khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana sertamenciptakan ketertiban masyarakat.2) Asas KeadilanArtinya penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korbankejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasakeadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.3) Asas KeseimbanganKarena tujuan hukum di samping memberikan kepastian danperlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untukmemulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggumenuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asaskeseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upayapemulihan hak-hak korban.4) Asas Kepastian <strong>Hukum</strong>Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagiaparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalamupaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan. 2Jika dilihat terkait asas yang berhubungan erat dengan tujuandari instrumen tersebut, sesuailah dengan pendapat Andi Hamzah dalambukunya “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yangberkaitan dengan hak- hak asasi manusia, ada kecenderungan untukmengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpamemperhatikan pula hak-hak korban.” 3 Terkait perlindungan hukumtersebut haruslah dimulai dari persamaan di depan hukum. Maksudnyaialah melindungi hak setiap orang yang menjadi korban kekerasanseksual untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama didepan hukum. Oleh karena itu, hukum harus menjamin suatu sistem2 Dikdik M. Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban KejahatanAntara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.164.3 Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam KitabUndang-Undang <strong>Hukum</strong> Acara Pidana, (Bandung: Binacipta, 1986), hlm. 33.147


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>dimana untuk setiap pelanggaran hukum yang telah terjadi atas korbanserta dampak yang diderita oleh korban, maka korban tersebut berhakuntuk mendapat bantuan dan perlindungan yang diperlukan sesuaidengan asas hukum.Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dariperlindungan masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis,dan bantuan hukum. Mengenai ganti rugi dan restitusi adalah sesuatuyang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian denganmemperhitungkan kerusakan yang disebabkan oleh si pelaku secaralangsung dan menimbulkan pula pertanggungjawaban secara tidaklangsung kepada masyarakat atau negara (the responsible of thesociety). Seringkali terdapat kelemahan dalam sistem tersebut dalamarti KUHAP hanya memberikan perlindungan hukum kepada korbandalam bentuk pemberian ganti kerugian melalui penggabungan perkaradan tidak mengatur mengenai bentuk perlindungan hukum lainnya.Tidak diaturnya secara khusus perlindungan hukum untuk korbankejahatan khususnya korban kekerasan seksual dirasa menimbulkanketidakadilan. Ada beberapa keadaan yang dipandang dari aspek korbankekerasan seksual khususnya korban pemerkosaan mengenaiperlindungan hukum saat ini:1) Korban tidak mendapatkan ganti rugi (putusan yang dijatuhkanhakim hanya menjatuhkan satu jenis putusan pemidanaan)2) Jika terjadi kehamilan akibat perkosaan, maka posisi korban tidakmendapatkan perlindungan yang jelas3) Tidak ada pengakuan status anak akibat perkosaanJika mengacu kepada tujuan pidana itu sendiri yang lebihcondong dalam aspek melihat pelaku, hal tersebut memanglah perluakan tetapi perlu juga ada kekhususan terhadap kejahatan khusus pula,salah satunya ialah kekerasan seksual itu sendiri. Bahwa dalampenanganan baik secara hukum dan aspek medis diperlukan hal-halkhusus akibat sangat kompleksnya kekerasan seksual ini, antara lain:1) Terkait pembuktian dimana seringkali kejahatan terjadi tanpa saksimata lain hanya saksi korban saja (unnus testis nullus testis atausatu saksi bukan saksi);2) Ketakutan korban untuk melaporkan kasus tersebut dengan alasanyang kompleks pula;3) Alat bukti yang minim, terutama seringkali sudah hilang akibatsudah membersihkan diri;4) Perspektif korban yang takut akan hukum;5) Seringkali melapor pada saat kejadian sudah berulang-ulang terjadi;6) Pengaruh dimana akan melakukan perbuatan yang sama kepadaorang lain; dan148


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>7) Penyakit seksual.Maka dapat dilihat perlunya kekhususan sejak awal terhadapseseorang yang menjadi korban kekerasan seksual sehingga akhirnyakekhususan ini memberikan ruang gerak yang baik untuk korban itusendiri. Hal tersebut menjadi pusat perhatian yang terletak khususkepada korban. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pengertianperlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu:1) Dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidak menjadikorban tindak pidana”, (berarti perlindungan HAM ataukepentingan hukum seseorang).2) Dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminanatau santunan hukum atas penderitaan atau kerugian orang yangtelah menjadi korban tindak pidana”, (jadi identik dengan“penyantunan korban”). Bentuk santunan itu dapat berupapemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin(antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi,kompensasi, jaminan atau santunan kesejahteraan sosial), dansebagainya. 4Sekarang ini Indonesia telah memiliki undang-undang yangsecara khusus mengatur tentang Perlindungan Korban Kejahatan yaitumelalui Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang PerlindunganSaksi dan Korban. Selain memiliki undang-undang yang secara khususmengatur tentang perlindungan korban kejahatan, Indonesia jugamemiliki beberapa ketentuan yang mengatur tentang perlindungan.Dalam beberapa undang-undang tertentu dapat ditemukan pengaturantentang perlindungan korban kejahatan:1) Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP)Sekalipun KUHP mencantumkan aspek perlindungan korbankejahatan berupa pemberian ganti kerugian, namun ketentuan initidak luput dari berbagai kendala dalam pelaksanaannya, yaitu:a. Penetapan ganti rugi tidak dapat diberikan oleh hakim sebagaisanksi yang berdiri sendiri di samping pidana pokok, jadi hanyasebagai “syarat khusus” untuk dilaksanakannya atau dijalaninyapidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;b. Penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian ini hanya dapatdiberikan apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satutahun atau pidana kurungan;4 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan <strong>Hukum</strong> dan Kebijakan<strong>Hukum</strong> Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2007),hlm. 61.149


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun menurut KUHP hanyabersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif. 52) Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Acara Pidana (KUHAP)3) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,dan lain-lain.Jika melihat ranah kekerasan seksual dari Komnas Perempuan,maka terdapat 14 jenis kekerasan seksual yakni: 1) perkosaan; (2)pelecehan seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan seksual; (5)perbudakan seksual; (6) intimidasi atau serangan bernuansa seksualtermasuk ancaman atau percobaan perksoaan; (7) prostitusi paksa; (8)pemaksaan kehamilan; (9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaanperkawinan; (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (12)kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasiperempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama;(13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktiktradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasiperempuan. Keempat belas jenis kekerasan seksual ini bukanlah daftarfinal, karena ada kemungkinan sejumlah jenis kekerasan seksual yangbelum kita kenali akibat keterbatasan informasi mengenainya. Seruanini menghantarkan Komnas Perempuan untuk menemukan bentuk laindari kekerasan seksual yang dihadapi perempuan di tahun 2012, yaitu(15) pemaksaan kontrasepsi atau sterilisasi. 6 Maka di Jawa Barat sendiriterdapat salah satu peraturan daerah terkait salah satu bagian kekerasanseksual yang diatur, yakni Peraturan Daerah Provinsi Jawa BaratNomor 3 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanganan KorbanPerdagangan Orang di Jawa Barat.Pada dasarnya semua instrumen yang berkaitan tentang korbankekerasan seksual secara eksplisit menjelaskan mengenai perlindunganbagi korban kekerasan seksual tidak saja dilakukan oleh negera akantetapi masyarakat pula dalam hal reintegrasi sosial. Melihat mekanismeperlindungan hukum dapat dibagi menjadi beberapa bagian penting.Pertama, perlindungan dalam hal perawatan medis, psikologis, dankonseling. Kedua, perlindungan hukum dalam khusus acara pidana, danketiga ialah perlindungan hukum dalam hal pemenuhan hak korban.5 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam ProsesPeradilan Pidana, Artikel Dalam Jurnal <strong>Hukum</strong> Pidana dan Kriminologi, Vol.1, (1998), hlm. 17.6Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual:Kenali dan Tangani,diakses dari http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-Tangani.pdf150


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>B. Praktik di Jawa Barat Terkait Perlindungan <strong>Hukum</strong> danPenanganan Korban Kekerasan SeksualKeterbatasan data resmi mengenai jumlah kekerasan seksual diIndonesia menjadi suatu kendala awal untuk melihat pendekatan secaraangka atau kuantitatif. Namun, jika melihat dalam penalaran dasarterkait angka kekerasan seksual di Indonesia dapat dipastikan angkatersebut bukanlah menjadi patokan yang kuat, karena khusus mengenaikekerasan seksual ini tidak dapat dijadikan pertimbangan yang baikkarena kekhususan kekerasan seksual tersebut. Istilah ini dikenaldengan non-reporting of crime (kejahatan yang tidak dilaporkan).Adanya non-reporting ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain:1) Si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinyabaik secara fisik, psikologis maupun sosiologis;2) Si korban merasa berkewajiban melindungi nama baik keluarganya,terutama jika pelaku adalah anggota keluarga sendiri;3) Si korban merasa bahwa proses peradilan pidana terhadap kasus inibelum tentu dapat membuat dipidananya si pelaku;4) Si korban khawatir bahwa diprosesnya kasus ini akan membawacemar yang lebih tinggi lagi pada dirinya (misalnya melaluipublikasi media massa, atau cara pemeriksaan aparat hukum yangdirasanya membuat makin terluka);5) Si korban khawatir akan retalisasi atau pembalasan dari pelaku(terutama jika pelaku adalah orang yang dekat dengan dirinya);6) Lokasi kantor polisi yang jauh dari tempat tinggal korbanmembuatnya enggan melapor;7) Keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak akanmendapat perlindungan khusus dari penegak hukum; dan8) Ketidaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadap dirinyamerupakan suatu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan. 7Sehingga terkait data yang bisa diberikan hanyalah data yangmasuk dari instansi terkait yang bergerak dalam bidang pelindunganatau pemberdayaan wanita dan anak di Jawa Barat. Data yang diambildimana korban sudah melapor dan ditangani oleh instansi terkait, antaralain:7 Kelompok Kerja “Convention Watch“ Pusat Kajian Wanita danGender Universitas Indonesia, Pemahaman Bentuk-bentuk TindakKekerasan terhadap Perempuan dan AlternatifPemecahannya, (PTAlumni, Jakarta: 2000), hlm. 82.151


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Sumber: P2TP2ATermasuk juga data sekunder pada tahun 2012 terdapat kasuskekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh terpidana AndriSobari alias Emon di Sukabumi, Jawa Barat yaitu jumlah korbansodomi yang sudah mencapai 114 anak dan 39 anak di antaranya sudahdivisum, 7 lagi menderita kerusakanpada anus. Terdapat juga kasusyang hampir sama terjadi di Bandung, Dayeuh Kolot yakni 21 orang152


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>anak menjadi korban. 8 Ketua Umum Komisi <strong>Nasional</strong>PerlindunganAnak Arist Merdeka Sirait mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadapanak di Jawa Barat menduduki posisi tertinggi nomor 3 di Indonesia.Dari 2,1 juta laporan kekerasan selama 2013, 38 persen terjadi di JawaBarat. Dari angka tersebut 52 persen adalah kekerasan seksual. 9Berdasarkan laporan tersebut pada hakikatnya korban sudah mendapatperlindungan hukum dalam aspek medis. Namun, tidak ada kejelasanterkait ganti rugi yang dapat dimintakan oleh korban kekerasan seksualterutama kepada korban yang mengalami kerusakan nyata. Padahakikatnya aparat penegak hukum hanya cukup dengan menghukumberat terdakwa saja sama seperti Emon yang dituntut 15 tahun olehjaksa.Untuk perlindungan dan penanganan korban kekerasan seksualitu sendiri di Jawa Barat, antara lain:Terdapat beberapa instansi terkait mengenai penanganan kasuskekerasan seksual, yaitu:a. P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan danAnak);b. UPTD (Unit Pelayanan Teknis Daerah);c. Dinas sosial.8 Diakses dari http://www.koran-sindo.com/node/411722 pada tanggal10 Oktober <strong>2014</strong>9 Ketua Komisi Perlindungan Anak <strong>Nasional</strong>, Arist Merdeka Sirait saatmemberikan penjelasan tentang keinginan pertemuan anak korban selamatpembunuhan oleh ibu kandungnya sendiri di Mapolres Cimahi, Jawa Barat.Kamis (13/3). Arist datang mendampingi dan menyampaikan pesan untukdisampaikan kepada Kapolres Cimahi, AKBP Erwin Kurniawan dari Fahrul,korban selamat dari aksi pembunuhan yang dilakukan oleh ibu kandungnya.Fahrul ingin bertemu ibunya yang kini ditahan di Polres Cimahi karena rindu.TEMPO/Aditya Herlambang Putra, diakses dari http://www.tempo.co/read/news/<strong>2014</strong>/08/14/173599507/Jawa-Barat-Darurat-Kekerasan-Seksualterhadap-Anakpada tanggal 11 Oktober <strong>2014</strong>.153


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Namun pada prakteknya terdapat beberapa kekurangan terkaitpenanganan kasus tersebut, yaitu:i. Ketiga instansi tersebut bekerja masing-masing dengan programnyayang berbeda-beda.ii. Khusus untuk UPTD, khususnya UPTD SKB/BPKB (BalaiPengembangan Kegiatan Belajar) lebih bergerak kepadapenanganan korban anak.iii. Tidak adanya rekomendasi dari polisi/hakim (penegak hukum)mengenai rekomendasi selanjutnya untuk korban, sehingga korbancenderung tidak mengetahui program tersebut sama sekali.Terkait perlindungan hukum yang terdapat sekarang ini sudahdiatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan termasuk jugaKementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan AnakRepublik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Nomor 1Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang LayananTerpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, yang secaratertulis menjelaskan terkait standar pelayanan minimal. Dapat dikatakansecara tertulis terdapat dan dimungkinkan untuk perlindungan hukumsecara medis, pelayanan terpadu, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.Namun gap terbesar dari SPM ini adalah tiadanya keterkaitan langsungantara proses layanan UPT dan penyelidikan di bawah Kepolisian.Padahal SPM telah menegaskan bahwa pengulangan keterangan korbansangat berpengaruh pada dampak psikologis perempuan korbankekerasan. Adalah benar bahwa SOP mengenai layanan kesehatanmenyediakan layanan komprehensif untuk perempuan korban kekerasanseksual, namun pedoman SPM berfokus pada memberikan panduan„pemulihan psikologis‟ semata dan belum memasukkan „pengambilandata untuk kepentingan penyidikan‟. Hal ini merupakan akibat daripenulisan SPM tidak langsung ditempatkan pada konteks reformasihukum dan kebijakan untuk layanan terpadu. 10 Belum lagi ekonomimenjadi alasan seseorang mendapat layanan yang baik karena uangtidak pernah berbohong, seringkali bagi korban kekerasan seksual yangmemiliki kekurangan dalam ekonomi maka mendapat pelayanan yang10 Komnas Perempuan, SPM: SOP Layanan, Standar Pembiayaan, danPedoman Sistem Pencatatan Data Kekerasan, diakses darihttp://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?option=com_content&view=article&id=83%3Astandar-pelayanan-minimal-peluangdan-tantangan-layanan-terpadu-untuk-perempuan-korbankekerasan&catid=41%3Atulisan-lain&Itemid=97154


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>seadanya saja bahkan cenderung tidak direhabilitasi atau diintegrasiakibat pemikiran biaya mahal yang dikeluarkan.Untuk perlindungan hukum yang kedua, yakni dalam hal acarapidana, adanya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korbanmenjelaskan tidak secara eksplisit memasukan kekerasan seksualsebagai kasus-kasus tertentu dimana dapat dimintakan hak perlindunganoleh LPSK.Kasus-kasus tertentu", antara lain, tindak pidana korupsi, tindakpidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dantindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korbandihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. 11Jelas sangat sukar juga untuk menentukan apakah kekerasanseksual dimasukan kedalam tindak pidana lain yang mengakibatkanposisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangatmembahayakan jiwanya. Beberapa ahli hukum mengatakan secaratekstual dapat dipakai penafsiran memperluas arti kata, maka masuklahkekerasan seksual namun terdapat pandangan lain bahwa khususkekerasan seksual tidaklah dimasukan dalam hal tersebut. Sekalipundimasukan maka tidak jelas lagi arti kata dimana “situasi sangatmembahayakan jiwanya” karena pada hakikatnya semua korban akanmerasakan hal tersebut. Maka yang dimaksudkan perlindungan hukumdalam hal acara pidana ialah proses peradilan yang khusus, yaknipersidangan yang tertutup dan ganti rugi. Terkait perlindungan ketigaini yang menjadi poin penting yang akan dibahas yakni hal pemenuhanhak korban. Mengenai ganti rugi dan restitusi adalah sesuatu yangdiberikan kepada pihak yang menderita kerugian denganmemperhitungkan kerusakan yang dideritanya oleh si pelaku secaralangsung dan menimbulkan pula pertanggung jawaban secara tindaklangsung kepada masyarakat atau negara (the responsible of the society)untuk rehabilitasi sosial, hingga kepada proses pemulangan korbankekerasan seksual dan reintegrasi sosial. Inilah yang sering terlupakanbahwa anggapan bahwa negara cukup hanya dengan menghukumpelaku bukan berarti selesainya persoalan. Di sinilah peran negara yangtidak boleh terpisahkan yakni menindak pelaku serta tidak melupakanuntuk memperbaiki korban. Namun kesemua perlindungan hukumtersebut untuk memperbaiki pelaku secara mental. Akan tetapi,perlindungan hukum sekarang ini belum ada jaminan hak korban secaramateriil yang jelas dan tegas. Misalnya dalam pasal 7 ayat (1) UndangundangLPSK bahwa korban melalui LPSK berhak mengajukan kepengadilan berupa:11 Penjelasan pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006tentang Perlindungan Saksidan Korban155


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusiayang berat;b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawabpelaku tindak pidana.Namun dalam pasal 7 ayat (3) hanya disebutkan bahwaketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusidiatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan hingga saat ini belumada satupun Peraturan Pemerintah yang mengatur mekanismepemberian kompensasi dan restitusi tersebut. 12 Terkait perlindungan danhak saksi dan korban pada pasal 5 Undang-undang LPSK hanya terbataskepada kasus-kasus tertentu yang tidak menjelaskan secara eksplisitmengenai kasus kekerasan seksual. Munculnya juga MoU LPSK denganHimpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) hanya bergerak dalam halrehabilitasi sosial dan psikososial yakni pasal 6 saja, namun terkaitjaminan pasal 5 inilah yang dirasa kurang untuk kasus kekerasanseksual.C. Pembaharuan Perlindungan <strong>Hukum</strong> dan Penanganan KorbanKekerasan SeksualTerkait segala kekurangan dan kelemahan dalam sistempenegakan hukum dan/atau perlindungan hukum khusus kepada korbankekerasan seksual maka perlu adanya pembaharuan hukum yang sesuaiakan kebutuhan nyata korban dari kekerasan seksual tersebut, antaralain:1) Dimulai dengan mensosialisasikan kepada masyarakat mengenaihukum tentang kekerasan seksual sehingga perspektif masyarakatmengenai hukum terutama tidak salah serta tidak takut dalammelapor masalah seputar kekerasan seksual.2) Terdapat standar perlakuan untuk korban tindak pidana yangbersifat privasi, antara lain:a. Semua korban tindak pidana, penyelewengan wewenang ataupelanggaran hak asasi manusia hendaknya diperlakukan denganbelas kasihan dan dihargai;b. Korban hendaknya memperoleh akses pada mekanismeperadilan dan langkah perbaikan langsung;c. Prosedur langkah perbaikan hendaknya cepat, adil, murah, dandapat diakses;d. Korban hendaknya diberitahu hak-haknya untuk memperolehpemulihan dan perlindungan;12 Zaky Alkazar Nasution, Perlindungan <strong>Hukum</strong> terhadap Perempuandan Anak Korban Perdagangan Manusia (Tesis), Semarang: Fakultas <strong>Hukum</strong>Universitas Dipenogoro, 2008), hlm. 116.156


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>e. Korban hendaknya diberitahu peran mereka dalam prosedurresmi, lingkup, penentuan waktu, dan kemajuan proses sertapenempatan kasus mereka;f. Korban hendaknya diperkenankan menyampaikan pandangandan perasaannya mengenai segala hal berkaitan kerugianterhadap kepentingan pribadi mereka;g. Korban hendaknya memperoleh semua upaya pendampinganhukum, material, medis, psikologis, dan pendampingan sosialdan diberi tahu ketersediannya;h. Korban hendaknya tidak mendapat penanganan kasus secaraminimal;i. Privasi dan keselamatan korban hendaknya dilindungi;j. Hendaknya dihindari penundaan penanganan kasus korban;k. Jika memungkinkan, para pelanggar hendaknya memperolehpemulihan;l. Pemerintah hendaknya melakukan pemulihan jika pejabatpublik keliru;m. Ganti rugi finansial hendaknya ditanggung oleh pihakpelanggar atau, jika tidak mungkin, oleh negara; dann. Polisi hendaknya terlatih dalam memenuhi kebutuhan korban,dan hendaknya disediakan panduan guna menjamin bantuanyang tepat dan segera.3) Adanya rekomendasi untuk dapat dilayani secara baik oleh instansipelayanan yang tepat.Korban seksual harus direkomendasikan secara cepat ke instansipelayanan yang tepat. Peran negara, melalui kementerian yangterkait, harus membantu instansi penegakan hukum, instansipelayanan sosial, badan administratif yang terkait, dan organisasimasyarakat dalam membangun suatu mekanisme perlindungan yangbaik. Termasuk adanya kerja sama antar instansi (penegak hukumdan jasa pelayanan sosial).4) Secara khusus hakim dapat memutus juga terkait rekomendasipenanganan korban kekerasan seksual kepada instansi yang tepatberdasarkan kebutuhan korban yang terlihat selama prosespersidangan.5) Membuat peraturan perundang-undangan baru terkait kejahatanseksual sebagai lex specialis.6) Membentuk kebijakan-kebijakan dalam mengatasi tindak kekerasanseksual yakni perintah perlindungan dari hakim.7) Revisi terkait kebijakan memberi ganti rugi kepada korban.Pasal 99 KUHAP bahwa korban hanya berhak mendapatkan gantirugi sebanyak biaya yang telah dikeluarkan oleh korban dalamtindak pidana tersebut. Pasal 99 belum memungkinkan korbanuntuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian fisik (ekonomi dan157


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>kesehatan) maupun psikis (trauma) yang dialami korban. Pasalpasaldalam KUHAP yang belum menjelaskan pengaturan jikapelaku tidak sanggup dan mau untuk membayar ganti rugi.8) Perlindungan saksi dan korban untuk kasus kekerasan seksual agardapat diwujudkan sehingga instrumen perlindungan dimaksimalkandengan adanya dukungan Peraturan Pemerintah terkait pasal 7 ayat3 terkait ganti rugi dan restitusi.Jika terdapat mekanisme seperti ini yang benar melindungikepentingan korban dari awal pelaporan kasus kekerasan seksual,proses persidangan serta putusan persidangan maka perlu diyakinibahwa hukum menjamin hak korban sehingga tujuan hukum acarapidana yakni mencari kebenaran materiil yang benar dapat terwujuddalam penegakan hukum pidana di Indonesia termasuk di dalamnyadalam pemberian putusan pengadilan yang menyertakan ganti rugi bagikorban.D. Kesimpulan dan SaranBerdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwamelihat instrumen hukum yang terkait dapat terlihat bahwa tujuanpenegakan hukum pidana baik secara umum dan khusus untukkekerasan seksual bersifat satu arah, yang berarti lebih condong kepadaaspek si pelaku dan tidak khusus berbicara mengenai perlindunganhukum korban kekerasan seksual.Dengan melihat sistem penegakan hukum pidana Indonesiayang dapat dikatakan tidak terlalu banyak berubah, baik secara materiil,khusus kepada arti tindakan kekerasan seksual serta formil yakni hukumacara pidana yang ada, membuktikan tidak adanya mekanisme yangbaik dalam perlindungan hukum untuk hak-hak korban kekerasanseksual. Di sinilah peran negara untuk menjamin kesejahteraan danperdamaian untuk masyarakatnya melalui peraturan perundangundangan.Sebagai saran dalam rangka pembaharuan hukum dalam halperlindungan hak korban kekerasan seksual maka perlu adanyamekanisme yang baik sejak awal sampai akhirnya yakni denganmenimbang solusi yang telah ditulis dalam makalah ini.158


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Daftar PustakaArief, Barda Nawawi. 1998. Perlindungan Korban Kejahatan dalamProses Peradilan Pidana (Artikel dalam Jurnal <strong>Hukum</strong> Pidanadan Kriminologi Vol.1).___________. 2007. Masalah Penegakan <strong>Hukum</strong> dan Kebijakan<strong>Hukum</strong> Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta:Kencana.Hamzah, Andi. 1986. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalamKitab Undang-undang Acara Pidana. Bandung: Binacipta.Kelompok Kerja “Convention Watch” Pusat Kajian Wanita dan GenderUniversitas Indonesia. 2000. Pemahaman Bentuk-bentukTindak Kekerasan terhadap Perempuan dan AlternatifPemecahannya. Jakarta: PT Alumni.Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Acara Pidana.Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Pidana.Mansur, Dikdik M. Arief. 2007. Urgensi Perlindungan KorbanKejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.Nasution, Zaky Alkazar. 2008. Perlindungan <strong>Hukum</strong> terhadapPerempuan dan Anak Korban Perdagangan Manusia. Semarang:Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Diponegoro.Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2008 tentangPencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang.Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksidan Korban.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-Tangani.pdfhttp://www.koran-sindo.com/node/411722http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?option=com_content&view=article&id=83%3Astandar-pelayananminimal-peluang-dan-tantangan-layanan-terpadu-untukperempuan-korban-kekerasan&catid=41%3Atulisanlain&Itemid=97http://2010.menkokesra.go.id/content/peningkatan-kasus-kekerasanseksual-capai-100-persen.159


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>http://www.tempo.co/read/news/<strong>2014</strong>/08/14/173599507/Jawa-Barat-Darurat-Kekerasan-Seksual-terhadap-Anak160


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>EFISIENSI PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBANPEMERKOSAAN DALAM KONTEKS PEMBERLAKUANSYARI’AT ISLAM DI ACEHOleh: Fakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Syiah KualaAbstrakDalam pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual,Aceh masih harus mencari bentuk idealnya. Selain penanganan secaraholistik yang harus dilakukan, efisiensi adalah hal terpenting yangharus pula diperhatikan. Penanganan korban kekerasan seksualterkhusus pada kasus perkosaan harus ditangani dengan baik mulaidari penyediaan pelayanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi,bantuan hukum, hingga reintegrasi sosial. Proses penanganan yangdemikian haruslah terkelola dengan baik sehingga efisiensipenanganan korban kekerasan dapat tercapai. Ketersediaan saranadan prasarana seperti ketersediaan rumah aman, pelayanan kesehatanyang baik dan mampu tata laksana, hingga ketersediaan petugas teknisyang berperspektif korban yang cukup adalah pokok perhatian yangmestinya diperhatikan oleh Pemerintah Aceh. Selain itu, komunikasilintas instansi yang telah dilakukan sejak 2010 silam melaluiMemorandum of Understanding (MoU) 23 instansi perlu dievaluasiagar tujuan diperuntukannya MoU tersebut mendekati sempurna.Permasalahan Aceh masih berada pada tataran efisiensi dalampenanganan korban, dari total jumlah instansi terkait penanganankorban kekerasan seksual masih berada terpusat pada salah satukomponen saja dan instansi pemerintah di kota dan provinsi masihdirasa tidak cukup baik dalam pelaksanaannya, sehingga Badan/PPyang ada di Aceh lebih memilih untuk berkoordinasi dengan instansivertikal seperti kepolisan. Arah kebijakan ini yang haruslah dievaluasiagar korban kekerasan seksual dapat terpenuhi haknya. Terlebih, Acehadalah entitas politik otonom yang menjalankan Syari‟at Islam.A. Latar BelakangPergerakan masyarakat di Aceh sangatlah dinamis. Banyak halmenarik yang dapat ditemui di Aceh. Selain cerita sejarahnya, peraturandaerah yang dikenal sebagai Qanun pun terbilang unik. Aceh adalahdaerah yang menerapkan Syariat Islam yang dipadupadankan denganpelaksanaan hukum adat. Pelaksanaan hukum semacam ini pun telahdiakui eksistensinya sampai pada pelosok-pelosok desa (gampong) yangada di Aceh. Proses pemberlakuan Syariat Islam di Aceh didasari olehUndang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus,161


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Keistimewaan AcehdanUndang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.Dalam penegakannya, Syariat Islam memiliki dimensi yang berbedapada penerapan sanksi terhadap perbuatan pidana (jarimah) yang diaturpadanya. Bentuk penerapan itu adalah hukum cambuk bagi yangmelanggar aturan. Pemberian hukum cambuk ini bertujuan untukmemberikan efek jera bagi para pelaku agar tidak kembali mengulangkesalahan.Jarimah yang diatur dalam Qanun terbilang beragam,diantaranya mengenai Minuman Khamar dan sejenisnya, Maisir atauperjudian dan Khalwat (mesum). Ditinjau dari acuan dokumen yangdilansir oleh Komisi <strong>Nasional</strong> Perempuan berdasarkan pengalamanperempuan korban, ditemukan ragam jenis kekerasan seksual,diantaranya: (1) perkosaan; (2) pelecehan seksual; (3) eksploitasiSeksual; (4) penyiksaan seksual; (5) perbudakan seksual; (6)intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman ataupercobaan perkosaan; (7) prostitusi paksa; (8) pemaksaan kehamilan;(9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan perkawinan; (11) perdaganganperempuan untuk tujuan seksual; (12) kontrol seksual termasukpemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturandiskriminatif beralasan moralitas dan agama; (13) penghukuman tidakmanusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik tradisi bernuansaseksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.Keempat belas jenis kekerasan seksual yang belum kita kenali akibatketerbatasan informasi mengenainya. Seruan ini pada akhirnyamenghantarkan Komnas Perempuan untuk menemukan bentuk lain ditahun 2012 dari kekerasan seksual yang dihadapi perempuan, yaitu (15)pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi. 1 Maka pelaksanaan aturan mengenaiKhalwat tergolong rentan dengan kekerasan seksual, terutama padakonteks penanganan dan pendampingan dalam hal pemenuhan hakperempuan korban.Keterkaitan hukum yang berlaku di daerah Aceh inilah yangmenghantarkan Aceh termasuk daerah dengan predikat penanganankasus kekerasan seksual paling buruk. Oleh karena tidak semuakompenen pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk masyarakatmemahami bagaimana memperlakukan korban kekerasan seksualdengan baik, tentu dalam pemenuhan haknya, pola yang seringdilakukan sebagai solusi adalah serupa meski kategori perbuatannyaberbeda, misalnya untuk kasus zina dan pemerkosaan sama-samaditindak dengan cara menikahkan pelaku dan korbannya. Padahal, Zinayang mengadung unsur saling suka (resiprokal) sangatlah berbedadengan pemerkosaan yang identik dengan nuansa kekerasan. Adapun1 Komnas Perempuan, Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual.162


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>tindakan untuk menikah itu, merujuk pada ragam kekerasan seksuallansiran Komnas Perempuan, kembali tergolong pada perbuatankekerasan seksual terhadap perempuan.Selain daripada itu, tindakanekstrim selanjutnya adalah mengusir korban keluar dari gampong-nyakarena dianggap sebagai „aib‟ bersamaan dengan stigma masyarakatyang melekat padanya beserta keluarganya. Sanksi adat semacam initentu sangat memprihatinkan karena mereka menindak tanpaberperspektif korban. Padahal seorang korban juga seorang manusiabiasa yang wajib kita lindungi haknya. Dalam kasus kekerasan seksualini dukungan orang-orang terdekat, tak terkecuali komunitas masyarakatkediamannya menjadi hal penting yang perlu dijunjung.B. Gambaran Umum Kekerasan Seksual Di AcehKekerasan seksual khususnya di daerah ujung Sumatera, Aceh,marak terjadi pasca konflik pemerintah dengan kelompok separatis danbencana alam gempa dan tsunami yang memporak-porandakan kondisiAceh, 2004 silam. Kemiskinan dan kemelaratan menjadi satu-satunyaalasan mengapa bisa terjadi pergeseran moral antar individu. Pencurian,pembunuhan bahkan kekerasan seksual sudah menjadi kasus-kasus yangsering muncul di surat kabar. Orang-orang di dalam suatu kelompokmelakukan diskriminasi terhadap kelompok lain. Akibatnya terjaditawuran antar kaum lelaki yang nantinya pembalasan dendam akandilakukan terhadap kaum perempuan dan anak. Perempuan-perempuanyang menjadi istri, ibu atau saudara dari salah satu pihak yangberkonflik, kerap dijadikan sasaran seperti dijadikan sandera danpelampiasan kemarahan. Mereka juga rentan dijadikan tameng baik olehkelompok komunitasnya sendiri maupun kelompok lawan. Perempuanperempuanlainnya yang tidak tahu-menahu dan terlibat konflik, karenadia perempuan dan tinggal di Aceh atau lahir bersuku Aceh akhirnyajuga mengalami kekerasan dan menjadi korban.Kekerasan seksual yang terjadi di Aceh saat itu juga merupakanstrategi perang, misalnya dengan perkosaan dan penyiksaan seksualterhadap perempuan yang berasal dari komunitas atau keluarga pihaklawan. Contohnya, kasus lima perempuan istri anggota GAM di Bireun,Aceh Timur yang mengalami penyiksaan seksual oleh aparat TNI.Kekerasan yang dialami perempuan terjadi dalam situasi dan tempatyang beragam, yaitu 33 orang mengalami kekerasan pada saat menjalaniproses hukum karena tuduhan makar, 22 orang mengalami kekerasanpada saat dibawa atau ditahan di pos militer/polisi, 77 orang mengalamikekerasan pada saat operasi penangkapan/penyisiran, 1 orangmengalami kekerasan ketika melintasi pos militer dan dua orangmendapat kekerasan oleh GAM pada saat berada di kendaraanumum.Bentuk kekerasan yang dialami 135 perempuan tersebut diatas,adalah 17 orang mengalami pelecehan seksual, 23 orang diperkosa dan163


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>4 orang mengalami penganiayaan seksual. 7 orang meninggal karenaditembak dan dibunuh, 11 orang ditangkap/diculik dan dihilangkan, 22orang mengalami intimidasi, penggeledahan paksa dan perampasanharta bendanya, 50 orang mengalami penganiayaan fisik dan 5 orangdiantaranya diintimidasi, di geledah secara paksa dan dibakarrumahnya. Umumnya seorang korban tidak hanya mendapat satu bentukatau jenis kekerasan.Alasan pembenaran yang dipakai adalah korbandianggap atau dituduh sebagai anggota inong balee, simpatisan GAM,melindungi atau memberi makanan pada GAM, dekat dengan pihakTNI/POLRI, sebagai mata-mata TNI/POLRI. Tetapi dari 135 kasustersebut, 46 orang bahkan tidak ada alasan pembenar, kenapa merekamendapat kekerasan. 2Dalam kajian standar internasional, dalam pemenuhan hak bagiperempuan korban kekerasan, harus diimplementasikan oleh tigalapisan berikut, diantaranya:1. Negara<strong>Hukum</strong> dalam negeri seharusnya dapat mengambil nilai-nilai yangpositif dari hukum internasional yang sekiranya dapat diterapkandalam hukum nasional. Walaupun tentunya harus adapertimbangan-pertimbangan lebih lanjut dalam mengubah hukumnasional ini. Begitu pula dalam hal hak asasi manusia, negara harusmengadopsi kerangka hak asasi manusia sesuai dengan standarhukum internasional dalam reformasi hukum dan kebijakan untukmelindungi warga negaranya dari tindak pelanggaran dankekerasan. Keinginan politik pemegang kekuasaan memegang artipenting dalam reformasi ini.2. Keluarga dan KomunitasNegosiasi kebudayaan adalah kunci keberhasilan transformasi ditingkat komunitas dan keluarga. Perlu ada ruang-ruang diskusi bagisetiap orang untuk terlibat aktif dalam membicarakan nilai-nilaikebudayaan. Budaya adalah milik semua sehingga masing-masingindividu di dalamnya berhak untuk menyuarakan pendapatnya.Budaya pun tidak pernah dimaksudkan untuk menindas satukelompok demi kepentingan kelompok lain. Bila ruang-ruangdiskusi ini dibuka dimana Negara dan masyarakat sipil dapatbekerja sama untuk terus mencari solusi, maka akan diperoleh hasilyang sangat memuaskan yaitu penghapusan aspek-aspek negatifdari budaya yang meminggirkan kelompok-kelompok marginaldalam masyarakat. Antara lain kelompok perempuan.3. Individu2 Komnas Perempuan,Perjalanan Perempuan Indonesia MenghadapiKekerasan, (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2004).164


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Upaya mendukung kebangkitan kelompok marginal, termasukperempuan, menjadi individu-individu yang mandiri antara laindilakukan dengan pemberdayaan sosial ekonomi. Namun ini masihtidak cukup, terutama bagi perempuan korban kekerasan yangberlangsung dengan sistematis. Perempuan tersebut membutuhkanperlindungan sampai mereka betul-betul berdaya. Karena itu,Negara dan masyarakat harus bekerja sama, tidak hanya denganmenyediakan perlindungan legal tetapi juga upaya alternatif, antaralain dengan mendirikan rumah-rumah aman atau shelters.Pembangunan rumah aman tidak selalu memperoleh dukungankarena ada pihak-pihak yang khawatir bahwa rumah amanmendorong perempuan untuk lari dari rumah. 34. Maraknya kekerasan seksual di AcehKetidaktuntasan penegakan hukum dalam persoalan inimembuat kekerasan seksual di Aceh semakin banyak terjadi. Sepertihalnya di daerah lain di Indonesia, Aceh memilikiinstansi maupuninstitusi yang menangani kasus kekerasan seksual. BadanPemberdayaan Perempuan dan Perlindungan terhadap Anak (BP3A),Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak(P2TP2A) sebagai Unit Pelaksanaan Teknis,Lembaga Bantuan <strong>Hukum</strong>(LBH) Anak, Balai Syura Ureung Inong Aceh (Aceh Woman Council),hingga di tingkat kecamatan yang dikenal dengan Asisten FasilitatorKecamatan (AFK)yang telah mendapat pelatihan para legal dari WorldBank bekerjasama dengan forum Lembaga Swadaya Masyarakat.Balai Syura Ureung Inong Aceh mencatat, terhadap kekerasanyang dialami oleh anak yang berusia 2-18 Tahun ditahun 2011 hingga2012 adalah sejumlah 66 kasus. Tercatat juga 27 kasus incest(kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga) yangmenimpa anak di ranah rumah tangga.Tak hanya mencatat 27 kasusincest, Balai Syura juga menyebutkan dari 1.060 kasus kekerasanterhadap perempuan dan anak yang terjadi sepanjang 2011-2012diketahui 73,6 persen diantaranya adalah kekerasan yang terjadididalam rumah tangga. Sisanya sebesar 26,3% merupakan kekerasanyang terjadi didalam masyarakat. Dari kedua kategori kekerasantersebut, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anakpaling banyakterjadi di ranah rumah tangga.Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Nursiti,mengatakan kekerasan seksual terhadap anak merupakan sebuah kondisiyang sangat memprihatinkan dan sangat tidak berperikemanusiaan,Karena anak adalah tanggung jawab kita bersama yang harus dilindungikeselamatan, kesejahteraan dan masa depannya. Anak-anak yang3 Ibid, hlm. 7.165


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>menjadi korban kekerasan akan mengalami dampak berlapis danberkepanjangan baik dari sisi kesehatan fisik dan mental, sosial danpendidikan.Contoh kasus yang paling menyita perhatian media danmasyarakat di Aceh, terjadi pada tahun 2013 lalu. Yaitu kasus yangmenimpa Diana, anak yang baru berusia 6 tahun yang terjadi diGampong, Peulanggahan, Banda Aceh. Dia diperkosa lalu dibunuh. Takbanyak yang tahu kelanjutan proses persidangan yang dia jalani, hinggaakhirnya pamannya lepas dari tuntutan ancaman penjara. Paman Dianadivonis bebas oleh Hakim. Perbuatan ini hanya dikenakan delikpembunuhan yang terdawaknya bukanlah paman Diana.Meski demikian, tidak pula berarti tidak ada kasus kekerasanseksual yang ditangani dengan baik. Seperti di tahun 2013 lalu, di DarulImarah, Desa Lagang, Jantho, Kabupaten Aceh Besar.Pelakunya adalahguru mengaji yang menjaga kios kecil di dekat lingkungan pesantren,kekerasan dilakukan terhadap anak yang saat itu sedang belanja dikiostersebut. Tak banyak masyarakat yang percaya, terlebih pelakunyaadalah tokoh yang cukup dikenal sebagai orang yang paham agama dansebagai guru mengaji.Ketika sampai pada proses persidangan, P2TP2AAceh melakukan monitoring hingga pada proses BAP di kepolisiansampai dengan surat dakwaan. Secara pembuktian, hasil Visum etRepertum yang dilakukan dari proses pendampingan korban didapatikerusakan fisik di bagian vagina si anak, sehingga terpenuhi sudah duaalat bukti untuk dilanjutkan ke persidangan. Pihak penasehat hukumdari P2PT2A tak berhenti sampai disana, mereka juga memastikan pasalapa yang didakwakan terhadap pelaku hingga pada akhirnya hakimmenjatuhkan vonis 10 tahun penjara.Untuk Anak yang menjadi korbandalam kasus tersebut, P2TP2A terus melakukan pendampingan denganfokus pada pemulihan psikis korban terlebih dahulu, mangajak anakuntuk bermain sampai dia merasa terbiasa untuk bisa masuk dilingkungan bermain bersama teman sejawat di sekolah. Tak hanya itu,P2TP2A juga melakukan pendekatan dengan aparat gampong, pihaksekolah korban, agar mereka tidak menaruh stigma pada korban diproses pemulangannya.Berdasarkan pengamatan, korban kekerasan seksual di Aceh,bahkan sejak tahun 2005, belum mendapatkan manfaat dari programrehabilitasi dan rekonsiliasi yang telah bergulir. Berbagai persoalanterkait pembuktian korban terus menjadi alasan yang menghalangi akseskorban untuk pemulihan. Kondisi ini terus menggantung sementara jugatidak ada kejelasan penyikapan pemerintah Aceh maupun di levelnasional untuk membangun sebuah mekanisme untuk pengungkapankebenaran dan rekonsiliasi. 4Manusia4 Komnas Perempuan, Laporan Independen Institusi <strong>Nasional</strong> Hak Asasi166


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>C. Peran Pemerintah Dalam Pendampingan dan PemulihanKorban Perkosaan di Aceh yang berbasiskan Syari’at IslamAceh merupakan daerah pascakonflik dan tsunami. Keduaperistiwa besar ini memberikan dampak luar biasa bagi kehidupan diAceh khususnya secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Keduamasa tersebut juga sangat berpengaruh pada kehidupan perempuan dananak. Kelompok ini merupakan kelompok rentan yang cenderungmengalami kekerasan baik di ranah domestik maupun publik.Berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan oleh lembagalembagaperempuan di Aceh ada sekitar 197 kasus kekerasan terhadapperempuan dan anak. Lembaga WCC KKTGA (Women CrisisCenterKelompok Kerja Transformasi Gender) mencatat ada 320 kasusdi wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar yang terjadi sejak Januari 2007sampai dengan Desember 2010, kemudian ada LBH Apik yang sejakJanuari 2007 sampai dengan Desember 2009 telah mendampingi 386kasus di delapan wilayah, sedangkan LBH Anak menangani sekitar 50kasus kekerasan terhadap anak.Meningkatnya jumlah kasus yang terjadi ternyata tidakdibarengi dengan peningkatan pelayanan kepada korban. Meskipunsudah banyak aturan perundang-undangan yang mengatur tentangperempuan dan anak, tetapi implementasinya hingga saat ini dirasabelum maksimal. Selain karena sumber daya juga penyediaan fasilitasseperti shelter (rumah aman), ketersediaan dana serta kebutuhan untukpemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, yang semuanya belumdapat mengakomodir kebutuhan korban. Adapun sebenarnya perempuandan anak korban kekerasan biasanya membutuhkan penanganan dariberbagai sisi, seperti psikis dan kondisi sosialnya.Disisi lain, kendala dalam penyediaan layanan adalah sepertilemahnya koordinasi oleh lembaga-lembaga pemberi layanan serta carapandang dan pendekatan yang berbeda dalam penanganan kasussehingga korban tidak mendapatkan penanganan maksimal. Padahalseharusnya korban memerlukan penanganan kasus secara holistik(menyeluruh). 5D. Eksistensi Pemberlakuan <strong>Hukum</strong> Syari’at IslamSyari‟at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidangaqidah, syar‟iyah, dan akhlak. Syari‟at Islam tersebut meliputi ibadah,ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata),jinayah (hukum pidana), qadha‟ (peradilan), tarbiyah (pendidikan),dakwah, syiar dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan syari‟at5WCC (Woman Crisis Centre) KKTGA, Standar ProsedurOperasional, (Banda Aceh: KKTGA, 2011).167


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Islam diatur dengan Qanun Aceh.Setiap pemeluk agama Islam di Acehwajib menaati dan mengamalkan syari‟at Islam. Undang-undang jugamemberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupanmasyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Dibentuknya hukum syariatislam ini sendiri adalah bukan tanpa tujuan. Syariat islam secara teorimempunyai dua fungsi; fungsi pengatur dan fungsi pelindung. Syariatislam berperan sebagai aturan diantara kaum muslim dengan muslim,kaum muslim dengan non muslim juga dengan lingkungan sekitarnyasehingga terciptalah kehidupan masyarakat yang penuh harmoni.Dengan peranan tersebut syariat islam dapat dikatakan memiliki fungsipengatur. Fungsi ini membagi secara jelas apa yang menjadi hak dankewajiban bagi seluruh kaum muslim.Kemudian selain itu syariat islamjuga punya fungsi pelindung. Fungsi ini bertujuan melindungi umatmuslim dari hal-hal yang sifatnya merusak. Yang harus dilindungi disiniadalah agama, jiwa, keturunan, akal, harta, kehormatan dan rasa aman.Kesimpulannya adalah syariat islam memegang peranan vital dalamkehidupan masyarakat muslim di Aceh khususnya.Namun, dalam pemberlakuan syariat islam ini tidak melulumulus, karna budaya masyarakat Aceh tidak murni lagi budaya islam,tetapi sudah terkontaminasi dengan budaya barat. Tak ayal jika polapikir masyarakat muslim sudah bergeser kebarat-baratan. Akibatnya,pelaksanaannya pun kacau. Padahal implementasi yang diinginkan dariadanya syariat islam ini ialah untuk menjaga kepentingan sesamamuslim yang berlandaskan islam. Seperti yang diketahui, semua agamatermasuk islam sangat membenci adanya kekerasan. Apalagi kekerasanyang dilakukan antar sesama muslim. Nah ketika kasus kekerasanseksual mulai marak terjadi di Aceh, orang mulai bertanya, pada aspekyang bagaimana syari‟at islam ini dijalankan. Yang padahal berjalanatau tidaknya hukum syariat Islam ini sendiri tergantung pada keadaanmasyarakatnya. Jika saja semua masyarakat di Aceh mampumenghormati menjunjung tinggi pemberlakuan hukum syariat islam diAceh yang sesuai moral, maka insyaallah kasus seperti kekerasan tidakakan pernah terjadi di bumi Serambi Mekkah ini.E. Kesimpulan dan SaranPertama, Aceh dikenal sebagai daerah konflik antarapemerintah dengan kelompok separatis. Namun seperti yang sudahdialami, ternyata konflik yang terjadi tak hanya sebatas antarapemerintah dan kelompok separatis saja, melainkan juga konflik atasHak Asasi Manusia-nya kaum perempuan dan anak. Perempuanmendapat kekerasan paling keji pada masa-masa itu. Kemiskinan dankemelaratan saat itu menjadi motif utama terjadinya kekerasan seksualdimana-mana. Apa yang dilakukan pemerintah? Kebijakan. Pemerintahmembuat kebijakan untuk memberdayakan kaum perempuan dan anak168


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>sedemikian rupa agar hak-haknya tercapai. Namun, implementasinyamasih belum berjalan sempurna, terbukti dari semakin memuncaknyakekerasan seksual yang terjadi. Lalu jika pemerintah juga sudahberusaha, siapa yang perlu disalahkan? Pribadi. Yang perlu kita lakukansaat ini adalah mengintrospeksi diri agar segala perbuatan bisa sepadandengan peraturan dan moral yang berlaku.Kedua,untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kasus danuntuk memulihkan korban, pemerintah menggalakkan dua cara,preventif dan represif. Sebelum terjadinya, diadakan sosialisasipembentukan moral dan karakter orang-orang sejak dini dari lingkungankeluarga, lingkungan belajar maupun lingkungan bermain. Pemerintahmendirikan beberapa instansi layanan terpadu di tingkat provinsi,kabupaten maupun kecamatan seperti Badan Perlindungan danPemberdayaan Perempuan dan Anak (BP3A), Pusat Pelayanan TerpaduPemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), LBH Apik, LSMWoman Crisis Center (WCC) dan lain lain. Adanya lembaga-lembagatersebut keberadaannya memang sangat membantu. Tetapi bukan berartitidak ada kekurangan. Kendalanya berada pada anggaran untukpembangunan shelter dibeberapa instansi dan kendala lain mengenaipetugas yang tidak berperspektif terhadap korban. Walaupun beberapalembaga lain sudah mempunyai shelter, tetapi penggunaannyaterhambat pada tidak adanya jasa pengawas.Terakhir,ketika berbicara syariat Islam maka berbicara tentanghukum islam. Islam dikenal dengan kerendahan hatinya, kemuliaanperbuatannya dan kelembutan bahasanya seperti yang ditunjukkan olehRasulullah SAW. Aceh memberlakukan hukum Syari‟at Islam. Ketikadikawasan yang seharusnya aman dan lebih terjaga ini terjadi kasuskekerasan seksual maka pemerintah Aceh sendiri mau berbuatbagaimana lagi. Berjalan atau tidaknya pemberlakuan hukum SyariatIslam ini tidak cukup jika wewenangnya hanya berada pada pemerintahDaerah saja, tetapi lebih penting daripada itu, perbuatan dan pola pikirmasyarakat yang harus menjadi acuan. Jika setiap masyarakat di Acehmenjunjung tinggi moralitas dalam setiap perbuatannya. Makasenantiasa Pemberlakuan <strong>Hukum</strong> Syariat Islam ini sendiri dapatberjalan lancar dan efektif.Saran-saran:1. Pemerintah harus membuat peraturan yang ketat tentangperlindungan anak dengan sanksi yang tegas.2. Memberikan pendidikan seks kepada anak sedini mungkin sebagailangkah awal pencegahan.3. Membuat peraturan yang mengharuskan anak yang memasuki usiaremaja sampai dewasa untuk belajar bela diri.4. Membangun pusat rehabilitasi korban kekerasan seksual khususnyadi Aceh, juga membangun Rumah Aman (shelter).169


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>5. Petugas di pusat rehabilitasi paling tidak setahun sekali diadakanpelatihan mengenai proses pelayanan korban secara baik dan layak.6. Media perlu sering memberitakan atau mengungkap kasus-kasuskekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.7. Di dalam lingkungan keluarga juga tidak lepas pengawasan, namuntidak harus terkesan overprotective.DAFTAR PUSTAKAKomnas Perempuan. Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual.Komnas Perempuan. 2004. Perjalanan Perempuan IndonesiaMenghadapi Kekerasan.Jakarta : Publikasi Komnas Perempuan.WCC (Woman Crisis Centre) KKTGA. 2011.Standar ProsedurOperasional. Banda Aceh : KKTGA.170


TINJAUAN HUKUM SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL <strong>2014</strong>


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>TABEL TINJAUAN HUKUM SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL <strong>2014</strong>No. SUBSTANSI MASALAH REKOMENDASI1. Materiil 1. Pasal 2851.1. Frasa“kekerasan”atau “ancamankekerasan”dalam pasal 285 membuat rumusandalam pasal ini menjadi terlalu sempit.1.2. Tidak menjelaskan definisi mengenai“Pemerkosaan”.1.3. Ketentuan dalam KUHP hanya mengaturmengenai ancaman pidana penjara maksimaltanpa memperhatikan mengenai pengaturanpidana penjara minimum.1.4. Menurut Pasal 285, korban hanya sebatas wanitasehingga tidak melindungi tentang pemerkosaanterhadap korban laki-laki.1.1. Mengganti frasa“ancamankekerasan”dengan“bertentangandengan kehendak”sebagaimana diatur dalamRancangan Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana(RKUHP) tentangpencantuman pengertianpemerkosaan yang terteradalam ketentuan umumRKUHP.1.2. Mencantumkan pengertian“Pemerkosaan”.1.3. Menentukan mengenaiadanya ketentuan bataspidana penjara minimumyang dapat dikenakanterhadap pelakusebagaimana telah diaturdalam RKUHP.1.4. Menentukan adanyaketentuan pemerkosaanterhadap korban laki-laki di171


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>2. 2. Pasal 2862.1. Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenaiperbuatan bersetubuh.2.2. Tidak menjelaskan secara jelas mengenaidefinisi dan klasifikasi keadaan tak berdaya.3. 3. Pasal 2873.1. Adanya penyamaan status antara anak dan tidakberdaya.3.2. Mempertanyakan mengenai rumusan delikdalam Pasal 287,“apakah saksi yang melihatTindakan pemerkosaan bisa melaporkan?”3.3. Pidana penjara dalam rumusan Pasal 287lebih ringan dibandingkan dengan pidanapenjara dalam rumusan Pasal 285, padahaldi dalam pasal 287 korbannya adalah anakyang akan menjadi penerus bangsa.dalam RKUHP.2.1. Menentukan penjelasanmengenai perbuatanbersetubuh dalam Pasaltersebut.2.2. Mempertegas definisi danklasifikasi keadaan takberdaya,siapa yangmenjadikan keadaan tidakberdaya itu timbul, sertakondisi yang dapatdianggap sebagai keadaantidak berdaya.3.1. 1. Menentukan adanyaperbedaaan pemidanaanyang tegas antara korbanyang tidak berdayadengan anak, di manakasus pemerkosaanterhadap korban anakseharusnya lebih beratdibandingkan dengankasus pemerkosaanterhadap orang yang tidakberdaya.172


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>4. 4. Pasal 2884.1. Rumusan dalam pasal tidak dijelaskansecara tegas dalam hal apakah pasal ini turutmencakup pemaksaan perkawinan atautidak.4.2. Hanya terbatas luka fisik, tidak adapembahasan luka psikologis, dan juga hanyaterbatas pada wanita.4.3. Ketentuan dalam Pasal ini hanya mencakupperkawinan dibawah umur.3.1.2. Menentukan penjelasanyang tegas terkait denganhal “tidak berdaya”,termasuk kategorisasitidak berdaya, siapa yangmembuat tidak berdayadan kapan suatu keadaanyang dialami korban dapatdianggap tidak berdaya.3.2. Melakukan revisi terhadapPasal 287nya delik Pasal287 KUHP adalah delikbiasa bukan delik aduan.3.3. Memperberat ancamanpidana dalam RKUHP.4.1 Meminta penjelasan yangtegas terkait rumusan Pasal288, apakah termasuk kedalam pemaksaanperkawinan atau tidak.4.2. Memperluas cakupan lukadan korban pada pasal ini.4.3. Mempertegas ketentuandalam Pasal 288 agarmencakup tidak hanyaperkawinan dibawah umur173


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>5. 5. Pasal 2895.1. Frasa“kekerasan atau ancaman kekerasan”dalam Pasal 289 membuat Pasal-Pasaltersebut menjadi sempit.5.2. Definisi cabul dan kategorisasi pemerkosaantidak jelas.6. 6. Pasal 2946.1. Sanksi pidana lebih rendah.6.2. Adanya kekosongan hukum, karena tidakdiaturnya pemerkosaan terhadap anak, anak tiri,anak angkat atau anak yang berada dibawahpengawasan pelaku.7. 7. Pasal 2957.1. Pasal 295 hanya mengatur mengenai perbuatanyang menyebabkan atau mempermudahtetapi juga perkawinancukup umur.5.1. Frasa“kekerasan atauancaman kekerasan”tersebut diganti denganfrasa “bertentangan”atau“bertentangan dengankehendak.”5.2. Mempertegas definisi dankategorisasi dari pada cabul,baik itu didalam ketentuanumum atau penjelasanPasal.6.1. Sudah terjawab di RKUHPyaitu dengan pemidanaanterhadap pemerkosaan ataupercabulan anak yangdilakukan oleh kerabat lebihberat ancaman pidananya.6.2. Adanya pengaturanmengenai masalah di atasdalam Pasal tertentu.7.1. Meminta agar perbuatanyang menyebabkan atau174


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>perbuatan cabul, sehingga terdapat kekosonganhukum untuk perbuatan yang menyebabkan ataumempermudah pemerkosaan.7.2. Pasal 295 mengatur secara limitatif pihak-pihakyang menyebabkan atau mempermudahperbuatan cabul.8. Formil 8.1. Etika Aparat Penegak <strong>Hukum</strong> (Kepolisian,Kejaksaan dan Kehakiman) penanganan kasuskekerasan seksual yang tidak berperspektif kepadakorban.mempermudahpemerkosaan diaturdalam RKUHP.7.2. Memperjelas ketentuanmengenai pihak-pihakyang menyebabkan ataumempermudah perbuatancabul dalam R-KUHP8.1.1. Mengoptimalisasikan“PendidikanPenanganan KasusKekerasan Seksual”kepada AparatPenegak <strong>Hukum</strong>(APH).8.1.2. Penyesuaian kode etikbagi Aparat Penegak<strong>Hukum</strong> (APH) yangberprespektif kepadakorban kekerasanseksual.8.1.3. Mengadakan revisiterhadap PP No.2tahun 2003 tentangPeraturan DisiplinAnggota KepolisianNegara Republik175


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>8.2 Proses peradilan dalam kasus kekerasan seksualyang tidak memberikan keadilan bagi korbankekerasan seksual. Dalam hal ini, diatur mengenaipengaturan Alat Bukti dan Proses Persidangan.Indonesia mengenaiSANKSI,yangbertujuan untukmemperberat ancamanpidana terhadap parapelaku kejahatankekerasan seksual.8.1.4. Mengoptimalisasikanpenerapan PERKAPNo. 10 tahun 2007tentang Organisasidan Tata Kerja UnitPelayanan Perempuandan Anak (UnitPPA)dilingkunganKepolisian NegaraRepublik Indonesiayang telah direvisi danjuga melakukansosialisasi di seluruhwilayah Indonesia.ALAT BUKTI8.2.1. Dalam kasuskekerasan seksual,keterangan saksidalam persidangancukup satu orang saksi176


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>9. Perlindungan danPendampinganKorban9.1. Pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yangmenitikberatkan pada aspek seksualitas oleh pers.untuk melakukanpembuktian kasusyaitu saksi korban.8.2.2. Memasukkan unsurrekam psikologissebagai alat bukti yangharus diperhitungkanoleh pihak kepolisian.PERSIDANGAN8.2.3. Pada saat pemeriksaansaksi korban dipengadilan, terdakwaharus dikeluarkan dariruang sidang.8.2.4. Selama prosesperadilan berlangsung,saksi korban berhakdidampingi olehpendamping.8.2.5. Mengusulkan agarpoin 8.2.3 dan 8.2.4dituangkan dalamPeraturan MahkamahAgung (PERMA).9.1. MerekomendasikanKementerianPemberdayaan177


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>9.2. Tidak sesuainya penanganan kasus kekerasanseksual yang dilakukan oleh aparat penegak hukumdengan SOP tentang penanganan korban kekerasanseksual yang telah diatur dalam Peraturan MenteriPemberdayaan Perempuan dan Perlindungan AnakNomor 1Tahun 2010.9.3. Kurangnya sumber daya manusia terlatih untukmenangani korban kekerasan seksual pada UnitPelaporan Kekerasan Seksual ditingkatPerempuan danPerlindungan Anakuntuk berkoordinasidengan organisasipers, KementerianKomunikasi danInformasi, KomisiPenyiaran Indonesia,Dewan Pers,dan pihakterkait untukmemberikan edukasitentang pemberitaankekerasan seksualyang berperspektifkorban.9.2. Melakukan sosialisasikembali Terhadap PeraturanMenteri PemberdayaanPerempuan danPerlindungan Anak Nomor1Tahun 2010 kepada aparathukum untuk melaksanakanSOP yang terkandungdalam aturan tersebut.9.3.1. Menyesuaikan jumlahtenaga terampil agarsebanding dengan jumlah178


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>kabupaten/kota.9.4. Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadapdokter forensik untuk mendapatkan visum etrepertum yang digunakan sebagai alat bukti yangvalid.9.5.1. Kesulitan masyarakat untuk menerima kembalikorban kekerasan seksual karena dianggapsebagai aib dalam komunitasnya.9.5.2. Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadapdokter forensik untuk mendapatkan visum etrepertum yang digunakan sebagai alat bukti yangvalid.9.6. Kurangnya informasi dari aparat penegak hukumkepada korban kekerasan seksual mengenaikeberadaan lembaga yang bergerak dibidangpemulihan korban kekerasan seksual.kasus yang ada diprovinsitersebut.9.3.2. Setiap provinsi harusmempunyai data yangvalid mengenai jumlahkasus kekerasan seksual.9.5. Asistensi pemerintah dalampeningkatan partisipasimasyarakat dalamreintegrasi korbankekerasan seksual.9.6. Dalam proses peradilanpenanganan kasuskekerasan seksual,aparatpenegak hukum harusmenjamin bahwa korbanmengetahui keberadaanlembaga yang bergerakdalam bidang pemulihankorban kekerasanseksual.179


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>9.7. Beberapa daerah belum memiliki rumah aman(shelter) bagi korban kekerasan seksual dalamkonteks rehabilitasi yang dibutuhkan. Selain itu,terdapat beberapa daerah yang sudah memilikishelter, namun belum dipergunakan sebagaimanamestinya.9.8. Dakwaan tindak pidana kekerasan seksual yangbelum mengakomodasi restitusi dan kompensasibagi korban kekerasan seksual.9.7. Harus adanyapemerataan shelter ditiap-tiap lembaga yangmemiliki fungsirehabilitasi terhadapkorban kekerasanseksual dan harusdioperasionalkan sesuaidengan StandarPenilaian Minimum.9.8. Restitusi dan kompensasiharus diakomodir dalamsurat dakwaan.180


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>PENJELASAN TABEL TINJAUAN HUKUM SIMPOSIUM HUKUMNASIONAL <strong>2014</strong>KOMISI 1MATERIIL1. PASAL 285 Poin 1.1 Frasa “kekerasan” atau “ancaman kekerasan” dalam pasal 285membuat rumusan dalam pasal ini menjadi terlalu sempit.Rekomendasi 1.1 Mengganti frasa “ancaman kekerasan” dengan“bertentangan dengan kehendak” sebagaimana diatur dalam RancanganKitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Pidana (RKUHP) tentang pencantumanpengertian pemerkosaan yang tertera dalam ketentuan umum RKUHP.Secara materiil, dianggap perlu adanya perbaikan pada pasal 285, yangberbunyi "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasanmemaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,diancam karena perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belastahun". Frasa “kekerasan” atau “ancaman kekerasan” dalam pasal 285membuat rumusan dalam pasal ini menjadi terlalu sempit.Apabila merujuk pada pasal 89 KUHP, definisi kekerasan dalam pasal285 adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecilsecara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segalamacam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Selain itu, yangdapat disamakan dengan “melakukan kekerasan” adalah membuat orangjadi pingsan atau tidak berdaya. 1 Oleh sebab itu, untuk membuktikanterjadinya tindakan perkosaan, maka harus terdapat kekerasan atau ancamankekerasan yang seringkali diartikan sebagai kekerasan fisik yang harusdibuktikan dengan luka atau bekas luka yang terdapat dalam tubuh korbanyang diakibatkan oleh pelaku.Pada kenyataannya, banyak terdapat peristiwa perkosaan yang terjaditanpa kekerasan atau ancaman kekerasan fisik, tetapi menggunakankekerasan mental atau psikologis. National Victim Center and CrimeVictims Research and Treatment Center (1992) menunjukkan bahwakorban-korban perkosaan mengalami permaksaan, ancaman, dan kekerasanyang menyakitkan, baik secara fisik maupun secara psikis 2 , misalnya padakasus RW, seorang mahasiswi Universitas Indonesia yang diperkosa olehseniman Sitok Srengenge dibawah tekanan mental dan psikis.Dengan rumusan kekerasan atau ancaman kekerasan pula, makagagasan bahwa perempuan tidak menghendaki atau menyetujui (consent)1 R. Soesilo, Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Pidana Serta Komentar-komentarnyaLengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), hlm. 98.2 Bagus Takwin, Membongkar Mitos Perkosaan, (dalam Jurnal Perempuan Edisi71: Perkosaan dan Kekuasaan), hlm. 12.181


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>hubungan seksual tersebut menjadi sesuatu yang sulit diterima. Di satu sisi,ketidaksetujuan perempuan dianggap vital dalam kasus perkosaan, namun disisi lain itu menjadi tidak penting karena perempuan harus membuktikanketidaksetujuannya (yang berarti ada pada tataran psikologis), untuk hal-halyang bersifat fisik (bukti adanya kekerasan).Lebih jauh, rumusan kekerasan tersebut mengeluarkan atau bahkanmengeliminasi hubungan seksual yang dilakukan berdasarkan "ketundukan"(submission), karena alasan-alasan tertentu. Misalnya saja antara seorangmajikan terhadap bawahannya yang merasa khawatir dengan masa depanpekerjaannya, atau cemas dengan nilai ujian atau kelulusan dalam kontekshubungan seksual antara seorang guru terhadap muridnya. 3 Padahal, padadasarnya kekerasan seksual merupakan manifestasi kekuasaan pelakuterhadap korbannya.Dalam RUU KUHP, sudah terdapat perubahan unsur, antara laindihapusnya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang digantikan olehunsur bertentangan dengan kehendak dan tanpa persetujuan. Pasal 488 ayat1 RUU KUHP berbunyi: 4(1) Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidanapenjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)tahun:a. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luarperkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;b. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luarperkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;c. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuantersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;d. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuantersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yangsah;e. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yangberusia di bawah 14 (empat belas) tahun, denganpersetujuannya; atauf. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaanpingsan atau tidak berdaya.3 Ratna Batara Munti, “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, KelemahanAturan dan Proses <strong>Hukum</strong>, Serta Strategi Menggapai Keadilan”, diaksesdarihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2472/kekerasan-seksual-mitos-danrealitaspada 18 Mei <strong>2014</strong>.4Lihat Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Pidana,diakses dari http://antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Umum/RUU%20KUHP_2013.pdf pada 18 Mei <strong>2014</strong>.182


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Menurut pasal tersebut, terjadinya perkosaan tidak perlu dibuktikandengan terdapat atau tidaknya kekerasan atau ancaman kekerasan. Apabilasalah satu pihak (dalam RUU KUHP, perempuan) tidak menyatakanpersetujuan atau menunjukkan kehendaknya dalam melakukan hubunganseks dengan pihak lainnya (dalam RUU KUHP, laki-laki), maka tindakantersebut dapat disebut sebagai perkosaan.Terhadap hal tersebut, delegasi SHN merekomendasikan untuk menggantifrasa “ancaman kekerasan” dengan “bertentangan dengan kehendak”sebagaimana yang sudah diatur dalam RKUHP tentang pencantumanpengertian pemerkosaan yang tertera dalam ketentuan umum RKUHP.Poin 1.2 Tidak menjelaskan definisi mengenai “Pemerkosaan”.Rekomendasi 1.2 Mencantumkan pengertian “Pemerkosaan”.Pasal 285 juga tidak menjelaskan definisi mengenai “Pemerkosaan”serta terdapat kurangnya kepastian hukum dalam Kitab Undang-Undang<strong>Hukum</strong> Pidana (KUHP) yang hanya mengatur mengenai ancaman pidanamaksimal tanpa memperhatikan pengaturan pidana penjara minimum.Hingga saat ini batasan perkosaan dalam hukum positif Indonesia ialahtindakan menyetubuhi seorang wanita yang bukan istrinya dengankekerasan atau ancaman kekerasan.Dalam pasal tersebut, perkosaan didefinisikan secara amat limitatif.Perkosaan menurut KUHP tidak termasuk tindakan KSTP (kekerasanseksual terhadap perempuan) dalam bentuk hubungan penis pelaku melaluianus (secara anal) atau mulut korban (secara oral). 5Belakangan, definisi perkosaan dinilai perlu diperluas agar tidak hanyatentang penetrasi penis terhadap vagina. Perkosaan harus didefinisikansesuai dengan pengalaman korban. Encyclopedia of Rape mengemukakanbahwa realitas fisik perkosaan tidak berubah dari waktu ke waktu, yaitupenetrasi dari vagina, atau lubang lainnya, dengan penis (atau benda lain)tanpa persetujuan dari wanita atau pria korban. Polaschek, Ward & Hudson,memberi definisi perkosaan sebagai penetrasi pada anus, vagina oleh penis,jari atau benda lain atau penetrasi penis pada mulut. Bahkan memaksa oranglain melakukan hal itu juga disebut sebagai perkosaan. 6Di Indonesia, bentuk perkosaan berupa insersi penis ke lubang atauorgan lain selain vagina, seperti anus atau mulut dan benda selain bagiantubuh ke dalam vagina atau anus beberapa kali terjadi. Namun, kasus-kasustersebut biasanya hanya dijerat dengan pasal pencabulan, misalnya sajayang terjadi pada korban YF yang dipaksa untuk melakukan oral oleh para5 Prof. Agus Purwadianto, Disertasi Doktoral: Perkosaan Sebagai pelanggaranHak Asasi Manusia, hlm. 12.6Priyanto Aadil, “Makalah Perkosaan dan Pencabulan”, diakses darihttps://www.academia.edu/3710743/Makalah_Perkosaan_dan_pencabulan.docx pada 20Juli <strong>2014</strong>.183


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>pelaku pada kasus perkosaan di halte Transjakarta (pelaku dijerat pasalpencabulan dan dihukum 1 tahun 6 bulan penjara), dan kasus buruhMarsinah, yang menurut visum yang dilakukan oleh Dr. Abdul Mun‟imIdris, tewas akibat perkosaan berupa dimasukkannya alat berupa tongkatkayu ke dalam vagina korban.Dalam RUU KUHP, definisi perkosaan dalam pasal yang mengaturnyasudah diperluas. Pasal 488 ayat 2 RUU KUHP berbunyi:(2) Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalamkeadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulutperempuan; ataub. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagiantubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.Melihat masalah ini, delegasi SHN merekomendasikan adanyapengaturan mengenai ketentuan batas pidana penjara minimum yang dapatdikenakan terhadap pelaku seperti yang diatur dalam RKUHP.Poin 1.3 Ketentuan dalam KUHP hanya mengatur mengenai ancamanpidana penjara maksimal tanpa memperhatikan mengenai pengaturan pidanapenjara minimum.Rekomendasi 1.3 Menentukan mengenai adanya ketentuan batas pidanapenjara minimum yang dapat dikenakan terhadap pelaku sebagaimana telahdiatur dalam RKUHP.Pasal danAncaman PidanaMaksimalAncamanPidanaJika LukaBeratJika Sampai Mati285: Perkosaan 12 tahun 15 tahun (291 ayat 2)286: denganwanitapingsan/tidakberdaya9 tahun 12 tahun(291 ayat 1)15 tahun (291 ayat 2)287: denganwanita


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>sesama jenisbelum dewasa293: membujukorang dewasauntuk cabul294: cabul dengananak belumdewasa295: memudahkancabul dengan anakbelum dewasa296: memudahkancabul sebagai matapencaharian5 tahun7 tahun5 tahun, 4tahun, +1/3(pencaharian/kebiasaan)1 tahun 4bulanTabel 1: Ancaman Pidana terhadap Tindak Pidana KesusilaanMengenai Seksualitas 7Tindak pidana seksual, khususnya dalam perkosaan tidak ada sanksipidana minimal, sehingga acap kali terjadi putusan hakim yang sangatringan dan tidak setimpal dengan perbuatan pelaku. 8Menurut hakim, hal itu disebabkan untuk menjatuhkan pidanamaksimal terhadap pelaku, harus ada bukti-bukti yang cukup kuat untukmendukungnya. Jika bukti-bukti belum sepenuhnya mendukung, hukumanyang dijatuhkan harus disesuaikan dengan bukti-bukti yang ada. Jadi, tidakasal menjatuhkan hukuman, namun juga harus disertai dengan dasar ataualasan apa yang menjadi sebab-sebab terjadinya tindak perkosaan itu.Dari berbagai keputusan hakim yang dijadikan pijakan analisis,tampaknya terjadi kontradiksi berpikir-logis di kalangan hakim, antarabeban pembuktian secara yuridis dengan problem penjatuhan sanksi. Dalamproses pembuktian sampai kepada penetapan amar keputusan pemerkosa(terdakwa) dinyatakan menurut hukum telah terbukti bersalah secara sahdan meyakinkan. Namun, pada saat hakim menetapkan sanksi hukum yangharus dijatuhkan kepada pelaku, ternyata hakim tidak menghukum danmemberikan sanksi maksimal. Kecuali berbagai faktor dan pertimbanganseperti dijelaskan, sulitnya mendapatkan pembuktian secara material(pembuktian berdasarkan kejadian yang sesungguhnya) dalam kasuspemerkosaan menjadi kendala yuridis, baik pada penuntutan maupunkeputusan. Karena itu, hukuman maksimal belum pernah diterapkan. Unsurpaksaan, lebih-lebih unsur kekerasan yang merupakan unsur esensial dalamhlm. 56.8 Ibid.7 Topo Santoso, Seksualitas dan <strong>Hukum</strong> Pidana, (Jakarta: IND-HILL-CO, 1997),185


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>kasus pemerkosaan, sulit dibuktikan dalam persidangan, karenanya, tidakjarang tuntutan primer turun menjadi subsider. Berdasarkan alasan hukumseperti itu, para hakim lebih mengarah pada prinsip meminimalkan sanksihukum bagi pemerkosa. 9Grafik 2: Persentase Konsekuensi yang Dihadapi Pelaku Laki-laki atasPerkosaan Terhadap Perempuan.Indonesia memang hanya menetapkan ancaman pidana penjara bagipelaku perkosaan. Berbeda dengan ancaman hukuman di beberapa negara,ancaman hukuman bagi pemerkosan diperberat jika korbannya mengalamiluka berat atau gila. KUHP Filipina mengancam dengan pidana mati sebagaipemberatan yaitu jika perkosaan itu mengakibatkan gila atau mati.Sementara mengenai hukumannya, ada yang menghukum dengan kerjaberat (KUHP Perancis) dan pengasingan tetap (KUHP Filipina). 10Poin 1.4 Menurut Pasal 285, korban hanya sebatas wanita sehingga tidakmelindungi tentang pemerkosaan terhadap korban laki-laki.Rekomendasi 1.4 Menentukan adanya ketentuan pemerkosaan terhadapkorban laki-laki di dalam RKUHP.Masalah lain dalam pasal 285 adalah dalam pasal tersebut dituliskanbahwa korban hanya sebatas wanita, sehingga membuka kemungkinan9 M. Hisyam Syafioedin dan Faturochman, “<strong>Hukum</strong>an Bagi Pemerkosa danPerlindungan Bagi Korban”, diakses dari http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/BUKU%20-%20<strong>Hukum</strong>an%20bagi%20pemerkosa.pdf pada 20 Juli <strong>2014</strong>.10 Topo Santoso, Op. Cit., hlm. 56.186


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>kurangnya perlindungan yang diberikan terhadap korban pemerkosaan yangberjenis kelamin laki-laki.Perkosaan yang diatur dalam KUHP pasal 285 sampai dengan 287hanya membatasi perkosaan sebagai persetubuhan dengan kekerasan atauancaman kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan di luarperkawinan.Selain itu, KUHP dan peraturan lainnya di Indonesia belummengakomodasi bentuk perkosaan yang dilakukan laki-laki dewasaterhadap laki-laki dewasa. KUHP hanya membatasi kekerasan seksualantara laki-laki dewasa terhadap laki-laki di bawah umur (bahkan dianggapbukan sebagai perkosaan, melainkan pencabulan), seperti yang tercantumdalam pasal 292 KUHP yang berbunyi:“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belumdewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harusdisangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya limatahun.”Namun, selain KUHP, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak juga sudah memberikan perlindungan khusus bagianak-anak yang mengalami kekerasan secara seksual.Bentuk perkosaan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki jugabelum diatur dalam KUHP maupun peraturan lainnya. Dalam KUHP danRUU KUHP selalu ditekankan bahwa yang menjadi pelaku adalah laki-lakidan korbannya adalah perempuan. Padahal, kasus tersebut pernahditemukan di Indonesia, salah satunya kasus seorang Ibu RT di Bengkuluyang memperkosa 6 pria remaja. Ibu RT tersebut akhirnya terbukti secarasah dan meyakinkan telah melakukan persetubuhan terhadap anak yangmasih di bawah umur sebagaimana diatur pada Pasal 81 ayat 2 UU Nomor23 tahun 2002 dan divonis 8 tahun penjara. 11Meskipun tampaknya perkosaan antara laki-laki dewasa terhadap lakilakidewasa dan perempuan terhadap laki-laki tidak mungkin terjadi, padakenyataannya kasus tersebut terjadi dalam masyarakat. Namun, banyakyang tidak terlaporkan karena stigma dan mitos yang berkembang dimasyarakat tentang perkosaan. Di luar negeri, beberapa kasus tersebutmulai banyak terekspos dan dilaporkan.2. PASAL 286 Poin 2.1 Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai perbuatanbersetubuh.Rekomendasi 2.1 Menentukan penjelasan mengenai perbuatan bersetubuhdalam pasal tersebut.11 Hery H. Winarno, “Ibu RT Cabul di Bengkuli Divonis 8 Tahun Penjara”,diakses dari http://www.merdeka.com/peristiwa/ibu-rt-cabul-di-bengkulu-divonis-8-tahun-penjara.html pada 20 Juli <strong>2014</strong>.187


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Pada pasal 286, yang berbunyi:“Barangsiapa bersetubuh dengan wanita di luar perkawinan padahaldiketahuinya wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,diancam pidana penjara paling lama sembilan tahun.”Dalam pasal tersebut tidak ada definisi yang jelas mengenai perbuatanbersetubuh sehingga delegasi SHN merekomendasikan agar ada ketentuanpenjelasan mengenai perbuatan bersetubuh dalam pasal 286 tersebut, sepertiyang sudah dijelaskan di dalam Rekomendasi 1.2.Poin 2.2 Tidak menjelaskan secara jelas mengenai definisi dan klasifikasikeadaan tak berdaya.Rekomendasi 2.2 Mempertegas definisi dan klasifikasi keadaan takberdaya, siapa yang menjadikan keadaan tidak berdaya itu timbul, sertakondisi yang dapat dianggap sebagai keadaan tidak berdaya.Unsur keadaan pingsan atau tidak berdaya dalam pasal 286membutuhkan penjelasan lebih, seperti bagaimana kondisi yang termasukdalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (misalnya apakah kondisi sakitdan mabuk termasuk dalam keadaan tidak berdaya?), faktor penyebabterjadinya keadaan tersebut, siapa yang menjadikan keadaan pingsan atautidak berdaya itu timbul, dan kapan suatu keadaan dianggap tidak berdaya.KUHP hanya memberikan penjelasan di dalam Pasal 89 bahwa membuatorang tidak berdaya sama dengan menggunakan kekerasan, yang justrumembuat pasal ini tumpang tindih dengan Pasal 285. Penjelasan mengenaibersetubuh juga perlu lebih dijelaskan, seperti apakah bersetubuh hanyamerupakan peristiwa di mana terjadinya penetrasi penis ke dalam vaginadan apakah penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan denganatau tanpa disertai dengan ejakulasi, karena hal-hal tersebut akanberpengaruh dalam pembuktian unsur. Penjelasan pasal ini dimaksudkanuntuk memudahkan proses pembuktian.3. PASAL 287 Poin 3.1 Adanya penyamaan status antara anak dan tidak berdaya.Rekomendasi 3.1.1 Menentukan adanya perbedaaan pemidanaan yangtegas antara korban yang tidak berdaya dengan anak, di mana kasuspemerkosaan terhadap korban anak seharusnya lebih berat dibandingkandengan kasus pemerkosaan terhadap orang yang tidak berdaya.Rekomendasi 3.1.2 Menentukan penjelasan yang tegas terkait dengan hal“tidak berdaya”, termasuk kategorisasi tidak berdaya, siapa yang membuattidak berdaya dan kapan suatu keadaan yang dialami korban dapat dianggaptidak berdaya.Pasal 287 KUHP berbunyi:“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya188


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belumwaktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lamasembilan tahun.”Permasalahan yang terdapat di dalam pasal ini adalah adanya penyamaanstatus antara korban kekerasan seksual pada anak dan korban kekerasanseksual bukan anak namun dalam kondisi pingsan atau tidak berdaya yangditunjukkan dengan adanya sanksi yang sama, yaitu sembilan tahun. Perludiketahui bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belumberusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Adanyapenyamaan status antara korban kekerasan seksual pada anak dan korbankekerasan seksual bukan anak namun dalam kondisi pingsan atau tidakberdaya akan menimbulkan suatu permasalahan yang akan berdampakburuk pada ancaman hukuman pidana para pelaku kekerasan seksual karenadapat diartikan bahwa semakin muda umur korbannya, maka semakinringan hukumannya. Delegasi SHN juga merekomendasikan untukditentukannya penjelasan yang tegas dalam hal pengertian, kategorisasi,siapa dan kondisi yang dapat dikatakan termasuk kedalam keadaan korbanyang tidak berdaya seperti yang telah dijelaskan di dalam Poin 2.2.Namun, selain KUHP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak juga sudah memberikan perlindungan khusus bagi anakanakyang mengalami kekerasan seksual. Poin 3.2 Mempertanyakan mengenai rumusan delik dalam pasal 287,“apakah saksi yang melihat tindakan pemerkosaan bisa melaporkan?”Rekomendasi3.2 Melakukan revisi terhadap Pasal 287, delik Pasal 287KUHP adalah delik biasa bukan delik aduan.Permasalahan selanjutnya adalah pasal 287 KUHP tergolong jenis delikaduan yang berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduanatau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Pertanyaannyaadalah, “apakah saksi yang melihat tindakan pemerkosaan bisamelaporkan?” Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya <strong>Hukum</strong> PidanaII, dalam delik aduan penuntutan terhadap jenis delik tersebut digantungkanpada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Dalam hal perkosaan,kebanyakan korban yang telah diperkosa tidak bisa melaporkan kejadianburuk yang telah menimpanya saat itu juga, karena selain merekamengalami trauma perkosaan, terkadang mereka juga mendapatkanancaman dari pelaku sehingga merasa takut untuk melaporkan. Korbanperkosaan baru bisa melaporkan kejadian tersebut ketika mereka sudahmerasa lebih tenang. Proses tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama,sehingga bukti-bukti yang ada ketika tindakan perkosaan tersebut sudahhilang, seperti noda sperma. Hal tersebut akan bermasalah padapembuktian. Dengan kurangnya barang bukti yang ada, para pelaku tindak189


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>pidana perkosaan dapat bebas dari tuntutan. Oleh karena itu, delegasi SHNmerekomendasikan revisi terhadap pasal 287 KUHP, bahwasanya jenisdelik pasal 287 KUHP adalah jenis delik biasa bukan jenis delik aduan,sehingga yang dapat melakukan penuntutan tidak hanya korban saja.Poin 3.3 Pidana penjara dalam rumusan pasal 287 lebih ringandibandingkan dengan pidana penjara dalam rumusan pasal 285, padahal didalam pasal 287 korbannya adalah anak yang akan menjadi penerus bangsa.Rekomendasi 3.3 Memperberat ancaman pidana dalam RKUHP.Persamaan status yang dimaksud dalam Poin 3.1 dapat dilihat dariancaman hukuman penjara yang sama dari pasal 287 dengan pasal 286KUHP, yaitu 9 tahun. Seharusnya ancaman hukuman pidana terhadapkorban anak-anak sebagaimana telah diatur dalam pasal 287 memilikiancaman hukuman pidana yang sama atau bahkan lebih berat dibandingkandengan ancaman hukuman pidana dalam pasal 286. Selain karena dapatmengindikasikan bahwa semakin muda umur korban maka semakin ringanhukumannya, hal ini disebabkan terutama karena anak-anak merupakanpenerus bangsa.Tidak hanya fakta kekerasan seksual, dampak yang dialami korbankekerasan seksual juga masih luput dari perhatian serius masyarakat.Terdapat beberapa dampak yang dapat timbul pada korban kekerasanseksual, terutama perkosaan dan pelecehan. Dampak-dampak tersebutantara lain dampak langsung, dampak perilaku, dampak psikologis, dampakfisik, meliputi depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguanmakan, rasa rendah diri yang buruk, perubahan perilaku seksual,psikopatologi, penyakit alamat kelamin, adiksi terhadap zat-zat berbahaya,bahkan berujung pada kematian. Dampak-dampak tersebut akan dialamioleh setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual, baik jangkapendek maupun jangka panjang. Delegasi SHN merekomendasikan untukditentukannya perbedaan pemidanaan yang tegas antara korban yang tidakberdaya dengan anak, dimana kasus pemerkosaan terhadap anak seharusnyaancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan kasus pemerkosaanterhadap orang dewasa yang tidak berdaya.Namun, selain KUHP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak juga sudah memberikan perlindungan khusus bagi anakanakyang mengalami kekerasan seksual.4. PASAL 288 Poin 4.1 Rumusan dalam pasal tidak dijelaskan secara tegas dalam halapakah pasal ini turut mencakup pemaksaan perkawinan atau tidak.Rekomendasi 4.1 Meminta penjelasan yang tegas terkait rumusan pasal288, apakah termasuk ke dalam pemaksaan perkawinan atau tidak.Pasal 288 KUHP berbunyi:190


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanitayang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yangbersangkutan belum waktunya untuk di kawin, apabila perbuatanmengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana paling lama empatbulan.(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidanapenjara paling lama delapan tahun.(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama duabelas tahun.Pasal 288 ayat 1 mengandung unsur perkawinan yang hanya mencakupperkawinan di bawah umur. KUHP tidak menjelaskan apakah perkawinanyang dimaksud adalah perkawinan yang terjadi karena sukarela ataupunkarena adanya paksaan. Perlindungan terhadap perkawinan di bawah umurjuga diatur di dalam dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak Pasal 26 ayat (1) huruf C yang menyatakan bahwaorang tua berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan pada usia anakanak.Pasal 288 ayat 1 juga memberi ancaman hukuman lebih ringan (4tahun) kepada pelaku perkosaan perempuan di bawah umur danmenimbulkan luka-luka. Bandingkan dengan pasal 285 yaitu perkosaanterhadap perempuan dewasa (tidak dalam keadaan pingsan atau luka-luka)yang diancam hukuman maksimal 12 tahun. Hal ini menimbulkan keanehankarena pasal itu dapat diinterpretasi bahwa semakin muda umur perempuankorban perkosaan (di bawah umur), dan menderita luka-luka akibatperkosaan itu, maka semakin ringan hukuman bagi pelakunya. 12Poin 4.2 Hanya terbatas luka fisik, tidak ada pembahasan luka psikologis,dan juga hanya terbatas pada wanitaRekomendasi 4.2 Memperluas cakupan luka dan korban pada pasal ini.Pasal ini hanya mencakup perkawinan di bawah umur yang berakibatluka, luka berat, atau kematian (diatur dalam ayat (2) dan (3)). Hal iniberarti bahwa perkawinan di bawah umur yang tidak mengakibatkan luka,luka berat, atau matinya perempuan yang menjadi istrinya tidak dapatdikenai pasal ini. Padahal, dampak negatif dari perkawinan di bawah umurtidak selalu dalam bentuk fisik, namun juga dapat mengakibatkan traumapsikologis. Demikian juga dampak dari kekerasan seksual tidak hanyasebatas luka fisik saja, melainkan juga luka psikologis seperti halnya rasatakut, gelisah, dan depresi.Poin 4.3 Ketentuan dalam Pasal ini hanya mencakup perkawinan di bawahumur12 Topo Santoso, ibid.191


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Rekomendasi 4.3 Mempertegas ketentuan dalam Pasal 288 agar mencakuptidak hanya perkawinan dibawah umur tetapi juga perkawinan cukup umur.Ketentuan pasal ini hanya mencakup perkawinan di bawah umurpadahal juga dimungkinkan adanya pemaksaan perkawinan dan kekerasanseksual kepada mereka yang sudah dewasa.Marital rape merupakan perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadapistri atau sebaliknya, dengan cara memaksa untuk melakukan hubunganbadan tanpa melihat dan mempertimbangkan kesediaan dan kesiapanpasangannya. Meskipun dalam KUHP tidak dikenal istilah marital rape, haltersebut telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentangPenghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Pasal 5 UUPKDRT mengatur tentang larangan tindakan kekerasan seksual, yaitupemaksaan hubungan seksual yang tidak diinginkan. Secara lebih khusus,Pasal 8 menjelaskan bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaanhubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalamlingkup rumah tangga tersebut, seperti istri, anak, dan pekerja rumahtangga. Mengenai hukuman bagi pelaku, pasal 46 menegaskan bahwa parapelaku pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga diancamhukuman pidana yakni pidana penjara paling lama 12 tahun atau denanpaling banyak Rp36.000.000,00Minimnya kesadaran masyarakat terhadap marital rape menyebabkanbanyak kasus yang tidak terlaporkan.5. PASAL 289 Poin 5.1 Frasa “kekerasan atau ancaman kekerasan” dalam Pasal 289membuat Pasal-Pasal tersebut menjadi sempit.Rekomendasi 5.1 Frasa “kekerasan atau ancaman kekerasan” tersebutdiganti dengan frasa “bertentangan” atau “bertentangan dengan kehendak”Pasal 289 KUHP berbunyi“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksaseseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinyaperbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan denganhukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.”Frasa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada pasal tersebutmembuat pasal ini menjadi sempit karena perbuatan cabul tidak selaluberawal dari kekerasan atau ancaman kekerasan yang pada konteksnyabersifat lebih fisik. Dengan demikian, delegasi SHN merekomendasikansebaiknya frasa “dengan kekerasan” atau “ancaman kekerasan” pada pasal289 KUHP diubah menjadi frasa “bertentangan dengan” atau “bertentangandengan kehendak” sehingga ketentuan pasal ini menjadi lebih luas.Poin 5.2 Definisi cabul dan kategorisasi pemerkosaan tidak jelas.192


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Rekomendasi 5.2 Mempertegas definisi dan kategorisasi daripada cabul,baik itu di dalam ketentuan umum atau penjelasan Pasal.Pasal 289 KUHP tidak menguraikan secara jelas dan detil mengenaidefinisi dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul serta kategorisasiperkosaan yang sangat berhubungan dengan hal tersebut. Dalam penjelasanpasal 289 KUHP oleh R. Soesilo hanya dikatakan bahwa “perbuatan cabuladalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atauperbuatan yang keji, yang masuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,misalnya cium-ciuman, meraba-raba kemaluan atau buah dada.”Pencabulan sendiri merupakan bagian dari pelecehan seksual. Pelecehanseksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melaluikontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksualatau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, mainmata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materimateripornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagiantubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkanrasa tidak nyaman, tersinggung merasa direndahkan martabatnya, danmungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. 13KUHP tidak mengenal istilah pelecehan seksual tetapi hanya perbuatancabul. Akan tetapi, tidak terdapat ketentuan yang tegas mengenai definisidan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul yang dimaksud oleh pembuatpasal ini sehingga menuai banyak perbedaan pendapat dan kontroversi dikalangan penegak hukum.Perihal keterkaitannya dengan perkosaan, perkosaan dilihat daridibuktikannya persetubuhan paksa dan akibatnya, seperti penyakit menularseksual, gangguan disfungsi seksual, dan PTRS (Post Traumatic StressDisorder). Apabila secara forensik praktis unsur persetubuhan dalambatasan perkosaan tidak terbukti, maka tindak pidana tersebut masuk kedalam kategori pencabulan. 14 Dengan demikian, sebaiknya dibuat ketentuanyang mempertegas definisi dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabulserta kategorisasi perkosaan yang masuk ke dalam ruang lingkup pasal ini.6. PASAL 294 Poin 6.1 Sanksi pidana lebih rendah.13 Komnas Perempuan, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran danPenanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjatadi Poso 1998-2005, Komnas Perempuan, 2009, hal. 132 dan rumusan yangdikembangkan Rifka Annisa Women‟s Crisis Centre dalam Lusia Palulungan, “BagaiMengurai Benang Kusut: Bercermin Pada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, SulitnyaPembuktian Pelecehan Seksual, Tatap: Berita Seputar Pelayanan”, KomnasPerempuan, 2010, hal. 914 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 78-79.193


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Rekomendasi 6.1 Sudah terjawab di RKUHP, yaitu dengan pemidanaanterhadap pemerkosaan atau percabulan anak yang dilakukan oleh kerabatlebih besar ancaman pidananya.Pasal 294 KUHP mengatur ketentuan mengenai perbuatan cabul yangdilakukan oleh orang tua kepada anaknya atau anak tiri, anak pungutataupun anak yang di bawah pengawasannya. Pasal ini memuat ketentuanpidana yang lebih ringan daripada perbuatan cabul yang dilakukan olehorang yang korbannya tidak di bawah pengawasan orang tersebut. Padahalseharusnya pelaku dijatuhi hukuman pidana yang lebih berat, mengingatkorban pasti memberikan kepercayaan lebih dan mengharapkanperlindungan dari orang yang dekat dengannya atau kerabatnya. Mengenaihal ini sebenarnya sudah diatur dalam RKUHP, yaitu perbuatan cabul danperkosaan anak yang dilakukan oleh kerabat dijatuhi sanksi pidana yanglebih berat.Poin 6.2 Adanya kekosongan hukum, karena tidak diaturnya pemerkosaanterhadap anak, anak tiri, anak angkat atau anak yang berada di bawahpengawasan pelaku.Rekomendasi 6.2 Mengenai masalah poin 2 dan 3, adanya pengaturanmengenai masalah diatas dalam Pasal tertentu.Pasal ini hanya mencakup “perbuatan cabul” terhadap anak, anak tiri, anakpungut, ataupun anak yang ada di bawah pengawasannya. Tindakanpemerkosaan tidak termasuk ke dalam ruang lingkup pasal ini. Dalam halini, terdapat kekosongan hukum karena tidak ada ketentuan yang mengaturmengenai perkosaan terhadap anak, anak tiri, anak pungut, ataupun anakyang ada di bawah pengawasannya sehingga pelaku perkosaan tersebuthanya dapat dikenai pasal 294 KUHP mengenai perbuatan cabul ini,padahal pelaku tindak pidana perkosaan seharusnya diberikan sanksi yanglebih berat dibandingkan pelaku tindak pidana perbuatan cabul mengingattindak pidana perkosaan jauh lebih merugikan korban baik rohani maupunjasmani dibandingkan perbuatan cabul. Dengan demikian, mengenai hal inisebaiknya diatur dengan ketentuan yang lebih lanjut.7. PASAL 295 Poin 7.1 Pasal 295 hanya mengatur mengenai perbuatan yang menyebabkanatau mempermudah perbuatan cabul, sehingga terdapat kekosongan hukumuntuk perbuatan yang menyebabkan atau mempermudah pemerkosaanRekomendasi 7.1 Meminta agar perbuatan yang menyebabkan ataumempermudah pemerkosaan diatur dalam RKUHP.Pasal 295 KUHP mengatur mengenai perbuatan yang menyebabkan ataumemudahkan dilakukannya perbuatan cabul. Dinyatakan pada pasal tersebut“(1) Diancam dengan:1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengansengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan194


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yangbelum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan ataupenjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya ataubawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapadengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatancabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas., yang dilakukanoleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnyaharus diduganya demikian, dengan orang lain.”Dapat dilihat dalam rumusan pasal di atas bahwa pengaturan tersebuthanyalah ditujukan pada perbuatan cabul saja. Apabila melihat pembahasansebelumnya mengenai perkosaan, tidak ada pasal yang mengatur mengenaiperbuatan yang menyebabkan atau mempermudah perkosaan. Padahal, halini diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum akan hal tersebut. Olehkarena itu, diharapkan terdapat pengaturan mengenai hal ini dalam RKUHP,sebab setelah ditelaah dalam RKUHP terbaru kini pun tidak terdapatpengaturannya.Poin 7.2 Pasal 295 mengatur secara limitatif pihak-pihak yangmenyebabkan atau mempermudah perbuatan cabul.Rekomendasi 7.2 Memperjelas ketentuan mengenai pihak-pihak yangmenyebabkan atau mempermudah perbuatan cabul dalam RKUHPPasal 295 KUHP hanya mengatur secara limitatif pihak-pihak yangmenyebabkan atau mempermudah perbuatan cabul. Dalam rumusan pasalhanya kepada “…anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belumdewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkankepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukupumur, dengan orang lain…” sehingga perlu diperjelas dan diperluasketentuan mengenai pihak-pihak yang menyebabkan atau mempermudanperbuatan cabul ini di dalam RKUHP.195


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>KOMISI 2FORMILPoin 8.1 Etika Aparat Penegak <strong>Hukum</strong> (Kepolisian, Kejaksaan danKehakiman) penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak berperspektifkepada korban.Rekomendasi8.1.1 Mengoptimalisasikan “Pendidikan Penanganan Kasus KekerasanSeksual” kepada Aparat Penegak <strong>Hukum</strong> (APH).8.1.2 Penyesuaian kode etik bagi Aparat Penegak <strong>Hukum</strong> (APH) yangberperspektif kepada korban kekerasan seksual.8.1.3 Mengadakan revisi terhadap PP Nomor 2 Tahun 2003 tentangPeraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesiamengenai Sanksi, yang bertujuan untuk memperberat ancamanpidana terhadap para pelaku kejahatan kekerasan seksual.8.1.4 Mengoptimalisasikan penerapan PERKAP Nomor 10 Tahun 2007tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan danAnak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian Negara RepublikIndonesia yang telah direvisi dan juga melakukan sosialisasi diseluruh wilayah Indonesia.Kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang sangat kompleks dantidak mudah ditangani. Aparat penegak hukum membutuhkan perspektifyang luas dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Seringkalihakim yang kurang berpengalaman terpengaruh oleh prejudicial evidencetentang karakter buruk si tersangka. Pada kasus sidang perkosaan, merekadapat terpengaruh oleh karakter baik si pelaku perkosaan, sebaliknya,sekaligus mempersoalkan karakter buruk masa lalu atau kredibilitaskorban. Diragukannya kredibilitas korban misalnya tampak dari ditelitinyasecara berlebihan pesetujuan (consent) korban, aturan lajang-perawankorban,dan riwayat perilaku seksual sebelumnya. Perempuan lajang yangbukan perawan dipandang lebih mungkin menyatakan persetujuannyauntuk melakukan hubungan seksual dibandingkan dengan lajang-perawan.Riwayat perilaku seksual sebelumnya juga menyulitkan pembuktianperkosaan korban dewasa yang telah saling mengenal sebelumnya(sehingga memicu tuduhan suka sama suka) ataupun perkosaan dengankorban anak-anak. Hal tersebut juga menyulitkan mereka yang kebetulanberprofesi sebagai pelacur, yang dianggap “kurang masuk akal” untuk tidakconsent terhadap relasi seksual pasca-menerima uang jasa dari laki-lakiyang menyetubuhinya. 15 Berkaca pada Amerika, ketentuan uji perilakuyang berat sebelah seperti itu telah dicabut tahun 1974-1975 di beberapa15 Ibid, hlm. 131.196


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>negara bagian, sehingga tidak diperbolehkan lagi mempertanyakan riwayatperilaku seksual korban sebelumnya. 16Kecenderungan yang ada juga menunjukkan bahwa korban seringkalicemas akan reaksi personel peradilan pidana (polisi, jaksa, dan hakim),terhadap viktimisasi yang dialaminya. Hal ini tidak dapat dilepaskan darikenyataan bahwa sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yangdilaporkan kurang mendapat tanggapan yang positif dari mereka,misalnya: 17(a) Karena masalah tindak kekerasan terhadap perempuan (terutama yangberkenaan dengan domestic violence) dianggap sebagai masalahkeluarga yang sebaiknya diselesaikan dalam keluarga saja.(b) Kurangnya pelatihan pada personel peradilan pidana mengenai tindakkekerasan terhadap perempuan untuk meningkatkan kepekaan personelkepada masalah yang dialami korban.(c) Ketiadaan prosedur baku yang dirancang untuk menangani perempuanyang menjadi korban tindak kekerasan terhadap perempuan, sehinggamasih sangat bergantung kepada persepsi dan kemampuan individupetugas hukum untuk menindaklanjuti masalah ini.(d) Terkadang polisi kesulitan untuk memperoleh bukti awal, kecualikesaksian korban, sehingga upaya tindak lanjut menjadi sulit untukdilakukan.Pada wawancara yang dilakukn oleh delegasi Universitas Indonesiadengan salah satu pendamping hukum di LBH APIK Jakarta 18 , dalampengalaman pendampingannya, menemukan banyak aparat kepolisian yangdalam menjalani proses penyidikan melalui pertanyaan-pertanyaan yangdiajukan cenderung victim blaming dan semakin menyudutkan korban.Berikut kutipan pertanyaan dari penyidik dan hakim dalam salah satukasus. 19 Sebelum Anda disetubuhi apakah status Anda masih perawan? Sebelum Anda disetubuhi oleh Saudara A (bukan nama sebenarnya)secara paksa, apakah Anda tidak berusaha untuk berteriak, jelaskan? Setelah Saudara A selesai menyetubuhi Anda, dan Saudara A keluardari kamar, apakah waktu itu tidak ada usaha Anda untuk melarikandiri atau keluar dari rumah tersebut?16 Ibid, hlm. 132.17 Prof. Harkristuti Harkrisnowo, <strong>Hukum</strong> Pidana dan Kekerasan TerhadapPerempuan, (Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan danAlternatif Pemecahannya, Jakarta: PT Alumni, 2000), hlm. 90-91.18 Dikutip dari Makalah Delegasi Universitas Indonesia, Pelaksanaan FungsiPenanganan <strong>Hukum</strong> terhadap Korban Kekerasan Seksual di Jakarta19 Lihat, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polisi Sektor Pasarkemis, Tanggal 19dan 21 April 1999,serta catatan persidangannya, dokumentasi LBH APIK Jakarta197


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> Coba Anda jelaskan apakah persetubuhan antara Anda denganSaudara A tersebut dilakukan secara mau sama mau, jelaskan? Sebelum Anda bersama Santi (bukan nama sebenarnya) diajak main kerumah temannya tersebut, apakah Anda tidak merasa curigasebelumnya?Tambahan pertanyaan penyidik pada korban kedua dalam kasus yangsama: Apakah Anda sewaktu diperkosa oleh Saudara H (bukan namasebenarnya) tersebut siapa yang memasukkan alat kemaluannyaketempat vagina Anda, dan apakah Anda ikut membantumemasukkannya? Apakah sewaktu Saudara H memasukkan alat kemaluannya ke dalamvagina Anda, apakah Anda berusaha mengelakkannya?Bandingkan dengan pertanyaan pelaku perkosaan dalam kasus yangsama:Penyidik : Setelah selesai persetubuhan apa tindakan atau reaksiSaudari S (bukan nama sebenarnya), jelaskan?Pelaku : Setelah selesai bersetubuh tidak ada reaksi dari Saudari Smelainkan langsung tidur dan saya sendiri keluar untuk cucimuka ke kamar mandi dan kemudian kembali ke kamar tidurdan tidur bersama-sama Saudari S.Penyidik : Apakah persetubuhan yang Anda lakukan dengan Saudari Stersebut dilakukan secara paksa atau mau sama mau, jelaskan?Pelaku : Dilakukan mau sama mau karena saya mau bertanggungjawab untuk menikahinya.Dalam kasus yang terjadi 11 tahun sebelum adanya Peraturan MenteriNegara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PermennegPP&PA) Nomor 1 Tahun 2010 ini, terlihat baik penyidik maupun pelakuberpegang pada kenikmatan seksual perempuan menurut persepsi merekayang sangat bias laki-laki. Karenanya mereka meragukan kebenaranpengalaman korban, bahkan untuk itu mereka tak segan-segan mengajukanpertanyaan-pertanyaan yang intinya melecehkan dan menyalahkan korban(victim blaming) juga menyudutkan korban sebagai pihak yang turutbertanggung jawab terhadap peristiwa perkosaan tersebut (victimparticipating). 2020 Ratna Batara Munti, Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, KelemahanAturan dan Proses <strong>Hukum</strong>, Serta Strategi Menggapai Keadilan, dalam PerempuanIndonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah, Jakarta: Program Studi KajianWanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000, hlm. 389-390.198


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Pun setelah Permenneg PP&PA No. 1 Tahun 2010 diundangkan,penanganan polisi pada kasus kekerasan seksual, khususnya di Jakarta,masih mengalami kendala yang sama. Hal ini terrefleksikan pada contohkasus yang ditangani oleh pendamping hukum korban UH di salah satuLBH perempuan di Jakarta sebagai berikut: 21Kasus perkosaan Aster (bukan nama sebenarnya) anak usia 15 tahunoleh pelaku usia 25 tahun. Awal berhubungan dengan korban adalah ketikapendamping mendapatkan telepon dari tetangga korban pada hari Sabtu disaat hari libur pendamping. Setelah berkoordinasi dengan koordinatordivisi, pendamping datang ke Kantor Polres untuk mendampingi korbanmembuat laporan, visum, dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).Setelah mendampingi korban membuat laporan pada jam 10 pagi,pendamping langsung membawa korban untuk visum di rumah sakit jam12 siang sampai jam 5 sore. Setelah visum jam 5 sore kembali lagi keKepolisian untuk BAP sampai jam 10 malam.“Sampai di Polres sudah buat laporan kita damping, karena waktu itulibur jadi nggak bikin surat kuasa. Kami tetap mengenalkan diri sebagaipendamping dari LBH. Akhirnya dipersilahkan untuk membuat laporankejadiannya kapan, 3 hari yang lalu. Kalau diperkosa 3 hari yang lalu itusudah kelamaan. Anaknya takut mau ngaku dia baru berani ceritasekarang. Ya sudah kita buat laporan, kita data, kita visum. Laporan belumdibuat, hanya pendaftaran saja dibuat surat rujukan, kita visum di RSCM.Jadi langsung ke RSCM. Visum langsung dapat hasilnya, waktu itu harusdidampingi polisi. Karena tidak bisa jalan sendiri. Setelah itu, langsungkembali lagi ke Polres. Setelah di Polres baru kita dibuatkan laporan.Setelah dibuat laporan di SPK, kita diarahkan ke Unit PPA di BAP. Sayabingung kok langsung di BAP. Udah hari ini buat laporan aja karenaselesai visum itu sudah jam 7 malam masak langsung di BAP. Harusnyatunggu kondisi korban dulu karena kondisi korban itu masih capek. Kamimenyerahkan ke pihak korban, mau di BAP sekarang lebih baik. Lohbiasanya kami damping nggak seperti ini. Biasanya diberi kebebasan. Tapidari pihak korban kayaknya sudah ketakutan. Ya sudah sekarang saja. Pasdi tengah-tengah pemeriksaan dia bilang, „Mbak, aku capek, gimana kalaubesok aja?‟ setelah itu kita ngomong ke penyidik bisa nggak ditunda ajauntuk besok. Ya sudah, nanti kita ada pemeriksaan tambahan. Karenamereka memang awam hukum.”Adapun selama pemeriksaan, menurut pendamping hukum UH, polisimemberikan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan danmenyudutkan korban, antara lain:21 SY. Ernaweni, Tesis: Penanganan <strong>Hukum</strong> Kasus Kekerasan Seksual terhadapAnak Perempuan berdasarkan Pengalaman Pendamping <strong>Hukum</strong>,199


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong> Kamu melakukan ini sama-sama mau kan? (pendamping menjawab:bagaimana ini disebut sama-sama mau pak, dia masih kecil belum tahubaik buruk, sedangkan pelaku sudah dewasa jadi tidak ada mau samamau, ini masuk unsur dalam Undang-Undang Perlindungan Anakadanya bujuk rayu, tipu muslihat) Kok kamu gak teriak? Kok mau sih, kamu pacaran ya? (pendamping memprotes sikap polisitersebut dengan mengatakan: Gimana sih, KANIT (kepala unit)-nya kansudah sering berkoordinasi dengan LBH, kok anak buahnya begini yanggak punya perspektif.”)Sikap Polisi dalam penyidikan tersebut melanggar sejumlah ketentuandalam Prosedur Standar Operasional (PSO) Pelaksanaan PermennegPP&PA No. 1 Tahun 2010 yaitu:1) Penerimaan Laporan Polisi: 22a. Apabila saksi korban dalam kondisi trauma/stres, penyidikmelakukan tindakan penyelamatan dengan mengirim saksidan/atau korban ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas, untukmendapatkan penanganan medis-psikis serta memantauperkembangannya;b. Dalam hal saksi dan/atau korban memerlukan istirahat, petugasmengantar ke ruang istirahat atau rumah aman atau shelter.2) Pada tahap penyidikan: 23a. apabila korban siap diperiksa dan bersedia memberikanketerangan terkait dengan laporan polisi yang dilaporkan korban,penyidik dapat melaksanakan kegiatan membuat Berita AcaraPemeriksaan (BAP).“Udah hari ini buat laporan aja karena selesai visum itu sudahjam 7 malam masak langsung di BAP. Harusnya tunggu kondisikorban dulu karena kondisi korban itu masih capek. Kamimenyerahkan ke pihak korban, mau di BAP sekarang lebih baik.Loh biasanya kami damping nggak seperti ini. Biasanya diberikebebasan. Tapi dari pihak korban kayaknya sudah ketakutan. Yasudah sekarang saja. Pas di tengah-tengah pemeriksaan diabilang, „mba, aku capek, gimana kalau besok aja?”Pada ilustrasi tersebut tergambar bagaimana penanganan polisitidak mematuhi PSO yang dipersyaratkan pada PermennegPP&PA No. 1 Tahun 2010. Polisi selaku penyidik memaksakankorban untuk menjalani BAP di hari itu juga, padahal kondisifisik korban sudah kelelahan. Seharusnya, penyidik melakukan22 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RepublikIndonesia, Op.Cit, hlm. 217.23 Ibid., hlm. 219.200


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>tindak penyelamatan ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmashingga kondisi korban cukup sehat dan baik untuk menjalaniwawancara pembuatan laporan polisi.3) Tata cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban: 24a. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban dilaksanakan denganmemperhatikan ketentuan sebagai berikut: pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati; dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggungperasaan atau hal-hal yang sangat sensitif bagi saksi dan/ataukorban yang diperiksa; tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencemooh ataumelecehkan yang diperiksa tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkankekesalan/kemarahan yang diperiksa; selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa memperhatikansituasi dan kondisi fisik maupun kejiwaan yang diperiksa.Dalam hal etika, ini diperlukan dengan adanya optimalisasi “PendidikanPenanganan Kasus Kekerasan Seksual” kepada aparat penegak hukum(APH). Selain itu, kurangnya pelatihan pada personel peradilan pidanamengenai tindak kekerasan perempuan untuk meningkatkan kepekaanpersonel kepada masalah yang dialami korban.Rekomendasi selanjutnya dapat pula diadakan penyesuaian kode etikbagi aparat penegak hukum (APH) yang berperspektif korban kekerasanseksual. Pengadaan dan pengoptimalisasian peraturan-peraturan yang adajuga diperlukan seperti mengadakan revisi terhadap Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota KepolisianNegara Republik Indonesia mengenai sanksi dengan tujuan untukmemperberat ancaman pidana terhadap para pelaku kejahatan kekerasanseksual. Selain itu, diperlukan pula pengoptimalisasian penerapanPERKAP Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja UnitPelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan KepolisianNegara Republik Indonesia yang telah direvisi dan juga melakukansosialisasi di seluruh wilayah Indonesia.Poin 8.2 Proses peradilan dalam kasus kekerasan seksual yang tidakmemberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Dalam hal ini, diaturmengenai pengaturan Alat Bukti dan Proses Persidangan.RekomendasiALAT BUKTI:24 Ibid., hlm. 221-222.201


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>8.2.1 Dalam kasus kekerasan seksual, keterangan saksi dalam persidangancukup satu orang saksi untuk melakukan pembuktian kasus yaitusaksi korban.8.2.2 Memasukkan unsur rekam psikologis sebagai alat bukti yang harusdiperhitungkan oleh pihak kepolisian.Permasalahan terletak pada proses peradilan dalam kasus kekerasanseksual yang tidak memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.Dalam hal ini, diatur mengenai pengaturan alat bukti dan prosespersidangan.Pada dasarnya, Indonesia menganut proses pembuktian hukum pidanabermetode negative wettelijke. Dalam metode ini, selain adanya alat-alatbukti sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, danketerangan terdakwa, untuk menetapkan sanksi di sidang pengadilan masihjuga diperlukan adanya keyakinan hakim. 25 Menurut Pasal 183 KUHAP,hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa kecualididapatkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah dan ia memperolehkeyakinan bahwa benar telah terjadi perkosaan dan terdakwalah yangmelakukannya.Pada kasus perkosaan dan kekerasan seksual, umumnya tidak terdapatorang lain kecuali saksi korban, sehingga korban seringkali merupakansatu-satunya orang yang dapat memberi keterangan kesaksian dalamrangka pembuktian perkosaan. Namun dalam prinsip hukum pidana,kesaksian terhadap diri sendiri paling lemah kedudukannya. 26 Oleh karenaitu, kami mengajukan bahwa dalam kasus kekerasan seksual, keterangansaksi dalam persidangan cukup satu orang saksi untuk melakukanpembuktian kasus yaitu saksi korban. Hal ini didukung dengan keadaan dimana memang dalam kasus perkosaan biasanya hanya terdapat korban atauperempuan itu saja.Dalam meyakinkan hakim bahwa semua alat bukti sah yangmencangkup bukti-medik dan saksi-saksi berada pada tataran benar-benarmeyakinkan juga bergantung pada upaya pihak Kepolisian RI dalammengumpulkan dan memberkas bukti adanya perkosaan termasuk visum etrepertum (VeR). 27 Bukti utama ideal lainnya dalam kasus perkosaanmeliputi: 28a. Tanda persetubuhan antara pemerkosa dan korban.b. Tanda kekerasan pada tubuh korban sebagai perlawanan terhadapperbuatan pelaku.25 Lihat Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong> Acara Pidana Pasal 184.26 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 129.27 Prof. Agus Purwadianto, Op.Cit., hlm. 106.28 Ibid, hlm. 108-109.202


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>c. Tanda gangguan kejiwaan korban akibat ancaman, kekerasan atauperbuatan pelakud. Anamnesis 29 terhadap korban yang sesuai.e. Bukti koroborasi langsung diperoleh dari korban yang sesuai. 30f. Bukti pelengkap yang diperoleh oleh saksi-saksi selain korban.Dalam keprihatinan proses penegakan hukum, sisi pembuktianperkosaan banyak merugikan korban. <strong>Hukum</strong> positif tentang perkosaansebagai salah satu produk budaya dan sistem masyarakat ini masihmemojokkan korban karena limitatif mendefinisikan perkosaan sebagai“masuknya penis pelaku ke vagina korban (yang bukan istrinya) secaraancaman paksaan atau berkekerasan”. Unsur-unsur delik pidananya sulitditegakkan akibat ketiadaan atau kekurang-akuratan bukti medik (yangdiperoleh dari tubuh korban atau pelaku) dan/atau benda bukti biologis(benda yang berasal dari unsur tubuh manusia yang diperoleh dari tempatkejadian perkara). 31Dokter pemeriksa, pada akhirnya akan memberikan laporan tertulis ataspermintaan penyidik dalam bentuk sertifikasi korban yang disebut visum etrepertum (VeR). Pada “Bagian Pemberitaan” dan “Kesimpulan” VeRsetidaknya memberikan informasi tentang: persetubuhan lama (di masalalu) atau baru, adanya perlakuan yang menunjukkan adanya perlawanandan pertahanan korban. Juga tentang ada atau tidaknya pengaruh obat atauzat terlarang lain, tentang perlukaan di daerah genitalis (termasuk kondisiatau keutuhan selaput dara), usia korban, dan lain-lain. Namun seringkalidokter pemeriksa tidak dapat menyimpulkan secara tegas kebenaranpersetubuhan, sehingga pendapat subjektifnya atas dasar objektivitas“Bagian Pemberitaan” VeR yang disimpulkannya hanya berisi tentangkemungkinan persetubuhan. 32Selain pada tubuh korban, perlu diperiksa bukti biomedik korban padapelaku, yaitu tanda persetubuhan berupa sel epitel vagina korban padapenis pelaku (baik perorangan atau kelompok). Termasuk adanya epitelkulit pelaku pada kuku korban yang dapat dianalisis DNA-nya untukmenentukan pelaku. 3329Menurut Kamus Besar Bahasa IIndonesia, anamnesis adalah 1) IstilahPsikologi untuk keterangan tentang kehidupan seseorang yang diperoleh melaluiwawancara dan sebagainya, 2) Dokumen riwayat orang sakit dan penyakitnya padamasa lampau.30 Bukti koroborasi berupa bukti-medik seperti benda biologis korban padabenda-benda di TKP, baik bukti persetubuhan maupun perlawanan korban.Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit., hlm. 109.31 Ibid., hlm. 5.32 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 133.33 Ibid, hlm. 110.203


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Selain itu, terdapat bukti psikologis yang dapat dijadikan bukti tetapitidak dijadikan pertimbangan yang kuat oleh hakim. Padahal buktipsikologis yang dianalisis oleh psikiater atau psikolog dapatmendeskripsikan sindrom trauma pascaperkosaan (Post Traumatic RapeSyndrome atauPTRS) sebagai bagian dari PTSD (Post Traumatic StressDisorder). Kesaksian yang mengandalkan sindrom ini harus diperlakukanhati-hati dengan maksud baik dan harus melindungi pelaku terhadaptuduhan atau fitnahan korban. Keberlakuan sindrom PTSD tadi sebagaibukti di pengadilan dianggap memenuhi syarat pada kondisi sebagaiberikut:1. Ketiadaan persetujuan korban.2. Beratnya kerusakan tubuh korban ditinjau dari perkara perdatanya.3. Pembelaan terhadap perilaku jahat korban.4. Penjelasan terhadap perilaku korban yang inkonsisten denganpengaduan perkosaannya.Dan dapat dianggap sebagai bukti ilmiah dan diterima peradilan bilamemenuhi hal-hal sebagai berikut:1. Bukti yang ditunjukkan sesuai dengan reaksi khas terhadap perkosaandan tak boleh membuat penyimpulan hukum bahwa “korban telahdiperkosa”.2. Saksi ahli benar-benar di bidangnya.3. Ada alas dasar yang cukup.4. Diperbolehkan pemeriksaan silang terhadap saksi ahli lainnya secarabebas.5. Dapat mempertahankan argumen kesaksian ahlinya tentang sindromatersebut terhadap upaya pebelaan terdakwa oleh pihak mereka.PERSIDANGAN:8.2.3 Pada saat pemeriksaan saksi korban di pengadilan, terdakwa harusdikeluarkan dari ruang sidang.8.2.4 Selama proses peradilan berlangsung, saksi korban berhakdidampingi oleh pendamping.8.2.5 Mengusulkan agar poin 2.3 dan 2.4 dituangkan dalam PeraturanMahkamah Agung (PERMA).Kemudian pada tahapan persidangan, pada saat pemeriksaan saksikorban di pengadilan, terdakwa harus dikeluarkan dari ruang sidang. Halini memang sering dilakukan oleh hakim-hakim yang biasanya telahberpengalaman dalam menangani kasus kekerasan seksual. Atau selamapersidangan, korban yang dikeluarkan dari ruang persidangan. Hal-halseperti ini dilakukan untuk mempermudah proses pembuktian danpengambilan keterangan serta untuk tidak membuat korban merasasemakin tertekan karena berhadapan dengan terdakwa. Selain itu, selama204


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>proses peradilan berlangsung, saksi korban berhak didampingi olehpendamping.KOMISI 3PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN Poin 9.1 Pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yangmenitikberatkan pada aspek seksualitas oleh pers.Rekomendasi 9.1 Merekomendasikan Kementerian PemberdayaanPerempuan dan Perlindungan Anak untuk berkoordinasi dengan organisasipers, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Komisi Penyiaran Indonesia,Dewan Pers, dan pihak terkait untuk memberikan edukasi tentangpemberitaan kekerasan seksual yang berperspektif korban.Permasalahan pertama terletak pada pemberitaan tentang kasuskekerasan seksual yang menitikberatkan pada aspek seksualitas oleh parapers. Dalam hal ini direkomendasikan kepada Kementerian PemberdayaanPerempuan dan Perlindungan Anak untuk berkoordinasi dengan organisasipers, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Komisi Penyiaran Indonesia,Dewan Pers, dan pihak terkait untuk memberikan edukasi tentangpemberitaan kekerasan seksual yang berperspektif korban.Poin 9.2 Tidak sesuainya penanganan kasus kekerasan seksual yangdilakukan oleh aparat penegak hukum dengan SOP tentang penanganankorban kekerasan seksual yang telah diatur dalam Peraturan MenteriPemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010.Rekomendasi 9.2 Melakukan sosialisasi kembali terhadap PeraturanMenteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun2010 kepada aparat hukum untuk melaksanakan SOP yang terkandungdalam aturan tersebut.Permasalahan berikutnya adalah tidak sesuainya penanganan kasuskekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan SOPtentang penanganan korban kekerasan seksual yang telah diatur dalamPeraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan AnakNomor 1 Tahun 2010. Sehingga diperlukan adanya sosialisasi kembaliterhadap Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan PerlindunganAnak Nomor 1 Tahun 2010 kepada aparat hukum untuk melaksanakan SOPyang terkandung dalam aturan tersebut. Kementerian PemberdayaanPerempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mengeluarkanPeraturan Menteri Negara Nomor 1 Tahun 2010 Tentang StandardPelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan AnakKorban Kekerasan yang dimaksudkan untuk menjadi standar atau punpanduan dalam menyelenggarakan layanan perlindungan terhadapperempuan dan anak korban kekerasan seksual. Menurut Permenneg205


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>tersebut, layanan bagi korban kekerasan baik anak maupun perempuandiberikan oleh pemerintah dan masyarakat.Layanan Bagi Perempuan dan Anak Korban KekerasanNama LayananPengembangPusat Krisis Terpadu (PKT), Pusat Pelayanan Terpadu Departemen(PPT) di Rumah Sakit (RS) Umum Vertikal, RS Umum Kesehatan danDaerah, RS Kepolisian, dan RS SwastaKepolisanUnit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA)KepolisianNegara RepublikPusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan danAnak (P2TP2A)Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC)Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA)IndonesiaKementerianNegaraPemberdayaanPerempuanDepartemenSosialDepartemenSosialDepartemenAgamaKementerian LuarNegeriMasyarakatBadan Penasehatan Pembinaan dan PelestarianPerkawinan (BP4)Satuan Tugas Pelayanan Warga pada Perwakilan RI diluar negeriLSM Women Crisis CenterTabel 2: Layanan Bagi Perempuan dan Anak Korban KekerasanMenurut SPMUntuk mengoptimalkan berbagai upaya yang dilakukan oleh lembagalembagadi atas, pemerintah juga melakukan pengembangan kapasitas SDMpenyelenggara layanan dan kebijakan-kebijakan pendukung yang dilakukanoleh Kementerian Kesehatan, berupa:1) Pelatihan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anakuntuk dokter/petugas medis Rumah Sakit2) Penyusunan Pedoman Pelayanan Korban Kekerasan TerhadapPerempuan (KtP) dan Anak (KtA) di Rumah Sakit3) Penyusunan Pedoman Rujukan Korban Kekerasan Terhadap Anakuntuk Petugas Kesehatan4) Penyusunan Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadapPerempuan di Tingkat Pelayanan Dasar5) Penyusunan Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu TatalaksanaKasus KtP/ABentuk-bentuk layanan yang diberikan melalui upaya-upaya di atas,antara lain berupa pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, misalnya dalam206


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>bentuk penyediaan shelter (tempat), bantuan hukum, rehabilitasi sosial,pemulangan, dan reintegrasi korban. Namun, ketersediaan layanan ini dimasing-masing tempat masih berbeda dan belum memiliki acuan tentangStandar Pelayanan Minimal yang harus disediakan oleh masing-masinglembaga penyelenggara layanan bagi perempuan dan anak korbankekerasan.Sedangkan LSM memiliki program penghapusan eksploitasi seksualanak, termasuk bagi korban perdagangan orang. Kegiatan yang dilakukanlembaga tersebut mulai dari pendampingan korban, menyediakan shelteruntuk korban, pendidikan masyarakat, pendidikan kesehatan reproduksiremaja, kampanye antitrafiking, kajian, dan advokasi peraturan daerahtentang perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasantermasuk di antaranya perdagangan orang dan eksploitasi seksual. TimPenggerak PKK juga telah melakukan kegiatan pelayanan berbasismasyarakat dalam membantu pencegahan terjadinya kekerasan, termasukkekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perdagangan orang.Poin 9.3 Kurangnya sumber daya manusia terlatih untuk menangani korbankekerasan seksual pada Unit Pelaporan Kekerasan Seksual di tingkatkabupaten/kota.Rekomendasi9.3.1 Menyesuaikan jumlah tenaga terampil agar sebanding dengan jumlahkasus yang ada di provinsi tersebut.9.3.2 Setiap provinsi harus mempunyai data yang valid mengenai jumlahkasus kekerasan seksual.Kurangnya sumber daya manusia yang terlatih dalam menangani korbankekerasan seksual pada Unit Pelaporan Kekerasan Seksual di tingkatkabupaten/kota ini juga menjadi permasalahan lain. Dengan begitumemang dibutuhkan penyesuaian jumlah tenaga terampil agar sebandingdengan jumlah kasus yang ada di provinsi tersebut. Hal ini diperlukanuntuk memaksimalkan penanganan terhadap korban kasus kekerasanseksual. Setiap provinsi harus mempunyai data yang valid mengenaijumlah kasus kekerasan seksual, agar dapat dilakukan pemantauan terhadapbagaimana kasus ini berkembang di masyarakat dan dapat diketahuibagaimana hasil dari upaya pemberantasan kekerasan seksual ini.Poin 9.4 Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap dokter forensikuntuk mendapatkan visum et repertum yang digunakan sebagai alat buktiyang valid.Rekomendasi 9.4 Menjamin akses yang mudah bagi korban kekerasanseksual untuk menjalani pemeriksaan oleh dokter forensik.207


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap dokter forensik untukmendapatkan visum et repertum yang digunakan sebagai alat bukti yangvalid juga merupakan permasalahan penting dalam hal ini. Sehingga perluadanya jaminan mengenai akses yang mudah bagi korban kekerasanseksual untuk menjalani pemeriksaan oleh dokter forensicPoin 9.5.1 Kesulitan masyarakat untuk menerima kembali korban kekerasanseksual karena dianggap sebagai aib dalam komunitasnya.Poin 9.5.2 Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap dokterforensik untuk mendapatkan visum et repertum yang digunakan sebagai alatbukti yang valid.Rekomendasi 9.5 Asistensi pemerintah dalam peningkatan partisipasimasyarakat dalam reintegrasi korban kekerasan seksual.Salah satu permasalahan serius yang harus dihadapi oleh korbankekerasan seksual adalah pada saat dirinya sudah kembali terjun dilingkungan masyarakat. Dimana pada umumnya, korban akan merasamenjadi aib bagi lingkungan sekitarnya dikarenakan masyarakat sulit untukmenerima kembali status dirinya sekarang. Padahal, lingkungan sekitarmemiliki peran besar bagi kembalinya kepercayaan diri seorang korban.Untuk itu, perlu adanya upaya-upaya terkait perubahan pola pikirmasyarakat terhadap korban kekerasan seksual.Selain kesulitan yang dihadapinya dalam masyarakat, korbandihadapkan kembali dalam berbagai hambatan dalam memperjuangkanhak-haknya terutama jika mereka berhadapan dengan institusi penegakhukum atau aparat penegak hukum. Seringkali di tingkat penuntutan, jaksaselalu kesulitan untuk melimpahkan kasus kekerasan seksual ke pengadilan(P21) karena selalu alasan saksi yang melihat atau mengetahui secaralangsung, sangat kaku, dan selalu memojokkan korban. Akibatnya jaksaselalu mengembalikan berkas dengan alasan tidak cukup bukti. Untuk itu,sangat penting mendapatkan visum et repertum sebagai alat bukti yangvalid, namun kembali korban mengalami kendala pada sulitnya aksesterhadap dokter forensik.Berangkat dari pemaparan yang sudah dijabarkan di atas, asistensiterhadap pemerintah dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalamreintegrasi korban kekerasan seksual menjadi sangat penting agar terjadikesatuan untuk sama-sama melindungi hak-hak para korban kekerasanseksual.Poin 9.6 Kurangnya informasi dari aparat penegak hukum kepada korbankekerasan seksual mengenai keberadaan lembaga yang bergerak di bidangpemulihan korban kekerasan seksual.Rekomendasi 9.6 Dalam proses peradilan penanganan kasus kekerasanseksual, aparat penegak hukum harus menjamin bahwa korban mengetahui208


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>keberadaan lembaga yang bergerak dalam bidang pemulihan korbankekerasan seksualSetiap orang yang mengalami tindak kekerasan, apalagi secara seksual,pasti merasa malu dan takut untuk menceritakan kejadian yang dialaminya.Kondisi dimana korban menjadi tertutup dikarenakan trauma yangdialaminya semakin menyulitkan institusi penegak hukum untukmembongkar kasus kekerasan seksual. Untuk itu, pendampingan daripsikiater atau lembaga yang bergerak di bidang pemulihan korbankekerasan seksual sangatlah dibutuhkan. Namun seringkali informasitersebut tidak diketahui secara memadai oleh korban sehingga korbanmenjadi kembali takut dan keterangan dari korban tidak diperoleh secarautuh. Dengan demikian, menjadi suatu hal yang wajib bagi aparat penegakhukum untuk menjamin bahwa korban mengetahui keberadaan lembagayang bergerak dalam bidang pemulihan korban kekerasan seksual,sehingga dapat membantu korban selama proses peradilanDampak yang terjadi pada korban kekerasan seksual seringkali luputdari perhatian serius masyarakat. Dampak tersebut diderita korban padasaat perkosaan dan berlanjut berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkansepanjang sisa hidupnya. 34 Dampak perkosaan bisa lebih buruk apabilatidak mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-teman, disalahkan,korban adalah seorang anak, dan pelaku perkosaan lebih dari satu orang.Terdapat beberapa dampak yang dapat timbul pada korban kekerasanseksual, terutama perkosaan dan pelecehan. Dampak-dampak tersebutantara lain dampak langsung, dampak perilaku, dampak psikologis,dampak fisik, dan dampak dalam jangka panjang.Dampak langsung pada korban biasanya terkejut yaitu tubuh mendingin,mental yang bingung, menjadi lemah, kehilangan orientasi, gemetaran danmual, terkadang muntah, menyangkal apa yang terjadi, menangis, danmenarik diri.Dampak perilaku juga terjadi pada korban yaitu sulit konsentrasi,mudah takut atau kaget dari biasanya, bermasalah dalam hubungan denganpasangan, mengalami masalah seksual, meningkatnya konsumsi alkohol,rokok, dan obat-obatan, sering mencuci diri atau mandi berkali-kali danberlama-lama.Dampak psikologis biasanya pikiran dan perasaan yang terganggu,kilas-balik, amnesia psikologis, hilangnya perasaan emosi tertentu, berpikirbunuh diri, mudah marah atau pemarah, merasa malu dan terhina, perasaanbersalah dan menyalahkan diri sendiri, merasa bertanggung jawab atauterjadinya perkosaan, perasaan yang berbeda atau jauh dari orang lain,34 Topo Santoso, Op. Cit., hlm. 116.209


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>perasaan tidak berdaya dan tidak kuasa hilangnya harga diri, hilangnyakepercayaan diri, dan merasa kurang dari orang lain. 35Dampak fisik antara lain sakit asma, menderita migrain, sulit tidur, sakitketika berhubungan seksual, luka pada bibir atau dagu, luka, infeksi, ataupenyakit pada alat kelamin, kesulitan buang air besar, kemungkinan tidakdapat melahirkan anak, dan infeksi pada panggul. 36Efek dari perkosaan dalam jangka panjang adalah korban tidak pernahlupa tetapi belajar untuk bernegosiasi dengan ingatannya, sehinggadibutuhkan konseling untuk bicara tentang pengalamannya. Korban jugamengalami masalah kejiwaan, yaitu ketidakmampuan mempercayai oranglain, perfeksionisme, fobia, menghindari keintiman emosional dan ikatan,tidak percaya pada indra sendiri, bahkan dapat membela pelaku perkosaan(membenci untuk mencintai), memiliki masalah pengasuhan, mencemaskanfigur yang memiliki otoritas, banyak mengacaukan hubungan seks, kasihsayang, dan cinta dengan kontrol dan kekuasaan. 37Di samping itu, ada pula dampak dari segi pendidikan dan ekonomiterhadap korban. Banyak kasus yang mempengaruhi laju seseorang dalamjenjang pendidikannya yang sangat mempengaruhi masa depan korbanterutama mengenai aspek kehidupan ekonominya. 38Dapat dikatakan, penderitaan korban dapat terjadi sebelum, selama, dansetelah sidang pengadilan. 39 Dengan terbongkarnya suatu kasus perkosaan,penderitaan korban baru dimulai. Mulai dari pertanyaan-pertanyaanpenyidik yang kadang memojokkan dirinya atau semakin mengingatkanpada peristiwa buruk yang ia alami. Hal itu berlanjut di sidang pengadilandi mana proses pembuktian semakin mengoyak dirinya. Pertanyaanpertanyaanyang diajukan pembela terdakwa malah seakan menjadikannyasebagai “tertuduh”. Penderitaan itu semakin sempurna ketika pengadilantidak dapat membuktikan kesalahan pelaku, atau jika terbukti hanyamenghukumnya dengan hukuman yang sangat ringan (sering terjadipengadilan menghukum pemerkosa dengan beberapa bulan penjara). 40 Haltersebut terjadi dalam proses hukum YF, korban pelecehan seksual olehempat orang petugas Transjakarta pada awal tahun <strong>2014</strong>.Poin 9.7 Beberapa daerah belum memiliki rumah aman (shelter) bagikorban kekerasan seksual dalam konteks rehabilitasi yang dibutuhkan.Selain itu, terdapat beberapa daerah yang sudah memiliki shelter, namunbelum dipergunakan sebagaimana mestinya.35 Carol Hensell dan Dr. Veronica Salter, Apakah Perkosaan Itu?, (JurnalPerempuan Edisi 71: Perkosaan dan Kekuasaan, 2011), hlm 116.36 Topo Santoso, Op. Cit, hlm. 40.37 Carol Hensell dan Dr. Veronica Salter, Op. Cit., hlm. 116.38 Topo Santoso, Op. Cit, hlm. 40.39 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit., hlm. 6.40 Topo Santoso, Op. Cit., hlm. 42-43.210


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Rekomendasi 9.7 Harus adanya pemerataan shelter di tiap-tiap lembagayang memiliki fungsi rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual danharus dioperasionalkan sesuai dengan Standar Penilaian MinimumPermasalahan lainnya yang harus segera dibenahi adalah mengenaipentingnya ketersediaan rumah aman (shelter) bagi korban kekerasanseksual. Terhadap hal itu, beberapa daerah belum memiliki rumah aman(shelter) dalam konteks rehabilitasi yang dibutuhkan. Untuk daerah yangsudah memiliki rumah aman (shelter) pun belum dipergunakan secaraoptimal dan sebagaimana semestinya. Sehingga menjadi penting untukdiadakan pemerataan shelter di tiap-tiap lembaga yang memiliki fungsirehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual, serta harusdioperasionalkan sesuai dengan Standar Penilaian Minimum.Poin 9.8 Dakwaan tindak pidana kekerasan seksual yang belummengakomodasi restitusi dan kompensasi bagi korban kekerasan seksual.Rekomendasi 9.8 Restitusi dan kompensasi harus diakomodir dalam suratdakwaan.Seringkali, dalam penjatuhan pidana bagi pelaku tindak kekerasanseksual yang diutamakan sebagai bentuk tanggung jawab dari perbuatanyang dilakukannya adalah dengan dipenjara sekian tahun. Korban hanyadapat menerima tindakan pembalasan tersebut dengan penjatuhan hukumanyang diberikan hakim kepada pelaku. Setelah mendapat putusan yangbersifat inkracht dari pengadilan, korban seringkali dikembalikan padaorang tuanya tanpa direhabilitasi. Kemudian dalam hal medis, sepertimelakukan perawatan (kalau terdapat luka fisik) dan visum sebagaimanayang dijelaskan pada poin atas, korban dibebani biaya sendiri. Dalam halini, korban tidak memperoleh ganti kerugian seperti restitusi maupunkompensasi dan bantuan hukum lainnya sehingga hak korban untukmendapatkan restitusi dan kompensasi perlu diakomodir dalam suratdakwaan.211


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>SUSUNAN KEPANITIAANSIMPOSIUM HUKUM NASIONAL <strong>2014</strong>Pembina : Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.Dekan Fakultas <strong>Hukum</strong> UniversitasIndonesiaPenasehat : Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Ph.D.Manajer Pendidikan dan KemahasiswaanFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas IndonesiaPenanggungjawab : Gery FathurrachmanKetua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas<strong>Hukum</strong> Universitas IndonesiaPanitia Pengarah(Steering Committee): Fadel MuhammadKepala Departemen Kajian dan AksiStrategis Badan Eksekutif MahasiswaFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas IndonesiaR. M. Agung PutrantoWakil Kepala Departemen Kajian dan AksiStrategis Badan Eksekutif MahasiswaFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas IndonesiaDion ValerianWakil Kepala Departemen Kajian dan AksiStrategis Badan Eksekutif MahasiswaFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas IndonesiaKetua Pelaksana : Florianti Kurnia SjaafWakil Ketua Pelaksana : Kharisma Bintang AlghazySekretaris 1 : Miranti VerdianaSekretaris 2 : Rininta SharfinaBendahara Internal : Rr. Dwi Setyani HaninditaBendahara Eksternal : Anesha Gita ArdeliaDivisi SponsorhipPenanggungjawab : Nadia TheodoraWakil Penanggungjawab : Ristia DelasariDivisi Dana UsahaPenanggungjawab : Ratu GitaWakil Penanggungjawab : Wita RisantiBidang IKoordinator Bidang : Annisa Essanda GunawanDivisi Materi dan Acara :Penanggungjawab : Fadhil Muhammad IndraprajaWakil Penanggungjawab 1 : Rifki Maulana212


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Wakil Penanggungjawab 2 : Bella NathaniaWakil Penanggungjawab 3 : Dysan AufarWakil Penanggungjawab 4 : Dita AnggraeniDivisi CeremonyPenanggungjawab : Muhammad Yusuf RashidiWakil Penanggungjawab : Ivan Dwi AnugrahDivisi <strong>Simposium</strong>Penanggungjawab : Mutiara ZahrohWakil Penanggungjawab : Aszmar HaliemDivisi OutputPenanggungjawab : Kristi ArdianaWakil Penanggungjawab : Aris DzilhamsyahDivisi Liaison Officer (LO)Penanggungjawab : Tasha KartikaWakil Penanggungjawab 1 : Irfan HielmyWakil Penanggungjawab 2 : Putri RizkaDivisi Registrasi dan VerifikasiPenanggungjawab : Nadhilah RosaWakil Penanggungjawab : Nadia Maulida:Bidang IIKoordinator Bidang : Nabila SatiraDivisi Humas dan PublikasiPenanggungjawab : Dhianti AfifahWakil Penanggungjawab 1 : Angela VaniaWakil Penanggungjawab 2 : Salomo HarvardDivisi Media PartnerPenanggungjawab : Nissa AzzahraWakil Penanggungjawab : Ratna JuwitaDivisi Desain dan ProduksiPenanggungjawab : Adrianus EryanWakil Penanggungjawab 1 : Asha AlifaWakil Penanggungjawab 2 : Christofer RuminsarDivisi DokumentasiPenanggungjawab : Nadya RadhisyaWakil Penanggungjawab : Rena Restriana213


<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>Bidang IIIKoordinator Bidang : Christopher ImantakaDivisi PerizinanPenanggungjawab : Rizqi Robbani HanifWakil Penanggungjawab 1 : Stanley ArmandoWakil Penanggungjawab 2 : Fathia NotarinaDivisi PerlengkapanPenanggungjawab : Adipa Rizky PutraWakil Penanggungjawab : Dewangga DennisDivisi TransportasiPenanggungjawab : Revino VaditraWakil Penanggungjawab : Prabowo RizkyDivisi K3Penanggungjawab : Adirizal DitoWakil Penanggungjawab : Mario BimoDivisi AkomodasiPenanggungjawab : Aditya BrahmaWakil Penanggungjawab : Marbuhal SilitongaDivisi KonsumsiPenanggungjawab : AnbiyaWakil Penanggungjawab : Camelia Wulandari214


215<strong>Simposium</strong> <strong>Hukum</strong> <strong>Nasional</strong> <strong>2014</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!