13.07.2015 Views

Pusaran Modal dan Ancaman terhadap Perempuan - Elsam

Pusaran Modal dan Ancaman terhadap Perempuan - Elsam

Pusaran Modal dan Ancaman terhadap Perempuan - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>dan</strong> keluarganya saat ini adalah akibat keputusan penyelenggara negara berpartisipasi dalameksperimen neoliberalisme IMF. Bagaimana keputusan itu bisa lolos dari campur tangan kaumperempuan?Saya meyakini bahwa lemahnya posisi perempuan di hadapan negara adalah akibat dari operasimiliter yang dilancarkan Angkatan Darat (AD) – kemudian dilanjutkan oleh Rezim Orde Baru<strong>dan</strong> dipertahankan oleh rezim-rezim sesudahnya – untuk merampas ruang negosiasi politikperempuan pada paruh akhir 1960an. Oleh karena itu, memutus kaitan Peristiwa 65 denganpersoalan pemiskinan perempuan <strong>dan</strong> keluarganya masa kini akan merugikan upaya perempuanuntuk menyelamatkan hidupnya <strong>dan</strong> keluarganya.Shock Therapy <strong>dan</strong> Tatanan Masyarakat BaruKetika gambaran tentang apa yang sesungguhnya dialami para perempuan korban 65 sudahmulai utuh 5 , kita berhadapan dengan pertanyaan: mengapa? Mengapa Peristiwa 65 terjadi?Mengapa Gerwani dihancurkan? Jika saja Peristiwa 65 hanya mengorbankan Gerwani, kita bisapuas dengan jawaban bahwa Peristiwa 65 adalah sebuah operasi kekerasan untukmenghancurkan kekuatan kiri Indonesia yang sejalan dengan politik perang dingin. Tapikemudian bagaimana kita menjelaskan fakta bahwa operasi kekerasan telah begitu meluassehingga mengorbankan banyak perempuan yang bukan anggota Gerwani beserta anakketurunan? Mengapa penghancuran Gerwani saja tidak cukup? Mengapa organisasi-organisasiperempuan lain pun harus dilumpuhkan?Jawabannya terletak pada tujuan akhir yang ingin dicapai Soeharto <strong>dan</strong> AD: yaitumengintegrasikan sistem ekonomi politik Indonesia ke dalam sistem kapilitalisme dunia.Soeharto <strong>dan</strong> AD-nya – <strong>dan</strong> kemudian dengan Rezim Orde Baru-nya – berkepentingan tidakhanya untuk menghabisi gerakan kiri yang berinisiatif mempercepat penerapan kebijakanreforma agraria (1960) dengan melancarkan aksi sepihak serta menjadi motor penggeraknasionalisasi aset-aset perusahaan asing6 . Lebih dari itu, mereka perlu menciptakan sebuahtatanan baru yang memastikan seluruh masyarakat – termasuk kaum perempuannya – siap untukmendukung sistem ekonomi politik baru yang ia yakini efektivitasnya. Untuk itu Soeharto <strong>dan</strong>AD-nya harus menghancurkan secara total seluruh paham ‘lama’ yang dianggap menghalangi.Pola pikir <strong>dan</strong> pola kehidupan lama yang berbasis kolektivitas <strong>dan</strong>, oleh karenanya, menekankanpada pemerataan kesejahteraan masuk dalam daftar penghancuran 7 . Demikian pula pahamkemandirian ekonomi-politik-budaya nasional yang menyebabkan munculnya gerakan anti-5 Untuk pembahasan literatur-literatur perempuan korban 65 lihat Th. J. Erlijna, Bibliographical Review of Women’sLiteratures on the 1965 Tragedy in Indonesia, dalam jurnal Contemporary Women’s History in Asia, Issue 2(Association for the Study of Contemporary Asian Women’s History and Gender, 2006), h. 111-122. Selama duatahun belakangan ada sejumlah publikasi laporan, hasil kajian, maupun memoir baru, diantaranya: Komnas<strong>Perempuan</strong>, Kejahatan <strong>terhadap</strong> Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara <strong>Perempuan</strong> KorbanPeristiwa 1965 (2007); Fransisca Ria Susanti, Kembang-Kembang Genjer (Yogyakarta: Jejak, Oktober 2007); MiaBustam, Dari Kamp ke Kamp (Jakarta: ISAI, Agustus 2008).6 Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing diawali dengan nasionalisasi <strong>terhadap</strong> perusahaan-perusahaan Belandaterjadi pada 1959 -- pasca terbitnya UU No. 78/1958 tentang Penanaman <strong>Modal</strong> Asing yang mengusung semangatanti penanaman modal asing – <strong>dan</strong> terakhir pada 1965 <strong>terhadap</strong> perusahaan-perusahaan milik Amerika Serikat.7 Prof. Dr. Selo Soemardjan, bapak sosiologi Indonesia, mengatakan bahwa pada 1966/67: “golongan orang yangkaya cuma sedikit <strong>dan</strong> itu pun tidak begitu mencolok seperti sekarang” (Kompas, 26/2/98).2


nekolim 8 intinya semua yang tidak sesuai dengan semangat masyarakat baru. Pola pikir ’lama’itu bukan semata monopoli Gerwani <strong>dan</strong> organisasi-organisasi kiri. Ia diyakini oleh hampirseluruh lapisan masyarakat pada masa itu, terutama mereka yang mengalami langsung hidup dimasa kolonial <strong>dan</strong> kemudian terlibat dalam usaha membebaskan diri darinya. Oleh karena itu,AD membutuhkan tindakan drastik, sebuah operasi berkekuatan besar yang mampumengguncang <strong>dan</strong> membekas dalam ingatan masyarakat. Untuk menjamin keberhasilan operasi,harus jatuh banyak tumbal. Mengutip Naomi Klein, Soeharto <strong>dan</strong> AD-nya membutuhkan sebuah’Shock and Awe military force’ 9 .Operasi yang dilancarkan AD membuat masyarakat yang mengalami shock itu dengan ’rela’memutus ikatan dengan -- bahkan menghancurkan sendiri -- ingatan masa lalu mereka. Daripuing-puing ingatan itu, Rezim Orde baru menyusun sebentuk ingatan kolektif baru sesuaikehendak mereka10 . Orde Baru tahu benar bahwa ingatan baru itu tidak solid <strong>dan</strong> sangat rapuhsehingga perlu terus diperbaharui melalui berbagai cara: pembentukan perangkat hukum <strong>dan</strong>perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan, pembangunan monumen Lubang Buaya yang megah, produksi film”Pengkhianatan G-30-S/PKI” 11 <strong>dan</strong> buku-buku pelajaran sejarah yang menyesatkan, melaluireproduksi stigma <strong>dan</strong> diskriminasi, <strong>dan</strong> – kalau perlu – melalui kekuatan teror <strong>dan</strong> senjata.Namun masyarakat dengan beragam patologi ingatan itu adalah tenaga kerja siap pakai untukpembangunan di dalam sistem ekonomi politik yang baru.Mengapa AD memilih Gerwani sebagai tumbal?Setidaknya ada tiga alasan. Dua alasan pertama dipaparkan oleh Brigjen Djuhartono – salah satupimpinan Sekber Golkar <strong>dan</strong> tangan kanan Soeharto -- saat diwawancarai Wieringa pada 19Desember 1983. Pertama adalah kemungkinan radikalisasi gerakan perempuan oleh Gerwani.Yang kedua adalah kerjasama erat Gerwani dengan PKI. Demikian penuturannya:Dan,[Gerwani] menonjolkan diri ke depan, sehingga semua [gerakan perempuan] akanmengakui bagaimana aktifnya mereka, karena mereka menginginkan bisa terpilih sebagaisekretaris untuk Si<strong>dan</strong>g Pleno”.[Gerwani] memang pandai. Mereka bekerja merintis jalan untuk PKI, karena itu tidak12pernah mau ikut dengan kegiatan-kegiatan kami [ABRI] ”.8 Pada masyarakat 60an, kaum nekolim mewujud pada negara Belanda, Amerika Serikat, <strong>dan</strong> Inggris.9 Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism, 1 st ed. (NY: Metropolitan Books, Hery Holt &Co, 2007), h. 9.10 Bahwa Peristiwa G-30-S adalah aksi pengkhianatan bangsa <strong>dan</strong> upaya mengganti Pancasila dengan ajarankomunis; bahwa komunis adalah atheis, penghasut, <strong>dan</strong> pendukung seks bebas; bahwa anggota-anggota Gerwanimenari-nari cabul <strong>dan</strong> memutilasi para perwira AD yang diculik; bahwa Soeharto <strong>dan</strong> AD-nya adalah penyelamat;bahwa militer-lah yang paling mampu memimpin negara ini; termasuk me-redefini konsep-konsep sosial-politik.11 Disutradarai oleh Arifin C. Noer.12 Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan <strong>Perempuan</strong> di Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Garba Budaya, 1999), h.210.3


Alasan ketiga yang tidak diungkap oleh Djuhartono namun menurut saya lebih mendasar adalahketerlibatan Gerwani dalam konflik-konflik agraria. Gerwani -- entah disadari atau tidak – selaluberusaha menggabungkan perspektif gender <strong>dan</strong> kelas dalam menganalisis situasi perempuan 13 .Bagi mereka, perempuan mengalami dua jenis subordinasi: sebagai perempuan merekatersubordinasi di dalam masyarakat feodal yang memegang teguh sistem patriarkhi; sebagaibagian dari komunitas buruh pabrik, buruh perkebunan, buruh tani atau petani miskin merekatersubordinasi di dalam struktur kelas. Ini yang membedakan Gerwani dengan kebanyakanorganisasi perempuan semasanya. Kerja turunan dari analisis itu paling jelas terlihat dalamketerlibatan Gerwani – dalam mendukung BTI bersama-sama organisasi-organisasi kiri lainnya -- dalam berbagai aksi mempertahankan tanah garapan rakyat yang dimulai sejak tahun-tahunawal 1950an, berlanjut dengan aksi sepihak <strong>dan</strong> aksi menuntut bagi hasil yang lebih adil padaparuh pertama 1960an. Aksi-aksi tersebut pada satu masa menempatkan mereka pada posisiberseberangan dengan pemerintah yang berniat mengembalikan tanah garapan rakyat padaperusahaan-perusahaan asing yang pernah menguasainya pada periode pemerintahan kolonial 14 .Sejak 1963, sesudah keluarnya UU Pokok Agraria (1960) <strong>dan</strong> UU Bagi Hasil, mereka berhadaphadapandengan para tuan tanah beserta pengikutnya.Kapitalisme menempatkan kepemilikan pribadi <strong>dan</strong> kebebasan individual sebagai hak dasar yangtidak bisa diganggu gugat. Oleh karenanya, reforma agraria serta aksi reclaiming tanah yangberasaskan perombakan struktur kepemilikan adalah sebuah momok besar bagi kaum kapitalis diseluruh dunia. Reforma agraria dianggap sebagai ’revolusi merah’ kaum komunis,diperlawankan dengan konsep ’revolusi hijau’ Amerika Serikat – kemudian diadopsi oleh RezimOrde Baru -- yang mempertahankan struktur kepemilikan yang ada15 . Gerwani, denganpartisipasinya dalam revolusi merah itu, menjadi adalah apa yang disebut Herman <strong>dan</strong> Chomskysebagai ”the specter haunting property owners, as it threatens the very root of their classposition and superior status.” 16 AD oleh karenanya memiliki segala alasan yang dibutuhkanuntuk menghancurkan Gerwani <strong>dan</strong> menjadikannya sebagai peringatan bagi organisasiorganisasiperempuan yang tersisa.Sebelum Peristiwa 1965 terjadi, gerakan perempuan se<strong>dan</strong>g berjuang memperluas ruangnegosiasi mereka di wilayah sosial-politik. Gerakan perempuan mendorong klaim ’tugas <strong>dan</strong>17kewajiban sebagai ibu bangsa’ ke batas-batas terjauh untuk menuntut peningkatankesejahteraan perempuan <strong>dan</strong> anak-anak di berbagai bi<strong>dan</strong>g, baik melalui aktivitas mereka didalam maupun di luar proses politik formal. Yang membuat klaim ’ibu bangsa’ ampuh sebagai13 Saya berterima kasih pada Ayu Ratih (ISSI) untuk analisis ini.14 Peristiwa Tanjung Morawa-Sumatera Timur (1953), salah satu contoh kasus. Peristiwa ini diawali oleh kebijakanunsur Masyumi dalam pemerintahan yang ingin mengembalikan tanah yang telah digarap rakyat setempat –termasuk tanah di Tanjung Morawa -- pada pemilik asing (kebijakan ini ditentang oleh unsur PNI dalampemerintahan). Pentraktoran tanah garapan rakyat itu dilawan oleh aksi demonstrasi petani yang didukung olehorganisasi-organisasi kiri – termasuk Gerwani. Militer dikerahkan <strong>dan</strong> terjadilah penembakan <strong>terhadap</strong> demonstran.Peristiwa ini menjadi salah satu penyebab jatuhnya kabinet Wilopo.15 Syamsul Ardiansyah, “Mengenang Soeharto (1921-2008): Soeharto, Petani <strong>dan</strong> Pangan”, Jurnal INFID No.13/06/Juni 2008, h. 8-9.16 Edward S. Herman & Noam Chomsky, Media and Cultural Studies, ?, h. 29.17 Klaim ‘ibu bangsa’ pertama kali diungkap Kartini dalam surat-suratnya kepada Ny. Aben<strong>dan</strong>on-Mandri. Namunkarena konteks politik yang melingkupinya, Kartini hanya mengacu pada bangsa Jawa. Klaim itu mengalamiperluasan hingga mencakup Indonesia sejak Kongres <strong>Perempuan</strong> 1928.4


ahasa politik perempuan adalah karena kegigihan gerakan perempuan sendiri dalammembuktikan nilai penting keikutsertaan mereka dalam gerakan nasionalis serta dalamrekonstruksi <strong>dan</strong> pembangunan pasca-perang. Selama 15 tahun pertama pasca-perang, berbagaipemerintahan yang terbentuk harus bekerja dengan <strong>dan</strong>a serta sumber daya lain yang sangatminim. Oleh karena itu, mereka sangat membutuhkan dukungan gerakan perempuan –khususnya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini pada gilirannya membuat dayatawar gerakan perempuan di hadapan negara menguat, seperti ditulis oleh Elizabeth Martyn:[T]he need for women’s organizations to support government programmes enabledwomen to participate in nation-building. It meant that women’s organizations could lobbyfor women’s needs to be adddressed within national policy, illustrating women’scommitment to citizenship and nationalism 18 .Sejak Kongres <strong>Perempuan</strong> 1935, gerakan perempuan telah menetapkan peningkatan kemandirianekonomi perempuan <strong>dan</strong> perlindungan <strong>terhadap</strong> buruh perempuan sebagai agenda bersama.Kemerdekaan memberi mereka kesempatan untuk melipatgandakan usahanya secaraterkonsolidasi di bawah payung Kongres Wanita Indonesia serta, kerap kali, dengan dukungan19<strong>dan</strong>a <strong>dan</strong> fasilitas lain dari institusi-institusi pemerintahan . Karena tradisi gerakan perempuanyang melekat dengan tradisi nasionalis, maka kemandirian ekonomi perempuan harus diletakkandalam kerangka kedaulatan ekonomi bangsa. Signifikansi partisipasi perempuan dalam prosespembangunan melahirkan kepercayaan diri besar di kalangan gerakan perempuan sehingga IbuS. Surya-Hadi, misalnya, tidak ragu mengeluarkan nada ancaman di hadapan parlemen saatmembela tuntutan perempuan akan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g perkawinan yang lebih adil:Organisasi-organisasi perempuan berteriak <strong>dan</strong> memohon agar ada un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gperkawinan secepat mungkin. Kaum perempuan Indonesia sudah bersabar, Ketua!Kesabarannya sudah begitu melegenda, mereka menunggu dengan tenang <strong>dan</strong>, tak perludikatakan lagi, mereka bekerja <strong>dan</strong> menderita dalam melaksanakan tugas-tugasnyasebagai warga negara; tetapi sudah saatnya bagi mereka mengakhiri kesabarannya.Penyumbat dari gunung berapi itu sudah mulai longgar; lahar <strong>dan</strong> batu yang membaraakan segera mengancam kesejahteraan umum ...Saya meminta hal ini atas nama semuakelompok feminis yang mendukung saya, front perempuan dari semua pihak <strong>dan</strong>20organisasi.18 Elizabeth Martyn, The Women’s Movement in Post-Colonial Indonesia: Gender and Nation in a New Democracy(London & NY: RoutledgeCurzon, 2005), h. 99.19 Hampir seluruh organisasi perempuan memiliki bagian ekonomi yang menyelenggarakan koperasi, arisan, <strong>dan</strong>kursus-kursus keterampilan. Di Bandung, Jakarta (didirikan oleh Kongres Wanita Indonesia pada 1953), <strong>dan</strong>Yogyakarta dibangun tiga bank untuk perempuan. Masih berkait dengan upaya mencapai kemandirian ekonomi,organisasi-organisasi perempuan diantaranya juga bekerja untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anakperempuan; memberantas buta huruf; menuntut perluasan <strong>dan</strong> peningkatan kesempatan kerja bagi perempuan;mendirikan tempat-tempat penitipan anak di pabrik-pabrik <strong>dan</strong> perkebunan; melakukan penelitian atas kondisikesejahteraan buruh perempuan yang menghasilkan tuntutan kepada pemerintah untuk melindungi buruhperempuan.20 S. Surya Hadi (1956) dalam Cora Vreede-de Stuers, Sejarah <strong>Perempuan</strong> Indonesia: Gerakan <strong>dan</strong> Pencapaian,Cet. 1 (Depok: Komunitas Bambu, April 2008), h. 217-218. Hingga 1965 perjuangan atas un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gperkawinan yang lebih demokratis gagal, diantaranya -- <strong>dan</strong> mungkin yang terutama – adalah karena keterpecahan5


Baru menyusun ulang konsep keperempuanan, organisasi perempuan, Kowani, <strong>dan</strong> bahkanKartini beserta gagasan-gagasannya. Yang paling penting bagi Orde Baru – lagi dituturkanDjuhartono adalah mencabut inisiatif perempuan untuk bergerak <strong>dan</strong> memisahkan mereka daribasis massanya.Dan sekarang semua organisasi wanita tentu saja di bawah Golkar. Mereka tidakkeberatan; semuanya mengikuti kegiatan kami. Barangkali, dalam menghadapiorganisasi-organisasi itu, caranya tidak terlalu demokratis. Tapi segala-galanya tokh lebihbaik daripada Gerwani. Saudara tentu tahu apa yang mereka lakukan. Tari-tarian gila,cungkil mata <strong>dan</strong> sebagainya itu. Dan organisasi-organisasi wanita di luar Golkar,semuanya sama sekali tidak efektif <strong>dan</strong> lemah. Mereka tidak punya cabang di daerahdaerahsatu pun. Tidak ada yang bisa mereka lakukan 25 .Di saat masyarakat masih terguncang <strong>dan</strong> hilang akal karena pembantaian <strong>dan</strong> penangkapan,Soeharto <strong>dan</strong> AD-nya – dengan menggandeng ekonom-ekonom UI hasil didikan University ofCalifornia, Berkeley – bergerak cepat untuk mengubah arah kebijakan ekonomi-politik negara.Pada 10-20 Januari 1966, dengan fasilitas dari G-V <strong>dan</strong> G-VII KOTI, serta dibuka oleh Soehartosendiri, KAMI FEUI menyelenggarakan ”Pekan Ceramah <strong>dan</strong> Seminar Ekonomi Keuangan <strong>dan</strong>Moneter”26 . Bertindak sebagai penasehat panitia <strong>dan</strong> atau pembicara adalah para ekonomBerkeley, Jenderal Nasution, <strong>dan</strong> Hamengkubuwono IX. Pekan ceramah diantaranyamerekomendasikan penetapan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g penanaman modal asing dengan alasan modaldalam negeri tidak cukup memenuhi kebutuhan pembangunan nasional (Pasal 62) <strong>dan</strong>pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota IMF <strong>dan</strong> IBRD (Pasal 65) 27 .Pasca Supersemar, Soeharto mengangkat dirinya menjabat Ketua Presidium Kabinet Ampera <strong>dan</strong>membentuk Tim Ahli Politik yang diketuai oleh Sarbini Sumawinata <strong>dan</strong> Tim Ahli Ekonomiyang diketuai oleh Widjojo Nitisastro. Maka pada 8 November 1966 keluarlah UU No. 9 Tahun1966 (kemudian diubah dengan UU No. 2 Tahun 1967) yang menyatakan pulihnya keanggotaanIndonesia dalam IMF <strong>dan</strong> IBRD dengan konsekuensi mengakui kembali kewajiban pembayaranhutang yang oleh pemerintahan sebelumnya dihapus secara sepihak karena dianggap tidak adil.Namun Rosihan Anwar dalam obituarinya untuk Sarbini Sumawinata mengatakan bahwa sejaksebelumnya IMF sudah terlibat dalam penyusunan arah baru kebijakan ekonomi Indonesia:”Dengan bantuan IMF, mereka menyusun kebijakan ekonomi yang diumumkan tanggal 3Oktober 1966”28 . Dua tahun berikutnya, kerjasama Tim Ahli Ekonomi dengan IMF, WorldBank, IGGI, CGI melahirkan UU No. 1 Tahun 1967 yang memenuhi Pasal 62 resolusi 29 .25 Wieringa, ibid., (1999) h. 212.26 Hasil pekan ceramah <strong>dan</strong> seminar ini diterbitkan pertama kali dengan judul The Leader, the Man and the Gun(Jakarta: Usaha Penerbit Nasional PT. Matoa, 1966), kemudian dicetak ulang di bawah judul Jalur Baru SesudahReruntuhan Ekonomi Terpimpin (The Leader, the Man and the Gun), Seminar KAMI (Jakarta: Sinar Harapan,1984).27 Pada 23 Agustus 1965, pemerintahan Soekarno menerbitkan UU No. 16 Tahun 1965 yang melikuidasi penanamanmodal asing di Indonesia. Pada 14 Februari 1966, pemerintahan Soekarno menerbitkan UU No. 1 Tahun 1966tentang penarikan keanggotaan Indonesia dari IMF <strong>dan</strong> IBRD.28Rosihan Anwar, “”In Memoriam” Prof Sarbini”, dalam Kompas, 15/3/2007, diakses darihttp://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sarbini-sumawinata/index.shtml pada 19/8/08.29 Dian Kartika Sari, “Arah Politik Ekonomi Soeharto”, Jurnal INFID, No. 13/06/Juni 2008, h. 7. Dian mendaftarsembilan UU lain produk kerjasama Tim Ahli Ekonomi dengan ba<strong>dan</strong>-ba<strong>dan</strong> keuangan internasional yang telah7


Salah satu butir perubahan arah kebijakan ekonomi politik adalah penerapan revolusi hijau, yaitumekanisasi <strong>dan</strong> reorganisasi manajemen pertanian. Buah dari revolusi hijau adalah untuk waktudua tahun (1984-1986) Indonesia bisa memenuhi kebutuhan berasnya sendiri dengan hargamurah. Namun sejak 1988 hingga saat ini Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar didunia 30 . Biaya yang harus dikeluarkan untuk dua tahun masa keemasan itu diantaranya adalahbanyak petani kehilangan tanah karena tidak bisa membayar kredit sarana produksi pertanian <strong>dan</strong>tersingkirnya perempuan dari lahan-lahan mereka. Dengan pesatnya industrialisasi, lahan-lahangarapan rakyat dikonversi menjadi perkebunan besar, pertambangan, <strong>dan</strong> pabrik-pabrik.Kombinasi dari kedua faktor itu menghasilkan perempuan-perempuan yang harus bertahan hidupdi dalam sistem kapitalistik tanpa memiliki aset cukup selain tubuhnya <strong>dan</strong> tanpa kemampuanmengorganisir diri untuk melawan. Mereka bekerja di pabrik-pabrik yang sudah tidakdikosongkan dari serikat buruh. Sebagian yang lain menjadi pembantu rumah tangga ataupekerja seks. Sejak 1983, pemerintah mulai mengekspor buruh perempuan ke Arab Saudi <strong>dan</strong>kemudian ke negara-negara lain 31 . Setelah melalui proses penghancuran <strong>dan</strong> pembentukankembali kaum perempuan, pada 1986 Rezim Orba akhirnya dengan percaya dirimemproklamirkan pada kalangan pemilik modal internasional: tentang nilai tambah yang bisadidapat dari buruh-buruh perempuan Indonesia yang murah, patuh, <strong>dan</strong> loyal 32 . <strong>Perempuan</strong>perempuaninilah yang harus mempertahankan hidupnya <strong>dan</strong> keluarganya di dalam eksperimensistem ekonomi politik neoliberal yang berlaku di Indonesia hari ini 33 .Lantas apa yang terjadi pada korban 65 <strong>dan</strong> keluarganya?Para aktivis Gerwani maupun perempuan-perempuan yang di-gerwani-kan yang beruntungselamat dari pembunuhan massal 65 <strong>dan</strong> tahun-tahun selanjutnya masuk dalam penjara <strong>dan</strong>mengalami reedukasi untuk menyesuaikan diri dalam tatanan masyarakat baru versi Rezim OrdeBaru. Sementara keluarga mereka bertahan hidup dengan menjual aset-aset yang sesungguhnyadibutuhkan untuk bertahan hidup dalam sistem ekonomi politik baru yang berlaku. Dengandipertahankannya berbagai un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yang mendiskriminasi korban <strong>dan</strong> keluarganyahingga saat ini hanya berarti bahwa mereka masih dianggap terlalu berbahaya untukdiintegrasikan dalam tatanan masyarakat baru. Saat krisis ekonomi 1997-1998 terjadi,perempuan korban 65 <strong>dan</strong> keluarganya mengalami pukulan berganda, sebagai kelompokpesakitan yang makin dimiskinkan. Dalam kasus keluarga korban Tanjung Priok, kemiskinanmenyebabkan sebagian dari mereka menerima suap dari para pelaku pelanggaran HAM yangdisirami air suci: islah.disebut di atas. Satu diantara UU itu berkait dengan pembatasan kebebasan pers. Sembilan lainnya mengatur tentangberbagai sektor perekonomian.30 Syamsul Ardiansyah, op. cit., h. 9.31 Maria Hartiningsih, “Mengais Remah-remah “Kebertahanan” Ekonomi <strong>Perempuan</strong>”, dalam Baskara T. Wardayadkk. (penyunting), Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: ELSAM, 2007), h. 316.32 Nursyahbani Katjasungkana & Liza Hadiz (t.t.) dalam Maria Hartiningsih, ibid., h. 315.33 Mengenai persoalan perempuan di berbagai sektor ekonomi dibahas dalam Panel Perlawanan Lokal <strong>Perempuan</strong>,Konferensi Warisan Otoritarianisme II, “Demokrasi Indonesia <strong>dan</strong> Tirani <strong>Modal</strong>”, yang diselenggarakan olehELSAM, FISIP UI, JKB, Praxis, dll. di Kampus FISIP UI, Depok, 5-7 Agustus 2008.8


Adalah sulit untuk meyakini bahwa Peristiwa 65 benar-benar telah menjadi masa lalu bangsa iniketika setiap kali dalam situasi terdesak – baik ketika krisis ekonomi se<strong>dan</strong>g memuncak, apalagiketika harus berhadapan dengan aksi perlawanan rakyat -- pemerintah sendiri masih terusmereproduksi ‘hantu komunis’ <strong>dan</strong> ‘gerwani’. Dalam rangkaian pertemuan yang difasilitasiKomnas <strong>Perempuan</strong> dua tahun lalu, para perempuan aktivis yang hadir – terutama yang bergerakdalam pengorganisasian basis -- melaporkan bahwa aparat negara masih dengan mudahmelekatkan stigmatisasi Gerwani pada mereka. Di tengah maraknya aksi demonstrasi rakyatmenuntut perbaikan hidup, para pejabat militer <strong>dan</strong> sipil di Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara,bahkan Nusa Tenggara Barat, berkali-kali mengingatkan bahwa kaum komunis telah kembalimemanfaatkan situasi keterdesakan ekonomi saat ini. Komisi A DPRD Sumatera Utara menuduhaksi-aksi demonstrasi rakyat telah mengadopsi taktik komunis yang penuh hasutan, liar, <strong>dan</strong>anarkis (www.KapanLagi_com Komunis Subur Karena Ketidakadilan <strong>dan</strong> Ketertindasan.htm,24/8/06, diakses pada 4/8/08). Dua bulan sebelumnya, Pangdam Jaya, Mayjen AgustadiSasongko Purnomo, pada Juni 2006 menganjurkan rakyat untuk mewaspadai tidak hanya kaderPKI, tapi juga anak-keturunannya, seluruhnya berjumlah 150 orang, yang telah menyusup keDPR, partai politik, <strong>dan</strong> berbagai organisasi kemasyarakatan (www.KapanLagi_com KomunisBelum Populer, Walaupun Berkonsolidasi.htm, 13/6/06, diakses pada 4/8/08).Istilah komunis <strong>dan</strong> Gerwani yang -- meminjam gagasan Budiawan -- telah mengalami proses‘reduksionisasi atau oversimplifikasi’ menjadi ateisme kemudian menjadi segala bentukkejahatan 34 , memenuhi fungsi sebagai tirai pemisah antara perempuan <strong>dan</strong> perjalanan sejarahpemiskinan serta pelumpuhannya. Oleh karena itu, menyelesaikan Peristiwa 65 adalah langkahawal untuk menghentikan proses pemiskinan <strong>dan</strong> pelumpuhan berkelanjutan <strong>terhadap</strong> kaumperempuan.Akibat PendiamanKeputusan negara untuk tidak mengungkap Peristiwa 65 membuat kaum perempuan gagalmemahami akar-muasal pemiskinanannya masa kini. <strong>Perempuan</strong> dibutakan dari kenyataanbahwa apa yang terjadi saat ini merupakan akibat dari tindakan politik yang diambil AD/RezimOrba di masa lalu. Tanpa memahami masa lalunya, perempuan tidak bisa memahami persoalankekiniannya <strong>dan</strong>, tidak bisa tidak, akan selalu diposisikan sebagai korban masa depan yang telahdigariskan penyelenggara negara. Saya meyakini bahwa saat ini adalah waktu yang paling tepatuntuk belajar dari penghancuran Gerwani <strong>dan</strong> penundukan <strong>terhadap</strong> gerakan perempuan yangtersisa, justru ketika gerakan protes sosial se<strong>dan</strong>g mencari jalan untuk bertransformasi menjadigerakan politik, ketika gerakan perempuan se<strong>dan</strong>g dalam proses -- mengutip Pak Hersri Setiawan35dalam pidato kebudayaan yang disampaikannya dalam pembukaan Konferensi – ‘merebutruang negosiasi’ di berbagai level politik-ekonomi-sosial.34 Budiawan, “Mengurai Ingatan yang Diawetkan”, Buletin Pusdep, Vol. 2/April 2006, h. 635 Yang saya maksud adalah Konferensi Warisan Otoritarianisme II, “Demokrasi Indonesia <strong>dan</strong> Tirani <strong>Modal</strong>”, yangdiselenggarakan oleh ELSAM, FISIP UI, JKB, Praxis, dll. di Kampus FISIP UI, Depok, 5-7 Agustus 2008.9

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!