13.07.2015 Views

Kajian papua.pdf - KontraS

Kajian papua.pdf - KontraS

Kajian papua.pdf - KontraS

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Laporan HAMPapua Versi<strong>Kajian</strong> HAM <strong>KontraS</strong>Terhadap DefinisiPenyiksaan di Papua(Studi Kasus Video Penyiksaan YouTube)Komisi untuk Orang Hilangdan Korban Tindak KekerasanCommission for The Disappearedand Victims of Violence


I. PendahuluanDalam catatan <strong>KontraS</strong> sepanjang tahun 2010setidaknya telah terjadi 11 kasus penyiksaandi Papua. Tiga diantaranya bahkan mendapatperhatian publik internasional. Sebut saja kasusyang dialami Pendeta Kinderman Gire dan duavideo penyiksaan warga Papua yang menyebarluas di YouTube. Dalam ketiga kasus tersebuthadir corak kekerasan yang identik satu sama lain,yakni praktik penyiksaan. Lalu, apa yang membuatketiga kasus tersebut memiliki derajat kekerasanyang sama satu dengan lain? Mengapa praktikpenyiksaan harus dibedakan secara spesifik denganpraktik kekerasan lainnya? Apa yang menyebabkanpraktik penyiksaan masih marak terjadi di Papua?Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, <strong>KontraS</strong> secara khusus mengeluarkan laporanHAM terkait meningkatnya kasus-kasus penyiksaandi Papua, khususnya di wilayah Puncak Jaya.Respon ini penting dilakukan, mengingat hinggakini belum ada agenda keadilan yang konkretPemerintah Republik Indonesia untuk memulihkanmartabat warga Papua pasca Reformasi 1998.Agenda keadilan tersebut terkait erat denganpraktik-praktik kekerasan yang berujung padamaraknya kasus-kasus pelanggaran HAM yangdilakukan aparat keamanan (baca: TNI dan Polri).Runutan laporan HAM <strong>KontraS</strong> akan dimulaidari laporan pemantauan yang dikeluarkanoleh Tim Pemantau dan Penyelidikan TindakKekerasan di Papua Komnas HAM pada tanggal22 Desember 2010. 1 Kesimpulan dari laporansetebal 74 halaman itu menerangkan adanyaunsur-unsur pelanggaran HAM dalam ketiga kasus(baca: pembunuhan Pendeta Kinderman Gire,video kekerasan dalam pelaksanaan operasi danvideo kekerasan dalam proses interogasi), yangdidasarkan pada tipe perbuatan (type of acts) danpola (pattern) pelanggaran HAM yang menjaditemuan dasar: perampasan hak atas hidup,perampasan kemerdekaan atau perampasankebebasan fisik lain secara sewenang-wenang,hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuanyang kejam, tidak manusiawi dan merendahkanmartabat dan hak atas rasa aman. Sederhananya,Komnas HAM sudah menemukan adanya indikasiyang kuat atas praktik pelanggaran HAM yangberat, di mana hadir unsur tindakan meluas dariperbuatan penyiksaan yang ditujukan kepadawarga sipil dalam serangkaian operasi keamanandi Papua.Masyarakat sipil berharap dokumen KomnasHAM ini dapat digunakan menjadi dokumenpenguat pada tahapan penyelidikan pro-yustisia(sesuai mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia). 2Akan tetapi, merujuk kembali laporan KomnasHAM, tidak ada keterangan rekomendasi yangdapat digunakan untuk membentuk mekanismepro-yustisia. Komnas HAM hanya mengeluarkanrekomendasi normatif, seperti penekananperubahan pendekatan keamanan negara,peningkatan profesionalisme TNI dan pengusutan1 Lihat:Komnas HAM, Laporan Tim Pemantau danPenyelidikan Kekerasan di Puncak Jaya, Komnas HAM:Jakarta, 20102 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentangPengadilan Hak Asasi Manusia daat dilihat pada situsberikut ini: http://legislasi.mahkamahagung.go.id/docs/UU/2000/UU%20NO%2026%20TH%202000.<strong>pdf</strong>diakses pada tanggal 21 Juni 2011.Laporan Video Papua Youtube


serta tindakan penegakan hukum yang harusdilakukan Panglima Daerah Militer Cenderawasih. Dalih lainnya yang digunakan Komnas HAMadalah bahwa aktivitas pementauan inidisesuaikan dengan kewenangan KomnasHAM dalam melakukan pemantauan danpenyelidikan kekerasan di Puncak Jaya hanyasebatas menggunakan Undang-Undang Nomor9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 4Kekecewaan warga Papua ini ditunjukkan ketikamereka menyambangi kantor Komnas HAM, untukmempertanyakan hasil dua kali putusan PeradilanMiliter pada kasus video penyiksaan Puncak Jaya. Hasil putusan Pengadilan Militer III-9 KodamCenderawasih Jayapura Papua yang digelar selamalima kali terhitung sejak tanggal November 2010menjatuhkan masing-masing bulan penjara bagitiga anggota Kesatuan Pam Rawan Yonif 7Arga Vira Tama/Nabire Kodam XVII Cendrawasih.Ketiganya adalah Praka Syahmin Lubis, PradaJoko Sulistyono dan Prada Dwi Purwanto. Merekaterbukti memenuhi unsur melanggar pasal 10KUHPM junto 6 KUHP, yaitu melanggar perintahatasan atau tidak mematuhi perintah dinas untukmemperlakukan masyarakat dengan baik. Padaberkas dakwaan lainnya, Hakim PengadilanMiliter memvonis pemberi perintah Letda InfanteriCosmos dengan hukuman 7 Bulan penjara karenadianggap melanggar pasal 10 KUHPM junto6 KUHP: Perbuatan melawan perintah atasan.Persidangan ini awalnya diduga untuk meresponinsiden video penyiksaan ‘Youtube’ di atas, namunternyata berhubungan dengan kasus penyiksaanyang lain (korbannya adalah disebutkan dalamfakta persidangan yaitu, Goliat yang dituduhterlibat dalam Organisasi Papua Merdeka/OPM) diTinggi Nambut.Sedangkan dalam persidangan kedua, majelishakim pengadilan militer III-9 juga menjatuhkanvonis yang rendah pada terdakwa di persidangan Op. cit, hal. 72 – 73.4 Lihat: Siaran pers <strong>KontraS</strong>: Rekomendasi KomnasHAM Tidak Tegas – Respon Atas Laporan pemantauanKekerasan di Puncak Jaya – Papua. Dapat dilihat padasitus berikut ini http://kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1196 diakses pada tanggal 21 Juni 2011. Lihat: VHRMedia, Warga Papua Kecewa Komnas HAM.Dapat dilihat pada situs berikut ini http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=990 diakses pada tanggal 21Juni 2011.tertanggal 24 Januari 2011. Vonis yang dijatuhkanpada 24 Januari 2011 oleh Majelis Hakim yangdipimpin oleh Letkol (CHK) Adil Karo Karo adalahterdakwa telah melanggar tindakan disiplin,bersalah secara sengaja melanggar perintah dinasatau atasan dengan menghukum Sersan DuaIrwan Riskianto (Wakil Komandan TNI Pos Gurage)dengan hukuman penjara 10 bulan, sedangkananggota TNI Pos Gurage, masing-masing PratuThamrin Makangiri dihukum 8 bulan penjara danPratu Yakson Agu hukuman penjara 9 bulan.Sebelumnya oditur militer menuntut Serka DuaIrwan Riskianto 10 bulan, Prajurit Satu ThamrinMakangiri 9 bulan dan Prajurit Satu Yakson Agu12 bulan. 6Meski Komnas HAM tidak memberikanrekomendasi kuat atas adanya dugaan praktikpelanggaran HAM yang berat di Papua, namunkontinuitas praktik kekerasan di Papua tetapmuncul sebagai keniscayaan sehari-hari. Jamaknyabahkan muncul dalam wujud penyiksaan,sebagaimana yang dialami langsung oleh PendekatKinderman Gire dan warga Puncak Jaya yangterekam dalam video penyiksaan tersebut.Tulisan ini mencoba untuk melihat lebih cermatdari adanya praktik penyiksaan di Puncak Jaya,khususnya yang muncul pada hasil pemantauanlaporan Komnas HAM. Diharapkan, tulisan inidapat menajamkan analisa dan sekaligus menjadibahan advokasi pelengkap, khususnya padamaraknya praktik penyiksaan di Papua.II. Praktik Penyiksaan dan SiklusKekerasan di PapuaTerdapat korelasi yang erat antara praktikpenyiksaan dan siklus kekerasan di Papua.Penerapan kebijakan politik keamanan yangdilakukan melalui pendekatan Daerah OperasiMiliter (DOM) di Papua sejak tahun 1978 hinggatahun 2008 membuahkan persoalan panjangyang belum dituntaskan Pemerintah Indonesia.6 Lihat: Siaran Pers <strong>KontraS</strong>, <strong>KontraS</strong> Papua dan AMPTPI,Merespon Tuntutan Oditurat Militer Kepada TerdakwaTNI Atas Kasus Penyiksaan Puncak Jaya, Jakarta. Dapatdilihat pada situs berikut ini http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=120 diakses padatanggal 21 Juni 2011.<strong>KontraS</strong>


Pemberian otonomi khusus dan pendekatanpercepatan ekonomi pembangunan di Papuajuga belum memulihkan rasa berkeadilan danbermartabat kepada seluruh warga dan komunitasPapua. Akumulasi ketidakpuasan atas praktikdiskriminasi dan keterbatasan akses dalam ruangaktualisasi ekonomi, sosial, budaya, sipil danpolitik hadir dalam bentuk aksi protes, mimbarbebas hingga gerakan gerilya bersenjata menuntutkemerdekaan dari wilayah Republik Indonesia tidakbisa dihindari muncul menjadi letupan ekspresi.Akumulasi ketidakpuasan tersebut menjadi basislegitimasi negara untuk menerapkan pendekatanoperasi-operasi keamanan di Papua. Meski DOMsecara resmi telah dicabut pada Oktober 1998,Operasi pemulihan keamanan tersebut bertujuanuntuk menumpas gerakan separatis, baik secaraorganisasional maupun menumpas kelompok–kelompok militan bersenjata. Namun pendekatansemacam ini berpotensi besar untuk memicusiklus kekerasan di Papua. Siklus ini semakinberputar cepat, manakala pemerintah pusat tetapmenurunkan kebijakan untuk menambah jumlahpersonel keamanan, tidak hanya untuk menumpasgerakan separatis, namun juga untuk menjagakepentingan privatisasi bisnis di sana. 7Setidaknya ada beberapa kasus pelanggaran HAMyang mendapat perhatian publik pasca 1998,seperti kasus Abepura (2000), pembunuhan TheysHiyo Eluay (2001), Peristiwa Wasior (2001) danPeristiwa Wamena (200). Kasus-kasus kekerasantetap terus bergulir ditahun-tahun selanjutnya danmelibatkan unsur aparat keamanan (TNI dan Polri).Praktik-praktik kekerasan berdimensi penyiksaanjuga menjadi satu rumpun kategori pelanggaranHAM yang menjadi fokus perhatian dari laporanini. Berikut ini adalah ringkasan ilustrasi kasuskasuspenyiksaan dalam laporan Tim Pemantauandan Penyelidikan Tindak Kekerasan di Papua,Komnas HAM.7 Lihat: ELSAM, Catatan Kondisi Penegakan HAM diPapua. Kertas posisi dapat dilihat ada situs berikut ini:http://www.elsam.or.id/<strong>pdf</strong>/CATATAN%20PELANGGARAN%20HAM%20DI%20PAPUA.<strong>pdf</strong> diakses padatanggal 21 Juni 2011.II.1 Kasus Pendeta Kinderman GireKasus pembunuhan Pendeta Kinderman Giretanggal 17 Maret 2010, bermula ketika korbanmenunggu kiriman bahan bakar di pinggir jalan,wilayah Distrik Tingginambut, Puncak Jaya.Disaat bersamaan Pendeta Pitinius Kogoya jugatengah menunggu titipan minyak goreng dariWamena. Tiba-tiba rombongan TNI dari BatalyonInfanteri (Yonif) 76 lewat dan mendekati PendetaKinderman Gire, mengajukan pertanyaan seputarkeberadaan senjata api, peluru dan keberadaanOPM.Karena Pendeta Pitinius Kogoya ada di lokasikejadian, keduanya diamankan dan dipaksa untukmenjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Merekadipisahkan hanya jarak sekitar 2 hingga meter.Penyiksaan mulai dilakukan sejak pukul 1.0 WITsampai 17.00 WIT. Penyiksaan itu mengakibatkankedua wajah korban bengkak dan menghitam.Pendeta Pitinius berhasil melarikan diri saattubuhnya didorong masuk ke dalam kendaraan.Saat itu, ia mendengar bunyi tembakan senjata apisebanyak dua kali. Pendeta Pitinius sendiri tidakmengetahui nasib dan kondisi Pendeta KindermanGire. Baru setelah 2 minggu kemudian, jasadPendeta Kinderman Gire ditemukan di pinggirsungai Tinggin, Yamo, Gurage. Tak lama bagiantubuh lainnya juga diketemukan. Pihak keluargaakhirnya memutuskan untuk membakar jasadPendeta Kinderman Gire. Hingga kini kasus yangmenimpa Pendeta Kinderman Gire belum tuntas.II.2 Video penyiksaan dalampelaksanaan operasiVideo pertama, diketahui peristiwa dilakukanpada tanggal 17 Maret 2010. Satgas Yonif7/AVT yang dipimpin Lettu Inf. Sudarmin(Danpos) menugaskan mereka untuk mengadakanpatroli dengan jumlah personel 24 orang.Patroli dilakukan berjalan kaki hingga ke DistrikTingginambut. Regu patroli dibagi menjadi 2grup, satu grup menuju Kolame dan grup lainnyamenuju kampung Gurage. Dalam penyisirannya diKampung Gurage, aparat bertemu dengan KotoranWenda dan 2 warga lainnya. Mereka berhasilmendapatkan keterangan tentang keberadaansenjata api jenis AK-SN dan Mouser. Aparatmelokalisir 27 warga yang dipimpin Dipes Tabuni.Grup yang dipimpin Letda Cosmos memisahkanLaporan Video Papua Youtube


warga laki-laki dan warga perempuan. Iamemerintahkan Praka Lubis untuk menggaliinformasi dari warga laki-laki. Ia juga memintaPratu Ishak untuk mendokumentasikan hasilinterogasi, menggunakan ponsel Nokia N 70 milikLetda Cosmos. Letda Cosmos sendiri melakukaninterogasi kepada warga perempuan. Dari videopenyiksaan yang beredar, kita bisa mengetahuiadanya praktik penyiksaan yang dilakukan secarabrutal kepada para korban.II. 3 Video penyiksaan dalamproses interogasiVideo berdurasi 10 menit 44 detik dibuat padatanggal peristiwa, 0 Mei 2010. Terekam 2orang warga Papua yang namanya diketahuiAnggenpugu Kiwo dan Telanggar Gire, diinterogasioleh pasukan TNI, yang akhirnya diketahui berasaldari Batalyon 7/Arvita PAM Rawan PuncakJaya. Keduanya hendak pergi ke Kota Mulia. Kiwomemiliki janji bertemu dengan seorang kawannyaNopen Kiwo untuk mengundang AnggepnpuguKiwo mengurus pemekaran kampung. SedangkanTelanggar Gire harus menjemput istrinya di KotaMulia. Aparat merampas tas noken berisi uangRp 1.000.000,-, satu buah fikon, dua buah KTPdomisili Distrik Tingginambut dan Kota Mulia, milikAnggenpugu Kiwo. Aparat semakin curiga ketikamenemukan dua kepemilikan KTP. Mereka secaraserta merta menuduh Kiwo sebagai OPM.Tindak penyiksaan bisa kita saksikan secara jelasdalam video. Anggenpugu Kiwo dalam kondisitelanjang, dibaringkan di tanah berpasir danberkerikil. Posisi tubuh kaki terikat pada tali dankain. Tangan korban juga diikat dan ditarik kebelakang badan korban. Para pelaku berulangkali menanyakan keberadaan lokasi penyimpanansenjata dan memaksa korban untuk menunjukkankelompok bersenjata. Pertanyaan itu diajukanbertubi-tubi, diikuti dengan tindakan menginjakinjakmulut korban. Bentuk ancaman lainnyaseperti, korban diancam kepalanya akan dibungkusplastik dan atau lehernya akan dipotong.Korban juga diancam akan ditembak mulutnyajika tidak mau memberikan informasi. Hinggaakhirnya kepala korban dibungkus dengan plastikhitam dan sulit sulit bernapas, karena si pelakumemeganginya.Para pelaku bahkan telah menyiapkan kayu yangmembara akibat dibakar. Kayu itu kelak digunakanuntuk menyundut kemaluan korban. Tindakan inidilakukan bersamaan dengan tindak penyiksaanlainnya: menginjak leher dan dada korban sertakedua kakinya yang dipegangi oleh pelaku lain.Tindak menyundut kemaluan korban dilakukansebanyak dua kali. Pelaku juga menindih dadakorban dengan lututnya dalam posisi berlututserta kembali menanyakan keberadaan senjataapi. Tindakan ini dilakukan bersamaan denganancaman untuk memasukkan rokok yang masihmenyala ke dalam mulut korban.Tubuh Telangga Gire diletakkan di dekattumpukan kayu. Korban diinterogasi seputar lokasipenyimpanan senjata api oleh para pelaku. Bentuktindak penyiksaan yang dilakukan seperti: parapelaku mengancam korban dengan meletakkanparang di antara hidung dan mulut korban. Selaindiletakkan di antara mulut dan hidung, parangyang dipegang pelaku menggunakan tangankanan diletakkan di leher dan kening korban.Korban juga ditampar sebanyak kali.III. Praktik Penyiksaan Ditinjaudari Prinsip-Prinsip HAMIII.1 Larangan Penyiksaandalam prinsip-prinsipHAM internasional• Definisi PenyiksaanIlustrasi di atas memperlihatkan kepada kitasemua bahwa penyiksaan tidak hanya bertujuanuntuk dengan sengaja menghancurkan kondisifisik dan emosional seseorang, namun juga dalambeberapa situasi dapat melemahkan moral, hargadiri dan semangat masyarakat secara keseluruhan.Meskipun hak asasi mansia hukum internasionaldengan terang melarang tindak penyiksaan dalamkondisi apapun, namun praktik penyiksaan masihdipraktikkan lebih dari setengah jumlah negaranegaradi dunia. 8 Maka penting bagi negaranegarauntuk mengimplementasikan langkahlangkahefektif, khususnya untuk melindungi8 Lihat: M. Balolu, Prevention of Torture and Care ofSurvivors: an Integrated Approach, The Journal ofAmerican Medical Association (JAMA), 270 199:606-611.<strong>KontraS</strong>


individu-individu warga negara dar praktikpenyiksaan.Hak untuk terbebas dari penyiksaan secara khususdiatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia(Universal Declaration of Human Rights) PBB.Pasal dengan jelas menerangkan bahwa, “Tidakseorang pun boleh disiksa atau diperlakukansecara kejam, diperlakukan atau dikukum secaratidak manusiawi atau dihina.” Selain itu hak inijuga diatur dalam Konvensi Hak-Hak Sipil danPolitik, khususnya pada Pasal 7 yang juga secaraterang menyatakan, “Tidak seorangpun yangdapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atauhukuman lain yang keji, tidak manusiawi ataumerendahkan martabat. Pada khususnya, tidakseorangpun dapat dijadikan obyek eksperimenmedis atau ilmiah tanpa persetujuan yangdiberikan secara bebas.” 10 Serta Konvensi AntiPenyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lainyang Kejam, Tidak Manusiawi atau MerendahkanMartabat, 11 yang lebih detail menjelaskan definisipenyiksaan sebagai berikut:“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja,sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaanyang hebat, baik jasmani maupun rohani, padaseseorang untuk memperoleh pengakuan atauketerangan dari dari orang itu atau dari orangketika, dengan menghukumnya atas suatuperbuatan yang telah dilakukan atau diduga telahdilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, ataumengancam atau memaksa orang itu atau orangketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkanpada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasasakit atau penderitaan tersebut ditimbulkanoleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan,9 Lihat: Terjemahan Universal Declaration of HumanRights pada situs berikut ini: http://kontras.org/baru/Deklarasi%20Universal%20HAM.<strong>pdf</strong> diakses pada tanggal21 Juni 201110 Lihat: Terjemahan Konvensi Internasional Hak-Hak Sipildan Politik pada situs berikut ini: http://kontras.org/baru/Kovenan%20Sipol.<strong>pdf</strong> diakses pada tanggal 21Juni 2011.11 Konvensi ini telah diratifikasi melalui Undang-UndangNomor Tahun 1998 tentang Pengesahan KonvensiMenentang Penyiksaan, Penghukuman, atau PerlakuanKejam dan Tidak Manusiawi Lainnya. Isi ratifikasi dalamdilihat pada situs berikut ini: http://kontras.org/uu_ri_ham/UU%20Nomor%20%20Tahun%201998%20tentang%20Pengesahan%20CAT.<strong>pdf</strong> diakses pada tanggal24 Juni 2011.atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidakmeluputi rasa sakit atau penderitaan yang sematamatatimbul dari, melekat pada, atau diakibatkanoleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”Bahkan jauh sebelumnya, perangkat perjanjianperjanjianinternasional yang digunakan untukmengatasi persoalan konflik-konflik bersenjata jugatelah memasukkan larangan-larangan penyiksaan.Secara spesifik empat Konvensi Jenewa 1949melarang bentuk hukuman penyiksaan. Padatahun 1977 dua protokol dilampirkan padaPerjanjian Jenewa untuk memperluas perlindungandan cakupan dari empat konvensi. 12 Yang harusperhatikan dengan seksama pada Konvensi Jenewaadalah hadirnya Pasal Umum . Pada Pasal Umum dijelaskan bahwa:“... perbuatan-perbuatan berikut dilarangdan akan selalu dilarang kapanpundan dimanapun... kekerasan yang12 Protokol Tambahan I pada tahun 1977 mengisikekosongan yang terdapat pada Konvensi KeempatJenewa. Secara khusus, Pasal 1 menyatakan bahwasetiap warga sipil “Memperoleh perlindungan umumterhadap bahaya-bahaya yang muncul dari operasimiliter” dan melarang serangan langsung terhadapmereka, termasuk juga dari apa yang disebut sebagaiserangan membabi-buta, yang tidak membedakanantara sipil dan kombatan. Protokol Tambahan I jugamemperluas persyaratan Konvensi IV yaitu pemberianbantuan dilakukan jika suatu kelompok masyarakat sipiltidak cukup memiliki bahan kebutuhan pokok untukbertahan hidup. Protokol Tambahan II tahun 1977,memperluas banyak pasal dalam Protokol I dan Konvensi1949 pada konflik bersenjata internal. Protokol IImencakup warga sipil, baik secara kelompok maupunperorangan; intisari dari perlindungan adalah laranganmenjadikan warga sipil sebagai sasaran serangan.Serangan juga dilarang terhadap bendungan, saluranair dan pembangkit tenaga nuklir jika serangan ini bakalmenimbulkan kerugian yang parah pada orang-orangsipil. Yang juga dilarang adalah serangan pada obyekobyekyang penting bagi keberlangsungan hidup wargasipil. Sebagai tambahan, terorisme dan membuatwarga sipil kelaparan dilarang sebagai metode tempur.Begitu pula pemindahan paksa, kecuali dilakukanuntuk alasan keamanan atau alasan militer yang sangatpenting. Operasi penyelamatan akan dilakukan jikawarga sipil menderita kesulitan yang luar biasa. Tapi adaketerbatasan yang penting yaitu Protokol II secara teknishanya berlaku bagi konflik-konflik bersenjata di dalamnegara-negara yang meratifikasikannya. Lebih lanjutlihat Istanbul Protocol pada situs berikut ini: http://www.ohchr.org/Documents/Publications/training8Rev1en.<strong>pdf</strong>diakses pada tanggal 21 Juni 2011.Laporan Video Papua Youtube


membahayakan kehidupan dan manusia,khususnya pembunuhan mahklukhidup, pemotongan anggota badan,perlakuan kejam dan penyiksaan;...hinaan terhadap harga diri seseorangkhususnya mempermalukan dan perlakuanyang merendahkan martabat...”Pasal tersebut dapat digunakan untuk konflikbersenjata yang tidak bersifat internasional (baca:tidak hanya perang internasional antar negara.Berarti apapun sifat dari suatu perang atau ataukonflik, hal-hal mendasar tertentu tidak bolehdihapus. Dalam hal ini adalah hak-hak yang tidakdapat dikurangi dalam keadaan apapun, bahkandalam keadaan darurat (non-derogable rights).Hak-hak yang termaktub dalam kategori nonderogablerights adalah sebagai berikut:1. Hak atas hidup2. Hak bebas dari penyiksaan. Hak bebas dari perbudakan4. Hak bebas dari penahanan karena gagalmemenuhi perjanjian. Hak bebas dari pemidanaan yang berlakusurut6. Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinandan beragamaHak bebas dari penyiksaan menjadi satu hak yangternyata masuk dalam kategori non-derogablerights. Berarti negara harus menjalankankewajiban positifnya (positive duty) untukmelindungi tiap-tiap warga negara dari praktikpenyiksaan. Hal ini bahkan dijelaskan dalam Pasal2 ayat 1 Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuanatau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawiatau Merendahkan Martabat menyebutkan bahwa:“Mengambil langkah-langkah legislatif,administratif, hukum dan langkahlangkahefektif untuk mencegahtindakan penyiksaan di wilayah manapundalam batas kekuasaannya.”Selain itu di Pasal 2 ayat 2 juga ditambahkan:“Tidak ada keadaan pengecualianapapun, apakah keadaan perang atauancaman perang, ketidakstabilanpolitik dalam negeri ataupun keadaandarurat, yang dapat digunakan sebagaipembenaran untuk penyiksaan.”• Elemen-Elemen PenyiksaanDalam Laporan Pelapor Khusus PBB ManfredNowak (Report of the Special Rapporteuron Torture and Other Cruel, Inhuman ordegrading treatment or punishment: Study onthe phenomena of torture, cruel, inhuman ordegrading treatmentr or punishment in theworld, including an assessment of conditionsof detention – A/HRC/1/9/Add.) dijelaskanbahwa, setidaknya terdapat empat elemen yangbisa merefleksikan unsur-unsur penyiksaan.Pertama, setiap perbuatan yang dilakukan dengansengaja, menimbulkan rasa sakit atau penderitaanyang hebat, baik jasmani maupun rohani, padaseseorang untuk memperoleh pengakuan atauketerangan (an act inflicting severe pain orsuffering, whether physical or mental). Kedua,adanya unsur kesengajaan (the element ofintent). Ketiga, adanya unsur spesifik tujuan (thespesific purposes). Keempat, keterlibatan daripejabat publik dengan adanya unsur persetujuan(the involvement of a state official, at least byacquiescence). 1• Mekanisme Perlindungan menurutKonvensi tentang PenyiksaanPada pasal-pasal di dalam Konvensi AntiPenyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lainyang Kejam, Tidak Manusiawi atau MerendahkanMartabat juga dirinci tentang perlindungan yangharus diberikan oleh negara. Perlindungan inikhususnya digunakan untuk mencegah seseorangmasuk dalam situasi dan kondisi penyiksaan.Misalnya, negara harus segera melakukanpenyelidikan jika sebuah dan atau beberapa tindak1Lihat:Manfred Nowak, Report of the Special Rapporteuron torture and other cruel, inhuman or degradingtreatment or punshiment addendum Study on thephenomena of torture, cruel, inhuman or degradingtreatment or punishment in the world, including anassessment of conditions of detention (A/HRC/1/9/Add.). dapat dilihat pada situs berikut ini: http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/docs/1session/A.HRC.1.9.Add._en.<strong>pdf</strong> diakses pada tanggal 21Juni 2011.<strong>KontraS</strong>


penyiksaan diduga telah dilakukan. Bahkan lebihjauh, tiap-tiap orang yang mengaku dan ataumemberikan informasi bahwa dirinya telah disiksajuga memiliki hak untuk mengeluh (mekanismekeluhan korban). Bahkan dalam beberapa kondisitertentu, jika si korban meninggal dunia, makapemerintah harus segera melakukan mekanismeganti rugi. 14Badan-badan HAM dan mekanisme kerja PBB jugamenginternalisasikan standar-standar pencegahantindak penyiksaan di atas. Termasuk melibatkannegara-negara pihak, yang memiliki kewajibanuntuk menyelidiki dugaan terjadinya penyiksaandi negaranya masing-masing. Badan-badandan mekanisme kerja ini meliputi: Komite AntiPenyiksaan, Komisi HAM, Pelapor Khusus tentangPenyiksaan, Pelapor Khusus tentang Kekerasanterhadap Perempuan, Pelapor Khusus tentangPembela HAM dan Pelapor Khusus untuk negaratertentu yang ditunjuk oleh Komisi HAM PBB. 1Selain itu, badan-badan di tingkat regional jugatelah mengembangkan standar-standar untukmencegah penyiksaan. Badan-badan regional iniadalah Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika,Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika (yangdiikuti dengan Konvensi Amerika tentang HakAsasi Manusia), Pengadilan Hak Asasi ManusiaEropa, Komite Anti Penyiksaan Eropa (yangdiikuti dengan Konvensi Eropa tentang Hak AsasiManusia), Komisi Hak Asasi Manusia Afrika (yangdiikuti dengan Piagam Afrika tentang Hak AsasiManusia dan Hak Rakyat). 16III.2 Larangan Penyiksaandalam Hukum DomestikSejumlah hukum nasional juga menjamin adanyakewajiban negara untuk menegakkan hak bebasdari penyiksaan. Sebagaimana yang diatur dalamUndang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentangHak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat (4), definisipenyiksaan juga dijabarkan sebagai berikut:“Penyiksaan adalah setiap tindakanyang dilakukan secara sengaja, yangmenyababkan penderitaan atau sakityang parah baik secara fisik maupunmental untuk mendapatkan pengakuanatau informasi dari seseorang ataupunorang ketiga, menghukumnya untuktindakan yang dilakukan olehnya atau olehorang ketiga maupun yang disangkakankepadanya; atau mengintimidasi ataumemojokkan atau orang ketiga ataukarena alasan apapun mendasaridiskriminasi dalam bentuk apapun; ketikakesakitan ataupun penderitaan yangdisebabkan oleh atau dipaksakan olehatau dengan izin atau dengan persetujuandari pegawai pemerintah atau orang lainyang bertindak dalam kapasitas resmi.”Di dalam UU Nomor 9/1999, larangan ataspraktik penyiksaan diterapkan pada Pasal 1: 17“Hak Asasi Manusia adalah seperangkathak yang melekat pada hakikatdan keberadaan manusia sebagaimakhlukTuhan Yang Maha Esa danmerupakan anugerah-Nya yangwajib dihormati, dijunjung tinggidan dilindungi oleh negara, hukum,Pemerintah, dan setiap orang demikehormatan serta perlindunganharkat dan martabat manusia.”Pasal 4:“Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,hak kebebasan pribadi, pikiran dan hatinurani, hak beragama, hak untuk tidakdiperbudak, hak untuk diakui sebagaipribadi dan persamaan di hadapan hukum,dan hak untuk tidak dituntut atas dasarhukum yang berlaku surut adalah hak asasimanusia yang tidak dapat dikurangi dalamkeadaan apapun dan oleh siapapun.”14 Lihat: Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atauHukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atauMerendahkan Martabat1 Lihat: Protocol Istanbul16 Ibid.17 Lihat: Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentangHak Asasi Manusia. Dapat dilihat pada situs berikut ini:http://legislasi.mahkamahagung.go.id/docs/UU/2000/UU%20NO%2026%20TH%202000.<strong>pdf</strong> diakses padatanggal 21 Juni 2011.Laporan Video Papua Youtube


ekomendasi untuk membentuk pengadilan HAMpada tiga kasus tersebut.Sesungguhnya syarat meluas merujuk padakuantifikasi jumlah korban, tingkat kemasifan(intensitas keberulangan peristiwa), tindakandengan skala yang besar dan dilakukan secarakolektif serta berakibat serius. 19 Sedangkan syaratsistematis digunakan untuk menerangkan suatupola atau metode tertentu yang digunakan.Seperti menggunakan pola yang tetap dandiorganisir secara menyeluruh di satu wilayah. 20Syarat meluas atau sistematis tidak dapat diartikanbahwa satu kejahatan harus memenuhi dua syaratsekaligus. Dengan demikian, jika terjadi praktikpenyiksaan, kesatuan syarat-syarat tersebut(meluas atau sistematis) tidak harus hadir didalamnya. Kejahatan yang dilakukan dapat sajahanya memenuhi unsur meluas dan atau unsursistematik. 21Dalam UU Nomor 26/2000 sendiri tidak diberikandefinisi yang jelas mengenai syarat meluas atausistematis. Oleh karena itu, pengertian sismetisatau meluas perlu menggunakan yurisprudensilainnya. Seperti yang digunakan dalam mekanismeICTY dan ICTR. Dalam praktik hukum yangmenangani kejahatan terhadap kemanusiaanseperti misalnya di pengadilan Nuremberg,ICTR-ICTY, para hakim melakukan interpretasiterhadap unsur meluas dengan menekankanpada luasan geografis dan masivitas jumlahkorban. Sementara terhadap unsur sistematikpelaksanaan kebijakan diindikasikan melaluiadanya pola yang sama dan dilakukan secaraberulang-ulang dan memenuhi unsur-unsurpenyiksaan. Kita bisa melihat Keputusan hakimdalam kasus Akayesu, ICTR (Kasus No ICTR-96-4-T). Dalam perkara Akayesu, mengartikan syarat‘meluas’ sebagai “tindakan masif, berulang-ulangdan berskala besar, yang dilakukan secara kolektifdengan dampak serius dan diarahkan terhadapsejumlah besar korban (multiplicity of victims). 22Sedangkan syarat sistematis diartikan sebagaihal yang diorganisasikan secara mendalam danmengikuti pola-pola tertentu, yang terus menerusdilakukan berdasarkan kebijakan yang melibatkansumberdaya publik atau privat yang substansial.Meskipun kebijakan tersebut bukan kebijakanpolitik negara secara resmi. Ditambahkan bahwaperencanaan tidak harus dinyatakan secara terangdan tegas. Terdapat ukuran khusus untuk menilaisyarat sistematis. Ukuran ini dilihat dari turunanperencanaan operasional sebagai berikut: 21. Mencapai tujuan legal dengan pendekatanlegal2. Mencapai tujuan legal namun denganpendekatan ilegal. Mencapai tujuan ilegal4. Unsur-unsur setiap perbuatan yang dapatdikategorikan sebagai kejahatan terhadapkemanusiaanIII. Praktik Penyiksaan sebagaiKejahatan yang KhasTidak ditemukannya syarat pemenuhan meluasatau sistematis pada suatu kasus penyiksaan, tidakmengurangi kadar keseriusan yang terkandungdari kejahatan penyiksaan. Tindakan ini (baca:penyiksaan) juga tetap dilarang untuk dilakukan,terlepas dari kuantitas penyiksaan (banyak atausedikit). Hal ini juga ditegaskan dalam bukuInternational Criminal Law (second edition)karangan Antonio Cassese. Masih dalam bukutersebut, khususnya pada bagian Torture as aDiscrete Crime and Aggresion, diterangkan bahwatindak penyiksaan merupakan salah satu jenis19 Lihat: <strong>KontraS</strong>: Catatan Pendapat Hukum (DissentingOpinion) HM Kabul Supriyadhie pada kasus Abepuradengan terdakwa Johny Wainal Usman. Dapat dilihatpada situs berikut ini: http://kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=11620 Ibid.21 Ibid.22 Keputusan itu juga ditegaskan di dalam dokumenberikut ini: Draft Code of Crimes Against the Peaceand Security of Mankind, Laporan International LawCommission dalam sidang sesi ke 48, (UN Doc. A/1/10)paragraf 94-9 (Commentary on Article18 part 4): “…committed in a systematic manner meaning pursuantto a preconceived plan or policy. The implementationof this plan or policy could result in the repeated orcontinuous commission of inhumane acts… committedon a large scale meaning that the acts are directedagainst a multiplicity of victims.”2 Ibid.Laporan Video Papua Youtube


kejahatan internasional yang memiliki derajatkeseriusan tinggi. Baik yang dilakukan secarasistematis atau meluas dan juga yang dilakukanindividual. Selain itu penerapan norma juscogens juga dapat menerangkan bahwa tindakpenyiksaan sebagaimana yang diatur dalamhukum internasional dapat digunakan untukmengadili para pelaku, berdasarkan mekanismeyurisdiksi nasional, di manapun dan tidakmempertimbangkan tempat kejadian perkara(locus delicti), waktu perkara (tempus delicti),maupun status kewarganegaraan korban danpelaku. 24Cassese juga membahas unsur keterlibatan dariotoritas politik dalam konsep ‘keterlibatan pasif’(pasive involvement). Diterangkan lebih lanjutbahwa dalam tindak penyiksaan harus dibuktikanadanya persetujuan implisit atau pembenaran dariotoritas. Atau setidaknya adanya unsur kegagalandari otoritas untuk mengambil tindakan yangtepat, membawa pelakunya ke meja sidang.Dengan kata lain, harus ada semacam ‘keterlibatanpasif’ dari pihak yang berwenang dalam kasuspenyiksaan. 2IV. KesimpulanIV.1 Lemahnya Kesimpulan danRekomendasi Komnas HAMIsu penyiksaan menjadi salahsatu isu pelanggaranHAM serius dan banyak beririsan dengan hakhakasasi manusia mendasar yang tidak dapatdikurangi dalam keadaan apapun (non-derogablerights). Praktik penyiksaan yang terjadi pada kasuspembunuhan Pendeta Kinderman Gire dan duavideo penyiksaan Puncak Jaya yang beredar luasdi YouTube sesungguhnya telah memenuhi unsur-24 Tindak penyiksaan telah diakui sebagai bagian darikejahatan serius di bahwa hukum internasional (baikhukum HAM internasional maupun hukum humaniterinternasional). Bahkan tindak penyiksaan dapatditerapkan menggunakan prinsip yurisdiksi universal(universal jurisdiction). Lebih lanjut lihat Pasal , 7 dan8 dari Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atauHukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atauMerendahkan Martabat. Lihat juga catatan yang dibuatAntonio Cassese, International Criminal Law, ( SecondEdition), Oxford University Press, Oxford, 2008, hal. 149-11.2 Ibid, hal. 10.unsur elemen penyiksaan. Bahkan ketiga tindakanitu dilakukan berdasarkan kapasitas otoritaskeamanan berwenang yang diturunkan di sana.Dalam hal ini adalah Yonif 7 AVT dan Batalyon7/Arvita PAM Rawan Puncak Jaya.Kemudian, terkait pemenuhan syarat meluassebenarnya secara implisit disebutkan di dalamlaporan Komnas HAM. Hal tersebut dapatditemukan pada paragraf khusus berikut di bawahini: 26 “Sejak tahun 2004, dampak dari operasioperasikeamanan di Puncak Jaya mulaidirasakan oleh masyarakat sipil. Bahkaneskalasi kekerasan terhadap penduduksipil di Puncak Jaya Mulia terlihat sejaktahun tersebut. Stigmatisasi, kekerasan,penyiksaan bahkan pembunuhanpresentasenya pun mulai meningkat, dimana korban-korban dari operasi tersebutsebagian besar justru masyarakat sipil yangdituduhkan oleh aparat. Hingga akhirnyadua video kekerasan yang dilakukan olehaparat TNI terungkap di YouTube.”Selain itu, pemenuhan syarat meluas jugadisebutkan dalam beberapa eksplorasikasus yang dihadirkan di laporanKomnas HAM. Kasus-kasus tersebutterjadi sepanjang tahun 2010: 271. Penyiksaan terhadap 1 warga Papuayang dikepung TNI saat TNI melakukanoperasi keamanan di Distrik Tingginambutpada tanggal 17 Maret 2010 malam.Tindak penyiksaan seperti penggunaansenjata api untuk menghantam tubuhwarga, penggunaan pisau sangkur untukmenusuk warga2. Pembantaian warga sipil pada 2 Maret2010 yang dilakukan anggota Pos TNI diPos Puncak Senyum Distrik Mulia. Aparatmelakukan tembakan secara membabibuta, hingga mengenai seorang ibu rumahtangga terluka di lututnya26 Lihat: Laporan Tim Pemantauan dan PenyelidikanKekerasan di Puncak Jaya, Jakarta: Komnas HAM, 22Desember 2010. Hal. 4.27 Lihat: Komnas HAM, op cit, hal 1-16.0<strong>KontraS</strong>


. penangkapan 0 warga Papua pada17 April 2010 oleh pihak kepolisianuntuk diinterogasi. Aparat melakukanpemukulan dan penyiksaan. Meskidikemudian hari, ke-0 orang ini akhirnyadibebaskan karena ada tekanan darisejumlah pihak4. Terjadi kontak senjata antara TNI danOPM pada 18 April 2010. Seorang wargatewas tertembak, orang terluka dan duaorang ibu rumah tangga diperkosa olehsalah seorang aparat. Satu diantaranyabahkan meninggal dunia. Pembantaian warga sipil Kampung Piliapada 11 Mei 2010 oleh aparat gabunganTNI dan Polri. Hanya sedikit warga yangberhasil melarikan diri ke hutan. Operasigabungan ini juga membumihanguskansemua harta benda milik warga KampungPilia.Pernyataan Komnas HAM dan lima peristiwadi atas mempertegas bahwa tindak penyiksaanyang terjadi pada kasus pembunuhan PendetaKinderman Gire dan dua video penyiksaan diYouTube lainnya memiliki keterkaitan denganrangkaian kasus-kasus kekerasan di Papuasepanjang tahun 2010 dan bahkan di tahun-tahunsebelumnya. Syarat meluas muncul pada kontekspenegakan operasi keamanan. Syarat meluaslainnya juga dapat dilihat dari laporan pengaduanwarga dan dokumentasi Komnas HAM atas praktikpenyiksaan di Papua sepanjang tahun 2010 diatas. Syarat meluas sesungguhnya telah hadir danterpenuhi untuk menyatakan adanya kejahatanterhadap kemanusiaan di tanah Papua.Selain itu, jika kita memeriksa kembali laporanKomnas HAM, syarat sistematis sebenarnya secaraimplisit juga telah disebutkan. Di dalam laporanitu dinyatakan bahwa selama tahun 2010, OperasiDamai Papua telah diberlakukan di wilayahPuncak Jaya, di bawah kendali Polri. 28 Operasiitu bertujuan untuk menegakkan hukum sertamelumpuhkan aktivitas sipil bersenjata, mencarisejumlah amunisi seperti senjata laras panjang28 Lihat: Laporan Tim Pemantauan dan PenyelidikanKekerasan di Puncak Jaya, Bab IV: Kesimpulan danRekomendasi, Hal. 69.yang berhasil dirampas oleh OPM dari TNI/Polri.Namun demikian, sebagaimana mengutip laporanKomnas HAM, operasi itu berdampak padaketidakamanan warga Papua di Puncak Jaya.Keberadaan aparat TNI dalam Operasi DamaiPapua adalah pasukan yang diperbantukan. 29Unsur lainnya yang telah disebutkan di awaladalah adanya ‘keterlibatan pasif’ otoritas politiklokal setempat. Pemberian suntikan dana dariPemerintah Daerah Kabupaten Puncak Jaya,hingga penempatan atau tambahan pasukan(baik pasukan TNI maupun pasukan Brimob Polri)yang dilakukan atas dasar permintaan PemdaKabupaten Puncak Jaya juga mempertegas adanya‘keterlibatan pasif’ tersebut. 0Meski demikian, keengganan Komnas HAM untukmenggunakan syarat meluas atau sistematisdalam laporan yang dikeluarkan, sebenarnya tidakmenjadi penghalang untuk menempatkan tindakpenyiksaan yang dialami Pendeta KindermanGire dan dua video penyiksaan lainnya sebagaisebuah preseden individual yang memenuhiunsur pelanggaran HAM yang serius. PelanggaranHAM yang serius tidak dapat dipisahkan dariprinsip hukum internasional ‘jus cogens’. Apapunhambatannya, Komnas HAM sebagai lembagapublik yang kredibel harus dapat mengusut,membongkar pola dan problem krusial darimaraknya praktik kekerasan (khususnya tindakpenyiksaan) yang dilakukan aparat keamanan diPapua.IV.2 Lemahnya PutusanHakim Pengadilan MiliterKodam CenderawasihLemahnya kesimpulan dan rekomendasi laporanKomnas HAM juga diikuti dengan pilihanrespon minimalis pemerintah dan khususnya29 Terma diperbantukan memang harus mendapatpenjelasan yang terang. Mengingat untuk melakukangelar pasukan, Panglima TNI harus mendapatkankeputusan politik ataupun perintah dari otoritaspolitik tertinggi, dalam hal ini adalah Presiden untukmengerahkan pasukan, sebagaimana yang diaturdalam Undang-Undang Nomor Tahun 2002 tentangPertahanan Negara.0 Lihat: Wawancara Komnas HAM dengan Bupati PuncakJaya, Lucas Enembe dalam Laporan Tim Pemantauandan Penyelidikan Kekerasan di Puncak Jaya, hal. 17.Laporan Video Papua Youtube


otoritas militer. Respon minimalis ini terlihat daridigelarnya mekanisme peradilan militer melaluiPengadilan Militer III-9 Kodam CenderawasihJayapura. Putusan hakim pengadilan militer yanghanya menjatuhkan vonis rendah kepada paraterdakwa (baik pada pengadilan pertama maupunpengadilan kedua). Hakim hanya menggunakandalil pelanggaran Pasal 10 KUHPM junto 6KUHP: Perbuatan melawan perintah atasan danpelanggaran Pasal 10 KUHPM junto 6 KUHP:Dengan sengaja memberi kesempatan kepadamiliter untuk tidak mentaati suatu perintah dinas. 1Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer(KUHPM) sama sekali tidak bisa dijadikan rujukanspesifik untuk menghukum para pelaku dalam halini aparat TNI AD dalam kasus-kasus penyiksaan.Mekanisme peradilan militer sama sekali tidakmenyediakan ruang aturan perihal sanksi hukumpidana militer atas praktik penyiksaan yangdilakukan aparat TNI. 2 Apalagi tidak mengaturbentuk-bentuk pemulihan korban pelanggaranHAM. Bahkan vonis putusan persidanganmelenceng jauh dari fakta peristiwa tentangterjadinya tindak penyiksaan itu sendiri.Putusan vonis juga tidak mencerminkankomitmen negara untuk mengusut tuntasperistiwa penyiksaan yang dilakukan aparat TNI.Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyonoyang mengatakan bahwa peristiwa penyiksaanyang dilakukan aparat TNI terhadap warga sipilPapua harus diusut tuntas segera. Pernyataan inikemudian ditindaklanjuti oleh MenkoPolhukamDjoko Suyanto yang mengatakan bahwa parapelaku penyiksaan sudah berhasil ditangkap. Iajuga menjanjikan adanya upaya penyelidikan ataskasus penyiksaan Puncak Jaya dan pelakunya bakaldihukum setimpal. 1 Lihat: Putusan Pengadilan Militer III-19 Jayapura:Nomor: PUT/186-K/PM.III19/AD/XI/2010 dan Putusan187-K/PM.III-19/AD/XI/20102 Lebih lanjut soal Kitab Undang-Undang Hukum PidanaMiliter dapat melihat situs berikut ini: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/kuhpm.htm diakses pada tanggal 24Juni 2011. Lihat: Pemerintah Akui Anggota TNI SiksaWarga (http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/10/101022_polkamopm.shtml) diaksespada tanggal 24 Juni 2011.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 tentangPeradilan Militer masih dianggap bermasalahkarena tidak mencerminkan prinsip fair trialdan independensi peradilan. 4 Undang-undangini juga tidak mendukung upaya pemenuhanhak korban pelanggaran HAM.Terobosan untukmemperbaikinya coba dilakukan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang TentaraNasional Indonesia yang menegaskan adanyapemisahan yurisdiksi pidana militer dengan pidanaumum yang dilakukan oleh seorang TNI. Setiapprosesnya harus ditangani oleh pengadilan militerdan melalui mekanisme pengadilan sipil (umum).Ketentuan tata pembenahan institusi peradilanmiliter ini dianggap penting sebagai upayauntuk memperkuat akuntabilitas institusi TNI.Khususnya menyangkut tindak pelanggaran HAMyang dilakukan anggotanya, Ketentuan tersebutdijabarkan sebagai berikut:“Prajurit tunduk kepada kekuasaanperadilan militer dalam hal pelanggaranhukum pidana militer dan tunduk padakekuasaan peradilan umum dalamhal pelanggaran hukum pidana yangdiatur dalam undang-undang.”“Ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 64 berlaku pada saatundang-undang tentang peradilanmiliter yang baru diberlakukan.”Namun hingga saat ini, segala tindak kejahatanyang dilakukan seorang anggota TNI, baik pidanaumum maupun pidana militer, diadili lewatsuatu pengadilan militer khusus. Pengecualianberlaku bagi tindak pelanggaran berat HAM yangdilakukan oleh anggota militer. UU No 26 Tahun2000 Pasal 49 menyatakan:4“Ketentuan mengenai kewenanganAtasan Yang Berhak Menghukum danPerwira Penyerah Perkara sebagaimanadimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 12Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997tentang Peradilan Militer dinyatakantidak berlaku dalam pemeriksaanLihat: <strong>KontraS</strong>, Menerobos Jalan Buntu (<strong>Kajian</strong> terhadapSistem Peradilan Militer di Indonesia). dapat dilihat padasitus berikut ini: http://kontras.org/buku/menerobos%20jalan%20buntu.<strong>pdf</strong> diakses pada tanggal 24 Juni2011.<strong>KontraS</strong>


pelanggaran hak asasi manusia yangberat menurut undang-undang ini.”Pilihan untuk menggunakan mekanisme peradilanmiliter dinilai tidak tepat. Ketidaktepatan ini jugadiperburuk dengan ketiadaan legitimasi dugaanpelanggaran hak asasi manusia yang berat padatiga kasus penyiksaan tersebut. Secara serta mertapengadilan HAM sulit terbentuk. Akibatnya,sebagaimana yang terjadi pada Pengadilan MiliterIII –9 Kodam Cenderawasih, semua terdakwamendapatkan vonis putusan rendah. Itupun hanyamenjangkau anggota TNI level bawah. Meski TNIadalah sebuah institusi yang menganut sistemgaris komando yang ketat, namun mekanismeperadilan militer tidak dapat dipakai untukmembuktikan bahwa kesalahan prajurit bukantidak mungkin disebabkan karena kesalahanotoritas komando yang lebih tinggi.Hakim pengadilan militer juga telah mengabaikanprinsip-prinsip keadilan. Proses persidangan yangberlangsung singkat, pengabaian keteranganpenting khususnya dari para korban penyiksaanyang dituduh sebagai anggota OPM. Bentukbentukpengabaian keterangan penting itu malahdiganti dengan pilihan untuk melakukan silangketerangan dari empat terdakwa. Ini menunjukkanbahwa pengadilan tidak memiliki kemampuanuntuk menghadirkan saksi-saksi kunci peristiwa.Alat bukti yang diajukan oleh oditur militerpun terbatas. Mereka hanya mengajukan satukeping VCD berdurasi 0 menit, berisi rekamanpenganiayaan dan tindak kekerasan, HP Nokia N70milik terdakwa (Letda Inf. Cosmos) yang digunakanuntuk merekam dan sepatu laras yang digunakanpelaku.Diketahui pula bahwa proses persidangantidak dilakukan secara terbuka untuk umum. Bahkan, setiap warga yang ingin mengikutiproses persidangan dimintai identitas dandilakukan penggeledahan tubuh. Ruanganpersidangan didominasi oleh aparat TNI, rekanpara terdakwa. Mengingat mekanisme PeradilanMiliter tidak mengenal ruang pemantauan,Lihat: Siaran Pers <strong>KontraS</strong>, Putusan pengadilan militerKodam XVII Cenderawasih Mengabaikan Rasa KeadilanKorban. Dapat dilihat pada situs berikut ini: http://kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=116 diaksespada tanggal 24 Juni 2011.keterlibatan masyarakat dan korban sangatminimalis. Selain itu, mekanisme ini hanya dapatmenghukum aparat-aparat pelaku di lapangan.Proses persidangan terhadap para pelaku tidakmampu mengevaluasi dan memperbaiki kebijakansekuritisasi yang membawa dampak buruk padasituasi penegakan HAM di Papua.IV.3 Gagalnya Negara MembawaKeadilan di Papua untukKasus PenyiksaanKegagalan negara untuk membawa atmosferkeadilan dalam tiga kasus penyiksaan telahbertentangan dengan Pasal 10 ayat (1 dan 2), Pasal11, Pasal 12 dan Pasal 1 Konvensi MenentangPenyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lainyang Kejam, Tidak Manusiawi dan MerendahkanMartabat Manusia.Pasal 10 (ayat 1 dan 2):(1) Setiap Negara Pihak harus menjaminbahwa pendidikan dan informasimengenai larangan terhadap penyiksaansepenuhnya dicantumkan dalam pelatihanbagi para petugas penegak hukum, sipilatau militer, petugas kesehatan, pegawaipemerintah, dan orang-orang lain yangmungkin terlibat dalam penahanan,interogasi atau perlakuan terhadap setiaporang yang ditangkap, ditahan ataudipenjara.(2) Setiap Negara Pihak mesti mencantumkanlarangan ini dalam peraturan atau instruksiyang dikeluarkan sehubungan dengantugas dan fungsi orang-orang tersebut diatas.Pasal 11:Setiap Negara Pihak harus senantiasa mengawasisecara sistematik peraturan-peraturan tentanginterogasi, instruksi, metode, kebiasaan-kebiasaandan peraturan untuk penahanan serta perlakuanterhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan,atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenanganhukumnya, dengan maksud untuk mencegahterjadinya kasus penyiksaan.Pasal 12:Setiap Negara Pihak harus menjamin agar instansiinstansiyang berwenang melakukan suatuLaporan Video Papua Youtube


penyelidikan dengan cepat dan tidak memihak,setiap ada alasan yang cukup kuat untukmempercayai bahwa suatu tindak penyiksaantelah dilakukan di dalam wilayah kewenanganhukumnya.Pasal 1:Setiap Negara Pihak harus menjamin agar setiaporang yang menyatakan bahwa dirinya telahdisiksa dalam wilayah kewenangan hukumnyamempunyai hak untuk mengadu, dan agarkasusnya diperiksa dengan segera dan tidakmemihak oleh pihak-pihak yang berwenang.Langkah-langkah harus diambil untuk menjaminbahwa orang yang mengadu dan saksi-saksidilindungi dari segala perlakuan buruk atauintimidasi sebagai akibat dari pengaduan ataukesaksian mereka.VRekomendasiPenggunaan kekerasan yang tidak seimbang(disproportionate) dan penggunaan kekerasanrutin serta meluas di wilayah-wilayah operasikeamanan, berpotensi melahirkan impunitas.Negara berkewajiban untuk mengimplementasikanlangkah-langkah efektif untuk menjaminperlindungan hukum fundamental agar kasuskasuspelanggaran HAM dapat diselesaikan secarakonkret. Dari paparan dan penjelasan di atas,kita dapat mengetahui bahwa hasil Laporan TimPemantauan dan Penyelidikan Tindak Kekerasandi Papua Komnas HAM masih belum memenuhistandar kualifikasi sebagai laporan HAM, termasukberikut kesimpulan dan rekomendasi dariKomnas HAM. Untuk itu, Komisi untuk OrangHilang dan Korban Tindak Kekerasan (<strong>KontraS</strong>)merekomendasikan beberapa hal penting dibawah ini:1. Komnas HAM sebagai lembaga negarayang menjalankan mandat pemantauansesuai dengan Undang-Undang Nomor 9Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,berkewajiban untuk memperbaiki hasillaporan, dengan menyebut nama-namapelaku tindak penyiksaan. Baik dalamkasus pembunuhan Pendeta KindermanGire dan dua video penyiksaan lainnya;2. Penyebutan nama para pelaku tindakpenyiksaan pada laporan resmi KomnasHAM akan sangat bermanfaat untukmenerapkan prinsip Universal Jurisdiction.Prinsip ini adalah akibat dari diakuinyatindak penyiksaan sebagai jus cogens.Dengan melekatnya norma Jus Cogenspada tindak penyiksaan di tiga kasustersebut, maka pelakunya dinyatakansebagai musuh segala umat manusia(hostis humanis generis). Serta menjadikewajiban negara untuk melakukanpenuntutan;. Penyebutan nama para pelaku tersebutamat berguna untuk memaksimalkanmekanisme vetting yang harus didorongdan diarusutamakan sebagai modelideal akuntabilitas TNI terhadap praktikpelanggaran HAM. Termasuk tindakpenyiksaan;4. Dalam hasil kesimpulan dan rekomendasi,Komnas HAM tidak menyebutkanketiga kasus tersebut memenuhi unsurpelanggaran HAM yang berat sesuaidengan Undang-Undang Nomor 26Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak AsasiManusia. Padahal, unsur sistematik ataumeluas dari praktik tindak penyiksaan diPapua selama beberapa tahun terakhirtidak bisa dipisahkan dari fakta peristiwaketiga kasus tersebut. Oleh karena itu,<strong>KontraS</strong> mendorong Komnas HAM untukmenindaklanjutinya pada proses ProYustisia, sebagaimana yang diatur dalamUndang-Undang Nomor 26 Tahun 2000tentang Pengadilan Pengadilan Hak AsasiManusia;. Mendorong pemerintah dan DPR RI untuksegera merevisi Undang-Undang Nomor1 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militerdalam Program Legislasi Nasional 2012;6. Mendorong implementasi, sosialisasidan akuntabilitas Peraturan PanglimaTNI (Perpang/7/IX/2010 Tanggal 27Oktober 2010 di semua jajaran TNI.Peraturan tersebut berisi tentangtanggung jawab setiap penegak hukumdi lingkungan TNI dan prajurit TNI yangterkait dengan tugas untuk memperolehketerangan atau pengakuan dilarangmelakukan penyiksaan dan perlakuan<strong>KontraS</strong>


atau penghukuman lain yang kejam sertamerendahkan martabat manusia;7. Mendorong TNI untuk segera membuataturan internal yang menegaskan adanyalarangan tindak penyiksaan. Aturan iniharus dipahami sebagai kode etik (codeof conduct) oleh seluruh personel TNI,bahwa tindak penyiksaan merupakanpraktik yang bertentangan dengan prinsipprinsipnon-derogable rights yang dijaminoleh negara.Laporan Video Papua Youtube


<strong>KontraS</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!