13.07.2015 Views

Jurnal ETNOVISI didedikasikan sebagai sebuah terbitan ilmiah ...

Jurnal ETNOVISI didedikasikan sebagai sebuah terbitan ilmiah ...

Jurnal ETNOVISI didedikasikan sebagai sebuah terbitan ilmiah ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Kata PengantarCita-cita untuk menerbitkan <strong>sebuah</strong> jurnal sudah lama tertanam di hati semua kerabat dan staf pengajar JurusanAntropologi Fisip USU, karena disadari bahwa kehadiran <strong>sebuah</strong> jurnal merupakan satu kebutuhan bagi segenapakademisi untuk menyampaikan maupun mendapatkan gagasan-gagasan atau pemikiran terbaru dalam suatu bidangilmu. Rencana untuk menerbitkan <strong>Jurnal</strong> <strong>ETNOVISI</strong> yang sekarang ada di hadapan Anda juga terbilang sudahlama, namun karena berbagai kendala teknis baru sekarang dapat diwujudkan.<strong>Jurnal</strong> <strong>ETNOVISI</strong> <strong>didedikasikan</strong> <strong>sebagai</strong> <strong>sebuah</strong> <strong>terbitan</strong> <strong>ilmiah</strong> berkala yang diharapkan dapat menjadi ajangpertukaran gagasan dan pemikiran di bidang antropologi khususnya dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Selain itu,jurnal <strong>ETNOVISI</strong> yang secara sengaja mengambil kata generik “ethnos” <strong>sebagai</strong> namanya, juga mengemban misiuntuk mempromosikan dan mengembangkan semangat multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat kita yangmajemuk. Tentu saja tulisan-tulisan yang mengandung muatan gagasan konstruktif untuk penyelesaian masalahmasalahsosial budaya maupun masalah-masalah pembangunan menjadi pilihan yang utama selain tulisan-tulisanyang murni teoritik.Edisi pertama ini menyajikan sebanyak enam tulisan, yang secara tematik bisa digolongkan atas dua tema pokok yaitusistem budaya dan pengelolaan sumber daya alam. Tiga tulisan pertama berturut-turut adalah tulisan Agustrisnotentang sistem kepercayaan masyarakat Cina di Medan, terhadap tokoh supranatural bernama ‘datuk’ dan ‘pekong’;tulisan Jonni Purba yang mengulas isu ketimpangan gender dan berthannya konstruksi patriarki pada masyarakatKaro; dan tulisan Lister Berutu yang mencoba mengangkat kembali isu pentingnya merevitalisasi nilai-nilai gotongroyong, musyawarah dan mufakat dalam konteks kerekatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tema keduamenyangkut pengelolaan sumber daya alam terdiri dari tulisan Amri Marzali yang menyajikan hasil kajiannyatentang dampak komersialisasi hutan alam terhadap masyarakat daerah; tulisan Zulkifli B. Lubis yang mengangkatisu pengetahun lokal <strong>sebagai</strong> warisan budaya yang terancam hilang; dan tulisan Fikarwin Zuska yang mengulaskearifan rakyat di Tapanuli Utara dalam mengelola sumber daya alam melalui kebun agroforest kemenyan.Para pembaca, sudah menjadi harapan dan tekad kami untuk menyajikan tulisan-tulisan yang bernas pada edisi-edisi<strong>Jurnal</strong> <strong>ETNOVISI</strong> berikutnya. Oleh karena itu, kami mengundang para akademisi dan penulis untukmenyumbangkan gagasan dan pemikirannya melalui media ini. Akhir kata, saran dan kritik dari para pembaca sangatkami harapkan untuk penyempurnaan jurnal ini baik dari segi tampilan maupun substansi. Selamat membaca.Redaksiiii


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005dengan 'Bo Gong' (untuk jenis yang laki-laki) dan'Bo Po' (untuk jenis yang perempuan). Sedangkan diHongkong, lebih dikenal dengan sebutan 'Tu Di'(Bloomfield, 1986:37-38). Menurut Salmon danDenys Lombard, makhluk gaib tokoh bersifat lokalini dahulunya adalah tokoh historis setempat, yangmemiliki kepandaian atau 'kesaktian' dimasahidupnya (1985:76).Fenomena sinkretisme kepercayaan orangorangCina di kota Medan ini dimungkinkan karenatelah terjadi tiga hal yang mereka alami dalamhidupnya. Pertama, proses sosialisasi dan enkulturasisecara turun-temurun dari warisan generasisebelumnya tanpa dibedakan masing-masingkepercayaan itu. Apa yang diajarankan kepadamereka merupakan campuran dari berbagai sistemkepercayaan animisme, Taoisme, Konfucianisme,dan Budhisme. Akhirnya diterima begitu saja dandianggap merupakan suatu tradisi dari kebudayaanCina sebelumnya, yang dipopulerkan oleh tokohtokohkeagamaan mereka sendiri. Kedua, merupakanhasil dari pergulatan mencari 'jati diri' dalam prosesinteraksi mereka dengan alam sekitarnya, baik fisikataupun sosial-budaya setempat. Sehingga, merekatidak perlu membedakan-bedakan aliran ataupunmazhab yang satu dengan lainnya, yang pentingunsur-unsur dari setiap kepercayaan dapatmemberikan makna dan arti untuk kebahagiaanhidupnya. Ketiga, masuknya suatu faham atau aliranbaru dari luar Cina, ternyata dapat berkembangbersama-sama dengan budaya, filsafat, kepercayaandan agama yang telah ada sebelumnya. Oleh karenaitu sering dinyatakan bahwa, salah satu karakteristikdari filsafat Cina adalah sifat toleran dan menghargaipendapat atau filsafat orang lain, walaupun mungkinpandangan itu berbeda maupun bertolak belakangsama sekali dengan filsafat yang telah berkembangdalam masyarakat (Lasiyo, 1996: 11-12).Sebagai penganut kepercayaan sinkretismemasyarakat Cina di kota Medan mengenal berbagaimakhluk gaib, antara lain adalah:"Thie Kong" atau Thian, Thien (Tuhan):dianggap <strong>sebagai</strong> "RAJA DEWA" atau DEWATERTINGGI. Menurut kepercayaan mereka,'Thie Kong' rupa wujudnya tidak dapatdilukiskan dan tidak dapat dicerna atau direkaoleh daya fantastik atau akal pikiran manusia.Meskipun demikian, 'Thie Kong' dipercayaimenduduki kekuasaan yang paling tinggi darisegala-galanya di dunia ini, baik nyata (alami)maupun yang gaib (supra-alami).Untuk menyatakan rasa syukur dan pujianterhadap 'Thie Kong', biasanya mereka membuat<strong>sebuah</strong> altar pemujaan, yang dibuat dari bahan papan(kayu) dengan berukuran panjang sekitar 25 cm danlebarnya 10 cm. Altar tersebut diberi cat berwarnamerah dan di tengah-tengahnya dituliskan hurufCina (Kanji), yang dituliskan dengan mempergunakancat berwarna kuning keemasan. Altar inibiasanya mereka letakan melekat di dinding luarrumah, dekat di sebelahan kanan pintu depan rumah.Altar ini dapat kita temui pada setiap bangunanrumah-rumah penduduk Cina di kota Medan,dengan posisi tegak (vertikal) setinggi 150 cm daripermukaan tanah, yang dilengkapi rak penyanggahyang diperbuat dari bahan papan ataupun logam, rakini juga diberi cat berwarna merah. Rak tersebutberfungsi <strong>sebagai</strong> penempat berbagai peralatanpenyembahan seperti: "hio" (gaharu) dan lilin merah(yang biasanya bertangkai) ataupun lampu listrikyang mirip seperti lilin merah (<strong>sebagai</strong> pengganti lilinmerah).Altar 'Thie Kong' dapat juga ditemui di setiapbangunan klenteng 'Pe'Kong', namun bentuknyaberbeda dari pada altar 'Thie Kong' yang terdapatdimasing-masing setiap rumah penduduk Cina. Altar'Thie Kong' yang terdapat di klenteng-klenteng'Pe'Kong' berukuran lebih besar, dan terpisahdengan bangunan klenteng 'Pe'Kong'. Sedangkanbentuknya pada masing-masing klenteng selalubervariasi. Altar 'Thie Kong' ini biasanya diperbuatdari semen beton kira-kira setinggi meja makan danjuga diberi bercat warna merah, ukuran besarnyakira-kira 1 m persegi, terpisah dengan bangunanklenteng 'Pe'Kong' seolah-olah menghadap (mengarah)persis ke pintu masuk ruangan klenteng'Pe'Kong'.Saat melakukan pemujaan atau penyembahanterhadap 'Thie Kong', biasanya mereka lakukan padatiap pagi dan menjelang malam hari. Jadi setiap harimereka harus melakukannya sebanyak dua kali. Bagisetiap rumah tangga hanya seorang anggota keluargasaja yang melakukannya."Pe'Kong": merupakan makhluk gaib (supraalami)yang menurut kepercayaan mereka 'Pe'Kong'mendiami dunia atas, kayangan, atau langit, tetapimemiliki pengaruh langsung terhadap kehidupanmanusia di dunia ini. 'Pe'Kong' dapat diidentikandengan sebutan "DEWA-DEWAI penjagaLANGIT". 'Pe'Kong' dahulunya juga adalah berasaldari manusia, yang pernah hidup di zaman dahulu didaratan Tiongkok (Cina). Menurut kepercayaanmereka, kehidupan di dunia 'Pe'Kong' (di alam gaib),seperti kehidupan di alam manusia ini, mereka('Pe'Kong') juga memiliki sistem kemasyarakatannyasendiri. Struktur tertinggi dalam kemayarakatandunia 'Pe'Kong' diduduki oleh "Hwan Tie Kong"(PANGLIMA PE'KONG).Untuk penyembahan terhadap 'Pe'Kong',mereka harus melakukannya di bangunan yangdisebut klenteng, atau sering juga disebut 'Pe'Kong'saja. Bangunan klenteng 'Pe'Kong' biasanya dibericat berwarna merah, dan atap anjungannya biasanya2


AgustrisnoSerbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …terdapat gambar naga. Menurut orang Cina, pada<strong>sebuah</strong> bangunan klenteng 'Pe'Kong' dapat dihunioleh beberapa 'Pe'Kong'--jadi tidak hanya satumakhluk Pe'Kong saja--hal ini dapat ditandai denganbanyaknya jumlah arca maupun lukisan Pe'Kongyang ada di ruangan klenteng tersebut. Arca maupunlukisan 'Pe'Kong' tadi biasanya mereka susunsedemikian rupa mengarah (menghadap) altar 'ThieKong', menurut kepercayaan mereka disusunsedemikian rupa karena makhluk 'Pe'Kong' jugatunduk dan memuja 'Thie Kong', karena 'Thie Kong'adalah penguasa tertinggi terhadap segala-galanya.'Pe'Kong' dapat diajak berdialog (berkomunikasi).Para penganutnya dapat berkomunikasi dengan'Pe'Kong' tidak hanya disaat melakukan aktivitaspenyembahan, yang bersifat komunikasi satu arah,tetapi dapat juga dilakukan dengan komunikasi yangbersifat dua arah antara manusia dengan 'Pe'Kong',namun proses itu harus melalui seorang mediumyang dikenal <strong>sebagai</strong> "tang-ki", 2 setelah lebih dahulumengalami "jip-tang" (kesurupan), makhluk'Pe'Kong' yang diundang memasuki tubuhnya.Sembahyang 'Pe'Kong' dilakukan di <strong>sebuah</strong>klenteng. Di kota Medan bangunan klenteng dibuatpada lokasi-lokasi tertentu saja. Besarnya ukuranbangunan klenteng saling bervariasi satu sama lain.Setiap bangunan klenteng dapat ditandai, karenabiasanya dindingnya menggunakan cat merah dananjungan atapnya terdapat ukiran bergambar naga.Setiap bangunan klenteng didekatnya pasti terdapatbangunan rumah 'Datuk'. Sebuah bangunan klentengbiasanya juga tidak hanya dihuni oleh satu 'Pe'Kong'tetapi dapat dihuni lebih dari satu 'Pe'Kong', itudapat ditandai dengan banyaknya arca atau gambarlukisan 'Pe'Kong' yang terdapat di klenteng itu.Kecuali 'Pe'Kong', setiap klenteng juga dihuni oleh'Dewi Kuam-Im'.Proses penyembahan terhadap 'Pe'Kong' mulamulaharus mengambil seberkas bungkusan kertasyang disebut 'ang-phao' (kertas uang) yang telahtersedia sedemikian rupa. Bungkusan kertas itu berisibeberapa lembar kertas uang ('ang-phao'), duabatang lilin merah (yang bertangkai), dan sejumlahbatang 'hio' (sebanyak 'Pe'Kong' yang maudisembahyangi di klenteng tersebut). Tata carasembahyang 'Pe'Kong' adalah <strong>sebagai</strong> berikut:1. Lilin merah bertangkai dinyalakan lalu diletakanpada tempat lilin yang telah tersedia;2. 'Hio' (gaharu) dibakar, setelah marak lalu keluardari ruangan klenteng untuk melakukansembahyang 'Thie Kong' (Tuhan) yang altarnya2 Fung Yu-Lan menyebutnya <strong>sebagai</strong> "fang-shih" atauahli ilmu gaib, lihat: Sejarah Ringkas Filsafat Cina,terjemahan Soejono Soemargono, hal. 171, penerbitLiberty-Yogyakarta, 1990terletak di dekat bangunan klenteng. Pada saatmelakukan sembahyang 'Thie Kong'ditancapkan 'hio' sebanyak 3 (tiga) batang 'hio'pada tempat 'hio' ('hio low') yang ada di altar'Thie Kong';3. Sambil memasuki ruangan klenteng, dilakukanpenyembahan terhadap 'Meng Sin' (dewapenjaga pintu) klenteng dan menancapkan 'hio'(sekurang-kurangnya sebatang 'hio') pada altar'Meng Sin';4. Melakukan sembahyang 'Pe'Kong' (atau'Pe'Kong-Pe'Kong') yang ada dalam klentengtersebut. Jumlah 'Pe'kong' dapat diketahui daribanyaknya arca atau lukisan yang ada di ruangklenteng. Masing-masing 'Pe'Kong' telahdisediakan 'hio low' (tempat 'hio') sendiri,sekurang-kurangnya satu batang 'hio' untuk satu'Pe'Kong';5. Selanjutnya keluar dari ruangan klenteng untukmelakukan sembahyang terhadap 'Datuk' yangrumahnya tidak jauh dari bangunan klenteng.Semua batang 'hio' yang tersisa ditancapkan;6. Kembali memasuki ruangan klenteng 'Pe'Kong'untuk memberitahukan kepada 'Pe'Kong'maksud dan tujuan melakukan sembahyang'Pe'Kong'. Hal ini dapat disampaikan langsungatau dapat juga melalui 'tang-ki' (medium). Jikamaksud dan tujuan seseorang sembahyang'Pe'Kong' ia sampaikan langsung kepada'Pe'Kong', dalam hal ini tentu tidak terjadidialog, namun jawabannya bisa langsungdiperoleh dengan melakukan permainan 'Shim-Phui' (kayu nasib).7. Setelah puas mengungkapkan segalakepentingan, maksud dan tujuan kepada'Pe'Kong', untuk meninggalkan klenteng harusmemasukkan sejumlah uang kedalam amplop('ang-phao'). Biasanya hitungan jumlah uangyang dimasukkan ke dalam amplop harusberbilangan genap: 2, 4, 6, 8, 12 artinya bolehRp.200,-, Rp.400,-, Rp.600,-, Rp.800,-,Rp.1.200,-, Rp.2.000,-, dan seterusnya.Sedangkan bilangan 10 (sepuluh) dianggapganjil."Datuk" hampir sama dengan 'Pe'Kong', tetapihidupnya mendiami dunia bawah atau bumi. Asalusulnyajuga adalah manusia, tetapi yang pernahhidup di daerah Sumatera Timur (Medan dansekitarnya) di zaman dahulu. Dengan kata lain'Datuk' merupakan tokoh lokal setempat. Boleh jadikepercayaan ini mereka serap dari sistemkepercayaan asli penduduk Sumatera Timur, budayamasyarakat Melayu, karena istilah Datuk tidak asingbagi masyarakat Melayu. Menurut arti yangsebenarnya ada dua pengertian: pertama, adalahjulukan atau gelar untuk para bangsawan ataupun3


AgustrisnoSerbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …penganutnya, 'Datuk' tidak mau (menolak) ataumarah apabila disembahyangi denganmempergunakan lilin yang berwarna merah,<strong>sebagai</strong>mana biasanya melakukan penyembahanterhadap 'Pe'Kong'.Lilin berfungsi <strong>sebagai</strong> alat penerangan, agar paramakhluk gaib dapat melihat jelas wajah orangorangyang datang melakukan penyembahyangan.Selain itu, lilin dapat juga <strong>sebagai</strong> pertandadimulainya aktivitas upacara penyembahan.2. Bunga 'Datuk', terdiri dari berbagai macam bahanramuan, yang terdiri dari: 'bunga rampai' (isinyaterdiri dari beraneka-macam warna dan jenisbunga, sedikit-dikitnya 3 macam jenis dan warnabunga), sejumput tembakau jawa, 5 gulung kecildaun nipah, kemenyan putih sebesar kelereng,daun sirih kira-kira 3 helai, gambir, kapur sirih,dan secuil buah pinang. Kesemua ramuan ituterbungkus di dalam daun pisang yang direkat("dibiting") dengan lidi daun kelapa. Sewaktumelaksanakan aktivitas penyembahan terhadap'Datuk' bungkusan itu dibuka lalu disuguhkan<strong>sebagai</strong> sesajen.Bunga 'Datuk' yang berisi ramuan tersebut di atasdapat diperoleh dengan membeli di pasar pada"tukang bunga". Pada umumnya orang-orang Cina dikota Medan sudah terbiasa mendapatkannya dengancara berlangganan dengan "tukang bunga" di pasar.Atau berlangganan dengan "tukang bunga" yangsetiap hari Kamis pagi menjajakan bunga dengandari rumah ke rumah. Harga 'bunga Datuk'perbungkusnya sebesar Rp. 1500,- sampai Rp. 2000,-.3. Air putih, biasanya air putih yang sudah dimasak.Sewaktu menyuguhkan <strong>sebagai</strong> sesajenditempatkan di dalam gelas <strong>sebagai</strong> minuman'Datuk'. Masing-masing 'Datuk' mendapat segelasair putih, sekiranya <strong>sebuah</strong> bangunan rumah(kuil) 'Datuk' dihuni oleh empat 'Datuk' makasubjek penganutnya harus menyediakan empatgelas air setiap minggunya.4. Hio, hio atau gaharu merupakan alatpenyembahan yang sudah menjadi tradisi bagimereka dalam melakukan aktivitas upacarapenyembahan terhadap semua jenis makhluksupranatural yang dipercayai. Hio berfungsi<strong>sebagai</strong> "alat pemanggil" makhluk supranatural,termasuk 'Datuk', yang kemungkinan sedang"bepergian" atau tidak di tempatnya. Hio lebihdahulu dibakar kemudian diletakkan (ditancapkan)di 'hio low' (tempat hio).Sebagai pelengkap peralatan utama tersebut diatas, bagi orang-orang Cina Medan yang kondisikeuangannya memungkinkan, biasanya merekaakan menambah peralatan sesajen seperti:5. Pisang "raja" atau pisang "barangan", banyaknyapisang yang disuguhkan <strong>sebagai</strong> sesajen biasanya"sesisir" pisang.6. Panganan yang lain atau "jajanan" misalnya: kuehapem, permen atau bon-bon, dan <strong>sebagai</strong>nya.Menurut subyek penganutnya, kehidupan 'Datuk'itu juga seperti kehidupan manusia, 'Datuk' hidupberkeluarga dan beranak pinak. Panganan berupa"jajanan" disenangi sekali oleh cucu-cucu 'Datuk'.Dalam rangka upacara penyembahan terhadap'Datuk' peralatan utama (lilin putih, bunga 'Datuk',air putih, dan hio) di atas harus tetap ada. Sedangperalatan tambahan (pisang atau "jajanan") tidaksemestinya, menurut mereka "kalau ada uang" saja.Di samping sarana peralatan utama dantambahan, di dalam upacara penyembahan terhadap'Datuk', ada lagi berupa peralatan khusus. Peralatankhusus ini baru disuguhkan <strong>sebagai</strong> sesajentergantung situasi dan keadaan yang sudahditentukan saja. Pada waktu menjelang datangnyahari-hari besar agama Islam--seperti: bulan puasa(Ramadhan), hari raya Idhul Fithri, Idhul Adha--karena 'Datuk' dianggap beragama Islam, 'Datuk'biasanya disuguhkan sesajen berupa: pulut kuning,kari kambing, ayam panggang, serta buah-buahanseperti jeruk manis, apel, dan <strong>sebagai</strong>nya. Peralatankhusus itu juga sering mereka suguhkan <strong>sebagai</strong>sesajen dikala mereka melakukan upacara yangberkaitan dengan upacara ritus lingkaran kehidupan(life cycle rites) di dalam keluarga, seperti: kelahiran,perkawinan, ataupun kematian.Sebagaimana telah disinggung di atas, untukmenyuguhkan sesajen berupa peralatan khusus,harus dilakukan atau dipersiapkan denganmempergunakan peralatan masak yang khusus,jangan bercampur dengan peralatan pemasak merekasehari-hari. Apabila mereka tidak mempunyai waktu,ragu-ragu, atau tidak mengerti untuk mempersiapkanatau memasaknya, caranya mereka titipkan denganmengupah pada tetangganya yang beragama Islamagar dimasakkan, atau dapat juga mereka beli diwarung-warung penjual makanan Islam, agar tidakterjadi perselisihan dengan 'Datuk' yang dipercayai<strong>sebagai</strong> makhluk yang beragama Islam.Selanjutnya, terdapat juga peralatan yangdikategorikan <strong>sebagai</strong> peralatan permintaan,permintaan oleh 'Datuk' itu sendiri pada subyekpenganutnya. Masing-masing 'Datuk' dapat salingbervariasi permintaannya. Berbagai peralatanpermintaan seperti: kitab Al Qur'an, kopiah (peci),benda tajam (keris, pisau, rencong, parang, dan<strong>sebagai</strong>nya), ayam putih, dan lain-lain <strong>sebagai</strong>nyamenurut selera permintaan masing-masing 'Datuk'.Peralatan permintaan ini disajikan akibat adanyaperistiwa di dalam kehidupan mereka, misalnyakarena pernah mengalami sakit, lalu berobat pada5


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005'Datuk', dengan perjanjian apabila sembuh daripenyakit harus memenuhi permintaan 'Datuk'tersebut.Ada lagi peralatan yang sengaja diberikan olehsubjek penganutnya, yakni panji-panji (bendera).Panji-panji sengaja diberikan oleh subjekpenganutnya <strong>sebagai</strong> pengokoh kedudukan (posisi)'Datuk' di dalam kehidupan struktur alamsupranaturalnya. Panji-panji ini dapat jugadikategorikan <strong>sebagai</strong> peralatan permintaan,terutama apabila mereka sudah merasa tercapai,dipenuhi atau terkabul berkat pemberian 'Datuk'terhadap maksud dan keinginannya yangmengandung makna resiprositas (saling memberidan menerima) antara 'Datuk' dengan subyekpenganutnya.Sehubungan ada sifat rutinitas dalampenyelenggaraan upacara pemujaan terhadap 'Datuk',orang-orang Cina <strong>sebagai</strong> subjek penganut sering kalimenyebutkan istilah upacara penyembahan tersebutdengan "sembahyang bunga" dan "sembahyangdaging". Aktivitas "sembahyang bunga" dilakukansetiap hari Kamis menjelang sore (malam Jum'at),sedangkan "sembahyang daging" dilakukan dalamrangka menyambut kedatangan hari-hari besar dalamagama Islam ataupun bersamaan dengan adanyaupacara ritus sepanjang lingkaran hidup. Sedangkandi luar itu upacara penyembahan terhadap 'Datuk'dianggap <strong>sebagai</strong> upacara yang bersifat aksidental,misalnya karena sakit, atau keinginan-keinginanlainnya.Untuk melaksanakan aktivitas upacarapenyembahan (sembahyang) terhadap 'Datuk',subjek penganut harus "kui-pai". Kata "kui" artinyasikap, sedang "pai" artinya menyembah, jadi kata"kui-pai" berarti sikap subyek penganut dalamrangka penyembahan. Berlutut dan anggota tubuhharus membungkuk, kedua telapak tangan salingdirapatkan lalu didekatkan ke dada kemudiandigoncang-goncang, kepala harus tunduk. Sikapsikapitu sering kali diiringi pula dengan ucapanucapandalam bahasa Indonesia. Namun masingmasingsubjek dapat berbeda-beda isinya, <strong>sebagai</strong>contoh:"...selamat sore 'Datuk',selamatkanlah kami keluar masuk,dan selamatkanlah anak-isteriku...."(Acai)"...selamat sore 'Datuk',selamatkanlah pabrik ini,yang bagus-bagus datang,yang buruk-buruk pergi...."(A Wan)"...'Datuk',inilah yang dapat kami persembahkan,terimalah 'Datuk',berilah kami keselamatan,dan murah rezeki...."(Tio Bi Mok)"...'Datuk',di sini kami datang,berikanlah keselamatan pada keluarga kami...."(Tamin)"...'Datuk',ini makanan kami berikan padamu,jagalah kami dan jauhkanlah kami dari bahaya...."(Min Ho)"...'Datuk',selamat-selamatkanlah usaha ini,dan berilah untung selalu,yang jelek-jelek, buruk, dijauhkan...."(Lam Min Fuk)Pada umumnya isi kata-kata yang merekaucapkan, mengharapkan suatu keselamatan danterjauh dari segala mara bahaya, mendatangkankebaikan di dalam kehidupan keluarga maupundalam kehidupan bisnis mereka sehari-hari.Menurut subjek penganutnya, sebelummelakukan aktivitas upacara penyembahan terhadap'Datuk', ada beberapa larangan yang harus dipatuhi.Sehari sebelum melakukan upacara sembahyangmereka dilarang makan daging babi atau minumminuman keras. Bagi wanita yang sedang haid(menstruasi) dilarang melakukan aktivitas sembayang'Datuk'. 'Datuk' mereka anggap <strong>sebagai</strong> makhlukyang beragama Islam dan suci sehingga tidak sukadengan yang kotor-kotor ataupun yang harammenurut ajaran Islam."Tie Cu Kong": adalah makhluk gaib yangbertugas <strong>sebagai</strong> penjaga rumah, yang berfungsimemberikan keselamatan, ketentraman, dankedamaian hidup bagi orang-orang yang menghunirumah tersebut, terutama adalah para anggota rumahtangganya, juga termasuk harta benda kekayaan yangada di dalam rumah itu."Meng Sin": adalah makhluk gaib yangdipercayai <strong>sebagai</strong> penjaga pintu rumah, yangtugasnya berfungsi menyeleksi segala makhluk yangkeluar dan masuk atau melawati pintu rumah itu."Chou Kun": adalah makhluk gaib yang merekapercayai <strong>sebagai</strong> penjaga dapur, agar setiap saat ibuibuyang memasak makanan di dapur, masakannyamenjadi terasa lebih lezat dan mereka terhindar darimara bahaya api serta pemborosan."Cheng Ka Pua": adalah makhluk gaib yangdipercayai <strong>sebagai</strong> penjaga tempat tidur. Bagi anakanakyang tidur agar jangan sampai terjatuh ataudiganggu oleh makhluk-makhluk gaib yang lainnya.Makhluk gaib ini sering juga dipercayai <strong>sebagai</strong> DewiPengasuh."Pow Tho": adalah makhluk gaib yangdipercayai <strong>sebagai</strong> penjaga pintu kubur. Bagimasyarakat Cina yang ingin berziarah kekuburansalah seorang anggota keluarga-nya, mereka terlebihdahulu harus melakukan penyembahan kepada "PowTho" terlebih dahulu, "Pow Tho" inilah nantinya6


AgustrisnoSerbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …yang akan memberitahukan kepada si mati, bahwakeluarganya datang mau menziarahinya"Sin Cu": adalah arwah anggota keluarga yangdihormati, karena dimasa hidupnya mempunyaikeistimewaan di dalam memper-juangkan kehidupankeluarganya. Apabila ada anggota keluarganya yanghidup dalam kesusahan, "Sin Cu" dapat dimintaipertolongan untuk menghadap kepada 'Pe'Kong'maupun 'Datuk' agar dapat membantu anggotakeluarganya yang dalam kesusahan.Tang-Ki' Sebagai Pimpinan Upacara Ritual'Tang-ki' (atau "fang-shih" menurut Fung Yu-Lan, 1953:8; 1990:171) adalah ahli ilmu gaib yangtubuhnya dapat kesurupan, jadi tubuh seorang 'tangki'dapat dipergunakan <strong>sebagai</strong> makhluk supra-alami.Selain kata 'tang-ki' sering juga orang Cina Medanmenyebutnya "juru kunci". "Juru kunci" berartiseseorang yang ahli membuka pintu misterikehidupan (Nio, 1961: hlm. 85). Seorang 'tang-ki'dapat juga disamakan dengan shaman, karena dapatjuga berperan <strong>sebagai</strong> penyembuh. 'Tang-ki' maupun"juru kunci" dapat berperan <strong>sebagai</strong> medium antaramanusia dengan makhluk gaib (supra-alami). Ketikamelaksanakan tugasnya, 'tang-ki' lebih dahulumengalami trance atau kesurupan, orang CinaMedan menyebut 'jip-tang'. 'Tang-ki' itu bisakemasukan makhluk supra-alami yang menyurupi('jip-tang') ke dalam dirinya. Dari bawah atau dariatas tubuhnya. Makhluk supra-alami yang masuk daribawah disebut 'Datuk', karena 'Datuk' penghunialam bawah (bumi). Sedangkan yang masuk dari atasdisebut 'Pe'Kong', 'Pe'Kong' makhluk supra-alamiyang menghuni alam kayangan (langit).Ada beberapa hal yang menjadikan seseorangdapat <strong>sebagai</strong> 'tang-ki'. Pertama adalah pengalamankeagamaan khusus. Seseorang memperoleh keahlian<strong>sebagai</strong> 'tang-ki' diperoleh karena mimpi, ketikabermimpi dirinya kejatuhan ilham menjadi seorang'tang-ki'. Ada pula yang mimpinya itu dialami olehseorang ibu yang sedang hamil, dalam mimpinya iadidatangi dan diberi tahu oleh seseorang, kelak bilaanaknya lahir dan menjadi dewasa ia akan menjadiseorang 'tang-ki'. Kedua, merupakan kodrat atauketurunan. Ketika lahir telah memilik pembawaantubuh yang tertentu, tubuh yang telah dikodratkanoleh 'Thie Kong'. Tubuh dimaksud adalah tubuhyang disenangi makhluk supra-alami. Menurutorang-orang Cina Medan tubuh orang tersebutmemiliki tulang yang lebih ringan dari tulangmanusia biasa, dan indera pengelihatannya dapatmelihat wujud yang kasat mata. Sebelum mejadiseorang 'tang-ki' dirinya selalu merasakan getaranemosi disaat-saat memasuki klenteng 'Pe'Kong'ataupun di kuil (rumah) 'Datuk'. Pada saat itu telingaseakan-akan tidak mendengarkan suara apapun,lama-lama tidak sadarkan diri ('jip-tang').Ketika seorang 'tang-ki' sedang 'jip-tang'(kesurupan) makhluk supra-alami suaranya biasanyaberubah, dalam hal ini yang dianggap berbicara itubukanlah dirinya pribadi, melainkan makhluk supraalamiyang telah menguasai tubuhnya itu. Dengandemikian tubuh seorang 'tang-ki' dapat menjadimedium antara makhluk supra-alami denganmanusia yang mempercayainya.'Tang-ki' adalah orang yang dianggap memilikikekuatan gaib. Dengan kebolehan-nya itu ia dapatmembentuk sekelompok masyarakat pendukungyang mempercayai-nya. Terutama dalam meramal,menafsirkan mimpi, mengobati orang yang sakit, danlain-lain. Sebagai medium antara manusia danmakhluk gaib (supra-alami) tugas utamanya adalah'jip-tang' (kesurupan). Akan tetapi keadaankesurupan ini bisa pulih kembali berkat kekuatangaib (supra-alami) yang dimilikinya. Ada dua jenismakhluk gaib yang dapat menyurupinya yakni:'Datuk' dan 'Pe'Kong'.Dalam proses kesurupan 'Datuk', mula-mulaseorang 'tang-ki' melakukan upacara denganmembakar kemenyan di dupa seraya membacamantera dalam bahasa Arab bercampur bahasaIndonesia dan sambil mengheningkan diri padakepulan asap kemenyan. Pada saat-saat akanmencapai klimaks, perasaannya merasa ada getaranserta telinga seakan-akan sayup tidak mendengarkanapapun. Tidak lama setelah itu mulut 'tang-ki' secararefleks mengucapkan "Assalammu'alaikum" dengankeadaan tubuh yang gemetaran. Ucapan"Assalammu'alaikum" itu ditujukan kepada orangorangyang berada disekitar dekat dengannya. Dalamkeadaan seperti itu, menurut orang-orang Cina,'tang-ki' sedang 'jip-tang'. Terjadilah dialog (tanyajawab)antara 'tang-ki' dengan pasien atau orang yangingin memperoleh kepastian. Dialog tersebutbiasanya mempergunakan bahasa Indonesia.Biasanya dialog dimulai dengan menanyakan nama'Datuk' yang menyurupi 'tang-ki': "'Datuk' Siapanamanya?". Lalu biasanya dijawab: "saya 'Datuk' .….(dengan menyebutkan namanya), ada keperluan apacucu...?". Orang yang berkepentingan dengan tanparagu-ragu menyampaikan maksud dan tujuannya.Proses 'jip-tang' ini biasanya berlangsung lebihkurang memakan waktu selama (2) dua jam.Syarat-syarat sebelum melakukan kesurupan('jip-tang') 'Datuk', sepuluh hari sebelumnya seorang'tang-ki' tidak boleh makan makanan yang dilarangmenurut syariat Islam dan proses kesurupan inibiasanya dilakukan pada malam Jum'at. Hari Jum'atdianggap suci menurut ajaran syariat Islam, sebab'Datuk' adalah makhluk gaib yang beragama Islam.Proses kesurupan 'Pe'Kong' tidak jauh berbeda.Bila untuk 'Datuk' membakar kemenyan, untuk'Pe'Kong' dengan membakar 'hio' (gaharu) terlebihdahulu. Namun tidak semua 'tang-ki' 'Pe'Kong'7


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005dapat menjadi 'tang-ki' 'Datuk'. Tetapi semua 'tangki''Datuk' bisa menjadi 'tang-ki' 'Pe'Kong'.Orang-orang Cina Medan bila tubuhnyamerasakan sakit biasanya pergi berobat kepadapenyembuh. Selain mendatangi penyembuh yang ahlimenurut sistem medis kesehatan moderen, merekatidak jarang pula yang mendatangi para penyembuhalternatif yang sesuai menurut sistem pengobatantradisinya. Mereka banyak yang mendatangi 'tang-ki'untuk berobat ataupun 'sin-she'. Sistempenyembuhan yang dilakukan seorang 'tang-ki' samadengan peranan seorang 'shaman'. Sedangkan sistempenyembuhan yang dilakukan oleh seorang 'sin-she'sama dengan peranan seorang dokter ataupunseorang 'tabib'.Seorang 'sin-she' agar dapat menjadipenyembuh terlebih dahulu harus memahamipengetahuan yang alami menurut konsep tradisiCina. Hal itu diperoleh dengan cara belajar. Denganmemahami tentang alam semesta, termasuk anatomitubuh manusia yang didasarkan sistem filsafat 'Yin-Yang' seorang 'sin-she' dapat memberikanpengobatan kepada orang yang sakit dengan ramuramuantradisional (naturalistik). Sedangkan seorang'tang-ki' dalam proses penyembuhannya lebihcenderung menggunakan cara-cara yang bersifatmetafisis (personalistik), yaitu dengan melakukan'jip-tang' (kesurupan).Keistimewaan 'Datuk' dan 'Pe'kong' danPerbedaannyaBaik makhluk gaib "Pe'Kong" maupun"Datuk", keduanya memiliki posisi yang istimewa didalam sistem kehidupan alam gaib, bagi kepercayaanmasyarakat Cina di kota Medan, keistimewaan keduamakhluk gaib tersebut adalah dapat diundangmelalui perantara seorang "tang-ki" sehingga dapatdiajak berdialog (komunikasi dua arah) dengan parapenganutnya, dalam rangka untuk dimintaibantuannya, legitimasinya, ataupun kepastiannyasehubungan dengan kebutuhan hidup penganutnyadi dunia ini. Bagi makhluk gaib lainnya hal inidianggap tidak bisa untuk diajak berdialog langsungseperti itu."Pe'Kong" maupun "Datuk", menurut kepercayaanmereka masing-masing dianggap tidaklah hanyasatu tetapi lebih dari satu atau banyak, sepertimakhluk manusia. Di dalam dunia mereka yang gaibjuga mengenal sistem kehidupan bermasyarakat.Perbedaan "Pe'Kong" dan "Datuk" pada Tabel 1:Sistem Kehidupan Makhluk Gaib 3Adanya berbagai makhluk gaib yang dipercayaimasyarakat Cina di kota Medan, antara makhluk gaibyang satu dengan makhluk gaib yang lainnya,menurut mereka memiliki jalinan hubungan di dalamsuatu sistem. 'Thie Kong' dianggap mendudukiposisi yang paling atas di dalam struktur dunia gaib,sebab segala sesuatunya yang ada dan mungkin adaadalah berada digenggaman kekuasaan-nya. Namundemikian, dalam rangka mewujudkan pelaksanaankekuasaan-Nya itu, 'Thie Kong' menyerahkannyaterutama kepada 'Pe'Kong' dan 'Datuk', sertamakhluk-makhluk gaib yang lainnya. Dalam hal ini'Thie Kong' mereka percayai hanya berfungsi <strong>sebagai</strong>pimpinan pucuk saja (Koentjaraningrat, 1977: 195B-206).Makhluk gaib yang menduduki posisi padalapisan kedua atau menengah adalah 'Pe'Kong' dan'Datuk'. Kedua makhluk gaib ini dianggap <strong>sebagai</strong>pesuruh utama bagi 'Thie Kong', secara implisitmerupakan perwujudan dari 'Thie Kong' itu sendiridalam rangka berhubungan langsung berkomunikasidengan manusia. Oleh karena itu kedua makhlukgaib tersebut memiliki kekuasaan mencakup darikeseluruhan kebutuhan hidup manusia penganutnyasecara nyata, dengan cara berdialog (komunikasi)lewat "tang-ki" yang kesurupan atau "jip-tang",sehingga 'Pe'Kong' ataupun 'Datuk' dapat dimintaibantuannya, legitimasinya, dan kepastiannya bagipara penganutnya (Koentjaraningrat, 1977: 195B-206). Apabila "tang-ki" berfungsi <strong>sebagai</strong> medium(perantara) antara manusia (penganutnya) denganmakhluk gaib, maka 'Pe'Kong' dan 'Datuk' dalam halini adalah berfungsi <strong>sebagai</strong> medium (perantara)antara makhluk manusia (penganutnya) dengan 'ThieKong', dan juga medium antara makhluk gaib yanglainnya dengan 'Thie Kong'.Menurut kepercayaan masyarakat Cina,makhluk-makhluk gaib yang lainnya berada padalapisan ketiga (bawah) dan hanya berkuasa pada halhaltertentu saja di dalam kehidupan manusia.Dengan demikian kekuasaan makhluk-makhluk gaibyang lainnya pengaruh kekuasaannya hanya bersifatterbatas di dalam kehidupan manusia (Koentjaraningrat,1977: 195B-206). Secara visual tatanansistem struktur kepercayaan makhluk gaibmasyarakat Cina di kota Medan dapat digambarkan<strong>sebagai</strong> bagan pada Gambar 1.3Ketika wawancara pada para informan, padaumumnya orang Cina Medan lebih terbuka dankomunikatif apabila yang ditanyakan hal-hal yangbersifat nilai “yin” ketimbang hal-hal yang bersifat nilai“yang”. Menanyakan hal bisnis sukar sekali, tetapimenanyakan hal religi sangat terbuka mereka.8


AgustrisnoSerbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …fedGambar 1. Tatanan sistem struktur kepercayaan makhlukgaib masyarakat Cina di kota MedanKeterangan :A : Thie KongB : Pe'Kong dan DatukC : Tang-kiD : Manusia (subyek penganut)E : Batas dunia ‘Yin’ dan ‘Yang’F : Makhluk gaib lainnyabcaSerbadua yang Saling Melengkapi1. 'Datuk' dan 'Pe'Kong'Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatlahdirefleksikan adanya makna filosofis yang tersirat didalam kepercayaan masyarakat Cina di kota Medan.Berbagai makhluk gaib yang hidup di dunia gaib(supra-alami), di dalam filsafat "Yin-Yang" dapatdicirikan <strong>sebagai</strong> sifat-sifat yang terkategori kedalamYin, karena sifat yang gaib menurut filsafat Yin-Yang adalah identik dengan Yin yang dapatdilawankan dengan sifat Yang, seperti makhlukmanusia yang hidup di alam nyata (alami).Kendatipun makhluk gaib hidup di alam yangbersifat Yin, tetapi di dunia gaib juga berlakuhukum-hukum <strong>sebagai</strong>mana kehidupan di duniamanusia. Bila makhluk manusia memiliki sistemstruktur sosial di dalam tatanan kehidupan sosialnya,maka makhluk gaib pun memiliki sistem struktur didalam tatanan kehidupan alam gaibnya. Sistemstruktur sosial alam gaib dapat terjadi dalam tigalapisan sosial, yang terdiri dari yakni: lapisan pertamaTabel 1. Perbedaan “Pe’kok’ dan “Datuk”“Pe’Kong”“Datuk”1 Berasal dari orang/penduduk Cinayang pernah hidup di daratanTiongkok pada zaman dahulu1. Berasal dari orang/pendudukpribumi Melayu yang pernah hidupdi daerah Sumatera Timur dansekitaranya pada zaman dahulu.2 Beragama non-Islam2. Beragama Islam(Khong Hu Cu)3 Boleh/bisa makan daging babi 3 Tidak boleh makan daging babi4 Tidak dapat berbahasa Indonesia,tetapi Cina4 Tidak dapat berbahasa Cina,tetapi berbahasa Indonesia(Melayu)5 Dalam penyembahan tidakmempergunakan bunga maupun(membakar) kemenyan5 Dalam penyembahanmempergunakan bunga maupun(membakar) kemenyan6 Sebagai Dewa penguasa langit 6 Sebagai Dewa pengausa bumi(dunia bawah)7 Sering menyuruh penganutnyaagar senantiasa menghormati“Datuk”8 Lilin yang dipergunakan dalamaktivitas penyembahanmenggunakan lilin yang berwarnamerah9 Memberikan petunjuk padapenganutnya berupa paksaan10 “Tang-ki” <strong>sebagai</strong> medium nyaharus dari kalangan orang Cinasaja11 Hanya disembahyangi apabila adakepentingan saja atau pada hariharitertentu saja12 Bangunan Klenteng “Pe’Kong” olehpenganutnya dianggapmenumpang di lahan wilayahkekuasaan “Datuk”13 “Pe’Kong” tidak pernahmenentukan lokasi bangunanuntuk Klentengnya14 Orang Cina jarang yang maumenjelaskan kepada orang lain(Non Cina)7 Tidak pernah menyuruhpenganutnya agar menghormati“Pe’Kong”8 Lilin yan dipergunakan dalamaktivitas penyembahanmenggunakan lilin yang berwarnaputih9 Memberikan petunjuk padapenganutnya berupa anjuran10 “Tang-Ki” sebagi mediumnyaboleh orang Cina bisa juga bukanorang Cina11 Disembahyangi secara rutin padasetiap hari kamis sore12 Bangunan rumah Datuk di anggapberada dalam lahan wilayahkekuasaannya sendiri13 “Datuk” adakalanya menentukanlokasi bangunan untuk rumahnyasendiri14 Orang Cina mau menjelaskankepada orang lain (Non-Cina).9


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005(atas) diduduki oleh "Thie Kong", lapisan yangkedua atau menengah diduduki oleh makhluk gaibyang disebut "Pe'Kong" dan "Datuk", sedangkanyang berada pada posisi lapisn ketiga atau bawahadalah makhluk-makhluk gaib yang lainnya."Pe'Kong" dan "Datuk" kecuali keduanya<strong>sebagai</strong> makhluk gaib yang berada pada posisilapisan menengah, kedua makhluk gaib ini jugamemiliki keistimewaan. Keistimewaannya adalahdapat diundang untuk diajak berkomunikasidengan/oleh manusia penganutnya, melalui seorangmedium yang dikenal <strong>sebagai</strong> "tang-ki". Besarkemungkinan hal ini dipengaruhi oleh ajaran KhongHu Cu sejak zaman dinasti Shang dan pada awaldinasti Chou Barat, "Pe'Kong" dan "Datuk"berfungsi <strong>sebagai</strong> mengabdi dan mengemban tugasdari "Thie Kong", dengan memiliki kekuasaan untukmemberi karunia maupun bencana dari "Thie Kong"<strong>sebagai</strong> penguasa tertinggi.Selanjutnya kedua makhluk gaib tersebut jugamemiliki sistem struktur sosial alam gaibnya sendiri:sistem struktur sosial alam gaib "Pe'Kong" dansistem struktur sosial alam gaib "Datuk". Tinggi ataurendahnya suatu makhluk gaib, baik "Pe'Kong"maupun "Datuk", di dalam masing-masing sistemstruktur sosial alam gaibnya, menurut kepercayaanmasyarakat Cina di kota Medan, dapat diukur darikeberhasilannya dalam memberikan: bantuan,legitimasi, ramalan, dan kepastian kepada kebutuhanmanusia penganutnya di dunia ini, dan dalam hal inidapat ditandai dengan semakin banyaknya panjipanjiyang dia peroleh dari manusia penganutnya<strong>sebagai</strong> ucapan terimakasih. Dengan demikianmakhluk gaib "Pe'Kong" atau "Datuk" tersebutsemakin terkenal dikalangan penganutnya, danmemberikan peluang pula semakin sering dansemakin banyak pula manusia penganutnya yangmengakuinya. Dengan keberhasilannya melaksanakantugas-tugas untuk memenuhi kebutuhan hidupmanusia penganutnya, baik "Pe'Kong" maupun"Datuk" tadi, dalam melaksanakan tugas-tugasnyasemakin menjadi sibuk, sehingga dia dibantu oleh"Pe'Kong" maupun "Datuk" yang menjadibawahannya.Bila konsepsi-konsepsi tersebut di atasdiimplikasikan dalam kehidupan yang bersifat Yang,yakni di dalam kehidupan manusia, maka dapatlahdisimpulkan bahwa semakin sering seseorang dapatmemberikan bantuannya kepada orang lain danternyata memuaskan pula, maka orang tersebutdengan sendirinya menduduki martabat yangsemakin tinggi di dalam tatanan kehidupan, hal inisesuai dengan salah satu pandangan hidup sifatkemuliaan/kebajikan yang diajarkan oleh Khong HuCu yang dikenal dengan Sin: kepercayaan, rasa untukdapat dipercaya oleh orang lain dan dapat memegangjanji dan menepati janji (Chau Ming, 1986:21).Seseorang yang bertabat tinggi dengan sendirinya diaadalah ciri seorang yang budiman. Ciri seorang yangbudiman adalah berwibawa tetapi tidak congkak,majunya seorang budiman itu menuju ke atas (ibid).Hal tersebut juga pernah diungkapkan oleh To ThiAnh <strong>sebagai</strong> berikut:"Salah satu ciri pemikiran orang Cina ialah lebihmenekankan kewajiban dari pada hak-hak ndividudalam hubungannya dengan masyarakat.'Jangan tanya apa yang dapat masyarakat buat untukengkau; tanyalah apa yang dapat kau buat ntukmasyarakat.'Ajakan semacam ini tepat dengan semangat orangCina" (To Thi Anh, 1984: 11)."Pe'Kong" dan "Datuk" mendapat posisi yangmenguntungkan menurut ajaran I Ching, sebabkeduanya menempati posisi menengah di dalamsistem struktur dunia alam gaib. Mereka dapatleluasa bergerak kearah manapun yaitu dapatberdialog langsung dengan manusia, <strong>sebagai</strong>manatelah disebutkan tadi.Posisi yang semacam itu di dunia nyata (di alamkehidupan manusia) ditempati oleh "tang-ki", karenaseorang "tang-ki" dapat bergerak menghubungkanantara makhluk gaib dengan manusia penganutnya.Dengan demikian, posisi seorang "tang-ki"keberadaannya juga istimewa dan menguntungkan,karena dirinya dapat berperan dalam menempati duadimensi ruang kehidupan sekaligus, yaitu: alam gaibdan alam nyata.Karakteristik antara makhluk "Pe'Kong" dan"Datuk" masih dapat dibedakan lagi, menjadi sifatsifatyang saling bertentangan tetapi salingmelengkapi. Perbedaan itu adalah makhluk"Pe'Kong" dianggap <strong>sebagai</strong> penguasa dunia atas(langit), mengandung nilai 'Yang'; sedangkanmakhluk "Datuk" dianggap <strong>sebagai</strong> penguasa duniabawah (bumi), mengandung nilai 'Yin'. 'Pe'Kong'berasal dari negeri Cina (negeri leluhurnya) iadidatangkan <strong>sebagai</strong> warisan, sedang 'Datuk' barumereka ketemukan di daerah rantau. Prosespenemuan itu akibat adapatasi mereka dengankebudayaan atau kepercayaan religi penduduksetempat (kepercayaan masyarakat Mealayu).'Tang-ki' dan 'Sin-she''Tang-ki' tidak hanya berperan <strong>sebagai</strong> medium,yang menghubungkan makhluk gaib (supra-alami)dengan subyek penganutnya, dan tidak hanya <strong>sebagai</strong>pimpinan informal yang berkaitan dengan aspekreligi. Disebab dengan keahliannya itu dia juga dapatberperan dalam menempati dua dimensi ruangkehidupan sekaligus, di dunia alam gaib (supraalami)dan di dunia alam nyata (alami). Selain ituseorang 'tang-ki' juga dapat berperan <strong>sebagai</strong>penyembuh alternatif di samping 'sin-she'. Orang-10


AgustrisnoSerbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …orang Cina di kota Medan kendatipun sudahmengakui sistem kesehatan moderen sesuai menurutsistem medis kedokteran, namun didalam melakukanpenyembuhan terhadap penyakit, penyembuhalternatif terhadap sistem kesehatan tradisionalnyajuga tidak ditinggalkan. Bila mereka sakit, merekasering kali mendatangi 'tang-ki' maupun 'sin-she'.'Tang-ki' adalah seorang penyembuh yang carapengobatannya sama dengan seorang shaman, lebihcenderung melakukan sistem pengobatan ataupenyembuhan dengan cara-cara yang supra-alami.Sedangkan 'sin-she' adalah seorang penyembuhalternatif yang sama peranannya dengan seorangpenyembuh yang disebut tabib. Kendatipun adaperbedaannya dengan sistem pengobatan moderen,<strong>sebagai</strong>mana yang dilakukan seorang dokter, namuncara-cara pengobatan yang dilakukan seorang 'sinshe'juga mempergunakan cara-cara yang bersifatalami sesuai menurut sistem pengetahuan tradisiCina. Seorang yang akan menjadi ahli <strong>sebagai</strong> 'sinshe'dia harus belajar sistem pengetahuan tradisionalCina, tentang alam semesta dan anatomi tubuhmanusia. Dengan mengetahui sistem anatomi tubuhmanusia dia dapat memberikan pengobatan denganmemberikan obat berupa ramuan tradisional.'Tang-ki' dan 'sin-she' keduanya merupakan ahlidalam pengobatan alternatif. Kendatipun keduanyaberbeda namun saling melengkapi. Dalam hal iniseorang 'tang-ki' mengandung nilai-nilai yang bersifat'Yin', sedangkan seorang 'sin-she' mengandung nilainilaiyang bersifat 'Yang'. Seorang 'tang-ki'memperoleh keahliannya tidak mempelajaripengetahuan secara empiris, tetapi keahliannya itudiperolehnya merupakan kodrat 'Thie Kong',pembawaan sejak lahir atau karena kebetulan sajadengan penguatan mimpi. Di dalam melakukanpenyembuhan terdapat penyakit lebih mengutamakanaspek emosi. Sedangkan 'sin-she' memperolehpengetahuannya dengan cara belajar dan dalammelakukan penyembuhan terhadap suatu penyakitdengan menggunakan pendekatan yang lebih bersifatrasio.Dengan demikian 'tang-ki' dan 'sin-she' dalamsistem kesehatan masyarakat Cina saling melengkapiyang bersifat emosi dan rasio, berupa 'Yin' dan'Yang'. Jika 'tang-ki' dapat memberikan sugesti maka'sin-she' memberikan reaksi.Dunia alami dan Dunia Supra-alamiSecara metafisik, kosmologi terbagi dalam duakategori: yang alami dan supra-alami. Dunia alamiadalah alam tempat hidup manusia. Dunia supraalamiadalah alam tempat segala makhluk gaib hidupdan berada. Dunia alami memiliki sifat-sifat <strong>sebagai</strong>berikut: empiris, labil (berubah-ubah), dan profan(biasa). Sedangkan dunia yang supra-alamimengandung sifat-sifat: stabil (tetap), makhluk yanghidup di dalamnya mengandung pengertianmetafisik, dan sakral (suci).Namun di dalam kepercayaan masyarakat CinaMedan, dunia yang bersifat supra-alami dapatdikategorikan menjadi dunia supra-alami atas (langit)dan dunia supra-alami bawah (bumi). Dunia supraalamiatas (langit) dihuni oleh makhluk gaib'Pe'Kong' sedang dunia supra-alami bawah (bumi)<strong>sebagai</strong>ma-na yang dihuni oleh 'Datuk'. Selanjutnya,dunia 'Pe'Kong' berasal dari negeri Cina, sedangdunia 'Datuk' berasal dari negeri tempat subyekmerantau, dengan demikian dunia alami yangmengandung nilai-nilai 'Yang' dapat dikategorikanlagi menjadi dunia asal (negeri Cina) dan duniarantau (kota Medan).KesimpulanBerdasarkan pengertian tersebut dapatlahdisimpulkan bahwa di dalam kehidupan dunia gaibyang dikategorikan <strong>sebagai</strong> Yin ternyata dapatdibedakan lagi menjadi: Yin-minor dan Yang-minor(J.C.Cooper, 1981: 33). Pemikiran dualistik sepertiitu merupakan klasifikasi simbolik yang kembar,berguna dalam rangka mencari kesimbangan(harmoni), di luar dan di dalam diri manusia.Pe’Kong dan Datuk keduanya mengandung nilai“Yin”. Namun keduanya dapat dibedakan lagi,Pe’Kong mewakili alam atas, langit, atau awangawangdan berasal dari negeri leluhur (Cina) yangmengandung nilai “Yang”, sedangkan Datukmewakili alam bawah, bumi, atau tanah yangditemukan melalui proses adaptasi mengandung nilai“Yin”.Menurut asumsi tersebut, maka pasangannyanilai “Yang” pun bisa jadi dapat terpecah menjadikelipatan dua “Yin” dan “Yang” lagi. Bagaikan deretukur kelipatan dua, <strong>sebagai</strong>mana pandanganstrukturalis Claude Levi-Strauss, manusia nirsadarterikat oleh satu hukum dan sistem pemikiran yangsifatnya memaksa dan selalu mempengaruhi dalamhidupnya. Hukum dan sistem itu ditaati tanpadikenalnya (van Baal, 1988: 118). Sebagai akibatpergulatan manusia dengan lingkungannya, baiksecara fisik maupun sosial (Suparlan, 1981/1982).DAFTAR PUSTAKAAgustrisno,1985. Kepercayaan Orang Tionghoa Terhadap "Datuk":Studi Kasus di Desa Kedai Durian, Kecamatan MedanJohor, Kotamadya Medan, Skripsi S1, Fakultas SastraUniversitas Sumatera Utara, Medan.Anh, To Thi,1984. Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atauHarmoni?, Gramedia, Jakarta.Bloomfield, Frena.,11


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 20051986. Di Balik Sukses Bisnis Orang-orang Cina,diterjemahkan oleh Tim Sang Saka Gotra, Jakarta.Cheu Hock-Tong,1982-1983., "Tanggapan Keagamaan serta Implikasinyadalam Hidup Sosial: Suatu Kajian Komuniti Cina diAmpang, Selangor." <strong>Jurnal</strong> Antropologi dan Sosiologi.,jilid.volume:10&11,hlm.90-118.Universitas KebangsaanMalaysia,Bangi,Selangor, Malaysia.Cooper, J.C.,1981. Yin & Yang The Taoist Harmony of Oppsites,The Aquarian Press is part of the Thorsons PublishingGroup Wellingborough, Norththamptonshire, NN8 2RQ,England.Chau Ming, Mengenal Beberapa Aspek FilsafatKonfusianisme Taoisme dan Buddhisme, Jakarta:Akademi Buddhis Nalanda, 1986.Fung Yu-Lan,1953. A History of Chinese Philosophy Vol.II The Periodof Classical Learning Century B.C. to the TwentiethCentury A.D., translated by Derk Bodde, PrincetonUniversity Press, Leiden, Netherlands.Fung Yu-Lan,1967., The Spirit of Chinese Philosophy., (terjemahanE.R. Huges), Stephen Austin and Sond Ltd., London.-----------,1990. Sejarah Ringkas Filsafat Cina (SejakConfucius sampai Han Fei Tzu, terjemahan SoerjonoSoemargono, Liberty, Yogyakarta.Gondomono,1996.,Membanting Tulang Menyembah Arwah,Kehidupan Kekotaan Masyarakat Cina, PT.PustakaFirdaus, Jakarta.Hadiluwih, Subanindyo,1994. Studi Tentang Masalah Tionghoa di Indonesia(Studi Kasus di Medan), Dhian Doddy, Medan.Herman Tjahja, "Konsep Manusia DalamKonfusianisme" di dalam: Tim Redaksi Driyarkara(penny.): Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, Jakarta:Gramedia, 1993.J.C.Cooper, Yin & Yang The Taoist Harmony ofOpposites, Wellingborough, Northamptonshire, NN82RQ, England: The Aquarian Press, 1981.Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropolog Sosial,Jakarta: Dian Rakyat, 1977.Koentjaraningrat,1973. Metodologi Penelitian Masyarakat, LIPI, Jakarta.Lasiyo, "Metafisika Dalam Filsafat Cina", <strong>Jurnal</strong> FilsafatFakultas Filsafat Unversitas Gadjah Mada, Seri 25.,Yogyakarta: Mei 1996.Lasiyo ,1992. Studi Tentang Agama Khonghucu <strong>sebagai</strong> BentukKebangkitan Kehidupan Beragama Ethnik Cina diIndonesia, laporan penelitian untuk The ToyotaFoundation, Japan.------, 1993., Hand Out Sejarah Filsafat Cina Kuno,Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.------, 1995. "Ajaran Konfusianisme, Tinjauan Sejarah danFilsafat" dalam: Pergulatan Mencari Jati Diri, hlm.3-24,interfidei, Yogyakarta.------, 1996. Pemikiran Filsafat Cina (makalah yangdisajikan pada internship Dosen-dosen filsafat Pancasilase-Indonesia pada tanggal 8-18 September 1996), Pusatstudi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.------, 1996. "Metafisika dalam Filasafat Cina", dalam:<strong>Jurnal</strong> Filsafat, seri 25, Mei 1996, hlm.6-14, FakultasFilsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.Lee T.Oei,1995."Sifat-sifat Keagamaan Konfusianisme", dalam:Pergulatan Mencari Jati Diri. Interfidei, Yogyakarta.Lim Tji Kay, Kitab Suci Taoisme (Tao Tee Ching),Jakarta: SASANA, 1991.Mattulada,1980. "Mentalitas dan Ciri-ciri Kepribadian BangsaIndonesia" dalam: Lontara, No.1, hlm.5-18, UniversitasHasanudin, Ujung Pandang.Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selajang Pandang,Djakarta: Keng Po, 1961.Onghokham, "Beberapa Aspek Agama Cina" dalamPergulatan Mencari Jatidiri,Yogyakarta: Interfedei, 1995: hlm. 141-153.Pelly, Usman., Urbanisasi dan Adaptasi Peranan MisiBudaya Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta,1994..Pelly, Usman dan Darmono,1983. Pandangan tentang Makna Hidup dan TradisiMasyarakat: Studi Kasus Sumatera Utara (makalahseminar Orientasi Sosial-Budaya ke-3), LIPI dan InstitutAgama Islam Negeri Antasari, Banjarmasin.Putra, Heddy Shri Ahimsa,1995. Islam Jawa dan Jawa Islam Sinkretisasi Agama diJawa" makalah disajikan pada seminar sehari tentangkharisma warisan budaya Islam di Indonesia, 9Nopember, Balai Kajian Nilai Tradisional, Yogyakarta.Salmon, Cl. dan D. Lombard,1985. Klenteng-klenteng Masyarakat Tionghoa di Jakartaditerjemahkan oleh Staf Yayasan Cipta Loka Caraka,Jakarta.12


AgustrisnoSerbadua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat …Sudiarja, A.,1996."Ajaran Konfusianisme dalam PerspektifKeagamaan Tionghoa" dalam: Penguasa Ekonomi danSiasat Pengusaha Tionghoa, hlm. 1-14, Lembaga Realino,Yogyakarta.Suparlan, Parsudi,1981/1982., “Kebudayaan Masyarakat dan Agama:Agama <strong>sebagai</strong> sasaran Penelitian Antropologi”, dalammajalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Jakarta, Jilid X, No.1, hal.1-15.To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat, Jakarta:Gramedia, 1984.Tan Chee-Beng, 1981. "Cina Baba, Cina non-Baba danMelayu <strong>sebuah</strong> catatan tentang Interaksi Etnis di Malaka"dalam: Prisma, No. 11, hlm.70-78, Jakarta.Wangania, Jopie.1976."Antropologi Terapan dan MasalahPenelitian mengenai 'overseas Chinese' di Asia Tenggara"dalam Berita Antropologi, Th.VIII, No.26, April,hlm.41-56,Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta.13


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005KETIMPANGAN GENDER DAN BERTAHANNYAKONSTRUKSI PATRIARKHI DALAMMASYARAKAT KAROJonni Purba (Alm.)Antropologi FISIP USUAbstrak:Wanita Karo dewasa ini tidak lagi terbatas perannya dalam sektor domestik, <strong>sebagai</strong>mana yang berlaku menuruttradisi budaya Karo masa lalu. Kebebasan dari kaum wanita Karo untuk melaksanakan berbagai aktivitassehubungan dengan pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi dan adat belum memperoleh pengakuan yang sah darilembaga adat serta institusi sosial yang ada dalam masyarakat. Partisipasi wanita di sektor produksi dan publiktidak diartikan <strong>sebagai</strong> pembentukan suatu konstruksi jender yang baru. Otonomi yang dimiliki wanita hanyaberfungsi <strong>sebagai</strong> upaya untuk menjaga hubungan jender di dalam keluarga mereka.Kata kunci: jender, konstruksi sosial, reproduksi struktur patriarkiPendahuluanBertolak dari suatu pendefinisian gender:adanya perbedaan perilaku (behavioral differences)antara laki-laki dengan perem-puan yangdikonstruksikan secara sosial melalui suatu proseskultural. Perbedaan gender tersebut akan melahirkanperan gender (gender role), dimana kaum perem-puandengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan,menyusui, dan kemudian perempuan mempunyaigender <strong>sebagai</strong> perawat, pengasuh, pendidik anak(Fakih,1996:72). Dari berbagai aspek kehidupanmasyarakat tampak bahwa penempatan peran genderterhadap kaum wanita lebih terpusat pada sektordomestik. Fenomena umum yang demikianmerupakan implikasi dari pemosisian wanitaberdasarkan paradigma sosio-kultural dan konstruksisosial dari masing-masing masyarakat. Indikasi darihakekat lahiriah kaum wanita melalui organreproduksi tersebut telah menurunkan suatukewajiban dan tanggung jawab yang harus dipikuloleh kaum wanita itu sendiri. Sehingga wanitaditempatkan pada suatu space yang sangat sempit,dimana masyarakat telah menciptakan suatuboundari berdasarkan konstruksi sosial menurut adatdan tata nilai budaya Karo. Wanita hanya memilikiwilayah kekuasaan di sektor domestik tanpa adanyacampur tangan dari kaum pria (dianggap tabu olehmasyarakat yang bersangkutan).Pembatasan terhadap wilayah kekuasa-anwanita di lingkungan reproduksi atau sektordomestik merupakan suatu pemisahan antara peranpria denga peran wanita. Seorang ibu diprediksikan<strong>sebagai</strong> orang yang tidak bekerja, ia berperan untukmengasuh dan melayani seluruh kebutuhan darianggota keluarganya. Wanita yang aktif dalamkegiatan atau organisasi PKK hanya bertujuan untukmempelajari tentang bagaimana meningkatkantugasnya dalam membina keluarga sejahtera (Sadlidan Patmodewo,1995:81). Implikasi dari konsep dancommon sense tentang pemosisian yang tidak seimbangmenjadi alat pemisah antara sektor domestik (nature)dengan sektor publik (culture). Dikotomi domestikdan publik mengarah pada pencarian kekuatan yangmembentuk dua domain dan dua wilayah kekuasaanyang menggambarkan dominasi dan subordinasi(Abdullah,1997:4-5).Pola ideal masyarakat Karo mengenai rumahtangga (jabu) atau keluarga yang ditentukan olehlembaga adat; merupakan suatu kesatuan yang utuhyang dibentuk berdasarkan suatu perkawinan. Padasaat pesta pernikahan berlangsung kelompok kerabatkalimbubu memberikan nasehat dengan motto: 1 +1 = 1, si sada pengakap, si sada perarihen janah ras-raskam duana encari (mereka harus bekerjasama untukpemenuhan kebutuhan keluarga). Tampak bahwabentuk ideologi yang demikian mengarah padahubungan kesetaraan gender. Konsep kesetaraangender ini tidak diberlakukan dalam semua aktivitasdalam rumah tangga karena kepada kaum wanitamasih terjadi pelimpahan tanggung jawabsehubungan dengan peran reproduksi. Adatkebiasaan masyarakat telah membuat boundari14


Jonni PurbaKetimpangan Gender dan Bertahannya Konstruksi Patriarkhi….tentang konsentrasi domain dari kaum wanita disektor domestik. Semula ideologi tersebutmengharuskan agar suami-istri dapat bekerjasama,memiliki tanggung jawab yang sama terhadapseluruh kebutuhan keluarga dan anak-anak mereka.Fenomena sosial menunjukkan telah terjadidinamika peran gender wanita di sektor publik yangdibatasi pada aktivitas adat.Dinamika sosial dan kebudayaan yangmempengaruhi kehidupan sosial-ekonomimasyarakat tidak dapat mempengaruhi ideologimasyarakat sehubungan dengan konstruksi perangender. Akibatnya motto yang diberikan oleh pihakkalimbubu saat pernikahan mereka tidak dapatdioperasiona-lisasikan di dalam kehidupan keluarga.Konstruksi gender tersebut telah dilegitimasi-kandalam berbagai pranata sosial di dalam keluarga danmasyarakat, serta diwujudkan dalam status dan perandari masing-masing individu. Telah terjadi dikotomiberdasarkan peran gender dalam rumah tangga,kaum wanita selalu dihadapkan dengan pekerjaanmemasak, mencuci, mengasuh anak, membersihkanrumah. Sementara kaum pria lebih banyakmengerjakan jenis pekerjaan yang membutuhkankekuatan fisik; memperbaiki rumah, mencari kayubakar, memelihara ternak, dan mengerjakan sawah(Warto, 1997: 160).Respon kultural dari masyarakat terhadapideologi konstruksi gender yang demikianmengakibatkan semakin banyak kaum pria yangberanggapan bahwa kegiatan di dalam rumah tanggamerupakan tanggung-jawab dan tugas dari wanita.Kaum pria lebih banyak meluangkan waktu merekauntuk duduk di kedai kopi; bermain catur, bermainkartu joker atau domino, memesan makanan sesuaidengan selera mereka masing-masing. Keberadaandari kaum pria menunjukkan suatu fenomena sosialyang dapat menggambarkan bahwa tampukkekuasaan berada dalam genggaman mereka. Seluruhkegiatan yang hubungan dengan kepentingan rumahtangga maupun reproduksi dilimpahkan ke pundakistri (wanita). Hal ini terlihat dari besarnya volumekerja yang harus diselesaikan oleh seorang ibu rumahtangga setiap harinya di dalam rumah; yaitumempersiapkan makanan untuk pagi dan siang hariyang akan dibawa ke ladang, mengurus anak-anakmereka yang akan berangkat ke sekolah maupunyang masih balita, memberi makan ternak peliharaan(seperti ayam, bebek dan babi) dan mempersiapkansegala peralatan yang akan dibawa ke ladang.Dominasi wanita di sektor produktifmerupakan implikasi dari adat rebu terhadapkelompok aron. Kaum wanita juga dapatmenentukan dan mendistribusikan jenis pekerjaanyang harus dilaksanakan sehubu-ngan denganaktivitas pertanian mereka pada periode tertentu.Partisipasi pria dalam aktivitas pertanian hanyaterlihat pada tahap penyemprotan tanaman dan padamasa panen. Dalam aktivitas mencangkul lahanpertanian, menanam dan menyiangi tanaman lebihbanyak dilakukan oleh kaum wanita.Masyarakat mengasumsikan reproduksihubungan gender di dalam rumah tangga tercapaidengan baik jika masing-masing individu dapatmelaksanakan aktivitas yang berfungsi untukmensejahterakan keluarga. Fenomena umummelukiskan bagaimana suami-istri membina sertamemenuhi seluruh kebutuhan rumah tangga mereka.Masalah kaum wanita, marginalisasi atau subordinasibukan merupakan suatu hal yang sangat riskan.Kegiatan yang dilakukan oleh wanita dilingkunganreproduktif (domestik) dan lingkungan produksimerupakan hal yang wajar bagi masyarakat. Seluruhtindakan wanita tersebut telah menjadi bagian daripranata sosial, bahkan menurut perspektifmasyarakat bagi wanita yang tidak dapat melakukanperan reproduksi, mengurus rumah tangganya, danaktivitas produksi akan dikucilkan dalam kelompokklan suaminya. Perspektif mengenai wanita idealmenimbulkan ideologi familialisme yang dapatmemotivasi kaum wanita menjadi istri dan ibu yangbaik. Konsep idealime mengenai seorang ibu rumahtangga; tidak hanya mampu memberikan keturunan,tetapi juga harus mampu menghasilkan anak-anakyang berguna. Pengasuhan terhadap anak yangdilahirkan menjadi tanggung jawab wanita.Kosmologi semacam ini telah menjadi blue-printyang tidak hanya mempengaruhi sikap dan perilakusosial laki-laki terhadap perempuan, tetapi jugamenentukan bagaimana perempuan mengambiltempat dan peran di dalam keseluruhan prosessosial.Langkah yang ditempuh oleh wanitamerupakan tindakan yang mengarah pada suatuproses sosial dalam pembentukan konstruksi sosial.Pembagian kerja yang diberikan kepada kaum wanitamerupakan suatu realitas objektif yang diterima danmenjadi kesepakatan dari masyarakat meskipun didalam proses tersebut telah terjadi dinamika sosial.Adat budaya masyarakat Karo telah menetapkanbentuk konstruksi hubungan gender yang telahmereka lembagakan dalam berbagai pranata sosial didalam kehidupan keluarga dan masyarakat.Pandangan masyarakat tentang perkawinanmengandung pemaknaan yang sangat mendasar,dimana perkawinan dijadikan <strong>sebagai</strong> suatu prosessosial. Masyarakat memberlakukan konsep ideologidari suatu perkawinan sesuai dengan nilai adat yangmencerminkan tindakan yang sakral. Tujuan dariperkawinan tersebut adalah <strong>sebagai</strong> upayapembentukan suatu rumah tangga yang idealmenurut adat-istiadat Karo. Oleh sebab itu di dalamnilai adat Karo tidak ada suatu penekanan yangobjektif mengenai peran gender dalam rumah tangga15


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005(keluarga). Sebaliknya, di dalam resepsi pestaperkawinan orang-orang Karo sering mendengarberbagai nasehat atau wejangan dari kelompokkerabat yang hadir lebih mengarah pada konsephubungan kesetaraan gender. Kelompok kerabat darikedua mempelai mengharapkan agar dalam keluargaatau rumah tangga bukan hanya menjadi tanggungjawab suami atau istri saja. Meskipun di dalammasyarakat terdapat ideologi perbedaan perangender (gender role), penekanan terhadappembentukan kerjasama antara suami istri dalamrumah tangga tetap menjadi suatu pola ideal danharapan dari kedua kelompok kerabat. Polapembagian kerja di dalam masyarakat menunjukkandikotomi antara pria dengan wanita. Di dalamkehidupan masyarakat terdapat sterotipe yangdiberikan kepada kaum perempuan yang dapatmembatasi, menyulitkan, memiskinkan danmerugikan kaum perempaun. Masyarakatmemprediksi-kan bahwa laki-laki berperan <strong>sebagai</strong>pencari nafkah (bread winar) keluarganya akibatnyaseluruh aktivitas ekonomi yang dilakukan olehperempuan dinilai rendah dari kegiatan ekonomiyang dilakukan oleh kaum pria.Di dalam realitas dibalik konsep kesetaraangender yang diharapkan oleh pihak kalimbubu danperaturan gereja bahwa rumah tangga mereka telahmenjadi tanggung jawab sepihak yaitu istri.Kebiasaan hidup dari masyarakat juga telahmenentukan pembagian wilayah kekuasaan di dalamrumah; dapur ditetapkan <strong>sebagai</strong> wilayah kekuasaanwanita yang dianggap tabu untuk dimasuki olehkaum pria. Meskipun di dalam suatu rumah adatmaupun sebagian dari rumah penduduk tidak adasekat pemisah antara ruangan dapur dengan tempatdimana suami mereka duduk. Paradigma pembagiantata ruang di dalam suatu rumah adat masihditerapkan di dalam sistem tata ruang rumahsekarang ini sangat berpengaruh bagi kaum priauntuk duduk lebih lama di dalam rumah.Besarnya frekuensi waktu yang diberikan olehkaum pria untuk duduk di kedai kopi mengakibatkankurangnya perhatian mereka terhadap berbagaikepentingan keluarga. Implementasi dari tindakanyang dilakukan oleh kaum pria tersebut memaksakankaum wanita untuk bertanggung jawab atas seluruhpemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi keluarga danpembinaan kepada anak-anak meraka. Disampingaktivitas domestik, seorang ibu rumah tangga jugaturut melakukan aktivitas pruduksi. Di dalamaktivitas pertanian, mayoritas dari wanita Dokantelah pernah atau sedang menjadi anggota dari suatukelompok aron.Dekonstruksi Hubungan GenderDi dalam kehidupan wanita di pedesaan Karotelah terjadi dinamika peran gender, yaitu perubahandari peran domestik ke peran publik. Akibat dariperkembangan pola pertanian masyarakat daribentuk subsisten ke pertanian komersial wilayahkekuasaan wanita tidak hanya terbatas di sektordomestik atau tugas reproduksi.. Dominasi wanita didalam aktivitas pertanian menjadi suatu saranapenting yang dapat menempatkan partisipasi merekadi sektor publik. Kaum wanita juga telahberpartisipasi di dalam aktivitas kemasyarakatan,sepeti kegiatan ibu-ibu PKK, perkumpulan gereja,serikat tolong-menolong, arisan keluarga, menjadianggota credit union dan berbagai rapat yang di adakanoleh aparat pemerintah di desa ini.Dominasi wanita di sektor domestik dan publikdisebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pengaruhdari adat rebu yang melarang seorang priaberkomunikasi dengan seorang wanita (istri darisaudara laki-laki istrinya atau er turangku). Aturanadat yang melarang seorang ayah masuk ke rumahapabila yang berada di dalam rumah tersebut hanyamenantunya yang perempuan. Sebagaimanalazimnya, dia hanya dapat menyampaikan pesankepada menantunya melalui perantaraan media disekitarnya apakah itu pintu rumah, atau tangga, kursidan <strong>sebagai</strong>nya. Bila dia berkeinginan untukmenyampaikan suatu pesan, maka ia harusmenyampaikannya dengan perantaraan mediatersebut. Misalnya, ia harus menyerukan; pintukataken man permaen ras anakku, lit tenah kerja arahmamana (dengan pengertian: pintu sampaikan kepadaanak dan menantuku ada undangan pesta daripamannya). Masyarakat menjadikan adat rebu <strong>sebagai</strong>suatu perlakuan yang sakral dan masih diberlakukandalam kehidupan sehari-hari. Tata nilai adat yangtertuang dalam aturan adat rebu justru mencipta-kansuatu pembatasan ruang sosial bagi kaum pria untukberinteraksi dengan sesama warga dalam masyarakat.Momen ini dimanfaatkan oleh kaum pria menjadisuatu alasan yang paling objektif atas kurangnyapartisipasi mereka dalam aktivitas kemasyarakatan.Meskipun perkembangan otonomi wanita telahberalih sampai ke sektor publik, tetapi otonomitersebut masih terbatas pada faktor kebutuhanekonomi semata. Adat-istiadat masyara-kat masihmempertahankan ideologi patriarki yaitu suamiberkedudukan <strong>sebagai</strong> kepala keluarga dan kaum priatetap berkuasa penuh di dalam aktivitas adat, politikserta monopoli ekonomi.Kedua, oleh lembaga adat dan masyarakat telahdiberikan kebebasan bagi wanita untuk berbicara didalam aktivitas adat. Kebebasan tersebut terbatasdalam pengambilan keputusan pada penentuanjodoh atau perkawinan dari putri saudara lakilakinya.Di saat seorang wanita akan menikahdengan pria lain, maka pada saat pertemuan dalammembicarakan mahar dan hari pernikahan yangdisebut ngembah belo selambar dari kedua belah pihak.16


Jonni PurbaKetimpangan Gender dan Bertahannya Konstruksi Patriarkhi….Ayah kandung dari wanita tersebut diwajibkan untukmeminta persetujuan dari saudara perempuannya(father sister atau perbibin si rembah ku lau). Apabilasaudara perempuan ayahnya tidak setuju makapernikahan atau pinangan tersebut dianggap gagal,karena pria yang berhak menikahi wanita tersebutadalah putra dari saudara perempuan ayah disebutperkawinan ideal (rimpal) dengan putri dari saudaralaki-laki ibu. Proses pengambilan keputusanmenyangkut persetujuan perkawinan ini dilakukansecara formalitas, pasangan calon pengantin datangmembawa dan memberikan setampuk sirih kepadasaudara perempuan ayah di hadapan para undanganyang hadir.Dari pengamatan masyarakat non-Karo,sepintas terlihat bahwa wanita Karo telah memilikiotonomi dalam aktivitas rumah tangga, aktivitaspertanian dan aktivitas publik lainnya. Kebebasandari kaum wanita untuk melaksanakan berbagaiaktivitas sehubungan dengan pemenuhan kebutuhansosial-ekonomi dan adat belum memperolehpengakuan yang sah dari lembaga adat serta institusisosial yang ada dalam masyarakat. Partisipasi wanitadi sektor produksi dan publik tidak diartikan <strong>sebagai</strong>pembentukan suatu konstruksi gender yang baru.Otonomi yang dimiliki wanita hanya berfungsi<strong>sebagai</strong> upaya untuk menjaga hubungan gender didalam keluarga mereka.Hubungan yang TimpangKetimpangan hubungan gender dalammasyarakat dipengaruhi oleh pranata sosial, lembagaadat dan hubungan kekerabatan di antara suatukelompok klan marga dengan marga lainnya.Lembaga adat tersebut berfungsi untuk mengaturhubungan sosial, interaksi sosial yang terjadi diantara individu termasuk di dalamnya pranataperkawinan. Melalui perkawinan tersebut terbentuksuatu konstruksi sosial serta hubungan hirarkis yangbersifat vertikal antara kalimbubu (pihak pemberigadis) dengan anak beru (pihak penerima gadis).Konsekuensi dari suatu perkawinan mengharuskanlaki-laki yang berkedudukan <strong>sebagai</strong> anak berumembantu istrinya untuk mempersiapkan segalasesuatu yang dibutuhkan oleh kelompok kalimbububeserta klan marganya di saat mereka berkunjung kerumah orang tua istri atau pesta yang diadakan olehpihak kalimbubu.Masyarakat dapat merespon aturan normatifadat tersebut, sehingga kaum pria memposisikan istridan anak perempuan mereka <strong>sebagai</strong> pekerja dalamkeluarga mereka masing-masing. Hal ini disebabkanoleh setiap transaksi sosial melalui perkawinan selaludisertai dengan pengor-banan dalam bentuk materimaupun non-materi. Perkawinan tersebut <strong>sebagai</strong>suatu pertukaran dalam adat yang bersifat timbalbalikantara kalimbubu dengan anak beru. Dalam halini partisipasi individu dalam adat tersebutmerupakan suatu pemberian dan setiap pemberianharus dikembalikan dalam suatu cara khusussehingga menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yangtidak pernah berakhir (Suparlan,1992:xix dan Maus,1992: 1).Pengaruh lainnya dari lembaga adat terhadapketimpangan gender sangat erat hubungannyadengan penggunaan marga yang dapat membuatdikotomi gender dalam kehidupan masyarakat. Peranlembaga adat dalam menciptakan ketimpangangender selalu dihubungkan dengan aspek sosialisasikultural yang berbeda antara anak laki-laki dengananak perempuan. Umumnya peker-jaan dilingkungan domestik seperti memasak nasi, mencucipiring, menyapu rumah dan pekarangan,menghidangkan makanan, mengambil air, mengasuhdan menjaga adik-nya, dibebankan kepada anakperempuan. Anak laki-laki hanya ditugaskan untukmembantu ayah mereka menggembalakan kambing,kerbau atau lembu dan mengambil kayu bakar kehutan. Pola sosialisasi ini semakin mapan dalamkehidupan masyarakat dengan adanya pelayanankhusus yang dilakukan ibu terhadap ayah mereka.Aspek sosialisasi kultural lainnya adalah adanyaaturan adat yang mengharuskan bagi setiap anak lakilakiuntuk tidur di luar rumah (jambur). Adatkebiasaan ini telah memberikan suatu kebebasanbagi anak laki-laki dari berbagai tugas yang ada didalam rumah mereka. Setiap malam anak laki-lakitersebut berkumpul dengan teman- temannya di luarrumah, lepas dari kontrol sosial orang tua meraka.Di tempat mereka tidur atau berkumpul, merekamengisi waktunya dengan bermain kartu joker,domino dan bermain catur.Hubungan yang BerubahDalam semua masyarakat atau suku bangsahakekat dari perkawinan adalah mempersatukan duasosok manusia, yaitu pria dan wanita. Perspektifkultural yang tertuang dalam konteks pembentukanrumah tangga melalui suatu perkawinan padaawalnya lebih ditujukan pada “pembentukanhubungan kesetaraan gender” atau “kemitrasejajaran”dalam kehidupan rumah tangga. Penekananpada suatu tanggung-jawab bersama di antarapasangan suami istri atas keberadaan sertapengasuhan anak-anak mereka dalam kehidupankeluarganya merupakan hal sangat positif daripranata adat. Namun pengaruh negatif dari nilai adattersebut yakni khususnya mengenai adat rebu dansosialisasi nilai dan kultural sehubungan denganperlakuan khusus terhadap kaum pria dan anak lakilakiserta dikotomi pembagian kerja telahmembentuk suatu perubahan terhadap hubungangender.17


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005Pembentukan kemitrasejajaran dalam pembinaanrumah tangga masyarakat yang berdasarkanpranata adat dirasakan sangat positif. Dalammewujudkan seluruh harapan dari pihak kalimbubutersebut di atas pasangan suami istri masihdihadapkan pada permasalahan sosial yang adakaitannya dengan adat-istiadat yang berlaku dalammasyarakat mereka. Adat rebu dapat menghambataktivitas mereka tidak hanya dalam kegiatanproduksi di sektor pertanian, seperti dalamkelompok aron. Umumnya masyarakat petani adalahmasyarakat yang memiliki bentuk perekonomiansubsisten yang ditandai dengan ciri perekonomianyang berdasarkan ikatan kekeluargaan, melaksanakanpekerjaan mereka dengan gotong-royong (Scott,1976: 68). Adat rebu telah membatasi partisipasikaum pria dalam aktivitas pertanian, karena antarakalimbubu dan anak beru dilarang oleh adat beradadalam suatu kelompok yang sama dalammengerjakan lahan pertaniannya. Perspektifpemikiran yang tertuang di dalamnya mengasumsikan;"tidak pantas dan dianggap pantang bilakalimbubu ikut bekerja di ladang anak beru karenakedudukan sosial dan peran dari kalimbubu tersebutadalah <strong>sebagai</strong> orang yang memberkati serta merestuiseluruh aktivitas dari anak beru.Aktivitas lainnya dalam kehidupan masyarakatyang turut mengalami perubahan akibat daripengaruh adat rebu adalah aktivitas sosial dankemasyarakatan, kegiatan keagamaan, arisankeluarga. Porsi partisipasi yang diberikan kepadakaum wanita lebih besar jumlahnya daripadapartisipasi kaum pria. Kaum wanita memperolehkesempatan untuk mengakses seluruh kegiatankemasyarakatan yang seharusnya menjadi bagian dariwilayah kaum pria. Kaum wanita telahmelangkahkan kakinya ke lingkungan publik yangmengakibatkan terjadinya suatu perubahan terhadaphubungan gender dalam keluarga maupunmasyarakat. Dukungan yang diberikan oleh pranataadat terhadap perubahan hubungan gender jugaberpenga-ruh dalam proses sosialisasi kultural dantata nilai terhadap anak-anak mereka.KesimpulanProses pembentukan ketimpangan genderdalam masyarakat Karo adalah berdasarkanhubungan sosial yang terbentuk melalui suatuperkawinan, masing-masing kelompok klan margaditempatkan pada kedudukan sosial yang berbeda.Kelompok pemberi gadis (kalimbubu) memilikiposisi sosial yang lebih tinggi dan harus dihormatioleh kelompok anak beru. Sedangkan kelompok klanpenerima gadis (anak beru) menempati posisi sosialyang lebih rendah dan berkewajiban melayaniseluruh kepentingan serta perintah pihak kalimbubu.Makna yang diberikan masyarakat mengenaikedudukan sosial kalimbubu diprediksikan serupadengan kedudukan kaum pria atau seorang suamiyang memperoleh pelayanan khusus dari istri dandihormati oleh anggota keluarganya. Anak berudimaknai <strong>sebagai</strong> seorang istri yang harusmempersiapkan segala kebutuhan dari suaminya.Ketimpangan hubungan gender dipengaruhi olehperlakuan hegemonial dari pihak kalimbubuterhadap kelompok anak beru. Perbedaan sosialisasinilai budaya yang kepada anak laki-laki dan anakperempuan dapat menimbulkan ketimpanganhubungan gender tersebut.Dikotomi peran gender di antara pasangansuami-istri merupakan interpretasi kontekstualmasyarakat terhadap hadiah yang diberikan olehpihak kalimbubu. Hadiah yang diberikan kepadawanita (istri) adalah seperangkat peralatan rumahtangga dan sepasang ayam, sedangkan kepada pria(suami) diberikan sebilah parang dan peralatanpertanian. Pemberian tersebut menjadi simbolwilayah kekuasaan berdasarkan peran gender, wanitaberperan di sektor domestik, sedangkan priamenguasai sektor publik. Pembagian kerja secaraseksual merupakan tendensi dari perspektif ideologipatriarki masyarakat mengenai jenis pekerjaan yangpantas bagi kaum pria atau kaum wanita. Masyarakatmenganggap tabu bila suami turut memasak didapur dengan istrinya.Dominasi oleh kaum wanita dalam sektorpertanian <strong>sebagai</strong> suatu konsekuensi kultural dariadat rebu, karena adat rebu tersebut membatasipartisipasi kaum pria dalam aktivitas pertanian dankelompok aron yang telah mereka bentuk.Ketimpangan gender selalu dihubungkan denganperspektif ideologi patriarki dan sosialisasi nilaidalam kehidupan rumah tangga mereka masingmasing.Akibatnya ideologi patriarki tersebut dapatmempertahankan ketimpangan hubungan genderdalam kehidupan masyarakat. Perubahan dandinamika hubungan gender disebabkan olehperubahan pola pertanian masyarakat dari bentukpertanian subsisten ke pertanian komersial.Dekonstruksi hubungan gender dalam kehidupankeluarga dan masyarakat dibentuk peran ganda kaumwanita.Dominasi wanita dalam aktivitas rumah tanggadan pertanian merupakan respon masyarakatterhadap sistem nilai budaya, sosialisasi nilai danideologi patriarki. Keterbatasan partisipasi kaum priadi sektor domestik dan pertanian tidak terlepas daripengaruh pemosisian individu ke dalam struktursosial tertentu berdasarkan adat kebiasaan masyarakat.Seorang pria atau suami berkedudukan <strong>sebagai</strong>kepala keluarga yang mengatur dan memimpinseluruh anggota keluarganya. Sedangkan wanitaberkedudukan <strong>sebagai</strong> ibu rumah tangga yang18


Jonni PurbaKetimpangan Gender dan Bertahannya Konstruksi Patriarkhi….berkewajiban melayani seluruh anggota keluarganya.Tampak bahwa ketimpangan dan perubahanhubungan gender di dalam masyarakat sangatterpengaruh oleh pranata sosial dan adat-istiadatKaro.Daftar PustakaAbdullah, I.1997 "Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang PencarianIdentitas Perempuan", dalam Sangkan Paran Gender,I.Abdullah (ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Fakih, M.1996 Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Mauss, M.1992 Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran diMasyarakat Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Sadli, S. dan Soemitro, P.1995 "Identitas Gender dan Peran Gender", dalamKajian Wanita dalam Pembangunan, T.O.Ihromi(penyunting). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Scott, J.C.1976 The Economic of Peasant: Rebellion andSubsistence In Southeast Asia. London: Yale UniversityPress Ltd.Suparlan, P.1992 "Kata Pengantar", dalam Pemberian: Bentukdan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno, MarcelMauss. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Warto.1997 "Wanita Pabrik: simbol Pergeseran StatusWanita Desa", dalam Sangkan Paran Gender, I. Abdullah(ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.19


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005GOTONG ROYONG, MUSYAWARAH DAN MUFAKATSEBAGAI FAKTOR PENUNJANG KEREKATANBERBANGSA DAN BERNEGARA 1Lister BerutuAntropologi FISIP USUAbstrak:Selama ini program pembangunan yang dijalankan di negeri ini tidak memperhitungkan potensi nilai-nilai budaya yangsecara tradisional sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia seperti gotong royong, musyawarah danmufakat. Tulisan ini memberikan gambaran bahwa nilai-nilai budaya tradisional tersebut sesungguhnya potensial untukmenjadi aspek signifikan untuk perekat kehidupan bangsa.Kata kunci: gotong royong, musyawarah, mufakat, pembangunan, modal sosial.n• PendahuluanBila kita menoleh pada kebijakan pembangunanmasa Orde Lama dan terutama masa Orde Baru,sebenarnya sejak lama banyak kalangan tidak setujudengan kebijakan kedua rezim ini. Tapi karenaadanya ketakutan terhadap pemerintah yang otoritermembuat sangat sedikit orang yang berani berbedapendapat atau mengajukan kritik. Kebijakanpembangunan yang diterapkan selain sentralistik,juga cenderung, tanpa mempertim-bangkankeanekaragaman dan aspirasi dari masyarakat luas.Salah satu buktinya potensi daerah termasuk potensibudaya tidak menjadi pertimbangan dalam prosespengambilan keputusan. Kebudayaan daerah (sukubangsa), misalnya dianggap <strong>sebagai</strong> penghambatpembangunan bukan <strong>sebagai</strong> potensi yang kondusifbagi pembangunan. Kebudayaan dan masyarakatpendukungnya hanya dijadikan objek pembangunan.Akibatnya bukan saja program dan tujuan tidaktercapai, tapi malah banyak menimbulkan konflikyang berkepanjangan di tengah masyarakat.Pembahasan-pembahasan mengenai keberagamanbudaya <strong>sebagai</strong> faktor penentu semangatberbangsa dan bernegara menjadi sangat relevandewasa ini mengingat faktor semakin meluasnyafenomena disintegrasi bangsa.Melalui dialog-dialog bertema demikiandiperoleh wacana baru tentang bagaimana aspekbudaya dijadikan <strong>sebagai</strong> salah satu rujukan dalam1 Tulisan ini didasarkan pada makalah yang disampaikanpada Dialog Kebudayaan yang diselenggarakan olehDepartemen Pendidikan Nasional Kantor WilayahPropinsi Sumatera utara pada hari Kamis 21September 2000.proses pengambilan keputusan publik. Eraglobalisasi dan reformasi sekarang ini menuntutterjadinya perubahan kebijakan pembangunan daimodel penyeragaman menuju keberagaman, daripola “top down” menuju “bottom up”.Walaupun masih pada tataran wacana, parabirokrat atau perencana pembangunan sudah adakemauan politik yang mengarah kepada suasana yanglebih kondusif. Indikasinya, mereka sudah seringmelontarkan konsep-konsep yang relevan dengankepentingan masyarakat secara lebih luas termasukmasyarakat lokal. Konsep-konsep seperti pembangunanparisipatif, masyarakat sipil (civil society), ekonomikerakyatan dan aspirasi arus bawah (grass root) bukansesuatu yang asing lagi saat ini. Karena itusebenarnya terbuka peluang bagi pengembanganpotensi-potensi yang ada di daerah termasuk potensisosial budaya <strong>sebagai</strong> modal dalam pembangunan.Gotong-royong, musyawarah dan mufa-katmerupakan bagian potensi budaya yang seringdibanggakan berbagai kalangan (awam, ilmuan)<strong>sebagai</strong> suatu potensi yang relevan dalam prosespembangunan. Nilai gotong-royong, musyawarahdan mufakat dapat dijadikan <strong>sebagai</strong> dasar untukkerekatan berbangsa dan bernegara. Gotongroyong2 , musyawarah 3 dan mufakat 4 ditengah-2 Secara konseptual gotong royong dapat diartikan <strong>sebagai</strong>suatu model kerjasama yang disepakati bersama.Koentjaraningrat (1987) membagi dua jenis gotongroyong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yakni:gotong royong tolong menolong dan gotong royongkerja bakti. Tolong menolong terjadi pada aktivitaspertanian, aktivitas sekitar rumah tangga, aktivitaspesta dan pada peristiwa bencana dan kematian. Kerjabakti biasanya bersifat untuk kepentingan umum yangdikelompokkan dua tipe. Tipe pertama kerja bakti atas20


Lister BerutuGotong Royong, Musyawarah dan Mufakat <strong>sebagai</strong>…tengah masyarakat sudah dianggap <strong>sebagai</strong>kepribadian bangsa karena mengakar pada nilai-nilaibudaya sebagian besar masyarakat Indonesia, danjuga diyakini <strong>sebagai</strong> potensi sosial yang dapatdijadikan <strong>sebagai</strong> bagian yang signifikan dalampemecahan berbagai masalah yang kemasyaraka-tan.Seperti yang dikatakan oleh Collette (1987: 13)bahwa gotong-royong telah berurat-berakar dantersebar dalam kehidupan masyarakat Indonesia danmerupakan pranata asli paling penting dalampemmbangunan. Kartodirjo (1987) menyatakanbahwa gotong-royong bukan hanya khas Indonesiatapi merupakan salah satu bentuk solidaritas khasmasyarakat agraris.Tulisan ini mencoba memberikan gambaranbagaimana sebenarnya unsur-unsur yang diagungkantersebut dalam tatanan empiris dan bagaimanaterdapat dioptimalkan <strong>sebagai</strong> modal sosial (sosialcapital) yang dapat menjadi perekat keutuhan bangsa.Konsep yang DigunakanSebelum bicara tentang gotong-royong atautolong-menolong, musyawarah dan mufakat yangdikategorikan <strong>sebagai</strong> budaya bangsa, terlebih dahuluperlu klarifikasi tentang konsep kebudaya-an.Pertama, secara awam kebudayaan sering diartikandalam arti sempit yang hanya menyang-kut unsurunsuryang berhubungan dengan keindahan. Padahal kalau kita baca referensi-referensi tentangkebudayaan 2 ternyata ia mengandung pengertianyang luas dan menyang-kut berbagai aspekkehidupan.Kedua, kebudayaan itu sering juga dianggapstatis dan tidak berubah dari waktu ke waktu, padahal secara teoritis dan empiris pernyataan ini tidakbenar, karena tidak ada kebudayaan manusia di duniaini yang tidak berubah. Seperti yang dikatakan olehColson (1984) bahwa kebudayaan suatu proses yangtidak stabil tapi berubah-ubah sesuai dengankepentingan dan kondisi yang sedang berlaku.Preposisi ini diperkuat oleh Frederick Barth (1978)yang menyatakan kebudayaan selalu mengalamiperubahan dan bervariasi yang secara konkrit dapatinisiatif warga masyarakat dan tipe kedua kerjabaktikarena dipaksakan.3 Musyawarah dapat diartikan <strong>sebagai</strong> pembahasan untukmenyatukan pendapat dalam penyelesaian masalahbersama atau suatu keputusan yang diambil dari rapatyang tidak berdasarkan suara mayoritas.4 Mufakat adalah persetujuan bulat atau kesepakatanbersama5 Koentjaraningrat (1982) menyatakan kebudayaan adalahkeseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karyamanusia yang dijadikan pedoman dan milik bersamaserta diperoleh dengan proses belajar. Labih lanjutdikatakan ada 3 wujud, yakni wujud budaya, sosial danartifak dengan 7 unsur kebudayaan yang universal.dilihat pada tindakan-tindakan. Vaida (1989)menyatakan tidak ada kebudayaan yang baku.Ketiga, yang juga penting adalah adanyaanggapan bahwa kalau berbicara tentang kebudayaansuatu suku bangsa diidentikkan dengan suatulokalitas tertentu. Misalnya, bicara tentangkebudayaan Batak Toba tidak terlepas dari TapanuliUtara, kebudayaan Karo dengan wilayah KabupatenKaro, Pakpak dengan Kabupaten Dairinya danseterusnya. Di era keterbukaan ini tentu menjadikurang relevan karena masing-masing etnissebenarnya tidak terikat lagi dengan batas geografi,karena selain terjadi mobilitas yang tinggi darimasing-masing kelompok etnis, juga tidak ada lagisuku bangsa (khususnya di Sumatera utara) yangtertutup atau bebas dari pengaruh teknologiinformasi.Mengacu kepada konsep kebudayaan di atasdalam melihat gotong royong, musyawarah danmufakat <strong>sebagai</strong> bagian dari “kebudayaanIndonesia”, perlu dilihat unsur dinamika didalamnya sehingga tidak hanya <strong>sebagai</strong> slogan tapiharus sesuai dengan fenomena di lapangan. Preposisiini penting karena sebahagian masyarakat resahdengan hilangnya tradisi yang diturunkan olehnenek moyangnya, termasuk nilai-nilai gotongroyong. Pada hal kalau disadari tidak mungkin tradisiitu hilang sepanjang bermanfaat dan sesuai denganzamannya.Gotong-royong, Musyawarah dan Mufakatdalam Konteks Masyarakat Sumatera UtaraSecara umum setiap kelompok masyarakat(suku bangsa) di Indonesia mengenal budaya gotongroyong, musyawa-rah dan mufakat. Hal ini dapatdibuktikan dengan adanya istilah dan jenis ataubentuk yang mengacu kepada unsur tersebut.Misalnya di Bali dikenal istilah krama atau seka yangterdiri dari krama desa, krama banjar, krama subakdan seterusnya. Demikian juga masyarakat Jawa yangmengenal istilah sambatan, bersih desa dan<strong>sebagai</strong>nya (Kartodirjo,1987; Koentjaraning-rat,1987).Di Sumatra Utara sendiri baik di pedesaanmaupun di perkotaan kehidupan masyarakatnyamasih diwarnai oleh jiwa dan semangat gotongroyongdan juga berbagai mekanisme dalam prosespengambilan keputusan yang identik denganmusyawarah dan mufakat. Buktinya dapat dilihatdalam berbagai aktivitas hidup, baik dalam aktivitaspertanian, aktivitas sekitar rumah tangga, aktivitasupacara adat dan pada peristiwa-peristiwa lainnya,walaupun tentu saja sudah berubah bentuk dansubstansinya.Istilah-istilah yang konvensional dan relevandengan hal tersebut misalnya: marsiadapari,marsiurupan, tonggo raja, marapot (Toba), guro-guro aron,21


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005nganting manuk, erunggu, (Karo), rimpah-rimpah, abinabin,muan nakan peradupen, runggu, zikarah (Pakpak)identik dengan gotong-royong dan mekanismemusyawarah mufakat. Implementasinya dapatdiamati dalam aktivitas pertanian, upacaraperkawinan, upacara sunatan, peristiwa-peristiwakemalangan, dan kegiatan lainnya.Perkembangan selanjutnya wujud gotongroyongdan mekanisme musyawarah mufakat tidakterbatas pada organisasi kekerabatan, organisasiekonomi dan komunitas, tapi juga dalam organisasikeagamaan, organisasi profesi, dan organisasi sosiallainnya. Dalam konteks ini dapat dilihat berbagaibentuk kerjasama dan aktivitas saling menolong yangdilaksanakan berdasarkan keputusan bersamamelalui mekanisme musyawarah mufakat. Kemudiandiimplementasikan dalam berbagai aktivitas, sepertiarisan, pengajian, persekutuan doa, serikat tolongmenolong, perkumpulan marga dan berbagaiasosiasi profesi.Pihak-pihak yang terlibat dalam konteksmasyarakat pedesaan pada awalnya terbatas padaanggota kerabat dan tetangga sekitar wargakomunitas saja, namun dalam perkembanganselanjutnya seiring dengan terjadi perubahan dankompleksnya kepentingan, terutama dalam konteksperkotaan, unsur teman sejawat, teman seagama,teman sehobi dan teman seprofesi menjadi pihakyang sangat penting. Dengan demikian gotongroyong,musyawarah dan mufakat dalamperkembangan saat ini bukan hanya milik suatukelompok etnis secara eksklusif tapi menjadi milikumum karena di dalamnya terjadi lintas agama danbudaya atau etnis. Dengan kata lain di pedesaanmaupun di perkotaan terjadi perubahan tipe dansubstansinya sesuai dengan kebutuhan. Di pedesaanmemang perubahannya relatif lebih lambat dansederhana dibanding di perkotaan, karena diperkotaan selain tuntutan perbedaan kebutuhan dankepentingan yang semakin beragam, jugadipengaruhi oleh tingginya mobilitas sosial danterbukanya akses yang lebih luas turutmempengaruhi laju perubahan tersebut.Di lain pihak walaupun terjadi perubahanbukan berarti nilai gotong royong, musyawarah danmufakat yang mengacu kepada daerah asal ataubudaya etnis tertentu menjadi hilang meskipundalam lingkup perkotaan. Tapi budaya tersebut tetapdipertahankan, hanya saja wujud dan substansinyadisesuaikan dengan situasi kondisi, dan kebutuhanbudayanya dalam lingkup perkotaan (Berutu,1999).Misalnya, dalihan natolu <strong>sebagai</strong> dasar terjadinyagotong-royong dan <strong>sebagai</strong> mekanisme dalam prosespengambilan keputusan pada masyarakat BatakToba, tetap diacu tapi disesuaikan dengan situasikondisi dan kebutuhan mereka di kota. Kiranyasudah tepat ketika Tambun Siahaan (1982)menyimpulkan bahwa prinsip gotong-royongmasyarakat Batak Toba selalu didasarkan padaprinsip dalihan natolu terutama pada kegiatan upacara,pesta dan kegiatan adat lainnya. Dari hasil kajianpenulis di kota Medan membuktikan masihberkembangnya organisasi sosial yang berorientasietnis di kota Medan yang mengacu kepada sistemkekerabatan dan daerah asal (Berutu,1999).Nilai Gotong-royong, Musyawarah dan Mufakat<strong>sebagai</strong> Perekat Kehidupan Berbangsa danBernegaraDari paparan di atas, berikut dicoba untuklebih spesifik menjelaskan substansi yang relevandengan kepentingan, pengembangan kehidupanberbangsa dan bernegara. Artinya ada unsur-unsuryang dapat diangkat dari substansi tersebut berperanuntuk menjalin kebersamaan yang sifatnya lintasgolongan, agama, dan lintas etnis. Bila kita amatilebih jauh dan mendalam, nilai gotong-royong,musyawarah dan mufakat dalam organisasi yanglintas etnis dan agama sangat erat kaitannya denganmunculnya saling menghargai dan saling toleransi.Bila dikembangkan tentu dapat menjadi perekathubungan antar etnis dan budaya.Contoh-contoh organisasi yang lintas etnis di kotaMedan adalah gereja, pengajian, wirid, persekutuandoa (organisasi keagamaan), organisasi profes (IDI,ISWI, Kadin dll) dan berbagai asosiasi dalam suatukomunitas tertentu, seperti Serikat TolongMenolong, Arisan, dan Julo-julo. Contoh Organisasilintas agama, misalnya: Serikat Tolong Menolong,berbagai Organisasi profesi, perkumpulan marga,dan arisan.Dari penjelasan tentang tipe dan substansi yangada tentang gotong-royong, musyawarah danmufakat di atas, maka ternyata tidak semua tipekondusif untuk menunjang terjadinya harmonisasiantar etnis dan agama karena ada yang bersifateksklusif. Namun demikian semangat dan jiwakebersamaan serta tingginya kepedulian yangterkandung dalam prinsip gotong-royong dapatdiacu <strong>sebagai</strong> pedoman hidup sepanjang tidakmenghambat dalam pengembangan prestasi darimasing-masing anggotanya.PenutupDari uraian di atas dapat disimpulkan beberapahal. Pertama, ke depan berbagai potensi budayadaerah perlu dikaji lebih lanjut sehingga dapatdijadikan alternatif pilihan dalam proses penerapanpembangunan yang partisipatif.Kedua, nilai-nilai gotong royong, musyawarah danmufakat masing dijunjung tinggi oleh masyarakatIndonesia umumnya dan Sumatera Utara khsusnya.Namun demikian, juga perlu pengkajian danpemahaman lebih jauh sehingga tidak terjebak pada22


Lister BerutuGotong Royong, Musyawarah dan Mufakat <strong>sebagai</strong>…pengkultusan seolah-olah menjadi segala-galanya.Pada hal kenyataanya tidak ada kebudayaan yangtidak berubah, termasuk nilai-nilai budaya tersebut.Selain itu perlu diidentifikasi bentuk dansubstansinya yang relevan dengan pembangunanumumnya dan integrasi bangsa dan negarakhususnya.Akhirnya musyawarah untuk mufakat yangdijiwai oleh semangat gotong-royong dalamkehidupan masyarakat dan berbangsa perludikembangkan dalam berbagai arena sosial. Mulaidari keluarga, lingkungan tempat tinggal, temansejawat hingga arena bangsa dan negara. Polapartisipasi dalam proses pengambilan keputusanyang berlandaskan kesetaraan harkat dan martabatsesama menjadi suatu kata kunci yang harus diingatdan dipraktekkan.Daftar PustakaBarth, Frederick. 1987. Cosmology in Making : Ageneratie Approach to Culture Variation in Inner,New Guinea Cambridge University Press.Berutu, Lister.1999. “Organisasi Sosial yangBerorientasi Etnis Sebagai Suatu Stategi AdapatifDalam Masyarakat Majemuk di Kotamadya Medan”,Dipresentasikan pada Jubleum ke 30 <strong>Jurnal</strong>Antropologi di FISIP UI JakartaColson, Elizabeth. 1984. “The Reoarding or Experience :Anthropological Involvement With Time, inJournal of Anthropological Research.Colletta, Nat J. 1987. Kebudayaan dan PembangunanSebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapandi Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor.Gunawan, Rimbo. 1996. “Fokus Group: TeknikPelaksanaan”, dalam <strong>Jurnal</strong> Analisis Sosial, Bandung,Akatiga, edisi 4: 61-75.Koentjaraningrat.1987.Pokok-Pokok Antropologi Sosial,Jakarta, Dian Rakyat. 1982 Kebudayaan Mentalitasdan Pembangunan, Jakarta,Gramedia.Kartodirjo, Sartono. 1987. “Gotong Royong: SalingMenolong Dalam Pembangunan MasyarakatIndonesia”, dalam Nat J. Callette dan Umar Kayam(ed) Kebudayaan dan Pembangunan SebuahPendekatan Terhadap Antropologi Terapan diIndonesia, Jakarta, Yayasan Obor.Siahaan, Tambun. 1982 “Prinsip Dalihan Natolu danGotong Royong pada Masyarakat Batak Toba, dalamKoentjaraningrat (ed) Masalah-masalahPembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan,Jakarta, LP3ES.Soemardi, Soeleman. 1995 “Asas Kekeluargaan ataukahAzas Persudaraan Dalam Kehidupan Berbangsa danbernegara”, dalam Masyarakat <strong>Jurnal</strong> Sosiologi,Jakarta,Jurusan Sosiolog UI, edisi 3:9-13.Vaida, Andrew. “The Concept of Process in SocialScience Explanation”, paper printed at TheAnnual Meeting of TheEdvancement of Science,San fransisco California.23


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005ETHNOSCAPE :Nuansa Baru untuk Etnografi di dalam AntropologiErmansyahAntropologi FISIP-USUAbstrakKajian tentang mobilitas tidak hanya harus dipahami dari faktor pendorong dan penarik, konsekuensiekonomi yang diperoleh seseorang dalam melakukan mobilitas, maupun kontribusi yang diberikan terhadap daerahasal. Mobilitas yang dilakukan seseorang atau sekelompok dari suatu tempat ke tempat lainnya dapat dipahamimelalui sudut pandang ethnoscape. Suatu sudut pandang yang menjelaskan seseorang atau sekelompok orang yangmengalami proses deteritorialisasi dan mereproduksi kebudayaannya di dalam latar sosial budaya yang berbeda darisuatu tempat dimana ia menjadi bagian sebelumnya. Kajian ethnoscape merupakan kajian yang bertipekan studikasus dan cukup penting untuk dikembangkan, khususnya dalam tradisi kajian Antropologi. Kajian ini memberikanpemahaman baru tentang konteks sosial budaya yang berubah yang memiliki corak masyarakat yang beragam dengansistem nilai dan mode ekspresi yang berbeda. Di samping itu, memberikan pemahaman tentang resistensi suatukebudayaan yang diwujudkan melalui proses reproduksi kebudayaan dan perubahan bentuk-bentuk kebudayaan didalam lingkungan budaya yang berbeda.Kata kunci : Mobilitas, Ethnoscape, Deteritorialisasi, dan Reproduksi Kebudayaan.Mobilitas dan EthnoscapeMobilitas penduduk dari suatu wilayah kewilayah lainnya telah lama menjadi fokus kajian ilmusosial-budaya. 1 Ada yang mencermati dari push danpull factory, serta konsekuensi ekonomi yangdiperoleh seseorang dalam melakukan mobilitas.Demikian juga dengan kontribusi para migran kedaerah asalnya, baik untuk kerabat maupunpembangunan di kampung halaman. 2 Di sampingitu, juga ada yang lebih menekankan kajian terhadapmelemahnya ikatan-ikatan tradisional, seperti halnyamobilitas penduduk dari desa ke kota yangmemperesentasikan melemahnya ikatan kekerabatan,hubungan ketegangan, maupun solidaritas sosial(Wirth, 1980). Berbagai penekanan dalam berbagaikajian mobilitas tersebut semakin memperkayakhasanah keilmuan.1 Konsep mobilitas dapat dipahami dari empat aspekyakni : ruang, tempat tinggal, waktu dan perubahanaktivitas (Standing, 1991).2 Kajian tentang mobilitas penduduk dari suatu wilayah kewilayah lainnya yang sangat populer di Indonesia adalahkajian Mochtar Naim (1984) tentang “merantau” dariorang Minangkabau. Orang Minangkabau merupakansalah satu suku bangsa yang dikenal melakukanmobilitas yang sangat tinggi, baik dalam kuantitasmaupun jarak yang ditempuh. Bahkan, merantaumerupakan fenomena budaya bagi suku bangsaMinangkabau.Suatu hal yang sangat penting dan memberikannuansa baru dalam kajian ilmu sosial budaya,khususnya Antropologi, saat ini adalah pemfokusantentang ethnoscape terhadap kajian mobilitas(Appadurai, 1984). Hal ini memberikan pemahamanyang sangat berbeda dari berbagai kajian mobilitasyang telah pernah dilakukan.Appadurai menjelaskan ethnoscape <strong>sebagai</strong>gambaran orang-orang yang memutuskan untukbergerak atau pergi dari suatu tempat ke tempatlainnya seperti para turis, imigran-imigran,pengungsi, pekerja tamu, pelarian politik dan orangorangmaupun kelompok-kelompok lainnya.Kesemuanya itu merupakan gambaran pentingtentang dunia saat ini dan juga dapat mempengaruhipolitik bangsa dan antar bangsa. Ethnoscape bukanberarti menunjukkan tidak adanya komunitaskomunitasdan jaringan-jaringan kekerabatan,persahabatan maupun pekerjaan yang secara relatifstabil. namun, lebih menunjukkan realita dan fantasikeinginan untuk bergerak dari suatu tempat ketempat lain yang berbeda dari latar sosial budayadimana seseorang atau kelompok orang menjadibagian sebelumnya.Lebih lanjut dijelaskan bahwa adalah suatu halyang menarik untuk melihat bagaimana realitas danfantasi berpergian saat ini berfungsi dalam skala yanglebih luas. Tidak hanya menggerakkan orang-orangke kota-kota sekitarnya dan kota-kota besar sepertiJakarta, Bandung, Surabaya dan Medan, tetapi sudah24


ErmansyahETHNOSCAPE : Nuansa Baru untuk Etnografi di dalam Antropologi …menjadi begitu menginternasional dengan mobilitaske Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Korea,Arab Saudi dan tempat-tempat lainnya (Abdullah,1995).Mereka yang terus bergerak ke berbagai tempatini terus hidup dalam dunia fantasi. Dengan katalain, mereka menghadirkan “masa lalu” dankebudayaan dalam berbagai citra yang dibangunnyadi tempat dengan latar belakang sosial budaya yangberbeda.Ethnoscape dipahami melalui 3 (tiga) proses yang salingberkaitan. Pertama, mobilitas seseorang atau sekelompokorang dari lokalitas asalnya dengan berbagai alasan danjarak yang ditempuhnya. Kedua, proses perpindahan tersebutsekaligus mewujudkan lokalitas yang dituju <strong>sebagai</strong>lokalitas yang tidak lagi terikat oleh batas-batas sosialbudayatertentu. Ketiga, seorang atau sekelompok orang yangberada di lokalitas yang baru yang berbeda dengan lokalitasasalnya akan mendefenisikan dirinya dan mengekspresikankembali identitas kebudayaan.Akhirnya, “etno” dalam etnografi akhirnyamemiliki sifat yang tidak terlokalisir yang akanditanggapi oleh praktek-praktek deskriptifAntropologi. Ethnoscape menjadi objek Antropologiyang tidak dapat diabaikan atau menjadi keharusanuntuk dipahami. Kebudayaan pun tidak lagi terikatpada suatu ruang atau teritorial tertentu. Kebudayaanlokal atau kebudayaan etnik, dapat hadir danmemberikan corak tersendiri di berbagai ruangmengikuti arah mobilitas yang dituju padapendukung kebudayaan tersebut. Para Antropologidiharapkan dapat merespon bentuk-bentukkebudayaan metropolitan semacam ini danmenjadikannya <strong>sebagai</strong> etnografi metropolitan yangtidak terikat pada batas-batas wilayah dengan batasbataskebudayaan yang jelas.Deteritorialisasi, Reproduksi Kebudayaan danMetode yang digunakan dalam KajianEthnoscapeKapitalisme telah menjadi kekuatan yang besardan terlihat mempengaruhi, khususnya sangatmenonjol dalam bidang transportasi. Berbagaifasilitas transportasi semakin mudah didapatkan dantelah memungkinkan terjadinya mobilitas semakinintensif. Setiap orang dapat bergerak terus menerusdari suatu tempat ke tempat yang lain danmeninggalkan batas-batas kebudayaannya. Dengankata lain, setiap orang memiliki kemampuanbergerak begitu cepat dengan berbagai kepentingannyake tempat yang berbeda dengan latar belakangsosial budaya dimana mereka menjadi bagiansebelumnya.Mobilitas telah menjadi tanda yang pentinguntuk dipahami. Tidak hanya dari sudut tingkatmobilitas, tetapi juga dari ciri-ciri orang ataukelompok yang datang dan pergi. Suatu tempatmemiliki corak masyarakat yang tersusun dariberbagai kelompok yang berbeda, dengan orientasinilai dan mode ekspresi diri yang berbeda.Sesungguhnya, kenyataan tersebut menunjukkansuatu proses deteritorialisasi. 3 Hal ini dimaksudkanbahwa batas-batas sosial dan kebudayaan telahmengabur, karena seseorang atau sekelompok telahmenjadi bagian di tempat yang baru dengan latarsosial budaya yang berbeda. Mereka tidak lagi terikatoleh suatu tempat dengan sistem nilai yang jelas.Kenyataan tersebut menjadi faktor pentingdalam kehidupan seseorang. Di satu sisi, keberadaanseseorang di lingkungan yang baru mengharuskannyauntuk menyesuaikan diri secara terus menerusagar dapat menjadi bagian dari sistem sosial budayayang baru. Di sisi lainnya, identitas asal yang telahmenjadi bagian sejarah kehidupan seseorang tidakdapat ditinggalkan begitu saja. Bahkan, kebudayaanasal cenderung menjadi pedoman dalam kehidupandi tempat dengan lingkungan sosial budaya yangbaru.Secara lebih rinci dapat dipahami bahwakeberadaan seseorang atau sekelompok orang ditempat yang baru dengan latar sosial budaya yangberbeda mewujudkan 3 (tiga) proses sosial, yang jugasaling berkaitan. Pertama, pengelompokkan kembalidi dalam latar sosial budaya yang baru. Proses inimerupakan proses yang penting dalam hubungannyadengan proses adaptasi. Dengan kata lain, adakecenderungan dari seseorang atau sekelompokorang untuk mencari tetap berhubungan dengan danmenetap bersama warga kelompok asalnya di tempatyang baru. Kedua, proses rekontruksi sejarahkehidupan seseorang atau sekelompok orang karenaada fase kehidupan baru terbentuk. Hal ini memilikiarti yang sangat berbeda bagi seseorang atausekelompok orang, karena latar sosial budaya yangberbeda dengan latar sosial budaya dimana merekamenjadi bagian sebelumnya. Ketiga, prosesrekafigurasi “proyek-proyek” etnik mereka. Dengankata lain, seseorang atau sekelompok orang ditempat yang baru akan menyusun kembali danmenegaskan identitas kelompok ataukebudayaannya.Perubahan konteks atau latar sosial budayamenimbulkan kesadaran seseorang atau sekelompokorang untuk menegaskan kembali asal usul dan3 Istilah tersebut tidak hanya berlaku untuk berbagaiperusahaan transnasional, pasar uang, tetapi juga untukberbagai kelompok etnik, gerakan sekte, kelompokpolitik yang beroperasi melewati batas-batas teritorialdan identitas tertentu. Deteritorialisasi jugamenciptakan pasar-pasar untuk perusahaan filmmaupun biro-biro perjalanan yang tumbuh ataskebutuhan merelokasi penduduk untuk berhubungandengan daerah asal. Namun, daerah asal hanyaditemukan sebagian dan eksis di dalam imaginasi.25


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005identitas kebudayaannya. Hal ini menunjukkan suatuproses reproduksi kebudayaan. Proses reproduksikebudayaan dapat dipahami dari tiga aspek(Abdullah, 1995). Pertama, aspek kognitif, yangmelihat kebudayaan <strong>sebagai</strong> sistem gagasan yangmerupakan pedoman hidup manusia. Untuk itu,gagasan dan berbagai aspek kehidupan seseorangatau sekelompok orang akan dikaji untuk melihatsistem kosmologis dalam rangka menjelaskanbentuk-bentuk reproduksi kebudayaan.Kedua, aspek evaluatif, yang merupakan standarnilai yang masih direproduksi dan digunakan untukmenilai kehidupan di tempat yang baru. Hal inimengarah kepada analisis norma-norma dan nilainilaiyang masih berperan di dalam kehidupanseseorang atau sekelompok orang, meskipun didalam latar sosial budaya yang berbeda. Aspekevaluatif sangat penting diperhatikan karena berkaitanerat dengan pemberian makna terhadap suatukehidupan.Ketiga, aspek simbolik, yang merupakanbentuk-bentuk ekspresi kebudayaan yang dapatdilihat dari berbagai upacara dan kegiatan yangberlangsung. Keberadaan berbagai upacara dankegiatan kebudayaan tersebut merupakan tandapenting dari pelestarian kebudayaan. Secaralangsung, hal tersebut menjelaskan bentuk-bentukreproduksi kebudayaan yang diwujudkan seseorangatau sekelompok orang di dalam latar sosial budayayang berbeda.Lebih lanjut dijelaskan Abdullah bahwa kajianethnoscape yang bertipekan studi kasus denganreproduksi kebudayaan <strong>sebagai</strong> unit analisis tidakberarti membutuhkan metode penelitian yang baru.Metode yang sudah lazim digunakan di dalamAntropologi tetap menjadi metode yang pentingseperti halnya metode survei, pengamatan terlibatdan wawancara mendalam. Survei digunakan untukmengetahui ciri-ciri sosial, ekonomi dan ciri-cirimobilitas kelompok pendatang. Pengamatan terlibatdilakukan untuk memahami bentuk-bentuk upacaradan kegiatan kebudayaan untuk memahami bentuk–bentuk upacara dan kegiatan kebudayaan yangdilakukan. Hasil pengamatan terlibat diperdalamdengan serangkaian wawancara mendalam, terutamayang menyangkut aspek kognitif dan evaluatif dariseseorang atau sekelompok orang di dalam kontekssosial budaya yang berbeda. Dengan cara ini pikiranpikirandan perasaan-perasaan dari seseorang atausekelompok orang tentang keberadaan kebudayaannyadapat diungkapkan secara lebih rinci danmendalam.yang lain akan mengalami proses deteritorialisasi.Dengan kata lain, batas-batas sosial dan kebudayaanakan mengabur, karena seseorang atau sekelompoktelah menjadi bagian di tempat yang baru denganlatar sosial dan budaya yang berbeda. Suatu tempatdihuni oleh kelompok-kelompok masyarakat yangberbeda dengan sistem nilai dan mode ekspresi yangberbeda pula.Seseorang atau sekelompok orang yang beradadi tempat yang baru pun cenderung untukmengelompok kembali dengan warga sesamanya,merekonstruksi sejarah kehidupannya dan menegaskanasal usul maupun identitas kebudayaannya.Penegasan asal–usul dan identitas di tempat denganlatar sosial budaya yang berbeda dari tempat dimanaseseorang menjadi bagian sebelumnya merupakanproses reproduksi kebudayaan. Reproduksikebudayaan merupakan unit analisis di dalam kajianethnoscape.Ethnoscape merupakan kajian yang pentinguntuk dilakukan. Pertama, memberikan pemahamanbaru terutama dalam menganalisis konteks sosialbudaya yang berubah. Kedua, memberikanpemahaman tentang proses dominasi dansubordinasi kebudayaan, serta resistensi kebudayaandi dalam konteks sosial budaya yang berbeda.Ketiga, memberikan pemahaman tentang prosesreproduksi kebudayaan daerah asal maupun bentukbentukperubahan kebudayaan yang dapat diamatidalam praktek-praktek kehidupan seseorang atausekelompok orang sehari-hari.Dengan demikian, etnografi tidak lagi menjadisuatu keharusan praktek-praktek deskriptif padasuatu lokalisasi dalam batas-batas wilayah, sosial dankebudayaan tertentu atau yang jelas. Ethnoscapememberikan nuansa baru dalam tradisi kajianAntropologi. Suatu kejian untuk memahami prosessosial budaya yang diwujudkan seseorang atausekelompok orang yang keluar dari lokalitas asalnyaatau berada di dalam latar sosial budaya yangberbeda.PenutupMobilitas merupakan tanda yang penting dariberbagai proses sosial. Seseorang atau sekelompokorang yang bergerak dari suatu tempat ke tempat26


ErmansyahETHNOSCAPE : Nuansa Baru untuk Etnografi di dalam Antropologi …Daftar PustakaAbdullah, Irwan,1995. Metode Penelitian Kualitatif. Hand Out. Program StudiAntropologi. Yogyakarta : Pascasarjana UniversitasGadjah Mada.Appadurai, Arjun.1994. “Global Ethnoscape : Notes and Queries for aTransnational Antropology” dalam Richard G. Fox (ed),Recapturing Anthropology : Working in the Present. Hlm. 191-211. new Mexico: School of American Research Press.Naim, Mochtar,1984. Merantau : Pola Migrasi Suku Minangkabau.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.Standing, Guy.1991. Konsep-Konsep Mobilitas di Negara Sedang Berkembang.Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UniversitasGadjah Mada.Wirth, Louis.1980. “Urbanism As a Way of Life” dalam Irwin Pressdan M. Estellie Smith (ed), Urban Place and Proccess. Readingin the Anthropology of Cities. Hlm. 30-48. New York:Macmillan Publishing CO, Inc.27


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005DAMPAK DARI KOMERSIALISASI HUTAN ALAMTERHADAP MASYARAKAT DAERAH 1Amri MarzaliAntropologi UIAbstrakTulisan ini memberikan gambaran tentang aspek sosial ekonomi dan kebudayaan dalam pengelolaan dan pengusahaanhutan Indonesia, khususnya yang dilakukan oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan, baik swastamaupun milik negara. Aktivitas HPH telah membawa beberapa dampak positif dan negatif terhadap lingkunganalam, kondisi ekonomi, struktur sosial, dan kebudayaan masyarakat setempat. Dampak positif misalnya, pembukaanjalan baru di tengah-tengah hutan, munculnya pemukiman baru <strong>sebagai</strong> pusat kegiatan ekonomi, penyebaran teknologibaru ke daerah pedalaman. Sementara dampak negatif antara lain berupa perubahan pola perilaku dan nilaikebudayaan yang menyuburkan perilaku negatif seperti perjudian, perkelahian, pembunuhan dan pelacuran;pelanggaran terhadap ketentuan adat setempat, dan pencuian kayu.Kata kunci: HPH, desa binaan, hak-hak tradisionalPengantar 1Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945menyirat-kan suatu ketentuan bahwa hutan harusdikelola dan dimanfaatkan secara lestari untukkemakmuran rakyat Indonesia. Ketentuan ideal inijuga telah muncul <strong>sebagai</strong> tema Kongres KehutananSe-Dunia di Jakarta tahun 1978, Yaitu “Forest forPeople”.Sejak awal dekade 1990, tema pengelolaanhutan secara lestari dan pemanfaatan yang sebesarbesarnyauntuk kemakmuran rakyat, makin menjadiperhatian dunia, antara lain telah menjadi bagian darikebijakan International Tropical TimberOrganization (ITTO), yang dirumuskan dalamSidang ITTO ke–8 di Bali tahun 1990. 2 Kebijakan inimakin diperkuat dalam keputusan-keputusan yangdiambil dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi diRio de Janeiro tahun 1992. 31 Tulisan ini bersumber dari makalah yang disampaikandalam Seminar Nasional “Manusia and Forest: Utilizationof Tropical Rain Forest Ecosystem and Its Consequences to TheEnvironment“, diselenggarakan oleh Deparment LuarNegeri, Badan Penelitian dan PengembanganDEPDIKBUD, dan Universitas Mulawarman, 17-19Oktober 1995, di Kampus Universitas Mulawarman,Samarinda.2 Lihat ITTO Guidelines for the Sustainable Management ofNatural Tropical Forest, ITTO Policy DevelopmentSeries 1, Yokohama, 19923 Lihat Hasil Unced/KTT Bumi 1992, terjemahan bebas<strong>terbitan</strong> Departemen Kehutanan 1992, a.l. Bahan SeriBeberapa Lembaga Swadaya pun telahmenganjurkan dunia agar memboikot kayu yangdatang dari negara yang tidak mengelola hutanmereka secara lestari dan tidak memanfaatkannyauntuk rakyat banyak. Beberapa negara konsumenkayu tropis juga mengancam akan menghentikanimpor kayu mereka dari negara-negara produsenyang tidak peduli dengan lingkungan alam dankemakmuran ekonomi rakyat banyak.Apakah praktek pengelolan dan pengusahaanhutan di Indonesia selama ini, khususnya di luarJawa, telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan idealdiatas? Apakah yang telah diusahakan Pemerintah(Departemen Kehutanan) untuk mencapai carapengelolaan dan pengusahaan hutan secara lestaridan yang bermanfaat untuk rakyat banyak?Bagaimana hasil pencapaian usaha tersebut?Makalah ini akan memusatkan perhatian padaaspek sosial-ekonomi-kebudayaan dalam pengelolaandan pengusahaan hutan Indonesia, khususnyayang dilakukan oleh Perusahaan Pemegang HakPengusahaan Hutan (disingkat: PP-HPH), baikswasta maupun Badan Usaha Milik Negara.Empat masalah yang dianggap penting padamasa kini yang berkaitan dengan perilaku PP-HPHNo.1 Konperensi Tingkat Tinggi Bumi dan Implikasinya diBidang Kehutanan dan Bahan Seri No.2 Prinsip-PrinsipKehutanan.28


Amri MarzaliDampak dari Komersialisasi Hutan Alam terhadap Masyarakat Daerahdalam mengusahakan hutan mereka adalah <strong>sebagai</strong>berikut:1. PP-HPH selama ini dituduh telah melecehkanhak-hak tradisional penduduk setempat, yaituhak ulayat, hak untuk berladang secara rotasi,hak untuk memungut hasil hutan non kayu, danhak untuk mengambil kayu hutan bagi keperluandesa dan rumah tangga. 42. Pengusahaan hutan dilakukan oleh “orang luar”dengan pekerja dari luar. PP-HPH kurangmemberi manfaat langsung maupun tidaklangsung bagi kesejahteraan penduduk setempat.3. PP-HPH tidak mempunyai pengetahuan yangmemadai mengenai kondisi, situasi, dan potensisosial-ekonomi-kebudayaan masyarakat setempat,dan tidak berusaha untuk memperolehpengetahuan tersebut, akibatnya, komunikasiantara PP-HPH dengan masyarakat setempattidak begitu mulus.4. PP-HPH kurang melakukan konsultasi, danmelibatkan partisipasi masyarakat setempat,dalam melakukan kegiatan-kegiatan yangberkaitan dengan produksi kayu, sepertipembangunan jalan, kegiatan logging, danpenetapan Tata Guna Hak Kehutanan.Hak-Hak Tradisional versus Undang-UndangPokok KehutananSebagaimana diketahui, pengusahaan hutanoleh PP-HPH dimungkinkan dan difasilitasi olehUndang-Undang Pokok Kehutanan No. 5, tahun1967 (UUPK 1967) dan Peraturan Pemerintah No.21, tahun 1970 (PP No. 21/1970). Sebagian orangberanggapan bahwa UUPK 1967, khususnya Pasal17 yang berkaitan dengan hak tradisional masyarakatsetempat, adalah bersifat kontroversial. Dalamrangka memberi keleluasaan bagi PP-HPH untukmengeksploitasi hutan alam, UUPK 1967 telahmenyatakan penyangkalan, atau pembatalan,terhadap keberlakuan hak ulayat suatu kelompokmasyarakat atas suatu wilayah tertentu. Hak ulayatsebenarnya telah diakui oleh Undang-Undang PokokAgraria No. 5, tahun 1960 (UUPA 1960). Buktitentang pengakuan tersebut terutama dirujukkankepada Pasal 5, yang berbunyi <strong>sebagai</strong> berikut:Hukum adat berlaku atas bumi, air dan ruangangkasa, sepanjang tidak bertentangan dengan4 Lihat a.l. Masri Singarimbun, “Hal Ulayat MasyarakatDayak”, dalam Florus dkk (ed.), Kebudayaan Dayak:Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: Garmedia, 1994;Mubyarto dkk, Desa dan Perhutanan Sosial. Yogyakarta:Aditya Media, 1992:114-127; Sandra Moniaga,“Menuju Hutan Masyarakat Swakelola danHubungannya dengan Pengakuan Atas Hak MilikAdat di Pulau-Pulau di Luar Jawa”, dalam INFID(ed.), Pembangunan di Indonesia:Memandang Dari Sisi lain.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan INFID, 1993.kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkanpada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesiaserta dengan peraturan-peraturan yang tercantumdalam Undang-Undang ini dan dengan peraturanperundangan lainnya, segala sesuatu denganmengindahkan unsur-unsur yang bersandar padahukum agama 5 .Sementara itu, beberapa pasal dalam UUPK1967 yang dipandang <strong>sebagai</strong> pernyataan pembatalanatas hak ulayat adalah <strong>sebagai</strong> berikut:PH dalam mengusahakan hutan mereka adalah<strong>sebagai</strong> berikut:1. Pasal 5, ayat (1), yang berbunyi: “Semua hutandalam wilayah Republik Indonesia termasukkekayaan alam yang terkandung didalamnyadikuasai oleh Negara”.2. Pasal 17, yang berbunyi: kayu, dan hak untukmengambil kayu hutan bagi keperluan desa danrumah: “Pelaksanaan hak-hak masyarakat,hukum adat dan anggota-anggotanya serta hakhakuntuk perseorangan untuk mendapatkanmanfaat dari hutan, baik langsung maupun tidaklangsung yang didasarkan atas sesuatu peraturanhukum, sepanjang menurut kenyataannya masihada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuantujuanyang dimaksud dalam Undang-Undangini”.Penyangkalan dan pembatalan hak ulayat ini,demikian dituduhkan ternyata makin diperkuat lagioleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.21 tahun 1970 (PP 21/1970), khususnya Pasal 6yang berbunyi:1. Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat danAnggota-anggotanya untuk memungut hasilhutan yang didasarkan atas suatu peraturanhukum adat sepanjang menurut kenyataannyamasih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkansehingga tidak mengganggu pelaksanaanpengusahaan hutan.2. Pelaksanaan tersebut dalam ayat (1) Pasal iniharus seijin Pemegang Hak Pengusahaan Hutanyang diwajibkan meluluskan pelaksanaan haktersebut pada ayat (1) Pasal ini yang diaturdengan suatu tata tertib <strong>sebagai</strong> hasilmusyawarah antara Pemegang Hak danMasyarakat Hukum Adat dengan bimbingan danPengawasan Dinas Kehutanan.3. Demi keselamatan umum di dalam areal hutanyang sedang dikerjakan dalam rangkapengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyatuntuk memungut hasil hutan dibekukan.5 Dikutip dari Sandra Moniaga ibid, hal 112.29


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005Benarkah UUPK 1967 bertentangan denganUUPA 1960, sehubungan dengan hak ulayat? Darisudut pandang pemerintah, nampaknya tidak persisbegitu, karena meskipun hak ulayat diakuikeberadaannya dalam UUPA 1960, namunkeberadaannya itu hanya diakui sepanjang tidakbertentangan dengan kepentingan nasional danNegara 6 . Dipihak lain, “Perencanaan Hutan”,“Pengurusan Hutan”, “Pengusahaan Hutan”, dan“Perlindungan Hutan” yang ketentuan-ketentuanpelaksanaannya dituangkan dalam UUPK 1967,menurut pemerintah, adalah bertujuan untukmemenuhi kepentingan nasional dan Negara. Jadi,dari sudut pandang pemerintah, tidak terlalu kuatalasan seseorang untuk menuduh UUPK 1967 telahmelanggar, atau bertentangan dengan UUPA 1960,sepanjang berkaitan dengan hak ulayat. Lagi pula,pelaksanaan hak ulayat yang dilarang total hanyalahdi areal yang sedang dikerjakan, bukan di seluruhareal konsesi.Kontroversi hak ulayat seperti yang disinggungdi atas harus diakui <strong>sebagai</strong> masalah yang rumit,tidak dapat dibicarakan secara selintas dalam ruangyang terbatas ini. Diperlukan satu forum khususyang lebih serius.Impak dari UUPK 1967 dan PP No. 21/1970Bagaimanapun, dengan keluarnya UUPK 1967dan PP 21/1970 maka secara teoritis makin terbatashak tradisional masyarakat setempat atas hutankonsesi. Masyarakat setempat hanya bisa melanjutkanhak-hak tersebut setelah mendapat izin dari PP-HPH dan Dinas Kehutanan, hak tersebut samasekali tertutup di blok hutan konsesi yang sedangdikerjakan.Berbekal undang-undang dan peraturan diatas,maka secara teoritis PP-HPH merasa berhak untukmengeksploitasi hutan konsesi, tanpa perlumenghiraukan apakah di dalam kawasan hutantersebut pernah ada, atau tidak, hak ulayat suatukelompok masyarakat tertentu. Dalam prakteknya,memang ada sebagian PP-HPH yang menyangkalhak ulayat tersebut, bahkan cenderung mencegahmasyarakat setempat untuk mengambil hasil hutannon kayu, apalagi hasil hutan kayu, dari daerahkonsesi mereka. Mereka cenderung untuk mencegahmasyarakat setempat untuk bertani di daerah konsesimereka, meskipun kegiatan tersebut telah dilakukanoleh masyarakat tersebut sejak lama.Konflik antara Perusahaan HPH denganMasyarakat SetempatPenduduk setempat tidak pernah menerimabahwa ketentuan-ketentuan tentang hak-hak6 Ketentuan seperti ini juga dinyatakan dalam Pasal 3UUPA 1960.tradisional mereka dapat dikerdilkan, apalagi ditutup,dengan cara begitu saja. Hak tersebut telah merekapegang dan jalankan sejak lama, diturunkan darinenek-moyang yang sudah tidak diketahui lagituanya. Hak-hak tradisional tersebut adalah samadengan totalitas kehidupan mereka. Hutan bukanhanya memberi mereka hidup, hutan telahmembentuk suatu sistem ekologi-sosial yang khas didalam mana seluruh aspek dari kehidupan merekaterjalin.Meskipun mereka mendengar dan mengalamiancaman dari berbagai pihak yang berkuasa, namunkegiatan berladang cara rotasi di hutan, mencari kayuhutan, memungut hasil hutan non kayu, dan lain<strong>sebagai</strong>nya tetap mereka jalankan seperti biasa.Sementara itu, dipihak lain, PP-HPH terusmenjalankan eksploitasi hutan tanpa menghiraukanhak-hak tradisional.Apa yang terjadi ketika kegiatan kedua belahpihak bertemu di suatu kawasan yang sama padawaktu yang sama, tentu saja timbul konflik. Konflikselalu menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pihakmanapun yang terlibat di dalamnya. Masing-masingpihak merasa terancam oleh pihak yang lain. bagipihak penduduk setempat, PP-HPH telahmenimbulkan ancaman terhadap harmoni totalitaskehidupan mereka, sementara itu, bagi pihak PP-HPH, penduduk setempat dapat menjadi ancamanterhadap keselamatan kerja dan kelangsunganproduksi kayu.Jalan Keluar: Peraturan BaruDalam hal ini, untunglah Pemerintah RepublikIndonesia bertindak bijaksana. Baik atas dasarkemauan sendiri, maupun karena didesak oleh pihakluar (seperti ITTO, LSM, dan negara-negarakonsumen kayu), Pemerintah sejak awal dasawarsa1990 mulai memberi perhatian yang lebih serius danwajar terhadap kepentingan penduduk setempat.Perhatian tersebut ditandai dengan keluarnya SuratKeputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/91(SK Menhut No. 691/Kpts-II/91) tentang “PerananPemegang Hak Pengusahaan Hutan DalamPembinaan Masyarakat di Dalam dan di SekitarHutan”, yang pada prinsipnya beranggapan bahwa“Pemegang Hak Pengusahaan Hutan mempunyaikewajiban untuk membantu meningkatkankesejahteraan masyarakat desa di dalam dan disekitar hutan konsesi mereka” 7 . Ruang lingkupkegiatan pembinaan ini adalah menyangkut aspekaspek:1. Pertanian menetap7 Surat Keputusan ini telah diperbaharui oleh SKMenhut No:69/Kpts-II/1995, dengan sedikitperubahan dalam isinya, termasuk keberlakuan SuratKeputusan tersebut terhadap Pengusahaan HutanTanaman Industri.30


Amri MarzaliDampak dari Komersialisasi Hutan Alam terhadap Masyarakat Daerah2. Peningkatan ekonomi3. Pengembangan sarana dan prasarana umum4. Sosial-budaya5. Pelestarian sumber daya hutan dan lingkungannya.Surat Keputusan di atas disusul oleh SK MenhutNo. 251/KPTS-II/1993 tentang “KetentuanPemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat HukumAdat atau Anggotanya di Dalam Areal HakPengusahaan Hutan”. Dalam SK Menhut No. 251 diatas dinyatakan bahwa masyarakat lokal bolehmemungut hasil hutan di daerah konsesi <strong>sebuah</strong> PP-HPH. PP-HPH yang bersangkutan wajib memberiizin atas perbuatan memungut setelah masyarakatlokal sebelumnya memperoleh izin dari PejabatKehutanan yang berwewenang. Hasil hutan yangdipungut tidak untuk diperdagangkan, hanya untukkeperluan sendiri.Berdasarkan surat keputusan ini maka,kedudukan hak-hak tradisional penduduk setempatmakin lebih jelas, sehingga konflik antara PP-HPHdan masyarakat setempat dapat dihindarkan, atausekurang-kurangnya diperkecil. Kita dapatmenyimpulkan sikap pemerintah terhadap hak-haktradisional penduduk setempat adalah:1. Pemerintah mengizinkan penduduk setempatuntuk melanjutkan kegiatan tradisional merekauntuk memungut hasil hutan, baik kayu maupunnon kayu, di dalam kawasan hutan konsesi.Namun demikian, kegiatan ini harus dilakukanmenurut ketentuan yang ditetapkan pemerintah(lihat pasal 2 dan 4, SK Menhut No. 251/Kpts-II/93).2. Pemerintah tidak mengakui hal ulayat (hakpenguasaan tanah) kelompok masyarakattertentu di dalam lingkungan suatu hutankonsesi (Pasal 5 SK Menhut No. 251/Kpts-II/93).3. Pemerintah tidak menyukai, dan tidak akanmembiarkan, penduduk setempat untukmeneruskan tradisi perladangan rotasi. Namunketentuan ini tidak dilaksanakan dengan carapelarangan langsung, tapi dengan caramembantu peladang berpindah tersebut untukberalih menjadi petani menetap. Untuk itubantuan diberikan melalui PP-HPH dimanamasyarakat tersebut berada (SK Menhut No.691/Kpts-II/91 dan Surat Keputusan DirekturJenderal Pengusahaan Hutan No.170/Kpts/IV-PHH/1992) 8 .4. Sebagai imbalan atas eksploitasi hutan di suatukawasan tertentu, Pemerintah merasa8 SK Dirjen PH ini telah diperbaharui dengan SK DirjenPH No: 210/Kpts/IV-BPH/1995, dengan sedikitperubahan dalam isinya.berkewajiban untuk meningkatkan kesejahteraanekonomi dan kemajuan sosial-kebudayaanmasyarakat di dalam dan di sekitar hutantersebut, khususnya dalam bentuk bantuandalam bidang pertanian, lowong pekerjaan,sarana dan prasarana umum, dan sosialkebudayaan.Pembinaan dan bantuan inidiberikan melalui, dibebankan kepada, dandilaksanakan oleh PP-HPH (SK Menhut No.691/Kpts-II/91 dan Sk Dirjen PHNo.170/Kpts?IV-PHH/1992)Upaya-upaya pemerintah untuk mewujudkanpeningkatan kesejahteraan masyarakat setempat<strong>sebagai</strong>mana yang dinyatakan di atas, telah dijadikan<strong>sebagai</strong> bagian dari prinsip pengelolaan danpengusahaan hutan secara lestari, yang harusdilaksanakan oleh setiap PP-HPH. Prinsip besertaketentuan-ketentuannya dituangkan dalam SKMenhut No.252/Kpts-II/93. Termasuk ke dalamketentuan tersebut adalah bahwa Menteri Kehutanantidak akan mengesahkan Rencana Kerja Tahunan<strong>sebuah</strong> PP-HPH, jika Perusahaan tersebut tidakmempunyai rencana yang kongkrit tentang upayaupayauntuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatsetempat, <strong>sebagai</strong>mana yang tertuang dalam SKMenhut No.691/Kpts-II/91 dan SK Dirjen PHNo.170/Kpts?IV-PHH/1992.Peranan APHI <strong>sebagai</strong> Pengawas dan PembinaKinerja PP-HPH 9Sehubungan dengan ketentuan-ketentuantentang pengelolaan dan pengusahaan hutan yangtelah dikeluarkan oleh Pemerintah seperti yangdisebut di atas, maka Asosiasi Pengusaha HutanIndonesia (APHI) dalam beberapa tahun terakhir initelah mengambil langkah-langkah kongkrit untukmewujudkan ketentuan-ketentuan tersebut. Langkah-langkahyang diambil oleh APHI ini sematamataterdorong oleh aturan-aturan yang dikeluarkanoleh Pemerintah, tapi juga tidak terlepas daripertimbangan atas tekanan-tekanan yang diberikanoleh ITTO, LSM (baik nasional maupuninternasional), dan negara-negara pengimpor kayuIndonesia 10 . Salah satunya adalah keharusansertifikasi bagi setiap produk kayu, atau apa yanglebih populer dengan istilah ecolabelling, pada tahun2000 nanti.Pada bulan Juli 1992 yang lalu, APHI telahmenghimpun sejumlah ahli kehutanan senior dariberbagai universitas di Indonesia, dan membentuk9 PHI adalah singkatan dari Asosiasi Pengusaha HutanIndonesia.10 etua APHI telah diminta oleh DirJen PengusahaanHutan, melalui surat tanggal 24 Oktober 1992, untukmemonitor dan mendisplinkan anggotanya dalammelaksanakan Program HPH Bina Desa Hutan.31


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005himpunan tersebut menjadi Komisi Pembina PP-HPH. Komisi Pembina ini telah diminta untukmenyusun suatu daftar kriteria dan indikator(DK&I) bagi pengelolaan dan pengusahaan hutanproduksi alam secara lestari. DK&I ini akandigunakan <strong>sebagai</strong> panduan untuk menilai kinerjaanggota-anggota mereka, dan setelah itu, hasilpenilaian akan digunakan <strong>sebagai</strong> dasar untukmembina dan meningkatkan kinerja anggota-anggotatersebut.Pekerjaan penyusunan DK&I oleh KomisiPembina ini diselesaikan dalam bulan April 1993.Pedoman-pedoman yang digunakan <strong>sebagai</strong> dasardalam menyusun DK&I tersebut adalah antara lain:1. Pedoman yang dikeluarkan oleh ITTO,2. Prinsip-prinsip dari Forest Stewardship Council,3. Pedoman dari World Wildlife Fund for Nature,4. Sistem Tebang Pilih dan Tanam Indonesia(TPTI),5. Surat-surat keputusan Menteri Kehutanan, dan6. Aturan-aturan lain yang dikeluarkan olehPemerintah RI.DK&I ini telah diterapkan untuk pertama kaliterhadap 7 PP-HPH di Sumatera dan Kalimantanpada bulan Juni 1993. Sejak awal 1995 penilaian danpembinaan terhadap PP-HPH dengan menggunakanDK&I diatas telah dilakukan secara lebih teratur,yaitu dilakukan rata-rata sebulan sekali, masingmasingterhadap 9 Pemegang HPH.Sampai akhir bulan September 1995 ini,Komisi Pembina diatas, dibantu oleh para asesoryang terdiri dari dosen-dosen berbagai universitas diIndonesia, telah melakukan penilaian dan pembinaanterhadap 44 PP-HPH.Setiap kali kembali dari kegiatan penilaian danpembinaan, Komisi Pembina telah melakukanevaluasi dan revisi, dimana diperlukan, terhadapDK&I. Pekerjaan penilaian dan pembinaan inirencananya akan terus dilangsungkan sampai tahun1999 mendatang.Dampak Pengusahaan Hutan terhadapMasyarakat SetempatHasil observasi yang kami lakukan <strong>sebagai</strong>salah satu seorang anggota Komisi Pembinaterhadap beberapa PP-HPH di berbagai tempat diIndonesia memperlihatkan bahwa kinerja PP-HPHdalam pembinaan dan peningkatan KesejahteraanMasyarakat Desa Hutan, sehubungan denganpelaksanaan SK Menhut No.691/Kpts-II/91 danNo. 252/Kpts-II/93, dan isu ekolabelling, adalahbervariasi menurut daerah 11 . Pada umumnya PP-HPH yang beroperasi di Kalimantanmemperlihatkan kinerja yang lebih baik daripada PP-HPH di tempat lain. Di sini belum dapat diberikanjawaban yang pasti atas perbedaan antar daerah ini.Kemungkinan yang paling dapat dipercaya adalahberhubungan dengan faktor lingkungan alamKalimantan yang relatif lebih datar dan banyaksungai besar, dan faktor sosio-kultural dimanapenduduk masih jarang, terbelakang, banyakmenerima pengaruh luar, dan relatif lebih suka hidupdamai.Kedua, perbedaan kinerja ini juga berkaitandengan umur operasi perusahan. PP-HPH yang telahberoperasi lama, khususnya sejak tahun 1970-an,mempunyai kinerja yang lebih baik daripada yangmulai beroperasi setelah 1990. Faktor ini berkaitandengan pengalaman kerja perusahaan dankemantapan organisasi perusahaan.Faktor ketiga yang juga berperanan dalamkinerja PP-HPH adalah “budaya perusahaan”, ataukhususnya lagi mentalitas dan nilai-kultural parapemegang keputusan dalam PP-HPH tersebut.Perusahaan yang dimiliki dan dijalankan olehmanusia-manusia yang berjiwa Pancasila (peduli akannasib manusia lain, punya rasa kebangsaan Indonesiayang tebal, merasa terpanggil untuk mengembalikansebagian dari keuntungan bagi penduduk setempat,dll) mempunyai kinerja yang lebih baik daripadaperusahaan yang dimiliki dan dijalankan olehmanusia-manusia yang berjiwa “economic animal”,yang hanya bertujuan untuk mencari keuntungansebesar-besarnya bagi diri sendiri.Terakhir, perbedaan kinerja antar PP-HPHjuga dipengaruhi oleh faktor organisasi internalperusahaan. Perusahaan-perusahaan yang mempunyaidivisi khusus untuk kegiatan bina desa hutandisertai dengan tenaga ahli khusus, tentu mempunyaikinerja yang lebih baik daripada perusahaanperusahaandimana kegiatan bina desa hanyadipandang <strong>sebagai</strong> kegiatan sambilan yangditempelkan secara semaunya pada divisi kerja lain.Berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangandi atas maka dapat diperkirakan bahwa dampaksosial-ekonomi-kebudayaan dari kepengusahaanhutan produksi alam di Indonesia, khususnya yangberkaitan dengan proyek-proyek bina desa, tentuakan lebih kentara pada PP-HPH di Kalimantan,yang cukup lama beroperasi, dengan pemilik danpengelola yang berjiwa Pancasila, dan mempunyaidivisi kerja dengan staf tersendiri untuk kegiatanbina desa.Diantara perusahaan seperti itu, yang pernahdiobservasi oleh Komisi Pembina APHI adalah11 Kesimpulan ini dan sebagian besar uraian dalamberbagai tulisan selanjutnya adalah didasarkan ataspenelitian lapangan terhadap beberapa PerusahaanPemegang HPH di Kalimantan, Sulawesi, NusaTenggara Barat, Maluku dan Sumatera, yang dilakukanbersama oleh Komisi Pembina HPH (APHI).32


Amri MarzaliDampak dari Komersialisasi Hutan Alam terhadap Masyarakat Daerahantara lain P.T. Dwimajaya Utama dan P.T. SariBumi Kusuma di Kalimantan Tengah, P.T. SahidJaya II, P.T. ITCI, dan P.T. Kiani Lestari diKalimantan Timur, masih terdapat beberapaperusahaan lain dengan kinerja yang baik dalambidang bina desa, namun belum sempat diobservasioleh Komisi Pembina APHI.Dampak Ekonomi dari Komersialisasi HutanAlamManfaat ekonomi langsung dari kegiatan PP-HPH terhadap masyarakat setempat terlihat melaluipengangkatan penduduk setempat <strong>sebagai</strong> karyawanperusahaan, khususnya di base camp. Penduduksetempat didefinisikan <strong>sebagai</strong> orang-orang yangberasal dari propinsi di mana hutan itu berada. Hasilobservasi di lapangan terhadap beberapa PP-HPH diSumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan NusaTenggara Barat memperlihatkan bahwa perusahaanperusahaantersebut sudah memenuhi kewajibanmereka dengan baik. Persentase karyawan yangberasal dari penduduk setempat adalah bervariasiantara 20% sampai 35% dari total karyawan setiapbase camp.Masalah dengan tenaga kerja lokal ini adalahbahwa hampir seluruhnya berpendidikan rendah dankurang pengalaman, sehingga hanya dapat menjabat<strong>sebagai</strong> tenaga kasar dengan kedudukan <strong>sebagai</strong>buruh harian lepas. Mereka yang mampu menyerapteknologi baru melalui pengalaman kerja, danmempunyai bakat individual yang baik, telah mampumenaikkan derajat kepegawaiannya, sampai antaralain menjadi supir truk logging, saw doctor, cruiser,dan <strong>sebagai</strong>nya.Manfaat ekonomi secara tidak langsung bagipenduduk setempat diperoleh melalui peranankontraktor, sub kontraktor, sampai <strong>sebagai</strong> penjualhasil kebun dan ikan untuk keperluan konsumsikaryawan di base camp. Di daerah hulu sungai diKalimantan, penghanyutan log dari log pond sampaike lokasi yang aman untuk kapal angku, olehbeberapa perusahaan dikontrakkan kepadakontraktor lokal. Kontraktor ini kemudianmengontrakkan lagi beberapa kegiatan yang spesifikkepada kontraktor yang lebih kecil.Penduduk setempat, berkat kemajuan yangmereka capai dalam bidang pertanian, telah mampumenanam dan menghasilkan sayur-sayuran, buahbuahan,dan bumbu dapur, yang mereka jual ke basecamp. Akhir-akhir ini sebagian dari base campterpaksa harus mengatur dan membatasi jumlahpenjual ini, karena penawaran hasil pertaniantersebut melampaui jumlah yang dibutuhkan basecamp. Hal ini menjadikan masalah pertanianpenduduk lokal berubah dari tehnik pertanian kemasalah marketing hasil pertanian.Bagaimanapun, pembangunan koperasi danindustri kecil di kalangan penduduk lokal masih sulitdikembangkan. Perusahaan HPH bukan hanyamemerlukan tenaga khusus untuk melakukanpembinaan, penduduk lokal sendiri pun bagai belummengerti dan belum membutuhkan kegiatanekonomi ini.Desa BinaanSejak tahun 1992, secara formal hampir setiapPP-HPH telah mempunyai desa binaan, yangterletak di sekitar hutan konsesi mereka 12 . Sebagianperusahaan bahkan telah mempunyai desa binaanjauh sebelum SK Menhut No.691/Kpts-II/91dikeluarkan, misalnya pembinaan P.T. DwimajayaUtama terhadap desa Tumbang Manggo (KalTeng),P.T. Sumatera Timber Utama Damai terhadap desaTaman Raja dan P.T. Serestra terhadap desa NaloGedang (Jambi) 13 , dan P.T. Sari Bumi Kusumaterhadap desa Tanjung Paku di KalimantanTengah 14 , dan pembinaan P.T. Veneer ProductsIndonesia terhadap desa Calabai di Sumbawa.Terhadap desa binaan ini, PP-HPH yangberkwalitas cukup baik telah memberikan berbagaibantuan, antara lain <strong>sebagai</strong> contoh dapat dilihatpada Tabel 1. Selain hal-hal tersebut, berbagai PP-HPH lain juga telah membantu desa binaan masingmasinga.l. dengan sarana air bersih, jembatan,dermaga, sekolah dan guru, sarana kesehatan, saranaolah raga, sarana penerangan umum, pemeliharaanrumah ibadah, sampai kepada pemancar radio.Bantuan dalam bidang pertanian akan dibicarakansecara khusus nanti.Masalah dengan bantuan terhadap desa binaanini adalah metode pendekatan antara penduduk desadengan perusahaan. Yang umumnya terjadi adalahbahwa penduduk desa menuntut perusahaan agarmembangunkan mereka sarana dan prasarana umumtertentu, yang pada umumnya tuntutan ini dipenuhioleh perusahaan. Atau, prosedur lain, perusahaansendiri menawarkan bantuan kepada desa, yangtentu saja diterima oleh masyarakat desa. Caraseperti ini dikuatirkan akan menimbulkan rasa manjadan ketergantungan pada masyarakat lokal, dan initentu bukan merupakan tujuan akhir daripembangunan masyarakat desa. Dengan kata lain,12 Meskipun secara formal setiap PP-HPH sudahmempunyai desa binaan, sesuai dengan ketentuan yangberlaku, namun belum semua PP-HPH melaksanakanpembangunan terhadap desa binaan mereka.Selanjutnya, pembinaan yang dianggap “cukup baik’baru dilaksanakan oleh sekitar 25% dari seluruh PP-HPH.13 Mubyarto dkk, ibid.14 Pengalaman P.T. SBK Dalam Mengelola Hutan AlamTanah Kering dan Pembangunan Masyarakat Sekitar Hutan,Jakarta: P.T. Sari Bumi Kusuma, 1995.33


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005pola pembinaan desa yang dilakukan oleh PP-HPHmasih bersifat “memberi ikan, ketimbang memberikail.Tabel 1. Bantuan P.T. Veneer Products Indonesiauntuk Masyarakat Desa Sekitar HutanNo Tahun Jumlah Materi Bantuan1. 1972/1973 3 lokal Gedung SDN Calabai2. 1972/1973 3 Km Jalan dari Pasar Mingguke Desa Pakat3. 1977/1978 706 M 3 Kayu gergajian untukkorban bencana alamLombok Selatan danbencana kebakaranLombok Timur4. 1977/1978 1 unit Lapangan bola dan tribundi Calabai5. 1978/1979 1 unit Rumah Dinas KepalaPerwakilan KecamatanKempo-Pekat6. 1979/1980 1 unit Kantor Desa Kadindi7. 1979/1980 1 unit Talang air irigasi DusunSori Kelate8. 1980/1981 1 unit Masjid di KampungPancasila9. 1980/1981 1 unit Sebagian dana untukpemba-ngunan rumahKepala SDN Calabai10. 1980/1981 2 unit Sepeda motor Suzukiuntuk Kantor KepalaPerwakilan KecamatanKempo-PekatSumber: P.T. Veneer Products Indonesia 15Pembangunan PertanianPembangunan pertanian yang dilakukan PP-HPH dalam program bina desa, pada mulanya,ditujukan pembangunan sistem pertanian menetap,dengan asumsi bahwa sebagian besar penduduk yangtinggal di sekitar hutan adalah bermata pencaharianhidup utama <strong>sebagai</strong> peladang rotasi. Dalam sistempertanian yang berpola ekstensif ini, yang dirotasiadalah plot ladangnya, bukan penanaman benihnya.Setiap satu atau dua tahun, setiap keluarga harusmembuka ladang baru dengan cara tebang bakar.Sementara itu bekas ladang lama dibiarkan tumbuhsecara alami kembali menjadi hutan.Keberatan banyak pihak, khususnyaPemerintah Republik Indonesia, terhadap sistemperladangan berpindah ini adalah rentannya hutanakan kebakaran, dan lahan bekas ladang akan erosi.15 Di atas hanyalah sebagian dari daftar bantuan yanglebih panjang. Data dikumpulkan oleh KomisiPembina Pemegang HPH (APHI) selama kunjunganpenilaian dan pembinaan yang dilakukan di daerahkonsesi P.T. Veneer Products Indonesia di Sumbawa,antara 12-20 Juli 1995Dari segi ekonomi, sistem pertanian ini rendahproduktifitasnya, beresiko tinggi akan kegagalanpanen, dan memerlukan waktu yang panjang dankhusus untuk pengawasan ladang dari hama.Kemudian secara sosial, mata pencaharian hidup inikurang memungkinkan masyarakat untukmengembangkan aspek kehidupan lain, misalnyatidak dapat menyekolahkan anak, tidak dapatmenyelenggarakan pemerintahan desa yang lebihmapan, sukar mengontrol keamanan umum, apalagipengembangan industri.Oleh sebab itu, Pemerintah menggalakkan PP-HPH membantu peladang tersebut mengembangkansistem pertanian menetap. Sistem pertanian menetapini terdiri atas proyek-proyek:1. Pembukaan sawah baru, dengan sistem irigasi,dan penyuluhan tentang teknik pertanian sawahbasah;2. Pembangunan demplot palawija, sayur-sayuran,dan buah-buahan3. Pembangunan kolam ikan percontohan;4. Pembangunan peternakan unggas percontohan.Nampaknya sebagian besar PP-HPH sudahmenyadari kewajiban memperkenalkan danmembangun sistem pertanian menetap ini, danmereka sudah mulai merintis proyek-proyek yangdisebutkan diatas. Dalam pencapaian kerja, sebagianperusahaan sudah jauh melangkah maju, sementarayang lain masih pada tahap awal. Diantara yang majuitu antara lain adalah P.T. Sahid Timber II, yangtelah berhasil mencetak 30 ha sawah baru beserta<strong>sebuah</strong> chek-dam, dan P.T. Kiani Lestari mencetak10 ha sawah basah. Keduanya adalah di KalimantanTimur. Dalam perkembangan selanjutnya, P.T. SahidTimber II sedang memperluas sawah tersebutmenjadi 50 ha, sedangkan P.T. Kiani Lestari akanmemperluasnya menjadi 100 ha.Demplot palawija dan sayur-sayuran nampaknyasudah merata pada PP-HPH yang diobservasioleh Komisi Pembina APHI sepanjang tahun 1995ini. Kegiatan berkebun palawija dan sayuran ininampaknya sudah menyebar di kalangan penduduklokal, sehingga seperti dikatakan di muka hasilproduksi mereka begitu melimpah dan tidaktertampung lagi oleh base camp.Sementara itu pembangunan kolam ikan danpeternakan unggas percontohan masih merupakankegiatan yang langka, hanya beberapa perusahaanbesar saja yang telah memulainya, antara lain P.T.Erna Djuliawati di Kalimantan Barat. P.T. Sari BumiKusuma dan P.T. Dwimajaya Utama di KalimantanTengah.Persoalan-persoalan dengan pembangunanpertanian menetap ini muncul dari dalam maupundari luar PP-HPH. Secara internal, perusahaanmempunyai kesulitan dalam menemukan tenaga ahli,34


Amri MarzaliDampak dari Komersialisasi Hutan Alam terhadap Masyarakat Daerahtapi tidak mahal, dalam usaha membuka demplotdan memberi penyuluhan pertanian, perikana,peternakan, kepada penduduk setempat. Padaumumnya perusahaan mengangkat orangtransmigran dari Jawa yang sudah lama bermukim didekat lokasi hutan konsesi mereka, atau anak-anaktransmigran tersebut.Sementara itu secara eksternal, kesulitanterutama datang dari pihak penduduk setempatsendiri, yang sudah mendarah daging dengan matapencarian berladang secara rotasi. Mata pencarian inibukanlah satu sistem yang berdiri sendiri, dalamtotalitas kehidupan suatu masyarakat, termasuk didalamnya faktor mentalitas. Adalah suatupemandangan yang menggelikan sekaligusmenakjubkan di suatu lahan sawah yang baru dicetakoleh <strong>sebuah</strong> PP-HPH di Kalimantan, dimanaseorang petani Dayak memacul sawahnya sambilduduk pada <strong>sebuah</strong> kursi, dengan alasan sakitpinggang. Pacul adalah satu jenis perkakas baru bagiOrang Dayak yang selama ini lebih mengenal tugaldanparang dalam pertanian.Fasilitas dalam Base CampBase camp PP-HPH bervariasi dalamkelengkapan fasilitas dan kualitas bangunnya. Adabase camp dengan bangunan-bangunan mewah danmegah, beserta fasilitas lengkap, seperti yang dimilikiP.T. Erna Djuliawati. Tapi ada pula base camp, yangdibangun seadanya saja, seperti <strong>sebuah</strong> yangdijumpai di Nusa Tenggara Barat.Disamping kantor, bengkel, dan perumahankaryawan, di dalam base camp biasanya juga adatoko koperasi karyawan yang menyediakan barangbarangkebutuhan sehari-hari dan obat-obatan.Hanya sebagian kecil dari base camp yangmenyediakan Puskesmas lengkap dengan dokternyadan sekolah bagi anak-anak karyawan.Untuk sarana hiburan, minimal ada TV umum.Pada perusahaan yang baik, disediakan karaoke danlaser disc. Sedangkan sarana olahraga yang umumadalah lapangan sepak bola dan bola volley.Beberapa menyediakan lapangan tenis, bahkan adayang menyediakan kolam renang. Semua base campmempunyai sarana listrik dan air bersih sendiri yangcukup bagi karyawan mereka.Gaji karyawan pada umumnya di atas garisUpah Minimun Regional, ditambah dengan jaminankesehatan. Organisasi SPSI pada umumnya belumada. Bagaimanapun, base camp telah menjadi <strong>sebuah</strong>titik kemewahan di dalam lingkungan masyarakatdesa hutan yang terbelakang.Hak Tradisional dan Partisipasi MasyarakatLokalMakin lama PP-HPH makin menyadaritanggung jawab sosial mereka terhadap penduduksetempat. Hal ini didorong oleh beberapa faktor.Pertama, ternyata PP-HPH tidak dapat mencegahpenduduk setempat dari meneruskan kehidupantradisional mereka berladang rotasi dan memunguthasil hutan, baik kayu maupun non kayu, danmenjalankan upacara-upacara keagamaan lama.Makin lama perusahaan makin mengenal sistemsosial-ekonomi-kebudayaan penduduk setempat,meskipun tidak banyak kajian-kajian khusus yangmereka lakukan, kecuali melalui Studi Diagnostikdan pengalaman lapangan.Disamping itu, sebagimana disebutkan dimuka, PP-HPH juga telah diwajibkan olehDepartemen Kehutanan untuk memperhatikankesejahteraan sosial ekonomi, kemajuan kebudayaan,dan hak-hak azazi penduduk lokal. Semua inimembuat perusahaan harus mengubah persepdi danperlakuan mereka terhadap penduduk setempat.Hampir tidak ada lagi ditemukan perusahaanyang mencegah penduduk setempat untukmemungut hasil hutan. Perhatian khusus cumadiberikan terhadap penduduk yang memungut kayukarena dikuatirkan mereka bukan hanya sajamemotong pohon untuk keperluan sendiri, tapimenebang secara besar-besaran untuk dijual.Perbuatan ini jelas melawan hukum dan merugikanPP-HPH.Perusahaan juga tidak berani membangun jalansecara sembarangan. Apabila pembangunan jalanbaru ternyata melewati ladang petani lokal, meskipunladang itu dibangun di atas bekas tebanganperusahaan, maka perusahaan akan merundingkanganti rugi terhadap petani bersama dengan pejabatpemerintah desa setempat. Bahkan beberapaperusahaan membantu penduduk lokal dalammembuka ladang baru di daerah bekas tebanganyang berada di pinggir areal konsesi mereka. Bantuanterutama diberikan kepada penduduk yang menanamkebun tersebut dengan palawija dan sayur-sayuran.Partisipasi dan konsultasi dengan penduduksetempat terutama dilakukan dalam pembukaan jalanbaru, pencetakan sawah, pembangunan dam,pembangunan koperasi dan industri kerajinan, danpembangunan dermaga. Mula-mula perusahaan akanmenghubungi kepala desa yang terkait, kemudianmelalui kepala desa diajak partisipasi masyarakat.Proyek-proyek bina desa sebenarnyamelibatkan berbagai instansi seperti PemerintahDaerah, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian,Koperasi dan Industri Kecil. Persoalan koordinasiantara instansi yang terkait adalah satu lagi masalahyang ditanggung oleh PP-HPH.Perubahan Sosial dan Beberapa Masalah UrgenKegiatan pengusahaan hutan oleh PP-HPHjelas telah menimbulkan perubahan besar terhadaplingkungan alam, kondisi ekonomi, struktur sosial,35


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005dan sistem kebudayaan masyarakat setempat.Sebagian dari dampak ini bersifat positif, sebagianlain bersifat negatif terhadap masyarakat setempat.Dampak positif antara lain adalah pembukaanjalan baru di tengah-tengah hutan, sehinggamembuat komunikasi makin lancar. Bahkan diKalimantan Selatan, sebagian dari jalan logging yangdibangun oleh <strong>sebuah</strong> PP-HPH telah diambil olehPemerintah dan dijadikan Jalan Negara, <strong>sebagai</strong>bagian dari Jalan Trans Kalimantan sebelah timur.Pada masa kini, makin sulit untuk menemukan apayang disebut <strong>sebagai</strong> “masyarakat terasing” dipedalaman pulau-pulau Indonesia. Jalan-jalan hutanyang dibangun oleh PP-HPH telah menjadiprasarana komunikasi alternatif di luar jalantradisional sungai. Banyak ladang-ladang baru yangdibuka penduduk setempat di kiri-kanan jalan utama(jalan logging).Base camp dan log pond ternyata telah muncul<strong>sebagai</strong> pusat pemukiman baru yang didiami olehpuluhan, bahkan ratusan, penduduk baru modernyang datang dari luar. Pemukiman baru ini telahberperan <strong>sebagai</strong> pusat pengembangan kebudayaan.Di sini diperagakan berbagai kegiatan sosial dankebudayaan yang baru-baru ini masih asing bagipenduduk setempat, seperti TV, film, permainansepak bola dan volley ball, kursus, lokakarya, dan<strong>sebagai</strong>nya. Di daerah-daerah tertentu, base campdan log pond telah berkembang menjadi “kota-kota”baru.Pemukiman baru ini juga telah berfungsi<strong>sebagai</strong> pusat kegiatan ekonomi. Dari pusat inikomoditi manufaktur dari luar disebarkan kepadamasyarakat setempat melalui toko koperasikaryawan. Sebaliknya, produk pertanian dankerajinan tangan penduduk lokal diserap olehpenghuni komunitas.Sebagai contoh, desa Batu Ampar di pantaiKalimantan Barat, yang sampai tahun 1960-an masihmerupakan <strong>sebuah</strong> desa nelayan miskin yang dihunioleh sekitar 20 keluarga, kini setelah <strong>sebuah</strong> logpond dibangun di sebelahnya, telah berubah menjadi“kota pantai” yang sibuk dan gemerlap denganberbagai fasilitas hiburan, sehingga dijuluki <strong>sebagai</strong>“Hongkong kecil” oleh penduduk setempat 16 . Kasusyang serupa juga telah terjadi di desa TangkaranPangeran (Batu Licin), Kalimantan Selatan, yangketika PP-HPH Kodeco dibuka pada akhir 1970-an,hanya dihuni oleh beberapa puluh penduduk saja.Kini pada tahun 1995, penduduk sudah mencapailebih dari 60.000 orang.16 Syarif Ibrahim Alqadrie, “Dampak PerusahaanPemegang HPH dan Perkebunan TerhadapKehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya PendudukSetempat di Daerah Pedalaman Kalimantan Barat”,dalam Paulus Florus dkk., ibid.Dampak positif lain adalah penyebar-luasanteknologi baru ke daerah pedalaman, perluasancakrawala pandangan penduduk setempat, danperubahan mentalitas. Juga tidak dapat dilupakandampak kegiatan pengusahaan hutan dalammenaikkan pendapatan daerah melalui penerimaanIuran Rehabilitasi Hutan, Pajak Bumi dan Bangunan,dan sumber-sumber lain.Bagaimanapun, orang tidak dapat menutupmata dari dampak negatif. Pertama, PP-HPH jelastelah membatasi gerak kegiatan ekonomi tradisionalpenduduk setempat. Pembalakkan telahmenghilangkan sebagian dari sumber hutan nonkayu yang selama ini menjadi sumber pendapatanpenduduk, seperti rotan, damar, madu, dan binatangburuan sumber protein. Demikian juga, penduduksetempat kini tidak lagi bebas memotong danmenggunakan kayu hutan untuk keperluan sendiri,karena harus minta izin dari Dinas Kehutanan danPP-HPH.Berladang tidak boleh dilakukan di sembarangtempat, kini terbatas di kawasan di luar RencanaKerja Tahunan. Secara umum perusahaan telahmembatasi ruang gerak dan hak penduduk setempatdalam menjalankan kehidupan tradisional mereka 17 .Dalam kenyataannya, pihak perusahaan sendirijuga mengalami masalah dengan hak tradisional ini,khususnya hak ulayat. Mereka merasa dengan haktradisional ini, khususnya hak ulayat. Mereka merasatidak punya kepastian wilayah, batas wilayah kerjarancu dengan batas wilayah hak ulayat. Semakinbanyak desa yang ada di suatu hutan konsesi,semakin banyak kawasan yang diakui <strong>sebagai</strong> hakulayat penduduk setempat, yang pada gilirannyamembuat semakin sulit perusahaan merencanakankegiatan mereka. Hal ini antara lain dialami oleh P.T.ITCI di Kalimantan Timur, dimana terdapat 30 buahdesa di dalam wilayah konsesinya.Dampak negatif lain dari sudut sosialkebudayaanadalah perubahan pola perilaku dan nilaikebudayaan. Di daerah-daerah yang terkenapengaruh kegiatan pengusahaan hutan berkembangperilaku yang negatif seperti perjudian, perkelahian,pembunuhan, dan pelacuran. Di beberapa tempatterpencil di Kalimantan Timur, Barat, dan Selatankini dapat ditemukan “lokalisasi” wanita pelacurdengan jumlah penghuni sampai puluhan, bahkanlebih dari seratus orang.Pelanggaran terhadap ketentuan hukum adatsetempat meningkat dengan pesat, baik yangdilakukan olen pendatang luar maupun orangsetempat. Disamping kontrol yang kurang ketat,17 Gambaran yang jelas mengenai pembatasan ruang gerakini dapat dilihat dalam laporan Tim P3PK UGM, StudiDiagnostik Desa-Desa di Dalam dan di Sekitar Areal HPHPropinsi Riau, Yogyakarta, 199236


Amri MarzaliDampak dari Komersialisasi Hutan Alam terhadap Masyarakat Daerahpeningkatan frekuensi pelanggaran adat ini jugadisebabkan oleh rendahnya denda adat terhadapmereka yang melanggar. Pelanggaran adat initerutama terjadi dalam bidang etika seksual antarawanita dan lelaki.Dampak negatif yang paling merugikannampaknya adalah pencurian kayu, atau secarapopuler disebut <strong>sebagai</strong> penebangan liar. Dengandisponsori oleh dana dari pengusaha-pengusahatertentu, dan dibeking oknum-oknum keamanan(militer dan polisi), sebagian penduduk lokal telahdiorganisasikan untuk membalak kayu di hutankonsesi maupun hutan lindung secara besar-besaran.Hal yang paling mengenaskan dario pencurian kayuini adlah bahwa pembalakkan ini mereka lakukansampai ke pohon-pohon yang berada di KebunPlasma Nutfah yang dikelola PP-HPH yangbersangkutan. Para pencuri kayu tersebut tidakmengerti fungsi dari kebun tersebut bagi kelestarianflora dan fauna asli Indonesia.Dalam kasus-kasus pencurian kayu ini pihakPP-HPH tidak dapat berbuat banyak mengingatkuatnya beking dari oknum-oknum yang seharusnyamengawasi keamanan hutan. Mengadu kepadainstansi keamanan yang lebih tinggi, oleh PP-HPHdipandang <strong>sebagai</strong> pekerjaan yang sia-sia. Bahkanoleh salah seorang pengusaha hutan perbuatanmengadu tersebut dianggap sama dengan “menimbaair dengan ember bocor”, artinya airnya tidaktertimba, kolamnya makin keruh. Ini adalah salahsatu masalah yang paling serius dihadapi bukanhanya oleh para PP-HPH, tapi oleh hutan Indonesiasecara umum pada masa kini.DAFTAR PUSTAKAPelly, Usman1995 Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan MisiBudaya Minangkabau dan Mandailing,Jakarta : LP3ES.Pelly, Usman1994 Wawasan Kebangsaan dalam EraGlobalisasi, makalah SeminarPengembangan Sumber Daya Manusia,Unilad, Medan.Rustan, Dankwart A1968 “Nation”, dalam InternationalEncyclopedia of Social Science,David L. Sills (Ed.) Vol.11 hal. 1-131991 Diaspora in Modern Societies: Myths ofHomeland and Return, dalam Diaspora,Vol.I, No.1, Spring 1991, p.83.Smith, Anthony D1971 Theories of Nationalism, London:Duckwarth.Southall, AW1970 Ethnic Incorparation among the Alur,R. Cohen and J. Middleton (eds), FromTribe to Nation in Africa, Scanton, PA:Chandler.Wright, Q1942 A Study of War, Vol I & II, Chicago:University of Chicago Press.37


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005KEBUN AGROFOREST KEMENYAN DI TAPANULIUTARA: Upaya Rakyat Memanfaatkan Sumber DayaAlam Hutan Secara AlamiFikarwin ZuskaAntropologi FISIP USUAbstrakTulisan ini mendeseskripsikan cara-cara pemanfaatan hutan oleh petani-petani kemenyan di Kabupaten TapanuliUtara, yang ternyata sangat arif dilihat dari segi pelestarian lingkungan. Tanah hutan telah dijadikan petani menjadikebun budidaya dengan komoditi kemenyan, yang menjadi sumber pendapatan tunai mingguan. Tetapi, perubahanhamparan hutan menjadi kawasan budidaya secara perlahan akan kembali menuju suksesi hutan, berupa hutansekunder dengan tanaman kemenyan, yang secara ekologis masih mampu menunjang fungsi-fungsi ekologis hutan.Karena itu, kebun agrofores kemenyan merupakan alternatif pengelolaan hutan yang di satu sisi tetap memberikanmanfaat ekonomis bagi penduduk, tetapi di sisi lain juga tidak mengorbankan aspek kelestarian fungsi hutan.Kata kunci: agroforest, kemenyan, petaniPendahuluan ♦Proses penciutan hutan pada dasarnya sudahberlangsung sejak dahulu kala. Pertambahanpenduduk bumi yang terjadi karena membaiknyakesehatan, serta meningkatnya aspirasi dankebutuhan manusia yang nyaris tak terbatas, menyebabkanhutan banyak menjadi korban. Lahan hutandikonversi menjadi lahan pertanian, permukimandan perkantoran, pertambangan dan lain<strong>sebagai</strong>nya 1 . Seringkali pula terjadi dalam proseskonversi hutan untuk peruntukan lain, terjadikebakaran yang menghanguskan ribuan bahkanratusan juta hektar hutan dunia 2 . Ditambah lagipengrusakan hutan melalui penebangan kayu yangdilakukan secara besar-besaran oleh perusa-haanperusahaankayu yang mendapat atau tidakmendapat izin dari negara. Semua perbuatanmanusia tersebut, tak pelak lagi, berujung pada1 Lihat misalnya Gradwohl, Judith dan Greenberg,Menyelamatkan Hutan Tropika. (Jakarta: YayasanObor Indonesia, 1991), hal.: 3 - 4; Brown, Lester R,Hari Yang Keduapuluh Sembilan, (Jakarta: Erlangga,1982), hal.: 22-27.2 Emil Salim, dalam ceramahnya di Forum KehatiIndonesia 2001 (10-12 Juli 2001), menceriterakanperihal adanya gejala penggumpalan asap tebalkecoklatan akibat kebakaran hutan di Asia. Sinarmatahari terhalang sampai ke bumi oleh gumpalanasap yang dikenal dengan nama Asia Brown Cloud(Awan Coklat Asia) itu, dan berakibat pada perubahantemperatur di daratan dan lautan.penciutan dan pengerusakan ekosistem hutanbeserta keanekaragaman hayati yang hidup di sana.Pelestarian hutan, yang dewasa ini menjadi isuglobal, bukan bermaksud untuk melarang samasekali manusia memanfaatkan hutan beserta hasilnya.Yang diinginkan oleh ide pelestarian hutan itu adalahbahwa hutan dimanfaatkan oleh manusia dengancara yang arif. Yakni cara pemanfaatan hutan untukkesejahteraan rakyat banyak, dengan senantiasamengutamakan kesinambungan fungsi-fungsiekonomi dan ekologi hutan. Cara-cara pemanfaatanhutan yang arif ini sebenarnya sudah dipraktikkanoleh rakyat di kebanyakan kampung-kampung hutan.Meski mereka memanfaatkan hutan untukkepentingan ekonominya, namun mereka tetapmengindahkan kepentingan lingkungan dengan caracarayang jauh dari sifat tamak dan serakah. Tetapikarena praktik-praktik pengelolaan hutan tersebuttidak lahir dari hasil kajian '<strong>ilmiah</strong>' maka seringkali"praktik orang kampung" itu direndahkan artinyaoleh orang-orang dari luar kampung hutan; yaituorang-orang yang selama ini paling didengarkanseruannya oleh penguasa. Dia bisa menuduh danmembela diri saat ditemukan kesalahannya.Orang-orang kampung hutan, yang tidak tahucara efektif untuk mengeluarkan seruanmenyelamatkan hutan, otomatis menjadi sasarantuduhan dan pengkambinghitaman dari kerusakanhutan beserta ekosistemnya. Bahkan bukan hanyasekedar dituduh, orang-orang kampung hutan iniseringkali terkena tindakan-tindakan keji berupapenggusuran, pemelaratan hingga ke tindakantindakanpenganiayaan dan pembunuhan. Ironisnya38


Fikarwin ZuskaKebun Agroforest Kemenyan di Tapanuli Utara …perbuatan yang biadab ini dikerjakan secarasistematis oleh orang-orang yang menyata-kandirinya beradab 3 .Tulisan ini ingin mendeskripsikan secarasingkat cara-cara pemanfaatan hutan oleh petanipetaniKemenyan di Kabupaten Tapanuli Utara.Seperti akan digambarkan lebih lanjut, cara-carapemanfaatan hutan oleh petani-petani Kemenyan iniadalah sangat arif sehingga perlu dipelihara. Tetapidalam memandang kearifan itu kita tidak perlumenganggapnya <strong>sebagai</strong> sesuatu yang bersifat baku,seragam, dan akan selalu demikian hingga akhirzaman (terwariskan). Bagaimana pun, cara-carapemanfaatan hutan itu sangat mungkin berubah.Berubah karena tekanan dari dalam masyarakat itusendiri ataupun karena tekanan dari luar. Masyarakatdi kampung-kampung hutan, persis dengan orangorangyang tinggal di luarnya, ada dalam jaringannasional dan internasional yang selalu dapatmempenga-ruhi perilaku dan tindakan-tindakannyaterhadap hutan. Rakyat di kampung-kampung hutanbukan orang-orang yang sama sekali terisolir daridunia luar 4 .Kemenyan dan PetaniDalam bahasa Orang Tapanuli UtaraKemenyan disebut haminjon. Dalam buku-buku<strong>ilmiah</strong> Kemenyan asal tanah Batak ini disebut ‘StyraxSumatrana’. Sentot Adi Sasmuko, seorang AsistenPeneliti pada Balai Penelitian Kehutanan PematangSiantar, membagi Kemenyan Sumatera ini dalam 3golongan: Pertama Kemenyan Toba (Styraxsumatrana J.J.SM); kedua Kemenyan Durame(Styrax benzoin dryand) dan ketiga, Kemenyan AekNauli 5 . Pembagian oleh Sasmuko agak berbeda dari3 John H. Bodley (1990) dalam bukunya Victims of Progressdengan sangat jelas memperlihatkan bahwa orang luar(negara dan atau penganjur kemajuan) menaklukkanorang lokal (‘tribal peoples’) dengan cara-cara yang kejamdan licik. Demi memenuhi kebutuhan dan mengejarkemajuan, kata Bodley, sumber daya alam orang lokaldikuras dan bahkan diambilalih sehingga orang lokaldimelaratkan dan mati terbunuh saatmempertahankannya.4 Orang Punan -Liar di pedalaman Kalimantan, yanghidup dari mengumpul hasil hutan non-kayu, dalamkenyataannya terkait dengan pasar internasional. LihatHoffman, Carl F., "Punan Liar di Kalimantan: alasanEkonomis", dalam Michael R. Dove,ed., PerananKebudayaan Tradisional Indonesia DalamModernisasi. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1985) hal.: 143-152.5 Lihat Sentot Adi Sasmuko, "Karakteristik KemenyanSumatera Utara dan laos", makalah dalam EksposeHasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan PematangSiantar (Medan: 30 Maret 1999).pembagian yang dibuat petani Kemenyan 6 , yaitu: (1)Haminjon Toba; (2) Haminjon Bulu; (3) HaminjonDurame, dan (4) Haminjon Dairi. Khusus HaminjonToba, menurut petani, terbagi lagi menjadi (a)getahnya cepat kering (pargotta porak ) dan (b)getahnya lama kering (pargotta mendet).Awam mengenali Kemenyan biasanya <strong>sebagai</strong>suatu benda seperti kristal yang kalau dibakarmengeluarkan bau khusus (bau Kemenyan). Bendaini, kecuali digunakan <strong>sebagai</strong> campuran rokoknyaOrang Jawa, sering kali dihubungkan denganaktivitas religi, atau aktivitas-aktivitas lain yang adakaitannya dengan makhluk halus dan supranatural.Dengan pengertian yang seperti itu, orang mungkinsaja tidak lagi terbayang bahwa dibalik benda itu adasesuatu yang nyata; yaitu pohon Kemenyan di hutanhutandan petani yang membawa Kemenyan itu kepasar. Orang tidak peduli bahwa di sana ada prosesbudidaya (menanam, memelihara, memanen),transaksi (jual-beli) yang rumit, serta berbagaipersoalan hukum dan kemasyarakatan sebelumKemenyan tadi sampai ditangan konsumen.Tulisan ini ingin menyingkap aspek yangkurang dikenal oleh awam itu. Tulisan ini akan bicaramengenai kebun Kemenyan <strong>sebagai</strong> cara petanimemanfaatkan sumber daya hutan. Untukmengetahui hal itu maka tidak ada pilihan lain diIndonesia, kecuali satu; yaitu belajar pada masyarakatpetani Kemenyan di Tapanuli dan Dairi. Hanya diTapanuli dan Dairi orang membudidayakanKemenyan <strong>sebagai</strong> tanaman pertanian 7 . Sama halnyadengan Orang Krui di Lampung Barat, menanamdamar mata kucing (shoreajava-nica) <strong>sebagai</strong> tanamanpertanian. Tulisan ini tidak bermaksud membicarakandetail budidaya Kemenyan secara teknis, melainkanhanya ingin menjelaskan bahwa praktikpembudidayaan Kemenyan itu adalah salah satupraktik ekonomi bercocok-tanam pendudukkampung yang kontributif pada pelestarian hutan.Beberapa sumber informasi menyebut-kanbahwa tanaman Kemenyan termasuk salah satutanaman endemik di Tapanuli (Utara). Ia tumbuhdengan baik di atas tanah dengan ketinggian antara600-1000 meter di atas permukaan laut (Anonimous,6 klasifikasi Kemenyan ini berbeda dengan klasifikasiKemenyan yang dibuat oleh petani di Dairi.Tampaknya klasifikasi buatan petani Tapanuli Utara,yang meletakkan Kemenyan Dairi pada peringkatmutu rendah, dipengaruhi oleh sentimen etnis. OrangDairi tidak sependapat dengan hal itu.7 Fikarwin Zuska, "Kebun Agroforest Damar: Kejadiandan Kontribusinya Pada Rumahtangga", dalam ArifNasution, dkk., Dinamika Dan Problema Masyarakat.(Medan: UPT Penerbitan dan Percetakan USU, 2000).Hal. :13-29.39


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005tt., hal., 1604) 8 . Di Tapanuli Selatan, TapanuliTengah serta Dairi pun tanaman Kemenyan cukupbanyak tumbuh. Tetapi yang lebih dikenal <strong>sebagai</strong>sentra Kemenyan nyatanya Tapanuli Utara. DataStatistik Perkebunan Sumatera Utara jugamemperlihatkan demikian. Baik keluasan areanyamaupun jumlah produksi-nya masih Tapanuli Utarayang tertinggi dibandingkan yang lain. Dari 23kecamatan di Tapanuli Utara (sebelum dipisahdengan Toba Samosir), 22 Kecamatan tercatat<strong>sebagai</strong> daerah penghasil Kemenyan. Delapankecamatan di antaranya memiliki areal Kemenyan diatas 1000 hektar. Di kecamatan Adian Kotingbahkan areal Kemenyan mencapai luas 2.632 hektardengan produksi sekitar 548 ton per tahun.Tabel 1. Luas Areal dan Jumlah Produksi TanamanKemenyan di Beberapa Daerah Tingkat Dua diSumatera UtaraKabupatenLuas Areal(ha)JumlahProduksiTapanuli Selatan 743Tapanuli Tengah 52Tapanuli Utara 17.821 4.153Dairi 1.822Sumber: Statistik Perkebunan 1995Selain karena alasan bahwa Kemenyan <strong>sebagai</strong>tumbuhan endemik di hutan Tapanuli (Utara),muculnya tradisi berkebun Kemenyan ini tidak bisadilepaskan dari adanya perdagangan Kemenyan.Berbeda dari padi yang bisa ditanam untukkeperluan subsistensi, Kemenyan bukan tanamanpangan yang bisa dikonsumsi untuk rumah-tangga.Oleh sebab itu maka kuat dugaan bahwa tradisiberkebun Kemenyan ini pun ada hubungannyadengan perdagangan Kemenyan di masa lalu.Menurut catatan sejarah, salah satu pusatperdagangan Kemenyan di wilayah ini pada masalampau adalah pantai Barus (Fansyur), <strong>sebuah</strong>pelabuhan penting ketika itu di pantai Barat pulauSumatera. Secara sporadis dalam beberapa bukudisebutkan bahwa pelaut-pelaut Timur Tengah, Cinadan India sejak abad pertama telah membawa KapurBarus dan Kemenyan dari Tapanuli. Kegunaannyaadalah untuk bahan pengawet mummi-mummi pararaja di Romawi dan Fira'un di Mesir. Disebutkanpada masa itu hingga beberapa abad kemudian,Kemenyan dan Kapur Barus asal Tapanuli initergolong barang mahal yang nilainya lebih tinggi8 Heyne mengatakan tanaman Kemenyan tumbuh baikpada ketinggian 900 - 1200 meter di atas permukaanlaut, sementara Pinyopusarerk menyebut KemenyanLaos tumbuh baik pada 800 - 1600 meter dpl. LihatSasmuko, ibid. hal.:1.dari pada emas 9 . Karena itu tidak mengherankan bilapenduduk di sekitar pelabuhan meman-faatkanpotensi alamnya yang bernilai mahal tadi(Kemenyan) dengan cara mengumpul dan ataumemperluas penanamannya (mem-budidayakanKemenyan).Keterangan historis ini sekaligus menjawabpersoalan mengenai kegunaan dari Kemenyan. Selainyang telah disebutkan terdahulu (bahan campuranrokok dan perlengkapan upacara religi), masih adarupanya kegunaan yang lain dari Kemenyan; yaitu<strong>sebagai</strong> bahan pengawet mummi. Informasiinformasiyang lebih mutakhir pun memangmenyebutkan kegunaan Kemenyan adalah <strong>sebagai</strong>pengawet, termasuk pengawet makanan. Juga bisadipergunakan <strong>sebagai</strong> bahan pewangi (parfum). Zatzatyang terkandung dalam Kemenyan adalah: AsamSinamat, Asam Benzoat, Styrol, Vanillin, Styracin,Coniferil Benzoat, Coniferil Sinamat, dan resinberupa Bezoresinol dan Sumaresinotanol (EdisonDT. BBS, dkk., 1983: 4).Melihat demikian banyaknya manfaat dariKemenyan, sepantasnyalah perdaga-ngan Kemenyanmasih berlangsung hingga sekarang. Harganya punmestinya sangat tinggi karena area tumbuh danpersebaran Kemenyan sangat terbatas. Namundalam kenyataannya logika tersebut tidaklah benar.Para petani umumnya mengeluhkan tidaksetimpalnya jerih payah mengumpulkan Kemenyandengan harga yang diterima. Mengapa demikian,perlu ada suatu penyeli-dikan yang lebih serius.Untuk sementara jaringan yang terbentuk selama inidalam perdagangan Kemenyan patut diduga <strong>sebagai</strong>salah satu sebab mengapa barang langka bisa bernilairendah 10 . Dugaan lainnya terjadi karena adanya9 Keterangan-keterangan tentang komoditi Kemenyandan Kapr Barus secara sporadis dapat dilihat dalamD.H. Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia,disadur oleh Pradjudi Atmosudirdjo, djilid I, cetakanketiga. (Jakarta: Penerbit Negara Pradnjaparamita,1962), hal.: 15. Tome Pires, "Tentang Malaka"(diterjemahkan dari buka Summa Oriental. London:The Hakluyt Society, 1994: 264-289), dalam SartonoKartodirdjo, ed., Masyarakat Kuno dan Kelompok-Kelompok Sosial. Diterbitkan untuk Yayasan OborJakarta dan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UniversitasGadjah Mada (Jakarta: Bharatara Karya Aksara, 1977),hal.:43-68; Wan Hussein Azmi, "Islam di Aceh Masukdan Berkembangnya Hingga Abad XVI", dalam Prof.A. Hasymy, Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islamdi Indonesia (Kumpulan Prasaran Pada Seminar diAceh), Cet. II, PT. Almaari, 1989: 174 -218.10 Lihat Fikarwin Zuska, "Pengembangan Jaringankelembagaan Sistem Hutan Kerakyatan", dalamAnonimous, Pengelolaan Hutan Partisipatif (Medan:PUSKAP FISIP USU, Wim Dan Yayasan Sintesa,1997), hal.: 46.40


Fikarwin ZuskaKebun Agroforest Kemenyan di Tapanuli Utara …teknologi yang mampu menghasilkan sintetis yangmenjadi substitusi dari Kemenyan 11 .Nilai Ekonomi Kebun KemenyanJika Kemenyan kian tak bernilai secaraekonomi, akankah nanti 'hutan' Kemenyandikonversi menjadi lahan tanaman lain yang lebihekonomis? Pohonnya ditebang, kayunya dijual,tanahnya ditanami tanaman lain? Akankahpengertian dari kalimat "petani Kemenyan petanipembangun hutan" berubah menjadi petani perusakhutan? Pertanyaan ini masih sulit menjawabnya.Yang jelas bahwa menurut praktik selama ini petaniKemenyan itu memanfaatkan hutan dengan caramembikin hutan kembali. Hutan alam dibuka, laluditanami pohon Kemenyan, dan kemudianmembiarkan tanaman-tanaman Kemenyan itumenghutan kembali (reforestation). Tidak ada lagipenebangan pohon setelah itu. Yang ada hanyapetani mengambil getah yang keluar dari pohonKemenyan. Hasil yang petani ambil dari 'hutanbuatan' (kebun Kemenyan/tombak haminjon) ituadalah hasil yang tergolong <strong>sebagai</strong> NTFPs (NonTimber Forest Products); yakni getah Kemenyandan lain-lain unsur non-kayu. NTFPs inilah yangdiandalkan oleh kebun Kemenyan <strong>sebagai</strong>komoditas untuk dijual ke pasar guna mendapatkanuang.Jika harga Kemenyan mengalami penurunan?Apakah petani akan mengalih-kan usahanya ke usahayang lebih menguntungkan? Jawabnya, ya! Petaniakan pindah ke sumber pendapatan yang lebihmenguntungkan. Tetapi tidak meninggalkan samasekali usaha Kemenyan karena kebun Kemenyantetap bisa menghasilkan uang. Petani terus sajamemanen Kemenyan sebanyak yang ia bisa lakukan.Hanya saja bila harga Kemenyan terus merendahmaka prioritas perhatian ke Kemenyan menjadi agakberkurang. Frekwensi pemanenan menurun, karenapetani lebih sering tidak pergi ke kebunKemenyannya untuk mengambil hasil. Terutama bilapetani bersangkutan punya sumber pendapatan yanglain yang hasilnya secara ekonomi lebihmenguntungkan. Memang, seperti diketahui, petaniagroforestri (agro-perhutanan), di mana pun berada,selalu memiliki lebih dari satu sumber penghasilan 12 .11 T.M. Simanungkalit melihat dua faktor besar yangmempengaruhi kondisi ini: (1) pengaruh konsumendalam negeri, di antaranya pemanfaatan Kemenyanuntuk dupa dan rokok di Pulau Jawa sudah berkurang;(2) pengaruh konsumen luar negeri, di antaranyapenggunaan bahan sintetis dan pencarian substitusiKemenyan. Lihat Simanungkalit, Prospek KemenyanDengan Hasil Olahannya Cinamic Cinamat (Styracin).Tarutung: 1993, (Naskah Ketik).12 Lihat Genevieve Michon dkk, "Complex AgroforestrySystem in sumatra". Makalah dalam LokakaryaSumber pengha-silan (ekonomi) petani agroforesselalu beragam, atau merupakan kombinasi dariberbagai sumber pemasukan yang dikelolanya secarasekaligus 13 . Alberto G. Gomes menyebutkan sistemekonomi seperti ini dengan istilah "produksikomoditi sederhana" yang dinilainya <strong>sebagai</strong>alternatif yang jauh lebih baik dibandingkan denganbentuk produksi yang biasanya diusulkan olehnegara melalui program modernisasi. Sistemekonomi serupa ini menonjol dalam halkeanekaragaman, keluwesan serta daya adaptasi 14 .Sesuai dengan keterangan di atas, sertakenyataan di lapangan, rendahnya nilai ekonomiKemenyan tidak menyebabkan petani meninggalkankebun Kemenyan (tombak haminjon). Petani masihbisa mendapatkan manfaat dari tanaman lain didalam tombak haminjon, seperti misalnya buahbuahan,madu, rotan, sayuran, kayu bakar dan lainlain.Kecuali itu petani juga masih memiliki sawah,terkadang kebun palawija, sejumlah ternakpeliharaan, sedikit kolam ikan, serta sesewaktumenangkap ikan di sungai. Petani tidak merasa perlutinggalkan atau konversikan kebun Keme-nyannyake bentuk pertanian lain. Merosot-nya hargaKemenyan, bukan berarti seluruh ekonomi akanberhenti karena petani masih mempunyai sumberyang lain. Satu tiang penyangga ekonomi jatuh, yanglainnya masih kukuh. Begitu pula keadaannya ketika'penyangga' lain roboh, mungkin saja Kemenyantidak. Oleh sebab itu kemerosotan harga Kemenyantidak akan mempengaruhi eksistensi kebunKemenyan yang sudah ada. Ini satu lagi bukti bahwasistem kebun Kemenyan ciptaan rakyat kampunghutan ini sangat kuat daya tahannya terhadap kondisiekonomi yang fluktuatif.Para petani Kemenyan tidak cukup tahusebetulnya kegunaan dari Kemenyan selain daripadayang telah disebutkan di atas (rokok dankelengkapan upacara religi). Petani malahan seringSumatera: Lingkungan dan Pembangunan (Bogor, 16 -18 September 1992).13 Bandingkan juga dengan definisi " Agroforestry iscollective name for land-use systems and technologieswhere woody perenials (trees, shrubs, palms,bamboos, etc) are deliberately used on the same landmanagementunits as agricultural crops and/ oranimals, in some form of spatial arrangement ortemporal sequence". Lihat P.K.L. Nair, "AgroforestryDefined", dalam P.K.L. Nair, ed, AgroforestrySystems in the Tropics. (Netherland: KluwerAcademic Publisher, 1989), hal.: 13-18.14 Gomes, Alberto G., "Konfrontasi dan Kontinuitas:Produksi Komoditi Sederhana Di Kalangan OrangAsli", dalam Lim Teck Ghee dan Alberto G.Gomes(penyunting), Suku Asli Dan Pembangunan di AsiaTenggara. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993),hal.:18-58.41


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005tanya tentang kegunaan Kemenyan itu, meski diasendiri yang mememproduksi dan menjualnya. "Buatapa orang di luaran sana menimbun Kemenyansedemikian banyak?", begitu pertanyaannya.Pertanyaan itu tidak pernah didapat jawabnya olehpetani secara lengkap karena mereka tidak memilikiakses ke sumber-sumber informasi. Petani hanyatahu bahwa orang masih mau membeli Kemenyan.Informasi lainnya tentu saja di seputar harga, jenisdan grade Kemenyan yang dibutuhkan 'pihak luar'.Selanjutnya petani akan menyiapkan Kemenyanseperti yang dikehendaki pasar. Bahwa Kemenyanmengadung zat kimia yang bisa diekstraksi dankemudian diperlukan untuk berbagai produkindustri, kurang dimengerti oleh petani.Ketidaktahuan petani ini tampaknyadimanfaatkan oleh pelaku-pelaku bisnis Kemenyanuntuk mengeruk keuntungan. Produk Kemenyandigradasikan sedemikian rupa oleh pedagang untukmenetukan harga 15 . Gradasi dibuat berdasarkan ciricirifisik, ciri-ciri fenotipik yang bisa diobservasi.Gradasi Kemenyan itu bukan dibuat berdasarkankadar atau kandungan zat kimia yang menyebabkanKemenyan punya nilai jual. Akibatnya di dalamKemenyan yang kadar dan jumlah kandungan zatkimianya sama, tetapi bentuk luarnya berbeda, hargayang diperoleh petani dari Kemenyan tersebut bisaberbeda jauh. Sentot Adi Sasmuko pernahmenyelidiki sifat fisis dan kimiawi Kemenyan daridua kategori mutu yang berbeda; hasilnya tidakberbeda jauh. Tetapi perbedaan harganya sangatmencolok, yaitu Rp 17.500 dan Rp 14.000, - 16Walaupun petani Kemenyan tidak tahu persis'permainan pasar' Kemenyan itu, namun ada sesuatuyang mereka rasakan sumbang. "Harga 1 kiloKemenyan sekarang tidak cukup membeli 1 kalengberas", kata petani. Tetapi petani tetap tidak berhentimemproduksi Kemenyan, kendati terus berkeluhkesah. Ternyata ada kesulitan lain bila petaniberhenti mengumpulkan Kemenyan, yaitu uang cashyang dibutuhkan sehari-hari. Produsen Kemenyanbisa mengumpulkan uang tiap seminggu sekali. "Biarpun kecil tetapi pasti", kata seorang petani memberialasan. Inilah keunggulan ekonomi kebunKemenyan. Sehingga tidak mengherankan kalau15 Ada dua cara pengklasifikasian peringkat Kemenyan:pertama, Kemenyan tak bercampur ada 10 macam(spesial angkatan, kacangan, getah luar, tahir, leccet,abu takasan, abu tahir, abu leccet, abu kulit, dan kulit);kedua Kemenyan bercampur ada 7 macam (potongabu, takkasan biasa, tampang manis atau samsam, tahirdan leccet, tahir dan abu, leccet dan abu, abu kulit dankulit). Lihat Fikarwin Zuska, ibid. loc.cit 4616 Lihat Sentot Adi Sasmuko, "Sifat Fisis dan KimiaGetah Kemenyan", dalam Bulletin Penelitiankehutanan, volume 11, No.2 (Juli 1995), hal. : 191-202.petani terus memper-tahankan dan bahkan inginmemperluas kebun Kemenyan 17 .Kondisi Ekologis dan Geografis KebunKemenyanKondisi kebun Kemenyan, seperti yang akandijelaskan lebih lanjut, tidak bisa lepas dari asalusulnyadahulu. Sebagaimana diketahui seluruhtumbuhan Kemenyan itu pada mulanya merupakantumbuhan yang hidup secara alamiah di dalamhutan. Kemudian, setelah diketahui manfaatnya bagiperekonomian, dilakukanlah sesuatu untukmemperbanyak jumlah tumbuhan Kemenyan itu didalam hutan. Cara memperbanyak jumlah pohonKemenyan itu adalah dengan mengebunkan ataumembudidayakannya. Logikanya adalah bahwakecuali Kemenyan akan menjadi lebih banyakpohonnya, petani pun menjadi lebih mudah/gampang memperoleh manfaatnya. Sebab sumbernyatidak lagi menyebar, melainkan sudah terlokalisirdi suatu tempat tertentu. Demikian pak D.Nainggolan 18 memberi penjelasan mengenai kejadian(sejarah adanya kebun Kemenyan). Namun ia sendiritidak tahu kapan peristiwa itu pertama kali terjadi.Dia juga tak bisa menjelaskan apakah pengebunanKemenyan itu asli hasil ciptaan setempat ataumerupakan hasil difusi dari tempat lain. Yang jelasbahwa sekarang membuat kebun Kemenyan ituadalah tradisi di dalam masyarakat petani setempat.Kebun Kemenyan itu dibuat orang di dalamhutan sekitar kediaman petani Kemenyan. Hutantempat membuat kebun Kemenyan dimaksud adalahhutan marga. Bukan hutan milik pihak lain, seperti17 Di Kecamatan Garoga, para petani Kemenyanmenunjukkan semangatnya ketika Dinas KehutananSumatera Utara menawari mereka bibit Kemenyanuntuk ditanam di lahan-lahan kosong. Sayangnyaprogram Hutan Kemasyarakatan ini kurang lancarkarena ada gangguan-gangguan dalam prosesnya. LihatFikarwin Zuska, Zulkifli Lubis, Lister Berutu, Joni,Laporan Monitoring dan Evaluasi ProyekPengembangan Usaha Kecil, Menengah dan KoperasiKehutanan Sumatera Utara T.A. 1999/2000.Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utaradengan Laboratorium Antropologi FISIP USU.(Medan: Laboratorium Antropologi FISIP USU,2000).18 Saya perlu sampaikan terimakasih kepada pakNainggolan, yang telah 'mengajari' saya dan mahasiswaJurusan Antropologi FISIP USU pengetahuanmengenai kebun Kemenyan langsung di hutan, saatsaya selaku Ketua Laboratorium Antropologimengkoordinir mahasiswa Praktek Kerja Lapangan didesa Pusuk, Kecamatan Parlilitan, Tapanuli Utaratahun 1997 lalu. Tak disadari, saya sebetulnya telah'mengekstraksi' pengetahuannya, yang sebagian sayatuangkan dalam artikel ini.42


Fikarwin ZuskaKebun Agroforest Kemenyan di Tapanuli Utara …misalnya pemerintah atau negara, tetapi hutan milikmarga (milik kelompok orang yang berasal dari satunenek moyang yang sama, tinggal dulunya di tempatyang sama, dan juga <strong>sebagai</strong> pihak yang pertama kalidatang ke daerah itu). Karena hutan itu milik margamaka ada aturan marga yang mengatur bagaimanahutan marga itu boleh dimanfaatkan untuk kebunKemenyan. Siapa yang boleh dan yang ber hakmembikin kebun Kemenyan di hutan marga? Dibagian mana dari hutan marga itu boleh dikebunkan?Seberapa luas hutan marga itu boleh dikebunkan danlain <strong>sebagai</strong>nya, semua ada aturan-aturannya dalam'aturan marga' yang dipakai <strong>sebagai</strong> hukum dansumber tertib sosial.Membuat kebun Kemenyan di dalam hutanbiasanya tidak sendiri-sendiri, tetapi berkelompok.Sekelompok orang anggota komunitas marga,setelah mendapat restu baik dari segi lokasi,personilnya dan jumlah personilnya dari raja ni huta,barulah kelompok dimaksud berangkat ke hutanmembuat kebun. Sesudah plot masing-masingpersonil ditetapkan (ploting), maka sesuai kebiasaanyang ada sekarang, mereka membersihkan lantaihutan dari semak-semak (mangarambas). Alat yangdigunakan adalah parang. Pohon-pohon besar tidakditebang dalam pembersihan itu, kecuali yang kecilkecilsaja seperti pancang yang tumbuhnya merapatke pohon yang lebih besar. Pohon-pohon besardipediarkan hidup sampai waktu tertentu. Nantisetelah sampai waktunya, sebagian dari pohonpohonbesar ini juga akan ikut ditumbang. Pohonpohonbesar yang nanti akan ditumbang itu sejakawal sudah ditandai, dan kulit selingkar pohonpohonitu pun sudah dikelupas (mangalogot) lebihdahulu agar pohon-pohon tersebut, nanti, matisecara perlahan-lahan 19 .Setelah semak-semak ditebas, pohon-pohonkecil (pancang) pun ditebang. Hasilnya adalahtersedianya berupa lapangan hutan (lahan) yang tidakbersemak beserta tunggul-tugggul setinggi pinggangsisa potongan dari pohon-pohon kecil. Pada saat iniproses penyiapan lahan selesai. Penanaman benih,jika sudah tersedia, boleh dimulai. Tetapi sepertibiasanya, persediaan bibit tidak pernah sekaliguscukup; masih perlu dicari lagi anakan-anakanKemenyan ke tempat-tempat lain. Namun bibit-bibityang sudah ada didahulukan penanamannya, sambil19 Yang diharapkan dari proses mematikan pohon-pohonbesar secara perlahan-lahan ini adalah bahwa agarsebelum pohon-pohon itu benar-benar mati, ia masihdapat melindungi bibit Kemenyan yang baru ditanamdari sengatan sinar matahari. Ketika pohon benarbenarmati, pohon-pohon itu lalu ditumbangkan, agarKemenyan tidak lagi terhalang oleh sinar matahari.Artinya pohon Kemenyan sudah memerlukan sinarmatahari yang lebih banyak untuk perkembangannya.Demikian praktikanya dilakukan petani.terus mencari bibit-bibit lain guna menutupikekurangan bibit. Kebiasaan ini bukannya tanpadisengaja, dan bukan pula karena petani dikirakurang perencanaan. Cara seperti ini sebetulnyadisengaja karena petani tidak memerlukan pohonpohonKemenyan yang serentak besarnya. Petanitidak berkepentingan dengan pembesaran sekaligustanaman Kemenyan seperti terjadi di kebunplantation modern, karena yang ditiru oleh petanibukanlah 'hukum' perkebunan, tetapi 'hukum' hutan.Yaitu hukum <strong>sebagai</strong>mana diperlihatkan olehtetembuhan hutan kepada mereka; ada yang kecildan ada yang sudah sangat tua walaupuntetumbuhan itu hidup dalam satu petak lahan yangsama. Implikasi lanjutannya adalah struktur tajuk di'kebun' Kemenyan, seperti tampak saat ini,memperlihatkan stratifikasi mirip hutan; mulai dariyang merapat di tanah hingga setinggi beberapa belasmeter.Peniruan kepada alam ini juga tercermin dalampencocokan titik tumbuh Kemenyan dengantunggul-tunggul yang tinggal. Bibit Kemenyansengaja ditanam di dekat tunggul, karena tunggulakan melindungi bibit Kemenyan dari gangguanhewan hutan. Inilah maksud praktis dari tindakantersebut: yaitu agar hewan besar terutama rusa tidakmenggilas atau mematahkan batang Kemenyan yangbaru tumbuh itu 20 . Akan tetapi di luar itu, justeruyang kelihatan adalah bahwa pohon-pohonKemenyan akhirnya tumbuh menggantikan pohonhutan yang ditebang (tunggul). Jadi ketentuanTebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) ketentuanpemerintah bagi HPH sudah dipraktikkan olehpetani Kemenyan sebelum keluar ketentuan TPTIitu. Bahkan yang lebih menarik lagi, jarak titiktumbuh antar pohon Kemenyan pun persis sepertihalnya jarak tumbuh pepohonan di hutan alam. Jarakantara satu pohon ke pohon yang lain tidak samajauh.Kemudian, satu hal lagi yang perlu dicatat,adalah tentang keanekaragaman hayati. Walaupunnamanya kebun Kemenyan, bukan berarti isinyamelulu Kemenyan. Seperti telah disinggung, selainKemenyan masih ada pohon-pohon besar yangditinggal (tidak dimatikan). Pohon itu bisa20 Rusa adalah hewan hutan yang suka mendatangitempat-tempat yang terdapat rumput-rumput muda.Lahan "baru" biasanya akan segera ditumbuhi rumputrumputyang disenangi rusa. Adalah kebiasaan rusajuga menggaruk-garukkan badannya ke pohon-pohonKemenyan yang baru besar, sehingga pohonKemenyan patah dibuatnya. Tunggul yang ada di dekatpohon Kemenyan bisa membantu menyelamatkanKemenyan dari resiko yang timbul akibat ulah sangrusa. Itulah penjelasan yang diberikan petani ataskebiasaannya menanam bibit Kemenyan di dekattunggul.43


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005merupakan kayu bangunan, tetapi bisa merupakanjengkol atau pohon-pohon lain. Terkadang memangsengaja ditanam pohon-pohon selain Kemenyan,seperti dibeberapa tempat ada pohon durian,petai, al-pokat, dan <strong>sebagai</strong>nya.Oleh sebab itu, apa yang sekarang kitanamakan kebun Kemenyan itu sebenarnya, dikalangan petani sendiri disebut hutan Kemenyan(tombak haminjon). Orang lokal tidak pernahmenyebut "kebun Kemenyan" (kobun haminjon)melainkan tombak haminjon (hutan Kemenyan) 21 .Selain letaknya memang di dalam atau sekitar hutan,struktur tanaman di tombak Kemenyan itu sendirijuga menyerupai hutan; terdiri atas beranekara-gamjenis dan spesies tumbuhan. Kemenyan, buahbuahan,petai, jengkol, kayu bangunan serta semaksemakhidup bersama di <strong>sebuah</strong> lapangan yang sama.Tajuknya berlapis, mulai dari yang tingginya belasanmeter hingga yang menjalar di permukaan tanah.Hewan-hewan sedang seperti kera, pun banyakhidup di dalam tombak haminjon. Tidak terhitungbanyaknya binatang-binatang kecil, seperti burung,kumbang (tapponok) dan pelbagai jenis hewan dipermukaan atau di dalam tanah, hidup di kebunKemenyan ini. Maka lengkaplah sudah syarat-syaratuntuk menyebut kebun Kemenyan itu sesungguhnyamerupakan hutan.Usai bibit kemenyan ditanam di kebunsebetulnya penanaman bibit kemenyan tidak pernahusai karena di dalam kebun selalu saja ada anakanKemenyan petani tidak segera memperoleh hasil.Masa tunggu (gestation period) hingga ada hasil(produktif), lebih-kurang 7-10 tahun. Tidak mustahilpetani yang menanam belum sempat merasakanhasilnya sudah keburu meninggal dunia lebih dahulu.Jadilah tanaman Kemenyan itu <strong>sebagai</strong> hutanwarisan yang produktif untuk anak dan cucu <strong>sebuah</strong>properti yang mengandung 'mana' (kekuatan gaib)sehingga membuat anak-cucu tidak tegamenelantarkan, apalagi memusnahkan peninggalanyang bernilai amal dari sang leluhur. Berbeda sekalidengan keadaan di wilayah lain, di mana anak cucumewarisi hutan gundul yang kering kerontang akibattindakan serakah para pendahulunya, maka diTapanuli Utara hutan peninggalan justru memberikehidupan kepada keturunan.Kebun Kemenyan (tombak haminjon),walaupun merupakan hutan, tidaklah selalu jauhjaraknya dari perkampungan. Beberapa kebunKemenyan bahkan terletak di tepi jalan raya, sepertimisalnya di tepi ruas jalan Lintas Sumatera(Tarutung-Pahae Jae) dan juga di tepi jalan Propinsi(Tarutung-Sibolga) yang senantiasa dilalui kendaraanpenumpang. Namun secara umum, areal kebun21 Secara etimologis, istilah tombak lebih bernuansa hutanketimbang kebunKemenyan itu terletak jauh dari perkam-pungan. DiKecamatan Dolok Sanggul, kecamatan Parlilitan danlain-lain, jarak antara perkampungan dengan kebunKeme-nyan mencapai 4 - 5 jam jalan kaki. Jauhmasuk ke dalam hutan, dengan kondisi jalan setapakyang licin, curam dan cukup riskan. Tidak sedikitpetani Kemenyan berhari-bermalam di kebunnya.Pergi senin, pulang Kamis atau Jum'at saat haripekan (hari pasaran) untuk menjual hasil(Kemenyan). Istirahat sehari-dua di huta (kampung)sambil menunaikan ibadah Minggu (di Gereja), lalupada hari berikutnya (Senin) petani yang rajin akanberangkat lagi ke "hutan".Selain membawa sebagian alat-alat untukmemanen, tiap kali ke hutan petani harus membawabekal: beras dan lauk-pauk 22 . Kemudian parang,<strong>sebuah</strong> alat yang selalu tidak akan pernahketinggalan, digantungkan di pinggang. Beras danlauk-pauk dipakai untuk konsumsi, sedangkanparang diperlukan untuk alat membela diri, sertapemotong aral di jalanan. Berikutnya, walaupuntidak wajib, adalah 'mencari' teman; yaitu petanipetanilain yang juga akan pergi ke kebunnya untukdiajak pergi 'bareng'. Mereka akan jalan kakibersama-sama, sambil bercakap-cakap sepanjangperjalanan, guna mengusir sepi di dalam hutan.Riuh-rendahnya suara Siamang dan kicauan burung,tidaklah selalu membuat hati si 'petani hutan' inimenjadi tenang saat di hutan seorang diri. Sangatboleh jadi, waktu Siamang memekik, di samping sipetani ada seekor ular melintas tak kedengaran."Kadang-kadang aku takut juga sendirian di hutan",kata Pak D.Nainggolan memberi alasan mengenaiperlunya kawan di dalam hutan.Di samping keadaannya sepi, jauh dariperkampungan, jalannya jalan setapak dan juga terjal,suhu udara di Kebun Kemenyan pun jauh lebihdingin daripada di huta. Pada malam hari udara ditombak yang berketinggian 600-1.200 meter di ataspermukaan laut itu, bisa membuat tubuh terasa kaku.Namun itulah yang selalu dirasakan petaniKemenyan saat ia memanen. Selimut tebal seakantidak membuat tubuh terasa sedikit panas. "Hanyakarena capek sebenarnya kita bisa tertidur waktumalam", tambah pak D.Nainggolan. Padahalpemanasan juga sudah dibantu dengan api yangdibiarkan tetap menyala di tungku dekat peraduan.22 Periuk-belanga biasanya sudah disediakan sebelumnya,dan ditinggalkan di dalam gubug bersama-samadengan alat lainnya. Gubug dibangun sejak batangKemenyan mulai mengeluarkan getah (usia sekitar 8 -10 tahun). Di samping buat tempat 'nginap', gubukperlu buat menjemur sementara (menganginkan),getah yang baru dicongkel sebelum dibawa pulang.44


Fikarwin ZuskaKebun Agroforest Kemenyan di Tapanuli Utara …PenutupDi bagian akhir tulisan ini, perlu kiranyadiberikan suatu jawaban tegas atas pertanyaanbenarkah menjadikan hutan alam <strong>sebagai</strong> tombakhaminjon patut disebut <strong>sebagai</strong> cara pemenfaatanhutan secara lestari? Pertanyaan ini kita coba jawabdengan merefer kembali apa yang sudah dipaparkandi atas.Pertama, dari sudut pemanfaatan. Adakah manfaatyang diambil petani kemenyan dari hutan alam?Jawabnya adalah bibit Kemenyan dan tanah hutan.Tanah hutan telah dijadikan petani menjadi kebunbudidaya. Hasilnya, terutama, Kemenyan. DariKemenyan petani mendapatkan uang cash mingguanatau bulanan, sementara dari tanaman lain selainKemenyan, petani juga mendapatkan buah-buahan,rotan, kayu bakar dan <strong>sebagai</strong>nya.Kedua, dari sudut ekologi. Adakah unsurekologis yang rusak karena kebun Kemenyan?Jawabnya, ada! Virginitas hutan alam rusak akibatkebun Kemenyan. Namun sejauhmana kerusakanyang ditimbulkannya, tidak lain adalah sejauhberprosesnya kebun Kemenyan menjadi hutansekunder. Serusak-rusaknya hutan sekunder, masihjauh lebih baik ketimbang reforestasi tidak pernahmungkin terjadi. Perkebunan-perkebunan besar,seperti kebun teh, kebun karet, kelapa sawit, tidakpernah direncanakan pemiliknya untuk berprosesmenjadi hutan. Sukses perkebunan adalah sejauhmana mereka bisa mempertahankan kebunnyasenantiasa <strong>sebagai</strong> kebun monokultur denganpelbagai bantuan pupuk dan pestisida. KebunKemenyan adalah kebun agroforestry; kebun tanpapupuk yang khas dengan kekayaan keanekaragamanhayati dan tanaman berkayunya.45


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005PENGETAHUAN LOKAL DALAM SISTEMPENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAMBERKELANJUTAN:Warisan Budaya yang Terancam Hilang 1Zulkifli B. LubisStaf Pengajar Jurusan Antropologi FISIP USUAbstrak:Pengetahuan lokal petani damar Krui yang diwariskan secara turun-temurun mejadi dasar bagi tetap terpeliharanyatutupan hutan buatan yang disebut repong damar di daerah Lampung Barat. Pengelolaan hutan dengan modelwanatani repong damar yang dilakoni oleh orang Krui selama lebih dari seratus tahun, yang sekarang diakui <strong>sebagai</strong><strong>sebuah</strong> model pengelolaan berbasis komunitas yang sangat arif, bisa bertahan karena pengetahuan pribumi (indigenousknowledge) masih tetap dipertahankan. Tetapi khasanah pengetahuan yang sangat arif bagi kelestarian lingkunganitu akan segera lenyap seiring dengan lenyapnya sumber daya alam itu sendiri. Tulisan ini memberikan peringatanbahwa pelestarian pengetahuan pribumi dalam mengelola sumber daya alam tidak kalah penting dibandingkan usahausahapelestarian cagar budaya. Kalau pelestsrian cagar budaya bisa dilakukan dengan rekonstruksi fisik, tetapipenyelamatan pengetahuan yang sudah terlanjur hilang karena kerusakan boleh dikatakan akan mustahil untukdilakukan.Kata kunci: indigenous knowledge, repong damar, Krui,Pengantar 1Kasus-kasus kerusakan lingkungan hidup terussaja terjadi di berbagai belahan dunia dengankuantitas dan kualitas yang semakin fantastis.Pencemaran lingkungan oleh limbah industri,kehancuran terumbu karang akibat eksploitasisumber daya laut yang tidak terkendali, kerusakanhutan <strong>sebagai</strong> dampak usaha pertambangan danpembalakan untuk kepentingan industri pulp sertaperluasan lahan perkebunan, adalah sejumlah kasusbesar lingkungan hidup yang terus menderaIndonesia pada penghujung abad ini. Bahkansekarang kita sedang diancam oleh “tragedi asap”jilid dua, setelah dua tahun lalu kita berjayamenghebohkan dunia dengan “ekspor asapkebakaran hutan” ke sejumlah negara jiran yangsempat melumpuhkan jalur penerbangan domestikdan internasional.Tarikan magnit ekonomi global yang bertumpupada industri-industri di negara maju yang “rakusbahan mentah” dari negara-negara berkembangmenjadikan kita seolah limbung dan hilang rasapercaya diri untuk berpihak pada pengelolaan1 Bahan pengantar diskusi pada Diskusi Bulanan BadanWarisan Sumatera (BWS) di Hotel Garuda Plaza,Medan, tanggal 13 Agustus 1999sumber daya alam berkelanjutan (‘sustainable naturalresources management’). Meskipun kalangan pecintalingkungan (baik ilmuwan, aktivis LSM maupunsegelintir teknokrat) terus menyuara-kan bahayapenipisan lapisan ozon dan efek rumah kaca karenakerusakan lingkungan bumi--yang mulai tampakmempengaruhi perubahan iklim global, padakenyataannya sebagian terbesar manusia penghuni(dan “pengendali”) bumi belum sadar, awas, danmelakukan aksi untuk memperbaiki sistempengelolaan sumber daya alam yang sangateksploitatif selama ini. Sangat ironis bahwakomuniti-komuniti lokal (indigenous people) yang hidupdi sekitar dan bergantung dari keberadaan sumberdaya alam itu kini terancam tercerabut dari akarbudayanya, yang sesungguhnya sarat prinsip-prinsipkeberlanjutan, dan mulai larut dalam ‘permainan’ekonomi global yang dikendalikan para industrialis.Yang lebih menyedihkan, posisi komuniti lokaljustru semakin termarjinalkan dalam proses itu.Tulisan ini menyajikan gambaran ringkastentang signifikansi pengetahuan lokal (indigenousknowledge) dalam pengelolaan sumber daya alamberkelanjutan. Kasus Krui (Lampung Barat)disajikan <strong>sebagai</strong> contoh utama, khususnyaberkenaan dengan sistem pengelolaan lahan hutanberkelanjutan berpola wanatani (complex agroforestry)46


Zulkifli B. LubisPengetahuan Lokal Dalam Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam…yang oleh penduduk setempat dinamakan repongdamar. Pada bagian akhir akan diulas sekilas tentangurgensi pelestarian warisan pengetahuan budaya(cultural knowledge) komuniti lokal, yang menuruthemat saya tidak kalah penting dari usaha-usahapelestarian warisan budaya material (cultural artifact).Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Hutan:Kasus KruiSeorang pejabat Departemen Kehutanan yangberkunjung ke daerah pesisir Krui di KabupatenLampung Barat, Provinsi Lampung, beberapa tahunlalu terkejut melihat areal hutan yang tercabik-cabikkarena pembukaan lahan oleh penduduk lokal yanglazim mereka beri label “perambah hutan”. Tapipersepsi negatif yang spontan muncul melihat“kerusakan” hutan demikian secara berangsur hilangdari benak sang aparat ketika dia mulai mengetahui(tepatnya: diberitahu) bahwa Orang Krui yangmembuka hutan untuk areal pertanian adalahkomuniti lokal yang sangat arif memeliharakelestarian lingkungan hidup. Mereka bukanlahorang-orang yang tepat dikategorikan perambahhutan, peladang berpindah, atau aktor perusakhutan.Di sisi lain, penduduk asli yang bermu-kim disepanjang pesisir Krui (meliputi tiga kecamatan)sering terheran-heran melihat orang-orang bule--yang sering mereka anggap <strong>sebagai</strong> “turisPerancis” 2 —dan peneliti-peneliti serta aktivis LSMwarga Indonesia, silih berganti datang ke desa-desamereka dan bertanya banyak hal soal kehidupanmereka, khususnya berkaitan dengan pengelolaanhutan. Warga setempat kerap bertanya kepada parapendatang tadi apa sesungguhnya yang aneh danmenarik dari kehidupan orang Krui sehinggamembuat banyak orang datang dan mempelajari caramereka mengelola hutan. Belakangan barulahmereka sadar (tepatnya: disadarkan), paham sertabangga bahwa ada sesuatu yang istimewa dari caramereka mengelola hutan, yaitu cara pengelolaanlahan yang oleh Hubert de Foresta (1994 : 8) 3dinyatakan <strong>sebagai</strong> “…both economic success and ecologicalsustainability while avoiding socio-cultural breakdown”.Dengan kata lain <strong>sebuah</strong> pengelolaan sumber dayaalam (hutan) yang ajeg secara ekonomis, ekologisdan sosial budaya.2 Sebutan “turis Perancis” bermula dari kenyataanbahwa peneliti-peneliti awal yang mengkaji sistempengelolaan repong damar di daerah pesisir Krui, padaawal 1980-an adalah peneliti dari ORSTOM danICRAF yang berkebangsaan Perancis.3 Hubert de Forestra, Damar Agroforests in the Pesisir,Sumatera. Paper for Rainforest Alliance, May 1994.Sistem Wanatani Repong Damar (DamarAgroforests)Orang Krui adalah penduduk asli Lampungyang hidup dari pertanian. Meskipun tinggal dipesisir pantai, namun mereka boleh dikatakan tidakmengenal budaya maritim. Bagian terbesar dariproses interaksi mereka dengan alam justruberlangsung di hutan. Pemukiman pendudukumumnya berbatas dengan pantai di satu sisi dansekaligus dengan hutan pada sisi lainnya. Hutan hijaudan rimbun yang menutupi hampir semua punggungbukit yang membujur di belakang pemukimanmereka pada hakikatnya bukanlah hutan dalam artiyang lazim (hutan alam), melainkan hutan buatanyang dibangun melalui proses bertahap sepanjangpuluhan hingga ratusan tahun. Sentuhan tanganmanusia yang mengisi proses panjang itu bisa terdiridari dua sampai lima generasi, bahkan lebih, dariketurunan langsung <strong>sebuah</strong> keluarga.Hutan buatan itu dalam istilah setempatdinamakan repong damar. Ia merupakan perpaduanyang kohesif antara pertanian (agriculture) dankehutanan (silviculture). Pada masa sekarang, lahanpenduduk yang bernama repong damar tersebutmencakup areal kurang lebih 10.000,0 Ha, menyebardi tiga kecamatan bagian pesisir (Kec. Pesisir Utara,Pesisir Tengah dan Pesisir Selatan). Hutan damar itudibangun di atas tanah ulayat yang secara tradisionaldikuasai oleh kelompok-kelompok clan-teritorial(marga). Menurut sejarahnya, proses pembukaanlahan hutan menjadi repong damar sudahberlangsung sejak abad ke-19, dimulai dari areal yangberdekatan dengan pemukiman, seterusnyaberkembang makin ke pedalaman hingga sekarangtelah sampai ke batas Taman Nasional Bukit BarisanSelatan (TNBBS). Pihak instansi kehutanankemudian mendefinisikan dan menetapkan lahanrepong damar milik penduduk tersebut <strong>sebagai</strong>kawasan penyangga (bufferzone) bagi TNBBS.Secara fisik tampilan repong damar tidakubahnya seperti hutan alam. Menurut hasil penelitiantingkat keragaman biota yang hidup di dalam hutandamar kurang lebih 75-85% sama dengan hutanperawan. Hampir semua jenis flora dan fauna yangada di TNBBS yang disangganya terdapat di repongdamar, sehingga secara ekologis intervensi manusiayang mengelola kawasan hutan tadi tidak menjadikanhutan rusak permanen, <strong>sebagai</strong>mana lazim berlakudalam pengelo-laan HPH atau konversi ke lahanperkebunan misalnya. Secara ekologis, aktivitaspetani Krui dalam mengelola repong damar tidakmembawa dampak merusak, bahkan sebaliknyamampu mempertahankan fungsi ekologis hutan.Inilah salah satu faktor yang menjadikan repongdamar menjadi istimewa <strong>sebagai</strong> model wanatanikompleks (complex agroforestry) yang langka ditemukandimana-pun di dunia.47


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005Repong damar memberikan kontribusi besarbagi perekonomian keluarga petani Krui. Kontribusiekonomis itu berupa hasil langsung yang diperolehpetani dari komoditi pertaniannya, dan juga berbagaipeluang okupasi ikutan yang tumbuh <strong>sebagai</strong> bagianintegral dalam proses pengelolaan repong damar.Hasil komoditi langsung antara lain berupa padi danpalawija pada tahap awal pengelolaan, kopi dan ladapada tahap kedua, dan getah/resin damar, buahduku, durian, petai, jengkol, tangkil (melinjo), danlain-lain pada tahap ketiga; serta hasil-hasil ikutanlain dari tumbuhan yang tidak ditanam seperti rotan,kayu, dan buah-buahan serta sayuran hutan yangdapat dikonsumsi. Peluang okupasi ikutan yangtumbuh dalam pengelolaan repong damar, antaralain menjadi tenaga upahan dalam prosespemeliharaan tanaman, pemanenan, pengun-duhandamar, pengangkutan resin damar dari hutan kekampung, sortasi getah damar di gudang pedagangpengumpul, dan juga peluang berdagang hasilkomoditi repong damar. Repong damar, lebih daribentuk pengelolaan lahan secara monokultur,memberikan peluang penghasilan rutin, beragam danberkala bagi setiap keluarga pengelola.Tiga Fase Produktif Pengelolaan Lahan HutanOrang Krui membedakan adanya dua tipelahan hutan, yaitu pulan tuha (hutan primer) danpulan ngura (hutan sekunder). Pulan tuha menjadipreferensi pertama dalam pemilihan lahan ketikaseorang petani berniat membuka hutan untukkegiatan pertanian. Ini disebabkan oleh adanyaanggapan bahwa lahan demikian masih memilikikesuburan yang cukup baik. Pengelolaan lahanhutan primer (hutan alam) menjadi repong damar(hutan buatan) berlangsung dalam proses yangcukup panjang, yaitu sekitar 20 tahun. Tradisipembukaan lahan hutan yang dilakukan orang Kruisecara garis besar dapat dibedakan atas tiga faseproduktif, yaitu fase (1) darak, (2) kebun, dan (3)repong. Ketiga fase itu berlangsung di ruang fisikyang sama tapi secara taksonomis berada pada ruangkognisi yang berbeda. Hal itu berkaitan dengandefinisi, konsepsi dan harapan-harapan yang merekalekatkan pada masing-masing fase pengelolaantersebut. Perbedaan itu secara jelas dimanifestasikandalam bentuk tindakan pengelolaan lahan.Fase produktif pertama dimulai ketika petanisudah selesai mempersiapkan lahan siap tanam(pangrula/darak) yang lazimnya membutuhkanwaktu sekitar 2-3 bulan 4 . Fase darak (fase 1) ditandai4 Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan pada awalpembukaan hutan adalah: menebas (ngusi); menebangkayu (nuar); memotong dahan kayu (ngeredoh);membakar (nyuah); dan membersihkan sisa bakaran(merun). Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakanteknologi sederhana, dan pelaksanaannya sangatoleh kegiatan pengelolaan tanaman subsistensiberupa padi ladang dan palawija. Kegiatan menanampadi ladang dan palawija dilakukan terutama untukmenyediakan pasokan pangan bagi petani selamapengelolaan lahan, khususnya selama tahap-tahapintensif perawatan tanaman kebun (fase 2). Padi danpalawija hanya ditanam 1-2 kali di lahan yang sama,setelah itu mereka mengalihkan kegiatannya padaperawatan tanaman komersial seperti kopi, lada,cengkeh dan lain <strong>sebagai</strong>nya. Dengan demikian, fasedarak (ladang) berfungsi <strong>sebagai</strong> penyangga bagi faseproduktif berikutnya.Fase produktif kedua, yaitu kebun, dimulaiketika tanaman komersial seperti lada, kopi, ataucengkeh, dll sudah mendominasi tegakan di lahanbekas ladang (fase 1), yaitu kira-kira mulai tahunketiga sejak pembukaan lahan. Tujuan utama petaniKrui membuka hutan adalah untuk berkebun, bukanberladang atau membuat repong damar. Fase kebundikonsepsikan petani <strong>sebagai</strong> fase kaya kejutan (batinkejutan), karena pada masa inilah merekamendapatkan peluang besar untuk mening-katkankesejahteraan hidup dan memperbaiki posisi sosialekonominya. Hasil kebun biasanya tidak digunakanuntuk memenuhi kebutuhan subsistensi, tetapi lebihdiarahkan kepada keperluan-keperluan yang bercirimonumental, misalnya membangun rumah,mengawinkan anak, membiayai pendidikan lanjutananak, menebus dan/atau menerima harta gadaian,membeli repong damar atau sawah, modalberdagang, beli perabot rumah tangga, biaya naikhaji, dll.Demikian penting peranan fase kebun ini dimata petani, suatu fase yang penuh ketidak-pastian(uncertainty) karena hasilnya, jika mencapai kategoriyang disebut merawan, bisa menaikkan gengsi<strong>sebuah</strong> keluarga; tapi bila gagal bisa membuatmereka terpuruk tak mendapatkan peningkatan apaapa5 . Fakta pentingnya kedudukan fase kebun didalam sistem pertanian orang Krui ditandai olehpelaksanaan sejumlah ritus dalam rangkaianpengelolaan tanaman hingga panen (yaitu ritustetumbai pada saat mulai menanam, ritus ngejalangpada saat panen pertama, dan ritus ngumbai setelahpanen); usaha optimalisasi pemanfaatan lahan; danjuga perawatan intensif.bergantung dengan musim kemarau. Proses penyiapanlahan ini merupakan bagian tugas tenaga kerja laki-laki.5 Petani Krui membuat tiga jenis klasifikasi kualitatifuntuk mengukur tingkat keberhasilan mereka dalamfase kebun, yaitu (a) merawan, jika mendapatkankeberuntungan dan mampu mencapai tujuan-tujuanyang monumental, (b) cukoh-genok, jika hasil kebunhanya pas-pasan dan tidak memberi efek monumental,dan c) mesisil, jika usaha berkebun tidak memberikanhasil melainkan membawa kesialan bagi mereka.48


Zulkifli B. LubisPengetahuan Lokal Dalam Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam…Tabel 1. Alternatif-alternatif jenis tanaman di darakNoNama Tanaman Nama Lokal(Indonesia)(Krui)Nama Latin1 Padi gogo: a. Sijanggut2 b. sigabal3 c. turi4 d. sibandungPalawija :Sanigulai5 terung tiungSolanummelongena6 ubi kayu hubi Manihot utilissima7 cabai merah cabi Capsicum annum8 ketimun lepang Cucumis sativus9 pare pariaMomordicacharantia10 labu siam labu siam Sechium edule11 labu lamuja Cucurbita ficifolia12 petula timput Luffa acutangula13 kacang panjang retak kejung Vigna unguiculata14 kecipir gelinyor15 kacang polongPsophocarpustetragonolobus16 buncis retak liwaPhaseolusvulgaris17 bawang merah bawang suluh Allium cepa18 bawang daun Allium fistulosum19 kunyit kunjerCurcumadomestica20 jahe jahe Zingiber officinalis21 lengkuas lawas Languas galanga22 bayam hayomAmaranthushybridus23 sawi kol, kubis Brassica juncea24 tebu telur tebu telui Saccharum edule25 daun katuk mata-mataSauropus26 tomat mandiraandrogynusLycopersiconesculentum27 ubi jalar katila Ipomoea batatas28 jagung jagung Zea mays29 pisang punti Musa paradisiaca30 pepaya gedang Carica papayaSumber : Zulkifli Lubis, 1997, hal.7Fase produktif ketiga. Orang Krui mulaimenamakan lahan pertaniannya dengan repongapabila sudah terpenuhi unsur keragaman jenistanaman keras (perennial crops) yang tumbuh diatasnya; misalnya damar, duku, durian, petai, jengkol,melinjo, nangka, dan lain <strong>sebagai</strong>nya. Semua jenistanaman itu secara berangsur sudah ditanam sejakfase kebun. Satu ciri penting yang membedakan fasekebun dengan repong terletak dalam soal perawatantanaman. Tanaman di repong tidak memerlukanperawatan intensif seperti halnya tanaman kebun.Hal ini membawa implikasi pada residensi petani,yaitu berkurangnya kebutuhan untuk tetap tinggal di“hutan” seperti ketika mengurus ladang dan kebun,dan tibanya kesempatan bagi mereka untuk menetapkembali di desa. Saat yang demikian biasanyaberlangsung antara tahun ke 10-15 (usai masaproduktif kopi dan lada).Salah satu penjelasan mengapa orang Kruitetap menanam damar berkaitan dengan perubahanresidensi ini. Damar adalah unsur tanamanterpenting di dalam sistem repong, dan pengelolaanrepong damar fungsional untuk menegaskan klaimhak atas lahan hutan yang sudah dibuka. Jika lahanbekas kebun ditinggalkan tanpa meneruskannya kefase repong, maka lahan tersebut akan kembalimenjadi hutan. Adat orang Krui menyatakan bahwalahan yang dibiarkan menjadi rerahan/belukar danpulan ngura/hutan sekunder boleh dibuka dandikelola kembali oleh orang lain. Karena itu,membiarkan lahan bekas kebun menjadi belukar atauhutan kembali setelah ditinggalkan sama artinyadengan membiarkan lahan tersebut diambil alihorang lain. Tetapi jika lahan ditinggalkan setelahditanami damar dan tanaman ikutan lainnya yangumurnya puluhan bahkan bisa ratusan tahun, makalahan tersebut menurut aturan setempat dianggaptetap menjadi milik keluarga yang pertama sekalimengelolanya 6 . Saya melihat posisi tanaman damarlebih kuat <strong>sebagai</strong> penegas klaim atas lahandibandingkan tanaman repong lainnya karena duaalasan, (a) tradisi mengklaim lahan hutan yangditumbuhi damar liar sudah berlangsung lamabahkan ketika orang Krui masih dalam fasemengekstraksi dan belum membudi-dayakan pohondamar, (b) damar merupakan tanaman yang bisamemberikan penghasilan rutin kepada petani.Berbeda dengan tanaman kebun, orang Kruitidak menggolongkan damar <strong>sebagai</strong> tanaman yangbisa memberikan efek kejutan dan pencapaianpencapaianyang bersifat monumental. Merekamenempatkan damar <strong>sebagai</strong> tanaman produktifunsur penunjang kebutuhan rutin rumah tangga.Dalam proses pengelolaan tanaman repong petanijuga tidak membuat perhitungan matang tentangjumlah yang akan ditanam dan perkiraan hasilnya,juga tidak ada perlakuan istimewa semisal ritus-ritusyang berlaku untuk pengelolaan tanaman kebun.6 Kenyataan di lapangan mengindikasikan adanya variasiantara orang Penengahan (Kec. Pesisir Tengah) danorang Malaya (Kec. Pesisir Utara) dalam penegasanklaim hak atas lahan hutan yang pernah dibuka. OrangMalaya mengaku bisa mengklaim hak atas lahan hutanyang pernah dibuka tanpa keberadaan damar dantanaman repong lainnya, sedangkan orang Penengahanmenyatakan sangat rentan untuk membiarkan lahantanpa tanaman repong. Hal ini tampaknya berkaitandengan fakta bahwa orang Malaya tidak pernahmelakukan ekspansi pembukaan lahan ke luar batasdesanya, sementara orang Penengahan bertebaranmembuka lahan hutan di sepanjang pesisir Krui.49


<strong>Jurnal</strong> Antropologi Sosial Budaya <strong>ETNOVISI</strong> • Edisi 01• Tahun I • Juni 2005Semuanya berlangsung secara profan. Merekamengaku “hanya menanam damar, bukan berkebundamar” dan menurut mereka menanam damarbukan karena pertimbangan harga, karena “tidakmungkin untuk memperkirakan harga damar 20tahun yang akan datang”.Oleh sebab itu, repong damar adalah fasedimana petani menanam investasi yang hasilnyadiharapkan untuk jangka panjang. Tidak diperlukanperawatan khusus sampai ia produktif. Bahkanpetani membiarkan tanaman-tanaman repong yangdibudidaya-kannya semasa mengurus kebun untukhidup berdampingan dengan segala macamtumbuhan kayu dan tumbuhan semak yang tumbuhliar. Dengan tampilan yang demikian, maka repongdamar memasuki kategori lahan yang lazim dikenaldengan sebutan wanatani (agroforest), dan bisadigolongkan <strong>sebagai</strong> <strong>sebuah</strong> complex agroforestry.Ada sekitar 10 jenis tanaman produktif yang biasaditanam petani di dalam repong damar dan sekitar78 jenis tumbuhan yang diidentifikasi seringdimanfaatkan oleh penduduk untuk berbagaikeperluan, seperti kayu bangunan rumah, perkakas,bahan obat, kayu api, dan lain-lain (lihat AmirNadapdap 1995; Zulkifli Lubis 1996).Tabel 2. Jenis-jenis Tanaman Produktif pada FaseRepongNo Nama Tanaman Nama Lokal Nama Latin(Indonesia) (Krui)1 Damar mata damar kaca Shorea Javanicakucing2 Duku duku Lansiumdomesticum3 Durian durian Durio zibethinus4 Petai petar parkia speciosa5 Jengkol jering Phitecelebiumjiringa6 Melinjo tangkil Gnetum gnemon7 Manggis manggus Garciniamangostana8 Nangka melasa Artocarpusheterophyllus9 Pinang pinang Areca catechu10 Kayu manis kayu manis CinnamomumburmanniSumber : Zulkifli Lubis, 1997, hal 8.Tahapan pengelolaan lahan hutan sejak darifase ladang hingga menjadi repong damardimungkinkan berlangsung karena adanya landasansistem pengetahuan yang telah kukuh di dalamkebudayaan orang Krui. Sistem pengetahuantersebut dihasilkan dari proses belajar bersama wargakomuniti ketika berinteraksi dengan lingkungan alamdan lingkungan sosial mereka dalam kurun waktubelasan hingga puluhan tahun. Oleh karena itu,dapat dipahami bahwa sistem pengelolaan hutandengan pola repong damar tersebut merupakanakumulasi pengetahuan budaya mereka, yang terusdisempurnakan dari waktu ke waktu.Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) sepertihalnya yang dimiliki oleh orang Krui dalammengelola hutan, adalah pengetahuan yang bersifatunik bagi setiap kebudayaan atau masyarakat. Yangmenarik adalah kenyataan bahwa pengetahuanbudaya mereka dalam mengelola hutan secara lestaridan berkelanjutan, ajeg secara ekologis, ekonomisdan sosial budaya, itu berlangsung tanpa merekasadari hakikat keistimewaan yang terkandung didalamnya. Dalam wacana teoritik, keadaan seperti inidikategorikan <strong>sebagai</strong> tacit culture. Dan padaumumnya pengetahuan lokal (indigenous knowledge)memang merupakan sesuatu yang bisa dinyatakan<strong>sebagai</strong> “ …tacit knowledge and therefore difficult to codify,it is embedded in community practices, institutions,relationships and rituals”. Pengetahuan itu tidaktertulis, tapi ia melekat dalam praktik-praktik,institusi, hubungan-hubungan, dan ritus-ritus yangdiselenggara-kan oleh suatu komuniti.Urgensi Dokumentasi dan Pewarisan(Indigenous Knowledge)Khasanah pengetahuan budaya lokal sepertiyang digambarkan di atas sebenarnya sedang beradadi ambang kepunahan, khususnya di negara-negarayang sedang berkembang 7 . Ancaman kepunahan itutidak lepas dari ideologi modernisasi yang kemudiandiwujudkan dalam paradigma pembangunan duniayang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi.Kenyataan bahwa pengetahuan lokal pada umumnyatidak terkodifikasi, atau hanya hidup dalam alampikiran warga suatu masyarakat, akan mempermudahproses kepunahan itu manakala tekanan-tekananperubahan aspek material (sumber daya alam danacuan mode pengelolaannya) terjadi dengan derajatyang jauh lebih besar dibandingkan kemampuankomuniti tersebut untuk tetap mempertahankannya.Terlebih lagi karena seperti telah disebutkan di ataspengetahuan budaya itu pada umumnya bersifattacit, laten, atau tersembunyi.Kasus Krui sesungguhnya menjadi pelajaranyang baik untuk hal ini. Kedatangan para penelitisecara silih berganti dari mancanegara maupundomestik dalam 10 tahun terakhir merupakan<strong>sebuah</strong> “blessing in disguise” yang datang tepat waktu.Sebab, pada awal 1990-an daerah Krui sudahmenjadi incaran para investor untuk pengembangan7 Keprihatinan terhadap ancaman kepunahan khasanahindigenous knowledge tersebut sangat jelas terlihatdari forum diskusi internet yang dikelola Nuffic danWorldBank, yang khusus memperbincangkan isu-isuIK di seluruh dunia.Lihat http://www.nuffic.nl/ciran/ik.html50


Zulkifli B. LubisPengetahuan Lokal Dalam Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam…perkebunan kelapa sawit. Lahan yang mereka incaradalah hutan buatan milik orang Krui yang sudahberusia ratusan tahun dan hingga kini masihmemberikan kontribusi ekonomi yang signifikanbagi penduduk lokal. Jika saja para peneliti tidakmengungkap keunikan sistem pengelolaan hutanyang sudah ditradisikan penduduk Krui, dan faktaitu tidak didiseminasikan ke khalayak luas, termasukkepada para pengambil kebijakan di tingkat pusat,maka sejarah Krui tidaklah seharum seperti sekarang.Pengungkapan IK (Indigenous Knowledge) yangdimiliki orang Krui oleh kalangan peneliti dan LSMtelah membuahkan pengakuan pemerintah, antaralain dengan penetapan kawasan hutan damar di Krui<strong>sebagai</strong> etalase agroforestry dunia oleh mantanMenhut Djamaluddin S. (1994), pemberianAnugerah Kalpataru bagi masyarakat adat Krui, danjuga penetapan Menhut No. 47 tentang Kawasandengan Tujuan Istimewa, yang semuanyamenunjukkan dukungan bagi pelestarian khasanahbudaya orang Krui tadi.Kasus-kasus IK yang berkaitan denganpengelolaan sumber daya alam masih terdapat diberbagai komuniti di Indonesia khususnya. Misalnyasistem sasi dalam pengelolaan sumber daya laut diMaluku, pengelolaan sungai dengan model lubuklarangan di Tapanuli Selatan, dsb. Namun banyakmodel pengelolaan IK ini tidak seberuntung apayang didapati orang Krui. Sekali pengetahuan lokal(IK) yang berkaitan dengan pengelolaan SDA ituhilang, misalnya karena belum sempat terungkap danbelum terkodifikasi, maka konsekwensi yang terjadiadalah kemusnahan total. Seandainya hutan buatanyang canggih seperti repong damar di Krui sudahdimusnahkan karena tarikan kepentingan ekonomieksternal, sebelum sistem itu ditemukan peneliti dankalangan LSM, maka bisa dipastikan bahwa tidakakan ada cultural artifact yang bisa dijadikan buktimengenai kemajuan peradaban orang Krui.Demikianlah yang akan terjadi bagi khasanahkhasanahIK pada komuniti-komuniti lainnya.Usaha-usaha yang dilakukan untuk menyelamatkanwarisan budaya material seperti candi,bangunan istana kuno, arsitektur vernakular, dan lain<strong>sebagai</strong>nya sesungguhnya masih lebih mudahketimbang usaha menyelamatkan warisanpengetahuan budaya (cultural knowledge). Sisa-sisapeninggalan purbakala sesederhana apapun masihmembuka peluang untuk pengkajian danrekonstruksi makna dan peristiwa yang melatarikeberadaannya. Akan tetapi, bagaimana kita bisatahu bahwa di gurun Sahara, misalnya, mungkinpernah ditumbuhi hutan yang lebat dan dipeliharaoleh suatu komuniti di masa lampau? Oleh karenaitu, menurut hemat saya, perlu ada dorongan danupaya untuk kegiatan-kegiatan penyelamatan warisanbudaya yang immaterial ini, sebelum keberadaannyadigilas zaman. Barangkali Badan Warisan Sumaterabisa mempelopori usaha itu untuk konteksSumatera. Semoga.Bahan PustakaLubis, Zulkifli;1996; Repong Damar: Kajian Tentang ProsesPengambilan Keputusan Dalam Pengelolaan LahanHutan di Daerah Pesisir Krui, Lampung Barat.Ringkasan laporan penelitian, diterbitkan oleh CIFORdan P3AE-UI, Jakarta 1996; juga dimuat dalam majalahEKONESIA No.4 Maret 1996. Juga diterbitkan <strong>sebagai</strong>Working Paper No. 20 oleh CIFOR (Center ForInternational forestry Research), December 1997.Nadapdap, Amir Syamsu;1995; Konsepsi dan pemanfaatan Ruang dan Sumberdaya; Studi kasus Masyarakat Petani Damar di Krui,Lampung Barat. P3AE-UI, Jakarta.51


Biodata Penulis :AGUSTRISNO, sekarang <strong>sebagai</strong> staf pengajar tetap di Jurusan Antropologi Fisip USU Medan, dansedang mengikuti pendidikan S-2 di Program Pascasarajana USU untuk Program Studi Pembangunan.Selain itu, beliau juga menjadi pengajar mata kuliah Filsafat di Program Studi Psikologi FK-USU,Program Studi Keperawatan FK-USU, STKes Mutiara Indonesia, Stikes Takasima, Deli Husada danStikes Medistra Lubuk Pakam.AMRI MARZALI, guru besar antropologi dan staf pengajar tetap Jurusan Antropologi Fisip UI. Selainitu beliau juga menjadi dosen di Program Pascasarjana UI, Program Sosiologi Pedesaan IPB, dananggota Komisi Pembina HPH (APHI).ERMANSYAH, adalah staf pengajar jurusan Antropologi FISIP USU. Memperoleh magister antrologidari Progran Pascasarjana UGM. Sekarang menjabat <strong>sebagai</strong> sekretaris jurusan Antroplogi FISIP USU.FIKARWIN ZUSKA, adalah staf pengajar tetap Jurusan Antropologi Fisip USU. Saat ini sedangmengikuti program doktor di Program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Beliau banyakmelakukan kajian di bidang ekologi manusia, antara lain di Krui Lampung Barat dan di Tapanuli Utara.JONNI PURBA, sekarang sudah almarhum (wafat 2 Maret 2005). Terakhir <strong>sebagai</strong> kandidat doktorbidang antropologi di Program Pascasarjana Antropologi UGM, dan <strong>sebagai</strong> staf pengajar tetap diJurusan Antropologi Fisip USU.LISTER BERUTU, adalah staf pengajar tetap di Jurusan Antropologi Fisip USU. Saat ini beliaumenjabat <strong>sebagai</strong> Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara.Pendidikan terakhir magister antropologi dari Universitas Indonesia. Beliau sangat menekuni kajiankebudayaan, khususnya kebudayaan Pakpak.ZULKIFLI B. LUBIS, magister antropologi dari Universitas Indonesia, tamat tahun 1996. Sejak 1990menjadi staf pengajar tetap di Jurusan Antropologi Fisip USU. Beliau juga aktif mengajar di ProgramStudi Pembangunan, Program Pascasarjana USU.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!