12.07.2015 Views

Democracy Vs. Meritocracy, Mencari Jalan Tengah dari Kasus…

Democracy Vs. Meritocracy, Mencari Jalan Tengah dari Kasus…

Democracy Vs. Meritocracy, Mencari Jalan Tengah dari Kasus…

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

mengkhawatirkan. Betapapun, manajemen organisasi pemerintah harusditangani oleh orang-orang yang cakap, profesional, dan berdedikasi tinggi. Sulituntuk membayangkan peningkatan efisiensi, kualitas pelayanan danresponsivitas lembaga pemerintah tanpa adanya dukungan <strong>dari</strong> sumberdayamanusia yang memiliki kualifikasi yang memadai.Pentingnya meritokrasi dalam organisasi PemdaSecara sederhana, meritokrasi dapat dirumuskan sebagai suatu sistemsosial yang menempatkan imbalan, kedudukan dan jabatan berdasarkankemampuan atau kecakapan dan bukan berdasarkan faktor-faktor askriptifseperti kelas sosial, jender, kesukuan ataupun kekayaan seseorang. Padaumumnya terdapat asumsi bahwa meritokrasi adalah suatu sistem yangmemungkinkan terbentuknya suatu tatanan yang lebih adil dan lebih profesionalyang akan menunjang kemajuan suatu bangsa. Ini berlaku untuk sektor publikmaupun sektor swasta. Namun demikian harus diakui bahwa meritokrasi adalahsesuatu yang sulit diwujudkan, bukan saja di negara-negara berkembang tetapijuga di negara yang relatif lebih maju. Dalam kaitan ini Lawson dan Garrod(2002) mengemukakan bahwa meritokrasi adalah:“A social system in which reward and positions are allocated justly on thebasis of merit, rather than ascriptive factors such as genders, ethnic group orwealth. It is often claimed that modern industrial societies are more meritocraticthan in the past, and that the education systems in such societies are alsomeritocratic. However, there is much evidence to show that ascriptive factorssuch as those listed above exert a considerable influence on an individual’s lifechances”.Banyak bukti yang menunjukkan bahwa meritokrasi merupakan suatucara yang dapat diandalkan untuk membentuk organisasi dan lembaga yangkuat. Pada dasarnya dapat dilihat bahwa modernisasi di banyak negara tidakmungkin dapat terwujud tanpa penggunaan azas-azas meritokrasi yang kuat(Young, 1958; Brooks, 2002). Tetapi memang harus diakui bahwa hambatanuntuk menerapkan meritokrasi itu tidak sedikit. Di negara-negara maju pun masihsering kita lihat bahwa penunjukan seseorang pada jabatan tertentu dalamorganisasi publik maupun swasta dilakukan dengan mempertimbangkan ras,agama, atau etnik dan tidak selalu mengutamakan aspek kemampuanseseorang. Kritik atas kegagalan untuk menerapkan meritokrasi ini juga sudahbanyak dikemukakan (Arrow, 2003; McNamee & Miller, 2004).Dalam konteks sistem administrasi-pemerintahan di Indonesia, khususnyadalam rekrutmen PNS, kita lihat bahwa penerapan meritokrasi juga masihbanyak sekali menghadapi kendala. Dilema antara demokrasi dan meritokrasisangat terasa nuansanya di dalam pengangkatan tenaga honorer. Pemenuhantuntutan <strong>dari</strong> tenaga honorer untuk segera diangkat menjadi PNS terkadangdimaksudkan untuk mempertimbangkan prinsip demokrasi, mengakomodasisuara-suara di dalam masyarakat, termasuk para tenaga honorer daerah yangingin mengabdikan diri sebagai pegawai negeri. Tetapi sangat jelas bahwapemenuhan tuntutan itu pada akhirnya sering mengorbankan prinsip meritokrasi.4


Dengan demikian, salah satu hal penting yang harus diutamakan olehpara perumus kebijakan publik di masa mendatang ialah menyebarluaskanpemahaman kepada masyarakat bahwa pemerintah tetap memerlukan tenagatenagapegawai yang dapat diandalkan supaya sistem pelayanan publik dapatdilaksanakan secara profesional. Oleh sebab itu, kendatipun banyak angkatankerja yang belum terserap oleh sektor swasta, jangan sampai kemudianpenyerapan tenaga kerja itu dialihkan begitu saja ke sektor publik atau sektorpemerintah. Jadi, formasi PNS betapapun ada batasnya, sesuai kebutuhan riel<strong>dari</strong> organisasi pemerintah.Formasi PNS sebenarnya bahkan kian menyusut karena dua hal.Pertama, kemampuan pemerintah untuk membayar gaji para pegawai negerimelalui APBN sangat terbatas karena sebagian besar anggaran itu masihtersedot untuk membayar cicilan utang luar negeri. Anggaran untuk membayarPNS memang penting guna terus menggerakkan birokrasi pemerintah, tetapibesarannya harus tetap rasional sehingga tidak justru mengurangi jatahanggaran untuk pembangunan. Untuk tahun anggaran 2006, belanja pemerintahuntuk gaji dan tunjangan pegawai sudah mencapai 55,01 persen <strong>dari</strong> totalbelanja dengan angka nominal Rp 42,7 triliun. Kedua, dengan kebijakan otonomidaerah, pembayaran gaji untuk PNS banyak yang telah dilimpahkan kepadapemerintah daerah. Jika melihat bahwa sebagian besar DAU selama ini masihtersedot untuk membayar gaji pegawai, banyak Gubernur dan Bupati/Walikotayang terus mencoba untuk membuat agar struktur birokrasi Pemda tetapramping sehingga tidak memerlukan terlalu banyak pegawai. Otonomi daerahjuga berarti tuntutan bahwa pegawai Pemda harus lebih profesional dan tidakbisa bekerja seenaknya seperti dulu-dulu.Tuntutan bagi daerah untuk terus melakukan rightsizing atau perampinganterhadap birokrasi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah itu sangatpenting karena betapapun besaran organisasi publik harus tetap rasional. Padaawalnya, seiring dengan kebijakan otonomi daerah, pemerintah pusatbermaksud memberi keleluasaan yang lebih besar kepada daerah untukmembentuk organisasi Pemda, yaitu melalui PP No.84 tahun 2000. Namunkarena yang terjadi kemudian adalah membengkaknya struktur organisasidaerah dan pola rekrutmen pegawai yang tidak terkendali, akhirnya peraturantersebut digantikan dengan membatasi struktur organisasi Pemda melalui PPNo.8 tahun 2003. Pembatasan yang tertuang dalam peraturan tentang SOT(Struktur Organisasi dan Tatalaksana) itu demikian ketat sehingga banyakpejabat Pemda yang diturunkan eselonnya, bahkan banyak yang khawatir akanterkena pensiun dini.Belakangan, karena meluasnya keluhan <strong>dari</strong> Kepala Daerah sertakebutuhan untuk menyesuaikan dengan ketentuan baru dalam UU No.32 tahun2004, mulai muncul rencana untuk melakukan revisi terhadap PP tersebut. Rapatkerja Karo Ortala se-Indonesia di Bandung pada bulan Februari tahun 2005sudah mengisyaratkan agar ketentuan dalam PP No.8 tahun 2003 segera diubahagar struktur birokrasi Pemda bisa lebih rasional sesuai dengan kebutuhandaerah. Masalahnya, apakah penyesuaian dengan kebutuhan daerah itu lalubisa ditafsirkan bahwa Pemda kini boleh merekrut pegawai lebih banyak?5


Kiranya bukan. Oleh sebab itu, jika ribuan pelamar tetap bermimpi untuk menjadiPNS, tampaknya masih banyak yang harus kecewa karena memang formasipegawai itu seharusnya tetap sejalan dengan kebutuhan rightsizing birokrasipemerintah.Kecuali itu, harus diingat bahwa tuntutan profesionalisme bagi PNS kinisemakin tinggi. Gubernur atau Bupati/Walikota yang benar-benar inginmembangun daerahnya tentu menghendaki bahwa birokrasi Pemda akan terisioleh orang-orang yang memang mau bekerja keras, berdisiplin tinggi, bersikapprofesional, jujur, dan benar-benar ingin menjadi abdi masyarakat. Dilema yangharus dihadapi oleh para pembuat keputusan di daerah ialah bahwa kemampuanuntuk memberi imbalan yang layak kepada PNS masih terbatas sedangkantuntutan akan profesionalisme semakin tinggi. Namun melihat animo angkatankerja untuk menjadi PNS yang masih tetap melimpah, pejabat daerahsebenarnya punya kesempatan sangat bagus untuk benar-benar memilih calonpegawai yang berkualitas.Kendala yang masih dihadapi dalam menerapkan merit system,pemberian imbalan yang baik dan sehat bagi PNS, ialah belumdikembangkannya sistem yang memungkinkan penggajian berdasarkan kinerja(performance-based remuneration). Kebanyakan PNS masih berorientasi kepadajabatan struktural berdasarkan eselon yang kriteria penilaiannya belumdidasarkan pada kinerja, tetapi lebih didasarkan pada senioritas, masa kerja,kedekatan kepada atasan, hubungan famili, dan sebagainya. Banyaknya jenisjabatan yang memperoleh tunjangan fungsional, yang didasarkan padaprofesionalisme dan kinerja, masih terbatas. Hingga sepuluh tahun terakhir,jenis-jenis jabatan fungsional bagi PNS itu masih kurang <strong>dari</strong> 70 macam.Bandingkan dengan negara lain seperti di Malaysia yang jabatan fungsional bagipegawai negerinya sudah lebih <strong>dari</strong> 300 macam.Namun demikian, masalah dalam pembenahan sistem kepegawaian bagiPNS tampaknya mulai disa<strong>dari</strong> oleh banyak pihak. Kalaupun pemerintah pusatbelum sensitif dalam upaya untuk melakukan rekrutmen pegawai secararasional, tantangan kini langsung dihadapi oleh para pembuat kebijakan didaerah. Kalau tidak ingin bahwa rekrutmen PNS hanya membebani anggaranPemda sedangkan para pegawai itu tidak bisa menggerakkan pelayanan publikdi daerah secara lebih profesional dan efisien, tidak ada pilihan lain bagi pejabatdi daerah kecuali harus benar-benar memilih pelamar yang terbaik. Itu berartibahwa seseorang yang telah menjadi PNS tidak bisa ongkang-ongkang lagi.Apalagi jika ketentuan PP No.9/2003 tentang pengangkatan dan pemberhentianPNS nanti memungkinkan penilaian pegawai berdasarkan sistem kontrak selamaperiode waktu tertentu, sehingga mereka yang kinerjanya buruk akan dapatdiputuskan kontrak kerjanya.<strong>Jalan</strong> tengah: apa yang masih dapat dilakukan?Berkenaan dengan telah diangkatnya banyak tenaga honorer menjadiPNS secara penuh, sebagian pejabat mungkin tidak melihat bahwa masihbanyak hal yang harus dilakukan. Justru di sinilah letak masalahnya. Setelah6


tenaga honorer diangkat melalui proses pembuatan keputusan yang dilematis,seolah-olah pembinaan terhadap mereka terhenti. Dalam banyak kasus, tenagahonorer yang sudah diangkat menjadi PNS etos kerjanya justru menurun. Jikasebelum diangkat mereka ini ingin membuktikan pengabdian yang tulus denganbekerja tekun penuh dedikasi, setelah diangkat dan merasa aman menjadipegawai pemerintah sampai pensiun, mereka lalu tidak lagi melihat adanyatantangan untuk bekerja dengan lebih baik.Karena tenaga honorer itu sudah telanjur diangkat sedangkan birokrasisemestinya tidak boleh mengorbankan efektivitas dan efisiensi kerjanya, makajalan tengah yang sistematis harus diambil. Dalam hal ini merit system tetapharus diberlakukan kepada semua tenaga honorer agar mereka tidak justrusemakin buruk kinerjanya. Pemerintah daerah perlu mengembangkan sistempenilaian pegawai secara objektif berdasarkan berbagai ketentuan yang ada.Sistem penilaian yang dimaksud itu mungkin tidak harus mengikuti formalitaspenilaian seperti yang selama ini dilakukan, tetapi perlu menambah dengan halhalpraktis sejauh itu dapat dipertanggungjawabkan secara objektif. Misalnya,penilaian menggunakan sistem DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan)sekarang ini banyak dikeluhkan karena cenderung bias kepada pimpinan satuanorganisasi dan banyak hal yang bersifat subjektif.Dari sistem penilaian pegawai yang sudah diterapkan di dalam pelbagaiperaturan, sebenarnya sudah terdapat beberapa inisiatif yang bagus untukmenjamin penilaian secara objektif. Berdasarkan ketentuan Inpres No.7 tahun1999 mengenai AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) dan SK KepalaLAN No.589/IX/6/1999 tentang pedoman penyusunan LAKIP, semua pegawaitelah diwajibkan untuk membuat laporan yang objektif tentang kinerja dilingkungan kerjanya masing-masing. Masalahnya ialah bahwa banyak diantaralaporan itu yang tidak dievaluasi dengan baik dan belum dijadikan sebagaipatokan untuk menilai karir seorang pegawai. SK Kepala LANNo.239/IX/6/8/2003 juga telah menggariskan bahwa setiap pegawai dan instansiharus berorientasi pada rencana strategis yang menitikberatkan pada hasil.Tetapi praktik pelaksanaannya ternyata masih jauh <strong>dari</strong> harapan. Sementara itusebuah surat edaran Depdagri No.8/06/Sekdep/LPND/2002 mengenai StandarMinimal Pelayanan (SPM) sesungguhnya juga dapat dijadikan sebagai tolok-ukurobjektif dalam menilai kinerja lembaga pemerintah dan semua PNS yang bekerjadi dalamnya. Tetapi sekali lagi aturan-aturan yang mendorong profesionalismepegawai itu masih belum dapat diterapkan dengan baik karena iklim organisasiyang tidak mendukung.Betapapun kecilnya, inisiatif-inisiatif baru untuk mengembangkan sistempenilaian yang objektif terhadap kinerja PNS patut ditindaklanjuti. Saat ini,Pemda di beberapa daerah sudah mulai mengembangkan secara kreatifpenilaian-penilaian yang lebih objektif, misalnya dengan menggunakan BalanceScore-Card yang menjamin inter-subjektivitas penilaian. Untuk jajaran pejabatseperti Kepala Dinas atau kepala BUMD, sebagian sudah menggunakan seleksifit and proper test yang melibatkan bukan hanya Baperjakat tetapi jugamasyarakat luas.7


Seperti telah dijelaskan, pihak Pemda semestinya tidak menutupkemungkinan diterapkannya sistem yang memungkinkan status PNS tidak lagibersifat permanen. Selama ini muncul kesan bahwa PNS adalah ”PegawaiNyaman Sekali” dengan sistem evaluasi yang sangat longgar. Bahkan sistempengangkatan sering menggambarkan suatu penunjukan save for life, pegawaiyang diangkat akan aman statusnya seumur hidup. Kesan inilah yang mulaiharus dihapus, terutama diantara para pegawai tenaga honorer yang secaraotomatis diangkat menjadi PNS.Pengangkatan tenaga honorer melalui jalur-jalur nepotisme dan tidaktransparan harus sedapat mungkin dikurangi. Tentunya ini bukan merupakan halmudah karena sebagian <strong>dari</strong> jajaran PNS kita di daerah sudah terbiasa dengansistem rekrutmen yang mengutamakan koneksi dan hubungan kekerabatan.Tetapi kalau pejabat di daerah ingin menghendaki terciptanya birokrasipemerintah yang kuat, rekrutmen tenaga honorer yang transparan dan rasionalmerupakan salah satu cara yang harus dirintis sejak sekarang. Semua PNSharus dinilai secara objektif dan tidak boleh ada perlakuan khusus kepadakelompok tertentu. Inilah inti <strong>dari</strong> meritokrasi yang sesungguhnya.Dalam jangka-panjang, para pejabat hendaknya tidak ragu-ragu untukmelakukan rightsizing terhadap organisasi Pemda. Setelah otonomi daerah, kitamasih melihat betapa banyak struktur organisasi di daerah yangmenggelembung tidak terkendali. Pemkab Kutai Kertanegara, misalnya, kinimemiliki pegawai sejumlah 14.000 orang pada hal volume kerja yang adasesungguhnya dapat dilaksanakan oleh pegawai dengan jumlah kurang <strong>dari</strong>setengahnya. Dengan berpedoman pada PP No. 8/2003, Pemrov Jogjakartaberupaya untuk melakukan perampingan dengan target <strong>dari</strong> 12.000 menjadihanya sekitar 5.000 orang. Tetapi dalam kenyataan masih dijumpai pelbagaihambatan sehingga jumlahnya sampai saat ini masih sekitar 8.000 orang. Halyang serupa mungkin juga dihadapi di daerah-daerah lain dalam usahanya untukmelakukan rightsizing. Sementara itu data setelah otonomi daerah menunjukkanbahwa sebagian besar anggaran daerah (68,7 persen) masih tersedot untukmembayar gaji pegawai, sedangkan kinerja pelayanan publik masih juga menjadikeluhan pokok diantara warga masyarakat. Ini jelas menunjukkan bahwa polarekrutmen dan sistem penilaian kinerja pegawai yang objektif masih merupakanmasalah utama dalam sistem administrasi-pemerintahan daerah di Indonesia.Perlu upaya yang lebih serius dalam menangani masalah-masalah kepegawaianseperti ini.*****8


Referensi:1. Brooks, David, “The Merit of <strong>Meritocracy</strong>”, The Atlantic Monthly, May 20022. Douthat, Ross, “Does <strong>Meritocracy</strong> Work?”, The Atlantic Monthly,November 20053. Ferrazi, Gabe, Providing Policy Advice for Indonesian Decentralisation:The Case of the Model Building Exercise for the Development ofObligatory Functions and Minimum Service Standards, GTZ-SfDM,Jakarta, 20054. Lawson, D & J. Garrod, The Complete A-Z Sociology Handbook, Penguin,Boston, 20025. McNamee, Stephen J., The <strong>Meritocracy</strong> Myth, Rowman & LittlefieldPublishers, New York, 20046. Syuhud, A. Fatih, “Keraguan Terhadap Demokrasi”, Waspada, 08 Mei20047. Young, Michael, “Down With <strong>Meritocracy</strong>”, The Guardian, 29 June 20018. Young, Michael, The Rise of <strong>Meritocracy</strong>, McGraw-Hill, London, 19589. Zakaria, Fareed, The Future of Freedom: Illiberal <strong>Democracy</strong> at Home andAbroad, Penguin Books India, New Delhi, 20039

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!