12.07.2015 Views

Pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia dalam Pendidikan ... - SKP

Pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia dalam Pendidikan ... - SKP

Pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia dalam Pendidikan ... - SKP

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Pengajaran</strong> <strong>Apresiasi</strong> <strong>Sastra</strong> <strong>Indonesia</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Pendidikan</strong> KarakterAuthor : Risa RahayuPublish : 28-10-2011 18:24:48Penulisan Esai Guru Kategori SMAOleh : Risa Rahayu, S.Pd.Guru Bahasa dan <strong>Sastra</strong> <strong>Indonesia</strong> SMAN 3 Surabaya<strong>Pendidikan</strong> KarakterKonsep pendidikan karakter, pertama kali dicetuskan <strong>dalam</strong> pertemuan di Aspen Colorado tahun 1992.<strong>Pendidikan</strong> karakter (character education) didasarkan kenyataan bahwa Amerika mengalami kegagalan <strong>dalam</strong>pengelolaan moral anak didik. Kegagalan ini ditandai dengan demoralisasi yang semakin mengkhawatirkan.Semenjak itu, di AS diberlakukan pendidikan karakter sebagai solusi untuk mengatasi demoralisasi yangterjadi di negara tersebut.Bagaimana halnya dengan fenomena demoralisasi di <strong>Indonesia</strong>? Pada tahun 1990-2000, ancaman teror,kekerasan dan konflik berdarah berlatar belakang etnik dan agama telah mengoyak kehidupan bangsa<strong>Indonesia</strong>. Begitu banyak orang kehilangan harta dan nyawa di Sampit, Aceh, Ambon, Papua, Jakarta,Banyuwangi, Bali dan berbagai daerah yang lain. Dunia pendidikan <strong>Indonesia</strong> juga tercoreng. Pada hariSenin, 3 November 2009, ratusan mahasiswa Universitas 45 Makasar terlibat tawuran dengan aksi lempar batusesama mahasiswa. Tidak hanya itu, pada 17 November 2009 terjadi bentrok mahasiswa UniversitasMuhammadiyah Makasar. Fenomena lain juga tampak di kalangan anggota dewan yang terhormat. Kita lihatbagaimana kalangan elit intelektual politik menyelesaikan masalah <strong>dalam</strong> sidang paripurna kasus BankCentury yang ditayangkan di media elektronik. Bagaimana mereka bersilang pendapat yang akhirnyaberbuntut pada konflik yang anarkhis. Tidak hanya itu, kita lihat kasus Tanjung Priok. Warga sekitar bentrokdengan satpol PP. Kemarahan warga dipicu oleh adanya kebijakan penggusuran makam Mbah Priok dengandalih untuk mempermudah akses jalan menuju ke terminal peti kemas. Satpol PP menjadi sasaran kemarahanwarga karena merekalah yang mengamankan proses penggusuran tersebut. Korban tidak hanya menimpawarga sipil tetapi juga anggota satpol PP.Tampaknya dari berbagai kasus yang ada di negeri ini, tindakan-tindakan anarkis untuk melampiaskanemosi dan ide tidak hanya terjadi di kalangan preman. Kalangan pelajar dan mahasiswa, elite intelektualpolitik, jajaran pemerintahan pun menggunakan cara-cara anarkis untuk melampiaskan emosi dan idenya.Sikap kekanak-kanakan yang tidak mengedepankan hati nurani dan akal pikiran yang jernih serta emosi yangmudah meledak karena provokasi telah menjadi mental bangsa <strong>Indonesia</strong>. Dulu, dengan bangga kitamengatakan sebagai negeri yang ramah; negeri yang penduduknya hidup di kepulauan nusantara yang indahlaksana untaian zamrud di katulistiwa. Orang Jawa menyebutnya gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertaraharja (kaya raya tentram sentosa). Akan tetapi, sekarang kita hidup di negeri bak potongan&ldquo;neraka&rdquo; di katulistiwa. Colombijn dan Lindblad ( <strong>dalam</strong> Maliki, 2010:257) menyebut<strong>Indonesia</strong> is a violent country. Benarkah mental bangsa yang seperti ini merupakan produk kegagalanpendidikan di <strong>Indonesia</strong>? Benarkah pendidikan kita selama ini hanya mengedepankan aspek intelektual danranah kognisi tanpa menyentuh aspek moral, budi pekerti, akhlak, emosi, dan hati nurani atau ranah afeksi?Benarkah pendidikan kita selama ini tidak membangun karakter positif anak didik?Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu tahu terlebih dahulu tentang pengertian pendidikankarakter dan konsep pendidikan nasional kita.Dr. Thomas Lickona <strong>dalam</strong> bukunya Educating for Character (<strong>dalam</strong> http://topatopeng.smamda.org/2009/09/21) mendefinisikan &ldquo;pendidikan berkarakter adalah usaha sengajauntuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti.&rdquo;Ditegaskan pula bahwa jenis karakter yang diinginkan adalah anak didik bisa menilai apa yang benar, pedulisecara men<strong>dalam</strong> tentang apa yang benar, dan kemudian melakukan apa yang mereka yakini untuk menjadiPage 1


<strong>Pengajaran</strong> <strong>Apresiasi</strong> <strong>Sastra</strong> <strong>Indonesia</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Pendidikan</strong> Karakterbenar-- bahkan <strong>dalam</strong> menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari <strong>dalam</strong>. <strong>Pendidikan</strong> berkarakter yangdikemukakan oleh Dr. Lickona menggambarkan proses perkembangan yang melibatkan pengetahuan,perasaan, dan tindakan. Guru harus terlibat <strong>dalam</strong> kegiatan anak didik dan membantu mereka berpikir kritistentang moral dan etika. Guru harus dapat mengilhami mereka menjadi berkomitmen untuk tindakan moraldan etika serta memberi kesempatan kepada mereka untuk mempraktikkan perilaku moral dan etika.<strong>Pendidikan</strong> nasional kita juga mengandung ruh pendidikan berkarakter. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003tentang Sistem <strong>Pendidikan</strong> Nasional, pasal (1) ayat (2) disebutkan bahwa &ldquo;<strong>Pendidikan</strong> nasional adalahpendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,kebudayaan nasional <strong>Indonesia</strong> dan tanggap terhadap tuntutan zaman.&rdquo; Dalam pasal (3) dikatakanbahwa &ldquo;<strong>Pendidikan</strong> nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak sertaperadaban bangsa yang bermartabat <strong>dalam</strong> rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untukberkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis sertabertanggung jawab.&rdquo; Berdasarkan Undang-Undang Sistem <strong>Pendidikan</strong> Nasional kita tersebut bahwanilai-nilai etika inti &ndash; sebagaimana yang dikonsepkan oleh Dr. Lickona <strong>dalam</strong> pendidikan berkarakter --yang ditanamkan kepada peserta didik <strong>dalam</strong> pendidikan kita adalah nilai-nilai yang berdasarkan Pancasiladan UUD 1945, nilai-nilai agama, dan kebudayaan nasional <strong>Indonesia</strong>, dan tanggap terhadap tuntutan zaman.Komitmen pendidikan berkarakter juga dipertegas <strong>dalam</strong> pasal (3) di atas. Bahkan secara eksplisit ditegaskanbahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peradaban bangsayang bermartabat. Jelas bahwa konsep pendidikan berkarakter juga terdapat <strong>dalam</strong> sistem pendidikan nasionalkita.<strong>Pengajaran</strong> <strong>Sastra</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Pendidikan</strong> Karakter<strong>Sastra</strong> adalah suatu bentuk tanda seni yang bermediakan bahasa. <strong>Sastra</strong> hadir untuk dibaca dan dipahami sertaselanjutnya dimanfaatkan, antara lain untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Oleh karena itu,pembelajaran sastra seharusnya ditekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan salah satu bentuk seniyang dapat diapresiasi. Pembelajaran sastra haruslah bersifat apresiatif (Kurikulum 2004 SMA, PedomanKhusus Silabus dan Penilaian, Mata Pelajaran Bahasa dan sastra <strong>Indonesia</strong>).Dari maksud pembelajaran sastra di atas, dapat diketahui bahwa muara akhir pengajaran sastra adalahterbinanya apresiasi dan kegemaran terhadap sastra yang didasari oleh pengetahuan dan keterampilan dibidang sastra.S. Effendi (<strong>dalam</strong> Aminudin, 2004:35) mengatakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karyasastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dankepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatanapresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastrayang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagaibagian dari hidupnya.Pembelajaran apresiasi sastra merupakan bagian integral dari pembelajaran komponen pemahaman bahasa.Artinya, pembelajaran sastra terpusat pada pemahaman, penghayatan, dan penikmatan atas karya sastra.Prinsip-prinsip pembelajaran apresiasi sastra yang perlu diperhatikan sebagai berikut: (1) pembelajaran sastradapat meningkatkan kepekaan rasa terhadap budaya bangsa, khususnya bidang keseniaan; (2) pembelajaransastra memberikan kepuasan batin dan keterampilan pengajaran karya estetis melalui bahasa; (3) pembelajaransastra bukan merupakan pengajaran sejarah sastra, aliran, dan teori tentang sastra; (4) pembelajaran sastramerupakan pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan dari karya-karya tersebut.Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra.Kegiatan mengapresiasikan karya sastra berkaitan erat dengan pelatihan mempertajam perasaan, penalaran,dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.Berdasarkan atas prinsip-prinsip pengajaran sastra di atas dapat disimpulkan bahwa pengajaran sastramemberikan kontribusi yang positif terhadap pendidikan karakter. Dengan catatan, guru <strong>dalam</strong> mengajarkanPage 2


<strong>Pengajaran</strong> <strong>Apresiasi</strong> <strong>Sastra</strong> <strong>Indonesia</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Pendidikan</strong> Karaktersastra <strong>Indonesia</strong> harus tetap bermuara pada apresiasi sastra. Ratna (2003:235) mengatakan bahwa karya sastramemberikan sumbangan terhadap motivator pengalaman emosional dan intelektual dan sebagai motivatorkesadaran sosial. Sumbangan karya sastra <strong>dalam</strong> dunia pendidikan meliputi dimensi-dimensi kemanusiaansebagai pengalaman terbagi. Fungsi pengalaman tersebut tidak terbatas <strong>dalam</strong> skop etis estetis, filsafatreligius, dan berbagai apresiasi yang lain, melainkan telah memasuki wilayah intelektual, termasuk logika,meskipun bukan <strong>dalam</strong> pengertian positivistik.Jika kita perhatikan <strong>dalam</strong> Kurikulum Tingkat Satuan <strong>Pendidikan</strong> (KTSP) <strong>dalam</strong> kaitannya dengan pelajaranBahasa dan <strong>Sastra</strong> <strong>Indonesia</strong> dengan memperhatikan muatan Kompetensi dasar untuk Sekolah Menengah Atasdan Madrasah Aliyah &ndash;sebagaimana juga yang terdapat <strong>dalam</strong> Kurikulum 2004 SMA &ndash; untukkemampuan bersastra dari kelas X sampai dengan Kelas XII terdapat 23 Kompetensi Dasar (KD) yang harusdimiliki oleh siswa. Dalam KD tersebut tersebar materi sastra yaitu puisi, cerita rakyat, cerita pendek, sastramelayu klasik, pementasan drama, novel, bermain drama, biografi, resensi, novel, gurindam, esai, dan kritik.Materi-materi tersebut tersebar <strong>dalam</strong> empat keterampilan berbahasa yaitu membaca, menulis, menyimak,berbicara. Kegiatan mempelajari materi-materi sastra tersebut harus tetap bermuara pada apresiasi sastra.Dalam mengapresiasi karya sastra, siswa harus membaca karya sastra yang asli, bukan sinopsisnya. Jika siswahanya membaca sinopsis dan sama sekali tidak menggauli karya sastranya, malapetaka nasional <strong>dalam</strong> duniapendidikan <strong>Indonesia</strong> (khususnya pelajaran sastra) akan terjadi. Ini juga yang menjadi faktor penyebabgagalnya pendidikan karakter karena implikasi pengajaran sastra <strong>dalam</strong> pendidikan karakter menuntut siswauntuk menggauli karya sastra.Salah satu metode pengajaran apresiasi sastra yaitu strategi strata. Strategi strata terbukti menarik,menyenangkan, dan efektif , serta berkontribusi positif terhadap pendidikan karakter. Keunggulan strategi inidi antaranya adalah memungkinkannya diterapkan keempat aspek keterampilan berbahasa, yaitu membaca,menyimak, menulis, dan berbicara sekaligus <strong>dalam</strong> satu pembahasan genre karya sastra. Penerapan strategistrata terdiri dari tiga langkah pokok, yaitu penjelajahan, interpretasi, dan re-kreasi.Dalam tahap penjelajahan, siswa melakukan penjelajahan terhadap cipta sastra. Penjelajahan dapatdilakukan dengan membaca, bertanya, mengamati/menyaksikan/mendengarkan pementasan, dan kegiatan lainyang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang cipta sastra yang sedang dijelajahinya. Jika <strong>dalam</strong>tahap penjelajahan kegiatan dilakukan dengan membaca, yang dibaca adalah karya sastranya dan bukansinopsisnya. Jika yang diamati pementasan drama, yang diamati pementasan drama secara utuh dan bukanpenggalannya. Dalam hal ini , guru dituntut untuk jeli <strong>dalam</strong> menentukan karya sastra yang harus dibaca atauditonton/didengar oleh siswa. Guru harus pandai menentukan karya sastra yang baik, bermutu, dan layakdibaca peserta didik. Aspek keragaman tema, nilai-nilai estetika dan etika, budaya, moral, dan nilai-nilaihumanisme yang lain menjadi bahan pertimbangan guru <strong>dalam</strong> menentukan karya sastra. Aspek-aspek tersebutpenting karena hal-hal itulah yang hendak ditanamkan kepada peserta didik <strong>dalam</strong> pendidikan berkaraktermelalui pengajaran sastra. Siswa diberi kesempatan untuk membaca atau menonton/mendengarkankarya-karya sastra sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, guru dapat menugaskan siswa <strong>dalam</strong> bentukkelompok. Masing-masing kelompok mendapatkan tugas membaca atau menonton karya sastra yang berbeda.Semakin bervariasi karya sastra yang digauli siswa, semakin luaslah khazanah pengetahuan dan pemahamansiswa tentang kehidupan. Guru dapat membagi kelompok berdasarkan tipe siswa. Siswa bertipe visual dangemar membaca dapat berkelompok sendiri untuk menggauli karya sastra dengan membaca. Siswa bertipevisual dan gemar menonton dapat menggauli karya sastra dengan menonton pementasan karya sastra, baiksecara langsung, ataupun melalui media elektronik. Siswa auditori dapat menggauli karya sastra denganmendengarkan kaset pementasan drama. Guru dapat memberikan kelonggaran kepada siswa sesuai dengankemampuan dasar yang dimilikinya untuk menggauli karya sastra. Beberapa karya sastra, baik <strong>dalam</strong> bentukbuku ataupun rekaman dapat menjadi alternatif bahan pembelajaran. Memang dibutuhkan waktu yang cukupuntuk menggauli karya sastra. Oleh karena itu, kegiatan ini dapat diberikan <strong>dalam</strong> bentuk penugasan di rumahsecara berkelompok.Setelah penjelajahan, dilakukan kegiatan penafsiran cipta sastra yang dijelajahi melalui kegiatan interpretasi.Di sinilah terjadi proses penafsiran karya sastra yang telah dibaca atau ditonton/didengar. SiswaPage 3


<strong>Pengajaran</strong> <strong>Apresiasi</strong> <strong>Sastra</strong> <strong>Indonesia</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Pendidikan</strong> Karaktermendiskusikan karya sastra tersebut dengan menggali nilai-nilai estetika, budaya, moral, dan berbagainilai-nilai humanisme yang terdapat <strong>dalam</strong> karya sastra. Unsur- unsur psikologis yang terdapat <strong>dalam</strong> diritokoh dan motif-motif yang mendasari perbuatan tokoh pun diulas <strong>dalam</strong> tahapan ini. Guru bertindak sebagaimotivator dan moderator <strong>dalam</strong> diskusi. Jawaban salah dan benar tidak berlaku karena yang penting darijawaban itu adalah alasan yang mendasari jawaban. Dari karya sastra yang telah dibaca atau ditonton olehsiswa itulah, guru menanamkan nilai-nilai moral, estetika dan etika, budaya, dan nilai-nilai humanisme yanglain kepada siswa. Guru dapat menyentuh hati nurani siswa melalui perasaan simpati dan empati kepadatokoh-tokoh protagonis. Kepada tokoh antogonis pun guru dapat menyentuh hati nurani siswa denganmengajak memahami aspek psikis dan motif-motif tokoh berbuat jahat. Tokoh-tokoh protagonis dapatmenjadi motivator untuk cermin diri dan teladan. Sementara itu, terhadap tokoh yang antagonis pun dapatdipakai sebagai cermin diri dan wahana berpikir kritis <strong>dalam</strong> menghadapi tokoh seperti itu yang terdapat<strong>dalam</strong> masyarakat. Nilai-nilai budaya yang terdapat <strong>dalam</strong> karya sastra tidak hanya berfungsi sebagaipengetahuan bagi siswa tetapi yang terpenting adalah memberikan kontribusi terhadap pembentukan karakteratau watak siswa. Di sinilah diperlukan keterampilan dan keprofesionalan guru <strong>dalam</strong> menanamkan nilai-nilaipositif yang terdapat <strong>dalam</strong> karya sastra kepada peserta didik. Dalam tahapan inilah proses pendidikanberkarakter <strong>dalam</strong> pengajaran apresiasi sastra <strong>Indonesia</strong> berlangsung.Setelah tahapan interpretasi adalah tahapan re-kreasi. Tahapan ini adalah tahapan pen<strong>dalam</strong>an terhadap karyasastra yang telah dibaca atau ditonton. Siswa dapat mengkreasikan kembali yang telah dipahaminya denganjalan menukar peran pengarang, misalnya penulisan kembali bagian tertentu dari sudut pandang salah satupelaku, mengubah bentuk cerita ke <strong>dalam</strong> bentuk drama atau sebaliknya, menuliskan suatu bagian <strong>dalam</strong>sastra klasik dengan gaya bahasa masa kini, dan sebagainya. Dalam tahapan ini guru bertindak sebagaimotivator bagi siswa untuk menghasilkan produk karya sastra sesuai dengan pemahaman dan analisaberpikirnya terhadap isi karya sastra tersebut. Siswa dapat mengaplikasikan nilai-nilai etika inti <strong>dalam</strong>kehidupan, yang menjadi dasar karakter &ndash; sebagaimana yang dimaksud <strong>dalam</strong> pendidikankarakter&mdash;ke <strong>dalam</strong> karya sastra yang diciptakannya.Membentuk karakter positif kepada peserta didik memang bukan hal yang mudah. Dengan kata lain,pendidikan karakter harus dilakukan secara kontinu, berkesinambungan, konsisten, dan melalui prosespembiasaan agar menjadi pemahaman yang menyatu <strong>dalam</strong> perasaan dan terefleksi <strong>dalam</strong> tindakan/ perilaku.Apa yang telah diuraikan di atas hanyalah sekelumit kontribusi yang dapat diberikan pengajaran apresiasisastra ke <strong>dalam</strong> pendidikan karakter. Mudah-mudahan guru memahami substansi dari pengajaran sastrasehingga memberikan kontribusi positif terhadap pendidikan karakter. Mari bersama-sama kita lakukan disekolah kita.DAFTAR PUSTAKARatna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi <strong>Sastra</strong>. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.http://topatopeng. Smamda. Org/ 2009/09/21. &ldquo;<strong>Pendidikan</strong> Berkarakter&rdquo;.Maliki, Zainudin. 2010. Sosiologi <strong>Pendidikan</strong>. Yogyakarta: UGM University Press.Departemen <strong>Pendidikan</strong> Nasional. 2003. Kurikulum 2004 SMA Mata Pelajaran Bahasa dan <strong>Sastra</strong> <strong>Indonesia</strong>.Aminudin. 2004. Pengantar <strong>Apresiasi</strong> Karya <strong>Sastra</strong>. Bandung: Sinar baru Algesindo.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem <strong>Pendidikan</strong> Nasional. Jakarta: Fokus Media.Page 4

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!