12.07.2015 Views

Terjangkau Angan Malind - Forest Peoples Programme

Terjangkau Angan Malind - Forest Peoples Programme

Terjangkau Angan Malind - Forest Peoples Programme

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Daftar isiUcapan TerimakasihKata PengantarPendahuluan 1MIFEE: Anak Haram Krisis 3F dan 2C (Food, Feel,Fuel and Climate Change) 21Masyarakat papua dan Pembangunan:Perspektif Menyembuhkan Papua 45Beberapa Potret Dinamila Lapangan 55Analisis Perkiraan Dampak Program MIFEE 71Upaya - upaya Pengurangan Resiko 95Reaksi Para Pihak 109Penutup 113Lampiran I 121Catatan Kaki 125Tentang Pusaka 137vix


Kata PengantarArgumen utama yang dikemukakan oleh Laporan ini sepahamdengan apa yang baru-baru ini dikemukakan oleh Soeryo Adiwibowo,seorang professor ekologi manusia dari Institut Pertanian Bogor(IPB), dalam seminar ”Food Estate di Indonesia, MampukahMewujudkan Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan,Berkedaulatan dan Berkeadilan?” di Bogor, 15/12/2010. Kutipanberikut adalah liputan dari KOMPAS 16 Des 2010 “Kawasan Pangan.Pemerintah Tak Perlu Tergesa-gesa”:Menurut Adiwibowo, selama ini model pembangunan yangdilakukan di Merauke menyisakan celah besar, baik teknologi,manajemen, maupun investasi.Terbukti masyarakat Merauke masih hidup dengan berburudan meramu. Sementara tetangganya yang dari Jawa sudahmengembangkan sistem pertanian.Karena itu, Merauke Integrated Food and Energy Estate(MIFEE) perlu ada penyesuaian. ”Ini titik kritis. Kalau kulturgap tinggi, ada mekanisme mengalah diri bagi masyarakat yangpunya kemampuan lebih rendah,” katanya.


xiixiiiDavid Harvey dalam The Limit of Capital (1982) sebagai produksiruang baru sebagai solusi (spatial fix). Likuditas uang menjadimodal, meskipun menjadi penentu namun bukanlah satu-satunyapembentuk modal. Dalam konteks industri pertanian dibutuhkantanah, tenaga kerja, infrastruktur dan tatanan kelembagaan yangsama sekali baru. Untuk dua yang pertama, yakni tanah dan tenagakerja, diperlukan paksaan. Tidak ada satupun petani yang akanmerelakan begitu melepaskan tanahnya, cara mereka berproduksidan hidup dari tanah itu, serta menjadi pekerja industri pertanian.Sisi lain dari proses untuk memperoleh tanah dan menempatkannyasebagai modal untuk pertama kalinya adalah pemisahan secarabrutal petani dari tanah pertaniannya untuk kemudian secaradrastis atau lambat laun menjadikan petani menjadi tenaga kerjaindustrial.Untuk menyediakan kesemua itu, badan-badan pemerintahanpunya andil, termasuk menggunakan kewenangan monopolinyauntuk melakukan pembuatan peraturan perundang-undangan,alokasi anggaran publik, hingga bila diperlukan mengerahkanaparatur represifnya. Selain memastikan konsensus dan akomodasikepentingan di kalangan pemerintahan maupun perusahaankapitalis (masing-masing maupun di antara keduanya), yang vitaldilakukan oleh para manajer perusahaan kapitalis dan manajerbadan pemerintahan adalah membuat keseluruhan proses yangbrutal ini bisa diterima sebagai suatu yang alamiah, bahkan kalaumungkin kelompok-kelompok masyarakat sipil (seperti media,akademisi, kaum professional, dan lainnya) membenarkan prosesitu, dan mengatur diri sebagai pihak yang memperlancarnya.Keharusan-keharusan struktural ini berbeda-beda dari waktuwaktu(sejarah) dan dari satu tempat ke tempat lainnya (geografi),sehingga perlu diperiksa secara spesifik. Menurut saya, apa yangTanah (atau lebih luasnya: alam) sesungguhnyabukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidakdapat sepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi.............. (Karl Polanyi, ;The Great Transformation (1944)telah dan akan terus terjadi di Merauke -- seperti juga yang terjadidi Sumatera Timur setelah Undang-undang Agraria (agrarischewet) 1870 -- memberi bahan yang lebih dari cukup bagi kita untukmemikirkan secara sungguh-sungguh bagaimana keharusanstruktural itu mewujud secara konkrit dalam ruang dan waktutertentu.Dengan perpektif demikian, saya mengusulkan terlebih dahuluperlu dipisahkan, dan kemudian dihubungkan, antara MIFEEsebagai kebijakan Pembangunan dengan proses berjalannyapembangunan kapitalisme. Pembedaan alat kerja analitik inidikembangkan oleh Gillian Hart dalam artikelnya “DevelopmentDebates in the 1990s: Culs de sac and Promising Paths” (2001).Pembangunan (dengan huruf “P” besar), atau Development, sebagai“suatu proyek intervensi paska-perang dunia kedua terhadap negaranegara‘dunia ketiga’ yang berkembang dalam konteks dekolonisasidan perang dingin (cold war), dengan pembangunan kapitalis(dengan “p” kecil), capitalist development, sebagai suatu rangkaiproses pembentukan cara produksi kapitalis yang dipenuhi denganberagam kontradiksi dan secara geografis perkembangannya tidaksama antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.Pembedaan ini memiliki konsekuensi yang besar dalammelakukan studi mengenai MIFEE. Dengan pembedaan ini mari kitamenempatkan dimana neoliberalisme itu berada. Neoliberalismepada mulanya adalah suatu paham yang menomor satukan prinsipprinsipkepemilikan pribadi yang mutlak, pasar dan perdaganganbebas, dan kebebasan dalam berusaha dan berkompetisi. Sebagaisuatu teori ia terkesan sangat menggoda, terutama dalam kontekskritik terhadap kekuasaan negara yang sangat besar – baikyang dipraktekkan oleh rejim sosialis-komunis, maupun rejimnegara kesejahteraan, maupun negara pembangunan di negaranegarapaska kolonial. Laporan ini memahami neoliberalismedalam konteks demikian ini. Sebagai praktek kelembagaan,neoliberalisme memberi pengaruh besar bagi kebijakanPembangunan. Sebagaimana sudah mahful, paham neoliberalismedalam kebijakan pembangunan dimulai oleh Bank Dunia dan IMF(International Monetary Fund) memberlakukan apa yang disebut


xvixviiberagam karakteristiknya, baik asal-usul, kelas yang diwakilinya,arena kerja dan cara artikulasinya, hingga cita-cita yang maudicapainya. Laporan ini memang tidak mencakup ruang-lingkuptopik kelompok gerakan-gerakan sosial seputar MIFEE, yangbergerak di berbagai arena yang berbeda-beda dengan cara kerjadan artikulasi yang berbeda-beda, mulai yang berada di lapanganmelakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat, di arenakebijakan pemerintah daerah, maupun yang melakukan kampanyedan advokasi kebijakan di pentas-pentas kebijakan nasional maupuninternasional. Kita akan lihat di kemudian hari dinamika dan geraklangkah dari gerakan-gerakan ini yang beraneka ragam ini.Selamat membaca !!Noer Fauzi RachmanPelajar ekologi politik dan perubahan agraria kepulauan Indonesia


Bagian PertamaPendahuluanMenpen, Suswono dan Bupati Merauke, Johanes Gluba GebzeDalam satu dasa warsa terakhir, seiring dengan diberlakukannyakebijakan otonomi khusus bagi Propinsi Papua, upaya pembangunandi daerah ini semakin gencar saja dilakukan. Sesuai denganamanat Undang-undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang SistemPerencanaan Pembangunan Nasional, Pemerintah Provinsi Papuatelah pula menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah(RPJM) Propinsi Papua untuk tahun 2006-2011, yang targetnyaadalah meningkatnya kualitas kehidupan seluruh rakyat di ProvinsiPapua secara lebih bermakna, khususnya orang-orang asli Papua.Sebagaimana tercantum dalam dokumen Rencana PembangunanJangka Menengah Daerah Propinsi Papua, peningkatan kualitaskehidupan secara bermakna itu akan terjadi sebagai konsekuensilogis dari dilaksanakannya sejumlah upaya pembangunan, diantaranya: pertama, pembangunan yang berpusat pada manusiaPapua; kedua, melaksanakan program pembangunan kampungdi Provinsi Papua melalui pelaksanaan Rencana Strategis


2 3Pembangunan Kampung (RESPEK); ketiga, mengembangkandan melaksanakaan pengelolaan sumberdaya hutan secaraberkesinambungan (sustainable forest management); keempat,menciptakan lingkungan yang menarik investasi dan perdagangan;kelima, melaksanakan pembangunan infrastruktur makro yangmenopang secara signifikan pembangunan ekonomi, penerobosanwilayah, dan peningkatan kualitas kehidupan; keenam, menciptakantata pemerintahan yang baik (good governance); ketujuh, membalikstruktur anggaran menjadi piramidal dengan porsi langsung untukrakyat sebesar-besarnya; kedelapan, memerangi dan membasmiKKN dengan menerapkan sistem pengadaan barang dan jasasecara independen, adil dan terbuka, meningkatkan pengawasandan penegakan hukum, dan memperbaiki kesejahteraan danprofesionalisme pegawai pemerintah.Pada saat yang bersamaan, di tingkat nasional, PemerintahPusat telah pula mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman. Pada ketentuanmenimbang disebutkan PP Budidaya Tanaman ini diterbitkan untukmelaksanakan ketentuan Pasal 46 dan 51 dari UU No. 12 tahun 1992tentang Sistem Budidaya Tanaman. Ruang lingkup pengaturan PPini mencakup, yakni: budidaya tanaman; perizinan usaha budidayatanaman; dan pembinaan dan peran masyarakat. Terlepas darialasan hukum, kehadiran PP yang kontroversial ini disinyalirbertujuan untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan swastadalam penguasaan dan pengusahaan lahan dan pembangunanpertanian dan perkebunan pangan skala besar, yang belakanganpopular disebut Food Estate. Menurut Menteri Pertanian, arahpengembangan Food Estate adalah untuk memperkuat ketahananpangan nasional, termasuk memasok kebutuhan ekspor. 1Pemerintah menjanjikan fasilitas khusus untuk investor yang akanmengembangkan Food Estate, seperti fasilitas fiskal dan non fiskal,tax holiday, perijinan, dan sebagainya.Departemen Pertanian selanjutnya merencanakan programFood Estate di Kabupaten Merauke 2 , Provinsi Papua, daerahpengembangan pangan baru, yang sebelumnya pada masapemerintahan kolonial Belanda pernah dikembangkan menjadilumbung pangan untuk wilayah Pasifik Selatan melalui Padi Kumbepada tahun 1939-1958. Bupati Merauke, John Gluba Gebze, pernahmenggagas pertanian padi skala luas yang dikenal dengan MeraukeIntegrated Rice Estate (MIRE) pada tahun 2007. Pemerintahmendukung program ini dan mengeluarkan kebijakan PP No.26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional(RTRWN) dan adanya Instruksi Presiden No. 5 tahun 2008 tentangFokus Program Ekonomi 2008-2009, yang menempatkan Papuasebagai kawasan andalan dengan unggulan di Sektor Pertanian.Kini sejalan dengan hasrat pemerintah pusat dikembangkanprogram pertanian pangan dan energi skala luas yang terpadu didaerah Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, dinamakan MeraukeIntegrated Food and Energy Estate (MIFEE), dengan rencanaluas lahan yang akan digarap seluas 1,283 juta hektar (Ha)Kalangan pengusaha besar menyambut baik kebijakan FoodEstate ini. Misalnya, kelompok usaha Artha Graha Network melaluianak usahanya PT Sumber Alam Sutera (SAS) mendukung programpengembangan Food Estate di kawasan ekonomi khusus KabupatenMerauke, Papua. Sejak tahun 2008, PT SAS mendapatkanjatah pencadangan lahan seluas 2.500 ha di Kampung Obaka,Distrik Kurik, Merauke. Perusahaan ini telah melakukan ujicoba penanaman padi hibrida Bernas Super, Prima dan Rokan,dengan hasil rata – rata 8,6 ton GKP per hektar. Perusahaan initerus mengembangkan luasan penanaman padi hibrida di wilayahtersebut. Selain mengembangkan areal tanam padi hibrida, PT SASjuga telah melakukan uji coba pengembangan penanaman kedelai,hortikultura dan peternakan sapi.Siapkah masyarakat, terutama penduduk asli Papua, menghadapidinamika investasi dengan kebutuhan lahan yang besar ini? TabloidJubi melaporkan bahwa tidak semua kegiatan tersebut telahmendapat restu dari masyarakat setempat. Kebanyakan suku-suku<strong>Malind</strong> yang berdiam disekitar DAS Bian yang hidupnya masihtergantung pada kawasan hutan dan lahan basah, tidak mendapatkaninformasi yang lengkap tentang keberadaan proyek. Masyarakattidak mengerti manfaat dan resiko proyek serta jaminan bahwahak-hak mereka dapat dilindungi di masa datang. Masyarakat di


4 5Kampung Senegi, Distrik Animha, yang wilayahnya menjadi lokasiHTI (Hutan Tanaman Industri) PT. Selaras Inti Semesta (SIS),mengirimkan surat protes kepada Bupati John Gluba Gebze, atasperlakuan sewenang-wenang perusahaan SIS dalam pengambilandan pembebasan lahan dan kawasan hutan. Masyarakat di limakampung Distrik <strong>Malind</strong> khawatir dengan rencana perusahaanperkebunan tebu PT. Rajawali Corp. yang akan mengambil lahangarapan dan kawasan hutan buruan masyarakat. 3Bahkan berbagai organisasi masyarakat sipil, seperti Greenpeacemisalnya, menyayangkan adanya pembongkaran hutan untukkeperluan industri perkebunan itu. Ketua Perkumpulan Triton,sebuah LSM lokal di Sorong, telah mendesak pemerintahmenghentikan aktivitas penebangan dan perkebunan sawit yangmengekploitasi dan merusak hutan adat, karena masyarakat masihmenggantungkan hidupnya pada keberadaan hutan adat itu. 4Betapapun, kebijakan untuk mempercepat pembangunan diKabupaten Merauke cq. MIFEE itu sepertinya memang berpotensimembawa dampak yang tidak kecil. Maka, dalam rangkamengantisipasi dampak-dampak negatif yang mungkin saja munculdi kemudian hari, sekaligus mencari informasi yang diperlukanuntuk membantu kesiapan masyarakat dalam menghadapi programdimaksud, maka PUSAKA, sebuah lembaga masyarakat sipil yangberkedudukan di Jakarta, yang peduli dengan permasalahanmasyarakat adat dan lokal, berinisiatif melakukan penelitian awaluntuk pemetaan masalah yang tengah berkembang di tingkatlapangan.MetodologiKegiatan penelitian ini berangkat dari pertanyaan pokok, sebagaiberikut: Bagaimana persisnya kebijakan percepatan pembangunancq. Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) diKabupaten Merauke itu? Mengingat adanya ‘kesenjangan peradaban’antara upaya-upaya percepatan pembangunan itu dengan tingkatperkembangan sosio-kultural dan ekonomi masyarakat asli,kebijakan-kebijakan apa yang telah dipikirkan oleh pemerintahuntuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul? Bagaimanamasyarakat memandang upaya-upaya percepatan pembangunanitu? Apa kekuatan dan kelemahan masyarakat dalam menghadapiperkembangan rencana pembangunan di daerah tersebut?Pada dasarnya ada empat hal pokok yang menjadi objekutama kajian ini. Masing-masing adalah: (1) Kebijakan-kebijakanyang relevan dengan upaya-upaya percepatan pembangunan,pengelolaan sumberdaya alam, dan kebijakan tentang perlindunganhak-hak masyarakat adat dan penguatan masyarakat dalammenghadapi upaya percepatan pembangunan, baik yang beradadi tingkat propinsi, terutama di tingkat kabupaten, dan tingkatdesa; (2) Persepsi masyarakat tentang upaya-upaya dimaksud,termasuk persepsi tentang isi dari berbagai kebijakan yang dikajiitu; (3) Kinerja ‘institusi lokal’ yang berkaitan dengan pengelolaansumber-sumber agraria dalam mendukung kehidupan masyarakatyang bersangkutan dan potensinya dalam menarik keuntungan bagipeningkatan kesejahteraan seiring dengan adanya upaya percepatanpembangunan yang dilakukan pihak pemerintah dan swasta; dan(4) Potensi ancaman dan perubahan yang diperkirakan akan terjadisebagai akibat proyek MIFFE.Dengan mempertimbangkan kendala yang ada (biaya, waktu,dan tenaga), dan seiring pula dengan pokok masalah yang akandikaji, kajian ini diselenggarakan dengan menggunakan pendekatankualitatif, dengan menerapkan beberapa teknik pengumpulan datadan analisis data. Masing-masing adalah (1) Kajian kepustakaandan analisis isi (content anylisis); (2) Wawancara mendalam(perseorangan); (3) Focus Group Discussion (FGD) atau diskusikelompok terarah. FGD yang dapat dilaksanakan adalah 3 (tiga)kali. Masing-masing sekali di (Kota) Merauke, yang melibatkantokoh-tokoh masyarakat (perwakilan gereja/agama, suku, danNGO), dan aparatus pemerintah yang peduli; dan dua kali di duakampung terpilih dari 4 desa yang direncanakan semula. Observasiyang relatif menditeil juga hanya sempat dilakukan di dua kampungterkunjungi ini. Hal ini terjadi karena adanya kendala waktu danbiaya untuk mobilisasi tim penelitian.


6 7Meski begitu, kekurangan tersebut di atas kemudian ditutupidengan menggunakan juga data-data lain yang bersumber daribeberapa kegiatan – untuk mudahnya – saya sebut saja sebagaikegiatan konsultasi publik, baik yang berupa kegiatan pelatihan,lokakarya, seminar, maupun sekedar diskusi kelompok terarah(Focus Group Discussion), yang diselenggarakan sejumlah pihak.Terutama yang melibatkan Yayasan Santo Antonius (YASANTO)dan Sekretariat Kemanusiaan dan Perdamaian Keuskupan AgungMerauke (SKP KAM), selaku mitra kerja utama PUSAKA danKARSA di Kabupaten Merauke. Kegiatan-kegiatan dimaksuddiselenggarakan sebelum kegiatan penelitian ini berlangsung (AkhirJuli hingga awal Agustus), ataupun setelah kegiatan penelitianlapangan ini sendiri selesai dilaksanakan.Setidaknya ada 12 (dua belas) kegiatan ‘konsultasi publik’ yangdirujuk dalam laporan ini. Masing-masing adalah (1) KunjunganLapangan PUSAKA, 2009; (2) Lokakarya tentang FPIC, Yasanto& PUSAKA (Februari 2010); (3) Sosialisasi FPIC ke 6 kampungdi Distrik <strong>Malind</strong> yang bersentuhan dengan proyek-proyekataupun calon proyek MIFEE yang (Yasanto & Pusaka, Juni2010); (4) Pelatihan Investigasi Kasus Pelanggaran Lingkungan,Yasanto & Foker LSM Papua (Mei 2010); (5) Diskusi Publik yangdiselenggarakan oleh YASANTO pada tanggal 23 Agustus 2010 diKampung Sirapu dan Kampung Kuper, Distrik Kurik, KabupatenMerauke, yang diselenggarakan untuk menyikapi acara launchingprogram MIFEE di Kampung Sirapu yang tidak mengikutsertakanwarga di kampung itu; (6) ‘Diskusi Publik’ yang diselenggarakanatas kerjasama Yasanto, Pusaka, dan Majelis Rakyat Papua, padaTanggal 30 September 2010, yang melibatkan peserta sekitar 90orang; (7) serangkaian diskusi public dengan para-pihak yangberbeda yang diselenggarakan oleh YASANTO & TIFA – padatanggal 6 sampai 10 Oktober 2010; (8) Dialog interaktif tentangmasyarakat adat, investasi dan perubahan iklim (18 Oktober 2010,kerjasama FOKER LSM dan Yasanto); (9) Rapat Konsolidasi yangdilakukan oleh Yasanto pada tanggal 25 Oktober 2010.Selain itu kami juga mengintegrasikan sejumlah informasiyang tergali dalam 3 kali lokakarya yang diselenggarakan olehSekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke(SKP – KAM), di mana salah seorang dari kami bertindak sebagaisalah satu fasilitator utamanya. 5Waktu yang tersedia untuk melakukan penelitian ini, jikadikaitkan dengan sumberdaya yang bisa dialokasikan kepadamasing-masing peneliti, relatif sangat terbatas sifatnya. Misalnya,untuk Koordinator sekaligus merangkap peneliti utama, hanyatersedia 3 hari kerja untuk studi kepustakaan; 12 hari kerjauntuk studi lapangan; dan 7 hari kerja untuk kegiatan penulisanlaporan. Meski pun, dalam prakteknya, keseluruhan prosespersiapan, pelaksanaan penelitian lapangan, dan penulisan laporanberlangsung dalam skala waktu sekitar 3 bulan, termasuk bulanRamadhan dan Hari Raya Idul Fitri.Laporan penelitian ini terdiri dari 9 (sembilan) bagian. Bagianpertama, merupakan pendahuluan yang berisikan uraian tentanglatar belakang dan metodologi penelitian ini, bahasan akandisambung dengan deskripsi ringkas tentang Proram MIFEE. Padabagian kedua, dijelaskan bahwa MIFEE pada dasarnya adalah anakharam ‘krisis 3 f dan 2 c’ (food, feed, fuel, and climate change) yangmendapat dukungan dari sejumlah kebijakan negara yang sangatneo-liberal yang merugikan sektor ekonomi rakyat, terutama petanikecil. Bagian ketiga berisikan uraian tentang pemetaan dampakpada tingkat global yang didorong oleh ‘krisis 3 f dan 2 c’ itu.Bagian keempat, bertajuk ‘Masyarakat Papua dan Pembangunan,Perspektif Menyembuhkan Papua’. Bagian ini pada dasarnya inginmenunjukkan perspektif yang paling masuk akal, sebagaimana telahdiformulasikan oleh Tim Peneliti dari Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia (LIPI), 6 yang pada dasarnya merupakan artikulasilebih jauh dari formulasi-formulasi yang dikemukakan oleh Prof.Koentjaraningrat dan kawan-kawan lebih dari satu dekade yanglalu, 7 untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di Papua,termasuk upaya peningkatan kesejahteraan penduduk Papua.Bagian ini akan ditutup dengan pertanyaan pokok: apakah MIFEEdapat menjadi bagian dari solusi atau malah sumber masalah barubagi Papua di masa depan?.


8 9Bagian kelima, menampilkan cerita dari lapangan, sebagaimanayang tengah terjadi baru-baru ini. Khususnya yang terjadi padabeberapa desa yang sempat dikunjungi dan atau dilaporkan olehberbagai pihak lain. Fokus cerita lapangan ini adalah soal corakinteraksi antara masyarakat kampung dengan perusahaan yangmasuk ke kampung mereka. Berdasarkan potret dinamika lapanganitu, dilengkapi pula dengan berbagai hasil kajian literatur, kamicoba mengajukan analisis perkiraan dampak MIFEE di masadepan, sebagaimana yang akan dilakukan pada bagian keenam.Dua bagian berikutnya, pada intinya berisikan bahasan apakahterdapat sejumlah kebijakan, baik ditingkat pusat maupun daerah,dan juga pedoman kerja, yang dapat mengurangi dampak-dampaknegatif yang diperkirakan akan muncul itu (bagian ketujuh), danbagaimana reaksi para pihak sejuah ini terhadap apa yang telah danakan terjadi di lapangan hingga hari ini (bagian kedelapan). Bagiankesembilan adalah Penutup. Pada bagian ini akan dikemukakanpula gambaran umum agenda apa yang mendesak untuk dilakukandemi mempersiapkan masyarakat mengahadapi bencana yangpotensial datang itu.Gambaran Umum Program MIFEETanggal 11 Agustus 2010 lalu, Merauke Integrated Food andEnergy Estate (MIFEE) akhirnya diluncurkan juga oleh MenteriPertanian RI. Semula upacara yang dilakukan di Kampung Sirapu,Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua itu akan dihadiri pula olehPresiden Susilo Bambang Yudoyono. Entah mengapa rencana itutidak jadi terlaksana. Ini adalah kegagalan kedua kunjungan kerjaPresiden SBY ke daerah terselatan Papua itu. Kegagalan pertamaterjadi pada rencana kunjungan pada awal tahun 2010 lalu. 8Peluncuran program yang sampai dua kali itu dan juga belumdihadiri Presiden RI sebagaimana yang diharapkan para pendukungprogram, boleh jadi menunjukkan belum jelasnya dukungan dankomitmen berbagai pihak terhadap program ini. Kesan pemaksaandan ketergesa-gesaan pun tidak bisa dihindari. Terlebih,sebagaimana dilaporkan saksi mata dari lapangan, warga KampungSirapu pun sama sekali tidak tahu-menahu soal acara seremonialtersebut. Beberapa hari berikutnya terungkap bahwa pada dasarnyamasyarakat kampung Sirapu menolak kehadiran proyek MIFEE dikampungnya. Ada yang berpendapat bahwa peluncuran programyang dipaksakan itu adalah upaya Bupati yang tengah berkuasadan tidak mungkin maju lagi untuk mengingatkan berbagai pihak– termasuk Bupati baru yang bakal terpilih, dari manapun asalkubunya -- pada program dimaksud. 9 Pendapat ini cukup masukakal mengingat keriuhan soal MIFEE terjadi pada masa kampanyePilkada Kabupaten Merauke.Sementara, pada periode waktu yang bersamaan, sejumlahkomponen masyarakat sipil, baik di Merauke, Jayapura, maupunJakarta dan sekitarnya, tengah berembug menimbang-nimbangbaik-buruk proyek dimaksud. Bahkan, sebagian di antaranya,sudah ada yang sampai pada kesimpulan akhir dan menyatakanpenolakannya. Boleh jadi, inilah ekspresi ketidak matanganrencana penyelenggaraan proyek MIFEE. Maka tidak heran jikakemudian Harian KOMPAS menurunkan sejumlah hasil reportaseyang dibungkus dalam tajuk besar ‘MIFEE, Berkah atau Kutuk?,beberapa waktu sebelum acara launching kedua tadi’. 10MIFEE pada dasarnya adalah hasil pertemuan dua aruskepentingan (baca: kebijakan). Di satu sisi, MIFEE adalah upayaPemerintah Daerah untuk mempercepat upaya-upaya peningkatankesejahteraan warga (baca: Pembangunan) Kabupaten Meraukeyang telah digagas sekitar 3 tahun yang lalu. Pada tahun 2007,bersamaan dengan peringatan HUT Kabupaten Merauke yangke 105, Pemerintah Kabupaten Merauke mencanangkan TahunInvestasi yang ditandai dengan penandatanganan Memorandum ofUnderstanding antara Bupati Merauke dengan sejumlah sejumlahinvestor untuk merealisasikan sebuah program yang kala itu masihbertajuk Merauke Integrated Rice Estate (MIRE). Program initertuang ke dalam program masa jabatan kedua -- tahun 2005 –2010 -- Bupati John Gluba Gebze. Di sisi lain, MIFEE merupakansalah satu muara upaya Pemerintah Pusat dalam mengatasi masalahkrisis pangan dan energi, sekaligus sebagai upaya penghematan danpenghasilan devisa. 11


10 11Dalam Rencana TataRuang Wilayah(RTRW) Provinsi Papuaalokasi lahan untukpengembangan MIFEEdi Kabupaten Meraukehanya seluas 552.316ha, berbeda denganyang dikehendaki olehpemerintah pusat danPemda Merauke seluas1, 283,000 haPemerintah Propinsi Papua jugamendukung proyek ini, bisa terlihatdalam RPJM Propinsi Papua 2006-2011, disebutkan pada bagian keempatdari upaya pembangunan diarahkanuntuk menciptakan lingkungan yangmenarik investasi dan perdagangan,dengan cara, antara lain: memberikankemudahan perijinan, keringananperpajakan dan kondisi keamananyang kondusif untuk investasi.Meskipun dalam perkembangannyaterjadi tarik menarik kepentinganantara Pemerintah Provinsi Papuadan Pemerintah Daerah (Pemda) Merauke dan pemerintah pusatterkait dengan areal dan luas lahan yang menjadi lokasi MIFEE. 12Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papuatelah alokasikan lahan untuk pengembangan MIFEE di KabupatenMerauke hanya seluas 552.316 ha, berbeda dengan yang dikehendakioleh pemerintah pusat dan Pemda Merauke seluas 1, 283,000 ha.Tentang hal MIFEE ini, Gubernur Papua telah mengirim suratkepada Presiden RI pada 26 Mei 2010.Kebijakan lain ditingkat pusat yang mendukung percepatanproyek ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 tahun 2008tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang menetapkanKawasan Andalan, diantaranya Kabupaten Merauke sebagaikawasan untuk pengembangan pertanian dan perkebunan (LihatJuga Kawasan Andalan dalam RPJM Provinsi Papua 2006-2011)dan beberapa saat kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyonomengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 tahun 2008 tentang FokusProgram Ekonomi 2008 – 2009, yang ditujukan kepada jajaranMenteri dan Gubernur, antara lain memuat instruksi percepatanpelaksanaan pengembangan Kawasan Ekonomi, penetapan tataruang kawasan Merauke, yang diharapkan menghasilkan adanyaRekomendasi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) danPeraturan Daerah (Perda) Propinsi tentang Tata Ruang Meraukepada Desember 2008, dengan sasaran peningkatan investasipertanian dan penyediaan lahan pangan. Selain itu, memfasilitasipeningkatan investasi pangan dan penyusunan kebijakan foodestate pada Oktober 2008. Menyusul kemudian PP No. 10 tahun2010 tentang Budidaya Tanaman Pangan.Dampak dari kebijakan yang cenderung mengakomodasikepentingan investor ini adalah meningkatnya jumlah investor kedaerah Merauke. Pada Tabel 1, dapat terlihat daftar perusahaanswasta pertanian dan perkebunan skala besar dengan perijinan yangbersumber dari BAPINDA (Badan Promosi dan Investasi Daerah)Kabupaten Merauke, Mei 2010. Terlihat kecenderungan dari tahunke tahun adanya peningkatan dan percepatan jumlah ijin lokasi.Pada tahun 2006, hanya ada satu ijin perusahaan dan meningkatmenjadi tujuh ijin perusahaan pada tahun 2007, serta pada tahun2010 meningkat lagi sebanyak 10 ijin perusahaan. Percepatanpeningkatan ini berhubungan erat dengan kemudahan perijinan,keringan pajak dan sebagainya, sebagaimana tertuang dalanberbagai kebijakan pemerintah untuk mendukung pengembanganinvestasi dan mega proyek MIFEE.Medco adalah salah satu group usaha besar yang berpusat diJakarta, telah menanamkan modalnya melalui anak perusahaanPT. Selaras Inti Semesta (SIS) untuk membangun Hutan TanamanIndustri (HTI) pada areal seluas 300.000 hektar (ha) di wilayahDistrik Kurik, Distrik Kaptel, Distrik Animha dan Distrik Muting,dan melalui anak perusahaan PT. Medco Papua Industri Lestari(MIL) untuk memproduksi kayu serpih dan bubur kertas ataupulp. Untuk pemenuhan kapasitas industri kayu serpih diperlukanproduksi kayu log sebesar 10 juta ton per tahun, sedangkan untukpemenuhan kapasitas bahan bubur kertas membutuhkan produksikayu serpih sebanyak 2 juta ton pertahun. Sambil menungguhasil HTI, yang membutuhkan waktu sekitar 8 tahun, kebutuhanbahan baku untuk memproduksi kayu serpihan (chip) dan buburkertas akan bersumber pada hutan tanaman rakyat (HTR). BupatiKabupaten Merauke, John Gluba Gebze, menyebutkan bahwa adasekitar 2,5 juta ha kawasan di wilayahnya yang dapat dimanfatkanuntuk pembangunan HTI. 13


12 13Kementerian Pertanian menyebutkan ada 36 perusahaan yangakan terlibat menggarap food estate, sebanyak tujuh perusahaantelah memulai kegiatan usaha pertanian skala luas, yakni: WilmarInternational, Medco Group, Rajawali Group, Murdaya Poo Group,PT. Bangun Tjipta Sarana, Sinar Mas Group dan Artha Graha Group.Ada pula BUMN, antara lain: PT. Sang Hyang Seri, PT. Pertani, PT.Perkebunan Nusantara (PTPN), PT. Padi Energi Nusantara. 14 Lihatjuga Peta Rencana Investasi. Perusahaan-perusahaan ini sudah danakan menggarap lahan usaha perkebunan kelapa sawit, tanamanpadi, sorgum, kedelai, jagung, dan tebu. Selain itu, ada pulaperusahaan usaha perikanan PT. Sino yang berinvestasi sebesarRp. 2 Triliyun di sektor perikanan. Seperti telah disinggung di atas,di tingkat nasional, payung hukum yang akan menaungi kegiatanperkebunan berskala besar itu telah tersedia. 15Tabel 1. Perusahaan yang Berinvestasi di Kabupaten MeraukeNo12345678910Nama Perusahan(PT.)PT. AGRINUSAPERSADA MULIAPT. AGRIPRIMACIPTA PERSADAPT. AGRI SURYAAGUNGPT. ANUGRAHREJEKI NUSANTARAPT. BALIKPAPANFOREST INDOPT. BANGUN CIPTASARANAPT. BERKAT CITRAABADIPT. BIO INTIAGRIGINDOPT. CENDRAWASIHJAYA MANDIRIPT. CENTRAL CIPTAMURDAYALuasan(Ha)40.00033.54040.000200.000PerijinanSK. No. 4 Tgl 13-01-2010SK. No. 42 Tgl. 22-02-2010SK. No. 280 Tgl. 16-11-2009SK. No. 43 Tgl. 22-02-2010Wilayah Konsesi(Distrik)MUTINGMUTINGTUBANG; NGGUTI;ILWAYABTABONJI40.000 ULILIN14.00040.00039.00040.00031.000SK.No. 97 Tgl. 28-05-2008SK. No.13 Tgl.16-1-2007SK. No. 9 Tgl 16-01-2007SK. No. 90 Tgl. 20-03-2010SK. No. 15 Tgl. 26-01-2010TANAH MIRING;SEMANGGAULILINULILINKURIKULILIN; ELIKOBEL;MUTING11121314151617181920212223242526272829PT. DIGUL AGROLESTARIPT. DONGINPRABHAWAPT. ENERGI HIJAUKENCANAPT. ENERGI MITRAMERAUKEPT. HARDAYASUGAR PAPUAPT. HARDAYASAWIT PAPUAPT. INOCINKALIMANTANPT. INDOSAWITLESTARIPT. KARYA BUMIPAPUAPT. KERTASNUSANTARAPT. KHARISMA AGRIPRATAMAPT. MEDCO PAPUAINDUSTRI LESTARIPT. MEDCO PAPUAALAM LESTARIPT. MEGA SURYAAGUNGPT. MUTING JAYALESTARIPT. MUTING JAYALESTARIPT. NUSANTARAAGRI RESOURCESPT. PAPUA AGROLESTARIPT. PLASMANUTFAH <strong>Malind</strong>PAPUA40.00039.80090.22540.00044.81262.150SK. No. 78 Tgl. 09-05-2008SK. No.12 Tgl. 16-01-2007Rek. No. 522.2/011Tgl. 06-01-2009SK. No. 113 Tgl. 23-04-2010SK.No. 3 Tgl. 11-01-2010SK.No. 2 Tgl. 11-01-2010TUBANGNGGUTI; KAPTELELIKOBELOKABA; TUBANG;NGGUTIJAGEBOBJAGEBOB45.000 Rek.522.2/3499 Tgl ULILIN14.00030.000154.94340.0002.80074.21924.69740.0003.00040.00039.80067.736SK.No. 97 Tgl. 07-08-2006SK. No. 112 Tgl. 23-04-2010Rek.522.1/2700 Tgl23-10-2008SK. No. 278 Tgl. 16-11-2009SK. No. 205 Tgl. 18-08-2007Rek. No. 522.2/415Tgl. 18-02-2010SK. No. 277 Tgl. 16-11-2009SK. No.77 Tgl. 09-05-2008SK. No. 171 Tgl. 04-08-2008SK. No. 279 Tgl. 16-11-2009SK. No. 8 Tgl.16-01-2007Rek. No. 522.2/2311Tgl.04-09-2008TANAH MIRING;JAGEBOBKURIK; MALINDNGGUTI; OKABA;TUBANGTUBANGKAPTELKAPTEL; NGGUTIKAPTELTUBANG; ILWAYABSEMANGGANGGUTI; ILWAYABULILINOKABA; KAPTEL


14 1530313233343536PT. SELARAS INTISEMESTAPT. SUMBER ALAMSUTERAPT. TEBU WAHANKREASIPT. ULILIN AGROLESTARIPT. WANNAMULIASUKSES SEJATIPT. WANAMULIASUKSES SEJATIPT. WANAMULIASUKSES SEJATI301.600Rek. No. 522.2/3574Tgl.18-08-2007KAPTEL15.000SK. No. 72 Tgl. 08-04-2009KURIK20.282SK. No. 114 Tgl. 23-04-2010TANAH MIRING30.000SK. No. 160 Tgl 16-01-2007ULILIN61.000 ANIMHARek. No. 522.2/195996.553 KAPTEL; MUTINGTgl.01-08-2008Rek. No. 522.2/222 KAPTEL;OKABA;116.000Tgl. 21-01-2009 NGGUTI; MUTINGT O T A L 2.051.157Sumber Data: BAPINDA, Kabupaten Merauke, Mei 2010BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional) yangdiinstruksikan untuk membuat dan menghasilkan analisa lahanuntuk program MIFEE telah mempublikasikan potensi lahan proyekMIFEE seluas 1,283,000 ha 16 , dengan alokasi pemanfaatan untukpangan 50%, tebu 30% dan sawit 20%. BKPRN telah mengeluarkanrekomendasi terkait penyusunan dan penetapan Rencana TataRuang Kawasan Andalan Merauke, membuat Peta Arahan KlasterSentra Produksi Pertanian dan Peta Arahan Lokasi Lahan InvestasiPangan. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Meraukesudah dibahas dan masih menunggu persetujuan substansi tingkarpusat Departemen PU (Pekerjaan Umum) dan verifikasi materirancangan Perda Kabupaten Merauke tahun 2010 tentang RTRWKabupaten Merauke. Demikian pula, Pemerintah KabupatenMerauke telah memproduksi tiga Rancangan Perda (Ranperda)pada tahun 2010, yakni: Ranperda Manajemen Hak Ulayat diKabupaten Merauke, Ranperda tentang Pengembangan MIFEE danRanperda tentang Pengembangan Masyarakat.Pertanyaan dan permasalahannya upaya dan proses politikpercepatan dan produksi kebijakan ini cenderung berpihak kepadakepentingan modal dibandingkan kepentingan masyarakat,proses politik penyusunan kebijakan ini boleh dikatakan jauh daripartisipasi masyarakat. Demikian pula, patut diragukan substansidan data-data untuk menyusun perencanaan dan penetapanRencana Tata Ruang (RTR) ini. Di lapangan, masyarakat tidakada yang mengetahui dan diinformasikan proses penilaiandan penyusunan RTR ini. Praktik ini bertentangan dengan hakmasyarakat yang diatur dalam UU No. 26 tahun 2007 tentangPenataan Ruang, pada Pasal 60 huruf a, disebutkan: “setiap orangberhak untuk mengetahui rencana tata ruang”. RTR ini menjadirujukan investor untuk mendapatkan lahan dan kenyataannyalahan tersebut berbeda peruntukkannya oleh masyarakat, sehinggamenimbulkan dampak munculnya ketegangan dan konflik antaramasyarakat dan investor.Pilihan atas Kabupaten Merauke ini tentunya bukan tanpaalasan. Alasan utama yang sering didengung-dengungkan adalahketersediaan lahan potensial yang luas, cukup air, dan belum tergarapsecara sempurna. Dalam sebuah presentasi slide yang dipersiapkanPemerintah Daerah setempat, ada slide yang menampilkan gambardan tulisan seperti yang tertera dalam gambar 1. Kalimat “Kamibukan merenung nasib karena tidak punya tanah, tapi kami sedangberfikir kenapa tanah luas anugerah Allah ini tidak dikelola/digarapmenjadi daerah pertanian. Kami rindu sekali daerah kami kelakbisa menjadi daerah pertanian maju dan modern”. 17Wilayah Kabupaten Merauke memang terhitung sangat luas.Sebelum pemekaran pada tahun 2002 luas kabupaten ini adalah119.749 Km 2 (atau sekitar 11.994.900 ha). Setelah pemekaranpada tahun 2002 lalu, luas Kabupaten Merauke menyusut menjadi45.071 Km 2 atau sekitar 4,5 Juta Ha, yang terdiri dari lahan nonbudidaya seluas sekitar 2 juta ha; dan lahan budidaya sekitar 2,5juta ha. Ini pun masih terhitung sangat luas jika dibandingkandengan luasan kabupaten-kabupaten yang ada di Tanah Jawa,misalnya. Menurut perhitungan, luas lahan cadangan potensialsekitar 2,5 ha, yang terdiri dari 0,6 juta Ha (sekitar 24%) merupakanlahan kering, dan sekitar 1,9 juta ha (sekitar 76%) merupakanlahan basah. 18 Adapun rancangan peruntukkan pemanfaatanlahan dalam kawasan budidaya adalah: HPK (Hutan ProduksiKonversi): 1.428.000 ha (57,31%); HPT (Hutan Produksi Terbatas):


16 17860.953 ha (34.55%); dan APL (Areal Penggunaan Lain): 202.869ha (8,14%). Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Tim BKPRN(Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional), menganalisa lahanyang potensial dikembangkan lebih jauh adalah seluas 1,283.000ha 19Peta arahan Klaster Sentra Produksi Pertanian (KSPP) KawasanMerauke adalah sebagaimana dapat dilihat pada Peta 1 berikut.Peta 1. Peta arahan Klaster Sentra Produksi Pertanian (KSPP)Kawasan MeraukeMenurut rencana pengusahaan lahan dalam program MIFEE akanterbagi ke dalam sejumlah klaster @ 5.000 ha, yang terfokus padadistrik kawasan sentra produksi pertanian (KSPP). Kegiatan akandiselenggarakan oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara) khususpangan dan BUMP (Badan Usaha Milik Petani), dengan melibatkanswasta besar melalui keterlibatan para-pihak (stakeholders)agribisnis melalui pola kemitraan yang saling menguntungkan,penerapan manajemen mekanisasi pertanian. Program juga akandiupayakan melalui upaya link and match di bidang sumberdayamanusia (SDM) dan inovasi teknologi, penerapan teknologi yangzero waste melalui penerapan Sistem Integrasi Tanaman TernakPerikanan Perkebunan Bebas Limbah (SITTPP-BEL). Untuk itu,program MIFEE juga akan memaduserasikan sektor-sektor dalampenataan ruang daerah, penerapan kajian lingkungan hidup strategis(KLHS) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).Kegiatan produksi akan terfokus pada beberapa komoditi strategis,seperti: padi, sagu, jagung, kedelai, umbi-umbian, kelapa sawit,tebu, dan buah-buahan (utamanya mangga, jeruk dan pisang);serta sapi. Output akhir program MIFEE adalah pangan, pakan,bahan bakar nabati, pupuk organik, bibit/benih unggul dan sistemfinansial yang andal. 20Menurut Savitri (2010) dari Sayogjo Institut, Bogor, dengantarget perluasan lahan pertanian dan volume panen yang ditetapkanoleh pemerintah, bahwa pengusahaan pertanian skala luas danmekanisasi pertanian sepertinya memang menjadi pilihan yangpaling rasional. Proyeksi hasil produksi MIFEE mencerminkanrasionalisasi tersebut. Apabila berjalan sesuai disain, maka padatahun 2030 MIFEE akan berkontribusi pada penyediaan stokpangan per tahun, sebagai berikut: padi 1,95 juta ton, jagung 2,02juta ton, kedelai 167.000 ton, ternak sapi 64.000 ton, gula 2,5juta ton, and Crude Palm Oil (CPO) 937.000 ton. PDRB Meraukediramalkan akan mencapai Rp 124,2 juta per kapita/tahun di tahun2030. Impor akan dikurangi sampai Rp 4,7 trilyun. 21Pertanyaannya kemudian adalah, seperti dikemukakan Savitri(2010), apakah modernisasi pertanian skala luas semacam MIFEEini adalah pilihan yang paling tepat untuk memenuhi target angka“Kami bukan merenungnasib karena tidak punyatanah, tapi kami sedangberfikir kenapa tanah luasanugerah Allah ini tidakdikelola/digarap menjadidaerah pertanian. Kamirindu sekali daerah kamikelak bisa menjadi daerahpertanian maju dan modern”


18 19kecukupan pangan dan energi, serta dianggap rasional untukmemenuhi target pendapatan dalam negeri dan penghasil devisa?Apakah MIFEE memang ditujukan untuk memenuhi tujuan-tujuannormatif pembangunan, terutama kecukupan pangan dan energidalam negeri itu? Atau, MIFEE justru hanya sekadar bentuk responterhadap fenomena kenaikan harga komoditas pangan dan energi dipasar dunia untuk menarik investasi skala besar di sektor pertanianyang akan menguntungkan para investor – termasuk investor luarnegeri -- semata? 22Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat penting karenajawabannya akan membuka tabir komitmen pemerintah dalammenyelenggarakan pembangunan: Apakah pemerintah memaknaipembangunan sekedar sebagai pemberian ijin kepada pihakperusahaan swasta dan selanjutnya membiarkan urusan ‘hajathidup orang banyak’ di lokasi pembangunan menjadi urusanperusahaan, ataukah pemerintah memang menyelenggarakanpembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui,antara lain, kerja sama dengan pihak perusahaan di mana seluruharah pembangunan dan tanggung jawab atas ‘hajat hidup orangbanyak’ tetap berada di tangan pemerintah dan diarahkan untuksebesar-besar kemakmuran rakyat? Adanya insentif keringananpajak dan kewajiban perusahaan untuk membangun infrastruktur,yang sudah umum menggejala belakangan ini, adalah hal-halyang segera memberi kesan adanya ‘transaksi tanggung jawab’antara perusahaan dan pemerintah di mana posisi masyarakatakan menjadi sangat lemah. ‘Transaksi’ yang dimaksud adalahpembuatan kebijakan yang melempangkan jalan bagi perusahaanoleh pihak pemerintah dan kewajiban membangun infrastrukturdan menjalankan program pengembangan masyarakat di pihakperusahaan.Dengan kata lain, pertanyaan paling mendasar adalah siapa yangakan diuntungkan dan siapa pula yang akan tersingkir dari skemaMIFEE ini? Masalah-masalah lingkungan dan sosial apa pula yangakan muncul di kemudian hari? Apakah MIFEE bisa menjadi bagiandari solusi yang tepat bagi mengatasi persoalan kesejahteraanyang dihadapi jutaan rumah tangga tani dan masyarakat adat diseantero negeri? Atau malah sebaliknya, akan menjadi mesin ganasyang mempercepat proses marjinalisasi kaum terpinggirkan ituterperosok hingga ke dasar sumur kemiskinan yang terus meluasdan makin dalam?Secara lebih khusus dapat juga dipertanyakan apakah MIFEEdapat menampilkan diri sebagai bentuk kebijakan afirmatif yangmerekognisi eksistensi Orang Papua Asli dengan segala atribut sosialdan kebudayaannya, dan sekaligus sebagai proyek pembangunanyang mengusung paradigma baru yang berfokus pada perbaikanpelayanan publik demi kesejahteraan dan pemberdayaan orangasli Papua, demi mengatasi ketidaktentraman kehidupan sosial,ekonomi, dan politik di Tanah Papua selama ini, sebagaimanayang disarankan oleh Koentjaraningrat (1994) lebih satu dekadelalu, 23 dan ditegaskan kembali oleh TIM Peneliti LIPI (2010). 24


Bagian KeduaMIFEE: Anak Haram ‘Krisis 3 F and 2 C’(food, feed, fuel, and climate Change)Aksi SORPATOM Menolak MIFEEMIFEE adalah anak haram krisis ‘3 F dan 2 C’. Disebut anakharam karena MIFEE bukanlah solusi bagi kepentingan banyakorang semata, terutama kelompok-kelompok marjinal, melainkanhasil perselingkuhan para pemilik modal dan pemerintahpencari rente ekonomi di tengah kesempitan hidup orang-orangkebanyakan. Sebagaimana yang dilaporkan majalah semi-ilmiahNational Geographic Edisi Indonesia (Juni 2009), sepuluh tahunterakhir dunia lebih banyak mengkonsumsi pangan ketimbangmenghasilkannya. Dengan kata lain, jumlah pangan yang dihasilkantidak cukup untuk semua orang. Maka, tidak heran, harga panganterus membubung. Harga jagung hari ini adalah 3 kali lipat dariharga lima tahun lalu.Mudah diduga, warga miskinlah yang paling menderita dalamsituasi ini. Mereka makan lebih sedikit lagi dari pada waktu-waktu


22 23sebelumnya. Kerusuhan yang disulut oleh masalah kelangkaanpangan ini pun meledak di lebih dari 20 negara. Menurut penelitianyang dilakukan International Food Policy Research Institute danConsultative Group on Intrnational Agricultural Research yangdirujuk National Geographic, situasi demikian terjadi karenamodernisasi pada sektor pertanian dan kependudukan, jika bisadiringkas begitu, bergerak ke arah yang berlawanan. Setelahmengalami kemajuan melalui ‘revolusi hijau’ pada kurun waktu 5dekade terakhir, sejak pertengahan dekade 1990-an, laju produksipertanian mulai menurun. Penggunaan pestisida dan perubahaniklim dalam satu dekade terakhir dituding sebagai biang keladi.Sementara, jumlah penduduk terus bertambah. Keseimbanganpertumbuhan produksi bahan pangan dan pertumbuhan penduduk,sebagaimana yang disyaratkan teori Malthus, pun terganggu. Situasiitu makin terasa sangat mengkhawatirkan mengingat bahwa padatahun 2025 penduduk dunia diperkirakan akan mencapai angka 8milyar jiwa. Sementara menurut laporan State of the Future 2006,penduduk bumi pada 2050 akan mencapai 9 milyar jiwa. 25Kecuali itu, peningkatan kesejahteraan sebagian penduduk dunia,seperti yang terjadi di Cina dan India, misalnya, ternyata juga turutmenyumbang terganggunya keseimbangan sisi pengadaan pangan.Peningkatan kesejahteraan di beberapa negara dalam satu dekadeterakhir telah pula mendorong peningkatan kebutuhan akan bahanmakanan. Baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Daging babiyang beberapa dasawarsa lalu tidak terjangkau di Cina, misalnya,kini dinikmati oleh semakin banyak orang. Walaupun konsumsi perkapita-nya masih separuh konsumsi warga AS (Amerika Serikat),untuk memenuhi permintaan pasar, Cina kini memelihara setengahdari total jumlah babi di dunia. Untuk kebutuhan pakannya, Cinaharus mengimpor dari negara lain. Kebutuhan pakan ini tentu sajajuga mendorong peningkatan kebutuhan akan sejumlah komoditibiji-bijian lainnya. 26Situasi akan menjadi rumit jika dikaitkan dengan pola konsumsiyang mengagungkan konsumsi daging. Padahal, ternyata, makandaging adalah cara makan yang tidak efisien. Untuk mendapatkankalori dalam jumlah yang sama bagi satu orang antara mengkonsumsidaging dan biji-bijian, babi harus memakan biji-bijian lima kalilipat lebih banyak jika dibandingkan biji-bijian itu dikonsumsisecara langsung oleh satu orang dan sepuluh kali lipat jika kitamemakan daging sapi. Makanya, tidak heran, jika 35% biji-bijiandunia digunakan untuk mengasupi ternak. Saat ini, manusia danternak telah terlibat dalam pertarungan perebutan bahan makanan.Nyatanya, memang, Indonesia juga harus mengimporsejumlah bahan pangan melalui mekanisme impor yang tentusaja memberatkan devisa negara. Sebagaimana dapat dilihat padaTabel 1 berikut, nilai impor pada tahun 2009 lalu untuk memenuhikebutuhan 9 jenis komoditi adalah sekitar Rp. 51,5 triliun. Nilaiini setara sekitar 5% APBN Indonesia. Angka ini dilihat sebagaipemborosan yang harus diubah menjadi peluang penghematansekaligus penghasil devisa. 27Tabel 1Volume dan Nilai Impor Bahan Pangan non-Beras IndonesiaNo Komoditas Volume (Ton)Nilai (RpTriliunan)1 Gandum 4.661.358,85 22,52 Daging Sapi 46.889,08 4,803 Buah-buahan 427.500 3,384 Susu 197,650,39 7,555 Ikan dan Olahan 280.179,34 2,686 Gula 953.689,91 3,407 Jagung 362.000,26 0,258 Kedelai 3.453.689,91 5,959 Garam 1.280.000,00 0,90Total 11.465.307,35 51,41Sumber: Majalah Bangkit Tani (Edisi Nov. 2009)Sementara itu, di sektor energi, kelangkaan energi telah pulamenjadi salah satu momok kehidupan sehari-hari. Kelangkaanenergi di Indonesia ditandai oleh antrian panjang masyarakat hinggaberjam-jam hanya untuk mendapatkan 5 liter minyak tanah. Antrianmobil di SPBU terjadi pula di hampir semua ibukota provinsi. Selaintingkat produksi yang menurun, kondisi ini diperburuk dengan


24 25eskalasi harga minyak dunia yang terus merambah naik, mulai dariUSD 50 per barel pada tahun 2005, hingga mencapai puncaknyapada Juli 2008 dengan harga USD 148 per barel. Kenaikanharga tersebut selain menambah kelangkaan pasokan BBM jugamembuat berjuta - juta rakyat di daerah pedesaan miskin danterpencil semakin sulit memperoleh akses kebutuhan energi. Untukmemenuhi kebutuhan energi minyak di dalam negeri, Pemerintahmelakukan impor, meskipun harga minyak di pasar internasionalterus melonjak. Kondisi ini kemudian menjadi kambing hitamyang dituduh membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara(APBN). Oleh karenanya, Pemerintah mulai mencari cara untukmenggantikan energi minyak fosil (BBM) ke energi alternatif atauenergi terbarukan, yang berasal dari bahan bakar nabati dan nonnabati. 28Menurut Borras, et.al., (2010), ‘krisis energi’ melahirkan apayang disebut sebagai biofuel complex. ‘Biofuel complex’ disulutoleh kenyataan kenaikan harga produksi minyak fosil yang terusmenerus dan juga keinginan untuk menghindarkan ketergantunganpada negara-negara penghasil minyak bumi berbahan fosil di TimurTengah. ‘Keamanan energi’ kemudian masuk ke dalam wacanapolitik (dan ekonomi) global. Meski begitu, belakangan biofuelmenjadi ajang pencarian keuntungan yang baru bagi sektor agribisnisdan energi yang mengalamiDiperkirakan, padatahun 2010, sekitar 500juta ha lebih lahanakan diperlukan untukmemenuhi tuntutanglobal akan biofuel.Dengan kata lain, untukmemenuhi kebutuhanenergi global,ketersediaan pangan dimana lahan-lahan ituberada pun akan makinterancam.penurunan produktivitas karenameningkatnya biaya produksi(Magdoff 2008, McMichael2009, Houtart 2010, 2010McMichael, dalam Borras, et.al.,2010). Biofuels kemudian jugadijadikan sebagai cara untukmengurangi dampak lingkungandari pola konsumsi energi yangkonvensional dan diharapkandapat memperbaiki masalahlingkungan tanpa mempengaruhipertumbuhan ekonomi. Narasi‘menang-menang’ ini tercermin dalam beragam debat kebijakandi Eropa (Franco, et al. 2010) dan di Amerika Serikat (Hollander2010 dan Gillon 2010), dan telah mendominasi pembingkaianperdebatan global biofuel (Borras, et.al., 2010).Menurut Laporan Gallagher (2008, dalam Borras, et.al., 2010),dengan skenario yang moderat saja, pada tahun 2010, diperkirakansekitar 500 juta ha lebih lahan akan diperlukan untuk memenuhituntutan global akan biofuel. Masalahnya, sepertiga dari lahan itu,merupakan lahan budidaya penduduk perdesaan. Dengan kata lain,untuk memenuhi kebutuhan energi global, ketersediaan pangan dimana lahan-lahan itu berada pun akan makin terancam.Penggunaan lahan kritis, sebagaimana didengungkan dalamkasus massalisasi penanaman tanaman Jarak pagar (JantrophaCurcas L) sebagai bahan baku yang menghasilkan biofuel,misalnya, ternyata hanya mitos saja. Untuk mendapatkan hasilyang memenuhi skala ekonomi yang menguntungkan, tanamanJarak pagar tetap saja membutuhkan lahan yang relatif subur dancukup air. 29Kompetisi antara kebutuhan bahan pangan, biofuel, danpenyelamatan lingkungan sepertinya akan makin seru pada dekadedekademendatang. Kompetisi itu ditandai pula oleh meluasnya‘wilayah perang’ kompetisi di antara 3 jenis mahluk hidup – manusia,hewan dan tetumbuhan. Jika semula relatif hanya terjadi di ranahkonservasi, kini kompetisi itu akan menyeberang ke kawasankawasannon-konservasi yang maha luas itu. Demikian pula, upayaupayamengatasi kelaparan dan pengentasan kemiskinan di satupihak dan upaya pencarian rente dan keuntungan bisnis di pihaklain, semakin kabur batasnya. Konsepsi semacam win-win solution– sebagaimana yang disuarakan oleh pihak yang pro model investasiskala besar di sektor pangan dan energi ini, seperti negara-negaradonor, sejumlah lembaga penelitian, lembaga-lembaga sponsorpembangunan international, termasuk FAO dan lembaga-lembagaPBB lainnya (Daniel & Mittal (2009) dan Aarts (2009) -- telahmenyumbang proses pengaburan makna ini.


26 27Alih-alih mengendali arus perampasan lahan, lembaga-lembagakeuangan International lebih tertarik mengurus investasi disektor pengan dan energi yang tumbuh sangat cepat itu. Untukmenunjukkan kepeduliannya terhadap kemungkinan dampaknegatif dari proyek investasi besar-besaran itu, Bank Dunia,misalnya, telah meluncurkan semacam aturan main berupa 7Prinsip dalam Investasi Agro-Industri yang Bertanggungjawab. 30Kalaupun 7 Prinsip itu syarat dengan hal-hal yang positif, seperti:pengakuan dan penghormatan pada hak-hak yang melekat padalahan yang hendak digunakan; kegiatan investasi dimaksud tidakboleh mengganggu keamanan pangan di wilayah yang bersangkutandan investor harus memiliki kebijakan yang bertanggungjawabsecara sosial dan lingkungan. Sulit untuk tidak mengatakan bahwaini lebih sebagai dukungan terhadap arus investasi besar-besaranitu sendiri ketimbang sebagai cara untuk mengendalikan dampakdampaknegatif yang mungkin ditimbulkannya. Fasilitasi yangdemikian menjadi terasa ironik terutama karena alasan lemahnyaperaturan yang ada di negara-negara tujuan itu sendiri dan tidakjelasnya kebijakan peningkatan produksi pada jalur lainnya, sepertipeningkatan produksi melalui redistribusi lahan kepada para petanikecil dan tuna-lahan.Beberapa Kebijakan Pendukung dari NegaraKebijakan di negara tujuan yang memang haus investasi cq.yang telah menjadi antek rezim neo-liberalisme internasional tidakkalah gegap gempita. Kebijakan-kebijakan tentang pengadaanlahan dengan harga murah, suplai buruh murah untuk industripun diluncurkan. Ketergantungan ekonomi pada negara asing punmakin besar. Kerawanan politik dalam negeri bukan tidak mungkinakan meningkat.Sebagaimana dilaporakan Arsyad (2010), swasembada pangandan kecukupan energi memang menjadi salah satu programprioritas Kabinet Pembangunan jilid-II. Tak tanggung-tanggungpemerintah menargetkan pada tahun 2010 seluruh pangan domestikakan terpenuhi oleh produksi sendiri. Untuk itu, berbagai upayaditempuh pemerintah untuk mencapai program tersebut. Denganlogika bahwa kecukupan pangan dan energi dapat terpenuhi melaluiindustrialisasi, pemerintah telah menyiapkan payung legal denganketerlibatan pihak swasta yang luas. Diantaranya adalah kebijakanyang menjamin upaya perluasan lahan pertanian, penyediaaninfrastruktur, akses permodalan dan dukungan kebijakan yangmemudahkan investasi di sektor pangan. 31Pada tahun 2006, untuk mengatasi persoalan pasokan energi,dikeluarkanlah Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentangKebijakan Energi Nasional. Dalam kebijakan itu disebutkan bahwauntuk menciptakan situasi keenergian yang ditandai oleh sumber- sumber energi yang beragam (mix energy) yang hendak dicapaipada tahun 2025, pengembangan sumber energi terbarukan sebagaienergi alternatif akan berkontribusi sebesar 10 persen, di mana 5persen berasal dari biofuel dan 5 persen berasal dari geothermal.Kebijakan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan lahirnyaInstruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan danPemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai Bahan BakarAlternatif. Untuk menyukseskan Inpres tersebut, dikeluarkan pulaKeputusan Presiden No.10 tahun 2006 tentang PembentukanTim Nasional Pengembangan BBN, di mana salah satu tugas TimNasional tersebut adalah menyusun cetak biru (blue print) dan petajalan (road map) pengembangan BBN, sekaligus juga mempercepatpengurangan kemiskinan dan pengangguran. KomitmenPemerintah seputar energi alternatif ini kemudian dipertegas dalamFokus Program Ekonomi 2008-2009, sebagaimana yang tertuangdalam Inpres No 5 Tahun 2008 yang dikeluarkan pada tanggal 22Mei 2008.Di sektor pangan, Pemerintah telah pula mengeluarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan PertanianBerkelanjutan, yang disahkan pada 14 Oktober 2009. Kebijakan inikemudian disusul oleh Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010tentang Usaha budidaya Tanaman, yang disahkan 28 Januari 2010).Menurut Setiawan (2010), sejatinya, Peraturan Pemerintah (PP) No.18 tahun 2010 tentang budidaya tanaman adalah payung hukum


28 29pengembangan pangan skala luas atau food estate. Peraturan inimembolehkan investor -- termasuk asing -- untuk menguasai lahanseluas 10.000 hektar (ha) untuk jangka waktu pengusahaan selama35 tahun dan dapat diperpanjang dua kali, masing-masing 35 tahundan 25 tahun. Selain itu, pemerintah juga menjanjikan fasilitaskhusus untuk investor yang akan mengembangkan food estate. 32Daerah yang ditetapkan sebagai food estate akan dijadikankawasan khusus ekonomi, sehingga akan mendapatkan fasilitasfiskal dan non fiskal. Fasilitas fiskal misalnya pembangunaninfrastruktur dimasukkan dalam biaya investasi, keringananpajak penghasilan, tax holiday, pengurangan pajak bangunan,keringanan pajak daerah/redistribusi, tidak adanya pungutanpajak pertambahan nilai. Fasilitas kepabeanan dan cukai meliputipenangguhan bea masuk, pembebasan cukai, dan keringanan PPhimpor. Sedang fasilitas non-fiskal misalnya kemudahan perizinandan fasilitas keimigrasian. 33Seperti ditulis Setiawan (2010), pada Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, Pasal 8, Ayat(2), disebutkan bahwa luas maksimum lahan untuk pengusahaanbudidaya tanaman yaitu 10.000 Ha (sepuluh ribu hektar). Namunada wilayah yang secara khusus mendapat pengaturan berbeda.Untuk wilayah Papua, luas maksimum lahan dapat diberikan duakali luas maksimum yang ditentukan untuk daerah lain (Ayat 3).Dalam hal ini, tidak jelas siapa dan bagaimana prosedur perizinandan kaitannya dengan mekanisme dan prosedur perizinan yang adasebelumnya. Tumpang tindih mekanisme perizinan dapat membuatrumit permasalahan agraria di lapangan dan memicu konflikagraria baru. Lantas, mengapa pula untuk Papua harus dibedakan?Apakah sudah ada kajian dan konsultasi yang mendalam denganrakyat Papua terkait kebijakan ini? Demikian pula, menurut PPNo. 18 tahun 2010 ini, penguasaan lahan ditetapkan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan. Tidak dijelaskan,apakah dalam hal ini, pengaturan penguasaan lahan sebagaimanadiatur dalam UUPA No.5 tahun 1960 yang akan menjadi rujukan?Sementara itu, ketentuan mengenai luas maksimum lahan menurutPP ini dinyatakan tidak berlaku untuk badan usaha milik negara(BUMN) dan badan usahamilik daerah (BUMD),lihat Pasal 8, Ayat 4 dan 5dari PP No. 18 tahun 2010tentang Usaha BudidayaTanaman. Dengan begitu,kemungkinan BUMN/Dmenguasai lahan yanglebih luas dan massifdengan meminggirkankesempatan rakyat miskinuntuk memiliki, menguasaidan memanfaatkan lahankarena kalah bersaingdengan Food Estate. 34Lokasi Transmigrasi SalorKebijakan tentang food estated ini sendiri memang telahmemicu polemik antara yang setuju dan yang tidak setuju. MenurutCahyono (2009), 35 dengan food estate pembukaan lahan tanamanpangan baru akan lebih cepat. Hal ini efektif untuk mengatasitekanan yang dihadapi oleh lahan pertanaman yang ada. Luas lahanpertanaman di Indonesia yang 7 juta hektar mengalami tekananalih fungsi lahan pertanian yang mencapai 100 ribu ha/tahun.Dengan demikian, peningkatkan produksi tanaman pangan dapatberlangsung secara lebih cepat pula. Food estate dilaporkan dapatmenarik minat investor, dengan metode ini pendapatan pemerintahakan meningkat dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani(kuhsusnya yang ada di kawasan Food Estate). Ini semua akanmeningkatkan ketahanan pangan di Indonesia, dengan syaratpemerintah benar-benar bisa mengontrol distribusi hasil pertanian.Cahyono (2009) juga mengemukakan kemungkinan negatif.Masing-masing adalah bahwa potensi lahan pertanian Indonesiatidak bisa secara maksimal dimiliki dan dikelola petani Indonesia;potensi menimbulkan konflik, seperti yang terjadi pada perkebunanbesar selama ini (lihat juga Arsyad, 2010); karakter pertanian danpangan Indonesia makin bergeser dari peasant based and familybased agriculture menjadi corporate based food and agriculture


30 31production yang melemahkan kedaulatan pangan Indonesia; danpara pemodal akan menjadi penentu harga pasar.Nadjib (2010) juga bersikap optimis terhadap model foodestate. 36 Food estate menurutnya dapat merubah citra duniapertanian Indonesia dengan pendekatan manajemen modern yangberorientasi bisnis. Hal ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagigenerasi muda. Food Estate juga bisa menjadi semacam learningcenter bagi petani kecil untuk belajar bagaimana menjadikan lahanmereka bukan sekedar lahan bercocok tanam, melainkan sebagailahan bisnis yang menguntungkan. Model ini juga dapat berfungsisebagai sarana untuk melakukan regenerasi sumber daya manusiapertanian yang lebih kompetitif, asalkan pemerintah harus benarbenarmemperhatikan orientasi dan implementasi kebijakan FoodEstate dan bukan bersifat substitusi terhadap keberadaan petani.Dengan demikian Food Estate tidak boleh didirikan di atas lahanlahanpertanian rakyat. Untuk itu pemerintah perlu memikirkankebijakan yang dapat menghindarkan terjadinya persaingan yangsaling membunuh antara petani rakyat dan Food Estate.Pandangan miring antara lain datang dari Serikat PetaniIndonesia (SPI), salah satu serikat petani terbesar di negeriini. Menurut SPI, alih-alih mengembangkan ekonomi rakyat,Pemerintah terlalu terfokus kepada kepentingan investor (utamanyaasing) cq. terbelenggu kapital asing. 37 Kebijakan ini juga dinilaimengarah pada feodalisme, di mana petani hanya akan menjadisekedar ‘buruh murah’, atau apa yang disebut ‘guremisasi’ terusmemperparah situasi kehidupan petani. Kebijakan yang sangatliberal ini juga dinilai akan mengancam kedaulatan pangan danmeningkatkan konflik agraria (Arsyad, 2010). 38Kekuatiran di atas cukup beralasan. Sebagaimana dikemukakanbanyak pihak, masalah petani di negeri ini sejatinya adalah masalahsempitnya lahan yang dikuasai ataupun yang dapat diolah olehpetani. Sementara, di pihak lain, menurut Badan PertanahanNasional, saat ini ada sekitar 11,1 juta ha tanah terlantar. Bahkan,menurut BPS, ada 2,2 juta ha yang dapat segera dimanfaatkan.Diketahui bahwa 56,5% dari 25,4 juta keluarga petani adalah petanigurem, yakni petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha.Padahal, untuk sekadar survive petani minimal harus memiliki lahan1 Ha. Maka tidak heran, bahwa hampir 60% dari petani Indonesiaadalah masuk dalam kategori miskin (pendapatan di bawah USD2 per hari). Oleh sebab itu, menurut Arsyad (2010), memberikanlahan pertanian ke korporasi pertanian perlu dipertimbangkankembali. Target swasembada pangan bahkan menjadi negaraesportir bisa diraih tanpa harus mengabaikan kesejahteraan petani.Yang penting adalah adanya kemauan politik pemerintah untukmengurangi bahkan menghilangkan petani gurem melalui programpolitik ekonomi bernama pembaruan agraria, yang mencakup upayapenataan ulang penguasaan dan pemilikan lahan yang timpang danpembaruan akses produksi.Maka, sebagaimana dikemukakan Setiawan (2010), “…perdebatan mengenai segi positif dan negatif dari konsep kebijakanFood Estate, hendaknya dinaikkan menjadi diskusi serius mengenaiurgensi dan fisibilitas pelaksanaan reforma agraria sebagai dasarpembangunan, termasuk pembangunan pertanian demi ketahanan,kemandirian dan kedaulatan pangan. Jika reforma agrariaterlebih dahulu dijalankan, maka akan tersedia struktur agrariayang kondusif bagi pengembangan pertanian yang bukan sekedarproduktif tapi juga adil dan mengsejahterakan.”Sementara itu, DPR-RI (Dewan Perwakilan Rakyat RepublikIndonesia) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentangHortikultura menjadi Undang-Undang pada tanggal 26 Oktober2010 lalu, yang mengatur, antara lain tentang pengembangan,distribusi, perdagangan, pemasaran dan kelembagaan hortikultura.Proses pembuatan UU ini yang tidak partisipatif dan berlangsungdiam-diam dicurigai bermuatan kepentingan para pebisnis. Kritikyang dikemukakan kalangan yang peduli dengan nasib petanikecil nyaris tidak dipedulikan. Padahal, kalangan yang peduli inikuatir bahwa RUU dimaksud mengandung sejumlah masalah.Sebagaimana diberitakan, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Hortikultura dinilai cacat oleh enam organisasinon-pemerintah karena tidak melibatkan petani dan pemangkukepentingan lingkungan hidup. Selain itu RUU juga dinilai membuka


32 33peluang mengintroduksi benih spesies asing, termasuk benih hasilrekayasa genetika. Hal ini mengemuka dalam keterangan pers diJakarta, Rabu (13/10), yang diselenggarakan oleh keenam lembaganon pemerintah yang bersangkutan. Masing-masing WahanaLingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Konsorsium PembaruanAgraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Sains Institute,Pusaka, dan Aliansi Petani Indonesia.Mereka juga menggugat bahwa publik tidak mengetahuipembahasan RUU itu sampai media memberitakan kunjungan kerjaPanitia Kerja RUU Hortikultura Komisi IV ke Belanda dan Norwegiapada bulan September. Substansi RUU dinilai lebih berpihakkepada usaha perkebunan skala luas. Pengaturan sumber dayagenetika dalam RUU itu juga membuka peluang introdusir spesieshortikultura asing di Indonesia. Pembatasan sumber daya genetikajuga justru membuka pintu bagi penggunaan bibit hortikulturahasil rekayasa genetika atau GMO. Misalnya, Pasal 25 Ayat 4menyatakan, data dokumentasi sumber daya genetik hortikulturaprinsipnya terbuka bagi masyarakat, tetapi bisa dikualifikasikansebagai rahasia. Menurut para aktivis ini, informasi tentangpangan dan risikonya harus mutlak bersifat terbuka. SubstansiRUU itu terkesan memberikan peluang pabrikan GMO menguasaipasar benih hortikultura Indonesia. Lebih jauh dikatakan bahwasubstansi RUU Hortikultura tak menjawab persoalan yang dihadapipetani Indonesia. “Data BPN (Badan Pertanahan Nasional) bahwa56 persen aset negara dikuasai 6,2 persen penduduk Indonesiamenjadi fakta yang jelas bahwa masalah petani Indonesia adalahsemakin sedikitnya lahan produktif yang dikuasai petani,” ujarsalah seorang juru bicara. Mereka mengkritik logika ketahananpangan yang dipakai dalam RUU Hortikultura berbasis industri. 39Dari sisi landasan hukum, pada tahun 2009, inisiatif ini jugatelah mendapatkan dukungan dari Undang-undang PengembanganKawasan Ekonomi Khusus yang telah disahkan pada September2009 lalu. 40 Menteri Perindustrian MS Hidayat menyatakan,Pemerintah akan memberikan insentif berupa keringanan pajakbagi para investor yang bersedia menanamkan modalnya di wilayahKawasan Ekonomi Khusus (KEK) itu. 41 Namun, nyatanya, sepertiapa kebijakan itu persisnya belum terlalu jelas benar. Belum pastibenar apakah MIFEE termasuk ke dalam daftar Kawasan EkonomiKhusus itu. Akibatnya penyelenggaraan MIFEE pun jadi tertatihtatih,hingga perlu dilaunching dua kali. 42Pada bulan November 2010 mendatang dikabarkan pula bahwaPemerintah pun akan mengajukan RUU Pengadaan Lahan untukKepentingan Umum kepada DPR. 43 “Draft RUU Pengadaan Lahanuntuk kepentingan umum itu sudah selesai ditingkat menteritinggal dilanjutkan pada sidang kabinet sebelum dibahas di rapatparipurna DPR,” ujar Djoko Kirmanto usai menjadi narasumberdi pertemuan Gubernur se Indonesia di Makassar, tanggal 20Oktober 2010 lalu. 44 (Rencana) Undang-undang ini adalah jawabanpemerintah terhadap permasalahan pembangunan infrastrukturyang dihadapi pemerintah. “Jika sudah ditetapkan, maka Indonesiaakan memiliki UU yang mengatur mengenai pengadaan lahan danpembangunan infrastruktur dan tentunya dengan adanya UU inimaka akan memudahkan pemerintah,” kata Pak Menteri.Penyelesaian RUU tersebut akan memudahkan Pemerintahmenuntaskan rencana pembangunan sekitar 20 proyek tol jalanbebas hambatan yang sebagian besar masih tertunda-tunda.RUU ini memang anak kandung dari Infrastructure Summityang diselenggarakan pemerintah beberapa tahun lalu. Dalampertemuan tingkat tinggi itu masalah pengadaan tanah, baik olehinstansi pemerintah dalam pengadaan infrastruktur dan jugakebutuhan sektor swasta memang sangat mengemuka. Maka,mudah diduga, RUU ini juga dibutuhkan untuk keperluan proyekproyeklain, termasuk rencana pembangunan food and energyestate yang memang lapar lahan itu. (Rencana) Undang-undangPengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum ini adalah penggantidari Peraturan Pemerintah untuk urusan yang sama yang mendapatpenolakan secara massif oleh masyarakat luas hingga dibatalkanpemberlakuannya. Lihat pernyataan lengkap Koalisi Rakyat AntiPenggusuran tentang rencana undang-undang dimaksud padaLampiran 1. 45


34 35Menurut Usep Setiawan, Ketua Dewan Nasional KonsorsiumPembaruan Agraria, selain dinilai tidak sejalan dengan semangatreforma agraria, kehadiran Rancangan Undang-Undang PengadaanTanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum berpotensibesar mengakumulasi kepemilikan tanah pada segelintir kalangan.Tidak mengherankan jika kehadiran kebijakan itu nantinya justruakan membawa persoalan bagi sebagian besar masyarakat daripadamembawa kesejahteraan. Tidak hanya itu, jika ketentuan ituakhirnya disetujui dan disahkan, akan memberi peluang besar bagipara investor untuk menguasai tanah untuk alasan pembangunaninfrastruktur. Di sisi lain, para petani dan buruh tani semakinkesulitan untuk mendapatkan akses terhadap sumber dan modalekonomi mereka. Apalagi, pada saat yang bersamaan pemerintahjuga terus mendorong gagasan pertanian berskala luas, sepertiterwujud dalam proyek Merauke Integrated Food and EnergyEstate di Merauke, Papua. ”Para petani diberi kemudahan untukmemperoleh tanah, benih, dan pupuk sehingga mereka dapatbekerja dengan baik dan memperoleh keuntungan,” kata Usepmenambahkan. 46Hal serupa juga terjadi dalam perluasan terus-menerus lahanlahankelapa sawit di Kalimantan. Kepala Desa Long Bentuk,Kabupaten Kutai Timur, Benediktus Beng Lui (bukan Kepala Desa diTanjung Selor sebagaimana Kompas tulis sebelumnya) mengatakan,saat ini desanya juga terancam perluasan kebun kelapa sawit.Menurut dia, ketika perusahaan itu mendapat izin dari pemerintah,keberadaan desa itu tidak dicantumkan. Oleh karena itu, warga saatini menuntut agar perluasan lahan tersebut dihentikan. 47Menurut Usep Setiawan, fakta seperti itu semakin menguatkanbahwa banyak kebijakan pemerintah justru kurang berpihak padakesejahteraan rakyat. Seharusnya pemerintah konsisten denganprogram reforma agraria. ”Presiden harus jujur dan serius dengankomitmen politiknya atas reforma agraria. Jangan hanya berwacana.Langkah itu tidak hanya perlu, tetapi penting karena dapat memberijaminan bagi rakyat untuk mengakses sumber-sumber ekonomi. 48Munculnya biofuels complex membentukkembali apa yangdisebut Sachs (1993) sebagai global ecology, di mana sumberdayadikelola melalui penerapan paradigm mekanisme pasar (marketenvironmentalism), memperkuat pertumbuhan metabolic rift,yang memisahkan manusia dengan lingkungannya (McMichael2010).” 49Lebih jauh Borras, et.al. (2010) menekankan bahwa, dapatdiduga, dampak dan konsekwensi dari revolusi biofuel ini adalahhubungan masyarakat, modal dan pemerintah yang makinkompleks, utamanya dalam kasus lokasi-lokasi tertentu. 50Untuk konteks Indonesia, Kasus Lumpur Lapindo di KabupatenSidoarjo, Jawa Timur dan keberadaan Sekretariat GabunganKoalisi Partai pendukung Presiden SBY adalah contoh kongkritapa yang dikemukakan Borras et.al. (2010) ini. Sebagaimanakita ketahui, Aburizal Bakrie adalah pemilik saham terbesarpada PT. Lapindo Brantas, perusahaan yang bergerak di sektorpertambangan yang telah mengakibatkan munculnya lumpur dariperut bumi yang telah menenggelamkan puluhan desa yang ada diKabupaten Sidoarjo itu. Aburizal Bakrie juga adalah Ketua UmumPartai Golongan Karya (GOLKAR) saat ini. Meskipun pada pilpres2009 lalu GOLKAR mengajukan calon Presidennya sendiri dankalah bersaing dengan Susilo Bambang Yudoyono yang diusungPartai Demokrat dan beberapa partai pendukung lainnya, pascapilpres, GOLKAR juga bergabung ke dalam koalisi partaipendukung SBY. Sebelumnya, pada periode 2004 –2009, masa pemerintahan pertama SBY, AburizalBakrie adalah juga menjadi salah seorang MenteriKoordinator termasuk menteri dalam KabinetKarena begitu menakutkannyadampak perluasan proyek-proyeklapar lahan itu, sampai-sampaimasyarakat adat di Amazon menyebutkebun-kebun sawit dan tebu yangtelah menyingkirkan mereka daritanahnya itu sebagai ‘kebun setan’


36 37Indonesia Bersatu Jilid I. Semula sebagai Menteri KoordinatorBidang Perekonomian, dan kemudian bergeser menjadi MeneteriKoordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Sebagaimana kita tahubersama, kasus Lumpur Lapindo tak kunjung dapat diselesaikansecara memuaskan. Misalnya, hingga saat ini proses ganti rugi lahanyang terendam lupur masih juga belum selesai secara tuntas. Lebihdari itu, bencana yang terjadi kemudian dibebankan kepada negara,bukan menjadi tanggungjawab kelompok usaha Bakrie semata.Betapapun, tantangan terbesar bagi pemerintah dalammengembangkan program swasembada pangan dan ketersediaanenergi berbasis perluasan lahan memang adalah pada aspek sosial.Seolah-olah menutup mata terhadap berbagai bukti yang diajukanoleh riset-riset yang sangat teruji tentang pentingnya aspek inibagi pencegahan konflik dan kelaparan, Pemerintah terus berjalanmelenggang. Sejak lebih dari empat puluh tahun lalu, laporan Clubof Rome sudah menunjukkan bahwa ‘kalaupun sistem fisik Bumiini mampu mendukung keberlanjutan hidup manusia, hal itu sulitdicapai jika hal-hal yang secara sosial diperlukan itu tidak dipenuhi’(The Limits to Growth, 1972, hal.55). Kebijakan yang dijalankanPemerintah sekarang ini menimbulkan pertanyaan tentangkesungguhan Pemerintah menjalankan konsep PembangunanBerkelanjutan. Padahal dunia masih terus berjalan dalam limatrend utama – yang untuk menanganinya konsep PembangunanBerkelanjutan adalah tawaran utama – sebagaimana laporan Clubof Rome, yaitu, (i) percepatan industrialisasi; (ii) pertumbuhan yangcepat penduduk dunia; (iii); makin parahnya kekurangan panganatau malnutrisi; (iv) pengurangan sumberdaya tak terbarukan;dan (v) degradasi lingkungan (The Limits to Growth, 1972, hal. 26– 27). Menurut Emil Salim, untuk konteks Indonesia Pemerintahperlu menjalankan kebijakan yang proporsional dan sinergis dalammenangani lima isu tersebut (Yayasan SPES, 1992).Dampak ‘Krisis 3 F dan 2 C’ di Tingkat GlobalSetidaknya ada dua respon yang berbeda terhadap perkembanganarah penyelesaian ‘krisis 3 F dan 2 C’ itu. Sebagaimana yangditunjukkan oleh International Federation of AgriculturalProducers (IFAP), terdiri dari petani kecil, menengah dan petanikaya yang berorientasi komersial, tapi cenderung dipengaruhi olehkepentingan petani kelas menengah-kaya komersial dalam federasiglobal. Di satu pihak, La Via Campesina, merupakan gerakaninternasional petani miskin dan kecil petani di dunia berkembangdan negara industri di pihak lain. Organisasi yang pertamamelihatnya sebagai kesempatan, sedangkan yang kedua melihatnyaancaman. 51Sementara itu, saat ini, seperti dikatakan Daniel & Mittal (2009),di level international, upaya-upaya mengatasi apa yang disebutsebagai krisis pangan dan energi ini telah memicu fenomena yangdisebut land grabbing. Perampasan lahan merujuk pada prosesperalihan hak penguasaan atas lahan yang terjadi dengan cepat,baik melalui mekanisme jula-beli maupun sewa, dari negaranegaraberkembang yang miskin ke tangan negara-negara kayayang pengadaan bahan pangannya tidak pasti, melalui penanamanmodal oleh perusahaan-perusahaan swasta dari negara-negarakaya itu, untuk menghasilkan bahan pangan yang akan dieksport kenegara-negara kaya itu sendiri. 52Menurut Aarts (2009), 53 land grabs adalah muara dari paradokskebutuhan investasi besar-besaran dalam bidang pertaniandalam rangka mengatasi krisis pangan di satu pihak (oleh negaranegaramaju), dan kemungkinan dampaknya pada kelangsungankeberadaan sumber-sumber kehidupan bagi masyarakat miskin dipedesaan di negara-negara sedang berkembang di pihak lain.Sebagaimana yang dilaporkan oleh Von Braun dan Meinzen-Dick (2009) 54 dan World Bank (2010), 55 dalam urusan pengadaanbahan pangan, negara-negara pengimpor makanan, yang memilikisumberdaya tanah dan air yang terbatas, tetapi kaya modal, sepertinegara-negara Teluk, berada di garis depan baru investasi di lahanpertanian di luar negeri. Selain itu, negara-negara dengan populasiyang besar dan memiliki masalah ketahanan pangan seperti Cina,Korea Selatan, dan India, juga sedang mencari peluang untukmenghasilkan makanan di luar negeri. Sasaran investasi ini adalah


38 39negara-negara berkembang di mana biaya produksi jauh lebihrendah, dan di mana tanah dan air juga tersedia dalam jumlahyang banyak. Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi investasiadalah masalah kedekatan geografis dan kondisi iklim yang cocokuntuk tanaman pokok pilihan.Sementara itu, dalam rangka pemenuhan energi melaluipengembangan biofuel, sebagaimana ditulis Borras, et.al. (2010),beberapa perusahaan dari Eropa mengakui telah menguasai lahanseluas 5 juta ha di ‘dunia Selatan’. Brazil pun telah merencanakanakan memenuhi kebutuhan 10 % bahan bakar fosil dunia denganbioethanol (tebu) pada tahun 2025 mendatang. Indonesia danMalaysia akan memperluas perkebunan sawitnya untuk memenuhikebutuhan 20% biodoesel negara-negara Uni Eropa. India berencanaakan mengembangkan 14 juta ha kebun Janthropha (Jarak Pagar),Sementara Afrika akan mengembangkan sekitar 400 juta ha untukjenis tanaman yang sama. Ironisnya, perkembangan ini, tentusaja, akan memperburuk ketersediaan lahan untuk pengadaanbahan pangan yang dapat mendukung kehidupan masyarakat dipedesaan. Gerak investasi International tersebut tentu saja secaralangsung mengubah struktur agraria global. Hal ini patut didugaakan memperburuk tatanan keadilan dan kesejahteraan tingkatglobal pula. 56Di samping itu, kesepakatan dalam bidang lahan secaratransnasional menjadi bagian yang mempengaruhi perubahan nilaiekonomi dari tanah dan air yang besar. Harga hasil pertanian yanglebih tinggi umumnya menghasilkan harga tanah yang lebih tinggipula, karena harapan untuk meperoleh keuntungan pada setiappersil tanah meningkat pula. 57Menurut Aarts (2009), jika tidak dikelola dengan baik, ituartinya bahwa investasi besar-besaran di sektor pertanian itu bisamengabaikan ‘hak untuk memperoleh sumber kehidupan yangberkesinambungan di daerah perdesaan’ (right to a sustainablerural livelihood), dan persoalan ini akan melahirkan fenomena‘penjajahan baru’, di mana negara-negara kaya mengatur danmenikmati akses dan penggunaan sumberdaya secara leluasa,sementara negara-negara sedang berkembang itu sendiri akankehilangan kesempatan untuk menikmati keuntungan yang dapatdihasilkan dari proses-proses produksi maupun penjualan sejumlahkomoditi yang dihasilkan. 58Seperti dilaporkan Borras, et.al., (2010) karena begitumenakutkannya dampak perluasan proyek-proyek lapar lahan itu,sampai-sampai masyarakat adat di Amazon menyebut kebun-kebunsawit dan tebu yang telah menyingkirkan mereka dari tanahnyaitu sebagai ‘kebun setan’. Marginalisasi petani cq. proletarisasipetani dan depeasantization pun makin meluas dan mendalam.Sebagaimana diperkirakan Holt-Gimenez (2007) ‘kebun setan’penghasil tanaman untuk biofuel yang telah menggusur tanamanpangan itu juga hanya menyerap seper-sepuluh kebutuhanpertanian bahan pangan konvensional. 59Menurut von Braun dan Meizen-Dick (2009), dalam sepuluhtahun terakhir, akuisisi lahan di luar negeri telah didorong olehmotif mencari keuntungan dari sektor swasta di negara maju dansering berfokus pada penanaman tanaman tropis daripada bahanmakanan pokoknya. Cina mulai menyewa lahan untuk produksipangan di Kuba dan Meksiko, dan terus mencari peluang baru untukmenyiapkan bahan makanan bagi populasinya yang besar. Underuntilization menjadi kambing hitam dari negara-negara maju untukmemaksimalkan manfaat lahan di negara-negara berkembang. 60Pandangan yang demikian diamini oleh aktor pendukung ditingkat nasional. “Saat mendapat gelar adat Warku Gebze dandianggap Namek (saudara laki-laki) bagi masyarakat adat suku<strong>Malind</strong> Marori di Kampung Wasur, Merauke, Papua, pertengahanAgustus lalu, saya ‘ditikam’ sebuah kesadaran baru,” tulis ArifinPanigoro, pemilik ‘kerajaan bisnis’ Medco Group, 29 Agustus 2009lalu. “… Hamparan tanah seluas 11 juta hektar di Papua Selatan,Kabupaten Merauke, Asmat, Mappi, Boven Digoel, itu belumbanyak tersentuh tangan pertanian, misalnya, mengingatkanpenulis akan sempitnya sawah petani saat ini. Luas sawah direpublik tinggal sekitar 12 juta hektar. Jika tanah yang idle (tidakdikerjakan) di Merauke itu disentuh oleh tangan-tangan produktif,


40 41maka ketahanan pangan kita akan menggeliat dan menjadilebih kuat. Lebih dari itu, hasil pertanian itu juga bisa diolahmenjadi energi terbarukan (biofuel) untuk memenuhi kebutuhandalam negeri,” lanjut Panigoro. “Pendeknya, dari kesunyian dan”keperawanan” Merauke, saya bisa lebih memahami pemikiranThomas L Friedman (2008) tentang realitas dunia kekinian yangpanas, datar dan kumuh. Juga keinginannya untuk sebuah revolusihijau di seluruh dunia agar kelangsungan hidup bumi tetap terjaga.Untuk itu semua, kita butuh pangan, pendidikan dan energi,” lanjutpimpinan group usaha yang sudah mulai berinvestasi di kawasanMIFEE, seperti mengamini padangan lembaga-lembaga keuanganInternational di atas. 61Maka, sangat patut untuk diduga, masalah lingkungan pun akanmakin mengancam. Terlebih lagi sebagian besar kawasan di Meraukeitu adalah kawasan lahan gambut. Alih fungsi lahan hutan tanahgambut itu secara besar-besaran menjadi kebun kelapa sawit atautanaman komoditi lainnya, di tengah deforestasi dan illegal loggingyang belum juga bisa teratasi, jelas-jelas merupakan tindakan yangtidak sesuai dengan upaya pemerintah mengatasi krisis perubahaniklim yang terus meluas dan menggila dampaknya.Belajar dari kasus di Mali, Afrika, Aarts (2009) mengemukakanbahwa dampak langsung land grabbing adalah bahwa masyarakattelah kehilangan akses kepada sumberdaya yang menjadi tempatmereka membangun kehidupannya. Dengan demikian masyarakatjuga akan tersingkir dari proses-prose produksi menghasilkanbahan pangan. Masyarakat juga kehilangan sumber dan tempattempatlain yang menunjang kehidupan subsisten mereka -- yangcara hidupnya diabaikan dan jarang diakui keberadaannya -- sepertitempat ternak mereka merumput, tempat mereka mendapatkankayu bakar dan tempat mereka memperoleh sejumlah tanaman obatyang dibutuhkan kala sakit. Dan yang penting adalah terhambatnyafungsi-fungsi sosial tanah: ruang tempat mereka dilahirkan dandibesarkan, tempat mereka menghasilkan dan membesarkanketurunan, hal-hal yang sulit digantikan begitu saja dengan uang,pemukiman pengganti, ataupun bentuk-bentuk kompensasilainnya. 62Dari sudut pandang ketahanan pangan (food security) punproyek MIFEE patut dipertanyakan: Ketahanan pangan siapa yanghendak dicapai? Menurut laporan riset yang diselenggarakan olehM.S. Swaminathan Research Foundation dan the United NationsWorld Food <strong>Programme</strong> bertajuk “Food Insecurity Atlas of RuralIndia”, 2001 63 , ketahanan pangan berkaitan dengan faktor-faktorberikut ini:• Ketersediaan pangan atau availability of food, yang merupakanfungsi produksi• Akses ke pangan atau access to food, yang berhubungan dengandaya beli (uang)• Penyerapan pangan oleh tubuh atau absorption of food inthe body, yang ditentukan oleh ketersediaan air minum yangsehat, lingkungan yang sehat, pelayanan kesehatan dasar, danpendidikan dasar• Kerentanan terhadap kelaparan sementara atau vulnerabilityto transient hunger, yang berkaitan dengan bencana alam danbencana akibat tindakan manusia• Keberlanjutan produksi atau sustainability of production,yang dipengaruhi oleh besar kecilnya perhatian yang diberikankepada landasan ekologis yang perlu untuk kemajuan terusmenerus dalam produksiPertanian dalam arti luas, yang mencakup tanaman pangan,peternakan, perikanan, kehutanan, agro-processing, dan agribisnisskala kecil bukan hanya merupakan mesin penghasil panganmelainkan tulang punggung dari keamanan dan kenyamanan hidup(livelihood security). Dengan situasi kehidupan yang masih sangattergantung secara langsung pada hutan, tanah dan perairan, sebagianbesar orang asli Papua di Merauke mempunyai tingkat perbedaanyang sangat tajam dalam faktor-faktor tersebut di atas. Ketersediaanpangan bagi mereka berarti ketersediaan di dalam hutan, tanahdan perairan dengan corak produksi meramu dan berburu. Akseske pangan bagi mereka adalah akses ke hutan, tanah dan perairanyang tidak memiliki hambatan oleh pihak lain. Penyerapan pangan


42 43oleh tubuh bagi mereka adalah persoalan yang serius akibat tingkatpendidikan rendah dan pelayanan kesehatan yang masih jauh dariyang semestinya mereka peroleh sebagai warga negara Indonesia,sebagaimana juga faktor pendidikan. Hal mana sebetulnyaberpotensi meningkatkan kerentanan mereka terhadap kelaparanjika ketersediaan dan akses ke pangan mengalami hambatan serius.Dan jika akses ke pangan tertutup akibat ditutupnya akses ke hutan,tanah dan perairan – akibat pengalihan hak ke perusahaan melaluimekanisme perijinan dari negara – maka dapat dipastikan bahwakeberlanjutan produksi pangan mereka dengan corak meramu danberburu akan terhenti sama sekali.Kehadiran MIFEE akan mendatangkan situasi yang malahanbisa mengancam ketahanan pangan orang Papua di Merauke.Ketahanan pangan yang bersifat berkelanjutan (sustainable foodsecurity)adalah akses-askes fisik, ekonomi, sosial, dan ekologisyang harus dimiliki seseorang untuk mendapatkan asupan nutrisiyang seimbang dan air minum yang sehat sehingga memungkinkansetiap individu dapat menjalani proses produksi dan mempunyaikesehatan yang senantiasa ada sepanjang hidupnya. Situasi ekonomi,sosial dan politik ekonomi di balik MIFEE patut menimbulkan tandatanya besar bagi keberlanjutan ketahanan pangan orang Papua diMerauke.


Bagian KetigaMasyarakat Papua dan Pembangunan:Perspektif Menyembuhkan PapuaJalan tanah di Kampung Kaliki, Distrik KulikBerdasarkan serangkaian riset lapangan dan studi literatur yangintensif selama 3 tahun, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI meluncurkan sebuah dokumen yang bertajuk Papua RoadMap: Negotiating the Past, Improving the Present and Securingthe Future. 64 Seturut judulnya, dokumen ini berisikan sintesatentang akar-akar konflik yang terjadi di Papua selama ini, berikutkebijakan-kebijakan baru yang seharusnya ditempuh untukmengatasi, mengelola, atau bahkan menghindari konflik-konflikyang sama di masa-masa mendatang.Ada empat akar konflik di Papua. Masing-masing adalah:(a) masalah marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap OrangPapua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, danmigrasi massal ke Papua pasca Penentuan Pendapat Rakyat(PEPERA) pada tahun 1969;


46 47(b) kegagalan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan danpemberdayaan ekonomi rakyat;(c) kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antaraPapua dan Jakarta; dan(d) pertanggung-jawaban atas kekerasan negara di masa laluterhadap warga negara Indonesia di Papua.Untuk masalah pertama, TIM Peneliti LIPI menyarankanperlu dikembangkannya kebijakan afirmatif rekognisi demipemberdayaan orang asli Papua. Untuk masalah kedua, diperlukansemacam paradigma baru pembangunan yang berfokus padaperbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli Papua.Masalah ketiga membutuhkan dialog para pihak, seperti yang pernahditempuh dalam menyelesaikan konflik di Aceh satu dasa warsa lalu.Sedangkan masalah keempat mensyaratkan jalan rekonsiliasi diantara pengadilan hak asasi manusia dan pengungkapan kebenarandemi tegaknya hukum dan keadila bagi warga Papua, terutama parakorban, keluarganya dan warga Indonesia di Papua secara lebihumum.Sejauh ini, Road Map Papua adalah satu-satunya dokumen yangrelatif konprehensif tentang hal ihwal permasalahan (baca: konflik)di Papua saat ini. Solusi-solusi yang ditawarkannya pun demikian.Artinya, ini adalah solusi ‘non-M’ yang relatif sangat maksimal.Sejauh mana ia kemudian akan menjadi rujukan para pengambilkebijakan, itu adalah soal yang lain lagi. 65Apa yang disampaikan Tim LIPI di atas pada dasarnya dapatdilihat sebagai penegasankembali pendekatan yang telahRekayasa kependudukandigunakan sebagaistrategi Pemerintah untukmendapatkan legitimasipolitik, melempangkan jalanbagi proyek pembangunan,dan membungkam suaraorang asli Papuadiusulkan Koentjaraningrat(1994) lebih dari satu dekadelalu. 66 Ada Empat sasaran pokokyang diajukan Koentjraningrat(1994) untuk membangunmasyarakat Papua. Masingmasingadalah :(1) Peningkatan SDM dengan peningkatan kesehatan dan mutugizi penduduk;(2) Kebijakan dari atas yang tidak boleh mengabaikan kepentinganpenduduk asli, tetapi senantiasa harus dilaksanakan bersamadengan kebijakan pembangunan yang mendekati mereka daribawah;(3) Semua rencana proyek pembangunan selalu harus dipersiapkandengan studi yang mendalam tentang keadaan sosial-budayapenduduk setempat; dan(4) Mengubah sikap orang Indonesia yang bukan Papua yang masihmemandang rendah Orang Papua dan menganggap merekaprimitive, malas, suka mabuk, dan tidak disiplin. 67Mengenai masalah yang terakhir, yang bagaimanapun sebagianbenar adanya, Orang non-Papua pun harus memahami latarbelakangan apa penyebab sebagian mereka berperilaku seperti itu.Koentjaraningrat (1994) mengajukan beberapa kemungkinan yangperlu diteliti lebih jauh. Pertama, mereka berperilaku demikianterjadi karena mereka bingung dengan perubahan zaman yangberlangsung cepat. Kemungkinan-kemungkinan lain adalah (a)merasa terdesak di segala lapangan masyarakat di daerah asalnyasendiri; (b) tidak suka dengan sikap merendahkan banyak orangIndonesia non-Papua yang ditujukan kepada mereka; dan (c) merasadipersalahkan mengapa untuk jabatan dalam jajaran pemerintahtertentu di daerah mereka sendiri perlu didatangkan pejabat dariluar sementara cukup banyak penduduk asli yang mampu mengisijabatan-jabatan tersebut. 68 Perilaku negatif ini boleh jadi adalahhasil dari kebijakan pembangunan di Papua selama ini yang disebutKoentjaraningrat (1994) sebagai proses ‘akulturasi salah’. 69Masalah marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap orangPapua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasimassal ke Papua pasca Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) padatahun 1969 memang tidak terbantahkan. Secara kualitatif, orangasli Papua kalah bersaing dan termajinalisasi oleh para pendatang.Sebagian besar pendatang memang relatif lebih berpengalaman


48 49dan berpendidikan dari pada orang asli Papua. Dalam bidangpertanian, transmigran dan pendatang lainnya lebih produktifdan menguasai pasar. Begitu juga di sektor perdagangan, jasa,dan juga sektor kepemerintahan. Dari segi budaya, banyak orangasli Papua merasa ekspresi budayanya selalu dicurigai sebagaimanifestasi gagasan separatis. Dalam banyak kasus orang asliPapua harus berurusan dengan pihak militer akibat simbol-simboldan ekspresi kebudayaan yang digunakannya. Pembangunan puntelah mengubah gaya hidup. Sejumlah konflik tanah pun mencuatdan menandai kegiatan-kegiatan pembangunan itu. Soal sistempenguasan tanah ini kemudian juga disebut-sebut sebagai salahsatu kendala pembangunan di Tanah Papua. 70Situasi kualitatif ini makin mencemaskan jika dikaitkandengan kondisi kuantitatifnya. Secara kuantitatif, di Papua telahterjadi revolusi demografis yang radikal mengakibatkan dislokasidan displacement orang asli Papua. Pada tahun 1959 persentasependatang masih kurang dari 2%, meningkat menjadi 4% padatahun 1971. Pada tahun 2000, sekitar 30 tahun kemudian, pendudukpendatang telah mencapai angka 35% dari populasi. Menurutperkiraan, pada tahun 2011 akan mencapai angka 53,5%. Artinya,orang asli Papua segera menjadi minoritas di tanah Papua. Bukantidak mungkin posisi politik orang asli Papua akan melemah karenasuara mereka lebih kecil daripada pendatang. 71Situasi seperti ini sering dilukiskan sebagai kebijakan rekayasakependudukan (demographic engineering) yang sudah banyakdilakukan, seperti proyek transmigrasi ke Papua dari seanteroIndonesia. Rekayasa kependudukan digunakan sebagai strategiPemerintah untuk mendapatkan legitimasi politik, melempangkanjalan bagi proyek pembangunan, dan membungkam suara orangasli Papua. Yang tidak diurus Pemerintah adalah bahwa dampakdari kebijakan rekayasa kependudukan ini di Indonesia banyakmenimbulkan konflik horizontal. Bukan tidak mungkin bahwarencana-rencana dan proyek-proyek investasi besar yang sudahberjalan di Merauke akan berdampak pada friksi sosial. 72Tahun2000197120114%•Persentase Jumlah pendatang di Papua35%53,5%1959 2%Menurut Tim Peneliti LIPI, kekalahan bersaing dan marjinalisasimenumbuhkan perasaan kolektif orang asli Papua bahwa eksistensimereka sebagai tuan di tanah mereka sendiri benar-benar terancam.Di kalangan elitnya, lanjut Tim Peneliti LIPI dengan menyitirMcGibbon 73 dan Clements Runawery, 74 kenyataan ini dipertajamdengan wacana yang dramatis bahwa orang Papua sedang terancamkepunahan atau bahkan slow motion genocide. 75Jangan pula dilupakan bahwa ‘proyek nasionalisme’ Papuasebetulnya sudah lama terbentuk sebagai perlawanan terhadap pihakasing. C. L. M. Penders, seorang sarjana Belanda yang menjalanikarir akademiknya di Australia di University of Queensland sebelumpensiun pada 1985, telah menulis secara rinci sejarah kebijakanPemerintah Kolonial Belanda terhadap kawasan yang mulai 1920-an disebut sebagai West New Guinea sampai berganti nama menjadiIrian Barat ketika masuk wilayah Indonesia pada1962. Pendersmenunjukkan bahwa kebijakan politik Pemerintah Belanda turutmembentuk nasionalisme Papua. 76Dengan kebijakan rekognisi dimaksudkan akan terjadi suatuproses sosial yang agenda-agendanya berpihak dan fokus padaorang Papua sekaligus dengan jati dirinya. Konsep papua dankepapuaan menjadi pusat dan tujuan. Dalam perpektif budaya,papuanisasi diharapkan memberikan ruang gerak, penghargaan danpengakuan bagi identitas sosial budaya Papua. Negara diharapkanmampu mengakomodasi secara terbuka simbol-simbol dan ekspresi


50 51budaya Papua lainnya serta memperlakukannya sebagai bagiandari kekayaan budaya Indonesia. Dalam konteks keterceceranorang asli Papua dalam menentukan masa depan mereka selamaini, pengutamaan orang asli Papua menduduki jabatan-jabatanbirokrasi utama adalah salah satu wujudnya. 77Dalam konteks persaingan dalam perebutan sumberdaya,termasuk kesempatan kerja, kondisi struktural dan kultural orangasli Papua memang belum memiliki habitus yang memungkinkanpersaingan yang setara dengan para pendatang. Karena itu,membiarkan orang Papua tersingkir dalam persaingan ‘pasar bebas’adalah suatu ketidakadilan. Oleh sebab itu, usul Tim Peneliti LIPI,kebijakan afirmatif yang berdasarkan identitas etnis diperlukanuntuk melindungi orang asli Papua dari persaingan yang aturanmainnya belum sepenuhnya dipahami serta memberdayakanmereka agar suatu saat ketika instrument persaingan dansumberdaya untuk bersaing sudah dikuasai, pervilese berdasarkanetnis bisa pelan-pelan dihilangkan.Selanjutnya, ‘papuanisasi’ harus dibayangkan sebagai suatuproses sosial penguatan individu dan institusi lokal yang ada diPapua agar semakin banyak orang asli Papua mampu mewakili danmelindungi dirinya sendiri dalam memperjuangkan penguasaansumber-sumberdaya yang dibutuhkan. Dalam bidang pendidikan,rekognisi orang asli Papua harus menjelma menjadi proyekpenciptaan kelas baru terdidik Papua yang kualitasnya minimalsetara dengan standar nasional Indonesia. Dalam bidang ekonomi,rekognisi harus dibayangkan sebagai pelatihan dan pendidikanyang membangun kelas baru pengusaha Papua. Rekognisi dalamkebijakan-kebijakan pemerintah harus diterjemahkan sebagaipembuatan jembatan antara yang mempersiapkan orang Papuauntuk bersaing secara mandiri dan meningkatkan kesejahteraansebagaian besar orang asli Papua.Tidak dapat dipungkiri, kegagalan pembangunan di bidangpendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat, adalahsalah satu sumber masalah yang lain. 78 Untuk itu, Tim Peneliti LIPImengusulkan perubahan paradigma pembangunan yang berfokuspada perbaikan pelayanan publikdemi kesejahteraan orang asli Papua.Paradigma baru pembangunan Papuadibutuhkan sebagai proses sosial untukmemperkuat kebijakan rekognisi orangasli Papua dalam pengertian penigkatanMembiarkan orangPapua tersingkirdalam persaingan‘pasar bebas’ adalahsuatu ketidakadilan.kualitas hidup orang asli Papua hingga setara dengan warga negaraIndonesia lainnya.Dalam bahasa yang lain Koentjaraningrat (1994) menulis: “…apabila kebijakan pembangunan tak dilaksanakan berdasarkanpendekatan dari bawah, penduduk asli Irian Jaya (saat ini disebutPapua, pen.) yang tak memahami manfaatnya bagi mereka sendiri,akan merasakan bahwa pembangunan Propinsi Irian Jaya adalahsuatu hal yang dipaksakan oleh Pemerintah. Sampai sekarang,proyek-proyek pembangunan yang ada untuk sebagian besarmemang ditentukan dari atas dan selain hasilnya tidak tampaksecara nyata, penduduk aslipun belum dapat merasakan manfaatnyasecara langsung… ”.Selanjutnya Koentjaraningrat juga menulis: “… Kebijakandari bawah memang memerlukan program-program yang lentursifatnya, sehingga memungkinkan berbagai alternatif yang lebihmudah disesuaikan dengan keadaan masyarakat setempat.Sebaliknya, kemampuan untuk memilih alternatif yang cocokmemerlukan banyak pengertian dan persiapan pendahuluan,yang hanya dapat dicapai dengan memperlajari masyarakat dankebudayaan penduduk daerah yang akan dibangun.” 79Lebih jauh Koentjaraningrat berpendapat bahwa upaya untukmencari ribuan buku dan karangan tentang bumi, alam danmasyarakat serta kebudayaan suku-suku bangsa di Papua tidaklahsulit, karena sebagian besar kepustakaan mengenai daerah itu sudahdimuat dalam bibliografi yang disusun J. van Baal. K.W. Galis, danKoentjaraningrat (1984). 80 Koentjaraningrat pun berkesimpulanbahwa “… aktivitas pembangunan Irian Jaya (baca: Papua, pen.)memang tidak dapat diserahkan kepada kekuatan yang timbulakibat persaingan bebas dan diperlukan dana untuk secara sadar


52membantu kemajuan penduduk asli Irian Jaya, agar mereka dapatberkembang menjadi manusia-manusia yang secara aktif berperanserta dalam pembangunan negara, dengan mengembangkankekuatan-kekuatan sosial-budaya yang ada dalam masyarakatmasyarakatmereka”. 81Sesuaikah MIFEE dengan beberapa prinsip dasar dan pendekatansebagaimana yang telah diusulkan Koentjaraningrat (1994) lebihdari satu dekade lalu, yang kemudian digarisbawahi kembali olehTim LIPI (2010) sebagaimana telah dijelaskan di atas tadi? ApakahMIFEE dapat menjadi solusi masalah Papua yang ada? Atau malahmenjadi sumber permasalahan baru bagi kehidupan penduduk asliPapua?.


Bagian KeempatBeberapa Potret Dinamika LapanganPeta Rencana Investasi Areal Perkebunan pada Kawasan HutanKabupaten MeraukePada Peta Rencana Investasi disamping, nampak seluruh wilayahadministrasi pemerintahan Kabupaten Merauke nyaris menjadiareal yang dikuasai dan diperuntukkan untuk proyek MIFEE,kecuali kawasan hutan dengan fungsi Perlindungan Alam. Meskibegitu, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa informan, baikaparat pemerintahan, tokoh masyarakat dan sejumlah warga biasayang ditemui di lapangan, bahwa kebanyakan masyarakat belumtahu, tidak diinformasikan secara lengkap dan tidak memahamibenar soal apa yang disebut MIFFE ini. Menurut para informanitu hanya beberapa tokoh masyarakat saja yang sudah tahu – danbelum tentu paham – tentang program MIFEE itu.Pengetahuan khalayak tentang MIFEE lebih sebatas adanyasejumlah kendaraan yang berlabel MIFEE pada karoserinya yanglalu lalang di dalam kota maupun di kampung-kampung yangmenjadi target program MIFEE itu. Tapi mereka tidak terlalupaham apa maksud proyek MIFEE itu sebenarnya. Programsosialisasi yang konon telah diusulkan oleh Dinas Kesatuan Bangsadan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Merauke belum bisa


56 57berjalan karena belum disetujui sebagai salah satu proyek dalamRAPBD tahun lalu. Seorang informan di Kantor Dinas Perkebunanmengakui bahwa Pemerintah Daerah sendiri baru melakukansosialisasi ke Pemerintah Pusat dan Propinsi saja. Seorang informanlain dari Badan Pemberdayaan Kampung Pemda Merauke jugamengakui bahwa belum ada program sosialisasi yang dilaksanakankantornya. Apalagi program untuk mempersiapkan pendampingyang akan mendampingi masyarakat.Terbatasnya akses informasi proyek MIFEE dan tidak adanyamedia informasi yang lengkap yang bisa digunakan masyarakatuntuk berpartisipasi menentukan dan mengawasi penyelenggarapembangunan proyek MIFEE, menandakan proyek ini tidaktransparan dan cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat.Demikian pula, tidak atau belum ada kebijakan khusus untukmempercepat peningkatan tingkat ketrampilan khusus orang asliPapua untuk mengisi peluang kerja yang terbuka. Seorang informandi Kantor Dinas Perkebunan mengaku ada pembangunan danpeningkatan sekolah kejuruan yang ada di kota Merauke. Namun,tidak ada aparat ataupun informan lain yang bisa mengkonfirmasikebenarannya. Padahal, Pemda jelas-jelas mengakui bahwa salahsatu kendala yang dihadapi adalah masalah SDM (SumberdayaManusia). 82Bagi masyarakat yang telah bersinggungan dengan perusahaanvia fasilitasi pemerintah, seperti yang terjadi di Kampung Zenegidan Boepe misalnya, pengetahuan masyarakat tentang keberadaanperusahaan dan dampak positif maupun dampak negatifkeberadaan proyek juga masih sangat terbatas. Begitu pula denganpengetahuan mereka tentang berbagai aspek hukum, misalnya,yang berkaitan dengan soal pertanahan, salah satu battle fieldyang mempertemukan masyarakat dengan proyek MIFEE, melaluikehadiran berbagai perusahaan. Akibatnya, dalam kesepakatankesepakatanyang dibuat dengan pihak perusahaan, posisimasyarakat relative sangat lemah. Warga kampung pun menjadirawan terhadap trik-trik tipuan dalam proses pelepasan hak tanahyang dilakukan perusahaan.Di kampung Zenegi, sebagai contoh, proses sosialisasi suatuperusahaan bermuara pada ditandatanganinya sebuah PiagamPenghargaan yang ‘anehnya’ ditandatangani bersama oleh pihakperusahaan dan pihak masyarakat. Jika benar ini merupakanPiagam Penghargaan mestinya piagam ini cukup ditandatanganioleh pihak perusahaan saja. Pihak masyarakat tidak perlu turutmenandatanganinya. Namun, dalam kenyataannya, PiagamPenghargaan ini ditandatangani oleh kedua pihak. PiagamPenghargaan itu menyebutkan bahwa Penghargaan ini diberikankepada Masyarakat Kampung Zenegi, ataspenerimaan masyarakat Kampung Zenegiterhadap kehadiran dan mulai beroperasinyaPT. Selaras Inti Semesta – Medco Group, diwilayah Kampung Zenegi dan sekitarnya.Yang ditandai dengan PenandatangananNota Kesepakatan (MoU) antara masyarakatZenegi dan Perusahaan dengan memberikan’penghargaan’ berupa uang sebesar Rp.300.000.000,- (Tiga Ratus Juta Rupiah)”.Piagam Penghargaan ini kemudianditandatangani oleh General Managerdan CSR Manager PT. SIS, serta BonafiusGebze selaku Kepala Kampung Zenegi, danLinus Gebze selaku Ketua Adat Zenegi.Belakangan, Piagam Penghargaan yangditandatangani pada tanggal 12 Desember2009 lalu itu menimbulkan masalah dan nyarismemicu konflik di tengah warga KampungZenegi yang sejatinya terdiri dari 6 marga itu.Pasalnya, sekitar pertengahan Juli lalu, pihakperusahaan berencana memindahkan kayukayuyang telah dipungutnya dari hutan adatZenegi ke lokasi pembuatan chip yang terletak di Kampung Boepe.Menurut warga Kampung Zenegi ini adalah tindakan yang anehkarena mereka merasa belum ada pembicaraan yang jelas tentangganti-rugi atas kayu-kayu yang ditebang dari hutan-hutan sekitar


58 59Kampung Zenegi itu. Oleh sebab itu mereka tidak mengizinkan kayukayuitu dipindahkan dari tempatnya. Di samping itu, semua janjiyang diberikan oleh perusahaan menurut mereka belum dipenuhisama sekali, mencakup perbaikan rumah ibadat, pembangunansekolah dan penyediaan guru serta perbaikan jalan raya menujuZenegi. Oleh sebab itu mereka tidak mengizinkan kayu-kayu itudipindahkan dari tempatnya.Bagi warga Kampung Zenegi, uang Rp. 300 juta itu memangsemata-mata sebagai hadiah dari penghargaan yang mereka terimadan bukan ganti rugi ataupun kompensasi yang harus mereka terimaatas pengambilan kayu-kayu dari hutan adat mereka. Namun,persepsi yang berlainan berlaku bagi pihak perusahaan. Menurutpihak perusahaan, seiring dengan penandatanganan ‘PiagamPenghargaan’ itu, telah disepakati pula sebuah dokumen lain yangmenjadi ‘lampiran’ dari ‘Piagam Penghargaan’.Dokumen dimaksud bertajuk SuratKeputusan PT. Selaras Inti Semesta, No. 005/PRC/I/2008, yang ditetapkan di Jakarta,Tanggal 1 Januari 2008, dan ditandatanganioleh Rimba Simanjuntak, selaku DirekturPT. SIS. Masyarakat mempertanyakan soalkompensasi kayu ini karena sepengetahuanmereka harga kayu dari jenis termurah puntidak ada yang semurah nilai kompensasi ini.Pada intinya Surat Keputusan itu mengaturtentang besaran kompensasi kayu yang beradadi areal kerja PT. SIS, yakni sebesar Rp. 2000,-per meter kubik. Yang menjadi pokok soaladalah bahwa, menurut pihak perusahaan,Surat Keputusan itu menjadi bagian yangtidak terpisahkan dari penandatanganan‘Piagam Penghargaan’. Pihak perusahaanjuga mengaku bahwa Surat Keputusanitu sudah diperlihatkan dan dibahassebelum penandatangan ‘PiagamPenghargaan’. Maka, jika pada akhirnya masyarakatmenandatangani ‘Piagam Penghargaan itu, itu berarti masyarakattelah menerima Surat Keputusan dimaksud.Tetapi, pengakuan pihak perusahaan itu ditolak masyarakatZenegi. Menurut mereka, ketika acara penandatanganan ‘PiagamPenghargaan’ bukan Surat Keputusan itulah yang ditunjukkankepada mereka. Melainkan sebuah Draf Surat Perjanjian PengelolaanLahan antara Marga Pemegang Hak Ulayat dan PT. SIS.Menurut seorang informan, ketika perundingan berlangsungmemang ada petugas dari pihak perusahaan yang menyebut-nyebutkemungkinan besaran uang kompensasi yang Rp. 2.000,- permeterkubik (m 3 ). Tetapi, menurut masyarakat Zenegi, ketika itu merekatelah mengajukan keberatan jika kayu mereka hanya dikompensasisebesar Rp. 2.000/m 3 .“… Tawaran itu sudah kami tolak. Harga itu kan jauh sekali jikadibandingkan harga yang dibayarkan pencari kayu yang memangsering datang ke kampung ini,” ujar seorang informan dalam sebahkesempatan FGD. Menurut informan tersebut pencari kayu itu bisamembayar Rp. 180.000,- hingga Rp. 200.000/m 3 . “Jadi, sangattidak mungkin kami mau menerima harga yang disodorkan olehpihak perusahaan itu,” lanjutnya.Selain itu, masyarakat juga tidak terlalu paham akan akibatdari penandatanganan ‘Piagam Penghargaan’ dimaksud. Tidakada jawaban yang pasti ketika pertanyaan tentang apa akibat yangakan timbul dari penerimaan uang penghargaan Rp. 300 jutaitu bagi kehidupan masyarakat yang diajukan dalam FGD. Yangmereka pahami secara samar-samar adalah bahwa dengan ‘uangpenghargaan’ itu perusahaan mereka izinkan untuk mengambilkayu dari hutan-hutan adat mereka. Itupun perusahaan harusmenambahnya dengan uang kompensasi yang lain, yang hinggapenelitian ini dilakukan mereka belum tahu berapa harga yangpantas mereka ajukan ke perusahaan.Padahal, PT. SIS adalah sebuah perusahaan pemegang hakIzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman.Artinya, PT. SIS adalah sebuah perusahaan yang akan mengusahakan


60 61Hutan Tanaman untuk menghasilkan bahan baku bagi kebutuhanlainnya, seperti bahan baku kertas misalnya. Itu berarti, PT. SIStidak saja hanya akan menebang pohon-pohon yang ada di hutanhutanyang ada di Kampung Zenegi, tetapi juga akan menanaminyakembali dengan jenis kayu tertentu, untuk kemudian dipanenkembali, ditanami kembali, dan begitu seterusnya. Tentu sajasewaktu proses penanaman, hingga pemanenan, dan penanamankembali, kawasan itu merupakan kawasan usaha PT. SIS yang tidakboleh sembarangan orang melakukan sembarangan kegiatan dikawasan itu.Artinya, secara praktis, hak penguasaan atas kawasan-kawasanhutan kampung Zenegi ini, yang semula berada di tangan margamargayang ada di Kampung Zenegi, telah beralih kepada pihak PT.SIS, untuk jangka waktu yang tidak ditentukan alias berlaku selamahak IUPHHK – HT PT. SIS yang dikeluarkan oleh DepartemenKehutanan tidak dicabut.Berpedoman pada pengalaman buruk yang dialami orangKampung Zenegi, di tengah kelompok masyarakat lain mulaimuncul kesadaran bahwa rencana pembangunan besar-besaranini berpotensi menimbulkan masalah bagi masyarakat. WargaKampung Zenegi sendiri pun mulai berfikir ulang tentangkesepakatan-kesepakatan yang telah diambil bersama perusahaan.Hal yang sama juga mulai dirasakan oleh warga Kampung Boepe.Ulah perusahaan masuk ke kampung-kampung itu memangkerap kali menyulut pertengkaran sesama warga kampung. DalamFGD yang dilaksanakan di Kampung Zenegi, misalnya, sempatterjadi perdebatan antara Kepala Marga dengan sejumlah kaummuda.Kaum muda menuduh – meski tidak secara terus-terang --masalah yang dihadapi sekarang ini terjadi karena kaum tua mausaja menandatangani surat kesepakatan yang tidak jelas yangdisodorkan oleh pihak perusahaan. Dalam diskusi yang terjadi diZenegi bersama Tim Peneliti, ada gerutuan dari ank muda, “Kamuorang tua itu yang bikin susah kita punya kampung”. Tetapi kaum“.. Jangan hati ini terlalu goyang... Inihak kita...Ini tanah kita... Hak kita untukbertahan... Dan hak kita untuk menolakperusahaan ini,” kata seorang tetua adatdi Kampung Zenegi, Distrik Kuriktua tidak mau begitu saja disalahkan. “Apa yang telah saya lakukan,jangan disalahkan begitu saja. Anak-anak harus bantu orang tua.Yang penting sekarang adalah mari kita bicara tentang masa depananak-cucuk kita bersama. Kita bicara untuk menyelamatkan anakdan cucu kita. Jangan asal bicara, bicarakanlah semuanya secaraterbuka,” kata Ketua Marga mengakui kesalahannya. “.. Jangan hatiini terlalu goyang... Ini hak kita...Ini tanah kita... Hak kita untukbertahan... Dan hak kita untuk menolak perusahaan ini,” kataseorang tetua adat di Kampung Zenegi, Distrik Kurik. Beliau geram,karena sadar tertipu oleh perusahaan yang masuk ke kampungnya.Belajar dari pengalaman yang terjadi di Kampung Zenegi, wargaKampung Kaliki, yang merupakan kampung tetangga terdekat,bertekad untuk tidak mau mengikuti program pembangunansemacam MIFEE itu. Beberapa ‘hubungan-hubungan awal’ --yang terwujud dalam semacam uang jatah bulanan yang diberikanperusahaan kepada sejumlah pemimpin marga dan guru -- akanmereka tinjau ulang. “Pertama datang dulu Medco bilang mereka maumembangun masyarakat kampung, tapi nyatanya hanya merusakfasilitas jalan yang ada.” kata Vikaris di Kampung Kaliki, DistrikKurik. Mereka juga dijanjikan perumahan tapi tidak terealisasi.Medco juga janjikan bangunan ini-itu, tapi semuanya tidak adayang terlaksana. Katanya mau usaha HTI. Tetapi belum lagi merekamenanam, mereka sudah bongkar hutan terlebih dahulu,” lanjutVikaris merujuk pengalaman Kampung Zenegi. Salah seorang darilima Kepala Marga, Agus Mahuse, yang menerima uang bulanandengan selalu menandatangani kuitansi kosong tanpa keteranganselain angka Rp. 500.000, telah memutuskan tidak mau menerimalagi setelah berlangsung lima bulan. Ia mengatakan bahwa ia mulaidapat meraba konsekuensi dari tindakannya setelah berkomunikasi


62 63dengan sejumlah orang di Merauke dan merasa khawatir bahwaperuntukkan dari transaksi yang terjadi dengan uang bulanan limaratus ribu rupiah tersebut akan ditulis semuanya oleh perusahaan.Artinya ia mulai khawatir bahwa bagian yang belum diisi darikuitansi yang mereka tandatangani kemudian akan diisi semaunyaoleh perusahaan.Upaya memperoleh lahan bagi keperluan perusahaan memangpenuh daya tipu. Awalnya perusahaan biasanya bilang hanya akanmembutuhkan sepenggal tanah saja. Setelah diberi mereka akanminta sepenggal lagi. “Ini berbahaya,” kata Vikaris Sepkubun darikampung Kaliki. “Kehidupan kita ini berkelanjutan. Besok diapakai sepenggal tanah ini, kemudian besok minta lagi sepenggalyang lain. Dia buka lagi sepenggal… Dia buka lagi sepenggal… Diapancing masyarakat kampung untuk jual mereka punya tanah. Diatahu masyarakat kampung pendidikannya rendah. Dia punya carabanyak untuk kikis kita. Bisa-bisa besok kita miskin di atas kitapunya tanah. Kalau tanahnya sudah habis, kita mau tinggalkan apabuat anak-cucu?” ujar Vikaris penuh prihatin.‘Aksi tipu-tipu’ dalam upaya mendapatkan tanah penduduk itujuga terjadi di Kampung Boepe. Kesepakatan pelepasan tanah adatsebagaimana yang dinyatakan dalam Surat Pelepasan Hak AtasTanah Adat dari Johni Balagaize (sebagai Pihak Pertama, yaitu“Besok dia pakai sepenggal tanah ini,kemudian besok minta lagi sepenggalyang lain. Dia buka lagi sepenggal…Dia buka lagi sepenggal… Diapancing masyarakat kampung untukjual mereka punya tanah. Dia tahumasyarakat kampung pendidikannyarendah. Dia punya cara banyakuntuk kikis kita. Bisa-bisa besok kita miskin di atas kitapunya tanah. Kalau tanahnya sudah habis, kita mautinggalkan apa buat anak-cucu?” ujar Vikaris penuhprihatinpihak yang melepaskan hak) kepada pihak PT. Medcopapua IndustriLestari (sebagai Pihak Kedua, sebagai pihak penerima pelepasanhak), dilakukan setelah Pihak Pertama menerima berbagaibentuk barang dan juga uang tunai secara cicilan. Dalam SuratPelepasan Hak itu, seperti halnya yang terjadi dalam kasus ‘PiagamPenghargaan’ di Kampung Zenegi, uang tunai yang diterima PihakPertama dari Pihak Kedua juga disebut sebagai ‘uang penghargaan’.Untuk kasus di Kampung Boepe, Pihak Pertama yang melepaskantanah adat seluas 1.000 ha (atau setara 10.000.000 m2) yang akandilepaskan haknya dari Pihak Pertama mendapat ‘penghargaan’ Rp.100.000.000,- atau setara Rp. 10,- per meter persegi.Penghargaan setara Rp. 100.000.000,- itu diterima PihakPertama dalam kurun waktu 3 bulan, dan terdiri pembayaranberupa barang berupa sepeda motor Honda MegaPro seharga Rp.21.500.000,- dan mesin perahu tempel merk Johnson seharga Rp.19.000.000,-, serta uang tunai dalam jumlah yang bervariasi.Di samping harga yang terlalu murah, yang bisa dikatakansebagai penghinaan terhadap sesama bangsa Indonesia jikamerujuk pada cita-cita kebangsaan dalam UUD 1945, dan prosespembayaran secara cicilan dalam bentuk barang atupun tunai, halyang menarik dari perjanjian ini adalah bahwa Pihak Kedua, sebagaipihak penerima pelepasan hak, berhak mengajukan permohonanuntuk memperoleh hak dari instansi yang berwenang. Itu artinya,pasca pelepasan hak itu, pihak yang akan memiliki hak yang sahmenurut Undang-undang yang berlaku adalah Pihak Kedua seorang.Sementara Pihak Pertama sama sekali terputus dengan hak (adat)yang semula ada ditangannya.Dalam pertemuan antara berbagai kelompok masyarakat yangtinggal di sekitar wilayah calon proyek-proyek MIFEE denganKomisi Nasional Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan tengahtahun 2009 lalu sejumlah kelompok masyarakat juga sudahmenjerit soal hilangnya tanah-tanah adat mereka. Misalnya, BasMekiuw, pensiunan pegawai negeri sipil, asli Yeinan dan tinggaldi Merauke menginformasikan bahwa ada delapan investor


64 65perkebunan kelapa sawit yang telah mendapat ijin lokasi dariBupati Kabupaten Merauke di Distrik Jagebob, Distrik Ulilin,Distrik Elikobel dan Distrik Muting dengan luasan lahan secarakeseluruhan sebesar 517.000 hektar. Luasan lahan perkebunankelapa sawit itu sebagian besar berada di atas tanah ulayat wargalokal Suku Yeinan yang mendiami pesisir Sungai Maro. MenurutYahya Kidup, seorang intelektual Suku Yeinan di Merauke, bahwaperkebunan kelapa sawit akan masuk di antara Kampung Poodan Kampung Bupul dengan luasan garapan sebesar 256 hektar.Di Distrik Ulilin, sebagaimana dilaporkan Jefta Dambujay, satuinvestor perkebunan kelapa sawit telah mengantongi ijin lokasi dariBupati Merauke sebesar 39.000 hektar. Masalahnya, kalkulasi gantirugi yang ditawarkan perusahan sangat tidak wajar. Tanah adatsuku Yeinan di Distrik Ulilin seluas 40.000 hektar – yang dihargaiSuku Yenan Rp. 36 milyar – akhirnya disepakati bersama sebesarRp. 3,5 miliar saja. Jika dikalkulasi setiap suku yang bersangkutanhanya akan memperoleh ‘uang penghargaan’ sebesar Rp. 50.000,-saja. 83Belum diketahui secara pasti mengapa pihak perusahaanlebih suka menggunakan modus pemberian (uang) penghargaanketimbang berterus-terang melakukan jual-beli atas objek yangbersangkutan. Boleh jadi ini adalah trik untuk mengatasi adatsetempat yang tidak mengizinkan proses jual-beli tanah karenatanah adalah Ibu mereka sendiri. 84 Kemungkinan lain adalah inimerupakan trik untuk menekan harga tanah yang bersangkutanserendah mungkin. Jika kata ‘jual-beli’ yang digunakan makapemilik hak akan berfikir tentang nilai ekonomi yang terkandungpada objek. Sementara dengan kata ‘penghargaan’ seolah-olahpihak perusahaan sedang memberikan penilaian yang setinggitingginyaterhadap objek; saking tingginya perusahaan tidakmampu menetapkan harganya, dan tidak mampu ‘membelinya’kecuali dengan memberikan ‘uang penghargaan’ yang padadasarnya sangat rendah itu.Selain soal ‘Piagam Penghargaan’ dan besaran kompensasi yanghanya dapat dinikmati sekejap saja, masyarakat kampung Zenegijuga mulai gundah dengan tindak-tanduk PT. SIS di lapangan.Menurut masyarakat banyak kesepakatan yang telah dibuatsebelumnya tidak dipenuhi atau ditepati oleh pihak perusahaan.“Lama-lama terlihat bahwa perusahaan datang untuk merusakmasyarakat. Perusahaan mulai tidak mengindahkan hukum yangada pada masyarakat adat. Mereka berperilaku seakan-akanperusahaan itu akan mengambil alih seluruh yang ada di kampungini,” kata Kepala Marga Gebze di Kampung Zenegi.Menurut para peserta FGD di Kampung Zenegi, semula memangdisepakati akan ada komunikasi yang intensif di antara keduapihak. “Dalam kenyataannya perusahaan berjalan sendiri. Tidakada komunikasi. Bagaimana kita akan tahu perusahaan maunya apadan masyarakat maunya ke mana,”kata seorang informan. “… Kamibingung. Kalau perusahaan itubekerja sesuai dengan aspirasi dankeinginan masyarakat, bolehlahperusahaan itu jalan terus. Kalautidak, Kami ingin agar selalu adasosialisasi atau kerjasama antaraperusahaan dan masyarakat, sesuaidengan kesepakatan semula,” katainforman itu lagi.Tokoh pemuda di KampungZenegi, yang kini kerab menjadijuru bicara dan juru runding denganpihak perusahaan mengungkapmasalah yang lain lagi. “… Tanahtanahkeramat yang dulunyadisepakati akan dilindungi mulaiterancam. Dulu disepakati bahwahutan pada radius 2 km dari tanahtanahkeramat itu tidak bolehditebang,” jelasnya. “… Begitu jugadengan hutan sagu dan hutan-hutantempat perburuan warga. Dalamkenyataannya tidak dilaksanakan.Kalkulasi ganti rugi yangditawarkan perusahansangat tidak wajar.Tanah adat suku Yeinandi Distrik Ulilin seluas40.000 hektar – yangdihargai Suku Yenan Rp.36 milyar – akhirnyadisepakati bersamasebesar Rp. 3,5 miliar saja.Jika dikalkulasi setiapsuku yang bersangkutanhanya akan memperoleh‘uang penghargaan’sebesar Rp. 50.000, - saja.


66 67Saat ini kayu ditebang hingga radius 500 meter hingga 100 metersaja. Dari segi kesepakatan dan juga adat yang berlaku tindakan itusudah melanggar. Begitu pula dengan izin penebangan kayu. Yangdizinkan sebenarnya hanya 50 – 100 meter dari jakan ke dalam.Sekarang kayu ditebang sudah sangat jauh ke dalam,” lanjut KetuaKelompok Muda Kampung Zenegi itu.Dari dokumen notulensi pertemuan antara pihak perusahaandengan pihak masyarakat yang diselenggarakan pada tanggal24 April 2008 memang terungkap dengan jelas adanya sejumlahkesepakatan-kesepakatan yang digugat warga kampung Zenegi itu.Dalam bidang sosial, misalnya, disebutkan bahwa “Tempat-tempatpelestarian adat, perjalanan leluhur, dusun sagu akan dilindungidan akan dijadikan tempat sakral. Di mana tempat-tempat inidiberikan suatu tanda khusus dan ke depan sebagai tempat yangmemungkinkan untuk dijadikan pariwisata”. Terkait dengankebutuhan akan sejumlah fasilitas umum dan sosial seperti sekolah,puskesmas, tempat-tempat peribadatan. “… juga akan direalisasikanseiring dengan perjalanan MEDCO dalam pengelolaan hasil hutanbaik di wilayah Kaliki maupun Zenegi.”Dalam bidang ekonomi, sesuai dengan potensi yang ada diKampung Zenegi (dan Kaliki), perusahaan menjanjikan programekonomi melalui usaha penyulingan minyak kayu putih. Bahkanperusahaan berjanji akan memfasilitasi pemasarannya, bahkanhingga ke (pasar) Jakarta. Dalam bidang Lingkungan, perusahaanakan mendatangkan sejumlah ahli, bekerjasama denganConservation International, sebuah lembaga konservasiinternational di mana Arifin Panigoro, pemilik Medco Group menjadisalah seorang anggota boardnya, akan melakukan penangkaransejumlah binatang yang ada di wilayah itu, dan sekaligus dijadikansebagai areal berburu yang ramah lingkungan. Dijanjikan pulabahwa populasi bianatang yang ada di darat maupun udara akandipertahankan sesuai dengan habitatnya.Dalam bagian akhir dokumen notulensi itu ditegaskan pula bahwakehadiran perusahaan adalah untuk mensejahterakan masyarakat.Dan itu semua adalah keinginan dari Bupati Kabupaten Meraukesaat itu (Johanes Gluba Gebze).Meski begitu, hingga akhir Juli 2010 lalu, tak satu punkesepakatan dan janji-janji itu yang telah direalisasikan. Padahal,akibat penebangan yang telah dilakukan PT. SIS, daya dukungkawasan itu sudah mulai menurun. “Mendapatkan daging rusadari kampung ini sudah tidak semudah dahulu lagi,” kata seorangpedagang daging rusa asal transmigran Jawa yang bermukim diIbukota Kecamatan Kurik. “Dulu kita tidak mampu membawaseluruh hasil buruan masyarakat kampung ini ke kota. Sekarang,dalam selang tiga hari, paling ada dua ekor yang dapat dibawa kekota,” lanjutnya. Seorang warga membenarkan keluhan pedagangdaging rusa tadi. “ Kami sekarang memang harus berburu lebihjauh lagi. Juga butuh waktu yang lebih lama lagi. Bisa-bisa, tidakpulang hari lagi. Itupun belum tentu dapat banyak. Rusa memangsudah makin sedikit sekarang,” jelasnya.Dampak ingkar janji – jika dapat dikatakan begitu – yang dialamiwarga kampung Zenegi boleh jadi belum seberapa jika dibandingkandengan apa yang dialami oleh warga kampung Boepe. Sebagaimanadisepakati pada tahu 2009 lalu, seluruh warga kampung Boepe akandirelokasi ke suatu tempat di luar wilayah kampung asal mereka.Sementara bekas pemukiman warga kampung Boepe berikuthutan-hutan yang ada disekitarnya akan digunakan perusahaanyang bergabung dalam Medco Group sebagai lokasi pabrik danjuga areal pembibitannya. Saat ini bekas kampung Boepe ini sudahmenjadi restricted area. Tidak sembarangan orang boleh lalulalangdi kampung itu. 85 Tapi, apa lacur, lokasi yang dijanjikanpihak Medco Group itu tak kunjung selesai urusannya. Belum adakesepakatan ganti rugi dengan pihak pemegang hak ulayat. Alhasil,warga kampung Boepe terpaksa menumpang di tanah kampungkampunglain yang ada di sekitar kampung Boepe itu. Rumahpunmereka bangun sendiri dari ‘uang ganti rugi’ yang mereka peroleh.“Saat ini kami sudah menjadi gelandangan di tanah sendiri,” ujarseorang Pendeta yang bertugas di lokasi tersebut. “Uang ganti rugisudah habis untuk bangun rumah dan makan selama ini. Kebunsudah tidak punya lagi,” katanya dengan tatapan iba dalam satukesempatan lokakarya.


68Memperhatikan perkembangan yang tidak sehat itu saat inimasyarakat di beberapa kampung mulai mencermati secarasungguh-sungguh ke mana tujuan perusahaan ini. “Sebagaiorang tua, saya punya perhatian khusus,’ kata Elias Gebze KepalaMarga Gebze di Kampung Zenegi. “Saya ini orang adat. Janganmempermainkan saya. (Jika perilaku perusahaan tidak berubah)suatu saat perusahaan itu akan saya blok,” tandasnya.Selain dari ‘aksi tipu-tipu’ perusahaan juga tidak segan-seganmenggunakan cara-cara kekerasan. Salah seorang warga kampungZenegi, pada Agustus 2010 lalu dipanggil ke kantor PT. SIS.Pemuda 22 tahun yang sehari-hari adalah pengemudi alat beratPT SIS tersebut dituding telah menimbulkan kesulitan operasionalbagi perusahaan. Padahal menurut Emanuel Ndiken, pemudaitu, dia hanya meminta gajinya dibayar tepat waktu dan disertaikuitansi pembayaran gaji, hal yang tidak pernah dilakukan olehadministrasi PT SIS. Dan karena pihak administrasi selalu mencaricarialasan untuk tidak memenuhi permintaannya, dia marah danmembentak-bentak pihak administrasi PT SIS. Anehnya, ketikadia dipanggil, satuan polisi yang menjaga keamanan di lokasiperusahaan sedang kembali ke Merauke dan sebagai gantinyaperusahaan mendatangkan beberapa orang tentara. Tentara inilahyang kemudian memukuli Emanuel Ndiken sampai kehilangankesadaran di halaman perusahaan. Sampai dengan bulan Novemberketika kunjungan lapangan untuk klarifikasi sejumlah informasioleh Tim Peneliti, Emanuel masih merasakan gangguan penglihatan,pendengaran, dan konsentrasi.Menurut penuturannya ketikaAkibat Pemukulan olehdipukul ia sampai mengeluarkantentara di halamandarah dari hidung dan telinga danperusahaan, Emanuelmasih merasakanmatanya. Gangguan kesehatan dangangguan penglihatan, konsentrasi yang dialami Emanuelpendengaran, dan dibenarkan juga oleh bidan yangkonsentrasi. Ia dipukul bertugas di Pustu (Puskesmassampai mengeluarkan Pembantu) di Zenegi.darah dari hidung dantelinga dan matanya.“Dalam kenyataannyaperusahaan berjalan sendiri.Tidak ada komunikasi.Bagaimana kita akan tahuperusahaan maunya apa danmasyarakat maunya ke mana,”


Bagian KelimaAnalisis Prakiraan Dampak ProgramMIFEELokasi Pembibitan HTI PT.Medco di KalikiSecara komponensial MIFEE diperkirakan akan menimbulkansejumlah dampak negatif. Baik pada tatanan sosial dan budaya,demografi, sosial ekonomi dan juga lingkungan setempat.Sebagaimana yang digambarkan dalam Diagram Venn berikut,berbagai kelompok dampak negatif itu juga saling memperburukmasing-masing komponen kehidupan yang ada di wilayah tapakproyek.Setidaknya, berangkat dari keterbatasan daya dukung lokaldihadapan cara-cara berproduksi yang dibawa oleh MIFEE,kehadiran MIFEE akan serta-merta, pertama mengubah tatananpenggunaan lahan di wilayah yang bersangkutan yang akanberhubungan langsung dengan masalah-masalah ekonomi warga– termasuk masalah ketahanan dan kedaulatan pangan -- danlingkungan setempat. Seiring dengan perkembangan investasi


72 73di wilayah kerja MIFEE ini, memang, dilaporkan pula bahwa diKabupaten Merauke juga tengah terjadi upaya eksploitasi hutansecara besar-besaran. 86Kedua, kehadiran proyek secara langsung akan mempengaruhitatatan demografi setempat. Hal ini akan ditandai oleh hadirnyatenaga kerja pendatang dalam jumlah yang luar biasa besar jikadibandingkan dengan jumlah penduduk pada situasi rona awalsebelum proyek MIFEE berlangsung. Hal ini dimungkinkankarena warga setempat tidak mampu masuk ke dalam proyek. Baikkarena alasan yang bersifat kuantitatif, dimana tidak sebandingnyakebutuhan tenaga kerja untuk proyek terhadap jumlah penduduksetempat yang sedikit. Maupun karena alasan-alasan yang bersifatkualitatif, yakni tidak sesuainya kemampuan penduduk setempatdengan standard dan spesifikasi kerja yang dibutuhkan proyek.Perubahan pada tatanan lingkungan, ekonomi dan demografi,selanjutnya diperkirakan akan segera pula berpengaruh kepadaaspek tatanan sosial dan budaya kelompok-kelompok masyarakatdi tapak proyek. Pada masa-masa berikutnya, perubahan padatatanan sosial dan budaya ini akan bertukar tempat sebagai faktoryang akan memperburuk situasi pada tiga komponen terpengaruhsebelumnya. Siklus yang demikian, pada masa-masa berikutnya,akan menjadi lingkaran setan yang akan terus merugikan kelompokkelompokmasyarakat, yaitu orang Papua asli yang ada di lokasiproyek MIFEE.Secara lebih rinci,masalah-masalah yangberkaitan dengan tatanansosial dan budaya ini adalahmenyangkut permasalahanorientasi sistem nilai, etoskerja, daya adaptasi orang asliPapua yang bermuara padadisorientasi sistem nilai danmasalah pemenuhan hak-hakdasar. Masalah-masalah yangTatananLingkunganTatanan Sosialdan DemografiTatananEkonomiTatananDemografimenonjol dalam hal tatanan ekonomi menyangkut permasalahanyang menyangkut perubahan struktur agraria yang bermuara padaperubahan kegiatan ekonomi utama. Perubahan pola kegiatanekonomi utama ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi dayatahan dan kedaulatan pangan masyarakat yang bersangkutan.Pemenuhan hak atas pangan pun akan terganggu. Dengan kata laintidak akan ada ketahanan pangan bagi orang Papua di lokasi-lokasiproyek MIFEE.Perubahan mata pencaharian hidup dari kegiatan ekonomi yangotonom menjadi sekedar buruh dari sebuah sektor usaha yangdikendali oleh pihak lain akan membuat kehidupan masyarakatsetempat yang tadinya mandiri menjadi tergantung pada pihaklain. Proletarisasi masyarakat adat dan petani setempat pun tidakbisa dihindari. Demikian pula, ‘depeasantisation’, suatu prosesmemudarnya atau hilangnya kegiatan ekonomi tani yang mandirimenjadi sekedar buruh, pada sektor usaha yang bersifat kapitalistisdi wilayah itu pun dimulai. Diiringi oleh rendahnya daya serap SDMorang asli Papua ke dalam proyek akan memperbesar marginalisasiekonomi warga setempat.Pada aspek tatanan demografi, karena rendahnya daya serapwarga setempat ke dalam proyek, migrasi kaum pendatang dalamjumlah besar-besaran akan tidak terhindarkan. Tatanan demografiakan mengalami transformasi secara radikal. Parahnya, kaumpendatang akan segera menjadi kelompok yang dominan. Baik darisusut jumlah maupun dalam pengaruh. Persepsi orang asli Papuaterhadap kaum pendatang sesama warga negara Indonesia yangmemang sudah sejak lama berada dalam kuadran negatif akan terusmemburuk menjadi lebih negatif. Derajat kerawanan sosial punterus meningkat.Pada tatanan lingkungan, alih fungsi lahan tentu akan segeraberpengaruh pada perubahan permukaan lahan, perubahan hidroorologi,perubahan vegetasi dan seterusnya. Dalam keadaan tertentuperubahan lingkungan ini juga akan memperdalam persoalanpersolanekonomi serta sosial dan budaya yang dihadapi masyarakatsetempat. Misalnya, penyempitan lahan akan mengurangi luasan


74 75ladang perburuan dan sekaligus mengurangi habitat berbagaihewan buruan. Akibatnya asupan protein masyarakat pun akanterus menurun. Penggantian mekanisme asupan protein melaluijalur jual-beli di pasar belum tentu terjadi karena masyarakatbelum tentu mampu menghasilkan uang tunai yang cukup melaluiketerlibatannya dalam sistem ekonomi ala MIFEE. Penggunaanlahan dalam jumlah besar oleh proyek MIFEE juga akanmemperkecil supply sagu sebagai bahan makan pokok penduduk.Ketergantungan pada beras pun akan membesar. Padahal,pengadaan beras masih sangat tergantung kepada mekanismepasar. Beras hasil MIFEE pun akan dilempar ke pasar. Berbedadengan sagu, posisi tawar masyarakat dalam hal pengadaan berasini sangat lemah, sebagaimana ditunjukkan Sajogyo (1993). 87Persoalan Sosial dan budayaMerujuk kepada klasifikasi berdasarkan kepada tingkatkepadatan penduduk sebagaimana dikemukakan Koentjaraningrat(1994), wilayah Kabupaten Merauke termasuk ke dalam wilayahdengan Penduduk Tipe 2. Artinya, penduduk di wilayah ini banyakyang tinggal di hulu-hulu sungai besar dan kecil yang terdapat dibagian Selatan Papua. Mata pencarian utama adalah meramu sagudan berburu. Mereka juga kadang-kadang mencari ikan di sungai.Mereka tidak tahu berkebun dan tidak hidup menetap di desadesa.Penduduk Tipe 2 ini hidup dalam kelompok-kelompok yangberpindah-pindah walaupun mereka sebenarnya mereka memilikitempat-tempat yang tetap di dalam hutan tempat mereka berkemah.Mereka juga memiliki tempat-tempat yang dianggap keramat.Tempat-tempat keramat ini mereka anggap sebagai tempat asalusulnenek-moyang mereka. 88Berdasarkan sistem klasifikasi yang lain, yakni klasifikasi primerberdasarkan beberapa unsur kebudayaan yang tampak mencolok,para ahli membagi wilayah Papua itu ke dalam 23 ‘daerahkebudayaan’ (culture area). Sebelum perang, klasifikasi ini dipakaioleh Pemerintah Belanda untuk membagi wilayah jajahannya ituke dalam 23 wilayah administratif yang disebut onderafdeling,lebih kecil/rendah dari kabupatensekarang, atau lebih besar/tinggidari kecamatan sekarang. Menurutkategori ini Merauke merupakansalah satu dari 23 daerah kebudayaanitu. 89Dari segi kepemimpinan, menurutklasifikasi yang dikemukakan olehMansoben (1994), kepemimpinan diSebelum terjadipemekaran diKabupaten Merauke,terdapat ‘wilayah hidup’4 (tiga) ‘suku besar’lainnya, yakni:Mappi, Asmat, Muyudan MandoboMerauke tergolong ke dalam sistem kepemimpinan pria berwibawa.Ciri umum dari masyarakat dengan sistem kepemimpinan priaberwibawa adalah kedudukan kepemimpinan diperoleh melaluiupaya pencapaian. Sumber kekuasaan dalam tipe kepemimpinanini adalah kemampuan pribadi seseorang yang terwujud nyatadalam keberhasilan ekonomi (kaya), kepandaian berdiplomasidan berpidato, keberanian memimpin perang, memiliki tubuhyang besar dan tegap (kekuatan fisik yang besar), serta memilikisifat murah hati. Ciri lain dari tipe kepemimpinan ini ialah bahwaseluruh kekuasaan dijalankan oleh pemimpin sejati itu secaraotonomi tunggal. 90Dilihat dari klasifikasi pengelompokkan kelompok etnik, wilayahKabupaten Merauke sekarang ini dapatlah dikatakan merupakanlebensraum (ruang kehidupan) ‘suku besar’ <strong>Malind</strong> Anim. 91 Sebelumterjadi pemekaran di Kabupaten Merauke, di Kabupaten Meraukejuga terdapat ‘wilayah hidup’ 4 (tiga) ‘suku besar’ lainnya, yakni:Mappi, Asmat, Muyu dan Mandobo. ‘Suku besar’ Mappi sekarangterdapat di Kabupaten Mappi, dan Asmat di Kabupaten Asmat.Sementara ‘suku besar’ Muyu dan Mandobo terdapat di wilayahKabupaten Boven Digul. Saat ini, karena sesautu dan lain hal,kelompok-kelompok orang Muyu (dan Mandobo) juga menuntutpemekaran Kabupaten Boven Digul, dengan membentuk sebuahkabupaten baru lainnya, yakni Kabupaten Muyu (dan Mandobo). 92Meski begitu, sebagaimana terungkap dalam beberapa lokakaryayang diselenggarakan oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian(SKP) Keuskupan Agung Merauke, saat ini di Kabupaten Merauke


76 77juga masih terdapat tanah-tanah ulayat atau tanah adat beberapamarga atau suku dari ‘suku besar’ non <strong>Malind</strong> Anim. Hal ini terjadisebagai hasil berbagai proses sosial dan politik yang melibatkanmasing-masing ‘suku besar’ pada masa lalu, seperti peperanganantar suku misalnya. Meskipun tanah-tanah ulayat non-<strong>Malind</strong>Anim itu dianggap berasal dari ‘suku besar’ <strong>Malind</strong> Anim, orang<strong>Malind</strong> Anim sendiri tidak berhak lagi atas bidang tanah dimaksud. 93Orang <strong>Malind</strong> pada umumnya masih hidup dalam tradisimasyarakat berburu dan meramu. 94 Menurut Koentjaraningrat(1970), moda produksi berburu dan meramu ini adalah suatu carapenopang kehidupan yang telah mulai dikenal sejak 110 abad SM.Sementara itu, mata pencarian bertani padi di sawah beririgasibaru dikenal pada abad 14. Dengan kata lain, antara kedua modaproduksi itu, terdapat rentang waktu sekitar 125 abad lamanya. 95Data dimaksud menunjukkan bahwa perlu waktu sepanjangsekitar 125 abad bagi evolusi dari moda produksi berburu danmeramu menjadi moda produksi bertani padi sawah beririgasiitu. Adanya rentang waktu evolusi yang sangat panjang itumengindikasikan adanya kerumitan dalam proses evolusi dari modaproduksi berburu dan meramu menjadi pertanian padi beririgasiitu. Meminjam kerangka pikir berkaitan dengan penyerapansuatu teknologi (Technology Receptivity) yang dikemukakanThorne Steve (2007), perbedaan antara kedua moda produksi itutidak saja menyangkut jenis teknologinya (aspek hardware darimoda produksi yang bersangkutan), melainkan juga hal-hal yangmenyangkut aspek software dan orgware-nya. 96(pembangunan) “… bukan hanya dalam wujudperancangan tindakan-tindakan langsung untukmenyelesaikan sasaran-sasaran yang dapat sajaditetapkan terlebih dahulu…” melainkan juga soalpersaingan antara kegiatan baru dengan yang sudahada; dari segi waktu dan sumberdaya; dari segiorganisasi; dan (yang terpenting) persaingan antargagasan._________ Vel (2010Maka benarlah apa yang dikemukakan Vel (2010), bahwaselalu terdapat sejumlah ketegangan dalam proses intervesi cq.pembangunan. Sebab, jelas Vel, (pembangunan) “… bukan hanyadalam wujud perancangan tindakan-tindakan langsung untukmenyelesaikan sasaran-sasaran yang dapat saja ditetapkan terlebihdahulu…” melainkan juga soal persaingan antara kegiatan barudengan yang sudah ada; dari segi waktu dan sumberdaya; darisegi organisasi; dan (yang terpenting) persaingan antar gagasan.Oleh sebab itu, merancang program pembangunan harus dimulaidari ekonomi tradisional, sebagaimana yang dapat dikenali dariwawasan pengetahuan dan praktik-praktik kebiasaan. Meskipunekonomi tradisional tidak selalu selaras dengan tujuan/kegiatanpembangunan, tetapi ia mencerminkan kenyataan ekonomisebagaimana dipahami oleh penduduk setempat. 97Persepsi lokal ini merupakan landasan bagi pengkajian danpengembangan gagasan dan kegiatan kegiatan. Jadi, artinya,bukan menerima keadaan ekonomi ini apa adanya. Sebaliknya,itu diperlukan agar ada suatu pemahaman yang mendalam gunamenerjemahkan rumusan perubahan yang dicanangkan ke dalamgagasan lokal, mengidentifikasi pembatasan-pembatasan agarmampu merancang alternatif-alternatif yang dapat diterima.Dalam konteks ekonomi Orang Sumba yang bermukim di KampungLawonda, hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi lokal yangmemainkan peran penting dalam memajukan ataupun menghambatsuatu intervensi pembangunan adalah hal-hal yang menyangkutmoralitas yang ada dalam sebuah pertukaran, perkembangansejarah yang berdampak terhadap kehidupan perekonomian,gagasan tentang kerja, organisasi tradisional, pembagian tugasdan pemahaman tentang penguasaan tanah dan pertukaran hakpenggunaan tanah. 98 Dengan kata lain aspek moralitas adalah faktoryang penting dalam transaksi-transaksi di tengah masyarakat yangberimplikasi langsung pada perkembangan pembangunan yangdilakukan oleh sebuah pihak. Hal ini dapat dibuktikan denganmelihat betapa sektor bisnis sangat menekankan pentingnya faktor“trust’.


78 79Hanya dengan perspektif yang demikianlah kita baru dapatmemahami mengapa program-program pembangunan dariatas yang diselenggarakan di Papua selama ini, seperti programtransmigrasi, industri pertambangan, perkebunan kelapa sawit danbahkan pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan,dapat dikatakan hampir tidak ada yang berhasil meningkatkankesejahteraan Orang Asli Papua secara signifikan. 99Studi Karafir (1984) tentang program transmigrasi di Warmare,Manokwari, misalnya, menunjukkan bahwa tingkat penerimaantransmigran lebih baik dari pada penduduk setempat. Ketikapenelitian yang dilakukan Karafir berlangsung, sekitar 10 tahun dariwaktu pelaksanaan program, transmigran sudah bisa membangunrumah beton, sementara penduduk asli tidak, meskipun keduaduanyasama-sama mengalami penurunan produksi akibat tingkatkesuburan tanah yang terus menurun, sementara pengeluaranmakin tinggi dari tahun ke tahun dan nilai tukar produk petani terusmenurun. Gap ekonomi antara kedua kelompok makin besar daritahun ke tahun. Ditemukan pula kenyataan bahwa belum ada buktiyang jelas bagaimana hubungan tingkat pendidikan terhadap tingkatperkembangan masyarakat. Dari segi perbaikan taraf hidup, tidakada interaksi positif antara transmigrasi dan penduduk setempat.Asumsi yang mengatakan bahwa kehadiran kaum transmigranyang memiliki pengalaman di dunia pertanian dapat meningkatkanketrampilan penduduk asli harus dipertanyakan kebenarannya. Olehsebab itu, Karafir mengusulkan bahwa transmigrasi sebagai proyekpemupukan persatuan nasional dan peningkatan pemerataan tarafhidup masyarakat harus diformulasikan secara lebih jauh. Perludiciptakan mekanisme lain yang memungkinkan interaksi inimenjadi lebih positif. 100Gambaran umum capaian program transmigasi sebagaimanayang diulas Karafir di atas juga dapat kita saksikan di lokasi programtransmigrasi terkemuka lainnya di Tanah Papua, yakni di KawasanKurik dan Muting, di Kabupaten Merauke. Dalam kunjunganlapangan yang singkat di penghujung Juli 2010, Tim Penelitimenyaksikan para transmigran yang dulu mulai dimukimkansekitar tahun 1980-an dan awal 1990-an saat ini tidak ada lagi yangtinggal di rumah-rumah pembagian dari Depatemen Transmigrasidulu. Sekarang mereka telah membangun rumah-rumah beton barusebagai penggantinya. Sebaliknya peserta program ‘transmigrasilokal’ -- alias penduduk asli setempat -- masih saja tetap tinggal dirumah pembagiannya dulu. Malah kondisi rumah tersebut sudahjauh lebih buruk dari yang pernah saya saksikan sekitar 10 tahunlalu. Hampir tidak ada rumah baru yang dibangun sendiri olehpenduduk asli ini. Beberapa rumah malah sudah tidak lengkaplagi pintu atau jendelanya. Perabotan rumah tangga pun terlihatsangat minim. Menurut pengakuan mereka, mereka memang tidaksepenuhnya hidup di ‘desa baru’ mereka itu. Mereka masih seringkembali ke desa lama, di mana hutan-hutan sagu mereka beradaataupun tinggal di hutan untuk jangka waktu tertentu, selamamereka melakukan perburuan. Mereka memang belum turun kesawah, meski mereka menerima juga jatah lahan sawah itu.Nyatalah bahwa kenyataan latar asal-usul sebagai masyarakatberburu dan meramu itu sangatlah besar pengaruhnya bagi dapatatau tidaknya penduduk setempat memanfaatkan kesempatanekonomi baru yang terbuka itu. Jika dengan moda produksi alaprogram transmigrasi daya adaptasi penduduk asli itu begitu rendah,bagaimana pula nanti dengan moda produksi yang dikembangkandalam program MIFEE yang memiliki hardware, software, danorgware yang jauh lebih canggih?.Berita yang dilansir Harian KOMPAS pada Agustus 2010 barumerupakan indikasi awal gagalnya penduduk beradaptasi denganMIFEE. Tingkat pendidikan yang rata-rata hanya tamat SekolahDasar membuat penduduk setempat kalah bersaing dengan pencarikerja dari luar. Marius Moiwend, warga kampung Sanggase, DistrikOkaba, dan beberapa rekannya ditolak bekerja PT. MedcopapuaIndustri Lestari karena tidak memiliki ijazah SMP. Padahal Mariushanya ingin menjadi satpam di perusahaan itu. 101Ketersingkiran Orang Papua Asli dalam arus pembangunantentu saja akan kembali mempertegas jarak sosial antara orangPapua asli dan non orang Papua yang ada di lokasi-lokasi yangbersangkutan. Perasaan rendah diri dan makin bercokolnya


80 81sejumlah sikap dan mentalitas (atau lebih tepatnya stigmatisasi)negatif semacam ‘malas, suka mabuk, dan tidak disiplin’, dapat sajamakin berkembang dan terus meluas. Semuanya itu, pada akhirnya,akan bermuara pada bermasalahnya upaya pemenuhan hak-hakdasar penduduk asli itu sendiri.Hak-hak dasar dimaksud bukan hanya mencakup yang bersifatfisik dan biologis melainkan juga bersifat spritual. Situasinyaakan makin memburuk tempat-tempat keramat Orang <strong>Malind</strong>akan tergusur oleh keberadaan proyek. Betapapun tempat-tempatkeramat itu adalah pelabuhan spiritualitas pribadi maupunkelompok yang penting. Berdasarkan Peta Tempat Penting Suku<strong>Malind</strong> , yang dibuat oleh WWF Region Sahul Papua, diketahuibahwa aktifitas perusahaan potensial menggusur situs-situs pentingsuku <strong>Malind</strong> di Merauke. 102 Betapapun situs-situs ini adalahtempat-tempat yang mempunyai nilai sejarah, religius, sekaligusmempunyai fungsi sosial dan perlindungan lingkungan. Perusakanterhadap situs-situs yang dianggap keramat dan sakral itu akanberpengaruh pada kesimbangan sosial dan spiritualitas pribadipribadidalam komunitas-komunitas yang bersangkutan.Revolusi DemografiPerbedaan mode of production yang dikenal dan dikembangkandalam kehidupan sehari-hari penduduk asli daerah di mana proyekproyekdalam program MIFEE akan beroperasi di satu sisi danmode of production yang dibawa dan dikembangkan oleh proyekproyekitu sendiri, seperti telah disinggung di atas, telah membuatpenduduk asli itu tidak terserap – untuk tidak mengatakannyatersingkir – dalam proyek-proyek bagian MIFEE itu.Padahal, dalam konteks yang lain, jumlah tenaga kerja yangdibutuhkan secara total memang tidak sedikit. Menurut sebuahsumber, agar mega proyek itu dapat bekerja sebagaimana mestinya,untuk setiap hektar diperkirakan membutuhkan sekitar 4 tenagakerja. 103 Itu berarti, secara total, dibutuhkan sekitar 4,8 jutatenaga kerja. Ini adalah jumlah yang sangat luar biasa besar jikadibandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Merauke saat


82 83ini (data per Mei 2010 dari Dinas Sosial Politik dan KependudukanKabupaten Merauke) yang hanya sekitar 233.059 jiwa saja.Setengah dari total jumlah penduduk Kabupaten Merauke sekarangadalah kaum pendatang yang masuk melalui program transmigrasimaupun migrasi spontan. Maka, diperkirakan, dalam jangka waktuyang tidak terlalu lama, terlebih bila MIFEE terus dilaksanakan,yakni sekitar 10 sampai 20 tahun mendatang, jumlah pendudukasli hanya akan sekitar 5% saja dari jumlah penduduk KabupatenMerauke secara keseluruhan.Situasi ini berlipat-lipat parahnya jika dibandingkan keadaansaat ini yang sejatinya sudah dinilai sangat genting juga. Dalambagian terdahulu telah disingung bahwa secara kuantitatif, diPapua secara umum telah terjadi revolusi demografis yang radikalyang mengakibatkan dislokasi dan displacement orang asli Papua.Pada tahun 1959 persentase pendatang masih kurang dari 2%.Setelah ‘bergabung’ dengan NKRI posisi ini meningkat menjadi4% pada tahun 1971. Pada tahun 2000, sekitar 30 tahun setelahPapua dibangun dalam kerangka NKRI, penduduk pendatang telahmencapai angka 35% dari populasi. Menurut perkiraan, pada tahun2011 akan mencapai angka 53,5%. 104Persoalan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja untuk berbagaiproyek pembangunan memang sudah menjadi persoalan yangdilematis sejak lama. Terkait soal ini Koentjaraningrat (1994c)pernah menulis: “… Di Irian Jaya (sekarang Papua, pen.) halitu ternyata merupakan aspek yang lebih kompleks daripadakeadaannya di daerah-daerah lain di Indonesia. Pertama-tamamasalah yang dihadapi adalah kurangnya jumlah penduduk,tidak hanya untuk tenaga kerja yang terampil, melainkan jugatenaga kerja kasar untuk tingkat-tingkat terendah sekalipun.Mendatangkan orang-orang asli dari Irian Jaya dari daerah-daerahlain, seperti Orang Muyu, Ngalum, atau Sentani untuk perkebunandi Arso, dan Orang Biak atau Yapen untuk perkebunan di Prafi,yang memang telah dilaksanakan, ternyata belum mencukupikebutuhan akan tenaga kerja. Sebaliknya, masalah-masalah lainakan muncul apabila didatangkan tenaga kerja tambahan dari luarIrian Jaya, yaitu penduduk asli akan merasa dirinya terdesak, karenabagaimanapun, atas tenaga kerja pendatang lebih mudah dilakukanseleksi dan karena itu mereka pada umumnya lebih terdidik danterampil daripada tenaga kerja penduduk asli. Karena itu perludiadakan sekolah-sekolah kejuruan dan pendidikan ketrampilan didaerah sekitar perkebunan, terutama bagi para pemuda pendudukasli”. 105Persoalan ‘revolusi demografi’ bisa segera menghadang di depanmata, sesuatu yang pernah dikuatirkan oleh Uskup Agung Meraukepada suatu kesempatan lokakarya bersama masyarakat lokal dipenghujung tahun 2009 lalu. Maka, penduduk asli setempat dimasa depan tidak saja akan menjadi minoritas dalam jumlah, tetapijuga akan menjadi minoritas dalam arti pengaruh, baik dalam halbudaya, ekonomi, dan juga politik. Tanpa kebijakan afirmatif, sepertikebijakan soal “Putra Daerah’ sebagai calon Kepala Daerah, dengansistem politik yang ada sekarang, khususnya yang menyangkutsistem pemilihan langsung dalam pemilihan kepala daerah, calondari kalangan penduduk asli akan segera kalah oleh calon-calondari kelompok pendatang. Kembali, akan sulit menampik tudahanadanya slow motion genocide itu. 106Masalah ‘revolusi demografi’ ini memang harusdicermati secara sungguh-sungguh. Betapapunhubungan antara Orang Papua Asli dengan parapendatang yang sesama warga Negara RepublikIndonesia, bolehlah dikatakan kurang harmonis.Terutama kepada mereka-mereka, penduduk nonpapuayang berada disektor formal (birokrasi) danjuga sektor ekonomi. Tanpa riset mendalampunorang akan segera mahfum bahwa sektor ekonomiini hampir seluruhnya dikuasai oleh pendudukpendatang. Sedikit sekali yang tercecer bagi OrangPapua. Kecurigaan dan ketidakpercayaan antarakedua pihak itu berakar pada sejarah yang panjang.Pendekatan represif yang dilakukan selamabeberapa dekade terakhir juga memperburuk situasi.


84 85Apa yang pernah ditekankan oleh Koentjaraningrat& Ajamiseba (1994) perlu direnungkan secarasungguh-sungguh. Begini tulisnya: “… Perasaan tidakpuas penduduk asli Irian Jaya terhadap PemerintahIndonesia dan orang-orang Indonesia yang berasaldari propinsi-propinsi lain, mulai tampak tidak lamasetelah Irian Jaya menjadi bagian dari Indonesia,yang agaknya diakibatkan oleh kekecewaan merekaterhadap perilaku ketamakan para pendatangdan banyak oknum yang ditugaskan didaerah itu.… para pendatang tersebut dalam kurun waktuantara tahun 1963 dan 1969 telah mempergunakanperbedaan nilai rupiah Indonesia untuk membelibarang-barang yang tersedia di Irian Jaya untukdijual di daerah lain dengan keuntungan yangsangat besar”. 107Persolan EkonomiBetapapun, MIFEE adalah sebuah mega proyek di sektoragroindustri yang padat modal, padat teknologi, padat karya,dan sekaligus juga lapar lahan. Teknologi yang akan diterapkan,konon, terhitung teknologi mutakhir yang canggih. Termasukteknologi rekayasa biologi, dan konon akan zero waste, karenaakan menerapkan sistem integrasi tanaman ternak perikanan danperkebunan bebas limbah yang disingkat SITTPP- BEL itu. 108Dari segi kebutuhan lahan, lahan yang dibutuhkan juga terhitungsangat luas, yakni sekitar 1,2 juta ha (Pemerintah Daerah KabupatenMerauke 2010). Bahkan ada pula yang mengatakannya hingga 1,6ha. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Promosi InvestasiDaerah Kabupaten Merauke, pada Mei 2010, luasan lahan yangtelah memiliki izin prinsip dari 36 perusahaan yang tercatat sudahmencapai 2 juta ha lebih! Luasan ini dua kali lipat luasan ProyekLahan Gambut (PLG) atau pupuler juga dengan sebutan proyekSawah Sejuta Hektar, yang telah gagal dan merugikan masyarakatadat di Kapuas, Kalimantan Tengah. 109 Jumlah itu setara sekitar50% dari luasan kawasan budidaya potensial yang ada di Meraukeatau sekitar 2/3 dari luasan lahan basah yang tersedia di wilayahyang bersangkutan. Sebagian besar juga merupakan lahan gambutyang perlu dikelola secara hati-hati dan bahkan harus dikonservasikarena jika rusak – terbakar misalnya -- akan sulit memulihkannyakembali.Merauke dipilih sebagai tempat yang dianggap paling sesuaiuntuk eksperimen ke dua pertanian skala luas, setelah percobaanyang gagal di Kalimantan Tengah tadi. Kondisi biofisik alam yangdatar dan ‘kosong’, bukan merupakan kawasan hutan bertegakanpohon, mengesankan Merauke sebagai lahan menganggur yangbelum termanfaatkan. Oleh sebab itu kebutuhan lahan seluas 1,2juta ha diperkirakan akan dengan mudah dicukupi dari kawasanHutan Produksi Konversi (HPK, sekitar 1,4 juta ha), Hutan ProduksiTerbatas (HPT, sekitar 860.000 ha), dan Areal Peruntukan Lain(APL, sekitar 200.000 ha). 110Sajogyo (1993), sebagaimana dikemukakan Savitri (210), 111menganalisa bahwa proses pembangunan pertanian danindustrialisasi semasa Orde Baru dan skema transformasisosial menuju modernisasi, komersialisasi pertanianberorientasi ekspor, dan pemenuhan stok beras, telahmenghasilkan marjinalisasi petani kecil dan petani tanpatanah lebih dalam lagi. Golongan petani gurem ini tidakpernah mengalami surplus. Ironiknya malah menjadipembeli produk pangan yang dihasilkannya sendiri.Kepemilikan lahan pun mengalami penyempitan dansebagian bahkan kehilangan lahan sama sekali. Lebihjauh Sajogyo berpandangan bahwa top down sosialPetani yang tersingkir daritanahnya dan terlempar daripersaingan usaha pertanianterdampar di sektor informal diperkotaan, menurut merupakansektor penanda pemiskinan.________Wiradi (2010)


86 87engineering mulai dari pembentukan landasan legal, justifikasiilmiah teknik budidaya pertanian untuk memacu produktivitas,format ulang kelembagaan sosial pedesaan untuk menciptakanlembaga sosial ekonomi yang monolitik, pemberian bantuan kreditdan skema kerjasama plasma-inti, bahkan massa yang apolitis, padaakhirnya hanya menguntungkan perusahaan perkebunan, petanimenengah dan lapisan atas pemilik tanah serta elit politik. Petaniyang tersingkir dari tanahnya dan terlempar dari persaingan usahapertanian terdampar di sektor informal di perkotaan, yang menurutWiradi (2010) merupakan sektor penanda pemiskinan. Kondisi inidisebut Sajogyo sebagai ‘Modernisation without Development’. 112Dengan kata lain, MIFEE adalah wujud dari model modernisasisektor pertanian dalam wujudnya yang paling mutakhir namuntanpa esensi pembangunan. Dengan cara-cara produksi yang akandiusungnya dapat dipastikan MIFEE juga akan membawa petanidan dalam kasus MIFEE ini adalah masyarakat adat yang masihmengembangkan tradisi berburu dan meramu Orang Asli Papua,masuk ke dalam lingkaran setan yang dikemukakan Sajogyo diatas. Bahkan, dapat dipastikan pula, MIFEE akan menghadirkandampak negatif yang jauh lebih dahsyat dari yang pernah terjadisebelumnya, sebagaimana yang telah dialami oleh beberapakelompok masyarakat adat di Papua yang berada di sekitar proyekproyek‘modernisasi’ lainnya, semacam kegiatan pertambangan,transmigrasi, penebangan hutan, dan proyek-proyek sejenis lainnya.Kritik Sajogyo atas disain pembangunan pertanian danindustrialiasasi Orde Baru, lanjut Savitri (2010), berintikan padasatu hal fundamental, yakni: tidak hadirnya pembangunan manusia(human development). Ketidakhadiran itu telah menyebabkankaum miskin pedesaan sekedar pindah tempat untuk menjadimiskin di perkotaan. Koreksinya pun hanya satu: membangundengan solidaritas kemanusiaan (human solidarity). Pertumbuhanekonomi bukan ukuran satu-satunya dan paling tepat untukpembebasan manusia dari pemiskinan kemampuannya untukmenjadi manusia seutuhnya. Maka, modernisasi pertanian cq.agroindustri, dengan jumlah penduduk Merauke yang hanyasekitar 200 ribu lebih jiwa, dengan tingkat pendidikan yangtidak memenuhi kualifikasi operator usaha pertanian berbasismekanisasi, dan bukan pula petani melainkan kelompok komunitasyang hidup dari sumberdaya hutan, maka disain MIFEE yangmenekankan pengusahaan pertanian secara komersial oleh tenagaterdidik berkeahlian dan introduksi komoditi baru, adalah versimutakhir dari ‘modernisation without development’, yakni jalanmenuju ‘penggureman’ orang Papua. 113Menurut Arsyad (2010), di berbagai Negara, dengan nama yangberbeda, sistem pertanian skala luas selalu menyisakan problematikabagi petani Negara setempat. Problem paling mengemuka,seperti yang telah disebut dalam bagian terdahulu, adalah gejalaperampasan tanah secara legal. Jika tidak dikendalikan, maka foodestate menjadi mekanisme perampas tanah yang paling ampuhdan akan mengakhiri model pertanian skala kecil dan kehidupanmasyarakat pedesaan. Perampasan tanah ini tidak hanya akanmenimbulkan konflik agraria yang makin intensif, tetapi dalamjangka panjang sesungguhnya yang bakal terjadi adalah prosespembunuhan petani dan dunia pedesaan secara sistematis. 114Disain MIFEE yang menekankan pengusahaan pertanian secarakomersial oleh tenaga terdidikberkeahlian dan introduksi komoditibaru, adalah versi mutakhir dari ‘modernisation withoutdevelopment’, yakni jalanmenuju ‘penggureman’ orang Papua


88 89Demikian pula, sebagaimana yang dikemukakan KIARA (2010), 115MIFEE juga mempromosikan agribisnis perikanan budidayamaupun tangkapan yang didorong melalui minapolitan. Kebijakanini seolah mengindikasikan Indonesia bermasalah dengan produksisector perikanan. Padahal Indonesia tidak memiliki persoalantersebut. Pasokan ikan untuk kebutuhan konsumsi sudah dipenuhioleh nelayan tradisional. Nelayan-nelayan dengan tonase kapal dibawah 5 GT menyumbang rata-rata 92% dari total tangkapan ikan,atau lebih dari 3 juta ton. Sementara kapal-kapal dengan tonase diatas 5GT menyumbang kurang dari 60% dari total tangkapan ikan,atau sekitar 1,2 juta ton. Menteri Kelautan dan Perikanan kemudianmenyebutkan bahwa minapolitan memang berorientasi pasar diluar kebutuhan domestik. Sepertinya pemerintah memang memilihindustrialisasi perikanan secara utuh melalui penyeragamankomoditas. Kebijakan serupa pernah dipraktikkan dan gagal disektor pertanian, yakni Revolusi Hijau. 116Lalu, bagaimana bentuk dampak pada sektor ekonomi di tataranlokal? Pertama-tama, tentu saja, kehadiran MIFEE akan mengubahstruktur penguasaan dan peruntukan lahan. Sebagian besarlahan akan berpindah tangan dari penduduk setempat ke pihakperusahaan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, berdasarkandata yang diperoleh dari Badan Promosi Investasi Daerah KabupatenMerauke, pada Mei 2010, luasan lahan yang telah memiliki izinprinsip dari 36 perusahaan yang tercatat sudah mencapai 2 juta halebih! Kemudian, pada saatnya nanti, juga akan berpindah kepadapara pendatang yang masuk seiring dengan pertumbuhan programMIFEE, sebagaimana yang terjadi di lokasi-lokasi transmigrasi disekitar Manokwari dan juga Merauke. 117Hal yang jauh lebih menyedihkan adalah proses peralihanpenguasaan lahan itu juga berlangsung dalam situasi yang tidaksehat. Perlaihan itu berlangsung dalam situai penuh ‘tipu daya’,dan yang lebih tragis lagi, tanpa kejelasan dan penjelasan tentangkemungkinan dampak negatif yang ditimbulkannya. 118 Salah-salah,sebagaimana yang telah terjadi di kampung Zenegi dan kampungBoepe, peralihan penguasan lahan itu sama saja artinya denganmenggadaikan kehidupan masa depan generasi yang hidup saatini, dan juga para keturunannya kelak. Melalui ‘teknik simulasi’sederhana yang dilakukan dalam kesempatan FGD di kampungZenegi, para pemimpin marga dan warga kebanyakan baru pahambahwa ‘uang penghargaan’ sebesar Rp. 300.000.000, itu tidak adaartinya jika dibandingkan dengan akses untuk bisa berburu danmeramu ke hutan-hutan adat mereka. ‘Uang penghargaan’ itu telahmereka bagi rata @ Rp. 2.000.000.- per keluarga dan untuk kas desa.Di kampung itu memang terdapat 105 keluarga. Namun, menurutpengakuan mereka, uang itu segera habis hanya dalam waktu duaminggu saja. Kebetulan, saat itu, memang tengah menjelang HariRaya Natal. ‘Piagam Penghargaan’ memang ditandatangani padatanggal 12 Desember 2009 lalu. Belakangan baru mereka sadarbahwa akses mereka terhadap sumber-sumber kehidupan yang adadi hutan-hutan yang digadaikan itu jauh lebih berharga dari uangdua juta dan sejumlah fasilitas umum dan janji-janji lain yang takkunjung datang itu. Tanpa uang tunai, namun dengan memilikiakses ke sumber-sumber kehidupan di hutan adat itu, mereka bisamemperoleh segala yang diperlukan untuk makan sehari-hari.Utamanya sagu dan daging. Bahkan, jika mereka lebih giat berburu,dengan hasil buruannya, mereka bisa menghasilkan uang tunaiyang lebih banyak melalui transaksi dengan para pedagang yangdatang menjemput hasil buruan itu. Hal yang sama dapat merekalakukan dengan pembeli kayu. Sekarang, dengan penerimaan tunai,katakanlah ada yang bisa bekerja di perusahaan, mereka harusmembeli daging ke pusat kecamatan. Begitu pula dengan bahanmakanan pokok lainnya. Ketika disimulasi, gaji yang mungkinditerima jauh lebih tidak mencukupi kebutuhan dibanding merekatetap memiliki akses ke sumber-sumber kehidupan berupa hutanadat itu.Demikian pula, perubahan tata guna lahan bisa berdampak padapengurangan lahan sagu dan ladang perburuan, Jika ini terjadimaka ketahanan dan kedaulatan pangan penduduk setempat punterganggu. “… Kampung Zanegi sekarang sudah seperti, orangsini bilang, pulau anyuk-anyuk,” kata Vikaris di Kampung Kalikimencoba memberikan analogi dampak yang telah muncul sebagaiakibat program MIFEE. Artinya, Kampung Zenegi hanya menyisakan


90 91wilayah pemukiman yang sekarang mulai dikepung oleh rawa yangterjadi karena penebangan yang dilakukan PT. SIS. “… Besok-besokmereka akan membutuhkan air bersih yang ada di kampung Kalikiini. Mereka akan membuat parit. Kalau itu dilakukan maka air bersihyang ada di Kampung Kaliki ini akan kering. Kalau air kering, hutansagu akan mati. Kalau hutan sagu kering, kita punya dataran kering.Terus kita punya binatang-binatang akan hilang,” uraian Vikarisitu menjelaskan kemungkinan-kemungkinan dampak yang akanterjadi di kampungnya jika terlibat dalam proyek pembangunanyang banyak menebang hutan itu. “.. Makanya kami akan tetapjaga kami punya posisi tanah ini. Sebagai hak ulayat kami, sebagaitanah adat kami. Tidak boleh diganggu oleh perusahaan siapapun,”lanjutnya.“Mudah-mudahan di kampung ini tidak akan ada pengkhianat,”sambung Vikaris lagi. “…Saya yakin warga masyarakat KampungKaliki ini tidak akan mau menjual tanahnya. Orang kampung tahubahwa kalau mereka jual tanah berarti mereka menjual ibu merekasendiri. Dan tidak seorangpun yang menjual Ibu-nya akan hidupenak. Karena itu, saya percaya, tidak akan ada tanah sejengkalpundi jual di kampung ini. Dia tetap akan menderita,” jelas Vikarislebih lanjut. “Demikian pula, jika hari ini terjual tanah satu jengkal,besok akan terjual lagi tanah dua jengkal. Dua jengkal terlepas akanmeningkat menjadi empat jengkal. Akhirnya, lama kelamaan, kitaakan miskin di atas tanah kita sendiri,” tandasnya lebih kepadawarga kampung Kaliki sendiri ketimbang pada Tim Peneliti. 119“…Saya yakin warga masyarakat Kampung Kalikiini tidak akan mau menjual tanahnya. Orangkampung tahu bahwa kalau mereka jual tanahberarti mereka menjual ibu mereka sendiri.Dan tidak seorangpun yang menjual Ibu-nyaakan hidup enak. Karena itu, saya percaya,tidak akan ada tanah sejengkalpundi jual di kampung ini. Diatetap akan menderita,”Ancaman dampak pada sektor ekonomi ini akan diperparaholeh kenyataan rendahnya daya serap penduduk asli terhadapkesempatan kerja yang terbuka, sebagaimana yang telah disinggungdalam bagian-bagian terdahulu.PolitikKebijakan Pemerintah Daerah Merauke pada masa pemerintanBupati John Gluba Gebze, MIFEE dan berbagai proyek investasibesar tak urung menimbulkan ketegangan dengan PemerintahDaerah Propinsi Papua. Dalam pemaparannya sebagai Panelispada “Innovative Leaders Forum”, Jakarta, 15 Mei 2007, yangdiselenggarakan oleh Staf Khusus Kepresidenan Republik Indonesia,Gubernur Papua, Barnabas Suebu menjelaskan kebijakan PemdaPropinsi Papua tentang rencana pembangunan propinsi ini dalamperiode 2006 – 2011.Khusus mengenai kebijakan pengelolaan sumberdaya hutansecara lestari di Papua, Suebu menyatakan telah mencanangkanprinsip-prinsip ”The New Policy on Sustainable <strong>Forest</strong> Management”sebagai berikut; 1201. Hutan dikembalikan pemilikannya dari negara kepada rakyat2. Pelarangan total ekspor log, termasuk ekspor log yang legal.Kebijakan ekspor log selama ini merupakan bentuk penipuandan pemiskinan rakyat.3. Mempercepat pembangunan industri rumah tangga pengolahankayu dan pengelolaan hutan oleh rakyat (community logging)4. Mencabut izin pemegang HPH (hak pengusahaan hutan), baikperusahaan itu masih aktif atau sudah tidak aktif, kecuali merekamembangun industri pengolahan produk hutan di Papua5. Penegakan hukum dengan mencukupkan jumlah dan mutupolisi kehutanan dan peningkatan kesadaran masyarakattentang pentingnya hutan bagi kehidupan.6. Seluruh tipe hutan di Papua (hutan lindung, konservasi, produksi,produksi terbatas, produksi konservasi) didedikasikan untuk


92 93menyelamatkan planet bumi dan kemanusiaan di masa sekarangdan masa akan datang – termasuk dengan mengembangkanindustri hijau (green industry) secara bijaksana dan hati-hati.Pemberian ijin kepada Medco misalnya, telah menimbulkanpertanyaan dari Pemerintah Propinsi kepada PemerintahKabupaten Merauke. Laporan langsung dari masyarakat Zenegikepada Pemerintah Propinsi tentang ketidakadilan yang merekaalami dalam pengalihan tanah kepada Medco, yang antara laindiakibatkan oleh Pidato John Gluba Gebze di hadapan masyarakatZenegi pada penghujung 2009 yang menyatakan bahwa ia menjaminkeadilan bagi masyarakat Zenegi. Pada awal 2010 Pemda Propinsimemanggil John Gluba Gebze untuk mengklarifikasi persoalan ini,termasuk di hadapan pihak Kapolda Papua.Seperti telah dijelaskan di atas, ketidak cocokan antara modaproduksi yang diusung MIFEE dengan moda produksi yang digelutipenduduk asli sehari-hari akan berdampak pada termarjinalisasinyapenduduk asli secara ekonomi. Kehidupan ekonomi yang tadibersifat mandiri akan berubah menjadi tergantung pada pihaklain. Marjinalisasi dan ketergantungan ekonomi ini akan merembetkepada marjinalisasi secara sosial dan politik. Penduduk asli akanmenjadi penonton atau bahkan hanya akan menjadi pengungsipembangunan, seperti yang terjadi dalam kasus transmigrasi. 121Kerawanan sosial pun muncul dan potensial berkembangkearah konflik horizontal. Tidak seorang pun dapat memastikan‘Kalimantan berdarah’, sebuah konflik horizontal antara pendudukasli dan kaum pendatang yang yang pernah secara massif di berbagaidaerah di Indonesia, seperti di Kalimantan Barat, KalimantanTengah, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara pascaSoeharto turun dari kursi kepresidenannya tahun 1998, hinggasekitar tahun 2002, bisa juga terjadi di Tanah Papua. 122Konflik-konflik horizontal, dan juga vertikal, yang cukupberdarah-darah sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing terjadidi tanah Papua. Hingga tengah bulan September dan Oktoberlalu setidaknya terjadi ‘perang suku’ yang meminta korban jiwa disekitar Abepura, Kabupaten Jayapura dan juga terjadi di Wamena,Kabupaten Jayawijaya. Aksi perusakan berbagai fasilitas umumkarena kecewa atas suatu keputusan tertentu pun pernah beberapakali terjadi. Di Nabire, pada tahun-tahun awal pasca reformasi,kompleks Perkantoran Pemerintah Daerah setempat dibakarpenduduk yang tidak puas dengan proses penerimaan pegawainegeri. Penyergapan oleh meliter terhadap sejumlah pendudukasli yang dicurigai sebagai bagian dari Organisasi Papua Merdekapun tidak jarang menimbulkan korban, dan mengundang responbalik dari kalangan penduduk asli yang tidak kurangnya berdarahdarahpula. Di Merauke ketegangan antara penduduk asli dankaum transmigran di kampung-kampung transmigrasi sempat pulamuncul di tahun-tahun awal reformasi hingga awal tahun 2000an.Untunglah ketegangan itu tidak terus meletus menjadi kerusuhanmassa yang menimbulkan banyak korban jiwa. Tapi kejadianitu masih teringat dengan jelas dalam kenangan penduduk asalprogram transmigrasi yang sempat ditemui pada akhir Juli 2010lalu.Dengan beberapa catatan yang telah diberikan dalam bagianbagianterdahulu jelaslah bahwa, secara politik, MIFEE jauh darisemangat yang semestinya digunakan dalam membangun Papuasebagaimana yang diusulkan Koentjaraningrat (1994) dan Tim LIPI(2010) yang telah diuraikan di atas. Alih-alih akan menyelesaikanmasalah politik yang ada, MIFEE akan meningkatkan eskalasikonflik-konflik vertikal dan pada masanya juga akan bersifathorizontal. Bahkan, jika tidak dikelola lebih jauh, potensial pulasebagai sumber pelanggaran HAM yang memang sudah kerap terjadidi Tanah Papua. Indikasinya sudah mulai terlihat, sebagaimanadapat dilihat dalam beberapa kasus pelepasan tanah. Benihbenihke arah konflik horizontal ini sudah pula pernah muncul kepermukaan pada tahun-tahun awal masa reformasi. 123


Bagian KeenamUpaya-upaya Pengurangan ResikoMeski Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internationaltentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, tetapi pemenuhanhak-hak warga atas pangan, sandang, papan masih penuh masalah.Bahkan, kasus kelaparan masih terjadi dan berulang di banyaktempat. Menurut Hadiprayitno (2010), hal itu terjadi karena (a)masih lemahnya kebijakan nasional yang ada; dan (b) belumjelasnya langkah-langkah praktis yang dapat membantu pemilik hakberpartisipasi dalam proses perencanaan dan penerapan kebijakankebijakandi sektor pangan. 124Pada bagian Upaya-upaya Pengurangan Resiko ini saya jugaakan coba membahas kedua hal yang dikemukan Hadiprayitno(2009) itu. Tujuannya adalah untuk melihat kebijakan-kebijakandan langkah-langkah praktis seputar MIFEE ini apakah sudahcukup untuk mencapai hasil yang diharapkan, dan yang lebihpenting adalah apakah bisa menghindarkan dampak-dampaknegatif, sebagaimana telah ditunjukkan dalam bagian sebelum


96 97Pemerintah DaerahKabupaten Meraukememang mengatakanbahwa dalammenyelenggarakanprogram MIFEEPemerintah Daerahakan sangat berhatihatidengan persoalanlingkungan. Namun,mencermati beberapadokumen AMDAL yangsempat dikumpulkan,kualitas studi AMDALyang pernah dilakukandapatlah dikatakansangat mengecewakan.ini, memang potensial mucul kepermukaan. Secara khusus sayaakan menyoroti soal pelaksanaankebijakan dari level nasional sepertikajian lingkungan strategis danAMDAL. Kemudian saya juga akanmenyoroti kebijakan-kebijakan ditingkat daerah.Pemerintah Daerah KabupatenMerauke memang mengatakanbahwa dalam menyelenggarakanprogram MIFEE PemerintahDaerah akan sangat berhati-hatidengan persoalan lingkungan. Olehsebab itu, sesuai dengan kebijakanyang ada, setiap proyek yang akandilaksanakan haruslah dilengkapidengan Kajian Lingkungan HidupStrategis dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).Namun, mencermati beberapa dokumen AMDAL yang sempatdikumpulkan, kualitas studi AMDAL yang pernah dilakukandapatlah dikatakan sangat mengecewakan. Hal ini tampak darilemahnya deskripsi rona lingkungan awal aspek sosial dan budayamisalnya. Begitu juga dengan analisis perkiraan dampak terhadapkomponen sosial dan budaya ini.Ambil contoh kasus studi Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)untuk PT. Selaras Inti Semesta, dengan rencana Kegiatan IUPHHK– HT HTI PULP. 125 Rona Awal untuk komponen Sosial, Ekonomi,dan Budaya terdiri dari 7 sub-bab. Masing-masing tentang:(a) Aksesibilitas.(b) Kependudukan.(c) Sosial Ekonomi.(d) Sosial Budaya.(e) Tradisi/Adat Istiadat.(f) Situs Budaya.(g) Kesehatan Lingkungan dan Masyarakat.Dalam bagian Evaluasi Dampak Penting (BAB VI), dampakdampakpenting, baik positif maupun negatif, yang kemungkinanterjadi dalam konteks komponen sosial, ekonomi, dan budaya ituhanyalah menyangkut ‘komponen sosial ekonomi’ saja, yang terdiridari dampak-dampak pada:(a) persepsi masyarakat.(b) Konflik penguasaan/penggunaan lahan.(c) Kesempatan kerja.(d) Peluang berusaha.(e) Pendapatan.(f) Pendidikan masyarakat.(g) Perubahan kebiasaan masyarakat.(h) Aksesibilitas; dan kontribusi PT. SIS terhadap PAD.Dalam Matriks Evaluasi Dampak diindikasikan bahwa, kecualiuntuk ‘konflik penguasaan/penggunaan lahan’, semua dampakyang teridentifikasi itu akan bersifat positif dan penting.Berikut kutipan lengkap dari evaluasi keterkaitan antar dampakpenting untuk komponen sosial, ekonomi, dan budaya di bawahtajuk ‘Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar’:“Secara umum, kegiatan pengusahaan hutantanaman akan menimbulkan dua jenis dampakyaitu dampak positif dan dampak negatif. Padatahap awal kegiatan, dampak penting yang perludiperhatikan adalah kemungkinan terajadinyakonflik antara PT. SIS dengan penduduk sekitarnyasebagai akibat adanya pengalihan fungsi lahan.Meskipun lokasi areal yang dicadangkan untukkegiatan hutan tanaman pada saat ini sebagian besarmasih bebas dari pemanfaatan oleh masyarakat,


98 99bukan berarti bahwa permasalahan lahan tidakakan muncul. Penataan batas yang dilakukan tanpapartisipasi masyarakat akan mendorong terjadinyakonflik.... Di samping perubahan dampak yangdisebutkan di atas, pengusahaan hutan tanamanoleh PT. SIS juga akan membatasi ruang gerakmasyarakat dalam hal pengusahaan lahan yangproduktif. … Pemanfaatan hasil hutan bukan kayujuga akan berkurang dan pada areal yang ditanamiperusahaan akan hilang dengan sendirinya. Hutanyang selama ini bebas diaktualisasikan untukkeseluruhan proses kehidupan masyarakat dansudah menjadi ciri kearifan tradisional tersendiritidak bebas lagi dimanfaatkan meskipun ada arealarealyang diperkaya dan dibiarkan tidak menjadiareal efektif. Dalam hal ini, mobilitas pemanfaatandan faktor kecukupan dan ketersediaan bahanbahanakan menjadi faktor penentu. Penyediaanareal tidak efektif produktif seperti misalnya arealkonservasi dan tanaman kehidupan akan menjadiharapan/alternatif yang mutlak untuk dioptimalkan.Faktor kecukupan dan ketersediaan terutama yangberkaitan dengan kearifan tradisional diperkirakantidak akan terpenuhi secara optimal danberkesinambungan.... Penanganan permasalahanlahan yang memegang prinsip kesetaraanmutlak untuk dilakukan. Penataan batas secarapartisipatif juga mutlak dilakukan. Hal ini untukmemperjelas status kepemilikan lahan antaramasyarakat dengan pihak perusahaan. Di sampingitu, pengikutsertaan masyarakat dalam kegiatanpembangunan tanaman berupa kemitraan perludiupayakan melalui pelibatan secara aktif didalam pengelolaan hutan secara bersama-sama. …Terbukanya kesempatan kerja yang demikian besartidak serta merta akan diikuti oleh tertariknyapenduduk lokal untuk bekerja di perusahaan. Adabeberapa alasan yang mendukungnya antara laintingkat upah yang akan diperoleh, status pekerjaanserta faktor kebiasaan. … Di samping kesempatankerja, masih terbuka peluang berusaha yang cukupluas bagi masyarakat sekitar. Dalam kaitannyadengan keberadaan PT. SIS, di samping sektorproduksi, sektor lainnya juga menyediakan peluangberusaha yang lebih luas dan menjanjikan sepertisektor perdagangan, sektor transportasi, dan sektorjasa. … Disamping dua jenis dampak tersebut diatas, adanya niat baik PT. SIS dalam meningkatkansarana dan prasarana sosial di wilayah studi jugaakan meningkatkan kualitas khususnya di bidangpendidikan dan kesehatan. Peningkatan kualitaspendidikan penduduk dapat dilihat dari kontribusidalam pemberian beasiswa prestasi dan beasiswaanak tidak mampu bagi anak usia sekolah dasarserta sumbangan buku-buku pelajaran. Sedangkanpeningkatan kualitas kesehatan dapat dilihat darikontribusi dalam menyediakan tenaga paramedikserta pemberian subsidi berobat bagi masyarakatsekitar melalui poliklinik PT. SIS.”Mencermati masalah ketersambungan antara deskripsi padarona awal, analisis prakiraan dampak penting, dan rencana kelolalingkungan sebagaimana yang dapat dipelajari dari dokumendokumenAMDAL yang bersangkutan, riset ini sangat tidak yakin(a) apakah konsultan yang mengerjakan studi AMDAL PT. SISini, khsusunya konsultan bidang sosial, ekonomi, dan budaya,benar-benar paham apa pekerjaan yang tengah dihadapinya. Daripenjelasan dan kutipan-kutipan yang telah diberikan di atas, terlihatjelas bahwa antara ke tiga hal itu tidak memiliki ketersambunganyang akurat. Analisis perkiraan dampak penting sebagaimana telahdikutipkan secara lengkap di atas dapat saja direkomendasikanoleh seorang konsultan tanpa tahu rona awal secara utuh sekalipun,


100 101sebab analisis itu lebih bersifat dugaan yang tidak dikaitkan secaralangsung dengan data-data yang ditampilkannya dalam bagianrona awal. Di samping itu, rona awal yang ditampilkan pun amatlemah. Tidak ada kajian, meski bersifat kajian literatur sekalipun,tentang bagaimana pengalaman (dan hasil) interaksi masyarakatyang dikaji itu dengan pembangunan yang telah puluhan tahundijalankan di Tanah Papua. Sang konsultan seperti tidak pedulidengan ‘hiruk-pikuk’ kegagalan banyak proyek pembangunan,sebagaimana yang diekpresikan oleh berbagai konflik, tindakanrepresif, dan kerusahan yang tidak jarang terjadi selama ini. Begitupula, berbagai deskripsi tentang aspek sosial, ekonomi dan budayayang ditampilkan di rona awal, seperti sekedar setoran wajib yangharus dilakukan, tanpa harus dilirik lagi dalam tahapan studiberikutnya. Padahal, rona awal adalah benchmark yang betul-betulharus diperhatikan dalam analisis prakiraan dampak penting itu.Kita pun menjadi tidak mengerti apa artinya segala rinci tentangsulitnya aksesibilitas, jumlah dan kepadatan penduduk, rasiojenis kelamin, struktur penduduk berdasarkan golongan umurdan beban tanggungan dan tingkat pendidikan, mata pencarian,pola perburuan, pola penggunaan dan masalah penguasan lahan,asal-usul nenek moyang dan sistem pengelompokan (organisasisosial) berdasarkan suku dan marga, daur kehidupan individu,sistem religi, ilmu gaib, tradisi totemisme, pandangan masyarakatterhadap hutan, pengetahuan tentang tanaman obat, dan keberadansitus-situs budaya. Sedikit sekali, untuk tidak mengatakannya tidakada sama sekali, rincian yang disajikan pada rona awal ini dirujuksebagai hal yang perlu diperhatikan dalam memperkirakan dampakdampakpositif dan negatif yang bakal muncul itu.Sementara itu, di tingkat daerah, setidaknya ada 4 kebijakandaerah yang berhubungan langsung dengan rencana pengembanganMIFEE. Keempat kebijakan itu bisa pula kita kelompokkan ke dalamdua kelompok yang berbeda satu sama lainnya. Kelompok pertamaadalah kebijakan-kebijakan daerah yang berhubungan denganupaya mendukung pelaksanaan MIFEE, khususnya dalam rangkamemobilisasi anggaran, baik Pusat maupun Daerah. Kebijakankebijakandalam kelompok ini diwakili oleh dua Rencana PeraturanDaerah, masing-masing adalah Rencana Peraturan Daerah tentangRencana Umum Tata Ruang Kabupaten Merauke, dan kedua,Rencana Peraturan Daerah tentang MIFEE itu sendiri.Kebijakan-kebijakan pada kelompok kedua adalah kebijakankebijakanyang dimaksudkan sebagai upaya meningkatkankeuntungan masyarakat dan mengelola dampak negatif yang mungkinditimbulkan oleh proyek-proyek MIFEE. Kebijakan-kebijakankategori ini diwakili oleh dua rencana Peraturan Daerah. Masingmasingadalah Rencana Peraturan Daerah tentang Manajemen HakUlayat dan Rencana PeraturanDaerah tentang PengembanganMasyarakat.Hingga Agustus 2010 lalukeempat Ranperda ini masihdalam proses pematangan antarapihak Pemerintah Daerah danDewan Perwakilan Rakyat Daerahsetempat. Penggodogan tersebutterhitung sudah memakan waktuyang cukup panjang juga. Bahkan,Ranperda RUTR telah lebih dari3 tahun. Konon, pematanganRencana Tata Ruang KabupatenMerauke ini terkendala soal tarikmenarikpenetapan kawasanproduktif dan kawasan konservasi.Menurut seorang sumber yangditemui di Kantor Dinas Pertaniandan Perkebunan KabupatenMerauke, persoalan peruntukanlahan ini muncul ketika diketahuibahwa kawasan yang kemudiandirencanakan untuk dialokasikanbagi kebutuhan kegiatan MIFEEternyata mayoritas adalah lahanLuas areal yangdimohonkan mencapai 1.2juta ha, ada juga yangmengatakan mencapai1.6 juta ha. PemerintahPropinsi pun dikabarkanagak keberatan denganrencana PemerintahKabupaten Merauke.Konon mereka hanyamerokemendasikan bolehpada luasan 500.000ha saja. Belakanganterdengar kabar bahwatitik tengah yangdisepakati oleh ketigapihak adalah padaluasan 700.000 ha


102 103gambut. Oleh sebab itu pihak Departemen Kehutanan keberatanmerekomendasikan peralihan peruntukan kawasan itu menjadilahan budidaya. Apa lagi luas areal yang dimohonkan itu mencapai1.2 juta ha atau bahkan ada juga yang mengatakan mencapai 1.6 jutaha. Selain itu, Pemerintah Propinsi pun dikabarkan agak keberatandengan rencana Pemerintah Kabupaten Merauke itu. Konon merekahanya merokemendasikan boleh pada luasan 500.000 ha saja.Belakangan terdengar kabar bahwa titik tengah yang disepakatioleh ketiga pihak adalah pada luasan 700.000 ha. 126Dari keempat kebijakan tingkat daerah ini, kebijakan-kebijakandalam kelompok kedua justru yang dapat dinilai paling bermasalah.Alih-alih kebijakan-kebijakan ini berfungsi untuk meningkatkankeuntungan masyarakat dan mengelola dampak negatif yangmungkin ditimbulkan oleh proyek-proyek MIFEE, sebaliknya,kebijakan-kebijakan ini justru punya daya rusak yang akansangat merugikan penduduk asli Papua. Kebijakan yang palingbermasalah adalah Rencana Peraturan Daerah tentang ManajemenHak Ulayat. Melalui diskusi kelompok yang diselenggarakan padasuatu kesempatan lokakarya bersama sejumlah warga masyarakatdari sejumlah kampung yang ada di sekitar Merauke, para pesertalokarya sampai pada kesimpulan bahwa ada sejumlah pasal yangbermasalah dan berbahaya bagi masyarakat jika nantinya benarbenardilakukan. 127Pertama adalah Bagian Menimbang, butir a yang berbunyi“Bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dan/atau hakperorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah memilikiketerbatasan sehingga dapat menimbulkan penurunan kualitaslingkungan berupa ketimpangan struktur penguasan, pemilikan danpenggunaan dan pemanfaatannya telah menimbulkan penurunankualitas lingkungan serta kurang diperhatikannya kepentinganmasyarakat adat”. Menurut peserta lokakarya, pasal ini merupakanpernyataan yang negatif, yaitu bahwa hak ulayat masyarakat hukumadat dan/atau hak perseorangan telah menimbulkan kerusakanlingkungan dan ketimpangan struktur penguasaan lahan di daerahini. Pernyataan ini tidaklah benar! Oleh sebab itu rumusan ini harusdiganti dengan rumusan lain yang lebih menghormati keberadaanhak ulayat masyarakat hukum adat yang sebenarnya. Dalam diskusimengemuka pula pemikiran bahwa pandangan yang menyudutkanhak ulayat masyarakat hukum adat ini bisa-bisa menjadi pembenarbagi ‘penertiban’ penyelenggaraan hak-hak ulayat itu olehmasyarakat hukum adat yang bersangkutan. Penertiban itu bisasaja berwujud pada pelepasan hak dan memberikannya pada pihaklain yang dianggap lebih bisa menggunakan hak ulayat itu secaralebih baik.Berikutnya adalah Bagian Menimbang, butir b yang berbunyi“Bahwa pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hakulayat masyarakat adat yang telah ditetapkan secara turun-menurunatas hak ulayat masyarakat hukum adat perlu dijaga dan dilindungimenurut masarakat hukum adat setempat.” Menurut pesertadiskusi, pada dasarnya rumusan butir b ini baik adanya. Namunmereka menguatirkan pernyataan ini akan menjadi pernyataanyang kosong, karena pada dasarnya tidak ada pernyataan resmitentang keberlakukan hukum adat setempat di wilayah administrasiKabupaten Merauke. Untuk itu diusulkan agar ada pasal khususyang menyatakan bahwa Peraturan Daerah ini disusun denganmengingat keberadaan hukum adat di Kabupaten ini.Bab II, Pasal 2 yang berbunyi “Manajemen pengelolaan hakulayat mempunyai maksud dan tujuan untuk memberikan kawasanlindung terhadap hak ulayat masyarakat adat setempat dan/atautempat-tempat penting secara adat termasuk tempat yang telahditetapkan secara turun-temurun untuk dijaga menurut masyarakathukum adat setempat” juga dinilai sebagai rumusan yang tidakjelas. Diduga maknanya adalah hak ulayat masyarakat hukumadat diakui hanya di kawasan lindung saja. Jika memang demikiantentunya pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat ini hanyamerupakan tipu-daya semata, karena hanya berlaku di kawasanlindung, sementara kita tahu bahwa di kawasan lindung masyarakattidak boleh melakukan aktivitas apapun. Rumusan ini harus diubahdengan rumusan yang lebih sesuai, yakni dalam rangka melindungihak ulayat masyarakat hukum adat di wilayah Merauke ini.


104 105Peserta lokakarya juga berkeberatan dengan rumusan padaBab III, Pasal 3, Ayat 3 yang berbunyi “Pemegang hak ulayat wajibmelepaskan hak ulayat dalam hal pengadaan tanah bagi kepentinganumum yang diselenggarakan oleh Pemerintah dengan pemberianganti rugi berdasarkan kesepakatan melalui musyawarah”.Rumusan pada pasal ini diminta peserta lokakarya harusdisesuaikan. Kata ‘wajib melepaskan hak ulayat’ adalah pernyataansepihak. Seharusnya pelepasan hak dapat dilakukan jika disetujuioleh kedua pihak, terutama oleh pihak yang memiliki hak ulayatyang dimaksud. Peserta lokakarya mengusulkan pasal ini denganrumusan yang lebih demokratis. Untuk tujuan pembangunan, hakulayat masyarakat hukum adat tidak harus dilepas, tetapi bisasaja dipinjamkan, dikontrakkan, dan hak-hak sejenisnya, di manaproyek berhenti hak atas tanah yang bersangkutan akan kembalipada kelompok masyarakat yang bersangkutan.Masalah yang lain menyangkut Bab V, Pasal 6 Butir (1)yang berbunyi “Keberadaan hak ulayat tidak dapat dialihkansecara langsung kepemilikannya guna kepentingan investor”…..Menurut peserta lokakarya, terkait dengan Bab V, Pasal 6 Butir(2), PENGALIHAN HAK dari masyarakat hukum adat tidakharus melalui PELEPASAN HAK kepada pihak PEMERINTAH.PENGALIHAN HAK yang bersifat sementara itu bisa langsungmelalui kerjasama langsung antara masyarakat hukum adat denganpihak yang membutuhkan tanah dimaksud.“Sebagai orang kecil, kita punya pemahamantidak sampai. Oleh sebab itu kami butuhpendamping dari pihak lain. Supaya kamitidak kewalahan. Kami tahu SDM kamisangat lemah. Dan kami pasti mudahditipu. Perusahaan, dia akan tetapberusaha untuk mendapatkan tanahkami,”Demikianlah, jika beberapa permasalahan yang telah disebutkandi atas tidak mendapatkan perbaikan sebagaimana mestinya, parapeserta lokakarya beranggapan bahwa tujuan Peraturan Daerahuntuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat di wilayah initidak akan tercapai. Malah akan sangat merugikan masyarakat adatdi wilayah ini.Selain beberapa usulan perbaikan di atas, peserta lokakarya jugamenyarankan agar sebelum Rancangan Perda ini ditetapkan, baikPemerintah Daerah Kabupaten Merauke maupun Dewan PerwakilanRakyat Daerah Kabupaten Merauke perlu melakukan konsultasidengan berbagai komponen masyarakat di Kabupaten Meraukeini, terutama sekali dengan kelompok-kelompok masyarakat adat(marga) yang ada. Sesat-pikir yang terkandung dalam RencanaPeraturan Daerah tentang Menajemen Hak Ulayat di KabupatenMerauke ini berasal dari sesat-pikir yang telah terkandung padakebijakan ‘yang lebih tinggi’, dalam hal ini adalah Peraturan DaerahKhusus Propinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak UlayatMasyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga MasyarakatHukum Adat atas Tanah. 128Proses penerimaan sebuah perusahaan oleh warga setempat,berikut proses-proses pelepasan tanah yang sangat merugikan,terasa semakin runyam oleh kenyataan bahwa baik wargamasyarakat, warga aparat pemerintahan, bahkan para aktivispedamping masyarakat setempat pun tidak – tepatnya belummengetahui – dan paham tentang prinsip-prinsip Free, Prior andInformed Consent (FPIC).Padahal, prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) telahdiakui keberadaannya dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsatentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration onthe Rights of Indigenous <strong>Peoples</strong> (UNDRIP), yang diterima padaSeptember tahun 2007 lalu. Pada Pasal 19 dinyatakan bahwa“Negara-negara akan melakukan konsultasi dan bekerjasamadengan kehendak baik dengan masyarakat adat melalui institusiinstitusiperwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan keputusandari masyarakat adat yang dilakukan secara bebas tanpa tekanan apa


106 107pun berdasarkan informasi yang lengkap sejak dini (free, prior, andinformed consent) sebelum menerima dan melaksanakan langkahlangkahlegislatif atau administratif yang akan mempengaruhimasyarakat adat”. Ada 5 prinsip yang terkandung dalam UNDRIPPasal 19 ini. Yakni (1) Masyarakat berhak untuk menyatakanmenerima atau menolak sebuah kebijakan; (2) Jika merekamenerima, terlibat penuh dalam seluruh proses pengambilankeputusan mengenai sebuah kebijakan atau proyek pembangunandimaksud; (3) Masyarakat berhak diwakili oleh sistem perwakilanyang mereka tentukan sendiri secara bebas didalam seluruh prosespembuatan kebijakan atau pengambilan keputusan; (4) Keputusanyang diambil masyarakat adat harus dilakukan berdasarkaninformasi yang lengkap mengenai sebuah kebijakan atau proyekpembangunan. Informasi tersebut harus disampaikan kepadamasyarakat sejak dini, sedini rencana mulai digagas, dan (5)Keputusan diambil masyarakat melalui mekanisme yang merekakenal, yaitu yang mereka jalankan dalam kehidupan mereka danmelibatkan lembaga-lembaga yang mereka bentuk (termasuklembaga adat).Prinsip FPIC sebetulnya juga sudah dicantumkan dalam sejumlahperaturan perundangan di Indonesia. Sekedar contoh, Pasal 19Ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang AMDALmenyatakan bahwa “Dalam keputusan kelayakan lingkungan hidupsebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan dasarpertimbangan dikeluarkannya keputusan itu, dan pertimbanganterhadap saran, pendapat, dan tanggapan yang diajukan oleh wargamasyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)”.Pasal 68 ayat 2 butir b UU No. 41/1999 tentang Kehutananmenyatakan bahwa “masyarakat berhak mengetahui rencanaperuntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasikehutanan”Hal yang penting dengan penerapan prinsip-prinsip FPICini adalah, sebagaimana dikemukakan Colchester dan McKay(2004), belajar pada sejarah, penerapan prinsip Free, Prior andInformed Consent (FPIC) sebelum penyelenggaraan proyekproyekpembangunan yang bersifat ekstraktif dimulai, sepertihalnya MIFEE, para pihak dapat menemukan titik temu (middleground), tempat para pihak dapat bertemu dan “membangunsebuah dunia bersama yang sama-sama dipahami dengan baikoleh kedua belah pihak, dimana lembaga perwakilan kedua pihaksaling mengakomodasi, mencari makna baru dan membentuk dasarinteraksi bersama.“ 129Begitulah. Di Kampung Zenegi, sepertinya hutan sagu danhewan buruan memang akan segera menghilang. Inilah paradoksprogram ‘peningkatan daya tahan pangan’ yang diupayakan melaluipembangunan besar-besaran yang bertajuk Merauke Food andEnergy Estate di Kabupaten Merauke, Papua itu. Bagaimanadengan daya tahan dan kedaulatan pangan penduduk asli setempat?Siapa peduli?.Yang jelas, sebagaimana diakui oleh Vikaris di Kampung Kaliki,untuk menghadapi persolan yang ada orang kampung di kawasanMerauke membutuhkan bantuan orang luar. “Sebagai orang kecil,kita punya pemahaman tidak sampai. Oleh sebab itu kami butuhpendamping dari pihak lain. Supaya kami tidak kewalahan. Kamitahu SDM kami sangat lemah. Dan kami pasti mudah ditipu.Perusahaan, dia akan tetap berusaha untuk mendapatkan tanahkami,” jelas Vikaris di Kampung Kaliki itu.


Reaksi Para-pihakBagian KetujuhDiskusi Kampung ZenegiDalam bagian Metodologi di muka kami telah menyebutkanbahwa setidaknya ada 12 (dua belas) kegiatan ‘konsultasi publik’yang dirujuk dalam laporan ini. Baik langsung maupun tidaklangsung, masing-masing kegiatan konsultasi publik itu memangdiselenggarakan terkait dengan wacana tentang MIFEE. Meskisecara bisik-bisik ada peserta konsultasi publik yang merasa senangdengan rencana MIFEE ini, suara dominan pada masing-masingkonsultasi publik dimaksud adalah menolak kehadiran programdimaksud.Tentu banyak alasan yang dikemukakan dalam mendukungsikap itu. Sebagian besar dari alasan itu telah pula diintegrasikandan menjadi sikap yang dipilih oleh penyusun dokumen ini.Setidaknya ada tiga alasan yang paling menonjol adalah bahwaproyek-proyek itu akan merampas tanah-tanah yang sangat pentingbagi kehidupan masyarakat; penduduk asli tidak akan bisa terserapsebagai tenaga kerja sesuai standar yang dibutuhkan perusahaan


110 111sebagaimana dapat dipelajari dari pengalaman selama ini denganberbagai proyek pembangunan yang ada, terutama seperti programtransmigrasi, termasuk transmigarsi pola Perkebunan Inti Rakyatsebagaimana yang terdapat di Arso dan Prafi; dan ketiga, akanmakin membanjirkan para pendatang dari luar. 130Sebagaimana diberitakan SORPATOMNews, Sabtu 16 Oktober2010, berbagai komponen masyarakat sipil berkumpul untukmembentuk organisasi gerakan menolak MIFEE yang kemudiandisebut Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM)Wilayah Merauke. Kepolisian Resort Merauke kemudian menahandan menginterogasi Billy Metemko, Thomas Tonggap dan F.X Sirfefayang diduga sebagai penggerak utama organisasi ini karena dituduhtidak memiliki izin Polisi. Mereka ditahan dan diinterogasi olehKasat Intel Polres Merauke sekitar 5 jam. Namun, ketiga aktivis inidibebaskan setelah mereka menjelaskan bahwa Tim Kerja PersiapanPembentukan SORPATOM Wilayah Merauke telah melaporkanrencana kegiatan mereka kepada Polsek Kelapa V. Thomas Tonggapketika dihubungi SORPATROMNews mengatakan, penahanan daninterogasi terhadap mereka oleh Kasat Intel Polres Merauke sangattidak masuk akal dan merupakan upaya serius untuk membungkamsuara rakyat yang menolak kehadiran MIFEE di Merauke.“Ini permainan antara Penguasa, Investor dan Militer untukmembungkam suara rakyat yang menolak MIFEE dan tidak lebihdari upaya untuk menekan para pemilik tanah agar tidak melawan,”jelas Thomas. Penahanan dan interogasi terhadap ketiga aktivis inijuga memicu kemarahan masyarakat. Masyarakat berbondongbondongmenuju Polres Merauke dan mulai mengorganisir aksiprotes sekiranya Billy Metemko, Thomas Tonggap dan F.X Sirfefatidak segera dibebaskan.Di pusat kekuasaan, berbagai organisasi masyarakat sipil,terutama yang berada di Jakarta dan sekitarnya, juga sudah terbangunsemacam forum komunikasi untuk mengkaji dan melakukan kritikterhadap rencana MIFEE tersebut. Beberapa pentolannya sudahpula mulai menulis permasalahan MIFEE ini di beberapa mediamassa. Sebuah Kertas Posisi yang berisikan analisis yang memadaiuntuk mendukung pernyataan penolakannya terhadap programMIFEE juga tengah dipersiapkan. Dalam beberapa kesempatanstrategis, misalnya dalam rangka menanggapi rencana kebijakantertentu, atau peringatan hari agrarian misalnya, MIFEE sebagaisalah satu program di sektor pertanian dan pangan dan energi takluput menjadi objek kritisisme para aktivis ini.Melalui media mailinglist adatlist@yahoogroups.com diterimapula kabar dari Merauke yang mengabarkan bahwa Tim KOMALI(Komunitas Masyarakat Adat dan Lingkungan), koalisi berbagaiorganisasi masyarakat sipil dan komunitas masyarakat adat yangada di Merauke yang lain lagi, telah mendata setidaknya ada 7kampung lain yang tersebar di Distrik <strong>Malind</strong>, Semangga, dan Okaba,yang juga telah bermusyawarah dan memutuskan akan menolakproyek-proyek MIFEE yang akan masuk ke kampung-kampungitu. Di luar itu, dikabarkan pula bahwa pada tanggal 25 Oktober2010 masyarakat kampung Onggari, Distrik <strong>Malind</strong>, telah selesaimenyusun surat penolakan atas rencana masuknya PT. Radjawali,ke kampung itu. Surat penolakan ini akan dikirim kepada BupatiKabupaten Merauke yang baru sesegera mungkin. Menurut suatusumber, belasan kampung juga sudah sampai kepada kesimpulanyang sama.


PenutupBagian KedelapanWarga Kaliki di Bivak KalikiArsyad (2010) dan Serikat Petani Indonesia (2010) secara tegasmenyatakan bahwa kebijakan tentang pengembangan panganskala luas atau food estate, semakin menguatkan tudingan yangselama ini telah lama ditujukan kepada duet SBY-Boediono, bahwakebijakan ekonomi mereka, termasuk kebijakan pertanian, telahterjerembab dalam sistem ekonomi neoliberal. Cirinya sangatjelas, yakni ketersediaan pangan secara perlahan diserahkan kemekanisme pasar. Pemerintah hanya berfungsi sebagai “penjagamalam” yang mengatur bagaimana transaksi berlangsung secara –mudah-mudahan -- adil.Lebih lajut Arsyad (2010) mengatakan bahwa Food estatemenjadi mekanisme baru di dalam menggenjot produktivitaspangan nasional. Mekanisme baru ini secara sistematis akanmenggantikan sistem pertanian berbasis rumah tangga petanikecil ke sistem pertanian berbasis agro-ekonomi. Itu artinyamasalah pangan akan diserahkan ke pada korporasi pertanian dan


114 115pangan yang komersial. Sehingga masa depan petani kecil akanterancam oleh ekspansi perusahaan pertanian skala besar. Dalamkonteks ini, maka pengembangan pangan skala luas atau foodestate sejatinya bukan diperuntukkan untuk petani kecil, tetapilahan pertanian yang subur akan diserahkan penguasaan danpengelolaannya kepada korporasi pertanian dan pangan. Pilihanuntuk menyerahkan penguasaan dan pengelolaan lahan pertanianke pihak swasta (termasuk asing) ini akan semakin menempatkanpetani kecil termarginalkan dan terperangkap ke dalam kubangankemiskinan struktural.Menggenjot produktivitas lewat mekanisme food estatesama saja mengabaikan kesejahteraan petani yang tiap tahunsemakin menurun. Padahal masalah pokok yang terkait denganproduktivitas pangan dan kesejahteraan petani sangat berkaitandengan kepemilikan lahan yang sangat sempit. Akibat penyempitanlahan pertanian bagi rumah tangga petani di Indonesia, maka tidakmengherankan bila tingkat kesejahteraan petani makin menurundari tahun ke tahun. Menurut BPS sampai saat ini jumlah petanidengan penguasaan lahan di bawah 0,5 ha mencapai 9.55 juta rumahtangga petani, sedang yang penguasaannya 0,5-1 ha mencapai4,01 juta rumah tangga petani. Ini artinya terjadi kesenjangan danketimpangan dalam penguasaan lahan, yang mana rakyat petanikebanyakan menguasai dan menggarap lahan kurang dari 0,5 ha.Memacu produktivitas pangan tetapi mengabaikan masalahstruktur agraria yang timpang mengingatkan kita pada programrevolusi hijau Orde Baru. Di masa itu, produktivitas beras digenjottanpa didahului perombakan struktur kepemilikan dan penguasaanlahan yang timpang. Akibatnya, swasembada beras yang dicapaidiikuti dengan proses diferensiasi agraria.Diferensiasi ini bermula dari terpolarisasinya kelas-kelas sosial dipedesaan, di mana petani-petani dengan lahan luas berubah menjadikapitalis-kapitalis pertanian, sementara petani yang berlahansempit semakin tergerus dan secara cepat mereka melepaskantanahnya dan berubah menjadi buruh tani. Walhasil, revolusi hijauOrde Baru berhasil menggenjot produksi beras nasional tetapi gagalmengsejahterakan bagian terbesar petani Indonesia.Menurut KIARA, refleksi atas berbagai catatan yang berkaitandengan MIFEE ini sudah cukup bagi negara untuk harus segeramereformasi kebijakan yang ada, dan memastikan agar pasardan dunia bisnis tidak tanpa batas mengatur produksi nasionaldalam bidang pertanian dan pangan. Mengutip Houtart (2010),KIARA berkeyakinan bahwa reformasi kebijakan yang kokohharus menjamin revisi paradigma mendasar hubungan manusiadan alam, terutama terkait pemenuhan kebutuhan dasar sertaperlunya mendorong kolektivitas sosial dan ekonomi. Sebaliknya,konsumsi pangan nasional justru harus tergantung kepadanelayan, petani dan pembudidaya tradisional. Kita tidak merasakandampak lonjakan ekspor dan imporikan, misalnya, karena dari merekalah bahan pangan dipasok. Dalamkonteks ini, kebijakan Pemerintahperlu memastikan sumber produksidapat diakses dan menghentikanpenyerahan sektor pertanian danpangan ke tangan industri besar.Oleh karenanya, insentif harus tetapdigulirkan ke tangan masyarakatsetempat dalam bentuk subsidi bahanAkibat penyempitanlahan pertanian bagirumah tangga petanidi Indonesia, makatidak mengherankanbila tingkatkesejahteraan petanimakin menurun daritahun ke tahun.bakar, penurunan tarif dasar listrik, pupuk dan pakan ikan, gunamendukung penyediaan kebutuhan pangan domestik. Sehinggaada baiknya kita mempertimbangkan ulang memberikan lahanpertanian ke korporasi pertanian. Target swasembada panganbahkan menjadi negara imporitir sekalipun juga kita bisa diraihtanpa harus mengabaikan kesejahteraan petani. Landasan utamaadalah adanya kemauan politik pemerintah untuk mengurangibahkan menghilangkan status petani gurem melalui program politikekonomi yang bernama pembaruan agraria.Pembaruan agraria adalah mekanisme untuk menatapenguasaan dan pemilikan lahan yang timpang yang sekaligusdiikuti dengan program pembaruan akses produksi. Penataan inidiperlukan sebagai strategi untuk mendapatkan obyek yang akandiredistribusikan kepada petani gurem dan petani tak bertanah.


116 117Sedang proses pembaruan akses produksi diperlukan agar petanimendapatkan surplus dari pertanian. Pembaruan akses ini meliputijaminan atas produktivitas dan perlidungan atas hasil produksipertanian. 131 Sebuah perubahan atau pembaruan senantiasamembutuhkan terpenuhinya prasyarat-prasyarat dasar, yaitu:(i) Wacana atau gagasan yang jelas (termasuk tujuan dan proses);(ii) Basis organisasi yang terkoordinasi dengan baik (termasukjaringan pendukung);(iii) Adanya data dan informasi yang cukup;(iv) Khendak untuk berubah (termasuk kemauan politikpemerintah);(v) Kapasitas yang memadai dari para pelaku yang mendorongperubahan atau pembaruan.Dalam konteks MIFEE dan OPA di Merauke, semua prasyaratini boleh dikatakan tidak terpenuhi. Mereka tidak tahu menahuisi gagasan proyek MIFEE; mereka bukan bagian dari organisasibisnis skala besar MIFEE; mereka tidak disuplai dengan data daninformasi yang memadai; perubahan yang dijanjikan MIFEE jauhdi luar jangkauan mereka; kehendak baik atau kemauan politikpemerintah untuk membantu mereka juga tidak cukup kuat; dankapasitas mereka untuk mengikuti irama pembangunan ala MIFEEsangat jauh dari standard ekonomi modern.Koentjaraningrat (1994b) pernah menulis: “… dalam kenyataanmasalah-masalah yang dihadapi (di Papua, pen) tentu sangat banyak,yang hanya dapat dipecahkan apabila pihak pengelola memilikipengetahuan dan pengertian mengenai kebutuhan-kebutuhanekonomi, di samping kebutuhan-kebutuhan sosial-budaya rakyatyang akan berperan serta dalam kehidupan perkebunan. Tanpapengetahuan dan pengertian itu maka akan terulang lagi apa yangdilakukan oleh Belanda dalam abad ke-19 dengan cultuurstelsel,yaitu mengeksploitasi rakyat untuk perkebunan-perkebunan gula,yang telah memberikan keuntungan yang sangat besar kepadakerajaan Belanda pada waktu itu”. 132Demikianlah, sepertinya MIFEE memang masih merupakanskema pembangunan yang beyond <strong>Malind</strong> imagination; sebuahprogram pembangunan yang berada di luar imajinasi Orangorang<strong>Malind</strong> yang tinggal di wilayah itu. Jika tetap dipaksakan,dapat dipastikan, korban akan segera berjatuhan. Pelanggaranhak-hak azazi manusia di Tanah Papua akan semakin berlipatganda. Advokasi, pendampingan, dan serangkaian program untukpenguatan masyarakat calon korban itu menjadi suatu keniscayaan.Satu hak yang hendak dikemukakan adalah bahwa pihak luartelah, sadar atau tidak, memanfaatkan kelemahan orang-orang<strong>Malind</strong> dan orang Papua umumnya. Kemudahan hidup merekadalam moda produksi berburu dan meramu, justru dimanfaatkandengan menawarkan kemudahan untuk mendapatkan uang dansemua atribut-atribut kehidupan kota, seperti motor, HP danlain-lain. Mereka memang berada dalam situasi mental yangmenginginkan semuanya serba mudah: seperti mau makan buahtinggal petik dari hutan, atau mau makan ikan tinggal pancing darirawa, mau makan daging tinggal berburu rusa. Demikianlah ketikamereka dipaparkan pada ‘kenikmatan-kenikmatan’ kehidupankota mereka juga bersikap seperti itu; mau uang tinggal bilang“ya” pada perusahaan, mau motor tinggal lepaskan tanah. Dalamhal ini kehidupan kota (budaya dominan) dipandang sepertisumberdaya alam (hutan dll) yang dapat diambil manfaatnyadengan kemudahan yang sama ketika mereka berhadapan denganhutan dan sumberdaya alam lainnya.Hal lain yang merupakan jurang ‘peradaban’ adalah konsepkeabsahan sebuah transaksi: adat dan hukum positif. Apa yangmereka lakukan dengan tanda tangan adalah supaya mendapatkanuang/kenikmatan yang mereka dambakan, bukan untuk secaraabsah melepaskan hak milik mereka atas tanah. Hal ini seringdigambarkan sebagai sikap ‘plin-plan’ oleh masyarakat luar, sepertitergambarkan oleh seorang pengacara yang sempat berdiskusidengan penulis: Ia mengatakan bahwa orang-orang ini tidak dapatdipegang omongannya. Sampai suatu kali ia berkata pada mereka“kamu orang biar mati saja semua supaya kami bisa urus tanah


118ini lebih baik dan lebih aman”. Memang ada pula pelepasan tanahmisalnya yang dilakukan dengan upacara adat secara lengkap,seperti potong babi dan minum wati. Dalam hal ini pelepasan tanahmemang absah baik secara hukum adat maupun hukum positif biladilengkapi dengan tanda tangan pada dokumen transaksi.Dengan situasi sosial dan sikap mental seperti itu, maka orangPapua di pedesaan Merauke dan Papua umumnya, serta di manapun di Indonesia, seharusnya diperlakukan dengan langkah-langkahafirmatif (affirmative action) dan bukannya menggiring merekamengikuti pola budaya dominan, karena tindakan belakangan iniakan membawa mereka kepada peminggiran total kalau bukankepunahan. Langkah affirmative tersebut pertama-tama harusdiarahkan pada perlindungan terhadap masyarakat Papua.LAMPIRAN


Lampiran 1SIARAN PERSRESPON ATAS RUU PENGADAAN TANAH DAN EVALUASI SETAHUNKEBIJAKAN AGRARIA PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO“HENTIKAN PEMBAHASAN RUU PENGADAANTANAH UNTUK PEMBANGUNAN BAGIKEPENTINGAN UMUM”RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi KepentinganUmum adalah salah satu kebijakan prioritas yang didorongpemerintahan SBY untuk segera disahkan DPR dalam tahun ini. RUUini merupakan bagian dari paket reformasi regulasi pembangunaninfrastruktur di Indonesia bagi proses keterbukaan pasar danpelibatan peran swasta. Kebijakan ini sekaligus dimaksudkanuntuk memudahkan investor asing menguasai sektor-sektorstrategis melalui pembangunan infrastruktur di Indonesia. Untukmencapai target investasi di bidang infrastruktur ini, pemerintahmengeluarkan sejumlah regulasi diantaranya adalah PeraturanPresiden Nomor 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah DenganBadan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Peraturan tersebutmerefleksikan keberpihakan pemerintah terhadap investor demimemberikan kepastian hukum dari sebuah proyek infrastrukturyang ditawarkan. Beberapa aturan tentang proses pengadaan tanahmisalnya, membolehkan pemerintah mencabut hak atas tanahwarga negara untuk kepentingan pembangunan infrastruktur.Kehadiran RUU ini adalah hasil koalisi pemerintah, pengusahadan partai politik. Sekretariat Gabungan (Setgab) secara terangteranganmengatakan dukungan terhadap RUU Pengadaan tanahini tanpa terlebih dahulu melihat urgensi dan apa dampaknyabagi rakyat. RUU Pengadaan tanah ini juga menunjukkan wajahpemerintahan SBY-Boediono yang anti rakyat. Dari segi proses,RUU ini patut dipersoalkan, karena pembahasannya yang tidakpartisipatif dan demokratis. Rakyat akan menjadi target dari


122 123kebijakan ini tidak pernah dimintai pendapat. Proses konsultasiyang diintrodursir RUU ini bersifat sangat formalitas, karenakonsultasi tidak diarahkan untuk mendapatkan persetujuan darimasyarakat mengenai apakah mereka setuju atau tidak setuju.RUU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk KepentinganUmum ini, menyisakan banyak masalah. Diantaranya adalah :Pertama, dengan lahirnya UU semacam ini, penggusuran yangselama ini telah menjadi kejadian sehari-hari akan semakin banyakterjadi. Tentu saja potensi pelanggaran HAM di dalamnya sangatbesar. Mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat hanyasedikit saja yang telah dilindungi dokumen hukum yang lengkap.Dari 85 juta bidang tanah (belum termasuk tanah-tanah yang beradadi kawasan hutan dan kawasan yang dikuasai oleh masyarakat adat)yang tercatat pada tahun 2004, baru 26 juta bidang yang bersertifikat(30%). Tahun 2005–2008 terjadi penambahan 13 juta sertifikat,sehingga sampai dengan tahun 2008 jumlah bidang tanah yangtercatat pada tahun 2004 saja masih 60 % yang belum bersertifikat.Lantas, Jika kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasarganti rugi tanah yang diambil, bagaimana dengan tanah-tanah yangtanpa sertifikat yang jumlahnya jauh lebih banyak?Kedua, RUU ini akan mempertajam konflik atas tanah, termasukkonflik-konflik yang terjadi di tanah-tanah adat yang diakibatkanoleh minimnya pengakuan Negara terhadap hak masyarakat adatatas tanah. Dalam situasi demikian, Pemerintah seharusnya terlebihdahulu membuat sebuah regulasi yang memperjelas status hakmasyarakat adat atas tanah yang bersifat komunal (tanah ulayat)bukan regulasi semacam RUU ini. Tahun 2010 ini di PerkebunanKelapa Sawit terdata 106 orang mengalami kekerasan oleh aparatkeamanan yang diakibatkan oleh konflik lahan (Sawit Watch, 2010)Ketiga, Cepatnya pembahasan RUU ini menandakan bahwapemerintah kita begitu ramah dan mudah disetir oleh pengusaha.Bayangkan, menurut data BPN ada 7.2 juta hektar lahan yangditerlantarkan oleh pengusaha. Tapi, para pengusaha masihmengeluh untuk mendapatkan tanah.Keempat, dalam RUU ini tata cara ganti rugi yang kelak akandipakai terlalu menguntungkan pengusaha. Sehingga posisi rakyatsemakin lemah ketika tanah-tanahnya ditetapkan menjadi kawasanpembangunan untuk kepentingan umum.Kelima, RUU ini berdalih seolah-olah proyek yang didorongadalah kepentingan umum, padahal proyek tersebut adalahinfrastruktur yang sepenuhnya dibiayai dan dimiliki dan dikelolaoleh swasta, bahkan asing. Proyek tersebut seperti jalan tol,bendungan, pasar modern, pelabuhan, bandara adalah proyekproyekyang selama ini terbuka untuk swasta dan asing. Kepentinganumum menjadi selubung yang menutupi proyek-proyek tersebut(baca kepentingan modal) dalam beroperasinya.Proyek-proyektersebut bahkan akan mengancam tanah-tanah persawahan diJawa, jaringan irigasi yang akhirnya akan mengancam ketahananpangan. Hal yang paling jelas terlihat dalam RUU ini adalah gagalmendefinisikan kepentingan umum.Keenam, RUU ini ternyata sarat dengan pesanan asing,ditemukan dokumen-dokumen yang menyebutkan bahwa RUUini didorong oleh ADB dan Bank Dunia. Sejak tahun 2005, BankDunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank forInternational Cooperation (JBIC) adalah tiga lembaga kreditoryang memainkan peran kunci dalam mengarahkan kebijakanpembangunan infratruktur yang bercorak pasar di Indonesia.Ketiga lembaga tersebut sejak lama terlibat dalam penyediaanpendanaan bagi pembangunan infrastruktur serta bantuan teknisuntuk perubahan regulasi di bidang energi, jalan, komunikasi,bandar udara, air, dan pelabuhan. Lewat skema utang untuk”Program Pembangunan Reformasi Sektor Infrastruktur,” pihakkreditor mendorong pemerintah melakukan berbagai reformasikebijakan untuk menguatkan peran swasta melalui skema PublicPrivate Partnership (PPP) dan kebijakan liberalisasi.Ketujuh, selama ini pemerintah memiliki catatan buruk dalampengaturan dan pengadaan tanah karena selalu memakan korban.Berdasarkan kasus yang ditangani oleh LBH Jakarta, terjadikenaikan korban penggusuran dari 1883 KK pada 2006 menjadi6000 KK pada tahun 2007 di kawasan perkotaan.


124Delapan, Fungsi sosial atas tanah sebagaimana tercantumdalam UUPA bukan sekedar menjadi dasar legalitas pengambilantanah privat oleh Negara untuk kepentingan publik, tetapi secaralebih mendasar harus dimaknai sebagai jaminan penggunaan danpengadaan tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat danmenghindari penghisapan rakyat golongan lemah. Oleh sebab itupembangunan yang disebut untuk ‘kepentingan umum’, harusdiukur sifat publiknya berdasarkan keluasan akses manfaat.Kemitraan modal asing dan privatisasi pembangunan infrastruktursama diragukan kemampuannya dalam memenuhi fungsi sosialatas tanahBerdasarkan atas masalah di atas, maka kami yang tergabungdalam Koalisi Rakyat Anti Penggusuran menyatakan sikap sebagaiberikut :Menolak RUU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untukKepentingan Umum, dan mendesak pemerintah dan DPR untukmenghentikan proses pembahasannya. Mempercepat pembahasanRUU ini sama artinya melegalkan proses perampasan atas tanahtanahrakyat secara legal.Mendesak kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyatuntuk segera melakukan kaji ulang dan review terhadap peraturanperaturanyang terkait dengan sumber-sumber agraria sebagaimanayang telah dimandatkan oleh TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.Mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukanperombakan atas pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan atastanah dan sumber daya alam melalui program reforma agrariasesuai dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentag PeraturanDasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).Demikianlah pernyataan sikap kami buat untuk mendapatperhatian. Atas kerjasama dan partisipasinya diucapkan banyakterima kasih.Jakarta, 19 Oktober 2010.Catatan Kaki1. http://bbp2tp.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=377&Itemid=12. Kabupaten Merauke sekarang adalah ‘sisa’ dari pengembanganKabupaten Merauke yang dilakukan pada tahun 2002. Saat itu sebagaianwilayah Kabupaten Merauke awal dipecah-pecah ke dalam 3 kabupatenlain, masing-masing adalah Kabupaten Boven Digul, Kabupaten Mappi,dan Kabupaten Asmat. Pada tahun 2009 lalu telah pula dilakukansemacam studi kelayakan untuk mengembangkan sebagian wilayahKabupaten Boven Digul sekarang ini menjadi sebuah Kabupaten yangbaru yang diperkirakan menjadi Kabupaten Muyu (dan Mandobo). LihatTim Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Universitas GadjahMada, 2009, Kajian Daerah tentang Rencana Pembentukan KabupatenMuyu, Pemekaran dari Kabupaten Boven Digul, Propinsi Papua. KerjasamaProgram S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Universitas Gadjah Mada& Pemerintah Kabupaten Boven Digul.3. Lihat “Melihat Investasi Medco di Merauke, Keuntungan Buat Rakyat?”,dalam Tabloid JUBI, Edisi 38/Tahun II, Kamis, 2 – 15 Juli 2009, Hal. 5.4. Tabloid JUBI, Edisi 38/Tahun II, Kamis, 2 – 15 Juli 2009, ibid.5. Lihat Sekretariat Keadilan dan Perdamain Keuskupan Agung Merauke,2010a, Laporan Badan Pelaksana kepada Badan Pendiri tentangPelaksanaan Kegiatan SKP – KAM Tahun 2009; dan 2010b, “LaporanProses, Hasil, dan Tindak Lanjut Pelatihan Lanjutan Agraria”, Merauke, 3 –6 Mei 2010; dan “Pelatihan Lanjutan Penyusunan Peraturan Kampung.”Merauke, Tanggal 7 – 8 Mei 2010.6. Muridan S. Widjojo, et.al., 2010, Papua Road Map: Negotiating the Past,Improving the Present and Securing the Future. Jakarta: LIPI, Yayasan TIFA,dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Buku versi Bahasa Inggris terbit


126 127pada tahun 2010 ini, diterbitkan atas kerjasama KITLV, LIPI, dan YayasanPustaka Obor Indonesia.7. Lihat Koentjaraningrat, et.al., eds., 1994. Irian Jaya, MembangunMasyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan.8. Majalah TEMPO, 17 Agustus 2010.9. Lihat ‘Laporan Diskusi MIFEE Bersama Masayarakat Kampung Sirapu danKuper, Merauke,’ Senin, 24 Augustus 2010, yang diselenggarakan olehYayasan Santo Antonius (YASANTO), Merauke; dan beberapa posting dimailing list adatlist@yahoogroups.com dalam periode waktu dimaksud.10. Harian KOMPAS, 6 Agustus 2010. Ditampilkan dalam rubrik FOKUS yangterbit berkala, hasil reportase ini dikemas ke dalam 6 (tulisan) yangmasing-masing membahas topik permasalahan lapangan yang berbeda,yang diperkirakan merupakan persoalan yang tengah dan akan dihadapiprogram MIFEE. Masing-masing adalah ‘Latar Belakang, Arus di BelakangGelora MIFEE’, ‘Jangan Anggap Remeh Batas Wilayah Adat’, ‘Sarana, MinimInfrastruktur’, ‘Alam dan Identitas Masyarakat <strong>Malind</strong>’, ‘Dibalik GempitaMIFEE’. Reportase lapangan yang dilakukan oleh B Josie Susilo Hardiantoini adalah tindak lanjut dari sebuah diskusi yang bertajuk ‘Masa DepanPetani dan Pertanian Indonesia, yang diselenggarakan Harian KOMPASbersama Aliansi NGO yang tergabung dalam Masyarakat Peduli PanganNusantra dan Lead Associate Cohort 14, yang diselenggarakan padatanggal 13 Juli 2010. Dua hari sebelumnya, yakni tanggal 4 Agustus2010, Harian KOMPAS juga menurunkan tulisan Hermas E. Prabowo yangbertajuk ‘Pertanian Kian Meninggalkan Petani Kecil’. Tulisan WartawanHarian Kompas ini juga bersumber dari diskusi dimaksud.11. Lihat Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke 2010; KADIN, 28-29 Januari2010; dan Feed The World, 28 Januari 2010.12. Lihat RTR Kawasan Merauke Harus Sejalan Dengan Program MIFEE,dalam The Boven Digoel Post, 21 Juni 2010, http://digoel.wordpress.com.13. Sebagaimana yang dikemukakan Bupati Merauke, Kompas.com 12Februari 2010.14. Lihat 36 Perusahaan Garap MIFEE, dalam Koran Republika, 11 Agustus2010.15. Lihat “Melihat Investasi Medco di Merauke, Keuntungan Buat Rakyat?”,dalam Tabloid JUBI, Edisi 38/Tahun II, Kamis, 2 – 15 Juli 2009, Hal. 5.16. Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, 2010, ibid.17. Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, 2010, “MIFEE, Program Konkritdalam Mewujudkan Merauke Sebagai Kawasan Ekonomi Khusus PanganNasional”, Bahan Presentasi dan Sosialisasi Program MIFEE.18. Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, 2010, ibid.19. Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, 2010, ibid.20. Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, 2010, ibid.21. Lihat Laksmi Savitri, “MIFEE untuk Kepentingan Siapa?” Bogor: SAINInstitut, 2010.22. Savitri (2010), ibid.; lihat juga Pemda Kabupaten Merauke 2010.23. Lihat Koentjaraningrat, 1994, et.al., eds., op.cit.24. Muridan S. Widjojo, et.al., 2010, op.cit.25. State of Future 2006, Hal. 16.26. Lihat juga Asia Society & IRRI Task Force, 2010, Never an Empty Bowl,Sustaining Food Security in Asia.27. Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, 2010, “MIFEE, Program Konkritdalam Mewujudkan Merauke Sebagai Kawasan Ekonomi Khusus PanganNasional”, Bahan Presentasi dan Sosialisasi Program MIFEE.28. Sejak tahun 2008 lalu Pemerintah Indonesia, melalui Kantor MenteriKoordinasi Bidang Perekonomian telah mulai menyelenggarakan sebuahprogram untuk menemukan dan memasyarakatkan penggunaan energialternatif yang bertajuk Desa Mandiri Energi (DME). Namun, capaianprogram ini masih jauh dari harapan. Lihat Kementerian KoordinasiBidang Perekonomian Republik Indonesia dan GTZ, Evaluasi TerhadapProgram Desa Mandiri Energi dari Aspek Transfer Teknologi, Kelembagaan,dan Partisipasi Masyarakat. Mei 2009.29. Lihat GFA Consulting Group & GFA Envest, Feasibility Study odDevelopment of Jantropha Cucas Oil for Bio-Energy in Rural Areas,Indonesia. KfW Entwicklungsbank & Ministry of Agriculture of Indonesia,Januari 2008.30. The World Bank, 2010, Rising Global Invesment in Farmland, Can It YieldSustainable and Eqyuitable Benefits? 7 September 2010, 12:00, PM EST.31. Idham Arsyad, Food Estate, Imperialisme Agrobisnis, sumber: http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=480&Itemid=1. Lihat juga Idham Arsyad, “Petani Sejahtera Baru Sekedar Mimpi”,Harian Kompas, Kamis, 23 September 2010.32. Lebih lanjut lihat Usep Setiawan, “Food Estate dan Reforma Agraria,Catatan Kritis Atas PP No. 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman”.Makalah yang dipersiapkan untuk berbagai kegiatan konsolidasi gerakanpembaruan agraria dan kebutuhan media massa, 22 Maret 2010.33. Harian KOMPAS, 13 Februari 2010. Dikuti dari Arsyad, 2010, op.cit.34. Lebih lanjut lihat Usep Setiawan, “Food Estate dan Reforma Agraria,Catatan Kritis Atas PP No. 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman”.Makalah yang dipersiapkan untuk berbagai kegiatan konsolidasi gerakanpembaruan agraria dan kebutuhan media massa, 22 Maret 2010.35. Lihat Cahyono (2009), http://suarapembaca.detik.com/read/2009/12/02/081928/1252310/471/food-estate-konsep-pengembangan-pangan,dikutib dari Setiawan, 2010, ibid.36. Lihat Mukhamad Najib dalam Suara Pembaruan, 28 Januari 2010. Dikutipdari Setiawan, 2010, ibid.


128 12937. Lihat http://www.spi.or.id/?p=1723. Dikutip dari Setiawan, 2010., ibid.38. Idham Arsyad, Food Estate, Imperialisme Agrobisnis, sumber: http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=480&Itemid=1. Lihat juga Idham Arsyad, “Petani Sejahtera Baru Sekedar Mimpi”,Harian Kompas, Kamis, 23 September 2010.39. Lihat Harian KOMPAS, Tanggal 14 Oktober 2010.40. Lihat Kompas.Com, Selasa, 15 September 2009, 15:03 WIB.41. Harian KOMPAS, 24 November 2009.42. Majalah TEMPO, No. 17 Agustus 2010.43. Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam acara talkshow “Evaluasi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II” di Metro TV, Tanggal 19Oktober 2010 malam.44. http://id.news.yahoo.com/antr/20101020/tpl-menteri-pu-draft-ruupengadaan-lahan-cc08abe.html45. Lihat Koalisi Rakyat Anti Penggusuran (terdiri dari KonsorsiumPembaruan Agraria (KPA), Bina Desa, Wahana Lingkungan HidupIndonesia (Walhi), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA),Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Pergerakan Bandung,Sayogyo Institute (Sains), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat PetaniIndonesia (SPI), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), KoalisiPendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), Koalisi Anti Utang (KAU),HuMA, Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS),Urban Poor Consortium (UPC), Sawit Wacth (SW), Solidaritas Perempuan(SP), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan ELSAM), 19 Oktober2010, “HENTIKAN PEMBAHASAN RUU PENGADAAN TANAH UNTUKPEMBANGUNAN BAGI KEPENTINGAN UMUM”, SIARAN PERS tentangRESPON ATAS RUU PENGADAAN TANAH DAN EVALUASI SETAHUNKEBIJAKAN AGRARIA PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO.46. Lihat Kompas,Com., 20 Oktober 2010, Jam. 03: 22. Lihat juga KoalisiRakyat Anti Penggusuran, 2010, ibid.47. Lihat Kompas,Com., 20 Oktober 2010, Jam. 03: 22.48. Lihat Kompas,Com., 20 Oktober 2010, Jam. 03: 22.49. Dikutip dari Borras, et.al., 2010. Hal. 578.50. Borras, et.al., 2010. Hal. 583.51. Borras dan Franco 2010b, 5-6, dalam Borras, et.al., eds., 2010, “The politicsof biofuels, land and agrarian change: editors’ introduction”, Journal ofPeasant Studies, 37: 4, 575 — 592. http://dx.doi.org/10.1080/03066150.2010.51244852. Shepard Daniel dan Anuradha Mittal, 2009, The GreaT Land Grab RushfoR WoRld’s farmland ThReaTens food secuRiTy foR The PooR. Oakland: Theoakland institute.53. Verie Aarts, 2009, Unravelling the ‘Land Grab’ How to Protect the Livelihoodsof the Poor? The Hugue: Oxfam Novib.54. Joachim von Braun dan Meinzen Dick-Ruth, “Land Grabbing by ForeignInvestors in Developing Countries: Risks and Opportunities”. IFPRI PolicyBrief 13 • April 2009. Untuk informasi lebih lanjut dan untuk memberikanumpan balik, silahkan kunjungi www.ifpri.org/pubs/bp/bp013.asp.55. The World Bank, Rising Global Interest in Farmland, Can It Yield Sustainableand Equitable Benefits? September 7, 2010; 12:00 PM EST.56. Borras, et.al., eds., 2010, loc.cit.57. von Braun dan Meinzen-Dick , 2009, op.cit.58. Aarts, 2009, op.cit.59. Borras, et.al., eds., 2010, loc.cit.60. von Braun dan Meinzen-Dick , 2009, op.cit.; The World Bank, 2010, op.cit.61. Arifin Panigoro, “Memandang Indonesia dari Merauke”, dalam HarianKompas, Sabtu, 29 Agustus 2009.62. Aarts, 2009, op.cit.63. M.S. Swaminathan, 2002, From Rio de Janeiro to Johannesburg, hal.109 -11164. Lihat Muridan S. Widjojo, et.al., op.cit.65. Yang dimaksud dengan solusi ‘non-M’ di sini adalah solusi-solusi selainpilihan Merdeka alias memisahkan diri dari Negara Kesatuan RepublikIndonesia.66. Lihat Koentjaraningrat, 1994d, “Penutup”. dalam Koentjaraningrat, et.al.,eds., Irian Jaya, Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: PenerbitDjambatan.67. Koentjaraningrat, 1994d, ibid., hal. 464.68. Koentjaraningrat, 1994d, ibid. hal. 464.69. Koentjaraningrat, 1994c, et.al. dalam Koentjaraningrat, et.al., eds., hal. 454.70. Lihat juga Widjojo, 2010, op.cit.,; Fandri Yuniarti, ed., 2009. Ekspedisi TanahPapua, Terasing di Tanah Sendiri. Laporan Jurnalistik KOMPAS, Jakarta:Penerbit Buku KOMPAS.71. Widjojo, et.al., 2010, ibid.72. Lihat Riwanto Tirtosudarmo, “Demographic Engineering, PopulationMobilityand Social Conflict in Indonesia” paper presented at the ‘Workshopon the Socio-economic Situation during the Economic Crisis in Indonesia’,organized by Indonesia Study Group - National University of Singapore,Singapore: 30 May-1 June 2000.73. McGibbon, Papua: Plural Society in Perils, dikutip dari Widjojo, et.al., 2010,ibid.74. Pidato Clements Runawery di the Autralian Institute of InternationalAffairs (SA), Adelaide University, 21 September, 2006, sebagaimanadikutip Jim Elmslie, West Papua: Genocide, Demographic Change, theIssue of ‘Intent’, and the Australia-Indonesia Security Treaty, n.p. Dikutipdari Widjojo, et.al., 2010, op.cit.


130 13175. Widjojo, et.al., 2010, op.cit.76. Brad Simpson, “Power, Politics, and Primitivism: West Papua’s Struggle forSelf-Determination” dikutip dalam Critical Asian Studies, 2003.77. Sayangnya, sebagaiman ditulis Tim Peneliti LIPI, hal ini tidakdirencanakan sedemikian rupa. Akibatnya, penerimaan pegawai danpengambilan jabatan sebagiannya mengabaikan aturan kepegawaian,jenjang karier dan golongan, terutama kompetensi. Inkompetensipejabat dan pegawai baru mengakibatkan penurunan kualitaspelayanan public, pengelolaan administrasi pemerintahan, dan semakinmaraknya korupsi.78. Lihat juga Koentjaraningrat, 1994d, op.cit. hal. 463.79. Koentjaraningrat, 1994b, “Kebijakan Pembangunan dari Atas”, dalamKoentjaraningrat, et.al., eds., op.cit., hal. 430.80. Koentjaraningrat, 1994d, op.cit., hal. 463 - 464.81. Koentjaraningrat, 1994b, “Kebijakan Pembangunan dari Atas”, dalamKoentjaraningrat, et.al., eds., op.cit., hal. 430.82. Lihat Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, 2010, loc.cit.83. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, 2009,“Dusun tanah kami sudah habis semua dibeli pemerintah: LaporanHasil Pertemuan Komunitas Adat, Organisasi Masyarakat Sipil denganKomisi Nasional Hak Asasi Manusia”. Merauke, 21 Mei 2009. Dalam laporandi maksud tidak diperoleh penjelasan apakah kesepakatan itu diambiltanpa proses paksaan, halus maupun kasar.84. Misalnya lihat Tom Beanal, 1997. Amungme, Magaborat Jombei Peibei.Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI); Geoge MartinSirait, et.al., 2009. Budaya dan Tanah Adat Orang Moni, di Distrik Sugapa,Papua. Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat UniversitasKatolik Indonesia Atma Jaya; dan Yuniarti, ed., 2009, loc.cit. Lihat jugakutipan langsung dari seorang informan pada bagian lain dokumen ini.85. Soal adanya larangan masuk kampung Boepe ini memang dibenarkanoleh Pendeta di Kampung Boepe. Ketika melakukan kunjungan lapangandi ujung bulan Juli 2010 lalu, kami pun tidak jadi mengunjungi Boepe.Mitra kerja kami di Merauke, yakni teman-teman di YASANTO dan SKPKAM, tidak yakin tim akan bisa menembus kampung Boepe. Karenawaktu kunjungan relatif terbatas, kami akhirnya memang membatalkanrencana kunjungan ke kampung Boepe ini.86. Lihat Tabloid JUBI, 2009, op.cit.87. Lihat Sajogyo, 1993, dikutip dari Savitri, 2010, loc.cit.88. Koentjaraningrat, 1994a, “Dinamika dan Kebhinekaan Penduduk” dalamKoentjaraningrat, et.al., eds., op.cit., hal. 104.89. Koentjaraningrat, 1994a, ibid., hal. 106.90. Lihat J,R. Mansoben, 1994, “Kebinekaan Sistem KepemimpinanTrandisional di Irian Jaya”, dalam Koentjaraningrat, et.al., eds., op.cit., hal.385.91. Lihat misalnya diskusi yang terjadi selama Lokakarya Hasil IdentifikasiTempat Penting Masyarakat Suku Besar <strong>Malind</strong> Anim dalam Bio-VisiEcoregion Trans Fly. Lihat Tim WWF Kantor Merauke, 2006, “LaporanLokakarya Hasil Identifikasi Tempat Penting Masyarakat Suku Besar<strong>Malind</strong> Anim dalam Bio-Visi Ecoregion Trans Fly”,, Merauke, 19 – 21September 2006. Kerjasama WWF, LMA <strong>Malind</strong> Anim, Taman NasionalWasur, Pemda Merauke, Ford Foundation, dan DEHUT – DFID.92. Lihat Tim Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UniversitasGadjah Mada, 2009, op.cit.93. Lihat Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke,2010, “Laporan Proses, Hasil, dan Tindak Lanjut Pelatihan LanjutanAgraria”, Merauke, 3 – 6 Mei 2010.94. Lihat Tim WWF Kantor Merauke, 2006, op.cit. Lihat juga Laporan-laporanStudi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang diselenggarakandi Kabupaten Merauke, misalnya, PT. Widya Cipta Buana, Januari 2008,Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (ANDAL) Rencana KegiatanIUPHHK – HT – HTI Pulp, PT. Selaras Inti Semesta; Analisis DampakLingkungan Hidup Izin Usaha Perkebunan (IUP) Kelapa Sawit PT. DonginPrabhawa, Februari 2009; dan Analisis Dampak Lingkungan Hidup(ANDAL) Pembangunan Perkebunan dan Pabrik Pengolahan KelapaSawit PT. Bio Inti Agrindo, April 2009.95. Koentjaraningrat, 1970, “Pendahuluan”, dalam Koentjaraningrat, 1970, ed.,Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”. Jakarta: Penerbit Djambatan.96. Menurut pendekatan ini, penyerapan teknologi tidak hanya menekankanaspek penerimaan terhadap teknologi yang bersangkutan (hardwareof technology), seperti perangkat mesin, tapi juga menekankanketerlibatan masyarakat dalam proses, yang disebut dengan perangkatlunak (software) dan pengorganisasian (orgware) dari teknologi yangbersangkutan. Lebih lanjut lihat Thorne Steve, 2007. Towards a frameworkof Clean Energy Technology Receptivity, South South North Project.97. Lebih lanjut lihat Jacqueline Vel, 2010, Ekonomi-Uma, Penerapan adatdalam dinamika ekonomi berbasis kekerabatan. Jakarta: Kerjasama HuMA-Jakarta, Van Vollenhoven Institute, Leiden University, dan KITLV, Jakarta.98. Lebih lanjut lihat Jacqueline Vel, 2010, ibid.99. Lihat misalnya uraian Koentjaraningrat, 1994b, “Kebijakan PembangunanDari Atas”, dalam Koentjaraningrat, et.al., eds., 1994, op.cit.100. Yan Pieter Karafier, 1984, “Perbedaan Taraf Hidup Transmigran Nasionaldan Penduduk Setempat di Warmare, Manokwari”, dalam E,K.M.Masinambow, ed., Maluku dan Irian Jaya. Buletin LEKNAS, Vol. III, No. 1,1984, Terbitan Khusus. Jakarta: Lembaga Ekonomi dan KemasyarakatanNasional, Lembaga Ilmu Pengathuan Indonesia.


132 133101. Harian Kompas, Tanggal 6 Agustus 2010.102. Tim WWF Kantor Merauke, 2006, op.cit.103. Siwono Yudhohusodo, dalam KOMPAS.Com, berkembang rumor ditengah aktivis bahwa Siswono, mantan Menteri dari zaman Orde Baru,bos kelompok usaha Bangun Cipta Sarana, sebuah kelompok usahayang juga telah mulai berinvestasi di Kabupaten Merauke, adalahaktor penting yang berupaya sekuat tenaga untuk menggolkan RUUHortikultura yang baru-baru ini telah disahkan menjadi Undangundang.Konon Yudhohusodo sampai menunggui panitia kerja bekerjamerumuskan pasal-pasal yang akan dimuat dalam kebijakan di sektorhortikultura itu. Seperti telah disinggung dalam bagian terdahulu,undang-undang ini juga bermasalah karena mengandung sejumlahpasal yang potensial merugikan petani kecil.104. Widjojo, et.al., 2010, op.cit. Lihat juga Koentjaraningrat, 1994a & 1994b,Koentjaraningrat, et.al., eds., 1994, op.cit.105. Koentjaraningrat, 1994b, loc.cit., dalam Koentjaraningrat, 1994, et.al., eds.,op.cit., hal 427 – 428.106. Lihat Widjojo, et.al., 2010., op.cit.107. Koentjaraningrat dan D. Ajamiseba, 1994, “Reaksi Penduduk Asli TerhadapPembangunan dan Perubahan”, dalam Koentjaraningrat, 1994, et.al.,eds., op.cit., hal. 433 -434. Lihat juga Koentjaraningrat, 1994b, dalamKoentjaraningrat, 1994, et.al., eds., op.cit., hal. 403.108. Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke, 2010, loc.cit.109. Menurut sebuah kajian tentang Kegagalan PLG antara lain disebabkanoleh kurangnya perhatian terhadap aspek teknis, lingkungan,sosial ekonomi dan budaya, mulai dari proses perencanaan sampaipelaksanaan. Lihat Didi Ardi Suriadikarta, Balai Penelitian Tanah,“Pembelajaran dari Kegagalan Penanganan Kawasan PLG SejutaHektar Menuju Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan dalamPengembangan Inovasi Pertanian 2 (4), 2009;229-242.110. Lebih rinci lihat Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke 2010.111. Savitri, 2010, loc,cit.112. Lihat Wiradi, 2010, dikutip dari Savitri, 2010, ibid.113. Savitri, 2010, loc,cit.114. Arsyad, 2010, loc.cit.115. Lihat Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), “IndustrialisasiPerikanan, Menggugat MIFEE, Kertas Posisi, 12 Oktober 2010.116. Damanik (2010), dalam Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA),2010, ibid.117. Sebagaimana terungkap dalam kegiatan penelitian yang dilakukan olehLPEM FEUI sekitar 10 tahun lalu, di mana penulis terlibat di dalamnya,usaha tani di pemukiman transmigran bisa berjalan dengan baik – dalamarti sangat menguntungkan -- karena ada sekitar 30% peserta programlainnya yang meninggalkan pemukiman. Tanah-tanah yang ditinggalkankemudian beralih tangan kepada peserta program yang tetap bertahan.Tambahan lahan garapan ini memungkinkan si penggarap menerapkansistem bera (tanah diistirahatkan, tidak ditanam untuk jangka waktutertentu). Dengan cara ini maka produksi setiap persil lahan tetap tinggi.118. Lihat kembali beberapa kisah pelepasan hak penguasan lahan padabagian ‘Dinamika Lapangan’ terdahulu.119. Soal pandangan lokal tentang makna tanah dalam kehidupan kelompokkelompokmasyarakat adat di Papua ini lihat kembali Beanal, 1997, op.cit.;Sirait, et.al., 2009, op.cit.; dan Yuniarti, ed., 2009, op.cit.120. Paper Barnabas Suebu yang disampaikan pada “Innovative LeadersForum”, Jakarta, 15 Mei 2007, diselenggarakan oleh Staf KhususKepresidenan Republik Indonesia.121. Lebih jauh lihat kembali Karafier, 1984, op.cit.122. Tentang berbagai konflik di beberapa daerah di Indonesia pascareformasiini dapat dilihat dalam Gerry van Klinken, 2007, Perang KotaKecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: KITLV– Jakarta & Yayasan Obor Indonesia. Bahkan, ketika laporan ini disusun,di tengah masyarakat beredar video pendek yang merekam tindakankekerasan – atau penyiksaan – yang dilakukan oknum tentara terhadapsejumlah penduduk asli di daerah Jayawijaya, Papua.123. Tentang kasus-kasus pelanggaran pelanggaran HAM yang terjadi di5 kabupaten, termasuk Kabupaten Merauke, yang terjadi pada kurunwaktu 1995 – 2001, periksalah Aliansi Demokrasi untuk Papua, 2002,“Laporan Penelitian Pemetaan Daerah Konflik Pelanggaran HAM di LimaKabupaten Propinsi Papua (Jayapura, Biak, Manokwari, Merauke danJayawijaya), 1995 – 2001.” Port Numbay: Aliasi Demokrasi untuk Papuadan USAID – CSSP. Lihat juga Suranto, Hanif, 2008, “Memori Passionisdi Papua tahun 2006: Lintasan Peristiwa HAM, Politik, Ekonomi, Sosial,Budaya, Pendidikan, Kesehatan, Sumberdaya Alam, Sekretariat Keadulandan Perdamaian Keusukupan Jayapura.124. Irene I. Hadiprayitno, 2010, “Food security and human rights in Indonesia”,dalam Development in Practice, Publication details, including instructionsfor authors and subscription information: http://www.informaworld.com/smpp/title~content=t713412875125. Lihat PT. Widya Cita Buana, 2008, Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL),Rencana Kegiatan IUPHHK – HT HTI Pulp. Jakarta.126. Ekspresi dari ketidak cocokan pandangan antara pihak Propinsi danKabupaten ini dapat dilihat pada kasus penyitaan alat-alat berat untukIzin Pemanfaatan Kayu di Lokasi Industri PT. Medcopapua IndustriLestari. Kasus ini berawal dari permintaan Gubernur Papua kepadaKepala Kepolisian Daerah Papua Republik Indonesia untuk menyita


134 135alat-alat kerja dimaksud. Hal ini karena pihak Pemerintah Propinsi merasabelum memberikan rekomendasi atas keberadaan kegiatan pada PT.Medcopapua Industri Lestari.127. Lihat Surat Pernyataan Peserta Lokakarya Penyusunan PeraturanKampung, Sekretariat Kemanusiaan dan Perdamaian KeuskupanMerauke, Merauke, 7 – 8 Mei 2010.128. Kritik terhadap perdasus ini dapat dilihat pada R. Yando Zakaria, 2009,“Beberapa catatan atas perdasus no. 23 tahun 2008 tentang hak ulayatmasyarakat hukum adat dan hak perorangan masyarakat hukum adatatas tanah.” Handout yang dipersiapkan untuk keperluan berbagai‘konsultasi publik’.129. Marcus Colshester dan Fergus McKay, 2004, In search of Middle Ground:Indigenous <strong>Peoples</strong>, Collective Representation and the Right to Free, Priorand Informed Consent. UK: <strong>Forest</strong> <strong>Peoples</strong> <strong>Programme</strong>.130. Tentang daya terima masyarakat dalam program transmigrasi polaPIR di Arso dan Prafi ini lihat uraian Koentjaraningrat, 1994b, dalamKoentjaraningrat, et.al., eds., 1994, op.cit.131. Lihat Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), “IndustrialisasiPerikanan, Menggugat MIFEE, Kertas Posisi, 12 Oktober 2010.132. Koentjaraningrat, 1994b, loc.cit., dalam Koentjaraningrat, 1994, et.al., eds.,op.cit., hal 424 – 425.


Tentang PUSAKAPUSAKA adalah lembaga nirlaba yang fokus bekerja melakukanriset advokasi, pendokumentasian dan mempromosikan hakhakmasyarakat adat, pengembangan kapasitas, pendidikan danpemberdayaan yang berhubungan dengan issu hak-hak masyarakatadat, social ekonomi dan budaya, serta penguatan organisasimasyarakat adat. PUSAKA berdiri tahun 2001 berdasarkan aktanotaris No. 13, tanggal 13 Agustus 2002. Pada tahun 2003 – awal2007 terjadi stagnasi program, kemudian direvitalisasi pada tahun2007 berdasarkan Akta No. 10, tanggal 5 Nopember 2007, yangdikeluarkan Notaris Hj. Nurmiati SH di Jakarta.PUSAKA didirikan oleh para aktivis dan berpengalaman dalamkegiatan advokasi hak-hak masyarakat adat, lingkungan dan hakasasi manusia, serta pendidikan popular.Visi dan misi PUSAKA:Adanya perubahan kebijakan yang mengakui dan melindungikeberadaan dan hak-hak masyarakat adat dan kelompok masyarakatmiskin serta sumber kehidupan mereka secara berkeadilan,demokratis, berperspektif gender dan lingkungan hidup yangberkelanjutan.


138Meningkatkan kapasitas dan pengetahuan masyarakatdan organisasi masyarakat melalui pendidikan dan latihan,pendampingan masyarakat dan keragaman media informasi yangdapat berperan dan mengembangkan daya juang masyarakatdalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi manusia danberpartisipasi menentukan kebijakan pembangunan.Program PUSAKA, yaitu: (1) Melakukan riset advokasi danpendokumentasian hak-hak masyarakat dan dalam pengelolaansumberdaya alam. (2) Melakukan pendidikan dan pelatihan,seminar, workshop, pengembangan media informasi dan publikasi.(3) Melakukan pendampingan dan pengorganisasian masyarakat.(4) Melakukan kerjasama dengan mitra dan organisasi masyarakatsipil dalam melakukan usaha advokasi.Alamat: Kompleks Rawa Bambu, Jl. B No. 6 B, Pasar Minggu(12520), Jakarta Selatan, Indonesia. Telepon/ Fax: 021 7892137.Email: yay.pusaka@gmail.com

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!