12.07.2015 Views

LAPORAN PENGKAJIAN HUKUM TENTANG OPTIONAL ...

LAPORAN PENGKAJIAN HUKUM TENTANG OPTIONAL ...

LAPORAN PENGKAJIAN HUKUM TENTANG OPTIONAL ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>LAPORAN</strong> <strong>PENGKAJIAN</strong> <strong>HUKUM</strong><strong>TENTANG</strong><strong>OPTIONAL</strong> PROTOCOL CEDAW TERHADAP <strong>HUKUM</strong> NASIONALYANG BERDAMPAK PADA PEMBERDAYAAN PEREMPUANOleh :Tim Pengkajian Hukum Yang Diketuai :DR. Ir. Adhi Santika, PhDDengan mengucapkan puji dan syukur kehadapan Tuhan YangMaha Esa, Pengkajian Hukum tentang :” Optional Protocol CEDAWTerhadap Hukum Nasional Yang Berdampak Pada PemberdayaanPerempuan”, dapat diselesaikan walaupun mengalami keterlambatan.Tim bekerja berdasarkan SK Menteri Hukum dan HAM No G1-19.PR.09.03 Tahun 2006 ,dengan susunan keanggotaan sebagai berikut :Nara Sumber : Syamsiah Achmad MAK e t u a : DR Ir Adhi Santika PhDSekretaris : Sumijati Sahala, SH,M.HumAnggota :1. Mujiati,SH (Kementerian Pemberdayaan Perempuan)2. Nursyahbani Katjasungkana, SH / Ratna Batara Munti, Msi (APIK)3. Eni Hartati (Deplu)4. L.I Nurtjahyo, SH, MH (FH-UI)5. Lies Siregar, SH6. Marulak Pardede, SH, MH, APU7. Raida L. Tobing, SH8. Rachmat Trijono, SH, MH9. Hesty Hastuti, SH, MH10. Sri Sejati, SH, MHBADAN PEMBINAAN <strong>HUKUM</strong> NASIONALDEPARTEMEN <strong>HUKUM</strong> DAN HAMTAHUN 2007KATA PENGANTARWalaupun beberapa anggota yang telah ditunjuk tidak dapatsepenuhnya melaksanakan tugasnya dan hanya dapat diwakilkan saja namuntugas kajian dapat diselesaikan. Begitu pula pada akhir-akhir penyelesaianBapak Ketua sangat sibuk (tugas keluar kota dan keluar negri) sehinggapenyelesaiannya agak terlambat.Dengan ketekunan, keaktifan dan partisipasi para anggota timditambah dengan adanya nara sumber ibu Syamsiah Achmad,MA sertaanggota Tim ibu Nursyahbani Katjasungkana,SH, sangat membantumenambah wawasan dan masukan yang sangat berharga bagi hasil kajian.Untuk itu kami ucapkan terima kasih.Kami mengharapkan agar hasil kajian akan menghasilakan masukandan pemahaman yang berarti dan berguna bagi semua pihak.


Akhirnya kami atas nama Tim mengucapkan terima kasih kepadaKepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hamyang telah memberikan tugas dan kepercayaan kepada kami.Jakarta, Maret 2007a/n Ketua Tim ,Sumijati Sahala, SH, M.HumSekretarisDAFTAR ISIKATA PENGANTAR.................................................................... iDAFTAR ISI ............................................................................ iiiBAB I PENDAHULUAN ......................................................... 11. LatarBelakang ............................................................ 42. Permasalahan ............................................................ 53. Maksud dan tujuan ...................................................... 54. Ruang Lingkup ........................................................... 6BAB II IMPLEMENTASI CEDAW ……………………………………………… 7A. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi TerhadapWanita (Convention On The Elimination of All Forms ofDiscrimination Against Women)……………………………………………………………………………….. 71. Pendahuluan ............................................................... 72. Pokok – Pokok Ketentuan CEDAW ..................................... 93. Indikator Keberhasilan Pelaksanaan CEDAW ..................... 104. Pelaksanaan Konvensi CEDAW Di Indonesia ..................... 115. Faktor Sosial Budaya ..................................................... 126. Mekanisme Pelaksanaan, Pemantauan dan EvaluasiImplementasi Konvensi CEDAW Di Tingkat Pusat danDaerah........................................................................... 137. Matriks Penanggungjawab Pelaksanaan CEDAW Oleh Eksekutif....................................................................... 14B. Kebijakan – Kebijakan Di Indonesia Yang Berhubungan denganhak – hak perempuan …………………………………….. 15BAB III TINJAUAN <strong>OPTIONAL</strong> PROTOCOL …………..................... 51BAB IV POSISI <strong>OPTIONAL</strong> PROTOCOL CEDAW DALAM <strong>HUKUM</strong>NASIONAL YANG BERDAMPAK PADA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN…………………………………………………………………………………………… 61A. Kedudukan O.P CEDAW Dalam Hukum Nasional ………….. 61B. Dampaknya Terhadap Pemberdayaan Perempuan ……….. 64BAB V PENUTUP ………………………………………………………………….. 661. Kesimpulan .................................................................. 662. Saran..................................................................................... 67DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 68LAMPIRAN1) Protokol Opsional (Optional protocol) terhadap KonvensiPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,


Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (APIK), Desember2005.2) Daftar Permasalahan dan Pertanyaan Terkait Pembahasan LaporanPeriodik-Indonesia- Pra Sidang – Sesi ke-39 23 Juli-10 Agustus2007.1. Latar BelakangBAB IPENDAHULUANKonvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi TerhadapWanita (Konvensi CEDAW) telah diratifikasi oleh Indonesia denganUndang-undang No.7 Tahun 1984 yang sampai saat ini telah puladiratifikasi oleh 177 negara di seluruh dunia. Namun dengan KonvensiCEDAW yang telah mengikat negara-negara peserta untukmentaatinya masih saja terus terjadi berbagai diskriminasi terhadappermpuan. Konvensi CEDAW disepakati oleh Komite Status Wanita PBBberdasarkan rekomendasi dari Dewan ECOSOC bertujuan untukmemperjuangkan kesetaran substantif antara perempuan dan laki-lakidalam segala bidang. Bidang-bidang yang difokuskan dalam segalakehidupan tercermin dalam artikel-artikel yang diatur baik bidang sipil,budaya, ekonomi, politik maupun sosial.Substansi yang ada dalam Konvensi CEDAW, wajib diadopsiuntuk diimplementasikan ke dalam hukum nasional masing-masingnegara peserta. Hukum nasional yang menjadi hukum positif telahmengatur hak-hak perempuan, Undang-undang No.1 Tahun 1974tentang Perkawinan, Undang-undang No 23 Tahun 2003 tentangPenghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,Undang-undang No.13Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, KUHP, KUH Perdata, UndangundangNo.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan yang telahdirevisi dengan Undang-undang No 12 Tahun 2006,Undang-undangNo.20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, Undang-undang No.9Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan peraturan perundang-undanganlainnya. Dan yang baru saja disahkan Undang undang No 21 Tahun2007 tentang ”Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”,sebagai salah satu rekomendasi dari pasal 6 Konvensi CEDAW yangsekaligus menyatakan tidak berlaku lagi pasal-pasal dalam KUHP yangmengatur tentang perdagangan manusia. Apakah hukum positif kitatersebut telah mengadopsi Konvensi CEDAW seperti yang dikehendakioleh Komite Status Wanita (Commision on The Status of Women/CSW)PBB, serta telah dilaksanakan, sehingga benar-benar diskriminasi telahhapus ? Ternyata dari berbagai negara belahan dunia, negara-negarayang meratifikasi Konvensi CEDAW tersebut belum sepenuhnyamelaksanakannya secara konsekuen termasuk Indonesia.


Hal tersebut mendorong Majelis Umum PBB untukmenyepakati dan menyetujui dikeluarkannya Optional Protocol CEDAWpada tanggal 6 Oktober 1999 dan berlaku sejak Desember tahun2000. Indonesia melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan telahmenandatangani Optional Protocol tersebut pada tahun 2000. Sudah60 negara meratifikasi OP CEDAW tersebut, sementara masih ada 117negara yang belum meratifikasinya.OP CEDAW merupakan instrumen hak asasi manusia yangmelengkapi Konvensi CEDAW dengan menerapkan prosedurtambahan dalam pelaksanaannya , yakni Prosedur Investigasi danProsedur Komunikasi Individu. Indonesia yang telah menandatanganiOP CEDAW tahun 2000, berkomitmen untuk melaksanakan KonvensiCEDAW dengan lebih memperhatikan hak-hak perempuan agar tidakdidiskriminasikan. Oleh karenanya OP CEDAW menerapkan prosedurproseduryang memungkinkan para ahli yang independen dapatmelakukan pengawasan atas pengabaian pelaksanaan KonvensiCEDAW, dengan melakukan review atas pelanggaran hak perempuanyang terjadi dalam situasi khusus.OP CEDAW sendiri memberikan kesempatan bagi perempuandalam pengertian bahwa perempuan diberdayakan (empowerment)untuk mendapatkan hak-haknya berdasarkan keadilan, sehinggamasalah diskriminasi dapat dimunculkan dalam tingkat internasionaldan agar negara/ pemerintah yang bersangkutan lebih memperhatikankeadilan bagi warga negaranya (perempuan). Laporan negara(country report) dari setiap negara peserta untuk melaporkanpelaksanaan Konvensi CEDAW kepada Komisi Kedudukan Wanita/CSWdari masing-masing negara peserta, telah dievaluasi sejak KonferensiBeijing (Konferensi Dunia IV tentang Wanita) yang menghasilkanPlatform for Action : Equality, Development and Peace. Komitmentersebut disepakati untuk melakukan tindakan strategis di 12 bidangkritis (critical areas of concern).Untuk menindak lanjuti Konferensi Internasinal IV, padatanggal 28 Februari-11 Maret 2005, Komisi Kedudukan Perempuanmenyelenggarakan pertemuan yang diadakan di PBB pada sesi 49,New York. Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh MenteriPemberdayaan Perempuan melaporkan kemajuan mengenai ProgramAksi Beijing/BPFA. Terakhir Komisi tersebut dan Seksi Khusus SidangUmum , kembali mengadakan pertemuan dalam sidang ke-50 yangdiadakan di New York, 27 Februari sampai 10 Maret 2006. Indonesiamengirim 22 anggota dengan thema: “Women 2000 Gender Equality,Development and Peace for the Twenty –First Century ImplementationStrategic Objektives and Action in the Critical Areas Concern“, delegasidipimpin Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Kompas, 25Februari 2006).Sebagai tindak lanjut Country Report dari Indonesia diperiksaoleh Working Group pra sidang sesi ke 39 yang membahas laporanperiodik gabungan ke 4 dan ke 5 dari Indonesia (CEDAW/C/IDN/4-5),dimana berbagai permasalahan dan pertanyaan timbul termasuk


Protokol Opsional dan Amandemen terhadap pasal 20 Para 1. Artinyabahwa Indonesia tidak mempermasalahkan lagi pengratifikasian OPCEDAW, tapi lebih jauh adalah bagaimana kemungkinan akan adakemajuan yang telah dilakukan yang mengarah pada penerimaanuntuk amandemen terhadap pasal 20 para 1 dari Konvensi.Merupakan kewajiban Indonesia sebagai negara pesertaKonvensi untuk mengevaluasi pelaksanan Konferensi Wanita Duniadalam sidang di New York yang mengambil tema, yaitu:“Meningkatkan Pemberdayaan Perempuan dalam mencapaiKesetaraan Gender dan Partisipasi Perempuan dalam ProsesPengambilan Keputusan disemua tingkat”.Evaluasi tersebut tidak terlepas dari implementasi dari BeijingPlatt Form for Action (BPFA) dalam kaitannya dengan pencapaianTujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDgS).Bagi tujuan pelaksanaan BPFA, OP CEDAW telah disepakatisebagai instrument Nasional HAM dalam pencapaian terlaksananyakonvensi CEDAW. Indonesia telah memasukan OP CEDAW sebagaiprioritas untuk diratifikasi pada tahun 2007, berdasarkan Keppres No.40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia,2004-2009. Dimasukkannya salah satu program dalam Keppres No.40Tahun 2004 yaitu OP CEDAW sebagai instrumen HAM untuk diratifikasipada tahun 2007, adalah juga merupakan salah satu sebab, yaitusebagai Perekat Emosi Kebangsaan Memasuki Era Reformasi ,demikian dikatakan oleh Hafid. 12. PermasalahanO. P. CEDAW merupakan salah satu instrumen HAMInternasional yang perlu diadopsi dalam hukum nasional suatu negara.O. P. CEDAW merupakan upaya terakhir bagi korban diskriminasi,apabila hukum nasional tidak lagi mampu memberikan perlindungan.Namun di sisi lain masih ada pendapat masyarakat yang menilaibahwa Ratifikasi O. P. CEDAW membuka peluang bagi terjadinyaintervensi terhadap kedaulatan dari suatu negara.O. P. CEDAW memberikan kesempatan bagi individu untukmelaporkan kasusnya (kasus kongkrit). Oleh karena itu sangatsignifikan untuk mengkaji konsekuensi ratifikasi O. P. CEDAW sebagaisalah satu mekanisme pemberdayaan perempuan dalam aspek hukumnasional. Ratifikasi sebetulnya merupakan dukungan bagi negarauntuk mendorong pemerintah lebih giat menyempurnakan mekanismedan pelaksanaan hukum secara efektif di negara masing-masing.1 Hafid Abbas, Direktur Jendral Hak Asasi Manusia pada Departemen Hukumdan HAM dalam makalah : “Rencana Aksi Nasional (RAN) Hak AsasiManusia sebagai Kerangka Dasar Proses Rekonstruksi Sosial Memasuki EraIndonesia Baru”, dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali14-18 Juli 2003, Buku 2, BPHN-Departemen Kehakiman dan HAM


3. Tujuan dan KegunaanAdapun kegiatan pengkajian ini bertujuan untuk menemukanmasalah yang dihadapi kaum perempuan dalam melaksanakankehidupan mereka, yang tidak terlepas dari bentuk diskriminasi yangpada gilirannya tidak mendapatkan akses keadilan bagi harkat danmartabatnya sebagai manusia.Sedangkan kegunaannya adalah untuk memberikanmasukkan kepada pengambil kebijakan agar menjadi pertimbangandalam menentukan O. P. CEDAW dalam hukum nasional yangmemperhatikan pemberdayaan perempuan.4. Ruang LingkupKajian O. P. CEDAW terhadap hukum nasional yangberdampak pada pemberdayaan perempuan tidak terlepas darisubtansi Konvensi CEDAW sendiri dimana jangkauan materinya sangatluas (semua bidang kehidupan), oleh karenanya untuk mengkajibidang-bidang kritis tersebut yang akan disepakati dalam persidanganke-50 CSW di New York adalah: meningkatkan partisipasi perempuandalam pembangunan, membangun kondisi yang memungkinkan untukmencapai kesetaraan gender dan kemajuan perempuan. Issu duniasaat ini ditekankan pada bidang ketenagakerjaan. Lebih khusus lagiadalah migrasi internasional.5. Metodologi KajianDalam kajian ini identifikasi dilakukan dengan merujuk kepadasubtansi Konvensi CEDAW yang telah diadopsi dari berbagai peraturanperundang-undangan yang ada (hukum positif).Dalam mengumpulkan data, tim menggunakan data primerdan data sekunder dengan pendekatan yuridis normatif-empiris.Kebijakan nasional, berupa peraturan perundang-undangan sertaaturan konvensi internasional, baik yang sudah diratifikasi maupunyang akan diratifikasi menjadi acuan bagi kajian hukum ini sebagaidata sekunder. Untuk implementasi aturan tersebut tim menggunakandata primer, yaitu data-data hasil penelitian kemasyarakatan yangdikumpulkan dari LBH-Apik, Convention Watch Kajian Wanita dan datadari NGO-NGO yang dihimpun KOMNAS Perempuan dan data lainnya.BAB IIIMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW DI INDONESIA


A. Konvensi Mengenai Penghapusan Segala BentukDiskriminasi Terhadap Wanita (Convention On TheElimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) 21. PendahuluanPada tahun 1980 Indonesia menandatangani Konvensi CEDAW(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimintion AgainstWomen) dan lebih lanjut meratifikasinya pada tahun 1987 melaluiUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensimengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.Berbagai peraturan perundang-undangan sejak ratifikasi konvensitersebut telah diterbitkan berbagai peraturan perundang-undangan,baik pengaturannya dalam UUD 1945 maupun perundangan lain yangterkait dengan ketentuan-ketentuan pengaturan dari tiap-tiap pasalCEDAW tersebut.Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadapWanita atau yang lebih lanjut dikenal sebagai Konvensi Wanita(Women‟s Convention) atau Konvensi CEDAW, yang di duniainternasional diakui sebagai „Bill of Rights of Women‟ atau „PernyataanTetap Hak-hak Perempuan Sebagai Hak Asasi Manusia‟ yang diadopsiSidang Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1978. Konvensi2 Mudjiati,SH, Asisten Deputy Anak Bermasalah dengan Hukum pada KantorPemberdayaan Perempuanini juga mewajibkan pada setiap negara peserta untuk mengutuk danmenghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita agar dapatsecara penuh semua hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasandasarnya.Konvensi Wanita ini telah diratifikasi oleh lebih dari 150negara, termasuk Indonesia, namun dalam implementasinya sangatbervariasi. Hal ini mengingat bahwa banyak negara yang mengajukanreservasi (keberatan) terhadap ketentuan pasal tertentu, Indonesiasendiri mereservasi ketentuan Pasal 29 ayat(1), yakni, mengenaipenyelesaian perselisihan antara dua atau lebih negara-negaramengenai penafsiran dan penerapan Konvensi ini`yang tidak dapatdiselesaikan melalui perundang-undangan. Di sisi lain, adanyapandangan yang berbeda tentang pemahaman hak asasi manusia(HAM), dan lebih khusus lagi adanya perbedaan penafsiran mengenaimakna „diskriminasi terhadap perempuan‟, yang diantaranya karenadisebabkan adanya partikularisme budaya. Padahal, substansipokok dari konvensi itu sendiri adalah jelas mengenai HAM, yaitu HAMkhusus kaum perempuan, misalnya, hak pribadi, hak ekonomi, hakperempuan, dan hak-hak lain diberbagai bidang kehidupan. Begituluasnya cakupan yang terkait dengan diskriminasi terhadap perempuandan untuk hal itu maka pelaksanaan amanat dari konvensi wanita inipun terkait dengan berbagai pihak, meski titik berat lebih menjaditanggung jawab pemerintah. Sehingga hal ini sudah pastimembutuhkan dasar-dasar pengaturan pelaksanaannya, baik dari segi


peraturan perundang-undangan maupun melalui kebijakan-kebijakanterkait dengan bidang yang ditentukan dalam konvensi tersebut. Di sisilain, hal ini adalah juga sebagai konsekuensi meratifikasi konvensitersebut bahwa suatu negara (termasuk Indonesia) sebagai telahmengikatkan diri untuk menjamin melalui peraturan perundangundangan,kebijakan, program dan tindakan khusus sementarasehingga terwujud kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,terhapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dan untuk mengetahuisejauh mana Indonesia telah menentukan kebijakan-kebijakan lebihlanjut sejak meratifikasi konvensi CEDAW tersebut, maka uraian lebihlanjut akan digambarkan dalam penjabaran pasal demi pasal CEDAWsebagaimana penjelasan dibawah ini.2. Pokok-Pokok Ketentuan CEDAWKonvensi CEDAW terdiri atas 30 pasal yang terbagi dalam2(dua) pengaturan besar yakni, mulai pasal 1 sampai dengan pasal 16merupakan ketentuan substantive, yang intinya sebagai berikut:- Pasal 1: Mengenai definisi tentang Diskriminasi.- Pasal 2: Kebijakan dan Peraturan perundang-undangan untukmenghapus diskriminasi.- Pasal 3: Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan diBerbagai Bidang.- Pasal 4: Aksi Afirmasi.- Pasal 5: Nilai-nilai sosial budaya yang non diskriminatif.- Pasal 6: Penghapusan trafiking (perdagangan perempuan) danekploitasiprostitusi perempuan.- Pasal 7: Kehidupan politik dan Publio yang non diskriminatif.- Pasal 8: Partisipasi internasional yang sama antara laki-laki danpermpuan.- Pasal 9: Kewarganegaraan.- Pasal 10: Pendidikan yang non diskriminatif.- Pasal 11: Ketenagakerjaan yang non diskriminatif.- Pasal 12: Kesehatan yang non diskriminatif.- Pasal 13: Bidang sosial ekonomi yang non diskriminatif.- Pasal 14: Penghapusan diskriminatif terhadap permpuan perdesaan.- Pasal 15: Persamaan dalam hukum.- Pasal 16: Penghapusan diskriminasi perempuan dalam perkawinan.


Adapun ketentuan Pasal 17 sampai dengan Pasal 30 merupakanketentuan mengenai struktur kelembagaan, prosedur dan mekanismepelaporan ratifikasi.Prinsip-prinsip dasar atas konvensi CEDAW meliputi:1)Prinsip persamaan subtantif yang pada intinya adalah :a. Kesempatan yang sama, menikmati manfaat yang samadan hasilnyab. Perlakuan yang sama, mendapat akses dan manfaat yangsama, melalui penciptaan lingkungan yang kondusif,tindakan khusus sementara (affirmative action / temporaryspecial mensures)c. Hal yang sama dalam: Keluarga, Kerja, Upah, Waris,Pemilikan, Pengambilan Keputusan, Pastisipasi dalam2)Prinsip Non-Diskriminasi.3. Indikator Keberhasilan Pelaksanaan CEDAWDilihat dari :3.1 Substansi hukum dan Kebijakan yang meliputi :- Terintegrasinya prinsip kesamaan, keadilan dan kesetaraanbagi perempuan dan laki-laki dalam sistem hukum.- Terhapusnya peraturan perundang-undangan yangdiskriminatif dan ditetapkannya peraturan baru yang melarangdiskriminatif terhadap perempuan.- Diterapkannya prinsip-prinsip, norma dan standard yangditetapkan dalam ketentuan-ketentuan substantif CEDAW(pasal 1-16) dalam menyusun perencanan, pelaksanaan,pemantauan dan evaluasi keberhasilan pelaksanaan kebijakandi tingkat nasional maupun lokal dalam melindungi,meningkatkan dan memenuhi HAM perempuan sertamewujudkan keadilan dan kesetaraan bagi laki-laki danperempuan.3.2 Struktur dan Proses Institusional.- Dikembangkannya kapasitas/kemampuan kelembagaan yangmelaksanakan dan menegakkan peraturan perundangundangandan kebijakan yang non-diskriminatif dan responsifgender termasuk kelembagaan hukum dan lembaga-lembagapenegak hukum.- Ditetapkannya mekanisme kelembagan yang memantauperkembangaan pemenuhan HAM peremopuan dantersusunnya laporan pelaksanaan CEDAW dari tingkat lokalsampai nasional.3.3 Faktor-faktor Sosial Budaya.Berkembang dan meningkatnya kesadaran seluruhmasyarakat, termasuk lembaga-lembaga eksekutif, legislatif


dan yudikatif akan pentingnya menghapuskan diskriminasiterhadap perempuan dan kesamaan hak asasi perempuandan laki-laki seperti dijamin oleh CEDAW.4. Pelaksanaan Konvensi CEDAW Di Indonesia4.1 Substansi Hukum dan Kebijakan, antara lain :- Keppres 181/1998 tentang Pembentukan Komnas AntiKekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yangkemudian ditingkatkan menjadi Peraturan Presiden No.65tahun 2005.- UU no.39/1999 tentang HAM (Pasal 45 ”Hak Asasi Perempuanadalah Hak Asasi Manusia”).- Indonesia menandatangani Optional Protocol CEDAW tahun2000.- Amandemen UUD 1945.- Instruksi Presiden 9/2000 tentang PUG. Sedang disusun RANPUG dan diharapkan dapat dikeluarkan dengan PeraturanPresiden.- RAN PKTP tahun 2001.- Keppres No. 88/2002 tentang RAN Penghapusan Perdagangan(Trafikking) Perempuan dan Anak.- UU No.12/2003 tentang PEMILU (Pasal 655 (1) – 30% alokasi.- UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.- UU No.23/2004 tentang Penghapusan KDRT.- Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang RJPM.- Bab 9 : Pembenahan Sistem dan Politik Hukum.- Bab 10 : Penghapusan Diksriminasi dalam Berbagai Bentuk.- Bab 11: Penghormatan, Pengakuan dan Penegakkan Hukumdan HAM.- Bab 12: Peningktan Kualitas Kehidupan & Peran Perempuanserta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak.- UU No.11 tahun 2005 tentang Pengesahan KovenanInternasional tentang hak ekonomi, Sosial dan Budaya.- UU No.12 tahun 2005 tentang Pengesahan KovenanInternasional tentang Hak Sipil dan Politik.- UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.- UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak PidanaPerdagangan Orang4.2 Struktur dan Proses Institusional.- Adanya kementrian yang mengkoordinir terwujudnyapenegakkan HAM Perempuan dan KKG di tingkat pusat,propinsi, kabupaten/kota.- Adanya focal point gender di instansi terkait di pusat dandaerah (31 propinsi, 272 kab/kota).- Adanya Pokja CEDAW di tingkat nasional untuk mekanismepemantauan dan pelaporan konvensi CEDAW.


- Adanya 46 program yang responsif gender dan 9 sektorpembangunan.5 Faktor-faktor Sosial Budaya.- Sudah ada pergeseran nilai mengenai pentingnyapemberdayan perempuan & KKG.- Perempuan berperan di sektor publik (walaupun untukpengambilan keputusan masih terbatas).6. Mekanisme Pelaksanaan, Pemantuan dan EvaluasiImplementasi Konvensi CEDAW di tingkat Pusat danDaerahmemantau keberhasilannya dan ; (c). Menetapkan satulembaga sebagai host agency untuk suatu kelompok bidangtertentu;- Legislatif : Mempunyai peran dan tanggung jawab utamauntuk menghapus peraturan perundang-undangan yangmelarang diskriminasi terhadap perempuan serta ketetapansanksi-sanksinya dan peraturan perundang-undangan yanmemuat persamaan substantif.- Yudikatif/peradilan : Menjamin bahwa peraturan perundangundangandiinterpretasikan dan ditegaskan secara konsistendengan tujuan untuk menegakkan hukum yang melindungihak-hak perempuan atau pelanggaran hak-haknyaberdasarkan hukum.- Kementerian PP merumuskan kebijakan dan programberdasarkan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan ketentuankonvensi CEDAW.- Kementerian PP memantau pelaksanaan konvensi CEDAW olehlembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif; menyusunmekanisme monev, membentuk Pokja CEDAW.- Eksekutif : bertanggungjawab atas (a). Pengelompokkanketentuan-ketentuan umum dan bidang-bidang keprihatinan(concern) khusus sesuai dengan tupoksi masing-masinglembaga; (b). Menyusun perencanaan, melaksanakan dan7. Matriks Penanggungjawab Pelaksana konvensi CEDAWolehPasalpasalCEDAWEksekutifBidang Implementasi & Menitoring Siapa ?Umum


1-5 (c(f)& 243 (c(f)242 (b)2 (c)2 (e)2 (f), 4(a)2 (g)6 (c (f)7 (c, (f),8- Integrasi prinsip-prinsip CEDAWdalam UUD, hukum, kebijakan,program dan langkah tindaklainnya serta dalam prosesperencanaan, penganggaran,penyusunan program danpemantauan.- Memastikan pengembangan danpemajuanperempuansepenuhnya dan pencapaianperwujudan hak-hak perempuansepenuhnya.- Adopsi hukum-hukum dantindakan-tindakan lain (dengansanksi) yang melarang segaladiskriminasiterhadapperempuan.- Pembentukan perlindunganhukum untuk hak-hakperempuan dan memastikanperlindungan yang efektif untukperempuan dari aksi diskriminasiapapun lewat kehakimannasional dan lembaga publikyang kompeten.- Merumuskan dan melaksanakanlangkah-langkah tindak yangtepat untuk menghapusperlakuan diskriminasi terhadapperempuan oleh tiap orang,organisasi atau perusahaan.- Mengubah atau menghapusperaturan perundang-undangan,kebiasaan dan praktek yangdiskriminatifterhadapSemua InstansiSemua InstansiSemua InstansiInstansiyangbertanggungjawab.terkaitInstansi yangbertanggungjawab.Instansi terkaityangbertanggungjawab.Instansi terkaityangbertanggungjawab.Instansi terkaityangbertanggungjawab.9-16 perempuan.- Mencabut semua ketentuanpidana nasional yangdiskriminatifterhadapperempuan.- Memberantas segala bentukperdagangan dan eksploitasipelacuran perempuan danmenghapus kekerasan terhadapperempuan.- Menghapus diskriminasiterhadap perempuan danmenjamin hak yang sama bagiperempuan dan laki-laki dalamkehidupan politik dan Publioserta keterwakilan danpartisipasi dalam organisasiinternasional.- Menjamin hak-hak perempuandalampendidikan,kewarganegaraan,ketenagakerjaan, kesehatan,ekonomi, jaminan sosial,perempuanpedesaan,persamaan didepan hukum danurusan sipil, perkawinan danhubungan keluarga.Semua Instansi.Instansiyangbertanggungjawab.terkait


B. KEBIJAKAN-KEBIJAKAN DI INDONESIA YANGBERKAITAN DENGAN PERLINDUNGAN HAK-HAKPEREMPUAN 31. UmumSepanjang sejarah, perempuan Indonesia terus menerustertantang untuk memperjuangkan hak-haknya agar mendapatpengakuan yang sama seperti halnya kaum laki-laki di berbagai bidangkehidupan tak terkecuali di bidang hukum dan politik, antara lainbagaimana menperoleh kedudukan dan jaminan yang sama di mukahukum, menentukan keputusan-keputusan politik mulai dari tingkatrumah tangga hingga kehidupan politik kemasyarakatan, memperolehakses yang sama kepada keadilan (acces to justice) dan perlindunganterhadap hak-hak asasinya.Disadari pada kenyataannya sistem politik dan hukum baikrumusan, struktur maupun budayanya yang eksis di masyarakat masihbelum sepenuhnya berpihak pada kepentingan kaum perempuan.Perempuan dikontruksikan oleh masyarakat patriarkhi sebagai warganegara kelas dua, yang hak-haknya dikebiri atas nama berbagaikepentingan, mulai dari kepentingan keluarga (suami, orang tua),komunitas/adat setempat, kepentingan golongan/agama hingga3 Oleh Ratna Batara Munti, MSi (LBH-APIK – Jakarta)kepentingan politik negara. Berbagai bentuk diskriminasi masihdirasakan oleh sebagian besar kaum perempuan tak terkecuali didalam lembaga perkawinan yang seringkali malah menjadi tempatbersemayamnya segala bentuk ketidakadilan gender: beban kerjaberlebihan, penganiayaan (KDRT), subordinasi dan peminggiransuara/kepentingan politik perempuan.Secara historis perempuan bahkan baru diakui sebagai subjekhukum pada tahun 1974 yakni melalui UU Perkawinan No.1 Tahun1974 (UUP). Sebelumnya, perempuan harus diwakili suara dankeputusannya oleh suaminya dalam hal yang berkaitan dengan urusandi luar rumah tangga termasuk untuk mengurusi harta kekayaan milikpribadi istrinya (pasal 105 BW).Perempuan dipandang tidak cakap melakukan perbuatanhukum dan bila melakukan perbuatan hokum harus dibawahpengampuan suaminya (laki-laki). UUP telah mengoreksi kondisitersebut melalui ketentuan pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa“hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukansuami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersamadalam masyarakat”.Meskipun demikian UUP masih menyisakan persoalan bagikaum perempuan, karena melalui pasal yang sama, UU ini justrumembakukan peran gender atau peran stereotype perempuan sebagaimakhluk domestik dan tergantung secara ekonomi kepada suaminya.


Pasal 31 ayat 2 UUP tersebut menegaskan bahwa “Suami adalahkepala keluarga dan istri ibu rumah tangga” selanjutnya “ Suami wajibmelindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidupberumah tangga sesuai dengan kemampuannya, istri wajib mengatururusan rumah tangga sebaik-baiknya” (Pasal 34 ayat 1 dan 2).Inilah kedua pasal yang kemudian dikenal sebagai pasalpembakuan peran (gender). Melalui ketentuan ini, negara telahmelegitimasi dan membakukan pembagian kerja seksual antara lakilakidengan perempuan di dalam keluarga/rumah tangga. Sampai saatini UUP belum juga diamandemen meski rumusan-rumusannya tidaklagi releven dengan situasi saat ini dan mengandung muatan yangdiskriminatif terhadap perempuan seperti juga tercermin dalamketentuan soal pelembagaan poligami.Perjuangan perempuan untuk menentang diskriminasimendapatkan momentumnya ketika pada tahun 1984 pemerintahmeratifikasi Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala BentukDiskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) melalui UU No.7 Tahun1984. Dalam Konvensi ini Diskriminasi merupakan “„setiap pembedaan,pengucilan, pembatasan, yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yangmempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi ataumenghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hakasasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik,ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh perempuan,terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaanantara laki-laki dan perempuan ‟.Persamaan disini tidak hanya pada akses terhadap HAM yangsama bagi perempuan tetapi juga persamaan terhadap manfaat ataupada hasilnya (equality of acces, equality of opportunity and equalityof result). Sehingga bentuk-bentuk affirmative action atau kebijakankebijakankhusus bagi perempuan bukanlah kemudian dimaknaisebagai diskriminasi terhadap yang lain, tetapi kekhususan tersebutharus ditempuh untuk menjamin manfaat dan hasil yang samamengingat situasi atau konteks yang berbeda yang harusdipertimbangkan.Oleh karena perempuan tidak saja dibedakan (didiskriminasi)karena jenis kelamin mereka, tetapi juga atas dasar identitas/statusmereka, seperti kelas, budaya, agama, pendidikan, umur, kemampuanfisik serta orientasi seksualnya. Konvensi mengakui adanya bentukdiskriminasi yang dialami perempuan tidak saja yang sifatnyalangsung (tujuannya diskriminatif) tetapi juga mencakup diskriminasitidak langsung (ketentuannya netral tetapi ketika diterapkanpengaruhnya tetap saja diskriminatif).Yang terpenting dalam Konvensi ini adalah penegasan prinsipkewajiban Negara untuk membuat/merubah hukum, menghapusstereotype dan kebiasaan/adat yang diskriminatif, serta melakukanupaya/langkah khusus yang diperlukan guna memastikan adanyapersamaan de facto. Dalam konteks ini, Konvensi mengakui bahwa


sifat diskriminasi terhadap perempuan adalah bersifat historis dansistemik, sehingga tujuannya diarahkan pada persamaan de factomelalui jaminan secara konstitusional, hukum dan regulasi-regulasi,juga menempuh langkah-langkah lainnya termasuk langkah-langkahkhusus sementara atau „affirmative action‟.Implementasi CEDAW dan Kekerasan Negara dalamKebijakan-KebijakanMeski Konvensi tersebut telah diratifikasi pemerintah Indonesiasejak tahun 1984 melalui UU No.7 Tahun 1984, namun sampai saat inibelum banyak langkah-langkah nyata yang dilakukan khususnya dalammengoreksi kebijakan yang masih diskriminatif dan secara „de facto‟menghapus stereotype di masyarakat.Kebijakan dalam hal ini dilihat sebagai suatu system, yangtidak saja menyangkut substansi/isi dari kebijakan/keputusan hukumyang berlaku, tetapi juga menyangkut struktur baik kelembagaanatau pun personel dari aparat-aparat pemerintahan, dan juga terakhirmencakup budaya di masyarakat, seperti norma, nilai-nilai dankeyakinan atau penafsiran ajaran tertentu yang hidup di masyarakat.Situasi yang berkembang saat ini justru menjadi ancaman barubagi perempuan. Lahirnya peraturan-peraturan baru baik di tingkatnasional seperti RUU KUHP atau RUU Pornografi dan Pornoaksimaupun di daerah-daerah seperti Perda-Perda maksiat, kewajibanberbusana tertentu, pengaturan jam malam bagi perempuan, dsb,yang merebak seiring dengan berlakunya otonomi daerah, yangkesemuanya itu kembali mengukuhkan stereotype terhadapperempuan, mendomestikasi perempuan, dan menempatkantubuh/seksualitas perempuan sebagai target pengaturan (kontrol)Negara.Selain itu perempuan karena jenis kelaminnya, masih tetaprentan mengalami berbagai bentuk kekerasan (gender basedviolence).4 Namun, pada perempuan-perempuan dengan situasikhusus, perbedaan-perbedaan mereka semakin memperparah danatau mempertajam situasi kekerasan yang mereka alami. Sepertidalam kondisi konflik etnis, agama, atau karena status sosial merekayang dimiskinkan dan direndahkan seperti halnya dialami PekerjaRumah Tangga (PRT), perempuan sebagai Pekerja Seks Komersial(PSK) yang dilacurkan karena bekerjanya system yang menindas, ataujuga bagi perempuan yang memiliki orientasi seksual yang berbedayang dikucilkan di lingkungannya.4 Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkanperbedaan jenis kelamin, yang berakibat atau mungkin berakibatkesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis,ancaman perbuatan tertentu, serta pemaksaan dan perampasan kemerdekaanyang terjadi baik di rana public maupun rana domestic. (Deklarasi PBBmengenai Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, yang menjadibagian dari Konvensi CEDAW).


Kondisi perempuan secara umum sangatlah memprihatinkan.Jutaan perempuan di seluruh dunia hidup dalam kondisi miskin,ketakutan akibat situasi kekerasan, di luar rumah atau di dalamrumah, dan sebagian kehilangan hak-hak fundamental karena jeniskelamin mereka. Di belahan dunia lainnya, perempuan tidak memilikikendali atas apa yang terjadi pada diri dan tubuhnya sendiri.Jutaan perempuan terpaksa menikah di bawah umur,menanggung beban ekonomi dengan mencari kehidupan sebagaiburuh migran atau terjun ke situasi pelacuran, dan terancam kematianakibat tiadanya perlindungan terhadap hak-hak dan kesehatanreproduksi, seperti tercermin dengan banyaknya kematian perempuanmelahirkan akibat tiadanya sarana/pelayanan kesehatan.Sebagian besar kematian perempuan adalah akibat KehamilanYang tidak Diharapkan (KTD) dimana negara tidak memberi solusiyang tepat guna menghormati hak-hak perempuan untuk mengontroltubuhnya dan menikmati kesehatannya termasuk hak-hak dankesehatan reproduksinya serta memperoleh kebebasan dan keamananpribadi sebagai bagian dari hak-hak asasinya yang fundamental. 5Kasus kekerasan terhadap perempuan faktanya terusmeningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tercermin dari berbagai laporanmedia serta data yang berhasil dikumpulkan oleh kelompok-kelompokmasyarakat yang memberikan layanan dampingan bagi perempuankorban kekerasan. 6Seperti yang ditangani oleh LBH-APIK Jakarta sejak tahun1996, kasus kekerasan terus meningkat mulai dari 90 kasus (1996),240 kasus (1997), 227 kasus (1998), 343 kasus (2000), 471 kasus(2001), 530 kasus (2002), 627 kasus (2003), dan mencapai 817 kasus(2004), serta 1046 (2005). Umumnya kasus yang ditangani adalahkekerasan dalam rumah tangga serta kekerasan seksual, sepertiperkosaan, pelecehan, pencabulan serta incest.5 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sangat tinggi, bahkan tertinggi dinegara-negara Asia Tenggara dan juga Negara-negara Islam lainnya yaitu307.000 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut WHO, dari 500.000 kasuskematian ibu di seluruh dunia, 200.000 kasus diantaranya terjadi di Indonesia.Sementara itu dari angka kematian ibu di Indonesia, diperkirakan 30 hingga 50persen diakibatkan oleh aborsi yang tidak aman (Dirjen Binkesmas Depkes RI).Hasil penelitian oleh Yayasan Kesehatan Perempuan di 9 kota menunjukkanbahwa kehamilan tidak diinginkan (KTD) banyak dialami oleh ibu rumahtangga dengan alas an terbanyak karena factor psikososial.6 Lihat Peta Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia:Laporan NGO-NGOyang dihimpun oleh Komnas Perempuan, 2002


Data Kekerasan terhadap perempuanyang ditangani LBH APIK Jakartatahun 1996-2005Data Kekerasan terhadap Perempuandi IndonesiaSumber: Komnas Perempuan1200100080060040020001046817627471 530240 227 295 343901996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005250002000015000100005000020391140207787516331692001 2002 2003 2004 2005BENTUK – BENTUK KTP• TRAFFICKING• KEKERASAN SEKSUAL: PERKOSAAN, PENCABULAN,PELECEHAN SEKSUAL• DISKRIMINASI/KEKERASAN DI TEMPAT KERJA; PHK/MUTASISEWENANG-WENANG• KEBIJAKAN/PERDA - PERDA YG DISKRIMINATIF


• PENGGUSURAN SEKTOR INFORMAL• KDRT (PENGANIAYAAN HINGGA PENELANTARAN RUMAHTANGGAKekerasan terhadap perempuan merupakan bentukdiskriminasi karena tdak terpenuhinya akses perempuan untukmenikmati HAM yang fundamental yakni kebebasan dasar untuk hidupdengan rasa aman. Kondisi ini pada dasarnya berakar dari eksisnyakonstruksi sosial dan terutama lagi konstruksi seksualitas yang adadimasyarakat dan dilanggengkan oleh Negara. Norma, nilai-nilai dankeyakinan yang diskriminatif terhadap perempuan terus direproduksidan saat ini semakin dipertajam dengan maraknya politik identitas dankonservatisme seiring dengan kebijakan otonomi daerah yangberlangsung di berbagai wilayah. Munculnya berbagai produkkebijakan lokal (Perda-perda) yang menempatkan perempuan sebagaitarget „moralisasi‟ dan „radikalisasi‟, pemahaman agama/konservatifyang sarat dengan bias jender dan bias maskulinitas.Begitupun di level kebijakan nasional, seperti tercermin dalamRUU Pornografi dan Pornoaksi serta RUU KUHP. Dalam konteks ini,tubuh dan seksualitas perempuan sekali lagi menjadi sasaran darisegala bentuk kekuasaan dan kontrol kelompo-kelompok yangberkuasa/dominan yang diakomodir/fasilitasi negara melalui kebijakankebijakannya.Berikut ini DAFTAR UU/RUU yang masih DISKRIMINATIF• UU No.1/1974 Tentang Perkawinan• UU Kewarganegaraan dan RUU Revisinya• KUHP dan RUU Revisinya• UU Kesehatan dan RUU Revisinya• RUU Anti Pornografi dan PornoaksiBeberapa Bentuk Diskriminasi dalam UU No. 1/1974• Pasal 31 dan 34 ttg pembakuan peran (domestikasiperempuan),• Pasal 3 dan 4 tentang pemberian privilis poligami bagi laki-laki,• Ketentuan tentang usia nikah yg berbeda dan dibawah umur(laki-laki 19 tahun, perempuan 16 tahun)• Ketentuan mengenai anak luar nikah hanya menjaditanggungjawab ibuHal ini telah melanggar Pasal 16 CEDAW yang menyebutkanpersamaan antara laki-laki dan perempuan tanpa diskriminasi dalamperkawinan dan keluarga.


UU DAN RUU REVISI UU KEWARGANEGARAAN• UU/RUU Kewarganegaraan masih menganut asas kesatuankewarganegaraan dengan pusat sentralnya pada lakilaki/bapakyg menentukan.• Perempuan Indonesia dapat kehilangan kewarganegaraannyaakibat perkawinannya dengan suami berkewarganegaraanasing (WNA) (Ps. 26 ayat 1 RUU).• Perempuan tidak otomatis dapat mempertahankankewarganegaraan. Diperlukan syarat bagi istri bila inginmempertahankan WNI nya. Namun, di ketentuan lain jugadisebutkan bahwa Permohonan tidak menyebabkanberkewarganegaraan ganda (Ps. 8 RUU). Hal ini tentunyamembuat dilema bagi istri yang hukum suaminya menentukanistri ikut warganegara suami.Intinya, Revisi UU Kewarganegaraan masih diskriminatif,mengebiri hak-hak perempuan untuk diperlakukan sama dengan lakilakidalam mengakses/penegakan HAM, dan dengan begitu jauh dariharapan untuk mengoreksi atau memperbaiki situasi perempuan,khususnya yang berada dalam perkawinan campur selama ini.Ini tentunya melanggar pasal 9 CEDAW yang menyebutkanbahwa ”Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanita hakyang sama dengan pria untuk memperoleh, mengubah ataumempertahankan kewarganegaraannya. Negara-negara pesertakhususnya wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang asingmaupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinantidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan isteri,menjadikannya tidak berkewarganegaraan atau memaksakankewarganegaraan suaminya kepadanya”.Diskriminasi dalam KUHP/RKUHP dan UU Kesehatan terhadap hakperempuan untuk sehat:• KUHP/RKUHP menafikan hak-hak perempuan untuk hidupsehat dengan mengkriminalisasi apapun bentuk aborsitanpa mempertimbangkan kondisi perempuan yang terpaksamelakukan aborsi.Sementara UU Kesehatan maupun RUU revisinya masih diskriminatif:• TIDAK MELIHAT KEBUTUHAN DAN HAK PEREMPUAN SEBAGAIINDIVIDU ATAS ASPEK KESEHATAN REPRODUKSINYA YANGKHAS.• MENYEMPITKAN HAK KESEHATAN PEREMPUAN HANYASEBATAS STATUSNYA SEBAGAI ISTRI DAN TERBATAS PADAHAMIL SERTA MELAHIRKAN.• TIDAK MELIHAT ISU HAK REPRODUKSI SEBAGAI ISU HAM.


Fakta di lapangan:• Angka kematian perempuan di Indonesia tertinggi di ASEAN,yaitu 307 per 100.000 angka kelahiran hidup. Dan kontribusiterbesar adalah akibat aborsi tidak aman (30-50%) .• Aborsi dilakukan antara lain karena paksaan pasangan,kehamilan tidak diinginkan akibat perkosaan kegagalan KB,faktor ekonomi dan sosial.• Ketiadaan perlindungan hukum dan sosial bagi perempuanyang ingin meneruskan kehamilannya (stigma sosial,kemiskinan, dikeluarkan dari sekolah, dll).- DI BIDANG PERKAWINAN (Pasal 16 Konvensi CEDAW)• HAK YG SAMA BAGI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUKMEMASUKI JENJANG PERKAWINAN• HAK YG SAMA UNTUK MEMILIH PASANGAN• HAK DAN TANGGUNGJAWAB YG SAMA SELAMA PERKAWINANDAN PEMUTUSAN PERKAWINAN• TERMASUK BERKAITAN DENGAN PEROLEHAN, PENGELOLAANDAN PENIKMATAN HARTA BENDA• HAK DAN TANGGUNGJWB YG SAMA SBG ORTU, TERLEPASDARI STATUS KAWIN MEREKA, DALAM SEMUA URUSAN YGBERHUBUNGAN DNG ANAK-ANAK.• HAK DAN TANGGUNGJAWAB YG SAMA DALAM PERWALIAN,PEMELIHARAAN, PENGAWASAN DAN PENGANGKATAN ANAKKESIMPULANKonvensi CEDAW sudah 22 tahun diratifikasi, tetapidiskriminasi terus berlangsung dan ironisnya di legitimasi olehkebijakan yang eksis sampai hari ini.Adapun jaminan Konstitusi/UU/Konvensi CEDAW YANG DILANGGAR(DISKRIMINASI) adalah:- BIDANG KESEHATAN: Pasal 12 Konvensi CEDAW• HAK UNTUK HIDUP SEJAHTERA LAHIR DAN BATIN SERTAMENDAPAT JAMINAN SOSIAL DAN PELAYANAN KESEHATAN• HAK UNTUK BEBAS DARI SEGALA BENTUK ANCAMAN DANKEKERASAN• HAK YG SAMA UNTUK MENENTUKAN JUMLAH DAN JARAKKELAHIRAN ANAK


• SERTA HAK UNTUK MEMPEROLEH PENERANGAN,PENDIDIKAN DAN SARANA-SARANA UNTUK MEMUNGKINKANMEREKA MENGGUNAKAN HAK-HAK INI.- BIDANG KEWARGANEGARAAN : Pasal 9 CEDAW• HAK YANG SAMA UNTUK MEMPEROLEH, MENGUBAH ATAUMEMPERTAHANKAN KEWARGANEGARAANNYA.PENTINGNYA OP – CEDAW DI INDONESIAMinimnya impelementasi Konvensi CEDAW meski sudahberusia 22 tahun sejak diratifikasi tahun 1984 dalam mengupayakanpenghapusan diskriminasi maupun kekerasan terhadap perempuanyang semakin meningkat dari tahun ke tahun mendesak segera diratifikasinya OP CEDAW sebagai usaha untuk meyakinkan dan lebihjauh menerapkan Konvensi CEDAW di Indonesia. OptionalProtocol CEDAW adalah instrument hak-hak asasi manusia yangmelengkapi Konvensi CEDAW dengan menetapkan dua prosedurtambahan yang bertujuan untuk memberikan kontribusi kepadapenerapan domestik (level nasional) dari Konvensi CEDAW tersebut,yakni prosedur investigasi (inquiry procedure) dan prosedurkomunikasi (communication procedure) OP CEDAW menciptakanakses keadilan kepada perempuan di level internasional, khususnyabagi hak perempuan yang telah diabaikan keadilannya di negaranyasendiri. OP CEDAW akan memperkuat mekanisme nasional untukkemajuan perempuan dan penegakan hak asasi manusia, memperkuatkapasitas nasional untuk menangani diskriminasi terhadap perempuan.Prosedur komunikasi dan investigasi yang dimilikinya tersediasebagai „pilihan terakhir‟. Artinya kedua mekanisme ini hanyadigunakan ketika proses perlindungan domestik telah gagal diupayakan di dalam keputusan hukum dan kebijakan nasional.2. Implementasi Bidang Keluarga 7Pasal 15 Konvensi CEDAW, menyebutkan :1. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanitapersamaan hak dengan pria di muka hukum.2. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanitadalam urusan-urusan sipil kecakapan hak yang sama dengankaum pria dan kesempatan yang sama untuk menjalankankecakapan tersebut khususnya agar memberikan kepadawanita hak-hak yang sama untuk menandatangani kontrakdan untuk mengurus harta benda, serta wajib memberikanmereka perlakuan yang sama pada semua tingkat prosedur dimuka hakim dan pengadilan.7 Rachmat Triyono,SH,MH,Peneliti Hukum BPHN,Departemen Kehakimandan HAM


3. Negara-negara peserta bersepakat bahwa seluruh kontrak danseluruh dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yangditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum bagi wanita,wajib dianggap batal dan tidak berlaku.4. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada pria danwanita hak-hak yang sama berkenaan dengan hukum yangberhubungan dengan mobilitas orang-orang dan kebebasanuntuk memilih tempat tinggal dan domisili mereka.Pasal 16 :1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturanyang lebih tepat untuk menghapus diskriminasi terhadapwanita dalam seluruh urusan yang berhubungandengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atasdasar persamaan antara pria dan wanita, dan khususnya akanmenjamin:a. Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan.b. Hak-hak untuk memiliki suami secara bebas dan untukmemasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuanyang bebas dan sepenuhnya.c. Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinandan pada pemutusan perkawinan.d. Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tuaterlepas dari status kawin mereka, dalam urusan-urusanyang berhubungan dengan anak-anak mereka. Dalamseluruh kasus kepentingan anak-anaklah yang wajibdiutamakan.e. Hak yang sama untuk menentukan secara bebas danbertanggungjawab jumlah dan penjarakan kelahiran anakanakmereka serta memperoleh penerangan, pendidikandan sarana-sarana untuk memungkinkan merekamenggunakan hak-hak ini.f. Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan denganperwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatananak atau lembaga-lembaga yang sejenis dimana konsepkonsepini ada dalam perundang-undangan nasional,dalam seluruh kasus kepentingan anak-anaklah yang wajibdiutamakan.g. Hak pribadi yang sama sebagai suami isteri, termasuk hakuntuk memilih nama keluarga, profesi dan jabatan.h. Hak sama untuk kedua suami istrei bertalian denganpemilikan, peralihan, pengelolaan, administrasi,penikmatan dan memindahtangankan harta benda, baiksecara cuma-cuma maupun dengan penggantian berupauang.2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akanmempunyai akibat hukum dan seluruh tindakan yang perlu,termasuk perundang-undangan wajib diambil untuk


menetapkan usia minimum untuk perkawinan dan untukmewajibkan pendaftaran perkawinan di kantor catatan sipilyang resmi.Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian tentang keduapasal tersebut antara lain :1) Kedua pasal tersebut mengatur hal yang berbeda. Dalam Pasal15 diatur mengenai persamaan di muka hukum, sedangkandalam Pasal 16 diatur mengenai hala-ihwal yang berkaitandengan perkawinan.2) Dalam hal persamaan di muka hukum jelas tercermin dalamprinsip bernegara di Indonesia yang menggariskan bahwaIndonesia adalah negara hukum. Ciri-ciri dari prinsip rule oflaw antara lain sebagai berikut: Pengakuan dan perlindungan terhadap hak azasimanusia yang mengandung persamaan dalam bidangpolitik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Peradilan yang bebas tidak memihak serta tidakdipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatanapapun juga. Legalitas dalam arti segala bentuknya.Negara hukum keberadaannya dan mekanisme negara itutidak dijalankan sewenang-wenang, melainkan atas dasar hukum.Dalam negara hukum yang demokratis, hukum itu dibuat denganmemperhatikan prinsip-prinsip demokrasi merupakan penjelmaan dariaspirasi dan kesadaran serta cita hukum rakyat.Sejak diberlakukan kembali UUD 1945 setelah Dekrit Presiden5 juli 1959, praktis secara yuridis UUD 1945 belum pernah mengalamiperubahan. Walaupun dalam dataran praktek ketatanegaraan sejatinyasudah mengalami perubahan berulangkali. Perubahan yang terjadisebenarnya hanyalah bermakna penafsiran. Artinya pelaksanaanUUD1945 yang dalam kurun waktu demokrasi pancasila (Orde Baru)harus diletakan secara murni dan konsekuen ternyata hanya sebatasretorika politik dari pemegang kekuasaan dimasing-masing eratersebut.Gerakan reformasi yang digulirkan sejak permulaan tahun1998 ternyata telah mengubah peta kekuasaan dan sistemketatanegaraan Indonesia. Terkait dalam hal ini, kesakralan UUD 1945yang pernah dicanangkan oleh rezim kekuasaan Indonesia, mulaidiganggu gugat. Pendek kata perubahan suatau konstitusi didalamnegara merupakan sebuah keniscayaan. Dengan kondisi yangdemikian inilah, maka terjadi paradigma baru dalam wacana politikdan ketatanegaraan Indonesia, yakni dengan lebih membuka diriuntuk mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi pemerintahan danpenghargaan terhadap hak-hak asasi manusia.


Terkait dengan kesadaran seperti ini, ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 didalam konsideran menimbang menyatakan, “bahwabangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patutmenghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam DeklarasiUniversal Hak Asasi Manusia serta berbagai instrumen internasionallainnya mengenai hak asasi manusia‟‟.Dengan adanya ketetapan MPR inilah, maka mulai tahun 1998pemerintah Indonesia dan berbagai komponen supra struktur politiklainnya mulai melakukan berbagai langkah untuk merumuskan danmengimplementasikan hak-hak asasi manusia sebagaimana tertuangdidalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Didalam pasal 1Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 secara tegas menyatakan:“Menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi Negara dan seluruhAparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakan danmenyebarluaskan pemahaman mengenai hak-hak asasi kepada seluruhmasyarakat”.Lebih lanjut dalam pasal 2 juga dinyatakan: “Menugaskankepada presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan RakyatRepublik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen berbagaiPerserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjangtidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar1945”.Didalam amandemen I dan II UUD 1945, pengaturanmengenai hak-hak asasi manusia tercantum didalam Bab X, Bab XA,dan Bab XI. Lebih lanjut, secara lengkap pengaturan mengenai hakhakasasi manusia didalam amandemen UUD 1945 adalah sebagaiberikut :a. Pasal 27 :1. Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalamhukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukumdan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.2. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan danpenghidupan yang layak bagi kemanusian.3. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalamupaya pembelaan negara.b. Pasal 28 :Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikirandengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang.c. Pasal 28A :Setiap orang berhak untuk hidup serta berhakmempertahankan hidup dan kehidupannya.d. Pasal 28B :


1. Setiap orang berhak membentuk keluarga danmelanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah2. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh danberkembang serta berhak atas perlindungan darikekerasan dan diskriminasi.e. Pasal 28C :1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melaluipemenuhan kebutuhan dasarnya, baik mendapatkanpendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmupengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demimeningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraanumat.2. Setiap orang berhak memajukan dirinya dalammemperjuangkan haknya secara kolektif untukmembangun masyarakat, bangsa dan negaranya.f. Pasal 28D :1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sertaperlakuan yang sama dihadapan hukum.2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatimbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalamhubungan kerja.3. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatanyang sama dalam pemerintahan.4. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.g. Pasal 28E :1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadatmenurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilihtempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya,serta berhak kembali.2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakinikepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuaidengan hati nuraninya.3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpuldan mengeluarkan pendapat.h. Pasal 28F :Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperolehinformasi untuk memngembangkan pribadi dan lingkungansosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi denganmenggunakan segala jenis saluran yang tersedia.i. Pasal 28G :


1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yangdibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman danperlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atautidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyikasaan atauperlakuan yang merendahkan derajat martabat manusiadan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.j Pasal 28H :1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidupyang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanankesehatan.2. Setiap orang berhak memperoleh kemudahan danperlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan danmanfaat yang sama guna mencapai persamaan dankeadilan.3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yangmemungkinkan pengembangan dirinya secara utuhsebagai manusia yang bermartabat.4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hakmilik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenagwenangoleh siapa pun.k. Pasal 28I :1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hakkemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hakuntuk tidak diperbudak, tidak dituntut atas dasar hukumyang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidakdapat dikurangi dalam keadaan apapun.2. Setiap oarang berhak bebas dari perlakuan yang bersifatdiskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkanperlindungan terhadap perlakuan yang bersifatdiskriminatif itu.3. Identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormatiselaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.4. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hakasasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutamapemerintah.5. Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusiadengan prinsip hukum yang demokratis, makapelaksanaan hak asasi manusia dujamin, diatur dandituangkan dalam peraturan perundang-undangan.l. Pasal 28J :1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia oranglain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa danbernegara.


2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orangwajib tunduk kepada pemabatasan yang ditetapkan dalamundang-undang dengan maksud semata-meta untukmenjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dankebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yangadil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakatdemokratis.m. Pasal 29 ayat (2) : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiappenduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan ntukberibadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.Dengan memperhatikan pasal-pasal amandemen UUD 1945tersebut, ternyata dalam merumuskan hal-hal yang berkaitan denganperlindungan hak asasi manusia masih bersifat tumpang tindih dantidak sistematis. Misalnya yang terdapat dalam pasal 28 I dan pasal 29ayat (2), kedua pasal tersebut secara tegas memberikan perlindunganhak asasi manusia dibidang agama. Jika amandemen pasal 29 ayat (2)memajukan tujuh kata piagam jakarta, yakni “dengan kewajibanmenjalankan syariat islam bagi pemeluknya”, maka hal ini justru akanmenimbulkan suatu pemahaman yang sifatnya kontradiktif.Karena hak itu sifatnya adalah optuonal (pilihan), artinya akandilaksanakan oleh para pihak atau pun tidak, sangat tergantung dariperspektif masing-masing individu. Sedangkan kalau kewajibanberbarengan dengan hak menjadi satu aspek yang kemudiandicantumkan dalam konstitusi, maka sifat optional dari hak ini akanmengalami penyimpangan, mengingat arti kewajiban itu bersifatsanksionistik.3) Absennya perlindungan kepada kelompok kawin campurbermula pada UU No 62/1958 tentang Kewarganegaraan yangmembedakan perkawinan antara laki-laki Warga NegaraIndonesia (WNI) dan perempuan Warga Negara Asing (WNA)dengan laki-laki WNA dan perempuan WNI (patriarchal view ofgender). Dalam UU tersebut, perempuan WNA yang menikahdengan laki- laki WNI boleh menjadi WNI segera setelah diamengajukan permohonan untuk itu dengan syarat melepaskankewarganegaraan asalnya. Di lain pihak, seorang laki-laki WNAyang menikah dengan perempuan WNI tidak mendapatperlakuan hukum yang serupa. Laki-laki tersebut tetap WNAdan istrinya boleh tetap WNI, serta anak-anak yang lahir ikutkewarganegaraan ayahnya.Ada beberapa asas yang dianut secara ketat dalam UUKewarganegaraan itu yang berdampak pada absennya rasa keadilanbagi perkawinan campuran ini. Pertama asas patriarki. UUKewarganegaraan yang dibuat pada masa UUD Sementara 1950


mengadopsi asas patriarki dari hukum positif yaitu hukum adat yangmengakui ayah sebagai pembawa garis keturunan.Kedua, anti-bipatride. Penerapan asas ius sanguinis(hubungan darah) oleh UU ini dan untuk menghindarkan bipatride, UUini tidak menganut asas ius soli bagi anak sah dari ibu WNI. Ketiga,kedudukan anak. Permohonan naturalisasi yang mensyaratkanbertempat tinggal di Indonesia lima tahun berturut-turut atau 10 tahuntidak berturut-turut tidak berlaku bagi anak. Karena UU inimenganggap umur dewasa menentukan kewarganegaran adalah 21tahun.Juga, anak asing dari perceraian oleh pengadilan dan anakasing yatim dari ayah asing yang masing-masing hak asuh diberikanpada ibu WNI statusnya masih tetap asing sampai dia berumur 18tahun. Kedudukan anak sebagai WNA dalam kedua kasus tersebutakan merepotkan ibunya dan terkesan bertentangan dengan prinsipyang dianut UU ini bahwa secara sosiologis selalu ada hubungankekeluargaan antara ibu dan anak.Sementara itu, jika mereka memilih bermukim di Indonesia,perangkat hukum keimigrasian secara substantif tidak mengatur orangasing dalam perkawinan campuran ini. Ayah dan anak tersebutdiperlakukan (kurang lebih) sama dengan orang asing lainnya.Sepertinya ada kontradiksi dengan apa yang dianut dalam UUkewarganegaraan ini yaitu asas kesatuan kewarganegaraan dalamperkawinan. Jika secara eksplisit diamanatkan dalam UU tersebut,setidaknya harus ada kemudahan khusus dalam perangkat hukumKeimigrasian.UU No 9/1992 tentang Keimigrasian, misalnya, bahkan tidakmenyinggung tentang masalah ini. Hanya dalam Peraturan Pemerintah(PP) No 32/1994 serta Surat Keputusan (SK) Menkeh No.M.02-IZ.01.10-1995 dapat mengurangi beban ibunya karena anak asing tersebutboleh mendapat Izin Tinggal Sementara (Itas) atas jaminan ibunya.Pasal ini sebenarnya kemudahan setengah hati karena syaratnyahanya jika ayahnya belum memiliki Itas. Jika ayah sudah memilikinyaanak akan menjadi status ikutan dalam Itas ayahnya.Selanjutnya, suami yang WNA tidak diizinkan memiliki Itasdengan jaminan istri, paling hanya boleh memiliki izin kunjungan sosialbudaya selama tiga bulan yang bisa diperpanjang sampai enam bulan.Sesudah itu harus keluar wilayah Indonesia. Cara lain untuk mendapatizin bertempat tinggal adalah dengan bekerja. Sebagai orang asing,bekerja berarti dipekerjakan suatu perusahaan tertentu, berinvestasi diIndonesia, atau mendirikan perusahaan. Dalam SK Menkeh No.M.02-IZ.01.10-1995 disebutkan orang asing yang boleh bekerja di Indonesiahanya yang benar-benar tenaga ahli langka, top executive atauinvestor dengan jumlah investasi yang tidak kecil.Dalam kasus ini, jika suami bekerja berarti mendapatkan Itas(satu tahun) dan anak-anaknya juga. Hidup masih terasa lebih mudahjika suami masih tetap bekerja. Kesulitan besar akan muncul jikakontrak kerja suami berakhir dan berarti izin tinggal di Indonesia


erakhir juga. Jika masih ingin bermukim di Indonesia, suami besertaanak asing tersebut harus meninggalkan Indonesia untukmendapatkan visa baru yang hanya berupa visa kunjungan saja.Bahkan, jika keadaan memaksa, sering suami dan anak tersebutmasuk dengan visa turis yang tidak dapat diperpanjang ataudikonversi. Dengan kata lain UU Keimigrasian ini menyarankanpasangan ini untuk bermukim di luar wilayah Indonesia saja.TELAAH sosiologis yang terlalu teoritis tanpa melihat faktaperubahan dan globalisasi dan penerapan selective policy pada keduaUU ini telah menuai pandangan sinis tentang perlindungan hak asasiterhadap perempuan di Indonesia. Isu HAM dan isu kesetaraan jenderyang dilekatkan pada perkawinan campuran ini terletak pada beberapafakta.Pertama, merupakan hak asasi manusia untuk memilihtinggal di negaranya tanpa memandang dengan warga negara manadia menikah. Pembedaan pengaturan kewarganegraan dan izinkeimigrasian antara laki- laki dan perempuan WNI dengan pasanganmasing-masing WNA jelas sangat diskriminatif.Kedua, adalah HAM seperti diakui oleh UU No 62/1958 untukmenyatukan kewarganegaraan kedua mempelai dan anak-anaknya.Karena jika suami atau anak-anak dideportasi misalnya, berarti samadengan mengusir ibunya dari Indonesia.Ketiga, adalah HAM mendapatkan penghidupan layak seluasluasnyatanpa dibatasi. Suami WNA dalam kasus ini mendapat izintinggal untuk bekerja hanya jika sebagai investor, top eksekutif, atautenaga ahli langka.Perkawinan adalah ikatan batin yang suci dan diridhai Ilahi.Dalam konsep demokrasi modern, negara tidak boleh mengintervensiwarganya kepada siapa dia menikah. Seperti dalam sebuah keluarga,adalah wajib menerima pasangan hidup anaknya sebagai anggotakeluarga.Pengakuan negara terhadap suami dan anak-anak WNA,melalui pemberian hak yang sama memohon pewarganegaraan sepertibagi pasangan asing dari laki-laki WNI dari perkawinan campuran iniadalah suatu keniscayaan. UU ini tidak bisa menjadi tameng menahanarus globalisasi, karena konsep bangsa secara sosiologis yangmengacu pada ciri rasial akan menjadi usang.Tentang hukum adat sebagai hukum positif yang menganutasas patriarki adalah masalah lain yang tidak berhubungan. Asasantibipatride dan anti-apatride tetap bisa dipertahankan karenapewarganegaraan dalam kasus ini melalui permohonan dengan syaratmenanggalkan lebih dulu kewarganegaraannya. Pewarganegaraanperkawinan campuran tidak berkaitan dengan prinsip kebijakanselektif, jadi harus dibedakan dari menjadi negara penerima imigran(immigrant state). Karena perkawinan memiliki nilai sakral sehingganegara jangan menjadi rintangan bagi perikatan manusia ini.DPR telah meratifikasi Convention on the Elimination of AllForms of Discrimination Against Women (CEDAW) pada 24 Juli 1984


dan diundangkan dalam UU No 7/1984. Pengakuan Indonesia akanKonvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadapPerempuan itu seharusnya jangan hanya law in books.Dengan UU ini berarti Indonesia menghendaki jugapenghapusan terhadap "segala pembedaan, pengucilan, ataupembatasan atas dasar jenis kelamin, ... pembatasan atas kebebasanpokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau apa pun olehkaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka dan atasdasar persamaan laki-laki dan perempuan".4) Peraturan Perundang-undangan pendaftaran dan pencatatansipil yang sekarang berlaku pada awalnya diberlakukan olehPemerintah Hindia Belanda berdasarkan atas penggolonganpenduduk (Pasal 163 ayat (1) IS) dan bersifat pluraldiskriminatif.Plural karena ada dua kelompok PeraturanPerundang-undangan yaitu Pendaftaran Penduduk danCatatan Sipil. Diskriminatif karena pemberlakuannyaberdasarkan pada perbedaan suku bangsa, agama maupunstatus sosial.Untuk peristiwa kependudukan yang dialami penduduk pribumidiberlakukan pendaftaran penduduk berdasarkan sistemtriplikat, diselenggarakan di Kantor Desa/Kelurahan.Untuk golongan penduduk Eropa, Timur Asing/Tionghoa dangolongan penduduk beragama kristen dan karena statussosial, semua peristiwa penting yang terjadi dicatatkan padaKantor Catatan Sipil berdasarkan Peraturan PerundangundanganCatatan Sipil dengan sistem Akta. Adapun produkHindia Belanda tersebut adalah :1) Staatsblad Tahun 1849 Nomor 25 tentang ReglemenPencatatan Sipil Eropah;2) Staatsblad Tahun 1917 Nomor 130 tentang ReglemenPencatatan Tionghoa;3) Staatsblad Tahun 1920 Nomor 751 tentang PemeliharaanDaftar-Daftar Catatan Sipil Bagi Beberapa GolonganPenduduk Indonesia Dari Jawa dan Madura Yang TidakTermasuk Rakyat Dari Sesuatu Swapraja;4) Staatsblad Tahun 1933 Nomor 75 tentang ReglemenPencatatan Sipil Bagi Bangsa Indonesia Kristen Jawa,Madura, Minahasa;5) Staatsblad Tahun 1898 Nomor 158 tentang PerkawinanCampuran.Berlakunya sistem pluralisme dan diskriminasi PeraturanPerundang-undangan dan pencatatan sipil secara hukum berlangsungterus sampai dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet Nomor31/U/IN/12/1996 yang menginstruksikan kepada Menteri Kehakimanbahwa Kantor Catatan Sipil terbuka bagi seluruh penduduk. Upayamemberlakukan satu hukum untuk pencatatan sipil antara lain


dengan diundangkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 danPeraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dalam hal pencatatanperkawinan dan alat bukti keturunan berupa Akta Kelahiran. Namununtuk pengaturan pencatatan administrasi kependudukan lainnya sifatpluralisme belum berakhir karena masih berdasarkan padakeanekaragaman Peraturan Perundang-undangan lama (HindiaBelanda).Selanjutnya pada Tahun 1977 penyelenggaraan pendaftaranpenduduk dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 52Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk yangkemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.8Tahun 1977 tentang Pelaksanaan Pendaftaran Penduduk.Pada Tahun 1995 diberlakukannya ketentuan tentang SistemInformasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK) dengan PeraturanMenteri Dalam Negeri Nomor IA Tahun 1995. Peraturan Menteri DalamNegeri tersebut mencabut Peraturan Menteri Dalam Negeri No.8 Tahun1977. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor IA Tahun 1995ditindaklanjuti dengan :1) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor IA Tahun 1995tentang Spesifikasi Blanko/Formulir/Buku dan SaranaPenunjang lainnya dalam rangka PenyelenggaraanPendaftaran Penduduk;2) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 2A Tahun 1995tentang Prosedur dan Tata Cara Penyelenggaraan PendaftaranPenduduk Dalam Kerangka SIMDUK.Produk yang dikeluarkan pada era otonomi daerah versiUndang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ialah Keputusan Menteri DalamNegeri Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pedoman PenyelenggaraanPendaftaran Penduduk dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 94Tahun 2003 tentang Spesifikasi, Pengadaan dan Pengendalian Blanko,KK, KTP, Buku Register Akta dan Kutipan Akta Catatan Sipil.Gambaran Periode berlakunya Peraturan Perundang-undanganPendaftaran dan Pencatatan Sipil NasionalPERIODE SIFAT PENCATATANSIPILPENDAFTARANPENDUDUK


1945 -1967Plural danNasionalDiskriminatif.Produk HindiaBelanda dengansistem Akta.Untuk WNIKeturunan.Produk hukumdengan sistemtriplikat/suratjalan.Untuk WNIPribumi dan WNIKeturunan.Ditinjau dari aspek yuridis produk-produk hukum tersebutperlu disempurnakan dengan pertimbangan:1) Materi yang diatur dalam Staatsblad merupakan produkHukum Militer Belanda yang membeda-bedakan golonganuntuk golongan penduduk Eropa Timur Asing/Tionghoa dan1967 –Sekarang2000Upaya Unifikasidanmenghapusdiskriminasi.Upaya UnifikasiHukumAdministrasiKependudukandalam satuUndang-Undang.Oleh KantorCatatan Sipil.Penerusanproduk hukumHindia Belandasecara hukumuntuk semuapenduduk.Materi Undang-Undang,Peraturanpelaksanaanlain, utamanyaPerdaKabupaten danKota.OlehDesa/Kelurahan.Produk hukumNasional untuksemuapenduduk.Materi Undang-Undang,PeraturanPemerintah danaturanpelaksanaan lain,utamanya PerdaKabupaten danKota.Sebagai dasarpembentukanPerda Kabupatendan Kota.golongan penduduk beragama Kristen, hal tersebut bersifatpluralisme dan diskriminasi yang sudah tidak sesuai denganprinsip-prinsip universal dalam pemberian perlindungan danpelayanan yang sama bagi setiap warga negara dalammemperoleh Hak-Hak Sipil.2) Ketentuan tentang pendaftaran penduduk yang hanya diaturdengan Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri, dirasakanbelum kuat terutama dalam kaitannya dengan penegakanhukum (Law Inforcement). Seharusnya hukum dasar kita UUD1945 pada Pasal 26 ayat (3) telah mengamanatkan untukmengaturnya dengan jenis Undang-Undang, agar rumusannorma-norma tersebut dapat dilekati sanksi pemaksa yangmempunyai kekuatan mengikat baik bagi penduduk danpenyelenggara pemerintahan terutama di bidang pendaftaranpenduduk dan pencatatan sipil.Tempat pelayanan pencatatan sipil berada di Kabupaten/Kota,dirasakan jauh terutama untuk daerah yang tipologinya sulit, hal


tersebut menyebabkan malasnya penduduk untuk mengurus akta-aktacatatan sipil, di samping faktor biaya.5) Dalam hal “Negara-negara peserta wajib memberikan kepadapria dan wanita hak-hak yang sama berkenaan dengan hukumyang berhubungan dengan mobilitas orang-orang dankebebasan untuk memilih tempat tinggal dan domisili mereka”,maka dalam rangka meningkatkan pengendalian pendudukserta pembinaan ketenteraman dan ketertiban, perludilaksanakan pendaftaran penduduk secara tertib sebagaibentuk upaya untuk mengetahui apakah seseorang itu warganegara Republik Indonesia atau bukan, jumlah orang yangbertempat tinggal di suatu daerah, mata pencaharian tetapdan keadaan masing-masing di suatu daerah. Sedangkan yangdimaksud dengan pendaftaran data penduduk adalah kegiatanpencatatan dan penelitian data penduduk akibat terjadinyakelahiran, kematian, perpindahan, kedatangan, perubahanstatus kependudukan dan mutasi biodata.Oleh sebab itu setiap penduduk yang telah berusia 17 tahunatau sebelumnya telah kawin dan atau pernah kawin wajib memiliki KTPdan membawa KTP tersebut. Kartu Tanda Penduduk atau lebih dikenaldengan singkatan KTP adalah kartu (identitas) sebagai bukti diri(legitimasi) bagi setiap penduduk dalam wilayah Negara RepublikIndonesia. Kewajiban memilikiKTP tersebut dilakukan selambatlambatnyadalam jangka 14 hari kerja sejak yang bersangkutan menjadipenduduk dan atau telah berusia 17 tahun atau sebelumnya telah kawin.KTP ditandatangani Kepala Kelurahan atas nama Camat dan KTPtersebut berlaku 5 tahun. KTP yang telah habis masa berlakunyadiperpanjang dengan diterbitkan KTP yang baru.Dalam kegiatan sehari-hari KTP memegang peranan penting,apakah itu untuk kegiatan berbisnis, melamar pekerjaan, minta kreditpada bank, bepergian ke wilayah lain, mengurus paspor, dan lainsebagainya.Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.1 Tahun 1996Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk Dalam KerangkaSistem Informasi Manajemen Kependudukan Dalam Wilayah DaerahKhusus Ibukota Jakarta, yang kemudian diubah dengan PeraturanDaerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.6 Tahun 2000Tentang Perubahan Pertama atas PERDA tersebut dengan mengubahbeberapa pasal (pasal 1, 11, 13, 18 dan 24), maka setiap penduduk yangtelah berusia 17 tahun atau sebelumnya telah kawin dan atau pernahkawin wajib memiliki KTP. KTP harus dibawa kemana pemiliknya berada.Kartu Tanda Penduduk atau lebih dikenal dengan singkatan KTP adalahkartu (identitas) sebagai bukti diri (legitimasi) bagi setiap pendudukdalam wilayah Negara Republik Indonesia. Kewajiban memilikiKTPtersebut dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka 14 hari kerja sejak


yang bersangkutan menjadi penduduk dan atau telah berusia 17 tahunatau sebelumnya telah kawin.Apabila seseorang sudah berusia 17 tahun dan inginmelaksanakan kewaibannya untuk memiliki KTP, maka beberapa syaratharus sudah dipenuhi, antara lain: (i) adanya surat pengantar dariRT/RW, (ii) adanya foto copy Kartu Keluarga, (iii) foto copy aktekelahiran, dan (iv) pas foto ukuran 2 x 2,5cm sebanyak 2 lembar. Syaratsyarattersebut diajukan kepada Kepala Kelurahan setempat untukmemperoleh KTP Baru. Oleh aparat Kelurahan setempat maka setelahditerimanya berkas itu ia akan: (i) mengisi lembar permintaan KTP baru;(ii) mencatat ke dalam Buku Induk KTP; (iii) menandatangani permintaanKTP baru; dan (iv) membuat daftar permintaan KTP baru. Kemudianberkas-berkas tersebut disampaikan kepada Suku Dinas KependudukanDKI Jakarta. Oleh Sudin Kependudukan DKI Jakarta, maka berkas-berkastersebut dilakukan: (i) meneliti berkas permintaan KTP baru; dan (ii)memproses/mencetak KTP baru; dan (iii) mengirim KTP Baru tersebut keKelurahan.Setelah pihak Kelurahan menerima KTP Baru dari SudinKependudukan tersebut, maka pihak Kelurahan: (i) minta tandatangananorang ybs; (ii) menandatangani; (iii) menyetempel; (iv) melaminating;(v) menyerahkan KTP Baru tersebut kepada yangbersangkutan; dan (vi)mengarsip. Proses pelayanan KTP Baru tersebut dilakukan dengan SistemSemi Frontal dan saat minta sampai dengan diberikannya KTP Barutersebut dilaksanakan selama 10 hari kerja.Sedangkan dalam prosedur pelayanan perpanjangan KTP,Pemda DKI Jakarta menerapkan Sistem Frontal, artinya waktupenyelesaian pelayanan perpanjangan KTP dilakukan dalam jangkawaktu 1 hari kerja. Hal itu dilakukan Pemda DKI Jakarta, dalam hal iniSuku Dinas Kependudukan, dengan cara (i) mencetak KTPperpanjangan; dan (ii) mengirim KTP perpanjangan tersebut keKelurahan 14 hari sebelum KTP seseorang habis masa berlakunya. Olehpihak Kelurahan yang menerima KTP perpanjangan tersebut akan diteliti,dicatat dan dikelompokkan. Sehingga apabila salah seorang warganyadatang memperpanjang KTP, maka pihak aparat Kelurahan tinggal mintapas foto ukuran 2 x 2,5cm yang akan ditempel pada KTP perpanjanganitu, minta tandatanganan orang yang bersangkutan; Lurahmenandatangani, menyetempel, melaminating, menyerahkan, danmengarsip.Dari sistem semi frontal maupun sistem frontal dalam pelayananKTP oleh aparat Pemerintahan DKI Jakarta tersebut dapat disampaikandisini, bahwa dalam hal pelayanan permintaan KTP Baru maupun dalampelayanan perpanjangan KTP, maka dapat dikatakan sebagai baik.Artinya data menunjukkan bahwa:a. Jika dilihat dari peraturan perundang-undangannya, makaPeraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.1 Tahun 1996


Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk DalamKerangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan DalamWilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, yang kemudiandiubah dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah KhususIbukota Jakarta No.6 Tahun 2000 Tentang Perubahan Pertamaatas PERDA tersebut adalah baik karena filosofinya sudahmemihak rakyat, antara lain dengan membebaskanmasyarakat dari biaya pencetakan KTP, memberi pelayananKTP yang cepat, efisien, dan efektif, yaitu 10 hari kerja untukpelayanan KTP Baru dan 1 hari kerja untuk pelayananperpanjangan KTP. Hanya saja perlu ketegasan dari Perdatersebut mengenai pas foto, apakah berwarna atau hitamputih;b. Jika dilihat dari kesadaran hukum masyarakat, makamasyarakat yang minta pelayanan KTP sudah cukup sadarhukum, artinya masyarakat pada umumnya mengerti prosedurdan persyaratan pelayanan KTP, disamping harus memenuhiprosedur karena mengurus KTP Baru dan tidak memenuhiprosedur karena memperpanjang KTP. Bagi yang minta KTPBaru ia harus melalui RT/RW dan bagi orang yang mintapelayanan perpanjangan KTP langsung ke Kelurahan,walaupun ada juga yang tidak mengerti mengurus KTP karenasudah lama tidak mengurus dan KTP-nya berlaku seumurhidup. Di samping itu rata-rata mereka pernah mendapatpenyuluhan tentang pelayanan KTP sedangkan yang lain tidakpernah mendapat penyuluhan pelayanan KTP tetapi mendapatinformasi di Kelurahan. Hal lain menunjukkan bahwamasyarakat telah mengerti dokumen-dokumen yangdiperlukan dalam pengurusan KTP;c. Jika diihat dari kesadaran hukum aparat Pemerintahan DKIJakarta, maka menurut pendapat masyarakat pelayanan KTPoleh aparat Pemerintah DKI Jakarta dapat dikatakan baik, didamping ada yang menyatakan tidak baik karena ada aparatKelurahan yang minta uang rokok kepada masyarakat maupunmasih bersedia menerima uang dari masyarakat;d. Jika dilihat dari kecepatan pelayanan, maka jangka waktupelayanan KTP 10 hari selesai untuk pelayanan KTP Baru dan1hari selesai untuk pelayanan perpanjangan KTP dapatdikatakan cukup baik, karena masyarakat merasa dilayanidengan cukup cepat walaupun ada juga yang merasa lamakarena Lurahnya tidak ada di tempat atau sedang rapat. Disamping itu aparat kelurahan sendiri juga menilai bahwadalam hal kecepatan pelayanan KTP adalah cukup walaupunada yang menyatakan tidak memadai karena folume yangharus dikerjakan terlalu banyak serta sarana dan prasaranyamasih kurang, misalnya pada alat transportasi. Dari masih


adanya ketidak puasan masyarakat dalam pelayanan KTP ini,seyogyanya di samping Lurah selalu harus ada di tempat, jikapun terpaksa harus meninggalkan kantor, sebaiknya lurahtersebut mengusahakan sesegera mungkin menyelesaikanatau membuat suatu perkiraan selama ditinggal pergitugasnya juga beres;e. Jika dilihat dari sarana dan prasarana pelayanan KTP, makadipandang cukup baik, karena sarana dan prasarana yangtersedia menurut masyarakat adalah memadai walaupun adayang menilai kurang. Sarana dan prasarana pelayanan KTP inijustru dipandang oleh aparat tidak memadai tetapi ada jugayang merasa cukup memadai. Dari data yang demikian itukiranya Pemerintah Pusat DKI Jakarta perlu tanggap, bahwamasih ada sebagian besar Kelurahan masih memakai mesin tikmanual;3. Bidak Ketenaga kerjaan. 8PengantarBerdasarkan TOR Kajian yang dibuat oleh BPHN dalam rangkamemberikan rekomendasi yang diperlukan pembuat kebijakan diIndonesia berkaitan dengan ratifikasi (atau tidak diratifikasinya)Optional Protocol Convention on The Elimination of All Forms8 L.I Nurtjahyo,SH,MH Staf Pengajar FHUI untuk mata kuliah Wanita danKeluarga dalam Hukum dan Pembangunan Nasional, Antropologi Hukum danAntropologi Budayaof Discrimination Against Women, terutama yang berkenaandengan masalah ketenagakerjaan, maka berikut ini adalah analisaterhadap kasus diskriminasi yang dihadapi tenaga kerja perempuan.Analisa kasus ini merupakan penguatan terhadap analisa yuridis yangterdapat dalam bagian sebelumnya dari Laporan Kajian.Pemilihan kasus diskriminasi terhadap pramugari Garuda iniuntuk dianalisa didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertamabahwa kasus ini terjadi pada sebuah perusahaan penerbangan yangmerupakan lembaga atau institusi pemerintah (yang seharusnya justrumenerapkan Convention on The Elimination of All Forms ofDiscrimination Against Women –selanjutnya disebut CEDAWatauKonvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadapPerempuan yang sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia melaluiUndang-undang Nomor 7 Tahun 1984). Kedua, bahwa sebenarnyapemerintah (terutama Menteri Tenaga Kerja dan MenteriPemberdayaan Perempuan) sudah mencoba menjadi fasilitator dalamkasus ini akan tetapi tetap saja tidak dapat dihasilkan suatu keputusanyang mengakomodir kepentingan perempuan dari kasus ini. Padahal,keputusan tersebut sangat penting karena menyangkut hajat hidupsebagian karyawan perempuan dari PT. Garuda Indonesia. Ketiga,keputusan atau hasil akhir dari sengketa yang terjadi antara parapihak dalam kasus ini dapat menjadi preseden bagi kasus hubungankerja yang serupa antara pramugari dengan perusahaanpenerbangannya mengingat PT. Garuda Indonesia adalah perusahaan


penerbangan nasional yang dominan di Indonesia yang seringdijadikan acuan bagi perusahaan penerbangan lain.Analisa terhadap kasus di atas diperlukan untuk menjawabpermasalahan apakah dengan menggunakan Optional ProtocolConvention on The Elimination of All Forms of DiscriminationAgainst Women (selanjutnya disebut OP-CEDAW) dapat memberikanhasil yang optimal terhadap terselenggaranya keadilan bagi pihakpramugari tersebut.Berdasarkan hasil analisa tersebut di atas barulah dapat disusun suaturekomendasi berkenaan dengan ratifikasi atau tidak diratifikasinya OP -CEDAW oleh pemerintah Indonesia.Bentuk-bentuk Diskriminasi terhadap Pramugari PT GarudaIndonesiaSebelum menjelaskan inti permasalah berupa bentuk-bentukdiskriminasi apa saja yang terjadi terhadap para pramugari diperusahaan penerbangan tersebut, perlu kita ketahui dulu konsepmengenai diskriminasi berdasarkan Pasal 1 dari CEDAW:“Untuk tujuan konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasiterhadap wanita” berarti setiap pembedaan, pengucilan ataupembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyaipengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskanpengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dankebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial,budaya, sipil atau apapun lainnya oleh wanita, terlepas dari statusperkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.”(Catatan: dalam Konvensi, semua kata „women‟diterjemahkan menjadi „wanita‟, tetapi dalam tulisan inisecara konsisten digunakan istilah „perempuan‟).Dengan berpijak pada batasan di atas, bahwa telah terjadipembedaan dan pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin,maka bentuk-bentuk kebijakan dan tindakan diskriminatif yangmenurut para Pramugari Garuda Indonesia yang tergabung dalamPerkumpulan Awak Kabin Perempuan adalah :a. Cuti hamil pramugariPada tahun 1985 dilakukan pengangkatan tetap bagipramugari yang tadinya berstatus honorer. Pengangkatan inimemungkinkan pramugari yang telah menikah untukmendapat cuti hamil. Akibat jenis pekerjaannya pramugarimendapat cuti hamil sebagai cuti di luar tanggunganperusahaan selama 1 tahun. Konsekwensinya, selama cuti,pramugari tersebut tidak menerima upah dan fasilitas lainnya.Setelah aktif kembali ia akan mendapat uang suka cita sebesarRp 100.000,- .Tahun 1988 peraturan cuti hamil ini dirubah menjadi cutidiluar tanggungan perusahaan selama 2 tahun, dengandiberikan upah selama 3 bulan sedangkan fasilitas lainnya


tidak diberikan. Akibat dari masuknya cuti hamil pramugari kedalam kategori cuti di luar tanggungan perusahaan, makasalah satu klausul Surat Keputusan Cuti berbunyi “dapatditerima kembali bekerja sebagai Awak Kabin jika adaformasi.” Artinya tidak ada jaminan seorang pramugari yangmengambil cuti hamil dapat memperoleh pekerjaannyakembali selepas cuti. Padahal isteri pramugara mendapatfasilitas pemeriksaan kehamilan dan perusahaan menanggungseluruh biaya kelahiran dan imunisasi bayi (BrahmanieHastawati, 2006:3).b. Diskriminasi usia pensiunPT Garuda Indonesia Indonesia menetapkan batas usiapensiun pramugari adalah 46 tahun melalui surat keputusanDirektur Utama No DZ/SKEP/5052/99 tanggal 21 Juli 1999.Sedangkan batas usia pensiun pramugara 56 tahun(Brahmanie Hastawati, 2006: 3). Padahal baik persyaratanpenerimaan, pelatihan maupun standar kompetensi pramugaradan pramugari tidak berbeda. Pembatasan usia pensiunpramugari yang berbeda dari pramugara ini (lebih dini)disebabkan karena adanya pemikiran bahwa perempuan layakbekerja sebagai pramugari maksimal sampai usia 46 tahunsaja. Setelah itu secara fisik, perempuan dianggap tidak lagimenarik sehingga tidak memenuhi syarat yang ditetapkanperusahaan (harus tampil menarik) sebagai seorang pramugari(Tirtawening, 2005).Ketentuan ini diperkuat oleh Kesepakatan Kerja Bersama(KKB) antara Perusahaan dan Serikat Pekerja GarudaIndonesia yaitu KKB 2000-2003 yang isinya antara lain “Batasusia pensiun pramugari adalah 46 tahun, pramugara 56 tahundan penerbang laki-laki 60 tahun, penerbang perempuan 50tahun.” (Brahmanie Hastawati, 2006:3-4)Mengenai alasan yang berkenaan dengan daya tarik fisikpramugari, dalam laporan penelitiannya (yang menjadi bahanskripsi) Saudara Tirtawening (2002) mengemukakan bahwapramugari dituntut untuk tampil menarik dengan standar yangtelah ditentukan perusahaan. Misalnya wajah tidak bolehberjerawat dan berat badan harus memenuhi standar berupatabel yang dibuat perusahaan. Apabila berjerawat atau beratbadan melampaui tabel maka pramugari yang bersangkutanakan kena penalty dan harus mengikuti program perawatankulit atau program pelangsingan yang biayanya dibayarsendiri oleh yang bersangkutan. Data yang diperolehTirtawening juga.


BAB IIITINJAUAN OP CEDAWKepastian agar perempuan dapat memenuhi semua hakasasinya ditegaskan dalam OP:Menegaskan kembali tekad mereka untuk memastikan agarperempuan secara penuh dan sama dapat menikmati semua hak-hakasasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar,serta melakukantindakan yang efektif untuk mencegah pelanggaran atas hak-” hak dankebebasan- kebebasan itu”.Pasal 1 :Negara Peserta dari Protokol yang sekarang ini (“Negara Peserta”)mengakui kompetensi dari Komite mengenai Penghapusan SegalaBentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (“Komite”) untuk menerimadan mempertimbangkan komunikasi-komunikasi yang disampaikansesuai dengan pasal 2.Pada umumnya OP CEDAW menyetujui adanya ketentuanyang mengatur tentang persetujuan negara peserta untuk mengakuikompetensi Komite mengenai Penghapusan Diskriminasi TerhadapPerempuan, untuk menerima dan mempertimbangkankomunikasi-komunikasi yang disampaikan orang perorangan ataukelompok sesuai dengan pasal 2.Pasal 2 :Komunikasi-komunikasi boleh disampaikan oleh atau atas namaperseorangan atau kelompok yang terdiri dari perorangan, dalamyurisdiksi Negara Peserta, yang menyatakan bahwa dirinya adalahkorban dari pelanggaran atas hak-hak yang dimuat dalam Konvensi,yang dilakukan Negara Peserta bersangkutan. Komunikasi yangdisampaikan atas nama perorangan atau kelompok perorangan, hanyadapat diajukan dengan persetujuan mereka, kecuali apabila su penulisdapat membenarkan bahwa ia bertindak untuk mereka tanpapersetujuan itu.Dan bila cara dan pertimbangan diterimanya suatukomunikasi terdapat dalam pasal 3 dan 4, sedangkan diterimaatau tidak,ada prosedur-prosedur yang harus dilakukan baik dariKomite maupun dari negara peserta untuk melakukan tindakansementara terhadap korban (Pasal 5 dan 6).Pasal 3 :Komunikasi-komunikasi harus disampaikan secara tertulis dan tidakboleh tanpa nama. Komunikasi tidak akan diterima oleh Komite apabilahal itu mnyangkut suatu Negara Peserta Konvensi,tetapi ia bukanpeserta Protokol yang sekarang ini. Pasal ini mensyaratkan diterimatidaknya suatu komunikasi oleh Komite.


Pasal 4 :1. Komite hanya akan mempertimbangkan suatu komunikasi apabilaada kepastian bahwa semua proses penyelesaian setempat yangtersedia sudah dilakukan, kecuali apabila proses itu berlangsungberkepanjangan tanpa alasan atau tidak mungkin memberikanhasil yang efektif.2. Komite akan menyatakan bahwa suatu komunikasi tidak dapatditerima apabila :a. Hal yang sama pernah diperiksa oleh Komite atau sedang atausudah diperiksa melalui prosedur internasional lainnya.b. Tidak sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi.c. Jelas mengandung niat buruk atau tidak cukup mengandungkebenaran.d. Merupakan penyalahgunaan hak untuk menyampaikanpengaduan.e. Fakta-fakta yang disampaikan dalam komunikasi yang terjadisebelum berlakunya Protokol ini bagi negara pesertabersangkutan kecuali bila fakta-fakta itu masih tetap berlanjutsetelah tanggal itu.Bila ada laporan telah terjadi perlakuan diskriminasi terhadapkorban, karena adanya pelanggaran hak asasinya dibidang ketenagakerjaan,misalnya TKW, yang bertanggung jawab untuk melindungiadalah negara dari TKW tersebut. Pasal 8 UU No.39 Th 1999menyebutkan bahwa : “ Perlindungan, pemajuan, penegakan, danpemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawabpemerintah ”.Perlindungan khusus terhadap TKW diberikan pemerintahdalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yangdapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaandengan fungsi reproduksi wanita (pasal 49 ayat 2). Permasalahan TKWyang banyak terjadi akhir-akhir ini dengan banyaknya TKW migranyang illegal merupakan permasalahan nasional, regional bahkaninternasional yang wajib diatasi bersama. Pemerintah Indonesiamengeluarkan kebijakan yang disatu sisi wajib melindungi HAM TKW,disisi lain kebijakan untuk menertibkan arus TKW yang akan bekerjadiluar negeri. Indonesia telah mengeluarkan: Undang-undang tentang”Penempatan Tenaga Kerja di Luar Negeri” (UU No Thn ). TKW yangmenjadi korban kekerasan,penganiayaan ,tidak dibayar gajinya ataukorban perkosaan dari majikan, pemerintah wajib melindunginya, yaitudengan mengadakan perjanjian internasional dengan negara yangbersangkutan atau MOU.Pasal 5 :1. Sewaktu-waktu setelah diterimanya sebuah komunikasi dansebelum dicapainya penentuan baik-buruknya komunikasi,Komitedapat menyampaikan permintaan mendesak kepada NegaraPeserta yang bersangkutan agar diambil tindakan sementara yang


mungkin perlu dilakukan untuk menghindarkan kemungkinancedera yang tidak dapat dipulihkan pada korban atau korbankorbanyang diduga terjadi pada mereka.2. Bilamana Komite menetapkan keputusan menurut ayat 1 pasalini,hal ini tidak berarti diterimanya komunikasi atau baik-buruknyakomunikasi.Pasal 6 :1. Kecuali apabila Komite mempertimbangkan bahwa suatukomunikasi yang disampaikan kepadanya tidak dapat diterimatanpa merujuk pada Negara Peserta bersangkutan, dan adanyapersetujuan dibukanya identitas orang atau kelompok orang-orangkepada Negara Peserta,maka Komite wajib secara rahasiameyampaikan dan meminta perhatian Negara Pesertabersangkutan adanya komunikasi menurut Protokol ini.2. Dalam waktu enam bulan, Negara Peserta bersangkutan wajibmenyerahkan kepada Komite penjelasan tertulis atau pernyatanpernyataanuntuk menerangkan persoalan dan tindakanpenyelesaian jika ada, yang telah diberikan oleh Negara Peserta.Dalam pasal 5 diatas menjelaskan bahwa Komite dapatmeminta kepada negara peserta yang bersangkutan untuk melakukantindakan sementara kepada, perempuan korban diskriminasi untukdiberikan perlindungan untuk menghindarkan cedera yang tidak dapatdipulihkan. Walaupun keputusan Komite untuk melakukan tindakansementara kepada Negara peserta,tapi keputusan itu tidaklah berartikeputusan Komite telah menerima komunikasi tersebut. Seperti kasusTKW di Malaysia yang menimpa PRT yang masih dibawah umurbernama Bonat (18 th) asal Kupang yang mendapat siksaan olehmajikan dan TKW-TKW lainnya yang semula korban tapi menjadipelaku pembunuhan yang dihukum gantung (keadaan kritis), yangmembutuhkan tindakan sementaraTapi Komite mempertimbangkan untuk menerima komunikasiapabila ada persetujuan antara orang atau kelompok orang denganNegara Peserta tentang rahasia identitas dari pelapordan Komite wajibsecara rahasia menyampaikan dan meminta perhatian Negara Pesertabersangkutan. Dan dalam waktu 6 (enam) bulan Negara Peserta wajibmenjelaskan secara tertulis kepada Komite tentang tindakan yangtelah dilakukan untuk menyelesaikannya (pasal 6).Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10Artinya Komite berkewajiban untuk mempertimbangkanditerimanya komunikasi seperti yang ada dalam pasal 7 bila Komitemenerima informasi seperti yang disebutkan dalam pasal 8 (1),kemudian mendapat klarifikasi seperti tersebut dalam pasal 8 (2) dansegala yang berkaitan dengan pemeriksa dari temuan penyelidikan


dst,maka Komite meminta kepada negara peserta untuk memasukanlaporannya menurut pasal 18 Konvensi (pasal 9 angka 1).Dan bila diperlukan pada akhir jangka waktu 6 bulan manurut pasal 8(4), Komite dapat mengundang Negara Peserta yang bersangkutanuntuk memberitahukan mengenai langkah-langkah yang telahdilakukan sebagai tanggapan atas peneyelidikan itu.Yang penting dalam pasal 10 adalah : sebagai akibatpengratifikasian atau aksesi pada protokol Negara Peserta boleh tidakmengakui kompetensi Komite sebagai yang ditetapkan pasal 8 dan 9Protokol.Pasal 11 :Negara peserta wajib mengambil semua langkah yang tepat untukmemastikan bahwa orang di dalam Yurisdiksi negara itu tidak akandikenakan perlakuan yang tidak baik atau mendapat intimidasi sebagaiakibat dari komunikasi yang disampaikan kepada Komite sesuaiprotokol ini.Peraturan Perumnas UU N0 39/1999 tentang “Hak AsasiManusia”, dalam ps 2, yang menyebutkan negara Indonesia mengakuidan menjunjung tinggi hak asasi manusia . . . dst, ps 3 (3) :”Setiaporang berhak atas Perlindungan Hak Asasi Manusia dan kebebasandasar manusia tanpa diskriminasi “dan ps 7 (1):” Setiap orang berhakuntuk mempergunakan semua upaya hukum nasional dan foruminternasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hakasasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan HukumInternasional mengenai hak asasi manusia yang diterima RI”.Kajian :Hukum Indonesia telah mengatur dalam peraturan perundang-undangan-nyauntuk menjamin semua orang tanpadiskriminasi dalam wilayah Indonesia agar dilindungi dari perlakuantidak baik atau intimidasi dengan menjunjung tinggi hak manusia dankebebasan dasar manusia dan kebebasan dasar manusia itu tercermindalam pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan dalam UU No. 39 Th1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAMdengan adanya ketentuan-2 tersebut,maka setiap WNI telah dilindungikebebasan dan martabatnya. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan-2dalam Deklarasi HAM 1948 dan ketentuan-2 dalam Konvensi CEDAWyang telah diratifikasi oleh Indonesia.Rekomendasi:1. Masalah komunikasi oeleh korban pelenggaran hak.Hak dalamKonvensi CEDAW perlu diatur lebih lanjut dalam UU tentangHAM.UU tentang “Pengadilan HAM”, dan peraturan-peraturanpeleksanaan lain yang berkaitan dengan HAM.Perlu dikaji lebihlanjut kepemimpinan pelaksanaannya.


2. Perlu adanya pengaturan tentang syarat-syarat penyampaiankomuikasi oleh perorangan atau kelompok kepada KomitePenghapusan Diskriminasi terhadap perempuan (Komite) berkenaandengan ps 2 protokol ini.Komentar :Maksud dari pasal 13 dan pasal 14 dimana Konvensi dan ProtokolKonvensi CEDAW sebagai hukum nasional negara peserta melaluisistem hukumnya dapat bekerja.Pasal 12 :“Komite akan memasukkan dalam laporan tahunannya menurut ps 21Konvensi suatu ringkasan dari kegiatannya menurut Protokol ini.Rekomendasi:Dapat diterima.Pasal 13 :Setiap Negara Peserta melakukan penyebarluasan kepada masyarakatdan publikasi Konvensi dan Protokol ini, serta menfasilitasi akses padainformasi tentang pandangan dan rekomendasi-rekomendasi dariKomite, khususnya hal-hal yang menyangkut Negara Pesertabersangkutan.Pasal 14:Komite akan mengembangkan aturan-aturan dari prosedure yang akandiikuti ketika melaksanakan fungsi-fungsinya sesuai dengan protokolini.Pasal 15 :1. Protokol ini terbuka untuk penandatanganan oleh tiap negarayang telah menandatangani, meratifikasi atau aksesi padakonvensi.2. Protokol ini perlu diratifikasi oleh tiap negara yang telahmeratifikasi atau aksesi pada konvensi Instrumen-instrumenratifikasi oleh Setjend PBB.3. Protokol ini terbuka untuk aksesi oleh tiap negara yang telahmeratifikasi atau aksesi pada konvensi.4. Aksesi mulai berlaku dengan penyimpanan instrumen aksesipada Setjend PBB.Pasal 16 :1. Protokol ini mulai berlaku tiga bulan setelah tanggal disimpannyainstrumen ratifikasi atau instrumen aksesi yang kesepuluh padaSetjend PBB.2. Bagi setiap negara yang meratifikasi atau aksesi setelahberlakunya protokol ini, maka protokol ini mulai berlaku tiga


ulan setelah tanggal disimpannya instrumen ratifikasi atauinstrumen aksesi negara itu.Komentar :Pasal 15 point 2 OP menghendaki adanya ratifikasi Protokololeh tiap negara. Menurut penulis bahwa Protokol ini tidak perlu diratifikasi oleh Indonesia karena beberapa alasan, yakni :1. Dengan diratifikasinya Protokol ini maka akan membuka jalanatau kesempatan untuk mengadukan persoalan dalam negarike pihak luar.2. Sampai saat ini telah ada cara lain untuk mengadukanpersoalan dalam negeri ke pihak luar selain denganmeratifikasi OP.3. Indonesia telah dapat menyelesaikan persoalan denganmengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan.Beberapa persoalan yang belum diatur oleh peraturanperundang-undangan segera dibuatkan peraturannya.Beberapa peraturan perundang-undangan yang telah dibuat,antara lain:a. UU No.7 1984 tentang Pengesahan Konvensi PenghapusanSegala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.b. UU No 5 Th 1998 tentang Pengesahan KonvensiMenentang Penyiksaan dan Perlakuan atau PenghukumanLain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau MerendahkanMartabat Manusia.c. UU No 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan KonvensiPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.d. UU No.39 Th 1999 tentang HAM.e. UU No.26 Th 2000 tentang Pengadilan HAM.f. UU No.3 Th 1997 tentang Peradilan Anak.g. UU No.23 Th 2002 tentang Perlindungan Anak.h. UU No.23 Th 2004 tentang Penghapusan KekerasanDalam Rumah Tangga.4. Semoga seluruh anak bangsa cepat dewasa sehingga dapatmenyelesaikan persoalan dalam negerinya, tanpa harus mengadukankeluar.Pasal 19 :1. Setiap Negara Peserta sewaktu-waktu boleh membatalkan ikatanpada Protokol ini dengan pemberitahuan tertulis kepadaSekretaris Jenderal PBB . Pembatalan ikatan ini akan belakuenam bulan setelah tanggal diterimanya pemberitahuan olehSekretaris Jenderal.2. Pembatalan ikatan harus tanpa prasangka terhadapdilanjutkannya pelaksanaan ketentuan Protokol ini untuk setiapkomunikasi yang diserahkan menurut Pasal 2 atau tiap


penyelidikan menurut Pasal 8 sebelum pelepasan ikatan ituberlaku secara efektif.Pasal 20 :Sekretaris Jenderal PBB akan memberitahukan kepada semua negaraanggota mengenai:1. Penandatangan, ratifikasi dan aksesi pada Protokol ini;2. Tanggal mulai berlakunya Protokol ini dan setiap amandemenmenurut pasal 18;3. Setiap pengaduan menurut pasal 19;Optional Protokol ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB padatanggal, 15 Oktober 1999 dan terbuka untuk penandatangan,ratifikasi, dan aksesi sejak 10 Desember 1999 dan berlaku padatanggal, 22 Desember 2001 sampai dengan Juni 2006. OptionalProtokol telah diratifikasi oleh 79 negara, Indonesia menandatanganiOptional Protocol CEDAW pada tanggal, 28 Februari 2000. Untuk dapatterikat dengan prosedur investigasi dan prosedur komunikasi OPCEDAW, negara-negara peserta harus meratifikasi OP CEDAWtersebut.Prosedur-prosedur ini membuat Komite CEDAW, yaitu badanyang terdiri dari para ahli yang memonitor penerapan dari Konvensi.Menjadi suatu negara peserta OP CEDAW berarti menyetujui mandatedan yuridiksi dan Komite CEDAW untuk mengkaji ulang kasus-kasusdan situasi yang memungkinkan terjadinya pelanggaran dan hak asasimanusia. Penerapan OP CEDAW hanya dapat digunakan sebagai alatdari pilihan terakhir setelah semua toleransi efektif yang tersedia padalevel nasional digunakan.Walaupun negara telah ikut OP CEDAW, tetapi melalui pasal19 kepada negara-negara peserta yang telah meratifikasi diberikankesempatan membatalkan ikatan pada protokol ini, dan protokol iniakan berlaku enam bulan setelah tanggal diterimanya pemberitahuanoleh Sekretaris Jenderal.Demikian pula dengan pasal 20, Sekretaris Jenderal PBBmemberitahukan kepada semua negara mengenai penandatangan,ratifikasi dan aksesi protokol ini termasuk negara yang menyetujui diri.Apabila pasal 19 OP CEDAW dihubungkan dengan UU No.24tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pada pasal 18 salah satuisinya dikatakan, bahwa: Perjanjian Internasional berakhir apabilaterdapat kesepakatan para pihak melalui Presiden yang ditetapkandalam Perjanjian sehingga apabila Indonesia meratifikasi OP CEDAWmasih dimungkinkan untuk membatalkan ikatan Protokol tersebut.


BAB IVPOSISI <strong>OPTIONAL</strong> PROTOCOL CEDAW DALAM <strong>HUKUM</strong>NASIONAL YANG BERDAMPAK PADA PEMBERDAYAANPEREMPUANA. Kedudukan OP CEDAW dalam hukum nasional.Pada tahun 1996-1997, BPHN telah melakukan kajian tentang“Pengaruh Optional Protocol (OP) Terhadap CEDAW”, sebagai bahantanggapan tambahan pemerintah Indonesia pada Sidang 41 CSWtahun 1997.Pada awalnya Komite Penghapusan Diskriminasi TerhadapWanita (CSW) menyadari akan keterbatasan kewenangan yangdimilikinya, akan mempersulit bagi Komite untuk mengambil langkahlangkahtindak lanjut terhadap kekerasan atau pelanggaran hak asasiperempuan. Untuk meningkatkan kewenangan dan fungsi serta tugasKomite CEDAW, Konfrensi Dunia HAM tahun 1993 mengusulkan dalamDeklarasi Program Aksi Wina (Viena Declaration and Program ofAction) 1993 perlunya diciptakan prosedur baru dalam suatu OptionalProtocol terhadap CEDAW untuk memperkuat pelaksanaan komitmenpersamaan hak perempuan dan hak asasi manusia, serta pemberianmandat kepada Komisi Kedudukan Wanita (CSW) dan Komite CEDAWuntuk mengkaji kemungkinan diajukannya hak untuk menggugat (theright to petition)Berdarkan usulan tersebut, disusunlah draft OP oleh Kelompokpakar(exspert) yang terdiri dari The Women In the Law Project of theInternational Human Rights, Maastricht Centre for Human RightsUniversity of Limburg, yang kemudian para pakar atas inisiatifpemerintah Belanda dan Australia mengadakan pertemuan padatanggal 29 September s/d 1 Oktober 1994 dan menghasilkanRancangan OP Maastricht. Barulah kemudian pada Januari 1995kelompok pakar melakukan identifikasi mengenai elemen-elemen yangperlu dimasukkan dalam Rancangan OP yang dikenal dengan“Suggestion 7”.Suggestion 7 inilah yang dibahas, baik dari Komisi Hak AsasiManusia (KHAM), maupun dari ECOSOC pada tahun 1995. LaporanSekjen PBB dalam suratnya No. CSW/96/004 tertanggal 18 Juli 1996meminta kepada pemerintah-pemerintah negara peserta (termasukIndonesia), Organisasi Antar Pemerintah dan Non Pemerintah untukmenyampaikan tanggapan tambahan mengenai OP CEDAW padaSidang 41 CSW tahun 1997. Rancangan OP CEDAW memuat beberapakonsep yang belum disepakati, yaitu :1. Secara redaksional Rancangan OP masih memuat kata-kata atauistilah yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda antarnegara-negara karena konsep dan pemikiran-pemikiran dari


negara-negara maju/Eropa akan berbeda dengan konsep negaraberkembang.2. Dimungkinkannya orang perorangan dan organisasi nonpemerintah melakukan pengaduan secara langsung kepada CSW.3. Kemungkinan adanya investigasi dari CSW untuk menyelesaikankasus yang terjadi dalam suatu negara peserta.Tindak lanjut dari hasil diskusi panel yang dihadiri olehIndonesia yang diwakili oleh Ibu Prof. DR. Sunaryati Hartono,SH, yangpada waktu itu adalah juga sebagai Kepala Badan Pembinaan HukumNasional (BPHN) memasukkan dalam program dan kegiatan BPHN.Hasil kajian menyarankan agar Indonesia tetapmempertahankan citra di tingkat internasional sebagainegara hukum dan negara yang melakukan segala upayauntuk menghapus diskriminasi terhadap wanita; bahwa upayatersebut masuk secara integral dalam Pembangunan negaradan bangsa bekerjasama dengan Non Pemerintah untukbersama-sama dengan pemerintah melakukan langkahlangkahmelaksanakan ketentuan-ketentuan Konvensi secarakonsekuen untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. 9Pelaksanaan Konvensi CEDAW perlu dipantau dan dievaluasidengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi danmengembangkan sistem pemantauan dan evaluasipelaksanaan,termasuk kerjasama yang lebih serasi antara berbagaiinstansi pemerintah, swasta dan NGO.Tak dapat dipungkiri lagi dalam pemerintahan sekarangdemokrasi telah dilaksanakan dengan menghormati dan menjunjungtinggi HAM. HAM telah diatur secara normatif dalam UUD 45 denganamandemen pada tahun 1999-2000, yaitu pasal 28A s/d 28J, dan lebihlanjut diatur dalam UU No.39 th 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Sebagai Program Pemerintah dalam melaksanakan kegiatan dibidang HAM telah dikeluarkan Keppres No.40 tahun 2004 tentang: ”Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009”, dimana OP CEDAW merupakan instrumen HAM dengan skalaprioritas untuk diratifikasi pada tahun 2007.OP CEDAW merupakan perjanjian tambahan yang terpisah,untuk melengkapi Konvensi CEDAW. Sesuai dengan pasal 27 OptionalProtocol, maka Protocol ini baru berlaku setelah diratifikasi ataudiaksesi oleh minimal 20 negara. Sampai dengan Juni 2006, OPCEDAW telah diratifikasi oleh 166 negaraDalam Dialog Nasional Bidang Hukum dan Non Hukum yangdiselenggarakan BPHN di Jakarta, pada tanggal 7-9 September 2004,tanggapan dari DR Hafid Abbas tentang RAN-HAM yang baru sajadikeluarkan Keppres No. 40 Tahun 2004 pada tanggal 11 Mei 2004,9 Hasil Pengkajian Hukum BPHN,Departemen Kehakiman, tahun 1996-1997tentang :”Pengaruh Optional Protocol Terhadap CEDAW”


dan menurut pendapatnya : RAN-HAM merupakan perekat EmosiKebangsaan Memasuki Era Demokrasi. 10Argumen Abbas dari pendapat tersebut adalah, karena Hak AsasiManusia :1. Dipandang sebagai perekat kohesi sosial masyarakat, karena RAN-HAM mendorong terwujudnya keadilan, pemerataan, inklusivitas,keterbukaan dan tegaknya supremasi hukum disemua linikehidupan masyarakat.2. Alat bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mengembangkanprogram strategis dalam bidang pendidikan, kesehatan,perumahan, pelayanan sosial, ketegakerjaan dan bidang-bidanglainnya yang diarahkan terutama penyelesaian masalah kelompokmasyarakat minoritas (underable groups) seperti anak, kelompokminoritas, penduduk miskin perkotaan, pedesaan, penyandangcacad, masyarakat adat, pengungsi, kejahatan terorganisasi dsb.3. merupakan titik temu berbagai kepentingan sehingga terbebas darisegala bentuk konfrontasi kepentingan sektoral dalam10 Tanggapan Hafid Abbas sebagai Dirjen Perlindungan HAM yangdisampaikan dalam Pokok-pokok pikiran pada Seminar Pembangunan HukumNasional,Bali 14-18 Juli 2003 dalam makalah tentang ”RAN-HAM sebagaiKerangka Dasar Proses Rekonstruksi Sosial Memasuki Era IndonesiaBaru”.Hal tersebut dipertegas dalam Dialog Nasional Bidang Hukum dan NonHukum yang diselenggarakan BPHN tgl 7-9 September 2004 di Hotel Nikko,Jakarta yang menurut pendapatnya, bahwa RAN-HAM yang baru sajadikeluarkan Keppres No 40 tahun 2004,merupakan perekat EmosiKebangsaan Memasuki Era Demokrasi.menyelesaikan masalah, karena keanggotaannya baik ditingkatpusat maupun di daerah terdiri dari unsur pemerintah, tokohagama, perguruan tinggi dan ormas lainnya.B. Dampaknya terhadap pemberdayaan perempuan.Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang keberadaannyadalam Kabinet Indonesia Bersatu sebagai kelanjutan dari pemerintahsebelumnya pada saat ini adalah untuk melaksanakan tugas danfungsinya di bidang pemberdayaan perempuan khususnya dalammemonitor dan mengevaluasi bagaimana pelaksanaan /implementasidari Konvensi CEDAW. Namun pelaksanaan Konvensi CEDAW masihbelum sepenuhnya dilaksanakan meski sudah 23 tahun diratifikasi.Kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat dari tahunketahun sebagai suatu hal yang konvensional.OP CEDAW merupakan instrumen HAM yang melengkapi KonvensiCEDAW agar masalah diskriminasi terhadap perempuan dapatdieliminir bahkan dihapus dengan cara menciptakan akses keadilanbagi perempuan di tingkat internasional tentunya dengan melaluiprosedur dan mekanisme tersendiri.OP CEDAW akan memperkuat mekanisme nasional untukkemajuan perempuan dan penegakan HAM, memperkuat kapasitasnasional untuk menangani masalah diskriminasi terhdap perempuan.Prosedur komunikasi dan investigasi yang diatur dalam OP tersebut


merupakan pilihan terakhir,artinya bila proses penangananperlindungan dari negara/pemerintah belum atau gagal diupayakandalam keputusan hukum dan kebijakan nasional, maka barulah OPCEDAW dilakukan.Evaluasi dan monitoring dilakukan Kementerian PemberdayaanPerempuan dan sekaligus melaksanakan tugas untuk melaporkan keKomite CEDAW tentang pelaksanaan Konvensi CEDAW dalam CountryReport (lima tahunan) dimana laporan tersebut dibahas oleh Komite.Untuk lebih mendalam Komite telah membuat daftar permasalahandan pertanyaan terkait dengan country Report. 11Dalam laporan Indonesia masih terjadi ketidak setaraan jender dalamsegala aspek kehidupan masyarakat dan bernegara dan dalamsosialisasi hasil sidang ke-39 Komite CEDAW , Menteri PemberdayaanPerempuan Meutia Hatta mengatakan bahwa : masih terlihat adanyapara eksekutif,legislatif dan yudikatif serta masyarakat yang belummemahami Konvensi CEDAW. Masih ada kalangan yang menganggapKonvensi tersebutsebagai produk hukum Barat yang tidak sesuaidengan budaya Indonesia. Oleh karena itulah upaya untuk memahamiisi Konvensi agar dilaksanakan oleh semua pihak dengan memastikan11 Country Report dari Indonesia telah dibahas oleh Komite CEDAW padasessi ke-39, tanggal 23 Juli 2007, secara umum Komite minta penjelasanbahwa laporan telah diadopsi oleh pemerintah dalam penyusunannya apakahtelah dilakukan konsultasi dengan organisasi non pemerintah (NGO) dandipresentasikan di Parlemen.(secara lengkap country report akan dilampirkandalam laporan akhir).OP CEDAW dengan prosedur komunikasi dan investigasi-nya sebagaiakses kedilan.Konvensi CEDAW merupakan instrumen HAM terutama bagiPerempuan. Prosedur untuk melaksanakan Konvensi CEDAW adalahThe Reporting Procedure dan The Inter-State Procedure dan prosedurlainnya yaitu OP CEDAW.I. KesimpulanBAB VPENUTUPDari hasil kajian dapat disimpulkan :1. Sejak diratifikasinya Konvensi CEDAW, 23 tahun lalu, masalahdiskriminasi terhadap perempuan terutama kekerasan terhadapperempuan masih banyak terjadi;2. Hukum nasional telah mengadopsi Konvensi CEDAW, namun masihjauh dari harapan. Kenyataannya walaupun Indonesia negara hukumtapi para penegak hukum sendiri masih belum memahami KonvensiCEDAW.3. Untuk melaksanakan Pembangunan Nasional,pemerintahmengeluarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN) tahun 2004-2009 , yaitu :Peraturan Presiden RI No. 7Tahun 2005.Sebagai tindak lanjut dari RPJMN tsb dibidangpenegakan HAM dikeluarkan Keppres No. 40 tahun 2004-2009tentang Rencana Aksi Nasional HAM.


4. Ratifikasi OP CEDAW hanya merupakan dukungan bagi negarauntuk mendorong pemerintah lebih giat untuk menyempurnakanmekanisme dan pelaksanaan hukum secara selektif.5. OP CEDAW memberikan kesempatan bagi individu untukmelaporkannya (Kasus konkrit) sebagai salah satu mekanismepemberdayaan perempuan dalam aspek hukum nasional.6. Tujuan dari pelaksanaan Konvensi CEDAW dengan mekanismeyang ada dalam OP-nya, memastikan perempuan akan mendapatakses keadilan bagi harkat dan martabat sebagai manusia.Lampiran :__________LAMPIRAN7. Pembahasan Country Report dari Indonesia oleh working group dariKomite CEDAW secara umum intinya minta penjelasan kepadapemerintah, apakah masalah OP ini dikonsultasikan kepada parlemendan lembaga swadaya masyarakat sebagai counter-part dalammelaksanakan Konvensi.8. Ratifikasi OP CEDAW sudah masuk dalam hukum nasional (RAN-HAM), tapi yang menjadi masalah adalah masalah aksesi.3) Protokol Opsional (Optional protocol) terhadap KonvensiPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (APIK), Desember2005.4) Daftar Permasalahan dan Pertanyaan Terkait Pembahasan LaporanPeriodik-Indonesia- Pra Sidang – Sesi ke-39 23 Juli-10 Agustus2007.II. Saran1. Rencana Aksi Nasional- Hak Asasi Manusia th 2004-2009 telahmengagendakan untuk meratifikasi OP CEDAW pada tahin 2007.Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah wajib untukmensosialisasikan Konvensi CEDAW dan OP-nya.2. Sebagai tombak dilapangan untuk melaksanakan Konvensi besertaOP-nya tersebut, perlu pemahaman dan pelatihan bagi paraeksekutif,legislatif dan yudikatif.3. Disamping itu, Konvensi dan OP CEDAW yang merupakan hukumnasional berdampak pula bagi pemberdayaan perempuan untukmendapatkan akses keadilan.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!