Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
12.07.2015 Views

Democracy Projectmana saja. Karena tidak linier, tidak mudah mentok. Namun tanpasebuah konsistensi yang total, karena terlibat juga sikap asketik, akantak mudah sampai ke ujung jalan. Djohan yang sekarang sepertinyasudah sampai pada buah dari proses itu.Satu hal yang teman-teman pasti tidak akan berbeda pendapattentang mas Djohan. Dalam urusan personal, Djohan tidak pernahbisa menolak teman, walaupun sedang sibuk, tetapi bisa kaku kalauitu urusan “wewenang”. Saya punya dua contoh yang cukup otentik.Waktu awal saya datang ke Sekneg, mengucapkan selamat atasterpilihnya Mas Djohan sebagai menteri di sana, baru saja duduk,Mas Djohan berujar: “Minta fasilitas atau jabatan, nggak ada ya”.Saya ngakak berat dalam hati. Beberapa minggu kemudian sayadatang menyampaikan tanda mata sederhana dari Pakistan. MasDjohan tidak di tempat. Tanda mata saya diterima sekretaris, denganpesan, agar kalau bertamu mendaftar dulu dan menunggukesempatan. Saya minta maaf dan berjanji tidak melakukan lagi,karena ini memang prosedur biasa. Minggu depannya untuk suatukeperluan saya datang lagi. Melihat saya datang Mas Djohanmendekat dan membawa langsung ke kamarnya. Sang sekretarishanya senyum mesem melihat dari jarak tak jauh.Ada satu garapan Mas Djohan yang secara substansial sangatberarti bagi Jemaat di sekitar akhir Oktober 2005 itu. Di kalanganpenentang Jemaat beredar optimisme bahwa sebelum tutup tahun2005, Jemaat akan dibubarkan. Pertemuan kami dengan Pak RahmanSaleh di Hotel Borobudur sekitar awal September 2005, memangkurang berhasil. Agak lugas Pak Arman menjawab harapan sayaketika saya antar ke mobil. “Ini bukan soal pertemanan lagi Lamardy.Ini sudah persoalan politik. Semua pihak menginginkan Ahmadiyahdibubarkan. Saya merasa tidak berdaya”. Sejak dari Jogja saya tahuPak Arman Saleh memiliki integritas tinggi. Ini saya saksikan selamakami bergerak menghadang mahasiswa kiri beberapa saat sebelumperistiwa G 30 S, 1965. Mengingat saat itu, saya kini lillah, karenasaya yakin seperti yang dikatakan Pak Arman: persoalan Ahmadiyahbukanlah persoalan sederhana.Djohan punya metode sendiri: datang bertiga saja dengan RomoHariyanto dan seorang staf ICRP yang lain, saya malah tak bolehikut. Ketika itulah buat pertama kali pak Arman Saleh bilang:“Ahmadiyah tidak bisa dibubarkan, ternyata banyak temannya juga672 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Democracy Projectyang membela”. Ketika Djohan meng-call sesudah keluar kamarJaksa Agung, saya dan pak Abdul Basit sedang di Hotel Kemang.Buat pertama kali kami terasa kendor, sesudah tiga bulan stres berat.BELAJAR DARI KASUS AHMADIYAH;BELAJAR MENJADI BANGSABerbicara dalam konteks demokrasi, Ahmadiyah atau tepatnya warganegara yang tergabung dalam Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)hanyalah segelintir korban dari proses demokrasi yang sedang getoldibangun di negeri ini. Keyakinan mereka sudah berlangsung secaraturun temurun. Generasi anggota Ahmadiyah sekarang bukanlahgenerasi yang mengawali, melainkan hanya meneruskan warisan darigenerasi masa lalu, baik ketika jaman pergerakan maupun awalkemerdekaan. Generasi awal anak bangsa yang menginginkanterbebas dari penjajahan Belanda, lingkungan JAI tumbuh di eraawalnya, adalah sebuah generasi yang tidak melihat perbedaansebagai persoalan mendasar. Justru perbedaan digunakan sebagaikekuatan untuk membangun bangsa agar terbebas dari penindasan.Hamparan Persada Indonesia itu luas, dengan segenap potensibudaya dan hartanya. Akan tetapi kalau kita tidak menyikapinyadengan serba inklusif, maka ibu pertiwi terlukai. Pandanganpandangantokoh Islam di awal pergerakan kemerdekaan sepertiH.O.S. Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukarno, Hatta, dan WahidHasyim mencerminkan hal demikian ini.Dalam situasi yang lebih terbuka dan demokratis sekarang ini,warga Ahmadiyah mungkin dapat dikatakan termarjinalkan. Akantetapi mereka bukanlah satu-satunya pihak yang dimarjinalkan.Elemen-elemen lain cukup banyak yang mengalami kerentanan yangsuatu ketika dengan mudah dapat dikambinghitamkan, dianggapsebagai pihak yang layak untuk pelampiasan dari dinamikademokrasi yang sedang berjalan, dengan mengangkat-angkat alasanalasanyang bersifat teologis misalnya. Padahal, terkadang unsurutama penyebab konflik itu bukanlah semata-mata masalah teologis,melainkan masalah ekonomi-politik yang lumrah semata-mata. Salahsatu variabel yang paling kuat adalah di beberapa daerah, Ahmadilebih terlihat sejahtera ketimbang masyarakat lainnya. Denganmempertimbangkan kondisi demikian ini, generasi Ahmadiyahsekarang justru berada dalam situasi belajar bersama dengan elemenBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 673

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>mana saja. Karena tidak linier, tidak mudah mentok. Namun tanpasebuah konsistensi yang total, karena terlibat juga sikap asketik, akantak mudah sampai ke ujung jalan. Djohan yang sekarang sepertinyasudah sampai pada buah dari proses itu.Satu hal yang teman-teman pasti tidak akan berbeda pendapattentang mas Djohan. Dalam urusan personal, Djohan tidak pernahbisa menolak teman, walaupun sedang sibuk, tetapi bisa kaku kalauitu urusan “wewenang”. Saya punya dua contoh yang cukup otentik.Waktu awal saya datang ke Sekneg, mengucapkan selamat atasterpilihnya Mas Djohan sebagai menteri di sana, baru saja duduk,Mas Djohan berujar: “Minta fasilitas atau jabatan, nggak ada ya”.Saya ngakak berat dalam hati. Beberapa minggu kemudian sayadatang menyampaikan tanda mata sederhana dari Pakistan. MasDjohan tidak di tempat. Tanda mata saya diterima sekretaris, denganpesan, agar kalau bertamu mendaftar dulu dan menunggukesempatan. Saya minta maaf dan berjanji tidak melakukan lagi,karena ini memang prosedur biasa. Minggu depannya untuk suatukeperluan saya datang lagi. Melihat saya datang Mas Djohanmendekat dan membawa langsung ke kamarnya. Sang sekretarishanya senyum mesem melihat dari jarak tak jauh.Ada satu garapan Mas Djohan yang secara substansial sangatberarti bagi Jemaat di sekitar akhir Oktober 2005 itu. Di kalanganpenentang Jemaat beredar optimisme bahwa sebelum tutup tahun2005, Jemaat akan dibubarkan. Pertemuan kami dengan Pak RahmanSaleh di Hotel Borobudur sekitar awal September 2005, memangkurang berhasil. Agak lugas Pak Arman menjawab harapan sayaketika saya antar ke mobil. “Ini bukan soal pertemanan lagi Lamardy.Ini sudah persoalan politik. Semua pihak menginginkan Ahmadiyahdibubarkan. Saya merasa tidak berdaya”. Sejak dari Jogja saya tahuPak Arman Saleh memiliki integritas tinggi. Ini saya saksikan selamakami bergerak menghadang mahasiswa kiri beberapa saat sebelumperistiwa G 30 S, 1965. Mengingat saat itu, saya kini lillah, karenasaya yakin seperti yang dikatakan Pak Arman: persoalan Ahmadiyahbukanlah persoalan sederhana.Djohan punya metode sendiri: datang bertiga saja dengan RomoHariyanto dan seorang staf ICRP yang lain, saya malah tak bolehikut. Ketika itulah buat pertama kali pak Arman Saleh bilang:“Ahmadiyah tidak bisa dibubarkan, ternyata banyak temannya juga672 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!