Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
12.07.2015 Views

Democracy Projectitu diperlukan suatu sikap beragama yang dialogis dengan menekan -kan pentingnya dimensi iman yang mendalam namun sekaligusinklusif.STRATEGI LAMADalam buku The Cresent and the Rising Sun, Indonesian Islam underthe Japanese Occupation, 1942-1945 (The Hague : 1958), ProfesorHarry J. Benda antara lain mengungkapkan bahwa secara tradisionalpemerintah Kolonial Belanda dalam menjalankan pemerintahanmodel indirect rule-nya sehari-hari amat bergantung pada parabangsawan pribumi dan Priyayi Jawa. Aliansi antara pemerintahkolonial dengan elite pribumi inilah inti dan penyangga pokok dalamsejarah kolonial Hindia Belanda. Tetapi sejak awal abad ke-20 statusquo yang ditopang oleh aliansi itu mulai goyah. Terdapat ancamanyang datang dari dua kelompok. Kelompok yang pertama adalahkelompok Islam yang berkembang dengan pesat pada dua dekadepertama abad 20, tetapi yang sebenarnya sudah sejak abad sebelum -nya menjadi ancaman baik bagi penguasa kolonial Belanda maupunbagi penguasa pribumi. Kelompok ini tak mempunyai kaitan denganideologi-ideologi Barat dan memiliki daya tarik yang kuat di antaramasyarakat pedesaan serta masyarakat kota yang berada di luarideologi Barat.Kelompok yang kedua adalah kelompok Nasionalis. Tanpamendasarkan diri pada afiliasi dengan agama tertentu, atau sekuler,kelompok ini terdiri dari para intelektual hasil didikan Barat. Paraanggotanya mendapat inspirasi dari ideologi Barat yang libertariandan sosialis, disertai dengan kesadaran akan “Kebangkitan DuniaTimur,” yakni bangkitnya Asia melawan penjajahan Barat. Aktifdalam kegiatan politik melawan pemerintah kolonial di HindiaBelanda, kelompok ini memiliki daya tarik yang kuat di antara kaumterdidik dan masyarakat kota.Masih menurut Benda, berhadapan dengan kedua kelompok iniBelanda memakai strategi lama, yakni memperkuat dukungan dankolusi dengan para elite pribumi dengan jalan mendukung strukturstruktursosial tradisional yang ada (misalnya adat), sambil berupayamemisahkan mereka dari para pemimpin Islam dan Nasionalis. Disisi lain, berhadapan dengan strategi itu kedua kelompok tersebutsecara taktis mencari kerja sama, meskipun dalam hal mencari546 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Democracy Projectdukungan dan pengaruh dari masyarakat lebih luas keduanya salingbersaing.UNTUK MENGKOOPTASIKonstalasi sosial-politis yang demikian ini mengalami perubahanyang amat mendalam ketika sistem kolonial Belanda harus minggirakibat datangnya pasukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942.Selama masa pendudukan Jepang yang hanya 42 bulan itu (Maret1942-Agustus 1945) dilakukanlah perombakan besar-besaranterhadap sistem yang ditinggalkan Belanda.Sebagaimana diketahui, bagi pemerintah kolonial Belandamotivasi pokok dalam menjajah Hindia Belanda adalah motivasiekonomi. Oleh karena itu dalam strategi-strateginya Belandacenderung bersifat konservatif, dengan tekanan utama pada“keamanan dan ketertiban” (rust en order). Hal ini tentu tampak jelasdalam pendekatan Belanda yang mengandalkan kerja sama denganpara Priyayi. Sementara itu, karena berada dalam suasana perangmelawan Sekutu, pemerintah pendudukan Jepang memiliki motivasipokok yang berbeda, yakni memobilisasi sebanyak mungkinkekuatan rakyat untuk kebutuhan perang. Untuk itu merekabermaksud merusak warisan administratif Belanda, kendati tetapberhasrat menjadikan Hindia Belanda sebagai bagian dari apa yangmereka sebut sebagai Persemakmuran Asia Timur Raya. Merekamenjalankan sistem kolonial secara fleksibel, berdasarkanpertimbangan-pertimbangan militer jangka pendek. Fleksibilitas ituantara lain terlihat dari kelunakan Jepang pada akhir masapendudukannya terhadap tuntutan-tuntutan dari pihak Indonesia.Dalam kaitan dengan ini, Jepang menggunakan politik devide etimpera terhadap kelompok-kelompok elite pribumi secara lebihagresif daripada Belanda. Dengan jelas pemerintah kolonial Jepang“memanfaatkan” persaingan antara ketiga kelompok elite pribumitersebut, yakni kelompok Priyayi, Islam, dan Nasionalis.Dalam berhadapan dengan persaingan yang ada di antara ketigakelompok elite pribumi ini tampak bahwa Jepang “membalik”kebijakan-kebijakan yang sebelumnya dipakai oleh Belanda. Dalamberhadapan dengan kelompok Priyayi itu, misalnya. SebelumnyaBelanda dengan taktis menjadikan Priyayi sebagai “ujung tombak”pengelolaan administrasi kolonial, terutama dalam urusan administrasiBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 547

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>dukungan dan pengaruh dari masyarakat lebih luas keduanya salingbersaing.UNTUK MENGKOOPTASIKonstalasi sosial-politis yang demikian ini mengalami perubahanyang amat mendalam ketika sistem kolonial Belanda harus minggirakibat datangnya pasukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942.Selama masa pendudukan Jepang yang hanya 42 bulan itu (Maret1942-Agustus 1945) dilakukanlah perombakan besar-besaranterhadap sistem yang ditinggalkan Belanda.Sebagaimana diketahui, bagi pemerintah kolonial Belandamotivasi pokok dalam menjajah Hindia Belanda adalah motivasiekonomi. Oleh karena itu dalam strategi-strateginya Belandacenderung bersifat konservatif, dengan tekanan utama pada“keamanan dan ketertiban” (rust en order). Hal ini tentu tampak jelasdalam pendekatan Belanda yang mengandalkan kerja sama denganpara Priyayi. Sementara itu, karena berada dalam suasana perangmelawan Sekutu, pemerintah pendudukan Jepang memiliki motivasipokok yang berbeda, yakni memobilisasi sebanyak mungkinkekuatan rakyat untuk kebutuhan perang. Untuk itu merekabermaksud merusak warisan administratif Belanda, kendati tetapberhasrat menjadikan Hindia Belanda sebagai bagian dari apa yangmereka sebut sebagai Persemakmuran Asia Timur Raya. Merekamenjalankan sistem kolonial secara fleksibel, berdasarkanpertimbangan-pertimbangan militer jangka pendek. Fleksibilitas ituantara lain terlihat dari kelunakan Jepang pada akhir masapendudukannya terhadap tuntutan-tuntutan dari pihak Indonesia.Dalam kaitan dengan ini, Jepang menggunakan politik devide etimpera terhadap kelompok-kelompok elite pribumi secara lebihagresif daripada Belanda. Dengan jelas pemerintah kolonial Jepang“memanfaatkan” persaingan antara ketiga kelompok elite pribumitersebut, yakni kelompok Priyayi, Islam, dan Nasionalis.Dalam berhadapan dengan persaingan yang ada di antara ketigakelompok elite pribumi ini tampak bahwa Jepang “membalik”kebijakan-kebijakan yang sebelumnya dipakai oleh Belanda. Dalamberhadapan dengan kelompok Priyayi itu, misalnya. SebelumnyaBelanda dengan taktis menjadikan Priyayi sebagai “ujung tombak”pengelolaan administrasi kolonial, terutama dalam urusan administrasiBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 547

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!