Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
12.07.2015 Views

Democracy ProjectDIY. Hasil penelitian sudah dipublikasikan dalam bentuk buku, Listia, dkk.“Problematika Pendidikan Agama di Sekolah. Hasil Penelitian tentang PendidikanAgama di Kota Jogjakarta, 2004-2006, Interfidei, Jogjakarta, 2007.6Tentang peran dan fungsi agama sebagai inspirasi dan sekaligus kekuatan untukproses demokrasi, keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan sangatditekankan oleh Th. Sumartana, seperti yang dikatakan Trisno Sutanto dalamtulisannya tentang ”Mas Ton dan Dialog Antariman : Sebuah Ratapan,Newsletter edisi April 2003 : ”Mas Tono menaruh harapan dan penghormatansangat besar pada potensi agama. Perubahan masyarakat di masa depan, mautidak mau, suka tidak suka, katanya, harus dimulai dengan memakai “bahasakeagamaan”. Ia mendasarkan pada tiga hal penting: pertama, agama merupakaninstitusi paling tua dalam masyarakat kita”. Kedua, agama merupakan “jalanyang amat dikenal oleh masyarakat”, dan bahkan “satu-satunya bahasa yangdikenal dan tertanam baik dalam masyarakat”; dan ketiga, agama kinimengalami “kebangkitan” yang memberinya sayap-sayap dan menjadikannyakekuatan baru yang menentukan. Bandingkan tulisan Daniel Dhakidae, dalambukunya ”Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, khusus BabVI bagian pertama, Agama-agama, Cendekiawan Agama dan Negara Orde Baru.Di situ Daniel menjelaskan soal titik temu antara agama dan kekuasaan yangkhas cendekiawan, yaitu dalam ”kata-kata dan bahasa”. Daniel mengutip Th.Sumartana dari ”beberapa catatan”, kertas kerja yang tidak diterbitkan dalamSeminar dan Lokakarya, Jakarta, 10 Juli 2000. ”...kaum agamawan perlumerumuskan doktrin dengan kata-kata. Sedang para penguasa perlu kata-katauntuk mengatur, memberi perintah, dan memaknai (memberi legitimasi)kedudukan dan wibawanya. Para penguasa perlu membuat aturan dan hukumdengan kata-kata. Kaum agamawan dan para penguasa merupakan dua poros,atau dua kutub yang menguasai kata-kata. Mereka menjadi pusat budaya dansekaligus peradaban...” Hubungan antara agama dan negara dengan demikianadalah tua, asli, dan asali. Artinya, bahasa agama bukanlah sesuatu yang baru,yang merupakan hasil rekayasa – tetapi benar-benar sudah merupakan faktaasali.7Oleh Daniel Dhakidae, diduga ada kurang lebih 300 agama yang tersebar diseluruh Nusantara, sebab jumlah itu adalah juga jumlah etnis dan bahasa yangada di Indonesia (Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam NegaraOrde Baru, 2003, hal. 513)8Yang dimaksud dengan agamis, adalah, masyarakat Indonesia umumnya masihmenjadi pemeluk agama atau keyakinan yang setia – sekalipun lebih banyakhanya pada tataran simbol dan ritual, bukan penghayatan dan pemaknaankonkrit dalam kehidupan nyata. Agama masih dihargai sebagai “inti” darikekuatan “spiritual” masyarakat, baik secara individu maupun kelompok,sekalipun dalam banyak hal masih sebatas sebagai kekuatan spiritual dalam artiyang “magis”, bukan rasional9Barangkali Institut Dialog Antariman di Indonesia, adalah lembaga nonpemerintah pertama di Indonesia yang berbasis antariman; selain menggunakanistilah “antariman”, juga pada dirinya sendiri sudah terdiri dari berbagai latarbelakang agama dan keyakinan, dan dari dalamnya diselenggarakan berbagaikegiatan dari dan untuk kepentingan berbagai agama dan keyakinan yang adadan hidup di Indonesia..10Th. Sumartana, tulisan lepas yang terserak. Mungkin pernah disampaikan didalam sebuah forum, tetapi tidak ada data jelas untuk itu.11Coba baca tulisan Ignas Kleden, Antara Teologi Politik dan SosiologiKeselamatan, dalam buku “Sakramen Politik”, berkaitan dengan “teologipolitik”. Di sana Ignas menulis:, ”...secara ke dalam, yaitu dalam hubungan542 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Democracy Projectdengan kepentingan teologi sendiri, teologi politik ingin membalikkankecenderungan privatisasi agama dan personalisasi iman kepada sikap teologisyang menerima masyarakat sebagai medium keselamatan. Iman bukanlahsesuatu yang privat, urusan pribadi tanpa hubungan dengan orang lain...”Menjadi jelas, bahwa yang dimaksud Interfidei dengan memakai kata ”iman”,adalah dalam arti seperti yang dimaksudkan dalam uraian Ignas. Iman, sebagaiinti agama dan beragama, merupakan kekuatan untuk mendorong setiap orangmenjadi sensitif terhadap lingkungan sosialnya dan seluruh persoalan yangterkait, tidak saja dengan dirinya sendiri tetapi dengan banyak orang lain.12Deklarasi ”Nostra Aetate” mengatakan bahwa Gereja tidak menolak apa sajayang benar dan suci dalam agama-agama lain. Dengan hormat dan tulus Gerejamenghargai tingkah laku dan tata cara hidup, peraturan-peraturan dan ajaranagama tersebut. Meskipun dalam agama itu banyak hal khusus berbeda dariiman dan pengajaran Gereja, namun kerap kali memantulkan cayaha Kebenaranyang menerangi sekalian orang.. Yang diharapkan oleh Konsili adalah :”mengusahakan dengan jujur saling pengertian dan melindungi dan memajukanbersama-sama keadilan sosial, nilai-nilai moral serta perdamaian dan kebebasanuntuk semua orang. (NA 2), dalam J.B. Banawiratma, Bersama Saudari-saudariBeriman Lain, dalam Th. Sumartana, Dialog, Kritik dan Identitas Agama, 1993,hal. 20-21.13Bandingkan ”Surat Terbuka” yang dibuat oleh 138 intelektual muslim dariseluruh dunia, yang dikirim kepada pemimpin-pemimpin Kristen dari berbagaidenominasi, baik dalam Gereja Katolik maupun Protestan, di seluruh dunia padatahun 2004. Surat ini dibuat untuk menjelaskan tentang, apa dan bagaimanasebenarnya agama Islam dan umat Islam dunia. Dokumen ini dibuat untukmeminimalisir kecurigaan, prasangka tentang Islam dan/atau muslim, setelahperistiwa ”9/11”, dll. ”Surat terbuka” tersebut mengingatkan sekaligusmenghimbau kepada seluruh umat beragama di dunia, khususnya Islam danKristen, untuk mengingat peran dan fungsi pendamaian, untuk membawa umatdan masyarakat dunia umumnya pada realitas perdamaian, bukan konflik atauperang.14Model semacam ini yang berkembang di masyarakat dalam beberapa tahunterakhir ini, yaitu kelompok-kelompok yang ingin melakukan praktik-praktiktotaliteristik.15Pada 10 Oktober 1996, terjadi peristiwa pembakaran 8 rumah ibadah umatKristen (Protestan dan Katolik) serta sekolah di Situbondo, Jawa Timur, yangmengakibatkan beberapa orang ikut terbakar dan seorang yang dianggap sebagaipemicu kerusuhan masuk penjara selama 5 tahun. Orang, yang sebenarnya tidakbegitu saja untuk dinyatakan bersalah, apalagi sampai menimbulkan kerusuhanseperti itu. Saleh, nama orang tersebut, adalah orang yang sangat sederhana,tukang bersih mesjid, yang dituduh telah melakukan penghinaan terhadap salahseorang Kyai di Situbondo. Tapi, seandainya benar bahwa Saleh telah melakukanpenghinaan tersebut, mengapa yang terjadi adalah pembakaran terhadap sekianbanyak pusat kegiatan pendidikan dan peribadatan komunitas Kristen? Mengapayang melakukan kerusuhan adalah orang-orang yang datang dari luarSitubondo? Mengapa ada peta yang ditemukan yang menjadi sasaranpembakaran? Mengapa pihak keamanan terlambat mengambil langkah, padahalmarkas mereka tidak jauh dari lokasi kejadian? Hasil survei Interfidei danbeberapa lembaga lainnya, menyimpulkan bahwa penyebab sebenarnya adalah“pihak lain”, dalam hal ini ada kolusi antara pihak militer dengan kelompokpolitik tertentu untuk kepentingan politik-ekonomi. Agama dipakai sebagai“tameng’ dan sekaligus “pemicu”.16Dapat dibaca dalam buku saku yang dikeluarkan Imparsial, tentangBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 543

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>DIY. Hasil penelitian sudah dipublikasikan dalam bentuk buku, Listia, dkk.“Problematika Pendidikan Agama di Sekolah. Hasil Penelitian tentang PendidikanAgama di Kota Jogjakarta, 2004-2006, Interfidei, Jogjakarta, 2007.6Tentang peran dan fungsi agama sebagai inspirasi dan sekaligus kekuatan untukproses demokrasi, keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan sangatditekankan oleh Th. Sumartana, seperti yang dikatakan Trisno Sutanto dalamtulisannya tentang ”Mas Ton dan Dialog Antariman : Sebuah Ratapan,Newsletter edisi April 2003 : ”Mas Tono menaruh harapan dan penghormatansangat besar pada potensi agama. Perubahan masyarakat di masa depan, mautidak mau, suka tidak suka, katanya, harus dimulai dengan memakai “bahasakeagamaan”. Ia mendasarkan pada tiga hal penting: pertama, agama merupakaninstitusi paling tua dalam masyarakat kita”. Kedua, agama merupakan “jalanyang amat dikenal oleh masyarakat”, dan bahkan “satu-satunya bahasa yangdikenal dan tertanam baik dalam masyarakat”; dan ketiga, agama kinimengalami “kebangkitan” yang memberinya sayap-sayap dan menjadikannyakekuatan baru yang menentukan. Bandingkan tulisan Daniel Dhakidae, dalambukunya ”Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, khusus BabVI bagian pertama, Agama-agama, Cendekiawan Agama dan Negara Orde Baru.Di situ Daniel menjelaskan soal titik temu antara agama dan kekuasaan yangkhas cendekiawan, yaitu dalam ”kata-kata dan bahasa”. Daniel mengutip Th.Sumartana dari ”beberapa catatan”, kertas kerja yang tidak diterbitkan dalamSeminar dan Lokakarya, Jakarta, 10 Juli 2000. ”...kaum agamawan perlumerumuskan doktrin dengan kata-kata. Sedang para penguasa perlu kata-katauntuk mengatur, memberi perintah, dan memaknai (memberi legitimasi)kedudukan dan wibawanya. Para penguasa perlu membuat aturan dan hukumdengan kata-kata. Kaum agamawan dan para penguasa merupakan dua poros,atau dua kutub yang menguasai kata-kata. Mereka menjadi pusat budaya dansekaligus peradaban...” Hubungan antara agama dan negara dengan demikianadalah tua, asli, dan asali. Artinya, bahasa agama bukanlah sesuatu yang baru,yang merupakan hasil rekayasa – tetapi benar-benar sudah merupakan faktaasali.7Oleh Daniel Dhakidae, diduga ada kurang lebih 300 agama yang tersebar diseluruh Nusantara, sebab jumlah itu adalah juga jumlah etnis dan bahasa yangada di Indonesia (Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam NegaraOrde Baru, 2003, hal. 513)8Yang dimaksud dengan agamis, adalah, masyarakat Indonesia umumnya masihmenjadi pemeluk agama atau keyakinan yang setia – sekalipun lebih banyakhanya pada tataran simbol dan ritual, bukan penghayatan dan pemaknaankonkrit dalam kehidupan nyata. Agama masih dihargai sebagai “inti” darikekuatan “spiritual” masyarakat, baik secara individu maupun kelompok,sekalipun dalam banyak hal masih sebatas sebagai kekuatan spiritual dalam artiyang “magis”, bukan rasional9Barangkali Institut Dialog Antariman di Indonesia, adalah lembaga nonpemerintah pertama di Indonesia yang berbasis antariman; selain menggunakanistilah “antariman”, juga pada dirinya sendiri sudah terdiri dari berbagai latarbelakang agama dan keyakinan, dan dari dalamnya diselenggarakan berbagaikegiatan dari dan untuk kepentingan berbagai agama dan keyakinan yang adadan hidup di Indonesia..10Th. Sumartana, tulisan lepas yang terserak. Mungkin pernah disampaikan didalam sebuah forum, tetapi tidak ada data jelas untuk itu.11Coba baca tulisan Ignas Kleden, Antara Teologi Politik dan SosiologiKeselamatan, dalam buku “Sakramen Politik”, berkaitan dengan “teologipolitik”. Di sana Ignas menulis:, ”...secara ke dalam, yaitu dalam hubungan542 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!