Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
12.07.2015 Views

Democracy Projectberargumen bahwa tanggal yang pas untuk itu adalah di sekitarpembentukan kabinet “Solidaritas Nasional” pada pertengahan 1970-an, karena itulah saat ketika, untuk pertama kalinya dalam sejarah Itali,PKI mendukung sebuah kabinet pemerintahan Meskipun kala itu PKItidak diberi satupun posisi dalam kementerian, fakta bahwa wakilwakilmereka ikut dimasukkan ke dalam berbagai komite yang bekerjadalam parlemen merupakan perkembangan amat penting, yangtanpanya PKI “dipinggirkan dan dikeluarkan dari posisi-posisi ke -kuasaan di tingkat nasional” (Bruneau et. al., 2001: 68).Sehubungan dengan “toleransi kembar” yang menjadi temapokok tulisan ini, fakta-fakta di atas membuat eksplorasi kita menjadilebih mudah dan lebih sulit sekaligus. Lebih mudah karena sekadarpembentukan PDK jelas tidak melanggar prinsip pokok “toleransikembar”; kita bahkan dengan aman dapat menyimpulkan bahwapembentukan partai itu saja, yang mengindikasikan bahwa orangorangKatolik mau dan sudah tunduk kepada aturan main demo -krasi, adalah dukungan penting kepada prinsip “toleransi kembar”Namun demikian, karena sebuah sistem demokrasi yang ter kon -solidasikan mengharuskan inklusi dan keterlibatan aktif sebanyakmungkin sektor politik dalam masyarakat, termasuk para aktivis kiridan komunis, maka eksplorasi kita harus mengikuti argumenBruneau dan kawan-kawannya, dan inilah jalur yang lebih sulit.Presentasi mengenai hubungan gereja-negara di Itali di bawahini akan mengikuti dua jalur di atas. Saya akan memulai dengan yanglebih mudah dan akan bergerak ke yang lebih rumit.Hubungan Gereja-Negara Sebelum dan di Bawah MussoliniUnifikasi Itali pada 1860 menimbulkan krisis serius dalam hubunganantara Gereja Katolik dan negara baru. Pemerintahan liberal dibawah Camillo Benso Cavour dan para penerusnya menjalankansebuah kebijakan yang menyekularisasi lembaga-lembaga dankehidupan publik, sejalan dengan prinsip Cavour yang terkenalmengenai “sebuah gereja yang bebas dalam sebuah negara yangbebas” (Jemolo, 1960: 11-12). Kebijakan yang diterapkan kala itumencakup: (1) pemberian otoritas untuk mengurusi masalah-masalahperkawinan kepada lembaga perkawinan sipil pada 1865; (2)pembatasan atas pendidikan agama Katolik di sekolah-sekolah negeripada 1877; (3) reformasi undang-undang tertentu untuk membela484 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Democracy Projectkebebasan beragama pada 1889; dan (4) kontrol negara ataslembaga-lembaga kesejahteraan dan sumbangan pada 1890.Lebih jauh, oposisi terhadap hirarki gereja diperparah olehlangkah-langkah yang dimaksudkan untuk menggerogoti kekuatanekonomi gereja (khususnya dengan membatasi apa yang dianggapsebagai milik gereja dan pengambilalihan hak milik yang sebelumnyadikuasai gereja pada 1866 dan 1867). Kalyvas melaporkan:“Meskipun langkah-langkah anti-klerik yang berlangsung di Italilebih lunak dibanding hal sejenis yang bisa dilihat di Jerman,langkah-langkah itu menunjukkan upaya memisahkan diri dari masalalu yang lebih revolusioner dan serangan kepada posisi gereja yanglebih dramatis dibanding dengan yang dilakukan Bismarck di sebuahwilayah di mana umat Katolik sudah sejak lama merupakankelompok minoritas [Jerman]” (Kalyvas, 1996: 216).Namun, yang mungkin lebih penting dari yang lainnya, unifikasiItali digenapkan pada 1870 dengan penundukan Roma, yangsekaligus mengakhiri kekuasaan sekuler para Paus. Oleh umatKatolik, peristiwa ini menumbuhkan tingkat kemarahan khususkepada monarki Itali, yang mereka tuduh sedang mencoba“mencuri” jubah Paus dan gereja dari sedikit kebebasan yang masihmereka punya. Ketika tentara-tentara Itali memasuki Roma, Paustiba-tiba berhenti sebagai penguasa dunia yang berdaulat, untukpertamakalinya setelah berabad-abad: dengan kemarahan tak terperiia mengunci dirinya di Vatikan, sambil memproklamasikan-dirisebagai “tahanan” negara Itali. Salah satu akibatnya yang pentingkemudian adalah doktrin non expedit yang dikeluarkannya, yangmelarang orang Katolik dari berpartisipasi dalam politik elektroral,baik sebagai kandidat yang dipilih maupun pemilih (Kalyvas, 1996:216).Dengan perluasan hak suara dalam pemilu yang ditetapkan pada1913, doktrin non expedit Paus di atas menjadi makin pentingmaknanya. Seperti dilaporkan Cotta: “Mengingat luasnya parapengikut gereja khususnya di daerah-daerah pedesaan (tetapi juga dikalangan kelas menengah dan atas) para elite liberal merasa engganmemobilisasi dukungan massa, karena hal itu akan segeramenumbuhkan dukungan populer kepada kalangan sosialis” (Cotta,1992: 157). Ini membuka peluang bagi berlangsungnya negosiasiantara Gereja Katolik dan para pemimpin liberal, karena tiga alasanBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 485

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>kebebasan beragama pada 1889; dan (4) kontrol negara ataslembaga-lembaga kesejahteraan dan sumbangan pada 1890.Lebih jauh, oposisi terhadap hirarki gereja diperparah olehlangkah-langkah yang dimaksudkan untuk menggerogoti kekuatanekonomi gereja (khususnya dengan membatasi apa yang dianggapsebagai milik gereja dan pengambilalihan hak milik yang sebelumnyadikuasai gereja pada 1866 dan 1867). Kalyvas melaporkan:“Meskipun langkah-langkah anti-klerik yang berlangsung di Italilebih lunak dibanding hal sejenis yang bisa dilihat di Jerman,langkah-langkah itu menunjukkan upaya memisahkan diri dari masalalu yang lebih revolusioner dan serangan kepada posisi gereja yanglebih dramatis dibanding dengan yang dilakukan Bismarck di sebuahwilayah di mana umat Katolik sudah sejak lama merupakankelompok minoritas [Jerman]” (Kalyvas, 1996: 216).Namun, yang mungkin lebih penting dari yang lainnya, unifikasiItali digenapkan pada 1870 dengan penundukan Roma, yangsekaligus mengakhiri kekuasaan sekuler para Paus. Oleh umatKatolik, peristiwa ini menumbuhkan tingkat kemarahan khususkepada monarki Itali, yang mereka tuduh sedang mencoba“mencuri” jubah Paus dan gereja dari sedikit kebebasan yang masihmereka punya. Ketika tentara-tentara Itali memasuki Roma, Paustiba-tiba berhenti sebagai penguasa dunia yang berdaulat, untukpertamakalinya setelah berabad-abad: dengan kemarahan tak terperiia mengunci dirinya di Vatikan, sambil memproklamasikan-dirisebagai “tahanan” negara Itali. Salah satu akibatnya yang pentingkemudian adalah doktrin non expedit yang dikeluarkannya, yangmelarang orang Katolik dari berpartisipasi dalam politik elektroral,baik sebagai kandidat yang dipilih maupun pemilih (Kalyvas, 1996:216).Dengan perluasan hak suara dalam pemilu yang ditetapkan pada1913, doktrin non expedit Paus di atas menjadi makin pentingmaknanya. Seperti dilaporkan Cotta: “Mengingat luasnya parapengikut gereja khususnya di daerah-daerah pedesaan (tetapi juga dikalangan kelas menengah dan atas) para elite liberal merasa engganmemobilisasi dukungan massa, karena hal itu akan segeramenumbuhkan dukungan populer kepada kalangan sosialis” (Cotta,1992: 157). Ini membuka peluang bagi berlangsungnya negosiasiantara Gereja Katolik dan para pemimpin liberal, karena tiga alasanBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 485

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!