Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
12.07.2015 Views

Democracy Projectpolitik tertentu, yang pada gilirannya, dalam rentang yang tidakpendek dan sedikit demi sedikit, ikut dibentuk oleh para aktor yangsadar-diri dan bekerja secara sistematis ke arah pembentukan itu.Para aktor saya adalah Gereja Katolik di Spanyol dan Itali dan paraaktivisnya di pusat dan pinggiran, yang jauh dari monolitik. Pilihanpilihanpolitik mereka bukan saja ditentukan oleh struktur sosial danpolitik yang ada di kedua negara di mana mereka berada, selaintentunya juga oleh ideal-ideal yang mereka dapatkan dari titah Allahyang diajarkan agama mereka, yang juga pasti tidak seragam. Lebihdari itu, pilihan-pilihan politik itu juga dibentuk oleh konteksinternasional makin tumbuhnya penghargaan orang akan HAM dansistem politik yang paling bisa menampungnya sejauh ini, sepertidemokrasi. Karena kita kini juga sedang mengelola kebersamaan kitadalam sebuah demokrasi, saya berharap tulisan ini ada gunanya,sambil kita sesekali berkaca kepada pengalaman orang lain.Izinkan lebih dulu saya ceritakan duduk perkaranya. Ketikatransisi menuju demokrasi berlangsung di Spanyol dan Itali, GerejaKatolik secara umum dan cabang-cabang nasionalnya di keduanegara itu menghadapi tantangan serius. Tantangan ini muncul dariambiguitas yang mencirikan hubungan antara gereja (juga agamaagamalain) dan demokrasi: di satu pihak, sudah berabad-abad gerejaskeptis terhadap, jika bukan secara langsung menentang, sistem danpemerintahan demokratis; namun, di pihak lain, ada saat-saat ketikagereja atau aktor-aktor gereja mulai menunjukkan dukunganterhadap, dan kadangkala bahkan aktif mempromosikan, upayaupayake arah demokratisasi. Demikianlah, sementara kita dapatmenyaksikan hubungan yang erat di antara gereja dan rezimotoritarian di Spanyol di bawah Jenderal Franco, misalnya, pada saatyang sama kita juga menemukan fenomena seperti diwakili UskupTarancón, yang dengan tegas dan berani mengecam pelanggaranHAM yang dilakukan rezim Franco.Dengan tumbangnya otoritarianisme, ambiguitas seperti di atastak bisa lagi diterima dan Gereja Katolik dituntut untuk menempuhpendekatan lebih konsisten. Sekali transisi menuju demokrasibermula dan proses konsolidasi demokrasi berlangsung, gerejamenghadapi masalah baru karena mereka harus mendefinisikanperan mereka dalam lingkungan politik yang berubah cepat. Inilahmasa ketika demokrasi hendak dimapankan (atau dibatalkan secara468 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Democracy Projectprematur, biasanya oleh militer) sebagai–meminjam istilah yang kinisudah makin populer–“the only game in town” Yang penting dalamkonteks ini: bagaimana gereja bereaksi tidak saja menentukan nasibgereja di masa depan, tapi juga memengaruhi proyek nasionalkonsolidasi demokrasi.Saya hendak mengeksplorasi tema di atas: upaya gereja nasionaldi Spanyol dan Itali di dalam membangun hubungan mereka denganpemerintahan baru yang dipilih secara demokratis di suatu era ketikademokratisasi sedang dikonsolidasikan. Saya juga akan mencobamenelusuri sumbangan apa yang diberikan kedua gereja nasional itudalam proses ini, dan insentif apa yang ditawarkan demokrasisehingga kedua gereja itu mau berbuat demikian. Tujuan saya adalahuntuk melihat secara historis dan empiris adekuasi kerangkakonseptual yang baru-baru ini dikemukakan oleh Alfred Stepanmengenai hubungan yang pas yang seharusnya bisa dibangun antaranegara dan agama dalam sebuah demokrasi, yakni gagasannyamengenai “toleransi kembar” (twin toleration). Secara singkat (sayaakan mendiskusikannya lebih jauh nanti), Stepan menegaskan bahwa,agar sebuah sistem demokratis bisa berjalan dengan baik, harus adabatas-batas kebebasan bagi pemerintahan terpilih yang tak bolehdilanggar oleh individu dan kelompok agama, dan demikian jugasebaliknya.Spanyol dan Itali adalah ladang subur untuk melihat adekuasikerangka di atas secara historis dan empiris. Pertama, dalam sejarahpanjang kedua negara itu, agama (Katolik) memainkan peranpenting, bahkan menentukan. Sementara itu, kedua, sepanjangkurang-lebih lima dekade, dimulai pada 1940-an di Itali dan 1970-an di Spanyol, kedua negara itu mengalami proses redemokratisasi,karena sebelumnya demokrasi pernah ada di kedua negara itu tetapidigagalkan oleh naiknya otoritarianisme (oleh Mussolini di Itali danFranco di Spanyol) Selain itu, kini ada kesepakatan bersama dikalangan para sarjana bahwa sistem demokratis sudah sepenuhnyaterkonsolidasikan di kedua negara itu pada pertengahan kedua 1970-an, sekalipun, seperti akan saya singgung nanti, kasus konsolidasidemokrasi di Spanyol lebih jelas dibanding di Itali.Sehubungan dengan sejarah panjang ini, saya ingin meng -eksplorasi berbagai perubahan yang terjadi dalam corak hubunganantara negara dan gereja dalam proses konsolidasi demokrasi.Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 469

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>politik tertentu, yang pada gilirannya, dalam rentang yang tidakpendek dan sedikit demi sedikit, ikut dibentuk oleh para aktor yangsadar-diri dan bekerja secara sistematis ke arah pembentukan itu.Para aktor saya adalah Gereja Katolik di Spanyol dan Itali dan paraaktivisnya di pusat dan pinggiran, yang jauh dari monolitik. Pilihanpilihanpolitik mereka bukan saja ditentukan oleh struktur sosial danpolitik yang ada di kedua negara di mana mereka berada, selaintentunya juga oleh ideal-ideal yang mereka dapatkan dari titah Allahyang diajarkan agama mereka, yang juga pasti tidak seragam. Lebihdari itu, pilihan-pilihan politik itu juga dibentuk oleh konteksinternasional makin tumbuhnya penghargaan orang akan HAM dansistem politik yang paling bisa menampungnya sejauh ini, sepertidemokrasi. Karena kita kini juga sedang mengelola kebersamaan kitadalam sebuah demokrasi, saya berharap tulisan ini ada gunanya,sambil kita sesekali berkaca kepada pengalaman orang lain.Izinkan lebih dulu saya ceritakan duduk perkaranya. Ketikatransisi menuju demokrasi berlangsung di Spanyol dan Itali, GerejaKatolik secara umum dan cabang-cabang nasionalnya di keduanegara itu menghadapi tantangan serius. Tantangan ini muncul dariambiguitas yang mencirikan hubungan antara gereja (juga agamaagamalain) dan demokrasi: di satu pihak, sudah berabad-abad gerejaskeptis terhadap, jika bukan secara langsung menentang, sistem danpemerintahan demokratis; namun, di pihak lain, ada saat-saat ketikagereja atau aktor-aktor gereja mulai menunjukkan dukunganterhadap, dan kadangkala bahkan aktif mempromosikan, upayaupayake arah demokratisasi. Demikianlah, sementara kita dapatmenyaksikan hubungan yang erat di antara gereja dan rezimotoritarian di Spanyol di bawah Jenderal Franco, misalnya, pada saatyang sama kita juga menemukan fenomena seperti diwakili UskupTarancón, yang dengan tegas dan berani mengecam pelanggaranHAM yang dilakukan rezim Franco.Dengan tumbangnya otoritarianisme, ambiguitas seperti di atastak bisa lagi diterima dan Gereja Katolik dituntut untuk menempuhpendekatan lebih konsisten. Sekali transisi menuju demokrasibermula dan proses konsolidasi demokrasi berlangsung, gerejamenghadapi masalah baru karena mereka harus mendefinisikanperan mereka dalam lingkungan politik yang berubah cepat. Inilahmasa ketika demokrasi hendak dimapankan (atau dibatalkan secara468 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!