Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
12.07.2015 Views

Democracy ProjectBELAJAR DARI PARA FOUNDING FATHERSUntuk merespon kerisauan Mas Djohan, saya ingin memulainyadengan pengamatan terhadap karya-karya yang berhubungan denganbiografi, pemikiran, dan sepak terjang para ”bapak bangsa”(founding fathers), negarawan, tokoh-tokoh politik dan agamawanmasa lalu semacam Sukarno, Hatta, Muhammad Yamin, Dr.Radjiman, Soepomo, H. Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, KHWahid Hasyim, M. Natsir, Mohammad Roem, Hamka, KyaiMasykur, KH Wahid Hasyim, Isa Anshari, Kasimo, Dr. J. Leimena,Dr. T.B. Simatupang, dan lain-lain yang ditulis oleh para penulisbiografi dan pengamat politik. Di sini bisa ditemukan, betapapuntajamnya perbedaan pendapat yang muncul, para tokoh itu tetapbersahabat dan saling bisa menghargai. Tak satu pun di antara paratokoh besar itu yang mengungkit-ungkit kesalahan atau cacat pribadikawan dan lawan politiknya, apalagi dengan cara menuliskannyadalam buku atau pamflet yang bernada penistaan dan penghujatan.Mereka yang telah membaca risalah perdebatan di sidang-sidangBPUPKI (Badan Pengawas Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, bisa memahamibagaimana hebatnya para bapak bangsa negeri ini. Mereka berjuangdengan ikhlas dalam rangka merebut kemerdekaan dan meletakkandasar-dasar pemikiran politik dan ketatanegaraan serta fundamenberbangsa dan bernegara. Nyata sekali bahwa para tokoh pendiribangsa semacam Sukarno, Hatta, Muhammad Yamin, Dr. Radjiman,Soepomo, H. Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, KH WahidHasyim, dan lain-lain adalah para negarawan sejati dan sekaligusintelektual terkemuka pada zamannya. Perdebatan-perdebatanmereka dalam sidang-sidang BPUPKI berlangsung secara terbuka,kritis, dan sangat intelektual. Ada kalanya, perdebatan itu sangattajam, bahkan konon juga ada yang sampai menggebrak meja segala.Tapi suasana kebatinan yang ada pada saat itu tetap diwarnai denganpersahabatan, persatuan, dan semangat yang tinggi untuk mencarisolusi terbaik buat negara dan apa yang disebut dengan—meminjamistilah Bennedict Anderson—masyarakat yang dibayangkan(imagined community), sebuah masyarakat sejahtera dalam bingkainegara kesatuan dan nasionalisme berwatak Indonesia.Sejarah republik ini juga menunjukkan, betapapun sengit dantajamnya perdebatan yang terjadi di persidangan BPUPKI,438 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Democracy Projectsilaturahmi dan persaudaraan tetap dijaga. Selain itu, para pendirirepublik itu benar-benar mencerminkan sikap kenegarawanan dalamarti kata yang sebenarnya. Mereka menyadari betul bahwaperanannya akan dicatat oleh sejarah dan dikenang oleh bangsanyasepanjang masa. Karena itu mereka berusaha memberikan pemikiranyang terbaik mengenai dasar dan fundamen negara RepublikIndonesia yang dicita-citakan. Itu terlihat misalnya ketika perdebatanantara tokoh-tokoh yang tergabung dalam kelompok ”Islam” dan”kebangsaan” sulit menemukan kesesuaian, Bung Hatta melakukanlobby dengan tokoh-tokoh Islam dan mengajukan usulan untukmengganti tujuh kata ”’dengan kewajiban menjalankan syari’at Islambagi pemeluk-pemeluknya”, dan menggantinya dengan kalimat yanglebih netral: ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga tercapailah apayang disebut oleh pemikir Islam almarhum Endang SaifuddinAnshary sebagai ”gentlemen’s agreement” di antara para pendirinegara yang kelak akan memberikan dampak besar bagiperkembangan republik di kemudian hari. Kesediaan tokoh-tokohIslam di BPUPKI untuk melakukan kompromi politik dengankelompok nasionalis untuk mencapai cita-cita Indonesia yang lebihbesar, perlu dicatat dalam tinta emas sejarah. Dan tidaklah terlaluberlebihan kalau almarhum H. Alamsyah Ratuprawiranegara,Menteri Agama di zaman Pemerintahan Soeharto, menyatakanbahwa kesediaan tokoh-tokoh Islam itu merupakan “pengorbananterbesar” dalam sejarah perjalanan umat Islam Indonesia.Kemudian kalau kita membaca risalah persidangan diKonstituante pertengahan hingga akhir 1950-an, sebagaimana ditulisdengan sangat baik dalam disertasi Prof. Dr. Syafi’i Maarif yangsudah dibukukan, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentangPercaturan Dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985) kita akanmenemukan betapa para tokoh-tokoh besar republik ini tampilsebagai pemimpin, pemikir, dan negarawan sejati yang bermartabatdan punya integritas tinggi. Dalam perdebatan mereka tentang dasarnegara antara mereka yang menginginkan Islam dan mereka yangmempertahankan Pancasila, jelas sekali bahwa masing-masingberusaha mempertahankan argumennya secara ilmiah, otentik, danvisioner. Di forum konstituante itu, terlihat sekali para wakil rakyatyang ada di parlemen itu benar-benar melengkapi diri denganpengetahuan, bacaan, dan referensi yang memadai. Tidak heran jikaBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 439

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>silaturahmi dan persaudaraan tetap dijaga. Selain itu, para pendirirepublik itu benar-benar mencerminkan sikap kenegarawanan dalamarti kata yang sebenarnya. Mereka menyadari betul bahwaperanannya akan dicatat oleh sejarah dan dikenang oleh bangsanyasepanjang masa. Karena itu mereka berusaha memberikan pemikiranyang terbaik mengenai dasar dan fundamen negara RepublikIndonesia yang dicita-citakan. Itu terlihat misalnya ketika perdebatanantara tokoh-tokoh yang tergabung dalam kelompok ”Islam” dan”kebangsaan” sulit menemukan kesesuaian, Bung Hatta melakukanlobby dengan tokoh-tokoh Islam dan mengajukan usulan untukmengganti tujuh kata ”’dengan kewajiban menjalankan syari’at Islambagi pemeluk-pemeluknya”, dan menggantinya dengan kalimat yanglebih netral: ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga tercapailah apayang disebut oleh pemikir Islam almarhum Endang SaifuddinAnshary sebagai ”gentlemen’s agreement” di antara para pendirinegara yang kelak akan memberikan dampak besar bagiperkembangan republik di kemudian hari. Kesediaan tokoh-tokohIslam di BPUPKI untuk melakukan kompromi politik dengankelompok nasionalis untuk mencapai cita-cita Indonesia yang lebihbesar, perlu dicatat dalam tinta emas sejarah. Dan tidaklah terlaluberlebihan kalau almarhum H. Alamsyah Ratuprawiranegara,Menteri Agama di zaman Pemerintahan Soeharto, menyatakanbahwa kesediaan tokoh-tokoh Islam itu merupakan “pengorbananterbesar” dalam sejarah perjalanan umat Islam Indonesia.Kemudian kalau kita membaca risalah persidangan diKonstituante pertengahan hingga akhir 1950-an, sebagaimana ditulisdengan sangat baik dalam disertasi Prof. Dr. Syafi’i Maarif yangsudah dibukukan, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentangPercaturan Dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985) kita akanmenemukan betapa para tokoh-tokoh besar republik ini tampilsebagai pemimpin, pemikir, dan negarawan sejati yang bermartabatdan punya integritas tinggi. Dalam perdebatan mereka tentang dasarnegara antara mereka yang menginginkan Islam dan mereka yangmempertahankan Pancasila, jelas sekali bahwa masing-masingberusaha mempertahankan argumennya secara ilmiah, otentik, danvisioner. Di forum konstituante itu, terlihat sekali para wakil rakyatyang ada di parlemen itu benar-benar melengkapi diri denganpengetahuan, bacaan, dan referensi yang memadai. Tidak heran jikaBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 439

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!