12.07.2015 Views

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>MELANJUTKAN AGENDA REFORMASIPaparan di atas memperlihatkan dengan sangat jelas konsekuensikonsekuensiyang harus ditanggung akibat kebijakan pemilahanantara agama yang diakui negara dengan mereka yang digolongkan“belum beragama”. Kelompok-kelompok yang disingkirkan itu, yangmerupakan mayoritas riil bangsa ini, justru menjadi “orang asing” ditanah sendiri. Keyakinan mereka tidak dihormati, praktik-praktikritual mereka tidak diakui (malah sering dituduh “menodai agama”),dan bahkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara dinafikan—dengan segala konsekuensinya.Paparan di atas juga memperlihatkan bahwa, pada tataranparadigma kebijakan, yakni bagaimana pemaknaan agama dan/ataukeyakinan atau kepercayaan dikonstruksikan, sesungguhnya tidakada perubahan berarti pasca Mei 1998. Kebijakan pemilahan antaraagama yang diakui negara dengan yang tidak diakui masihdipertahankan sampai sekarang, seperti terlihat baik dalam perumus -an UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang untukpertamakalinya secara resmi memakai istilah “agama yang belumdiakui negara”, maupun sangat kental mewarnai perluasan pasal-pasal“delik agama” RUU KUHPidana. Dua kebijakan inti pengendalianagama—UU No. 1/PNPS/1965 dan instrumen PAKEM—masih ber -tahan kokoh, dan sering dipakai sebagai senjata pamungkas untukmenjerat setiap penafsiran maupun praktik-praktik keagamaan yangdianggap menyimpang dari “pokok-pokok ajaran agama” (pasal 1 UUNo. 1/PNPS/1965). Sementara, pada saat yang sama, UU itu meng -gariskan hanya negara (via Departemen Agama) yang memiliki mono -poli kewenangan menafsirkan mana ajaran agama yang “benar”! 25Di awal esai ini, saya menegaskan bahwa tuntutan politikkesetaraan merupakan pertaruhan nasib pluralisme—bahkan nasibIndonesia sebagai “rumah bersama”. Dewasa ini tuntutan politistersebut terasa semakin mendesak di tengah transisi demokratisasiyang sedang berlangsung. Sebab di tengah gejolak transisi dewasa inisekadar toleransi dan dialog tidaklah memadai. Transisi demo -kratisasi, jika hanya terpusat pada utak-atik prosedural, menyimpanpotensi menjadi tirani mayoritas, di mana pemilik suara terbanyakmengambil seluruhnya (the winner-take-all device) dan menafikanhak-hak minoritas, maupun hak-hak mereka yang sesungguhnyamerupakan “mayoritas riil” tetapi, karena kebijakan negara, justru386 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!