Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
12.07.2015 Views

Democracy Projectdan Kepolisian telah menentukan bahwa suatu kegiatankeagamaan dianggap sebagai aliran sesat. Selanjutnya pelarangankegiatan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.” 14Dhakidae juga mengutip laporan Kompas (5 Agustus 1993) yangmemberi kita gambaran jelas korban-korban yang harus berjatuhandi tangan PAKEM: “Menurut data tim PAKEM Jabar, di Jabarterdapat 63 aliran kepercayaan yang masih tumbuh dan hidup dimasyarakat. Sebelumnya jumlah mencapai 133 aliran, tetapi sebagiansudah dilarang, atau membubarkan diri sehingga sisanya hanya 63aliran. Kelompok Haur Koneng merupakan kelompok baru yangbelum tercatat di Tim PAKEM Jabar. Sedang Kahumas KejakgungSoeparman SH MH mengatakan, sejak tahun 1949 hingga tahun1992, telah terdapat 517 aliran kepercayaan yang ‘mati’ di seluruhIndonesia.”Sampai sekarang PAKEM masih berdiri dan berfungsi sebagaisenjata pamungkas. Kasus penyerangan terhadap JAI (JemaatAhmadiyah Indonesia) di Parung, Bogor, pertengahan Juli 2005 lalu,misalnya, seperti dilaporkan koran Republika, didahului olehpertemuan di kantor PAKEM tanggal 18 Januari 2005, enam bulansebelum penyerangan, yang memutuskan pelarangan keberadaanbaik Ahmadiyah Qadiani maupun Lahore di Indonesia (Republika,16 September 2005). Begitu juga, sebagian dari tugas utama PAKEMbahkan dicantumkan dalam UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan.Dalam UU itu, menurut pasal 30(3) kejaksaan juga bertugas dalambidang ketertiban dan ketenteraman umum dengan, antara lain,melakukan “(c.) pengawasan peredaran barang cetakan; (d.) peng -awasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakatdan negara; (e.) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaanagama”.Kebijakan kedua lebih pada tataran paradigmatis. Akhir Januari1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atauPenodaan Agama, yang kemudian dikukuhkan pada zaman OrdeBaru menjadi UU No. 1/PNPS/1965. 15 Munculnya UU No.1/PNPS/1965 perlu ditelisik sungguh-sungguh karena UU ini menjadilandasan yuridis utama bagi banyak UU dan peraturan lain di bidangkeagamaan. Apalagi pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 menambahkan382 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Democracy Project“delik agama” pada KUHPidana (pasal 156a) yang sangat penting,karena diniatkan untuk “melindungi kesucian agama”.Saya tidak akan mendedah secara rinci “delik agama” tersebut,yang dewasa ini kembali jadi fokus perhatian karena upaya revisiterhadap KUHPidana yang dinilai kebablasan, bahkan terjebak padaovercriminalization. Seperti diperlihatkan Musdah Mulia, RUUKUHPidana ini mengalami tiga cacat dalam soal “delik agama”:pertama, terlalu ambisius; kedua, berniat mau secara rinci mengatursoal kehidupan beragama; dan, akhirnya, RUU ini sangat dis -kriminatif terhadap agama-agama di luar agama resmi ataukelompok minoritas. 16 Menurut saya, khususnya dalam soal terakhir,kita harus menelisik akar-akarnya dalam UU No. 1/PNPS/1965.Menarik sekali jika UU ini diletakkan dalam konteks zamannya.Seperti dijelaskan dalam penjelasan resminya, UU ini lahir dari situasisaat itu di mana “hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbulaliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaanmasyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukumagama.” Situasi ini dinilai “telah menimbulkan hal-hal yangmelanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodaiagama.” 17 Dengan kata lain, PNPS 1965 lahir untuk melindungiagama-agama (yang diakui negara) dari aliran-aliran kebatinan/kepercayaan. Karena itu, ketika menjelaskan agama-agama yang“dipeluk oleh penduduk Indonesia”, persoalan aliran kebatinan ataukepercayaan diberi catatan khusus. Di situ “Pemerintah berusahamenyalurkan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah KetuhananYang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan Ketetapan MPRS NoII/MPRS/1960, Lampiran A Bidang I, Angka 6.” 18Kebijakan perlindungan ini, dan penafian hak-hak sipil merekayang keyakinannya berada di luar “agama yang diakui negara” secarasistematis dan konsisten dilakukan oleh rezim Orde Baru denganlandasan hukum yang sangat kuat. Pada tahun 1978 MPR menetapkanTAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar HaluanNegara. Dalam Ketetapan tersebut ditegaskan bahwa “Kepercayanterhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan merupakan Agama”. Berangkatdari ketetapan ini, Menag mengeluarkan Instruksi No 4 dan 14 tahun1978 yang menggariskan kebijakan inti mengenai aliran kepercayaan,dan melayangkan surat kepada para gubernur dan bupati/walikotamenyangkut berbagai aspek aliran kepercayaan. 19Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi | 383

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>“delik agama” pada KUHPidana (pasal 156a) yang sangat penting,karena diniatkan untuk “melindungi kesucian agama”.Saya tidak akan mendedah secara rinci “delik agama” tersebut,yang dewasa ini kembali jadi fokus perhatian karena upaya revisiterhadap KUHPidana yang dinilai kebablasan, bahkan terjebak padaovercriminalization. Seperti diperlihatkan Musdah Mulia, RUUKUHPidana ini mengalami tiga cacat dalam soal “delik agama”:pertama, terlalu ambisius; kedua, berniat mau secara rinci mengatursoal kehidupan beragama; dan, akhirnya, RUU ini sangat dis -kriminatif terhadap agama-agama di luar agama resmi ataukelompok minoritas. 16 Menurut saya, khususnya dalam soal terakhir,kita harus menelisik akar-akarnya dalam UU No. 1/PNPS/1965.Menarik sekali jika UU ini diletakkan dalam konteks zamannya.Seperti dijelaskan dalam penjelasan resminya, UU ini lahir dari situasisaat itu di mana “hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbulaliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaanmasyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukumagama.” Situasi ini dinilai “telah menimbulkan hal-hal yangmelanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodaiagama.” 17 Dengan kata lain, PNPS 1965 lahir untuk melindungiagama-agama (yang diakui negara) dari aliran-aliran kebatinan/kepercayaan. Karena itu, ketika menjelaskan agama-agama yang“dipeluk oleh penduduk Indonesia”, persoalan aliran kebatinan ataukepercayaan diberi catatan khusus. Di situ “Pemerintah berusahamenyalurkan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah KetuhananYang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan Ketetapan MPRS NoII/MPRS/1960, Lampiran A Bidang I, Angka 6.” 18Kebijakan perlindungan ini, dan penafian hak-hak sipil merekayang keyakinannya berada di luar “agama yang diakui negara” secarasistematis dan konsisten dilakukan oleh rezim Orde Baru denganlandasan hukum yang sangat kuat. Pada tahun 1978 MPR menetapkanTAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar HaluanNegara. Dalam Ketetapan tersebut ditegaskan bahwa “Kepercayanterhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan merupakan Agama”. Berangkatdari ketetapan ini, Menag mengeluarkan Instruksi No 4 dan 14 tahun1978 yang menggariskan kebijakan inti mengenai aliran kepercayaan,dan melayangkan surat kepada para gubernur dan bupati/walikotamenyangkut berbagai aspek aliran kepercayaan. 19Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi | 383

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!