12.07.2015 Views

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>sampai sekarang, setelah upaya sebelumnya (1952) kandas di tengahjalan. 10 Mulder mengingatkan, kebijakan tersebut dilatari olehsuburnya kelompok-kelompok kebatinan pada masa itu. Depagmelaporkan bahwa pada tahun 1953 ada lebih dari 360 kelompokkebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini memainkanperan menentukan sehingga pada Pemilu 1955 partai-partai Islamgagal memperoleh suara mayoritas, dan hanya mendapat 42 persensuara. Pada tahun yang sama BKKI (Badan Kongres Kebatinanseluruh Indonesia) didirikan di bawah kepemimpinan Mr.Wongsonegoro. Tahun 1957, BKKI mendesak Soekarno agarmengakui secara formal bahwa “kebatinan” setara dengan “agama”.Konstalasi politik inilah yang mendorong Depag pada tahun1961 mengajukan definisi “agama”. Suatu “agama”, menurut definisiitu, harus memuat unsur-unsur penting ini: kepercayaan pada TuhanYang Mahaesa, ada nabi, kitab suci, umat, dan suatu sistem hukumbagi penganutnya. Tentu saja, dengan definisi seperti itu, banyakkelompok kepercayaan, kebatinan, atau kelompok-kelompokmasyarakat yang masih mempertahankan adat istiadat dan praktikpraktikreligi lokal, seperti animisme, dinamisme, dstnya tidaktercakup di dalamnya, sehingga mereka digolongkan sebagai orangyang “belum beragama”.Dengan pendefinisian seperti itu, kelompok-kelompokkepercayaan, kebatinan, masyarakat adat, penganut kepercayaanlokal, dstnya yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara—merekayang, memakai ungkapan Dhakidae di atas, termasuk dalam “295agama lain itu”—terpinggirkan, praktik-praktik religi lokal merekadinafikan, atau bahkan sering dicap “sesat dan menyesatkan”. Tetapi,pada saat bersamaan, mereka juga diharapkan akan masuk danmemeluk salah satu agama yang diakui negara. Hal ini, sepertidiperlihatkan Jane Monnig Atkinson dalam esainya yang cemerlang,dapat dicandra pada penggunaan istilah “belum beragama” yang,sesungguhnya, dapat diartikan sebagai “belum memeluk salah satuagama yang diakui negara”! Di balik pemahaman ini, menurutAtkinson, tersirat agenda modernisasi yang sekaligus menjadi tujuandan visi nasionalis. “Konsep agama secara implisit mengandungpemahaman tentang kemajuan, modernisasi, dan keyakinan padatujuan nasionalis,” tulisnya. “Kelompok-kelompok masyarakat yangdianggap bodoh, terbelakang, atau tidak memiliki visi nasionalis380 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!