12.07.2015 Views

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>Sepintas, aturan hukum tersebut cukup netral, yakni sekadarmengingatkan warga negara untuk bersikap hati-hati melemparkantuduhan yang menodai komunitas agama, seperti melontarkansebutan “kafir”. Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenapkomunitas agama dan kepercayaan atau komunitas penghayat. Akantetapi, ketetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno di awalJanuari 1965 itu, dan kemudian dukukuhkan oleh pemerintahSoeharto pada 1969, membawa implikasi luas dalam kebebasanberagama di Indonesia pada masa-masa berikutnya. Penetapan itujustru digunakan sebagai legimitasi untuk “mengamankan” agamaagamaresmi yang diakui Negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu,dan Buddha) terhadap tindakan penyimpangan dan penistaan darikelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain. Bahkan dijadikanpula alat untuk mengamankan stabilitas kekuasaan negara. Kondisiinilah yang membahayakan kehidupan beragama, yakni agamadijadikan alat politik bagi penguasa. Mulailah terjadi politisasi agamauntuk kepentingan penguasa.Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkankebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPRtahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragamasebagai hak asasi manusia sebagai tertera pada pasal 13: “Setiaporang bebas memeluk agama masing-masing dan untuk beribadatmenurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan ini sejalandengan rumusan yang terdapat dalam UUD 1945.Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusiayang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable)sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, babX mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, pasal 37: “Hakuntuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran danhati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untukdiakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidakdituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasimanusia yang tidak dapat dikirangi dalam keadaan apapun (nonderogable).”Bentuk intervensi kedua Orde Baru adalah melalui pendefinisian“agama resmi” dan “tidak resmi”. Dengan cara ini Orde Barumengontrol kelompok keagamaan lain di luar “agama resmi” yangdianggap membahayakan kekuasaannya melalui tangan agama-338 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!