12.07.2015 Views

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>ANTARA UNIVERSALITAS DAN PARTIKULARITASMasalah kebebasan beragama di Indonesia terus berada pada tarikmenarik antara yang universal internasional dan yang partikularlokal, seperti tampak pada status Negara, sila Ketuhanan Yang MahaEsa, dan produk undang-undang dan peraturan-peraturan yangberada di bawahnya. Salah satu ciri negara-bangsa Indonesia adalahstatus “resmi”nya yang “bukan Negara Agama” dan “bukan NegaraSekuler”. Ada kecenderungan untuk mengadopsi gagasan-gagasanluar secara eklektif tapi selektif, yang dianggap ekstrim kanan danekstrem kiri, namun mayoritas selalu merasa “nyaman” berada ditengah-tengah; tapi ada pula kecenderungan untuk menghegemonikeberagamaan negara dan masyarakat.Sebetulnya, terlepas dari dominasi destruktif kolonial Belandadi berbagai bidang kehidupan masyarakat lokal, Pemerintah KolonialBelanda memiliki konstitusi yang menjamin kemerdekaan setiapwarga negara untuk menganut agama tertentu selama tidakmengganggu keterbitan umum atau melanggar hukum. 17 Organisasiorganisasilokal bertebaran di awal abad ke-20. Kegiatan-kegiatansosial, keagamaan, dan bahkan politik, tumbuh subur. Pertemuanpertemuanantar agama juga berlangsung. Pada 28-30 September1933 misalnya, sebuah Komite Munazarah yang diketui AhmadSarido, yang didukung Pemerintah Kolonial, mengadakan dialogpublik antara A. Hassan dari Pembela Islam, dan Rachmat Ali dariAhmadiyah Qadian, yang dihadiri wakil-wakil pers dan wakil-wakilormas keagamaan, dan sekitar 2000 orang. Komite Munazarahmenyatakan “dengan hati jang ada tidak kelihatan memihak salahsatoe golongan”. Dialog itu dimulai dengan kesepakatan etika dialog,seperti tidak menyinggung perorangan dan tidak menghina.Pendengar dilarang berteriak atau bersorak-sorak, duduk dengantenang dan memperhatikan. Dialog mengenai Isa, Alquran, kenabiansetelah Muhammad, berjalan alot, namun tertib dan lancar, masingmasingpihak menyampaikan penafsiran keagamaan mereka. Diakhir acara, Voorzitter Mhd. Moehjiddin, memberikan sambutan,yang diakhiri dengan ayat Alquran: “Lakoem Di Noe KoemWalijadin.” (“bagimu agamamu, bagiku agamaku.” 18 Di zamankolonial, kebebasan beragama belum menjadi gagasan yang ramaidibicarakan, namun contoh dialog diatas menunjukkan bahwakebebasan beragama telah dipraktikkan sebagian tokoh keagamaanBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 321

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!