Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
12.07.2015 Views

Democracy Projectkepiluan tak terperikan itu, dan itu dimulai dengan tersedianya“sebuah ruang bebas yang menyatakan otonomi mereka dari tatanansosial yang menekan, namun tanpa menjadi sebuah tantangan politikyang mengancam sekitarnya”. 11 Itulah awal berdirinya gereja di kakigunung Bromo, dekat Malang; tentulah di banyak tempat di Jawaini tumbuhnya gereja meniru modus di atas. Bahkan, kalau rentangananalisis lebih diperluas, para pengamat sosiologi agama pun melihat,kekristenan secara signifikan telah tumbuh khususnya di AsiaTenggara, saat krisis sosial terjadi dengan mendalamnya dan merobektatanan sosial yang mapan 12 .Dua cerita ini mungkin mewakili banyak orang yang beralihagama, saat atau pasca zaman tergelap (tahun 1965) di negeri ini.Mereka menyeberang, agar bisa menyintas (survive) dari krisis danancaman yang mengintai, atau bahkan dari kepedihan yang taktertanggungkan. Tapi ini–syukurlah--, bukan sebentuk isolasi, sebabdalam kelanjutan kisah di Nalen tadi 13 , tetaplah dijalin jembatanjembatanlintas komunal.Ketika konversi berarti menyintas, dan menyeberang meraihidentitas sosial tertentu, memang ada resiko partisi, terutama dengantetangga muslim. Makanya ada dinamika baru yang muncul: yaituritual bersama, disebut Pajatan. Saat Paskah tiba, disebut PajatanPaskah, untuk Islam, Pajatan Ruwahan; intinya ialah membersihkanbersama kuburan pendiri desa itu. Upacara Pajatan mulai denganmembawa nasi ambeng, lalu doa–tergantung pemrakarsanya yangmemimpin doa tadi—, yang diakhiri dengan percakapan mengenaihidup bersama dengan semua kesulitannya.Tampaknya di situ, orang Nalen-Salatiga menemukan kembalisecara kreatif nilai kultur abangan-nya, agree to differ (atau dalambahasa yang lebih antropologis: sinkretisme Jawa telah memungkin -kan orang-orang dengan orientasi yang bertolak belakang bersatudan bertemu, dan membiarkan semuanya sintas).Namun, apa daya, proses-proses identitas, perjumpaan sosial, dandinamika “sinkretisme” ini tak bisa lolos dari politik agama yangmenjadi format pembinaan agama pasca 1965, di era yang disebutOrde Baru itu. Dan politik itu secara tersirat tampak dalam politikstatistik, sebagaimana dicatat oleh Rita Smith Kipp dan SusanRodgers 14 ,280 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Democracy ProjectKompleksitas keberagamaan di Indonesia sungguh mengejutkan,dan hal tersebut sesuai dengan keragaman sosialnya. Namunsecara paradoks, buku statistik terbitan pemerintahan di Jakartamengungkapkan kenyataan itu dengan cara yang menghilangkankerumitannya. Dalam buku tersebut, situasi populasi Indonesiadidaftarkan sebagai berikut: penganut Islam berjumlah 88%,Kristen Protestan 5,8%, Katolik 2,9%, Hindu 2%, dan Buddha0,9% (lihat Buku Saku Statistik Indonesia, 1982:172). Sebagaitambahan sejumlah kecil penganut agama tertentu, yang hidup didaerah-daerah Islam dan Kristen, juga dicatat oleh dokumenpemerintahan tersebut. Kesimpulan statistik ini, bagaimanapunjuga, memberi gambaran yang salah akan keragaman agama yangsungguh nyata di negeri tersebut. Bahkan statistik tersebutmengaburkan pergerakan dan perubahan kualitas dari ke hidupankontemporer agama-agama di Indonesia. Dalam kenyataannya diIndonesia, sejumlah komunitas etnik masih mempertahankan danmemelihara sistem ritualnya: seputar kelahiran, pernikahan,bercocok tanam, dan kematian. Komunitas ini juga kerap kalimengungkapkan kepercayaannya akan bermacam-macam roh,kekuatan kosmik yang menuntut sikap moral dan benda-bendaritual yang bertenaga. Dan komunitas itulah yang juga mengakudiri selaku beragama Islam atau Kristen. Dalam pada itu, ada yangmenganut kedua-duanya, dan ada yang sedang bergerak “beralihagama”.Maka, dapatlah kita lanjutkan menyimpulkan: kini soal konversiakan selalu dilihat sebagai soal (gangguan keseimbangan) politik, soalSARA, soal-soal yang dalam label paling banal dinamai Kristenisasiatau pun Islamisasi. Sentimen dalam masing-masing agama pundigenjot membumbui politik ini, gereja-gereja atau pun LembagaKeumatan seolah merasa terpukul kalau ada anggotanya yang beralihagama. Keluarga-keluarga pun terseret dalam rasa gusar yangberkepanjangan.Pada tingkatan yang lain, merebaknya partai-partai politik agamapun bertolak dari suasana politik dan rasa cemas tadi: “kami hendakmembela kepentingan Kristen”, atau, “kami adalah Partai Dakwahdemi Umat”, dstnya. Dan tentu banyak lagi yang bisa dikatakanseputar situasi politik agama di negeri ini, dan sudah begitu banyakBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 281

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>Kompleksitas keberagamaan di Indonesia sungguh mengejutkan,dan hal tersebut sesuai dengan keragaman sosialnya. Namunsecara paradoks, buku statistik terbitan pemerintahan di Jakartamengungkapkan kenyataan itu dengan cara yang menghilangkankerumitannya. Dalam buku tersebut, situasi populasi Indonesiadidaftarkan sebagai berikut: penganut Islam berjumlah 88%,Kristen Protestan 5,8%, Katolik 2,9%, Hindu 2%, dan Buddha0,9% (lihat Buku Saku Statistik Indonesia, 1982:172). Sebagaitambahan sejumlah kecil penganut agama tertentu, yang hidup didaerah-daerah Islam dan Kristen, juga dicatat oleh dokumenpemerintahan tersebut. Kesimpulan statistik ini, bagaimanapunjuga, memberi gambaran yang salah akan keragaman agama yangsungguh nyata di negeri tersebut. Bahkan statistik tersebutmengaburkan pergerakan dan perubahan kualitas dari ke hidupankontemporer agama-agama di Indonesia. Dalam kenyataannya diIndonesia, sejumlah komunitas etnik masih mempertahankan danmemelihara sistem ritualnya: seputar kelahiran, pernikahan,bercocok tanam, dan kematian. Komunitas ini juga kerap kalimengungkapkan kepercayaannya akan bermacam-macam roh,kekuatan kosmik yang menuntut sikap moral dan benda-bendaritual yang bertenaga. Dan komunitas itulah yang juga mengakudiri selaku beragama Islam atau Kristen. Dalam pada itu, ada yangmenganut kedua-duanya, dan ada yang sedang bergerak “beralihagama”.Maka, dapatlah kita lanjutkan menyimpulkan: kini soal konversiakan selalu dilihat sebagai soal (gangguan keseimbangan) politik, soalSARA, soal-soal yang dalam label paling banal dinamai Kristenisasiatau pun Islamisasi. Sentimen dalam masing-masing agama pundigenjot membumbui politik ini, gereja-gereja atau pun LembagaKeumatan seolah merasa terpukul kalau ada anggotanya yang beralihagama. Keluarga-keluarga pun terseret dalam rasa gusar yangberkepanjangan.Pada tingkatan yang lain, merebaknya partai-partai politik agamapun bertolak dari suasana politik dan rasa cemas tadi: “kami hendakmembela kepentingan Kristen”, atau, “kami adalah Partai Dakwahdemi Umat”, dstnya. Dan tentu banyak lagi yang bisa dikatakanseputar situasi politik agama di negeri ini, dan sudah begitu banyakBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 281

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!