12.07.2015 Views

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>sebagai teladan, memberikan fatwa-fatwa yang menyejukkan danmenyatukan semua komponen keagamaan, dan bukannyamengeluar kan fatwa-fatwa yang memicu perpecahan dan kekerasan.Ormas-ormas Islam penting di Indonesia seperti NU danMuhammadiyah juga harus menjadi motor proses dialog agama yangsehat dan konstruktif ini bukan malah menjadi penyokong aksi-aksikekerasan dan anti-pluralisme. Akhirnya, para aktor negara (state)maupun masyarakat (society) harus bahu-membahu mewujudkanpublic cultures of civility and pluralism melalui aksi-aksi kebudayaanmaupun kebijakan politik pluralis dan egaliter.Untuk bisa mewujudkan idealisme dialog agama ini memangtidak mudah. Mantan guru saya, seorang sarjana muslim dan aktivisdialog agama yang juga profesor resolusi konflik dan peace studies diAmerican University, Washington, DC, Mohammed Abu-Nimerjauh-jauh hari mengingatkan bahwa dialog agama adalah “bisnis yangsangat berbahaya” (Abu-Nimer 2000) akan tetapi ia buru-burumengingatkan bahwa dialog agama dalam kerangka (framework)seperti yang saya paparkan di atas adalah jalan terbaik untukmenyelesaikan konflik kekerasan berbasis agama serta medium untukmembangun terciptanya apa yang oleh Diana Eck disebut “satudunia,” yakni sebuah persepsi tentang semua mahluk ciptaan Tuhan,tak terkecuali manusia—apapun latar belakang etnis danagamanya—mempunyai hak hidup yang sama di dunia dan bumiciptaan Tuhan ini. Konsep “satu dunia” ini, kata Eck, baru bisaterwujud jika berdasar pada “stockpiling of trust through dialogueand the creation of relationships that can sustain both agreementsand disagreements” (Smock, ed. 2002: 6-7).Merealisasikan idealisme “dialog antar-iman” dan “pluralismeagama” seperti saya paparkan di atas tentu saja membutuhkan kerjaekstra keras. Apalagi dalam banyak hal relasi antar-agama diIndonesia masih berada pada level toleransi bukan pluralisme, debatbukan dialog, atau “dialog formal” bukan “dialog substansial.”Dalam banyak hal para tokoh agama juga hanya mau berbicara tapikurang bersedia mendengarkan. Padahal dialog agama baru bisaberfungsi dengan baik kalau masing-masing pihak berkenanmendengarkan. Sarjana dan praktisi perdamaian Yahudi, MarcGopin, menyebutnya “empathic listening” (dalam Coward danSmith, eds. 2004: 111-28). Kemampuan untuk sabar dan mau192 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!