12.07.2015 Views

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>hari-hari besar agama mereka dalam semangat penuh kebersamaandan saling menghargai perbedaan dan keragaman. Para tokoh agamajuga tidak mengajarkan superioritas agamanya atas yang lain. Karenakarakteristiknya yang unik, damai, toleran, dan pluralis, desa inipernah menjadi “proyek percontohan” atau model toleransi danpluralisme agama bagi masyarakat internasional. Bahkan mantanMenteri Agama Tarmizi Taher dan Gubernur EE Mangindaan pernahdiundang pemerintah Amerika Serikat untuk presentasi mengenaikehidupan keberagama an di Indonesia, terutama komunitas Mopuyaini (Jawa Pos, 18 Maret 2008).Terlepas dari kemampuan masyarakat Mopuya untuk men -transformasikan keberagaman dalam spirit toleransi, persaudaraan,dan pluralisme serta mengelola perbedaan dalam bentuk tindakanpositif, Sulut memang dikenal sebagai salah satu daerah yang sepidari kekerasan sosial di Indonesia. Tidak seperti Maluku, MalukuUtara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah,Lombok, Sumatra Barat dan sebagainya yang rawan konflik dankekerasan, masyarakat Sulut dikenal mampu me-manage potensikonflik dengan baik sehingga tidak berubah menjadi kekerasankomunal. Kekerasan (violence) adalah “unresolved conflict,” tegassarjana perdamaian John Paul Lederach dalam bukunya yang sangatmenarik Preparing for Peace: Conflict Transformation AcrossCultures. Dengan kata lain, kekerasan—apapun jenisnya termasuk“kekerasan berbasis agama”—terjadi karena individu atau kelompoktertentu tidak mampu menyelesaikan konflik yang inherent dalamsetiap manusia itu dengan cara-cara “civil” dan dialog. Singkatnya,kekerasan merupakan buah dari konflik yang tak terselesaikan.David Henley, Maria Schouten, dan Alex Ulaen dalam sebuahtulisan berjudul “Preserving the Peace in Post-New Order Minahasa”(dalam Nordholt dan van Klinken, ed. 2007: 307-326) membuatulasan menarik tentang fenomena Sulut ini. Mereka berargumenbahwa kolaborasi antara “civil state” (baca, pemerintah setempatyang menjunjung tinggi keadaban) dan “civil society” berbasis agama(terutama institusi Kristen, lebih khusus lagi jaringan Gereja MasehiInjili Minahasa) adalah kunci sukses pemeliharaan perdamaian dantoleransi di provinsi yang berjuluk “the land of smiling people” ini. 1Terlepas dari faktor demografi yang relatif homogen (lebih dari 70%penduduk Sulut adalah etnis Minahasa) dan kemajuan ekonomi174 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!