Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project Merayakan Kebebasan Beragama - Democracy Project

abad.demokrasi.com
from abad.demokrasi.com More from this publisher
12.07.2015 Views

Democracy ProjectUsmaniyah, karena hanya memberikan kebebasan sangat terbatasbagi non-Muslim. Kebijakan-kebijakan diskriminatif itu, kataSachedina, muncul “karena syariat memang tidak bisa menerimapersamaan antara kaum muslim dan non-Muslim.” 46 Berbeda dengansemangat pluralistik Alquran, lanjut Sachedina, para mufasir danfuqaha justru mendorong terciptanya institusionalisasi inferio ritasnon-Muslim oleh negara sebagai prasyarat bagi ketentramankehidupan publik masyarakat muslim, yang pada akhirnya meng -akibatkan perlakuan tidak adil terhadap kaum minoritas non-Muslim. Dalam perkembangan lebih lanjut, perlakukan tidak adil itubukan saja ditujukan kepada non-Muslim, tapi juga kepada elemenmasyarakat muslim yang tidak searah dengan pemikiran dan sikapkeagamaan dan politik mereka.KONTEKS SEBAGAI TAFSIRPertanyaan berikutnya adalah: Bagaimana menjelaskan perbedaanpendekatan Cak Nur dan Sachedina terhadap warisan generasiterdahulu? Tentu banyak penjelasan bisa ditawarkan dari yangbersifat teoritis, metodologis, hingga sosiologis. Muara daripenjelasan itu, bahwa konteks memiliki pengaruh historis lebihkrusial dalam mengarahkan pemahaman dan interpretasi seseorangdaripada umum dipersepsikan. Dalam konteks ini, tafsir bukansemata perbuatan penafsir melainkan hasil dari proses dialogis antarapenafsir dan obyek (teks). Inilah yang disebut Gadamer “effectivehistory,”yang mengedepankan efikasi historisitas dan situasikekinian dalam mempersepsikan masa lalu. 47 Dengan kata lain,sebelum kita memberikan makna terhadap teks, sebenarnya kita telahmemiliki preconceived knowledge yang dibentuk oleh horizonhistoris kita dalam kaitannya dengan persepsi yang dihadirkan olehinteraksi dengan masa kini dan masa lalu. Situasi hermeneutik inibisa menjelaskan kenapa Cak Nur dan Sachedina menyeleksi contohcontohtertentu untuk mendukung posisinya, dan tampak meng -abaikan yang lain. Jadi, sikap semacam itu tidak ada hubungannyadengan soal kejujuran intelektual dan seterusnya, melainkan karenaadanya pemahaman yang sudah terbentuk sebelumnya bagaimanaseharusnya menyikapi warisan tradisi masa lalu. Inilah yangdipahami Gadamer sebagai “prejudice” dan tidak harus berkonotasiburuk seperti dituduhkan para pemikir Pencerahan.160 |MERAYAKAN KEBEBASAN BERAGAMA

Democracy ProjectAspek teoritis ini akan lebih jelas bila kita melihat bagaimanaperbedaan metodologi mengarahkan pendekatan mereka terhadaptradisi masa lalu. Seperti disinggung di awal, ketiga sarjana muslimyang kita diskusikan di sini bukanlah ahli tafsir, tetapi merekamengombinasikan pemahaman terhadap Alquran dengan analisispolitik praktis dan teori sosial. Cak Nur, misalnya, sangat apresiatifterhadap khazanah dan sumber-sumber klasik karena ia men sintesis -kan antara tradisionalisme dan modernisme dalam upaya mem -bentuk apa yang disebut “neo-modernisme,” sebuah istilahdi cipta kan mentor intelektualnya di University of Chicago, Dr.Fazlur Rahman. Bagi Cak Nur, neo-modernisme adalah modern ismeyang berakar kuat dalam tradisi dan dimaksudkan untuk mengoreksimodernisme yang tak terkendali yang telah muncul sebelumnya. 48Sementara itu, Sachedina sangat engaged dengan teori-teori sosial diBarat yang menyadarkan akan sulitnya mem bangun pluralismedemokratik di atas warisan konservatisme masa lalu. Barangkaliinilah concern utama Sachedina. Dia menyerukan agar hambatanhambatanhistoris masa lalu tidak memenjarakan kita untuk mem -bangun visi baru pluralisme agama dan kultural sebagai prasyarattegaknya demokrasi.Perbedaan pendekatan itu juga bisa dilihat sebagai akibatperbedaan audience dari karya-karya mereka. Hidup dalammasyarakat mayoritas muslim, Cak Nur berhadapan dengan situasiberbeda dari Sachedina. Pertama, Cak Nur adalah figur palingkontroversial dalam sejarah intelektual Indonesia sejak akhir 1960-an ketika ia memperkenalkan gagasan sekularisasi Islam. Kedua, iamulai mempromosikan ide pluralisme agama sekembali dari studinyadi Barat, yang memudahkan para pengkritik menuduhnyawesternized. Karena itu, mudah dimengerti kenapa Cak Nur merasaperlu melegitimasi pemikirannya dengan melandaskan pada otoritasklasik yang sangat diakui dalam Islam. Rujukannya pada PiagamMadinah, Pakta Umar, dan bahkan pemikiran-pemikiran IbnTaymiyyah bisa kita baca dari sudut pandang ini. Dengan pijakanPiagam Madinah ia berharap agenda intelektualnya bisa dipandangsebagai upaya merestorasi komunitas Islam model Madinah yang iayakini toleran, demokratik dan pluralistik. Ibn Taymiyyah juga sangatpopuler di kalangan Islamis. Cak Nur bermaksud memper lihatkanbahwa sumber nilai-nilai pluralisme itu bahkan dapat digali dariBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 161

<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>Aspek teoritis ini akan lebih jelas bila kita melihat bagaimanaperbedaan metodologi mengarahkan pendekatan mereka terhadaptradisi masa lalu. Seperti disinggung di awal, ketiga sarjana muslimyang kita diskusikan di sini bukanlah ahli tafsir, tetapi merekamengombinasikan pemahaman terhadap Alquran dengan analisispolitik praktis dan teori sosial. Cak Nur, misalnya, sangat apresiatifterhadap khazanah dan sumber-sumber klasik karena ia men sintesis -kan antara tradisionalisme dan modernisme dalam upaya mem -bentuk apa yang disebut “neo-modernisme,” sebuah istilahdi cipta kan mentor intelektualnya di University of Chicago, Dr.Fazlur Rahman. Bagi Cak Nur, neo-modernisme adalah modern ismeyang berakar kuat dalam tradisi dan dimaksudkan untuk mengoreksimodernisme yang tak terkendali yang telah muncul sebelumnya. 48Sementara itu, Sachedina sangat engaged dengan teori-teori sosial diBarat yang menyadarkan akan sulitnya mem bangun pluralismedemokratik di atas warisan konservatisme masa lalu. Barangkaliinilah concern utama Sachedina. Dia menyerukan agar hambatanhambatanhistoris masa lalu tidak memenjarakan kita untuk mem -bangun visi baru pluralisme agama dan kultural sebagai prasyarattegaknya demokrasi.Perbedaan pendekatan itu juga bisa dilihat sebagai akibatperbedaan audience dari karya-karya mereka. Hidup dalammasyarakat mayoritas muslim, Cak Nur berhadapan dengan situasiberbeda dari Sachedina. Pertama, Cak Nur adalah figur palingkontroversial dalam sejarah intelektual Indonesia sejak akhir 1960-an ketika ia memperkenalkan gagasan sekularisasi Islam. Kedua, iamulai mempromosikan ide pluralisme agama sekembali dari studinyadi Barat, yang memudahkan para pengkritik menuduhnyawesternized. Karena itu, mudah dimengerti kenapa Cak Nur merasaperlu melegitimasi pemikirannya dengan melandaskan pada otoritasklasik yang sangat diakui dalam Islam. Rujukannya pada PiagamMadinah, Pakta Umar, dan bahkan pemikiran-pemikiran IbnTaymiyyah bisa kita baca dari sudut pandang ini. Dengan pijakanPiagam Madinah ia berharap agenda intelektualnya bisa dipandangsebagai upaya merestorasi komunitas Islam model Madinah yang iayakini toleran, demokratik dan pluralistik. Ibn Taymiyyah juga sangatpopuler di kalangan Islamis. Cak Nur bermaksud memper lihatkanbahwa sumber nilai-nilai pluralisme itu bahkan dapat digali dariBunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi| 161

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!