12.07.2015 Views

Public Review RUU P2H 22 April 2013.pdf - Elsam

Public Review RUU P2H 22 April 2013.pdf - Elsam

Public Review RUU P2H 22 April 2013.pdf - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

L. PROBLEM KAPASITAS PERANCANG DAN PEMBAHAS <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong>Paling tidak ada 4 (empat) persoalan lain yang dapat diindentifikasikan dalam prosesperancangan dan pembahasan <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong>.1. Permasalahan yang ingin disasar oleh <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong> tidak jelas. Pilihan solusi yangdiformulasikan melalui sejumlah ketentuan cenderung tidak saling melengkapi danmendukung, bahkan sebaliknya. Ini terkonfirmasi melalui temuan tentang tumpangtindih kewenangan (terkait pembentukan lembaga baru dan aspek penegakanhukum), definisi dan ruang lingkup kawasan hutan atau berbagai izin yangdiberlakukan hingga struktur sanksi yang tidak rasional. Umumnya, kehadiran(inisiatif) suatu undang-undang baru berdasar pada kebutuhan mengisi kekosonganhukum, problematika kapasitas aktor, konflik antar otoritas maupun regulasi, ataukerja monitoring dan evaluasi legislasi. Ini yang kemudian belum bisa diketahui secarapasti dalam kasus <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong>. Secara tidak langsung, upaya ini merupakan cara untukmempertanyakan keabsahan <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong> (dan Naskah Akademiknya) serta hasil kerjaharmonisasi dan sinkronisasi.2. <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong> masih mengalami persoalan pada sebagian struktur pengelompokkan danpenataurutan norma. Ini akan berdampak serius dan menimbulkan kompleksitaspada ruang dan pijakan para pihak dalam menafsirkan pasal-pasal yang ada. Salahsatunya bisa ditemukan pada Bagian Kedua Ketentuan Perbuatan Perusakan Hutan,dimulai dari Pasal 11 dst. Apakah termasuk dalam materi larangan atau “jenis tindakanatau perbuatan perusakan hutan”? Jika ingin konsisten sesuai denganpengelompokkan Bagian Kedua, maka seharusnya materi Pasal 11 dst menguraitentang kategorisasi tindakan aktif perusakan hutan, yang dapat diikat padabeberapa sub kategorisasi berdasarkan kualifikasi aktor dan alur tindakan. Apabilakemudian Bagian Kedua tertuju pada klasifikasi larangan, maka harus ditempatkanpada satu kelompok tersendiri, karena akan berlanjut dan dirangkai pengaturannyadengan (konsekuensi) berupa sanksi. Patut untuk diklarifikasi apakah ketentuan Pasal11 huruf d hingga huruf m merupakan (salah satu) contoh jenis perusakan hutansecara tidak langsung atau terkait sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (2)? Ini akanberdampak pada perlakuan berbeda seperti fasilitas dan sanksi.3. <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong> terlalu banyak memberikan diskresi tanpa disertai koridor yang ketat.Diskresi tidak dilarang, tapi perlu dilengkapi dengan koridor, yang berfungsimencegah potensi bias interpretasi dan pengaturan di level yang lebih teknis. Selainitu, diskresi yang terlalu luas akan menyediakan jarak yang lebih dekat atau peluangterjadinya abuse of power terutama bagi aktor pelaksana atau yang dimandatkan.Koridor diskresi bisa berupa pembatasan waktu, penambahan norma prosedural,atau keterkaitan dengan aktor lain. <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong> menempatkan beberapa diskresi,seperti Pasal 11 huruf f dan huruf g yang mensyaratkan “izin pejabat yangberwenang” untuk suatu tindakan atau perbuatan. Contoh lainnya ditemukan jugadalam Pasal 15 dan Pasal 26.29

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!