12.07.2015 Views

Public Review RUU P2H 22 April 2013.pdf - Elsam

Public Review RUU P2H 22 April 2013.pdf - Elsam

Public Review RUU P2H 22 April 2013.pdf - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Kontradiksi internal yang sama juga dapat diamati dalam memaknai kawasan hutan.Definisi kawasan hutan disebutkan dalam <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong> sebagai wilayah tertentu yangditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.Dengan demikian, maka ukuran bahwa suatu kawasan menjadi kawasan hutan adalahadanya penetapan oleh pemerintah sebagai tanda selesainya pengukuhan kawasanhutan sehingga diperoleh kawasan hutan yang memiliki kepastian hukum. Tetapi definisiitu disimpangi oleh Pasal 6 ayat (1) huruf d <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong> yang menyebutkan bahwa petapenunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis bataskawasan hutan. Hal itu menunjukan terjadi penyelewengan dan kontradiksi di dalam <strong>RUU</strong><strong>P2H</strong>.Selain itu, kalimat-kalimat seperti: “membawa alat-alat yang lazim digunakan untukmenebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izinpejabat yang berwenang”; “membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yanglazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasanhutan tanpa izin pejabat yang berwenang”; sebagaimana tercantum dalam pasal 11 huruff dan g, adalah tindakan lazim (biasa, umum. Tetapi dalam <strong>RUU</strong> ini, tindakan lazimtersebut justru diberlakukan sebaliknya (dipidana). Penjelasan yang membingungkanmengenai hal ini ditemukan dalam penjelasan pasal 11 huruf f yang berbunyi: “Yangdimaksud dengan “alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, ataumembelah pohon”, tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah alat seperti parang,mandau, golok atau alat sejenis lainnya yang dibawa oleh masyarakat setempat sesuaidengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.”Pembuat <strong>RUU</strong> tidak dapat mengidentifikasi dengan jelas mengenai alat-alat yang lazimdigunakan oleh masyarakat untuk memotong, menebang, atau membelah pohon danapakah hal itu tergolong perbuatan pidana.Selain itu, ketidaksinkronan dengan peraturan lain, berkaitan definisi izin pemanfaatanhasil hutan kayu, terjadi di pasal 1 butir 11 yang berbunyi: Izin Pemanfaatan Hasil HutanKayu adalah izin usaha yang diberikan oleh Menteri untuk memanfaatkan hasil hutanberupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, atau penebangan,pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran.Kenyataannya, tidak semua pemanfaatan hasil hutan kayu diperoleh melalui izin Menteri.Dalam wilayah tertentu di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), pemanfaatan kayudilakukan oleh KPH sendiri, demikian pula penebangan hasil hutan kayu yang dilakukansendiri oleh Perhutani di kawasan hutan Jawa.G. KETIDAKJELASAN DEFINISI MENGENAI BEBERAPA ISTILAH DALAM <strong>RUU</strong> INI DANPENGATURAN PASAL-PASALNYADalam <strong>RUU</strong> ini, terdapat beberapa istilah yang tidak jelas, multi tafsir, atau masihmemerlukan penjelasan, misalnya mengenai definisi “terorganisasi”, “perladangantradisional”, dan penjelasan pengertian mengenai masyarakat hukum adat yangkeberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah.25

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!