12.07.2015 Views

Public Review RUU P2H 22 April 2013.pdf - Elsam

Public Review RUU P2H 22 April 2013.pdf - Elsam

Public Review RUU P2H 22 April 2013.pdf - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

pembalakan liar. Dimulai dari pasal-pasal yang mengatur perbuatan yang termasuk kedalam pembalakan liar (penebangan, pengangkutan, pemanfaatan, dst) hingga kepadaperbuatan lain, yang berkenaan dengan pembalakan liar (pemalsuan surat izinpemanfaatan dan pemalsuan surat keterangan sahnya hasil hutan dan lain-lain). Barukemudian bab berikutnya tentang perbuatan yang termasuk penambangan liar dengansistematika yang sama, dan seterusnya.<strong>RUU</strong> ini tidak disusun dengan sistematika demikian, sehingga pengaturan tindak pidanadi antara ketiga jenis tadi tidak memperlihatkan urutan yang baik. <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong> juga tidakjelas jenis dan sistematikanya. Sekilas <strong>RUU</strong> ini hendak menjadi undang-undang tentangtindak pidana, tetapi sistematikanya tidak dimulai dengan penguraian tindak pidana padabagian awalnya dan kemudian dilakukan pengelompokan-pengelompokan pengaturanberdasarkan tindak pidana yang hendak diatur. Sistematika dari jenis undang-undangtentang tindak pidana dapat dilihat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi danUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. <strong>RUU</strong> ini hendak menjadi undangundangadministrasi yang salah satu isinya mengatur tentang tindak pidana. Tetapi biladilihat isinya sebenarnya <strong>RUU</strong> ini bukan diniatkan mengatur bagaimana menanggulangiperusakan hutan, melainkan untuk memenjarakan pihak yang melakukan penebanganpohon dan penggunaan kawasan hutan tanpa izin menteri.E. <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong> MENGACAUKAN SISTEM HUKUM PIDANA<strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong> tidak memahami dengan baik peraturan-peraturan tentang pemidanaan yangberlaku. Sehingga isinya selain bertentangan dengan peraturan yang ada, juga tidak jelasmaksud dari sejumlah pengaturan yang dibuat berbeda dari peraturan pemidanaan yangberlaku umum. Misalkan di dalam Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan bahwapenyidik melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga keras melakukan tindakpidana perusakan hutan berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk paling lama 2 x24 (dua kali dua puluh empat) jam. Jangka waktu ini dapat pula diperpanjang 3 x 24 jammenurut ayat (2) nya. Pertanyaannya apa justifikasi untuk masa penangkapan danperpanjangan penangkapan yang berbeda dengan ketentuan KUHAP ini? Jangan sampaikita membuat aturan „asal beda“ tanpa suatu pembenaran yang masuk akal, apalagiterhadap kewenangan yang jelas-jelas akan merampas atau mengurangi hak asasi orang.Kemudian Pasal 29 di dalam <strong>RUU</strong> <strong>P2H</strong> menentukan bahwa: “Selain Penyidik Pejabat PolisiNegara Republik Indonesia, PPNS diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimanadimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”. Namun tidak disebutkandengan jelas siapa yang dimaksud dengan PPNS di dalam ketentuan tersebut, karenapada banyak instansi pemerintah selain instansi kehutanan juga memiliki PenyidikPegawai Negeri Sipil (PPNS). Kekeliruan ditambah lagi dengan mengatur bahwawewenang khusus PPNS sebagai penyidik dengan merujuk kepada KUHAP. Padahalketentuan KUHAP tentang Penyidik Polri dan Penyidik PNS mengatur bahwa PenyidikPNS memiliki kewenangan menyidik menurut undang-undang tertentu.Berkaitan dengan kewenangan PPNS juga perlu mendapatkan sorotan tajam. Pasal 30butir f mengatur bahwa salah satu Kewenangan PPNS adalah “untuk melakukan23

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!