12.07.2015 Views

Membela Kebebasan Beragama 3 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 3 - Democracy Project

Membela Kebebasan Beragama 3 - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–MEMBELAKEBEBASAN BERAGAMAPercakapan tentang Sekularisme,LIberalisme, dan Pluralisme(Buku 3)Penyunting:Budhy Munawar-RachmanPenyunting Pelaksana:Tantowi AnwariPengantar:Ihsan Ali-FauziSamsu Rizal PanggabeanTrisno S. SutantoEdisi DigitalJ a k a r t a 2 0 1 1


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Daftar IsiKomaruddin Hidayat......................................................... 1146Lies Macoes-Natsir............................................................. 1196Lily Zakiyah Munir............................................................ 1230Lutfhi Assyaukanie............................................................. 1282M. Amien Rais................................................................... 1311M. Amin Abdullah............................................................. 1327M. Quraish Shihab............................................................ 1359M. Syafi’i Anwar................................................................ 1382Maman Imanul Haq Faqieh............................................... 1420Maria Ulfah Anshor........................................................... 1459Martin Lukito Sinaga......................................................... 1491


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Masdar Farid Mas’udi........................................................ 1526Melani Budianta................................................................ 1541Meuthia Ganie-Rochman.................................................. 1565Moch. Qasim Mathar........................................................ 1586Mohammad Imam Aziz..................................................... 1626Muhammad Tholhah Hasan.............................................. 1650Nasaruddin Umar.............................................................. 1685Neng Dara Affiah............................................................... 1708890


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong><strong>Beragama</strong>Percakapan tentang Sekularisme,Liberalisme, dan Pluralisme(Buku 3)891


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganKomaruddin HidayatKomaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta.Ia mantan Direktur Yayasan Wakaf Paramadina dan memperoleh gelar masterdan doktor dalam bidang filsafat Barat dari Middle East Technical University,Ankara, Turki.1146


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Acap kali banyak kalangan, terutama umat Islam, terlanjur menaruhcuriga terhadap sekularisme, liberalisme dan pluralisme tanpa memahamilebih dahulu persoalan sebenarnya. Mungkin ini pula yangmembuat MUI pada Juli 2005 lalu mengharamkan ketiga pahamtersebut. Sekularisme, misalnya, hanya karena datang dari Barat,lantas disalahpahami oleh umat Islam sebagai paham yang menjadikanagama terkikis perannya dalam kehidupan masyarakat, bahkandianggap sebagai paham yang bertanggung jawab atas gaya hidupmasyarakat Eropa yang anti-agama. Bagaimana pandangan Andaterhadap perdebatan semacam itu?Ketiga kata di atas memang bersifat sangat konseptual, sehinggaperlu pemahaman bersama sebelum terlibat dalam sebuahperdebatan. Jadi lebih baik apabila dalam perbincangan tentangketiga paham itu dieksplorasi terlebih dahulu apa yang dimaksudkandengan ketiga kata tersebut. Istilah dan konsep sekularisme,liberalisme dan pluralisme semuanya datang dari bahasa dan masyarakatBarat. Ketiganya tumbuh dari lingkungan sosial, politikdan teologis masyarakat Barat yang Krsitiani dan sekularistik. Sehingga,ketika ketiga kata itu masuk ke dunia Islam, sangat wajarkalau kemudian menimbulkan pro-kontra, karena dunia Islamberpikir dengan logika, bahasa dan tradisi keilmuan yang berbedadari Barat. Pada tataran simbolik, yaitu makna dan konsep, caraberpikir kita sangat diwarnai oleh bahasa Indonesia dan tradisi Islam,sedangkan bahasa, makna dan nilai yang dikandungnya senantiasaberkaitan.Hal ini sesungguhnya juga berlaku pada kata dan konsep demokrasi.Dari segi bahasa, demokrasi – demos dan kritos – mempunyaiarti bahwa kekuasaan atau kedaulatan di tangan rakyat. Apabi-1148– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatla ditarik pada tataran teologis, bisa saja konsep ini berseberangandengan Islam mengingat dalam Islam kebenaran bukan datang darirakyat, tetapi datang dari Tuhan, yang dibawa oleh Nabi. AdalahNabi yang memiliki otoritas untuk menafsirkan kehendak Tuhan,bukannya rakyat. Jadi, dari segi teologis dan ontologis Islam tidakbisa tidak berseberangan dengan prinsip demokrasi.Namun demokrasi sebagaisebuah nilai luhur dan citacitasosial yang menekankanApabila sekularisme dipahami dalamkonteks sosiologis – suatu pahamkeadilan, musyawarah, keterbukaanterhadap kritik serta bernegara dan ranah politikyang mendorong bahwa kehidupankesamaan hak di depan hukum,jelas Islam sangat seja-dengan teori-teori politik modern,hendaknya didekati secara rasionallan bahkan mendukung. Jika di mana agama berada padanilai-nilai dan mekanisme demokrasiberjalan semestinya, politis sudah melewati mekanismetataran moral; dalam proses teknismaka akan muncul seleksi demokrasi; kedaulatan di tanganpemimpin yang terbaik, mengikiskultus individu, serta dunia didekati dengan ilmu danrakyat; lantas masalah-masalahpenguatan supremasi hukum teknologi – maka sesungguhnyasekularisme bisa diterima.serta etika sosial.Jadi, demokrasi harus dilihatdari spirit dan nilai-nilai yang hendak diperjuangkan; sementaraIslam sendiri sangat menghargai hak asasi manusia (HAM), musyawarahdan menghargai kritik. Sehingga tidak relevan memperhadapkanIslam dengan demokrasi. Dari sini kita bisa memahami apa alasanorang yang menerima dan apa alasan yang menolak demokrasi.Hal serupa mestinya juga diperlakukan dengan fair manakalakita menempatkan sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. BagiKomaruddin Hidayat – 1149


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–orang yang memang berangkat dari pandangan teologis dan metafisis,tentu saja, mereka ada benarnya kalau berkesimpulan bahwasekularisme merupakan sebuah paham yang hanya menekankankeduniaan dan tidak memberi ruang terhadap pertimbangan ataudoktrin agama. Karena itu, Islam ber-seberangan dengan sekularisme.Kalau perdebatannya semata ditarik pada pengertian teologisdan metafisis, maka pemahaman umat Islam terhadap paham itubetul juga. Tetapi, apabila sekularisme dipahami dalam kontekssosiologis – suatu paham yang mendorong bahwa kehidupan bernegaradan ranah politik hendaknya didekati secara rasional denganteori-teori politik modern, di mana agama berada pada tataranmoral; dalam proses teknis politis sudah melewati mekanismedemokrasi; kedaulatan di tangan rakyat; lantas masalah-masalahdunia didekati dengan ilmu dan teknolo-gi – maka sesungguhnyasekularisme bisa diterima. Tetapi kata sekularisme itu sendiri, karenadinilai menimbulkan kontroversi, hemat saya tidak produktifmendiskusikan perihal sekularisme. Untuk itu, betapa akan jauhlebih santun apabila dicarikan saja istilah-istilah lain yang sepadantanpa harus menghilangkan substansinya.Namun demikian, akan relevan jika istilah sekularisme dinisbatkanterhadap masyarakat Barat yang dalam sejarahnya antaragereja dan negara sejak awal terjadi pemisahan, kendatipun secarahistoris ternyata juga tidak konsisten, misalnya banyak perguruanTinggi di Barat muncul sebagai perpanjangan tangan dari gereja,bahkan negara pun punya nilai dan semangat Kristiani. AmerikaSerikat merupakan negara yang mempunyai semangat Kristianidalam pengertian etika. Tetapi dalam pengertian sistem politiknyadipisahkan antara kekuasaan gereja dan negara. Lagi-lagi, pemisahanitu sesungguhnya hanya retorika saja. Jadi, pelbagai aspek yang1150– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatmelingkupi diskursus tentang sekularisme perlu dipahami bagiorang-orang yang pro dan kontra.Tetapi, bagi umat Islam, termasuk di negeri ini, justru NabiMuhammad sekaligus mewariskan agama dan kekuasaan secara integral,yang beberapa kalangan menyebutnya dengan “masyarakatMadinah”. Hal tersebut kemudian diteruskan oleh para penerusnya,sultan-sultan. Jadi, Islam dan negara menyatu. Inilah sebenarnyacollective memory yang menyebabkan antara masyarakat Barat danIslam berbeda dalam menyikapisekularisme. Pasalnya, ketikaistilah tersebut digunakan sulit untuk menemukan padanannyaJika merujuk kepada kata liberal,memang mempunyai referensi dalam rumusan ilmu pengetahuanyang berbeda. Jadi, kita harus Islam. Oleh karena itu, istilah liberalfair memperlakukan sebuah hendaknya jangan dipaksakan untukkata.disamakan dengan konsep-konsepyang sudah ada dalam Islam. Jadi,bagi para kalangan intelektual yangMenurut Anda hubungan antaraagama dan negara yang datang dari Barat dapat bermanfaatmenganggap berbagai istilah yangideal seperti apa, apakah yang untuk kemajuan pemikiran Islam,integrated tadi? Sebelumnya sepatutnya dijelaskan terlebihAnda memaparkan juga bahwadi dalamnya terdapat sisi mengkritiknya harus menjelaskandahulu. Begitu pula kalangan yangatau aspek lain yang tercakup secara argumentatif mengapadalam Islam: antara Islam yangmenolaknya.meyakini bahwa kedaulatan ditangan Tuhan dan kesesuaian Islam dengan demokrasi yang menjunjungHAM, yang pada prinsipnya memandang kedaulatan berada ditangan rakyat, bagaimana mengharmonikan keduanya?Komaruddin Hidayat – 1151


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pada tataran yang ideal, secara konseptual Islam mempunyaitujuan yang umum dan melewati batas-batas wilayah nasionalisme,menjunjung tinggi keadilan, kemakmuran, ketakwaan, peradabandan sejenisnya. Tetapi pada tataran yang empiris dan praktis, hematsaya, Islam harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Pada hari ini,misalnya, Islam di Inggris, Amerika, Timur Tengah, Turki, ataubahkan Indonesia tentunya berbeda-beda. Sebab, ketika Islam masukke dalam wilayah kekuasaan politik maka agama akan terikatdengan banyak variabel. Namun demikian, apabila berbicara dalamtataran ideal tujuan umum dari agama yang paling ideal dan mulia,tentu saja hal itu hampir menjadi watak bagi setiap agama. Tetapijika masuk ke dalam wilayah empiris-praktis, niscaya kita tidak bisamembuat keseragaman atas dunia dan kehidupan ini dengan wajahtunggal. Memimpikan boleh saja, tetapi realitas yang ada, padahemat saya, adalah plural. Sehingga, terjadi keragaman artikulasi.Idenya sama-sama untuk memajukan rakyat, tetapi artikulasinyaberbeda-beda, karena kemajuan bidang ekonomi, pendidikan danteknologinya juga berbeda-beda. Sehingga, untuk dapat memakmurkandan menciptakan keadilan, setiap negara dan agama mempunyaiartikulasi yang berbeda-beda.Jikalau artikulasi setiap negara dalam menerjemahkan nilai-nilai yangideal mengandaikan suatu perbedaan yang tidak bisa diseragamkan,lantas dalam konteks keindonesiaan, model seperti apakah yang cocokbuat membangun negeri ini?Pada dasarnya Islam selalu bereksperimentasi dalam sejarah.Oleh karenanya, Islam juga teraktualisasikan dalam sejarah. AgamaIslam senantiasa tumbuh. Maka, sudah sepatutnya apa yang lama1152– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatdan bagus mari dipelihara; apa yang salah juga jangan takut untukdikoreksi. Sementara yang belum ada mari diciptakan yang baru.Demikianlah semestinya kehidupan berperadaban berjalan. Maka,apabila sekarang ini kita kaji apa yang lama dan bagus, yang patutlestari: komitmen Islam untuk menegakkan nilai-nilai keadilan, kedamaian,kemajuan, kemakmuran dan ketakwaan. Menurut saya semuaitu abadi. Tetapi ketikanilai-nilai tersebut hendakApabila liberalisme diartikandilaksanakan dalam kontekssebagai pemujaan kepada nalarbernegara, maka hemat sayasemata, sehingga manusia sebagaikita harus mempertimbangkansituasi dan kondisi yang sebagai referensi akhir, tentu sajaukuran kebenaran, pemikiranmelingkupi bangsa ini.itu ditentang oleh Islam dan agamaDulu, sebelum kemerdekan,yang menonjol adalah kebenaran, agama lainnya, termasukmanapun. Kalau akal sebagai ukuransemangat perjuangan melawanpenindasan. Oleh sebab Eropa dan Amerika, pun menentang,agama Kristen yang berkembang diitu ketika sudah bernegara,maka yang harus didesak menentang. Sebab ketika menelaahbukan hanya Islam. Semua agamaadalah bagaimana kita umat wilayah agama, secara otomatisIslam membuat aturan-aturanhukum yang dapat me-berarti di dalamnya terdapat sumberyang absolut, yang kebenarannyamelampaui pemikiran manusia.negakkan keadilan sesuai dengankonteks keindonesiaan.Begitu pula ihwal mendorong kemakmuran bagi segenap warga negara,maka umat Islam harus memilih alat yang paling mungkin.Untuk konteks sekarang tentu saja instrumen yang paling efektifguna membela dan menciptakan kemakmuran masyarakat adalahnegara. Negara hakikatnya anak kandung masyarakat. Sehingga,Komaruddin Hidayat – 1153


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–karena tujuan Islam di antaranya adalah menyejahterakan masyarakat,maka kalau negara dianggap sebagai instrumen yang palingbagus, tentunya umat Islam Indonesia medorong untuk memperkuatnegara. Apabila dalam proses pemerintahan terjadi penyelewengandan hal-hal yang jauh dari ideal, maka cara yang palingmungkin adalah mengoreksinya. Kalau memang ada instrumenlain yang bagus, bisa saja membuat negara baru. Tetapi pertanyaannyaadalah: kalau ingin membuat negara baru apakah realistis?Tanahnya di mana dan mekanisme pemerintahannya seperti apa?Ya, mungkin-mungkin saja membuat negara baru. Karena instrumenapapun pasti ada cacatnya. Negara manapun pasti ada kekurangannya.Problem utamanya apakah mau kita koreksi dan benahiatau kita counter dengan membuat negara baru.Katakanlah umat Islam mempunyai referensi yang sama tentang konseppemerintahan: Madinah. Yang kemudian menjadi problem, manakaladalam konteks kontemporer tafsir terhadapnya bermacam-macam,meskipun referensi idealnya tetap Madinah. Sehingga ada yang wujudnyaseperti Arab Saudi, Iran, Afghanistan, Pakistan, Mesir, Malaysiadan sebagainya – yang bermacam-macam dalam upayanya menginterpretasikanhubungan antara agama dan negara. Dalam pandanganAnda, sebenarnya di tengah pluralitas hubungan negara dan agamadalam konteks Muslim kontemporer, terjemahan yang paling relevanterhadap konsep Madinah seperti apa?Bagi saya konsep mana yang paling commited dengan nilai-nilaikeislaman yang universal; mana yang lebih commited pada nilainilaikemajuan, kesejahteraan, keadilan dan perdamaian, maka ituyang harus dipertahankan. Ibarat kendaraan, boleh saja berbeda,1154– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatapa itu bus, sedan, ataupun sepeda, sesuai dengan kemampuannyamasing-masing, tetapi sepanjang sarana itu bisa mengantarkanke arah tujuan utamanya, maka silahkan saja berbeda-beda,dengan catatan tetap memegang dan menjalankan komitmennya.Sekolah boleh saja berbedabeda,tetapi tujuannya adalahmendidik anak agar ber-anut paling benar. Tetapi saya tidakSaya meyakini Islam yang sayakarakter. Tidaklah bermasalah berani untuk menutup kasih Allahdengan perbedaan sekolahnya: yang maha absolut, siapa tahusekolah anak berbakat, sekolahanak autis, ada perguruan kasih dan ampunan Tuhan karenaorang lain akan menerima alirantinggi agama dan yang bukan, Tuhan bagaikan Maha Mata Airdan seterusnya. Namun, pada kasih yang tak terbatas. Karena Allahprinsipnya ada satu nilai yang serba maha segalanya, sebaliknyaharus dipegang. Di situlah ruh pikiran, pengetahuan danpengalaman saya sangat terbatas,dalam menerjemahkan konsepmaka jalan terbaik adalah “berislam”Madinah.atau berserah diri secara total(kâffah) pada Allah. Sebagai manusiaDalam dunia keilmuan, sekularismemasuk untuk melepaskan yang paling menenangkan diri sayayang nisbi, relatif, terbatas, makailmu pengetahuan dari pelbagai adalah berislam secara total padanilai tradisional dan semangat Allah, tidak berpretensi mengajariagama yang dapat mencemarkanobjektivitas dan keilmiah-dan menyaingi Allah yang absolut.annya. Untuk itu, kalangan intelektual Muslim bereaksi menampiknyadengan kian gencar mendemonstrasikan islamisasi ilmu guna menyodorkanalternatif terhadap maraknya ilmu pengetahuan yang terlampausekular. Apa pandangan Anda ihwal perdebatan semacam ini?Komaruddin Hidayat – 1155


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya tidak tertarik dengan diskusi seperti itu, sebab saya kurangtertarik pada topik islamisasi atau sekularisasi ilmu pengetahuan.Bagi saya, pertama perguruan tinggi merupakan suatu tempat untukmentransfer ilmu. Jadi kalau orang ke kampus layaknya orangmau menimba dengan datang ke sumur. Datang ke kiai atau dosenadalah transfer ilmu. Makanya seorang dosen harus berilmu. Kalauseorang dosen berhenti belajar maka dia harus berhenti mengajar.Karena ilmu berkembang terus. Kedua, perguruan tinggi tidak laintempat produsen ilmu-ilmu baru. Maka, di perguruan tinggi risetharus berkembang.Dahulu Islam menonjol sekali, terutama, bagaimana marak terjaditransfer ilmu pengetahuan. Model sanad merupakan salah satucontoh. Pada masa kejayaannya, agama ini ditandai, terutama, dimana ada Islam maka ada madrasah dan perguruan tinggi. Islamsangat mendorong penghargaan terhadap ilmu. Karena itu, terkaitdengan fungsi perguruan tinggi sebagai produsen ilmu, maka risetyang sepatutnya ditonjolkan, yaitu dalam ilmu-ilmu sosial dan alam.Sedangkan ilmu-ilmu agama Islam, pada tataran normatifnya, sudahselesai. Apa yang mesti diper-soalkan lagi? Yang menjadi persoalanutama sekarang ini adalah bagaimana nilai-nilai abadi yang terdapatdalam Islam dapat mendorong munculnya ilmu-ilmu baru terutamailmu-ilmu dalam bidang sosial dan ilmu alam. Misalnya al-Quranmenyuruh riset lautan. Al-Quran juga membincang ihwal bintangatau astronomi; menuntut pembebasan orang miskin, yang artinyamendorong ilmu ekonomi. Jadi, bagi saya al-Quran mendorongagar umat Islam menjadi produsen ilmu pengetahuan.Ketiga, perguruan tinggi berfungsi sebagai character building,yakni bagaimana berperan dalam menciptakan kultur yang berkarakter,dengan alumni-alumninya yang berkarakter dan ber-akhlâq1156– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatkarîmah. Keempat, yang namanya ilmu dengan masyarakat keilmuannya(scientific community), di samping mengedepankan riset, tempattransfer ilmu, character building, mereka juga harus mempunyaisocial responsibility. Seorangilmuawan harus mengemban Negara-negara yang selama initanggung jawab sosial, amar dikenal liberal kadang-kadangma‘rûf nahy munkar.mereka lebih sosialis. Negara-negaraKelima, to preserve, memelihara,mengawetkan dan menyantuni orang-orang yangtersebut lebih tanggap dalammengeksplorasi seni dan budaya.Orang Islam apresiasinya berangkat dari individualismemenjadi korban. Sehingga, kendatipada seni dan budaya relatif yang lebih mementingkan konteksrendah. Oleh karena itu bagi individu, tetapi dalam konteks sosialsaya istilah sekularisasi dan islamisasiilmu kurang mena-mereka lebih sosialis.rik untuk diperbincangkan. Akan lebih produktif apabila bersama-samakita membicarakan apa sejatinya nilai Islam, bagaimanamengimplementasikannya, bagaimana pula mendorong riset yangserius dan berkualitas, bagaimana mencerdaskan masyarakat yangbodoh, membentuk karakter umat dan bagaimana pula lembagaIslam memberikan kontribusi sosial dan ekonomi dalam kerangkastate building.Jika menimbang konversi UIN yang sudah beberapa tahun berjalan,apakah perkembangannya sudah seperti yang diidealkan, yakni sesuaidengan komitmen perguruan tinggi yang mencakup lima aspeksebagaimana dijelaskan Anda? Bagaimana juga Anda melihat aktivitasproses pendidikan di UIN yang beberapa kurikulum dan peng-Komaruddin Hidayat – 1157


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ajarannya masih kental dengan studi-studi yang normatif dan jauhdari akademis?Seyogianya dibedakan antara Islam sebagai objek studi danIslam sebagai values. Pertama, Islam sebagai objek studi pada dasarnyasemakin berkembang. Di Barat pun perguruan tinggi yangprestisius sekarang banyak yang membuka program Islamic Studies,yang meletakkan Islam sebagai kajian ilmiah, sebut saja HarvardUniversity, Chicago University, dan perguruan-perguruan tinggibesar lainnya di Barat. Dan tidak diragukan lagi, hal itu mempunyaiakar sejarah yang kuat. Bagaimanapun juga, salah satu ciriperadaban Islam adalah melahirkan warisan ilmiah. Buku fikihitu kitabnya banyak sekali. Begitu pula dengan cabang keilmuanlainnya seperti teologi, filsafat dan sebagainya.Karena itu orang-orang Barat yang non-Muslim tertarik untukmempelajarinya, sehingga banyak di antara mereka yang ahlitentang Islam. Bahkan mereka berkontribusi besar dalam melestarikanwarisan Islam. Mereka juga dengan gigihnya ikut membela,manakala Islam disalahpahami secara ilmiah. Jadi, sebetulnya jasaorang Barat terhadap Islam tidak dapat diremehkan begitu saja.Kalau ada problem, biasanya yang muncul lebih sebagai sikap politikdan ideologis, yang memanfaatkan informasi keislaman untuktujuan yang lain. Namun kalau untuk tujuan keilmuan semata,mereka mempunyai etika keilmuan.Kedua, Islam sebagai values atau karakter. Perguruan tinggiapapun baik Islam atau umum mestinya menjadi suatu values yangdapat diserap baik oleh mahasiswa ataupun dosennya. LantaranIndonesia mayoritas penduduknya Muslim, jadi tidak usah harusdi UIN, akan tetapi di perguruan tinggi umum pun mestinya Islamsebagai karakter harus berkembang. Terlebih lagi, Islam juga1158– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatsejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan sesuai dengan budi pekertiyang mengakar di nusantara.UIN menampilkan keislamannya dengan dua macam sekaligus:Islam sebagai karakter dan Islam sebagai objek studi. Sebagaivalues atau karakter Islam harus dijiwai oleh mahasiswa dandosen jurusan apapun. Islam sebagai objek studi memang masihterus dikembangkan dan diupayakan secara maksimal. Namun demikian,yang jadi ulama tidak banyak. Jadi kalau IAIN menjadiUIN, bukan berarti Islamsemakin terpinggirkan. Sebab,Islam dalam pengertianKalau pluralisme artinyamengidentikkan semua agama, makaobjek studi masih ada. Begitupundi tempat lainnya, memaklumi. Tetapi kalau terdapatpengharaman tersebut dapat sayaIslam menjadi objek studi definisi yang lain atas pandanganmasih banyak. Tetapi kalau pluralisme, seperti alasan sosiologiskita ingin mencetak alumnialumniyang memiliki spirit beragam, dan perlunya sikap salingbahwa realitas keberagamaan itukeislaman, dibutuhkan suatu menghargai, sampai di situ saya jelasperluasan dan kemajuan. setuju dengan pluralisme. Oleh karenaLantas, bagaimana upayamengintegrasikan spirit posisi dan argumen yang berbeda-itu masing-masing benar dengankeislaman, keilmuan dan beda. Kebenaran tidak selalu tunggal.keindonesiaan yang sudahsemestinya mendapat perhatian serius dari pelbagai kalangan?Upaya semacam itu hendaknya didemonstrasikan lagi oleh perguruan-perguruantinggi seperti UIN, dalam arti lebih menggalicita-citanya. Namun demikian, karena upaya tersebut masih dalamproses, maka hasilnya pun harus terus mengalami koreksi ataupembenahan. Artinya, belum bisa kita menghakiminya, sebaliknyaKomaruddin Hidayat – 1159


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–justru yang diperlukan di sini adalah keterlibatan semua pihak untukbersama-sama mendorong proses integrasi tersebut. Orang tuapun mengirimkan anaknya ke UIN karena dua alasan. Ada yangingin anaknya menjadi ahli agama; yang lainnya juga memimpikananaknya agar menjadi ilmuwan handal, namun dia tetap agamisdan yang penting lagi mempunyai karakter. Jadi pendidikandi Indonesia memerlukan dua-duanya.Memang, kecenderungan belakangan ini, menurut hemat saya,yang dituju dan diharapkan dalam dunia pendidikan adalah kesanggupanperguruan tinggi dalam mencetak para ahli ekonomi,teknologi, hukum dan seterusnya, yang memiliki komitmen keagamaan,dengan tidak harus menjadi ahli agama semuanya. Kendatipunmayoritas orang tua mengirimkan anaknya ke UIN, misalnya,dengan harapan besar kelak anaknya menjadi ahli agama.Namun, tak dapat dipungkiri apabila belakangan ini mereka mulaiada yang ingin mendorong anaknya masuk ke UIN agar menjadiahli dalam bidang tertentu tetapi mempunyai etika agama. Maka,lagi-lagi dikembalikan pada kecenderungan masing-masing orangtua dan bakat dari mahasiswanya sendiri.Apakah dengan demikian Anda sepakat dengan kalangan yang mengatakanbahwa ilmu itu tidak bebas nilai, karena di situ terdapatislamic values yang embedded di dalamnya?Bagaimanapun ilmu tidak ada yang bebas nilai. Baik di duniaIslam maupun non-Isam tidak ada yang bebas nilai. Paling tidak,orang menawarkan atau menjual ilmu dengan tujuan dan kepentingantertentu. Minimal orang menjajakan ilmunya supaya mendapatimbalan atau gaji. Begitupun menciptakan teknologi, misalnya,1160– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatuntuk mempertahankan negara; membuat senjata untuk menaklukkan,dan seterunya. Jadi, pertanyaan bebas nilai dalam ilmupengetahuan, bagi saya, sudah tautologis: pasti tidak ada.Apabila mencermati ekspresi-ekspresi yang muncul di kalangan umatIslam, maka penolakan terhadap gagasan liberalisme lantaran dianggapsebagai paham yang mengedepankan kebebasan tanpa batas danmengabaikan moralitas. Bagaimanapendapat Anda tentangrespon umat Islam terha-Demokrasi sebagai sebuah nilai luhurdan cita-cita sosial yang menekankandap liberalisme?keadilan, musyawarah, keterbukaanPertama, lagi-lagi, saya terhadap kritik serta kesamaan hakingin mengatakan bahwa istilahliberalisme datang daridi depan hukum, jelas Islam sangatsejalan bahkan mendukung. Jikanilai-nilai dan mekanisme demokrasikamus Barat, yang oleh paraberjalan semestinya, maka akanpemikir kemudian ditarik kemuncul seleksi pemimpin yangwilayah Islam. Pertanyaanya:terbaik, mengikis kultus individu,apakah liberalisme yang datangdari Barat tersebut teris-serta penguatan supremasi hukumserta etika sosial.lamkan, atau dia tetap tidakmengenal adaptasi dengan Islam,atau liberalisme itu sebenarnya tumbuh dari pemikiran Islamitu sendiri. Jika dilihat dari segi bahasa, tentu istilah itu tidak dariIslam, melainkan dari Barat. Karena itu, yang kemudian harus dikajisecara serius adalah istilah liberal dalam tataran konseptual.Apabila liberalisme diartikan sebagai pemujaan kepada nalar semata,sehingga manusia sebagai ukuran kebenaran, pemikiran sebagaireferensi akhir, tentu saja itu ditentang oleh Islam dan agamaKomaruddin Hidayat – 1161


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–manapun. Kalau akal sebagai ukuran kebenaran, agama lainnya –termasuk agama Kristen yang berkembang di Eropa dan Amerika– pun menentang, bukan hanya Islam. Semua agama menentang.Sebab ketika menelaah wilayah agama, secara otomatis berarti didalamnya terdapat sumber yang absolut, yang kebenarannya melampauipemikiran manusia. Sementara liberalisme menempatkankebenaran semata sebagai produk nalar. Sehingga, tidak hanya agamaIslam yang menentang.Memang, di Barat, terutama di Eropa, pernah muncul di suatumasa di mana agama dipinggirkan dan akal pikiran di puja-puja.Tetapi kalau ditarik pada tataran sosiologis dan psikologis, sebenarnyatujuan dari itu semua dimaksudkan guna membela hakhakdan kebebasan individu untuk berkarya dan berprestasi, dengandalil bahwa setiap orang memiliki bakat dan minat yang akantumbuh potensinya ketika ada iklim yang bebas. Tanpa iklim yangbebas manusia sulit untuk mengaktualkannya. Maka, diperlukanajang kompetisi. Dengan adanya kompetisi maka orang dipacuuntuk maju. Sebagai perumpamaan, mengapa olah raga demikianberkembang, karena di dalamnya ada kompetisi. Sebaliknya, kalautidak ada kompetisi maka bakat-bakat tidak muncul. Sementara,di abad pertengahan semua itu dikekang oleh gereja. Padahal,masyarakat Barat mempunyai kerangka pemikiran bahwa setiapindividu lahir dengan hak, bakat, dan potensinya, maka merekaharus berkompetisi bebas tanpa ada institusi yang memasungnya.<strong>Kebebasan</strong> tersebut berlaku baik dalam pemikiran maupun dalambidang ekonomi.Namun demikian, liberalisme di Barat, yang saya pahami, sebenarnyatetap berada di bawah kendali aturan hukum negara. Olehkarena itu dalam dunia ekonomi mereka mempunyai prinsip yang1162– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatmempersilakan setiap orang berpacu mengambil untung sebesarbesarnya,tetapi kalau melakukan kecurangan, menipu, dan korup,maka hukum akan intervensi. Jadi, walaupun liberal tidak seenaknyamembunuh orang. Sehingga liberalisme dalam tataran ekonomi danpolitik Barat berkembang bersama dengan wibawa hukum. Sebab,kalau tidak ada hukum namanya anarki. Jika demikian, lantas negaraharus berperan dalam menerapkan hak dan kewajiban.Bagi siapa saja sebagai warga negara yang menang dalam kompetisi,maka dia harus membayarpajak. Pajak dipungutDemokrasi harus dilihat dariuntuk menyantuni orang spirit dan nilai-nilai yang hendakyang kalah dalam bersaing. diperjuangkan; sementara IslamMaka dalam ekonomi liberal sendiri sangat menghargai hak asasidiberlakukan pajak profesi. manusia (HAM), musyawarah danSemakin tinggi pendapatannyasemakin tinggi pajak-relevan memperhadapkan Islammenghargai kritik. Sehingga tidaknya, sehingga distribusi kesejahteraaanekonomi sampai bisa memahami apa alasan orangdengan demokrasi. Dari sini kitapada pihak-pihak yang tidak yang menerima dan apa alasan yangberuntung dan kalah dalammenolak demokrasi.persaingan. Jadi liberalismeekonomi dan politik di Barat tumbuh bersama wibawa hukumuntuk mencegah anarkisme.Tetapi ketika liberalisme ditarik ke dalam tataran teologis, denganpengertian bahwa liberalisme meniadakan agama, di situlahkita bisa memahami keberatan orang terhadap liberalisme. Termasukkata individualisme itu sendiri. Sebab individualisme mengandungdua makna, yang positif dan negatif. Positif yaitu menghargaidan melindungi setiap individu. Sehingga individualisme itu masihKomaruddin Hidayat – 1163


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–serumpun dengan liberalisme, demokrasi, HAM, karena individudijamin dan dilindungi. Maka, individualisme seperti ini harusdibedakan dengan egoisme. Sebab, egoisme tidak lain bentuk dariindividualisme yang negatif.Jadi, hakikat individualisme adalah untuk menghargai hak setiapindividu. Oleh sebab itu hak individu untuk memenangkankompetisi diberikan kesempatan, demikianpun individu yang tidakberuntung mempunyai hak hidup untuk disantuni negara. Itulahsebabnya negara-negara yang selama ini dikenal liberal kadang-kadangmereka lebih sosialis. Negara-negara tersebut lebih tanggapdalam menyantuni orang-orang yang menjadi korban. Sehingga,kendati berangkat dari individualisme yang lebih mementingkankonteks individu, tetapi dalam konteks sosial mereka lebih sosialis.Lihat saja, setiap ada bencana atau kelaparan di Afrika ataudi negeri mana saja, negara mana yang lebih peduli? Jawabannyaadalah negara dan masyarakat Barat.Bagaimana dengan Indonesia sendiri, apakah posisi negara sudah bisamenjamin hak-hak dan kebebasan warga negara, yang artinya jugamenghargai eksistensi setiap individu dan bertanggung jawab gunamemenuhi hak-hak warganya?Secara normatif Indonesia lebih menekankan pada sosialisme,gotong royong dan koperasi. Namun, jika dicermati, pada praktiknyajustru egoisme yang dikedepankan, bukan individualisme.Sebab, kalau egoisme yang berlaku, maka lebih mementingkan dirinyasendiri. Sementara kalau individualisme justru menghargaihak-hak individu. Lagi-lagi, harus digarisbawahi perbedaan antaraindividualisme dan egoisme. Kadang-kadang saya heran, kita yang1164– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatkatanya antiliberalisme, ternyata tidak juga berhasil mewujudkansosialisme. Lihat saja pembangunan bangsa selama ini. Negara inibegitu kaya alam dan budayanya, namun sekaligus juga menumpukhutangnya di tengah kemiskinan rakyat. Jadi, di sini ada satuhal yang salah dalam merumuskan konsep negara dan bagaimanamenuangkannya dalam tataran praksis.Mengapa di negara ini sampai terjadi kesenjangan antara konsep (yangsosialis) dengan tataran praksisnya (egoistis), apa pemicu utamanya?Mungkin pada dasarnya konsepnya sendiri yang tidak begitujelas. Atau, pada tataran praksis kenegaraan, karena konsepnya tidakjelas lantas tidak didukungoleh orang-orang yang pahamdan commited terhadap tujuan umum dari agama yang palingapabila berbicara dalam tataran idealkonsep tersebut. Jadi, antara ideal dan mulia, tentu saja hal ituaktor dan perilaku politik hampir menjadi watak bagi setiapdengan ideologi negara ini agama. Tetapi jika masuk ke dalamterdapat keterputusan. Kalau wilayah empiris praktis, niscaya kitakomunis, terlepas dari ketidaksetujuankita, secara kon-atas dunia dan kehidupan ini dengantidak bisa membuat keseragamanseptual mendasarkan padawajah tunggal.gagasan Marxisme. Begitupuntahap-tahap untuk mencapainya. Demikian juga liberalismemempunyai konsep negara yang jelas, begitupun bagaimana carameraihnya. Maka dunia ini pernah ada dua model: kapitalismedan sosialisme. Kedua model tersebut dapat berkembang lantaranmereka paradigmanya jelas sampai pada tataran how to achieve?Komaruddin Hidayat – 1165


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Beberapa tahun yang telah lampau, Indonesia menyakralkanbegitu rupa Pancasila. Tidak dijabarkan secara jelas dan sistematisdalam tataran filosofis atau paradigmanya. Ia sakti, dan repotnyalagi menjadi doktrin tunggal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi,terlebih dikritik. Kendati pemerintahan yang berkuasa waktu itukerap bersembunyi di belakangnya dalam mengambil suatu kebijakanyang semena-mena dan egoistis. Sehingga Pancasila dipujidan dilindungi tapi akhirnya tidak terwujudkan secara empiris.Tetapi jika diikuti perkembangan konseptualnya, kapitalismedan Marxisme terbuka untuk dikritik dan dikembangkan. Sehingga,sosialisme itu mengalami pergeseran. Misalnya Cina yang belajardari kegagalan Uni Soviet, karena itu tidak mau melakukankesalahan yang sama. Jadi sosialisme tetap ada, begitu pula individualisme,keduanya diakomodir di Cina. Artinya, walaupunCina merupakan negara komunis, tetapi gagasan individualismejuga ditampung. Sebaliknya juga Barat yang kapitalis, tetapi spiritsosialisme diadopsi. Jadi sesungguhnya tidak ada yang pure 100%sosialis atau sebaliknya kapitalis. Karena dalam diri masing-masingwarga terdapat tuntutan hak-hak individu. Di Cina sekarang inispirit setiap individu untuk kaya tinggi sekali. Itu naluri manusiawi.Begitu juga sebaliknya di Barat dorongan untuk menyantuniorang lain juga tidak kalah tinggi. Lalu, posisi Indonesia sebagainegara, konsepsi apakah yang dengan jelas dapat ditangkap. DiIndonesia, saya ingat betul ketika Pak Adam Malik masih hidup,ia mengeluarkan statemen: “awas hati-hati Indonesia ini janganjanganmenjadi sampah kapitalis dan sampah sosialis”. Yang dimaksudkanbeliau: kapitalisme sampahnya berupa semangat egoisuntuk mengumpulkan duit; sampah sosialis berbentuk kediktatorannegara terhadap rakyat.1166– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin HidayatSebab, ciri negara komunisdengan kediktatorannyaSaya sangat menyayangkanbeberapa tuduhan dan beredarnyaadalah tidak adanya ruang kebebasanindividu. Sedangkanbuku yang isinya mengkritik UINnamun tidak etis dan tidak ilmiah.dalam konteks mengumpulkanuang, kapitalisme me-Kasihan, mereka telah meracuniumat dan menyebar fitnah. Bahwamungkinkan juga perilaku ada dosen ataupun mahasiswa yangegoisme yang tidak memperdulikannasib orang lain yang Namun jangan mudah membuatpantas ditegur, saya sangat setuju.lebih membutuhkan. Perpaduankedua “sampah” terse-orang lain. Jadi, setiap ada sebuahgeneralisasi dan mengadili imanbut yang menyebabkan bangkrutnyanegara ini. Sehingga terlebih dahulu ditimbang matang.isu keagamaan sudah sepatutnyawarning dari almarhum AdamMalik relevan untuk direnungkan bersama. Saya ingat betul karenaselama lima tahun saya menjadi tutor studi Islam di keluargaAdam Malik. Sehingga saya terbiasa mengobrol dengan keluargaPak Adam Malik.Namun, apabila mencerna butir-butir yang terdapat dalam Pancasila,maka dasar negara ini lebih menekankan sosialisme. Hal yangsama juga berlaku dalam konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalampasal 33.Sesungguhnya ada unsur kombinasi dalam dasar negara dankonstitusi kita. Kita tidak bisa ekslusif dalam menangkap semangatnya.Tantangannya sesungguhnya manakala konsep tentangnegara ini dikaitkan dengan Islam, di mana Islam pada prinsipnyasecara retorik seharusnya lebih bagus ketimbang sosialisme danKomaruddin Hidayat – 1167


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kapitalisme. Maka, pertanyaan yang patut diajukan: apakah bisaIslam mewujudkan konsep yang lebih bagus? Di sinilah mestinyaIslam bertemu dengan konsep Pancasila. Islam hendaknya dapatmenunjukkan kelebihannya, kalau tidak bisa menunjukkan ke dalamdunia kenyataan, berarti kalah. Dan dalam kenyataannya yanglebih diterima justru prinsip-prinsip kapitalis. Namun begitu, sayapercaya bahwa Islam merupakan wahyu yang mengandung spiritdi mana kebaikan dan kebenaran bersumber dari Allah. Pada tatarannormatif saya percaya bahwa Islam sanggup menginspirasikankonsep yang lebih unggul. Tetapi pada akhirnya letak persoalannyaadalah bagaimana nilai-nilai Islam diwujudkan, tentunya, membutuhkanpranata hukum, ilmu atau metodologi yang memadai. Disitu, pada hematnya, umat Islam ditantang untuk menerjemahkannilai-nilai dalam pranata-pranata.Tetapi mungkinkah Islam ditarik ke dalam wilayah kompetisi ideologis,dengan mengandaikan Islam memiliki tatanan yang unik danunggul, melampaui sosialisme dan kapitalisme?Sebelum masuk pada perdebatan apakah Islam memberikanlandasan yang lebih baik bagi terciptanya suatu ideologi, terlebihdahulu, pertama, kita rumuskan dengan jernih makna ideologidalam konteks ini. Ideologi merupakan sebuah formula yang didalamnya mempunyai nilai-nilai atau cita-cita yang ingin diperjuangkanuntuk mengubah masyarakat. Maka, sebuah ideologiseharusnya mempunyai blueprint dan menjadi imagined society,masyarakat yang seperti apa yang hendak diidamkan. Setelah itu,baru ditarik pada pertanyaan yang paling mendasar: apakah Islammempunyai itu semua? Adakah dalam Islam rumusan yang jelas1168– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatihwal masyarakat yang diidamkan, dan seperti apakah itu? Sebab,kalau konsep yang kapitalis, di antaranya, masyarakat sangat menghargaiindividu, terdapat kebebasan kompetisi dan tegas dalammenegakkan hukum. Masyarakat komunis bekerja secara optimaltetapi mengonsumsi sesuai dengan kebutuhannnya, dan semuanyadiatur oleh negara.Yang kedua, ideologiakan tumbuh ketika orangDi dalam Islam perbedaan pahammempunyai semangat dan merupakan hal yang biasa. Inilah yangmilitansi tinggi untuk memperjuangkannilai-nilai ideo-mazhab di Islam. Salah satu alasannya,menjelaskan mengapa muncul banyaklogi yang diyakininya. Artinya,ada emosi untuk mem-kritik. Dalam lingkup konsepsi fikih,karena Islam terbiasa dengan tradisibela sesuatu yang diangankan.Jika demikian, lalu kon-terdapat banyak mazhab. Sebab,tasawuf, filsafat dan politiknyasep apa yang hendak dibelaoleh umat Islam. Yang antarnya, tidak lain kritik. Tetapi etikapangkal utama dari amunisi ilmu, diketiga, ideologi mempunyai dan standar keilmuan hendaknyamusuh yang dianggap sangatmengancam dan seka-tetap dijaga. Jangan sampaiperbedaan dalam ilmu pengetahuankeislaman memunculkan fitnah danligus menyebabkan kondisididorong oleh kebencian. Saya sangatyang senantiasa diidamkanmenghargai kritik, tetapi etika danjauh dari kenyataan. Kalauketulusan harus dijaga.tidak ada musuhnya, suatuideologi akan “pingsan”.Maka, semua ideologi mesti mempunyai musuh. Dulu Barat musuhutamanya adalah Uni Soviet, yang komunis, tetapi ternyatamusuh itu telah ambruk. Begitupun, dapat dikatakan di sini bahwamusuh Barat termasuk rezim fasis seperti di Italia dan Nazi diKomaruddin Hidayat – 1169


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jerman yang sudah roboh juga. Karena itu, sekarang ini dimunculkanlagi musuhnya, yaitu Islam, teroris.Semua gerakan mempunyai musuh. Maraknya gerakan-gerakanyang radikal di dalam Islam sudah tentu mempunyai musuh.Sebab salah satu amunisi sebuah ideologi tidak lain mengidentifikasilawan sebagai musuhnya. Tetapi, yang perlu ditekankan lagidi sini, ideologi tersebut harus memecahkan problem yang ada dimasyarakat. Kalau tidak, maka ideologi akan kehilangan basisnya.Jadi, pertama problemnya jelas; yang kedua orientasinya problemsolving.Di antara problem yang sedang mengemuka dan diidentifikasi sebagaimusuh oleh kalangan atau gerakan-gerakan radikal dalam Islam,terutama karena dianggap oleh mereka sangat menghimpit dan menyengsarakanperekonomian masyarakat, di samping juga menyebabkanrusaknya moralitas, adalah proyek neoliberalisme dengan pasarbebasnya. Apa tantangan dan solusi yang hendak ditawarkan Islamuntuk menciptakan keadilan ekonomi dan keadilan sosial terhadapdesakan pasar bebas?Saya tidak ahli di bidang itu. Namun, sebagaimana saya uraikantadi bahwa nilai-nilai Islam dengan tegas memperjuangkan keadilan.Itu hal yang pokok untuk menyikapi persoalan yang sedang kita bahas.Keduanya, dibutuhkan peran negara. Untuk itu, apa yang baikdari negara lain bisa saja ditiru. Sementara yang tidak baiknya bisasaja dikritik, atau menciptakan sendiri yang lebih baik. Kalau memangtidak bisa menciptakan, tiru saja yang baik, karena hidup inisejatinya proses tiru-meniru. Yang dapat ditiru misalnya hal yangbagus dari negara lain yang telah maju adalah memberikan ruang1170– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatkebebasan yang diiringi dengan ketagasan hukum; pembelaan danpemihakan kepada kalangan warganya yang kalah. Jadi kalau hidupini pada dasarnya adalah panggung kompetisi, maka dibutuhkannegara untuk menjadi wasit, dengan peran dan fungsinya membuatpanggung yang bebas, menyediakan fasilitas keamanan, pendidikan,kesehatan dan akses-akseslainnya. Dalam panggungYang namanya anti-pluralisme dankompetisi itu, negara juga sikap eksklusivisme, merasa dirinyamemberikan “hadiah”. Yang paling benar dan yang lain mestimenonton disediakan tenda. salah dan sesat, mudah ditemuiYang kalah dan sakit dibawake rumah sakit dan di-Yahudi, Kristen maupun Islam yangpada semua kelompok agama, baikberikan tunjangan atau akses kesemuanya mengaku sebagaiagar dapat berkompetisi lagi. pewaris dan penerus millah Ibrahim.Yang menang dipungut pajak.Jadi, negara bukan ma-anti-pluralisme itu fenomena orangJadi jangan menganggap bahwalah menjadi pemain. Dalam Islam saja. Orang Yahudi yakin merekaaturannya negara juga tidakadalah umat terbaik pilihan Tuhan.Mungkin teologi yang inklusif adalahdiperbolehkan membunuhajaran Hindu dan Budha, yang lebihorang, dengan tinju bolehbolehsaja asal jangan sam-sering disebut sebagai way of life,bukannya agama.pai mati. Setiap panggungpermainan yang baik membutuhkanbiaya yang memadai. Karena itu sepak bola juga ada pajaknya.Coba lihat sepak bola di Eropa. Itu merupakan kompetisisekaligus festival. Di situ dikenakan pungutan pajak.Jadi negara itu memberikan fasilitas dengan mendorong orang,melindungi yang kalah, dan menyediakan akses untuk meramaikanpermainan. Jadi, hidup seperti panggung festival. Tidak disangsikanKomaruddin Hidayat – 1171


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatmenelisik dan merenungkan ayat-ayat-Nya. Kalau orang mengingkariAllah dengan demikian ia buta dan tuli, sebab begitu nyataayat-Nya. Tetapi, lagi-lagi, adalah congkak sekali apabila ia menganggapmengetahui tentangTuhan. Sebab nalar manusiaSecara pribadi saya tidak setuju padaterbatas hanya mengetahuinihilisme. Tetapi untuk mengatakanobyek-obyek yang empiris.pada satu kebenaran absolutSedangkan ayat-ayat atau jejak-jejakTuhan terlalu akbar dan yakini, dengan menafikanterhadap apa yang saya pahamiuntuk dijangkau oleh nalar kebenaran yang terkandung dimanusia. Artinya, Islam menyuruhagar umatnya me-adalah manusia yamng sangat lemahluar, juga tidak berani. Sebab, sayamacu dan berpikir keras untukmembaca ayat-ayat-Nya, menuju kebenaran yang absolut,dan bodoh, namun ingin berjalanyang apabila diandaikan untukditulis seluruhnya kalau-dan pemahaman. Meminjam istilahtapi bukan absolutisme pemikiranpun lautan jadi tinta dan Sayyed Hossein Nasr, konstruksipemahaman agama itu relativelysegenap dedaunan menjadiabsolute dan absolutely relative.kertas, ayat-ayat Tuhan tidakSaya selalu berusaha memperolehakan pernah habis ditulis.kebenaran sejati milik Allah, sekalipunNamun begitu, jikasaya mesti selalu waspada, siapa tahukembali merujuk kepadapemahaman saya tentang kebenarankata liberal, sulit untuk menemukanpadanannya dalam ternyata salah, tidak lurus.yang terkandung dalam al-Qur’anrumusan ilmu pengetahuanIslam. Oleh karena itu, istilahliberal hendaknya jangan dipaksakan untuk disamakan dengankonsep-konsep yang sudah ada dalam Islam. Jadi, bagi para kalanganintelektual yang menganggap berbagai istilah yang datangKomaruddin Hidayat – 1173


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dari Barat dapat bermanfaat untuk kemajuan pemikiran Islam,sepatutnya dijelaskan terlebih dahulu. Begitu pula kalangan yangmengkritiknya harus menjelaskan secara argumentatif mengapamenolaknya.Maka, siapapun orangnya yang telah menyatakan menerimarukun iman dan rukun Islam, lalu berpikir secara radikal atau liberalperihal Islam bukan berarti dia telah menjadi kafir. Kecualikalau mereka sudah tidak percaya lagi pada kebenaran al-Quran.Namun, apabila terdapat penafsiran yang berbeda terhadap ketentuan-ketentuantersebut adalah hal yang wajar dan sudah sejakawal Islam kerap berkembang perbedaan-perbedaan di antara paraSahabat dan para ulama. Pertanyaannya, apakah pemikir-pemikiryang dianggap liberal tersebut masih menghargai dan meyakini al-Quran atau tidak; masih teguh memegang rukun Islam dan rukuniman atau sudah meninggalkannya? Selama mereka masih berpegangpada al-Quran, rukun iman, rukun Islam, bagi saya tidak ada yangperlu dituduhkan. Sebab kalau dianggap telah keluar dari Islam,maka mereka yang menuduhnya harus dapat membuktikan sudahsejauh mana para pemikir liberal telah menyimpang dari yang telahdigariskan dalam al-Quran. Sepatutnya tuduhan tersebut dijelaskanoleh mereka kenapa para pemikir itu bahkan dianggap kafir ataumurtad. Hendaknya terlebih dahulu wawancarai sumbernya langsung.Maka teman-teman yang menuduh bahwa orang UIN ituliberal, menyimpang dan sebagainya, jika meminjam istilah dalamilmu Hadits, sanad-nya shahîh atau tidak? Pernahkah mereka wawancara,membaca bukunya secara utuh dan mengutipnya secarabenar? Karena itu apabila “Haditsnya tidak sahih” maka itu semuaadalah fitnah. “Haditsnya palsu”.1174– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin HidayatBagaimana kalau mereka berkaca pada pihak-pihak tertentu di dalamUIN yang dianggap liberal, lantaran alasan – salah satu (dosen) diantaranya – mengawinkan pasangan yang berbeda agama dan menafsirkanal-Quran secara bebas, karena sangat menjunjung tinggi rasionalitas,dan alasan lainnya?Berbagai isu yang diperdebatkan umat dan adakalanya telahmenimbulkan perselisihan, sesungguhnya bukan topik baru kalausaja mereka sempat membaca kitab-kitab klasik. Maksud saya, kitatidak harus setuju dengan pendapat orang, namun jangan pula mudahkaget lalu kecam sana kecam sini. Terlebih mereka yang dianggaptokoh masyarakat, sebaiknyamemberi contoh yangDalam dunia ilmu pengetahuan,bijak bagaimana melemparkangagasan dan bagaimanakonflik dan kritik diperlukan kalauingin maju. Ilmu pengetahuan majumerespon gagasan yang kita karena adanya kritik dan perdebatantidak setuju. Problem utamateoritis terus-menerus.dari tuduhan yang terlanjurberkembang selama ini terhadapUIN dan beberapa person di dalamnya adalah karena tidakdilakukan klarifikasi kepada pihak-pihak terkait. Mari belajar dariulama Hadits. Mereka sangat kritis dan teliti ketika mendengarsebuah berita tentang agama, tidak mudah menerima sebelummelakukan klarifikasi dan investigasi.Saya sangat menyayangkan beberapa tuduhan dan beredarnyabuku yang isinya mengkritik UIN namun tidak etis dan tidakilmiah. Kasihan, mereka telah meracuni umat dan menyebar fitnah.Bahwa ada dosen ataupun mahasiswa yang pantas ditegur,saya sangat setuju. Namun jangan mudah membuat generalisasidan mengadili iman orang lain. Jadi, setiap ada sebuah isu keaga-Komaruddin Hidayat – 1175


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–maan sudah sepatutnya terlebih dahulu ditimbang matang. Jika,memang tuduhan tersebut benar adanya, dikarenakan pihak tersebutmenyimpang dari ketentuan yang digariskan dalam rukuniman dan Islam – setelah diselidiki dan ditimbang dengan sungguh-sungguhsampai pada sumber bersangkutan – kita wajib memberitawshiyah. Tetapi harus dicermati juga apakah persoalannyahanyalah sebatas perbedaan pemahaman dan apakah benar-benardalam prinsip yang lain juga menyimpang semuanya? Di sinilah,bagi saya, merupakan bagian dari dinamika tafsir agama. Karenaitu, pro-kontra sejatinya bagian dari kekayaan Islam, dan mestinyadipersilakan saja, sebagaimana sudah sejak awal mengiringi perjalananagama ini. Namun dalam konteks tersebut, yang harus tetapdikedepankan adalah etika dan standar keilmuan.Di dalam Islam perbedaan paham merupakan hal yang biasa.Inilah yang menjelaskan mengapa muncul banyak mazhab diIslam. Salah satu alasannya, karena Islam terbiasa dengan tradisikritik. Dalam lingkup konsepsi fikih, tasawuf, filsafat dan politiknyaterdapat banyak mazhab. Sebab, pangkal utama dari amunisiilmu, di antarnya, tidak lain kritik. Tetapi etika dan standar keilmuanhendaknya tetap dijaga. Jangan sampai perbedaan dalamilmu pengetahuan keislaman memunculkan fitnah dan didorongoleh kebencian. Saya sangat menghargai kritik, tetapi etika danketulusan harus dijaga.Apabila dirumuskan dalam paham liberalisme, apakah menurut Andakebebasan berpikir juga mesti berkorelasi terhadap cakupan lainnya,artinya kebebasan berpikir kemudian mengandaikan juga kebebasanberkompetisi dalam ekonomi dan kebebasan politik?1176– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin HidayatPasangan yang tepat dalam meletakkan prinsip kebebasan berpikirsudah tentu harus dengan etika dan hukum. Sebab, kalau sudahtidak ada hukum dan etika, menurut hemat saya, sudah tidak sehat.Sebab nantinya akan menimbulkan fitnah yang tidak dikehendaki,caci-maki, dan laku tidak beradab. Negara dan kampus ini didirikandengan tujuan mulia membangunperadaban, masyarakatmadani, masyarakat yang beragam agama bagaikan beragamHindu dan Budha memandangberadab dengan ikatan-ikatan sungai yang kesemuanya tengahhukum dan bimbingan ilahi. mengalir menuju lautan. HanyaDi Madinah sebenarnya berpegangpada spirit tauhid dan berada di sebuah sungai, seolah-saja ketika seseorang tengahkonsensus hukum disepakati. olah sungai hanyalah satu dan unik,Jika etika dan hukum menjadilandasannya maka terciptapasti berbeda dari yang lain. Entahkedalamannya, tebingnya, ikanikannya,dan sebagainya. Tetapi kalauperkembangan ilmu pengetahuandengan kreasi-kreasikita melihatnya dari langit, ternyatabanyak sekali sungai dan semuanyabudaya di dalamnya.menuju ke lautan. Begitulah halnyadengan beragam agama, merekaDalam kajian yang pernah memandangnya semua menuju padadilakukan UIN, kalau memangada, ataupun responmuara yang sama.yang muncul dari komitmen UIN sebagai perguruan tinggi, terhadapdesakan globalisasi yang sudah di hadapan mata, yang datangnyadari Barat, apakah bagi UIN globalisasi dianggap sebagai tantangandan dorongan bagi kemajuan kreativitas berpikir kalanganakademisi atau justru hanya membelenggu karena terlampau kuatnyahegemoni Barat?Komaruddin Hidayat – 1177


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Semua agama sekarang dihadapkan pada pengalaman yang sangatbaru, yaitu keberadaan masyarakat plural yang langsung dirasakan kehadirannya.Agama-agama yang umurnya sudah di atas 1000 tahun,dahulu mereka tumbuh dalam masyarakat yang remote, terpencil,saling berjauhan dan sangat komunal. Bahasanya sama, wilayahnyamenyatu dan pakaiannya sama. Sehingga, otomatis yang menjadipanutan adalah sosok atau figur waktu itu. Kemudian bayangkanlah,agama yang muncul ribuan tahun yang lalu tersebut, yang hinggasekarang masih dianut oleh masyarakat, secara demografis tiba-tibaumatnya berlipat-lipat dengan milyaran penganut. Lantas, ketikadi antara mereka bertemu, masing-masing mempunyai kepercayaanyang berbeda, bahasa juga berbeda. Sehingga perlu dicatat: betapahebatnya agama sampai bisa bertahan ribuan tahun.Jadi, jika kembali mencerna ulang kemunculan tiap-tiap agamadengan wilayah dan zamannya masing-masing, maka agamasebetulnya jumlahnya ribuan di muka bumi ini. Tetapi dalamperjalanan waktu, di antara banyaknya agama itu ada yang matimenjadi fosil, bahkan hanya berumur singkat. Beberapa di antaranyaterus bertahan. Dengan pengertian lain, agama denganbahasanya yang masih bertahan itu hebat sekali. Begitupun yangterjadi dengan ideologi. Di antara ideologi yang pernah ada, beberapaumurnya hanya sampai hitungan puluhan tahun, kemudianmati. Komunisme di negara Uni Soviet, misalnya, tak sampaiseratus tahun sudah bangkrutAdalah suatu kelebihan bagi agama Islam yang sampai sekarangdapat bertahan. Di dunia ini agama-agama primitif banyak sekaliyang mati. Sementara itu, Yahudi yang muncul 6000 tahun yanglalu hingga sekarang masih bertahan agamanya, bahasanya, jaringanpolitiknya dan para penganutnya terus berkembang. Di samping1178– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin HidayatAnda benci terhadap mereka, tetapi coba pelajari bagaimana Yahudisurvive. Karena itu, perlu juga Anda mengetahui antropologiYahudi. Sebab bagi saya hal itu mengagumkan. Orang-orangnyamempunyai jaringan ekonomi, ilmu, lobi, dan banyak yang meraihNobel. Kalau Anda percaya akan takdir dan pilihan Tuhan,sehingga mereka sekarang semakin kuat, maka harus konsekuen:menerima saja kehebatanmereka, jangan dimusuhi.Hemat saya tidak produktifJadi, sikap umat Islam itumendiskusikan perihal sekularisme.paradoks. Kalau yang terjadiUntuk itu, betapa akan jauh lebihdi dunia ini sudah menjadi santun apabila dicarikan saja istilahistilahlain yang sepadan tanpa haruskehendak dan pilihan Tuhan,maka mestinya umat menghilangkan substansinya.Islam mengajak berSahabatmereka. Tetapi kalau merekadibenci Tuhan kemudian umat Islam dengan serta-merta memusuhinya,mengapa mereka semakin besar dan menguasai dunia inihampir di pelbagai bidang?Demikianpun Nasrani, di mana Yesus Kristus dalam kritik sejarahnyabanyak menuai kontroversi. Sudah sejak awal kemunculannyateologi Kristiani oleh Yahudi dimusuhi, terlebih sosok Yesus.Al-Quran juga mengkritik teologi Kristiani karena dianggapmenyimpang. Tetapi, Nasrani terus bertahan. Padahal, dia dijepitoleh teologi Yahudi dan Islam. Bahkan agama Nasrani dalam perkembangannyasangat agresif, ekspansif, dan ditakuti. Barangkalipenting mengkaji anatominya, karena hal tersebut menarik. Begitujuga Islam, yang dianggap agama orang Arab, dapat berkembangdi Amerika, Eropa, Inggris, bahkan disegani. Dan banyak lagi agamaatau kepercayaan yang bertahan lama dan mendapat tempatKomaruddin Hidayat – 1179


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sangat luas di muka bumi ini seperti Konghuchu, Hindu, Budhadan yang lainnya.Sehingga dapat disimpulkan bahwa sekarang ini terjadi prosesyang semakin mengental di antara agama-agama yang ada, selectedreligion. Dengan pengertian lain, teori Darwin tentang evolusi, thesurvival of the fittest, seleksi alam, berlaku juga pada agama. Sebagiandari agama-agama itu ditinggalkan, bangkrut dan ambruk. Sebagiandi antarnya bertahan, berkembang dan menjadi kompleks.Di sinilah letak persoalannya: dalam masyarakat perkotaan sekarangini sulit dipertahankan homogenitas etnis dan agama, terlebihdi kampus. Sebab, kampus merupakan miniatur masyarakatplural. Terlebih, eksistensi dunia kampus semakin “menginternasional”,artinya dinamika di dalamnya semakin memplural. Dulubahasa Arab pernah memegang hegemoni peradaban kelas dunia,sekarang bahasa Inggris paling banyak digunakan orang, terutamadengan adanya komputer dan internet sehingga kian memperkokohpenyebaran bahasa Inggris dalam dunia sains dan bisnis. Jadisekarang ini masyarakat dunia tengah mengalami sebuah fenomenaatau pengalaman baru berupa masyarakat global yang sangatmajemuk. Dalam situasi seperti itu banyak pemeluk agama yangterkaget-kaget. Kekagetan tersebut ada yang diekspresikan denganpenuh rasa curiga terhadap kelompok yang berbeda, ada yang bersahabat,ada yang berdialog, dan ada juga yang mengambil sikapkonfrontatif.Dalam menyikapi pengalaman dunia yang serba baru itu, dalamagama Islam sendiri bermacam-macam ekspresi dan problemnya sebagaimanabisa kita lihat keragaman sistem politik dan tradisi yangtumbuh di negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, sepertiIran, Maroko, Saudia Arabia, Mesir, Pakistan, Irak, Indonesia,1180– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatdan Bangladesh, yang kesemuanya terlihat gamang memasuki duniamodern yang penuh persaingan.Sebagai realitas sosial-politik, umat Islam Indonesia sendirimasih belum selesai bagaimana memposisikan agama, negara danmasyarakat sehingga yang lebih mengemuka hanyalah hiruk-pikukberebut massa dan kekuasaan, bukannya membangun peradaban.Semua itu bagi saya merupakan pengalaman dan pemandanganyang menarik untuk diamati dan dianalisis. Sungguh terkadangsangat mengasyikkan dansekaligus membingungkan. Yang menjadi persoalan utamaAda kalangan yang cemberutdan mudah membenci nilai yang abadi yang terdapat dalamsekarang ini adalah bagaimana nilai-serta mencurigai yang lain. Islam dapat mendorong munculnyaAda yang setiap hari berpikirbagaimana membunuh dalam bidang sosial dan ilmu alam.ilmu-ilmu baru terutama ilmu-ilmuorang kafir, karena beranggapanbahwa dengan membunuh pintu surga terbuka baginya.Beberapa orang terus memutar otak bagaimana mendakwahkanIslam secara tepat di tengah masyarakat yang centang-perenang ini.Beberapa kalangan lainnya sibuk merumuskan dialog antar-agamayang efektif dan mengagendakan bentuk kerjasama di antara umatberagama yang berbeda.Semua itu merupakan mozaik pandangan dan sikap beragamayang tak luput dari pengaruh karakter pribadi, etnis maupun variabellain di luar ajaran agama. Selama tidak mengganggu keamanandan tidak main paksa, silakan masing-masing mencari dan mengekspresikankeyakinan agamanya. Karena agama memang selalutumbuh bersama perkembangan pribadi dan dinamika zaman.Komaruddin Hidayat – 1181


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam situasi seperti itu, jelas peran UIN adalah sebagai lembagakeilmuan dan lembaga dakwah dalam pengertiannya yang luas,sehingga diharapkan bisa memberikan kontribusi pencerahan danbimbingan dengan merujuk pada nilai-nilai Islam untuk kebangkitanbangsa dan kemanusiaan. Tetapi mengharapkan UIN sebagaisebuah kekuatan raksasa yang mampu menyelesaikan persoalan umatIslam Indonesia, tentu merupakan harapan yang berlebihan.Apabila mencermati lebih dekat fenomena yang relatif baru bagipengalaman keagamaan, di mana kemajemukan menjadi tantangantersendiri bagi agama, begitupun tingkat fragmentasi dalam mengekspresikanpemahaman agama atau keyakinan yang begitu tinggi,apakah UIN sebagai institusi pendidikan yang berbasis agama Islammempunyai kurikulum yang dapat merespon kondisi keagamaan tersebutsehingga dapat membekali mahasiswanya untuk bersikap lebiharif dan dewasa terhadap kemajemukan, terlebih di tengah derasnyaarus globalisasi?Jika uraian sebelumnya lebih melihat realitas dunia secaraumum, maka dalam konteks keindonesiaan yang terkait denganagama Islam, keberadaan MUI, UIN, Muhammadiyah, NU, PartaiIslam, termasuk juga negara, semua menghadapi sebuah kondisidi mana masyarakat sedang berada di tengah nilai dan kepentinganyang campur aduk. UIN hanyalah salah satu scope kecil dalammozaik besar dunia Islam. Sehingga perannya jangan terlampaudibesar-besarkan dan tidak mungkin dituntut untuk dapat mengatasisegenap persoalan yang ada. Namun demikian, hendaknyamasing-masing institusi yang mengaku Islam, baik partai politik,ormas, pesantren, IAIN, STAIN, demikianpun UIN, merumuskan1182– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatmasing-masing jati dirinya yang akomodatif atau “santun” terhadapkeanekaan.Teristimewa ihwal jati diri kampus atau universitas sebagaimanatelah disinggung sebelumnya yang mencakup lima aspek (tempattransfer ilmu, lembaga produsen ilmu baru, character building, socialresponsibility, lalu pusat pengembangan kebudayaan). Namundemikian, banyak harapan yang dialamatkan pada UIN yang tidakdimiliki oleh perguruan tinggi umum semacam UI, ITB ataupunUGM, yaitu lembaga yang juga diharapkan menjadi produsen ahli danpemimpin keagamaan. Jadi, sekalipun UIN sudah mengembangkanprogram studi umum, masyarakat tetap menitipkan harapan agardari UIN muncul ulama dan tokoh-tokoh agama. Lebih dari itu,di kampus ini banyak mahasiswa yang datang dari desa dan keluargamiskin serta dari lingkungan pesantren. Bagi mereka satu-satunya harapanterdekat untuk mendapat jembatan mobilitas intelektual adalahlewat UIN. Dengan demikian kami berusaha melayani dan mendidikserta membekali mereka agar nanti kembali ke masyarakat menjadiorang yang mempunyai pengetahuan (knowledge), saleh (piety),mempunyai integritas tinggi sebagai calon leader.Sebagai universitas yang menjadi kebanggaan umat Islam,UIN Jakarta mestilah membuka diri terhadap berbagai perkembanganilmu serta menjalin kemitaraan dengan insitusi lain baikdi dalam maupun luar negeri agar bisa menjadi model dan inspirasibagi pengembangan perguruan tinggi Islam lain di tanah airkhususnya. Dengan begitu sebagai lembaga pendidikan UIN mengembanamanat dan harapan umat dan bangsa. Sekian banyakprofesor dan doktor yang ada harus merasa terpanggil untuk ikutmemantapkan kehidupan bernegara dan menciptakan suasana yangsehat bagi hubungan antar-agama. Karena itu, meski UIN secaraKomaruddin Hidayat – 1183


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kelembagaan berada di bawah Departemen Agama, namun secarasosial dan keilmuan juga merupakan aset bagi Depdiknas, Deplu,maupun pemerintah sendiri, dengan menjadikan UIN sebagai laboratoriumnya.Dan, karena posisi UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, makakami menjadikannya sebagai pintu gerbang dunia untuk melihatIslam Indonesia. Hal ini sudah kami lakukan dengan bekerjasamadengan berbagai perguruan tinggi asing. Sejauh ini begitu banyakkunjungan tamu asing, baik diplomat, wartawan maupun ilmuwanpeneliti yang datang ke UIN untuk berdiskusi. Beberapa pertanyaanyang sering muncul adalah, apakah Islam di Indonesia kompatibelatau tidak dengan demokrasi ? Bagaimana prinsip human rightsdalam Islam dan bagaimana implementasinya? Ada juga pertanyaanbisnisman perihal aman atau tidaknya mereka berinvestasi diIndonesia. Saya pikir-pikir, ternyata salah satu agenda penting seorangrektor adalah menerima tamu dan undangan seminar, baikdi dalam maupun di luar negeri.Jadi, UIN mesti bisa menjaga keseimbangan, mendengarkandan mempertemukan suara umat, pemerintah dan dunia. Karenaitu bagaimana kita memposisikan lembaga ini agar tidak terlalujauh ke Barat sehingga yang di sini (kalangan umat Islam sendiri)merasa ditinggakan. Akan repot kalau kita menciptakan jarak secaraekstrem dengan berbagai stakeholders UIN. Di sinilah posisi UINdalam menjaga keseimbangan sekaligus menjadi jembatan. Risikodan komitmen ketika menjadi jembatan, tentu saja harus siap diinjak-injakoleh pihak-pihak agar tercipta silaturahmi antarmereka.Tetapi posisi ini sering disalahpahami oleh beberapa pihak darikalangan Islam sendiri. Komitmen kami dengan membuka FakultasKedokteran adalah memberi kesempatan kaum santri agar bisa1184– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatmenjadi dokter dan pada gilirannya nanti harus mengabdi padamasyarakat miskin di desa. Beberapa santri yang pintar-pintar kitaberikan beasiswa agar nantinya kembali dan membangun pesantrensebagai pusat kesehatan desa. Kendati untuk merealisasikanini semua sangat mahal biayanya, tetapi kita carikan agar beasiswatetap ada. Syukur-syukur pemerintah daerah bersedia mengirimkanputranya yang terbaik dengan dukungan beasiswa dari mereka.Sebagaimana juga sekularisme dan liberalisme yang datang dari Barat,sehingga mendapat reaksi yang keras dari umat Islam, begitu pulapluralisme. Apa tanggapan Anda perihal diharamkannya pluralismeoleh MUI karena, salah satunya, dipahami sebagai sinkretisme?Karena kebetulan background saya adalah studi filsafat, sayaselalu ingin klarifikasi konseptual dan argumen sebelum membuatpenilaian. Kalau pluralisme artinya mengidentikkan semuaagama, maka pengharaman tersebut dapat saya maklumi. Tetapikalau terdapat definisi lain atas pandangan pluralisme, sepertialasan sosiologis bahwa realitas keberagamaan itu sangat beragam,dan perlunya sikap saling menghargai, sampai di situ saya jelassetuju dengan pluralisme. Oleh karena itu masing-masing benardengan posisi dan argumen yang berbeda-beda. Kebenaran tidakselalu tunggal. Tetapi bagi saya, lagi-lagi, subject matter-nya apa?Saya bisa memaklumi alasan MUI, tapi saya juga bisa memaklumialasan yang berseberangan. Karena mereka berbicara dengan sudutpandang yang berbeda.Komaruddin Hidayat – 1185


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tetapi menurut Anda sendiri, apakah mengidentikkan pluralismedengan sinkretisme – untuk mengharamkan pluralisme – yang dianggapmenjadikan akidah atau iman dari umat menjadi dangkal,merupakan alasan yang proporsional dalam menempatkan maknasebenarnya dari pluralisme?Kekhawatiran yang menyergap kalangan Islam dan MUI adalahhal yang sah-sah saja. Tetapi apakah kekhawatiran itu benar-benarterjadi atau tidak. Untuk membuktikan itu semua maka diperlukanriset dan kajian yang serius. Untuk mengecek benar tidaknya sebuahstatemen, bagi saya, perlu diverifikasi. Pertanyaannya, betulkahyang menerima pluralisme berarti mengamini sinkretisme? Makaharus ada riset untuk mewawancarai setiap pihak yang menerimapluralisme. Kalau kesimpulannya adalah tidak, berarti pernyataanitu tidak benar, sebaliknya kalau ya, berarti benar.Kalau pandangan Anda sendiri tentang pluralisme bagaimana?Kalau pluralisme dipahami sebagai cerminan atas realitas sosial,maka itu adalah kemestian. Sebagaimana telah saya katakansebelumnya bahwa kita hidup dalam dunia yang begitu majemuk,sehingga sulit bagi kita untuk tidak bergaul dengan kelompok yangberbeda. Pluralitas itu sesungguhnya paling mudah terjadi dalamdunia science dan kebudayaan. Dalam dunia science kita tidak bisauntuk tidak menghargai perbedaan argumentasi. Dalam wilayahbudaya, contoh yang paling mudah kita dapatkan pada bangunandan arsitektur masjid. Unsur dalam bangunan masjid mana yangmurni Islam? Menara sebenarnya berasal dari tradisi Majusi, begitupula kubah. Speaker dahulu di Arab tidak ada. Lalu apanya yangkhas Islam? Yang pasti tata cara ibadahnya itu sendiri.1186– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin HidayatPada tingkat teologis, pluralisme sampai pada pemahaman bahwahakikatnya keselamatan bukan monopoli sebuah agama. Apakah memangdemikian?Pasti muncul perdebatan seru setiap berbicara keselamatan,apakah secara ekslusif hanya dimiliki sebuah agama atau setiapagama memungkinkan ada jalan keselamatan. Ihwal pengakuanadanya keselamatan pada agama lain, memang ada pendukungnya,dan ada pula penentangnya. Apapun alasannya, saya yakin bahwasetiap pemeluk agama sangat yakin bahwa jalan keselamatan palingdekat adalah ajaran agama yang dipeluknya. Lebih dari itu, masingmasingpemeluk agama mengklaim dirinya paling selamat.Secara sosiologis dan psikologis, hal ini mudah diteliti. UmatKristiani tentu berpandangan merekalah yang paling selamat, selainnyaberada di atas jalan kesesatan. Begitupun dalam pandanganorang Islam, pemeluk Kristen itu celaka. Demikianlah seterusnyasetiap pemeluk agama cenderung berpikir ekslusif, merasapaling benar dan paling dekat dengan Tuhan. Bahkan ekslusivismeitu berkembang lagi dalam tubuh internal satu agama, sehinggamuncullah mazhab, sekte dan aliran yang cenderung mengkafirkanyang lain.Namun begitu tak dapat dipungkiri terdapat sekelompok orangyang memiliki keyakinan berbeda, ada yang secara terbuka dan adayang diam-diam secara pribadi, bahwa jalan kebenaran itu jugaterdapat di seluruh agama. Orang Kristen bilang, bisa saja orangIslam masuk surga. Demikian juga sebagian orang Islam mengatakanmungkin saja orang Kristen masuk surga. Bahkan ada yangberpandangan, siapapun bisa saja masuk surga – terserah kehendakTuhan yang maha Kasih dan maha Pengampun.Komaruddin Hidayat – 1187


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jadi yang namanya anti-pluralisme dan sikap eksklusivisme,merasa dirinya paling benar dan yang lain mesti salah dan sesat,mudah ditemui pada semua kelompok agama, baik Yahudi, Kristenmaupun Islam yang kesemuanya mengaku sebagai pewaris dan penerusmillah Ibarhim. Jadi jangan menganggap bahwa anti-pluralismeitu fenomena orang Islam saja. Orang Yahudi yakin merekaadalah umat terbaik pilihan Tuhan. Mungkin teologi yang inklusifadalah ajaran Hindu dan Budha, yang lebih sering disebut sebagaiway of life, bukannya agama.Hindu dan Budha memandang beragam agama bagaikan beragamsungai yang kesemuanya tengah mengalir menuju lautan. Hanyasaja ketika seseorang tengah berada di sebuah sungai, seolaholahsungai hanyalah satu dan unik, pasti berbeda dari yang lain.Entah kedalamannya, tebingnya, ikan-ikannya, dan sebagainya. Tetapikalau kita melihatnya dari langit, ternyata banyak sekali sungaidan semuanya menuju ke lautan. Begitulah halnya dengan beragamagama, mereka memandangnya semua menuju pada muara yangsama. Ada lagi yang menggunakan ibarat cahaya di dalam rumah.Mata kita hanya melihat cahaya sebatas yang ada di dalam rumahkita. Padahal, dari matahari yang sama dan satu, sekian banyakrumah, kebun dan daerah juga memperoleh cahayanya.Jadi, lagi-lagi menurut mereka yang berpandangan sangat ekslusif,manakala seseorang berada dalam satu keyakinan tertentu, iacenderung menafikan: pada agama lain tidak ada cahaya kebenarandan keselamatan. Di luar dirinya tidak ada kebenaran. Itulahkecenderungan utama dari teologi Yahudi, Kristen dan Islam. Dansesungguhnya sikap ekslusif, merasa dirinya paling benar dan tidakrela melihat kebajikan dan keunggulan pada orang lain, itu jugaterjadi dalam aspek kehidupan lainya. Dalam pertandingan sepak1188– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatbola saja sering muncul keributan dan perekelahian antar-para pendukungnya.Begitu pula yang sering terjadi dalam persaingan antar-partaiyang bisa memicu konflik dan perkelahian. Maka, sikapinklusif dan ekslusif selalu berkaitan dengan faktor-faktor non-agama,di dalamnya masuk sentimen psikologis dan antropologis. Salahsatu penjelasannya, manusia cenderung larut untuk berkelompok,ikatannya bisa dalam bentuk agama, olah raga, nasionalisme, partaidan apa saja.Jika pada dasarnya kecenderungan manusia lebih suka untuk mengikatkandirinya dalam satu kelompok tertentu ketimbang melakukanpergaulan yang terbuka dengan pihak di luar kelompoknya, apakahitu menjadi pertanda bahwa keharusan pembaharuan teologi menjadiinklusif dan pluralis dapat dikatakan useless dan sia-sia?Untuk mengatakan bahwa upaya terhadap pembaharuan teologiagar lebih inklusif dan pluralis itu sia-sia dan tidak berguna sama sekaliadalah hal yang keliru. Akan tetapi, dalam ranah teologi indikasibetapa kuatnya ekslusivisme itu tidak bisa diabaikan. Adalah sifatmanusia yang mempunyai kecenderungan untuk ekslusif. Pasalnya,ekslusivisme merupakan watak setiap manusia karena dengan gampangnyamereka mengikatkan kuat-kuat dirinya pada jenis ikatantertentu, tidak hanya dalam teologi. Seperti di Palestina, para pejuangnyatidak semua karena agama, tetapi juga karena alasan tanahair. Namun ekslusivisme akan menjadi semakin militan ketika memperolehpenegasan dari paham agama yang diyakininya, seperti halnyapara teroris yang yakin sekali meledakkan bom itu merupakantindakan suci. Hal itu merupakan fenomena kultural, antropologis,Komaruddin Hidayat – 1189


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–psikologis yang kebetulan mendapat penguatan dari agama. Sementara,tanpa agama saja, seseorang bisa menjadi sangat radikal.Apabila persoalan ekslusivisme teologis dapat dilacak dari aspek psikologisdan antropologis, apakah dalam wilayah yang lebih filosofishal itu dapat ditangkap – atau barangkali lebih tepatnya membenturkannyapada level perennial, di mana semacam ada samudra kebenaranyang maha luas dan tak terbatas?Dalam filsafat perennial memang dijelaskan perihal “samudera”.Tetapi kita hidup di kolam-kolam kecil, yang masing-masingmemiliki batas atau pagar dan masing-masing merasa kolam-kolamitu wilayah privasinya. Padahal, sekalipun kita di rumah punyasumur sendiri, sesungguhnya air itu bagian dari samudera luas.Saya tidak berani untuk mengatakan bahwa yang punya sumurhanya saya. Orang lain mungkin juga punya air dari sumber yangberbeda. Saya meyakini Islam yang saya anut paling benar. Tetapisaya tidak berani untuk menutup kasih Allah yang Maha Absolut.Siapa tahu orang lain akan menerima aliran kasih dan ampunanTuhan karena Tuhan bagaikan maha mata air kasih yang tak terbatas.Karena Allah serba maha, sebaliknya pikiran, pengetahuandan pengalaman saya sangat terbatas, maka jalan terbaik adalah“berislam” atau berserah diri secara total (kâffah) pada Allah. Sebagaimanusia yang nisbi, relatif, terbatas, maka yang paling menenangkandiri saya adalah berislam secara total pada Allah, tidakberpretensi mengajari dan menyaingi Allah yang absolut.Yakin bahwa Allah Maha Kasih, al-Rahmân dan al-Hâdî, makaterserah pada kehendak Allah mau diapakan akhirnya hidup sekarang,besok dan setelahnya nanti. Jadi, maaf, saya tidak dalam1190– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatposisi untuk mengadili dan menimbang iman dan amal seseorang.Saya termasuk Mu’tazilah dalam pengertian berusaha keras untukbisa menjadi Jabariyah, yaitu menjalani hidup dengan ikhlas danpenuh kepasrahan pada Allah. Kalau Allah menghendaki dia masukneraka, siapa yang dapat mencegah-Nya. Sebaliknya, sangatmungkin bagi Allah menghendaki pemeluk agama lain atau oranglain yang kelihatannya tidak pernah berdoa untuk memasukkanmereka ke surga.Tetapi, tepat pada titik itulah perdebatan tentang pluralisme yang salahsatunya bagaimana menghindar dari bahaya relativisme. Sebab, jika setiaporang dapat mengambil air dari sumur manapun karena tidak adasumber air yang menjamin kebenaran absolut, karena hanya Tuhan yangabsolut, maka segala sesuatunya yang berkaitan dengan kebenaran imanseseorang akan menjadi serba relatif.Dalam perbincangan ini harus dibedakan antara absolutisme,relativisme dan nihilisme. Secara pribadi saya tidak setuju padanihilisme. Tetapi untuk mengatakan pada satu kebenaran absolutterhadap apa yang saya pahami dan yakini, dengan menafikan kebenaranyang terkandung di luar, juga tidak berani. Sebab, sayaadalah manusia yang sangat lemah dan bodoh, namun ingin berjalanmenuju kebenaran yang absolut, tapi bukan absolutisme pemikirandan pemahaman. Meminjam istilah Sayyed Hossein Nasr,konstruksi pemahaman agama itu relatively absolute dan absolutelyrelative. Saya selalu berusaha memperoleh kebenaran sejati milikAllah, sekalipun saya mesti selalu waspada, siapa tahu pemahamansaya tentang kebenaran yang terkandung dalam al-Quran ternyatasalah, tidak lurus.Komaruddin Hidayat – 1191


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tetapi karena relatif itulah sehingga setiap orang atau kelompok bolehmengklaim apa yang menurutnya benar. Inilah yang dengan mudahmenyulut konflik, dalam hal ini, teologi?Konflik tidak bisa dielakkan. Ambisi untuk menyelesaikan konflikmerupakan hal yang tidak mungkin. Untuk itu, biarkan sajakonflik terjadi, dengan catatan asal tidak keluar dari ketentuan etikasosial dan hukum yang ada. Sebab jika konflik berubah menjadianarki, maka peradaban akan hancur. Hidup ini penuh konflik. Janganpernah Anda membayangkan kehidupan tanpa konflik. Yangdiperlukan adalah manajemen konflik (politik, pemikiran, teologidan sebagainya).Tidak ada kehidupan tanpa konflik. Dalam wilayah yang palingkecil, konflik bisa terjadi dengan diri sendiri yang pecah dalambatin seseorang. Misalnya aku merasa bodoh dalam memandanghal tertentu, lalu muncul tuntutan bagaimana agar aku pintar. Itumerupakan konflik dialektis. Hidup itu penuh dialektika, ada tesisdan antitesis. Kita sendiri merasakan, justru karena terjadi konflikdialektis maka hidup menjadi dinamis dan selalu ingin mengubahdan memperbaiki nasib.Jadi, apakah mestinya tidak harus dipertentangkan antara nilai-nilaiyang partikular dalam agama dengan satu atau seperangkat nilaiyang universal dan absolut?Boleh saja hal tersebut dipertentangkan, tetapi jangan sampaimemaksa orang lain untuk mengikutinya. Hargailah kemerdekaanorang lain, karena kita juga ingin dihargai oleh orang lain. Jadijunjunglah etika, ketulusan, dan komitmen untuk memajukanmasyarakat yang selalu berada pada ketegangan antara konflik dan1192– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatrekonsiliasi. Antara keinginan untuk damai dan kompetisi yangurutannya bisa memunculkan peperangan. Dalam dunia ilmu pengetahuan,konflik dan kritik diperlukan kalau ingin maju. Ilmupengetahuan maju karena adanya kritik dan perdebatan teoretis terus-menerus.Sekian ulama besar tampil ke panggung sejarah karenaberani berbeda dengan gurunya. Tetapi, tentu saja, yang diharapkanadalah konflik yang disertai dengan kecerdasan dan etika.Tetapi, bagaimana kalau konflik tersebut berlangsung terus tidakberujung, sebagaimana terjadi di masyarakat Arab: antar-kabilahatau antara Sunni dan Syi’ah, dan di tempat lainnya lantaran tidakadanya satu aturan nilai dan hukum yang dapat mengikat mereka,yang bersifat universal?Jika mereka terus berkonflik tanpa etika dan aturan hukumyang ditaati bersama, maka ongkosnya dibayar sendiri. Seluruhrisiko yang ditimbulkan ditanggung sendiri. Itu sunnatullâh. Atauongkosnya, di antaranya, sebuah masyarakat akhirnya akan dikuasaidan diatur oleh orang asing yang lebih kuat dan pintar. Itulahhukum sejarah. Misalnya saja jika kita tidak mau bersahabat denganalam, maka banjir bermunculan di sana-sini dan kita semuayang harus menanggung risikonya. Seekor sapi saja kalau disayangiakan memberi susu yang segar, sebaliknya kalau diabaikan dantidak diurus dengan baik, tidak akan keluar susunya. Karena ituhendaknya manusia lebih mengedepankan kasih sayang terhadapsesama manusia, ketimbang memupuk konflik. Nabi, misalnya,memberikan tauladan dengan datang untuk membagi kasih sayangdan pencerahan. Orang kafir pun beliau sayangi dan beliau tegur,lalu diajak ke jalan yang benar untuk berbagi kasih dan ilmu. ItuKomaruddin Hidayat – 1193


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–semua oleh Nabi dijalani dengan penuh etika dan kesabaran yangluar bisa.Apakah Anda – kaitannya dengan kasih sayang yang tidak terbatas hanyapada kalangan Muslim, tetapi hendaknya juga menyayangi umat yang lain– berpandangan bahwa sudah saatnya menjadikan UIN lebih terbuka dengansiap menerima mahasiswa non-Muslim, misalnya?Sekarang ini masih ada pihak yang keberatan bagi mahasiswanon-Muslim untuk belajar di UIN. Ini perlu kita tanyakan apayang menjadi alasan keberatan mereka? Apakah kurang percayadiri terhadap kehadiran orang lain? Apa keberatannya orang non-Muslim mempelajari agama Islam yang kita yakini paling unggul?Kalau kita melarang, jangan-jangan akan dinilai menutup jalankebenaran. Bukankah itu dosa? Saya sendiri secara pribadi tidakapa-apa. Sebab dahulu umat Islam ketika tengah mengalami masakejayaannya juga menghargai dan menerima murid maupun profesordari agama lain. Problemnya, pada waktu itu umat Islamsedang percaya diri. Sebab, sikap inklusif mudah muncul ketikaorang dalam posisi kuat dan percaya diri. Sebaliknya, orang yangmudah marah dan sarat kecurigaan terhadap orang lain, pasti sedangmengalami krisis percaya diri.Kalau benar ada yang ditakutkan dengan penerimaan mahasiswanon-Muslim, sebenarnya hal itu perlu ditinjau ulang, apa pertimbanganutamanya, mengingat UIN bukanlah lembaga konspirasi,tetapi lembaga pendidikan dan peradaban. Kalau orang lain masukke UIN, berarti orang tersebut tertarik pada ilmu keislaman.Karena itu saya sebagai pribadi, bukan sebagai rektor, setuju apabilaUIN membuka diri dan mempersilakan umat lain menimba1194– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Komaruddin Hidayatilmu di kampus ini. Tetapi pertanyaannya, apakah memang sudahsiap? Apakah masyarakat, terutama umat Islam, juga sudah siapmenerima? Padahal, kalau kita percaya bahwa Islam dan kampusini merupakan sumber ilmu dan kebenaran, jangan dihalangi jikaada orang yang tertarik untuk datang belajar. Siapa tahu akanjadi amal saleh. Kalau mereka tidak diperbolehkan datang, berartikita menutup pintu dakwah. Tetapi, lagi-lagi cara berpikir saya inimungkin berbeda dari teman lain.Jadi, di sini ada logika yang kurang konsisten. Di sisi lain agamamenyuruh untuk berdakwah kepada orang kafir, tetapi ketikaada orang kafir datang malah ditolak. Tentu saja kalau orang kafiritu membawa api permusuhan, buat apa diterima. Tetapi kalaumereka mau belajar, tidak ada salahnya untuk diterima di UIN.Namun saya sangat menyadari bahwa institusi ini milik negaradan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sehingga mesti izinterlebih dahulu pada semua pihak.Wawancara dilakukan di JakartaKomaruddin Hidayat – 1195


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganLies Macoes-NatsirLies Macoes-Natsir, aktivis perempuan tamatan Institut Agama Islam Negeri (IAIN)Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN).1196


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisasi dipilih para pendiri republik ini ketika mereka menolakPiagam Jakarta dan menghilangkan tujuh kata di belakang silapertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini adalah upaya untukmenjaga netralitas negara terhadap semua warganya. Keindonesiaankita sedang mendapat ancaman dari tiadanya demarkasiyang jelas antara wilayah privat (agama) dengan publik (negara).Maka, Indonesia harus mengambil langkah sekularisasi sebagaijawaban niscaya bagi penyelesaian masyarakat yang plural. Untukitu dibutuhkan ketegasan menarik jarak dengan urusan primordialagar negara dapat bersikap adil kepada semua entitas warga yangberbeda. Kita membutuhkan suatu pandangan bersama semacamPancasila dan aturan-aturan praktis yang mampu mewadahi keanekaragamansekaligus melindungi keyakinan kita dari intervensidan kepentingan politik.Lies Marcoes-Natsir – 1197


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana Anda memandang sekularisme yang sering dipandang negatifoleh banyak kalangan?Awal tahun 2006 saya diundang sekelompok perempuan yang,katakanlah, sudah selesai secara ekonomi. Mereka umumnya lahirdan besar dari keluarga Muslim atau setidaknya Abangan. Bahkansebagian anak-anak mereka menikmati lembaga pendidikan Islammodern dan elitis. Sesuatu yang tidak mereka rasakan tempo harikarena mereka umumnya sekolah di lembaga pendidikan Katolikatau swasta lainnya. Sebagian besar mereka atau suami merekamungkin menikmati liberalisme ekonomi pada masa Orde Baru.Pendeknya mereka adalah ibu-ibu kelas mapan Jakarta.Undangan bersifat informal itu dimulai dengan sebuah cerita.Rupanya mereka baru kembali dari Turki. Dalam tuturannya,mereka di sana menyaksikan sesuatu yang menurut mereka sangatmengagumkan, demikian mereka bercerita. Bukan sekadar alamnyayang indah, tetapi situasinya yang mengesankan sebagai kotaperadaban Islam. Mereka berkesimpulan bahwa Turki telah berhasilmembangun sebuah negara modern dengan tetap mencirikansebuah negara sekular, tetapi dengan fondasi kebudayaannya (Islam)yang kuat. Keberhasilan ini, menurut mereka, karena Turkiberhasil melalui proses sekularisasi.Ketika mereka kembali ke tanah air, demikian lanjutan ceritanya,mereka seperti merasakan kegelisahan yang tak bisa dibuangdengan pergi tidur atau berlibur. Harap dicatat, ketika itu di Jakartasedang terjadi perdebatan yang sangat hangat soal rancanganUndang-undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Masyarakat nyaristerbelah antara yang pro dan kontra. Hampir setiap minggu dijalan-jalan utama di Jakarta terjadi pawai dan demonstrasi yangmenunjukkan polarisasi pendapat atas RUU itu.1198– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Secara diametral para ibu “gedongan” ini mencoba membanding-bandingkankondisi masyarakat Islam di sini dan di Turki.Menurut mereka, Islam di sini tak lagi ramah seperti di masa lalu.Setiap perbedaan seringsekali disikapi dengan kekerasan dan tindakanarkis. Mereka, sebagaimana Buya Syafii Maarif, demikian jengkelpada perilaku kampungan para“pembela Islam” yang datang keSecara sederhana saya memaknaikafe atau ke tempat ibadah agamalain dengan cara-cara keke-sekularisasi sebagai pemisahanruang privat dan publik.rasan. Secara langsung tampilan Pemisahan sama sekali tidakpara “preman berjubah” itu tampaknyatelah mengganggu ke-pemusnahan agama. Pemisahanberarti penghilangan apalagitentraman kaum ibu yang merasamemiliki Islam juga. “Biar fungsi pada tempatnya. Urusanartinya mendudukkan ruang danbegini, saya ini Muslim”, demikianbiasanya mereka mengenal-dengan mengacu pada konsepagama, dalam pemahaman sayakan identitas dirinya.sekularisasi, seharusnya masukDari sini, diperoleh gambaransederhana bahwa Islam pribadi. Sebab, spiritualitas adalahke persoalan privat, urusanpengalaman pribadi.di negara Indonesia telah mengalamiproses fundamentalisme.Dan ini, bagi ibu-ibu, sangat mengkhawatirkan. <strong>Kebebasan</strong> yangselama ini mereka peroleh baik sebagai warga negara atau sebagaiumat Islam, merasa terusik oleh perilaku kalangan fundamentalisitu. Menurut mereka, Islam Indonesia saat ini telah menjadi suatukekuatan dengan watak minoritas, meskipun pada kenyataannyamereka yang mayoritas bahkan dominan. Dengan watak minoritasdimaksud, kalangan tertentu merasa punya mandat untuk melakukanproteksi terhadap keyakinannya dan merasa punya wewenangLies Marcoes-Natsir – 1199


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–untuk melakukan apa saja termasuk represi kepada kelompok lainyang dianggapnya bertentangan. Celakanya, dalam situasi itu negaramalah bungkam atau setidaknya tak kunjung tegas. Tidak salah jikanegara bahkan dianggap tunduk pada perilaku sipil yang represifitu. Padahal sudah sangat jelas Islam Indonesia dewasa ini adalahkelompok mayoritas dan bahkan dominan. Di sisi lain, pluralitasIndonesia adalah sebuah keniscayaan.Mengapakah sikap primordial Islam muncul, sementara merekasendiri justru sang mayoritas? Mengapakah selalu muncul anggapanbahwa Islam sedang terancam sehingga harus melakukan tindakanapapun, termasuk kekerasan untuk membelanya? Bukankah untuksebuah negara yang plural dibutuhkan sebuah ketegasan dalammenarik jarak dengan urusan primordial, sehingga negara dapatbersikap adil kepada semua entitas warga di negara ini? Menurutmereka, kita membutuhkan suatu pandangan bersama semacamPancasila dan aturan-aturan praktis yang mampu mewadahi keanekaragamanIndonesia, sekaligus melindungi keyakinan kita dariintervensi dan kepentingan politik. Contoh perda-perda yang diberilabel “syariat Islam” yang pada intinya mengatur urusan-urusanperilaku personal dan bukan publik menjadi rujukan betapa bedanyakita dengan Turki.Kesimpulan tentang kemajuan Turki boleh jadi benar, dalambeberapa hal, namun juga terlalu naif, untuk hal lain. Mereka tentunyatahu bahwa ketika sekularisasi menjadi “panglima”, represiyang dilakukan negara atas nama sekularisasi di Turki juga luar biasa.Kelompok Muslim tak memiliki kebebasan sedikitpun untuk menunjukkankemusliman mereka di ruang publik. Perempuan Muslimmengalami kekerasan yang berlipat dibandingkan kaum lelakinya.Sebab selain ditekan negara, dalam situasi seperti ini mereka juga1200– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ditekan para pemuka agama agar patuh pada pandangan tradisionalihwal perempuan dalam agama seperti kewajiban menggunakanjilbab di ruang publik. Akibatnya, banyak dari mereka tidakdapat mengikuti pendidikandi sekolah umum atau bahkanTentu saja tak semua produk fikihharus berhenti bekerja.dikesampingkan dalam mengaturSebetulnya represi yang dilakukannegara pernah dialami Perkawinan adalah satu contohurusan publik. Undang-undangkalangan Muslim di Indonesia bagaimana produk pemikiran fikihpada masa awal Orde Baru. diubah menjadi hukum positif.Islam politik benar-benar di Seperti sebuah irisan diagramtindas. Islam budaya dikerdilkanmenjadi sekadar hiburan merupakan sebuah kesatuanven, Undang-undang perkawinanatau ritual tanpa ruh. Atas dari berbagai pandangan fikih dinama politik SARA, kepelbagaianharam untuk dibicarakan pandangan yang berbeda-beda itumana semua lingkaran-lingkaranapalagi dipertentangkan. Konsepbudaya rukun, sebuah carabersinggungan membentuk sebuahlingkaran dalam yang relatif bulat.Lingkaran dalam itulah yang kitapandang yang dicaplok mentah-mentahdari budaya Jawa,namakan maslahah atau kebaikan.Sejauh itu membawa kemaslahatanditerapkan dengan paksa ke seluruhpenjuru negeri ini. Per-untuk semua, fikih atau hukumadat atau apapun bisa disodorkanbedaan direkayasa untuk dikelolamenjadi harmoni yang kemudian diuji secara demokratis.sebagai sumber hukum yangjuga diterapkan tanpa dibicarakanterlebih dahulu. Pancasilayang seharusnya dapat menjadi ideologi terbuka, ditafsirkan tunggaloleh dan untuk kepentingan Orde Baru. Jadi, terlepas betapapunnaifnya mengagungkan keberhasilan Turki dalam sekularisasi,Lies Marcoes-Natsir – 1201


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menurut saya kegelisahan mereka tentang represi yang dilakukankalangan agama kepada kelompok lain adalah sah adanya.Sebenarnya apa yang Anda maknai dengan sekularisasi itu; apa bedanyadengan sekularisme? Relevankah gagasan tersebut buat Indonesia?Secara sederhana saya memaknai sekularisasi sebagai pemisahanruang privat dan publik. Pemisahan sama sekali tidak berartipenghilangan apalagi pemusnahan agama. Pemisahan artinya mendudukkanruang dan fungsi pada tempatnya. Urusan agama, dalampemahaman saya dengan mengacu pada konsep sekularisasi,seharusnya masuk ke persoalan privat, urusan pribadi. Sebab, spiritualitasadalah pengalaman pribadi. Dari sisi historis, sekularisasidi Barat terjadi ketika gereja pada Abad Pertengahan mendominasikehidupan warganya. Segala sesuatu ditentukan dan diputuskan olehgereja dan didasarkan pada rujukan yang subyektif, yaitu wilayahkeyakinan. Mengambil kata Yunani saekulum, sekular artinya dunia;serba dunia. Sekularisme adalah pemikiran atau konsep yangmemisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Melalui usahasekularisasi ini institusi gereja ditolak atau setidaknya dibatasi kehadirannyaagar mereka tidak ikut cawe-cawe mengurusi urusanpublik. Wilayah gereja seharusnya terbatas hanya mengurus umat,dan karenanya bersifat domestik dan subyektif. Sementara urusanpublik seharusnya diserahkan kepada negara dan karenanya mestibersifat netral, objektif demi melindungi semua warganya terlepasdari apapun latar belakangnya baik secara sosial, etnis, gender dankeyakinannya.Dominasi gereja memang tidak terjadi di negeri ini. Tapi kebutuhanuntuk melakukan sekularisasi di Indonesia bagi saya adalah1202– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nyata. Berbeda dengan di Barat, yang kita butuhkan adalah menarikjarak dari fikih yang diformalkan menjadi peraturan-peraturanatau hukum positif. Fikih sebagai produk pemikiran ulama kebanyakanbersifat khilâfiyah (di dalamnya terdapat perbedaan pendapat).Sebuah hukum yang khilâfiyah seharusnya tak dipaksakanmenjadi hukum positif yang kemudian menjadi makna tunggal.Aturan-aturan yang berkaitan dengan peran dan kedudukan perempuan,atau mengatur bagaimana perempuan sebagai warga negaraharus bertingkah laku, tidak bisa dipaksakan oleh hanya satumazhab dalam fikih.Tentu saja tak semua produk fikih dikesampingkan dalammengatur urusan publik. Undang-undang Perkawinan adalah satucontoh bagaimana produk pemikiranfikih diubah menjadihukum positif. Seperti se-sekularisasi di Indonesia berbandingDiakui atau tidak, sejarahbuah irisan diagram ven, Undang-undangperkawinan me-ini. Sekularisasi dalam pendapatlurus dengan berdirinya republikrupakan sebuah kesatuan dari saya telah dipilih oleh para pendiriberbagai pandangan fikih di Republik ini ketika mereka menolakmana semua lingkaran-lingkaranpandangan yang ber-7 kata di belakang sila pertamaPiagam Jakarta dan menghilangkanbeda-beda itu bersinggungan “Ketuhanan yang Maha Esa”.membentuk sebuah lingkaran Sangat jelas ini adalah upaya untukmenjaga netralitas negara terhadapdalam yang relatif bulat. Lingkarandalam itulah yang kitasemua warganya.namakan mashlahah atau kebaikan.Sejauh itu membawa kemaslahatan untuk semua, fikih atauhukum adat atau apapun bisa disodorkan sebagai sumber hukumyang kemudian diuji secara demokratis.Lies Marcoes-Natsir – 1203


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Diakui atau tidak, sejarah sekularisasi di Indonesia berbandinglurus dengan berdirinya republik ini. Sekularisasi dalam pendapatsaya telah dipilih oleh para pendiri Republik ini ketika merekamenolak Piagam Jakarta dan menghilangkan 7 kata di belakangsila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”. Sangat jelas ini adalahupaya untuk menjaga netralitas negara terhadap semua warganya.Sebagai mayoritas, umat Islam waktu itu justru bersikap legowountuk menghormati kepelbagian di negeri ini. Mereka tidak ajimumpung sama sekali. Dengan menyadari bahwa agama dan adatadalah dua hal yang teramat penting dalam mengatur kebutuhandan tata hubungan antar-umat beragama, maka sampai batas tertentunegara diberi wewenang untuk mengurusinya. Dan denganmelanjutkan tradisi birokrasi jajahan Belanda, urusan umat kemudiandiserahkan kepada Departemen Agama. Sementara untuktata hubungan internal agama diserahkan kepada umat sendiri. Disanalah peran organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah danNU menjadi sangat penting. Negara secara objektif semestinyaberhubungan dengan umat melalui perwakilannya, baik di partaiatau di organisasi keagamaan. Berbagai keperluan umat agar mendapatkankenyamanan dalam menjalankan keyakinannya, diurusdan dikomunikasikan melalui badan-badan tersebut. Dengan pemaknaanseperti itu setiap upaya sekularisasi bagi sebuah negarayang plural seperti Indonesia, buat saya adalah niscaya. Apalagiuntuk kondisi saat ini.Mengapa saat ini Anda merasa sekularisasi begitu penting untukkondisi Indonesia?1204– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ya karena dalam perkembangannya kita melihat bahwa campurtangan agama ke dunia publik, secara perlahan tetapi pasti, mulaitak terkendali. Ini karena kita membiarkan Islam menjadi hanyapada simbol dan politik. Padahal seharusnya kita bersikukuh padaIslam yang substantif yang di dalamnya justru termuat nilai-nilaipluralisme, kesetaraan antara manusia, berlomba untuk hal yangbaik bagi kemanusiaan danseterusnya. Contoh sederhana Diakui atau tidak, sejarahadalah soal seragam sekolah. sekularisasi di Indonesia berbandingSeragam sekolah semula diciptakanuntuk mengelimina-ini. Sekularisasi dalam pendapatlurus dengan berdirinya republiksi perbedaan antarstatus sosial saya telah dipilih oleh para pendiriwarga, suku, ras, dan agama. Republik ini ketika mereka menolakTapi tiba-tiba seragam telah dititipiatribut agama atas nama 7 kata di belakang sila pertamaPiagam Jakarta dan menghilangkanpengajaran moral bagi anak “Ketuhanan yang Maha Esa”.didik. Saya bukan tidak setujudengan pendidikan moral,Sangat jelas ini adalah upaya untukmenjaga netralitas negara terhadapsemua warganya.budi pekerti, tetapi bagi sayapendidikan moral di sekolahharusnya yang memiliki nilai-nilai universal dan berlaku umum,tidak didasarkan pada salah satu pandangan mazhab dalam fikih.Mengajarkan tentang kebersihan, kejujuran, sopan-santun, berbuatbaik kepada sesama teman, menghormati perempuan, hal-hal tersebutlebih substantif dan berlaku umum ketimbang mewajibkananak perempuan memakai rok panjang atau anak laki-laki memakaibaju koko di hari Jumat. Kalau menghendaki bahwa penggunaanbaju itu diberi nilai-nilai agama, mengapa tidak pada yang sub-Lies Marcoes-Natsir – 1205


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–stansinya. Misalnya memenuhi nilai-nilai kebersihan, kepantasan,jauh dari riyâ’ (pamer) dan sombong.Katakanlah sebagai mayoritas kita ingin agar cara berpakiantetap bersumber dari nilai-nilai fiqhiyah. Mengapa kita tidakmencari pandangan yang lebih moderat, misalnya batas-batas auratdari mazhab Hanafi yang cukup di bawah dengkul. Jadi denganmenggunakan rok seperti itu, bagi anak-anak Muslim telahmemenuhi tuntutan fikih, bagi kelompok lain tak merasa adapemaksaan mengikuti keyakinan orang lain. Substansinya adalahmereka menggunakan seragam dengan tetap Islami, sopan, memenuhinilai-nilai kepantasan dan bisa digunakan oleh semua siswaapapun latar belakang agamanya. Dari segi praktisnya rok di atasmata kaki justru memudahkan anak-anak perempuan untuk bergeraksesuai dengan perkembangan kejiwaannya sebagai remaja.Sekolah umum menurut pandangan saya seharusnya mengutamakansebuah “ruang” di mana persamaan menjadi pengikat wargabelajar dan seragam sekolah adalah salah satu medianya. Namunketika seragam kemudian diintervensi oleh salah satu pandanganagama yang bersifat mengikat, yang secara nyata membeda-bedakanwarga belajar berdasarkan keyakinannya, maka dalam hal ini sayamerasa membutuhkan penjelasan.Bukankah dulu Orde Baru juga melakukan hal yang sama, memaksakansiswa untuk tidak menggunakan jilbab? Bukankah ini jugapemaksaan?Itu jelas berbeda. Orde Baru melakukan pemaksaan untuktidak menggunakan sesuatu yang diyakini siswa. Sementara sekaranganak-anak dipaksa untuk memakai sesuatu yang belum1206– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tentu mereka yakini. Ketika para siswa dengan sukarela memakaijilbab, siswa lainnya masih punya pilihan individu. Sebab ini adalahpilihan kesadaran. Negara jelas tidak boleh melarang seseorangmenjalankan keyakinanya. Tetapidalam hal penggunaan rokBagi saya pendidikan moral dipanjang atau bahkan jilbab di sekolah harusnya yang memilikihari Jumat, ini adalah bentuk nilai-nilai universal dan berlakupemaksaan yang dilakukan sebuahperaturan untuk sesuatu salah satu pandangan mazhabumum, tidak didasarkan padayang belum tentu diyakini siswaatau orang tuanya. Ketika kebersihan, kejujuran, sopan-dalam fikih. Mengajarkan tentangJilbab dilarang, saya berteriak santun, berbuat baik kepadadan menyatakan itu melanggar sesama teman, menghormatiHAM. Begitu juga ketika rok perempuan, hal-hal tersebut lebihpanjang dipaksakan, saya juga substantif dan berlaku umumberteriak karena itu juga pelanggaran.Pada kasus pertamaketimbang mewajibkan anakperempuan memakai rok panjangatau anak laki-laki memakai baju(penggunaan jilbab) dasarnyakoko di hari Jumat.adalah pelanggaran atas keyakinan,sementara penggunaanrok panjang dasarnya adalah paksaan atas nama peraturan. Bagisaya keduanya sama-sama paksaan: yang pertama, paksaan untukmembuka (kasus Orde Baru); yang kedua, paksaan untuk menggunakan.Padahal, dalam ibadah harusnya tidak ada paksaan!Ada hal lain yang jauh lebih bermasalah. Ketika pelaranganatas penggunana jilbab terjadi, kita bisa berteriak atas namaHAM. Tetapi ketika anak kita dipaksa untuk menggunakan rokpanjang dan jilbab, kita tidak bisa berteriak lagi. Sebab, sangsinyakita dianggap melawan Tuhan atau minimal melawan aturanLies Marcoes-Natsir – 1207


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–agama. Ketika jilbab dilarang, kalangan aktivis HAM dan agamabahu-membahu untuk melawan peraturan negara yang represif itu.Tetapi, sekarang ketika pemaksaan penggunaan rok dilakukan, secarahorisontal warga negara harus berhadap-hadapan antara yangpro dan yang kontra. Lebih dari itu, agama kemudian menjadiunsur yang memaksa, menjadi tiran. Sebagaimana diungkapkanoleh kalangan ibu-ibu “gedongan” tadi. Ketika agama melakukanintervensi terhadap kepentingan-kepentingan publik yang di dalamnyaterdiri dari pelbagai agama dan kepentingan, sebenarnyapada saat itu agama telah menciderai akal sehat atau malah telahmemberangus akal sehat.Selain persoalan itu, apalagi yang mendasari mengapa sekularisasipenting bagi Indonesia?Momentum paling baru yang memicu kegelisahan orang dankemudian mulai memikirkan lagi perlunya sekularisasi adalah ketikaterjadi kontroversi dalam Rancangan Undang-undang Antipornografidan Pornoaksi (RUU-APP). Telah saya katakan, kalanganyang menolak RUU APP seperti saya, bukan datang dari kelompokyang tidak beragama, kami umumnya berasal dari keluarga Muslimyang terdidik dan tidak berkeberatan anak kami atau keluarga,bahkan diri sendiri, mengenakan jilbab sebagai pilihan keyakinan.Namun ketika aturan-aturan agama tersebut dipaksakan masuk kedalam domain publik, kita menjadi tidak punya pilihan. Padahalagama sendiri memberikan pilihan. Pada akhirnya kami merasabahwa akal sehat kita tidak lagi bisa digunakan. Spiritualitas kitadipasung dan dikendalikan orang lain. Bagaimana bisa menjalankan1208– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–keyakinan begitu saja disamakan dengan mengurus KTP? Inikahmodel bermasyarakat yang kita kehendaki?Sementara itu di daerah-daerah muncul perda-perda yang tendensinyamengatur persoalan-persoalan privat yang dasarnya adalahpenafsiran fikih yang masih mengidap khilâfiyah. Perda tentangkewajiban menjalankan salat secara berjamaah, atau kewajibanmenggunakan jilbab atau menggunakan kemampuan baca tulis al-Quran sebagai syarat untuk masuk tingkat SD atau SMP, misalnya,pada titik ini saya melihat bahwa keindonesiaan kita memang sedangmendapat ancaman dari tiadanya demarkasi yang jelas antarawilayah privat agama denganwilayah publik negara. PadaBagi saya, sepanjang masih adasisi ini, menurut saya, sekularisasibagi Indonesia menjadiumat manusia, spiritualitas agamatidak akan pernah mati. Yang justruniscaya.mendesak untuk dilakukan adalahsejauh mungkin agama mengambilDalam konteks Indonesia mengapahal seperti ini muncul? Bukankahdari dulunya kita telahmenetapkan Indonesia menjadinegara yang memang tidak berbasiskanagama?jarak dari negara. Mengambiljarak yang jauh tak berarti agamamati, sebaliknya mendekat,bahkan menempelpun, belumtentu hidup. Sekularisasi adalahpilihan. Sekularisasi dapat dijadikanjawaban dan penyelesaian bagiMenurut saya, salah satu sebuah masyarakat yang plural.akar persoalannya adalah karenarezim Orde Baru gagal membuktikan bahwa pembangunanekonomi di Indonesia berhasil dengan merata. Satu hal yang sangatpenting dalam ruh Islam adalah adanya panggilan untuk mengatasikrisis, untuk berjihad melawan kezaliman. Namun, ketika OrdeLies Marcoes-Natsir – 1209


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Baru gagal, muncul kembali gagasan-gagasan untuk berjihad. Celakanya,jihad tersebut bukan dengan mengatasi krisis; tetapi denganmenawarkan ideologi Islam sebagai solusi.Sangat menarik bahwa pada mulanya Soeharto sangat engganbekerjasama dengan kalangan agama. Namun dalam dekade keduadan ketiga dari pemerintahannya, Soeharto kemudian makinmendekat kepada kelompok Islam. Tampaknya, ini merupakan carauntuk mendapatkan dukungan dengan ongkos murah. Soehartomemilih bermain mata dengan kelompok mayoritas agama yangada di mesin birokrasi. Golkar yang sebagian besar di-support olehkalangan Islam terdidik segera menjadi the ruling class. Sayangnya,kesempatan ini tidak digunakan oleh mereka untuk menunjukkanpenyelenggaraan negara yang bersih yang didasarkan pada nilai-nilaisubstantif Islam. Sebaliknya Islam hanya dihadirkan pada simbolnya,cangkangnya dan semata-mata kemudian digunakan sebagaikendaraan politik.Kelalaian kalangan Islam birokrat yang sebagian besar berasaldari organisasi kemahasiswaan seperti HMI ini kemudian dimanfaatkankelompok fundamentalis untuk menawarkan Islam ideologisebagai solusi atas berbagai krisis di negeri ini. Sementara diwilayah non formal, mereka masuk ke relung-relung wilayah kerjaorganisasi kemasyarakatan Islam yang selama ini digarap NUdan Muhammadiyah. Terbukanya hubungan mesra antara negara(rezim Orde Baru) dengan kalangan agama, yang dalam periodeberikutnya berlanjut dengan terpilihnya Gus Dur menjadi presiden,menyebabkan umat terbengkalai, sementara tokoh-tokohnyaasyik dengan agendanya masing-masing. Kita mungkin masih ingatpernyataan salah satu pelaku peledakan Bom Bali II, si Ayip dariPamarican, Banjar, Jawa Barat. Pernyataannya jelas menunjukkan1210– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–betapa dia teraniaya oleh kemiskinanya, tapi pada saat bersamaan,sekaligus mendapatkan harapan dari langit: “Ibu, saya minta maaf,tapi seperti yang Ibu katakan, biarlah kita miskin di dunia, tapi kitaakan kaya raya di akhirat”. Buat saya itu adalah signal yang sangatkuat bahwa Islam gagal memberikan kesejahteraan kepada umatnya.Pimpinan agama hanya sibukuntuk meniti dan menyusunPesantren memiliki sumber dayatangganya masing-masing.yang luar biasa berupa santri-santriMaka, tidaklah keliru jikadan pengasuhnya yang kemudianbanyak dari umat kemudian ketika bergaul atau masuk lembagadigarap kelompok lain yang pendidikan di luar pesantrenmenawarkan ideologi Islam mereka sanggup menafsirkandengan turunan-turunannya, pandangan-pandangan dari bawahseperti perda syariat Islam sebagaisolusi. Dari kedekatan dengan perspektif keadilan jender.dengan perspektif baru, yaknipenguasa dengan kalangan Hasilnya adalah sekumpulan produkIslam birokrat – pada rezim pemikiran keagamaan yang sangatSoeharto, Habibie, Megawatidan sekarang SBY – inilah kelompok Islam dari dunia yangprogresif jika dibandingkan denganyang juga dimanfaatkan olehlain. Ini sebetulnya kekuatan yangluar biasa bagi gerakan perempuankalangan fundamentalis IslamIslam di Indonesia.untuk memaksakan ideologinyaagar masuk ke wilayahpublik secara formal. Sebagian dilakukan dengan cara-cara represi,sebagian lain dilakukan dengan cara yang lebih santun sepertimelalui partai politik atau dengan cara-cara yang bisa dikatakansah secara demokratis.Dengan pendekatan represi itu di satu pihak, dan pemaksaanidelogi dilakukan atas nama Tuhan di pihak lain, kita, umat IslamLies Marcoes-Natsir – 1211


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang berada di luar itu, kemudian sama sekali tidak diberi kesempatanuntuk bertanya, beradu argumen atau berdialog. Di daerahdaerahkita dikejutkan oleh terbitnya berbagai perda yang anehbin ajaib. Atau muncul jargon-jargon yang menunjukkan watakprimordial dan minority complex Islam seperti menerapkan syariatIslam secara kâffah. Karena itu, akal kita seperti dipasung sebab,seperti dalam sulap, kita tiba-tiba dipaksa untuk menerima logikabahwa perda-perda, seperti perda anti-maksiat, diyakini bisa menjadisolusi ampuh untuk berbagai krisis di negeri ini. Berhadapandengan kenyataan ini akal sehat kita terbang entah ke mana. Kitatidak punya ruang untuk bertanya atau mendiskusikannya. Wilayahagama dianggap sebagai wilayah sakral, dan karenanya dianggapsebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat dipertanyakan, apalagidigugat. Padahal beberapa peraturan tersebut, kalaupun dikaitkandengan aturan agama, sama sekali tak menyentuh esensi persoalankrisis yang dihadapi Indonesia dewasa ini.Ini semua, menurut saya, membuat Indonesia, bagaimanapunjuga, harus mengambil langkah-langkah sekularisasi. Artinya, kembalikanlahpersoalan-persoalan agama ke dalam wilayah privat, individu.Di wilayah publik, kalaupun mau, kita hanya mengambilesensinya. Dalam bahasa metodologi pembacaan teks, kita hanyamengambil yang qath‘î-nya, bukan yang zhannî. Kita mengambilyang universalnya, bukan yang partikluarnya. Atau, kita menebargaramnya, bukan memaksakan jenis dan bentuk masakannya. Itulahhakikat sekularisasi dan dasar perlunya sekularisasi di Indonesia.Tetapi apakah nantinya sekularisasi itu akan mematikan agama?1212– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Abdul Karim Soroush, professor tamu di lembaga internasionaluntuk kajian Islam di Belanda-ISIM, dulunya adalah seorangfundamentalis yang sangat percaya pada Islam ideologi. Dia adalahpendukung kuat revolusi Islam di Iran. Khomeini sendiri yang melantiknyasebagai anggota Dewan Revolusi Kultur Islam. Sekarangsetelah melihat perkembangandi tanah airnya, ia berpendapatIndonesia, bagaimanapun juga,bahwa negaranya memerlukanharus mengambil langkah-langkahsekularisasi demi “melindungisekularisasi. Artinya, kembalikanlahagama dan spiritualitas dari persoalan-persoalan agama kepermainan dan kepentingan dalam wilayah privat, individu. Dipolitik”.wilayah publik, jika pun mau, kitaMelihat pengalaman dan hanya mengambil esensinya. Dalamsejarah di tanah air kita saat bahasa metodologi pembacaanini, tidak bisa lain saya sepenuhnyasetuju dengan Soroush. qath‘î-nya, bukan yang zhannî. Kitateks, kita hanya mengambil yangBagi saya, sepanjang masih mengambil yang universalnya,ada umat manusia, spiritualitasagama tidak akan pernah kita menebar garamnya, bukanbukan yang partikluarnya. Atau,mati. Yang justru mendesakmemaksakan jenis dan bentukmasakannya. Itulah hakekatuntuk dilakukan adalah sejauhsekularisasi dan dasar perlunyamungkin agama mengambilsekularisasi di Indonesia.jarak dari negara. Mengambiljarak yang jauh tak berarti agamamati, sebaliknya mendekat, bahkan menempelpun, belum tentuhidup. Sekularisasi adalah pilihan. Sekularisasi dapat dijadikanjawaban dan penyelesaian bagi sebuah masyarakat yang plural.Sekularisasi memang memisahkan antara wilayah publik dankemasyarakatan sebagai wilayah sekular. Di dalamnya tidak adaLies Marcoes-Natsir – 1213


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–aturan-aturan yang mengikat warga yang secara langsung berkaitandengan keimanan seseorang. Bahwa kemudian seseorang menggunakankeyakinannya untuk menjalankan atau tidak menjalankannya,hal itu terpulang kepada yang bersangkutan. Misalnya, seseorangtidak berbuat korupsi pada dasarnya disebabkan karena diatahu korupsi adalah melanggar hukum. Mengambil hak warga lainadalah perbuatan salah secara hukum. Tapi bahwa dia mendapatkansemangat untuk tidak korupsi dari keimananya karena takutberbuat dosa, itu sah-sah saja.Jadi, meskipun gagasan sekularisasi untuk Indonesia dipermasalahkanatau dipertanyakan oleh kelompok lain, bagi saya ini adalahsebuah keharusan. Dengan sekularisasi bukan berarti urusan umatdan kebutuhannya lalu diabaikan. Sebaliknya, urusan umat bahkanbisa menjadi transparan, terang dan jelas. Contoh sederhana adalahdalam urusan ibadah haji. Tadi saya sudah menjelaskan DepartemenAgama adalah perpanjangan negara untuk mengatur kebutuhanumat dalam kenyamanan beribadah. Di sini gagasan sekularisasidalam mengurus manajemen haji dapat menerang-jelaskanpersoalan-persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan umat untukberhaji: bagaiamana angkutannya, pemondokannya, mengurus visanegara lain (Arab saudi), catering, dan lain-lain. Semuanya adalahurusan manajemen yang didalamnya membutuhkan pendekatandan perangkat sekular seperti komputer, bahasa, pesawat terbang,visa, dan sebagainya. Dengan pendekatan sekular ini persoalan hajibisa dibicarakan secara rasional, mengevaluasinya secara terukur danobjektif. Ini contoh sederhana bagaimana cara-cara sekular digunakanmesikupun untuk urusan ibadah. Kalau tidak dikelola secarasekular, maka kejadiannya seperti peristiwa kelaparan di Mina, sebagaimanaperistiwa haji tahun lalu, di mana umat diminta untuk1214– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bersabar dengan mengatakan,“ini ujian dari Tuhan”,padahal jelas-jelas ini adalahkebobrokan dalam pengelolaanhaji. Kedunguan dalamurusan catering diselesaikandengan perintah untuk bersabardan larangan untukbersakwasangka. Atas namaibadah kita dilarang mempertanyakancara kerja DepartemenAgama. Ini merupakanpembodohan yangluar biasa.Contoh lain adalah dalamkurikulum ekstra-sekolah.Saya menyekolahkananak saya ke sekolah umum.Selain murah, saya berharapanak saya bisa bersikap tolerankarena siswanya relatifberagam. Di sana ada Muslim,Kristen, Hindu, Budha,Tionghoa atau etnislain. Namun belakangan inianak saya wajib mengikutipembacaan al-Quran selama15 menit sebelum kelasdimulai. Saya sangat heran,Ada yang menyimpulkan bahwagerakan perempuan Islam di Indonesiajauh lebih baik daripada kelompokfeminis di negara berpendudukMuslim lainnya. Dalam beberapahal saya setuju dengan pendapatitu. Penyebabnya barangkali karena,pertama, Islam Indonesia adalahIslam periferal yang jauh daripusatnya. Oleh karena itu, kita punyakebebasan yang cukup besar untukmenginterpretasikan apa itu Islam danbagaimana peran perempuan dalamcorak Islam seperti itu. Kedua, secarakultural kita mempunyai kebudayaanyang sedemikian rupa sanggupmenyerap ajaran-ajaran Islam tanpabisa lagi memisahkannya. Artinya, kitatidak lagi bisa membedakan antarakultur dengan ajaran agama, karenakeduanya sudah menyatu. Ketiga,kita memiliki tradisi pesantren yangbukan hanya memiliki bangunan fisikdi mana anak lelaki dan perempuandididik dan ditumbuhkan, tetapi jugabangunan teologi yang bersumberdari kitab-kitab klasik yang masihterbuka untuk dibaca ulang demipenegakan hak-hak perempuan.”Lies Marcoes-Natsir – 1215


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mengapa sekolah umum mengurusi anak bisa ngaji atau tidak. Itubukan urusan sekolah; bukan urusan publik. Itu urusan keluarga;urusan privat. Berbeda kasusnya kalau anak saya disekolahkan kesekolah Islam (dan swasta).Saya adalah alumni IAIN (sekarang UIN Jakarta), jadi Andatak perlu meragukan saya. Bagi saya kalau anak saya mau belajarmembaca al-Quran itu bukan menjadi kewajiban sekolah, melainkankewajiban saya, orang tuanya. Paling jauh itu menjadi kewajibankomunitas dengan menyediakan Taman Pengajian al-Quran.Ketika saya tanyakan kepada pihak sekolah, mereka mengatakandengan membaca al-Quran anak didik diharapkan akan menjadianak yang saleh dan mempunyai budi pekerti. Tapi bagaimanakahanak didik akan melakukan itu, sementara yang diwajibkanmembaca adalah anak-anak dengan latar belakang Muslim, anaklain bagaimana? Katakanlah jawabannya adalah agama lain pundiwajibkan membaca kitabnya. Tapi bagaimanakah dari agamayang berbeda-beda diharapkan akan keluar sebuah etika yang samayang bisa berlaku umum tanpa melalui proses yang mengakui kesamaandi antara agama-agama itu? Bukankah kita menganggapIslam adalah agama paling benar? Demikian juga dengan agamayang lainnya. Terlebih, karena anak-anak kita yang Muslim hanyamembaca tanpa memahami maknanya. Jadi, kesalehan dan budipekerti macam apa yang diinginkan lahir dari anak yang sama sekalitidak paham dengan apa yang dibacanya? Jika anak diminta untuktidak membuang sampah sembarangan, tidak merokok atau tidakmelakukan tindakan kekerasan, saya mengerti itu adalah bagiandari penerapan ajaran budi pekerti. Jika anak diminta untuk tidakberbuat aniaya kepada sesama, murid laki-laki tidak melecehkanmurid perempuan, tidak bolos atau tidak berdusta, saya mengerti1216– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bahwa itu adalah penjabaran dari konsep anak saleh. Tetapi jikaanak didik diwajibkan membaca al-Quran, lalu diharapkan menjadianak yang berdisiplin, saleh dan berbudi pekerti, saya sama sekalitidaak paham! Maaf, saya tak bisa melihat hubungannya!Sebagai seorang aktivis perempuan, problem apa sebetulnya yang Andaanggap paling berat untuk terus diperjuangkan?Saya melihatnya begini: dalam situasi global saat ini, sebagaimanakita semua tahu, kita berhadapan dengan sikap negara-negaraadidaya yang begitu arogan dan mengabaikan realitas ketertindasannegara-negara berkembang,terutama dunia Islam.Pluralisme, menurut saya,Melihat realitas yang demikian,kita seperti melihat orang saat ini muncul euforia lokalitas.menjadi sangat penting ketikaadu tarik-tambang. Di satu Yakni ketika Indonesia daripihak negara adidaya yang begituarogan, mendiktekan ke-daerah masyarakatnya semakinera reformasi ke era otonomimauannya sendiri, memberlakukanstandar ganda, me-identitas dan lokalitas merupakanmenganggap bahwa genuinitasngontrol dan mencurigai negaralain sementara negara sendi-hal yang sangat penting.ri sewenang-wenang. Di sisi lain, terutama kelompok Islam padakenyatannya begitu tidak berdaya dari sisi apapun, seperti ekonomi,ilmu pengetahuan, SDM dan seterusnya. Umat Islam di manamanamengalami kolonialisme (baru) dalam bentuknya yang lain.Bagaimana kita dapat melihat keadilan dalam struktur dunia yangtimpang seperti ini? Sementara itu, dari kelompok-kelompok yangkalah ini, tampaknya hanya kegilaan kelompok fundamentalis sajaLies Marcoes-Natsir – 1217


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang dapat mengimbangi dominasi negara adidaya tersebut. Melihatarogansi negara adidaya dan lemahnya negara-negara Muslim,saya hanya bisa mencoba mengerti, meskipun dengan sangat sedih,bahwa untuk menghadapi kegilaan negara super power itu ternyatahanya bisa dengan sikap militan, sikap fundamentalis.Lantas di manakah posisi kelompok perempuan? Kelompok perempuansebetulnya berada di antara dua posisi yang tarik-menarikini. Persis sama dengan pola di atas: di satu pihak ada masyarakatdunia yang patriarkal, yang di dalamnya bercokol ideologi liberalyang menempatkan perempuan sebagai objek. Perempuan adalahkomoditas sekaligus target pasar. Kehadiran perempuan dianggappenting bukan untuk kepentingannya, tetapi untuk kepentinganekonomi global dan kapitalisme. Agar mereka bisa survive danmampu bersaing di dunai publik yang patriarkal, mereka dituntutmenjadi warga dunia dengan pendekatan maskulin; sanggup melakukanekspansi, penaklukan, adu otot dan kekuatan, mengesampingkannilai-nilai kelembutan dan seterusnya. Dengan cara berpikirseperti itu, bahkan rahim perempuan juga harus dikendalikan.Tujuannya adalah produktivitas. Beranak pinak dianggap sebagaipenghambat produktivitas. Keluarga sejahtera diukur dari seberapakecil keluarga itu. Kelompok liberal ini memosisikan perempuansedemikian rupa untuk kepentingan ekonomi. Mereka sangat berkepentingandengan rahim perempuan. Kaum perempuan dituntutuntuk membatasi kelahirannya agar ongkos produksi rendah danproduktivitas tetap tinggi sebagai tenaga kerja yang murah.Di pihak lain, kaum perempuan berhadapan dengan cara pandangdan kelompok fundamentalis yang juga menganut ideologipatriarkal. Perempuan bagi kelompok ini adalah eksistensi dan hargadiri mereka. Karena yang diangap sang musuh adalah modernisasi1218– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang mewujud dalam hal-hal yang serba Barat, maka perempuanmenjadi rentan ketika dikaitkan dengan hal- hal yang dianggapBarat. Pendidikan, misalnya, pada mulanya adalah personifikasiBarat. Pendidikan, pada masa penjajahan dianggap monster yangdapat merusak kemurnian perempuan. Rusaknya kemurnian perempuansama dengan hancurnya Islam. Akibatnya dengan berbagaicara perempuan mengalamipemingitan dalam modus danNegara secara objektif semestinyabentuk yang berbeda-beda. Dimulaidari pembatasan ruang perwakilannya, baik di partaiberhubungan dengan umat melaluigeraknya, seperti pembatasan atau di organisasi keagamaan.untuk bicara, sampai pembatasanuntuk masuk dan ber-mendapatkan kenyamanan dalamBerbagai keperluan umat agargerak di ruang publik sebagaipemimpin. Namun dalam dan dikomunikasikan melaluimenjalankan keyakinannya, diuruswaktu yang bersamaan, kalanganfundamentalis sangat pemaknaan seperti itu setiap upayabadan-badan tersebut. Denganpaham bahwa keberadaan merekatergantung benar kepada yang plural seperti Indonesia, buatsekularisasi bagi sebuah negarasaya adalah niscaya.keberadaan kaum perempuan.Melalui perempuanlah anggotamereka bisa bertambah baik dengan cara banyak melahirkan ataumemperbanyak istri-istri. Kelompok fundamentalis memperlakukanperempuan sebagai kelompok yang homogen, yang dalam bayanganmereka dianggap sebagai satu-satunya harapan masa depankelompok ini.Dengan mengeskploitasi rahim serta melalui perannya sebagaiseorang ibu, perempuan diterima kehadirannya. Jadi, ada dua kelompokbesar yang secara bersamaan menghimpit perempuan demiLies Marcoes-Natsir – 1219


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kepentingan mereka masing-masing. Ini adalah situasi global yangsedang dihadapai oleh kelompok perempuan.Jika demikian rentannya posisi perempuan, kemudian apa tawaranAnda agar perempuan bisa keluar dari himpitan seperti ini?Saya tidak punya resep yang yang bisa mengobati segala macampenyakit. Kita harus melihatnya dalam konteks yang berbeda-beda.Tetapi, saya kira, kita bisa belajar dari pengalaman kita sendiri. Feminismesebagai ideologi sekaligus gerakan kesadaran tentang hakhakperempuan barangkali bisa menjadi tawaran. Tapi sekali lagitidak bisa digeneralisasi. Ada yang menyimpulkan bahwa gerakanperempuan Islam di Indonesia jauh lebih baik daripada kelompokfeminis di negara berpenduduk Muslim lainnya. Dalam beberapahal saya setuju dengan pendapat itu. Penyebabnya barangkali karena,pertama, Islam Indonesia adalah Islam periferal yang jauh daripusatnya. Oleh karena itu, kita punya kebebasan yang cukup besaruntuk menginterpretasikan apa itu Islam dan bagaimana peran perempuandalam corak Islam seperti itu. Kedua, secara kultural kitamempunyai kebudayaan yang sedemikian rupa sanggup menyerapajaran-ajaran Islam tanpa bisa lagi memisahkannya. Artinya, kitatidak lagi bisa membedakan antara kultur dengan ajaran agama,karena keduanya sudah menyatu.Ketiga, kita memiliki tradisi pesantren yang bukan hanya memilikibangunan fisik di mana anak lelaki dan perempuan dididikdan ditumbuhkan, tetapi juga bangunan teologi yang bersumberdari kitab-kitab klasik yang masih terbuka untuk dibaca ulangdemi penegakan hak-hak perempuan. Pesantren memiliki sumberdaya yang luar biasa berupa santri-santri dan pengasuhnya yang1220– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kemudian ketika bergaul atau masuk lembaga pendidikan di luarpesantren mereka sanggup menafsirkan pandangan-pandangan daribawah dengan perspektif baru, yakni dengan perspektif keadilanjender. Hasilnya adalah sekumpulan produk pemikiran keagamaanyang sangat progresif jika dibandingkan dengan kelompok Islamdari dunia yang lain. Ini sebetulnya kekuatan yang luar biasa bagigerakan perempuan Islam di Indonesia.Keuntungan lain, kita memiliki ormas keagamaan yang anggotanyaribuan perempuan dari desa sampai ke kota. Ini potensiyang luar biasa. Orde Baru pernah memanfaatkan mereka untukmenyebarkan gagasan dan program pembangunan. Jadi, betapakekuatan mereka sangat dahsyat. Ingat kasus ditinggalkannya AaGym oleh jamaahnya. Gara-gara melakukan poligami, ia benarbenarmati langkah. Itu semua adalah kerjaan ibu-ibu anggotamajelis taklim yang merasa Aa Gym telah menzalimi perempuan,bukan kerjaan kami yang terus berkutat dengan penafsiran ulangayat poligami.Yang menjadi persoalan kemudian adalah karena kita menjadiperiferal maka kita sulit menjadi pusat. Kita, sejauh ini, tidak pernahmemberi alternatif kepada dunia. Sejauh ini kita belum bisamenunjukkan kepada dunia bahwa Islam Indonesia berbeda danlebih baik ketimbang Islam di negara lainnya dalam menempatkankaum perempuan, meskipun Indonesia juga sedang diserang olehtransnational fundamentalism. Sejauh ini kita belum bisa menjadirole mode dunia Islam internasional.Mungkin kita mempunyai problem bahasa. Dari sejarahnya,kita adalah jajahan Belanda, bukan jajahan Inggris. Jadi, kita bukanbagian dari negara Persemakmuran seperti India, Pakistan,Bangladesh yang kemudian mendapatkan keuntungan secara per-Lies Marcoes-Natsir – 1221


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–adaban karena mereka mempunyai tradisi berbahasa yang laku didunia internasional.Indonesia adalah negara dengan kemajemukan yang luar biasa. Untukitu, hendaknya pluralisme menjadi keniscayaan bagi negara ini.Dalam pandangan Anda, bagaimana seharusnya pluralisme dipahamidalam konteks keindonesiaan? Apakah ia mengarah pada sinkretisme– yang cenderung menyamakan kebenaran semua agama, sebagaimanadituduhkan MUI – dan relativisme?Pluralisme, menurut saya, menjadi sangat penting ketika saatini muncul euforia lokalitas. Yakni ketika Indonesia dari era reformasike era otonomi daerah masyarakatnya semakin menganggapbahwa genuinitas identitas dan lokalitas merupakan hal yangsangat penting. Identitas kelokalan kemudian diukur dari darah,bahasa, agama dan suku. Semua ini dijadikan ukuran genuinitassuatu wilayah yang ditonjolkan untuk kepentingan dua hal: pertamakekuasaan; dan kedua akses pada sumber ekonomi. Dalamrangka kepentingan ini, lokalitas kemudian menjadi isu primordial.Semula isunya adalah bebas dari dominasi Jawa, karena itu otonomidaerah menjadi penting. Tetapi pada saat yang bersamaan momenini dimanfaatkan untuk mendapatkan akses kepada kekuasaan danekonomi, atau sebagai alasan untuk mengeksploitasi sumber dayaalam secara membabi buta.Dalam konteks inilah kemudian pluralisme – oleh mereka yangmemiliki kepentingan (politik dan ekonomi) tertentu–dianggap sebagaiancaman, terutama terkait dengan otonomi daerah. Ini yangpertama. Kedua, terkait dengan munculnya kelompok transnationalIslamic fundamentalism. Islam fundamentalis, dalam pandang-1222– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–an saya, cenderung mengabaikan keragaman. Jadi semuanya ingindijadikan satu dan diseragamkan dalam tradisi teologi tertentu,misalnya Wahhabisme.Politik Orde Baru pada masa lalu adalah politik yang antikeragaman,sehingga kemudian dikenal ada politik SARA. Padamasa Orde Baru kepelbagaian menjadi persoalan karena di dalamnyamengandung kemungkinan berbeda pendapat. Dari sisikepentingan Orde Baru, berbeda pandangan dan pendapat adalahancaman, karenanya harus ditekan. Ketika kepelbagaian ditekansedemikian rupa, kita lalu merasa seolah-olah tidak punya masalahdengan kepelbagaian itu. Kepelbagaian dikelola oleh rezim OrdeBaru melalui kebijakan politik hubungan antar-agama atau politikkerukunan antar-umat beragama di tingkal elit. Sementara di tingkatbawah, di era Orde Baru, hal tersebut ditekan oleh kekuatantentara dan tidak diperbolehkan untuk muncul.Setelah Orde Baru, kemudian muncul ide otonomi daerah, dimana pada waktu yang bersamaan identitas kelompok atau daerahjuga mulai dimunculkan. Kenapa identitas lantas dibicarakan?Sebagaimana saya sering katakan, ini adalah terkait dengan akses.Orang Papua kembali menonjolkan identitasnya karena dengancara seperti itu mereka bisa menjadi gubernur, bupati, camat, danlain sebagainya. Orang-orang dari daerah lain juga melakukan halyang sama. Pada saat ini kepelbagaian muncul lagi, tetapi dengansemangat primordial. Kemunculannya sarat dengan muatan politikdan bukan sebagai upaya untuk memahami realitas masyarakatyang plural.Jadi orang bersikap mendua terhadap realitas masyarakat yangmajemuk ini. Di satu pihak dianggap berkah, namun di lain pihakdianggap ancaman. Ancaman bagi siapa? Kalau pada masa OrdeLies Marcoes-Natsir – 1223


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Baru kepelbagaian adalah ancaman bagi kesatuan politik Orde Baru;sementara saat ini kepelbagaian dianggap sebagai ancaman bagi kelompokIslam yang kita sebut sebagai kelompok fundamentalis.Jadi, kalau Anda menanyakan bagaimana kita menghadapi inisemua, maka bagi saya, kita harus kembali pada sejarah awal kenapakita sepakat membentuk republik ini. Sebetulnya konsep Bhinnekatunggal ika merupakan kristalisasi dari pemahaman tentangpluralitas Indonesia. Kenyataannya kita terdiri dari berbagai suku,bahasa dan budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.Tapi kemudian pluralisme dianggap sebagai monster. Kehadirannyamengancam kepentingan kelompok yang diuntungkan oleh gagasanotonomi daerah dan kelompok-kelompok Islam yang menganggapbahwa Indonesia adalah negara Islam; dan Islam adalah satu. Denganbegitu, keragaman adalah ancaman bagi dua kelompok ini.Saya tidak hendak mengatakan bahwa dengan keragaman iniagama kita kemudian akan sama benarnya dengan agama Kaharingan,misalnya. Tetapi pokok yang ingin saya katakan adalahbahwa realitas negara kita sangatlah plural. Kesadaran inilah yangharus ditumbuhkan lagi di Indonesia. Ketika saya kecil, pelajaranmengenai peta bumi Indonesia dengan segala macam ragam budayanyaitu harus dihafal, sehingga kita waktu itu tahu wilayahwilayahgeografi Indonesia. Tapi coba tanya anak-anak sekarangapakah mereka tahu wilayah-wilayah atau daerah-daerah di Indonesiayang beragam ini. Jadi kita harus sadar bahwa kita sebetulnyatelah melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukanoleh Orde Baru. Hanya saja kalau dulu pelakunya adalah rezimOrde Baru dan militer, sekarang yang melakukan adalah diri kitasendiri, umat Islam.1224– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut saya, tidak bisa lain harus ada kesadaran dari kelompokmayoritas, yakni kelompok Muslim mengenai keragaman ini.Kita tidak bisa berharap kepada kelompok minoritas untuk selalubersuara bahwa mereka ada. Jika kelompok mayoritas menyadariadanya keragaman, maka kemudian harus ada ruang bersama,di mana semua unsur bisa masuk ke dalamnya. Untuk itu jalanyang bisa kita pakai, dan ini bagi saya merupakan jalan satu-satunyayang paling mungkin, adalah sekularisasi demi menghormatikeragaman tersebut.Terkait dengan terus bermunculnya persoalan-persoalan yang tidak kalahrumitnya seperti trafficking, apakah tindakan yang diambil olehnegara saat ini sudah bisa dikatakan memihak pada perempuan?Apabila kita cermati, memang mulai ada perhatian dari pihakpihakterkait. Setidaknya sudah ada usaha ke arah sana, walaupunitu melalui bargaining politik. Kita melihat sudah ada Undang-Undang Anti-kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-UndangAnti-Trafiking, dan lain sebagainya. Tapi kalau kita melihatnya darisegitiga penerapan hukum, maka kita tidak bisa hanya melihat daricontent of law, melainkan juga harus sekaligus melihat dari structureof law dan culture of law. Kalau budayanya masih menganggapbahwa perempuan adalah subordinat, oleh karena itu perempuandibayar lebih murah daripada laki-laki, perempuan hanya dianggapsebagai pencari nafkah tambahan, atau perempuan dianggap sebagaiobjek seks belaka, maka usaha pembelaan terhadap perempuanakan tetap sulit dilakukan.Tetapi saya ingin lebih optimis dalam melihat persoalan ini. Kitamemang harus melakukan pendekatan multidimensi untuk meng-Lies Marcoes-Natsir – 1225


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–atasi masalah ini. Oleh karena itu, kita benar-benar tidak bisa hanyaberharap pada negara. Sebab dalam konteks ini, menurut saya,civil society berperan besar dalam upaya-upaya perlindungan terhadapperempuan atau upaya penyadaran pada perempuan. Dan yangsaya suka adalah akal publik ternyata memunyai kewarasan untukmelihat apakah sesuatu itu baik atau buruk. Kembali kita mengambilkasus Aa Gym. Saya melihat itu murni akal publik perempuanyang melakukan penghakiman terhadap sebuah tindakan yang dirasatidak adil bagi mereka, di mana agama ditafsirakan secara sepihakoleh laki-laki seperti Aa Gym. Sehingga akal publik perempuan tetapmenilainya sebagai tindakan tidak adil. Ternyata kita tidak perlumelawan tindakan seperti Aa Gym itu dengan ayat lagi. Biarkanlahkewarasan manusia, dalam hal ini kewarasan perempuan, yang melawannya.Untuk itu yang diperlukan adalah terbukanya ruang bagiperempuan untuk belajar dan menyatakan pendapatnya.Demikian juga dengan kasus RUU-APP. Menurut saya, yangmenjegal isu RUU-APP yang diusung oleh anggota parlemen adalahmurni akal publik. Meskipun pada saat yang sama kelompokkelompokyang setuju dengan isu tersebut mengerahkan massa,bahkan sampai mengintimidasi. Namun akal publik tetap tidakbisa dibungkam. Saya sangat percaya pada akal publik. Dan akalpublik akan tetap waras kalau kita sudah sanggup memisahkanantara domain agama yang bersifat privat dengan domain publik.Hal inilah yang seharusnya diperjuangkan terus-menerus. Sebabhal ini merupakan kebutuhan bagi Indonesia.Bagaimana dengan tindak kekerasan terhadap perempuan seperti kerapterjadi pada wilayah domestik yang demikian sulit untuk diang-1226– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kat pada tingkat hukum, begitu pula rumitnya isu trafficking dansebagainya? Advokasi seperti apa yang mesti dilakukan oleh kelompokperempuan jika kita tidak bisa mengandalkan negara secara penuh?Kelompok-kelompok perempuan sejauh ini tetap melakukanadvokasi-advokasi untuk membela perempuan melalui Prolegnas,yakni program-program legislasi yang mendukung perempuan. Jadi,aktivis-aktivis perempuan memberikan informasi yang seimbangkepada anggota DPR. Tetapi, seperti tadi sudah saya katakan, kitatidak bisa berharap hanya pada salah satu sudut saja dari segitigahukum untuk melakukan perubahan. Perubahan hanya mungkinkalau dari ketiga unsur itu, yakni budaya, isi, dan struktur hukumnyaberjalan bersamaan.Capaian dalam masalah content of law mungkin sudah lebihbaik karena sudah ada beberapa undang-undang yang memihakperempuan. Tapi untuk masalah pelaksanaannya kita masih berharapadanya dukungan entah itu dari masyarakat atau pemerintahuntuk melakukan penyadaran di tingkat budaya. Meskipuncontent of law-nya sudah ada tetapi jika kemiskinan dan tingkatpendidikan yang buruk masih ada dan perempuan masih menjaditumpuan bagi keluarga miskin dengan tingkat pendidikan yangrendah maka trafficking masih akan terus terjadi.Bagaimana Anda melihat masa depan Indonesia?Mungkin sedikit pesimistik, untuk tidak mengatakan khawatir.Jika corak keislaman Indonesia semakin mengabaikan realitaskeragaman, realitas kepelbagaian, dan malah menonjolkan corakIslam yang monolitik dan tidak multitafsir, maka saya sangat kha-Lies Marcoes-Natsir – 1227


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–watir. Sebab, kita akan kehilangan keislaman sekaligus keindonesiaankita. Jika tidak ada lagi tradisi pesantren yang memungkinkanuntuk mengembangkan tradisi kulturalnya, maka itu adalahsebuah ancaman yang luar biasa terhadap keanekaragaman budayadi Indonesia. Kita masih melihat bahwa dalam tradisi lokal yangberkembang di pesantren terletak kemungkinan adanya ruang untukkepelbagaian kita. Benar bahwa tradisi lokal pun sangat bisamengancam perkembangan pemikiran yang sehat dan terbuka, karenakarakternya yang cenderung feodal dan cenderung melakukanrepresi terhadap orang yang lemah. Tetapi, menurut saya, kearifan-kearifanmereka yang dilahirkan melalui dialektika seharusnyatidak dilibas baik oleh ekonomi liberal maupun oleh transnationalIslamic fundamentalism yang masuk ke Indonesia dan berusaha untukmenyeragamkan corak keagamaannya. Tetapi jika negara hanyatinggal bungkam dan tidak melakukan tindakan apapun untukmengatasi hal ini, maka, bagi saya, pendapat mas Dawam benar,hal ini akan menjadi ancaman bagi keindonesiaan.Lantas apakah masih ada harapan akan masa depan yang lebih baikbagi Indonesia yang memperlakukan seluruh warganya secara adil,setara dan memihak pada minoritas dan kalangan atau warga yangterpinggirkan?Kalau melihat perkembangan gerakan perempuan, menurutsaya, masih ada harapan dan membuat kita punya alasan untukoptimis. Satu contoh, beberapa waktu lalu kami mengundang beberapaangkatan ulama Aceh untuk mendiskusikan masalah jender.Pertama-tama mereka menganggap bahwa isu ini adalah ancamanyang dihembuskan oleh Barat untuk menaklukkan Islam. Namun,1228– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kemudian setelah mereka dikenalkan dengan metodologi atau carabaca teks, di mana dengan cara seperti itu mereka bisa melihat aspekkeadilan bagi orang lemah, bagi minoritas atau bagi perempuan,ternyata mereka bisa menerima dengan terbuka. Metode dialogseperti ini bisa memupus kecurigaan antar-agama, antar-suku,antar-ras, dan lain sebagainya. Dengan model dialog juga terciptaruang-ruang untuk saling memahami. Memang kita berada dalamposisi yang sulit, oleh karena posisi kita sebagai kelompok moderat.Sebab kita menjadi tidak bisa “berantem” dengan kelompokfundamentalis yang bisa melakukan apa saja. Tetapi, bagi saya, iniadalah resiko memilih demokrasi dan memilih menjadi seorang yangmoderat. Kita hanya bergantung pada kewarasan, akal sehat danhukum yang adil dan sensitif pada kepelbagian anak negeri ini.Wawancara dilakukan di Jakarta, 23 Mei 2007Lies Marcoes-Natsir – 1229


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganLily Zakiyah MunirLily Zakiyah Munir, peneliti Center for Pesantren and <strong>Democracy</strong> Studies (CePDeS),Jakarta, yang fokus pada isu-isu jender dan hak asasi manusia dalam perspektif Islam.1230


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Konsep syariah tidak seharusnya dijadikan sebagai aturan formalnegara. Upaya tersebut tidak akan berhasil karena terlalu banyakkemunafikan dan standar ganda di dalamnya – di samping hanyamenjadi komoditas elit tertentu, termasuk elit agama. Padahal syariahsejatinya jalan menuju kemaslahatan. Sehingga, ketika kompleksitaspersoalan bangsa ini bersumber pada bobroknya moralitas,pembangunan kembali moralitas bisa diunduh dari agamadan juga luar agama. Namun demikian, negara sama sekali tidakmempunyai kepentingan untuk urusan keyakinan setiap warganya.Maka, sekularisme hendaknya dipahami sebagai political secularismdan bukan sebagai ideologi. Ini merupakan ikhtiar untukmelindungi agar agama tidak dijadikan alat politik.Lily Zakiyah Munir – 1231


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisme sering disalahpahami oleh umat Islam sebagai penyebabhilangnya agama di ruang publik. Bagaimana Anda menanggapi persoalanini?Kekhawatiran umat Islam tehadap sekularisme bisa dimengerti.Karena pada dasarnya sekularisme sendiri multi-makna. HeinerBielefeldt, filosof religi dari Jerman, dalam The Two Faces ofSecularism melihat dua wajah sekularisme. Pertama, sekularismeideologis (ideological secularism). Yakni Sekularisme yang mengambilbentuk sebagai ideologi: masyarakat atau negara tidak bolehberagama. Ideologi yang memandang agama sebagai urusanprivat, bukan urusan publik. Tetapi, ada juga yang menampakkanwajahnya sebagai political secularism. Ini lebih bersifat politis. Jadi,kepentingan sekularisme adalah untuk melindungi supaya agamatidak dijadikan alat politik. Namun demikian, model yang terakhirini tidak memojokkan agama dalam ruang privat.Kritik dan analisis Heiner Bielefeldt ini senada dengan analisispara pemikir Muslim. Abdullahi Ahmed An-Naim, misalnya, mengkritikpaham ini dengan mencoba menjabarkannya dalam karyanyaSecularism vis a vis Syarî‘ah. Demikianpun seorang wartawanMuslim kelahiran Pakistan, Ziauddin Sardar, sekarang tinggal diLondon, mengkritisi sekularisme juga. Dari beberapa pandanganitu, lagi-lagi, saya melihat sekularisme memang mempunyai beberapamakna.Kalau kita cermati, sejarah sekularisme di Eropa lahir setelahagama (Katolik) dijadikan alat untuk menindas dan mengeksekusikelompok yang berbeda. Dalam hal ini, Gereja Katolik bekerjasama dengan negara untuk menindas mereka yang berbeda pendapat.Terjadilah eksodus dari Eropa ke Amerika. Trauma sepertiini yang membuat mereka yang tertindas bermigrasi dari Eropa ke1232– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Amerika dan berusaha mempromosikan pemisahan antara gerejadan negara. Itu makna asli sekularisme.Saya kira, sekularisme memang berusaha agar jangan sampaidua kekuatan itu, gereja dan negara, berkolaborasi. Karena risikonyaakan sangat tinggi. Di satu pihak negara sudah mempunyai power,di pihak lain agama juga suatu power yang luar biasa dengan doktrin-doktrinnya.Kalau dua kekuatan ini berintegrasi, maka akanmenimbulkan pengalamantraumatis seperti yang terjadiSaya kira, sekularisme memangdi Eropa, yaitu penindasanberusaha agar jangan sampai duaterhadap kelompok-kelompokyang berbeda.berkolaborasi. Karena risikonya akankekuatan itu, gereja dan negara,Dalam sejarahnya, Islam,sejatinya, tidak menge-sudah mempunyai power, di pihaksangat tinggi. Di satu pihak negaranal sekularisme. Hal tersebut lain agama juga suatu power yangkentara apabila menengok luar biasa dengan doktrin-doktrinnya.praktik Rasulullah. Selain Kalau dua kekuatan ini berintegrasi,beliau sebagai panutan atau maka akan menimbulkan pengalamanimam dalam hal agama, tetapijuga sebagai kepala nega-Eropa, yaitu penindasan terhadaptraumatis seperti yang terjadi dira dalam hal pemerintahan. kelompok-kelompok yang berbeda.Jadi, Nabi mempraktikkanintegrasi dalam satu tubuh antara negara dan agama. Tetapi, tentusaja Rasulullah mumpuni untuk melakukan itu semua. Konteksnya,waktu itu Rasulullah langsung berkonsultasi dengan Allah, sementarauntuk sekarang ini kita tidak bisa membandingkan diri kitadengan Rasulullah.Demikianpun praktik pemerintahan pada masa al-khulafâ’ alrâsyidûnsama dengan Rasulullah. Ada integrasi antara agama danLily Zakiyah Munir – 1233


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–negara. Pasca al-khulafâ’ al-râsyidûn, kemudian dunia Islam memasukidinasti-dinasti yang mengakibatkan terjadinya perselingkuhanantara agama dan negara, antara ‘ulamâ’ dan umarâ’. Dari sinilahterjadi penyalahgunaan wewenang yang luar biasa. Sejarah membuktikanbagaimana kelompok-kelompok yang berbeda ditindasatas nama agama. Pengalaman ini mirip dengan yang terjadi diEropa. Itu konteks masa lalu Islam. Kenapa ini semua saya angkat?Karena ini teramat penting, terutama relevansinya dengan tuntutankelompok Islamis yang akhir-akhir ini ingin mengintegrasikankembali agama dan negara.Dalam konteks keindonesiaan kita tentunya mengenal BhinnekaTunggal Ika. Founding fathers kita sepakat untuk membentuksebuah negara-bangsa, bukan negara agama, meskipun mayoritaswarganya beragama Islam. Jangan sampai ada pemaksaan dalamberagama. Bagaimanapun bangsa ini terikat pada nilai-nilai yangtercakup dengan Deklarasi Universal HAM, yang intinya semuaorang memiliki kebebasan yang sama.Demikian pula harus digarisbawahi di sini bahwa Islam menjaminkebebasan beragama sebagai salah satu tujuan pokok darisyariah. Ini diungkapkan Al-Syatibi dalam konsep al-Kullîyât al-Khamsah, lima hal pokok dalam syariah, yang terdiri atas: menjagaagama (hifzh al-dîn), menjaga nalar (hifzh al-‘aql), menjaga keturunan(hifzh al-nashl), menjaga harta (hifzh al-mâl), dan menjagakehormatan (hifzh al-‘irdl). Dalam hifzh al-dîn, ajaran Islam menjaminkebebasan seseorang untuk memeluk agamanya. Al-Quran jugamenegaskan “Lakum dînukum wa liya dîn”. Ditegaskan lagi dengan“Lâ ikrâha fî al-dîn qad tabayyana al-rusydu min al-ghayy”.Dari sini, Indonesia kemudian menganut konsep negara-bangsa,bukan negara agama. Tetapi di Indonesia negara tetap mengatur1234– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–keberagamaan warganya. Untuk itu berdiri Departemen Agama.Jadi, agama tidak diprivatkan total seperti Amerika. Tetapi kalaukita benar-benar ingin sekular seperti di Amerika, itu semua harusberkembang sendiri. Negara sama sekali tidak mempunyai kepentinganuntuk urusan beragama. Misalnya saja sebuah gereja diAmerika tidak akan bisa menerima bantuan dari negara, kecualigereja tersebut mempunyai program sosial yang lintas-agama, bukansektarian.Saya ingin bercerita sedikit tentang sekularisme di Amerika.Setelah peristiwa 11 September 2001, saya bersama dua orangrekan dari Indonesia, Mudji Sutrisno dan Komaruddin Hidayat,serta beberapa intelektual dari Asia diundang ke Amerika. Waktuitu, tepatnya tahun 2003, kami diundang dalam rangka InternationalVisiting Program (IVP) yang diselenggarakan US Government.Temanya freedom of religion. Sebenarnya program ini telahdilaksanakan selama 27 tahun, tetapi baru setelah peristiwa 11September mengangkat tema seputar agama. Sebelumnya programini temanya bermacam-macam, seperti Young Leaders, Journalism,dan yang lainnya.Kami berkunjung ke enam negara bagian. Di sana saya belajarbagaimana agama dipisahkan dari negara. Tetapi bukan berarti kehidupanberagamanya mati. Yang benar-benar melakukan pengembanganagama di sana adalah institusi agama sebagai inisiatornya,bukan negara. Di sana kami bertemu dengan Captain, imam ataupenasihat agama untuk tentara. Captain itu ada yang Kristen, Katolik,dan Islam. Saya bertemu dengan Captain yang Islam. Diatugasnya memfasilitasi, memberikan penerangan dan pendidikankeagamaan kepada tentara-tentara yang Muslim. Misalnya, mengajarkanbagaimana memandikan jenazah, mengadvokasi tentara pe-Lily Zakiyah Munir – 1235


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rempuan Muslim yang memakai celana pendek agar dapat menggantinyadengan memakai celana panjang. Semua disediakan sebagaifasilitas untuk kondisi-kondisi seperti itu. Namun, misalnya,urusan KTP pasti tidak terdapat agamanya. Sebab, identitas dalamKTP tidak mencantumkan agama. Kenyataan lainnya dari bentuknegara sekular adalah bahwa gereja tidak menerima bantuan darinegara. Jadi betul-betul keduanya dipisahkan.Meskipun agama dan negara dipisahkan, bukan berarti agamatidak berperan dalam kehidupan masyarakat Amerika. Sebaliknya,agama menjadi sumber etika dan moralitas yang mereka junjungtinggi. Agama sudah diimplementasikan dalam kehidupan, tidaksekadar dihafalkan. Berbeda dengan di Indonesia. Kalau saya melihatpersoalan yang dihadapi sekarang, di Indonesia, seperti korupsi,ketimpangan sosial dan lainnya, bersumber pada satu hal, yaitu moralitasyang bobrok. Moralitas pada dasarnya bisa bersumber dariagama, tetapi bisa juga dari luar agama. Bahkan, orang-orang yangmengatakan diri ateis bisa juga jauh lebih bermoral. Jadi, etika ataumoral itu bisa bersumber dari agama bisa dari non-agama.Yang perlu diperhatikan, dalam budaya Amerika sanksi sosialberjalan dengan baik lantaran nilai-nilai ajaran agama sebetulnyasudah banyak dihayati oleh masyarakat Amerika. Misalnya, betapanilai amanah (trust) sudah melekat dalam keseharian mereka. DiAmerika jika Anda berjualan buah, Anda tinggal menaruhnya dipinggir jalan, kemudian dikasih tulisan harganya. Misalnya, apelsepuluh buah harganya satu dolar dan seterusnya. Setelah itu Andatinggalkan, kemudian sore hari Anda kembali, maka jika apelnyaterjual, Anda akan mendapati uangnya ada di situ.Kalau di Indonesia hal seperti ini tidak mungkin. Paling apelnyahabis dan uangnya tidak ada. Kenapa masyarakat Amerika bisa1236– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–seperti itu? Saya melihat ada suatu bentuk manifestasi dari tanggungjawab moral yang sudah terbentuk. Tanpa melihat agamanyaapa. Itu yang belum kita miliki.Kalau untuk konteks Indonesia,menurut Anda, idealnyanilai-nilai atau moralitas dalamagama mestinya didorongoleh negara atau cukup dilingkup civil society, denganmenyerahkan pada masyarakatuntuk mengelolanya?Islam menjamin kebebasan beragamasebagai salah satu tujuan pokok darisyariah. Ini diungkapkan al-Syatibidalam konsep al-Kullîyât al-Khamsah’,lima hal pokok dalam syariah, yangterdiri atas: menjaga agama (hifzal-din), menjaga nalar (hifzh al-‘aql), menjaga keturunan (hifzh al-Saya melihat dua-duanyaharus sinergis menegak-dan menjaga kehormatan (hifzh alnasl),menjaga harta (hifzh al-mâl),kan nilai-nilai agama di tengahkebobrokan moral de-menjamin kebebasan seseorang‘irdl). Dalam hifzh al-dîn, ajaran Islamwasa ini. Karena nilai-nilai untuk memeluk agamanya. Al-Qur’anagama adalah sumber moralitas,maka sangat tepatjuga menegaskan “Lakum dînukumwa liya dîn”. Ditegaskan lagi dengan“Lâ ikrâha fî al-dîn qad tabayyana alrusydumin al-ghayyi”.untuk mengobati penyakitbangsa yang menggurita. Islam,misalnya, sarat dengannilai-nilai moral. Ada konsep al-nazhâfatu min al-îmân, kebersihanitu sebagian dari iman. Dalam Hadits juga dijelaskan bahwasenyummu adalah shadaqah-mu. Itu salah satu bukti bahwa ajaranIslam sarat dengan nilai-nilai sosial. Tetapi sayang, ada gap antaraajaran Islam dan Muslim. Muslim tidak semuanya mencerminkanspirit Islam. Coba saja Anda lihat komunitas yang kumuh-kumuh,Lily Zakiyah Munir – 1237


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mereka adalah komunitas Muslim, termasuk di pesantren sebagaiinstitusi pendidikan Islam.Tetapi, apakah nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam harusdiurus oleh negara, mengingat ini memiliki implikasi lebih jauh dalampelbagai dimensi kehidupan warga, misalnya ketika pemerintahberada di belakang penerapan syariat Islam di daerah-daerah?Tidak, pendekatannya bukan seperti itu. Saya tetap percaya terhadapkonsep sesungguhnya dari syariah, tanpa harus melibatkannegara untuk mengurus dan menjadikannya sebagai aturan formal.Syariah merupakan jalan menuju kemaslahatan. Namun begitu,pendekatan terhadap syariah tidak top down atau melalui hukum,tetapi melalui pendidikan. Saya melihat metode pengajaran moralkita selama ini salah: hanya menyentuh aspek kognitif. Mengajarkanakhlak seharusnya tidak dengan hafalan, tetapi dengan teladandalam bentuk perilaku. Banyak Hadits akhlak yang dihafal umatIslam Indonesia, tetapi perilakunya tidak berakhlak. Padahal selainHadits kita juga sarat dengan nilai-nilai luhur yang tercakup dalamPancasila dan PPKN, khususnya dalam kurikulum pendidikan dasar.Itu semua merupakan ajaran moralitas bagaimana kita berbangsa,bernegara, menghargai orang lain atau toleransi. Tetapi sayangnyayang diajarkan sekadar pada tulisan dan hafalan. Pengujiannya punditulis, bukan bagaimana berperilaku yang baik.Bagaimana metode pengajaran yang baik? Al-Quran menjelaskan“Ud‘û ilâ sabîli rabbika bi al-hikmah wa al-maw‘izhah alhasanahwa jâdilhum bi al-latî hiya ahsan. Jadi, ada tiga metodologiuntuk mengajak kepada kebaikan. Pertama, dengan hikmah(kebijaksanaan), maksudnya disesuaikan dengan kondisi atau kon-1238– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–teksnya. Kita mesti arif dan bijaksana dalam menetapkan apa sebetulnyapoin syariah? Misalnya, tentang minuman keras atau judi.Mungkin seseorang berjudi karena frustasi, tidak tahu lagi apa yangtengah atau akan dilakukannya. Mungkin mereka ingin lari dariproblem kehidupan yang menghimpit dengan kenikmatan sesaat.Jadi, penanganan sosialnya harus secara hikmah.Kedua, bi al-maw‘izhah al-hasanah, maksudnya dengan tuturkata yang baik dan teladan. Artinya, ketika hendak mengajak supayajangan korupsi, tetapi pemimpin-pemimpin kita sendiri banyakyang korupsi. Padahal masyarakat Indonesia cara pandangnya masihsangat paternalistik, melihat ke atas, mencontoh para pemimpinnya.Itu yang saya maksud negara harus bertanggung jawab, karenatelah mengakibatkan suatu kondisi yang bobrok. Ketiga, wajâdilhum bi al-latî hiya ahsan, dan ajaklah memperdebatkan setiappersoalan dengan cara yang sehat dan baik.Artinya, apakah syariat Islam seharusnya diimplementasikan umat dinegeri ini tidak dengan memformalkan nilai-nilai Islam?Benar. Formalisasi syariah tidak akan bisa berhasil, karena banyaksekali kemunafikan dan standar gandanya. Menurut saya, fokusutamanya adalah pendidikan. Tetapi, lagi-lagi, konsep pendidikanyang dijiwai dengan tiga cara itu, bi al-hikmah wa al-maw‘izhahal-hasanah wa jâdilhum bi al-latî hiya ahsan. Misalnya, kita merujukpada keteladanan para Walisongo ketika mereka berdakwah.Mereka tidak langsung menerapkan ajaran dan nilai normatif Islamsecara tekstual dan dengan pemaksaan, tetapi dengan hikmah, yaknibertahap dan menciptakan prakondisi. Itulah hikmah (bijaksana).Lily Zakiyah Munir – 1239


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagi mereka, hal-hal yang tidak substansial tidak menjadi masalah.Misalnya soal istilah. Di Yogyakarta ada istilah sekaten, yangsebenarnya berasal dari kata syahâdatayn. Mereka membiarkan tradisitersebut dan tidak mempermasalahkan dengan aksentuasi ataupengucapan Jawa. Yang penting, bagi mereka, nilainya tidak bertentangandengan nilai-nilai universal. Sebab, dalam pandangan merekaIslam Mengajak kepada moralitas agama, kewajiban-kewajibandasar agama. Jadi, hikmah artinya juga bisa membedakan antarayang substanstif, antara yang pokok, dengan yang formal.Namun, kembali pada persoalan pendidikan, saya kira, negaratetap harus bertanggung jawab, tidak bisa lepas begitu saja. Kalaupendidikan dilepaskan ke civil society, masyarakat Islam yang dinegeri ini merupakan warga negara yang kebanyakan miskin tidakakan mampu membangun pendidikannya. Karena dari umat Islamyang berjumlah 80% hanya sedikit umat yang bisa mengajar.Artinya, dalam pendidikan, berapa jumlah orang yang mampumendidik ada syaratnya. Sedangkan di masayarakat hanya berapa%dari umat Islam yang mampu, bukan hanya mengakses, dalampengertian memberikan fasilitas pendidikan. Dan, menurutsaya, justru menjadi hak warga negara, dalam hal ini umat Islam,untuk mendapat pendidikan. Sebab itu menjadi bagian dari hakekonomi, sosial dan budaya yang tidak lain menjadi kewajibannegara untuk menyediakan pendidikan yang baik.Apabila diterjermahkan dalam mekanisme yang praksis, menurutAnda bentuk sinergi yang ideal antara civil society dan negara ituseperti apa, yang mengacu pada nilai-nilai hikmah, al-maw‘izhahal-hasanah dan wa jâdilhum bi al-latî hiya ahsan?1240– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jadi kembali saya tekankan, pertama, prosesnya adalah pendidikan.Kedua, pendekatannya harus bottom up dari civil society,kemudian negara menampung. Sebab, pada dasarnya yang mempunyairesource, akses sumber daya adalah negara; sementara kebutuhandi tangan rakyat. Maka dalam konteks seperti inilah sebisamungkin kita berusahamenerjemahkan kebutuhanwarga negara – yang ke-penentang liberalisme. Karena sayaSaya juga termasuk kelompokmudian mengaitkannya denganresources – bagaimana dengan liberalisme ekonomi ataumelihat liberalisme sangat identikhal tersebut dapat bersinergi pasar bebas. Dan semua itu adalahsupaya kebutuhan bisa dipenuhioleh yang mempunyaisumber dari malapetaka Dunia Ketiga,khususnya di Asia dan Afrika yangsebagian besar Muslim. Indonesiaresources (negara).bangkrut seperti ini karena mengikutiMaka dari itulah saya tidakpercaya dengan formali-anjuran liberalisme IMF. Sungguhpundemikian, saya sangat menjunjungsasi syariah karena pendekatannyatop down dan sangat Liberal thinking tidak berarti harusdan menganjurkan liberal thinking....politis. Sebab, kalau sudah menghasilkan liberalisme. Liberalmaemasuki ranah yang politis,kita akan berbicara pe-dan sekularisme positif yangthinking bisa mendorong pluralismenampilan para elit saja, bukanmalah membangun civil thinking tidak jumud atau stagnan,menghasilkan persaudaraan. Liberalsociety yang adil dan setara.justru lebih kontekstual.Artinya, formalisasi syariahhanya menjadi komoditas elit tertentu, termasuk di sini elit agama.Jika demikian, maka apa yang dilakukan mereka sangat berbahaya,karena menggunakan agama untuk menambah kekuatannya. Sebab,kalau kita membaca buku Khaled Abou El-Fadl, Speaking inLily Zakiyah Munir – 1241


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–a God’s Name, yang mengelaborasi dengan baik persoalan otoritas,di mana ketika satu orang atau sekelompok orang diberikan otoritas,maka ada kecenderungan berubah menjadi otoritarian. Namun,yang paling tidak kita inginkan, dan buku ini dengan sangat tegasmewanti-wanti, adalah kalau otoritas ini diinvestasikan kepada elitagama tertentu, karena kemungkinannya sangat besar untuk berubahmenjadi otoritarian. Mereka, para elit agama, akan menggunakanteks-teks suci agama untuk memberikan justifikasi dan legitimasipower-nya. Hal ini sangatlah berbahaya karena kemudianmasyarakat umum melihat sepak-terjang atau manuver politik paraelit agama sebagai representasi dari Tuhan – di samping para elitagama sendiri merasa mempunyai legitimasi atau otoritas untukmenafsirkan teks-teks Tuhan ini. Itu yang terjadi sekarang.Padahal di dalam Islam tidak ada yang namanya mediator antaramanusia dengan Tuhan. Dengan demikian, dalam Islam pintuijtihad dibuka. Di dalam al-Quran banyak sekali ayat mengenaipenggunaan akal, misalnya afalâ ta‘qilûn, afalâ tatafakkarûn (apakahkamu tidak berakal? apakah kamu tidak berpikir?). Jadi, padaprinsipnya, existing akal merupakan satu ciri dari Islam. Tidak lantasumat menyerahkan sepenuhnya kepada pemimpin agama, dalampengertian “taklid buta”, yang kemudian tanpa melihat substansidan values dari ajaran Islam itu sendiri.Masih terkait dengan pendidikan, dalam hal ini korelasinya denganpenyebaran ilmu pengetahuan. Dulu Natsir di samping menolakpemisahan antara agama dengan negara, juga menolak sekularismeyang dipahami sebagai pemisahan antara ilmu pengetahuan dengannilai-nilai moral (agama dan tradisi). Tetapi yang menjadi persoal-1242– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–an adalah ketika pendidikan atau pengetahuan tentang agama yangdiajarkan atau disebarkan di Indonesia terlampau normatif, hanyaberkutat pada halal-haram dan benar-salah. Bagaimana Anda melihatini semua?Idealnya, makna dan sikap normatif bukan semata karenakesempitan cara pandang. Bagaimanapun saya juga tidak setujudengan gagasan pemisahan antara ilmu pengetahuan dan moralitas.Moral, menurut saya, harus ada di mana-mana. Coba bayangkansekarang apabila seorang ahli hightech tidak bermoral, ia dapat denganmudah menilep uang orang lain, karena ia memakai mesinkomputer untuk menipu dengan mengotak-atik angka. Artinya,yang menjadi keresahan kita bersama sekarang ini adalah betapanegeri ini tengah mengalami krisis moral. Banjir, misalnya, tidaklain karena moral. Kenapa saya mengaitkan antara banjir denganmoral? Bayangkanlah kalau pemimpin kita, penguasa DKI Jakartaini, mepunyai tanggung jawab moral, di mana seharusnya diaberkewajiban memikirkan rakyat, bukan dirinya sendiri. Sebab,kalau alasannya tidak adanya uang untuk mengatasi banjir, padasisi tertentu dana triliunan malah dia pakai untuk bikin busway,sebaliknya yang lebih penting, banjir, malah dia biarkan. Yang selalujadi alasan adalah tidak adanya dana.Lantas, kenapa dalam hal ini pemerintah provinsi DKI Jakartaterlihat lain attitude-nya terhadap busway dan banjir? Setidaknyaini dapat dimengerti karena banjir itu cost center, sedangkanbusway profit center. Mereka bisa mendapatkan uang dari proyekbusway. Tetapi, pertanyaan yang muncul kemudian, kenapa pihakpemerintah provinsi DKI sampai timbul paradigma yang justrumengabaikan kepentingan warga Jakarta yang lebih luas? Karena,menurut hemat saya, moralnya sudah tidak ada. Moralnya bukanLily Zakiyah Munir – 1243


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lagi untuk rakyat, tetapi untuk mereka yang mempunyai kekuasaandan tidak ragu memanipulasinya. Hal ini kalau dibiarkan terusmenerustanpa intervensi negara, kapan berakhirnya? Celakanya,pada level negara sendiri, patut dipertanyakan negara yang mana?Masalahnya sekarang tidak ada yang bisa dijadikan sebagai modelling,sebagai al-maw‘izhah al-hasanah.Tetapi ilmu pengetahuan di Barat begitu sekular, di mana dialektikaperkembangannya terjadi tanpa memasukkan unsur moral agama –dalam konteks ini demikianlah di antara batasan ilmiah dan objektifdalam konsepsi mereka tentang ilmu pengetahuan – lalu kenapalebih maju dan aplicable daripada ilmu pengetahuan yang tumbuhdalam khasanah Islam?Benar, begitulah di antara cara ilmu pengetahuan Barat dapatberkembang dengan pesatnya. Namun demikian, kita juga jangansampai menutup kemungkinan bahwa moralitas sumbernya bisajadi dari agama dan non-agama. Dari awal saya katakan: yang jelasscience itu tidak boleh dipisahkan dari moral, apakah moral itubersumber dari agama maupun non-agama. Tetapi maksud sayakalau untuk sekularisme Amerika, sejak dulu, background sejarahnyamencoba untuk tidak mengaitkan otoritas agama dengan negara.Dulu oleh otoritas Gereja mereka dipersekusi, menjadi pelarianorang Eropa ke Amerika. Kendati begitu, saya masih melihatkelompok Bingham di Utah, demikian juga Gereja Luther SevenDay, yang merupakan kelompok sekte yang sampai sekarang masihdipersekusi. Mereka terus dikejar-kejar oleh Gereja di Eropakemudian melarikan diri.1244– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Maksud dari uraian saya begini: di Indonesia kita sudah punyamodal, yaitu religiusitas. Kita tidak usah mencari kiblat ke Amerika.Karena background sejarah kita dan Amerika berbeda.Tetapi, religiusitas kita jangan dipraktikkan seperti sekarangdengan sangat superficial, hanya permukaannya saja, kemudian dariatas top down dengan berselingkuh memakai kekuasaan negara.Bukan itu yang saya maksudkan.Religiusitas dalamMenurut saya, umat Islam takutIslam misi utamanya adalahterhadap pluralisme karenaakhlak. Innamâ bu‘itstu liutammimamakârim al-akh-pluralism. Coba kalau dimunculkandibungkus dalam istilah Barat,lâk. Misi utama Risalah Muhammadadalah menegakkan misalnya atau ta’aduddiyah. Dengandari bahasa al-Qur’an sendiri, jam’îyahakhlak yang agung. Anda peminjaman istilah-istilah Arab ini,jadi ahli teknologi setinggi menurut hemat saya, tidak akanapa pun, misalnya, kalau tidakberakhlak, buat apa?tersebut sama dengan rumitnyaterjadi resisten dari mereka. HalKendati, lagi-lagi, harus umat Islam merespon jender. Jender,ditekankan bahwa moral bisa sejatinya, sepenuhnya ajaran Islam,bersumber dari agama ataupunnon-agama, filsafat mi-kalau lihat di al-Qur’an banyak sekaliayat yang mendorong kesetaraan lakilakidan perempuan. Tetapi karenasalnya. Untuk konteks Indonesia,kita sudah punyaistilah jender datang dari Barat, makamenjadi seolah-olah negatif.modal, marilah para pemimpinIslam negeri ini untukmenggunakan modal keberagamaannya dengan benar. Jangan sampaisebaliknya justru malah agama dijadikan alat untuk menindasorang lain. Jadi, untuk konteks keindonesiaan, saya tetap percayabahwa tidak ada pemisahan antara agama dan negara. TetapiLily Zakiyah Munir – 1245


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–harus digarisbawahi, agama di sini dalam pengertian yang benar,cara beragamanya tidak sekadar permukaan saja dan jangan sampaimemanipulasinya untuk kepentingan-kepentingan sempit dansesaat bagi pribadi ataupun golongan tertentu.Gagasan liberalisme mendapat resistensi yang kuat di Indonesia karenadianggap oleh banyak orang menyebarkan paham yang bebas tanpabatas. Liberalisme juga dipahami sebagai gagasan yang melahirkankolonialisme, imperialisme bahkan fasisme. Semua itu, bagi merekayang menentangnya, justru menjadikan negara Dunia Ketiga sebagainegeri-negeri yang ditindas dan selalu menjadi korban, lantaran liberalismemenjadikan kapitalisme sebagai gerbong dalam upaya-upayaekspansinya. Bagaimana Anda sendiri melihat gagasan ini?Saya juga termasuk kelompok penentang liberalisme. Karenasaya melihat liberalisme sangat identik dengan liberalisme ekonomiatau pasar bebas. Dan semua itu adalah sumber dari malapetakaDunia Ketiga, khususnya di Asia dan Afrika yang sebagian besarMuslim. Indonesia bangkrut seperti ini karena mengikuti anjuranliberalisme IMF. Sungguhpun demikian, saya sangat menjunjungdan menganjurkan liberal thinking.Saya mengkritik liberalisme ekonomi, yang salah satu langkahnya,di Indonesia, dibuktikan dengan pencabutan subsidi BBM tahun2005. Bahkan, pencabutan itu didukung oleh para intelektualnegeri ini. Mereka secara terang-terangan memasang iklan di Kompassatu halaman penuh, mengatasnamakan diri Freedom Institute.Di situ ada nama Romo Magnis Suseno, Ulil Abshar-Abdalla, dansebagainya. Saya tidak tahu apakah itu by design atau by default.Tetapi saya tidak setuju dengan pendapat liberal semacam itu.1246– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Liberal thinking tidak berarti harus menghasilkan liberalisme.Liberal thinking bisa mendorong pluralisme dan sekularisme positifyang menghasilkan persaudaraan. Liberal thinking tidak jumudatau stagnan, justru lebih kontekstual. Sebaliknya liberalisme terkaiterat dengan globalisasi dan segala macam kritiknya. Terhadapgagasan ini ada pihak yang pro, kontra, dan ada yang mencobaberpikir lepas dari bayang-bayang liberalisme yang berwujud neoimperialisme.Liberal thinking juga tidak membuat segalanya menjadi liberal.Karena liberal pun punya moralitas. Kunci moralitas dalam liberaladalah agama ataupun hati nurani, bagi yang tidak beragama.Dapatkah bercerita tentang pengalaman Anda, dahulu, bekerja diMultinational Coorporation yang notabene agen-agen kapitalisme?Benar, itu pengalaman saya sudah lama sekali, di suatu perusahaanminyak. Memang, pengalaman itu menyenangkan. Kalau kitasakit, kita berobat di rumah sakit yang VIP, gajinya besar. Tetapisaya yakin Tuhan mengatur hidup saya sesuai dengan kehendaknya.Sebab ada fase-fase di mana kehidupan saya sangat terbantudengan pengalaman kerja di sana. Misalnya, waktu sudah nikahdan kebetulan suami saya sakit, sedangkan saya harus mengumpulkanback up dari segi ekonomi. Namun, harus diakuai, satu halyang saya tidak suka adalah bagaimana environment kita diambil,dibawa keuntungannya ke luar negeri. Betapa keuntungan ownernyasangat berlipat dan sebaliknya hanya sedikit yang tersisa untukkesejahteraan penduduk Indonesia. Demikianlah teorinya AdamSmith, “bapak” kapitalisme yang menghendaki pasar bebas. Jadi,tidak apa-apa ada gap antara owner yang kaya-raya dan para pekerjaatau warga yang sumberdaya alamnya dikeruk sehingga ke-Lily Zakiyah Munir – 1247


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–hidupannya tetap saja miskin. Sebab, begitulah akumulasi modalyang dikehendaki kapitalisme, yang tidak mempertimbangkan gapkesejahteraan.Mereka, para pekerja, mendapatkan gaji. Begitupun saya, waktuitu mendapatkan gaji yang bagi saya sudah besar sekali dibandingkanpara pekerja yang lain atau yang bekerja di tempat lain. Tetapiapabila dibandingkan dengan keuntungan yang dibawa ke negaramereka, tentunya, jauh berlipat. Data-data perputaran uang dinegara maju dapat dilihat di Economist, sebagian saya kutip untukkeperluan diskusi atau bahan-bahan tulisan saya. Sebagai contoh,orang sekaya Bill Gates diceritakan tidak mau mengambil uangnyayang “jatuh” hanya karena memakan waktu, yang jika dibandingkan,nilainya lebih besar apabila dia tetap melakukan aktivitas bisnisnya.Tetapi yang jelas bahwa gap antara yang kaya dan miskinitu luar biasa menganga.Meskipun demikian, tetap saja muncul hal-hal lain yang tidakfair. Saya mendapatkan pengalaman yang cukup menggelikan bagaimanamasyarakat Barat, yang kaya-kaya itu, memberikan penilaianyang pejoratif terhadap umat Islam. Beberapa waktu lalu saya diUniversity of South Carolina, Georgia mengajar Islam and HumanRights. Topik khusus untuk saya adalah Womens and Human Rightsunder Syaria. Itu merupakan program Islam and Human Rightsuntuk graduate program. Awalnya mereka mengajak berkenalan.Kemudian saya melontarkan pertanyaan: what do you know aboutIndonesia? What do you know about Islam? Peserta diam semuanya.Saya lantas bertanya lagi, sebutkan satu kata yang identik denganIslam? Mereka masih diam semua. Kemudian, lama-lama merekapun bilang: terrorism. Terus saya bilang, “Jadi pengertian Andatentang Islam seperti itu!?”.1248– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom mencita-citakankeadilan dengan mengandaikan negara yang bebas, liberal,di mana tidak ada hal-hal yang dapat mengekang warga negaranyauntuk memperoleh kesejahteraannya. Arti bebas di sini adalah terdapatdistribusi kepada rakyat yang miskin agar memperoleh akses danterbebaskan dari ketiadaan mendapat akses seperti pendidikan yangbaik, kesehatan yang layak danseterusnya yang harus diatasi Dalam konteks keindonesiaanoleh negara. Bagaimana Anda kita tentunya mengenal Bhinnekamemandang pentingnya iklim Tunggal Ika. Founding fatherskebebasan suatu negara?kita sepakat untuk membentuksebuah negara-bangsa, bukanSaya setuju. Tetapi dalam negara agama, meskipun mayoritasbeberapa hal kita patut memberikancatatan. Karena sela-sampai ada pemaksaan dalamwarganya beragama Islam. Janganma ini banyak hal yang definisinyamenggunakan standar ini terikat pada nilai-nilai yangberagama. Bagaimanapun bangsaganda. Demokrasi yang dituntutAmerika, misalnya, untuk HAM, yang intinya semua orangtercakup dengan Deklarasi Universalkriteria sebuah negara, adalah memiliki kebebasan yang sama.demokrasi hanya sebatas prosedural,sebatas pemilu. Tetapi substansi demokrasi tidak menjadiconcern mereka. Padahal, demokrasi yang hanya prosedural bisaberujung pada pembajakan demokrasi itu sendiri, misalnya agamadijadikan alasan untuk legitimasi penindasan rakyat, melelui partaipartaiyang membawa bendera agama maupun melalui penetapanregulasi yang berbasis formalisasi agama.Jadi, pandangan Amartya Sen benar, bahwa negara harus ikutbertanggung jawab, termasuk distribusi yang adil. Sebab, masalahLily Zakiyah Munir – 1249


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kita sekarang adalah redistribusi dan pembangunanisme, sebagaimanajuga diserukan oleh almarhum Mansour Fakih. Bagaimanamungkin jika negara ini berkeinginan untuk membangun tetapirakyat malah digusur. Lantas, di mana letak moral para penyelenggaranegara? Saya suka miris melihat di televisi Satpol PamongPraja (PP) yang mengobrak-abrik pedagang kaki lima. Katakanlahmereka sebagai warga melanggar aturan negara, tetapi pertanyaannya:aturan itu dipakai untuk apa?Rakyat mempunyai hak dasar manusia: hidup layak dan bekerjamencari nafkah. Itu bagian human rights. Makanya negarabertanggung jawab memenuhi human rights tersebut. Tetapi sekarang,pada kasus pedagang kaki lima, rakyat sudah tidak banyakmenuntut haknya. Sebaliknya mereka kreatif menciptakan lapangankerja sendiri. Dan kreativitas itu sekarang menjadi tulang punggungekonomi Indonesia setelah ditimpa krisis moneter.Saya pernah beroleh pengalaman bagaimana suatu aturan tidakberpihak pada rakyat dan sebaliknya diperuntukkan bagi kepentinganelit politik. Waktu itu, saya mengajar training para panitiaRencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM). Kitamengikuti standar United Nation (UN), membuat RANHAMNational Committe. Ini bukanlah membuat Komnas HAM baru,tetapi lebih merupakan bagian dari berbagai lini untuk mempromosikanHAM. Peserta training terdiri dari beragam latar belakang:kalangan birokrat, LSM dan sebagainya. Saya mengajari merekatentang persoalan jender. Ketika saya bicara pelbagai masalah pelanggaranhak perempuan yang tengah mengemuka di Aceh, semua“menunduk”. Mengapa? Karena syariah sudah di-teken atauditetapkan sebagai peraturan, jadi semuanya harus tunduk tanpamampu berbuat untuk mengatasi pelanggaran atas hak perempuan1250– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang justru direstui oleh pemerintah melalui perda syariah. Merekahanya menunduk, tidak ada argumen lain yang menyeruak. Iniironis. Padahal HAM atau sebuah aturan intinya diperuntukkandemi kepentingan rakyat, bukan penguasa. Lantas di mana hatinurani dan kejernihan berpikir para penguasa kita?Anda demikian menguasai isu womens and human rights under syaria.Komnas Perempuan pernah melakukan sebuah riset dengan temuan:perda-perda syariah yang diterapkan di beberapa wilayah Indonesiamemuat 29 butir perda yang membatasi aktivitas perempuan. BagaimanaAnda melihat perda syariah dan eksistensi perempuan darisudut pandang HAM?Selama ini kata syariah terus menjadi ajang kontestasi. Semuanyamemakai dan mengklaim syariah sebagai pembenaran atas suatukepentingan tertentu. Mulai dari perda syariah, bank syariah,asuransi syariah, mungkin nanti bisa jadi ada film syariah. Lantas,apa yang dimaksud dengan syariah itu sendiri? Itu yang menjadiinti persoalan sekarang. Syariah didefinisikan dengan amat beragamsesuai kepentingan yang hendak dicapai masing-masing orangatau kelompok. Kalau saya menjadi penguasa dari masyarakat yangmayoritas Muslim dan ingin menunjukkan kekuasaan saya untukmenindas orang lain, akan lebih efektif kalau saya memakai istilahsyariah. “Ini syariah lho, kalau Anda melawan syariah, berarti kafirdan masuk neraka”, itu mungkin yang akan saya katakan.Demikianlah risikonya. Karena definisi syariah direduksi olehimajinasi kuasa. Syariah dipahami sebagai “pemaksaan”: pewajibanmemakai jilbab, perempuan harus tutup aurat, tidak boleh keluarrumah karena menimbulkan fitnah dan memancing perzinaan. De-Lily Zakiyah Munir – 1251


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–finisi ini hanya bagian kecil dari satu kesatuan sistem besar. Kalaumau mengatakan syariah secara kâffah (lengkap), coba Anda lihatsecara keseluruhan. Semua misi Islam adalah syariah. Tetapi, apakahIslam hadir hanya untuk pewajiban memakai jilbab atau membuatperempuan dikurung di rumah? Bukankah tujuan utamanya adalahrahmatan li al-‘âlamîn. Itu yang harus dipahami.Apakah tujuan Islam yang rahmatan li al-‘âlamîn sudah bisa menjamindan melindungi hak dan kebebasan perempuant? Bukankahkalangan konservatif dengan pemahaman mereka sendiri menganggapIslam yang mereka dakwahkan juga dalam pengertian rahmatan lial-‘âlamîn?Kita mesti kembali ke uraian paling dasar ihwal Islam. Memang,tidak dapat dipungkiri terdapat gap antara tujuan Islam denganrealitas empiriknya. Kalau kita berbicara ihwal rahmatan lial-‘âlamîn, apakah memadai apabila tujuan tersebut hanya dapatdicapai melalui jilbabisasi atau dengan cara perempuan dirumahkan.Bagaimana dengan korupsi, problem pendidikan, ekonomi,kesejahteraan. Jadi hendaknya umat Islam berupaya menangkapspirit syariah secara kâffah, tidak secara politis, karena nuansa politishanya mencari popularitas. Coba kita buktikan, apakah perdasyariah hanya diukur dengan berjilbab dan memakai baju kokolantas sudah bisa dikatakan berislam kâffah. Tentu tidak sesederhanaitu.Apakah dalam syariah, yang tidak lagi dipahami secara sempit, hak-hakdan kebebasan perempuan untuk berekspresi dijamin oleh Islam?1252– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ya, dijamin. Ini bisa dilihat dari perintah untuk amar ma‘rûfnahy munkar. Dalam al-Quran, perintah amar ma‘rûf nahy munkarbukan perintah khusus laki-laki atau khusus perempuan. Tetapi berlakuuntuk semuanya. Itu menunjukkan bahwa perempuan bukanhanya boleh menegakkan amar ma‘rûf nahy munkar, tetapi wajib.Perintah itu dimungkinkan jika perempuan tidak hanya di rumahatau wilayah domestik. Tetapi, tentu saja, perempuan juga harusterjun ke masyarakat, melihat apa yang sedang terjadi di masyarakat,apakah kondisinya baik atau buruk. Di situlah perempuanberperan sebagai da’i, mendakwahkan Islam yang rahmatan li al-‘âlamîn untuk menegakkan amar ma‘rûf nahy munkar.Bagaimana dengan ayat al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ, bukankahini membatasi eksistensi perempuan pada wilayah publik?Masalahnya terletak pada perbedaan interpretasi: tekstual dankontekstual. Sejak awal pembentukan fikih pada abad kedua sampaiketiga Hijriah, ada ahli ra’yi dan ahli Hadits. Hanafi yang ahlira’yi, misalnya, lebih rasional. Sedangkan Hanbali yang ahli Haditsdan banyak diikuti di Saudi Arabia sangat tekstual. Jadi, sejak awalmemang sudah ada kecenderungan yang berbeda dalam melihathukum Islam. Sampai sekarang pun juga begitu, sehingga perluadanya kontekstualisasi melalui reinterpretasi.Karena sudah menyejarah, dua kutub pemikiran yang didasarkanpada model penafsiran yang bersebrangan ini (tekstual dankontekstual) bila memperdebatkan satu pandangan keagamaan tidakakan ketemu. Buktinya ketika ada masalah poligami yang hebohdi TV, misalnya, antara yang pro dan kontra, tidak bisa ketemudalam satu kesimpulan bersama. Karena yang pro-poligami secaraLily Zakiyah Munir – 1253


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tekstual menganggapnya perintah agama, dengan mendasarkan diripada dalil “fankihû mâ thâba lakum min al-nisâ’i matsnâ wa tsulâtsâwa rubâ‘ fa in khiftum an lâ ta‘dilû”. Mereka begitu saja memaknainyadengan sangat tekstual sebagai perintah tanpa melihatkonteks asbâb al-nuzûl-nya secara kritis. Sedangkan yang kontramelihat asbâb al-nuzûl-nya secara kritis dengan ragam pendekatan:sosiologis, antropologis dan ekonomis. Akibatnya, pertentangantersebut tidak bisa didamaikan.Bisa Anda eksplorasi lebih jauh tentang poligami dan bagaimana sikapAnda sendiri terhadap isu ini?Ada tulisan saya di Kompas tanggal 11 Desember 2006 perihalisu poligami. Judulnya Wabah itu Bernama Poligami. Saya tidak banyakmengeksplorasi sisi teologis dari poligami yang intinya memperdebatkankaitannya teks dan konteks. Saya lebih mengaitkandengan aspek psikologis, sosiologis, dan perdebatan hermeneutika.Sebagai seorang perempuan, saya melihat selama ini terbukti banyakhukum Islam kurang memiliki perspektif tentang perempuan.Dalam hal poligami, siapa yang menentukan dan mendefinisikanbahwa poligami adil? Apakah adil itu hanya menyangkut materialsaja, atau cinta dan giliran seks? Sebab, sejatinya, hal-hal tersebutdalam praktiknya yang mendefiniskan adalah laki-laki.Yang menjadi problem utama, selama ini, perdebatan dalam fikihtidak ada perspektif perempuan. Demikianpun ihwal poligami. Sayaistilahkan dalam Kompas sebagai “poligami membisukan suara hatiperempuan”. Dalam hal ini yang saya tekankan bukan poligaminya,tetapi lebih pada perdebatan tentang poligami itu sendiri selama iniyang justru membisukan suara hati perempuan. Saya ambil contoh1254– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–istri seorang da’i kondang yang beberapa waktu lalu melangsungkanpoligami (Aa Gym), dalam artikel tersebut tidak saya tulis jelasnamanya. Dalam kasus tersebut, Teh Nini, istri pertama, di depanwartawan masih mengembangkan senyumnya dengan mengatakanikhlas suaminya kawin lagi. Tetapi siapa yang tahu perasaan sesungguhnyadi dalam hatinya. Dia sendiri (Teh Nini) mengatakancemburu, dengan alasan “namanya juga cinta”. Jadi, persoalannyatidak berhenti hanya karena kecintaannya terhadap suaminya laludijadikan alasan untuk cemburu. Yang harus disimpulkan di sini:ada ketidakadilan dalam setiap praktik poligami.Selama ini perempuan tidak diberi peluang untuk mengungkapkanperasaannya secara apa adanya. Atau, kalaupun di kedalamanlubuk hatinya sudah diberi kesempatan, tetapi kemudian poligamidengan rapi dibungkus dengan dogma, maka sulit bagi perempuanuntuk dapat bersuara. Artinya, suara perempuan dinafikan karenaselalu terbentur dengan doktrin agama. Celakanya, karena doktrinagama, seolah-olah kita harus mengikuti tanpa terlebih dahulu menakarberbagai kemungkinan yang membawa persoalan ini menjadibenar-benar adil bagi hak-hak perempuan. Agama pada dasarnyabertujuan membawa kemaslahatan. Kemaslahatan bukan hanya lahiriahtetapi juga batiniah. Pada posisi inilah yang menurut hematsaya perlu meng-counter pemahaman poligami yang mainstream.Dalam konteks ini juga perlu ditelisik lebih mendasar lagi terutamapada wilayah psikologis perempuan. Sebab, bagaimanapun jugadi kedalaman hati seorang perempuan pasti ada perasaan cemburuapabila suaminya menikah lagi.Pertanyaannya: kenapa mereka, kaum perempuan, dapat bertahan?Pertama, karena alasan sosial-budaya mereka lebih memilihmempertahankan keluarganya. Sebab, masyarakat kita masih men-Lily Zakiyah Munir – 1255


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–stigma janda apalagi janda muda. Kadang-kadang secara umumbanyak ibu-ibu bilang takut suaminya direbut orang lain, terutamajanda-janda muda yang lekat dengan stereotip sebagai penggodasuami orang. Jadi, takut mendapatkan stigma janda, lalu merekatidak memilih perceraian.Kedua, masalah ekonomi. Pada waktu dia, sebagai seorang istri,masih produktif (bekerja atau membantu suami) dan begitu besarmendedikasikan dengan penuh cinta kepada suami, maka bagi seorangsuami belum dengan semena-mena berpoligami. Tetapi, begituistrinya sudah tidak dapat bekerja lagi, terlebih dari awal memangmenggantungkan urusan ekonomi pada suami, maka dengan tanpamenenggang perasaan istrinya, suami mudah sekali menikah lagi.Jadi, ada ketergantungan ekonomi. Karena dari awal dia sengajatergantung kepada suami dan karena segenap cintanya pula diapercaya. Kemudian dengan alasan-alasan inilah, secara psikologis,dia tidak bisa lari lagi.Demikianlah beberapa faktor yang menjelaskan sulitnya posisiperempuan di tengah masyarakat dalam menghadapi persoalan poligami.Jadi, itu semua kalau kita sudah membicarakan dalil agamasebagai doktrin poligami sebagaimana terdapat doktrinnya dalamal-Quran, maka aspek-aspek di luarnya – psikologis, sosiologis,ekonomis dan perdebatan hermeneutikanya – tidak akan muncul.Sebab, yang ada hanyalah teks yang sangat kaku.Dengan pengertian lain, ketika berhadapan antara teks dan konteksapakah diperlukan tafsir yang liberal?Ya, penafsiran yang liberal sangat dibutuhkan. Tetapi, ituperlu digawangi dengan moralitas. Standar moralitas tidak harus1256– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–baku. Moralitas hendaknya selalu berubah. Sungguhpun demikian,yang terpenting dari tujuan moralitas adalah semangat yangmembawa keadilan dan kemaslahatan. Misalnya tentang warisansatu banding dua (1:2). Kalau konteksnya waktu dan tempat dimana Nabi hidup, dengankondisi geografis yang gersangdan panas dan secara namanya mediator antara manusiaDi dalam Islam tidak ada yangantropologis masyarakatnya dengan Tuhan. Dengan demikian,mempunyai karakter cukup dalam Islam pintu ijtihad dibuka. Dikeras, perempuan tidak bekerja,maka 1:2 itu sudah mengenai penggunaan akal, misalnyadalam al-Qur’an banyak sekali ayatadil. Sebab, kaum perempuansecara ekonomis sa-(apakah kamu tidak berakal? apakahafalâ ta’qilûn, afalâ tatafakkarûnngat tergantung pada kaum kamu tidak berpikir?). Jadi, padalelakinya. Ini menjadi bukti prinsipnya, existing akal merupakanbahwa Islam sangat menjunjungtinggi harkat dan mar-satu ciri dari Islam.tabat perempuan. Tetapi, ketika konteks masyarakatnya berbedadan umat Islam sudah jauh berubah untuk konteks sekarang, perempuanharus diberdayakan secara maksimal. Diberi kesempatanberkreasi di ruang publik. Itulah penafsiran liberal yang penuhnilai moral: penuh dengan kemaslahatan.Apabila membincang hak-hak politik perempuan, pada pemilu 2004dalam UU Parpol diatur 30% kuota perempuan. Kalau menurutAnda sendiri kondisi hak-hak politik perempuan di Indonesia sudahcukup ideal atau belum, dan bagaimana Anda memandang realitaspolitik yang berlaku dengan diperundangkannya kuota 30%?Lily Zakiyah Munir – 1257


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kita tidak usah bicara 30%, sebab untuk 20% saja keterlibatanperempuan dalam ruang politik, DPR, pada kenyataannya belumsampai. Kebijakan ini merupakan affirmative action, namun demikiantampak tidak jelas dan tegas, apabila menilik bunyi redaksiyang terdapat dalam UU Partai Politik, karena di sana dikatakanbahwa setiap partai dapat atau boleh mencalonkan perempuansampai 30%. Jadi, redaksinya bukan harus. Akibatnya tidak adakonsekuensi atau sanksi mengikat bagi partai-partai yang tidak mematuhiuntuk mencapai kuota 30%. Inilah bukti hegemoni lakilakimasih kuat. Sehingga tidak salah kalau perempuan anggotaparlemen di bawah 10%.Jika dibandingkan, kondisi hak-hak politik perempuan negaraini jauh berbeda dengan negara Burundi, sebuah negara di benuaAfrika yang baru merdeka. Kebetulan saya pernah dipanel dengananggota parlemen Burundi. Dari situlah saya tahu bahwa anggotaparlemennya sebanyak 30% lebih adalah perempuan. Dan secarakuantitatif sebanyak sepertiga dari jumlah menterinya adalah perempuan,termasuk jabatan-jabatan menteri yang penting dan strategisyang biasanya diduduki laki-laki. Berbeda dengan perempuanIndonesia yang hanya diberi jabatan menteri pada pos-pos tertentu,seperti Meneg Pemberdayaan Perempuan dan Kesehatan.Ini bukti bahwa pemberdayaan perempuan di bidang politikmasih sangat lemah. Laki-laki masih memegang hegemoni kuasa.Pemberdayaan perempuan masih setengah-setengah: terlalu banyakpemasungan bagi hak-hak politik perempuan.Jika melihat dari segi kualitasnya – setelah melalui tahapan demokrasiprosedural, pemilu 2004, dengan kebijakan kuota 30% – apakah1258– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–wakil dari perempuan yang duduk di parlemen sudah bisa menyuarakanhak-hak perempuan?Ya, saya cukup apresiatif dengan para wakil perempuan, khususnyaterkait dengan agenda menggolkan UU KDRT tahun 2004.Kendati demikian, hal tersebut lebih merupakan upaya bersama,terutama peran wakil perempuan di parlemen, Komnas Perempuan,dan sejumlah LSM perempuan lainnya sangat besar. Kalausinergi itu dapat terus dijalankan, maka sangat besar manfaatnyabagi pemberdayaan perempuan, walaupun wakilnya di parlementidak seberapa.Tetapi beberapa waktu yang lalu ada informasi dari beberapa mediabahwa RUU APP (Anti-Pornografi dan Pornoaksi) akan terus diupayakanagar dapat digolkan?Saya masih tidak percaya dan sulit untuk menerima apabilaRUU APP disahkan. Sebab, masih banyak standar ganda di sana.Saya khawatir, tanpa menyiapkan kondisi sosial lewat pendidikan,RUU itu nantinya malah menjadi alat untuk melegitimasi penindasan.Misalnya, ada perjudian para tukang becak yang uangnyahanya berkisar Rp. 5.000,- an. Mengapa mereka berjudi? Saya kiratidak untuk mencari kekayaan. Mereka tahu tidak akan kaya dariberjudi. Mengapa tetap dilakukan? Tentu saja karena negara tidakpeduli terhadap nasib mereka. Bukankah seharusnya negara terlebihdahulu yang harus diperkarakan karena melanggar syariah: telahmengabaikan nasib warganya yang miskin?Hal yang sama juga (kontradiksi dan ambiguitas aturan pemerintah)terjadi dalam perda syariat Islam yang diturunkan melaluiqanun-qanun di Aceh. Istilahnya “qanun” biar kedengarannya se-Lily Zakiyah Munir – 1259


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–perti dari Arab, sumber asli Islam, padahal istilah itu serapan dari“canon law” istilah dari tradisi Katolik. Yang lebih memprihatinkanlagi, pada implementasinya terdapat banyak standar ganda.Misalnya, qanun tentang khalwat. Pernah ada kasus penangkapananak yang di pinggir pantai berdua. Atau kasus seorang anakSMA yang rumahnya dikunjungi cowoknya pada malam minggu,ketika mereka sedang duduk-duduk di teras tiba-tiba ditangkapaparat. Tetapi, giliran seorang ketua partai yang didapati bersamaperempuan bukan muhrim di hotel, malah tidak ditangkap. Jelassekali ada standar ganda.Kisah lainnya ketika RI-GAM damai dan tentara ditarik. Adaupacara penarikan, setelah itu ada salah satu tentara yang menciumpacarnya, gadis Aceh asli, sebagai tanda perpisahan. Adeganitu difoto dan masuk ke media massa. Tetapi anehnya tidak adatindakan atau sanksi apapun. Saya tanyakan kepada Kepala DinasSyariat Islam, “Kenapa tidak dihukum?”. “Itu kan tentara. SyariatIslam tidak untuk tentara”, begitu jawabnya. Demikianpun ketikadiketahui ada seorang jaksa disuap, masuk koran juga, kenapajaksanya tidak dihukum? “Jaksa itu mempunyai atasan, jadi atasannyayang menghukum, bukan syariat”, begitu lagi jawabnya.Terus saya bertanya tentang ketua partai yang ketahuan ber-khalwatdi hotel tetapi tidak diapa-apakan. Jawabnya sama: “kan adaatasan partainya”. Ini bukti masih ada standar ganda dan masihada tebang pilih.Artinya, standar ganda dalam perda syariat Islam memberitahukankita semua betapa hak-hak dan kebebasan rakyat kecil dan perempuan,juga kalangan terpinggir lainnya selalu dikorbankan.1260– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Benar, perempuan dan orang yang lemah menjadi pihak-pihakyang akan terus tertindas dalam sistem yang menerapkan perdasyariah. Sebab syariah hanya dijadikan komoditas politik bagi penguasayang tiranik dan otoriter.Tentang kebebasan beragama, misalnya, ada penafsiran liberal dariseorang tokoh perempuan Muslim, Prof. Dr. Amina Wadud, karenaberani menjadi imam dan khatib dalam salat Jum’at dengan jamaahnyabercampur laki-laki dan perempuan di sebuah gereja diManhattan, New York. Padahalsecara normatif (doktrinagama) perempuan tidak imajinasi kuasa. Syariah dipahamiDefinisi syariah direduksi olehboleh menjadi imam untuk sebagai “pemaksaan”: pewajibanlaki-laki. Bagaimana Anda memakai jilbab, perempuan harusmenanggapinya?tutup aurat, tidak boleh keluar rumahkarena menimbulkan fitnah danYa, sebetulnya itu satu memancing perzinaan. Definisi inikasus saja. Sebenarnya banyakhal di mana dibutuh-sistem besar. Kalau mau mengatakanhanya bagian kecil dari satu kesatuankan penafsiran liberal atas syariah secara kâffah (lengkap), cobaagama yang mendorong Anda lihat secara keseluruhan. Semuaumat untuk lebih menghargaikebebasan, kesetara-misi Islam adalah syariah.an dan keadilan. Artinya masalah dasarnya adalah bagaimana kitamemperlakukan fikih. Bagaimanapun juga fikih sejatinya produkprodukyang dibuat sekian abad yang lalu. Dari sana muncul mazhab-mazhabyang paling kuat, mulai dari Maliki, Syafi’i, Hanbali,Hanafi, yang dimulai sejak tahun 150 Hijriah sampai 250-an(abad kedua dan ketiga Hijriah). Jadi, sudah 13 abad yang lalu.Lily Zakiyah Munir – 1261


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Celakanya, dari waktu ke waktu hampir tidak tersentuh oleh reformasiyang signifikan.Sebenarnya ada banyak usaha mereformasi fikih, misalnya forumbahtsul-masâ’il di lingkungan NU. Namun, umumnya bukanpada isu yang sudah ada di fikihnya, tetapi lebih pada isu-isuyang belum ada dalam fikih, misalnya pembahasan bayi tabungdan operasi ganti kelamin. Sedangkan hal-hal yang sudah ada ketentuannyadalam fikih hampir tidak direformasi, meskipun konteksnyasudah berbeda. Padahal, hal-hal seperti ini yang menurutkita perlu dilakukan reformasi.Masalahnya lagi, apabila syariah, dalam hal ini fikih, direformasi,ada kekhawatiran nanti orang-orang Islam akan meninggalkanagama, dalam arti menganut cara pandang sekular. Kompleksitaspermasalahan ini dijelaskan dengan baik oleh AbdullahiAhmed An-Naim, dalam bukunya Secularism vis a vis Syaria danbuku lainnya Toward an Islamic Reformation. Karena itu An-Naimmenempatkan istilah vis a vis untuk menggambarkan hubunganyang terjadi antara syariah dan sekularisme. An-Naim sebaliknyaberupaya meyakinkan orang dengan menunjukkan: apabila syariahnyatidak direformasi, justru muncul kekhawatiran di mana oranglari ke sekularisme dan meninggalkan agama. Hal ini tentu tidakdiinginkan. Caranya adalah melakukan reformasi dan dekonstruksiterhadap syariah. Masalahnya oleh umat Islam fikih selama inimenjadi disiplin ilmu agama yang paling diutamakan, mengalahkantauhid dan akhlak.Hampir setiap berbicara perihal agama, maka siapapun merasaharus mengaitkannya dengan fikih. Kalau seseorang ditanyatentang Islam, tentu jawabannya seputar fikih dulu, seperti salat,zakat, puasa dan haji. Islam tidak dipandang atau diukur dari akh-1262– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–laknya, apakah dia suka menolong orang lain atau tidak. Kemudiankarena keberagamaan tadi sangat diidentikkan dengan fikih,kemudian fikih menjadi, seolah-olah, sakral. Karena sakral, bagisiapa yang berani mengubah fikih lantas dianggap sama sepertimengubah Islam. Ini yang harus didekonstruksi.Upaya untuk mendekonstruksi fikih mendesak segera dilakukan olehumat Islam. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh KH. Husein Muhammad,misalnya, produk fikih sangat misoginis atau patriarkis,berpusat pada laki-laki. Bagaimana pemahaman Anda sebagai aktivisperempuan perihal upaya mendekonstruksi fikih agar menumbuhkankeberagamaan yang adil dan setara?Ini pekerjaan yang luar biasa berat. Karena, pertama, sudahdiciptakan image di tengah masyarakat Muslim bahwa dekonstruksiataupun reformasi atau – dalam bahasa yang lebih lazimbagi umat Islam – ijtihad hanya bisa dilakukan oleh ulama. Apalacur, mayoritas ulama, dengan ijtihad-ijtihadnya, identifikasinyaadalah laki-laki. Sehingga mudah dimengerti apabila kemudianpandangan mereka kebanyakan tekstual. Banyak sekali ulama lakilakiyang kurang mempunyai perspektif perempuan. Tetapi tidaksemua ulama berpandangan sempit dan bias jender. Salah satunyaadalah ayah saya (KH. Mahfud Anwar) yang berusaha melampauitafsir misoginis terhadap agama. Ayah saya merupakan seorang ulamayang dapat menjadi contoh, role model yang sangat progresif.Terus terang saja ketika saya berbicara perihal cara pandangnyadi luar masyarakat “santri”, banyak yang bilang (heran): mengapasampai bisa dari pesantren tetapi pemikirannya sangat liberal danmenghargai perempuan?Lily Zakiyah Munir – 1263


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ayah saya merupakan menantu hadlratusysyaykh Hasyim Asy’ari.Menikahi ibu saya yang bernama Abidah Maksum ketika masihberusia 13 tahun dan belum sempat sekolah. Ayah sayalah yangmengajari Ibu. Meski sebenarnya sejak kecil, ibu sudah seringmendengarkan pengajian Mbah Hasyim Asy’ari. Ayah seoranghakim, yang juga pendiri fakultas Ushuluddin di IAIN Surabaya.Hal yang paling dia nikmati adalah mengaji dengan orang-orangdi desa. Beliau membuka pondok di dekat Tebu Ireng, namanyaPondok Seblak.Ibu saya, dari sisi bapak, adalah keturunan dari Kiai MaksumAli, penulis kitab sharaf. Sementara dari sisi ibu, beliau putri dariMbah Khairiyah Hasyim, salah seorang putrinya Kiai HasyimAsy’ari. Jadi, ibu saya adalah cucunya Hasyim Asy’ari. Kemudianbapak saya yang mengajari Ibu saya mulai dari membaca dan menulis,sampai ibu saya menjadi seorang politikus (anggota DPRDKonstituante) dan mengajar ngaji di mana-mana. Ketika saya tanyaprinsip yang mendasarinya sehingga bapak saya menghormatihak-hak perempuan, beliau menjawab justru pada penafsiran suratan-Nisa ayat 34: al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ’.Kata qawwâmûna kalau menurut bapak saya artinya membuatberdiri, jadi memberdayakan (empowerment). Karena tasrif-nyaadalah qâma – yaqûmu - qawman. Qâma itu berdiri, sedangkanqawwâmûna membuat berdiri. Laki-laki yang sudah diberi kekuatanlebih, menjadi pemimpin, kenapa masih harus menindas perempuan.Tentu saja siapapun tidak boleh semena-mena seperti itu.Prinsip ini dibuktikan bapak saya bukan hanya dalam omongan,tetapi juga dalam perilaku.Hal ini dibuktikan, misalnya, ketika Ibu saya menjadi anggotaDPRD tahun 1951 – tahun kelahiran saya. Pada waktu itu1264– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ibu harus dinas, menjalankan tugasnya. Sedangkan perjalanan dariSeblak ke Jombang kira-kira 8 km. Pada waktu itu saya yang masihbayi dan tidak mungkin dibawa ibu sambil bertugas. Sebab,saat itu tidak ada kendaraan mobil, tetapi naik andong. Sehinggaaku dititipkan ke seorangibu yang mempunyai anak. Religiusitas kita jangan dipraktikkanBagaimanapun pada tahun seperti sekarang dengan sangat1951 belum ada susu formula.Sungguhpun demikian, kemudian dari atas top down dengansuperficial, hanya permukaannya saja,bapak tetap mendorong kariribu. Kemudian ketika ibu negara. Religiusitas dalam Islam misiberselingkuh memakai kekuasaansaya harus pergi ke Bandungutamanya adalah akhlak.untuk sidang Konstituante,sebenarnya ibu saya nggak mau, karena anaknya masih kecil, tetapibapak saya bilang: “Biarlah saya yang menangani anak-anak,saya bisa mendidik anak.” Jadi teks qawwâmûna ‘alâ al-nisâ’ inidimaknai sebagai memfasilitasi, mendukung dan memberdirikankaum perempuan.Dan satu lagi, tentang nafkah. Bapak saya berkata: (memberi)nafkah tidak boleh asal saja. Misalnya, kalau seorang istri terbiasamengonsumsi suatu makanan tertentu sebagaimana ia perolehsebelumnya, maka sebagai suami harus siap. Begitupun kalau istrinyatidak bisa masak, suami harus membantu. Hal-hal sepertiitu dibuktikan oleh bapak saya. Tentu saja, sekarang kebanyakanlelaki tidak mau membantu istrinya. Sebenarnya banyak contohlagi yang menggambarkan betapa bapak saya seorang yang terbukadan sangat menghargai perbedaan. Misalnya ketika menerimapendeta dan romo dari Belanda dan Amerika, satu Kristen dandua Katolik, bapak saya membiarkan mereka menginap di pon-Lily Zakiyah Munir – 1265


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dok (pesantren) kami. Bapak membiarkan mereka yang laki-laki kemasjid menunggu para santri salat. Setelah itu mereka berdiskusidengan santri dan berdialog juga bersama bapak saya. Ini merupakanbentuk toleransi.Mengenai pendidikan bagi anak-anaknya, bapak saya menyekolahkananak-anaknya di sekolah umum. Untuk saat itu cukupaneh kalau anak kiai sekolah di umum, bukan di madrasah ataupesantren. Kakak saya yang perempuan dokter, ada yang insinyur,sedangkan saya sendiri sekolahnya mengambil Bahasa Inggris. Pendidikansaya dari MI NU, PGAP, PGAA kemudian melanjutkanBahasa Inggris di IKIP Surabaya dan IKIP Jakarta. Setelah itu sayaterjun ke dunia “kapitalisme”, manajemen dan konsultan. Barukemudian saya mengambil konsentrasi antropologi, itulah potretkeluarga kami yang progresif.Lembaga Anda CePDeS (Center for Pesantren and <strong>Democracy</strong> Studies)sering melakukan advokasi ke pesantren-pesantren. Pertanyaannya,bagaimana upaya untuk menafsirkan ulang fikih yang misoginisdi dalam lingkungan pesantren yang kesehariannya terlampau fikihoriented?Lembaga kami waktu pra-pemilu 2004 kemarin mengadakanprogram Rising Awareness untuk political rights (hak-hak politik)kaum perempuan. Jadi, kami ingin menyadarkan hak-hak politikkaum perempuan di pesantren dan masyarakat sekitarnya bahwakita mempunyai hak untuk berbeda dalam memilih. Di antaranya:pertama, perempuan mempunyai hak memilih. Hal ini jelaskarena hendaknya di antara semua elemen masyarakat, terutamajender, tidak ada diskriminasi. Kedua, mereka boleh berbeda dari1266– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–suami, dari laki-laki atau dari kiainya sekalipun. Ketiga, merekajuga mempunyai hak untuk mencalonkan diri. Bahkan, kita mengatakanbahwa perintah amar ma’ruf nahy munkar merupakanpart of the obligation, suatu keharusan bagi perempuan juga, tidakhanya laki-laki, untuk terjun di wilayah publik (politik).Yang patut disayangkan, budaya kita masih sangat menyegregasiantara ranah domestik dan publik. Perempuan berada diwilayah domestik seperti memasak dan mencuci; sementara duniapublik (politik) milik laki-laki. Demikianlah yang selama inikaprah mengendap di alam pikiran masyarakat. Hal ini nyataketika salah satu peserta meyakini bahwa politik itu dunianyalelaki. Jadi, yang mau kita terobos dan bongkar adalah pandangansegregatif tersebut yang dibungkus dengan ayat-ayat sebagaibentuk justifikasi agama atas kekuasaan laki-laki. Kemudian kitajuga meng-counter Hadits yang mengatakan bahwa akan rusaklahmasyarakat kalau dipimpin oleh perempuan. Lantas kami menjelaskankonteksnya.Dalam proses kegiatan tersebut banyak dari peserta perempuanyang mengatakan, “Kita kan perempuan.” Artinya mereka sendiritidak mau dan resisten dengan ide-ide yang menjadi bagian dariprogram Rising Awareness untuk political rights. Kemudian fasilitatorkami menjelaskan bahwa dalam program ini harus dibedakanantara budaya dan agama. Memang, itu suatu hal yang tidakmudah. Sebab, dalam benak mereka sudah terbentuk suatu hegemonipemikiran yang sangat kental bahwa perempuan tempatnyadi lingkup keluarga (urusan rumah tangga). Jika perempuan keluarrumah dan kemudian keluarganya terbengkalai maka yang patutdisalahkan perempuan. Paradigma seperti ini yang harus kitabongkar terlebih dahulu.Lily Zakiyah Munir – 1267


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sebenarnya perubahan budaya patriarki yang paling ideal dimulaidari keluarga. Dan itu sangat mungkin. Ayah saya membongkarbudaya patriarki sampai saya merasa tidak ada pembedaandan diskriminasi lelaki-perempuan. Justru setelah saya menikahdan terjun di masyarakat, baru saya tahu ternyata kaum perempuanselama ini diperlakukan dengan tidak adil. Keterkejutan inisaya sadari karena di ranah keluarga kami tidak pernah dibedakanantara anak perempuan dan anak laki-laki. Jadi, perbedaannyasebatas pada: Anda ingin ke mana, bakatnya apa? Tetapi bapaksaya selalu menekankan bagaimana semua anaknya harus sekolahsampai perguruan tinggi, baik perempuan maupun laki-laki. Tentusaja ini bagi masyarakat luas tidak mudah. Kakak perempuan sayatahun 1960-an masuk di Kedokteran Universitas Airlangga. Kiaikiaidi Jombang pada waktu itu menggunjing dan mencibir, “KiaiMahfud anak perempuannya disekolahkan di Kedokteran, maujadi apa, paling nanti kembali lagi ke pesantren.” Dalam kontekstahun 60-an hal-hal seperti itu dianggap tidak mungkin. Tetapikalau sekarang sudah banyak anak kiai yang disekolahkan di luarnegeri. Sementara tahun 1960-an ibu saya sudah melanglang buanake mana-mana. Lagi-lagi, bapak saya yang mendorong.Hal ini disebabkan oleh frame of thinking bapak saya yang meyakinibetul bahwa amar ma‘rûf nahy munkar menjadi kewajibansetiap orang, laki-laki dan perempuan. Jadi pertanyaannya, bagaimanapemikiran semacam ini bisa menyebar luas di tengah masyarakatsementara kenyataannya, apabila melihat psikologisnya, padadiri para lelaki masih saja tertanam: rasa takut dan terancam – karenabudaya kita yang sangat patriarkis. Konsepnya adalah pokoknyalaki-laki harus lebih; malu kalau kalah sama perempuan. Jadi,kenyataannya yang terjadi malah suami-suami yang menghambat1268– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–langkah perempuan. Terus terang saja saya sendiri juga berprosesuntuk sampai pada kondisi seperti sekarang. Puluhan tahun sayabermanuver dengan suami saya supaya dia tidak merasa terkalahkan,karena pribadi saya kritis sekali. Ini biasanya tidak semua orangbisa, dan seringnya di situ perempuan menyerah.Terkadang ada kekhawatiran dari masyarakat kalau semuanya berperandi sektor publik kemudian yang di rumah tidak ada yang mengurus,keluarga menjadi berantakan. Bagaimana menanggapi hal itu?Urusan anak bukan hanya menjadi tanggung jawab perempuan.Lihat, di al-Quran saja nama suratnya Lukman! Jadi, sebetulnyaseorang bapak yang bertanggung jawab juga mau mengurus pendidikananak-anaknya. Bapak saya membuktikan hal ini. Bapak sayatidak pernah melemparkantanggung jawabnya begitu Science itu tidak boleh dipisahkan darisaja atas pendidikan anakanaknyake ibu saya. Seba-dari agama maupun non-agama.moral, apakah moral itu bersumberliknya bapak saya menguruspendidikan kami, anak-anaknya. Sedangakan secara umum oranglaki-laki terus-menerus mensegregasi mana wilayah pekerjaan perempuan(istri) dan lelaki (bapak), misalnya seorang ayah yang melulumengurus bisnis kantor dan mencari uang, sementara urusananak-anak mulai dari makan, sekolah dan semuanya diserahkanpada ibu. Itu tidak benar.Jadi, jangan dipisah antara tanggung jawab laki-laki (wilayahpublik) dan perempuan (wilayah domestik). Hendaknya menjaditanggung jawab bersama. Buktinya saya bisa tunjukkan: anak sayaada tiga. Perempuan semua. Yang pertama lulus ITB, yang keduaLily Zakiyah Munir – 1269


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sekarang S2 Psikologi di Universitas Airlangga, yang ketiga lulusanUI Akuntansi. Mereka al-hamdulillâh tidak ada yang nakal dalamarti, misalnya, mengkonsumsi obat-obatan terlarang atau melakukanseks bebas yang tidak bertanggung jawab. Padahal saya begituaktif di luar (persoalan publik). Dalam pengertian lain, adalah mitoskalau keluarga rusak yang kemudian harus dijadikan kambinghitam adalah perempuan. Pandangan seperti ini sudah seharusnyadisingkirkan. Sebab, semua itu menjadi tanggung jawab bersama.Ihwal affirmative action untuk perempuan, apakah tidak malah mendiskriminasiperempuan, karena memposisikan kaum perempuan sebagaipihak yang selalu perlu diberikan perlakuan berbeda, atau justrumemberdayakan perempuan lantaran kondisi masyarakat dengankultur dan seluruh sistemnya yang memang tidak memihak?Affirmative action bisa juga disebut positive discrimination. Jadimemang hal itu dapat dimengerti sebagai tindak diskriminasi, tetapipositif. Namun yang harus dipahami mengapa affirmative actionharus diberikan pada perempuan karena terdapat dasar hukumdan dasar sosialnya. Legitimasi hukum dan sosiologisnya memangsangat diperlukan. Hal tersebut mengingat selama ini perempuantertinggal jauh sekali oleh karena budaya patriarki sangat mendiskriminasikanperempuan. Akibat peminggiran ini, perempuanketinggalan di hampir seluruh aspek kehidupan. Adalah tidak fairkalau perempuan dalam kondisi seperti itu harus bersaing secarabebas dengan laki-laki yang sudah punya privilege diuntungkanoleh budaya patriarki.Jadi, kesepakaan seperti itu dari PBB, termasuk resolusi PBBdi mana Indonesia jadi terikat karena ikut meratifikasi the Con-1270– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–vention on the Elimination of All Forms of Discrimination againstWomen (CEDAW). Makanya Indonesia memasukkan isu ini kedalam UU Politik, meskipun masih setengah-setengah.Kemestian affirmative action ini sama persis dengan argumentasisaya melawan liberalisme ekonomi. Jadi, saya mempunyai justifikasihukum dan sosiologisnya untuk menentang liberalisme ekonomi.Karena bayangkan saja orang-orang yang penghasilannya Rp.10.000 per hari harus bersaing bebas dengan mereka yang pendapatannyamilyaran. Akhirnya yang miskin modal gulung tikar.Dan sudah berapa saja yang gulung tikar karena menjadi korbanglobalisasi pasar bebas ekonomi ini.Teori politik liberal tidak selalu menganut paham ekonomi pasar bebasyang menyingkirkan peran negara dalan persoalan ekonomi. ATheory of Justice dan Political Liberalism-nya John Rawls menuntutnegara memberikan akses kepada setiap disadvantage (kaum yang tidakberuntung, termasuk perempuan). Mestinya negara memberikanakses pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan pada kalangan dlu‘afâ’,termasuk terhadap perempuan. Artinya liberal dalam pengertian Rawlsparalel dengan apa yang dicita-citakan Anda. Lantas, apakah Andajuga punya anggapan bahwa affirmative action mestinya diarahkanbahwa negara juga mempunyai kewajiban terhadap pemberdayaanperempuan dalam berbagai bidang?Bukan hanya John Rawls yang berkeyakinan bahwa pemihakandiperlukan bagi yang lemah, itu sudah eksplisit dalam berbagaikomitmen Indonesia. Mulai dari konstitusi negara ini sampaikomitmen HAM, di mana Universal Declaration of Human Rightsdari awal sudah menyatakan untuk menegakkan prinsip kesetaraanLily Zakiyah Munir – 1271


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–semua orang tanpa diskriminasi, termasuk soal jender. Keyakinanseperti itu tampak juga di artikel saya di The Jakarta Post tentangjender, tanggal 29 Desember 2006. Di situ saya bicara perihalkonferensi di Beijing, yang sudah jelas sekali sampai teknis operasionalisasinya,yakni diidentifikasi 12 area of concern. Jadi BeijingConference tentang perempuan tahun 1995 yang temanya equalitydevelopment peace telah mengidentifikasi area yang sangat pentinguntuk kaum perempuan. Area itu adalah pendidikan, kesehatan,dan lainnya, sampai tingkat operasionalisasinya sudah didetailkandi Konferensi Beijing.Sungguhpun demikian, Beijing Platform, tahun 2005, tetapmengidentifikasi sekian banyak persoalan perempuan di dunia karenabegitu sulitnya membongkar budaya patriarki yang sudah merambahdan menggurita ke berbagai sektor kehidupan, termasuk dampakglobalisasi bagi perempuan. Coba Anda lihat sekarang, bagaimananilai-nilai yang tengah marak dan tiada habisnya menguasaiperempuan. Materialisme, konsumerisme bahkan eksploitasi seksualterhadap perempuan sudah sangat rentan. Semua bermuara padakapitalisme yang menghendaki perempuan “dijual”. Apalagi kini dimudahkanoleh transnasionalisme (lepas batas), tidak adanya batasgeografis negara. Mudah sekali orang melakukan penerbangan danpelbagai bentuk komunikasi untuk mendukung komodifikasi perempuan.Maka banyak perempuan dikirim ke Jepang, Hongkong dansebagainya, yang dijanjikan untuk dipekerjakan di pabrik, ternyatadijadikan budak prostitusi. Itu semua akibat dari globalisasi.Apakah itu yang dikhawatirkan banyak kalangan di mana globalisasijustru menyeragamkan budaya, lantaran segalanya sekadar mengikuti1272– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–setiap skenario para kapitalis dan mengabaikan suara-suara lain yangtersingkir dan berbeda, termasuk perempuan?Dalam ranah budaya sekarang ini yang berlaku adalah komodifikasi.Semuanya diatur dan dianggap barang yang bisa diperjualbelikan.Misalnya budaya berpakaian yang berkiblat pada “Amerikanisasi”,baik model jeans atau model-model lainnya yang barungetren. Demikianpun dengan makanan di mana banyak oranglebih memilih McDonald ketimbang makan singkong. Jadi, kalaumau bangga, maka makannya di mall, di McDonald dan minumnyaPepsi Cola.Upaya penyeragaman budaya dan gaya hidup ini sejatinya sangat bertentangandengan gagasan pluralisme yang mencoba menghargai danmerayakan perbedaan. Tetapi, penyeragaman dan penunggalan lebihkental lagi terjadi dalam ranah agama. Karena itu banyak kalanganagamawan yang menentang pluralisme. Pluralisme menjadi momokmenakutkan bagi kaum Muslim, terutama, karena dipahami sebagaisinkretisme atau penyamaan bahwa semua agama adalah benar.Pluralisme juga dianggap dapat berujung pada relativisme?Saya kira, seperti juga sekularisme, definisi pluralisme mestidiperjelas lagi. Bagi saya pluralisme merupakan sunnatullâh. Halini sudah jelas sekali diuraikan al-Quran, innâ khalaqnâkum mindzakarin wa untsâ wa ja‘alnâkum syu‘ûban wa qabâ’ila li-ta‘ârafû.Itu sudah menjadi dasar yang sangat eksplisit bahwa Allah menciptakansemua itu dalam bingkai pluralisme. Manusia dilahirkandi tengah pluralitasnya. Oleh karena itu Tuhan menyuruh manusiauntuk saling memahami dan bergandengan.Lily Zakiyah Munir – 1273


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kemudian bagaimana dengan hubungan satu sama lainnyajuga sudah diatur dan ada ketentuannya: Lakum dînukum waliyadîn. Itu juga menunjukkan sudah ada aturan tentang ko-eksistensiyang damai (peaceful co-existnce) dalam Islam.Tetapi saya melihat berbagai resistensi umat Islam terhadappluralisme tidak bisa lepas dari dua sisi fundamentalisme: fundamentalismeagama dan fundamentalisme ekonomi. Sebab keduanyasaling terkait seperti lingkaran setan. Jadi, selama fundamentalismeekonomi (pasar bebas) menjadi dominan dan menghasilkan kemiskinanyang luar biasa di masyarakat Muslim; dan negara Muslimyang kaya juga bersikap kapitalistik; kemudian ada jarak yang begitubesar antara yang kaya dan yang miskin. Dan kedamaian koeksistensiyang benar-benar damai sulit diwujudkan. Maka ada duacara mereka melakukan resistensi terhadap ketidakadilan. Pertama,pasrah, nrimo dengan alibi agama. Mereka mengalihkan orientasipemikirannya ke akhirat. Semua itu adalah takdir. Pandangan tersebutsangatlah fatalistik. Kedua, mereka melawan. Secara umummereka melihat bahwa ketidakadilan itu adalah akibat dari Amerika.Mereka tidak bisa membedakan: Amerika secara politik administratif,politik internasionalnya Bush, ataupun rakyat Amerikasendiri yang berbeda-beda pola pikirnya. Akhirnya mereka menggeneralisirsaja Amerika sebagai musuh. Dari kedua sikap itulahfundamentalisme agama mewujud nyata.Kalau menurut saya, umat Islam takut terhadap pluralismekarena dibungkus dalam istilah Barat, pluralism. Coba kalau dimunculkandari bahasa al-Quran sendiri, jam‘iyah misalnya atauta‘addudiyah. Dengan peminjaman istilah-istilah Arab ini, menuruthemat saya, tidak akan terjadi resisten dari mereka. Hal tersebutsama dengan rumitnya umat Islam merespon jender. Jender, se-1274– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–jatinya, sepenuhnya ajaran Islam, kalau lihat di al-Quran banyaksekali ayat yang mendorong kesetaraan laki-laki dan perempuan.Tetapi karena istilah jender datang dari Barat, maka menjadi seolah-olahnegatif.Saya pernah berdebat dengan khatib salat tarawih di mushalarumah saya. Dia mengatakan jender merupakan keberhasilan Baratmelemahkan akidah umat Islam. Akhirnya saya yang kasih ceramahsesudah dia. Itu dilakukan untuk meng-counter pendapatnya.Saya bilang, “Bapak yang jelas saja dan fair dalam menimbangpersoalan!”. Dia bilang bukti bahwa jender itu keberhasilan Baratdalam melemahkan akidah Islam adalah sekarang banyak perempuanyang keluar rumah dan itulah penyebab pelacuran. Saya bilang:“Ya Allah, Bapak ini bagaimana: pelacuran tidak bisa terjadioleh perempuan sendiri, pasti ada laki-laki, terus kenapa pihakperempuan saja yang disalahkan? Memangnya Bapak mau kalauistri Bapak keluar rumah terus dibilang pelacur, mau tidak?” Sayabilang begitu.Alasan umat Islam, terutama MUI, mengharamkan pluralisme karenagagasan ini diidentikkan dengan sinkretisme yang dipahami bahwasemua agama sama benarnya. Karena tugas MUI merasa harusmenjaga atau membentengi agar akidah atau iman umat Islam tidakdilemahkan oleh pluralisme, maka cara yang paling mungkin adalahmengharamkannya. Bagaimana Anda melihat semua itu?Menurut saya umat Islam jangan terjebak sindrom inferior,yaitu merasa tidak percaya diri. Kenapa kita sebagai Muslim merasatidak confident? Saya sebagai orang Islam PD (percaya diri)ke mana-mana, ke Eropa, ataupun ke Amerika. Saya berceramahLily Zakiyah Munir – 1275


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan menegaskan bahwa saya Muslim. Saya tampilkan betapa indahnyaajaran Islam. Sewaktu saya berceramah di Rotterdam, sayatunjukkan bagaimana sebetulnya ajaran Islam tentang perempuan.Saya juga sampaikan kenyataan dalam masyarakat Muslim bagaimanaperlakuannya terhadap kaum perempuan. Lantas merekamengatakan, you make Islam beautiful. Saya bilang: “Ya memangIslam itu cantik. Yang tidak cantik adalah orang Islam yang selalumenafsirkan agamanya demi kepentingan politiknya, individumaupun kelompok”.Jadi, saya kira, rasa confident harus betul-betul ditanamkan padadiri umat Islam. Sebab dasarnya sudah menjadi ketentuan dalamal-Quran: kita hidup dengan bermacam-macam suku, agama, ras,etnis. Hal tersebut jelas dalam al-Quran. Namun demikian, kenapasekarang kita mempersempit diri, menjadi kehilangan kepercayaanuntuk mengatakan, “Ok we co-exist. Ok, kita hidup bersama-sama.”Memang, bagaimanapun juga inferioritas umat Islam tidak lepasdari perekonomian umat yang memprihatinkan. Jadi, pada satu sisi,pemikiran para pemimpin kita sudah sangat ekonomi oriented, dimana rakyatnya dibawa ke cara berpikir ekonomis yang memang,pada sisi lainnya, ada ketimpangan luar biasa. Tetapi hendaknyahal ini tidak harus menjadikan kita minder sebagai Muslim.Terjemahan yang paling praktis tentang pengakuan kebenaran agamalain adalah melalui pernikahan beda agama. Pandangan Andaterhadap konsep pernikahan beda agama bagaimana?Itu kembali pada pola pikir umat Islam masing-masing. Bagaimanapunjuga masyarakat Muslim Indonesia model beragamanyaberbasis pada fikih. Sedangkan dalam fikih menegaskan bahwa laki-1276– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–laki Muslim boleh menikahi perempuan ahl al-kitâb, sebaliknyaperempuan Muslimah tidak boleh menikahi laki-laki ahl al-kitâb.Jadi, itu interpretasi tekstual yang selama ini menghalangi umatIslam, terutama kaum perempuannya, untuk melakukan pernikahanbeda agama. Hal ini diadopsi dari mazhab-mazhab fikih. Demikianlahyang menjadi panutan kuat umat Islam. Sehingga masihmemungkinkan pernikahan beda agama, tetapi hanya berlaku bagilaki-laki yang Muslim dengan perempuan non-Muslim. Kecualiada suatu ijtihad baru dengan pendekatan metodologi dari ushûlal-fiqh yang liberal, misalnya, dikeluarkan hukum bahwa perempuanMuslimah pun bisa menikah dengan laki-laki non-Muslim.Jadi, menurut saya, untuk melihat persoalan bagaimana pandanganumat Islam terhadap agama-agama lainnya menjadi lebih terbuka,teristimewa pernikahan beda agama, maka fikih yang perlu lebihdahulu kita reform. Saya bukan ahli fikih, tetapi kira-kira kerangkaberfikirnya seperti itu.Mengapa pembaharuan fikih dianggap perlu?Apabila menelisik dasar teologis dari pernikahan beda agamayang dirumuskan dalam fikih perkawinan, maka ketentuan al-Quranbahwa laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan ahl al-kitâbdan sebaliknya perempuan Muslimah tidak bisa menikahi laki-lakinon-Muslim, saya kira, itu juga ada asumsi dasar yang mengecilkanperempuan. Karena dipikirnya laki-laki serba berkuasa, bisa menentukanbahkan sampai agama anaknya. Sedangkan perempuanmahluk yang lemah. Namun demikian, kenyataan sosiologisnyajustru berbeda. Karena yang mempunyai kedekatan dan intensitaslebih dengan anak balita pada fase pembentukan adalah ibu. Arti-Lily Zakiyah Munir – 1277


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nya, sebenarnya yang menjadi determining factor bagi perkembangananak adalah ibunya. Saya tidak mengerti kenapa al-Qurannyamemandang seolah perempuan lemah. Artinya, realitas semacamini perlu dikaji ulang secara sungguh-sungguh. Sebab fakta dalampendidikan anak lima tahun ke bawah adalah di bawah pengaruhibu, baru setelah itu bapak.Penolakan terhadap pluralisme juga lantaran ia dipahami sebagai relativisme.Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, pluralismedapat berimplikasi pada andaian subjektivisme dan partikularisme yangbermuara pada relativisme. Yang perlu diantisipasi dalam perbincanganpluralisme adalah manakala partikularisme suatu nilai pada satukomunitas justru memelihara kearifan lokal yang tidak memihak terhadapperempuan. Artinya, pada satu sisi kita harus menghargai lokalitas,tetapi bagaimana dengan subaltern yang terpinggirkan dalamkomunitas lokal, seperti kaum perempuan?Jadi, hendaknya kita melihat budaya secara dinamis. Budayaselalu bergerak dan berubah. Berubahnya ke mana dan bagaimana,hal itu sangat tergantung dari manusianya juga. Apakah di lingkungantertentu ada yang mempunyai kesadaran bahwa selamaini budaya telah membenarkan penindasan terhadap perempuan.Kalau tidak ada kesadaran seperti itu berarti budayanya akan statisdengan kondisi relasi jender yang diskriminatif. Kecuali nantiada orang yang mempunyai perspektif berbeda yang sudah tercerahkan,kemudian masuk melakukan pendidikan, pencerahan,advokasi, baru akan terjadi kemungkinan perubahan budaya yangmemperlakukan perempuan secara adil. Sehingga upaya tersebutmenghasilkan suatu realitas yang egaliter.1278– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Lantas apakah pluralisme mengandaikan nilai-nilai yang universaldengan meringkus lokalitas atau sebaliknya kita membiarkan ekspresi-ekspresiyang partikular berserak dan tetap dihargai, kendatipunmenindas subaltern, karena dianggap sebagai kearifan lokal?Ini perdebatan yang panjang. Sebab membahas kearifan lokaldibutuhkan perangkat yang luas dan dalam. Jadi, kalau saya seorangantropolog, maka saya mesti bermain dari sisi eksplorasi dalamdiri seseorang, yaitu dengan perspektif dari dalam komunitas itusendiri. Menurut saya, untuk menyimpulkan apakah tradisi dalamsuatu komunitas lokal telah memperlakukan kaum perempuan secaraadil atau sebaliknya, sangat tergantung pada kesadaran setiapindividu masyarakat di dalamnya. Artinya, bagi mereka yang belumtercerahkan akan menerima menerima begitu saja tradisi yangada, meskipun menindas perempuan.Sebab, sulit untuk terjadi perubahan kalau tidak tumbuh kesadarandari dalam. Kerapkali apa yang dicangkokkan dari luar tidakcukup memahami lokalitas. Misalnya suatu kali UNICEF mempunyaiprogram “jambanisasi” di salah sebuah daerah di NTB. Namunkemudian jambannya justru tidak dipakai. Sebab, orang di sanamerasa comfortable buang air di sungai. Bagaimanapun itu sudahmenjadi tradisi. Bahkan buang air di sana menjadi fenomena sosial.Mereka bisa ketemu, saling menyapa dan membicarakan banyakhal. Sementara kalau sendiri dalam jamban, bagi masyarakatdi sana, menjadi sesuatu yang aneh.Jadi, di sini apa maknanya? Apa yang mungkin dilakukan bagisemua pihak? Menurut hemat saya harus melakukan pencerahan.Yakni upaya pencerahan yang paralel dengan nilai-nilai universalharus didorong. Jamban merupakan salah satu fenomena universal:Lily Zakiyah Munir – 1279


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kebersihan. Sementara buang air di sungai adalah kenyataan lokal.Tetapi tradisi tersebut sangat bermakna bagi mereka. Hal itu telahmenjadi kearifan di sana: ada silaturahminya.Kemudian, sekarang bagaimana agar kearifan lokal seperti silaturahmitetap terpelihara, tetapi fenomena universal dari jamban– agar masyarakat tidak buang air di sungai juga – terakomodasi.Pertama, ini perlu pendekatan dari bawah dan dari atas agar bisabertemu. Upaya bottom up dan top down ini nanti akan bertemupada suatu medium tengah. Jadi, kita tidak bicara sangat universal.Karena budaya tidak mungkin diabaikan begitu saja. Kedua,tidak selalu local wisdom mengandaikan sesuatu yang bajik dan adil– menurut standar umum. Termasuk ketika digulirkan kebijakandesentralisasi tahun 2000, masyarakat di daerah-daerah kemudianberamai-ramai menghidupkan budaya lokal. Celakanya, yangterjadi justru domestifikasi peran perempuan. Itu adalah contohkonkret. Hal ini juga diuraikan secara dalam pada tulisan saya diThe Jakarta Post 29 Desember 2006.Ketika kita membahas desentralisasi sebetulnya kebijakan inimerupakan inti demokrasi, karena pengambilan keputusan lebihmenekankan pada aspirasi rakyat. Tetapi, yang perlu digarisbawahi,harus ada pengawalan terhadap proses desentralisasi ini. Karenakita tidak ingin terjebak pada kearifan lokal yang sebetulnya mundur,tidak menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis – kalau dilihatdari standar universal. Termasuk contohnya di sini (implementasidesentralisasi) menguatnya budaya patriarki. Budaya lokal yangmembatasi peran perempuan, di dapur dan di sumur. Tentu saja,dengan desentralisasi, kita semua tidak berharap untuk kembalipada tradisi yang diskriminatif dan eksploitatif. Untuk itu kita1280– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–harus mempunyai parameter ke depan, yaitu keadilan. Inilah yangharus terus didinamiskan ke depan.Misalnya, di salah sebuah daerah Indonesia bagian timur, terdapattradisi menyuguhkan istri buat tamu?Itu benar, ada. Di Afrika juga ada budaya unik yang polanyahampir sama, menjadikan perempuan sebagai kaum yang tersubordinasikan,begitupun di belahan dunia lainnya. Misalnya, seoranganak yang mau bâligh (dewasa) harus diajari seks terlebih dahuluoleh orang yang lebih tua. Ada juga tradisi di mana orang yangmenstruasi “diasingkan” di tengah kebun. Ia dijauhkan karenadianggap kotor. Dan pelbagai jenis tradisi lainnya yang menurutstandar universal sudah tidak patut lagi dipertahankan apalagi dilestarikan.Maka, lagi-lagi, kalau menghadapi budaya-budaya lokalsebagaimana dicontohkan di atas, semua pihak harus berupayamengambil jalan tengah, yakni bagaimana nilai kearifan lokalsecara substansi tetap terpelihara. Apa inti di balik menyuguhkanistri, misalnya. Jika substansinya adalah penghormatan yang luarbiasa terhadap tamu, maka bagaimana penghormatan tetap di jaga,tetapi tidak lagi dengan cara menyuguhkan istri.Wawancara dilakukan di Jakarta pada tanggal 21 Februari 2007Lily Zakiyah Munir – 1281


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganLutfhi AssyaukanieLutfhi Assyaukanie, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Direktur EksekutifReligious Reform <strong>Project</strong> (Repro) Jakarta. Pengajar Sejarah Pemikiran Islamdi Universitas Paramadina ini menyelesaikan sarjana muda di Fakultas Syariah JordanUniversity, Amman, Jordan, master di International Institute of Islamic Thought andCivilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia, dan doktor bidang Kajian Islamdi University of Melbourne, Australia.1282


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Hanya pada negara sekular demokrasi mungkin. Sebab landasandemokrasi adalah sekularisme, di mana domain negara dan agamasenantiasa dinegosiasikan. Di sini demokrasi konstitusional menjadikeniscayaan – dan oleh elemen-elemen masyarakat yang pluralsebuah konstitusi dibangun. Dengan begitu, secara institusionalagama tidak boleh campur tangan menentukan kebijakan-kebijakanpublik. Sekali agama masuk, ketegangan antarmasyarakattak terhindarkan. Karena itu, jika, sebagai mayoritas, umat Islam diIndonesia menolak konstitusi lantas memaksakan ketentuan atauaturan Islam yang bertentangan dengannya, maka mayoritas telahmenjelma islamo-fascism. Pada saat itulah yang sebenarnya terjadiadalah illiberal democracy, karena mengabaikan substansi yangterkandung dalam konstitusi.Luthfi Assyaukanie – 1283


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Perdebatan tentang sekularisme di Indonesia bukanlah hal baru. NurcholishMadjid (Cak Nur) telah memulainya sejak tahun 1970-an,meskipun dia menggunakan istilah ‘sekularisasi.’ Beberapa pihak menganggapada perbedaan mendasar antara kedua istilah itu. Bagaimanapengertian sekularisme itu sendiri menurut Anda?Secara umum ada tiga istilah yang merujuk pada akar yangsama. Pertama, secularity yang lebih terkait pada kondisi akal-pikiran(state of mind) seseorang. Kedua, secularism yang terkait denganideologi. Dan ketiga, secularization yang terkait dengan prosesperkembangan sekularitas. Ketiga istilah ini dipakai pada konteksnyamasing-masing. Dalam sejarahnya, istilah ‘sekularisasi’ muncullebih awal daripada sekularisme. Sekularisasi muncul pada tahun1648, ketika perdamaian Westphalia di Jerman ditandatangani.Saat itu, Eropa mengalami perang saudara yang dipicu oleh pertikaianagama tak berkesudahan. Perjanjian Westphalia menengahikonflik panjang itu dengan memberikan solusi pemisahan domainagama dan domain negara. Di sanalah istilah ‘sekularisasi’ pertamakali diperkenalkan.Sementara istilah sekularisme dimunculkan pertama kali olehGeorge Jacob Holyoake pada pertengahan abad ke-19. Holyoakeadalah seorang rasionalis yang percaya pada doktrin sekularisasi.Sebagai seorang filsuf, dia memberikan landasan ideologi terhadapproses sekularisasi yang dikaguminya itu. Dia menyebutnya ‘sekularisme.’Awalnya istilah ‘sekularisme’ lebih dimaksudakan sebagaiistilah yang netral, sebagai ideologi yang memisahkan antara agamadan negara. Tapi para pengikut Holyoake kemudian memaknai sekularismesebagai ateisme. Sekularisme tidak lagi dianggap sebagaiideologi politik, tapi telah menjadi pemahaman filsafat yang bukansaja bermaksud meminggirkan peran agama dari negara, tapi juga1284– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ingin mengusir Tuhan dari dunia ini. Ketika gerakan positivismesemakin menguat, sekularisme dan ateisme semakin identik.Belakangan, pada dekade 1970-an, banyak sarjana di Baratberbicara tentang sekularisasi dari perspektif sosiologis. Di antaramereka adalah seorang sarjana Amerika yang pemikiran-pemikirannyabanyak mengilhami Cak Nur, yakni Robert N. Bellah.Bellah berusaha menjelaskan aspek-aspek positif dari sekularisasi.Secara soiologis, sekularisasi dipahami bukan hanya sebagai pemisahanantara agama dan negara, melainkan pemisahan nilai-nilaiyang suci (sacred) dari nilainilaiyang tak suci (profan)Faktanya, tidak ada satu pun negaradalam masyarakat. Karenadi dunia ini yang menerapkanitu, Cak Nur membicarakan sekularisasi secara murni. Karenasekularisasi dalam kerangka sekularisasi sebetulnya adalah prosesdemistifikasi. Menurutnya, negosiasi, yakni negosiasi antara duamitos-mitos yang ada di tengahmasyarakat tidak kon-sama dengan proses tawar-menawardomain: agama dan negara. Hal inidusif untuk kehidupan duniamodern. Karenanya, di-hukum agama dan hukum positif.”dalam persoalan hukum, antaraperlukan adanya pemisahanantara yang rasional dan yang tak rasional. Proses pemisahan itubisa disebut ‘sekularisasi,’ atau lebih tepatnya ‘profanisasi.’Banyak orang yang mempertanyakan apakah bentuk negara Indonesiaitu sekular atau agama. Beberapa kalangan beranggapan bahwa sejakawal Indonesia merupakan negara agama, karena bagaimana punPancasila merupakan turunan dari konsep-konsep agama. Bagaimanapandangan Anda?Luthfi Assyaukanie – 1285


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya kira ini bukan hanya menyangkut Indonesia. Terlalu berlebihankalau menganggap Indonesia sebagai kasus unik. Faktanya,tidak ada satu pun negara di dunia ini yang menerapkan sekularisasisecara murni. Karena sekularisasi sebetulnya adalah proses negosiasi,yakni negosiasi antara dua domain: agama dan negara. Halini sama dengan proses tawar-menawar dalam persoalan hukum,antara hukum agama dan hukum positif. Proses penerapan syariah,misalnya, adalah proses negosiasi antara kuasa agama dan kuasanegara. Praktik sekularisme di Eropa merupakan hasil perundinganantara otoritas duniawi dengan mindset masyarakat yang masihdicengkeram oleh agama.Contoh perundingan itu banyak sekali. Swiss, misalnya, adalahsebuah negara yang secara tegas mengakui prinsip sekularisasitapi pada saat yang sama tetap mengakui Calvinisme sebagai agamaresmi negara. Begitu juga, Inggris menganggap Anglikanismesebagai gereja resmi negara. Meski kemudian ada perkembangan,hingga pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 masih terusterjadi persekusi terhadap orang Kristen yang tidak mengikuti GerejaAnglikan. Dan, meski relatif tidak sekuat dulu, sampai sekarangaturan gereja resmi Inggris tidak pernah dicabut. Ratu Inggrissampai kini masih dianggap sebagai pemimpin gereja.Begitu juga dengan Indonesia. Kita tidak hanya mengakui satuagama saja sebagai agama resmi negara, tapi enam. Dalam hal inikita lebih maju dari Inggris dan Swiss. Tetapi karena mindset masyarakatkita jauh lebih terbelakang dari negara-negara Eropa, makadalam praktiknya Indonesia sepertinya masih lebih dekat kepadanegara agama ketimbang negara sekular. Orang yang menganggapbahwa Pancasila bersumber pada nilai-nilai keagamaan sebenarnyaadalah tafsir yang muncul belakangan. Menurut saya, secara1286– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–umum, negara kita sebetulnya merupakan negara sekular. Kalauada orang yang kemudian mengatakan bahwa Indonesia adalahnegara agama, pemikiran seperti itu sebetulnya tak punya landasansejarah yang nyata. Semua negara, kalau bukan negara agamaadalah negara sekular. Hanya dalam perkembangan selanjutnya adanegosiasi-negosiasi antara dua domain ini.Di Eropa ada Prancis yang dinilai sebagai negara yang secara kerasmenerapkan prinsip sekularisme, sementara di wilayah Islam adaTurki. Apakah dua negaraini bisa disebut sebagai negaraDari perspektif demokrasi, menurutyang telah secara komplit menerapkansekularisme?saya, penerapan syariah di Acehadalah sebuah kemunduran. BegituTurki dan Prancis menerapkanmodel sekularisme yang mencoba menerapkan aturan-juga provinsi atau kabupaten lainaturan yang kurang lebih sama.yang sama, yakni sekularismeyang keras. Prancis sen-Mereka telah memahami demokrasisecara keliru. Yang mereka pahamidiri menyebut sekularismehanyalah demokrasi prosedural.yang diterapkannya denganBahwa kalau 80 atau 90% rakyatlaicití yang lebih dekat denganpengertian ‘profan’ ke-menginginkan syariah maka merekaberhak menerapkannya.timbang ‘pemisahan.’ Turki,melalui Mustafa Kamal Attaturk,mengambil model Prancis, bukan Inggris atau negara Baratlainnya. Mungkin karena kedekatan hubungan Turki dengan Prancisketika itu. Kendati demikian, kalau Anda perhatikan, pemerintahPrancis sebetulnya berkali-kali melanggar prinsip sekularisasiyang mereka junjung tinggi. Misalnya, pemerintah Prancis pernahLuthfi Assyaukanie – 1287


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–memberikan sumbangan kepada gereja-gereja di sebuah provinsi dinegeri itu. Ini jelas melanggar prinsip sekularisasi. Alasannya sederhana,karena salah satu prinsip demokrasi adalah mematuhi suarapemenang, maka tuntutan yang juga didukung oleh parlemen ituakhirnya diberikan, meski bertentangan dengan prinsip sekularisasiyang diyakini bersama. Persoalan seperti itu terjadi di hampir semuanegara, dan tidak ada yang aneh dengan hal itu. Karenanya,sekali lagi saya katakan, selalu ada proses negosiasi, tawar-menawarantara kuasa dunia dan mindset masyarakat yang religius.Di Indonesia, belakangan muncul berbagai penolakan terhadap ideologisekular. Misalnya, ada beberapa ormas Islam yang mengatakansecara tegas bahwa sekularisme adalah bentuk penjajahan baru dariBarat. Opsi yang dilontarkan adalah bahwa pemerintahan lebih baikberbentuk negara agama. Alasannya, Indonesia lebih memiliki kedekatanhistoris dengan Islam ketimbang Barat. Apa komentar Anda?Membicarakan bentuk negara tidak bisa dilepaskan dari perbincangantentang demokrasi. Landasan demokrasi sendiri adalahsekularisme, dan negara yang menerapkan demokrasi adalah negarayang sekular. Itu sebuah aksioma yang tidak bisa ditawar-tawarlagi. Tidak mungkin demokrasi tumbuh dalam platform negarayang berbentuk agama atau ideologi tertentu yang anti-demokrasi.Dengan aksioma itu, saya ingin mengatakan, kalau negaranegaraMuslim mengadopsi demokrasi, maka mereka juga harusmengadopsi prinsip-prinsip negara sekular. Hanya dengan prinsipsekularisme demokrasi bisa berkembang. Dengan demikian, kalauIndonesia tetap menginginkan sistem demokrasi, maka tak adapilihan lain kecuali menjadi negara sekular.1288– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tapi di Indonesia ada Aceh dan beberapa daerah di mana penerapansyariat Islam dijalankan melalui mekanisme demokrasi, disahkan olehlegislatif dan eksekutif setempat.Aceh juga bukan kasus yang unik. Ini adalah masalah otonomidaerah belaka. Sudan memiliki pengalaman yang mirip dengankita. Di negeri itu ada bagian provinsinya yang menerapkan syariah,meski kadang terjadi negosiasi di mana negara tetap bisa melakukanintervensi. Dari perspektif demokrasi, menurut saya, penerapansyariah di Aceh adalah sebuah kemunduran. Begitu juga provinsiatau kabupaten lain yang mencoba menerapkan aturan-aturanyang kurang lebih sama. Mereka telah memahami demokrasi secarakeliru. Yang mereka pahamihanyalah demokrasi prosedural.Bahwa kalau 80 atau sekularisme, dan negara yangLandasan demokrasi sendiri adalah90% rakyat menginginkan menerapkan demokrasi adalah negarasyariah maka mereka berhak yang sekular. Itu sebuah aksioma yangmenerapkannya.tidak bisa ditawar-tawar lagi. TidakDemokrasi tentu saja tidakhanya berhenti sampai platform negara yang berbentukmungkin demokrasi tumbuh dalamdi situ. Ada yang disebut agama atau ideologi tertentu yangdemokrasi konstitusional.anti-demokrasi.Demokrasi konstitusionalmenyatakan bahwa sebuah konstitusi dibangun atau dibuat olehelemen-elemen masyarakat yang plural. Kata kuncinya adalah pluralitas.Kalau kita mengasumsikan sebuah masyarakat politik adalahmasyarakat yang plural, bukan hanya plural dalam pengertianantaragama, tetapi juga komunitas, etnis, budaya dan pemikiran,maka penerapan aturan yang hanya memanjakan satu kelompok,harus ditentang. Dalam kasus Aceh, misalnya, mungkin 90% rakyatLuthfi Assyaukanie – 1289


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–di sana beragama Islam, tetapi di dalam komunitas Islam sendiriterdapat keragaman. Mereka ada yang tidak suka dengan penerapanIslam secara formal, bahkan ada yang mungkin sama sekalitidak percaya dengan nilai-nilai keislaman.Saya pernah bertemu dengan orang Aceh yang sangat liberal. Diatak setuju dengan keinginan menjadikan nilai-nilai agama sebagaihukum positif di sana. Sekali lagi, demokrasi konstitusional harusdibangun berdasar kesepakatan elemen-elemen masyarakat yang plural.Begitu ada satu kelompok yang coba mengajukan aturan-aturanhukum yang bertentangan dengan konstitusi, yang seharusnya pluralitu, maka demokrasi yang diajukan bukan lagi demokrasi yangkonstitusional. Fareed Zakaria menyebutnya demokrasi tak-liberal(illiberal democracy), yakni demokrasi yang mengabaikan substansiyang terkandung dalam konstitusi. Itulah yang terjadi di Aceh dandi beberapa daerah lain yang menerapkan syariah.Setelah reformasi banyak sekali bermunculan partai yang berasas Islam.Apakah dalam sebuah negara sekular hal seperti itu diperbolehkan?Praktik demokrasi di dunia Barat sendiri sebetulnya tidak mempermasalahkankehadiran partai-partai agama. Jerman, misalnya,mempuyai Partai Kristen Demokrat yang mempunyai pendukungcukup besar. Partai seperti itu diperbolehkan selama paltform danvisi politiknya tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.Yang menjadi perdebatan adalah jika sebuah partai – baik partaiagama, komunis, maupun partai Nazi – didirikan dengan tujuanmerombak atau mengganti sistem demokrasi yang dianut oleh negara.Ada yang mengatakan boleh, selama dia hanya bermain ditingkat wacana, karena itu adalah bagian dari kebebasan bereks-1290– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–presi. Namun ada juga yang mengatakan tidak boleh, karena diaakan membahayakan konstitusi.Saya sendiri cenderung berpendapat sejauh tujuan atau platformpartai yang antidemokrasi itu sebatas wacana saja tidak apa-apa.Itulah yang terjadi di Amerika hingga sekarang. Amerika masihmempunyai Partai Komunis, meski sangat kecil. Di Eropa, PartaiKomunis juga tetap ada dengan berbagai bentuknya. Mereka tahubahwa platform partai ini pasti akan mengganti konstitusi, tapimereka juga yakin bahwa partai ini tidak akan bisa memenangkanpemilu. Contoh di Indonesia adalah Hizbut Tahrir Indonesia(HTI). Menurut saya, biarkan saja kalau mereka mau menjadi partaipolitik. Saya senang kalau HTI mendeklarasikan diri menjadisebuah partai politik, karenananti akan terbukti apakahDemokrasi konstitusionalmereka punya dukungan darimenyatakan bahwa sebuahmasyarakat atau tidak.konstitusi dibangun atau dibuatoleh elemen-elemen masyarakatBagaimana dengan Partai KeadilanSejahtera (PKS) yangtelah menggolkan perda-perdayang isinya sangat dekatdengan syariat Islam. Apakahitu bukan sejenis inkonstitusionalisme?yang plural. Kata kuncinya adalahpluralitas. Kalau kita mengasumsikansebuah masyarakat politik adalahmasyarakat yang plural, bukan hanyaplural dalam pengertian antaragama,tetapi juga komunitas, etnis, budayadan pemikiran, maka penerapanaturan yang hanya memanjakan satuYa. Itu tindakan inkonstitusional.Menurut saya, padakelompok, harus ditentang.saatnya nanti pasti akan ada proses negosiasi. Misalnya, pelaranganterhadap orang yang berjualan di siang hari pada bulan RamadlanLuthfi Assyaukanie – 1291


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–adalah bertentangan dengan konstitusi, karena konstitusi kita memberikankebebasan semua orang untuk mencari nafkah. Dalam artiitu, orang atau lembaga yang telah mengeluarkan larangan tersebutbertentangan dengan konstitusi. Sikap saya terhadap keberadaanpartai-parai politik juga seperti itu. Tidak usah ada pelarangan ataupembatasan partai politik dari sekarang. Nanti tinggal lihat sajasejauh mana masyarakat bisa menerima cara-cara berpolitik yangmereka lakukan. Pada saatnya, akan terlihat apakah PKS sebuahpartai yang terbuka atau sebetulnya partai yang ingin mengislamkannegara. Biarkanlah masyarakat yang akan menilai sendiri.Namun demikian, kekhawatiran lain bisa muncul. Karena demokrasikita masih baru dan masih sangat rentan untuk kembali pada modelagama atau bahkan model totalitarian. Kalau kita mempunyai kesepakatanuntuk menjaga konstitusi, apakah munculnya gerakan sepertiPKS dan HTI bukan sesuatu yang harus diwaspadai?Partai-partai politik Islam di Indonesia, selama tetap mendukungideologisme Islam seperti Negara Islam, penerapan syariatIslam dan sebagainya, pasti akan gagal, tidak akan mendapat suaralebih banyak dari yang sekarang mereka dapatkan. Ambil contohPKS. Ketika ia masih menjadi Partai Keadilan (PK) yang mengkampanyekanagenda-agenda Islam, perolehan suaranya jeblok,tidak sampai mendapat 3% dan karenanya tidak lolos electoralthreshold. Tapi setelah kemudian mereka mengubah nama, meskikemudian mereka sebetulnya tak hanya sekadar mengubah namatapi juga strategi, yakni tidak lagi membicarakan agenda syariahdalam kampanye-kampanye mereka. Bahkan pada Sidang IstimewaMPR 2002 mereka tidak mendukung faksi Piagam Jakarta (PPP,1292– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–PBB dan partai-partai gurem lain) melainkan membuat faksi sendiribersama PAN. Dari sana, mereka sadar bahwa partai politikyang mendukung agenda ideologisme Islam pasti akan hancur.Inilah uniknya Indonesia.Artinya, menurut Anda, sistem demokrasi yang kita miliki secara tidaklangsung akan mensekularkan agenda-agenda politik yang dibawapartai-partai Islam. Apakah ada kecenderungan bahwa partai-partaiIslam lambat-laun akan tersekularkan?Ya, saya kira begitu. Seseorang bisa saja menjadi saleh secaraindividual, namun sekular dalam urusan negara dan pemerintahan.Thomas Jefferson dan banyak tokoh Amerika lain adalah tipeorang yang sangat saleh sekaligussekular. Partai-partaiIslam sebaiknya seperti mengajukan aturan-aturan hukumBegitu ada satu kelompok yang cobaitu. Mereka semestinya tidakhanya berkampanye soal yang seharusnya plural, makayang bertentangan dengan konstitusi,ibadah, tetapi juga bagaimanamenangani korupsi, demokrasi yang konstitusional. Fareeddemokrasi yang diajukan bukan lagimenciptakan pemerintahan Zakaria menyebutnya demokrasiyang bersih, dan lain-lain. tak-liberal (illiberal democracy),Sekarang PKS sudah mengkampanyekanhal-hal seper-substansi yang terkandung dalamyakni demokrasi yang mengabaikanti itu. Mereka menghindari konstitusi. Itulah yang terjadi di Aceh.kampanye agenda Islam secaraterbuka. Itu bagus dari perspektif demokrasi. Kalau merekatetap konsisten dan terus memperbaikinya, bukan tidak mungkinmereka akan menjadi partai politik besar. Partai Kristen DemokratLuthfi Assyaukanie – 1293


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–di Jerman, kalau Anda baca platformnya, lebih religius daripadaPKS di Indonesia. Nilai-nilai biblikal jelas menjadi dasar dan sekaligusperjuangan partai. Kendati demikian, mereka meyakinidan memegang teguh prinsip-prinsip sekularisasi yang sudah disepakatibersama.Ada kekhawatiran di kalangan umat Islam bahwa sekularisme akanmenyebabkan terpinggirkannya peran agama. Sekularisasi yang meniscayakanpemisahan antara yang privat dan yang publik, menururtmereka, akan mengakibatkan ketidakmungkinan masuknya agama keruang publik. Lalu, bagaimana fungsi dakwah dalam Islam?Menurut saya, pemahaman terhadap agama harus terus berkembang.Permasalahan yang tadi Anda ungkapkan hanyalah soaldefinisi dan soal bagaimana kita mempersepsikan praktik-praktikkeberagamaan seseorang. Apakah seseorang akan disebut beragamahanya kalau memakai kopyah haji ke mana-mana, termasukberkampanye politik? Apakah dengan semakin banyaknya orangyang memakai baju koko mengindikasikan bahwa misi Islam telahberhasil? Kalau menganggap agama hanya seperti itu, ya miskinsekali. Masih banyak persoalan yang lebih penting yang harus diaturagama. Kita tahu bahwa Departemen Agama (Depag) kerapdikatakan sebagai departemen yang paling korup. Kalau agamabisa membantu manusia membersihkan diri, memperbaiki akhlakdan kejujuran, seharusnya Depag menjadi departemen yang palingsaleh dan bersih.Bagi saya, beragama itu sebenarnya simpel saja. <strong>Beragama</strong>adalah hubungan personal seseorang dengan Tuhannya. Agamaadalah institusionalisasi dari keyakinan-keyakinan manusia. Tetapi1294– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–institusionalisasi keyakinan itu sendiri sebetulnya bertentangan dengankemanusiaan, karena setiap orang memiliki pengalaman agamayang berbed-beda. Itulah yang dalam wacana psikologi agamadisebut “pengalaman personal keagamaan.” Iman statusnya lebihtinggi dari agama. <strong>Beragama</strong> seharusnya tetap berada pada batasiman saja. Begitu diinstitusionalisasikan, nilai iman menjadi turun.Anda punya cara tersendiri dalam beriman kepada Tuhan. Karenanyasangat mungkin kalau institusionalisasi keimanan, sebagaimanaterekam pada aturan-aturan agama, dalam beberapa hal, tidaksejalan dengan iman Anda. Misalnya, Anda meyakini bahwa AllahMaha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Indah, tetapi agamamemformulasikan-Nya sebagai Yang Maha Pendendam, Maha Kejam,Maha Kuat, yang sebetulnyabertentangan dengan Pada abad ke-19, istilah nahdlahnilai-nilai keimanan Anda digunakan di hampir seluruh wacanasendiri.pemikiran Islam yang berkembang diAgama seharusnya hanyamengurusi hal-hal yang bergetar jiwanya ketika menyebutdunia Arab. Para pembaharu Muslimbersifat personal, seperti salat,puasa, dan sebagainya. bahwa betapa Islam dan Baratkata ‘nahdlah.’ Ini menunjukkanAdapun hal-hal yang berkaitandengan negara, pen-yang sama, yaitu ingin keluar darisebenarnya memiliki pengalamandidikan, dan aturan-aturan keterbelakangan menuju kemajuan.di masyarakat, sebaiknya tidakdicampuri oleh agama. Begitu agama ikut campur, di situlahkonflik bermula, ketegangan di antara masyarakat muncul.Itulah yang terjadi di kabupaten-kabupaten yang menerapkansyariat Islam.Luthfi Assyaukanie – 1295


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ketakutan lain yang muncul adalah karena demokrasi lebih mungkinberkembang di negara yang sekular, sedangkan sekularisme dimaknaisebagai peminggiran agama, maka demokrasi juga tidak akan menolerirkeberadaan agama. Kalau begitu, mengapa tidak buat saja, misalnya,negara yang demokratis tapi tetap mengambil dasar agama?Itu yang disebut “demokrasi dengan kata sifat” (democracy withadjective). Biasanya yang menuntut demokrasi model ini adalahkaum agamawan atau para ideolog. Dari sini, kita mengenal ‘demokrasiMarxis,’ ‘demokrasi Islam,’ ‘demokrasi agama,’ dan lainlain,yang sebenarnya lebih menekankan kata sifat yang menyertainyaketimbang demokrasi itu sendiri. Itulah yang diusahakan olehkalangan Islam lewat Abul A’la al-Maududi dengan konsep teodemokrasi,demokrasi yang ilahiyah, atau lewat Muhammad Natsirmelalui konsep demokrasi Islam. Natsir bahkan berkeyakinanbahwa ada hal-hal dalam ajaran Islam yang tidak bisa didiskusikandi dalam parlemen, karena demokrasi bukan sesuatu yang absolutsebagaimana agama.Natsir memberi contoh: khamr atau minuman keras, misalnya,adalah haram dan perihal keharamannya tidak boleh didiskusikandi parlemen. Padahal yang didiskusikan oleh parlemen sebetulnyabukan apakah haram atau tidaknya khamr, melainkan bagaimanameregulasinya. Kalau Anda meyakini bahwa khamr haram, makaitu tidak boleh diminum. Tapi persoalannya, ada sebagian orangyang menganggapnya tidak haram, ada juga yang menganggap ituharam tapi dia tak patuh pada aturan itu. Anda harus mengakomodasisemua itu dalam konteks negara yang demokratis. Itu yangsecara keliru dipahami oleh pak Natsir.1296– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apakah agar demokrasi bisa berjalan, agama lantas harus merampingkandiri?Itu pasti. Agama, sekarang ini, sudah terlalu gemuk, terlaluberpretensi ingin mengatur segala hal. Perampingan agama sudahterjadi di Eropa. Eropa sudah melakukan diet agama sejak lama,kurang lebih sudah 300 tahun. Negara-negara Islam baru memulainya.Di Eropa, proses itu sendiri berjalan dengan berdarah-darah.Permasalahannya, apakah kita mau mengulangi kesalahan yang samaatau mau berkaca dari pengalaman pahit Eropa untuk kemudianmengambil hasil yang baiknya saja. Kalau kita mau berpikir rasional,tentu kita akan mengambil yang baiknya saja. Itu yang dilakukanoleh Korea Selatan danJepang. Sayangnya, karena Indonesia telah demokratis,kita memiliki pengalaman tapi kebebasan sipilnya masihkolonialisme, yang sedikit bermasalah. Ini bisa dilihat dalambanyak kemudian memunculkansikap anti-Barat di demikian, demokrasi kita sedikitkasus Ahmadiyah, misalnya. Namunnegara ini, proses emulasi banyak telah melahirkan kebebasanyang dilakukan negara kitasipil yang lebih bagus dibandingkandengan negara-negara Muslim lain.pun tidak berjalan mulus.Secara umum, kita patut berbanggakarena kita adalah negara MuslimMasyarakat kita, sejauh ini, besar satu-satunya yang dianggapkerap menolak liberalisme, sebagai negara demokrat dan bebas.baik dalam hal pemikiranmaupun konsep bernegara, ekonomi dan sebagainya. Sebenarnya apayang dimaksud dengan liberalisme?Seperti sekularisme, liberalisme juga merupakan istilah kontroversial,yang mungkin lebih baik dihindari penggunannya, meskiLuthfi Assyaukanie – 1297


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dalam banyak hal, kita tidak bisa meghindari penggunaan istilahitu. Sebuah istilah dibuat untuk digunakan. Meski penggunaannyamungkin lebih disebabkan karena tidak adanya alternatif lain yanglebih baik. Dunia Barat sendiri memberikan reaksi sangat beragamterhadap liberalisme. Istilah ‘liberal’ di Inggris dan Amerika memilikiarti dan konotasi berbeda. Di Amerika, orang yang disebutliberal itu berhaluan ‘kiri.’ Demokrat, meski disebut liberal, konsepekonominya justru kekiri-kirian, sosialis, anti-pasar. Sementara diInggris, yang disebut kaum liberal itu justru konservatif, ‘kanan.’Di Australia, kalangan liberalnya sangat ‘kanan,’ pro-pasar.Dalam wacana Islam, istilah liberal sebetulnya merujuk padakebebasan, khususnya kebebasan berpikir dan berekspresi. KaumMuslim atau sarjana Islam yang coba mendekati khazanah Islamdengan semangat kebebasan, biasanya disebut sebagai ‘Islam liberal.’Islam liberal adalah istilah untuk merujuk pada gerakan dalamIslam yang mendukung kebebasan berpikir, berekspresi dan jenisjeniskebebasan lainnya.Dalam Islam sendiri, apakah konsep kebebasan memiliki dasar yangkuat atau hanya sesuatu yang datang dari luar yang kemudian diadopsiIslam?Khazanah intelektual Islam mengenal konsep kebebasan. Dalamtradisi filsafat Islam ada kebebasan berpikir yang berusahamemberikan alternatif bagi pemahaman ortodoks. Disiplin tasawufjuga mengenal doktrin kebebasan. Disiplin ini mengedepankan kebebasandalam memahami teks kitab suci. Karena itu wajar kalaukemudian ada seorang sarjana yang mengatakan bahwa akar-akarliberalisme dalam Islam bisa ditelusuri pada dua disiplin, yaitu1298– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–falsafah dan tasawuf. Falsafah memberi landasan intelektual danrasional, sementara tasawuf memberikan landasan spiritual.Para sufi besar seperti Ibn Arabi dan Jalaluddin Rumi memahamiteks-teks al-Quran secara berbeda dari pemahaman ortodoksi.Pemahaman seperti ini bisa dianggap sebagai inspirasi bagiliberalisme Islam. Misalnya, pandangan Ibn Arabi tentang rumahibadah. Pandangan dia sangatmaju. Dia menyamakan seluruhrumah ibadah agama-Dalam bernegara yang harusdikedepankan adalah konstitusi.agama. Baginya, rumah ibadahbukan hanya masjid, tapi menggagalkan konstitusi yangMayoritas tidak cukup untukjuga gereja dan lain-lain. Lebihdari sekadar penolakan, yang memberikan perlindungansudah disepakati. Bahwa ada pasalmenurut saya, gagasan Ibn terhadap kelompok agamaArabi itu menjadi landasan tertentu itu harus dihormati secarayang bagus bagi pluralisme. konstitusional tanpa melihat apakahDan pluralisme merupakan dia mayoritas atau minoritas.salah satu isu penting dalamIslam liberal.Sumber lain liberalisme tentu saja berasal dari Barat, karenaistilah liberalisme sendiri memang berasal dari sana. Akarnya bisaditelusuri pada masa Renaissance dan Pencerahan. Konsep itulahyang diadopsi serta dikembangkan oleh para pembaharu Muslimseperti al-Tahtawi, Muhammad Abduh, dan Qasim Amin.Di Indonesia sendiri bagaimana? Karena ada kalangan yang mengatakanbahwa itu baru muncul sejak Cak Nur menyuarakan ide-idenyapada tahun 1970an. Apakah benar seperti itu?Luthfi Assyaukanie – 1299


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Orang yang mengatakan seperti itu pasti tidak tahu sejarah.Pasti tidak pernah belajar sejarah pembaruan pemikiran Islam yangsudah dimulai sejak abad ke-19. Tokoh pembaharu seperti AhmadKhan, misalnya, hidup jauh lebih awal dari Cak Nur, hampirdua abad. Al-Tahtawi belajar ke Sorbonne, Prancis, jauh lebihdulu sebelum Cak Nur. Al-Tahtawi adalah lulusan al-Azhar yanglantas melanjutkan studi ke Prancis. Begitu pulang, ia menyebarkangagasan-gagasan Jean Jacques Rousseau, Voltaire dan lain-lainyang konteksnya persis seperti Cak Nur ketika baru pulang dariChicago pada akhir tahun 1980an. Dari perspektif itu, liberalismeyang dikembangkan Cak Nur merupakan kelanjutan dari gerakanserupa sebelumnya.Gerakan pembaharuan Islam di mana pun memiliki semangatyang sama, yaitu memahami ulang atas ajaran-ajaran Islam klasikyang dianggap tidak lagi cocok dengan tuntutan dunia modern.Dari sisi itu, para pembaharu dan kaum muda Muslim di awalzaman pergerakan seperti Cokro Aminoto dapat dianggap sebagaitokoh-tokoh awal gerakan liberalisme Islam, meskipun beberapapandangan mereka, jika dilihat dari perspektif sekarang, tampaksudah tidak lagi maju.Namun, gagasan para pembaharu Muslim pada masa itu dinilaicukup maju. Di Sumatera, misalnya, kaum muda mencoba menafsirkanulang pemahaman-pemahaman Islam yang dianggap tidaklagi sesuai dengan zaman modern. Abdul Karim Amrullah (ayahHamka) atau Abdullah Ahmad, mencoba meyakinkan masyarakatMuslim Minangkabau, yang sangat konservatif, bahwa menggunakansistem pendidikan modern sama sekali tidak bertentangandengan Islam. Begitupun mengadopsi kurikulum Belanda tidakbertentangan dengan hukum Islam. Dari sana, mereka mendirikan1300– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sekolah Islam modern seperti Adabiyah, Jembatan Besi, SumateraThawalib dan lain-lain. Itulah beberapa contoh gerakan liberalismeIslam di Indonesia pada masa-masa awal.Cak Nur tentu saja muncul dalam konteks yang berbeda, dalamsuasana baru di mana sudah tidak ada lagi penjajahan dan tidakada lagi beban Orde Lama. Cak Nur sendiri terus berkembang.Caranya mendekati persoalan, dari waktu ke waktu, berbeda, selaluada kemajuan. Cak Nurpada era 70-an berbeda dari Agama seharusnya hanya mengurusiCak Nur era 90-an.hal-hal yang bersifat personal, sepertisalat, puasa, dan sebagainya. AdapunBagaimana pandangan Andatentang ekonomi Islam?hal-hal yang berkaitan dengannegara, pendidikan, dan aturanaturandi masyarakat, sebaiknyaSecara umum, ekonomi tidak dicampuri oleh agama. Begitubukan bagian dari agenda Islamliberal. Baru belakangan bermula, ketegangan di antaraagama ikut campur, di situlah konflikada gerakan yang coba masukke arah itu, terutamamasyarakat muncul.”sejak munculnya agenda islamisasi ilmu pengetahuan. Dari sini,kemudian muncul ide ‘bank Islam,’ ‘ekonomi Islam,’ dan sebagainya.Menurut saya, ide-ide seperti itu malah bertentangan denganagenda pembaharuan. Orang seperti Muhammad Abduh sejak awaltelah menghalalkan bunga bank. Dengan demikian, fondasi ekonomiatau bank Islam sebenarnya sudah dipatahkan oleh Abduhsejak awal. Karena itu, gerakan-gerakan yang disebut shahwah islâmiyah,yang mengusung ekonomi Islam sebetulnya bertentangandengan semangat pembaharuan Islam.Luthfi Assyaukanie – 1301


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sebagian kaum Muslim menuduh Islam liberal di Indonesia sebagaiturunan langsung dari kolonialisme Barat karena tidak bisa melepaskandiri dari baju Barat-nya. Apa tanggapan Anda?Bahwa gerakan liberalisme di Indonesia mengambil ide dariBarat, itu benar, tapi tentu tidak dari kolonialisme. Jangan hanyakarena kebetulan yang menjajah Indonesia adalah orang Barat dankarena gagasan liberalisme datang dari Barat, maka liberalisme berartisama dengan kolonialisme. Ini adalah cara berpikir yang kacau.Benar bahwa agenda pembaharuan Islam sejalan dengan beberapakonsep yang dijalankan di Barat. Tapi Barat sendiri terus berevolusidari abad ke abad, dari abad kegelapan menuju Renaissance danPencerahan. Istilah ‘Renaissance’ dan ‘Pencerahan’ diadopsi oleh parapembaharu Muslim dengan sebutan ‘tanwir’ dan ‘nahdlah.’Pada abad ke-19, istilah nahdlah digunakan di hampir seluruhwacana pemikiran Islam yang berkembang di dunia Arab. Parapembaharu Muslim bergetar jiwanya ketika menyebut kata ‘nahdlah.’Ini menunjukkan bahwa betapa Islam dan Barat sebenarnyamemiliki pengalaman yang sama, yaitu ingin keluar dari keterbelakanganmenuju kemajuan. Dari sisi itu, agenda pembaruan Islamsebetulnya sama dengan agenda pembaruan di Barat, baik dalamagama, ekonomi maupun politik. Permasalahannya, kalau kita maubelajar dari pengalaman orang lain, apakah kita akan meniru semuanya,termasuk mengikuti hal-hal yang buruknya, atau cukupmelompat dan mengambil kesimpulan terbaiknya saja?Sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa konsep khilâfah lebih asliketimbang demokrasi. Konstitusi yang ada di dunia Islam, menurut1302– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mereka, tak lain dari kepanjangan tangan politik liberal Barat. Apakomentar Anda?Konstitusi itu ciptaan Barat, kreasi orang modern. Orang zamandulu, termasuk Islam, tidak ada yang mempunyai konstitusi.Jadi kalau mereka bilang bahwa konstitusi adalah ciptaan Barat,itu benar belaka. Persoalannya adalah kita mau memiliki konstitusiyang seperti apa? Konstitusi yang mau diterima oleh seluruh bangsaatau konstitusi yang partisan? Kalau Anda percaya dengan demokrasidan pluralisme, maka Anda harus menerima konstitusi sepertiyang dikembangkan sekarang ini. Kalau Anda mencoba menerapkankonstitusi lain, apapunnama yang dibawanya, berartiAnda telah menjadi fa-demokrasi dan pluralisme, maka AndaKalau Anda percaya dengansis. Inilah yang oleh Francis harus menerima konstitusi sepertiFukuyama disebut islamofascism.Kalau Anda mencoba menerapkanyang dikembangkan sekarang ini.konstitusi lain, apapun nama yangdibawanya, berarti Anda telahKelompok fundamentalis di menjadi fasis. Inilah yang oleh FrancisIndonesia sudah sampai pada Fukuyama disebut islamo-fascism.tindakan pemaksaan satu modelpemahaman Islam. Praktiknya terlihat pada pembatasan keyakinanatau pelarangan terhadap aliran-aliran minoritas. Parahnya, negarayang seharusnya melindungi, diam saja. Bagaimana respon Anda?Itu sebenarnya kelemahan negara saja. Kelemahan Susilo BambangYudhoyono (SBY), sebagai presiden, yang tidak tegas dalambanyak hal. Karena takut image-nya jatuh, dia terus-menerus bersikaphati-hati dengan tidak berbuat apa-apa. Malah Yusuf Kalla,Wakil Presiden, yang lebih berani. Sekali lagi, itu hanya soal kepe-Luthfi Assyaukanie – 1303


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mimpinan, tidak ada hubungannya dengan konstitusi. Konstitusikita sudah sangat jelas menyatakan bahwa agama harus dilindungi,kebebasan beragama warga negara harus dihormati. Karena pemimpinnyatidak peduli dengan konstitusi, terjadilah hal-hal yang takdiinginkan seperti sekarang ini.Demokrasi kita yang relatif sangat muda sebetulnya sudah melahirkankebebasan dalam partisipasi politik, meski masih kurang dalamhal kebebasan sipil. Menurut Anda apakah ini tanda-tanda demokrasitak liberal?Bisa jadi, meskipun menurut laporan Freedom House, sejak2006, Indonesia sudah masuk ke dalam katagori negara yang liberal,negara yang bebas. Menurut Freedom House, kebebasanmemiliki gradasi, dalam skala 1-5, angka 1 diartikan dengan sangatliberal dan 5 tidak liberal. Demokrasi Indonesia masih beradapada kisaran angka 3 dan 2. Masih dalam batas minimal untukbisa dikatakan liberal. Analisisnya adalah bahwa betul Indonesiatelah demokratis, tapi kebebasan sipilnya masih bermasalah. Inibisa dilihat dalam kasus Ahmadiyah, misalnya. Namun demikian,demokrasi kita sedikit banyak telah melahirkan kebebasansipil yang lebih bagus dibandingkan dengan negara-negara Muslimlain. Secara umum, kita patut berbangga karena kita adalahnegara Muslim besar satu-satunya yang dianggap sebagai negarademokrat dan bebas.Tapi apakah absennya kebebasan sipil itu karena semata-mata pemerintahanyang tidak tegas atau ada persoalan lain?1304– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ada dua hal yang saling terkait untuk menjelaskan itu. Pertama,terkait dengan pemahaman masyarakat yang umumnya masihkonservatif dengan mindset yang masih jauh dari nilai-nilai kebebasansipil dan demokrasi. Kedua, terkait dengan ketidaktegasanpemerintah. Kalau pemerintah tegas, mestinya setiap tindakanperusakan harus ditindak secara hukum. Misalnya ketika adapembakaran rumah Ahmadiyah, maka pelakunya harus ditangkapdan dipenjarakan karena sudah melakukan tindak kriminal.Penangkapan terhadap si pelaku, apapun agamanya, dilakukanbukan dalam rangka membela Ahmadiyah, tapi karena seseorangtelah melakukan perusakan terhadap properti orang lain. Itu yangtidak dipahami. Pemerintah sendiri tidak mau berjudi mempertaruhkancitranya.Bagaimana kalau ada kelompok Islam yang berdalih “kami ini umatmayoritas, karenanya pemerintah harus menuruti kami.” Artinya, kalauada kelompok yang menurut mereka sudah masuk dalam kriteria‘sesat,’ pemerintah harus segera bertindak untuk melarangnya.Itulah contoh perilaku yang tadi saya katakan ‘inkonstitusional.’Logika semacam itu bisa dibalik: kalau orang Kristen menganggapbahwa orang Islam sebagi sesat, apakah 10 juta orang Islamdi Amerika sana bisa ditumpas? Kalau mereka mau menumpasAhmadiyah atau kelompok-kelompok agama yang dianggap sesat,logika yang mereka pakai itu juga bisa dipakai untuk negara-negarayang minoritas Muslim. Tapi dalam bernegara yang harus dikedepankanadalah konstitusi. Mayoritas tidak cukup untuk menggagalkankonstitusi yang sudah disepakati. Bahwa ada pasal yangmemberikan perlindungan terhadap kelompok agama tertentu ituLuthfi Assyaukanie – 1305


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–harus dihormati secara konstitusional tanpa melihat apakah diamayoritas atau minoritas.Kritik yang kerap dilontarkan terhadap konstitusi kita adalah bahwadi sana-sini masih banyak yang paradoks. Konstitusi kita, di satu sisimengakui bahwa setiap orang berhak menjalankan agama dan kepercayaannyamasing-masing, sementara pada sisi lain, terdapat perundang-undanganyang membatasi.Menurut saya, konstitusi kita sudah cukup bagus. Namunbanyak produk hukum di bawahnya yang bertentangan dengankonstitusi. Pembatasan jumlah agama resmi negara adalah salahsatu contoh aturan yang bertentangan dengan konstitusi. Konstitusinegara-negara modern di dunia secara umum sudah sangatbagus. Sebelum diamandemen berkali-kali, konstitusi Malaysiajuga sangat liberal. Beberapa waktu lalu saya memberi ceramah diKuala Lumpur. Di forum itu, saya memberikan pernyataan bahwakonstitusi Malaysia cukup liberal, jauh lebih liberal ketimbangkonstitusi Indonesia. Hal itu terjadi karena konstitusi Malaysiadibuat pada tahun 1957, setelah kovenan tentang HAM dikeluarkanPBB. Kovenan itu kemudian diadopsi dalam salah satu pasalkonstitusi Malaysia.Indonesia merdeka pada tahun 1945, sementara kovenan HAMbaru dikeluarkan pada 1948. Maka Indonesia belum sempat mengadopsikovenan itu, sebagaimana Malaysia. Karena itu, konstitusikita sangat tidak liberal. Baru pada tahun 1999 hingga 2002 kitamengamandemen konstitusi dan memasukkan pasal-pasal HAM kedalamnya. Sekarang, konstitusi kita sama dengan konstitusi-konstitusinegara modern lainnya. Jadi, dari sisi konstitusional sebetulnya1306– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tidak ada masalah. Yang selalu jadi masalah adalah produk-produkhukum di bawah konstitusi. Di Malaysia, hal seperti itu malahlebih parah. Mereka menganggap bahwa persoalan agama, sepertiyang Anda sebutkan tadi, misalnya, masuk ke dalam perdebatanyang disebut lex specialis, dan karenanya konstitusi tak bisa ikutcampur. Bagi saya, konsitutusi harus berada di atas segalanya.Menurut Anda, kapan demokrasi kita akan menjadi solid?Sebagian ilmuwan politik meramalkan bahwa transisi menujudemokrasi membutuhkan waktu tak kurang dari 20 tahun. Adajuga yang mengatakan bahwa masa transisi akan berjalan sepanjangsejarah dan tidak pernah stabil. Filipina sudah menjalani masatransisi lebih dari 20 tahun dan sampai sekrang belum stabil. Adajuga yang demokrasinya stabil tapi masyarakatnya tidak cukup sejahtera,seperti India. India adalah negara demokrasi terbesar didunia. Pergantian kepemimpinan selalu terjadi dan tidak pernahkosong sampai sekarang. Tapi masyarakatnya tidak sejahtera. Persoalannyaadalah apakah kita sedang berbicara kesejahteraan ataudemokrasi? Kalau mau berbicara kesejahteraan, negara-negara telukbanyak sekali yang sejahtera. Kuwait dan Arab Saudi adalah negara-negarayang cukup sejahtera secara ekonomi, GDP-nya cukupbesar, tapi tidak demokratis.Menurut Anda, Indonesia sebaiknya mendahulukan demokrasi ataukesejahteraan?Sebetulnya kita tidak punya pilihan. Tapi, yang sekarang kitausahakan adalah menjadikan demokrasi sebagai cara untuk menujuLuthfi Assyaukanie – 1307


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kesejahteraan. Demokrasinya sendiri bukanlah merupakan tujuan,melainkan cara.Bagaimana Anda menjelaskan pendapat yang mengatakan bahwademokrasi akan tumbuh kalau ekonomi negaranya berjalan denganbaik, masyarakatnya sejahtera?Kalau seperti itu, bagaimana menjelaskan Singapura? Singapuraadalah negara yang sangat sejahtera tapi tidak demokratis. Menjelaskanhal ini bagaikan menjelaskan ayam dan telur, manakah yanglebih dulu? Apakah menjadi demokrasi karena sejahtera atau karenademokrasi kemudian masyarakat menjadi sejahtera? Tetapi secaraumum, menurut Samuel Huntington, negara-negara demokratisdi Eropa memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih baik darinegara-negara yang tidak demokratis. Negara demokratis, menurutHuntington, memperlihatkan kemajuan ekonomi yang cukupsignifikan. Penjelasan untuk hal ini saya kira sederhana. Dengandemokrasi akan ada investasi, ada keterbukaan ekonomi, ada pasaryang lebih besar, kemudian terjadilah pertumbuhan. Demokrasiotomatis membuka ruang ekonomi yang lebih besar.Bagaimana dengan Singapura? Apakah karena mereka sudah sejahtera,lalu mereka tak lagi memerlukan demokrasi?Orang Singapura sebetulnya merindukan demokrasi. Baru-baruini, parlemen Singapura membuat satu komisi untuk memantaunegara-negara kecil di Skandinavia yang bisa dijadikan model demokrasibagi Singapura. Alasan memilih Skandinavia karena adakemiripan dalam hal jumlah penduduk yang tidak besar. Singapura1308– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ingin mengambil contoh demokrasi yang paling menguntungkan.Hal ini bisa dipahami karena mereka memang sudah sejahtera.Untuk itu, jangan sampai demokrasi yang ingin diterapkan malahmengganggu kesejahteraannya.Mungkin alasan seperti itu yang membuat para filsuf besar sepertiVoltaire dan Rousseau tidak terlalu berminat dengan demokrasi.Dalam mencari pemimpin, mereka lebih menjagokan enlighteneddespot (pemimpin despot yang tercerahkan) ketimbang seorangdemokrat. Mahatir Muhammad adalah contoh enlightened despot,berpendirian keras tapi punya visi membangun bangsa. Lee KuanYiew di Singapura juga bisa disebut enlightened despot.Pertanyaan terakhir, kita sudah banyak berbicara tentang kesejahteraandan kapitalisme. Pertanyaannya, apakah penganut liberalisme dalamberagama harus diikuti dengan pilihan liberal secara ekonomi?Saya bukan ahli ekonomi, tapi beberapa prinsip Islam, menurutsaya, sangat mendukung kapitalisme. Pada 1960-an banyak sekaliberedar buku-buku tentang Islam dan sosialisme seperti yang pernahditulis oleh Sayyid Qutb dan Cokro Aminoto. Maxime Rodinson,sarjana Prancis pengikut Marxisme, menulis sebuah buku berjudulIslam dan Kapitalisme. Semula dia ingin membuktikan bahwa Islamsejalan dengan Sosialisme, tapi kemudian malah menemukanbahwa Islam sangat kapitalis. Pernyataan dia yang terkenal adalah“Muhammad was at least not a socialist”.Ada seorang teman di Kuala Lumpur yang membandingkankenapa Islam begitu keras dalam hukuman terhadap pencurian,yakni potong tangan. Teman saya itu menjelaskan bahwa hukumankeras itu adalah sebentuk tradisi kapitalisme yang sangat menghar-Luthfi Assyaukanie – 1309


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–gai properti. Di Amerika, pada awal-awal abad kapitalisme, orangyang mencuri bukan hanya dipotong tangannya, tapi dibunuh. Jikaekonomi liberal dianggap identik dengan kapitalisme, Islam liberalmungkin juga identik dengan semangat kapitalisme.Wawancara dilakukan di Jakarta, Januari 20081310– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganM. Amien RaisM. Amien Rais, Ketua Dewan Penasehat Pusat PAN (Partai Amanat Nasional).Ia meraih gelar Doktor (Political Science) pada University of Chicago. Mantan KetuaMPR ini sekarang menjadi Anggota Dewan Penasehat PP Muhammadiyah.1311


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisme sulit diterima di dunia Islam. Di samping kemunculanpaham ini mempunyai konteks yang sangat lain, al-Quran juga tidakmemisahkan kehidupan menjadi dikotomis. Islam itu bukanBarat dan bukan pula Timur. Kendati demikian, kearifan, kreativitas,dan inovasi dari manapun adalah milik Islam. Kita sendiri mempunyaikhasanah yang sesungguhnya sudah sangat resourcefulyang bisa kita kembangkan secara anggun dan rasional. Berbedadengan sekularisme, gagasan liberalisme dan pluralisme, sampaibatas yang jauh sekalipun, tetap paralel dengan ajaran agama. Liberalismemenginspirasikan semangat kebebasan berpikir kepadamasyarakat untuk mencari solusi terbaik dalam menghadapi setiappersoalan; pluralisme mempunyai tempat yang sah di dalamIslam. Terlebih, kita hidup pada zaman di mana kita harus betulbetulmenjadi manusia globalis.1312– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kami ingin menggali komentar Anda perihal gagasan sekularisme,liberalisme, dan pluralisme yang mendapat tentangan sangat kuat,terutama, di kalangan umat Islam. Di antara alasan mengapa merekamenentang sekularisme adalah kuatnya anggapan bahwa pahamini mengembuskan semangat anti-agama. Atau, muncul juga persepsilain, kendati tidak sampai anti-agama, misalnya, bahwa sekularismebisa melemahkan eksistensi agama. Namun begitu sekularisme lebihbisa diterima manakala ia diartikan sebagai diferensiasi atau pembedasaja, bukan pemisah, antara yang profan dan sakral, antara wilayahpolitik (negara) dan wilayah agama. Bagaimana Anda mendudukkanperdebatan ini?Saya kira sekularisme secara historis berasal dari dunia Barat.Ketika kekuasaan Paus dirasakan terlalu dominan atas para kaisardan raja-raja di Eropa, kemudian muncul pembaharuan pemikiranpolitik Abad Pencerahan yang demikian lantang mewacanakan sebuahkredo, kalau tidak salah bernyi: “Render to cesar what is cesar’sand to God what is God’s.” Serahkan pada kaisar apa yang menjadihaknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya.Dalam arti elementer kaisar adalah penguasa dunia, yang denganaturan-aturan yang dibuatnya mengelola masyarakat di negaranyademi mencapai berbagai macam tujuan sosial, ekonomi, filosofidan lain-lain.Sementara pada waktu itu tokoh-tokoh Abad Pencerahan gencarmenyembulkan suatu pemikiran bahwa semakin manusia memilikiotonomi pemikiran yang tidak berkaitan dengan wahyu, maka manusiamenjadi semakin dewasa dan semakin berhasil memecahkanmasalah-masalah yang dihadapinya. Sehingga, bisa kita pahami kalaupada waktu itu juga para filosof ingin mereduksi wilayah agama.Sebab, pada saat itu agama terlalu berlebihan lingkup dominasinyaM. Amien Rais – 1313


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan bukannya mengajarkan rasionalitas atau solusi atas masalahmasalahkemanusiaan yang seharusnya menjadi peran yang diembanagama, sebaliknya justru membangun kepemimpinan agamadi mana Paus sebagai wakil Tuhan mempunyai kata putus atas segenapurusan manusia.Jadi, semua arah pemikiran kaum intelektual pada waktu itu,dengan gagasan-gagasan otonom, muncul dalam konteks pergulatanantara kekuasaan gereja dengan kekuasaan para raja dan kaisaryang kemudian berakhir dengan kemenangan yang terakhir(kekuasaan raja-raja). Sejak itu sekularisme menjadi ideologi yangcukup dominan, dan kemudian bersamaan dengan sekularisme dimunculkanjuga pemikiran-pemikiran yang berwacana liberalismedan pluralisme.Buat saya dunia Islam mempunyai sejarah perkembangan politikyang berbeda. Sebab, bagaimanapun dalam prinsip keyakinan umatIslam, al-Quran tidak memisahkan kehidupan menjadi dikotomis.Tetapi kaum sekular dengan lantang melakukan kompartementalisasikehidupan: yang duniawi dan ukhrawi; imanen dan transenden.Sementara dalam Islam kehidupan kaum Muslimin berpegangteguh bahwa sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matikusemata dipersembahkan dan dipasrahkan kepada Tuhan. Sehinggatidak ada pandangan hidup yang dikotomistik.Akibatnya, walaupun dipaksa-paksa seperti apapun, sekularismetidak akan cocok untuk umat Islam, karena memang ranah atautanah perkembangannya tidak sama dengan Barat. Karena itu, sayamelihat sekularisme itu sangat sulit diterima di dunia Islam. Tetapi,kalau gagasan pluralisme dan liberalisme, sampai batas yangjauh sekalipun, tetap paralel dengan ajaran agama. Jadi, agamaIslam tidak ingin memaksakan suatu pendapat. Bahkan, agama1314– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Islam sendiri sangat demokratis. Tengok saja kenyataan yang menunjukkanbahwa di samping ada kubu besar Syi’ah dan Sunni,pada masing-masing aliran tersebut muncul beragam perbedaanpandangan teologi di dalamnya, yang satu sama lain saling damai.Sunni tumbuh empat mazhab: mazhab Hanafi, Maliki, Hambali,Syafi’i; begitupun tidak sedikit cabang-cabang pemikiran di kalangankaum Syi’ah.Maka, menurut saya, sampai kapanpun tidak mungkin ada“hanya satu” gagasan di kalangan dunia Islam, yang majemuk ini,akan mencapai kemenangan akhir. Sebab kodrat masyarakat Islamitu memang majemuk, beraneka ragam dan tidak tunggal. Pasalnya,pluralisme mempunyai tempat yang sah di dalam agama Islam. Sehinggaketika kalangan Ahmadiyahdizalimi masyarakatLiberalisme memberikan inspirasi bagiberamai-ramai, maka sejatinyatindakan seperti itusemangat kebebasan berpikir kepadamasyarakat untuk mencari solusimemang tidak islami. Karenasemua keyakinan diberi masalah yang tengah dihadapi.terbaik dalam menghadapi masalah-hak hidup di dalam Islam.Sehingga, Kristen, Katolik,Hindu, Budha, Zoroaster atau komunisme sekalipun sejatinya diberihak hidup dalam Islam. Tentu saja Ahmadiyah tidak berbedadengan mereka, yakni harus diberi hak hidup pula.Untuk itu, liberalisme memberikan inspirasi bagi semangat kebebasanberpikir kepada masyarakat untuk mencari solusi terbaikdalam menghadapi masalah-masalah yang tengah dihadapi. Sehingga,jika ada kompetisi gagasan atau kompetisi ide serta rivalitasantar-pemecahan intelektual bagi masalah-masalah yang konkret,justru dipuji dan dianjurkan dalam Islam. Karena itu dalam tigaM. Amien Rais – 1315


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rangkaian gagasan tersebut, yakni sekularisme, pluralisme dan liberalisme,bagi saya, yang sulit diterima oleh dunia Islam adalahyang pertama karena kemunculannya mempunyai konteks yangsangat lain.Kalau melihat di negara-negara Barat yang menganut prinsip sekularisme,tampaknya merebak kecenderungan penolakan terhadap agama,atau terjadi kemunduran agama (decline of religion) di sana.Terlepas bahwa realitas tersebut benar atau tidak, tetapi menurutAnda apakah paham sekularisme itu berpengaruh kepada kemunduranagama?Sejauh yang saya baca dan saya saksikan di dunia Barat,churchgoers mengalami proses mengkerut. Semakin lama pengunjungnyasemakin sedikit. Kekosongan gereja-gereja di Eropa danAmerika merupakan pandangan yang umum. Bahkan beberapa gerejamalah menjadi toko, koperasi, istana olahraga, dan sebagainya.Itu sesuatu yang biasa. Tetapi melihat kekosongan gereja tidak lantaskekristenan orang Barat berkurang. Mereka tetap mengagungkanperadaban Kristiani. Mereka tidak bosannya membanggakan akarsejarah mereka dan mereka tetap membanggakan prinsip Kristianimeskipun secara ritual mereka tidak pernah datang ke gereja.Saya mempunyai kesan bahwa mereka yang mendeklarasikan dirisebagai sekularis dan sebagai agnotisis, sebagai orang yang tidakpeduli sama agama sekalipun, sesungguhnya tetap saja taat padaetika Kristen. Jadi kadang-kadang orang Islam bisa salah tangkapdengan ritualitas Kristen yang sudah tidak meriah itu lalu meloncatpada kesimpulan bahwa Kristen sudah binasa di Barat. Menurutsaya tidak sama sekali.1316– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Meskipun Anda mengatakan bahwa Islam sulit menerima sekularismeatau sekularisasi karena tidak ada konsep di dalamnya, tapi beberapakalangan intelektual Islam menganggap justru Islam sangatmendukung gagasan itu. Sejak dari awal, Nabi Muhammad berperansebagai pemimpin agama, tetapi dalam aspek lain juga sebagaipemimpin politik, di mana dalam aspek di luar persoalan agamaini beliau menyatakan, “Kalian lebih mengetahui urusan duniamu.”Demikian pula setelah Umayyah, dalam sejarahnya otoritas politikberbeda dengan otoritas keagamaan. Jadi ada semacam bukti sejarahyang mengatakan itu.Saya bisa membalik logikaitu dengan logika bahwa Liberalisme memberikan inspirasi bagipara pemimpin Islam juga semangat kebebasan berpikir kepadamereferensi Nabi Muhammad,sebagai rujukan moralmasyarakat untuk mencari solusiterbaik dalam menghadapi masalahmasalahyang tengah dihadapi.dan etikanya. Jadi sampai sekarangpun para pemimpinSehingga, jika ada kompetisi gagasanatau kompetisi ide serta rivalitasdi dunia Islam yang palingantar-pemecahan intelektual bagisekularpun berlomba-lombauntuk menciptakan citramasalah-masalah yang konkret, justrudipuji dan dianjurkan dalam Islam.sebagai Muslim yang baik.Mereka tidak lantas beranimeninggalkan salat Idul Fitri dan Idul Adha atau menghapus perayaannuzûl al-Qur’ân dan maulid Nabi. Itu tidak mungkin. Jadi,kalau mereka dianggap tokoh-tokoh Islam, dan berpolitik lantasdianggap menimbulkan sekularisme, pandangan seperti itu bisaditerima. Itu cara pandang mereka yang berbeda.M. Amien Rais – 1317


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam kasus yang sama, memang moral agama tetap dipegang. Kasusyang sama di negara-negara sekular, seperti Amerika, bahkan bukanhanya moral agama yang mereka yakini dalam memerintah tetapijuga simbol-simbol agama.Justru banyak dari kita yang mengalami kompleks rendah diri.Mereka ingin seperti Barat lantas mau meninggalkan agamanyadengan bergaya sekular, modern dan sebagainya. Seperti yang sayakatakan bahwa orang Barat yang dianggap sekular itu pun tetapmoral etikanya merujuk moral Kristiani. Kalau Anda ke Amerikadan Eropa di sana ada sebuah istilah yang sebenarnya mendominasiperilaku negara-negara Barat yang dinamakan Judeo-ChristianEthic (Etika Yahudi-Nasrani). Semua itu sumbernya agama. Jadi,saya merasa sebagai intelektual Islam, saya tidak tahu cara pembacaannyasehingga kemudian sampai pada kesimpulan bahwa Islamsejak semula selaras dengan sekularisme. Jawaban saya: I get lost.Jadi saya punya logika sendiri. Namun begitu, saya tetap menghormatilogika mereka.Hanya saja, menurut saya, kalau orang Islam membangun dunia,membangun kesejahteraan ekonomi, sosial, keadilan politik, hukum,pendidikan dan seterusnya, semua itu hendaknya bermotivasiatas agamanya. Jadi setiap sepak terjang kaum Muslimin di semuakehidupan, motivasinya mencari “ridlo ilahi”. Jadi, perdebatan-perdebatanmengenai tema ini dapat dikatakan sudah kuno, tidak adalagi yang baru. Justru saya hanya mengingatkan, kita tidak pernahmelampaui perdebatan yang sudah terjadi di Mesir, Maroko, Irandan Irak saja, tetapi hendaknya juga di kalangan kaum Musliminyang hidup di dunia Barat. Tetapi bagi saya jangan sampai kita initerjebak pada perdebatan semantik yang memang tidak akan pernahselesai. Perdebatan antar-kelompok Islam bahwa sesungguhnya1318– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–agama mengandung elemen-elemen sekularisme atau Islam sudahcukup dengan dirinya yang menjadi lumbung sumber pemikiranuntuk memecahkan masalah-masalah dunia. Hal itu sejak dari dulusampai sekarang dan sampai kapanpun akan menjadi intellectualexercise yang menarik. Justru menurut saya perdebatan seperti inijangan dihentikan. Namun demikian jangan sampai melupakantugas pokok kaum intelektual. Buat saya perdebatan ini sedikitbanyak sudah terlalu luxerius,terlalu mewah. Bolehlah kita Islam sama dan sebangun dengansemewah itu, tetapi basis dan nilai-nilai kemanusiaan yangkebutuhan pokok umat yang universal. Sehingga kita mudahbanyak jangan lantas kita lupakan.Umat kita menghadapi memang universal tersebut.sekali menerima hal-hal yangpengangguran yang semakinmeluas, kemiskinan yang semakin bertambah, kerusakan ekologiyang semakin tidak ada harapan lagi, kemudian akhlak bangsa semakinkarut-marut, demikianpun penegakan hukum yang demikianskematis atau tebang pilih. Kemudian dalam konteks sepertiini, nasib umat Islam menjadi kurang jelas.Untuk itu, kalau para intelektualnya terlalu sibuk dan asikmasyukdengan perdebatan pluralisme, eksistensialisme, lantashumanisme, aktivisme, sekularisme, dan segala macam, saya khawatirkita akan menjadi intelektual yang ada di menara gading,yang menikmati intelectual debate semata. Sementara, keadaanumat sendiri mengalami depresi. Jadi saya sebagai orang yang sudahmengembara ke Chicago, Al-Azhar, kembali ke Gajah Madadan IAIN, saya merasa bahwa kita harus tetap konsentrasi. Energiserta kemampuan kita hendaknya difokuskan untuk memecahkanmasalah-masalah umat yang lebih mendesak. Jadi hal yang tengahM. Amien Rais – 1319


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kita jalani ini biarlah dinikmati oleh kaum kelas menengah terdidikke atas, tetapi jangan sampai kita kemudian asik di situ dan kitatidak pernah turun. Jangan lupa pada akhirnya prototipe intelektualIslam yang maha puncak itu namanya Nabi Muhammad saw.Jangan lupa dalam ayat kedua surat al-Jumu‘ah Allah mengatakan:“Dialah yang telah membangkitkan di tengah-tengah umat yangbanyak itu, seorang Rasul yang membangkitkan, yang mempurifikasikejiwaan mereka, yang mengajarkan ilmu di tengah umat yangbanyak. Kemudian sang Rasul itu mengeluarkan umat yang banyaktersebut dari kegelapan ke terang benderang”. Jadi, kita janganmenjadi intelektual salon, yang asik-masyuk dikelilingi timbunanbuku dan print out komputer, tetapi kita kemudian lupa denganmassa riil yang kita alami sekarang. Ini sekadar himbauan saja.Artinya, daripada kita menghabiskan energi intelektual kitauntuk masalah yang kita bicarakan ini, lantas mengapa kita seolahlupa bahwa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar yang sangatterbelakang. Indonesia tergolong sebuah negara dengan pemerintahankleptokrasi, di mana kaum kleptokrat atau para pencuri besaritu memegang kekuasaan, kemudian kleptokrasi Indonesia inimenghamba kepada sebuah kekuatan di bidang ekonomi dan militeryang dinamakan “korporatokrasi”. Para korporatokrat mempunyaikekuatan intelektual, informasi, ekonomi, finansial, pertahanandan militer untuk mencengkeram dunia Islam. Mengapakita tidak membangun kekuatan perlahan-lahan untuk mendepakcengkeraman itu. Pasalnya, sumber-sumber daya alam negara Muslimseperti Indonesia sudah dikuras atau akan dikuras habis olehkekuatan korporasi yang penuh skandal dan betul-betul eksploitatifitu. Kalau kaum intelektual Muslim di negeri ini memfokuskanperhatian dan tenaganya ke hal-hal seperti itu, mungkin akan lebih1320– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–produktif. Kita harus mulai menjelajah dan masuk pada perdebatansemacam itu. Jadi, menurut hemat saya, hal-hal yang mewah sepertiitu jangan terlalu kita kembangkan karena bisa melupakan persoalanbangsa yang riil. Umat semakin parah, kian compang-camping,kehilangan daya, sementara Nabi pernah mendambakan Muslimyang kuat. Muslim yang kuatlebih dicintai Allah daripada Islam itu bukan Barat dan bukanMuslim yang lemah. Muslim pula Timur. Kendati demikian.yang kuat ilmu pengetahuan, kearifan, kreativitas dan inovasi dariekonomi, wawasan, teknologi, manapun adalah milik Islam.diplomasi, militer, dan seterusnya.Jadi, menurut saya harus ke sanalah diskusi kita. Boleh sajaperbincangan sekularisme, liberalisme, dan pluralisme ini diteruskan,tetapi jangan sampai menimbulkan bentrok, sehingga salingmerasa satu sama lain berbeda.Sebelumnya Anda pernah mengeluarkan satu teori tentang topik sosialsemacam itu. Tetapi kalau hendak mengaitkan gagasan Islam kearah topik sosial tersebut, formulasi seperti apa yang kiranya sesuaidengan bentuk negara kita dalam menjamin dan melindungi masyarakatsipil, juga mendorong warga melakukan perlawanan, termasukadvokasi pada persoalan-persoalan riil negeri ini, seperti penguatanmasyarakat yang terlemahkan?Untuk upaya mengejewantahkan gagasan Islam ke dalam topiksosial itu perlu payung. Tanpa adanya payung itu maka nilai-nilaiIslam dan kemajuan umat Islam akan tertatih-tatih. Maka Islamyang kâffah tidak boleh memisah-misahkan ini Islam ekonomi,Islam pendidikan, Islam politik, Islam ukhrawi, Islam pesantren,M. Amien Rais – 1321


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan sebagainya. Jadi, maksud saya, memang gagasannya hanyamengawang-awang dan tidak ada kekuatan untuk menegakkankeadilan multi-dimensional.Namun perlu digarisbawahi di sini, Islam itu bukan Barat danbukan pula Timur. Kendati demikian, kearifan, kreativitas daninovasi dari manapun adalah milik Islam. Sehingga Nabi mengatakan,“al-hikmatu dlallatu al-mu’min fa-khudzhâ min ayyi wi‘â’inkharajat”. Jadi “wisdom” adalah mutiara yang hilang dari khasanahkaum Muslimin. Maka ambillah mutiara itu dari bejana manapundia keluar. Jadi secara ekstrem walaupun keluarnya dari mulut anjing,“kalau berlian, ya tetap berlian”. Artinya kita tidak ada moralobstacle, moral handicap untuk menerima berbagai kearifan, wisdom,inovasi, kreasi dari manapun juga datangnya, karena Islamsama dan sebangun dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.Sehingga kita mudah sekali menerima hal-hal yang memanguniversal tersebut.Kira-kira gagasan Anda juga sesuai dengan apa yang dikemukakanoleh Casanova. Dia berbicara tentang public religion sebagai bantahanterhadap usaha kaum sekular yang kukuh memprivatisasi agama.Padahal, dalam kenyataannya, dimensi agama benar-benar tidakmungkin dirumahkan atau diprivatisasi semuanya. Agama jugaselalu bergairah untuk masuk ke wilayah publik. Lantas, bagaimanamendamaikan kedua kecenderungan yang berlawanan tersebut?Saya tidak ingin bicara yang terlalu konseptual. Akan tetapisaya ingin mengambil contoh yang konkret saja. Lihatlah misalnyaPartai Islam Turki. Di bawah Erdogan Turki bisa mengempaskanketerbelakangan masa lalunya untuk kemudian menjadi negeri1322– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Turki yang modern sejajar dengan Portugis dan Spanyol, bahkanmendekati Italia, juga, bahkan, suatu ketika nanti menyamai negara-negaraEropa yang paling maju. Tapi, lihatlah Erdogan tidakpernah meninggalkan tradisi keislamannya. Lihat juga kebijakanMahathir Mohammad, misalnya. Mahathir Mohammad kerap dikatakansebagai tokoh sekular. Dia pemimpin Muslim yang tahumodernitas dan mengetahui kekuatan globalisasi, sekaligus jugapaham pencak silat di tengah serbuan globalisasi dan dengan sangatanggun dia membawa Malaysia ke tataran negeri Muslimyang sangat kuat.Demikianpun Presiden Ahmadinejad. Orang muda satu inimantan Walikota Iran yang sangat cinta dan bangga dengan Islamnya,kemudian dia menciptakan Iran yang secara militer sangat kuatsehingga tidak bisa diringkus dan didikte oleh Amerika. Bahkan,hutang luar negerinya mungkin kecil sekali dan secara ekonomijuga survive. Namun begitu, tidak ada yang mengatakan bahwa pemerintahanAhmadinejad dianggap sekular, justru sangat Islam.Contoh lain, kadang-kadang kita sudah lama sekali di-brainwashedoleh probencong-probencong politik di Barat. Kemudiankita terkagum-kagum pada Barat, sementara kita lupa khasanahkita sendiri. Buat saya, kalau kita sudah mengarungi dunia Baratdan sudah paham dengan khasanah Islam, maka tidak ada bebanmental lagi untuk menerima demokrasi. Sebagaimana juga parapendahulu kita percaya diri untuk bicara dengan posisi yang penuhkeyakinan, berbicara tentang kebagusan Islam di tengah dominasikapitalisme – dan sosialisme, di masa lalu. Jadi, kita bisa ber-i‘tibârkepada intelektual Muslim seperti Muhamad Iqbal, MuhamadAbduh, bahkan dalam konteks itu ada Haji Agus Salim dan MoehammadNatsir. Tidak ada yang mengatakan bahwa Agus SalimM. Amien Rais – 1323


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan Moehammad Natsir itu orang yang lebih terbelakang dariMuhamad Abduh, dan sebagainya.Jadi, justru kalangan intelektual muda sekarang ini saya harapkanmampu menjelajah khasanah intelektual dari khasanah Timur.Begitupun saya sangat berharap pada Islam sendiri, tentu saja, sehinggamenjadi balance, seimbang.Banyak orang acapkali menolak liberalisme dengan mengidentikkannyasebagai gagasan yang melatarbelakangi munculnya imperialismedan kolonialisme. Pandangan Anda?Di dalam diri mereka sendiri terjadi pergulatan luar biasa. Jadimisalnya ada perdebatan seputar liberalisme, libertarianisme, neoliberalisme,bahkan ada juga yang anti-neoliberalisme. Demikianpula di antara mereka ada upaya yang mendamaikan antarsemuaisme-isme. Jadi, kita tidak bisa lantas terseret ke perdebatan alotmereka. Hanya saja kita harus tetap ingat bahwa liberalisme intinyamemberikan kebebasan berpikir kepada masyarakat. Itu halyang bagus. Kemudian liberalisme menimbulkan mazhab ekonomikapitalisme, dengan asas laissez faire yang mendorong pasar bebas.Paham ini juga mendorong kondisi ala determinisme sosial, kemudianthe survival of the fittest dan struggle for life.Demikianlah yang dapat kita identifikasi perihal liberalisme.Kemudian semangat kebebasan berpikir inilah yang dapat dikaitkandengan sumber-sumber dalam Islam. Karena kita sendiri mempunyaikhasanah yang sesungguhnya sudah sangat resourceful yangbisa kita kembangkan secara anggun dan secara rasional. Saya yakinsumbersumber tersebut sudah cukup membumi. Tetapi hendaknyakita bantu dengan mengkonfron-tasikan khasanah kita tersebut ke1324– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dunia Barat, Timur, Utara dan Selatan supaya lebih matang lagi.Karena kita hidup pada zaman di mana kita harus betul-betulmenjadi manusia globalis.Tadi Anda mengatakan bahwa Islam yang dipahami haruslah denganpemahaman yang bersifat responsif, bisa mengangkat kaum tertindasdan sebagainya, termasuk dalam persoalan negara, yang di dalamnyajuga terdapat ketegangan dengan agama. Apakah gagasan idealyang Anda pikirkan sudah tercakup dalam Pancasila, sebagai dasarnegara kita, atau belum?Saya kira sudah tercakup di dalamnya. Jadi Pancasila hanyaekstrak dari budaya dan kesejarahan kita yang diformulasikan olehpara pemimpin kita. Jangan lupa masyarakat sebenarnya open ended,jadi kata-kata seperti itu manis sekali, sehingga bisa dikembangkanlagi secara fleksibel untuk kebutuhan zaman. Di dalamnya tercakupsila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan sosial, perikemanusiaan,yang merupakan nilai-nilai universal yang tercakup dalamIslam juga. Sehingga saya ingat betul bagi orang Islam, meminjamungakapan Moehammad Natsir, tidak mungkin menolak Pancasila.Karena Islam sejatinya serba sila, lebih dari lima sila itu. Untukitulah kita terima Pancasila, kita nikmati, karena itu juga datangdari khasanah Islam.Menurut Anda apakah paham syariat Islam yang klasik-konservatiftidak perlu dipertentangkan dengan Pancasila atau UUD ’45?Saya kira kalau syariat Islam diambil esensinya, maka ketemunyasama. Cuma kadang-kadang kita selalu terjebak dalam politik gincu,M. Amien Rais – 1325


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–politik bendera, sementara lupa politik garam. Kita nikmati politikgincu dan politik bendera, sehingga dari situ kita membuat danmenerapkan perda syariah, kemudian geger; kita tegakkan negaraIslam, geger juga. Sebaliknya kita seolah-olah tidak usah gembargembornilai-nilai Islam yang universal, yang bisa dinikmati olehbangsa ini, baik masyarakat Muslim maupun non-Muslim. Yangnon-Muslim akan terproteksi, akan mendapatkan hak-hak politik,ekonomi, sosial, pendidikan, dan hukum yang sepenuhnya dengannilai-nilai universal Islam yang seutuhnya.Tetapi kalau di antara kita sudah meniupkan peluit membentuknegara Islam, maka teman-teman TNI, teman-teman nasionalis,teman-teman minoritas akan pasang kuda-kuda dan akanmenimbulkan kontroversi yang sangat melelahkan. Padahal kalaukita mengambil politik garam, yakni bagaimana kita berbuat sesuaidengan nilai-nilai Islam yang universal, tentunya bangsa iniakan menerima. Saya ingat Pak Hatta pernah mengatakan janganlahkita selalu terjebak ke dalam politik gincu, tetapi gunakanlahpolitik garam.Wawancara dilakukan di Jakarta, Oktober 20061326– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganM. Amin AbdullahM. Amin Abdullah, Rektor UIN Sunan Kalijaga. Ia memperoleh gelar doktordari Departemen Filsafat, Faculty of Art and Sciences, Midle East Technical University(METU), Ankara, Turki (1990) dan menempuh program Post-Doctoral McGill University,Montreal, Kanada (1997-1998).1327


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ketika agama dimanipulasi untuk kepentingan publik demi memperolehatau merebut kekuasaan, muncullah dogmatisme danmenimbulkan clash atau religious adherent yang dapat berujungviolence. Karenanya, untuk menjaga stabilitas warga, organisasiorganisasikeagamaan atau kefatwaan tetap diberi tempat, dengandisertai pembekalan bagi tokoh-tokohnya lewat agenda peningkatankualitas pendidikan. Maka sekularisasi dalam pengertian prosesyang sangat terkait dengan the idea of progress dan, terutama, kemajuanpendidikan harus terus diupayakan. Celakanya, selama inipendidikan kita lebih menekankan sisi teologis, yang sebenarnyamenjadi sumber tingginya al-‘aql al-lâhûtî, nalar semi ketuhanan,ketimbang mengeksplorasi al-‘aql al-falsafî, al-‘aql al-‘ilmî atau al-‘aql al-târîkhî, yang merupakan dimensi antropologis dari pemikirantentang ketuhanan.1328– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana pandangan Anda tentang sekularisme, apa implikasi gagasantersebut ketika ditransfer ke Indosesia, lalu mengapa MUI (MajelisUlama Indonesia) dan beberapa umat Islam menentangnya?Pertama, kata “secular” akarnya dari Barat. Kedua, ia didahuluidengan gerakan reformasi, yang sebelumnya seluruh aspek kehidupanmanusia menjadi monopoli gereja, khususnya kurun waktuabad ke-12 dan 13, yang lazim disebut “the golden age of Catholicism”.Jadi sekular dalam ranah keagamaan yang origin berasal darimonopoli Katolik. Baru kemudian muncul gerakan yang bernamaProtestan. Tetapi, itu juga masih dalam lingkup keagamaan. Belakangan,muncul Max Weber dengan The Protestan Ethic, yang sedikitbanyak nanti akan menyentuh isu sekularisme. Yang pertamadan kedua jelas pengalaman Barat. Kemudian yang ketiga adalahwilayah ekspresi behavior: perilaku politik, sosial dan keagamaan,yang beroperasi lebih pada dataran sosiologis, bukan dataran faithatau keimanannya.Sehingga, sebelum lebih jauh melihat isu tersebut dibawa keIndonesia, hendaknya dikomparasikan dahulu bagaimana akarkatanya dan sejarahnya seperti apa, juga harus dipertimbangkanpergumulan intelektual, organisasi dan seluruh aspek yang terkaitdengannya. Ini tidak bisa langsung loncat. Artinya, ini agak sulit,karena berbeda konteks dan sejarahnya. Peristiwa itu sudah terjadi500 tahun yang lalu. Rentetannya panjang. Barat harus melewati4 – 5 abad untuk sampai ke situ. Al-Ishlâh al-dînî atau gerakanreformasi keagamaan itu pada abad ke-15. Kemudian disusul Renaissanceabad ke-16; abad ke-17 merebak rasionalism (Descartesdan sebagainya) dan empirisme (Hobbes dan Locke); abad ke-18Enlightenment, masa pencerahan Inggris dan Prancis atau aufkalrungJerman dengan gerakan rasional Immanuel Kant dan sebagainya.M. Amin Abdullah – 1329


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Setelah itu baru pada abad ke-19 muncul gagasan nation-state.Cara berpikir, bergaul dan bertindak pada era nation-state tentusaja sudah jauh berbeda dengan cara berpikir dan bertindak padaera golden age of Catholicism abad ke-12–13. Dengan menimbangbetapa jauhnya rentangan yang telah dilalui, kata ”secular” secarahistoris memang amat kompleks dan panjang, sehingga tidak bisalangsung dipotong.Perihal pengharaman dan resistensi terhadap sekularisme olehMUI, dalam arti MUI sebagai simbol hegemoni, monopoli, ataucenter of power keagamaan, hal itu mirip dengan situasi Eropa abadke-13 dan ke-14 sebelum sampai pada era al-ishlâh al-dînî. Jikamemang demikian, maka pengharaman adalah hal yang wajar dandapat dipahami, mengingat discours dan wacananya masih sepertidi Eropa abad ke-13-14, masih pada the early beginning dari sejarahpergumulan agama dan kekuasaan, prior to idea of secularization,sebagaimana Max Weber dengan jelas memotret itu.Alasan umat Islam dan termasuk juga masyarakat Barat (khususnyakalangan gereja Katolik) menolak ide sekularisme, karena merekaberanggapan bahwa sekularisme memunculkan “decline of religion”,implikasi dari pemisahan antara agama dengan negara, pemisahanantara ilmu pengetahuan dengan aspek moral atau teologi. Benarkahanggapan seperti itu?Sekularisasi, sebenarnya, tidak otomatis mengakibatkan declineof religion. Proses tersebut pada hematnya ada dua: cyclic decline,kelihatannya turun tapi kemudian naik lagi, turun lagi, naik lagidan seterusnya. Sehingga agama tidak akan pernah hilang. Tetapi,kekhawatiran dari banyak kalangan terhadap sekularisme yai-1330– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tu manakala proses tersebut berujung pada linear decline – yangmana agama terus-menerus mengalami decline dan hilang, lantaranorang sama sekali meninggalkannya. Namun, yang terjadi di Baratsekalipun, tidak seperti itu,apa lagi di Timur. Di Barat Sekularisasi, sebenarnya, tidakyang terjadi adalah cyclic decline.Oleh sebab itu, seluruh of religion. Proses tersebut padaotomatis mengakibatkan declinekekhawatiran tersebut harus hematnya ada dua: cyclic decline,ditinjau ulang. Banyak orang kelihatannya turun tapi kemudianBarat tidak masuk ke gereja,namun bukan berarti ti-dan seterusnya. Sehingga agamanaik lagi, turun lagi, naik lagidak beragama. Barat, dalam tidak akan pernah hilang. Tetapi,hal ini Eropa, secara historis kekhawatiran dari banyak kalanganterhadap sekularisme yaitu manakaladulunya Katolik, yang denganinstitusi gerejanya me-proses tersebut berujung pada lineardecline – yang mana agama terusmenerusmengalami decline danmonopoli agama hampir diseluruh wilayah Eropa, kemudianmuncul Protestan,hilang, lantaran orang sama sekalimeninggalkannya. Namun, yanglantas terjadilah al-ishlâh aldînî.Baru setelah itu timbul itu, apa lagi di Timur. Di Barat yangterjadi di Barat sekalipun, tidak sepertikeinginan agar agama tidak terjadi adalah cyclic decline. Olehlagi memonopoli ke segenapdimensi hidup manusia. tersebut harus ditinjau ulang.sebab itu, seluruh kekhawatiranMaka dipisahkanlah agamadari negara.Namun demikian, di Barat, orang yang beragama sendiri tetapmempunyai share yang besar sekali untuk perkembangan lebihlanjut atas peran dan fungsi agama. Misalnya, yang menggerakkanrevolusi Prancis adalah orang-orang yang beragama juga, yakni paraM. Amin Abdullah – 1331


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–penganut Katolik. Untuk itu, idealnya sejarah panjang Eropa dipelajariterlebih dahulu, sebelum lompat atau melangkah lebih lanjutke persoalan MUI yang menolak isu liberalisme, pluralisme dantermasuk juga sekularisme. Sehingga patut disyukuri, setelah monopoliKatolik berlangsung begitu lama, kemudian muncul Protestan.Setelah itu jargon yang dimajukan adalah pemisahan negara danagama. Tetapi, itu hanya pada level publik. Sementara pada levelmoral dan faith, secara prinsipil, tidak ada pengaruh. Pada kedualevel ini masyarakat Barat masih tetap seperti dulu.Sejarah sekularisme di Eropa memang berbeda dengan Amerika, Kanadaatau negara-negara Islam. Karena gereja begitu dominan cengkeramannya,resistensi masyarakat Eropa terhadap agama atau gerejajuga kuat. Bahkan, anti-agama justru menjadi fashion, life style,bagi mayarakat Eropa sekarang. Hal ini berbeda dengan Amerika,yang sekularismenya begitu soft, santun. Apa pendapat Anda ihwalsekularisme Eropa?Against religion sebagai life style merupakan budaya yang barudi Eropa lantaran dahulunya hegemoni gereja mencengkeram kuat.Tetapi apa yang terjadi di Amerika memang berbeda sama sekali.Karena di sana berkumpul kaum-kaum imigran Eropa yang sudahmerasa gerah dengan kungkungan gereja, lantas mereka mendirikanculture yang sama sekali baru. Colombus dan yang lainnyadari negeri-negeri Eropa seperti Irlandia, Inggris, Prancis, Belanda,Jerman dan sebagainya, yang sudah merasa jenuh dengan culturedi sana, lantas meninggalkannya dan membikin yang baru. Jadikualitasnya jelas berbeda dengan induknya (Eropa).1332– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisasi, dalam sejarahnya, memunculkan privatisasi agama. Bagaimanakomentar Anda tentang privatisasi agama. Apakah hal itumerupakan suatu yang semestinya dikehendaki atau justru suatu halyang harus diantisipasi?Privatisasi tidak jelek. Hubungan dengan Tuhan memang sesuatuyang privat. Di dalam Islam pun ketika kelak malaikat menanyakan“mau masuk surgaatau neraka” itu yang ditanyaindividu, bukan komu-Pada dasarnya sekularisasi atau apasaja, dalam pengertian proses, sangatnal atau organisasinya. Memangagama mulanya meru-dan, terutama, kemajuan pendidikan,terkait dengan the idea of progresspakan dimensi yang sangat the rise of education, bukan lagiprivat. Sehingga Cantwell negara. Negara hanya sebagaiSmith membedakan antara fasilitator. Mustahil negara menjadifaith dan tradition. Faith merupakanranah yang internal, tak berpendidikan yang baik. Yangbesar sementara rakyatnya bodohtak mungkin dapat dihindari,transcendental, dimen-pendidikan yang memadai, terlebihterpenting rakyatnya harus diberisi inwardly affairs. SementaraTradition adalah dimensilagi di era modern seperti sekarangini. Modernisasi sangat terkait denganpendidikan. Kalau pendidikannyaluar dari agama, eksternal,tidak bergerak, maka sekularisasi jugaobservable, social and historicalaspect of religiousness un-otomatis akan sulit berkembang.tuk setiap masyarakat beragama.Karena itu agama seharusnya dilihat dari dua aspek tersebut,yaitu lahiriah dan batiniah. Kalau tidak demikian, kita akanselalu khawatir melihat peran agama dalam era modern. Dengandemikian, personal life justru merupakan the essence of religion. Ka-M. Amin Abdullah – 1333


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lau Anda memasuki wilayah komunal dari agama seperti syariah,yang tidak lain adalah wilayah publik, maka Anda sedang mengamalkantradition. Aspek politik, sosial dan pendidikan dari agama,terlebih organisasinya, lantas hubungan ekonominya seperti apa,semuanya adalah tradisi.Seringkali ide privatisasi agama ditolak karena mengebiri dimensimoral dan semangat sosial dari agama dalam wilayah publik. SehinggaJose Casanova memunculkan istilah “deprivatisasi” agama. Agamaharus tetap punya fungsi dan peran moral dalam wilayah publik, civilsociety, bukan negara. Setujukah Anda dengan gagasan tersebut?Adalah tidak salah apabila Casanova menghendaki seperti itu,silakan saja. Tetapi sifat privat dari agama jangan sampai dihilangkan.Bagaimanapun deprivatisasi yang dimaksudkan Casanova tentusaja di dalamnya mengemban agenda politik, yang berarti bukanlagi aspek inner dari agama itu sendiri. Padahal hubungan seseorangdengan Tuhannya sangatlah pribadi. Sebab yang menyabut nyawaorang tersebut juga Tuhan sendiri. Semua agama juga meyakini semuaitu. Jadi, deprivatisasi agama sebenarnya masuk urusan politikdan berarti juga wilayah publik. Sementara, wilayah privat harustetap ada. Agama jangan seluruhnya dideprivatisasi. Di sini, pentingmembedakan antara wilayah moral sosial keagamaan denganmoral individual yang sangat terkait dengan esensi ketuhanan, theidea of Holly. Hal-hal yang suci, yang transenden, yang beyond thelimit of intelligent merupakan ranah pribadi. Maka Casanova danyang lainnya tengah menganalisis peran agama di berbagai negara,lebih-lebih di Amerika Latin, yang memanfaatkan agama untuk kepentinganpolitik dan ingin melegitimasikan agama kembali dalam1334– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kehidupan publik. Sehingga, sejatinya hal tersebut menunjukkanadanya cyclic decline, bukan linear decline, karena sekarang merekamulai senang kembali menggunakan agama sebagai basis politik.Politik untuk menggagas ide-ide moral lewat alat atau tanggayang bernama agama. Jika demikian, dua-duanya sulit dibedakanantara social function of religion dan individual function of religion,padahal keduanya tak bisadipisahkan, tetapi bisa dibedakan.Agama jangan seluruhnyadideprivatisasi. Di sini, pentingmembedakan antara wilayah moralMenurut Anda apakah sekularisasisebenarnya proses ke-sosial keagamaan dengan moralindividual yang sangat terkait denganesensi ketuhanan, the idea of Holly.niscayaan yang alamiah atausesuatu yang harus dilalui dengansokongan dari negara, seperti Turki dan kebanyakan negaraEropa, lantas proses ideal seperti apakah yang harus diterapkan diIndonesia?Pada dasarnya sekularisasi atau apa saja, dalam pengertian proses,sangat terkait dengan the idea of progress dan, terutama, kemajuanpendidikan, the rise of education, bukan lagi negara. Negarahanya sebagai fasilitator. Mustahil negara menjadi besar sementararakyatnya bodoh tak berpendidikan yang baik. Yang terpentingrakyatnya harus diberi pendidikan yang memadai, terlebih lagi diera modern seperti sekarang ini. Modernisasi sangat terkait denganpendidikan. Kalau pendidikannya tidak bergerak, maka sekularisasijuga otomatis akan sulit berkembang. Dengan pengertian lain idekemajuan akan benar-benar terwujud lantaran keberhasilan pendidikan.Di sisi lain, agama sebagai dimensi privat, hubungan yangM. Amin Abdullah – 1335


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sangat intim antara pribadi manusia dengan Tuhannya, tidak akanpernah meredup dan punah. Sebab, agama, kapanpun, tidak bisahilang. Persoalannya adalah upaya memanipulasi agama untuk kepentinganpolitik sangat rentan berbuah kekerasan.Agama idealnya wilayah pribadi, hubungan saya dengan Tuhan,dan sebagai media untuk meminta petunjuk, keselamatanserta mengharap bimbingan Tuhan. Tetapi, ketika agama dimanipulasidemi kepentingan publik untuk memperoleh atau merebutpower atau kekuasaan, muncullah dogmatisme, ketertutupan, danmenimbulkan clash, untuk tidak menyebut clash of religions (religiousadherent), yang berakibat juga pada violence. Karena itu harushati-hati, demarkasinya mesti dipertegas. Ketika agama dibawake wilayah politik, that’s mean economy and power, maka di situlahpangkal kesulitannya, dalam arti kekerasan masuk di dalam agama.Itu sudah tidak rahmatan li al-‘âlamîn, tidak ahimsa lagi. Ituperbuatan yang sepenuhnya worldly and social affair, karena terkaitdengan pengelolaan sumber penghidupan, pembagian rizki, taqsîmal-arzâq dan perebutan pengaruh/ kewibawaan.Kalau tidak salah baca, ide-ide Anda tentang liberalisme bercorakKantian, dalam arti bahwa kebebasan individu untuk memelukatau menafsirkan agama adalah sesuatu yang sifatnya otonom dalamdiri individu dan tidak bisa dibatasi oleh formalitas agama.Apakah memang arah kebebasan agama yang ingin diperjuangkanAnda seperti itu?Agama sangat terkait dengan the idea of Holly, adanya hal yangsuci dalam hubungan pribadi seseorang yang senantiasa memohonbimbingan kepada Tuhan. Di luar itu, atau ketika agama diseret ke1336– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ranah sosial, politik dan sebagainya, berarti, pertama, agama sudahmenjadi wilayah culture atau tradition, sebagaiman sudah disinggungdi atas; kedua, agama sudah terkena manipulasi ekonomi, religionomic,dan politik, politiconomic. Hal itu sah-sah saja. Tetapi halsemacam itu sifatnya religionomic yang mengandung hukum supplyand demand, yang berarti mereduksi the idea of Holly dari agama.Agama dalam lingkup semacam itu tidak lagi genuine, otentik. Memang,hubungan pribadi seseorang dengan Tuhan juga meliputi hubungansupply and demand.Karena manusia merasa serbaterbatas, sehingga ia ingin pluralism. Karena itu, usaha untukSaya termasuk penganut legalsesuatu yang bisa menolong melegal-formalkan syariat Islamdari segala keterbatasannya. merupakan hak bagi siapapun.Namun, supply and demand Sebab, hal-hal yang legal itudalam hal ini sifatnya genuine.Pribadi itu lebih genui-ditekankan di sini suatu kesadaranbermacam-macam. Namun harusne. Jadi, sekali lagi, hubunganseseorang dengan Tuhan malah memonopoli, yang harusyang dapat mengayomi, bukanmencakup aspek supply and dimiliki oleh para tokoh agama.demand karena ia perlu pengayomandari Tuhan yang al-Rahmân al-Rahîm. Artinya, agama itumempunyai dua wajah, privat dan sosial sekaligus.Perbincangan ini memang sulit, kalau tidak mengenal religiousstudies yang matang, tidak sekadar Islamic studies. Bahkan semua ituharus terlebih dahulu melakukan komparasi antara sejarah Eropadengan Timur Tengah, juga Indonesia. Kalau tidak begitu, akankacau balau dalam melihat topik ini.Apa yang dikatakan oleh Kant mengenai ecclestical religion dalamKatolik, merupakan monopoli kebenaran lewat institusi gere-M. Amin Abdullah – 1337


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ja. Artinya dengan memonopoli kebenaran melalui institusi gereja(menginstitusikan agama), hal tersebut sudah melalui suatu prosesyang disekularkan, “worldly affairs”. Sebab, “institusi” gereja adalahranah yang sekular. Karena hal tersebut masuk wilayah sosial, power,ekonomi dan termasuk juga organisasi. Itu sangat nyata religionomiclantaran supply and demand-nya sangat terkait dengan kebutuhanmasyarakat secara umum. Umum di sini dalam arti melibatkanbanyak orang, bukan individu belaka. Sementara idealnya kitameletakkan agama semata dalam level individu. Sehingga, ketikaagama ditarik ke wilayah publik, maka segala akibat yang akanmuncul kemudian harus segera dapat diantisipasi. Karena agamajika masuk dalam wilayah sosial-politik maka para pemimpinnyaperlu memiliki ”skill” baru seperti kemampuan, negosiasi, kompromi,consensus, mediasi, social contract, dan kecakapan mediasi sosialyang lebih dari manusia rata-rata. Pada saat itulah agama terperangkapdalam arus besar konflik, politik ataupun organisasi, yangsarat dengan gesekan, baik internal maupun eksternal-nya. Untukitu, para agamawan sepatutnya memiliki alat-alat dan social skilluntuk dapat mengurangi kekerasan. Itu problem tersendiri, yangsampai hari ini cukup rumit. Sementara ketika mereka menempuhpendididkan, hampir-hampir tidak pernah mengenal hal-hal sepertiitu. Maka apakah para agamawan dibekali how to solve the problematau tidak, lagi-lagi sangat tergantung bagaimana kualitas pendidikanmereka. Alih-alih mengayomi umatnya, salah asuh (agama)para pimpinan agama malah menumpuk berbagai persoalan menjadibeban umat, karena para pemimpinnya malah menjadikan agama”a part of problem” untuk tidak menyebutnya ”trouble makers” danjauh memiliki kemampuan ”problem solvers”.1338– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Hak dan kebebasan beragama sifatnya hakiki bagi setiap warga negara.<strong>Kebebasan</strong> beragama yang diekspresikan dalam wilayah individu,sebagai bentuk otonomi moral, meminjam istilah Kant, harusdijamin dan dilindungi oleh negara. Apa pendapat Anda perihal kebebasanberagama?HAM melindungi tidak hanya pribadi, tetapi juga kelompoksosial. Namun, karena ada kompleksitas ketika kebebasan individudiinstitusionalisasikan menjadi agama, ekonomi, politik dan kultur,sehingga timbul hak-hak kebebasan beragama, hak-hak ekonomi,politik, kultural dan lain sebagainya. Yang belum dilanjutkan olehPBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) adalah ketika masing-masingmempunyai hak dan kemudian saling berkompetisi. Tentu sajakompetisi itu bagus. Tetapi,ketika terjadi clash, bagaimanamenyelesaikannya, inilah demi kepentingan publik untukKetika agama dimanipulasiyang belum masuk dalam humanrights. Ketika terjadi con-atau kekuasaan, muncullahmemperoleh atau merebut powerflict of interest yang mengarah dogmatisme, ketertutupan,ke tindak kekerasan, violence,“perangkat apa yang ha-tidak menyebut clash of religionsdan menimbulkan clash, untukrus dimiliki oleh tokoh-tokoh (religious adherent), yang berakibatagama?” Semua itu mendesakjuga pada violence.diperlukan sekarang. Melaluiorganisasi agama, apapun agamanya, termasuk organisasi-organisasipembuat dan penyebar fatwa, dengan begitu tokoh-tokoh agama didalamnya turut terlibat masuk ke dalam medan yang keras. Pendeknya,boleh jadi organisasinya tidak bermasalah. Tetapi, pangkalpersoalan yang paling pelik manakala tokoh-tokoh yang menye-M. Amin Abdullah – 1339


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tirnya tidak mempunyai bekal-bekal dasar yang memadai agar tidakterjadi konflik antar-komunal ketika masing-masing organisasisaling berkompetisi di pasar terbuka. Itu yang harus diperbaharuidi era sekarang.Adalah tidak mungkin, utopis, untuk menghilangkan organisasiatau agama. Karena itu yang terpenting adalah upaya pembekalantokoh-tokoh agama; jangan kemudian seperti sekarangmenjadi anggota DPR (sebagian anggota DPR) tanpa bekal apapun,asal jadi saja, dengan ijazah palsu, yang penting didukungoleh rakyat banyak, tanpa kriteria yang jelas. Seharusnya baikDPR maupun tokoh agama mempunyai kriteria semacam “lisensi”kecerdasan sosial-komunal. Kalau tidak, lagi-lagi, yang menjadikorban adalah rakyat atau umatnya, lantaran pemimpinnyasama sekali tidak visioner dan berpandangan sempit. Padahal pemimpinmerupakan representasi dari rakyat banyak. Kalau ungkapanpemimpinnya ruwet tidak karuan, maka rakyat terbawapanas dan terbakar mendengar statemen-statemennya. Dengandemikian, untuk menjaga stabilitas segenap warga negara, makatetap memberi tempat buat organisasi-organisasi agama atau kefatwaan,tetapi dengan disertai pembekalan bagi tokoh-tokohnyalewat agenda peningkatan kualitas pendidikan sebagaimana sudahdisinggung di atas, untuk mengakses ilmu-ilmu baru, yangdapat mengatasi setiap implikasi sosial dan politik yang munculdari kompetisi dan statemen-statemen di antara mereka. Hal iniharus by training, by reading, by research (penelitian) yang sungguh-sungguhdan seterusnya, sehingga tidak lagi terjadi “asalasalan”memberi fatwa.1340– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Terkait dengan kebebasan beragama yang kian terancam oleh gencarnyaupaya dari kalangan umat Islam tertentu untuk melegal-formalkannilai-nilai Islam, melaluiperda syariah, di antaranya, Semua agama berbeda. Tidak adabagaimana Anda melihat persoalanini?doktrinnya, dalam institusinya,agama yang sama. Berbeda dalamkelembagaannya, pemimpinnya,Saya termasuk penganutjenis umatnya, hari besarnya, ruang,legal pluralism. Karena itu,tempat, waktu yang dianggapusaha untuk melegal-formalkansyariat Islam merupakansuci oleh pengikutnya dan begituseterusnya. Tetapi di dalam perbedaanhak bagi siapapun. Sebab, itu terdapat almaskut ‘anhu,hal-hal yang legal itu bermacam-macam.Namun ha-tidak terekspresikan keluar, dan yangcommonalities, common pattern yangrus ditekankan di sini suatu tak terkatakan juga banyak. Artinyakesadaran yang dapat mengayomi,bukan malah memo-unsur-unsur kesamaannya, misalnyadalam masing-masing agama adanopoli, yang harus dimilikioleh para tokoh agama. Maka yang diperlukan sekaranghumanitasnya atau kemanusiaannya.Lagi-lagi, lingkup persoalannyamasih antara faith andadalah cara pendekatan yang baru.tradition. Nilai-nilai agama ada pada faith, tetapi ketika diinstitusionalisasikansudah masuk tradition, sesuatu yang berupa institution.Sedangkan setiap institution akan berimplikasi terhadapwilayah religionomic, dengan segala risikonya. Pokoknya, selamasegala sesuatunya merupakan hak, kita tidak bisa melarang, justrumempersilakannya. Tetapi, semua itu harus diperhitungkan segalaimplikasi atau konsekuensi yang muncul kemudian.M. Amin Abdullah – 1341


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Anda menegaskan bahwa ketika agama diseret ke ranah publik ataureligionomic, maka hal ini terkait dengan agamawan yang semestinyadapat melihat segala sesuatunya secara lebih baru. Persoalannya, ketikalegal pluralism memberi ruang yang sangat lebar bagi usaha melegalformalkansyariat Islam melalui perda, beberapa ketetapan hukum didalam perda-perda tersebut, dalam praktiknya, justru mencabut ataumerepresi hak dan kebebasan beragama warga negara lainnya. Lalu,bagaimana hal ini dapat diantisipasi?Begitulah kesulitannya. Karena itu, segalanya harus matangdiperhitungkan oleh setiap tokoh agama.Lantas apa peran negara dalam melindungi dan menjamin hak dankebebasan beragama yang belakangan sering terancam?Kita sepakat bahwa Indonesia merupakan nation-state. Foundingfathers kita merumuskannya dengan matang. Jangan-jangan, munculnyakekhawatiran bahwa selama ini kebebasan beragama sedangterancam, karena negara tidak berfungsi lagi. Yang ada sekaranglebih banyak politisi, tetapi jarang sekali yang bisa naik ke jenjang”negarawan”. Kalau kita sudah setuju bahwa Indonesia adalah nation-state,maka hukum-hukumnya harus sesuai dengan rumusantersebut. Kalau ada hukum-hukum yang bertentangan dengannya,maka hal ini menjadi tugas negara, bukan tugas masyarakat. Masyarakatsemata berharap dapat mengekspresikan keyakinan dirinyasendiri, karena inilah yang menjadi hak mereka. Maka yang harusmenjadi perhatian negara: bagaimana menciptakan konsensus dalamwilayah publik yang tidak menyebabkan disintegrasi denganwilayah yang sifatnya mempertahankan komunalitas. Di sini ne-1342– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–gara harus menghitung secermat mungkin, dengan menjunjungtinggi hak-hak setiap warga negara secara demokratis. Negara hendaknyamelihat setiap kasus yang terkait dengan kebijakan publik,apakah nantinya berimplikasi negatif secara keseluruhan bagi segenapelemen masyarakat, atau hanya bagian-bagian tertentu saja.Apabila hanya poin tertentudalam kebijakan tersebut, Saya tidak setuju membiarkanmisalnya beberapa poin dari entitas yang relatif terlepas atauperda syariat Islam tidak terkaitdengan komunitas di juga, yang “absolut” terlepas dariterpisah dengan yang absolut. Begituluar Islam, maka tidak perlu yang relatif. Singkatnya di dalammelibatkan komunitas lain. absoluditas ada relativitas; dan diArtinya, karena Anda orang dalam relativitas terselip absoluditas.Islam, maka terikat dan dikenaiseluruh poin-poin aturan yang diberlakukan, wajib memakaijilbab umpamanya. Lalu, apakah dalam pelaksanaan aturanpewajiban jilbab nantinya harus untuk umat Islam saja, sementarayang mengaku bukan Islam harus dilihat KTP-nya dahulu, iturisiko yang harus dipertimbangkan dengan matang. Jangan sampaiterjadi salah tangkap yang dapat merugikan kelompok lainnya.Karena itu, hak dan kebebasan komunitas di luar Islam jangansampai tercabut.Untuk itulah sedari awal founding fathers menentukan Indonesiaberdasarkan Pancasila, karena dari dahulu ihwal integritas antarumatberagama sudah dipikirkan panjang lebar. Hanya saja dalamperjalanannya, pemerintah lemah, sehingga korupsi pun tidak bisadiatasi. Polisi atau aparat hukum lainnya tidak bisa mengatasi kejahatandi daerah-daerah. Sumber utamanya adalah the weaknessof administration, yang lantas memunculkan keinginan-keinginanM. Amin Abdullah – 1343


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–atau idealisme lama, seperti syariat Islam, khilâfah, dan sebagainya.Sementara pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa ketika beberapadari keinginan atau idealisme lama tersebut terwujud justru berimplikasiburuk bagi integritas bangsa. Kalau memang penyebabutamanya the weakness of administration pemerintahan, kita harusbersama-sama mengoreksi ulang. Semua harus memperbaharuiniat lagi.Pemerintah ini sebenarnya arahnya ke mana, mengapa semuanyalemah, khususnya di dalam penegakkan hukum, dan apakahlantas kita perlu pindah dari hukum yang sudah ada?Ada keprihatinan lain terkait dengan perda-perda syariat Islam. Dalampraktiknya, perda-perda ini ditegakkan dengan menunggangi mekanismedemokrasi, karena sebenarnya tidak seluruh elemen masyarakatmenghendaki. Yang terjadi selama ini hanyalah kepentingan segelintirelit yang memperjuangkannya dan sebagian di antaranya sekadarmemanfaatkan isu ini demi menggolkan kepentingannya, kendatipunsejatinya bertentangan dengan idealisme dirinya dan partainya. Bukankahkenyataan semacam ini justru mengebiri prinsip demokrasi?Untuk itulah semua ini sangat tergantung the quality of educationdari anggota masyarakat, khususnya dalam bidang humanitiesdari masyarakat. Minimnya pendidikan menyebabkan merekabegitu mudah dijaring oleh kepentingan segelintir elit. Namundemikian, tentu saja hal ini terkait juga dengan mekanisme yangberlaku. Apakah dengan bergulirnya kebijakan otonomi daerahyang melahirkan perda-perda syariah bermasalah, kemudian pemerintahpusat membiarkannya begitu saja dan tidak melakukanapa-apa. Atau, bisa jadi memang kasus-kasus yang bermunculan1344– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tidak terantisipasi sebelumnya ketika hendak menerapkan kebijakanotonomi tersebut. Kalau segalanya diantisipasi dengan matang,maka perda-perda yang belakangan meresahkan hak dan kebebasanwarga, tidak perlu terjadi dan niscaya akan terdeteksi. Namunkalau yang terjadi sebaliknya, sementara baru dirumuskan belakanganoleh pemerintah pusat bagaimana upaya-upaya mengantisipasipelbagai kasus yang bermunculan yang sebelumnya tidakpernah terpikirkan, hal ini memperlihatkan ketidakmatangan danketidakcakapan pemerintah.Jadi, ketika negara hendak menetapkan kebijakan publik, segalasesuatunya harus dirumuskan dengan jeli. Dalam pengamatan saya,legal pluralism memang sejak dahulu ada dan dianut. Namun, kitamesti menggali ulang bagaimananation-state Indonesia Setiap agama, ajaran, sistem ritualnyaitu mendukung konsesnsus atau normatifnya tetap berbeda,legal pluralism dengan ide tetapi rasa kemanusiaan, keadilan,nasionalisme. Seperti apa keprihatinan terhadap lingkunganmateri dialognya dan bagaimanain praxis legal pluralism yang terpinggirkan, seperti orangyang buruk, menolong orang-orangdengan the idea of nationstatesehingga kemudian di-tua, itu sama. Jadi itu bukan halmiskin, wanita, anak-anak dan orangsebut dengan suatu hukum yang relatif, justru absolut. “Absolut”Indonesia. Lebih-lebih usia ide dasarnya, tetapi “relatif” dalampelaksanaan dan implementasinya.Indonesia masih muda, baru50 tahunan, masih sangatfragile. Sedangkan tradisi-tradisi lain seperti Amerika atau Prancissudah mencapai 200-300 tahun, kendatipun ketika berdatanganimigran-imigran Muslim belakangan, umpamanya, mereka masihkesulitan menghadapinya.M. Amin Abdullah – 1345


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–MUI dan kalangan Islam tertentu menolak liberalisme, yang salahsatu alasannya karena liberalisme menghalalkan segala bentuk kebebasantanpa batas. Dalam pandangan Anda sendiri, seperti apakahkonsep liberalisme?Yang harus digarisbawahi di sini, jika Anda perhatikan, semuabuku dan tulisan saya, sebenarnya tidak pernah menyebut kata liberal,apalagi mempropagandakan atau mendirikan organisasi yangberhaluan liberal. Jadi, orang lain yang memberi saya label liberal.Patut dicatat bahwa istilah liberal bermacam-macam, di antaranyaliberal progresif, moderat, radikal dan transformatif. Lalu, kategoriliberal manakah yang dimaksudkan oleh MUI sehingga mendapatkanfatwa haram? Bisa jadi liberal radikal, bukan yang transformatifapalagi yang moderat. Jadi, liberal isn’t monolitic. Meskipunsaya sendiri tidak menggunakan kata itu, tetap saja kalanganmuda dan banyak orang menyifati saya sebagai liberal. Padahal,saya hanya menggunakan metode dan analisis keilmuan biasa yanglebih menekankan proses bukan produk. Liberal merupakan sebuahproduk. Banyak orang belum menyelami proses yang matang, belummengetahui perbedaan faith and tradition antara al-dîn danal-tadayyun, antara al-dîn dan al-afkâr al-dîniyah atau perbedaanal-mutaghayyirât dan al-tsawâbit, belum lagi wilayah overlappingantara keduanya, sudah berani-berani menghakimi orang sebagailiberal. Menurut saya ini tindakan yang too early, irresponsible dantergesa-gesa. Sehingga, saya tidak tahu persis aspek liberal manakahyang dimaksud MUI sebagai haram.Kontroversi ini mesti melibatkan diskusi akademik dan diskusipublik yang sangat mendalam. Tidak bisa diputuskan secarasepihak. Harus mengumpulkan semua definisi yang ada untuk1346– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kemudian dirumuskan apa yang dimaksud dengan liberal. Itu sudahmasuk dalam wilayah politik, sudah menjadi produk, liberaldemokrat umpamanya, yang tidak ada hubungannya lagi denganwilayah akademik. Sementara kalangan mudanya bukan tokoh politikatau tokoh liberal demokrat. Jadi, kata liberal yang dimaksudoleh anak-anak muda maupun MUI itu confuse sekali. Perdebatanini, seperti halnya sekularisme di atas, karena not based on academicresearch yang mendalam. Tetapi saya tahu, sinyal-sinyalnya ke wilayahpolitik semua. Karenaorganisasi, termasuk organisasikefatwaan, pada dasar-dan melakukan benchmarking, studiNegara ini masih harus belajar banyaknya adalah politik. Sehingga banding secara sungguh-sungguhsekarang ini istilah liberal sudahmenjadi stereotype. Pada-dengan negara-negara lain.hal yang namanya predikat itu produk, bukan proses. Education,misalnya, sebagai faktor paling penting dalam membangun bangsaperlu menempuh proses yang sangat panjang sekali; sedangkansetiap produk itu instan. Jadi, terus terang memang seperti itulahkeadaan anak-anak muda sekarang, yang lebih memilih produk,biasanya instan. Kendati begitu, tidak apa-apa, mereka juga punyahak untuk demikian.Beberapa kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)menentang liberalisme karena dianggap memberi jalan bagi ekspansikapitalisme yang menimbulkan imperialisme dan kolonialisme. Secaraakademik, apakah konsepsi liberalisme sebenarnya menurut Anda?Semua itu mesti dilihat lebih pada proses pendidikan yangkomprehensif, tidak sepotong-sepotong. Islamic studies diperlukan,M. Amin Abdullah – 1347


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tetapi tidak cukup hanya dengan itu. Dibutuhkan juga religiousstudies, humanities, social sciences dan seterusnya. Sosiolog, antropologataupun ekonom murni tidak cukup, dia membutuhkan atauharus mengetahui juga Islamic studies, untuk kalangan kita, untukKristen tentu lain lagi. Sebab setiap disiplin ilmu sekadar memuatpengetahuan secara sepotong-sepotong. Untuk sampai pada pandangan(liberal) yang moderat, progresif dan transformatif, merekasemua harus mendalami beberapa pendekatan lainnya.Namun apa lacur, mendengar istilah religionomic saja banyakdari kita yang masih tersentak kaget karena tidak terlalu mengerti.Jadi perlu disadari, tidak hanya Habibienomik atau Yudhoyonomik,tetapi juga ada religionomic. Oleh karena itu, pendidikan harusdipahami sebagai transforming individual life. Kalau dari faktorindividunya sudah berjalan, nanti pada saatnya akan merambah keinstitusi. Karena apabila langsung meloncat pada institusi, tidakbisa. Jadi, seluruh disiplin keilmuan tersebut, seperti Islamic studies,(fikih, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain) sangat membutuhkanpemahaman tentang humanities kontemporer, karena ini merupakanilmu-ilmu baru yang menjadi kelanjutan dari Islamic studies.Humanities, social dan natural sciences, adalah suatu keniscayaan danmerupakan ingredient bagi orang yang hidup di zaman sekarang.Terlebih lagi, sekarang ada Information Technology (IT).Jadi, di situ, seyogyanya ada proses yang sangat panjang yangharus dilalui, tanpa harus menyebut liberal. Itu semua hanya prosespendidikan saja. Karena modernisasi dan kapitalisasi sebenarnyasangat terkait dengan knowledge. Knowledge is power. Kalau tidakpunya pengetahuan, tidak mungkin bisa masuk ke modernismeatau kapitalisme. Kesimpulannya, the essence adalah science, ilmupengetahuan atau pendidikan yang akhirnya masuk ke research.1348– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dari sini, kemudian menjadilah alat-alat transportasi yang canggih,sistem ekonomi yang luar biasa, sistem komunikasi inter-personaldan intra-personal yang matang. Kentucky bisa menyebar ke seluruhdunia, sementara Ayam Goreng Suharti hanya bisa tetap di jalansolo atau paling banter sampai ke Jakarta, tetapi tidak bisa mengglobal.Mengglobalnya Kentuckylantaran ilmu pengetahuan.Sehingga, ekspansi jika Anda perhatikan, semua bukuYang harus digarisbawahi di sini,ekonomi dan pengetahuan dan tulisan saya, sebenarnya tidakseperti itu tetap tidak bisa pernah menyebut kata liberal, apalagidisalahkan apalagi diolokolok.Jadi, pada dasarnyamempropagandakan atau mendirikanorganisasi yang berhaluan liberal.Jadi, orang lain yang memberi sayakita kurang dalam banyaklabel liberal. Patut dicatat bahwahal sebagaimana tercerministilah liberal bermacam-macam,dari analogi Kentucky dandi antaranya liberal progresif,Ayam Goreng Suharti. Kitamoderat, radikal dan transformatif.hanya menyalahkan dan mengeluhkapitalisasinya dan dimaksudkan oleh MUI sehinggaLalu, kategori liberal manakah yangbukan akarnya, yaitu research mendapatkan fatwa haram? Bisaand development, science.jadi liberal radikal, bukan yangPerlu digaris bawahi, transformatif apalagi yang moderat.kombinasi science ada tiga,Jadi, liberal isn’t monolitic.research, critical and curiosity.Kuriositas: keinginan tahu yang besar pada wilayah alam, agamadan social humanities. Kritis, dalam pengertian jangan semuanyaditelan secara mentah saja, pun sampai ke wilayah agama. Kemudianbaru research. Kombinasi ketiganyalah yang merupakan theessence of (modern) science. The essence of science bisa masuk ke dalamalamiah dasar, humanities, social sciences, religious sciences, bah-M. Amin Abdullah – 1349


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kan Islamic studies yang baru perlu memanfaatkan research. Padahematnya, hal-hal seperti itulah yang sebetulnya harus dipupukdan dikembangkan. Kalau langsung dihadapkan dengan produkinstan, itu bukan wilayah pendidikan tetapi wilayah politik, produk.Karena itu, kalau tidak punya akar-akar atau tidak dibekaliempat hal tadi (tiga kombinasi science dan Islamic studies), semuaitu akan tetap berupa retorik belaka. Karena the essence of modernism,the idea of progress, kemudian kebudayaan baru, esensinyaadalah pendidikan.Karena itu, saya tidak menyalahkan HTI dan siapa saja, sebabyang menjadi tuntutan mereka tidak lain cakupan produk politik.Produk politik memang begitu, retorikanya harus keras, sebabkalau tidak, tidak akan didengar orang. Namun demikian, antarapenolakan HTI terhadap liberalisme, yang merupakan wilayah politik,dan dengan wilayah pendidikan yang semestinya, sebagaimanadipaparkan tadi, adalah dua hal yang berbeda. Maka, apabilahendak berkompetisi dengan Barat secara seimbang, harus terlebihdahulu dibekali oleh yang empat tadi, sehingga bisa merancang danmengembangkan laboratorium yang dimiliki sendiri untuk dapatmelangkah lebih jauh apa yang dicita-citakan. Di sinilah kompetisibaru dimulai. Kalau tidak demikian, mustahil bisa bersaing. Kitaakan tetap kalah, kendatipun dengan sekuatnya kita menolak danmenentang kapitalisme.Terkadang tuntutan-tuntutan politik beberapa kalangan Islam, sepertipenegakan syariat Islam, tidak sensitif terhadap hak dan kebebasankaum minoritas atau disadvantage, kalangan yang tidak beruntungatau tidak diuntungkan secara ekonomi, sosial dan politik, seperti1350– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kaum perempuan, rakyat miskin dan paham-paham teologi di luarmainstream seperti Ahmadiyah dan Lia Eden, atau kaum non-Muslim.Bagaimana komentar Anda ihwal ketidaksensitifan tersebut?Produk-produk hukum dalam bentuk perda atau fatwa, amattergantung pada kualitas epistemologi keilmuan. Epistemologi keilmuan“yang baru” seperti konsep atau kovenan-kovenan HAM danCEDAW yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, Kekerasan dalamRumah Tangga (KDRT), UU Perlindungan Anak, merupakan fikihfikihbaru yang tidak ada dalam fikih lama. Fikih baru membutuhkankualitas pendidikan, training serta ilmu pengetahuan yang baru,yang lebih komprehensif. Jadi, saya melihat, karena tingkat epistemenya“lama” sementara Anda menuntut supaya mereka menghadapipersoalan secara lebih baru, maka otomatis tidak sampai. Itusemua terkait dengan kedalaman, keluasan dan pandangan ke depanepistemenya. Jadi semua produk hukum itu sangat tergantung padajenis epistemologinya. Sehingga, keprihatinan yang Anda keluhkantadi, terkait dengan tuntutan yang tidak sensitif, tergantung padajenis pendidikan orang-orangnya, bukan lembaganya itu sendiri.Jadi, bagaimana bisa sensitif dengan fikih baru seperti PerlindunganAnak dan HAM, sementara untuk itu semua memerlukan penafsiranilmu-ilmu agama (‘ulûm al-dîn) yang enlightened, penafsiranteks undang-undang (hukum Islam) dengan lebih baru lagi sesuaidengan perkembangan zaman. Selama undang-undang tadi tidakdianggap fikih baru oleh mereka, dengan tetap mempertahankanfikih lama (klasik), tentu saja ini teramat sulit.Menurut Anda apakah dasar pemerintahan dan konstitusi yang ada,Pancasila dan UUD ’45, sudah ideal menjiwai tatanan yang ada?M. Amin Abdullah – 1351


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ya betul, itu semua sangat ideal. Kebhinekatunggalikaan ada disitu secara eksplisit, pluralisme ada di situ. Hal tersebut dimungkinkankarena founding fathers kita datang belakangan setelah pengalamanbagaimana eksperimen Turki menjadi nation-state, setelahbelajar mencerna dari kasus-kasus negara lain, lalu jadilah rumusan-rumusantersebut. Maka, sebenarnya Soekarno, Hatta, Syahrir,Abdul Kahar Mudzakkir, Wahid Hashim, dan lain sebagainyamerupakan representasi dari pergumulan dunia saat itu. Sehingga,relatif sudah baik. Meskipun tetap harus ada amandemen-amandemenatau perbaikan-perbaikan. Justru yang lemah dan tidak jelasadalah dalam tingkat pelaksanaannya. Seperti bagaimana mengatasikeamanan di daerah dan korupsi di berbagai elemen kemasyarakatan;sejauh mana pemerintah bisa melindungi hubungan antarkelompokdengan sebaik-baiknya, khususnya di Indonesia bagiantimur dan bagian barat. Jadi, yang paling berat adalah implementasinya,kalau undang-undangnya sekali bikin sudah bagus. Semuaitu membutuhkan perlengkapan yang sangat kuat, seperti polisidan manajemen kepemerintahan yang baik (good governance). Itumerupakan pekerjaan yang sifatnya terus-menerus.Menyinggung kaitan kebhinekaan dengan gagasan pluralisme, yangmenurut Anda sudah tercakup dalam Pancasila dan UUD’45, tentumenjadi kian rumit manakala banyak kalangan dari elemen bangsaini justru anti-pluralisme. Masalahnya, pluralisme sering disalahpahamisebagai sinkretisme, penyamarataan atau pembenaran semuaagama; kerap pula disalahartikan sebagai paham yang relativis. Itusebabnya kenapa banyak kalangan Islam menolak pluralisme. Apapendapat Anda tentang pluralisme?1352– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Semua agama berbeda. Tidak ada agama yang sama. Berbedadalam doktrinnya, dalam institusinya, kelembagaannya, pemimpinnya,jenis umatnya, hari besarnya, ruang, tempat, waktu yangdianggap suci oleh pengikutnya dan begitu seterusnya. Tetapi didalam perbedaan itu terdapat al-maskût ‘anhu, commonalities, commonpattern yang tidak terekspresikan keluar, dan yang tak terkatakanjuga banyak. Artinya dalam masing-masing agama ada unsurunsurkesamaannya, misalnya humanitasnya atau kemanusiaannya.Maka yang diperlukan sekarang adalah cara pendekatan yang baru.Dengan menisik wilayah-wilayah agama yang memang berbeda,namun sekaligus juga wilayah-wilayah agama seperti segmen kehidupanantar-umat beragama, antar-manusia, yang sebenarnyasama. Terdapat pula kesamaan dalam basic human need, tentangkebutuhan spritualitas, etika atau tata aturan kehidupan umpamanya,tanpa harus melihat perbedaan (kelembagaan) agama. Basichuman need ini adalah ide-ide mendalam tentang spiritualitas, keadilan,menolong orang yang lemah, prinsip resiproritas (prinsiptimbal balik; jika dicubit sakit, maka jangan mencubit). Saya kiratidak ada agama yang mengatakan bahwa orang yang lemah harusdilempar atau dibuang.Maka, meskipun kita berbeda di dalam kelembagaan, sebenarnyakita juga punya “rasa kemanusiaan yang sama”. Namun demikiankata-kata ini yang sering disalahartikan oleh banyak orang.Bahwa ketika disebut “sama”, oleh orang-orang itu yang dikira samaitu agamanya. Maka, persoalannya adalah bagaimana menjelaskanitu dengan bahasa yang lebih mudah. Setiap agama, ajaran, sistemritualnya atau normatifnya tetap berbeda, tetapi rasa kemanusiaan,keadilan, keprihatinan terhadap lingkungan yang buruk, menolongorang-orang yang terpinggirkan, seperti orang miskin, wanita, anak-M. Amin Abdullah – 1353


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–anak dan orang tua, itu sama. Jadi itu bukan hal yang relatif, justruabsolut. ”Absolut” ide dasarnya, tetapi ”relatif” dalam pelaksanaandan implementasinya. Dorongan setiap agama untuk menolongorang-orang yang terpinggirkan atau ihwal pentingnya pendidikanadalah sangat penting; begitupun keadilan dan ketuhanan, semuaitu absolut, tidak relatif. Tapi, lagi-lagi, dalam implementasinyasangat relatif, karena perbedaan ruang, waktu, tingkat pendidikan,perbedaan usia, tingkat ekonomi dan seterusnya.Untuk itu, lagi-lagi, yang terutama diperhatikan di sini adalahpendidikan. Sayangnya, yang berjalan selama ini, pendidikan kitalebih menekankan sisi teologis, yang sebenarnya menjadi sumbertingginya al-‘aql al-lâhûtî, nalar yang semi-ketuhanan; bukan lebihmengeksplorasi al-‘aql al-falsafî, al-‘aql al-‘ilmî atau al-‘aql altârîkhî(dimensi dan sudut antropologis dari pemikiran tentangketuhanan). Padahal ketiganyalah yang jika tidak ekstra hati-hati,dapat berubah memasuki wilayah absoluditas tadi. Al-‘Aql al-lâhûtîsendiri, tidak bisa tidak, akan terjatuh pada partikularitas (waktu,tempat situasi budaya, sosial dan keilmuan), dan tidak sampai kewilayah absoluditas. Padahal ketika orang mencermati, berpikir,beragama, dan berpendidikan, harus menghubungkan antara duniauniversalitas yang absolut dan partikularitas yang unik-relatif.Bagaimanapun, upaya menggabungkan antara keunikan dankeuniversalan adalah tuntutan manusia modern, manusia beragamasekarang. Kalau hanya jatuh pada partikularitas, tentu saja hasilnyarelatif dan kehilangan nuansa absoluditas atau hal-hal yang fundamentaltadi. Apabila orang berpikir hanya sepotong dalam artipartikularitas, pasti akan kehilangan absoluditas, kemudian akanmengatakan relatif. Tetapi, mes-kipun masing-masing (agama) kitaunik, partikular dan berbeda-beda, namun tetap saja ada absolu-1354– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ditas di tengah-tengahnya, yaitu ide-ide besar tentang ketuhanan,keadilan, menolong yang lemah, yang termarjinal-kan dan sebagainya.Dengan begitu ada wilayah yang tumpang tindih antara yangabsolut-universal dan relatif-partikular, antara yang ”al-tsawâbit”dan al-mutaghayyirât, antara yang qath‘î dan zhannî (menggunakanistilah ushûl al-fiqh), bukan berarti semuanya relatif. Juga, bukansemuanya absolut. Bahaya kalau mengatakan semuanya relatif. Kitatidak akan bisa berkomunikasi antar-umat manusia, antar-agama,ras, etnis, dan jender. Hal yang demikian akan terasa sangat beratdi era yang terbuka seperti ini. Maka, sekali lagi, pendekatanpendekatanbaru untuk melihat kembali realitas lama yang terkaitdengan agama, hubungan sosial dan keadaan ekonomi, sangat dibutuhkan.Kalau tidak, maka akan terasa sangat berat. Saya tidaksetuju membiarkan entitas yang relatif terlepas atau terpisah denganyang absolut. Begitu juga, yang ”absolut” terlepas dari yang relatif.Singkatnya di dalam absoluditas ada relativitas; dan di dalamrelativitas terselip absoluditas.Dari pemaparan panjang di atas, semua masalah yang timbul ditingkat civil society ataupun institusi keagamaan selalu terkait denganketerbatasan epistemologi atau rendahnya perhatian terhadappendidikan yang lebih baru dan kontekstual. Kalau dalam wilayahnegara, bagaimana kiranya negara dapat mengatur lalu-lintas ide, nilai,tujuan, paham teologi dan sebagainya dalam kerangka hubunganberbangsa dan beragama agar bisa berdampingan secara damai?Harus diakui, negara ini masih harus belajar banyak dan melakukanbenchmarking, studi banding secara sungguh-sungguh dengannegara-negara lain. Pejabat negaranya juga harus mempunyaiM. Amin Abdullah – 1355


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–komitmen yang kuat, tidak hanya asal menjabat. Tadi saya katakan,belum tentu para “politisi” adalah “negarawan”. Kebanyakanpolitisi kita belum negarawan. Semua persoalan agama di setiapnegara sebenarnya mempunyai masalah yang sama dalam hal relasidi antara agama-agama. Lihatlah Budha dan Islam di Thailand dankasus-kasus hubungan antar-agama di Cina, Tibet, di Arab Saudiada Sunni-Syi’iy (di Arab Saudi 10% warganya adalah peng-ikutsyi’iy, khususnya di wilayah sebelah timur) begitupun Irak malahberdarah-darah, Israel antara Jewish dengan Zionis, belakangan diPalestina sendiri ada Al-Fattah dan Hammas, Irlandia (Protestan-Katolik) dan sebagainya. Jadi semua negara punya problem yangsama, baik di Indonesia, Amerika, Eropa atau lebih-lebih di TimurTengah. Tidak ada negara yang paling ideal yang bisa menyelesaikanproblem itu.Bagaimana dengan Kanada yang relatif sama dengan Indonesia, multi-kultur,tetapi relatif dapat mengatasi masalah perbedaan?Ya, Kanada relatif multikultural. Kota Vanchouver adalah kotamultikultural. Asia, Afrika, Eropa, Islam, Hindu, Kristen, Budhacampur baur di situ. Itulah benchmarking-nya. Yang dimaksudkandengan benchmarking adalah usaha melihat di mana dan bagaimanakekuatan, cara atau teknik kepemimpinan (kebijakan) dan lifestyle sebuah negara. Misalnya dari Kanada, kita pelajari bagaimanacara dan tekniknya. Karena itu negara kita juga harus melakukanbenchmarking, jangan hanya bilang kita mampu menyelesaikansemua persoalan sendiri, sementara kita tidak punya kemampuanmenahan diri dan mendengar. Sebab, kemampuan mendengar itusulit. Biasanya kita hanya bilang ”dengarkan saya”, ”ikuti saya”1356– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bukan bagaimana mendengarkan dan menyerap aspirasi ”oranglain”. Orang lain di sini bisa dalam arti the marginalized people,kaum dlu‘afâ’, orang-orang yang beda agama dan aliran teologi,atau yang lainnya. Di dalam intern umat Islam sendiri kita tidakpunya social skill dan tekhnik yang canggih – yakni kecanggihanuntuk bisa melerai konflik, yang kerap berujung kekerasan. Sehinggamerebaklah kasus-kasus seperti yang kita lihat di Lombok,Ambon, Aceh dan sebagainya. Kalau di Kanada peran negara benar-benarnetral, dalam arti negara tidak memihak satu nilai ataukomunitas tertentu, terlebih yang mayoritas.Di samping itu, netralitas juga diarahkan oleh Kanada guna mendorongsemua perbedaan yang ada dalam negara tersebut, yang di antaranyanegara menempuh pemihakan terhadap minoritas – bukankelompok mayoritas, karena individu-individu di dalamnya sudahdibela oleh kalangannya sendiri. Mungkinkah Indonesia mencontohmodel seperti ini?Tak dapat dipungkiri, lagi-lagi, semua ini terkait dengan enlightenmentdalam pendidikan. Negara ini harus segera mungkinmelakukan banyak benchmarking, penelitian digalakan dan sebagainya.Sehingga kita kelak mungkin dapat seperti Kanada. Jadi,many possibilities bagi negeri ini, dengan catatan mampu menciptakanmasyarakat yang berbudaya, beradab, “tidak hanya sekadarmendahulukan otot, komunalitas, dan bukan intelektual”. Jika tidaksanggup menciptakan itu semua, Indonesia masih sulit melakukankebijakan multikultural. Sebab, aspek intelektual (bukan sekadar”emosi” keagamaan yang berbau komunal) atau budaya akan menuntunmasyarakat menjadi “lebih santun dan halus dalam peri-M. Amin Abdullah – 1357


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–laku, bergaul dan berkomunikasi” dalam masyarakat multikultural(kebhinekatunggalikaan).Namun, selagi pendidikan intelektual yang seperti itu tidakdikedepankan, terlebih apabila menyaksikan kejadian-kejadian diseantero negeri ini yang tidak surut menonjolkan pelanggaranpelanggaranHAM, maka harapan seperti yang diidealkan di atasterasa jauh panggang dari api. Kendati begitu, saya tetap optimis,tetapi takes time, membutuhkan banyak waktu.Wawancara dilakukan di Yogyakarta, Oktober 20061358– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganM. Quraish ShihabM. Quraish Shihab, Direktur Pusat Studi al-Quran (PSQ). Mantan Menteri AgamaKabinet Pembangunan VII (1998) ini meraih gelar Lc, master, dan doktornyadalam bidang Tafsir dan Ulum al-Qur’an dari Universitas Al-Azhar, Mesir.Karya terkenalnya Membumikan Al Qur’an (Bandung: Mizan, 1992)dan Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002).1359


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Islam tidak mengakui produk hukum yang tak mampu melindungidan menjaga martabat manusia. Islam tidak mengenal praktik danketentuan hukum yang bertentangan dengan keadilan dan tidakditerima sepenuh hati oleh masyarakat luas karena, misalnya,terdapat banyak pihak yang merasa dirugikan. Bagaimanapunal-Quran sangat menghormati hak-hak dan kebebasan setiap individu.Karena itu, implementasi nilai-nilai dasar Pancasila, sebagaikesepakatan bersama bangsa Indonesia, merupakan perwujudansemangat Islam. Maka, tidak dibenarkan bagi seseorang atau suatulembaga untuk secara buru-buru menilai orang atau ajaran yangberbeda sebagai sesat. Sehingga, di tengah keberagaman bangsa,penerapan perda syariah mesti disangsikan keabsahannya; punpenegakan khilâfah islâmiyah sudah tentu upaya yang mustahil.1360– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana Anda menanggapi maraknya penolakan terhadap ide-ideyang dianggap tidak sesuai dengan nilai atau semangat Islam sebagaimanaterlihat pada kasus pelarangan sekularisme, liberalisme, danpluralisme oleh MUI? Lantas, pertama-tama, bagaimana Anda mendefinisikansekularisme itu sendiri?Ketidaksepakatan atau perbedaan pandangan mengenai suatuistilah pasti akan menimbulkan perbedaan kesimpulan. Dalam kasussekularisme, apakah benar sekularisme harus memisahkan agamadan negara? Menurut saya sekularisme tidak serta-merta menghilangkanperan agama dalam urusan kenegaraan atau urusan publiksecara umum. Contoh paling konkret justru dapat dilihat padabeberapa negara yang menerapkan sekularisme itu sendiri, semisalAmerika atau Inggris. Di dalamnya masih terlihat cukup jelas adanyaketerkaitan antara negara dengan Tuhan. Di luar kedua negaratersebut, ternyata masih banyak juga negara atau lembaga-lembagasekular yang mau membantu lembaga-lemabaga keagamaan sepertilembaga-lembaga yang berada di Islam.Sedangkan kalau yang dimaksud sekularisme adalah pahambahwa hanya di sini dan sekarang, tidak ada hari kemudian, ituyang akan saya tolak. Pangkal persoalan dalam kasus sekularismemenurut saya terletak di situ. Tentang perdebatan hal itu sendiri,dari dahulu, sudah ada perseteruan yang amat sengit antara CakNur dan HM. Rasyidi. Pada kasus itu persoalan utamanya adalahketidaksepahaman atau perbedaan menyangkut istilah. Hal yangsama juga bisa kita lihat pada persoalan pluralisme. Pluralisme yangdimaksud oleh MUI dan teman-teman lain berbeda. Kalau sebelum‘bertikai’ kedua belah pihak bisa duduk bersama, menurut saya,sangat mungkin akan bisa ditemukan kesamaan pandangan.M. Quraish Shihab – 1361


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Secara umum, saya melihat bahwa di tubuh MUI sendiri terdapatperbedaan pendapat mengenai pengharaman sekularisme,liberalisme, dan pluralisme. Kalau Anda bertanya apa yang sayamaksud dengan sekularisme, maka bagi saya sekularisme bukanlahpemisahan antara dunia dan akhirat. Sekarang dan hari kemudianitu menyatu seperti satu mata uang dengan dua sisi. Jika Andamenghendaki hanya akhirat saja, itu bukanlah Islam, begitupunjika Anda hanya menghendaki dunia saja. Kita harus padukan keduanya,dengan masing-masing memiliki porsinya yang berbedabeda.Oleh karena itu tidak benar adanya pembedaan antara amaldunia dan amal akhirat. Tidak benar ungkapan yang mengatakan“kerjakan untuk amal duniamu seakan-akan engakau akan hidupselamanya, dan kerjakanlah untuk amal akhiratmu seakan-akan engkauakan mati esok hari.”Semua kegiatan selama dilakukan untuk tujuan kemaslahatansesuai dengan ajaran agama, menurut saya, sudah merupakan amaldunia sekaligus akhirat. Begitu dipisahkan, terjadilah pembedaan:amal dunia bertempat di pasar dan amal akhirat di masjid. Yangbenar adalah tuntutlah melalui apa yang dianugerahkan Tuhan kepadamudi dunia ini untuk kebahagiaan akhirat. Semakin banyakhal yang Anda peroleh di dunia, semakin berpeluang juga Andaberbahagia di akhirat.Jadi, sederhananya, konsep yang Anda ajukan untuk sekularisme itubagaimana?Sekali lagi, menurut saya sekularisme itu tidak sama denganpemisahan. Adalah keliru orang yang mengatakan bahwa apa yangkita kerjakan sebagai amal dunia itu terlepas dari akhirat. Kita ha-1362– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rus melakukan kegiatan yang bermanfaat di dunia sekaligus akanmendapatkan hasilnya di akhirat. Untuk mencapai hal ini kitatidak bisa tidak harus mengerti hukum-hukum alam. Kita jugaharus mengerti hukum sebab dan akibat. Namun demikian, sayatidak berhenti sampai padahukum itu saja. Lebih dari Semuanya adalah satu kesatuan.itu, menurut saya, hukum Begitu ada pemisahan, maka tidaksebab akibat adalah sesuatu benar. Meski demikian, bukan berartiyang diciptakan oleh Tuhan. bahwa lembaga-lembaga sosial lantasTuhan tidak menciptakan diambil alih oleh agamawan. Bukanalam semesta ini kemudian juga berarti bahwa pada bidangbidangkenegaraan harus ditonjolkanlepas tangan. Tuhan bekerjasimbol-simbol keagamaan. Menurutdengan sistem yang tak lainsaya, ilmuwan yang percaya padaadalah hukum alam.Tuhan dan nilai-nilai agama juga bisadinamakan ulama.Sejalan dengan gagasan sekularisme,kebanyakan orang memisahkan antara ilmu-ilmu agama danilmu-ilmu umum. Bagaimana Anda menanggapi hal demikian?Saya tidak sependapat dengan pembedaan seperti itu. Bagi sayaprinsip dasar ajaran Islam adalah al-tawhîd. Di situ beredar sekianbanyak kesatuan, dari kesatuan dunia dan akhirat, sampai kesatuanilmu. Artinya tidak ada pemisahan antara ilmu agama danilmu duniawi (sekular), semuanya bersumber dari Tuhan. Al-Quranpenuh dengan uraian apa yang sekarang kita sebut dengan ilmukedokteran, astronomi dan lain sebagainya, yang selalu dikaitkandengan Tuhan. Semuanya menyatu. Kesatuan sumber dan asal-usulmanusia, kesatuan masyarakat, dan lain sebagainya, semuanya laridan bersumber pada tauhid.M. Quraish Shihab – 1363


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tauhid saya ibaratkan seperti Matahari. Di bawah daya tariknyaterdapat planet-planet tata surya yang senantiasa mengelilinginya.Dari situ kita tahu bahwa segala sesuatu terikat dan bersumber daritauhid. Begitu dipisahkan, akan hancur. Maka jangan pisahkankemanusiaan dari ketuhanan, ilmu agama dari ilmu umum danjangan berkata seni hanya untuk seni. Bagi saya semua bersumberdari tauhid, dari Tuhan, “inna shalâtî wa nusukî wa mahyâya wamamâtî lillâhi rabb al-‘âlamîn”. Artinya, ketika Anda berhias berartijuga telah melakukan amal akhirat. Semuanya menyatu. Kalaupunterdapat pemisahan hanyalah pemisahan metodologis.Ahmad Wahib pernah berkata bahwa, kini, pengertian ulama semestinyaharus diubah. Ulama bukan lagi sekadar ahli fikih atau ahliagama tetapi juga ahli ekonomi, science dan teknologi. Adakah dasarteologi Islam tentang hal itu?Uraian al-Quran tentang ulama justru banyak berkaitan denganalam raya, gunung, bintang, dan lain-lain, baru kemudian ditegaskanbahwa yang takut dan kagum kepada Tuhan itulah yang disebutulama. Artinya, semua yang menguasai bidang keahlian ilmuakan disebut sebagai ulama. Namun demikian, klasifikasi sepertiitu tidak begitu saja diterima. Ada syarat-syarat tertentu agar seseorangdapat disebut sebagai ulama, yaitu bukan hanya mengetahuitetapi juga kagum dan patuh kepada Tuhan.Negara yang sekular cenderung memisahkan antara persoalan agamadan persoalan negara. Karena itu partai politik seharusnya juga tidakberideologi agama tertentu.1364– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya tidak melihatnya seperti itu. Semuanya adalah satu kesatuan.Begitu ada pemisahan, maka tidak benar. Meski demikian,bukan berarti bahwa lembaga-lembaga sosial lantas diambil alih olehagamawan. Bukan juga berarti bahwa pada bidang-bidang kenegaraanharus ditonjolkan simbolsimbolkeagamaan. Menurut Kalau yang dimaksud dengansaya, ilmuwan yang percaya liberalisme adalah kebebasanpada Tuhan dan nilai-nilai individu atau kebebasan berpikir,agama juga bisa dinamakan maka al-Quran jelas mendukungulama. Ulama bukan hanya atau menyetujui. Tetapi kalau yangahli hukum agama saja. dimaksud dengan liberalisme adalahkebebasan tanpa memperhatikanhak-hak orang lain, al-Quran sangatKalau seperti itu maka sangatmungkin bagi para ula-sampai kebebasan kita mengganggutidak menyetujui. Maka janganma masuk dalam permainankebebasan orang lain.politik dan memanfaatkannyademi memperoleh kekuasaan (duniawi). Bagaimana tanggapan Andakalau ada yang beranggapan seperti ini?Itu bisa terjadi dalam kasus permainan politik yang kotor. Dalampandangan agama, politik tak ubah seperti permainan catur.Setiap pemain berkeinginan untuk mengalahkan lawan mainnya.Meski begitu, tetap saja ‘benteng’ tidak bisa berjalan seperti jalannya‘kuda.’ Artinya, politik memang bertujuan untuk mengambilatau meraih kekuasaan, tetapi tetap harus melalui ketentuan yangbenar. Politik yang kotor terjadi kalau dia meninggalkan normadan peraturan. Agama tidak merestui korupsi, pembelian suara,dan intimidasi. Maka kegiatan politik yang sudah mempraktikkanhal-hal yang tidak direstui agama berarti sudah kotor.M. Quraish Shihab – 1365


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tegasnya, menurut saya, agama dan politik juga tetap menyatu.Namun karena kemudian dikehendaki spesialisasi, maka yangmenjadi dokter tekunlah di bidang kedokterannya; yang mempelajariilmu hukum tekunlah pada masalah-masalah hukum; yangahli pertanian tekun di bidang pertanian. Yang menyebabkan kekacauanadalah ketika yang tidak mengerti agama ikut membahasagama, yang tidak mengerti politik ikut juga membahas politik.Dalam negara yang tidak berdasarkan agama, otomatis ajaran-ajaranagama tidak dibenarkan masuk secara formal menjadi hukum publiktanpa melalui proses yang demokratis. Bagaimana pandangan Andamenanggapi maraknya perda-perda yang mengklaim sebagai alat penegakanajaran agama (syariat Islam) untuk dijadikan hukum publik?Di negara kita, penetapan suatu undang-undang harus melaluiproses tertentu, tidak bisa sembarangan. Pertanyaannya, apakahundang-undang yang ditetapkan, baik oleh eksekutif maupun legislatifitu, telah melalui proses yang benar? Kalau memang telahmelalui proses yang benar, kita harus bersama-sama menerima danmenjalankannya. Prinsipnya, ketika kita menyatakan bahwa yangmencuri akan dikenai suatu hukuman, maka yang tidak mencuritidak akan dikenai hukuman seperti itu.Ketika konteks diturunkannya sebuah nilai atau aturan agama jauhberbeda dengan ruang dan waktu di mana aturan tersebut hendakditerapkan, maka dibutuhkan reinterpretasi terhadapnya. Karena ituketentuan-ketentuan sosial yang terdapat dalam agama tidak bisa secaratekstual diimplementasikan.1366– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya setuju. Dan memang penafsiran bisa berubah sesuai denganzamannya. Apalagi kalau menyangkut rincian. Nabi sendiripernah bersabda, “akan datang suatu masa di mana perempuan berangkatdari satu kota ke kota lain, tanpa ada yang ditakuti kecualiAllah dan serigala.” Itulah sebabnya ulama-ulama sekarang berkatabahwa yang penting adalah terjaminnya keadaan dan keselamatansehingga tidak ada yang merasa terganggu dan tidak ada yang mengganggu.Oleh karena itu, seorang perempuan yang bepergian sendiriantanpa ditemani muhrim,tetapi berangkat dengan Pancasila sudah menjadi kesepakatanperempuan-perempuan lain bersama, tinggal bagaiman kitayang terhormat, tentu saja implementasikan sila-sila yangdiperbolehkan. Bagi saya, ada di dalamnya. Bagaimana kitauntuk melihat suatu aturan implementasikan ketuhanan,atau hukum terlebih dahulu kemanusiaan yang adil dan beradabharus memperhatikan apakahmotif dan tujuan se-diimplementasikan bukan cumadan lain sebagainya. Yang harushingga hukum tersebut ditetapkan.Bukan cuma adil tetapi juga haruskemanusiaan, tetapi juga harus adil.beradab. Implementasi nilai-nilai dasarBerarti di sinilah letak bahwanegara tidak bisa sepenuhnyadilepaskan dari agama?demikian bukan hanya sesuai denganmasyarakat Indonesia, tetapi jugasudah sesuai dengan ajaran agama.Ya. Negara atau pemerintah harus mengayomi dan memeliharanilai-nilai yang terdapat di masyarakat. Kita marah ketika Malaysiamengakui lagu rasa sayange dan kesenian reyog sebagai milik aslibudayanya, karena kita bangga dengan budaya kita. Bagaimanadengan agama? Sejajarkanlah! Kalau enggan menempatkan agamaM. Quraish Shihab – 1367


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–di atas budaya, saya yakin akan ada perasaan yang sama bahwaagama juga perlu dipelihara.Ketika perda syariah dimunculkan kemudian dalam realitasnya dinilaibanyak orang hanya merugikan atau mendiskriminasi sebagiankelompok, misalnya perempuan dan minoritas agama, apakah perdaseperti itu tetap absah sebagai bersumber dari ajaran Islam?Tuhan tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki darisegi kemanusiaan dan kewajiban melindungi dan menjaga sesamakehormatannya. Sehingga setiap produk hukum yang bertentangandengan keadilan atau nilai-nilai dasar kemanusiaan secara tidaklangsung tidak diakui oleh Islam. Persoalannya, kalau sudahmenjadi produk hukum yang ditetapkan melalui proses tertentu,kita tidak bisa mencabutnya begitu saja, malainkan harus melaluiproses hukum juga.Pada masa Nabi, masa-masa awal Islam, hukum sebenarnyabaru diterapkan setelah Islam benar-benar mantap sebagai suatuperadaban. Selama sekian tahun di Mekah, produk hukum yangdikeluarkan Islam hanya sedikit saja. Kita juga mestinya bisa belajardari situ. Hukum, meski ditetapkan oleh agama, tidak bisa begitusaja ditetapkan jika masih ada kondisi masyarakat yang tidak memungkinkanuntuk diterapkan. Sayyidina Umar tidak menerapkanhukum potong tangan pada masa paceklik. Seorang yang terbuktiberzina, berdasarkan hukumnya harus dirajam, namun demikiantetap bisa ditangguhkan kalau ada kondisi yang menyebabkan ketidakmungkinanpenerapannya.Jadi, dengan kondisi yang seperti ini, penerapan perda syariah diIndonesia masih dalam tanda tanya besar. Saya masih sangsi bahwa1368– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–perda seperti itu akan benarbenarbisa diterapkan. Lebih Kalau mau, lebih baik kita bentengidiri agar tidak tertarik ke golongandari itu, hukum hendaknyayang menurut kita salah, atau lebihditerima dengan sepenuh hati,berani lagi, masuk ke dalamnya danditerima oleh semua kalangan,coba menjelaskan permasalahannya.tidak ada banyak pihak yangBagi saya kekerasan tetap tidakdirugikan. Dan untuk mencapaikondisi seperti ini di-bisa dibenarkan. Dan yang berhakmengambil vonis salah tidaknyaperlukan adanya proses yang suatu kelompok atau tindaktidak sebentar.kekerasan tertentu adalah yangPerda syariah, seperti terlihatdi Aceh dan Tangerang, proses pengadilan. Masyarakat tidakberwenang, itu pun setelah melaluimerupakan implementasi hukumagama yang cenderungmemiliki wewenang itu.formalistik. Bagi saya, yang penting adalah substansinya. Entohdemikian saya tidak mau mengatakan bahwa perda itu tidak benar.Perda itu telah diputuskan melalui DPRD. Buat mereka, itusudah benar. Pada saat yang sama, saya juga tidak mau mengatakanbahwa ketentuan-ketentuan yang berlaku atau bersumberdari Barat itu tidak benar. Artinya, penetapan suatu hukum pastimempunyai kondisi yang mengantarkan hukum itu bagus diterapkanpada tempat atau wilayah tertentu. Kondisi inilah yangharus kita pelajari.Untuk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, apakahPancasila dan UUD 1945 yang menjadi landasan dasar berbangsadan bernegara itu sudah cukup, bahkan sudah islami, atau masihdiperlukan adanya nilai lain?M. Quraish Shihab – 1369


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya menilainya sudah cukup. Pancasila sudah menjadi kesepakatanbersama, tinggal bagaiman kita implementasikan sila-silayang ada di dalamnya. Bagaimana kita implementasikan ketuhanan,kemanusiaan yang adil dan beradab dan lain sebagainya. Yangharus diimplementasikan bukan cuma kemanusiaan, tetapi juga harusadil. Bukan cuma adil tetapi juga harus beradab. Implementasinilai-nilai dasar demikian bukan hanya sesuai dengan masyarakatIndonesia, tetapi juga sudah sesuai dengan ajaran agama.Ketika al-Quran memerintahkan untuk melaksanakan hukumTuhan, tidak harus diartikan bahwa semua orang di suatu negaraharus melaksanakan hukum Islam dengan segala rinciannya, sepertisalat lima waktu dan lain sebagainya. Kalau orang Kristen bagaimana?Saya melaksanakan hukum Islam dalam arti Tuhan membolehkanmereka (non-Islam) untuk menganut ajaran agamanya.Lakum dînukum waliya dîn. Itu sudah hukum Islam, walaupunrinciannya tidak islami.Pada titik itulah pluralisme diakui sekaligus diamanatkan olehIslam. Al-Quran mengatakan “Kami ciptakan kamu dari laki-lakidan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsauntuk saling kenal-mengenali.” Artinya, Kalau Andamenghapus lelaki atau menghapus satu suku, maka tidak akan adasatu generasi. Sehingga timbullah kekacauan.Inilah pluralisme. Tetapi jangan samakan lelaki dan perempuan,jangan samakan satu bangsa dengan bangsa lain. Masing-masingmempunyai nilai-nilainya sendiri yang berbeda satu sama lain.Pluralisme di Indonesia hingga sekarang masih terjaga ditopang olehnegaranya yang demokratis. Demokrasi Indonesia menganut sistem1370– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–demokrasi liberal. Artinya mengafirmasinilai-nilai liberalismeuntuk tumbuh dan berkembangdi Indonesia. Bagaimana pandanganal-Quran sendiri tentangnilai-nilai liberalisme itu?Pada prinsipnya, kalau yangdimaksud dengan pluralismeadalah menghargai danmengakui kelompok-kelompokyang berbeda, saya kira kitaharus ke sana. Tetapi kalau yangKalau yang dimaksud denganliberalisme adalah kebe-adalah mempersamakan semuadianggap sebagai pluralismebasan individu atau kebebasan kelompok, itu yang harus ditolak.berpikir, maka al-Quran jelasmendukung atau menyetujui. Tetapi kalau yang dimaksud denganliberalisme adalah kebebasan tanpa memperhatikan hak-hak oranglain, al-Quran sangat tidak menyetujui. Maka jangan sampai kebebasankita mengganggu kebebasan orang lain.Bagaimana dengan pembatasan-pembatasan yang dilakukan MUIterhadap kebebasan berpikir dan sebagaianya?Bagi saya, siapapun yang membatasi kebebasan orang yangtelah dianugerahkan Tuhan itu terlarang.Kalau misalnya alasan pembatasan yang dilakukan oleh MUI itukarena pemikiran atau keyakinan seseorang telah menodai agamatertentu bagaimana?Analoginya kalau ada suatu pabrik kecap berlabel ABC, makasaya tidak boleh membuat pabrik serupa dengan nama yang sama.Kita hanya boleh membuat pabrik yang sama-sama memproduksiM. Quraish Shihab – 1371


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kecap namun dengan label yang berbeda. Maka untuk kasus agamajuga boleh berbeda, tapi jangan memakai nama yang sama.Seharusnya selagi suatu kepercayaan tidak mengaku Islam makatidak bisa dikatakan menodai Islam. Namun demikian, sebagai seorangayah, saya tentu akan melarang anak saya keluar rumah hujan-hujan,meski tetap tidak bisa melarang turunnya hujan. Dalamkehidupan bermasyarakat, pasti akan ada hal-hal yang bertentangandengan keyakinan kita. Dan yang berbeda itu tetap mempunyaihak untuk menyatakan pendapatnya. Maka, yang terpenting bagikita adalah bagaimana cara kita membentengi diri. Untuk kasushujan tadi, kita bisa membentengi anak dengan menutup pintu,atau memberikan payung kepada si anak dan lain sebagainya. Sampaidi situlah kemampuan kita untuk membentengi diri.Pada sisi lain saya tidak setuju dengan orang atau lembagayang buru-buru menilai orang atau ajaran lain sebagai sesat. Selamadia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kenabian dan harikemudian, kita harus berhati-hati untuk melihat dan menilai kelompok-kelompoktersebut.Hal lain, dalam konteks ini, sebagian dari mereka yang dinilaimenyimpang itu sebenar-nya tidak harus diperlakukan sama. Karenaboleh jadi hanya salah paham atau misalnya berkeyakinan berbedakarena sakit jiwa. Yang sakit jiwa tidak boleh ditahan, melainkandiobati. Yang salah paham jangan dijauhi atau ditutup, melainkandidekati dan diajari. Saya tidak setuju kalau Lia Aminuddin ditahan.Harusnya dicari terlebih dahulu apa yang menyebabkan diaberkeyakinan seperti itu. Karena, dalam ilmu jiwa, bisa jadi diaitu sakit jiwa. Buktinya setelah ditahan, dia masih tetap dengankeyakinannya yang semula. Secara lebih luas lebih baik jika ulamamembentengi umat dengan memberi tahu bahwa dalam ma-1372– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–syarakat kita ada yang beginidan begitu, sementara, Islamitu begini-begitu dan lain sebagainya.Saya tidak setuju dengan orang ataulembaga yang buru-buru menilaiorang atau ajaran lain sebagaisesat. Selama dia percaya kepadaTuhan Yang Maha Esa, kenabian danAda yang berpendapat bahwa hari kemudian, kita harus berhatihatiuntuk melihat dan menilaijustru munculnya aliran ataukelompok yang didakwa menyimpangadalah bentuk ke-kelompok-kelompok tersebut.gagalan umat Islam sendiri dalam memberikan pemahaman tentangajaran Islam yang damai dan kontekstual.Bahwa itu sebagai salah satu faktor yang menentukan, bisa dibenarkan.Hal lainnya, manusia itu memiliki kecenderungan spiritual.Dia melihat materi, ilmu dan teknologi tidak memuasakan,maka kemudian mencari sesuatu yang jauh lebih memuaskan. Pencarianyang dilakukan manusia ini bermacam-macam, ada yang larike musik, ada yang melepaskan diri dari segala ikatan, ada yanglari ke dukun, dan ada yang terus mencari namun tidak pernahmenemukan sesuatu yang lebih memuaskan. Mereka yang masukpada kategori pencarian yang terakhir ini terjadi lebih dikarenakanketidakmampuan umat Islam dalam memberikan penjelasanmengenai agamanya. Dan itu bukan hanya terjadi di dalam Islam,tetapi juga di Kristen, dan agama-agama yang lainnya.Manifestasi dari pluralisme adalah sikap toleran terhadap kelompoklain. Kita melihat bahwa selama ini hampir selalu ada upaya kekerasanyang dilakukan oleh kelompok tertentu karena menilai kelom-M. Quraish Shihab – 1373


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pok yang lain sudah menyimpang dan harus disingkirkan. Bagaimanatanggapan Anda?Kalau mau, lebih baik kita bentengi diri agar tidak tertarik kegolongan yang menurut kita salah, atau lebih berani lagi, masukke dalamnya dan coba menjelaskan permasalahannya. Bagi sayakekerasan tetap tidak bisa dibenarkan. Dan yang berhak mengambilvonis salah tidaknya suatu kelompok atau tindak kekerasantertentu adalah yang berwenang, itu pun setelah melalui prosespengadilan. Masyarakat tidak memiliki wewenang itu.Mereka yang anti-pluralisme juga mengklaim tindakannya bersumberdari al-Quran. Tindakan yang dia lakukan adalah jihad sebagaimanadiamanatkan al-Quran. Bagaimana Anda menyikapi hal ini?Kesalahpahaman tentang Islam seperti ini datang dari berbagaisisi. Salah satunya terjadi pada orang yang semangat keagamaannyabegitu tinggi bahkan melebihi Tuhan, sampai berani memutuskanbenar dan tidaknya sebuah keyakinan. Lebih elegan kalaumembebaskan semua keyakinan yang ada dan siapapun berhakmenjalankan apa yang diyakininya. Yang mau percaya silakan danyang tidak pun dipersilakan. Karena boleh jadi pendapat merekayang tidak sependapat itu juga mempunyai dasar dari al-Qurandan Hadits, atau bahkan lebih benar.Orang seperti itu hanya memahami jihad sebagai jihad fisik. Karenanyasiapapun yang menurutnya akan ‘menghabisi Islam’ harus dibinasakan.Lantas konsep jihad seperti apa yang semestinya dipahami?1374– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jihad adalah usaha sungguh-sungguh. Surat al-Furqân mengatakan,“wajâhidhum bihî jihâdan kabîran”, berjihadlah denganal-Quran, jihad yang besar. Jihad dengan fisik atau senjata bukandigunakan untuk penyerangan tetapi pembelaan, defence. Perintahuntuk mempersiapkan kekuatan dalam al-Quran dimaksudkan bukanuntuk menggunakannya, tetapi untuk menjadikan orang laingentar menyerang kita.Negara yang mempunyai bom nuklir seperti Iran, Korea, Rusia,atau Amerika, tidak bermaksud akan menggunakan bom itu,melainkan sekadar memiliki agar orang atau negara lain tidak beranimemeranginya. Mengapa Amerika lebih berani menyerangIrak daripada Korea, karena Amerika tahu bahwa Korea memilikibom nuklir. Sayangnya, belakangan, kepemilikan bom nuklir justrubanyak yang disalahgunakan. Membuat bom untuk menyerangnegara lain, tidak hanya untuk pertahanan.Dalam kasus lain, mereka yang mengaku dirinya Islam tetapi mempraktikkanajaran dengan cara lain, seperti salat dalam dua bahasanyaUsman Roy, akibatnya dilarang oleh kelompok tertentu, termasukMUI. Apa komentar Anda?Dalam hidup ini ada hal-hal yang masuk dalam jangkauan nalardan ada yang berada di luar jangkauan nalar. Ada hal-hal yangkita harus pertahankan sebagaimana apa adanya dan sebagaimanakita terima, sehingga kita tidak perlu menggantinya. Contoh kenapabendera kita harus merah putih, atau kenapa orang Indonesiamenjalankan mobil di sebelah kiri, sementara di Inggris di kanan?Jawabannya karena semua itu sudah menjadi kesepakatan, kalautiba-tiba diubah akan timbul kekacauan.M. Quraish Shihab – 1375


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Soal ibadah juga demikian. Kita tidak bisa semena-mena mengubahatau menjalankannya dengan cara yang lain. Karena setiapmunculnya persoalan baru, akan diikuti oleh kemunculan persoalan-persoalanyang lain. Kenapa salat Zuhur empat rakaat? Karenabegitu ada yang berpendapat tiga rakaat, akan ada juga yangberpendapat lima, enam, tujuh rakaat dan seterusnya. Sekarang,apa tujuan salat memakai bahasa Indonesia? Kita bisa carikan jalandi mana tujuan orang yang salat berbahasa Indonesia itu tercapaitanpa harus melakukan perubahan cara pembacaan. Dalam kehidupanbermasyarakat pun seperti itu. Itulah yang disebut denganketentuan. Coba saja Anda buat bahwa lampu merah berarti jalandan lampu kuning berarti berhenti, pasti akan terjadi kekacauan.Kesimpulannya, di dunia ini pasti ada hal-hal yang sudah kita sepakatidan tidak usah dipersoalkan lagi.Bukankah masih ada perdebatan soal salat dengan dua bahasa itusendiri? Pandangan lain misalkan, kenapa salat menggunakan bahasaIndonesia adalah karena ketika ingin menambah kekhusuan, orangyang tidak bisa berbahasa Arab tentu akan lebih terbantu denganberbahasa non-Arab.Untuk menambah kekhusuan sebenarnya bisa dicarikan jalanlain tanpa harus mengubah bahasanya. Misalnya bayangkan sajabahwa sebentar lagi kita akan mati, pasti akan bisa khusu meskipuntidak mengerti artinya. Kekhusuan itu tidak harus selalu berkaitandengan pemahaman makna. Kesadaran terhadap siapakah Anda tengahberhadapan, dapat melahirkan sikap kejiwaan tertentu. Sebabkalau semua orang atau golongan diperbolehkan memakai bahasalokal masing-masing untuk melaksanakan salat, pasti akan terjadi1376– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kekacauan. Di tempat sini mau berbahasa Jawa, yang ditempat lainberbahasa Bugis, Batak dan lain sebagainya. Kenapa kita tentukanKa’bah sebagai tempat kita menghadap ketika salat, tak lain agartidak terjadi kebingungan.Bagaimana kalau alasan salat dengan menggunakan bahasa ibu yanglebih bisa dimengerti agar jelas bahwa salat mempunyai implikasisosial, agar tahu apa yang diamanatkan dalam salat bagi kehidupanbersama?Itu (implikasi sosial) bisadilakukan di luar salat. Celakalahorang-orang yang salatyang melupakan substansi salatnya.Kalau seperti itu, lantas adaorang yang beranggapan, karenayang esensial adalah implikasisosialnya, maka tidak usahmelaksanakan ritualnya. Bagaimanamenanggapi pendapat sepertiini?Saya analogikan kenapakita tempelkan perangko untuksurat yang kita kirimkanadalah agar surat yang kitamaksudkan tersebut diantar-Saya kira cita-cita mendirikankhilâfah islâmiyah teramat jauhuntuk bisa direalisasikan. Kecualiada konsep baru mengenaikhilâfah, misalnya khilâfah diartikansebagai kesatuan arah (visi),bukan kesatuan pemerintah –sebagaimana dahulu, ketika masihmarak penjajahan fisik, KonferensiAsia-Afrika tak lain adalah wujuddari kesatuan visi beberapa negara.Jika kesatuan seperti ini yangdimaksud, menurut saya justrubagus. Konsep seperti ini bahkanbisa dijalankan tidak hanya sesamanegara Islam, melainkan jugadengan negara yang memilikibudaya yang berbeda.M. Quraish Shihab – 1377


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kan sampai ke tempat yang dituju. Kalau kita taruh uang, makatidak akan sampai. Dalam kehidupan beragama juga demikian,ada yang dinamakan formalitas. Ada formalitas yang terikat danyang tidak terikat.Berbahasa Arab adalah formalitas dalam salat. Kalaupun kitatidak mampu membacanya, maka tidak usah membaca pun tidakapa-apa, dan salatnya tetap sah. Lebih sah tidak membaca daripadamembacanya dengan bahasa Indonesia. Lagi-lagi, ini adalahformalitas yang ditetapkan. Antara membaca dan membayangkanjelas berbeda. Dalam salat kita boleh membayangkan apa maknadalam bahasa Indonesia dari kalimat-lalimat yang dilafalkan, tetapitidak boleh membacakannya. Artinya, lebih baik kekhusuansecara formal didapat meskipun tidak mengerti artinya, daripadamengucapkannya dengan bahasa selain Arab.Akhir-akhir ini umat Islam banyak didera berbagai persoalan. Dariikhtilâfiyah antar-kelompok, sampai munculnya keinginan untukmembuat negara Islam. Menurut Anda, apakah keinginan mendirikankhilâfah itu bagian dari Akidah Islam atau bukan?Seseorang sah-sah saja mempunyai suatu keinginan, apalagidalam negara yang demokratis. Dalam konteks pluralisme, kitajuga tidak bisa melarang seseorang untuk memperjuangkan keyakinannya.Kalau pada akhirnya mereka berhasil mewujudkan citacitanya,kita harus menerimanya. Pada suatu diskusi di Qatar, sayapernah mengatakan, “seandainya ada partai komunis di salah satunegara Islam mengikuti pemilu dan memenangkannya, bagaimananegara-negara Islam menanggapi atau menyikapi hal ini?” Dalamnegara yang demokratis kita harus bisa menerima hal seperti itu.1378– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Karena itu, yang harus dilakukan adalah berjuang melalui jalurhukum agar pada pemilu depan kita bisa menang. Jangan bersikapseperti demokrasinya “banci”, kalau saya yang menang saya pertahankandemokrasi, tetapi kalu yang lain yang menang, saya akanmenindasnya. Hal seperti inilah yang dilakukan oleh Amerika diAljazair atau di Palestina (Hammas). Kalau mau fair, siapa punyang menang harus diterima.Dalam pemikiran Islam sendiri apakah konsep khilâfah memilikidasar yang jelas?Boleh jadi hal itu mempunyai dasar pada situasi masa lampau.Untuk sekarang, jangankan khilâfah islâmiyah untuk seluruh dunia,negara Arab saja tidak mau menerapkan khilâfah, lebih memilihLiga Arab. Indonesia yang merupakan negara kesatuan, masingmasingprovinsinya tetap memiliki perbedaan. Saya kira cita-citamendirikan khilâfah islâmiyah teramat jauh untuk bisa direalisasikan.Kecuali ada konsep baru mengenai khilâfah, misalnya khilâfahdiartikan sebagai kesatuan arah (visi), bukan kesatuan pemerintah– sebagaimana dahulu, ketika masih marak penjajahanfisik, Konferensi Asia-Afrika tak lain adalah wujud dari kesatuanvisi beberapa negara. Jika kesatuan seperti ini yang dimaksud, menurutsaya justru bagus. Konsep seperti ini bahkan bisa dijalankantidak hanya sesama negara Islam, melainkan juga dengan negarayang memiliki budaya yang berbeda.Yang jadi keberatan, mereka (yang mau mendirikan khilâfah islâmiyah)tidak mau bermain dalam mekanisme demokrasi.M. Quraish Shihab – 1379


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Itu keliru, karena kita berada di Indonesia yang sudah menyepakatiPancasila dan demokrasi. Kalau tidak dalam jalur nilai-nilaifalsafah bangsa, maka tidak sesuai.Sebagian orang khawatir ketika mereka menang, dasar negara Pancasiladan UUD 1945 akan diganti.Karena itu, masing-masing harus terus berjuang. Maka kalaumemang DI/TII, misalnya, dianggap tidak bagus, tunjukkanlahdi mana kekurangan dan bahayanya. Begitu juga sebaliknya, yangmemandang demokrasi tidak bagus. Itulah demokrasi. Saya tidakingin hanya mau mengamalkan demokrasi kalau itu menguntungkankita. Demokrasi adalah pendapat mayoritas masyarakat, bukanpendapat yang dipaksakan.Bagaimana peluang pluralisme pada masa-masa mendatang di Indonesia,apakah akan semakin terawat atau malah makin hancur?Pada prinsipnya, kalau yang dimaksud dengan pluralisme adalahmenghargai dan mengakui kelompok-kelompok yang berbeda,saya kira kita harus ke sana. Tetapi kalau yang dianggap sebagaipluralisme adalah mempersamakan semua kelompok, itu yang harusditolak. Itu juga yang dikhawatirkan oleh MUI. Mudah-mudahan,model pluralisme yang pertama itu yang akan lebih berkembang diIndonesia. Kalau yang terjadi adalah yang sebaliknya, maka jelasakan menghancurkan generasi. Saya lihat sampai sekarang belumada kelompok yang menonjol yang sangat mengancam seperti itu,meski mungkin saja sebenarnya ada. Kalaupun ada, akal semacamini merangkaknya pasti akan sangat lamban, sedikit demi sedikit.1380– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Karena itu, kita harus selalu membentengi negara ini dari pandangan-pandanganyang bakal merongrong kesatuannya.M. Quraish Shihab – 1381


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganM. Syafi’i AnwarM. Syafi’i Anwar, Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP),Jakarta. Ia terpilih sebagai Independent Expert pada United Nation for HighCommisioner for Human Rights, mewakili Asia (2007-2009).Gelar Doktor diperolehnya dari Melbourne University, Australia.1382


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisme adalah independensi agama dari wilayah-wilayah yangdiatur negara. Definisi seperti itulah yang cenderung meletakkansekularisme secara moderat, bahkan progresif. Agama jangansampai campur tangan pada pengaturan kebijakan negara. Namunbegitu, spirit agama tetap menuntun umat manusia untuk berlakuadil, sebagaimana telah meresap pada konsep yang sudah diuniversalisasikan(HAM). Sebenarnya kalau Indonesia konsisten mengacupada Pancasila, maka dasar negara ini sudah cukup memuat seluruhnilai-nilai yang didamba bersama untuk menciptakan tatanan yangideal. Karenanya, berpikir liberal, rasional, dan kritis merupakansesuatu yang tidak dapat dinafikan bagi cita-cita dan kemajuan.Jadi, apapun konsepnya, selama sesuai dengan keadilan, haruskita terima, tetapi pada akhirnya we have to believe in God, percayapada eksistensi Tuhan.M. Syafii Anwar – 1383


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut Anda apa pengertian sekularisme dan bagaimana posisi idealagama dan negara sehingga paham ini penting untuk digulirkandi Indonesia?Sekularisme berasal dari bahasa latin saeculum yang dalam pengertianumum adalah pemisahan gereja dengan negara atau agamadengan politik. Secara historis sekularisme muncul pertama kali diBarat. Kendati demikian proses sekularisme mengalami perkembangan.Karena itu tidaklah mengejutkan apabila kemudian lahirpengertian lain tentang sekularisme yang berbeda dari pengertiankonvensional, yang tidak lagi dimaksudkan sebagai pemisahan antaraagama dengan politik, melainkan lebih merupakan budaya yangmenekankan pada aspek bagaimana sebaiknya negara tidak terlalumelakukan intervensi pada wilayah keagamaan. Jadi, sekularismeadalah independensi agama dari wilayah-wilayah yang diatur olehnegara. Definisi seperti itulah yang cenderung meletakkan sekularismesecara moderat atau bahkan progresif, yang sepatutnya ditransferke dalam konteks Indonesia.Apabila dilacak rentang panjang perjalanan sekularisme di Eropaatau negara Barat secara keseluruhan, maka pemisahan antaranegara dengan eksistensi agama, dalam hal ini gereja – mengingatnegara-negara Barat, termasuk Amerika, lebih dekat pada tradisitradisiKristiani – tampak kelihatan jelas. Namun begitu, kenyataanlainnya menunjukkan bahwa sekularisme, yang seakan-akanidentik dengan keseharian masyarakat Barat sekalipun, tidak lantasmeninggalkan agama sepenuhnya. Kendatipun sekular mereka secaraetis tetap memberikan peran dan ruang terhadap agama. Yangjuga penting untuk diperhatikan, apabila melihat Amerika – sebagaisalah satu di antara negara yang kental menganut sekularisme,yang bahkan oleh para founding fathers negaranya, kuat sekali di-1384– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tanamkan ke dalam paradigma berpikir setiap warganya: “AmerikaSerikat adalah negara sekular” – adalah suatu kenyataan bahwaAmerika merupakan negara yang sangat religius. Pada tingkat masing-masingindividu, sebagaimana sampai sekarang banyak direkamdalam berbagai survey, pada dasarnya orang Amerika lebih religiusdaripada orang Eropa. Kenyataan demikian sepatutnya juga dilihatbahwa sekularisme dalamkonteks ini, yang didesakkandan diatur oleh pe-agama dari wilayah-wilayah yangSekularisme adalah independensimerintah Amerika, misalnya, diatur oleh negara. Definisi sepertimenunjukkan bahwa sistem itulah yang cenderung meletakkanpolitik, pada praktiknya, tidakdapat sepenuhnya se-bahkan progresif, yang sepatutnyasekularisme secara moderat ataukular. Atau dengan perkataanlain sistem politik yangditransfer ke dalam konteks Indonesia.sekular sama sekali tidak lantas menegasikan, mengecilkan, danmengeliminasi agama. Maka, sejatinya dalam rumusan sekularismebesar sekali tuntutan atau harapan agar agama tidak masuk padawilayah-wilayah politik. Artinya, agama diharapkan jangan sampaimemberikan campur tangan pada pengaturan kebijakan fungsi negara.Demikianpun sebaliknya, negara jangan sampai masuk padawilayah-wilayah yang mengatur atau yang menjadi scope teologikeagamaan setiap warga.Konsep privatisasi agama, sebagai agenda turunan dari sekularisme,secara generik berupaya menyingkirkan agama dari ranah publik. Sebab,agama semata dipahami sebagai relasi antara individu denganTuhan yang bersifat pribadi, oleh karena ketika agama mendesak keM. Syafii Anwar – 1385


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ruang publik cenderung meringkus hak dan kebebasan setiap orang.Akibatnya, agama tidak lagi mempunyai peran sosial, sekalipun untukpembebasan umat dari segenap ketertindasan. Bagaimana Andamemandang konsep privatisasi ini?Privatisasi agama merupakan gagasan yang mengabaikan fungsidan peran agama. Padahal agama tidak mungkin dilepaskan dariwilayah publik. Sebab keberadaannya yang paling utama dalam kehidupanumat yakni untuk mengemban misi suci. Sedangkan misiagama yang pokok adalah: pertama, sebagai edukasi (pendidikan).Agama mempunyai tanggung jawab untuk mendidik masyarakatdengan memberikan tuntunan kepada umat untuk menstimulasikepribadiannya supaya mereka berlaku baik, jujur, adil dan sebagainya,yang dalam Islam tercakup dalam konsep amar ma‘rûf nahymunkar. Dengan demikian, mau tidak mau agama harus masukdalam wilayah publik. Kedua, sebagai penerangan dan pencerahan.Yakni bahwa eksistensi agama, terlepas dari segala keterbatasandan apapun agamanya, termasuk juga Islam, membawa misimembimbing dan memberi petunjuk kepada umat tentang suatuhal yang baik dan buruk, yang benar dan salah. Karena itu, yangjuga patut untuk diperhatikan terkait dengan fungsi penerangandan pencerahan yaitu bagaimana manusia tidak hanya bisa mengandalkansemata-mata pada kekuatan-kekuatan ilmu, teknologidan sebagainya. Sebab, jika tidak didorong dan diberikan landasanatau pijakan yang kuat oleh agama, justru ilmu dan teknologibisa mengancam umat manusia sendiri. Teknologi oleh pihak-pihakyang tidak bertanggung jawab dapat dipergunakan dengan tidaksewajarnya atau, bahkan, disalahgunakan.Fungsi ketiga yang paling penting dari agama adalah fungsidalam mengemban misi “profetis” atau misi kenabian. Misi profe-1386– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tis/kenabian di sini lebih melihat bahwa agama tidak semata-matamenganalisis, memberikan pencerahan atau penerangan dalam halyang menyangkut hubungan antar-manusia (hablun min al-nâs)saja, tetapi juga mengandung sebuah konsekuensi berupa tanggungjawab individu kepada Tuhannya (hablun min Allâh). Ini menandakanbahwa sesungguhnya terdapat misi yang transenden dalamagama. Tentu saja misi transenden dalam konteks ini adalah misikenabian itu sendiri. Misi kenabiandi sini adalah misiSejatinya dalam rumusanyang suci dan mulia untuk sekularisme besar sekali tuntutanmengangkat harkat martabat atau harapan agar agama tidakdan derajat manusia menujujalan yang lebih baik, bu-Artinya, agama diharapkan janganmasuk pada wilayah-wilayah politik.kan sekadar yang berorientasi sampai memberikan campur tanganpada wilayah duniawi, tetapi pada pengaturan kebijakan fungsijuga kehidupan di balik kehidupanini, yakni kehidup-negara jangan sampai masuk padanegara. Demikianpun sebaliknya,an sesudah hari akhir. Kalau wilayah-wilayah yang mengaturmanusia tidak diberikan pandangantentang hari akhir,atau yang menjadi scope teologikeagamaan setiap warga.manusia terkadang bisa menjaditidak terkontrol. Sebagai contoh materialisme, yang sekarangini selalu diangung-agungkan sebagai tujuan final dari kehidupanmanusia, membuat hasrat manusia tidak ada habis-habisnya, sehinggaorang menjadi rakus, menzalimi yang lain dan sebagainya.Sebaliknya, jika ada kepercayaan terhadap aspek-aspek transendenseperti misteri kematian dan, terutama, kepercayaan kepada hariakhir, hidup setelah kehidupan itu sendiri, maka orang kemudianakan melakukan investasi dalam bentuk amal kebaikan yangM. Syafii Anwar – 1387


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–diwujudkan melalui perbuatan-perbuatan luhur, yang merupakantabungan di dunia. Karena bagaimanapun juga setiap orang ingindikenang hidupnya. Sebab, ingin dikenang dan membuat sejarahmerupakan hasrat terpendam yang diimpikan oleh hampir setiaporang. Sementara, agama memberikan dukungan supaya orangkelak dikenang baik. Pada prinsipnya, setiap orang bisa membuatsejarah dirinya masing-masing, apakah sejarah itu kecil atau besar.Sejatinya, sangatlah penting bagi setiap orang untuk memunculkansuatu keinginan agar bisa dikenang orang lain.Dalam buku yang diedit oleh Herbert Feith dan Lance Castles, IndonesianPolitical Thinking 1945–1965, Mohammad Natsir lewattulisannya The Dangers of Secularism dengan tegas menolak sekularisme,termasuk yang didesakkan sebagai pemisahan antara ilmupengetahuan dengan nilai-nilai agama dan kultural lainnya. Sekularismemenghendaki agar ilmu pengetahuan menjaga semangat ilmiah,value free dan objektivitasnya: “science for the sake of science”. Apapendapat Anda dengan perdebatan sekularisme dalam wilyah ilmupengetahuan?Saya setuju dengan pandangan Natsir tentang penolakannyaterhadap sekularisme. Tetapi, lagi-lagi, saya tekankan di sini bahwayang dikritik Natsir adalah lebih pada praktik sekularisme yang memisahkansama sekali agama dengan negara, agama dengan politik,sebagaimana diyakini Kemal Atatturk yang diterapkannya di negaraTurki. Jadi, Natsir tidak banyak mengomentari sekularisme dalamwilayah ilmu pengetahuan. Namun, kaitannya dengan sekularismedalam ilmu pengetahuan, saya setuju dengan Natsir. Bagaimanapunjuga, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, value free. Maka sepa-1388– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tutnya kita mengacu pada ucapan yang sangat terkenal dari AlbertEinstein: ilmu tanpa agama itu membutakan; agama tanpa scienceitu lumpuh. Dalam konteks ini, yang harus dilihat adalah fungsiagama sebagai education (pendidikan dan penerangan). Agamasemestinya dapat memberikan guide lines berupa bimbingan buatilmu pengetahuan. Sebab, ilmu bukanlah sama sekali tidak terbatas.Ilmu pengetahuan mempunyai kemungkinan untuk berkembangke arah, dan sekaligus juga dapat dimanfaatkan untuk aktivitasyang lebih baik. Sebaliknya perkembangan ilmu pengetahuan dapatpula diselewengkan untuk tujuan yang tidak terpuji. Artinya,ilmu tidak bebas nilai danjuga mempunyai keterbatasan,apapun ilmunya. Sehing-merupakan sesuatu yang tidak dapatBerpikir liberal, rasional dan kritisga, apapun bentuk dan tataransuatu ilmu pengetahuan, tetapi hendaknya pada akhirnyadinafikan bagi cita-cita dan kemajuan,maka dia harus mempunyai we have to belief in God, kita haruspijakan moral. Dengan pengertianlain hendaknya kitapercaya pada eksistensi Tuhan.percaya kepada tiga fungsi agama di atas. Sebagaimana telah diuraikansebelumnya bahwa di antara fungsi agama tersebut adalah misiprofetis. Fungsi itulah yang tidak ada dalam institusi atau lembagalain selain agama. Hanya agamalah yang bisa memberikan doronganagar ilmu mempunyai misi yang profetis. Sebagai contoh, bomatom kalau tidak dikelola oleh orang yang mendasarkan dirinyapada misi profetis dari agama, maka bisa disalahgunakan dan malahmengakibatkan bencana. Namun tidak demikian kalau suatu ilmupengetahuan oleh ahlinya dilandasi misi profetis: pembuatan bomatom akan dimanfaatkan oleh ilmuwan untuk menjaga negaranyaatau juga untuk kesejahteraan masyarakat, misalnya, untuk pem-M. Syafii Anwar – 1389


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bangkit tenaga listrik dan sebagainya. Hal itu hanya bisa terjadiapabila ilmuwan tersebut mempunyai pandangan bahwa institusikeagamaan yang ia anut dan yakini menuntut untuk mengembanmisi suci menjunjung tinggi harkat dan martabat umat manusia.Dengan demikian, ilmu pengetahuan selalu dibatasi. Kalaupundia tidak dibatasi agama, setidaknya ada values lainnya. Haltersebut juga tercermin dari budaya orang Eropa, misalnya, dalammengeksplorasi ilmu pengetahuan, meskipun mereka dianggap sekulartetapi di hati yang paling dalam mereka masih mempunyaietika, menjunjung moralitas – yang menurut saya, lagi-lagi, moralitashanya bisa bersumber dari agama. Artinya, tidak ada ilmupengetahuan yang mempunyai landasan moral yang kokoh tanpadibarengi oleh norma agama. Dalam praktiknya, saya kira, agamabukan hanya seperangkat moral saja, tetapi juga di dalamnya dibutuhkanaturan punishment dan reward atau suatu penghargaan.Apabila kembali pada gagasan sekularisme dalam lingkup yanglebih luas, saya mempunyai catatan tersendiri tentang sekularismedalam konteks politis dan ide. Setidaknya wacana yang dapat dimajukandi sini, menurut hemat saya, secara lebih sederhana sekularismemempunyai dua pengertian: pertama, cara pandang yang sangatekstrem, di mana dengan tanpa kompromi memisahkan secara tegasantara agama dengan negara; kedua melihat sekularisme secarakontekstual. Pada pengertian yang kedua, jika dicermati denganseksama, pengalaman sekularisme yang terjadi di kalangan Islamsendiri sangatlah beragam, sesuai dengan konteks yang melingkupinya.Begitupun dengan gagasan sekularisme yang berkembang didalamnya. Untuk itu salah satu pemikir Muslim terkemuka dariIndia, Asghar Ali Enginer, mengungkapkan bahwa dia lebih sukamengartikan sekularisme yang tengah berkembang, bukan dalam1390– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pengertian yang kerap didemonstrasikan di dunia Islam yang sematamenonjolkan tarik-menarik dari sudut pandang teologis. Sebabmenurut dia sekularisme merupakan produk historis.Apa lacur, orang Islam cenderung menyeret sekularisme – yangsejatinya akan lebih produktif manakala melihatnya sebagai produkhistoris – untuk diideologisasikan atau “diagamakan”. Sehingga yangseringkali terjadi atau beredar dalam benak umat Islam adalah ceritatentang sejarah kegelapan Eropa di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaandan juga kuatnya dominasi agama yang waktu itu memangtidak kompatibel dengan semangat kemajuan. Semua itulah yangmenjadi dasar bagi munculnya sekularisme yang menyingkirkanagama. Kuatnya orang Islamdalam mengideologisasikan Agama semestinya dapat memberikansekularisme sebagai paham guide lines yang berupa bimbinganyang tidak menerima agamamenjadi alasan mereka bukanlah sama sekali tidak terbatas.buat ilmu pengetahuan. Sebab, ilmuuntuk menolak paham tersebut.Ilmu pengetahuan mempunyaikemungkinan untuk berkembangke arah, dan sekaligus juga dapatPadahal, setiap negaradimanfaatkan untuk aktivitas, yangniscaya mempunyai sejarahlebih baik. Sebaliknya perkembangansekularisme sendiri, yang tidakmungkin sama denganilmu pengetahuan dapat puladiselewengkan untuk tujuan yangkonteks berkembangnya sekularismedi Eropa. Seba-bebas nilai dan juga mempunyaitidak terpuji. Artinya, ilmu tidakgaimana yang terjadi dalam keterbatasan, apapun ilmunya.kasus India, di mana orang Sehingga, apapun bentuk dan tataranIndia begitu mudah untuk suatu ilmu pengetahuan, maka diamenerima dan memilih sekularisme.Karena itulahharus mempunyai pijakan moral.se-M. Syafii Anwar – 1391


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bagian besar Muslim India menerima sekularisme. Sehingga, kendatipunIndia sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapisistem politik atau pemerintahannya tidak menganut Hinduisme.Sekularisme dalam konteks India menjadi pilihan yang ideal bagiorang Islam di India. Asghar Ali Engineer memaparkan alasanbahwa hendaknya umat Islam lebih menerima sekularisme dikarenakanpaham ini memberikan peluang yang sangat lebar gunamengembangkan ruang publik (public sphere) yang lebih terbukadan rasional buat agama, terutama bagi pemeluk agama untuk lebihmenginterpretasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai agamasecara bebas dan lebih progresif tanpa rasa takut dan khawatir akanadanya intervensi berupa regulasi ataupun tekanan dari negara.Namun demikian, justru dengan begitulah India berkembang.Jika India menerapkan negara agama, menurut hemat saya, pastiIslam akan ditindas. Dalam pandangan Asghar Ali Engineer itulahaspek positif dari sekularisme yang menyediakan ruang publik bagiagama untuk mengontekstualisasikan nilai-nilainya secara bebas danterbuka. Jadi, sepatutnyalah pengertian sekularisme, menurut persepsiAsghar Ali Engineer, jangan sampai diteologisasikan. Sebab,pada dasarnya, ia selalu menegaskan, sekularisme tidak lain produkhistoris. Karena produk historis, maka sekularisme harus selaludilihat konteks berkembangnya. Dalam konteks historis inilah,sekularisme sebagaimana terjadi dalam konteks Muslim di India,agama tetap menjadi bagian dari kehidupan setiap warga negara.Hindu tetap saja menjadi mayoritas di India, tetapi agama lainnyajuga dibiarkan berkembang. Orang Islam di India mencapaisekitar 100 juta lebih.Sebagai suatu kenyataan, mereka (masyarakat Hindu) denganlapang menerima keberadaan umat Islam karena dalam common1392– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–platform-nya India memang bukan negara Hindu atau negara agama.Sama halnya dengan Indonesia yang tidak berasaskan negaraagama, tetapi Pancasila. Apabila kita tilik ke belakang, konsep awalPancasila adalah konsep negara sekular. Sebab, pada awalnya Pancasilatidak memuat kalimat “Ketuhan Yang Maha Esa”, demikianSoekarno merumuskannya. Namun kemudian kalimat tersebutdicantumkan. Sehingga semacam ada upaya membawa negara inisupaya tidak terlalu sekular, namun juga tidak terlalu berdasarkanagama. Para pendiri Indonesiapada waktu itu memerlukanjalan tengah sehing-seorang Muslim. Sebab, seliberal-Berpikir liberal tidaklah mudah bagiga mereka sepakat menambahkankalimat “Ketuhan-(Muslim), dalam mempergunakanliberalnya seseorang yang beragamaan Yang Maha Esa” sebagai akalnya tetap saja mempunyai batas.sila pertama dari Pancasila. Karena itulah MUI (Majelis UlamaDalam hal ini, sila pertama Indonesia) mengharamkan liberalismePancasila konteksnya adalah lantaran mereka menafsirkannyamemberikan semacam panduanmoral bagi keempat menggunakan kekuatan rasio.sebagai paham yang terlampausila yang lainnya. Sehinggasila pertama justru menjadi sangat penting. Namun demikian, inijangan diartikan sebagai teologisasi dari konsep Pancasila itu sendiri,tetapi memang menjadi semacam willingness, kehendak daripublik, bahwa Indonesia bukan negara sekular tetapi juga bukanteokrasi, negara agama.Pancasila dalam konteks ini, lagi-lagi, sebagai jalan tengah.Pancasila menjadi semacam dekonvensionalisasi terhadap sistemteokrasi itu sendiri. Mukadimah UUD 1945 – yang oleh beberapakalangan Islam pada waktu itu menghendaki dicantumkannyaM. Syafii Anwar – 1393


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tujuh kata yang meliputi pengaturan agar dijalankan syariat Islamsepenuhnya – menegaskan penghilangan tujuh kata. Hal tersebutmencerminkan terwujudnya kompromi politik, yang berupa gentlementagreement, atau meminjam bahasa Pak Alamsyah Prawiranegaraadalah sebagai pengorbanan umat Islam. Keputusan politikdari para pendiri republik yang sangat variatif, sebagai perwakilandari berbagai macam agama, golongan dan sebagainya, menandakankedewasaan mereka dalam melihat pluralitas. Maka, implikasi darisemua itu adalah Indonesia tidak didasarkan pada syariat Islam.Itu patut untuk disyukuri. Sebab, Indonesia adalah negara plural,meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Sehingga kalaukita lihat kembali konsep Pancasila yang pada awalnya adalahsekular tetapi kemudian, menggunakan bahasa saya, “diagamakan”,diberikan muatan-muatan keagamaan. Oleh karena itulah Pancasiladalam kerangka tersebut menjadi sangat fundamental, karenabagaimanapun juga masyarakat Indonesia adalah masyarakat yangsangat religius.Sejak awal kemerdekaan bangsa ini hingga sekarang konsep liberalismeditentang keras oleh banyak kalangan. Salah satu alasannyaadalah paham ini menyerukan kebebasan (moralitas) tanpa batas.Akibatnya, menurut mereka, di samping liberalisme berakibat padadekadensi moral, juga, lantaran ditunggangi oleh kapitalisme, memunculkankolonialisme dan imperialisme yang meminggirkan negara-negaraatau masyarakat yang miskin. Bagaimana Anda memahamikonsep ter-sebut?Istilah liberalisme memang menjadi kontroversi yang serius,bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di negara Amerika1394– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sendiri. Terlebih lagi ketika istilah tersebut dipahami sebagaipembenaran atas kebebasan yang tanpa kontrol atau tanpa kendalidan bentuk-bentuk pejoratif lainnya. Padahal, persoalannyaadalah bagaimana kita mengartikan liberalisme itu sendiri. Pasalnya,saya sendiri termasuk orang yang agak “risih” terhadapistilah liberal. Sebab, saya lebih suka menggunakan istilah progresif,walaupun terhadap ideideliberal saya setuju. Tetapi Sebenarnya kalau kita mengacudi dalam benak masyarakat pada Pancasila sebagai commonyang terlanjur melekat adalahbahwa kata liberal mem-Pancasila merupakan kalimat al-platform, maka sebenarnyapunyai konotasi yang bukanhanya sekadar ide atau Nur ihwal lambang negara tersebut.sawa, meminjam pandangan Cakgagasan. Ia tidak bisa lepas Jadi, sebenarnya Pancasila sudahdari sekularisme, kebebasan cukup memuat seluruh nilai-nilaitanpa batas, kapitalisme dan yang kita dambakan bersama bagisebagainya. Konotasi-konotasisemacam itulah yang ke-tatanan yang ideal. Persoalannyaadalah bahwa kasus-kasus terakhir,terutama setelah munculnya fatwamudian menjadikan banyakMUI, semakin menjauhkan Indonesiasekali persoalan atau kompleksitasyang muncul ter-dari cita-cita ideal tersebut.kait dengan liberalisme.Sebenarnya konotasi terhadap liberalisme semacam itu tidakhanya identik dengan pandangan orang Indonesia semata, tetapibegitupun dengan sejarahnya di Barat yang tidak sedikit mendapatkanresistensi sangat kuat. Kendati demikian, berpikir liberalmerupakan hal yang wajar dan sah-sah saja. Itu menjadi hak bagisetiap orang. Persoalannya, berpikir liberal tidaklah mudah bagi seorangMuslim. Sebab, seliberal-liberalnya seseorang yang beragamaM. Syafii Anwar – 1395


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–(Muslim), dalam mempergunakan akalnya tetap saja mempunyaibatas. Karena itulah MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengharamkanliberalisme lantaran mereka menafsirkannya sebagai pahamyang terlampau menggunakan kekuatan rasio.Namun begitu, menurut saya, justru penggunaan rasio itupenting. Persoalannya adalah jangan sampai penggunaan akal itusebebas-bebasnya dan tanpa batas, sehingga kemudian menjadikankita bersikap arogan. Berpikir liberal, rasional dan kritis merupakansesuatu yang tidak dapat dinafikan bagi cita-cita akan kemajuan,the idea of progress, walaupun begitu hendaknya pada akhirnya wehave to belief in God, kita harus percaya pada eksistensi Tuhan.Dalam konteks inilah orang seperti Ulil Abshar-Abdalla dan sebagainyameskipun mempunyai pandangan yang sangat liberal, tetapsaja menggunakan kerangka agama dalam pola pikirnya. Sehinggamudah dipahami, terutama dalam konteks pemikiran liberal dalamIslam, apabila penggunaan ijtihad sangat dianjurkan dan dirayakan.Dalam wacana keislaman konsep ijtihad belakangan kianberkembang. Tetapi, tentu saja, batasannya adalah bahwa dalamkonteks kebebasan berpikir dan memaknai setiap persoalan secaraprogresif, untuk tidak memakai istilah liberal, bagaimanapun tetapsaja referensi kita adalah al-Quran, Hadits dan beberapa ketentuanpendukung lainnya. Hanya saja, persoalannya terletak pada carapandang yang berbeda: orang-orang yang menafsirkan hal-ihwalIslam secara liberal oleh banyak kalangan mendapatkan konotasinegatif atau selalu jelek lantaran mereka melihat bahwa liberalismeterlampau menggunakan rasio secara berlebihan, sebagai konsepsiyang diimpor, sehingga para pelakunya adalah antek-antek Barat.Maka menurut hemat saya, anggapan seperti itu harus direvisidan diperbaiki, kendatipun saya tetap setuju bahwa istilah liberal1396– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–itu sendiri memang pada dirinya mengandung persoalan, bukanhanya di Indonesia tapi juga di tempat lain. Hal ini dikarenakan,jika kita mengacu pada sejarah Eropa, berkembangnya paham liberalsebagai produk historis cenderung mempunyai semangat meninggalkanagama. Sementara, berbeda dengan pengalaman Barat (Eropa),di kalangan Islam sendiriperkembangan pemikiran Pluralisme adalah sebuah sikap,liberal dalam konteks keislamanpada dasarnya sudah menghargai pandangan “the others”.sebuah pandangan yang berupayatumbuh dan berkembang di Sebagai seorang Muslim saya tetapMesir dan di beberapa negaraArab lainnya. Hal tersebut al-Islâm, agama yang paling benaryakin bahwa Inna al-dîna ‘inda Allâhiadalah Islam. Saya yakin benarditandai dengan bermunculannyamodel-model penaf-sebagai seorang Muslim – denganagama yang saya anut. Akan tetapi,siran dan temuan baru, ditentu saja, paling benar menurutsamping juga visi-visi barusaya belum tentu menurut orang lain.tentang tafsiran keagamaanSebab sebaliknya orang Kristen akansudah sangat luas dan berkembang,sebagaimana te-benar. Demikianpun sebaliknya,mengatakan bahwa ajarannya palinglah diutarakan dengan amat benar menurut mereka; bukan benarbagus oleh Albert Houranidalam bukunya, Arabic harus kita kembangkan kaitannyamenurut saya. Karena itu, di sini yangThought in the Liberal Age, dengan pluralisme adalah suatu sikap1798–1939.saling menghargai dan menghormatiSedangkan untuk konteksIndonesia, orang-orangkeyakinan masing-masing.seperti Nurcholish Madjid berandil besar dalam mengembangkanpemikiran-pemikiran liberal. Meskipun demikian, seliberalnya pandanganCak Nur tentang agama sama sekali tidak membuatnyaM. Syafii Anwar – 1397


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menjadi anti-Tuhan. Begitu pula seliberal-liberalnya Ulil Abshar-Abdalla, bagaimanapun dia tetap sebagai seorang Muslim. Terlebihdia punya basis yang cukup kuat dengan tradisi pesantrennya.Gus Dur dapat pula disebut pemikir liberal, yang walaupun menafsirkanagama dengan kekuatan rasionya, tetapi tetap seorangMuslim yang taat.Semua itu patut dipahami dalam kaitannya dengan penggunaanpendekatan-pendekatan yang mereka lakukan yang lebihmengedepankan ijtihad, pendekatan yang rasional dan yang lebihinklusif. Memang, kadang-kadang, dalam beberapa hal menjaditampak kontroversial. Namun, hal tersebut tidak bisa dikesampingkan,karena pola pikir setiap orang kerap sangat bertentangansatu sama lainnya. Tetapi bagaimanapun juga saya masih percayabahwa seliberal-liberalnya Cak Nur, Ulil, Gus Dur, misalnya, tetapsaja mereka percaya kepada Tuhan.Sejak dibukanya pintu reformasi dengan ruang politik yang terlampaulonggar, bahkan kapasitas negara juga melemah, bermunculan keinginandari beberapa kalangan umat Islam, terlebih di beberapa daerah, untukmenerapkan nilai-nilai Islam sebagai aturan positif: syariat Islam.Namun begitu, dalam praktiknya formalisasi agama malah menimbulkankompleksitas persoalan bangsa, di mana kontroversi implementasiperda-perda syariat Islam berakibat pada tercabutnya hak-hak dankebebasan sipil mereka. Bagaimana respon Anda terhadap kontroversiperda syariat Islam?Perda-perda syariat Islam yang seringkali melanggar hak-hakdan kebebasan sipil, menurut saya, bertentangan dengan konstitusi.Meskipun agama mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam,1398– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tetapi harus diingat terdapat 17.000-an pulau dengan berbagai ragametnis, agama dan kepercayaan yang harus dihormati hak dankebebasannya sebagai warga negara Indonesia.Jika mengacu pada konteks Indonesia belakangan, terlebih sejak bergulirnyareformasi, maka kita sering menyaksikan bagaimana civilrights dan civil liberties demikianpun political rights cenderungsemakin tidak mendapatkanpenghargaan, jaminan perlindungandan pemenuhan yang pendapatnya bisa diterimaMUI tidak lain kumpulan manusiadari negara. Akibatnya, kaum atau diabaikan, sebab fatwa ulamaminoritas seperti orang-orang merupakan pendapat hukum yangnon-Muslim, penganut pahamatau keyakinan di luar MUI kerap memberikan fatwa yangtidak konstitusional. Sementaramainstream, tidak mendapatkanruang dan justru malah seluruh ulama atau umat Islam dijustru tidak mencerminkan pendapatdisingkirkan. Jika kita merujukpada apa yang coba Andakeputusan politis.negeri ini, dan lebih merupakantawarkan dengan pandanganatau konsep “progresive Islam”, lantas apa sebenarnya yang dimaksuddengan istliah tersebut dan apakah mampu mendorong negara atausistem pemerintahan agar dapat lebih adil dan setara?Akar permasalahan yang harus diperhatikan adalah miskinnyapemahaman umat Islam di Indonesia terutama pada kesalahpahamandan mis-interpretasi terhadap konsep pluralisme, sebagaimanamelatari lahirnya fatwa MUI. Dalam fatwa MUI tersebut,pluralisme dengan tegas diharamkan. Sedangkan untuk kedua isulainnya, yakni sekularisme dan liberalisme, di antara umat IslamM. Syafii Anwar – 1399


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–melihatnya secara debatable, masih diperdebatkan status haram atautidaknya. Jadi, umat Islam sangat berbeda dalam memperlakukanketiga paham yang sedang kita bahas (sekularisme, liberalisme danpluralisme), di mana mereka, pada umumnya, teramat resisten terhadappluralisme. Padahal, pluralisme dalam konteks masyarakatyang sangat beragam seperti Indonesia adalah sesuatu yang niscaya,sunnatullâh. Jelas sekali bahwa pluralitas dalam dunia ini adalahsebuah keniscayaan. Dalam surat al-Hujarât dikatakan bahwa olehTuhan kita sengaja diciptakan berbangsa-bangsa, bersuku-suku agarkita bisa saling menenggang. Bahkan, di ayat lain, dikatakan “kalauTuhan mau, niscaya umatnya akan dijadikan satu.” Tetapi tidak,Tuhan malah menghendaki umat manusia berbeda-beda.Letak persoalannya adalah MUI tidak bisa membedakan antarapluraslime dengan relativisme. Dalam konteks ini, pluralismeadalah sebuah sikap, sebuah pandangan yang berupaya menghargaipandangan “the other”. Sebagai seorang Muslim saya tetap yakinbahwa Inna ’l-dîna ‘inda Allâhi al-Islâm, agama yang palingbenar adalah Islam. Saya yakin benar sebagai seorang Muslim,dengan agama yang saya anut ini. Akan tetapi, tentu saja, yangpaling benar menurut saya belum tentu menurut orang lain. Sebabsebaliknya orang Kristen akan mengatakan bahwa ajarannyapaling benar. Demikianpun sebaliknya, benar menurut mereka,tetapi bukan benar menurut saya. Karena itu, di sini yang haruskita kembangkan kaitannya dengan pluralisme adalah suatu sikapsaling menghargai dan menghormati keyakinan masing-masing.Jelas sekali dalam al-Quran dikatakan: bagimu agamamu, bagikuagamaku. Dalam konteks ini, titik tekan paling utama dari pluralismeadalah bagaimana mengembangkan tasammuh, sikap tolerandan penghargaan atas yang lain, the other. Sebab, bagaimanapun1400– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–juga menghargai keyakinan orang lain sesungguhnya bagian yangasasi dalam diri kita.Oleh sebab itu pluralisme berbeda dengan relativisme. Relativismemerupakan cara pandang yang merelatifkan semua agama.Tidak ada satu agama yang paling benar. Bahwa setiap agamamempunyai kebenarannya masing-masing. Karena itu, dalam relativisme,setiap orang mempunyai ukuran masing-masing dalammenerjemahkan kebenaran, tanpa harus merujuk pada satu atauseperangkat ketentuan yang ada dalam agama tertentu.Pluralisme juga harus dibedakan dari sinkretisme. Dalamkonteks ini, sinkretisme dalam pengertian menyamakan semuaagama. Semua agama sama; semua agama baik dan benar. Justru,pandangan seperti itu bukanlahprinsip dari pluralisme,melainkan sinkretis-Kesalahan fatal dari fatwa MUIadalah, salah satunya, menyamakanpluralisme dengan relativisme danme. Sehingga, apabila yangsinkretisme. Pandangan sepertiditekankan dalam relasi antar-agamaadalah relativismeitu tentu saja keliru. Persoalnnyaadalah bahwa kemudian fatwa MUIatau sinkretisme, maka sayaitu dikapitalisasi oleh kelompokkelompokgaris keras untukjuga menolak. Saya menolakrelativisme ataupun sinkretismekarena masing-masing lebih tepatnya, demi kepentingankepentingan mereka sendiri atau,agama mempunyai kelebihanyang diyakini kebenaran-politik kelompok keagamaan tertentu.nya. Kalau Islam tidak mempunyai kelebihan, buat apa, misalnya,saya memilih Islam? Tetapi kelebihan yang saya peroleh dari Islamtidak bisa saya paksakan kepada orang lain yang berbeda pahamteologi atau agamanya. Saya yakin Islam itu rahmatan li al-‘âlamîn.Dia mengandung ajaran-ajaran yang baik. Hal semacam itu sayaM. Syafii Anwar – 1401


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–terima bukan hanya karena keislaman saya kebetulan berasal dariketurunan saja, tetapi saya ingin mengatakan bahwa Islam adalahagama yang terbuka, ramah, damai dan sebagainya.Namun saya pun menyadari betul bahwa itu semua adalahpandangan saya. Sehingga yang harus kita kembangkan secaraserius bahwa semestinya pluralisme menjadi bentuk penghargaanterhadap keyakinan yang berbeda, terutama pada agama-agamasamâwî. Sebab, terdapat rangkaian atau semacam hubungan di antaraagama-agama itu. Maksudnya, rangkaian itu merupakan suatuketerikatan satu sama lainnya, khususnya agama Islam, Kristendan Yahudi, yang dikenal sebagai abrahamic religion, tradisi-tradisiatau warisan-warisan Ibrahim. Ada semacam kontinuitas atau kesinambungandari ketiga agama tersebut. Oleh karena itu, Islamsendiri tidak pernah menghilangkan, atau meminjam bahasanyaCak Nur merelatifkan atau menisbikan agama selain Islam, misalnyaYahudi atau Kristen. Karena Islam sadar betul bahwa merekajuga mempunyai sejarah dan mewarisi tradisi Ibrahim. Jadi, fungsiIslam di sini sebagai puncak agama memberikan afirmasi kepadaajaran-ajaran yang telah dikembangkan dan disebarkan sebelumnya,baik oleh Yahudi maupun Kristen. Sebab, jika kita membacaTaurat atau Injil, maka ada benang merah yang bisa kita telusuri,dalam konteks ini adalah pengakuan, penghargaan atau kasihsayang, toleransi dan sebagainya atas agama sebelumnya dan parapenganutnya. Yang harus kita sadari adalah masing-masing agamamempunyai pandangan teologi atau keagamaan yang berbeda dantidak bisa dipersatukan. Demikianlah pluralisme.Tetapi perbedaan merupakan hal yang wajar dalam kehidupanmanusia. Adalah hal yang sangat manusiawi apabila saya suka memakaikaos, Anda lebih suka memakai baju batik, misalnya, dan1402– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sebagainya. Namun demikian, perbedaan teologi sepatutnya tidakdijadikan sebagai alasan untuk saling mempertentangkannya, terlebihapabila didorong menjadi konflik dengan tindak kekerasan.Sebab, hanya Tuhan yang tahu kebenaran di antara teologi yangada. Sedangkan tugas dan wilayah kita sebagai orang yang beragamaseharusnya sebisa mungkin mencari titik temu dalam hal-halyang menyangkut kemanusiaan,keadilan dan kasih sayang Keberagamaan (Islam) yang inklusifdalam relasinya dengan agamaagamalainnya.konsep Barat apapun, sepanjangdan pluralis akan terbuka terhadapBagaimanapun, di antara berkaitan dengan spirit agamaperbedaan yang ada dalam masing-masingagama sebenarnya untuk berlaku adil, sebagaimanayang menuntun umat manusiaada titik temu. Titik temu di konsep hak asasi manusia (HAM)sini lebih berupa permasalahanyang menyangkut nilai-nilai Maka, pada prinsipnya, apapunyang sudah diuniversalisasikan.luhur yang bersifat universal:konsepnya selama sesuai dengankeadilan harus kita terima.welas asih, kemanusiaan, menghargaiyang lain, tolong-menolongdan sebagainya. Semua itu merupakan spirit utama dari agamayang hendaknya didakwahkan. Benang merah yang kedua adalahmasalah yang menyangkut keadilan. Agama apapun di dunia inimempunyai komitmen keadilan sebagai upaya untuk menjunjungtinggi kemanusiaan.Dalam wacana yang terkait dengan persoalan minoritas atau theother muncul pandangan bahwa pluralisme semata, dengan konseptoleransi (pasif)-nya, tidak lagi memadai. Hal ini berangkat dari per-M. Syafii Anwar – 1403


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–timbangan bahwa toleransi selama ini lebih merupakan suatu “kemewahan”yang diberikan oleh pihak mayoritas terhadap minoritasdengan sekadar membiarkan keberadaan minoritas/the other (peacefulco-existence) tanpa berusaha untuk saling mengenal dan turutpeduli, terlebih lagi, melakukan pemihakan terhadap hak-hak dankebebasan the other dalam mengekspresikan paham atau keyakinannya.Bagi beberapa pihak kemudian menawarkan konsep multikulturalismeyang mencoba memperjuangkan affirmative action terhadapkalangan minoritas yang terpinggirkan.Pandangan yang cenderung mengecilkan peran dan sumbangsihgagasan pluralisme terhadap nasib minoritas atau the other adalahsuatu kesalahpahaman. Sebaliknya, pemahaman yang benar perihalkemajemukan dalam bingkai pluralisme, manakala kita percaya danmengamininya, justru bisa menjadi cara pandang yang dapat mendorongorang untuk menghargai hak-hak sipil dan kebebasan sipil.Karenanya, dengan memahami pluralisme secara lebih baik, orangmenjadi lebih toleran dan terbuka. Wujud konkret atas pemahamanyang benar terhadap pluralisme, misalnya dalam pengalamanpribadi saya, ketika melihat fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme,maka saya, Dawam Rahardjo, Gus Dur dan para pemikirpluralis lainnya mengkritisi dan menunjukkan ketidaksetujuannyaatas fatwa tersebut, karena mengetahui betul bahwa fatwa semacamitu tidak didasarkan pada pandangan-pandangan atau riset yangsosiologis. Sehingga kritik saya terhadap fatwa MUI adalah lebihkarena fatwa tersebut terlalu berpijak terhadap pandangan teologisyang sepihak. Padahal di dalam pandangan teologis itu sendiri,banyak sekali gagasan yang lebih pluralis.Di samping itu, hendaknya juga digarisbawahi bahwa pluralismeberbeda dengan relativisme. Lagi-lagi, kesalahan fatal dari fatwa1404– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–MUI adalah, salah satunya, menyamakan pluralisme dengan relativismedan sinkretisme. Pandangan seperti itu tentu saja keliru.Persoalnnya adalah bahwa kemudian fatwa MUI itu dikapitalisasioleh kelompok-kelompok garis keras untuk kepentingan merekasendiri atau, lebih tepatnya, demi kepentingan politik kelompokkeagamaan tertentu. Sehingga, yang terjadi adalah kasus sepertiyang menimpa kelompok Ahmadiyah yang diserbu dan diusir.Di sini saya ingin tegaskan: saya bukan orang Ahmadiyah,bahkan saya tidak setuju dan menentang teologi Ahmadiyah. Pasalnya,dalam pandangan saya, teologi Ahmadiyah tidak cocok dantidak dapat dibenarkan. Namun demikian, saya akan mengecamkeras mereka yang melakukan tindakan brutal dan kriminal kepadajemaat Ahmadiyah. Merekaberhak di Indonesia dan tetap Titik tekan paling utama darimenjadi warga negara. Jangan pluralisme adalah bagaimanakemudian karena mersa sebagaimayoritas kita dengan ser-sikap toleran dan penghargaanmengembangkan tasammuh,ta-merta mempergunakan kekerasan.Sebab, bagaimanapun bagaimanapun juga menghargaiatas yang lain, the other. Sebab,juga saya tidak setuju dengan keyakinan orang lain sesungguhnyacara-cara kekerasan yang digunakandalam setiap mena-bagian yang asasi dalam diri kita.ngani gerakan atau paham yang berbeda dan baru yang tumbuhdalam Islam. Munculnya aliran-aliran baru dalam Islam, sepertiLia Aminuddin, Usman Roy dan sebagainya, menurut saya justrumenunjukkan kegagalan dakwah Islam. Mengapa ada orang sepertiLia Aminuddin dan orang yang salat dengan menggunakan bahasaIndonesia (Usman Roy)? Kita seharusnya bertanya mengapa ada sepertiitu? Menurut saya hal itu dikarenakan kegagalan dakwah IslamM. Syafii Anwar – 1405


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang dilakukan oleh sebagian ulama-ulama kita. Mereka tidak bisamenangkap esensi dari dakwah keagamaan yang disampaikan paraulama. Maka, yang jauh lebih penting di sini: jangan sekali-kalimelakukan tindakan yang represif terhadap mereka yang berbeda,melainkan harus dengan pola edukatif, bahkan, kalau mengutipapa yang dikatakan Ahmad Syafii Maarif, orang ateis sekalipunharus kita hargai. Lantas, bagaimana nasib mereka kelak setelahmati? Itu menjadi urusan Tuhan. Tetapi, belakangan ini munculpersoalan yang acapkali menjadi kian rumit dan merepotkan, yaknimanakala di tengah masyarakat para “preman berjubah” merasadirinya yang paling benar, sedangkan setiap yang berbeda pastidituduh keliru dan sesat.Gagasan pluralisme di samping untuk menentang relativisme, jugatidak kalah pentingnya sebagai antisipasi terhadap universalisme yangmonis, yang secara epistemologis teramat kuat menjangkiti para pemikirPencerahan Barat yang cenderung mempunyai cara pandanglinear dan mengerucut pada kebenaran tunggal dan total. Karena itubeberapa kalangan beranggapan konsep Hak Asasi Manusia/DUHAMjika dipahami dengan cara pandang monis dan diterapkan secarahitam-putih dapat terjebak pada “kolonialisme” dan “imperialisme”terhadap keunikan nilai-nilai dan budaya lokal.Ketika pluralisme di seret ke dalam cara pandang monis, makahal itu merupakan upaya yang salah. Sebagaimana telah diuraikansebelumnya, bahwa pluralisme merupakan sunnatullâh. Karena itu,pluralisme jutru memberikan kita pandangan yang lebih terbukadalam hidup seperti sekarang ini yang sangat kosmopolit. Artinya,tidak mungkin kita hidup dengan pandangan tunggal. Saya tidak1406– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–setuju dengan pandangan John Hick tentang pluralisme. Menurutsaya dia cenderung merelatifkan agama. Padahal, justru di tengahpluralitas itulah kita bisa melihat identitas kita sebagai manusia,sebagai makhluk yang beragama dan identitas lainnya. Tentunyakita tidak bisa begitu saja menafikan konsep pluralisme sebagaimanayang ada dalam literaturnya, yang tidak mungkin dipisahkandari sejarah panjang Eropa. Terdapat konteks yang sangat kompleksyang melatarbelakangi kemunculan gagasan pluralisme di Eropa.Dengan begitu konteks pluralismemempunyai kenyataantersendiri di Eropa.sederhana sekularisme mempunyaiMenurut hemat saya, secara lebihPersoalannya adalah bagaimanamembumikan sua-pandang yang sangat ekstrem, didua pengertian: pertama, caratu gagasan impor terutama mana dengan tanpa kompromidalam konteks pemahaman memisahkan secara tegas antarakita atas pluralisme itu sendiridi tengah sejarah danagama dengan negara; kedua melihatsekularisme secara kontekstual.kenyataan negeri ini yangberbeda dengan Eropa. Sebagaimana juga kerap terjadi pada gagasandemokrasi, yang merupakan konsep Barat, yang tidak sedikitmendapatkan batu sandungan ketika berusaha ditransfer dalamkonteks keindonesiaan.Oleh sebab itulah setiap gagasan dari luar yang hendak dicangkokkanke dalam konteks Indonesia harus dilihat secara lebiharif. Demikianpun umat Islam harus terbuka dan tidak perluantipati ketika memandang gagasan-gagasan tersebut. Maka, yangterpenting untuk lebih diperhatikan di sini adalah substansi darisetiap konsep: sejauh berkaitan dengan maqâshid al-syarî‘ah, yangmengangkat harkat luhur manusia, di mana tujuan utama dari sya-M. Syafii Anwar – 1407


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–riah adalah keadilan. Karena itu, pluralisme, demokrasi, hak asasimanusia ataupun gagasan lainnya sepatutnya disesuaikan dengankonteks Indonesia. Kendati label dan substansinya bisa bermacammacam,baik yang datang dari dunia Barat, Timur ataupun belahandunia lainnya, tetapi yang harus diperhatikan dan diberi penekanandalam melihat suatu gagasan adalah bagaimana kita tetap sadardan tahu persis bahwa hendaknya keberagamaan atau keislamankita tengah diarahkan menjadi inklusif. Keislaman yang inklusifadalah sikap, tindakan dan pemikiran yang tidak terjebak padaabsolutisme, altruisme, fundamentalisme dan pandangan sempitatau tertutup lainnya; sebaliknya, memberikan tempat dan ruangseluang-luangnya bagi the others.Jadi, keberagamaan (Islam) yang inklusif dan pluralis akan terbukaterhadap konsep Barat apapun, sepanjang berkaitan denganspirit agama yang menuntun umat manusia untuk berlaku adil,sebagaimana konsep hak asasi manusia (HAM) yang sudah diuniversalisasikan.Maka, pada prinsipnya, apapun konsepnya selamasesuai dengan keadilan harus kita terima. Sehingga tidaklah menjadimasalah menerima konsep sosialisme dan sebagainya, meskipunterkandung muatan ideologis, dengan catatan selalu berkaitandengan Islam yang berkomitmen pada keadilan. Lantas, mengapakita tidak membuat sosialisme Islam, misalnya? Lagi-lagi, semuaitu berangkat dari bagaimana cara kita memahami dan melihatkonteks. Demikianpun perihal klaim universalisme ataupun lainnya,hendaknya harus kita lihat secara inklusif.Memang persoalannya menjadi semakin rumit bagi sebagiankalangan Muslim “garis keras” yang selalu menentang gagasangagasansemacam itu. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa beberapakonsepsi Barat yang mengantarkan manusia untuk menjadi1408– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lebih adil, demokratis, inklusif dan pluralis, sebagaimana menjadiprinsip-prinsip yang kerap dirujuk dalam pandangan beberapakalangan intelektual Muslim, mendapatkan resistensi yang sangatkuat dari gerakan-gerakan Islam “salafi” yang radikal, seperti FPI,MMI, Ikhwanul Muslimin, Hamas dan sebagainya. Harus kitaakui bahwa keberadaan gerakan Islam semacam itu merupakan“penyakit” di negeri ini. Sebab, mereka mengancam integritasbangsa yang majemuk.Salah satu ciri utama gerakan salafi radikal adalah islamic textualcivilization, yakni mengembangkan peradaban Islam yang tekstual– hadlarat al-nash, istilah Arab untuk melabelkan pandanganmereka. Sehingga tafsir-tafsir mereka atas agama sangat tekstualsekali. Pasalnya, teks diperlakukansebagai teks, text is Di antara perbedaan yang adaper se as a text. Mereka tidak dalam masing-masing agamamelihat historical background sebenarnya ada titik temu. Titik temudan mengabaikan sama sekalifaktor sosiologis ketika yang menyangkut nilai-nilai luhurdi sini lebih berupa permasalahanteks itu diturunkan. Pandanganmereka sangat ahis-kemanusiaan, menghargai yang lain,yang bersifat universal: welas asih,toris dan asosiologis terhadapsebuah teks. Ini pangkalkasih sayang dan sebagainya.dari seluruh persoalan. Ayat wa lan tardlâ ‘an-ka al-yahûd..., misalnya,oleh mereka selalu dilihat secara hitam-putih. Dari sinilahpaham salafi sangat eksklusif dalam menafsir. Padahal kita jugaharus melihat konteks ketika ayat tersebut diturunkan. Ayat ituturun ketika Nabi berdakwah diganggu oleh orang-orang Kristendan Yahudi. Dalam hal ini yang dimaksudkan dari ayat tersebutadalah “orang-orang”, bukan mengacu institusi agama. Ayat ituM. Syafii Anwar – 1409


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dengan jelas menunjukkan tindakan “orang-orang”. Artinya, kalauterkait dengan orang-orangnya, banyak orang Islam sendiri yangsaat itu juga munafik dan sebagainya. Menurut versi saya, ayat itutidak menunjuk secara spesifik tentang agama. Oleh karena itu,menurut saya, Cak Nur dan kalangan intelektual Islam lainnya,jelas sekali mendorong kita semua untuk menghormati orang lainyang berbeda keyakinan dan agama lain. Karena beragama adalahbagian dari keyakinan manusia yang tidak bisa diganggu sama sekali.Demikian seharusnya cara melihat ayat di atas dan ayat-ayatal-Quran lainnya.Jika tafsir tekstual menjadi ciri utama yang menjadikan gerakan Islamsalafi radikal menjadi cenderung tertutup, lalu menurut Andaapa ciri lainnya sehingga mereka bersikap intoleran?Ciri berikutnya dari mereka adalah strick syarî‘a minded. Cirisemacam ini membuat penafsiran mereka tentang syariah sematamatadalam kerangka legal dan formalistik, yang menutup rapatterhadap pandangan-pandangan lainnya. Akibatnya, pandangan formalistikmereka teramat eksklusif. Padahal, arti sebenarnya syariahadalah jalan. Sehingga, ia harus diderivasikan pada konsep awalnya,yang lebih menyangkut aspek-aspek teologis. Sebab syariahyang berkembang belakangan lebih sebagai interpretasi yang lebihbersifat legal atau dalam format hukum. Hal tersebut terutamadidemonstrasikan, dalam sejarahnya, pada abad kedelapan setelahahli-ahli Islam tengah mendalami ilmu syariah. Celakanya, olehmereka kemudian pengertian syariah dipersempit sebagai sematamatahal yang berakitan dengan hukum, dan terutama lagi adalahhukum-hukum fikih.1410– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Padahal, substansi dari syariah yang berarti jalan adalah petunjukatau tuntunan yang lebih bernuansa nilai-nilai moral ataujuga etis. Tujuan utama dari syariah, maqâshid al-syarî‘ah, adalahkeadilan. Al-‘Adâlah (keadilan) menjadi kunci atau ruh dari syariatIslam. Inilah yang harus dilihat oleh siapapun manakala hendakmenafsirkan syariah.Apa lacur, oleh umat Islam kemudian syariah dipersempit semata-matasebagai fikih yang tafsirannya teramat literal, sangat tekstualdan merupakan pandangan agama-agama lampau yang tidak dapatditelan mentah-mentah dan harus diinterpretasikan kembali. Ciriyang ketiga dari kelompok salafi radikal yakni kecenderungannyayang anti-pluraslisme. Mereka melulu melihat pluraslime sebagaikonsep Barat, yang merelatifkan agama dan kemudian menyokongKristenisasi. Yang demikian itu adalah cara berpikir yang sangateksklusif. Jadi, problem dari seluruh persoalan keagamaan di negaraini adalah terletak pada tabiat kelompok-kelompok salafi radikalyang melihat setiap persoalan selalu dari pengamatan tunggaldengan tafsir yang literal/tekstual dan pandangannya yang legal,eksklusif dan intoleran.Seluruh uraian Anda sejak awal demikian mendambakan sebuahtatanan yang dapat menjunjung keadilan dan nilai-nilai demokratislainnya. Sementara, dalam realitasnya, negara Indonesia agak jauhdari kondisi ideal semacam itu. Lantas, dalam pandangan Anda,apa yang harus diupayakan oleh negara dan seluruh masyarakat didalamnya untuk dapat mewujudkan cita-cita bersama demi sebuahtatanan yang ideal bernama negara Indonesia sehingga minoritas dankalangan disadvantage (warga negara yang tidak diuntungkan seca-M. Syafii Anwar – 1411


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ra ekonomi, politik dan sosial) benar-benar terlindungi dan terjaminatau terpenuhi hak-haknya?Sebenarnya kalau kita mengacu pada Pancasila, sebagai commonplatform, maka sebenarnya Pancasila merupakan kalimahsawâ’, meminjam pandangan Cak Nur, ihwal dasar negara. Jadi,sejatinya, Pancasila sudah cukup memuat seluruh nilai-nilai yangkita dambakan bersama bagi tatanan yang ideal. Persoalannya adalahbahwa kasus-kasus terakhir, terutama setelah munculnya fatwaMUI, semakin menjauhkan Indonesia dari cita-cita ideal yang kitadambakan bersama. Tentu saja, kita dengan sangat jelas melihatfatwa tersebut telah dikapitalisasi. Kritik saya terhadap negara iniadalah ketidakmampuan negara memberikan perlindungan kepadawarganya. Misalnya, banyak perlakuan kelompok Islam tertentu,yang mengklaim sebagai representasi mayoritas umat Islam diIndonesia, yang sebenarnya merupakan tindak kriminal dan mainhakim sendiri karena melakukan pengrusakan, pembakaran danpengusiran terhadap Ahmadiyah dan paham teologi lainnya yangtidak mainstream dan dianggap sesat. Sementara negara, denganaparatnya, kerap membiarkan semua itu terjadi. Kendatipun dianggapsalah, jarang otoritas negara dengan tegas memproses tindakankriminal tersebut secara hukum. Sebaliknya, karena menganggapdirinya mayoritas, dengan semena-mena, mereka, yang pola pikirnyasebangun dengan gerakan salafi radikal, mengadili sendirisetiap pihak yang dianggap berbeda.Adalah hal yang wajar apabila kita tidak setuju dengan keyakinanorang lain yang berbeda, tetapi hendaknya jangan sampaimenyegel atau merusak tempat ibadahnya sampai mengancamnyawa orang lain. Tin-dakan seperti itu sama sekali tidak benar.Itu primitif. Namun, yang menjadi pesoalan: negara sangat ra-1412– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–puh, kapasitasnya lemah. Misalnya, negara atau pemerintah takuttidak mempunyai basis dukungan dari mayoritas, khawatir akanbertentangan dengan ulama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dansebagainya.Padahal, MUI tidak lain kumpulan manusia yang pendapatnyabisa diterima atau diabaikan, sebab fatwa ulama merupakan pendapathukum yang tidak konstitusional. Tidak jarang MUI kerapmemberikan fatwa yang justru tidak mencerminkan pendapat seluruhulama atau umat Islam di negeri ini, dan lebih merupakankeputusan politis. Salah satunya, ketika MUI memfatwakan bahwaperempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Pada kenyataannyaketika kemudian Megawati menjadi presiden, MUI mendukung dibawah pemerintahannya. Fatwa tentang larangan menjadi TKWyang bekerja ke luar negeri juga sama. Bagaimana mungkin fatwaitu sempat terlontar, sedangkan TKW merupakan pilihan pahitwarga negara untuk mencari pekerjaan agar dapat menghidupi diridan keluarganya. Serta masih banyak kasus lain yang menunjukkanbahwa fatwa MUI hendaknya tidak dijadikan pedoman hukumbagi umat Islam lantaran fatwa-fatwa yang diputuskan tidakdidasarkan atas konsep dan studi yang matang sesuai dengan fakta-faktaempiris. Contohnya, jika mengacu pada fatwa pelaranganmenjadi TKW bekerja di luar negeri dengan alasan jauh darisuami, keluarga dan sebagainya. Keputusan semacam itu menjadiabsah kalau negara Indonesia memang menjamin dan memberikanpeluang kerja. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa lapangankerja di negeri sendiri sangat langka dan tidak memadai, sehinggamereka terpaksa menjadi TKW. Hal ini memperlihatkan bahwafatwa-fatwa MUI tidak didasarkan atas kajian yang menyeluruh.Karena mereka hanya melihat pandangan agama secara sempit danM. Syafii Anwar – 1413


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tidak kontekstual atau melihat permasalahan-permasalahan riil yangdihadapi umat dan warga negara keseluruhan.Maka, lagi-lagi, menjadi kewajiban bagi negara untuk bisaberperan secara adil dan tegas sebagai pelaksana hukum. Hukumharus ditegakkan. Tidak boleh semata mempertimbangkan akibatpolitis dan pragmatisnya. Kalau orang-orang Islam garis kerasdemonstrasi dengan merusak dan membubarkan kafe-kafe, makanegara dengan aparatnya secara tegas menegakkan hukum denganmenangkap mereka, karena mereka jelas meresahkan. Yang harusditegakkan oleh pemerintah, tentu saja, secara etis dan legal adalahhukum nasional (positif). Kita memakai hukum yang berkaitan denganIslam hanya pada beberapa aspek perdata saja, terutama yangberkaitan dengan perkawinan dan sejenisnya. Sedangkan masalahkriminal dan pelanggaran-pelanggaran semacamya menjadi masalahpolisi dan aparat penegak hukum lainnya.Para penganut Islam garis keras sama sekali tidak mempunyaihak untuk melakukan tindakan-tindakan yang brutal dan tindakkekerasan lainnya atas apa yang mereka anggap sesat dan haram.Hukum nasional, misalnya, mengharuskan setiap pengendara mobildan motor mempunyai SIM. Kalau melanggar jelas akan dikenaihukuman. Tidak bisa hanya karena saya orang Islam, yang merupakanagama mayoritas, lantas merasa tidak memerlukan SIMdan merasa seenaknya melanggar ketentuan lalu-lintas yang sudahmenjadi ketentuan hukum nasional. Jika beberapa kalangan Islammempunyai anggapan seperti itu, sehingga mereka sesuka hatinya,tanpa mengindahkan aturan negara yang berlaku, memutuskan sendirihukum atas sesuatu yang menurutnya haram dan sesat, makaitu jelas merupakan kesalahan yang fatal.1414– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apabila merujuk pada praktik dan konsep di beberapa negara yangmenerapkan sistem pemerintahan liberal, maka negara harus berlaku“netral” atas hak dan kebebasan individu dengan dipandu ruleof law yang tegas. Pemihakan negara hanya berlaku bagi kalanganminoritas atau disadvantage, bukan terhadap mayoritas – denganmekanisme “redistribusi” yang fair atau affirmative action. Jika melihatkenyataan Indonesia selama ini, di mana mayoritas berlaku sekehendakmereka, apakah ini memperlihatkan bahwa negara tidakmenjunjung asas netralitas?Sebenarnya pangkal dari persoalan bangsa ini bukanlah karenanegara tidak netral. Jika dikaji secara menyeluruh, hal itu lebihdikarenakan lemahnya pemahaman pemerintah sendiri tentangpersoalan bangsa yang sangat kompleks. Tampaknya, pemerintahingin menjaga perasaan atau bisa jadi ada semacam kekhawatirankalau aturan pemerintah dijalankan secara tegas tanpa pandangbulu, akan ada protes dari mayoritas. Padahal kalau negara tegas,tidak akan ada protes semacam itu. Semua itu disebabkan olehkarena negara tidak tegas, dan dalam hal ini presiden sendiri jugatidak tegas. Tindakan anarkis dari sekelompok Islam garis kerasmerupakan tindak kriminal yang mestinya diproses secara hukum.Bagaimanapun hukum harus ditegakkan.Kemudian, kaitannya dengan konteks perda syariah, bagi saya,itu jelas sangat bertentangan dengan konstitusi kita. Implementasiperda melarang perempuan keluar malam, sebagaimana dipraktikkandi Tangerang, misalnya, hanya akan merugikan kaum perempuanyang beraktivitas pada malam hari, yang kemudian dengansewenang-wenang ditangkap karena kesalahan aparat penegaknya,dengan alasan memberantas pelacuran di wilayah kekuasaannya.M. Syafii Anwar – 1415


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pemerintah justru tidak melakukan penelitian atau studi yang seriuskenapa di daerahnya banyak pelacuran. Bukankah semua itumencereminkan banyaknya warga, bukan hanya di Tangerang saja,yang tidak mempunyai pekerjaan dan kondisi ekonomi yang tidakkunjung membaik. Konteks semacam inilah yang menyebabkanbanyak orang harus beraktivitas pada malam hari. Warga terpaksabekerja keras tanpa mengenal waktu.Seharusnya, yang dipikirkan pemerintah adalah mengatasipenyebab yang sebenarnya, bukan dengan membuat dan menerapkanperda syariah. Sebab itu sama sekali tidak menyelesaikanmasalah. Dalam beberapa studi yang saya lakukan, misalnya studisaya tentang syariat Islam di Aceh, kentara sekali betapa maraknyapenegakan aturan tersebut lebih semacam bentuk kapitalisasi perdasyariah. Kadang-kadang bupati atau gubernur sendiri sebenarnyasama sekali tidak mengerti alasan diterapkannya perda syariah.Yang terjadi lebih karena mereka mempunyai tujuan atau kepentinganpolitik tertentu untuk “berjualan” perda syariah. Misalnya,ada gubernur yang latar belakang pendidikannya adalah insinyur,sehingga ia sama sekali tidak mengerti, jangankan fikih, maaf saja,agama Islam pun ia tidak benar-benar mengerti. Artinya, merekatidak memahami betul perda syariah, dan menjadikan perda-perdaitu semata untuk tujuan politis. Atau istilah yang lebih tepat:politisasi syariah.Pesan apa yang hendak Anda sampaikan untuk mengatasi segenapproblem yang mengancam bahkan mencabut hak dan kebebasan warganegara, termasuk hak-hak politiknya? Lantas bagaimana Anda melihatmasa depan kemajemukan di Indonesia?1416– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pancasila, menurut saya, adalah jawaban final bagi negara ini.Pancasila tidak perlu diganti. Tentu saja, yang saya maksudkanbukan pada Pancasila yang diinterpretasikan oleh Orde Baru yangsangat hegemonik, dengan menjadikannya sebagai doktrin “asastunggal”. Saya justru mengacu terhadap Pancasila pada awal-awaldirumuskannya. Yakni pada pengertian yang dibuat bung Hatta.Karena Pancasila dalam rumusan bung Hatta, menurut hematsaya, tampaknya menjadi fundamen yang paling pas. Kita harusmenyadari meskipun umat Islam adalah mayoritas, namun Islamdi Indonesia pada sejarah awalnya juga minoritas. Islam datang ketanah air pada abad ke-13 ketika Nusantara didominasi oleh agamaHindu dan Budha. Meskipun pada masa itu kedua agama tersebutdominan, tetapi kedatangan Islam tidak disikapi secara agresif, tidakseperti yang dilakukan umat Islam Indonesia belakangan initerhadap umat yang beragama dan berkeyakinan berbeda. Lalu, kenapakemudian Islam bisa sukses? Jawabnya, karena dakwah yangdikembangkan oleh para wali atau para penyebar agama Islam saatitu adalah dakwah Islam yang bersifat kultural, bukan Islam yangpolitik. Ini yang menjelaskan mengapa Sunan Kalijaga mengkombinasikandakwah Islam dengan tradisi-tradisi lokal. Hal-hal sepertiini masih lestari hingga sekarang, sebagaimana tradisi Sekatenan diYogyakarta yang berasal dari istilah syahâdatayn.Artinya, penyebaran agama Islam tidak dengan cara dan tujuanpolitis, tetapi lebih menekankan proses dakwah yang berbentuk“indigenisasi”, atau dalam bahasa Gus Dur “pribumisasi”.Islam yang datang ke Indonesia ini tidak langsung datang dariSaudi Arabia, tetapi datang dari Gujarat. Sehingga sudah dengansendirinya mengalami proses indigenisasi. Dengan pengertian lain,menyebar dan berkembangnya Islam secara lebih luas karena Is-M. Syafii Anwar – 1417


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lam mampu berinteraksi dengan kebudayaan lokal. Untuk itulah,seharusnya Islam didorong untuk berinteraksi dengan kebajikanlokal (local wisdom), agama lokal, kepercayaan lokal dan sebagainya.Itulah proses islamisasi di bumi Nusantara yang tidak sepertidibayangkan oleh kelompok Islam radikal yang dengan pongahnyamemaksakan proses islamisasi secara “murni”, tidak melalui sentuhan-sentuhankultural.Misalnya yang terjadi di Kudus, lebih tepatnya dalam arsitekturmenara Masjid Kudus, jelas terlihat adanya pengaruh Hindu.Contoh lainnya adalah ketika Sunan Kudus menyebarkan Islampertama kali di wilayah Kudus. Ketika Hindu masih mendominasimasyarakat Kudus, Sunan Kudus mengeluarkan fatwa agar janganmenyembelih sapi, karena sapi merupakan binatang yang dianggapsuci oleh orang Hindu. Sehingga sampai sekarang di Kudus tidakada sate Sapi, yang ada sate kambing dan kerbau. Padahal dalamagama Islam sendiri tidak ada larangan untuk memakan atau menyembelihsapi, tetapi dibuatnya ketetapan itu lebih sebagai rasaempati dan strategi dakwah yang dikembangkan oleh para wali.Mereka menyebarkan agama dengan cara, pertama, bi al-hikmah,dakwah yang bijaksana. Mereka memperkenalkan Islam denganmengembangkan sikap yang bajik dan bijak dalam menariksimpati masyarakat setempat, tidak dengan gaya-gaya radikal sepertisekarang ini yang inginnya menang sendiri dan merasa palingbenar. Strategi dakwah pada awal penyebaran Islam Nusantarasecara santun dan beradaptasi dengan budaya-budaya lokal,sehingga Islam dipandang sebagai agama yang ramah. Bukan sepertisekarang di mana Islam dikenal sebagai agama yang garangdan penuh kemarahan.1418– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kedua, dalam Islam terdapat konsep maw‘izhah hasanah. Yakni,penyebaran Islam dengan memberikan contoh dan keteladananyang baik. Para wali memberikan contoh dan teladan yang baikdan lemah lembut. Cara ini sangatlah sukses sehingga penganutIslam di Nusantara terus mengalami perkembangan yang pesat. Islamisasidi Jawa yang menggunakan contoh ketauladanan dan tidakmenggunakan cara-cara yang konfrontatif dan radikal, tercermindari cara Sunan Kalijaga yang menggunakan media wayang dalammenyampaikan dan mendiseminasikan ajaran-ajaran Islam.Ketiga, konsep Islam yang disebut bi al-latî hiya ahsan, yaitudialog yang baik dan santun, sebagaimana yang dilakukan SunanGunung Jati yang berdialog dan berkomunikasi dengan para petani;Sunan Kudus berdialog dengan nelayan, dan sebagainya. Merekabetul-betul berdialog dengan baik dalam mendakwahkan Islam,tidak memaksakan kehendak. Pendekatan mereka tidaklah syarî‘aminded. Cara-cara seperti itu adalah kunci sukses berdakwah.Wawancara dilakukan di Jakarta, Januari 2007M. Syafii Anwar – 1419


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganMaman Imanul Haq FaqiehMaman Imanul Haq Faqieh, Pengasuh Pondok Pesantren al-Mizan, Majalengka,Jawa Barat dan Anggota Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa.1420


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dengan mengedepankan nurani dan semangat demokrasi, kebebasanmenafsir al-Quran bagi setiap orang diharapkan mampumenghadirkan agama tidak sebagai alat kepentingan kekuasaan(politik), tapi kekuatan moral untuk perubahan, transformasi sosial.Bagaimanapun moral agama membela setiap pihak yang terzalimi,meskipun mereka berbeda agama dan keyakinan. Karena itudalam membebaskan masyarakatnya, Rasulullah terlebih dahulumemahami hak-hak individu mereka. Sehingga penting melaluigagasan mushafahah masyarakat bersama-sama mencari jalankeluar atas berbagai konflik dan persoalan kemanusiaan sebagaiproses rekonsiliasi, dengan berlapang dada menerima setiap orangdengan keunikannya masing-masing. Bagaimanapun pluralisme,sebagai kesadaran bernegara di negeri ini, merupakan hal yangwajib.Maman Imanul Haq Faqieh – 1421


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana Anda memandang sekularisme yang sering disalahpahamimasyarakat Indonesia? Bagaimana pula seharusnya memposisikanrelasi agama dan negara?Menurut saya, sekularisme adalah upaya menempatkan agamapada proporsinya, yaitu sebagai kekuatan nilai dan moral. Padakonteks itu, agama memiliki keunikan sendiri. Ketika agama ditempatkanpada tatanan nilai publik, pertanyaan selanjutnya adalahbagaimana kalau dalam sebuah negara terdapat banyak agama?Maka, mau tidak mau, harus ada pemisahan antara agama dan negara.Dan itu dapat dibingkai dalam bentuk nasionalisme. DuluNahdlatul Ulama (NU) merumuskannya sebagai kalimah sawâ’ atautitik temu antara agama-agama. Nilai-nilai tersebut dapat diambildari nilai-nilai agama yang ada di Indonesia. Lalu negara menjadisebuah wadah untuk melindungi hak-hak warga negara tanpamembeda-bedakan agamanya. Saya kira, pada konteks itu, sekularismemenjadi sebuah nilai yang harus diperjuangkan. Bagi saya,sekularisme memperjelas kembali posisi agama dan negara.Banyak orang memahami sekularisme dari definisi klasiknya, yakniprivatisasi agama, sebuah upaya melenyapkan peran dan fungsi agamadi ranah publik. Dalam konteks Indonesia kini menurut Andabagaiamana seharusnya memaknai privatisasi dalam sekularisme?Menurut saya, pemahaman bahwa sekularisme sama denganpeminggiran agama merupakan pemahaman yang salah. Sebab, sekularismejustru muncul ketika agama terlalu mendominasi negaradan menghegemoni pikiran-pikiran yang berbeda. Sekularisme berusahamenempatkan negara dan agama pada proporsi yang sebenarnya.Jadi, jangan dibalikkan. Untuk konteks Indonesia sekularisme1422– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menjadi sangat penting, karena meskipun kita tetap menggunakanagama sebagai sebuah nilai dan pijakan, kita juga harus menghindaripelembagaan agama. Agama jangan sampai menjadi alat kepentingankekuasaan. Kita harus menempatkan agama lebih luhur, yaknisebagai kekuatan moral untuk mencapai perubahan.Kalau ada orang yang menganggap sekularisme meminggirkanagama, menurut saya itu pandangan ahistoris. Dia tidak mengertisejarah dan bagaimana seharusnya menempatkan agama. Pada kontekstertentu, saya melihat orang-orang yang kini menjadi “pemilikpemilikagama” dan pemangku(wakil) Tuhan sungguh tidakcerdas. Celakanya, sikap sekularisme menjadi sangatUntuk konteks Indonesiaatau perilaku semacam itu lebihdikarenkan tidak menda-penting, karena meskipun kitatetap menggunakan agamasebagai sebuah nilai dan pijakan,patkan “lahan” dalam negarakita juga harus menghindariatau pemerintah yang tengahpelembagaan agama. Agamaberkuasa, sehingga seringkalijangan sampai menjadi alatmenjual Tuhan dan agama.kepentingan kekuasaan. Kita harusPadahal, kita meyakini agamamenempatkan agama lebih luhur,sebagai sistem yang mengatur yakni sebagai kekuatan moral untukhubungan kita dengan Tuhan,mencapai perubahan.dengan cara mengikuti Nabidan mengelola keyakinan-keyakinan tersebut untuk kemaslahatanumum. Karena itu, jangan melihat agamanya, tapi lihatlah apa yangdilakukannya untuk kemanusiaan. Itu yang lebih penting.Pada titik itu, bagaimana menempatkan gagasan Islam yang memihakpada semangat kemanusiaan dan keadilan (emansipatoris)?Maman Imanul Haq Faqieh – 1423


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya ingin menegaskan bahwa pertama, kita tidak mungkinmelepaskan agama. Agama tetap akan menjadi bagian terpentingdalam kehidupan kita, selama kita bisa mengeksplorasi nilai-nilailuhur dan universal dari agama untuk kepentingan umum (almashlahahal-‘âmmah). Kedua, setelah meyakini agama sebagai nilai-nilailuhur, kita akan memperjuangkan maqâshid al-syarî‘ah-nya:untuk apa tujuan dari keberagamaan kita. Kalau mengacu kepadaal-Syathibi, maka tujuan keberagamaan adalah bagaimana menjaminkebebasan berekspresi, kebebasan berkeyakinan, kebebasanekonomi (hak milik), dan kebebasan untuk menjaga kelestarianketurunan yang baik (reproduksi). Dengan begitu, sampai hariini saya tetap yakin bahwa agama akan tetap menarik dan pentinguntuk menjadi sebuah kekuatan perubahan. Tetapi, jangan sampaiia dijadikan alat kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Kalauagama digunakan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentumaka agama akan menjadi candu. Ia menjadi belenggu bagiberkembangnya suatu masyarakat yang toleran.Saya tidak setuju jika kita harus kembali ke zaman Nabi. Bagisaya, zaman Nabi merupakan zaman di mana masyarakat masihterbelakang. Dan Nabi melakukan reformasi menyeluruh untukmengubah keadaan tersebut: li-yukhrij al-nâsa min al-zhulumât ilâal-nûr, mengeluarkan manusia dari kegelapan (keterbelakangan)menuju kemajuan.Setelah Nabi meninggal, sebenarnya jejak-jejak keterbelakanganitu masih tampak. Terbukti dengan munculnya beberapa fraksipolitik yang melahirkan konflik dan kekerasan. Terbununya Umar,Usman, Ali dan Sahabat-sahabat lain menjadi bukti akan kebenaranhal tersebut. Yang lebih penting dari zaman Nabi, bagi saya, adalahspiritnya, yaitu strategi perubahan masyarakat, bukan kondisi1424– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–masyarakatnya. Kita juga bisa mempertanyakan, sejauh mana kualitaspara Sahabat? Nabi menjelaskan, Sahabat itu seperti bintang.Karena itu, tak heran jika terkadang ada yang redup dan ada yangbersinar. Kita boleh memilih Sahabat mana yang menurut kita baik.Saya sendiri lebih kagum kepada Ali bin Abi Thalib. Mungkin adaorang yang lebih kagum pada Umar, Usman dan lainnya. Dan ituadalah hak dan pilihan masing-masing.Dari sebuah Hadits Nabi tadi, (ashhâbî ka al-nujûm, Sahabatkuseperti bintang), kita dapat belajar bagaimana keberagamanyang diajarkan oleh Rasulullah. Kita menjadi tahu bahwa karakterSahabat berbeda-beda. Terserah kita mau mengikuti yang mana.Ironisnya, ada juga orang mengikuti keteladanan para nabi, kemudianyang dipilih Nabi Musatetapi tanpa Nabi Harun. Saya tidak setuju dengan istilah kafirPadahal, sudah jelas Musa untuk menyebut mereka yang nonharusdibantu Harun dari Muslim. Sebab, kafir bagi saya bukansegi diplomasi. Sekarang orang yang beda agama denganbanyak pengikut-pengikut Islam, tapi orang yang zalim danMusa berjuang “demi agama”dengan jalan yang ke-korup, walaupun dia Muslim.lewat “keras” (bukan tegas) tetapi tanpa strategi, tanpa diplomasi.Pada konteks tertentu, ada orang yang ingin mengikuti Umar tapitanpa ijtihad. Sehingga yang tampak hanya kerasnya saja. PadahalUmar adalah Sahabat Nabi yang terkenal dengan ijtihadnya.Bahkan, dalam berijtihad, pada batas tertentu, Umar sampai bisa“berbeda” dengan Nabi dan ketentuan Tuhan. Sayang, yang kinidiikuti dari Umar kebanyakan hanyalah sisi kekerasannya. Di atassemua itu, kita sebenarnya telah lupa dan tidak pernah mau belajardari kondisi yang dihadapi Nabi Musa dan Umar.Maman Imanul Haq Faqieh – 1425


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Beberapa kalangan menganggap Piagam Madinah sebagai bentuk awaldari negara Islam. Bagaimana Anda memposisikannya?Saya setuju bahwa Piagam Madinah adalah sebuah produkmaju pada zamannya. Di situ Rasulullah mengakomodir semuakelompok berbeda sebagai satu kesatuan. Ada Islam, Yahudi, Kristendan sebagainya. Dalam konteks itu, Piagam Madinah terlihatbegitu menarik. Namun, tentu belum cukup untuk menganggapnyasebagai tipe ideal masyarakat madani. Meski demikian, PiagamMadinah jelas merupakan percontohan awal atau starting pointNabi bagi kehidupan bermasyarakat, dan kita harus melanjutkanperjuangannya.Piagam Madinah tampak telah memunculkan penempatan wilayahprivat dan publik dengan cukup baik. Piagam Madinah sendiri lebihmerupakan aturan publik yang sama sekali tidak berbasis pada landasanteologis keagamaan.Menurut saya yang terpenting untuk kita ambil dari PiagamMadinah adalah spiritnya, bukan mencontoh bulat-bulat semuayang kita anggap ideal darinya. Idealitas Piagam Madinah justruterletak pada nilai dan semangatnya. Namun demikian, kita tidakbisa menerapkan cara Nabi membentuk negara Madinah ke dalamkonteks sosial budaya masyarakat Indonesia masa kini. Nabi selalumengatakan innamâ bu‘istu li-utammima makârim al-akhlâq, akudiutus bukan untuk menghancurkan, atau melenyapkan, tetapi untukmenyempurnakan akhlak, menyempurnakan kearifan-kearifanyang telah mengakar di masyarakat. Jadi, uswah dan qudwah Nabibisa kita terapkan di Indonesia, tanpa harus menghancurkan tradisi-tradisilokal yang sudah berkembang.1426– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sayang nilai-nilai Piagam Madinah yang kerap dimunculkan di Indonesiamalah bentuk simbolik dari hukum agama, seperti yang tampakpada tuntutan formalisasi syariat Islam. Lebih dari itu, praktiknyajustru cenderung memaksa dan mendiskriminasi kaum minoritas.Bagaimana menurut Anda?Saya lihat ada persoalandengan cara beragama kita, Munculnya perda syariah, menurutorang Islam di Indonesia. saya, merupakan pertama, bentukKita seperti orang yang merasatertindas, rendah diri, kemampuan diri sendiri. Kedua,ketidakpercayaan kita terhadapdan tidak mempunyai kemampuanuntuk berkompe-menggali atau melakukan diagnosabentuk ketidakcerdasan kita untuktisi secara sehat dengan kekuatanlain. Lalu, kita sela-terhadap persoalan-persoalan yangada di masyarakat. Ketiga, kitamemang selalu punya keinginanlu menjustifikasinya denganuntuk mempolitisasi agama, padahalthe great tradition. Tradisiagama adalah milik Tuhan.Islam, pada masa Nabi, seolahmenjadi sesuatu yangsempurna dan harus diimplementasikan di masa kini. Inilah yangdisebut tadayyun ‘alâ al-khathr, lâ tadayyun ‘alâ al-ma‘nâ. Modelberagama yang kerap ditampilkan hanyalah aspek simbolik dariagama, simbol Nabi, simbol Piagam Madinah, simbol jubah, sorban,janggut dan sebagainya. Kita kerap mengatakan bahwa Islamadalah agama yang paling bagus, karena itu, non-Islam harus masukIslam. Cara beragama seperti itu tak ubahnya dengan memperdagangkanagama, sementara tidak mengambil spiritnya.Munculnya formalisasi atau perda syariah di Indonesia menunjukkanketidakmampuan kita mencari formulasi yang “cerdas” untukmenyelesaikan beragam persoalan yang ada. Memunculkan perdaMaman Imanul Haq Faqieh – 1427


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–syariah sama saja dengan orang yang berdoa karena stres berat.Padahal, itu merupakan kesalahan fatal. Bangsa kita memerlukansolusi lewat kejernihan pikiran atas segala penyakit yang menimpa.Sekarang begitu banyak orang hanya menawarkan obat tapi tidakpernah dengan serius menelisik jenis penyakit apa yang dideritabangsa ini. Marak munculnya perda syariah, menurut saya, merupakanpertama, bentuk ketidakpercayaan kita terhadap kemampuandiri sendiri. Kedua, bentuk ketidakcerdasan kita untuk menggaliatau melakukan diagnosa terhadap persoalan-persoalan yang adadi masyarakat. Ketiga, kita memang selalu punya keinginan untukmempolitisasi agama, padahal agama adalah milik Tuhan.Bagaimana dengan khilâfah islâmiyah yang diusung oleh HizbutTahrir Indonesia dan teman-temannya?Sebenarnya saya termasuk orang yang kagum dengan temantemanHizbut Tahrir Indonesia. Mereka turut mencerdaskan masyarakatmelalui berbagai seminar dan kajian. Tapi saya sangat kecewadengan mereka, karena cara mereka mengajak masyarakat berupaindoktrinasi. Mereka ingin mendesain masyarakat agar mengikutiide yang diusungnya dengan cara memaksakan kehendak dan indoktrinasi.Memang, masyarakat diajarkan “melek” politik. Tapimereka mengarahkannya hanya kepada khilâfah. Problem apapundi negeri ini seolah akan selesai dengan mengimplementasikankhilâfah islâmiyah. Saya kira model dakwah mereka ini harus diperbaiki.Karena masyarakat tidak semuanya bodoh, maka biarkanmasyarakat kita tetap cerdas dengan memilih sendiri apa yangmereka inginkan. Tuhan saja memberi kebebasan dalam berpikirdan menentukan pilihan-pilihan terbaik demi kehidupan yang1428– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dikehendaki kita sebagai manusia. Lihat al-Quran, Tuhan hanyamemberikan nilai-nilai universal, kemudian masyarakat sendirihendaknya mampu berpikir dan mengolahnya untuk kepentingankehidupan dan kemanusiaan. Tuhan sangat demokratis, mengapakita tidak bisa?Perkembangan wacana sekularisme belakangan tidak lagi menafikanperan agama di ranah publik. Problemnya, agama, khususnya agamasemitik, cenderung bersifat eksesif dan ekspansif, sehingga yang tampakdi publik adalah wajah agama yang tidak toleran. Menurut Andabagaimana seharusnya memposisikan agama di wilayah publik?Bagi saya, agama harus tetap menjadi sesuatu yang pentingdalam sebuah perubahan. Tetapi saya tidak setuju jika agama dijadikanalat kekuatan politik dalam bentuk formalisasi syariat Islam.Saya tidak setuju karena formalisasi hanya akan menyempitkandan merendahkan agama. Mestinya, agama menjadi sebuahnilai pendorong dari dalam, selaras dengan teori al-‘aqîdah. SeorangMuslim harus meyakini akidah dari dalam hatinya. Misalnyaseorang muslim belajar bahwa Tuhan adalah satu. Itu harus betulbetuldiyakini dari dalam hati. Karena yang satu hanya al-Khâliq(Allah), sementara makhluk itu banyak, beragam dan karenanyaharus bersatu. Bagi saya, akidah adalah akar atau fondasi bertindakdan bergerak umat beragama (Islam).Tetapi akibat pemahaman akidah yang tidak lurus – terutamapandangan banyak kalangan konservatif yang partikular dari tekstekskeagamaan – kini dipakai untuk menyerang orang lain. Padahal,kalau akidah dimaknai sebagai akar, maka tidak mungkin akartiba-tiba menyerang orang lain, karena akar tempatnya di bawah.Maman Imanul Haq Faqieh – 1429


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam konteks itu, menurut saya, telah terdapat kesalahpahamandalam memaknai agama. Kalau kita berakidah dengan kuat, makakeberadaan batang yang kokoh dan menjulang justru akan menjadipelengkap sistem yang memperkuat. Lalu, muncul dahan yangrindang tempat berteduh semua makhluk. Begitu pula buahnyabisa dimakan oleh siapapun. Saya tidak setuju dengan istilah kafiruntuk menyebut mereka yang non-Muslim. Sebab, kafir bagi sayabukan orang yang memiliki agama berbeda dengan Islam, tapiorang yang zalim dan korup, walaupun dia Muslim.Pada konteks ini, kita harus meyakini agama masing-masing.Jangan sampai kehilangan identitas. Karena menurut saya pluralismesama sekali berbeda dengan relativisme. Pluralisme adalah memahamidiri sendiri sebagai orang yang beragama dan menerimaorang lain (the other) yang berbeda untuk melakukan kerja-kerjasosial berdasar keyakinannya. Yang saya tidak suka, misalnya, adaorang yang memahami pluralisme dalam arti semua agama sama.Padahal jelas berbeda. Setiap agama unik dan berhak untuk mendakwahkanajarannya. Tetapi dakwah dalam konteks ini hanyalahdakwah yang bersifat sosialisasi semata, layaknya kampanye. Kitaboleh mengatakan, “ini lho Islam yang peduli lingkungan.” Namunkita tidak boleh menjelek-jelekkan agama lain. Sebab, dalam hukumdagang pun kita diperbolehkan untuk mengatakan bahwa produkkita paling bagus, tapi tidak boleh mencela produk orang lain.Maka dalam beragama kita boleh yakin bahwa Islam adalahyang paling bagus, namun demikian tidak boleh menyerang Katolik,Kristen, Hindu, Budha, dan komunitas lainnya. Biarkan merekahidup dan berkembang, selama tidak mengganggu dan tidakmelanggar aturan negara. Untuk mengaturnya kita perlu Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.1430– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tapi persoalannya, mengapa Ahmadiyah bisa diusir dan rumahserta tempat ibadahnya dibakar oleh orang atau komunitas yangtindakannya mengatasnamakan fatwa atau keputusan MUI danPemerintah Daerah? Saya kira orang yang melakukan hal tersebutadalah orang yang tidak mengerti Indonesia. Kalau MUI sadar dengankeindonesiaanya (MUI: Majlis Ulama “Indonesia”) maka iaharus menerima keragaman.Kalau dia tidak bisa menerimakeragaman maka tidak batas, tapi sebuah upaya menghargaiLiberalisme bukan kebebasan tanpausah ada di Indonesia. Apa hak-hak individu. Setiap individualasannya MUI Indramayu mempunyai hak-hak dasar seperti hakmengatur keyakinan KomunitasDayak Losarang? Itu dan sebagainya. Jika liberalismehidup, hak berekspresi, hak beragama,pun tidak ada atau sama sekalibukan urusan MUI. Se-terhadap hak-hak dasar itu, makadipahami sebagai penghargaanbab, kalau peran MUI ingin seharusnya agama menjadi elanlebih bermanfaat buat kehidupanumat Islam dan selu-vital perubahan. Ini selaras denganbeberapa ayat yang menyebutkanRasulullah diutus untuk meringankanruh warga negara, mengapabeban-beban manusia.MUI tidak mengurus paraTKW yang dizalimi; mengecam,dengan fatwanya, para pelaku korupsi, penjahat pembalakanliar atau perusahaan-perusahaan pembuang limbah pencemar lingkunganyang sangat merugikan kehidupan bersama.Bagaimana pandangan Anda tentang liberalisme, yang sering dipahamioleh banyak orang sebagai pandangan kebebasan tanpa batasdan karenanya harus ditolak?Maman Imanul Haq Faqieh – 1431


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Liberalisme bukan kebebasan tanpa batas, tapi sebuah upayamenghargai hak-hak individu. Setiap individu mempunyai hakhakdasar seperti hak hidup, hak berekspresi, hak beragama, dansebagainya. Jika liberalisme dipahami sebagai penghargaan terhadaphak-hak dasar itu, maka seharusnya agama menjadi elan vital perubahan.Ini selaras dengan beberapa ayat yang menyebutkan Rasulullahdiutus untuk meringankan beban-beban manusia. KetikaNabi Muhammad ber-khalwat di Gua Hira yang terletak di JabalNur, beliau bisa ber-takhannuts dengan khusyu’, tetapi matanya bisaterus menatap Mekah sambil berpikir untuk melakukan perubahan.Dia berpikir bagaimana cara menghadapi kelompok pembesaryang memegang kendali ekonomi, adat, suku dan sebagainya. Diaterus bekonsultasi dengan Allah.Artinya, sebenarnya semangat dasar liberalisme sudah terdapatpada Rasulullah. Bagaimana Rasulullah, sebagai orang yang beragama,bisa membebaskan masyarakatnya, dimulai dari upayanyauntuk memahami orang lain. Beliau memahami hak-hak individumereka. Karena itu, ketika Muhammad diutus menjadi Nabi, diatidak langsung menghancurkan umat yang ada di sekitarnya. Diamembicarakan terlebih dahulu dengan baik-baik. Dia mengetukpintu Umar saja sampai 100 kali. Semua yang dialami dan dibawakanoleh Nabi bukan sesuatu yang tiba-tiba dan sekali jadi. Wahyusendiri melakukan dialektika dengan masyarakat yang ada.Pada konteks itu, liberalisme justru sangat relevan dengan tujuankeberagamaan kita. Bagaimana ia memberi ruang kepada semuaorang untuk dapat mengekspresikan dirinya sendiri. Nabi menyebutnafsah, karena itu individu-individu harus memahami dirinya.Sebab, bagi manusia, mempunyai kesadaran diri itu penting. Setelahmengenal diri sendiri, baru dia mengenal Tuhan. Sayangnya,1432– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang terjadi sekarang tidak begitu. Sebaliknya, kebanyakan orangmencoba terlebih dahulu mengenal Tuhan, baru kemudian diri.Padahal Hadits Nabi justru mengatakan man ‘arafa nafsahu faqad‘arafa rabbahu. Itu perkataan Nabi Muhammad yang diambil dariHermes, gurunya Plato. Konon Hermes adalah Nabi Idris. Hermesmengatakan, “jika kamu mengenali dirimu, kamu sadari dulu,bahwa kamu mempunyai hak-hak dasar, kamu boleh hidup, kamudiberi hak untuk mengakses informasi, baru kemudian kamu akanmengenal Tuhanmu.”Jadi, yang terjadi sekarang, kebanyakan pendakwah pun mengajakorang untuk terlebih dahulu mengenal Tuhan, sementarapengenalan terhadap diri, belum apa-apa sudah dipasung. Makapelarangan Islam terhadap berhala, sebenarnya bukan bermaksuduntuk melarang patung atau seni rupa. Yang terlarang dari pelaranganIslam itu adalah praktik pemberhalaannya. Saya telah menulisbuku tentang hal itu. Pemberhalaan itulah yang justru sekarangmuncul kembali. Kalau dulu berhala diberi nama lattâ, ‘uzzâ danmanât, maka sekarang berhala itu bisa bernama kekuasaan, kekayaan,jabatan, maupun pejabatnya sendiri, para ulama, kiai atauhabib. Semuanya bisa menjadi berhala.KH. Ma’ruf Amin pernah mengatakan bahwa ketika beragama makaorang menjadi tidak bebas, karena harus tunduk pada hal-hal yangsudah menjadi ketentuan Tuhan. Bagaimana pendapat Anda terhadappandangan seperti itu, sementara Anda melihat bahwa agama justrumempunyai spirit pembebasan, keadilan, dan kesetaraan?Sebenarnya istilah agama sendiri dalam bahasa Arab masihdebatable. Cara beragama kita selama ini problematis, karena seo-Maman Imanul Haq Faqieh – 1433


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lah-olah kita berhutang kepada Tuhan. Kita merasa berhutang karenadiciptakan oleh Tuhan. Justru kita harus belajar dari Tuhan,bagaimana Ia menghargai betul peran kemanusiaan kita denganmenjadikan kita sebagai makhluk yang berpikir, punya rasa, danboleh berbeda pendapat dengan-Nya. Kita diperbolehkan untukberiman ataupun tidak beriman. Semua diserahkan kepada pilihankemanusiaan kita.Tetapi ketika beriman, pada saat itu jugalah kita tidak bebas. AyatLakum dînukum waliya dîn dipahami Ma’ruf Amin sebagai ayatyang membicarakan kondisi kita sebelum beragama. Pada saat itu,kita bebas memilih. Namun setelah beragama, kita harus patuh padaaturan-aturannya. Bagaimana menurut Anda?Benar, pasti ada nilai-nilai yang harus ditaati ketika kita beragama.Sebagai orang Muslim, saya wajib salat, haji, zakat, dansebagainya. Karena itu merupakan konsekuensi logis setelah sayabersyahadat. Sebagaimana ketika saya masuk sekolah, maka sayaharus mengikuti aturan yang ada dalam sekolah, seperti memakaiseragam, datang tepat waktu, dan sebagainya. Tapi bagaiamana carasaya salat, itu tidak diatur secara detil oleh agama (Kitab Suci). Iatidak mengatur bagaimana berpakaian ketika salat. Tuhan hanyamengatakan bahwa salat itu wajib. Demikianpun tidak ada siapayang mengatur kapan waktu dan di mana tempatnya, apakah semuaitu harus sama. Belum lagi mazhab yang berbeda dan sebagainya.Saya setuju dengan Ma’ruf Amin pada konteks itu. Karenakita telah masuk ke sebuah sistem yang bernama Islam, maka kitawajib salat dan sebagainya. Tapi, kalau soal-soal lain saya berbedadengan Ma’ruf Amin. Bagi saya, kalau seseorang sudah salat, maka1434– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dia termasuk ikhwânukum fî al-dîn, saudara seagama. Maka, tidakada alasan bagi kita menyuruh pengikut Ahmadiyah untuk bertaubat.Wong dia salatnya sama dengan kita.Bagaimana Anda menanggapi 10 (sepuluh) kriteria sesat yang dikeluarkanoleh MUI?Menurut saya kriteria tersebut sangat tidak relevan. MUI sepertitidak ada pekerjaan saja. Kalau dia mau bekerja, lebih baikmengkritisi orang yang buang sampah sembarangan atau pejabatyang korupsi. Menurut saya MUI bisa dipertahankan bila menjadiforum silaturahmi dalammengeksplorasi persoalan umat Justru kita harus belajar darikemudian mencarikan solusinya Tuhan, bagaimana Ia menghargaiyang cerdas, humanis, dan adil. betul peran kemanusiaan kitaMUI harus berhenti membuat dengan menjadikan kita sebagaifatwa-fatwa sesat. Karena sesat makhluk yang berpikir, punyadalam konteks negara hanya digunakanuntuk sesuatu yang je-dengan-Nya. Kita diperbolehkanrasa, dan boleh berbeda pendapatlas-jelas melanggar undang-undang.Dengan fatwa sesat ter-beriman. Semua diserahkanuntuk beriman ataupun tidaksebut, MUI sebenarnya telah kepada pilihan kemanusiaan kita.merusak hubungan antar-warganegara. Sehingga yang harus dianggap sesat adalah orang yangngemplang pajak, menebar kebencian, anarkisme atau yang melakukangerakan separatisme. Ahmadiyah yang salatnya tetap menghadapkiblat, berpuasa, memperjuangkan pendidikan dan sebagainya,lantas kenapa kita bilang mereka sesat?Maman Imanul Haq Faqieh – 1435


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Anda menyebut MUI tidak pernah mengurusi masalah yang bersentuhanlangsung dengan masyarakat seperti keadilan, kebersihan,korupsi, dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi pada kanunkanunsyariah, yang tidak mengatur hal-hal yang sekarang menjadimasalah konkret seperti kemiskinan, korupsi dan sebagainya. Inisungguh dilematis.Saya ingin kembali mengajak orang untuk memahami Islamsebagai sistem yang menarik. Islam, kata Nabi, berdiri di atas tigapilar: îmân, Islâm, dan Ihsân. Iman melahirkan akidah yang merupakanpersoalan individu. Kalau keyakinan atau keimanan seseorangkuat (al-‘aqîdah al-jazîmah) maka tidak akan ada korupsi.Dan itu harus ditanamkan baik-baik oleh kita secara individu. Inimenjadi fondasi yang kuat bagi kaum beragama. Kalau imannyasudah kuat, maka keberislaman kita yang disimbolkan dengan syariah(al-fiqh), seperti salat yang kita lakukan, semestinya bukan diniatkanuntuk mencari pujian, melainkan karena dorongan iman.Ketika kita mengimani hari akhir, maka kita meyakini bahwa yangkita lakukan di dunia ini akan dimintai pertanggungjawabannyakelak. Dengan itu, kita akan memperbaiki kinerja, penegakan hukumdan sebagainya. Keberislaman kita menjadi tidak hanya ritualtetapi sosial.Selanjutnya dari pilar terakhir, ihsan, akan muncul satu keyakinanbahwa salat yang baik adalah salat yang melahirkan dampaksosial. Mushallîn adalah seseorang yang tidak menelantarkananak yatim (yadu‘u al-yatîm). Salatnya orang yang beriman belummemiliki efek sosial kalau masih menelantarkan anak yatim. Tapi,yatim pun memiliki beberapa definisi. Dalam salah satu maqâlahnya,al-Syafii mendefinisikan yatim bukan orang yang tidak me-1436– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–miliki ayah, tapi orang yang tidak punya ilmu dan moral. Artinya,seorang yang sudah istiqâmah melakukan salat harus juga seriusmemperjuangkan pendidikan bagi semua kalangan.Dari tiga teori ushûluddîn itu muncullah Islam fraksional.Misalnya, perdebatan dalam ilmu kalam atau tauhid yang begitubanyak memunculkan aliran seperti Mu’tazilah, Jabariah, Qadariyah,Sunni dan lain sebagainya. Ihsân melahirkan tasawuf, akhlâqmelahirkan filsafat akhlak, fikih melahirkan banyak mazhab. Kinisebenarnya masih terjadi pertarungan dalam tubuh Sunni: antaraWahhabisme dari Hambali dengan Syafii yang moderat, denganperdebatan yang demikian kompleks. Lantas kalau MUI membicarakanIslam, sebenarnya Islam mana yang dibicarakan. Meski demikian,Tuhan tidak pernahberubah, tetap satu.Paham liberalisme sudah ada padaMeski perdebatan dalamtradisi Islam begitu sebagai orang yang beragama,Rasulullah. Bagaimana Rasulullah,kompleks dan melahirkan bisa membebaskan masyarakatnya,banyak aliran, sebagian besarmasyarakat Islam sebe-memahami orang lain. Beliaudimulai dari upayanya untuknarnya tidak mampu mengakseshal atau kondisi itu.memahami hak-hak individu mereka.Mereka hanya tahu dari aspek fikih. Sebab, buku-buku fikihcenderung murah sehingga mudah diakses. Lalu, fikih dianggapsebagai satu-satunya acuan. Maka wajar jika pandangan keagamaanmereka menjadi sempit. Mereka jarang membaca tafsir,ilmu kalam, apalagi târîkh (sejarah). Kalau kita membaca tafsirmaka akan diketahui betapa banyak titik temu antara Islam denganagama lain. Tafsir tentang pengorbanan, misalnya, ternyatadalam Kristen pun ada.Maman Imanul Haq Faqieh – 1437


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Di Indonesia banyak orang yang tidak suka dengan perkembangantafsir yang menggunakan metode hermeneutika. Menurut Anda sampaibatas mana kebebasan tafsir dimungkinkan?Al-Quran adalah teks terbuka yang bisa dibaca semua kalangan.Al-Quran akan memberi pencerahan dan hidayah terhadap semuapembacanya. Maka, semua orang bisa “menafsirkan” al-Quran baikdengan menggunakan alat ataupun tidak. Alat atau metodenya bisaberbeda, termasuk menggunakan metode hermeneutika sekalipun.Semuanya tidak menjadi masalah selama penafsiran itu dilandasisemangat menggali isi al-Quran, berangkat dari nurani, serta bisamembawa perubahan, termasuk perubahan pada dirinya sendiri.Penafsiran bisa berbahaya bila dilandasi nafsu dan pikiran kotor,serta melakukan ketidakadilan dengan mencari penafsiran untukkepentingan sendiri seraya menghakimi pendapat atau penafsiranorang lain. Sebab, pada akhirnya publiklah yang akan menilai hasilpenafsirannya. Kalau tafsirnya tidak cocok dengan prinsip kemashlahatan,keadilan dan kesetaraan, apalagi mencederai kemanusian,maka sang penafsir (ulama atau siapapun) akan ditinggalkan olehmasyarakat. Masyarakat kita akan sangat membenci tokoh agamayang tidak konsisten. Contohnya, belakangan masyarakat cenderungmeninggalkan kiai yang tidak konsisten dengan penafsiran teks-tekskeagamaan, yang cenderung mengeksploitasi agama hanya untuk“kepentingan sesaat”. Fenomena kemenangan SBY pada Pemilu2004 lalu menjadi cermin bahwa pertarungan politik menjadi ajangbalas dendam publik, masyarakat awam, terhadap para kiai.Dalam konteks tafsir, kita bisa membandingkan antara CakNur dan Gus Dur. Cak Nur adalah orang yang sangat tertib dalammengutip surat, ayat, dan tafsir mana yang dirujuk dalam me-1438– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nafsirkan al-Quran. Sementara Gus Dur cenderung “ngawur” danseenaknya. Tapi, ternyata yang lebih diterima masyarakat adalahtafsir Gus Dur. Karena ada semangat perubahan yang dibawanya.Gus Dur tidak terlalu banyak mengutip ayat dan tafsir, yang terpentingadalah kontekstualitas pemikiran.Oleh karena itu, menurut saya, biarkan orang awam menafsirkanal-Quran. Ajarkan kepada mereka cara menafsirkan al-Quran.Sehingga mereka mengetahui apa yang ingin dikatakan Tuhan dalamal-Quran. Dalam menafsirkan bisa saja, misalnya, saya tidakpeduli siapakah Musa, karenasaya tidak mengerti sejarah. Konsep mushâfahah adalahTetapi di mata saya, Musa itu bagaimana kita berlapang dadasaya sendiri. Sosok yang tidak dan menerima orang denganmampu menghadapi Firaun. keunikannya masing-masing.Kemudian saya memakai jalur Selain itu, mushâfahah juga berartidiplomasinya Harun. Begitupunketika saya membaca Abu erat untuk bersama-sama memikulberjabat tangan, artinya, berpegangLahab, tidak perlu tahu Abu persoalan kemanusiaan danLahab itu siapa. Bisa saja yangmerumuskan solusinya.diperlukan adalah pengertianbahwa Abu Lahab adalah orang yang membiarkan istrinya ketikamelakukan gosip, dan sebagainya. Model penafsiran semacam itujustru sangat menarik bagi saya. Karena itulah, tugas ulama bukanmembatasi apalagi memarahi orang yang menafsirkan al-Quran secaraberbeda. Dan kalau ada penafsiran yang “melenceng”, ulamacukup memberikan peringatan.Teman-teman seperti Ulil Abshar Abdalla dan lain-lain, dalambanyak hal, membawa semangat yang berbeda. Mereka inginmencari spirit yang baru, mendobrak sesuatu yang baku. SoalMaman Imanul Haq Faqieh – 1439


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–apakah dia salah atau lainnya, yang lebih arif adalah bagaimanaulama membuat wacana baru untuk meng-counter-nya. Siapapunberhak memilih wacana mana yang terbaik dan mana yang tidak.Sebagaimana para penjual ikan bandeng yang berjajar, mereka tidakperlu bersaing dengan cara menyingkirkan, karena semuanyaberhak menawarkan ikan jualannya kepada pembeli. Artinya, masyarakatakan memilih mana yang bagus dan murah dan manayang sebaliknya.Bisa jadi hal tersebut menimbulkan masalah baru. Sebab jika penilaianbaik-buruk dan benar-salahnya tafsir diserahkan kepada publik,sementara publik memiliki aneka ragam latar belakang, lantasbagaimana jika publik ternyata telah terkontaminasi oleh pemahamanIslam yang fundamentalis yang membenarkan kekerasan terhadapmereka yang berbeda?Betul, kekhawatiran seperti itu memang wajar muncul. Olehkarena itu, yang bisa dikedepankan untuk mengantisipasi maraknyawacana fundamentalistik di masyarakat adalah dengan selalumemunculkan counter wacana. Bagaimana caranya agar kelompokberagam di masyarakat itu memproduksi wacana yang juga beragam,sebanyak-banyaknya, dan dilakuakan dengan semangat salingmenghargai, menghormati, tanpa pemaksaan dan kekerasan.Kalau masyarakat kita diam saja, atau lebih parah lagi menerimabulat-bulat dan mengikuti penafsiran seorang tokoh, berarti kitatelah gagal mencerdaskan umat. Kita gagal membawa misi agamasebagai pencerahan. Kita masih membuat masyarakat tidak berdayadengan agama.1440– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Mungkin harus ada kriteria lain agar kebebasan menafsir tetap terjaga,namun tidak bebas begitu saja tanpa batasan. Artinya, tidak semuakeabsahan penafsiran diserahkan kepada publik.Ya, saya setuju bahwa masyarakat diberi keleluasaan memilihmodel penafsiran agama. Namun ketika menafsirkan al-Quran tetapada kriteria yang secara tidak langsung membatasi penafsiran yangsembarangan. Yang ditawarkanke masyarakat bukanlah Kita harus mendesak pemerintahitem per-tafsirnya, tetapi lebihpada bagaimana mereka sebagai sebuah sistem, membuatagar menjadikan pluralismediberikan perangkat metodologinya.Masyarakat tahu menjadikannya sebagai kesadaranregulasi pluralisme yang jelas danbahwa menafsirkan al-Quranseharusnya begini dan boleh Katolik dan lain sebagaianya,bernegara. Anda boleh Muslim,begitu. Dan dengan itu, biarkanmereka senang berbi-tapi pluralisme dan bersikap pluralisadalah hal yang wajib di negeri ini.cara dengan al-Quran danmengetahui isinya tanpa melalui orang lain. Sehingga diharapkanmereka menjadi dewasa dengan menghargai perbedaan tafsir; tidakdengan cara-cara pemaksaan dan kekerasan dalam menyikapiperbedaan tersebut.Dalam konteks itu, bagaimana seharusnya kita tempatkan persoalanibadah keagamaan seperti salat dan sebagainya, lantas sisi apakahyang lebih penting dari salat: implikasi sosialnya ataukah pelaksanaanritualnya?Maman Imanul Haq Faqieh – 1441


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam hal ini saya tetap setia dengan pendapat yang sedikitkonservatif, yang agak mirip dengan Quraish Shihab, yaitu bahwakita harus setuju apa yang dikatakan oleh Ma’ruf Amin bahwaketika seseorang memilih sistem agama, maka ia harus mengikutinya.Artinya sebagai Muslim kita harus melaksanakan salat. Tapi,apakah salatnya harus sama dengan mainstream, ini yang menururtsaya boleh beragam, namun tetap dalam satu tujuan. Bila adayang berbeda, jangan buru-buru dituduh sesat, melainkan harusterlebih dahulu didialogkan, kenapa dia atau yang lainnya memilihcara salat yang berbeda? Kemudian, selain pelaksanaannya, dampaksosial dari salat juga kita harapkan muncul. Tapi kalau ada yanghanya mementingkan esensinya – misalnya berpandangan bahwasalat tidaklah menjadi ritual yang diwajibkan, sebaliknya yang harusdikedepankan adalah kesalehan publiknya, sebagai inti dari salatitu sendiri – itu urusan masing-masing.Saya termasuk orang yang konservatif dalam soal-soal ritualyang diwajibkan agama. Karena dari pesantren, saya tetap berpikirbahwa melaksanakan haji, thawâf dan sejenisnya haruslah keMekah. Tetapi, kalau ada orang yang beranggapan bahwa berhajitidak harus pergi ke Mekah, misalnya dengan memaknai thawâfsebagai etos kerja untuk terus mencari rizki Allah selama tujuhhari, sa‘î adalah bentuk perjuangan seseorang terhadap kesuciandan ketinggian, bukan hanya pada simbol berlari kecil antaraShafa dan Marwah, itu pun tetap kita hargai. Saya juga membacareferensi bagaimana dalam beragama seseorang memahami esensiseperti itu. Bagi mereka, esensi jauh lebih penting, karenanya ritualdan training ibadah bisa ditinggalkan. Dalam perdebatan sepertiitu, kita ambil hikmahnya saja. Berkaca dari sejarah, akibatcara berpikir demikianlah yang kemudian memunculkan Syekh1442– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Siti Jenar. Baginya, tidak perlu salat, zakat dan sebagainya, kalausetiap detiknya senantiasa berjiwa sosial, tulus, dan hati senantiasaingat kepada Tuhan.Menurut Anda adakah kemungkinan praktik-praktik keberagamaanitu disesuaikan dengan konteksnya, artinya salat orang Indonesia bisadengan bahasa Indonesia?Bagi saya salat harus lima waktu, tidak boleh lebih dari itu,kemudian menggunakan bahasa Arab. Tapi kalau ada orang yangsalat dengan bahasa Indonesia, silakan. Namun demikian, itu tidakmenjadi sebuah acuan dasar. Menurut saya ada nilai universal yangharus kita sepakati dalam menjalankan ibadah, meskipun tetapada wilayah lokal yang harus juga kita hargai. Saya setuju denganQuraish Shihab bahwa ke-khusyû‘-an bisa diperoleh tanpa harusmengerti terjemahan dari kalimat ritual yang diucapkan. Tapi sayasendiri membiasakan pelajaran kepada jamaah saya dengan selalaumembacakan al-Quran dan terjemahannya dalam pengajian yangkita adakan. Dari situ, jamaah saya tahu apa terjemahan dari ayatal-Quran yang dibacanya. Itu saya lakukan setiap malam Rabu.Kekhusyuan diharapkan mampu memunculkan refleksi sosial dalamkehidupan sehari-hari. bagaimana mungkin itu terjadi jika bahasayang dipakai dalam ritual tidak dimengerti oleh para pelakunya?Bagi saya tetap ada nilai atau sistem yang harus kita ikuti.Dan menurut saya, apa yang dilakukan oleh Usman Roy di Malangitu tidak lebih dari sebuah protes terhadap cara keberagamaankita. Protes terhadap cara ulama mendidik masyarakat. MeskiMaman Imanul Haq Faqieh – 1443


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–begitu, apa yang dilakukan Usman Roy tidak bisa begitu saja dilakukanoleh orang lain. Saya sendiri memiliki pemahaman yangberbeda dengan Usman Roy. Saya akan tetap mengajarkan bacaansalat dengan bahasa Arab, sembari mengajarkan artinya. Akan sayaajarkan kekhusyuan lewat pemahaman arti bacaan-bacaan salat diluar waktu salat.Artinya, Anda setuju upaya mendorong kebebasan tafsir, selama tidakmerugikan dan tidak mencabut hak-hak orang lain?Ya, saya setuju. Tapi tetap bahwa penafsiran keagamaan harusmengikuti beberapa rambu-rambu demi menghindari penggunaantafsir untuk kepentingan pribadi, bukan untuk memberikan kepastianbody text-nya. Kita boleh berbeda dalam menafsirkan ayat lâyamassuhû illâ al-muthahharûn, misalnya. Ayat yang berarti tidakboleh memegang al-Quran kecuali dalam keadaan suci ini memilikipenafsiran yang bermacam-macam terhadap kata suci. Adayang menafsirkan suci dengan mempunyai wudlu, ada pula yangmenafsirkannya sebagai kesucian hati. Saya sendiri lebih memilihpenafsiran yang kedua.Sekali lagi, pluralisme bukan berarti boleh menghilangankanidentitas yang kita miliki. Toleransi harus kita lakukan dengan tanpamenghilangkan identitas asal kita. Sebagai Muslim yang baik,saya harus tetap salat, harus berhaji jika mampu. Tetapi sebagaiMuslim yang baik, saya juga harus menghargai orang yang berbeda.Keyakinan pluralisme seperti itu bukan hanya untuk konteksIndonesia, tetapi harus disebarkan ke seluruh dunia. Saya seringberbincang dengan Gus Dur, saya kerap mengatakan bahwa idedan gagasan Gus Dur tentang pluralisme bukan hanya menjadi ke-1444– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–butuhan Indonesia, tetapi juga harus disebarkan ke seluruh dunia.Semangat gagasannya didorong oleh keyakinan tauhid tertentu.Kesimpulannya, meski terdapat perbedaan antara konsep pluralismeIslam dan Barat, tetap ada persamaan dalam tujuan keduanya,yaitu agar kita dapat menerima orang lain yang berbeda. Lebihdari itu, pluralisme bukan berartiboleh seenaknya mengambilAgama harus kita berdayakanatau mencampuradukkan ajaranuntuk membela orang yangorang lain dengan ajaran yangterzalimi. Apapun agama dankita miliki.warna kulitnya, kita harusmembela kelompok yangdizalimi oleh kelompok lain,Pluralisme tidak sekadar menghargaiorang lain, tetapi, lebihyang mayoritas misalnya.dari itu, juga sebuah usaha untukmemihak terhadap atau mengadvokasi pihak minoritas yang tidakdiuntungkan. Ketika Ahmadiyah diserang, sebagai seorang yangpluralis, kita mestinya ikut mengadvokasi, meskipun, misalnya, kitatidak setuju dengan teologi yang dipahami mereka. Dalam konteksini, bagaiamana Anda memaknai pluralisme?Saya setuju dengan konsep tersebut. Agama harus kita berdayakanuntuk membela orang yang terzalimi. Apapun agama danwarna kulitnya, kita harus membela kelompok yang dizalimi olehkelompok lain, yang mayoritas misalnya. Hal ini telah dicontohkanoleh Sayyidina Ali, jauh sebelum ada gagasan pluralisme. Suatuketika, Ali bangun subuh terlambat, sehingga dia harus berlari untukikut salat berjamaah bersama Rasulullah. Di tengah perjalanan,Ali terpaksa harus berjalan lambat, karena di depannya ada orangYahudi yang sudah tua sedang lewat. Ali tidak berani mendahuluiMaman Imanul Haq Faqieh – 1445


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–si orang tua itu. Persoalannya, bukan karena Yahudi atau Nasrani,tapi dalam Islam dijelaskan bahwa orang tua harus dihormati.Maka Ali berjalan lambat di belakang orang Yahudi tersebut sampaiia lewat. Sementara di tempat salat, Nabi dan jamaah sudahrukû‘. Ali kemudian bergegas ke masjid. Karena masih mendapatijamaah sedang rukû‘, Ali mengucapkan al-hamdulillâh, Allâhu akbar,maka dijawablah oleh Rasulullah sami‘allâhu liman hamidah.Jadi, betapapun hendak salat berjamaah, Ali lebih mendahulukanuntuk menghormati orang tua yang beragama Yahudi itu. Karenaitulah Ali mendapatkan penghargaan sami‘allâhu liman hamidah.Menurut saya, kalau kita mau terus menggali semua ajaran agamakita, maka akan ditemukan bagaimana Islam tidak pernah membedakanmanusia dari asal-usul ras, agama, dan sebagainya. Nabipun telah mencontohkan dengan membela Bilal.Tapi faktanya Islam juga memiliki ayat-ayat yang menganjurkankekerasan, yang biasa diterapkan oleh kalangan anti-pluralis. Ayatwalan tardlâ ‘anka al-yahûdu... bagi kelompok terakhir ini dimaknaisebagai ketidaksudian orang Yahudi untuk berbaikan dengan orangIslam selama ia masih memeluk Islam. Bagaimana Anda memaknaiayat-ayat sejenis ini?Menurut saya, kita perlu berdialog. Mari kita teliti bagaimanadan dalam konteks apa ayat itu turun. Apakah kafir yang disebutpada zaman Nabi itu masih relevan dengan kata yang sama di hariini? Lalu apakah ayat yang menyeru memerangi kaum musyrik ituditurunkan dalam konteks untuk penegakan agama atau sekadarsiasat politik Nabi semata? Itu bisa terus kita dialogkan. Kita harusmembaca al-Quran sebagai proses mengedepankan semangat1446– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kemanusiaan, demokrasi dan sebagainya. Soal apakah kemudianada orang yang tidak sepaham dan mempermasalahkannya, marikita dialogkan.Kemudian ayat-ayat atau Hadits yang mengandung kekerasan,rasis dan sebagainya pun harus dilihat sejauh mana kemanfaatannyauntuk dibaca dan diamalkan. Atau, mungkin bisa juga, kita hanyadan harus membaca ayat-ayat yang diprioritaskan, yang tidak mengandungunsur kekerasan dan intoleransi. Makanya, bagi saya, kalauagama hanya dipakai sebagai alat provokasi, itu sangat berbahaya.Kita boleh terus memperdebatkanmakna ayat al-Quran,karena al-Quran sendiri sesuatu yang tidak mungkin munculPerda syariah seharusnya menjadimemang membolehkan kita kalau kita benar-benar menjadikanuntuk berbeda.Pancasila dan UUD ’45 sebagai acuanAda anekdot lucu bagaimanaal-Quran dipakai demikian? Karena produk hukum diberbangsa dan bernegara. Kenapauntuk menebar kebencian bawah Pancasila dan UUD ’45 haruspada orang lain atau dipakai mengacu kepadanya, sementarauntuk pembenaran tingkah perda syariah jelas-jelas telahlakunya. Ada kiai yang menerangkanlillâhi mâ fî al-mencederai konstitusi.samawâti wa mâ fî al-ardli dengan pengertian bahwa semua yangada di langit dan di bumi itu milik Allah, kita di dunia tidak punyaapa-apa. Usai mengaji, santri tersebut pulang dan dia menjadipencuri. Dia menjadikan ayat itu sebagai basis argumentasinya.Kebetulan dia mencuri jambu kiainya. Ketika pak kiai mengetahuinya,santri tersebut ditegur: “mengapa kamu mencuri jambusaya?”, santrinya menjawab, “pak kiai jangan bicara begitu, semuayang ada di langit dan di bumi ini milik Allah, berarti ini bukanMaman Imanul Haq Faqieh – 1447


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–jambunya pak kiai, ini jambunya Allah. Pemahaman tekstual kiaiyang diajarkan kepada muridnya, akhirnya menjadi senjata makantuan dalam kasus tersebut.Bayangkan saja kalau kita membaca dan memaknai al-Quranhanya untuk kepentingan-kepentingan kita sendiri. Menurut saya,dalam konteks beragama dan berbangsa, kita harus tunduk kepadasistem yang kita sepakati, yaitu undang-undang. Undang-undangadalah sebuah kesepakatan bersama untuk mengatur kehidupan bersama.Ini perlu ditekankan, sementara biarkan tafsir terus berbedadalam menemukan konteksnya masing-masing.Permasalahannya sekarang, kalau kita pakai saja al-Quran untukaturan hidup sehari-hari, akan menyelesaikan masalah atautidak? Apakah meng-counter pemahaman ayat yang tidak pluralisdengan mengusung ayat-ayat yang mendukung pluralisme jugadapat menyelesaikan masalah? Saya sendiri berpendapat sebaiknyatidak usah ada lagi perang ayat, tapi kita duduk bersama membicarakanpokok persoalan yang ada. Maka, dalam konteks Indonesia,kita bisa memanggil dan mengumpulkan tokoh-tokoh umatIslam, FPI, MMI, HTI, Ahmadiyah, JIL dan sebagainya, hinggasetiap masalah dan konflik yang ada terjelaskan dan akan lebihbaik apabila perbedaan akhirnya dapat diselesaikan.Jadi, “perang ayat” mesti segera dihindari? Terus apa solusinya?Ya, itu harus dilanjutkan pada tahap tidak sekadar perang wacana,perang ayat, tetapi dengan membuat sebuah ruang di manakita bisa bertemu dan mencari gagasan untuk kepentingan bersama.Masalahnya, ada kelompok yang tidak mau bertemu danmulai merasa diri sebagai kekuatan absolut, karena menganggap1448– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tafsirannya yang paling sahih. Di samping itu, diharapkan temantemanyang liberal juga bisa bertemu dengan teman-teman yangdianggap radikal dan sebaginya. Makanya, saya setuju dengan gagasansalah seorang teman yang berasal dari Katolik bahwa persoalanini menjadi berlarut karena, pada dasarnya, nurani kita yangsudah hilang.Pada tataran perbedaan tafsir dan “perang ayat”, perlukah negara turuntangan?Saya kira perlu. Tapi hanya menjadi mediator, bukan memutuskanapalagi menghukumi keyakinan orang lain. Negara bertugashanya sebatas memediasi, memfasilitasi, dan menjadi pengayomwarga negara secara adil tanpa melihat asal-usul agama, keyakinan,ras, atau golongannya.Sayangnya dialog antar-agama di negara kita belum begitu maksimalmenelurkan perubahan. Bahkan tak jarang dialog yang muncul hanyamelibatkan internal umat beragama. Mestinya, ruang dialog diperlebardengan secara aktif melibatkan umat Kristen, Katolik, Hindu,Budha, Konghucu dan komunitas penghayat atau komunitas adatdan lainnya.Memang seharusnya dalam mengembangkan konsep dialoginterfaith oleh pemerintah mereka semua dilibatkan. Tapi, lagi-lagi,jangan sekadar wacana. Saya tidak setuju dengan pembentukanforum pemuka agama (Forum Kerukunan <strong>Beragama</strong>). Itu hanyaakan dijadikan alat negara untuk memuluskan kepentingan dangagasan-gagasan dari kaum beragama. Menurut saya, biarkan sajaMaman Imanul Haq Faqieh – 1449


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mereka yang berbeda keyakinan dan agama berinisiatif bertemu,tidak usah diinstitusikan. Biarkan mereka bertemu dari bawah, berdiskusidengan masalah-masalah yang menjadi persoalan di antaramereka. Karena persoalan demikian tidak mungkin dapat digeneralisasi.Masing-masing berbeda dan memiliki keunikan tersendiri.Jadi, tugas negara, dalam hal itu, hanya mencoba memfasilitasi,tidak sampai membentuk dan menginstitusionalisasikan sebuah forumdialog antaragama. Kalau institusionalisasi yang justru terjadi,wajar kerukunan umat beragama yang menjadi program pemerintahhanya berujung pada penyeragaman. Seharusnya, biarkan sajaagama dan umat beragama yang ada sebagai entitas yang beragam,karena yang tunggal hanyalah Tuhan.Sejarah agama-agama di dunia memunculkan konsep pluralisme berbeda-beda.Melalui Konsili Vatikan II, Katolik melahirkan doktrindan pengakuan akan adanya keselamatan di luar Gereja. Dari aspekteologis, bagaimana konsep pluralisme dalam Islam?Menurut saya, sejak awal Islam sudah memberikan kebebasan.Ketika kita mengatakan inna al-dîna ‘inda Allâhi al-Islâm, ituadalah pembinaan ke dalam. Tapi ketika ada ayat seperti yâ ayyuhâal-nâs innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ... atau innâakramakum ‘inda Allâhi atqâkum, dan sejenisnya, maka ayat-ayattersebut lebih diarahkan agar umat Islam memandang secara luaske luar (komunitas agama Islam). Jadi jelas Islam juga memilikiajaran pluralisme yang tinggi. Islam memperlakukan semua manusiasecara sama. Kalau kita berbicara tauhid, saya sudah tidak melihatIslam (tauhid) yang hanya dibawa oleh Nabi Muhammad. Menurutsaya, apa saja yang baik adalah “Islam”. Mungkin Anda beragama1450– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Katolik, Kristen, atau yang lainnya, tetapi kalau Anda sudah baikberarti Anda sudah “muslim”. Maka menurut saya, kalau ada orangyang tidak salat, tidak puasa, tapi dia punya kepedulian terhadapmasalah sosial dan lingkungan, dia sudah muslim. Tugas saya sebagaiseorang Muslim adalah menyebarkan atau mensosialisasikangagasan Islam. Soal Anda mau ikut atau tidak, itu hal lain.Tetapi al-Quran memperkenalkan istilah jalan dengan katayang berbeda-beda, ada suluk, tharîq, syarî‘ah, dan lainnya. Kalauberagama dianggap sebagai jalan, maka wajar jika kendaraan yangdipakai setiap orang berbeda-beda, seperti halnya kendaraan di jalanraya. Itu semua soal bagaimana seseorang memilih dan mampumenjalankanya. Bagi saya, apapun kendaraan seseorang tidakmenjadi masalah, asalkan beraturan dan tidak menyebabkan yanglain celaka. Negara itulah yang membuat aturan. Namun demikian,negara tidak boleh mengatur seseorang untuk naik kendaraantertentu dan melarang menaiki kendaraan yang lainnya. Yang dialakukan hanyalah mengatur lalu-lintas dengan membuat ramburambuseperti lampu merah dan sebagainya.Selanjutnya, yang dapat menjadi penghambat di jalan adalahorang yang mogok dan yang berjalan secara zigzag. Kalau ada umatberagama yang mogok di tengah jalan, kemudian hanya berteriakteriakdi atas mobil, dia akan ditinggalkan. Itu persis dengan gayayang dipraktikkan oleh FPI dan MUI. Mereka terus berteriak di ataskendaraannya, sementara yang lain tetap cuek dengan jalan yangdipilihnya. Artinya, dengan cara seperti yang mereka perlihatkan,agama menjadi tidak disukai oleh mayoritas umat manusia.Bagaimana mengimplementasikan gagasan fikih tasammuh?Maman Imanul Haq Faqieh – 1451


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya setuju dalam beberapa hal, tetapi harus ada yang perluditindaklanjuti. Yang dimaksud dengan tasammuh dalam konteksini adalah lebih pada menunjukkan kembali bahwa agama memilikiruang untuk orang lain. Tapi apakah setiap agama memilikiketulusan yang sama dengan agama lain? Menurut saya, sekarangkita tidak bisa sekadar tasammuh, melainkan harus ditingkatkanmenjadi mushâfahah, berasal dari kata shahifa yang artinya lembaran.Konsep ini mau mengatakan bahwa kalau kita pernah berbuatkesalahan atau kekerasan maka marilah kita buka lembaran baru.Konsep mushâfahah adalah bagaimana kita berlapang dada danmenerima orang dengan keunikannya masing-masing. Selain itu,mushâfahah juga berarti berjabat tangan, artinya, berpegang eratuntuk bersama-sama memikul persoalan kemanusiaan dan merumuskansolusinya. Mushâfahah menjadi media penyaluran energitangan ke hati. Dengan mushâfahah, mestinya kita bisa beranjakdari wacana ke praksis toleransi yang lebih mengena.Toleransi tidak bisa diserahkan begitu saja kepada elemen-elemen masyarakat,melainkan juga membutuhkan peran konkret negara. Sayang,berbagai kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia justru kerapmemperlihatkan pendiaman negara, sehingga mencabut hak-hak dankebebasan orang atau kelompok tertentu untuk beragama dan berkeyakinansecara beda. Negara, dalam hal ini aparat, cenderung takutkepada golongan yang mengklaim diri mayoritas, padahal melakukanpengrusakan dan penganiayaan. Pertanyaannya, peran apakah yangsemestinya dilakukan oleh negara?Saya sangat kecewa dengan Pemda, aparat Kepolisian, danMUI Majalengka dalam menangani kasus Cadasari yang demikian1452– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menzalimi saudara kita dari Ahmadiyah. Sejak awal saya mencobamemediasi mereka, kelompok Ahmadiyah, MUI, dan FUI, namunkemudian saya dibuat kecewa justru oleh pemerintah yang telahmenghambatnya. Saya kira, ke depan, kita membutuhkan perangkatnegara, birokrat dan aparat, yang paham betul bahwa ruh Indonesiaadalah pluralisme. Mereka harus ditatar agar benar-benarmemahami pluralisme dan kebhinekaan. Dengan begitu mungkinkita akan bisa melihat Indonesia sebagai negara yang menghargaikeragaman.Saya mengusulkan agar pemerintah membuat suatu pelatihan,seperti penataran P4, namun lebih pada pengajaran tentang pentingnyapluralisme. Kita perlu menggali akar-akar tradisi bangsaini untuk mempertemukan kembali elemen-elemen yang berbedadi dalam masyarakat kita. Saya merasakan betapa pentingnya pluralismeketika berada di Kupang, di mana Muslim menjadi kaumminoritas, hanya sekitar 8,2% dari seluruh penduduk. Dalam kondisidemikian, kita akan mencari ayat atau dalil agar kita disayangioleh mayoritas, dalam hal ini Katolik. Sesekali, saya kira, FPI perluberdiam beberapa bulan di sana untuk merasakan bagaimanamenjadi kaum minoritas, agar dia tidak lagi berbuat seenaknyakarena menjadi mayoritas. Di sana, mereka pasti tidak akan bisaberteriak Allâhu Akbar seenaknya seperti di Jakarta, karena denganitu, mereka menjadi tidak pluralis, tidak toleran, bahkan sangatmungkin akan mengakibatkan bentrok dengan kelompok mayoritasyang Katolik.Menurut saya, tugas berat para tokoh sekarang adalah bagaimanaagar mentalitas para aparat, orang yang menjadi representasi negaraatau pemerintah, memahami akar sejarah, sehingga memahamigagasan pluralisme sebagai ruh bangsa untuk kemudian disebarkanMaman Imanul Haq Faqieh – 1453


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–melalui sebuah kesadaran bernegara. Karena kasus seperti yang terjadidi Cadasari itu tidak akan selesai kalau aparatnya masih belum adildan memahami pluralisme. Ketidakadilan dan ketidaktegasan aparatitulah yang membuat saya kecewa dalam penanganan kasus Cadasari.Maka, ke depan, kita meminta partai-partai politik, birokrasidan sebagainya, agar menghasilkan orang-orang yang mempunyaipemahaman kuat tentang pluralisme. Pelatihan pluralisme mestinyatidak hanya diberikan untuk tokoh masyarakat. Lebih dari itu,kita harus mendesak pemerintah agar menjadikan pluralisme sebagaisebuah sistem, membuat regulasi pluralisme yang jelas dan menjadikannyasebagai kesadaran bernegara. Anda boleh Muslim, bolehKatolik dan lain sebagaianya, tapi pluralisme dan bersikap pluralisadalah hal yang wajib di negeri ini.Kembali ke persoalan mushâfahah. Apakah ia dapat disamakan denganrekonsiliasi, sebuah upaya untuk memulihkan hak-hak masyarakatyang terinjak-injak, terampas, dan tercabut? Apakah mushâfahahhanya perlu dijalankan di tingkat civil society, elemen masyarakatyang saling berkonflik, atau juga melibatkan negara?Insya Allah, kalau saya lihat al-Quran, konsep mushâfahah itulebih kepada kesadaran masyarakat. Dan itu tidak perlu banyakbanyak.Tiap komunitas lokal memunculkan sendiri gagasan itu.Mushâfahah memaknai masa lalu sebagai lembaran yang sudahlewat, namun tidak perlu menghapusnya. Kita mulai kehidupansekarang di lembar selanjutnya. Tapi persoalan mengisi lembarputih dan kosong sekarang justru semakin berat karena, pertama,memang lembarannya tidak ada, kedua, kita tidak mempunyaialat dan sumber daya yang mau menjadikan mushâfahah sebagai1454– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bentuk kesadaran untuk kemudian disosialisasikan dan sebagainya.Hal ini terjadi karena media pun, misalnya, justru lebih suka mengeskposkekerasan. Kalau saya atau para kiai di pelosok makanbareng dengan pendeta di gereja dan sebagainya, itu tidak akanmasuk dan menjadi berita di koran atau televisi. Tetapi kalau adagereja dilempari santri saya, itu pasti akan dijadikan berita. Kitamemang telah dihadapkan pada kenyataan bahwa the bad news isthe good news.Apakah media-media di Indonesia, menururt Anda, tidak berperspektifpluralis?Ya, ada sebagian besar media yang begitu. Makanya kita harusmembedakan antara liberalisme pemikiran dengan liberalismeperdagangan. Liberalisme perdagangan artinya kapitalisme. Makamedia tidak seharusnya hanya menampilkan berita-berita yang dapatmenaikkan atau mendongkrak penjualannya (rating) di masyarakatatau menaikkan kapital usaha perusahaan. Liberalisme dalampemaknaan seperti inilah yang tidak saya setujui.Persolan lain, munculnya perda syariah di berbagai daerah, seringkalimencederai kebebasan seseorang, bahkan bertentangan dengan konstitusi.Bagaimana Anda melihatnya?Menurut saya, pemerintahan SBY dan perangkat di bawahnyabanyak yang sudah menyalahi undang-undang. Sebaliknya, banyakdi antara mereka yang tidak memahami UUD dan tidak berjiwaPancasila. Padahal UUD 1945 sendiri jelas-jelas mencantumkandan menghargai pluralisme. Dan bagi masyarakat beragama, se-Maman Imanul Haq Faqieh – 1455


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–benarnya banyak sekali tujuan-tujuan keberagamaan yang lebihmulia, ketimbang peribadatan simbolik, seperti tentang kecerdasanbangsa, keadilan sosial yang merata dan sebagainya, yang sayangnyamalah tidak dibaca.Perda syariah seharusnya menjadi sesuatu yang tidak mungkinmuncul kalau kita benar-benar menjadikan Pancasila dan UUD ’45sebagai acuan berbangsa dan bernegara. Kenapa demikian? Karenaproduk hukum di bawah Pancasila dan UUD ’45 harus mengacukepadanya, sementara perda syariah jelas-jelas telah mencederaikonstitusi. Itulah persoalan besar bagi bangsa kita kini. Bangsa ini,kini, sudah tidak punya harga diri, kehilangan identitas, dan tidakbermartabat. Malangnya, hal itu justru terjadi karena kita memangsudah tidak lagi mengerti bahwa diakuinya kita sebagai negaraberdaulat itu adalah karena kita mempunyai UUD yang kita akuisebagai kesepakatan bersama, yang karena ketidakmengertiannya,malah kita cederai sendiri.Konkretnya, harusnya bertindak seperti apakah negara ini? Haruskahia menjadi negara kuat, melebihi kekuatan yang lain?Tidak. Menurut saya, perjuangan di ranah civil society-lahyang justru menjadi amat penting. Dari sini, kita mengontrolorang-orang yang kini sedang memangku jabatan di negara. Kitabisa melakukan itu dengan patokan UUD ‘45, karena mereka tidakbisa menjadi representasi negara kalau tidak mengacu kepadaUUD ‘45. Bagaimana mungkin seorang polisi yang digaji oleh negaramalah membekingi kekerasan. Sayangnya, mereka malah kerapmelakukan hal seperti itu dan sulit mengubahnya. Salah satuyang memungkinkan itu tetap terjadi adalah proses rekrutmen di1456– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–negara kita yang memang kacau. Untuk menjadi polisi atau pegawainegeri sipil (PNS) seseorang dipaksa melakukan penyuapan,wajarlah kalau kemudian melahirkan aparat dan birokrat yangjuga ahli suap, korup. Korupsi memang menjadi biang keladi darisemua persoalan bangsa ini.Kembali ke persoalan perda syariah. Adalah ironis di mana perdasyariah justru kerap diusung oleh partai sekular, bukan hanya partaiIslam. Mengapa itu bisa terjadi?Karena Perda itu dibuat untuk kepentingan politik semata. Sayakatakan tadi, selama agama menjadi kekuatan moral untuk sebuahperubahan dan perbaikan transformatif, itu oke, ideal. Tapi kalauagama sudah dipolitisasi sebagai alat kekuasaan, itulah yang sangatberbahaya. Lebih dari itu, ia malah mengerdilkan peran agama.Dengan kenyataan berbangsa seperti sekarang ini, bagaimana Andamemperkirakan hubungan antar-agama dan keyakinan di Indonesiake depan?Saya selalu optimis bahwa, ke depan, Indonesia bisa menjadisebuah negara yang betul-betul mempunyai identitas. Identitasitu adalah dengan mempunyai dan terus merawat keragaman dankebhinekaan. Indonesia juga akan menjadi contoh keberagamaanyang ramah dan rahmatan li al-‘âlamîn. Kemudian, Indonesia jugamempunyai peranan penting dalam masa depan peradaban dunia.Syaratnya, kita harus mulai melakukan komitmen, di semua elemen,dalam mendorong di sebalik kata jahada. Pertama, secara individukita harus zuhud. Bagaimana kita mempraktikkan keberagamaanMaman Imanul Haq Faqieh – 1457


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kita pada konteks yang riil, bukan hanya pada sisi simbol. Kedua,kita harus ber-ijtihâd. Seluruh kemampuan intelektual kita dicurahkanuntuk negara ini, tidak untuk kepentingan sesaat yang sifatnyapribadi dan golongan. Setelah itu, baru kita bisa masuk ketahap ketiga, mujâhadah. Di sini terdapat upaya rekonsiliasi bersamabahwa yang kita inginkan adalah sebuah perubahan ke depan.Terakhir, keempat, adalah jihâd. Harus ada pendorong yangmemaksa kita menyelesaikan persoalan kemiskinan dan perangmelawan korupsi secara bersama-sama.Kalau semua itu kita lakukan, saya optimis bahwa ke depan hubunganantar-agama dan keyakinan menjadi semakin baik. Bangsakita pun akan semakin bermartabat. Saya rasa kelompok-kelompokradikal hanya akan muncul pada masa transisi saja. Acara-acara ditelevisi pun sekarang ini sudah mulai ada perubahan. Dari hanyamemunculkan tokoh-tokoh yang memiliki pemahaman Islam permukaan,acara-acara kontes dari idol sampai dangdut, kini, seiringberkembangnya seleksi masyarakat, nalar media akan didominasikeseriusan mengusung kemanusiaan, demokrasi, HAM dan sebagainya.Itu sangat mungkin, karena media merupakan representasidari apa yang terjadi di masyarakat. Orang-orang yang mengusungpluralisme, ke depan, akan makin disukai publik dan media. Sayakira generasi seperti inilah yang akan tumbuh dan mewarnai Indonesiapada 20 tahun yang akan datang. Namun demikian, satuhal yang paling penting adalah kita tidak perlu terjebak pada kapitalisasi.Wawancara dilakukan di Pondok Indah Jakarta, Kamis, 28 Februari 20081458– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganMaria Ulfah AnshorMaria Ulfah Anshor, Ketua Umum Pucuk Pimpinan Fatayat NU. Ia menyelesaikanPascasarjana Program Kajian Wanita di Universitas Indonesia (2004)dan mengajar Tafsir Ahkam (Islamic Law) di Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta.1459


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kalaupun ada hubungan antara konsep Islam dengan kenegaraan(politik), tentu tidak memadai. Namun begitu, al-Quran menyinggunghubungan antara agama dan negara –meskipun tidak dijelaskansecara utuh– ihwal dasar-dasar pemerintahan, di antaranyamengenai mandat (amanah) dan keadilan yang harus ditegakkanbagi seorang pemimpin kepada manusia secara keseluruhan tanpamembedakan agama, keturunan, dan ras. Untuk itu, formalisasisyariah yang hanya mementingkan simbol dan mengingkari nilainilaikemanusiaan dan kemaslahatan umum justru bertentangandengan tujuan pembentukan syariat Islam (maqâshid al-syarî‘ah).Pada hematnya, NKRI dengan landasan ideologi Pancasila sudahfinal, tidak perlu dipertentangkan dengan Islam. Sebab, substansinyaselaras dengan nilai-nilai Islam.1460– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam diskursus keislaman terdapat perbedaan tentang konsep negarahubungannya dengan agama. Di satu sisi Islam dinilai tidakmemiliki konsep negara, namun pada sisi lainnya beberapa umatMuslim berupaya memperjuangkan berdirinya negara Islam, karenadianggap sebagai ketentuan agama. Bagaimana Anda menyikapi keteganganini?Setahu saya tidak pernah ada teks yang berbicara secara khusustentang konsep negara, baik dari sumber al-Quran maupun Hadits.Saya belum menemukan konsep mengenai bentuk negara yangideal dan demokratis yang digambarkan dalam al-Quran maupunHadits. Yang ada adalah Islam memberikan nilai-nilai universalsebagai panduan moral bagi kehidupan manusia. Munculnya perdebatantentang perlu atau tidaknya Islam masuk ke dalam sistemkenegaraan sangat tergantung pada cara pandang umat Islam itusendiri dalam memahami Islam. Bagi mereka yang memahami Islamsebagai institusi, maka memerlukan simbol, membutuhkan sistem,dan kecenderungannya diwujudkan dengan cara memformalkansyariat Islam. Sementara bagi mereka yang meyakini bahwa Islamsebagai panduan hidup yang berisi nilai-nilai moral yang universal,maka tidak perlu menjabarkannya ke dalam sebuah sistem tertentu,apalagi menjadikannya sebagai konstitusi atau aturan negara.Yang terpenting adalah substansinya bahwa nilai-nilai Islam dapatdijalankan dalam seluruh kehidupan, tanpa harus dilegal-formalkanmenjadi aturan publik. Dengan kata lain, meskipun konstitusinegara bukan menggunakan label Islam atau negara Islam, tetapisejauh isi konstitusi negara tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilaiIslam maka dapat dikategorikan telah sesuai dengan tujuanpembentukan syariat Islam (maqâshid al-syarî‘ah).Maria Ulfah Anshor – 1461


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kalaupun ada hubungan antara konsep Islam dengan kenegaraanatau politik, sepengetahuan saya, tidak cukup memadai. Sebab,hal tersebut sebatas contoh-contoh mengenai sifat dan karakter pemimpin.Misalnya ketauladanan yang pernah dilakukan Rasulullahketika menjadi pemimpin Madinah yang penduduknya terdiri dariberbagai suku, yang meliputi umat Islam pendatang (muhâjirîn),umat Islam penduduk asli Madinah (anshâr), Bani Aus dan Khazraj,ada Kristen Najran, kaum musyrikin dan lain-lain. Rasulullahmelakukan perjanjian bersama mereka dan menghasilkan kesepakatanbersama yang dikenal dengan Piagam Madinah. Di dalamperjanjian tersebut tidak ada satu kutipan pun yang merujuk padaal-Quran kecuali nilai-nilai universal: kewajiban dan hak bersama,menegakkan keadilan, semua suku atau kelompok diberi kebebasanmenjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing,tidak ada diskriminasi, dan perlakuan yang sama dalam hukum.Di situ tercermin sifat-sifat Rasul yang arif, menghargai perbedaan,demokratis, akomodatif terhadap usulan para Sahabat dan bahkandari lawan politiknya. Piagam tersebut kemudian dijadikan sebagaisalah satu rujukan bagi negara Islam untuk menghargai warganegaranya yang bukan Islam.Rasulullah dalam sejarahnya memiliki kapasitas untuk menjalankantiga fungsi kenegaraan (legislatif, eksekutif dan yudikatif)sekaligus, karena dibimbing langsung oleh Allah SWT melalui wahyu.Seluruh urusan kenegaraan dan pemerintahan berada di bawahkomando Rasulullah sebagai khalifah yang memimpin kota Madinahketika itu. Beliau di satu sisi memiliki kewenangan sebagaipembuat aturan dan undang-undang (legislasi), di saat yang samabeliau menjadi pelaksana dari aturan-aturan tersebut (eksekutif)dan beliau juga sekaligus menjalankan fungsi yudikatif.1462– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tetapi menurut saya model pemerintahan khilâfah, baik yangdilaksanakan di masa Rasul maupun pada masa para Sahabatnya,jika diterapkan pada konteks saat ini kurang tepat. Sebagai entrypoint untuk memulai kajian kenegaraan, saya setuju dilakukan kajiansejarah yang terjadi pada masa Rasulullah. Tetapi hal tersebutbukan sebagai konsep negara Islam, karena hanya berupa satu peristiwasejarah yang sifatnya partikular. Sementara konsep negara harusberupa kerangka konstitusional yang menggambarkan rumusanberbagai dimensi kehidupan secara holistik. Bahwa kemudian sebagiankelompok menganggapkhilâfah sebagai konsep Nilai-nilai Islam yang universal, Islampemerintahan Islam, silakan sebagai agama yang rahmatan li alsaja.Tetapi menurut saya ’âlamîn jika diwujudkan ke dalampandangan seperti itu berbahaya,karena implikasinya konstitusi negara Islam, menurutsistem kenegaraan atau menjadiakan mempersempit pemahamanIslam yang universal mereduksi nilai-nilai tersebut. Bahkansaya, implikasinya justru akanmenjadi pengertian yang literaldan mengabaikan kon-kecenderungannya akan mempersulitdan mempersempit nilai-nilai Islamitu sendiri karena tidak akan mampudisi kontekstualnya.dijabarkan secara utuh dalamAdapun hubungan antaraagama dan negara, mes-sistem kenegaraan manapun. Kalaukonstitusinya menggunakan syariatkipun tidak dijelaskan secaraIslam, apakah akan menerapkanutuh di dalam Islam tetapial-Quran secara literal? Sementarasecara khusus mengenai dasar-dasarpemerintahan di-men-jelaskan secara detil tentangal-Quran, menurut saya, tidaksinggung dalam al-Quran, persoalan kenegaraan dan problemdi antaranya dalam al-Quran kekinian yang dihadapi manusia.surat 4, al-Nisâ’ ayat 58-60,Maria Ulfah Anshor – 1463


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–berisi mengenai mandat (amânah) dan keadilan yang harus ditegakkanbagi seorang pemimpin kepada manusia secara keseluruhantanpa membedakan agama, keturunan dan ras. Selain itu, berisiperintah kepada kaum mukmin untuk menaati putusan hukumdari siapapun yang berwenang dalam sebuah pemerintahan, yangtercermin dalam ayat: athî‘û Allâha wa athî‘û al-rasûl wa ûlî alamriminkum. Kalimat tersebut menggunakan kata perintah (amr)yang berarti: menaati atau melaksanakan aturan atau hukum yangdiputuskan oleh pemerintah adalah wajib. Itu menunjukkan bahwataat kepada pemimpin adalah wajib, sama hukumnya dengantaat kepada Allah dan rasulnya-Nya. Tentu yang dimaksudkan pemimpinyang wajib ditaati di sini adalah pemimpin yang sesuaidengan karakter kepemimpinan yang dicontohkan Rasulullah yaitupemimpin yang bisa dipercaya (amânah), adil, arif dan bijaksana,yang seluruh keputusannya tidak bertentangan dengan perintah ataularangan Allah dan rasul-Nya. Tapi ayat ini tidak berbicara secarategas mengenai bentuk pemerintahan apalagi struktur negara. Disitu hanya diperintahkan taat kepada ûlî al-amri.Sementara pengertian ûlî al-amri dalam ayat tersebut berartiorang-orang yang berwenang mengurus urusan sosial kemasyarakatan.Pertanyaannya adalah siapa mereka itu? Dalam literaturklasik, pendapat ulama berbeda-beda atau multi-tafsir mengenaimakna ûlî al-amri. Ada yang berpendapat pemerintah, ada jugayang mengatakan ulama, ada juga yang menafsirkan mereka adalahutusan masyarakat yang mewakili berbagai komunitas. Dalamkonteks pemerintahan sekarang mereka adalah warga negara yangdipilih secara demokratis dalam pemilihan umum, baik dalampemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada).Perbedaan pemahaman tersebut menunjukkan bahwa pada hal-hal1464– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang sifatnya partikular teksteksIslam baik yang bersumberdari al-Quran maupunHadits memiliki watak yanginterpretable atau multi-tafsir,meskipun pada hal-hal yanguniversal bisa sepakat dengandoktrin maupun pemahamanyang tunggal. Kenyataan tersebutsekaligus menunjukkanbahwa di dalam Islam keragamanpemahaman merupakansebuah keniscayaan yangwajar terjadi bahkan bolehjadi menjadi kekayaan khazanahIslam yang tidak perludipertentangkan sejauh menyangkuthal-hal yang bersifatdugaan (zhannî).Nilai-nilai Islam yang universal, Islamsebagai agama yang rahmatan lilala min jika diwujudkan ke dalamsistem kenegaraan atau menjadikonstitusi negara Islam, menurutsaya, implikasinya justru akanmereduksi nilai-nilai tersebut.Bahkan kecenderungannya akanmempersulit dan mempersempitnilai-nilai Islam itu sendiri karenatidak akan mampu menjabarkansecara utuh ke dalam sebuahsistem kenegaraan manapun. Kalaukonstitusinya menggunakan syariatIslam, apakah akan menerapkanal-Quran secara literal? Sementaraal-Qur’an, menurut saya, tidakmenjelaskan secara detail tentangpersoalan kenegaraan dan problemkekinian yang dihadapi manusia.Apakah konsep khilâfah Islâmiyah bisa disebut sebagai konsep mengenainegara menurut Islam?Secara historis kepemimpinan Rasulullah dan para Sahabatnyamemang berbentuk khilâfah, tetapi saya kira tidak dapat disebutsebagai konsep negara Islam. Kalaupun ada yang menggunakannyasebagai sebuah konsep khilâfah Islâmiyah maka harus mengikutiperkembangan, bukan sebagai suatu konsep yang final. Sebuah konsepkenegaraan harus dinamis, harus menyesuaikan dengan situasiMaria Ulfah Anshor – 1465


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan kondisi yang terus berkembang. Masa-masa awal kepemimpinanIslam, yakni pada masa al-khulafâ’ al-râsyidûn masing-masing,menurut saya, dalam kepemimpinannya ada hal-hal yang positiftapi juga ada hal-hal yang kurang tepat kalau hendak diterapkandalam konteks sekarang.Jadi konsep awal tersebut membutuhkan modifikasi-modifikasiatau penataan ulang. Sebab, konteks kepemimpinan Nabi dan alkhulafâ’al-râsyidûn berbeda sekali dengan konteks zaman sekarang.Kalau dulu kepemimpinan tunggal, artinya semuanya tergantungpada khalifah, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Sementarakepemimpinan saat ini adalah kepemimpinan kolektif, yaitukepemimpinan dengan tanggung jawab bersama sesuai dengan tugasdan fungsinya masing-masing, yang berdasarkan pada prosesmusyawarah. Sebetulnya pada masa Rasul pun proses-proses musyawarahjuga terjadi, tetapi bentuk dan sistem permusyawaratannyatidak melembaga sebagaimana saat sekarang.Apakah Anda sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwaagama perlu dipisah dari negara: agama urusan privat; dan negaraurusan publik?Saya setuju agama sebagai institusi dipisahkan dari negara.Tetapi ketika agama sebagai keyakinan, sebagai jalan hidup (wayof life) manusia menuju keridlaan Tuhan, secara spirit, substansi,keduanya (agama dan negara) tidak bisa dipisahkan. Artinya, kitasebagai manusia yang memiliki dimensi semangat ketuhanan dankeberagamaan tidak bisa terlepas sama sekali dari perilaku yangmelatarbelakangi dimensi itu. Jadi ibarat sebuah sosok yang di dalamnyaada ruh, di mana nilai-nilai ketuhanan menjadi ruh bagi1466– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–siapapun dan diimplementasikan di manapun. Kalau kemudiandipisahkan sama sekali, menurut saya, tidak bisa, karena nilai-nilaiini menjadi perspektif dalam kehidupan kita. Bukan berarti, misalnya,dalam hal ini kita harus menggunakan landasan negara denganagama tertentu (Islam), tapi penekanannya lebih pada pengamalansubstansi nilai-nilai tersebut. Dengan begitu, walaupun Indonesiamayoritas penduduknya beragama Islam, tidak harus menjadikanIslam sebagai ideologi negara.Menurut saya urusan agama dan negara memang berbeda, tidakbisa disatukan, meskipun ada perspektif dan nilai-nilai ketuhananyang memberi petunjuk (guide), inspirasi dan mengendalikan dalammenjalankan fungsi-fungsi kenegaraanmemang tidak bisaSeringkali orang mengindentikkandihindari. Tapi bukan berartibahwa Islam harus dengan istilahantara agama dan negara samaArab. Akibatnya, yang bukan berasaldan sebangun.dari Arab seolah dianggap bukanIslam. Begitupun dengan istilahIndonesia merupakan negaradengan penduduk mayoritasMuslim, sehingga wajar jikaada sebagian golongan yangingin menjadikan negara inisebagai negara Islam. Namun,kelompok lainnya ternyata tidakmenghendaki dan tetapmengusulkan untuk mempertahankannegara dalam bentuksekarang dengan berlandaskanliberalisme, kata ini memang berasaldari bahasa Inggris, sama halnyadengan sekularisme, yang bukanbahasa Arab tetapi bukan beratiharus diharamkan. Bahwa Islamditurunkan di Arab saya sepakat.Tetapi, kemudian nilai-nilai Islamsudah beradaptasi dengan situasidan kondisi budaya di berbagainegara belahan dunia. SehinggaIslam pun ada di mana-mana.Maria Ulfah Anshor – 1467


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pancasila. Menurut Anda, apakah Indonesia bisa disebut sebagainegara sekular yang memisahkan persoalan agama dari negara, ataulebih mengarah sebagai negara Islam?Indonesia dengan dasar negara Pancasila, menurut saya, sudahmemiliki semangat Islam. Hal tersebut bisa kita lihat dari faktabahwa: pertama, dari seluruh sila-sila yang ada dalam Pancasila tidakada satupun yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam; kedua,dirumuskan dengan berbagai pertimbangan oleh para pendahulunegeri ini yang mayoritas Muslim.Oleh karena itu, menurut saya, tidak ada yang perlu dipertentangkan,apakah Indonesia ini negara Islam atau negara Pancasila. Faktanyayang terpenting adalah tidak ada satupun dari substansi Pancasilayang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.Nilai-nilai Islam yang universal, Islam sebagai agama yang rahmatanli al-‘âlamîn jika diwujudkan ke dalam sistem kenegaraanatau menjadi konstitusi negara Islam, menurut saya, implikasinyajustru akan mereduksi nilai-nilai tersebut. Bahkan kecenderungannyaakan mempersulit dan mempersempit nilai-nilai Islam itusendiri karena tidak akan mampu dijabarkan secara utuh dalamsistem kenegaraan manapun. Kalau konstitusinya menggunakansyariat Islam, apakah akan menerapkan al-Quran secara literal?Sementara al-Quran, menurut saya, tidak menjelaskan secara detiltentang persoalan kenegaraan dan problem kekinian yang dihadapimanusia. Al-Quran menurut saya, sebagian besar memuat nilai-nilaiumum dan universal yang membutuhkan penafsiran. Meskipunbeberapa persoalan teknis dibahas dalam al-Quran, tetapi tidakdetil dan lebih bersifat kasuistis – sehingga tidak bisa dijadikanlandasan teknis operasional sebagaimana halnya undang-undangyang bisa berlaku secara umum.1468– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jadi Anda tidak setuju dengan sebagian kelompok yang mengkampanyekannegara Islam di negeri ini?Saya tidak setuju. Karena sepengetahuan saya Islam tidak memilikikonsep yang baku mengenai negara. Kalaupun ada lebihberupa konsep syariat Islamyang dipolitisasi ke dalam sistemkenegaraan. Apalagi kalau Islam dengan istilah Arab.Seringkali orang mengidentikkanyang dimaksudkan kampanye Akibatnya, yang bukan berasalnegara Islam itu dalam konteks dari Arab seolah dianggap bukanuntuk menggantikan Pancasilasebagai landasan NegaraIslam. Begitupun dengan istilahliberalisme, kata ini memang berasaldari bahasa Inggris, sama halnyaKesatuan Republik Indonesiadengan sekularisme, yang bukan(NKRI), saya sangat tidak setuju.Sebab, Pancasila sebagaibahasa Arab tetapi bukan beratiharus diharamkan. Bahwa Islamideologi negara sudah final,diturunkan di Arab saya sepakat.tidak perlu dipertentangkan Tetapi, kemudian nilai-nilai Islamdengan Islam. Karena substansinyatidak bertentangan de-dan kondisi budaya di berbagaisudah beradaptasi dengan situasingan nilai-nilai Islam.negara belahan dunia. SehinggaKita harus belajar dari sejarah.Keinginan untuk men-Islam pun ada di mana-mana.jadikan agama tertentu, misalnya Islam, sebagai dasar negara, untukkasus Indonesia sudah berulang terjadi. Di masa awal sebelumIndonesia merdeka keinginan ini sudah ramai. Kita bisa ambilcontoh dari perjalanan sejarah Nahdlatul Ulama (NU). Padatahun 1935 dalam pembahasan masalah aktual (bahtsul masâ’il)pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Banjarmasin, salahsatu perdebatan yang muncul di antaranya: wajibkah bagi kaumMuslimin mempertahankan kawasan kerajaan Hindia BelandaMaria Ulfah Anshor – 1469


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–(sebutan untuk Indonesia waktu itu) yang diperintah oleh orangorangnon-Muslim? Muktamar kemudian memutuskan: wajib hukumnyasecara agama untuk mempertahankan kawasan kerajaanHindia-Belanda karena dua alasan: pertama, kaum Muslimin bebasmenjalankan ajaran Islam; kedua, dahulu di kawasan tersebuttelah ada kerajaan Islam. Pada Muktamar berikutnya, persoalanserupa muncul kembali: apakah perlu menggantikan kerajaanHindia-Belanda dengan negara Islam? Muktamar kemudian memutuskan:NU tidak setuju dengan pembentukan Negara Islam(dâr al-Islâm) tetapi NU memutuskan untuk membentuk negarayang damai (dâr al-salâm).Perdebatan mengenai syariat Islam sebagai landasan negara kembalimuncul saat persiapan kemerdekaan, di antaranya pada PiagamJakarta (The Jakarta Charter) yang ditanda tangani di Jakartapada 22 Juni 1945. Dalam rancangan usulan preambule disebutkanbahwa negara Republik Indonesia berdasarkan kepada: Ketuhanan,dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, danseterusnya. Tetapi pro-kontra antara kelompok Islam yang menghendakimemasukkan kalimat “...menjalankan syariat Islam bagipemeluknya” dan kelompok nasionalis yang hanya menghendakikata Ketuhanan belum berakhir hingga usulan tersebut dibacakanoleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 10 Juli 1945. Terbuktikemudian teks Pancasila dalam preambule tersebut berubahlagi menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa, dan seterusnya, tanpamemasukkan kalimat menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya– tetapi menggantinya dengan kata “Yang Maha Esa” yang disahkansebagai landasan Negara Kesatuan Republik Indonesa dalampembukaan UUD 1945 dan berlaku hingga sekarang.1470– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Setelah Indonesia merdeka, keinginan dari kelompok yangmenghendaki asas negara harus kembali ke Piagam Jakarta terus bermunculan,namun hingga kini berhasil diredam. NU pada Muktamartahun 1984 mengeluarkankeputusan bahwa Pancasila sebagaiideologi negara sudah fi-global seperti sekarang ini tidakMenurut saya, dalam konteksnal, karena secara substansinya ada orang yang bisa hidup hanyatidak ada yang bertentangan dalam komunitasnya saja. Cepatdengan nilai-nilai Islam. Bahwakemudian implementasinya akan berinteraksi dengan kelompokatau lambat, sering atau jarang, kitabanyak yang tidak sesuai, bukansoal Pancasilanya, namunlain. Belakangan ini memang sayasangat prihatin dengan situasisituasidi mana kelompok yanglebih disebabkan faktor personnyakarena memaknai pancasilamengaku paling benar melakukantindak kekerasan terhadapsecara berlebihan dan bahkankelompok lain yang berbeda.dipolitisasi untuk kepentinganpenguasa ketika itu.Artinya apakah Anda ingin mengatakan, negara Indonesia lebih kearah sekular, karena secara insitusional tidak berlandaskan agama?Namun, ada kekhawatiran bahwa sekularisme pada akhirnya akanmeminggirkan agama. Bagaimana tanggapan Anda?Menurut saya mayoritas penduduk Indonesia masih membutuhkanagama. Artinya, membutuhkan dan mengapresiasikan nilai-nilaiagama yang diyakininya. Oleh karena itu, saya tidak perlumerasa khawatir bahwa agama akan tersingkir, karena melihatmasih banyak orang-orang yang menekuni ilmu-ilmu keagamaan.Dan saya kira menjadi tanggung jawab kita bersama sebagaiMaria Ulfah Anshor – 1471


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–orang beragama untuk berdakwah dan menyebarkan agama yangdiyakininya. Sebab itu sudah menjadi tugas dan panggilan agamamasing-masing. Jadi kalau kemudian ada kehawatiran bahwa akanada kelompok-kelompok yang jauh dari agama, itu bukan kesalahannegara, tetapi menjadi tanggung jawab individu sebagai orangyang beragama. Karena semua yang kita jalani dalam kehidupankelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah oleh masingmasingorang. Dalam al-Quran dijelaskan bahwa kita tidak akanmenanggung dosa orang lain. Ketika kita meyakini sebuah agama,dan kita yakin bahwa nilai-nilai agama yang kita anut adalah benardan bisa menjadi pedoman hidup kita, saya kira, sebagai individudengan kesadarannya, niscaya akan mengamalkan nilai-nilai agamayang diajarkannya.Di negara-negara yang berlandaskan agama, atau daerah denganaturan Islam seperti Aceh, misalnya, seringkali meminggirkan kaumperempuan. Menurut Anda, apakah perempuan lebih diuntungkanberada di bawah rezim sekular atau di bawah negara dengan syariatIslam?Kenyataan yang terjadi memang kerap kali perempuan menjadiobyek dari suatu aturan publik, meskipun pada kasus tertentu sayakira tergantung pada paradigma apa yang kita gunakan. Kalau kitaberangkat dari kasus Aceh, dan ini saya katakan di mana-mana termasukketika evaluasi satu tahun tsunami, bahwa Aceh memangsudah memiliki perda syariat Islam, tetapi substansinya menurutsaya belum islami. Dengan peraturan daerah (qânûn) yang katanyaberlandaskan syariat Islam, ternyata belum menyelesaikan persoalankemanusiaan di Aceh. Angka kematian ibu dan anak balita cukup1472– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tinggi di Aceh, indeks pembangunanmanusia (IPM) tidaklebih baik dari provinsi mengenai bentuk negara yang idealSaya belum menemukan konsepdan demokratis yang digambarkanlain, begitu juga kemiskinandan lain-lain. Hukum-dalam al-Qur’an maupun hadis. Yangada adalah Islam memberikan nilainilaiuniversal sebagai panduanan cambuk bagi orang yangberjudi dan berzina ternyatamoral bagi kehidupan manusia.juga tidak mengurangi tingkatkorupsi bagi dana bantu-Munculnya perdebatan tentang perluatau tidaknya Islam masuk ke dalaman korban tsunami. Apakah sistem kenegaraan sangat tergantungsyariat Islam di Aceh memilikiaturan hukum bagi dana sendiri dalam memahami Islam...pada cara pandang umat Islam itubantuan tsunami yang tidak Yang terpenting adalah substansinyabisa dipertanggungjawabkan bahwa nilai-nilai Islam dapatkepada publik? Padahal jelas-jelaskorupsi itu dilarang tanpa harus dilegal-formalkandijalankan dalam seluruh kehidupan,syariah. Apakah adil? Apakahislami?menjadi aturan publik.Islam, menurut saya, harus diamalkan dalam berbagai aspekkehidupan sesuai dengan syariat Islam, sekali lagi, tanpa harusdiformalkan menjadi aturan negara. Ketika kita meyakini bahwaAllah Maha Tahu, seharusnya tidak akan terjadi korupsi. Karenameskipun tidak terlihat oleh KPK atau orang lain, Allah melihatgerak langkah apapun dari hamba-Nya. Begitu juga hati nuranikita sebagai orang yang beriman, meyakini dan bahwa perbuatannyaharus dipertanggungjawabkan, semestinya siapapun yangmenyalahgunakan dana publik untuk kepentingan dirinya ataukeluarganya atau kelompoknya maka harus dikembalikan ke kasnegara.Maria Ulfah Anshor – 1473


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jika keadaannya sudah teramat memprihatinkan, kemudian apayang mau ditata, undang-undangnya atau orangnya? Kalau maumenata perilaku orangnya, kita sudah punya perangkat hukum yangseharusnya mampu menegakkan hukum. Hukum berlaku bagi siapapundan harus ditegakkan di negara manapun. Komitmen iniharus dimulai dari atas dulu, pimpinan-pimpinannya dulu. Namunketika mereka mensahkan syariat Islam sementara di sisi yang lainmereka masih menunjukkan perilaku yang tidak islami, menurutsaya, tidak ada artinya. Yang ada adalah ketidakadilan dan diskriminasi,karena hanya tukang ojek atau tukang becak yang bermainjudi yang ditangkap dan dicambuk di depan umum. Rakyatnyamendapat hukuman dan dipermalukan ketika melakukan kesalahan,sementara para pemimpin dibiarkan menikmati korupsi. Inisangat tidak adil. Lalu di mana substansi Islamnya? Jadi, sepertinyahanya memformalkan simbol-simbol Islam, tanpa ruh. Menurutsaya, formalisasi syariat Islam yang hanya mementingkan simbolyang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan dan kemaslahatan umumjustru bertentangan dengan tujuan pembentukan syariat Islam(maqâshid al-syarî‘ah).Belum lagi soal pasal yang menjelaskan tentang kecurigaankepada orang yang tengah berkhalwat. Di dalam eksekusi hukumIslam, klausul hukum yang berisi dugaan, kecurigaan dan prasangkatidak bisa dijadikan sebagai bukti hukum. Dalam hal ini, Nabibersabda: “tinggalkan hal-hal yang meragukan”. Perda Tangerangdapat dijadikan contoh. Ketika itu seorang guru SD ditangkap karenadikira sebagai pelacur, lantaran sedang menunggu bis/angkotdi tempat yang biasa para pekerja seks komersial (PSK) mangkal.Dalam pengadilan dia secara jelas memberikan kesaksian bahwadirinya bukan pelacur, suaminya juga memberikan pernyataan bah-1474– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–wa ia betul-betul istrinya sedang menunggu kendaraan pulang, namunkeputusan pengadilan, kalau tidak salah, tetap menghukumnyadengan meminta tebusan kepada suaminya sebesar Rp. 300ribu. Kemudian lantaran tidak punya uang ia memilih dipenjara3 hari. Apakah ini adil?Islam datang awalnya sebagai liberasi atas masyarakat Arab, namunkenyataanya rezim-rezim yang mengatakan dirinya Islam, seperti Taliban,atau aturan perda syariat, ternyata tidak menampilkan liberasisebagaimana Islam awal. Yang jadi pertanyaan kemudian, janganjangansyariat Islam memang bermasalah bagi zaman yang sudahberubah. Bagaimana Anda memandang persoalan ini?Menurut saya, tidak adaHubungan antara agama dan negara,yang perlu dipermasalahkanmeskipun tidak dijelaskan secara utuhdengan syariat Islam. Karenadi dalam Islam tetapi secara khusussyariat Islam adalah hukummengenai dasar-dasar pemerintahanatau aturan yang dibuat Allahuntuk mengatur kemas-disinggung dalam al-Qur’an, diantaranya dalam al-Qur’an surat 4,lahatan umat manusia. Tetapiyang bermasalah adalah mandat (amanah) dan keadilanAn-nisa ayat 58-60, berisi mengenaimanusianya, atau orang yang yang harus ditegakkan bagi seorangmempolitisasi syariat Islam pemimpin kepada manusia secarauntuk kepentingan politiknya.Sementara perda syariah agama, keturunan dan ras.keseluruhan tanpa membedakanatau qanun adalah hukumyang dibuat manusia, itu pun sejauh tidak bertentangan denganmaqâshid al-syarî‘ah, untuk kemaslahatan umum, maka tidak adamasalah. Perda syariah bisa menjadi masalah jika tujuannya untukMaria Ulfah Anshor – 1475


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kepentingan politik, bukan untuk kepentingan kemaslahatan umat.Kita harus melihat latar belakang mengapa mereka menghendakiadanya perda syariat Islam. Dan kita juga harus membedakan antaraIslam sebagai ideologi politik dengan Islam sebagai sebuahkeyakinan. Menurut saya keduanya berbeda. Sah-sah saja menjadikanIslam sebagai sebuah ideologi politik tetapi jangan paksakanmenjadi ideologi negara di Indonesia.Mereka menghendaki pemurnian pemahaman al-Quran danHadits. Persoalannya adalah tidak semua teks al-Quran dan Haditsbisa diimplementasikan dalam kehidupan kita. Sebab teks-tekstersebut terlebih dahulu membutuhkan penjabaran atau penjelasanyang disesuaikan dengan konteks zamannya. Pemurnian terhadapteks al-Quran dan Hadits acap kali hanya dilihat secara tekstual,belum memperhatikan pada substansi yang dikehendaki oleh tekstersebut. Kalau kita berbicara sebagaimana yang dikehendaki olehteks, harusnya memperhatikan juga kronologi dan sebab-sebabmengapa sebuah teks diturunkan, yang kita kenal dengan asbâbal-nuzûl untuk al-Quran atau asbâb al-wurûd untuk Hadits. Laluteks-teks ini pun bentuknya bermacam-macam, ada yang qath‘î danada yang zhannî. Teks yang qath‘î ini tidak bisa ditafsirkan karenadari segi ungkapannya sudah sangat jelas. Sementara itu, teks yangbersifat zhannî bersifat dugaan, ini yang kemudian bisa ditafsirkan.Karena dari sifat teksnya sendiri mengandung arti ganda bahkanbermacam-macam, sehingga pemahaman orang juga berbeda. Ulamamembatasi hanya teks yang zhannî inilah yang menjadi lahanijtihad bagi ahli fikih atau ahli tafsir untuk melakukan penfasiranmaupun membuat penjelasan-penjelasan mengenai apa yang dikehendakidari substansi teks ini.1476– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ketika kita berusaha menghidupkan kembali semangat liberal, ternyatapandangan sebagian orang tentang konsep liberalisme sangat negatif.Liberalisme dianggap sebagai sesuatu yang buruk karena dianggap dariBarat. Bagaimana tanggapan Anda tentang konsep liberalisme?Kita seringkali terperangkap dengan perdebatan istilah-istilahasing. Termasuk kasus fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) yangmengharamkan liberalisme ini. Apa lacur, seringkali umat Islampun mengidentikkan Islam dengan istilah Arab. Akibatnya, yangbukan berasal dari Arab seolahdianggap bukan Islam. Saya setuju agama sebagai institusiBegitupun dengan istilah liberalisme.Kata ini memang agama sebagai keyakinan, sebagaidipisahkan dari negara. Tetapi ketikaberasal dari bahasa Inggris, jalan hidup (way of life) manusiasama halnya dengan sekularisme,yang bukan baha-substansi, keduanya (agama danmenuju keridlaan Tuhan, secara spirit,sa Arab tetapi bukan berati negara) tidak bisa dipisahkan.harus diharamkan. BahwaIslam diturunkan di Arab saya sepakat. Tetapi, kemudian nilainilaiIslam sudah beradaptasi dengan situasi dan kondisi budayadi berbagai negara belahan dunia di mana Islam berkembang. SehinggaIslam pun ada di mana-mana.Liberalisme sama seperti istilah jender yang juga berasal dariBarat. Tetapi jangan salah, ketimpangan jender adalah bentuk ketidakadilanterhadap perempuan, sehingga substansi dari gerakanfeminisme yang mengusung kesetaraan jender menjadi perjuanganyang harus ditegakkan dalam Islam. Berpikir jender berarti menghendakiditegakkannya keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Jadibukan istilahnya yang harus kita permasalahkan, apakah berasal dariMaria Ulfah Anshor – 1477


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Barat atau Timur, melainkan substansinya bahwa jender adalah alatanalisa untuk membedah berbagai bentuk ketidakadilan terhadapperempuan. Sehingga hal tersebut sama sekali tidak bertentangandengan nilai-nilai Islam. Istilah jender memang tidak ada dalamal-Quran, tetapi substansinya untuk menegakkan keadilan jendersangat dianjurkan dalam al-Quran. Bahkan berapa puluh kali kataadil dan awsath disebutkan dalam al-Quran.Terkait dengan liberalisme, Anda dikenal sebagai tokoh NU yang cukupvokal menyuarakan isu jender dan gagasan feminisme. MenurutAnda, bagaimana gerakan feminis Muslim menghadapi suatu perubahanyang mendasar dari pola hubungan antara laki-laki dan perempuandi ruang publik?Mungkin ada situasi di mana secara turun-temurun masih mengidolakanbahwa laki-laki paling kuat, cerdas, dan pintar. Ini kulturyang diterima secara turun-temurun atau taken for granted. Tetapifaktanya banyak juga perempuan yang pintar dan cerdas yangmempunyai kemampuan yang tidak kalah dengan laki-laki. Lantas,apakah kemudian perempuan tidak boleh memahami teks-teks Islamdengan interpretasi yang baru dan memperbaharui tafsir-tafsirlama dengan tafsir yang lebih adil untuk perempuan?Fakta menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap perempuansudah menjadi budaya yang turun-temurun, sehingga tidak gampanguntuk mengubahnya. Misalnya, ada sebuah keluarga yangmempunyai anak laki-laki dan perempuan dan secara ekonomipas-pasan, sehingga hanya mampu membiayai satu anaknya untukbersekolah. Kalau kita bicara soal yang ideal, maka seharusnya duaduanyasekolah. Tapi kondisi biaya tidak memungkinkan untuk1478– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bisa menyekolahkan keduanya.Kalau mau fair tentu Sepengetahuan saya Islam tidakharus dilihat siapa yang lebih memiliki konsep yang baku mengenainegara. Kalaupun ada lebih berupapintar atau siapa yang lebihkonsep syariat Islam yang dipolitisasiberpotensi untuk disekolahkan.Tetapi pilihan masya-ke dalam sistem kenegaraan. Apalagikalau yang dimaksudkan kampanyerakat, meskipun yang lebihnegara Islam itu dalam konteks untukberpotensi anak perempuan,menggantikan Pancasila sebagaiseringkali lebih mengutamakananak laki-laki. Situasi Indonesia (NKRI), saya sangat tidaklandasan Negara Kesatuan Republikseperti ini masih banyak di setuju. Sebab, Pancasila sebagaimasyarakat. Untuk menyekolahkananak perempuan perlu dipertentangkan denganideologi negara sudah final, tidakpun tidak gampang, butuh Islam. Karena substansinya tidakpemahaman dan penyadaranterhadap orang tua. Jadibertentangan dengan nilai-nilai Islam.kalau kita bicara soal keadilan jender lingkupnya sangat luas, tidakhanya dengan urusan di rumah tangga tetapi termasuk jugaurusan di ruang publik.Saya sendiri ketika menjelaskan atau menyadarkan tentang ketimpanganjender memilih untuk tidak menyerang tradisi (agamadan adat), sehingga responnya cukup baik. Jadi saya kira tergantungbagaimana cara kita memberikan pemahamanan, agar tidakdikesankan menyalahi adat. Meskipun tujuan kita hendak mengubahadat yang merugikan perempuan. Tetapi caranya jangan menyerang,jangan menyalahkan orang tua, atau kepala adat, tetapiajaklah mereka berdialog, berikan argumentasinya kalau memangada tradisi yang merugikan pihak-pihak tertentu, apakah adat iniharus tetap kita pegang atau ditinggalkan? Oleh karena itu, kitaMaria Ulfah Anshor – 1479


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–harus melakukan sosialisasi, sehingga tumbuh kesadaran dalam masyarakatbahwa meningkatkan pendidikan bagi perempuan adalahkewajiban bagi setiap keluarga.Bagi saya proses itu sangat penting. Apapun yang disosialisasikan,proses menjadi strategi yang harus diperhatikan. Jangan sampaimasyarakat menerima informasi yang tidak utuh, karena bagiorang awam akan membingungkan, sehingga yang terjadi kemudianadalah penolakan. Oleh karena itu, memang harus ada strategiuntuk upaya pembebasan dengan proses penyadaran dan dialog,bukan proses yang sebaliknya, ofensif, dengan penyerangan.Dengan bergulirnya reformasi, secara politis perempuan lantas diberikanaffirmative action dengan jatah kuota sebanyak 30%. MenurutAnda, apakah itu satu capaian baru dan merupakan angin segarbagi peran politik perempuan?Berangkat dari pengalaman pemilu yang lalu, setelah UU pemiludisahkan pada tahun 2003, pemberian kuota 30% untuk perempuanitu menurut saya masih setengah hati. Karena redaksinya“dapat mengajukan”. Pernyataan tersebut lemah, secara hukumtidak mengikat, karena tidak disertai sangsi. Setiap partai politik“dapat mengajukan calon perempuan sebanyak 30%”. Di sini tidakada sangsi apapun bagi partai yang tidak memenuhi kuotatersebut. Jadi, persoalannya adalah, pertama tidak adanya sangsi.Karena itu, menurut saya, kalimat tersebut harus direvisi denganpernyataan yang lebih tegas bagi partai untuk memberikan kuotakepada perempuan untuk menjadi anggota legislatif. Misalnya, setiappartai harus memperjuangkan calon perempuan sebanyak 30%menjadi anggota legislatif, jika tidak dilakukan maka partai yang1480– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bersangkutan akan dicabut mandatnya atau tidak boleh mengikutipemilu. Kedua, dari hasil pemilu 2004, perempuan hanya, kalautidak salah, terwakili kurang lebih 11%. Angka 11% sebenarnyatidak bergerak dari angka pada pemilu-pemilu yang lalu. Dalamsejarahnya di Indonesia paling tinggi keterwakilan perempuan hanya12%. Oleh karena itu, menurut saya, perlu dianalisis dari sisiundang-undangnya.Persoalan lain adalah soal budaya patriariki yang masih sangatkuat di masyarakat. Di samping persoalan kesiapan perempuansendiri juga belum maksimal. Tapi seandainya ada upaya yang serius,misalnya, dengan merevisiundang-undang dan menyiapkankandidat secara maksimal, Islam yang hanya mementingkanMenurut saya, formalisasi syariatmudah-mudahan kuota seperti simbol yang mengingkari nilai-nilaiyang diharapkan dapat dicapai kemanusiaan dan kemaslahatanpada pemilu 2009. Hal pentingyang harus dilakukan dari dengan tujuan pembentukanumum justru bertentangansisi perempuan adalah penguatanatau capacity building bagisyariat Islam (maqâshid al-syarî‘ah).setiap individu perempuan yang akan masuk partai. Meskipunpada kenyataanya yang laki-laki juga tidak lebih baik ketimbangperempuan – tetapi mereka menang hanya karena lebih dahulumenduduki posisi pimpinan partai, misalnya, sehingga bisa menentukanpilihan.Di satu sisi, ada budaya patriarki yang sangat mengakar, yang berimbaspada ketertindasan perempuan. Di sisi lain, negara telah memberikanaffirmative action untuk peran politik perempuan. MenurutMaria Ulfah Anshor – 1481


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Anda, apa peran yang harus dimainkan civil society demi menciptakantatanan masyarakat yang setara dan berkeadilan?Menurut saya, ketiga institusi, domain eksekutif, legislatif danyudikatif sebagai lembaga negara, dan civil society harus bisa bersinergi,bersama-sama membangun budaya bangsa. Menurut saya,dalam konteks keindonesiaan ketiga institusi tersebut bisa bersinergi,bahkan harus bersinergi, kalau memang kita menghendaki sebuahtatanan bangsa yang ideal. Bagi kita yang di legislatif, misalnya,tidak bisa berpikir ideal hanya dari perspektif legislatif, tapi jugaharus melibatkan perspektif eksekutif, dan juga yudikatif. Demikianjuga halnya dengan masyarakat, mereka juga mempunyai perspektifyang ideal mengenai tatanan bangsa yang damai dan adil.Oleh karena itu, menurut saya, harus di-sharing.Dalam teori advokasi untuk terjadinya sebuah perubahan kebijakan,antara content (isi kebijakan/undang-undang), struktur (parapembuat kebijakan/legislatif dan eksekutif maupun aparat penegakhukum) dengan culture (masyarakat/civil society) seperti segitigayang saling terkait, yang ketiga sisinya menempati posisi dengankekuatan yang sama, tidak ada yang lebih tinggi. Dalam hubungantersebut, semua sisi harus bergerak melakukan peran yang salingmendukung satu sama lain untuk terjadinya perubahan. Jadi, ketikacivil society mempunyai kepentingan yang ingin mereka perjuangkan,misalnya, bagaimana masyarakat lebih sejahtera, bagaimanamereka yang miskin mendapatkan keadilan, dan seterusnya, makaproses ini perlu ada yang memperjuangkan aturan-aturan hukumnya,yang disebut perubahan content. Karena yang membuat aturanadalah fungsi legislatif, maka civil society berkepentingan untukmenyuarakan aspirasinya kepada legislatif. Lalu legistalif membuataturan yang sesuai dengan prinsip umum yang tidak bertentangan1482– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dengan Pancasila. Dan legislatif tidak hanya mendengar masukandari masyarakat melainkan juga meminta masukan kepada pelaksanaatau dalam hal ini eksekutif, untuk mengetahui bagaimanatingkat implementasinya.Tidak hanya berhenti pada tingkat legislasi dan implementasi,tetapi juga sampai pada tingkat pengawasan. Jadi, lagi-lagi, ketiganyajuga harus bersinergi. Pengawasan tidak hanya dilakukanoleh legislatif terhadap eksekutif atau civil society terhadap kerjalegislatif, tetapi masing-masing harus saling mengontrol untukmelakukan pengawasan. Masyarakat sebagai kelompok mayoritas,menurut saya, merupakan mitra bagi aparat pembuat aturan danaparat pelaksana kebijakan. Selain itu, civil society juga mempunyaikemampuan mengawasi, menjadi pressure group. Mereka menjadisemacam kelompok yang bisa mengawasi ketika terjadi penyimpangan-penyimpangandi eksekutif maupun di legislatif. Ketigadomain ini memang harus bergerak sama-sama.Salah satu kasus yang menarik tentang perdebatan yang terjadi diparlemen adalah perdebatan tentang RUU APP. Di sana ada tarikmenarik, ada kelompok Islam yang moderat-liberal melawan kelompokIslam konservatif-fundamental. Dan sayangnya, salah seorang anggotaparlemen perempuan justru demikian “getol” mendukung RUU APP,padahal sudah jelas banyak ditentang aktivis atau kalangan perempuankarena merugikan kaum mereka sendiri. Bagaimana Anda memandangtarik menarik ini?Menurut saya, redaksi hukum draft pertama RUU APP membingungkandan banyak klausul yang multitafsir. Satu contoh kekonyolanRUU APP versi pertama adalah adanya pasal yang kurangMaria Ulfah Anshor – 1483


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lebih berbunyi: “Barangsiapa melakukan tindakan atau gerak-gerikyang menyerupai masturbasi atau onani maka dikenakan hukumanminimal sekian tahun dan maksimal sekian tahun, minimal dendasekian rupiah, dan maksimal denda 200 juta.” Jadi kata-kata“menyerupai” berpotensi besar menjadi redaksi yang multitafsir.Akan sangat berbahaya jika sebuah aturan hukum mengandungredaksi yang berupa dugaan dan prasangka. Selain itu, substansinyayang semula bertujuan mengatur supaya gambar-gambar pornoitu tidak dengan mudah diakses oleh anak-anak, meluas menjaditidak hanya terhadap gambar porno, VCD porno, melainkan jugasoal perilaku. Sehingga tidak mengherankan apabila bermunculanresistensi yang kuat dari masyarakat terhadap RUU Anti-Pornografidan Pornoaksi.Pornoaksi dilarang agama, saya sepakat. Sehingga hal tersebutharus dilarang dan dibuatkan aturannya. Namun, sayangnya,darft RUU APP tersebut banyak yang tidak tepat, sehinggaharus dirumuskan kembali substansinya. Padahal substansi yangkita inginkan adalah bahwa gambar porno tidak lagi bisa diaksesoleh anak-anak sehingga produksi gambar porno itu harus bisadikendalikan. Persoalan ini memang sangat kompleks. Dari sudutpandang agama, pornografi harus dihindari, bahkan ditolak olehsemua agama. Namun dari sudut pandang kesenian, memandangsesuatu yang dianggap sebagai pornografi bisa menjadi objek seni.Oleh karena itu, harus dirumuskan batasan-batasannya secara jelassehingga tidak saling merugikan dari berbagai kepentingan.Saat ini saya dengar sudah ada revisi yang lebih baik dari komisidelapan di DPR RI.1484– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Indonesia sejak awal berdirinya terdiri dari kelompok-kelompok masyarakatdengan latar belakang agama dan kepercayaan yang berbeda,bahkan kita mempunyai ratusan suku dan budaya. Sehingga sebagiankalangan mengatakan bahwa pluralisme merupakan sebuah keniscayaandan harus menjadi prinsip yang mendasari kehidupan bersamasetiap masyarakat. Tapi ada juga kelompok yang menganggap bahwapluralisme merupakan produk Barat – dengan nilai-nilai yang tidaksesuai dengan keyakinan masyarakat. Bagaimana Anda memahamipluralisme?Lagi-lagi, ini soal istilah. Menurut saya hal penting yang harusdiperhatikan adalah hindari menulis atau mengungkapkan katakataasing tanpa ada penjelasan. Persoalan seperti ini akhir-akhirini menjadi sangat sensitif dan dampaknya sangat serius. Sebab,semua yang berasal dari Barat, non-Muslim dan produknya dianggapmenyesatkan. Kalau kita lihat dari karakter bangsa Indonesia,seperti yang Anda bilang tadi, bahwa bangsa Indonesia sejak didirikansudah sangat beragam baik bahasa, pulau, budaya, suku,dan agama. Keragaman ini kemudian diikat rekat. Ibaratnya sebuahmozaik, dengan warna-warni dan bentuk yang beragam, kemudiandirekatkan menjadi satu bernama Indonesia. Semua bersepakatbahwa kita menjadi bagian dari bangsa Indonesia.Kemudian muncul persoalan karena ada kelompok yang inginmendominasi kelompok yang lain, dengan mengklaim kelompoknyalahyang paling benar, sementara kelompok lain dianggap salah.Langkah ini, menurut saya, tidak strategis bahkan keluar dariframe Indonesia yang jelas-jelas sejak didirikan mengakomodir keragaman.Inilah yang kemudian memecah-belah untaian mozaikyang warna-warni dari bangsa ini. Ideologi politik boleh berbeda,apapun partainya boleh dikembangkan. Tetapi, semua itu harusMaria Ulfah Anshor – 1485


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dalam kerangka dan tujuan mengukuhkan persatuan dan kesatuanNegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Jika di antara mereka atau salah satu kelompok mereka mengatakanbahwa tidak penting dengan jumlah provinsi yang dimilikimenjadi berapa, tapi yang terpenting adalah Indonesia menjadi negaraIslam, maka saya mengatakan kepada mereka bahwa ideologitersebut berbeda dengan ideologi kita sebagai bangsa Indonesia.Saya sebagai seorang Muslim yang terlahir sebagai bangsa Indonesia,memiliki keyakinan bahwa mempertahankan bangsa kita adalahwajib hukumnya. NKRI dengan landasan ideologi Pancasilanyasudah final. Dan kalau kemudian kita berpikir bahwa karena kitamayoritas Muslim maka semua orang harus diislamkan, menurutsaya, justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang dicontohRasulullah ketika memimpin Madinah.Sebagian kalangan mengganggap pluralisme, dengan mengacu padafatwa MUI, identik dengan sinkretisme, karena mencampur-adukkan,bahkan menyamakan agama. Beberapa kalangan lain jugamenganggap pluralisme sebagai relativisme, karena merelatifkan semuanilai kebenaran agama. Menurut Anda seperti apakah pahamini sebenarnya?Saya melihat pluralisme sebagai upaya menghargai perbedaan.Pluralisme sebagai alat untuk melihat bahwa keyakinan orang berbeda-beda,yang tidak bisa diseragamkan. Karena itu, di sini harusdibedakan antara pluralisme dengan upaya mencampuradukkankeyakinan. Semua orang berhak memiliki keyakinannya masingmasing,bahwa apa yang diyakininya adalah berbeda dengan keyakinanorang lain, itulah kemajemukan atau pluralitas.1486– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Yang harus disadari adalah meskipun kita memiliki keyakinanyang paling benar menurut kita, tetapi tidak boleh menyalahkankeyakinan orang lain. Bahkan kita harus menghargai terhadappilihan keyakinan atau agama orang lain. Kita tidak bisamemaksa mereka untuk masuk agama kita, begitu juga sebaliknya.Oleh karena itu, kita harus menghargai dan menghormatikeyakinan mereka. Dengan menghormati pilihannya, kita bisamembangun relasi kemanusiaan yang merupakan prinsip dasarkita semua untuk berbangsa dan bernegara. Meskipun keyakinankita berbeda, kita bisa mengadakan kegiatan bersama. Kitatidak ada masalah dengan kelompok yang berbeda, sejauh kitasaling menghormati dan menghargai terhadap keyakinan yangdianut orang lain.Permasalahan yang sering terjadi adalah mereka (kelompok yangtidak mengakui pluralitas) pada akhirnya memberangus hak oranglain dengan berlandaskan keyakinan ajaran yang mereka yakini.Kalangan fundamentalis, misalnya, akan mengatakan bahwa Islammempunyai kebenaran yang ultim dan pasti. Kepercayaan inijustru membuat mereka tidak toleran, jangankan terhadap agamayang berbeda, dalam kalangan internal agama mereka sendiri yangberbeda (paham) pun tidak toleran. Ahmadiyah mereka usir, ekspresiibadah Usman Roy juga ditanggapi dengan penolakan karenadinilai sebagai penganut ajaran sesat, juga komunitas Eden yangmendapat perilaku tak simpatik. Bagaimana Anda melihat kenyataanyang seperti ini?Saya tentu saja prihatin melihat kondisi itu. Satu contoh, kantorAhmadiyah di Parung itu dirusak. Karena dianggap menyim-Maria Ulfah Anshor – 1487


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pang dari ajaran Islam sebagaimana diyakini kelompok merekayang mayoritas, sehingga Ahmadiyah boleh dirusak. Juga umatdari agama lain yang tidak boleh mendirikan rumah ibadah ataumalah rumah ibadah mereka dirusak. Celakanya, mereka melakukanitu dengan mengatasnamakan jihad di jalan Tuhan. Apakahjihad memang harus dilakukan dengan merusak dan membakarrumah ibadah? Apakah membakar gereja dan merusak fasilitasatau mengusir jemaat Ahmadiyah itu dibenarkan dalam Islam?Saya kira, Rasulullah pun bukan hidup dalam situasi di manamasyarakatnya semua memeluk Islam, tetapi beliau hidup di tengahmasyarakat yang juga beragam. Nyatanya beliau menghargaikelompok-kelompok yang berbeda tersebut.Dan bukankah al-Quran melarang pengrusakan terhadap rumahibadah? Artinya, kita sudah diberi peringatan bahwa meskipunagama dan keyakinan kita berbeda tapi harus ada toleransi,ada batasan-batasan di mana kita bersatu dan ada batasan dimana kita harus berbeda. Kalau kita berangkatnya dari mencaricaridan menegaskan perbedaan maka akan susah untuk mencapaikehidupan yang damai. Tetapi kalau kita berangkat dari persamaan,tanpa bermaksud menyatukan akidah masing-masing,maka akan dengan mudah bagi kita untuk berinteraksi dan salingmenghargai. Menurut saya, dalam konteks global seperti sekarangini tidak ada orang yang bisa hidup hanya dalam komunitasnyasaja. Cepat atau lambat, sering atau jarang, kita akan berinteraksidengan kelompok lain. Belakangan ini memang saya sangatprihatin dengan situasi-situasi di mana kelompok yang mengakupaling benar melakukan tindak kekerasan terhadap kelompoklain yang berbeda.1488– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut Anda, bagaimana cara menciptakan perdamaian yang palingpunya risiko minimal, dan bagaimana cara memandang Islamyang esensial itu?Menurut saya harus ada dialog. Dibutuhkan proses penyadaranbersama. Sebuah proses di mana setiap orang harus mengedepankannilai-nilai kesamaan di antara kita maupun dengan mereka. Misalnya,saya dan Anda pasti ada perbedaannya, dalam hal apapun.Tetapi kalau kita mencoba melihat kesamaan-kesamaanya, satusama lain tentu saja terdapat kesamaannya. Kesamaan-kesamaantersebut harus kita kembangkan dalam pergaulan bersama. Dalamkehidupan sehari-hari kita sering melihat bahwa hanya karena iaberbeda dalam satu hal dengan kelompok tertentu, kemudian tidakmau menunjukkan sikap solidaritas, meskipun kelompok tersebutsedang tertimpa musibah. Padahal, jika kita mampu melihat sisilain dari kelompok yang berbeda, tentu kita akan bersikap empati.Coba kita mengandaikan yang jadi korban adalah kita, tentu kitamengharapkan ada bantuan. Dalam keadaan kondisi terpaksa ini,mungkin kita tidak akan memilih dari manapun bantuan itu datang.Dengan melihat kesamaan-kesamaan kita dengan yang lainitulah maka akan muncul sikap saling memahami dan akan tumbuhrasa solidaritas yang saling menyayangi.Apa harapan dan saran untuk membangun Indonesia di masa mendatang?Menurut saya, sebetulnya kita butuh dialog antarkelompok, antaragama,dan antarkomunitas secara intensif. Karena dialog akansangat besar manfaatnya. Dengan dialog, orang yang tadinya curigaMaria Ulfah Anshor – 1489


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menjadi maklum. Atau, orang yang tadinya tidak mengerti satusama lain kemudian menjadi saling memahami. Sehingga merekayang tadinya tertutup, dengan adanya dialog menjadi lebih terbuka.Mereka yang sebelumnya pongah kemudian bisa introspeksi,dan sebaginya.Intensitas dialog ini, menurut saya, harus ditingkatkan. Dimulaioleh pemimpin-pemimpin komunitas kemudian dilanjutkandengan seluruh anggota komunitas masing-masing yang ada dimasyarakat secara lebih luas, agar satu sama lain dapat memaknainikmatnya perbedaan. Dengan menikmati perbedaan, maka dengansendirinya akan tumbuh rasa saling menghargai dan menghormati,sehingga dapat hidup rukun dan damai dalam Negara KesatuanRepublik Indonesia.Wawancara dilakukan di Jakarta, 14 Juni 20071490– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganMartin Lukito SinagaMartin Lukito Sinaga, seorang pendeta yang aktif dalam gerakan dialog antariman.Ia pengajar di Sekolah Tinggi Teologi (STT), Jakarta, yang menempuh studi teologidi Jakarta, Hamburg (Jerman), dan Utrecht (Belanda).1491


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisme merupakan gerakan untuk mengurangi harta gereja,yang dalam perkembangan sejarah berikutnya berarti juga berkurangnyapenjelasan agama terhadap hidup. Di alam sekular, sebenarnyaagama tidak kalah, cuma lebih menemukan identitasnyasebagai pemberi makna. Agama mendefinisikan dirinya sebagaicivil society, bukan political society. Dalam negara sekular, liberalismelahyang dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan dankeseimbangan agama, tanpa harus memutlakkan pikiran-pikiranrasional kita. Komitmen moral dan sosial harus dimiliki oleh orangyang bersikap liberal dalam beragama. Dan Pancasila sebagaiprinsip yang inklusif dan non-diskriminatif menjadi obsesinya. Disitulah alamat jika toleransi di Indonesia mau lebih afirmatif danprotektif terhadap minoritas.1492– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisme sering dipahami sebagai gagasan anti-agama. Hal itu tergambarsetidaknya dari gagasan privatisasi yang melekat pada sekularisme,yang menyebabkan mulai terpinggirkannya fungsi dan peranagama di wilayah publik atau dalam kehidupan bermasyarakat (thedecline of religion). Apa pandangan Anda perihal sekularisme?Kita harus mengurutkannya terlebih dahulu sebelum menyimpulkanbahwa memang sekularisme adalah upaya peminggiranagama. Dalam sejarah tradisi Kristen, sekularisme pada awalnyadiartikan sebagai pengembalian harta gereja kepada masyarakat.Dulu, gereja mempunyai banyak sekali tanah yang diberikan olehmasyarakat, semacam tanah wakaf dalam tradisi Islam. Sekarang,seiring gerakan sekularime, masyarakat meminta kembali tanahyang semula diwakafkan ke gereja itu untuk menjadi hak miliknya.Tegasnya, sekularisme berarti suatu gerakan untuk mengurangiharta gereja, yang selanjutnya, dalam perkembangan sejarah, berartijuga berkurangnya penjelasan agama terhadap hidup. Inilah yangmenjadi penopang negara modern. Penopang nation-state. Di dalamnation-state, sebuah sistem pemerintahan tidak lagi membutuhkanagama sebagai legitimasinya. Habermas mengatakan bahwamasyarakat dan negara, dalam sistem sekular, pada dirinya sendiricukup legitim. Tidak perlu mendasarkan diri kepada Tuhan danlain sebagainya.Studi-studi belakangan, pasca runtuhnya tembok Berlin danketika Paus begitu aktif di Polandia, serta ketika kelompok-kelompokfundamentalisme Kristen terus-menerus memantau konstitusiAmerika, memperlihatkan perubahan yang begitu berarti. Dalamkasus aborsi, misalnya, tampak bahwa lama-kelamaan sekularismekerap diperhadapkan dengan suara agama. Jadi, privatisasi agamaMartin Lukito Sinaga – 1493


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ditolak. Agama bukan hanya menjadi masalah privat atau bahkantelah tergerus, melainkan hendak menemukan tempatnya secarastruktural. Agama menjadi suatu institusi yang memberi maknamengenai persoalan ultim, persoalan-persoalan yang menyangkutidentitas manusia, persoalan-persoalan yang terkait dengan tujuanhidup. Maka kini tidak tepatlah teori yang mengatakan bahwasekularisme meniscayakan privatisasi agama.Di dalam alam sekular, sebenarnya agama tidak kalah, cumalebih menemukan identitasnya sebagai pemberi makna. Ketika agamamemikirkan hal-hal ultim, seperti identitas manusia, ternyatajuga tetap mempunyai dampak ke publik. Dampak itu terlihat jelasmisalnya ketika agama memberi pesan tentang martabat manusia,maka tindak aborsi jadi bermasalah, karena di dalam undang-undang(UU) aborsi juga terdapat soal martabat, soal boleh atau tidakjanin dibuang. Debat terakhir Habermas dan Paus sangat jelasdalam konteks ini. Paus mengatakan bahwa kalau Anda inginmemperbaiki masyarakat maka dibutuhkan komitmen. Komitmenagama mengenai martabat manusia itu yang membuat orang beranimemperjuangkan keadilan sosial. Keyakinan bahwa manusiaadalah gambar Allah, sebagaimana disebutkan di dalam Kristen,yang mungkin juga sama dengan kalîmatullâh dalam tradisi Islam,membuat orang jadi menghargai hak asasi orang lain. Kini, agamamemang tahu bahwa dia tidak bisa lagi menentukan semua hal.Tetapi karena agama mempunyai dimensi yang luas dan dalam,maka soal-soal praktis pun pada akhirnya akan tetap dicampurinya,meski dalam cara dan kadar-kadar yang lebih terbatas.1494– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam sejarahnya, banyak teolog yang menentang gagasan sekularismedisebabkan oleh pengalaman yang cukup traumatik dalam Kristenatau Katolik. Karena hal demikian inilah, mereka kemudianlebih ramah terhadap sekularisasi ketimbang sekularisme. MenurutAnda pembedaan antara sekularisme dan sekularisasi itu masih relevanatau tidak?Untuk permasalahan ini, kita harus, pertama-tama, melihat danmembacanya sebagai gejala sosial. Penjelasan akan kedua gagasanitu dapat disederhanakan begini: sekularisasi berarti proses, sedangkansekularisme berarti hasilnya. Para teolog, seperti Cak Nur atauHarvey Cox, mengatakan bahwakedua hal itu memiliki persoalannyasendiri-sendiri. Para gerakan untuk mengurangi hartaSekularisme berarti suatuteolog, yang saya pahami, setujudengan sekularisasi dengan perkembangan sejarah, berartigereja, yang selanjutnya, dalammenganggap bahwa sekularisasimerupakan prinsip di mana agama terhadap hidup. Inilah yangjuga berkurangnya penjelasanharus ada pembedaan antara menjadi penopang negara modern.Khâliq dan makhlûq, antarapencipta dan ciptaan. Sementara di lain sisi sekularisme ditolakkarena mereka berpikir bahwa ada hal-ihwal duniawi yang seolah-olahotonom pada dirinya. Padahal semua ihwal selalu terkaitdengan yang ilahi. Jadi, pembedaan sekularisasi dan sekularismeitu sebenarnya hanya pembagian para teolog saja. Tujuannya taklain adalah mau mengatakan bahwa Tuhan tidak boleh dikeluarkandari ilmu pengetahuan. Tapi kita tidak perlu ke situ. Pembagianitu hanya berguna untuk memudahkan bahwa sekularismeadalah hasilnya, sementara sekularisasi adalah proses. Namun, jikaMartin Lukito Sinaga – 1495


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kita memang mau masuk ke persoalan yang lebih teologis, makapembagian seperti itu dapat menolong.Sebelumnya, Anda sudah menyinggung bahwa dalam agama terdapataspek-aspek yang ultim, yang dapat diterjemahkan di sini sebagai semangatuntuk bisa mengubah masyarakat sekitarnya. Ada aspek profetisdi situ. Belakangan telaah sekularisme berkembang cukup pesat.Berangkat dari asumsi bahwa karena agama tidak semata-mata baik,tetapi juga dapat menjadi pemicu perpecahan atau konflik sosial,maka harus diprivatkan. Pada sisi lainnya, Jose Casanova berusahamendeprivatisasinya, dengan alasan nilai-nilai ultim dari agama dapatberperan dan berfungsi luhur di kancah publik. Kami memintaagar Anda menanggapi soal perdebatan privatisasi dan deprivatisasinyaCasanova ini.Casanova juga mengatakan bahwa agama itu tidak mungkinlagi hanya menjadi urusan privat. Namun begitu, kita juga janganmembiarkan agama menjadi kekuatan totaliter, sebagaimana ideologiMarxisme yang lama-kelamaan menjadi agama sebagaimanadiperlakukan oleh komunisme. Artinya, agama jangan hanya dipojokkanmenjadi, sebagaimana kata Khairil Anwar, manusia dengankesepiannya, tapi juga jangan menjadi faktor mobilisasi massa. Bagaimanajalan tengahnya? Bagi Casanova, memang betul bahwaagama adalah komitmen individual. Tetapi ketika agama hendakmemperjuangkan masalah publik, atau agar agama tidak menjaditotaliter tetapi tetap bisa masuk ke ruang publik, maka cara kerjanyaharus diberi syarat. Syarat pertama – dia terpengaruh Habermasdi sini – adalah harus adanya open debate, percakapan terbuka.Kedua, agama mesti memahami dirinya sebagai komunitas masya-1496– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rakat, sebagai civil society, bukan political society. Dan ketiga, ketikaagama hendak mengajukan prinsipnya ke masyarakat, maka tidakboleh menggerus agama lain,tidak memojokkan minoritas,dan tidak hanya mem-adalah suatu sikap kritis terhadapLiberalisme, menurut saya,prioritaskan dirinya. Inilah agama, yang justru diperlukan.tiga syarat yang menjadi jalantengah antara ketegangan adalah bagaimana kita bisa kritisDengan demikian, persoalannyaprivatisasi dan politisasi agamamenurut Casanova.terhadap agama, tetapi tidak perlumemutlakkan pikiran-pikiran rasionalkita ... Liberalismelah yang dapatmenjaga dan mempertahankanKalau dikaitkan, adakah paralelismeantara deprivatisasikesehatan dan keseimbangan agama.dengan teologi pembebasan yang pernah terjadi di beberapa negara?Bukankah teologi pembebasan juga memiliki semangat bagaimanamempublikkan agama lewat semangat-semangat profetisnya? Di manakahletak perbedaan di antara keduanya?Saya kira ya. Di situ memang ada upaya agama untuk keluardari batas-batas rohani. Namun, yang menjadi persoalan dariteologi pembebasan adalah bahwa dia terlalu cepat memakai kerangkaMarxis, sehingga semua masalah selalu disederhanakanmenjadi masalah kelas. Padahal mungkin dalam masyarakat-masyarakattertentu persoalan sebenarnya lebih pada status sosial ataupersoalan feodalisme; sementara pada masyarakat lain, mungkinlebih pada kebutuhan mobilisasi sosial. Ada sebuah contoh yangsangat menarik untuk hal ini. Baru-baru ini, awal tahun 2007,Paus mengadakan perjalanan ke Amerika Latin. Dari perjalanantersebut, Paus menemukan satu kecemasan yang juga dialamiMartin Lukito Sinaga – 1497


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–masyarakat Katolik pada umumnya, yaitu persoalan kondom danaborsi. Selain itu, Paus juga menemukan permasalahan lain yangsekarang muncul menjadi masalah baru, yaitu kenapa orang-orangKatolik banyak yang berpindah menjadi Protestan. Jutaan orang,kini, meninggalkan gereja Katolik dan masuk ke Protestan. Protestannyabukan seperti gereja saya, Gereja Batak-Simalungun, tetapiProtestan yang disebut Karismatik-Pentakosta, Protestan populeratau agama pop.Ketika di Amerika Latin banyak orang berubah menjadi Protestan,protestantisme ini sebenarnya mengerjakan apa yang dibayangkanteologi pembebasan. Kenapa menjadi Protestan? Karenaorang ingin maju. Ingin memiliki semacam disiplin pertobatanhidup baru. Komunitas-komunitas yang ingin hidup baru berartiingin keluar dari struktur feodalisme Amerika Latin, struktur gerejadan struktur kekerasan, violencia. Struktur di mana minumankeras dan drugs menjadi tradisi masyarakat Amerika Latin. Denganmenjadi Protestan, mereka keluar dari semua itu, lalu muncullahsemacam kantong-kantong komunitas sukses, kantong-kantongorang yang ingin mengalami mobilitas sosial. Hal itu hanya terjadisetelah mereka menjadi Protestan. Karena di dalam Protestan,Anda harus hidup baru –born again Christian – tidak merokok,minum-minum dan main perempuan, sehingga Anda bisa disiplindan menabung, yang berakibat pada mobilitas sosial. Hal sepertiini kurang didorong dalam Katolisisme di Amerika Latin, karenaagama Katolik telah menjadi agama rakyat. Jadi, menurut saya,betul bahwa deprivatisasi agama itu seperti teologi pembebasan,tentunya teologi pembebasan yang lebih kontekstual, tidak sekadarberpakem Marxis.1498– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ketika kita membincang bentuk-bentuk pembebasan atau kebebasandalam kaitannya dengan martabat manusia, maka penting, di sini,untuk masuk pada persoalan liberalisme. Celakanya, di Indonesia,liberalisme banyak dipahami masyarakat sebagai paham kebebasantanpa batas, yang akhirnya memunculkan krisis moral dan sebagainya.Inilah alasan masyarakat resisten terhadap liberalisme. Dalamhal keagamaan, liberalisme seperti apakah yang hendak diupayakanAnda?Pertanyaan ini memang susah. Kenapa? Karena dalam kekristenan,liberalisme itu sendiri bermasalah. Mengapa bermasalah?Ada dua hal penyebabnya. Pertama dan yang paling menohok,yang menimbulkan penolakan terhadap liberalisme, adalah karenaternyata pemikir-pemikir Jerman yang liberal, yang telah melahirkanapa yang disebut “kultur Protestan” itu, akhirnya amat ambisiusterhadap budaya ProtestanJerman, sehingga mendukung Pluralisme itu, menurut saya,Hitler. Ada buku tentang teolog-teologHitler yang men-dibutuhkan suatu sikap teologisadalah kosa kata sosial, walaupunceritakan tentang teolog-teolog untuk mengabsah-kan ataumembenarkannya. Sementarabesar di Jerman yang pro-Hitler.jika dimasukkan ke dalam kosaBuku itu menceritakan bahwakata epistemologi, kalau relatif itukarena orang liberal yakin padadilekatkan pada pluralisme, makamanusia, pada pikiran, dan kebebasan,jatuhlah mereka padadi sini memang ada persoalan.Walaupun demikian, menurutHitler. Tersebutlah tokoh-tokohsaya, hal ini sebenarnya justruseperti Gerhard Kittel, Althaus, menjadi kesempatan bagi agamaE. Hirsch dan sebagainya. Kritikuntuk berpikir ulang.”juga diutarakan oleh seorang te-Martin Lukito Sinaga – 1499


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–olog Jerman yang bernama Karl Barth. Barth mengatakan bahwaliberalisme itu tidak kritis terhadap kecenderungan keangkuhanmanusia, karena merasa bahwa manusia memiliki kebebasan dalammenggulirkan proyek kemanusiaan.Penyebab kedua yang menjadikan liberalisme bermasalah dalamKristen adalah bahwa liberalisme menjadi cikal-bakal kritik terhadapteori pewahyuan kitab suci, karena mengatakan bahwa kitabsuci adalah sastra kekristenan. Di samping kedua penyebab yangditemukan pada Protestan itu, gereja Katolik jauh lebih kritis lagiterhadap liberalisme. Padahal sebenarnya liberalisme, menurut saya,adalah suatu sikap kritis terhadap agama, yang justru diperlukan.Dengan demikian, persoalannya adalah bagaimana kita bisa kritisterhadap agama, tetapi tidak perlu memutlakkan pikiran-pikiranrasional kita.Ringkasnya, dalam sejarahnya, liberalisme itu pernah melahirkanorang-orang yang tidak bisa lagi mengkritik dirinya, sehinggarela menjadi agen-agen agamanya Hitler. Lalu liberalisme juga dulucenderung menyerang kitab suci dengan mengataknnya sebagai sekadarbuku ciptaan manusia. Makanya kemudian, ia jadi bermasalah.Namun, di pihak lain, kita juga butuh liberalisme sebagaiupaya menyehatkan agama agar tidak terjebak pada fundamentalismedan totalitarianisme. Liberalismelah yang dapat menjaga danmempertahankan kesehatan dan keseimbangan agama.Bagaimana pandangan Anda terhadap anggapan masyarakat, dalamhal ini masyarakat di negeri ini, bahwa liberalisme cenderung melahirkanmanusia-manusia dengan gaya hidup yang permisif — sukahura-hura, minum-minuman keras dan lain sebagainya, yang dapat1500– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menyebabkan masyarakat tercabut keimanannya dan mengalami dekadensimoral?Saya kira, masyarakat mau tak mau akan melihat itu, karenamasyarakat hanya melihat akan yang kasat mata. Persoalan denganliberalisme adalah sejauh mana modernitas itu boleh masuk padaagama? Liberalisme seolah-olah adalah proyek yang mau mengatakanbahwa agama kami ini adalah modern. Agama kami ini tidak jumud,cocok untuk orang modern. Tapi sejauh mana kita mengijinkanmodernitas masuk ke dalam agama? Menurut saya, para pengikutliberal, Kristen maupun Islam,harus betul-betul jelasdi sini. Jangan seolah-tahu batasnya. Sebab, jika studi kritisBagi saya, studi kritis itu baik, asalolah seluruh ayat kitab suci melahirkan klaim teologis atau klaimdianggap tidak benar kalau metafisik seperti dengan mengatakantidak cocok dengan hidup bahwa alam semata-mata terciptamodern. Tapi jangan juga begitu saja, pernyataan itu akankita menghabisi dunia moderndengan doktrin-doktrin mengatakan bahwa semua yang adasama fundamentalisnya denganlama agama. Jalan tengahnya dalam kitab suci harus diterapkan.adalah orang liberal harus Jangan sampai ahli kritis, membuatmemiliki komitmen moral, klaim yang sama mutlaknya dengandan tidak tertutup pada sikapteologis.klaim kaum fundamentalis agama.Dalam konteksnya yang sekarang, kita bisa melihat bahwaorang yang liberal, pada akhirnya juga liberal secara ekonomi. Disitu dia tidak punya komitmen etis. Seolah-olah, orang yang mengkritikagama (artinya liberal) secara sosial, juga membiarkan nilainilailiberal di bidang ekonomi. Kita tahu bahwa ekonomi liberalberarti yang kuat yang akan menang. Yang tidak kompeten, yangMartin Lukito Sinaga – 1501


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tidak modern, yang tidak kuat bersaing, yang tidak bisa berbahasaInggris, yang ndeso, akan kalah. Maka jargon kompetisi yangselalu dikumandangkan liberalisme itu pun, bagi saya, tidak akanbisa bersifat fair. Bagaimana kompetisi bisa berjalan dengan fairjika tetap membiarkan orang-orang yang memiliki kelemahan itubermain dalam arena yang sama dengan mereka yang “sempurna”.Mereka yang lemah akan tetap kalah dari segala-galanya. Bahkan sudahkalah sebelum start. Jadi, komitmen moral dan komitmen sosial,menurut saya, harus dimiliki oleh orang yang mau bersikap liberaldalam beragama. Karena hanya dengan itulah, dia bisa terpercaya.Kalau tidak punya komitmen sosial, orang yang liberal akan bisaserba permisif dan lain sebagainya, dan wajar kalau orang lain kemudianmengatakan, inilah dekadensi. Oleh karena itu, sekali lagi,orang yang mau liberal dalam beragama membutuhkan, katakanlah,suatu komitmen lain sebagai sikapnya.Komitmen lain itu, dalam pengertian Anda, dapat diejawantahkandalam bentuk keberagamaan seperti apa?Ketaatan beragama yang diterjemahkan secara sosial. Sepertitadi saya sudah katakan, kalau Anda memang Islam atau Kristenliberal, hati-hati kalau juga mau setuju atau menerapkan pasar bebas.Anda harus kritis untuk hal itu. Kalau tidak, berarti sebenarnyaAnda lebih percaya pada yang liberal itu, bukan pada Islamatau Kristennya.Reformasi gereja oleh Luther, menurut pandangan orang awam dapatberimplikasi pada dua hal. Di satu sisi, kebebasan beragama, dalam1502– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–hal ini, kebebasan orang Kristen untuk melakukan penafsiran yangtidak lagi berpangku pada otoritas gereja, di mana setiap orang memilikikebebasan masing-masing untuk menafsirkan Alkitab. Padasisi lain, karena konteksnya adalah Jerman atau masyarakat Barat,dengan semangat kapitalismenya, Reformasi Lutherian juga berimplikasijauh pada kehidupan yang cenderung anti-agama. Misalnya,di Eropa wilayah Skandinavia, anti-agama telah menjadi life styleatau fashion. Apakah implikasi Reformasi Lutherian dapat ditafsirkansampai sejauh itu?Seorang sosiolog dari Londom School of Economic (LSE) bernamaDavid Martin mengatakan bahwa ada yang korosif, ada yangmendorong proses karatan dalam Protestantisme. Maksudnya adalah,terutama karena dia mengikuti teori sosiologi Max Weber,dia beranggapan bahwa kelompok-kelompokProtestan Menurut saya, kalau Islam tidakseringkali menghubungkan terbiasa dengan kemajemukan, diadoktrin agama dengan kinerjahidup. Kalau ada doktrin oleh Indonesia. Justru di situlah letaktidak akan bisa masuk dan diterimaA, selalu ditanyakan atau ditunggukinerjanya bagaima-daripada itu, Islam sendiri sebenarnyakekuatan Islam di Indonesia. Lebihna. Kebiasaan menghubungkandoktrin dengan kinerjajustru merupakan faktor pemajemuk.Ketika sentral-sentral kekuasaan dipedalaman Jawa terlalu memonopoli,ini akhirnya, lama-kelamaan,membuat orang Protes-Islam yang di pesisir membangunalternatif. Sehingga Islam sebenarnyatan hanya melihat kinerja.adalah penanda pluralisme. OlehApalagi kinerja itu sifatnyakarena itu tidak perlu menghadapiekonomis. Hal ini menurutIslam dengan memposisikannyaDavid Martin yang menyebabkanadanya korosif disebagai lawan dari pluralisme.da-Martin Lukito Sinaga – 1503


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lam Protestan, yang membuat orang Protestan membiarkan karatmengendap di dalam proses beragamanya. Itu yang pertama, dalampenglihatan secara sosiologis. Yang kedua, menurut saya, ProtestantismeLuther akhirnya meletakkan iman pada individu. Bahkanpengikutnya, seperti Schleiermacher, meletakkan agama sebagai perasaan,perasaan yang tak terbatas, Goenawan Mohamad menyebutnyasebagai perasaan akan yang tak terpermanaikan, tak terperikan,tak terhitung. Ini yang membuat tabiat individualisme.Sekarang, “perasaanku mengenai yang tak terbatas tidak lagimenjadi urusan gereja, melainkan urusanku pribadi”. Sehingga adaorang yang mengatakan bahwa sekarang orang Skandinavia itu kalauber-Natal bukan pergi ke gereja, tetapi memancing sendirian.Itu memang gejala yang nyata. Walaupun, kata sosiolog agamayang lain, tampaknya ini hanya khusus kejadian di Eropa. Eropayang membuat Protestan karat, individualistis. Kalau di Amerika,protestannya lain lagi. Di sana lebih semarak. Hal ini terjadikarena, katanya, orang Amerika adalah pedagang dan marketingyang baik, sehingga dapat memasarkan agama dengan lebih baik,yang menjadikan supply agama di Amerika tidak pernah membosankan.Sebaliknya, pasokan agama di Eropa terlalu rasional alias“otak sentris”. Saudara lihat di Amerika, agama telah menjadi lifestyle. Ada yang disebut musik rock Kristen, lalu orang kulit hitammenciptakan Gospel dan jazz, malah di Amerika ada supermarketKristen, ada “clubbing” Kristen seperti YMCA. Di situ, ada orangtua main kartu, namanya klub Kristen, anak muda berenang jugadiberi nama klub Kristen. Jadi cocok dengan hidup modern. Makayang membedakan antara Protestan di Eropa dan di Amerika adalahkalau di Eropa, orang Protestannya murung, sedangkan di Amerikaorang Protestannya kreatif, market friendly. Itu yang sekarang1504– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–membuat orang Katolik pindah jadi Protestan di Amerika Latin.Lebih dari itu, kejadian demikian juga akhirnya menimbulkan kegentaranpada Paus sendiri, karena, katanya, akibat dari hal itu,kolekte ke Roma berkurang.Saya kira gejala seperti itu juga dialami oleh Islam. Namun, kembalike konteks Kristen, konon, Protestantismelah yang menyumbangkecenderungan skripturalis dalam beragama. Mungkin hal itu bisadielaborasi lebih lanjut oleh Anda: apakah benar demikian? Kalaumemang benar, hendaknya cara pandang keberagamaan yang bagaimanakahyang harus dikedepankan untuk mengatasi cara pandangskripturalis seperti itu?Menurut saya, skripturalisme itu adalah gejala Protestan seratustahun lalu. Karena Luther mengatakan sola scriptura, hanya kitabsuci, skripturalisme jadi berkembang. Dan skripturalisme ini jugaterkait dengan persoalan ilmu pengetahuan yang mencemooh dokumenkitab suci, misalnyasoal evolusi. Sekarang, sisasisakaum skripturalis Kris-agama tidak kalah, cuma lebihDi dalam alam sekular, sebenarnyaten itu diwakili oleh kaum menemukan identitasnya sebagaiInjili, kaum Evangelical. Kelompokini mempunyai la-pemberi makna.wannya, yaitu kelompok liberal. Sekarang muncul lagi kelompokyang bukan lawan, tetapi tidak perduli soal skripturalis ini, yaitukelompok karismatik, yang luar biasa menyuplai agama dengan“event-event” raksasa yang digelar di stadion-stadion dan televisitelevisi.Bagi mereka, yang terpenting ketika kita berkumpul, kitabertaubat, hidup baru, sembuh, suka-cita, ada mobilisasi sosial,Martin Lukito Sinaga – 1505


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–makin kaya, itu saja sudah cukup. Itulah agama Kristen yang kontemporer.Makanya, memang sebenarnya persoalan skripturalismeitu menjadi masalah hanya untuk sebagian kelompok Kristen saja,tidak untuk sebagian yang lain.Adakah rumusan agar cara beragama kita lebih aware terhadap hakhakdan kebebasan sipil? Pertanyaan ini dilontarkan karena, misalnya,kecenderungan di Indonesia sendiri terlihat jelas bahwa denganmengatasnamakan agama tertentu, suatu kelompok dengan seenaknyamencabut hak-hak dan kebebasan minoritas. Hal itu, di dalam Islam,tampak seperti kasus yang menimpa Ahmadiyah, Lia Eden, UsmanRoy dan lain sebagainya. Eksistensi mereka telah dipinggirkan olehkelompok tertentu di dalam bagian Islam sendiri. Belum lagi, sasarandi luar Islam dengan merusak atau membakar beberapa gereja, misalnya,karena tindakan-tindakan seperti itu dimaknai sebagai “jihad”oleh kelompok-kelompok tersebut.Ini memang bukan hal yang mudah. Buku SamHarris, TheEnd of Faith, mencoba menjelaskan masalah tersebut. Di dalambuku itu, Harris mengatakan bahwa kalau Anda bertanya kepadaagama manapun, maka sesungguhnya mereka tidak toleran. Cobasaja kejar terus dari doktrin, ajaran, sampai kitab sucinya, merekasebenarnya tidak toleran. Jadi, menurut saya, agar agama hormatterhadap hak-hak sipil, setiap agama mempunyai pekerjaan rumahnyasendiri-sendiri. Pekerjaan rumahnya adalah dia harus betul-betulbelajar sejarah bahwa sikap-sikap keras yang dia tanamkan selamaini lebih banyak madlârat-nya ketimbang mashlahat-nya. Dia harusberani terbuka kepada sejarah. Itu yang pertama.1506– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Yang kedua, dia harus yakin bahwa agamanya itu relevan. Sebab,kata orang, kelompok-kelompok yang radikal dan militan itu,sebenarnya orang-orang yang terkepung. Bahkan menurut KarenArmstrong, mereka sebenarnya sedang masuk ke dalam peperangan,yaitu peperangan rohani karena ada kekuatan yang melecehkanagamanya. Di sinilah kita perlu mendidik jemaat kita bahwa pesanagama kita masih bisa bekerja, agama kita tidak sedang terkepung.Lalu, mengedepankan kekerasan justru hanya akan menuaimadlârat yang lebih banyaklagi. Yang diperlukan adalahbagaimana memasukkan Kristen maupun Islam, harus betul-Menurut saya, para pengikut liberal,iman ke dalam masyarakat, betul jelas di sini. Jangan seolaholahseluruh ayat kitab suci dianggapsehingga yang menjadi semangatberagama adalah semangatsharing hope, sema-hidup modern. Tapi jangan juga kitatidak benar kalau tidak cocok denganngat berbagi harapan. Bahwa menghabisi dunia modern denganharapan Islam itu ada, itu doktrin-doktrin lama agama. Jalanyang hendak dibagi-bagikan tengahnya adalah orang liberal harusuntuk semua. Jangan hanya memiliki komitmen moral, dan tidakberpikiran atau berprasangkatertutup pada sikap teologis.bahwa orang Islam sedangdikepung, digerus. Atau sebaliknya, orang Kristen merasa bahwagerejanya mau dihabisi. Perasaan-perasaan inilah yang melahirkanradikalisme dan sikap tidak bisa berdialog. Yang kita tanamkanseharusnya adalah bahwa sekarang orang-orang sedang menungguharapan Islami atau harapan Kristiani untuk dibagi-bagikan ketengah masyarakat. Dengan demikian, orang akan mencari jalanuntuk menunjukkan keislamannya di tengah-tengah isu hak-hakMartin Lukito Sinaga – 1507


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sipil atau isu membangun masyarakat yang bebas dari korupsi danlain sebagainya.Persoalannya adalah, bagaimanakah membangun semangatkeislaman atau kekristenan di tengah persoalan akut seperti itu?menurut saya, dengan cara-cara yang telah disebutkan tadi, orangberagama lebih melihat ruang-ruang bagi peran dan sumbangannyadi tengah itu semua. Menurut saya, Muhammad Yunus di Bangladeshpasti bekerja dengan semangat Islam, walaupun konteksnyaekonomi, kapitalisme dan kemiskinan di sana. Tetapi mestiada sesuatu yang islami. Dan dengan itu dia tidak menjadi radikal,karena dia tahu dan yakin bahwa ada sesuatu dari Islam yangbisa dibagi-bagikan. Seperti halnya cerita lama, misalnya MartinLuther King yang yakin bahwa prinsip Kristenlah yang membuatsemua orang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi antarayang hitam dan yang putih. Jadi, untuk menciptakan suasana keberagamaansebagaimana anda tanyakan, saya kira, kultur agamanyaharus seperti itu.Saya minta Anda mengomentari tentang kebebasan tafsir dalam beragama.Kadang seseorang, dengan peralatan hermeneutik, memilikikecenderungan untuk menafsir kitab suci secara bebas tanpa batas.Sehingga ada kecenderungan, baik di Islam maupun di Kristen, untukmenghakimi kitab suci. Sebatas manakah kebebasan berpikir dankebebasan menafsirkan kitab suci itu harus ditempatkan?Saya suka mengatakan kepada teman-teman yang Islam liberaluntuk jangan sampai, karena studinya yang kritis, seolah-olah mengatakanbahwa Allah tidak lagi berbicara dalam al-Quran. Untukyang Kristen liberal saya juga mengatakan agar jangan seolah-olah1508– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mengatakan bahwa Kebangkitan Kristus itu tidak ada, atau Kebangkitanhanyalah metafora. Yang mau saya katakan adalah bahwastudi-studi kritis itu baik, tetapi ingat bahwa hermeneutik ituharus dikembalikan ke dalam komunitas. Artinya, pesan al-Quranakan betul-betul bermakna dalam komunitas Islam. Di luar Islam,hal itu hanya akan dianggap pengetahuan agama saja, bukan keyakinan.Sehingga walupun al-Quran atau Alkitab ditafsir dalamprinsip hermeneutik, yangpatut selalu diingat adalah Komitmen moral dan komitmenbahwa hermeneutik itu harusmengembalikan pesan-oleh orang yang mau bersikap liberalsosial, menurut saya, harus dimilikinya kepada komunitas yang dalam beragama. Karena hanyamemelihara kitab suci itu. dengan itulah, dia bisa terpercaya.Di situlah terjadi ketegangan Kalau tidak punya komitmen sosial,atau dialektika antara temuan-temuankritis dengan the permisif dan lain sebagainya, danorang yang liberal akan bisa serbaliving faith, iman yang hidupwajar kalau orang lain kemudianmengatakan, inilah dekadensi.dalam konteks masyarakattertentu.Boleh saja penafsir sebebas-bebasnya dan secara akademis melakukanpenafsiran, apalagi jika dilakukan dalam konteks fakultassastra. Permasalahannya, baik al-Quran maupun Bibel (Alkitab)bukan merupakan bagian dari fakultas sastra saja, dia juga bagiandari ummah, bagian dari gereja. Oleh karenanya juga harus dikomunikasikanke umat. Persoalannya adalah bagaimana membuatcommunity of interpreter atau komunitas penafsir itu menjadi benar?Caranya adalah dengan tidak membiarkan komunitas kita menjadipenaklid, tidak berkembang. Pada saat yang sama juga janganmembiarkan para ahli kita bereksperimen dengan segala macamMartin Lukito Sinaga – 1509


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–teori dan memutar-mutarnya demi kepentingan akademis semata,misalnya. Dua kutub itu harus dipertemukan. Pertemuan inilahyang memungkinkan keduanya menjadi berkembang. Mengapasaya mengatakan demikian? Sebab, orang memelihara al-Quran,tak lain karena ada umat yang memeliharanya. Alkitab tidak akanmempunyai otoritas tanpa jemaat. Tanpa jemaat, dia hanya akanmenjadi tak ubahnya novel pelipur lara. Di samping itu, kita masihmelihat dimensi transenden baik dari al-Quran maupun Alkitab,makanya kita tidak mau kalau kemudian hal itu hanya menjadimilik atau urusan para ahli saja. Hal itu seharusnya menjadi milikkomunitas secara keseluruhan.Tetapi, seorang ahli hermeneutika, John D. Caputo, meskipun diasendiri seorang teolog, dengan negative theology-nya berusaha memperlakukanagama secara spiritual daripada secara institusional, tanpaharus terjatuh pada sikap atheis. Bahwa mestinya: beragama tidaksekadar pada batas-batas teologi yang formal, yang sudah digariskan,melainkan berusaha melampauinya – sebagai pengalaman keberagamaanyang tidak mungkin tercapai ketika seseorang berteologi denganpengotakan dan pengaplingan paham tertentu.Menurut saya, melampaui tanpa meninggalkan. Makanya, kalauada studi yang kritis, hendaknya terlebih dahulu diperhadapkandengan dogma ajaran. Dari sini, akan ada pencairan-pencairan.Studi kritis bukanlah segala-galanya. Ia juga merupakan konstrukmodernitas. Janganlah sekali-kali kita mendewakan konstruk modernitas.Intinya, bagi saya, komunitas penafsir itu tetap harus dipertahankan.Karena di situlah kerendahan hati para pakar akandiuji dan keterbukaan pikiran umat dipertaruhkan. Sebab siapa1510– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang percaya sekularisme?Ternyata hanya orang-orang Deprivatisasi agama itu sepertisekolahan, dosen-dosen di teologi pembebasan, tentunya teologikampus, dan wartawan-wartawanyang sudah kelas me-tidak sekadar berpakem Marxis.pembebasan yang lebih kontekstual,nengah. Artinya, orang yangpercaya sekularisme itu sebenarnya sedikit sekali. Kenapa? Karenatidak berkomunikasi. Oleh karena itu, yang terpenting bagi sayaadalah bagaimana agar tercipta komunikasi antara kepakaran dankeumatan.Berdasarkan pengalaman, beberapa umat Islam yang mencoba melakukanperbandingan wacana atau meminjam beberapa teori Baratdalam melakukan penafsiran agama, tidak lain untuk mencegah terjadinyahal-hal yang kita takutkan, sebagaimana kerap dipraktikkanoleh para ulama garis keras, di mana memakai al-Quran sebagai sebuahjawaban final terhadap segalanya tanpa menakar perubahanruang dan zaman, dan menampik khazanah intelektual di luar Islamyang lebih kontekstual dalam merespon kehidupan. Menurut Anda,apakah usaha rasionalisasi terhadap teks kitab suci pada akhirnyadapat menggerus kesuciannya atau malah memperteguh komitmenkeagamaan?Dalam derajat tertentu, suatu proses rasional mengenai teksmungkin membantu, terutama, katakanlah dalam kasus Kristen,tentang penciptaan alam semesta selama enam hari (demikiantertulis dalam Alkitab bagian Kejadian), yang kalau diperiksadokumennya ternyata ia bagian sastra para imam di Bait Allah.Makanya, dalam studi kritis Kitab Kejadian, hari pertama sampaiMartin Lukito Sinaga – 1511


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–keenam itu diberikan inisial “P”, untuk menunjuk bahwa ia itudokumen kaum imam, yang dalam liturgi, dalam ibadah, merekamembacakannya. Kitab itu bisa dikatakan sebagai bacaan liturgiyang dijadikan kitab suci. Soal benar atau tidaknya enam hari penciptaanmenjadi relatif. Yang benar adalah bahwa kelompok imamterbiasa mengurutkan 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 dalam ibadahnya. Dankitabnya, yang adalah bagian ritual itu, kemudian dijadikan kitabsuci. Dalam batas itu studi kritis atas Kitab Suci mungkin membantu.Namun, jangan lantas disimpulkan bahwa Allah sebenarnyatidak menciptakan dunia ini, atau tidak ada hubungannya antarapenciptaan alam semesta dengan Allah.Saya kira, para penafsir tidak bisa atau jangan sejauh itu melakukanpenafsiran. Bagi saya, studi kritis itu baik, asal tahu batasnya.Sebab, jika studi kritis melahirkan klaim teologis atauklaim metafisik seperti dengan mengatakan bahwa alam sematamatatercipta begitu saja, pernyataan itu akan sama fundamentalisnyadengan mengatakan bahwa semua yang ada dalam kitabsuci harus diterapkan. Jangan sampai ahli kritis, membuat klaimyang sama mutlaknya dengan klaim kaum fundamentalis agama.Seorang pemikir hermeneutik modern, seperti Paul Ricoeur, jauhlebih waskito, lebih bijak, ketika mengatakan bahwa memang adamasalah-masalah historis-rasional yang harus selalu diperhatikandalam masalah penafsiran, tetapi ingat, katanya, bahwa kitab suciitu adalah sebuah testimony, sebuah kesaksian, sebuah himbauan,sebuah panggilan ke arah Allah. Kitab suci merupakan sebuah ajakanuntuk menjadi Islam atau Kristen, menjadi hamba yang taat.Dimensi demikian tetap tidak boleh dihilangkan, meski kita jugaharus tetap punya sikap kritis terhadap kitab suci.1512– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Realitas majemuk yang inheren pada bangsa ini, membutuhkan sikaparif dari setiap anggota masyarakat untuk menenggang perbedaan. Disinilah gagasan pluralisme, yang mendapat resistensi yang kuat dariumat Islam, menjadi relevan untuk diperbincangkan. Alasan kenapapluralisme banyak ditentang oleh masyarakat adalah karena ialebih dianggap menabur relativisme. Dan yang menyebabkan MUImenjatuhkan fatwa haramterhadap pluraslisme, karenaia tak lebih dari sekadar kembaran dari pluralisme itu sendiri.Bagi saya, toleransi tak lain adalahsinkretisme, pencampuradukanteologi dan penyamaan itu dihadapi tidak secara teologis,Dalam Protestantisme, toleransibahwa semua agama benar. melainkan secara institusional, yaituLantas apa yang Anda pahamitentang pluralisme? Makanya yang paling terkenallewat bemunculannnya sekte-sekte.adalahsekte orang Protestan, dan itu jugaEntah kenapa percakapanpluralisme kita ter-Dengan banyaknya sekte, gerejayang membuat pusing orang Islam.lalu tergesa-gesa menjadi Protestan jadi menumpuk, adapercakapan teologis. Terlalutergesa-gesa mau men-orang Protestan melakukan toleransi,lokalisasi gereja-gereja. Itulah caracari tahu mana ayat kitab yaitu dengan sikap institusional,sucinya atau mana dalildalilnya.Mungkin kebia-bermunculan dengan bebas.artinya membiarkan sekte-sektesaan kita juga yang terlebihdahulu harus memakai dalil untuk mengatakan sesuatu itu benaratau tidak. Padahal, menurut saya, pluralisme harus pelan-pelandulu dilihat sebagai semangat hidup bersama yang toleran. Atauminimal yang memperhitungkan adanya kebhinekaan. Pluralismeadalah Bhinneka tunggal ika. Harusnya ini dulu yang menjadiMartin Lukito Sinaga – 1513


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pendasaran makna pluralisme. Setelah itu, kita akan bisa melihatmasyarakat kita sebagai masyarakat yang plural. Artinya, tidakhanya bhineka tetapi ada komitmen bersama. Komitmen bahwaAnda yang berbeda dari saya, saya perlukan untuk hidup bersama.Tidak ada lagi yang bisa diselesaikan sendiri-sendiri. Untuk Aceh,misalnya, tidak bisa lagi diselesaikan hanya oleh orang Islam, tetapijuga membutuhkan orang-orang sekular, mungkin juga sedikitorang Kristen. Membutuhkan pedagang-pedagang Cina, orangorangMalaysia, atau bahkan orang-orang Skandinavia yang tidakdatang dengan agama tapi percaya pada perdamaian. Sehingga persoalanAceh harus dilaporkan dan diselesaikan di Swedia, padahalakar masalahnya dekat dari sini.Jadi, yang terpenting adalah komitmen. Komitmen bahwa kitabetul-betul yakin saling membutuhkan. Baru, setelah itu, agama ditanyabisa atau tidak merestui kalau orang Islam bekerjasama dengandokter Ateis, misalnya, untuk memperbaiki Aceh. Di situ, menurutsaya, baru dalil bisa dipanggil. Sehingga dalil itu sifatnya lebihpada memberi makna yang teologis terhadap gejala hidup bersamayang majemuk. Selama ini, dalam percakapan pluralisme, agamaseolah-olah dilihat sebagai pengganggu. Agama dilihat sebagai kelompokyang mencegah pluralisme. Sebagai kelompok yang agresif,yang selalu menginginkan semua orang untuk masuk Kristen, ataumenginginkan negara ini untuk menjadi negara Islam.Kesalahan kelompok-kelompok pluralis adalah mengajak berkonfrontasidengan agama. Kenapa tidak menanya agama denganbaik-baik: hidup kita yang beragam dan kompleks ini menurutagama bagaimana? Ada atau tidak pesan agama untuk hidup yangseperti ini? Tentu agama akan mengatakan, ada. Dalam Islam, adadoktrin bahwa Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam, mi-1514– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–salnya. Benar atau tidak Islam mempertaruhkan nilai yang sangattoleran seperti ini? Kristen juga bisa membangun gagasan mengenaimengapa kamu harus hidup dengan orang lain. Dalam Kristenjuga jelas bahwa kalau kamu betul-betul mengerti mengasihi, kamutidak boleh mengira bahwa mengasihi hanya berarti mengasihidirimu, atau mengasihi satu kaummu saja, tetapi juga mengasihiorang lain, orang yang sama sekali berbeda dari kamu.Selama ini gejala yang terlihat, tampaknya, kaum pengusungpluralisme, belum apa-apa sudah terlebih dahulu merasa terancamoleh agama. Agama seperti momok bagi pluralisme. Agama terlebihdahulu dikritik. Sikap demikian,justru pada kesempatan berikutnyamemicu reaksi balik dari aga-toleransi, yaitu denganCara orang Protestan melakukanma yang kadang jauh lebih keras. sikap institusional, artinyaApalagi di Indonesia, kalau kita membiarkan sekte-sektebetul-betul realistis, studi terakhir bermunculan dengan bebas.mengenai Islam di Jawa, sebagaimanadituliskan Andrea Beatty, Variasi Agama di Jawa, menyimpulkanbahwa, khususnya untuk kasus Banyuwangi, di Jawa ituorang masih “melek-melekan” di samping langgar. Dan melek-melekanini diisi dengan pembacaan primbon. Lalu kalau ada orangyang sakit, mereka pergi ke masjid tertentu, yang notabene, sebelumnyamerupakan tempat pendiri atau sesepuh desa itu dikubur.Sedangkan Islam sendiri, tampak menonjol di kelurahan, katanya,karena terkait dengan urusan ingin menjadi lurah. Terkait denganini semua, kita mengatakan bahwa masyarakat kita ini sebetulnyasangat menerima kemajemukan. Islam sendiri sudah terbiasa dengankemajemukan. Jangan lantas malah ditantang, melainkan di-Martin Lukito Sinaga – 1515


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–minta saja kebijaksanaan apa yang bisa diberikan oleh Islam untukmenghadapi kemajemukan.Menurut saya, kalau Islam tidak terbiasa dengan kemajemukan,dia tidak akan bisa masuk dan diterima oleh Indonesia. Justrudi situlah letak kekuatan Islam di Indonesia. Lebih daripadaitu, Islam sendiri sebenarnya justru merupakan faktor pemajemuk.Ketika sentral-sentral kekuasaan di pedalaman Jawa terlalu memonopoli,Islam yang di pesisir membangun alternatif. Sehingga Islamsebenarnya adalah penanda pluralisme. Oleh karena itu tidakperlu menghadapi Islam dengan memposisikannya sebagai lawandari pluralisme. Saya sendiri tidak tahu dari mana penyebab datangnyareaksi keras MUI seperti yang telah Anda katakan tadi.Apakah ini persoalan politis belaka atau memang mencerminkantrend keislaman baru di masyarakat, bahwa secara dogmatis Islamharus begitu. Menurut saya, MUI sebenarnya hanya mengedepankannorma, bukan praktik. Praktik kita sebenarnya adalah praktikhidup yang sangat pluralis.MUI dan beberapa kalangan Islam tertentu melihat pluralisme ituhanya berkonotasi pada inter-faith dialogue, sehingga berujung padasinkretisme. Dan bahaya dari sinkretisme, bagi mereka, adalah mempercepatpendangkalan iman umat. Maka, iman umat harus segeradipagari supaya tidak terseret dan masuk ke doktrin pluralisme yangmembahayakan itu.Berarti MUI di situ mengeluarkan fatwa dengan semacam perasaanterancam. Bahkan saya membaca juga katanya, antara lain,MUI juga menyatakan bahwa “kami tidak yakin kalau akhirnyakita akan dapat masuk surga secara bersama-sama”. Artinya, dia1516– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–(MUI) seperti sedang berkhutbah Jum’at di masjid-masjid. KelemahanMUI di sini adalah menjadikan fatwanya itu bersifat publik.Seharusnya biarkan khutbah itu cukup menjadi khutbah (sepertikhutbah Jum’at) saja, karena Islam juga harus menjaga umatnya.Memang, selalu mesti ada yang mutlak dalam agama. Kalau tidakada, maka agama tak ubahnya dengan LSM, yang bahkan, LSMsendiri pun, masih mempunyai bagian yang “mutlak”, semacamprinsiplah! Jadi biarkan dia (agama) mutlak, tetapi untuk kalangansendiri. Di Kristen juga ada doktrin bahwa Kristus adalah juruselamat, itu merupakan bagian dari kemutlakan.Saya kira, kita memang harus lebih rileks dengan sikap MUI,jangan menyerangnya. Kita bisa dengan menunjukkan kepada kalanganyang menentang pluralisme bahwa praktik-praktik hidupkita ini sebenarnya sudah sangat pluralis, seraya mendengarkanpendapat varian-varian Islam lain yang mengatakan bahwa pluralismeitu sudah menjadi sesuatu yang sunnatullâh, bahkan sudahmenjadi fî sabîlillâh. Begitulah jalan Islam, jalan Allah di negeriini: plural. Misalnya, Islam masuk ke tanah Jawa, menjadi orangJawa, yang pergi ke kuburan. Kadang-kadang saya suka melucu,bahwa jumlah orang Muhammadiyah itu kira-kira sama denganjumlah orang Protestan di Indonesia. Kira-kira 15 juta-an, sepertiterlihat dari perolehan suara PAN. Karena Muhammadiyah danProtestanlah yang terlalu doktriner, puritan, mesti begini, harusbegitu. Padahal, jalannya agama masuk dan diterima itu sendirimelalui proses kulo nuwun.Makanya, menarik sekali studi Geertz dalam Islam Observedtentang Sunan Kalijaga. Menurut Geertz, Sunan Kalijaga itu samasekali tidak tahu bahasa al-Quran, bahasa Arab, tetapi dapat menjadiWalisongo. Yang dia wartakan adalah bahwa dia mendapat ca-Martin Lukito Sinaga – 1517


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–haya ilahi dengan menjaga kali. Berarti dia sebenarnya mewartakansesuatu yang sangat Jawa. Islam Indonesia berasal dari para petaniyang mementingkan agar sawah tetangganya bisa diairi. Merekatidak pernah menekankan agresivitas. Dia tahu sangatlah tidakmungkin untuk memusuhi tetangganya, karena air yang merekapakai adalah air yang sama. Inilah cerita Sunan Kalijaga, yang,meski kemudian tumbuh menjadi pendakwah besar, tidak tahu bahasaArab. Dia tidak tahu membaca al-Quran. Yang dia wartakanadalah bahwa dia menemukan Allah dalam kesendiriannya, dalamketenangannya, dalam rasa. Berbeda dengan Islam Maroko, yangbermula dari para penunggang kuda yang kemudian menaklukkandaerah-daerah, di Indonesia (Jawa) Islam tidak seperti itu. JustruIslamnya berasal dari orang yang mengerjakan sawah. Cenderungramah dan tanpa kekerasan.Tadi sudah disinggung tentang doktrin keselamatan. Katolik, ketikaKonsili Vatikan II, sudah mulai melihat adanya keselamatan di luargereja. Lantas di Protestan sendiri, landasan teologis dari pluralismeitu berasal dari mana?Ada dua cara. Cara pertama, mungkin belum pluralis, tetapimasih inklusif, dengan mengatakan bahwa ada pewahyuan yangkhusus dalam Kristus dan ada pewahyuan yang umum (general)dalam seluruh manusia. Sehingga setiap orang sebenarnya menerimawahyu Allah. Cuma, dalam kekristenan, wahyu itu khususdalam seorang manusia (yaitu Yesus Kristus) yang menebus manusialain dari dosanya. Ini merupakan indikasi bahwa, minimal,orang lain juga sebenarnya tidak sesat; ada sinyal-sinyal ilahi jugauntuk mereka. Namun, ini memang menjadi mutlak pada dirinya.1518– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam Kristus, sinyal itu lebih terasa dan jelas, sementara padayang lain kecil-kecil saja sinyalnya. Alasannya adalah karena umatagama lain juga berada dalam ciptaan yang sama, diberi mataharidan dunia yang sama.Cara yang kedua, yang jauh lebih radikal, namun mungkinmasih disebut pluralisme yang inklusif, adalah dalam bahasa yangsedikit agak teologis, yaitu dalam hal Kristen yang melihat Allahsecara trinitarian. Yang membedakannya dengan Islam adalahbahwa kalau Islam monoteismenya itu konsisten, tawhîd, lâ ilâhaillâ Allâh, sedangkan di Kristen, monoteismenya dinamis. Arti trinitariansendiri adalah bahwa yang Satu itu punya sifat. Sifatnyaada tiga macam yang menjadi nyata: dalam Kristus, dalam Bapadan dalam Roh Kudus. Sifat Allah Ruhul Kudus itu berhembuske mana Dia mau. Sehingga selalu ada kemungkinan bahwa RuhulKudus itu juga menerangi “nur Muhammad”. Karena merekaberada dalam suatu konteks rohani, maka Ruhul Kudus bisasampai pada hati, jiwa, atau “nur” Muhammad. Dengan demikian,orang Kristen terbuka pada kemungkinan sampainya cahaya Allahdi tempat-tempat lain, walaupun memang dalam kesatuan trinitarian.Tetapi Allah yang satu yang dipercayai Kristen dan bersifatroh itu juga melewati batas-batas Kristen, melewati batas Kristussendiri. Pandangan ini sedikit lebih pluralis ketimbang yang pertama.Yang pertama lebih populer di jemaat. Kalau jemaat ditanya,maka, hanya sebagian orang saja yang mengatakan bahwa hanyaKristen yang akan selamat, sebagian besar lain mengatakan bahwapersoalan itu hanya diketahui oleh Tuhan. Karena ada keyakinanbahwa kepada Kristen, pewahyuan itu bersifat khusus, sementarakepada yang lain, pewahyuan itu bersifat umum. Ini minimal, sebenarnyasudah menolong.Martin Lukito Sinaga – 1519


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sebelumnya Anda juga sudah menyinggung tentang adanya hal yangmutlak dalam agama. Padahal, kenapa pluralisme juga ditolak, salahsatunya adalah karena ada sebagian yang beranggapan bahwa pluralismememiliki kedekatan dengan relativisme. Tidak ada kebenaranyang mutlak, tidak ada satu nilai pun yang harus diunggulkandaripada yang lainnya. Hal itulah yang membuat pluralisme, baikdalam ranah politik, apalagi agama, kerap dipinggirkan. KomentarAnda untuk hal ini bagaimana?Pluralisme itu, menurut saya, adalah kosa kata sosial, walaupundibutuhkan suatu sikap teologis untuk mengabsahkan ataumembenarkannya. Sementara jika dimasukkan ke dalam kosa kataepistemologi, kalau relatif itu dilekatkan pada pluralisme, maka disini memang ada persoalan. Walaupun demikian, menurut saya,hal ini sebenarnya justru menjadi kesempatan bagi agama untukberpikir ulang. Kalau pluralisme mengatakan bahwa kebenaranitu begitu banyak, malah dalam bahasa lain, kebenaran itu adadi mana-mana, lantas bagaimana dengan kebenaran agama sendiri,yang sekarang sedikit “nervous” dengan tekanan semacam ini.Menurut saya, kenapa oleh beberapa orang agama cenderung tidakmenemukan makna kebenaran, karena sekarang seolah-olahcara orang mendefinisikan kebenaran adalah suatu definisi denganeksklusi. Itu prinsip eksklusi Aristotelian yang mengatakan bahwakalau ini benar, maka yang itu harus salah. Kebenaran agama harusdihayati bukan dalam kerangka eksklusi tadi. Logika kebenaranagama adalah suatu kebenaran yang akan ditampakkan lebih jelaslagi, sebagaimana pandangan Heidegger tentang kebenaran yangdisebutnya sebagai aletheia, ketersingkapan.Menghadapi kebenaran dalam agama seperti menghadapi prosespenyingkapan Sang Ilahi. Sehingga memang benar bahwa penying-1520– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kapannya itu, sebagaimana pluralisme mengingatkan kita, sebenarnyabelum selesai. Kita tidak boleh menutup diri, karena penyingkapanakan terus terjadi sampai akhir semuanya, di mana semuanya jadilebih jelas. Dengan demikian, kita tidak akan bertabrakan denganpara pluralis, dengan mengatakan bahwa betul kebenaran itu sifatnyatidak tertutup, tidak beku. Makanya kami menghayati kebenaranIslam, sambil kami mengerjakan syariah, jalan kecil, sambilmenjadi Muslim. Dalam hal ini, menurut saya, Gus Dur adalahseorang tokoh yang sangat hebat. Dia mengatakan bahwa syariahyang kâffah itu berarti damai, bukan rincian-rincian hukum yangnormatif. Gus Dur mengajarkan kita cara-cara menghayati kebenaransebagai suatu perjalanan yang pelan-pelan semakin nyata.Kebenaran bukan suatu paket untuk menafikan yang lain. Bukanlogika Aristotelian yang tidak memungkinkan adanya dua kebenaransecara bersamaan. Kebenaran agama adalah sesuatu yang muncul,memanggil, dan membuat kita berjalan. Pada titik inilah tantanganpluralisme seharusnya dijawab oleh agama dengan kapasitasnyauntuk memperbaharui diri tanpa kehilangan diri.Yang menjadi persoalan adalah ketika sebuah nilai agama hendakditerapkan dalam ke-putusan yang sifatnya publik, maka suatu nilaiharus dihentikan atau ditetapkan dalam rentang waktu tertentu. Kebenarantidak menying-kapkan terus-menerus tanpa henti. Dalam sebuahkeputusan diskusi atau konsensus yang sifatnya publik, tidak mungkinmenghindari tindak ekslusi. Pasti ada keputusan yang pada akhirnyamengeksklusi nilai-nilai atau kebenaran yang lain. Kalau dalam tataranepistemologis, mungkin kita bisa berdiskusi tentang kebenaranyang terus mengalir, menampakkan dirinya di mana-mana, embededMartin Lukito Sinaga – 1521


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dalam tradisi masing-masing. Tetapi ketika ada upaya overlappingconsensus, maka niscaya akan ada yang tereksklusi, karena overlappingconsensus menuntut hanya ada satu kebenaran bagi keputusanatau kepentingan publik.Mungkin yang lebih tepat bukan satu kebenaran. Kebenaranagama, dalam konteks publik, memang membutuhkan fiksasi,membutuhkan penghentian. Tanpa harus berdebat jauh, menurutsaya, kebenaran Kristiani dalam hal pengampunan membuat orangKristen harus yakin pada rekonsiliasi. Mungkin begitulah penghentiankebenaran pengampunan dalam sebuah kepentingan publik:rekonsiliasi. Dengan demikian, dalam agama Islam, yang menurutsaya merupakan agama yang benar, ketika ditanya tentang kebenaranagamanya di ranah publik, maka jawaban yang dapat ditemukanternyata majemuk. Mengenai manusia misalnya, kebenarannya, dalamIslam, bisa berujud pada “insan kamil”. Mengenai politik kebenarannyabisa lebih bermacam-macam lagi.Kalau melalui mekanisme demokratis, misalnya, perda syariah menetapkankebenaran bahwa yang mencuri harus dipotong tangannya,dengan mengabaikan tafsir lainnya?Tetapi ketika mencuri sudah menjadi tema dalam Islam, menurutsaya, akan muncul percakapan di internal Islam mengenai apaitu mencuri dan bagaimana di dalam publik bisa menjadi fixed.Dalam praktik kehidupan bersama, kata pluralisme tidak bisa dipisahkandari kata toleransi. Alfred Stepan mengatakan bahwa agar pluralismetetap berjalan lestari diperlukan juga peran negara. Ada menara1522– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kembar toleransi di situ. Ada peran agama yang tidak memaksakanpandangan-pandangannya untuk diafirmasi oleh negara dan sebaliknyajuga negara. Saya minta konfirmasi Anda bagaimana peran negaradalam konteks pluralisme?Saya hendak mencoba melihat secara de facto perihal toleransidalam agama Kristen. Bagi saya, toleransi tak lain adalah kembarandari pluralisme itu sendiri. Dalam Protestantisme, toleransi itudihadapi tidak secara teologis, melainkan secara institusional, yaitulewat bemunculannnya sekte-sekte. Makanya yang paling terkenaladalah sekte orang Protestan, dan itu juga yang membuatpusing orang Islam. Dengan banyaknya sekte, gereja Protestan jadimenumpuk, ada lokalisasi gereja-gereja. Itulah cara orang Protestanmelakukan toleransi, yaitu dengan sikap institusional, artinyamembiarkan sekte-sekte bermunculan dengan bebas.Amerika itu dibangun oleh mental perpecahan gereja. Ini menarik.Ketika gereja A mengklaim kamilah pemilik Amerika, orang lainjuga mengatakan kamilah pemilik Amerika, yang lainnya lagi jugademikian, dan seterusnya. Masing-masing membikin gerejanya sendiri,sehingga negara pun bingung. Akibatnya, tidak ada satu gerejapun yang bisa memonopoli Amerika, sehingga di setiap tengah kotadi Amerika itu selalu ada public sphere, selalu ada ruang terbuka.Silakan agama-agama berdakwah dengan kecanggihan marketingmasing-masing untuk menyerap umat. Di situlah toleransinya.Melakukan toleransi dengan memecah diri. Saya tidak terlalu tahu,saya bukan ahli Islam dalam hal ini, apakah dalam Islam, sekte itumudah muncul atau malah dianggap sebagai bidah. Menurut sayaterlalu sedikit sekte dalam Islam, atau banyak juga?Martin Lukito Sinaga – 1523


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sebetulnya banyak sekte dalam Islam. Berbeda dengan di Kristen, kemunculansekte dalam tubuh Islam selalu direpresi. Dan terkait dengantoleransi, Anda telah menyinggung bahwa toleransi baru sebatas inklusif,baru sebatas peaceful co-existence, menghargai yang lain. Permasalahannyaadalah bentuk penghargaan dalam toleransi lebih sebagaikemewahan dari mayoritas buat minoritas. Bukankah toleransi yangseharusnya dirumuskan mengandaikan adanya pemihakan, tidak sekadarmenghargai tetapi pro-existence, saling bekerja sama?Lagi-lagi, saya sedikit lebih berbicara secara de facto. Makanya,orang-orang Protestan cepat-cepat bermain di konstitusi. Artinya,karena sadar bahwa agama ini bisa meleng dan hanya mementingkandirinya, maka peran konstitusi untuk melindungi setiap kelompokmasyarakat itu menjadi kesibukan gereja-gereja. Misalnya,orang seperti TB Simatupang yang matian-matian memperjuangkanpenegakan Pancasila di Indonesia. Eka Darmaputra juga menulisdisertasi mengenai Pancasila. Pancasila sebagai prinsip yang inklusifdan non-diskriminatif itu menjadi obsesinya. Orang Protestanyakin di situlah alamat jika toleransi di Indonesia mau lebih afirmatifdan protektif terhadap minoritas. Sebab kalau tidak begitu,kenyataan agama adalah lebih mementingkan dirinya. Makanyagereja di Manokwari, karena menjadi mayoritas, mungkin bermaindalam pembuatan perda juga. Dari kasus ini, terlihatlah bahwaagama bisa melangkah jauh, dan karenanya dibutuhkan konstitusiyang lebih solid mengenainya.Di sinilah kita bisa berharap pada agama untuk memunculkansikap-sikap toleran. Sebab, tidak mungkin akan lahir Gus Dur di setiaptahun. Gus Dur juga bisa demikian karena dia mayoritas, diatoleran dan afirmatif. Umat yang jumlahnya hanya 19, seperti Eden,dia (Gus Dur) tolong juga. Sewaktu acara pesta ulang tahun ke 65-1524– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nya Mas Dawam, orang yang mempunyai umat hanya beberapa gelintirdiizinkan untuk mendapat giliran berpidato paling lama, malahseperti melakukan khutbah. Sementara umat yang lebih banyak agaksungkan-sungkan. Makanya, ketika mas Tom (Utomo Dananjaya),salah satu panitia acara, mengatakan kepada saya, “Maaf Pak Martin,seharusnya dari Protestan ada yang berbicara juga. Seharusnyayang berbicara adalah Anda”, karena pada waktu itu tidak ada yangberbicara mewakili Protestan. Saya katakan kepadanya, “Tidak apaapa,pak, wong Isa al-Masih, Yesusnya sudah berbicara kok, lewatYesusnya Lia Eden”.Wawancara dilakukan di Jakarta, 15 Mei 2007Martin Lukito Sinaga – 1525


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganMasdar Farid Mas’udiMasdar Farid Mas’udi, ketua tanfidziyah PBNU dan Direktur P3M (PerhimpunanPengembangan Pesantren dan Masyarakat), Jakarta. Ia menamatkan S1 di UIN SunanKalijaga, Yogyakarta dan Pascasarjana Filsafat Universitas Indonesia, Jakarta.1526


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tiga kali al-Quran menyerukan bahwa Allah sajalah yang tahu siapayang tersesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapatkan petunjuk-Nya.Sehingga, kerendahan hati menjadi kunci bagi umat IslamIndonesia dalam menyikapi setiap perbedaan dalam berkeyakinan.Demikianpun al-Quran bukan monopoli para ahli atau kelompoktertentu. Ia bebas ditafsir siapapun yang kemudian terbuka untukdiuji dan pemahamannya terseleksi berdasar kekukuhan metodologi,prinsip-prinsip universal, dan sanggup memberi manfaat bagiseluruh umat. Di sini negara harus berdiri netral dari tafsir, paham,keyakinan, dan agama tertentu, sebagaimana Piagam Madinahyang menuntut agar negara bebas dari jerat kepentingan sektariansuatu agama sehingga bisa mengayomi dan melayani segenapwarga secara adil dan tidak diskriminatif.Masdar Farid Masudi – 1527


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Liberalisme, pluralisme, dan sekularisme akhir-akhir ini menjadiperdebatan panas, terutama setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI)menfatwakan keharamannya. Bagaimana komentar Anda?Setahu saya hukum halal-haram dalam fikih obyeknya adalahtindakan, bukan paham. Dalam definisi fikih dikatakan: al-fiqh al-‘ilm bi al-ahkâm al-syar‘îyah al-‘amalîyah al-muktasab min adillatihâal-tafshîlîyah. “Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’perihal tindakan praktis yang diambil dari dalil-dalil yang bersifatrinci”. Tapi kalau MUI mau menghukumi pemikiran atau paham,ya, monggo saja. Cuma catatan saya, karena yang dihukumi adalahkonsep, bukan perkara riil yang obyektif, seperti judi, minumankeras, atau pembunuhan, maka perlu ekstra teliti.Sebab, yang namanya konsep atau pemikiran selalu multitafsir,multidefinisi. Dan untuk memahaminya kita harus mengacupada sudut pandang pihak yang melahirkan konsep itu dan kesejarahannya.Apa implikasi menghukumi konsep atau pemikiran?Hukum tergantung pada definisi perkara yang akan kita hukumi:al-hukmu ‘alâ al-syay’ far‘un ‘an tashawwurih. “Menghukumisesuatu merupakan cabang dari pendefinisian terhadap sesuatu itu”.Demikian kaidah mantiqnya. Karenanya, salah satu ciri berpikirfikih adalah rinci, tafshîl. Para kiai pesantren setia betul terhadaptradisi ini. Kalau tidak tafshîl, tapi hitam-putih, jangan-jangan yangmerumuskan fatwa itu bukan ahli fikih.Ada salah sebuah anekdot, kalau ahli fikih ditanya apa hukumnya“A”, jawabannya: tergantung! Hukum “A” bisa haram,1528– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mubah, sunah atau bahkan wajib. Tergantung definisi, ‘illat, dankonteksnya.Lihat, misalnya, ketika fikih menghukumi tindakan aborsi.Sesuatu yang tampaknya begitu simpel, yang secara apriori orangcenderung menghukumi haram, tapi di tangan fuqahâ’ (ahli fikih)akan keluar hukum yang beraneka: a. Aborsi haram (terlarang)jika dilakukan atas janin yang sudah tanfîkh al-rûh, bernyawa,dan tanpa alasan; b. Aborsi mubah (boleh) dilakukan untuk janinyang belum bernyawa dan untuk satu keperluan tertentu; c.Aborsi dianjurkan bahkan wajib jika dilakukan untuk janin belumbernyawa, yang apabila tidak dilakukan dipastikan dapat mengancamnyawa sang ibu.Begitu juga ketika menghukumi liberalisme, pluralisme atausekular-isme. Ia bisa saja kita hukumi haram atau sebaliknya.Semua itu tergantung bagaimanakita mendefinisikan konsep itu Karena sekularisme, liberalismedan konteksnya. Seperti saya katakandi atas, karena sekularisme, konsep yang abstrak dandan pluralisme adalahliberalisme dan pluralisme adalah lahir dalam konteks sejarahkonsep yang abstrak dan lahir dalamkonteks sejarah masyarakat pendefinisiannya harus cermat,masya-rakat tertentu, makatertentu, maka pendefinisiannya sekaligus memper-timbangkanharus cermat, sekaligus mempertimbangkansejarah dalam komu-sejarah dalam komunitasbersangkutan, bagaimanaketiga konsep itu muncul.nitas bersangkutan, bagaimana ketigakonsep itu muncul. SehinggaSehingga menghukuminyajuga tidak bisa hitam-putih.menghukuminya juga tidak bisahitam-putih.Masdar Farid Masudi – 1529


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kita mulai dari liberalisme. Menurut Anda apa sebenarnya maksuddari istilah itu?Saya akan mendefinisikan ketiga konsep tersebut (liberalisme,pluralisme, dan sekularisme) dalam konteks yang lebih khusus,konteks kehidupan beragama.Seperti halnya sekularisme dan pluralisme, liberalisme adalahkonsep yang muncul di Barat dari hasil pergulatan kesejarahannyayang panjang, getir, dan berdarah-darah. Liberalisme berasal dariakar kata “liberty”, artinya bebas (hurriyah: Arab). Pada mulanyaadalah gerakan yang diilhami oleh Reformasi yang membuka kebebasan(liberalisasi) pada umat Nasrani untuk membaca dan memahamilangsung ayat-ayat dalam kitab suci mereka. Paham dangerakan pembebasan (liberalisme) ini menggugat dogma lama bahwakitab suci hanya boleh dibaca dan dipahami oleh dan lewat otoritaskalangan tertentu saja, yakni jajaran pejabat resmi gereja.Kalau itu yang dimaksud, bukankah sejak awal Islam sudah menganutnya?Anda benar, dalam arti bahwa sejak awal umat Islam berhak,bahkan dianjurkan membaca dan memahami ayat-ayat dalam kitabsucinya, al-Quran. Tidak pernah ada dogma bahwa al-Quran hanyaboleh dibaca oleh dan lewat otoritas pejabat resmi agama. Bahkaninstitusi pejabat resmi agama dalam Islam pun tidak dikenal. Paraimam mazhab, seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii,dan Imam Ahmad, juga yang lain, menjadi imam mazhab bukankarena diangkat resmi oleh siapa pun. Tetapi karena keilmuan beliau-beliauyang lama-kelamaan mendapatkan pengakuan dari umat.1530– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bahkan nama kitab suci umat Islam sendiri disebut al-Quran, yangberarti “bacaan”, dari akar kata qara’a, sudah menunjukkan bahwaia terbuka untuk siapa saja yang mau membaca dan memahamipesan-pesannya. Bahkan non-Muslim pun tidak dilarang membacadan memahami al-Quran.Al-Quran ibarat samudera luas. Siapa pun bebas mengambilairnya. Tentu saja keberhasilan orang dalam menangkap pesan kitabsuci bisa berbeda-beda, tergantung pada tingkat kecerdasan, pengalaman,pengetahuan tentang konteks historis ayat, metodologi yangdipakai, dan tidak kalah penting kejujuran nurani atau imannya.Tapi sekali lagi, pada dasarnya al-Quran bebas dibaca atau ditafsirkanoleh siapa saja, bukanmonopoli kelompok tertentu Negara harus netral terhadapatau para ahli saja.semua agama dan keyakinan yangdianut oleh warganya. Inilah yangApakah kebebasan membacadan memahami al-Quran sepertiitu tidak membahayakankeagungan dan kemurnian al-Quran?disebut dengan sekularisme, suatupaham yang memisahkan negaradari keterikatan subyektif dengansalah satu agama atau keyakinantertentu. Hanya dengan pahaminilah maka negara bisa mengayomidan melayani kepentingan segenapKita tidak boleh ragu terhadapjanji Allah yang akan tanpa pilih kasih atau diskriminasiwarga negaranya secara adil,menjaga kemurnian al-Qurandan integritasnya: “Akulah yang dianut oleh warganya.berdasarkan agama atau keyakinanyang menurunkan al-Quran,dan Aku pula yang akan melindunginya”, (Q,15:9). Mekanismenya,bahwa setiap pemahaman terhadap al-Quran dari seseorang atausekelompok orang terbuka untuk diuji oleh pemahaman orang atauMasdar Farid Masudi – 1531


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kelompok lain. Dengan demikian akan terjadi proses seleksi: manayang secara metodologis kokoh; secara substantif sejalan denganprinsip-prinsip universal Islam; dan secara historis memberikankemanfaatan bagi umat dan kemanusiaan. Yang sanggup melaluiproses seleksi itulah yang akan unggul. Oleh sebab itu, kebebasanmembaca dan memahami al-Quran juga harus dibarengi dengankebebasan untuk menguji dan mempertanggungjawabkannya. Yanggagal dalam proses pengujian dan pertanggungjawaban akan gugurdengan sendirinya. Itulah prinsip kebebasan yang dianut dan yangtelah berlaku dan akan terus berlaku dalam Islam.Bagaimana dengan konsep pluralisme?Pluralisme berasal dari akar kata “plural” yang berarti jamak,bhineka. Konsep ini terkait erat dengan sejarah konsep liberalisme.Akibat dari kebebasan untuk memahami kitab suci Bibel atau Injil,maka muncullah paham dan aliran atau sekte yang berbeda-bedadalam jumlah puluhan bahkan ratusan. Sesuatu yang sama sekalibaru, karena sebelumnya dalam Kristen hanya ada satu pahamsaja yang ada, yakni yang dirumuskan oleh pemimpin Gereja diVatikan, Roma.Sebagaimana paham keagamaan di lingkungan kitab suci manapun,termasuk di Islam, masing-masing pemahaman yang banyakitu mengklaim dirinya yang paling benar, atau bahkan satu-satunyayang benar, sedang yang lain sesat. Yang berhak masuk surga hanyapihaknya, sedang pihak lain harus masuk neraka. Inilah salahsatu kesombongan universal khas umat beragama. Kebenaran dansurga yang adalah milik Allah tiba-tiba diklaim seakan miliknyasendiri. Akibatnya, selama abad ke-17 dan ke-18, di Eropa terjadi1532– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–perang antaraliran, mazhabatau sekte yang begitu berdarah-darah.Tercatat sepertigaumat Kristen di sana terbunuhdalam perang antarmazhabatau sekte tersebut. Inilahyang digambarkan olehHobbes sebagai fenomena“semua hendak memerangisemua” (homo homini lupusatau bellum omni contra omnes).Bagaimana mereka bisa keluardari sejarah kelam itu?Apakah mereka surut kembalike belakang?Masing-masing pihak bolehmenganggap paham dankeyakinannya benar, tapi padasaat yang sama sepakat untukmenghormati keyakinan dan hakhidup penganut paham ataukeyakinan lain. Maka berlakulahnorma umum yang dalam Islamtermaktub pada surat al-Kâfirûn:“Bagimu agamamu dan bagi kamiagama kami” (Lakum dînukum wa liyadîn). Sebuah kaidah untuk penganutagama yang berbeda. Atau, “Bagikami keyakinan dan amaliah kami,bagi kalian keyakinan dan amaliahkalian” (Lanâ a`mâlunâ wa lakuma`mâlukum). Inilah kaidah untukpenganut keyakinan yang berbedaTidak. Mereka tetap dalam lingkup agama yang sama.maju dan kebebasan membacakitab suci tetap dipertahankan. Tetapi bersama dengan itu,muncul kesadaran dari akal sehat mereka sendiri: Kalau nafsu salingbunuh terus berlangsung, umat manusia bisa habis, sampaiakhirnya tinggal satu orang yang mengaku paling benar. Tapi iapun akan menghabisi dirinya sendiri karena stres berat dan tidakmungkin 1bisa hidup sendirian.Menyadari hal ini, semua pihak sepakat pada satu “kearifan”yang tetap mempertahankan keanekaragaman penafsiran dan keyakinan,disertai dengan keharusan saling menghargai perbedaan yangMasdar Farid Masudi – 1533


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ada. Singkatnya masing-masing pihak boleh menganggap pahamdan keyakinannya benar, tapi pada saat yang sama sepakat untukmenghormati keyakinan dan hak hidup penganut paham atau keyakinanlain. Maka berlakulah norma umum yang dalam Islam termaktubdalam surat al-Kâfirûn: “Bagimu agamamu dan bagi kamiagama kami” (Lakum dînukum wa liya dîn). Sebuah kaidah untukpenganut agama yang berbeda. Atau, “Bagi kami keyakinan danamaliah kami, bagi kalian keyakinan dan amaliah kalian” (Lanâa‘mâlunâ wa lakum a‘mâlukum). Inilah kaidah untuk penganutkeyakinan yang berbeda dalam lingkup agama yang sama.Paham dan sikap seperti inilah yang disebut pluralisme, suatupaham bahwa agama dan keyakinan manusia memang tidak satudan tidak bisa dipaksa satu. Dan karena itu, masing-masing penganutharus saling menghormati agama dan keyakinan pihak lain.Soal mana yang mutlak benar semata Allah yang maha mengetahui.Begitupun siapa yang berhak masuk surga atau sebaliknya, yangbakal dibakar di neraka, biar Allah sajalah yang menentukannya.Jadi menurut Anda harus ada kerendahan hati dalam beriman?Betul sekali. Dan saya pikir memang harus begitu. Kita umatIslam diajarkan oleh agama kita untuk selalu memohon petunjuk(hidayah) kepada Allah 17 kali setiap hari: Ihdinâ al-shirâth almustaqîm.Tidak lain maknanya bahwa dalam keadaan apa punkita tidak boleh sombong, takabur seolah kita pasti benar, apalagidisertai tudingan kepada orang lain sebagai sesat, hanya karenamereka tidak sepaham dengan kita. Ingat, dalam al-Quran tigakali kita diberi tahu bahwa “Allah sajalah yang tahu siapa yangtersesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapatkan petunjuk-Nya”1534– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–(Q.16:125). Selain itu, petunjukyang sama juga terdapatdalam Q.53:30 dan Q.68:7.Maka, kerendahan hati itulahlandasan pluralisme.Bagaimana dengan sekularisme?Setiap pemahaman terhadap al-Quran dari seseorang atau sekelompokorang terbuka untuk diuji olehpemahaman orang atau kelompoklain. Dengan demikian akan terjadiproses seleksi: mana yang secarametodologis kokoh; secara substantifsejalan dengan prinsip-prinsipuniversal Islam; dan secara histo-Nah, setelah berbagai aliranatau sekte dalam suatu ling-umat dan kemanusiaan. Yang sangrismemberikan kemanfaatan bagikungan masyarakat sepakat gup melalui proses seleksi itulahuntuk saling menghormati, yang akan unggul. Oleh sebab itu,minimal saling membiarkan kebebasan membaca dan memahamial-Quran juga harus dibarengipihak lain eksis, maka adakebutuhan baru lagi menyusul,yakni membebaskan ne-dan mempertanggungjawabkannya.dengan kebebasan untuk mengujigara dari keterikatan dengansalah satu agama atau aliran keyakinan yang di-anut oleh warganya.Sebab kalau negara sebagai lembaga kekuasaan publik menjadimilik orang atau kelompok tertentu, atau dibiarkan memihakpada salah satu agama atau keyakinan tertentu, maka dipastikannegara akan menganakemaskan salah satu agama dengan keyakinantertentu. Dan, pada saat yang sama, menistakan agama ataukeyakinan lain.Oleh karena itu, perlu disepakati bahwa negara harus netralterhadap semua agama dan keyakinan yang dianut oleh warganya.Inilah yang disebut dengan sekularisme, suatu paham yang memisahkannegara dari keterikatan subyektif dengan salah satu agamaMasdar Farid Masudi – 1535


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–atau keyakinan tertentu. Hanya dengan paham inilah maka negarabisa mengayomi dan melayani kepentingan segenap warga negaranyasecara adil, tanpa pilih kasih atau diskriminasi berdasarkanagama atau keyakinan yang dianut oleh warganya.Dengan kata lain, negara sebagai otoritas publik dan duniawi,harus mengacu kepada sifat Allah “al-Rahmân”, mengasihi segenapwarganya tanpa pandang bulu, tanpa pandang agama atau keyakinanmereka. Seperti halnya dengan sifat kasih-Nya, Allah mengasihisegenap manusia di dunia ini tanpa membedakan apakahmereka beriman atau kafir: semua orang boleh menghirup udara-Nya, meneguk air-Nya, menginjak bumi-Nya, dan menyerap sinarmatahari-Nya. Bahwa akan ada perbedaan perlakuan atas dasarkeimanan di akhirat kelak, itu lebih mengacu pada sifat-Nyasebagai “al-Rahîm”.Apakah sejarah ketegangan antara wilayah pemerintah, agama, danwarganya juga pernah terjadi di Islam?Sejarah Islam pun mencatat hal yang tidak berbeda, terutamapada Abad Pertengahan kekuasaan Islam, ketika kekhalifahan tertentumemihak pada salah satu mazhab. Lihat ketika Abbasiyahdi bawah al-Makmun yang pro-Mu’tazilah, semua tokoh Sunnidan Syi’ah disingkirkan. Imam Syafi’i dicambuk dengan tuduhansimpati ke Syi’ah; Imam Ahmad ibn Hanbal dipenjarakan sampaimenemui ajalnya.Demikian pula sebaliknya, ketika yang berkuasa adalah penganutSunni atau Syi’ah, maka ulama dan pejabat yang menganutpaham berbeda juga mengalami diskriminasi. Maka ketika khalifahal-Mansur hendak menjadikan kitab al-Muwaththa‘ sebagai sema-1536– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–cam kitab perundang-undangan untuk seluruh wilayah, Imam Malikmenolaknya. Beliau tidak bersedia karena hal itu akan menyudutkandan memberangus pemikiran dari imam-imam lain yang,bagi beliau, juga berhak hidup dan berkembang.Sebenarnya dalam dokumen Piagam Madinah, Rasulullah punmendesain negara Madinah sebagai negara yang netral terhadap jeratankepentingan sektarian agama dan keyakinan tertentu. NegaraMadinah dalam konsep Nabi harus dapat melindungi kepentingansemua warga negaranya, meskipun dengan agama, keyakinan, atautradisi yang berbeda-beda.Jadi, lembaga negaranya yang dinetralkan, disekularkan, bukan (polapikir) manusianya?Betul. Dalam arti negara dibebaskan dari keterikatan subyektifdengan kepentingan agama atau keyakinan tertentu. Sementaramanusia tetap terikat dengan keyakinan atau agamanya. Karenaagama (dengan inti keimanan dan amal) memang untuk manusia,bukan untuk negara. Tidak ada negara yang disebut mukmin ataukafir. Maka yang bakal diminta pertanggungjawaban di akhirat kelakadalah manusianya, bukan lembaga kekuasaan yang bernamanegara. Demikian pula yang dijanjikan masuk surga atau diancamneraka adalah manusia. Tidak ada negara yang bakal disiksa di nerakaatau diganjar di surga.Apakah Anda hendak mengatakan bahwa hukum haram atau fatwaharam terhadap liberalisme, pluralisme, dan sekularisme itu salahalamat?Masdar Farid Masudi – 1537


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Seperti saya katakan di awal, hukum itu tergantung bagaimanakonsep kita terhadap yang hendak dihukumi (mahkûm fîh). Kalauliberalisme diartikan hidup secara suka-suka, liar, dan semau nafsukita, saya pun harus mengharamkannya dan mengutuknya. Juga jikapluralisme diartikan semua agama sama bobot kebenarannya, ya,saya pun menolaknya dan mengharamkannya. Karena jika semuaagama sama benarnya atau sama bobot kebenarannya maka tidakakan ada orang yang benar-benar memilih dan meyakini agamanya.Saya menganut Islam karena saya meyakini keunggulannya meski,pada saat yang sama, saya juga harus menghormati agama-agamalain. Untuk apa saya memilih agama A kalau agama B, C atau Dsama isinya dan nilainya?Demikian pula kalau sekularisme diartikan negara harus membenciagama, melarang umatnya beragama. Dengan tandas sayapun akan melawannya, mengutuknya. Sekularisme yang sepertiitu jelas haram! Tapi, siapa yang mendefinisikan liberalisme, pluralisme,dan sekularisme seperti itu?Sebagai tokoh NU, apakah pemahaman Anda tentang ketiga isu tadijuga dipahami oleh kalangan kiai-kiai NU?Sejauh yang dimaksud ketiga konsep tadi seperti yang dipaparkandi atas, tidak terdistorsi, saya yakin beliau-beliau juga punyapendapat yang sama. Lihat dalam konsep Khittah NU sendiritercantum prinsip al-Tasammuh, prinsip menghormati perbedaan,tidak menistakan orang lain hanya karena berbeda agama, pahamatau mazhab. Ketika dalam Anggaran Dasar NU menyebut bahwa“NU menganut salah satu Mazhab Empat”, tidak lain karena NUmenghormati perbedaan. Itu Pluralisme!1538– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Prinsip al-Tasammuh dalam NU terlahir, di samping sebagaiajaran agama, juga berdasar pada pengalaman pahit yang dialamiwarga NU sendiri. Anda tahu bahwa umat Islam pertama yang dituduhsesat (dianggap akan dilempar ke neraka oleh sesama umatIslam) adalah NU.Ceritanya, teman-teman penganut mazhab literalis melihat NUmemelihara banyak bidah seperti tahlilan, mauludan, rajaban, salawatan,ziarah kubur, dan sebagainya. Bagi yang menuduh, semuabidah adalah sesat (dlalâlah), dan semua yang sesat masuk neraka.Kebetulan saja NU banyak umatnya. Saya pikir 70% umat IslamIndonesia mengenal tahlilan, mauludan, dan sebagainya. Bahkanyang sering disebut Islam Abangan, yang jarang salat pun kalaumeninggal ingin ditahlilkan juga. Jadi orang seperti mereka punsebetulnya Nahdlîyîn. Karena pengikutnya banyak, kaum literalistadi tidak berani merusak masjid-masjid dan pesantren-pesantrenNU. Coba kalau NU kecil, sudah sejak dulu NU dihabisi!Mengingat masyarakat kita yang plural, majemuk, dengan agama,keyakinan, dan tradisi yang berbeda-beda dan sangat beragam, bagaimanaseharusnya kita bersikap?Menurut saya, semua umat beragama, umat Islam khususnyasebagai mayoritas, harus berani dan pandai bersikap rendah hati(tawadldlu‘), tidak menyombongkan diri (takabbur). Sombong itulahyang membuat orang syirik, kufur, menganggap dirinya yangpaling benar, bahkan tanpa disadari telah menempatkan diri seolah-olahTuhan itu sendiri.Kalau ada orang yang berbeda keyakinan, tidak usahlah kitatuding-tuding mereka sesat! Tudingan itu melampaui wewenangMasdar Farid Masudi – 1539


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kita. Sebab, sama saja Anda melempar yang bersangkutan ke neraka.Sebut saja mereka “berbeda” atau “menyimpang” dari garis keyakinankita. Tentang cap “sesat” biar Allah yang menghakiminya.Lagi pula yang bakal dilihat dari kita adalah hati, akhlak serta amalperbuatan kita. Rasulullah bersabda: Lâ yu’minu ahadukum hattâyuhibba li-akhîhi mâ yuhibbu li-nafsih (Tidak beriman seseorangsampai dia mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri);Akmal al-nâs îmânan ahsanuhum khuluqan (Yang paling sempurnaimannya di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya); Aldînhusnu al-khuluq (<strong>Beragama</strong> adalah berakhlak mulia); Al-muslimman salima al-muslimûn min lisânihi wa yadayh (Orang Islam adalahorang yang bisa memberikan rasa aman dan kedamaian kepadaorang lain, baik dengan lisan maupun tangannya).1540– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganMelani BudiantaMelani Budianta, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia(FIB UI). Ia mengajar Multikulturalisme dan Kajian Budaya pada Departemen Susastra.1541


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita berhadapandengan berbagai orang dari latar belakang yang berbeda-beda,baik agama, etnik, bahasa, maupun budaya. Jika tatanan publikdikelola tanpa adanya pemisahan, kemungkinan konflik yangmuncul menjadi lebih tinggi. Karenanya dengan sekularisasi kitaperjuangkan terwujudnya agama sipil yang bisa menyatukan perbedaandengan mengambil etos dan moralitas terbaik dari semuaagama untuk dikelola di wilayah publik. Saat ini sangat diperlukanagar satu kelompok dapat memahami kelompok lainnya dan terjadipertukaran pemahaman. Sehingga, tumbuh afeksi budaya satusama lain. Tidak terlalu penting apakah kita menyebut cara sepertiitu dengan pluralisme atau multikulturalisme, yang penting adalahkonsep dasarnya. Agar pluralitas dapat terjamin, maka kesantunanpublik dan jaminan hukum harus dijalankan.1542– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisme atau sekularisasi sering dipahami sebagai desakralisasiagama (profanisasi atas yang sakral). Dapatkah Anda mengeksplorasihal ini lebih jauh, terutama dari perspektif kebudayaan?Pernah ada suatu diskusi tentang sekularisme di sini, FakultasIlmu Budaya, Universitas Indonesia, dengan pembicara FransDahler dan Komaruddin Hidayat. Pada kesempatan itu Dahlermembedakan antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme berartisebuah ideologi. Sedangkan sekularisasi diartikan sebagai penataanantara yang sakral dan yang profan dalam tata kehidupanpublik, kehidupan bernegara dan berbangsa. Ada pembedaan yangjelas di situ. Persoalan yang muncul, sampai terjadi penentangandan sebagainya, lebih berada dalam wilayah sekularisme. Hal tersebutdapat dimengerti, karena orang telah cenderung mengartikansekularisme dengan jelek dan hanya menganggapnya sebagaiorientasi ke arah yang sekular. Sementara sekularisasi sedikit lebihmendapatkan penailaian baik karena mempunyai arti sebagaipengaturan tata hidup.Mengapa harus terjadi sekularisasi? Karena di dalam kehidupanbernegara dan berbangsa kita berhadapan dengan berbagai orangdari latar belakang yang berbeda-beda, baik agama, bahasa, maupunbudaya. Tatanan publik sendiri kalau dikelola dengan tanpaadanya pemisahan (agama dan negara/politik), kemungkinan konflikyang akan muncul menjadi lebih tinggi. Dalam hal ini, sayakira sekularisasi itu penting.Namun pada titik inilah kiranya mendesak untuk dilakukanpembedaan antara sekularisme dan sekularisasi. Kalau mendiskusikansekularisme (ideologi) kita akan cenderung masuk ke dalamkonteks budaya masing-masing, perihal apa yang sudah kita inter-Melani Budianta – 1543


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nalisasi sejak lama. Sementara dengan sekulariasi, kita bisa lebihdingin memper-bincangkannya. Yang akan kita bicarakan adalahapa yang bisa diatur bersama. Pada wilayah inilah suatu kesepakatanbersama bahwa kita tidak memakai salah satu agama sebagaidefault-nya akan terwujud. Dalam konteks orientasi budaya, ideologibegitu melekat dan kadangkala tidak bisa ditawar lagi. Makaperdebatan sekularisme pun pada akhirnya hanya akan menjadiperdebatan terus-menerus tanpa hasil yang berarti.Gagasan sekularisasi terkait erat dengan modernisasi yang lebih percayapada otonomi manusia dan ilmu pengetahuan ketimbang hal-halyang sakral atau supranatural. Dalam aspek kebudayaan, di Eropabelakangan kita bisa melihat antiagama menjadi life style. Fenomenaitu terlihat seperti pada penggambaran Yesus oleh para seniman secaravulgar dan dalam beberapa hal kurang etis, bahkan cenderung ofensifterhadap gereja. Beberapa kalangan menganggap serangan terhadapagama di wilayah Skandinavia tengah menjadi fashion.Fenomena semacam itu terjadi, menurut saya, masih dalamkonteks sekularisme. Sementara dalam sekularisasi yang dipermasalahkanadalah penataannya. Bagaimana kita harus menatanyasehingga tidak terjadi pencampuradukan yang membingungkan.Gaya hidup adalah hak setiap orang. Namun aturan main dalamruang publiknya seperti apa, ini yang perlu diluruskan. Kita berhakuntuk tidak sepakat dengan yang ada, kalau memang tidak sesuaidengan cita rasa kita. Maka, dalam contoh penggambaran Yesusitu, kita tidak bisa serta-merta mengartikannya sebagai desakralisasiagama. Agama tetap menjadi wilayah yang sakral dan memangharus tetap dipertahankan oleh para penganutnya. Kendati, lagi-1544– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lagi, bagaimana cara untuk tetapmempertahankannya yang harusdibicarakan agar tidak menggangguhak orang lain.Sekularisme, sudah terlalu banyakmemperoleh pandangan yangsangat negatif. Barangkali kitamemang harus menggunakanistilah yang lain lagi. Kita bisaAmerika, Prancis, dan termasuk menggunakan istilah civic religionjuga Kanada, yang tetap memakai untuk memperjuangkan hal yangistilah sekularisme dapat memberikanruang bagi berbagai agama Kita perjuangkan terwujudnyasecara esensial sebenarnya sama.untuk tetap hidup dan berkembang.Namun, pada sisi lain, tu-menyatukan perbedaan denganagama sipil yang bisagas agama di negara-negara tersebutadalah bagaimana menge-terbaik dari semua agama untukmengambil etos dan moralitasmas nilai-nilainya dalam bahasa dikelola di wilayah publik.publik yang reasonable dan lebihmudah diterima kalangan yang berbeda sekalipun. Pada kasus ini,sekularisme tidak serta-merta membunuh agama. Lantas apakah ketakutanbahwa sekularisme akan melenyapkan agama merupakansesuatu yang cukup beralasan?Bagi saya, di situlah letak pentingnya pemisahan antara sekularismedan sekularisasi. Karena, terutama sekularisme, sudah terlalubanyak memperoleh pandangan yang sangat negatif. Barangkalikita memang harus menggunakan istilah yang lain lagi. Kitabisa menggunakan istilah civic religion untuk memperjuangkanhal yang secara esensial sebenarnya sama. Kita perjuangkan terwujudnyaagama sipil yang bisa menyatukan perbedaan denganmengambil etos dan moralitas terbaik dari semua agama untukdikelola di wilayah publik. Sebetulnya, untuk konteks Indonesia,Melani Budianta – 1545


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pancasila juga mempunyai peluang ke arah itu. Namun, karenaterlanjur sudah mendapat konotasi yang begitu buruk selama 32tahun, orang sudah terlebih dahulu mual dan alergi dengannya.Padahal melalui Pancasila kesantunan publik dari kebajikan agama-agamabisa diolah.Problemnya, di Indonesia, tiadanya upaya pemerintah untuk bersikaptegas dalam menetapkan demarkasi antara agama dan negara, sehinggadalam praktiknya kerap terjadi pencampuradukan di antaranya.Agama pada gilirannya hanya akan dijadikan alat oleh negara atau,sebaliknya, oleh kalangan umat tertentu yang merasa dominan danmayoritas lantas mengatasnamakan agama untuk menggolkan kepentingan-kepentinganpolitiknya. Bagaimanakah solusi terbaik untuksegera menyelesaikan hal seperti ini?Memang harus ada ketegasan bahwa, misalnya, otonomi daerahdengan perda-perdanya jangan sampai bertentangan dengan kesepakatandasar bernegara kita. Kalau sampai ada yang menyimpangdari itu, harus ada ketegasan tindakan dari pembuat keputusan.Akan sangat susah menyelesaikannya jika tetap menggunakan bahasayang diwarnai oleh agama. Maka koridornya adalah kesepakatanbersama. Kita bisa mengambil contoh-contoh soal yang positif, sebagaibest practices, pada suatu aturan dengan tetap mempertahankannuansa Muslim di dalamnya. Karena di negara ini yang kebetulanmayoritas – dan oleh sebab itu bisa menjadi warna budayadi negara kita – adalah Muslim, maka sebagai warna budaya, kitaharus menggali kekayaan budaya Muslim yang inklusif, plural, bisamerangkul yang lain, yang justru produktif. Dengan mengelola inisecara baik, negara kita akan bisa menjadi contoh sebagai negara1546– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dengan budaya Muslim terkemuka. Media massa dan organ-organswadaya masyarakatnya pun bisa menunjukkan hal yang serupa.Tentunya dengan tetap memposisikan budaya seperti itu sebagaibukan bagian tunggal yang menyatu dengan negara, tetapi terpisah.Maka adanya warna dominanagama tertentu dalam Sekularisasi kita jalankan bukansuatu negara pun menjadi tidakbermasalah, justru sema-agama di ruang publik, tetapidengan melarang yang berbaukin memperkaya. Pertarungan dengan membiarkan itu tetap ada,yang ada sekarang sebetulnya seraya menghormati agama yangadalah pertarungan budaya, lain di tempat yang sama. Padayaitu bagaimana mensosialisasikanbudaya yang bisa me-suatu acara bersama denganprinsipnya, jangan sampai mewarnainerima dan menghargai yangmemonopoli satu agama tertentu.lain, yang berbeda.Namun begitu, agama sendiri memiliki dua wajah (positif dan negatif).Memang yang dikehendaki oleh kita semua tentu adalah wajahnyayang positif. Sementara kalangan Islam tertentu yang mengklaimdiri mayoritas terus berusaha dan memaksa mendesakkan ajarannyasecara tekstual, harfiyah, yang diimplementasikan melalui perda-perdaatau aturan perundang-undangan lainnya sehingga malah memberangushak dan kebebasan individu untuk beragama dan berkeyakinan.Menurut Anda bagaimanakah merumuskan tatanan ideal yang tetapmemberi ruang bagi agama tetapi pada sisi lainnya bisa menjamincivil rights dan civil liberties, termasuk untuk perempuan?Memang kita tidak akan bisa sama persis dengan apa yangterdapat di Eropa. Karena kita menganggap agama sebagai sesuatuMelani Budianta – 1547


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang sangat serius. Agama mewarnai seluruh kehidupan manusia.Demikianlah di Indonesia. Yang perlu ditegaskan, sekali lagi, adalahaturan mainnya, agar jangan sampai salah satu agama mendominasiyang lainnya. Tetapi bahwa agama mewarnai hampir seluruhkehidupan masyarakat Indonesia adalah sudah menjadi cirikita. Paling banter, karena tidak bisa menghilangkan sama sekaliketentuan-ketentuan yang terdapat pada agama, di dalam kehidupankita, maka jalan yang paling mungkin dan menjadi kemestianbagi kehidupan bersama yaitu bagaimana kita mencoba menerapkanmodel kebersamaan yang lebih plural. Contohnya, kalaupunsetiap akhir dari suatu acara harus ditutup dengan doa, maka doanyabisa dilakukan dari berbagai macam agama yang ada. Sekularisasikita jalankan bukan dengan melarang yang berbau agamadi ruang publik, tetapi dengan membiarkan itu tetap ada, serayamenghormati agama yang lain di tempat yang sama. Pada prinsipnya,jangan sampai mewarnai suatu acara bersama dengan memonopolisatu agama tertentu.Tentang civil rights dan civil liberties, kita harus mempunyaiaturan yang jelas untuk hal ini: bagaimana kita memperjuangkanhak setiap warga, termasuk kaum perempuan, kalangan yang tertindas,dan sebagainya untuk diatur secara jelas. Lagi-lagi, aturantersebut jangan memakai aturan agama. Itulah sekularisasi kita. Permasalahanmutakhir yang terjadi di negeri ini adalah perda-perdaitu memakai perspektif suatu agama tertentu, namun, sejatinya, bertentangandengan konstitusi dasar negara. Perda yang berbau agamaitu diperbolehkan sejauh tidak bertentangan dengan dasar konstitusikita dan tidak merugikan yang lain. Problem ini memang lumayanberat, apalagi dengan masyarakat yang umumnya tidak terlalu banyakmemiliki sudut pandang pemikiran dan pemahaman. Wila-1548– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yah untuk hal ini sebenarnyamenjadi wilayah pendidikan, Kenapa Jepang, Cina dan Koreayang sayangnya pendidikan Selatan bisa menjadi negara-negarakita hanya “UAN sentris”. yang sangat diperhitungkan? Sebab,Harusnya pendidikan kita lewat kejepangan-nya mereka dapatmemanfaatkan globalisasi. Jikamenjadikan civic educationdemikian persoalannya, kiranya kitatidak sekadar sebagai hafalan,tetapi menjadi kesadaranjuga bisa memanfaatkan hal yangsama. Kita bisa memakai elektronik,bersama semua warga. Inilahsastra populer, dan sebagainya sambilgarapan wilayah sipil melaluipendidikan masyarakatmemasukkan ke dalamnya nilai-nilaibudaya kita, tanpa keharusan untukyang tidak melulu didominasioleh agama. Contoh-sebagaimana sebelumnya menjadi halmemperhatikan yang asli atau murni,nya, bisa dengan membuat yang dianggap penting. Kalau hanyapendidikan lintas agama. mencari yang asli, kita tidak akanSekarang kita berada di pernah bisa menguasai globalisasi.iklim global di mana, di antaranya,agama menjadi be-dan kesenian kita harus mulai sedikitMaka sekarang sudah saatnya budayagitu penting. Maka dalam demi sedikit diubah untuk dapatrangka membuat formula masuk dan diterima di pasar global.yang dapat menjamin civilrights dan civil liberties kita bisa dengan menggarap berbagai jalanyang ada dan menjadi pegangan setiap warga. Ada yang memangsama sekali tidak melibatkan agama, dan ada yang masih memasukkannilai-nilai atau ajaran agama. Jadi, menuju sekularisasi bukanberarti harus menghilangkan dan tidak bekerjasama denganajaran dan instansi agama. Kita tetap bisa masuk ke gereja ataubisa juga masuk ke pesantren untuk mendiskusikan soal pijakanmana yang harus kita pilih guna menata ruang publik, sehinggaMelani Budianta – 1549


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kita bisa merasa berumah di ranah publik kita sendiri, meski denganadanya warna budaya tertentu yang dominan.Sebab, budaya adalah rumah. Karena itu, harus menyediakansegala keperluan dan keinginan dari yang ada di dalamnya agartetap merasa betah. Makanya, sekulariasi yang akan diterapkan tidakserta-merta mengubah perempuan Indonesia menjadi sepertiMadonna. Itu tentu akan ditolak dan membuat penghuni di dalamrumah tidak lagi merasa betah karena sudah merasa bukan rumahnyalagi. Biarkan rumahnya apa adanya, tetapi tidak mengganggukehidupan bersama.Kalau dengan model aturan yang sudah ada, lepas dari bahwa Pancasilapernah dijadikan asas tunggal pada masa Orde Baru, bagaimanapandangan Anda agar masyarakat bisa merasa betah bahwanegeri ini merupakan rumah kita sendiri? Lalu apakah Pancasila danUUD ’45 cukup bisa mengantarkan negeri ini sebagi rumah yangmemadai dan ideal bagi seluruh warganya yang plural, atau masihharus direvisi?Kesepakatan dasarnya, secara teknis, masih ada yang harusdiperbaiki, karena Undang-Undang Dasar kita masih menyimpanbenih-benih diskriminasi, seperti pembedaan pribumi dan non-pribumiserta ketentuan hukum lainnya. Di situ harus ada mekanismeuntuk menerjemahkannya dalam konteks sekarang, bahwa yangasli “seasli-aslinya” itu sudah tidak ada. Yang lebih penting adalahkomitmen kita sebagai warga negara, bukan lagi mempermasalahkankeaslian warganya. Dengan demikian dibutuhkan proses untukmemperbaiki konstitusi tanpa merusak tatanan inti atau prinsipdasarnya. Amerika dan negara lain selalu melakukan amandemen1550– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–terhadap konstitusinya. Masyarakat Indonesia sendiri sudah darisejarahnya menerima keragaman, kebhinekaan. Maka Pancasila tetapbisa dipakai karena memang sangat menghargai kemajemukan.Masalahnya, sekarang ini, adalah bagaimana menghidupkan semangatyang terkandung dalam Pancasila agar tidak hanya menjadislogan. Kita berikan contohcontohyang mendukung ituYang saat ini diperlukan adalah agarkepada masyarakat. Media satu kelompok dapat memahamijuga harus berperan besar yang lainnya dan terjadi pertukarandalam upaya mensosialisasikannya.afeksi budaya satu sama lain. Olehpemahaman. Sehingga tumbuhDi samping itu, upaya karena itu, tidak terlalu pentingmedia yang demikian tadi apakah kita mau menyebut carasebenarnya lebih merupakan seperti itu dengan pluralisme ataukerja budaya. Kerja budaya multikulturalisme, yang pentingakan lebih baik dan efektif adalah konsep dasarnya. Menurutkalau kelompok fundamentalisyang kurang menghar-saya, yang cocok bagi kita dalammenyikapi kemajemukan bukandengan cara yang segregatif.gai perberbedaan, yang inginmewarnai negara hanya dengansatu agama, hendaknya diberikan pemahaman melalui mediayang bahasanya baik dan akrab bagi mereka. Jangan konfrontatif,sehingga mereka tidak terlalu resisten. Strateginya tidak bisa hanyadengan satu cara. Harus dengan banyak cara, ada yang bicaramelalui kehidupan sehari-hari di kalangan bawah, ada yang menggarapkalangan menengah dan kalangan elit, atau mungkin bisalebih banyak lagi. Kita harus belajar pada pengalaman orang yangbisa secara efektif menjalankan strategi itu.Melani Budianta – 1551


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Di atas semuanya, pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yangmemang sangat berat dan membutuhkan energi tidak sedikit. Belumlagi fakta bahwa militansi mereka yang fundamentalis sangattinggi, sedangkan yang menganut sekularisasi cenderung lebih individual.Sehingga wajar kalau dilihat secara budaya, sekularisasipada dasarnya terlihat tidak terlalu cocok dengan kondisi Indonesia.Dari sini, terlihat bahwa kerja kaum sekular sudah harus turunsampai ke wilayah-wilayah terbawah dari masyarakat. Kita jugaharus menggarap yang komunal. Karena ada beberapa hal yangdapat dijadikan contoh dari yang komunal, di mana di sana terdapatpola hubungan yang tetap menguntungkan yang mayoritas,dan budaya yang dimilikinya tetap dipakai sebagai warna utama,dengan tidak menggerogoti prinsip dasar negara kita yang pluralitu. Dalam konteks kerja budaya ini, kita harus berterima kasihkepada beberapa kalangan, seperti seniman, cerpenis, novelis dansebagainya, yang dengan caranya masing-masing telah melakukanterobosan, yang meski terlihat kecil dan “ngepop”, ternyata memilikigaung yang besar.Modernisasi selain membuat agama terpinggir, juga dengan peran mediayang diciptakannya telah membawa keragaman budaya menujupada penyeragaman, yang pada akhirnya dapat menggerus tradisi-tradisilokal yang ada dengan identitasnya masing-masing. BagaimanaAnda melihat hal ini?Permasalahan yang kini dihadapi yaitu mengapa mereka, kaumfundamentalis agama, menjadi lebih militan? Karena dalam konteksglobalnya bermunculan wacana yang disebarkan melalui mediayang memposisikan agama tidak seperti yang mereka idealkan.1552– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kita harus dapat memahami hal ini secara jernih dan justru mencobauntuk menetralisirnya, atau bahkan menangkalnya, denganmenguatkan daya tawar budaya kita.Kenapa menaikkan daya tawar budaya menjadi pilihan yangsignifikan? Karena ada yang mengatakan bahwa Indonesia, di pentasdunia, sebenarnya tidak ada. Secara ekonomi, ia bahkan tidaklebih dari sekadar pasar tempat semua barang dapat diperjualbelikan.Maka, dalam konteks globalisasi, kalau kita coba menangkalatau melawan arusnya secaraekonomi, sangat berat. Satusatunyadaya tawar kita adalah Karena di dalam kehidupanMengapa harus terjadi sekularisasi?budaya: bagaimana mengemasbernegara dan berbangsa kitaberhadapan dengan berbagaibudaya kita agar dapat diterimadi pasar, sehingga kita bisaorang dari latar belakang yangberbeda-beda, baik agama, bahasa,dilihat sebagai suatu alternatif.Kapitalisme memang sangatmaupun budaya. Tatanan publiksendiri kalau dikelola dengan tanpabertumpu pada kekuatan pasaradanya pemisahan, kemungkinandan tidak memperdulikan lagi konflik yang akan muncul menjadiagama. Oleh karena itu, kalanganagama menjadi sangat sekularisasi itu penting.lebih tinggi. Dalam hal ini, saya kiramilitan menentangnya.Cara yang lebih elegan, memang, seharusnya bukan denganmenghindari globalisasi. Justru kita bisa memanfaatkan dan melihatnyasebagai peluang untuk memasukkan modal budaya kita.Kenapa Jepang, Cina dan Korea Selatan bisa menjadi negara-negarayang sangat diperhitungkan? Sebab, lewat kejepangan-nya merekadapat memanfaatkan globalisasi. Jika demikian persoalannya, kiranyakita juga bisa memanfaatkan hal yang sama. Kita bisa memakaielektronik, sastra populer, dan sebagainya sambil memasukkan keMelani Budianta – 1553


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dalamnya nilai-nilai budaya kita, tanpa keharusan untuk memperhatikanyang asli atau murni, sebagaimana sebelumnya menjadi halyang dianggap penting. Kalau hanya mencari yang asli, kita tidakakan pernah bisa menguasai globalisasi. Maka sekarang sudah saatnyabudaya dan kesenian kita harus mulai sedikit demi sedikitdiubah untuk dapat masuk dan diterima di pasar global.Terkait tarik-menarik antara yang global dan yang lokal, maka yangmenjadi masalah sebenarnya adalah bagaimana menciptakan tatananyang setara dan adil. Lantas, dalam konteks negara, agama, civilsociety dan pasar global, menurut Anda, hubungan seperti apakahyang semestinya dibangun?Saya setuju bahwa masih diperlukan peran negara, minimalsebagai broker, yang mempunyai keberpihakan untuk memperkuatdaya saing atau daya jual negara. Dalam perdagangan, misalnya,negara harus berperan dalam mengambil kebijakan baik untuk barang-barangyang masuk ke dalam negeri (impor), maupun yangkeluar (ekspor). Sayangnya, negara kita sendiri sekarang sedangkehilangan moralitas, telah terjadi degradasi moral negara pascakeruntuhanOrde Baru. Tidak ada lagi semangat kenegaraan sepertidulu ketika kita masih berjuang untuk merebut kemerdekaan. Kitatidak lagi memiliki negarawan yang tidak sekadar pemimpin politik.Harapan ini hanya ditaruh pada anak-anak muda, yang mempunyaiprestasi besar. Kita bisa mencari anak muda yang mempunyai kemampuanbudaya mengglobal, tanpa kehilangan identitasnya, bahkanbisa membawa keindonesiannya ke luar negeri. Dari sinilah,setidaknya muncul di antara mereka sekarang ini peneliti-penelitimuda, seniman, dan lain-lain yang dapat berbicara dalam ranah1554– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–internasional. Pada titik ini, bagi saya, sangatlah penting untukmelakukan legalisasi hak paten bagi kita sendiri. Sebab, paten-patenyang seharusnya menjadi milik kita, kini makin habis dikuasainegara lain yang lebih seriusmengurusinya. Seharusnya Agar pluralitas dapat terjamin,negara menjadi sponsor utama, maka keduanya, kesantunansehingga kita mempunyai banyakhak paten, baik dari segi dijalankan. Menjalankan salahpublik dan jaminan hukum, harusintelektualitas, kesenian, sampaiproduk makanan. Sayang-dengan yang lain tidaklah mungkin.satunya saja tanpa dibarenginya negara kita sudah terlalumerosot karena korupsi mental yang ada. Kenegaraan kita menjadihilang. Namun kita tetap yakin bahwa itu belum sepenuhnya hilang.Kita masih mempunyai harapan pada generasi muda.Di tengah derasnya serbuan globalisasi dalam pelbagai ranah kehidupan,menurut Anda apakah gagasan nasionalisme masih relevan?Betul, nasionalisme tetap diperlukan. Namun, nasionalismeyang tidak semata jargon, tetapi menjadi praktik dan yang memilikiwawasan global. Intinya, bagaimana kita harus meletakkannasionalisme kita dalam konteks global, bukan malah melawannya.Kita tidak mencabut diri dari globalisasi, sebaliknya masukdan ikut memberikan nuansa yang berbeda. Dan untuk hal ini,kita tidak bisa berharap terlalu banyak kepada pemerintah, tetapilebih kepada sastra populer, kesenian, dan lain sebagainya, yangmemungkinkan untuk terciptanya kosa-kata baru bagi upaya membangunkembali kepercayaan diri yang di mata dunia internasionalsudah terinjak dengan cap teroris dan lain-lain. Dari situlahMelani Budianta – 1555


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kita seharusnya dapat membuktikan bahwa kita sebenarnya tidakseperti yang mereka tuduhkan itu.Perihal pluralisme, dalam konteks Indonesia yang teramat plural, seharusnyatelaah ini sangat relevan untuk membentengi kemajemukandari monisme dalam berpikir, yang dalam agama mewujud pada pandanganmonoreligius; di samping juga untuk membentengi kemajemukandari relativisme yang kerap dituding menjadi akibat buruk daripluralisme yang menisbikan segala sesuatu. Bagaimana Anda menjelaskankonsep ini dalam tantangan mutakhir keindonesiaan?Ada bermacam-macam konsep tentang pluralisme yang isinyabisa berbeda-beda. Namun di atas segala perbedaannya, yang terpentingdalam kemajemukan, kita harus menyikapinya dengan toleransi.Memang harus diakui, selama ini kita seringkali menyikapikemajemukan dengan perspektif yang sangat mono. Cara pandangsemacam ini yang hendaknya segera dibongkar supaya bisa menatayang majemuk agar masing-masing merasa memiliki dan dapat hidupdengan damai. Pertanyannya, perspektif kemajemukan sepertiapakah yang bisa melakukan itu? Apakah dengan membiarkan kemajemukantumbuh dengan sendirinya tanpa penataan, yang pentingsaling menghargai – seperti membiarkan Badui tetap denganBaduinya, meskipun dengan konsekuensi munculnya sikap eksklusifyang sebenarnya tidak dikehendaki oleh pluralisme sendiri? Sepertinyamerespon pluralisme dengan cara seperti ini tidak mungkindan sangat tidak memadai. Terlebih kini telah terjadi persilanganbudaya yang sangat kuat di masyarakat, sehingga sebenarnya realitasmasyarakat banyak secara otomatis akan menolak sikap yangeksklusif sebagaimana telah diungkapkan di atas. Justru yang saat1556– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ini diperlukan adalah agar satu kelompok dapat memahami yanglainnya dan terjadi pertukaran pemahaman. Sehingga tumbuh afeksibudaya satu sama lain.Oleh karena itu, tidak terlalu penting apakah kita mau menyebutcara seperti itu dengan pluralisme atau multikulturalisme,yang penting adalah konsep dasarnya. Menurut saya, yang cocokbagi kita dalam menyikapi kemajemukan bukan dengan cara yangsegregatif. Sebab, model seperti ini tidak lain hanyalah kelanjutandari apa yang pernah dipraktikkanoleh kolonial Belanda.Yang sekarang harus dapat menjamin civil rights dan civilDalam rangka membuat formula yangdimajukan sebagai best practicesdalam melihat kemaje-berbagai jalan yang ada dan menjadiliberties kita bisa dengan menggarapmukan adalah kemampuan pegangan setiap warga. Ada yangkita untuk memahami secara memang sama sekali tidak melibatkansilang. Sayangnya suara sepertiitu kalah dengan yangagama, dan ada yang masihmemasukkan nilai-nilai atau ajaranagama. Jadi, menuju sekularisasimonolitik, yang sebenarnyabukan berarti harus menghilangkanmenyebabkan konflik. Jikadan tidak bekerjasama dengan ajarankita perhatikan, sebenarnyasudah banyak kalang-dan instansi agama. Kita tetap bisamasuk ke gereja atau bisa juga masukan muda yang melakukanke pesantren untuk mendiskusikanpraktik-praktik dengan menekankanpemahaman silang pilih guna menata ruang publik,soal pijakan mana yang harus kitatersebut, hanya saja mereka sehingga kita bisa merasa berumahkalah suara dan gaungnya. di ranah publik kita sendiri, meskiDemikian juga, lagi-lagi, dalammenyikapi pluralisme,tertentu yang dominan.dengan adanya warna budayayang kita inginkan bukanMelani Budianta – 1557


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang relativis, apalagi dari perspektif agama yang serba relatif. Tidakmungkin kita katakan bahwa semua agama sama benarnya,tetapi kita katakan bahwa semuanya sama memiliki hak untukhidup dalam tatanan bersama.Model segregatif dari pemerintah dalam merespon keberbagaian, sepertikonsep kerukunannya Orde Baru yang dulu akrab disebut SARA,sudah tidak memadai lagi. Lantas bagaimanakah konsep toleransiyang ideal bagi pemerintah untuk masyarakat majemuk seperti indonesiaini?Saya setuju bahwa sekarang konsep SARA sudah tidak mungkinlagi. Itu hanya mekanisme untuk menekan konflik. Yakni,merepresi konflik tanpa melakukan tindakan apa-apa terhadapnya.Padahal dalam konflik terdapat luka, dendam dan sebaginya, yangoleh pemerintahan Orde Baru tidak boleh dibicarakan, tetapi dialihkan.Menurut hemat saya mekanisme seperti itu tidak mungkinlagi diterapkan oleh pemerintah sekarang ini, apalagi setelah erareformasi, di mana orang berhak untuk menyuarakan apa yangmenjadi kepentingan dan keluhannya. Jelas di sini kita membutuhkankesantunan publik dan hukum yang jelas. Meski kita dalamkondisi yang disakiti atau dizalimi, kita tetap tidak berhak untukmembakar, menjarah atau merusak milik orang lain. Kalupun seseorangatau kelompok, secara agama (teologis), betul-betul dianggapsesat dan harus diluruskan, tetap saja dari segi hukum merekatidak boleh diberantas dengan kekerasan.Problemnya, sekarang pemerintah tidak tegas, malah terkesantakut untuk menuntaskan kasus seperti ini. Pemerintah terlalutakut kalau sampai dianggap melawan agama. Kita lihat di Ma-1558– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–laysia, yang melanggar tetap diproses secara hukum – atas namaapapun tindakan melawan hukum itu dilakukan. Kalau pemerintahnyaragu, maka masyarakat sipilnya harus lantang untuk mengatakanbahwa meski saya telah dizalimi oleh kelompok B, sayatidak mau kalau kelompok B itu diperlakukan dengan cara yangmalah melanggar hukum.Dalam hal lain, kita juga perlu mempertimbangkan kesantunandalam menyikapi suatu konflik. Kita hanya bisa mensosialisasikancara yang lebih santun, seperti dengan mengatakan bahwamemaki dengan kata-kata yang rasis atau melecehkan agama itutidak santun, tidak menghormati yang lain. Justru saya, misalnya,merasa nyaman dan bangga kalau agama saya bisa berbesar hatidan tetap santun dengan yang lain.Agar pluralitas dapat terjamin, maka keduanya, kesantunanpublik dan jaminan hukum, harus dijalankan. Menjalankan salahsatunya saja tanpa dibarengi dengan yang lain tidaklah mungkin.Dan untuk kepentingan ini saya juga ingin mengatakan bahwakita harus memperkuat aparat. Namun, dalam konteks ini aparatyang tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan olehnya. Diatas segalanya, yang lebih diperlukan adalah kesadaran massa, termasukdalam kesadaran memperlakukan aparat.Kalau memang letaknya pada massa, civil society, kesantunan publikseperti apa yang dibutuhkan dalam mengatasi konflik, dan sampaisejauh mana batas menenggang perbedaan?Ada yang mengatakan kita hendaknya tetap bertoleransi, bersikapsantun meski kepada orang yang hendak membunuh kita.Ini pandangan ekstrem. Namun, yang seharusnya kita kembang-Melani Budianta – 1559


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kan adalah kesantunan dan toleransi sampai membela kepentingandan hak yang lain untuk hidup, meski mereka berbeda. Bagaimanapraktiknya? Kita tetap harus bisa berdialog bahkan dengan yangjelas-jelas berseberangan. Dalam konteks ini, meski mungkin kitabisa saja menang atau sebaliknya kalah, tetapi, minimal dengandialog, kita sudah menunjukkan cara bahwa perbedaan bisa diselesaikantidak hanya dengan berkelahi. Selain dialog, mekanismeapa yang bisa dilakukan untuk hal ini? Saya juga tidak terlalu bisamenemukan formula yang paling tepatnya.Tetapi, intinya adalah bagaimana terjadi proses sehingga mekanismeyang dijalankan tidak harus dengan pengrusakan atau tindakanarkis lainnya. Mungkin juga dalam masyarakat kita masihdiperlukan figur-figur kharismatik untuk memfasilitasi kebersamaandi tengah perbedaan sampai ke kalangan bawah. Permasalahannya,nanti mereka akan berhadapan dengan local leader yang mungkinmemiliki style sangat berbeda dan berlawanan. Makanya yang harusdiperhatikan adalah bagaimana kita bisa masuk ke dalam kelompoktertentu dengan memberikan keyakinan bahwa yang kita lakukanadalah memang untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untukkepentingan yang lain, yang kebetulan kita bela haknya. Karenabisa jadi meski kelompok itu benar, namun karena caranya yangkurang elegan atau bahkan salah, malah bisa dituduh salah olehmasyarakat luas dan dianggap sebagai tindak kriminal. Artinya,kita harus memberi panggung untuk mereka.Dalam menyikapi konflik yang ada di tengah masyarakat, yang harusdijunjung tinggi dan mendapat jaminan apakah hak kelompok atauhak dan kebebasan individu?1560– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Permasalahannya tidak bisa langsung kita tarik ke situ. Tetapi,keduanya harus diberi porsi yang seimbang. Memang yangterutama harus kita lindungi adalah individu, karena itu basis.Kemudian hak kelompok juga harus kita hargai, karena kalausampai hak kelompok menegasi hak dan kebebasan individu,juga sama sekali tidak benar. Makanya kedua pihak harus jugadibatasi hak dan kebebasannya masing-masing. Keduanya bukansesuatu yang harus dioposisikan, melainkan satu sama lain salingmenjadi penyeimbang. Hak kelompok jangan sampai membunuhhak dasar individu untuk berbeda, demikian juga sebaliknya.Kalau dialog masih menyimpan kemungkinan yang menguntungkanbagi kelompok yang tidak sepakat dengan pluralisme, lantaran merekaterus memaksa dan mendesakkan pandangannya, bahkan lewatmekanisme demokrasi sekalipun, lantas langkah seperti apa yang lebihmemungkinkan untuk dijadikan alternatif?Kalau dialog tidak menguntungkan, maka tidak usah melaluidialog. Dialog hanya diperlukan untuk memfasilitasi mereka yangberseberangan bisa berdamai. Sebenarnya masalah yang kita hadapaiadalah masalah strategi untuk pendidikan masyarakat. Maka,mungkin yang lebih cocok sebenarnya bukan dialog, tetapi pendidikanmasyarakat agar tercipta budaya saling menghargai, bukansuasana konfrontatif. Sehingga, harus diciptakan pemahaman dalammasyarakat untuk tidak terlalu mengungkit apa yang disebutmusuh. Bahwa yang baik bukanlah degan terus mengungkit keburukanyang lain, yang padahal masih mungkin dianggap baik olehkalangan lain. Lebih bagus kalau selalu mencari dan melakukanMelani Budianta – 1561


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–hal-hal yang jelas berimplikasi baik bagi diri dan kelompok ataumasyarakat yang lebih luas lagi.Sedikit kembali tentang dialog yang masih menyimpan berbagai kemungkinan,dan karenanya membutuhkan pengaturan agar praktiknyabetul-betul berimbang. Kalau memang seperti itu yang kita kehendaki,lantas siapakah yang lebih berwenang untuk dapat mengaturdan memberi panggung bagi terciptanya keseimbangan di masyarakat?Sementara berharap kepada individu rasanya tidak mungkin;kepada kelompok, justru masing-masing hanya mengurusi urusandan kepentingannya sendiri-sendiri; kepada negara atau aparat pemerintahan,faktanya negara kita sendiri tidak bisa diharapkan terlalubanyak untuk berperan sedemikian rupa sehingga bisa menjaminnetralitasnya.Untuk itulah, affirmative action, memang harus ada di masing-masingkepala kita. Sebagaimana mestinya tindakan ini didorongke dalam konteks kesetaraan jender, di mana kita tahubahwa keterwakilan dalam politik sama sekali belum berimbang,karena memang budaya kita yang masih patriarkhi. Selain masalahjender tadi, secara umum, kini, kita harus sadar bahwa ditengah kemajemukan kita tidak hanya berhimpun dengan kelompokyang dekat dengan kita saja, tetapi juga yang lain. Maka,jika dalam satu situasi, misalnya ketika kita dipilih menjadi dewanjuri, lantas diketahui bahwa semua juri memiliki latar belakangyang sama, harus ada kesadaran bahwa sebaiknya salahsatu dari juri itu mengundurkan diri untuk memberi tempat bagiyang berlatar belakang lain. Di sinilah kesadaran untuk memberiposisi kepada yang lain (minoritas) sangat diperlukan.1562– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kemajemukan memang sudah harus menjadi nurani, bahkandalam konteks yang lebih global. Dalam tatanan global, kemajemukanharus menjadi kriteria yang sangat penting. Maka dari itu,seleksi untuk beasiswa dan sebagainya, kini tidak bisa lagi hanyamemperhatikan kelompok yang mayoritas. Itu suatu langkah kolektifdan sarana kritis untuk koreksi diri. Sebab, terutama sekalikita harus kritis terhadap diri sendiri. Apakah kita sudah cukuptoleran dan plural untuk orang lain? Kesadaran seperti ini harusselalu direfleksikan. Karena meskipun secara teori demikian, padapraktiknya, kadang kita tetap merasa lebih enak dengan teman sendiridan sukar memberi tempat terhadap pihak lain yang berbeda.Kini kita harus membiasakannya untuk berbagi dengan yang lain.Makanya jangkauan gerakan dan diseminasi wacana yang temantemanagendakan ini sudah harus mulai untuk tidak hanya berkonsentrasisebatas Sumatera-Jawa, melainkan juga Ambon, Papua,dan lain sebagainya.Kalau dalam konteks budaya, masih perlukah affirmative actionitu diberikan oleh pemerintah terhadap budaya tertentu yang dianggaptidak mainstream dan justru dipinggirkan oleh kalanganmayoritas?Tindakan seperti itu tetap diperlukan. Pemerintah harus melakukanitu sebagai bagian dari kepentingannya menjalankan pemerintahan.Demikian juga masyarakat sipilnya harus mempunyaikesadaran akan affirmative action terhadap setiap pihak yangpaling dirugikan. Kita tetap harus mencari kelompok ketiga, ataukelompok tengah, misalnya untuk menjembatani pihak yang bertikai.Dan ketika tidak terselesaikan dengan cara itu, kita cari ja-Melani Budianta – 1563


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lan lain, misalnya melalui agama, melalui dunia sosial dan budaya,dan lain sebagainya.Wawancara dilakukan di Depok, 31 Mei 20071564– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganMeuthia Ganie-RochmanMeuthia Ganie-Rochman, pengajar di Departemen Sosiologi FISIP UI dan MagisterManajemen FE UI. Ia mendapat gelar PhD dari Radboud University of Nijmegen,Belanda. Bidang keahliannya Sosiologi Politik dan Sosiologi Organisasidan berpengalaman sebagai peneliti dan konsultan bidang organisasi pembangunandan Corporate Social Responsibility (CSR).1565


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Agama tidak pernah benar-benar bisa dikeluarkan dari aturanpublik. Banyak nilai-nilai keagamaan yang menyumbang dimensidan prinsip-prinsip dalam tata kelola negara modern sepertidemokrasi, dengan HAM, hak-hak sipil dan politiknya. Namunmengambil begitu saja sebuah aturan dari suatu agama tentutidak sesuai dengan kondisi tata kelola negara kita sejak setengahabad silam: netral dari agama-agama. Maka dari segi kenegaraan,pluralisme adalah kebijakan publik yang memungkinkan setiapindividu atau kelompok dapat mengekspresikan kepentingan dankebutuhannya untuk berkembang, seraya tidak menyingkirkannamun seakomodatif dan sesensitif mungkin terhadap kelompokkelompokyang lebih kecil, lemah, dan terpinggirkan. Sehinggauntuk mengelola keragaman negeri ini jawabannya: establishingthe institution. Institusi yang jelas dan bersih.1566– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana pandangan Anda tentang sekularisme dan apa urgensinyapaham ini bagi keberlangsungan kehidupan publik?Sekularisme menolak semua paham agama untuk masuk menjadiaturan publik. Sebab, aturan publik akan sangat berpengaruhpada proses yang terjadi di dalam masyarakat. Namun demikian,dalam kenyataan, aturan agama tidak pernah benar-benar bisa dikeluarkandari aturan publik. Banyak nilai-nilai keagamaan yangmenyumbangkan dimensi dan prinsip-prinsip dalam tata kelolanegara modern seperti demokrasi, hak asasi manusia (HAM), haksipil dan hak politik, yang tampak berlatar belakang negara-kemasyarakatan.Akan tetapi, karena kebutuhan untuk nation buildingdan kekhawatiran dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu,aturan agama kemudian tidak diperkenankan menjadi aturan mainbersama, bahkan untuk kelompoknya sendiri, sejauh masuk sebagaiaturan negara. Akibatnya kemudian muncul kesan bahwa aturanagama tidak boleh menjadi aturan main di wilayah publik.Saya ambil contoh di Jerman pada 1990-an. Ada satu sekolahyang memasang tanda salib di salah satu ruangannya. Awalnyamemang tidak ada reaksi apa-apa. Namun kemudian ada seoranganak yang merasa takut lantas mengadukan persoalan ini. Akhirnya,setelah melalui sebuah proses hukum, diputuskan bahwa simbolsalib itu harus dikeluarkan dari sekolah karena dianggap sepertimemaksakan suatu gagasan keagamaan tertentu. Salib atau simbolagama apapun tidak boleh berada di ruang publik. Meski tetapada beberapa masyarakat yang masih bisa menerima hal seperti itu.Hal itu tergantung pada kematangan dan kondisi masyarakatnya.Oleh karenanya, yang perlu diperhatikan di dalam masyarakat jugaadalah sejarah konflik dan ketidaknyamanan (trauma) di masa lalu.Namun yang terpenting untuk kondisi sekarang ini adalah adanyaMeuthia Ganie-Rochman – 1567


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ketegasan aturan. Semua hal yang tampak bermasalah, sebagaimanadisebutkan di atas, akan berjalan dengan baik-baik saja jika sebuahnegara telah memiliki perangkat hukum yang tegas dan perekonomianyang stabil.Dalam praktik sosial-politik di Indonesia, kita menyaksikan ada kelompokIslam tertentu yang menginginkan agar syariah menjadi aturanpublik. Mengapa keinginan seperti itu bisa muncul bahkan tampakmakin marak? Apakah karena peran negara yang lemah?Benar, semua alasan yang Anda ungkapkan bisa dipakai. Kasusyang Anda ceritakan sendiri menurut saya kebanyakan terjadidi daerah. Sementara di tingkat nasional wacana kebangsaan lebihmatang. Bahkan sangat sering kita lihat berbagai kelompok telahterserap ke dalam institusi yang sama, tidak ada lagi sekat kelompokatau agama. Namun demikian, beberapa daerah menunjukkanbahwa masyarakat semakin sadar bahwa yang terpenting adalahmemilih pemimpin atau organisasi yang bisa bekerja menghasilkankesejahteraan daripada memilih berdasarkan alasan primordial. Artinyakesempatan menjadi lebih demokratis di daerah-daerah jugasekarang ini menjadi lebih mungkin dan terbuka.Tentang tuntutan syariat Islam, kita tidak bisa langsung mengatakanbahwa itu adalah keinginan negatif suatu kelompok untukmenjadi dominan. Mereka yang mengusung itu bisa saja yakinbenar bahwa apa yang mereka perjuangkan adalah cara untuk purifikasimasyarakat, karena negara atau prinsip-prinsip pendidikannasional dianggap tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka betul-betulpercaya bahwa telah terjadi moral decadence di dalam masyarakat.Oleh karena itu, bagi saya, kita harus menilai sekaligus menguji1568– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–apakah argumen dan tuntutan mereka itu memang murni merupakankepentingan umum atau hanya untuk meraih kepentingansempit tertentu. Kita tetap harus mencari jalan tengah untuk bisamenyelesaikannya.Misalnya, kita ajukan argumen sekaligus pertanyaan, apakahtuntutan syariat Islam tidak akan menimbulkan dampak lanjutanbagi kelompok minoritas tertentu? Karena sekali tuntutan itu direalisasikandi suatu daerah, maka akan menjadi pendorong munculnyahal yang sama pada daerah-daerah lain. Padahal daerah yangmencoba meniru ini mungkintidak memiliki kondisi Sekularisme menolak semua pahamsebaik daerah yang ditirunya.Bisa jadi memang pene-publik. Sebab, aturan publik akanagama untuk masuk menjadi aturanrapan syariat Islam di suatu sangat berpengaruh pada prosesdaerah tertentu tidak menimbulkandampak negatifyang terjadi di dalam masyarakat.Namun demikian, dalam kenyataan,aturan agama tidak pernah benarbenarbisa dikeluarkan dari aturanapa-apa, bahkan mungkinmalah menghasilkan sesuatupublik. Banyak nilai-nilai keagamaanyang lebih baik. Sementarayang menyumbangkan dimensi danketika diterapkan di daerahprinsip-prinsip dalam tata kelolalain malah menyebabkan instabilitas,semakin menebar-hak asasi manusia (HAM), hak sipilnegara modern seperti demokrasi,kan rasa takut bagi kelompokminoritas, dan lain seba-belakang negara-kemasyarakatan.dan hak politik, yang tampak berlatargainya. Kemungkinan keduainilah yang perlu dikhawatirkan karena negara kita tidak mempunyaikredibilitas maupun kapasitas institusional untuk menjadi penengahsekaligus pengarah, guidance. Masyarakat seperti kita hanya bisamembantu menunjukkan bukti dengan beberapa argumen yangMeuthia Ganie-Rochman – 1569


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–logis dan mumpuni. Kita tidak bisa langsung tegas untuk merekayang memperjuangkan tuntutan itu. Kalau mereka sudah mainpaksa, barulah kita bisa memakai argumen hukum. Jadi, bagi saya,banyak hal yang bisa diatasi dengan argumen.Anda pernah memberikan definisi sekularisme sebagai bentuk ketidakikutcampurannegara terhadap urusan-urusan agama. Lantas bagaimanaseharusnya negara berperan?Mengambil sebuah pikiran atau aturan dari suatu agama tentutidak sesuai dengan kondisi tata kelola negara kita sejak setengahabad silam. Negara kita adalah negara yang netral dari agama-agama.Oleh karenanya, yang terbaik adalah mulai dan kembangkanlahapa yang sudah ada. Yang menjadi problem utama negara kitasekarang adalah human resource, pemahaman hak dan kewajibannegara, kapasitas bekerja sama dan kemampuan teknokratik yangmasih sangat rendah. Bagi saya itu yang harus terlebih dahulu diselesaikan.Tidak usah menambah persoalan baru seperti memasukkanaturan agama ke dalam aturan publik dan sebagainya. Sekarangini negara kita belum stabil. Kapasitas negara juga belumbisa mencegah kalau persoalan tuntutan pemasukan aturan agamatertentu ke dalam aturan publik itu malah menjadi sesuatu yangbergulir ke arah yang negatif. Untuk menjawab persoalan sepertiini, saya akan selalu melihat konteks persoalannya dahulu. Mungkindalam konteks negara yang lebih stabil, tuntutan seperti itu bisasaja diwacanakan atau bahkan direalisasikan, tapi untuk Indonesia,itu sama sekali belum bisa. Yang lebih butuh segera diselesaikanadalah bangunan bersama bangsa tentang keadilan, kedisiplinan,dan lain-lain.1570– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Adakah kemungkinan bagi nilai-nilai agama atau kearifan etnisbisa menjadi aturan bersama? Kalau benar seperti itu, sejauh mananilai-nilai tertentu bisa atau sebaliknya tidak bisa menjadi aturanpublik?Sebagaimana kasus penerapan perda syariah, yang mencobamenjadikan aturan agama tertentu untuk dipakai sebagai aturanpublik, bagi saya, bisa dan tidaknya suatu nilai menjadi aturanpublik tergantung pada situasi negara atau daerahnya. Suatu aturanyang berbasis pada nilai-nilai tertentu, ketika diterapkan, mungkintidak menjadi masalah untuk suatu daerah, sementara untukdaerah lain bisa jadi malahakan merugikan. Suatu aturanbisa menjadi pengerasan aturan dari suatu agama tentu tidakMengambil sebuah pikiran ataudalam masyarakat sendiri. sesuai dengan kondisi tata kelolaDalam kehidupan bernegaradan berbangsa selalu ada Negara kita adalah negara yang netralnegara kita sejak setengah abad silam.interaksi antara masyarakat dari agama-agama. Oleh karenanya,dan negara, antara individu yang terbaik adalah mulai dandan kelompok yang ada di kembangkanlah apa yang sudah ada.dalamnya, dan masing-masingbisa saling menambah atau mengurangi. Kalau terjadi pengerasanseperti itu, bisakah kita menunjuk metode dan institusi yangbisa mengontrol agar tidak terjadi spill over impact, supaya tidakmenimbulkan efek negatif yang lebih parah?Bangunan institusional apa yang digunakan untuk mengontroldan menjamin agar kelompok minoritas tidak mengalami efeknegatif dan, lebih jauh lagi, dapat menjadi semacam promosi tandinganbahwa memang syariat Islam bisa diterima. Namun meskidemikian, apakah kelompok minoritas juga bisa menerimanya de-Meuthia Ganie-Rochman – 1571


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ngan bangunan institusional yang ada? Karena selain perda syariahjuga ada perda lain yang melindungi mereka, sehingga memungkinkanadanya negosiasi. Jangan hanya membiarkan orang lain untukmencari tahu sendiri semua hal, tapi harus ada alat promosi. Olehkarena itu, kalau mau mengajukan sesuatu, dalam konteks Indonesiaseperti sekarang ini, tanggung jawab yang harus kita pikulsangat berat. Sebab semua hal bisa menjadi promosi negatif jikatidak dimengerti konteksnya. Jadi, kalau yakin bahwa Islam dapatmemberikan kebaikan untuk daerahnya, bisa saja diterima. Meskisaya tetap cenderung menyangsikannya. Dari pengamatan danpembacaan saya, kondisi daerah-daerah kebanyakan masih lemahdalam berorganisasi dan longgar dalam banyak hal.Liberalisme, dengan wajahnya yang terus menunjukkan pembenahandan pelbagai adaptasi, kini menjadi nilai dasar di hampir seluruhnegara-bangsa modern. Bagaimana pendapat Anda mengenai liberalismedan bagaimana dalam konteks keindonesiaan?Liberalisme percaya bahwa individu memiliki kemampuanyang dapat menghasilkan common virtue. Individu bisa memilihdan melakukan sesuatu yang baik. Peran negara di situ memangminimal. Namun demikian, bentuk atau praktik liberalisme murniseperti itu mungkin sudah tidak ada lagi. Yang sekarang munculadalah gabungan antara liberalisme dengan republikanisme atau denganrepublikanisme radikal. Sebagian hak individu diakui, sepertiindividu dapat membuat keputusan, dan harus difasilitasi supayadia bisa membuat keputusan. Kalau kita memberi ruang terhadapindividu untuk mampu mengeluarkan potensinya secara positif,itu saja sudah menggabungkan pandangan liberal dan radical re-1572– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–publican. Kalau individu ternyata tetap tidak mampu, maka harusdibantu oleh negara atau oleh masyarakat, sebagaimana yang kitalihat di beberapa negara Eropa Barat dan Skandinavia.Di negara-negara Eropa tersebut, pada 1990-an kembali diangkatmasalah eksklusi dan inklusi sehingga kembali butuh penajamankonteks tiap individu atau kelompok untuk dapat membuatindividual atau public virtue. Pertanyaannya, seberapa jauh negarabisa membantu? Kalau kita berpikir menurut ideologi tertentu yangkadang juga mengukur peran negara, tanpa melakukan pembahasanbersama-sama secara mendalam, hasilnya bisa jelek dan merugikan.Karena ideologi tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Ideologiideologitersebut belum apa-apa sudah mengatakan bahwa negaraharus memiliki peran minimal atau sebaliknya maksimal, bahkansampai otoriter. Yang benar,menurut saya, katakan saja Liberalisme percaya bahwabahwa negara tidak bisa dan individu memiliki kemampuanhanya bisa sampai pada taraf yang dapat menghasilkan commontertentu. Sementara membuat virtue. Individu bisa memilih danmasyarakat yang partisipatif, melakukan sesuatu yang baik.negara juga harus memberikanfasilitas.Liberalisme dalam arti paradigma berpikir semestinya dipahami sepertiapa dalam konteks masyarakat yang masih kuat akar tradisidan agamanya?Individu bisa membuat individual virtue tanpa kontrol, tanpaaturan komunitas dan latar belakang agama, karena hal-hal itulahyang bisa mengekang individu. Sekarang tidak ada lagi yang seta-Meuthia Ganie-Rochman – 1573


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–jam itu. Sekarang, kita semua telah hidup di zaman modern, dimana tidak ada lagi pandangan komunitarianisme yang ekstremsehingga menghalangi praktik liberalisme. Kini, hampir setiap negarayang mengaku sebagai penganut liberal, memfasilitasi individuatau kelompok untuk menghasilkan individual atau public virtue.Indonesia mungkin belum sampai ke situ, karena fasilitas negaranyabelum mencukupi. Di Indonesia, individu sudah lebih bebas tapitetap harus difasilitasi, apalagi untuk kelompok-kelompok tertentuyang tidak mempunyai kapasitas yang sama dengan kelompoklain yang lebih besar. Untuk mereka, ketiadaan fasilitas malah bisamenyebabkan terjadinya eksklusi secara perlahan.Salah satu nilai utama dalam prinsip liberalisme adalah terjaminnyacivil rights dan civil liberties. Sejauh ini di Indonesia apakah civilrights, political rights dan hak-hak ekonomi, sosial dan budayanyasudah terjamin?Belakangan ini beberapa hal justru malah makin memburuk.Beberapa waktu lalu, kita terpukul dalam suatu rezim otoriter dengantangan-tangan birokratnya yang berjalan sampai ke tingkatkecamatan bahkan lebih rendah, dengan bahasa yang seolah-olahselalu pro-pembangunan dan persatuan, meski sebenarnya untukbeberapa hal semu. Sekarang ketakutan yang menghinggapi kitaadalah ketidakpastian di antara kita sendiri. Memang ada beberapamasyarakat, yang lantaran beberapa kejadian yang menimpanya,jadi lebih berhati-hati, takut terjadi perpecahan. Sementara faktorkeamanan minimum tidak banyak mengalami perubahan.Contohnya, di sektor informal, dari tukang ojek dan sejenisnya,persaingan yang ada sangatlah ketat, bahkan tak jarang sam-1574– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pai menggunakan kekerasan.Wilayah mereka sudahPluralisme, dari segi negara,adalah kebijakan publik yangdibagi-bagi, kalau ada tukangojek yang beroperasimemungkinkan seorang individu ataukelompok dapat mengekspresikandi daerah yang bukan bagiannya,tak jarang diselesa-kepentingan dan kebutuhannyauntuk berkembang. Pluralismeikan dengan kekerasan. Dihendaknya didukung dan dilengkapimasa reformasi ini, penyelesaianuntuk berbagai kasus sosial yang tidak menyingkirkandengan adanya perangkatperangkatmemang tampak lebih hatihati,meski tetap memin-sebaliknya, berusaha seakomokdatifkelompok-kelompok tertentu, justru,ta korban yang tak sedikit. dan sesensitif mungkin terhadapDari seluruh kondisi tersebut,kebanyakan korbannya marginalized, dan lebih lemah.kelompok-kelompok yang lebih kecil,adalah kelompok Tionghoa.Ketakutan dan rasa tak aman yang selalu menghinggapi para keturunanTionghoa muncul di samping karena negara yang tidakkuat, kadang juga datang dari etnis lain yang secara kuantitas memilikijumlah lebih, bahkan mayoritas.Jargon-jargon keislaman yang dibawa oleh aliran fundamentalispun tak kalah memberi sumbangan yang menakutkan. Akhirnya,meski di tingkat nasional keturunan Tionghoa sudah mendapatkeamanan dan pengakuan, namun di tingkat masyarakat merekaharus berbaik-baik dan mengambil hati masyarakat pribumi disekitarnya. Apakah mereka tidak merasa tertekan dengan situasiitu? Tampaknya ya. Mereka harus terus memasang kuping untukmenjaga keseimbangan posisinya. Kalau berbicara harus berputarputarterlebih dahulu agar tidak menyinggung perasaan yang laindan akhirnya malah kehilangan inti pembicaraannya. Dari sini kitaMeuthia Ganie-Rochman – 1575


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bisa mengatakan bahwa masyarakat sedang berjuang mencari keseimbangannyasendiri tentang bagaimana menyelesaikan persoalanpersoalanbersama. Sayangnya, kemampuan untuk hal itu sendiriagak terganggu karena kapasitas negara yang masih lemah, ekonomiyang terus terpuruk, dan kekacauan institusional seperti persoalanhukum dan sebagainya yang sama sekali belum kondusif.Di tengah kondisi aparat dan institusi-institusi yang seharusnya menjamindan melindungi civil rights dan civil liberties negeri ini belummaksimal, bagaimana Anda mengidentifikasi persoalan ini?Institusi negara tidak bisa memberikan perlindungan disebabkanoleh banyak faktor. Sekarang ini, institusi-institusi pemerintahberada dalam situasi tanpa kepemimpinan. Kedisiplinan untukmelakakukan sesuatu, seperti menjalankan sebuah program kerjasampai tuntas dengan berbagai aspeknya jarang terlaksana, kalaubukan malah tak ada. Betapa rendah pengelolaan komitmen yangmereka miliki. Di negara kita, pembagian dana bantuan kepadaorang miskin ada, tetapi sesuatu yang lebih bersifat penyelesaianinstitusional, yang sejatinya lebih esensial, tidak berhasil. Tanganpemerintah atau birokrasi jumlahnya sangat banyak dan idealnyaantara satu dan yang lainnya memiliki hubungan. Tidak bisa semuanyahanya membuat persetujuan di tingkat atas, melainkanharus mampu mengelola ke tingkat bawah. Sampai setelah reformasiini, seolah tidak kita temukan pemimpin yang mau dan seriusbergerak ke bawah. Program nasional biasanya berjalan, tetapitidak ada yang sampai menggerakkan ke bawah.Oleh karena itu tidak mengherankan kalau, misalnya, tujuanuntuk melindungi hak-hak sipil, seperti bebas dari rasa takut,1576– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–memberi jaminan hukum, dan lain sebagainya tidak tertanganidengan baik. Aparat hukum reformis yang mau membicarakanmasalah penegakan hukum secara lebih ideal harus bertempur dalamlautan kepentingan yang berbeda. Bukan hanya karena paralawan yang anti-reformis itu lebih kuat, tetapi juga karena institusinyatelah terkotak-kotak menurut kepentingan-kepentingan yangbanyak. Itu pasti lebih susah daripada bertempur melawan satu,dua atau tiga orang. Ada beberapa contoh dari para presiden kitayang telah mengambil beberapa menteri yang cukup idealis, tapikemudian tersia-siakan begitu saja karena ternyata bukan hanya ituyang dibutuhkan. Yang lebih dibutuhkan adalah bagaimana mengubahkultur institusi. Menteri yang bisa berbuat seperti itu sampaisekarang, menurut saya,belum ada. Kalaupun ada Multikulturalisme adalah indukbaru sebatas kejujuran yang berbagai kultur dalam suatudimilikinya, tapi tak berhasil masyarakat yang satu sama lainmelakukan perubahan. Anda bisa hidup dengan damai danlihat sekarang, pembaharuan tenang. Dalam kenyataan hidupkepolisian dan perlindungan bersama harus selalu ada apa yangterhadap rakyat kecil sangat dinamakan aspek bersama.lambat terselesaikan.Menurut Anda jalan keluar seperti apakah yang dapat mencairkanhubungan negara dan civil society serta harmonisnya relasi antaranggotamasyarakat agar liberalisme yang berprinsip pada penghargaanterhadap civil rights dan civil liberties dapat terwujud?Kelompok masyarakat seperti organisasi keagamaan, LSM, atauorganisasi mahasiswa, harusnya sudah mulai berpikir untuk mem-Meuthia Ganie-Rochman – 1577


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–perbanyak dan mendiseminasikan pandangan tentang hak dan kewajiban,bukan hanya menjalankan program kerja yang telah ada.Memperbaiki masyarakat, baik tentang penanaman nilai-nilai pluralismemaupun penjaminan hak-hak sipil, selalu membutuhkankedisiplinan sosial yang tinggi. Masalah sekarang sebenarnya terutamatidak terkait dengan adanya kelompok yang tujuan pokoknyamencederai pluralitas, tetapi lebih karena mereka “sembarangan”dan tidak peduli satu sama lain. Belum ada kesadaran yang memadaiuntuk dapat hidup bersama dengan baik dan tenteram; belummuncul teladan dari para penegaknya; tidak terumuskannya caracaraideal untuk penyebaran dan pengembangan kegiatan seharihari,dari RT, desa/kelurahan dan seterusnya. Kegiatan yang dapatmembangun kondisi seperti itu bisa dimulai dari kegiatan-kegiataninformal seperti obrolan tentang kepentingan untuk jaminan kehidupanbersama dalam sebuah acara kemasyarakatan, keagamaan,seni, bahkan olahraga. Dari situlah pembentukan peraturan bersamaakan lebih mudah dihasilkan dan mungkin akan lebih ringanuntuk dipraktikkan.Sayangnya, dalam konteks masyarakat kita, belum ada institusiyang bisa membahas atau menerjemahkan model pembentukanaturan sebagaimana disebutkan di atas dalam kehidupan sehari-hari,seperti sekolah atau bahkan pengajian. Kita ambil satu contoh:adanya kelompok masyarakat tertentu di daerah urban pinggiranyang memberi pinjaman uang secara informal atau lebih dikenalsebagai “rentenir”, sehingga seringkali memberatkan masyarakat.Institusi peminjaman uang yang demikian itu terlahir karena masyarakattidak mempunyai jalan lain. Negara sampai saat ini belumberhasil menciptakan kesejahteraan. Kalaupun negara mencobamemberikan fasilitas kredit, prosesnya tidak mudah. Sedang ren-1578– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tenir menjawab kebutuhan mendesak orang miskin meski denganbunga yang sangat tinggi. Jadi, persoalan kita lebih pada ketiadaaninstitusi publik yang baik. Persoalan lain, kita tidak punya kapasitaspengetahuan kehidupan sehari-hari tentang bagaimana satusama lain bisa membantu untuk semakin produktif dan bisa mengeluarkansesuatu yang lebih baik.Wajah publik agama selalu paradoks. Di satu sisi agama menjadi semangatbagi umat untuk berbuat kebajikan dan menciptakan perdamaian,tetapi pada sisi lainnya ia tidak jarang menjadi pemicu konflik.Bagaimana Anda melihat peran dan fungsi agama dalam kehidupanpublik, terutama untukkonteks keindonesiaan?Menurut saya, multikulturalismeadalah hasil lebih jauh dariSebenarnya di masyarakatkita masih sangat ter-hidup dalam kultur yang beragam,pluralisme. Dia sudah mempraktikkanbatas organisasi keagamaan saling berinteraksi, satu sama laindan kemasyarakatan yang seraya tetap diimbangi denganbisa menghasilkan metode sesuatu yang bersifat kolektif.pengorganisasian atau kerjayang diakui dan bisa dicontoh oleh masyarakat lain. Organisasikeagamaan seharusnya bisa menjadi cermin kultural. Kalau Andahendak mengelola sekolah dengan baik, maka kita bisa sekaligusbelajar dari sana tentang pengorganisasian atau pengelolaan resource-nya.Namun demikian ada saja organisasi yang memang tidakcukup meyakinkan bahwa dia akan bisa menghasilkan sesuatu yangbagus. Kalau pengelolaan resource dijalankan dengan baik maka tidakmenutup kemungkinan di kemudian hari akan bisa terwujudsesuatu yang lebih baik. Misalnya, isi pendidikan yang lebih baik,Meuthia Ganie-Rochman – 1579


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mutu guru yang juga lebih baik, belajar bahasa asing yang lebihbagus, dan lain sebagainya.Kalau ada suatu kelompok yang telah menghasilkan sesuatuyang lebih baik untuk masyarakat, kenapa kelompk lain tidak kemudianmencoba mengadopsinya? Hal lain, di luar pendidikan,yang bisa dikembangkan adalah teknologi sederhana pertanian,teknologi pedesaan, seperti listrik desa, yang sangat vital dalamupaya pembangunan ekonomi secara lebih besar. Sebetulnya denganbisa memasukkan dan menghasilkan substansi di dalam masyarakatmaka dengan sendirinya akan terjadi kestabilan dan berbagaisinyal-sinyal positif lain antara satu sama lain. Kelompokkelompokagama sebenarnya punya basis untuk itu. Kelompokini mempunyai keterikatan kultural, hubungan, hirarki, yang bisamenghasilkan sesuatu yang tidak sekadar kata-kata, melainkan bisaberupa metode atau bahkan teknologi, meski berasal dari hal yangsangat sederhana.Berangkat dari problem kemajemukan bangsa ini, adalah relevanuntuk mendesakkan pluralisme demi terciptanya kebersamaan dalamkeberbagaian. Dalam pandangan Anda, apa yang dimaksud denganpluralisme?Pluralisme, dari segi negara, adalah kebijakan publik yangmemungkinkan seorang individu atau kelompok dapat mengekspresikankepentingan dan kebutuhannya untuk berkembang.Pluralisme hendaknya didukung dan dilengkapi dengan adanyaperangkat-perangkat sosial yang tidak menyingkirkan kelompokkelompoktertentu, justru, sebaliknya, berusaha seakomokdatifdan sesensitif mungkin terhadap kelompok-kelompok yang lebih1580– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kecil, marginalized, dan lebih lemah. Memang definisi seperti iniakan bisa terus berubah, tetapi pluralisme akan selalu berusahamenjadi akomodatif untuk berbagai kepentingan. Minimal, setiapargumen yang diajukan masing-masing kelompok didengar danditerima. Bahwa nantinya apa yang diinginkan oleh kelompok itutidak bisa direalisasikan, itu tidak masalah. Yang terpenting hakmereka untuk berargumen sudah diterima tanpa dibedakan denganargumen-argumen lainnya. Untuk mewujudkan kondisi seperti itudibutuhkan suatu negara yang rasional dan capable dan masyarakatpolitik yang juga capable. Negara tidak hanya membicarakansambil lalu dalam melontarkan prinsip kebersamaan, tetapi jugamengetahui proses eksklusi atau marginalisasi yang terjadi di dalammasyarakat, sehingga tercipta rumusan yang lebih tepat dandapat diterima bersama.Banyak orang cenderung mengartikan pluralisme dalam kaitannyadengan agama, meski sebenarnya ia mencakup hal yang lebih luas,termasuk etnisitas. Dalam hal ini, apakah menurut Anda ada perbedaanantara pluralisme dan multikulturalisme itu?Multikulturalisme adalah induk berbagai kultur dalam suatumasyarakat yang satu sama lain bisa hidup dengan damai dan tenang.Dalam kenyataan hidup bersama harus selalu ada apa yangdinamakan aspek bersama. Ilmuwan atau para perancang sosialselalu menghadapi dilema: sejauh mana multikulturalisme bisamenghasilkan suatu kerekatan? Dan dengan institusi macam apakerekatan bisa tetap terjaga dan menghasilkan trust, collective action,collective aspiration di tengah kelompok masyarakat yang hidupdengan simbol-simbol kulturalnya masing-masing?Meuthia Ganie-Rochman – 1581


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut saya, multikulturalisme adalah hasil lebih jauh daripluralisme. Dia sudah mempraktikkan hidup dalam kultur yangberagam, saling berinteraksi satu sama lain seraya tetap diimbangidengan sesuatu yang bersifat kolektif. Masing-masing kelompokakan berusaha mencari jalan untuk bisa berkomunikasi dengankelompok lain dalam upaya memperluas kepentingannya sendiri.Secara natural, yang menang akan berusaha membuat jembatanpenghubung untuk berbagai hal. Inilah proses masyarakat yangmatang. Akan keluar orang-orang terbaik dari suatu kelompokyang harus bisa membuat jembatan dan bernegosiasi dengan kelompoklain. Kalau hal seperti ini sudah secara sehat dijalankanmaka kelompok yang maju akan jadi lebih banyak.Etnisitas kerap menjadi biang konflik. Pada masa Orde Baru (Orba),konsep SARA yang diajukan ternyata bukannya menyatukan malahmencerai-beraikan – karena menciptakan segregasi. Lantas konsepseperti apa yang bisa diajukan untuk mengelola keragaman etnis negeriini?Jawabannya: establishing the institution. Institusi yang jelas danbersih. Sayangnya sekarang kita belum bisa mencari yang ideal.Kita masih harus menentukan institusi dan birokrasi seperti apayang hendak dibuat untuk megelolanya. Birokrasi yang menanganikebutuhan publik, seperti sekolah, kini harus terbuka. Kita bisamenerangkan secara publik bahwa kenapa kita bikin A bukan B,dan seterusnya. Pada proses semacam inilah akan terjadi rasionalisasisosial. Pemerintah harusnya memiliki keterbukaan dan akuntabilitas.Semua bentuk pelayanan harus benar-benar jelas. Segalanya sejakawal diterangkan dan benar-benar dilaksanakan bahwa, misalnya,1582– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kalau mau membuat KTP akan membutuhkan waktu sekian lamadengan pembayaran sekian rupiah, dan lain-lainnya. Di Jerman,yang saya ketahui, setiap institusi menjalankan prinsip demokrasi.Kita mau membuat apa, caranya bagaimana, dan tujuannya apasudah jelas. Tidak ada dominasi minimum. Setelah makin kuatdan matang, dengan resource yang lebih banyak, maka akan bisamengakomodasi ruang yang lebih luas. Sistem semakin diperbaikidan kematangan institusional lainnya akan tercipta. Setelah institusiestablished, barulah kita bicara mengenai kepentingan kelompok,etnisitas dan sebagainya.Menurut Anda, yang paling mungkin untuk lebih diharapkan gunamewujudkan semua itu apakah negara atau civil society?Dalam kondisi Indonesia, negara harus memimpin prosesnyakarena suka atau tidak, dia lebih mampu. Mengapa demikian? Karenabirokrasi pelayanan publik seperti pelayanan KTP, kalau tidakditangani dengan baik, bisa menciptakan masyarakat yang acuh takacuh. Kita bisa kesal dengan praktik yang bertele-tele. Kalau sistemnyajelas, setiap orang akan dengan enak dan senang mengurusdan berpartisipasi. Jadi yang harus dipenuhi oleh institusi-institusiyang berhubungan dengan hajat publik itu adalah kejelasan hakdan definisi tanggung jawab. Jika demikian maka tidak akan adaorang yang mempermasalahkan kalau harus ada uang, karena resourceyang pantas untuk mengurusi dan melakukan sesuatu.Sedangkan untuk masyarakatnya, perbaikilah kapasitas organisasimasing-masing. Satu hal yang saya lihat dari sekolah-sekolahKristen di Indonesia Timur adalah ajaran tentang cinta dan penghargaanterhadap apapun pekerjaan kita. Pengelola perpustakaan,guru dan sebagainya begitu berdedikasi dengan pekerjaannya masing-masing.Meuthia Ganie-Rochman – 1583


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Apakah kemunculan partai-partai agama di negeri kita akan menjadiberkah demi perayaan dan jaminan pluralitas, atau malah sebaliknya,hanya membuat sekat-sekat baru?Menurut saya, mula-mula memang akan tercipta sekat. Tapidi beberapa daerah, calon yang membawa jargon agama ternyatamalah kalah, karena banyak orang yang mulai kritis akan kebenarandan kesungguhan perjuangannya. Partai Keadilan Sejahtera(PKS), misalnya, hal bagus dari mereka adalah kemampuannyauntuk membangun organisasi masyarakat, seperti ekonomi dansebagainya. Sedangkan citra bersih yang coba dibangunnya, meskidalam beberapa hal justru banyak yang mulai sangsi dan menyatakanbahwa PKS tidak berbeda dengan partai-partai lain, samasamamelempem. Belum lagi masalah dukungan dan afirmasi merekaterhadap soal poligami. Persoalan-persoalan seperti itu tidakbisa disalahkan pada Islamnya. Fakta bahwa banyak partai yangberlatar Islam bertindak seperti itu, pada hemat saya, bukan karenaIslamnya. Tetapi lebih dikarenakan institusi, pelaku, dan carakerja yang dijalankannya.Dalam pandangan Anda, akan seperti apakah wajah pluralisme Indonesiake depan?Menurut saya, kondisi kita yang sekarang, malah belum memberikankejelasan tanda akan menuju ke arah mana dan akan membuatmasyarakat kita seperti apa nantinya, termasuk juga institusinegara. Kita sangat ketinggalan dibanding dengan negara-negaralain, mulai dari pendidikan sampai birokrasinya. Pembahasan tentangpendidikan macam apa yang sebenarnya dibutuhkan untukIndonesia saja belum pernah dirumuskan dengan sistematis. Jauh1584– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lebih rumit lagi apabila mewujudkan sebuah institusi dengan birokrasiyang capable.Saya melihat pluralisme adalah persoalan nomor dua yangakan menjadi sampingan dari masalah masyarakat kita yang samasekali tidak produktif dan tidak tahu untuk melakukan sesuatu.Masyarakat tidak cukup hanya asal bertahan hidup dan mencarijalan sendiri-sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Disamping itu, di antara mereka juga akan menghasilkan cara yangbermacam-macam, dengan, tentu saja, kemungkinan kesalahan yangjuga tidak sedikit. Namun, yang dikhawatirkan dari kondisi masyarakatyang berat itu adalah malah semakin menciptakan situasiyang sama sekali tidak kondusif, keadaan ekonomi makin buruk,konflik akan mudah pecah, dan lain-lain. Itu sangat mungkin terjadi.Selama ini masyarakat masih bertahan berdasarkan kemampuannyauntuk saling menjaga keberlangsungan kehidupan bersamanya,sehingga tidak pernah terjadi konflik, tetapi tetap belumbisa menjadi masyarakat produktif, yang bisa mengelola sesuatumenjadi lebih baik.Wawancara dilakukan di Depok, 02 Agustus 2007Meuthia Ganie-Rochman – 1585


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganMoch. Qasim MatharMoch. Qasim Mathar, Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)Alauddin Makassar. Ia memperoleh gelar master dan doktornyadari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.1586


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Adalah salah menganggap kepemimpinan Nabi Muhammadsebagai bentuk teokrasi. Pada dasarnya Nabi membuat tatananmasyarakat yang sekular. Jadi tidak ada di dunia ini tipe idealpemerintahan teokratis yang dapat dijadikan acuan umat Islamuntuk mendirikan khilâfah. Karena itu liberalisme bukan satuhal yang perlu ditakuti. Justru semakin seseorang liberal danpluralis, maka semakin luas perspektif hidupnya, tidak sempit carapandangnya. Padahal, model keberagamaaan yang diyakini olehkebanyakan masyarakat Indonesia, yang gemar menyakralkan banyakhal, sulit untuk mendorong lingkungannya menjadi dewasadan maju. Kalau seseorang mempunyai pemahaman sampai padatingkat tauhid yang sejati, maka terhadap selain Tuhan hendaknyaia menyekularkan semuanya dan menyikapinya sebagai sesuatuyang murni duniawi.Moch. Qasim Mathar – 1587


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisme merupakan salah satu gagasan yang diharamkan MUI(Majelis Ulama Indonesia), di samping juga pluralisme dan liberalisme.Bagaimana pandangan Anda perihal gagasan sekularisme?Saya tidak hendak menjelaskan apa yang sudah banyak dijelaskanoleh banyak ahli ihwal sekularisme dari segi kata. Saya akanlangsung memaparkan persoalan sekularisme yang bagi umat Islamsendiri semestinya dipahami sebagai upaya memisahkan secara tegasaspek-aspek agama dari soal-soal keduniaan. Agama sudah tidaklagi berusaha mengurusi dunia, sebaliknya dunia dibiarkan berjalansendiri. Sebab, menurut saya, sekularisme merupakan semangatyang tidak lagi mengintegrasikan apa yang semestinya menjadi wilayahyang duniawi dengan yang ukhrawi.Sehingga, tiba pada kesimpulan di mana seharusnya, sekarangini, semangat dan praktik yang termanifestasi dalam orientasiperguruan tinggi seperti perubahan dari IAIN menjadi UIN(Universitas Islam Negeri), mestinya dijadikan sebagai titik tolakuntuk mengubah institusi pendidikan yang benar-benar sekular.Karena, upaya pengintegrasian dalam bidang ilmu pengetahuansudah dicoba sejak dahulu, dengan masa yang teramat panjang.Yakni, ketika umat Islam menghadapi dualisme yang sangat dikotomisantara ilmu agama dan ilmu umum. Dari situlah lantastimbul pemikir-pemikir pendidikan dan cendekiawan di perguruantinggi yang berikhtiar bagaimana mengintegrasikan keduanya.Maka, di Indonesia lahirlah Unisba (Universitas Islam Bandung),UII (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta), Unisma (UniversitasIslam Malang), UMI (Universitas Muslim Indonesia, Makassar)atau kemudian juga muncul berbagai universitas Muhammadiyahtermasuk juga Nahdlatul Ulama dan seterusnya.1588– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut saya apa yang mereka lakukan hanyalah usaha menyatuatapkanfakultas agama dengan fakultas umum menjadi satukampus. Tetapi, dengan cara seperti itu, substansi yang merekainginkan tidak tercapai. Hal ini masih terlihat hingga hari ini dimana UIN Alauddin Makassar, misalnya, terdiri dari 5 fakultasagama yang masing-masing fokus pada ilmu-ilmu agama. Namunmenurut pengamatan saya kelima fakultas tersebut pada praktiknyasekular. Sebab kelima fakultasyang sejak awal mempelajarimasing-masing bidang merupakan semangat yang tidakMenurut saya, sekularismeagama sampai sekarang tidak lagi mengintegrasikan apa yangbisa mencantolkan atau mengintegrasikandirinya dengan duniawi dengan yang ukhrawi.semestinya menjadi wilayahaspek-aspek keilmuan umum.Meskipun kita bisa saja melahirkan sarjana-sarjana agama sampaidokter dari fakultas atau perguruan tinggi di bidang agama – atausekarang juga kita (UIN Makassar) membikin Fakultas Sains danTeknologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat dan seterusnya, yangsebenarnya semua itu sama saja dengan yang ada di universitasumum – namun demikian tujuan dari ide pengintegrasian tidakakan pernah tercapai. Terlebih jika kita mengacu pada usaha yangpernah dilakukan, di mana ilmu-ilmu keislaman di masa klasik yangsebenarnya dapat integral, di antara kedua bidang itu (agama danumum), namun sebaliknya apa yang telah kita lakukan di sini samasekali belum kelihatan. Jadi, sebenarnya UIN Ciputat, Yogyakarta,Makasar dan lainnya, pada hemat saya, masih terus bergumul danbelum menemukan tanda-tanda ke arah integrasi yang diidealkan.Sehingga kita masih bisa memberi kesimpulan baik fakultas aga-Moch. Qasim Mathar – 1589


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ma atau fakultas umum yang ada atau yang tengah dicoba untukdipadukan, pada praktiknya, masing-masing sekular.Apa pandangan Anda perihal sekularisme dalam konteks hubungannegara dengan agama?Saya pernah jalan-jalan ke Turki. Dan seperti pada umumnyaorang Islam Indonesia, saya menganggap Islam di Turki itu sekular.Setelah dari sana, tumbuh kecenderungan hati saya agar Indonesiaseperti itu. Karena, ternyata, di Turki agama lebih terurus daripadadi Indonesia. Meskipun secara politik negara (Turki) menegaskantidak mengurus agama (sekular), tetapi dalam implementasinyasangat religius. Ketika kami beraudiensi dengan sebuah majelis,seperti majelis ulamanya, meskipun saya memandang majelis tersebuttidak bisa dibandingkan dengan Majelis Ulama Indonesia,baik tata cara berpikir para pengurusnya demikian juga tata caramereka menerima tamu. Penjelasan mereka tentang posisi agamaitulah yang mendorong saya kemudian ingin mengatakan: mungkinlebih bagus posisi agama seperti itu, di mana negara tidak berusahamencampuri agama, tetapi, praktik sebenarnya, di antaranyaseperti ada tali yang terhubung dari negara kepada agama. Karenamemang tersedia dana dari negara yang diperuntukkan bagi lembaga-lembagakeagamaan.Praktik semacam itu mirip dengan apa yang terjadi di KualaLumpur (Malaysia). Meskipun, memang, Malaysia menempatkanIslam sebagai agama resmi negara, sehingga ada jalur di mana negaramisalnya memberi gaji kepada imam besar di Kuala Lumpur.Namun demikian, semua hal yang sudah saya uraikan itu tidakakan kita temukan di negara Indonesia yang dianggap sangat reli-1590– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–gius, sangat islami. Apabila mencoba untuk membandingkan Malaysiadan Turki dengan negara kita, maka saya lebih suka kepadadua negara tersebut dalam hal pengurusan Islam yang proporsional.Karena itu, dalam kenyataannya negara kita justru tidak pernahkelihatan benar-benar sekular. Karena dalam praktiknya pemerintahankita tidak sekular. Misalnya,di Turki juga ada fakultasteologi yang ditangani disekularkan, tanpa terkecuali.Saya lebih suka hal-hal di luar Tuhanoleh umat Islam (swasta) –dan di sana universitas negeri juga mempunyai fakultas yang sama– yang lantas fakultas teologi tersebut mengambil bentuk-bentukkompromi dengan politik kebijakan negara menyangkut persoalanagama. Bagimanapun, kita ketahui juga, fakultas-fakultas seperti itukemudian menjadi tempat lahirnya pemikir-pemikir Muslim Turkiyang tidak kurang baik dari intelektual Muslim Indonesia.Setujukah Anda dengan penolakan banyak orang terhadap sekularismeyang, salah satunya, dianggap berbahaya bagi agama lantaran menyebabkanperan dan fungsi agama menjadi semakin tersisih dalamkehidupan sehari-hari?Ketika Nurcholish Madjid, waktu itu masih ketua HMI, mencobamewacanakan sekularisasi, sebenarnya makna dari gagasanini adalah bagaimana kita menduniakan hal-hal yang duniawi danmenyikapinya apa adanya. Yakni bagaimana ketika kita menyikapibenda-benda tidak lantas berpikir dan menganggap bahwadi dalamnya terdapat aspek-aspek yang sakral dari benda-bendatersebut. Kalau seseorang mempunyai pemahaman sampai padatingkat tauhid (perihal keyakinan akan keesaan kekuasaan Tuhan)Moch. Qasim Mathar – 1591


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang benar-benar sejati, maka berpandangan bahwa yang sakral hanyaTuhan. Atau, dengan pengertian selain Tuhan tidak ada yangsakral. Sehingga, apabila kita berkeyakinan seperti itu, maka akanmensekularkan segala sesuatu yang selain Tuhan dan menyikapinyasebagai sesuatu yang murni duniawi. Menurut saya keyakinan ituharus ditanamkan secara konsisten.Misalnya, tidak ada bedanya antara toilet di masjid denganmihrâb, tempat orang beribadah dan para elit masjid berkumpul.Sebab, keduanya adalah hal yang material, duniawi. Tidak bolehdalam benak kita muncul perasaan bahwa mihrâb, lantaran beradadi dalam masjid, lantas dianggap sakral. Sebab, bisa jadi, mihrâbjuga digunakan sebagai tempat berbohongnya para elit masjid. Dimihrâb itu, misalnya, orang bisa menghitung uang celengan/sumbanganmasjid, tetapi sekaligus di situ jugalah dia memanipulasiuang celengan atau kotak amal masjid – justru bukan di toilet.Maka, baik terhadap toilet yang memang tempat orang membuangkotoran ataupun mihrâb, hendaknya kita menganggap keduanyasebagai hal-hal yang duniawi. Demikian itulah sikap sekular.Celakanya, karena kita terlampau terpengaruh pada hal-halyang semakin banyak dianggap sakral, sehingga kita tidak dapatmengkritisi hal-hal yang seharusnya memang demikian adanya,profan semata. Di antara kita banyak yang terlanjur menganggapbahwa di lingkungan masjid tidak akan terjadi hal-hal yang manusiawiatau duniawi, dan selamanya sakral. Padahal, hal-hal yangmanusiawi seperti memanipulasi sumbangan dari kotak amal masjiddan sebagainya adalah sesuatu yang tidak mustahil terjadi di dalammasjid. Kita harus melihat hal-hal seperti itu secara sekular, sebagaimanakamar di rumah saya, mungkin fungsinya sebagai tempattidur dan sekali-kali untuk bersembahyang. Mungkin kamar saya1592– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lebih “bersih” dari mihrâbKalau kita memahami betulmasjid, karena bisa saja disemangatnya, maka liberalismemihrâb setiap jumat uang celengandi manipulasi orang,bukan satu hal yang perlu ditakuti.Karena liberalisme merupakankarena uang kotak amal itusatu pandangan yang inginkebetulan dihitung di mihrâboleh pengurus masjid. sesungguhnya, dengan hak danmemperlihatkan posisi manusia yangWalaupun ada pengumumantransparan, tetapi dari re-Sehingga tidak ada pilihan lain kecualikebebasannya, dalam kehidupan ini.cehan-recehan yang ada kita manusia harus mempunyai posisitidak pernah tahu apakah yang merdeka untuk menghindariterhitung setiap hari Jumat kehidupan yang sulit dan tertindas.atau setiap harinya. Untukitulah, saya lebih suka hal-hal di luar Tuhan disekularkan, tanpaterkecuali.Kalau untuk konteks Indonesia mutakhir, apakah dalam praktiknyanegara kita – kendatipun konstitusinya tidak mendasarkan pada agamasekaligus juga tidak sekular – sudah berada pada jalur sekularatau belum?Negara kita tidak sekular dalam arti sesungguhnya, dalam artiyang akademik. Sebab, dalam kehidupan sehari-hari, setiap sesuatuyang hendak kita sekularkan justru dilingkupi oleh hal-hal yangsebenarnya tidak sekular. Ada kehidupan hantu di TV, ada ceritaceritayang dianggap mewakili sebuah siaran yang bernuansa islami,dengan menonjolkan simbol-simbol Islam – meskipun, menurutsaya, sebenarnya tidak (islami), lantaran sama sekali tidak ada legitimasinyadalam ayat al-Quran. Kehidupan beragama orang-orangMoch. Qasim Mathar – 1593


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Indonesia jauh lebih parah dan memprihatinkannya daripada negara-negaralainnya seperti Malaysia atau, yang kita anggap sekular,seperti Turki. Orang Indonesia sering mengkritik bagaimana orangMelayu, dalam hal ini Malaysia, memberikan restu atas berdirinyahighland, “Cameron Highland Resort”, sebuah tempat di Pahang,bagi orang-orang untuk bermain kasino (judi), dan fasilitas lainnyayang oleh agama Islam dianggap maksiat, dengan kompleks yangsangat luas. Namun, jika dicermati lebih jauh, yakni manakalapara pemuka Islam di Kuala Lumpur kita tanya, misalnya: “Andamerupakan orang melayu yang identik dengan Islam dan negaraAnda adalah negara Islam. Lantas, kenapa Anda sebagai ulama bisamenerima berdirinya kompleks seperti itu?” Mereka tidak berpikirpanjang, bahkan segera menjawab bahwa, “Dahulu kami sangatkesulitan dan tidak bisa mengontrol kejahatan atau tindak maksiatyang dapat menyebar di segala tempat, tetapi dengan adanyatempat seperti itu kami justru bisa lebih mudah mengontrol danmelokalisirnya, sehingga kemungkaran seperti itu bisa dikalkulasikarena ada tempatnya tersendiri.” Dengan pengertian lain dalammengatasi kemungkaran seperti itu dibutuhkan manajementersendiri. Sementara, di negara kita tidak ada treatment khususyang lebih menata kegiatan maksiat dengan baik, sehingga negaradapat memanajemen kemungkaran dan kebaikan dengan teratur.Pasalnya, semuanya, di negara ini, tidak jelas.Penolakan terhadap sekularisme muncul bukan semata karena pahamini bisa melemahkan agama, tetapi juga, yang lebih mendasar lagi(menurut para penentangnya), bertentangan dengan agama. Menurut1594– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Anda, adakah landasan teologis bagi sekularisme sehingga paham inimendesak untuk diterapkan di negara ini?Secara teologis, sekularisme merupakan suatu keharusan. Ketikakita berikrar dan memberikan kesaksian: Lâ ilâha illâ Allâh,maka, sebagaimana yang sudah saya ungkapkan sebelumnya, selainTuhan tidak lain saeculum, kekinian – dan ke-di sini-an, imanen.Di luar Zat Tuhan adalah segala hal yang duniawi, profan. Yakni,selain Tuhan, yang transenden,itu alam semesta, yang Kalau kita kembali ke fatwaimanen. Demikianlah yang Majelis Ulama Indonesia yangdi antaranya dapat dijadikanlandasan teologis bagi sebenarnya MUI keliru memahamimengharamkan pluralisme,sekularisme. Sementara itu, pluralisme. Karena MUI terlalukehidupan bernegara di negeriini masih sangat jauh bahwa orang yang pluralis akancepat memberikan kesimpulandari pandangan yang dapat berpandangan semua agama sama.memisahkan secara tegas antaraeksisitensi Tuhan yangJadi, menurut saya pemahaman MUIseperti itu salah. Sebab pluralismetidak begitu. Justru orang Pluralissakral dengan eksistensi dimenganggap semua agamaluarnya yang semata duniawiberbeda. Penjelasan yang dilakukandan profan. Sehingga, lantaranpraktik sekularisme tidakMUI terhadap pluralisme tidakberdasarkan ensiklopedi. Orangberjalan, dapat kita lihat kehidupankaum Muslimin di mentoleransi atau merasa tidakyang pluralis akan membiarkan danIndonesia sama sekali di luar terganggu terhadap setiap hal yangdari standar tauhid yang benar.Akibatnya, banyak terja-– apakah itu agama, cara pandang,berbeda dan bermacam-macamdi hal-hal yang kita keluhkan keyakinan dan sebagainya.bersama, seperti korupsi danMoch. Qasim Mathar – 1595


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tindakan melawan hukum lainnya. Celakanya, mereka seolah berpandanganbahwa tindakan-tindakan semacam itu sebagai sesuatuyang tidak berkaitan dengan keyakinan agama dan merupakansuatu perbuatan yang tidak harus dipertanggungjawabkan kepadaTuhan, tidak saja kepada masyarakat. Di sinilah tindakan melanggarhukum oleh mereka kemudian menjadi hal yang sekular dantidak ada hubungannya dengan ajaran agama. Artinya, tidak adakorelasi antara sembahyang mereka dengan perilaku di kantor yangmelanggar aturan hukum positif (sekular). Mereka mensekularkansemua itu; sekular dalam arti yang negatif.Padahal kalau berangkat dari pandangan teologis dan ketauhidanyang benar, tindakan melawan hukum seperti itu sama sekalitidak dibenarkan. Di sinilah pemahaman sekularisme yang semestinyaharus terus didesakkan. Sungguhpun demikian, ulama-ulamakita, terutama ulama fikih, belum sampai berani untuk mengatakan:bila Anda melakukan korupsi berarti sembahyang Anda tidaksah. Di sinilah kita dapat memahami, kenapa lantas para koruptortidak pernah menghubungkan tindakan melawan hukum merekadengan ibadah sembahyangnya. Sebab, sejak dulu, waktu mengajiagama dan sekolah, kita diajarkan bahwa sembahyang akan sahkalau Anda memenuhi syarat dan rukunnya. Saya ingat pelajaranyang saya dapatkan dulu, misalnya, wudlu Anda sah kalau memenuhisyarat dan rukunnya. Demikian juga ibadah lainnya, sepertisalat, puasa dan lainnya. Akibatnya, ibadah salat, puasa, haji dansebagainya menjadi sesuatu yang terpisah dari perbuatan kita yangberhubungan dengan kehidupan sosial kita. Pemahaman agamakita, terutama juga para ulama kita, belum sampai membuat fikihyang dengan tegas menyatakan bahwa ibadah-ibadah kita itutidaklah sah kalau apa yang menjadi ketentuan dalam al-Quran1596– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tentang keharusan berbuat baik dan tidak berlaku zalim terhadapsesama, seperti korupsi yang merugikan negara atau masyarakatbanyak, kita langgar.Idealnya para ulama fikih kita menekankan dan mendasarkandiri pada al-Quran yang dengan tegas mengaitakan antara sembahyangdengan sikap sosial, kemudian mereka menyatakan bahwasah tidaknya ibadah seseorang juga tergantung dengan prilakusosialnya. Persoalannya, tidak ada dalam hukum fikih yang beranidan tegas menyatakan kalau Anda tidak bersikap sosial, makasahnya sembahyang Anda dipertanyakandan menjadi persoalan.Mestinya pemaham-seseorang pluralis danMenurut hemat saya, semakinan keberagamaan kita sudah berpandangan liberal, maka hidupsampai seperti itu.ini semakin luas perspektifnya.Tetapi kalau tidak liberal dan pluralis,maka jadi sempit cara pandangMenurut Anda mengapa keberagamaankita sampai pada memilih. Dan, secara teologis, hal ituseseorang. Dia semakin sulit untukpemahaman yang cenderungdidukung oleh al-Quran.memisahkan perilaku sosial,demikianpun ulama-ulama fikih cenderung ritualistik dan siar keberagamaannyatidak berorientasi transformasi sosial? Padahal bagiAnda model keberagamaan seperti ini menjadi persoalan yang akutdalam kehidupan bersama.Menurut pandangan saya, pemahaman agama yang kita terimabukanlah Islam yang langsung dari masa “klasik”. Celakanya,Islam masa klasik yang kita ketahui justru menjadi bahan kurikulumpelajaran di sekolah-sekolah tinggi S2 dan S3. SementaraIslam yang diajarkan sekarang ini – dan karena itu sekaligus jugaMoch. Qasim Mathar – 1597


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–diimplementasikan – adalah Islam “Abad Pertengahan”. Sedangkandalam sejarahnya, Islam Abad Pertengahan merupakan pandanganIslam yang mundur, yang terbelakang, karena lebih didomininasioleh paham-paham fikih. Sebaliknya, kita juga menyadari betul,bahwa semangat dan praktik Islam di masa klasik belum menjadibagian kehidupan umat Islam di Indonesia. Sebab, selama ini,semua itu hanya bisa dipelajari dalam program pasca-sarjana. Sehinggahanya sedikit orang yang dapat memahaminya dengan baik.Namun begitu, sepertinya sekarang ini sedikit mulai ada pemetaanterhadap Islam masa klasik untuk bisa diakses oleh kalanganyang agak luas.Bagaimana Anda menjelaskan bahwa, sebagaimana Anda kerap mengungkapkannya,yang bikin mundur dunia Islam dan keberagamaanumatnya adalah Islam model fikih dan tasawuf yang anti-filsafat?Aspek manakah dalam fikih dan tasawuf anti-filsafat yang bertanggungjawab atas terbelakangnya peradaban Islam?Di dalam sejarahnya, umat Islam, terutama periode setelahal-Ghazali, begitu rupa menyerang filsafat. Hal ini bermula dariserangan Imam Ghazali terhadap filsafat yang lantas diamini begitusaja oleh generasi kedua setelah Imam al-Ghazali. Akibatnya,lantas mereka dan generasi setelahnya menjadi alergi dengan filsafat,termasuk ilmu (alat) filsafat yang paling penting, yaitu logikaatau manthiq. Mereka lupa kalau al-Ghazali dan cendekiawan sezamannyamerupakan pelajar-pelajar yang tekun mempelajari danmendalami filsafat sehingga menjadi orang besar. Mereka, generasiumat Islam setelah al-Ghazali, begitu saja mengabaikan kebesarandan keluasan berpikir sarjana-sarjana Islam sebelumnya.1598– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Meskipun kemudian di antara mereka, pemikir-pemikir Islam itu,seperti al-Ghazali sendiri, mengkritik filsafat?Janganlah Anda lupa bahwa al-Ghazali bisa mengkritik filsafatkarena dia sendiri menguasai filsafat. Demikian juga lawan-lawannya,mereka dapat melakukanpembelaan karena mereka ahli Sepatutnyalah apabila sekarang inifilsafat. Setelah periode tersebut,umat Islam lupa betapa kejanggalan yang melingkupikita mempersoalkan kejanggalan-pentingnya filsafat untuk membangunpemikiran agama yang mempertanyakan al-Qur’an yangsejarah al-Qur’an. Melacak danluas dan membangun pengetahuanIslam yang lebih mumapa.Bahkan saya tidak pernahkita terima sekarang ini tidak apapunidan disegani. Sehingga, takut dengan redupnya perangenerasi selanjutnya membuang al-Qur’an bagi kehidupan kita.filsafat dari kurikulum pendidikanIslam. Manthiq atau logi-Sebab, kecanggihan teknologitidak berjalan ke belakang,melainkan berjalan ke depan.ka tidak dipelajari lagi. Padahal,manthiq merupakan perangkatfilsafat yang mengajarkan bagaimana cara berpikir yang lurus, sistematis,tidak menyimpang dan logis. Lantas dalam sejarahnyakemudian ulama-ulama begitu rupa mencabut semua ilmu-ilmuumum yang kita kenal sekarang sebagai aljabar, astronomi danilmu-ilmu umum lainnya. Sehingga pada waktu itu yang tertinggalhanya ilmu agama.Babak sejarah berikutnya ulama-ulama memproklamirkan agarsemua masalah yang sudah ada rujukannya dalam buku-buku –dari empat mazhab fikih yang ada – untuk diyakini keabsahannyadan tidak usah diwacanakan atau didiskusikan, terlebih dikritisilagi. Umat Islam tinggal mengambil rujukan itu dan tidak usahMoch. Qasim Mathar – 1599


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dipikirkan lagi. Sejak itu, pintu ijtihad ditutup. Umat Islam harustaqlîd, menerima begitu saja apa yang sudah menjadi ketentuanulama fikih. Sehingga yang subur pada waktu itu cara berpikirfiqhiyah dan hitam-putih saja. Berbeda dengan pada masa klasikyang kuat pemahaman tasawufnya. Demikianpun Islam AbadPertengahan yang, justru, bertolak belakang. Karena tasawuf yangberkembang bercorak tarekat-tarekat. Sementara pada masa klasiktasawufnya lebih banyak pengalaman individual yang bercorakfalsafi, karena tasawuf di era tersebut selevel dengan bidang yanglain seperti filsafat dan teologi. Sebaliknya, pada Abad Pertengahantasawuf atau mistisisme Islam berkembang menjadi tarekat-tarekat,di mana salah satu syaratnya harus ada guru atau mursyid.Sehingga, ditumbuhkanlah kefanatikan terhadap guru. Implikasilebih jauh dari itu semua adalah bagi umat Islam yang mempelajariatau mempraktikkan dan ikut tarekat, niscaya daya kritis merekasudah dilumpuhkan pada waktu itu juga. Daya kritis seseorangmenjadi mandul manakala ia didesak fanatik terhadap satu idola.Jika demikian, apakah dapat disimpulkan bahwa seseorang menjadisekular berarti juga sekaligus menjadi rasionalis dan kritis?Benar. Sebab, menjadi orang yang sekular berarti dia beranimelihat realitas apa adanya yang tengah berlaku di sekitarnya. Artinya,seorang yang sekular tidak merasa tergganggu sama sekali,secara teologis, kalau dia harus mengkritisi hal-hal yang menurutnyabertentangan dan dapat merugikan orang banyak. Sebaliknya,kalau kehidupan seseorang terlalu banyak dipenuhi hal-hal yangsakral, daya kritisnya hilang dan, secara teologis, dia segan untukmengkritisi realitas. Karena jika dia hendak mencoba untuk me-1600– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lompat dari ketentuan-ketentuan yang sudah ada – dalam hukumfikih, misalnya – tentu saja terlibat dengan istilah-istilah sakral yangkemungkinan terakhirnya adalah akan merasa berdosa.Tidakkah pemahaman tauhid yang ekstrem, dengan menganggap Tuhansebagai yang satu-satunyaabsolut dan selain tuhan adalahduniawi dan nisbi, dapat merupakan suatu keharusan. KetikaSecara teologis, sekularismeberakibat jauh dan memunculkanpemahaman yang cenderung kesaksian: Lâ ilâha illâ Allâh, maka,kita berikrar dan memberikanagnostis dan ateistis? Sebab, manakalayang dikedepankan se-ungkapkan sebelumnya, selainsebagaimana yang sudah sayaTuhan tidak lain saeculum, kekinianmata sikap rasional dan kritis,– dan ke-di-sini-an, imanen. Ditentunya akan membawa padaluar Zat Tuhan adalah segala halsuatu pemahaman di mana segalasesuatunya tidak ada yangyang duniawi, profan. Yakni, selainTuhan, yang transenden, itu alamsakral kecuali Tuhan itu sendiri,sehingga salat akan dianggapsemesta, yang imanen.tidak sakral, demikianpun nabidan malaikat tidak sakral.Menurut hemat saya, tidak apa-apa kalau semuanya berlangsungsecara logis. Seorang ateis yang di tengah masyarakat berpikirsangat logis dan rasional, pada hemat saya, lebih baik daripadaorang beragama yang hidupnya terus menerus menambah daftarsakral. Yang pertama bisa mendorong orang menciptakan kemajuanperadaban. Sebab, kendatipun tidak percaya Tuhan tetapi denganrasio dan daya kritisnya dia bisa membangun tatanan sosialseperti yang akal sehatnya inginkan dan yang dia cita-citakan de-Moch. Qasim Mathar – 1601


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ngan baik. Sebaliknya yang kedua tadi hanya menambah hal-halyang tidak sakral menjadi sakral, sehingga dia dapat menghambatpembangunan peradaban. Meskipun dia mempunyai cita-cita hidupdalam tatanan sosial yang baik, tetapi dia terhambat karena dia tidakbisa mengkritisi lingkungannya dan sekaligus membenahinya.Memang hal ini tidak enak didengar oleh kalangan yang tradisionalisdan konservatif. Tapi ini akan lebih bagus. Sebab, di duniayang kian modern, sudah teramat sering kita melihat di banyakmasyarakat, misalnya, sikap agnostis, yang tidak terlampau pedulidengan eksistensi Tuhan; paling tidak, mereka memang tidak menyebutadanya Tuhan tetapi mereka merasa di luar dirinya terdapatsuatu kekuatan, hanya saja tidak menyebutnya Tuhan; atau yangpaling ekstrem tidak percaya sama sekali, tetapi mereka bisa membenahi,membangun dan mengkritisi lingkungannya, karena merekamempunyai kemampuan itu. Sementara model keberagamaanyang diyakini oleh kebanyakan masayarakat Indonesia, yang gemarmenyakralkan banyak hal, sulit untuk mendorong lingkungannyamenjadi dewasa dan maju.Kita semua tentunya menganggap apa yang telah dipaparkan Andasebagai suatu cita-cita ideal, dengan masyarakat yang dapat bersikapkritis, logis atau rasional dan dewasa, yang dalam banyak hal, inidisebut juga sebagai sikap seorang sekular. Namun demikian, kenyataanyang melingkupi umat Islam tidak seideal itu. Artinya, duniaIslam mengidap suatu problem. Menurut Anda apa yang terjadi dengansejarah masa lalu umat Islam sehingga idealisme sebagaimanadibayangkan kita semua tidak muncul, dan justru berkembang dimasyarakat Barat. Misalnya dengan indikator penolakan umat Islam1602– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–terhadap filsafat dan gagasan rasional lainnya seperti liberalisme, sekularismedan pluralisme?Kita dapat melacak perilaku umat sejak zaman jahiliyah yangmengalami dekadensi dalam seluruh aspek kehidupannya. Kemudianoleh Tuhan diutuslah seorang nabi untuk mengubah masyarakatnya.Pada waktu itulah Nabi Muhammad kemudian membangun kotaMadinah. Artinya, sekarang ini untuk membangun suatu masyarakatdibutuhkan seorang nabi, tetapi, sesuai dengan keyakinan bahwaMuhammad merupakan Nabi terakhir, kita tidak memiliki nabiberikutnya. Maka, kita harusmenghidupi zaman kita Saya berkesimpulan bahwa tidak adadengan meneladani apa yang di dunia ini tipe ideal pemerintahanpernah Muhammad lakukan teokratis yang dapat dijadikan acuandi Madinah dulu. Saya kira umat Islam untuk mendirikan khilâfah.kita semua seharusnya yangberjuang untuk membangun masyarakat menjadi lebih maju; tidakterus-menerus mewarisi pola pikir jahiliyah yang serba menyakralkanbanyak hal. Yakni, dengan terlebih dahulu kita semua membetulkancara berpikir umat. Dulu, Nabi Muhammad tugasnya hanyasatu: menyampaikan wahyu. Tetapi kenapa di zaman kita malahberubah: menyampaikan dua hal, “wahyu dan Hadits”. Menuruthemat saya, di sinilah letak kemunduran umat Islam.Sejak Nabi Muhammad meninggal, telah banyak kesalahanyang teramat panjang dan terus menerus diwariskan. Sebab, kalaukita konsisten hendak mencontoh Nabi Muhammad, karenakita semua warasat al-anbiyâ’, maka kita harus meneruskan satusatunyayang menjadi tugas Muhammad dan semua nabi yangsebelumnya: hanya menyampaikan apa yang disampaikan Tuhan.Moch. Qasim Mathar – 1603


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Harus begitu dan hanya seperti itulah yang sebenarnya kita lakukan.Tetapi sejarah kemudian mengubah para umat nabi-nabi untuktidak saja menyampaikan apa yang disampaikan wahyu, tetapijuga menyampaikan apa yang disampaikan oleh para ahli Hadits.Sehingga, lagi-lagi, menurut hemat saya harus dibetulkan terlebihdahulu kekeliruan ini. Al-Quran dan Hadits tolong jangan disebarbersamaan! Bahkan, janganlah Hadits itu diturunkan sedikit,sebaliknya Hadits diturunkan jauh dan sejajar dengan ilmu-ilmuyang lain. Sebagaimana juga ilmu Hadits harus sejajar dengan semuapengetahuan yang dikenal oleh manusia. Tidak boleh Haditsdiangkat ke dekat al-Quran apalagi disejajarkan. Jadi pernyataanMuhamadiyah agar umat Islam kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah menurut saya harus segera kita tinggalkan. Jargon sepertiitu tidak benar dan menyesatkan.Bukankah pernyataan Anda dapat memancing kontroversi bagi umatIslam yang terlanjur meyakini kekuatan Hadits atau Sunnah Nabi?Apakah hal itu menjadi tawaran final Anda agar umat Islam bangundari ketertinggalannya?Ya. Umat Islam cukup kembali kepada al-Quran saja. Haditsitu harus sama dengan ilmu pengetahuan yang lain, karena paranabi hanya ditugaskan untuk menyampaikan wahyu. Di masyarakatIndonesia, dalam membangun sikap dan perilaku umat, lebihbanyak dibangun oleh Hadits-hadits yang kita tidak ketahuikebenarannya, apakah Nabi pernah bicara sebagaimana yang terlanjurdiyakini dan terus-menerus diwariskan turun-temurun darinenek moyang kita. Beberapa waktu yang lalu ada sebuah diskusidalam rangka ulang tahun UIN Makassar. Di situ saya bilang1604– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bahwa semua ilmu-ilmu yangSeorang ateis yang di tengahkita pelajari sekarang di UINmasyarakat berpikir sangatMakassar termasuk Hadits hendaknyadijadikan sebagai bahanlogis dan rasional, pada hematsaya, lebih baik daripada oranguntuk menjelaskan semua ayatberagama yang hidupnya terusal-Quran. Tidak boleh kebenaranHadits disakralkan dan di-menerus menambah daftar sakral.Yang pertama bisa mendorongletakkan di samping al-Quran. orang menciptakan kemajuanSebab, hal itu, menurut saya, peradaban. Sebab, kendatipunmerupakan paradigma yang keliru.Kita semakin jauh dari rasio dan daya kritisnya dia bisatidak percaya Tuhan tetapi dengancita-cita wahyu.membangun tatanan sosial sepertiSebagai salah satu contoh, yang akal sehatnya inginkan dansoal anjing di dalam al-Quran, yang dia cita-citakan dengan baik.kalau tidak salah, hanya satuayat. Yakni ayat ketika menyampaikan perihal anjing dengan tuannya,pemuda al-kahfi (ashhâb al-kahf). Anjing dalam versi al-Qurandengan pemuda alkahfi itu dicitrakan positif. Tetapi, anjinganjingdi banyak Hadits sebaliknya digambarkan secara negatif.Saya tidak percaya kalau Nabi Muhammad membuat pertentangandengan apa yang ditugas-kan kepadanya dalam menyampaikankebe-naran wahyu. Menurut saya anjing bukan persoalan pentingdalam Islam atau al-Quran. Kalau memang penting mestinya ihwalanjing banyak dimuat oleh al-Quran. Karena itulah Hadits-haditsyang terlampau banyak menjelaskan anjing secara negatif merupakanHadits yang tidak benar dan bertentangan dengan citra anjingdalam al-Quran. Yang betul adalah cerita anjing dalam al-Quran.Persoalannya, mencontoh banyak Hadits yang kualitasnya tidakjelas, sebagaimana gambaran negatif perihal anjing, telah menjadiMoch. Qasim Mathar – 1605


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–paradigma umum umat Islam. Padahal dalam Islam sendiri tidakada di al-Quran penjelasan yang menganggap penting tentang Haditsmaupun tentang anjing.Bagaimana dengan pernyataan Arqoun yang sampai menganggapbahwa al-Quran sebagai produk budaya, sama sebagaimana teks-tekslainnya (sastra) yang dapat dianalisis dan dikritisi?Mungkin saja benar dengan meletakkan al-Quran seperti itu.Karena Arqoun memang bicara soal itu. Tetapi pandangan semacamitu bisa bikin “semaput” orang Islam Indonesia. Sementarakalangan Muhammadiyah selalu menggembor-gemborkan bagaimanaumat Islam Indonesia agar al-rujû‘ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah.Padahal ini salah. Karena itu kita harus pelan-pelan memberikanpengertian kepada umat Islam. Nabi hanya disuruh membawa al-Quran. Lantas, kenapa kita begitu rupa menyiarkan Hadits-hadits?Sebenarnya tidak bermasalah menyiarkan Hadits, tetapi kita harusmenempatkan Hadits sama dengan ilmu pengetahuan sosial daneksakta lainnya, sebagai instrumen untuk memahami ayat-ayat al-Quran.Apa respon Anda perihal pandangan para pembaharu Islam bahwasebenarnya al-Quran tidak perlu ditafsir?Sebenarnya sejak di S1 kita belajar pengantar tentang ilmu tafsirdan ilmu al-Quran. Sebenarnya sejak itulah semestinya sudahmuncul gugatan ketika kita menerima pelajaran dari dosen tafsirbahwa yang kita terima ini adalah mushaf atau rasm Utsmani. Jikakita mau kritis, mestinya pada saat itulah kita sudah menggugat1606– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lalu mempertanyakan bagaimana keberadaan dan posisi ayat-ayatal-Quran versi yang bukan mushaf atau rasm Utsmani, yang pernahada dan diketahui dalam sejarah sudah dipakai sebelumnya? Mestinyadi situ kita sudah harus mulai mengkritisinya dengan melacaknyasecara historis. Tetapi,lagi-lagi, karena sejak awal Idealnya para ulama fikih kitakita menganggap al-Quran menekankan dan mendasarkan diriyang di hadapan kita sekarangini sudah final dan sak-mengaitakan antara sembahyangpada al-Quran yang dengan tegasral, sehingga kita pun menerimanyabegitu saja. Sebab,dengan sikap sosial, kemudianmereka menyatakan bahwasah tidaknya ibadah seseorangini kesepakatan sejak zamanjuga tergantung dengan prilakuyang panjang.sosialnya. Persoalannya, tidak adaPadahal, sudah sepatutnyalahapabila sekarang inidalam hukum fikih yang beranidan tegas menyatakan kalau Andakita mempersoalkan kejanggalan-kejanggalanyang me-sembahyang Anda dipertanyakantidak bersikap sosial, maka sahnyalingkupi sejarah al-Quran. dan menjadi persoalan. MestinyaMelacak dan mempertanyakanal-Quran yang kita te-sudah sampai seperti itu.pemahaman keberagamaan kitarima sekarang ini tidak apaapa.Bahkan saya tidak pernah takut dengan redupnya peran al-Quran bagi kehidupan kita. Sebab, kecanggihan teknologi tidakberjalan ke belakang, melainkan berjalan ke depan. Jadi, menurutsaya kita tidak perlu takut kehilangan wahyu. Sebab, teknologike depan semakin maju, canggih dan selalu akan membantu danmenghadirkan apa yang kita anggap hilang. Bagaimanapun, teknologitidak pernah berjalan ke belakang, dia selalu lebih maju,Moch. Qasim Mathar – 1607


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sehingga ada kemungkinan suatu saat teknologi bisa mengetahuibentuk-bentuk tulisan al-Quran di masa lalu.Kalau selama ini al-Quran dan Hadits dianggap sebagai rujukanutama bagi umat Islam, dan kemudian kedua sumber tersebut didesentralisasi,lantas pada apa dan ke mana lagi umat Islam mencaripijakan etis untuk dijadikan pegangan alternatifnya guna merumuskannilai-nilai baru untuk menata kehidupan masyarakat menjadilebih baik dan maju?Kenapa Anda merasa sulit ketika Hadits dan al-Quran perannyatidak sentral lagi bagi kehidupan kita. Di zaman sekarang betapabanyak masyarakat di pelbagai bangsa dapat menata kehidupansosialnya jauh lebih baik dari kita (umat Islam), meskipun merekatidak pernah menerapkan syariat Islam, mengatur orang berpuasadan sebagainya. Banyak jalan dan terdapat berbagai bukti konkretdi mana orang bisa hidup dengan tatanan sosial yang sekular, yangmereka impikan sebagai satu bangsa.Acap kali dalam membincang perihal negara, sekularisme, yangmengidealkan bentuk nation-state (demokrasi), biasanya dilawankandengan teokrasi. Apa yang dapat Anda paparkan perihal bentukpemerintahan Islam teokratis yang lazim disebut khilâfah dan selaludijadikan tujuan perjuangan oleh beberapa kalangan Islam sebagaiproyeksi sistem pemerintahan Islam yang ideal?Konsep teokrasi yang digambarkan dalam teori tidak pernahmuncul dan terbukti, kecuali praktik di luar Islam, yaitu Vatikan, diagama Katolik. Namun begitu, memang Maududi pernah mencoba1608– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–membangun gambaran pemerintahan Islam yang teokratis; begitupunNatsir pernah tergiring membayangkan konsep tersebut.Saya sendiri pernah mengajukan pertanyaan dan sekaligusmengklarifikasi kepada salah seorang teman tentang dari manacikal-bakal model pemerintahan khilâfah yang diidealkan olehbanyak kalangan Islam. Ketika saya mulai dengan model ArabSaudi, dia mengkritik banyak hal tentang keluarga (dinasti) Saudyang dianggapnya jauh dari mengindahkan moral islami. Bahkan,olehnya Libanon dikritik juga. Semua negara Islam di kawasanArab dia kritik. Lantas saya berpikir lagi, mudah-mudahan Iranbisa memancing keterangan dari diauntuk mengaitkan sistem teokrasi Islamyang diimpikan banyak umat Is-Tuhan kita hendaknyaTerhadap selainlam. Namun, lagi-lagi, tidak sedikit menyekularkan semuanyadia mengkritik sistem pemerintahan dan menyikapinya sebagaiIran yang tidak demokratis. Akhirnya, sesuatu yang murni duniawi.saya berkesimpulan bahwa tidak adadi dunia ini tipe ideal pemerintahan teokratis yang dapat dijadikanacuan umat Islam untuk mendirikan khilâfah. Sebab, tidakmungkin juga jika cikal-bakal khilâfah terbangun di Indonesia,meskipun penduduk Islamnya sangat besar.Jika dalam praktik dan konsepsinya tidak dapat diacu darimana gambaran ideal sistem khilâfah dapat dikembangkan, makamenurut hemat saya mereka yang memperjuangkan bentuk pemerintahanseperti itu terlalu utopis. Sebab, negara-negara Muslimyang ada sekarang juga tidak ada satu pun yang menjadi cikalbakalbagi berdirinya khilâfah Islam.Jadi, teokrasi dipertentangkan dengan model nation-state yangdemokratis. Artinya, akan jauh lebih baik bagi orang yang bersikapMoch. Qasim Mathar – 1609


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–sekular, realistis dan berpikir lurus ketimbang orang yang dipenuhipikiran-pikiran teokrasi tetapi mereka sendiri tidak tahu harusberangkat dari mana. Sebab, bagi kalangan yang masih muda danenergik, atau kelak setelah berganti generasi sekalipun, saya kira,semakin sulit bagi orang untuk menerima pikiran-pikiran utopistentang khilâfah.Problemnya, belakangan semakin keras impian tersebut dimunculkandan kelompok-kelompok Islam politik semakin gemar memainkannya.Saya sendiri beranggapan bahwa sebenarnya banyaksekali politisi kita yang tidak yakin kalau sistem khilâfah bisa merekawujudkan melalui partainya. Tetapi lantaran mereka terbiasabermain politik dan bagi mereka khilâfah merupakan komoditaspolitik yang menarik, sehingga mereka tetap mengampanyekannyauntuk meraup dukungan buat diri dan partainya. Politisasi ini lebihmengeras lagi dalam problem penegakan syariat Islam. Padahal,kalau kita mau jujur, para politisi tersebut tidaklah menguasai danmengerti betul apa yang mereka perjuangkan (syariat Islam). Begitupunpartai-partai yang berasaskan Islam. Sebab, apabila diperhatikanlebih seksama, banyak hal dan istilah yang diperjuangkanmereka, termasuk di dalamnya khilâfah, syariat Islam dan segalamacamnya, di mana sebenarnya betapa kita tidak yakin bahwaorang-orang seperti mereka dapat menguasai rumusan-rumusantersebut dengan baik.Artinya, apakah ketika agama dikaitkan dengan politik atau sebaliknya(politisasi agama), yang terjadi adalah pembajakan agama untukkepentingan politik?1610– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Betul. Politisasi agama, sebagaimana sudah disinggung, menjadipersoalan yang rumit dan berbahaya bagi hak dan kebebasansipil. Agama, oleh para politisi, hendak dimasukkan dalam berbagaikebijakan publik. Padahal jika mereka – yang mempolitisir agama– mau dengan rendah hati membandingkan bagaimana iklim pemerintahandi negara-negarayang sekular yang justru lebihbaik dan masyarakatnyaMenurut saya kita tidak perlu takutkehilangan wahyu. Sebab, teknologike depan semakin maju, canggihjauh lebih maju ketimbangdan selalu akan membantu dannegara kita ataupun negaranegaraIslam lainnya, makamenghadirkan apa yang kita anggaphilang. Bagaimanapun, teknologitidaklah perlu bagi merekatidak pernah berjalan ke belakang,mempolitisir agama. Harusdia selalu lebih maju, sehingga adadiakui, dalam kehidupan kesehariannya,sikap masyara-bisa mengetahui bentuk-bentukkemungkinan suatu saat teknologikat yang sekular relatif lebih tulisan al-Quran di masa lalu.baik daripada orang Muslim.Karena itu, bila kita mau jujur, berelasi dengan mereka yang tidakpernah memperjuangkan khilâfah ataupun berusaha menerapkansyariat Islam, atau yang kita anggap sebagai sekular, malah jauhlebih menyenangkan. Bahkan, akan lebih bagus jika kita berhubungandengan orang ateis sekalipun, karena tidak merasa terancam– hak dan kebebasan kita.Apabila mengacu kepada sejarah, apakah klaim kalangan Islam politikdengan upaya menghidupkan kembali khilâfah, yang menurutmereka sebagai bentuk dari teokrasi Islam, merupakan keinginan yangMoch. Qasim Mathar – 1611


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–cukup berdasar? Apakah pernah terjadi sistem teokrasi di zaman paraSahabat, dinasti Abbasiyah, Umayyah maupun Turki Utsmaniyah?Menurut saya tidak pernah terjadi dalam sejarah dunia Islambentuk pemerintahan yang teokratis. Sebab, mereka itu monarkhiyang sejatinya sekular. Demikianpun Nabi sendiri, di Madinah,pada dasarnya membuat tatanan masyarakat yang sekular, yangdibangun atas dasar musyawarah (kesepakatan bersama di antarakelompok yang ada). Adalah salah menganggap kepemimpinanNabi sebagai bentuk teokrasi. Pasalnya, dalam sejarahnya, satu-satunyabangunan umum yang ada pada masa Nabi adalah masjid.Bahkan rumah Nabi juga di situ, di samping masjid. Sehingga semuafungsi-fungsi dan pelayanan publik yang kita kenal sekarangsudah ada pada waktu itu, dengan memakai masjid sebagai pusatsegala kegiatan. Termasuk juga masjid berfungsi sebagai penjara.Begitupun, tamu Nabi, yang beragama Nasrani, ketika melakukankebaktian dipersilakan dilakukan di masjid Nabi. Kenyataan sepertiitu tidak mungkin terjadi di zaman sekarang. Hal seperti itu pastiakan memicu keributan. Lalu, kaitannya perihal relasi umat Islamdengan umat lainnya, pada hemat saya, yang benar yaitu mengembangkansikap inklusif atau toleran sebagaimana dipraktikkan dizaman Nabi, sebagaimana telah diceritakan tadi.Dengan begitu, apakah Anda hendak mengatakan bahwa sekulerismejustru merupakan solusi untuk mengatasi problem-problem yang adadalam tubuh umat Islam dan mengantarkan negeri ini menjadi bangsayang dewasa dalam menegakkan kemerdekaan hak-hak warganya?Kalau Anda mengatakan sekularisme, maka akan memunculkankembali polemik yang menimbulkan kesalahpahaman, sebagaimana1612– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–pernah terjadi di negeri ini sebelumnya, dalam perdebatan panjang.Karena itu, Nurcholish Madjid tidak menggunakan istilah tersebut,tetapi lebih memilih sekularisasi.Kalau kita berbicara soal kedekaan suatu bangsa, dalam pelajaransekolah juga dinyatakan bahwa kemerdekaan merupakansuatu hak. Kemudian, prinsip tersebut oleh umat Islam didukungdengan ayat-ayat al-Quran, Hadits-hadits Nabi, dan segala argumenkeagamaan yang menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hakmilik pertama yang dimiliki manusia sejak lahir. Setiap manusiamempunyai hak untuk bebas dan merdeka.Sungguhpun demikian, kita kerap dibuat bingung kenapa sampaimuncul fatwa (pengharaman MUI atas sekularisme, liberalismedan pluralisme) yang melarang hak-hak seperti itu. Menurutsaya fatwa itu lahir karenakecemasan yang tidak perlu Hadis hendaknya dijadikan sebagaidari kelompok orang-orang bahan untuk menjelaskan semuayang merasa keyakinan agamanyaterancam oleh ber-hadis disakralkan dan diletakkan diayat al-Qur’an. Tidak boleh kebenaranbagai paham dan keyakinanlain, juga oleh kuatnya menurut saya, merupakan paradigmasamping al-Qur’an. Sebab, hal itu,pengaruh pengetahuan dan yang keliru. Kita semakin jauh daricita-cita wahyu. Sebagai salah saturevolusi teknologi. Dia cemaskarena warga masyara-contoh, soal anjing di dalam al-Qur’an, kalau tidak salah, hanya satukat semakin liberal, semakinbebas, semakin merdeka.ayat. Yakni ayat ketika menyampaikanperihal anjing dengan tuannya,Tetapi, ini suatu kecemasanpemuda alkahfi (ashhâb al-kahf).yang berlebihan.Anjing dalam versi al-Qur’an denganBagi bangsa Indonesia, pemuda alkahfi itu dicitrakan positif.hal yang paling menggembi-Moch. Qasim Mathar – 1613


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–rakan adalah bahwa kita semua telah keluar dari rezim Soeharto.Sebab, reformasi telah memberi ruang bagi kita bebas dan merdekasebagai umat yang beragama. Itu modal utama bagi kehidupanberagama setiap orang. Sekali lagi saya tekankan: beragama secaramerdeka jauh lebih baik ketimbang beragama dengan cara yangdipaksakan. Asumsi tersebut sudah menjadi pandangan yang prinsipil.Sebab, dalam kenyataannya, orang yang memilih kepercayaandan keyakinan beragamanya secara liberal, bebas dan merdeka,maka dia memiliki kepercayaan itu dengan baik dan dipegangteguh, ketimbang yang dipaksakan. Sebagaimana liberalisme yangmuncul di Eropa, yang merupakan respon masyarakat Barat ketikamenyadari betapa dominan dan berkuasanya raja-raja dan gerejaatas rakyat; begirupun tuan-tuan tanah, majikan-majikan ataupengusaha pemilik modal yang menindas para buruh. Masyarakatmenyaksikan ketidakadilan sampai pada batas kemanusiaan yangtidak dapat ditanggungkan lagi. Sampai akhirnya terjadi revolusiPrancis dan revolusi industri di Inggris. Berangkat dari kedua Revolusiinilah kemudian bermunculan aliran filsafat yang disebutpaham liberalisme.Jadi, liberalisme tidak lain antitesa dari tesa-tesa yang mengekangkebebasan masyarakat, suatu keadaan yang tidak baik, di manamanusia tertindas dan dikungkung keliberalannya. Kalau kita memahamibetul semangatnya, maka liberalisme bukan satu hal yangperlu ditakuti. Karena liberalisme merupakan satu pandangan yangingin memperlihatkan posisi manusia yang sesungguhnya, denganhak dan kebebasannya, dalam kehidupan ini. Sehingga tidak adapilihan lain kecuali manusia harus mempunyai posisi yang merdekauntuk menghindari kehidupan yang sulit dan tertindas. Ba-1614– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–gaimanapun juga, apabila seseorang merdeka niscaya bisa melihatbanyak pilihan untuk menempuh kehidupannya.Beberapa kalangan menyebutkan bahwa liberalisme yang sekarangmerasuk ke dalam kalangan Islam, seperti gagasan Islam liberal dandemokrasi, dianggap sebagai sesuatu yang sengaja disusupkan, karenaterlalu berbau Barat. Menurut Anda apakah anggapan seperti itucukup beralasan?Tidak mesti seperti itu. Memang harus diakui bahwa adapengaruh Barat dalam perkembangan ilmu pengetahuan Islam.Tetapi hal itu bukanlah sesuatu yang diselundupkan dari Barat.Sebab, ilmu pengetahuan itu sendiri mempunyai karakter untukterus berkembang melalui transfer yang tiada henti. Orang-orangmencari ilmu pengetahuan dengan berkunjung ke berbagai tempat,hingga ke negeri-negeri yang jauh sekalipun. Oleh karena itu,orang-orang Islam yang pergi sekolah ke Barat, mereka lantas menerimapengetahuan di sana. Hal tersebut tidak boleh serta-mertamengatakan orang Barat sengaja menyusupkan pengetahuan kepadamasyarakat luar Barat. Karena tidak ada ilmuwan yang menyelundupkan,dalam pengertian sebagaimana yang dituduhkan beberapakalangan konservatif Islam yang tidak suka dengan perkembanganilmu pengetahuan dalam Islam belakangan. Sebab pada dasarnyasemua ilmuwan berniat mentransfer semua yang dia ketahuikepada orang yang belajar dengan dirinya. Tetapi dengan tujuanbahwa apa yang dia ketahui itu, dan lantas mentransferkannyakepada orang lain, adalah sesuatu yang baik dan benar. Dan diaingin kebenaran dan kebaikan itu dimiliki juga oleh orang yangbelajar dengan dirinya. Begitulah kita melihat perkembangan pe-Moch. Qasim Mathar – 1615


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mikiran Islam kontemporer – dengan menepis kecurigaan yangberlebih terhadap Barat.Kalau kemudian akibatnya sampai melahirkan gagasan Islamliberal, menurut saya, tidak apa-apa. Karena tanpa orang belajar keBarat sulit terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Disana, misalnya, orang secara sungguh-sungguh hanya mempelajarial-Quran dengan bahasanya yang rumit. Sedangkan, sejatinya, al-Quran meliputi ayat-ayat yang terdiri dari simbol-simbol dan tanda-tanda.Dengan pengertian lain, tanda-tanda tersebut bukanlahsuatu yang final. Oleh karena al-Quran adalah tanda-tanda, makadiperlukan penafsiran yang sungguh-sungguh, dan hanya orangyang mempunyai pengetahuan saja yang bisa menjelaskan tandatandaatau ayat-ayat tersebut. Namun demikian penjelasan terhadapal-Quran sebagai ayat, lagi-lagi, bukanlah suatu kesimpulanyang final. Sekalipun orang tidak belajar ke Barat, tetapi dia bersungguh-sungguhdan memiliki banyak pengetahuan yang bukandari Barat, kemudian dia mengkaji al-Quran, tetap saja ayat-ayattersebut bisa ditafsirkan. Di sini, studi terhadap ayat-ayat al-Quransangat memungkinkan terjadinya multitafsir. Satu orang yang ahlibahasa Arab dengan beberapa ahli bahasa Arab lainnya bisa berbedadalam menerjemahkan atau menafsirakan satu ayat yang sama.Sebab, baik materi yang mereka pakai ataupun bahasa Arab yangmereka miliki mungkin juga berbeda. Selama penafsiran terhadapayat yang sama itu didasarkan pada pengetahuan bahasa Arab yangilmiah, maka kita tidak boleh mengatakan di antara salah satunyasebagai keliru, karena dia berdasarkan ilmu pengetahuan. Mungkinsaja bahwa di antara mereka ada yang lebih baik atau lebihkuat ketimbang yang satu. Tetapi, bagaimanapun juga, kita bisamengetahui mana yang lebih kuat dan lebih baik dengan melihat1616– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–seberapa serius dan komprehensifnya masing-masing dasar pijakanpengetahuan di antara mereka. Misalnya, yang satu lebih lengkappengetahuannya sehingga penjelasannya lebih bagus; sementarayang lainnya kurang lengkap pengetahuannya. Akan tetapi dalammenyikapi setiap tafsir terhadap al-Quran kita harus tetap mengacupada ilmu pengetahuan dengan tidak begitu saja menyalahkankesimpulan yang telah dibuatnya.Jika demikian, sebenarnya untuk menjadi liberal adalah potensiyang dimiliki semua orang, tanpa harus pergi belajar ke Barat sekalipun.Sebenarnya, ayat-ayat al-Quran itu sendiri mempunyai potensimultitafsir. Karena itulah, sejak orang Islam di masa “klasik” belumbelajar ke Barat dan menyerap pengetahuan dari sana, merekasudah berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Itulah yangmenjelaskan mengapa kemudian muncul mazhab-mazhab yang berbeda.Imam-imam mazhab tidak belajar ke Barat, di samping padamasa itu tidak ada “Barat” yang kita istilahkan sekarang. Perbedaandi antara mereka, meskipun sama-sama menjelaskan ayat-ayatyang sama pula tetapi mempunyai kesimpulan tafsir yang berbeda,dianggap sebagai hal yang biasa, tanpa menyalahkan dan merendahkansatu sama lainnya.Jadi, pada dasarnya al-Quran itu sendiri sejak awal potensialuntuk dijelaskan secara berbeda. Kesadaran terhadap perbedaandalam menerjemahkan agama inilah yang justru relevan untukpemikiran liberal.Moch. Qasim Mathar – 1617


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana Anda menyikapi kemajemukan beragama, terlebih, misalnyasekarang orang bebas menafsirkan dan mempunyai pemahamanterhadap al-Quran secara berbeda, oleh karena latar belakang setiaporang tidak sama? Dalam lingkup yang lebih luas lagi, belakangan,sejak era reformasi, kemerdekaan warga negara Indonesia untuk berpendapatjuga berimplikasi pada munculnya beragam aspirasi yangberbeda bahkan kerap bertentangan satu sama lain. Bagaimanapun,Indonesia merupakan negeri yang plural, yang terdiri atas agama,budaya, etnis, suku yang berbeda-beda. Lantas, bagaimana Andamelihat gagasan pluralisme yang diharamkan oleh MUI?Sudah seharusnya kita mentoleransi keberbagaian realitas, kemajemukandi negeri ini. Kalau kita kembali ke fatwa Majelis UlamaIndonesia yang mengharamkan pluralisme, sebenarnya MUI kelirumemahami pluralisme. Karena MUI terlalu cepat memberikankesimpulan bahwa orang yang pluralis akan berpandangan semuaagama sama. Jadi, menurut saya, pemahaman MUI seperti itu salah.Sebab pluralisme tidak begitu. Justru orang Pluralis menganggapsemua agama berbeda. Penjelasan yang dilakukan MUI terhadappluralisme tidak berdasarkan ensiklopedi. Orang yang pluralis akanmembiarkan dan mentoleransi atau merasa tidak terganggu terhadapsetiap hal yang berbeda dan bermacam-macam – apakah ituagama, cara pandang, keyakinan dan sebagainya. Sebab begitulahhendaknya pluralisme dipahami. Meskipun dapat kita jelaskan lebihjauh, terutama di dalam agama-agama, kita bisa menemukan,di dalam perbedaannya, sejatinya terdapat juga suatu persamaan.Misalnya tentang Tuhan, keyakinan kepada kehidupan sesudahmati, anjuran berbuat baik, dan seterusnya, merupakan hal-hal yangesensinya sama di hampir setiap agama, kendati memang banyak1618– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–hal-hal lain di antara agama-agama tersebut yang berbeda. Karenaitulah agama menjadi plural.Jadi, pluralisme adalah konsekuensi dari kebebasan beragamaatau cara berpikir bebas. Pluralisme atau wujud dari kebebasanuntuk berbeda itu sendiri sampai kepada bentuk yang diistilahkandalam al-Quran, “Jika kamu mau, silakan beriman; dan jika kamujuga mau, silakan kamu kafir”. Setidaknya, dari ayat itu, sudahterdapat dua pilihan: ada yang beriman atau ada yang kufur. Keduanyaditawarkan secara bebas oleh al-Quran. Kendatipun padaayat selanjutnya al-Quran juga menyebutkan risiko dari masingmasingpilihan tersebut. Namun pada prinsipnya, jikalau al-Quranmenyebut risiko masing-masingnya, itu berarti al-Quran hendakmengajak kita berpikir lurus. Al-Quran hanya mengenalkan kalauberiman akan demikian; dan kalau kufur akan begini konsekuensinya.Artinya, al-Quran tidak memaksa. Demikianlah, saya kira,apa yang dikatakan al-Quran agar kita berpikir dan menenggangperbedaan.Banyak sekali ayat-ayat yang meminta kita untuk menggunakanpikiran, meminta kita menggunakan hati nurani dan yang serupadengan itu semua. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidaklah otomatiskalau menggunakan semua perangkat keilmuan yang baiklantas akan sama kesimpulannya. Misalnya jika kita dengan seriusmau memikirkan pernyataan-pernyataan al-Quran seperti: “afalâya‘qilûn; afalâ ya‘lamûn; afalâ tatadzakkarûn; afalâ tatafakarûn danseterusnya, semua itu berarti al-Quran sudah memberikan isyaratbahwa hasil tafakkur, akan mengandaikan kesimpulan ketakwaandan segala macamnya tidak otomastis sama. Terlebih lagi kalaubanyak hal yang sedang kita pikirkan, atau lebih jauh lagi kalaukita bisa benar-benar menyadari bahwa dalam menafsirkan: sema-Moch. Qasim Mathar – 1619


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kin seseorang menggunakan semua perangkat berpikirnya, makadia akan semakin bebas dan banyak alternatif dalam membacaayat-ayat Tuhan. Jadi, al-Quran seperti hendak memberi petunjukbahwa kita akan melihat banyak sekali alternatif atau pilihandalam kehidupan ini.Maka jelas kiranya bahwa al-Quran menyuruh kita menggunakandengan baik dan maksimal akal pikiran kita. Artinya, kitatahu akan ada banyak alternatif kalau pikiran digunakan. Sayasendiri, misalnya, kalau sedang fokus untuk memikirkan satu hal,pasti kemudian banyak hal yang bisa saya lihat dalam pikiran; daripadakalau saya tidak berpikir, sebab pasti tidak ada jalan. Apalagikalau beberapa orang berpikir dalam tema yang sama, makasangatlah mungkin akan memiliki berbagai corak pemikiran dankesimpulan yang berbeda dari satu hal yang sama. Pada tema yangsama mungkin kemudian Anda, misalnya, memiliki empat alternatif,kawan lainnya tiga dan saya lima, sehingga jumlahnya adadua belas alternatif. Lantas kita diskusikan. Maka kita akan memperolehperspektif yang sangat kaya.Sebenarnya telaah ihwal pluralisme harus kita tarik sampai kesitu. Sehingga, menurut hemat saya, semakin seseorang pluralisdan berpandangan liberal, maka hidup ini semakin luas perspektifnya.Tetapi kalau tidak liberal dan pluralis, maka jadi sempitcara pandang seseorang. Dia semakin sulit untuk memilih. Dan,secara teologis, hal itu didukung oleh al-Quran.Artinya, apakah sebenarnya gagasan sekularisme, liberalisme dan pluralismesudah terdapat pijakan teologisnya dari al-Quran, sehinggasemestinya tidak harus ditentang umat Islam?1620– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Benar, dalam Islam gagasan-gagasan tersebut ada pijakan teologisnyasendiri. Bahkan kita kerap mendengar orang mengatakanbahwa pluralisme diistilahkan sebagai sunnatullâh. Tentu saja, jelasbahwa pluralisme sudah merupakan sunnatullâh. Yang dimaksuddengan sunnatullâh di sini adalah “hukum kehidupan”, rumusanalam. Memang sudah demikianlah kehidupan ini dengan ragamperbedaannya. Kalau Anda menghindar dari rumusan alam atauhukum kehidupan yang menghendaki pluralitas, maka Anda akansulit bisa mencapai hidup yang baik. Karena itu, kita harus mengetahuihukum-hukum kehidupan, sebab itu merupakan hukumsosial. Di masyarakat pasti terdapat orang yang bermacam-macam,tidak sama dengan kita. Kita harus menyadari itu. Kalau kita berpindah,misalnya, di suatu tempat kerja, kita harus memiliki kesadaranyang terbuka di manapun kita ditempatkan nanti. Misalnyadalam satu kompleks, maka harus kita sadari bahwa di situ pastitidak semua orang sama. Pasti di situ ada orang yang sering tidaksetuju dan berseberangan dengan pikiran kita atau ada juga yangmungkin suka dan setuju dengan pikiran kita.Artinya, hidup ini penuh corak dan warna yang berbeda. Sehinggakalau kita memiliki kesadaran pluralis, maka kita tidakperlu takut untuk menghadapi hidup yang demikian kaya denganperbedaan. Tidak perlu perbedaan itu selalu diperhadap-hadapkan.Sebab, cara pandang pluralis merupakan hidup yang sesungguhnya,bukan yang bermimpi menyeragamkan cara pemahaman setiaporang. Upaya penyeragaman itu tidak benar. Itu mimpi. Jikacara hidup seseorang seperti itu, maka dia terus bermimpi. Lebihlebih,lantas dia menghendaki supaya orang lain memahami Islamsebagaimana dengan Islam yang dia pahami. Padahal, di sekitarkita juga banyak orang yang tidak beragama Islam. Kemudian, diaMoch. Qasim Mathar – 1621


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menganggap mereka yang berbeda dengan dirinya sebagai suatuduri, gangguan yang harus dienyahkan. Menurut saya, itu hidupyang tidak realistis. Bagaimanapun kesempatan untuk mengenyahkansesuatu tentunya tidak cukup untuk umur dia sendiri. Akibatnya,sepanjang umurnya selalu terganggu dengan apa yang diaanggap sebagai duri. Bukankah akan lebih baik dan realistis jikakita bekerjasama?Tak dapat dipungkiri, di antara penyebab kalangan fundamentalissangat eksklusif pandangannya perihal Islam lantaran mereka mendasarkandiri pada ayat-ayat seperti “Inna al-dîna ’inda Allâhi alislâm”dan sejenisnya. Bagaimana Anda melihat klaim-klaim sepertiini – kendatipun banyak pemikir moderat yang sebenarnya sangatberbeda dalam menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan kata “Islam”?Masalahnya, klaim ini sering menjadi alasan para aktivis Islamradikal untuk bertindak bahkan kerap dengan kekerasan – atas namaagama Islam – terhadap agama atau paham yang berbeda.Ayat-ayat ini sering menjadi perdebatan yang panjang. Tetapisetidaknya perdebatan perihal makna Islam – dan saya kira juga banyakorang yang telah membacanya – sudah sejak lama keteranganketerangansemacam itu dijelaskan oleh banyak intelektual MuslimIndonesia. Setidaknya, di antara mereka adalah Cak Nur, Gus Dur,Alwy Shihab, Quraish Shihab, Hasyim Muzadi dan banyak lagiyang tidak mungkin bisa disebut di sini. Apa arti Islam dalam ayat“Inna al-dîna ‘inda Allâhi al-islâm”? Apabila mengikuti penjelasanorang-orang tersebut, sebagaimana saya pernah ikut membacanya,ayat-ayat itu justru oleh tafsiran mereka menjadi pendasaran sikapinklusif bagi umat Islam, tidak malah menjadi ekslusif. Sebab, Is-1622– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lam yang dimaksud oleh mereka, dalam ayat-ayat tersebut, adalahIslam yang universal. Sebagaimana saya pernah mencari dalam al-Quran, setidaknya terdapat 20 ayat al-Quran yang menyampaikanredaksi tersebut dari akar kata yang sama, meskipun dalam bentukyang berbeda: aslama, islâm, musliman, muslimîn, dan seterusnya.Setidaknya ada 20 ayat yang memberikan pesan kepada kita bahwaternyata “islam” itu bukan hanya agama yang dibawa oleh NabiMuhammad, tetapi agama yang dibawa oleh semua nabi. Bahkanada di antaranya, misalnya, ayat yang mengatakan bahwa kaumHawariun, Sahabat Nabi Isa, meminta disaksikan sebagai Muslimin.Nabi Ibrahim disebut hanîfan musliman. Ada satu ayat yangmengatakan bahwa kata-kata Muslim sudah dilekatkan oleh Tuhansebelum “engkau” Muhammad. Yakni ketika Tuhan memberikanlabel kepada orang-orang yang aslama, memasrahkan dirinya, sepasrah-pasrahnyakepada Tuhan. Orang-orang seperti itu namanya“islam”, “muslim”.Karena itu, apabila kita berangkat dari penjelasan-penjelesantersebut, maka ayat-ayat yang disebutkan dalam al-Quran, perihalredaksi “islam”, menjadi inklusif. Seorang Kristen yang aslama bisakita katakan sebagai “muslim”, demikianpun seorang Hindu, Budhadan seterusnya. Sehingga kita juga bisa mengatakan sebaliknya,di mana seorang yang KTP-nya Muslim, dapat disebut non-Muslim, karena dari sikap dan cara hidupnya yang tidak pasrahkepada Tuhan. Saya kira hal seperti ini perlu dijelaskan lebih jauhsehingga orang benar-benar mengerti. Itu yang kerap saya katakanlebih baik kita fokus menjelaskan al-Quran ketimbang megikutiapa yang dilakukan oleh para muballigh (da’i) kita yang banyakmenyampaikan Hadits-hadits yang belum kita tahu apa benarMoch. Qasim Mathar – 1623


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Nabi Muhammad memang bertindak demikian dan mengatakanhal-ihwal tersebut.Karena itu, untuk lebih valid dan bertanggung jawab dalammeletakkan sebuah Hadits, maka setiap saya hendak mengutip Haditsbiasanya saya menelpon terlebih dahulu kepada kawan saya,dosen UIN Makassar untuk mengetahui setidaknya bagaimanakualitas Hadits tersebut menurut dia. Biasanya, karena berhatihatinya,“Tunggulah!”, katanya untuk terlebih dahulu mengecekisi dan kualitas Haditsnya. Sebagaimana kita ketahui, Hadits itubegitu banyak, sehingga kita khawatir kalau kita tergesa-gesa menyampaikandan mengutip suatu Hadits. Memang, Quraish Shihabpernah mengatakan: “Ketimbang orang menggunakan katakatahikmah, lebih baik menggunakan Hadits”. Tetapi saya kurangsetuju dengan apa yang dikatakan oleh Pak Quraish. Karenasaya ingin ketika menyampaikan suatu Hadits, kita benar-benarmendapatkan keyakinan bahwa yang dikatakan oleh Hadits itumemang patut dinisbahkan (dikaitkan dan disandarkan) kepadaRasul. Sebab, banyak sekali kata-kata yang terdapat dalam suatuHadits dan bisa jadi itu sama sekali bukan penuturan Nabi Muhammad;atau kata-kata tersebut tidak pantas disampaikan olehseorang Nabi. Maka saya harus bertanya dan meneliti secara lebihselektif pada setiap Hadits. Oleh sebab itulah, menurut saya, lebihbaik memakai kata-kata filosofi yang sudah jelas siapa filosof yanghendak kita kutip ketimbang mencomot sana-sini Hadits yang kitatidak mengetahui kualitasnya.Banyak yang menilai pandangan keagamaan Anda, yang terlampaurasional dan kritis, sebagai pandangan seorang Mu’tazilah.1624– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Seseorang disebut Mu’tazilah kalau orang tersebut meyakinilima prinsip Mu’tazilah secara utuh. Akan tetapi, apakah kalau limaprinsip itu tidak seluruhnya dipegang teguh dan mungkin orangmelihatnya hanya mirip-mirip semata, apakah yang seperti itu lantasdapat juga disebut sebagai penganut Mu’tazilah? Sungguhpundemikian, bagi saya, kesalahpahaman banyak orang terhadap saya,tidaklah terlalu mengganggu. Seperti halnya oleh beberapa orangsaya sampai dianggap kafir, namun, lagi-lagi, hal tersebut tidaklahmengganggu, karena perasaan dan iman saya tetap sama sebagaimanayang saya yakini. Kendatipun banyak orang mengatakan sayaMu’tazilah atau mengatakan bahwa saya anti-ini, anti-itu dan seterusnya,namun demikian saya netral saja. Dalam hal ini saya jugamelihat bahwa tipe dan pemahaman setiap orang berbeda-beda.Karena itu, ketika saya dihubungi seseorang lewat sms, misalnya,dengan tuduhan bermacam-macam terhadap pemikiran Islam sayayang mereka anggap sudah melenceng, saya balas dengan sms juga.Hal ini saya lakukan karena saya hendak mencoba berdialog denganmereka, walaupun hanya melalui sms.Wawancara dilakukan di Makassar, 10 Desember 2006Moch. Qasim Mathar – 1625


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganMohammad Imam AzizMohammad Imam Aziz, Dewan Pendiri Syarikat Islam. Ia juga ikut mendirikanForum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB Yogyakarta), tahun 1998,dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS Yogyakarta) di mana ia pernah menjadidirekturnya (1996-1998).1626


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Para perumus teologi pembebasan dalam Islam meyakini bahwarealitas harus menjadi sesuatu yang direfleksikan sebagaimanayang diperlihatkan agama pada masa-masa awal kemunculannya.Dalam konsep negara Madinah, Nabi tidak memaksakan suatuagama tertentu untuk menjadi platform bersama. Platform yangdiambil justru sama sekali sekular. Nabi mencontohkan modelmasyarakat yang ditata oleh aturan-aturan yang disepakati bersamamelalui musyawarah, tidak oleh doktrin atau hukum agama.Gambaran yang sangat demokratis. Problemnya, praktik demokrasikita sekarang sama sekali belum memenuhi prasayarat palingutamanya, yaitu semua orang boleh berpendapat, dengan melaluimekanisme prosedural dan substansial sekaligus, juga mencapairekonsiliasi atas trauma-trauma masa lalu segenap anak bangsayang belum didamaikan.Mohammad Imam Aziz – 1627


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam sejarahnya, sekularisme lebih dikenal sebagai pemisahan antaraagama dan negara. Akibatnya, peran dan fungsi agama di tengahkehidupan masyarakat kian memudar. Dari sini kemudian munculberbagai gerakan di mana agama berusaha ditampilkan kembali kewilayah publik guna merespon persoalan kemanusiaan. Di AmerikaLatin bermunculan teologi pembebasan. Di Islam juga sempat munculgagasan serupa model Ali Syariati, Hasan Hanafi dan Farid Essack.Bagaimana pandangan Anda perihal pasang-surut peran agama dalamkehidupan masyarakat?Perkembangan teologi pembebasan di dalam Islam tak ubahnyaseperti teologi kontemporer yang merumuskan konsep-konsepuntuk menanggapi isu-isu riil. Konteks munculnya teologi pembebasandi Amerika Latin sendiri juga dalam rangka menanggapiisu riil: otoritarianisme dan kemiskinan. Permasalahannya, di Indonesia,hampir semua konsep mengenai apapun menjadi lemah.Katakanlah, sebagai contoh, konsep tentang buruh. Konsep buruhdi Indonesia tidak seperti buruh di Eropa. Konsep buruh di Eropatidak terjadi di sini. Demikian juga, konsep “revolusi buruh” tidakpernah terjadi di sini. Teologi pembebasan, di sini, juga menjadilunak. Orang mengharapkan teologi pembebasan di Indonesiamuncul dari Islam, karena kalau dilihat dari praksis, apa yang dialamioleh rakyat Indonesia, tak lain direfleksikan oleh pandanganteologinya. Di Amerika Latin, romo-romo Katolik bisa melakukanradikalisasi rakyat, bahkan mengesahkan penggunaan senjata. Disini hal seperti itu tidak mungkin terjadi.Apakah menurut Anda agama pada dasarnya memiliki peran danfungsi publik untuk selalu mencermati dan merespon isu-isu sosial1628– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–seperti problem kemiskinan dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya?Pasalnya, pada sisi lain, ada semacam kekhawatiran bahwa ketikaagama dijadikan legitimasi untuk persoalan publik, agama dapatmenampilkan wajahnya yang tidak santun, seperti pencabutan hakhaksipil, pemicu konflik dan sebagainya. Apakah fungsi dan peranagama memang harus dipublikkan?Itu dua hal yang mungkin bisa dipilah-pilah. Di satu sisi agamamempunyai dimensi privat. Yakni penghayatan orang terhadapagamanya bersifat privat. Dalamdiri kita yang sama-sama IslamDalam negara Madinah, Nabisaja, bisa berbeda-beda dalamtidak memaksakan suatu agamapenghayatannya. Namun, agamatertentu untuk menjadi platformjuga mempunyai dimensi publik. bersama. Platform yang diambilSebab, agama mempunyai perangkatanalisis yang multi-in-telah mencontohkan bagaimanajustru sama sekali sekular. Nabiterpretasi. Ini juga uniknya kitab satu masyarakat yang ditata olehsuci. Para perumus teologi pembebasansendiri meyakini bahwa bersama melalui musyawarah,aturan-aturan yang disepakatirealitas harus menjadi sesuatu tidak oleh doktrin atau hukumyang direfleksikan sebagaimana agama tertentu. Sayangnyayang diperlihatkan agama pada kemudian model negaramasa-masa awal kemunculannya.Islam sendiri dimulai de-Madinah Nabi itu ditafsirkan olehumat Islam sekarang sebagaimodel negara Islam.ngan pembebasan orang-orangkelas rendahan yang tertindas,membangkitkan jati diri mereka sehingga memiliki harga diri yangsama dengan orang-orang lain. Agama tidak sekadar dipahami se-Mohammad Imam Aziz – 1629


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bagai sesuatu yang mati. Selain tercakup pada teks, agama jugamemiliki sisi historis yang selalu dinamis.Salah satu kecaman terhadap agama adalah bahwa dia kerap menyebabkanterjadinya konflik. Dalam pandangan Anda sendiri bagaimanamenanggapi wajah ganda agama yang di satu sisi bisa diinterpretasikansebagai ramah sosial, memihak yang lemah dan menghargaiyang lain; tetapi pada sisi lain ditafsirkan secara eksklusif – gagasantentang jihad, memerangi yang dianggap sesat dan kafir, dan seterusnya?Lantas bagaimana Anda menanggapi fenomena munculnyafundamentalisme agama?Saya melihat bahwa sebetulnya agama, pada awalnya, adalahsatu cara berpikir. Yang menjadi problem apakah cara berpikiritu persis seperti yang teks katakan, tanpa interpretasi, atau kitamempunyai pilihan-pilihan atas teks sehingga bisa memilih caraberpikir yang memang sesuai bagi masing-masing konteks penafsir.Sebagaimana dideskripsikan dalam sosiologi pengetahuan, kalaulatar belakang saya petani, cara berpikir saya akan secara otomatisjuga seperti petani. Maka saya akan melihat al-Quran dengandesentring-nya lebih ke petani. Di situlah letak benturan-benturanpenafsiran agama terjadi.Saya tidak percaya bahwa al-Quran, dengan sendirinya, akandapat membentuk orang. Bagi saya itu lebih sebagai perpaduanantara teks dengan pengalaman seseorang. Kitab suci memang bisamembentuk orang, tetapi pada diri setiap orang tetap mempunyaipilihan. Pemikiran seperti ini, kalau mau dikatakan subyektif, memanglahsubyektif – tentunya bukan dalam hal yang bersifat ritual.Melihat begitu banyaknya tafsir al-Quran mengenai fikih dan seba-1630– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–gainya, di situ terlihat bahwa orang dibentuk pada situasi di manadia hidup dan menjadikan teks sebagai pilihan untuk menjalani kehidupannya.Karena itu, fundamentalisme juga berkait erat denganpilihan orang: apakah diamau bersikap fundamentalis Menurut saya, negara Madinahatau tidak, sebenarnya tergantungpada perkembangan Islam, melainkan negara sekular.sama sekali bukan model negaraorang tersebut.Negara yang memisahkan antaraagama, urusan agama yang dianutoleh masyarakatnya, dengan aturanSelama ini banyak pihak memandangAnda sebagai orang paling dasar adalah kesepakatanbersama. Di situ terlihat bahwa yangyang konsisten mentransformasikanagama secara profe-dilanggar, terjadilah masalah.bersama. Begitu kesepakatantis. Ada sisi emansipatif dariagama yang harus diperjuangkan. Bagaimana cara Anda menerapkanagama pada model penafsiran sosial seperti itu?Pilihan-pilihan atas sikap beragama itu harus dilihat dari konteksnya.Saya sendiri harus dilihat latar belakangnya kenapa melakukanpenafsiran demikian. Rumusan-rumusan sebagaimana yangterdapat dalam penafsiran saya tentang agama yang dikaitkan denganproblem sosial yang ada, sebenarnya semua sudah tersediadi kitab suci sendiri. Yang paling sulit bagi kita adalah bagaimanaagar dapat memilih jalannya secara konsisten. Al-Quran sendirimenyebut pilihan jalan itu sebagai subul, (Wa al-ladzîna jâhadûfînâ lanahdiyannahum subulanâ). Di situ dikatakan subul (bentukjamak) bukan sabîl (tunggal). Artinya agama menyediakan banyakjalan dan pilihan. Bagi orang yang bersungguh-sungguh, Tuhanakan menunjukkan banyak jalan. Hal seperti ini, menurut saya,Mohammad Imam Aziz – 1631


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–menarik. Bahwa pilihan sifatnya eksperimental, itu pasti. Karenadalam Islam, kalau orang berijtihad, salah pun tetap berpahala. Tuhansangat adil. Itu sangat mendewasakan umat. Dalam konteksitulah saya bersikap terhadap fundamentalisme.Jika agama dalam konteks sosial merupakan interpretasi atau pilihanmasing-masing orang, di sinilah negara, dalam hal ini negaramodern, harus masuk untuk menjamin bahwa semua pilihan setiaporang akan aman dan dijamin hak-haknya, sehingga mereka denganleluasa melakukan pilihan-pilihan atas apa yang diyakininya. MenurutAnda hubungan seperti apakah yang harus dibangun antaranegara dan agama?Kalau dasarnya adalah pilihan-pilihan pribadi maka memangharus ada aturan dasar yang disepakati. Dulu, ketika Nabi mempunyaieksperimen negara Madinah, juga terlebih dahulu dilakukankesepakatan-kesepakatan. Perintah membuat negara Madinahsendiri tidak terdapat dalam al-Quran. Tetapi karena tuntutan sosialpolitik, Nabi kemudian mempunyai inisiatif untuk membuatmodel seperti itu, meski mungkin juga tidak membuatnya secarasengaja. Namun prinsip dari negara Madinah model Nabi itu adalahbahwa pluralitas harus dijaga dan harus ada dasar yang disepakatibersama. Dasar-dasar itulah yang harus diambil dan ditaati olehmasyarakat. Salah satu dasarnya adalah apakah agama tertentu dijadikanlandasan bersama oleh semua orang atau tafsir atas agamatertentu akan dijadikan pedoman bagi semua orang. Melihat eksperimenNabi di Madinah, ternyata pilihan itu tidak dilakukan.Memang semua orang memiliki agama sendiri-sendiri, tapi platform1632– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bersama yang disepakati adalah bahwa keamanan dan kesejahteraanharus dijaga dan diwujudkan secara bersama-sama.Dalam negara Madinah, Nabi tidak memaksakan suatu agamatertentu untuk menjadi platform bersama. Platform yang diambiljustru sama sekali sekular. Nabi telah mencontohkan bagaimanasatu masyarakat yang ditata oleh aturan-aturan yang disepakati bersamamelalui musyawarah, tidak oleh doktrin atau hukum agamatertentu. Sayangnya kemudianmodel negara Madinah Nabi Kalau kita menginginkanitu ditafsirkan oleh umat Islamsekarang sebagai model cara satu-satunya adalah dengankebebasan yang sebenarnya, makanegara Islam.membiarkan orang lain untukMenurut saya, negara Madinahsama sekali bukan mo-memiliki kebebasan yang sama.del negara Islam, melainkan negara sekular. Negara yang memisahkanantara agama, urusan agama yang dianut oleh masyarakatnya,dengan aturan bersama. Di situ terlihat bahwa yang palingdasar adalah kesepakatan bersama. Begitu kesepakatan dilanggar,terjadilah masalah.Jadi, mari kita kembali kepada dasar agama yang bersifat privat.Bagi saya setiap orang bisa menafsirkan agamanya dengan bermacam-macam.Setiap orang boleh hidup dengan penafsiran sendirisendiri.Sungguhpun demikian, pada taraf tertentu masing-masingindividu harus taat pada kesepakatan bersama. Kalau sekarangagama-agama memiliki caranya sendiri dalam menerjemahkan bagaimanakesejahteraan ekonomi diperoleh, silakan masing-masingdikedepankan. Akan tetapi tetap harus ada kesepakatan tertentuagar sisi ekonomi itu bisa berjalan untuk semua orang.Mohammad Imam Aziz – 1633


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Untuk konteks Indonesia, di mana masyarakatnya sangat plural, bagaimanaAnda menerjemahkan prinsip-prinsip agama sehingga menjadikonsensus yang adil untuk bersama, tidak terjadi kesepakatanyang sepihak dan terlampau mementingkan yang mayoritas ketimbangmengakomodir minoritas?Prinsip dasar kesepakatan yang adil untuk semua harus selaludiperjuangkan karena kita berkembang dalam situasi yang mungkinmasing-masing kelompok mempunyai posisi yang kuat. Tentusaja, masyarakat Islam, kelompok agama lain, dan kelompok adatpun sama-sama kuat. Mempertemukan kelompok-kelompok itusecara bersamaan memang sangat susah. Di sisi lain, semua orangberhak memperjuangkan pilihannya.Dalam konteks itu sebetulnya saya menganggap bahwa negarakita belum final. Prinsip-prinsip dasar yang semestinya disepakatimasih sangat lemah. Implementasi suatu rumusan bersama dari soalekonomi, ketahanan-keamanan, pengelolaan kesejahteraan, sampaipersoalan politik, memang tidak akan pernah final. Namun yangpaling penting semua itu dijamin. Makanya, sekali lagi, bagi sayayang terpenting adalah semua aspirasi harus dijamin sampai yangfundamentalis sekalipun. Oleh karena itu, harus disepakati sejakawal bahwa tidak boleh memperjuangkan semua hal dengan kekerasan.Hal inilah yang selama ini terlewatkan. Bagaimana caranyasupaya kita sepakat bahwa siapapun, kalau mau memperjuangkansesuatu, tidak boleh memakai kekerasan, baik kelompok masyarakatatau negara sekalipun.Bagaimana jika lewat jalur yang demokratis, seperti membuat partai,mengikuti pemilu, menetapkan perda syariah atau perda Anti-Maksiat,1634– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang sama sekali tidak dengan kekerasan, namun dalam praktiknya,ketika mereka berkuasa secara politis, kemudian hanya menjadikannilai-nilainya sendiri sebagai nilai utama dan paling luhur, sehingganilai-nilai lain, yang berbeda, tidak bisa muncul dan terpinggirkan;lantas bagaimana Anda melihat kecenderungan seperti itu yang tengahmenggejala di berbagai daerah?Persoalannya, kenapa hal tersebut sampai bisa terjadi? Karenakondisi seluruh warga yang ada belum imbang. Demokrasi yangdipakai oleh kita sekarang ini, pada hemat saya, sama sekali belummemenuhi prasayarat paling utamanya, yaitu semua orang bolehberbicara dan berpendapat. Kalau ada seseorang atau kelompokyang mau berjuang lewat partaipolitik, maka yang lain pun Menurut saya, orang Islam belumharus diperbolehkan. Sekarang punya hak untuk mengatakanmasih sangat banyak elemen pluralisme sebelum mengakuiatau orang-orang yang tidak secara teologis bahwa adaboleh berpolitik. Orang-orang keselamatan di luar masjid.yang disebut sosialis, komunis,kalangan masyarakat adat, masih belum mendapatkan tempat dalampartisipasi demokratis. Artinya berjuang lewat demokrasi seperti sekarangini belum sah sebelum semua orang, pendapat atau aspirasidalam bentuk apapun diperbolehkan tampil secara adil.Bagi saya, kalau sekarang ada yang berjuang lewat perda dansebagainya, kemenangannya itu sama sekali belum sah. Saya tidakmelihat dari sisi hukumnya, tapi dari hak asasi manusianya,di mana pada kenyataannya masih banyak pihak yang direpresi.Pihak yang satu merepresi pihak yang lain, misalnya, lantas yangkuat dan dominan berjuang, sehingga wajar kalau bisa menang.Mohammad Imam Aziz – 1635


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Seolah-olah sudah melalui mekanisme yang demokratis, padahalsama sekali belum.Kalau kita melihat beberapa kasus di Eropa, seperti Jerman yangsecara kuantitatif telah memiliki nilai demokrasi yang tinggi, tetapmelarang munculnya Nazi. Kasusnya agak mirip dengan di Indonesia.Karena trauma akan masa lalu, orang-orang yang disebut sosialis,eks-komunis, dirampas hak politiknya.Bagi saya, negeri manapun atau pada siapapun kita merujukuntuk mencapai cita-cita demokrasi, bukan menjadi problem utamakita. Sebab, bagaimanapun, berangkat dari konteks yang tengahdihadapi, kita harus tetap berjuang untuk demokrasi yang adil.Demokrasi sekarang ini sama sekali belum adil. Seolah-olah startnyasudah sama, padahal sebelumnya, orang lain disuruh “minggir”terlebih dahulu. Maka sudah dapat dipastikan siapa yang akhirnyaakan bisa memenangkan perlombaan itu. Bagi saya itu perbuatanyang sangat licik.Problem ketidakadilan di Indonesia yang menimpa kalangan minoritas,hampir sudah menjadi sesuatu fenomena yang membudaya danmengakar lama. Misalnya, karena yang mayoritas di Indonesia adalahIslam, dengan masyarakat yang cukup religius, maka apa yang selamaini diperjuangkan oleh Anda agar masyarakat eks-tapol (tahanan politik)komunis dan keluarganya juga memiliki hak politik yang samadengan masyarakat lain pada umumnya, bagi kebanyakan masyarakatadalah suatu usaha yang sama sekali tidak bisa diterima.1636– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Itu problem akut bangsa ini. Makanya kita juga seharusnyatidak usah mengeluh kalau kemudian muncul fundamentalisme.Karena dalam sejarahnya kita telah melakukan represi yang luarbiasa terhadap satu golongan tertentu. Masalah ini, menurut saya,tak ubahnya seperti daur hidup. Kalau salah satunya saja dipotong,maka akan terjadi ketidakseimbangan. Iklim sekarang berubah-ubahsecara ekstrem, karena beberapa daur hidupnya telah terpotong.Kita selalu mengeluh kenapa fundamentalisme muncul di Indonesia,sementara tidak pernah mengeluh kenapa yang bersikap kritistidak boleh muncul juga di Indonesia. Seharusnya semua itu dilihatsecara seimbang. KalauPerintah membuat negara Madinahsudah imbang, tinggal bagaimanabersama-sama berjuangsendiri tidak terdapat dalam al-Qur’an. Tetapi karena tuntutan sosialdengan cara damai, tidak adapolitik, Nabi kemudian mempunyaikekerasan.inisiatif untuk membuat modelSekarang secara umum seperti itu, meski mungkin juga tidakkita hampir saja menyimpulkandan menganggap bahwa prinsip dari negara Madinah modelmembuatnya secara sengaja. Namunorang-orang kiri selalu memakaikekerasan dalam perju-harus dijaga dan harus ada dasarNabi itu adalah bahwa pluralitasangannya. Padahal, sekarang yang disepakati bersama. Dasardasaritulah yang harus diambil danlihat siapakah yang sekarangini menggunakan kekerasan? ditaati oleh masyarakat. Salah satuDi satu sisi ada kelompok dasarnya adalah apakah agamayang menuduh bahwa kelompok“X” telah memakai ke-tertentu dijadikan landasan bersamaoleh semua orang atau tafsir atasagama tertentu akan dijadikankerasan, sementara pada sisipedoman bagi semua orang.lain kelompok yang menu-Mohammad Imam Aziz – 1637


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–duh tersebut juga melakukan kekerasan dalam menjalankan tujuannya.Terkait peran dan fungsi negara, dengan segala ketidakoptimalan penegakanhukum, sebagaimana telah Anda utarakan, lantas bagaimanadan dari mana kita memulai agar negara bisa menjamin, melindungidan memenuhi semua pilihan yang berhubungan dengan hak-hak sipildan hak-hak politik serta ekonomi, sosial dan budaya agar tumbuhbersama secara adil dan fair?Apabila kita bertanya negara itu siapa? Maka jawabnya: tentunya“kita semua” juga. Negara itu sistem di mana kita jugatermasuk di dalamnya. Rakyat adalah bagian dari negara. Kalauberbicara aparatur negara, baru bisa bermacam-macam. Sungguhpundemikian, sebetulnya bagaimananya corak lembaga-lembaganegara, sangat tergantung pada kita semua. Makanya negara tidakakan pernah final. Kalau menganggap negara sekarang sudah final,itu berbahaya. Karena masih banyak kelompok yang masih belumbisa berbicara.Seharusnya seluruh elemen masyarakat, baik kelompok adat dankelompok seperti Kejawen dan sejenisnya di negeri ini, juga mestiditanya bagaimana menurut pandangan mereka cara mengelolanegara, sistem sosial, ekonomi dan sebagainya. Banyak hal yangternyata baru kita ketahui sekarang, karena memang sejak dulukita semua tidak pernah ditanya dan diajak untuk berpendapat.Yang dianggap mewakili pendapat paling bagus selama ini hanyaorang-orang pintar. Padahal itu saja tidak cukup. Kelompok-kelompokorang yang dianggap “bodoh”, orang-orang yang bertapadi gunung-gunung, dukun-dukun, kiai-kiai, orang-orang yang sela-1638– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ma ini tidak pernah diajak berbicara pun seharusnya juga ditanya,dimintai pendapat.Satu hal yang paling penting adalah“rekonsiliasi” nasional. Kita sebagaiJika demikian idealnya, apakahbagi Anda sendiri meka-betul. Sekarang ini kita seolah-olahsuatu bangsa sudah tercabik-cabiknisme pemilu sebagai prasyaratdemokrasi prosedural be-yang saling bermusuhan. Bagi saya,jalan bersama meski dengan situasilum mencukupi?kalau demokrasi masih diartikanseperti itu, sebatas pada prosesTentu saja pemilu belumpemilu, maka hanya akan tercapaicukup. Karena pemilu hanyapada prosedurnya saja. Padahalmemakai partai politik yang demokrasi tidak hanya prosedur,sifatnya masih ada pembedaanmayoritas-minoritas.tetapi juga susbtansi.Di situ masih ada ketentuan-ketentuan yang sama sekali belummemenuhi syarat. Apalagi ada larangan-larangan yang kadangkalasudah dianggap sebagai kesepakatan yang pasti dan mengikat. Seharusnya,karena negara belum final, kesepakatan pun harus selaludiperbaharui, jangan mandek di satu titik. Karena ternyata sikapseperti itu bisa menimbulkan efek psikologis seperti munculnyafundamentalisme, pemaksaan sebagian ajaran agama menjadi perda,dan lain-lain. Misalnya dalam kasus tertentu, mengapa yangitu boleh jalan, sementara yang lain tidak? Itu terjadi karena parapemegang otoritas yang bersikap tidak adil.Masalahnya prosedur yang bisa mempersilakan semua elemen untukbisa tampil mengeluarkan pendapat dan didengar oleh semua, termasukinstitusi negara, hanyalah demokrasi. Sedangkan mekanismeMohammad Imam Aziz – 1639


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–demokrasi yang dipraktikkan adalah sistem perwakilan. Makanya sangatwajar kalau pada akhirnya tidak semuanya bisa tampil. Kalaukita menghendaki bahwa yang ideal adalah dengan juga menanyakanorang-orang yang di pinggiran, kalangan miskin, tidak terpelajar, yangdirugikan secara materil dan spiritual, tanpa mengatakan bahwa haltersebut tidak mungkin, maka pasti model seperti itu sangat susah.Lantas mekanisme apa yang bisa merangkul semuanya?Satu hal yang paling penting adalah “rekonsiliasi” nasional.Kita sebagai suatu bangsa sudah tercabik-cabik betul. Sekarang inikita seolah-olah jalan bersama meski dengan situasi yang salingbermusuhan. Bagi saya, kalau demokrasi masih diartikan sepertiitu, sebatas pada proses pemilu, maka hanya akan tercapai padaprosedurnya saja. Padahal demokrasi tidak hanya prosedur, tetapijuga susbtansi. Dulu, kita sudah berbicara banyak bahwa demokrasiprosedural itu tidak cukup. Lantas untuk mencapai demokrasiyang lebih substansial itu dengan cara apa? Untuk hal ini, kitajuga sudah pernah mewacanakan konsensus nasional. Konsensusnasional itu sendiri syaratnya adalah terlebih dahulu tercipta rekonsiliasibersama yang melibatkan semua pihak. Tidak mungkintercapai konsensus yang ideal kalau dalam tubuh bangsa ini masihpenuh dengan permusuhan.Dalam konteks tersebut, rekonsiliasi artinya semua elemenyang ada saling mengakui bahwa saya telah bersalah, yang lainjuga demikian. Kita semua pernah bersalah, tidak selalu benar, danitu tidak usah dipermasalahkan lagi. Namun yang terpenting, satuhal yang harus dilakukan sekarang, adalah jangan mengulangi lagikesalahan yang pernah dilakukan pada masa lalu itu.1640– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dulu, di satu pihak, negara tidak adil terhadap wilayah-wilayahtertentu, seperti kasus Aceh, Papua, dan sebagainya. Karenaitu harus dibuat catatan bersama yang tegas: negara tidak bolehmenganaktirikan daerah lagi. Semua kesalahan, dalam proses rekonsiliasiitu, akan diberi catatan. Semua kesalahan dicatat dan tidakboleh diulangi lagi, termasuk trauma-trauma, pemberontakan-pemberontakanyang pernah dilakukan oleh kelompok-kelompok agama,politik, daerah, dan sebagainya juga diberikan catatan. Kalausudah begitu maka kesimpulannya, tentu saja, semuanya pernahmelakukan kesalahan. Sehingga yang terpenting, sekarang, sekalilagi, tidak boleh mengulangi kembali kesalahan itu. Setelah itu,mari kita merumuskan kesepakatan-kesepakatan baru, tidak sekadarcuap-cuap soal Pancasila dan UUD ‘45, tetapi juga diisi dengan semangat-semangatbaru yangrekonsiliatif. Konsensus haruslahseperti itu. Kita harus jalan dan pilihan. Bagi orang yangAgama menyediakan banyakmemulai lembaran dari awal, bersungguh-sungguh, Tuhan akankarena banyak hal yang belumterselesaikan. Papua dan seperti ini, menurut saya, menarik.menunjukkan banyak jalan. HalAceh sampai sekarang belum Bahwa pilihan sifatnya eksperimental,sepenuhnya rela menjadi Indonesia,dan kita tidak bisaitu pasti. Karena dalam Islam,kalau orang berijtihad, salah puntetap berpahala. Tuhan sangat adil.menutup-nutupinya.Itu sangat mendewasakan umat.Dalam konteks itulah saya bersikapApakah rekonsiliasi sebagai alternatifyang Anda dorong un-terhadap fundamentalisme.tuk negeri ini agar tercipta tatanan yang ideal dapat begitu saja tercapai,sementara di tengah masyarakat masih terekam nyata traumaMohammad Imam Aziz – 1641


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mendalam bagi beberapa kelompok yang pernah mengalami konflik?Lantas bagaimana cara yang paling mungkin untuk mengeliminir danmerehabilitasi stigma terhadap kelompok tertentu karena dianggapsebagai sumber trauma bagi sebagian kelompok yang lain?Jika persoalannya seolah begitu rumit untuk menciptakan rekonsiliasinasional, maka kita kalkulasikan saja: siapa yang merasapaling bersih di Indonesia ini. Siapa yang merasa tidak pernahmelukai yang lain dan tidak pernah membuat trauma di negeriini? Ada atau tidak, siapa atau kelompok yang mana, partai politikmana (misalnya, partai politik yang baru mungkin belum melakukankesalahan, meski juga masih bisa ditanya, karena beberapaorang di dalamnya, barangkali, adalah muka-muka lama yangpernah duduk pada partai politik yang lama)?Jadi, kita harus sama-sama terbuka untuk mengetahui dan memulaisemua itu. Yang harus ditekankan di sini, kalkulasi ini sendiripun tidak bisa hanya berdasar pada klaim. Orang-orang di Aceh,misalnya, dulu trauma kepada TNI dan Brimob, sekarang orangPasuruan trauma pada Angkatan Laut, dan banyak trauma-traumalain yang dulu terlihat tidak menjadi trauma. Menata kembali halhalseperti itu penting dilakukan sebagai upaya untuk dapat dudukbersama dan memulai kembali konsensus nasional yang sesungguhsungguhnya.Barulah kita bisa memulai demokrasi lagi.Demokrasi harus memiliki latar historis. Tidak ada demokrasiyang tidak mempunyai akar. Amerika mempunyai demokrasi,karena dia juga mempunyai latar belakang konflik yang luar biasabesar, perang sipil dan rasisme misalnya, untuk kemudian mewujudkansistem demokrasi. Eropa juga sebelum demokratis, diwarnaidengan konflik berkepanjangan. Dalam urusan mengatasi panjang1642– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dan beratnya trauma sebagaimana yang menimpa masyarakat Eropa,negara kita masih kalah jauh.Satu hal yang perlu dicatat dari sejarah mereka adalah sikapmau mengakui. Meski kenyataannya sekarang juga terlihat mulaimuncul lagi sikap-sikap pemicu konflik seperti gerakan dari kelompokkanan yang anti-Yahudi atau Kristen Ortodoks. Tetapihal seperti itu tidak apa-apa, sebab dari situ mereka akan belajarkembali untuk berdemokrasi, demikian seterusnya. Bagi Indonesia,menurut saya, sudah selayaknya kita harus kembali memperbaharuikomitmen berbangsa. Oleh karenanya, semakin banyak masalahyang kita hadapi, semakin harus cepat pula penyelesaiannya, janganditunda-tunda, apalagi diwariskan ke generasi selanjutnya.Apakah salah satu upaya untuk mewujudkan demokrasi yang ideal kitamesti melakukan perubahan pada konstitusi dan dasar negara kita?Bisa saja hal tersebut dilakukan. Tetapi persyaratannya semuakelompok harus mempunyai kesempatan yang sama untuk berbicara.Tidak seperti sekarang ini, tiba-tiba DPR membuat RancanganUndang-Undang Pornografi dan Pornoaksi, seolah-olah yang dilakukansudah demokratis, ternyata di sebelah sana masih banyakyang bilang tidak sepakat. Artinya, demokrasi sebenarnya belumseutuhnya dijalankan. Perda syariah, misalnya, meski telah melaluidemokrasi prosedural dengan digodok terlebih dahulu pada tingkatlegislatif sebelum menjadi keputusan eksekutif, tidak menjaminhidup kita sebagai bangsa menjadi lebih baik.Kita harus bertanya secara kritis mengenai hal itu secara terus-menerus.Lebih baik sedikit undang-undang tapi bisa memberiMohammad Imam Aziz – 1643


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–semua orang kebebasan dan rasa aman, daripada banyak undangundangnamun membuat bangsa menjadi terpecah-belah.Kita semua menyadari bahwa Indonesia sangat majemuk, ada beragambahasa, agama, suku, dan lain-lain. Kalau kita tengok sedikitke belakang, ketika MUI mengharamkan pluralisme dengan alasanbahwa pluralisme cenderung mengarah kepada sinkretisme, penyamaansemua kebenaran agama – di samping oleh beberapa kalangan pluralismejuga dipandang merelatifkan semua kebenaran agama, lantasbagaimana Anda memahami pluralisme?Bagaimanapun, sudut pandang yang dipakai oleh MUI dengankita memang berbeda. MUI masih melihat bahwa Islam ituseperti entitas tunggal yang melingkupi semuanya. Cara pandangini sendiri, bagi saya, merupakan bakat-bakat totalitarianisme Islam.Husnuzhzhann-nya bahwa yang dikritik oleh MUI adalah soal“isme”-nya. Kendati keyakinan terhadap pluralisme, seperti dalamdefinisi mereka, tetap tidak boleh ditolerir. Sebab, fatwa tersebutberusaha untuk menciptakan tidak adanya perbedaan dalam beragamadan berkeyakinan.Dalam tingkat tertentu, pemahaman kita tentang konsep Indonesiajuga sebenarnya masih demikian. Kita bilang bahwa Indonesiaitu plural, padahal sebenarnya yang dipikirkan cuma satu.Semangat totaliatarianisme sebenarnya masih tetap ada padadiri bangsa Indonesia. Bagi saya, menganggap realitas sebagai satu,itu tidak bisa. Masalahnya, terkadang kita sendiri tidak konsekuendengan jargon pluralitas yang kita ketahui. Semangat kita plural,namun pada praktiknya tetap mengakui ketunggalan. Meski semboyannyaBhinneka tunggal ika, tetap saja hanya mengakui ketung-1644– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–galan. MUI menganggap pluralitas itu tidak ada, sementara, di sisilain, kita mengakui pluralitas namun, dalam praktiknya, sekaligusjuga kerap tidak mengakuinya.Benar, pandangan monis dalam berbagai aspek kehidupan kerap tidaksadar kita amalkan. Inilah sebab utama yang mudah menyeretmasyarakat ke dalam paham-paham dan tindakan yang totaliter, mereduksikanyang majemuk menjadi tunggal. Dalam agama dikenalmonoreligius. Sebagai contoh, setiap agama memiliki konsep salvation,keselamatan. Artinya setiap agama memiliki klaim keselamatan dankebenarannya masing-masing dengan – jika diekstremkan – menganggapyang lain sebagai salah dan sesat. Pendeknya, sulit menghargaikeragaman kebenaran dalam beragama. Dalam Islam misalnya,pluralisme diharamkan karena keselamatan hanya ada pada Islam.Pluralisme yang beranggapan bahwa semua agama memiliki kebenarannyamasing-masing, menurut kalangan yang menentangnya, hanyaakan mengakibatkan lemah atau bahkan tercabutnya iman umat.Bagaimana Anda memahami konsep keselamatan dan apa implikasinyaterhadap pluralisme?MUI sudah secara jujur berbicara seperti itu. Mungkin, sebenarnya,dalam hati kita juga ingin mengatakan bahwa keselamatanhanya ada pada Islam. Sementara, bedanya dengan Katolik, agamatersebut mengakui bahwa keselamatan terdapat di luar gereja.Menurut saya, orang Islam belum punya hak untuk mengatakanpluralisme sebelum mengakui secara teologis bahwa ada keselamatandi luar masjid. Saya melihat, dalam hal itu MUI benar, karenamemang tuntutan teologisnya masih seperti itu. Sekarang siapaMohammad Imam Aziz – 1645


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang berani mengatakan bahwa keselamatan itu ada di luar Islamjuga, dengan jaminan teologis yang ada dalam al-Quran?Kalau terjemahan MUI sudah secara tegas seperti itu, bagaimanatafsir Anda terhadap pluralisme dalam Islam?Sepanjang pengetahuan saya terhadap al-Quran, landasan teologispluralisme memang tidak ada.Doktrin al-Quran yang menegaskan bahwa orang yang di luar Islamjika berbuat baik dan beramal saleh maka kebaikannya juga akandicatat, diberi pahala, dan akan dibalas dengan rahmat yang sama,bagi beberapa orang ayat itu menjadi legitimasi teologis dari pluralismedalam Islam. Bagaimana menurut Anda sendiri?Tetapi, bagaimanapun juga, versi terakhir dari tafsiran ayatitu juga tidak diakui. Artinya MUI telah jujur mengatakan bahwadalam arti itulah kebenaran yang diyakini Islam, dan sampaisekarang belum ada pihak yang mendeklarasikan bahwa ada keselamatandi luar Islam.Padahal kalau kita kembali ke ayat-ayat yang lebih awal, sebetulnyaIslam itu longgar saja. Sayang di bagian akhir, dengan turunnyaayat seperti “inna al-dîna ‘inda Allâhi al-islâm”, keyakinanawal itu dianggap selesai semua. Itulah yang dipegang MUI. Sayayakin bahwa banyak pendapat yang berhenti dan diam di situ. Ayatitu sendiri sebenarnya masih banyak diperdebatakan. Perdebatanyang muncul seperti tentang kata islam dalam ayat itu. Apakahislam di situ dalam arti agama dengan huruf “I” besar, atau islamdalam arti bukan lembaga, melainkan perilaku amal saleh sebagai1646– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bentuk kepasrahan atau ketundukan terhadap Tuhan, mashlahah?Bagaimana meletakkan Islam dalam arti luas dan dîen dalam artiluas juga?Jadi harus bagaimana agar orang Islam dapat menghargai dan mengakuipluralitas?Saya kira problemnya lebih kepada kebenaran teologis. DalamIslam dikenal ada yang jumhûr (pendapat mayoritas) dan yangsyadzdz (pendapat minoritas). Kalau Anda mempunyai pendapatbahwa ada kebenaran dan keselamatan di luar Islam, itu bukanpendapat jumhûr.Apakah gagasan seperti live-in (duduk bersama-sama dengan orangdari agama, kepercayaan, dan adat yang berbeda sehingga bisa salingmenyelami kebenaran di luar yang dimiliki agama masing-masing)sebagaimana pernah dipraktikkan sejak Mukti Ali menjabat MenteriAgama (dengan Djohan Effendi sebagai pelaksananya), masih diperlukanuntuk saat-saat ini?Saya tidak tahu juga urgensi program itu untuk masa sekarang.Soal itu, MUI mempunyai aturan-aturan tertentu. Halhalyang bersifat mu‘âmalah silakan saja untuk bertemu, namunmasalah ‘ubûdiyah dan teologis tidak bisa dikompromikan. Yangbelum ditegaskan di dalam pemahaman Islam versi MUI adalahkebebasan manusia untuk beragama dan berkeyakinan. MeskipunIslam beranggapan mempunyai keselamatan sendiri, seharusnyaIslam membiarkan orang lain menjalankan agama dan keyakinannyamereka masing-masing, seperti halnya kebebasan tersebut kita,Mohammad Imam Aziz – 1647


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–umat Islam, miliki. Tidak perlu mendeklarasikan dulu bahwa diluar Islam juga terdapat keselamatan, nanti malah akan runyam,karena ketidaksiapan kita sendiri.Tetapi, misalnya, karena dalam Islam ada konsep islamisasi dan diKristen juga ada kristenisasi, kalau tidak pernah duduk bareng, yangakan muncul antara keduanya selalu rasa saling curiga.Problem ini sangat terkait dengan banyak hal. Namun tetapparadoks yang ada di dalamnya sangat banyak. Saya sendiri merasamalu untuk mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling benar.Kita bilang bahwa kita plural, tetapi pada saat yang sama kitajuga membiarkan orang Islam melakukan sesuatu yang memalukan.Ternyata yang mendapat dana korupsi itu (dana non-budgeter DepartemenKelautan dan Perikanan, DKP), misalnya, orang-orangIslam juga. Artinya kita tidak bisa konsekuen. Sayangnya ada sajakelompok kita (Islam) yang menggunakan model ini tidak untukrefleksi, melainkan politisasi dan pemaksaan kehendak. Inilah yangmasih perlu membutuhkan banyak perjuangan.Sebagaimana kita mafhum dengan apa yang selama ini Anda tempuh,di luar strategi teologis yang memang sangat susah dicarikanpendasarannya dalam Islam: bagaimanakah strategi menyebarkannilai-nilai profetis dan emansipatoris agama dalam konteks sosial, diwilayah publik? Langkah apa yang harus dilakukan agar umat beragamadapat saling memahami satu sama lain sehingga bisa salingmenerima, duduk bersama dan dapat hidup secara damai?1648– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Yang paling penting, menurut saya, adalah menjaga kebebasan.Setiap orang mempunyai hak yang sama. Kalau ada seseorang ataukelompok yang mengganggu orang atau kelompok lain, maka kitaharus ikut membela pihak yang diganggu itu. Kita harus mencegahmunculnya tekanan atau tindak represi satu kelompok terhadapkelompok lainnya, agar tidak terjadi desktruksi. Itu syaratminimalnya.Tetapi, kalau kita menginginkan kebebasan yang sebenarnya,maka cara satu-satunya adalah dengan membiarkan orang lainuntuk memiliki kebebasan yang sama. Menjaga hal seperti itulahyang masih susah bagi masyarakat kita.Wawancara dilakukan di Yogyakata, 07 Juni 2007Mohammad Imam Aziz – 1649


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganMuhammad Tholhah HasanMuhammad Tholhah Hasan, mantan Menteri Agama Republik IndonesiaKabinet Persatuan Nasional di era Presiden Abdurrahman Wahid dan pernah duaperiode menjadi Rektor Universitas Malang (Unisma). Kini ia menjabat sebagaiKetua Badan Wakaf Indonesia.1650


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jangan biarkan “fikihisme” dan politik ideologi keislaman berkolaborasi.Bagaimanapun, kemestian bagi kalangan mainstream (umatIslam) hidup di tengah bangsa yang plural adalah mengedepankandialog persuasif. Lantaran nilai-nilai substansial Islam telah mewarnaikehidupan berbangsa dan bernegara, maka dibutuhkankerendahan hati untuk tidak memaksakan nilai-nilai partikularagama masuk dalam legislasi; pun tidak berpikir skripturalis,melainkan substansialis. Karena itu kemaslahatan umum menjadidasar pertimbangan untuk menetapkan setiap aturan publik:memberdayakan agama; memompa semangat menyejahterakanmasyarakat. Sementara, pemerintah berperan sebagai mediatoruntuk mempertemukan hal-hal yang berbeda di masyarakat,sehingga konflik antaragama dapat dihindarkan.Muhammad Tholhah Hasan – 1651


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisme di Indonesia seringkali dipersepsi negatif, ia dicurigaimeminggirkan peran agama di ruang publik. Bahkan pendapat yanglebih ekstrem mengatakan bahwa sekularisme anti-agama. Anda sendiribagaimana memaknai sekularisme?Menurut saya bangsa kita cenderung mengambil term dariBarat secara tekstual dan memaksakannya diterapkan di tengahmasyarakat. Padahal, bisa jadi, itu belum tentu tepat. Contohnyaterm sekularisme. Sebagai sebuah gagasan, sekularisme sejatinyafenomena sosial yang dinamis dan tidak pernah berhenti di satutitik. Sekularisme yang kini berkembang di berbagai negara, berbedadengan gagasannya yang pertama kali muncul di Inggris. Samahalnya dengan term demokrasi yang lahir di Prancis. Bagaimanapundemokrasi yang kini berkembang di dunia pun berbeda denganyang pertama kali muncul di Prancis. Dulu tak terbayangkanakan muncul demokrasi terpimpin, demokrasi kerakyatan, demokrasiPancasila dan sebagainya. Ini terjadi karena fenomena sosialselalu mengalami dinamika. Celakanya, kita kerapkali memahamifenomena tersebut sama seperti awal munculnya.Sekularisme merupakan gerakan yang berusaha menghilangkandominasi gereja terhadap negara. Sebagai istilah, sekularismepertama kali dimunculkan oleh penulis Inggris George Holoyakepada tahun 1846. Tetapi praktik sekularisme sendiri sudah berlangsunglama ketika masyarakat Eropa gerah dengan kekuasaangereja yang sangat absolut. Sementara negara (pemerintah) sangatlemah. Kondisi inilah yang kemudia melahirkan gagasan filosofissekularisme, yaitu agar gereja dipisahkan dari urusan duniawi yangprofan – termasuk urusan-urusan politik. Revolusi filsafat tersebutternyata berhasil. Akhirnya, gereja dipisahkan dari masalah-masalah1652– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–politik. Gereja hanya diberi wewenang mengurusi masalah agamayang menyangkut urusan privat. Sedangkan masalah yang terkaitdengan urusan publik, seperti negara, tidak menjadi kewenangangereja. Negara harus dipisahkan dari gereja. Dalam literatur bahasaArab, hal itu disebut pemisahan (al-tafrîq) antara agama (al-dîn)dan negara (al-dawlah). Masalah sekularisme, lalu menjadi isu menarikselama berabad-abad.Namun, berbeda dengan gagasan awal di atas, kini negara-negarayang berpaham sekular seperti Amerika Serikat pun ternyatamasih mengurusi masalah agama, baik secara langsung maupun tidaklangsung. Meski masyarakat Amerika sekular, nilai-nilai dasarnyatidak dapat dilepaskan dari protestantisme. Sistem pemerintahansekular ternyata tidak dapat menggusur agama (Protestan) darimasyarakat. Bahkan, tak hanya Protestan, agama-agama lain pun,termasuk Islam, bisa tumbuh di sana. Tak dapat dipungkiri, kekuatanagama sangat mempengaruhi politik Amerika Serikat. Realitastersebut menunjukkan bahwa sekularisme tidak dapat memisahkansecara tegas antara agama dannegara. Pada akhirnya, gagasan Sekularisme yang kini diterapkanpemisahan agama dan negara di Indonesia adalah sekularismekontekstual. Yang telah disesuaikanhanyalah wacana.dengan kondisi lokal masyarakatIndonesia. Sama halnya denganLantas bagaimanakah perkembangansekularisme di dunia dan Malaysia bahkan dipuji olehMalaysia. Sekularisme IndonesiaIslam sendiri?sejumlah ahli sebagai prototypeKalau kita memperhatikanperdebatan yang terjadi di duniaIslam, kini banyak sekalisebuah bangsa berpendudukMuslim yang menerapkan sistemkenegaraan sekular.Muhammad Tholhah Hasan – 1653


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kajian tentang sekularisme. Sejauh ini, perdebatan tersebut terbelahke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok al-tawhîd baynal-dîn wa al-dawlah. Bagi kelompok ini, agama dan negara merupakansatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Gagasan inibanyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin sepertiSayyid Quthb. Di Pakistan, gagasan ini disampaikan oleh AbulA’la al-Maududi. Sementara di Indonesia, disuarakan oleh banyakkelompok, salah satunya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).Kedua, kelompok al-tafrîq bayn al-dîn wa al-dawlah. Kelompokini menganggap agama (al-dîn) sebagai entitas yang harus dipisahkan(tafrîq) dari negara (al-dawlah). Keislaman sama sekali tidakmenyangkut masalah negara atau politik. Islam hanyalah agama.Tokoh yang menyampaikan gagasan tersebut diantaranya Ali AbdulRaziq dan Thaha Husain.Ketiga, kelompok al-tamyîz bayn al-dîn wa al-dawlah. Kelompokini mengatakan bahwa urusan agama harus dibedakan (tamyîz) dariurusan negara. Meski ada hubungan antara agama dan negara, tapiada urusan-urusan yang bukan bagian dari agama dan juga bukanbagian dari negara. Gagasan ini baru belakangan muncul. Parapemikir yang mengemukakannya yaitu Abdul Hamid Mutawallidan Muhammad Imarah. Kini, tiga kelompok pemikiran tersebutsaling berpacu merebut pengaruh. Dalam praktiknya, gagasan kelompokyang terakhir (al-tamyîz bayn al-dîn wa al-dawlah) merupakanyang paling banyak dianut di berbagai negara. Contohnyadi Indonesia. Indonesia, dari segi sistem kenegaraannya adalah negarasekular, tapi masyarakatnya Muslim. Negara Indonesia sekulartetapi memiliki Departemen Agama. Fenomena semacam ini dulutidak pernah terbayangkan. Jika konsisten menerapkan sekularisme,mestinya negara tidak lagi mengurusi agama.1654– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sejak awal, Indonesia dengan jelas mengatakan dirinya bukan negaraagama, meski ia juga tak dapat dianggap sebagai negara sekular.Lantas, kesadaran seperti apakah yang melatarbelakangi dibentuknyaDepartemen Agama? Untuk kepentingan apa lembaga itu dibentuk?Kita harus memahami, tujuanawal didirikannya negaraini tidak terlepas dari ke-mau memaksakan semua ajaranSaya temasuk orang yang tidakwajiban melayani kepentinganrakyat. Salah satu kepen-negara. Bagi saya, hukum IslamIslam dimasukkan ke dalam legislasitingan rakyat adalah masalah yang perlu masuk ke dalam legislasinegara yaitu hukum-hukum yangyang terkait dengan kehidupanmenyangkut tata kehidupanberagama. Kalau negara tidakmasyarakat yang dianggap pokokbisa melayani kehidupan beragamarakyatnya, berarti nega-seperti hukum perkawinan, haji,dan sebagainya. Tidak semuara tidak bisa melayani bagianbagianyang dianggap sangathukum Islam harus dilegislasikan.Yang lebih penting adalahsensitif dalam kehidupan berbangsadan bernegara.substansial mewarnai kehidupanbagaimana nilai-nilai Islam secaraKarena itu, mayoritas pendiribangsa ini menyatakan,berbangsa dan bernegara.meskipun Indonesia tidak berdasarkan agama, tapi negara harusmemiliki tanggung jawab terhadap kehidupan beragama. Atas dasaritu, disepakatilah Departemen Agama yang secara khusus mengurusimasalah-masalah agama.Apakah tidak ada kekhawatiran bahwa hal itu justru akan mengubahIndonesia menjadi negara agama? Sebab, ketika pernah terlon-Muhammad Tholhah Hasan – 1655


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tar isu pembubaran Departemen Agama dari Presiden AbdurrahmanWahid, pada waktu itu, justru muncul reaksi balik yang menuntutpemerintah untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.Bagaimana menurut Anda?Saya kira itu wacana politik yang tidak mengakar kuat di masyarakat.Memang, sejak awal hingga saat ini, ada beberapa kelompokterpelajar yang tidak tertarik dengan Departemen Agama.Bahkan, sejak perumusan Undang-Undang Dasar 1945, kelompokitu sudah muncul. Mereka tidak menyetujui campur tangan negaradalam urusan agama. Yang mereka inginkan adalah agar Indonesiamenerapkan sekularisme secara murni, agama dan negara harus dipisahkansecara tegas. Tapi, kenyataannya, sekularisme yang kiniditerapkan di Indonesia adalah sekularisme kontekstual. Sekularismeyang telah disesuaikan dengan kondisi lokal masyarakat Indonesia.Sama halnya dengan Malaysia (meskipun di Malaysia Islam diakuisebagai agama resmi pemerintah). Sekularisme Indonesia danMalaysia bahkan dipuji oleh sejumlah ahli seperti Manning Nashdalam Islamic Resurgence in Malaysia and Indonesia (1991) sebagaiprototype sebuah bangsa berpenduduk Muslim yang menerapkansistem kenegaraan sekular.Menurut Anda, mengapa hingga kini masih ada kelompok yangmenginginkan agar Indonesia menjadi negara Islam? Apakah Pancasiladan UUD 1945 sebagai dasar dan konstitusi negara ini belumcukup mengakomodir kalangan Islam?Saya kira itu terjadi karena mereka menginginkan adanya penyatuanantara agama dan negara. Mereka tidak akan puas kalau1656– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–negara ini tidak menerapkan legislasi keislaman. Kelompok inimengartikan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secaraskriptural. Padahal, mestinya Islam tidak ditafsirkan seperti itusaja. Karena nyatanya, nilai-nilai Islam telah terserap dan mewarnaikehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, mestinya kitatidak berpikir skriptualis. Berpikirlah secara substansialis. Saya kirapara founding fathers negara ini yang Muslim telah memberikancontoh begitu baik. Sebagaimana dikatakan Andre Feilard, pemimpin-pemimpinIslam pada awal kemerdekaan lebih memilih memasukkannilai-nilai Islamdari pada simbol-simbol formalnyake dalam kehidupan yang plural, mestinya kita lebihKetika kita hidup di tengah bangsaberbangsa dan bernegara. Ini banyak menggunakan nilai-nilaimenunjukkan bahwa mereka agama yang bersifat universal.sangatlah substansialis.Sementara nilai-nilai yang patrikularsebaiknya digunakan untukkepentingan internal umat Islam.Jose Casanova juga menawarkanagar agama, melalui spi-kita memaksakan nilai-nilai partikularPersoalannya, terkadang sebagian dariritnya, tampil di ruang publik.Persoalannya, di Indo-menggunakan nilai-nilai universal.ke ranah publik yang mestinya diaturnesia, ketika agama tampil Inilah yang akhirnya menyebabkandi ruang publik, seringkali konflik antarumat beragama.yang muncul hanyalah aspekformalnya, contohnya perda syariah. Meski diinginkan sebagian masyarakat,perda syariah merugikan banyak pihak dan bertentangandengan konstitusi. Apakah Perda yang merugikan tersebut dapat dibatalkandemi konstitusi?Muhammad Tholhah Hasan – 1657


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Menurut saya setiap tindakan umumnya merupakan reaksidari tindakan sebelumnya. Tindakan yang ekstrem biasanya akanmemicu reaksi yang ekstrem pula. Sekularisme merupakan reaksidari realitas kehidupan politik sebelumnya. Tapi, seiring berjalannyawaktu, hal-hal yang ekstrem juga akan mengalami coolingdown. Sehingga kehidupan bangsa akan menemukan kejernihankejernihanbaru. Dalam konteks sekularisme, ternyata keberadaanagama di tengah masyarakat tidak mencederai proses konsolidasimenuju negara demokratis. Proses ini berjalan dinamis. Kita akanmencari bentuk-bentuk baru yang lebih ideal. Suatu saat nanti,mungkin masih ada cara-cara baru untuk melakukan pendekatanyang lebih ideal.Saya termasuk orang yang tidak mau memaksakan semua ajaranIslam dimasukkan ke dalam legislasi negara. Bagi saya, hukumIslam yang perlu masuk ke dalam legislasi negara yaitu hukum-hukumyang menyangkut tata kehidupan masyarakat yang dianggappokok, seperti hukum perkawinan, haji dan sebagainya. Tidak semuahukum Islam harus dilegislasikan. Yang lebih penting adalahbagaimana nilai-nilai Islam secara substansial mewarnai kehidupanberbangsa dan bernegara.Kita harus menyadari, tidak semua nilai agama bersifat universal.Sebaliknya, tidak semua nilai-nilai agama bersifat partikular.Setiap agama memiliki nilai-nilai universal dan partikular. Ketikakita hidup di tengah bangsa yang plural, mestinya kita lebih banyakmenggunakan nilai-nilai agama yang bersifat universal. Sementaranilai-nilai yang patrikular sebaiknya digunakan untuk kepentinganinternal umat Islam. Persoalannya, terkadang sebagiandari kita memaksakan nilai-nilai partikular ke ranah publik yangmestinya diatur menggunakan nilai-nilai universal. Inilah yang1658– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–akhirnya menyebabkan konflik antarumat beragama. Sebaliknya,kita juga tidak bisa memaksakan agar nilai-nilai universal sematayang dipakai, sebab setiap agama memiliki nilai-nilai partikular.Kita tidak mungkin memaksa semua orang untuk zuhud, karenakonsep zuhud berbeda-beda di setiap agama. Tapi, kalau kitamengajak masyarakat bergotong-royong memberantas kemiskinandan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), saya kirasemua bisa menerimanya.Reaksinya akan berbeda jika yang dikedepankan adalah nilainilaipartikular. Contohnya, di bulan Ramadhan ketika umat Islamberpuasa, kita melarang semua orang makan siang. Orang non-Muslim tidak akan sepakat. Karena mereka tidak berpuasa. Kitatidak bisa memaksakan begitusaja. Sebaliknya, agama lain Kita kehilangan pluralisme dalampun tidak bisa memaksakan nilaipartikularnya kepada kita. sejatinya pluralisme menurutmemahami Islam. Padahal,Misalnya, pada waktu Nyepi, Islam merupakan fitrah yang takumat Hindu memaksa semua bisa ditolak. Sesungguhnya Islamorang harus mematikan lampunya.Itu tidak mungkin. Karena perkembangannya, pemaknaansendiri semula pluralis, hanya padaada umat lain. Hal-hal seperti pluralisme atau pluralitas satuitu, jika tidak ditoleransi akansama lain tidak sama.menyebabkan konflik.Menurut Anda bagaimana seharusnya negara menyikapi munculnyaberbagai tuntutan dari masyarakat, termasuk tuntutan formalisasisyariat Islam?Muhammad Tholhah Hasan – 1659


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya kira setiap negara memiliki pertimbangan berbeda dalammenyikapi berbagai tuntutan yang mengemuka di tengah masyarakat.Biasanya, negara cenderung memberikan pelayanan yang lebihbanyak kepada pemeluk agama mayoritas. Demikian juga Indonesa.Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, sudah selayaknyapemerintah memberikan pelayanan lebih banyak kepada umat Islamdibanding non-Muslim (asas proporsional). Di samping itu,dalam memenuhi tuntutan dari masyarakat, pemerintah juga akanmenimbang risikonya. Pemerintah akan mempertimbangkan, apakahketika mengakomodir tuntutan tertentu akan menjamin stabilitasnegara dan kesejahteraan masyarakat. Saya kira pemerintahtidak akan mengakomodir tuntutan formalisasi syariat Islam jikaitu justru akan merugikan non-Muslim. Tapi, pemerintah pun tidakakan mengabulkan tuntutan pembubaran Departemen Agama,yang justru akan mengancam stabilitas negara.Di atas itu semua, yang sesungguhnya lebih penting adalahbagaimana negara dapat bersikap adil kepada semua warga negarayang wajib dilayaninya. Ini yang justru kerap kali dilupakan. Karenadorongan untuk memenuhi rasa keadilan itulah, di daerahberpenduduk mayoritas Muslim, pemerintah akan memberikanpelayanan lebih banyak kepada mereka. Tapi, karena kita tinggaldi daerah mayoritas Muslim, kita melihat seolah-olah Islam terlaludominan dan menekan kelompok lain. Padahal, hal sebaliknyaakan kita rasakan kalau kita berada di daerah minoritas Muslim.Kalau kita ke Bali, kita akan merasakan betapa sulitnya menguburanggota keluarga kita yang meninggal dunia. Contoh ini menunjukkanbahwa setiap mayoritas selalu menghendaki agar mendapatjatah pelayanan yang lebih besar dibandingkan minoritas.1660– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Liberalisme juga memiliki citra sangat buruk di Indonesia. BahkanMUI secara paket mengharamkan sekularisme, liberalisme, dan pluralisme,karena dikhawatirkan membuat keimanan umat Islam luntur.Bagaimana Anda menilai fatwa MUI tersebut?Menurut saya, itu terjadi karena MUI hanya menggunakanpendekatan fikih yang cenderung formalistik dan hitam-putih.Dengan pendekatan tersebut, saya tidak heran jika hasilnya liberalisme,pluralisme dan sekularisme diharamkan. Kita harus menyadaribahwa mengeluarkan fatwamerupakan bagian dari tugasMUI. Fenomena liberalisme berperan sebagai mediatorPemerintah seharusnyadan sikap tradisionalisme MUI untuk mempertemukan hal-halsebenarnya merupakan refleksi yang berbeda di masyarakat,dari kondisi pemikiran Islam sehingga konflik antaragamamasa kini. Paling tidak, kini dapat dihindarkan. Kelompokterdapat empat kelompok Islam mainstream mestinya dapatyang masih eksis di berbagai berdialog secara persuasif dannegara berpenduduk Muslim. tidak mengandalkan kekerasan.Pertama, kelompok tradisionalis.Mereka merupakan kelompok yang terbesar di semua negaraMuslim. Meskipun pengertian tradisionalis tidak selalu sama disetiap negara, tapi secara umum mereka masih terikat atau dipengaruhibudaya lokal.Kedua, kelompok revivalis. Kelompok ini terdiri dari merekayang tidak puas dengan model kehidupan Muslim tradisionalis.Mereka menganggap ajaran Islam yang dipraktikkan kelompoktradisionalis sudah tidak suci. Mereka ingin membangkitkan kembaliIslam seperti pada zaman Rasulullah dengan cara pemurnian.Muhammad Tholhah Hasan – 1661


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Tapi, praktik pemurnian ini sendiri, alih-alih berujung pada islamisasimalah menjadi arabisasi. Sehingga, terkadang kita sulit memisahkanantara masalah agama dan budaya. Keduanya menjaditidak jelas. Semuanya harus mengikuti Arab. Hingga pakaian punharus seperti Arab. Lucunya, anak-anak kecil yang masih sekolahdi Taman Kanak-kanak (TK) pun diharuskan mengenakan jilbab.Padahal, di Arab Saudi sendiri tidak ada anak TK yang memakaijilbab. Gerakan revivalisme juga muncul di berbagai negara Islamdalam bentuk aliran-aliran yang disebut fundamentalisme, wahhabismedan sebagainya.Ketiga, kelompok modernis. Mereka berpendapat bahwa tidaksemua hal harus dikembangkan berdasarkan teks-teks keagamaan.Bisa juga menggunakan budaya. Mereka menerima perkembanganilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka berkeyakinan, tidaksemua persoalan kehidupan diatur dalam teks-teks keagamaan.Karena itu, kita tidak bisa bersandar hanya pada teks-teks keagamaansemata.Seiring berjalannya waktu, muncullah kelompok yang keempat,yaitu kelompok liberalis. Mereka kerap menggunakan paradigmabaru dalam memahami agama. Menurut mereka, beragama yangbenar adalah sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan perkembanganyang terkini. Lalu, mereka lebih berani menafsirkan idiom-idiomagama sesuai dengan kebutuhannya. Kelompok inilah yang dipersoalkanMUI. Terkait hal ini, saya pernah berdiskusi dengan NasrHamid Abu Zayd dan Hasan Hanafi.Perkembangan pemikiran liberal di Indonesia, mendapatkan reaksibalik dari kalangan fundamentalis. Reaksi mereka bahkan berlebih-1662– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–an, sehingga memaksa Depag mencekal Nasr Hamid Abu Zayd diIndonesia beberapa waktu lalu. Apa yang menyebabkannya dan bagaimanaAnda menilainya?Saya sangat menyesalkan kejadian itu. Sebenarnya waktu ituNasr Hamid akan berbicara di seminar bersama saya di Malang.Tapi karena dicekal, dia tidak jadi mengisi seminar itu. Saya kira iniproblem umat Islam. Terkadang kita hanya bisa berkumpul denganorang yang sama dan sejalan. Tapi, kita tidak siap berkumpul denganorang yang ber-beda. Bukanhanya dengan yang berbeda Setiap peraturan hendaknyaagama, dengan sesama Muslimpun seringkali tidak bisa. kemaslahatan umum. Sebab, dalamditetapkan atas pertimbanganKita telah kehilangan makna Islam, kema-slahatan umum menjadipluralisme dalam memahami salah satu dasar pertimbanganIslam. Padahal, sejatinya pluralismemenurut Islam me-syariah. Kalaupun sesuatu benar,untuk menetapkan sebuah hukumrupakan fitrah yang tak bisa tetapi tidak membawa mashlahah,ditolak. Sesungguhnya Islam sebaiknya ditinjau kembali.sendiri semula sangat pluralis,hanya pada perkembangannya, pemaknaan pluralisme atau pluralitassatu sama lain tidak sama. Menurut Muhammad Imarah dalambuku Al-Islâm wa al-Ta‘addudiyah: al-Ikhtilâf wa al-Tathawwu‘ fîIthâr al-Wihdah, pluralisme merupakan sebuah keniscayaan. Pluralismemerupakan prasyarat untuk dapat hidup eksis berdampingandengan orang lain pada semua zaman.Dalam lingkup keluarga kita sudah diajarkan bahwa pluralismeadalah sebuah keniscayaan. Kita tidak bisa menolak ada anggotakeluarga yang laki-laki dan perempuan, tua dan muda. MerekaMuhammad Tholhah Hasan – 1663


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dapat hidup berdampingan dalam satu rumah secara harmonis.Kalau masing-masing tidak dapat hidup bersama, keluarga akanhancur. Yang tua harus berani jika suatu ketika harus tidur denganyang kecil. Dalam kehidupan lain kita juga mesti begitu. Banyaknash al-Quran yang menunjukkan bahwa pluralitas merupakankehendak Tuhan. Hanya saja ada sebagian orang yang mengartikanpluralisme sebagai sinkretisme atau pencampuradukan semuaagama. Itulah yang banyak ditolak. Bagi saya sendiri, pluralismeadalah kebersamaan hidup di dalam suatu negara yang berbedabedaagama dan etnik. Kalau pengertian ini yang digunakan, sayakira MUI juga tidak akan keberatan. Yang ditakuti MUI adalahkalau pluralisme sudah menjurus pada sinkretisme.MUI dianggap salah dalam mendefinisikan pluralisme. Selain mengartikanpluralisme dengan sinkretisme, MUI juga mengartikan pluralismedengan relativisme. Padahal makna yang sebenarnya jelas tidakbegitu. Bagaimana menurut Anda?Menurut saya, kita perlu belajar berhati-hati mencari luasnyapengertian term-term tersebut. Sebab, jika kita tidak mengetahuimakna sebenarnya, terkadang mudah menjatuhkan vonis tanpamengetahui persoalannya.Dalam konteks Indonesia, sebagai negara demokratis, apakah tindakanMUI dapat dikatakan melanggar batas kewenangan negara?Selama mereka tidak memanifestasikannya dalam bentuk tindakananarkis, saya kira masih bisa ditolerir. Tapi, kalau merekamerusak rumah atau hak milik orang lain, maka itu akan menjadi1664– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–masalah bagi kita bersama. Sebab di dalam Islam sendiri, perbedaansangatlah dihormati. Hak milik dalam Islam merupakan salah satuyang harus dihormati. Bukan hanya hak milik umat Islam, hakmilik non-Muslim pun harus dihormati. Nabi Muhammad merupakancontoh orang yang sangat menghormati hak milik oranglain. Buktinya, ketika beliau akan hijrah, barang titipan orang-orangQuraisy yang kafir tetap beliaujaga dan dikembalikan Saya kira, penerapan syariat Islammelalui Ali bin Abi Thalib. yang kini dilakukan di Indonesia,Kini, persoalannya banyakumat Islam yang ti-dapat menyelesaikan masalah umat.seperti yang terjadi di Aceh, belumdak menghormati hak milik Di kalangan ulama fikih dunia,orang lain. Kalau mereka tidakcocok dengan orang lain agenda diskusi yang dinamik.masalah itu juga masih menjadidalam suatu masalah, seolahdibolehkan melakukan apa saja. Mungkin, merampok pun akandilakukan. Kelompok fundamentalis seperti itu sebenarnya telahada cikal bakalnya dari orang-orang Khawarij, yang membolehkanmerampas hak orang yang tidak sependapat dengan kelompoknya.Jadi fenomena kekerasan seperti itu bukanlah masalah yang barudalam tradisi dan sejarah Islam.Tindakan tersebut merupakan tindakan yang salah. Karenaitu, mestinya negara menjaga hak-hak setiap warga negara. Inimenyangkut masalah hak-hak pribadi yang harus dilindungi. Sayatidak setuju dengan tindakan anarkis yang dilakukan kelompoktertentu terhadap Ahmadiyah. Kita memang boleh mengatakanAhmadiyah sesat, tapi tidak boleh merusak rumah dan masjid mereka.Karena itu sudah berkaitan dengan hak milik yang mempunyaiaturannya sendiri.Muhammad Tholhah Hasan – 1665


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Kalau MUI mau mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah sesatjuga boleh. Tetapi MUI mempunyai tugas selanjutnya, yaitu mengembalikanmereka pada jalan yang benar. Yang terpenting adalahbagaimana MUI membentuk tim untuk mendekati mereka agarmau kembali pada ‘jalan yang benar’.Menurut Anda apa yang yang menyebabkan pemerintah mendiamkankekerasan yang terjadi terhadap Ahmadiyah dan komunitas lainnyayang dianggap sesat (crime by omission)?Menurut saya alasannya lebih bernuansa politis. Saya sendirisangat menyayangkan sikap pemerintah. Mestinya, ia bisa menghentikankekerasan itu. Tapi karena takut kepada mainstream, pemerintahpun cenderung diam. Sikap pemerintah dari tahun ketahun memang selalu politis. Dulu, Islam Jamaah pernah dinyatakanpemerintah sebagai organisasi terlarang, tapi pada saat pemilumereka ditampung dan diterima dengan baik. Kemudian,belakangan, mereka banyak menimbulkan konflik-konflik kecildi tengah masyarakat. Mereka diberi nama baru LDII. Pada masapemilu dulu mereka dibina oleh Golkar, karena hak suaranya jelasdiperlukan. Nah, saya kira, sikap pemerintah terhadap Ahmadiyahkini juga muncul lebih dilatari oleh pertimbangan politis.Menurut Anda, apa yang menyebabkan MUI menjadi ekslusif? PadahalMUI merupakan representasi dari semua kelompok Islam yangada di Indonesia?Sebenarnya semua organisasi Islam yang ada di Indonesia masukke dalam MUI. Tapi, karena kelompok yang keras jumlahnya1666– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–lebih banyak, dalam Munas pun, suara mereka lebih kuat. Kondisiini diperparah dengan perwakilan dari NU dan Muhammadiyahyang berasal dari para ulama fikih. Ini mungkin karena sebagianbesar ulama di Indonesia itu berasal dari ulama fikih. Sementara,sebagaimana diketahui, pendekatan fikih cenderung bersifat formalistik.Hal ini bahkan kemudiandikuatkan dengan ulama Ahli-ahli fikih siyasah, sepertiyang kerap menggunakan agamauntuk kepentingan politik. atau Abdul Hamid Mutawalli,Muhammad Salim al-Awwamengatakan bahwa mestinyaKetika “fikihisme” dan politikmemperjuangkan khilâfah janganlahideologi keislaman sudah berkolaborasi,tidak aneh kalauhanya mengedepankan bentuknya,tetapi semangatnya. Yaitu semangatkemudian menghasilkan MUIuntuk menyejahterakan masyarakatyang memiliki citra kurangdan memberdayakan agama.baik seperti sekarang ini.Selain MUI dan negara yang lemah, permasalahan juga ditambahdengan perundang-undangan yang tidak melindungi kebebasan berkeyakinan.Beberapa UU yang problematis adalah UU No.1/PNPS/1965dan Pasal 156a KUHP tentang Penodaan Agama. Bagaimana mestinyamenyikapi kondisi tersebut?Memang kondisi ini sangat memprihatinkan. Sebab, produkprodukUU yang lahir di Indonesia kebanyakan masih merupakankelanjutan dari masa lalu. Penyempurnaan yang telah dilakukansifatnya sangat terbatas dan tidak bisa sekaligus. Ke depan, dibutuhkankecerdasan-kecerdasan baru untuk menyempurnakannya.Memang, orang bisa berpikir cerdas, tapi belum tentu bisa berpi-Muhammad Tholhah Hasan – 1667


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kir arif. Antara kearifan dan kecerdasan kerapkali tidak bisa berjalanbersama.Saya sendiri tidak bisa menerima pemikiran-pemikiran sepertiAhmad Mushadeq. Tetapi, saya juga tidak sepakat dengan carayang dilakukan untuk membubarkannya yang dilakukan kelompoktertentu untuk kepentingan sendiri. Yang mestinya dikedepankanadalah sikap dewasa. Sayangnya, orang-orang yang diterjunkandi lapangan bukan orang yang pintar. Mereka adalah kerumunan(crowded), orang yang bertindak hanya berdasar faktor-faktor sugestifdan imitatif.Harus seperti apakah mengelola keragaman yang ada di Indonesiaagar tidak selalu terjadi pertikaian?Di Indonesia, konflik memang sulit dihindarkan. Jangankanberbeda agama, satu agama tapi berbeda mazhab saja bisa konflik.Tapi, saya kira, kalau mereka semakin terdidik akan berubah.Mereka akan bisa mendamaikan sendiri. Dulu, perbedaan antaraNU dan Muhammadiyah sangat tajam. Tapi, karena semakin banyakorang NU dan Muhammadiyah yang tercerahkan, akhirnyamereka bisa hidup berdampingan dengan tentram. Meski merekaberbeda, mereka mengetahui alasan keberbedaan itu. Yang problemadalah ketika orang berbeda, tapi sama-sama tidak mengertimakna perbedaannya.Bagaimana seharusnya negara menjembatani kepentingan berbagaikelompok keagamaan, baik yang mainstream maupun yang dianggapmenyimpang?1668– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pemerintah seharusnya berperan sebagai mediator untuk mempertemukanhal-hal yang berbeda di masyarakat, sehingga konflikantaragama dapat dihindarkan. Kelompok mainstream mestinya dapatberdialog secara persuasif dan tidak mengandalkan kekerasan.Kemudian, kelompok yang dianggap menyimpang seperti Ahmadiyahharus dapat mempertanggungjawabkankeyakinannya. Ia Kita kehilangan pluralisme dalamharus siap menghadapi umat memahami Islam. Padahal,Islam yang menganggap tidak sejatinya pluralisme menurutada nabi setelah Nabi Muhammad.Sebab, yang dipersoalkan bisa ditolak. Sesungguhnya IslamIslam merupakan fitrah yang takumat Islam mayoritas adalah sendiri semula pluralis, hanya padapengakuan mereka akan adanyaNabi setelah Muhammad. pluralisme atau pluralitas satuperkembangannya, pemaknaanBagi kelompok Islam mayoritassama lain tidak sama.ini, keyakinan Ahmadiyah sudahberbeda dengan pokok ajaran di dalam Islam sendiri, sehinggamereka tidak berhak mengatasnamakan Islam. Kalau merekasudah tidak mengaku dirinya sebagai Muslim, maka umat Islamakan diam. Selanjutnya, tinggal urusan antara pemerintah denganAhmadiyah.Tapi kalau mereka tetap mengaku Muslim, padahal yang dilakukansudah bertentangan dengan Islam, tugas kita adalah meluruskannya.Kalau mereka tidak mau diluruskan, jangan mengakusebagai Muslim. Sebab, Islam memiliki patokan-patokan yang secarauniversal diakui. Hal ini sendiri sebenarnya berlaku bukan hanyadi dalam Islam. Seandainya saya seorang umat Kristen, kemudiantidak mengakui Yesus sebagai Tuhan, orang Kristen mayoritas puntidak bisa menerima. Saya pernah punya pengalaman mendamaikanMuhammad Tholhah Hasan – 1669


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kelompok yang dianggap sebagai sempalan dalam agama Hindudi Kalimantan Tengah. Di sana ada aliran yang mengaku sebagaiHindu Kaharingan. Tapi orang Hindu tidak bisa merima mereka.Saya kemudian mengambil inisiatif untuk mendamaikan mereka.Kedua kelompok saya kumpulkan untuk mendialogkan masalahyang dipertentangkan. Pemerintah tidak mencampuri masalah, tapihanya memfasilitasi supaya mereka berdialog. Ternyata, denganjalan itu, mereka kemudian bisa berdamai. Masing-masing mengakuimana yang perlu dan tidak perlu diperdebatkan. Kaharinganpun kemudian diakui sebagai salah satu sekte dalam agama Hindu.Walau belakangan konflik itu kembali terjadi, menururt saya,lebih karena adanya kepentingan dan muatan politik.Bagaimana mestinya menempatkan fatwa MUI? Sebab, dalam beberapakasus, melihat fatwa MUI sulit dipisahkan dengan kepentinganpolitik dan ekonomi. Misalnya, fatwa yang mengharamkan bungabank. Fatwa ini kemudian malah menjadi jalan munculnya BankSyariah. Dari sini, mereka menuai keuntungan dengan manjadi DewanSyariah di sejumlah bank.Menurut saya, MUI tidak menggunakan agama untuk kepentinganekonomi. Hanya, terkadang kita melihat masalah agama,terutama yang menyangkut wilayah sosial budaya, secara tidak utuh.Di satu sisi yang kita lihat ekornya belaka, sementara di sisi lainyang terlihat perutnya. Padahal, masalah-masalah yang menyangkutmuamalah sendiri berkembang sangat dinamis. Sama halnyadengan perkembangan ilmu pengetahuan.Dinamika semacam itu dalam fikih pun sangat dimungkinkan.Contohnya adalah ibadah haji. Dulu melempar jumrah pada saat1670– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–haji harus dilakukan sesudah Zuhur. Sebab tidak ada dalil yangmembolehkan dilakukan sebelum Zuhur. Tapi, mazhab Syafii malahtelah lama membolehkannya, jika ada alasan darurat. Belakangan,dunia sudah melihat persoalanini sebagai masalah daruratkarena jumlah jamaah keislaman sudah berkolaborasi, tidakKetika “fikihisme” dan politik ideologihaji semakin banyak. Kalaumelempar jumrah hanya MUI yang memiliki citra kurang baikaneh kalau kemudian menghasilkandiperbolehkan setelah salatseperti sekarang ini.Zuhur, kepadatan tak bisadikendalikan lagi dan akan banyak terjadi kemungkinan-kemungkinanyang membahayakan. Dalam fikih, darurat dapat mengubahsebuah hukum. Maka, diperbolehkan melempar jumrah sebelumZuhur.Bank Syariah memang produk baru dari ijtihad fikih. Sebelumnyatidak ada. Bagi saya, masalah Bank Syariah harus menjaditanggung jawab pemerintah. Sebab, kini bank telah menjadi alattransaksi paling efektif bagi semua orang. Persoalan yang munculdalam pengharaman bank adalah praktik ribâ-nya, yang terkaitdengan masalah akad dan lainnya. Menurut saya, Bank Syariahberusaha menyesuaikan atau mendekatkan sistem bank konvensionaldengan fikih. Dalam fikih, bisa saja yang sebelumnya dilarangmenjadi dibolehkan. Sebab di dalam kaidah ushûl al-fiqh, hukumfikih bisa berkembang dan berubah sesuai dengan alasan (‘illah)-nya. Kalau alasannya ada, boleh berubah. Tapi, kalau alasan itusudah tidak ada, menjadi tidak boleh. Contohnya, memakan dagingbabi hukum sebenarnya adalah haram. Tapi, bagi orang yangkapalnya pecah di tengah lautan, tidak ada sesuatu yang bisa dimakankecuali makanan kaleng yang berisi daging babi dan kalauMuhammad Tholhah Hasan – 1671


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tidak memakan itu bisa menyebabkan kematian, maka dia bolehmemakan daging babi itu. Dia diperbolehkan makan sebanyak yangbisa mempertahankan hidupnya. Kalau nanti dia bisa selamat, diatidak boleh lagi memakan daging babi.Karena hukum selalu berkembang, saya kira wajar jika sekarangmuncul adanya lembaga yang mengurusi wakaf. Saya sendirisekarang dipercaya sebagai Ketua Badan Wakaf Indonesia. Perkembanganhukum menghasilkan produk baru wakaf. Sekarang telahada jenis wakaf yang berbentuk uang. Kalau masalah ini kita sandarkanpada fikih klasik, sebenarnya tidak ada satu mazhab punyang membicarakannya. Karena sistem moneter pada zaman ketikakitab-kitab itu ditulis, belum mengenal sistem keuangan sepertisekarang. Dulu, uang hanya bisa dipakai untuk membayar barang.Tapi sekarang uang bisa digunakan untuk berbagai transaksi. Bisamenjadi saham, sehingga nilai uang bisa dipertahankan meskipunuangnya sudah tidak ada di tangan, yang ada di tangan hanyalahkertas. Inilah yang saya sebut perubahan sistem moneter. Dalamkonteks itulah, wakaf uang bisa dimungkinkan dengan memberikansuatu saham, yang dapat disamakan dengan mewakafkan barangyang bisa dilihat, seperti gedung. Kenapa bisa? Karena nilai sahamtersebut bisa digunakan untuk membeli gedung.Karena alasan itulah, hampir semua ulama fikih dari berbgaimazhab pada abad ke-20 membolehkan wakaf uang. Indonesiatermasuk negara yang baru belakangan memperbolehkannya. Yangpaling cepat merespon ini adalah mereka yang bermazhab Hanafi.Karena Islam mayoritas bermazhab Syafii, maka mazhab Syafii danHambali yang paling lambat. Baru sekarang, melalui Badan WakafIndonesia, kami ditugaskan untuk mewujudkan wakaf produktifdan wakaf uang.1672– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dalam konteks kebebasan beragama, hak-hak dan kebebasan sipil(civil rights dan civil liberties) merupakan hak yang paling banyakdicederai ketika negara menerapkan aturan berbasis syariah. BagaimanaAnda menilai perda syariat Islam, apakah ia bisa sah menjadisumber hukum di Indonesia?Saya prihatin dengan gerakan yang berusaha menjadikan syariahsebagai hukum formal, sementara tidak mengetahui persoalansesungguhnya. Kita tidak bisa menyamakan semua daerah karenamasing-masing berbeda. Kalaudi Aceh silakan saja. Aceh ditetapkansebagai daerah otonomi pluralitas dalam kehidupanMUI sendiri sebenarnya mengakuikhusus karena baik masyarakat masyarakat. Tetapi, karenamaupun pemerintahnya menghendakibegitu. Meski ada yang yang matang, ia menjadi tidakkeputusan itu tidak dilandasi kajiantidak menghendaki, tapi kita indah dan kurang elegan.tidak bisa serta merta melarangmereka melakukannya. Permasalahannya, bagaimana agar penerapankepututsan tersebut tidak merugikan banyak pihak.Kasus penerapan perda syariah di Tangerang, di mana telahterjadi kasus salah tangkap terhadap seorang guru yang dicurigaisebagai PSK, menurut saya tidak bisa dijadikan alasan untuk melarangdiberlakukannya peraturan tersebut. Kasus tersebut terjadilebih karena masalah teknis dari aparatnya.Di atas itu semua, setiap peraturan hendaknya ditetapkan ataspertimbangan kemaslahatan umum. Sebab, dalam Islam, kemaslahatanumum menjadi salah satu dasar pertimbangan untuk menetapkansebuah hukum syariah. Kalaupun sesuatu benar, tetapitidak membawa mashlahah, sebaiknya ditinjau kembali.Muhammad Tholhah Hasan – 1673


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Penerapan perda syariah diklaim sebagai manifestasi demokrasi ditingkat lokal. Tapi, dalam konteks otonomi daerah, sebenarnya urusanagama tidak diotonomikan kepada pemerintahan daerah, melainkanotoritas pusat. Bagaimana penilaian Anda?Kalau mereka sudah melalui kesepakatan masyarakat, DPRDdan pemerintah, sebagai warga yang menghargai demokrasi, dengansendirinya saya harus menghargai perda syariah tersebut. Kalaupunkita mengatakan bahwa urusan agama adalah urusan pemerintahpusat, mereka pun bisa berdalih bahwa perda syariah tersebut merupakanaspirasi masyarakat setempat.Kalau syariat Islam ditegakkan, apakah hukuman-hukumannya jugaharus seperti hukuman dulu ketika syariah secara simbolik diterapkanpada masa dinasti Islam, seperti potong tangan dan rajam?Saya kira itu masih membutuhkan kesepakatan-kesepakatanlebih lanjut. Tergantung pada apakah kita berpaham skripturalisataukah substansialis. Saya kira, penerapan syariat Islam yang kinidilakukan di Indonesia, seperti yang terjadi di Aceh, belum dapatmenyelesaikan masalah umat. Di kalangan ulama fikih dunia, masalahitu juga masih menjadi agenda diskusi yang dinamik.Apa yang membuat kita harus menerima syariat Islam?Menurut saya, prinsipnya, adalah bahwa hukuman terhadapsuatu kesalahan harus ada. Tujuan hukuman adalah agar orang yangdihukum merasa jera atau, pada tingkat yang paling bagus, tidakbisa lagi melakukannya. Untuk itu, apakah ada cara lain yang bisa1674– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dijadikan hukuman agar orang jera? Kalau ada yang lebih efektif,maka pakailah yang lebih efektif.Kritik yang kerap muncul terhadap perda syariah adalah lingkupnyayang hanya berurusan dengan hal-hal parsial, pewajiban jilbab, perzinahandan sebagainya. Sementara kasus yang merugikan negara,yang efeknya lebih besar, seperti korupsi tidak dapat ditangani? Apapendapat Anda?Itu membutuhkan pemikiran baru yang lebih arif. Bukan hanyaberdasarkan kecerdasan tetapi juga kearifan. Contoh, PiagamMadinah yang dilakukan oleh Nabi. Pada saat itu, Nabi sudahmemegang kekuasaan. Tapi,Nabi masih mempertimbangkanbagaimana komunitas Ya-hidup di dalam suatu negaraPluralisme adalah kebersamaanhudi dan lainnya, untuk bisa yang berbeda-beda agama danhidup dalam satu peraturan etnik. Kalau pengertian ini yangyang dibuat oleh Nabi. Didigunakan saya kira MUI juga tidakakan keberatan. Yang ditakuti MUIsitu, bukan nash al-Quranadalah kalau pluralisme sudahyang dipakai Nabi, melainkanmenjurus pada sinkretisme.kebijakan dan kearifan.Kembali ke konteks otonomi daerah, apakah pemerintah pusat tidakmempunyai hak, berdasarkan konstitusi, untuk membatasi atau bahkanmelarang perda syariah?Sebenarnya pemerintah pusat mempunyai hak untuk membatalkanya.Jika ada perda yang bertentangan dengan kebijakanpemerintah pusat atau menimbulkan kekacauan dan pemberon-Muhammad Tholhah Hasan – 1675


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–takan, maka pemerintah pusat mempunyai hak untuk menundaatau membatalkannya.Demokrasi, oleh sebagian kalangan, diyakini akan muncul pada negarayang cenderung sekular. Bagaimana Anda menilai ide khilâfahyang didesakkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia atau, dulu, PartaiKeadilan (PK)?Saya hanya melihatnya sepintas. Sekarang perubahan dari PKmenjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) sendiri telah terdapatperkembangan baru. Dewan Pimpinan Pusat PKS mengatakanbahwa PKS sekarang telah menerima pluralisme. Itu menujukkanbahwa semua isu yang diangkat partai politik lebih bersifat politis,termasuk isu khilâfah. Kenapa PKS tiba-tiba bisa menerimapluralisme secepat ini. Padahal, selama lima tahun lebih, merekaseolah terlarang membicarakan pluralisme. Itu menujukkan bahwasemuanya merupakan masalah yang dianggap sebagai isu dankepentingan politik, bukan berdasarkan agama. Politik adalah seniuntuk melakukan hal yang mungkin.Menurut Anda apakah khilâfah kontekstual untuk menyelesaikanproblem yang dihadapi sekarang?Saya kira masalah khilâfah merupakan wacana politik. Sejakawal, Nabi Muhammad telah mengingatkan bahwa khilâfah tidakakan berjalan langgeng. Suatu saat pasti akan mengalami perubahan.Khilâfah bersifat temporal. Bukan sesuatu yang universal, yangberlaku selamanya. Lihatlah, empat khalifah dari Abu Bakar, Umar,Usman, hingga Ali, masing-masing memiliki cara yang berbeda1676– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dalam pelaksanaannya. Pemilihannya pun berbeda-beda. Apalagimasa-masa setelah empat khalifah awal ini. Zaman Muawiyah sudahsama sekali berbeda, hampir tak terlihat lagi sisa praktik khilâfahpada masa-masa awal. Yang tersisa hanya fungsi kepala negaranyasaja, yaitu untuk mengatur kehidupan rakyat dan bertanggung jawabdemi keselamatan agama. Itulah arti dan praktik khilâfah yangmasih didengungkan hingga zaman Ibn Khaldun.Artinya, kelompok yang tetap mengusung khilâfah sama saja kembalike peradaban yang lebih terbelakang?Ya. Sebab yang mereka perjuangkan hanya bentuknya, bukansemangatnya. Saya menyayangkan para pegiat khilâfah di Indonesiayang tidak banyak membaca referensi buku soal khilâfah. DiIndonesia, banyak orang yang mempunyai semangat politik tinggi,tetapi malas membaca kajian-kajian politik Islam.Ahli-ahli fikih siyâsah, seperti Muhammad Salim al-Awwa atauAbdul Hamid Mutawalli, mengatakan bahwa mestinya memperjuangkankhilâfah janganlah hanya mengedepankan bentuknya, tetapisemangatnya. Yaitu semangat untuk menyejahterakan masyarakatdan memberdayakan agama.Di Indonesia, yang diusung Hizbu Tahrir (HT) justru bentukpermanen dari khilâfah. Karena itu, HT ini tidak diperbolehkanberkembang di negara-negara lain. Di negara kelahirannya sendiri,Yordania, HT tidak diijinkan.Saya kira khilâfah itu hanya wacana semata, tidak akan terwujud.HTI hanya mengusung wacana khilâfah karena tidak setujudengan konsep negara-bangsa, juga Pancasila. Khilâfah yangdiusungnya sendiri tidak akan pernah terwujud.Muhammad Tholhah Hasan – 1677


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana Anda melihat gerakan Islam transnasional seperti HT danJamaah Islamiyah yang memperjuangkan isu khilâfah. Apakah tawarannyaakan bisa jadi solusi persoalan bangsa? Kalau tidak, menurutAnda, bagaimana meluruskan pemahaman seperti itu?Islam transnasional sebetulnya merupakan gerakan yang munculdari kelompok-kelompok Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin,Jamaah Islamiyah dan lain-lain. Kebetulan mereka memperolehmomentum untuk tampil di Indonesia. Pemerintah Indonesiasendiri memang memberikan peluang bagi mereka untuk tampil.Namun, isu yang mereka angkat, seperti khilâfah dan pemberlakuansyariah, merupakan isu yang sudah cukup lama. Di duniaIslam, isu itu sudah usang. Mereka terbelah dalam dua kelompok.Pertama, kelompok yang mengkaji ulang dengan cara yang lebihrasional, seperti Yusuf Qardlawi. Kedua, kelompok yang tidak bisamerebut kekuasaan dan melampiaskannya dalam bentuk gerakankekerasan.Bagaimana pengalaman Anda ketika menjadi Menteri Agama dalammenyusun kebijakan yang mengatur umat beragama di Indonesia?Sejak dipilih menjadi Menteri Agama, saya menyatakan DepartemenAgama harus mampu mereposisi diri dari menguasai umatmenjadi melayani umat.Ada yang menilai, pluralisme beragama di Indonesia masih terusmendapat rongrongan karena Departemen Agama sebagai institusinegara yang menaungi semua umat beragama tidak tegas dan adil.1678– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Celakanya lagi MUI malah mengeluarkan fatwa yang memancingtindak kekerasan?Sejak awal saya sudah meminta agar MUI tidak dijadikan sebagaikepanjangan kebijakan Departemen Agama. Pada waktu itu,saya juga mengatakan agar MUI tidak menjadi fotocopy dari kebijakanDepartemen Agama. Demikian juga Departemen Agamajangan menjadi payung dari kegiatan MUI, dalam segala sikapnyayang sering mencitrakan ekstremitas pemikiran.Sebenarnya, MUI merupakan lembaga swasta yang tidak mempunyaikekuatan politik. MUI merupakan federasi dari berbagaimacam ormas Islam yang ada di Indonesia. Tetapi, ormas Islamsendiri tidak semuanya sepaham dengan sikap MUI. Contohnya,keputusan hukum dari majelis-majelis yang ada di NU dan Muhammadiyah,yang tidak selalu identik dengan MUI.MUI sekarang tampak begitu kuat sebenarnya karena perlakuanyang dibuat oleh masyarakat sendiri. Masyarakat yang mengkonstruksiMUI sehingga seolah-olah memiliki otoritas sangat kuatdalam menentukan bulat-lonjongnya kehidupan beragama di Indonesia.Sebagai federasi, kini, MUI merupakan satu-satunya federasiyang mengumpulkan orang-orang dari berbagai macam ormas Islam.Yang harus dipahami adalah bahwa pengurus MUI itu jelasbukan representasi dari ormas-ormas Islam tersebut. Mereka tidakdicalonkan oleh masing-masing ormas, melainkan dipilih oleh timformatur dalam Musyawarah Nasional (Munas).Dari segi pendanaan, MUI sama dengan ormas-ormas lainnya.Sebagian saja dana yang diperolehnya berasal dari bantuan pemerintah.Ketika saya menjadi Menteri Agama, saya pernah memberikanMuhammad Tholhah Hasan – 1679


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bantuan agar dapat dijadikan dana abadi bagi MUI, sehingga iatidak lagi mengandalkan bantuan pemerintah terus-menerus.Bagaimana Anda merespon fatwa MUI yang mengharamkan sekularisme,liberalisme dan pluralisme?Ketika MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan sekularisme,liberalisme dan pluralisme, saya sudah menyampaikan kepadateman-teman MUI, “mbok diadakan kajian yang lebih mendalam,dengan referensi yang cukup memadai dulu, masalah-masalah yangdiputuskan tadi ada alasannya atau tidak, pemahamannya benaratau tidak, jangan-jangan nanti akan menimbulkan masalah.” Sayangnyakeputusan itu keburu dibuat oleh MUI. Baru kemudian,sebelum penyetakan hasil keputusan, penjelasan-penjelasan lebihlanjut dari MUI diberikan – seperti penjelasan tentang pluralisme,bahwa yang tidak disetujui adalah yang mencampuradukan agama.MUI sendiri sebenarnya mengakui pluralitas dalam kehidupan masyarakat.Tetapi, karena keputusan itu tidak dilandasi kajian yangmatang, ia menjadi tidak indah dan kurang elegan.Yang menurut saya fatal adalah soal sekularisme. Mengharamkanhal ini, bagi saya, tidak dapat diputuskan begitu saja. Karena, perdebatanseputar kemunculan dan perkembangan sekularisme sendirisangatlah panjang. Di Indonesia, dulu seperti kita ketahui, pernahterjadi perdebatan antara Cak Nur dan Pak Rasyidi. Sebuah polemikyang sama sekali tidak dangkal dan berjalan tidak sebentar.Karena itu, perlu kajian lebih mendalam sebelum memutuskanharam atau tidaknya sekularisme.Yang dikhawatirkan oleh Pak Rasyidi berbeda dengan apa yangdikhawatirkan oleh MUI dalam konteks sekularisme ini. Pak Ra-1680– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–syidi hanya melihat sekularisme dari latar belakang kemunnculannya.Sekularisme yang kemudian berkembang menjadi sikap dandoktrin beraneka ragam, dimaknai Pak Rasyidi sebagai pemisahanpermasalahan umat atau negara (masalah profan) dari masalah-masalahkeagamaan (masalah sakral). Saya sendiri memahami sekularismesebagaimana yang berkembang di sebagian negara-negaraIslam, seperti Maroko, Yordan dan Indonesia, bahwa ia adalah bukanpemisahan, melainkan pembedaan antara mana yang menjadiurusan agama dan mana yang menjadi urusan negara. Bagi saya,pengertian demikian telah menempatkan secara jernih permasalahanyang menjadi tugas negara dan tidak menjadi tugas agama,atau sebaliknya.Bagaimana Anda merespon munculnya berbagai aliran keagamaanbaru seperti Mushadeq dan Usman Roy?Meski saya tidak setuju dengan mereka, saya kira itu merupakanbukti kegagalan dakwah Islam. Soal Usman Roy di Malang,saya juga tidak setuju dengan apa yang dilakukan olehnya dan kelompoknya.Tetapi, saya juga tidak setuju dan prihatin bila umatIslam yang telah melakukan salat selama bertahun-tahun tidakmemahami arti dari bacaan salat yang dibacanya.Dalam kondisi keberagamaan yang jauh dari semangat toleransi sepertisekarang ini, bagaimana masa depan pluralisme di Indonesia?Menurut saya, hal itu tergantung dari pergulatan dan pergumulankelompok-kelompok Islam yang ada di Indonesia. Tapi sejauhini, me-nurut saya, masyarakat Indonesia masih mendukung plu-Muhammad Tholhah Hasan – 1681


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ralisme. Ke depan, kalau kelompok yang antipluralisme didukungoleh pemerintah, misalnya, untuk kepentingan politik tertentu,maka kondisinya mungkin akan sangat berbeda. Tapi saya yakin,selama model pemikiran Islam seperti Muhammadiyah, NU danAl-Washliyah masih bertahan dan didukung pemerintah, pluralismemasih bisa berkembang dengan cara yang lebih baik.Meski demikian, di tengah era pemilihan kepala daerah secaralangsung, kita harus mewaspadai usaha kelompok antipluralismeyang sangat vokal ini. Jika mereka berkolaborasi dengan kelompokkepentingan tertentu untuk memenangkan Pilkada, saya khawatirkondisi pluralisme yang telah terjaga akan berganti menjadi antipluralisme.Bagaimana menjaga pluralisme secara praksis, apakah hanya sekadarmengakui keragaman atau juga mesti ada keterlibatan seperti advokasiterhadap kelompok minoritas?Memang harus ada keterlibatan dari semua pihak untuk menjagapluralisme. Saya punya pengalaman yang bisa dijadikan contoh.Sewaktu muda, saya hidup di Malang. Masyarakat Malangadalah masyarakat yang sangat pluralis. Di sana, bangunan masjiddan gereja tak sedikit berdiri berdampingan. Tapi mereka bisa hidupharmonis. Kami saling menjaga dialog sehingga tidak terjadikesalahpahaman. Jika mereka mengundang dalam dialog dan seminar-seminar,kami dari kelompok Islam pun datang, demikian jugasebaliknya. Dengan cara seperti itu, kami dapat menghindarkanterjadinya benturan-benturan seperti yang terjadi di daerah lain.Saya kira untuk menjaga pluralisme, kita juga perlu mengedepankandialog di antara elite-elite keagamaan. Karena masyarakat1682– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kita masih sangat paternalistik, jika elite-elitenya dapat hidup secaraharmonis, masyarakat pun sangat mungkin akan harmonis.Sebaliknya, kalau elite-elitenya justru saling berkonflik, masyarakatpun akan ikut berkonflik. Karena itu, dialog antaragama masihsangat relevan digalang untuk menjaga pluralisme. Lebih dariitu, nilai-nilai pluralisme pun harus mulai ditanamkan sejak pendidikanawal.Kalau sampai sekarang masih kerap terjadi penodaan terhadap pluralismedi Indonesia, menurut Anda, sebenarnya apa yang salah denganpendidikan kita saat ini?Menurut saya pendidikan kita terlalu dikotak-kotakkan. Adapendidikan Islam, Kristen dan sebagainya. Mereka dididik hanyamemahami satu agama saja, tidak dididik untuk memahami prinsip-prinsipagama lain. Tak aneh kalau kemudian tidak ada salingpemahaman di antara mereka. Akibatnya, kita sangat mudah salingtuding, bahkan saling tonjok ketika terjadi kesalahpahaman. Mestinyasejak masih usia anak-anak, masyarakat kita diajarkan untuksaling memahami dan toleran dengan umat agama lain. Pergaulanmereka jangan dibatasi hanya dengan anak yang seagama. Sebab,jika mereka ber-gaul dengan anak dari agama lain, mereka akanbelajar untuk saling memahami.Saya punya seorang cucu yang masih kecil. Dalam pergaulansehari-hari dia kerap berteman baik dengan anak Katolik. Ketikamereka bermain di rumah saya, saya melihat dialog yang terbangundi antara mereka sangat cair dan enak. Ketika hari Minggu,cucu saya bilang sama temannya yang Katolik, “Ini hari Minggu,kamu tidak pergi ke gereja untuk kebaktian?” Sebaliknya kalau hariMuhammad Tholhah Hasan – 1683


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jumat, teman yang Katolik mengingatkan cucu saya untuk salatJumat. “Ini hari Jumat, aku pulang dulu, kamu kan mau pergi kemasjid untuk salat Jumat”, kata teman cucu saya itu.Demikian harmonisnye dialog di antara mereka, meski itu dialogkecil. Tetapi poin yang ingin saya sampaikan adalah sudah terbangunnyarasa saling mengerti di antara mereka, meski memilikiperbedaan agama. Meskipun masing-masing mempunyai kegiatankeagamaan yang berbeda, mereka bisa menerima perbedaan itu.Dan mereka bisa saling menghargai. Saya kira yang membentuksituasi di antara mereka ini adalah lingkungan.Contoh lain saya dapatkan dari anak-anak saya sendiri. Merekadapat bergaul dengan teman-temannya yang non-Muslim, tanpamengurangi keimanan dan ketaatan mereka terhadap agama Islam.Sikap dan keyakinan anak-anak saya itu, menurut saya, terbentukdari perjalanan hidup saya dan keluarga sendiri. Dulu, waktu sayamasih aktif berbisnis, mereka kerap melihat saya berbisnis denganorang-orang Cina yang non-Muslim. Saya berbisnis dengan merekatanpa menyebabkan keimanan saya luntur. Karena itu, faktor teladanjuga sangat penting untuk menyemaikan pluralisme di keluargadan masyarakat. Dalam konteks ini, saya kira penting agar parapemimpin dapat menempatkan diri sebagai teladan masyarakat, bukanmalah membuat keributan di mana-mana. Saya sangat prihatindengan pemimpin agama yang mencontohkan tindakan yang tidakbaik. Memakai sorban dan peci sambil meneriakkan Allâhu Akbar,tetapi yang mereka lakukan adalah penghancuran rumah dan hakmilik serta tempat-tempat ibadah agama atau aliran agama lain.Wawancara dilakukan di Kota Wisata, Rabu, 26 Maret 20081684– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganNasaruddin UmarNasaruddin Umar, Guru Besar bidang Ilmu Tafsir, Fakultas Ushuluddin,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sekarang ia menjabatDirektur Jenderal Bimbingan Masyrakat Islam, Departemen Agama.1685


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Dengan struktur bangsa yang konfiguratif, Bhinneka Tunggal Ika,dan prototype masyarakat Indonesia yang berbentuk ummah,penerapan demokrasi merupakan keniscayaan. Sebaliknya khilâfahislâmiyah tidak lain gagasan utopis. Karena itu, peran yang harusdimainkan agama (al-dîn) untuk menggerakkan negara (al-dawlah)atau domain publik semestinya bersifat implisit, digali dariprinsip-prinsip moral substansial, bukan formal. Untuk itu sebagaiumat hendaknya kita melakukan jihad yang visinya harus paraleldengan ijtihad, yang masuk akal dan nalar. Sedangkan al-dawlah,yang moral politiknya diinspirasi dari agama, mengambil peranmelindungi agama-agama yang ada; jangan sampai mengambilbentuk negara Machiavellian, karena indonesia tidak bisa begitusaja mengabaikan HAM internasional.1686– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Orang sering memaknai sekularisme sebagai paham peminggiran terhadapperan agama. Bagaimana menurut Anda?Menurut saya, pemahaman tentang sekularisme makin lamasemakin kabur. Terkadang orang memahami sekularisme denganmenggunakan ayat-ayat al-Quran, Hadits, ushûl al-fiqh, ‘ulûm al-Qur’ân, atau mengutip pendapat para ulama salaf. Apakah iniupaya melegitimasi paham sekularisme dengan berdasarkan ayat,Hadits, qawl (pendapat) ulama, atau memang upaya yang sudahtidak murni lagi sebagai pemahaman sekularisme?Bagaimanapun, sekularisme dalam konteks kekinian semakinkabur. Kita tidak menemukan “sosok” sekularisme yang orisinil.Di Barat sendiri makna sekularisme juga kabur. Negara mana yangbisa kita contoh sebagai negara sekular? Di Amerika, sekarang, kalaukita lihat pertentangan antara Partai Demokrat dan Republik,keduanya adalah partai yang memiliki dukungan kuat dari kalanganagama. Partai Republik didukung oleh kelompok fundamentalKristen. Begitupun Partai Demokrat, calon presidennya seperti HilarryClinton dan Barack Obama, keduanya orang yang beragamadan statement-statement mereka banyak merujuk pada agama.Menurut hemat saya, dalam konteks kekinian, yang lazim dikenaldengan zaman posmodernisme, mendefinisikan sesuatu adalahupaya yang cenderung dinilai sia-sia. Boleh jadi upaya kita mendeskripsikansesuatu terjebak pada hal-hal yang tidak perlu lagidideskripsikan. Jangan-jangan kita melakukan klaim-klaim yangtidak perlu lagi. Maka, jangan kita memaksakan upaya tersebut,karena dikhawatirkan justru akan menjadi alat penjebak terhadaporang lain. Karena bermula dari suatu definisi dan klaim, makasetiap orang atau kelompok yang berbeda dan sekular begitu sajaNasaruddin Umar – 1687


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dianggap sesat, dilihat dari segi praktik keagamaan, meskipun iamampu memberikan konstribusi sosial yang cukup baik. Misalnya,tidak sedikit masjid dan fasilitas pendidikan yang dibangun olehorang yang dituduh sebagai sekular dan sesat. Dilihat dari segipolitik, dia banyak menggolkan regulasi yang lebih berpihak padaIslam. Dilihat dari segi pertahanan, mereka ini yang lebih soliduntuk menjaga umat.Sementara itu, mereka yang menganggap bahwa sekularismesesat, ternyata secara formal tidak melakukan apa-apa, tidak membangunrumah ibadah dan kontribusi sosial lainnya. Saya teringatPak Jusuf Kalla (JK). Orang menilai dia seperti ini dan itu. PakJK malah balik bertanya: sudah berapa banyak masjid yang Andabangun? Dan orang yang bertanya itu berusaha memojok-mojokkanJK. Padahal kita semua tahu sudah berapa banyak masjid danpesantren yang dia bangun, dan dia banyak menghajikan orang.Jangan menuduh orang dengan label sekular dan tidak sekular,sementara kita tidak berbuat apa-apa untuk umat. Boleh jadiseseorang yang kita anggap sekular dan sesat, ternyata dia lebihbanyak amalnya.Saya menanggapi wacana sekularisme dengan hati-hati. Karenakita tidak lagi hidup di abad ke-19, di mana ada perbedaan antarayang pro dan kontra terhadap agama. Di era posmodernisme saatini, paham tersebut sudah kabur maknanya.Kita tidak bisa menjadikan sekularisme sebagai obyek yang harusdipukul dengan aksi jihad, atau kita sebenarnya tidak bisa lagimembedakan bahwa jihad sekarang lebih dekat dengan al-Quranatau malah dekat dengan Marxisme, dan lain sebagainya.Kita tahu teori Marxisme telah hancur seiring dengan robohnyaTembok Berlin dan hancurnya Uni Soviet. Rumah Marxisme1688– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kini telah hancur. Sekarang ada kecenderungan membangun rumahbaru. Pertanyaannya: apakah makna jihad itu lebih dekat denganideologi Marxis atau al-Quran?Marxisme mempunyai tujuan untuk menghancurkan perbedaankelas-kelas sosial, menghilangkan kesenjangan kelas proletardan borjuis. Jihad sekarang berusaha ingin menghancurkan dominasikapitalisme, persis dengan apa yang dilakukan oleh Marxisme.Bedanya dengan jihad,Marxisme bisa menghalalkanJihad visinya harus paralel dengansegala cara untuk mencapai ijtihad, yakni masuk akal dan nalar.tujuannya. Jihad tidak bolehseperti itu. Jihad visinya mujâhadah, perjuangan rohani.Dan jihad juga harus paralel denganharus paralel dengan ijtihad, Jadi konfirmasi rohani juga ikutyakni masuk akal dan nalar. menentukan apakah sebuah niatDan jihad juga harus paraleldengan mujâhadah, perju-atau bukan. Jihad bukan untukdan perjuangan merupakan jihadangan rohani. Jadi konfirmasirohani juga ikut menentu-tapi untuk menghidupkan orang,membunuh atau mematikan orang,kan apakah sebuah niat dan untuk menyelamatkan orang.perjuangan merupakan jihadatau bukan. Jihad bukan untuk membunuh atau mematikan orang,tapi untuk menghidupkan (melindungi) orang, untuk menyelamatkanorang. Sedangkan Marxisme berbeda, siapapun yang matidan berapapun yang menjadi korban tidak jadi masalah, karena itumerupakan akibat dari revolusi. Dalam Marxisme dikenal revolusi.Kalau ada korban, itu merupakan konsekuensi dari revolusi.Dalam konsep jihad Nabi ada yang dikenal dengan istilahhijrah: wa hâjarû wa jâhadû, sepanjang masih bisa hijrah, janganjihad. Nabi bukan pengecut ketika harus pindah ke Madinah.Nasaruddin Umar – 1689


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Jadi menurut saya, jangan gegabah menggunakan istilah jihad.Jangan sampai kita bermain dengan gendang yang ditabuh olehorang lain. Sekarang jihad dipakai untuk membentur kapitalismedan membantai sekularisme, dan melenyapkan liberalisme. Padahal,dalam Marxisme yang dibenturkan adalah kesenjangan kelas.Jangan-jangan jihad dipakai untuk melindungi ideologi dan metodologiMarxisme.Tokoh sebelum Marx, yakni Hegel, berusaha membuat tesisdan antitesis dari sebuah masyarakat sosialis. Jadi, menciptakanantitesis itu harus ada risikonya. Konsepnya adalah tesis-antitesissintesis.Itu rumusan Hegelian. Dia adalah guru Marxisme. Marxismememiliki dendam pada masyarakat kapitalis, maka dari itudia ingin menciptakan masyarakat sosialis dan pemerataan, yangkeadilannya berbeda dengan konsep keadilan yang dianut olehkelompok kapitalis.Karena itu, jangan sampai Marxisme kemudian dibungkusIslam. Seperti yang saya sebutkan di atas bahwa mereka menggunakanayat al-Quran, Hadits, qawl ulama untuk melegitimasipemikirannya.Bagaimana Anda melihat hubungan agama dengan negara? Dan bagaimanaseharusnya memperjuangkan agama di ruang publik?Perdebatan hubungan agama dan negara merupakan sebuahwacana yang sudah lama muncul dalam pemikiran Islam. Sebagaiseorang sarjana Muslim, saya melihat tidak bisa dirancukan antaraal-dîn wa al-dawlah. Pemikir-pemikir kontemporer menyebutkanbahwa al-dîn lâ dawlah. Padahal kalau kita membuat sebuahlingkaran dari keduanya, titik temunya dapat tercapai. Memang,1690– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–terdapat wilayah masing-masing. Ada domain al-dîn dan ada domainal-dawlah. Fatwa halal-haram bukan domainnya al-dawlah,tetapi domain Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebaliknya, masalahpilkada dan teknik berdemokrasi adalah domain al-dawlah.Namun demikian, dalam pandangan Islam harus ada moral yangmenggerakkan al-dawlah. Inilah titik temu antara al-dîn dan aldawlah.Jadi, inilah yang membedakan saya dengan kelompok yangdengan tegas memisahkan al-dîn wa al-dawlah secara ekstrem.Al-Razi menganggap bahwa antara al-dîn dan al-dawlah sepertiseparuh benang merah danseparuh benang putih. Bagi Peran al-dîn dalam al-dawlahsaya tidak seperti itu. Meski implisit, bukan eksplisit; lebih bersifatal-dawlah memiliki domainnyasendiri, tetapi moral Sebaliknya, peran al-dawlah terhadapsubtansial, bukan bersifat formal.politik harus diinspirasi dari al-dîn, dalam posisi Indonesia berbedanilai-nilai agama. Sebab, tanpamoral agama hanya akan melindungi agama-agama yang ada.dengan negara lain, yaitu harusmelahirkan negara ala Machiavelli.Kita tidak menginginkan menampilkan moral Machiavellian.Maka dari itu, kita menampilkan moral agama, moral Islamuntuk pemeluknya, begitu juga moral Kristen untuk pemeluknya.Tetapi saya hendak mengatakan bahwa saya tidak sepenuhnya sependapatdengan al-Razi, juga tidak sepenuhnya menolak, karenaada juga pendapatnya yang masuk akal.Pada hemat saya, peran al-dîn dalam al-dawlah implisit, bukaneksplisit; lebih bersifat subtansial, bukan bersifat formal. Sebaliknya,peran al-dawlah terhadap al-dîn, dalam posisi Indonesia berbedadengan negara lain, yaitu harus melindungi agama-agama yangNasaruddin Umar – 1691


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ada. Bagaimanapun undang-undang yang kita anut adalah negara“beragama”, bukan negara agama. Jadi kalau ada orang yang tidakmau beragama, itu urusannya sendiri. Tetapi, kalau dia mengkampanyekanuntuk tidak mau beragama, itu melanggar undang-undang.Jadi harus dibedakan di antara keduanya.Apakah orang yang tidak beragama dapat hidup di Indonesia?Jawabannya, mereka berhak hidup di Indonesia. Tapi hanyadiyakini sendiri. Mereka boleh hidup di Indonesia sepanjang diameyakini sendiri ketidakberagamanya, tapi kalau dia mengeksposdan mengajak orang lain untuk tidak beragama, pada saat itu diatidak berhak lagi hidup di Indonesia dan dia harus dikenakan undang-undang.Sebab, kita sudah meratifikasi international humanright (undang-undang HAM internasional).Tetapi harus juga dipahami bahwa HAM bukanlah cek kosong.Di seluruh dunia, tidak ada HAM yang dipahami sebagaicek kosong. Anda bisa lihat sendiri di Amerika. Masalah pornografi,misalnya, salah satu aturan di sana menyatakan tidak bolehkantor pos mengirimkan surat sampai ke rumah yang dituju kalauperangkonya menggunakan perangko telanjang. Atau, majalahtelanjang juga tidak boleh dikirim. Tidak boleh majalah yangmenampilkan gambar buka-bukaan dibuat tanpa sampul yang gelap.Berarti Amerika lebih kolot dibanding Indonesia. Sebab, diIndonesia majalah seronok dijual tanpa sampul. Iklan sabun ditayangkansetelah pukul 21.00 di Amerika. Di sini justru setelahMaghrib, karena pemirsa televisi banyaknya habis Maghrib, sambilmereka makan malam.Jadi yang konservatif itu siapa dan yang modern itu siapa?Negara Amerika itu modern, tapi mereka hanya meratifikasi beberapabutir aturan HAM internasional. Undang-undang human1692– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–trafficking, misalnya, tidak diratifikasi oleh Amerika. Tetapi, meskipunbegitu, dia merasa menjadi polisi dunia, padahal dia palingsedikit meratifikasi undang-undang HAM internasional. Jadi secaraundang-undang kita lebih liberal dibanding Amerika. Karena kitabanyak meratifikasi undang-undang HAM internasional, sepertiundang-undang tentang kesetaraan gender, human trafficking, dansebagainya.Tetapi, yang menjadi bahanperenungan, di era refor-Tengah yang merupakan tempatKita bandingkan dengan Timurmasi ini kita banyak meratifikasiundang-undang interna-berbentuk kerajaan. Jangan mimpilahirnya Islam, hingga saat ini masihsional, padahal negara-negaramaju selektif sekali, seperti keturunan darah biru. Kuwait adalahmenjadi presiden kalau bukanyang dilakukan Amerika. Karenakita mau dianggap maju kerajaan. Sistem kerajaan sebetulnyanegara yang kaya, tapi sistemnyamaka kita meratifikasi semua, kembali ke sistem kepemimpinandan UUD ‘45 pun harus diubah.Padahal, UUD ‘45 se-adalah prototype ummah.qabîlah, bukan ummah. Indonesiabenarnya sudah memberikankebebasan beragama, meskipun ada juga yang membatasi HAM.Jadi HAM di Indonesia bukanlah cek kosong.Formalisasi dalam bentuk perda syariah yang banyak berkembangsaat ini dinilai banyak kalangan mengancam kebebasan beragama,merampas hak-hak perempuan, dan HAM. Tanggapan Anda?Saya tidak sependapat bahwa formalisasi itu akan mengancamorang non-syariah. Saya kemarin konsultasi ke komisi XI di DPRuntuk memperjuangkan undang-undang perbankan syariah. LantasNasaruddin Umar – 1693


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–muncul pertanyaan: Kenapa mereknya harus syariah? Sungguhpundemikian, Anda atau siapapun jangan alergi dengan kata-kata syariah.Ini bukan era Piagam Jakarta dengan munculnya tujuh katayang banyak diperdebatkan. Istilah yang muncul belakangan, adanyakata syariah, itu minus ideologi. Jadi jangan didramatisir. Memang,kawan-kawan kita di DPR menolak mentah-mentah. Walaupunsebetulnya negara yang pertama kali memformalkan syariahitu adalah negara Barat, Eropa. Di sana, di mana-mana terdapatperbankan syariah, dan itu memang sangat kontributif. Karena itu,kami sampaikan di DPR, pada waktu itu, bahwa bila teman-temanjuga punya konsep hukum dan perbankan Kristen, misalnya,monggo kita undang-undangkan. Tetapi, kalau itu kontributif padakesejahteraan masyarakat.Ternyata investasi asing, terutama petrodolar tidak bisa masukke Indonesia karena tidak ada undang-undangnya. Ketikakita berhubungan bisnis dengan Timur Tengah maka masuknyamelalui Malaysia, karena mereka sudah memiliki undang-undangperbankan syariah.Jadi saya tidak setuju dengan mereka yang ikut-ikut alergidengan kata syariah. Mereka, menurut saya, hanya melihat kulitpermukaan. Di Bulukumba, misalnya, tidak disebutkan sebagaiperda syariah. Ketika saya ke daerah tersebut, saya bertanya kepadaseorang Kristen, “Bu, setuju tidak dengan perda syariah?”Jawabannya: “Setuju sekali. Dulu kami tidak bisa saving karenapendapatan suami kami dipakai judi, sekarang karena tidak bolehberjudi, ada saldo yang bisa di-saving.” “Saya setuju juga denganperda tersebut, karena bila suami sedang mabuk dia suka menempeleng,sekarang tidak ada lagi miras di jual bebas, sehingga tidak1694– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–ada tamparan lagi yang mendarat ke wajah saya.” Ini yang mengatakanadalah non-Muslim.Bagaimana dengan pewajiban memakai jilbab di beberapa daerah?Di Bulukumba, anjuran memakai jilbab berlaku hanya di hariJumat. Karena hari Jumat adalah hari berkeringat, habis olahragakemudian mandi, langsung kita salat Jumat. Jadi apa yang salahkalau dianjurkan untuk lelaki memakai baju koko. Sebab, kurangetis kalau salat Jumat memakai kaos dan training. Itu menyangkutmasalah etika. Sementara himbauan bagi Muslimah untuk memakaijilbab sifatnya lebih berupa kesadaran, dan tidak akan dipaksauntuk memakai jilbab.Bagaimana dengan yang terjadi di Aceh?Konteks Aceh lain. Karena dia dirancang menjadi sebuah negaratersendiri, namun sekarang tidak jadi karena tuntutan GerakanAceh Merdeka (GAM) diapresiasi. Sikap saya jelas, terhadap hukumcambuk yang diberlakukan di sana, misalnya, kenapa harustakut? Kenapa hanya karena alasan tuntutan negara Islam kita lantasmenjadi takut? Kalau Anda membuang sampah di Singapura,yang merupakan negara kafir, Anda akan dicambuk. Kenapa halitu tidak ditakuti dan tidak diributkan. Ada bedanya memang,kalau di sini hukum cambuknya ada ideologi Islam sementara disana tidak. Padahal sama-sama dicambuk.Jadi teman-teman jangan bersikap seperti orang yang tidak punyaharga diri. Misalnya, kita menganggap semuanya benar, atausebaliknya menganggap semuanya salah. Kenapa harus takut kalauNasaruddin Umar – 1695


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–itu nilainya universal? Sedangkan soal rajam, tidak ada di sini yangmenerapkan perda tentang rajam. Dan persoalan ini pun masihmenjadi ikhtilâf di kalangan ulama.Jadi jangan takut terhadap isu penerapan syariah. Saya ingatRomo Mangun saat bicara di PBNU. Dia mengatakan tidak alergidengan perda syariah, karena jangan-jangan perda itu yang akanmenjerakan koruptor. Jangan-jangan itu yang lebih memanusiakanmanusia.Uskup Agung Inggris yang mendapat protes beberapa waktulalu, pernah mengatakan: apa yang salah bila diterapkan hukumIslam di Inggris untuk orang Islam? Lantas, kenapa malah kitasendiri yang merasa keberatan dengan menerapkan hukum Islam?Toh Uskup di Inggris pun mau menerapkan, dan Romo Mangunjuga tidak merasa keberatan. Ini satu bukti bahwa kita kurangmemiliki keberanian. Seolah-olah kita tidak berani karena menggunakanistilah formalisasi syariat Islam.Ketakutan terhadap syariat Islam, salah satunya, karena adanya ideologiIslam transnasional yang mengidolakan berdirinya kekuasaanIslam (khilâfah) yang tidak dibatasi dengan wilayah teritorial. TanggapanAnda?Khilâfah islâmiyah tidak mungkin terwujud. Karena gagasantersebut hanyalah sebuah mimpi, utopis. Apa betul konsep khilâfahbisa lahir di siang bolong? Itu trauma kepada sesuatu yangtidak nyata. Kenapa harus takut kepada sesuatu yang mustahil? Sebetulnyakekhawatiran seperti itu menunjukkan bahwa kita tidakpunya rasa percaya diri. Sebagai seorang Muslim, menurut saya,kenapa harus ikut-ikutan takut bahwa Indonesia akan menjadi1696– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bagian dari Khilâfah Turki atau Saudi? Lagipula negara macamapakah Arab Saudi itu?Dalam hal ini (ketakutan) mereka jungkir balik untuk memikirkanapa yang juga dipikirkan Barat, sementara Barat sendirisudah meninggalkan apa yang dipikirkan tersebut (khilâfah islâmiyah).Dari poin ini, saya tidaksetuju dengan Jaringan kombinasi yang cukup baik antaraBagaimanapun Indonesia merupakanIslam Liberal (JIL) yang seolah-olahbersikap “yes man!” kaidah fikih klasik yang sampaiBarat dan Timur. Saya ingin mengutipterhadap Barat. Tetapi saya sekarang masih relevan bagi kita: almuhâfazhatu‘alâ al-qadîm al-shâlih,juga lebih tidak setuju lagidengan orang yang keras, wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah.dengan mereka yang seolah-olahmenganggap diri-Demokrasi bagus, maka kita terapkan.nya paling benar dan menganggap yang lain masuk neraka. Pertanyaanyang sebetulnya adalah: sudah berapa banyak dia membangunmasjid, sudah berapa orang yang dia islamkan, dan berapaorang yang sudah dihajikan?Indonesia menganut model nation state yang berkewajiban melindungihak-hak dan kebebasan warganya. Kalau lihat konteks sekarang, denganberbagai benang kusut persoalan yang kita hadapi, bagaimanaAnda melihat Indonesia sekarang ini?Saya melihat bahwa Indonesia merupakan nation state denganpenduduk mayoritasnya Muslim. Indonesia merupakan yang terbaikdi antara negara-negara lain yang mayoritas penduduknya Muslim.Saya sudah keliling ke seluruh negara Islam dan saya membukti-Nasaruddin Umar – 1697


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kan bahwa kita yang terbaik. Bagaimanapun Indonesia merupakankombinasi yang cukup baik antara Barat dan Timur. Saya inginmengutip kaidah fikih klasik yang sampai sekarang masih relevanbagi kita: al-muhâfazhatu ‘alâ al-qadîm al-shâlih, wa al-akhdzu bial-jadîd al-ashlah. Demokrasi bagus, maka kita terapkan.Kita bandingkan dengan Timur Tengah yang merupakan tempatlahirnya Islam, hingga saat ini masih berbentuk kerajaan. Janganmimpi menjadi presiden kalau bukan keturunan darah biru.Kuwait adalah negara yang kaya, tapi sistemnya kerajaan. Sistemkerajaan sebetulnya kembali ke sistem kepemimpinan qabîlah, bukanummah. Indonesia adalah prototype ummah.Ummah berasal dari kata ummun, seakar kata dengan cinta kasih;seakar kata dengan amâma, terdepan, yang berperspektif; seakarkata dengan imâm, harus ada pemimpin yang berwibawa; seakarkata dengan ma’mûm, harus ada rakyat yang tunduk; seakar katadengan imâmah, harus ada konsep kepemimpinan yang mengaturpemimpin dan rakyat. Dan, bingkai dari semuanya adalah ummah.Jadi tidak bisa disebut sebagai ummah kalau tidak ada lagi cintakasih sesama, tidak ada pemimpin yang berwibawa di tempat itu,tidak ada rakyat yang santun, atau tidak ada sistem yang mengatur.Oleh karena itu, kalau hal-hal ini tidak ada, maka lebih dekatpada qabîlah, bukan ummah.Di dalam al-Quran tidak semuanya disebut ummah. Komunitasyang perfect disebut ummah, dan yang tidak perfect itulah yang disebutqabîlah, hizb, qawm. Dan al-Quran sudah menerangkan ini.Artinya, Nabi Muhammad lahir untuk mentransformasikanmasyarakat dari sistem qabîlah menjadi ummah. Apakah Indonesiaini merupakan ummah atau hizb atau qawm? Ini tergantung kriterianya.Kalau menurut saya, secara teori, bangsa Indonesia paling1698– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bagus. Kalau di sini Anda sebagai warga biasa bisa menjadi presiden.Tapi kalau Anda warga Arab Saudi, Anda tidak akan bisamenjadi pemimpin, karena Anda bukan keturunan Bani Saud. Sehingga,bagi saya, Indonesia justru lebih sesuai dengan ayat: innâakramakum ‘indallâhi atqâkum.Selain itu, Indonesia telah memiliki sistem yang sangat konfiguratif,yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Itu sebetulnya impelementasidari surat al-Ahzâb ayat 13.Jadi, dua-duanya saya kritik. Orang liberal, menurut saya, seringkalitampak sebagai underbowBarat. Mereka selaku Khilâfah islâmiyah tidak mungkinkonsumen pemikiran Barat, terwujud. Karena gagasan tersebutbukan produsen. Kita menginginkanbahwa kita mene-hanyalah sebuah mimpi, utopis.rima pemikiran yang baik dari Barat, tapi jangan ditelan mentahmentah.Sekarang, dengan adanya kebangkitan kelompok fundamentalisKristen, maka Republik ini juga terancam dirugikan. Merekayang di luar Islam berusaha mengangkat isu agama. Sebaliknya,kita sendiri keberatan untuk menjadikan nilai-nilai Islam menjadinafas Indonesia.Bagaimana soal pluralisme yang juga oleh beberapa kalangan ditanggapimiring, bahkan diharamkan oleh MUI?Menurut saya, pluralisme adalah hukum alam. Dalam al-Quranditegaskan bahwa: wa law syâ’a rabbuka la ja‘alnâkum ummatanwâhidah. Di ayat itu Allah menggunakan kata law, tidak menggunakanin atau idzâ, kenapa? Karena kalau menggunakan in atauNasaruddin Umar – 1699


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–idzâ yang berarti bisa, maka ada dua kemungkinan: bisa ya atautidak. Tapi Allah menggunakan law, yang berarti tidak mungkinmanusia seragam. Demikianlah ketentuan dari Allah.Jadi, hukum alam menyatakan bahwa manusia plural, berbeda-beda.Yang terlarang dalam Islam adalah wihdat al-adyân,penyatuan agama. Nah itulah yang dimaksud oleh MUI denganpluralisme. Jadi jangan salah paham dengan MUI yang melarangpluralisme. Sekali lagi yang dilarang MUI adalah pluralisme agama.Tapi pluralisme budaya atau sosial tidak bisa diterapkan padanyaaturan fikih.Persoalannya: MUI tidak memberikan definisi operasional yangcukup atas apa yang dimaksud dengan pluralisme dalam panduannya.Kendati demikian, saya tidak sependapat dengan tuntutan untukmembubarkan MUI. Menurut saya, posisi MUI sangat pentingdalam konteks Indonesia. Hanya saja orang-orangnya harussesuai dengan visi-misinya. Jadi, jangan membakar lumbung untukmembunuh tikus. Boleh bunuh tikusnya, tapi jangan bakarlumbungnya.Sekali lagi saya katakan bahwa saya sangat tidak setuju denganstatement bubarkan MUI. Itu pemikiran buruk dan tanpa pertimbanganpemikiran. Yang harus dibersihkan adalah orangnya, bukanlembaganya. Ada NU, Muhammadiyah, dan ormas lainnya yangmerupakan bagian MUI. Soal kemudian di situ ada mister X, Y,atau siapapun, yang perlu dilacak adalah siapa yang suruh memilihdia? Jadi prosesnya seperti itu.Sama juga dengan adanya pemikiran bubarkan DepartemenAgama. Menurut saya, itu pernyataan ahistoris.1700– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana dengan nasib minoritas di Indonesia? Apakah negara inisudah cukup menjamin hak-hak mereka?Mungkin kita tidak akan bisa mengagumi Indonesia kalau kitatidak pernah ke luar negeri. Coba Anda ke Mesir, apakah Andamenemukan kemerdekaan bagi non-Muslim. Atau Anda ke Saudi,misalnya, di sana perempuan tidak bisa mendapat SIM, tapidi Indonesia bisa.Dari 33 provinsi, 10 di antaranya dipimpin oleh non-Muslim,padahal umat Islam 90%. Jadi teman-teman jangan hipokrit terhadapIslam. Indonesia ini adalah surga bagi non-Muslim. Saya pernahlama di Amerika dan saya menjadi imam di sejumlah tempatdi sana, seperti Washington DC, Virginia, dan Marryland. Bahkankita melakukan fund raising, sehingga dapatlah dua rumah. Namun,setelah bertahun-tahun kita mengajukan izin pembangunanmasjid ke pemerintahan Amerika, tidak pernah ada jawaban. Karenamemang kita tidak boleh membangun masjid. Di Indonesia,agama mana pun dari enamagama yang ada di sini yang Pluralisme adalah hukum alam.mengajukan rumah ibadah, Dalam al-Quran ditegaskan bahwa:asal memenuhi persyaratan, wa law syâ’a rabbuka la ja‘alnâkumtidak ada alasan bagi pemerintahmenolaknya. Coba Allah menggunakan kata law, tidakummatan wâhidah. Di ayat ituAnda bayangkan, lebih demokratismana?menggunakan in atau idzâ, kenapa?Karena kalau menggunakan in atauidzâ yang berarti bisa, maka ada duaTeman-teman di Prancisuntuk masuk ke sekolahkemungkinan: bisa ya atau tidak. TapiAllah menggunakan law, yang berartitidak boleh memakai jilbab.tidak mungkin manusia seragam.Di sini mayoritas Muslim,Nasaruddin Umar – 1701


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tetapi Anda ke sekolah memakai salib sebesar apapun dibolehkan.Anda ingin memakai simbol-simbol agama apapun diperbolehkan.Bukan hanya di Prancis, sekolah-sekolah di Rusia juga tidak boleh.Di Austria terdengar azan di Masjid tidak boleh, tetapi kalaulonceng di mana-mana terdengar. Di Indonesia tidak ada laranganmembunyikan lonceng. Sekeras apapun. Monggo!Untuk di internal umat Islam sendiri muncul larangan dan penyesatanterhadap al-Qiyadah al-Islamiyah dan Ahmadiyah. Bahkanbelakangan ini nasib mereka semakin terancam?Siapa yang melarang? Al-Qiyâdah al-Islâmiyah yang dilarangadalah penyebaran ajarannya. Kalau Mushadeq mau melantik dirinyasendiri menjadi nabi dan tidak mengajak orang lain, tidakada masalah. Pelanggarannya adalah karena dia mengajak oranglain. Buktinya umatnya banyak. Begitu juga Ahmadiyah. Dari500 orang kemudian menjadi 50 ribu. Itu artinya ada kampanye.Mengkampanyekan sesuatu yang sesat adalah pelanggaran hukumdi Indonesia.Kriteria sesat itu seperti apa?Ada undang-undang yang dibuat oleh rakyat melalui DPR,bukan pemerintah.Sekarang muncul tuduhan sesat atas kelompok minoritas yang membuatmereka menjadi korban tindak kekerasan. Hal ini merupakan1702– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–dampak dari kurang responsifnya negara terhadap berbagai persoalankebebasan beragama dan berkeyakinan. Tanggapan Anda?Hal itu pun menurut saya sangat relatif. Di negara kita adaaturan yang mengatur soal pendirian rumah ibadah, sementaradi Amerika tidak ada, sehingga kita tidak diizinkan mendirikanrumah ibadah. Apakah pemerintah Amerika memberikan syaratuntuk membangun rumah ibadah? Tidak ada! Menurut saya, itulebih aneh. Meski begitu, soal tindak anarkis, menurut saya, tidakada tempatnya di muka bumi ini.Yang bisa melakukan tindakan anarkis hanyalah negara yangdiberikan oleh hukum, seperti melaksanakan hukuman mati. Hukumanmati adalah tindak anarki, tetapi anarki yang dibenarkanoleh hukum. Dan Amerika melakukan hal yang sama. Bahkan merekamelakukan penangkapan dan penjeblosan ke tahanan tanpaproses hukum di Guantanamo. Sebetulnya yang terjadi di negeriini tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan yang dilakukanoleh Amerika.Di Indonesia ada UU No. 1/PNPS/1965 yang mengatur pokok-pokokajaran agama. Banyak kalangan melihat bahwa UU ini tidaksesuai dengan konstitusi, yakni pasal 28 E ayat 1 dan 2, dan pasal29 ayat 2 tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. TanggapanAnda?Coba lihat pasal berikutnya, coba lihat kembali UUD-nya.Saya tahu persis karena saya terlibat di dalamnya waktu itu. PakAdnan Buyung Nasution hanya mengutip dua pasal itu, tapi diatidak baca, atau pura-pura tidak tahu dengan pasal yang mengkooptasikedua pasal itu, yaitu pasal C-nya, bahwa tidak semuaNasaruddin Umar – 1703


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–HAM harus seenaknya diterapkan dengan mengatasnamakan HAMtetapi melanggar HAM yang lain. Apakah adil atas nama HAMtapi menggusur HAM umat Islam yang mayoritas, sehingga mayoritasterzalimi oleh minoritas? Jadi, Anda juga jangan bias memahaminya.Kita salut dengan Cak Nur. Dia berani mengkritik Barat kalaumemang mereka salah. Namun kita selama ini selalu menganggapyang dari Barat pasti bagus. Dalam hal ini saya salut dengan CakNur, begitu juga dengan Gus Dur, pikirannya liberal tetapi jugaberani menabrak Barat.Kita sekarang ini tidak punya jati diri, karena semua yang datangdari luar masuk ke dalam diri kita tanpa kita seleksi. Misalnya, ketikamembicarakan tentang gender, saya tidak mengatakan bahwa semuaperspektif gender dalam Islam salah dan perspektif gender orang lainsemuanya benar, tapi saya harus tegas bahwa pemahaman kita selamaini terhadap ayat itu bias budaya, bias patriarki. Tapi saya jugatidak ingin ajaran di dalam al-Quran digusur. Contoh, soal poligami,saya yang berdiri paling depan untuk membatasi poligami, darisini kemudian saya disebut liberal, tapi saya tidak pernah membuatstatement bahwa poligami haram atau bahwa poligami itu tidakboleh. Melarang poligami sama jahatnya secara kemanusiaan.Jadi poligami jangan dikatakan haram. Tetapi juga jangan dilonggarkan.Mengharamkan dan melonggarkan sama-sama berakibatburuk pada kemanusiaan. Tuhan telah meletakkan ayat-ayatdengan cantik: wa in khiftum an lâ ta‘dilû, fawâhidah, di dalamkalimat itu digunakan in, artinya boleh ya atau boleh tidak. Jadisangat proporsional. Kepercayadirian kita sebagai Muslim harusada dalam diri kita.1704– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Saya salut dengan M. Dawam Rahardjo, meski dia banyak ditentang.Tapi saya tahu bahwa dia sangat menentang kapitalismedan bagi saya dia mempunyai kepribadian yang kuat. Bahkan dalamhal tertentu, dia pasang badan untuk menentang mayoritas,seperti kasus yang terjadi dalam waktu belakangan ini (kebebasanberagama dan berkeyakinan). Orang yang seperti itu harus dihargai.Yang saya takutkan adalah orang yang tidak punya warnasendiri. Apa yang ada di dalam dirinya hanya duplikasi dari Barat,tidak ada tulisannya yang mencela Barat. Semua tulisannya mencelaTimur. Bagi saya, orang seperti itu adalah kaki-tangan Barat.Dalam hal tertentu, saya mengajak untuk tidak seperti itu, danikuti hati nurani.Bagaimana pendapat Anda dengan Bakorpakem yang terdiri dari polisi,jaksa, dan Depag, yang merupakan institusi negara yang justrudinilai banyak kalangan membatasi hak dan kebebasan beragama?Pertama, saya bukan anggota Bakorpakem, dan saya belumpernah diundang dalam rapat mereka. Dari Depag yang mewakiliadalah Pak Atho’ Mudhar, jadi saya tidak banyak tahu organ dalamnyaBakorpakem seperti apa. Tapi sepanjang yang saya ketahui,Bakorpakem bekerja berdasarkan undang-undang. Jadi kalaukita tidak setuju, bukan dengan membubarkan lembaganya tapimengamandemen undang-undangnya. Sebab, yang mereka lakukanberdasarkan undang-undang dan yang membuat undang-undangadalah rakyat yang diwakili DPR. Jadi bukan an sich negara, tapirakyat. Eksekutornya memang pemerintah, tetapi legislatornyaadalah rakyat melalui DPR. Jadi tidak bijaksana dan terlalu picikkalau hanya menyorot Bakorpakem.Nasaruddin Umar – 1705


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bakorpakem itu bekerja berdasarkan pasal demi pasal. Jadijangan salahkan mereka. Salahkan DPR yang membuat undangundangnya.Kita selalu saja potong kompas dengan menyalahkanpemerintah, sementara yang membuat undang-undangnya adalahrakyat.Bagaimana Anda melihat konsekuensi yang terjadi di masyarakat ketikaBakorpakem mengeluarkan aturan yang melarang kelompok tertentu?Dan sejauhmana Bakorpakem mempertimbangkan munculnyagejolak di masyarakat?Karena saya baru sedikit terlibat di Depag untuk kasus semacamitu, saya belum tahu. Cuma saya ingin mengatakan bahwabeberapa waktu lalu ada pemikiran untuk membubarkan langsungAhmadiyah. Saya waktu itu salah satu anggota rapat. Di sana hadirMendagri dan Jaksa Agung. Saya waktu itu berpendapat, apakahbijaksana membubarkan organisasi tanpa pernah melakukan klarifikasisecara langsung terhadap organisasi itu, dan hanya berpegangpada data yang diperoleh dari lembaga yang tidak senang terhadapAhmadiyah? Saya diprotes oleh teman-teman anggota rapat. Kalaubegitu, menurut mereka, surut langkah lagi.Sebagai orang baru di lingkungan Depag, saya memang tidakmengikuti persoalan ini dari awal. Ketika saya datang waktu itusebenarnya tinggal menandatangani surat yang berisi pembubaranAhmadiyah. Namun saya mengatakan bahwa kita tidak bisa begitusaja membubarkan Ahmadiyah atau memberi waktu sebulan,dua bulan, atau tiga bulan, karena Nabi berdakwah membutuhkanwaktu selama 23 tahun. Argumen saya waktu itu, percuma1706– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–saja kita membubarkan organisasi formalnya, karena kita tidak bisamembubarkan keyakinannya.Beberapa waktu kemudian saya harus menghadapi beberapakelompok yang datang ke Depag menuntut pembubaran Ahmadiyah.Saya menemui mereka setelah selesai salat Zuhur. Satu persatu saya persilakan masuk dan bertanya. Ketika giliran saya menjawab,saya mengajak mereka untuk bersama mengingat sebuahnama dan sebuah wajah yang selalu hadir di tengah kita namunsekarang tidak lagi bisa mendampingi kita lagi, yaitu almarhumHusein Umar. Saya mengajak mereka untuk membacakan suratal-Fâtihah. Suasananya kemudian menjadi sejuk seperti disiramair. Setelah itu baru saya jawab mereka satu per satu. Inti jawabansaya, apakah kalau Ahmadiyah dibubarkan kemudian persoalannyaselesai? Jawaban saya, tentu saja tidak.Saya katakan, sebagai dirjen Bimas Islam, tugas saya tiga. Pertama,harus meminimalkan penyempalan di tubuh Islam. Karenaitu, saya meminta mereka untuk mempercayakan penanganan inikepada saya. Kedua, para penyempal itu akan saya panggil kembalike “rumah”. Tentu saja bi al-maw‘izhah al-hasanah, sesuai denganajaran MUI, al-rujû‘ ilâ al-haqq, mengembalikan mereka pada kebenaran.Konsep al-rujû‘ ilâ al-haqq yang digunakan Nabi perlumemakai konsep hijrah dan lain sebagainya. Dan yang ketiga, sayameminta jangan sampai ada tindakan anarkis terhadap kelompoksempalan. Tindakan anarkis dari umat Islam dalam menyikapi perbedaanadalah melanggar hukum dan menodai Islam sebagai agamaperdamaian yang tidak menghendaki adanya tindakan anarkispada siapapun.Nasaruddin Umar – 1707


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Percakapan denganNeng Dara AffiahNeng Dara Affiah, Komisioner dan Ketua Sub Komisi Pendidikan dan PenelitianKomnas Perempuan. Ia juga Ketua PP Fatayat NU dan Konsultan untuk programWomen Empowerment Moslem Context (WEMC).1708


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Sekularisasi mempunyai akar teologis dalam ajaran Islam. Islammengajarkan: kejarlah dunia seolah-olah kita akan hidup selamanya;dan kejarlah akhirat seolah-olah kita akan meninggal besok.Semangat yang harus kita ambil dari sekularisasi adalah mendobrakotoritarianisme kekuasaan atas nama Tuhan. Sementara dalamliberalisme setiap individu diberikan kebebasan berekspresi danmemilih sesuai dengan hati nurani dan nalarnya sendiri denganmenjunjung tinggi kepatuhan terhadap hukum dan aturan-aturanpublik. Karena itu, di dalam negara yang demokratis, pluralismeadalah kemestian akan penghargaan, saling memahami, danberdialog dengan masyarakat yang memiliki agama dan keyakinanyang berbeda. Bentuk konkretnya adalah bekerjasama memecahkanpersoalan-persoalan kemanusiaan.Neng Dara Affiah – 1709


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana Anda memahami sekularisme? Apakah Anda melihat perbedaanantara sekularisasi dan sekularisme?Saya sebetulnya tidak menyukai kata ‘isme’. Kata ini mengandungpaham yang memutlakkan segala bentuk ideologi, agamaatau yang lainnya. Sementara dalam agama atau ideologi terdapatparadoks-paradoksnya tersendiri. Jika kita memperbincangkan sekularisasi,maka yang harus kita cermati adalah gagasan dasar atauaspek filosofisnya yang ingin mencoba memisahkan mana ranahduniawi dan mana yang wilayah agama.Saya melihat bahwa sekularisasi sebetulnya mempunyai akarteologisnya dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan: kejarlah duniaseolah-olah kita akan hidup selamanya; dan kejarlah akhirat seolaholahkita akan meninggal besok, (I‘mal li dunyâka ka’annaka ta‘îsyuabadan wa i‘mal li âkhiratika ka’annaka tamûtu ghadan). Di siniada pesan bahwa urusan duniawi sebaiknya tidak dicampuradukkandengan agama. Jika dicampuradukkan, maka besar kemungkinanakan terjadi manipulasi terhadap agama itu sendiri.Dalam konteks bernegara, Indonesia sebetulnya negara sekular,karena ia tidak menganut negara agama. Tetapi ia tidak sekularmurni, karena dasar negara kita, Pancasila, telah menempatkankepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pilar utama.Hemat saya, Indonesia sebetulnya ingin pada posisi in between,yakni posisi di tengah-tengah antara posisi bukan negara agama(sekular), tetapi sangat mempertimbangkan keberadaan masyarakatyang perilakunya terinspirasi oleh nilai-nilai agama.Di negara-negara Eropa dan Amerika pun demikian. Kendatimereka lantang memproklamirkan dirinya sebagai negara sekular,tetapi nilai-nilai religiusitas sangat mewarnai perilaku masyarakat-1710– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–nya. Negara Eropa, misalnya, secara moral dan hukum mereka terinspirasiajaran Katolik, ilmu pengetahuan dan nalarnya terinspirasidari kebudayaan Yunani, dan estetika dari kebudayaan Eropa itusendiri. Amerika juga demikian. Jika kita membaca buku-buku terbitanAmerika yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasaIndonesia, nuansa nilai-nilai Protestan sangat kental sekali. Bahkanuntuk buku-buku bisnis sekalipun. Tanda mata uang mereka punmemiliki semboyan “In God We Trust”.Semangat awal sekularisme yang terjadi di Barat adalah pemisahanantara negara dengan gereja, karena pengalaman buruk di masa laluatas dominasi gereja. Lantassekularisme model sepertiapa yang menurut Anda harus meninggalkan ajaran agama,Sekularisasi tidak berarti orangharus dijalankan oleh umat melainkan ajaran agama tertentuMuslim?tidak mengganggu kenyamananSekularisme Eropa memangmemiliki konteks kesejarahantersendiri. Ia berbedadengan konteks kesejarahandi negara-negara berbasisMuslim. Oleh karenaitu, yang bisa kita ambiladalah spirit atau semangatnya,sedangkan aplikasi atauimplementasinya harus kitaformulasikan bersama. Turkidengan kepemimpinan barupenganut agama yang lain.Sekularisasi bukan berarti tidakmenjunjung nilai-nilai kebaikan,mereka sangat menghargai nilainilaikebaikan dan memiliki nilainilainyatersendiri. Hal ini bisa kitasaksikan di beberapa negara yangdengan bangga mengatasnamakandirinya sekular, tingkat korupsimereka rendah dan pemerintahannyabersih, seperti Finlandia, Swedia, NewZealand, dan sebagainya.Neng Dara Affiah – 1711


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–saat ini, misalnya, mencoba memformulasikan kembali bagaimanaIslam yang moderat beradaptasi dengan sekularisasi, berdialogdengan anggota-anggota Uni Eropa serta mencoba menyingkirkansekularisme yang selama puluhan tahun diterjemahkan kalanganmiliter.Proses kesejarahan sekularisme di Barat lahir karena penguasagereja sekaligus juga penguasa negara. Terjadi tumpang-tindihmana wilayah gereja dan mana wilayah negara. Kekuasaan puncenderung absolut, karena penguasa gereja merepresentasikan dirinyasebagai wakil Tuhan yang tidak bisa dikritik. Dari tumpangtindihkekuasaan tersebut, maka pelbagai gejolak pun muncul padaAbad Pertengahan ini. Tapi, dari pelbagai gejolak tersebut munculmanusia-manusia besar. Di Prancis, misalnya, ada Montesquieu,Voltaire, Leibniz, dan sebagainya di mana mereka bisa disebut sebagaipemikir pendobrak dari masa kegelapan Eropa menuju abadilmu pengetahuan dan pencerahan. Teori-teori negara pun munculpada masa ini, di antaranya teori Montesquieu yang mendobrakabsolutisme kekuasaan dan membagi kekuasaan melalui legislatif,eksekutif dan yudikatif. Dalam hal ini, sekularisme Eropa melahirkananak kandungnya yang lain, yakni ilmu pengetahuan. Dariilmu pengetahuan inilah kemudian lahir apa yang disebut sebagaiAbad Pencerahan (enlightment).Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa memang kesejarahansekularisme di Barat berbeda dengan kesejarahan kita. Tetapisemangat yang harus kita ambil adalah bagaimana mereka dengantegak mendobrak otoritarianisme kekuasaan atas nama Tuhan. Otoritarianismeatas nama Tuhan ini bisa terjadi pada agama manapun,tak terkecuali Islam. Dalam perjalanan sejarahnya, Islam punberlumur kekerasan, bertarung sesama umat Islam sendiri dalam1712– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–memperebutkan kekuasaan. Mereka mengucapkan lafaz yang samaatas nama Tuhan ketika mereka berupaya saling menaklukkan.Anak kandung sekularisme di Barat adalah penghargaan terhadapilmu pengetahuan dan pada gilirannya melahirkan peradabanyang besar. Dari pasca-pencerahan ini, negara-negara di mana kebijakannyaberbasiskan ilmu pengetahuan menjadi maju. Banyakumat Islam dari negara-negara berbasis Muslim menjadi imigrandan menimba ilmu di negara-negaraEropa, Amerika, Saya sebetulnya tidak menyukai kataAustralia, dan lain-lain.‘isme’, karena kata ini mengandungSaat ini (ketika transkripsiwawancara ini te-bentuk ideologi, agama atau yangpaham yang memutlakkan segalangah saya edit) saya sedang lainnya. Sementara dalam agama ataudi New Zealand. Saya menyaksikansendiri bagaima-tersendiri. Jika kita membincangkanideologi ada paradoks-paradoksnyana umat Islam di negarasekularisasi, maka yang harus kitacermati adalah gagasan dasar atauini memiliki kemerdekaannyauntuk beribadah, me-aspek filosofisnya yang ingin mencobamemisahkan mana ranah duniawireka sangat rukun dengandan mana yang wilayah agama. Sayaagama lain tanpa intervensimelihat bahwa sekularisasi sebetulnyadari pemerintah setempat,mempunyai akar teologisnya dalamhak-hak dasar mereka benar-benardilindungi. Nege-kejarlah dunia seolah-olah kita akanajaran Islam. Islam mengajarkanri ini amat memperhatikan hidup selamanya dan kejarlah akhirathal-hal dasar dari kebutuhanwarga negara, seperti ke-besok,( I’mal li dunyâka ka’annakaseolah-olah kita akan meninggalbutuhan makanan, hak atas ta‘îsyu abadan wa i’mal li âkhiratikaair bersih, hak orang untukka’annaka tamûtu ghadan).bekerja, hak warga negaraNeng Dara Affiah – 1713


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–untuk merasa aman, dan kebutuhan-kebutuhan dasar warga negaralainnya. Bahkan imigran Muslim dari tahun ke tahun semakinbertambah. Ini karena mereka merasa aman, yang mungkin tidakmereka peroleh di negerinya sendiri.Seringkali umat Islam phobi dengan kata sekularisme atau sekularisasi.Mereka yang phobi ini apakah sudah mempelajari akarakarfilosofisnya dan proses kesejarahannya? Saya khawatir merekayang bersikap miring ini mempelajarinya dari informasi yangkurang akurat atau dari buku-buku yang memang paradigmanyasinis terhadap sekularisasi. Mereka ini pada umunya kalangan apologis.Untuk memahami gagasan tersebut, sangat baik apabila kitamembacanya dari literatur sejarah Eropa pada Abad Pertengahan,karya-karya filsafat yang ditulis para filosof pada abad-abad ini ataukarya-karya sastranya. Ini akan memperkaya kita bagaimana pergulatannegara-negara maju membangun dirinya hingga bisa sepertisekarang ini. Sekularisasi adalah bagian dari proses tersebut.Kembali ke pertanyaan bagaimana sebaiknya sekularisasi diterapkandi negara-negara berbasis Islam? Menurut saya, sekularisasisebaiknya tidak menghalangi seseorang untuk komitmen atau taatmenjalankan agamanya, sebagaimana yang bisa kita lihat di beberapanegara sekular yang memberikan kebebasan warga negaranyauntuk patuh terhadap ajaran agamanya. Dalam hal ini, sekularisasitidak berarti orang harus meninggalkan ajaran agama, melainkanajaran agama tertentu tidak mengganggu kenyamanan penganutagama yang lain. Sekularisasi juga bukan berarti tidak menjunjungnilai-nilai kebaikan. Dalam masyarakat yang menerapkan sekularisasimereka sangat menghargai nilai-nilai kebaikan dan memilikinilai-nilainya tersendiri. Hal ini bisa kita saksikan di beberapa negarayang dengan bangga mengatasnamakan dirinya negara sekular,1714– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–tingkat korupsi mereka rendah dan pemerintahannya bersih, sepertiFinlandia, Swedia, New Zealand, dan sebagainya. Hanya saja negaratidak memiliki keberpihakan terhadap agama tertentu dan iaharus dalam posisi netral, yang menjamin bahwa hak-hak agamaapapun akan dilindungi, baik ia mayoritas maupun minoritas.Salah satu tesis yang dikemukakan oleh Abdullahi Ahmed an-Na’imadalah Islam bisa dengan mudah dipisahkan dari negara, namuntidak demikian halnya daripolitik. Menurut An-Na’im, Di negara-negara yang masyarakatnyaIslam akan lebih sulit untuk mempunyai paham liberal, tingkatdipisahkan dari politik. Bagaimanatanggapan Anda?aturan-aturan yang melekat dikepatuhan terhadap hukum dandalamnya sangat tinggi. DalamMungkin an-Na’im benarbahwa Islam sulit dipi-memiliki kemiripan dengan ajaranbeberapa hal, liberalisme inisahkan dari politik, karena Islam. Islam mengajarkan tentangumat Islam mempunyai keyakinanbahwa ajaran Islam Allah. Di hadapan Allah kita akantanggung jawab individu terhadapadalah ajaran yang holistik mempertanggungjawabkan sebagaiatau kâffah, yang mengajarkankepada umatnya mulai perbuat selama kita hidup.individu apa-apa yang telah kitadari urusan rumah tanggahingga urusan bernegara. Tetapi saya mempertanyakan, apa yangdimaksud dengan politik Islam? Apakah politik yang berbasis umatIslam, atau berbasis ajaran Islam? Jika berbasis umat Islam, makapertanyaannya, Islam yang mana? Partai Islam saja di Indonesialebih dari satu dan semuanya mengatakan partai Islam. Belum lagivariannya juga banyak, ada Islam NU, Muhammadiyah, NahdhatulNeng Dara Affiah – 1715


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Wathan, Persis, dan lain-lain. Satu sama lain dalam memandangpolitik juga berbeda-beda.Sementara jika politik berbasis ajaran Islam, maka buat saya,upaya politik yang mengedepankan pemberantasan korupsi, perlindungandan penegakkan terhadap hak-hak dasar manusia, perempuanmaupun laki-laki, seperti hak untuk memperoleh perlindunganhukum bagi semua warga negara, hak untuk memperolehrasa aman di negaranya, hak semua orang untuk bekerja danmemperoleh pendapatan yang layak dan hak untuk memperolehpendidikan, semuanya adalah politik yang berbasis ajaran Islam.Karena ajaran Islam tidak membantah kebenaran dari argumentasiajaran dan hak-hak yang diperoleh oleh manusia sebagai-manayang disebut di atas.Persoalannya, kepentingan politik dengan pendekatan hak-hakdasar manusia ini sering tidak menjadi agenda dan kepentinganpartai-partai yang mengatasnamakan dirinya sebagai partai Islam.Mereka seringkali sibuk dengan permainan simbol Islam yangbersifat permukaan, sementara implementasi yang mengedepankankepentingan dasar seluruh warga negara tanpa membedakansiapapun dan apapun agama, etnis dan seterusnya seringkali terabaikan.Karena itu, bagi saya sumir dan tidak jelas apa yang dinamakanpolitik Islam.Selama ini sebagian orang Islam masih terperangkap oleh simbol-simbolIslam ketika ia menyebut politik Islam, tetapi merekakurang peduli ketika pemerintahnya korup dan menggunakan uangpublik untuk kepentingan dirinya. Akhir-akhir ini, misalnya, semuakita tahu bahwa beberapa pemerintah daerah banyak yang menggunakandana daerah untuk kepentingan kampanye pemenangandirinya dalam pemilihan bupati atau gubernur dengan seolah-olah1716– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–kampanye anti-narkotika, sosialisasiprogram pemerintah, Pluralisme adalah suatu keniscayaandan sebagainya, terutama merekayang sebelumnya telah pluralisme adalah anak kandungdalam negara demokrasi. Artinya,dari demokrasi. Pluralisme berartiberkuasa (incumbent). Namunperlindungan negara terhadapdemikian masyarakat sangathak-hak warga negaranya untukjarang mempersoalkannya danmemeluk agama sesuai dengan apabahkan melakukan pembiaranyang diyakininya. Negara tidak bisaterhadapnya. Ini berbeda dengannegara-negara yang ting-menghakimi keyakinan seseorang,karena keyakinan seseorang ataukat korupsinya rendah, karena kelompok adalah hak yang tidakmereka meyakini bahwa jika bisa diganggu gugat. Kewajibanpemerintah korupsi, maka ia negara adalah melindunginya danakan berimbas pada berbagaihal di mana yang paling mematuhi peraturan atau hukumkewajiban warga negara untukdikorbankan adalah hak-hak yang berlaku di negaranya.warga negara dan berimplikasikepada kebodohan, kemelaratan, keterbelakangan dan tidak adakeamanan dalam negerinya. Celakanya, pemerintah yang korup inisering menggunakan simbol-simbol Islam atau bahkan repesentasipenguasa dari partai Islam.Di Eropa, karena agama tidak boleh masuk ke ruang publik makaagama harus diprivatisasi. Dengan adanya privatisasi agama, trendyang kemudian muncul adalah terkikisnya peran agama dalam kehidupanmasyarakat, seperti yang terjadi di Denmark, Prancis, dandi negara-negara Skandinavia lainnya. Apakah tidak muncul kekhawatiranbahwa jika sekularisme dijalankan di dunia Islam jugaNeng Dara Affiah – 1717


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–akan muncul fenomena serupa, di mana peran agama Islam semakinberkurang?Meskipun agama menjadi wilayah privat di negara-negara sekular,sepanjang pencermatan saya, ia tetap mewarnai domain publik.Warna tersebut bukan dalam bentuk simbolnya, melainkan padaorientasi nilai dan kesadaran umatnya yang terwujud dalam caraberpikir, berperilaku dan bersikap. Dengan demikian, sebetulnyaagama tidak menjadi marjinal sebagai acuan nilai, melainkan terdapatpengaturan yang ketat terhadap penggunaan simbol-simbolagama tertentu di wilayah publik. Misalnya di beberapa negarasekular terdapat aturan yang ketat di mana fasilitas publik milikpemerintah seperti sekolah negeri, rumah sakit dan tempat-tempatumum harus “steril” dari simbol-simbol agama. Mengapa? Karenajika ada simbol agama tertentu sepeti salib, maka kemungkinanumat Islam tidak merasa nyaman dengan fasilitas tersebut. Demikianpula sebaliknya. Ini sangat berbeda dengan yang terjadi dikita di mana ruang-ruang publik, bahkan di jalan-jalan raya saratdengan simbol-simbol agama mayoritas. Di Serang, Banten, misalnya,kita menyaksikan lafaz-lafaz al-Asmâ’ al-Husnâ mewarnaikota tersebut, padahal di antara penduduknya terdapat pemelukagama lain seperti Kristen, Katolik, Konghucu, Budha dan Hindu.Ini mengesankan ketidakpekaan pemerintah terhadap pemelukagama lain. Demikian pula yang terjadi di beberapa daerah lainnya.Kasusnya akan berbeda kalau fasilitas tersebut milik swasta.Mereka tidak masalah menggunakan simbol-simbol agama sepertiada lambang salib di sekolah Katolik atau lambang Islam di sekolah-sekolahIslam.1718– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Seberapa penting sekularisasi dalam menumbuhkan gerakan perempuan?Pertanyaannya, sekular yang mana? Jika pemerintahannya sekular,tetapi ia bersifat militeristik, rasis, dan pemerintahannya tertutupserta otoritarian, maka sangat sulit muncul gerakan perempuan.Pada masa pemerintahan Soeharto, sistem yang dianut adalahsekular, tetapi ia bersifatmiliteristik, karena itu gerakanperempuan tidak tumbuh Barat berbeda dengan kesejarahanMemang kesejarahan sekularisme dipada masa-masa ini. Jikapun kita. Tetapi semangat yang harusmuncul, ia bersifat oposan kita ambil adalah bagaimanadan gagasan-gagasannya tidakdiakomodasi oleh pe-otoritarianisme kekuasaan atas namamereka dengan tegak mendobrakmerintah. Bahkan ia sering Tuhan. Otoritarianisme atas namamemperoleh stigma perempuanGerwani yang dipan-manapun, tak terkecuali Islam.Tuhan ini bisa terjadi pada agamadang buruk pada saat itu.Sebaliknya yang dominan adalah organisasi-organisasi perempuanyang bisa bekerjasama dengan pemerintah, karena organisasi-organisasitersebut adalah organisasi yang dibentuk oleh pemerintahatau yang menjalankan program pemerintah.Gerakan perempuan bisa tumbuh jika negara tersebut menerapkansistem demokrasi. Sebab, dalam demokrasi terdapat ruanguntuk bernegosisasi dan dialog. Saat ini, misalnya, gerakan perempuancukup berkembang dengan baik di Indonesia, karena menerapkansistem demokrasi. Pada masa BJ Habibie telah dibentuksuatu mekanisme nasional untuk memperkecil tindak kekerasanterhadap perempuan dan kebijakan yang berkomitmen pada pe-Neng Dara Affiah – 1719


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–negakan hak-hak asasi perempuan dengan dibentuknya KomnasPerempuan. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid telahditetapkan kebijakan jender mainstreaming. Pada pemerintahanMegawati Soekarnoputri (2004) telah disahkan aturan normatifyang menjadi desakan gerakan perempuan, yakni Undang-UndangPenghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Pelbagaikemajuan yang tumbuh di Indonesia ini seringkali menjadi contohnegara lain, misalnya Malaysia.Gerakan serupa terjadi pula di Iran. Meskipun negara ini berasaskanIslam, tetapi sistem pemerintahannya cukup membukaruang dialog dan negosiasi bagi gerakan perempuan. Karena itu,beberapa isu dan agenda gerakan bisa didesakkan menjadi kebijakanpemerintah. Sedang hasilnya adalah Undang-Undang PerkawinanIran atau hukum domestiknya sangat melindungi perempuan.Bersamaan dengan itu pula, segala bentuk pemikiran feminismecukup berkembang di sana.Sebuah upaya serupa juga coba dilakukan di Aceh denganmelakukan interpretatsi ulang yang kontekstual terhadap sumbersumberajaran Islam. Karena teks-teks keislaman sebenarnya tidakkaku, melainkan ia bisa berinteraksi dan berdialog dengan zaman.Dengan demikian, yang ingin saya katakan adalah gerakan perempuanbisa tumbuh jika negara tersebut bersifat terbuka (open society)dan membuka ruang demokrasi.Bagaimana Anda memahami Liberalisme?Liberalisme adalah suatu pandangan di mana manusia adalahpusat. Karena ia merupakan pusat, maka ia sangat berharga sebagaimakhluk Tuhan. Pandangan ini berimplikasi kepada adanya kewajib-1720– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–an negara untuk melindungi hak-hak dasarnya, sebagai konsekuensiatas penghargaan tersebut. Selain itu, liberalisme sangat menghargaikedaulatan atau otonomi individu.Individu diberikan kebebasanuntuk memilih sesuai di mana manusia adalah pusat.Liberalisme adalah suatu pandangandengan pilihan-pilihan yangKarena ia merupakan pusat, makaia sangat berharga sebagai makhlukberdasarkan pada hati nuraniTuhan. Pandangan ini berimplikasidan nalarnya sendiri.kepada adanya kewajiban negaraSeiring dengan penghargaanatas hak-hak manusia,untuk melindungi hak-hakdasarnya, sebagai konsekuensimaka pelbagai kewajiban danatas penghargaan tersebut. Selainaturanpun dibebankan kepadanya.Antara hak, kewajiban kedaulatan atau otonomi individu.itu, liberalisme sangat menghargaidan aturan-aturan yang mengaturhubungan antarmanusia memilih sesuai dengan pilihan-Individu diberikan kebebasan untukmenyatu di dalamnya, maka pilihan yang berdasarkan pada hatilahirlah hukum. Penghargaan nurani dan nalarnya sendiri.dan ketaatan terhadap hukumini sangat tinggi, karena hanya dengan kekuatan hukum inilahdan ketaatan terhadapnya keteraturan dan hak-hak dasar manusiabisa terjamin.Bertalian dengan hal tersebut, saya ingin mengoreksi pandanganbahwa liberalisme adalah kebebasan yang tanpa batas. Liberalismejustru sangat menjunjung tinggi aturan-aturan yang berupaproduk hukum. Karena itu, di negara-negara yang masyarakatnyamempunyai paham liberal, tingkat kepatuhan terhadap hukum danaturan-aturan yang melekat di dalamnya sangat tinggi.Dalam beberapa hal, liberalisme ini memiliki kemiripan denganajaran Islam. Islam mengajarkan tentang tanggung jawab individuNeng Dara Affiah – 1721


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–terhadap Allah. Di hadapan Allah kita akan mempertanggungjawabkansebagai individu apa-apa yang telah kita perbuat selamakita hidup. Seluruh anggota badan kita akan menjadi saksi, mulaidari mulut, kaki, tangan, dan sebagainya. Kita tidak mengenalkonsep kerahiban dan dosa kolektif di mana perbuatan individuditanggung orang lain, kendati itu orang tua kita. Masing-masingkita adalah bertanggung jawab atas diri kita sendiri.Sebagai sebuah negara, Indonesia sejak awal sebenarnya memeluk sistemdemokrasi liberal. Namun di sebagian kalangan umat Muslim adapandangan bahwa demokrasi liberal adalah model baru penjajahanBarat terhadap dunia Islam dan negrara-negra Dunia Ketiga, non-Barat – karena itu pula Soekarno menentang liberalisme. BagaimanaAnda menanggapi pandangan macam ini?Konsep kolektivitas atau komunalisme di Indonesia memangsangat dijunjung tinggi, karena itu ia kurang menghargai kedaulatanatau otonomi individu. Kepentingan bersama harus diutamakandibanding kepentingan individu. Pandangan ini melahirkanwatak “gotong royong” yang oleh Soekarno disebut sebagai watakhakiki bangsa Indonesia. Watak komunalisme atau kolektivitas inisering dianggap sebagai ganjalan untuk penegakan hak-hak asasimanusia.Dalam penegakan demokrasi, sebetulnya kita mempunyai modalsosial yang sangat berharga yang sudah dipraktikkan sekianlama oleh masyarakat kita, terutama di desa-desa, yakni pemilihankepala desa secara langsung. Sekarang ini mekanisme tersebutdiperluas dengan pemilihan langsung terhadap bupati, gubernurdan presiden. Jadi, pemilihan pemimpin pemerintahan secara1722– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–langsung sebagai sebuah mekanisme demokrasi sebetulnya memilikiakar kultural di tengah-tengah masyarakat. Memang kitaperlu melakukan perbandingan dengan negara-negara yang tidakhanya mengutamakan individu seperti negara-negara Barat, tetapijuga ke negara-negara berbasis Islam yang sudah menerapkansistem demokrasi.Pluralisme sering disalahpahami oleh masyarakat sebagai sebentuksinkretisme dan relativisme. Sebagai sinkretisme, pluralisme dianggapakan mencampuradukkanakidah, sedangkan sebagai relativisme,pluralisme dianggap negara terhadap hak-hak wargaPluralisme berarti perlindunganakan merelatifkan kebenaran negaranya untuk memelukagama. Bagaimana Anda memahamipluralisme?diyakininya. Negara tidakagama sesuai dengan apa yangbisamenghakimi keyakinan seseorang,Pluralisme adalah suatukeniscayaan dalam negara kelompok adalah hak yang tidakkarena keyakinan seseorang ataudemokrasi. Artinya, pluralismeadalah anak kandung dari negara adalah melindunginya danbisa diganggu gugat. Kewajibandemokrasi. Pluralisme berarti kewajiban warga negara untukperlindungan negara terhadap mematuhi peraturan atau hukumhak-hak warga negaranya untukmemeluk agama sesuai de-yang berlaku di negaranya.ngan apa yang diyakininya. Negara tidak bisa menghakimi keyakinanseseorang, karena keyakinan seseorang atau kelompok adalahhak yang tidak bisa diganggu gugat. Kewajiban negara adalahmelindunginya dan kewajiban warga negara untuk mematuhi peraturanatau hukum yang berlaku di negaranya.Neng Dara Affiah – 1723


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bentuk lain dari pluralisme adalah penghargaan, saling memahamidan berdialog dengan masyarakat yang memiliki keyakinanatau organisasi keagamaan yang berbeda. Bentuk konkretnya adalahbekerja bersama-sama untuk memecahkan persoalan-persoalankemanusiaan. Di beberapa daerah di Indonesia yang penduduknyamajemuk secara agama, wujud konkret dari pluralisme sebenarnyasudah banyak dilakukan. Di antaranya tradisi yang tumbuh di beberapadaerah yang penduduknya majemuk secara agama, pluralitasbegitu rupa dirayakan. Di Lombok, misalnya, ada tradisi gotongroyong antara umat Hindu dengan umat Islam untuk membangunatau memperbaiki rumah bagi orang-orang miskin. Hal serupa diFlores yang mayoritas Katolik, tetapi mereka membantu umat Islamuntuk membangun masjid. Di Manado juga demikian. UmatIslam di sana membantu pembangunan gereja yang dibutuhkanoleh orang-orang Kristen.Kemudian apakah seorang pluralis cenderung sinkretis? Dalamhal ini saya setuju dengan pendapat Diana Eck bahwa pluralismetidak untuk menihilkan atau merelatifkan agama, melainkanagama sebagai sumber kekayaan ajaran, kekayaan nilai dan dapatmemberikan insipirasi peradaban dan kemanusiaan. Seorang pluralistidak harus sinkretis. Dia tetap bisa berkomitmen pada agamanya,tetapi akan sangat mengapresiasi dan menghargai orangyang memiliki keyakinan yang berbeda. Ibarat yang sering sayasampaikan adalah baju orang lain bagus, tetapi ia belum tentucocok buat kita; dan baju yang kita pakai yang menurut kita lebihbagus lagi, belum tentu bagus buat orang lain. Persepsinyatergantung si pemakai.1724– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Pada satu sisi, kita berhadapan dengan realitas yang plural, sementarapada sisi lain, kita menghadapi pemerintah yang tidak netral ditambahkapasitas negara lemah, akibatnya tidak jarang terjadi berbagaikasus kekerasan terhadap kelompok minoritas, seperti tindak pengusiran,pengrusakan dan pembakaran properti sebagaimana dialamiAhmadiyah, komunitas Eden, gereja, dan lain sebagainya. Maka gagasanpluralisme menjadi sangat penting dan relevan di tengah kemajemukanbangsa yang belakangan kian tampak porak-poranda.Bagaimana Anda melihat persoalan ini?Kita sebetulnya sudah meratifikasi Deklarasi Universal HAMyang di dalamnya terdapat pasal bahwa setiap negara yang telahmenandatangani deklarasi tersebut akan menjamin hak-hak warganegaranya untuk memeluk keyakinan apapun. Karena itu, jikamengacu kepada apa yang telah ditandatangani oleh pemerintahIndonesia, maka kekerasan atau perlakuan buruk terhadap kelompok-kelompokseperti Ahmadiyah, komunitas Eden, perusakan gerejaseharusnya tidak terjadi. Jikapun terdapat perselisihan di kalanganumat Islam mengenai apakah Ahmadiyah Islam atau bukan,maka hal tersebut adalah urusan internal umat Islam yang mungkinbisa diselesaikan di kalangan internal umat Islam sendiri. Jikahal tersebut membutuhkan bantuan pemerintah, maka pemerintahseharusnya hanya berfungsi sebagai fasilitator dan mediator untukmendamaikan perselisihan tersebut, tetapi tidak untuk berpihakkepada salah satunya. Sebab, jika negara sudah berpihak, makasalah satu pihak akan merasa diperlakukan tidak adil.Pelbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh sebagian kecilmasyarakat terhadap kelompok-kelompok tersebut juga berkaitandengan lemahnya hukum kita. Bagaimanapun perusakan propertiNeng Dara Affiah – 1725


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–yang dimiliki oleh siapapun adalah pelanggaran hukum dan tindakankriminal. Atas kapasitas apa kita menghakimi keyakinanorang lain sebagai salah dan kita benar? Tindakan tersebut adalahsebentuk keangkuhan dan arogansi, di mana semua ajaran agamatidak membenarkan sikap tersebut.Dialog antaragama atau bentuk-bentuk kerjasama lain ke arah pemahamansatu sama lain atau toleransi bukanlah sesuatu hal yangbaru dilakukan saat ini, melainkan sudah dilakukan sejak beberapatahun lalu. Namun, sesering dialog itu dilakukan sesering itu pulatoleransi dilanggar. Pertanyaannya, apakah yang menjadi kendalaadalah agama itu sendiri ataukah budaya kita yang memang tidakbisa toleran?Salah satu prasyarat dari dialog antaragama adalah sikap yangrendah hati untuk mengakui bahwa diri kita penuh keterbatasan,termasuk keterbatasan dengan apa yang kita yakini. Apa yang menjaminbahwa keyakinan keagamaan kita benar? Maka yang selaluharus kita upayakan adalah mencari kebenaran, tetapi kebenaranyang hakiki adalah milik Allah semata. Sikap seperti ini akan berimplikasipada keterbukaan kita untuk menerima partikel-partikelkebenaran di luar diri kita. Di situlah kemungkinan adanya titiktemu antartradisi dan antaragama.Kegagalan dialog antaragama selama ini adalah karena dialoghanya bersifat seremonial, terkadang pemerintah yang menyelenggarakan,bukan inisiatif dari masing-masing umat beragama itusendiri. Dialog agama yang sejati adalah dialog yang harus berangkatdari ketulusan hati masing-masing pemeluk agama bahwa kita1726– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–mengakui adanya keterbatasan, tetapi sekaligus juga mempunyaipelbagai kelebihan untuk saling berbagi.Dialog ini tidak hanya dilakukan antarpemeluk agama-agamabesar saja, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha,tetapi sangat perlu juga dilakukan terhadap kepercayaan-kepercayaanlokal yang sudah sekian ratus, bahkan beribu tahun hidup dibeberapa daerah di Indonesia. Adalah hak mereka untuk menjagadan memelihara kepercayaannya, sebab jika tidak mereka pelihara,komunitas mereka bisa punah. Selama ini terdapat distingsi bahwamereka bukan agama dan tampak arogansi dari sebagian orang denganmengatakan mereka sebagai masyarakat primitif, penyembahberhala dan lainnya. Padahal, bisa jadi mereka adalah pewaris danpenjaga tradisi dari kultur agama-agama di Indonesia yang selamaini cenderung tergerus oleh agama-agama yang oleh Huston Smithdikategorikan sebagai agama Barat (Kristen, Katolik dan Islam).Budaya kita sebetulnya adalah budaya yang sangat terbiasaberinteraksi dengan pelbagai peradaban dan kebudayaan. Interaksidengan India pada zaman dulu melahirkan masyarakat Hindudan Budha yang merupakan mayoritas. Bahkan kerajaan-kerajaanHindu pernah berjaya dan melahirkan warisan besar di negeri iniseperti Candi Borobudur dan filsafat-filsafat hidupnya. Bahkansemboyan negara kita, Bhinneka tunggal ika, adalah warisan darifilsafat tersebut. Demikian pula kebudayaan Islam yang dibawaoleh Gujarat dan Cina melahirkan masyarakat Islam yang saat inimayoritas. Kebudayaan Barat yang dibawa oleh kolonial ratusantahun lamanya juga melahirkan interaksi tersendiri yang sampaisaat ini warisan tersebut masih tersisa.Neng Dara Affiah – 1727


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Bagaimana Anda menatap Indonesia ke depan?Pertama, Indonesia harus menyembuhkan penyakit utamanya,yakni mental korupsi, terutama pemerintahannya. Mengapa? Karenakorupsi ini ibarat penyakit kanker hati yang menjalar ke seluruhbagian tubuh, dan semua tubuh kita menjadi rusak karenanya.Pemerintahan yang korup akan berakibat pada terampasnyahak-hak pelayan negara untuk memperoleh gaji yang pantas danhak-hak utama warga negara karena ketidaktersediaan dana untukmemperoleh pendidikan yang baik, kesehatan yang memadai,makanan yang layak, yang semuanya itu berakibat pada sumberdaya manusia (SDM) warga negaranya. Jika SDM masyarakat kitalemah, maka tatanan negara ini tidak akan pernah kuat, sebagusapapun aturan yang diberlakukan. Jika masyarakatnya tidak kuat,maka jangan berharap negeri ini bisa kuat dan memiliki martabatdi antara pergaulan bangsa-bangsa di dunia internasional. Kita seringsedih karena banyak TKW dan TKI kita diperlakukan tidakmanusiawi di negeri orang, tetapi kita sering lupa yang terpentingdari semua itu adalah kesiapan sumber dayanya untuk bersaingdalam dunia kerja di pasar internasional.Kedua, sistem demokrasi dan pilar-pilarnya harus difungsikansebagaimana semestinya. Misalnya, bagaimana pers tetap independendan berfungsi benar untuk mengontrol kerja pemerintah.Partai-partai politik bisa melahirkan kader-kader negarawan yangakan melahirkan calon pemimpin negara ke depan. Kuatnya civilsociety yang memiliki kemandirian dan sekaligus bisa mengontrolkebijakan negara dan implementasinya. Saat ini memang kita masihdalam proses belajar menuju ke sana. Bahwa di dalamnya kitamengalami tantangan-tantangan, maka sebaiknya dilihat sebagai1728– <strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong> (Buku 3)


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bagian dari proses belajar yang mungkin suatu ketika akan ditemukankematangannya.Ketiga, kita harus mampu memilih para pemimpin pemerintahanyang benar-benar mau bekerja untuk memperbaiki bangsadan martabat masyarakat dengan segala risiko-risikonya, dan bukanuntuk berorientasi status, apalagi mencari jabatan. Karena itu, ketikakita akan melakukan penjaringan calon pemimpin, maka harusditetapkan dulu kualifikasi apa yang dibutuhkan saat ini olehbangsa Indonesia, atau oleh daerah tertentu jika ia pemimpin daerah.Jadi, sebaiknya pemilihan pemimpin berangkat dari kualifikasidan bukan dari orangnya.Jika tiga hal ini saja bisa kita laksanakan, Insya Allah, ke depanIndonesia bisa lebih baik. Wallâhu A‘lam!Wawancara dilakukan di Pamulang, 12 Agustus 2007Neng Dara Affiah – 1729


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Daftar Isi Buku 1 sampai 4Ucapan Terimakasih.............................................................. viii<strong>Membela</strong> <strong>Kebebasan</strong> <strong>Beragama</strong>: Catatan Pengantar..................xiIhsan Ali-Fauzi, Samsu Rizal Panggabean, Trisno S. SutantoPercapakan dengan:Budhy Munawar-Rachman............................................... xlviM. Dawam Rahardjo............................................................2Abd A’la..............................................................................39Abdul Hadi WM................................................................68Abdul Moqsith Ghazali......................................................95Abdul Munir Mulkhan.....................................................135Abdurrahman Wahid........................................................168Ahmad Suaedy.................................................................184Ahmad Syafii Maarif.........................................................222Azyumardi Azra................................................................246Bahtiar Effendy................................................................271Badriyah Fayumi..............................................................304Benjamin F. Intan.............................................................336Djohan Effendi.................................................................372Elga Sarapung...................................................................420


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–F. Budi Hardiman.............................................................476Fachry Ali.........................................................................520Faqihuddin Abdul Kodir..................................................551Farid Wajidi......................................................................595Franz Dahler.....................................................................617Franz Magnis-Suseno........................................................663Fuad Jabali.......................................................................707Gadis Arivia......................................................................736Hamid Basyaib.................................................................771Hamka Haq.....................................................................817Haryatmoko.....................................................................848Husein Muhammad.........................................................876Ichlasul Amal....................................................................928Ihsan Ali-Fauzi.................................................................951Ioanes Rakhmat................................................................980Jajat Burhanudin............................................................1022Jalaluddin Rakhmat........................................................1053Jamhari Makruf..............................................................1078Kautsar Azhari Noer.......................................................1110Komaruddin Hidayat.....................................................1146Lies Macoes-Natsir.........................................................1196Lily Zakiyah Munir........................................................1230Lutfhi Assyaukanie.........................................................1282M. Amien Rais...............................................................1311M. Amin Abdullah.........................................................1327


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–M. Quraish Shihab.........................................................1359M. Syafi’i Anwar.............................................................1382Maman Imanul Haq Faqieh...........................................1420Maria Ulfah Anshor........................................................1459Martin Lukito Sinaga.....................................................1491Masdar Farid Mas’udi.....................................................1526Melani Budianta.............................................................1541Meuthia Ganie-Rochman...............................................1565Moch. Qasim Mathar.....................................................1586Mohammad Imam Aziz..................................................1626Muhammad Tholhah Hasan...........................................1650Nasaruddin Umar...........................................................1685Neng Dara Affiah...........................................................1708Nur Ahmad Fadhil Lubis................................................1730Rumadi..........................................................................1761Said Aqiel Siradj.............................................................1803Saiful Mujani..................................................................1838Samsu Rizal Panggabean.................................................1868Siti Musdah Mulia..........................................................1898Siti Ruhaini Dzuhayatin.................................................1921St. Sunardi......................................................................1955Syafiq Hasyim................................................................1982Syamsul Arifin................................................................2006Taufik Adnan Amal........................................................2030Trisno S. Sutanto............................................................2053


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ulil Abshar-Abdalla........................................................2082Yanti Muchtar................................................................2122Yudi Latif.......................................................................2152Zainun Kamal................................................................2187Zuhairi Misrawi..............................................................2234Zuly Qodir.....................................................................2267


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Indek sAAa GymAbad PencerahanAbad PertengahanAbbasiyahAbdul Halim MahmudAbdul Kahar MudzakkirAbdul Karim AmrullahAbdul Karim SoroushAbdul Malik bin MarwanAbdul Rauf SingkelAbdul Shamad al-PalimbaniAbdulhamid MutwalliAbdulkarim SoroushAbdullah AhmadAbdullah ibn ZubairAbdullah PutehAbdullahi Ahmed An-Na’imAbdurrahman ibn ‘AufAbdurrahman ibn MuljamAbdurrahman Wahid (Gus Dur)Abidah MaksumAbied al-JabiriAboriginaborsiAbou el-FadlABRIabsolutely relativeabsolutismeAbu al-WafaAbu BakrAbu HanifahAbu HurairahAbu LahabAbu NawasAbu SufyanAbu YusufAbul Kalam AzadAburizal Bakrieabuse of poweraccountable politicsAcehAdabiyah (madrasah)Adam MalikAdnan Buyung Nasutionadult tvAffandi


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–affirmative actionAfghani, al-AfghanistanafinitasAfrika“agama sekular”Agus SalimAgustinusahimsaahl al-baytahl al-hadîtsahl al-hall wa al-‘aqdahl al-kitâbAhl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ahAhmad Dahlan (Kiai)Ahmad ibn HanbalAhmad KhanAhmad MushadeqAhmad Sahal MahfudzAhmad SuaedyAhmad SumargonoAhmad Syafii MaarifAhmad WahibAhmadinejadAhmadiyahahwâl al-syakhshîyah, al-AisyahAjinomotoAKKBBAkta FilipusakuntabilitasAl GoreAlamsyah PrawiranegaraAli Abd al-RaziqAli ibn Abi Thalib (Imam Ali)Ali ImronAli JinnahAli KhameneiAli SyariatiAljazairAlkitabAllen, JudithAlois A. NugrohoAlthausaltruismeAlwy Shihabamar ma‘rûfAmbonAmerika LatinAmerikaAmien RaisAmin AbdullahAmina WadudAmir AliAmroziAmstrong, KarenAnanda MargaAndalusiaAnderson, BennedictAnglican ChurchAnglikananimismeantidoteantikorupsiantroposentrisANTV


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Anwar SadatapartheidAPBNAppenzell‘aql al-‘ilmî, al-‘aql al-falsafî, al-‘aql al-lâhûtî, al-‘aql al-târîkhî, al-Arab (budaya)Arab SaudiArabisasiArifin IlhamAristotelesAristotelianArkounArswendo AtmowilotoArsyad al-Banjari (Syekh)arus radikalisasiAs’ad Syamsul Arifin (Kiai)asbâb al-nuzûlasbâb al-wurûdAsghar Ali Engineerashhâb al-kahfAsiaAsy’ari, al-Asy’ariyahateismeAtho’ MudharAttaturk, KemalaufkalrungAustraliaAustriaaxiologiAzhar, al-Azyumardi AzraBBabad DiponegoroBaghdadBaghdadi, al-BahrainBaliBandungBangladeshBani AusBani NadzirBani QainuqaBani QuraizhahBani UmayyahBanjarmasinBank IslamBank Muamalatbank syariahBantenBantulBarth, KarlBasrahBassam TibiBatakbayi tabungBeatty, AndreaBeijing PlatformBelandaBell, DanielBellah, Robert N.


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–bellum omni contra omnesBenda, Harry J.Benny Susetyo (Romo)Berger, Peter L.Berlin, IsaiahBernas (harian)Bertrand, JacquesBeshara Schoolbeyond the limit of intelligentbeyond the scope of socioloybeyond the traditional understandingBhagavad GitaBhinneka Tunggal Ikabiblical and theological foundationBiblical argumentBielefeldt, HeinerbiodiversitasBlack MuslimBLBIBonaparte, NapoleonborjuisBorobudur (candi)BosniaBourdieu, PierreBPUPKIBrahma KumarisBrigham Young UniversityBrunei Darussalambudaya marginalBudhaBudhismeBudhy Munawar-RachmanBughyat al-MurtasyidînBugisBulgariaBush, George W.Bush, GeorgeCCaliforniaCalvin, JohnCalvin, YohanesCalvinismecapacity statecapital marketCaputo, John D.CarrefourCasanova, JoseCastles, LanceCatatan PinggirCatherineCEDAWcelebrating the differencesCePDeS (Center for Pesantrenand <strong>Democracy</strong> Studies)Cerita 1001 MalamChang Hai ChiChicago UniversityChileChomsky, NoamChristlich Demokratsche Union(CDU)Christliche Volkspartei (CVP)Cina


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–citizen rightscivic educationcivic libertiescivic religioncivil couragecivil libertiescivil libertycivil rightscivil societycivil warCixous, Heleneclash of civilizationclash of religionsClinton, Hilarryco-existenceCokro Aminotocollective actioncollective aspirationcollective identitycollective memorycommon denominatorcommon virtueconsociational democracycontent of lawcontext of discoverycontext of justificationcontradictio in terminisCordobaCox, Harveycreative pro-existencecrime by ommisioncross culture fertilizationCrowder, Georgecultural brokercultural capitalcultural identitycultural mandatecultural revivalismculture of lawcyclic declineDD’Sa, FrancisDa VinciDali, SalvadorDamaskusdâr al-amndâr al-harbdâr al-Islâmdâr al-Kufrdâr al-salâmDarwin, Charlesteori—Daud BeureuehDaud PataniDawkins, Richarddawlah islâmiyahDayakde Tocqueville, Alexisdecline of religiondeismedeklarasi Kairodekriminalisasideliberasidemistifikasi


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–demitologisasidemocracy with adjectivedemokrasisystem—demokratisDenmarkDenneth, DanielDepartemen AgamaDepartemen Kelautan dan PerikananDepartemen Luar NegeriDepartemen PeneranganDepdiknasderogable rightsDerridadesakralisasiDeutero-Kanonikadevide et imperaDewan Gereja-gereja se-DuniaDewan PersDewan Revolusi Kultur IslamDIdiferensiasidimensi “surgawi”Din Syamsuddindirect democracydisadvantagedisenchantment of the worlddislike relationshipDjohan EffendiDKI Jakartadoctrina domusdogmatisdoktrin poligamiDPRDUHAMDunia KetigadzimmîEecclestical religioneconomical capitalEconomistEden, komunitasEdison, Thomas Alfaedukasi (proses)EinsteinEka Darmaputeraeklektisismeekonomi liberal-kapitalisekonomi sosialiseksklusivismeekstremismeekumenikalelectoral thresholdElijah Muhammademosi traumatisEmpedoklesenlightened despotenlightenmentepistemologiequal citizenequilibriumErdoganEropa


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–eshtablished cruchEssack, FaridEthiopiaetnonationalismeuforia lokalitasEurocentrisEvangelicalEvangelis (gerakan)existential securityFfanatismeFariduddin al-AttarfasismeFatimah MernisiFatimiyahFattahFauda, FaragFazlur RahmanFeilard, AndreFeith, Herbertfeminis (gerakan)feminismefeodalismeFerry, LucfilantropiFilipinaFinlandiafiqh jinâyahfiqh orientedFISFitnafitnah al-kubrâ, al-FKUBFord Foundationformal arrangementformal arrangmentformalisasi syariahFoucault, MichelFPIFrans DahlerFranz Magnis Suseno (Romo)Freedom HouseFreedom Institutefreedom of belieffreedom of expressionfreedom of religionfreedom to actfreedom to choicefreedom to expressionFreeportFriedman, Miltonfriendly religion secularizationFuad Hasyim, K.H.FUIFukuyama, Francisfundamentalismefundamentalisme agamafundamentalisme religiusfundamentalistikFushûsh al-Hikamfusion of horizons


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–GG 30 S/PKIGadamerGalileoGAMGamal Abdul NasergamelanGandhiGates, BillGBHNGedong (ibu)Geertz, Cliffordgenocidegentlement agreementgereja OrtodoksGhazali, alghettoGiddens, AnthonyGilligan, CarolglobalisasiGlobalizing Indonesian Local IslamGoenawan MohamadGogarten, Friedrichgolden ruleGoldziher, IgnáczGolkargood governancegood governmentGospel’s mandategrammar of actionGranger, Gilles-GastonGriffin, David RayHHabasyahHabermasHabibieHabibie Centerhablun min Allâhhablun min al-nâsHadikusumo, TB.hajiHajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafhalal foodHallaj, al-HAMHamasHamilton, AlexanderHanafi (mazhab)Hanafi, ImamHanbalihanîfHantingtonHarun (Nabi)Harun al-RasyidHarun NasutionHarvard Divinity SchoolHarvard UniversityHasan BasriHasan HanafiHassan al-BannaHasyim Asy’ariHasyim MuzadiHayek, Friedrich August vonHayy ibn Yaqzhan


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–HB JasinHeather SutherlandHefner, Robert W.HegelHeideggerHenry VIIIhermeneutika (metode)HermesHick, JohnHidayah (majalah)Hidayat Nur Wahidhifzh al-‘aqlhifzh al-bî’ahhifzh al-dînhifzh al-mâlhifzh al-nafshifzh al-nashlhifzh al-naslHindia-BelandaHinduHirsch, E.HitlerHIV-AIDSHMIHobbesHobsbawm, EricHoloyake, Georgehomo homini lupusHongkongHourani, AlbertHT (Hizbut Tahrir)HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)hudûdhukum adathuman traffickinghumanitiesHuntingtonHurgronje, SnouckHusein MuhammadHusein UmarHustler (majalah)hypothetical imperativeEIAINIan SaphiroIbn ArabiIbn HisyamIbn IshakIbn Jarir al-ThabariIbn KatsirIbn KhaldunIbn QayyimIbn TaimiyyahIbn ThufailIbrahim (agama)ICCPRICIPICMIICRPidentity markerideologi liberalideologi pembangkangan masyarakatideologisasi


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Idris (Nabi)Idul AdhaIdul Fitriijmâ‘ijtihadIkhwanul Musliminilliberal democracyIMFimperialismeincommensurabilityIndiaindigenous valueindividual function of religionindividualismeindoktrinasiIndonesiainferiority complexInggrisInglehartInjilInjil FilipusInjil Maria MagdalenaInjil ThomasInjil YudasinklusivismeinkuisisiInterfideiinternal colonialismInternal Security Act (ISA)international human rights lawinternational humanitarian lawsinterpersonal trustintifâdahInul DaratistaIPNUIqbalIrakIranIranian CornerIrigarayIrsyad, al-Irwandi YusufIsa al-MasihISEASIskandar MudaIslam:budaya—ekonomi—formalisasi syariat——Abad Pertengahan—abangan—Jamaah—liberal—progresif—radikalkerajaan—negara—nilai-nilai—sejarah—tradisi—islamic textual civilizationislamisasiproses—IslamismeIslamizing Capitalismislamo-fascism


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Ismail al-FaruqiIsra Mi’rajIsraelItaliaITBITSittibâ‘ muthlâqJJa’far Umar ThalibJainismeJalaluddin al-RumiJalaluddin al-SuyuthiJalaluddin Rahmat (Kang Jalal)Jamaah IslamiyahJamal (perang)Jawa BaratJawa PosJawa TimurJefferson, ThomasJembatan BesiJepangJermanJesuit (ordo)JIjihadJILjilbabJilbab AwardJombangJudeo-Christian EthicJudeo-KristianijumhûrJurgensmeyer, MarkJust WarJustice and Development PartyJusuf Kallajuz’îyâtKKahar MuzakkarKaharinganKahin, George Mc Tkalimah sawâ’KambojaKanadaKant, ImmanuelKAPAL PerempuankapitalismeKartiniKasman SingodimedjoKatolikKaum MudaKaum TuaKBkearifan lokalKebangkitan Kristuskebenaran teologiKedaulatan RakyatkeindonesiaanKejawenKennedy, John F.Kepel, GillesKerry, John


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–KhadijahKhairil AnwarKhairiyah Hasyimkhalîfah fî al-ardlKhandaq (perang)KhawarijKhazrajKHIkhilâfah (konsep)khilâfah (system)khilâfah fî al-ardlkhilâfah islâmiyahKhomeiniKhulafâ’ al-Râsyidûn, al-Khwaja Jamalkilling the othersKinabalukitab kuningKittel, GerhardkloningKNIPknowledge managementkolonialismeKomaruddin HidayatKomnas PerempuanKompaskomprehensif-obyektifkomunikasi rasionalkomunismeKomunitas EdenKonferensi Pekabaran InjilKonfusianismeKonfusiusKonghucukonservatifkonservatismeKonsili NiceaKonsili Vatikan IKonsili Vatikan IIkonsumerismekontraproduktifKorea Selatan“korporatokrasi”korupsikosmopolitanismeKPIKPKKrisdayantiKristenKristenisasiKristianitradisi—Kroasiakuantitatif-eksistensialisKudusKufahKuhn, ThomasKUHPkullîyât al-khamsah, al-Kung, HansKuntowijoyoKupangKuwaitKuyper, Abraham


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Llabel syariahLaclau, Ernestolaicitílaissez faireLaskar JihadLaurent, Sophialaw enforcementLDIILee Kuan Yewlegal pluralismLeibnizLembaga Survei IndonesiaLevinasLewis, BernardLia Aminuddin (Lia Eden)Libanonliberal fundamentalismliberal mindliberal rightsliberal thinkingliberalisasiliberalisme—agama—ekonomiLiga ArabLijphart, ArendLindholm, Torelinear declineLittle, DavidLiu, Lucylocal democracylocal wisdomLocke, JohnLombard, DenisLombokLondom School of EconomicLong, Jeffrey D.Lopez, JenniferLP3ESLSAFLSM plat merahLubarsky, Sandra B.Luhmann, NiklasLuther, MartinLutherian (reformasi)LybiaMM. Chatib BasriM. Dawam RahardjoM. Hatta (Bung Hatta)M. NatsirM. RasyidiM.M. BillahMa’ruf AminMADIAMadinahMaduraMagelangMahatir MuhammadMahfud Anwar, KH.Mahkamah AgungMahkamah Tinggi Syariah


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Mahmakah Konstitusi (MK)Mahmud AyyubMahmud ShalthoutMahmud ThahaMajalengkaMajelis Tarjih Muhammadiyahmajority ruleMajusiMakassarMaksum Ali (Kiai)Malay MoslemMalaysiaMalik ibn Anas (Imam Malik)Maliki (mazhab)Mangun (Romo)ManokwarimansûkhMansur, al- (khalifah)manthiqmaqâshid al-syarî‘ahmarginalisasi sosialMariah al-QibthiyyahMarokoMartin, DavidMarxisMarxismeMasdar F. Mas’udimashlahah al-‘âmmah, al-MasyumimaterialismeMatra (majalah)MaturidiyahMaududi, al-Mawardi, almazhabfikihMcDonaldMcDonaldizationMcIntoshMcIntyre, AlasdairMDG’s (Millenium DevelopmentGoal’s)media watchMegawatiMekahMeksikoMeraukeMerkel, AngelaMesirMill, John Stuartmillah IbarhimMiller, Robert J.Minangkabauminimal stateminimum stateminority complexminority protectionminus malummisoginismistisismeMMImobilisasi sosialmoderat secularismmoderating effectMoehammad NatsirMoh. Rajab Thayyib Erdoganmoney politic


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–monismeMonitor (Tabloid)monoteismeMonroe, MarilynMontesquieumoral argumentmoral decadencemoral handicapmoral judgementmoral obstaclemoral pluralismmoral revivalismMormonMPRmu‘âmalahMu’tasim Billah, al-Mu’tazilahMuawiyahMudji Sutrisno (Romo)Muhajirin (kaum)Muhammad AbduhMuhammad Ali (petinju legendaris)Muhammad AssadMuhammad ibn Abdul WahhabMuhammad ibn Hasan al-SyaybaniMuhammad ImarahMuhammad Salim al-AwwaMuhammad Thahir bin ‘AsyurMuhammad YunusMuhammadiyahMUIfatwa—MUIS (Majelis Ulama IslamSingapura)mujâhadahmujtahidMukhairiqMukti Alimulticultural actmulticultural policymultikulturalismemultiple affiliationmultiple identityMunawir SyadzalimuqallidMurray, John CourtneyMusa (Nabi)MushadeqMuslim AbdurrahmanMustafa KemalMustasyfâ, al-Musthofa Bisri (Gus Mus)mutawâthirMuwaththa’, al-My Forbiden FaceNNaguib al-Attasnahy munkarnaked public squareNash, ManningnâsikhNasr Hamid Abud Zayd


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Nasr, S.H.NasraniNatalnation buildingNational GuardNational University of Singapore(NUS)natural libertynatural religionNawal El-SadawiNawawi al-BantaniNaziNazismeNegara Madinahnegative immunitynegative theologyNehrunemesisi of powerneo-konservatifneo-liberalismeneopositivismeNestorianNeuhaus, John RichardNew AgeNew YorkNew York TimesNew ZealandNicholls, JohnNicholsonnihilismeNIInilai-nilai universalNizham al-MulkNKRInon-derogable rightsNorrisNTTNUnuminosumNurcholish Madjid (Cak Nur)Nurcholish Madjid MemorialLectureNuruddin Ar-RaniriNusa Tenggara Barat (NTB)Nusantaranuzûl al-Qur’ânNyepi (hari)OObama, Barackobjektivikasiofficial religionOhio UniversityOmanontologioption for the poorOpus DeiOrde BaruOrde LamaOrde Reformasiorganized religionortodoksiOsama bin Ladenotonomi daerahotoritarianisme


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–otoritas keagamaanover simplifiedPP3MPADPadangPaderi (perang)pakemPakistanPalestinaPANPancasilaPan-IslamismePapuaParakitriParamadinaParisParkindoparliament watchParsons, TalcottPartai IslamPartai KatolikPartai Kristen DemokratPaskah (hari)passing overpatriarkhalPaul II, JohnPaus Benediktus XVIPaus Johannes Paulus IIPaus Paulus IIPBB (Perserikatan Bangsa-bangsa)PDIPpeaceful co-existncePelita (harian)Pemberontakan para petani diBantenPemilu 2009PensylvaniaPentakostaPepsi ColaPeradilan AgamaPerang DinginPerang Dunia IPerang Dunia IIPerang SalibPerda AntimaksiatPerda HinduPerda InjilPerda SyariahPerjanjian BaruPerjanjian LamaPersatuan Ulama Seluruh AcehPersiaPersisPETAPGIphallocentrisPhilips, AnnePhillipsPhytagorasPiagam JakartaPiagam MadinahPKBPKI


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–PKNUPKSPlatoPlayboyPlotinuspluralisme—agama—sosialpluralist indifferentPMIIPMKRIPNIPNSPolandiaPolanyi, Michaelpolisemikpoliteismepolitical capitalpolitical engagementpolitical influencepolitical pluralismpolitical recognitionpolitical revivalismpolitical rightspolitical societypoliticonomicpolitisasi syariahPondok SeblakPonte, CarloPopper, Karlpositive discriminationpositive immunitypositivismeposmodernismePosporiuspos-sekularPosten, JyllanPPIMPPKIPPPPrancispredatory capitalism“preman berjubah”prior to idea of secularizationprivatisasi agamapro-domopro-existenceproses legislasiproses sosiologisProtestanProtestant family valueProtestant ReformedProtestantismePSIpuasapublic deliberationpublic justicepublic life principlespublic reasonpublic reasoningpublic religionpuritanismePWI


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Qqâdlî al-qudlâtqânûnQasim AminQatarqath‘îqishâshQiyadah, alqiyâsQomaruddin KhanQuraish ShihabQurtubi, al-Rradical mainstreamradical republicanradikalismerahmatan li al-‘âlamînRahner, KarlRamage, Douglas E.RANHAM National CommitteRasyid RidlaRawls, JohnRazi, alreformasi(gerakan)regulasi publikregulasi restriktifrelatively absoluterelativismereligionomicreligious adherentreligious declinereligious freedomreligious intimacyreligious pluralismreligious rightsreligious sciencesreligious secularismRenaissanceRepublika (harian)revolusi filsafatRevolusi Islam IranRevolusi Prancisrevolusi teknologiribâRicouerRicouer, PaulRieke Dyah PitalokaRiffat HassanRizieq ShihabRodinson, MaximeRoma KatolikRomawiRoosevelt, Franklin DelanoRousseau, Jean Jacquesrûh al-syarî‘ahRusiaRussell, BertrandRUU APPRUU Hak-hak MinoritasRUU KUB


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–SSabahSabi’inSabiliSachedina, AbdulazizSahrastani, al-Said Aqiel SyiradjSaiful MujaniSaksi YehovahsamhahSamHarrisSandel, MichaelSARASartreSassoon, A.S.Saudi ArabiaSayyed Hossein NasrSayyid QuthbSBY-JK (pemerintahan)Schacht, JosephSchillebeeckxSchleiermacherscientific communityScopes, John T.Scott, Jamessecond class citizenssecular fundamentalismsecularization as differentiationsecularization as privatizationsektarianismesekularisasisekularismesekularisme liberalSemit (agama)Sennett, Richardseparation between religion andnationseparatismeShabi’inshalawat badarShiffîn (perang)Sikhsilent majoritySimatupang, T.B.Singapurasinkretismesintesa eklektisSiti Jenar (Syekh)siyâsahSjafruddin PrawiranegaraSkandinaviaSloterdijk, PeterSmith, AdamSmith, Hustonsocial argumentsocial constructionsocial contractsocial ethicistsocial function of religionsocial humanitiessocial responsibilitysocial sciencessocial skillsociety-state distinctionsociological pluralism


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–SocratesSoehartoSoekarno (Bung Karno)soft statesosialisme—ArabSpanyolspecific historical coursespiritual argumentspiritual enlightenmentspiritual sanctionsspiritually religiousSpivak, Gayatri Chakravortysplitsing theorySTAINStar tvstate buildingstate of mindstate rebuildingstate responsibilitystate-like institutionsstate-society distinctionSteenbrink, KarlStephanstrick syarî‘a mindedstructure of lawSuara Pembaruan (harian)substansi ideologiSudansugih macak keresuicideSumarthana, Th.Sumatera BaratSumatera ThawalibSunan Gunung JatiSunan KalijagaSunan KudusSunnisupporting ideassupporting moralitySusilo Bambang Yudhoyono (SBY)Sutan Takdir Alisjahbanaswarga nunut neraka katutSwediaSwissSwiss, St.GallenSyafi’i (mazhab)Syafi’i, ImamSyafruddin PrawiranegaraSyah WaliyullahSyahrirSyatibi, Imam alsyaykhal-IslâmSydie, RASyi’ahSyriasystem of rightssyûrâ, al-TTahtawi, altajdîdtaklidTalal Asadtalfîq


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–TalibanTangerangTao Te CingTaoismetaqlîd jâmidtaqlîd mahdlîtaqlîd manhajîtaqlîd qawlîTarbawitasawufTauratTaylor, CharlesTeater Utan KayuteismeTempo (majalah)teo-demokrasiteokrasiteologi pembebasanteosentrisThaha HusainThailandthe art of compromisethe art of possibleThe Asia Foundationthe best among the worseThe City of GodThe Economistthe essence of modernismthe essence of religionthe idea of Hollythe idea of nation-statethe idea of progressThe Jakarta Postthe politics of exclusionthe politics of inclusionthe problem of good lifethe problem of justiceThe Protestan Ethicthe rise of educationThe Roles of Religionthe survival of the fittestThe Third Wavethe ultimate truthThe Wahid InstituteTheo Syafeitheological argumentTheresa (ibu)Timor LesteTimor TimurTimur TengahTKWTNIToffler, Alvintolerantoleransitotalitarianismetraffickingtransnational fundamentalismtransnational Islamic fundamentalismTrinitastruth claimTunisiaTurki MudaTurki


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–UUAN sentrisUINUIN JakartaUIN MakassarUIN Yogyakartaulama DayahUlil Abshar-Abdallaultimate truthUmar ibn Abdul AzisUmar ibn FaridUmar ibn KhattabUmayyahUMIUmmu Salamahumûru bi-maqâshidihâ, al-Uni SovietUNICEFunintended consequenceUNISBA (Universitas IslamBandung)UNISMA (Universitas IslamMalang)Universitas AirlanggaUniversitas AlighardUniversitas al-NizamiyahUniversitas Gajah Mada (UGM)Universitas Indonesia (UI)Universitas Islam Indonesia (UII)Universitas OsakaUniversitas ParamadinaUniversity of ChicagoUniversity of South CarolinaUS GovernmentUsman RoyUtomo DananjayaUtsman ibn AffanUtsmani (dinasti)UU Administrasi KependudukanUU Anti-DiskriminasiUU Anti-Pornografi dan PornoaksiUU Anti-TrafikingUU HajiUU KDRTUU KewarganegaraanUU KKRUU LSMUU Partai PolitikUU Peradilan AgamaUU Perbankan SyariahUU PerbankanUU PerkawinanUU Pidana IslamUU PNPSUU PTPPO (PemberantasanTindak Pidana PerdaganganOrang)UU WakafUU ZakatUUDUzair


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Vvalue freevan der Kroef, J.M.VatikanVietnamVoltairevon Bismarck, Ottovon HayekWWahhabiWahhabismeWahid HasyimWalby, SylviaWalisongoWalzer, MichaelWaraqah bin NaufalWashington ConsensusWashington DCWashliyah, alwatakprimordialWatson, S.Watt, JamesWatt, MontgomeryWeber, MaxWeedon, ChristWeigel, Georgewelfare statewilâyat al-faqîhwilâyat al-hisbahWilders, GeertWilson, AMWTO (World Trade Organization)YYahudiYakobitYale Divinity SchoolYale UniversityYatsribYesusYogyakartaYordanYudi LatifYunaniYusuf al-NajjarYusuf QardlawiZZaenuddin MZZaid ibn TsabitZainal AbidinZakaria, Fareedzakatzhannîzhihârzhillullâh fî al-ardlZiauddin SardarZionisZoroaster


–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–Credit:Edisi cetak buku ini diterbitkan pertama kali oleh LembagaStudi Agama dan Filsafat bekerjasama dengan Paramadina Jakarta,Januari 2010. ISBN: 978-602-95860-0-8 (No. jil. lengkap),ISBN: 978-602-95860-1-5 (Jil. 1), dan ISBN: 978-602-95860-2-2 (jil. 2)Halaman buku pada Edisi Digital ini tidak sama dengan halamanedisi cetak. Untuk merujuk buku edisi digital ini, Andaharus menyebutkan “Edisi Digital” atau menuliskan link-nya.Juga disarankan mengunduh dan menyimpan file buku ini dalambentuk pdf.


Yayasan Abad Demokrasi adalah lembaga nirlaba yang berkomitmenuntuk pemajuan demokrasi di Indonesia, terutama dalam kaitannyadengan tradisi keberagamaan yang menghargai nilai-nilai demokrasi,pluralisme, perdamaian, dan penghargaan terhadap hak-hak kemanusiaan.Lembaga ini berupaya menyebarkan seluas-luasnya ide-ide pencerahandan demokrasi ke khalayak publik. Juga memfasilitasi publikasi,penelitian, dan inisiatif-inisiatif lain terkait dengan isu yang sama.Juga berupaya memfasilitasi transfer pengetahuan dan pembelajarandemokrasi dari berbagai belahan dunia. Lembaga ini juga concern terhadapupaya membangun tradisi akademik dan intelektual, sehinggaproses demokratisasi Indonesia berjalan dalam fundamen yang kokohdan visioner.Lembaga ini juga berencana mengembangkan kader-kader pendukungproses pemajuan demokratisasi di Indonesia.www.abad-demokrasi.com

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!