11.07.2015 Views

pseudo toleransi - Democracy Project

pseudo toleransi - Democracy Project

pseudo toleransi - Democracy Project

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Edisi 004, Agustus 2011KolomPseudo Toleransi:Metode Dakwah al-Qardlawidan Masa Depan Pluralisme“…..jika dikatakan bahwa artipluralisme agama (al-ta’addudiyyahal-diniyyah) adalah semua agamaitu benar (haq), dan pendapat inimenurut kami tidak benar, makapluralisme agama yang sesungguhnyaadalah menegaskan bahwasesungguhnya agamaku adalah yangbenar, dan agama orang lain adalahsalah (bathil). Meski demikian,mereka berhak untuk hidup dankita boleh bergaul dengan merekademi kebaikan. Dan hak kita jugauntuk berdamai dengan mereka yangmengajak berdamai, dan berperangdengan mereka yang mengajakberperang. Dan karena kami meyakinibahwa agama orang lain salah, makamenjadi hak kami untuk berdakwah,mengajak mereka untuk masuk agamakami…”.D e m o c r a c yP e r p u s t a2


lEdisi 004, Agustus 2011KolomP r o j e c tk a a nDi t ai gKutipan di atas adalah pernyataanulama sohor Syeikh Yusuf al-Qardlawi, sebagaimana dilansir dalamsebuah situs Islam online (lihathttp://www.alwihdah.com/news/news/2010-04-26-741.htm). SosokYusuf al-Qardlawi dikenal sebagaiulama yang kontroversial, bukanhanya bagi kelompok konservatif,tapi juga oleh kelompok liberal.Dari pandangan konservatif, al-Qardlawi dijuluki sebagai ahlifikih yang ingkar sunnah. Dandari sudut kelompok liberal, al-Qardlawi tidak lebih dari seorangkonservatif yang “pura-pura”modern. Menurut Luthfi Assaukanie(2007: 180), pemikiran al-Qardlawiini di Indonesia direpresentasikanoleh ulama-ulama yang mengakumoderat, tapi pada saat yangsama merangkul pandanganpandangankonservatif, semisalulama-ulama yang berada di jajaranMUI. Ulama-ulama di MUI danyang sepandangan dengan merekamemang mendakwahkan <strong>toleransi</strong>antar umat beragama, tenggang rasa,dan menghormati kebhinekaan.3


Edisi 004, Agustus 2011Kolom4Tapi pada saat bersamaan merekajuga mengharamkan pluralisme danmenyesatkan Ahmadiyah.Belakangan ketika fenomenakekerasan beragama marak terjadi,KH. Hasyim Muzadi, mantan ketuaumum PBNU, dalam beberapakesempatan dialog di televisi swasta,mengeluarkan statemen yang agakrancu. Menurutnya, deradikalisasiterorisme hanya bisa diatasi denganpluralisme sosial, bukan pluralismeteologis. Tampak sekali di sini bahwapandangan Hasyim Muzadi tidaklebih baik dari pernyataan ulamaulamaMUI yang menerima pluralitastapi mengharamkan pluralisme.Jika ditelisik lebih jauh, <strong>toleransi</strong>yang didakwahkan oleh al-Qardlawi,Hasyim Muzadi, dan ulama-ulamaMUI, sebetulnya tidak lebih darirespon terhadap desakan faktasosiologis kondisi umat yangdipandang makin radikal. Karenasifatnya desakan, maka <strong>toleransi</strong>demikian terkesan kompromistis. Adasatu dogma yang ingin dipertahankandalam kerangka <strong>toleransi</strong> versi al-D e m o c r a c yP e r p u s t a


lEdisi 004, Agustus 2011KolomP r o j e c tk a a nDi t ai gQardlawi dkk. yang demikian, yaknidogma tentang monopoli klaimkebenaran (truth claim). Saya inginmenyebut <strong>toleransi</strong> ala mereka itusebagai “<strong>pseudo</strong> tolerance” atau“<strong>toleransi</strong> seolah-olah”. Toleransiyang demikian adalah konsep<strong>toleransi</strong> yang setengah-setengah,penuh kompromi dan tidak didasarioleh niat yang utuh. Di satu sisi,mereka dipaksa untuk mengakuidan bergaul dengan realitas yangtidak tunggal, tapi di sisi yang lainmereka enggan untuk membuangpandangan-pandangan eksklusifdalam keberagamaannya.Karena itu, model <strong>toleransi</strong> demikianini hanya sebatas kulit saja dan tidakmemiliki akar yang kuat sebagailandasan pergaulan masyarakatglobal yang multikultural. Sebab dibawah sadar, ia masih menyisakanpotensi kekerasan dalam wujudklaim-klaim kebenaran beragama.Dalam paradigma <strong>pseudo</strong> <strong>toleransi</strong>ini, pokok soal tentang kebenarantunggal iman menjadi tema sentraldan absolut. Orang yang menganut5


Edisi 004, Agustus 2011Kolommodel <strong>toleransi</strong> demikian, biasanyamasih bernafsu atau mengincar umatberagama lain untuk dikonversi kedalam agamanya.Para penganut <strong>pseudo</strong> <strong>toleransi</strong>sangat sulit melepaskan diri darisikap eksklusivisme beragama.Mereka pada umumnya mengatakanbahwa Islam adalah satu-satunyaagama yang benar. Agama lain,menurut mereka, jikapun itu pernahdiwahyukan Allah kepada para nabi-Nya, tapi belakangan keabsahannyasudah terwakilkan (baca: dimansukh,diabrogasi) oleh agamaIslam. Karena itu, siapa yang masihmenganut agama di luar Islam setelahmendengar kebenaran dakwah Islam,maka keyakinannya itu tertolak dan iatidak akan selamat di akhirat. Merekasebetulnya mengakui bahwa sebagiandari keputusan Allah (sunnatullah)terhadap manusia adalahmenjadikannya tidak satu agama.Mereka juga mengakui bahwa setiapusaha kepada homogenisasi agamaadalah usaha yang sia-sia. Namunbegitu, mereka juga bersikerasD e m o c r a c yP e r p u s t a6


Edisi 004, Agustus 2011KolomDengan konsep <strong>toleransi</strong> yangsemu ini, jangankan mendakwahkankeberagamaan yang inklusif,eksklusivisme beragamapun bahkanmenjadi sangat sulit untuk dihidari.Bagaimana mungkin seorang yangmeyakini bahwa Islam sebagai satusatunyajalan keselamatan, bisamembiarkan penganut agama lainhidup tenang dengan keyakinannya.Orang yang menganut paham <strong>pseudo</strong><strong>toleransi</strong> seperti ini tidak akanpernah bisa benar-benar <strong>toleransi</strong>.Yang ia bisa hanya pura-pura<strong>toleransi</strong>. Dikatakan begitu, karenaia tidak akan berhenti mencaricarikesempatan kapan waktunyamengkonversi keyakinan orang lainitu ke dalam Islam.Rumusan dakwah kepada nonmuslim, bagi para penganut <strong>pseudo</strong><strong>toleransi</strong>, adalah “mengajak umatmanusia untuk masuk Islam, dan jikamereka menerima itu, barulah merekadisuruh untuk mengerjakan kebaikandan mencegah kemunkaran.”Demikian seperti dikutip dari bukuHidâyat al Mursyidin (1979: 17)D e m o c r a c yP e r p u s t a8


lEdisi 004, Agustus 2011KolomP r o j e c tk a a nDi t ai gkarya Syeikh Ali Mahfuz, seorangda’i kondang dari al-Azhar. Karenadasarnya yang rapuh, maka model<strong>toleransi</strong> ini alih-alih menjadisolusi pluralitas sosial, yang adajustru rentan sekali menyuburkanradikalisme dan fundamentalismeberagama. Bagaimanapun juga,eksklusivisme beragama tidakakan pernah melahirkan <strong>toleransi</strong>.Sebaliknya eksklusivisme justrumelegitimasi radikalisme dan segalabentuk kekerasan beragama.Pengakuan terhadap realitasmengharuskan pembenaran terhadaprealitas itu sendiri. Dengan katalain, pengakuan terhadap pluralitasberimplikasi pada pengakuanterhadap pluralisme. Jarak antarapluralitas dan pluralisme tidakberbeda dengan das sein dan dassolen, antara yang senyatanya danyang seharusnya. Seseorang tidakakan pernah bisa menerima kenyataanpluralitas dengan tulus, selama iamasih bersikeras menolak pluralisme.Dengan demikian, rumusan KH.Hasyim Muzadi tentang bolehnya9


Edisi 004, Agustus 2011Kolom10menerima pluralisme sosial tapiwajib menolak pluralisme teologisseperti dipaparkan di atas, menjaditidak relevan. Jika yang dimaksudbeliau dengan pluralisme sosialadalah sikap menerima pluralitassosial dengan cara <strong>toleransi</strong> danbergaul dengan akur dan damai,maka yakinlah cita-cita dakwahdemikian ini dapat dipastikan tidakakan kesampaian tanpa pengakuanpluralisme teologis yang menegaskanbahwa setiap agama itu adalahbenar. Karena itu, mendakwahkan<strong>toleransi</strong> yang benar tidak akanbisa terwujud selama klaim-klaimkebenaran atau eksklusivisme itumasih bersikeras dipertahankan.Sebaliknya, mendakwahkan <strong>toleransi</strong>yang masih menyisakan ruang truthclaim dan eksklusivisme hanya akanmelahirkan <strong>toleransi</strong>-<strong>toleransi</strong> yang“hangat-hangat tahi ayam”: laris danpopuler ketika banyak terjadi konflikdan kekerasan, tapi menghilangketika suasana relatif stabil. Dengankata lain, <strong>pseudo</strong> <strong>toleransi</strong> tidakakan pernah benar-benar utuh danmemadai untuk menyelesaikanD e m o c r a c yP e r p u s t a


lEdisi 004, Agustus 2011KolomP r o j e c tk a a nDi t ai gkonflik dan kekerasan, tapi bersifatsebatas tambal sulam.Sebagai garda terdepan umat muslim,sudah saatnya para ulama sekarangini mengubah paradigmanya tentang<strong>toleransi</strong>. Sudah saatnya beralihdari <strong>pseudo</strong> <strong>toleransi</strong> atau <strong>toleransi</strong>yang setengah-setengah, kepada<strong>toleransi</strong> yang sejati. Toleransisejati (al tasamuh al-haqîqiy) adalah<strong>toleransi</strong> yang lahir dari pola berpikirpluralisme, yaitu <strong>toleransi</strong> yangberani menyatakan bahwa bukanhanya agama saya saja yang benar,tetapi agama orang lain juga benar.Jika semua orang menjalankanagamanya masing-masing dengansebenar-benarnya, maka sudahpasti akan melahirkan kedamaian,ketentraman hidup dan kerjasamasosial yang sehat.Toleransi dan pluralisme tidakperlu disikapi sebagai ancamanakidah, karena setiap orang memilikipreferensinya sendiri-sendiri.Sebagaimana baju yang saya pakai,belum tentu nyaman dipakai olehorang lain. Berdakwah kepada non11


Edisi 004, Agustus 2011Kolommuslim dalam rumusan ini, tidak lagiidentik dengan mengkonversi imanmereka, tapi cukup mengajak merekamelakukan kerjasama sosial yangsehat. Inilah <strong>toleransi</strong> yang benardan sehat, yang semestinya dijadikanrujukan dakwah oleh para da’i danulama-ulama di nusantara.Wallahu a’lam bi al-shawab.D e m o c r a c y© 2011Kolom ini diterbitkan oleh<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>,Yayasan Abad Demokrasi.Untuk berlangganan, kunjungiwww.abad-demokrasi.comKode kolom: 004K-PPR001P e r p u s t a12

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!