2. Riset Peristiwa 65 di SoloSejak 2004 saya dan teman-teman Lingkar Tutur Perempuan (LTP) mulai melakukan riset sejarahlisan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam Peristiwa 65 di Solo. Dalam perkembangannyamemang wawancara semakin meluas sehingga tidak hanya mencakup perempuan korban, tapi jugalaki-lakinya; lalu lebih luas lagi, tidak hanya terbatas korban, tapi juga saksi dan pelaku. Sejak empattahun belumnya kami sudah berjaringan dengan organisasi korban di Solo, yaitu Pakorba Solo,karena proyek riset sejarah lisan (OHP) 65 yang dilakukan ISSI dan temu korban yangdiselenggarakan ELSAM dan sejumlah lembaga lain. Kami memilih untuk berfokus pada perempuankarena hasil riset dan temu korban tersebut menunjukkan bahwa pengalaman perempuan dalamperistiwa kekerasan, khususnya pengalaman istri tapol, kerap kali ter-/diabaikan karena berbagaialasan, terutama karena tidak dianggap penting. Sementara, kami melihat bahwa justru melaluipengalaman perempuan kita bisa mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang pola kekerasannegara. Yang terpenting adalah bahwa kekerasan politik tidak hanya terjadi di ruang publik, tapi jugamasuk sampai ke dalam rumah. Berbagai bentuk kekerasan baru muncul, seperti kekerasan seksualdan kawin paksa oleh pelaku terhadap istri dan anak perempuan korban, intimidasi dan ancamanyang disertai pemerasan, stigmatisasi dan diskriminasi terhadap keluarga, pemiskinan, danseterusnya.Hal pertama yang kami lakukan setelah berhasil meyakinkan Pakorba Solo tentang pentingnyamendengar suara perempuan korban adalah menyelenggarakan tutur perempuan. Tutur perempuanadalah metode berbagi pengalaman yang kami kembangkan sejak akhir 2000 hingga saat ini untukmenggali pengalaman perempuan, tidak hanya untuk perempuan korban. Demi membangun rasaaman dan nyaman, kami membatasi pesertanya hanya perempuan, sifat pertemuannya tertutup(tidak boleh diliput) dan terbatas (hanya undangan). Di Solo, selama acara berlangsung, bapak-bapakberfungsi sebagai ‘pelayan’. Kami sendiri berbagi tugas: ada yang mengorganisir keseluruhan acara,yang menjadi fasilitator pertemuan, notulis, dan pengambil kesimpulan. Ibu-ibu dipersilakan untukberbagi pengalaman satu per satu semampu mereka, dan kemudian kami menarik butir-butirpembelajaran dari berbagai tuturan yang disampaikan. Dalam tutur perempuan pertama, umumnyasuasananya emosional karena perempuan-perempuan itu kebanyakan baru pertama kali mendapatkesempatan bicara sekaligus mendengarkan pengalaman rekan senasib. Di sisi lain, yang selalumuncul secara spontan adalah sikap saling menguatkan dan solidaritas di antara peserta.Dari hasil tutur perempuan pertama yang berlangsung selama dua hari, kami mendapat gambaranumum situasi para perempuan pada saat peristiwa 65 terjadi dan dampak lanjutannya. Kamikemudian menyeleksi perempuan-perempuan yang perlu diprioritaskan untuk diwawancarai secaraindividual, biasanya merepresentasikan kelompok tapol, istri tapol, dan anak tapol, aktivis dan nonaktivis.Ini terpaksa kami lakukan karena jumlah korban yang begitu banyak dibanding waktu dantenaga yang tersedia. Fungsi penting lain dari tutur perempuan adalah agar sejak awal, sebelumwawancara dilakukan, sudah terbangun hubungan saling percaya di antara korban dan kami.Betapapun demikian, tidak selamanya kami bisa mewawancarai korban secara langsung begitudatang ke rumahnya. Dalam satu kasus, saya bahkan harus menunggu selama lima tahun -- sambilterus-menerus berupaya meyakinkan korban – sebelum bisa mendapatkan informasi krusial yangsaya butuhkan. Dan saya masih terikat perjanjian untuk tidak mempublikasikannya sebelum ia danrekannya meninggal dunia. Biasanya, setelah saya mendapat satu narasumber, ia akan72
merekomendasikan saya untuk mewawancarai narasumber lain, atau saya yang mintainformasi/rekomendasi. Ada korban-korban (atau saksi dan pelaku) yang baru mau percaya kalaukita diperkenalkan oleh penghubung yang tepat.Kami memilih metode sejarah lisan untuk melakukan riset tentang kekerasan terhadap perempuandi Solo karena ketiadaan arsip, terutama arsip yang andal dan memuat kesaksian korban.Secararingkas, metode sejarah lisan bertumpu pada penggalian secara sistematis dan terarah ingatannarasumber. Artinya, jauh hari sebelum wawancara, saya sudah membekali diri dengan berbagaireferensi untuk mengumpulkan informasi awal dan merumuskan pertanyaan.Bukan hal mudah bagi korban untuk mengingat peristiwa yang telah berlalu puluhan tahun, apalagiperistiwa itu traumatis. Ingatan yang sampai pada saya adalah ingatan yang berhasil dipertahankansetelah melalui periode pembungkaman. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus sayapersiapkan, diantaranya saya harus tahu tonggak-tonggak peristiwa penting yang mudah dijadikanpatokan oleh korban, baik peristiwa nasional, lokal, maupun pribadi. Dalam wawancara sejarah lisanyang dilakukan ISSI, kami tidak membatasi pada tema kekerasan 65 saja, tapi untuk keseluruhansejarah hidupnya. Ada beberapa alasan: pertama karena dengan wawancara sejarah hidup kami bisamendapatkan pengetahuan yang lebih luas, dengan demikian menyediakan informasi untuk riset dimasa depan; kedua, untuk memperoleh gambaran tentang lintas perjalanan orang yangdiwawancarai (satu tahap dalam kehidupan seseorang dipengaruhi oleh tahap sebelumnya; dengankata lain menghindari kesimpulan dangkal); ketiga, kami adalah peneliti-aktivis dengan pilihan politiksejak awal berpihak pada korban, karena itu kami butuh membangun empati yang lebih mendalamdan mencegah wawancara diartikan sebagai kegiatan sederhana untuk mencari data saja. Rata-ratawawancara saya dengan korban, perempuan maupun laki-laki, berlangsung selama dua-empat jam.Waktu yang saya habiskan dengan satu korban antar tiga-lima jam, kadang kala sampai menginap.Beberapa korban yang saya anggap keterangannya sangat penting dan memang artikulatif sayawawancarai sampai empat atau lima kali pertemuan. Pulang dari anjangsana, saya harus membuatjurnal penelitian, laporan penelitian, menyerahkan kaset/rekaman untuk diberi label, dikonversi,ditranskrip dan dibuatkan ringkasannya, kemudian dikatalogisasi (termasuk diberi nama samaran).Kembali lagi ke Solo, kami selalu membawa oleh-oleh catatan untuk dibagikan pada anggotaPakorba. Ini penting sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban. Biasanya yang kami bawa adalahlaporan proses kegiatan sebelumnya/laporan pandangan mata, notulensi pertemuan, transkripwawancara, esai (kalau ada), dan buku-buku, serta informasi terbaru dari Jakarta. Sebaliknya,mereka juga berbagai informasi tentang situasi korban dan politik lokal.Setelah tutur perempuanpertama, kami menyelenggarakan tutur perempuan yang lebih luas, yaitu se-Jawa Tengah, kali inimelibatkan juga Syarikat dan jaringannya.Pertemuan itu tidak lagi menjadi forum berbagi pengalaman kekerasan, tapi forum untukmerumuskan harapan dan tuntutan korban, serta untuk berbagi tugas antara generasi muda dankorban. Ada empat tuntutan korban yang muncul dari hasil pertemuan itu, yaitu pengungkapankebenaran, penegakan keadilan, pemulihan, dan pencegahan keberulangan. Ini menegaskan hasiltemu korban pada 2003 dengan tambahan perspektif gender di dalamnya. Sementara untukpembagian tugas sendiri, ibu-ibu memutuskan akan mengambil bagian pengorganisasian di tingkat73
- Page 2:
Melawan Pelupaan PublikPanduan Disk
- Page 7:
3. Taylor: Perang Tersembunyi Sejar
- Page 10 and 11:
iasa di kalangan publik umum untuk
- Page 12 and 13:
Orde Baru yang sistematik dan melua
- Page 14 and 15:
menghadapi pelupaan publik yang gej
- Page 16 and 17:
Penulis ternama, Satyagraha Hoerip,
- Page 18 and 19:
korban itu sendiri. Kita harus mamp
- Page 20 and 21:
hanya melayani kejahatan individu w
- Page 22 and 23:
kepada mereka. Tuntutan awalnya ada
- Page 24 and 25:
Namun usaha untuk menarik garis bar
- Page 26 and 27:
Kebenaran atau Keadilan: Kebenaran
- Page 28 and 29:
yang terutama dikerjakan oleh Memor
- Page 30 and 31: Bagian 2. Merancang Dokumentasi Kej
- Page 32 and 33: memberitakan cerita-cerita bohong t
- Page 34 and 35: memperoleh izin bergerak menurut In
- Page 36 and 37: PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK DISKUSI
- Page 38: mengerahkan warga sipil ini tidak d
- Page 41 and 42: (kehidupan ekonomi, sosial, budaya,
- Page 43 and 44: Memorial-Rusia[...] Di bekas negara
- Page 45 and 46: PERTANYAAN-PERTANYAAN DISKUSI:1) Me
- Page 47 and 48: mengambil intisarinya dan mengintep
- Page 49 and 50: Jika demikian kita berangkat dari b
- Page 51 and 52: Pengertian Informasi Primer dan Inf
- Page 53 and 54: mendapatkan pengertian yang lebih b
- Page 55 and 56: Tabel 1: Perbedaan Dokumentasi deng
- Page 57 and 58: "Perantara yang berpengalaman semac
- Page 60 and 61: Dalam pendokumentasian tentu akan b
- Page 62 and 63: pekerjaan pustakawan dalam memilih,
- Page 64 and 65: tengkorak, enam puluh buah telah di
- Page 66 and 67: II. Darimana Memulai: Mengajak Korb
- Page 68 and 69: tujuan kami, dan apa yang akan kami
- Page 70 and 71: • Menjaga kerahasiaan identitas k
- Page 72 and 73: menghadapi kesulitan di lapangan, d
- Page 74 and 75: • Tujuan kemanusiaan, misalnya me
- Page 76 and 77: dari sumber pertama). Tuntutan ini
- Page 78 and 79: miskin yang didirikan oleh organisa
- Page 82: lokal (bagian putri Pakorba Solo su
- Page 86 and 87: menyiksa para jenderal, ditelanjang
- Page 88 and 89: palu-arit,” perkosaan dalam tahan
- Page 90 and 91: usak, dan membuat perabotan rumah t
- Page 92 and 93: Ketika Santo Hariyadi diperintahkan
- Page 94 and 95: capek, kepanasan, dan sebagainya, n
- Page 96 and 97: kita [babat rumput]. Dari batas Des
- Page 98 and 99: Setelah menyiang pada dari alang-al
- Page 100 and 101: Kemudian ditutup. Kalau ditanyak pe
- Page 102 and 103: Di tengah-tengah dokumentasi itu, i
- Page 104 and 105: Pernyataan tentang Izin Penggunaan
- Page 106 and 107: Profil ELSAMLembaga Studi dan Advok